studi morfologi dan petrografi travertin di air … · berteras (ozkul dkk, 2002). hal ini...
TRANSCRIPT
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 - 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA
1182
STUDI MORFOLOGI DAN PETROGRAFI TRAVERTIN DI AIR TEJUN MORAMO,
KECAMATAN MORAMO, KABUPATEN KONAWE SELATAN, SULAWESI
TENGGARA
Roni Cahya Ciputra1*
M Arba Azzaman1
Srijono2
1Program S1 Departemen Teknik Geologi Fakultas Teknik UGM, Jl. Grafika No. 2 Yogyakarta 2 Dosen Departemen Teknik Geologi Fakultas Teknik UGM, Jl. Grafika No. 2 Yogyakarta
*corresponding author: [email protected]
ABSTRAK
Travertin merupakan batuan karbonat yang terbentuk di darat akibat pelepasan CO2 pada air jenuh
karbonat. Travertin dapat terbentuk oleh air panas (termogen) maupun air dingin yang berasosiasi
dengan daerah karst (meteogen). Air Terjun Moramo merupakan tempat wisata terkenal di Sulawesi
Tenggara yang tersusun oleh travertin yang masih aktif. Air Terjun ini terletak pada perbatasan
morfologi pegunungan tinggi dan morfologi karst. Batuan dasar dari endapan travertin adalah
metabatugamping dan marmer Formasi Laonti di bagian hulu serta batulempung pasiran Formasi
Boepinang di hilir. Karakterisasi morfologi travertin serta contoh petrografi yang diambil pada tiga
titik, masing-masing di bagian belakang dan depan dam dilakukan untuk mengetahui genesa batuan.
Morfologi travertin pada Air Terjun Moramo adalah makrodam dengan jarak antardam yang
membesar ke arah hilir akibat pengaruh kelerengan. Pada bagian depan dam, terdapat kenampakan
sarang larva yang menggantung serta kenampakan nodular, dengan banyak lumut, ranting, serta
dedaunan yang telah terkerakkan oleh kalsit dan mengeras. Fasies yang terlihat pada travertin baik
secara megaskopis maupun mikroskopis adalah fasies phytoherm (bryophytes). Secara megaskopis,
dam tersusun oleh perulangan laminasi gelap-terang melengkung atau kurang teratur karena adanya
gangguan substrat lain. Laminasi terang tersusun oleh kristal kalsit memanjang-bercabang, sedangkan
laminasi gelap tersusun oleh mikrit. Bagian depan dam memiliki penyusun yang lebih kristalin
dibandingkan bagian belakang dam yang lebih bersifat mikritik. Berdasarkan hal tersebut travertin di
Air Terjun Moramo termasuk travertin meteogen dari air jenuh kalsium karbonat hasil pelarutan
batuan morfologi karst dengan pengaruh biogenik berupa lumut yang terjebak pada saat pengendapan
bersama daun dan ranting tumbuhan serta sarang larva serangga air.
Kata kunci : Air Terjun Moramo, karst, morfologi makrodam, meteogen, phytoherm bryophytes
1. Pendahuluan
Air Terjun Moramo merupakan salah satu tempat wisata terkenal di Sulawesi
Tenggara dengan kondisi geologi yang unik karena tersusun oleh travertin yang masih aktif
terbentuk. Air terjun ini memiliki tujuh tingkatan utama yang terbagi menjadi sekitar 34
tingkatan kecil dengan tinggi 0,3 – 3 meter. Penelitian mengenai travertin pada daerah ini
belum pernah dilakukan sehingga menarik untuk diteliti secara ilmiah. Penelitian ini
bertujuan untuk mengkarakterisasi travertin Air Terjun Moramo dari segi morfologi
maupun petrografi, sehingga jenis, fasies, dan genesanya dapat diketahui.
