struktur komunitas lamun di perairan muara binuangeun
TRANSCRIPT
Struktur Komunitas Lamun di Perairan Muara Binuangeun, Kabupaten Lebak, Banten
Tety Ariska1, Titi Soedjiarti1
1Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas
Indonesia, Kampus UI Depok, Depok, 16424, Indonesia
Abstrak
Penelitian mengenai struktur komunitas lamun di perairan Muara Binuangeun, Banten, telah dilakukan pada tanggal 6--9 November 2015. Penelitian bertujuan untuk mengetahui struktur komunitas lamun yang mencakup persentase tutupan, frekuensi, kerapatan, indeks nilai kepentingan, indeks keanekaragaman, indeks kemerataan, dan indeks dominansi pada setiap stasiun di Muara Binuangeun. Penentuan lokasi pengambilan sampel dilakukan secara purposive sampling. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah jenis lamun yang diperoleh di Muara Binuangeun sebanyak 3 jenis dari 2 suku. Persentase tutupan lamun di setiap stasiun berkisar antara 28,40--61,60%. Kerapatan lamun di setiap stasiun berkisar antara 637--1655 individu/m2. Jenis Thalassia hemprichii memiliki frekuensi tertinggi berkisar 86,67--100%, sedangkan Halodule uninervis merupakan jenis dengan frekuensi terendah berkisar 6,67--20%. Thalassia hemprichii memiliki indeks nilai kepentingan tertinggi di Muara Binuangeun berkisar 138--300%, sedangkan Halodule uninervis memiliki indeks nilai kepentingan terendah yang berkisar antara 4--12%. Nilai indeks keanekaragaman di Muara Binuangeun tergolong rendah berkisar antara 0--0,73, dengan nilai indeks dominansi yang tergolong tinggi pada stasiun 1 dan 2 (1,00), tergolong sedang pada stasiun 3 (0,53) dan tergolong rendah pada stasiun 4 (0,49). Nilai indeks kemerataan pada stasiun 1 dan 2 yang tergolong rendah (0), serta stasiun 3 (0,63) dan 4 (0,67) yang tergolong tinggi. Secara umum, struktur komunitas lamun pada lokasi penelitian tergolong tidak stabil karena tingkat keanekaragaman dan kemerataan yang rendah serta tingkat dominansi yang tinggi.
Community Structure of Seagrass in Waters of Muara Binuangeun, Lebak Regency, Banten
Abstract
Research on community structure of seagrass in waters of Muara Binuangeun, Banten, was conducted on November 6th -- November 9th, 2015. The study aims to determine the community structure of seagrass which includes diversity, cover percentage, frequency, density, importance values, diversity index, evenness index, and dominance index at all of station in Muara Binuangeun. The location of sampling was determined by purposive sampling. The results showed that there are 3 species of seagrass from 2 family in Muara Binuangeun. Percentage seagrass covering in each station ranged from 28,40--61,60%. Seagrass density at each station ranged from 637--1655 individuals/m2. Thalassia hemprichii is the highest frequency (86,67--100%), while Halodule uninervis is the lowest frequency (6,67--20%). Thalassia hemprichii has the highest importance index in Muara Binuangeun (138--300%), while Halodule uninervis has the lowest importance index(4--12%.). The diversity index value in Muara Binuangeun was considered as low (0--0,73), with the dominance index value was high at stations 1 and 2 (1,00), was moderate at station 3 (0,53) and was low in station 4 (0,49). Evenness index values at stations 1 and 2 were considered as low (0), was moderate at station 3 (0,63) and was high at station 4 (0,67). In general, the community structure of seagrass in Muara Binuangeun is unstable because of the diversity and evenness were low, and also dominance were high.
Keywords: community structure, Muara Binuangeun, seagrass
Struktur komunitas ..., Tety Ariska, FMIPA UI, 2016
Pendahuluan
Indonesia memiliki kekayaan sumberdaya alam yang potensial, salah satunya yaitu
padang lamun. Indonesia memiliki padang lamun dengan luas sekitar 30.000 km2 (Green &
Short 2003: 171). Jenis lamun pada suatu padang lamun dapat bervariasi, dipengaruhi oleh
faktor lingkungan perairan antara lain seperti suhu, arus, jenis substrat, dan salinitas (Borum
dkk. 2004: 19). Selain itu faktor lingkungan tersebut juga akan memengaruhi struktur
komunitas lamun dan biota laut yang berasosiasi dengan lamun, sehingga dapat ditemukan
struktur komunitas yang berbeda-beda di berbagai tempat (Wisnubudi & Wahyuningsih
2012: 6).
Keberadaan padang lamun memiliki peran yang sangat penting dalam ekosistem yaitu
sebagai produsen primer, sumber makanan bagi berbagai jenis hewan laut, habitat bagi biota
laut, pelindung pantai dari erosi dan abrasi, penangkap sedimen yang terbawa air laut, daerah
asuhan, dan tempat berpijah bagi hewan laut (Efendi 2008: 143--144). Meskipun memiliki
peran yang penting dalam ekosistem, aktivitas manusia dan kejadian alam dapat mengancam
keberadaan ekosistem lamun di alam.
Menurut Mimura (2008: 132) sekitar 35% dari total padang lamun yang ada di
Indonesia mengalami kerusakan dan 60% dari total kerusakan terdapat di sekitar Pulau Jawa.
Kerusakan padang lamun umumnya terjadi karena faktor alam dan manusia. Badai, gempa
bumi, dan interaksi komunitas seperti grazing merupakan beberapa contoh faktor alam yang
dapat mengakibatkan kerusakan padang lamun. Sedangkan perubahan kualitas dan kekeruhan
air yang diakibatkan oleh nutrien yang menumpuk, sedimen yang terbawa arus sungai dan
pembuangan limbah merupakan dampak dari kegiatan manusia yang dapat merusak habitat
lamun. Selain itu pengerukan sedimen pantai, reklamasi pantai, dan penggunaan alat tangkap
berbahaya juga merupakan faktor aktivitas manusia yang dapat merusak habitat lamun (Short
& Echeverria 1996: 17).
Perairan Asia Tenggara memiliki 20 jenis lamun dan 12 diantaranya terdapat di
perairan Indonesia yang terdiri atas tujuh marga. Selain 12 jenis lamun yang sudah ditemukan
di Indonesia, ditemukan lamun jenis baru Halophila sulawesii (Kuo 2007: 171) dan juga
terdapat herbarium lamun Ruppia maritima dan Halophila beccarii di Museum Botani, Bogor
(Kiswara 2009 lihat Rustam dkk. 2014: 4). Penyebaran padang lamun di Indonesia cukup
luas, mencakup hampir seluruh perairan Nusantara yang meliputi Jawa, Nusa Tenggara,
Kalimantan, Maluku, Sumatera, Bali, Sulawesi, dan Irian Jaya (Efendi 2008: 155).
Struktur komunitas ..., Tety Ariska, FMIPA UI, 2016
Perairan Muara Binuangeun dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar untuk kegiatan
perikanan seperti mencari ikan, lobster, dan lain-lain. Muara Binuangeun terletak di Desa
Muara, Kecamatan Wanasalam, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten bagian selatan Pulau
Jawa. Daerah tersebut memiliki ekosistem yang beragam, salah satunya adalah ekosistem
padang lamun. Padang lamun di daerah tersebut diperkirakan sebagai tempat pemijahan dan
pembesaran bagi biota laut, termasuk perikanan bernilai ekonomis. Namun, terdapat ancaman
bagi ekosistem padang lamun di perairan tersebut berupa penambangan pasir, meskipun
aktivitas penambangan sudah tidak dilakukan.
