studi kasus

23
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Desa Suatu hal yang cukup penting dan sering menimbulkan masalah di dalam penanganan desa adalah adanya keragaman pengertian tentang desa. Menurut Ma’rif (Suprapta, 2006), secara morfologis desa merupakan wilayah yang diperuntukkan bagi kegiatan agraris dan sisanya untuk bangunan-bangunan yang terpencar dalam jumlah penduduk kecil dan kepadatan rendah. Secara ekonomi merupakan wilayah dengan ciri kegiatan agraris yang mendominasi kehidupan masyarakatnya, secara sosial desa merupakan wilayah dengan ciri kehidupan sosial dan hubungan kekeluargaann yang erat dan masih terpaku pada adat istiadat dan secara demografis desa adalah wilayah dengan penduduk sekitar 2.500 jiwa (Ma‘rif dalam Suprapta, 2006). Menurut Bintarto (Koestoer, 1997) desa merupakan hasil perpaduan antara kegiatan sekelompok manusia dengan lingkungannya, yang ditandai oleh permukiman yang tidak padat, sarana transportasi yang langka serta penggunaan tanah persawahan. Ciri-ciri lainnya yaitu berupa unsur-unsur sosial pembentuk desa yaitu penduduk dan tata kehidupan dimana ikatan tali kekeluargaan di desa sangat erat yang ditandai dengan dominannya perilaku gotong royong masyarakat. Sedangkan menurut Dirjen Bangdes (Daljoeni, 1994) ciri-ciri wilayah desa antara lain: (1) perbandingan lahan dengan manusia (man-land ratio) cukup besar lahan di pedesaan relatif lebih luas Universitas Sumatera Utara

Upload: ziezah-shawol-onew

Post on 31-Jul-2015

119 views

Category:

Documents


13 download

TRANSCRIPT

Page 1: Studi Kasus

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Desa

Suatu hal yang cukup penting dan sering menimbulkan masalah di dalam

penanganan desa adalah adanya keragaman pengertian tentang desa. Menurut Ma’rif

(Suprapta, 2006), secara morfologis desa merupakan wilayah yang diperuntukkan bagi

kegiatan agraris dan sisanya untuk bangunan-bangunan yang terpencar dalam jumlah

penduduk kecil dan kepadatan rendah.

Secara ekonomi merupakan wilayah dengan ciri kegiatan agraris yang

mendominasi kehidupan masyarakatnya, secara sosial desa merupakan wilayah dengan

ciri kehidupan sosial dan hubungan kekeluargaann yang erat dan masih terpaku pada

adat istiadat dan secara demografis desa adalah wilayah dengan penduduk sekitar

2.500 jiwa (Ma‘rif dalam Suprapta, 2006).

Menurut Bintarto (Koestoer, 1997) desa merupakan hasil perpaduan antara

kegiatan sekelompok manusia dengan lingkungannya, yang ditandai oleh permukiman

yang tidak padat, sarana transportasi yang langka serta penggunaan tanah persawahan.

Ciri-ciri lainnya yaitu berupa unsur-unsur sosial pembentuk desa yaitu penduduk dan

tata kehidupan dimana ikatan tali kekeluargaan di desa sangat erat yang ditandai

dengan dominannya perilaku gotong royong masyarakat. Sedangkan menurut Dirjen

Bangdes (Daljoeni, 1994) ciri-ciri wilayah desa antara lain: (1) perbandingan lahan

dengan manusia (man-land ratio) cukup besar lahan di pedesaan relatif lebih luas

Universitas Sumatera Utara

Page 2: Studi Kasus

daripada jumlah penduduk sehingga kepadatan penduduk masih rendah (2) lapangan

kerja yang dominan agraris (3) hubungan antar warga desa sangat akrab (4) tradisi

lama masih berlaku.

Menurut Landis dalam Rahardjo (1999), definisi desa dipilah menjadi 3 (tiga)

yakni: (1) Desa merupakan suatu lingkungan yang penduduknya < 2.500 orang. (2)

Desa merupakan suatu lingkungan yang penduduknya mempunyai hubungan yang

akrab dan serba informal diantara sesama warganya. (3) Desa merupakan lingkungan

yang penduduknya tergantung pada sektor pertanian.

Kawasan pedesaan adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama pertanian,

termasuk pengelolaan sumber daya alam, dengan susunan fungsi kawasan sebagai

tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan

kegiatan ekonomi. Pusat pedesaan merupakan pusat pelayanan yang secara langsung

dapat meningkatkan produksi pertanian, pelayanan sosial maupun ekonomi desa.

Pelayanan dan penyediaan dapat berupa:

a. Tempat pelayanan dan pengumpulan serta pemasaran hasil-hasil pertanian

b. Distribusi input pertanian berupa: pupuk, peralatan, kredit dan perbaikan fasilitas

c. Tempat fasilitas pengelolaan hasil untuk komsumsi maupun untuk dipasarkan.

Dari segi fungsinya desa merupakan ”hinterland” atau daerah belakang yang

berperan dalam produksi pertanian (tanaman pangan, peternakan, perikanan dan

perkebunan) untuk memenuhi kebutuhan warga desa dan kota. Desa berfungsi sebagai

penyedia bahan mentah (raw material) dan tenaga kerja.

