studi kasus pindah agama di gkjw jemaat ponorogo dari ......ch rela berhenti kuliah, dan ia pun rela...
TRANSCRIPT
29
BAB III
GKJW JEMAAT PONOROGO DAN KASUS PINDAH AGAMA
1. Gambaran umum GKJW Jemaat Ponorogo
GKJW jemaat Ponorogo, adalah salah satu jemaat yang lahir dan diresmikan oleh
Majelis Agung ( Sinode ) GKJW pada tanggal 11 Desember 19591, jemaat ini adalah
satu di antara 165 jemaat mandiri se - Sinode GKJW. Keberadaan jemaat-jemaat se
sinode GKJW tersebar di wilayah Propinsi Jawa Timur, mulai dari kabupaten yang
berada di ujung timur yaitu kabupaten Banyuwangi, sampai di bagian barat yaitu
kabupaten Ngawi. GKJW Jemaat Ponorogo, berada di wilayah Kabupaten Ponorogo
beralamat di Jl.Argopuro RT.02,RW 04 Kelurahan Bangunsari, Kecamatan Ponorogo,
kabupaten Ponorogo, Propinsi Jawa Timur. Jemaat ini masuk dalam wilayah
pelayanan GKJW di lingkup persekutuan Majelis Daerah (Klasis) Madiun, yang
anggotanya terdiri dari 13 Jemaat yang berada di dalam wilayah eks karsidenan
Madiun, yaitu : GKJW Jemaat Trenceng yang berada di desa Mrican kecamatan
Jenangan, wilayah kabupaten Ponorogo, GKJW Jemaat Pacitan dan GKJW Jemaat
Donorojo, berada di wilayah kabupaten Pacitan GKJW Jemaat Magetan dan GKJW
Jemaat Dupak, di wilayah kabupaten Magetan, GKJW Jemaat Madiun Kota, GKJW
Jemaat Madiun Lor dan GKJW Jemaat Caruban, di wilayah kodya dan kabupaten
Madiun, GKJW Jemaat Ngawi, GKJW Jemaat Wotgalih, GKJW Jemaat Bayem
Mojorejo, dan GKJW Jemaat Ketanggung, berada di wilayah kabupaten Ngawi.
Secara geografis Ponorogo terletak di koordinat 111° 17’ - 111° 52’ BT dan 7°
49’ - 8° 20’ LS dengan ketinggian antara 92 sampai dengan 2.563 meter di atas
permukaan laut dan memiliki luas wilayah 1.371,78 kilo meter persegi,2dengan batas-
batas sebelah utara kabupaten Madiun dan Magetan, sebelah timur berbatasan dengan
Kabupaten Nganjuk dan Trenggalek, sebelah selatan Kabupaten Pacitan, dan sebelah
barat berbatasan dengan kabupaten Pacitan dan Kabupaten Wonogiri Jawa
Tengah.3Berdasarkan hasil Sensus Penduduk tahun 2010, jumlah penduduk
1 Team Penulis Sejarah GKJW Ponorogo, (1987), GKJW Jemaat Ponorogo, hlm.1
2 Soemarto, (2011), Melihat Ponorogo lebih dekat, Apix Offset, Ponorogo, hlm.2 3 Soemarto, hlm.2
30
Kabupaten Ponorogo adalah 855.281 jiwa.4 tersebar di 21 kecamatan, 279 desa, dan
26 kelurahan.
Ponorogo dikenal dengan julukan Kota Reog atau Bumi Reog karena daerah ini
merupakan daerah asal dari kesenian Reog, dan warga GKJW juga ikut serta dalam
melestarikan kesenian reog, terlebih warga jemaat yang masih pelajar, karena
kesenian reog dimasukkan ke dalam kurikulum muatan lokal bagi sekolah-sekolah di
Ponorogo. Ponorogo juga dikenal sebagai Kota Santri karena memiliki
banyak pondok pesantren, salah satu yang terkenal adalah Pondok Modern
Darussalam, Gontor yang terletak di desa Gontor, kecamatan Mlarak. Di tengah
banyaknya pondok pesantren, ada beberapa warga jemaat yang tempat tinggalnya
berada di lingkungan pondok pesantren, bahkan gedung gereja GKJW Ponorogo
bersebelahan dengan pondok Putri, yang berada di Jalan Argopuro 19 Ponorogo. Di
samping terkenal sebagai kota reog, dan kota santri, Ponorogo terkenal dengan
makanan khas, yaitu Sate Ponorogo, karena itu mendapat sebutan juga Kota Sate5.
Agama yang dianut oleh penduduk kabupaten Ponorogo beragam,
berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik dalam Sensus Penduduk tahun 2010
penduduk Ponorogo berjumlah 855.281 jiwa,6 penganut Islam berjumlah 839.127 jiwa
(98,11%), Kristen berjumlah 2.864 jiwa (0,33%), Katolikberjumlah 2.268 jiwa
(0,27%), Buddha berjumlah 261 jiwa (0,03%), Hindu berjumlah 82 jiwa
(0,01%), Kong Hu Cu berjumlah 14 jiwa (0,002%), agama lainnya berjumlah 25 jiwa
(0,003%), tidak terjawab dan tidak ditanyakan berjumlah 10.640 jiwa
(1,24%).7Jumlah keseluruhan tempat peribadatan di Ponorogo pada tahun 2010 adalah
sejumlah 4233 buah. Masjid berjumlah 1448 buah, Mushola berjumlah 2754
buah,Gereja Protestan berjumlah 21 buah, gereja Katolik berjumlah 8 buah,
dan Wihara berjumlah 2 buah.
Data warga GKJW jemaat Ponorogo pada tahun 2014 yang disampaikan pada
sidang Majelis Daerah Madiun I tahun 2015 pada 18 sampai 20 April 2015, yang
menetap di Ponorogo berjumlah 123 kk, terdiri dari warga dewasa laki-laki, 125 jiwa,
perempuan 174 jiwa, warga anak: laki-laki 46 jiwa, perempuan 52 jiwa.8Total jumlah
4 http ://id.wilkipedia.org/wilki/_kabupaten poonorogo., diunduh 4 Januari 20116 pukul.22.00 5 Soemarto, (2011), Melihat Ponorogo lebih dekat, hlm.3
6 Badan Pusat Statistik Ponorogo, 2013
7 http ://id.wilkipedia.org/wilki/_kabupaten poonorogo., diunduh 4 Januari 20116 pukul.22.00 8 Majelis Daerah Madiun, Buku kumpulan informasi sidang Majelis Daerah Madiun 1, tahun 2015
31
mereka, dewasa dan anak-anak berjumlah 397 Jiwa. Mata pencaharian mereka ada
yang pegawai negri, karyawan swasta, wiraswasta, pensiunan pegawai negri, petani,
buruh tani dan lain-lain. Berdasarkan data tersebut memberikan gambaran bahwa
warga GKJW Ponorogo berada di antara penduduk Ponorogo yang berjumlah
855.281, yang mempunyai latar belakang pendidikan, kelas sosial yang beragam, dan
mereka tinggal tersebar di desa, kelurahan dan kecamatan. di wilayah kabupaten
Ponorogo. Mereka tidak tinggal dalam suatu wilayah kecamatan tertentu, tetapi
tinggal menyebar di wilayah kecamatan Pulung, Sawoo, Balong, Mlarak, Jetis,
Ngrayun, Kauman, Siman, Babadan, Jenangan, dan Kecamatan Ponorogo Kota.
GKJW Jemaat Ponorogo juga mempunyai warga yang tinggal di luar kota,
seperti Surabaya, Malang, Jakarta, dan kota lainnya berjumlah 112 jiwa, 50 jiwa laki-
laki, dan 62 perempuan, mereka ada yang bekerja, kuliah dan ada yang mempunyai
tempat tinggal tetap, tetapi ada juga yang hanya tinggal sementara atau kos, dan
mereka masih tercatat sebagai warga jemaat Ponorogo, saat hari-hari libur, misalnya
libur Natal, Paskah, atau saat liburan sekolah, saat kontrak kerja mereka habis, mereka
pulang ke Ponorogo.
Memperhatikan komposisi penganut agama yang berada di Ponorogo, maka
warga GKJW Jemaat Ponorogo yang berjumlah 397 jiwa, berada di antara 2864
pemeluk agama Kristen, berarti13,86% nya, bila dibandingkan dengan penganut
agama Islam yang berjumlah 839.127 jiwa, berarti 0,05% nya, dan bila dibandingkan
dengan pemeluk agama Katolik yang 2.268 jiwa prosentasenya warga GKJW adalah
17,5% nya.