Mengingat 60% dari total kerusakan padang lamun di Indonesia terdapat di Pulau
Jawa (Mimura 2008: 132), serta pentingnya ekosistem padang lamun bagi kehidupan
masyarakat dan lingkungan, sehingga perlu dilakukan penelitian mengenai struktur komunitas
lamun di perairan Muara Binuangeun. Penelitian mengenai struktur komunitas lamun di
perairan Muara Binuangeun diharapkan dapat menjadi data awal untuk pengembangan
penelitian dan pelestarian ekosistem padang lamun di Perairan Muara Binuangeun
dikarenakan belum ada data ilmiah tentang padang lamun di Muara Binuangeun. Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui struktur komunitas lamun di Muara Binuangeun yang
mencakup persentase tutupan, frekuensi jenis, kerapatan jenis, indeks nilai kepentingan,
indeks keanekaragaman, indeks kemerataan, dan indeks dominansi.
Tinjauan Teoritis
Lamun merupakan tumbuhan vaskular berbunga (Angiospermae) yang terdapat pada
perairan pesisir, estuari, karang, dan laut hingga kedalaman tertentu (Chin 2005: 1). Terdapat
sekitar 60 jenis lamun di dunia (Denny & Gaines 2007: 494) yang terdiri atas dua suku yaitu
suku Potamogetonacea dan suku Hydrocharitacea (Den Hartog 1970; Phillips & Menez 1988
lihat Azkab 1999: 1). Lamun memiliki struktur seperti tumbuhan darat pada umumnya yaitu
akar, batang, daun, bunga, dan buah (Azkab 1999:1 ).
Padang lamun tumbuh dengan variasi tipe vegetasi yang dibagi menjadi 3 kelompok
yaitu padang lamun vegetasi monospesifik (monospesific seagrass beds) yang hanya terdiri
dari 1 jenis lamun, padang lamun vegetasi asosiasi 2 atau 3 jenis lamun, dan padang lamun
vegetasi campuran (mixed seagrass beds) yang terdiri atas 4 atau lebih jenis lamun (Green &
Short 2003: 171; Brouns & Heijs 1991 lihat Mahfud 2012: 4). Padang lamun merupakan
ekosistem yang sangat produktif dan dinamis. Ekosistem ini menyediakan habitat, tempat
asuhan bagi hewan laut, menstabilkan substrat, dan mendaur ulang nutrien.
Struktur komunitas ..., Tety Ariska, FMIPA UI, 2016
Dari 60 jenis lamun yang ada di dunia (Denny & Gaines 2007: 494), terdapat 12 jenis
lamun yang ditemukan di Indonesia yaitu Syringodium isoetifolium, Halophila ovalis,
Halophila spinulosa, Halophila minor, Halophila decipiens, Halodule pinifolia, Halodule
uninervis, Thalassodendron ciliatum, Cymodocea rotundata, Cymodocea serrulata, Thalassia
hemprichii, dan Enhalus acoroides (Kiswara 2009 lihat Rustam dkk. 2014: 4; Setyobudiandi
dkk. 2009 lihat Yusuf 2014: 9--10). Selain 12 jenis lamun tersebut, Halophila sulawesii
merupakan jenis lamun baru yang terdapat di Kepulauan Spermonde barat daya Sulawesi
(Kuo 2007: 171). Sedangkan, jenis Ruppia maritima dan Halophila beccarii tidak ditemukan
secara langsung di Perairan Indonesia dan hanya berupa herbarium di Museum Botani, Bogor
(Kiswara 2009 lihat Rustam dkk. 2014: 4). Jenis lamun Thalassendron ciliatum mempunyai
sebaran yang terbatas yaitu di wilayah Indonesia bagian timur, sedangkan Halophila
spinulosa terdapat di daerah Riau, Anyer, Baluran, dan Irian Jaya. Jenis lamun Halophila
decipiens ditemukan di Teluk Jakarta, Teluk Moti-moti (Sumbawa), dan Kepulauan Aru (Den
Hartog 1970 lihat Azkab 1999:1).
Lamun dalam suatu wilayah akan membentuk struktur komunitas lamun yang akan
dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti ketersediaan energi, interaksi berbagai spesies, dan
faktor lingkungan. Faktor lingkungan yang memengaruhi keberadaan lamun yaitu faktor
fisika seperti intensitas cahaya, arus, substrat, suhu, dan oksigen terlarut, serta faktor kimia
seperti salinitas dan derajat keasaman (pH) (Borum dkk. 2004: 19). Batas toleransi terhadap
faktor abiotik lingkungan tersebut akan memengaruhi besarnya populasi dan komunitas di
suatu perairan (Nybakken 1988: 27--28). Selain itu, faktor lingkungan juga memengaruhi
komposisi dan adaptasi suatu populasi dalam suatu komunitas (Nybakken 1988: 22). Oleh
karena itu, suatu struktur komunitas biasanya memiliki komposisi spesies yang khas dimana
beberapa spesies memiliki jumlah yang berlimpah dan sebagian besar spesies yang lain
memiliki jumlah yang sedikit. Spesies yang jumlahnya berlimpah (dominan) biasanya
digunakan sebagai spesies khas pada suatu komunitas (Nybakken 1988: 26).
Metode Penelitian
Lokasi pengambilan sampel lamun, substrat lamun, dan data lapangan dilakukan di
Muara Binuangeun yang secara administratif berada di Desa Muara, Kecamatan Wanasalam,
Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Pengidentifikasian jenis lamun, pengukuran partikel
substrat, serta pengolahan data dilakukan di Laboratorium Biologi Laut, Departemen Biologi,
Struktur komunitas ..., Tety Ariska, FMIPA UI, 2016
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, Depok. Penelitian
dilaksanakan tanggal 6--9 November 2015.
Peralatan yang digunakan saat pengambilan data di lapangan adalah transek, kuadrat
berukuran 50 cm x 50 cm, batu apung yang diikat pada tali sepanjang 1 m, kantung sampel,
sekop kecil, sarung tangan, kamera digital [Canon IXUS 160], DO meter [Lutron], plastik zip-
lock, papan jalan, pensil, luxmeter [Lutron tipe LX-100], waterproof paper, termometer,
refraktometer [Atago], GPS [Garmin], dan indikator pH [Merck]. Sedangkan peralatan yang
digunakan di laboratorium, antara lain sieve net, timbangan digital, oven, mortar, alat tulis,
kamera digital [Canon IXUS 160], buku identifikasi lamun (El Shaffai 2011: 12--50). Bahan-
bahan yang digunakan yaitu sampel lamun, substrat lamun, air laut, dan formalin 40%.
Penentuan lokasi pengambilan sampel dilakukan secara purposive sampling.
Pengambilan sampel dilakukan saat air laut surut dengan metode line transect quadrat
(kuadrat transek garis). Terdapat 4 stasiun pengamatan yang terdiri atas 3 transek sebagai
ulangan dengan jarak antar transek 20 m. Transek ditarik sepanjang 50 m tegak lurus terhadap
garis pantai menuju arah laut. Setiap transek terdiri atas 5 titik kuadrat dengan jarak antar titik
10 m. Kuadrat yang digunakan berukuran 50 cm x 50 cm yang terbagi dalam kotak-kotak
kecil sebanyak 25 kotak kecil berukuran 10 cm x 10 cm.
Identifikasi lamun langsung dilakukan menggunakan lembar identifikasi lamun.
Pengamatan tutupan jenis lamun dilakukan dengan melakukan estimasi persentase luas
tutupan jenis lamun pada setiap kuadrat pengamatan menggunakan metode yang
dikembangkan oleh Saito dan Atobe 1970 (lihat Yulianto 2007 : 29--30) yaitu dengan
meletakkan kuadrat berukuran 50 cm x 50 cm yang terbagi dalam kotak – kotak kecil
sebanyak 25 kotak kecil berukuran 10 cm x 10 cm pada substrat yang ditumbuhi lamun,
kemudian dilakukan klasifikasi persen penutupan jenis lamun yang dikalibrasi menggunakan
tabel klasifikasi persen tutupan berdasarkan kelas kehadiran jenis lamun dengan cara melihat
substrat yang tertutup lamun pada setiap kotak – kotak kecil tersebut.
