studi kasus traficking

46
DAFTAR ISI Halaman ABSTRAK....................................................... .............................................................. ............. i KATA PENGANTAR..................................................... ............................................................ ii DAFTAR ISI.. .............................................................. .............................................................. ..1 BAB I : PENDAHULUAN................................................... ...................................................... 2 A. Latar Belakang Masalah.................................................. ................................................. 2 B. Rumusan Masalah.................................................. 1

Upload: yusni-oktaviani

Post on 14-Aug-2015

511 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

jual beli manusia

TRANSCRIPT

DAFTAR ISIHalaman ABSTRAK.................................................................................................................................. i KATA PENGANTAR.................................................................................................................ii DAFTAR ISI................................................................................................................................1 BAB I : PENDAHULUAN......................................................................................................... 2 A. Latar Belakang Masalah...................................................................................................2 B. Rumusan Masalah............................................................................................................4 C. Tujuan Penelitian Makalah..............................................................................................4 D. Manfaat Penelitian Makalah............................................................................................4 E. Metode Pengkajian Makalah..........................................................................................5 BAB II : PEMBAHASAN.........................................................................................................6 A. Kajian Pustaka................................................................................................................6 a. Tinjauan Umum Tentang Anak................................................................................6 b. Definisi Perdagangan Manusia dan Anak ...............................................................7 B. Pembahasan..................................................................................................................10 a. Kasus Trafficking d Jawa Barat.............................................................................10 b. Faktor Pendorong Terjadinya Perdagangan Anak..................................................14 c. Cara Pelaku Melakukan Perdagangan Anak..........................................................16 d. Upaya Pencegahan Perdagangan Anak..................................................................17 e. Solusi Untuk Kasus Perdagangan Anak.................................................................20 BAB III : PENUTUP.............................................................................................................27 A. Simpulan.....................................................................................................................27 B. Saran............................................................................................................................27 DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................28

1

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang MasalahDalam era kemerdekaan terlebih di era reformasi yang sangat menghargai Hak Asasi Manusia, masalah perbudakan atau penghambaan tidak ditolerir lebih jauh

keberadaannya. Secara hukum Bangsa Indonesia menyatakan bahwa perbudakan atau penghambaan merupakan kejahatan terhadap kemerdekaan orang yang diancam dengan pidana penjara lima sampai dengan lima belas tahun (Pasal 324-337 KUHP). Namun kemajuan teknologi informasi, komunikasi dan transportasi yang mengakselerasi terjadinya globalisasi, juga dimanfaatkan oleh hamba kejahatan untuk menyelubungi perbudakan dan penghambaan itu ke dalam bentuknya yang baru yaitu: perdagangan orang (trafficking in persons), yang beroperasi secara tertutup dan bergerak di luar hukum. Pelaku perdagangan orang (trafficker) dengan sangat halus menjerat mangsanya, tetapi dengan sangat kejam mengeksploitasinya dengan berbagai cara sehingga korban menjadi tidak berdaya untuk membebaskan diri. Perdagangan manusia (human trafficking) merupakan masalah yang cukup kompleks, baik di tingkat nasional maupun internasional. Berbagai upaya telah dilakukan guna mencegah terjadinya praktek perdagangan manusia. Secara normatif, aturan hukum telah diciptakan guna mencegah dan mengatasi perdagangan manusia. Akan tetapi perdagangan manusia masih tetap berlangsung khususnya yang berkaitan dengan anakanak. Permasalahan yang berkaitan dengan anak tidak lepas dari perhatian masyarakat internasional. Isu-isu seperti tenaga kerja anak, perdagangan anak, dan pornografi anak, merupakan masalah yang dikategorikan sebagai eksploitasi. Pemberitaan tentang perdagangan manusia khususnya anak, di Indonesia kian marak baik dalam lingkup domestik maupun yang telah bersifat lintas batas negara. Hal ini dapat dilihat dari berbagai kejahatan yang dilakukan oleh orang perorangan maupun oleh korporasi dalam batas wilayah suatu negara maupun yang dilakukan melintasi batas wilayah negara lain yang semakin meningkat. Kejahatan tersebut juga termasuk antara lain berupa penyeludupan tenaga kerja, penyeludupan imigran, perdagangan budak, wanita dan anak. Salah satu persoalan serius dan sangat meresahkan adalah dampak yang ditimbulkan dan berhubungan langsung terhadap nasib anak, yaitu berkaitan dengan perdagangan anak (child trafficking). Perdagangan anak yang terjadi di Indonesia telah mengancam2

eksistensi dan martabat kemanusiaan yang membahayakan masa depan anak. Sisi global, perdagangan anak merupakan suatu kejahatan terorganisasi yang melampaui batas-batas negara, sehingga dikenal sebagai kejahatan transnasional. Indonesia tercatat dan dinyatakan sebagai salah satu negara sumber dan transit perdagangan anak internasional, khususnya untuk tujuan seks komersial dan buruh anak di dunia. Angka perkiraan ILO yang terbaru tentang global pekerja anak mengkonfirmasikan bahwa jumlah pekerja anak yang terperangkap dalam bentuk-bentuk pekerjaan terburuk, saat ini diperkirakan 179 juta anak perempuan dan anak laki-laki berusia dibawah 18 tahun menjadi korban dari jenis-jenis pekerjaan eksploitatif tersebut. Dari jumlah tersebut 8,4 juta anak terlibat dalam perbudakan, kerja ijon, perdagangan anak, dimanfaatkan secara paksa dalam konflik senjata, pelacuran, pornografi, dan aktifitasaktifitas terlarang lainnya. Provinsi Jawa Barat menempati urutan pertama yang mempunyai jumlah anak sebagai korban trafficking tertinggi dibanding provinsi lainnya. Selama lima tahun terkhir, kasus trafficking di Jawa Barat mencapai 882 kasus dengan kasus terbanyak berada di Indramayu, Subang, dan Cirebon. Dari fenomena trafficking yg sudah begitu menjamur di negara ini, tentunya perlu ada penanganan yang tegas dari pemerintah serta upaya-upaya pencegahan apa saja yang dapat dilakukan bangsa Indonsia untuk setidaknya meminimalisir kasus trafficking ini yang semakin lama semakin meningkat jumlah pelaku dan korbannya. Mendasarkan uraian tersebut, maka penulis berkeinginan untuk mengetahui upayaupaya pemerintah dalam penanganan Trafficking ke dalam bentuk penulisan makalah yang berjudul Trafficking dan Penaggulangannya.

3

B. Rumusan MasalahBerdasarkan latar belakang masalah di atas, penulis merumuskan rumusan masalah sebagai berikut. 1. Apakah yang dimaksud dengan perdagangan manusia khususnya anak (child trafficking)? 2. Bagaimana kasus trafficking yang terjadi di wilayah Jawa Barat? 3. Apa saja faktor pendorong terjadinya perdagangan anak? 4. Bagaimana para pelaku melakukan perdagangan? 5. Bagaimana upaya pencegahan perdagangan anak? 6. Apa solusi dari kasus perdagangan anak?

C. Tujuan Penulisan MakalahSejalan dengan rumusan masalah diatas, makalah ini disusun dengan tujuan untuk mengetahui dan mendeskripikan: 1. Definisi perdagangan manusia khususnya anak (child trafficking) 2. Kasus trafficking di wilayah Jawa Barat 3. Faktor pendorong terjadinya perdagangan anak 4. Cara pelaku melakukan perdagangan anak 5. Upaya pencegahan perdagangan anak 6. Solusi untuk kasus perdagangan anak

D. Manfaat Penulisan MakalahSecara garis besar manfaat makalah ini dapat dilihat secara teoritis dan secara praktis, yaitu: 1. Manfaat Teoritis a. Sebagai bahan kajian bagi kalangan akademisi dalam upaya menambah wawasan ilmu sosial dalam menanggulangi kejahatan perdagangan anak. b. Sebagai bahan masukan bagi peradilan jika menghadapi kasus perdagangan anak di Indonesia, khususnya di Jawa Barat.