Universitas Sumatera Utara

Page 3: Studi Kasus

Dalam pembangunan desa diharapkan pembangunan dari masyarakat pada unit

pemerintah yang terendah yang harus dilaksanakan dan harus dibina terus-menerus

secara sistematik dan terarah sebagai bagian penting dalam usaha pembangunan negara

sebagai usaha yang menyeluruh (Beratha dalam Sinaga, 2004).

Wujud dari pembangunan desa adalah mengadakan berbagai program dan

proyek pembangunan yang bertujuan menciptakan kemajuan desa (Purba, 2006).

Pembangunan desa sebagai bagian integral dari pembangunan nasional memiliki

tujuan untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang maju, mandiri, sejahtera dan

adil. Untuk mewujudkan kondisi masyarakat yang dicita-citakan itu, pembangunan

desa akan difokuskan pada penanggulangan kemiskinan, khususnya kemiskinan

pedesaan (Sumodiningrat, 1999; Adisasmita, 2006).

Chambers dalam Sitanggang (2007) pembangunan perdesaan adalah suatu

strategi yang memungkinkan kelompok masyarakat tertentu, laki-laki dan wanita

miskin di desa, memperoleh yang mereka inginkan dan perlukan bagi dirinya maupun

anak-anaknya

Ndraha dalam Sinaga (2004) keberhasilan suatu desa dapat dilihat dari:

a. Kondisi kehidupan yang dapat diperbaiki dan ditingkatkan yang berarti:

a) Pemerintah berhasil membangun berbagai fasilitas kehidupan masyarakat di

pedesaan sebagai modal dan sarana penggerak desa, meliputi prasarana produksi,

prasarana sosial dan b) Pemerintah berhasil menggerakkan masyarakat dengan

berbagai cara dan sarana sehingga mampu berswadaya dalam pembangunan desa.

b. Masyarakat telah mampu berkembang sendiri dan hidup dalam suasana sejahtera

dengan lingkungannnya berkat pemanfaatan sumber daya secara lokal dan optimal.

2.2. Pengertian Kota

Universitas Sumatera Utara

Page 4: Studi Kasus

Istilah kota berasal dari sejarah perkotaan di Eropa kuno. Pada zaman Yunani

Kuno kota-kota yang pada saat itu dianggap sebagai republik kecil, letaknya terpencar-

pencar di wilayah pegunungan yang dinamakan “polis”. Kota-kota pada waktu itu

berupa benteng pasukan pendudukan Romawi di negeri-negeri Eropa yang disebut

“urbis” dan lahan di luar kota di atas parit-parit yang mengelilingi benteng disebut

“sub urbis”.

Dari istilah-istilah ini kemudian muncul istilah “urban” dan “sub urban”,

sedangkan pedesaan di luar kota penduduknya adalah petani disebut “Ru” dan dari

sinilah timbul istilah “rural”. Sementara itu suatu benteng dinamakan kota apabila

menjadi pusat perdagangan dan pertukangan yang memungkin berfungsinya pasar

dalam kota (Daldjoeni, 2003).

Daerah urban (urban area) adalah suatu daerah dengan tingkat kepadatan

penduduk yang relatif tinggi daripada daerah lain . Daerah urban dicirikan dengan

kegiatan permukiman yang dominan di sektor non-agraris dan menjadi pusat kegiatan

perekonomian (yaitu produksi, distribusi dan konsumsi) baik untuk daerah itu sendiri

maupun untuk daerah sekitarnya (hinterland). Kepadatan penduduk merupakan ciri

yang lain dari kota.

Menurut Adisasmita (2010) kota diartikan sebagai suatu permukaan wilayah di

mana terdapat pemusatan (konsentrasi) penduduk dan berbagai jenis kegiatan

ekonomi, sosial budaya dan administrasi pemerintah. Dickinson (Jayadinata, 1999),

kota adalah suatu permukiman yang bangunan rumahnya rapat, dan penduduknya

bernafkah bukan pertanian dan kota dapat dikenali dari jumlah penduduknya. Di

Universitas Sumatera Utara

Page 5: Studi Kasus

Indonesia menurut data statistik suatu daerah dapat disebut kota apabila jumlah

penduduknya minimal 20.000 jiwa serta kota dapat dicirikan adanya prasarana

perkotaan seperti bangunan pemerintah, rumah sakit, pasar, sekolah, ruang terbuka

yang teratur (open space), taman, jaringan, jalan beraspal, listrik dan tempat hiburan.

Bintarto (1989), dari segi geografis kota dapat diartikan sebagai suatu sistem

jaringan kehidupan manusia yang ditandai dengan kepadatan penduduk yang tinggi

dan diwarnai dengan strata sosial-ekonomi yang hetrogen dan coraknya yang

materialistis atau dapat pula diartikan sebagai bentang budaya yang ditimbulkan oleh

unsur-unsur alami dan non alami dengan gejala-gejala pemusatan penduduk yang

cukup besar dengan corak kehidupan yang bersifat heterogen dan materialistis

dibandingkan daerah belakang (hinterland).

