struktur komunitas lamun di perairan muara binuangeun

20
Struktur Komunitas Lamun di Perairan Muara Binuangeun, Kabupaten Lebak, Banten Tety Ariska 1 , Titi Soedjiarti 1 1 Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia, Kampus UI Depok, Depok, 16424, Indonesia [email protected] Abstrak Penelitian mengenai struktur komunitas lamun di perairan Muara Binuangeun, Banten, telah dilakukan pada tanggal 6--9 November 2015. Penelitian bertujuan untuk mengetahui struktur komunitas lamun yang mencakup persentase tutupan, frekuensi, kerapatan, indeks nilai kepentingan, indeks keanekaragaman, indeks kemerataan, dan indeks dominansi pada setiap stasiun di Muara Binuangeun. Penentuan lokasi pengambilan sampel dilakukan secara purposive sampling. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah jenis lamun yang diperoleh di Muara Binuangeun sebanyak 3 jenis dari 2 suku. Persentase tutupan lamun di setiap stasiun berkisar antara 28,40--61,60%. Kerapatan lamun di setiap stasiun berkisar antara 637--1655 individu/m 2 . Jenis Thalassia hemprichii memiliki frekuensi tertinggi berkisar 86,67--100%, sedangkan Halodule uninervis merupakan jenis dengan frekuensi terendah berkisar 6,67--20%. Thalassia hemprichii memiliki indeks nilai kepentingan tertinggi di Muara Binuangeun berkisar 138--300%, sedangkan Halodule uninervis memiliki indeks nilai kepentingan terendah yang berkisar antara 4--12%. Nilai indeks keanekaragaman di Muara Binuangeun tergolong rendah berkisar antara 0--0,73, dengan nilai indeks dominansi yang tergolong tinggi pada stasiun 1 dan 2 (1,00), tergolong sedang pada stasiun 3 (0,53) dan tergolong rendah pada stasiun 4 (0,49). Nilai indeks kemerataan pada stasiun 1 dan 2 yang tergolong rendah (0), serta stasiun 3 (0,63) dan 4 (0,67) yang tergolong tinggi. Secara umum, struktur komunitas lamun pada lokasi penelitian tergolong tidak stabil karena tingkat keanekaragaman dan kemerataan yang rendah serta tingkat dominansi yang tinggi. Community Structure of Seagrass in Waters of Muara Binuangeun, Lebak Regency, Banten Abstract Research on community structure of seagrass in waters of Muara Binuangeun, Banten, was conducted on November 6 th -- November 9 th , 2015. The study aims to determine the community structure of seagrass which includes diversity, cover percentage, frequency, density, importance values, diversity index, evenness index, and dominance index at all of station in Muara Binuangeun. The location of sampling was determined by purposive sampling. The results showed that there are 3 species of seagrass from 2 family in Muara Binuangeun. Percentage seagrass covering in each station ranged from 28,40--61,60%. Seagrass density at each station ranged from 637--1655 individuals/m 2 . Thalassia hemprichii is the highest frequency (86,67--100%), while Halodule uninervis is the lowest frequency (6,67--20%). Thalassia hemprichii has the highest importance index in Muara Binuangeun (138--300%), while Halodule uninervis has the lowest importance index(4--12%.). The diversity index value in Muara Binuangeun was considered as low (0--0,73), with the dominance index value was high at stations 1 and 2 (1,00), was moderate at station 3 (0,53) and was low in station 4 (0,49). Evenness index values at stations 1 and 2 were considered as low (0), was moderate at station 3 (0,63) and was high at station 4 (0,67). In general, the community structure of seagrass in Muara Binuangeun is unstable because of the diversity and evenness were low, and also dominance were high. Keywords: community structure, Muara Binuangeun, seagrass Struktur komunitas ..., Tety Ariska, FMIPA UI, 2016

Upload: others

Post on 16-Oct-2021

7 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Struktur Komunitas Lamun di Perairan Muara Binuangeun

Struktur Komunitas Lamun di Perairan Muara Binuangeun, Kabupaten Lebak, Banten

Tety Ariska1, Titi Soedjiarti1

1Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas

Indonesia, Kampus UI Depok, Depok, 16424, Indonesia

[email protected]

Abstrak

Penelitian mengenai struktur komunitas lamun di perairan Muara Binuangeun, Banten, telah dilakukan pada tanggal 6--9 November 2015. Penelitian bertujuan untuk mengetahui struktur komunitas lamun yang mencakup persentase tutupan, frekuensi, kerapatan, indeks nilai kepentingan, indeks keanekaragaman, indeks kemerataan, dan indeks dominansi pada setiap stasiun di Muara Binuangeun. Penentuan lokasi pengambilan sampel dilakukan secara purposive sampling. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah jenis lamun yang diperoleh di Muara Binuangeun sebanyak 3 jenis dari 2 suku. Persentase tutupan lamun di setiap stasiun berkisar antara 28,40--61,60%. Kerapatan lamun di setiap stasiun berkisar antara 637--1655 individu/m2. Jenis Thalassia hemprichii memiliki frekuensi tertinggi berkisar 86,67--100%, sedangkan Halodule uninervis merupakan jenis dengan frekuensi terendah berkisar 6,67--20%. Thalassia hemprichii memiliki indeks nilai kepentingan tertinggi di Muara Binuangeun berkisar 138--300%, sedangkan Halodule uninervis memiliki indeks nilai kepentingan terendah yang berkisar antara 4--12%. Nilai indeks keanekaragaman di Muara Binuangeun tergolong rendah berkisar antara 0--0,73, dengan nilai indeks dominansi yang tergolong tinggi pada stasiun 1 dan 2 (1,00), tergolong sedang pada stasiun 3 (0,53) dan tergolong rendah pada stasiun 4 (0,49). Nilai indeks kemerataan pada stasiun 1 dan 2 yang tergolong rendah (0), serta stasiun 3 (0,63) dan 4 (0,67) yang tergolong tinggi. Secara umum, struktur komunitas lamun pada lokasi penelitian tergolong tidak stabil karena tingkat keanekaragaman dan kemerataan yang rendah serta tingkat dominansi yang tinggi.

Community Structure of Seagrass in Waters of Muara Binuangeun, Lebak Regency, Banten

Abstract

Research on community structure of seagrass in waters of Muara Binuangeun, Banten, was conducted on November 6th -- November 9th, 2015. The study aims to determine the community structure of seagrass which includes diversity, cover percentage, frequency, density, importance values, diversity index, evenness index, and dominance index at all of station in Muara Binuangeun. The location of sampling was determined by purposive sampling. The results showed that there are 3 species of seagrass from 2 family in Muara Binuangeun. Percentage seagrass covering in each station ranged from 28,40--61,60%. Seagrass density at each station ranged from 637--1655 individuals/m2. Thalassia hemprichii is the highest frequency (86,67--100%), while Halodule uninervis is the lowest frequency (6,67--20%). Thalassia hemprichii has the highest importance index in Muara Binuangeun (138--300%), while Halodule uninervis has the lowest importance index(4--12%.). The diversity index value in Muara Binuangeun was considered as low (0--0,73), with the dominance index value was high at stations 1 and 2 (1,00), was moderate at station 3 (0,53) and was low in station 4 (0,49). Evenness index values at stations 1 and 2 were considered as low (0), was moderate at station 3 (0,63) and was high at station 4 (0,67). In general, the community structure of seagrass in Muara Binuangeun is unstable because of the diversity and evenness were low, and also dominance were high.

Keywords: community structure, Muara Binuangeun, seagrass

Struktur komunitas ..., Tety Ariska, FMIPA UI, 2016

Page 2: Struktur Komunitas Lamun di Perairan Muara Binuangeun

Pendahuluan

Indonesia memiliki kekayaan sumberdaya alam yang potensial, salah satunya yaitu

padang lamun. Indonesia memiliki padang lamun dengan luas sekitar 30.000 km2 (Green &

Short 2003: 171). Jenis lamun pada suatu padang lamun dapat bervariasi, dipengaruhi oleh

faktor lingkungan perairan antara lain seperti suhu, arus, jenis substrat, dan salinitas (Borum

dkk. 2004: 19). Selain itu faktor lingkungan tersebut juga akan memengaruhi struktur

komunitas lamun dan biota laut yang berasosiasi dengan lamun, sehingga dapat ditemukan

struktur komunitas yang berbeda-beda di berbagai tempat (Wisnubudi & Wahyuningsih

2012: 6).