4

2. Manfaat Praktis a. Makalah ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan masukan dalam menanggulangi kejahatan perdagangan anak. b. Makalah ini diharapkan memberikan masukan bagi penyempurnaan perangkat peraturan yang berkaitan dengan perdagangan anak di Indonesia khususnya Jawa Barat.

E. Metode Pengkajian MakalahApabila dilihat dari tingkat eksplanasi, makalah ini termasuk penelitian deskriptif analitis. Penelitian deskriptif analitis, yaitu mendeskripsikan, menggambarkan, menelaah dan menjelaskan secara analitis permasalahan yang dikemukakan. Penelitian bersifat deskriptif analisis adalah suatu penelitian yang berusaha menggambarkan fakta dan datadata mengenai praktek kejahatan perdagangan anak, penanggulangan kejahatan perdagangan anak, dan cara pencegahan perdagangan anak. Sedangkan metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penulisan studi pustaka. Metode penulisan studi pustaka merupakan metode penulisan karya tulis ilmiah dengan mengumpulkan bahan-bahan, materi-materi, data-data dan informasiinformasi yang diperoleh dari buku-buku dan atau suatu jurnal. Penulis juga menggunakan berbagai literatur yang terkait dengan tema. Kemudian akan dicoba untuk menerapkan sedikit contoh kasus yang berhubungan dengan topik bahasan.

5

BAB II PEMBAHASAN A. Kajian Pustaka a. Tinjauan umum tentang anakAnak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa harus kita jaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat, dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Serta jika dilihat dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, anak merupakan masa depan bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, berpartisipasi, serta berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi, serta hak sipil dan kebebasan. Pengertian dalam Kamus Hukum mengatakan bahwa anak adalah setiap anak yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya. Kesejahteraan anak adalah suatu tata kehidupan dan penghidupan anak yang dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar, baik secara rohani, jasmani maupun sosial.

Usaha kesejahteraan anak adalah usaha kesejahteraan sosial yang ditujukan untuk menjamin terwujudnya kesejahteraan anak terutama terpenuhinya kebutuhan pokok anak. Anak adalah makhluk sosial seperti juga orang dewasa. Anak membutuhkan orang lain untuk dapat membantu mengembangkan kemampuannya, karena anak lahir dengan segala kelemahan sehingga tanpa orang lain anak tidak mungkin dapat mencapai taraf kemanusiaan yang normal. Selain itu, pengertian anak adalah pribadi yang masih bersih dan peka terhadap rangsangan-rangsangan yang berasal dari lingkungan. Para ahli yang dipandang sebagai peletak dasar permulaan psikologi anak, juga mengatakan bahwa anak tidaklah sama dengan orang dewasa, anak mempunyai kecenderungan untuk menyimpang dari hukum dan ketertiban yang disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan dan pengertian terhadap realita kehidupan, dan anak-anak lebih mudah belajar dengan contoh-contoh yang diterimanya dari aturan-aturan yang bersifat memaksa. Sedangkan Menurut Pasal 1 ayat (2) Undang- Undang No.4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak (selanjutnya disingkat dengan UU Kesejahteraan Anak) menyebutkan bahwa :6

Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin. Pengertian tentang anak secara khusus (legal formal) dapat ditemukan dalam pasal 1 angka (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak (selanjutnya disingkat dengan UU Perlindungan Anak), dan Pasal 1 angka (5) UU T.P Perdagangan Orang yaitu: Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun termasuk anak yang ada dalam kandungan. Sedangkan menurut Pasal 1 angka (5) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak (selanjutnya disingkat dengan UU Pengadilan Anak), pengertian anak adalah: Anak adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai umur delapan (8) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin. Maksudnya tidak sedang terikat dalam perkawinan ataupun pernah kawin dan kemudian cerai.

b. Definisi Perdagangan manusia dan anakDefinisi mengenai perdagangan orang mengalami perkembangan sampai ditetapkannya Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons Especially Women and Children Suplementing the United Nation Convention Against Transnational Organized Crime tahun 2000. Dalam protokol tersebut yang dimaksudkan dengan perdagangan orang adalah rekrutmen, transportasi, pemindahan, penyembunyian atau penerimaan seseorang, dengan ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentukbentuk tekanan lain, penculikan, pemalsuan, penipuan atau pencurangan, atau penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, ataupun penerimaan/pemberian bayaran, atau manfaat sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang tersebut untuk dieksploitasi, yang secara minimal termasuk ekspolitasi lewat prostitusi atau bentuk-bentuk eksploitasi seksual lainnya, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktek-praktek yang menyerupainya, adopsi ilegal atau pengambilan organ-organ tubuh. Sedangkan definisi lain dari Istilah Human Trafficking atau perdagangan manusia, menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 tahun 2007, dapat diartikan sebagai: segala Tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan7

kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dan orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam Negara maupun antar Negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi. Definisi ini diperluas dengan ketentuan yang berkaitan dengan anak di bawah umur (di bawah 18 tahun), bahwa: The recruitment, transportation, transfer, harbouring or receipt of a child for the purpose of exploitation shall be considered trafficking in persons even if this does not involve any of the means set forth in subparagraph. Artinya adalah bahwa: Perekrutan, pengiriman, pemindahan, penyembunyian atau penerimaan anak untuk tujuan eksploitasi harus dianggap sebagai "perdagangan

manusia" bahkan jika ini tidak melibatkan cara-cara yang diatur dalam sub ayat. Perdagangan anak (child trafficking) itu sendiri didefinisikan oleh ODCCP (Office for Drug Control and Crime Prevention) sebagai perekrutan, pemindahan, pengiriman, penempatan atau menerima anak-anak di bawah umur untuk tujuan eksploitasi dan itu menggunakan ancaman, kekerasan, ataupun pemaksaan lainnya seperti penculikan, penipuan, kecurangan,penyalahgunaan wewenang maupun posisi penting. Juga memberi atau menerima uang atau bantuan untuk mendapatkan persetujuan dari orang yang menguasai penuh atas anak itu. Perdagangan anak biasanya bertujuan: a. eksploitasi untuk pekerjaan (termasuk perbudakan dan tebusan), b. eksploitasi seksual (termasuk prostitusi dan pornografi anak), c. eksploitasi untuk pekerjaan ilegal (seperti mengemis dan perdagangan obat terlarang) d. perdagangan adopsi, e. penjodohan Perdagangan anak terjadi akibat konvensi internasional atas penindasan wanita dan anak-anak yang diselenggarakan pada tanggal 30 September 1921. Alasan lain adalah eksploitasi seksual atas anak-anak melalui sejumlah alasan hukum yang dapat dikenakan hukuman. (kekerasan seksual pada anak, pornografi anak, perdagangan manusia, dll.). Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur dari perdagangan anak (Harkristuti, 2003), adalah:8

