studi morfologi dan petrografi travertin di air … · berteras (ozkul dkk, 2002). hal ini...

13
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA 13 - 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA 1182 STUDI MORFOLOGI DAN PETROGRAFI TRAVERTIN DI AIR TEJUN MORAMO, KECAMATAN MORAMO, KABUPATEN KONAWE SELATAN, SULAWESI TENGGARA Roni Cahya Ciputra 1* M Arba Azzaman 1 Srijono 2 1 Program S1 Departemen Teknik Geologi Fakultas Teknik UGM, Jl. Grafika No. 2 Yogyakarta 2 Dosen Departemen Teknik Geologi Fakultas Teknik UGM, Jl. Grafika No. 2 Yogyakarta *corresponding author: [email protected] ABSTRAK Travertin merupakan batuan karbonat yang terbentuk di darat akibat pelepasan CO2 pada air jenuh karbonat. Travertin dapat terbentuk oleh air panas (termogen) maupun air dingin yang berasosiasi dengan daerah karst (meteogen). Air Terjun Moramo merupakan tempat wisata terkenal di Sulawesi Tenggara yang tersusun oleh travertin yang masih aktif. Air Terjun ini terletak pada perbatasan morfologi pegunungan tinggi dan morfologi karst. Batuan dasar dari endapan travertin adalah metabatugamping dan marmer Formasi Laonti di bagian hulu serta batulempung pasiran Formasi Boepinang di hilir. Karakterisasi morfologi travertin serta contoh petrografi yang diambil pada tiga titik, masing-masing di bagian belakang dan depan dam dilakukan untuk mengetahui genesa batuan. Morfologi travertin pada Air Terjun Moramo adalah makrodam dengan jarak antardam yang membesar ke arah hilir akibat pengaruh kelerengan. Pada bagian depan dam, terdapat kenampakan sarang larva yang menggantung serta kenampakan nodular, dengan banyak lumut, ranting, serta dedaunan yang telah terkerakkan oleh kalsit dan mengeras. Fasies yang terlihat pada travertin baik secara megaskopis maupun mikroskopis adalah fasies phytoherm (bryophytes). Secara megaskopis, dam tersusun oleh perulangan laminasi gelap-terang melengkung atau kurang teratur karena adanya gangguan substrat lain. Laminasi terang tersusun oleh kristal kalsit memanjang-bercabang, sedangkan laminasi gelap tersusun oleh mikrit. Bagian depan dam memiliki penyusun yang lebih kristalin dibandingkan bagian belakang dam yang lebih bersifat mikritik. Berdasarkan hal tersebut travertin di Air Terjun Moramo termasuk travertin meteogen dari air jenuh kalsium karbonat hasil pelarutan batuan morfologi karst dengan pengaruh biogenik berupa lumut yang terjebak pada saat pengendapan bersama daun dan ranting tumbuhan serta sarang larva serangga air. Kata kunci : Air Terjun Moramo, karst, morfologi makrodam, meteogen, phytoherm bryophytes 1. Pendahuluan Air Terjun Moramo merupakan salah satu tempat wisata terkenal di Sulawesi Tenggara dengan kondisi geologi yang unik karena tersusun oleh travertin yang masih aktif terbentuk. Air terjun ini memiliki tujuh tingkatan utama yang terbagi menjadi sekitar 34 tingkatan kecil dengan tinggi 0,3 3 meter. Penelitian mengenai travertin pada daerah ini belum pernah dilakukan sehingga menarik untuk diteliti secara ilmiah. Penelitian ini bertujuan untuk mengkarakterisasi travertin Air Terjun Moramo dari segi morfologi maupun petrografi, sehingga jenis, fasies, dan genesanya dapat diketahui. Travertin sendiri adalah batuan karbonat yang terendapkan di darat secara kimiawi akibat reaksi pelepasan CO2 pada air yang jenuh karbonat, baik pada suhu yang panas maupun dingin Proses ini dapat terjadi pada rembesan air, mata air, atau di sepanjang aliran sungai (Pentecost, 2005). Travertin dapat terbentuk oleh air panas (termogen) maupun air dingin yang berasosiasi dengan daerah karst (meteogen). Beberapa penulis seperti Pedley (1990), Riding (1991), Ford dan Pedley (1996), serta Gandin dan Capezzuoli (2008) memiliki penyebutan travertin meteogen disebut dengan ‘tufa’,

Upload: others

Post on 29-Oct-2020

13 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: STUDI MORFOLOGI DAN PETROGRAFI TRAVERTIN DI AIR … · berteras (Ozkul dkk, 2002). Hal ini dikarenakan setiap tingkatan air terjun terdiri atas kolam yang terbendung oleh tubuh travertin

PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA

13 - 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

1182

STUDI MORFOLOGI DAN PETROGRAFI TRAVERTIN DI AIR TEJUN MORAMO,

KECAMATAN MORAMO, KABUPATEN KONAWE SELATAN, SULAWESI

TENGGARA

Roni Cahya Ciputra1*

M Arba Azzaman1

Srijono2

1Program S1 Departemen Teknik Geologi Fakultas Teknik UGM, Jl. Grafika No. 2 Yogyakarta 2 Dosen Departemen Teknik Geologi Fakultas Teknik UGM, Jl. Grafika No. 2 Yogyakarta

*corresponding author: [email protected]

ABSTRAK

Travertin merupakan batuan karbonat yang terbentuk di darat akibat pelepasan CO2 pada air jenuh

karbonat. Travertin dapat terbentuk oleh air panas (termogen) maupun air dingin yang berasosiasi

dengan daerah karst (meteogen). Air Terjun Moramo merupakan tempat wisata terkenal di Sulawesi

Tenggara yang tersusun oleh travertin yang masih aktif. Air Terjun ini terletak pada perbatasan

morfologi pegunungan tinggi dan morfologi karst. Batuan dasar dari endapan travertin adalah

metabatugamping dan marmer Formasi Laonti di bagian hulu serta batulempung pasiran Formasi

Boepinang di hilir. Karakterisasi morfologi travertin serta contoh petrografi yang diambil pada tiga

titik, masing-masing di bagian belakang dan depan dam dilakukan untuk mengetahui genesa batuan.

Morfologi travertin pada Air Terjun Moramo adalah makrodam dengan jarak antardam yang

membesar ke arah hilir akibat pengaruh kelerengan. Pada bagian depan dam, terdapat kenampakan

sarang larva yang menggantung serta kenampakan nodular, dengan banyak lumut, ranting, serta

dedaunan yang telah terkerakkan oleh kalsit dan mengeras. Fasies yang terlihat pada travertin baik

secara megaskopis maupun mikroskopis adalah fasies phytoherm (bryophytes). Secara megaskopis,

dam tersusun oleh perulangan laminasi gelap-terang melengkung atau kurang teratur karena adanya

gangguan substrat lain. Laminasi terang tersusun oleh kristal kalsit memanjang-bercabang, sedangkan

laminasi gelap tersusun oleh mikrit. Bagian depan dam memiliki penyusun yang lebih kristalin

dibandingkan bagian belakang dam yang lebih bersifat mikritik. Berdasarkan hal tersebut travertin di

Air Terjun Moramo termasuk travertin meteogen dari air jenuh kalsium karbonat hasil pelarutan

batuan morfologi karst dengan pengaruh biogenik berupa lumut yang terjebak pada saat pengendapan

bersama daun dan ranting tumbuhan serta sarang larva serangga air.

Kata kunci : Air Terjun Moramo, karst, morfologi makrodam, meteogen, phytoherm bryophytes

1. Pendahuluan

Air Terjun Moramo merupakan salah satu tempat wisata terkenal di Sulawesi

Tenggara dengan kondisi geologi yang unik karena tersusun oleh travertin yang masih aktif

terbentuk. Air terjun ini memiliki tujuh tingkatan utama yang terbagi menjadi sekitar 34

tingkatan kecil dengan tinggi 0,3 – 3 meter. Penelitian mengenai travertin pada daerah ini

belum pernah dilakukan sehingga menarik untuk diteliti secara ilmiah. Penelitian ini

bertujuan untuk mengkarakterisasi travertin Air Terjun Moramo dari segi morfologi

maupun petrografi, sehingga jenis, fasies, dan genesanya dapat diketahui.

Travertin sendiri adalah batuan karbonat yang terendapkan di darat secara kimiawi

akibat reaksi pelepasan CO2 pada air yang jenuh karbonat, baik pada suhu yang panas

maupun dingin Proses ini dapat terjadi pada rembesan air, mata air, atau di sepanjang

aliran sungai (Pentecost, 2005). Travertin dapat terbentuk oleh air panas (termogen)

maupun air dingin yang berasosiasi dengan daerah karst (meteogen). Beberapa penulis

seperti Pedley (1990), Riding (1991), Ford dan Pedley (1996), serta Gandin dan

Capezzuoli (2008) memiliki penyebutan travertin meteogen disebut dengan ‘tufa’,

Page 2: STUDI MORFOLOGI DAN PETROGRAFI TRAVERTIN DI AIR … · berteras (Ozkul dkk, 2002). Hal ini dikarenakan setiap tingkatan air terjun terdiri atas kolam yang terbendung oleh tubuh travertin

PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA

13 - 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

1183

sedangkan travertin termogen disebut ‘travertin’. Perbedaan kedua jenis travertin ini secara

petrologi dan petrografi telah dirangkum oleh Ciputra dkk (2017) pada Tabel 1. Pada

penelitian ini istilah travertin akan digunakan dalam pengertian umum, sedangkan untuk

penyebutan jenis travertin akan digunakan istilah travertin meteogen dan termogen.

