studi-sejarah_objektivitas dan subjektivitas dalam sejarah

Upload: ilmy-eza

Post on 10-Feb-2018

380 views

Category:

Documents


21 download

TRANSCRIPT

  • 7/22/2019 Studi-sejarah_objektivitas Dan Subjektivitas Dalam Sejarah

    1/11

    PENJELASAN OBJEKTIVITAS DAN SUBJEKTIVITAS DALAM SEJARAH

    1. Makna Objektifitas dalam Penulisan Sejarah

    Pada umumnya sesuatu di katakana objektif jika benda atau peristiwa yang menjadi kajian tersebut dapat

    dilihat, dirasakan, dikecap dan lain sebagainya secara langsung oleh pancaindra kita. Ibarat sebuah botol,

    kita dapat merasakan langsung bentuk, warna, bau, atau mungkin rasanya jika kita mengecapnya. Karena itu

    dari sisi manapun kita melihatnya akan tergambar bentuk semula dari hasil rekonstruksi melalui ide dan

    pengalaman empiris pada beberapa aspek dari botol yang kita lihat. Karananya kalau kita mengikuti logika

    ilmu alam maka unsur yang harus ada dalam kata objektif adalah:

    1. Kebenaran mutlak2. Sesuai dengan kenyataan, termasuk juga yang tersembunyi.3. Netralitas mutlak, tidak memihak dan tidak terikat4. Kondisikondisi yang harus lengkap untuk semua peristiwa

    Senada dengan itu, ada penelitian yang menyimpulkan, bahwa berpikir (dalam menjabarkan gejala alam

    yang objektif) bukan mengharuskan pemikir (peneliti) memiliki inisiatif, tetapi adalah membiarkan sesuatu

    menjadi tanpak sebagaimana adanya, tanpa memasukkan katagori-katagori kita sendiri pada sesuatutersebut. Kenyataanlah yang menjadi pemegang inisiatif. Bukan kita yang menunjuk kanyataan, tetapi

    kenyataan-kenyataan itu sendiri yang menunjukkan dirinya pada kita (Poespoprodjo, 1999:7). Bertolak dari

    arti objektif dari penjelasan di atas, umumnya pada ilmu pengetahuan sosial, terlebih-lebih ilmu sejarah,

    kalu kita mengambil keobjektivan sama seperti ilmu alam tentu sulit akan bisa dikatakan akan dapat

    menghasilkan keilmuan yang ilmiah tersebut. Karana pada dasarnya mereka tidak lepas dari penafsiran atau

    pemaknaan dari data tentang phenomena, gejala dan peristiwa yang mereka dapatkan dari sebuah penelitian.

    Namun sebenarnya kita tidak perlu terlalu memusingkan antara keduanya, karena walaupun ilmu sosial tidak

    seobjektif ilmu alam, itu dikarenakan perbedaan objek yang di kaji. Jika ilmu alam mengkaji peristiwa alam

    yang menuntut untuk memiliki kriteria keobjektivan seperi di sebutkan di atas. Sebaliknya ilmu sosial akan

    mengkaji manusia yang di dalamnya terdapat nilai-nilai, budaya dan lain sebagainya yang mengitari

    kehidupan manusia itu sendiri, karena itu tentu penjelasan tingkat keobjektivan dari alam yang merupakanbenda mati dengan manusia yang di dalam hidupnya terkandung sejuta makna akan berbeda, walaupun

    memiliki tujuan yang sama yaitu di satu pihak menemukan kaidah alam, dan yang kedua menemukan kaidah

    kemanusiaan. Terkait dengan itu, jika berbicara masalah objektivitas dalam ilmu sosial. Pada dasarnya sifat

    objektif hanya mengharuskan si peneliti tetap tidak terikat secara emosional dengan objek, mendekati objek

    tetapi pada jarak-jarak yang tertentu, lalu menilai berdasarkan pada alat ukur yang disediakan oleh istitusi

    hingga lahirlah kesimpulan tanpa benar-benar memahami objek secara individual, maka peneitian ilmiah

    selalu bersifat kesimpulan umum. Lalu bagaimana seorang peneliti atau penulis menjaga netralitas dan

    kecendrungan pribadi yang di latar belakangi oleh nilai politis dan etis yang dimiliki penulis? Untuk

    menjaga nilai objektif dari data yang dikumpulkan maka dalam setiap kegiatan penelitian harus berpedoman

    pada metode ilmiah yang ketentuan-ketentuannya mencakup hal-hal sebagai berikut:

    1. Prosedur pengkajian/penelitian harus terbuka untuk umum dan dapat diperiksa oleh peneliti lainnya;2. Definisi-definisi yang dibuat dan digunakan adalah tepat dan berdasarkan atas konsep-konsep dan

    teori-teori yang sudah ada;

    3. Pengumpulan data dilakukan secara objektif;4. Penemuan-penemuannya akan ditemukan ulang oleh peneliti lain; yaitu untuk sasaran atau masalah

    penelitian yang sama dan dengan menggunakan pendekatan dan prosedur penelitian yang sama;

    5. Di luar bidang sains, tujuan kegiatan pengkajian/penelitian adalah untuk pembuatan teori-teoripenjelasan, interpretasi, mengenai gejala- gejala yang dikaji.

    Beberapa hal untuk mendapatkan objektivitas dalam arti ilmu sosial di atas terus diusahakan untuk

    mendapatkan kriteria tersebut. Namun perlu juga diperhatikan bahwa walaupun Ilmu Sejarah di masukkan

    juga pada rumpun Ilmu Sosial, terdapat perbedaan di dalamnya. Dalam hal yang sama memang ilmu soial

    menjadikan manusia sebagai objek kajiannya, akan tetapi yang membedakannya adalah ruang lingkup dari

    aspek hidup manusia. Adapun ilmu sejarah selalu terikat oleh ruang dan waktu manusia masa lampaunya.

  • 7/22/2019 Studi-sejarah_objektivitas Dan Subjektivitas Dalam Sejarah

    2/11

    Kuntowijoyo (2008) mengibaratkan ilmu sosial sebagai sebuah pohon. Jika ilmu sosial lain mengkaji

    peristiwa seperti penampang lintangnya, maka sejarah menjalaskan peristiwa manusia dalam penampang

    bujurnya. Ilmu sosial pada umumnya jika harus menjalaskan ranting, maka akan terpokus pada rantingnya.