1. Perbuatan: merekrut, mengangkut, memindahkan, menyembunyikan atau menerima 2. Sarana (cara) untuk mengendalikan korban: ancaman, penggunaan paksaan, berbagai bentuk kekerasan, penculikan, penipuan, kecurangan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan atau pemberian/penerimaan pembayaran atau keuntungan untuk memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas korban. 3. Tujuan: eksploitasi, setidaknya untuk prostitusi atau bentuk ekspoitasi seksual lainnya, kerja paksa, perbudakan, penghambaan, pengambilan organ tubuh Dari ketiga unsur tersebut, yang perlu diperhatikan adalah unsur tujuan, karena walaupun untuk korban anak-anak tidak dibatasi masalah penggunaan sarananya, tetapi tujuannya tetap harus untuk eksploitasi. Pengertian menurut Protocol tersebut menjiwai definisi perdagangan perempuan dan anak sebagaimana tertuang dalam Keputusan Presiden RI No. 88 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak, yang menyatakan: Perdagangan perempuan dan anak adalah segala tindakan pelaku (trafficker) yang mengandung salah satu atau lebih tindakan perekrutan, pengangkutan antar daerah dan antar negara, pemindahtanganan, pemberangkatan, penerimaan dan penampungan sementara atau di tempat tujuan perempuan dan anak dengan cara ancaman, penggunaan kekerasan verbal dan fisik, penculikan, penipuan, tipu muslihat, memanfaatkan posisi kerentanan (misalnya ketika seseorang tidak memiliki pilihan lain, terisolasi, ketergantungan obat, jebakan hutang, dan lain-lain), memberikan atau menerima pembayaran atau keuntungan, di mana perempuan dan anak digunakan untuk tujuan pelacuran dan eksploitasi seksual (termasuk phaedopili), buruh migran legal maupun ilegal, adopsi anak, pekerjaan jermal, pengantin pesanan, pembantu rumah tangga, mengemis, industri pornografi, pengedaran obat terlarang, dan penjualan organ tubuh, serta bentuk-bentuk eksploitasi lainnya. Perdagangan orang berbeda dengan penyeludupan orang (people smuggling). Penyelundupan orang lebih menekankan pada pengiriman orang secara illegal dari suatu negara ke negara lain yang menghasilkan keuntungan bagi penyelundup, dalam arti tidak terkandung adanya eksploitasi terhadapnya. Mungkin saja terjadi timbul korban dalam penyelundupan orang, tetapi itu lebih merupakan resiko dari kegiatan yang dilakukan dan bukan merupakan sesuatu yang telah diniatkan sebelumnya. Sementara kalau perdagangan orang dari sejak awal sudah mempunyai tujuan yaitu orang yang dikirim

9

merupakan obyek ekploitasi. Penipuan dan pemaksaan atau kekerasan merupakan unsur yang esensiil dalam perdagangan orang. Kejahatan terhadap HAM. Perdagangan orang merupakan kejahatan yang keji terhadap HAM, yang mengabaikan hak seseorang untuk hidup bebas, tidak disiksa, kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, beragama, hak untuk tidak diperbudak, dan lainnya. Industri seks sebagai salah satu pengguna perdagangan orang, selain menimbulkan human, social and economic cost yang tinggi, juga menyebarkan penyakit kelamin dan HIV/AIDS. Bagi anak yang dilacurkan, terampaslah peluang mereka untuk memperoleh pendidikan dan untuk mencapai potensi pengembangan sepenuhnya, yang berarti merusak sumber daya manusia yang vital untuk pembangunan bangsa.

B. PEMBAHASAN a. Kasus Trafficking di Jawa Barat TabelDATA TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG (ANAK) POLDA SE-INDONESIA PERIODE JANUARI-OKTOBER 2011

No

Wilayah

P

L

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.

Sumatera Utara Bangka Belitung Lampung Kepulauan Riau Banten Jawa Barat Jawa Timur Kalimantan Barat Nusa Tenggara Barat Bali10

3 2 7 7 13 6 5 1 1 1

11.

Sulawesi Utara Jumlah

9 54 1

Tabel tersebut menunjukkan bahwa korban perdagangan anak, mayoritas adalah anak perempuan yaitu 98% atau dari jumlah seluruh korban yaitu 55 anak hanya 1 anak lakilaki yang menjadi korban, sedangkan 54 lainnya adalah anak perempuan. Provinsi Jawa Barat menempati urutan pertama yang mempunyai jumlah anak sebagai korban trafficking tertinggi dibanding dengan provinsi lainnya, yaitu sebanyak 13 anak, dimana keseluruhannya adalah anak perempuan. Urutan kedua terbanyak adalah provinsi Sulawesi Utara, yaitu sejumlah 9 anak perempuan yang menjadi korban trafficking. Sedangkan Polda provinsi Nusa Tenggara Barat dan Bali mencatat jumlah anak korban trafficking terendah dibanding provinsi-provinsi lainnya, yaitu masing-masing 1 anak perempuan. Hanya satu provinsi, yaitu Banten, yang mencatat 1 korban anak laki-laki dalam kasus trafficking. Walaupun data tersebut hanya menggambarkan sebagian kecil kasus trafficking secara nasional yang menempatkan anak sebagai korban, dapa terlihat bahwa anak perempuan masih merupakan sasaran utama bagi pihak-pihak yang mengambil keuntungan besar dari bisnis ilegal ini. Melihat kecenderungan data yang tersedia, dapat diperkirakan bahwa anak perempuan masih sangat rentan menjadi korban utama dalam kasus trafficking di provinsi-provinsi lainnya di Indonesia. Hal ini disebabkan antara lain karena budaya patriarki yang masih sangat kuat di Indonesia, yang cenderung membentuk anak perempuan menjadi pasif dan mempunyai sikap nrimo atau menerima apa saja perlakuan orang lain atau apapun yang diputuskan orang lain terhadap dirinya. Beberapa tradisi di Indonesia juga menganggap anak perempuan sebagai obyek dan aset bagi orang tua, sehingga banyak anak perempuan berada pada posisi yang marjinal. Data lain di dapat dari angka perkiraan ILO yang terbaru tentang data global pekerja anak mengkonfirmasikan apa yang selama ini dikhawatirkan berbagai pihak. Jumlah pekerja anak yang terperangkap dalam bentuk-bentuk pekerjaan terburuk bagi anak lebih besar dari yang diperkirakan sebelumnya. Saat ini diperkirakan 179 juta anak perempuan dan anak laki-laki berusia dibawah 18 tahun menjadi korban dari jenis-jenis pekerjaan eksploitatif tersebut. Dari jumlah tersebut, 8,4 juta anak terlibat dalam perbudakan, kerja

