studi-sejarah_objektivitas dan subjektivitas dalam sejarah
TRANSCRIPT
-
7/22/2019 Studi-sejarah_objektivitas Dan Subjektivitas Dalam Sejarah
1/11
PENJELASAN OBJEKTIVITAS DAN SUBJEKTIVITAS DALAM SEJARAH
1. Makna Objektifitas dalam Penulisan Sejarah
Pada umumnya sesuatu di katakana objektif jika benda atau peristiwa yang menjadi kajian tersebut dapat
dilihat, dirasakan, dikecap dan lain sebagainya secara langsung oleh pancaindra kita. Ibarat sebuah botol,
kita dapat merasakan langsung bentuk, warna, bau, atau mungkin rasanya jika kita mengecapnya. Karena itu
dari sisi manapun kita melihatnya akan tergambar bentuk semula dari hasil rekonstruksi melalui ide dan
pengalaman empiris pada beberapa aspek dari botol yang kita lihat. Karananya kalau kita mengikuti logika
ilmu alam maka unsur yang harus ada dalam kata objektif adalah:
1. Kebenaran mutlak2. Sesuai dengan kenyataan, termasuk juga yang tersembunyi.3. Netralitas mutlak, tidak memihak dan tidak terikat4. Kondisikondisi yang harus lengkap untuk semua peristiwa
Senada dengan itu, ada penelitian yang menyimpulkan, bahwa berpikir (dalam menjabarkan gejala alam
yang objektif) bukan mengharuskan pemikir (peneliti) memiliki inisiatif, tetapi adalah membiarkan sesuatu
menjadi tanpak sebagaimana adanya, tanpa memasukkan katagori-katagori kita sendiri pada sesuatutersebut. Kenyataanlah yang menjadi pemegang inisiatif. Bukan kita yang menunjuk kanyataan, tetapi
kenyataan-kenyataan itu sendiri yang menunjukkan dirinya pada kita (Poespoprodjo, 1999:7). Bertolak dari
arti objektif dari penjelasan di atas, umumnya pada ilmu pengetahuan sosial, terlebih-lebih ilmu sejarah,
kalu kita mengambil keobjektivan sama seperti ilmu alam tentu sulit akan bisa dikatakan akan dapat
menghasilkan keilmuan yang ilmiah tersebut. Karana pada dasarnya mereka tidak lepas dari penafsiran atau
pemaknaan dari data tentang phenomena, gejala dan peristiwa yang mereka dapatkan dari sebuah penelitian.
Namun sebenarnya kita tidak perlu terlalu memusingkan antara keduanya, karena walaupun ilmu sosial tidak
seobjektif ilmu alam, itu dikarenakan perbedaan objek yang di kaji. Jika ilmu alam mengkaji peristiwa alam
yang menuntut untuk memiliki kriteria keobjektivan seperi di sebutkan di atas. Sebaliknya ilmu sosial akan
mengkaji manusia yang di dalamnya terdapat nilai-nilai, budaya dan lain sebagainya yang mengitari
kehidupan manusia itu sendiri, karena itu tentu penjelasan tingkat keobjektivan dari alam yang merupakanbenda mati dengan manusia yang di dalam hidupnya terkandung sejuta makna akan berbeda, walaupun
memiliki tujuan yang sama yaitu di satu pihak menemukan kaidah alam, dan yang kedua menemukan kaidah
kemanusiaan. Terkait dengan itu, jika berbicara masalah objektivitas dalam ilmu sosial. Pada dasarnya sifat
objektif hanya mengharuskan si peneliti tetap tidak terikat secara emosional dengan objek, mendekati objek
tetapi pada jarak-jarak yang tertentu, lalu menilai berdasarkan pada alat ukur yang disediakan oleh istitusi
hingga lahirlah kesimpulan tanpa benar-benar memahami objek secara individual, maka peneitian ilmiah
selalu bersifat kesimpulan umum. Lalu bagaimana seorang peneliti atau penulis menjaga netralitas dan
kecendrungan pribadi yang di latar belakangi oleh nilai politis dan etis yang dimiliki penulis? Untuk
menjaga nilai objektif dari data yang dikumpulkan maka dalam setiap kegiatan penelitian harus berpedoman
pada metode ilmiah yang ketentuan-ketentuannya mencakup hal-hal sebagai berikut:
1. Prosedur pengkajian/penelitian harus terbuka untuk umum dan dapat diperiksa oleh peneliti lainnya;2. Definisi-definisi yang dibuat dan digunakan adalah tepat dan berdasarkan atas konsep-konsep dan
teori-teori yang sudah ada;
3. Pengumpulan data dilakukan secara objektif;4. Penemuan-penemuannya akan ditemukan ulang oleh peneliti lain; yaitu untuk sasaran atau masalah
penelitian yang sama dan dengan menggunakan pendekatan dan prosedur penelitian yang sama;
5. Di luar bidang sains, tujuan kegiatan pengkajian/penelitian adalah untuk pembuatan teori-teoripenjelasan, interpretasi, mengenai gejala- gejala yang dikaji.
Beberapa hal untuk mendapatkan objektivitas dalam arti ilmu sosial di atas terus diusahakan untuk
mendapatkan kriteria tersebut. Namun perlu juga diperhatikan bahwa walaupun Ilmu Sejarah di masukkan
juga pada rumpun Ilmu Sosial, terdapat perbedaan di dalamnya. Dalam hal yang sama memang ilmu soial
menjadikan manusia sebagai objek kajiannya, akan tetapi yang membedakannya adalah ruang lingkup dari
aspek hidup manusia. Adapun ilmu sejarah selalu terikat oleh ruang dan waktu manusia masa lampaunya.
-
7/22/2019 Studi-sejarah_objektivitas Dan Subjektivitas Dalam Sejarah
2/11
Kuntowijoyo (2008) mengibaratkan ilmu sosial sebagai sebuah pohon. Jika ilmu sosial lain mengkaji
peristiwa seperti penampang lintangnya, maka sejarah menjalaskan peristiwa manusia dalam penampang
bujurnya. Ilmu sosial pada umumnya jika harus menjalaskan ranting, maka akan terpokus pada rantingnya.