    Hal ini berbeda dengan sejarah yang harus mengurai peristiwa dari bawah ke atas secara kronologis. Dengan

    kata lain ilmu sosial lain pada umumnya secara langsung dapat merasakan dengan pancaindranya pristiwa

    yang dikaji, sedangkan sejarah terpisah jarak kelampauan yang memanjang dan membujur dalam waktu.

    Objek dalam ilmu sejarah tidak mungkin hadir seperi peristiwa yang sebenarnya, peristiwa sejarah objektif

    hanya sekali terjadi dan tidak mungkin terulang lagi, dan yang tersisa adalah bagian dari peristiwa tersebut.

    Peninggalan sejarah yang objektif inilah yang tersebar melalui subjek (manusia) yang menyebabkan pula

    peristiwa tersebut menjadi subjektif (tidak selengkap peristiwa yang sebenarnya). Sebagai pelengkap

    pembahasan ini perlu kita renungkan bahwa bukan karena adanya subjektivitas sejarah sehingga tidak bisa

    di katakan memiliki kebenaran, justru karena adanya subjektifitas tersebut yang akan menghadirkan

    objektivitas. Dalam hal ini apa yang di katakana Garraghan sangat perlu untuk kita pahami. Garraghan

    (Zaki, 2007) mengatakan bahwa yang dimaksud dengan objektivitas sejarah adalah:

    1. Objektivitas tidak berarti menuntut agar sejarawan bebas sepenuhnya dari kecurigaan-kecurigaanawal yang bersifat sosial, politis, agama, atau lainnya.

    2. Objektivitas tidak berarti menuntut agar sejarawan mendekati tugasnya terlepas dari semua perinsip,teori dan falsafah hidupnya.3. Obyektifitas tidak berarti menuntut agar sejarawan bebas dari simpati terhadap obyeknya.

    4. Objektivitas tidak berarti menuntut agar pembaca mengekang diri dari penilaian atau penarikankonklusi.

    5. Objektivitas sejarawan tidak berarti bahwa semua situasi yang menimbulkan peristiwa historisdicatat sesuai dengan kejadiannya.

    2. Makna Subjektivitas dalam Ilmu Sejarah

    Pada umumnya dalam metodologi sejarah, terdapat 4 faktor utama yang dapat menjadikan suatu penulisan

    sejarah bersifat subjektif, yaitu :

    1. Pemihakan pribadi (personal bias)Persoalan suka atau tidak suka pribadi terhadap individu-individu atau golongan dari seseorang dapat

    mempengaruhi subjektivitas dari penulisan sejarah.

    1. Prasangka kelompok (group prejudice)Keanggotaan sejarawan dalam suatu kelompok (ras, golongan, bangsa, agama) dapat membuat mereka

    memiliki pandangan yang bersifat subjektif dalam mengamati suatu peristiwa sejarah.

    1. Teori-teori bertentangan tentang penafsiran sejarah (conflicting theories of historical interpretation)Pandangan/ideologi yang dianut sejarawan memegang peranan penting dalam menentukan

    subjektivitas penulisan sejarah.

    2. Konflik-konflik filsafat yang mendasar (underlying pgilosophical conflicts) Secara teoritis seseorangyang menganut filsafat hidup tertentu akan menulis sejarah berdasarkan pandangannya tersebut.

    Sejalan dengan itu, subjektivitas dalam penulisan sejarah selalu hadir, karena penulis sejarah (sejarawan)

    tidak akan mampu mengungkapkan peristiwa sejarah yang begitu komleks yang pernah terjadi pada masa

    lampau, hanyalah bagian kecil dari peristiwa yang dilakukan oleh manusia tersebut dapat teridentifikasi oleh

    penulisan sejarah. Karena merupakan hasil rekonstruksi dan bukan aslinya maka sejarah dikatakan subjektif.

    Adapun sejarah yang objektif seperti kesepakatan dari sejarawan adalah apa yang sebenrnya terjadi atau

    peristiwanya itu sendiri dan tidak bisa terulang lagi, dengan demikian untuk mendapatkannya sejarawan

    memerlukan dokumen, wawancara (sejarah lisan) dan pengungkapan kembali tradisi lisan untuk masa

    prasejarah. (http://murdilalu.wordpress.com/2012/11/16/memahami-makna-objektivitas-dan-subjektivitas-

    dalam-penulisan-sejarah/)

    http://murdilalu.wordpress.com/2012/11/16/memahami-makna-objektivitas-dan-subjektivitas-dalam-penulisan-sejarah/http://murdilalu.wordpress.com/2012/11/16/memahami-makna-objektivitas-dan-subjektivitas-dalam-penulisan-sejarah/http://murdilalu.wordpress.com/2012/11/16/memahami-makna-objektivitas-dan-subjektivitas-dalam-penulisan-sejarah/http://murdilalu.wordpress.com/2012/11/16/memahami-makna-objektivitas-dan-subjektivitas-dalam-penulisan-sejarah/http://murdilalu.wordpress.com/2012/11/16/memahami-makna-objektivitas-dan-subjektivitas-dalam-penulisan-sejarah/http://murdilalu.wordpress.com/2012/11/16/memahami-makna-objektivitas-dan-subjektivitas-dalam-penulisan-sejarah/
  • 7/22/2019 Studi-sejarah_objektivitas Dan Subjektivitas Dalam Sejarah

    3/11

    Penjelasan Mengenai Subjektivitas dan Objektivitas Sejarah

    Seperti yang sudah dijelaskan di atas, sejarah adalah peristiwa yang dialami manusia dalam dimensi waktu.

    Pada umumnya pemakaian istilah sejarah untuk menunjuk pada cerita sejarah, pengetahuan sejarah,

    gambaran sejarah yang semuanya adalah sejarah dalam artian subjektif, disebut subjektif karena sejarah

    memuat unsur-unsur dan isi subjek.

    Dalam bukunya, Prof. Sartono Kartodirjo mengatakan sejarah dalam arti subjektif adalah suatu konstruk

    yang berarti sebuah bangunan yang disusun oleh penulis sejarah sebagai suatu uraian atau rangkaian cerita.

    Uraian atau rangkaian cerita itu merupakan suatu kesatuan atau unit yang mencakup fakta-fakta

    terangkaikan untuk menggambarkan suatu gejala sejarah baik proses maupun struktur. (Sartono Kartodirjo,

    1993:14).