Sebagai morfologi konstruktif, travertin menarik karena morfologinya akan

mencerminkan lingkungan pengendapannya. Lingkungan pengendapan travertin menurut

Ozkull dkk (2002) dan Pedley (1990), dan Pentecost (2005) dapat dirangkum menjadi

lima, yakni lingkungan mound dan fissure ridge, lereng, fluvial, lakustrin, serta shrub flat

dan rawa. Lingkungan lereng dibagi lagi menjadi lereng halus, lereng berteras atau dam,

dan air terjun.

2. Geologi Regional

Sungai Biskori, di Daerah Sumber Sari, Kecamatan Moramo, Kabupaten Konawe

Selatan, Provinsi Sulawesi Tenggara merupakan bagian dari lengan tenggara Sulawesi

bagian selatan (Surono, 2013). Surono (2013) membagi satuan morfologi lengan tenggara

Sulawesi bagian selatan menjadi lima satuan (Gambar 1), yaitu Satuan Pegunungan,

Satuan Perbukitan Tinggi, Satuan Perbukitan Rendah, Satuan Dataran Rendah dan Satuan

Karst. Daerah penelitian terletak di perbatasan dua satuan morfologi. Bagian barat laut dari

lokasi penelitian termasuk dalam satuan morfologi Perbukitan Tinggi. Sedangkan bagian

tenggara termasuk dalam Satuan Karst. Sebagian besar batuan penyusunnya didominasi

oleh batugamping berumur Paleogen dan selebihnya batugamping berumur Mesozoikum.

Batugamping ini merupakan bagian dari Formasi Tampakura, Formasi Laonti, Formasi

Tamborasi, dan bagian atas Formasi Meluhu. Sebagian batugamping penyusun morfologi

ini sudah terubah menjadi marmer. Struktur geologi yang terbentuk di lengan tenggara

Sulawesi diakibatkan oleh tumbukan antara keeping – keeping benua, dan ofiolit yang

terjadi sebelum Miosen Awal. Struktur geologi yang terbentuk akibat tumbukan tersebut

antara lain sesar naik dan struktur imbrikasi serta lipatan (Surono, 2013).

3. Metode Penelitian

Peta geomorfologi yang dibuat dalam penelitian ini mengacu pada pembagian

morfologi menurut Surono (2013) dengan delineasi lebih rinci berdasarkan analisis peta

topografi 1:25.000 dengan mempertimbangkan peta geologi lembar Kolaka 1:250.000

menurut Simandjuntak, dkk (1993). Penelitian dilakukan dengan pengamatan lapangan

berupa pengamatan morfologi bentukan travertin serta pengamatan petrologi batuan.

Pengamatan dilakukan pada 3 STA yang mewakili tiga bagian dari tingkatan air terjun

Moramo secara ketinggian yakni STA 1 pada bagian atas, STA 2 pada bagian tengah, dan

STA 3 pada bagian bawah. Pada masing-masing STA dilakukan pengambilan sampel

masing-masing 2 yakni pada bagian depan (1A, 2A, dan 3A) dan belakang dam (1B, 2B,

dan 3B) (lihat Gambar 2). Keenam sampel ini kemudian dibuat sayatan tipis dan diamati

menggunakan mikroskop polarisasi.

4. Hasil dan Pembahasan

4.1. Morfologi Travertin

Travertin ditemukan di daerah lembah, sepanjang aliran Sungai Biskori secara

menerus (Gambar 3). Travertin ditemukan pada satuan morfologi karst menuju

perbatasannya dengan satuan dataran. Sungai Biskori memiliki air dengan suhu

dingin, di sekitarnya tidak terlihat adanya manifestasi panas bumi seperti adanya air

panas, fumarol, dan lain-lain atau adanya intrusi batuan beku. Hal ini menandakan

Page 3: STUDI MORFOLOGI DAN PETROGRAFI TRAVERTIN DI AIR … · berteras (Ozkul dkk, 2002). Hal ini dikarenakan setiap tingkatan air terjun terdiri atas kolam yang terbendung oleh tubuh travertin

PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA

13 - 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

1184

bahwa pelarutan batuan karbonat pada morfologi karst menjadi penghasil utama air

jenuh kalsium karbonat yang berperan dalam pembentukan travertin.

Morfologi travertin pada Air Terjun Moramo merupakan morfologi dam atau lereng

berteras (Ozkul dkk, 2002). Hal ini dikarenakan setiap tingkatan air terjun terdiri

atas kolam yang terbendung oleh tubuh travertin sehingga membentuk kenampakan

berteras. Karena adanya kolam yang berada dibelakangnya, morfologi travertin

pada daerah penelitian tidak dapat disebut sebagai air terjun secara langsung.