Travertin sendiri adalah batuan karbonat yang terendapkan di darat secara kimiawi
akibat reaksi pelepasan CO2 pada air yang jenuh karbonat, baik pada suhu yang panas
maupun dingin Proses ini dapat terjadi pada rembesan air, mata air, atau di sepanjang
aliran sungai (Pentecost, 2005). Travertin dapat terbentuk oleh air panas (termogen)
maupun air dingin yang berasosiasi dengan daerah karst (meteogen). Beberapa penulis
seperti Pedley (1990), Riding (1991), Ford dan Pedley (1996), serta Gandin dan
Capezzuoli (2008) memiliki penyebutan travertin meteogen disebut dengan ‘tufa’,
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 - 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA
1183
sedangkan travertin termogen disebut ‘travertin’. Perbedaan kedua jenis travertin ini secara
petrologi dan petrografi telah dirangkum oleh Ciputra dkk (2017) pada Tabel 1. Pada
penelitian ini istilah travertin akan digunakan dalam pengertian umum, sedangkan untuk
penyebutan jenis travertin akan digunakan istilah travertin meteogen dan termogen.
Sebagai morfologi konstruktif, travertin menarik karena morfologinya akan
mencerminkan lingkungan pengendapannya. Lingkungan pengendapan travertin menurut
Ozkull dkk (2002) dan Pedley (1990), dan Pentecost (2005) dapat dirangkum menjadi
lima, yakni lingkungan mound dan fissure ridge, lereng, fluvial, lakustrin, serta shrub flat
dan rawa. Lingkungan lereng dibagi lagi menjadi lereng halus, lereng berteras atau dam,
dan air terjun.
2. Geologi Regional
Sungai Biskori, di Daerah Sumber Sari, Kecamatan Moramo, Kabupaten Konawe
Selatan, Provinsi Sulawesi Tenggara merupakan bagian dari lengan tenggara Sulawesi
bagian selatan (Surono, 2013). Surono (2013) membagi satuan morfologi lengan tenggara
Sulawesi bagian selatan menjadi lima satuan (Gambar 1), yaitu Satuan Pegunungan,
Satuan Perbukitan Tinggi, Satuan Perbukitan Rendah, Satuan Dataran Rendah dan Satuan
Karst. Daerah penelitian terletak di perbatasan dua satuan morfologi. Bagian barat laut dari
lokasi penelitian termasuk dalam satuan morfologi Perbukitan Tinggi. Sedangkan bagian
tenggara termasuk dalam Satuan Karst. Sebagian besar batuan penyusunnya didominasi
oleh batugamping berumur Paleogen dan selebihnya batugamping berumur Mesozoikum.
Batugamping ini merupakan bagian dari Formasi Tampakura, Formasi Laonti, Formasi
Tamborasi, dan bagian atas Formasi Meluhu. Sebagian batugamping penyusun morfologi
ini sudah terubah menjadi marmer. Struktur geologi yang terbentuk di lengan tenggara
Sulawesi diakibatkan oleh tumbukan antara keeping – keeping benua, dan ofiolit yang
terjadi sebelum Miosen Awal. Struktur geologi yang terbentuk akibat tumbukan tersebut
antara lain sesar naik dan struktur imbrikasi serta lipatan (Surono, 2013).
3. Metode Penelitian
Peta geomorfologi yang dibuat dalam penelitian ini mengacu pada pembagian
morfologi menurut Surono (2013) dengan delineasi lebih rinci berdasarkan analisis peta
topografi 1:25.000 dengan mempertimbangkan peta geologi lembar Kolaka 1:250.000
menurut Simandjuntak, dkk (1993). Penelitian dilakukan dengan pengamatan lapangan
berupa pengamatan morfologi bentukan travertin serta pengamatan petrologi batuan.