Hal ini berbeda dengan sejarah yang harus mengurai peristiwa dari bawah ke atas secara kronologis. Dengan
kata lain ilmu sosial lain pada umumnya secara langsung dapat merasakan dengan pancaindranya pristiwa
yang dikaji, sedangkan sejarah terpisah jarak kelampauan yang memanjang dan membujur dalam waktu.
Objek dalam ilmu sejarah tidak mungkin hadir seperi peristiwa yang sebenarnya, peristiwa sejarah objektif
hanya sekali terjadi dan tidak mungkin terulang lagi, dan yang tersisa adalah bagian dari peristiwa tersebut.
Peninggalan sejarah yang objektif inilah yang tersebar melalui subjek (manusia) yang menyebabkan pula
peristiwa tersebut menjadi subjektif (tidak selengkap peristiwa yang sebenarnya). Sebagai pelengkap
pembahasan ini perlu kita renungkan bahwa bukan karena adanya subjektivitas sejarah sehingga tidak bisa
di katakan memiliki kebenaran, justru karena adanya subjektifitas tersebut yang akan menghadirkan
objektivitas. Dalam hal ini apa yang di katakana Garraghan sangat perlu untuk kita pahami. Garraghan
(Zaki, 2007) mengatakan bahwa yang dimaksud dengan objektivitas sejarah adalah:
1. Objektivitas tidak berarti menuntut agar sejarawan bebas sepenuhnya dari kecurigaan-kecurigaanawal yang bersifat sosial, politis, agama, atau lainnya.
2. Objektivitas tidak berarti menuntut agar sejarawan mendekati tugasnya terlepas dari semua perinsip,teori dan falsafah hidupnya.3. Obyektifitas tidak berarti menuntut agar sejarawan bebas dari simpati terhadap obyeknya.
4. Objektivitas tidak berarti menuntut agar pembaca mengekang diri dari penilaian atau penarikankonklusi.
5. Objektivitas sejarawan tidak berarti bahwa semua situasi yang menimbulkan peristiwa historisdicatat sesuai dengan kejadiannya.
2. Makna Subjektivitas dalam Ilmu Sejarah
Pada umumnya dalam metodologi sejarah, terdapat 4 faktor utama yang dapat menjadikan suatu penulisan
sejarah bersifat subjektif, yaitu :
1. Pemihakan pribadi (personal bias)Persoalan suka atau tidak suka pribadi terhadap individu-individu atau golongan dari seseorang dapat
mempengaruhi subjektivitas dari penulisan sejarah.
1. Prasangka kelompok (group prejudice)Keanggotaan sejarawan dalam suatu kelompok (ras, golongan, bangsa, agama) dapat membuat mereka
memiliki pandangan yang bersifat subjektif dalam mengamati suatu peristiwa sejarah.
1. Teori-teori bertentangan tentang penafsiran sejarah (conflicting theories of historical interpretation)Pandangan/ideologi yang dianut sejarawan memegang peranan penting dalam menentukan
subjektivitas penulisan sejarah.
2. Konflik-konflik filsafat yang mendasar (underlying pgilosophical conflicts) Secara teoritis seseorangyang menganut filsafat hidup tertentu akan menulis sejarah berdasarkan pandangannya tersebut.
Sejalan dengan itu, subjektivitas dalam penulisan sejarah selalu hadir, karena penulis sejarah (sejarawan)
tidak akan mampu mengungkapkan peristiwa sejarah yang begitu komleks yang pernah terjadi pada masa
lampau, hanyalah bagian kecil dari peristiwa yang dilakukan oleh manusia tersebut dapat teridentifikasi oleh
penulisan sejarah. Karena merupakan hasil rekonstruksi dan bukan aslinya maka sejarah dikatakan subjektif.
Adapun sejarah yang objektif seperti kesepakatan dari sejarawan adalah apa yang sebenrnya terjadi atau
peristiwanya itu sendiri dan tidak bisa terulang lagi, dengan demikian untuk mendapatkannya sejarawan
memerlukan dokumen, wawancara (sejarah lisan) dan pengungkapan kembali tradisi lisan untuk masa
prasejarah. (http://murdilalu.wordpress.com/2012/11/16/memahami-makna-objektivitas-dan-subjektivitas-
dalam-penulisan-sejarah/)
http://murdilalu.wordpress.com/2012/11/16/memahami-makna-objektivitas-dan-subjektivitas-dalam-penulisan-sejarah/http://murdilalu.wordpress.com/2012/11/16/memahami-makna-objektivitas-dan-subjektivitas-dalam-penulisan-sejarah/http://murdilalu.wordpress.com/2012/11/16/memahami-makna-objektivitas-dan-subjektivitas-dalam-penulisan-sejarah/http://murdilalu.wordpress.com/2012/11/16/memahami-makna-objektivitas-dan-subjektivitas-dalam-penulisan-sejarah/http://murdilalu.wordpress.com/2012/11/16/memahami-makna-objektivitas-dan-subjektivitas-dalam-penulisan-sejarah/http://murdilalu.wordpress.com/2012/11/16/memahami-makna-objektivitas-dan-subjektivitas-dalam-penulisan-sejarah/ -
7/22/2019 Studi-sejarah_objektivitas Dan Subjektivitas Dalam Sejarah
3/11
Penjelasan Mengenai Subjektivitas dan Objektivitas Sejarah
Seperti yang sudah dijelaskan di atas, sejarah adalah peristiwa yang dialami manusia dalam dimensi waktu.
Pada umumnya pemakaian istilah sejarah untuk menunjuk pada cerita sejarah, pengetahuan sejarah,
gambaran sejarah yang semuanya adalah sejarah dalam artian subjektif, disebut subjektif karena sejarah
memuat unsur-unsur dan isi subjek.
Dalam bukunya, Prof. Sartono Kartodirjo mengatakan sejarah dalam arti subjektif adalah suatu konstruk
yang berarti sebuah bangunan yang disusun oleh penulis sejarah sebagai suatu uraian atau rangkaian cerita.
Uraian atau rangkaian cerita itu merupakan suatu kesatuan atau unit yang mencakup fakta-fakta
terangkaikan untuk menggambarkan suatu gejala sejarah baik proses maupun struktur. (Sartono Kartodirjo,
1993:14).
Sedangkan, Ankersmit[2]dalam bukunyaRefleksi tentang Sejarah menjelaskan tentang adanya alasan yang
membela subjektifisme dan objektifisme sejarah, yaitu:
1.