2. Fenomena Kawin beda agama di GKJW Jemaat Ponorogo
Di GKJW Jemaat Ponorogo, ada 12 pasangan suami istri yang berbeda agama,
keduabelas pasangan suami istri tersebut sebenarnya memulai kehidupan
rumahtangga dengan menikah dalam satu agama, delapan pasangan menikah di
Kantor Urusan Agama (KUA), secara Islam, dua pasangan menerima pemberkatan di
Gereja Katolik, dan dua pasangan menerima pemberkatan di GKJW. dari hasil
wawancara dengan sekretaris GKJW Jemaat Ponorogo, menyampaikan bahwa kasus
tersebut terjadi di antara tahun 1982 – 1995, mereka hidup sebagai pasangan beda
agama, karena setelah beberapa tahun berumah tangga, mereka yang semula Kristen
pindah kembali ke Kristen, dan yang semula Islam kembali masuk agama Islam,
32
tetapi mereka tetap tinggal sebagai pasangan suami istri.9 Dengan demikian fenomena
kawin beda agama yang terjadi di GKJW Ponorogo berawal dari proses pernikahan
duabelas pasangan yang masing-masing menganut agama yang berbeda tetapi sepakat
menikah dan melegalkan pernikahannya pada satu agama, selanjutnya beberapa tahun
kemudian mereka yang semula beragama Kristen kembali ke Kristen, dan yang
semula beragama Islam kembali ke Islam, sehingga pada fenomena kawin beda
agama tersebut ada proses pindah agama.
3. Kasus Pindah Agama warga GKJW Jemaat Ponorogo
Di GKJW Jemaat Ponorogo terdapat kasus pindah agama yang terjadi dalam
kurun waktu tahun 2008-2014, tercatat ada enam kasus warga jemaat yang pindah
agama ke Islam, dari enam orang tersebut tiga orang diantaranya (inisial Mt, Yn,
Dy),warga dewasa, sudah memiliki pekerjaan, dan orangtua mereka beragama
Kristen. Ketiga gadis tersebut menikah dengan pemuda yang beragama Islam,
sehingga mereka pindah agama mengikuti agama suami. Tiga orang berikutnya yaitu (
Pm, Is, dan Bng), mereka sudah duda dan janda, tinggal di lingkungan kerabatnya
yang beragama Islam yang kuat, bahkan anak-anak mereka adalah muslim yang taat.
Tempat tinggal mereka berada di lingkungan orang-orang muslim yang kuat. Ada
indikasi mereka pindah agama karena diajak anggota keluargauntuk masuk Islam, dan
mereka mengikutinya.
Pada kasus lain ada enam orang Islam ( inisial L,R, E, F, At, Le), L dan R.
adalah ibu dan anaknya yang sudah dewasa, keduanya tinggal bertetangga dengan
keluarga Kristen, yang berada di tengah-tengah masyarakat muslim. E dan F adalah
Nenek dan cucunya yang tinggal bersama di lingkungan perumahan yang mayoritas
muslim, L,R, E dan F, menyatakan masuk agama Kristen karena kemauan mereka
sendiri. Sedangkan At adalah pemuda yang beragama Islam dari Jombang yang
menikah dengan gadis Kristen warga GKJW Ponorogo, dan At menyatakan pindah
agama Kristen mengikuti istrinya, akibat pindah agama Kristen At dikucilkan
orangtuanya, dan memutuskan tinggal bersama dengan istrinya di Ponorogo,
sedangkan Le adalah gadis Ponorogo, yang pernah bekerja menjadi Tenaga Kerja
Wanita di Hongkong, menikah dengan pemuda Kristen, ia menyatakan pindah agama
9 Sumber : Sekretaris GKJW Jemaat Ponorogo, Ibu Sintawati, hasil wawancara pada tanggal 30 Nopember
2015, ia memberikan keterangan bahwa keduabelas pasangan yang beda agama tersebut terjadi karena suami atau istri mereka melakukan pindah agama setelah beberapa tahun proses pernikahan mereka.
33
Kristen mengikuti suaminya. Di samping warga jemaat yang sudah diketahui dan
telah tercatat pindah agama, diperkirakan ada beberapa warga yang pindah ke gereja
denominasi lain, yang pindahnya tanpa memberitahu anggota majelis jemaat.
Demikian juga ada yang pindah agama dan tidak terpantau, karena mereka
meninggalkan Ponorogo pergi ke daerah lain tanpa pemberitahuan, tetapi ada jemaat
menerima kabar dari mulut ke mulut bahwa mereka telah pindah agama.
4. Empat kasus pindah agama warga GKJW Jemaat Ponorogo
Dari beberapa kasus pindah agama kasus pindah agama di GKJW Jemaat
Ponorogo, penulis memfokuskan pada empat kasus, dengan rincian dua kasus warga
jemaat yang sebelumnya beragama Kristen karena menikah pindah agama Islam,
tetapi setelah beberapa tahun berumahtangga memutuskan pindah agama kembali ke
agama Kristen, mereka adalah Ch dan Ar). Kasus ketiga, adalah seorang ibu (Ea)
yang beragama Islam pindah agama ke agama Kristen, dan menjadi warga Jemaat
GKJW Ponorogo, Kasus ke empat adalah seorang bapak, status duda yaitu (Pm)
warga Jemaat GKJW Ponorogo yang pindah menganut agama Islam. Adapun
deskripsi kasusnya seperti berikut ini:
Kasus Pertama, Ch, seorang ibu beragama Kristen berumur 50 tahun,
pekerjaan : Guru Taman Kanak-kanak, bersuami Dd beragama Islam, mempunyai dua
orang anak, anak pertama sudah berumahtangga, yang ke dua, masih kuliah di
Malang. Bertempat tinggal di Ponorogo, Ch menikah dengan Dd secara Islam pada
tahun 1988, dan menyatakan pindah agama Islam.Pada tahun 1995 Ch menyatakan
pindah (kembali ) ke agama Kristen. Adapun kisahnya seperti berikut ini
Ch adalah seorang gadis beragama Kristen, berpacaran dengan Dd seorang
pemuda Islam, jalinan kasih mereka dilanjutkan dengan pernikahan. Karena menikah
Ch rela berhenti kuliah, dan ia pun rela meninggalkan agama Kristen pindah agama
Islam mengikuti suaminya. Sebelum proses perkawinan orangtua Ch tidak keberatan
kalau Ch menikah dengan Dd secara Islam. Untuk mempersiapkan perkawinan secara
agama Islam Ch menghafalkan dua kalimat Sahadat, selanjutnya mereka menikah di
Kantor Urusan Agama Kecamatan Ponorogo pada tahun 1988.
Dalam kehidupan berumahtangga Ch berusaha mengikuti agama suami
sebaik-baiknya, tetapi suaminya(Dd) dalam kesehariannya tidak pernah sembahyang
secara Islam. Pada awalnya Ch tidak berani menanyakan akan hal tersebut, ia
berpikir suaminya (Dd) tidak sembahyang karena ada perasaan sungkan dengan
34
mertuanya yang Kristen, karena mereka masih tinggal bersama di rumah mertuanya.
Keadaan tersebut dibiarkan saja oleh Ch, ia pun tidak sembahyang secara Islam. Pada
saat mereka pindah menempati rumah sendiri, dan saat itu mereka sudah dikaruniai
satu anak, Dd tidak pernah sembahyang atau mengikuti kegiatan keagamaanya, dan
Ch pun tidak pernah diajak atau diperintah untuk sembahyang secara Islam, karena
itu Ch mulai memberanikan diri bertanya kepada suaminya, tentang keberadaan Dd
yang tidak pernah sembahyang. Dd memberikan jawaban, bagi dia yang penting
bukan sembahyangnya, tetapi praktek kehidupan sehari-hari dengan berbuat baik, dan
tidak menyakiti atau merugikan orang lain.
Atas jawaban tersebut membuat hati Ch terusik, ia mulai merenungkan dirinya
sendiri, mengapa ia meninggalkan agama Kristen, pindah ke agama Islam mengikuti
suami tetapi tidak pernah sembahyang. Ch mengalami keresahan, namun ia simpan
perasaan itu. dan bersikap diam terhadap apa saja yang telah dikatakan suaminya. Di
sisi lain Ch sebagai istri Dd, menjadi menantu kesayangan mertua, kebutuhan hidup
mereka setiap bulan dibantu dengan tambahan uang belanja serta bahan-bahan pokok
kebutuhan sehari-hari, seperti beras, lauk, sabun dan sebagainya. Ch merasa
diperlakukan istimewa oleh mertuanya, karena itu ia membalas kebaikannya dengan
sering bertandang ke rumah mertua untuk membantu pekerjaan yang ada di rumah
mertuanya, bahkan Ch memberi perhatian lebih saat mertua sedang membutuhkan
pertolongan, misalnya saat ada gangguan kesehatan, saat syukuran dan lain
sebagainya.