Pengamatan dilakukan pada 3 STA yang mewakili tiga bagian dari tingkatan air terjun
Moramo secara ketinggian yakni STA 1 pada bagian atas, STA 2 pada bagian tengah, dan
STA 3 pada bagian bawah. Pada masing-masing STA dilakukan pengambilan sampel
masing-masing 2 yakni pada bagian depan (1A, 2A, dan 3A) dan belakang dam (1B, 2B,
dan 3B) (lihat Gambar 2). Keenam sampel ini kemudian dibuat sayatan tipis dan diamati
menggunakan mikroskop polarisasi.
4. Hasil dan Pembahasan
4.1. Morfologi Travertin
Travertin ditemukan di daerah lembah, sepanjang aliran Sungai Biskori secara
menerus (Gambar 3). Travertin ditemukan pada satuan morfologi karst menuju
perbatasannya dengan satuan dataran. Sungai Biskori memiliki air dengan suhu
dingin, di sekitarnya tidak terlihat adanya manifestasi panas bumi seperti adanya air
panas, fumarol, dan lain-lain atau adanya intrusi batuan beku. Hal ini menandakan
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 - 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA
1184
bahwa pelarutan batuan karbonat pada morfologi karst menjadi penghasil utama air
jenuh kalsium karbonat yang berperan dalam pembentukan travertin.
Morfologi travertin pada Air Terjun Moramo merupakan morfologi dam atau lereng
berteras (Ozkul dkk, 2002). Hal ini dikarenakan setiap tingkatan air terjun terdiri
atas kolam yang terbendung oleh tubuh travertin sehingga membentuk kenampakan
berteras. Karena adanya kolam yang berada dibelakangnya, morfologi travertin
pada daerah penelitian tidak dapat disebut sebagai air terjun secara langsung.
Morfologi ini menempati sebuah lereng yang masih dialiri oleh aliran Sungai
Biskori sehingga aliran air pada tingkatan-tingkatan dam terus meluap dari kolam
ke bagian tubuh dam. Tubuh dam sendiri berbentuk melengkung seperti busur, dan
pada satu tingkatan yang sama dapat terbentuk beberapa busur dam. Sebaran
morfologi dam travertin pada sistem ini seperti dapat dilihat pada Gambar 3
semakin sempit ke arah hulu.
Pengamatan morfologi yang dilakukan pada ketiga STA dapat dilihat pada Tabel 2.
Berdasarkan data tersebut, diketahui bahwa dam pada Air Terjun Moramo pada
ketiga STA termasuk pada kategori makrodam karena memiliki jarak antardam
lebih dari 1 meter (Pentecost, 2005).
Perbedaan dari kriteria morfologi dam pada ketiga STA adalah ukuran dam pada
sistem ini semakin menyempit ke bagian hilir, dengan ketinggian dam yang juga
memendek. Selain itu, jarak antardam membesar ke arah hilir (Gambar 4).
Perbedaan ini tentu dipengaruhi oleh faktor tertentu pada saat proses pembentukan
dam. Faktor tersebut adalah kelerengan. Pentecost (2005) mengemukakan bahwa
jarak antardam akan semakin melebar semakin landai suatu lereng. Hal ini sesuai
dengan keadaan pada Air Terjun Moramo, sehingga dapat diartikan bahwa
permukaan awal sebelum travertin terendapkan memiliki kelerengan yang semakin
landai ke bagian hilir.
Kelerengan juga dapat mempengaruhi kecepatan air. Bagian hulu yang memiliki
kecepatan air paling tinggi karena kelerengan yang lebih terjal akan membentuk
kondisi hidrolika dimana proses pelepasan CO2 menjadi lebih besar. Proses yang
dimaksud antara lain turbulensi dengan permukaan dasar sungai, keluarnya gas
terlarut (aerasi) akibat penurunan tekanan air, serta meluasnya kontak air dengan
udara akibat aliran yang berubah menjadi terpisah-pisah, tetesan, atau percikan air
(Zhang dkk, 2001 dalam Pentecost, 2005). Hal ini dapat menyebabkan
pembentukan travertin yang lebih masif pada bagian hulu yang lebih terjal sehingga
membentuk tingkatan travertin dengan dam yang lebih tinggi, sementara pada
bagian hilir yang memiliki kelerengan landai, dam terbentuk lebih pendek.