Sejalan dengan pendapat diatas, Sujarto (1997) secara umum membatasi

pengertian kota dilihat dari beberpa aspek yaitu: secara demografis merupakan

pemusatan penduduk yang tinggi dengan tingkat kepadatan yang tinggi dibandingkan

dengan wilayah sekitarnya; secara sosiologi selalu dikaitkan dengan batasan adanya

sifat heterogen dari penduduknya serta budaya urban yang telah mengurangi budaya

desa; secara ekonomis suatu kota dicirikan dengan proporsi lapangan pekerjaan yang

dominan di sektor non pertanian seperti industri, pelayanan dan jasa, transportasi dan

perdagangan; secara fisik suatu kota dicirikan dengan adanya dominasi wilayah

terbangun (built up area) dan struktur binaan; secara geografis kota diartikan dengan

suatu pusat kegiatan yang dikaitkan dengan suatu lokasi strategis; secara administrasi

pemerintahan suatu kota dapat diartikan sebagai wilayah wewenang yang dibatasi oleh

Universitas Sumatera Utara

Page 6: Studi Kasus

suatu wilayah hukum yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan

yang berlaku.

Menurut Nas (1990), kota diartikan sebagai suatu tempat pertemuan yang

berorientasi keluar. Sebelum kota menjadi tempat permukiman yang tetap, pada

mulanya ia sebagai tempat orang pulang balik sebagai tempat berjumpa secara teratur,

dan mempunyai daya tarik (magnit) pada penghuni luar kota untuk mengadakan

kontak, memberikan dorongan untuk kegiatan rohaniah dan perdagangan serta

kegiatan yang lain.

Berdasarkan pengertian kegiatan ekonomi bahwa kota adalah memiliki

kegiatan industri dan jasa, maka banyak kota sebenarnya masih dalam taraf

perkembangan. Hal ini berarti bahwa tata kehidupan perkotaan belum sepenuhnya

dianut, yang dapat dilihat dari struktur kehidupan penduduknya maupun perwujudan

fisiknya (Sinulingga, 2005).

Proboatmodjo (1993) menjelaskan bahwa kota yang berpenduduk lebih dari

20.000 jiwa sering menggambarkan ciri kekotaan yang lebih dominan, fungsinya lebih

luas dan menunjukkan interaksi lebih luas dibandingkan dengan kota yang

berpenduduk kurang dari 20.000 jiwa.

Di Indonesia, jumlah penduduk merupakan ukuran besar kecilnya kota yang

termasuk kota kecil adalah kota yang berpenduduk antara 5.000 sampai dengan 50.000

orang, kota sedang yaitu kota yang berpenduduk antara 50.000 sampai dengan 500.000

orang. Sedangkan kota besar adalah kota yang berpenduduk 500.000 ke atas. Kota

yang memliki penduduk 1ebih dari satu juta disebut kota Metropolitan; yaitu suatu

Universitas Sumatera Utara

Page 7: Studi Kasus

wilayah yang memiliki ciri sebagai suatu pusat perdagangan, industri, budaya dan

pemerintahan yang dikelilingi oleh daerah semi urban (sub urban), kawasan

perumahan atau kota-kota kecil yang digunakan sebagai tempat tinggal.

Menurut Branch (1996) kota merupakan area terbangun dengan fasilitas

infrastrukturnya seperti jalan, lingkungan permukiman yang terpusat pada suatu area

dengan kepadatan tertentu, tersedianya kebutuhan sarana dan pelayanan pendukung

yang lebih lengkap dibandingkan yang dibutuhkan di daerah pedesaan. Dengan

demikian untuk memahami pengertian yang lebih luas dengan pengertian sebagai

suatu permukiman yang lebih besar dengan kriteria luas areal yang terbatas, bersifat

non-agraris, kepadatan penduduknya relatif tinggi, dan lain-lain tidak selamanya tepat

untuk menggambarkan suatu ciri kota tertentu yang hanya diukur secara kuantitatif,

sebab kota juga merupakan tempat terkonsentrasinya berbagai kegiatan yang tidak saja

ekonomis melainkan politik, sosial, hukum, budaya dan lain-lain dalam satu tata ruang

tertentu.

Dalam kenyataannya memang wilayah perkotaan seringkali melewati batas-

batas administrasinya, keberadaan pusat kota telah mendorong terjadinya perubahan

pada wilayah sekitarnya menjadi berbagai macam penggunaan lahan terutama untuk

perumahan.

Pertumbuhan perumahan kearah luar kota/pinggiran tersebut memungkinkan

terjadinya kegiatan-kegiatan dan keterhubungan sehingga terjadi adanya interaksi.

Kesempatan memperoleh mata pencaharian tambahan di kota dimungkinkan dengan

adanya letak yang berdekatan dengan kota.

Universitas Sumatera Utara

Page 8: Studi Kasus

Sesuatu kota selalu mengalami perkembangan dari waktu ke waktu.

Perkembangan dalam hal ini menyangkut aspek-aspek politik, sosial, budaya,

teknologi, ekonomi, dan fisik. Dari semua aspek perkembangan tersebut akan terlihat

langsung pada perkembangan fisik yang terkait dengan penggunaan lahan kekotaan,

khususnya perubahan arealnya. Chapin dalam Condro (1996) perubahan penggunaan

lahan kekotaan pada dasarnya berkaitan dengan sistem aktivitas antara manusia dengan

institusi yaitu masyarakat (individu dan rumah tangga), swasta dan lembaga

pemerintah yang masing-masing berbeda dalam kepentingannya.

Orientasi kepentingan masyarakat memanfaatkan lahan terletak pada

pemenuhan kebutuhan pribadi untuk kebutuhan sosial ekonominya. Kegiatan-kegiatan

yang dilakukan meliputi kegiatan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, sosial,

interaksi sosial dan rekreasi. Kesemuanya berkaitan dengan hak pribadi dalam

pemilikan lahan.