Keberadaan padang lamun memiliki peran yang sangat penting dalam ekosistem yaitu

sebagai produsen primer, sumber makanan bagi berbagai jenis hewan laut, habitat bagi biota

laut, pelindung pantai dari erosi dan abrasi, penangkap sedimen yang terbawa air laut, daerah

asuhan, dan tempat berpijah bagi hewan laut (Efendi 2008: 143--144). Meskipun memiliki

peran yang penting dalam ekosistem, aktivitas manusia dan kejadian alam dapat mengancam

keberadaan ekosistem lamun di alam.

Menurut Mimura (2008: 132) sekitar 35% dari total padang lamun yang ada di

Indonesia mengalami kerusakan dan 60% dari total kerusakan terdapat di sekitar Pulau Jawa.

Kerusakan padang lamun umumnya terjadi karena faktor alam dan manusia. Badai, gempa

bumi, dan interaksi komunitas seperti grazing merupakan beberapa contoh faktor alam yang

dapat mengakibatkan kerusakan padang lamun. Sedangkan perubahan kualitas dan kekeruhan

air yang diakibatkan oleh nutrien yang menumpuk, sedimen yang terbawa arus sungai dan

pembuangan limbah merupakan dampak dari kegiatan manusia yang dapat merusak habitat

lamun. Selain itu pengerukan sedimen pantai, reklamasi pantai, dan penggunaan alat tangkap

berbahaya juga merupakan faktor aktivitas manusia yang dapat merusak habitat lamun (Short

& Echeverria 1996: 17).

Perairan Asia Tenggara memiliki 20 jenis lamun dan 12 diantaranya terdapat di

perairan Indonesia yang terdiri atas tujuh marga. Selain 12 jenis lamun yang sudah ditemukan

di Indonesia, ditemukan lamun jenis baru Halophila sulawesii (Kuo 2007: 171) dan juga

terdapat herbarium lamun Ruppia maritima dan Halophila beccarii di Museum Botani, Bogor

(Kiswara 2009 lihat Rustam dkk. 2014: 4). Penyebaran padang lamun di Indonesia cukup

luas, mencakup hampir seluruh perairan Nusantara yang meliputi Jawa, Nusa Tenggara,

Kalimantan, Maluku, Sumatera, Bali, Sulawesi, dan Irian Jaya (Efendi 2008: 155).

Struktur komunitas ..., Tety Ariska, FMIPA UI, 2016

Page 3: Struktur Komunitas Lamun di Perairan Muara Binuangeun

Perairan Muara Binuangeun dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar untuk kegiatan

perikanan seperti mencari ikan, lobster, dan lain-lain. Muara Binuangeun terletak di Desa

Muara, Kecamatan Wanasalam, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten bagian selatan Pulau

Jawa. Daerah tersebut memiliki ekosistem yang beragam, salah satunya adalah ekosistem

padang lamun. Padang lamun di daerah tersebut diperkirakan sebagai tempat pemijahan dan

pembesaran bagi biota laut, termasuk perikanan bernilai ekonomis. Namun, terdapat ancaman

bagi ekosistem padang lamun di perairan tersebut berupa penambangan pasir, meskipun

aktivitas penambangan sudah tidak dilakukan.

Mengingat 60% dari total kerusakan padang lamun di Indonesia terdapat di Pulau

Jawa (Mimura 2008: 132), serta pentingnya ekosistem padang lamun bagi kehidupan

masyarakat dan lingkungan, sehingga perlu dilakukan penelitian mengenai struktur komunitas

lamun di perairan Muara Binuangeun. Penelitian mengenai struktur komunitas lamun di

perairan Muara Binuangeun diharapkan dapat menjadi data awal untuk pengembangan

penelitian dan pelestarian ekosistem padang lamun di Perairan Muara Binuangeun

dikarenakan belum ada data ilmiah tentang padang lamun di Muara Binuangeun. Penelitian

ini bertujuan untuk mengetahui struktur komunitas lamun di Muara Binuangeun yang

mencakup persentase tutupan, frekuensi jenis, kerapatan jenis, indeks nilai kepentingan,

indeks keanekaragaman, indeks kemerataan, dan indeks dominansi.

Tinjauan Teoritis

Lamun merupakan tumbuhan vaskular berbunga (Angiospermae) yang terdapat pada

perairan pesisir, estuari, karang, dan laut hingga kedalaman tertentu (Chin 2005: 1). Terdapat

sekitar 60 jenis lamun di dunia (Denny & Gaines 2007: 494) yang terdiri atas dua suku yaitu

suku Potamogetonacea dan suku Hydrocharitacea (Den Hartog 1970; Phillips & Menez 1988

lihat Azkab 1999: 1). Lamun memiliki struktur seperti tumbuhan darat pada umumnya yaitu

akar, batang, daun, bunga, dan buah (Azkab 1999:1 ).

Padang lamun tumbuh dengan variasi tipe vegetasi yang dibagi menjadi 3 kelompok

yaitu padang lamun vegetasi monospesifik (monospesific seagrass beds) yang hanya terdiri

dari 1 jenis lamun, padang lamun vegetasi asosiasi 2 atau 3 jenis lamun, dan padang lamun

vegetasi campuran (mixed seagrass beds) yang terdiri atas 4 atau lebih jenis lamun (Green &

Short 2003: 171; Brouns & Heijs 1991 lihat Mahfud 2012: 4). Padang lamun merupakan

ekosistem yang sangat produktif dan dinamis. Ekosistem ini menyediakan habitat, tempat

asuhan bagi hewan laut, menstabilkan substrat, dan mendaur ulang nutrien.

Struktur komunitas ..., Tety Ariska, FMIPA UI, 2016

Page 4: Struktur Komunitas Lamun di Perairan Muara Binuangeun

Dari 60 jenis lamun yang ada di dunia (Denny & Gaines 2007: 494), terdapat 12 jenis

lamun yang ditemukan di Indonesia yaitu Syringodium isoetifolium, Halophila ovalis,

Halophila spinulosa, Halophila minor, Halophila decipiens, Halodule pinifolia, Halodule

uninervis, Thalassodendron ciliatum, Cymodocea rotundata, Cymodocea serrulata, Thalassia

hemprichii, dan Enhalus acoroides (Kiswara 2009 lihat Rustam dkk. 2014: 4; Setyobudiandi

dkk. 2009 lihat Yusuf 2014: 9--10). Selain 12 jenis lamun tersebut, Halophila sulawesii

merupakan jenis lamun baru yang terdapat di Kepulauan Spermonde barat daya Sulawesi

(Kuo 2007: 171). Sedangkan, jenis Ruppia maritima dan Halophila beccarii tidak ditemukan

secara langsung di Perairan Indonesia dan hanya berupa herbarium di Museum Botani, Bogor

(Kiswara 2009 lihat Rustam dkk. 2014: 4). Jenis lamun Thalassendron ciliatum mempunyai

sebaran yang terbatas yaitu di wilayah Indonesia bagian timur, sedangkan Halophila

spinulosa terdapat di daerah Riau, Anyer, Baluran, dan Irian Jaya. Jenis lamun Halophila

decipiens ditemukan di Teluk Jakarta, Teluk Moti-moti (Sumbawa), dan Kepulauan Aru (Den

Hartog 1970 lihat Azkab 1999:1).

Lamun dalam suatu wilayah akan membentuk struktur komunitas lamun yang akan

dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti ketersediaan energi, interaksi berbagai spesies, dan

faktor lingkungan. Faktor lingkungan yang memengaruhi keberadaan lamun yaitu faktor

fisika seperti intensitas cahaya, arus, substrat, suhu, dan oksigen terlarut, serta faktor kimia

seperti salinitas dan derajat keasaman (pH) (Borum dkk. 2004: 19). Batas toleransi terhadap

faktor abiotik lingkungan tersebut akan memengaruhi besarnya populasi dan komunitas di

suatu perairan (Nybakken 1988: 27--28). Selain itu, faktor lingkungan juga memengaruhi

komposisi dan adaptasi suatu populasi dalam suatu komunitas (Nybakken 1988: 22). Oleh

karena itu, suatu struktur komunitas biasanya memiliki komposisi spesies yang khas dimana

beberapa spesies memiliki jumlah yang berlimpah dan sebagian besar spesies yang lain

memiliki jumlah yang sedikit. Spesies yang jumlahnya berlimpah (dominan) biasanya

digunakan sebagai spesies khas pada suatu komunitas (Nybakken 1988: 26).