Perbedaan lain yang tampak dari sistem dam ini adalah bagian hulu memiliki lebih
banyak lengkungan atau busur dam pada satu tingkatan, sedangkan pada bagian
hilir pada satu tingkatan hanya ada 1 – 2 busur saja. Hal ini secara relatif terbentuk
karena adanya penghalang awal pada saat pertama terbentuk travertin. Bagian hulu
memiliki lebih banyak penghalang yang kemudian menginisiasi pembendungan
aliran sungai karena kelerengannya lebih terjal sedangkan pada bagian hilir,
penghalang aliran sungai lebih sedikit, misalnya pohon.
4.2. Jenis dan Karakter Petrografi Travertin
Secara megaskopis, travertin pada Air Terjun Moramo memiliki warna putih
kecokelatan, terdiri atas perulangan laminasi gelap-terang dengan tebal 0,2 – 3,5
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 - 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA
1185
cm. Laminasi tersusun oleh mineral karbonat (reaksi positif terhadap fizz test) yakni
mikrit (gelap) dan kristal kalsit (terang) dengan porositas batuan sedang.
Pada permukaan dam travertin dijumpai permukaan kasar yang merupakan lumut
yang terkerakkan oleh kalsit (Gambar 5A) serta ada pula jatuhan daun dan ranting
yang ikut terkerakkan pada dinding dam (Gambar 5B). Kenampakan ini sangat
umum dijumpai sebagai pengaruh yang tinggi pada saat pembentukan travertin
pada lingkungan dam (Pedley, 1990). Selain itu, pada dinding dam dijumpai pula
bentukan memanjang yang menggantung dan berlubang seperti sarang larva
serangga air (Gambar 5B). Aktivitas larva pada lingkungan pengendapan travertin
sangat umum dijumpai terutama tropis yang memiliki aliran air yang relatif hangat
(Carthew dkk, 2003). Larva dapat meninggalkan rongga bekas penggalian yang
kemudian terkalsifikasi dan mengkerak dengan bentuk yang menggantung
(Carthew, 2006) seperti yang terlihat pada daerah penelitian. Permukaan berbentuk
nodular (Gambar 5C) juga tampak pada beberapa bagian. Permukaan ini dapat
terbentuk oleh kondisi aliran pada bagian tersebut membalut permukaan atau
memercik (Carthew, 2006)
Travertin ini tergolong travertin meteogen karena memiliki beberapa kriteria
travertin meteogen menurut Gandin dan Capezzuoli (2008) serta Capezzuoli dkk
(2014) pada Tabel 1. Parameter yang terpenuhi antara lain proses deposisi utama
yang biotik yang tinggi ditunjukkan oleh adanya lumut, daun, dan ranting yang
terkerakkan serta adanya sarang larva serangga air. Parameter lain adalah
perlapisan yang kurang laminar dan kurang teratur dengan tebal 0,2 – 3,5 mm, serta
kenampakannya cenderung porous.
Kenampakan petrografi dari masing-masing sampel travertin telah dirangkum pada
Tabel 3. Penyusun laminasi pada travertin terdiri atas berbagai macam ukuran dan
bentuk kristal kalsit, yakni dendrit (calcite dendrites), mikrit, dan mikrospar. Sparit
syn-deposisi maupun hasil diagenesis tidak ditemukan pada sampel.
