strategi peningkatan partisipasi sekolah … · partisipasi sekolah program wajib belajar jalur...
TRANSCRIPT
STRATEGI PENINGKATAN PARTISIPASI SEKOLAH PROGRAM WAJIB BELAJAR JALUR PENDIDIKAN
FORMAL DI KABUPATEN BOGOR
PRIMA YUNITA PARAMATA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tugas akhir Strategi Peningkatan Partisipasi Sekolah Program Wajib Belajar Jalur Pendidikan Formal di Kabupaten Bogor adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tugas akhir ini.
Bogor, Agustus 2012
Prima Yunita Paramata NRP H 252100035
ABSTRACT
PRIMA YUNITA PARAMATA. Strategy to Increase School Participation Compulsory Education Program at Formal Education in Bogor District. Under direction of SUMARDJO and LUKMAN M. BAGA
Implementation of primary and secondary education is one of the local government authority. In secondary education, the school participation rate is still less than 50 percent. There are four factors thought to affect the school participation rate, namely (1) internal factors of education, for example classroom capacity, availability of teachers, and the quality of education providers (2) conditions of community, for example parental income and education, interset of child to attend school, and child’s gender, (3) character of the area, like agriculture, trade/service,and industry, (4) local funding for education. The aims of this research are to analyze the internal education factors, conditions of community factors, character of the area that affect of school participation rate, the independence of local education funding, and to formulate the priorities strategic to improve the school participation. Multiple Linear Regression Analysis Method is used to analyze the internal education factors, Binary Logistic Regression Method is used to analyze the conditions of community factors, and character of the area, and the Independent Ratio is used to analyze the independence of local education funding. SWOT analysis is used to formulate the priorities strategic, followed by road map strategy to map these strategies in several years through a strategic architecture approach. According to the result of statistical test, classroom capacity is only one factor that significantly influence in the internal education factors. School participation rate will increase about 7,69 percent with the increasing of one percent of calssroom capacity. Parental education is significant influence in the conditions of community factors. Parents who graduated from junior high school and above are more likely to increase school participation than parents who graduated from elementary school and below. Agriculture and trade/service area are significant influence in character of the area. Trade/service area is more likely to increase school participation than agriculture and industry area. The independence of secondary education funding is showed a decrease from year to year. In 2008, the independence ratio is about 1.298, but in 2011, the independence ratio is about 38. There are nine strategies will be implemented through three policies in stages for five years with 11 programs and 21 projects that expected to improve the school participation. Signing of the MoU with the business, land acquisition, easements permitting for the establishment of schools, relocation of teachers, incentives permitting for teacher in certain areas and socialization of 12 years compulsory education are activities that allows performed in the first year.
Keywords : school participation rate, internal education factors, conditions of community factors, character of the area, local education funding, strategic priority.
RINGKASAN
PRIMA YUNITA PARAMATA. Strategi Peningkatan Partisipasi Sekolah Program Wajib Belajar Jalur Pendidikan Formal di Kabupaten Bogor. Dibimbing Oleh SUMARDJO dan LUKMAN M. BAGA.
Penyelenggaraan pendidikan diperlukan untuk mempersiapkan masyarakat Indonesia agar memiliki kualifikasi yang dibutuhkan untuk membangun negara. Dalam rangka menyukseskan tujuan tersebut, pemerintah telah mencanangkan program wajib belajar dan menyerahkan kewenangan penyelenggaraan pendidikan hingga jenjang pendidikan menengah kepada pemerintah daerah kabupaten /kota. Hingga saat ini, program wajib belajar tersebut belum dapat dituntaskan. Hal ini terlihat dari masih rendahnya capaian angka partisipasi sekolah terutama pada jenjang pendidikan menengah. Tingkat partisipasi sekolah yang diukur melalui capaian angka partisipasi murni pada jenjang pendidikan dasar formal di tingkat sekolah dasar di Kabupaten Bogor telah mencapai 115,43 persen dan untuk tingkat sekolah menengah pertama telah mencapai 87,52 persen hingga tahun 2011, namun pada jenjang pendidikan menengah formal baru mencapai 38,54 persen. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan untuk menganalisis faktor-faktor yang diduga mempengaruhi rendahnya tingkat partisipasi sekolah pada jenjang pendidikan menengah formal. Terdapat empat hal utama yang diduga mempengaruhi tingkat partisipasi sekolah, yaitu: (1) faktor internal pendidikan, meliputi : (a) ketersediaan daya tampung yang dalam hal ini diwakili oleh ketersediaan jumlah ruang kelas yang layak pakai, (b) ketersediaan guru yang berkualifikasi, dan (c) kualitas penyelenggaraan pendidikan yang diwakili oleh jumlah sekolah terakreditasi. (2) Faktor kondisi masyarakat, meliputi (a) penghasilan orang tua, dengan membandingkan antara penghasilan yang berada di bawah dan di atas UMK, dimana UMK Kabupaten Bogor pada tahun 2011 sebesar Rp 1.172.000,00 (b) pendidikan orang tua, dengan membandingkan antara orang tua yang berpendidikan SD ke bawah dan yang berpendidikan SMP ke atas, (c) minat anak bersekolah, dengan membandingkan antara anak yang berminat sekolah dengan anak yang tidak berminat sekolah, dan (g) jenis kelamin anak, dengan membandingkan antara laki-laki dan perempuan. (3) Faktor karakteristik wilayah, dengan membandingkan antara karakter pertanian, perdagangan jasa dan industri, serta (4) Faktor ketersediaan dana pendidikan. Berdasarkan beberapa faktor tersebut, maka penelitian ini bertujuan untuk menganalisis seberapa jauh pengaruh faktor-faktor internal pendidikan, kondisi masyarakat, karakteristik wilayah dan dukungan pendanaan dari pemerintah Kabupaten Bogor terhadap tingkat partisipasi sekolah pada jenjang pendidikan menengah. Diharapkan dari hasil analisis tersebut akan terumuskan prioritas strategi yang tepat diambil oleh Pemerintah kabupaten Bogor dalam upaya meningkatkan partisipasi sekolah khususnya pada jenjang pendidikan menengah.
Untuk mengetahui pengaruh faktor-faktor internal pendidikan terhadap tingkat partisipasi sekolah digunakan metode analisis regresi linear berganda. Metode analisis regresi logistik biner digunakan untuk mengetahui pengaruh faktor-faktor kondisi masyarakat dan faktor karakteristik wilayah terhadap partisipasi sekolah. Analisis korelasi digunakan untuk mengetahui seberapa jauh keeratan hubungan antar variabel serta analisis rasio kemandirian pendanaan pendidikan digunakan untuk mengetahui kemandirian Pemerintah Kabupaten
Bogor dalam pendanaan pendidikan menengah. Dengan menggunakan analisis deskriptif diharapkan dapat membantu menggambarkan dan menjelaskan secara deskriptif faktor-faktor yang dibutuhkan dalam mengidentifikasi faktor internal dan eksternal yang akan digunakan untuk merumuskan strategi melalui analisis SWOT. Identifikasi faktor internal dibatasi pada faktor internal pendidikan, sedangkan identifikasi faktor eksternal dibatasi pada faktor kondisi masyarakat, karakteristik wilayah, dan pendanaan Pemerintah Kabupaten Bogor terhadap pendidikan menengah. Hasil perumusan strategi melalui analisis SWOT kemudian dipetakan dalam bentuk prioritas strategi berdasarkan Road Map Strategy melalui pendekatan arsitektur strategi.
Hasil analisis regresi linear menunjukkan bahwa ketersediaan daya tampung berpengaruh secara signifikan dengan tingkat kepercayaan α=0,05 terhadap angka partisipasi murni dengan nilai korelasi sebesar 0,7. Sedangkan ketersediaan guru yang berkualifikasi dan jumlah sekolah yang terakreditasi tidak berpengaruh signifikan terhadap capaian angka partisipasi murni dengan tingkat korelasi masing-masing sebesar 0,1 dan 0,2. Persamaan menunjukkan bahwa penambahan satu persen jumlah ruang kelas yang layak pakai akan meningkatkan 7,69 persen angka partisipasi murni. Adapun penambahan satu persen jumlah guru yang berkualifikasi hanya dapat meningkatkan capaian APM sebesar 0,08 persen, sedangkan penambahan satu persen jumlah sekolah yang terakreditasi hanya mampu meningkatkan capaian APM sebesar 0,05 persen. Hasil analisis regresi logistik biner terhadap faktor kondisi masyarakat menunjukkan bahwa secara bersamaan, hanya variabel pendidikan orang tua yang berpengaruh secara signifikan terhadap partisipasi sekolah. Orang tua yang berpenghasilan di atas UMK dan berpendidikan SMP ke atas lebih berpeluang menyekolahkan anaknya daripada orang tua yang berpenghasilan di bawah UMK dan berpendidikan SD ke bawah. Anak yang berminat sekolah dan berjenis kelamin perempuan lebih berpeluang untuk bersekolah pada jenjang pendidikan menengah dibandingkan dengan anak yang tidak berminat sekolah dan laki-laki. Hasil analisis regresi logistik biner terhadap faktor karakteristik wilayah menunjukkan bahwa wilayah pertanian dan perdagangan/jasa berpengaruh signifikan terhadap partisipasi sekolah. Penduduk yang bertempat tinggal di wilayah yang berkarakteristik perdagangan/jasa lebih berpeluang untuk bersekolah dibandingkan dengan penduduk di wilayah industri dan pertanian. Hasil analisis rasio kemandirian menunjukkan bahwa ketergantungan Pemerintah Kabupaten Bogor terhadap dana bantuan dari pemerintah pusat dan provinsi semakin lama semakin meningkat. Hal ini terlihat dari semakin menurunnya rasio kemandirian daerah, yakni 1.298 pada tahun 2008 menjadi 38 pada tahun 2011.
Berdasarkan hasil analisis SWOT dapat dirumuskan sembilan strategi, meliputi dua strategi agresif, dua strategi stabilitasi/rasionalisasi, empat strategi diversifikasi dan satu strategi defensif. Strategi tersebut digunakan untuk menjalankan tiga kebijakan prioritas, yaitu (1) kebijakan optimalisasi pendanaan pendidikan menengah, (2) kebijakan peningkatan faktor internal pendidikan, dan (3) kebijakan peningkatan kondisi masyarakat. Prioritas strategi tersebut dipetakan melalui Road Map Strategy dengan pendekatan arsitektur strategi dalam bentuk pelaksanaan program/kegiatan untuk jangka waktu lima tahun dengan urutan sebagai berikut : (1) strategi optimalisasi pemanfaatan pendanaan pendidikan menengah. Strategi ini diimplementasikan ke dalam dua program yakni kerjasama pendanaan pendidikan dan penggalangan dana pendidikan untuk wajib belajar 12 tahun. Kerjasama pendanaan dapat ditempuh melalui kegiatan penandatanganan kerjasama dengan dunia usaha dan dunia industri
pada tahun pertama, sedangkan penggalangan dana pendidikan dapat ditempuh melalui kegiatan gerakan sadar menabung siswa sembilan tahun yang bisa dilakukan pada tahun keempat. (2) Meningkatkan aksesibilitas pendidikan di wilayah tertentu. Strategi ini diimplementasikan ke dalam satu program yakni pengembangan fasilitas terutama di wilayah pertanian yang ditempuh melalui empat kegiatan, yaitu pengadaan lahan pada tahun pertama, pemberian kemudahan perijinan bagi pembangunan sekolah baru pada tahun pertama, pembangunan sekolah baru pada tahun ketiga, dan pembangunan sekolah berbasis karakter wilayah pada tahun kelima. (3) Strategi optimalisasi aksesibilitas pendidikan berdasarkan kebutuhan wilayah. Strategi ini diimplementasikan ke dalam dua program, yaitu peningkatan daya tampung siswa terutama di wilayah pertanian dan penataan guru. Peningkatan daya tampung dapat ditempuh melalui tiga kegiatan yaitu pendirian SD-SMP-SMA satu atap yang memungkinkan untuk dilaksanakan pada tahun kedua, penambahan waktu oprasional sekolah yang memungkinkan dilaksanakan pada tahun ketiga, dan penambahan ruang kelas baru yang bisa dimulai pada tahun keempat. Sedangkan pemerataan pendidikan dapat ditempuh melalui tiga kegiatan, yaitu relokasi guru pada tahun pertama, pemberian insentif bagi guru khusus di wilayah tertentu pada tahun kedua, dan rekrutmen guru daerah yang bisa dilaksanakan pada tahun ketiga. (4) Strategi memperbaiki kualitas sarana dan prasarana pendidikan di wilayah yang membutuhkan. Strategi ini diimplementasikan ke dalam satu program yakni perbaikan sarana dan prasarana pendidikan yang ditempuh melalui dua kegiatan, yaitu rehabilitasi ruang kelas pada tahun kedua dan akreditasi lembaga pendidikan pada tahun kelima. (5) Strategi pemberian jaminan pendidikan daerah bagi siswa. Strategi ini diimplementasikan ke dalam satu program yakni bantuan daerah untuk siswa yang ditempuh melalui kegiatan pemberian beasiswa daerah dimulai pada tahun ketiga. (6) Strategi meningkatkan pemahaman masyarakat tentang wajib belajar 12 tahun. Strategi ini diimplementasikan ke dalam satu program yakni sosialisasi wajib belajar 12 tahun yang ditempuh melalui kegiatan gerakan sadar sekolah 12 tahun yang dimulai pada tahun pertama. (7) Strategi meningkatkan kepedulian penyelenggara pendidikan terhadap masyarakat. Strategi ini dapat dilaksanakan ke dalam satu program yaitu peningkatan kepedulian terhadap pendidikan masyarakat yang ditempuh melalui tiga kegiatan, yaitu pemberlakuan kuota siswa khusus untuk sekolah peduli lingkungan pada tahun keempat, pemberian beasiswa oleh sekolah swasta pada tahun kelima, dan penerapan sekolah murah bagi siswa kurang mampu pada tahun kelima. (8) Strategi meningkatkan peran dan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan. Strategi ini diimplementasikan ke dalam satu program yakni peningkatan peran komite sekolah yang ditempuh melalui kegiatan optimalisasi komite sekolah pada tahun ketiga. (9) Strategi meningkatkan pemberdayaan ekonomi masyarakat. Strategi ini diimplementasikan ke dalam satu program yakni optimalisasi lintas sektor yang ditempuh melalui kegiatan-kegiatan lintas sektor dan dapat dimulai pada tahun kedua.
Kata kunci : tingkat partisipasi sekolah, faktor internal pendidikan, faktor kondisi masyarakat, faktor karakteristik wilayah, pendanaan pendidikan daerah, priotitas strategi.
@Hak Cipta milik IPB, tahun 2012
Hak Cipta dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah
b. pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
STRATEGI PENINGKATAN PARTISIPASI SEKOLAH PROGRAM WAJIB BELAJAR JALUR PENDIDIKAN
FORMAL DI KABUPATEN BOGOR
PRIMA YUNITA PARAMATA
Tugas Akhir Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Profesional pada Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2012
Penguji Luar Komisi Ujian Tesis : Dr. Ir. Rasidin Karo-Karo Sitepu, M.Si
Judul Tesis : Strategi Peningkatan Partisipasi Sekolah Program Wajib Belajar Jalur Pendidikan Formal di Kabupaten Bogor
Nama : Prima Yunita Paramata
NRP : H 252100035
Disetujui
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Sumardjo, M.S Ketua
Ir. Lukman M. Baga, MA.Ec Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah
Dr. Ir. Ma’mun Sarma, M.S, M.Ec
Tanggal Ujian : 20 Juli 2012
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
Tanggal Lulus :
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2012 ini ialah peningkatan partisipasi sekolah, dengan judul Strategi Peningkatan Partisipasi Sekolah Program wajib Belajar Jalur Pendidikan Formal di Kabupaten Bogor.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Sumardjo, M.S dan Bapak Ir. Lukman M. Baga, MA.Ec selaku pembimbing, serta Bapak Dr. Ir. Rasidin Karo-Karo Sitepu, M.Si dan Bapak A.Faroby Falatehan, SP, M.Si yang telah banyak memberikan saran. Disamping itu, ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Ma’mun Sarma, M.S, M.Ec selaku ketua program studi Manajemen Pembangunan Daerah beserta segenap staf, Bupati Bogor yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melaksanakan tugas belajar, pimpinan dan staf Badan Kepegawaian, Pendidikan dan Pelatihan Kabupaten Bogor yang telah membantu kelancaran studi, Bapak Ujang Jelani dan Bapak Alexander yang membantu memberikan saran dalam pengumpulan dan pengolahan data, teman-teman MPD XII atas dukungannya, seluruh responden di Desa karehkel, Kelurahan Cisarua dan Desa Kembang Kuning yang telah membantu memberikan informasi yang dibutuhkan, serta mama, papa dan mertua atas segala doa dan dukungannya. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada suami tercinta, Nana Sarip Sumarna UP dan anak-anak tersayang, Alhana, Alyana dan Alqana yang telah memberikan perhatian dan kasih sayang yang tulus serta kekuatan dan doa bagi penulis untuk tetap semangat menyelesaikan karya ilmiah ini.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2012
Prima Yunita Paramata
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Manado pada tanggal 10 Juni 1973 dari ayah Ir. Katili Paramata dan ibu Dra. Heryaningsih. Penulis merupakan putri pertama dari tiga bersaudara.