Selain itu menghitung jumlah tegakan/tunas tiap jenis pada kotak dan dicatat. Data
lapangan tersebut juga digunakan untuk menghitung rumus – rumus lain yang dibutuhkan
untuk mengetahui struktur komunitas yang mencakup frekuensi jenis, kerapatan jenis, indeks
nilai kepentingan, indeks keanekaragaman, indeks kemerataan, dan indeks dominansi. Setiap
kuadrat didokumentasikan menggunakan kamera digital dan sampel lamun diambil.
Pengambilan sampel lamun dilakukan dengan cara menggali lamun dalam kuadrat 50 cm x 50
cm menggunakan sekop kecil sedalam ± 10 cm agar lamun dapat terambil dengan akarnya.
Struktur komunitas ..., Tety Ariska, FMIPA UI, 2016
Sampel-sampel tersebut selanjutnya disimpan di dalam kantung sampel yang telah
berisi air laut 225 ml, dan diberi 25 ml formalin 40%, sehingga didapatkan konsentrasi larutan
4% (Kepel & Baulu 2011: 28). Kantung sampel tersebut diberi label dengan informasi nomor
stasiun penelitian, nomor transek, nomor kuadrat, dan tanggal pengambilan sampel untuk
selanjutnya diidentifikasi di Laboratorium Biologi Kelautan FMIPA Universitas Indonesia.
Substrat lamun pada dasar perairan diambil satu sampel pada setiap transek.
Pengambilan substrat dasar perairan dilakukan menggunakan sekop kecil. Substrat yang
terangkat dimasukkan ke dalam kantung sampel, kemudian diberi label dengan informasi
nomor stasiun penelitian dan nomor transek untuk selanjutnya dianalisis di Laboratorium
Biologi Kelautan FMIPA Universitas Indonesia.
Sampel substrat dibersihkan dari kotoran dan lamun yang menempel, kemudian
dikeringkan dalam oven pada suhu 250oC selama 5 jam sampai beratnya stabil. Setelah berat
sampel stabil, sampel ditumbuk menggunakan mortar. Kemudian sampel ditimbang sebagai
berat awal, lalu diayak menggunakan sieve net yang tersusun secara berurutan dengan mesh
size 4 mm; 2,36 mm; 1,7 mm; 1,18 mm; dan 600 µm. Sampel yang sudah terpisah pada setiap
sieve net ditimbang dan diklasifikasikan dengan kriteria > 4 mm adalah batu dan kerikil, 4--
2,36 mm adalah kerikil sangat halus, 2,36--1,7 mm adalah pasir sangat kasar dan kerikil
sangat halus, 1,7--1,18 mm adalah pasir sangat kasar, 1,18 mm -- 600 µm adalah pasir kasar,
serta < 600 µm adalah pasir dan lumpur. Kriteria tersebut berdasarkan skala Udden-
Wentworth yang disesuaikan dengan size mesh yang digunakan (Nichols 2009: 7).
Hasil Penelitian dan Pembahasan
Parameter Fisika Kimia di Perairan Muara Binuangeun
Keberadaan lamun dipengaruhi oleh paramater fisika kimia lingkungan di perairan
tersebut, seperti intensitas cahaya, arus, suhu, salinitas, oksigen terlarut, derajat keasaman
(pH), dan substrat (Borum dkk. 2004: 19). Rerata data parameter lingkungan dari keempat
stasiun penelitian dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Rerata Data Parameter Fisika Kimia Perairan dari 4 Stasiun
Parameter Stasiun 1 2 3 4
Suhu (oC) 31,73 32,23 33,66 31,38 pH 8,37 8,30 8,37 8,30
DO (ppm) 8,82 8,18 7,90 7,85 Intensitas Cahaya (lux) 81670 77370 64700 60300
Struktur komunitas ..., Tety Ariska, FMIPA UI, 2016
Salinitas (‰) 35,00 34,67 35,00 33,67 Kecepatan arus (m/s) <0,006 <0,006 <0,006 <0,006
Substrat Lamun
Substrat merupakan faktor yang memengaruhi keberadaan lamun di suatu wilayah.
Hasil analisis substrat setiap stasiun berdasarkan skala Udden-Wentworth menunjukkan
bahwa substrat di stasiun 1 didominansi oleh batu dan kerikil besar yang memiliki ukuran
partikel lebih besar dari 4 mm. Sedangkan stasiun 2, 3, dan 4 didominansi oleh substrat pasir
dan lumpur yang memiliki ukuran partikel kurang dari 600 µm. Diagram persentase substrat
pada setiap stasiun dapat dilihat pada Gambar 1 dan 2.
Batu dan kerikil besar Kerikil kecil Pasir sangat kasar dan kerikil kecil
Pasir sangat kasar Pasir kasar Pasir dan lumpur Gambar 1. Diagram persentase substrat pada stasiun 1 dan 2
Batu dan kerikil besar Kerikil kecil Pasir sangat kasar dan kerikil kecil
Pasir sangat kasar Pasir kasar Pasir dan lumpur Gambar 2. Diagram persentase substrat pada stasiun 3 dan 4
Secara umum lamun tumbuh pada substrat yang memiliki ukuran partikel kecil seperti
lumpur, pasir, dan kerikil kecil. Akar dan rhizome lamun akan mudah tumbuh memanjang
31%
8% 5%
8%
29%
19% 25%
5%
5%
5%
17%
43%
24%
4%
2% 3%
9% 58%
18%
7% 6%
6% 10%
53%
Stasiun 1 Stasiun 2
Stasiun 3 Stasiun 4
Struktur komunitas ..., Tety Ariska, FMIPA UI, 2016
dengan cepat pada substrat dengan ukuran partikel kecil (Borum dkk. 2004: 20). Namun
setiap jenis lamun memiliki jenis substrat yang lebih mendukung untuk tumbuh. Lamun jenis
Thalassia hemprichii dapat bertahan hidup pada hampir semua jenis substrat, namun lebih
menyukai tumbuh pada substrat yang lebih kasar, seperti pasir kasar dengan debu pecahan
cangkang dan karang (Green & Short 2003: 69). Halodule uninervis banyak tumbuh pada
substrat pasir, pasir lumpur, dan lumpur (Vibol dkk. 2010: 117). Cymodocea rotundata
banyak tumbuh pada substrat pasir berlumpur (Green & Short 2003: 144).
Persen Tutupan, Frekuensi, dan Kerapatan Jenis Lamun
Padang lamun di Muara Binuangeun memiliki 3 jenis lamun yaitu Thalassia
hemprichii, Cymodocea rotundata, dan Halodule uninervis. Thalassia hemprichii termasuk ke
dalam suku Hydrocharitaceae, sedangkan Cymodocea rotundata, dan Halodule uninervis
merupakan suku Potamogetonaceae. Jenis lamun yang terdapat di Muara Binuangeun berbeda
di masing-masing stasiun. Padang lamun di stasiun penelitian 1 dan 2 terdiri atas 1 jenis
lamun yaitu Thalassia hemprichii. Sedangkan padang lamun di stasiun penelitian 3 dan 4
terdiri atas 3 jenis lamun yaitu Thalassia hemprichii, Cymodocea rotundata, dan Halodule
uninervis.
Ketiga lamun yang ditemukan di Muara Binuangeun memiliki ciri identifikasi yang
berbeda. Menurut El Shaffai (2011: 48--50) lamun Thalassia hemprichii memiliki daun
berbentuk pita yang sedikit melengkung serta memiliki rhizome yang tebal dan ditutupi oleh
scars berbentuk segitiga. Cymodocea rotundata memiliki ujung daun membulat, terkadang
terlihat seperti hati. Rhizome halus dan tanpa scars El Shaffai (2011: 13--15). Halodule
uninervis memiliki ujung daun dengan 3 ujung melancip yang disebut teeth, membentuk
trisula. Serta memiliki rhizome yang halus El Shaffai (2011: 22--24). Ciri-ciri tersebut sesuai
dengan lamun yang terdapat di Muara Binuangeun.