Dendrit merupakan kristal kalsit dengan kenampakan bercabang seperti
percabangan pada rumput atau semak, atau dapat pula bercabang membentuk kipas
(Pentecost, 2005). Dendrit pada dijumpai pada sampel yang diambil pada bagian
depan dam. Kenampakan dendrit yang diamati berbentuk seperti semak dan
mengikuti laminasi di bawahnya (Gambar 6A), serta membentuk kenampakan
yang menyerupai kipas (Gambar 6B). Terdapat pula dendrit yang terbentuk kurang
teratur (Gambar 6C). Pada travertin meteogen, dendrit umumnya terbentuk akibat
nukleasi kristal kalsit pada substrat, dalam hal ini lumut, sehingga kristal kalsit
yang dihasilkan akan berbentuk bercabang seperti lumut pada kenampakan
petrografis (Turner dan Jones, 2005). Nukleasi ini terjadi karena adanya EPS
(extracellular polymetric substance) pada jaringan daun lumut. Proses ini masih
berjalan hingga sekarang sehingga pada permukaan sering dijumpai lumut yang
terkerakkan.
Mikrit teramati pada setiap sampel petrografi. Mikrit memiliki ukuran mineral <
0,005 mm (Folk, 1965 dalam Flugel, 2010), pada kenampakan PPL berwarna coklat,
relief rendah dan tidak ada pleokroisme. Sementara itu, mikrospar berukuran 0,005
– 0,030 mm (Folk, 1965 dalam Flugel, 2010). Mikrospar merupakan hasil
neomorfisme dari mikrit. Pada kenampakan PPL, mikrospar berwarna putih,
memiliki relief rendah tanpa pleokroisme. Mikrit ditemukan membentuk laminasi
tersendiri setebal 0,1 – 0,5 mm, terkadang tidak kontinyu (Gambar 7A). Selain itu,
mikrit bersama mikrospar menjadi pengisi utama laminasi pada sampel bagian
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 - 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA
1186
belakang dam, beberapa membentuk laminasi yang laminar, namun kebanyakan
mikrit dan mikrospar mengisi laminasi yang cukup tebal 1 – 2,5 mm dengan
membentuk konfigurasi yang dendritik (Gambar 7B). Proses pembentukan
konfigurasi dendritik yang tersusun oleh mikrit dan mikrospar sendiri kurang lebih
sama dengan pembentukan kristal dendritik, hanya saja kristal hasil nukleasi yang
terbentuk tidak besar dan hanya berukuran mikrit-mikrospar. Apabila proses
pengkerakan terjadi lebih lanjut, konfigurasi ini akan lenyap karena kristal tumbuh
semakin besar hingga berukuran sparit dan menjadi dendrit (Turner dan Jones,
2005).
Pori pada travertin yang ditemukan antara lain pori interkristalin dan ireguler
(Gambar 7A). Pori interkristalin ditemukan di sekitar batas perlapisan atau
tersebar di dalam laminasi di sekitar mikrit dan mikrospar. Pori interkristalin yang
berada di sekitar mikrit dan mikrospar terkadang memperjelas kenampakan mikrit
dan mikrospar yang membentuk konfigurasi dendritik (Gambar 7B). Sementara itu,
pori yang ireguler tersebar acak dengan bentuk yang tidak teratur diduga terbentuk
karena kesalahan pada saat preparasi sayatan tipis sehingga beberapa bagian dari
sayatan batuan hilang meninggalkan pori ireguler.
Perbandingan karakter petrografis pada sampel yang diambil antara lain sampel
yang diambil pada bagian depan dam tersusun oleh laminasi yang tersusun oleh
laminasi dendrit, laminasi tipis mikrit, serta laminasi mikrit dan mikrospar.
Sementara itu travertin pada bagian belakang tersusun oleh material kerbonat yang
lebih halus yang terdiri atas laminasi mikrit dan mikrospar yang membentuk
konfigurasi dendritik dengan beberapa sisipan laminasi mikrit tipis. Hal ini dapat
dikarenakan bagian depan dari dam kecepatan aliran air lebih tinggi dan
membentuk terjunan sehingga pelepasan CO2 lebih efektif terjadi dibandingkan
pada bagian belakang dam sehingga nukleasi pada lumut dapat terjadi lebih lanjut
menjadi kristal dengan ukuran lebih besar.