Morfologi ini menempati sebuah lereng yang masih dialiri oleh aliran Sungai

Biskori sehingga aliran air pada tingkatan-tingkatan dam terus meluap dari kolam

ke bagian tubuh dam. Tubuh dam sendiri berbentuk melengkung seperti busur, dan

pada satu tingkatan yang sama dapat terbentuk beberapa busur dam. Sebaran

morfologi dam travertin pada sistem ini seperti dapat dilihat pada Gambar 3

semakin sempit ke arah hulu.

Pengamatan morfologi yang dilakukan pada ketiga STA dapat dilihat pada Tabel 2.

Berdasarkan data tersebut, diketahui bahwa dam pada Air Terjun Moramo pada

ketiga STA termasuk pada kategori makrodam karena memiliki jarak antardam

lebih dari 1 meter (Pentecost, 2005).

Perbedaan dari kriteria morfologi dam pada ketiga STA adalah ukuran dam pada

sistem ini semakin menyempit ke bagian hilir, dengan ketinggian dam yang juga

memendek. Selain itu, jarak antardam membesar ke arah hilir (Gambar 4).

Perbedaan ini tentu dipengaruhi oleh faktor tertentu pada saat proses pembentukan

dam. Faktor tersebut adalah kelerengan. Pentecost (2005) mengemukakan bahwa

jarak antardam akan semakin melebar semakin landai suatu lereng. Hal ini sesuai

dengan keadaan pada Air Terjun Moramo, sehingga dapat diartikan bahwa

permukaan awal sebelum travertin terendapkan memiliki kelerengan yang semakin

landai ke bagian hilir.

Kelerengan juga dapat mempengaruhi kecepatan air. Bagian hulu yang memiliki

kecepatan air paling tinggi karena kelerengan yang lebih terjal akan membentuk

kondisi hidrolika dimana proses pelepasan CO2 menjadi lebih besar. Proses yang

dimaksud antara lain turbulensi dengan permukaan dasar sungai, keluarnya gas

terlarut (aerasi) akibat penurunan tekanan air, serta meluasnya kontak air dengan

udara akibat aliran yang berubah menjadi terpisah-pisah, tetesan, atau percikan air

(Zhang dkk, 2001 dalam Pentecost, 2005). Hal ini dapat menyebabkan

pembentukan travertin yang lebih masif pada bagian hulu yang lebih terjal sehingga

membentuk tingkatan travertin dengan dam yang lebih tinggi, sementara pada

bagian hilir yang memiliki kelerengan landai, dam terbentuk lebih pendek.

Perbedaan lain yang tampak dari sistem dam ini adalah bagian hulu memiliki lebih

banyak lengkungan atau busur dam pada satu tingkatan, sedangkan pada bagian

hilir pada satu tingkatan hanya ada 1 – 2 busur saja. Hal ini secara relatif terbentuk

karena adanya penghalang awal pada saat pertama terbentuk travertin. Bagian hulu

memiliki lebih banyak penghalang yang kemudian menginisiasi pembendungan

aliran sungai karena kelerengannya lebih terjal sedangkan pada bagian hilir,

penghalang aliran sungai lebih sedikit, misalnya pohon.

4.2. Jenis dan Karakter Petrografi Travertin

Secara megaskopis, travertin pada Air Terjun Moramo memiliki warna putih

kecokelatan, terdiri atas perulangan laminasi gelap-terang dengan tebal 0,2 – 3,5

Page 4: STUDI MORFOLOGI DAN PETROGRAFI TRAVERTIN DI AIR … · berteras (Ozkul dkk, 2002). Hal ini dikarenakan setiap tingkatan air terjun terdiri atas kolam yang terbendung oleh tubuh travertin

PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA

13 - 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

1185

cm. Laminasi tersusun oleh mineral karbonat (reaksi positif terhadap fizz test) yakni

mikrit (gelap) dan kristal kalsit (terang) dengan porositas batuan sedang.

Pada permukaan dam travertin dijumpai permukaan kasar yang merupakan lumut

yang terkerakkan oleh kalsit (Gambar 5A) serta ada pula jatuhan daun dan ranting

yang ikut terkerakkan pada dinding dam (Gambar 5B). Kenampakan ini sangat

umum dijumpai sebagai pengaruh yang tinggi pada saat pembentukan travertin

pada lingkungan dam (Pedley, 1990). Selain itu, pada dinding dam dijumpai pula

bentukan memanjang yang menggantung dan berlubang seperti sarang larva

serangga air (Gambar 5B). Aktivitas larva pada lingkungan pengendapan travertin

sangat umum dijumpai terutama tropis yang memiliki aliran air yang relatif hangat

(Carthew dkk, 2003). Larva dapat meninggalkan rongga bekas penggalian yang

kemudian terkalsifikasi dan mengkerak dengan bentuk yang menggantung

(Carthew, 2006) seperti yang terlihat pada daerah penelitian. Permukaan berbentuk

nodular (Gambar 5C) juga tampak pada beberapa bagian. Permukaan ini dapat

terbentuk oleh kondisi aliran pada bagian tersebut membalut permukaan atau

memercik (Carthew, 2006)

Travertin ini tergolong travertin meteogen karena memiliki beberapa kriteria

travertin meteogen menurut Gandin dan Capezzuoli (2008) serta Capezzuoli dkk

(2014) pada Tabel 1. Parameter yang terpenuhi antara lain proses deposisi utama

yang biotik yang tinggi ditunjukkan oleh adanya lumut, daun, dan ranting yang

terkerakkan serta adanya sarang larva serangga air. Parameter lain adalah

perlapisan yang kurang laminar dan kurang teratur dengan tebal 0,2 – 3,5 mm, serta

kenampakannya cenderung porous.