Orientasi kepentingan swasta memanfaatkan lahan terletak pada keuntungan

yang diperoleh dari nilai ekonominya. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan meliputi

kegiatan produksi barang dan kegiatan jasa. Dengan demikian hukum ekonomi akan

berlaku disini, dimana swasta akan mencari lokasi yang dirasa paling menguntungkan

dan biasanya pada posisi di pusat- pusat kegiatan. Sedangkan lembaga pemerintah

berorientasi pada optimalisasi pelayanan umum. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan

meliputi kegiatan untuk kesejahteraan. Tujuan yang diharapkan adalah terpenuhinya

kebutuhan masyarakat dalam memanfaatkan pelayanan umum tersebut.

Universitas Sumatera Utara

Page 9: Studi Kasus

Sementara pendapat Sujarto (1997) yang lebih menonjolkan faktor manusia

menyebutkan bahwa faktor- faktor perkembangan dan pertumbuhan yang bekerja pada

suatu kota dapat mengembangkan dan menumbuhkan kota pada suatu arah tertentu.

Sebenarnya hanya ada tiga faktor utama yang sangat menentukan pola perkembangan

dan pertumbuhan kota yaitu faktor manusia, faktor kegiatan manusia tersebut dan

faktor pola pergerakan antara pusat kegiatan manusia yang satu dengan pusat kegiatan

manusia yang lainnya. Secara terperinci dapat diterangkan bahwa faktor manusia akan

menyangkut segi-segi perkembangan penduduk kota baik karena kelahiran maupun

karena migrasi ke kota, segi-segi perkembangan tenaga kerja, perkembangan status

sosial dan perkembangan kemampuan pengetahuan dan teknologi. Faktor kegiatan

manusia menyangkut segi-segi kegiatan kerja, kegiatan fungsional, kegiatan

perekonomian kota dan kegiatan hubungan regional yang lebih luas sedangkan faktor

pola pergerakan adalah sebagai akibat dari perkembangan yang disebabkan oleh kedua

faktor perkembangan penduduk yang disertai dengan perkembangan fungsi

kegiatannya akan menuntut pola perhubungan antara pusat-pusat kegiatan tersebut.

Kemudian ketiga faktor ini secara fisik akan termanifestasikan kepada perubahan akan

tuntutan kebutuhan ruang. Tuntutan kebutuhan ruang ini yang akan tercermin kepada

perkembangan dan perubahan tata guna lahan kota yang mana kemudian faktor

persyaratan fisik akan sangat menentukan perkembangan dan pertumbuhan kota itu

selanjutnya.

Perkembangan kota tidak hanya ditentukan oleh faktor internalnya, tetapi juga

faktor eksternal sangat menentukan. Semakin meluas dan membesarnya fungsi dan

Universitas Sumatera Utara

Page 10: Studi Kasus

peranan kota menimbulkan perkembangan di dalam hubungan antara kota yang satu

dengan kota lainnya serta hubungan antara suatu kota dengan daerah sekitarnya. Sifat

saling ketergantungannya antara kota yang satu dengan kota yang lainnya atau antara

suatu kota dengan daerah sekitarnya semakin berkembang, kemajuan teknologi

pergerakan semakin meningkat. Dengan demikian faktor-faktor yang berpengaruh

terhadap perkembangan dan pertumbuhan kota tidak hanya terbatas kepada dinamika

kota itu sendiri tetapi juga oleh perubahan serta dinamika dari jangkauan yang lebih

luas.

2.3. Interaksi Desa Kota

Kawasan perdesaan dan perkotaan pada dasarnya merupakan lanskap wilayah

yang saling berhubungan melalui keterkaitan kekuatan ekonomi, sosial, politik dan

lingkungan yang sangat kompleks. Kawasan perdesaan semakin diperhitungkan

keberadaannya dalam konstelasi kota-kota. Demikian pula, kota-kota melalui

perkembangan transportasi dan perkembangan komunikasi yang cepat, mengalami

perubahan morfologi. Perubahan morfologi yang terjadi tidak lagi diungkapkan dalam

gambaran dari suatu metropolis dengan satu simpul urban yang dikelilingi oleh

kawasan perdesaan, namun lebih merupakan sistem keterkaitan desa-kota yang

kompleks dan terdesentralisasi (Sugiana, 2005).

Interaksi adalah terjadinya kontak atau hubungan antara dua wilayah atau lebih

dan dari hasil kontak itu dapat timbul sesuatu kenyataan yang baru dalam wujud

tertentu, maka apa yang sedang atau yang sudah terjadi. Menurut Bintarto (1989),

Interaksi dapat dilihat sebagai suatu proses sosial, proses ekonomi, proses budaya

Universitas Sumatera Utara

Page 11: Studi Kasus

ataupun proses politik dan sejenisnya dan lambat ataupun cepat dapat menimbulkan

suatu realita atau kenyataan. Serta adanya interaksi desa dan kota dapat terjadi karena

pelbagai faktor atau unsur yang ada dalam desa, dalam kota dan diantara desa dan

kota. Adanya kemajuan masyarakat desa, perluasan jaringan jalan desa-kota, integrasi

atau pengaruh kota terhadap desa, kebutuhan timbal balik desa-kota telah memacu

interaksi desa-kota secara bertahap dan efektif.

