studi perbandingan tentang pengaturan pemberian perlindungan

99
i Studi perbandingan tentang pengaturan pemberian perlindungan saksi dalam undang-undang tindak pidana pencucian uang di negara indonesia dan malaysia Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Guna Memperoleh Derajad Sarjana dalam Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Oleh : Anita Tiar Kusuma Wardhani E.0004089 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2008

Upload: phungnga

Post on 13-Jan-2017

229 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: Studi perbandingan tentang pengaturan pemberian perlindungan

i

Studi perbandingan tentang pengaturan pemberian perlindungan saksi

dalam undang-undang tindak pidana pencucian uang di negara indonesia

dan malaysia

Penulisan Hukum

(Skripsi)

Disusun dan diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Guna Memperoleh Derajad Sarjana dalam Ilmu Hukum

Pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Oleh :

Anita Tiar Kusuma Wardhani E.0004089

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

2008

Page 2: Studi perbandingan tentang pengaturan pemberian perlindungan

ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Penulisan Hukum ( Skripsi )

STUDI PERBANDINGAN TENTANG PENGATURAN PEMBERIAN PERLINDUNGAN SAKSI

DALAM UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DI NEGARA INDONESIA DAN MALAYSIA

Disusun Oleh :

ANITA TIAR KUSUMA WARDHANI

NIM : E. 0004089

Disetujui untuk Dipertahankan

Dosen Pembimbing

BAMBANG SANTOSO, S.H., M.Hum.

NIP. 131 863 797

Page 3: Studi perbandingan tentang pengaturan pemberian perlindungan

iii

PENGESAHAN PENGUJI

Penulisan Hukum ( Skripsi )

STUDI PERBANDINGAN TENTANG PENGATURAN PEMBERIAN PERLINDUNGAN SAKSI

DALAM UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DI NEGARA INDONESIA DAN MALAYSIA

Disusun Oleh : ANITA TIAR KUSUMA WARDHANI

NIM : E. 0004089

Telah diterima dan di sahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi)

Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret

pada : Hari : Selasa Tanggal : 29 April 2008

TIM PENGUJI

1. .……………………………. ( Edy Herdyanto, S.H., M.H.)

Ketua

2. .……………………………. ( Kristiyadi, S.H., M.Hum.)

Sekretaris

3. .……………………………. (Bambang Santoso, S.H., M.Hum.)

Anggota

MENGETAHUI Dekan

Mohammad Jamin, S. H., M.Hum

NIP 131 570 154

Page 4: Studi perbandingan tentang pengaturan pemberian perlindungan

iv

MOTTO

Allah itu melihat setiap proses yang dilakukan umatnya bukan hasil. ( NN )

Keberhasilan besar dimulai dari hal-hal kecil. ( Nasihat Seorang Ibu)

Menjadi tua itu pasti, tapi menjadi dewasa itu suatu pilihan. ( Kecil )

Rasa syukur adalah berkah yang langka ( NN )

Cukup Allah SWT pelindungku di segala suasana. (NN )

Kehidupan yang baik lahir dari cinta kasih dan dipimpin pengetahuan. ( NN )

Carilah jalan yang lurus walaupun jalan itu harus kita tempuh dengn penuh derita. ( NN )

Page 5: Studi perbandingan tentang pengaturan pemberian perlindungan

v

PERSEMBAHAN

Sebuah pemikiran yang begitu tulus dan sederhana ini penulis persembahkan kepada :

Penguasa Alam Semesta, Pencipta Pemikiran dan Ilmu Pengetahuan, serta Pelindung Setiap Makhkluk, Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang Allah SWT.

Kepada Rasul utusan Allah, tuntutan akhlak bagi manusia,

Nabi Muhammad S.A.W.

Ayah dan Mama Astuti Dharwati.

Atas cinta dan kasih yang tak pernah putus, dan senantiasa mendoakan kebaikan bagi penulis, semoga Allah SWT selalu melindungi dan menyayangi orangtuaku tercinta.

Adikku tercinta HiemmaTiar Kusuma Umbara

Yang selalu mengisi hari-hariku dengan suka maupun duka

Sahabat-sahabatku tersayang,

Atas keceriaan dan kebersamaan serta dukungan yang tak pernah putus, tak ada hari yang tak indah selama kalian di sisiku.

Some one who love me with his pure heart.

&

Civitas Akademika

Fakultas Hukum UNS

Page 6: Studi perbandingan tentang pengaturan pemberian perlindungan

vi

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah

melimpahkan rahmat dan nikmat beserta petunjuk-Nya, sehingga penulis akhirnya

dapat menyelesaikan penulisan hukum (Skripsi) yang berjudul “STUDI

PERBANDINGAN TENTANG PENGATURAN PEMBERIAN

PERLINDUNGAN SAKSI DALAM UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA

PENCUCIAN UANG DI NEGARA INDONESIA DAN MALAYSIA”.

Penulisan Hukum ini disusun dengan tujuan untuk memenuhi syarat

memperoleh gelar sarjana (S1) pada Fakultas Hukum Sebelas Maret Surakarta.

Penulis mengakui bahwa penulisan hukum ini tidaklah mungkin selesai tanpa

dukungan dari berbagai pihak . Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin

menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Muhammad Jamin, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Bapak Edy Herdyanto, S.H., MH, selaku Ketua Bagian Hukum Acara.,

yang telah membantu menyelesaikan penulisan hukum ini sampai

selesai.

3. Bapak Bambang Santoso, S.H., M.Hum, selaku dosen pembimbing

penulis yang memberikan bantuan dan arahan untuk membimbing

penulis, memberikan bantuan moril kepada penulis agar dapat menjadi

sarjana yang cerdas dan pekerja keras, dan selaku pembimbing Moot

Court KOMUSEMA, yang telah mencurahkan waktu dan tenaga untuk

kelangsungan Moot Court tercinta serta yang memberi Moot Court

semangat dan harapan dalam setiap langkahnya, terima kasih banyak

untuk bapak, semoga Allah SWT selalu memberikan yang terbaik

untuk bapak, Amiin.

Page 7: Studi perbandingan tentang pengaturan pemberian perlindungan

vii

4. Bapak Pranoto, S.H., M.H., selaku pembimbing akademik penulis

selama menuntut ilmu di Fakultas Hukum Hukum Universitas Sebelas

Maret Surakarta.

5. Bapak Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret

Surakarta yang telah memberikan ilmu yang sangat berharga kepada

penulis selama menuntut ilmu di Fakultas Hukum Universitas Sebelas

Maret Surakarta.

6. Bapak Ibu Karyawan serta staf-staf tata usaha, bagian akademik,

bagian kemahasiswaan, bagian transit, bagian keamanan Fakultas

Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

7. Ayah dan Mama tercinta yang telah memberikan cinta dan kasih

sayangnya kepada penulis (Terima kasih mama selalu ada di

sampingku n menjadi semangatku buat ngerjain skripsi, yang selalu

sabar n bisa membuatku tenang).

8. Hiemma , adiku yang mengajariku menjadi orang yang dewasa.

9. Eyang putri dan Kakung, makasih atas doanya, eyang cepet sembuh

ya.

10. Pan8 (Dhaning (Ciiiiillllll ayo temani aku isi babak baru setelah

moment ini.makasih selalu disampingku n mendukungku), Feri

Basaudik (cepetin digarap skripsinya ya…..fardhu ain lho!!kan biar

bisa bareng.makasih ya umi feri yang telah jadi ibu mcc.), Dila ndul

(moga bias lancer ama arif. Ho.ho..), Odie jin botol (jadilah mahasiswa

yang baik n kembali ke jalan yang benar, dijaga ya abi odie uminya..),

Ekaaaa (thank buat editannya, n semangat buat kamu), Fadliiii Boooo

(moga cepet dapat jodoh buat pw ya!!nyusul kakakmu tu!!), Mat Juned

(dengan tomatnya itu n gaya ngomongnya yang khas juned banget).

11. Keluarga besar Moot Court Community FH UNS, Mas Pethonk

(Makasih buat pinjaman bukunya, d best hakim ketua buat kami and

Page 8: Studi perbandingan tentang pengaturan pemberian perlindungan

viii

leader di Moot Court), Mas Aan (honey bear..hee..yang paling bisa

buat suasana nyaman n senyum), Mas Boo (yang kukagumi cara bicara

n kepandaiannya), Mas Iman (orang yang paling sabar), Heru (makasih

ya selalu nemenin aku n memberi semangat saat aku hampir

menyerah), sunit (grow up adik besar, moga ngga munajat cinta lagi),

desi (rajin belajar ya!!!!!), vita, philo, agus, rekha (thank buat

metodologinya, jadi ngerti ni..ayo teruskan mcc), dhea, and semuanya

serta official-official terbaik yang selalu menemani kami setiap saat n

juga Kang Jack Surana, ayo kang tetep semangat ya dan moga-moga

cepet dapat pendamping.

12. Mas Aji, yang meluangkan waktu untuk membimbing Moot Court, dan

pemikiran-pemikirannya yang selalu jenius, heeee..terima kasih juga

atas pinjaman bukunya.

13. My Best Friend ever after from d beginning n d last : Stevani tepong

(Makasih selalu ada buat aku, yang terlalu suka senyum-senyum

sendiri, ayo pong tentukan pilihannmu n jangan buat kakak

menungggumu.: )), Amik Sudayat binti Mingtiel (yang rela nemenin

kemana aja, yang selau membuat cerita kebodohannya saat keluar kos

dan membuat kami semua tersenyum), Rika rikong (dengan gaya

khasnya yang selalu sok cool.ayo hidupkan citra kartini seperti hari

kelahiranmu..he), icha bulat-bulat di mana-mana (moga cepet insaf n

kembali ke jalan yang lurus, semoga kami bisa membimbingnya

kembali.hee, bul2), Anis, Omeng ,Khusnul (tiga trio macan yang suka

kesana sini bareng, hazoo cepet lulus ya!!amin!!), mb Novi (ayo

semangat bareng-bareng), Bos Ria, semua anak kos yang lain yang

memberika suka duka kehidupan setahun ini di Roterdam, untuk tiwi,

astrie, agatha (thank buat masukanny ya..makasih buanyaaaaaaaak ta,

yup2 ayo makan2 n kumpul lagi), Fatma, Ria and Galih (ayo kita

kumpul-kumpul lagi), Umar (hidup cah Maagelang), Alfan (teruskan

Page 9: Studi perbandingan tentang pengaturan pemberian perlindungan

ix

perjuanganmu ya buat PMII), Widi (afwan wid ngga bisa bantu kamu),

Ajie dan semuanya yang sudah mau menjadi teman-temanku.

14. Seluruh keluarga besar Angkatan 2004.

15. Semua pihak yang telah membantu terselesaikannya penulisan hukum

ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan hukum ini masih jauh

dari sempurna baik dari segi materi maupun penulisannya. Oleh karena itu,

penulis mengharapkan kritik dan saran yang menunjang bagi

kesempurnaan penulisan hukum ini.

Semoga penulisan hukum ini dapat bermanfaat bagi perkembangan

ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu hukum pada khususnya,

sehingga tidak menjadi suatu karya yang sia-sia nantinya.

Surakarta, 21April 2008

Penulis

Page 10: Studi perbandingan tentang pengaturan pemberian perlindungan

x

DAFTAR ISI

Halaman Judul …………………………………………………… i

Persetujuan ………………………………………………………. ii

Pengesahan ………………………………………………………. iii

Motto ……………………………………………………………... iv

Persembahan ……………………………………………………... v

Kata Pengantar ………………………………………………….... vi

Daftar Isi …………………………………………………………. x

Daftar Lampiran ………………………………………………….. xii

Abstrak …………………………………………………………… xiii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ………………………………… 1

B. Perumusan Masalah .……………………………………. 5

C. Tujuan Penelitian...……………………………………… 6

D. Manfaat Penelitian ……………………………………… 7

E. Metodologi Penelitian ..…………………………………. 8

F. Sistematika Penulisan …………………………………… 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori

1. Tinjauan Umum Tentang Perbandingan Hukum

a. Istilah dan Definisi Perbandingan Hukum…………. 14

b. Karakteristik Sistem “Common Law” (Anglo Saxon)

dan sistem “Civil Law” (Eropa Kontinental).....……. 16

2. Tinjauan Umum Tentang Saksi

a. Pengertian Perlindungan Saksi ……………………… 23

b. Lembaga Perlindungan Saksi ….................................. 30

3. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang

Page 11: Studi perbandingan tentang pengaturan pemberian perlindungan

xi

a. Pengertian Pencucian Uang ……………………….. 30

b. Tahap-tahap Tindak Pidana Pencucian Uang............ 36

B. Kerangka Pemikiran …………………………………….. 37

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Bagaimana perbandingan pengaturan pemberian perlindungan

saksi dalam Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang

di Negara Indonesia dan Malaysia ?................................... 41

B. Bagaimanakah proyeksi ke depan pengaturan pemberian

perlindungan saksi dalam perundang-undangan di Indonesia? 80

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan …………………………………………………. 82

B. Saran ………………………………………………………… 83

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN-LAMPIRAN

Page 12: Studi perbandingan tentang pengaturan pemberian perlindungan

xii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran : Malaysia Anti Money Laundering Act 613.2001

Page 13: Studi perbandingan tentang pengaturan pemberian perlindungan

xiii

ABSTRAK

ANITA TIAR KUSUMA WARDHANI. E0004089. 2008. STUDI PERBANDINGAN TENTANG PENGATURAN PEMBERIAN PERLINDUNGAN SAKSI DALAM UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DI NEGARA INDONESIA DAN MALAYSIA. Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penulisan Hukum (Skripsi).

Penulisan Hukum yang berjudul Studi Perbandingan tentang Pengaturan Pemberian Perlindungan Saksi Dalam Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang di Negara Indonesia dan Malaysia bertujuan untuk mengetahui perbandingan pengaturan pemberian perlindungan saksi dalam Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang di Negara Indonesia dan Malaysia.

Penulisan Hukum ini termasuk dalam jenis penelitian hukum normatif dengan menggunakan sumber data sekunder, berupa Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang dan Anti Money Laundering Act 613. 2001. Dalam hal ini sumber data yang digunakan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dan juga bahan-bahan kepustakaan lainnya. Tehnik pengumpulan data yang digunakan yaitu melalui pengumpulan data-data sekunder. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan studi kepustakaan untuk mengumpulkan dan menyusun data yang berhubungan dengan masalah yang diteliti, dengan cara menginventarisasi dan mempelajari peraturan perundang-undangan, buku-buku, tulisan-tulisan dan dokumen yang berhubungan dengan masalah yang penulis teliti. Tehnik analisis data dengan analisis isi (content).

Hasil yang diperoleh dari penelitian ini yaitu bahwa pengaturan perlindungan saksi dalam Undang-Undang Pencucian Uang di Indonesia dan Malaysia adalah berbeda. Dalam hal subyek yang dilindungi (yaitu: saksi, pelapor, keluarga saksi/pelapor) serta pengaturan di Indonesia lebih luas juga dalam pelaksanaannya yang telah dibuat pengaturan perlindungan khusus dalam PP No. 57 Th. 2003 dan Keputusan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. Pol. 17 Th 2005. Perlindungan yang diberikan pada semua tahap pemeriksaan perkara, dalam bentuk perlindungan khusus dan hukum. Sedangkan di Malaysia, pelaksanaanya hanya merujuk pada ketentuan perlindungan saksi dalam Anti Money Laundering Act 613 2001. Perlindungan hanya berupa perlindungan hukum yang diberikan kepada saksi pelapor saja, sehingga dalam selama proses persidangan, seorang saksi tidak mendapat perlindungan.

Kata-kata kunci : Perlindungan Saksi, Pencucian Uang.

Page 14: Studi perbandingan tentang pengaturan pemberian perlindungan

xiv

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkembangan pesat di berbagai bidang ikut membawa

pengaruh terhadap perkembangan di berbagai sektor. Salah

satu yang turut berkembang pesat adalah kejahatan. Perangkat

hukum untuk mencegah dan memberantas kejahatan itu sendiri

belum memadai dan masih tertinggal jauh, sehingga berbagai

jenis kejahatan baik yang dilakukan perseorangan, kelompok

atau korporasi dengan mudah terjadi dan menghasilkan harta

kekayaan dalam jumlah besar.

Kejahatan tersebut tidak hanya dilakukan dalam batas

wilayah suatu negara, namun meluas melintasi batas wilayah

negara lain, sehingga sering disebut sebagai kejahatan

transnasional (transnational crime), dalam kejahatan

transnasional harta kekayaan hasil dari kejahatan biasanya oleh

pelaku disembunyikan, kemudian dikeluarkan lagi seolah-olah

dari hasil legal. Hal tersebut lebih dikenal dalam dunia

internasional dengan istilah pencucian uang atau money

laundering. Pencucian uang merupakan perbuatan atau upaya

dari pelaku kejahatan untuk menyembunyikan atau

menyamarkan asal usul harta kekayaan, yang diperoleh dari

tindak pidana dengan cara memasukkan harta kekayaan hasil

kekahatan ke dalam sistem keuangan, khususnya sistem

perbankan baik di dalam atau luar negeri. Hal tersebut

bertujuan untuk menghindarkan diri dari tuntutan hukum atas

kejahatan yang telah dilakukan dan mengamankan harta

kekayaan hasil kejahtan dari sitaan para aparat hukum. Metode-

metode pencucian uang yang dilakukan dengan memanfaatkan

Page 15: Studi perbandingan tentang pengaturan pemberian perlindungan

xv

perkembangan teknologi modern termasuk tindak kejahatan

kerah putih atau disebut white collar crime.

Bentuk kejahatan kerah putih telah dirasakan semakin

canggih serta sangat terorganisasi dengan sangat rapi. Sebagai

contoh dalam dunia ekonomi dan perbankan justru digunakan

sebagai sebagai pelarian kejahatan yang dengan sengaja

ditujukan untuk menghilangkan jejak ataupun asal-usul harta

yang dilarikan dan seakan-akan didapat dari hasil yang legal,

dan pelaku kejahatan berusaha membersihkan uang hasil

kejahatannya dengan berbagai cara yaitu salah satunya dengan

metode pencucian uang (money laundering).

Telah sama-sama diketahui bahwa dampak yang ditimbulkan

oleh pencucian uang atau money laundering yaitu dapat

mengganggu sistem keuangan serta berdampak negatif

terhadap sistem perekonomian suatu negara. Pada akhirnya

pencucian uang akan berdampak luas pada sistem sosial

bahkan dapat mengganggu stabilitas suatu negara. Mengingat

pencucian uang juga merupakan kejahatan transnasional yang

modusnya banyak dilakukan melintasi batas-batas negara

(cross border), maka dampak yang ditimbulkan dapat pula

berakibat negatif pada stabilitas sistem keuangan dan

perekonomian dunia secara keseluruhan. Di sisi lain, oleh

karena pencucian uang berkaitan dengan kejahatan asal

(predicate crime) yang dilakukan oleh organized crime, maka

perkembangan pencucian uang ini akan sangat mempengaruhi

tumbuh dan berkembangnya berbagai tindak pidana pemicu

pencucian uang seperti korupsi, perdagangan gelap narkotika,

penyelundupan, dan illegal logging serta upaya untuk

memeranginya.

Page 16: Studi perbandingan tentang pengaturan pemberian perlindungan

xvi

Indonesia mengenal pencucian uang (money laundering)

sejak dimasukkannya Indonesia ke dalam NCCTs (Non-

Cooperatif Cauntries and Territories) oleh FATF (Financial

Action Task Force on Money Laundering) pada Juni 2001,

sebagai negara yang tidak kooperatif dalam pemberantasan

pencucian uang. Dasar pertimbangan dimasukkannya Indonesia

ke dalam daftar blacklist FATF disebabkan tidak adanya

perangkat yang kuat dan efektif dalam memerangi money

laundering yaitu belum adanya peraturan perundang-undangan

yang mengkriminalisasikan pencucian uang, loopholes dalam

pengaturan lembaga keuangan terutama lembaga keuangan

non-bank, terbatasnya sumber daya yang dimiliki, serta

minimnya kerjasama internasionl dalam upaya memberantas

pencucian uang.

Adanya tekanan internasional serta desakan IMF dan

dimasukkannya Indonesia ke dalam NCCTs List tersebut, maka

Indonesia mau tidak mau, suka atau tidak suka, akhirnya

membuat dan mengundangkan undang-undang anti-pencucian

uang, yaitu Undang-undang No.15 Tahun 2002 tentang Tindak

Pidana Pencucian Uang yang kemudian diamandemen dengan

Undang-Undang No. 25 Tahun 2003. Undang-Undang tersebut

mempunyai arti penting karena memuat politik hukum nasional

yang mengkriminalisasi pencucian uang di Indonesia. Undang-

Undang juga telah melahirkan Pusat Pelaporan dan Analisis

Transaksi Keuangan (PPATK) sebagai financial intelligence unit

dalam memberantas tindak pidana pencucian uang. Dengan

adanya UU Tindak Pidana Pencucian Uang terjadi perubahan

paradigma, yaitu tidak lagi hanya mengejar pelaku kriminalnya

tetapi juga uang hasil kejahatan tersebut. Dengan penggunaan

metode yang berbeda dengan penegakan hukum secara

Page 17: Studi perbandingan tentang pengaturan pemberian perlindungan

xvii

konvensional diharapkan dapat menurunkan tingkat kriminalitas

dan lebih memberikan kemudahan dalam penanganan

perkaranya.