    Sedangkan, Ankersmit[2]dalam bukunyaRefleksi tentang Sejarah menjelaskan tentang adanya alasan yang

    membela subjektifisme dan objektifisme sejarah, yaitu:

    1.

    Alasan Subjektifisme

    (a) Alasan Induksi

    Penulisan sejarah selalu bersifat subjektif. Menurut G. Myrdal, bila telaah historis t1, t2, dan seterusnya

    bersifat subjektif, maka dengan cara induktif dapat disimpulkan bahwa telaah historis, baik masa silam,

    masa kini, dan masa depan, bersifat subjektif. Namun, Myrdal menegaskan bahwa sejarawan harus

    menyadari nilai-nilai dalam penulisannya agar dengan demikian ia dapat mengesampingkan pengaruh nilai-

    nilai itu dalam penulisannya.

    Pendapat ini dilawan oleh Negel, yang mengatakan, bahwa justru nilai-nilai yang mewarnai pandangan

    seorang sejarawan, tidak disadarinya, lalu bagaimana mungkin mengesampingkannya? Sering kitaberpendapat, bahwa pendapat kita mengenani sesuatu itu terbebas dari nilai, padahal justru nilai itu yang

    dipermasalahkan.

    (b) Alasan Relativisme

    Untuk mendukung argumen ini, Ch. Beard dan J. Romein membedakan tiga hal, yakni:

    (1) Masa silam sendiri,

    (2) Bekas yang tertinggal dari masa silam, berwujud dokumen,

    prasasti dan sebagainya

    (3) Penggambaran kita terhadap masa silam.

    Peralihan dari (1) ke (2) sudah menjurus penulisan sejarah. tentu subjektif, karena sumber-sumber yang

    tersisa dari masa silam pada umumnya merupakan laporan-laporan yang ditulis oleh orang-orang pada

    zaman dulu. Dan pada peralihan dari (2) ke (3), tidak bisa disingkirkan. Terdapat tiga macam subjektifitas.

    Pertama, yang merupakan hasil dari kepribadian sejarawan sendiri.Kedua, unsur subjektifitas masih dapat

    dilacak lalu disingkirkan.Ketiga, subjektifitas waktu tidak dapat dieliminir.

    Romein dan E.H. Carr mengatakan bahwa untuk mengatasi permasalahan tersebut, sejarawan harus mampu

    untuk mengatasi kerangka zamannya dengan menempatkan diri di masa mendatang, yaitu masyarakat tanpa

    kelas. Sehingga argumen ini mudah dipatahkan karena asumsi yang menopangnya berpangkal pada filsafat

    http://diankurniaa.wordpress.com/2011/04/20/subjektivitas-dan-objektivitas-sebuah-tinjauan-kritis/#_ftn2http://diankurniaa.wordpress.com/2011/04/20/subjektivitas-dan-objektivitas-sebuah-tinjauan-kritis/#_ftn2http://diankurniaa.wordpress.com/2011/04/20/subjektivitas-dan-objektivitas-sebuah-tinjauan-kritis/#_ftn2http://diankurniaa.wordpress.com/2011/04/20/subjektivitas-dan-objektivitas-sebuah-tinjauan-kritis/#_ftn2
  • 7/22/2019 Studi-sejarah_objektivitas Dan Subjektivitas Dalam Sejarah

    4/11

    sejarah spekulatif[3]yang dapat disangksikan objektivitasnya. Rupanya Romein tetap mempertahankan

    konsepnya meskipun hal itu tidak rasional.

    (c) Alasan bahasa

    Bahwa dalam bahasa sendiri terdapat berbagai ungkapan yang mengandung penilaian, sehingga tulisan yang

    dihasilkan bisa bersifat subjektif. Namun L. Strauss justru berpendapat bahwa penilaian dan bahasa yang

    bermuatan penilaian justru penting dalam penulisan sejarah. Karena dengan bahasa yang mengandung

    penilaian itulah kejadian-kejadian yang mendebarkan dapat disusun.

    Demikian juga bagi A.R. Louch yang mengatakan bahwa tugas sejarawan adalah membangkitkan kembali

    masa silam (aktualisasi masa silam). Kata-kata seperti agresif, bersahabat, bermusuhan, dlsb, dapat

    digunakan sebagai sarana untuk membangun kembali masa silam dalam konteks kekinian. Dengan kata-kata

    itu, muncul dalam diri kita satu perasaan yang sama dengan perasaan yang muncul dalam diri penulis ketika

    menuliskannya.

    (d) Alasan Idealistis

    Sebagaimana argumen dasarnya, bahwa kenyataan itu ada sejauh kita menyadarinya, kenyataan historis punmerupakan buah hasil dari budi manusia. Budi manusia adalah objek penelitian historis sekaligus juga

    subjek penelitian historis. Karena subjek dan objeknya sama, maka keduanya tidak dapat dipisahkan.

    (e) Alasan Marxis

    Bagi penganut paham ini, tidak mungkin bisa untuk memisahkan subjek dan objek. Pengetahuan selalu

    berakar dalam pergaulan kita dengan kenyataan. Kenyataan itu adalah kenyataan yang bereaksi terhadap

    sentuhan penelitian kita. Kenyataan sosial tidak akan muncul dalam bentuk rumusan sosiologis yang

    objektif, akan tetapi baru akan muncul ketika telah dirombak oleh seorang revolusioner. Karena objektivitas

    mengandaikan pemisahan antara subjek dan objek, maka ia tidak akan terjadi.

    1. Alasan ObjektivitasBagi pendukung argumen ini, perbedaan antara pengkajian sejarah dan sains hanya bersifatgradualdan

    tidak esensial, karena objektifitas dalam hasil penelitian sains jarang disangsikan (sifatnya mutlak-pasti),

    maka cenderung membela kemungkinan penulisan sejarah yang objektif.

    (a) Memilih Objek Penelitian

    Seorang sejarawan sudah bersifat subjektif ketika memilih objek bagi penelitian sejarahnya, karena pilihan

    itu ditentukan oleh kesukaan pribadi seorang sejarawan. Dalam memilih bahannya, seorang sejarawan

    mungkin didorong oleh pertimbangan subjektif, tetapi ini tidak berarti bahwa hasil penelitiannya jugabersifat subjektif, bisa juga bersifat objektif. Objektif dalam artian ini merupakan sebuah kenyataan historis

    dalam suatu peristiwa sejarah di masa lampau.