Menurut Roucek dalam Suprapta (2006) interaksi merupakan suatu proses

yang sifatnya timbal balik dan mempunyai pengaruh terhadap perilaku dari pihak-

pihak yang bersangkutan melalui kontak langsung. Sedangkan Short dalam Suprapta

(2006), mengatakan bahwa interaksi merupakan sistem perkotaan dan tatanan dari

kota-kota kecil melalui aliran manusia, barang dan gagasan. Aliran ini merupakan

dinamika sistem perkotaan dan merupakan daerah sistem pergerakan manusia dalam

melakukan aktivitasnya yang berupa perjalanan ke tempat kerja, perjalanan belanja,

kunjungan keluarga maupun perjalanan untuk rekreasi, tetapi alasan pergerakan pada

umumnya adalah alasan ekonomi, penduduk cenderung bergerak apabila terdapat

prospek pekerjaan dan gaji yang lebih baik disamping itu ada alasan dalam bentuk

sosial, seperti kurangnya pelayanan sosial yang miskin dan kurang kebebasan individu.

Adapun pergerakan penduduk dalam pertumbuhan ekonomi dapat dilihat pada tabel

dibawah ini.

Tabel 2.1. Pergerakan Penduduk dalam Pertumbuhan Ekonomi

Bentuk pergerakan yang dominan Tahap pertumbuhan ekonomi Desa – Kota Inter – Urban Urban – rural

Awal Industrialisasi Iindustrialisasi

Post industrialisasi

Universitas Sumatera Utara

Page 12: Studi Kasus

Sumber: Short dalam Suprapta (2006)

Tabel 2.2. Faktor Pendorong – Penarik Penduduk Desa-Kota

Pendorong Penarik Pengangguran

Pelayanan sosial miskin Kehidupan sosial yang miskin

Kurangnya kebebasan

Kesempatan kerja Pelayanan sosial bagus

Kehidupan sosial yang bagus Longgarnya kebebasan

Sumber: Short dalam Suprapta (2006)

Menurut Douglass (1996), bahwa peran kota dalam pembangunan desa di

identifikasikan menjadi 7 (tujuh) fungsi kota yang paling esensial yaitu:

1. Pusat perbelanjaan

2. Pusat pelayanan yang berjenjang lebih tinggi

3. Pusat pemasaran berbagai produk yang dihasilkan wilayah pedesaan

4. Pusat untuk penyediaan dan pendukung pertanian

5. Pusat pengelolaan pasca panen

6. Penyerap tenaga kerja pedesaan yang bersifat bukan pertanian

7. Pusat informasi dan belajar yang bersifat praktis dan inovatif.

Selanjutnya Douglass (1996) menjelaskan bahwa peran kota merupakan hasil

hubungan yang saling ketergantungan antara desa dan kota, seperti pada tabel dibawah

ini.

Tabel 2.3. Keterkaitan Desa Kota

Desa Kota Produksi pertanian Intensifikasi pertanian - Infrastruktur pedesaan - Insentif produksi

Pusat Transportasi/perdagangan Pelayanan pendukung pertanian - Input produksi - Pelayanan privat

Universitas Sumatera Utara

Page 13: Studi Kasus

- Pendidikan dan kapasitas menyerap inovasi Pendapatan & permintaan Pedesaan untuk barang & Jasa non pertanian

- Informasi terhadap metode produksi - Budaya modern - Gaya hidup yang konsumtif Pasar perbelanjaan non pertanian

Sumber: Douglass, (1996)

Adanya interaksi desa kota dapat dilihat dari homogenitas kehidupan desa yang

semakin berkurang, berubahnya mata pencaharian penduduk dari sektor pertanian ke

sektor industri dan jasa, berubahnya fungsi lahan pertanian untuk perumahan dan

industri, meningkatnya laju migrasi desa-kota dan komuter, meningkatnya tingkat

pendidikan dan kesejahteraan masyarakat, serta berubahnya fungsi desa sebagai

sumber bahan makanan dan sayuran.

Adanya interaksi desa-kota (rural-urban) bisa kita lihat dari berubahnya mata

pencaharian penduduk dari sektor pertanian ke sektor ekonomi, perdagangan, jasa dan

industri sangat terlihat sekali di Kecamatan perbatasan Kabupaten Deli Serdang. Bisa

juga interaksi desa-kota kita tunjukkan dari laju komuter, gejala ini bisa kita lihat pada

arus lalu lintas pada ruas-ruas jalan di daerah perbatasan wilayah Kecamatan

Kabupaten Deli Serdang dengan Kota Medan pada jam-jam sebelum dan sesudah

bekerja.

Terbatasnya luas lahan di Kota Medan, menyebabkan kebutuhan akan

perumahan masih belum bisa mencukupi. Kondisi ini menyebabkan masyarakat Kota

Medan cenderung untuk membangun perumahan di daerah pinggiran kota. Hal ini bisa

kita lihat dari banyaknya masyarakat Kota Medan yang membangun pemukiman di

perbatasan Kecamatan Kabupaten Deli Serdang.

Universitas Sumatera Utara

Page 14: Studi Kasus

Kondisi lahan dipinggiran kota yang relatif masih kosong dan harga masih

relatif murah dibanding pusat kota, mendorong perkembangan kota terutama

penggunaan lahan permukiman tersebar secara sporadis dibagian wilayah pinggiran

kota.

Faktor penyebab meningkatnya mobilitas tenaga kerja ke daerah perkotaan,

antara lain adanya kekuatan sentrifugal (centrifugal force), yakni kekuatan yang

mendorong seseorang untuk meninggalkan daerah asalnya karena desakan ekonomi

dan fasilitas pendidikan yang serba terbatas.