Dalam proses pemeriksaan perkara pidana mengenai kasus

pencucian uang, saksi adalah salah satu kunci untuk peroleh

kebenaran materiil, yang merupakan kebenaran yang benar-

benar terjadi. Salah satu alat bukti yang sah dalam proses

peradilan pidana adalah keterangan saksi yang mendengar,

melihat, atau mengalami sendiri terjadinya suatu tindak pidana

dalam upaya mencari dan menemukan kejelasan tentang tindak

pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana. Secara teori,

Pasal 184 dan 185 UU No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-

Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) secara tegas

mengambarkan hal tersebut. Pasal 184 menempatkan

keterangan saksi di urutan pertama di atas alat bukti lain. Dapat

dikatakan bahwa keberhasilan suatu proses peradilan pidana

sangatlah tergantung pada alat bukti yang berhasil dimunculkan

dalam pengadilan, yang terutama berkenaan dengan saksi. Dari

kasus yang banyak terlihat, tidak sedikit kasus yang kandas di

tengah jalan oleh karena ketiadaan saksi untuk menopang tugas

jaksa. Dengan demikian keberadaan saksi merupakan

suatu elemen yang sangat menentukan dalam sutu proses

peradilan pidana. Namun demikian ternyata peran saksi dalam

proses peradilan pidana masih jauh dari perhatian masyarakat

dan penegak hukum. Sudah cukup sering media massa

memberitahukan adanya kasus-kasus yang tidak terungkap dan

juga tidak terselesaikan, oleh karena keengganan saksi untuk

memberikan informasi kepada pihak yang berwenang. Bahkan

sampai saat ini posisi saksi (termasuk saksi korban) dalam

proses peradilan di Indonesia hanyalah dipandang sebagai alat

Page 18: Studi perbandingan tentang pengaturan pemberian perlindungan

xviii

yang dapat memperkuat posisi jaksa dalam persidangan.

Mereka hanya digunakan untuk melegitimasi keputusan hakim

dari keseluruhan rangkaian proses beracara di persidangan.

Saksi belum dilihat sebagai manusia yang memerlukan

perlindungan, akan tetapi justru dieksploitasi untuk mendukung

suatu keputusan yang dikatakan “adil”.

Mencermati kondisi yang tampak belum berkesuaian diatas,

kita sebenarnya sudah dapat menangkap suatu alur pikir bahwa

untuk menciptakan suatu kesaksian yang berkualitas hanya

akan dapat diperoleh jika ancaman-ancaman baik yang bersifat

fisik maupun psikis terhadap saksi (saksi pelapor, saksi biasa,

saksi ahli), kerugian-kerugian materiil dan berbagai masalah

lain yang menjadi kendala, dapat dihilangkan. Salah satu cara

yang dapat diberlakukan adalah dengan memberikan

perlindunagn kepada saksi (Bambang Santoso, 2003),

khususnya dalam hal ini adalah saksi yang berkaitan dengan

perkara tindak pidana pencucian uang. Di Indonesia memang

telah dibuat suatu undang-undang payung yang khusus

ditujukan memberikan perlindungan kepada seorang saksi dan

korban, yaitu dalan UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan

Saksi dan Korban. Sebelumnya selain dalam peraturan

perundang-undangan khusus, belum ada suatu aturan yang

mengatur perlindungan saksi. Ketentuan Pasal 50 sampai

dengan Pasal 68 KUHAP hanya mengatur perlindungan

terhadap tersangka atau terdakwa untuk mendapat

perlindungan dari berbagai kemungkinan pelanggaran hak asasi

manusia. Namun, sekarang dengan berdasar atas asas

kesamaan di depan hukum (equality before the law) yang

menjadi salah satu ciri negara hukum, saksi dan korban dalam

proses peradilan pidana harus diberi jaminan perlindungan

Page 19: Studi perbandingan tentang pengaturan pemberian perlindungan

xix

hukum, sebagaimana tertulis dalam Undang Undang Nomor 13

Tahun 2006. Berkaitan dengan adanya perlindungan saksi

dalam tindak pidana pencucian uang juga telah diatur dalam

Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 sebagaiman diubah dengan

Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana

Pencucian Uang, yang selanjutnya diatur tersendiri pada

Peraturan Pemerintah No. 57 Tahun 2003 tentang Tata Cara

Perlindungan Khusus Bagi Pelapor dan Saksi Tindak Pidana

Pencucian Uang.

Berdasarkan apa yang telah diuraikan di atas jelaslah bahwa

masalah perlindungan saksi dalam pemeriksaan perkara pidana

mengenai kasus pencucian uang (money laundering)

merupakan salah satu kunci agar pengungkapan kasus dapat

berjalan sebaik-baiknya. Hal demikian merupakan topik menarik

untuk dikaji lebih mendalam melalui kegiatan penelitian hukum

seperti yang penulis laksanakan saat ini.

Untuk mengkaji masalah tersebut, diperlukan bahan

perbandingan yang cukup dari Undang-Undang Tindak Pidana

Pencucian Uang dan undang-undang terkait lainnya dari negara

yang berbeda sistem hukum dengan Indonesia, yaitu negara

yang menganut sistem “Common Law (Anglo Saxon)”.

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas maka

penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul:

“STUDI PERBANDINGAN TENTANG PENGATURAN PEMBERIAN

PERLINDUNGAN SAKSI DALAM UNDANG-UNDANG TINDAK

PIDANA PENCUCIAN UANG DI NEGARA INDONESIA DAN

MALAYSIA”.

B. Perumusan Masalah

Page 20: Studi perbandingan tentang pengaturan pemberian perlindungan

xx

Perumusan masalah dalam suatu penelitian dimaksudkan

untuk mempermudah penulis dalam membatasi masalah yang

akan diteliti sehingga tujuan dan sasaran yang akan dicapai

menjadi jelas, terarah dan mendapatkan hasil seperti yang

diharapkan.

Dalam penelitian ini perumusan masalah dari masalah-

masalah yang diteliti dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana perbandingan pengaturan pemberian

perlindungan saksi dalam Undang-Undang Tindak Pidana

Pencucian Uang di Negara Indonesia dan Malaysia ?

2. Bagaimanakah proyeksi ke depan pengaturan pemberian

perlindungan saksi dalam perundang-undangan di Indonesia?

C. Tujuan Penelitian

Menyadari bahwa setiap penelitian harus mempunyai tujuan

tertentu, demikian pula penelitian ini juga mempunyai tujuan

obyektif dan subyektif sebagai berikut:

1. Tujuan Obyektif

a). Untuk mengetahui perbandingan pengaturan pemberian

perlindungan saksi dalam Undang-Undang Tindak Pidana

Pencucian Uang di Negara Indonesia dan Malaysia.

b). Untuk mengetahui proyeksi ke depan pengaturan

pemberian perlindungan saksi dalam perundang-

undangan di Indonesia.

2. Tujuan Subyektif

Page 21: Studi perbandingan tentang pengaturan pemberian perlindungan

xxi

a). Untuk memperluas pengetahuan dan wawasan penulis di

bidang hukum serta pemahaman aspek hukum dalam teori

dan praktek dalam lapangan hukum khususnya pemberian

perlindungan saksi dalam tindak pidana pencucian uang.

b). Untuk melengkapi syarat akademis guna memperoleh

gelar kesarjanaan dalam Ilmu Hukum pada Fakultas

Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

c). Menerapkan ilmu dan teori-teori hukum yang telah penulis

peroleh agar dapat memberi manfaat bagi penulis sendiri

khususnya dan masyarakat pada umumnya.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

a). Memberi masukan pemikiran bagi pengembangan ilmu

pengetahuan khususnya, dalam ilmu hukum pada

umumnya dan khususnya pengaturan hukum pidana yang

berkaitan dengan pemberian perlindungan saksi dalam

tindak pidana pencucian uang.

b). Hasil penelitian ini dapat menambah literatur, referensi

dan bahan-bahan informasi ilmiah mengingat perlindungan

saksi dalam Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian

Uang masih merupakan bahasan yang tergolong baru

dalam penerapan hukum di Indonesia.

2. Manfaat Praktis

a). Memberikan jawaban terhadap permasalahan yang diteliti.

Page 22: Studi perbandingan tentang pengaturan pemberian perlindungan

xxii

b). Guna mengembangkan penalaran dan membentuk pola

pikir yang dinamis sekaligus untuk mengetahui

kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu yang

diperoleh.

c). Hasil penulisan ini diharapkan dapat membantu dan

memberi masukan kepada semua pihak yang

membutuhkan pengetahuan terkait masalah yang diteliti

dan dapat dipakai sebagai sarana yang efektif dan

memadai dalam upaya memulihkan kerugian negara yang

ditimbulkan akibat tindak pidana pencucian uang.

E. Metode Penelitian

Metode merupakan cara yang utama yang digunakan untuk

mencapai suatu tujuan, untuk mencapai tingkat ketelitian,

jumlah dan jenis yang dihadapi. Akan tetapi dengan

mengadakan klasifikasi yang berdasarkan pada pengalaman,

dapat ditentukan teratur dan terpikirkannya alur yang runtut

dan baik untuk mencapai suatu maksud. (Winarno Surakhmat,

1982:131 )

Penelitian adalah suatu usaha untuk menemukan,

mengembangkan, dan menguji kebenaran suatu

pengetahuan,gejala atau hipotesa, usaha mana dilakukan

dengan menggunakan metode ilmiah (Sutrisno Hadi, 1989:4).

Dengan demikian pengertian metode penelitian adalah cara

yang teratur dan terpikir secara runtut dan baik dengan

menggunakan metode ilmiah yang bertujuan untuk menemukan,

mengembangkan maupun guna menguji kebenaran maupun

ketidakbenaran dari suatu pengetahuan, gejala atau hipotesa.

Page 23: Studi perbandingan tentang pengaturan pemberian perlindungan

xxiii

1. Jenis Penelitian

Mengacu pada judul dan perumusan masalah, maka penelitian ini

termasuk ke dalam kategori penelitian normatif atau penelitian

kepustakaan, yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan

pustaka atau data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan

hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Bahan-bahan tersebut disusun

secara sistematis, dikaji, kemudian ditarik suatu kesimpulan dalam

hubungannya dengan masalah yang diteliti.

Senada dengan Soerjono Soekanto bahwa penelitian hukum yang

dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka

dapat dinamakan penelitian hukum normatif atau penelitian hukum

kepustakaan. Penelitian hukum normatif atau kepustakaan tersebut

mencakup:

a. Penelitian terhadap asas-asas hukum

b. Penelitian terhadap sistematik hukum

c. Perbandingan hukum

d. Sejarah hukum (Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 1990:

15)

Penelitian yang di gunakan oleh penulis dalam penelitian

normatif ini adalah perbandingan hukum yang

membandingkan antara Pengaturan Pemberian Perlindungan

Saksi dalam Undang-undang tindak pidana pencucian uang di

Negara Indonesia dan Malaysia.

2. Sifat Penelitian

Penelitian hukum ini bersifat deskriptif. Penelitian

deskriptif adalah penelitian yang bertujuan menggambarkan

secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala, atau

Page 24: Studi perbandingan tentang pengaturan pemberian perlindungan

xxiv

kelompok tertentu, atau untuk menentukan ada tidaknya

hubungan antara suatu gejala dengan gejala lain dalam

masyarakat (Amirudin dan Z. Asikin. 2004 : 25). Dalam

penelitian ini penulis menggambarkan suatu perbandingan

tentang pengaturan pemberian perlindungan saksi dalam

tindak pidana pencucian uang di Negara Indonesia dan

Malaysia.

3. Pendekatan Penelitian

Dalam menjelaskan penelitian ini penulis menggunakan

pendekatan normatif/ juridis tentang pengaturan pemberian

perlindungan saksi dalam tindak pidana pencucian uang di

Negara Indonesia dan Malaysia.

4. Jenis Data

Jenis data yang dipergunakan dalam penelitian ini berupa data

sekunder, yaitu data atau informasi hasil penelaahan dokumen penelitian

serupa yang pemah dilakukan sebelumnya, bahan kepustakaan seperti

buku-buku, literatur, koran, majalah, jurnal maupun arsip-arsip yang

sesuai dengan penelitian yang akan dibahas.

Data sekunder dalam penelitian ini meliputi :

a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan yang mengikat,

terdiri dari :

1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

Page 25: Studi perbandingan tentang pengaturan pemberian perlindungan

xxv

2) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana

Pencucian Uang.

3) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2003

tentang Tata Cara Perlindungan Khusus Bagi Pelapor dan Saksi

Tindak Pidana Pencucian Uang.

4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan

Saksi dan Korban.

5) Anti Money Laundering Act 613, 2001. (Malaysia)

b. Bahan Hukum Sekunder, yang memberikan penjelasan

mengenai bahan hukum primer, seperti

1) Hasil karya ilmiah para sarjana yang relevan/terkait

dalam penelitian ini

2) Hasil-hasil penelitian yang relevan/terkait dalam

penelitian ini.

c. Bahan Hukum Tersier atau penunjang, yaitu bahan yang

memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan

hukum primer dan bahan hukum sekunder, diantaranya :

(Soerjono Soekanto, 2001: 13).

1) Bahan dari media internet yang relevan dengan

penelitian ini;

2) Kamus Hukum (Black’s Law Dictionary).

5. Sumber Data

Sumber data merupakan tempat di mana dan ke mana data dari suatu

penelitian dapar diperoleh. Dalam penelitian ini, sumber data yang

digunakan adalah sumber data sekunder berupa dokumen publik atau

catatan-catatan resmi, yaitu dokumen peraturan perundang-undangan serta

peraturan pelaksanaan yang memuat tentang pengaturan pemberian

Page 26: Studi perbandingan tentang pengaturan pemberian perlindungan

xxvi

perlindungan saksi pada umumnya dan khususnya dalam Tindak Pidana

Pencucian Uang. Selain sumber data yang berupa undang-undang negara

maupun peraturan pemerintah, data juga diperoleh dari makalah-makalah,

buku-buku referensi dan artikel media massa yang mengulas tentang

pengaturan pemberian perlindungan saksi dalam Tindak Pidana Pencucian

Uang di Indonesia dan Malaysia.

6. Teknik Pengumpulan Data

Sehubungan dengan jenis penelitian yang merupakan penelitian

nonnatif maka untuk memperoleh data yang mendukung, kegiatan

pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan cara pengumpulan

(dokumentasi) data-data sekunder. Teknik pengumpulan data dilakukan

dengan studi kepustakaan untuk mengumpulkan dan menyusun data yang

berhubungan dengan masalah yang diteliti.

7. Teknik Analisis Data

Analisis data merupakan langkah selanjutnya untuk mengolah hasil penelitian menjadi suatu laporan. Analisis data adalah proses pengorganisasian dan pengurutan data dalam pola, kategori dan uraian dasar, sehingga akan dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data (Lexy J. Moleong, 1993 : 103).

Teknik analis data dalam penelitian ini menggunakan analisis isi (content analysis). Menurut Krippendorf, analisis isi yaitu serangkaian metode untuk menganalisa isi segala bentuk komunikasi dengan mereduksi seluruh isi komunikasi menjadi serangkaian kategori yang mewakili hal-hal yang ingin diteliti. Mengenai kegiatan analisis isi dalam penelitian ini adalah mengklasifikasi pasal-pasal dokumen sampel ke dalam kategori yang tepat. Setelah analisis data selesai, maka hasilnya akan disajikan secara deskriptif yaitu dengan jalan menuturkan dan menggambarkan apa adanya sesuai dengan permasalahan yang diteliti dan data yang diperoleh.

F. Sistematika Penulisan Hukum

Page 27: Studi perbandingan tentang pengaturan pemberian perlindungan

xxvii

Untuk memberi gambaran secara menyeluruh mengenai sistematika penulisan hukum yang sesuai dengan aturan baru dalam penulisan hukum maka penulis menggunakan sistematika penulisan hukum. Adapun sistematika penulisan hukum ini terdiri dari empat bab yang tiap-tiap bab terbagi dalam sub-sub bagian yang dimaksudkan untuk memudahkan pemahaman terhadap keseluruhan hasil penelitian ini. Sistematika penulisan hukum tersebut adalah sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN

Dalam bab ini diuraikan mengenai latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metodologi penelitian dan sistematika penulisan hukum.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Dalam bab ini berisi tentang tinjauan umum tentang perbandingan hukum yang mencakup istilah dan definisi perbandinagn hukum serta karakteristik sistem “Common Law” dan sistem “Civil Law”, perlindungan saksi yang mencakup perlindungan saksi dan lembaganya, serta tindak pidana pencucian uang (money laundering).

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Dalam bab ini penulis akan membahas dan menjawab permasalahan yang telah ditentukan sebelumnya yaitu bagaimana perbandingan pengaturan pemberian perlindungan saksi dalam Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang di Negara Indonesia dan Malaysia dan bagaimanakah proyeksi ke depan pengaturan pemberian perlindungan saksi dalam perundang-undangan di Indonesia dari hasil yang di dapat dalam perbandingan tersebut.

BAB IV PENUTUP

Dalam bab ini berisi kesimpulan dari jawaban permasalahan yang menjadi obyek penelitian dan saran-saran

DAFTAR PUSTAKA

Page 28: Studi perbandingan tentang pengaturan pemberian perlindungan

xxviii

LAMPIRAN

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

B. Kerangka Teori

1. Tinjauan Umum Tentang Perbandingan Hukum

a). Istilah dan Definisi Perbandingan Hukum

Istilah perbandingan hukum, dalam bahasa asing, diterjemahkan: comparative law (bahasa Inggris), vergleihende rechstlehre (bahasa Belanda), droit comparé (bahasa Perancis). Istilah ini, dalam pendidikan tinggi hukum di Amerika Serikat, sering diterjemahkan lain, yaitu sebagai conflict law atau dialihbahasakan, menjadi hukum perselisihan, yang artinya menjadi lain bagi pendidikan hukum di Indonesia. (Romli Atmasasmita, 2000 : 6)

Istilah yang dipergunakan dalam penulisan hukum ini, adalah perbandingan hukum (pidana). Istilah ini sudah memasyarakat di kalangan teoritikus hukum di Indonesia, dan tampaknya sudah sejalan dengan istilah yang telah dipergunakan untuk hal yang sama di bidang hukum perdata, yaitu perbandingan hukum perdata. Untuk memperoleh bahan yang lebih lengkap, maka perlu dikemukakan definisi perbandingan hukum dari beberapa pakar hukum terkenal.

Rudolf B. Schlesinger dalam Romli Atmasasmita mengatakan bahwa, perbandingan hukum merupakan metode penyelidikan dengan tujuan untuk memperoleh pengetahuan yang lebih dalam tentang bahan hukum tertentu. Perbandingan hukum bukanlah perangkat peraturan dan asas-asas hukum dan bukan suatu cabang hukum,

Page 29: Studi perbandingan tentang pengaturan pemberian perlindungan

xxix

melainkan merupakan teknik untuk menghadapi unsur hukum asing dari suatu masalah hukum. (Romli Atmasasmita, 2000 : 7)

Gutteridge dalam Romli Atmasasmita menyatakan bahwa

perbandingan hukum adalah suatu metode yaitu metode perbandingan yang dapat digunakan dalam semua cabang hukum. Gutteridge membedakan antara comparative law dan foreign law (hukum asing), pengertian istilah yang pertama untuk membandingkan dua sistem hukum atau lebih, sedangkan pengertian istilah yang kedua, adalah mempelajari hukum asing tanpa secara nyata membandingkannya dengan sistem hukum yang lain. (Winterton, dalam The Am.J.of Comp. L., 1975 : 72 di terjemahkan dalam buku Romli Atmasasmita, 2000 : 7)

Lemaire dalam Romli Atmasasmita mengemukakan, perbandingan hukum sebagai cabang ilmu pengetahuan (yang juga mempergunakan metode perbandingan) mempunyai lingkup : (isi dari) kaidah-kaidah hukum, persamaan dan perbedaannya, sebab-sebabnya dan dasar-dasar kemasyarakatannya. (Romli Atmasasmita, 2000 : 9)

Orucu dalam Romli Atmasasmita mengemukakan suatu definisi perbandingan hukum sebagai berikut :

Comparative law is legal discipline aiming at ascertaining similarities and differences and finding out relationship between various legal sistems, their essence and style, looking at comparable legal institutions and concepts and typing to determine solutions to certain problems in these sistems with a definite goal in mind, such as law reform, unification etc. (Perbandingan hukum merupakan suatu disiplin ilmu hukum yang bertujuan menemukan persamaan dan perbedaan serta menemukan pula hubungan-hubungan erat antara berbagai system-sistem hukum; melihat perbandingan lembaga-lembaga hukum konsep-konsep serta mencoba menentukan suatu penyelesaian atas masalah-masalah tertentu dalam sistem-sistem hukum dimaksud dengan tujuan seperti pembaharuan hukum, unifikasi hukum dan lain-lain). (Romli Atmasasmita, 2000 : 10)

Romli Atmasasmita yang berpendapat perbandingan hukum adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari secara sistematis

Page 30: Studi perbandingan tentang pengaturan pemberian perlindungan

xxx

hukum (pidana) dari dua atau lebih sistem hukum dengan mempergunakan metode perbandingan. (Romli Atmasasmita, 2000 : 12)

b). Karakteristik Sistem “Common Law” (anglo saxon)

dan sistem “Civil Law”(Eropa kontinental) Di sini

penulis mengambil contoh Negara Inggris dan

Belanda, dikarenakan Inggris merupakan penganut

sistem Common Law yang murni, sendangkan

Belanda merupakan negara yang menurunkan sistem

hukum civil law yang digunakan di Indonesia.