Alasan Subjektifisme
(a) Alasan Induksi
Penulisan sejarah selalu bersifat subjektif. Menurut G. Myrdal, bila telaah historis t1, t2, dan seterusnya
bersifat subjektif, maka dengan cara induktif dapat disimpulkan bahwa telaah historis, baik masa silam,
masa kini, dan masa depan, bersifat subjektif. Namun, Myrdal menegaskan bahwa sejarawan harus
menyadari nilai-nilai dalam penulisannya agar dengan demikian ia dapat mengesampingkan pengaruh nilai-
nilai itu dalam penulisannya.
Pendapat ini dilawan oleh Negel, yang mengatakan, bahwa justru nilai-nilai yang mewarnai pandangan
seorang sejarawan, tidak disadarinya, lalu bagaimana mungkin mengesampingkannya? Sering kitaberpendapat, bahwa pendapat kita mengenani sesuatu itu terbebas dari nilai, padahal justru nilai itu yang
dipermasalahkan.
(b) Alasan Relativisme
Untuk mendukung argumen ini, Ch. Beard dan J. Romein membedakan tiga hal, yakni:
(1) Masa silam sendiri,
(2) Bekas yang tertinggal dari masa silam, berwujud dokumen,
prasasti dan sebagainya
(3) Penggambaran kita terhadap masa silam.
Peralihan dari (1) ke (2) sudah menjurus penulisan sejarah. tentu subjektif, karena sumber-sumber yang
tersisa dari masa silam pada umumnya merupakan laporan-laporan yang ditulis oleh orang-orang pada
zaman dulu. Dan pada peralihan dari (2) ke (3), tidak bisa disingkirkan. Terdapat tiga macam subjektifitas.
Pertama, yang merupakan hasil dari kepribadian sejarawan sendiri.Kedua, unsur subjektifitas masih dapat
dilacak lalu disingkirkan.Ketiga, subjektifitas waktu tidak dapat dieliminir.
Romein dan E.H. Carr mengatakan bahwa untuk mengatasi permasalahan tersebut, sejarawan harus mampu
untuk mengatasi kerangka zamannya dengan menempatkan diri di masa mendatang, yaitu masyarakat tanpa
kelas. Sehingga argumen ini mudah dipatahkan karena asumsi yang menopangnya berpangkal pada filsafat
http://diankurniaa.wordpress.com/2011/04/20/subjektivitas-dan-objektivitas-sebuah-tinjauan-kritis/#_ftn2http://diankurniaa.wordpress.com/2011/04/20/subjektivitas-dan-objektivitas-sebuah-tinjauan-kritis/#_ftn2http://diankurniaa.wordpress.com/2011/04/20/subjektivitas-dan-objektivitas-sebuah-tinjauan-kritis/#_ftn2http://diankurniaa.wordpress.com/2011/04/20/subjektivitas-dan-objektivitas-sebuah-tinjauan-kritis/#_ftn2 -
7/22/2019 Studi-sejarah_objektivitas Dan Subjektivitas Dalam Sejarah
4/11
sejarah spekulatif[3]yang dapat disangksikan objektivitasnya. Rupanya Romein tetap mempertahankan
konsepnya meskipun hal itu tidak rasional.
(c) Alasan bahasa
Bahwa dalam bahasa sendiri terdapat berbagai ungkapan yang mengandung penilaian, sehingga tulisan yang
dihasilkan bisa bersifat subjektif. Namun L. Strauss justru berpendapat bahwa penilaian dan bahasa yang
bermuatan penilaian justru penting dalam penulisan sejarah. Karena dengan bahasa yang mengandung
penilaian itulah kejadian-kejadian yang mendebarkan dapat disusun.
Demikian juga bagi A.R. Louch yang mengatakan bahwa tugas sejarawan adalah membangkitkan kembali
masa silam (aktualisasi masa silam). Kata-kata seperti agresif, bersahabat, bermusuhan, dlsb, dapat
digunakan sebagai sarana untuk membangun kembali masa silam dalam konteks kekinian. Dengan kata-kata
itu, muncul dalam diri kita satu perasaan yang sama dengan perasaan yang muncul dalam diri penulis ketika
menuliskannya.
(d) Alasan Idealistis
Sebagaimana argumen dasarnya, bahwa kenyataan itu ada sejauh kita menyadarinya, kenyataan historis punmerupakan buah hasil dari budi manusia. Budi manusia adalah objek penelitian historis sekaligus juga
subjek penelitian historis. Karena subjek dan objeknya sama, maka keduanya tidak dapat dipisahkan.
(e) Alasan Marxis
Bagi penganut paham ini, tidak mungkin bisa untuk memisahkan subjek dan objek. Pengetahuan selalu
berakar dalam pergaulan kita dengan kenyataan. Kenyataan itu adalah kenyataan yang bereaksi terhadap
sentuhan penelitian kita. Kenyataan sosial tidak akan muncul dalam bentuk rumusan sosiologis yang
objektif, akan tetapi baru akan muncul ketika telah dirombak oleh seorang revolusioner. Karena objektivitas
mengandaikan pemisahan antara subjek dan objek, maka ia tidak akan terjadi.
1. Alasan ObjektivitasBagi pendukung argumen ini, perbedaan antara pengkajian sejarah dan sains hanya bersifatgradualdan
tidak esensial, karena objektifitas dalam hasil penelitian sains jarang disangsikan (sifatnya mutlak-pasti),
maka cenderung membela kemungkinan penulisan sejarah yang objektif.
(a) Memilih Objek Penelitian
Seorang sejarawan sudah bersifat subjektif ketika memilih objek bagi penelitian sejarahnya, karena pilihan
itu ditentukan oleh kesukaan pribadi seorang sejarawan. Dalam memilih bahannya, seorang sejarawan
mungkin didorong oleh pertimbangan subjektif, tetapi ini tidak berarti bahwa hasil penelitiannya jugabersifat subjektif, bisa juga bersifat objektif. Objektif dalam artian ini merupakan sebuah kenyataan historis
dalam suatu peristiwa sejarah di masa lampau.