Berdasarkan hasil penelitian analisis struktur komunitas pada keempat stasiun
didapatkan setiap stasiun memiliki persen penutupan, frekuensi, dan kerapatan jenis lamun
yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut dapat diakibatkan oleh faktor lingkungan dan kondisi
lingkungan. Data persen persen penutupan, frekuensi, dan kerapatan jenis lamun dapat dilihat
pada Tabel 2, 3, dan 4.
Struktur komunitas ..., Tety Ariska, FMIPA UI, 2016
Tabel 2. Persen Penutupan Jenis Lamun pada 4 Stasiun Penelitian
No Jenis Penutupan (%) Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4
1 Thalassia hemprichii 28,40 41,53 31,46 31,76 2 Cymodocea rotundata 0,00 0,00 28,36 28,96 3 Halodule uninervis 0,00 0,00 0,38 0,88
Total 28,40 41,53 60,20 61,60 Tabel 3. Frekuensi Jenis Lamun pada 4 Stasiun Penelitian
No Jenis Frekuensi jenis (%) Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4
1 Thalassia hemprichii 86,67 100 100 86,67 2 Cymodocea rotundata 0 0 100 100 3 Halodule uninervis 0 0 6,67 20
Tabel 4. Kerapatan Jenis Lamun pada 4 Stasiun Penelitian
No Jenis Kerapatan jenis (individu/m2) Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4
1 Thalassia hemprichii 637 998 652 525 2 Cymodocea rotundata 0 0 998 649 3 Halodule uninervis 0 0 5 11
Total 637 998 1655 1185
Stasiun penelitian 1 didapatkan padang lamun yang tumbuh monospesifik atau hanya
terdapat 1 jenis lamun yaitu Thallasia hemprichii. Thallasia hemprichii yang tumbuh pada
stasiun 1 memiliki persen penutupan total 28,40% dengan kerapatan 637 individu/m2. Jumlah
tersebut merupakan jumlah terkecil dari tiga stasiun penelitian lain. Berdasarkan Keputusan
Menteri Negara Lingkungan Hidup No.200 (2004: 6), status padang lamun di stasiun 1
tergolong miskin (≤ 29,9%). Hal tersebut dapat dikarenakan faktor substrat dan intensitas
cahaya pada stasiun 1. Substrat pada stasiun 1 didominansi oleh batu dan kerikil besar (31%)
yang berukuran lebih besar dari 4 mm. Hal tersebut membuat lamun sulit untuk tumbuh pada
stasiun 1, karena secara umum lamun menyukai tumbuh pada substrat yang memiliki ukuran
partikel kecil seperti pasir dan lumpur. Namun, menurut Green dan Short (2003: 69) lamun
jenis Thalassia hemprichii menyukai tumbuh pada substrat yang lebih kasar, seperti pasir
kasar dengan pecahan cangkang dan karang. Hal tersebut menguatkan alasan hanya terdapat
Thalassia hemprichii pada stasiun 1 dengan frekuensi 86,67% atau ditemukan dalam 13 kali
dari 15 kuadrat. Intensitas cahaya pada stasiun 1 sebesar 81670 lux termasuk dalam kategori
fotoinhibisi, dimana pada fase ini jumlah cahaya akan berdampak negatif terhadap laju
fotosintesis, sehingga membuat pertumbuhan lamun di stasiun 1 terganggu (Hopkins dkk.
2008: 226).
Struktur komunitas ..., Tety Ariska, FMIPA UI, 2016
Stasiun penelitian 2 terdapat padang lamun yang juga tumbuh monospesifik yaitu jenis
Thallasia hemprichii dengan persen penutupan total 41,53% dengan kerapatan 998
individu/m2. Jumlah tersebut merupakan jumlah terkecil kedua setelah stasiun 1. Status
padang lamun di stasiun 2 tergolong kurang kaya (30--59,9%) (Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup No.200, 2004: 6). Hal tersebut dikarenakan komposisi partikel substrat
yang memengaruhi padang lamun di stasiun 2. Substrat pada stasiun 2 terdiri atas batu dan
kerikil besar (25%) terbesar kedua setelah stasiun 1. Hal tersebut memengaruhi keberadaan
lamun pada stasiun 2, yang hanya 1 jenis yaitu Thalassia hemprichii. Meskipun hanya
terdapat 1 jenis lamun pada stasiun 2, namun lamun di stasiun 2 memiliki persen tutupan dan
kerapatan yang lebih tinggi dari stasiun 1. Hal tersebut dapat dikarenakan substrat pada
stasiun 2, didominansi oleh pasir dan lumpur (43%) yang mengandung banyak nutrien dan
berukuran lebih kecil dari 600 µm, sehingga mempermudah lamun mengkolonisasi substrat
(Borum dkk 2004: 20). Alasan tersebut diperkuat dengan frekuensi Thalassia hemprichii pada
stasiun 2 yaitu sebesar 100% atau ditemukan pada setiap kuadrat penelitian.
Stasiun penelitian 3 didapatkan padang lamun yang merupakan vegetasi asosiasi 3
jenis lamun yaitu Thalassia hemprichii, Cymodocea rotundata, dan Halodule uninervis.
Lamun jenis Thallasia hemprichii pada stasiun 3 memiliki persen penutupan total 31,46%
dengan kerapatan 652 individu/m2. Lamun jenis Cymodocea rotundata pada stasiun 3
memiliki persen penutupan total 28,36% dengan kerapatan 998 individu/m2. Lamun jenis
Halodule uninervis pada stasiun 3 memiliki persen penutupan total 0,38% dengan kerapatan 5
individu/m2. Stasiun 3 memiliki kerapatan total (1655 individu/m2) terpadat dari seluruh
stasiun dengan persen penutupan total (60,20%) terbesar kedua setelah stasiun 4. Status
padang lamun stasiun yang dilihat berdasarkan nilai persentase tutupan stasiun 3, tergolong
kaya (≥ 60%) (Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No.200, 2004: 6). Hal tersebut
dapat dikarenakan substrat pada stasiun 3 didominansi oleh pasir dan lumpur (58%), paling
besar dibandingkan dengan ketiga stasiun lain. Dominansi substrat pasir dan lumpur yang
memiliki ukuran partikel kecil dan kadar nutrien tinggi membuat lamun tumbuh lebih baik
pada stasiun 3. Frekuensi ketiga jenis lamun pada stasiun 3 menunjukkan lebih banyak lamun
yang dapat tumbuh pada kondisi stasiun 3. Frekuensi jenis Thalassia hemprichii pada stasiun
3 sebesar 100%, Cymodocea rotundata sebesar 100%, dan Halodule uninervis sebesar 6,67%
menunjukkan bahwa kondisi stasiun 3 mendukung pertumbuhan jenis lamun Thalassia
hemprichii dan Cymodocea rotundata. Sedangkan, lamun jenis Halodule uninervis memiliki
persen penutupan, kerapatan, dan frekuensi jenis yang menunjukkan pertumbuhan yang
kurang baik, walaupun dengan substrat yang mendukung pertumbuhan lamun. Hal tersebut
Struktur komunitas ..., Tety Ariska, FMIPA UI, 2016
dikarenakan Halodule uninervis memiliki ketahanan yang lebih rendah terhadap stress cahaya
yang tinggi dibandingkan dengan jenis Thalassia hemprichii (Lan dkk. 2005: 30). Morfologi
daun Halodule uninervis yang lebih kecil dan tipis, membuat daun Halodule uninervis lebih
mudah kehilangan air pada kondisi intensitas cahaya yang tinggi dibandingkan dengan jenis
Thalassia hemprichii (Lan dkk. 2005: 33). Nilai intensitas cahaya pada stasiun 3 sebesar
64700 lux, nilai tersebut termasuk dalam kategori light saturated, dimana jumlah cahaya
sudah tidak berpengaruh terhadap bertambahnya laju fotosintesis (Hopkins dkk. 2008: 226).