Kenampakan petrografi dari masing-masing sampel travertin telah dirangkum pada

Tabel 3. Penyusun laminasi pada travertin terdiri atas berbagai macam ukuran dan

bentuk kristal kalsit, yakni dendrit (calcite dendrites), mikrit, dan mikrospar. Sparit

syn-deposisi maupun hasil diagenesis tidak ditemukan pada sampel.

Dendrit merupakan kristal kalsit dengan kenampakan bercabang seperti

percabangan pada rumput atau semak, atau dapat pula bercabang membentuk kipas

(Pentecost, 2005). Dendrit pada dijumpai pada sampel yang diambil pada bagian

depan dam. Kenampakan dendrit yang diamati berbentuk seperti semak dan

mengikuti laminasi di bawahnya (Gambar 6A), serta membentuk kenampakan

yang menyerupai kipas (Gambar 6B). Terdapat pula dendrit yang terbentuk kurang

teratur (Gambar 6C). Pada travertin meteogen, dendrit umumnya terbentuk akibat

nukleasi kristal kalsit pada substrat, dalam hal ini lumut, sehingga kristal kalsit

yang dihasilkan akan berbentuk bercabang seperti lumut pada kenampakan

petrografis (Turner dan Jones, 2005). Nukleasi ini terjadi karena adanya EPS

(extracellular polymetric substance) pada jaringan daun lumut. Proses ini masih

berjalan hingga sekarang sehingga pada permukaan sering dijumpai lumut yang

terkerakkan.

Mikrit teramati pada setiap sampel petrografi. Mikrit memiliki ukuran mineral <

0,005 mm (Folk, 1965 dalam Flugel, 2010), pada kenampakan PPL berwarna coklat,

relief rendah dan tidak ada pleokroisme. Sementara itu, mikrospar berukuran 0,005

– 0,030 mm (Folk, 1965 dalam Flugel, 2010). Mikrospar merupakan hasil

neomorfisme dari mikrit. Pada kenampakan PPL, mikrospar berwarna putih,

memiliki relief rendah tanpa pleokroisme. Mikrit ditemukan membentuk laminasi

tersendiri setebal 0,1 – 0,5 mm, terkadang tidak kontinyu (Gambar 7A). Selain itu,

mikrit bersama mikrospar menjadi pengisi utama laminasi pada sampel bagian

Page 5: STUDI MORFOLOGI DAN PETROGRAFI TRAVERTIN DI AIR … · berteras (Ozkul dkk, 2002). Hal ini dikarenakan setiap tingkatan air terjun terdiri atas kolam yang terbendung oleh tubuh travertin

PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA

13 - 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

1186

belakang dam, beberapa membentuk laminasi yang laminar, namun kebanyakan

mikrit dan mikrospar mengisi laminasi yang cukup tebal 1 – 2,5 mm dengan

membentuk konfigurasi yang dendritik (Gambar 7B). Proses pembentukan

konfigurasi dendritik yang tersusun oleh mikrit dan mikrospar sendiri kurang lebih

sama dengan pembentukan kristal dendritik, hanya saja kristal hasil nukleasi yang

terbentuk tidak besar dan hanya berukuran mikrit-mikrospar. Apabila proses

pengkerakan terjadi lebih lanjut, konfigurasi ini akan lenyap karena kristal tumbuh

semakin besar hingga berukuran sparit dan menjadi dendrit (Turner dan Jones,

2005).

Pori pada travertin yang ditemukan antara lain pori interkristalin dan ireguler

(Gambar 7A). Pori interkristalin ditemukan di sekitar batas perlapisan atau

tersebar di dalam laminasi di sekitar mikrit dan mikrospar. Pori interkristalin yang

berada di sekitar mikrit dan mikrospar terkadang memperjelas kenampakan mikrit

dan mikrospar yang membentuk konfigurasi dendritik (Gambar 7B). Sementara itu,

pori yang ireguler tersebar acak dengan bentuk yang tidak teratur diduga terbentuk

karena kesalahan pada saat preparasi sayatan tipis sehingga beberapa bagian dari

sayatan batuan hilang meninggalkan pori ireguler.