Seiring berjalannya waktu bahtera kehidupan rumahtangga Ch dan Dd, terus
berjalan, sementara praktek sembahyang secara Islam tidak mereka jalani, keadaan
tersebut membuat Ch merasa bersalah meninggalkan agama Kristen, Ch merasa
suaminya tidak memberikan bimbingan kerohanian Islam, karena itu Ch diliputi rasa
gelisah, tetapi perasaan tersebut ia abaikan bertahun-tahun. Sampai pada suatu ketika
di tahun 1995 ia menderita penyakit gatal-gatal, berkali-kali berobat ke dokter, serta
pengobatan alternatif tetapi penyakitnya sampai berbulan-bulan tidak kunjung
sembuh.
Dalam pergumulan dengan penyakitnya yang tak kunjung sembuh ia berdoa
memohon kesembuhan, dan ia berjanji pada Tuhan jikalau sembuh ia bertekat akan
kembali ke gereja, dalam arti akan kembali memeluk agama Kristen. Sehubungan
dengan sakit yang diderita, Ch merasa bahwa penyakit itu sebagai hukuman dari
Tuhan, ia merasa bersalah meninggalkan agama Kristen. Pada suatu malam ia berdoa
35
memohon pengampunan atas dosa-dosanya dan memohon kesembuhan.Di pagi hari,
setelah Ch berdoa,secara tak terduga kakaknya yang ada di Brebes datang ke
rumahnya,pada kesempatan itu ia menceritakan tentang penyakitnya, dan kakaknya
menyarankan agar Ch membeli obat, dan kemudian Ch membeli obat yang disarankan
kakaknya tersebut dan selanjutnya meminumnya, beberapa hari setelah minum obat
itu ia sembuh, padahal obat yang diminum adalah obat murah. Peristiwa tersebut
membuat Ch yakin bahwa yang menyembuhkan penyakitnya adalah kuasa Tuhan.
Keyakinan Ch atas pertolongan Tuhan makin kuat, ketika temannya, yaitu S
menderita penyakit yang sama dengan Ch, meminum obat yang sama, dari sisa obat
yang pernah diminimnya, ternyata tidak menjadikan temannya sembuh, hal tersebut
mendorong Chsemakin percaya bahwa ia disembuhkan oleh kuasa Tuhan, keyakinan
itu mandorong Ch untuk kembali ke agama Kristen.
Pada suatu hari Minggu Ch pergi ke gereja tanpa sepengetahuan
suami,sesampainya di gereja ia melihat anak pertamanya ada di gereja bersama
neneknya, hati Ch tersentuh, dan segera mendampingi anaknya. Atas peristiwa
tersebut mendorongnya untuk datang ke gereja. Setelah beberapa kali ke gereja ia
merasa nyaman dan batinya menjadi tenang, ia merasa disegarkan menjadi orang
Kristen baru, ia pun bertekat untuk terus aktif beribadah di gereja.Beberapa minggu
kemudian Ch mendekati suaminya dan memberanikan diri berbicara bahwa ia
memutuskan kembali ke agama Kristen. Chjuga menyampaikan bahwa ia meyakini
sakitnya telah disembuhkan Tuhan, baginya ia merasa diingatkan Tuhan untuk
kembali ke agama Kristen. Mendengar pernyataan istrinya, Dd suaminya marah, ia
kecewa atas keadaan tersebut, tetapi Ch tidak peduli dengan kemarahan suaminya, ia
bersikukuh untuk kembali menganut agama Kristen, dan memohon kepada suaminya
agar diijinkan untuk ke gereja, atas permintaan tersebutDd merasa keberatan,
walupun demikianCh tetap bersikeras untuk ke gereja setiap hari minggu. Keadaan
yang demikian membuat hubungan dengan suami menjadi terganggu, bahkan
kemarahan suaminya dilampiaskan dengan seringnya ke luar meninggalkan rumah
tanpa mempedulikan perasaan istrinya yang saat itu sedang mengandung anak yang
kedua.
Hubungan yang kurang baik di antara Ch dan suaminya, mempengaruhi juga
hubungan dengan mertua, bahkan dengan sudara-saudaranya Dd, keadaan yang
kurang baik tersebut membuat perasaan Ch menjadi tidak nyaman, ia merasa tidak
diterima oleh suami dan kerabatnya karena pindah agama. Pada suatu hari Ch,
36
memberanikan diri mengajak bicara suaminya tentang hubungan mereka, ia
mengatakan dari pada hubungannya tidak baik, karena ia aktif kegereja dan kembali
ke Kristen, Ch meminta diceraikan saja, padahal saat itu ia sedang hamil.
Permohonan yang bernada tantangan tersebut membuat Dd, suami Ch memilih untuk
tidak bercerai dan mengijinkan istrinya untuk kembali aktif ke gereja.
Pada saat aktif kembali ke gereja itulah, Ch didekati oleh seorang ibu majelis
yaitu Bg, yang memberi dorongan dan semangat kepadanya untuk selalu kuat
menghadapi masalah kehidupan, bahkan Bg sering berkunjung ke rumah Ch, dan
menyarankan agar natinya Ch menghadap pendeta Jemaat untuk meminta pelayanan
pertobatan, dan kembali ke agama Kristen, hal itu membuat Ch merasa dikuatkan.
Atas dorongan dan pendekatan Bg yang menghimbau Ch agar menghadap
pendeta jemaat untuk meminta pelayanan pertobatan, Ch kemudian menghadap
pendeta Spj untuk meminta pelayanan katekisasi pertobatan, karena ia ingin kembali
menganut agama Kristen. Permohonannya disambut baik oleh pendeta, yang
kemudian dilanjutkan dengan pemberian katekisasi pertobatan, sebagai bagian dari
proses penggembalaan khusus. Pada proses penggembalaan khusus diadakan
katekisasi pertobatan selama tiga kali pertemuan, dengan materi pembinaan iman
Kristen, yang selanjutnya Ch mendapatkan pelayanan ibadah pertobatan, dan
dinyatakan kembali menganut agama Kristen.
Sebagai dampak pindah agama kembali ke Kristen hubungan dengan mertua
juga sempat menjadi kurang baik, yang biasanya tiap bulan diberi jatah beras, dan
tambahan uang belanja tidak diberi lagi, kalau bertandang ke rumah mertua selalu
dipengaruhi agar mempertahankan keislamannya, dan tidak perlu pindah agama lagi,
demikian juga dengan teman-teman agama lain, yang juga mempengaruhi agar tidak
kembali ke Kristen, tetapi Ch, bersikukuh untuk tetap kembali ke Kristen.
Keputusan Ch kembali ke agama Kristen, awalnya mengganggu hubungan
dengan suami, mertua dan teman-temannya,tetapi tidak menjadi halangan bagi Ch,
untuk aktif bergereja, bahkan sikap yang kurang baik tersebut dibalas dengan sikap
yang mau bersahabat, mengalah, sabar terhadap mereka, sampai akhirnya hubungan
dengan mereka baik kembali, di sisi kehidupan yang lain perilaku Ch makin religius,
apalagi setelah mendapatkan pelayanan penggembalaan dari gereja, Ch menjadi aktif
bergereja, rajin berdoa, membaca Alkitab, melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan
gereja, bagi Ch ibadah minggu menjadi diutamakan, bila ada kegiatan suami yang
mengajak istri, ia lakukan sesudah mengikuti ibadah minggu pagi, ia merasa tidak
37
nyaman bila tidak mengikuti ibadah minggu.Ia merasa lega, dan merasa tentram
dengan keputusannya kembali menganut agama Kristen, dan merasa yakin bahwa
Tuhan menyayanginya. Kembalinya Ch ke agama Kristen mendapatkan respon dari
majelis jemaat, serta warga jemaat yang sering mendorong Ch untuk turut aktif dalam
kegiatan-kegiatan gereja. Atas dorongan para majelis dan warga Ch merasa makin
dikuatkan imannya.
