studi perbandingan antara hukum pidana islam dan hukum...
TRANSCRIPT
STUDI PERBANDINGAN ANTARA HUKUM PIDANA ISLAM
DAN HUKUM PIDANA INDONESIA TENTANG REMISI
BAGI NARAPIDANA KORUPTOR
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh :
Ahmad Fakhrurrozi
NIM. 1113043000022
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2017 M/1438 H
v
ABSTRAK
AHMAD FAKHRURROZI. NIM 1113043000022. Studi Perbandingan
Antara Hukum Pidana Islam dan Hukum Pidana Indonesia Tentang Remisi Bagi
Narapidana Koruptor. Skripsi, Program Studi Perbandingan Mazhab, Fakultas
Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta,
1438H/2017M. (x halaman dan 84 halaman).
Skripsi ini bertujuan untuk menganalisis tentang pemberian remisi bagi
narapidana koruptor menurut hukum pidana Islam dibandingkan dengan menurut
hukum pidana Indonesia. Selain itu juga untuk menjawab beberapa pendapat
selama ini beredar yang mengatakan bahwa seorang koruptor tidak pantas untuk
mendapatkan remisi.
Penelitian ini dikategorikan sebagai penelitian metode deskriptif dengan
pendekatan kualitatif, yaitu merupakan suatu strategi inquiry yang menekankan
pada pencarian makna, pengertian, konsep, karakteristik, gejala, simbol, maupun
deskripsi tentang suatu fenomena. Dalam menghimpun bahan yang dijadikan
skripsi dalam penelitian ini, penulis menggunakan jenis penelitian yuridis
normative (penelitian hukum normatif) dengan metode library research (kajian
kepustakaan). Dalam penelitian ini juga menggunakan pendekatan perbandingan.,
yang dalam hal ini penulis membandingkan antara hukum Pidana Islam dengan
hukum pidana Indonesia.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa antara hukum pidana Islam dan
hukum pidana Indonesia dalam pemberian remisi bagi narapidana koruptor terdapat
beberapa persamaan dan perbedaan. Persamaannya terdapat pada tujuan
kemaslahatan, yaitu bahwa remisi bertujuan sebagai motivasi atau stimulasi serta
apresiasi bagi narapidana yang telah berkelakuan baik dan bertaubat serta
menghargai hak-hak narapidana, persamaan selanjutnya pada jenis tindak pidana
yang mendapatkan remisi, dalam hal ini hukum pidana Islam maupun hukum
pidana Indonesia tidak membeda-bedakan jenis tindak pidana yang mendapatkan
remisi, artinya semua tindak pidana bisa mendapatkan remisi termasuk dalam hal
ini tindak pidana korupsi. Sedangkan perbedannya terdapat pada siapa yang berhak
memberikan remisi, dimana di dalam hukum pidana Islam yang berhak adalah
hakim atau penguasa yang berhak mengadili, sedangakan di dalam hukum pidana
Islam adalah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia setalah mendapatkan
pertimbangan dari Direktur Jendral Pemasyarakatan. Jadi bisa disimpulkan bahwa
pemberian remisi bagi narapidana koruptor tidak bertentangan dengan hukum
pidana Islam maupun hukum pidana Indonesia.
Kata Kunci : Remisi, Narapidana Koruptor, Korupsi.
Pembimbing : Dr. H. Muhammad Nurul Irfan, MA
Muhammad Ainul Syamsu, SH., MH
Daftar Pustaka : 1961-2016.
vi
بسم هللا الرحمن الرحيم
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT. Rabb semesta alam, yang telah memberikan
limpahan rahmay dan karunia-Nya kepada umat manusia di muka bumi ini,
khususnya kepada penulis sehingga penulis bisa menyelesaikan masa studi sarjana
strata 1 di Program Studi Perbandingan Mazhab selam 4 tahun. Shalawat beriringan
salam disampaikan kepada baginda Nabi Muhammad SAW., beserta keluarga dan
para sahabatnya yang merupakan suri tauladan bagi seluruh umat manusia.
Dalam proses penyusunan skripsi ini penulis menerima banyak bantuan dari
berbagai pihak, sehingga dapat terselesaikan atas izin-Nya. Oleh karena itu, dalam
kesempatan ini penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih kepada semua pihak
yang telah memberikan bantuan baik moril maupun materil, khususnya kepada:
1. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A. Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta beserta
Wakil Dekan I, II, dan III Fakultas Syariah dan Hukum.
2. Abah Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si., Ketua Program Studi
Perbandingan Mazhab beserta Ibu Hj. Siti Hanna, S.Ag., Lc., MA.,
Sekertaris Program Studi Perbandingan Mazhab yang telah banyak
memberikan ilmu, pengalaman serta motivasi dan solusi kepada penulis
dalam kepentingan akademik maupun sosial.
3. Bapak Dr. H. Muhammad Nurul Irfan, M. Ag., beserta Bapak Ainul
Syamsu, SH., MH., sebagai dosen pembimbing skripsi penulis yang
vii
telah sabar dan terus memberikan arahannya untuk membimbing penulis
dalam proses penyusunan skripsi ini dengan sungguh-sungguh dan
penuh kecintaan.
4. Bapak H. Ahmad Bisyri Abd Shomad, LC., MA. Sebagai dosen
penasehat akademik penulis yang telah sabar mendampingi hingga
semester akhir dan telah membantu penulis dalam merumuskan desain
judul skripsi ini.
5. Segenap Dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang memberikan
berbagai macam disiplin ilmu pengetahuan selama proses studi yang
sangat berarti bagi perkembangan pemikiran dan wawasan yang luas
bagi penulis.
6. Segenap bagian administrasi dan tata usaha serta pengelola
perpustakaan utama dan perpustakaan Fakultas Syarian dan Hukum,
sekaligus kepada seluruh staf dan karyawan Fakultas Syariah dan
Hukum yang telah memberikan pelayanan secara maksimal.
7. Teristimewa dan tersayang untuk kedua orang tua penulis, Ayahanda H.
Muhammad Nursasi dan Ibunda Hj. Hafizoh yang telah memberikan
cinta dan kasih sayangnya, memberikan dukungan secara formil dan
materil dan tak pernah jenuh dan tanpa menyerah untuk memberikan
dukungan serta tak henti-hentinya mendoakan penulis dalam menempuh
pendidikan, serta saudara kandung penulis yang telah memberikan
dukungan baik dukungan spiritual maupun moril dengan segenap hati
yang tulus dan ikhlas.
viii
8. Cahya Kamila, terimakasih banyak telah menjadi partner yang telah
memberikan partisipasi dan motivasinya dalam menyelesaikan skripsi
ini dengan penuh suka dan kesabaran.
9. Rekan-rekan pengurus Himpunan Mahasiswa Program Studi
Perbandingan Mazhab periode 2015 dan 2016 yang saling berbagi
pengalaman dan saling bantu dalam menjalankan roda organisasi.
Semoga seluruh proses yang dijalani bersama memberikan dampak
positif bagi kehidupan kita nanti.
10. Sahabat/i Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Terimakasih
telah memberikan pengalaman berorganisasi.
11. Kawan-kawan seperjuangan di Program Studi Perbandingan Mazhab
angkatan 2013 yang selalu membantu, mendukung dan menemani
selama proses pendidikan strata (S1) dari awal perkuliahan sampai
akhir.
12. Rekan-Rekan di lembaga Klinik Etik dan Hukum Fakultas Syariah dan
Hukum yang bekerjasama dengan Komisi Yudisial yang saling berbagi
ilmu dan pengetahuannya.
Semog skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya, pembaca pada
umumnya serta dicatat sebagai amal baik di sisi Allah SWT., Aamiin.
Jakarta, 15 Juni 2017
20 Ramadhan 1438 H
AHMAD FAKHRURROZI
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .......................................... ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI .............................................. iii
LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................... iv
ABSTRAK ...................................................................................................... v
KATA PENGANTAR .................................................................................... vi
DAFTAR ISI ................................................................................................... ix
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................................. 1
B. Identifikasi Masalah ....................................................................... 5
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah............................................. 5
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...................................................... 6
1) Tujuan Penelitian ..................................................................... 6
2) Manfaat Penelitian ................................................................... 6
E. Riview Kajian Terdahulu ............................................................... 7
F. Signifikansi Masalah ...................................................................... 11
G. Metode dan Teknik Penelitian ....................................................... 11
1. Jenis Penelitian ......................................................................... 12
2. Sumber Data dan Pengumpulan Data ...................................... 12
3. Analisis Data ............................................................................ 13
4. Teknik Penulisan ...................................................................... 13
H. Sistematika Penulisan..................................................................... 13
x
BAB II : REMISI DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA
A. Pengertian Remisi ......................................................................... 15
B. Remisi Dikaitkan Dengan Tujuan Pemidanaan ............................ 17
C. Dasar Hukum Pemberian Remisi .................................................. 19
D. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan
Dikaitkan Dengan Tujuan Pemidanaan ......................................... 22
E. Ketentuan Tentang Remisi Menurut Undang-Undang, Peraturan
Pemerintah dan Peraturan Presiden ............................................... 26
BAB III : KORUPSI DAN REMISI DALAM HUKUM PIDANA ISLAM
A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi ............................................. 39
B. Dasar Hukum Larangan Korupsi ................................................ 41
C. Pengertian Remisi ....................................................................... 54
D. Dasar Hukum Remisi .................................................................. 54
E. Tujuan Pemberian Remisi ........................................................... 58
BAB IV : ANALISIS KOMPARATIF TERHADAP PEMBERIAN REMISI
BAGI NARAPIDANA KORUPTOR
A. Remisi Bagi Narapidana Koruptor dalam Hukum Pidana Indonesia 60
B. Remisi Bagi Narapidana Koruptor dalam Hukum Pidana Islam ..... 68
C. Persamaan dan Perbedaan Remisi Bagi Narapidana Koruptor
dalam Hukum Pidana Islam dan Hukum Pidana Indonesia ............ 74
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan.................................................................................... 77
B. Saran .............................................................................................. 78
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 80
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tindak pidana korupsi merupakan fenomena hukum yang sudah meluas
dalam masyarakat. Perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun, baik
dari jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan Negara maupun dari
segi kualitas tindak pidana yang dilakukan yang semakin sistematis serta
lingkupannya yang memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat.
Di tengah upaya pembangunan nasional di berbagai bidang, aspirasi
masyarakat untuk memberantas korupsi dan bentuk penyimpangan lainnya semakin
meningkat, karena dalam kenyataan adanya perbuatan korupsi telah menimbulkan
kerugian Negara yang sangat besar yang pada gilirannya dapat berdampak pada
timbulnya krisis di berbagai bidang. Untuk itu, upaya pencegahan dan
pemberantasan korupsi perlu semakin ditingkatkan dan diintensifkan dengan tetap
menjunjung tinggi hak asasi dan kepentingan masyarakat.1
Bukan hanya di Indonesia saja, juga dibelahan dunia yang lain tindak pidana
korupsi selalu mendapatkan perhatian yang lebih khusus dibandingkan dengan
tindak pidana yang lainnya. Fenomena atau gejala ini harus dapat dimaklumi,
karena mengingat dampak negatif yang ditimbulkan oleh tindak pidana korupsi
1 Asmawi. Teori Maslahat dan Relevansinya dengan Perundang-Undangan Pidana
Khusus di Indonesia, (Jakarta: Badan Litbang Dan Diklat Kementerian Agama RI, 2010), h. 97-98
2
yang dapat mendistorsi berbagai kehidupan berbangsa dan bernegara dari suatu
Negara, bahkan juga terhadap kehidupan antarnegara.
Korupsi telah dianggap sebagai hal yang biasa, dengan dalih “sudah sesuai
prosedur”. Koruptor tidak lagi memiliki rasa malu dan takut, sebaliknya
memamerkan hasil korupsinya secara demonstartif.2
Syariat Islam diberlakukan untuk menjaga jiwa manusia. Menjaga jiwa dan
melindunginya dari berbagai ancaman berarti memelihara eksistensi kehidupan
umat manusia secara keseluruhan. Untuk mewujudkan hal itu, Islam menetapkan
aturan hukum bagi pelaku tindak pidana pembunuhan dan pelaku delik
penganiayaan. Apabila nyawa seorang muslim melayang atau anggota tubuh rusak
dan terluka akibat tangan seseorang tanpa alasan hukum yang membolehkannya
maka pelaku dikenakan sanksi qisas atau diyat.3
Anjuran bersikap jujur dalam bermuamalah, bercermin dalam kisah
masyarakat Nabi Syu’aib, akan sangat baik apabila dijadikan sarana untuk ber-
I’tibar dan mengambil pelajaran bagi siapa pun yang biasa bertindak curang dan
tidak amanat, baik dalam berbisnis maupun dalam melaksanakan dan mengemban
tugas jabatan tertentu. Di Indonesia, masalah menjaga amanat masih perlu
mendapat perhatian dari banyak pihak, lebih-lebih problem besar korupsi yang kini
hampir terjadi di semua lini, baik kalangan eksekutif maupun legislatif, baik di
pusat maupun di dareah. Masalah korupsi di negeri ini sudah memasuki seluruh
2 Ermansjah Djaja. Memberantas Korupsi Bersama KPK, (Jakarta: Sinar Grafika 2013),
Cet ke-2, h. 3 3 Alquran Surah al-Maidah (5) : 45 dan al-Baqarah (2) : 178, tentang sanksi qisas bagi
pelaku tindak pidana penganiayaan terhadap anggota tubuh atau jiwa manusia.
3
bidang kehidupan sosial dan pemerintahan serta sudah bersifat sangat mengakar
dalam budaya hidup, perilaku, dan cara berpikir. Sementara itu, hingga kini belum
ada kemauan politik dan hukum yang serius dari pemerintah untuk menumpasnya.4
Dalam pelaksanaan hukuman di dalam KUHP Indonesia diserahkan kepada
perangkat hukum yang berkuasa (peradilan) setelah diputuskan dan memperoleh
kekuatan hukum yang tetap, maka pihak yang dikalahkan harus mentaati putusan
pengadilan secara sukarela, dan apabila putusan tersebut tidak dilaksanakan, maka
keputusan itu harus dipaksakan kepadanya dengan bantuan hukum.5
Sebaliknya di dalam hukum Islam pada hukuman takzir menjadi hak
penguasa negara atau petugas yang ditunjuk olehnya, pada hukuman qishash diyat
pelaksanaanya bisa dengan pengetahuan atau persetujuan korban sendiri atau
walinya, sedangkan pada hukuman had, mengenai pelaksanaan hukumannya yang
berhak menjalankan adalah penguasa atau wakilnya, karena hukuman had adalah
hak Allah dan dijatuhkan untuk kepentingan masyarakat.6
Remisi menurut Andi Hamzah di dalam bukunya adalah pengurangan
pidana oleh negara bagi narapidana yang belakuan baik.7 Menurut Soedarsono di
dalam kamus hukumnya, remisi adalah pengampunan hukuman yang diberikan
kepada seseorang yang dijatuhi hukuman pidana.8 Selain itu di dalam Pasal 1 Ayat
6 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1999, Remisi adalah
4 M. Nurul Irfan. Korupsi dalam Hukum Pidana Islam, (Jakarta : AMZAH 2012), Cet ke-
2, h. 2-3 5R. Subekti, Hukum Acara Perdata, (Bandung Bina Cipta, 1982), h. 130 6A. Hanafi, azas-azas Hukum Pidana Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1990), h. 339-340 7Andi Hamzah, Terminologi Hukum Pidana, (Jakarta : Sinar Grafika, 2013) h. 131 8Soedarsono, Kamus Hukum, (Jakarta : Rhineka Cipta, 1992) h. 402
4
pengurangan masa menjalani pidana yang diberikan kepada Narapidana dan Anak
Pidana yang memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam peraturan perundang-
undangan9
Sedangkan di dalam hukum Islam tidak dikenal dengan istilah remisi, ada
beberapa istilah yang hampir sama maknanya dengan remisi yaitu, al-afu’
(ampunan), ghafar (ampunan), syafa’at (pertolongan), tahfif (pengurangan). Tetapi
istilah yang sering digunakan dalam hukum Islam lebih dikenal dengan istilah
tahfiful uqubah (peringanan hukuman). Peringanan atau pengampunan hukuman
merupakan salah satu sebab pengurangan hukuman, baik diberikan oleh korban,
wali, maupun penguasa.10
Narapidana korupsi tidak akan bisa disamakan dengan dengan narapidana
umum, sehingga pengistimewaan mereka adalah wujud ketidak berpihakan
pemerintah terhadap upaya pemberantasan korupsi. Pemberian remisi untuk mereka
yang syaratnya tidak lebih sulit dibanding dengan narapidana umum, merupakan
wujud ketidakadilan bagi masyarakat yang menjadi korban para koruptor.
Akibatnya jika remisi masih tetap diberikan kepada para koruptor maka akan
mencederai rasa keadilan masyarakat.
Maka berdasarkan hal tersebut, menurut hemat penulis akan timbul adanya
perbedaan dan persamaan pandangan antara hukum pidana Islam dan hukum pidana
Indonesia dalam pemberian remisi bagi narapidana koruptor, maka
9Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat Dan
Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan 10Abdul Qadir Audah, Ensiklopedia Pidana Islam, (Jakarta : PT Kharisma Ilmu 2008),
Jilid ke-3, h. 168
5
membandingkan merupakan hal yang menarik untuk diteliti. Untuk itu penulis
sangat tertarik untuk melakukan penelitian dan menuangkannya dalam bentuk
Skripsi yang berjudul “STUDI PERBANDINGAN ANTARA HUKUM PIDANA
ISLAM DAN HUKUM PIDANA INDONESIA TENTANG REMISI BAGI
NARAPIDANA KORUPTOR”
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, beberapa
masalah yang dapat diidentifikasikan sebagai berikut :
1. Bagaimana pandangan hukum pidana Indonesia temtang remisi bagi
narapidana koruptor ?
2. Apa saja faktor-faktor yang menyebabkan seorang narapidana mendapatkan
remisi ?
3. Bagaimana dampak dari adanya pemberian remisi bagi narapidana koruptor,
terhadap orang lainnya ?
4. Bagaimana pandangan hukum pidana Islam tentang remisi bagi narapidana
koruptor ?
5. Di mana letak persamaan, perbedaan dan keterkaitan antara hukum pidana
Indonesia dan hukum pidana Islam tentang remisi bagi narapidana koruptor
?
C. Batasan Masalah
Sehubungan dengan banyaknya permasalahan yang timbul dalam penelitian
ini, maka penulis perlu membatasi masalahnya. Hal ini dimaksud supaya
pembahasannya tidak terlalu melebar dan sesuai sasaran. Maka di dalam penelitian
6
penulis membatasi permasalahannya, yaitu pada studi perbandingan antara hukum
Islam dan hukum positif tentang pemberian remisi bagi narapidana koruptor.
D. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan menjadi fokus dalam skripsi ini
adalah:
1. Bagaimana ketentuan hukum pidana Indonesia tentang remisi bagi narapidana
koruptor?
2. Bagaimana ketentuan hukum pidana Islam tentang remisi bagi narapidana
koruptor ?
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1) Tujuan Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini, ada beberapa tujuan yang hendak
dicapai oleh penulis, dan tujuan yang dimaksud adalah :
1. Untuk mengetahui ketentuan pidana Indonesia tentang
pemberian remisi bagi narapidana koruptor.
2. Untuk mengetahui ketentuan pidana Islam tentang pemberian
remisi bagi narapidana koruptor.
2) Manfaat penelitian
Adapun manfaat dalam melaksanakan penelitian ini adalah :
1) Manfaat Akademis. Penelitian ini diharapkan bermanfaat
menambah wawasan dan pengetahuan dalam memahami remisi
bagi narapidana korupsi dalam hukum pidana Islam dan hukum
7
pidana Indonesia. Kemudian menambah literatur perpustakaan
khususnya dalam bidang perbandingan mazhab dan hukum.
2) Manfaat Praktis. Diharapkan hasil penelitian ini bisa
memberikan penjelasan kepada masyarakat tentang pemberian
remisi bagi narapidana koruptor dalam hukum Islam dan hukum
positif agar masyarakat bisa memahami dengan baik bagaimana
perinsip serta persamaan dan perbedaannya menurut hukum
pidana Islam maupun hukum pidana Indonesia.
F. Review Kajian Terdahulu
Untuk mengetahui kajian terdahulu yang sudah pernah ditulis dan dibahas
oleh penulis lainnya, maka penulis me-review beberapa skripsi dan karya tulis
terdahulu yang pembahasannya hampir sama dengan pembahasan yang penulis
angkat.
Dalam hal ini penulis menemukan beberapa skripsidan karya tulis terdahulu,
yaitu :
1. Skripsi yang berjudul Tinjauan Hukum Islam terhadap Pemberian Remisi
Pada Narapidana yang ditulis oleh Zaenal Arifin.11 Dalam skripsinya,
Zaenal Arifin menjelaskan bahwa maksud dan tujuan dari pemberian remisi
dalam hukum pidana Islam bertujuan untuk kemaslahatan serta sebagai
apresiasi atas taubat dan azam untuk tidak mengulangi perbuatannya lagi
yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana. Di dalam skripsi Zaenal Arifin,
11Zaenal Arifin, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pemberian Remisi Bagi Narapidana,
Skripsi Fakultas Syariah UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2009
8
membahas bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap pemberian remisi
pada narapidana secara umum, tidak membahas secara khusus bagaimana
pemberian remisi bagi narapidana luarbiasa yang dalam hal ini adalah
koruptor. Sedangkan skripsi yang akan ditulis oleh penulis membahas lebih
khusus lagi yakni pemberian remisi bagi narapidana koruptor dan tidak
hanya menurut hukum Islam, tetapi penulis juga akan membandingkannya
dengan hukum positif yang berlaku di Indonesia.
2. Skripsi yang berjudul Grasi Bagi Narapidana Korupsi dalam Perspektif
Hukum Positif dan Hukum Islam yang ditulis oleh Fathonah Uswatun
Khasanah.12 Dalam skripsinya, Fathomah Uswatun Hasanah menjelaskan
tentang bagaimana pandangan hukum Islam dan hukum positif atas
pemberian grasi bagi narapidana korupsi. Dan Fathonah lebih membahas
efek apa yang akan terjadi apabila grasi itu diberikan oleh para narapidana
korupsi lalu apa analisisnya menurut hukum Islam. Sedangkan skripsi ini
membahas bagaimana pandangan hukum positif dan hukum Islam atas
pemberian remisi bagi narapidana korupsi, dengan metode komparatif
membandingkan persamaan dan perbedaan dari pandangan hukum positif
dan hukum Islam. Serta keterkaitan pandangan hukum positif dan hukum
Islam dalam memandangnya.
3. Skripsi yang berjudul Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pemberian Remisi
Kepada Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan (Studdi Analisis Keppres RI
12Fathonah Uswatun Hasanah, Grasi Bagi Narapidana Korupsi dalam Perspektif Hukum
Positif dan Hukum Islam, Skripsi Fakultas Syariah UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2012
9
No 174 Tahun 1999 Tentang Remisi) yang ditulis oleh Muhamad Thohir.13
Dalam skripsinya, Muhamad Thohir menjelaskan hukum islam lebih adil
daripada hukum yang ada di Indonesia saat ini. Ini dapat terlihat dari
diberikannya hak atau kewenangan melaksanakan ataupun tidak
melaksanakan qishas oleh ahli waris khususnya pada jarimah pembunuhan,
hal ini karena pada dasarnya di dalam perkara pidana umum korban dan
walinya tidak mempunyai wewenang untuk memberikan remisi, tetapi lain
halnya dalam pidana qishas dan diyat korban dan walinya diberikan
wewenang untuk memberikan pengampunan kepada pelaku. Dalam skripsi
Muhamad Thohir membahas pemberian remisi bagi narapidana
pembunuhan menurut hukum Islam. Sedangkan skripsi ini membahas
bagaimana pandangan hukum positif dan hukum Islam atas pemberian
remisi bagi narapidana koruptor.
4. Skripsi yang berjudul Pemberian Remisi Terhadap Koruptor Dalam Sudut
Pandang Fiqh Jinayah yang ditulis oleh Lasio.14 Dalam skripsinya, Lasio
menjelaskan bagaimana pandangan fiqh jinayah tentang remisi terhadap
koruptor. Yang mana dia menjelaskan bahwa remisi khusus diberikan
kepada narapidana bertakwa dan beriman menurut kepercayaannya
sehingga bisa diterima masyarakat ketika sudah bebas nantinya dari lapas.
Maka perlu dipahami dan diperhatikan pemberian remisi bukan kebijakan
13Muhamad Thohir, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pemberian Remisi Kepada Pelaku
Tindak Pidana Pembunuhan (Studdi Analisis Keppres RI No 174 Tahun 1999 Tentang Remisi),
Skripsi Fakultas Syariah IAIN Wali Songo, Semarang, 2012 14 Lasio, Pemberian Remisi Terhadap Koruptor Dalam Sudut Pandang Fiqh Jinayah,
Skripsi Fakultas Fakultas Syariah UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2011
10
yang bisa diberikan secara sewenang-wenang. Kalau narapidana korupsi
yang telah menggelapkan uang rakyat dan uang Negara, maka remisi perlu
di pertimbangkan lagi. Didalam skirpsi Lasio tidak membahas bagaimana
perbandingan antara hukum Islam dan hukum positifnya. Sedangkan di
skripsi yang penulis tulis membahas bagaimana pandangan hukum Islam
dan hukum positif serta analasis komparatifnya yaitu persamaan dan
perbedaanya.
Berdasarkan literatur di atas, penulis melihat saat ini belum ditemukan karya
ilmiah dengan studi komparatif yang membahas secara khusus mengenai
pandangan hukum Islam dan hukum positif tentang pemberian remisi bagi
narapidana korupsi. Oleh karena itu, maka penulis mencoba secara khusus
menganalisis bagaimana pandangan hukum Islam dan hukum positif terhadap
pemberian remisi bagi narapida korupsi.
G. Signifikansi Masalah
Yang mendasari peneliti mengemukakan permasalahan ini adalah karena
adanya suatu pendangan yang berpendapat bahwa remisi seharusnya tidak
didapatkan oleh narapidana khusus yang dalam hal ini yaitu narapidana korupsi.
Sehingga mereka berfikiran pemberian remisi bagi narapidana korupsi tidak akan
membuat para koruptor jera justru akan membuat para koruptornya sendiri berfikir
masih ada keringanan yang akan diberikan untuk mereka. Padahal pandangan itu
belum tentu benar karena sudah di atur oleh Undang-Undang yang berlaku, baik
menurut hukum Islam maupun hukum positif. Sehingga peneliti berpendapat bahwa
hal ini sangat perlu untuk diteliti yang kemudian dijelaskan agar jelas pandangan
11
yang sebenarnya menurut hukum Islam dan Hukum positif tentang pemberian
remisi bagi narapidana korupsi.
H. Metode dan Teknik Penelitian
Untuk penelitian ini, penulis menggunakan metode deskriptif dengan
pendekatan kualitatif, yakni merupakan suatu strategi inquiry yang menekankan
pencarian makna, pengertian, konsep, karakteristik, gejala, simbol, maupun
deskripsi tentang suatu fenomena; fokus dan multi metode, bersifat alami dan
holistik, mengutamakan kualitas, menggunakan beberapa cara, serta disajikan
secara naratif15.
1. Jenis Penelitian
Dalam menghimpun bahan yang dijadikan skripsi dalam penelitian ini
penulis menggunakan jenis penelitian yuridis normative (penelitian hukum
normatif), yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan meneiliti bahan pustaka
atau data sekunder belaka16. Sesuai dengan karakteristik kajiannya, maka penelitian
ini menggunakan metode library research (kajian kepustakaan) dengan pendekatan
kualitatif. Dalam penelitian ini juga menggunakan pendekatan perbandingan17,
yang dalam hal ini penulis membandingkan antara hukum Islam dengan hukum
positif.
15A. Muri Yusuf, Metode Penelitian; Kuantitatif, Kualitatif dan Penelitian Gabungan,
(Jakarta, Kencana Prenada Media, 2014),h. 329 16Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan
Singkat), (Jakarta: Rajawali Press, 2001), h. 13-14. 17 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta:Kencana Prenada Media, 2014), h.
172
12
2. Sumber Data dan Pengumpulan Data
Sumber data adalah segala sesuatu yang menjadi sumber dan rujukan dalam
penelitian. Adapaun sumber data dalam penelitian ini penulis bagi ke dalam tiga
jenis data, yaitu:
a. Data Primer, yaitu semua sumber yang berhubungan langsung
dengan objek penelitian. Dalam hal ini adalah kitab-kitab, buku-
buku dan literature yang berkaitan dengan hukum Pidana Islam dan
hukum pidana Indonesia.
b. Data Skunder, yaitu data yang bersumber dari literatur-literatur dan
artikel-artikel yang bersumber dari internet dan media cetak.
c. Data Tersier, yaitu data non-hukum yang diharapkan mendukung
dalam penulisan skripsi ini, seperti kamus, media elektronik, serta
ensiklopedi yang berkaitan dengan pembahasan.
Di dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode pengumpulan data,
yaitu menggunakan study pustaka (library research), memilih literatur dan referensi
kepustakaan yang berhubungan dan berkenaan dengan judul skripsi ini. Studi
pustaka dalam penelitian ini dilakukan guna mengeskplorasi teori-teori tentang
konsep dan pemahaman khususnya terkait dengan tema penelitian yakni pemberian
remisi bagi narapidana korupsi dalam perspektif hukum pidana Islam dan hukum
pidana Indonesia.
13
3. Analisis Data
Data-data yang diperoleh dari hasil penelitian kemudian diklasifikasi.
Setelah itu penulis mengalisis dengan menggunakan metode kualitatif18, yaitu
menggunakan penafsiran hukum, penalaran hukum dan argumentasi rasional.
Kemudian data tersebut penulis paparkan dalam bentuk narasi sehingga menjadi
kalimat yang jelas dan dapat dipahami.
4. Teknik Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini penulis merujuk pada buku Pedoman Penulisan
Skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta tahun 2014.
I. Sistematika Penulisan
Dalam memudahkan penyusunan skripsi ini dan untuk memberikan
gambaran secara rinci mengenai pokok pembahasan maka penulis menyusun
skripsi ini dalam beberapa bab dengan sistematika sebagai berikut.
BAB I PENDAHULUAN
Bab I merupakan pendahuluan yang berisi penjelasan yang erat sekali
hubungannya dengan masalah yang dibahas dalam bab-bab berikutnya. Penjelasan
tersebut meliputi: latar belakang masalah, identifikasi masalah, batasan dan
rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, riview kajian terdahulu,
18A. Muri Yusuf, Metode Penelitian; Kuantitatif, Kualitatif dan Penelitian Gabungan,
(Jakarta, Kencana Prenada Media, 2014),h. 400
14
signifikansi penelitian, metode dan teknik penelitian, kerangka teori dan sistematika
penulisan.
BAB II REMISI DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA
Bab II menyajikan kajian yang membahas bagaimana teori dan landasan
hukum menurut hukum pidana Indonesia tentang remisi bagi narapidana koruptor,
yang dapat membantu penulis berpikir kritis dan analitis dalam memahami
persoalan yang ada di dalam skripsi ini.
BAB III KORUPSI DAN REMISI DALAM HUKUM PIDANA ISLAM
Bab III menyajikan kajian yang membahas bagaimana teori dan landasan
hukum menurut hukum pidana Islam tentang remisi bagi narapidana koruptor. Serta
pendapat Ulama tentang remisi itu sendiri, yang dapat membantu penulis berpikir
kritis serta menganalisi dalam memahami pandangan hukum Islam dalam skripsi
ini.
BAB IV ANALISIS KOMPARATIF TERHADAP PEMBERIAN REMISI
BAGI NARAPIDANA KORUPTOR
Bab IV yaitu menguraikan tentang analisis terhadap remisi bagi narapidana
koruptor menurut hukum pidana Islam dan hukum pidana Indonesia, dan juga
tentang analisis persamaan dan perbedaannya.
BAB V PENUTUP
Bab V berisi tentang kesimpulan yang menjawab rumusan masalah dan
saran yang berguna untuk perbaikan di masa yang akan datang.
15
BAB II
REMISI DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA
A. Pengertian Remisi
Kata remisi berasal dari bahasa Belanda remissie dan remissio dari bahasa
latin yang keduanya mempunyai arti yang sama yaitu
pengampunan/potongan/pengurangan hukuman. Dari pengertian tersebut, remisi
adalah kata serapan yang diambil dari bahasa asing yang kemudian digunakan
dalam pengistilahan hukum di Indonesia.
Remisi merupakan salah satu sarana hukum yang diberikan kepada
narapidana, yang mana sarana hukum ini sangat penting dalam rangka mewujudkan
sistem pemasyaraktan. Di mana hakekat pembinaan adalah selain memberikan
sanksi punitif, juga memberikan reward, sebagai salah satu upaya pembinaan dapat
berjalan dan direspon oleh warga binaan pemasyarakatan, sedangkan tujuan dari
pemasyarakatan adalah mengupayakan warga binaan untuk tidak mengulangi
perbuatannya melanggar hukum yang pernah dilakukan sebagai warga masyarakat
serta dapat berperan aktif sebagaimana anggota masyarakat lainnya.
Pengertian remisi menurut Andi Hamzah remisi pengurangan pidana oleh
negara bagi narapidana yang berkelakuan baik.1 Menurut Soedarsono di dalam
kamus hukumnya, remisi adalah pengampunan hukuman yang diberikan kepada
seseorang yang dijatuhi hukuman pidana.2 Sedangkan menurut ketentuan
1 Andi Hamzah, Terminologi Hukum Pidana, (Jakata : Sinar Grafika, 2013), h. 131 2Soedarsono, Kamus Hukum, (Jakarta : Rhineka Cipta, 1992) h. 402
16
Keputusan Presiden RI No. 174 Tahun 1999 Tentang Remisi, di dalam Pasal 1 Ayat
1 tidak memberikan pengertian remisi secara jelas, hanya di katakan bahwa :
“Setiap Narapidana dan Anak Pidana yang menjalani pidana penjara
sementara dan pidana kurungan dapat dapat diberikan remisi apabila yang
bersangkutan berkelakuan baik selama menjalani pidana”3
Selain itu di dalam Pasal 1 Ayat 6 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga
Binaan Pemasyarakatan, Remisi adalah pengurangan masa menjalani pidana yang
diberikan kepada Narapidana dan Anak Pidana yang memenuhi syarat-syarat yang
ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.
Dari beberapa pengertian yang di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa
pengertian remisi diartikan sebagai pengurangan hukuman terhadap narapidana dan
anak pidana yang berkelakuan baik dengan tujuan untuk memotivasi narapidana
yang bersangkutan dan narapidana yang lain untuk berbuat baik dan segera
menjalani kehidupan seperti biasa di masyarakat. Remisi bisa dijadikan sebagai
sarana untuk memotivasi narapidana melaksanakan program-program yang ada di
lapas agar dijalankan dengan baik, dengan harapan yang bersangkutan
mendapatkan pengurangan hukuman sehingga dapat menghirup udara bebas dan
bisa kembali menjalani kehidupan dimasyarakat secara normal seperti biasa.
3 Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 174 Tahun 1991 Tentang Remisi Pasal 1
17
B. Remisi Dikaitkan Dengan Tujuan Pemidanaan
Tujuan diadakan pemidanaan diperlukan untuk mengetahui sifat dan dasar
hukum dari pidana. Franz Von List mengajukan problematik sifat pidana di dalam
hukum yang menyatakan “rechtsguterschutz durch rechtsguterverletzung” yang
artinya melindungi kepentingan tetapi dengan menyerang kepentingan. Dalam
konteks itu pula dikatakan Hugo De Groot “malum passionis (quod ingligitur)
propter malum actionis” yaitu pendertitaan jahat menimpa dikarenakan oleh
perbuatan jahat.4
Berdasarkan pendapat para ahli tampak adanya pertentangan mengenai
tujuan pemidanaan, yakni antara mereka yang berpandangan pidana sebagai sarana
pembalasan atau teori absolut (retributive/vergeldings theorieen) dan mereka yang
menyatakan bahwa pidana mempunyai tujuan yang positif atau teori tujuan
(utilitairan/doeltheorieen), serta pandangan yang menggabungkan dua tujuan
pemidanaan tersebut (teori gabungan/verenigings theorieen).
Muladi mengistilahkan teori tujuan sebagai teleological theories dan teori
gabungan disebut sebagai pandangan integratif di dalam tujuan pemidanaan yang
beranggapan bahwa pemidanaan mempunyai tujuan yang plural, yang merupakan
gabungan dari pandangan utilitarian yang menyatakan bahwa tujuan pemidanaan
harus menimbulkan konsekuensi bermanfaat yang dapat dibuktikan, keadilan tidak
boleh melalui pembebanan penderitaan yang patut diterima untuk tujuan
penderitaan itu sendiri dan pandangan retributivist yang menyatakan bahwa
4 Bambang Poernomo, Hukum Pidana Kumpulan Karangan Ilmiah, (Jakarta : Bina Aksara
Jakarta, 1982), h.27
18
keadilan dapat dicapai apabila tujuan yang theological tersebut dilakukan dengan
menggunakan ukuran berdasarkan prinsip-prinsip keadilan, misalnya bahwa
penderitaan pidana tersebut tidak boleh melebihi ganjaran yang selayaknya
diperoleh pelaku tindak pidana.5
Hakikatnya pidana adalah merupakan perlindungan terhadap masyarkat dan
pembalasan terhadap perbuatan melanggar hukum. Di samping itu Roeslan Salah
juga mengemukakan bahwa pidana mengandung hal-hal lain, yaitu bahwa pidana
diharapkan sebagai sesuatu yang akan membawa kerukunan dan pidana adalah
suatu proses pendidikan untuk menjadikan orang dapat diterima kembali dalam
masyarakat.6
Dalam Konsep Rancangan KUHP Baru Tahun 2013 yang dibuat oleh Tim
RUU KUHP Kementerian Hukum dan HAM RI dalam Pasal 54 dirumuskan
sebagai berikut :
(1) Pemidanaan bertujuan untuk:
a. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma
hukum demi pengayoman masyarakat;
b. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan
c. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana,
memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam
masyarakat; dan
5 Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, (Bandung : Alumni 1985), h.49 6 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung :
Alumni, 1874), h.22
19
(2) Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan
martabat manusia.