Tahun 1990 penulis menamatkan pendidikan SMA dan mendapat kesempatan untuk melanjutkan pendidikan di IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB. Penulis memilih jurusan Sosial Ekonomi Perikanan pada Fakultas Perikanan IPB dan lulus pada tahun 1994. Pada tahun 2010 penulis mendapatkan beasiswa tugas belajar dari Pemerintah Kabupaten Bogor untuk melanjutkan pendidikan S2 pada program studi Manajemen Pembangunan Daerah IPB.
Penulis pernah bekerja sebagai peneliti pada divisi penelitian dan pengembangan PT. Japfa Comfeed Indonesia yang bergerak pada bidang pakan ternak di Banyuwangi, serta bekerja sebagai guru ekonomi dan akuntansi SMA pada Yayasan Bina Bangsa Sejahtera di Bogor. Sekarang ini penulis bekerja sebagai pegawai negeri sipil pada Subbid Pendidikan dan Kesehatan, Bidang Kesejahteraan rakyat dan Sosial Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Bogor.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI .............................................................................................. i DAFTAR TABEL ....................................................................................... iii DAFTAR GAMBAR ................................................................................. v DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... vii I. PENDAHULUAN .............................................................................. 1 1.1 Latar Belakang ....................................................................... 1 1.2 Perumusan Masalah ............................................................. 4 1.3 Tujuan ................................................................................... 6 1.4 Manfaat Penelitian ................................................................. 7 II. TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................... 9 2.1 Pendidikan Sebagai Bagian dari Pembangunan Ekonomi ...... 9 2.2 Definisi Pendidikan yang Terkait Penelitian ............................ 10 2.3 Penyelenggaraan Pendidikan dalam Otonomi Daerah .............. 11 2.4 Peran Pendidikan dalam pembangunan Wilayah .................. 12 2.5 Pelayanan dan Mutu Pendidikan ........................................... 13 2.6 Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Partisipasi Sekolah ........ 15 III. METODE PENELITIAN ................................................................... 25 3.1 Kerangka Pemikiran ............................................................ 25 3.2 Lokasi dan Waktu kajian ......................................................... 28 3.3 Jenis dan Sumber Data ........................................................... 29 3.4 Metode Analisis data .............................................................. 33 3.4.1 Analisis Statistik Deskriptif ........................................ 33 3.4.2 Analisis Regresi Linear Berganda ............................ 33 3.4.3 Analisis Regresi Logistik Biner ................................. 34 3.4.4 Analisis Korelasi ...................................................... 36 3.4.5 Analisis rasio Kemandirian ....................................... 36 3.5 Metode Perumusan Strategi ................................................... 37 3.5.1 Analisis SWOT ........................................................... 37 IV. KONDISI UMUM KABUPATEN BOGOR ........................................ 41 4.1 Kondisi Geografis dan Administrasi ...................................... 41 4.2 Kondisi Kependudukan ........................................................... 44 4.3 Kondisi Perekonomian ............................................................ 47 4.4 Kondisi Sosial ......................................................................... 49 4.5 Kondisi Umum Pendidikan di Kabupaten Bogor ..................... 52 V. FAKTOR-FAKTOR INTERNAL PENDIDIKAN ................................. 55 5.1 Hasil Analisis Paralel Seluruh variabel Faktor Internal terhadap Partisipasi Sekolah ............................................... 55 5.2 Daya Tampung Sekolah .......................................................... 58 5.3 Ketersediaan Guru .................................................................. 61 5.4 Penyelenggara Pendidikan dan Kualitas
Penyelenggaraan Pendidikan ................................................. 64 5.4.1 Capaian Angka Partisipasi Murni ............................ 65 5.4.2 Jumlah dan Kualitas Ruang Kelas ......................... 66 5.4.3 Kualitas Penyelenggaraan Pendidikan .................... 66 VI. FAKTOR-FAKTOR KONDISI MASYARAKAT ................................ 69 6.1 Hasil Analisis Paralel Seluruh Variabel Faktor Kondisi Masyarakat terhadap Partisipasi Sekolah ............................. 69 6.2 Faktor Orang Tua .................................................................... 70 6.2.1 Penghasilan Orang Tua ............................................. 71 6.2.2 Pendidikan Orang Tua ............................................... 73 6.3 Faktor Anak ........................................................................... 75 6.3.1 Minat Anak Bersekolah ............................................ 75 6.3.2 Jenis Kelamin ........................................................... 75 VII. FAKTOR KARAKTERISTIK WILAYAH ............................................ 79 7.1 Hasil Analisis Paralel Seluruh Variabel Faktor Karakteristik Wilayah terhadap Partisipasi Sekolah .............. 79 VIII. DUKUNGAN PENDANAAN PENDIDIKAN MENENGAH DI KABUPATEN BOGOR ..................................................................... 83 8.1 Kemandirian Anggaran Pendidikan di Kabupaten Bogor ........ 83 8.2 Alokasi Anggaran Pendidikan di Kabupaten Bogor ........ 83 8.3 Anggaran Pendidikan Menengah di Kabupaten Bogor ........ 88 IX. STRATEGI PENINGKATAN PARTISIPASI SEKOLAH ............. 93 9.1 Identifikasi Faktor Berdasarkan Analisis SWOT ................. 93 9.1.1 Identifikasi faktor Kekuatan (Strengths) ........... 93 9.1.2 Identifikasi Faktor Kelemahan (Weaknesses) ........ 94 9.1.3 Identifikasi Faktor Peluang ( Opportunities) ........... 96 9.1.4 Identifikasi Faktor Ancaman (Threats) .............. 97 9.2 Perumusan Alternatif Strategi Berdasarkan Analisis SWOT .... 98 9.2.1 Strategi S-O (Aggressive Strategies) .................. 99 9.2.2 Strategi W-O (Turn-Around Strategies) ................. 100 9.2.3 Strategi S-T (Diversification Strategies) ................. 101 9.2.4 Strategi W-T (Defensive Strategies) ................. 102 9.3 Penyusunan Road Map Strategy dan Prioritas Program/kegiatan Berdasarkan Pendekatan Arsitektur Strategi ............................................................... 103 9.3.1 Kebijakan Peningkatan Pendanaan Pendidikan........... 106 9.3.2 Kebijakan Peningkatan Faktor Internal Pendidikan ... 106 9.3.3 Kebijakan Peningkatan Kondisi Masyarakat Terutama di Wilayah Pertanian ............................................. 111 X. KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................... 115 10.1 Kesimpulan ........................................................................... 115 10.2 Saran ...................................................................................... 117 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 119 LAMPIRAN ................................................................................................ 124
DAFTAR TABEL
Halaman 1. Persentase Data Putus Sekolah di Berbagai Jenjang Pendidikan di Indonesia Tahun 2006-2009 ......................................................... 3 2. Perbandingan Jumlah Siswa Pada Jalur Pendidikan Formal dan Non Formal di Kabupaten Bogor Tahun 2011 ................................. 4 3. Kriteria Penentuan Kawasan Berdasarkan Sektor Pertanian, Perdagangan/Jasa, serta Industri ................................................... 30 4. Pemilihan Kecamatan Sampel Berdasarkan Kategori Sektor dan APM 31 5. Tujuan, Metode, Jenis dan Sumber Data ....................................... 32 6. Batasan Faktor Internal dan Eksternal dalam Analisis SWOT .... 37 7. Matriks SWOT ..................................................................................... 38 8. Kondisi Administratif Kabupaten Bogor Tahun 2012 .......................... 43 9. Pembagian Desa Pusat Pertumbuhan di Kabupaten Bogor .............. 44 10. PDRB Kabupaten Bogor tahun 2007-2010 .................................... 48 11. Capaian IPM Kabupaten Bogor Tahun 2007-2010 ...................... 49 12. Laju Peningkatan Capaian IPM Kabupaten Bogor Tahun 2007-2010 ................................................................................ 50 13. Perbandingan Kasus Masalah Sosial di kabupaten Bogor Tahun 2007 dan tahun 2010 ................................................................... 51 14. Hasil Analisis Statistik Pengaruh Faktor Internal Pendidikan terhadap Tingkat Partisipasi Sekolah ............................................ 56 15. Capaian APM SMA/Sederajat Tiap Kecamatan di Kabupaten Bogor Tahun 2011 .................................................................................... 57 16. Penyelenggaraan Pendidikan Menengah di Kabupaten Bogor Tahun 2011 ..................................................................................... 59 17. Perbandingan Guru-Sekolah Formal pada Jenjang Pendidikan Menengah di Setiap Kecamatan di Kabupaten Bogor Tahun 2010 .... 62 18. Komposisi Jumlah Guru dan Perbandingannya terhadap Sekolah di
Kabupaten Bogor Tahun 2011 ........................................................ 64 19. Perbandingan Penyelenggara Pendidikan Menengah Formal di Kabupaten Bogor Tahun 2011 ......................................................... 65
20. Perbandingan Kualitas Ruang Kelas Antar Penyelenggara Pendidikan Menengah Formal di Kabupaten Bogor Tahun 2011 ..... 66 21. Status Askreditasi Sekolah di Kabupaten Bogor Berdasarkan Jenis Sekolah Tahun 2011 ............................................................. 67 22. Hasil Analisis Statistik Pengaruh Faktor Kondisi Masyarakat terhadap Partisipasi Sekolah ......................................................... 66 23. Keadaan Responden Berdasarkan Penghasilan................................... 71 24. Responden Berdasarkan Penghasilan dan Jumlah Tanggungan Keluarga ......................................................................................... 72 25. Perbandingan Hubungan Penghasilan Orang Tua dengan Partisipasi Sekolah Anak di Lokasi Sampel ..................................................... 73 26. Persentase Responden Berdasarkan Pendidikan .......................... 74 27. Hubungan Pendidikan Orang Tua dengan Partisipasi Sekolah Anak Berdasarkan Lokasi Sampel ........................................................... 74 28. Hubungan Minat Anak Bersekolah dengan Partisipasi Sekolah
Berdasarkan Lokasi Sampel .......................................................... 75 29. Perbandingan Anak yang Bersekolah dan Tidak Bersekolah Berdasarkan Jenis Kelamin di Lokasi Sampel ................................ 77 30. Hasil Anaklisis Statistik Pengaruh Faktor Karakteristik Wilayah
terhadap Partisipasi Sekolah ....................................................... 79 31. Hubungan Antara Pekerjaan Orang Tua dengan Partisipasi Sekolah
Anak Berdasarkan Karakteristik Wilayah............................................... 81 32. Perkembangan Belanja APBD Kabupaten Bogor Tahun 2008-2011 .. 84 33. Perbandingan antara Persentase Kenaikan Belanja Langsung dan Belanja Tidak Langsung pada Anggaran Pendidikan Tahun 2008-2011 ........................................................................................ 87 34. Perbandingan Belanja Pendidikan Menengah terhadap Total Belanja Pendidikan ...................................................................................... 88 35. Perbandingan Dana Bantuan terhadap Belanja Pendidikan Menengah di Kabupaten Bogor Tahun 2008-2011 .......................... 90 36. Kebijakan, Strategi, Program dan Kegiatan Peningkatan Partisipasi Sekolah Jalur Pendidikan Formal di Kabupaten Bogor ................. 105
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1. Peringkat Pendidikan Indonesia terhadap Negara-Negara Asia Lainnya Tahun 2011 ...................................................................... 2 2. Capaian Angka Partisipasi Murni Jenjang Pendidikan Formal Tahun 2011 di Kabupaten Bogor................................................... 5 3. Kerangka Pemikiran Penelitian Strategi Partisipasi Sekolah Program Wajib Belajar di Kabupaten Bogor.................................................. 27 4. Letak Geografis Kabupaten Bogor .................................................. 41 5. Kepadatan Penduduk Kabupaten Bogor Menurut Wilayah............ 45 6. Struktur Penduduk Kabupaten Bogor Tahun 2010........................ 45 7. Persentase Penduduk Kabupaten Bogor yang Bekerja Menurut Sektor Tahun 2010......................................................................... 46 8. Permasalahan Kependudukan di Kabupaten Bogor....................... 47 9. Laju Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Bogor Tahun 2006-2010... 47 10. Laju Pertumbuhan PDRB Kabupaten Bogor Tahun 2007-2010..... 48 11. Laju Inflasi di Kabupaten Bogor Tahun 2006-2010......................... 49 12. Masalah Kesejahteraan Sosial di Kabupaten Bogor Tahun 2010 Berdasarkan latar belakang............................................................ 51 13. Perkembangan Jumlah Sekolah dalam Kewenangan Pemerintah Kabupaten Bogor Tahun 2007-2011.............................................. 52 14. Perbandingan Sekolah Negeri dan Swasta di Kabupaten Bogor Tahun 2007-2011.............................................................................. 53 15. Perkembangan Jumlah Guru di Kabupaten Bogor Tahun 2007-2011....................................................................................... 53 16. Perbandingan Jumlah Guru Negeri dan Swasta di Kabupaten Bogor Tahun 2007-2011............................................................................ 54 17. Kondisi Ruang Kelas Berdasarkan Jenis Pendidikan Menengah Formal di Kabupaten Bogor tahun 2011.......................................... 60 18. Perbandingan Capaian APM Penyelenggara Sekolah Negeri dan Swasta di Kabupaten Bogor Tahun 2011.......................................... 65
19. Keadaan Responden Berdasarkan Jenjang Pendidikan................. 73 20. Perbandingan Jumlah Anak Laki-laki dan Perempuan Berdasarkan Lokasi Sampel................................................................................ 76 21. Perbandingan Antara Anak laki-laki dan Perempuan yang Bersekolah dan Tidak Bersekolah.................................................. 76 22. Perbandingan Karakter Wilayah dengan Partisipasi Sekolah......... 80 23. Perkembangan Rasio Kemandirian Belanja Pendidikan Menengah di Kabupaten Bogor Tahun 2008-2011................................................ 83 24. Perkembangan Komposisi Belanja Langsung dan Tidak Langsung APBD Kabupaten Bogor Tahun 2008-2011....................................... 85 25. Perbandingan Belanja APBD dengan Belanja Pendidikan di Kabupaten Bogor tahun 2008-2011 .............................................. 86 26. Komposisi Belanja Tidak Langsung dan Belanja Langsung pada Anggaran Pendidikan di Kabupaten Bogor Tahun 2008-2011......... 87 27. Perbandingan Belanja Pendidikan Menengah terhadap Belanja Langsung dan Total Belanja Pendidikan di Kabupaten Bogor Tahun 2008-2011 ...................................................................................... 89 28. Persentase Peningkatan Jumlah Dana Bantuan Pendidikan Menengah di Kabupaten Bogor Tahun 2008-2011......................... 90 29. Matriks Analisis SWOT dan Perumusan Alternatif Strategi ........... 99 30. Road Map Prioritas Peningkatan Partisipasi Sekolah pada Jenjang Pendidikan Menengah di kabupaten Bogor................................... 113
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Hasil Analisis Statistik Pengaruh Faktor Internal terhadap
APM .......................................................................................... 124 2. Hasil Analisis Statistik Logistik Biner untuk Faktor Kondisi Masyarakat ................................................................................ 127 3. Hasil Analisis Statistik Logistik Biner Pengaruh Karakteristik Lingkungan terhadap Partisipasi Sekolah .................................... 132
i