(b) Wertung dan Wertbeziehung
Seorang sejarawan selalu bersifat subjektif karena bahan yang ditelitinya ialah perbuatan manusia pada masa
silam, yang selalu diresapi oleh nilai-nilai. Kita perlu membedakan antara wertbeziehungdan wertung. Yang
pertama adalah pertalian dengan nilai-nilai, yang terjadi ketika kita menerangkan perbuatan seorang pelaku
sejarah sambil menghubungkan perbuatan itu dengan nilai yang dianut pada masanya. Sedangkan yang
kedua adalah penggambaran sejarawan tentang seorang pelaku sejarah yang sudah diilhami oleh nilai-nilai
yang dianut oleh sejarawan itu sendiri.
(c) Alasan Seleksi
http://diankurniaa.wordpress.com/2011/04/20/subjektivitas-dan-objektivitas-sebuah-tinjauan-kritis/#_ftn3http://diankurniaa.wordpress.com/2011/04/20/subjektivitas-dan-objektivitas-sebuah-tinjauan-kritis/#_ftn3http://diankurniaa.wordpress.com/2011/04/20/subjektivitas-dan-objektivitas-sebuah-tinjauan-kritis/#_ftn3http://diankurniaa.wordpress.com/2011/04/20/subjektivitas-dan-objektivitas-sebuah-tinjauan-kritis/#_ftn3 -
7/22/2019 Studi-sejarah_objektivitas Dan Subjektivitas Dalam Sejarah
5/11
Mengadakan seleksi berarti mengacaukan jalinan peristiwa yang terjadi dalam sejarah, padahal menurut
faham subjektivisme, sejarah adalah ibarat kain tanpa jahitan yang bagian-bagiannya kait mengait. Oleh
pendukung objektivisme, argumen ini ditolak karena meskipun penyajian oleh sejarawan tidak lengkap,
tidak berarti ia tidak objektif. Sebuah peta tetap objektif meskipun tidak manampilkan hal-hal kecil secara
detail. Namun, apakah sejarah sama dengan peta. Peta adalah benda mati yang tidak berubah bagian-
bagiannya, sedangkan sejarah terdiri dari bagian-bagian yang saling memengaruhi satu sama lainnya,
sifatnya dinamis, sehingga menampilkan salah satu bagian saja tidak akan mungkin menggambarkan
kenyataannya yang sesungguhnya.
Adapun alasan subjektivistis yang mengatakan bahwa sejarawan berhenti pada satu titik dalam penelitiannya
dan tidak melanjutkan ke titik-titik berikutnya, ditanggapi oleh kalangan objektivis dengan mengatakan
bahwa penelusuran sampai masa paling awal tidak perlu, karena, misalnya, untuk mengetahui sebab-sebab
Revolusi Perancis (1789) kita tidak harus melacak sebabnya. Sekali lagi, sejarah bukanlah aspek yang statis
yang dapat diketahui dengan mudah pangkal dan ujungnya hanya dengan berspekulatif. Pertanyaanya, siapa
yang dapat mengetahui dengan pasti bahwa suatu sebab kejadian sejarah berpangkal dari sebuah kejadian
tertentu?
(d) AlasanAntiskeptisisme atau Relativisme
Sebenarnya para skeptisisme telah masuk dalam wilayah yang kontradiktif. Secara implisit, mereka masih
mempertahankan kemungkinan untuk memperoleh pengetahuan yang objektif, meskipun secara eksplisit
menolaknya. Hal itu karena para skeptisis baru dapat mengatakan bahwa sebuah pengetahuan adalah
subjektif kalau ia memiliki sandaran untuk mengukur bahwa pengetahuan itu memang subjektif. Dengan
demikian, pengetahuan objektif itu tetap diandaikan.
Di samping itu, ia harus dapat membuktikan bahwa nilai-nilai mana yang memengaruhi seorang sejarawan.
Dan bila nilai-nilai itu telah disingkirkan, maka objektivitas menjadi mungkin terjadi secara nyata.
Apakah dengan menyingkirkan nilai-nilai yang diketahui itu lantas membuat penelitian sejarah menjadi
objektif? Nilai-nilai adalah sesuatu yang abstrak, yang melingkupi dan melampaui kita karena kita berada didalamnya, sehingga tidak disadari. Sebagaimana pengertian struktur sebagai sebuah bangunan abstrak, ia
hanya bisa dirasakan tanpa bisa dilihat secara fisik atau nyata.
(e) Alasan Sebab Musabab (Kausalitas)
Seorang sejarawan mungkin menggunakan penilaiannya, akan tetapi tidak berarti bahwa pendapat-
pendapatnya langsung menunjuk pada benar atau salah. Kalau penilaiannya salah, jelas sejarah menjadi
kacau. Dan kalaupun penilaiannya benar, bukankah terdapat banyak aspek dalam sejarah, dimana penilaian
sejarawan tersebut sangat mungkin hanyalah salah satunya saja?
(f) Alasan Propaganda
A.I. Melden mengatakan bahwa jika nilai-nilai merupakan unsur pokok dalam pengetahuan historis, maka
penulisan sejarah menjadi tidak dapat dibedakan lagi dari propaganda. Keduanya menjadi sama kerena
hanya merupakan tindak bahasa yang ingin menyebarkan nilai-nilai tertentu. Padahal propaganda berbeda
dengan tulisan sejarah, karena pembaca propaganda tidak terkesan oleh mutu ilmiahnya.
Di samping itu, propaganda bertujuan untuk mengalihkan nilai-nilai kepada orang yang belum memilikinya.
Akan tetapi nilai-nilai dalam sejarah tidak diketahui oleh pembacanya, sehingga pengalihan nilai-nilai itu
menjadi tidak mungkin. Dengan kata lain, nilai-nilai yang dianggap sebagai bagian pokok itu hanyalah
kesimpulan belaka dalam sebuah penalaran, bukan unsur penting di dalalamnya.
Pada hakekatnya, penulisan sejarah memang tidak berbeda dengan propaganda, hanya saja yang terakhir
sudah diketahui bahwa ia memang propaganda sehingga tidak dianggap ilmiah, sedangkan yang pertama,
-
7/22/2019 Studi-sejarah_objektivitas Dan Subjektivitas Dalam Sejarah
6/11
penulisan sejarah, belum diketahui kalau ia adalah propaganda, tetapi sudah diasumsikan begitu saja sebagai
sejarah, sehingga dianggap ilmiah.