11

ijon, perdagangan anak, dimanfaatkan secara paksa dalam konflik senjata, pelacuran, pornografi dan aktivitas-aktivitas terlarang lainnya. Kesulitan ekonomi yang parah, yang dialami Indonesia sejak tahun 1997, memaksa keluarga-keluarga miskin mengirimkan anak-anak mereka yang dibawah umur untuk bekerja. Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 1999, 1,5 juta anak yang berusia antara 10 - 14 tahun bekerja membantu keluarga mereka. Sementara itu, data tahun 1999 dari Departemen Pendidikan Nasional menunjukkan bahwa 7,5 juta atau 19,5 % dari 38,5 juta anak-anak yang berumur antara 7 -15 tahun tidak terdaftar di sekolah dasar dan menengah pada tahun 1999. Memang tidak semua anak-anak ini bekerja, tetapi anak-anak putus sekolah ini seringkali sedang mencari pekerjaan dan menghadapi resiko untuk terlibat dalam kegiatan ekonomi yang berbahaya. Tujuan dari perdagangan anak yang dilakukan oleh para pelaku biasanya dijadikan objek pelacuran. Pelacuran terselubung telah berkembang tidak hanya di kota-kota besar tetapi juga di berbagai wilayah sub-urban. Kegiatan pelacuran di Jawa Timur telah menyebar dari Surabaya ke daerah-daerah sekitarnya seperti Tretes, Malang, Kediri, Jember dan lainnya. Meskipun tidak ada data resmi, secara luas diyakini bahwa anakanak telah dilacurkan (Hakiki, September 1999). Di pinggiran Jakarta, aktivitas pelacuran berkembang di daerah Parung, Sawangan, Puncak, Bogor, Bekasi, Tangerang dan Banten. Sementara Bandung masih merupakan pusat industri hiburan yang digunakan untuk pelacuran terselubung, aktivitas pelacuran menyebar di sepanjang Pantai Utara (Pantura) Jawa mulai dari Krawang, Subang, Purwakarta dan Indramayu. Salah satu kota di Jawa Barat yaitu kota Cirebon ternyata menjadi salah satu pusat perdagangan anak yang ditujukan untuk dijadikan objek pelacuran. Sebagai daerah transit, Kota Cirebon menarik banyak pendatang. Fasilitas perdagangan berkembang dengan cepat di tahun 90-an, termasuk tempat-tempat hiburan yang manawarkan pelayanan seks. Contohnya dijalanan. Di kota Cirebon, pelacuran jalanan ditemui di Jl. Siliwangi dan Jl. Kejaksaan. Sekitar 50 pekerja seks remaja beroperasi di daerah ini dan sekitar 30 persen dari mereka berusia di bawah 18 tahun.8 Anak-anak yang dilacurkan berasal dari Cirebon atau kota-kota kecil di sekitarnya seperti Karangampel, Indramayu, Subang, Majalengka dan Kuningan dan adapula yang berasal dari Jawa Tengah seperti Brebes, Purwokerto and Cilacap. Pelacuran jalanan di Kabupaten Cirebon bisa ditemukan di Rajagaluh di mana terdapat banyak warung remang-remang menuju Sumedang dan Majalengka. Warung remang-remang ini dipenuhi oleh para supir truk yang mencari12

makanan atau mencari layanan seks. Anak-anak yang dilacurkan bekerja di warungwarung tersebut menyajikan makanan dan bisa juga melakukan transaksi seks dengan tamu baik secara mandiri maupun melalui germo yang bekerja di wilayah tersebut atau pemilik warung. Anak-anak yang menjadi pekerja seks di kota tersebut merupakan hasil dari kejahatan para traficker. Mereka termasuk korban perdagangan anak yang makin meluas belum lama ini. Para anak dibawah umur tersebut sebagian memang ada yang menjadi pekerja seks atas kemauan sendiri yang dilatar belakangi oleh faktor kemiskinan, tapi sebagian besarnya mereka adalah korban dari penjualan anak yang berasal dari kota tersebut ataupun yang dikirim langsung dari pusat pengiriman di Kota Sukabumi. Survei di lapangan menunjukkan di Kota Sukabumi ada sebuah daerah yang para orangtuanya dengan sengaja menjual anak perempuannya karena terdesak kebutuhan ekonomi. Dan kasus lainnya adalah masih terjadi di Jawa Barat, selain langsung dijadikan objek pelacuran, para trafficker juga menggunakan modus melalui pengiriman Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ke luar negeri. Berdasarkan kajian yang dilakukan Migrant Care pada tahun 2009 terungkap bahwa setiap tahun setidaknya 450 ribu Warga Negara Indonesia (WNI) diberangkatkan sebagai TKI ke luar negeri yang 70 persen di antaranya adalah perempuan. Dari jumlah tersebut, sekitar 60 persen dikirim secara ilegal dan sekitar 46 persen terindikasi kuat menjadi korban tindak pidana perdagangan orang. Data ini tentu menjadi sebuah perhatian, yang menjadi korban selalu perempuan dan anak-anak. Berdasarkan data dari International Organization for Migration (IOM) tercatat pada periode tahun 2005-2010, sejumlah 3.840 orang korban perdagangan orang telah dipulangkan. Sebagian besar adalah perempuan yakni 90,36 persen. Di antara jumlah korban tersebut 23,57 persennya adalah anak-anak di bawah umur. Kondisi ini, sangat tragis karena ternyata kantong trafficking di Jabar tidak menurun melainkan ada indikasi penambahan.

13

b. Faktor Pendorong Terjadinya Perdagangan Anak 1. Pendidikan yang Kurang Seperti yang tertera di buku Penanggulang Perdagangan Perempuan dan Anak, 2004, Korban yang biasanya adalah perempuan atau gadis desa dengan pendidikan rendah sering kali tidak menyadari tanda-tanda bahaya dari perdagangan, atau tidak dilengkapi dengan keterampilan, pengetahuan, dan sumber daya untuk bermigrasi dengan aman. Kurangnya pendidikan bagi anak-anak merupakan masalah yang paling utama yang mengakibatkan anak-anak terlibat dalam perdagangan anak. Menurut Statistik Indonesia di tahun 2004, anak-anak yang berumur 10 14 tahun, tertera bahwa 93,34 persen masih sekolah. Tetapi golongan anak yang berumur 15-19 tahun tertera bahwa hanya 52,77 persen saja yang melanjuti sekolah dan sekitar 47 persen lainnya tidak melanjutkan sekolah. 2. Kemiskinan (atau status ekonomi keluarga) Faktor kedua yang mempengaruhi perdagangan anak di Indonesia adalah faktor kemiskinan. Statistik Indonesia di tahun 2004 menyatakan bahwa ada 11 juta orang Indonesia yang miskin atau 12,13 persen dari seluruh penduduk Indonesia yang masih hidup dalam kemiskinan. Karena mereka hidup dalam kemiskinan maka, kelompok keluarga miskin biasanya mengerahkan seluruh tenaga kerja keluarga termasuk anakanak untuk memperoleh penghasilan (Haryadi&Tjandraningsih, 1995). Kebanyakan anak-anak yang harus bekerja tidak punya pilihan lain untuk membantu keluarganya karena mereka tidak mempunyai kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan atau memperbaiki ekonomi keluarga mereka masing-masing. Anak-anak dan keluarga yang mempunyai resiko lebih tinggi untuk terlibat dalam child trafficking juga menjadi satu faktor yang yang mendorong adanya child trafficking (Rafferty, 2007). Dengan hanya menganalisis dari dua faktor yang ada diatas, prediktor yang paling kuat adalah anak yang berumur diantara 12 sampai 16 tahun, wanita, dan hidup di daerah pedalaman atau pedesaan dikarenakan pada umumnya mereka mempunyai pendidikan yang kurang, keahlian kerja yang minim dan hidup dalam kemiskinan. 3. Diskriminasi Gender Diskriminasi gender juga berkontribusi dalam faktor yang mengakibatkan adanya child trafficking. Dengan adanya diskriminasi gender, anak-anak perempuan mempunyai peluang yang minim untuk mendapatkan edukasi yang layak atau pekerjaan-pekerjaan