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI .............................................................................................. i DAFTAR TABEL ....................................................................................... iii DAFTAR GAMBAR ................................................................................. v DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... vii I. PENDAHULUAN .............................................................................. 1 1.1 Latar Belakang ....................................................................... 1 1.2 Perumusan Masalah ............................................................. 4 1.3 Tujuan ................................................................................... 6 1.4 Manfaat Penelitian ................................................................. 7 II. TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................... 9 2.1 Pendidikan Sebagai Bagian dari Pembangunan Ekonomi ...... 9 2.2 Definisi Pendidikan yang Terkait Penelitian ............................ 10 2.3 Penyelenggaraan Pendidikan dalam Otonomi Daerah .............. 11 2.4 Peran Pendidikan dalam pembangunan Wilayah .................. 12 2.5 Pelayanan dan Mutu Pendidikan ........................................... 13 2.6 Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Partisipasi Sekolah ........ 15 III. METODE PENELITIAN ................................................................... 25 3.1 Kerangka Pemikiran ............................................................ 25 3.2 Lokasi dan Waktu kajian ......................................................... 28 3.3 Jenis dan Sumber Data ........................................................... 29 3.4 Metode Analisis data .............................................................. 33 3.4.1 Analisis Statistik Deskriptif ........................................ 33 3.4.2 Analisis Regresi Linear Berganda ............................ 33 3.4.3 Analisis Regresi Logistik Biner ................................. 34 3.4.4 Analisis Korelasi ...................................................... 36 3.4.5 Analisis rasio Kemandirian ....................................... 36 3.5 Metode Perumusan Strategi ................................................... 37 3.5.1 Analisis SWOT ........................................................... 37 IV. KONDISI UMUM KABUPATEN BOGOR ........................................ 41 4.1 Kondisi Geografis dan Administrasi ...................................... 41 4.2 Kondisi Kependudukan ........................................................... 44 4.3 Kondisi Perekonomian ............................................................ 47 4.4 Kondisi Sosial ......................................................................... 49 4.5 Kondisi Umum Pendidikan di Kabupaten Bogor ..................... 52 V. FAKTOR-FAKTOR INTERNAL PENDIDIKAN ................................. 55 5.1 Hasil Analisis Paralel Seluruh variabel Faktor Internal terhadap Partisipasi Sekolah ............................................... 55 5.2 Daya Tampung Sekolah .......................................................... 58 5.3 Ketersediaan Guru .................................................................. 61 5.4 Penyelenggara Pendidikan dan Kualitas
ii
Penyelenggaraan Pendidikan ................................................. 64 5.4.1 Capaian Angka Partisipasi Murni ............................ 65 5.4.2 Jumlah dan Kualitas Ruang Kelas ......................... 66 5.4.3 Kualitas Penyelenggaraan Pendidikan .................... 66 VI. FAKTOR-FAKTOR KONDISI MASYARAKAT ................................ 69 6.1 Hasil Analisis Paralel Seluruh Variabel Faktor Kondisi Masyarakat terhadap Partisipasi Sekolah ............................. 69 6.2 Faktor Orang Tua .................................................................... 70 6.2.1 Penghasilan Orang Tua ............................................. 71 6.2.2 Pendidikan Orang Tua ............................................... 73 6.3 Faktor Anak ........................................................................... 75 6.3.1 Minat Anak Bersekolah ............................................ 75 6.3.2 Jenis Kelamin ........................................................... 75 VII. FAKTOR KARAKTERISTIK WILAYAH ............................................ 79 7.1 Hasil Analisis Paralel Seluruh Variabel Faktor Karakteristik Wilayah terhadap Partisipasi Sekolah .............. 79 VIII. DUKUNGAN PENDANAAN PENDIDIKAN MENENGAH DI KABUPATEN BOGOR ..................................................................... 83 8.1 Kemandirian Anggaran Pendidikan di Kabupaten Bogor ........ 83 8.2 Alokasi Anggaran Pendidikan di Kabupaten Bogor ........ 83 8.3 Anggaran Pendidikan Menengah di Kabupaten Bogor ........ 88 IX. STRATEGI PENINGKATAN PARTISIPASI SEKOLAH ............. 93 9.1 Identifikasi Faktor Berdasarkan Analisis SWOT ................. 93 9.1.1 Identifikasi faktor Kekuatan (Strengths) ........... 93 9.1.2 Identifikasi Faktor Kelemahan (Weaknesses) ........ 94 9.1.3 Identifikasi Faktor Peluang ( Opportunities) ........... 96 9.1.4 Identifikasi Faktor Ancaman (Threats) .............. 97 9.2 Perumusan Alternatif Strategi Berdasarkan Analisis SWOT .... 98 9.2.1 Strategi S-O (Aggressive Strategies) .................. 99 9.2.2 Strategi W-O (Turn-Around Strategies) ................. 100 9.2.3 Strategi S-T (Diversification Strategies) ................. 101 9.2.4 Strategi W-T (Defensive Strategies) ................. 102 9.3 Penyusunan Road Map Strategy dan Prioritas Program/kegiatan Berdasarkan Pendekatan Arsitektur Strategi ............................................................... 103 9.3.1 Kebijakan Peningkatan Pendanaan Pendidikan........... 106 9.3.2 Kebijakan Peningkatan Faktor Internal Pendidikan ... 106 9.3.3 Kebijakan Peningkatan Kondisi Masyarakat Terutama di Wilayah Pertanian ............................................. 111 X. KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................... 115 10.1 Kesimpulan ........................................................................... 115 10.2 Saran ...................................................................................... 117 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 119 LAMPIRAN ................................................................................................ 124
iii
DAFTAR TABEL
Halaman 1. Persentase Data Putus Sekolah di Berbagai Jenjang Pendidikan di Indonesia Tahun 2006-2009 ......................................................... 3 2. Perbandingan Jumlah Siswa Pada Jalur Pendidikan Formal dan Non Formal di Kabupaten Bogor Tahun 2011 ................................. 4 3. Kriteria Penentuan Kawasan Berdasarkan Sektor Pertanian, Perdagangan/Jasa, serta Industri ................................................... 30 4. Pemilihan Kecamatan Sampel Berdasarkan Kategori Sektor dan APM 31 5. Tujuan, Metode, Jenis dan Sumber Data ....................................... 32 6. Batasan Faktor Internal dan Eksternal dalam Analisis SWOT .... 37 7. Matriks SWOT ..................................................................................... 38 8. Kondisi Administratif Kabupaten Bogor Tahun 2012 .......................... 43 9. Pembagian Desa Pusat Pertumbuhan di Kabupaten Bogor .............. 44 10. PDRB Kabupaten Bogor tahun 2007-2010 .................................... 48 11. Capaian IPM Kabupaten Bogor Tahun 2007-2010 ...................... 49 12. Laju Peningkatan Capaian IPM Kabupaten Bogor Tahun 2007-2010 ................................................................................ 50 13. Perbandingan Kasus Masalah Sosial di kabupaten Bogor Tahun 2007 dan tahun 2010 ................................................................... 51 14. Hasil Analisis Statistik Pengaruh Faktor Internal Pendidikan terhadap Tingkat Partisipasi Sekolah ............................................ 56 15. Capaian APM SMA/Sederajat Tiap Kecamatan di Kabupaten Bogor Tahun 2011 .................................................................................... 57 16. Penyelenggaraan Pendidikan Menengah di Kabupaten Bogor Tahun 2011 ..................................................................................... 59 17. Perbandingan Guru-Sekolah Formal pada Jenjang Pendidikan Menengah di Setiap Kecamatan di Kabupaten Bogor Tahun 2010 .... 62 18. Komposisi Jumlah Guru dan Perbandingannya terhadap Sekolah di
Kabupaten Bogor Tahun 2011 ........................................................ 64 19. Perbandingan Penyelenggara Pendidikan Menengah Formal di Kabupaten Bogor Tahun 2011 ......................................................... 65
iv
20. Perbandingan Kualitas Ruang Kelas Antar Penyelenggara Pendidikan Menengah Formal di Kabupaten Bogor Tahun 2011 ..... 66 21. Status Askreditasi Sekolah di Kabupaten Bogor Berdasarkan Jenis Sekolah Tahun 2011 ............................................................. 67 22. Hasil Analisis Statistik Pengaruh Faktor Kondisi Masyarakat terhadap Partisipasi Sekolah ......................................................... 66 23. Keadaan Responden Berdasarkan Penghasilan................................... 71 24. Responden Berdasarkan Penghasilan dan Jumlah Tanggungan Keluarga ......................................................................................... 72 25. Perbandingan Hubungan Penghasilan Orang Tua dengan Partisipasi Sekolah Anak di Lokasi Sampel ..................................................... 73 26. Persentase Responden Berdasarkan Pendidikan .......................... 74 27. Hubungan Pendidikan Orang Tua dengan Partisipasi Sekolah Anak Berdasarkan Lokasi Sampel ........................................................... 74 28. Hubungan Minat Anak Bersekolah dengan Partisipasi Sekolah
Berdasarkan Lokasi Sampel .......................................................... 75 29. Perbandingan Anak yang Bersekolah dan Tidak Bersekolah Berdasarkan Jenis Kelamin di Lokasi Sampel ................................ 77 30. Hasil Anaklisis Statistik Pengaruh Faktor Karakteristik Wilayah
terhadap Partisipasi Sekolah ....................................................... 79 31. Hubungan Antara Pekerjaan Orang Tua dengan Partisipasi Sekolah
Anak Berdasarkan Karakteristik Wilayah............................................... 81 32. Perkembangan Belanja APBD Kabupaten Bogor Tahun 2008-2011 .. 84 33. Perbandingan antara Persentase Kenaikan Belanja Langsung dan Belanja Tidak Langsung pada Anggaran Pendidikan Tahun 2008-2011 ........................................................................................ 87 34. Perbandingan Belanja Pendidikan Menengah terhadap Total Belanja Pendidikan ...................................................................................... 88 35. Perbandingan Dana Bantuan terhadap Belanja Pendidikan Menengah di Kabupaten Bogor Tahun 2008-2011 .......................... 90 36. Kebijakan, Strategi, Program dan Kegiatan Peningkatan Partisipasi Sekolah Jalur Pendidikan Formal di Kabupaten Bogor ................. 105
v
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1. Peringkat Pendidikan Indonesia terhadap Negara-Negara Asia Lainnya Tahun 2011 ...................................................................... 2 2. Capaian Angka Partisipasi Murni Jenjang Pendidikan Formal Tahun 2011 di Kabupaten Bogor................................................... 5 3. Kerangka Pemikiran Penelitian Strategi Partisipasi Sekolah Program Wajib Belajar di Kabupaten Bogor.................................................. 27 4. Letak Geografis Kabupaten Bogor .................................................. 41 5. Kepadatan Penduduk Kabupaten Bogor Menurut Wilayah............ 45 6. Struktur Penduduk Kabupaten Bogor Tahun 2010........................ 45 7. Persentase Penduduk Kabupaten Bogor yang Bekerja Menurut Sektor Tahun 2010......................................................................... 46 8. Permasalahan Kependudukan di Kabupaten Bogor....................... 47 9. Laju Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Bogor Tahun 2006-2010... 47 10. Laju Pertumbuhan PDRB Kabupaten Bogor Tahun 2007-2010..... 48 11. Laju Inflasi di Kabupaten Bogor Tahun 2006-2010......................... 49 12. Masalah Kesejahteraan Sosial di Kabupaten Bogor Tahun 2010 Berdasarkan latar belakang............................................................ 51 13. Perkembangan Jumlah Sekolah dalam Kewenangan Pemerintah Kabupaten Bogor Tahun 2007-2011.............................................. 52 14. Perbandingan Sekolah Negeri dan Swasta di Kabupaten Bogor Tahun 2007-2011.............................................................................. 53 15. Perkembangan Jumlah Guru di Kabupaten Bogor Tahun 2007-2011....................................................................................... 53 16. Perbandingan Jumlah Guru Negeri dan Swasta di Kabupaten Bogor Tahun 2007-2011............................................................................ 54 17. Kondisi Ruang Kelas Berdasarkan Jenis Pendidikan Menengah Formal di Kabupaten Bogor tahun 2011.......................................... 60 18. Perbandingan Capaian APM Penyelenggara Sekolah Negeri dan Swasta di Kabupaten Bogor Tahun 2011.......................................... 65
vi
19. Keadaan Responden Berdasarkan Jenjang Pendidikan................. 73 20. Perbandingan Jumlah Anak Laki-laki dan Perempuan Berdasarkan Lokasi Sampel................................................................................ 76 21. Perbandingan Antara Anak laki-laki dan Perempuan yang Bersekolah dan Tidak Bersekolah.................................................. 76 22. Perbandingan Karakter Wilayah dengan Partisipasi Sekolah......... 80 23. Perkembangan Rasio Kemandirian Belanja Pendidikan Menengah di Kabupaten Bogor Tahun 2008-2011................................................ 83 24. Perkembangan Komposisi Belanja Langsung dan Tidak Langsung APBD Kabupaten Bogor Tahun 2008-2011....................................... 85 25. Perbandingan Belanja APBD dengan Belanja Pendidikan di Kabupaten Bogor tahun 2008-2011 .............................................. 86 26. Komposisi Belanja Tidak Langsung dan Belanja Langsung pada Anggaran Pendidikan di Kabupaten Bogor Tahun 2008-2011......... 87 27. Perbandingan Belanja Pendidikan Menengah terhadap Belanja Langsung dan Total Belanja Pendidikan di Kabupaten Bogor Tahun 2008-2011 ...................................................................................... 89 28. Persentase Peningkatan Jumlah Dana Bantuan Pendidikan Menengah di Kabupaten Bogor Tahun 2008-2011......................... 90 29. Matriks Analisis SWOT dan Perumusan Alternatif Strategi ........... 99 30. Road Map Prioritas Peningkatan Partisipasi Sekolah pada Jenjang Pendidikan Menengah di kabupaten Bogor................................... 113
vii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Hasil Analisis Statistik Pengaruh Faktor Internal terhadap APM .......................................................................................... 124 2. Hasil Analisis Statistik Logistik Biner untuk Faktor Kondisi Masyarakat ................................................................................ 127 3. Hasil Analisis Statistik Logistik Biner Pengaruh Karakteristik Lingkungan terhadap Partisipasi Sekolah .................................... 132
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Salah satu tujuan negara yang ingin dicapai oleh bangsa Indonesia saat
memproklamirkan kemerdekaannya adalah mencerdaskan kehidupan bangsa.
Hal ini secara jelas tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
Tujuan ini ditetapkan dalam konstitusi negara dengan pertimbangan bahwa
negara yang besar dan maju terletak pada kekuatan sumberdaya manusianya
yang berkualitas. Tilaar (2004) menyebutkan lima karakteristik kehidupan bangsa
yang cerdas, yaitu: (1) bangsa yang terdidik, (2) bangsa yang dapat memilih
sehingga dia bertanggung jawab atas pilihannya, (3) bangsa yang dapat
berpartisipasi di dalam kehidupan bermasyarakat bangsanya dan masyarakat
dunia, (4) bangsa yang mempunyai keterampilan dan lapangan kerja yang cukup
sehingga dapat meningkatkan derajat hidupnya dan sekaligus dapat bersaing
dengan bangsa-bangsa yang lain di dalam era globalisasi, dan (5) bangsa yang
menjaga keutuhan bangsa dengan identitas pluralistik di dalam masyarakatnya.
Sejalan dengan tujuan negara tersebut, maka pendidikan merupakan faktor
penting yang penyelenggaraannya ditujukan untuk mempersiapkan masyarakat
Indonesia dengan kualitas pendidikan tertentu yang distandarkan, baik secara
nasional maupun internasional, karena masyarakat yang berkualitas merupakan
aset dan investasi negara dalam hal sumberdaya manusia. Kualitas sumberdaya
manusia bukan semata-mata disebabkan oleh faktor pendidikan, namun
pendidikan menjadi faktor terpenting yang akan mempengaruhi aspek-aspek
lainnya. Menurut Suryadi (2002), investasi sumberdaya manusia (SDM) bukan
hanya tanggung jawab salah satu sektor pembangunan, tetapi tanggung jawab
multisektor di dalam satu kesatuan secara integral. Di samping itu, pendidikan
dapat dikatakan sebagai katalisator utama pengembangan sumberdaya manusia
dan faktor pendorong untuk mempercepat perubahan struktur ekonomi dan
ketenagakerjaan.