(g) Alasan Analogi
Pengkajian sejarah sama saja dengan pengetahuan eksakta, yang mungkin untuk mendapatkan objektivitas.
Ada tolok ukur tertentu dalam menentukan objektivitas. Padahal dalam ilmu eksakta sendiri objektivitas
masih diperdebatkan. Hukum gravitasi Newton, misalnya, dianggap kurang memadai sehingga munculah
Einstein dengan hukum relativitasnya.
Subjektivitas dan Objektivitas: Satu Kesatuan Ilmu Sejarah
Louis Gottschalk dalam bukunya Understanding Histoy: A Primer of Historical Methodmenulis bahwa
selain peninggalan benda dan situssitus sejarah, kadangkadang faktor sejarah di peroleh dari kesaksian
dan karenanya merupakan fakta arti (facts of meaning). Faktafakta semacam ini tidak dapat dilihat, di
rasakan, di kecap, di dengar, atau di cium baunya. Dapat dikatakan bahwa faktafakta itu merupakan
lambang atau wakil dari pada sesuatu yang pernah nyata ada, tetapi faktafakta itu tidak memiliki kenyataan
objektif sendiri.
Dengan perkataan lain, faktafakta itu hanya terdapat di dalam pikiran pengamat atau sejarawah karenya
dapat di sebut subjektif. Untuk dapat di pelajari secara objektif dalam arti tidak memihak dan bebas dari
reaksi pribadi harus punya eksistensi yang merdeka di luar pikiran manusia. Akan tetapi kenangan tidak
mempumyai eksistensi di luar pikiran manusia sedangkan banyak sejarah didasarkan atas kenangan yakni
kesaksian tertulis atau lisan.
Ada suatu prasangka kasar terhadap pengetahuan subjektif sebagai suatu yang lebih rendah dari pada
pengetahuan objektif, sebagian besar karena kata subjektif telah memperoleh arti khayalan atau boleh
dikata didasarkan atas pertimbagan pribadi makanya tidak benar atau berat sebelah. Pengetahuan dapat
diperoleh dengan jalan melakukan penyelidikan imajinatif yang tidak memihak. Memang sikap tidak
memihak dan objektif mungkin sulit diproleh dan kesimpulan yang bedasakan subjektif lebih mudahdibantah.
Dalam penjelasan ini diketahui bahwa antara subjektivitas dan objektivitas merupakan satu kesatuan utuh
yang terkandung dalam jiwa seorang sejarawan ketika menorehkan fakta historis ke dalam sebuah media
tulis. Subjektivitas berangkat dari objektivitas yang objektivistik. Kenyataan yang terkandung dalam setiap
fakta sejarah secara subtansial selalu diikuti oleh aspek subjektif sang sejarawan, hal ini merupakan suatu
kesatuan antara pandangan pribadi atas satu peristiwa sejarah dan ilmu bantu yang ia gunakan, serta filsafat
sejarah apa yang ia anut ketika memandang suatu peristiwa sejarah dalam konteks fakta historis.
Banyak ahli sejarah condong memandang fakta sebagai dasar pengkajian sejarah yang mutlak dan dapat
diandalkan. Fakta dapat ditentukan dengan kepastian yang praktis, tak dapat disangsikan dan andaikataterjadi kesangsian, maka dalam praktek ini dapat dipecahkan. Kadang-kadang fakta juga kurang memadai
untuk menentukan sebuah peristiwa, karena adanya berbagai alasan pendukung akan hal itu.
Persoalan mengenai subjektivitas, meskipun dirasakan sulit, merupakan masalah yang urgen sekali dalam
menghadapi pertumbuhan historiografi. Masalah subjektivitas dan objektivitas segera muncul, misalnya
begitu orang hendak bermaksud menyusun historiografi Indonesia modern (Poepoprodjo, 1987: 4).
Soedjatmoko menulis:
Sesungguhnya, setiap pembicaraan tentang problema-problema interpretasi sejarah dan
sintesis bahan-bahan sejarah menjadi suatu kisah yang berhubungan ke dalam historiografi
Indonesia modern, menjuru kepada persoalan-persoalan tentang subjektivitas dan
objektivitas.
-
7/22/2019 Studi-sejarah_objektivitas Dan Subjektivitas Dalam Sejarah
7/11
Prioritas, spontanitas, dan aktivitas subjek dalam proses tahu yang merupakan subjektivitas yang halal,
dimutlakkan sebagai satu-satunya kenyataan dalam kegiatan ilmu. Maka munculah subjektivisme dan
pandangan tentang kenyataan brsifat subjektivistik. Sifat subjektif yang memang halal dan selalu akan
terdapat di dalam setiap bentuk tahu dicampurbaurkan dengan pandangan subjektivistik tentang kenyataan,
dan akhirnya dibuang beramai-ramai bersama pandangan subjektivistik tentang kenyataan. Subjektivistik
juga mempunyai arti ekuivokal.
Konsepsi subjektivisme jelas mengabaikan hakikat yang sebenarnya dari kegiatan tahu dan korelasi
noematiknya. Dalam subjektivisme, objek tidak dinilai sebagaimana mestinya, tetapi dipandang sebagai
sebuah kreasi, konstruksi akal budi. Sedangkan, objektivitas diperoleh hanya jika subjek dieliminasi dari
kegiatan perjumpaan, yakni kegiatan tahu. Tetapi menyingkirkan subjek dari kegiatan perjumpaan berarti
menghancurkan kegiatan tahu itu sendiri. Maka objektivitasnya akan berupa objektivisme, dan realitas-
objektifnya adalah realitas-objektif.
Interpretasi Sebagai Jalan Subjektivitas Kajian Sejarah
Interpretasi merupakan salah satu bagian dari metode penelitian sejarah, yakni heuristik, kritik, interpretasi,
dan historiografi. Interpretasi sejarah sering juga disebut dengan analisis sejarah (Dudung Abdurahman,
2007: 73). Dalam hal ini digunakan dua metode, yaitu analisis dan sintesis. Dalam pengertiannya, analisisadalah menguraikan, sedangkan sintesis berarti menyatukan. Keduanya merupakan metode utama di dalam
interpretasi sejarah (Kuntowijoyo, 1995: 100).