2.4. Tingkat Kesejahteraan Masyarakat

Menurut Todaro (1998), ada tiga komponen yang dapat diukur dari hakekat

pembangunan. Ketiga komponen itu adalah kecukupan (sustenance), jati diri (self-

esteem) serta kebebasan (freedom). Ketiga hal inilah yang merupakan tujuan pokok

yang harus dicapai oleh setiap orang dan masyarakat dalam proses pembangunan.

Ketiganya berkaitan secara langsung dengan kebutuhan-kebutuhan manusia yang

mendasar, yang terwujud dalam berbagai macam manifestasi (bentuk) di hampir

semua masyarakat dan budaya sepanjang zaman.

Selain bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pembangunan

juga berupaya menumbuhkan aspirasi dan tuntutan masyarakat untuk mewujudkan

kehidupan yang lebih baik. Salah satu akibat dari pembangunan yang hanya

menerapkan paradigma pertumbuhan semata, adalah munculnya kesenjangan antara

kaya dan miskin, serta pengangguran yang merajalela.

Universitas Sumatera Utara

Page 15: Studi Kasus

Tantangan utama pembangunan adalah untuk memperbaiki kehidupan.

Kualitas kehidupan yang lebih baik memang mensyaratkan adanya pendapatan yang

tinggi. Namun kiranya pendapatan bukanlah satu-satunya ukuran kesejahteraan.

Banyak hal lain yang tidak kalah pentingnya yang harus diperjuangkan, mulai dari

pendidikan, peningkatan standar kesehatan dan nutrisi, pemberantasan kemiskinan,

perbaikan kondisi lingkungan hidup, pemerataan kesempatan, pemerataan kebebasan

individual dan penyegaran kehidupan budaya.

Tingkat kesejahteraan masyarakat dapat dilihat dari berbagai komponen yang

dapat menggambarkan apakah masyarakat tersebut sudah berada pada kehidupan yang

sejahtera atau belum. Komponen yang dapat dilihat antara lain keadaan perumahan di

mana mereka tinggal, tingkat pendidikan, dan kesehatan. Badan Pusat Statistik (2000)

menyatakan bahwa komponen kesejahteraan yang dapat dipakai sebagai indikator

kesejahteraan masyarakat adalah kependudukan, tingkat kesehatan dan gizi

masyarakat, pendapatan masyarakat, tingkat pendidikan, ketenagakerjaan, taraf dan

pola konsumsi masyarakat, keadaan perumahan dan lingkungan, dan keadaan sosial

budaya.

Di samping komponen yang dikemukakan di atas, ada komponen lain yang

mempengaruhi tingkat kesejahteraan masyarakat misalnya luas kepemilikan lahan

(Djohar, 1999). Hal ini dimungkinkan karena dilihat dari segi ekonomi, lahan/tanah

merupakan earning asset yang dapat digunakan untuk menghasilkan pendapatan,

sedangkan dilihat dari segi sosial, lahan/tanah dapat menentukan status sosial

seseorang terutama di daerah pedesaan.

Universitas Sumatera Utara

Page 16: Studi Kasus

2.5. Dampak Interaksi terhadap Tingkat Kesejahteraan

Interaksi antar wilayah terjadi karena adanya keterkaitan sistem jaringan

transportasi, sosial, teknologi, politik, ekonomi dan institusi lainnya. Struktur

transportasi mempunyai peranan yang sangat penting dalam menunjang

pengembangan wilayah serta perangsang kegiatan ekonomi. Adanya jaringan jalan

dapat mempermudah pergerakan antara unit-unit simpul, sehingga dapat memperlancar

arus barang dan jasa. Lancarnya arus interaksi barang dan jasa akan meningkatkan

intensitas interaksi. Selanjutnya semakin tinggi intensitas interaksi, maka semakin

maju tingkat ekonomi masyarakat.

Tujuan pengembangan wilayah yang bersifat universal ialah peningkatan taraf

hidup atau mewujudkan kesejahteraan masyarakat yang semakin lama semakin baik.

Orang dikatakan sejahtera kalau dia dengan kekuatan sendiri dapat memenuhi

kebutuhan hidup, baik yang bersifat fisiologis atau biologis maupun kebutuhan sosial

psikologis, dengan kualitas, kuantitas dan intensitas yang memadai.

Suatu wilayah dapat dikembangkan apabila memiliki sumberdaya alam yang

dilengkapi dengan sumber daya manusia dengan tingkat pendidikan, tingkat

kebudayaan, teknologi dan modal yang cukup memadai untuk dapat mengolah dan

memanfaatkan sumberdaya alam yang tersedia guna kemakmuran dan kesejahteraan

rakyatnya.

Menyadari bahwa pembangunan selalu membawa dampak, baik positif maupun

negatif, maka diperlukan indikator-indikator untuk mengukur kinerja pembangunan.

Selama ini tingkat pendapatan perkapita banyak digunakan untuk mengukur kinerja

Universitas Sumatera Utara

Page 17: Studi Kasus

pembangunan, terutama pembangunan perekonomian suatu negara, namun hal itu

tidak cukup memberikan gambaran yang nyata tentang tingkat kesejahteraan

masyarakat.