Penyelenggaraan pendidikan di Indonesia menjelang 67 tahun
kemerdekaan masih menyisakan banyak permasalahan. Ditinjau dari capaian
Indeks Pembangunan Pendidikan untuk Semua (PUS), Indonesia menempati
2
peringkat ke-69 dari 127 negara di dunia1. Gambar 1 menyajikan data
perbandingan peringkat kondisi Pendidikan untuk Semua (Education for All)
antara Indonesia dengan negara-negara Asia lainnya.
Sumber : Harian Kompas, 3 Maret 2011 Gambar 1. Peringkat Pendidikan Indonesia Terhadap Negara-Negara Asia Lainnya Tahun 2011.
Permasalahan pendidikan lainnya adalah masih terdapatnya siswa putus
sekolah. Berdasarkan data Kementerian Pendidikan Nasional RI tahun 2010,
masih terdapat siswa putus sekolah pada setiap jenjang pendidikan. Persentase
jumlah siswa putus sekolah meningkat seiring dengan semakin tingginya jenjang
pendidikan, sehingga angka putus sekolah tertinggi terdapat pada jenjang
pendidikan menengah (SMA/sederajat). Hal ini dapat dilihat pada Tabel 1.
1 Data ini dikeluarkan oleh UNESCO dalam Education For All (EFA) Global Monitoring Report
tahun 2011. Peringkat ini ternyata mengalami penurunan dari tahun sebelumnya yakni peringkat
ke-65. Berdasarkan katagori yang telah ditentukan dalam pertemuan di Dakar, Senegal tahun
2000, peringkat ini membawa Indonesia ke dalam katagori medium (0,80-0,94 poin) dengan
melihat dari angka partisipasi pendidikan dasar, angka melek huruf pada usia 15 tahun ke atas,
angka partisipasi menurut kesetaraan jender, dan angka bertahan siswa hingga kelas V sekolah
dasar (Harian Kompas, 2011).
3
Tabel 1. Persentase Data Putus Sekolah di Berbagai Jenjang Pendidikan di Indonesia Tahun 2006-2009
Tahun SD/MI SMP/MTs SMA/SMK/MA
2006 2,37 2,88 3,08
2007 1,81 3,94 3,33
2008 1,64 2,49 2,68
2009 1,65 2,06 4,27
Rata -rata 1,87 2,84 3,34
Sumber : Pusat Statistik Pendidikan, 2010
Seiring dengan diberlakukannya otonomi daerah2, pemerintah daerah
diberikan kewenangan untuk menyelenggarakan pendidikan dasar dan
menengah yang bersinergi dengan kewenangan pemerintah pusat. Salah satu
program pemerintah pusat adalah penyelenggaraan wajib belajar pendidikan
dasar sembilan tahun, yang berlaku wajib bagi seluruh penduduk usia sekolah 7-
15 tahun, dimana mereka harus menamatkan pendidikannya hingga ke jenjang
pendidikan SMP/sederajat. Program wajib belajar pendidikan sembilan tahun
kemudian diikuti dengan program wajib belajar pendidikan dua belas tahun bagi
seluruh penduduk usia sekolah 16-18 tahun, dimana mereka harus menamatkan
pendidikannya hingga ke jenjang pendidikan SMA/sederajat. Dengan adanya
otonomi daerah, program wajib belajar ini juga menjadi tanggung jawab
pemerintah daerah.
Pemberlakuan program wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun dan
dua belas tahun ini masih tetap menjadi fokus pemerintah daerah selama angka
partisipasi sekolah belum mencapai seratus persen. Capaian angka partisipasi
sekolah di Jawa Barat pada tahun 2010 untuk tingkat SD baru mencapai 94
persen, SMP 85 persen dan SMA 57 persen. Adapun capaian angka partisipasi
murni di Kabupaten Bogor tahun 2011, baik pendidikan formal maupun non
formal pada tingkat SD/sederajat telah mencapai 110,41 persen, SMP/sederajat
88,77 persen, dan SMA/sederajat 39,76 persen. Capaian partisipasi sekolah
terendah baik di Jawa Barat maupun di Kabupaten Bogor, terdapat pada jenjang
pendidikan menengah (SMA) yang masih berkisar di bawah 60 persen.
2 Otonomi Daerah diundangkan melalui paket paket UU Otonomi Daerah (UU 22/99 tentang
Pemerintahan Daerah dan UU 25/99 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan
Daerah yang diperbaharui dengan UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU 33/2004
tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah
4
Pemerintah Provinsi Jawa Barat masih sulit meningkatkan angka partisipasi
pendidikan SMA. Hal ini terutama disebabkan oleh keterbatasan ruang kelas3.
Rendahnya partisipasi sekolah pada jenjang pendidikan menengah (SMA/
sederajat) perlu dikaji penyebabnya. Terdapat banyak faktor selain kurangnya
daya tampung sekolah yang diduga menjadi penyebab rendahnya tingkat
partisipasi sekolah pada jenjang pendidikan menengah. Salah satu faktor
penyebab adalah minimnya kemampuan penyediaan dana pemerintah dan
pemerintah daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan. Di
sisi lain juga ditentukan oleh faktor kondisi masyarakat dan karakter wilayah
tempat tinggal. Berdasarkan hal tersebut, perlu dilakukan suatu kajian
menyangkut bagaimana strategi yang tepat untuk meningkatkan partisipasi
sekolah jenjang pendidikan menengah melalui jalur pendidikan formal.
1.2 Perumusan Masalah
Kabupaten Bogor merupakan salah satu daerah otonom yang pada tahun
2010 memiliki penduduk terbanyak di Indonesia, yakni 4.763.209 jiwa atau 11,06
persen dari total penduduk Jawa Barat dan 2,00 persen dari total penduduk
Indonesia. Jumlah penduduk usia sekolah (7-18 tahun) tercatat sebesar 21,09
persen dari total penduduknya. Sebagian besar penduduk usia sekolah yang
bersekolah memilih jalur pendidikan formal. Hal inilah yang menyebabkan hingga
saat ini fokus perhatian pemerintah daerah lebih banyak diarahkan pada
penyelenggaraan jalur pendidikan formal, karena masyarakat senantiasa
memberikan perhatian lebih besar untuk menempuh jalur pendidikan formal
daripada jalur pendidikan non formal. Tingginya animo masyarakat terhadap
pendidikan formal ini dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Perbandingan Jumlah Siswa Pada Jalur Pendidikan Formal dan Non Formal di Kabupaten Bogor Tahun 2011
Jenjang Pendidikan Jumlah Siswa/Warga Belajar
Total Siswa Formal % Non Formal %
SD / Sederajat 658.258 657.258 99,85 1.000 0,15
SMP/ Sederajat 245.687 242.437 98,68 3.250 1,32
SMA / Sederajat 131.906 128.586 97,48 3.320 2,52
Sumber : Statistik Pendidikan Kabupaten Bogor, 2012
3 Disampaikan oleh Heryawan (2011) dalam http://www.pikiran-rakyat.com tanggal 1 Februari 2011
5
Meskipun lebih dari 90 persen penduduk usia sekolah memilih jalur
pendidikan formal, namun capaian angka partisipasi sekolah pada jenjang
pendidikan menengah formal masih cukup rendah, yakni dibawah 50 persen.
Hal ini dapat dilihat pada Gambar 2.
Sumber : Statistik Pendidikan Kabupaten Bogor, 2011 Gambar 2. Capaian Angka Partisipasi Murni Jenjang Pendidikan Formal Tahun
2011 di Kabupaten Bogor
Salah satu faktor yang mungkin mempengaruhi rendahnya angka
partisipasi sekolah pada jenjang pendidikan menengah adalah lemahnya faktor
internal pendidikan dalam memberikan akses dan layanan pendidikan, seperti
kurangnya ketersediaan sarana dan prasarana sekolah, guru yang berkualifikasi
mengajar, penyelenggara pendidikan dan kualitas penyelenggaraan pendidikan.
Oleh karena itu hal pertama yang perlu dianalisis adalah bagaimana pengaruh
faktor-faktor internal pendidikan terhadap tingkat partisipasi sekolah?
Selain faktor internal pendidikan, faktor kondisi masyarakat seperti faktor
orang tua, dan faktor anak itu sendiri, juga memungkinkan untuk mempengaruhi
rendahnya partisipasi sekolah. Diduga penghasilan dan tingkat pendidikan orang
tua merupakan faktor yang turut berpengaruh. Minat anak untuk melanjutkan
sekolahnya dan jenis kelamin anak juga diduga berpengaruh terhadap tingkat
partisipasi sekolah. Oleh karena itu, hal kedua yang perlu dianalisis adalah
6
bagaimana pengaruh faktor-faktor kondisi masyarakat terhadap tingkat
partisipasi sekolah?
Kabupaten Bogor setidaknya memiliki tiga karakteristik wilayah yang cukup
menonjol, yaitu pertanian, perdagangan/jasa, dan industri. Diduga, karakter
wilayah ini turut mempengaruhi tingkat partisipasi sekolah. Oleh karena itu hal
ketiga yang perlu dianalisis adalah bagaimana pengaruh karakteristik wilayah
terhadap tingkat partisipasi sekolah?
Pemerintah Daerah dalam hal ini merupakan pihak yang bertanggung
jawab untuk mengupayakan agar semua penduduk usia sekolah dasar dan
menengah bisa mengenyam pendidikan, meskipun terdapat pihak lain yang juga
menyelenggarakan pelayanan pendidikan, yakni swasta dan Kementerian
Agama. Pemerintah Daerah secara otonom memiliki kewenangan dalam
mengalokasikan anggaran belanja daerah yang ada untuk berbagai urusan
pemerintahan daerah, tak terkecuali pendidikan. Belanja pada setiap komponen
pendidikan dapat menunjukkan sejauhmana fokus pemerintah daerah dalam
penyelenggaraan pendidikan yang diantaranya ditujukan untuk menuntaskan
program wajib belajar. Penganggaran pendidikan di daerah kabupaten/kota juga
tidak terlepas dari bantuan pemerintah pusat dan pemerintah provinsi. Oleh
karena itu hal keempat yang perlu dianalisis adalah bagaimana kemandirian
pendanaan pendidikan menengah di Kabupaten Bogor?
Berdasarkan empat rumusan masalah yang spesifik tersebut, maka hal
kelima yang perlu diketahui adalah Bagaimana strategi yang tepat diambil
oleh Pemerintah Kabupaten Bogor untuk meningkatkan partisipasi sekolah
pada jenjang pendidikan menengah?
1.3 Tujuan
Penyusunan Tugas Akhir dengan judul Strategi Peningkatan Partisipasi
Sekolah Program Wajib Belajar Jalur Pendidikan Formal di Kabupaten Bogor ini
bertujuan utama untuk merumuskan strategi Pemerintah Kabupaten Bogor
dalam meningkatkan partisipasi sekolah pada jenjang pendidikan menengah
formal. Untuk mendukung tujuan utama tersebut, perlu ditetapkan tujuan
spesifik , yaitu :
7
(1) Menganalisis faktor-faktor internal pendidikan yang mempengaruhi tingkat
partisipasi sekolah pada jenjang pendidikan menengah formal di
Kabupaten Bogor.
(2) Menganalisis faktor-faktor kondisi masyarakat yang mempengaruhi tingkat
partisipasi sekolah pada jenjang pendidikan menengah formal di
Kabupaten Bogor.
(3) Menganalisis faktor karakteristik wilayah yang mempengaruhi tingkat
partisipasi sekolah pada jenjang pendidikan menengah formal di
Kabupaten Bogor.
(4) Menganalisis kemandirian pendanaan daerah pada sektor pendidikan
khususnya jenjang pendidikan menengah formal di Kabupaten Bogor.
(5) Merumuskan prioritas strategi dan program/kegiatan peningkatan
partisipasi sekolah pada jenjang pendidikan menengah formal.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah untuk :
(1) Memberikan informasi berdasarkan hasil kajian secara akademis kepada
Pemerintah Kabupaten Bogor mengenai kondisi tingkat partisipasi sekolah
jalur pendidikan formal, sehingga pemerintah Kabupaten Bogor dapat
mengetahui sejauh mana pengaruhnya terhadap pencapaian penuntasan
program wajib belajar dan peningkatan rata-rata lama sekolah.
(2) Bagi Pemerintah Kabupaten Bogor bermanfaat dalam perumusan
kebijakan strategis yang holistik, baik dalam sudut pandang internal
penyelenggaraan pendidikan, maupun eksternal yang terkait dengan faktor
sosial ekonomi masyarakat untuk meningkatkan partisipasi sekolah pada
jenjang pendidikan menengah, khususnya jalur pendidikan formal.
8
9
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pendidikan sebagai Bagian dari Pembangunan Ekonomi
Pendidikan sebagai bagian dari pembangunan ekonomi tidak terlepas dari
adanya perencanaan pembangunan. Terdapat tujuh ciri perencanaan
pembangunan yang dikemukakan oleh Arsyad (1993), salah satunya adalah
adanya usaha untuk mencapai perkembangan sosial ekonomi yang mantap
(steady social economic growth). Begitu pula di antara enam unsur pokok
pembangunan, perencanaan pembangunan adalah program investasi yang
dilakukan secara sektoral (Arsyad,1993).
Berdasarkan perspektif pembangunan ekonomi, sumberdaya manusia,
ilmu pengetahuan dan teknologi, sumberdaya alam, dan kapasitas produksi yang
terpasang merupakan empat faktor dinamika yang memiliki interaksi dalam
perkembangan ekonomi jangka panjang. Peran sumberdaya manusia mengambil
tempat yang sentral, khususnya dalam pembangunan ekonomi negara-negara
berkembang, dimana kesejahteraan manusia dijadikan tujuan pokok dalam
ekonomi masyarakat (Djojohadikusumo, 1994). Lebih lanjut Djojohadikusumo
menyatakan bahwa telaahan mengenai peran pendidikan dalam pembangunan
biasanya berpangkal pada saran pendapat bahwa pendidikan merupakan
prasyarat untuk meningkatkan martabat manusia. Melalui pendidikan, warga
masyarakat mendapat kesempatan untuk membina kemampuannya dan
mengatur kehidupannya secara wajar. Perluasan kesempatan untuk memperoleh
pendidikan berarti membuka kesempatan ekonomis untuk mengupayakan
perbaikan dan kemajuan dalam kehidupan bermasyarakat. Pembinaan mutu
sumberdaya manusia dalam rangka pembangunan ekonomi harus diartikan
sebagai usaha untuk meningkatkan dan meluaskan keterampilan teknis, keahlian
profesional dan kecerdasan akademis dalam kehidupan masyarakat secara
menyeluruh. Sementara Suryadi (2002) menyatakan bahwa pendidikan adalah
faktor pendorong untuk mempercepat perubahan struktur ekonomi dan
ketenagakerjaan.
10
2.2 Definisi Pendidikan yang Terkait dengan Penelitian
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional mendefinisikan pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Pendidikan nasional menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional adalah pendidikan yang berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan
tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman. Masih menurut Undang-Undang
tersebut, sistem pendidikan nasional adalah keseluruhan komponen pendidikan
yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan
menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Undang -
Undang No. 20 Tahun 2003, pasal 3).
Beberapa definisi variabel-variabel pendidikan menurut Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional adalah :
(1) Standar nasional pendidikan adalah kriteria minimal tentang sistem
pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia.
(2) Jalur pendidikan adalah wahana yang dilalui peserta didik untuk
mengembangkan potensi diri dalam suatu proses pendidikan yang sesuai
dengan tujuan pendidikan .
(3) Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang
yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan
tinggi.
11
(4) Wajib belajar adalah program pendidikan minimal yang harus diikuti oleh
warga negara Indonesia atas tanggung jawab pemerintah dan pemerintah
daerah.