Dalam proses interpretasi sejarah, penulis sejarah harus benar-benar bisa mencapai pengertian faktor-faktor
yang menyebabkan terjadinya suatu peristiwa sejarah di masa lampau. Sejarah sebagai sebuah kumpulan
sebab-sebab mengandung banyak faktor penentu terjadinya pristiwa sejarah. Oleh sebab itu, interpretasi
digunakan dengan membandingkan data yang ada guna menyingkap alasan mengapa terjadinya satu
peristiwa sejarah di masa lampau.
Penafsiran atau interpretasi dilakukan terhadap sumber-sumber yang ditemukan. Dalam melakukan
penafsiran, peneliti sejarah (sejarawan) melakukan analisis sesuai dengan fokus penelitiannya. Kajiansejarah yang bersifat ilmiah, dalam penafsiran biasanya menggunakan teori-teori dari ilmu-ilmu sosial.
Dengan cara seperti ini, diharapkan penulisan sejarah akan lebih objektif dalam batas keilmiahannya. Walau
demikian, penafsiran dalam sejarah tidak bisa terlepas sama sekali dari unsur subjektivitas penulisnya.
Subjektivitas terjadi disebabkan penulis sejarah memiliki pandangan tersendiri terhadap sumber yang ia
temukan. Bahkan data yang sama tidak menutup kemungkinan menimbulkan interpretasi yang berbeda.
Apabila hal ini terjadi, dalam penelitian sejarah sah-sah saja dan dibenarkan, asalkan peneliti menggunakan
sumber yang valid.
Pernyataan historis ialah pernyataan mengenai fakta-fakta historis atau seperti juga bisa dikatakan sebagai
keadaan pada masa silam. Masa silam adalah keseluruhan keadaan itu. Bukan sebagai pernyataan mengenai
keadaan itu. Jelasnya, peristiwa historis bersifat faktual bukan tekstual. Sebagaimana dikatakan F.R.Ankersmit[4],proses generalisasi tidak dapat menampilkan kebenaran realitas sosio-historis; generalisasi
hanya merefleksikan kecenderungan kita untuk mengonsepsi realitas dengan pola regularitas (Ankersmit,
1983: 160).
Penulisan sejarah merupakan bentuk dan proses pengisahan atas peristiwa-peristiwa masa lalu umat
manusia. Pengisahan sejarah itu jelas sebagai suatu kenyataan subjektif, karena setiap pribadi atau setiap
generasi dapat mengarahkan sudut pandangnya terhadap apa yang telah terjadi itu dengan berbagai
interpretasi yang erat kaitannya dengan sikap hidup, pendekatan (ilmu bantu), atau orientasinya. Oleh karena
itu, perbedaan pandangan terhadap masa lalu, yang pada dasarnya adalah objektif dan absolut, pada
gilirannya akan menjadi suatu kenyataan yang relatif (subjektif). (Dudung Abdurahman, 2007: 16).
Sebagai contoh, perang di zaman Nabi Muhammad Saw, misalnya, adalah peristiwa yang telah berlalu dan
pelakunya sudah tiada, akan tetapi para penulis sejarah kemudian bisa saja menafsirkannya sebagai perang
http://diankurniaa.wordpress.com/2011/04/20/subjektivitas-dan-objektivitas-sebuah-tinjauan-kritis/#_ftn4http://diankurniaa.wordpress.com/2011/04/20/subjektivitas-dan-objektivitas-sebuah-tinjauan-kritis/#_ftn4http://diankurniaa.wordpress.com/2011/04/20/subjektivitas-dan-objektivitas-sebuah-tinjauan-kritis/#_ftn4http://diankurniaa.wordpress.com/2011/04/20/subjektivitas-dan-objektivitas-sebuah-tinjauan-kritis/#_ftn4 -
7/22/2019 Studi-sejarah_objektivitas Dan Subjektivitas Dalam Sejarah
8/11
-
7/22/2019 Studi-sejarah_objektivitas Dan Subjektivitas Dalam Sejarah
9/11
Penafsiran sumber pada dasarnya merupakan langkah yang kita lakukan dalam menjawab pertanyaan-
pertanyaan dari topik yang hendak kita teliti. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian, maka kita
mencoba menguraikan data-data atau sumber-sumber yang sudah kita pilih atau seleksi. Misalnya, tema
penelitian Perubahan Sosial Desa Tahun 1950-1955. Dengan tema ini, maka kita akan menguraikan
(sintesis) berbagai sumber yang menunjukkan adanya perubahan sosial.
Sumber-sumber atau data-data yang diuraikan misalnya adanya laporan tentang jumlah orang-orang yang
sekolah, jenis-jenis sekolah yang dimasuki, jenis-jenis pekerjaan penduduk dan jumlah pendapatannya,
jumlah luas tanah di desa, adanya catatan tentang transaksi pembelian hasil-hasil pertanian oleh petani
dengan pedagang yang berasal dari kota, catatan rapat di desa dan kecamatan tentang penyuluhan pertanian
yang akan dilakukan oleh petugas pertanian kepada petani di desa, dan laporan dari desa tentang program
pengembangan pertanian.
Bagaimanakah penulis sejarah atau sejarawan memberikan penafsiran berdasarkan contoh sumber-sumber
yang ditemukan tersebut? Sumber-sumber tersebut harus dihubungkan antara yang satu dengan yang
lainnya, terutama bisa dihubungkan dalam konteks hubungan sebab akibat (kausalitas) atau adanya
hubungan yang sangat signifikan.
Berdasarkan sumber-sumber tersebut, sejarawan bisa memberikan penafsiran bahwa di desa itu pada tahun1950-1955 terjadi perubahan sosial. Bagaimana perubahan sosial itu bisa dilihat? Perubahan sosial itu bisa
dilihat, misalnya dengan semakin banyaknya atau meningkatnya jumlah anak-anak yang sekolah di desa itu,
semakin tingginya tingkat pendidikan masyarakat desa. Pertanyaan berikutnya ialah bagaimana bisa terjadi
peningkatan jumlah anak yang sekolah dan meningkatnya jenjang pendidikan? Untuk menjawab pertanyaan
ini bisa dihubungkan dengan menafsirkan sumber yang menunjukkan adanya peningkatan pendapatan pada
masyarakat petani. Faktor penyebab meningkatnya pendapatan petani bisa disebabkan oleh peningkatan
produksi pertanian.