Sampai anak kedua lahir Ch dan suaminya sepakat untuk menjaga kerukunan,
walaupun mereka berbeda agama, pembicaraan dalam keseharian tidak lagi dalam
membicarakan tentang agama mereka dan tidak disinggung lagi tentang pindah
agama, mereka berusaha untuk saling menghargai dan saling menghormati, tetapi
kemudian mereka berpikir tentang pendidikan agama kedua anaknya, untuk itu Ch
dan suaminya membuat kesepakatan tentang agama ke dua anak mereka.Kedua
anaknya diberi kebebasan untuk menentukan pilihannya sendiri ikut agama ibunya
atau bapaknya, tetapipada saat anak-anaknya memasuki masa remaja, mereka
mengikuti agama ibunya, dengan keadaan tersebut (Dd) ayahnya menyadari bahwa
ia tidak bisa membimbing menurut agama yang ia anut, sehingga ia merelakan kedua
anaknya mengikuti agama Kristen.
Seiring dengan berjalannya waktu, pasangan suami istri yang berbeda agama
tersebut selalu berusaha hidup rukun, saling menghormati, dan saling menerima satu
sama lain. Hal ini dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari, bila ada Ch mengikuti
kegiatan gereja sang suami mengantarnya, bahkan kalau Ch lupa sering suami
mengingatkannya, demikian juga sebaliknya Ch bersedia mendampingi suami bila ada
kegiatan-kegiatan kantor suaminya. Perbedaan agama bagi mereka pada akhirnya
bukan menjadi penghalang untuk hidup bersama sebagai suami istri, mereka berupaya
untuk memelihara kerukunan dengan saling menghormati satu sama lain.Merekapun
berterima kasih pada gereja yang menerima mereka apa adanya, bahkan mereka
merindukan adanya kegiatan gereja untuk pasangan yang berbeda agama.
Kasus kedua, Ar, seorang ibu rumahtangga berumur 54 tahun, beragama
Kristen, bersuamikan Pr, 56 tahun, ia beragama Islam dan taat beribadah, memiliki
dua anak laki-laki, yang sulung sudah menikah dan tinggal di Malang, anak kedua,
pengawai Pemerintah Kabupaten Ponorogo. Tempat tinggal : Ponorogo, berada di
tengah-tengah masyarakat muslim. Ar menikah dengan Pr secara Islam pada tahun
1982, dan berpindah agama (kembali) ke Kristen pada tahun 1988. Deskripsi
kisahnya seperti berikut:
38
Ar. Berasal dari keluarga Kristen di sebuah desa Kristen di Kabupaten
Malang, sejak lulus SLTA merantau ke Ponorogo, dan bekerja di sebuah rumah
bersalin swasta. Di Ponorogo ia menjalin dengan seorang pemuda bernama Pr, ia
beragama Islam yang taat. Mereka saling mencintai, karena itu jalinan kasihnya
dilanjutkan dengan pernikahan.tetapi sebelum menikah Ar menyampaikan kepada Pr
kekasihnya, bahwa ia bersedia menikah secara Islam, tetapi sesudah proses
pernikahan Ar akan kembali masuk Kristen. Pernikahan mereka berlangsung secara
agama Islam di KUA Kecamatan Ponorogo (Kota) pada tahun 1982. Dalam proses
pernikahannya Ar, mengucapkan dua kalimat Sahadat Islam. Setelah selesai
mengucapkan sahadat, Ar diliputi perasaan bersalah, walaupun ada janji dalam diri
setelah menikah akan kembali ke gereja, tetapi ada perasaan tidak nyaman dalam
hatinya. Perasaan - perasaantersebut selalu menghantui Ar, ia seakan-akan menjadi
manusia kotor, najis di hadapan Tuhan, Ar diliputi perasaan gelisah dan tertekan
apalagi ketika bertemu dengan warga gereja yang sering menyinggung pernikahannya
yang tidak dilakukan di gereja tetapi di KUA, hal ini makin membuatnya merasa
tertekan.Dari hari ke bulan, dari bulan ke tahun perasaan tersebut selalu muncul, ia
sebenarnya ingin pergi ke gereja, tetapi takut pada suaminya yang taat beragama, ia
khawatir suaminya marah atau tersinggung, ia juga malu bilapergi ke gereja akan
dicibirkan oleh warga gereja. Perasaan-perasaan tersebut membuat hidupnya tidak
tenang, dalam praktek keseharian iapun tidak pernah sembahyang secara Islam, pada
hal Ar adalah istri Pr, seorang muslim yang taat beragama. Ar tidak berani bercerita
tentang perasaan-perasaan yang menjadi batinnya tersebut kepada suami atau teman-
temannya, ia lebih memilih diam, menyimpan perasaan yang menekan dirinya
tersebut selama kurang lebih enam tahun.
Pada tahun 1986, beberapa bulan setelah anak ke dua lahir Ar memberanikan
diri ke gereja secara sembunyi-sembunyi tanpa sepengetahuan suami,dan kegiatan ke
gereja itu dilakukan berulang-ulang, sampai di suatu ketika ia didekati oleh seorang
ibu majelis yang berprofesi sebagai bidan bernama Bg, dan Ar mengenal betul Bg
karena ia adalah karyawati di sebuah rumah bersalin swasta di mana Ar saat itu juga
bekerja di rumah bersalin tersebut. Pada saat itu Bg memotivasi agar Ar terus aktif ke
gereja walaupun ada banyak tantangan, dorongan itulah yang membuat Ar selalu
ingin ke gereja pada hari minggu untuk beribadah tanpa sepengetahuan suami.
Pada suatu hari Bg berbicara kepada Ar agar menghadap pendeta untuk
meminta pelayanan pertobatan, tetapi Ar belum bersedia, ia masih butuh waktu untuk
39
menata diri, tapi ia berjanji di suatu saat ia akan menghadap pendeta untuk
menyatakan kembali ke agama Kristen. Dua tahun berikutnya, pada tahun 1988, Ar
memberanikan menghadap pendeta jemaat dan menyatakan bersedia menerima
katekisasi pertobatan, yang pada saat itu dilayani oleh Pdt.S. Ar menerima pelayanan
katekisasi pertobatan sebanyak tiga kali pertemuan, yang selanjutnya Ar mendapatkan
pelayanan ibadah pertobatan dan secara resmi iadinyatakan kembali menganut agama
Kristen.
Pr, suami Ar pada awalnya tidak mengetahui bahwa Ar istrinya kembali
menjadi Kristen, tetapi setelah mengetahui bahwa istrinya telah kembali menjadi
Kristen, ia menyatakan kekecewaannya pada Ar. Bentuk kekecewaannyadilampiaskan
dengan selingkuh dengan wanita lain. Perselingkuhannya dengan wanita lain,
diketahui Ar, tetapi ia diam tidak mau berkonflik dengan suaminya, ia tetap setia
mendampingi walau hati disakiti oleh suami. Ia pun bersedia menerima keputusan
apapun dari suami, kalau memang perselingkuhan itu dilakukan karena Ar kembali ke
agama Kristen, Ar bersedia diceraikan, tetapi hal itu tidak terjadi, dan suaminya
minta maaf atas kasus perselingkuhannya tersebut. Hari demi hari kehidupan Ar
dengan suaminya tetap berjalan walau terasa hambar, tetapi Ar berusaha untuk
mendampingi suami secara sebaik-baiknya, ia selalu berusaha untuk mengalah dan
menghindari konflik dengan suaminya.
Berpindahnya Ar menjadi Kristen lagi juga menjadi pembicaraan tetangga dan
teman kantor suaminya, keadaan ini ia dengar sendiri ketika ada kegiatan dengan
lingkungan, suami juga bercerita pada istrinya bahwa Ar menjadi pergunjingan
teman-teman kantornya, mereka seakan tidak terima Ar kembali menganut agama
Kristen. Pergunjingan-pergunjingan itu ia tanggapi dengan sabar, walau hatinya
merasa sedih, tertekan, tapi ia berusaha tegar dan tetap menyapa tetangga dan teman-
teman suaminya dengan ramah, keputusan untuk kembali menganut agama Kristen
adalah pilihan pribadinya, ia pun bersedia menanggung akibatnya.Keadaan itu
mendorong Ar untuk lebih giat mengikuti kegiatan gereja, ia juga mulai berani
menceritakan perasaannya kepada beberapa warga gereja, dan ia mendapatkan
motivasi untuk kuat menghadapi pergunjingan tersebut dengan sabar. Dengan
kesabaran, dan penyerahan diri kepada Tuhan Ar merasa ada kekuatanyang selalu
menolong dirinya dalammenghadapi s persoalanyang menimpa dirinya.
Seiring dengan perjalanan waktu kehidupan pasangan suami istri Ar dan Pr,
yang berbeda agama tersebut lambat laun berusaha untuk bisa saling menerima,
40
mereka membuat kesepakatan untuk bisa menerima keadaan yang berbeda itu apa
adanya, mereka berusaha untuk saling menghargai satu dengan yang lain, bilamana
saat bulan puasa datang, Ar dan anak-anaknya menghormati ayahnya dengan ikut
berpuasa, Ar sebagai istri selalu menyediakan keperluan untuk makan sahur dan buka
bersama, bila datang hari raya Idul fitri mereka rayakan bersama, demikian juga saat
hari natal, suami selalu ikut mendampingi bila Ar istrinya mengikuti perayaan Natal.