(5) Akreditasi adalah kegiatan penilaian kelayakan program dalam satuan
pendidikan berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan.
(6) Sumberdaya pendidikan adalah segala sesuatu yang dipergunakan dalam
penyelenggaraan pendidikan yang meliputi tenaga kependidikan,
masyarakat, dana, sarana dan prasarana.
2.3 Penyelenggaraan Pendidikan dalam Otonomi Daerah
Menurut Syarief, 2000 dalam Sjafrizal (2008), pada dasarnya ada tiga
alasan pokok mengapa diperlukan otonomi daerah, yaitu: (1) Political Equality,
yaitu guna meningkatkan partisipasi politik masyarakat pada tingkat daerah, (2)
Local Accountability, yaitu meningkatkan kemampuan dan tanggung jawab
pemerintah daerah dalam mewujudkan hak dan aspirasi masyarakat di daerah,
(3) Local Responsiveness, yaitu meningkatkan tanggung jawab pemerintah
daerah terhadap masalah-masalah sosial ekonomi yang terjadi di daerahnya.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban
daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-
undangan. Daerah otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan
masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang
mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat
setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam
sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Berdasarkan perspektif pemerintahan, pemerintah daerah yang memiliki
keunggulan bersaing adalah yang mempunyai kemampuan membentuk,
memiliki, mengelola resource, capabilities, dan kompetensi yang unggul, seperti
keuangan, sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan kemampuan teknologi,
serta invisible asset seperti pengetahuan, keterampilan dan pengalaman
(Muhammad, 2004). Lebih lanjut Muhammad menyatakan bahwa sebagian besar
daerah dalam melihat sumber-sumber kemakmuran hanya terfokus pada faktor
12
karunia alam, sedangkan faktor bentukan manusia kurang mendapat perhatian
yang memadai padahal ini yang sangat menentukan.
Penyelenggaraan pendidikan merupakan salah satu kewenangan
pemerintahan daerah. Dengan adanya otonomi, daerah memiliki ruang yang
cukup untuk menata pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan dan kekhasan
daerah dengan tanpa mengabaikan standar mutu pendidikan nasional, meskipun
di banyak daerah, pendidikan dipandang sebagai as business as usual / bukan
sebagai wahana untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia. Alokasi
anggaran pendidikan memiliki korelasi positif dengan kualitas pendidikan yang
pada gilirannya menentukan kualitas sumberdaya manusia. Daerah-daerah yang
memiliki pendidikan berkualitas rata-rata memiliki infrastruktur pendidikan yang
bagus dan didukung oleh humanware berkualitas, pemerintah daerahnya
mengalokasikan anggaran pendidikan yang memadai (Muhammad, 2004).Di
samping itu mutu pendidikan pada umumnya menjadi lebih baik jika dilakukan
dengan menggunakan proses desentralisasi ( Chan, dkk, 2006).
Menurut Sjafrizal (2008), pengertian otonomi daerah mencakup dua hal
pokok yaitu : kewenangan untuk membuat hukum sendiri (own laws) dan
kebebasan untuk mengatur pemerintahan sendiri (self government). Oleh
karena itu, menurut Sjafrizal (2008) strategi pembangunan ekonomi daerah
berorientasi pada: (1) basis keuntungan komparatif daerah, (2) pengembangan
komoditi unggulan, (3) peningkatan kemampuan teknologi daerah, (4)
peningkatan kualitas sumberdaya manusia daerah, (5) pengembangan
kewirausahaan daerah, (6) pengembangan kawasan ekonomi terpadu, (7)
peningkatan kerjasama ekonomi antar daerah, (8) pembangunan ekonomi kota,
dan (9) pengembangan ekonomi desa.
2.4 Peran Pendidikan dalam Pembangunan Wilayah Daerah
Pembangunan daerah dengan pendekatan pengembangan kawasan akan
dapat meningkatkan daya guna dan nilai guna sumberdaya lokal, karena
pemanfaatan dilakukan secara ekonomis, efektif dan efisien (Sjafrizal, 2008).
Kegiatan pembangunan disusun berdasarkan karakteristik sumberdaya lokal
yang menunjukkan keandalannya sehingga membuka ruang bagi para pelaku
pembangunan terlibat secara aktif dalam proses pengembangannya (Sjafrizal,
2008). Pendekatan pembangunan kewilayahan selain dapat meningkatkan peran
13
serta para pelaku pembangunan dalam proses pembangunan juga
menyeimbangkan pembangunan antar wilayah dan mengembangkan sektor-
sektor potensial yang disepakati dalam musyawarah pembangunan kawasan
tersebut (Sjafrizal, 2008).
Ketimpangan pembangunan antar wilayah pada dasarnya disebabkan oleh
adanya perbedaan kandungan sumberdaya alam dan perbedaan kondisi
demografi yang terdapat pada masing-masing wilayah. Akibat dari perbedaan
ini, kemampuan suatu daerah dalam mendorong suatu proses pembangunan
juga menjadi berbeda. Karena itu tidaklah mengherankan bilamana pada setiap
daerah biasanya terdapat wilayah maju (developed region) dan wilayah
terbelakang (underdeveloped region). Terjadinya ketimpangan antar wilayah ini
membawa implikasi terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat antar wilayah.
Karena itu, aspek ketimpangan pembangunan antar wilayah ini juga mempunyai
implikasi pula terhadap formulasi kebijakan pembangunan wilayah yang
dilakukan oleh pemerintah daerah (Sjafrizal, 2008).
Menurut Adi (2001) terdapat alternatif kebijakan untuk mengembangkan
daerah terbelakang, misalnya melalui investasi yang langsung diarahkan ke
sektor produktif atau penanaman modal di bidang social-overhead seperti
pembangunan jalan, fasilitas kesehatan, pendidikan dan infrastruktur lainnya.
Ketimpangan yang terjadi dalam masyarakat dapat disebabkan oleh banyak
faktor, diantaranya adalah karena rendahnya faktor pendidikan, keterampilan,
ataupun keahlian dari sumberdaya manusia yang ada di masyarakat tersebut.
2.5 Pelayanan dan Mutu Pendidikan
Menurut Djojohadikusumo (1994), di satu pihak tuntutan zaman
mengharuskan agar mutu pendidikan ditingkatkan dan kalau perlu membatasi
perluasannya secara kuantitatif, namun di pihak lain akan dihadapi secara terus
menerus desakan masyarakat agar disediakan kesempatan pendidikan yang
semakin meluas dengan fasilitasnya yang semakin banyak, kendatipun
mengabaikan segi mutunya. Di semua negara berkembang hal itu sungguh
memerlukan kearifan dalam pengelolaan kebijaksanaan pendidikan, yaitu untuk
memelihara titik-titik keseimbangan dalam perkembangan keadaan diantara dua
rupa pertimbangan yang dimaksud tadi.
14
Guru merupakan salah satu indikator mutu pendidikan. Menurut
Djojohadikusumo (1994), kunci kebijaksanaan untuk meningkatkan kualitas
pendidikan pada umumnya ialah memperbaiki mutu tenaga pengajar dan
membina motivasi golongan pengajar. Kelemahan pokok dalam sistem
pendidikan di negara-negara berkembang terletak pada sistem dan struktur
pendidikan umum di tingkat menengah dan yang langsung berkaitan dengan
pendidikan guru yang diperlukan.
Terdapat tiga upaya pengembangan pendidikan, yakni : (1) peningkatan
jumlah dan kualitas tenaga pendidikan, (2) pengembangan prasarana dan
sarana pendidikan, (3) perubahan manajemen pendidikan. Upaya pertama dan
kedua sudah diusahakan sejak lama namun demikian hasilnya masih belum
memadai. Karena itu, program pengembangan tersebut perlu terus dilanjutkan
dan dikembangkan (Sjafrizal, 2008).
Menurut Mulyasa (2002), perwujudan masyarakat berkualitas menjadi
tanggung jawab pendidikan, terutama dalam mempersiapkan peserta didik
menjadi subyek yang makin berperan menampilkan keunggulan dirinya yang
tangguh, kreatif, mandiri dan profesional pada bidang masing-masing. Dalam
konteks pendidikan, pengertian mutu dalam hal ini mengacu pada proses
pendidikan dan hasil pendidikan. Dalam proses pendidikan yang bermutu terlibat
berbagai input seperti bahan ajar (kognitif, afektif atau psikomotorik), metodologi
(bervariasi sesuai kemampuan guru), sarana sekolah, dukungan administrasi
dan sarana prasarana, dan sumberdaya lainnya serta penciptaan suasana yang
kondusif. Mutu dalam konteks hasil pendidikan mengacu pada prestasi yang
dicapai oleh sekolah pada setiap kurun waktu tertentu, dapat berupa hasil tes
kemampuan akademis dan prestasi di bidang lain (Departemen Pendidikan
Nasional, 2006). Mutu dalam konteks pendidikan berkaitan dengan upaya
memberikan pelayanan yang paripurna dan memuaskan bagi pemakai jasa
pendidikan (Sujanto, 2007).
Tinjauan kebermutuan pendidikan akan dilihat secara relatif dalam
berbagai aspek dan bergantung pada beberapa faktor, yakni : (1) pelayanan
penyelenggaraan pendidikan (dimensi proses), (2) ketersediaan fasilitas sarana
prasarana, (3) kuantitas dan kualitas tenaga kependidikan, (4) prestasi akademis
siswa, (5) kepuasan dan kepercayaan orang tua atau masyarakat kepada sistem
pendidikan (sekolah), (6) keterserapan lulusan oleh dunia kerja, (7) dampak
15
terhadap kehidupan sosial kemasyarakatan yang semakin bermartabat, dan (8)
kemampuan kompetisi lulusan dalam kehidupan (Sujanto, 2007).
Peningkatan hasil ditujukan oleh perbaikan dan perubahan keadaan secara
fisik yang diikuti oleh kepuasan masyarakat. Perbaikan dalam pelayanan
termasuk upaya pembentukan citra yang baik sangat penting agar peran serta
masyarakat terhadap pelayanan dapat ditingkatkan (Sjafrizal, 2008).
2.6 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Partisipasi Sekolah
Angka Partisipasi Sekolah (APS) didefinisikan sebagai perbandingan
antara jumlah murid kelompok usia sekolah tertentu yang bersekolah pada
berbagai jenjang pendidikan dengan penduduk kelompok usia sekolah yang
sesuai dan dinyatakan dalam persentase. Indikator ini digunakan untuk
mengetahui banyaknya anak usia sekolah yang telah bersekolah di semua
jenjang pendidikan. Makin tinggi APS berarti makin banyak anak usia sekolah
yang bersekolah di suatu daerah. Nilai ideal APS = 100 % dan tidak akan terjadi
lebih besar dari 100 %, karena murid usia sekolah dihitung dari murid yang ada
di semua jenjang pendidikan pada suatu daerah.
Rumus untuk menghitung Angka Partisipasi Sekolah menurut Wakhinuddin4
(2009) adalah :
dimana :
N1 = Jumlah murid berbagai jenjang pendidikan pada kelompok usia sekolah tertentu
N2 = Jumlah penduduk pada kelompok usia sekolah tertentu yang sesuai
Perhitungan tingkat partisipasi sekolah pada jenjang pendidikan menengah
dapat dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu APK (Angka Partisipasi Kasar)
atau APM (Angka Partisipasi Murni). APK didefinisikan sebagai perbandingan
antara jumlah murid pada jenjang pendidikan tertentu (SD, SLTP, SLTA dan
4 Wakhinuddin, S. 2009. Angka Partisipasi Dalam Pendidikan. http://wakhinuddin. wordpress.com/
16
sebagainya) dengan penduduk kelompok usia sekolah yang sesuai dan
dinyatakan dalam persentase. Hasil perhitungan APK ini digunakan untuk
mengetahui banyaknya anak yang bersekolah di suatu jenjang pendidikan
tertentu pada wilayah tertentu. Semakin tinggi APK berarti semakin banyak anak
usia sekolah yang bersekolah di suatu jenjang pendidikan pada suatu wilayah.
Nilai APK bisa lebih besar dari 100 % karena terdapat murid yang berusia di luar
usia resmi sekolah, terletak di daerah kota, atau terletak pada daerah
perbatasan.
Rumus yang digunakan adalah :
Dimana :
N1 = Jumlah murid pada jenjang pendidikan menengah N2 = Jumlah penduduk usia 16-18 tahun
Adapun APM didefinisikan sebagai perbandingan antara jumlah siswa
kelompok usia sekolah pada jenjang pendidikan tertentu dengan penduduk usia
sekolah yang sesuai dan dinyatakan dalam persentase. Indikator APM ini
digunakan untuk mengetahui banyaknya anak usia sekolah yang bersekolah
pada suatu jenjang pendidikan yang sesuai. Semakin tinggi APM berarti banyak
anak usia sekolah yang bersekolah di suatu daerah pada tingkat pendidikan
tertentu. Nilai ideal APM = 100 % karena adanya murid usia sekolah dari luar
daerah tertentu, diperbolehkannya mengulang di setiap tingkat, daerah kota, atau
daerah perbatasan.
Rumus yang digunakan adalah:
Dimana :
N1 = Jumlah murid pada jenjang pendidikan menengah umur 16-18 tahun N2 = Jumlah penduduk usia 16-18 tahun
Perhitungan tingkat partisipasi sekolah dalam penelitian ini menggunakan
pendekatan APM dengan pertimbangan agar diketahui tingkat partisipasi
sesungguhnya penduduk yang berusia sekolah 16-18 yang bersekolah pada
jenjang pendidikan menengah.
17
Tingkat partisipasi sekolah dipengaruhi oleh ketersediaan daya tampung
sekolah, baik ruang kelas maupun pemerataan sarana. Iskandar (2009)
melakukan tiga analisis, yaitu: (1) analisis terhadap persebaran jumlah fasilitas
pendidikan SMA dan SMP di Kota Bogor untuk mengetahui gambaran
persebaran dan pemerataan jumlah fasilitas pendidikan SMP dan SMA di tiap
kecamatan, (2) analisis pemenuhan kebutuhan penduduk akan fasilitas
pendidikan SMP dan SMA untuk membandingkan kapasitas di setiap kecamatan
terhadap penduduk usia SMP dan SMA, dan (3) analisis tingkat pelayanan
fasilitas penduduk SMP dan SMA untuk melihat jangkauan layanan fasilitas
pendidikan dan aksesibilitas fasilitas.
Berdasarkan hasil analisis tersebut diperoleh kesimpulan bahwa sebaran
fasilitas SMP dan SMA belum sesuai dengan standar pemerataan jumlah fasilitas
yang seharusnya. Fasilitas pendidikan SMP dan SMA belum bisa memenuhi
seluruh kebutuhan penduduk, dimana tingkat pemenuhan pada jenjang SMP
mencapai 90 persen, sedangkan SMA baru mencapai 47 persen. Di sisi lain,
tingkat pelayanan fasilitas yang baik dan merata belum tercapai di wilayah kota,
padahal jangkauan pelayanan sudah sampai keluar tingkat kecamatan. Malik
(2009) menyimpulkan bahwa pelayanan fasilitas pendidikan SLTA di Kabupaten
Minahasa Tenggara belum efisien dari aspek perbandingan pemenuhan
kebutuhan masyarakat dengan kecukupan jumlah fasilitas pendidikan dan
aksesibilitas berupa kondisi jalan. Hingga tahun 2028, Kabupaten Minahasa
Tenggara masih membutuhkan penambahan 24 buah SLTA.
Tingkat partisipasi sekolah juga dipengaruhi oleh seberapa besar peran
penyelenggara pendidikan, baik negeri maupun swasta. Lembaga
penyelenggara pendidikan swasta memiliki peran yang besar dalam
pembangunan pendidikan menengah. Chamidi (2002), menyimpulkan bahwa
secara umum sumbangan sekolah swasta terhadap pengembangan pendidikan
adalah besar walaupun kontribusi tersebut belum optimal. Salah satu cara yang
mungkin dapat digunakan untuk mengoptimalkan peran sekolah swasta adalah
dengan meningkatkan kualitas sekolah-sekolah swasta melalui : (1) pendirian
atau pembangunan sekolah swasta yang seharusnya berdasarkan keperluan
atau kebutuhan masyarakat setempat dan bukan pada keinginan pemerintah
pusat, (2) peningkatan kompetensi dan kualitas guru, peningkatan kualitas
sarana/prasarana pendidikan, peningkatan perencanaan pendidikan termasuk
kurikulum dan evaluasi.