Dalam pelaksanaan hak-hak Narapidana, pemerintah memberikan
kesempatan kepada Narapidana yang dijatuhkan hukuman, baik hukuman beberapa
tahun maupun hukuman seumur hidup untuk memperbaiki diri dan mempunyai
harapan untuk kembali ke tengah-tengah masyarakat melalui proses
pemasyarakatan. Remisi juga diberikan untuk sebagai motivasi, stimulasi atau
hadiah kepada narapidana yang telah berkelakuan baik. Selain hal-hal ini, maksud
tujuan dengan adanya pemberian remisi adalah sebagai salah satu kebijakan hukum
pidana dalam rangla mewujudkan tujuan sistem pemasyarakatan yang diharapkan.
Dari pemaparan tersebut, pemidanaan yang mempunyai tujuan untuk
sebuah proses pendidikan untuk menjadikan narapidana lebih baik lagi sehingga
dapat diterima kembali dalam masyarakat. Hal ini memiliki hubungan yang erat
dengan pemberian remisi. Yang mana tujuan pemberian remisi sebagai motivasi,
stimulasi sekaligus hadiah yang diberikan kepada narapidana yang telah
berkelakuan baik dan memenuhi persyaratan untuk mendapatkan remisi. Kedua hal
ini mempunyai tujuan yang sama yakni sama-sama mempunyai tujuan untuk
meningkatkan kualitas narapidana agar menjadi lebih baik sehingga bisa diterima
kembali di masyarakat.
C. Dasar Hukum Pemberian Remisi
Dasar hukum pemberian remisi sudah mengalami beberapa kali perubahan,
bahkan untuk tahun 1999 telah dikeluarkan Keppres No. 69 Tahun 1999 dan belum
20
sempat diterapkan akan tetapi kemudian dicabut kembali dengan Keppres No. 174
Tahun 1999. Remisi yang berlaku dan pernah berlaku di Indonesia sejak jaman
Belanda sampai sekarang adalah berturut-turut debagai berikut:
1. Gouvernement Besluit tanggal 10 Agustus 1935 No. 23 Bijblad No.
13515 jo. 9 Juli 1841 No. 12 dan 26 Januari 1942 No.22; Merupakan
yang diberikan sebagai hadiah semata-mata pada hari kelahiran Sri Ratu
Belanda.
2. Keputusan Presiden Nomor 156 tanggal 19 April 1950 yang termuat
dalam Berita Negara No. 26 Tanggal 28 April 1950 jo. Peraturan
Presiden RI No.1 Tahun 1946 tanggal 8 Agustus 1946 dan Peraturan
Menteri Kehakiman RI No. G.8/106 tanggal 10 Januari 1947 jo.
Keputusan Presiden RI Nomor 120 Tahun 1055, Tanggal 23 Juli 1955
tentang Ampunan Istimewa.
3. Keputusan Presiden No. 5 Tahun 1987 jo. Keputusan Menteri
Kehakiman RI No. 01 .HN.02.01 Tahun 1987 tentang Pelaksanaan
Keputusan Presiden No 5 Tahun 1987, Keputusan Menteri Kehakiman
RI No. 04.HN.02.01 Tahun 1988 tanggal 14 Mei 1988 tentang
Tambahan Remisi Bagi Narapidana yang Menjadi Donor Organ Tubuh
dan Donor Darah dan Keputusan Menteri Kehakiman RI No.
03.HN.02.01 tahun 1988 tanggal 10 Maret 1988 tentang Tata Cara
Permohonan Perubahan Pidana Penjara Seumur Hidup menjadi pidana
penjara sementara berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 5 Tahun
1987.
21
4. Keputusan Presiden No. 69 Tahun 1999 tentang Pengurangan Masa
Pidana (Remisi);
5. Keputusan Presiden No. 174 Tahun 1999 jo. Keputusan Menteri Hukum
dan Perundang-undangan RI No. M.09.HN.02.01 Tahun 1999 tentang
Pelaksanaan Keputusan Presiden No. 174 tahun 1999, Keputusan
Menteri Hukum dan Perundang-undangan No. M.10 HN.02.01 Tahun
1999 tentang Pelimpahan Wewenang Pemberian Remisi Khusus.
Ketentuan yang masih berlaku adalah ketentuan yang terbaru, yaitu Nomor
lima (5), tetapi ketentuan tersebut masih ditambahkan dengan beberapa ketentuan
yang lain, sehingga ketentuan yang masih berlaku untuk remisi saat ini adalah:
1. Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
2. Keputusan Presiden RI No. 120 Tahun 1955, tanggal 23 Juli 1955
tentang Ampunan Istimewa.
3. Keputusan Menteri Kehakiman RI No. 04.HN.02.01 Tahun 1988
tanggal 14 Mei 1988 tentang Tambahan Remisi Bagi Narapidana yang
Menjadi Donor Organ Tubuh dan Donor Darah.
4. Keputusan Menteri Hukum dan Perundang-Undangan RI No.
M.09.HN.02.01 Tahun 1999 tentang Pelaksanaan Keputusan Presiden
No. 174 Tahun 1999;
5. Keputusan Menteri Hukum dan Perundang-undangan No.
M.10.HN.02.01 Tahun 1999 tentang Pelimpahan Wewenang Pemberian
Remisi Khusus.
22
6. Surat Edaran No.E.PS.01-03-15 Tanggal 26 Mei 2000 tentang
Perubahan Pidana Penjara Seumur Hidup Menjadi Pidana Penjara
Sementara.
7. Surat Edaran No. W8-PK.04.01-2586, tanggal 14 April 1993 tentang
Pengangkatan Pemuka Kerja.7
8. Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
Nomor M.HN-01.PK.0202 Tahun 2010 Tentang Remisi Susulan.
9. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 tahun 2006 tentang
Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 1999 tentang
Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan
10. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 99 Tahun 2012
Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun
1999 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan
Pemayarakatan.
D. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan
Dikaitkan Dengan Tujuan Pemidanaan
Di dalam Undang-Undang nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan
disebutkan bahwa lembaga Pemasyarakatan yang disingkat dengan LAPAS adalah
tempat untuk melaksanakan pembinaan narapidana, anak didik Pemasyarakatan dan
klien pemaysarakatan yang dikelompokkan dalam warga binaan pemasyarakatan.
Lembaga pemasyarakatan adalah unit pelaksanaan teknis di jajaran Departemen
7 Dwija Priyanto, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, (Jakarta : Refika
Aditama, 2006), Cet ke-1, h.135
23
Hukum dan hak Asasi Manusia yang bertugas untuk melakukan pembinaan dan
bimbingan kepada warga binaan pemasyarakatan.
Lembaga Pemasyarakatan sebagai ujung dari pelaksanaan asas pengayoman
merupakan tempat untuk mencapai tujuan tersebut diatas melalui pendidikan,
rehabilitasi, reintegrasi. Sejalan dengan tujuan dan peran tersebut, maka tepatlah
apabila petugas pemasyarakatan yang melaksanakan pembinaan dan bimbingan
serta pengamanan warga binaan pemasyarakatan dalam Undang-Undang Nomor 12
Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan ditetapkan sebagai pejabat fungsional
penegak hukum.
Pembinaan dalam lembaga pemasyarakatan sebagaimana dalam Pasal 5
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan diantaranya :
1. Pengayoman
2. Pendidikan
3. Persamaan perlakuan dan pelayanan
4. Pembimbingan
5. Penghormatan harkat dan martabat manusia
6. Kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan
7. Terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-
orang tertentu.
Konsep pemasyarakatan sebagai suatu sistem perlakuan terhadap
narapidana, kini telah mendapatkan pengaturannya dalam bentuk undang-undang,
yaitu Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan, yang
24
diundangkan pada tanggal 30 Desember 1995. Dalam Undang-Undang Nomor 12
Tahun 1995 Tentang pemasyarakatan disebutkan ;
Pasal 1 angka 1
Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan warga binaan
pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan dan cara pembinaan yang
merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan
pidana.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan
menentukan bahwa yang dimaksud dengan warga binaan pemasyarakatan adalah
meliputi narapidana, anak didik pemayarakatan dan klien pemasyarakatan. Anak
pemasyarakatan terdiri atas anak pidana, anak negara dan anak sipil, sedangkan
klien pemasyarakatan adalah mereka yang berbeda dalam bimbingan Balai
Pemasyarakatan (BAPAS).8
LAPAS sebagai ujung tombak pelaksanaan tempat untuk mencapai tujuan
tersebut diatas melalui pendidikan, rehabilitasi, dan reintegrasi sehingga petugas
pemasyarakatan yang melaksanakan tugas pembinaan dan pengamanan warga
binaan pemasyarakatan benar-benar berkualitas dan mampu mengemban tugas
tersebut karena dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang
Pemasyarakatan mereka disebut dengan nama Pejabat Fungsional Penegak Hukum.
8 Pasal 1 angka 5, angka 8, Pasal 42 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995
Tentang Pemasyarakatan
25
Menurut Dwidja Priyanto, bahwa Sistem Pemasyarakatan disamping
bertujuan untuk mengembalikan warga binaan pemasyarakatan sebagai warga yang
baik juga bertujuan untuk melindungi masyarakat terhadap kemungkinan
diulanginya tindak pidana oleh warga binaan pemasyarakatan, serta merupakan
penerapan dan bagian yang tak terpisahkan dari nilai-nilai yang terkandung dalam
Pancasila.9
Tujuan diselenggarakannya sistem pemasyarakatan dalam rangka
membentuk Warga binaan Pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya,
menyadari kesalahan memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana
sehingga dapat diterima kembali oleh lengkup masyarakat, dapat aktif berperan
dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan
bertanggungjawab.10
Berdasarkan uraian diatas maka dalam sistem pemasyarakatan ini adalah
pola pembinaan bagi warga binaan pemasyarakatan. Pembinaan adalah kegiatan
untuk meningkatkan kualitas ketakwaan kepada Tuhan yang Maha Esa, intelektual,
sikap dan perilaku, professional, kesehatan jasmani dan rohani narapidana dan anak
didik pemasyarakatan11
Apabila berbicara tentang remisi, di dalam Pasal 14 Ayat (1) Undang-
Undang 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan dijelaskan pada hruf I, bahwa hak
narapidana salah satunya adalah mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi).
9 Dwidja Priyanto, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia. Cet. Pertama,
(Bandung : Refika Aditama), h.103 10 Pasal 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan 11 Pasal 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan
26
Dalam pasal sebelumnya maupun pasal selanjutnya tidak dijelaskan golongan
narapidana apa yang mendapatkan remisi, hanya dijelaskan narapidana secara
umum. Maka dari penjelasan tersebut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995
Tentang Pemasyarakatan memberikan hak remisi kepada seluruh golongan
narapidana tidak melihat tindak pidana apa yang dilakukannya termasuk tindak
pidana korupsi.
Dilihat dari website resmi Kementerian Hukum dan HAM pemberian remisi
umum di LP. Kelas II A Denpasar Bali pada tanggal 17 Agustus 2016 sebanyak
902 narapidana dari 1438 narapidana yang ada di Bali.12 Ini menunjukkan
bahwasanya lebih dari 60% narapidana yang telah bekelakuan baik dan telah
memenuhi syarat telah mendapatkan remisi umum pada tahun 2017, artinya sudah
ada realisasi pemberian remisi secara merata yang dilakukan oleh Lembaga
Pemasyarakatan kepada narapidana yang telah memenuhi syarat untuk
mendapatkannya.
E. Ketentuan tentang Remisi Menurut Undang-Undang, Peraturan
Pemerintah dan Peraturan Presiden
Undang-Undang Nomor 12 tahun 1955 tentang Pemasyarakatan
memberikan landasan hukum bagi penyelenggaraan politik kriminal modern.
Terdapat pergeseran paradigma dari pembalasan kearah pembinaan. Pergeseran
pradigma pemidanaan ini mudah di pahami karena dinamika perkembangan
12 Kementerian Hukum dan HAM Bali, diakses pada 27 Mei 2017 dari
http://bali.kemenkumham.go.id/berita-kanwil/berita-utama/2364-pelaksanaan-pemberian-remisi-
umum-tahun-2016-pada-kanwil-kementerian-hukum-dan-ham-bali
27
masyarakat ke arah yang lebih baik dan lebih beradab sehingga oleh karenanya
hukum pidana sebagai norma yang juga berlaku dalam masyarakat juga mengalami
perkembangan sesuai dengan perkembangan masyarakat tersebut. Dengan
pandangan bahwa narapidana bukan saja obyek melainkan juga subyek yang tidak
berbeda dari manusia lainnya yang sewaktu-waktu dapat melakukan kesalahan atau
kekhilafan yang dapat diberantas adalah faktor-faktor yang dapat menyebabkan
narapidana berbuat hal-hal yang bertentangan dengan hukum, kesusilaan, agama
atau kewajiban-kewajiban sosial lain yang dapat dikenakan pidana.13
Pasal 7 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 174 Tahun 1999
tentang Remisi mengatur tentang penghitungan lamanya masa menjalani pidana
sebagi dasar untuk menetapkan besarnya remisi yang akan diperoleh oleh
narapidana dan Anak Pidana, yaitu:
Pasal 7
(1) Penghitungan lamanya masa menjalani pidana sebagai dasar untuk
menetapkan besarnya remisi umum dihitung sejak tanggal penahanan
sampai dengan hari peringatan Proklamasi Kemerdekaan Republik
Indonesia.
(2) Penghitungan lamanya masa menjalani pidana sebagai dasar untuk
menetapkan besarnya remisi khusus dihitung sejak tanggal penahanan
sampai dengan hari besar kegamaan yang dianut oleh Narapidana dan Anak
Pidana yang bersangkutan.
13 Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan,
Lemabaran Negara Tahun 1995 Nomor 77, Tambahan Lembar Negara Nomor 3614.
28
(3) Dalam hal masa penahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat
(2) terputus, perhitungan penetapan lamanya masa menjalani pidana
dihitung sejak penahanan yang terakhir.
(4) Untuk penghitungan sebagaimana dimaksud dalam pasal ini, 1 (satu) bulan
dihitung sama dengan 30 (tiga puluh) hari.
(5) Penghitungan besarnya remisi khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) didasarkan pada agama Narapidana dan Anak Pidana yang pertama kali
tercatat dalam buku register Lembaga Pemasyarakatan.
Ketentuan remisi telah diatur oleh Pemerintah di dalam Perundang-
Undangan yang berlaku di Indonesia. Berdasarkan ketentuan Pasal 2 Keputusan
Presiden Nomor 174 Tahun 1999 tentang Remisi disebutkan bahwa remisi terdiri
atas:
1. Remisi Umum
Yaitu merupakan remisi yang diberikan pada hari peringatan Proklamasi
Kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus
Tentang besarnya remisi umum yang dapat diperoleh narapidana, maka di
dalam Pasal 4 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 174 tahun 1999
tentang Remisi, yaitu :
a. 1 (satu) bulan bagi Narapidana dan Anak Pidana yang telah menjalani
pidana selama 6 (enam) sampai 12 (dua belas) bulan ; dan
b. 2 (dua) bulan bagi Narapidana dan Anak Pidana yang telah menjalani
pidana selama 12 (dua belas) bulan atau lebih.
29
(1) Pemberian remisi umum dilaksanakan sebagai berikut:
a. Pada tahun pertama diberikan remisi sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1); Pada tahun kedua diberikan remisi 3 (tiga) bulan;
b. Pada tahun ketiga diberikan remisi 4 (empat) bulan;
c. Pada tahun keempat dan kelima masing-masing diberikan remisi
5 (lima) bulan;
d. Pada tahun keenam dan seterusnya diberikan remisi 6 (enam)
bulan setiap tahun.
2. Remisi Khusus
Yaitu merupakan remisi yang diberikan pada hari besar kegamaan yang
dianut oleh Narapidana dan Anakak Pidana yang bersangkutan, dengan ketentuan
jika suatu agama yang dianut mempunyai lebih dari satu hari besar keagamaan
dalam satu tahun, maka yang dipilih adalah hari besar yang paling dimuliakan oleh
penganut agama yang bersangkutan.
Tentang besarnya remisi khusus yang diberikan bagi narapidana, maka di
dalam Pasal 5 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 174 tahun 1999,
yaitu:
a. 15 (lima belas) hari bagi Narapidana dan Anak Pidana yang telah
menjalani pidana selama 6 (enam) sampai 12 (dua belas) bulan ; dan
b. 1 (satu) bulan bagi Narapidana dan Anak Pidana yang telah menjalani
pidana selama 12 (dua belas) bulan atau lebih.
Pemberian remisi khusus dilaksanakan sebagai berikut:
30
a. Pada tahun pertama diberikan remisi sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1);
b. Pada tahun kedua dan ketiga masing-masing diberikan remisi 1 (satu)
bulan; dan
c. Pada tahun keempat dan kelima masing-masing diberikan remisi 1 (satu)
bulan 15 (lima belas) hari;
d. Pada tahun keenam dan seterusnya diberikan remisi 2 (dua) bulan setiap
tahun;
Yang dimaksud sebagai hari raya keagamaan menurut Keputusan Menteri
hukum dan Perundang-undangan Nomor M.09.02.01 tahun 1999 Pasal 3
Ayat (2) adalah:
1. Hari Raya Idul Fitri bagi Narapidana atau Anak Pidana yang beragama
Islam;
2. Hari Raya Natal bagi Narapidana atau Anak Pidana yang beragama
kristen atau Katholik;
3. Hari Raya Nyepi bagi Narapidana atau Anak Pidana yang beragama
Hindu
4. Hari Raya Waisak bagi Narapidana atau Anak Pidana yang beragama
Budha;
5. Bari Narapidana dan Anak Pidana yang bergama selain tersebut diatas
maka berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 Ayat (3)
keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 174 Tahun 1999.
