pedoman inventarisasi lamun

Upload: s-de-kcong

Post on 18-Oct-2015

229 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

Buku ini merupakan petunjuk ataupedoman dalam inventarisasi lamun mulaipengambilan contoh (sample) di lapangansampai analisis atau pengolahan data dilaboratorium

TRANSCRIPT

  • Oseana, Volume XXIV, Nomor 1, 1999 : 1- 16 ISSN 0216-1877

    PEDOMAN INVENTARISASI LAMUN

    oleh

    M. Husni Azkab 1)

    ABSTRACT

    THE GUIDELINES OF THE SEAGRASS INVENTORY. The seagrass ecosystems is one of the most productive marine ecosystem in the shallow waters. Amongs 50 species of seagrass in the world, 12 species have been found in Indonesia waters. The aim of the seagrass inventory is to know the seagrass resources in the area, therefore, wo should know the seagrass distribution, the seagrass density and biom- ass. The key of the Indonesian seagrasses was described.

    PENDAHULUAN

    Lamun (seagrass adalah tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang dapat tumbuh dengan baik dalam lingkungan laut dangkal (WOOD et al. 1969). Semua lamun adalah tumbuhan berbiji satu (monokotil) yang mempunyai akar, rimpang (rhizoma), daun, bunga dan buah seperti halnya dengan tumbuhan berpembuluh yang tumbuh di darat (TOMLINSON 1974). Jadi sangat berbeda dengan rumput laut (algae).

    Ada sekitar 50 jenis lamun yang ditemukan di dunia yang tumbuh pada perairan laut dangkal yang berdasar lumpur atau pasir. Lamun ini terdiri dari dua suku (famili) yaitu suku Potamogetonacea (9 marga, 35 jenis) dan suku Hydrochoraticea (3 marga, 15 jenis) (Den HARTOG 1970; PHILLIPS & MENEZ 1988). Dari 50 jenis lamun tersebut, ada 12 jenis yang

    telah ditemukan di Indonesia yaitu Syringodium isoetifolium, Halophila ovalis, Halophila spinulosa, Halophila minor, Halophila decipiens, Halodule pinifolia, Halodule uninervis. Thalassodendron ciliatum, Cymodocea rotundata, Cymodocea serrulata, Thalassia hemprichii dan Enhalus acoroides (Tabel 1.). Di antara ke duabelas jenis lamun tersebut. Thalassendron ciliatum mempunyai sebaran yang terbatas, sedangkan Halophila spinulosa tercatat di daerah Riau, Anyer, Baluran, Irian Jaya. Belitung dan Lombok. Begitu pula Halophila decipiens baru ditemukan di Teluk Jakarta. Teluk Moti-moti dan Kepulauan Aru (Den HARTOG) 1970).

    Dari hasil penelitian para peneliti diketahui bahwa peranan lamun di lingkungan perairan laut dangkal adalah sebagai berikut: 1. Sebagai Produsen Primer

    Lamun mempunyai tingkat produktivitas

    1) Balitbang Biologi Laut, Puslitbang Oseanologi-LIPI, Jakarta

    1

    sumber:www.oseanografi.lipi.go.id

    Oseana, Volume XXIV no. 1, 1999

  • primer tertinggi bila dibandingkan dengan ekosistem lainnya yang ada di laut dangkal seperti ekosistem mangrove dan ekosistem terumbu karang (THAYER et al 1975; QOSIM & BHATTATHIRI 1971).

    2. Sebagai Habitat Biota Lamun memberikan tempat perlindungan dan tempat menempel berbagai hewan dan tumbuh-tumbuhan (algae). Disamping itu, padang lamun (seagrass beds) dapat juga sebagai daerah asuhan, padang pengembalaan dan makanan dari berbagai jenis ikan herbivora dan ikan-ikan karang (coral fishes) (KIKUCHI & PERES 1977).

    3. Sebagai Penangkap Sedimen Daun lamun yang lebat akan memperlambat air yang disebabkan oleh arus dan ombak, sehingga perairan disekitarnya menjadi tenang. Disamping itu, rimpang dan akar lamun dapat menahan dan mengikat sedimen, sehingga dapat menguatkan dan menstabilkan dasar permukaan. Jadi padang lamun yang berfungsi sebagai penangkap sedimen dapat mencegah erosi (GINGSBURG & LOWENSTAN 195 8, THORAUG& AUS-TIN 1976).