Faktor lingkungan perairan lain yang memengaruhi pertumbuhan Halodule uninervis pada
stasiun 3 adalah suhu. Suhu optimum pertumbuhan Halodule uninervis berkisar antara 22--
26oC, hal tersebut membuat pertumbuhan Halodule uninervis tidak optimal pada stasiun 3
yang memiliki rerata suhu 33,66oC (Mazzotti dkk. 2007: 7--8). Selain itu pada penelitian
Harpiansyah dkk. (2014: 11--12) di Perairan Desa Pengundang Kabupaten Bintan,
menunjukkan kecenderungan yang sama, yaitu jenis Halodule uninervis yang tumbuh dalam
padang lamun vegetasi campuran, memiliki persen tutupan dan kerapatan terkecil
dibandingkan jenis yang lain.
Stasiun penelitian 4 didapatkan padang lamun yang ditumbuhi 3 jenis lamun yang
tumbuh bersama yaitu Thalassia hemprichii, Cymodocea rotundata, dan Halodule uninervis.
Lamun jenis Thallasia hemprichii pada stasiun 4 memiliki persen penutupan total 31,76%
dengan kerapatan 525 individu/m2. Lamun jenis Cymodocea rotundata pada stasiun 4
memiliki persen penutupan total 28,96% dengan kerapatan 649 individu/m2. Lamun jenis
Halodule uninervis pada stasiun 4 memiliki persen penutupan total 0,88% dengan kerapatan
11 individu/m2. Stasiun 4 memiliki kerapatan total (1185 individu/m2) terpadat kedua setelah
stasiun 3 dengan persen penutupan total (61,60%) terbesar dari semua stasiun. Kondisi persen
tutupan lamun pada stasiun 4 tergolong sehat (≥ 60%) (Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup No.200, 2004: 6). Hal tersebut dapat dikarenakan faktor substrat yang
didominansi oleh pasir dan lumpur (53%) yang memiliki ukuran partikel kecil dan
menyediakan kadar nutrien tinggi, sehingga membuat lamun tumbuh dengan baik. Frekuensi
jenis Thalassia hemprichii pada stasiun 4 sebesar 86,67%, Cymodocea rotundata sebesar
100%, dan Halodule uninervis sebesar 20%. Jumlah frekuensi tersebut menunjukkan bahwa
kondisi stasiun 4 mendukung pertumbuhan jenis lamun Thalassia hemprichii dan Cymodocea
rotundata. Sedangan, pertumbuhan lamun jenis Halodule uninervis menunjukkan
kecenderungan yang serupa dengan stasiun 3, yaitu meskipun kondisi substrat mendukung
pertumbuhan lamun, namun persen penutupan, kerapatan, dan frekuensi jenis tidak
menunjukkan pertumbuhan yang baik. Hal tersebut dikarenakan ketahanan Halodule
Struktur komunitas ..., Tety Ariska, FMIPA UI, 2016
uninervis yang kurang terhadap stress cahaya yang tinggi (Lan dkk. 2005: 30), dimana pada
stasiun 4 didapatkan jumlah intensitas cahaya sebesar 60300 lux yang termasuk light
saturated. Selain itu, rerata suhu stasiun 4 (31,38 oC) yang lebih tinggi dibandingkan suhu
optimum pertumbuhan lamun Halodule uninervis (22--26oC), membuat pertumbuhan
Halodule uninervis tidak optimal (Mazzotti dkk. 2007: 7--8). Selain itu pada penelitian
Hernawan (2007: 309) di Perairan Kei Kecil, Maluku Tenggara, Provinsi Maluku,
menunjukkan kecenderungan yang sama, yaitu jenis Halodule uninervis yang tumbuh dalam
padang lamun vegetasi campuran, memiliki persen tutupan dan kerapatan terkecil
dibandingkan jenis yang lain.
Indeks Nilai Kepentingan
Indeks nilai kepentingan merupakan nilai yang menggambarkan besarnya peranan
suatu jenis lamun di dalam ekosistem padang lamun. Dihitung berdasarkan jumlah dominansi
relatif, frekuensi relatif, dan kerapatan relatif. Indeks nilai kepentingan memiliki kisaran 0--
300% yang menggambarkan pengaruh dan peranan suatu spesies pada suatu daerah (Smith &
Smith 2001: 388). Indeks nilai kepentingan dari masing-masing stasiun dapat dilihat pada
Tabel 5.
Tabel 5. Indeks Nilai Kepentingan Lamun
No Jenis Indeks Nilai Kepentingan (%) Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4
1 Thalassia hemprichii 300 300 140 138 2 Cymodocea rotundata 0 0 156 150 3 Halodule uninervis 0 0 4 12
Berdasarkan Tabel 5 secara keseluruhan di Muara Binuangeun, Thalassia hemprichii
merupakan jenis lamun yang memiliki indeks nilai kepentingan tertinggi yang menunjukkan
bahwa Thalassia hemprichii merupakan spesies yang memiliki peran paling penting dalam
ekosistem padang lamun di Muara Binuangeun. Indeks nilai kepentingan Thalassia
hemprichii pada stasiun 1 dan 2 sebesar 300%, dan pada stasiun 3 dan 4 berturut-turut sebesar
140% dan 138%. Nilai 300% pada stasiun 1 dan 2 didapat karena pada stasiun tersebut
padang lamun Thalassia hemprichii tumbuh secara monospesifik. Kondisi yang sama
didapatkan pada penelitian Hardiyanti dkk. (2014: 8) yang menunjukkan bahwa padang
lamun monospesifik Enhalus acroides pada satu stasiun memiliki indeks nilai kepentingan
Struktur komunitas ..., Tety Ariska, FMIPA UI, 2016
tertinggi sebesar 300%. Jenis Cymodocea rotundata di Muara Binuangeun merupakan spesies
yang memiliki indeks nilai kepentingan tertinggi kedua, dimana pada stasiun 3, sebesar 156%
dan pada stasiun 4 sebesar 150%. Halodule uninervis memiliki indeks nilai kepentingan
terendah di Muara Binuangeun yaitu pada stasiun 3, sebesar 4% dan pada stasiun 4 sebesar
12%. Semakin tinggi indeks nilai kepentingan suatu jenis lamun, maka semakin tinggi
peranan lamun tersebut pada ekosistem (Brower dkk. 1989 lihat Feryatun dkk. 2012: 4) antara
lain sebagai habitat, tempat asuhan bagi hewan laut, menstabilkan substrat, dan mendaur
ulang nutrien (Denny & Gaines 2007: 495).
Indeks Keanekaragaman, Kemerataan, dan Dominansi
Nilai Indeks keanekaragaman merupakan gambaran keanekaragaman yang
dipengaruhi oleh kelimpahan dan kemerataan jenis. Nilai Indeks kemerataan merupakan
gambaran kemerataan dari keanekaragaman yang didapat. Sedangkan nilai indeks dominansi
menggambarkan dominansi suatu jenis pada suatu komunitas. Nilai indeks keanekaragaman,
kemerataan, dan dominansi dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Histogram Indeks Keanekaragaman, Indeks Kemerataan, dan
Indeks Dominansi Lamun
Secara keseluruhan lamun di Muara Binuageun memiliki keanekaragaman yang
rendah dengan nilai indeks keanekaragaman berkisar antara 0--0,73. Lamun di Muara
Binuangeun memiliki sebaran yang tidak merata dimana stasiun 1 dan 2, hanya memiliki 1
jenis lamun sedangkan stasiun 3 dan 4, memiliki 3 jenis lamun. Hal tersebut menunjukkan 2
kondisi yang berbeda antara stasiun 1 dan 2 dengan stasiun 3 dan 4. Kondisi yang berbeda
tersebut terlihat pada nilai indeks kemerataan dan indeks dominansi dari keempat stasiun.