Perbandingan karakter petrografis pada sampel yang diambil antara lain sampel

yang diambil pada bagian depan dam tersusun oleh laminasi yang tersusun oleh

laminasi dendrit, laminasi tipis mikrit, serta laminasi mikrit dan mikrospar.

Sementara itu travertin pada bagian belakang tersusun oleh material kerbonat yang

lebih halus yang terdiri atas laminasi mikrit dan mikrospar yang membentuk

konfigurasi dendritik dengan beberapa sisipan laminasi mikrit tipis. Hal ini dapat

dikarenakan bagian depan dari dam kecepatan aliran air lebih tinggi dan

membentuk terjunan sehingga pelepasan CO2 lebih efektif terjadi dibandingkan

pada bagian belakang dam sehingga nukleasi pada lumut dapat terjadi lebih lanjut

menjadi kristal dengan ukuran lebih besar.

Berdasarkan kenampakan megaskopis dan pengamatan petrografi, fasies travertin

adalah fasies phytoherm (bryophytes) yang dapat dibagi lagi menjadi fasies

phytoherm (bryophytes) untuk bagian depan dam dan micritic phytoherm

(bryophytes) untuk bagian belakang dam. Fasies ini dicirikan oleh adanya

tumbuhan, dalam hal ini lumut, yang terjebak saat pembentukan travertin.

5. Kesimpulan

Kesimpulan dari penelitian ini adalah:

1. Travertin pada Air Terjun Moramo memiliki morfologi makrodam yang bertingkat-

tingkat berbentuk busur yang terpengaruh oleh kelerengan. Sistem dam menerus dari

bagian hulu hingga hilir, dengan tinggi dam yang mengecil dan jarak antardam

membesar ke arah hilir. Selain itu pada bagian hulu pada satu tingkatan dapat

terbentuk lebih banyak busur dam sedangkan pada bagian hilir hanya 1 – 2 saja.

2. Karakter petrografis dari travertin yang teramati antara lain laminasi yang tersusun

oleh dendrit, mikrit, serta mikrit dan mikrospar untuk bagian depan dam, sedangkan

bagian belakang dam tersusun oleh laminasi mikrit dan mikrospar yang membentuk

konfigurasi dendritik dengan beberapa sisipan laminasi mikrit tipis.

3. Travertin Air Terjun Moramo berjenis meteogen yang termasuk ke dalam fasies

phytoherm (bryophytes) yang terbentuk akibat adanya lumut beserta daun dan ranting

Page 6: STUDI MORFOLOGI DAN PETROGRAFI TRAVERTIN DI AIR … · berteras (Ozkul dkk, 2002). Hal ini dikarenakan setiap tingkatan air terjun terdiri atas kolam yang terbendung oleh tubuh travertin

PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA

13 - 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

1187

serta aktivitas larva yang terjebak pada saat pembentukan travertin oleh air jenuh

kalsium karbonat hasil pelarutan batuan morfologi karst.

Acknowledgements

Ucapan terima kasih diberikan kepada pihak yang membantu dalam pengambilan data, La

Ode Amri Rizal, Muhammad Ridwan, Galdencia, dan Sidiq Al Mubaraq. Ucapan terima kasih

juga diberikan Departemen Teknik Geologi Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada yang

telah memberikan kesempatan preparasi sayatan tipis secara mandiri di Laboratorium Geologi

Pusat maupun pengamatan sayatan tipis di Laboratorium Geologi Optik.

Daftar Pustaka

Capezzouli, E., Gandin, A., dan Pedley M. 2014. Decoding tufa and Travertine (Fresh Water

Carbonates) in the Sedimentary Record: The State of Art. Sedimentology, v.61, hal.1-

21, doi: 10.1111/sed.12075

Carthew, K.D., M.P. Taylor, dan R.N.Drysdale. (2006). An environmental model of fluvial

tufas in the monsoona; tropics, Barkly Karst, northern Australia. Geomorphology 73

(2006) p.78-100

Carthew, K.D., M.P. Taylor, dan R.N. Drysdale. (2003). Are current models of tufa

sedimentary environments applicable to tropical systems? A case study from the

Gregory River. Sedimentary Geology. Vol. 162 p. 199-218.

Ciputra, R.C., M.I. Novian, dan Srijono. (2017). Petrogenesa Travertin Daerah Widuri, Desa

Kemadohbatur, Kecamatan Tawangharrjo, Kabupaten Grobogan, Provinsi Jawa

Tengah. Skripsi S1 Departemen Teknik Geologi Fakultas Teknik Universitas Gadjah

Mada

Flugel, E. (2010). Microfacies of Carbonate Rocks. Springer; New York, 976 p.

Gandin, A, dan E. Capezzuoli. (2008). Travertine versus Calcareous Tufa: Distinctive

Petrologic Features and Stable Isotopes Signatures. Italian Journal of Quarternary

Sciences 21 (B) p. 125 – 136.