    4. Sebagai Pendaur Zat Hara Lamun memegang peranan penting dalam pendauran berbagai zat hara dan elemen-elemen yang langka di lingkungan laut. khususnya zat-zat hara yang dibutuhkan oleh algae epifitik.

    Tulisan ini merupakan petunjuk atau pedoman dalam inventarisasi lamun mulai pengambilan contoh (sample) di lapangan sampai analisis atau pengolahan data di laboratorium. Di samping itu, disajikan Kunci Identifikasi Lamun yang ditemukan di Indo-nesia lengkap dengan gambar-gambarnya (Den HARTOG 1970; PHILLIPS & MENEZ 1988). Data inventarisasi dapat membantu untuk mengetahui potensi lamun disuatu daerah sehingga dapat digunakan sebagai salah satu parameter dalam pengelolaan dan

    pengembangan ekosistem lamun khususnya dan wilayah pesisir pada umumnya.

    METODOLOGI INVENTARISASI LAMUN

    Menurut PHILLIPS & MENEZ (1988) dalam metodologi inventarisasi lamun yang bertujuan untuk mengetahui sumberdaya lamun disuatu daerah tertentu, maka yang perlu dikatahui adalah : a. Sebaran lamun, termasuk pembagian

    mintakat (zonasi) dari lamun. b. Kerapatan jenis lamun, termasuk

    tutupannya (cover) c. Biomassa lamun yang terdiri dari bagian

    diatas dan dibawah substrat (above dan under ground).

    1. Pangamatan lapangan dan Pengambilan contoh (sample)

    Untuk mengetahui mintakat sebaran lamun dilakukan pengamatan dengan metode garis transek (transect line method) yang tegak lurus dari pinggir pantai. Sebelum melaksanakan pengamatan transek, lebih dahulu dilakukan pengamatan pengenalan lapangan pada daerah yang akan diteliti untuk menentukan titik-titik transek. Pada transek tersebut ditarik meteran (rol meter) yang biasanya sepanjang 50 meter atau 100 meter. Lamun yang dilalui meteran tersebut dicatat jenisnya, komposisinya (tunggal atau campuran). dicatat jarak sebaran lamun, dicatat kedalaman air pada saat melakuakan pengamatan (DARTNALL & JONES 1986).

    Untuk pengamatan kerapatan jenis dan biomassa lamun dilakukan pengambilan contoh pada transek-transek yang telah ditetapkan. Transek dilakukan tegak lurus dari pinggir pantai sampai ke daerah yang tidak ditemukan lamun. Jarak transek satu dengan yang lainnya dan jarak satu titik dengan titik lainnya pada satu transek tergantung pada luas yang diamati atau diteliti. Jarak transek yang

    2

    sumber:www.oseanografi.lipi.go.id

    Oseana, Volume XXIV no. 1, 1999

  • satu dengan yang lain terdapat 250 meter, 500 meter, 1000 meter atau 1500 meter. Sedangkan jarak titik yang satu dengan titk yang lain pada satu transek dapat 25 meter atau 50 meter tergantung lebar padang lamun yang diamati. Pada setiap titik diambil contoh dengan menggunakan bingkai (frame) 25 x 25 cm sebanyak empat kali. Contoh lamun diambil seluruhnya (akar, rimpang dan daun). Kemudian dimasukkan ke dalam kantong plastik yang biasanya di beri formalin dengan konsentrasi 5%. Contoh-contoh lamun tersebut diberi tanda (label) dan dibawa ke laboratorium. Pengambilan contoh lamun untuk telaah kerapatan jenis dan biomassa lamun dapat juga dilakukan dengan pengambilan contoh secara acak sebanyak 10 kali (25 x 25 cm). Untuk pengamatan tutupan (cover) lamun dilakukan transek dengan jarak 10 meter yang paralel dengan transek yang lain.

    2. Analisis dan Pengolahan Data di Laboratorium

    Dari hasil pengamatan mintakat sebaran lamun di lapangan akan dibuatkan profil transek yang akan ditampilkan dalam suatu gambar dengan memperlihatkan sebaran lamun, mintakat dan kedalaman air.