18
Menurut Muhammad (2004), kerap dipahami keliru bahwa pendidikan
semata-mata hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, padahal tanggung
jawab terhadap pendidikan adalah kewajiban kita semua; masyarakat, orang tua
peserta didik, sekolah dan pemerintah. Sekarang kita dihadapkan pada
keragaman mutu pendidikan, terutama setelah era otonomi. Ada daerah yang
mampu menghadirkan pendidikan berkualitas, tetapi ada juga daerah yang
pendidikannya sangat tertinggal. Secara umum penyelenggaraan pendidikan
dapat dilakukan oleh pihak swasta dalam bentuk pendirian sekolah swasta,
dimana sekolah swasta adalah sekolah yang diusahakan oleh selain pemerintah,
yaitu badan-badan swasta (Hasbullah, 2006).
Peran masyarakat dalam memantau pelaksanaan pendidikan juga turut
mempengaruhi pelaksanaan pendidikan dan tingkat partisipasi sekolah. Muiz
(2008) menyimpulkan bahwa Dewan Pendidikan dalam proses penyusunan
RKPD di Kota Cimahi ditempatkan pada derajat pemberi informasi berkualitas,
teman konsultasi sejati dan dewan penasehat yang efektif. Namun dalam
perencanaan kegiatan, Dewan Pendidikan sebagai pengguna layanan kegiatan
penyusunan RKPD hanyalah berfungsi sebagai partisipan yang wajib mengikuti
prosedur teknis dan operasional yang telah ditetapkan. Dewan Pendidikan tidak
dapat menentukan format maupun mekanisme pelaksanaan.
Di samping itu, tingkat partisipasi sekolah juga dipengaruhi oleh
kemampuan lembaga penyelenggara pendidikan dalam memperhatikan
karakteristik dan kebutuhan masyarakat dalam pendanaan pendidikan. Kurniady
(2004) menyimpulkan bahwa dalam menyelenggarakan pendidikan, suatu
lembaga seharusnya memperhatikan karakteristik, aspirasi dan kebutuhan
masyarakat. Sumber pendapatan sekolah pada jenjang pendidikan SMU
mayoritas berasal dari orang tua dan pemerintah. Dana yang diperoleh dari
orang tua dipergunakan untuk proses kegiatan pembelajaran kurikuler dan
ekstrakurikuler, sedang penerimaan dari pemerintah berupa gaji pegawai, KBM,
BOMM (Bantuan Operasional Manajemen Mutu), BIS (Bantuan Imbal Swadaya
dan Block Grant).
Kualitas penyelenggara pendidikan merupakan salah satu penentu tingkat
partisipasi sekolah. Chamidi (2002), menyimpulkan bahwa lembaga pendidikan
swasta memiliki kualitas yang sangat bervariasi. Untuk itu perlu adanya
keseimbangan anggaran yang proporsional antara sekolah negeri dengan
19
sekolah swasta serta kejelasan dalam job description. Sudibyo (2009)
menyimpulkan bahwa masalah terhambatnya akreditasi pada SMA Islam
Pragolapati Semarang sejak tahun 1986 dengan status belum terakreditasi
(terdaftar) disebabkan oleh kurangnya pembinaan dan bimbingan terhadap
keseluruhan manajemen sekolah, padahal sekolah ini berpotensi untuk
terakreditasi. Akibatnya, dalam mengikuti ujian nasional, para siswa di sekolah ini
terpaksa harus menginduk pada sekolah negeri. Disamping itu letak sekolah
yang strategis berdekatan dengan SLTP serta mudah dijangkau oleh sarana
transportasi memungkinkan sekolah ini diminati oleh masyarakat sekitar. Adanya
status terakreditasi membuat minat masyarakat menyekolahkan semakin
meningkat.
Faktor kondisi masyarakat diduga mempengaruhi tingkat partisipasi
sekolah. Achmad (2008) menyimpulkan bahwa Angka Partisipasi Sekolah (APS)
untuk tingkat nasional tahun 2006 terbagi ke dalam empat kelompok umur, yaitu
7–12 tahun mewakili usia SD, 13–15 tahun mewakili usia SLTP, 16–18 tahun
mewakili usia SLTA, dan 19–24 tahun mewakili usia Perguruan Tinggi. Secara
umum, APS kelompok umur 7-12 tahun sebesar 97,39, APS kelompok umur 13-
15 tahun sebesar 84,08 persen, APS kelompok umur 16-18 tahun sebesar 53,92
persen dan APS kelompok umur 19-24 tahun sebesar 11,38 persen. Hal ini
menunjukkan bahwa semakin tinggi kelompok umur, semakin rendah Angka
Partisipasi Sekolah.
Bila didasarkan pada jenis kelamin, APS perempuan sedikit lebih besar
pada kelompok umur 7-12 tahun dan 13-15 tahun, sementara pada kelompok
umur 16-18 dan 19-24 APS laki-laki lebih tinggi dari perempuan. Ini berarti
bahwa semakin tinggi kelompok umur, partisipasi sekolah perempuan semakin
rendah. Bila diperhatikan lebih lanjut menurut daerah tempat tinggal, APS
penduduk perkotaan lebih besar dari APS penduduk pedesaan untuk semua
kelompok umur. Perbedaan menjadi semakin besar untuk kelompok umur yang
lebih tua. Ini berarti bahwa partisipasi sekolah bagi penduduk yang tinggal di
perkotaan lebih tinggi dibandingkan penduduk yang tinggal di pedesaan.
Semakin tinggi kelompok umur, semakin tinggi kesenjangan partisipasi sekolah
antara penduduk perkotaan dengan penduduk pedesaan.
Status ekonomi rumah tangga sangat berpengaruh terhadap tinggi
rendahnya APS. Semakin tinggi status ekonomi rumah tangga, memperlihatkan
20
angka APS yang tertinggi untuk semua kelompok umur sekolah, setelah itu
posisi APS berikutnya ditempati oleh golongan status sosial menengah yang
berpendapatan menengah. Analisis Tingkat Partisipasi Pendidikan pada
Madrasah untuk program wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun, dapat tercermin
dari angka APS untuk kelompok umur 7-12 tahun dan 13-15 tahun, tidak
memperlihatkan beda yang terlalu signifikan untuk semua golongan status
ekonomi rumah tangga. Untuk kelompok umur 7-12 tahun APS golongan status
ekonomi tertinggi tercatat 98,70 persen, pada status ekonomi menengah sebesar
98,02 persen, dan pada status ekonomi terendah adalah 96,45 persen.
Perbedaan APS per status ekonomi rumah tangga sedikit melebar tapi
belum terlalu signifikan pada kelompok umur 13-15 tahun, tercatat APS pada
status ekonomi tertinggi sebesar 92,17 persen, selanjutnya pada status ekonomi
rumahtangga menengah APS nya sebesar 88,15 persen dan pada kelompok
status ekonomi terendah menunjukan APS sebesar 77,70 persen. Jarak APS
pada kelompok umur 16-18 antara status ekonomi rumah tangga yang tertinggi
dan terendah di daerah perkotaan sebesar 20,81 persen sedangkan di daerah
pedesaan jaraknya sebesar 29,27. Hal sebaliknya diperlihatkan pada kelompok
umur 19-24 tahun, jarak APS antara golongan status sosial tertinggi dan
terendah pada daerah perkotaan lebih lebar jaraknya dibanding daerah
pedesaan. Perbedaan APS untuk golongan umur ini di daerah perkotaan antara
golongan status ekonomi tertinggi dan terendah adalah sebesar 32,88 persen,
sedangkan di daerah pedesaan hanya berbeda 9,95 persen. Di samping itu,
pelaksanaan program wajib belajar sembilan tahun (7-15 tahun) di seluruh
provinsi telah merata, namun untuk usia 16-18 tahun terdapat kesenjangan antar
provinsi, yakni APS tertinggi diraih oleh Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam,
dan yang terendah diraih oleh Provinsi Sulawesi Barat. Analisis yang digunakan
dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif terhadap perkembangan APK dan
APM menurut jenjang pendidikan.
Lutan (1991) menyatakan bahwa karena tingkat pendapatan yang
memadai belum merata, maka muncullah gejala seolah-olah terjadi proses
alokasi pada lembaga pendidikan. Di satu pihak, lembaga pendidikan merupakan
wahana untuk meningkatkan taraf pendapatan seseorang, tetapi di pihak lain,
pendidikan mendorong pemilahan status sosial. Di sini lah dilema antara
pemerataan dan peningkatan mutu yang harus dibarengi dengan tuntutan biaya
pendidikan yang murah. Letak masalahnya sesungguhnya bukan pada lembaga
21
pendidikan yang memerlukan biaya, tetapi kesanggupan masyarakat untuk
memenuhi tuntutan pengeluaran yang sangat besar.
Cahyawati dan Oki (2011) menyatakan bahwa masalah pencapaian tuntas
pendidikan dasar terutama pada kelompok masyarakat miskin pada setiap
wilayah masih perlu menjadi perhatian dan penyelesaian. Demikian juga di
Kabupaten Ogan Ilir (OI) yang masih memiliki proporsi kemiskinan cukup tinggi.
Berdasarkan hasil analisis deskripsi menunjukkan bahwa angka putus sekolah
pendidikan dasar kelompok masyarakat miskin di Kabupaten OI sebesar 14,2
persen, rata-rata angka partisipasi murni (APM) SD baru mencapai 83,33 persen
dan rata-rata APM SMP hanya mencapai 67,73 persen. Hasil pemetaan biplot
menunjukkan bahwa kelompok Kecamatan Pemulutan Selatan, Rambang
Kuang, Lubuk Keliat, dan Pemulutan Barat memerlukan perhatian lebih, karena
angka putus sekolah SMP dan persentase penduduk miskin yang masih relatif
lebih banyak dibandingkan dengan kecamatan lainnya. Demikian juga
Kecamatan Inderalaya dan Payaraman, masih memiliki angka putus sekolah SD
yang masih tinggi, yang dipengaruhi oleh kemiskinan pada kelompok kecamatan
tersebut.
Di samping itu, minat anak untuk bersekolah turut mempengaruhi tingkat
partisipasi sekolah. Demikian pula dengan motivasi orang tua untuk
menyekolahkan atau tidak menyekolahkan anaknya. Hutagaol (2009)
menyimpulkan bahwa minat dan motivasi memberi pengaruh yang positif dan
signifikan terhadap mutu pendidikan. Dalam hal ini minat yang ada pada siswa
akan memotivasi siswa untuk belajar dan mencapai tujuan yang diinginkan.
Adapun hal-hal dominan yang mempengaruhi minat adalah ketertarikan, jurusan
dan fasilitas yang ada di sekolah. Pramono (2009) menyimpulkan bahwa
sebanyak 53,33 persen siswa lulusan SLTP berminat melanjutkan pendidikannya
ke jenjang pendidikan menengah kejuruan (SMK). Hal ini disebabkan oleh
kemampuan orang tua dan jumlah keluarga serta keinginan untuk cepat
mendapatkan pekerjaan. Permasalahan yang terjadi adalah bahwa ketersediaan
SMK di Kabupaten Rembang baru dapat menampung 35 persen lulusan SLTP
yang berminat melanjutkan ke sekolah kejuruan.
Suradi (2006) menemukan bahwa tingkat pendidikan sebagian besar
(76,71 persen) penduduk Nusa Tenggara Barat relatif rendah, dimana mereka
tidak pernah sekolah dan hanya menamatkan SD. Berdasarkan Indikator
22
Kesejahteraan Anak Provinsi Nusa Tenggara Barat (2003), tingkat partisipasi
sekolah penduduk usia 7-18 tahun dikelompokkan menjadi tiga, yaitu kelompok
usia 7-12 tahun (setingkat SD) sebesar 94,68 persen, kelompok usia 13-15 tahun
(setingkat SLTP) sebesar 72,33 persen dan kelompok usia 16-18 tahun
(setingkat SLTA) sebesar 42,96 persen. Sebagian besar atau 61,76 persen anak
di Nusa Tenggara Barat melakukan kegiatan bersekolah, sedangkan sebesar
21,11 persen atau sekitar 380.000 anak sudah tidak bersekolah lagi dan mereka
memiliki kegiatan bekerja atau menjadi pekerja anak. Anak yang bekerja tersebut
tersebar di seluruh kabupaten/kota di Provinsi Nusa Tenggara Barat dan
melakukan pekerjaan seperti membuat kerajinan tangan dan menjajakannya di
daerah-daerah wisata, menjadi pemulung, dan kusir cidomo.
Prayitno (2008) menyimpulkan bahwa pandangan orang tua tentang nilai
anak dalam program wajib belajar sembilan tahun masih rendah. Mereka lebih
senang apabila anak-anak mereka bisa membantu orang tua dalam memenuhi
kebutuhan hidup keluarga. Persepsi mereka juga terhadap program wajib belajar
sembilan tahun masih rendah. Rata-rata mereka tidak mempedulikan apakah
anaknya mau bersekolah atau tidak, dan tidak ada motivasi serta dukungan dari
orang tua agar anak mereka sekolah. Rendahnya kondisi sosial ekonomi orang
tua mengakibatkan rendahnya pula kemampuan serta dukungan orang tua
terhadap program wajib belajar sembilan tahun. Lutan (1991) menyatakan bahwa
walaupun orang tua menyadari pentingnya pendidikan sebagai investasi, namun
persoalannya juga terkait dengan masalah seberapa lama orang tua sanggup
menanam sahamnya berupa penyediaan biaya bagi anak-anaknya untuk
melanjutkan sekolahnya. Pendidikan formal pada khususnya, lambat laun
memainkan peran sebagai penyaring calon siswa sesuai dengan kemampuan
orang tuanya untuk membiayai kegiatan pendidikannya. Berbagai pungutan pada
setiap kali masuk ke suatu jenjang yang lebih tinggi berkaitan dengan taraf
kemampuan ekonomi suatu keluarga. Semakin tinggi pendapatannya, semakin
kuat kemampuannya untuk membiayai putra-putrinya.
Faktor yang tidak kalah pentingnya dalam mempengaruhi tingkat partisipasi
sekolah adalah kemampuan pendanaan daerah. Toyamah dan Syaikhu (2004)
menyimpulkan bahwa berdasarkan hasil penelitian di 11 kabupaten/kota di
Indonesia yakni di Kabupaten Rejang Lebong, Magelang, Tuban, Gowa, dan
Lombok Barat, serta Kota Pekanbaru, Bandar Lampung, Cilegon, Bandung,
Surakarta dan Pasuruan, sebagian kecil daerah kabupaten/kota tersebut telah
23
mampu mengalokasikan dana pendidikan di luar belanja pegawai lebih dari 20
persen, sebagian besar daerah hanya mampu mengalokasikan kurang dari 10
persen. Pada umumnya 70 persen penerimaan daerah di kabupaten/kota sampel
berasal dari Dana Alokasi Umum (DAU), kecuali untuk Kota Pekanbaru, Kota
Cilegon dan Kota Bandung yang hanya sebesar 50 persen. Sumbangan PAD
terhadap total penerimaan daerah rata-rata sebesar 7-8 persen, untuk kota lebih
besar daripada kabupaten yakni lebih dari 10 persen. Kesimpulan lainnya adalah
bahwa akibat alokasi dana semacam ini, sebagian besar SD sampel masih
kekurangan ruang kelas, dan keberadaan fasilitas pendukung relatif tersedia
terbatas. Di samping itu orang tua masih dikenakan biaya pungutan untuk
operasional sekolah dengan kontribusi lebih dari 50 persen.