(1) Karakteristik sistem hukum Inggris pada umumnya,

khususnya dalam hukum pidana dan acara pidana.

Pertama. Sistem hukum Inggris (Common Law Sistem) bersumber pada :

(a) Custom, merupakan sumber hukum yang tertua di

inggris. Pada abad ke 14 Custom melahirkan “common

law” dan kemudian digantikan dengan precedent.

(b) Legislation; berarti undang-undang yang dibentuk

melalui parleman dan disebut statutes.

(c) Case-law, sebagai salah satu sumber hukum Inggris

mempunyai karakteristik yang utama. Seluruh hukum

kebiasaan yang berkembang dalam masyarakat tidak

melalui Parlemen, akan tetapi dilakukan oleh para

hakim, sehingga dikenal dengan istilah ”Judge-made

law”. Setiap putusan hakim di inggris merupakan

precedent bagi hakim yang akan datang, sehingga

lahirlah doktrin Precedent sampai sekarang.

Page 31: Studi perbandingan tentang pengaturan pemberian perlindungan

xxxi

Kedua. Sebagai konsekwensi dipergunakannya case-law dengan doktrin precedent yang merupakan ciri utama maka sistem hukum Inggris tidak sepenuhnya menganut asas legalitas.

Ketiga. Bertitik tolak dari doktrin precedent tersebut, maka kekuasaan hakim di dalam sistem hukum Common Law sangat luas dalam memberikan penafsiran terhadap suatu ketentuan yang tercantum dalam undang-undang. Bahkan hakim di Inggris diperbolehkan tidak sepenuhnya bertumpu pada ketentuan suatu undang-undang jika diyakini olehnya bahwa ketentuan tersebut tidak dapat diterapkan dalam kasus pidana yang sedang dihadapinya. Dalam hal demikian hakim dapat menjatuhkan putusannya sesuai dengan kebiasaan-kebiasaan atau melaksanakan asas precedent sepenuhnya. Dilihat dari segi kekuasaan hakim Inggris yang sangat luas dalam memberikan penafsiran tersebut, sehingga dapat membentuk hukum baru, maka nampaknya sistem hukum Common Law kurang memperhatikan kepastian hukum.

Keempat. Ajaran Kesalahan dalam sistem hukum Common Law (Inggris) dikenal melalui doktrin Mens-Rea yang dilandaskan pada maxim: “Actus non est reus nisi mens sit rea”, yang berarti: “suatu perbutan tidak mengakibatkan seseorang bersalah kecuali jika pikiran orang itu jahat”. Ajaran Mens-Rea ini dalam sistem hukum Inggris dirumuskan berbeda-beda tergantung dari kwalifikasi delik yang dilakukan seseorang. Pada sistem hukum Common Law, doktrin Mens-Rea secara klasik diartikan setiap perkara pelanggaran hukum yang dilakukan adalah disebabkan karena pada diri orang itu sudah melekat sikap batin yang jahat (evil will), dan karenanya perbuatan tersebut dianggap merupakan dosa. Lord Denning, seorang hakim terkemuka di Inggris memberikan komentar atas doktrin Mens-Rea, dengan mengatakan: “In order that an act should be punishable it must be morally blame-worthy”. Sedangkan Jerome Hall, mengatakan bahwa Means-Rea adalah “a voluntary doing of morally wrong act forbidden by penal law”.(Roeslan Saleh,1982:23 sebagaimana telah dikutip oleh Romli Atmasasmita, 2000: 37)

Page 32: Studi perbandingan tentang pengaturan pemberian perlindungan

xxxii

Kelima. Dalam sistem Common Law (Inggris) pertanggungjawaban pidana tergantung dari ada atau tidaknya: a) actus-reus dan b) mens-rea. Namun demikian unsur “mens-rea” ini adalah merupakan unsur yang mutlak dalam pertanggungjawaban pidana dan harus ada terlebih dulu pada perbuatan tersebut sebelum dilakukan penuntutan (Roeslan Saleh,1982:28).

Keenam. Sistem hukum Inggris dan negara-negara yang menganut sistem Common Law tidak mengenal perbedaan antara Kejahatan dan Pelanggaran. Sistem Common Law membedakan tindak pidana (secara klasik) dalam: Kejahatan berat atau “felonies”, kejahatan ringan atau “misdemeanors” dan kejahatan terhadap negara atau “treason”. Setelah dikeluarkannya “Criminal Law Act” (1967) pembedaan sebagai berikut:

(a) Indictable Offences, adalah kejahatan-kejahatan berat

yang hanya dapat diadili dengan sistem Juri melalui

pengadilan yang disebut Crown Court.

(b) Summary Offences, adalah kejahatan-kejahatan kurang

berat yang hanya dapat diadili oleh suatu pengadilan

(magistrate court) tanpa dengan sistem Juri.

(c) Arrestable Offence, adalah kejahatan-kejahatan yang

diancam dengan hukuman di bawah 5 (lima) tahun

kepada seorang pelaku kejahatan yang belum pernah

melakukan kejahatan. Penangkapan terhadap pelaku

tersebut dilakukan tanpa surat perintah penangkapan.

Ketujuh. Sistem hukum acara pidana yang berlaku di negara-negara Common Law pada prinsipnya menganut “sistem Accusatoir” atau yang secara populer dikenal dengan sebutan “Advesary Sistem”. Sistem accusatoir atau Adversary sistem menempatkan tersangka dalam proses pemeriksaan pendahuluan dan pemeriksaan di muka sidang-sidang

Page 33: Studi perbandingan tentang pengaturan pemberian perlindungan

xxxiii

pengadilan sebagai subjek hukum yang memiliki hak (asasi) dan kepentingan yang harus dilindungi.

Kedelapan. Sistem pemidanaan yang berlaku pada umumnya negara-negara yang menganut sistem Common Law adalah bersifat kumulatif. Sistem pemidanaan tersebut memungkinkan seseorang dituntut dan dijatuhi pidana karena melakukan lebih dari satu tindak pidana. Jika kesemua tuntutan tersebut terbukti di muka sidang pengadilan maka pelaku tindak pidana tersebut dijatuhi sekaligus semua ancaman hukuman yang dikenakan kepadanya.

(2) Karakteristik Sistem Hukum Belanda pada umumnya,

khususnya dalam hukum pidana dan acara pidana

Pertama. Sistem hukum Belanda (Civil Law Sistem) bersumber pada :

(a) Undang-Undang Dasar;

(b) Undang-undang;

(c) Kebiasaan case-law;

(d) Doktrin

Peraturan perundang-undangan yang mengatur hukum pidana umum adalah sebagai berikut :

(a) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Penal Code atau

Wetboek van Strafrecht).

(b) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Code of

Crime Procedure atau Wetboek van Strafvordering).

(c) Undang-Undang tentang Susunan, organisasi, kekuasaan

dan tugas-tugas Pengadilan dan Sistem Penuntutan

(Judicial Act atau Wet op de Rechterlijke Organisatie).

Kedua. Dari sistem hukum Belanda (Civil Law Sistem) adalah dianutnya asas legalitas atau “the principles of legality”. Asas ini mengandung makna sebagi berikut:

Page 34: Studi perbandingan tentang pengaturan pemberian perlindungan

xxxiv

(a) Tiada suatu perbuatan merupakan suatu tindak pidana,

kecuali telah ditentukan dalam undang-undang terlebih

dahulu. Undang-undang dimaksud adalah hasil dari

perundingan Pemerintah Parlemen.

(b) Ketentuan undang-undang harus ditafsirkan secara

harfiah dan pengadilan tidak diperkenankan memberikan

suatu penafsiran analogis untuk menetapkan suatu

perbuatan sebagai tindak pidana.

(c) Ketentuan undang-undang tidak berlaku surut.

(d) Menetapkan bahwa hanya pidana yang tercantum secara

jelas dalam undang-undang yang boleh dijatuhkan.

Dalam praktik penyelesaian perkara pidana di negeri belanda prinsip legalitas dan penafsiran yang diperbolehkan dari prinsip tersebut diserahkan sepenuhnya kepada para pelaksana / praktisi hukum, seperti, jaksa dan hakim. Mengingat penafsiran yang bersifat kaku terhadap ketentuan undang-undang menurut asas legalitas ini, maka peranan putusan Mahkamah Agung menjadi lebih penting. (Romli Atmasasmita, 2000 : 48)

Ketiga. Dianutnya asas legalitas sebagaimana diuraikan dalam butir kedua diatas, sangat berpengaruh terhadap soal pertanggungjawaban pidana (criminal liability atau strafbaarheid). Syarat umum bagi adanya pertanggungjawaban pidana menurut hukum pidana Belanda adalah adanya gabungan antara perbuatan yang dilarang dan pelaku yang diancam dengan pidana. Perbuatan pelanggaran hukum dari pelaku harus memenuhi syarat sebagai berikut :

(a) Bahwa perbuatan tersebut (berbuat atau tidak berbuat)

dilakukan seseorang.

(b) Diatur dalam ketentuan undang-undang termasuk lingkup

definisi pelanggaran.

(c) Bersifat melawan hukum.

Page 35: Studi perbandingan tentang pengaturan pemberian perlindungan

xxxv

Ketiga syarat bagi adanya suatu pertanggungjawaban pidana tersebut di atas sesungguhnya merupakan suatu konstruksi gabungan dari syarat-syarat adanya sifat pertanggungjawaban pidana dan kekecualian-kekecualian dari pertanggungjawaban pidana. Dalam soal pertanggungjawaban pidana sistem hukum pidana Belanda (Civil Law) menganut asas kesalahan pada perbuatannya (dodex-strafrecht).

Keempat. Dianutnya asas legalitas dalam sistem hukum pidana Belanda mengakibatkan keterikatn hakim terhadap isi ketentuan undang-undang dalam menyelesaikan perkara pidana. Hakim tidak diperbolehkan memperluas penafsiran terhadap isi ketentuan undang-undang sedemikian rupa sehingga dapat membentuk delik-delik baru.

Kelima. Sistem hukum pidana belanda mengenal pembedaan antara Kejahatan (Misdrijven) dan Pelanggaran (Overtredingen). Pembedaan antara kejahatan dan pelanggaran tersebut semula didasarkan atas pertimbangan tentang adanya pengertian istilah “rechtedelict” dan ”wetdelict”; namun perbedaan tersebut tidak dianut lagi dalam doktrin. Perbedaan kejahatan dan pelanggaran dewasa ini didasarkan atas ancaman hukumannya; kejahatan memperoleh ancaman hukum yang lebih berat dari pelanggaran.

Keenam. Sistem peradilan yang dianut di semua negara yang berlandaskan “Civil Law Sistem” pada umumnya adalah sistem Inquisatoir. Sistem Inquisatoir menempatkan tersangka sebagai objek pemeriksaan baik pada tahap pemeriksaan pendahuluan maupun pada tahap pemeriksaan di muka sidang pengadilan.

Ketujuh. Sistem pemidanaan yang dianut pada umumnya di negara-negara yang berlandaskan civil Law Sistem adalah sistem pemidanaan Alternatif dan Alternatif-kumulatif, dengan batas minimum dan maksimum ancaman pidana yang diperkenankan menurut Undang-Undang.

Page 36: Studi perbandingan tentang pengaturan pemberian perlindungan

xxxvi

Sesungguhnya apabila kita telusuri karakteristik yang melekat pada kedua sistem hukum sebagaimana telah diuraikan di atas, pendekatan dari segi historis, khususnya mengenai perkembangan hukum pidana di Eropa Continental yang menganut sistem “Civil Law” lebih menonjol dan lebih menampakkan dirinya keluar dari batas wilayah yuridiksi sistem “Common Law”. Perkembangan penerapan sistem “Civil Law” di negara dunia ketiga pada awalnya dipaksakan jika dibandingkan dengan penerapan penggunaan sistem “Common Law” di negara-negara bekas jajahan-jajahannya. Sebagai contoh penggunaan dan pemakaian sistem hukum Belanda di Indonesia dan sestem hukum Inggris dan Malaysia atau Singapura. Satu-satunya karakteristik yang sama antara kedua sistem hukum (legal sistem) tersebut adalah bahwa keduanya menganut falsafah dan doktrin liberalisme. (Romli Atmasasmita, 2000 :50)

2. Tinjauan Umum Tentang Saksi

a. Pengertian Perlindungan Saksi

Selain dalam peraturan perundang-undangan

khusus, belum ada suatu aturan yang mengatur

terhadap perlindungan saksi. Ketentuan Pasal 50

sampai dengan Pasal 68 Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana hanya

mengatur perlindungan terhadap tersangka atau

terdakwa untuk mendapat perlindungan dari berbagai

kemungkinan pelanggaran hak asasi manusia.

Namun, sekarang dengan berdasar atas asas

kesamaan di depan hukum (equality before the law)

yang menjadi salah satu ciri negara hukum, saksi dan

korban dalam proses peradilan pidana harus diberi

jaminan perlindungan hukum, yang tertulis dalam

Undang Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang

Perlindungan Saksi dan Korban.

Page 37: Studi perbandingan tentang pengaturan pemberian perlindungan

xxxvii

Hingga saat ini pengaturan mengenai saksi

sebagai berikut:

1). KUHP (UU No.1 Tahun 1946)

Sebagai produk hukum yang mengatur

mengenai pidana materiil, di dalam KUHP tidak

banyak ditemui pengaturan mengenai

perlindungan terhadap saksi. Dalam hal ini hanya

terdapat dua pasal yang mengatur mengenai

kewajiban seorang saksi dalam proses

persidangan pidana, yaitu:

a). Pasal 234: Barang siapa yang dipanggil

menurut undang-undang akan menjadi saksi,

ahli atau juru bahasa, dengan sengaja tidak

memenuhi suatu kewajiban yang sepanjang

undang-undang harus dipenuhi dalma jabatan

tersebut, dihukum: 1.dalam perkara pidana

dengan hukuman penjara selama-lamanya

sembilan bulan. 2.dalam perkara lain, dengan

hukuman penjara selama-lamanya enam bulan.

b). Pasal 522: Barang siapa dengan melawan hak

tidak datang sesudah dipanggil menurut

undang-undang untuk menjadi saksi, ahli atau

juru bahasa, dihukum dengan denda paling

banyak enam puluh rupiah.

Dalam KUHP sama sekali tidak diatur hak-hak

yang dimiliki oleh seorang saksi, sedangkan di lain

sisi saksi tersebut dibebani kewajiban untuk

memberikan kesaksiannya terhadap suatu tindak

Page 38: Studi perbandingan tentang pengaturan pemberian perlindungan

xxxviii

pidana. Dengan kata lain, karena tidak diaturnya

hak-hak saksi dalam KUHP dan yang diatur justru

mengenai ketentuan-ketentuan yang mewajibkan

seorang saksi untuk memenuhi ketentuan

perundang-undangan, hal ini sebenarnya

melemahkan posisi saksi itu sendiri.

2). KUHAP (UU No.8 Tahun 1981)

a). Subyek yang Dilindungi

KUHAP tidak secara jelas mengatur

mengenai perlindungan saksi. Namun secara

implisit sebagi subyek yang dilindungi dalam

KUHAP adalah saksi, yang dalam hal ini

mencakup saksi biasa, saksi korban dan saksi

ahli. Yang dimaksud saksi menurut pasal 1

angka 26 KUHAP adalah “orang yang dapat

memberikan keterangan guna kepentingan

penyidikan, penuntutan dan peradialn tentang

suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia

lihat sendiri dan ia alami sendiri”.

b). Hak dan Alternatif Perlakuan Bagi Saksi

Secara implisit dapat kita temukan dalam

beberapa pasal KUHAP yang mengatur

bagaimana perlindungan hukum bagi saksi

diberikan, antara lain :

(1) Pasal 117 ayat (1) : Keterangan tersangka

dan atau saksi kepada penyiudik diberikan

Page 39: Studi perbandingan tentang pengaturan pemberian perlindungan

xxxix

tanpa tekanan dari siapapun, dan atau

dalam bentuk apapun.

(2) Pasal 118 : keterangan tersangka dan atau

saksi dicatat dalam berita acara ynag

ditandatangani oleh penyidik, oleh yang

memberikan keterangan itu setealh mereka

menyetujui.

(3) Pasal 166 : Pertanyaan yang bersifat

menjerat tidak boleh dianjurkan kepada

terdawa maupun kepada saksi.

(4) Pasal 173 : Hakim ketua sidang dapat

mendengar keterangna saksi mengenai hal

tertentu tanpa hadirnya terdakwa, untuk itu

ia minta terdakwa keluar dari sidang akan

tetapi sesudah itu pemeriksaaan perkara

tidak boleh diteruskan sebelum kepada

terdakwa diberitahukan semua hal pad

awaktu ia tidak hadir.

Penjelasan Pasal 173:

Apabila menurut pendapat hakim

seorang saksi itu akan merasa tertekan atau

tidak bebas dalam memberikan keterangan

apabila terdakwa hadir di sidang, maka

untuk menjaga hal nag tidak diinginkan

hakim dapat menyuruh terdakwa keluar

untuk sementara dari persidangan selama

hakim mengajukan pertanyaan kepada

saksi.

Page 40: Studi perbandingan tentang pengaturan pemberian perlindungan

xl

(5) Pasal 177 (1) : jika terdakwa atau saksi tidak

paham bahsa Indonesia, hakim ketua sidang

menunjuk seorang juru bahasa yang

bersumpah atau berjanji akan

menterjemahkan dengan benar semua yang

harus diterjemahkan

(6) Pasal 178 (1) : Jika terdakwa atau saksi bisu

atau tuli serta tidak dapat membaca dan

menulis, hakim ketua sidang mengangkat

penerjemah orang yang pandai bergaul

dengan terdakwa atau saksi itu.

(7) Pasal 178 (2) : Jika terdakwa atau saksi bisu

atau tuli tetapi dapat menulis, hakim ketua

sidang menyampaikan semua pertanyaan

atau teguran kepadanay secara tertulis dan

kepada terdakwa atau saksi tersebut

diperintahkan untuk menulis jawabannay

dan selanjutnya semua pertanyaan serta

jawaban harus dibacakan.

(8) Pasal 227 (1) : Semua jenis pemberitahuan

atua pangilan oleh pihak yang berwenang

dalam semua tingkat pemeriksaan kepada

terdakwa, saksi atau ahli disampaikan

selambat-lambatnya tiga hari sebelum

tanggal hadir yang ditentukan di tempat

tinggal mereka atau di tempat kediaman

mereka terakhir.

(9) Pasal 229 (1) : Saksi atau ahli ynag telah

hadir memenuhi panggilan dalam rangka

memberikan keterangan di semua tingkat

pemeriksaan berhak mendapat penggantian

Page 41: Studi perbandingan tentang pengaturan pemberian perlindungan

xli

biaya menurut aturan perundang-undangan

yang berlaku.

Adakalanya seorang saksi juga merupakan

korban dalam suatu tindak pidana, sehingga

selain hak-hak tersebut diatas, seorang saksi

juga berhak meminta ganti kerugian. Kapasitas

saksi dalam hal ini adalah sebagai saksi korban,

yaitu seorang korban dari suatu tindak pidana

yang juga melakukan kesaksian. Mengenai hal

ini diatur dalam pasal 98 ayat (1), yaitu: “Jika

suatu tindak pidana yang menjadi dasar

dakwaan di dalam suatu pemeriksaan perkara

pidana oleh pengadilan negeri menimbulkan

kerugian bagi orang lain maka hakim ketua

sidang atas permintaan orang itu dapat

menetapkan untuk menggabungkan perkara

gugatan kerugian kepada perkara pidana itu ”.

Dalam penjelasan pasal 98 tersebut

disebutkan bahwa “kerugian bagi orang lain”

termasuk kerugian bagi korban. Maka jika

seorang saksi juga sekaligus menjadi korban, di

dapat meminta ganti kerugian dengan cara

menggabungkan gugatan ganti kerugian

kepada perkara pidana yang bersangkutan.