    (b) Wertung dan Wertbeziehung

    Seorang sejarawan selalu bersifat subjektif karena bahan yang ditelitinya ialah perbuatan manusia pada masa

    silam, yang selalu diresapi oleh nilai-nilai. Kita perlu membedakan antara wertbeziehungdan wertung. Yang

    pertama adalah pertalian dengan nilai-nilai, yang terjadi ketika kita menerangkan perbuatan seorang pelaku

    sejarah sambil menghubungkan perbuatan itu dengan nilai yang dianut pada masanya. Sedangkan yang

    kedua adalah penggambaran sejarawan tentang seorang pelaku sejarah yang sudah diilhami oleh nilai-nilai

    yang dianut oleh sejarawan itu sendiri.

    (c) Alasan Seleksi

    http://diankurniaa.wordpress.com/2011/04/20/subjektivitas-dan-objektivitas-sebuah-tinjauan-kritis/#_ftn3http://diankurniaa.wordpress.com/2011/04/20/subjektivitas-dan-objektivitas-sebuah-tinjauan-kritis/#_ftn3http://diankurniaa.wordpress.com/2011/04/20/subjektivitas-dan-objektivitas-sebuah-tinjauan-kritis/#_ftn3http://diankurniaa.wordpress.com/2011/04/20/subjektivitas-dan-objektivitas-sebuah-tinjauan-kritis/#_ftn3
  • 7/22/2019 Studi-sejarah_objektivitas Dan Subjektivitas Dalam Sejarah

    5/11

    Mengadakan seleksi berarti mengacaukan jalinan peristiwa yang terjadi dalam sejarah, padahal menurut

    faham subjektivisme, sejarah adalah ibarat kain tanpa jahitan yang bagian-bagiannya kait mengait. Oleh

    pendukung objektivisme, argumen ini ditolak karena meskipun penyajian oleh sejarawan tidak lengkap,

    tidak berarti ia tidak objektif. Sebuah peta tetap objektif meskipun tidak manampilkan hal-hal kecil secara

    detail. Namun, apakah sejarah sama dengan peta. Peta adalah benda mati yang tidak berubah bagian-

    bagiannya, sedangkan sejarah terdiri dari bagian-bagian yang saling memengaruhi satu sama lainnya,

    sifatnya dinamis, sehingga menampilkan salah satu bagian saja tidak akan mungkin menggambarkan

    kenyataannya yang sesungguhnya.

    Adapun alasan subjektivistis yang mengatakan bahwa sejarawan berhenti pada satu titik dalam penelitiannya

    dan tidak melanjutkan ke titik-titik berikutnya, ditanggapi oleh kalangan objektivis dengan mengatakan

    bahwa penelusuran sampai masa paling awal tidak perlu, karena, misalnya, untuk mengetahui sebab-sebab

    Revolusi Perancis (1789) kita tidak harus melacak sebabnya. Sekali lagi, sejarah bukanlah aspek yang statis

    yang dapat diketahui dengan mudah pangkal dan ujungnya hanya dengan berspekulatif. Pertanyaanya, siapa

    yang dapat mengetahui dengan pasti bahwa suatu sebab kejadian sejarah berpangkal dari sebuah kejadian

    tertentu?

    (d) AlasanAntiskeptisisme atau Relativisme

    Sebenarnya para skeptisisme telah masuk dalam wilayah yang kontradiktif. Secara implisit, mereka masih

    mempertahankan kemungkinan untuk memperoleh pengetahuan yang objektif, meskipun secara eksplisit

    menolaknya. Hal itu karena para skeptisis baru dapat mengatakan bahwa sebuah pengetahuan adalah

    subjektif kalau ia memiliki sandaran untuk mengukur bahwa pengetahuan itu memang subjektif. Dengan

    demikian, pengetahuan objektif itu tetap diandaikan.

    Di samping itu, ia harus dapat membuktikan bahwa nilai-nilai mana yang memengaruhi seorang sejarawan.

    Dan bila nilai-nilai itu telah disingkirkan, maka objektivitas menjadi mungkin terjadi secara nyata.

    Apakah dengan menyingkirkan nilai-nilai yang diketahui itu lantas membuat penelitian sejarah menjadi

    objektif? Nilai-nilai adalah sesuatu yang abstrak, yang melingkupi dan melampaui kita karena kita berada didalamnya, sehingga tidak disadari. Sebagaimana pengertian struktur sebagai sebuah bangunan abstrak, ia

    hanya bisa dirasakan tanpa bisa dilihat secara fisik atau nyata.

    (e) Alasan Sebab Musabab (Kausalitas)

    Seorang sejarawan mungkin menggunakan penilaiannya, akan tetapi tidak berarti bahwa pendapat-

    pendapatnya langsung menunjuk pada benar atau salah. Kalau penilaiannya salah, jelas sejarah menjadi

    kacau. Dan kalaupun penilaiannya benar, bukankah terdapat banyak aspek dalam sejarah, dimana penilaian

    sejarawan tersebut sangat mungkin hanyalah salah satunya saja?

    (f) Alasan Propaganda

    A.I. Melden mengatakan bahwa jika nilai-nilai merupakan unsur pokok dalam pengetahuan historis, maka

    penulisan sejarah menjadi tidak dapat dibedakan lagi dari propaganda. Keduanya menjadi sama kerena

    hanya merupakan tindak bahasa yang ingin menyebarkan nilai-nilai tertentu. Padahal propaganda berbeda

    dengan tulisan sejarah, karena pembaca propaganda tidak terkesan oleh mutu ilmiahnya.

    Di samping itu, propaganda bertujuan untuk mengalihkan nilai-nilai kepada orang yang belum memilikinya.

    Akan tetapi nilai-nilai dalam sejarah tidak diketahui oleh pembacanya, sehingga pengalihan nilai-nilai itu

    menjadi tidak mungkin. Dengan kata lain, nilai-nilai yang dianggap sebagai bagian pokok itu hanyalah

    kesimpulan belaka dalam sebuah penalaran, bukan unsur penting di dalalamnya.

    Pada hakekatnya, penulisan sejarah memang tidak berbeda dengan propaganda, hanya saja yang terakhir

    sudah diketahui bahwa ia memang propaganda sehingga tidak dianggap ilmiah, sedangkan yang pertama,

  • 7/22/2019 Studi-sejarah_objektivitas Dan Subjektivitas Dalam Sejarah

    6/11

    penulisan sejarah, belum diketahui kalau ia adalah propaganda, tetapi sudah diasumsikan begitu saja sebagai

    sejarah, sehingga dianggap ilmiah.