Özkul, M, B Varol, dan M C Alcicek. (2002). Depositional Environments and Petrography of

Denizli Travertine. Mineral Resources Exploration Buletin, 125 (2002) p.13-29

Pedley, H.M., (1990). Classification and Environmental Models of Cool Freshwater Tufas.

Sedimentary Geology Vol. 68(1990) p.143-154

Pentecost, A. 2005. Travertine. Springer; Berlin, 446 p

Simandjuntak, T.O., Surono dan Sukido. (1993) Peta Geologi Lembar Kolaka, Sulawesi.

Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi; Bandung

Surono. (2013). Geologi Lengan Tenggara Sulawesi. Badan Geologi, Kementerian Energi dan

Sumber Daya Mineral; Bandung

Turner. E. C., dan Jones, B. (2005). Microscopic Calcite Dendrites in Cold-Water Tufa:

Implications for Nucleation of Micrite and Cement. Sedimentology Vol. 52 hal. 1043-

1066

Page 7: STUDI MORFOLOGI DAN PETROGRAFI TRAVERTIN DI AIR … · berteras (Ozkul dkk, 2002). Hal ini dikarenakan setiap tingkatan air terjun terdiri atas kolam yang terbendung oleh tubuh travertin

PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA

13 - 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

1188

Gambar 3. Satuan morfologi bagian selatan lengan tenggara Sulawesi dari citra IFSAR (Surono, 2013

dengan modifikasi).

Gambar 2. Titik pengambilan sampel pada masing-masing STA: di depan dam (A) dan di belakang

dam (B)

Page 8: STUDI MORFOLOGI DAN PETROGRAFI TRAVERTIN DI AIR … · berteras (Ozkul dkk, 2002). Hal ini dikarenakan setiap tingkatan air terjun terdiri atas kolam yang terbendung oleh tubuh travertin

PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA

13 - 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

1189

Gambar 3. Peta geomorfologi dengan sebaran travertin pada daerah penelitian serta lokasi STA

pengambilan sampel travertin. Travertin ditemukan pada Satuan Karst.

Page 9: STUDI MORFOLOGI DAN PETROGRAFI TRAVERTIN DI AIR … · berteras (Ozkul dkk, 2002). Hal ini dikarenakan setiap tingkatan air terjun terdiri atas kolam yang terbendung oleh tubuh travertin

PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA

13 - 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

1190

Gambar 4. Kenampakan morfologi travertin pada STA 1 pada bagian hulu, STA 2 pada bagian

tengah, dan STA 3 pada bagian hilir. Pada STA 1 terlihat dam yang lebih tinggi dengan

jarak antardam yang besar, serta pada satu tingkatan dapat terbentuk beberapa busur dam,

sedangkan semakin ke hilir, tinggi dam semakin mengecil dengan jarak antardam yang

membesar.

Page 10: STUDI MORFOLOGI DAN PETROGRAFI TRAVERTIN DI AIR … · berteras (Ozkul dkk, 2002). Hal ini dikarenakan setiap tingkatan air terjun terdiri atas kolam yang terbendung oleh tubuh travertin

PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA

13 - 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

1191

Gambar 5. Kenampakan permukaan dam. (A) Kenampakan lumut yang terkerakkan oleh kalsit. (B)

kenampakan sarang larba dan daun yang terkerakkan oleh kalsit. (C) kenampakan

permukaan berbentuk nodular.

Page 11: STUDI MORFOLOGI DAN PETROGRAFI TRAVERTIN DI AIR … · berteras (Ozkul dkk, 2002). Hal ini dikarenakan setiap tingkatan air terjun terdiri atas kolam yang terbendung oleh tubuh travertin

PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA

13 - 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

1192

Gambar 6. Kenampakan kristal kalsit dendritik atau dendrit. (A) Dendrit berbentuk seperti semak. (B)

Dendrit berbentuk kipas. (C) Dendrit dengan arah tidak teratur. Pori berwarna putih

(PPL) dan hitam (XPL). Keterangan: dt = dendrit, mi = mikrit, dan ms = mikrospar.

Gambar 7. Kenampakan mikrit dan mikrospar pada sayatan tipis. (A) Perulangan laminasi mikrit

dengan laminasi mikrit dan mikrospar, pori terlihat ireguler dan interkristalin. (B)

Kenampakan mikrit dan mikrospar yang membentuk konfigurasi dendritik, pori terlihat

Page 12: STUDI MORFOLOGI DAN PETROGRAFI TRAVERTIN DI AIR … · berteras (Ozkul dkk, 2002). Hal ini dikarenakan setiap tingkatan air terjun terdiri atas kolam yang terbendung oleh tubuh travertin

PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA

13 - 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

1193

interkristalin di sekitar konfigurasi dendritik. Pori berwarna putih (PPL) dan hitam (XPL).

Keterangan:, mi = mikrit, dan ms = mikrospar.