Bintarto (1989) mengungkapkan bahwa biasanya yang menjadi indikator dalam

mengukur tingkat kesejahteraan adalah tingkat pendapatan per kapita, Produk Nasional

Bruto (Gross National Product), pertumbuhan ekonomi, keadaa nutrisi, kesehatan,

pendidikan dan kriteria-kriteria sosial untuk kesejahteraan.

2.6. Penelitian Sebelumnya

Wibiseno (2002) dalam penelitiannya “Kajian perubahan penggunaan lahan

Kecamatan Mranggen Kabupaten Demak sebagai kawasan pinggiran Kota Semarang”.

Hasil dari penelitian tersebut adalah Kecamatan Mranggen sebagai wilayah yang

berbatasan langsung dengan kota Semarang, memiliki potensi yang besar sebagai kota

baru yang mampu dipersiapkan sebagai kota penunjang, karena kawasan ini potensial

sebagai kawasan permukiman namun segala aktivitas ekonomi seperti mata

pencaharian dan belanja memilih pergi ke Kota Semarang.

Widodo (2002) melakukan penelitian interaksi wilayah dengan judul “Interaksi

Kecamatan di Wilayah pinggiran Metropolitin dengan Kota Induknya (studi kasus

Kecamatan Kaliwungu dan Kecamatan Boja dengan Kota Semarang)”. Hasil dari

penelitian tersebut adalah sebagai berikut: Perbaikan sarana dan prasarana jaringan

jalan terutama untuk Kecamatan Boja dan peningkatan kualitas dan perkuatan sarana

dan prasarana perekonomian. Serta penyediaan fasilitas sosial dan fasilitas umum yang

benar-benar sesuai kebutuhan.

Universitas Sumatera Utara

Page 18: Studi Kasus

Fuad (2005) melakukan studi dengan judul ‘Studi Faktor-faktor yang

mempengaruhi keterkaitan desa-kota (Studi kasus desa Purwosari dan desa Pasir)’.

Hasil dari studi ini adalah perlu diterapkan adanya pengembangan model keterkaitan

desa kota dan model jaringannya, perlu adanya peningkatan aspek efek penetesan

kebawah yang bisa dirasakan oleh rumah tangga pedesaan dengan membuka akses ke

fasilitas pelayanan umum dan pelayanan sosial serta perlu adanya peran dan fungsi

lapangan pekerjaan pertanian yang masih efektif, bukan justru mengubah lahan

pertanian produktif menjadi lahan aktifitas diluar pertanian

Suprapta (2006) dengan judul penelitian ‘Ketergantungan Wilayah Kecamatan

Mranggen terhadap Kota Semarang’. Tujuan yang dicapai dalam penelitian ini adalah

menganalisis pola interaksi wilayah perbatasan Kecamatan Mranggen dengan Kota

Semarang. Hasil penelitian secara keseluruhan terhadap keterkaitan pemanfaatan sosial

menunjukkan bahwa Kecamatan Mranggen masih sangat tergantung terhadap Kota

Semarang yang mempunyai kelengkapan fasilitas yang lebih baik. Hal ini terlihat dari

banyaknya responden (77,22%) yang memilih Kota Semarang sebagai tujuan

pendidikan SLTA dan 80,76% untuk tujuan Perguruan Tinggi. Begitu juga untuk

pelayanan kesehatan, khususnya Rumah Sakit yaitu sebesar 55,19% menyatakan

memilih Kota Semarang sebagai tujuannya. Pada keterkaitan fisik didapatkan hasil

bahwa secara umum akses yang menghubungkan Kecamatan Mranggen dengan Kota

Semarang dalam kondisi baik, begitu juga dengan kondisi jalan yang menghubungkan

antar desa ke Desa Mranggen kecuali jalan yang menghubungkan Desa Batursari

dengan Desa Mranggen. Kondisi jalan yang buruk memberikan implikasi pada

Universitas Sumatera Utara

Page 19: Studi Kasus

terhambatnya produktivitas masyarakat. Sedangkan pada keterkaitan ekonomi adanya

hubungan timbal balik yang kuat antar kedua wilayah yang antara lain diindikasikan

dengan adanya aliran komoditas pertanian dan non pertanian yang mengalir secara dua

arah.

Kurniawan dan Pandria (2008) dalam penelitiannya “Pengaruh Pergerakan

Penduduk Terhadap Keterkaitan Desa-Kota Kecamatan Karangawen dan Kecamatan

Grobogan”, hasil temuan studi di Kecamatan Karangawen menunjukkan bahwa

pendapatan rumah tangga komuter mengalami kenaikan dan pemanfaatannya lebih

banyak untuk konsumsi produktif dengan konsentrasi lebih ke arah lokal. Perputaran

uang yang terjadi dari hasil konsumsi yang dilakukan rumah tangga komuter akan

meningkatkan akumulasi kapital yang seterusnya dapat meningkatkan pertumbuhan

ekonomi wilayah perdesaan. Dalam kaitannya dengan aspek lahan, komutasi yang

terjadi secara umum menunjukkan perubahan ke arah positif dilihat dari adanya

sedikit peningkatan penggunaan alat-alat pertanian untuk pengolahan lahan pertanian.

Pengaruh terhadap aliran tenaga kerja dari adanya komutasi saat ini dapat mengurangi

pengangguran di desa, akan tetapi dengan karakteristik komutasi wilayah studi

Kecamatan Karangawen dimana cenderung lebih banyak sumber daya manusia

berkualitas yang terserap ke kota, akan menjadikan desa semakin kekurangan sumber

daya manusia berkualitas.