    (g) Alasan Analogi

    Pengkajian sejarah sama saja dengan pengetahuan eksakta, yang mungkin untuk mendapatkan objektivitas.

    Ada tolok ukur tertentu dalam menentukan objektivitas. Padahal dalam ilmu eksakta sendiri objektivitas

    masih diperdebatkan. Hukum gravitasi Newton, misalnya, dianggap kurang memadai sehingga munculah

    Einstein dengan hukum relativitasnya.

    Subjektivitas dan Objektivitas: Satu Kesatuan Ilmu Sejarah

    Louis Gottschalk dalam bukunya Understanding Histoy: A Primer of Historical Methodmenulis bahwa

    selain peninggalan benda dan situssitus sejarah, kadangkadang faktor sejarah di peroleh dari kesaksian

    dan karenanya merupakan fakta arti (facts of meaning). Faktafakta semacam ini tidak dapat dilihat, di

    rasakan, di kecap, di dengar, atau di cium baunya. Dapat dikatakan bahwa faktafakta itu merupakan

    lambang atau wakil dari pada sesuatu yang pernah nyata ada, tetapi faktafakta itu tidak memiliki kenyataan

    objektif sendiri.

    Dengan perkataan lain, faktafakta itu hanya terdapat di dalam pikiran pengamat atau sejarawah karenya

    dapat di sebut subjektif. Untuk dapat di pelajari secara objektif dalam arti tidak memihak dan bebas dari

    reaksi pribadi harus punya eksistensi yang merdeka di luar pikiran manusia. Akan tetapi kenangan tidak

    mempumyai eksistensi di luar pikiran manusia sedangkan banyak sejarah didasarkan atas kenangan yakni

    kesaksian tertulis atau lisan.

    Ada suatu prasangka kasar terhadap pengetahuan subjektif sebagai suatu yang lebih rendah dari pada

    pengetahuan objektif, sebagian besar karena kata subjektif telah memperoleh arti khayalan atau boleh

    dikata didasarkan atas pertimbagan pribadi makanya tidak benar atau berat sebelah. Pengetahuan dapat

    diperoleh dengan jalan melakukan penyelidikan imajinatif yang tidak memihak. Memang sikap tidak

    memihak dan objektif mungkin sulit diproleh dan kesimpulan yang bedasakan subjektif lebih mudahdibantah.

    Dalam penjelasan ini diketahui bahwa antara subjektivitas dan objektivitas merupakan satu kesatuan utuh

    yang terkandung dalam jiwa seorang sejarawan ketika menorehkan fakta historis ke dalam sebuah media

    tulis. Subjektivitas berangkat dari objektivitas yang objektivistik. Kenyataan yang terkandung dalam setiap

    fakta sejarah secara subtansial selalu diikuti oleh aspek subjektif sang sejarawan, hal ini merupakan suatu

    kesatuan antara pandangan pribadi atas satu peristiwa sejarah dan ilmu bantu yang ia gunakan, serta filsafat

    sejarah apa yang ia anut ketika memandang suatu peristiwa sejarah dalam konteks fakta historis.

    Banyak ahli sejarah condong memandang fakta sebagai dasar pengkajian sejarah yang mutlak dan dapat

    diandalkan. Fakta dapat ditentukan dengan kepastian yang praktis, tak dapat disangsikan dan andaikataterjadi kesangsian, maka dalam praktek ini dapat dipecahkan. Kadang-kadang fakta juga kurang memadai

    untuk menentukan sebuah peristiwa, karena adanya berbagai alasan pendukung akan hal itu.

    Persoalan mengenai subjektivitas, meskipun dirasakan sulit, merupakan masalah yang urgen sekali dalam

    menghadapi pertumbuhan historiografi. Masalah subjektivitas dan objektivitas segera muncul, misalnya

    begitu orang hendak bermaksud menyusun historiografi Indonesia modern (Poepoprodjo, 1987: 4).

    Soedjatmoko menulis:

    Sesungguhnya, setiap pembicaraan tentang problema-problema interpretasi sejarah dan

    sintesis bahan-bahan sejarah menjadi suatu kisah yang berhubungan ke dalam historiografi

    Indonesia modern, menjuru kepada persoalan-persoalan tentang subjektivitas dan

    objektivitas.

  • 7/22/2019 Studi-sejarah_objektivitas Dan Subjektivitas Dalam Sejarah

    7/11

    Prioritas, spontanitas, dan aktivitas subjek dalam proses tahu yang merupakan subjektivitas yang halal,

    dimutlakkan sebagai satu-satunya kenyataan dalam kegiatan ilmu. Maka munculah subjektivisme dan

    pandangan tentang kenyataan brsifat subjektivistik. Sifat subjektif yang memang halal dan selalu akan

    terdapat di dalam setiap bentuk tahu dicampurbaurkan dengan pandangan subjektivistik tentang kenyataan,

    dan akhirnya dibuang beramai-ramai bersama pandangan subjektivistik tentang kenyataan. Subjektivistik

    juga mempunyai arti ekuivokal.

    Konsepsi subjektivisme jelas mengabaikan hakikat yang sebenarnya dari kegiatan tahu dan korelasi

    noematiknya. Dalam subjektivisme, objek tidak dinilai sebagaimana mestinya, tetapi dipandang sebagai

    sebuah kreasi, konstruksi akal budi. Sedangkan, objektivitas diperoleh hanya jika subjek dieliminasi dari

    kegiatan perjumpaan, yakni kegiatan tahu. Tetapi menyingkirkan subjek dari kegiatan perjumpaan berarti

    menghancurkan kegiatan tahu itu sendiri. Maka objektivitasnya akan berupa objektivisme, dan realitas-

    objektifnya adalah realitas-objektif.

    Interpretasi Sebagai Jalan Subjektivitas Kajian Sejarah

    Interpretasi merupakan salah satu bagian dari metode penelitian sejarah, yakni heuristik, kritik, interpretasi,

    dan historiografi. Interpretasi sejarah sering juga disebut dengan analisis sejarah (Dudung Abdurahman,

    2007: 73). Dalam hal ini digunakan dua metode, yaitu analisis dan sintesis. Dalam pengertiannya, analisisadalah menguraikan, sedangkan sintesis berarti menyatukan. Keduanya merupakan metode utama di dalam

    interpretasi sejarah (Kuntowijoyo, 1995: 100).