14

lainnya (Rafferty, 2007) seperti yang diterima oleh anak laki-laki. Studi Profil Gender Nasional tahun 2006 menunjukkan bahwa untuk pendidikan tidak tamat SD, presentasenya lebih banyak perempuan dibandingkan laki-laki (28 persen berbanding 30 persen). Presentase untuk anak-anak yang tamat SD pun masih lebih tinggi untuk perempuan (32 persen) daripada laki-laki. Kebanyakan anak-anak perempuan itu terlibat dalam pernikahan di usia yag sangat muda dan mengakibatkan mereka untuk putus sekolah. 4. Permintaan dari Pedagang (Traffickers) Faktor yang terakhir adalah faktor permintaan(demand) dari child traffickers itu sendiri. Banyak traffickers dari luar negeri yang datang menipu orang tua yang pada akhirnya mengajak anak-anaknya untuk ditukar sebagai alat untuk membayar hutang atau menjanjikan pekerjaan yang benar dan layak. Seperti yang terjadi di negara Thailand, pekerja seksual anak sangat terkenal dan dijadikan satu aktivitas untuk turisme dari luar negeri. Karena besarnya permintaan tersebut, maka banyak anak-anak yang diperdagangkan demi sex tourismeini. Ironisnya, faktor permintaan ini pun pada akhirnya melibatkan aparat-aparat militer atau kepolisian dari negara itu sendiri untuk membantu dalam memperdagangkan anak-anak untuk menjadi pekerja seksual. Dari faktor-faktor yang telah dibahas diatas, maka dari itu ada perlunya aksi proactive dari masyarakat umum yang dapat mencegah anak-anak dan perempuan sebelum mereka terlibat dalam masalah perdagangan tersebut.

15

c. Cara Pelaku Melakukan Perdagangan AnakTrafiking, menurut ICMC/ACIL tidak hanya merampas hak asasi tapi juga membuat mereka rentan terhadap pemukulan, penyakit, trauma dan bahkan kematian. Pelaku trafiking menipu, mengancam, mengintimidasi dan melakukan tindak kekerasan untuk menjerumuskan korban ke dalam prostitusi. Pelaku trafiking menggunakan berbagai teknik untuk menanamkan rasa takut pada korban supaya bisa terus diperbudak oleh mereka. Menurut ICMC/ACIL, beberapa cara yang dilakukan oleh pelaku terhadap korban antara lain (ICMC/ACIL-Mimpi Yang Terkoyak, 2005): 1. Menahan gaji agar korban tidak memiliki uang untuk melarikan diri; 2. Menahan paspor, visa dan dokumen penting lainnya agar korban tidak dapat bergerak leluasa karena takut ditangkap polisi 3. Memberitahu korban bahwa status mereka ilegal dan akan dipenjara serta dideportasi jika mereka berusaha kabur; 4. Mengancam akan menyakiti korban dan/atau keluarganya; 5. Membatasi hubungan dengan pihak luar agar korban terisolasi dari mereka yang dapat menolong; 6. Membuat korban tergantung pada pelaku trafiking dalam hal makanan, tempat tinggal, komunikasi jika mereka di tempat di mana mereka tidak paham bahasanya, dan dalam perlindungan dari yang berwajib; dan 7. Memutus hubungan antara pekerja dengan keluarga dan teman;

16

d. Upaya Pencegahan Perdagangan AnakDalam upaya pencegahan child trafficking, ada banyak pihak yang harus dilibatkan. Pihak-pihak yang harus dilibatkan selain anak-anak itu sendiri adalah keluarga anak tersebut, para pendidik, komunitas masyarakat luas dan organisasi pemerintah maupun non-pemerintah. 1. Pihak Keluarga atau Orangtua Peningkatan kesadaran sangat diperlukan untuk keluarga atau orang tua dari anakanak itu sendiri. Dari satu studi tentang trafficking, diketahui bahwa salah satu hal yang mendorong seorang anak untuk terlibat di trafficking adalah kemauan orang tua mereka sendiri (Rafferty, 2007). Orang tua mereka sering memperkerjakan anaknya demi penghasilan agar membantu beban orang tua. Dengan adanya fakta ini, salah satu pencegahan terhadap trafficking harus difokuskan untuk anggota keluarga selain anakanak itu sendiri. Peningkatan kesadaran ini bisa dilakukan dengan mengadakan workshop untuk anggota keluarga yang menginformasikan bahwa ada jalan lain yang dapat membantu mereka untuk mencari kerja di tempat yang lebih aman sesuai umur mereka masing. Workshop ini sangat penting demi membangun atau merubah pola piker daripada orang tua. Lewat workshop ini diharapkan orang tua dari keluarga anak dapat mengerti bahwa keterlibatan mereka dengan trafficking bisa berbahaya, dan anak pun dapat hidup sebagai anak selayaknya. Upaya lain yang menyangkut pihak keluarga atau orang tua adalah dengan membantu meningkatkan perekonomian keluarga, sehingga sang anak tidak harus mencari pekerjaan untuk membantu keluarganya. Orang tua yang tidak bekerja bisa dibantu untuk dicarikan pekerjaan ataupun diikuti pelatihan-pelatihan dari workshop-workshop yang ada agar bisa memiliki keahlian untuk mendapatkan pekerjaan. 2. Pendidik Pencegahan terhadap trafficking tidak hanyalah terfokus kepada pihak yang langsung terlibat, melainkan untuk membantu pencegahan trafficking yang dini, pihak pendidik dari sekolah dapat ikut berkontribusi. Seperti yang telah dilakukan oleh YKAI; yayasan ini telah membentuk suatu modul pelatihan yang akan diimplementasikan untuk para guru di sekolah. Modul ini adalah salah satu bentuk wadah untuk para guru agar mereka bisa belajar lebih lanjut tentang trafficking dah bahayanya. Dengan pelatihan yang diadakan untuk para guru, guru-guru tersebut akan bisa lebih berusaha untuk mengajak anak muridnya untuk tidak putus sekolah dan berakhir dengan terlibatnya mereka dengan

17

trafficking. Objektif lain dari pelatihan untuk para guru ini adalah para guru bisa membuat kurikulum di sekolah agar lebih menarik perhatian anak-anak. Dengan program ini, para guru yang tadinya tidak terlampau memperhatikan anak-anak yang absen atau putus sekolah, sekarang para guru itu mendatangi keluarga anak yang absen dan putus sekolah. Salah satu penyebab adanya child trafficking adalah tingginya jumlah anak-anak di daerah yang putus sekolah. Menurut A. Bequele dan J. Boyden (1988), pendidik mungkin tidak terlatih dengan baik dan terlalu banyak pekerjaan yang ditambah dengan sekolah-sekolah yang tidak mempunyai infrastruktur yang cukup dan kurikulum sekolah tersebut tidak sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan anak-anak. Maka dari itu pendidikan berperan sangat tinggi dalam memerangi trafficking sehingga anak-anak diharapkan untuk tetap sekolah dan mendapatkan pendidikan yang terbaik. 3. Masyarakat Luas Hal yang paling utama dalam upaya pencegahan child trafficking adalah meningkatkan kesadaran bagi anak-anak dan masyarakat luas. Pencegahan ini dapat dilakukan dengan cara menggunakan media seperti poster, koran, makalah, radio dan televisi. Menurut Baquele and Myers (1995), cara yang paling efektif untuk memberikan pesan informatif ke masyarakat adalah lewat media. Beberapa daerah di Indonesia telah mengimplementasikan poster-poster yang berpesan tentang bahaya dari trafficking. Poster-poster tersebut sebaiknya disesuaikan dengan kultur dari daerah-daerah tersebut; seperti dengan mengganti bahasa pesan tersebut dari bahasa Indonesia ke bahasa daerah yang mudah dimengerti oleh penduduk lokal. (ICMC&ACILS, 2004). Contoh media lain yang telah digunakan untuk mencegah child trafficking adalah dengan menjalankan radio. Radio ini tidaklah dijalankan oleh orang dewasa, melainkan anak-anak dan remaja. Maka dari itu hal-hal yang selalu menjadi topik pembicaraan acara radio dapat dengan mudahnya dimengerti oleh anak-anak dan remaja. Dengan radio inilah, topik trafficking bisa dibicarakan langsung oleh anak-anak dan remaja tersebut dan pesan mereka bisa didengar oleh kelompok anak seumurnya atau kaum orang dewasa yang dimana pemikiran mereka masih terbelakang (topik ini akan dibahas di bagian selanjutnya). Dengan adanya radio ini, anak-anak bisa menggunakan waktu kosong mereka untuk hal yang lebih produktif atau berguna sehingga bisa menghindarkan mereka dari child trafficking. Metode berikutnya terfokus kepada pekerja-pekerja yang telah menjadi role model di daerah masing-masing. Seperti contoh, di daerah Indramayu, banyak perempuan18