Disamping Pasal 98 diatas, dapat juga dilihat

pada Pasal 81 KUHAP mengenai praperadilan,

yaitu: “Permintaan ganti kerugian dan atau

rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan

atau penahanan atau akibat sahnya

Page 42: Studi perbandingan tentang pengaturan pemberian perlindungan

xlii

penghentian penyidikan atau penuntutan

diajukan oleh tersangka atau pihak ketiga ynag

berkepentingan kepada Ketua Penngadilan

Negeri dengan menyebut alasannya”. Kapasitas

saksi disini juga merupakan saksi korban,

dalam hal ini seorang korban dapat merupakan

pihak ketiga yang mempunyai kepentingan jika

sebuah perkara dihentikan.

c). Kewajiban Saksi

Seorang saksi tidak hanya memiliki hak-hak

saja, namun juga terdapat beberapa kewajiban

seperti yang diatur dalam pasal 159 ayat (2),

161 dan 174 KUHAP sebagai berikut:

(1) Pasal 159 ayat (2): “Dalam hal saksi tidak

hadir, meskipun telah dipanggil dengan sah

dan hakim ketua sidang mempunyai cukup

alasan untuk menyangka bahwa saksi itu

tidak mau akan hadir, maka hakim ketua

sidang dapat memerintahkan supaya saksi

tersebut dihadapkan ke persidangan”.

(2) Pasal 161 ayat (1): “Dalam hal saksi atau ahli

tanpa alasan yang sah menolak untuk

bersumpah atua berjanji sebgaiman

adimaksud dalma pasal 160 ayat (3) dan (4),

maka pemeriksaan terhadapnya tetap

dilakukan, sedang ia dengan surat

penetapan hakim ketua sidang dapat

dikenakan sandera di tempat tahanan

negara paling lama empat belas hari”.

Page 43: Studi perbandingan tentang pengaturan pemberian perlindungan

xliii

(3) Pasal 174 ayat (2): “Apabila saksi tetap pada

keterangannya itu, hakim ketua sidang

karena jabatannya atau perminaan jaksa

penuntut umum atau terdakwa dapat

memberi perintah supaya saksi itu ditahan

untuk selanjutnya dituntut perkara dengan

dakwaan sumpah palsu”.

3). UU No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi

dan Korban.

Menurut ketentuan Pasal 1 Ketentuan Umum

Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang

Perlindungan Saksi dan Korban, perlindungan

adalah segala upaya pemenuhan hak dan

pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman

kepada Saksi dan/atau Korban yang wajib

dilaksanakan oleh Lembaga Perlindungan Saksi

dan Korban (LPSK) atau lembaga lainnya sesuai

dengan ketentuan Undang-Undang ini.

Perlindungan kepada Saksi dan Korban diberikan

dalam semua tahap proses peradilan pidana dalam

lingkungan peradilan, dari awal penyelidikan

sampai penyelidikan itu berakhir sesuai dengan

ketentuan sebagaimana diatur dalam undang-

undang ini.

Hak saksi diatur dalam ketentuan pasal 5 yaitu:

(1) memperoleh perlindungan atas keamanan

pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta

bebas dari ancaman yang berkenaan dengan

Page 44: Studi perbandingan tentang pengaturan pemberian perlindungan

xliv

kesaksian yang akan, sedang atau telah

diberikannya; yang diberikan dalam kasus-

kasus tertentu sesuai dengan keputusan

LPSK.

(2) ikut serta dalam proses memilih dan

menentukan bentuk perlindungan dan

dukungan keamanan;

(3) memberikan keterangan tanpa tekanan;

(4) mendapat penerjemah;

(5) bebas dari pertanyaan yang menjerat;

(6) mendapatkan informasi mengenai

perkembangan kasus;

(7) mendapatkan informasi mengenai putusan

pengadilan;

(8) mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan;

(9) mendapat identitas baru;

(10) mendapatkan tempat kediaman baru;

(11) memperoleh penggantian biaya transportasi

sesuai dengan kebutuhan;

(12) mendapat nasihat hukum; dan/atau

(13) memperoleh bantuan biaya hidup sementara

sampai batas waktu perlindungan berakhir.

b. Lembaga Perlindungan Saksi

Pengaturan mengenai Lembaga perlindungan

saksi telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 13

Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban,

yaitu pada ketentuan BAB III Pasal 11 s.d. Pasal 27.

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, yang

selanjutnya disingkat LPSK, adalah lembaga yang

Page 45: Studi perbandingan tentang pengaturan pemberian perlindungan

xlv

bertugas dan berwenang untuk memberikan

perlindungan dan hak-hak lain kepada Saksi dan/atau

Korban sebagaimana diatur dalam Undang-Undang

ini. Sampai sekarang pembentukan LPSK terlihat

sangatlah lambat dan baru mencapai tahap seleksi

calon anggota LPSK.

3. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang

a. Pengertian Pencucian Uang

Sebenarnya tidak ada definisi yang universal dan

komprehensif mengenai pencucian uang. Pihak

penuntut dan lembaga penyidik kejahatan, kalangan

perusahaan dan pengusaha, negara maju ataupun

berkembang, atau negara negara dunia ketiga

masing masing mempunyai definisi atau pengertian

tersendiri berdasarkan pemikiran, prioritas, dan

perspektif yang berbeda. Definisi untuk tujuan

penuntutan lebih sempit dibandingkan dengan definisi

untuk tujuan penyidikan. Dalam hal ini,

a). Welling dalam Sutan Remy Sjahdeini

mengemukakan bahwa,

Money laundering is the process by which one conceals the existence, illegal source, or illegal application of income, and than disguises that income to make it appear legitimate (Pencucian Uang adalah suatu proses di mana. seseorang menyembunyikan keberadaan dari sumber yang tidak sah, atau mengubah uang yang tidak sah tersebut dengan menjadikannya seolah-olah uang tersebut berasal dari pendapatan yang sah). (Sutan Remy Sjahdeini, 2004: 2)

Page 46: Studi perbandingan tentang pengaturan pemberian perlindungan

xlvi

b). Fraser dalam Sutan Remy Sjahdeini

mengemukakan bahwa,

Money Laundering is quite simply the process through which dirty money (proceed of crime), is washed through dean or legitimate sources and interprices so that the bad guys may more safety enjoy their ill'golten gains (Pencucian Uang adalah suatu proses di mana seseorang menyembunyikan atau menyimpan uang yang kotor (berasal dari kejahatan) kemudian dicuci menjadi bersih, atau dalam hal ini menjadikan atau merubah sumber yang tidak sah menjadi bersih atau sah, sehingga mereka bisa menikmati keuntungan yang mereka peroleh dari itu). (Sutan Remy Sjahdeini, 2004: 2)

c). Dalam Statement on prevention of criminals use of

the banking sistem for the purpose of money

laundering yang dikeluarkan oleh Bassle

Committee dalam Sutan Remy Sjahdeini, tidak

memberikan definisi akan tetapi menjelaskan

mengenai apa yang dimaksud dengan pencucian

uang dengan memberikan contoh perbuatan yang

tergolong pencucian uang. Dikemukakan dalam

statement Criminal and their associates use the

financial sistem to make payment and transfer of

funds from one account to another, to hide the

source and beneficial ownership of money and to

provide storage for bank notes through a safe

deposite facility. This activities are commenly

reffered to as money laundering (Para pelaku

kejahatan pencucian uang beserta kelompoknya

menggunakan sistem keuangan untuk

memindahkan atau melakukan transaksi uang dari

satu pihak kepada pihak lainnya, guna

menyembunvikan sumber ataupun kepemilikan

Page 47: Studi perbandingan tentang pengaturan pemberian perlindungan

xlvii

uang tersebut menggunakan fasilitas deposito,

aktivitas tersebutlah yang dinamakan sebagai

kegiatan pencucian uang). (Sutan Remy Sjahdeini,

2004: 4)

d). Departemen Kehakiman Kanada dalam Sutan

Remy Sjahdeini menyatakan

Money laundering is the conversion of transfer of property knowing that such property is derived from criminal activity for the purpose of concealing the illicit nature and origin of the property from govemment authorities (Pencucian Uang merupakan suatu kegiatan berupa upaya perpindahan ataupun perputaran uang atau harta di mana diketahui harta tersebut diperoleh dari tindak kejahatan, baik dengan cara merahasiakan sumber asal usul uang tersebut oleh pejabat negara). (Sutan Remy Sjahdeini, 2004: 4)

e). Sedangkan Konvensi Perserikatan Bangsa bangsa,

The United Nation Convention Against Illicit Trafic

in Narcotics, Drugs, and Psychotropic Substances

of 1988 yang kemudian diratifikasi di Indonesia

dengan UU No.7 Tahun 1997, mengartikan tindak

pidana pencucian uang sebagai The convention or

transfer of property, knowing that such property is

derived from any serious offence or offences, or

from act of perticipation in such offence or

offences, for the purpose of concealing or

disguising the illicit of the property or of assisting

any person who is involved in the commission of

such and offence or offences to evade the legal

consequences of his action, or the concealment or

disguise of the true neture, source, location,

Page 48: Studi perbandingan tentang pengaturan pemberian perlindungan

xlviii

disposition, movement, right with respect to or

ownership of property, knowing that such property

is derived from a serious (indictable) offence or

offences or from an act of participation in such an

offence or offences (Pencucian Uang adalah suatu

proses penyerahan maupun perpindahan harta

kekayaan, di mana diketahui bahwa harta

kekayaan tersebut didapatkan dari tindak

kejahatan atau dalam hal ini diperoleh dari

keikutsertaan dalam tindak kejahatan tersebut,

dengan tujuan untuk merahasiakan atau

menyembunyikan baik sumber ataupun

pihak pihak yang terlibat dari adanya konsekuensi

atas undang undang atas tindakannya itu, maupun

dengan cara penyamaran dari sumber aslinya,

asal usul, dengan penempatan, pergerakan yang

berkenaan dengan harta kekayaan tersebut,

dengan diketahui sebelumnya bahwa harta

kekayaan tersebut diperoleh dari tindak kejahatan,

maupun keikutsertaan dalam tindak kejahatan

tersebut).

f). Financial Action Task Force on Money Laundering

atau FATF yang dibentuk oleh G 7 Summit di Paris

tahun 1982 juga tidak memberikan definisi

mengenai pencucian uang, akan tetapi

memberikan uraian mengenai pencucian uang

sebagai : The goal of the large number of criminal

act is to generate ofprofilfor the individual or group

that carries out the act. Money Laundering is the

processing. of this criminals proceeds to disguise

Page 49: Studi perbandingan tentang pengaturan pemberian perlindungan

xlix

their illegal origin. This process is of critical

importance, as it enables that criminals to enjoy

this profits whitout the joepardissing their course.

Illegal arm sales, smugling, and the activities of

organized crime induding for example drug

traficking and prostitution rings can generate huge

sums. Embezlement, insider trading, bribery, and

computer fraud schems can also produce large

profits and create the intensive to legitimise the

ill'gotten through money laundering (Pencucian

Uang adalah suatu proses yang merupakan

perbuatan atau aktivitas menyembunyikan atau

merahasiakan, atau menyimpan hasil dari

sebagian besar tindak kejahatan, dengan

menyembunyikan sumber ataupun asal usul uang

kotor atau tidak sah, adanya perdagangan gelap,

penyelundupan, ataupun tindak kejahatan

terorganisasi lainnya seperti halnya penjualan dan

peredaran narkoba, jaringan prostitusi, sehingga

memang dapat menghasilkan sejumlah uang yang

sangat besar dari kegiatan tersebut).

g). Sutan Remy Sjahdeini mengemukakan bahwa,

When a criminals activity generate substancial profits, the individuals or groups involved must find away to control the fund whitout attracting attention to the underlaying activity or the persons involved Criminals do this by disguising the source, changing the form, or moving the funds to a place where they are les fikely to attract attention (Ketika aktivitas ataupun tindak kejahatan tersebut menghasilkan sebuah keuntungan, baik secara individu maupun kolektif terlibat ternyata keberadaannya tidak dapat terdeteksi. Tindak

Page 50: Studi perbandingan tentang pengaturan pemberian perlindungan

l

kejahatan pencucian uang dapat dilakukan dengan berbagai macam metode antara lain dengan menyembunyikan sumber, merubah format, maupun dengan cara memutar dana atau uang kotor tersebut dari suatu tempat ke tempat yang lain sehingga tidak dapat terdeteksi). (Sutan Remy Sjahdeini, 2004: 3)

h). Menurut Black’s Law Dictionary, Money

Laundering is term used to describe invesement or

other transfer of money flowing from racketeering,

drug transaction and other illegal sources into

legitimate channels so that its originals source can

not be traced (Pencucian Uang adalah istilah yang

digunakan dalam menjelaskan aktivitas, dalam hal

menguraikan atau memindahkan asal usul yang

tidak sah menjadi seolah olah sah, sehingga

sumber asalnya tidak dapat diusut ataupun

dideteksi).

i). Hal demikian berbeda dengan Undang undang

Pencucian Uang Malaysia atau Anti Money

Laundering Act of 2001, yang menyebutkan bahwa

money laundering means the act of a person who :

(1) engages, directly or indirectly, in a transaction that involves proceeds of any unlawful activity;

(2) acquires, receives, possesses, disguises, transfers, converts, exchanges, carries, disposes, uses, removes from or brings into Malaysia proceeds of any unlawful activity; or

(3) conceals, disguises or impedes the establishment of the true nature, origin, location, movement, disposition, title of, rights with respect to, or ownership of, proceeds of any unlawful activity;

Page 51: Studi perbandingan tentang pengaturan pemberian perlindungan

li

(Pencucian Uang adalah perbuatan seseorang yang :

(1) melakukan/terlibat (langsung/tidak) dalam suatu transaksi harta kekayaan yang berasal dari perbutan melawan hukum

(2) Memperoleh, menerima, memiliki, menyemnyikan, mentransfer, mengubah, menukar, membawa, menyimpan, menggunakan, memindahkan dari atau membawa ke Malaysia, harta kekayaan yang berasal dari perbuatan yang melawan hukum

(3) Menyembunyikan, menyamarkan atau merintangi penentuan asal usul, tempat, penyaluran, penempatan, hak-hak yang terkait dengan atau kepemilikan dari harta kekayaan yang berasal dari perbuatan yang melawan hukum).

j). Kemudian dalam Pasal 1 Undang Undang No. 25

Tahun 2003 tentang Perubahan Atas Undang

Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana

Pencucian Uang, definisi pencucian uang adalah

perbuatan menempatkan, mentransfer,

membayarkan, membelanjakan, menghibahkan,

menyumbangkan, menitipkan, membawa keluar

negeri, atau perbuatan lainnya atas harta

kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga

merupakan hasil tindak pidana dengan maksud

untuk menyembunyikan, mengaburkan, atau

menyamarkan asal usul harta kekayaan sehingga

seolah olah menjadi harta kekayaan yang sah.

k). Menurut Johnny Ibrahim,

money laundering adalah suatu proses untuk melegitimasi sejumlah uang yang diperoleh dari sumber-sumber yang tidak sah. Dengan kata lain adalah suatu proses perubahan uang tunai yang

Page 52: Studi perbandingan tentang pengaturan pemberian perlindungan

lii

diperoleh dari hasil kegiatan yang tidak sah menjadi suatu bentuk atau sarana yang dapat digunakan dalam perdagangan ketika asal usul dana tersebut tidak lagi diketahui. Agar asal-usulnya tidak mudah dilacak, uang hasil kejahatan tersebut dicuci antara lain melalui perbankan sehingga uang tersebut menjadi halal. (Johnny Ibrahim, 2005: 388)

Sehingga dari beberapa definisi tersebut di atas

bahwa yang dimaksud sebagai pencucian uang dapat

disimpulkan sebagai berikut:

Pencucian uang adalah rangkaian kegiatan yang merupakan proses yang dilakukan oleh seseorang atau organisasi terhadap uang yang berasal dari kegiatan dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul uang tersebut dari pemerintah atau otoritas yang berwenang melakukan penindakan terhadap tindak pidana dengan cara memasukkan uang tersebut kedalam sistem keuangan sehingga uang tersebut kemudian dapat dikeluarkan dari sistem keuangan itu sebagai uang yang halal.(N.H.T Siahaan, 2005: 6-7)

b. Tahap-tahap Tindak Pidana Pencucian Uang

Sebenamya tidak mudah untuk membuktikan

adanya suatu tindakan pencucian uang yang sangat

kompleks, namun para pakar telah berhasil

menggolongkan proses pencucian uang menjadi tiga

tahap, yaitu:

1) Placement, yakni dengan mengubah uang tunai hasil

kejahatan menjadi aset yang legal, dimana ini merupakan

suatu tahapan atau proses menempatkan uang hasil kejahatan

kedalam sistem keuangan. Dalam tahapan ini perbuatan yang

dilakukan berupa pergerakan fisik dari uang tunai dengan

Page 53: Studi perbandingan tentang pengaturan pemberian perlindungan

liii

maksud untuk mengaburkan atau memisahkan sejauh

mungkin uang hasil kejahatan dari sumber perolehannya.

2) Layering, yaitu suatu proses yang dilakukan para pelaku

kejahatan setelah uang hasil kejahatan itu masuk kedalam

sistem keuangan (bank) dengan cara melakukan transaksi

lebih lanjut dengan maksud untuk menutupi asal usul uang.

Proses ini juga dapat berupa penggunaan uang baik di dalam

negeri ataupun di negeri manapun di luar negeri melalui

electronic funds transfer.

3) Integration, yakni pelaku menggunakan uang hasil kejahatan

tersebut untuk kegiatan ekonomi yang sah karena merasa

aman bahwa kegiatan yang dilakukannya seolah tanpa

berhubungan dengan aktivitas ilegal sebelumnya.

C. Kerangka Pemikiran

Berdasarkan proposisi-proposisi yang disusun dalam kerangka teoritik tinjauan pustaka diatas, dalam hubungannya dengan masalah pokok yang dikaji dalam penelitian ini, dapat disusun bagan kerangka pikir sebagai

Page 54: Studi perbandingan tentang pengaturan pemberian perlindungan

liv

Gambar kerangka pemikiran

Tindak Pidana Pencucian Uang

(Money Laundering)

Upaya pencegahan

Pengaturan Perlindungan Saksi

Common Law (Malaysia)

Civil Law (Indonesia)

Kejahatan kerah putih

(white Collar Crime)

Kejahatan (crime)

Kemajuan Iptek

Pelaksanaan UU Tindak Pidana Pencucian Uang

Transnasional crimes

Anti Money Laundering Act 613, 2001

UU No. 13 Th. 2006 Perlindungan Saksi

dan Korban

UU No.15 Th. 2002 sebagaimana dirubah dengan UU No.25 Th.2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang

Page 55: Studi perbandingan tentang pengaturan pemberian perlindungan

lv

Perkembangan pesat berbagai bidang yaitu antara lain kemajuan teknologi, komunikasi, informatika, transportasi, membawa pengaruh terhadap perkembangan di berbagai sektor, serta salah satu yang turut berkembang pesat adalah kriminalitas hukum, namun perangkat hukum untuk mencegah dan memberantas kriminalitas itu sendiri belum memadai dan masih tertinggal jauh, sehingga berbagai jenis kejahatan dengan mudah terjadi dan menghasilkan harta kekayaan dalam jumlah besar. Kejahatan-kejahatan tersebut tidak hanya dilakukan dalam batas wilayah suatu negara, namun meluas melintasi batas wilayah negara lain sehingga sering disebut sebagai kejahatan transnasional (transnational crime), dalam kejahatan transnasional harta kekayaan hasil dari kejahatan biasanya oleh pelaku disembunyikan, kemudian dikeluarkan lagi seolah-olah dari hasil legal. Hal tersebut lebih dikenal dalam dunia internasional dengan istilah pencucian uang atau money laundering. Metode-metode pencucian uang yang dilakukan dengan memanfaatkan perkembangan teknologi termasuk tindak kejahatan kerah putih atau disebut White collar crime.

Bentuk kejahatan kerah putih telah dirasakan semakin canggih serta sangat terorganisasi dengan sangat rapi. Sebagai contoh dalam dunia ekonomi dan perbankan justru digunakan sebagai sebagai pelarian kejahatan yang dengan sengaja ditujukan untuk menghilangkan jejak ataupun asal-usul harta yang dilarikan dan seakan-akan didapat dari hasil yang legal, yang salah satunya dengan metode pencucian uang.

Mengingat pencucian uang juga merupakan kejahatan

transnasional yang modusnya banyak dilakukan melintasi

batas-batas negara (cross border), maka dampak yang

ditimbulkan dapat pula berakibat negatif pada stabilitas

sistem keuangan dan perekonomian dunia secara

keseluruhan. Di sisi lain, oleh karena pencucian uang

berkaitan dengan kejahatan asal (predicate crime) yang

dilakukan oleh organized crime, maka berkembang

pencucian uang ini akan sangat mempengaruhi tumbuh dan

berkembangnya berbagai tindak pidana pemicu pencucian

uang seperti korupsi, perdagangan gelap narkotika,

Page 56: Studi perbandingan tentang pengaturan pemberian perlindungan

lvi

penyelundupan, dan illegal logging serta upaya untuk

memeranginya.