    Dalam proses interpretasi sejarah, penulis sejarah harus benar-benar bisa mencapai pengertian faktor-faktor

    yang menyebabkan terjadinya suatu peristiwa sejarah di masa lampau. Sejarah sebagai sebuah kumpulan

    sebab-sebab mengandung banyak faktor penentu terjadinya pristiwa sejarah. Oleh sebab itu, interpretasi

    digunakan dengan membandingkan data yang ada guna menyingkap alasan mengapa terjadinya satu

    peristiwa sejarah di masa lampau.

    Penafsiran atau interpretasi dilakukan terhadap sumber-sumber yang ditemukan. Dalam melakukan

    penafsiran, peneliti sejarah (sejarawan) melakukan analisis sesuai dengan fokus penelitiannya. Kajiansejarah yang bersifat ilmiah, dalam penafsiran biasanya menggunakan teori-teori dari ilmu-ilmu sosial.

    Dengan cara seperti ini, diharapkan penulisan sejarah akan lebih objektif dalam batas keilmiahannya. Walau

    demikian, penafsiran dalam sejarah tidak bisa terlepas sama sekali dari unsur subjektivitas penulisnya.

    Subjektivitas terjadi disebabkan penulis sejarah memiliki pandangan tersendiri terhadap sumber yang ia

    temukan. Bahkan data yang sama tidak menutup kemungkinan menimbulkan interpretasi yang berbeda.

    Apabila hal ini terjadi, dalam penelitian sejarah sah-sah saja dan dibenarkan, asalkan peneliti menggunakan

    sumber yang valid.

    Pernyataan historis ialah pernyataan mengenai fakta-fakta historis atau seperti juga bisa dikatakan sebagai

    keadaan pada masa silam. Masa silam adalah keseluruhan keadaan itu. Bukan sebagai pernyataan mengenai

    keadaan itu. Jelasnya, peristiwa historis bersifat faktual bukan tekstual. Sebagaimana dikatakan F.R.Ankersmit[4],proses generalisasi tidak dapat menampilkan kebenaran realitas sosio-historis; generalisasi

    hanya merefleksikan kecenderungan kita untuk mengonsepsi realitas dengan pola regularitas (Ankersmit,

    1983: 160).

    Penulisan sejarah merupakan bentuk dan proses pengisahan atas peristiwa-peristiwa masa lalu umat

    manusia. Pengisahan sejarah itu jelas sebagai suatu kenyataan subjektif, karena setiap pribadi atau setiap

    generasi dapat mengarahkan sudut pandangnya terhadap apa yang telah terjadi itu dengan berbagai

    interpretasi yang erat kaitannya dengan sikap hidup, pendekatan (ilmu bantu), atau orientasinya. Oleh karena

    itu, perbedaan pandangan terhadap masa lalu, yang pada dasarnya adalah objektif dan absolut, pada

    gilirannya akan menjadi suatu kenyataan yang relatif (subjektif). (Dudung Abdurahman, 2007: 16).

    Sebagai contoh, perang di zaman Nabi Muhammad Saw, misalnya, adalah peristiwa yang telah berlalu dan

    pelakunya sudah tiada, akan tetapi para penulis sejarah kemudian bisa saja menafsirkannya sebagai perang

    http://diankurniaa.wordpress.com/2011/04/20/subjektivitas-dan-objektivitas-sebuah-tinjauan-kritis/#_ftn4http://diankurniaa.wordpress.com/2011/04/20/subjektivitas-dan-objektivitas-sebuah-tinjauan-kritis/#_ftn4http://diankurniaa.wordpress.com/2011/04/20/subjektivitas-dan-objektivitas-sebuah-tinjauan-kritis/#_ftn4http://diankurniaa.wordpress.com/2011/04/20/subjektivitas-dan-objektivitas-sebuah-tinjauan-kritis/#_ftn4
  • 7/22/2019 Studi-sejarah_objektivitas Dan Subjektivitas Dalam Sejarah

    8/11

  • 7/22/2019 Studi-sejarah_objektivitas Dan Subjektivitas Dalam Sejarah

    9/11

    Penafsiran sumber pada dasarnya merupakan langkah yang kita lakukan dalam menjawab pertanyaan-

    pertanyaan dari topik yang hendak kita teliti. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian, maka kita

    mencoba menguraikan data-data atau sumber-sumber yang sudah kita pilih atau seleksi. Misalnya, tema

    penelitian Perubahan Sosial Desa Tahun 1950-1955. Dengan tema ini, maka kita akan menguraikan

    (sintesis) berbagai sumber yang menunjukkan adanya perubahan sosial.

    Sumber-sumber atau data-data yang diuraikan misalnya adanya laporan tentang jumlah orang-orang yang

    sekolah, jenis-jenis sekolah yang dimasuki, jenis-jenis pekerjaan penduduk dan jumlah pendapatannya,

    jumlah luas tanah di desa, adanya catatan tentang transaksi pembelian hasil-hasil pertanian oleh petani

    dengan pedagang yang berasal dari kota, catatan rapat di desa dan kecamatan tentang penyuluhan pertanian

    yang akan dilakukan oleh petugas pertanian kepada petani di desa, dan laporan dari desa tentang program

    pengembangan pertanian.

    Bagaimanakah penulis sejarah atau sejarawan memberikan penafsiran berdasarkan contoh sumber-sumber

    yang ditemukan tersebut? Sumber-sumber tersebut harus dihubungkan antara yang satu dengan yang

    lainnya, terutama bisa dihubungkan dalam konteks hubungan sebab akibat (kausalitas) atau adanya

    hubungan yang sangat signifikan.

    Berdasarkan sumber-sumber tersebut, sejarawan bisa memberikan penafsiran bahwa di desa itu pada tahun1950-1955 terjadi perubahan sosial. Bagaimana perubahan sosial itu bisa dilihat? Perubahan sosial itu bisa

    dilihat, misalnya dengan semakin banyaknya atau meningkatnya jumlah anak-anak yang sekolah di desa itu,

    semakin tingginya tingkat pendidikan masyarakat desa. Pertanyaan berikutnya ialah bagaimana bisa terjadi

    peningkatan jumlah anak yang sekolah dan meningkatnya jenjang pendidikan? Untuk menjawab pertanyaan

    ini bisa dihubungkan dengan menafsirkan sumber yang menunjukkan adanya peningkatan pendapatan pada

    masyarakat petani. Faktor penyebab meningkatnya pendapatan petani bisa disebabkan oleh peningkatan

    produksi pertanian.