Berdasarkan kenampakan megaskopis dan pengamatan petrografi, fasies travertin
adalah fasies phytoherm (bryophytes) yang dapat dibagi lagi menjadi fasies
phytoherm (bryophytes) untuk bagian depan dam dan micritic phytoherm
(bryophytes) untuk bagian belakang dam. Fasies ini dicirikan oleh adanya
tumbuhan, dalam hal ini lumut, yang terjebak saat pembentukan travertin.
5. Kesimpulan
Kesimpulan dari penelitian ini adalah:
1. Travertin pada Air Terjun Moramo memiliki morfologi makrodam yang bertingkat-
tingkat berbentuk busur yang terpengaruh oleh kelerengan. Sistem dam menerus dari
bagian hulu hingga hilir, dengan tinggi dam yang mengecil dan jarak antardam
membesar ke arah hilir. Selain itu pada bagian hulu pada satu tingkatan dapat
terbentuk lebih banyak busur dam sedangkan pada bagian hilir hanya 1 – 2 saja.
2. Karakter petrografis dari travertin yang teramati antara lain laminasi yang tersusun
oleh dendrit, mikrit, serta mikrit dan mikrospar untuk bagian depan dam, sedangkan
bagian belakang dam tersusun oleh laminasi mikrit dan mikrospar yang membentuk
konfigurasi dendritik dengan beberapa sisipan laminasi mikrit tipis.
3. Travertin Air Terjun Moramo berjenis meteogen yang termasuk ke dalam fasies
phytoherm (bryophytes) yang terbentuk akibat adanya lumut beserta daun dan ranting
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 - 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA
1187
serta aktivitas larva yang terjebak pada saat pembentukan travertin oleh air jenuh
kalsium karbonat hasil pelarutan batuan morfologi karst.
Acknowledgements
Ucapan terima kasih diberikan kepada pihak yang membantu dalam pengambilan data, La
Ode Amri Rizal, Muhammad Ridwan, Galdencia, dan Sidiq Al Mubaraq. Ucapan terima kasih
juga diberikan Departemen Teknik Geologi Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada yang
telah memberikan kesempatan preparasi sayatan tipis secara mandiri di Laboratorium Geologi
Pusat maupun pengamatan sayatan tipis di Laboratorium Geologi Optik.
Daftar Pustaka
Capezzouli, E., Gandin, A., dan Pedley M. 2014. Decoding tufa and Travertine (Fresh Water
Carbonates) in the Sedimentary Record: The State of Art. Sedimentology, v.61, hal.1-
21, doi: 10.1111/sed.12075
Carthew, K.D., M.P. Taylor, dan R.N.Drysdale. (2006). An environmental model of fluvial
tufas in the monsoona; tropics, Barkly Karst, northern Australia. Geomorphology 73
(2006) p.78-100
Carthew, K.D., M.P. Taylor, dan R.N. Drysdale. (2003). Are current models of tufa
sedimentary environments applicable to tropical systems? A case study from the
Gregory River. Sedimentary Geology. Vol. 162 p. 199-218.
Ciputra, R.C., M.I. Novian, dan Srijono. (2017). Petrogenesa Travertin Daerah Widuri, Desa
Kemadohbatur, Kecamatan Tawangharrjo, Kabupaten Grobogan, Provinsi Jawa
Tengah. Skripsi S1 Departemen Teknik Geologi Fakultas Teknik Universitas Gadjah
Mada
Flugel, E. (2010). Microfacies of Carbonate Rocks. Springer; New York, 976 p.
Gandin, A, dan E. Capezzuoli. (2008). Travertine versus Calcareous Tufa: Distinctive
Petrologic Features and Stable Isotopes Signatures. Italian Journal of Quarternary
Sciences 21 (B) p. 125 – 136.