Ar dan suaminya dikaruniai dua orang anak laki-laki, berkaitan dengan agama
Ar dan Pr memberi kebebasan kepada kedua anaknya untuk memilih mengikuti
agama yang dianut ibu atau ayahnya, tetapi kedua anaknya pada akhirnya memeluk
agama Kristen mengikuti agama yang dianut ibunya.Pada saat ini anak sulung sudah
berkeluarga dan tinggal di Malang, tetapi saat hari raya Idul Fitri, mereka selalu
menyediakan waktu untuk pulang menghormati bapaknya yang menganut agama
Islam, dan anak kedua bekerja sebagai Pegawai Negri di Ponorogo, tinggal bersama
kedua orangtuanya.
Sejak menganut kembali agama Kristen Ar merasa mantab dengan
keputusannya, ia pun aktif mengikuti kegiatan gereja, khususnya kegiatan ibu-ibu
gereja, dan ia merasa kehidupan keagamaannya makin bertumbuh di samping suami
yang muslim, walaupun kadang ada pernik-pernik kecil dalam rumah tangga tapi
tidak pernah menimbulkan masalah yang besar, kehidupan yang rukun diwujudkan
dengan sikap saling mendukung kegiatan kerohanian mereka, bila Ar ke gereja untuk
beribadah atau mengikuti kegiatan gereja, suami bersedia antar jemput, demikian juga
bila ada acara keagamaan suami, istri menyediakan diri terlibat di lingkungannya,
atau kegiatan di Kelurahan Bayudono, di mana suaminya bekerja. Ar bersedia
mendampingi suaminya yang menjabat sebagai sekretaris Kelurahan. Menurut
pengakuan Ar, dalam kehidupan rumahtangga ia bersikap mengalah pada suaminya,
dan berusaha menjaga kerukunan.
Pada suatu hari suami Ar pernah mengungkapkan perasaannya, ia merasa
sendiri dalam keluarga, karena tak ada anak yang agamanya ikut dia, tetapi istri dan
anak-anaknya menyatakan bahwa mereka selalu siap dalam kebersamaan, saling
menolong dan saling menghargai walau berbeda keyakinan, hal itu diwujudkan
dalam keseharian, ketika bulan puasa datang pak Pr menjalankan ibadah puasa, istri
dan anak-anaknya menemani ikut juga berpuasa, ketika Idul fitri mereka bersama
merayakan bersama. Mereka berusaha menjaga kerukunan, dan hidup saling
41
menghargai satu sama lain, bila ada masalah mereka bicarakan bersama untuk
mencari solusi yang terbaik bagi keluarga.
Ar berharap gereja bisa memberikan pelayanannya kepada keluarga-keluarga
yang keadaannya seperti mereka, yaitu keluarga majemuk, yang anggotanya berbeda
keyakinan. Ar dan suaminya menyampaikan rasa terimakasih kepada gereja yang
selama ini memperhatikan keberadaan mereka, dengan pelayanan perkunjungannya,
mereka juga berharap pelayanan yang sudah diberikan kepada mereka dalam bentuk
kunjungan pastoral yang dilakukan oleh majelis jemaat bisa di tingkatkan
kwalitasnya, Ar dan suaminya merasa senang, dan terbuka terhadap pelayanan gereja
selama ini.
Kasus ketiga, Ea, usia 64 tahun, seorang janda, pensiunan Guru SMP bidang
studi bahasa Jawa, beragama Kristen, (masuk agama Kristen pada tahun 2008)
bertempat tinggal di lingkungan perumahan bersama dengan ketiga cucunya, aktif di
kegiatan ibu-ibu gereja, kelompok Lanjut Usia, demikian juga aktif dalam kegiatan
masyarakat lingkungan perumahan. Ea masuk agama Kristen pada tahun 2008,
deskripsi kisahnya seperti berikut :
Menjelang masa pensiun, pada tahun 2008 Ea memutuskan untuk
memperdalam agama Islam, ia minta bantuan rekannya yang dianggap banyak
memahami soal agama Islam untuk menjadi pembimbing rohaninya, ia kemudian juga
aktif dalam kelompok yasinan, dan mengikuti pengajian-pengajian di lingkungan
perumahan, bahkan Ea ditunjuk sebagai ketua kelompok yasinan di lingkungannya.
Bimbingan rohani yang diberikan rekannya dilakukan seminggu sekali di Masjid
Perumahan, dan sekali saat sesudah yasinan, Berkali-kali menerima bimbingan rohani
tidak membuat Ea bertumbuh pengetahuan dan imannya, ia merasa kesulitan untuk
menerima materi dan arahan yang diberikan temannya, ia malah mengalami
kebingungan tidak dimengerti sebabnya, alasan utama yang dikatakan adalah sulit
mengerti bahasa Arab, Ea merasa ada beban berat, sehingga menimbulkan perasaan
gelisah tidak tenang, perasaan itu selalu muncul, walaupun demikian ia tetap aktif
melaksanakan kegiatan yasinan, dan mengikuti pengajian-pengajian di
lingkungannya.
Di suatu hari, Ea ditugasi Kepala Sekolahnya untuk mendampingi kegiatan
pramuka padahari minggu pagi di sekolah.Pagi-pagi ia berangkat diantar tetangga
42
yang juga seorang guru ke sekolahan, tetapi karena hari masih pagi ia minta diturun
kan di jalan yang melewati gereja GKJW. Saat berjalan melintas di depan gereja
terdengar sayup-sayup lagu rohani, dan lagu itu menyentuh hati Ea, kemudian ia tanpa
rencana, spontan langsung masuk gereja dan mengikuti ibadah, pada saat mengikuti
ibadah ia diberi Alkitab oleh seorang warga jemaat yang duduk di sebelahnya dan
Alkitab itu diterimanya, selesai mengikuti ibadah ia bertemu dengan (Hr) rekan guru
yang anggota GKJW Jemaat Ponorogo. Rekan guru itu kaget melihat Ea mengikuti
ibadah, ia kemudian mendekati dan menyalami Ea. Setelah berbincang sejenak, Ea
pamit untuk ke sekolahan di mana ia ditugasi kepala sekolahnya untuk mendampingi
kegiatan pramuka.
Pada suatu malam Ea membuka Alkitab yang diperoleh dari pemberian warga
gereja, ia kemudianmembacanya, ketika membaca ada perasaan lain, terlebih ketika
membaca Masmur 23, ia merasa menemukan tentang yang ia cari selama ini yaitu
ketentraman. Di hari-hari berikutnya ia menyisihkan waktu untuk membaca Alkitab,
Ea suka membaca kitab Masmur, perasaannya haru ketika membacanya, ia mulai
merenungkan tentang dirinya, dan merasa isi kitab Masmur banyak menyentuh kisah
hidupnya, tidak terasa air matanya kadang meleleh membasahi pipinya. Sejak saat itu
ia merasa gelisah dan berupaya untuk mencari tahu bagaimana mempelajari agama
Kristen, saat berpikir itulah ia teringat teman baiknya yang beragama Kristen yaitu
Hr, yang pernah ia jumpai saat mengikuti ibadah di GKJW.
Beberapa hari kemudian Ea mendekati Hr, seorang teman guru yang pernah
bertemu saat ibadah di gereja, dan memohon penjelasan tentang bagaimana belajar
agama Kristen, atas permohonan Ea tersebut kemudian Hr, mengantar dan
mendampingi Ea menjumpai majelis GKJW Jemaat Ponorogo. Pada perjumpaan
tersebut Ea mengungkapkan maksudnya untuk belajar agama Kristen, dan majelis
tersebut (Shr) memberikan penjelasan tentang syarat-syarat yang perlu diikuti untuk
belajar agama Kristen di GKJW Ponorogo dan saat itu juga Ea menyatakan siap
belajar dan menerima syarat-syarat tang disampaikan oleh majelis tersebut.
Selanjutnya Ea mengikuti katekisasi calon warga setiap hari selasa sore, selama tiga
bulan ia ikuti dengan rajin, sampai pada akhirnya ia merasa mantab memutuskan
bersama cucunya (Fb) masuk agama Kristen, dan bersedia menerima sakramen
babtisan.