    Dalam memberikan penafsiran, biasanya sejarawan akan melihat berbagai faktor yang menjadi faktor

    penentu perubahan. Secara garis besar, faktor penentu perubahan dalam sejarah dapat ditentukan oleh

    manusia sendiri dan faktor di luar manusia. Faktor di luar manusia misalnya lingkungan fisik atau alam dimana manusia itu hidup, seperti iklim, tanah, dan sumber-sumber daya alam lainnya.

    Interpretasi sejarah dengan melihat manusia sebagai faktor penentu perubahan dalam sejarah, bisa dilihat

    dari manusia sebagai individu (subjek) maupun manusia sebagai kelompok atau masyarakat. Manusia

    sebagai kelompok dapat ditinjau dari manusia sebagai sebuah masyarakat. Masyarakat dalam pengertian di

    sini bisa didefinisikan sebagai sekumpulan individu yang terintegrasi dalam suatu struktur. Interpretasi

    dalam pendekatan ini dilakukan dengan melihat perubahan masyarakat secara struktur. Misalnya dengan

    tema penulisan sejarah Perubahan Sosial Desa 1950-1955, perubahan struktur yang terjadi yaitu dari struktur

    masyarakat yang tadinya berprofesi sebagai petani kemudian berubah menjadi buruh perkotaan.

    Interpretasi sejarah dengan melihat lingkungan fisik atau alam sebagai faktor penentu dalam sejarah dapatberupa interpretasi geografis. Dalam interpretasi model ini, kehidupan manusia sangat ditentukan oleh faktor

    geografis. Model seperti ini misalnya sejarah timbulnya peradaban-peradaban atau kerajaan-kerajaan kuno.

    Peradaban-peradaban kuno yang lahir banyak terletak di tepian sungai, seperti peradaban Lembah Sungai

    Indus di India, peradaban Cina di Lembah Sungai Huang Ho, peradaban Lembah Sungai Nil di Mesir, dan

    peradaban-peradaban lainnya. Mengapa peradaban-peradaban itu selalu terletak di tepi sungai? Dengan

    interpretasi geografis, dapat dikatakan bahwa sungai pada waktu itu merupakan sumber kehidupan dan

    tempat lalu lintas, karena pada saat itu belum ada kendaraan darat yang bermesin seperti sekarang ini.

    Kehidupan manusia masih banyak tergantung pada faktor alam. Pada daerah-daerah sungai yang demikian,

    akan muncul sebuah masyarakat manusia.

    Dengan demikian, kehidupan manusia sangat ditentukan oleh faktor geografis. Selain interpretasi geografis,

    terdapat pula interpretasi ekonomi. Interpretasi ekonomi artinya bahwa faktor ekonomi sangat menentukan

    perubahan dalam sejarah atau kehidupan manusia. Sejarah perang misalnya, tidak hanya dilihat dari faktor

  • 7/22/2019 Studi-sejarah_objektivitas Dan Subjektivitas Dalam Sejarah

    10/11

    politik atau peran sentral individu atau tokoh. Sebuah perang dapat pula terjadi lebih disebabkan oleh faktor

    ekonomi. Misalnya perang itu terjadi disebabkan oleh adanya perebutan dari kedua negara terhadap sumber-

    sumber daya alam. Kedua negara itu ingin menguasainya. Bahkan penjajahan atau imperialisme bisa dilihat

    dari perspektif ekonomi. Negara-negara Barat melakukan penjajahan terhadap bangsa-bangsa Asia Afrika

    pada abad ke-19, lebih disebabkan oleh adanya keinginan bangsa-bangsa Barat menguasai sumber-sumber

    daya alam.

    Inilah penjelasan tentang adanya konsep subjektivitas dalam ilmu sejarah. Berawal dari interpretasi yang

    selanjutnya menghasilkan aspekrelativisme historis atau lebih dikenal dengan sebutan subjektivitas.

    Subjektivitas dalam interpretasi sejarah mungkin terjadi, karena seorang penulis sejarah atau sejarawan

    memiliki kewenangan untuk memberikan interpretasi terhadap sumber-sumber atau fakta-fakta yang telah

    ditemukannya. Walaupun demikian, seorang sejarawan harus berusaha semaksimal mungkin untuk

    menghindari subjektivitas yang berlebih-lebihan, apalagi kepentingan pribadi atau golongannya yang

    mewarnai interpretasinya.

    Cara yang dilakukan untuk menghindari subjektivitas yaitu dengan menggunakan pendekatan-pendekatan

    tertentu yang bersifat ilmiah atau menggunakan konsep-konsep atau teoriteori, dalam menginterpretasikan

    sumber yang ditemukannya. Dengan cara seperti ini, diharapkan interpretasi sejarah akan lebih objektif.

    Karena pada dasarnya setiap hasil penulisan sejarah itu dapat pula diperoleh hal-hal yang sifatnya objektif,yakni fakta-fakta keras atau tidak diragukan lagi kesahihannya (Alfian, 1984: 6). Seperti fakta keras dalam

    penyerbuan bangsa Mongol terhadap ibu kota Baghdad pada tahun 1258 M yang mendukung objektivitas.

    Aktualitas dan Objektivitas, Sebuah Persamaan

    Sebagai sebuah hasil interpretasi dan juga penulisan individu sang sejarawan, sebuah peristiwa sejarah

    bersifat subjektif (relatif). Kecenderungan pribadi menjadi pangkal dari adanya subjektivitas, tetapi ia tidak

    selalu menjadi penghalang bagi lahirnya objektivitas (absolutism historis) (Walsh, 1967).

    Lebih lanjut Walsh menyatakan bahwa pengetahuan sejarah yang objektif itu justru timbul dari perbedaan

    pendapat kalangan sejarawan. Pernyataan mereka yang berbeda mengenai peristiwa sejarah yang samabelumlah merupakan perbedaan pendapat, sebab peristiwa sejarah itu bisa dilihat dari berbagai persfektif

    (Ankersmit, 1987: 343).

    Dengan demikian, seorang sejarawan bisa menulis sejarah Pemberontakan Cimareme 1919 misalnya,

    dengan memperhatikan faktor-faktor ekonomis, tetapi sejarawan lainnya dapat menyoroti latar belakang

    sosial atau budayanya, politik, aspek religi, dan juga aspek psikologi. Kajian ini saling melengkapi sehingga

    pada akhirnya akan tercapai suatu objektivitas sejarah. (Dudung Abdurahman, 2007: 20).