    Untuk analisis contoh dari penelitian kerapatan jenis dan biomassa lamun dilakukan kegiatan di laboratorium sebagai berikut: - Semua contoh lamun dibersihkan, dicuci

    dan diidentifikasi. - Hitung dan timbang jumlah tegakkan pada

    setiap jenis. - Satukan semua contoh lamun menurut

    jenisnya pada setiap titik. - Setiap contoh lamun dipisahkan antara

    daun, rimpang dan akar, kemudian ditimbang. Biasa juga daun laum dipisahkan dengan seludangnya serta rimpang dengan akarnya.

    - Semua contoh lamun dikeringkan dengan memasukkan ke dalam oven pada temperatus tetap 60 C selama 24 jam,

    kemudian ditimbang untuk mengetahui berat kering.

    Untuk menghitung kerapatan jenis digunakan rumus : D = Kerapatan jenis (jumlah tegakkan/m2) N = jumlah tegakkan A = luas area (m2) Untuk menghitung biomassa lamun digunakan rumus: B = Biomassa lamun (berat dalam gram/m2) W = berat basah atau berat kering dalam gram A = luas area dalam m2

    Biomassa lamun dapat dibedakan anatara biomassa lamun di atas substrat (above ground) dan di bawah substrat (under ground)

    Kerapatan jenis merupakan elemen struktur komunitas yang dapat digunakan untuk mengestimasi biomassa lamun, dengan kata lain biomassa lamun ada kaitannya dengan kerapatan jenis.

    Tabel 1 Kekayaan jenis dan sebaran lamun di

    perairan Indonesia.

    Keterangan: + = ada

    - = tidak ada 1 = Sumatera 2 = Jawa, Bali, Kalimantan 3 = Sulawesi 4 = Maluku dan Nusa Tenggara 5 = Irian Jay a

    3

    sumber:www.oseanografi.lipi.go.id

    Oseana, Volume XXIV no. 1, 1999

  • KUNCI UNTUK LAMUN INDONESIA (Den HARTOG 1970; PHILLIPS & MENEZ 1988)

    1. Daun pipih ............................................ 2 Daun berbentuk silindris .... Syringodium isoetifolium (Gambar 1).

    2. Daun bulat-panjang, bentuk seperti telur atau pisau wali ....................... Halophila a. Panjang helai daun 10-40 mm, mempunyai 10-25 pasang tulang daun .. ........................... H. ovalis (Gambar 2). Daun dengan 4-7 pasang tulang daun ...b. b. Daun sampai 22 pasang, tidak mempunyai tangkai daun, tangkai panjang. H. spinulosa (Gambar 3). Panjang Daun 0,5-1,5 cm, pasangan daun dengan tegakan pendek//. minor (Gambar 4) Daun dengan pinggir yang bergerigi seperti gergaji H. decipiens (Gambar 5). Daun membujur seperti garis, biasanya panjang 5-100 mm.................................3

    3. Daun berbentuk selempang yang menyempit pada bagian bawah . 4 Tidak seperti di atas..............................6.

    4. Tulang daun tidak lebih dari 3. Halodule a. Ujung daun membulat, ujung seperti gergaji ... H. pinifolia (Gambar 6). Ujung daun seperti trisula ...H. uninervis (Gambar 7). Tulang daun lebih dari 3.......................5.

    5. Jumlah akar 1-5 dengan tebal 0,5-2 mm, ujung daun seperti gigi Thalassodendron ciliatum (Gambar 8). Tidak seperti diatas...............Cymodecea a. Ujung daun halus (licin, Tulang daun 9-15 ..C. rotundata (Gambar 9). Ujung daun seperti gergaji, tulang daun 13-17 .............C. serrulata (Gambar 10).

    6. Rimpang berdiameter 2-4 tanpa rambut- rambut kaku; panjang daun 10-30, lebar 4-10cm. Thalassia hemprichii (Gambar 11). Rimpang berdiameter lebih 1 cm dengan rambut-rambut kaku; panjang daun 30-150 cm, lebar 13-17 mm. Enhalus acoroides (Gambar 12).

    Gambar 1. Syringodium iseotifolium (Ascherson) Dandy

    4

    sumber:www.oseanografi.lipi.go.id

    Oseana, Volume XXIV no. 1, 1999

  • Gambar 2. Halophila ovalis (R. Brown) Hooker f.