perempuan yang menjadi pekerja seksual dan dikirim ke luar negeri dan pada saat mereka kembali ke daerah asal mereka, mereka mendapatkan uang yang banyak. Dengan uang mereka yang dapatkan setelah mereka terlibat di trafficking, uangnya digunakan untuk membangun rumah yang besar, membeli kendaraan maupun alat telekomunikasi seperti handphone. Hal-hal ini sangatlah mencolok bagi masyarakat sekitar karena mereka banyak yang hidup secara sederhana. Pemikiran dari masyarakat inilah yang harus di rubah demi mencegah terjadinya trafficking. Masyarakat luas harus dididik bahwa ada cara lain untuk mencari pekerjaan yang lebih terpuji dan tidak harus mengeksploitasikan badan mereka.

4. Organisasi Pemerintah Pihak lain yang bisa membantu dalam pencegahan trafficking adalah dari pemerintah daerah tersebut. Pemerintah daerah harus mempunyai hukum-hukum yang menyangkut trafficking. Pemerintah daerah juga harus mempunyai metode khusus dalam menangani pencegahan trafficking tersebut. Seperti yang ada di studi kasus UNICEF dan UNGEI (2007), pemerintah daerah bisa membantu pencegahan dengan cara bagi wanita-wanita yang akan bekerja di luar daerah tersebut harus memberi surat rekomendasi dari tempat kerja yang dituju terlebih dahulu. Pemerintah daerah juga harus menekankan kembali wajib belajar sembilan tahun untuk anak-anak. Dalam upaya mengurangi jumlah anakanak yang terlibat di child trafficking, pemerintah daerah juga harus bekerja sama dengan anak-anak tersebut, warga setempat, pendidik dan pekerja sosial untuk menciptakan program-program atau acara-acara yang melibatkan sang anak untuk menjadi lebih produktif dan sekaligus memenuhi hak mereka sebagai anak. 5. Organisasi non-Pemerintah Untuk organisasi non-pemerintah, mereka harus bekerja sama dengan masyarakat luas untuk membuat program-program yang membantu untuk mengurangi jumlah anak yang putus sekolah atau pekerja anak. Contoh dari program adalah Perpustakaan Keliling yang menjadi salah satu kegiatan rutin YKAI. Apabila anak tidak mampu membayar uang sekolah, salah satu cara bagi organisasi non-pemerintah untuk membantu anak-anak agar bisa melanjutkan sekolah adalah dengan cara mengikuti sekolah terbuka. Bagi anak-anak yang tidak bisa melanjutkan sekolah setelah menyelesaikan wajib sembilan tahun sekolah, anak-anak tersebut bisa ikut berpartisipasi dalam sanggar-sanggar yang telah dibuat untuk membantu anak itu siap mencari pekerjaan. Hal-hal yang diajarkan di sanggar tersebut antara lain adalah kursus komputer dan bahasa Inggris. Dengan19

mengikuti program-program di sanggar, anak-anak yang tidak bisa melanjutkan sekolah bisa tetap mendapatkan kesempatan untuk mencari pekerjaan yang layak baginya. Dari semua program-program yang digunakan untuk mencegah adanya child trafficking, tidak semuanya berjalan sesuai rencana dan masih banyak lagi yang perlu di perhatikan ulang. Sebagai contoh, poster-poster atau leaflet yang telah dibagikan ke masyarakat di daerah sering kali tidak menjadi efektif dikarenakan masih banyak penduduk di daerah tersebut yang masih buta huruf atau tidak bisa membaca. Masalah lain dalam menjalankan program pencegahan ini adalah kurangnya dukungan finansial yang mengakibatkan satu dari sanggar-sanggar yang telah dibangun ditutup. Walaupun ada beberapa sisi negatif dari program pencegahan child trafficking, adapula sisi positif dari program-program yang telah diimplementasikan yaitu menurut laporan dari Persatuan Bangsa-Bangsa, dengan adanya program Radio Pelangi, pengetahuan dan pendidikan tentang trafficking mulai dikenali oleh para penduduk.

e. Solusi Untuk Kasus Perdagangan AnakKasus ini. Dapat ditelaah dari berbagai ilmu sosial, antara lain ilmu sosiologi, ilmu psikologi, ilmu ekonomi dan ilmu hukum. Pitirim Sorokin (1928:760-761) mengemukakan bahwa sosiologi adalah suatu ilmu tentang hubungan dan pengaruh timbal balik antara aneka macam gejala-gejala sosial, contohnya antara gejala ekonomi dengan nonekonomi, seperti halnya kasus perdagangan anak yang dilatarbelakangi atas berbagai gejala yaitu gejala ekonomi (kemiskinan), gejala moral maupun gejala agama. Seperti halnya para ahli sosiologi dalam penelitiannya menggunakan metode deskriptif, penulis pun menggunakan metode ini untuk menekankan pada kajian masa kini. Sedangkan perdagangan anak apabila dilihat dari ilmu psikologi, merupakan masalah yang termasuk dalam psikologi sosial, yaitu ilmu pengetahuan yang mempelajari tingkah laku individu sebagai fungsi dari rangsang-rangsang sosial (Shaw dan Costanzo). Sehingga dapat dikaitkan dengan kasus perdagangan anak yang merupakan suatu kajian fenomena perilaku sosial. Berbagai fenomena sosial yang tidak sesuai dengan apa yang diharapkan mansyarakat, seperti kasus kejahatan Child Trafficking dapat ditem ukan berbagai

20

solusi dengan menggunakan pendekatan dalam ilmu psikologi seperti pendekatan kualitatif dengan melihat data dalam bentuk statistik jumlah korban yang ada. Dari psikologi juga kita dapat menggunakan pendekatan perilaku yang diperkenalkan oleh seorang ahli psikologi Amerika John B. Watson pada awal tahun 1900-an. Pendekatan perilaku merupakan pendekatan dengan cara mengamati perilaku manusia, bukan mengamati kegiatan-kegiatan bagian tubuh dalam manusia. Cabang