31
Pasal 12 Keputusan presiden Republik Indonesia Nomor 174 Tahun 1999
tentang Remisi memberikan pengecualian terhadap pemberian Remisi Umum dan
Remisi Khusus bagi Narapidana maupun Anak Pidana yaitu bahwa remisi umum
dan khusus tidak diberikan terhadap Narapidana dan Anak Pidana yang:
a. Dipidana kurang dari 6 (enam) bulan;
b. Dikenakan hukuman disiplin dan di daftar pada buku pelanggaran tata
tertib Lembaga Pemasyarakatan dalam kurun waktu yang
diperhitungkan pada pemberian remisi;
c. Dijatuhi pidana kurungan sebagai pengganti pidana denda;
d. Sedang menjalani Cuti Menjelang Bebas.14
3. Remisi Tambahan
Yaitu merupakan remisi yang diberikan apabila Narapidana dan Anak Pidana
yang berangkutan selama menjadi pidana :
a. Berbuat jasa kepada negara;
b. Melakukan perbuatan yang bermanfaat bagi negara atau kemanusian; atau
c. Melakukan perbuatan yang membantu kegiatan pembinaan di Lembaga
Pemasyarakatan.
14 Berdasarkan penjelasan Pasal 41 Ayat (1) huruf-b Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 32 tahun 199 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan
Pemasyarakatan yang dimaksud dengan cuti menjelang bebas adalah:
a. Bentuk pembinaan Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan yang telah
menjalani 2/3 (dua pertiga) masa pidana sekurang-kurangnya telah menjalani 9 (sembilan) bulan
dan berkelakuan baik dengan lama cuti sama dengan remisi terkahir yang diterimanya paling
lambat 6 (enam) bulan;
b. Bentuk pembinaan Anak Negara yang pada saat mencapai usia 17 (tujuh belas)
tahun 6 (enam) bulan dan telah dinilai cukup baik.
32
Tentang besarnya remisi tambahan di atur dalam Pasal 6 Keputusan
Presiden Republik Indonesia 174 Tahun 1999 tentang Remisi dengan pengaturan
sebagai berikut:
a. ½ (satu perdua) dari remisi umum yang diperoleh pada tahun yang
bersangkutan bagi Narapidana dan Anak Pidana yang berbuat jasa
kepada negara atau melakukan perbuatan yang bermanfaat bagi negara
atau kemanusiaan ; dan
b. 1/3 (satu pertiga) dari remisi umum yang diperoleh pada tahun yang
bersangkutan bagi Narapidana dan Anak Pidana yang telah membantu
kegiatan pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan sebagai pemuka.
Remisi tambahan bagi narapidan yang menjadi donor organ tubuh dan donor
darah berdasarkan Pasal 2 Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia
Nomor 04.HN.02.01 Tahun 1988 tanggal 14 Mei 1988 tentang Tambahan Remisi
bagi Narapidana yang menjadi Donor Organ Tubuh dan Donor Donor disebutkan
bahwa: “setiap narapidana yang menjalani pidana sementara baik pidana penjara,
pidana kurungan maupun pidana pengganti denda dapat diusulkan untuk
mendapatkan tambahan remisi apabila menjadi donor organ tubuh dan/atau donor
darah. Dan berdasarkan ketentuan Pasal 3 Keputusan Menteri Kehakiman Republik
Indoneisa Nomor 04.HN.02.01 Tahun 1988 tanggal 14 Mei 1988 tentang Tambahan
Remisi bagi Narapidana yang menjadi Donor Organ Tubuh dan Donor Darah
disebutkan bahwa “pengusulan tambahan remisi tersebut harus disertai tanda bukti
atau surat keterangan sah yang dikeluarkan oleh rumah sakit yang melaksanakan
operasi donor organ tubuh atau oleh Palang Merah Indonesia yang melaksanakan
33
pengambilan darah. Berdasarkan Pasal 5, pemberian remisi terhadap narapidana
yang melakukan donor darah diberikan dengan besaran:
a. Sebesar 1 (satu) bulan apabila yang bersangkutan telah menyumbangkan
darahnya:
1) 5 kali
2) 10 kali
3) 15 kali
b. Sebesar 2 (dua) bulan apabila telah menyumbangkan darahnya:
1) 20 kali
2) 25 kali
3) 30 kali
c. Sebesar 3 (tiga) bulan apabila telah menyumbangkan darahnya:
1) 36 kali
2) 43 kali
3) 50 kali
d. Sebesar 4 (empat) bulan, apabila telah menyumbangkan darahnya:
1) 59 kali
2) 67 kali
3) 75 kali
e. Sebesar 5 (lima) bulan, apabila telah menyumbangkan darahnya:
1) 84 kali
2) 92 kali
3) 10 kali
34
f. Sebesar 6 (enam) bulan apabila telah menyumbangkan darahnya 101
(seratus satu) ke atas
4. Remisi Dasawarsa
Yaitu merupakan remisi yang diberikan kepada Narapidana maupun Anak
Pidana bertepatan dengan ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia pada
tanggal 17 Agustus setiap sepuluh tahun sekali.
5. Remisi Khusus Yang tertunda
Yaitu merupakan remisi khusus yang diberikan kepada Narapidana maupun
Anak Pidana yang pelaksanaan pemberiannya dilakukan setelah yang bersangkutan
berubah statusnya menjadi narapidana. Pemberian remisi ini adalah untuk
meringankan masa pidana atau hukuman bagi narapidana yang dalam kurun waktu
dari enam bulan telah menunjukkan perbuatan baik di Lembaga Pemasyarakatan.
Namun pengajuan tersebut tertunda karena dalam waktu enam bulan setelah
statusnya sebagai narapidana belum diperolehnya karena masih menunggu status
hukumnya dalam proses peradilan sehingga dengan demikian turunnya surat
keputusan tentang remisi bagi narapidana yang bersangkutan juga terlambat dan
pengajuan remisi bagi dirinya juga terlambat yaitu diajukan setelah tanggal 17
Agustus pada tahun yang bersangkutan. Ini diberikan agar narapidana yang
bersangkutan mempunyai hak yang sama seperti narapidan lainnya.
Adapun besaran remisi ini adalah maksimal 1 (satu) bulan. Diberikan
kepada narapidana dan anak pidana yang pelaksanaan pemberiannya dilakukan
setelah yang bersangkutan berubah statusnya menjadi narapidana.
35
6. Remisi Khusus Bersyarat
Yaitu merupakan remisi yang diberikan secara bersyarat kepada narapidana
dan anak pidana yang pada saat hari raya keagamaannya berlangsung namun masa
pidana yang telah dijalaninya belum cukup enam bulan. Namun pemberian remisi
ini dapat dicabut apabila dalam jangka waktu yang disyaratkan ternyata narapidana
atau anak pidana yang bersangkutan telah melakukan pelanggaran disiplin dan
dimasukkan ke dalam register F.
Pasal 12 Keputusan presiden Republik Indonesia Nomor 174 tahun 1999
Tentang Remisi juga memberikan pengecualian terhadap pemberian Remisi Umum
dan Khusus bagi narapidana maupun anak pidana yaitu bahwa remisi umum dan
khusus tidak diberikan terhadap narapidana dan anak pidana yang : 15
a. Dipidana kurang dari enam bulan;
b. Sedang menjalani cuti menjelang bebas
c. Dikenakan hukuman disiplin dan di daftar pada buku pelanggaran tata
tertib Lembaga Pemasyarakatan dalam kurun waktu yang
diperhitungkan pada pemberian remisi;
d. Dijatuhi pidana kurungan sebagai pengganti pidana denda.
Sebagaimana yang dicantumkan dalam Pasal 34 ayat (1) Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 99 Tahun 2012 Tentang Perubahan Kedua
15 Berdasarkan Penjelasan Pasal 41 ayat (1) huruf b Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 32 tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan
Pemasyarakatan yang dimaksud dengan cuti menjelang bebas adalah:
a. Bentuk pembinaan Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan yang telah
menjalani 2/3 (duapertiga) masa pidana sekurang-kurangnya telah menjalani 9 (sembilan) bulan
dan bekelakuan baik dengan lama cuti sama dengan remisi terakhir yang diterimanya paling
lambat 6 (enam) bulan;
b. Bentuk Pembinaan Anak Negara yang pada saat mencapai usia 17 (tujuh belas)
tahun 6 (enam) bulan dan telah dinilai cukup baik.
36
Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat Dan Tata Cara
Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan Bahwa setiap narapidana dan
anak pidana berhak mendapatkan remisi. Ayat (2) menjelaskan remisi dapat
diberikan kepada narapidana dan anak pidana yang telah memenuhi syarat :
a. Bekelakuan baik;dan
b. Telah menjalani masa pidana lebih dari 6 (enam) bulan.
Pada ayat (3) menjelaskan persyaratan berkelakuan baik sebagimana
dimaksud pada ayat (2) dibuktikan dengan :
a. Tidak sedang menjalani hukuman displin dalam kurun waktu 6 (enam)
bulan terakhir, terhitung sebelum tanggal pemberian Remisi; dan
b. Telah mengikuti program pembinaan yang diselenggarakan oleh LAPAS
dengan predikat baik.
Pemberian remisi berdasarkan Pasal 13 ayat (2) menyebutkan bahwa
keputusan Menteri Hukum dan Perundang-undangan tentang remisi diberitahukan
kepada narapidana dan anak pidana pada peringatan Proklamasi Kemerdekaan
Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus bagi mereka yang diberikan remisi
pada peringatan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia atau pada hari besar
keagamaan yang dianut oleh narapidana dan anak pidana yang bersangkutan.
Berdasarkan Pasal 13 ayat (1) Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 174
Tahun 1999, usulan remisi diajukan kepada Menteri Hukum dan Perundang-
undangan oleh Kepala Lembaga Pemasyarakatan, Kepala Rumah Tahanan Negara
37
atau Kepala Cabang Rumah Tahanan Negara melalui Kepala Kantor Departemen
Hukun dan Perundang-undangan.
Khusus terhadap narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana
terorisme, narkotika dan psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan
negara negara dan kejahatan hak asasi manusia yang berat dan kejahatan
transnasional terorganisasi lainnya, diberikan remisi oleh Menteri setelah mendapat
pertimbangan Direktur Lembaga Pemasyarakatan.16
Tahapan pemberian remisi adalah dilakukannya penilaian dari tim penilai
terhadap narapidana atau anak pidana. Kepala Lapas dan Tim TPP kemudian
melakukan sidang untuk membahas permohonan remisi disertai dengan data
pendukung. Apabila Kepala Lapas menyetujui usulan tersebut disertai dengan
pertimbangan dari Tim TPP Daerah maka kepala Lapas kemudian meneruskan
usulan tersebut kepada Kepala Kanwil setempat. Kepala Kanwil setelah menerima
permohonan remisi tersebut kemudian meneruskan usulan remisi kepada Dirjen
Pemasyarakatan. Apabila berdasarkan pertimbangan dari Tim TPP narapidana
tersebut tidak layak memperoleh remisi maka Kepala Lapas harus segera
memberitahukan penolakan tersebut kepada narapidana yang bersangkutan.
Dirjen Pemasyarakatan setelah menerima usulan tersebut maka dalam
jangka waktu empat belas segera menentukan sikap untuk melakukan penolakan
atau penerimaan terhadap usul remisi tersebut. Bila Dirjen Pemasyarakatan
16 Pasal 34 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik indonesia Nomor 99 Tahun 2012
Tentang Perubahan Terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat dan Tata
Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan
38
menolak usulan remisi tersebut maka dalam jangka waktu dua puluh delapan hari,
Dirjen Pemasyarakatan harus memberitahukannya kepada Kepala Lapas melalui
Kepala Kantor Wilayah (Kakanwil) setempat dan dalam jangka waktu empat belas
hari Kakanwil harus memberitahukan penolakan tersebut kepada narapidana yang
bersangkutan melalui Kepala Lapas.
Remisi sendiri mempunyai beberapa tujuan dan maksud.. Sebagaimana
diketahui maksud dan tujuan dalam memberikan Remisi menurut keputusan
Presiden Republik Indonesia Nomor 174 Tahun 1999, yaitu :
1. Sebagai motivator dan stimulasi serta dijadikan alat untuk mengingatkan
Narapidana dan Anak Pidana untuk berkelakuan baik selama berada di
Lembaga Pemasyarakatan.
2. Sebagai upaya untuk mengurangi dampak negatif dan subkultural
tempat pelaksanaan pidana, disparitas pidana akibat perampasan
kemerdekaan. Bahwa secara psikologi, pemberian remisi ini
mempunyai pengaruh dalam menekan tingkat frustasi terutama bagi
Narapidana residivis. Sehingga dapat mereduksi atau
meminimalisasikan gangguan keamanana dan ketertiban di Lembaga
Pemasyarakatan atau Rutan berupa pelarian dan kerusuhan lainnya.
3. Bahwa remisi khusus yang diberikan pada saat hari besar keagamaan,
diharapkan sebagai pemacu warga binaan pemasyarakatan untuk
penyadaran diri sesuai dengan tuntutan agama dalam kehidupan
kesehariannya.
39
BAB III
KORUPSI DAN REMISI DALAM HUKUM PIDANA ISLAM
A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi
Korupsi dalam Islam adalah perbuatan melanggar syariat yang bertujuan
untuk mewujudkan kemaslahatan bagi umat manusia dengan apa yang disebut
maqashidussy syaria’ah. Di antara kemaslahatan yang hendak dituju itu adalah
terpeliharanya harta (hifdzul maal) dari berbagai bentuk pelanggaran dan
penyelewengan. Islam mengatur dan menilai harta sejak diperolehnya hingga
dibelanjakannya, sehingga semua apa yang di perbuat oleh seseorang dengan harta
akan dimintai pertanggung jawabannya. Islam memberikan tuntutan agar dalam
memperoleh harta dilakukan dengan cara-cara yang bermoral dan sesuai dengan
hukum Islam yaitu, dengan tidak melakukan riba, tidak menipu, tidak berkhianat,
tidak curang dalam takaran timbangan ,tidak korupsi dan lain sebaginya.1
Sebagaiman dalam firman Allah SWT dalam surah An-Nisa : 29
رة عن تر أن تكون تج طل إل لكم بينكم بٱلب ا أمو أيها ٱلذين ءامنوا ل تأكلو ا أنفسكم إ اض ي نكم ول تقتلو م ن ٱل
٢٩كان بكم رحيما
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku
dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu;
sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS. an-Nisaa/4: 29)
Juga dalam firman Allah SWT dalam surah Al-Baqarah : 188
طل وتدلو لكم بينكم بٱلب ا أمو ثم وأنتم تعلمون ول تأكلو ل ٱلناس بٱل ن أمو ام لتأكلوا فريقا م ١٨٨ا بها إلى ٱلحك
1 Sabri Samin, Pidana Islam dalam Politik Hukum Indonesia, (Jakarta : Kholam, 2008),
h.77
40
Artinya : “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain
di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan)
harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta
benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.”
(QS. al-Baqarah/2: 188)
Dalam khazanah pemikiran hukum Islam (fiqh), kajian korupsi tampaknya
belum memperoleh porsi pembahasan yang memadai. Kalangan fuqaha berbicara
tentang korupsi disandarkan kepada perilaku kejahatan memakan harta benda orang
lain dengan cara yang tidak benar (akl amwal al-nas bi al-bathil), seperti yang
diharamkan dalam al-Quran dan al-Sunnah. Paling tidak ada lima istilah dalam
hukum Islam yang cukup dekat maknanya dengan korupsi, yaitu penggelapan
(ghulul), penyuapan (risywah), merampas harta orang lain dengan cara paksa
(ghasab), mencuri harta milik orang lain (sariqah), dan mengacau keamanan di
masyarakat atau negara (hirabah).
Sebagian pendapat ulama kontemporer merujuk asal kata korupsi yang
berarti merusak atau menyuap (risywah). Kata risywah tersebut mengandung arti
sebagai bentuk penyuapan yang bermakna hadiah, penghargaan pemberian, atau
keistimewaan yang dianugerahkan atau dijanjikan kepada orang lain dengan tujuan
merusak pertimbangan atau tingkah laku, terutama dari seseorang dalam kedudukan
terpercaya (sebagai pejabat pemerintah).
Sebagian fuqaha lainnya menyandarkan kata korupsi dengan istilah ghulul,
yaitu suatu bentuk tindakan pengkhianatan terhadap amanah dalam pengelolaan
harta rampasan perang. Namun ada pula yang menyandarkan kata korupsi dengan
makna merampas harta orang lain dengan cara paksa (ghasab) atau mencuri harta
milik orang lain (sariqah). Sedangkan istilah lain yang maknanya lebih ekstrim
41
dapat dilihat dari pemaknaan korupsi sebagai hirabah. Hirabah adalah tindakan
seseorang atau sekelompok orang dalam suatu negara melakukan kekacauan,
pembunuhan, perampasan harta, yang secara terang-terangan mengganggu dan
menentang peraturan yang berlaku, perikemanusiaan, dan agama.2
Mengacu kepada beberapa istilah dalam hukum Islam di atas, korupsi
mempunyai makna luas, yaitu mencakup segala bentuk manipulasi, pemerasan,
kecurangan, pencurian dan nepotisme, dan tak terbatas pada kerugian negara saja.
Bahkan korupsi dipandang sebagai perbuatan terkutuk karena dampak buruk yang
ditimbulkannya suatu masyarakat dan bangsa sangatlah serius. Ibarat suatu
penyakit, korupsi dianggap suatu penyakit menular atau bahaya laten yang bisa
menyebar luas ke seluruh sistem tatanan kehidupan bermasyarakat dan bernegara,
khususnya dalam lingkup birokrasi dan pemerintahan. Dengan segala bentuk dan
modus yang berbeda-beda, tidak ada satupun negara di dunia ini yang dapat
melepaskan diri sepenuhnya dari korupsi, termasuk Indonesia cenderung semakin
meningkat dan modus yang semakin beragam dari tahun ke tahun.
B. Dasar Hukum Larangan Korupsi
Untuk merumuskan landasan hukum korupsi dalam hukum Islam
pentingnya kiranya mengacu kepada ketentuan nash yakni ayat-ayat hukum dalam
al-Quran, hadits-hadits hukum dalam Sunnah, dan hasil ijtihad para ulama mujtahid
yang telah merumuskan prinsip-prinsip dan asas-asas hukum pelarangan korupsi.
Oleh karena itu, dalam ruang lingkup studi hukum Islam, perumusan norma-norma
2 M. Nurul Irfan, Korupsi Dalam Hukum Pidana Islam edisi kedua, (Jakarta : AMZAH,
2012), h.78-122
42
hukum pelarangan korupsi dapat ditemukan dari sumber hukum Islam yang qath’i
atau dalil naqli, yaitu al-Quran dan Sunnah, serta sumber hukum Islam yang zhanni
atau dalil aqli yaitu ijtihad.3
Dasar hukum Islam, setiap permasalahan baru memerlukan kepastian
hukum.4 Langkah pertama yang perlu dilakukan adalah dengan mencari dalil secara
langsung dalam Al-Quran dan Sunnah (nash) atau dinamakan dalil pokok (al-
munsyi). Jika dalil langsung tidak ada, maka beralih kepada dalil tidak langsung (al-
muzhir) yang tidak lain merupakan metode-metode istinbath dari nash tersebut.5
Menurut hemat penulis, kedua sumber hukum Islam tersebut menjadi landasan
hukum adanya konsep larangan korupsi dalam hukum Islam. Argumen yang
digunakan oleh penulis adalah didasarkan kepada pendapat para ulama fuqaha
sebelumnya yang telah merumuskan larangan hukum korupsi dalam fiqh al-
jinayah. Atas dasar itu pula, larangan hukum korupsi di zaman sekarang ini dapat
dirumuskan hukumnya melalui studi terhadap nash dan ijtihad.