Özkul, M, B Varol, dan M C Alcicek. (2002). Depositional Environments and Petrography of
Denizli Travertine. Mineral Resources Exploration Buletin, 125 (2002) p.13-29
Pedley, H.M., (1990). Classification and Environmental Models of Cool Freshwater Tufas.
Sedimentary Geology Vol. 68(1990) p.143-154
Pentecost, A. 2005. Travertine. Springer; Berlin, 446 p
Simandjuntak, T.O., Surono dan Sukido. (1993) Peta Geologi Lembar Kolaka, Sulawesi.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi; Bandung
Surono. (2013). Geologi Lengan Tenggara Sulawesi. Badan Geologi, Kementerian Energi dan
Sumber Daya Mineral; Bandung
Turner. E. C., dan Jones, B. (2005). Microscopic Calcite Dendrites in Cold-Water Tufa:
Implications for Nucleation of Micrite and Cement. Sedimentology Vol. 52 hal. 1043-
1066
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 - 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA
1188
Gambar 3. Satuan morfologi bagian selatan lengan tenggara Sulawesi dari citra IFSAR (Surono, 2013
dengan modifikasi).
Gambar 2. Titik pengambilan sampel pada masing-masing STA: di depan dam (A) dan di belakang
dam (B)
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 - 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA
1189
Gambar 3. Peta geomorfologi dengan sebaran travertin pada daerah penelitian serta lokasi STA
pengambilan sampel travertin. Travertin ditemukan pada Satuan Karst.
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 - 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA
1190
Gambar 4. Kenampakan morfologi travertin pada STA 1 pada bagian hulu, STA 2 pada bagian
tengah, dan STA 3 pada bagian hilir. Pada STA 1 terlihat dam yang lebih tinggi dengan
jarak antardam yang besar, serta pada satu tingkatan dapat terbentuk beberapa busur dam,
sedangkan semakin ke hilir, tinggi dam semakin mengecil dengan jarak antardam yang
membesar.
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 - 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA
1191
Gambar 5. Kenampakan permukaan dam. (A) Kenampakan lumut yang terkerakkan oleh kalsit. (B)
kenampakan sarang larba dan daun yang terkerakkan oleh kalsit. (C) kenampakan
permukaan berbentuk nodular.
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 - 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA
1192
Gambar 6. Kenampakan kristal kalsit dendritik atau dendrit. (A) Dendrit berbentuk seperti semak. (B)
Dendrit berbentuk kipas. (C) Dendrit dengan arah tidak teratur. Pori berwarna putih
(PPL) dan hitam (XPL). Keterangan: dt = dendrit, mi = mikrit, dan ms = mikrospar.
Gambar 7. Kenampakan mikrit dan mikrospar pada sayatan tipis. (A) Perulangan laminasi mikrit
dengan laminasi mikrit dan mikrospar, pori terlihat ireguler dan interkristalin. (B)
Kenampakan mikrit dan mikrospar yang membentuk konfigurasi dendritik, pori terlihat
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 - 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA
1193
interkristalin di sekitar konfigurasi dendritik. Pori berwarna putih (PPL) dan hitam (XPL).
Keterangan:, mi = mikrit, dan ms = mikrospar.