Oktaviani, R dan Eka, P (2005) menyimpulkan bahwa sektor pendidikan
memiliki keterkaitan ke depan yang tinggi terhadap sektor pendidikan itu sendiri
dan sektor jasa. Sektor pendidikan juga memiliki keterkaitan kebelakang yang
rendah terhadap sektor pertanian. Dengan demikian, perubahan kebijakan yang
mempengaruhi output sektor pendidikan tidak akan mempengaruhi output di
sektor pertanian dan pertambangan. Peningkatan pengeluaran pemerintah di
sektor pendidikan memberikan dampak positif tertinggi terhadap sektor
pendidikan negeri, tetapi memberikan dampak negatif terhadap sektor
pendidikan swasta. Jika pemerintah memberikan transfer secara langsung
kepada kelompok rumah tangga miskin, maka output pendidikan swasta akan
meningkat lebih tinggi daripada pendidikan negeri. Wajib belajar hingga 12 tahun
perlu digalakkan dan didukung untuk meningkatkan pendidikan Indonesia.
Sjafrizal (2008) mengemukakan bahwa peningkatan kemampuan daerah
tidak hanya dapat dilakukan melalui pengembangan kegiatan pemerintah sendiri,
tapi dapat juga dilakukan melalui kerjasama dengan pihak swasta. Tentunya
kerjasama dengan pihak swasta ini hanya akan dapat dilakukan untuk kegiatan
komersil yang dapat mendatangkan keuntungan kepada pihak swasta yang
bersangkutan dan juga memberikan manfaat bagi warga kota. Pola yang lazim
dipakai dalam kerjasama tersebut biasanya adalah dimana pihak pemerintah
memberikan fasilitas dan perizinan serta pembayaran pajak, sedangkan pihak
swasta melakukan investasi. Pengelolaan kegiatan diserahkan seluruhnya
kepada pihak swasta sebagai pemilik modal. Peningkatan kerjasama dengan
pihak swasta ini akan sangat penting artinya bagi daerah yang mempunyai
keuangan relatif rendah.
24
25
III. METODE PENELITIAN
3.1 Kerangka Pemikiran
Dalam rangka melaksanakan kewenangan otonomi daerah yang salah
satunya adalah penyelenggaraan pendidikan dasar dan menengah, Pemerintah
Kabupaten Bogor berfungsi untuk memfasilitasi pemenuhan kebutuhan
pendidikan masyarakat hingga dapat menyelesaikan pendidikannya sampai pada
jenjang pendidikan menengah. Hal ini dilakukan untuk menuntaskan program
wajib belajar yang merupakan program nasional.
Secara umum pelaksanaan program wajib belajar di Kabupaten Bogor
khususnya pada jalur pendidikan formal belum tuntas pada jenjang pendidikan
dasar (SMP/MTs) dan menengah (SMA/MA/SMK). Capaian angka partisipasi
murni untuk pendidikan dasar SMP/MTs pada jalur formal telah mencapai 87,52
persen. Hal ini berarti pemerintah daerah harus melakukan upaya-upaya
penyempurnaan kebijakan untuk menyelesaikan program wajib belajar sembilan
tahun jenjang pendidikan SMP/MTs dan mulai merintis upaya-upaya untuk
meningkatkan partisipasi sekolah pada jenjang pendidikan menengah, karena
capaian angka partisipasi sekolah untuk jenjang pendidikan menengah formal
baru mencapai 38,54 persen pada tahun 2011. Oleh karena itu dibutuhkan
strategi yang tepat untuk dapat menuntaskan program wajib belajar pada jalur
menengah ini.
Rendahnya capaian angka partisipasi sekolah pada jenjang pendidikan
menengah ini diduga disebabkan oleh empat faktor utama, yakni:
(1) Faktor internal pendidikan, dimana diduga dikontribusi oleh kondisi daya
tampung sekolah yang diwakili oleh jumlah ruang kelas layak pakai, jumlah
guru yang layak mengajar, partisipasi dari penyelenggara pendidikan, serta
kualitas penyelenggaraan pendidikan.
(2) Faktor kondisi masyarakat. Terjadinya faktor ini diduga disebabkan oleh
faktor orang tua dan anak. Faktor orang tua diduga dikontribusi oleh
pengaruh penghasilan dan pendidikan. Faktor anak, diduga dikontribusi
oleh minat untuk melanjutkan sekolah dan jenis kelamin juga diduga
mempengaruhi partisipasi sekolah.
26
(3) Faktor karakteristik wilayah. Faktor karakteristik wilayah tempat tinggal
yang bercorak pertanian, perdagangan/jasa atau industri, diduga
berkontribusi terhadap partisipasi sekolah.
(4) Faktor dukungan pendanaan daerah. Faktor ini diduga disebabkan oleh
minimnya alokasi anggaran asli daerah untuk pendidikan menengah.
Oleh karena itu diperlukan metode yang tepat untuk menganalisis faktor-
faktor yang diduga menjadi penyebab rendahnya tingkat partisipasi sekolah pada
jalur pendidikan formal jenjang pendidikan menengah tersebut. Dengan demikian
diharapkan akan muncul rumusan prioritas strategi yang dijabarkan dalam
bentuk kebijakan dan program/kegiatan untuk mengatasi penyebab-penyebab
tersebut. Hasil perumusan prioritas strategi tersebut dapat dijadikan kebijakan
penting bagi daerah untuk meningkatkan angka partisipasi sekolah yang pada
akhirnya berdampak pada tuntasnya program wajib belajar di Kabupaten Bogor.
Pada Gambar 3 dapat dilihat kerangka alur pikir penelitian yang dibagi
dalam dua tahapan yakni tahapan identifikasi dan analisis faktor-faktor yang
mempengaruhi rendahnya angka partisipasi sekolah pada jenjang pendidikan
menengah formal, serta tahapan perumusan strategi.
27
Faktor Kondisi
Masyarakat (Analisis Regresi
Logistik Biner)
Faktor Pendanaan
Daerah (Analisis Rasio Kemandirian
Anggaran Pendidikan)
Ketersediaan Daya Tampung Sekolah
Ketersediaan guru
Penyelenggara Pendidikan dan
Kualitas Penyelenggaraan
Pendidikan
Faktor Orang tua
Faktor Anak
Alokasi Anggaran
Pendidikan
Angka Partisipasi
Sekolah Jenjang
pendidikan Menengah
Gambar 3. Kerangka Pemikiran Penelitian Strategi Peningkatan Partisipasi Sekolah
Program Wajib Belajar di Kabupaten Bogor
STRATEGI
PENINGKATAN
ANGKA PARTISIPASI
SEKOLAH JENJANG
SMA
PROGRAM WAJIB
BELAJAR
KEBIJAKAN
DAERAH
STRATEGI PENINGKATAN PARTISIPASI SEKOLAH JENJANG PENDIDIKAN
MENENGAH FORMAL (Analisis SWOT dan Arsitektur Strategi)
KEBIJAKAN
DAERAH
Tahapan Identifikasi dan Analisis Faktor
Tahapan Perumusan dan Perancangan Strategi
Faktor Karakteristik
Wilayah (Analisis Regresi Logistik Biner)
Wilayah
Pertanian
Wilayah
Perdagangan
/ jasa
Wilayah
Industri
Faktor Internal
Pendidikan (Analisis Regresi Linear berganda)
28
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian ini bertempat di wilayah otonomi Pemerintah Kabupaten
Bogor. Pemilihan Kabupaten Bogor sebagai lokasi penelitian dilakukan secara
sengaja dengan pertimbangan :
(1) Kabupaten Bogor merupakan daerah otonomi yang dekat dengan ibukota
negara. Dengan demikian dampak pembangunan di ibukota negara ini
sedikit banyak akan memberikan pengaruh terhadap kondisi ekonomi,
sosial, lingkungan dan keamanan Kabupaten Bogor. Tidak terkecuali dari
pertimbangan tersebut, hal ini juga akan berpengaruh pada dunia
pendidikan khususnya tingkat partisipasi sekolah masyarakat Kabupaten
Bogor.
Di samping itu luas wilayah Kabupaten Bogor yang terbagi atas 40
kecamatan dan 430 desa/kelurahan, menyebabkan perlunya perhatian
lebih besar dalam hal pengelolaan dan pemantauan daerah. Hal ini
disebabkan oleh adanya dinamika antar kecamatan dan desa yang
cenderung berbeda. Salah satu hal yang membedakannya adalah
berdasarkan lapangan usaha. Beberapa kecamatan yang ada di wilayah
Barat dan Timur Kabupaten Bogor didominasi oleh sektor pertanian yang
dicirikan oleh banyaknya rumah tangga pertanian, karena sebagian besar
penduduknya bekerja di sektor pertanian. Sebagian besar kecamatan di
wilayah Tengah didominasi oleh sektor perdagangan dan jasa yang
dicirikan oleh banyaknya aktivitas usaha perdagangan dan jasa yang
dilakukan oleh masyarakat. Sementara itu, beberapa kecamatan di wilayah
Timur didominasi oleh sektor industri yang dicirikan oleh banyaknya
aktivitas usaha industri besar dan sedang.
(2) Kabupaten Bogor hingga tahun 2011 merupakan salah satu kabupaten di
Jawa Barat yang belum menuntaskan program wajib belajar, baik sembilan
tahun apalagi dua belas tahun.
Waktu pengambilan dan pengolahan data penelitian dilaksanakan selama
3 bulan, yakni bulan Maret-Mei 2012.
29
3.3 Jenis dan Sumber Data
Data yang dibutuhkan untuk kepentingan penelitian ini berdasarkan
jenisnya terdiri atas :
(1) Data primer
Data primer dibutuhkan untuk menjawab tujuan kedua dan ketiga, yakni
menganalisis faktor-faktor kondisi masyarakat dan faktor karakteristik wilayah
yang mempengaruhi tingkat partisipasi sekolah pada jenjang pendidikan
menengah atas di Kabupaten Bogor. Data primer yang diambil berupa data
kualitatif, diperoleh melalui dua cara, yaitu: (1) wawancara terstruktur, yakni
pengumpulan informasi melalui tanya jawab sesuai panduan pertanyaan, dan (2)
penyebaran kuesioner kepada responden yang dianggap mampu menjawab
pertanyaan secara mandiri.
Responden dipilih berdasarkan penentuan sampel dengan menggunakan
teknik cluster sampling dengan langkah-langkah berikut :
(1) Kabupaten Bogor dibagi atas tiga kawasan, yakni: (1) pertanian, (2)
perdagangan/jasa, dan (3) industri.
Kawasan pertanian dicirikan oleh banyaknya penduduk yang bekerja pada
sektor pertanian. Kawasan perdagangan dan jasa dicirikan oleh banyaknya
perusahaan/usaha, sedangkan kawasan industri dicirikan oleh banyaknya
jumlah industri besar dan sedang yang ada di suatu kecamatan.
(2) Melakukan pemeringkatan kecamatan dengan menggunakan data yang
sesuai dengan pembagian berdasarkan tiga kawasan yang ditentukan.
Kriteria penentuan kecamatan yang paling mencirikan sektor pertanian,
perdagangan/jasa, serta industri, dapat dilihat pada Tabel 3.
30
Tabel 3. Kriteria Penentuan Kawasan Berdasarkan Sektor Pertanian, Perdagangan dan Jasa, serta Industri
No Kawasan Kriteria
1
Pertanian
1. Jumlah rumah tangga petani dan petani
gurem
2 Perdagangan dan jasa 1. Jumlah perusahaan perdagangan besar dan
eceran
2. Jumlah perusahaan akomodasi dan makan minum, transportasi pergudangan, dan komunikasi
3. Jumlah perusahaan perantara keuangan
4. Jumlah real estate dan usaha persewaan
5. Jumlah jasa pendidikan
6. Jumlah jasa kesehatan dan kegiatan sosial
7. Jumlah jasa kemasyarakatan, sosial budaya,hiburan dan usaha perorangan lainnya
8. Jasa perorangan yang melayani rumah tangga
3
Industri
1. Jumlah industri besar dan sedang
Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor, 2011
(3) Membandingkan kecamatan dengan capaian angka partisipasi sekolah di
wilayah tersebut. Kecamatan yang diambil adalah kecamatan yang masing-
masing memiliki ciri dominan pada sektor pertanian, perdagangan dan
jasa, serta industri dengan nilai APM yang lebih rendah daripada nilai rata-
rata kabupaten pada tahun 2010 yakni 44,21 persen. Berdasarkan
perbandingan hasil pemeringkatan kecamatan dengan capaian APM,
diperoleh tiga kecamatan. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 4.
31
Tabel 4. Pemilihan Kecamatan Sampel Berdasarkan Kategori Sektor dan APM
Kategori Sektor Kecamatan APM (%)
1. Pertanian 2. Perdagangan dan jasa 3. Industri
Leuwiliang Cisarua Klapanunggal
36,99 33,06 25,66
Sumber : Dinas Pendidikan Kabupaten Bogor, 2010 (diolah)
(4) Memilih satu desa pada masing-masing kecamatan yang paling
merepresentasikan ketiga sektor tersebut. Berdasarkan hasil analisis data
sekunder dan informasi dari aparat pemerintahan terkait, ditetapkan 3 desa
yang dijadikan lokasi pengambilan sampel responden, yakni : (1) Desa
Karehkel di Kecamatan Leuwiliang, (2) Kelurahan Cisarua di Kecamatan
Cisarua, dan (3) Desa Kembang Kuning di Kecamatan Klapanunggal.
(5) Menentukan katagori responden di tingkat desa dengan menggunakan
teknik purposive sampling. Teknik sampling ini digunakan berdasarkan
pertimbangan tertentu yakni keluarga yang memiliki anak usia 16-18 tahun
tanpa memperhatikan apakah anak itu bersekolah atau tidak. Adapun
pemilihan responden dilakukan berdasarkan informasi dari pemerintah
desa/kelurahan setempat dan pencarian langsung di lapangan.
(6) Menentukan jumlah responden sebanyak 20 orang untuk masing-masing
lokasi.
(2) Data sekunder
Data sekunder dibutuhkan untuk menjawab tujuan pertama dan keempat
dari penelitian ini, yaitu menganalisis faktor-faktor internal pendidikan yang
mempengaruhi tingkat partisipasi sekolah pada jenjang menengah atas di
Kabupaten Bogor, dan menganalisis kemandirian pendanaan pendidikan di
Kabupaten Bogor. Jenis data ini diperoleh dari informasi dokumentasi dalam
bentuk studi kepustakaan yang dikeluarkan oleh instansi-instansi yang terkait
dengan topik penelitian. Adapun data sekunder yang dibutuhkan untuk
menjawab tujuan utama dan spesifik penelitian, dapat dilihat pada Tabel 5.
32
Tabel 5. Tujuan, Metode, Jenis dan Sumber Data
Tujuan Jenis Data Sumber Metode
Menganalisis faktor-faktor internal pendidikan yang mempengaruhi tingkat partisipasi sekolah pada jenjang pendidikan menengah di Kabupaten Bogor
Data Sekunder: 1. Daya tampung Sekolah a. Jumlah penduduk usia sekolah b. Jumlah penduduk yang usia sekolah yang
bersekolah c. Jumlah sekolah dan ruang kelas 2. Jumlah guru pada jenjang pendidikan
menengah (SMA sederajat) a. Jumlah guru yang layak mengajar (S1-S3) b. Jumlah guru yang tidak layak mengajar (< S1) 3. Jumlah lembaga pendidikan SMA Sederajat a. SMA dan SMK Negeri b. SMA dan SMK Swasta c. MA Negeri d. MA Swasta 4. Status akreditasi sekolah a. Status sekolah berdasarkan nilai akreditasi (A,
B, C)
1. Dinas
Pendidikan 2. Kementerian
Agama 3. BPS 4. Bappeda
1. Analisis
statistik deskriptif
2. Analisis Korelasi
3. Analisis Regresi Linear Berganda
Menganalisis faktor-faktor kondisi masyarakat yang mempengaruhi tingkat partisipasi sekolah pada jenjang pendidikan menengah di Kabupaten Bogor.