    Berbeda halnya dengan konsep objektivitas dalam kajian ilmu sejarah. Dalam bukunya, Prof. Sartono

    Kartodirjo mengatakan bahwa sejarah dalam arti subjektif adalah suatu konstruk yang berarti sebuah

    bangunan yang disusun oleh penulis sejarah sebagai suatu uraian atau rangkaian cerita. Uraian ataurangkaian cerita itu merupakan suatu kesatuan atau unit yang mencakup fakta-fakta terangkaikan untuk

    menggambarkan suatu gejala sejarah baik proses maupun struktur. (Sartono Kartodirjo, 1993:14).

    Aktualitas menjadi sebuah karakteristik dari aspek objektivitas sejarah yang objektivistik. Sebagaimana

    diketahui mengenai objek kajian sejarah yang sifatnya absolute, berbagai penjelasan mengenai satu

    permasalahan sejarah, mengkaji faktor-faktor pendukung timbulnya peristiwa sejarah, akan ditemukan sisi

    objektif yang realistik. Inilah persamaan aktualitas dan objektivitas yang berafiliasi dengan aspek

    subjektivitas sang sejarawan.

    Kesimpulan

    Pada bagian ini perlu kiranya kami ulas kembali penjelasan mengenai subjektivitas dan objektivitas dalam

    kajian ilmu sejarah. Pandangan subjektivistik dan objektivistik bukanlah sesuatu hal yang dapat dihindari

  • 7/22/2019 Studi-sejarah_objektivitas Dan Subjektivitas Dalam Sejarah

    11/11

    oleh para sejarawan. Ia adalah satu kesatuan utuh dalam setiap kajian sejarah sebagai sebuah kisah ( history

    as story).

    Pada umumnya para ahli sejarah sepakat, bahwa penulisan sejarah yang objktif sedapat mungkin harus

    diusahakan. Persoalan mengenai subjektivitas, meskipun dirasakan sulit, merupakan masalah yang urgen

    sekali dalam menghadapi pertumbuhan historiografi. Masalah subjektivitas dan objektivitas segera muncul,

    misalnya begitu orang hendak bermaksud menyusun historiografi Indonesia modern (Poepoprodjo, 1987: 4).

    Subjektivitas dan objektivitas merupakan satu kesatuan utuh yang terkandung dalam jiwa seorang sejarawan

    ketika menorehkan fakta historis ke dalam sebuah media tulis. Subjektivitas berangkat dari objektivitas yang

    objektivistik. Kenyataan yang terkandung dalam setiap fakta sejarah secara subtansial selalu diikuti oleh

    aspek subjektif sang sejarawan, hal ini merupakan suatu kesatuan antara pandangan pribadi atas satu

    peristiwa sejarah dan ilmu bantu yang ia gunakan, serta filsafat sejarah apa yang ia anut ketika memandang

    suatu peristiwa sejarah dalam konteks fakta historis.[]

    [1] Kata dokumen (dari kata docere, mengajar) juga telah dipergunakan oleh sejarawan denganperbagai arti. (Louis Gottschalk, 2006: 45)

    [2] F.R. Ankersmit, REFLEKSI TENTANG SEJARAH, Pendapat-pendapat Modern tentang

    Filsafat Sejarah, Gramedia, Jakarta, 1987.

    [3] Filsafat sejarah spekulatif selalu dibedakan dari pengkajian sejarah biasa. Kiranya sudah

    cukup gambling bahwa berurusan dengan dua bidang yang berbeda-beda. Filsafat sejarah spekulatif selalu

    mencari struktur dalam yang terkandung dalam proses sejarah secara komprehensif. Ia merupakan suatu

    perenungan falsafati mengenai tabiat atau asal-usul proses sejarah.

    [4] Dudung Abdurahman, Metodologi Penelitian SejarahAr-Ruzz Media, Jogjakarta, 2007, hlm.

    194

    [5] Dudung Abdurahman, Metodologi Penelitian Sejarah Ar-Ruzz Media, Jogjakarta, 2007,

    halaman 18

    http://diankurniaa.wordpress.com/2011/04/20/subjektivitas-dan-objektivitas-sebuah-tinjauan-kritis/#_ftnref1http://diankurniaa.wordpress.com/2011/04/20/subjektivitas-dan-objektivitas-sebuah-tinjauan-kritis/#_ftnref1http://diankurniaa.wordpress.com/2011/04/20/subjektivitas-dan-objektivitas-sebuah-tinjauan-kritis/#_ftnref2http://diankurniaa.wordpress.com/2011/04/20/subjektivitas-dan-objektivitas-sebuah-tinjauan-kritis/#_ftnref2http://diankurniaa.wordpress.com/2011/04/20/subjektivitas-dan-objektivitas-sebuah-tinjauan-kritis/#_ftnref3http://diankurniaa.wordpress.com/2011/04/20/subjektivitas-dan-objektivitas-sebuah-tinjauan-kritis/#_ftnref3http://diankurniaa.wordpress.com/2011/04/20/subjektivitas-dan-objektivitas-sebuah-tinjauan-kritis/#_ftnref4http://diankurniaa.wordpress.com/2011/04/20/subjektivitas-dan-objektivitas-sebuah-tinjauan-kritis/#_ftnref4http://diankurniaa.wordpress.com/2011/04/20/subjektivitas-dan-objektivitas-sebuah-tinjauan-kritis/#_ftnref5http://diankurniaa.wordpress.com/2011/04/20/subjektivitas-dan-objektivitas-sebuah-tinjauan-kritis/#_ftnref5http://diankurniaa.wordpress.com/2011/04/20/subjektivitas-dan-objektivitas-sebuah-tinjauan-kritis/#_ftnref5http://diankurniaa.wordpress.com/2011/04/20/subjektivitas-dan-objektivitas-sebuah-tinjauan-kritis/#_ftnref4http://diankurniaa.wordpress.com/2011/04/20/subjektivitas-dan-objektivitas-sebuah-tinjauan-kritis/#_ftnref3http://diankurniaa.wordpress.com/2011/04/20/subjektivitas-dan-objektivitas-sebuah-tinjauan-kritis/#_ftnref2http://diankurniaa.wordpress.com/2011/04/20/subjektivitas-dan-objektivitas-sebuah-tinjauan-kritis/#_ftnref1