    5

    sumber:www.oseanografi.lipi.go.id

    Oseana, Volume XXIV no. 1, 1999

  • Gambar 3. Halophila spinulosa (R. Brown) Ascherson

    6

    sumber:www.oseanografi.lipi.go.id

    Oseana, Volume XXIV no. 1, 1999

  • Gambar 4. Halophila minor (Zollinger) den Hartog

    7

    sumber:www.oseanografi.lipi.go.id

    Oseana, Volume XXIV no. 1, 1999

  • Gambar 5. Halophila decipiens Ostenfeld

    8

    sumber:www.oseanografi.lipi.go.id

    Oseana, Volume XXIV no. 1, 1999

  • Gambar 6. Halodule pinifolia (Miki) den Hartog

    9

    sumber:www.oseanografi.lipi.go.id

    Oseana, Volume XXIV no. 1, 1999

  • Gambar 7. Halodule uninervis (Forsskal) Ascherson

    10

    sumber:www.oseanografi.lipi.go.id

    Oseana, Volume XXIV no. 1, 1999

  • Gambar 8. Thalassodendron ciliatum (Forsskal) den Hartog

    11

    sumber:www.oseanografi.lipi.go.id

    Oseana, Volume XXIV no. 1, 1999

  • Gambar 9. Cymodocea rotundata Erenberg and Hemprich ex Ascherson

    12

    sumber:www.oseanografi.lipi.go.id

    Oseana, Volume XXIV no. 1, 1999

  • Gambar 10. Cymodocea serrulata (R. Brown) Ascherson and Magnus

    13

    sumber:www.oseanografi.lipi.go.id

    Oseana, Volume XXIV no. 1, 1999

  • Gambar 11. Thalassia hemprichii (Ehrenberg) Ascherson

    14

    sumber:www.oseanografi.lipi.go.id

    Oseana, Volume XXIV no. 1, 1999

  • Gambar 12. Enhalus acoroides (Linneaus f.) Royle

    15

    sumber:www.oseanografi.lipi.go.id

    Oseana, Volume XXIV no. 1, 1999

  • DAFTAR PUSTAKA

    DARTNALL, AJ. and M. JONES (eds.) 1986. A manual of survey methods : living resources in coastal areas. ASEAN AUSTRALIA Cooperative Programme on Marine Science Handbook. Townsville, Australian Institute of Ma-rine Science: 167 pp

    DEN HARTOG, C. 1970. The seagrasses of the world. North Holland Publ. Co. Amsterdam: 275 pp.

    GINSBURG, R. and H.A. LOWESTAN 1958. The influence of marine bottom com-munities on the depositional environ-ments of sediment. J. Geol. 66 (3): 310-318.

    KIKUCHI, T. AND J.M. PERES 1977. Cosumer ecology of seagraa beds.. In : MCROY and C. HELFERICH (eds.) Seagrass ecosystem : A scientific per-spective. Mar. Sci. Vol. 4 Marcel Dekker Inc. New York: 357 pp.

    McROY, C.P. and J.J. GOERING 1974. Nu-trient transfer between the seagrass Zostera marina and its epiphytes. Na-ture 248:105-144.

    PHILLIPS, R.C. and E.G. MENEZ 1988. Seagrasses. Smithsonion Institution Press. Washington D.C. : 104 pp.

    QASIM, S.Z and P.M.A. BHATTATHIRI 1971. Primary production of a seagrass bed on Karavatti Atoll (Laccadives). Hydrobio 38: 29-38

    THAYER, G.W., S.M. ADAMS and M.W. LA CROIX 1975. Structural and functional aspects of a recently established Zostera marina community. In : L.E. CRONIN (ED.). Estuarine Research Vol. I. Aca-demic Press, New York:207 pp.

    THORHAUG, A. and C.B. AUSTIN 1976. Restoration of seagrass with economic analysis. Env. Conserv. 3 (4) : 259-257

    THOMLINSON, P.B. 1974. Vegetative mor-phology and meristem dependence - the Foundation of Productivity in seagrass. Aquaculture 4: 107-130.

    WOOD, E.J.F., W.E. ODUM and J.C. ZIEMAN 1969. Influence of seagrass on the productivity of coastal lagoons. In : Memoirs Symposium International Costeras (UNAM-UNESCO).. Nov 28-30-1967: 495-502

    16

    sumber:www.oseanografi.lipi.go.id

    Oseana, Volume XXIV no. 1, 1999