Dalam memberikan penafsiran, biasanya sejarawan akan melihat berbagai faktor yang menjadi faktor
penentu perubahan. Secara garis besar, faktor penentu perubahan dalam sejarah dapat ditentukan oleh
manusia sendiri dan faktor di luar manusia. Faktor di luar manusia misalnya lingkungan fisik atau alam dimana manusia itu hidup, seperti iklim, tanah, dan sumber-sumber daya alam lainnya.
Interpretasi sejarah dengan melihat manusia sebagai faktor penentu perubahan dalam sejarah, bisa dilihat
dari manusia sebagai individu (subjek) maupun manusia sebagai kelompok atau masyarakat. Manusia
sebagai kelompok dapat ditinjau dari manusia sebagai sebuah masyarakat. Masyarakat dalam pengertian di
sini bisa didefinisikan sebagai sekumpulan individu yang terintegrasi dalam suatu struktur. Interpretasi
dalam pendekatan ini dilakukan dengan melihat perubahan masyarakat secara struktur. Misalnya dengan
tema penulisan sejarah Perubahan Sosial Desa 1950-1955, perubahan struktur yang terjadi yaitu dari struktur
masyarakat yang tadinya berprofesi sebagai petani kemudian berubah menjadi buruh perkotaan.
Interpretasi sejarah dengan melihat lingkungan fisik atau alam sebagai faktor penentu dalam sejarah dapatberupa interpretasi geografis. Dalam interpretasi model ini, kehidupan manusia sangat ditentukan oleh faktor
geografis. Model seperti ini misalnya sejarah timbulnya peradaban-peradaban atau kerajaan-kerajaan kuno.
Peradaban-peradaban kuno yang lahir banyak terletak di tepian sungai, seperti peradaban Lembah Sungai
Indus di India, peradaban Cina di Lembah Sungai Huang Ho, peradaban Lembah Sungai Nil di Mesir, dan
peradaban-peradaban lainnya. Mengapa peradaban-peradaban itu selalu terletak di tepi sungai? Dengan
interpretasi geografis, dapat dikatakan bahwa sungai pada waktu itu merupakan sumber kehidupan dan
tempat lalu lintas, karena pada saat itu belum ada kendaraan darat yang bermesin seperti sekarang ini.
Kehidupan manusia masih banyak tergantung pada faktor alam. Pada daerah-daerah sungai yang demikian,
akan muncul sebuah masyarakat manusia.
Dengan demikian, kehidupan manusia sangat ditentukan oleh faktor geografis. Selain interpretasi geografis,
terdapat pula interpretasi ekonomi. Interpretasi ekonomi artinya bahwa faktor ekonomi sangat menentukan
perubahan dalam sejarah atau kehidupan manusia. Sejarah perang misalnya, tidak hanya dilihat dari faktor
-
7/22/2019 Studi-sejarah_objektivitas Dan Subjektivitas Dalam Sejarah
10/11
politik atau peran sentral individu atau tokoh. Sebuah perang dapat pula terjadi lebih disebabkan oleh faktor
ekonomi. Misalnya perang itu terjadi disebabkan oleh adanya perebutan dari kedua negara terhadap sumber-
sumber daya alam. Kedua negara itu ingin menguasainya. Bahkan penjajahan atau imperialisme bisa dilihat
dari perspektif ekonomi. Negara-negara Barat melakukan penjajahan terhadap bangsa-bangsa Asia Afrika
pada abad ke-19, lebih disebabkan oleh adanya keinginan bangsa-bangsa Barat menguasai sumber-sumber
daya alam.
Inilah penjelasan tentang adanya konsep subjektivitas dalam ilmu sejarah. Berawal dari interpretasi yang
selanjutnya menghasilkan aspekrelativisme historis atau lebih dikenal dengan sebutan subjektivitas.
Subjektivitas dalam interpretasi sejarah mungkin terjadi, karena seorang penulis sejarah atau sejarawan
memiliki kewenangan untuk memberikan interpretasi terhadap sumber-sumber atau fakta-fakta yang telah
ditemukannya. Walaupun demikian, seorang sejarawan harus berusaha semaksimal mungkin untuk
menghindari subjektivitas yang berlebih-lebihan, apalagi kepentingan pribadi atau golongannya yang
mewarnai interpretasinya.
Cara yang dilakukan untuk menghindari subjektivitas yaitu dengan menggunakan pendekatan-pendekatan
tertentu yang bersifat ilmiah atau menggunakan konsep-konsep atau teoriteori, dalam menginterpretasikan
sumber yang ditemukannya. Dengan cara seperti ini, diharapkan interpretasi sejarah akan lebih objektif.
Karena pada dasarnya setiap hasil penulisan sejarah itu dapat pula diperoleh hal-hal yang sifatnya objektif,yakni fakta-fakta keras atau tidak diragukan lagi kesahihannya (Alfian, 1984: 6). Seperti fakta keras dalam
penyerbuan bangsa Mongol terhadap ibu kota Baghdad pada tahun 1258 M yang mendukung objektivitas.
Aktualitas dan Objektivitas, Sebuah Persamaan
Sebagai sebuah hasil interpretasi dan juga penulisan individu sang sejarawan, sebuah peristiwa sejarah
bersifat subjektif (relatif). Kecenderungan pribadi menjadi pangkal dari adanya subjektivitas, tetapi ia tidak
selalu menjadi penghalang bagi lahirnya objektivitas (absolutism historis) (Walsh, 1967).
Lebih lanjut Walsh menyatakan bahwa pengetahuan sejarah yang objektif itu justru timbul dari perbedaan
pendapat kalangan sejarawan. Pernyataan mereka yang berbeda mengenai peristiwa sejarah yang samabelumlah merupakan perbedaan pendapat, sebab peristiwa sejarah itu bisa dilihat dari berbagai persfektif
(Ankersmit, 1987: 343).
Dengan demikian, seorang sejarawan bisa menulis sejarah Pemberontakan Cimareme 1919 misalnya,
dengan memperhatikan faktor-faktor ekonomis, tetapi sejarawan lainnya dapat menyoroti latar belakang
sosial atau budayanya, politik, aspek religi, dan juga aspek psikologi. Kajian ini saling melengkapi sehingga
pada akhirnya akan tercapai suatu objektivitas sejarah. (Dudung Abdurahman, 2007: 20).