Dalam Al-Quran banyak dijelaskan ayat-ayat hukum yang berkaitan dengan
larangan korupsi dalam hukum Islam, salah satunya adalah ayat Al-Quran yang
3 Faturrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam Jilid II, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1977),
h.9 4 Idri, Epistimologi Ilmu Pengetahuan dan Keilmuan Hukum Islam, (Jakarta : Lintas
Pustaka, 2008), h.9 5 Istilah (al-munsyi’ dan al-muzhir) merupakan istilah yang dipergunakan oleh ulama ushul
fiqh untuk mencari suatu hukum berdasarkan dalil nash dan dalil di luar nash (dalil hasil pemikiran
manusia untuk memahami atau sebagai perpanjangan dari) wahyu. tetapi yang menjadi masalah
disini adalah tentang pengakuan qiyas –merupakan salah satu konsep metode penemuan hukum dari
pemikiran imam al-Syafi’i. Apabila didasarkan pada ayat-ayat al-Quran seperti surat al-Kahfi: 45
dan al-Ghsfir: 82 ditemukan indikasinya bahwa ada suatu perintah bagi umat Islam untuk
menggunakan akal, merenung, membanding, memikirkan dan mengambil ibarat dari berbagai gejala
alam serta dalil mashalih mursalah (tujuan kemaslahatan dan kesejahteraan manusia). Penggunaan
qiyas oleh imam al-Syafi’i adalah ketika “terpaksa” karena pemahaman langsung terhadap al-Quran
dan hadits dianggap tidak memadai. Berpendapat berdalil kepadanya sama dengan membuat hukum
syarak berdasarkan kehendak sendiri. Al-Syafi’i, ar-Risalah, (Bayrut: Dar al-Fikr), h.477 dan 503
43
menunjukkan hukuman bagi pelaku korupsi tersebut adalah firman Allah dalam
Surat Al-Maidah ayat 33 yang berbunyi :
ا أو ي ورسولهۥ ويسعون في ٱلرض فسادا أن يقتلو ؤا ٱلذين يحاربون ٱل ع أيديهم وأ إنما جز ا أو تقط رجلهم صلبو
لك لهم خزي في ٱ ف أو ينفوا من ٱلرض ذ ن خل ٣٣لدنيا ولهم في ٱلخرة عذاب عظيم م
Artinya : “Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi
Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka
dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal
balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai)
suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan
yang besar.” (QS. al-Maidah/5: 33)
Ayat dalam Surat Al-Maidah ini menyebutkan empat hukuman bagi pelaku
perampokan (حرابة), yaitu dibunuh, disalib, dipotong tangan dan kaki, dan dibuang
dari tempat kediamannya. Dalam penerapan hukuman-hukuman tersebut terdapat
perbedaan pendapat ualam fikih, apakah hukuman itu boleh dipilih atau hukuman
yang dikenakan sesuai dengan bentuk tindak pidana yang dilakukan dalam hirabah
tersebut.
Kemudian dipertegas juga dengan surat Al-Maidah ayat 38 yang berbunyi:
ل م ا أيديهما جزاء بما كسبا نك عزيز حكيم وٱلسارق وٱلسارقة فٱقطعو وٱل ٣٨ن ٱل
Artinya : “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan
keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai
siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. al-
Maidah/5: 38)
Jika dilihat dari segi sebab turunnya, ayat ini turun pada Thu’mah bin
Ubayriq ketika mencuri baju perang milik tetangganya, Qatadah bin al-Nu’man.
Baju itu lalu disembunyikan di rumah Zayd bin al-Samin seorang yahudi. Namun
terbawa juga kantung berisi tepung yang bocor sehingga tercecerlah tepung itu dari
rumah Qatadah sampai kerumah Zayd.
44
Ketika Qatadah menyadari baju perangnya dicuri, dia menemukan jejak
tepung itu sampai ke rumah Zayd. Maka diambillah baju perang itu dari rumah
Zayd. Zayd berkata, “Saya diberi oleh Thu’mah”. Dan orang-orang bersaksi
membenarkannya. Saat itu Rasulullah SAW ingin mendebat Thu’mah, lalu turunlah
ayat ini yang menerangkan tentang hukum pencurian.
Sedangkan sebab turun ayat selanjutnya yaitu ayat 39 adalah riwayat dari
Ahmad dari Abdillah bin Amru bahwa seorang wanita telah mencuri di masa
Rasulullah SAW. Lalu dipotonglah tangan tangan kanannya. Wanita itu lalu
bertanya: masih mungkinkah bagi saya untuk bertaubat? Kemudian turunlah Surat
Al-Maidah ayat 39 sebagai penguat dari ayat sebelumnya.6
حيم غفور ر يتوب عليه إن ٱل ٣٩فمن تاب من بعد ظلمهۦ وأصلح فإن ٱل
Artinya : “Maka barangsiapa bertaubat (di antara pencuri-pencuri itu) sesudah
melakukan kejahatan itu dan memperbaiki diri, maka sesungguhnya Allah
menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.” (QS. al-Maidah/5: 39)
Apabila pelaku korupsi dihubungkan dengan ghulul maka sanksi hukum
pada ghulul tampaknya bersifat sansksi moral. Walaupun dalam ayat Al-Qur’an
tidak disebutkan teknis eksekusi dan jumlahnya, tetapi dalam beberapa hadis
Rasulullah secara tegas disebutkan teknis dan jumlah sanksinya. Hal inilah yang
membedakan antara ghulul dengan jarimah qishah dan hudud sehingga ghulul
masuk dalam kategori jumlah takzir.
6 Endang Jumali, Rekontruksi Sanksi Hukum Pidana di Inonesia, (Jakarta : Saadah Pustaka
Mandiri, 2016), h.54
45
Sanksi moral pelaku ghulul berupa risiko akan dipermalukan di hadapan
Allah kelak pada hari kiamat, tampaknya sangat sesuai dengan jenis sanksi moral
yang ditetapkan oleh Rasulullah SAW, sebagaimana disebutkan dalam sebuah
hadist riwayat Imam Abu Dawud dengan judul “ باب فى تعظيم الغلول” (Bab Perbuatan
Penggelapan) dan di dalam Surah Al-Imran Ayat 1617:
ا ك ثم توفى كل نفس ممة أن يغل ومن يغلل يأت بما غل يوم ٱلقي م ل يظلمون وما كان لنبي و ١٦١سب
Artinya : “Tidak mungkin seorang nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan
perang. Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka
pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu,
kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan
dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya.” (QS. al-Imran/3:
161)
Jika pelaku korupsi dihubungkan dengan hirabah yang bukan hanya
melakukan pembunuhan tetapi juga merampas harta, maka hukumannya adalah
dibunuh. Pelaku hirabah ini merampas harta yang disertai dengan pembunuhan,
maka hakim bebas memilih hukumannya, yaitu apakah akan dipotong tangan dan
kakinya secara silang kemudian dibunuh atau disalib saja. Ini berbeda korupsi yang
disandarkan kepada ghulul, maka pelaku korupsi bisa dipotong tangannya atau
dipenjarakan sesuai dengan kadar kejahatannya. Namun jika pelaku korupsi telah
mengganggu keamanan dan stabilitas ekonomi negara, maka hukumannya dapat
dipenjarakan seumur hidup atau dikenakan hukum yang ditentukan melalui takzir.
Bentuk hukuman takzir tersebut bisa dikenakan dan diserahkan sepenuhnya kepada
7 M. Nurul Irfan, Korupsi Dalam Hukum Pidana Islam edisi kedua, (Jakarta : AMZAH,
2012), h.81-82
46
hakim.8 Sedangkan hukuman takzir dalam hukum pidana Islam diposisikan sebagai
bentuk hukuman berat kedua setelah qishash dan hudud.9
Berbeda dengan jarimah qishash dan hudud, bahwa jarimah takzir tidak
ditentukan banyaknya. Hal ini karena yang termasuk jarimah takzir ini adalah
setiap perbuatan maksiat yang tidak dikenakan hukuman had dan qishash, yang
jumlahnya sangat banyak. Kaitannya dengan jenis-jenis jarimah takzir ini Ibn
Taymiyyah menggunakan:
مرأة الجنبية أو يباشر بل جماع أو يأكل المعاصى التى ليس فيها حد مقدر ول كفارة كالذى يقبل الصبي وال
يل وتأذيبا بقدر ما يراه الوالىما ل يحل كالدم والميتة ... فهؤلء يعاقبون تعزيرا وتنك .
Perbuatan-perbuatan maksiat tidak dikenakan hukuman had dan tidak perlu
kifarat, seperti mencium anak-anak (dengan syahwat), mencium wanita lain yang
bukan istri, tidur satu ranjang tanpa persetubuhan, atau memakan barang yang
tidak halal seperti darah dan bangkai .... Maka semuanya dikenakan hukuman
ta’zir sebagai pembalasan dan pengajaran, dengan kadar hukuman yang
ditetapkan penguasa.10
Tujuan diberikan hak penentuan jarimah-jarimah takzir dan hukumannya
kepada penguasa adalah agar mereka dapat mengatur masyarakat dan memelihara
kepentingan-kepentingannya, sebab bisa menghadapi dengan sebaik-baiknya setiap
keadaan yang bersifat mendadak. Jarimah takzir di samping ada yang di serahkan
penentuannya sepenuhnya kepada ulil amri, juga ada yang memang sudah
8 Ta’zir adalah suatu jarimah yang diancam dengan hukuman ta’zir (selain had dan
qishash), pelaksanaan hukuman ta’zir, baik yang jenis larangannya ditentukan oleh nash atau tidak,
baik perbuatan itu menyangkut hak Allah atau hak perorangan, hukumannya diserahkan sepenuhnya
kepada penguasa. Hukuman dalam jarimah ta’zir tidak ditentukan ukurannya atau kadarnya, artinya
untuk menentukan batas rendah dan tinggi diserahkan sepenuhnya kepada hakim (penguasa). 9 A.S.Burhan, Korupi Di Negeri Kaum Beragama, Ikhtiar Membangun Fiqh Anti Korupsi,
(Jakarta : P3M dan Kemitraan-Partnership, 2004), h.182 10 Ibn Taymiyyah, al-Siyasah al-Syar’iyyah, (Kairo : Maktabah Anshar al-Sunnah al-
Muhammadiyyah, 1961), h.112
47
ditetapkan oleh syarak (hudud), terpenuhi. Misalnya pencurian, yaitu seperempat
dinar.
Berdasarkan ayat-ayat hukum di atas, tidak diragukan lagi bagi setiap rambu
yang terdapat dalam Al-Quran dan Sunnah. Terlebih lagi, apabila disandarkan
kepada aspek keyakinan terhadap Islam, maka setiap orang yang tidak berpegang
kepada Al-Quran dan Sunnah, maka ia dianggap ingkar keislamannya. Artinya,
setiap orang yang melakukan korupsi akan dikenai sanksi hukum karena ia telah
keluar dari otoritas hukum sebagai muslim, yakni yang harus tunduk, taat dan patuh
kepada hukum-hukum agama yang dianutnya (Al-Quran Al-Karim).
Dalam Sunnah banyak dijelaskan norma-norma hukum pelanggaran korupsi
dalam hukum Islam :
1. Diriwayatkan oleh Ahmad dari Abu Malik al-Asyaja’i, dari Nabi SAW.,
bersabda:
أو في الدار فيقطع أحدما –ين في الرض تجدون الرجلين جار –أعظم الغلول عندهللا ذراع من الألرض
من حظ صاحبه ذراعا, فإذا قطعه طوقه من سبع أر ضين يوم القيا مة )رواه حمد(
Artinya : “Korupsi yang paling besar menurut pandangan Allah ialah sejengkal
tanah. Kamu melihat dua orang yang tanahnya atau rumahnya berbatasan.
Kemudian salah seorang dari keduanya mengambil sejengkal dari milik
saudaranya itu. Maka jika dia mengambilnya, akan dikalungkan kepadanya dari
tujuh lapis bumi pada hari kiamat.” (HR.Ahmad)
2. Imam Ahmad meriwayatkan dari al-mistaurid bin syadad, dia
mendengar Rasulullah SAW. Berbeda:
له من ولي لنا عمل وليس له منزل ج, أو ليس له خادم فليت فليتخد منزل, أو ليس خذ خادما, أو زوجة فليتزو
ذ دابة, ومن أصاب شيئا سوى ذالك فهو غال )رواه أحمد(ليس له دابة فليتخ
48
Artinya : “Barang siapa yang diserahi suatu jabatan sedang dia tidak punya
rumah, maka berikan rumah untuknya; bila tidak punya istri, maka kawinkan dia;
bila tidak punya pembantu, maka berilah dia pembantu; dan bila tidak punya
kendaraan maka sediakan kendaraan untuknya. Barangsiapa yang mengambil
sesuatu selain itu maka dia koruptor.”11
Menurut kepada ketentuan hadits tentang ghulul di atas, tampak jelas bahwa
korupsi merupakan tindakan pidana yang bertentangan dengan hukum syarak.
3. Hadits dari Abi Hurayrah R.A. yang diriwayatkan oleh Turmudzi bahwa
Rasulullah SAW telah bersabda:
لم الراش والمرتشي في الحكم )رواه الترمذي(عن أبي ريرة قال : لعن رسول هللا صلى هللا عليه وس
Artinya : Dari Abu Hurayrah R.A berkata: “Rasulullah melaknat orang yang
menyuap dan yang menerima suap dalam hukum” (H.R. Turmudzi).
Risywah adalah sesuatu yang diberikan dalam rangka mewujudkan
kemaslahatan atau membenarkan yang batil/salah atau menyalahkan yang benar.12
Mengacu kepada hadits di atas, risywah atau suap memang tidak bisa terjadi dari
satu pihak. Ia selalu melibatkan kedua belah pihak, bahkan sangat boleh jadi bisa
tiga pihak. Yakni si penyuap (rasyi), yang disuap atau yang menerima suap
(murtasyi) dan yang menjadi perantara suap (raisy). Oleh sebab itu, risywah ini
memang merupakan kejahatan yang terorganisir. Sekaligus ia merupkan kejahatan
yang susah dibongkar, karena antara pelaku dan korban sama-sama terlibat. Beda
dengan kejahatan umumnya, pencurian, penipuan atau penganiayaan; pelaku dan
korban tidak mungkin bersekongkol.
11 Muhammad Nasib ar-Rifa’i, Kemudahan dari Allah, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir Jilid
1, (Jakarta : Gema Insani Press, 1999), h.609-610 12 M. Nurul Irfan, Korupsi Dalam Hukum Pidana Islam edisi kedua, (Jakarta : AMZAH,
2012), h.89
49
4. Hadits dari Ubaqah bin Amir yang diriwayatkan oleh Abu Dawud
bahwa Rasulullah SAW telah bersabda:
رسول هللا صل هللا عليه وسلم قال ل يدخل الجنة صاحب مكس سمععامر قال عن عقبة بن
Artinya : Dari Uqbah bin Amri, berkata, saya mendengar Rasulullah SAW.
Bersabda: “Orang yang melakukan pungutan liar tidak akan masuk surga.” (HR.
Abu Dawud).13
Al-maks itu berasal dari kata يمكس –مكس artinya memungut cukai.
Muhammad bin Salim bin Sa’id bin Babashil mendefinisikan al-maks adalah suatu
aturan yang ditentukan oleh penguasa-penguasa secara zalim, berkaitan dengan
harta-harta manusia, (aturan ini) diatur dengan undang-undang yang sengaja dibuat
atau diada-adakan.14 Maka dari hadits tersebut Nabi menyatakan bahwa pelaku
cukai ilegai atau pungutan liat tidak akan masuk surga.
Beberapa petikan di atas juga dapat menjadi dasar bagi pelarangan korupsi
dalam hukum Islam. Selebihnya praktik pelarangan korupsi dalam hukum Islam
hendaknya ditujukan sesuai dengan tujuan syariat (maqashid al-syari’ah).
Sedangkan untuk menjelaskan lebih rinci tentang bagaimana
mengimplementasikan pelarangan korupsi dalam hukum Islam tentu diperlukan
pengkajian lebih dalam melalui proses penetapan hukum (istinbath al-ahkam).
Tujuan utama penetapan dan penerapan sanksi pidana Islam kepada pelaku
korupsi sekarang ini sepertinya tidak mapan lagi, mengingat perbuatan korupsi
dilakukan tanpa rasa takut dan mengabaikan aturan-aturan yang ada. Untuk
13 M. Nurul Irfan, Korupsi Dalam Hukum Pidana Islam edisi kedua, (Jakarta : AMZAH,
2012), h.133 14 M. Nurul Irfan, Korupsi Dalam Hukum Pidana Islam edisi kedua, (Jakarta : AMZAH,
2012), h.127-129
50
melakukan pencegahan dan perbaikan atau pendidikan bagi perbuatan korupsi
sebagai wujud untuk mengurangi kejahatan dan benar-benar akan mencapai
tujuannya, dalam khazanah pemikiran hukum pidana Islam, syarat pada jarimah itu
dikembangkan, yaitu:15 membuat pelaku menjadi jera; dapat menjadi pelajaran bagi
orang lain; seimbang dengan jarimah yang dilakukan; dan bersifat umum dan atau
berlaku terhadap semua orang. Meskipun demikan, persoalan yang patut
diperhatikan adalah tidak semua jarimah16atau kejahatan yang diancam pidana
sebagaimana ditentukan dalam Al-Quran dan Hadits Nabi SAW. Karena motivasi
kejahatan juga harus diperhatikan, termasuk kejahatan korupsi apabila
dikategorikan kepada jarimah takzir. Begitupun dengan ancaman pidana hudud,
jika dalam kejahatan korupsi apabila dikategorikan kepada jarimah takzir.
Begitupun denganm ancaman pidana hudud, jika dalam kejahatan korupsi itu
mengandung unsur syubhat (keraguan), maka sanksinya tidak diberlakukan, sesuai
prinsip:
إدرأوا الحدود بالشبهات.