43
Dalam proses katekisasi, Ea menceritakan bahwa ia pernah bersekolah di SMP
Katolik di Madiun, tetapi tidak berkeinginan masuk agama Katolik, yang ia ingat
setiap Natal dan Paskah, semua siswa selalu mengikuti dan dilibatkan dalam
pelaksanaan perayaan tersebut, ia terkesan dengan pohon natal dan lagu-lagu natal
yang didengarkan saat itu, bila bulan Desember tiba terkadang ia teringat saat
dilibatkan dalam acara perayaan Natal di sekolah SMP Katolik Madiun, saat itulah
yang muncul dalam ingatan Ea ketika secara tidak sengaja mengikuti ibadah pertama
di GKJW Ponorogo.
Pada minggu ketiga bulan Mei tahun 2008, setelah proses katekisasi selesai
dalam tiga bulan, Ea bersama dengan cucunya Fb, menerima sakramen babtisan, saat
dilayani sakramen babtisan kudus, ia merasa dilingkupi kuasa yang mententramkan
hidupnya, Ea meyakiniyang melingkupi itu Tuhan. Setelah proses babtisania dan
cucunya disambut hangat oleh warga gereja GKJW Jemaat Ponorogo, sambutan dari
warga itu membuatnya merasa terharu. Sejak menerima babtisan Ea aktif dalam
kebaktian-kebaktian keluarga, dan juga ibadah Minggu, ia pun sering menceritakan
pengalaman hidupnya kepada warga jemaat, bahwa ia merasa beruntung menjadi
Kristen, ia meyakini bahwa yang menjadikan Kristen adalah karena pimpinan dan
anugrah Tuhan.Ia bersyukur telah dihantar Tuhan untuk menjadi seorang Kristen.
Sejak menyatakan berpindah agama dari Islam ke Kristen, Ea menjadi
perbincangan masyarakat, terlebih teman-teman guru di sekolahnya tempat ia
mengajar, dan berhembus rumor bahwa Ea masuk Kristen karena mengalami
kesulitan ekonomi, dan GKJW Jemaat Ponorogo dianggap telah memberikan fasilitas
kebutuhan ekonomi bagi Ea. Atas rumor tersebut sampai ada teman Ea yang
menyarankan agar menyekolahkan cucu-cucunya ke panti asuhan keagamaan (Islam)
yang memberi beasiswa bagi cucu-cucu-nya, tetapi semuanya tolak, dan memberikan
penjelasan bahwa Ea masuk Kristen bukan karena kesulitan ekonomi seperti yang
disangkakan beberapa orang, ia masuk Kristen karena kemauannya sendiri, dan ia
merasa telah menemukan jalan hidup baru, soal pindah agama adalah soal pribadi
begitu jawabannya.
Perubahan sikap keagamaan yang Ea lakukan setelah menjadi Kristen adalah
keterlibatannya dalam kegiatan-kegiatan gereja, bahkania terlibat aktif dalam
pelayanan anak-anak, ibu-ibu gereja dan kelompok lansia. Ia menyatakan bahwa
44
menjadi Kristen adalah anugrah, dan merasakan pada setiap ada persoalan yang ia
hadapi Tuhan selalu menolongnya, keadaan itulah yang membuatnya makin religius.
Dalam keadaan ada pertentangan iaberusaha tetap menjaga hubungan baik dengan
tetangga, dan kelompok yasinan di lingkungannya, ia pun terbuka untuk menerima
tetangga yang beragama lain. Sejak pindah agama Kristen, ia selalu menyempatkan
diri mengikuti kegiatan-kegiatan kerohanian di gereja, hal itu membuatnya merasa
bahagia, ia merasa telah menemukan yang selama ini ia rindukan.
Di suatu hari, Ea pernah mengunjungi kakaknya di Caruban, saat itu ia
disuruh kembali ke agama Islam, tetapi ia mengatakan bahwa ia merasa mantab
menganut agama Kristen, ia telah menemukan jalan hidup yang diyakini
kebenarannya,walaupun kini agama Ea berbeda agama dengan saudara-saudaranya ia
tetap menjalin hubungan baik dengan mereka, sebagai contoh kalau saudaranya
membutuhkan bantuan Ea, ia bersedia membantunya, bila hari raya Idulfitri, ia selalu
menyempatkan diri untuk datang ke saudaranya. Keadaan yang demikian ia jalani
dengan sadar dan penuh keyakinan bahwa Tuhan menyertai dia dalam segala keadaan.
Sebagai orang Kristen baru, Ea merasa perlu untuk mendapatkan pembinaan-
pembinaan masalah kekristenan, khususnya pembinaan iman, walaupun ia terlibat
aktif dalam pelayanan di gereja ia masih membutuhkan bimbingan dari majelis
jemaat. Gereja perlu meningkatkan program pembinaan iman yang berkelanjutan,
khususnya bagi warga yang masih relaif baru, ia juga berharap gereja menyediakan
buku-buku rohani untuk bahan bacaan bagi warga gereja, khususnya bagi warga baru
hal tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan pemahaman dan pengetahuan tentang
kekristenan.
Kasus keempat, Pm, seorang duda berusia 70 tahun, pensiunan pegawai negri,
bertempat tinggal di Desa Sidoharjo-Kecamatan Pulung Kabupaten Ponorogo, ia
tinggal bersama anak dan cucu-cucunya yang beragama Islam yang taat. Ia
menyatakan masuk Islam pada bulan Oktober 2014. Deskripsi kisahnya sebagai
berikut :
Pm adalah seorang yang statusnya duda, sudah kurang lebih empat tahun ia
ditinggal mati istrinya pada tahun 2011, keadaan tersebut membuat Pm merasa
sendiri, dan merasa terasing, ia sebenarnya tinggal serumah dengan anak dan
menantunya yang muslim. Untuk kebutuhan makan dan minum sehari-hari dilayani
45
oleh anaknya, keberadaan cucu-cunya juga bisa menjadi teman bagi Pm, namun
demikian kadang timbul perasaan sedih, merasa sepi ditinggal mati istrinya, biasanya
kalau hari minggu pergi beribadah bersama istri, tetapi kematian istri berpengaruh
terhadap kehadiran di gereja. Dalam situasi perasaan gundah, Pm jarang pergi ke
gereja, apalagi jarak tempuh ke gereja GKJW cukup jauh yaitu 16 kilometer dari
rumahnya, sedangkan tranportasi tidak begitu lancar, sementara anak dan cucunya
yang muslim keberatan kalau setiap minggu mengantar ke gereja, ia mengalami
hambatan bila pergi ke gereja, apalagi usia sudah lanjut, kekuatan tubuh berangsur
melemah mempengaruhi aktifitas ke luar rumah, keadaan itu menjadi beban
pikirannya.
Suatu ketika pengurus gereja Pentakosta yang jaraknya relatif dekat dengan rumah
Pm mengajaknyauntuk beribadah dan bergabungmenjadi warganya, dari pada
beribadah ke GKJW jaraknya relatif jauh dari rumah Pm, ajakan itu membuatnya
bingung.Pm sebenarnya pernah mengikuti ibadah di gereja Pentakosta, tetapi ia
merasa tidak cocok, dan tidak bisa mengikuti karena suara musiknya keras dan
mengganggu ketenangan ibadah, hal itulah yang menjadikan ia tidak ingin ke gereja
Pentakosta, ia pun dilandakebingungan dengan keadaannya tersebut.
Dalam keadaan bingung itu, Pm diajak anaknya yang muslim untuk pindah agama
ke Islam, walaupun tidak sembahyang di masjid tidak apa-apa kata anaknya, yang
penting mengucapkan dua kalimat sahadat sudah cukup, karena terus menerus
dipengaruhi, diajak terus menerus akhirnya Pm menyerah pada ajakan anaknya,
apalagi ia dalam rumah itu ia Kristen sendiri, ia takut kalau meninggal diabaikan
anak-anaknya, selanjutnya di hadapan tokoh agama Islam di desanya ia mengucapkan
dua kalimat sahadat dan menyatakan masuk Islam. Pada saat masuk Islam ia disambut
dan diterima dengan baik oleh masyarakat sekitar yang beragama Islam, bahkan Pm
mendapatkan perhatian lebih dari kelompok yasinan di lingkungannya.
Pm sebenarnya masih merasakan diperhatikan oleh gereja, dengan pelayanan
perkunjungan bagi warga usia lanjut, yang dilakukan setiap bulan sekali, tetapi
baginya tidak cukup, keinginananya lebih dari sekali dalam sebulan, apa lagi ia sudah
duda, dan lanjut usia, belum lagi ia seorang diri yang beragama Kristen di rumah itu.
Pm terguncang imannya ketika anak-anaknya mengajak dia masuk agama Islam.