Pentingnya implementasi Undang-Undang No. 15 Tahun

2002 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No. 25

Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang

bertujuan agar berbagai predicate crime yang merupakan

sumber uang haram yang dicuci dalam proses pencucian

uang ikut dapat diberantas atau dikurangi.

Pengkriminalisasian pencucian uang merupakan upaya

Indonesia untuk membangun rezim anti-pencucian uang

yang efektif. Adanya UU TPPU terjadi perubahan

paradigma, yaitu tidak lagi hanya mengejar pelaku

kriminalnya tetapi juga uang hasil kejahatan tersebut,

dengan demikian diharapkan dapat menurunkan tingkat

kriminalitas.

Di dalam Undang-Undang No.25 Tahun 2003 di Indonesia juga diatur mengenai perlindungan saksi khusus pada tindak pidana pencucian uang. Hal itu kemudian diatur lagi dalam aturan pelaksanaan, yaitu PP No. 57 Tahun 2003 tentang Tata Cara Perlindungan Khusus bagi Pelapor dan Saksi Tindak Pidana Pencucian Uang. Payung Hukum perlindungan saksi baru diatur dalam Undang Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Masalah perlindungan saksi dalam pemeriksaan perkara pidana mengenai kasus pencucian uang merupakan salah satu kunci agar pengungkapan kasus dapat berjalan sebaik-baiknya.

Untuk mengkaji masalah tersebut, diperlukan bahan

perbandingan yang cukup dari Undang-Undang Tindak

Pidana Pencucian Uang dan undang-undang terkait lainnya

dari negara yang berbeda sistem hukum dengan Indonesia,

yaitu negara yang menganut sistem “Common Law (Anglo

Saxon)” dalam penelitian ini penulis menggunakan Negara

Malaysia sebagai perbandingan.

Page 57: Studi perbandingan tentang pengaturan pemberian perlindungan

lvii

BAB III

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Perbandingan Tentang Pengaturan Pemberian Perlindungan Saksi

dalam Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang di Negara

Indonesia dan Malaysia

Telah sangat dikenal bahwa pencucian uang (money laundering) yang

merupakan white collar crime adalah perbuatan memindahkan, menggunakan

atu melakukan perbuatan lainnya atas hasil dari suatu tindak pidana yang

kerap dilakukan oleh organized crime, maupun individu yang melakukan

tindakan korupsi, perdagangan narkotika, dan tindak pidana lainnya dengan

tujuan menyembunyikan atau mengaburkan asal-usul uang yang berasal dari

tindak pidana tersebut, sehingga dapat digunakan seolah-olah sebagai uang

yang sah tanpa terdeteksi bahwa aset tersebut berasal dari kejahatan yang

ilegal. Adapun yang melatarbelakangi para pelaku pencucian uang melakukan

aksinya adalah dengan maksud memindahkan atau menjauhkan para pelaku

itu dari kejahatan yang menghasilkan proceeds of crime dari kejahatan ynag

dilakukan, menikmati hasil kejahatan tanpa adanya kecurigaan kepada

pelakunya, serta melakukan reinvestasi hasil kejahatan untuk aksi kejahatan

selanjutnya atau ke dalam bisnis yang sah.

Dampak yang ditimbulkan oleh money laundering dapat mengganggu

sistem keuangan serta berdampak negatif terhadap sistem perekonomian

suatu negara. Pada akhirnya pencucian uang akan berdampak luas pada

sistem sosial bahkan dapat mengganggu stabilitas suatu negara. Mengingat

money laundering juga merupakan kejahatan transnasional (transnational

crime) yang modusnya banyak dilakukan melintasi batas-batas negara (cross

border), maka dampak yang ditimbulkan dapat pula berakibat negatif pada

stabilitas sistem keuangan dan perekonomian dunia secara keseluruhan. Di

sisi lain, oleh karena pencucian uang berkaitan dengan kejahatan asal

Page 58: Studi perbandingan tentang pengaturan pemberian perlindungan

lviii

(predicate crime) yang dilakukan oleh organized crime, maka berkembang

pencucian uang ini akan sangat mempengaruhi tumbuh dan berkembangnya

berbagai tindak pidana pemicu money laundering seperti korupsi,

perdagangan gelap narkotika, penyelundupan, dan illegal logging serta upaya

untuk memeranginya.

Money laundering merupakan sarana bagi pelaku kejahatan untuk

melegalkan uang hasil kejahatan dalam rangka menghilangkan jejak. Selain

itu jumlah uang yang dicuci sangatlah besar, yang artinya hasil kejahatan

tersebut telah mempengaruhi neraca keuangan nasional maupun global dan

menimbulkan kerugian yang sangat besar. Bahaya selanjutnya dari money

laundering membuat para pelaku kejahatan terutama organized crime

mengembangkan jaringan dengan uang yang telah dicuci tersebut. Selain itu

membuat para pelaku kejahatan seperti korupsi, narkotika, kejahatan

perbankan mudah untuk menggunakannya dan dengan demikian kejahatan-

kejahatan tersbut akan semakin marak. Pada akhirnya bahaya dan kerugian

secara nasional maupun internasional akan semakin meningkat manakala para

pelaku menggunakan cara-cara yang sangat canggih dengan memanfaatkan

sarana perbankan yang juga menggunakan teknologi tinggi.

Dalam proses pemeriksaan perkara pidana mengenai kasus pencucian uang (money laundering), saksi adalah salah satu kunci untuk peroleh kebenaran materiil, yang merupakan kebenaran yang benar-benar terjadi. Dalam Pasal 184 s.d. 185 KUHAP secara tegas menggambarkan hal tersebut. Pasal 185 ayat (2) menyatakan, “Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya”. Sedangkan pada Pasal 185 ayat (3) berbunyi “ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku apabila disertai alat bukti yang sah lainnya.” Hal ini dapat diartikan bahwa keterangan dari satu orang saksi saja tanpa disertai alat bukti yang lain, belum cukup untuk dapat membuktikan apakah seseorang terdakwa bersalah atau tidak.

Bahwa salah satu alat bukti yang sah dalam proses peradilan pidana adalah keterangan saksi yang mendengar, melihat, atau mengalami sendiri terjadinya suatu tindak pidana dalam upaya mencari dan menemukan kejelasan tentang

Page 59: Studi perbandingan tentang pengaturan pemberian perlindungan

lix

tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana. Secara teori, Pasal 184 s.d. 185 KUHAP secara tegas mengambarkan hal tersebut. Pasal 184 menempatkan keterangan saksi di urutan pertama di atas alat bukti lain berupa keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Dapat dikatakan bahwa keberhasilan suatu proses peradilan pidana sangatlah tergantung pada alat bukti yang berhasil dimunculkan dalam pengadilan, yang terutama berkenaan dengan saksi. Dari kasus yang banyak terlihat, tidak sedikit kasus yang kandas di tengah jalan oleh karena ketiadaan saksi untuk menopang tugas jaksa. Dengan demikian keberadaan saksi merupakan suatu elemen ynag sangat menentukan dalam sutu proses peradilan pidana. Namun demikian ternyata peran saksi dalam proses peradilan pidana masih jauh dari perhatian masyarakat dan penegak hukum. Sudah cukup sering media massa memberitahukan adanya kasus-kasus yang tidak terungkap dan juga tidak terselesaikan, oleh karena keengganan saksi untuk memberikan informasi kepada pihak yang berwenang. Bahkan sampai saat ini posisi saksi (termasuk saksi korban) dalam proses peradilan di Indonesia hanyalah dipandang sebagai alat yang dapat memperkuat posisi jaksa dalam persidangan. Mereka hanya digunakan untuk melegitimasi keputusan hakim dari keseluruhan rangkaian proses beracara di persidangan. Saksi belum dilihat sebagia manusia yang memerlukan perlindungan, akan tetapi justru dieksploitasi untuk mendukung suatu keputusan yang dikatakan “adil”.

Mencermati kondisi yang tampak belum berkesuaian diatas, kita sebenarnya sudah dapat menangkap suatu alur pikir bahwa untuk menciptakan suatu kesaksian yang berkualitas hanya akan dapat diperoleh jika ancaman-ancaman baik yang bersifat fisik maupun psikis terhadap saksi (saksi pelapor, saksi biasa, saksi ahli), kerugian-kerugian materiil dan berbagai masalah lain yang menjadi kendala, dapat dihilangkan. Salah satu cara yang dapat diberlakukan adalah dengan memberikan perlindungan kepada saksi (Bambang Santoso, 2003), khususnya dalam hal ini adalah saksi yang berkaitan dengan perkara money laundering. Di Indonesia akhir-akhir ini memang telah dibuat payung hukum yang memberikan perlindungan kepada seorang saksi dan korban, yaitu dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Namun sebelum Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 disyahkan, berkaitan dengan adanya perlindungan saksi khususnya dalam tindak pidana pencucian uang telah diatur terlebih dahulu dalam Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Pengaturan selanjutnya diatur pada Peraturan Pemerintah No. 57 Tahun 2003 tentang Tata Cara Perlindungan Khusus bagi Pelapor dan Saksi Tindak Pidana

Page 60: Studi perbandingan tentang pengaturan pemberian perlindungan

lx

Pencucian Uang. Di dalam penanganan beberapa kasus yang telah berjalan, peraturan pemerintah ini telah dijalankan oleh instansi terkait, yakni dengan merahasiakan identitas pelapor dengan membuat berita acara penyamaran sehingga jati diri pelapor tidak diketahui oleh pihak yang dilaporkan atau kuasa hukumnya.

Berdasarkan apa yang telah diuraikan di atas jelaslah bahwa masalah perlindungan saksi dalam pemeriksaan perkara pidana mengenai kasus pencucian uang (money laundering) merupakan salah satu kunci agar pengungkapan kasus dapat berjalan sebaik-baiknya. Anggapan yang salah mengenai saksi sudah selayaknya diakhiri, dan guna memperoleh suatu gambaran yang menyeluruh mengenai perlindungan saksi dalam pencucian uang, langkah praktis yang dapat ditempuh adalah belajar dari negara-negara lain. Dalam subbab ini akan dibahas mengenai perbandingan hal-hal pokok yang menjadi isi ketentuan pemberian perlindungan hukum bagi saksi dalam undang-undang pencucian uang di Indonesia dan di negara yang berbeda sistem hukum dengan Indonesia, yaitu negara yang menganut sistem “Common Law (Anglo Saxon)” yang dalam penelitian ini mengambil perbandingan dengan Negara Malaysia. Berikut ini akan dibahas mengenai perbandingan pengaturan pemberian perlindungan saksi dalam peraturan perundangan pencucian uang di Indonesia dan Malaysia.

1. INDONESIA

Perkembangan masalah pencucian uang (money laundering) saat ini

dirasa telah begitu cepatnya, apalagi jika dikaitkan dengan besarnya dana

yang ditransaksikan. Praktek money laundering dari hasil kejahatan

diusahakan untuk diproses melalui kegiatan bisnis normal sehingga akan

dapat memasuki (diterima) oleh pasar yang sah, sistem dan/atau aktivitas

perkonomian yang wajar.

Money laundering dianggap dapat memberikan dampak negatif bagi

sebagian besar masyarakat di belahan bumi ini. Perang terhadap praktek

money laundering merupakan suatu agenda utama para petinggi dan

pembuat kebijakan: berbagai organisasi internasional menempatkan

masalah money laundering sebagai agenda yang perlu mendapat prioritas

utama penanganannya, agenda pembangunan perangkat hukum dan upaya

Page 61: Studi perbandingan tentang pengaturan pemberian perlindungan

lxi

lain dalam pencegahan dan penjatuhan hukuman kepada pelaku money

laundering terus diupayakan baik secara nasional, regional dan

internasional. Pada dekade terakhir ini langkah-langkah pemberantasan

praktek money laundering mengalami kemajuan yang cukup signifikan,

namun demikian money laundering merupakan “sasaran yang terus

bergerak”; para pelaku mengembangkan teknik-teknik baru, seperti cyber

laundering, pengembangan penggunaan jalur pencucian melalui non-

lembaga keuangan, memasuki segmen-segmen baru seperti bisnis real

estate, bursa saham dan barang-barang seni bernilai tinggi.

Masalah money laundering sepertinya belum menjadi masalah yang

dianggap serius di Indonesia. Bisa jadi ada kepentingan-kepentingan

pihak tertentu yang berusaha agar masalah ini tetap berada dibawah

permukaan sehingga walaupun sering terjadi dan mungkin sudah sampai

tahap sangat serius tetap tidak terungkap dan tetap dapat berjalan wajar.

Di Indonesia money laundering sendiri memang relatif baru, walaupun isu

ini sudah bergulir lama di dunia internasional.

Indonesia baru mengkriminalisasikan money laundering ketika di

masukkan ke dalam daftar negara non-cooperatif dengan pencucian uang

(NCCTc) oleh FATF pada 2001. Dari beberapa kelemahan yang dinilai

FATF pada Indonesia sebagai negara yang tidak mau bekerjasama dalam

upaya global memerangi kejahatan money laundering, persoalan

ketiadaan peraturan perundang-undangan yang mengkriminalisasi

pencucian uang merupakan kelemahan yang paling mendasar, karena

dengan demikian perbuatan menyembunyikan atau mengaburkan hasil

kejahatan masih dianggap sebagai perbuatan yang sah menurut sistem

hukum Indonesia. Sebenarnya pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun

1997, Indonesia telah meratifikasi United Nations Convention Against

Illicit Traffic in Narcotic drugs and Psychotropic Subtances 1988 pada

tahun 1997. Konvensi yang dikenal sebagai Konvensi Wina tahun 1988

itu secara tegas meyatakan bahwa hasil kejahatan perdagangan gelap

Page 62: Studi perbandingan tentang pengaturan pemberian perlindungan

lxii

narkotika sebagai money laundering dan memerintahkan setiap negra

untuk meratifikasi konvensi ini sekaligus menetapkan langkah-langkah

pencegahan dan pemberantasannya.

Namun sebenarnya, wacana penyusunan peraturan perundang-

undangan yang mengatur masalah money laundering sesungguhnya telah

lama ada sejak disusunnya rancangan KUHP. Rancangan KUHP yang

pembahasannya terkatung-katung sejak lebih dari lima belas tahun lalu,

dalam Pasal 610 dan 611 pada RUU KUHP yang pertama kali diajukan

oleh pemerintah tahun 1991, telah mengakomodir masalah money

laundering ini dengan memuat unsur-unsur tindak pidana pencucian uang

(money laundering). Rancangan KUHP Pasal 610 berbunyi sebagai

berikut: Barangsiapa menyimpan uang di bank atau di tempat lain,

mentransfer, menitipkan, memindahkan, menginvestasikan, membayar

uang atau kertas bernilai uang, yang diketahuinya atau sepatutnya harus

diduganya, diperoleh dari perdagangan narkotika yang tidak sah atau

tindak pidana ekonomi atau tindak pidana korupsi, diancam dengan

pidana penjara paling lama lima belas tahun dan denda paling banyak

kategori V. Selanjutnya Pasal 611 RUU KUHP berbunyi: Barangsiapa

menerima untuk disimpan atau sebagia titipan, menerima transfer,

menerima hibah modal investasi, menerima sebagai pembayaran uang

atau kertas bernilai uang yang diketahuinya atau sepatutnya harus

diduganya diperoleh dari perdagangan narkotika yang tidak sah atau

tindak pidana ekonomi atau tindak pidana korupsi, diancam dengan

pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan denda paling banyak

kategori V. Sayangnya hingga dimasukknanya Indonesia ke dalam “black

list” oleh FATF pada tahun 2001, Rancangan KUHP tersebut tidak pernah

memperoleh kejelasan penyelesainnya.

Sementara itu hasil review FATF justru memberi darah baru bagi

pemerintah untuk segera menyampaikan rancangan undang-undang

(RUU) yang mengatur Tindak Pidana Pencucian Uang ke DPR. Guna

Page 63: Studi perbandingan tentang pengaturan pemberian perlindungan

lxiii

mempercepat proses pembahasannya, Pemerintah dan DPR kemudian

menyepakati agar pembahasan RUU menggunakan “fast track approach”.

DPR dan Pemerintah sepakat pembahasan RUU dilakukan secara

marathon, yang dilakukan tidak lebih dari dua bulan. Akhirnya pada

tanggal 17 April 2002, RUU disahkan menjadi Undang-Undang No. 15

Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang melalui Lembaran

Negara RI Tahun 2002 Nomor 30.

Meskipun telah memperhatikan rekomendasi FATF, sayangnya

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 dinilai memiliki beberapa

kelemahan mendasar. Adanya sorotan dari sebagian pihak dalam negeri

tidak dengan dimasukkannya perjudian di dalam pasal 2 dan besaran

(threshold) Rp. 500 juta dalam laporan transaksi tunai (pasal 13).

Sementara FATF mengomentari batasan (threshold) Rp. 500 juta pada

definisi hasil kejahatan (proceeds of crime) yang bisa menyebabkan

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tidak efektif (Pasal 2). FATF

menganggap bahwa Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 belum

sepenuhnya memenuhi standar internasional. Concern negara-negara

FATF terhadap kekurangan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002,

kemudian dirasakan sebagai desakan untuk mengamandemen undang-

undang itu berkaitan dengan hampir tiga tahun Indonesia berada di dalam

list NCCTs dan kemungkinan diterapkannya counter measures oleh

FATF kepada Indonesia. RUU tentang Perubahan Undang-Undang

Nomor 15 Tahun 2002 telah disahkan pada tanggal 13 Oktober 2003 lalu

menjadi Undang Nomor 25 Tahun 2003 melalui Lembaran Negara RI

Tahun 2003 Nomor 108. Dalam penyusunan kembali undang-undang

pencucian uang, lebih diperhatikan mengenai ketentuan Forty

Recomendations dan 8 Special Recomendations (sekarang telah menjadi 9

Special Recomendations) serta best practices yang berlaku di negara-

negara lain. Selain dikarenakan undang-undang No. 15 Tahun 2002 dirasa

belum memenuhi standar internasional tetapi juga dikarenakan lambatnya

Page 64: Studi perbandingan tentang pengaturan pemberian perlindungan

lxiv

perkembangan proses peradilan tindak pidana money laundering sehingga

perlu diubah, agar upaya pencegahan dan pemberantasan money

laundering dapat berjalan secara efektif.

Upaya pemerintah dalam pelaksanaan dan penegakan Undanng-

Undang Pencucian Uang dalam legalitas selanjutnya adalah dengan

membuat peraturan-peraturan pelaksanaan Undang-Undang Pencucian

Uang. Ketentuan itu diantaranya adalah Keputusan Presiden Republik

Indonesia Nomor 82 Tahun 2003 tentang Tata Cara Pelaksanaan

Kewenangan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan;

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2003 tentang

Tata Cara Perlindungan Khusus bagi Pelapor dan Saksi Tindak Pidana

Pencucian Uang; Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 73

Tahun 2003 tentang Pembentukan Panitia Seleksi Calon Pipinan Komisi

Pemberantasan Korupsi; serta Keputusan Presiden Republik Indonesia

Nomor 01 Tahun 2004 tentang Komite Koordinasi Nasional Pencegahan

dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan yang terbaru

adalah Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2007

tentang Pembentukan Panitia Seleksi dan Pemilihan Calon Anggota

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban.

Sehubungan dengan adanya upaya pemerintah melawan money

laundering, salah satunya dengan memberikan perlindungan kepada saksi

kasus money laundering yang juga diatur dalam ketentuan undang-undang

pencucian uang ini. Dengan adanya suatu perlindungan orang tak akan

ragu menjadi saksi dalam kasus money laundering, bahkan akan mau

bekerja sama dalam pengungkapan tindak pidana money laundering.

Keterangan yang diberikan akan lebih bebas tanda adanya tekanan

maupun ancaman dari tersangka/terdakwa maupun pihak terkait, maka

tidak akan terjadi penarikan keterangan oleh seorang saksi yang tentunya

akan menghambat pengungkapan delik pencucian uang. Bahkan yang

lebih parah lagi, seorang saksi akan merubah keterangan untuk

Page 65: Studi perbandingan tentang pengaturan pemberian perlindungan

lxv

meringankan pelaku pencucian uang. Dalam Undang-Undang Tindak

Pidana Pencucian Uang menganut perlindungan khusus terhadap

seseorang yang melaporkan suatu kejahatan kepada yang berwenang,

yang sering disebut sebagai whistle blower. Demikian juga terhadap

seseorang yang mengetahui suatu perbuatan kejahatan dan dijadikan

sebagai saksi dalam kasus perbuatan pidana itu.