Stasiun 1 dan 2 memiliki kemerataan yang rendah (0), dan indeks dominansi yang tinggi (1),
menandakan terdapat kondisi ekosistem yang tidak stabil, karena tekanan ekologi dan
0 0
0.69 0.73
0 0
0.63 0.67 1 1
0.52 0.49
0 0.5
1 1.5
Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4
Indeks Keanekaragaman Indeks Kemerataan Indeks Dominansi
Struktur komunitas ..., Tety Ariska, FMIPA UI, 2016
terdapat jenis yang mendominasi (Krebs 1985: 584; Waite 2000: 52). Sedangkan stasiun 3
dan 4 memiliki kemerataan yang tinggi berturut - turut sebesar 0,63 dan 0,67. Nilai
kemerataan stasiun 3 dan 4 menandakan bahwa kondisi stasiun 3 dan 4 relatif stabil
dikarenakan jumlah individu setiap jenis yang relatif sama (Fitriany dkk. 2015: 6). Meskipun
nilai indeks kemerataan yang tinggi pada stasiun 3, indeks dominansi sebesar 0,52
menggambarkan terdapat dominansi pada stasiun 3 dengan kategori sedang. Sedangkan
indeks dominansi stasiun 4 yang tergolong rendah sebesar 0,49 menunjukkan bahwa terdapat
dominansi yang tergolong rendah.
Stasiun penelitian 1 dan 2 memiliki nilai indeks keanekaragaman dan kemerataan
terendah yaitu 0 dengan nilai indeks dominansi tertinggi sebesar 1. Nilai indeks
keanekaragaman yang rendah (0) dan kemerataan yang rendah (0) serta nilai indeks
dominansi yang tinggi (1) pada stasiun 1 dan 2 menandakan terdapat kondisi yang tidak stabil
(Krebs 1985: 584) dan terdapat jenis lamun yang mendominansi. Kondisi yang tidak stabil
pada ekosistem dapat dikarenakan adanya tekanan ekologi (Waite 2000: 52). Tekanan ekologi
yang mungkin terjadi pada stasiun 1 dan 2 antara lain, substrat, intensitas cahaya, dan
aktivitas manusia. Hasil penelitian pada stasiun 1 dan 2 terdapat 1 jenis lamun Thalassia
hemprichii yang tumbuh secara monospesifik, sehingga tidak terdapat keanekaragaman dan
kemerataan pada stasiun 1 dan 2. Menurut Green & Short (2003: 171) Thalassia hemprichii
merupakan lamun yang sering dijumpai tumbuh secara monospesifik di Indonesia.
Substrat merupakan faktor pembatas keberadaan lamun di suatu wilayah (Yanti dkk.
2015: 9). Substrat pada stasiun 1 didominansi oleh batu dan kerikil besar (31%) dan stasiun 2
memiliki substrat batu dan kerikil besar (25%) dengan persentase yang lebih besar
dibandingkan stasiun 3 dan 4. Substrat batu dan kerikil besar pada stasiun 1 dan 2 membuat
lamun sulit tumbuh, dikarenakan secara umum lamun tumbuh pada substrat berpartikel kecil
seperti pasir dan lumpur (Borum dkk. 2004: 20). Namun Thalassia hemprichii memiliki
kemampuan untuk hidup pada berbagai substrat (Alberto dkk. 2015: 31) dan lebih menyukai
tumbuh pada substrat yang lebih kasar, seperti pasir kasar dengan debu pecahan cangkang dan
karang (Green & Short 2003: 69). Hal tersebut menguatkan alasan tumbuhnya lamun
monospesifik Thalassia hemprichii pada stasiun 1 dan 2.
Intensitas cahaya pada stasiun 1 sebesar 81670 lux dan stasiun 2 sebesar 77370 lux.
Intensitas cahaya di Muara Binuangeun memiliki kecenderungan menurun di setiap stasiun
mulai dari stasiun 1 hingga stasiun 4 diikuti dengan kenaikan nilai keanekaragaman dan
kualitas tumbuh lamun yang dilihat dari persen penutupan, kerapatan, dan frekuensi jenis.
Oleh karena itu, terdapat kemungkinan bahwa faktor intensitas cahaya berperan penting
Struktur komunitas ..., Tety Ariska, FMIPA UI, 2016
terhadap keberadaan lamun. Stasiun 1 dengan intensitas cahaya 81670 lux tergolong dalam
kategori fotoinhibisi yang mengakibatkan proses fotosintesis lamun terganggu. Fotosintesis
lamun yang terganggu karena intensitas cahaya yang tinggi disebabkan oleh penguapan air di
dalam sel. Penguapan air yang berlangsung terus menerus dapat menyebabkan kerusakan
permanen pada sel yang diakibatkan karena pengerutan sel (Lan 2005: 33). Sedangkan stasiun
2 memiliki intensitas cahaya yang tergolong light saturated, dimana jumlah cahaya sudah
tidak berpengaruh terhadap bertambahnya laju fotosintesis (Hopkins dkk. 2008: 226).
Kondisi lamun dapat dipengaruhi oleh faktor alam dan parameter lingkungan, namun
Short & Echeverria (1995: 17) menyatakan bahwa aktivitas manusia juga berpengaruh
terhadap penurunan dan kerusakan padang lamun di suatu wilayah. Selain itu, aktivitas
manusia juga memengaruhi distribusi lamun di suatu wilayah (Short dkk. 2007: 4). Aktivitas
manusia di stasiun 1 dan 2 seperti kegiatan rekreasi dan kegiatan perikanan merupakan
kegiatan manusia yang dapat menyebabkan kerusakan bagi lamun.
Stasiun penelitian 3 dan 4 memiliki nilai indeks keanekaragaman yang tergolong
rendah. Nilai indeks keanekaragaman pada stasiun 3 sebesar 0,69 dan stasiun 4 sebesar 0,73.
Meskipun dengan nilai keanekaragaman yang rendah, namun stasiun 3 dan 4 memiliki nilai
indeks kemerataan yang tinggi yaitu secara berurutan 0,63 dan 0,67. Nilai indeks dominansi
pada stasiun 3 tergolong sedang yaitu sebesar 0,52 dan stasiun 4 tergolong rendah yaitu
sebesar 0,49. Nilai indeks kemerataan yang tinggi pada stasiun 3 dan 4 menandakan bahwa
ekosistem berada pada kondisi yang relatif stabil ditandai dengan jumlah individu setiap
jenis yang relatif sama (Fitriany dkk. 2015: 6).
Nilai indeks dominansi stasiun 3 tergolong sedang yaitu sebesar 0,52, menandakan
terdapat jenis lamun yang mendominansi, dengan kategori sedang yaitu Cymodocea
rotundata. Cymodocea rotundata merupakan jenis lamun dengan kerapatan tertinggi pada
stasiun 3 sebesar 998 individu/m2 yang lebih banyak dibandingkan dengan Thalassia
hemprichii sebesar 652 individu/m2. Hal tersebut dapat dikarenakan substrat pada stasiun 3
yang didominansi oleh pasir dan lumpur (58%) merupakan persentase tertinggi dari semua
stasiun. Substrat pasir dan lumpur mendukung untuk pertumbuhan Cymodocea rotundata
(Green & Short 2003: 144), namun tidak untuk jenis Thalassia hemprichii yang lebih
menyukai susbtrat yang lebih kasar (Green & Short 2003: 69).