Dalam pengakuannya, ia terpaksa pindah agama karena merasa tidak berdaya
46
mendapatkan tekanan dari anak-anaknya yang muslim, bila tetap menganut Kristen
mereka tidak bersedia mengantar Pm untuk mengikuti ibadah minggu, ia menyerah
dengan desakan dan kemauan anak-anaknya sampai pada akhirnya ia pindah agama.
Ia sebenarnya merasa berat meninggalkan iman Kristen, tetapi di sisi lain bila tetap
menganut Kristen ia khawatir, ia merasa tidak aman dan takut tidak diperhatikan oleh
anak-anaknya.
Sesudah menyatakan pindah agama secara resmi, Pm menghubungi salah satu
warga jemaat, dan disuruh menyampaikan pemberitahuan kepada majelis jemaat
bahwa ia telah pindah agama Islam mengikuti anaknya, ia berpesan agar majelis
gereja tidak perlu lagi memberikan jadwal ibadah perkunjungan di rumahnya. Setelah
mendapatkan informasi itu majelis mendatangi Pm di rumahnya, yang ditemui juga
oleh anaknya, dan memberitahukan bahwa Pm telah berpindah agama, mereka
menyampaikan permohonan maaf pada majelis Jemaat, bahwa Pm pindah agama
mengikuti anaknya yang muslim, agar ia merasa tentram, dan aman tinggal bersama
anak dan masyarakat sekitarnya.
Dari paparan keempat kasus pindah agama di atas maka kasus tersebut dapat
dikelompokkan menjadi tiga jenis kasus pindah agama yaitu:
Pertama,Kasus pindah agama dari agama Kristen masuk agama Islam beberapa
tahun kemudian kembali masuk agama Kristen. (responden kasus Ch dan Ar) Kedua,
Kasus Pindah agama dari Islam masuk agama Kristen (Kasus Ea), dan Ketiga, Kasus
Pindah agama dari Kristen pindah agama ke Islam.(Kasus Pm).
5. Penanganan GKJW Jemaat Ponorogo terhadap kasus pindah agama.
Kasus pindah agama di GKJW dimasukkan dalam ranah kasus pastoral, yang
penanganannya merujuk pada Tata dan Prana Gereja,10
bilamana kasus itu dialami
oleh jemaat awam yang menangani adalah majelis jemaat setempat, dan tradisinya
diserahkan kepada pendeta jemaat, bila yang berkasus adalah anggota majelis dari
unsur penatua atau diaken, maka yang menangani adalah Pelayan Harian Majelis
Daerah (Klasis), dan bilamana kasus itu menimpa anggota Majelis Daerah, yang
menangani adalah Pelayan Harian Majelis Agung (Sinode) GKJW. Sehubungan
dengan empat kasus pindah agama yang dikelompokkan menjadi tiga kasus tersebut
10 , Pdt. Agus Supriyono menyampaikan bahwa kasus pindah agama termasuk rahnah kasus pastoral, dan penanganannya merujuk pada Tata dan Pranata Gereja GKJW
47
di atas, mereka adalah warga jemaat awam, maka yang menangani adalah jemaat se
tempat, dalam hal ini adalah majelis jemaat Ponorogo, adapun bentuk
penanganannya seperti berikut:
Pertama: Penanganan terhadap responden yang sebelumnya beragama Kristen pindah
ke Islam, dan beberapa tahun kemudian kembali menganut agama Kristen
Penanganan gereja terhadap warga jemaat yang pernah pindah agama Islam,atau
agama yang lain, dan bermaksud kembali menjadi Kristen, landasan tindakannya
berlandaskan pada Tata dan Pranata tentang penggembalaan Khusus. Seseorang yang
pernah keluar dari agama Kristen, dianggap telah menyimpang dari ajaran dan
kepercayaan Kristen, kalau yang bersangkutan ingin kembali menjadi Kristen harus
bersedia menerima penggembalaan khusus, yang dalam tradisi GKJW diserahkan
kepada pendeta jemaat, tetapi bisa juga dimandatkan kepada anggota majelis yang
dianggap mempunyai kompetensi untuk menanganinya. Penggembalaan khusus yang
diberikan kepada seseorang yang bermaksud kembali menjadi Kristen dinamakan
katekisasi pertobatan, walaupun katekisasi pertobatan tidak hanya diberikan kepada
warga yang masuk kembali ke agama Kristen saja, tetapi juga diberikan kepada
mereka yang dianggap melanggar norma-norma Kristen, seperti kasus perzinahan,
perjudian, dan yang terkena kasus hukum, dan kasus-kasus tersebut dimasukkan
dalam ranah kasus pastoral.11
Penggembalaan Khusus kepada warga yang ingin kembali masuk agama Kristen
dilakukan dengan cara memberikan pelayanan konseling pastoral, dengan
berlandaskan ajaran Kristen yang bersumber dari Alkitab. Dalam pelaksanaan
penggembalaan khusus tersebut ada perjumpaan, percakapan dan pembinaan terhadap
warga yang akan kembali masuk agama Kristen. Frekwensi dan waktu pertemuan
berkisar dua sampai tiga kali pertemuan, selanjutnya diakhiri dengan ibadah
pertobatan, yang dimaksud dengan ibadah pertobatan menurut Tata dan Pranata
GKJW, adalah ibadah yang diselenggarakan dalam rangka melayani pertobatan, dan
dapat dilakukan dalam ibadah Minggu atau di hadapan Majelis-majelis.12
Dengan
demikian sikap dan tindakan gereja terhadap warga yang bermaksud kembali masuk
11
Sumber : Pdt. Agus Supriyono, hasil wawancara tanggal 29 nopember 2014 tentang penanganan kasus pindah agama. 12 Majelis Agung, Tata dan Pranata GKJW (1996), Pranata Tentang Ibadah, Memori Penjelasan Bab IV Pasal 9, poin I, hlm.65
48
Kristen adalah menerima dengan syarat, yaitu wajib mengikuti katekisasi pertobatan,
yang didalamnya ada pelayanan konseling pastoral.
Penanganan gereja terhadap kasus pertama, yaitu Ch dan Ar, yang bermaksud
masuk kembali agama Kristen, dilakukan dengan cara merespon permintaan mereka
untuk mengikuti katekisasi pertobatan, selanjutnya pendeta jemaat melakukan
penggembalaan khusus, dengan cara mengadakan percakapan konseling, sebanyak
tiga kali pertemuan, dalam percakapan tersebut didahului dengan renungan singkat
dengan tema pertobatan, selanjutnya pendeta melakukan percakapan konseling yang
bersifat pembinaan iman, serta menyampaikan tentang hak dan kewajiban warga
jemaat, selanjutnya proses katekisasi diakhiri dengan memotivasi mereka (Ch, dan
Ar), agar menyiapkan diri dan bersedia untuk menerima pelayanan pertobatan, yang
dilaksanakan di depan majelis jemaat, selanjutnya gereja memberikan hak dan
kewajiban yang sama kepada mereka seperti kepada warga jemaat lainnya, contohnya
mendapatkan hak untuk terlibat aktif dalam kegiatan gereja, hak mengikuti ibadah,
menerima pelayanan kunjungan pastoral majelis dan sebagainya.
Tindakan berikutnya, adalah pembinaan berkelanjutan, yang diprogramkan
Jemaat melalui program pelayanan khusus kepada pasangan beda agama, yang
dilakukan setiap pekan Pentakosta13
, dan pada hari-hari khusus yang ditetapkan
berdasarkan agenda kegiatan gereja, dengan model pelayanan kunjungan pastoral
terhadap pasangan suami istri yang berbeda iman. Kunjungan pastoral dilakukan
secara kelompok, yang bertujuan memberikan kesempatan kepada Ch, dan Ar, dan
keluarga lain yang berbeda iman untuk mengungkapkan pergumulan-pergumulannya
dalam hidup berkeluarga. selesai sharing mereka diajak berdoa bersama.
Kedua, Penanganan terhadap responden muslim atau non Kristen yang bermaksud
masuk agama Kristen.
Bagi seseorang yang menganut agama non Kristen dan bermaksud masuk agama
Kristen di GKJW, diwajibkan mengikuti katekisasi calon warga sekurang-kurangnya
tiga bulan,14
dengan 12 kali tatap muka, sesuai dengan Tata gereja, materi katekisasi
yang disampaikan tentang iman Kristen, serta tentang hak dan kewajiban sebagai
13
Pnt. Sunarjo menyampaikan bahwa jemaat mempunyai program pembinaan bagi pasangan beda agama, yaitu kunjungan pastoral yang dilaksanakan pada pekan pentakosta. 14 Majelis Agung, Tata dan Pranata GKJW (1996), Pelaksanaan Katekisasi Bab IV, pasal 11 c, hlm 148
49
warga gereja, termasuk didalamnya adalah pelayanan konseling pastoral. Setelah
mendapatkan pelayanan katekisasi mereka menerima sakramen babtisan yang
dilaksanakan di tengah-tengah proses peribadahan yang dihadiri oleh warga jemaat.