Walaupun pengaturan perlindungan saksi dalam tindak pidana

pencucian uang telah diatur terlebih dahulu sebelumnya dalam ketentuan

undang-undang pencucian uang, namun sekarang dalam pelaksanaannya

tetap harus melihat payung hukum pengaturan perlindungan saksi karena

pengaturannya sudah dibuat yaitu pada Undang-Undang No. 13 Th. 2006

tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang telah diundang dan mulai

berlaku pada 11 Agustus 2006. Peraturan perlindungan saksi dalam

undang-undang money laundering akan dinyatakan tetap berlaku

sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang Perlindungan Saksi

dan Korban, sebagimana diatur dalam Ketentuan Peralihan Bab VI Pasal

44 UU No. 13 Th. 2006. UU No. 13 Th. 2006 mengatur ketentuan umum

tentang hak-hak dan kewajiban seorang saksi. Dalam hal ini subyek yang

dilindungi dalam Undang-Undang No.13 Tahun 2006 meliputi, saksi,

korban, pealpor, dan keluarga saksi/korban adalah sebgai berikut :

a). Pasal 1 ayat (1): Saksi adalah orang yang memberikan keterangan guna

kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pengadilan

tentang tindak pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, ia alami

sendiri, atau hal-hal yang ia ketahui berkenaan dengan suatu perkara

pidana.

Penjelasan : Kata “ketahui” di sini tidak termasuk mengetahui karena informasi

yang diperoleh dari orang lain.

Page 66: Studi perbandingan tentang pengaturan pemberian perlindungan

lxvi

b). Pasal 1 ayat (2): Korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan

fisik maupun mental serta kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh

suatu tindak pidana.

Penjelasan : Termasuk dalam pengertian korban adalah keluarga batin korban.

c). Pasal 1 ayat (5): keluarga saksi adalah orang-orang yang mempunyai

hubungan darah atau semenda dalam garis lurus dan kesamping sampai

derajat ketiga, dan atau orang-orang yang menjadi tanggungan saksi,

serta orang lain yang menurut Lembaga Perlindungan Saksi layak

dilindungi.

KOMENTAR :

Dapat disimpulakan bahwa saksi korban adalah orang-orang yang memberi kesaksian karena mereka menjadi korban tindak pidana yang bersangkutan.

Secara umum hak-hak seorang saksi diatur dalam Undang-Undang

No.13 Tahun 2006 yaitu dalam Bab II tentang Perlindungan Dan Hak

Saksi Dan Korban pada Pasal 5 yang diberikan berdasarkan keputusan

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), hak-hak saksi tersebut

meliputi :

a). memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan

harta bendanya, serta bebas dari Ancaman yang berkenaan dengan

kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya;

Penjelasan :

Perlindungan semacam ini merupakan perlindungan utama yang diperlukan saksi dan korban. Apabila perlu, saksi dan korban harus ditempatkan dalam suatu lokasi yang dirahasiakan dari siapa pun untuk menjamin agar Saksi dan Korban aman.

b). ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk

perlindungan dan dukungan keamanan;

c). memberikan keterangan tanpa tekanan;

Page 67: Studi perbandingan tentang pengaturan pemberian perlindungan

lxvii

d). mendapat penerjemah;

Penjelasan :

Hak ini diberikan kepada saksi dan korban yang tidak lancar

berbahasa Indonesia untuk memperLancar persidangan.

e). bebas dari pertanyaan yang menjerat;

f). mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus;

Penjelasan :

Seringkali saksi dan korban hanya berperan dalam pemberian

kesaksian di pengadilan, tetapi saksi dan korban tidak mengetahui

perkembangan kasus yang bersangkutan. Oleh karma itu, sudah

seharusnya informasi mengenai perkembangan kasus diberikan

kepada Saksi dan Korban.

g). mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan;

Penjelasan :

Informasi ini penting untuk diketahui saksi dan korban sebagai tanda

penghargaan atas kesediaan saksi dan korban dalam proses peradilan

tersebut.

h). mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan;

Penjelasan :

Ketakutan saksi dan korban akan adanya balas dendam dari terdakwa

cukup beralasan dan is berhak diberi tahu apabila seorang terpidana

yang dihukum penjara akan dibebaskan.

i). mendapat identitas baru;

Penjelasan :

Dalam berbagai kasus, terutama yang menyangkut kejahatan

terorganisasi, saksi dan korban dapat terancam walaupun terdakwa

sudah dihukum. Dalam kasus-kasus tertentu, saksi dan korban dapat

diberi identitas baru.

j). mendapatkan tempat kediaman baru;

Penjelasan :

Page 68: Studi perbandingan tentang pengaturan pemberian perlindungan

lxviii

Apabila keamanan saksi dan korban sudah sangat mengkhawatirkan,

pemberian tempat baru pada saksi dan korban harus dipertimbangkan

agar saksi dan korban dapat meneruskan kehidupannya tanpa

ketakutan. Yang dimaksud dengan "tempat kediaman baru" adalah

tempat tertentu yang bersifat sementara dan dianggap aman.

k). memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan

kebutuhan;

Penjelasan :

Saksi dan korban yang tidak mampu membiayai dirinya untuk

mendatangi lokasi, perlu mendapat bantuan biaya dari negara.

l). mendapat nasihat hukum; dan/atau

Penjelasan :

Yang dimaksud dengan "nasihat hukum" adalah nasihat hukum yang

dibutuhkan oleh saksi dan korban apabila diperlukan.

m). memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu

perlindungan berakhir.

Penjelasan :

Yang dimaksud dengan "biaya hidup sementara" adalah biaya hidup

yang sesuai dengan situasi yang dihadapi pada waktu itu, misalnya

biaya untuk makan sehari-hari.

Alternatif perlakuan bagi seorang saksi dan korban dalam Undang-

Undang No.13 Tahun 2006 meliputi :

a). Korban dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat, selain

berhak atas hak-hak sebagaimana dimaksud diatas, juga berhak

untuk mendapatkan : bantuan medis; dan bantuan rehabilitasi psiko-

sosial.(Pasal 6)

b). Korban melalui LPSK berhak mengajukan ke pengadilan berupa hak

atas kompensasi dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia yang

berat dan hak atas restitusi atau ganti kerugian yang menjadi

Page 69: Studi perbandingan tentang pengaturan pemberian perlindungan

lxix

tanggung jawab pelaku tindak pidana. Keputusan mengenai

kompensasi dan restitusi diberikan oleh pengadilan. (Pasal 7)

c). Perlindungan dan hak saksi dan korban diberikan sejak tahap

penyelidikan dimulai dan berakhir sesuai dengan ketentuan

sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini. (Pasal 8)

d). Saksi dan/atau korban yang merasa dirinya berada dalam ancaman

yang sangat besar, atas persetujuan hakim dapat memberikan

kesaksian tanpa hadir langsung di pengadilan tempat perkara tersebut

sedang diperiksa. Kesaksiannya diberikan secara tertulis yang

disampaikan di hadapan pejabat yang berwenang dan membubuhkan

tanda tangannya pada berita acara yang memuat tentang kesaksian

tersebut. Saksi dan/atau korban dapat pula didengar kesaksiannya

secara langsung melalui sarana elektronik dengan didampingi oleh

pejabat yang berwenang. (Pasal 9)

e). Tidak dapat dilakukan upaya hukum terhadap Saksi, Korban, dan

pelapor baik secara pidana maupun perdata atas laporan, kesaksian

yang akan, sedang, atau telah diberikannya kecuali apabila

memberikan keterangan tidak dengan itikad baik. Seorang saksi yang

juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari

tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan

meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan

pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan

dijatuhkan. (Pasal 10)

Secara rinci pengaturan yang mewajibkan seorang saksi dan/atau

korban dalam UU No. 13 Th. 2006 hanya meliputi kesediaan memenuhi

isi perjanjian perlindungan saksi dan korban yaitu;

a). Pasal 30 ayat (1): Dalam hal Lembaga Perlindungan Saksi

berpendapat bahwa keadaan saksi memerlukan perlindungan

terhadap keamanan dirinya dan atau keluarganya, saksi yang

Page 70: Studi perbandingan tentang pengaturan pemberian perlindungan

lxx

bersangkutan diminta untuk menandatangani pernyataan kesediaan

mengikuti syarat dan ketentuan perlindungan saksi dan korban.

b). Pasal 30 ayat (2): Pernyataan kesediaan mengikuti syarat dan

ketentuan perlindungan saksi dan korban sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) memuat:

1). kesediaan saksi dan/atau korban untuk memberikan kesaksian

dalam proses peradilan;

2). kesediaan saksi dan/atau korban untuk menaati aturan yang

berkenaan dengan keselamatannya;

3). kesediaan saksi dan/atau korban untuk tidak berhubungan dengan

cara apa pun dcngan orang lain selain atas persetujuan LPSK,

selama ia berada dalam perlindungan LPSK;

4). kewajiban saksi dan/atau korban untuk tidak memberitahukan

kepada siapa pun mengenai keberadaannya di bawah

perlindungan LPSK; dan

5). hal-hal lain yang dianggap perlu oleh LPSK.

Penjelasan :

Ketentuan ini diajukan untuk melindungi saksi sendiri dari berbagai

kemungkinan yang akan melemahkan perlindungan pada dirinya.

Namun selain ketentuan diatas, saksi maupun korban juga mempunyai

kewajiban lain yang tentunya dapat diketahui dari definisi saksi bahwa

kewajiban seorang saksi adalah memberikan kesaksian / keterangan

dengan sebenar-benarnya guna kepentingan penyelidikan, penyidikan,

penuntutan dan atau pemeriksaan di sidang pengadilan tentang perkara

yang dialami berdasarkan apa yang ia dengar sendiri, lihat sendiri, dan

alami sendiri. Dalam hal ini diwajibkan pula kepada saksi dan orang lain

yang bersangkutan dengan tindak pidana yang diperiksa, untuk dilarang

menyebut nama atau alamat pelopor, atau hal-hal lain yang memberikan

kemungkinan dapat diketahuinya identitas pelapor.

Page 71: Studi perbandingan tentang pengaturan pemberian perlindungan

lxxi

Terkait dengan perlindungan saksi tersebut telah diatur adanya

ketentuan sebuah lembaga mandiri atau independen yang bertanggung

jawab langsung kepada presiden dan membuat laporan pelaksanaan tugas

secara berkala kepada DPR RI dalam pertanggungjawabannya untuk

menangani pemberian perlindungan dan bantuan pada saksi dan korban

yang disebut dengan Lembaga Perlindungan Saksi Dan Korban (LPSK).

Merupakan lembaga yang bertugas dan berwenang untuk memberikan

perlindungan dan hak-hak lain kepada saksi dan/atau korban.

Ketentuannya diatur pada Pasal 11 sampai dengan 27, Bab III UU No.13

Th. 2006mengenai Lembaga Perlindungan Saksi Dan Korban. Tugas dan

kewenangan LPSK sebagaimana juga telah diatur dalam Undang-Undang

No.13 Tahun 2006. Saat ini Presiden memang telah mengeluarkan Kepres

No. 7 Th. 2007 tentang Pembentukan Panitia Seleksi dan Pemilihan Calon

Anggota Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban pada 31 Maret 2007,

namun sampai sekarang pembentukan LPSK belum juga terwujud dan

terkesan sangat lambat. Harusnya lembaga tersebut telah dibuat paling

lambat 1 (satu) tahun setelah Undang-Undang Perlindungan Saksi dan

Korban diundangkan.

Pengaturan pemberian perlindungan saksi dalam undang-undang

pencucian uang diatur pada bab VII yaitu Perlindungan Bagi Pelapor Dan

Saksi, Pasal 39 s.d. Pasal 43. Cakupan subyek yang dilindungi UU

Pencucian Uang ini tampaknya telah mengalami perluasan jika dibanding

dengan ketentuan KUHAP. Dalam hal ini subyek yang dilindungi

meliputi saksi biasa, saksi pelapor dan keluarga saksi. Pasal 39 dan Pasal

40 mengatur mengenai perlindungan khusus bagi pelapor. Sedangkan

Pasal 41 dan Pasal 42 mengatur perlindungan yang sama kepada saksi

dalam perkara kejahatan pencucian uang, dan Pasal 43 mengatur

pemberian perlindungan hukum baik kepada pelapor/saksi. Ketentuan

dalam pasal tersebut berbunyi sebagai berikut:

a). Pasal 39

Page 72: Studi perbandingan tentang pengaturan pemberian perlindungan

lxxii

ayat (1) : PPATK, penyidik, penuntut umum atau hakim wajib

merahasiakan identitas pelapor.

ayat (2) : Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud

dalam ayat (1) memberikan hak kepada pelapor atua ahli warisnya

untuk menuntut ganti kerugian melalui pengadilan.

KOMENTAR :

Secara tegas ditentukan pula bahwa PPATK, penyidik, penuntut

umum atau hakim wajib merahasiakan identitas pelapor. Pelanggaran

atas kewajiban merahasiakan ini memberikan hak kepada pelapor

atau keluarganya menuntut ganti rugi ke pengadilan.

b). Pasal 40

Ayat (1) : setiap orang yang melaporkan terjadinya dugaaan tindak

pidana pencucian uang, wajib diberi perlindungan khusus oleh negara

dari kemungkinan ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan/atau

hartanya, termasuk keluarganya.

Ayat (2) : Ketentuan mengenai tata cara pemberian perlindungan

khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut

dengan PeraturanPemerintah.

KOMENTAR :

Seseorang yang melaporkan, menginformasikan atau

memberitahukan terjadinya dugaan tindak pidana mengenai uang,

wajib mendapat perlindungan khusus oleh negara supaya tercegah

dari ancaman yang membahayakan diri, harta, dan keluarganya.

Prinsip perlindungan whistle blower (pelapor, penginformasi)

demikian ditentukan pada Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Tindak

Pidana Pencucian Uang. Selanjutnya di dalam ayat (2) ditentukan

pula supaya tata cara pemberian perlindungan demikian diatur lebih

lanjut dalam Peraturan Pemerintah.

c). Pasal 41

Page 73: Studi perbandingan tentang pengaturan pemberian perlindungan

lxxiii

Ayat (1) : Di sidang pengadilan, saksi, penuntut ujum, hakim dan

orang lain yang bersangkutan dengan tindak pidana pencucian uang

yang sedang dalam pemerikasaan dilarang menyebutkan nama tau

alamat pelaor, atau hal-hal lain yang memungkinkan dapat

terungkapnya identitas pelapor.

Ayat (2) : Dalam setiap persidangan sebelum sidang pemeriksaan

dimulai, hakim wajib menggingatkan saksi, penuntut umum dan orang

lain yang terkait dengan pemeriksaan perkara tersebut, mengenai

larangan sebagimana dimaksud dalam ayat (1).

KOMENTAR :

Dalam setiap kesempatan sidang, sebelum pemeriksaan dimulai,

hakim wajib mengingatkan saksi, penuntut umum, dan pihak-pihak

lain yang terkait dengan pemeriksaan sidang ser aorang lain seperti

para pengunjung mengenai larangan itu. Bila misalnya telah

diingatkan oleh hakim, tetapi yang bersangkutan masih

mengulanginya, maka hakim menyerahkan ynag bersangkutan epada

petugas yang berwenang karena telah melanggar kewajiban

merahasiakan pelapor.Perbuatan mengungkap identitas pelapor

merupakan perbuatan pidana.

d). Pasal 42

Ayat (1) : Setiap orang yang memberikan kesaksian dalam

pemeriksaan tindak pidana pencucian uang, wajib diberi perlindungan

khusus oleh negara dari kemungkinana ancaman yang membahayakan

diri, jiwa, dan/ atau hartanya, termasuk keluarganya.

Ayat (2) : Ketentuan mengenai tata cara pemberian perlindunagn

khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut

dengan Peraturan Pemerintah.

Page 74: Studi perbandingan tentang pengaturan pemberian perlindungan

lxxiv

e). Pasal 43 : Pelapor dan/ saksi tidak dapat dituntut, baik secara perdata

atau pidana atas pelaporan dan/ kesaksian yang diberikan oleh yang

bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 dan Pasal 42.

KOMENTAR :

Pelapor atua Saksi diberika imunitas hukum (immunity rights)

untuk tidak dituntut oleh siapapun atas pelaporan atau kesaksian yang

diberikannya itu.

Perlindungan terhadap seseorang yang menjadi pelapor dan/atau saksi

ini begitu ketat sekali ditekankan di dalam undang-undang pencucian

uang. Bahkan kepada semua pihak yang terkait dengan pemeriksaan

perkara tindak pidana pencucian uang, seperti PPATK, penyidik, saksi,

penuntut umum, hakim atau orang lainnya akan diberikan ancaman sanksi

keras jika melakukan pelanggaran ketentuan tersebut di atas. Pasal 10

Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang menentukan dengan tegas

sebagai berikut: ”PPATK, Penyidik, Saksi, Penuntut Umum, Hakim atau

orang lain yang bersangkutan dengan perkara Tindak Pidana Pencucian

Uang yang sedang diperiksa melanggar ketentuan sebagimana dimaksud

dalam Passal 39 ayat (1) dan Pasal 41 ayat (1), dipidana dengan pidana

penjarapaling sedikit 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun”.

Bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 40 ayat (2) dan Pasal 42

ayat (2) UU Tindak Pidana Pencucian Uang, perlu menetapkan Peraturan

Pemerintah tentang Tata Cara Perlindungan Khusus bagi Pelapor dan

Saksi Tindak Pidana Pencucian Uang, yang kemudian pada 11 November

2003, Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah No. 57 Tahun 2003

tentang Tata Cara Perlindungan Khusus bagi Pelapor dan Saksi Tindak

Pidana Pencucian Uang. PP No. 57 Tahun 2003 mengatur mengenai

bentuk dan tata cara perlindungan khusus bagi pelapor dan saksi sebagai

pengaturan teknis pelaksanaan perlindungan saksi money laundering.

Menurut PP No. 57 Th. 2003 yang dimaksud dengan perlindungan khusus

Page 75: Studi perbandingan tentang pengaturan pemberian perlindungan

lxxv

adalah suatu bentuk perlindungan yang diberikan oleh negara untuk

memberikan jaminan rasa aman terhadap Pelapor atau Saksi dari

kemungkinan ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan/atau hartanya

termasuk keluarganya. Juga diberikan pengertian mengenai pelapor yang

merupakan setiap orang yang:

a). karena kewajibannya berdasarkan peraturan perundang-undangan

menyampaikan laporan kepada PPATK tentang transaksi keuangan

mencurigakan atau transaksi keuangan ynag dilakukan secara tunai

sebagaiman dimaksud dalam undang-undang; atau

b). secara sukarela melaporkan kepada penyidik tentang adanya dugaan

terjadinya tindak pidana pencucian uang sebagaimana dimaksud dalam

undang-undang.

Sedangkan saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna

kepentingan penyididkan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara

pidana pencucian uang yang didengar sendiri, dilihat sendiri, dan dialami

sendiri.

Dalam Peraturan Pemerintah No. 57 Tahun 2003 tentang Tata Cara

Perlindungan Khusus bagi Pelapor dan Saksi Tindak Pidana Pencucian

Uang, perlindungan diberikan kepada Pelapor dan Saksi baik sebelum,

selama, maupun sesudah proses pemeriksaan perkara yang dilaksanakan

oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia. Atas perlindungan yang

diberikan kepada pelapor dan saksi tersebut tidak dikenakan biaya.

Perlindungan yang diberikan diharapkan memberikan jaminan atas rasa

aman dan dapat memberikan keterangan yang benar, sehingga proses

peradilan terhadap tindak pidana pencucian uang dapat dilaksanakan

dengan baik. Dengan demikian pelapor dan saksi dapat berpartisipsi aktif

dalam upaya pencegahan dan pemberantasan Tindak Pidana Pencucian

Uang. Perlindungan yang diberikan adalah perlindungan khusus yang

meliputi perlindungan atas keamanan pribadi dan/atau keluarga pelapor

Page 76: Studi perbandingan tentang pengaturan pemberian perlindungan

lxxvi

dan saksi dari ancaman fisik atau mental, perlindungan terhadap harta

pelapor dan saksi, perahasiaan dan penyamaran identitas pelapor dan

saksi, dan/atau pemberian keterangan tanpa bertatap muka dengan

tersangka/terdakwa dalam setiap tingkat pemeriksaan.

Sebenarnya pengaturan mengenai pelaksana pemberian perlindungan

kepada saksi diatur dalam Undang-Undang Payung Perlindungan Saksi

dan Korban, yaitu oleh LPSK. Namun pada PP No. 57 Tahun 2003 yang

telah dahulu dibuat, mengenai pengaturan pelaksana pemberian

perlindungan kepada saksi telah diatur terlebih dahulu, yaitu dilakukan

oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dikarenakan sampai saat ini

LPSK belum terbentuk maka pemberian perlindungan kepada saksi tetap

dilakukan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Di samping itu dalam rangka pencegahan dan pemberantasan tindak

pidana pencucian uang, diatur pula perlindungan khusus terhadap saksi

dalam kaitannya dengan perjanjian kerja sama bantuan timbal balik dalam

masalah pidana dengan negara lain. Penyidik, Penuntut Umum, dan

Hakim wajib memberikan perlindungan khusus kepada saksi dalam setiap

tingkat pemeriksaan. Setiap tingkat pemeriksaan berarti dalam

penyidikan,penuntutan, dan selam proses persidangan.