Berbeda dengan stasiun 1, 2, dan 3, nilai indeks dominansi pada stasiun 4 (0,49)
tergolong rendah, ditandai 2 dari 3 lamun yaitu Thalassia hemprichii dan Cymodocea
rotundata memiliki jumlah individu yang relatif sama. Hasil penelitian menunjukkan pada
stasiun 4 Thalassia hemprichii memiliki kerapatan sebesar 529 individu/m2 dan Cymodocea
Struktur komunitas ..., Tety Ariska, FMIPA UI, 2016
rotundata memiliki kerapatan 649 individu/m2. Jumlah yang relatif sama tersebut dapat
dikarenakan substrat pada stasiun 4 merupakan pasir dan lumpur sebesar 53%. Tipe substrat
tersebut mendukung pertumbuhan Cymodocea rotundata (Green & Short 2003: 144), namun
dikarenakan persentase substrat pasir dan lumpur yang lebih kecil dibandingkan dengan
stasiun 3, maka kerapatan Cymodocea rotundata pada stasiun 4 mengalami penurunan
sehingga didapatkan kerapatan Cymodocea rotundata dan Thalassia hemprichii yang relatif
sama.
Meskipun secara umum keanekaragaman lamun di Muara Binuangeun tergolong
rendah, namun perairan Muara Binuageun memiliki faktor lingkungan yang baik dan
mendukung pertumbuhan lamun secara umum, sehingga dapat terjadi perubahan
keanekaragaman lamun di Muara Binuangeun. Padang lamun dapat mengalami proses
suksesi atau perubahan komposisi dan kelimpahan jenis lamun dikarenakan faktor
lingkungan yang berubah-ubah. Proses suksesi pada padang lamun umumnya diawali oleh
jenis lamun yang berukuran lebih kecil (pioneer species) seperti jenis Halodule uninervis,
sedangkan lamun yang berukuran lebih besar seperti Enhalus acoroides merupakan jenis
puncak dari suatu suksesi (climax species) (Hemminga & Duarte 2000, lihat Irawan 2015: 3).
Berdasarkan data yang didapat pada masing-masing stasiun di Muara Binuangeun
didapatkan jenis lamun Thalassia hemprichii yang mendominansi. Jenis Thalassia
hemprichii merupakan jenis lamun yang termasuk dalam jenis puncak (climax species)
(Lefaan 2009: 1). Komunitas lamun jenis puncak (climax species) merupakan jenis terakhir
yang akan tumbuh dengan stabil atau tidak berubah, dikarenakan jenis tersebut dapat
menyesuaikan diri dengan perubahan kondisi lingkungan (Gallegos dkk 1994: 99). Selain itu
jenis Halodule uninervis yang paling sedikit ditemukan di Muara Binuageun, termasuk
dalam jenis pionir (pioneer species) yang akan hilang karena tidak dapat menyesuaikan diri
dengan perubahan kondisi lingkungan (Gallegos dkk 1994: 99).
Analisis Kelompok (Cluster Analysis)
Analisis kelompok adalah teknik analisis yang digunakan untuk mengklasifikasikan
data menjadi sejumlah kecil kelompok berdasarkan dua atau lebih variabel (Finch 2005: 85).
Analisis klaster pada penelitian ini digunakan untuk mengetahui kemiripan antar stasiun
penelitian di Muara Binuangeun. Dendogram (Gambar 4) menggambarkan bahwa semua
stasiun penelitian memiliki nilai kemiripan lebih besar dari 0,45. Menurut Dalirsefat dkk.
(2009 : 4) koefisien dice memiliki kisaran 0--1 dimana tingkat kemiripan akan semakin tinggi
Struktur komunitas ..., Tety Ariska, FMIPA UI, 2016
apabila nilai kemiripan mendekati 1. Stasiun 1 dan 2, memiliki nilai kemiripan sebesar 1 yang
menandakan bahwa kedua stasiun tersebut sangat mirip. Stasiun 1 dan 2 memiliki jumlah
jenis lamun dan lokasi yang sama yaitu hanya terdapat 1 jenis lamun Thalassia hemprichii
dan lokasi yang menjadi tempat rekreasi. Stasiun 3 dan 4 juga memiliki nilai kemiripan
sebesar 1 yang menandakan bahwa stasiun tersebut sangat mirip. Hal tersebut dikarenakan
stasiun 3 dan 4 memiliki jumlah jenis lamun yang sama yaitu 3 jenis lamun, Thalassia
hemprichii, Cymodocea rotundata, dan Halodule uninervis. Selain itu kondisi stasiun 3 dan 4
bukan merupakan tempat rekreasi, sehingga pantai relatif sepi pengunjung. Stasiun 1, 2, 3,
dan 4 memiliki nilai kemiripan 0,5 yang dikarenakan setiap stasiun memiliki jenis Thalassia
hemprichii yang dapat hidup pada berbagai jenis substrat seperti batu, kerikil, pasir dan
lumpur (Alberto dkk. 2015: 31). Hasil analisis klaster dapat dilihat pada Gambar 4.
Kesimpulan
Muara Binuangeun memiliki padang lamun yang terdiri atas 3 jenis lamun yaitu
Thalassia hemprichii yang termasuk suku Hydrocharitaceae, serta Cymodocea rotundata dan
Halodule uninervis yang termasuk suku Potamogetonaceae. Persentase tutupan lamun
tertinggi di Muara Binuangeun terdapat pada stasiun 4, sedangkan persentase tutupan
terendah terdapat pada stasiun 1. Frekuensi lamun tertinggi di Muara Binuangeun yaitu lamun
jenis Thalassia hemprichii dan frekuensi terendah pada lamun jenis Halodule uninervis.
Kerapatan lamun tertinggi di Muara Binuangeun terdapat pada stasiun 3, sedangkan kerapatan
lamun terendah terdapat pada stasiun 1. Thalassia hemprichii memiliki indeks nilai
1.00
Gambar 4. Dendogram kemiripan antar stasiun di Muara Binuangeun
Struktur komunitas ..., Tety Ariska, FMIPA UI, 2016
kepentingan tertinggi di Muara Binuangeun dan Halodule uninervis memiliki indeks nilai
kepentingan terendah di Muara Binuangeun. Nilai indeks keanekaragaman keempat stasiun di
Muara Binuangeun tergolong rendah. Indeks kemerataan di stasiun 1 dan 2 tergolong rendah,
sedangkan pada stasiun 3 dan 4 tergolong tinggi. Nilai indeks dominansi di stasiun 1 dan 2
tergolong tinggi, stasiun 3 tergolong sedang, dan stasiun 4 tergolong rendah. Secara umum
struktur komunitas lamun di Muara Binuangeun tergolong tidak stabil karena memiliki
tingkat keanekaragaman yang rendah, kemerataan yang rendah, serta tingkat dominansi yang
tinggi.
Saran
Perlu dilakukan pengukuran morfologi lamun seperti panjang dan lebar daun, serta
jarak antar nodus lamun agar dapat membandingkan tingkat pertumbuhan lamun di Muara
Binuangeun dengan daerah lain. Diperlukan parameter lingkungan yang lebih lengkap, seperti
kandungan nutrien dalam air dan substrat, sehingga dapat dilakukan analisis yang lebih
mendalam. Perlu dilakukan monitoring lamun dan biota padang lamun secara berkala untuk
mengetahui perubahan ekosistem yang terjadi, sehingga dapat membantu perencanaan
pengelolaan wilayah perairan di Muara Binuangeun.
Daftar Acuan Alberto, A.M.P., M.P. Hechanova & G.C. Sigua. 2015. Assessing diversity and phytoremediation potential of
seagrass in tropical region. International Journal of Plant, Animal, and Environmental Science, 5(4):
24--35.
Azkab, M.H. 1999. Pedoman inventarisasi lamun. Oseana, 24(1): 1--16 .
Borum, J., C.M. Duarte, D. Krause-Jensen & T.M. Greve. 2004. European seagrasses: an introduction to
monitoring and management. The M&MS project, ? : vii + 88 hlm.
Chin, A. 2005. Environmental status: Seagrass. Barrier Reef Marine Park Authority, Townsville : 13 hlm.