Hindarilah hudud apabila terdapat keraguan.17
Selain itu, dalam pidana Islam mempertegas lagi bahwa suatu jarimah tidak
dapat diterapkan apabila nas yang menegskannya tidak ada. Sesuai dengan kadiah
hukum Islam, yaitu:
15 Ahmad Azhar Basyir, Ikhtisar Fikih Jinayat (Hukum Pidana Islam), (Yogyakarta : UII
Pres, 2001), h.66 16 Larangan-larangan Syar’a yang diancam Allah dengan hukuman had dan ta’zir. 17 Al-Suyuti, al-Asybah wa al-Nazhair fi al-Furu, Juz I, (Surabaya : Maktabah Dar Ihya al-
Kutub al-‘Arabiyyah), h.14
51
ل جريمة ول عقوبة بل نص إل في حدود18
Tidak ada jarimah dan tidak pula ada sanksi tanpa ada nash kecuali dalam hudud.
Ketentuan di atas menunjukkan bahwa apabila hukuman hudud tidak dapat
diterapkan, maka ulama fiqih menetapkan hukuman yang akan dilaksanakan adalah
hukuman takzir, sesuai dengan kadar kemaslahatan yang dikehendaki. Sesuai
kaidah hukum yang berbunyi : takzir sangat tergantung kepada tuntutan
kemaslahatan ( مع المصلحةالتعزير يدور ). Dalam hal ini ukuran kemasalahatan sudah
sesuai denga persyarata kemasalahatan yang ada dalam ushul fiqh.19
Kalangan ulama fiqh tidak memberikan aturan yang tegas mengenai ada
tidaknya hak pemeritntah untuk memberikan grasi atau remisi kepada pelaku tindak
pidaa takzir, akan tetapi dalam konteks sekarang hak memberikan remisi oleh
pemerintah dirasa perlu oleh masyarakat dengan mempertimbangkan dan
diijtihadkan. Dalam konteks ini, saya sependapat dengan pendapat Juhaya S. Praja
bahwa untuk menjamin penegakan hukum dalam pemberantasan tindak pidana
korupsi melalui teori takzir hendaknya mengacu kepada kaidah hukum yang
berbunyi: ada kemungkinan menerapakan sanksi pidana tanpa ada nash dalam
perkara ghulul untuk tujuan kemaslahatan ( في الغلول لمصلحةامكان العقوبة بل نص ).
Oleh karen itu, penguasa/pemerintah (wali al-amr) berkewenangan untuk
menentukan sanksi takzir. Pelaksanaanya tidaklah berpegang pada satu jenis
hukuman, karena ia terkait dengan unsur kemaslahatan yang harus diperhatikan.
18 ‘Abdul Qadir ‘Awdah, al-tasyri’ al-Jinai al-Islami Jilid ke-1, (Maktabah Dar al-Turast,
al-Qahirah,, 2005), h.105 19 Kemaslahatan yang dimaksudkan dalam ushul fiqh adalah mencakup kemaslahatan
umum dan kemaslahatan khusus. Wahbah al-Zuhayli, Ushul al-Fiqh al-Islami, Juz II, (Bayrut Dar
al-Fikr, 2004) , h.1056
52
Namun dalam pelaksanaan sanksi, penguasa dapat menyerahkan kepada lembaga
peradilan (peran hakim) sebagai lembaga yang berkompeten untuk menjatuhkan
sanksi itu. Ia dapat menentukan suatu hukum yang menurut ijtihadnya yang dapat
memberikan pengaruh preventif, repretif, kuratif dan edukatif terhadap pelaku
jarimah dengan mempertimbangkan keadaan pelaku, jarimah, korban kejahatan,
waktu dan tempat kejadiannya.
Melihat peristiwa-peristiwa yang tak pernah berakhir, diiringi dengan
kemajuan pembangunan dan banyaknya kegiatan-kegiatan manusia membuat
banyak pula kejahatan, bahkan tidak pernah ada sebelumnya. Seandainya tidak ada
hukum seperti takzir terhadap kejahatan-kejahatan baru, atau setidaknya kalaupun
ada – hal itu berasal dari kreatifitas akal tanpa ada sandaran syarak, maka hal itu
adalah sesat dan fasid.20
Dengan disyari’atkannya hukuman takzir, maka akan terwujud keadilan dan
membasmi kejahatan yang tidak ada nash, dan ini berpengaruh sangat besar dalam
memerangi kejahatan, memelihara masyarakat Islami dari gejala-gejala sosial yang
rusak. Apabila dibiarkan maka akan menjadi bagian dari kehancuran atau
kerusakan. Untuk itu takzir adalah upaya untuk mencegah terjadinya suatu
perbuatan yang tidak pantas dimaafkan atau untuk menangani hal-hal yang
bertentangan engan keamanan dari stabilitas masyarakat.
Sebagaimana halnya memvonis kejahatan lainnya dan menentukan
hukuman kepadanya, seperti pemalsuan, perjudian, meninggalkan shalat, homo
20 Muhammad Abu Zahrah, Falsafah al-‘Uqubah fi al-Fiqh al-Islami, (Ma’had al-Dirasah
al-‘Arabiyyah al-‘Alamiyyah), h.68-69
53
seksual, lesbian, khalwat, penyogokan, korupsi dan kejahatan-kejahatan yang
serupa dengannya merupakan termasuk dalam kategori hukuman takzir. Prinsip-
prinsip dasar hukum di dalam nash21ditujukan untuk mengabdi kepada tujuan
kemanusiaan yang mulia dan merealisasikan apa yang diperintahkan oleh Tuhan,
yaitu bersikap adil di antara seluruh manusia dan memberikan keamanan kepada
mereka.
Selain itu, hikmah diterapkannya hukuman takzir dalam penegakan hukum
Islam lebih banyak didasarkan kepada ‘illat hukum yang sesuai dengan tuntutan
dan kepentingan-kepentingan sosial adalah satu-satunya alasan untuk
menetapkannya, sehingga pemeliharaan hukum dan kemaslahatan umum
dibutuhkan secara fleksibel dan sesuai satiap zaman dan waktu. Dengan demikian
tidak ada alasan untuk menolak elastisitas hukum Islam baik dari segi teorinya
maupun praktiknya.
Ketentuan-ketentuan hukum syariat yang sangat fleksibel menunjukkan
bahwa Islam telah memberikan hak dan wewenang sepenuhny kepada wali amri
untuk menggolongkan suatu perilaku atau tindakan sebagai kriminal yang tidak
dapat dalam nash, memberikan hak untuk mengharamkan perbuatan yang
bertentangan (maksiat dan dicela oleh agama) dan menentukan hukuman yang
pantas. Islam tidak memberikan kebebasan penuh dalam menghalalkan semua jenis
21 Selain nash al-Quran sebagai landasan umum – Hadits merupakan pegangan kedua dalam
penetapan ta’zir, sebab Rasulullah sudah pernah menjalankan ketentuan ini sesuai zaman dan waktu
pada saat itu. Di samping itu, landasan ijma’ adalah efektivitas dan flesibilitas terhadap
pemberlakuan ketentuan ta’zir pada zaman dan waktu yang berbeda (sekarang ini). Mengapa tidak,
Rasulullah SAW, Abu Bakar al-Shidiq dan Umar bin al-Khaththab telah meletakan sendi-sendi
hukum dalam kategori ta’zir terhadap tatanan kehidupan bermasyarakat, apalagi landasan logika
yang sangat memungkinkan untuk itu.
54
penggolongan tersebut, ia harus sejalan dengan nash-nash, kaidah-kaidah
umumnya serta ruh syariat sebagaimana diwajibkan atas mereka penggolongan
tersebut dan harus sesuai dengan tuntutan masyarakat dan sistem dalam rangka
memperjuangkan kemasalahatan umum.
C. Pengertian Remisi
Dalam istilah Arab memang tidak dijumpai pengertian yang pasti mengenai
kata remisi, tetapi ada beberapa istilah yang hampir sepadan dengan makna remisi
itu sendiri, yaitu al-Afu’ (maaf, ampunan), ghafar (ampunan), rukhsah
(keringanan), syafa’at (pertolongan), tahfif (pengurangan). Selain itu menurut
Sayid Sabiq memaafkan disebut juga dengan Al-Qawdu’ “menggiring” atau
memaafkan yang ada halnya dengan diyat atau rekonsiliasi tanpa diyat walau
melebihinya.22 Dalam hukum pidana Islam istilah yang sering digunakan dan
memiliki makna hampir menyerupai istilah remisi adalah tahfiful uqubah
(peringanan hukuman). Dalam Ensiklopedi Hukum Pidana Islam peringanan atau
pengampunan hukuman merupakan salah satu sebab pengurungan (pembatalan)
hukuman, baik diberikan oleh korban, walinya, maupun penguasa.23
D. Dasar Hukum Remisi
Dasar pengampunan hukuman yang menjadi hak korban/walinya terdapat
dalam Al-Qur’an dan Hadist. Dasar dari Al-Qur’an adalah dirman Allah SWT
dalam surat Al-Baqarah Ayat 178:
22 Sayyid Sabiq, fiqh Sunnah, (Jakarta : Pena Pundi Aksara, 2006), h.419 23 Abdul Qadir Audah, Ensiklopedia Hukum Pidana Islam, (Jakarta : PT Kharisma Ilmu,
2008), h.168
55
أيها ٱلذين ءامنوا كتب عليكم ٱلقصاص في ٱلقتلى ٱلحر بٱلحر وٱلعبد بٱلعبد و عفي لهۥ من ٱلنثى بٱلنثى فمن ي
ل ذ ن لك فلهۥ عذاب أخيه شيء فٱت باع بٱلمعروف وأداء إليه بإحس فمن ٱعتدى بعد ذب كم ورحمة ن ر ك تخفيف م
١٧٨أليم
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash
berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang
merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa
yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan)
mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar
(diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu
adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang
melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih.” (QS. al-
Baqarah/2: 178)
Adapun sebab diturunkannya ayat ini adalah riwayat yang berasal dari
Qatadah yang menceritakan bahwa penduduk jahiliyah suka melakukan
penganiayaan dan tundak kepada setan. Jika terjadi permusuhan di antara mereka
maka budak mereka akan membunuh budak orang yang dimusuhinya. Mereka juga
sering mengatakan “kami hanya akan membunuh orang merdeka sebagai ganti dari
budak itu.” Sebagai ungkapan bahwa mereka lebih mulia dari suku lain. Seandainya
seorang wanita dari mereka membunuh wanita lainnya, merekapun berkata “kami
hanya akan membunuh seorang lelaki sebagai ganti wanita tersebut.” Maka Allah
menurunkan firman-Nya yang berbunyi “Orang merdeka dengan orang merdeka,
hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita.”24
Diriwayatkan juga dari Said bin Jubair rahimahullah bahwa sesaat sebelum
Islam datang, bangsa Arab Jahiliyah terbiasa membunuh. Terjadi pembunuhan dan
saling melukai diantara mereka hingga merekapun membunuh budak dan kaum
24 Abdurrahman Kasdi Dan Umma Farida, Tafsir Ayat-Ayat Yaa Ayyuhal-Ladziina
Aamanuu I, (Jakarta : Pustaka AL Kautsar, 2005), h.63
56
wanita. Mereka tidak menerapkan qishas dalam pembunuhan tersebut hingga
mereka masuk Islam, bahkan salah seorang dari mereka melampaui batas dengan
melakukan permusuhan dan mengambil harta orang lain. Mereka juga bersumpah
untuk tidak merelakan sampai dapat membunuh orang yang merdeka sebagai ganti
budak yang terbunuh, dan membunuh seorang laki-laki sebagai ganti dari wanita
yang terbunuh, maka Allah menurunkan firman-Nya “Hai orang-orang yang
beriman, diwajibkan atas kamu Qishas berkenaan dengan orang-orang yang
dibunuh.”25
Selain wajib Qishash, Islam juga lebih menganjurkan pemberian maaf, dan
mengatur tata cara (hududnya), sehingga sikap pemberian maaf ini terasa sangat
adil dan muncul setelah penetapan Qishash. Anjuran pemberian maaf ini bertujuan
untuk mencapai kemuliaan, bukan suatu keharusan, sehingga bertentangan dengan
naluri manusia dan membebani manusia dengan hal-hal di luar kemampuan mereka.
Allah SWT berfirman, “ Maka Barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari
saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan
hendakalah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf
dengan cara yang baik (pula)”.
Selain itu terdapat juga dalam surat Al-Maidah ayat 45:
ن وٱلج وكتبنا عليهم فيها أن ٱلنفس بٱلنفس وٱلعين بٱلعين وٱلنف بٱلنف وٱلذن بٱلذ ن بٱلس قصاص ن وٱلس رو
لمون فمن تصدق بهۦ فهو كفارة لهۥ ومن لم يحكم بما أنزل م ٱلظ ئك
فأول ٤٥ٱل
Artinya : “Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat)
bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung,
25 Abdurrahman Kasdi Dan Umma Farida, Tafsir Ayat-Ayat Yaa Ayyuhal-Ladziina
Aamanuu I, (Jakarta : Pustaka AL Kautsar, 2005), h.64
57
telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada qishaashnya.
Barangsiapa yang melepaskan (hak qishaash)nya, maka melepaskan hak itu
(menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut
apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.”
(QS. al-Maidah/5: 45)
Ayat ini menerangkan bahwa ketetapan hukum diyat tersebut ditetapkan
kepada mereka Bani Isra’il di dalam kitab Taurat. Penekanan ini disamping
bertujuan membuktikan betapa mereka melanggar ketentuan-ketentuan hukum
yang ada dalam kitab suci mereka, juga untuk menekankan bahwa prinsip-prinsip
yang ditetapkan oleh Al-Qur’an ini pada hakekatnya serupa dengan prinsip-prinsip
yang ditetapkan Allah terhadap umat-umat yang lalu. Dengan demikian diharapkan
ketentuan hukum tersebut dapat diterima dan dilaksanakan oleh semua umat
termasuk umat Islam.26
Penafsiran dalam penutupan ayat ini, “Barangsiapa tidak memutuskan
perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang
yang zalim” mengesankan bahwa anjuran memberi maaf bukan berarti melecehkan
hukum Qishas karena hukum ini mengandung tujuan yang sangat agung, antara lain
menghalangi siapapun melakukan penganiayaan, mengobati hati yang teraniaya
atau keluarganya, menghalangi adanya balas dendam dan lain-lain. Sehingga jika
hukum ini dilecehkan maka kemaslahatan itu tidak akan tercapai dan ketika itu
dapat terjadi kedzaliman. Oleh karena itu, putuskanlah perkara sesuai dengan yang
diperintahkan oleh Allah, memberi maaf atau melaksanakan qishash. Karena
barang siapa yang tidak melaksanakan hal tersebut yakni tidak memberi maaf atau
26 M. Quraishi Shihab, Tafsir Al Misbah, Pesan, Kesan Dan Keserasian Al Quran, (Jakarta
: Lentera Hati, 2002), h.107
58
tidak menegakkan pembalasan yang seimbang, maka dia termasuk orang yang
zalim.
Disamping dasar pengampunan dari Al Qur’an selain itu terdapat pula hadist
yang diriwayatkan dari Anas bin Malik RA dan HR Ahmad, Abu Daud, An Nasa-
Ydan Ibnu Majah; Al Muntaqa yaitu:
النبي صلى هللا عليه و سلم ر ف ع إ ل ي ه ش ي ء ف ي ه ق ص اص إ ل أ مر ف ي ه ع ن أ نس ب ن م ال ك قال م ار أ ي
ب ال عفو27
Artinya : Dari Anas bin Malik ia berkata, “aku tidak pernah melihat Nabi SAW
mendapat pengaduan yang padanya ada Qishas, kecuali memerintahkan untuk
memaafkan” (HR. Ahmad Abu Daud)
E. Tujuan Pemberian Remisi
Berkaitan dengan remisi, Islam pun mengenal dengan pengampunan atau
pengurangan masa hukuman remisi dalam hukum pidana Islam menyebutkan
Syafa’at. Maksud dan tujuan pemberian Syafa’at salah satunya adalah untuk
menghindari kemudharatan, menjaga kemaslahatan serta untuk menghormati hak
asasi atas penyesalan pelaku tindak pidana. Pengampunan juga bertujuan untuk
menghargai pihak korban yang telah memberikan Syafa’at dengan jalan damai
sesuai dengan ajuran Rasulullah SAW.
ى ل ع ل ب ق أ ة اج ح ب ال ط م ل س و ه ي ل ع ى هللا ل ص ي ب الن ان : ك ال ق ه ن ع هللا ي ض ي ر ر ع ش ى ال س و م ي ب أ ن ع و ج ل س اأ ه فقال : إ ش ف ع و ا تؤ ج ر و او ي ق ض هللا ع ل ى ل س ان نب ي ه م ا أ ح ب ش اء 28
Artinya : Dari Abu Musa Al-Asy’ari Radhiyallahu Anhu berkata, “Nabi Shallallhu
Alaihi wa Sallam jika didatangkan oleh orang yang meminta hajat, beliau
menghadap keoada orang-orang yang duduk, dihadapannya, “Berilah syafa’at,
27 Abu Daud Sulaiman, Sunan Abi Daud, (Beirut-Lebanon : Dar Al-Kotob Al Ilmiyah)
h.173s 28 Imam Abu Zakariya Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Riadhus Shalihin Min Kalaami
Syaidil Mursalyin, (Damaskus : Darul Khair, 1420 H), h.82
59
maka kalian akan diberi pahala, dan Allah akan memenuhi atas lisan nabinya apa
yang ia sukai”.
Tujuan hukum pidana Islam itu sendiri untuk mendidik dan memberikan
pemahaman tentang hukum Islam. Agar mencapai kehidupan yang bahagia maka
kita harus mengambil yang bermanfaat menolak yang tidak berguna bagi
kehidupan. Semata-mata untuk mencapai keridhaan Allah dalam kehidupan
manusia baik di dunia maupun di akhirat.
Apabila dilihat maksud dan tujuan pokok pemberian remisi di Indonesia
pada dasarnya tidak terlepas dari prinsip-prinsip pokok hukum pidana Islam. Dalam
hal ini kita dapat cermati bahwa tujuan pemberian remisi itu sendiri dalam hukum
pidana Indonesia yang berpangkal kemaslahatan, selain sebagai motivator atau
stimulasi serta apresiasi dari taubat serta menghargai hak-hak Narapidana, maka
disinilah tujuan syari’at Islam yang paling utama yakni kemaslahatan. Sehingga
prinsip kemaslahatan ini yang menjadi tujuan utama dari adanya remisi di
Indoensia. Hal ini sejalan dengan konsep pokok hukum pidana Islam.