Bentuk perlindungan khusus oleh Kepolisian Negara Republik

Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) PP No. 57 Th.

2003 dilaksanakan berdasarkan adanya kemungkinan ancaman yang

membahayakan diri, jiwa, dan/atau harta, termasuk keluarga pelapor dan

saksi sebagai akibat (Pasal 6 ayat (1) PP No. 57 Tahun 2003):

a). disampaikannya laporan tentang adanya Transaksi Keuangan

Mencurigakan atau Transaksi Keuangan yang Dilakukan Secara

Tunai oleh pelapor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2

huruf a atau PPATK kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia;

Page 77: Studi perbandingan tentang pengaturan pemberian perlindungan

lxxvii

b). disampaikannya laporan tentang adanya dugaan terjadinya tindak

pidana pencucian uang oleh pelapor sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 1 angka 2 huruf b atau PPATK kepada Kepolisian Negara

Republik Indonesia; atau

c). ditetapkannya seseorang sebagai saksi dalam perkara tindak pidana

pencucian uang.

Perlindungan tersebut dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 1

X 24 (satu kali dua puluh empat) jam sejak laporan diterima atau

seseorang ditetapkan sebagai saksi yang ditindaklanjuti Kepolisian NRI

dengan melakukan klarifikasi atas kebenaran laporan dan identifikasi

bentuk perlindungan yang diperlukan serta melakukan pemberitahuan

tertulis kepada pelapor dan/atau saksi paling lambat dalam jangka waktu 1

X 24 (satu kali dua puluh empat) jam sebelum pelaksanaan perlindungan

(Pasal 6 ayat (2 dan 3) PP No. 57 Tahun 2003).

Pengajuan permohonan perlindungan khusus sebagaimana diatur

dalam Pasal 7 dapat dilakukan oleh Pelapor, Saksi, PPATK, Penyidik,

Penuntut Umum, atau Hakim. Dalam melaksanakan ketentuan

perlindungan, Kepolisian NRI berkoordinasi dengan PPATK, Penyidik,

Penuntut Umum, dan Hakim yang menangani perkara tindak pidana

pencucian uang (Pasal 8 PP No. 57 Th. 2003). Teknis pelaksanaan

perlindungan khusus sebagaimana dimaksud diatur dengan Keputusan

Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan memperhatikan

masukan dari instansi terkait (Pasal 9 PP No. 57 Th. 2003).

Berkaitan dengan pemberian perlindungan khusus terhadap Pelapor

dan/atau Saksi dapat dihentikan apabila, sesuai dalam Pasal 10 PP No. 57

Th. 2003, yaitu:

a). berdasarkan penilaian Kepolisian NRI perlindungan tidak diperlukan

lagi; atau

b). atas permohonan yang bersangkutan.

Page 78: Studi perbandingan tentang pengaturan pemberian perlindungan

lxxviii

Penghentian pemberian perlindungan khusus harus diberitahukan

secara tertulis kepada Pelapor, Saksi dan/atau keluarganya dalam waktu

paling lambat 3 X 24 (tiga kali dua puluh empat) jam sebelum

perlindungan khusus dihentikan. Dalam hal pelapor dan/atau saksi menilai

perlindungan khusus masih diperlukan, Kepolisian NRI atas dasar

permohonan pelapor dan/atau saksi wajib melanjutkan pemberian

perlindungan khusus bagi pelapor dan/atau saksi yang telah dihentikan.

Apabila seorang saksi didatangkan dari luar wilayah negara Republik

Indonesia, perlindungan khusus saksi tersebut dilaksanakan dengan

melakukan kerja sama dengan pejabat kepolisian yang berwenang di

negara tersebut berdasarkan perjanjian kerja sama bantuan timbal balik di

bidang tindak pidana antara Pemerintah Indonesia dan negara tersebut.

Dalam hal tidak ada perjanjian kerja sama bantuan timbal balik ,

perlindungan khusus dapat dilakukan berdasarkan prinsip resiprositas

(Pasal 11 PP No. 57 Th. 2003).

Telah disebutkan di atas bahwa teknis pelaksanaan perlindungan

khusus sebagaimana dimaksud dalam PP No. 57 Th. 2003, diatur dengan

Keputusan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia yang kemudian

ditetapkan dengan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik

Indonesia Nomor Pol. 17 Tahun 2005 tentang Tata Cara Pemberian

Perlindungan Khusus terhadap Pelapor dan Saksi dalam Tindak Pidana

Pencucian Uang. Dalam Peraturan Kepala Kepolisian tersebut juga telah

dilengkapi dengan pengaturan mengenai cara bertindak yang dilakukan

bagi setiap anggota kepolisian dalam memberikan perlindungan baik

kepada pelapor/ saksi. Perlindungan khusus adalah suatu bentuk

perlindungan yang diberikan oleh aparat Kepolisian NRI untuk

memberikan rasa aman terhadap pelapor atau saksi dari kemungkinan

ancaman yang membahayahan diri, jiwa dan/atau hartanya termasuk

keluarganya. Perlindungan diberikan terhadap segala ancaman, gangguan,

teror, dan kekerasan adalah segala bentuk perbuatan memaksa yang

Page 79: Studi perbandingan tentang pengaturan pemberian perlindungan

lxxix

bertujuan menghalang-halangi atau mencegah pelapor atau saksi, baik

langsung atau tidak langsung mengakibatkan tidak dapat memberikan

keterangan untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, dan/atau

pemeriksaan di sidang pengadilan. Pengelompokan bentuk perlindungan

khusus tersebut meliputi 4 (empat) bentuk perlindungan.

Pertama. Perlindungan atas keamanan pribadi dari ancaman fisik atau

mental. Perlindungan ini meliputi orang, tempat/lokasi (baik pada

rumah/penginapan/tempat tinggal; tempat kerja/kantor/tempat

persidangan; rute dan sarana transportasi; dan tempat-tempat kegiatan

lainnya) dan/atau kegiatan (pada tahap sebelum, saat dan sesudah proses

pemeriksaan) terhadap pribadi pelapor, saksi dan keluarganya.

Perlindungan diberikan terhadap kegiatan yang mungkin akan mendapat

ganguan atau ancaman baik fisik (unjuk rasa, demonstrasi dan kerusuhan

masa; penghadangan, perampokan, penculikan, penganiayaan dan

pembunuhan; gangguan kendaraan, tempat/rumah/kantor dan tempat

kegiatan lainnya; dan/atau sabotase) maupun mental (teror dan

intimidasi/ ancaman terhadap keselamatan jiwa dan harta benda).

Kedua. Perlindungan terhadap harta. Meliputi harta bergerak dan

tidak bergerak, terutama yang paling memungkinkan menjadi sasaran

gangguan pihak pelaku. Sasaran perlindungan didasarkan atas

permohonan pelapor/saksi serta penilaian dari pejabat Polri.

Ketiga. Perlindungan atas perahasiaan dan penyamaran identitas.

Dilaksanakan dengan merahasiakan dan menyamarkan nama,

tempat/tanggal lahir (usia), jenis kelamin, alamat, pekerjaan, agama,

status, pendidikan/gelar, kewarganegaraan dan suku bangsa. Meliputi cara

bertindak untuk membuat berita acara penyamaran identitas berdasarkan

permohonan pelapor/saksi dan menyimpan berita acara penyamaran

tersebut serta menyerahkan berita acara penyamran setelah perkara

dinyatakan lengkap kepada Jaksa Penuntut Umum.

Page 80: Studi perbandingan tentang pengaturan pemberian perlindungan

lxxx

Keempat. Perlindungan atas pemberian keterangan tanpa bertatap

muka (konfrontasi) dengan tersangka atau terdakwa pada setiap tingkat

pemeriksaan meliputi tahap penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di

pengadilan.

Maksud dan pengaturan perlindungan saksi sangatlah bagus

manfaatnya daam memberantas kejahatan money laundering. Sangatlah

diharapkan pengaturan tersebut akan banyak membantu pengungkapan

kasus-kasus money laundering yang selama ini sulit terungkap. Adapun

manfaat dari prinsip perlindungan saksi dan pelapor adalah sebagai

berikut:

a). Terungkapnya kejahatan-kejahatan, terutama kejahatan ynag

dilakukan oleh orang-orang yang memiliki pengaruh dalam

masyarakat;

b). Anggota masyarakat merasa leluasa dan bebas tanpa dibayang-

bayangai rasa takut untuk menjadi pelapor dan saksi dalam suatu

perkara kejahatan;

c). Terdapat pengaruh positif dalam pengurangan intensitas kejahtan

beerkenaan dengan adanya semacam public supervision dari

kalangan masyarakat, karena anggota masyarakat tidak segan-segan

lagi menjadi pelapor dan saksi bagi perbuatan kejahatan, khususnya

money laundering.

Indonesia adalah negara yang menganut sistem hukum civil law.

Dalam praktik penyelesaian perkara pidana di Indonesia, prinsip legalitas

dan penafsiran yang diperbolehkan dari prinsip tersebut diserahkan

sepenuhnya kepada para pelaksana / praktisi hukum, seperti, jaksa dan

hakim. Ketentuan undang-undang harus ditafsirkan secara harfiah dan

pengadilan tidak diperkenankan memberikan suatu penafsiran analogis

untuk menetapkan suatu perbuatan sebagai tindak pidana.

2. Malaysia

Page 81: Studi perbandingan tentang pengaturan pemberian perlindungan

lxxxi

Dalam rangka mensukseskan pembangunan ekonomi dan pengentasan kemiskinan, keterbukaan di antara institusi-institusi pemerintahan dan lembaga-lembaga publik harus terbentuk. Hal tersebut memiliki peranan yang penting bagi upaya pemberantasan money laundering. Oleh sebab itu, dorongan kebutuhan untuk menyusun dan menetapkan peraturan perundang-undangan yang responsif terhadap permasalahan money laundering. Pembentukan Undang-undang tersebut bertujuan untuk memperkuat rezim anti money laundering yang bagi negara Malaysia tidak hanya akan menambah kepercayaan dari investor, tetapi juga merupakan suatu jaminan bahwa negara Malaysia tidak dijadikan tempat untuk melakukan pencucian terhadap hasil-hasil tindak kejahatan.

Adanya sinyalemen bahwa keinginan yang kuat dari pemerintah untuk sesegera mungkin dapat membangun suatu rezim anti money laundering yang efisien dan efektif di Malaysia adalah karena adanya tekanan internasional dengan berbagai ancaman yang telah dan akan diterapkan serta dampak negatif dari ancaman tersebut. Sinyalemen tersebut tidaklah sepenuhnya benar apabila ditinjau dari sisi kepentingan nasional yang lebih besar terutama dalam kerangka penegakan hukum (law enforcement) di Malaysia. Dalam sistem penegakan hukum sekarang ini, rezim anti money laundering hadir dengan paradigma baru. Pada awalnya orientasi tindak pidana pada umumnya adalah mengejar pelaku pidana, sedangkan pada tindak pidana money laundering lebih mengejar pada hasil tindak pidananya. Di samping itu, agar rezim anti money laundering dapat terlaksana secara efektif, koordinasi antara instansi terkait merupakan kunci pokok keberhasilan.

Rezim pelaksanaan Program Pencegahan Pengubahan Wang Haram dan Pencegahan Pembiayaan Keganasan (AML/CFT) Malaysia di bawah Akta Pencegahan Pengubahan Wang Haram 2001 (AMLA) terus berubah seiring dengan trend global baru dan pengaturan yang diterima pakai di peringkat antarabangsa, yaitu Rekomendasi 40+9 FATF (Pasukan Petugas Tindakan Kewangan mengenai Pencegahan Pengubahan Wang Haram).

Law of Malaysia Act 613 yang dikenal dengan Anti Money laundering Act of 2001 (AMLA) atau Akta Pencegahan Pengubahan Wang Haram yang di setujui oleh raja pada tanggal 25 Juni 2001, di umumkan dalam lembaran Negara pada tanggal 5 Juli 2001 dan mulai berlaku pada bulan Januari 2002. Malaysia bukanlah suatu pusat regional money laundering. Sektor keuangan informal dan formalnya sangat rentan dengan narkotika traffickers, pembiayaan terorisme, dan unsur kejahatan. Sejak 2000,

Page 82: Studi perbandingan tentang pengaturan pemberian perlindungan

lxxxii

Malaysia telah membuat kemajuan penting dalam membangun anti-money laundering Act. Malaysia’s National Coordination Committee to Counter Money laundering (NCC), yang anggotanya terdiri dari 13 badan pemerintahan, melihat dari draft Malaysia's Anti-Money laundering Act 2001 (AMLA) dan mengkoordinir badan pemerintahan untuk anti-money laundering.

Telah juga dibentuk suatu financial intelligence unit (FIU) yaitu Unit Perisikan Kewangan yang ditempatkan dalam Bank Sentral yaitu Bank Negara Malaysia ( BNM). Tugas FIU tersebut adalah menerima dan meneliti informasi keuangan. FIU tersebut bekerja dengan lebih dari duabelas badan lain untuk mengidentifikasi dan menyelidiki adanya transaksi mencurigakan. The Government of Malaysia (GOM) mempunyai suatu kerangka pengatur yang baik, mencakup perijinan dan sistem pemeriksaan yang dapat mengatur lembaga keuangan. Sekarang ini telah ada memorandum of understanding (MOU) dalam hal mutual legal assistance antara FIU Malaysia (Unit Perisikan Kewangan) dengan FIU Indonesia (PPATK).

Anti Money laundering Act of 2001 (AMLA) tentang anti-money laundering, yang diharapkan mampu memenuhi, mengantisipasi perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dalam rangka mencegah dan pemberantasan secara efektif setiap bentuk tindak tindak pidana money laundering yang sangat merugikan keuangan negara pada khususnya serta masyarakat pada umumnya. Pemberantasan tindak money laundering salah satunya dengan mengatur mengenai ketentuan perlindungan saksi yang dikaitkan dengan efektif tidaknya pengaturan pemberian perlindungan saksi yang tertuang dalam Anti Money laundering Act of 2001 (AMLA) dalam upaya menanggulangi masalah money laundering di Indonesia.

Perlindungan saksi yang diatur dalam AMLA pada Part IV mengenai Reporting Obligations Pasal 24 yang berbunyi sebagai berikut :

Protection of persons reporting

24. (1) No civil, criminal, or disciplinary proceedings shall be brought against a person who:

(a) discloses or supplies any information in any report made

under this Part; or

Page 83: Studi perbandingan tentang pengaturan pemberian perlindungan

lxxxiii

(b) supplies any information in connection with such a report,

whether at the time the report is made or afterwards;

in respect of : (aa) the disclosure or supply, or the manner of the disclosure or

supply, by that person, of the information referred to in paragraph (a) or (b); or

(bb) any consequences that follow from the disclosure or supply of that information, unless the information was disclosed or supplied in bad faith.

(2) In proceedings against any person for an offence under this Part, it shall be a defence for that person to show that he took all reasonable steps and exercised all due diligence to avoid committing the offence.

Perlindungan bagi saksi pelapor

24. (1) Tidak ada proses secara perdata, pidana atau ketertiban lainnya dapat dikenakan terhadap seseorang yang : (a) mengungkapkan atau menyediakan segala informasi dalam

segala laporan yang dibuat menurut undang-undang ini; atau

(b) menyediakan segala informasi yang berhubungan dengan

suatu laporan, apakah pada saat laporan itu dibuat atau

sesudahnya;

Dalam hal : (aa) pengungkapan atau penyediaan, atau cara pengungkapan atau

penyediaan, oleh orang tersebut, dari informasi sesuai dalam paragraf (a) atau (b); atau

(bb) segala akibat/dampak yang ditimbulkan/mengikuti pengungkapan atau penyediaan informasi tersebut,

kecuali informasi yang diungkapkan atau disediakan dengan itikad tidak baik.

(2) Dalam proses/ tindakan yang dikenakan terhadap orang untuk suatu kejahatan menurut undang-undang ini, hal itu dapat menjadi suatu pembelaan bagi orang tersebut untuk menunjukkan bahwa dia sudah mengambil langkah yang beralasan dan melaksanakan semua hak yang baik atau sesuai untuk mencegah terjadinya kejahatan.

Page 84: Studi perbandingan tentang pengaturan pemberian perlindungan

lxxxiv

KOMENTAR :

Pengaturan pemberian perlindungan saksi dalam Anti Money laundering Act of 2001 ini ditujukan hanya kepada pemberi maklumat atau saksi pelapor saja.

Pelaksanaan pemberian perlindungan saksi (saksi pelapor ) khususnya dalam tindak pidana money laundering hanya didasarkan pengaturannya dalam Pasal 24 Anti Money laundering Act of 2001. Pengaturannya dalam peraturan pelaksanaan juga belum dibuat, bahkan payung hukum perlindungan saksi juga masih dalam tahap Rang (Rancangan) Undang-Undang Perlindungan Saksi (Witness Protection Bill). Rang Undang-Undang Perlindungan Saksi yang sedang digarap Parlimen Dewan Rakyat Malaysia baru-baru ini diharapkan dapat memberikan jaminan bahwa saksi akan diberikan sepenuhnya perlindungan undang-undang, termasuk mengubah identiti saksi jika diperlukan. Rang Undang-Undang Perlindungan Saksi yang hampir sampai pada tingkat akhir pembentukannya ini, ditujukan untuk memberikan perlindungan kepada seorang saksi yang memberikan keterangan dalam keseluruhan proses penindakan kejahatan (kes jenayah) dan tidak lagi hanya diatur mengenai saksi pelapor saja. Oleh karena pemberi maklumat (saksi pelapor) lazimnya menjadi saksi maka mereka sudah tentulah akan dilindungi di bawah akta ini. Rang Undang-undang ini juga akan menubuhkan satu program bagi perlindungan saksi. Mengenai lembaga yang melaksanakan pemberian bantuan dan perlindungan saksi di Malaysia juga belum dibentuk.

Dalam sistem common law, hakim diperbolehkan tidak sepenuhnya

bertumpu pada ketentuan suatu Undang-Undang. Jika diyakini olehnya

bahwa ketentuan yang dimaksud tidak dapat diterapkan dalam kasus yang

sedang ditanganinya. Hakim cenderung bersifat judge made law, jadi

dalam hal penerapan pengaturan perlindungan saksi dalam kasus-kasus

yang ada, walaupun pengaturannya kurang dan sangat sempit karena

hanya melindungi saksi pelapor, namun disini hakim dapat menentukan

alternatif perlakuan bagi saksi yang bukan saksi pelapor. Efeknya

dimungkinkan suatu pemeriksaan kasus money laundering tidak akan

terhambat hanya karena belum ada aturan yang mengatur.

Page 85: Studi perbandingan tentang pengaturan pemberian perlindungan

lxxxv

Malaysia menganut sistem hukum common law. Dapat dilihat bahwa

kekuasaan hakim di dalam sistem hukum common law sangat luas dalam

memberikan penafsiran terhadap suatu ketentuan yang tercantum dalam

undang-undang. Bahkan hakim diperbolehkan tidak sepenuhnya bertumpu

pada ketentuan suatu undang-undang jika diyakini olehnya bahwa

ketentuan tersebut tidak dapat diterapkan dalam kasus pidana yang sedang

dihadapinya. Dalam hal demikian hakim dapat menjatuhkan putusannya

sesuai dengan kebiasaan-kebiasaan. Dilihat dari segi kekuasaan hakim

yang sangat luas dalam memberikan penafsiran tersebut, sehingga dapat

membentuk hukum baru, maka nampaknya sistem hukum common law

kurang memperhatikan kepastian hukum.

Dari uraian pengaturan pemberian perlindungan saksi dalam undang-undang pencucian uang antara Negara Indonesia dan Malaysia ada terdapat perbedaan dan persamaannya, yaitu

Negara

Pembanding Indonesia Malaysia

Pengaturan Tindak Money laundering

- Undang-Undang No. 15

Tahun 2003 sebagaimana

diubah dalam Undang-

Undang No. 25 Tahun

2003 tentang Tindak

Pidana Pencucian Uang.

- Law Of Malaysia Act

613 Anti money

laundering Act 2001

(AMLA)

Page 86: Studi perbandingan tentang pengaturan pemberian perlindungan

lxxxvi

Pengaturan pemberian perlindungan saksi

- Tercantum dalam Bab IV

Perlindungan bagi Pelapor

dan Saksi pada Pasal 15,

Pasal 39 s.d. Pasal 43 UU

Pencucian Uang serta

peraturan pelaksanaannya.

- Peraturan Pemerintah No.