Metode Penelitian

Lokasi pengambilan sampel lamun, substrat lamun, dan data lapangan dilakukan di

Muara Binuangeun yang secara administratif berada di Desa Muara, Kecamatan Wanasalam,

Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Pengidentifikasian jenis lamun, pengukuran partikel

substrat, serta pengolahan data dilakukan di Laboratorium Biologi Laut, Departemen Biologi,

Struktur komunitas ..., Tety Ariska, FMIPA UI, 2016

Page 5: Struktur Komunitas Lamun di Perairan Muara Binuangeun

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, Depok. Penelitian

dilaksanakan tanggal 6--9 November 2015.

Peralatan yang digunakan saat pengambilan data di lapangan adalah transek, kuadrat

berukuran 50 cm x 50 cm, batu apung yang diikat pada tali sepanjang 1 m, kantung sampel,

sekop kecil, sarung tangan, kamera digital [Canon IXUS 160], DO meter [Lutron], plastik zip-

lock, papan jalan, pensil, luxmeter [Lutron tipe LX-100], waterproof paper, termometer,

refraktometer [Atago], GPS [Garmin], dan indikator pH [Merck]. Sedangkan peralatan yang

digunakan di laboratorium, antara lain sieve net, timbangan digital, oven, mortar, alat tulis,

kamera digital [Canon IXUS 160], buku identifikasi lamun (El Shaffai 2011: 12--50). Bahan-

bahan yang digunakan yaitu sampel lamun, substrat lamun, air laut, dan formalin 40%.

Penentuan lokasi pengambilan sampel dilakukan secara purposive sampling.

Pengambilan sampel dilakukan saat air laut surut dengan metode line transect quadrat

(kuadrat transek garis). Terdapat 4 stasiun pengamatan yang terdiri atas 3 transek sebagai

ulangan dengan jarak antar transek 20 m. Transek ditarik sepanjang 50 m tegak lurus terhadap

garis pantai menuju arah laut. Setiap transek terdiri atas 5 titik kuadrat dengan jarak antar titik

10 m. Kuadrat yang digunakan berukuran 50 cm x 50 cm yang terbagi dalam kotak-kotak

kecil sebanyak 25 kotak kecil berukuran 10 cm x 10 cm.

Identifikasi lamun langsung dilakukan menggunakan lembar identifikasi lamun.

Pengamatan tutupan jenis lamun dilakukan dengan melakukan estimasi persentase luas

tutupan jenis lamun pada setiap kuadrat pengamatan menggunakan metode yang

dikembangkan oleh Saito dan Atobe 1970 (lihat Yulianto 2007 : 29--30) yaitu dengan

meletakkan kuadrat berukuran 50 cm x 50 cm yang terbagi dalam kotak – kotak kecil

sebanyak 25 kotak kecil berukuran 10 cm x 10 cm pada substrat yang ditumbuhi lamun,

kemudian dilakukan klasifikasi persen penutupan jenis lamun yang dikalibrasi menggunakan

tabel klasifikasi persen tutupan berdasarkan kelas kehadiran jenis lamun dengan cara melihat

substrat yang tertutup lamun pada setiap kotak – kotak kecil tersebut.

Selain itu menghitung jumlah tegakan/tunas tiap jenis pada kotak dan dicatat. Data

lapangan tersebut juga digunakan untuk menghitung rumus – rumus lain yang dibutuhkan

untuk mengetahui struktur komunitas yang mencakup frekuensi jenis, kerapatan jenis, indeks

nilai kepentingan, indeks keanekaragaman, indeks kemerataan, dan indeks dominansi. Setiap

kuadrat didokumentasikan menggunakan kamera digital dan sampel lamun diambil.

Pengambilan sampel lamun dilakukan dengan cara menggali lamun dalam kuadrat 50 cm x 50

cm menggunakan sekop kecil sedalam ± 10 cm agar lamun dapat terambil dengan akarnya.

Struktur komunitas ..., Tety Ariska, FMIPA UI, 2016

Page 6: Struktur Komunitas Lamun di Perairan Muara Binuangeun

Sampel-sampel tersebut selanjutnya disimpan di dalam kantung sampel yang telah

berisi air laut 225 ml, dan diberi 25 ml formalin 40%, sehingga didapatkan konsentrasi larutan

4% (Kepel & Baulu 2011: 28). Kantung sampel tersebut diberi label dengan informasi nomor

stasiun penelitian, nomor transek, nomor kuadrat, dan tanggal pengambilan sampel untuk

selanjutnya diidentifikasi di Laboratorium Biologi Kelautan FMIPA Universitas Indonesia.

Substrat lamun pada dasar perairan diambil satu sampel pada setiap transek.

Pengambilan substrat dasar perairan dilakukan menggunakan sekop kecil. Substrat yang

terangkat dimasukkan ke dalam kantung sampel, kemudian diberi label dengan informasi

nomor stasiun penelitian dan nomor transek untuk selanjutnya dianalisis di Laboratorium

Biologi Kelautan FMIPA Universitas Indonesia.

Sampel substrat dibersihkan dari kotoran dan lamun yang menempel, kemudian

dikeringkan dalam oven pada suhu 250oC selama 5 jam sampai beratnya stabil. Setelah berat

sampel stabil, sampel ditumbuk menggunakan mortar. Kemudian sampel ditimbang sebagai

berat awal, lalu diayak menggunakan sieve net yang tersusun secara berurutan dengan mesh

size 4 mm; 2,36 mm; 1,7 mm; 1,18 mm; dan 600 µm. Sampel yang sudah terpisah pada setiap

sieve net ditimbang dan diklasifikasikan dengan kriteria > 4 mm adalah batu dan kerikil, 4--

2,36 mm adalah kerikil sangat halus, 2,36--1,7 mm adalah pasir sangat kasar dan kerikil

sangat halus, 1,7--1,18 mm adalah pasir sangat kasar, 1,18 mm -- 600 µm adalah pasir kasar,

serta < 600 µm adalah pasir dan lumpur. Kriteria tersebut berdasarkan skala Udden-

Wentworth yang disesuaikan dengan size mesh yang digunakan (Nichols 2009: 7).

Hasil Penelitian dan Pembahasan

Parameter Fisika Kimia di Perairan Muara Binuangeun

Keberadaan lamun dipengaruhi oleh paramater fisika kimia lingkungan di perairan

tersebut, seperti intensitas cahaya, arus, suhu, salinitas, oksigen terlarut, derajat keasaman

(pH), dan substrat (Borum dkk. 2004: 19). Rerata data parameter lingkungan dari keempat

stasiun penelitian dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Rerata Data Parameter Fisika Kimia Perairan dari 4 Stasiun

Parameter Stasiun 1 2 3 4

Suhu (oC) 31,73 32,23 33,66 31,38 pH 8,37 8,30 8,37 8,30

DO (ppm) 8,82 8,18 7,90 7,85 Intensitas Cahaya (lux) 81670 77370 64700 60300

Struktur komunitas ..., Tety Ariska, FMIPA UI, 2016

Page 7: Struktur Komunitas Lamun di Perairan Muara Binuangeun

Salinitas (‰) 35,00 34,67 35,00 33,67 Kecepatan arus (m/s) <0,006 <0,006 <0,006 <0,006

Substrat Lamun

Substrat merupakan faktor yang memengaruhi keberadaan lamun di suatu wilayah.

Hasil analisis substrat setiap stasiun berdasarkan skala Udden-Wentworth menunjukkan

bahwa substrat di stasiun 1 didominansi oleh batu dan kerikil besar yang memiliki ukuran

partikel lebih besar dari 4 mm. Sedangkan stasiun 2, 3, dan 4 didominansi oleh substrat pasir

dan lumpur yang memiliki ukuran partikel kurang dari 600 µm. Diagram persentase substrat

pada setiap stasiun dapat dilihat pada Gambar 1 dan 2.