60
BAB IV
ANALISIS KOMPARATIF TERHADAP PEMBERIAN REMISI
BAGI NARAPIDANA KORUPTOR
A. Remisi Bagi Narapidana Koruptor dalam Hukum Pidana Indonesia
Pada dasarnya penjatuhan pidana (hukuman) bukan semata-mata
memberikan efek jera tetapi juga sebagai bimbingan dan pembinaan. Hukuman
terhadap pelanggar hukum dilaksanakan di lembaga pemasyarakatan (Lapas), yang
dikenal sebagai pembinaan dalam lembaga, dengan tujuan agar pelanggar hukum
dapat menyadari kesalahannya dan tidak mengulangi perbuatannya kembali, serta
dapat kembali ke masyarakat dan menjalani fungsisosialnya dengan baik. Dalam
hal ini pidana penjara seseorang ditempatkan di lembaga pemasyarakatan guna
mendapatkan pembinaan.
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia adalah
Kementerian Pemerintah yang mengurusi pelayanan publik kepada masyarakat.
Dimana Kementerian Hukum dan HAM membawahi Direktorat Jendral
Pemasyarakatan yang membawahi lapas. Lapas merupakan bagian pemerintah yang
menjalankan pelayanan publik. Sejarah kepenjaraan yang berkembang dari zaman
penjara sampai pada sistem pemasyarakatan. Sistem pemasyarakatan merupakan
bentuk penegakan hak asasi manusia yang mengutamakan pelayanan hukum dan
pembinaan narapidana. Pelayanan hukum dan pembinaan narapidana merupakan
suatu pelayanan publik Pemerintah yang diberikan kepada masyarakat.
61
Adapun hak-hak yang dimiliki oleh Warga Binaan Pemasyarakatan yang
diatur dalam Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang No.12 tahun 1995 yaitu:
1. Melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya.
2. Mendapatkan perwatan baik perwatan jasmani maupun perwatan rohani.
3. Mendapatkan pendidikan dan pengajaran.
4. Mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak.
5. Menyampaikan keluhan.
6. Mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media masa lainnya
yang tidak terlarang.
7. Mendapatkan upah dan premi atas pekerjaan yang dilakukan.
8. Menerima kunjungan keluarga, penasehat hukum, atau orang tertentu
yang lainnya.
9. Mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi)
10. Mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi
keluarga.
11. Mendapatkan pembebasan bersyarat.
12. Mendapatkan cuti menjelang bebas dan;
13. Mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Bagi narapidana yang berkelakuan baik berhak mendapatkan pengurangan
masa pidana (remisi) seperti terdapat dalam ketentuan Pasal 14 ayat (1) huruf I
Undang-Unndang Nomor 12 Tahun 1995 tersebut. Hukuman yang dimaksud di sini
yaitu hukuman penjara menurut PAF Lamintang pidana penjara adalah suatu pidana
berupa pembatasan kebebasan bergerak dari seorang terpidana yang dilakukan
dengan menutup orang tersebut dalam suatu lembaga pemasyarakatan.1 Setiap
narapidana dan anak pidana yang menjalani pidana penjara sementara dan pidana
kurungan dapat diberi remisi apabila yang bersangkutan berkelakuan baik selama
menjalani pidana, inilah setidaknya yang tercantum dalam Pasal 1 Ayat (1) Keppres
RI. No 174 Tahun 1999. Yang berbunyi “Setiap narapidana dan anak pidana yang
1 Dwidja Priyanto, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara Di Indonesia, h.71
62
menjalani pidana penjara sementara dan pidana kurungan dapat diberikan remisi
apabila yang bersangkutan berkelakuan baik selama menjalani pidana”. Sehingga
jika ditafsirkan maka jika narapidana atau anak pidana yang berkelakuan baik dan
telah memenuhi syarat sebagaimana yang telah diatur oleh undang-undang yang
berlaku maka dapat menerima remisi tanpa harus dia meminta.
Remisi diberikan karena merupakan salah satu sarana hukum yang penting
dalam rangka mewujudkan tujuan sistem pemasyarakatan, selain itu remisi
diberikan karena negara Indonesia menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk
untuk memeluk agamanya masing-masing, termasuk setiap narapidana, sehingga
tidak terjadi diskriminasi dalam hal hak asasi manusia. Dalam rangka pelaksanaan
hak-hak narapidana, Pemerintah memberikan kesempatan kepada narapidana untuk
memperbaiki diri selama menjalanai hukumannya sehingga diharapkan dapat
menyesali dan ketika keluar dari penjara dapat diterima kembali ke tengah-tengah
kehidupan masyarakat.
Pemberian remisi secara umum pada dasarnya mengacu kepada Peraturan
Pemerintah Nomor 32 tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksaan Hak
Warga binaan Pemasyarakatan dan Keputusan Presiden Nomor 174 Tahun 1999
tentang Remisi. Namun setelah itu, ada beberapa ketentaun pasal yang dirubah
sehingga pada perkembangannya, remisi bagi narapidana koruptor didasarkan pada
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 tahun 2006 tentang Perubahan
Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara
Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Perubahan tersebut dibuat guna
menyesuaikan dengan perkembangan hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat
63
terutama terkait dengan narapidana yang telah melakukan tindak pidana yang
mengakibatkan kerugian yang besar bagi negara atau masyarakat atau
menimbulkan korban yang banyak atau menimbulkan kepanikan, kecemasan atau
ketakutan yang luar biasa kepada masyarakat.
Peraturan Remisi dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor
28 tahun 2006 dalam Pasal 34 yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut :
Pasal 34
(1) Setiap Narapidana dan Anak Pidana berhak mendapatkan Remisi.
(2) Remisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada
Narapidana dan Anak Pidana apabila memenuhi persyaratan sebagai
berikut:
a. Berkelakuan baik; dan
b. Telah menjalani masa pidana lebih dari 6 (enam) bulan.
(3) Bagi Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana
terorisme, narkotika dan psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap
keamanan negara dan kejahatan hak asasi manusia yang berat dan
kejahatan transnasional terorganisasi lainnya diberikan Remisi apabila
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. Berkelakuan baik; dan
b. Telah menjalani 1/3 (satu pertiga) masa pidana.
64
(4) Remisi sebagimana dimaksud pada Ayat (1) diberikan kepada
Narapidana dan Anak Pidana apabila memenuhi persyaratan melakukan
perbuatan yang membantu kegiatan Lembaga Pemasyarakatan.
Pasal 34 A
(1) Remisi bagi Narapidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (3)
diberikan oleh Menteri setelah mendapat pertimbangan dari Direktur
Jendral Pemasyarakatan.
(2) Pemberian Remisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 Ayat (1)
diterapkan dengan Keputusan Menteri.
Pada penjelasan umum Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28
tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 1999
Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan
disebutkan pembatasan tersebut dilakukan khusus terhadap palaku tindak pidana:
1. Untuk tindak pidana narkotika dan psikotropika, ketentuan Peraturan
Pemerintah ini hanya berlaku bagi produsen dan bandar.
2. Untuk tindak pidana korupsi, ketentuan Peraturan Pemerintah ini hanya
berlaku bagi tindak pidana korupsi yang memenuhi kriteria sebagai
berikut;
3. Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara dan orang lain
yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh
aparat penegak hukum atau penyelenggara negara;
4. Mendapatkan perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau
65
5. Menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000 (satu
milyar rupiah)
Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 tahun 2006
tidak terdapat penejelasan lebih lanjut Pasal demi Pasal. Hingga saat ini, terhadap
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 tahun 2006 tentang Perubahan
Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara
Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan hingga saat ini belum mempunyai
aturan pelaksanaan berupa Peraturan Presiden sebagaimana Peraturan Pemerintah
Nomor 32 tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan
Pemasyarakatan dengan Keputusan Presiden Nomor 174 tahun 1999 tentang
Remisi sebagai aturan pelaksananya.2 Padahal secara jelas Pasal 35 Peraturan
Pemerintah Nomor 28 tahun 2006 ini menyebutkan : “Ketentuan mengenai Remisi
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Presiden”
Pada Pasal 34A Ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 yang
menyebutkan bahwa “Remisi bagi Narapidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal
34 Ayat (3) diberikan oleh Menteri setelah mendapat pertimbangan dari Direktur
Jendral Pemasyarakatan”. Karena tidak terdapat penjelasan lebih lanjut yang
menjadi parameter pertimbangan Direktur Jendral Pemasyarakatan sehingga
Menteri dapat memberikan remisi bagi seorang narapidana atas Peraturan
Pemerintah Nomor 28 tahun 2006, dan pengaturan lebih lanjut tentang remisi ini
2 Pasal 35 Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara
Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, LN Tahun 1999 Nomor 69, TLN Nomor 3846
dan berdasarkan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan disebutkan “Materi muatan Peraturan Presiden berisi materi yang
diperintahkan oleh Undang-Undang atau materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah”
66
dalam Peraturan Presiden sebagai aturan pelaksanaan belum ada. Maka bila melihat
kembali pada ketentuan Pasal 34A Ayat (3) narapidana tersebut diberikan Remisi
apabila “memenuhi persyaratan yaitu berkelakuan baik dan telah menjalani 1/3
(satu per tiga) masa pidana”. Sehingga berdasarkan aturan tersebut, syarat yang
diperlukan bagi narapidana untuk mendapatkan remisi adalah bekelakuan baik dan
telah menjalani 1/3 (satu pertiga) masa pidana.
Penjelasan tentang “berkelakuan baik” dalam penjelasan Pasal demi Pasal
Penjelasan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 1999 tentang Syarat dan
Tata Cara Pelaksnaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan yaitu pada Pasal 34 yang
menyebutkan: “yang dimaksud dengan berkelakuan baik adalah mentaati peraturan
yang berlaku dan tidak dikenakan tindakan disiplin yang dicatat dalam buku
Register F selama kurun waktu yang diperhitungkan untuk pemberian remisi”.
Sehingga dari adanya penjelasan tersebut dapat disimpulkan untuk dapat
memperoleh remisi, seorang narapidana korupsi harus memenuhi persyaratan :
1. Mentaati peraturan yang berlaku dan tidak dikenakan tindakan disiplin
yang dicatat dalam buku Register F selama kurun waktu yang
diperhitungkan untuk pemberian remisi
2. Telah menjalani 1/3 (satu per tiga) masa pidana.
Dengan melihat kriteria yang harus dipenuhi oleh setiap narapidana ataupun
anak pidana maka kriteria yang paling jelas yaitu narapidana ataupun anak pidana
tersebut telah menjalani hukuman minimal enam bulan. Dengan demikian bagi
narapidana yang dijatuhi hukuman dibawah enam bulan tentu tidaklah pernah
67
mendapatkan remisi. Tentu jika dilihat dari segi keadilan dirasakan kurang karena
sama-sama menjalani hukuman tetapi tidak mendapat remisi.
Jelas bahwa yang perlu dicermati dari pemaparan di atas adalah adanya
batas minimum hukuman bagi narapidana atau anak pidana untuk mendapatkan
remisi yaitu sudah menjalani minimal 6 bulan penjara. Jadi bagi narapidana dan
anak pidana yang mendapat hukuman dibawah 6 bulan tidak akan mendapatkan
remisi. Didalam Keppres RI No. 174 Tahun 1999 tidak mengkhususkan pemberian
remisi kepada tindak pidana korupsi semata, tetapi pasal-pasal yang terkandung
dalam keppres ini menjelaskan remisi untuk semua tindak pidana umum termasuk
di dalamnya adalah tindak pidana korupsi.
Jika dilihat dalam Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sanksi yang diancamkan dengan
pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun
dan paling lama 20 (dua puluh) tahun. Sehingga dengan demikian sudah jelas
bahwa setiap narapidana yang melakukan tindak pidana korupsi pasti mendapat
remisi jika dilihat dari lamanya hukuman yang dijalani yakni dari 6 bulan penjara
asalkan ia berkelakuan baik selama menjalani hukumannya.
Jika dilihat juga dari tujuan pemidanaan pada bab sebelumnya, bahwa tujuan
pemidanaan yang mempunyai tujuan untuk sebuah proses pendidikan untuk
menjadikan narapidana lebih baik lagi sehingga dapat diterima kembali dalam
masyarakat. Ini menjelaskan bahwa setiap narapidana, tidak memandang tindak
pidana apa yang dilakukannya termasuk dalam hal ini pelaku tindak pidana korupsi
68
mempunyai hak untuk menjadi lebih baik lagi sehingga dapat diterima kembali di
masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.
Dari pemaparan diatas, penulis berpendapat bahwasanya remisi merupakan
hak bagi narapidana tanpa melihat jenis tindak pidana yang dilakukan. Terlepas dari
kejahatan apa yang dilakukannya, narapidana korupsi tetap harus dilindungi hak-
haknya termasuk untuk mendapatkan remisi, terlebih apabila narapidana tersebut
telah melakukan kewajibannya sebagai narapidana sebagaimana yang telah
diamanatkan oleh Undang-Undang Pemasyarakatan. Karena hal ini juga sejalan
dengan prinsip pemasyarakatan yang dilaksanakan dengan asas pengayoman serta
asas persamaan perlakuan dan pelayanan yang mana tidak ada perbedaan perlakuan
terhadap narapidana manapun. Sehingga seharusnya tidak terjadi diskriminasi
terhadap narapidana tindak pidana korupsi.
B. Remisi Bagi Narapidana Koruptor dalam Hukum Pidana Islam
Jika dilihat di dalam hukum pidana Islam tidak dijumpai pengertian remisi
yang sesuai dengan pengertian yang ada di dalam hukum positif. Karena remisi ini
diambil dari serapan bahasa asing yang kemudian digunakan dalam istilah hukum
di Indonesia. Selain itu sistem atau kitab hukum pidana Indonesia masih
mengadopsi dari warisan Belanda, di hukum positif Indonesia sendiri pengertian
remisi diantara kalangan ahli hukum pun berbeda-beda namun pada dasarnya
mempunyai arti yang sama. Tetapi dari beberapa pengertian yang diberikan di
dalam bab sebelumnya itu dapat ditarik kesimpulan sebagai
keringanan/pengurangan/pengampunan hukuman.
69
Di dalam Islam dikenal dengan adanya syafa’at. Salah satunya adalah yang
dikemukakan oleh Murtdha Muthahari dalam buku karangannya yang berjudul
Keadilan Illahi : Asas Pandangan Dunia Islam, menjelaskan bahwa syafaat dibagi
menjadi dua yaitu syafaat qiyadah (kepemimpinan) dan syafaat maghfirah
(ampunan). Menurutnya Rasulullah SAW menjadi syafi’ (perantara syafaat) bagi
amir al-mu’minin dan fatimah al-zahra dan keduanya menjadi syafi’ bagi Hasan
dan Husain. Hirarki ini tetap terjaga sehingga semua yang dimiliki oleh para imam
ma’shum mereka peroleh melalui perantara Rasulullah yang mulia.3 Secara garis
besar syafa’at yang datang dari rahmat Allah, sumber kebaikan dan rahmat disebut
sebagai ampunan (maghfiroh) dan yang datang melalui perantara-perantara rahmat
disebut dengan Syafaat.4 Melihat penjelasan yang dijelaskan di atas penulis
sependapat dengan pendapat Murtadha Muthahari, sehingga penulis memasukan
remisi dalam Islam termasuk juga syafaat.
Berangkat dari pengertian mashlahah mursalah yaitu sesuatu yang
dipandang baik oleh akal, sejalan dengan tujuan syara’ dalam menetapkan hukuman
namun tidak ada petunjuj syara’ yang memperhitungkannya dan tidak ada pula
petunjuk syara’yang menolaknya. Seperti yang dikemukakan oleh Abd Al-Wahbah
Al-khallaf yang menyatakan bahwa mashahah mursalah adalah mashlahat yang
tidak ada dalil syara’ yang datang untuk mengakuinya atau menolaknya.5 Dengan
alasan inilah penulis mengkategorikan remisi ini ke dalam Mashlahah mursalah
3 Murtadha Muthahari, Keadilan Ilahi ; Asas Pandangan Dunia Islam, (Bandung : PT
Mizan Pustaka, 2009), h.254 4 Murtadha Muthahari, Keadilan Ilahi ; Asas Pandangan Dunia Islam, (Bandung : PT
Mizan Pustaka, 2009), h.262 5 Amir Syarifudin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta : Kencana, 2009), h.356
70
dengan beberapa alasan yaitu hukum remisi tidak tersebut secara jelas dan Al-
Qur’an karena remisi ini bersifat keringanan hukuman seperti halnya seseorang
yang melakukan pembunuhan maka dalam hukum pidana Islam ada keringanan
baginya setelah dia mendapatkan pemaafan ataupun pengampunan dari pihak wali
korban, adapun dalil atau nash Al-Qur’an yang mendukung adalah Surah Al-
Baqarah ayat 178 yang telah dipaparkan dalam bab sebelumnya.
Remisi diberikan karena narapidana dinilai berbuat baik dan menyesali
perbuatannya, ini juga sejalan dengan tujuan syara’ yaitu menghindarkan umat
manusia dari kerusakan dan keburukan karena selama menjalankan hukuman di
lembaga pemasyarakatan narapidana diberi bimbingan maupun pelatihan dan lain-
lain dengan maksud agar ia tidak mengulangi dan juga mau menyesali perbuatannya
yang telah dilakukan sebelumnya sehingga muncul rasa bertaubat, ini juga
menandakan adanya perlindungan jiwa sebagai salah satu tujuan penetapan hukum
yakni memelihara agama, jiwa, akal keturunan dan harta.
Berkaitan dengan remisi, hukum pidana Islam memandang penjelasan
berupa takzir, yang mana lebih menitik beratkan kepada konsep kemaslahatan, dan
remisi itu sendiri harus melalui pertimbangan-pertimbangan kemaslahatan untuk
menghormati hak-hak kemanusiaan. Sesuai dengan qaidah Fiqhiyah:
التعزير يدور مع المصلحة
“Takzir itu sangat tergantung kepada tuntutan kemaslahatan”
Pengampunan dalam penerapan hukum pidana Islam terkait dengan tindaak
pidana yang diancam hukuman takzir, maka hakim atau penguasa yang diberi
71
wewenang yang luas dalam memberikan pengampunan kepada pelaku tindak
pidana, apabila pengampunan tersebut membawa kemaslahatan dan ketentraman
bagi hidup masyarakat. Karena kemaslahatan itulah yang menjadi unsur utama
dalam Syari’at Islam
Selain itu penulis juga belum menemukan hukum syara’ yang menolak
tentang penerapan remisi ini. Perlu dicermati mengenai subjek pemberi ampunan
(grasi) yaitu presiden, dan terpidana harus mengajukan sendiri, lain halnya dengan
remisi yang mana merupakan pengurangan masa menjalani pidana yang diberikan
kepada Narapidana dan Anak Pidana yang memenuhi syrat-syarat yang ditentukan
dalam peraturan perundang-undangan dengan pengawasan Kalapas dan dengan
persetujuan Menteri hukum dan HAM. Dengan kata lain remisi ini diberikan karena
terpidana dinilai telah melakukan perbuatan yang baik selama menjalani
hukumannya dan menyesali perbuatan yang dilakukannya.