Tabel 1. Perbedaan karakter utama travertin menurut Gandin dan Capezzuoli (2008) dan Capezzuoli
dkk (2014) yang dirangkum dalam Ciputra dkk (2017)
No. Parameter
Karakter utama travertin (Gandin dan Capezzuoli, 2008; Capezzuoli dkk,
2014)
Travertin Meteogen Travertin
Termogen
1 Proses deposisi utama Biotik Abiotik
2 Mineral pembentuk Kalsit Kalsit, Aragonit
3 Ukuran kristal kalsit Mikritik-mikrosparitik, meskipun
tidak menutup kemungkinan untuk
ukuran yang makro
Makro (bladed, acicular) hingga
mikritik
4 Tekstur utama Porous, chalky, terdapat sisipan
pasir-lempung lentikuler
Kristalin tebal dan keras
5 Perlapisan / laminasi Jarang membentuk perlapisan /
laminasi yang laminar, kurang teratur
Membentuk perlapisan / laminasi yang
laminar dan teratur
6 Ketebalan perlapisan Umumnya membentuk laminasi tipis
(1–10 mm)
Dapat terbentuk dengan sangat tebal
(10 – >100 mm)
7 Konten biologis Sangat besar (makrophytes hingga
microphytes), fauna
Bakteri dan sianobakteri
8 Porositas primer Tinggi Rendah
Tabel 2. Kriteria morfologi travertin yang terbentuk pada masing-masing STA
No. Kriteria Morfologi STA 1 (Atas) STA 2 (Tengah) STA 3 (Bawah)
1 Jumlah dam pada STA 7 3 3
2 Jumlah dam pada satu tingkatan 2 sampai 4 1 sampai 2 1 sampai 2
3 Lebar dam 5 - 15 m 10 m 10 m
4 Tinggi dam 1 - 3 m 0,5 - 1 m 0,3 - 0,5 m
5 Jarak antardam 1 - 4 m 3 - 6 m 5 - 10 m
6 Bentukan permukaan dam Permukaan kasar
berbentuk nodular
atau bentukan
panjang
menggantung
akibat sarang larva,
terdapat pula lumut
dan daun yang
terkerakkan
Permukaan kasar
berbentuk nodular
atau bentukan
panjang
menggantung akibat
sarang larva, terdapat
pula lumut dan daun
yang terkerakkan
Permukaan kasar
berbentuk nodular
kecil atau bentukan
menggantung
pendek-pendek,
serta lumut yang
terkerakkan
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 - 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA
1194
Tabel 3. Karakter petrografis travertin pada masing-masing sampel
Parameter STA 1A
(depan)
STA 1B
(belakang)
STA 2A
(depan)
STA 2B
(belakang)
STA 3A
(depan)
STA 3B
(belakang)
Komposisi
Mineral
Utama
Kalsit Kalsit Kalsit Kalsit Kalsit Kalsit
Laminasi bervariasi, 0,2 -
1,5 mm
1 - 2 mm;
diselingi
laminasi mikrit
0,1-0,2 mm
bervariasi,
0,2 - 1,5 mm
1 - 2 mm;
diselingi
laminasi
mikrit 0,1-
0,4 mm
bervariasi,
0,2 - 1,5 mm
1 - 2,5 mm;
diselingi
laminasi
mikrit 0,1-
0,2 mm
tidak
kontinyu
Kristal kalsit
dendritik
Ada, ukuran 1 -
1,5 mm, tidak
kontinyu,
beberapa
seperti kipas
Tidak ada Ada, ukuran
1 - 3,5 mm,
tidak
kontinyu,
beberapa
tidak teratur,
beberapa
seperti kipas
Tidak ada Ada, tetapi
tidak
banyak,
ukuran 0,5 -
1,5 mm,
tidak
kontinyu,
beberapa
seperti kipas
Tidak ada
Mikrit +
Mikrospar
Ada,
membentuk
laminasi
Ada, beberapa
membentuk
konfigurasi
dendritik dalam
satu laminasi
Ada,
membentuk
laminasi
Ada,
beberapa
membentuk
konfigurasi
dendritik
dalam satu
laminasi
Ada,
membentuk
laminasi
Ada,
beberapa
membentuk
konfigurasi
dendritik
dalam satu
laminasi
Pori Interkristalin Interkristalin Interkristalin Interkristalin,
ireguler
Interkristalin Interkristalin
Sparit
diagenesis
Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada
Fasies Phytoherm
(bryophytes)
Micritic
Phytoherm
(bryophytes)
Phytoherm
(bryophytes)
Micritic
Phytoherm
(bryophytes)
Phytoherm
(bryophytes)
Micritic
Phytoherm
(bryophytes)