 Batu dan kerikil besar Kerikil kecil Pasir sangat kasar dan kerikil kecil

Pasir sangat kasar Pasir kasar Pasir dan lumpur Gambar 1. Diagram persentase substrat pada stasiun 1 dan 2

 Batu dan kerikil besar Kerikil kecil Pasir sangat kasar dan kerikil kecil

Pasir sangat kasar Pasir kasar Pasir dan lumpur Gambar 2. Diagram persentase substrat pada stasiun 3 dan 4

Secara umum lamun tumbuh pada substrat yang memiliki ukuran partikel kecil seperti

lumpur, pasir, dan kerikil kecil. Akar dan rhizome lamun akan mudah tumbuh memanjang

31%

8% 5%

8%

29%

19% 25%

5%

5%

5%

17%

43%

24%

4%

2% 3%

9% 58%

18%

7% 6%

6% 10%

53%

Stasiun 1 Stasiun 2

Stasiun 3 Stasiun 4

Struktur komunitas ..., Tety Ariska, FMIPA UI, 2016

Page 8: Struktur Komunitas Lamun di Perairan Muara Binuangeun

dengan cepat pada substrat dengan ukuran partikel kecil (Borum dkk. 2004: 20). Namun

setiap jenis lamun memiliki jenis substrat yang lebih mendukung untuk tumbuh. Lamun jenis

Thalassia hemprichii dapat bertahan hidup pada hampir semua jenis substrat, namun lebih

menyukai tumbuh pada substrat yang lebih kasar, seperti pasir kasar dengan debu pecahan

cangkang dan karang (Green & Short 2003: 69). Halodule uninervis banyak tumbuh pada

substrat pasir, pasir lumpur, dan lumpur (Vibol dkk. 2010: 117). Cymodocea rotundata

banyak tumbuh pada substrat pasir berlumpur (Green & Short 2003: 144).

Persen Tutupan, Frekuensi, dan Kerapatan Jenis Lamun

Padang lamun di Muara Binuangeun memiliki 3 jenis lamun yaitu Thalassia

hemprichii, Cymodocea rotundata, dan Halodule uninervis. Thalassia hemprichii termasuk ke

dalam suku Hydrocharitaceae, sedangkan Cymodocea rotundata, dan Halodule uninervis

merupakan suku Potamogetonaceae. Jenis lamun yang terdapat di Muara Binuangeun berbeda

di masing-masing stasiun. Padang lamun di stasiun penelitian 1 dan 2 terdiri atas 1 jenis

lamun yaitu Thalassia hemprichii. Sedangkan padang lamun di stasiun penelitian 3 dan 4

terdiri atas 3 jenis lamun yaitu Thalassia hemprichii, Cymodocea rotundata, dan Halodule

uninervis.

Ketiga lamun yang ditemukan di Muara Binuangeun memiliki ciri identifikasi yang

berbeda. Menurut El Shaffai (2011: 48--50) lamun Thalassia hemprichii memiliki daun

berbentuk pita yang sedikit melengkung serta memiliki rhizome yang tebal dan ditutupi oleh

scars berbentuk segitiga. Cymodocea rotundata memiliki ujung daun membulat, terkadang

terlihat seperti hati. Rhizome halus dan tanpa scars El Shaffai (2011: 13--15). Halodule

uninervis memiliki ujung daun dengan 3 ujung melancip yang disebut teeth, membentuk

trisula. Serta memiliki rhizome yang halus El Shaffai (2011: 22--24). Ciri-ciri tersebut sesuai

dengan lamun yang terdapat di Muara Binuangeun.

Berdasarkan hasil penelitian analisis struktur komunitas pada keempat stasiun

didapatkan setiap stasiun memiliki persen penutupan, frekuensi, dan kerapatan jenis lamun

yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut dapat diakibatkan oleh faktor lingkungan dan kondisi

lingkungan. Data persen persen penutupan, frekuensi, dan kerapatan jenis lamun dapat dilihat

pada Tabel 2, 3, dan 4.

Struktur komunitas ..., Tety Ariska, FMIPA UI, 2016

Page 9: Struktur Komunitas Lamun di Perairan Muara Binuangeun

Tabel 2. Persen Penutupan Jenis Lamun pada 4 Stasiun Penelitian

No Jenis Penutupan (%) Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4

1 Thalassia hemprichii 28,40 41,53 31,46 31,76 2 Cymodocea rotundata 0,00 0,00 28,36 28,96 3 Halodule uninervis 0,00 0,00 0,38 0,88

Total 28,40 41,53 60,20 61,60 Tabel 3. Frekuensi Jenis Lamun pada 4 Stasiun Penelitian

No Jenis Frekuensi jenis (%) Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4

1 Thalassia hemprichii 86,67 100 100 86,67 2 Cymodocea rotundata 0 0 100 100 3 Halodule uninervis 0 0 6,67 20

Tabel 4. Kerapatan Jenis Lamun pada 4 Stasiun Penelitian

No Jenis Kerapatan jenis (individu/m2) Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4

1 Thalassia hemprichii 637 998 652 525 2 Cymodocea rotundata 0 0 998 649 3 Halodule uninervis 0 0 5 11

Total 637 998 1655 1185

Stasiun penelitian 1 didapatkan padang lamun yang tumbuh monospesifik atau hanya

terdapat 1 jenis lamun yaitu Thallasia hemprichii. Thallasia hemprichii yang tumbuh pada

stasiun 1 memiliki persen penutupan total 28,40% dengan kerapatan 637 individu/m2. Jumlah

tersebut merupakan jumlah terkecil dari tiga stasiun penelitian lain. Berdasarkan Keputusan

Menteri Negara Lingkungan Hidup No.200 (2004: 6), status padang lamun di stasiun 1

tergolong miskin (≤ 29,9%). Hal tersebut dapat dikarenakan faktor substrat dan intensitas

cahaya pada stasiun 1. Substrat pada stasiun 1 didominansi oleh batu dan kerikil besar (31%)

yang berukuran lebih besar dari 4 mm. Hal tersebut membuat lamun sulit untuk tumbuh pada

stasiun 1, karena secara umum lamun menyukai tumbuh pada substrat yang memiliki ukuran

partikel kecil seperti pasir dan lumpur. Namun, menurut Green dan Short (2003: 69) lamun

jenis Thalassia hemprichii menyukai tumbuh pada substrat yang lebih kasar, seperti pasir

kasar dengan pecahan cangkang dan karang. Hal tersebut menguatkan alasan hanya terdapat

Thalassia hemprichii pada stasiun 1 dengan frekuensi 86,67% atau ditemukan dalam 13 kali

dari 15 kuadrat. Intensitas cahaya pada stasiun 1 sebesar 81670 lux termasuk dalam kategori

fotoinhibisi, dimana pada fase ini jumlah cahaya akan berdampak negatif terhadap laju

fotosintesis, sehingga membuat pertumbuhan lamun di stasiun 1 terganggu (Hopkins dkk.

2008: 226).

Struktur komunitas ..., Tety Ariska, FMIPA UI, 2016

Page 10: Struktur Komunitas Lamun di Perairan Muara Binuangeun

Stasiun penelitian 2 terdapat padang lamun yang juga tumbuh monospesifik yaitu jenis

Thallasia hemprichii dengan persen penutupan total 41,53% dengan kerapatan 998

individu/m2. Jumlah tersebut merupakan jumlah terkecil kedua setelah stasiun 1. Status

padang lamun di stasiun 2 tergolong kurang kaya (30--59,9%) (Keputusan Menteri Negara

Lingkungan Hidup No.200, 2004: 6). Hal tersebut dikarenakan komposisi partikel substrat

yang memengaruhi padang lamun di stasiun 2. Substrat pada stasiun 2 terdiri atas batu dan

kerikil besar (25%) terbesar kedua setelah stasiun 1. Hal tersebut memengaruhi keberadaan

lamun pada stasiun 2, yang hanya 1 jenis yaitu Thalassia hemprichii. Meskipun hanya

terdapat 1 jenis lamun pada stasiun 2, namun lamun di stasiun 2 memiliki persen tutupan dan

kerapatan yang lebih tinggi dari stasiun 1. Hal tersebut dapat dikarenakan substrat pada

stasiun 2, didominansi oleh pasir dan lumpur (43%) yang mengandung banyak nutrien dan

berukuran lebih kecil dari 600 µm, sehingga mempermudah lamun mengkolonisasi substrat

(Borum dkk 2004: 20). Alasan tersebut diperkuat dengan frekuensi Thalassia hemprichii pada

stasiun 2 yaitu sebesar 100% atau ditemukan pada setiap kuadrat penelitian.

Stasiun penelitian 3 didapatkan padang lamun yang merupakan vegetasi asosiasi 3

jenis lamun yaitu Thalassia hemprichii, Cymodocea rotundata, dan Halodule uninervis.