perkembangan pendekatan ini adalah stimulus-response (S-R). Pada hakikatnya, psikologi S-R mempelajari rangsangan yang menimbulkan respons dalam bentuk perilaku, mempelajari ganjaran dan hukuman yang mempertahankan adanya respons itu, dan mempelajari perubahan perilaku yang ditimbulkan karena adanya perubahan pola ganjaran dan hukuman (Skinner, 1981). Perilaku dari seorang trafficker tentu merupakan perilaku yang termasuk sangat menyimpang dari norma. Seseorang dapat menjadi seorang penyimpang (deviant) pasti selalu mempunyai faktor-faktor pendorong hingga perilaku menyimpang itu dapat dilakukannya. Faktor-faktor pendorong tersebut merupakan stimulus yang menghasilkan berbagai respon positif maupun negatif. Selain itu, para korban juga memiliki berbagai stimulus atau faktor pendorong yang telah penulis deskripsikan sebelumnya, hingga mereka dengan mudah dapat terjerat sebagai korban perdagangan manusia. Selain ilmu psikologi, kasus ini juga dapat kita telaah melalui ilmu ekonomi. Seperti yang kita ketahui, ironisnya perbuatan seperti ini didasari oleh faktor ekonmi dari para pelaku maupun korban. Menurut Albert L. Meyers, ilmu ekonomi adalah ilmu yang mempersoalkan kebutuhan dan pemuasan kebutuhan manusia (Abdullah, 1992:5). Kata kunci dari definisi ini adalah kebutuhan dan pemuas kebutuhan. Kebutuhan, yaitu suatu keperluan manusia terhadap barang dan jasa yang sifat dan jenisnya sangat bermacam-macam dalam jumlah yang tidak terbatas. Pemuas kebutuhan memiliki ciri-ciri terbatas. Aspek yang kedua itulah yang menurut Lipsey (1981: 5) menimbulkan masalah dalam ekonomi, yaitu adanya suatu kenyataan yang senjang karna kebutuhan manusia terhadap barang dan jasa jumlahnya tak terbatas, sedangkan di lain pihak barang dan jasa sebagai alat pemuas kebutuhan sifatnya langka ataupun terbatas. Langka dalam artian disini berarti merupakan sesuatu yang tidak mudah untuk didapat. Hal ini lah yang melatarbelakangi para pelaku kejahatan untuk melakukan aksi nya yang terlarang itu agar alat pemuas yang langka itu bisa mereka dapatkan dengan cara yang lebih mudah dibandingkan dengan cara yang benar.21

Dan yang terahir menelaah kasus ini melalui ilmu hukum. Penulis berpendapat bahwa ilmu inilah yang akan memberikan solusi paling efektif dibandingkan melalui ilmu lainnya. Karna kasus perdagangan anak merupakan kasus yang bukan dalam taraf biasa lagi tapi sudah masuk dalam kasus hukum pidana. Artinya, perdagangan anak termasuk pelanggaran dan kejahatan terhadap kepentingan umum dan perbuatan yang akan diancam dengan hukuman yang merupakan suatu penderitaan atau siksaan. Salah satu sikap Pemerintah RI untuk memerangi perdagangan orang dipertegas dalam Keputusan Presiden RI No. 88 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak (RAN P3A), serta pengajuan Rencana Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang sebagai usul inisiatif Pemerintah ke DPR RI pada tahun 2004. RUU ini pada Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Tahun 2005 berada pada urutan 22 dari 55 RUU yang akan dibahas oleh DPRI Hasil Pemilu 2004. Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak (RAN P3A) merupakan rencana aksi yang terpadu lintas program dan lintas pelaku pusat maupun daerah, tidak saja untuk upaya pencegahan, penegakan hukum dan perlindungan kepada korban, tetapi juga terintegrasi dengan penanggulangan akar masalahnya. Implementasi RAN P3A dibarengi dengan langkah-langkah nyata di bidang penanggulangan kemiskinan, kesehatan dan peningkatan kualitas pendidikan baik formal, non-formal maupun informal (pendidikan dalam keluarga), serta kegiatan pemberdayaan lainnya yang relevan. Upaya penghapusan perdagangan orang meliputi tindakan-tindakan pencegahan (prevention), menindak dan menghukum (prosecution) dengan tegas pelaku perdagangan orang (trafficker), serta melindungi (protection) korban melalui upaya repatriasi, rehabilitasi, konseling, pendidikan dan pelatihan keterampilan, termasuk menjamin halhal yang berkaitan dengan HAM-nya agar mereka bisa mandiri dan kembali berintegrasi ke masyarakat. Mengingat bahwa perdagangan orang berkaitan dengan kejahatan terorganisir lintas negara, maka kerjasama antar negara baik secara bilateral maupun regional serta kerjasama dengan badan-badan dan LSM internasional akan terus dibina dan dikembangkan. Tujuan umum RAN-P3A adalah: Terhapusnya segala bentuk perdagangan perempuan dan anak. Sedang tujuan khusus adalah:

22

1. Adanya norma hukum dan tindakan hukum terhadap pelaku perdagangan perempuan dan anak. 2. Terlaksananya rehabilitasi dan reintegrasi sosial terhadap korban perdagangan perempuan dan anak yang dijamin secara hukum. 3. Terlaksananya pencegahan segala bentuk praktek perdagangan perempuan dan anak di keluarga dan masyarakat. 4. Terciptanya kerjasama dan koordinasi dalam penghapusan perdagangan perempuan dan anak antar instansi di tingkat nasional dan internasional. Adapun Sasaran RAN-P3A adalah: 1. Teratifikasinya konvensi kejahatan terorganisir antar negara dan dua protokol tentang perdagangan manusia dan anak (The Optional Protocol to the Convention on the Rights of the Child (1989) on the Sale of Children, Child Prostitution and Child Pornography, dan Prococol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons Especially Women and Children). 2. Disahkannya Undang-undang tentang Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak, Undang-undang tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Undang-undang tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, Undang-undang tentang Perlindungan Buruh Migran dan aturan-aturan pelaksanaannya. 3. Adanya harmonisasi standar internasional berkaitan dengan dengan perdagangan orang ke dalam hukum nasional melalui revisi terhadap Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, Undang-undang Perkawinan, Undang-undang Keimigrasian dan Undang-undang Peradilan HAM. 4. Diperolehnya peta situasi permasalahan dan kasus-kasus kejahatan perdagangan perempuan dan anak. 5. Peningkatan kuantitas dan kualitas Pusat Pelayanan Krisis untuk rehabilitasi dan reintegrasi sosial bagi korban perdagangan perempuan dan anak terutama di daerah beresiko. 6. Terjadi penurunan jumlah kasus perdagangan perempuan dan anak serta meningkatnya jumlah kasus yang diproses sampai ke pengadilan minimal 10 % per tahun. 7. Adanya model/mekanisme perlindungan terhadap anak dan perempuan dalam proses rekruitmen, penyaluran, dan penempatan tenaga kerja utamanya pada penyaluran buruh migran. 8. Pengalokasian anggaran pemerintah pusat dan daerah untuk rehabilitasi dan reintegrasi sosial terhadap korban.23