Selanjutnya mereka yang menerima tanda babtis, diberi surat tanda kewargaan gereja
dan dicatat sebagai anggota baru dalam buku keanggotaan gereja. Proses untuk
menjadi Kristen di GKJW didahului dengan katekisasi yang dilaksanakan dalam
jangka waktu tententu, hal ini dimaksudkan untuk memberikan bimbingan kepada
calon warga tentang agama Kristen secara bertahap, serta memberi kesempatan untuk
mempertimbangkan secara sungguh-sungguh mengenai keinginannya untuk masuk
agama Kristen.
Penanganan gereja terhadap kasus kedua (dalam kasus Ea)seorang beragama
Islam yang bermaksud masuk agama Kristen, diawali dengan menerima dan
merespon permintaan Ea, yang bermaksud belajar agama Kristen, selanjutnya gereja
memberikan pelayanan katekisasi calon warga, yang dilaksanakan selama tiga bulan
dengan 12 kali pertemuan, dengan materi pembinaan tentang iman Kristen dan hidup
bergereja. Dalam proses katekisasi, dilaksanakan melalui perjumpaan dan percakapan,
serta penyampaian informasi-informasi yang berkaitan dengan kekristenan, yang di
dalamnya ada proses konseling pastoral. Setelah memberikan pelayanan katekisasi
selama tiga bulan, gereja melaksanakan pelayanan sakramen babtisan, sebagai inisiasi
bahwa orang itu sudahmenjadi Kristen, dan pelaksanaan sakramen babtisan
dilaksanakan dalam ibadah Minggu. Sebagai pengakuan formal maka orang yang
telah menerima babtisan,mendapatkan surat tanda warga gereja dan dicatat dalam
buku kewargaan gereja.15
Selanjutnya gereja memberikan kesempatan kepada orang
tersebut untuk terlibat aktif dalam kegiatan-kegiatan gerejawi, serta memberikan hak
dan kewajiban yang sama seperti yang diberikan kepada warga jemaat lainnya, seperti
hak untuk mendapatkan pelayanan pastoral, menerima sakramen perjamuan kudus,
pelayanan ibadah keluarga dan yang lainnya.
Ketiga, Penanganan terhadap warga jemaat yang pindah agama Islam
Penanganan gereja terhadap kasus pindah agama warga jemaat yang pindah
agama Islam, dilakukan dengan pendekatan yang mengacu pada Tata Pranata Gereja,
15 Dkn. Sintawati, sekretaris jemaat , menampaikan bahwa setelah proses sekramen babtisan, Ea mendapatkan Surat Tanda warga, sebagai bukti bahwa Ea sah menjadi warga jemaat.
50
dengan sebutan penggembalaan khusus.Penggembalaan khusus bertujuan agar warga
yang bersangkutan kembali pada perilaku dan kepercayaan yang sesuai dengan
kaidah-kaidah dan ajaran-ajaran seperti yang berlaku di GKJW demi damai sejahtera
persekutuan umat Tuhan yang baru.16
Sebelum menentukan perlu tidaknya
penggembalaan khusus, utusan majelis jemaat berusaha mencari informasi yang benar
tentang warga jemaat yang pindah agama tersebut, selanjutnya majelis jemaat
menelusuri kebenarannya, dengan cara mendatangi dan menanyakan kepada yang
bersangkutan atau keluarganya, bila terbukti benar maka kasus tersebut dibawa dalam
forum rapat majelis.
Pada forum rapat, membahas dan mempertimbangkan temuan-temuannya,
selanjutnya warga yang telah pindah agama tersebut diberi kesempatan untuk
memberikan penjelasan atau jawaban secara tertulis atau lisan tentang kasus yang
dialaminya. Berdasarkan penjelasan yang diperoleh, selanjutnya majelis melakukan
pemeriksaan dan pertimbangan-pertimbangan untuk mengambil keputusan tentang
perlu tidaknya diadakan penggembalaan khusus. Bilamana majelis jemaat
menyatakan perlu penggembalaan maka diberlakukan dengan cara mendatangi,
mengingatkan, membina secara teratur, sampai bersedia bertobat, dan menyatakan
kembali masuk agama Kristen di tengah ibadah pertobatan, tetapi bila tidak bersedia
bertobat, dan menyatakan pindah agama Islam maka yang bersangkutan dikeluarkan
kewargaannya dari jemaat, dengan diberi catatan : telah meninggalkan iman Kristen,
dalam buku induk disebut murtad.17
Sebenarnya GKJW Jemaat Ponorogo berupaya untuk melakukan pembinaan-
pembinaan iman, yang dituangkan dalam program kegiatan tahunan (PKT), secara
khusus komisi teologia yang menangani bidang pembinaan iman, misalnya dengan
program katekisasi, retreat, sarasehan dengan materi-materi yang berkaitan dengan
pembinaan iman Kristen. Program tersebut bertujuan untuk meningkatkan kwalitas
iman, dan persekutuan warga jemaat, yang berpengaruh juga pada upaya pencegahan
agar tidak ada warga jemaat yang pindah agama, tetapi dalam kenyataannya masih
16
Majelis Agung, Tata Pranata GKJW (1996) Pranata tentang Penggembalaan Khusus, hlm.183 17 Pdt. Agus S, (sebagai pdt.konsulen) menjelaskan bahwa warga yang jelas keluar kasuk agama Islam, kewargaannya dicoret, dan dinyatakan murtad atau meninggalkan agama Kristen.
51
saja ada warga jemaat yang pindah agama, demikian keterangan yang diberikan oleh
Penatua Sunarjo.18
Pada kasus pindah agama yang dilakukan Pm (70 tahun), tindakan yang dilakukan
gereja, menurut keterangan Penatua Sunarjo19
adalah: pertama, merespon informasi
yang diterima dari salah seorang warga jemaat yang menyampaikan pesan bahwa ada
seorang warga (kasusPm )menyatakan pindah agama Islam. Langkah kedua dengan
cara mengklarifikasi kebenaran kasus tersebut dengan mendatangi ke rumah yang
diberitakan pindah Islam, dan menanyakan kebenaran berita yang telah diterima dari
warga jemaat, dalam perjumpaan tersebut diperoleh keterangan dari yang
bersangkutan (Pm) dan anaknya bahwa orang tersebut benar-benar telah menyatakan
pindah agama Islam. Selanjutnya utusan majelis menyampaikan keterangan tersebut
kepada Pelayan Harian Majelis Jemaat, kemudian dilakukan pembahasan atas kasus
tersebut, dan diputuskan tidak diadakan penggembalaan khusus, selanjutnya warga
tersebut (Pm) dinyatakan dikeluarkan dari keanggotaan gereja, namun demikian
utusan majelis jemaat menyampaikan kepada yang pindah agama Islam (Pm), dan
anaknya bahwa gereja memaklumi keputusannya untuk pindah agama Islam, karena
itu pilihannya sendiri, selanjutnya berharap agar yang bersangkutan nyaman dengan
keputusannya. Atas penanganan kasus tersebut, sekretaris jemaat mencatat pada buku
kewargaan gereja bahwa yang pindah agama Islam dinyatakan dikeluarkan dari
keanggotaan gereja GKJW.Jemaat Ponorogo.
Kesimpulan Bab tiga, warga Greja Kristen Jawi Wetan (GKJW) Jemaat Ponorogo
berada di tengah-tengah masyarakat majemuk, kondisi tersebut berpengaruh terhadap
kasus pindah agama. Kasus pindah agama yang terjadi Nampak pada adanya
fenomena kawin beda agama, kasus pindah agama dari Kisten ke Islam, demikian
juga dari Islam masuk agama Kristen. Terkait dengan kasus pindah agama tersebut
pihak gereja melakukan penanganan dengan mengacu pada Tata Gereja.
18
Wawancara dengan penatua Sunarjo, pada tanggal 2 Desember 2015, ia memberikan keterangan bahwa jemaat telah mempunyai program pembinaan iman, dimaksudkan agar iman warga jemaat tumbuh dengan baik., tetapi masih saja ada warga yang pindah agama, kebanyakan karena perkawinan. 19Pnt. Sunarjo menyampaikan bahwa kasus Pm yang pindah agama isalm telah ditangani menurut tahapannya.