Lamun jenis Thallasia hemprichii pada stasiun 3 memiliki persen penutupan total 31,46%

dengan kerapatan 652 individu/m2. Lamun jenis Cymodocea rotundata pada stasiun 3

memiliki persen penutupan total 28,36% dengan kerapatan 998 individu/m2. Lamun jenis

Halodule uninervis pada stasiun 3 memiliki persen penutupan total 0,38% dengan kerapatan 5

individu/m2. Stasiun 3 memiliki kerapatan total (1655 individu/m2) terpadat dari seluruh

stasiun dengan persen penutupan total (60,20%) terbesar kedua setelah stasiun 4. Status

padang lamun stasiun yang dilihat berdasarkan nilai persentase tutupan stasiun 3, tergolong

kaya (≥ 60%) (Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No.200, 2004: 6). Hal tersebut

dapat dikarenakan substrat pada stasiun 3 didominansi oleh pasir dan lumpur (58%), paling

besar dibandingkan dengan ketiga stasiun lain. Dominansi substrat pasir dan lumpur yang

memiliki ukuran partikel kecil dan kadar nutrien tinggi membuat lamun tumbuh lebih baik

pada stasiun 3. Frekuensi ketiga jenis lamun pada stasiun 3 menunjukkan lebih banyak lamun

yang dapat tumbuh pada kondisi stasiun 3. Frekuensi jenis Thalassia hemprichii pada stasiun

3 sebesar 100%, Cymodocea rotundata sebesar 100%, dan Halodule uninervis sebesar 6,67%

menunjukkan bahwa kondisi stasiun 3 mendukung pertumbuhan jenis lamun Thalassia

hemprichii dan Cymodocea rotundata. Sedangkan, lamun jenis Halodule uninervis memiliki

persen penutupan, kerapatan, dan frekuensi jenis yang menunjukkan pertumbuhan yang

kurang baik, walaupun dengan substrat yang mendukung pertumbuhan lamun. Hal tersebut

Struktur komunitas ..., Tety Ariska, FMIPA UI, 2016

Page 11: Struktur Komunitas Lamun di Perairan Muara Binuangeun

dikarenakan Halodule uninervis memiliki ketahanan yang lebih rendah terhadap stress cahaya

yang tinggi dibandingkan dengan jenis Thalassia hemprichii (Lan dkk. 2005: 30). Morfologi

daun Halodule uninervis yang lebih kecil dan tipis, membuat daun Halodule uninervis lebih

mudah kehilangan air pada kondisi intensitas cahaya yang tinggi dibandingkan dengan jenis

Thalassia hemprichii (Lan dkk. 2005: 33). Nilai intensitas cahaya pada stasiun 3 sebesar

64700 lux, nilai tersebut termasuk dalam kategori light saturated, dimana jumlah cahaya

sudah tidak berpengaruh terhadap bertambahnya laju fotosintesis (Hopkins dkk. 2008: 226).

Faktor lingkungan perairan lain yang memengaruhi pertumbuhan Halodule uninervis pada

stasiun 3 adalah suhu. Suhu optimum pertumbuhan Halodule uninervis berkisar antara 22--

26oC, hal tersebut membuat pertumbuhan Halodule uninervis tidak optimal pada stasiun 3

yang memiliki rerata suhu 33,66oC (Mazzotti dkk. 2007: 7--8). Selain itu pada penelitian

Harpiansyah dkk. (2014: 11--12) di Perairan Desa Pengundang Kabupaten Bintan,

menunjukkan kecenderungan yang sama, yaitu jenis Halodule uninervis yang tumbuh dalam

padang lamun vegetasi campuran, memiliki persen tutupan dan kerapatan terkecil

dibandingkan jenis yang lain.

Stasiun penelitian 4 didapatkan padang lamun yang ditumbuhi 3 jenis lamun yang

tumbuh bersama yaitu Thalassia hemprichii, Cymodocea rotundata, dan Halodule uninervis.

Lamun jenis Thallasia hemprichii pada stasiun 4 memiliki persen penutupan total 31,76%

dengan kerapatan 525 individu/m2. Lamun jenis Cymodocea rotundata pada stasiun 4

memiliki persen penutupan total 28,96% dengan kerapatan 649 individu/m2. Lamun jenis

Halodule uninervis pada stasiun 4 memiliki persen penutupan total 0,88% dengan kerapatan

11 individu/m2. Stasiun 4 memiliki kerapatan total (1185 individu/m2) terpadat kedua setelah

stasiun 3 dengan persen penutupan total (61,60%) terbesar dari semua stasiun. Kondisi persen

tutupan lamun pada stasiun 4 tergolong sehat (≥ 60%) (Keputusan Menteri Negara

Lingkungan Hidup No.200, 2004: 6). Hal tersebut dapat dikarenakan faktor substrat yang

didominansi oleh pasir dan lumpur (53%) yang memiliki ukuran partikel kecil dan

menyediakan kadar nutrien tinggi, sehingga membuat lamun tumbuh dengan baik. Frekuensi

jenis Thalassia hemprichii pada stasiun 4 sebesar 86,67%, Cymodocea rotundata sebesar

100%, dan Halodule uninervis sebesar 20%. Jumlah frekuensi tersebut menunjukkan bahwa

kondisi stasiun 4 mendukung pertumbuhan jenis lamun Thalassia hemprichii dan Cymodocea

rotundata. Sedangan, pertumbuhan lamun jenis Halodule uninervis menunjukkan

kecenderungan yang serupa dengan stasiun 3, yaitu meskipun kondisi substrat mendukung

pertumbuhan lamun, namun persen penutupan, kerapatan, dan frekuensi jenis tidak

menunjukkan pertumbuhan yang baik. Hal tersebut dikarenakan ketahanan Halodule

Struktur komunitas ..., Tety Ariska, FMIPA UI, 2016

Page 12: Struktur Komunitas Lamun di Perairan Muara Binuangeun

uninervis yang kurang terhadap stress cahaya yang tinggi (Lan dkk. 2005: 30), dimana pada

stasiun 4 didapatkan jumlah intensitas cahaya sebesar 60300 lux yang termasuk light

saturated. Selain itu, rerata suhu stasiun 4 (31,38 oC) yang lebih tinggi dibandingkan suhu

optimum pertumbuhan lamun Halodule uninervis (22--26oC), membuat pertumbuhan

Halodule uninervis tidak optimal (Mazzotti dkk. 2007: 7--8). Selain itu pada penelitian

Hernawan (2007: 309) di Perairan Kei Kecil, Maluku Tenggara, Provinsi Maluku,

menunjukkan kecenderungan yang sama, yaitu jenis Halodule uninervis yang tumbuh dalam

padang lamun vegetasi campuran, memiliki persen tutupan dan kerapatan terkecil

dibandingkan jenis yang lain.

Indeks Nilai Kepentingan

Indeks nilai kepentingan merupakan nilai yang menggambarkan besarnya peranan

suatu jenis lamun di dalam ekosistem padang lamun. Dihitung berdasarkan jumlah dominansi

relatif, frekuensi relatif, dan kerapatan relatif. Indeks nilai kepentingan memiliki kisaran 0--

300% yang menggambarkan pengaruh dan peranan suatu spesies pada suatu daerah (Smith &

Smith 2001: 388). Indeks nilai kepentingan dari masing-masing stasiun dapat dilihat pada

Tabel 5.

Tabel 5. Indeks Nilai Kepentingan Lamun

No Jenis Indeks Nilai Kepentingan (%) Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4

1 Thalassia hemprichii 300 300 140 138 2 Cymodocea rotundata 0 0 156 150 3 Halodule uninervis 0 0 4 12

Berdasarkan Tabel 5 secara keseluruhan di Muara Binuangeun, Thalassia hemprichii

merupakan jenis lamun yang memiliki indeks nilai kepentingan tertinggi yang menunjukkan

bahwa Thalassia hemprichii merupakan spesies yang memiliki peran paling penting dalam

ekosistem padang lamun di Muara Binuangeun. Indeks nilai kepentingan Thalassia

hemprichii pada stasiun 1 dan 2 sebesar 300%, dan pada stasiun 3 dan 4 berturut-turut sebesar

140% dan 138%. Nilai 300% pada stasiun 1 dan 2 didapat karena pada stasiun tersebut

padang lamun Thalassia hemprichii tumbuh secara monospesifik. Kondisi yang sama

didapatkan pada penelitian Hardiyanti dkk. (2014: 8) yang menunjukkan bahwa padang

lamun monospesifik Enhalus acroides pada satu stasiun memiliki indeks nilai kepentingan

Struktur komunitas ..., Tety Ariska, FMIPA UI, 2016

Page 13: Struktur Komunitas Lamun di Perairan Muara Binuangeun

tertinggi sebesar 300%. Jenis Cymodocea rotundata di Muara Binuangeun merupakan spesies

yang memiliki indeks nilai kepentingan tertinggi kedua, dimana pada stasiun 3, sebesar 156%

dan pada stasiun 4 sebesar 150%. Halodule uninervis memiliki indeks nilai kepentingan

terendah di Muara Binuangeun yaitu pada stasiun 3, sebesar 4% dan pada stasiun 4 sebesar

12%. Semakin tinggi indeks nilai kepentingan suatu jenis lamun, maka semakin tinggi

peranan lamun tersebut pada ekosistem (Brower dkk. 1989 lihat Feryatun dkk. 2012: 4) antara

lain sebagai habitat, tempat asuhan bagi hewan laut, menstabilkan substrat, dan mendaur

ulang nutrien (Denny & Gaines 2007: 495).