Selain itu demi mengimplementasikan bahwa pelaku benar-benar menyesali
maka Allah SWT menyuruh untuk bertobat bagi orang-orang yang telah melakukan
kedzaliman, artinya orang-orang yang melakukan perbuatan yang dilarang oleh
syariat agama, karena Allah SWT mau memberikan ampunan kepada orang-orang
yang benar-benar menyadari dan menyesali atas apa yang mereka perbuat. Hal ini
sesuai firman Allah SWT dalam surah Al-Furqan : 70
سي ل ٱل ئك يبد لحا فأول حيما إل من تاب وءامن وعمل عمل ص غفورا ر وكان ٱل ٧٠اتهم حسن
Artinya : “Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal
saleh; maka itu kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah
Allah maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Furqan/25: 70)
Selain itu juga terdapat dalam ayat selanjutnya, surah Al-Furqan ayat : 71
72
مت لحا فإنهۥ يتوب إلى ٱل ٧١ابا ومن تاب وعمل ص
Artinya : “Dan orang-orang yang bertaubat dan mengerjakan amal saleh, maka
sesungguhnya dia bertaubat kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya.”
(QS. Al-Furqan/25: 71)
Sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Al-Ghazali, bahwa orang yang
bertaubat dikatakan sempurna apabila ia tidak hanya menyesali perbuatannya saja,
tetapi ia harus mengikuti dan mengganti perbuatan tersebut dengan perbuatan baik.6
Kriteria syarat tersebut di atas secara umum sejalan dan erat hubungannya dengan
salah satu prinsip hukuman dalam hukum pidana Islam, dimana hukuman adalah
sebagai upaya pencegahan, media mendidik dan pengajaran, upaya menimbulkan
efek jera. Terlebih pengurangan hukuman (remisi) tersebut dilaksanakan secara
bertahap dan bertingkat oleh Lembaga Pemasyarakatan, hal ini untuk mengetahui
sejauh mana narapidana tersebut terbukti menunjukkan kesungguhan bertaubat.
Pendapat lain dari Ibn Abidin dalam kitabnya Hasyiyah ibn Abidin, yang
mengatakan seseorang dianggap bertaubat menurut para ulama bila ia
memperhatikan tanda-tanda perbaikan prilakunya, karena taubat dalam hati itu
tidak dapat diamati. Sebagaimana telah dinukil oleh Djazuli.7 Pemaafan ataupun
pengampunan dalam Islam khususnya dalam tindak pidana korupsi merupakan
salah satu faktor pengurangan hukuman.
Maksud dan tujuan pokok dari pemberian remisi terhadap koruptor di
Indonesia pada dasarnya tidak terlepas dari pinsip-prinsip pokok hukum Islam.
Dalam hal ini kita dapat cermati bahwa maksud dan tujuan pemberian remisi itu
6 Al-Ghazali, Taubat, Sabar dan Syukur, alih bahasa Nur Hikmah dan RHA Suminta
(Jakarta : Tinta Mas, 1983), h.22 7 Djazuli, Fiqh Jinayah; Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam, (Jakarta : Raja
Grafindo Persada, 1997), h.204
73
sendiri dalam hukum pidana Indonesia yang bertujuan untuk kemaslahatan yaitu
untuk mengurangi dampak negatif selain sebagai motivator atau stimulasi apresiasi
dari taubat serta menghargai hak-hak Narapidana, maka disinilah tujuan syari’at
Islam yang paling utama yakni kemasahatan. Sehingga prinsip kemaslahatan ini
yang menjadi tujuan utama dari adanya remisi di Indonesia. Hal inilah merupakan
konsep pokok hukum pidana Islam.
Tindak pidana korupsi merupakan sebuah jarimah, sebab korupsi tidak
termasuk kedalam wilayah jarimah hudud tidak pula masuk dalam cakupan jarimah
qishash. Kedua macam jarimah ini secara jelas telah disebutkan dalam Al-Qur’an
maupun Hadits, bahkan jenis dan jumlah sanksinya juga telah dijelaskan oleh
sumber utama ajaran agama Islam tersebut. Akan berbeda jika tindak pidana
korupsi yang memang tidak secara tegas dinyatakan dalam Al-Qur’an dan Hadits.
Hal ini bisa terjadi karena praktik-praktik korupsi, atau beberapa kejahatan yang
mirip dengan korupsi belum banyak terjadi pada zaman Rasulullah SAW masih
hidup. Kalaupun pada saat itu pernah terjadi beberapa kasus penggelapan harta
milik Negara maka bisa ditangani dan diselesaikan oleh beliau sehingga tidak
sampai dikriminalisasikan.
Tindak pidana korupsi di Indonesia saat ini masuk dalam kategori jarimah
takzir. Tindak pidana korupsi tidak bisa dianalogikan dengan jarimah sariqah atau
tindak pidana pencurian dan jarimah hirabah atau tindak pidana perampokan .
walaupun tindak pidana korupsi masuk ke dalam jarimah takzir, namun bahaya dan
pengaruh negatifnya bisa lebih besar dari sekedar mencuri dan merampok. Adapun
74
bentuk hukuman takzirnya dapat berupa pemecatan, hukuman kurungan, penjara
seumur hidup bahkan hukuman mati.8
Dari pemaparan di atas, penulis berpendapat bahwasanya di dalam hukum
pidana Islam remisi merupakan hak bagi setiap pelaku jarimah. Bedanya, jarimah
hudud dan qishash ketetapan hukuman dan keringanannya sudah ditetapkan di
dalam Al- Qur’an. Sedangkan jarimah takzir ketetapan hukuman dan
keringanannya ditetapkan oleh hakim atau penguasa.
Dari pemaparan diatas juga jelas bahwasanya korupsi termasuk dalam
jarimah ta’zir. Maka dari itu, ketentuan berapa remisi yang didapatkan tergantung
keputusan hakim atau penguasa yang mempunyai hak untuk mengadili. Terlepas
dari kejahatan apa yang dilakukannya, narapidana korupsi tetap harus dilindungi
hak-haknya termasuk untuk mendapatkan remisi, terlebih apabila narapidana
tersebut telah melakukan kewajibannya sebagai narapidana, sadar akan hal
kesalahanya dan mau bertaubat. Sehingga seharusnya tidak terjadi diskriminasi
terhadap narapidana tindak pidana korupsi.
C. Persamaan dan Perbedaan Remisi Bagi Narapidana Koruptor dalam
Hukum Pidana Islam dan Hukum Pidana Indonesia
Terdapat beberapa persamaan yang dapat dilihat dari paparan di atas antara
hukum pidana Islam dan hukum pidana Indonesia tentang remisi bagi narapidana
koruptor. Di antaranya:
8 M. Nurul Irfan, Korupsi Dalam Hukum Pidana Islam edisi kedua, (Jakarta : AMZAH,
2012), h.260
75
1. Dalam pemberian remisi menurut hukum pidana Islam bahwa
pemberian remisi tidak dilihat dari kejahatan apa yang dilakukannya,
narapidana koruptor tetap harus dilindungi hak-haknya termasuk untuk
mendapatkan remisi. Sama halnya dengan hukum pidana Indonesia
pemberian remisi tidak dilihat dari kejahatan apa yang dilakukanya
narapidana koruptor tetap mempunyai hak untuk mendapatkan remisi.
2. Dalam tujuan pemberian remisi menurut hukum Islam bahwa pemberian
remisi bertujuan untuk kemaslahatan, selain sebagai motivasi, atau
stimulasi serta apresiasi dari taubat serta menghargai hak-hak
narapidana, maka disinilah tujuan syari’at Islam yang paling utama
yakni kemaslahatan. Sama halnya dengan tujuan remisi menurut hukum
pidana Indonesia yang bertujuan sebagai motivasi, stimulasi serta
hadiah bagi narapidana yang telah berkelakuan baik.
Sedangkan terdapat beberapa perbedaan yang kita lihat dari paparan di atas
antara hukum pidana Islam dan hukum pidana Indonesia tentang remisi bagi
narapidana koruptor. Di antaranya:
1. Dalam pemberian remisi bagi narapidana koruptor menurut hukum
pidana Islam diberikan oleh hakim atau penguasa yang mempunyai hak
untuk mengadili. Hal ini karena korupsi termasuk dalam jarimah takzir
beda halnya dengan jarimah qishash yang pemaafan ataupun
pengampunannya dari pihak wali korban. Sedangkan dalam hukum
pidana Indonesia pemberian remisi bagi narapida koruptor diberikan
76
oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia setelah mendapat
pertimbangan dari Direktur Jendral Pemasyarakatan.
2. Dalam hal jumlah remisi yang didapat oleh narapidana koruptor
menurut hukum Islam tergantung pertimbangan hakim atau penguasa
yang mempunyai hak untuk mengadili. Sedangkan dalam hukum pidana
Indonesia jumlah besaran remisi yang didapat oleh narapidana koruptor
sudah diatur ketentuannya di dalam Undang-Undang.
77
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam bab penutup ini penulis menyimpulkan bahwa subtansi yang penting
atau kesimpulan dalam skripsi ini sebagai berikut:
1. Ketentuan hukum pidana Indonesia tentang remisi yang merupakan
pengampunan berupa pengurangan masa tahanan yang diberikan kepada
narapidana yang telah dianggap memenuhi ketentuan syarat-syarat
menurut Keppres RI No 174 Tahum 1999, yaitu terpidana harus
berkelakuan baik selama menjalani hukuman, berbuat jasa kepada
negara, melaukan perbuatan yang bermanfaat bagi negara dan
kemanusiaan, melakukan perbuatan yang membantu kegiatan
pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan dan syarat ini berlaku untuk
semua tindak pidana umum termasuk kepada pelaku tindak pidana
korupsi.
2. Ketentuan hukum pidana Islam tentang remisi kepada pelaku tindak
pidana penulis kategorikan kepada mashlahah mursalah karena remisi
ini dipandang baik oleh akal, sejalan dengan tujuan syari’at meski tidak
ada nash yang secara tekstual membicarakan remisi, sehingga penulis
mengkategorikan remisi ini ke dalam mashlahah mursalah. Syarat
untuk mendapatkan remisi tidak terlepas dari prinsip-prinsip pokok
hukum pidana dalam Islam. Hal ini dapat dicermati dari kriterian atau
78
syarat yang harus dipenuhi oleh narapidana yakni, berbuat baik selama
di dalam tahanan, menyesalinya dan berniat untuk tidak mengulanginya
lagi. Karena tindak pidana korupsi termasuk dalam jarimah takzir di
dalam hukum pidana Islam, maka remisi diberikan oleh hakim atau
penguasa yang mempunyai hak untuk mengadili.
B. Saran
Atas beberapa hal yang penulis tulis dalam skripsi ini, maka penulis
mencoba menyampaikan beberapa saran yang berkaitan dengan masalah remisi
bagi narapidana koruptor, sebagai berikut:
1. Apabila dilihat dari Keppres RI No 174 Tahun 1999, remisi ini berlaku
untuk pidana umum, padahal kejahatan itu berbeda-beda terlebih bagi
tindak pidana korupsi yang jelas nyata telah merugikan keuangan
Negara dan merugikan orang lain sehingga perlu adanya pembedaan.
Walaupun tindak pidana korupsi mempunyai undang-undang tersendiri,
tetapi peraturan untuk mendapatkan remisi menginduk pada peraturan
yang sama yaitu Keppres RI No 174 Tahun 1999.
2. Lembaga Pemasyarakatan sebenarnya mempunyai tujuan yang baik
tetapi akan lebih baik jika aparat yang berada didalamnya mempunyai
dedikasi untuk benar-benar menegakkan dan memberikan pembinaan
yang baik pula sehingga tidak ada lagi narapidana yang bisa keluar jalan-
jalan dengan cara menyogok aparat terkait.
79
3. Pelaku korupsi harus menyadari bahwa korupsi merupakan tindakan
yang menyalahi agama, serta bertentangan dengan prinsip untuk
kemaslahatan umat. Pendidikan pun ikut berperan penting dalam
pembentukan mentalitas, nilai dan budaya masyarakat. Dunia
pendidikan mesti terlibat aktif dalam menyelesaikan masalah maraknya
korupsi. Dunia pendidikan mesti meninjau kembali dirinya untuk
menemukan jawaban mengapa pendidikan di Indonesia melahirkan
sedemikian banyak koruptor. Gerakan anti korupsi juga penting untuk
menjadi bagian dari kegiatan belajar mengajar di berbagai sekolah,
kalau tidak masuk dalam kurikulum pendidikan, paling tidak ia menjadi
kegiatan ekstrakurikuler.
80
DAFTAR PUSTAKA
A. Daftar Buku
Al-Ghazali. Taubat, Sabar dan Syukur. Jakarta: Tinta Mas, 1983.
Al-Suyuti. al-Asybah wa Al-Nazhair fi al-Furu. Surabaya: Maktabah Dar Ihya al-
Kutub al-'Arabiyyah.
An-Nawawi, Imam Abu. Riadush Shalihin Min Kalaami Syaidil Mursalyin.
Damaskus: Darul Khair, 1420H.
Ar-Rifa'i, Muhammad Nasib. Kemudahan dari Allah, RIngkasan Tafsir Ibnu Katsir
Jilid I. Jakarta: Gema Insani Press, 1999.
Asmawi. Teori Maslahat dan Relevansinya dengan Perundang-Undangan Pidana
Khusus di Indonesia. Jakarta: Badan Litbang Dan Diklat Kementerian
Agama RI, 2010.
Audah, Abdul Qadir. Ensiklopedia Pidana Islam. Jakarta: PT Kharisma Ilmu, 2008.
__________. al-Tasyri' al-Jinai al-Islami Jilid ke-1. Maktabah Dar al-Turast, al-
Qahirah, 2005.
Basyir, Ahmad Azhar. Ikhtisar Fikih Jinayat (Hukum Pidana Islam). Yogyakarta:
UII Pres, 2001.
Burhan, Ahmad. Korupsi Di Negeri Kaum Beragama, Ikhtiar Membangun Fiqh
Anti Korupsi. Jakarta: P3M dan Kemitraan-Partnership, 2004.
Djaja, Ermansyah. Memberantas Korupsi Bersama KPK. Jakarta: Sinar Grafika,
2013.
Djamil, Faturrahman. Filsafat Hukum Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1977.
Djazuli. Fiqh Jinayah; Upaya menanggulangi Kejahatan dalam Islam. Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 1997.
Hamzah, Andi. Terminologi Hukum Pidana. Jakarta: Sinar Grafika, 2013.
81
Hanafi, Ahmad. Azas-Azas Hukum Pidana Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1990.
Idri. Epistimologi Ilmu Pengetahuan dan Keilmuan Hukum Islam. Jakarta: Lintas
Pustaka, 2008.
Irfan, Muhammad Nurul. Korupsi dalam Hukum Pidana Islam. Jakarta: AMZAH,
2012.
Jumali, Endang. Rekontruksi Sanksi Hukum Pidana di Indonesia. Jakarta: Saadah
Pustaka Mandiri, 2016.
Kasdi, Abdurrahman. Tafsir Ayat-Ayat Yaa Ayyuhal-Ladziina Aamanuu. Jakarta:
Pustaka Al Kautsar, 2005.
Marzuki, Peter Muhammad. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media,
2014.
Muladi. Lembaga Pidana Bersyarat. Bandung: Alumni, 1985.
Muladi, & Barda Nawawi. Teori-Teori dan Kebijakan Hukum Pidana. Bandung:
Alumni, 1984.
Muthahari, Murtadha. Keadilan Ilahi ; Asas Pandangan Dunia Islam. Bandung: PT
Mizan Pustaka, 2009.
Poernomo, Bambang. Hukum Pidana Kumpulan Karangan Ilmiah. Jakarta: Bina
Aksara, 1982.
Priyanto, Dwija. Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia. Jakarta: Refika
Aditama, 2006.
Sabiq, Sayid. Fiqh Sunnah. Jakarta: Pena Pundi Perkasa, 2006.
Samin, Sabri. Pidana Islam dalam Politik Hukum Indonesia. Jakarta: Kholam,
2008.
Shihab, Muhammad Quraishi. Tafsir Al Misbah, Pesan, Kesan Dan Keserasian Al
Quran. Jakarta: Lentera Hati, 2002.
Soedarsono. Kamus Hukum. Jakarta: Rhineka Cipta, 1992.
82
Soekanto, Soerjono., & Sri, Mamudji. Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan
Singkat). Jakarta: Rajawali Press, 2001.
Subekti, Raden. Hukum Acara Perdata. Bandung: Bina Cipta, 1982.
Sulaiman, Abu Daud. Sunan Abi Daud. Beirut-Lebanon: Dar Al-Kotob Al Ilmiyah.
Syarifudin, Amir. Ushul Fiqh Jilid 2. Jakarta: Kencana, 2009.
taymiyyah, Ibnu. al-Siyasah al-Syar'iyyah. Kairo: Maktabah Anshar al-Sunnah al-
Muhammadiyyah, 1961.
Yusuf, Ahmad Muri. Metode Penelitian; Kuantititif, Kualitatif dan Penelitian
Gabungan. Jakarta: Kencana Prenada Media, 2014.
Zahrah, Muhammad Abu. Falsafah al-'Uqubah fi al-Fiqh al-Islami. Ma'had al-
Dirasah al-'Arabiyyah al-'Alamiyyah.
B. Undang-Undang
Republik Indonesia 1995. Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan. Lembar Negara RI Tahun 1995, No. 77. Sekretariat
Negara. Jakarta.
Republik Indonesia 1999. Keputusan Presiden No. 174 Tahun 1999 tentang Remisi.
Lembar Negara RI Tahun 1999, No. 223. Sekretariat Negara. Jakarta.
Republik Indonesia 1999. Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1999 tentang Syarat
dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Lembar
Negara RI Tahun 1999, No. 69. Sekretariat Negara. Jakarta.
C. Internet
Kementerian Hukum dan HAM Bali. Berita diakses pada 27 Mei 2017 dari
http://bali.kemenkumham.go.id/berita-kanwil/berita-utama/2364-
pelaksanaan-pemberian-remisi-umum-tahun-2016-pada-kanwil-
kementerian-hukum-dan-ham-bali
83
D. Skripsi
Arifin, Zaenal. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pemberian Remisi Bagi
Narapidana. Yogyakarta: Skripsi S1 Fakultas Syariah UIN Sunan Kalijaga,
2009.
Hasanah, Fathonah Uswatun. Grasi Bagi Narapidana Korupsi dalam Perspektif
Hukum Positif dan Hukum Islam. Yogyakarta: Skripsi S1 Fakultas Syariah
UIN Sunan Kalijaga, 2012.
Lasio. Pemberian Remisi Terhadap Koruptor Dalam Sudut Pandang Fiqh Jinayah.
Yogyakarta: Skripsi S1 Fakultas Syariah UIN Sunan Kalijaga, 2011.
Thohir, Muhamad. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pemberian Remisi Kepada
Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan (Studdi Analaisis Keppres RI No 174
Tahun 1999 Tentang Remisi). Semarang: Skripsi S1 Fakultas Syariah IAIN
Wali Songo, 2012.