9. Adanya jaminan aksesibiitas bagi keluarga, khususnya perempuan dan anak untuk memperoleh pendidikan, pelatihan, peningkatan pendapatan, dan pelayanan sosial. 10. Terbentuknya jaringan kerja (networking) dalam kemitraan baik di pusat dan daerah, antar daerah, kerjasama antar negara, regional maupun internasional. RAN P3A dilengkapi dengan lampiran yang memuat bentuk-bentuk kegiatan yang terjadwal lengkap dengan penangungjawab kegiatannya, baik di tingkat nasional, propinsi maupun di kabupaten/kota. Selain RAN P3A, ada beberapa rencana aksi yang lain yang berkaitan dengan penghapusan perdagangan orang, yaitu: Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentukbentuk Pekerjaan Terburuk bagi Anak (Keputusan Presiden RI No. 59 Tahun 2002), Rencana Aksi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak (Keputusan Presiden RI No. 87 Tahun 2002), dan Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia 20042009 (Keputusan Presiden RI No. 40 Tahun 2004). Keputusan Presiden No. 88 Tahun 2002 juga menetapkan adanya Gugus Tugas Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak (Gugus Tugas RAN-P3A) yang terdiri dari TIM PENGARAH yang diketuai Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat dan beranggotakan 10 orang Menteri, Kepala POLRI, dan Kepala BPS; serta TIM PELAKSANA yang diketuai Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan beranggotakan Pejabat Eselon I dari 16 Intitusi Pemerintah, Kepala Badan Narkotika Nasional, Direktur Reserse Pidana Umum MABES POLRI, serta 10 orang dari unsur LSM, Organisasi Wanita Keagamaan, Organisasi Pengusaha Wanita, Kamar Dagang dan Industri dan Persatuan Wartawan Indonesia. Adapun tugas dari Gugus Tugas RAN-P3A adalah: 1. Pengkoordinasian pelaksanaan upaya penghapusan perdagangan (trafiking) perempuan dan anak yang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat sesuai dengan tugas fungsi dan/atau kualifikasi masing-masing. 2. Advokasi dan sosialisasi trafiking dan RAN-P3A pada pemangku kepentingan (stakeholders). 3. Pemantauan dan evaluasi baik secara periodik maupun insidentil serta penyampaian permasalahan yang terjadi dalam pelaksanaan RAN-P3A kepada instansi yang berwenang untuk penanganan dan penyelesaian lebih lanjut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

24

4. Kerjasama nasional, regional, dan internasional untuk langkah-langkah pencegahan dan penanggulangan dalam upaya penghapusan perdagangan (trafiking) perempuan dan anak. 5. Pelaporan perkembangan pelaksanaan upaya penghapusan perdagangan perempuan dan anak kepada Presiden dan masyarakat. Sesuai dengan tujuannya, Gugus Tugas memfokuskan diri pada upaya penghapusan perdagangan orang khususnya perempuan dan anak, sementara untuk menanggulangi akar masalahnya: kemiskinan (dalam berbagai bidang kehidupan), kesehatan dan kurangnya pendidikan, dilaksanakan secara lintas sektor, pusat dan daerah, di bawah koordinasi Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat. Selain Gugus Tugas RAN P3A, juga ada gugus tugas yang lain yang masih berkaitan dengan penghapusan perdagangan orang seperti misalnya Komite Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk bagi Anak (Keputusan Presiden RI No. 12 Tahun 2001), Gugus Tugas Rencana Aksi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak (Keputusan Presiden RI No. 87 Tahun 2002), Komisi Perlindungan Anak Indonesia (Keputusan Presiden RI No. 77 Tahun 2003), Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Keputusan Presiden RI No. 181 Tahun 1998), Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (dimandatkan oleh Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia), dan Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (Keputusan Presiden RI No. 1 Tahun 2004). Otonomi Daerah. Dalam era otonomi, di tingkat propinsi dan kabupaten/kota diharapkan dibentuk pula gugus tugas serupa yang akan menyusun rencana aksi daerah. Menteri Dalam Negeri telah memberikan dukungan melalui Surat Edaran Departemen Dalam Negeri No. 560/1134/PMD/2003, yang ditujukan kepada Gubernur dan Bupati/ Walikota seluruh Indonesia. Dalam surat edaran tersebut diarahkan bahwa sebagai focal point pelaksanaan penghapusan perdagangan orang di daerah, dilaksanakan oleh unit kerja di jajaran pemerintah daerah yang mempunyai kewenangan menangani urusan perempuan dan anak, melalui penyelenggaraan pertemuan koordinasi kedinasan di daerah dengan tujuan: 1) Menyusun standar minimum dalam pemenuhan hak-hak anak 2) Pembentukan satuan tugas penanggulangan perdagangan orang di daerah 3) Melakukan pengawasan ketat terhadap perekrutan tenaga kerja (4) Mengalokasikan dana APBD untuk keperluan tersebut.25

Daerah sumber, daerah transit dan daerah perbatasan merupakan tempat-tempat yang dipriotaskan untuk segera dibentuk gugus tugas penghapusan perdagangan orang tingkat daerah. Di beberapa propinsi dan kabupaten/kota, gugus tugas yang dibentuk seringkali tidak mengkhususkan diri pada masalah penghapusan perdagangan perempuan dan anak, tetapi juga menangani masalah penghapusan eksploitasi seksual komersial anak, penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk bagi anak, dan hal-hal lain yang berkaitan.

26

BAB III PENUTUP A. SimpulanBerdasarkan uraian bab sebelumnya penulis dapat mengemukakan simpulan sebagai berikut. 1. Perdagangan anak adalah perekrutan, pemindahan, pengiriman, penempatan atau menerima anak-anak di bawah umur untuk tujuan eksploitasi dan itu menggunakan ancaman, kekerasan, ataupun pemaksaan lainnya seperti penculikan, penipuan, kecurangan,penyalahgunaan wewenang maupun posisi penting. 2. Kasus perdagangan anak dengan jumlah kasus tertinggi terjadi di Jawa Barat, khususnya di kota Indramayu, Subang, dan Cirebon. Biasanya tujuan terbanyak adalah untuk pelacuran, atau menjadi TKI ke luar negeri. 3. Beberapa faktor pendorong terjadinya kasus ini adalah antara lain dari faktor pendidikan yang kurang, kemiskinan, diskriminasi gender dan atau permintaan dari para pelaku perdagangan (trafficker) 4. Cara pelaku melakukan perdagangan tersebut adalah dengan menggunakan berbagai teknik untuk menanamkan rasa takut pada korban supaya bisa terus diperbudak oleh mereka. 5. Upaya pencegahan dapat dilakukan dari pihak keluarga atau orang tua, pendidik, masyarakat luas, pemerintah ataupun dari pihak non-pemerintah. 6. Solusi untuk kasus perdagangan anak dapat ditelaag melalui berbagai ilmu sosial, seperti ilmu psikologi, ilmu ekonomi, maupun ilmu hukum

B. SaranSejalan dengan simpulan diatas, penulis menyarankan agar pemerintah lebih tegas lagi dalam memberantas kasus perdagangan anak. Karna sesungguhnya kasus tersebut merupakan kasus yang sangat merugikan bangsa Indonesia, karna telah merebut hak asasi manusia terutama hak asasi dari seorang anak yang seharusnya mendapatkan perlindungan dari hukum secara tegas.

27

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN Angsana, Getrudis (1999). Skripsi tentang Pelacuran ABG di Surabaya. Skripsi Universitas Sumatera Utara Medan: tidak di terbitkan Gatra Magazine (1998). Bisnis Mafia Perdagangan Anak, 3 October 1998 Saptari, Ratna & Brigitte Holzner (1997). Perempuan, Kerja dan perubahan Sosial: Sebuah Pengantar Studi Perempuan (Women, work and social change: an introduction to women study), Jakarta: Grafiti. Hull, T.H., Sulistyaningsihm, E. & Jones, G.W. (1997). Pelacuran di Indonesia: Sejarah dan perkembangannya. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Supardan, Dadang (2011). Pengantar Ilmu Sosial: Sebuah Kajian Pendekatan Struktural. Jakarta: PT Bumi Aksara Linda, A. (2010,8, November) P2TP2A Selidiki Sindikat Perdagangan Anak di Cirebon. Kompas [Online], halaman 7, tersedia: http://www.kompas.com

Irwanto, et.al. (1998) Anak Yang Dilacurkan: Studi Kasus di Jakarta dan Jawa Barat, Makalah tidak diterbitkan. Irwanto (2002). ESKA dan Perdagangan Anak: Situasi dan Tantangannya di Indonesia, Makalah tidak diterbitkan.

28