Indeks Keanekaragaman, Kemerataan, dan Dominansi

Nilai Indeks keanekaragaman merupakan gambaran keanekaragaman yang

dipengaruhi oleh kelimpahan dan kemerataan jenis. Nilai Indeks kemerataan merupakan

gambaran kemerataan dari keanekaragaman yang didapat. Sedangkan nilai indeks dominansi

menggambarkan dominansi suatu jenis pada suatu komunitas. Nilai indeks keanekaragaman,

kemerataan, dan dominansi dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Histogram Indeks Keanekaragaman, Indeks Kemerataan, dan

Indeks Dominansi Lamun

Secara keseluruhan lamun di Muara Binuageun memiliki keanekaragaman yang

rendah dengan nilai indeks keanekaragaman berkisar antara 0--0,73. Lamun di Muara

Binuangeun memiliki sebaran yang tidak merata dimana stasiun 1 dan 2, hanya memiliki 1

jenis lamun sedangkan stasiun 3 dan 4, memiliki 3 jenis lamun. Hal tersebut menunjukkan 2

kondisi yang berbeda antara stasiun 1 dan 2 dengan stasiun 3 dan 4. Kondisi yang berbeda

tersebut terlihat pada nilai indeks kemerataan dan indeks dominansi dari keempat stasiun.

Stasiun 1 dan 2 memiliki kemerataan yang rendah (0), dan indeks dominansi yang tinggi (1),

menandakan terdapat kondisi ekosistem yang tidak stabil, karena tekanan ekologi dan

0 0

0.69 0.73

0 0

0.63 0.67 1 1

0.52 0.49

0 0.5

1 1.5

Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4

Indeks Keanekaragaman Indeks Kemerataan Indeks Dominansi

Struktur komunitas ..., Tety Ariska, FMIPA UI, 2016

Page 14: Struktur Komunitas Lamun di Perairan Muara Binuangeun

terdapat jenis yang mendominasi (Krebs 1985: 584; Waite 2000: 52). Sedangkan stasiun 3

dan 4 memiliki kemerataan yang tinggi berturut - turut sebesar 0,63 dan 0,67. Nilai

kemerataan stasiun 3 dan 4 menandakan bahwa kondisi stasiun 3 dan 4 relatif stabil

dikarenakan jumlah individu setiap jenis yang relatif sama (Fitriany dkk. 2015: 6). Meskipun

nilai indeks kemerataan yang tinggi pada stasiun 3, indeks dominansi sebesar 0,52

menggambarkan terdapat dominansi pada stasiun 3 dengan kategori sedang. Sedangkan

indeks dominansi stasiun 4 yang tergolong rendah sebesar 0,49 menunjukkan bahwa terdapat

dominansi yang tergolong rendah.

Stasiun penelitian 1 dan 2 memiliki nilai indeks keanekaragaman dan kemerataan

terendah yaitu 0 dengan nilai indeks dominansi tertinggi sebesar 1. Nilai indeks

keanekaragaman yang rendah (0) dan kemerataan yang rendah (0) serta nilai indeks

dominansi yang tinggi (1) pada stasiun 1 dan 2 menandakan terdapat kondisi yang tidak stabil

(Krebs 1985: 584) dan terdapat jenis lamun yang mendominansi. Kondisi yang tidak stabil

pada ekosistem dapat dikarenakan adanya tekanan ekologi (Waite 2000: 52). Tekanan ekologi

yang mungkin terjadi pada stasiun 1 dan 2 antara lain, substrat, intensitas cahaya, dan

aktivitas manusia. Hasil penelitian pada stasiun 1 dan 2 terdapat 1 jenis lamun Thalassia

hemprichii yang tumbuh secara monospesifik, sehingga tidak terdapat keanekaragaman dan

kemerataan pada stasiun 1 dan 2. Menurut Green & Short (2003: 171) Thalassia hemprichii

merupakan lamun yang sering dijumpai tumbuh secara monospesifik di Indonesia.

Substrat merupakan faktor pembatas keberadaan lamun di suatu wilayah (Yanti dkk.

2015: 9). Substrat pada stasiun 1 didominansi oleh batu dan kerikil besar (31%) dan stasiun 2

memiliki substrat batu dan kerikil besar (25%) dengan persentase yang lebih besar

dibandingkan stasiun 3 dan 4. Substrat batu dan kerikil besar pada stasiun 1 dan 2 membuat

lamun sulit tumbuh, dikarenakan secara umum lamun tumbuh pada substrat berpartikel kecil

seperti pasir dan lumpur (Borum dkk. 2004: 20). Namun Thalassia hemprichii memiliki

kemampuan untuk hidup pada berbagai substrat (Alberto dkk. 2015: 31) dan lebih menyukai

tumbuh pada substrat yang lebih kasar, seperti pasir kasar dengan debu pecahan cangkang dan

karang (Green & Short 2003: 69). Hal tersebut menguatkan alasan tumbuhnya lamun

monospesifik Thalassia hemprichii pada stasiun 1 dan 2.

Intensitas cahaya pada stasiun 1 sebesar 81670 lux dan stasiun 2 sebesar 77370 lux.

Intensitas cahaya di Muara Binuangeun memiliki kecenderungan menurun di setiap stasiun

mulai dari stasiun 1 hingga stasiun 4 diikuti dengan kenaikan nilai keanekaragaman dan

kualitas tumbuh lamun yang dilihat dari persen penutupan, kerapatan, dan frekuensi jenis.

Oleh karena itu, terdapat kemungkinan bahwa faktor intensitas cahaya berperan penting

Struktur komunitas ..., Tety Ariska, FMIPA UI, 2016

Page 15: Struktur Komunitas Lamun di Perairan Muara Binuangeun

terhadap keberadaan lamun. Stasiun 1 dengan intensitas cahaya 81670 lux tergolong dalam

kategori fotoinhibisi yang mengakibatkan proses fotosintesis lamun terganggu. Fotosintesis

lamun yang terganggu karena intensitas cahaya yang tinggi disebabkan oleh penguapan air di

dalam sel. Penguapan air yang berlangsung terus menerus dapat menyebabkan kerusakan

permanen pada sel yang diakibatkan karena pengerutan sel (Lan 2005: 33). Sedangkan stasiun

2 memiliki intensitas cahaya yang tergolong light saturated, dimana jumlah cahaya sudah

tidak berpengaruh terhadap bertambahnya laju fotosintesis (Hopkins dkk. 2008: 226).

Kondisi lamun dapat dipengaruhi oleh faktor alam dan parameter lingkungan, namun

Short & Echeverria (1995: 17) menyatakan bahwa aktivitas manusia juga berpengaruh

terhadap penurunan dan kerusakan padang lamun di suatu wilayah. Selain itu, aktivitas

manusia juga memengaruhi distribusi lamun di suatu wilayah (Short dkk. 2007: 4). Aktivitas

manusia di stasiun 1 dan 2 seperti kegiatan rekreasi dan kegiatan perikanan merupakan

kegiatan manusia yang dapat menyebabkan kerusakan bagi lamun.

Stasiun penelitian 3 dan 4 memiliki nilai indeks keanekaragaman yang tergolong

rendah. Nilai indeks keanekaragaman pada stasiun 3 sebesar 0,69 dan stasiun 4 sebesar 0,73.

Meskipun dengan nilai keanekaragaman yang rendah, namun stasiun 3 dan 4 memiliki nilai

indeks kemerataan yang tinggi yaitu secara berurutan 0,63 dan 0,67. Nilai indeks dominansi

pada stasiun 3 tergolong sedang yaitu sebesar 0,52 dan stasiun 4 tergolong rendah yaitu

sebesar 0,49. Nilai indeks kemerataan yang tinggi pada stasiun 3 dan 4 menandakan bahwa

ekosistem berada pada kondisi yang relatif stabil ditandai dengan jumlah individu setiap

jenis yang relatif sama (Fitriany dkk. 2015: 6).