Dalirsefat, S.B., A.D.S. Meyer & S.Z. Mirhoseini. 2009. Comparison of similarity coefficients used for cluster
analysis with amplified fragment length polymorphism markers in the silkworm, Bombyx mori. Journal
of Insect Science, 9(71): 1--8.
Denny, M. W. & S.D. Gaines. 2007. Encyclopedia of tidepools & rocky shores. University of California Press,
Ltd. Berkeley: xxvii + 687 hlm.
Efendi, Y. 2008. Biologi laut jilid 2. Bung Hatta University Press, Padang: vii + 210 hlm.
El Shaffai, A. 2011. Field guide to seagrasses of the red sea 1st ed. IUCN & Total Foundation, Gland &
Courbevoie: viii + 56 hlm.
Struktur komunitas ..., Tety Ariska, FMIPA UI, 2016
Feryatun, F., B. Hendrarto & N. Widyorini. 2012. Kerapatan dan distribusi lamun (seagrass) berdasarkan zona
kegiatan yang berbeda di Perairan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu. Journal of Management of
Aquatic Resources, ?(?): 1--7.
Finch, H. 2005. Comparison of distance measures in cluster analysis with dichotomous data. Journal of Data
Science, 3(2005): 85--100.
Fitriany, R.A.M., Suhadi & Sunarmi. 2015. Studi keanekaragaman tumbuhan herba pada area tidak bertajuk blok
curah jarak di hutan musim Taman Nasional Baluran. Jurnal jurusan biologi FMIPA Universitas Negeri
Malang, ?(?): 1--12.
Gallegos, M.E., M. Merino, A. Rodriguez, N. Marba & C.M. Duarte. 1994. Growth pattern and demography of
pioneer Caribbean seagrass Halodule wrightii and Syringodium filiforme. Marine Ecology Progress
Series, 109(?): 99--104.
Green, E.P. & F. Short. 2003. World atlas of seagrasses. University of California Press, Berkeley: xii + 298 hlm.
Hardiyanti, S., M.R. Umar & D. Priosambodo. 2014. Analisis vegetasi lamun di Perairan Pantai Mara’Bombang
Kabupaten Pinrang. Jurnal Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas
Hasanuddin, Makassar ?(?): 1--11.
Harpiansyah, A. Pratomo & F. Yandri. 2014. Struktur komunitas padang lamun di perairan Desa Pengudang
Kabupaten Bintan. Universitas Maritim Raja Ali Haji, ?(?): 1--15.
Hopkins, W.G. & N.P.A. Huner. 2008. Introduction to plant physiology. John Wiley & Sons, Inc. New Jersey:
xviii + 489 hlm.
Irawan, A. 2015. Struktur, fungsi dan faktor-faktor yang mempengaruhi ekosistem lamun. Lonawarta, 21(1): 1--
8.
Kepel, R.C. & S. Baulu. 2011. Komunitas lamun di Perairan Pesisir Pulau Yamdena, Kabupaten Maluku
Tenggara Barat. Jurnal Perikanan dan Kelautan Tropis. 7(1): 27--31.
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 200. 2004. Kriteria baku kerusakan dan pedoman penentuan
status padang lamun . Menteri Negara Lingkungan Hidup, Jakarta: 16 hlm.
Krebs, C.J. 1985. Ecology The experimental analysis of distribution and abundance 3rd ed. Harper Collins
Publishers Inc, New York: xiii + 800 hlm.
Kuo, J. 2007. New monoecious seagrass of Halophila sulawesii (Hydrocharitaceae) from Indonesia. Science
Direct 87(2): 171--175.
Lan, C.Y., W.Y. Kao, H.J. Lin & K.T. Shao. 2005. Measurement of chlorophyll fluorescence reveals
mechanisms for habitat niche separation of the intertidal seagrasses Thalassia hemprichii and Halodule
uninervis. Marine Biology 148(2005): 25--34.
Lefaan, P.T. 2009. Kestabilan habitat lamun ditinjau dari komposisi dan kepadatan jenis. Jurnal Ilmiah Fakultas
MIPA Universitas Negeri Papua, 8(1): 1--?.
Mahfud, Anas. 2012. Padang lamun. Fakultas Pertanian, Universitas 17 Agustus 1945, Banyuwangi: 6 hlm.
Mazzotti, F.J., L.G. Pearlstine., R. Chamberlain., T. Barnes., K. Chartier., D. DeAngelis. 2007. Stressor response
models for Seagrasses, Halodule wrightii and Thalassia testudnium. Final report to the South Florida
Water Management District and the U.S. Geological Survey. University of Florida, Florida Lauderdale
Research and Education Center, Florida: iv + 19 hlm.
Mimura, N. 2008. Asia-Pasific coast and their management: States of enviroment. Springer, Dordrech: 367 hlm.
Struktur komunitas ..., Tety Ariska, FMIPA UI, 2016
Nichols, G. 2009. Sedimentology and stratigraphy 2nd ed. A.John Wiley & Sons, Ltd.Chichester: xi + 411 hlm.
Nybakken, J.W. 1988. Biologi laut: Suatu pendekatan ekologis. Terj. dari Marine biology: An ecological
approach. Oleh Eidman, M., Koesoebiono, D.G. Bengen, M.Hutomo & S. Sukardjo. PT. Gramedia,
Jakarta: xv + 459 hlm.
Rustam, A., T. L. Kepel, R. N. Afiati, H. L. Salim, M. Astrid, A. Daulat, P. Mangindaan, N. Sudirman, Y.
Puspitaningsih, D. Dwiyanti & A. Hutahaean. 2014. Peran lamun sebagai blue carbon dalam mitigasi
perubahan iklim, studi kasus Tanjung Lesung, Banten. Kementerian kelautan dan perikanan, ?(?): 1--
14.
Short, F., T. Carruthers, W. Dennison & M. Waycott. 2007. Global seagrass distribution and diversity: A
bioregional model. Journal of Experimental Marine Biology and Ecology 350(?): 3--20 hlm.
Short, F.T.& S.W. Echeverria. 1996. Natural and human-induced disturbance of seagrasses. Foundation for
Enviromental Conservation, 23(1):17--27.
Smith, R.L.& T.M.Smith. 2001. Ecology & field Biology 6th ed. Addison Wesley Longman Inc., New York: xiv
+ 771 hlm.
Vibol, O., S. Nam, L. Puy, & P.S. Wath. 2010. Seagrass diversity and distribution in coastal area of Kampot
Povince, Cambodia. International Journal of Enviromental and Rural Development, 1(2): 112--
117.
Waite, S. 2000. Statistical ecology in practice: A guide to analysing environmental and ecological field data.
Prentice Hall, Harlow: xx + 414 hlm.
Wisnubudi, G. & E. Wahyuningsih. 2012. Kajian ekologis ekosistem sumberdaya lamun dan biota laut
asosiasinya di Pulau Pramuka, Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu (TNKpS). Sistem informasi
penelitian dan pengabdian masyarakat universitas nasional, ?(?): 1--13 hlm.
Yanti, M., Muzahar & F. Idris. 2015. Struktur komunitas lamun pantai Sakera Kecamatan Bintan Utara
Kabupaten Bintan. Jurnal Jurusan Ilmu Kelautan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas
Maritim Raja Ali Haji, ?(?):1--14.
Yulianto, K. 2007. Panduan survei tumbuhan laut (makroalgae, lamun, mangrove. Pusat Penelitian Oseanografi,
LIPI : iv + 54 hlm.
Yusuf, M. 2014. Keanekaragaman lamun di perairan sekitar Pulau Dudepo Kecamatan Anggrek Kabupaten
Gorontalo Utara. Skripsi Jurusan Teknologi Hasil Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Universitas Negeri Gorontalo, Gorontalo: 54 hlm.
Struktur komunitas ..., Tety Ariska, FMIPA UI, 2016