57 Tahun 2003 tentang Tata

Cara Perlindungan Khusus

bagi Pelapor dan Saksi

Tindak Pidana Pencucian

Uang.

- Peraturan Kepala

Kepolisian NRI Nomor Pol.

17 Tahun 2005 tentang Tata

Cara Pemberian

Perlindungan Khusus

terhadap Pelapor dan Saksi

dalam Tindak Pidana

Pencucian Uang.

- Tercantum dalam Part

IV (Reporting

Obligations) pada

Pasal 24 mengenai

Protection of persons

reporting.

Subyek yang Dilindungi.

- Perlindungan yang

diberikan ditujukan kepada

saksi, pelapor, dan keluarga

saksi/pelapor.

- Perlindungan yang

diberikan hanya

ditujukan kepada saksi

pelapor saja (pemberi

maklumat).

- (No civil, criminal, or

disciplinary

proceedings shall be

Page 87: Studi perbandingan tentang pengaturan pemberian perlindungan

lxxxvii

brought against a

person who:

a. discloses or supplies

any information in

any report made

under this Part; or

b. supplies any

information in

connection with such

a report, whether at

the time the report is

made or

afterwards;...)

Bentuk Perlindungan.

- Perlindungan yang

diberikan dapat

digolongkan menjadi 2

(dua) jenis perlindungan,

yaitu:

a. perlindungan hukum

b. perlindungan khusus

terhadap ancaman.

- Perlindungan hukum

meliputi :

a. kekebalan yang

diberikan kepada

pelapor dan saksi

untuk tidak dapat

dituntut baik secara

perdata ataupun

- Perlindungan hukum

(yuridis).

- 24. (1) No civil,

criminal, or

disciplinary

proceedings shall be

brought against a

person who:

(a) discloses or

supplies any

information in

any report made

under this Part;

or

(b) supplies any

information in

Page 88: Studi perbandingan tentang pengaturan pemberian perlindungan

lxxxviii

pidana, sepanjang

yang bersangkutan

memberikan

kesaksian atau

laporan dengan

iktikad baik atau yang

bersangkutan tidak

sebagai pelaku tindak

pidana itu sendiri.

b. larangan bagi

siapapun untuk

membocorkan nama

pelapor atau

kewajiban

merahasiakan nama

pelapor disertai

dengan ancaman

pidana terhadap

pelanggarannya.

- Yang merupakan

perlindungan khusus

terhadap ancaman yang

meliputi 4 (empat) bentuk

perlindungan, yaitu:

Pertama. Perlindungan

atas keamanan pribadi dari

ancaman fisik atau mental.

Kedua. Perlindungan

terhadap harta. Meliputi

connection with

such a report,

whether at the

time the report

is made or

afterwards;

in respect of : (aa) the disclosure

or supply, or the manner of the disclosure or supply, by that person, of the information referred to in paragraph (a) or (b); or

(bb)any consequences that follow from the disclosure or supply of that information,

Unless the information was disclosed or supplied in bad faith. (2) In proceedings

against any person for

an offence under this

Part, it shall be a

defence for that person

to show that he took all

reasonable steps and

exercised all due

Page 89: Studi perbandingan tentang pengaturan pemberian perlindungan

lxxxix

harta bergerak dan tidak

bergerak, terutama yang

paling memungkinkan

menjadi sasaran gangguan

pihak pelaku.

Ketiga. Perlindungan

atas perahasiaan dan

penyamaran identitas.

Keempat. Perlindungan

atas pemberian keterangan

tanpa bertatap muka

(konfrontasi) dengan

tersangka atau terdakwa

pada setiap tingkat

pemeriksaan meliputi tahap

penyidikan, penuntutan, dan

pemeriksaan di pengadilan.

diligence to avoid

committing the

offence.

(Perlindungan bagi saksi pelapor

24. (1) Tidak ada

proses secara perdata,

pidana atau ketertiban

lainnya dapat

dikenakan terhadap

seseorang yang :

(a) mengungkapkan

atau

menyediakan

segala informasi

dalam segala

laporan yang

dibuat menurut

undang-undang

ini; atau

(b) menyediakan

segala informasi

yang

berhubungan

dengan suatu

laporan, apakah

pada saat

laporan itu

dibuat atau

sesudahnya;

Page 90: Studi perbandingan tentang pengaturan pemberian perlindungan

xc

Dalam hal : (aa) pengungkapan atau penyediaan, atau cara pengungkapan atau penyediaan, oleh orang tersebut, dari informasi sesuai dalam paragraf (a) atau (b); atau (bb) segala akibat/dampak yang ditimbulkan/mengikuti pengungkapan atau penyediaan informasi tersebut,

kecuali informasi yang diungkapkan atau disediakan dengan itikad tidak baik.

(2) Dalam proses/

tindakan yang

dikenakan terhadap

orang untuk suatu

kejahatan menurut

undang-undang ini, hal

itu dapat menjadi suatu

pembelaan bagi orang

tersebut untuk

menunjukkan bahwa

dia sudah mengambil

langkah yang beralasan

dan melaksanakan

semua hak yang baik

atau sesuai untuk

Page 91: Studi perbandingan tentang pengaturan pemberian perlindungan

xci

mencegah terjadinya

kejahatan. )

Pelaksanaan Pengaturan Pemberian Perlindungan Saksi.

- Pelaksanaaan ketentuan

perlindungan saksi berdasar

ketentuan dalam UU

pencucain uang, yang

secara teknis dilakukan

menurut aturan pelaksanaan

yaitu pada PP No. 57 Th

2003 dan Peraturan Kepala

Kepolisian NRI Nomor Pol.

17 Tahun 2005.

- Namun karena telah

disahkannya payung hukum

pengaturan pemberian

perlindungan saksi yaitu

pada UU No. 13 Th. 2006,

maka pelaksanaannya tetap

berlaku sesuai UU

Pencucian Uang dan aturan

pelaksananya selama tidak

bertentangan dengan UU

No. 13 Th. 2006 tentang

Perlindungan Saksi dan

Korban.

- Pelaksanaannya juga

hanya berdasar Law Of

Malaysia Act 613 Anti

money laundering Act

2001 dikarenakan

belum adanya suatu

payung hukum

pengaturan pemberian

perlindungan saksi.

Page 92: Studi perbandingan tentang pengaturan pemberian perlindungan

xcii

Pelaksana Perlindungan Saksi

- Diatur mengenai pelaksana

perlindungan khusus

kepada saksi dilakukan oleh

Negara melalui Kepolisian

Negara Republik Indonesia,

sesuai dalam PP No. 57 Th.

2003.

- Mengacu pengaturan

undang-undang payung

Undang-Undang No 13 Th.

2006, seharusnya yang

menjadi pelaksana adalah

LPSK, yang sampai saat ini

pembentukannya

terhambat.

- Jadi pelaksananya selama

ini (perlindungan khusus)

dilakukan oleh Kepolisian.

- Oleh Badan Pencegah

Rasuah.

Jadi pengaturan pemberian perlindungan saksi dalam undang-undang pencucian uang antara Negara Indonesia dan Malaysia adalah berbeda, baik dari bentuk perlindungannya maupun subyek yang dilindungi. Law Of Malaysia Act 613 Anti money laundering Act 2001 (AMLA) negara Malaysia hanya memberikan suatu bentuk perlindungan bagi saksi pelapor (pemberi maklumat) yaitu bagi mereka yang mengungkapkan atau menyediakan informasi dalam suatu laporan tentang adanya tindak pidana pencucian uang (Pasal 24). Sedangkan Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 sebagaimana diubah dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) memberikan perlindungan yang ditujukan kepada saksi, pelapor, dan keluarga saksi/pelapor (Pasal 39-43).

Page 93: Studi perbandingan tentang pengaturan pemberian perlindungan

xciii

Berkaitan dengan bentuk perlindungan yang diberikan, pada AMLA, hanya memberikan pengaturan mengenai perlindungan hukum saja, yaitu adanya ketentuan bagi saksi pelapor tidak dapat dikenakan upaya hukum baik secara pidana, perdata maupun upaya ketertiban lainnya atas informasi yang ia berikan. Pada UU TPPU diberikan perlindungan khusus dan perlindungan hukum kepada saksi, pelapor, dan keluarga saksi/pelapor. Perlindungan hukum seperti apa yang diatur dalam AMLA, yaitu tidak adapat dilakukan tindakan hukum secara perdata dan pidana terhadap saksi, pelapor, dan keluarga saksi/pelapor. Sedangkan pengaturan megenai perlindungan khusus dibedakan menjadi empat macam, yaitu : perlindungan atas keamanan pribadi dari ancaman fisik atau mental, perlindungan terhadap harta yang harta bergerak dan tidak bergerak, terutama yang paling memungkinkan menjadi sasaran gangguan pihak pelaku, perahasiaan identitas atau penyamaran dan yang terakhir perlindungan untuk memberikan keterangan tanpa bertatap muka secara langsung dengan terdakwa. Pada perlindungan untuk memberikan keterangan tanpa bertatap muka secara langsung dengan terdakwa dapat memungkinkan pengggunaan vidio link untk pemeriksaannya.

Pada pelaksanaan Perlindungan saksi pada AMLA hanya mengacu pada AMLA tersebut saja, karena pengaturan payung hukum undang-undang perlindungan saksi belum ada dan sedang dalam tahap akhir di parlimen. Di UU TPPU sendiri pelaksanaannya mengacu pada undang-undang payung perlindungan saksi sehingga tidak boleh bertentang dengan undang-undang payung perlindungan saksi (UU No. 13 tahun 2006) tersebut. Pelaksana perlindungan saksi pencucian uang di Malaysia dilaksanakan oleh Badan Pencegah Rasuah, semacam KPK di Indonesia. Sedangkan di Indoneisa diatur mengenai pelaksana perlindungan khusus kepada saksi dilakukan oleh Negara melalui Kepolisian Negara Republik Indonesia, sesuai dalam PP No. 57 Th. 2003. Mengacu pengaturan undang-undang payung Undang-Undang No 13 Th. 2006, seharusnya yang menjadi pelaksana adalah LPSK, yang sampai saat ini pembentukannya terhambat. Jadi pelaksananya selama ini (perlindungan khusus) dilakukan oleh Kepolisian.

B. Bagaimanakah proyeksi ke depan pengaturan pemberian perlindungan

saksi dalam perundang-undangan di Indonesia?

Berdasarkan perbandingan pengaturan pemberian perlindungan saksi dalam undang-undang pencucian uang di Indonesia dan Malayasia dapat

Page 94: Studi perbandingan tentang pengaturan pemberian perlindungan

xciv

diambil segi-segi nilai positif yang dapat menjadi proyeksi ke depan pengaturan pemberian perlindungan saksi dalam perundang-undangan di Indonesia. Perlindungan saksi adalah hak dapat diterima oleh seorang saksi, pada pengaturannya pada ketentuan Undang-Undang Pencucian Uang maupun aturan pelaksanannya serta dalam Undang-Undang Perlindungan Saksi. Akan lebih baik jika pengaturannya dalam peraturan-peraturan tersebut di atas, perlindungan saksi dijadikan ketentuan wajib bagi penegak hukum, sehingga legalitasnya akan terasa lebih kuat. Ketentuan pelaksanaan dan cara-caranya akan lebih baik jika diatur lebih rinci. Aturan perjanjian yang dilakukan apabila seorang saksi berasal dari luar wilayah Indonesia juga belum jelas.

Selain hal-hal tersebut diatas, dalam pengaturan perlindungan saksi yang belum diatur pemerintah adalah mengenai ketentuan pelaksana perlindungan saksi. Adanya perbedaan dalam ketentuan payung hukum perlindungan saksi pada UU No.13 Th.2006 dengan pengaturan khusus yang telah ada sebelumnya, dalam hal pelaksana perlindungan saksi. Dalam UU No.13 Th.2006, pelaksana perlindungan saksi dilakukan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), walaupun salpai sekarang belum selesai pembentukannya. Namun pada ketentuan pelaksanaan pengaturan pencucian uang dalam PP No. 57 Tahun 2003, pelaksana perlindungan khusus terhadap saksi dilakukan oleh pihak kepolisian. Kehadiran LPSK ini, kemungkinan nantinya malah terhadang persoalan teknis. Yang perlu diatur lagi adalah mengenai apakah kedudukan LPSK nanti akan benar-benar independen (dibawah satu lembaga yang dibentuk khusus untuk perlindungan saksi) seperti dalam ketentuan UU No.13 Th.2006, atau nantinya akan berada di bawah Kepolisian Negara RI. Ada segi positif yang dapat diambila jika nantinya LPSK berada di bawah kepolisian, yaitu dengan pengalaman, struktur dan infrastrukturnya, Kepolisian jelas lebih siap jika ada yang berniat buruk kepada saksi. Selain itu struktur Kepolisian cukup lengkap dan luas untuk menjangkau wilayah negara. Hal ini berbeda jika dibentuk sebuah lembaga baru yang strukturnya belum jelas. Apalagi, pasal 13 dan 14 UU 2/2002 tentang Kepolisian telah mengatur tentang kewenangan Kepolisian dalam hal perlindungan saksi.

BAB IV

Page 95: Studi perbandingan tentang pengaturan pemberian perlindungan

xcv

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Dari pembahasan yang telah penulis uraikan pada bab-bab terdahulu,

maka penulis mencoba untuk menarik kesimpulan yang menjadi pokok

bahasan dari penulisan hukum ini, yaitu :

1. Di dalam Undang-Undang No.15 tahun 2002 sebagaimana dirubah dengan

Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian

Uang di Indonesia diatur mengenai ketentuan perlindungan saksi, yakni

dalam Pasal 39 s.d. Pasal 43 yang pelaksanaannya secara teknis diatur

dalam peraturan pelaksanaan yaitu Peraturan Pemerintah No. 57 Tahun

2003 tentang Tata Cara Perlindungan Khusus bagi Pelapor dan Saksi

Tindak Pidana Pencucian Uang dan ditindaklanjuti dengan Peraturan

Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor Pol. 17 Tahun 2005

tentang Tata Cara Pemberian Perlindungan Khusus terhadap Pelapor dan

Saksi dalam Tindak Pidana Pencucian Uang. Perlindungan saksi yang

dianut merupakan perlindungan hukum dan perlindungan khusus terhadap

ancaman yang ditujukan terhadap saksi, pelapor, keluarga saksi/pelapor.

Sedangkan dalam Anti Money Laundering Act 613 pengaturan

perlindungan saksi pada Part IV Pasal 24 tentang Protection of persons

reporting. Perlindungan ditujukan hanya kepada saksi pelapor dengan

jenis perlindungan hukum. Selama proses persidangan, otomatis seorang

saksi tidak akan mendapat perlindungan.

2. Berdasarkan perbandingan pengaturan pemberian perlindungan saksi

dalam undang-undang pencucian uang di Indonesia dan Malayasia dapat

diambil segi-segi nilai positif yang dapat menjadi proyeksi ke depan

pengaturan pemberian perlindungan saksi dalam perundang-undangan di

Indonesia. Perlindungan saksi adalah hak dapat diterima oleh seorang

saksi, pada pengaturannya pada ketentuan Undang-Undang Pencucian

Uang maupun aturan pelaksanannya serta dalam Undang-Undang

Page 96: Studi perbandingan tentang pengaturan pemberian perlindungan

xcvi

Perlindungan Saksi. Akan lebih baik jika pengaturannya dalam peraturan-

peraturan tersebut di atas, perlindungan saksi dijadikan ketentuan wajib

bagi penegak hukum, sehingga legalitasnya akan terasa lebih kuat.

Ketentuan pelaksanaan dan cara-caranya akan lebih baik jika diatur lebih

rinci. Aturan perjanjian yang dilakukan apabila seorang saksi berasal dari

luar wilayah Indonesia juga belum jelas.

B. SARAN

1. Pengaturan pemberian perlindungan saksi dalam Undang-Undang

Pencucian Uang akan terlaksana efektif apabila diikuti kerjasama penegak

hukum dalam melaksanakan peraturan perundang-undangan Pencucian

Uang.

2. Peranan saksi dalam pembuktian perkara tindak pidana pencucian uang

sangat dibutuhkan. Maka penegak hukum yang beranggapan bahwa saksi

hanya digunakan sebagai alat untuk memberikan keputusan agar bersifat

adil harus dihilanggan. Berdasarkan asas persamaan dalam hukum,

seorang saksi juga punya hak untuk dilindungi dan diberi jaminan agar

dapat memberikan keterangan dengan benar tanpa adanya tekanan dari

pihak-pihak lain sehingga efeknya juga akan membuat pengungkapan

kasus pencucian uang berjalan lancar.

3. Bagi penyidik, selayaknyalah mulai merubah diri dari yang selama ini

Offender Oriented menjadi Victim/Witness Oriented. Penyidik harus

memiliki unit dan anggaran tersendiri dalam memberikan pelayanan

perlindungan terhadap saksi dan atau korban secara maksimal. Terbukti

bahwa efektifitas perlindungan saksi dan/korban dapat menjadikan

kembalinya kepercayaan publik akan supremasi hukum. Hukum tidak lagi

milik sebagian orang yang menggunakannya sebagai alat intimidasi dari

yang mengenal hukum, tapi milik seluruh elemen masyarakat. Penyidik

sudah dapat membentuk suatu unit yang bertugas untuk memberika

program perlindungan kepada saksi dan/tau korban..Diharapkan

Page 97: Studi perbandingan tentang pengaturan pemberian perlindungan

xcvii

perlindungan terhadap saksi dan/atau korban dapat menjadi solusi

perbaikan citra Kepolisian khususnya fungsi Reskrim.

DAFTAR PUSTAKA

Buku-Buku

Amirudin dan Zainal Asikin. 2004. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Andi Hamzah. 2002. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: PT. Sinar Grafika.

Bambang Santoso. 2002. Upaya Pemberian Perlindungan Hukum Bagi Saksi Dalam Proses Perkara Tindak Pidana Korupsi dan Kendala-Kendalanya. Surakarta DUE-Like.

Hari Sasangka dan Lily Rosita. 2003. Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana. Bandung: PT. Mandar Maju.

Johnny Ibrahim. 2006. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang: Bayumedia Publishing.

Lexy J. Moleong. 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Munir Fuady. 2001. Hukum perbankan Modern Buku Kedua (Tingkat Advance). Bandung: Citra Aditya Bhakti.

M. Yahya Harahap. 2002. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Edisi Kedua. Jakarta: Sinar Grafika.

N.H.T. Siahaan. 2005. Pencucian Uang dan Kejahatan Perbankan. Jakarta: CV. Pustaka Sinar Harapan.

Romli Atmasasmita. 2000. Perbandingan Hukum Pidana. Bandung: Mandar Maju.

Soerjono Soekanto. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press.

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. 2001. Penelitian Hukum Normatif. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Page 98: Studi perbandingan tentang pengaturan pemberian perlindungan

xcviii

Sutan Remy Sjahdeni. 2004. Seluk Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pembiayaan Terorisme. Jakarta: Grafiti.

Tb. Irman S. 2006. Hukum Pembuktian pencucian Uang. Jakarta Timur: MQS publishing.

Yenti Garnasih. 2003. Kriminalisasi Pencucian uang (Money Laundering). Jakarta: Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia.

Internet

http://www.keadilanrakyat.org (20 April 2008 pukul 22.00)

http://www.unodc.org/pdf/lap witness-protection 2000.pdf (23 Maret 2008 pukul 10.00)

http://www.legalitas.org. (23 Maret 2008 pukul 10.00)

http://hukumonline.com/detail.asp?id=14473&cl=Berita. Lembaga Perlindungan Saksi, di bawah Kepolisian atau Independen (21 April 2008 pukul 22.00)

http://armanpasaribu.wordpress.com/2008/04/16/perspektif-pelayanan-reskrim-terhadap-perlindungan-saksi-dan-korban-sebagai-solusi-pembenahan-citra-kepolisian/ (21 April 2008 pukul 22.00)

http://utusan.com.my/utusan/info.asp?y=2007&dt=1104&pub=Utusan_Malaysia&sec=Terkini&pg=bt_04.htm (21 April 2008 pukul 22.00)

www.akta_pengubahan_wang_haram.htm (20 April 2008 pukul 22.00)

Teten Masduki. Beberapa Catatan UU Perlindungan Saksi. <www.antikorupsi.org> ( 23 Maret 2008 pukul 10.00)

Undang-Undang

KUHP dan KUHAP Dilengkapi Yurisprudensi Mahkamah Agung dan Hoge Raad. Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada

Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang

Malaysia Anti Money Laundering Act 613.2001

Undang Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

Page 99: Studi perbandingan tentang pengaturan pemberian perlindungan

xcix

PP No. 57 Tahun 2003 tentang Tata Cara Perlindungan Khusus bagi Pelapor dan Saksi Tindak Pidana Pencucian Uang

Peraturan Kepala Kepolisian NRI Nomor Pol. 17 Tahun 2005 tentang Tata Cara Pemberian Perlindungan Khusus terhadap Pelapor dan Saksi dalam Tindak Pidana Pencucian Uang.