Nilai indeks dominansi stasiun 3 tergolong sedang yaitu sebesar 0,52, menandakan

terdapat jenis lamun yang mendominansi, dengan kategori sedang yaitu Cymodocea

rotundata. Cymodocea rotundata merupakan jenis lamun dengan kerapatan tertinggi pada

stasiun 3 sebesar 998 individu/m2 yang lebih banyak dibandingkan dengan Thalassia

hemprichii sebesar 652 individu/m2. Hal tersebut dapat dikarenakan substrat pada stasiun 3

yang didominansi oleh pasir dan lumpur (58%) merupakan persentase tertinggi dari semua

stasiun. Substrat pasir dan lumpur mendukung untuk pertumbuhan Cymodocea rotundata

(Green & Short 2003: 144), namun tidak untuk jenis Thalassia hemprichii yang lebih

menyukai susbtrat yang lebih kasar (Green & Short 2003: 69).

Berbeda dengan stasiun 1, 2, dan 3, nilai indeks dominansi pada stasiun 4 (0,49)

tergolong rendah, ditandai 2 dari 3 lamun yaitu Thalassia hemprichii dan Cymodocea

rotundata memiliki jumlah individu yang relatif sama. Hasil penelitian menunjukkan pada

stasiun 4 Thalassia hemprichii memiliki kerapatan sebesar 529 individu/m2 dan Cymodocea

Struktur komunitas ..., Tety Ariska, FMIPA UI, 2016

Page 16: Struktur Komunitas Lamun di Perairan Muara Binuangeun

rotundata memiliki kerapatan 649 individu/m2. Jumlah yang relatif sama tersebut dapat

dikarenakan substrat pada stasiun 4 merupakan pasir dan lumpur sebesar 53%. Tipe substrat

tersebut mendukung pertumbuhan Cymodocea rotundata (Green & Short 2003: 144), namun

dikarenakan persentase substrat pasir dan lumpur yang lebih kecil dibandingkan dengan

stasiun 3, maka kerapatan Cymodocea rotundata pada stasiun 4 mengalami penurunan

sehingga didapatkan kerapatan Cymodocea rotundata dan Thalassia hemprichii yang relatif

sama.

Meskipun secara umum keanekaragaman lamun di Muara Binuangeun tergolong

rendah, namun perairan Muara Binuageun memiliki faktor lingkungan yang baik dan

mendukung pertumbuhan lamun secara umum, sehingga dapat terjadi perubahan

keanekaragaman lamun di Muara Binuangeun. Padang lamun dapat mengalami proses

suksesi atau perubahan komposisi dan kelimpahan jenis lamun dikarenakan faktor

lingkungan yang berubah-ubah. Proses suksesi pada padang lamun umumnya diawali oleh

jenis lamun yang berukuran lebih kecil (pioneer species) seperti jenis Halodule uninervis,

sedangkan lamun yang berukuran lebih besar seperti Enhalus acoroides merupakan jenis

puncak dari suatu suksesi (climax species) (Hemminga & Duarte 2000, lihat Irawan 2015: 3).

Berdasarkan data yang didapat pada masing-masing stasiun di Muara Binuangeun

didapatkan jenis lamun Thalassia hemprichii yang mendominansi. Jenis Thalassia

hemprichii merupakan jenis lamun yang termasuk dalam jenis puncak (climax species)

(Lefaan 2009: 1). Komunitas lamun jenis puncak (climax species) merupakan jenis terakhir

yang akan tumbuh dengan stabil atau tidak berubah, dikarenakan jenis tersebut dapat

menyesuaikan diri dengan perubahan kondisi lingkungan (Gallegos dkk 1994: 99). Selain itu

jenis Halodule uninervis yang paling sedikit ditemukan di Muara Binuageun, termasuk

dalam jenis pionir (pioneer species) yang akan hilang karena tidak dapat menyesuaikan diri

dengan perubahan kondisi lingkungan (Gallegos dkk 1994: 99).

Analisis Kelompok (Cluster Analysis)

Analisis kelompok adalah teknik analisis yang digunakan untuk mengklasifikasikan

data menjadi sejumlah kecil kelompok berdasarkan dua atau lebih variabel (Finch 2005: 85).

Analisis klaster pada penelitian ini digunakan untuk mengetahui kemiripan antar stasiun

penelitian di Muara Binuangeun. Dendogram (Gambar 4) menggambarkan bahwa semua

stasiun penelitian memiliki nilai kemiripan lebih besar dari 0,45. Menurut Dalirsefat dkk.

(2009 : 4) koefisien dice memiliki kisaran 0--1 dimana tingkat kemiripan akan semakin tinggi

Struktur komunitas ..., Tety Ariska, FMIPA UI, 2016

Page 17: Struktur Komunitas Lamun di Perairan Muara Binuangeun

apabila nilai kemiripan mendekati 1. Stasiun 1 dan 2, memiliki nilai kemiripan sebesar 1 yang

menandakan bahwa kedua stasiun tersebut sangat mirip. Stasiun 1 dan 2 memiliki jumlah

jenis lamun dan lokasi yang sama yaitu hanya terdapat 1 jenis lamun Thalassia hemprichii

dan lokasi yang menjadi tempat rekreasi. Stasiun 3 dan 4 juga memiliki nilai kemiripan

sebesar 1 yang menandakan bahwa stasiun tersebut sangat mirip. Hal tersebut dikarenakan

stasiun 3 dan 4 memiliki jumlah jenis lamun yang sama yaitu 3 jenis lamun, Thalassia

hemprichii, Cymodocea rotundata, dan Halodule uninervis. Selain itu kondisi stasiun 3 dan 4

bukan merupakan tempat rekreasi, sehingga pantai relatif sepi pengunjung. Stasiun 1, 2, 3,

dan 4 memiliki nilai kemiripan 0,5 yang dikarenakan setiap stasiun memiliki jenis Thalassia

hemprichii yang dapat hidup pada berbagai jenis substrat seperti batu, kerikil, pasir dan

lumpur (Alberto dkk. 2015: 31). Hasil analisis klaster dapat dilihat pada Gambar 4.

Kesimpulan

Muara Binuangeun memiliki padang lamun yang terdiri atas 3 jenis lamun yaitu

Thalassia hemprichii yang termasuk suku Hydrocharitaceae, serta Cymodocea rotundata dan

Halodule uninervis yang termasuk suku Potamogetonaceae. Persentase tutupan lamun

tertinggi di Muara Binuangeun terdapat pada stasiun 4, sedangkan persentase tutupan

terendah terdapat pada stasiun 1. Frekuensi lamun tertinggi di Muara Binuangeun yaitu lamun

jenis Thalassia hemprichii dan frekuensi terendah pada lamun jenis Halodule uninervis.

Kerapatan lamun tertinggi di Muara Binuangeun terdapat pada stasiun 3, sedangkan kerapatan

lamun terendah terdapat pada stasiun 1. Thalassia hemprichii memiliki indeks nilai

1.00

Gambar 4. Dendogram kemiripan antar stasiun di Muara Binuangeun  

Struktur komunitas ..., Tety Ariska, FMIPA UI, 2016

Page 18: Struktur Komunitas Lamun di Perairan Muara Binuangeun

kepentingan tertinggi di Muara Binuangeun dan Halodule uninervis memiliki indeks nilai

kepentingan terendah di Muara Binuangeun. Nilai indeks keanekaragaman keempat stasiun di

Muara Binuangeun tergolong rendah. Indeks kemerataan di stasiun 1 dan 2 tergolong rendah,

sedangkan pada stasiun 3 dan 4 tergolong tinggi. Nilai indeks dominansi di stasiun 1 dan 2

tergolong tinggi, stasiun 3 tergolong sedang, dan stasiun 4 tergolong rendah. Secara umum

struktur komunitas lamun di Muara Binuangeun tergolong tidak stabil karena memiliki

tingkat keanekaragaman yang rendah, kemerataan yang rendah, serta tingkat dominansi yang

tinggi.

Saran

Perlu dilakukan pengukuran morfologi lamun seperti panjang dan lebar daun, serta

jarak antar nodus lamun agar dapat membandingkan tingkat pertumbuhan lamun di Muara

Binuangeun dengan daerah lain. Diperlukan parameter lingkungan yang lebih lengkap, seperti

kandungan nutrien dalam air dan substrat, sehingga dapat dilakukan analisis yang lebih

mendalam. Perlu dilakukan monitoring lamun dan biota padang lamun secara berkala untuk

mengetahui perubahan ekosistem yang terjadi, sehingga dapat membantu perencanaan

pengelolaan wilayah perairan di Muara Binuangeun.

Daftar Acuan Alberto, A.M.P., M.P. Hechanova & G.C. Sigua. 2015. Assessing diversity and phytoremediation potential of

seagrass in tropical region. International Journal of Plant, Animal, and Environmental Science, 5(4):

24--35.