Sementara itu, di Kecamatan Grobogan menunjukkan bahwa adanya aliran

uang dalam bentuk balas jasa faktor produksi tenaga kerja dari kota menyebabkan

terjadinya peningkatan ekonomi pada rumah tangga migran. Namun hal tersebut

Universitas Sumatera Utara

Page 20: Studi Kasus

bersifat semu, karena konsumsi rumah tangga didominasi oleh pengeluaran non-

produktif dan terjadi kecenderungan aliran pemanfaatan pendapatan rumah tangga

migran lebih banyak terserap menuju ke kota secara nominal. Akibatnya tidak terjadi

akumulasi kapital bagi rumah tangga maupun wilayah desa yang berguna bagi proses

pembangunan. Lebih lanjut, secara keseluruhan adanya aliran uang dari proses migrasi

penduduk hanya memberikan perubahan yang kecil dalam aspek pemanfaatan lahan.

Adanya perubahan yang terlihat hanya sebatas bertambahnya luas penguasaan lahan

dalam persentase yang kecil. Sedangkan pada aspek aliran tenaga kerja terjadi

kecenderungan brain drain. Desa asal terancam kehilangan tenaga kerja produktif

untuk mengelola perekonomian desa, sehingga beresiko menyebabkan terhambatnya

pertumbuhan wilayah desa.

Penelitian-penelitian interaksi desa kota tersebut di atas hanya mendeskripsikan

bagaiman pola dan sifat interaksi desa kota yang terjadi di lokasi penelitian.

Sedangkan pengaruh interaksi desa kota terhadap pendapatan masyarakat yang

melakukan interaksi dan yang tidak melakukan interaksi serta faktor-faktor yang

mempengaruhi masyarakat dalam berinteraksi belum diteliti.

Dalam penelitian ini dicoba menganalisis interaksi desa kota terhadap tingkat

kesejahteraan masyarakat di Kabupaten Deli Serdang yang dilihat dari pendapatan

masyarakat yang melakukan berinteraksi dan yang tidak melakukan interaksi, dan

faktor-faktor yang mempengaruhi masyarakat dalam berinteraksi.

2.7. Kerangka Pemikiran

Universitas Sumatera Utara

Page 21: Studi Kasus

Kerangka pikir dalam studi penelitian ini dilatar belakangi adanya

perkembangan Kecamatan di Kabupaten Deli Serdang yang bersifat pedesaan sekarang

telah menjadi perkotaan. Hal ini disebabkan adanya pergeseran penduduk Kota Medan

ke wilayah perbatasan, karena lahan yang ada di Kota Medan sangat langka terutama

dipusat kota, ini akibat dari tingginya tingkat urbanisasi dan perkembangan

permukiman secara sporadis. Kondisi tersebut sebagai faktor pendorong adanya

pergeseran penduduk Kota Medan ke wilayah perbatasan, yang juga mengakibatkan

kecenderungan pergeseran aktivitas perkotaan ke daerah pinggiran kota yang melewati

batas administrasinya. Maka melihat perkembangan yang terjadi di wilayah

Kecamatan Kabupaten Deli Serdang tersebut diindikasikan terjadi interaksi wilayah

perbatasan Kecamatan Kabupaten Deli Serdang dengan Kota Medan.

Beberapa hal yang nampak atau terjadi yaitu perubahan tata guna lahan dari

pertanian ke non pertanian, berubahnya mata pencaharian penduduk dari sektor

pertanian ke sektor non pertanian serta adanya laju commuter yang disebabkan

banyaknya penduduk yang beraktivitas di Kota Medan semakin meningkat seiring

pertumbuhan ekonomi kota, padahal penduduk tersebut tinggal (bermukim) di wilayah

perbatasan. Sedangkan di Kota Medan semakin sulit mencari lahan kosong baik untuk

perumahan maupun untuk kegiatan ekonomi. Sehingga penduduk Kota Medan

cenderung mencari permukiman di daerah perbatasan dikarenakan harga lahan masih

relatif murah dan masih banyak lahan yang kosong.

Dengan melihat fenomena yang ada, maka studi penelitian ini bermaksud ingin

melihat secara lebih dalam bagaimana pola interaksi wilayah perbatasan Kabupaten

Universitas Sumatera Utara

Page 22: Studi Kasus

Deli Serdang dengan Kota Medan, dilihat dari tiga keterkaitan yaitu pendapatan,

aktivitas penduduk dan faktor-faktor masyarakat melakukan interaksi sebagai upaya

penduduk desa perbatasan meningkatkan kesejahteraan. Aktivitas penduduk dilihat

dari tingkat interaksi desa-kota. Untuk memberi gambaran yang lebih jelas, dapat

dilihat pada Gambar 2.1

Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran Penelitian

2.8. Hipotesis

Kecamatan

Interaksi

Pendapatan

Kabupaten Deli Serdang

Kota Medan

Kesejahteraan Masyarakat Kabupaten Deli Serdang

Aktivitas Penduduk Faktor-faktor

Kecamatan

Universitas Sumatera Utara

Page 23: Studi Kasus

1. Pendapatan masyarakat Kabupaten Deli Serdang yang melakukan interaksi akan

meningkatkan kesejahteraan.

Jumlah penduduk dan jarak wilayah mempengaruhi tingkat interaksi antara desa dan

kota dalam mendukung aktivitas penduduk.

Universitas Sumatera Utara