Tabel 1. Perbedaan karakter utama travertin menurut Gandin dan Capezzuoli (2008) dan Capezzuoli

dkk (2014) yang dirangkum dalam Ciputra dkk (2017)

No. Parameter

Karakter utama travertin (Gandin dan Capezzuoli, 2008; Capezzuoli dkk,

2014)

Travertin Meteogen Travertin

Termogen

1 Proses deposisi utama Biotik Abiotik

2 Mineral pembentuk Kalsit Kalsit, Aragonit

3 Ukuran kristal kalsit Mikritik-mikrosparitik, meskipun

tidak menutup kemungkinan untuk

ukuran yang makro

Makro (bladed, acicular) hingga

mikritik

4 Tekstur utama Porous, chalky, terdapat sisipan

pasir-lempung lentikuler

Kristalin tebal dan keras

5 Perlapisan / laminasi Jarang membentuk perlapisan /

laminasi yang laminar, kurang teratur

Membentuk perlapisan / laminasi yang

laminar dan teratur

6 Ketebalan perlapisan Umumnya membentuk laminasi tipis

(1–10 mm)

Dapat terbentuk dengan sangat tebal

(10 – >100 mm)

7 Konten biologis Sangat besar (makrophytes hingga

microphytes), fauna

Bakteri dan sianobakteri

8 Porositas primer Tinggi Rendah

Tabel 2. Kriteria morfologi travertin yang terbentuk pada masing-masing STA

No. Kriteria Morfologi STA 1 (Atas) STA 2 (Tengah) STA 3 (Bawah)

1 Jumlah dam pada STA 7 3 3

2 Jumlah dam pada satu tingkatan 2 sampai 4 1 sampai 2 1 sampai 2

3 Lebar dam 5 - 15 m 10 m 10 m

4 Tinggi dam 1 - 3 m 0,5 - 1 m 0,3 - 0,5 m

5 Jarak antardam 1 - 4 m 3 - 6 m 5 - 10 m

6 Bentukan permukaan dam Permukaan kasar

berbentuk nodular

atau bentukan

panjang

menggantung

akibat sarang larva,

terdapat pula lumut

dan daun yang

terkerakkan

Permukaan kasar

berbentuk nodular

atau bentukan

panjang

menggantung akibat

sarang larva, terdapat

pula lumut dan daun

yang terkerakkan

Permukaan kasar

berbentuk nodular

kecil atau bentukan

menggantung

pendek-pendek,

serta lumut yang

terkerakkan

Page 13: STUDI MORFOLOGI DAN PETROGRAFI TRAVERTIN DI AIR … · berteras (Ozkul dkk, 2002). Hal ini dikarenakan setiap tingkatan air terjun terdiri atas kolam yang terbendung oleh tubuh travertin

PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA

13 - 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

1194

Tabel 3. Karakter petrografis travertin pada masing-masing sampel

Parameter STA 1A

(depan)

STA 1B

(belakang)

STA 2A

(depan)

STA 2B

(belakang)

STA 3A

(depan)

STA 3B

(belakang)

Komposisi

Mineral

Utama

Kalsit Kalsit Kalsit Kalsit Kalsit Kalsit

Laminasi bervariasi, 0,2 -

1,5 mm

1 - 2 mm;

diselingi

laminasi mikrit

0,1-0,2 mm

bervariasi,

0,2 - 1,5 mm

1 - 2 mm;

diselingi

laminasi

mikrit 0,1-

0,4 mm

bervariasi,

0,2 - 1,5 mm

1 - 2,5 mm;

diselingi

laminasi

mikrit 0,1-

0,2 mm

tidak

kontinyu

Kristal kalsit

dendritik

Ada, ukuran 1 -

1,5 mm, tidak

kontinyu,

beberapa

seperti kipas

Tidak ada Ada, ukuran

1 - 3,5 mm,

tidak

kontinyu,

beberapa

tidak teratur,

beberapa

seperti kipas

Tidak ada Ada, tetapi

tidak

banyak,

ukuran 0,5 -

1,5 mm,

tidak

kontinyu,

beberapa

seperti kipas

Tidak ada

Mikrit +

Mikrospar

Ada,

membentuk

laminasi

Ada, beberapa

membentuk

konfigurasi

dendritik dalam

satu laminasi

Ada,

membentuk

laminasi

Ada,

beberapa

membentuk

konfigurasi

dendritik

dalam satu

laminasi

Ada,

membentuk

laminasi

Ada,

beberapa

membentuk

konfigurasi

dendritik

dalam satu

laminasi

Pori Interkristalin Interkristalin Interkristalin Interkristalin,

ireguler

Interkristalin Interkristalin

Sparit

diagenesis

Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada

Fasies Phytoherm

(bryophytes)

Micritic

Phytoherm

(bryophytes)

Phytoherm

(bryophytes)

Micritic

Phytoherm

(bryophytes)

Phytoherm

(bryophytes)

Micritic

Phytoherm

(bryophytes)