Berbeda halnya dengan konsep objektivitas dalam kajian ilmu sejarah. Dalam bukunya, Prof. Sartono
Kartodirjo mengatakan bahwa sejarah dalam arti subjektif adalah suatu konstruk yang berarti sebuah
bangunan yang disusun oleh penulis sejarah sebagai suatu uraian atau rangkaian cerita. Uraian ataurangkaian cerita itu merupakan suatu kesatuan atau unit yang mencakup fakta-fakta terangkaikan untuk
menggambarkan suatu gejala sejarah baik proses maupun struktur. (Sartono Kartodirjo, 1993:14).
Aktualitas menjadi sebuah karakteristik dari aspek objektivitas sejarah yang objektivistik. Sebagaimana
diketahui mengenai objek kajian sejarah yang sifatnya absolute, berbagai penjelasan mengenai satu
permasalahan sejarah, mengkaji faktor-faktor pendukung timbulnya peristiwa sejarah, akan ditemukan sisi
objektif yang realistik. Inilah persamaan aktualitas dan objektivitas yang berafiliasi dengan aspek
subjektivitas sang sejarawan.
Kesimpulan
Pada bagian ini perlu kiranya kami ulas kembali penjelasan mengenai subjektivitas dan objektivitas dalam
kajian ilmu sejarah. Pandangan subjektivistik dan objektivistik bukanlah sesuatu hal yang dapat dihindari
-
7/22/2019 Studi-sejarah_objektivitas Dan Subjektivitas Dalam Sejarah
11/11
oleh para sejarawan. Ia adalah satu kesatuan utuh dalam setiap kajian sejarah sebagai sebuah kisah ( history
as story).
Pada umumnya para ahli sejarah sepakat, bahwa penulisan sejarah yang objktif sedapat mungkin harus
diusahakan. Persoalan mengenai subjektivitas, meskipun dirasakan sulit, merupakan masalah yang urgen
sekali dalam menghadapi pertumbuhan historiografi. Masalah subjektivitas dan objektivitas segera muncul,
misalnya begitu orang hendak bermaksud menyusun historiografi Indonesia modern (Poepoprodjo, 1987: 4).
Subjektivitas dan objektivitas merupakan satu kesatuan utuh yang terkandung dalam jiwa seorang sejarawan
ketika menorehkan fakta historis ke dalam sebuah media tulis. Subjektivitas berangkat dari objektivitas yang
objektivistik. Kenyataan yang terkandung dalam setiap fakta sejarah secara subtansial selalu diikuti oleh
aspek subjektif sang sejarawan, hal ini merupakan suatu kesatuan antara pandangan pribadi atas satu
peristiwa sejarah dan ilmu bantu yang ia gunakan, serta filsafat sejarah apa yang ia anut ketika memandang
suatu peristiwa sejarah dalam konteks fakta historis.[]
[1] Kata dokumen (dari kata docere, mengajar) juga telah dipergunakan oleh sejarawan denganperbagai arti. (Louis Gottschalk, 2006: 45)
[2] F.R. Ankersmit, REFLEKSI TENTANG SEJARAH, Pendapat-pendapat Modern tentang
Filsafat Sejarah, Gramedia, Jakarta, 1987.
[3] Filsafat sejarah spekulatif selalu dibedakan dari pengkajian sejarah biasa. Kiranya sudah
cukup gambling bahwa berurusan dengan dua bidang yang berbeda-beda. Filsafat sejarah spekulatif selalu
mencari struktur dalam yang terkandung dalam proses sejarah secara komprehensif. Ia merupakan suatu
perenungan falsafati mengenai tabiat atau asal-usul proses sejarah.
[4] Dudung Abdurahman, Metodologi Penelitian SejarahAr-Ruzz Media, Jogjakarta, 2007, hlm.
194
[5] Dudung Abdurahman, Metodologi Penelitian Sejarah Ar-Ruzz Media, Jogjakarta, 2007,
halaman 18
http://diankurniaa.wordpress.com/2011/04/20/subjektivitas-dan-objektivitas-sebuah-tinjauan-kritis/#_ftnref1http://diankurniaa.wordpress.com/2011/04/20/subjektivitas-dan-objektivitas-sebuah-tinjauan-kritis/#_ftnref1http://diankurniaa.wordpress.com/2011/04/20/subjektivitas-dan-objektivitas-sebuah-tinjauan-kritis/#_ftnref2http://diankurniaa.wordpress.com/2011/04/20/subjektivitas-dan-objektivitas-sebuah-tinjauan-kritis/#_ftnref2http://diankurniaa.wordpress.com/2011/04/20/subjektivitas-dan-objektivitas-sebuah-tinjauan-kritis/#_ftnref3http://diankurniaa.wordpress.com/2011/04/20/subjektivitas-dan-objektivitas-sebuah-tinjauan-kritis/#_ftnref3http://diankurniaa.wordpress.com/2011/04/20/subjektivitas-dan-objektivitas-sebuah-tinjauan-kritis/#_ftnref4http://diankurniaa.wordpress.com/2011/04/20/subjektivitas-dan-objektivitas-sebuah-tinjauan-kritis/#_ftnref4http://diankurniaa.wordpress.com/2011/04/20/subjektivitas-dan-objektivitas-sebuah-tinjauan-kritis/#_ftnref5http://diankurniaa.wordpress.com/2011/04/20/subjektivitas-dan-objektivitas-sebuah-tinjauan-kritis/#_ftnref5http://diankurniaa.wordpress.com/2011/04/20/subjektivitas-dan-objektivitas-sebuah-tinjauan-kritis/#_ftnref5http://diankurniaa.wordpress.com/2011/04/20/subjektivitas-dan-objektivitas-sebuah-tinjauan-kritis/#_ftnref4http://diankurniaa.wordpress.com/2011/04/20/subjektivitas-dan-objektivitas-sebuah-tinjauan-kritis/#_ftnref3http://diankurniaa.wordpress.com/2011/04/20/subjektivitas-dan-objektivitas-sebuah-tinjauan-kritis/#_ftnref2http://diankurniaa.wordpress.com/2011/04/20/subjektivitas-dan-objektivitas-sebuah-tinjauan-kritis/#_ftnref1