Azkab, M.H. 1999. Pedoman inventarisasi lamun. Oseana, 24(1): 1--16 .

Borum, J., C.M. Duarte, D. Krause-Jensen & T.M. Greve. 2004. European seagrasses: an introduction to

monitoring and management. The M&MS project, ? : vii + 88 hlm.

Chin, A. 2005. Environmental status: Seagrass. Barrier Reef Marine Park Authority, Townsville : 13 hlm.

Dalirsefat, S.B., A.D.S. Meyer & S.Z. Mirhoseini. 2009. Comparison of similarity coefficients used for cluster

analysis with amplified fragment length polymorphism markers in the silkworm, Bombyx mori. Journal

of Insect Science, 9(71): 1--8.

Denny, M. W. & S.D. Gaines. 2007. Encyclopedia of tidepools & rocky shores. University of California Press,

Ltd. Berkeley: xxvii + 687 hlm.

Efendi, Y. 2008. Biologi laut jilid 2. Bung Hatta University Press, Padang: vii + 210 hlm.

El Shaffai, A. 2011. Field guide to seagrasses of the red sea 1st ed. IUCN & Total Foundation, Gland &

Courbevoie: viii + 56 hlm.

Struktur komunitas ..., Tety Ariska, FMIPA UI, 2016

Page 19: Struktur Komunitas Lamun di Perairan Muara Binuangeun

Feryatun, F., B. Hendrarto & N. Widyorini. 2012. Kerapatan dan distribusi lamun (seagrass) berdasarkan zona

kegiatan yang berbeda di Perairan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu. Journal of Management of

Aquatic Resources, ?(?): 1--7.

Finch, H. 2005. Comparison of distance measures in cluster analysis with dichotomous data. Journal of Data

Science, 3(2005): 85--100.

Fitriany, R.A.M., Suhadi & Sunarmi. 2015. Studi keanekaragaman tumbuhan herba pada area tidak bertajuk blok

curah jarak di hutan musim Taman Nasional Baluran. Jurnal jurusan biologi FMIPA Universitas Negeri

Malang, ?(?): 1--12.

Gallegos, M.E., M. Merino, A. Rodriguez, N. Marba & C.M. Duarte. 1994. Growth pattern and demography of

pioneer Caribbean seagrass Halodule wrightii and Syringodium filiforme. Marine Ecology Progress

Series, 109(?): 99--104.

Green, E.P. & F. Short. 2003. World atlas of seagrasses. University of California Press, Berkeley: xii + 298 hlm.

Hardiyanti, S., M.R. Umar & D. Priosambodo. 2014. Analisis vegetasi lamun di Perairan Pantai Mara’Bombang

Kabupaten Pinrang. Jurnal Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas

Hasanuddin, Makassar ?(?): 1--11.

Harpiansyah, A. Pratomo & F. Yandri. 2014. Struktur komunitas padang lamun di perairan Desa Pengudang

Kabupaten Bintan. Universitas Maritim Raja Ali Haji, ?(?): 1--15.

Hopkins, W.G. & N.P.A. Huner. 2008. Introduction to plant physiology. John Wiley & Sons, Inc. New Jersey:

xviii + 489 hlm.

Irawan, A. 2015. Struktur, fungsi dan faktor-faktor yang mempengaruhi ekosistem lamun. Lonawarta, 21(1): 1--

8.

Kepel, R.C. & S. Baulu. 2011. Komunitas lamun di Perairan Pesisir Pulau Yamdena, Kabupaten Maluku

Tenggara Barat. Jurnal Perikanan dan Kelautan Tropis. 7(1): 27--31.

Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 200. 2004. Kriteria baku kerusakan dan pedoman penentuan

status padang lamun . Menteri Negara Lingkungan Hidup, Jakarta: 16 hlm.

Krebs, C.J. 1985. Ecology The experimental analysis of distribution and abundance 3rd ed. Harper Collins

Publishers Inc, New York: xiii + 800 hlm.

Kuo, J. 2007. New monoecious seagrass of Halophila sulawesii (Hydrocharitaceae) from Indonesia. Science

Direct 87(2): 171--175.

Lan, C.Y., W.Y. Kao, H.J. Lin & K.T. Shao. 2005. Measurement of chlorophyll fluorescence reveals

mechanisms for habitat niche separation of the intertidal seagrasses Thalassia hemprichii and Halodule

uninervis. Marine Biology 148(2005): 25--34.

Lefaan, P.T. 2009. Kestabilan habitat lamun ditinjau dari komposisi dan kepadatan jenis. Jurnal Ilmiah Fakultas

MIPA Universitas Negeri Papua, 8(1): 1--?.

Mahfud, Anas. 2012. Padang lamun. Fakultas Pertanian, Universitas 17 Agustus 1945, Banyuwangi: 6 hlm.

Mazzotti, F.J., L.G. Pearlstine., R. Chamberlain., T. Barnes., K. Chartier., D. DeAngelis. 2007. Stressor response

models for Seagrasses, Halodule wrightii and Thalassia testudnium. Final report to the South Florida

Water Management District and the U.S. Geological Survey. University of Florida, Florida Lauderdale

Research and Education Center, Florida: iv + 19 hlm.

Mimura, N. 2008. Asia-Pasific coast and their management: States of enviroment. Springer, Dordrech: 367 hlm.

Struktur komunitas ..., Tety Ariska, FMIPA UI, 2016

Page 20: Struktur Komunitas Lamun di Perairan Muara Binuangeun

Nichols, G. 2009. Sedimentology and stratigraphy 2nd ed. A.John Wiley & Sons, Ltd.Chichester: xi + 411 hlm.

Nybakken, J.W. 1988. Biologi laut: Suatu pendekatan ekologis. Terj. dari Marine biology: An ecological

approach. Oleh Eidman, M., Koesoebiono, D.G. Bengen, M.Hutomo & S. Sukardjo. PT. Gramedia,

Jakarta: xv + 459 hlm.

Rustam, A., T. L. Kepel, R. N. Afiati, H. L. Salim, M. Astrid, A. Daulat, P. Mangindaan, N. Sudirman, Y.

Puspitaningsih, D. Dwiyanti & A. Hutahaean. 2014. Peran lamun sebagai blue carbon dalam mitigasi

perubahan iklim, studi kasus Tanjung Lesung, Banten. Kementerian kelautan dan perikanan, ?(?): 1--

14.

Short, F., T. Carruthers, W. Dennison & M. Waycott. 2007. Global seagrass distribution and diversity: A

bioregional model. Journal of Experimental Marine Biology and Ecology 350(?): 3--20 hlm.

Short, F.T.& S.W. Echeverria. 1996. Natural and human-induced disturbance of seagrasses. Foundation for

Enviromental Conservation, 23(1):17--27.

Smith, R.L.& T.M.Smith. 2001. Ecology & field Biology 6th ed. Addison Wesley Longman Inc., New York: xiv

+ 771 hlm.

Vibol, O., S. Nam, L. Puy, & P.S. Wath. 2010. Seagrass diversity and distribution in coastal area of Kampot

Povince, Cambodia. International Journal of Enviromental and Rural Development, 1(2): 112--

117.

Waite, S. 2000. Statistical ecology in practice: A guide to analysing environmental and ecological field data.

Prentice Hall, Harlow: xx + 414 hlm.

Wisnubudi, G. & E. Wahyuningsih. 2012. Kajian ekologis ekosistem sumberdaya lamun dan biota laut

asosiasinya di Pulau Pramuka, Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu (TNKpS). Sistem informasi

penelitian dan pengabdian masyarakat universitas nasional, ?(?): 1--13 hlm.

Yanti, M., Muzahar & F. Idris. 2015. Struktur komunitas lamun pantai Sakera Kecamatan Bintan Utara

Kabupaten Bintan. Jurnal Jurusan Ilmu Kelautan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas

Maritim Raja Ali Haji, ?(?):1--14.

Yulianto, K. 2007. Panduan survei tumbuhan laut (makroalgae, lamun, mangrove. Pusat Penelitian Oseanografi,

LIPI : iv + 54 hlm.

Yusuf, M. 2014. Keanekaragaman lamun di perairan sekitar Pulau Dudepo Kecamatan Anggrek Kabupaten

Gorontalo Utara. Skripsi Jurusan Teknologi Hasil Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Universitas Negeri Gorontalo, Gorontalo: 54 hlm.

Struktur komunitas ..., Tety Ariska, FMIPA UI, 2016