Data Primer
Responden
1. Analisis
statistik deskriptif
2. Analisis Regresi Logistik Biner
3. Analisis Korelasi
Menganalisis faktor karakteristik wilayah yang mempengaruhi tingkat partisipasi sekolah di kabupaten Bogor
Data Primer
Responden
1. Analisis
statistik deskriptif
2. Analisis Regresi Logistik Biner
3. Analisis Korelasi
Menganalisis kemandirian pendanaan daerah untuk sektor pendidikan di Kabupaten Bogor
1. Anggaran Pendidikan asli APBD 2. Anggaran pendidikan bantuan non APBD
1. Bappeda 2. Dinas
Pengelolaan Keuangan Daerah
Analisis Rasio Kemandirian Keuangan Daerah
Merumuskan strategi peningkatan partisipasi sekolah di Kabupaten Bogor
Hasil olah data primer dan sekunder
1. Analisis
SWOT 2. Arsitektur
Strategi
Sumber : Hasil Analisis
33
3.4 Metode Analisis Data
Untuk menganalisis data yang dikumpulkan sehingga mendapatkan hasil
dan kesimpulan sesuai dengan tujuan yang telah dirumuskan, maka digunakan
motode analisis data sebagai berikut :
3.4.1 Analisis Statistik Deskriptif
Pada penelitian ini, analisis statistik deskriptif digunakan untuk
menjabarkan dan menggambarkan secara deskriptif masing-masing faktor yang
diteliti. Di samping itu, analisis ini digunakan untuk membantu pengidentifikasian
unsur-unsur faktor internal dan eksternal dalam analisis SWOT.
3.4.2 Analisis Regresi Linear Berganda
Analisis regresi berganda adalah analisis regresi yang digunakan untuk
menduga nilai variabel terikat (dependent) dengan menggunakan lebih dari satu
variabel bebas (independent). Parameter penting yang dihasilkan dari analisis
regresi berganda yang bermanfaat untuk mengambil kesimpulan adalah: (1)
koefisien determinasi yang menggambarkan persentase keragaman variabel
terikat yang dapat dijelaskan oleh variabel bebas di mana nilai koefisien
determinasi semakin mendekati 100% berarti semakin baik, (2) selang
kepercayaan model yang menggambarkan tingkat perbedaan nyata (signifikan)
dari persamaan yang digunakan yang nilainya biasanya adalah 90 – 95% (alfa :
0,1 atau alfa : 0,05), (3) nilai intersep dan nilai koefisien model beserta selang
kepercayaannya masing-masing yang menggambarkan berapa nilai intersep dan
nilai koefisien masing-masing variabel bebas beserta selang kepercayaannya di
mana nilai-nilai ini kemudian dapat disusun menjadi sebuah persamaan regresi
berganda (Wibowo, 2008). Analisis regresi liner berganda ini digunakan untuk
menduga nilai variabel-variabel yang sesuai dengan tujuan pertama dari
penelitian.
Untuk mengetahui pengaruh faktor-faktor internal pendidikan yang diduga
mempengaruhi tingkat partisipasi sekolah pada jenjang pendidikan menengah,
digunakan persamaan :
34
Dimana :
Y(t) = Tingkat Partisipasi Sekolah tahun tertentu yang dicirikan oleh APM ßo = Koefisien intersep X1 = Ketersediaan daya tampung yang diwakili oleh jumlah ruang kelas
layak pakai X2 = Ketersediaan guru layak mengajar X3 = Kualitas penyelenggara pendidikan yang diwakili oleh akreditasi
sekolah t = tahun analisis
3.4.3 Analisis Regresi Logistik Biner
Analisis regresi logistik adalah analisis yang mengkaji hubungan pengaruh
peubah-peubah penjelas (X) terhadap peubah respon (Y) melalui model
persamaan matematis tertentu, dimana peubah respon dalam analisis regresi
berupa peubah kategori (Firdaus, 2011). Analisis ini merupakan suatu teknik
untuk menerangkan peluang kejadian tertentu dari kategori peubah respon.
Pemodelan peluang kejadian tertentu dari kategori peubah respon
dilakukan melalui transformasi dari regresi linear ke dalam bentuk logit. Adapun
formula transformasi logit tersebut menurut Firdaus (2011) adalah :
Dimana :
pi = peluang munculnya kejadian kategori sukses dari peubah respon (Y) untuk orang ke-i, dengan nilai p berada antara 0-1
loge = logaritma dengan basis bilangan e
Adapun model yang digunakan untuk analisis regresi logistik adalah :
Dimana :
Logit (pi) = peluang kejadian sukses peubah respon (Y) β0 = intersep model garis regresi β1-n = slope model garis regresi X1-n = variabel penjelas
35
Hipotesa yang dibangun dari persamaan regresi logistik biner adalah :
H0 = persamaan regresi bernilai 0, yakni [Logit (pi)] = 0
H1 = persamaan regresi tidak bernilai 0, yakni [Logit(pi)] ≠ 0
Untuk menguji kelayakan model regresi logistik biner yang dibangun, digunakan
metode maximum likelihood. Model dinyatakan layak digunakan apabila nilai -2
Log Likelihood < nilai chi square tabel. Adapun Berdasarkan uji Hosmer and
Lemeshow, jika nilai signifikansi > 0,05, maka terima H0. Hal ini berarti model
dinyatakan layak dan bisa diinterpretasikan. Sebaliknya jika nilai signifikansi <
0,05, maka tolak H0, dimana nilai 0,05 merupakan tingkat kepercayaan 95
persen.
Analisis regresi logistik biner dalam penelitian ini digunakan untuk
mengetahui faktor-faktor kondisi masyarakat yang diduga mempengaruhi tingkat
partisipasi sekolah pada jenjang pendidikan menengah formal. Adapun variabel
respon (Y) dan variabel penjelas (X) yang digunakan adalah :
Y = Tingkat Partisipasi Sekolah yang dicirikan oleh nilai kategori “0” yaitu tidak bersekolah, dan “1” yaitu bersekolah
X1 = Faktor penghasilan orang tua yang dicirikan oleh nilai kategori (0) untuk penghasilan orang tua yang berada di bawah UMK, dan (1) untuk penghasilan orang tua yang berada di atas UMK
X2 = Faktor pendidikan orang tua yang dicirikan oleh nilai kategori (0) untuk orang tua yang berpendidikan SD ke bawah, dan (1) untuk orang tua yang berpendidikan SMP ke atas
X3 = Faktor minat anak bersekolah yang dicirikan oleh nilai kategori (0) untuk anak yang tidak berminat sekolah, dan (1) untuk anak yang berminat sekolah
X4 = Faktor jenis kelamin anak yang dicirikan oleh nilai kategori (0) untuk anak yang berjenis kelamin laki-laki, dan (1) untuk anak yang berjenis kelamin perempuan
Analisis regresi logistik biner dalam penelitian ini juga digunakan untuk
mengetahui faktor karakteristik wilayah yang diduga mempengaruhi tingkat
partisipasi sekolah pada jenjang pendidikan menengah formal. Adapun variabel
respon (Y) dan variabel penjelas (X) yang digunakan adalah :
Y = Tingkat Partisipasi Sekolah yang dicirikan oleh nilai kategori “0” yaitu tidak bersekolah, dan “1” yaitu bersekolah
36
X1 = Faktor karakteristik wilayah yang dicirikan oleh nilai kategori (0) untuk karakteristik wilayah pertanian, dan (1) untuk karakteristik wilayah perdagangan dan jasa
X2 = Faktor karakteristik wilayah yang dicirikan oleh nilai kategori (0) untuk karakteristik wilayah pertanian, dan (1) untuk karakteristik wilayah industri
3.4.4 Analisis Korelasi
Analisis ini digunakan untuk melihat sejauhmana keeratan hubungan
antara variabel-variabel yang diduga menjadi faktor yang mempengaruhi tingkat
partisipasi sekolah pada jenjang pendidikan menengah formal dengan capaian
tingkat partisipasi sekolah.
Rumus yang digunakan menurut Siregar, (2010) adalah :
Dimana :
r = koefisien korelasi X = variabel X yang digunakan Y = variabel tingkat partisipasi sekolah
3.4.5 Analisis Rasio Kemandirian
Analisis ini digunakan untuk mengetahui kemampuan daerah dalam
membiayai sendiri pembangunan pendidikan, khususnya pembangunan
pendidikan menengah formal. Analisis ini juga dapat menunjukkan seberapa
besar ketergantungan daerah terhadap pembiayaan pendidikan dari pihak luar.
Rumus yang digunakan adalah :
Dimana :
RK = Rasio Kemandirian tahun tertentu APA = Anggaran pendidikan menengah asli daerah APB = Anggaran pendidikan menengah bantuan luar
37
Keterangan :
Jika nilai rasio kemandirian semakin kecil, maka semakin besar ketergantungan
pemerintah daerah dalam membangun sektor pendidikan terhadap dana
bantuan, dan sebaliknya.
3.5 Metode Perumusan Strategi
Metode perumusan strategi digunakan untuk menganalisis alternatif
strategi yang mungkin muncul dari faktor-faktor hasil analisis data primer dan
sekunder.
3.5.1 Analisis SWOT
Analisis ini ditujukan untuk menggambarkan kondisi dan mengevaluasi
suatu masalah yang berdasarkan faktor internal (kekuatan dan kelemahan) dan
eksternal (peluang dan ancaman). Analisis SWOT terdiri dari dua tahap, yaitu :
(1) identifikasi unsur SWOT, yakni unsur internal (kekuatan dan kelemahan) dan
eksternal (peluang dan ancaman), dan (2) perumusan strategi melalui matriks
SWOT yang berfungsi untuk menganalisis kondisi internal dan eksternal dari
faktor-faktor yang diduga menjadi penyebab rendahnya partisipasi sekolah pada
jenjang pendidikan SMA. Unsur-unsur internal dan eksternal yang diidentifikasi
diperoleh dari hasil analisis terhadap data primer dan sekunder yang digunakan.
Adapun batasan lingkungan internal dan eksternal dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Batasan Faktor Internal dan Eksternal dalam Analisis SWOT
Faktor Internal Faktor Eksternal
Semua unsur yang berhubungan dengan faktor internal pendidikan, meliputi: 1. Ketersediaan ruang kelas layak pakai 2. Ketersediaan guru yang berkualifikasi
mengajar 3. Kualitas penyelenggaraan pendidikan
(akreditasi sekolah)
Semua unsur yang berhubungan dengan faktor kondisi masyarakat, meliputi : 1. Penghasilan orang tua 2. Pendidikan orang tua 3. Motivasi orang tua menyekolahkan anak 4. Minat anak bersekolah 5. Jenis kelamin anak
Semua unsur yang berhubungan dengan karakteristik wilayah, meliputi : 1. Wilayah pertanian 2. Wilayah perdagangan/jasa 3. Wilayah industri
Semua unsur yang berhubungan dengan pendanaan pendidikan menegah
Sumber : Hasil Identifikasi
38
Hasil identifikasi faktor internal dan eksternal kemudian disandingkan
dalam matriks SWOT seperti pada Tabel 7.
Tabel 7. Matriks SWOT
Internal Strengths (S) Weaknesses (W)
Eksternal
Opportunities (O)
Strategi S-O Menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang
Strategi W-O Memanfaatkan peluang untuk meminimalkan kelemahan
Threats (T)
Strategi S-T Menggunakan kekuatan untuk mengatasi ancaman
Strategi W-T Meminimalkan kelemahan dan menghindari ancaman
Sumber : Rangkuti (1997)
Hasil perumusan strategi melalui analisis SWOT kemudian ditindaklanjuti
dengan melakukan pemetaan strategi berdasarkan prioritas melalui pendekatan
road map strategy. Menurut Baga (2009) pendekatan ini dapat menjelaskan dan
menunjukkan beberapa hal yang mendasar, yaitu :
(1) Prioritas penanganan suatu strategi dibandingkan strategi lainnya dengan
tetap menganggap penting semua strategi yang berhasil dirumuskan.
Perbedaan prioritas terlihat pada urutan urgensi penanganan suatu
strategi.
(2) Hubungan sekuensial antar strategi, sehingga dapat menghindarkan
terjadinya inefisiensi dan inefektivitas strategi.
(3) Hubungan resiprokal antar strategi yang mengindikasikan adanya
ketergantungan antar strategi dan pengaruh satu strategi terhadap strategi
lainnya.
(4) Menjelaskan time-frame implementasi masing-masing strategi dalam
periode waktu tertentu.
Implementasi strategi yang telah dipetakan kemudian disajikan melalui
perancangan arsitektur strategi. Arsitektur strategi merupakan sebuah
39
pendekatan untuk mengimplementasikan perencanaan masa depan yang
dibangun sendiri berdasarkan keinginan untuk dapat melaksanakan
program/kegiatan agar lebih terarah sesuai dengan prioritas kebutuhan yang
telah ditetapkan sebelumnya (Yoshida, 2006).
Penyusunan arsitektur strategi dilakukan dengan mempertimbangkan
empat hal, yaitu :
(1) Urutan prioritas strategi yang telah dipetakan berdasarkan hasil identifikasi
faktor internal dan eksternal.
(2) Urutan prioritas kebijakan yang menjadi fokus dari beberapa strategi yang
berhubungan.
(3) Kesesuaian program/kegiatan dengan waktu pelaksanaan.
(4) Hubungan antar kegiatan.
40
41
IV. KONDISI UMUM KABUPATEN BOGOR
4.1 Kondisi Geografis dan Administrasi
Kabupaten Bogor merupakan salah satu dari 26 kabupaten/kota di Provinsi
Jawa Barat yang memiliki luas ± 298.838,304 Ha. Secara geografis Kabupaten
Bogor terletak di antara 6º18'0" – 6º47'10" Lintang Selatan dan 106º23'45" –
107º13'30" Bujur Timur dan berbatasan dengan kabupaten/kota lainnya di Jawa
Barat serta Provinsi Banten. Adapun batas-batas wilayah Kabupaten Bogor
adalah sebagai berikut :
- Sebelah Utara, berbatasan dengan Kota Tangerang Selatan,
Kabupaten Tangerang, Kota Depok, Kabupaten/Kota Bekasi;
- Sebelah Barat, berbatasan dengan Kabupaten Lebak;
- Sebelah Timur, berbatasan dengan Kabupaten Karawang, Kabupaten
Cianjur dan Kabupaten Purwakarta;
- Sebelah Selatan, berbatasan dengan Kabupaten Sukabumi dan
Kabupaten Cianjur;
- Bagian Tengah berbatasan dengan Kota Bogor.
Letak geografis Kabupaten Bogor dapat dilihat pada Gambar 4.
Sumber : Bappeda Kabupaten Bogor, 2011
Gambar 4. Letak Geografis Kabupaten Bogor
42
Letak Kabupaten Bogor tidak berbatasan langsung dengan Provinsi DKI
Jakarta sebagai ibukota negara, namun jarak antara Kabupaten Bogor dengan
ibukota negara cukup dekat yakni kurang lebih sejauh 48 km. Dekatnya jarak ini
sedikit banyak mempengaruhi wilayah Kabupaten Bogor, baik dalam aspek
sosial, ekonomi, lingkungan, keamanan dan ketertiban.
Secara administratif, Kabupaten Bogor memiliki 40 kecamatan yang terbagi
kedalam 413 desa, 17 kelurahan, 3.770 RW dan 15.124 RT dengan pusat
pemerintahan terletak di Kecamatan Cibinong. Rentang kendali wilayah di
Kabupaten Bogor sangat lebar, dimana 37,5 persen atau 15 kecamatan berjarak
kurang dari 25 km dari pusat pemerintahan daerah, 42,5 persen atau 17
kecamatan berjarak 25-50 km dan 20 persen atau delapan kecamatan berjarak
lebih dari 50 km. Lebarnya rentang kendali tersebut berdampak pada pelayanan
pemerintah daerah terhadap masyarakat, terutama pada kecamatan-kecamatan
yang jaraknya lebih dari 50 km dari pusat pemerintahan daerah. Rincian
kecamatan di Kabupaten Bogor dapat dilihat pada Tabel 8.
Untuk mengurangi ketimpangan pelayanan bagi wilayah-wilayah
kecamatan yang secara geografis letaknya cukup jauh dari pusat pemerintahan
daerah, maka dibuatlah konsep sistem pusat permukiman perdesaan melalui
pembangunan Desa Pusat Pertumbuhan (DPP) yang mencakup 64 desa /
kelurahan di 37 kecamatan. Konsep ini dibuat dalam upaya pengembangan
kegiatan sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat yang memiliki keterkaitan kuat
terhadap wilayah yang dilayaninya. Diharapkan pembentukan desa pusat
pertumbuhan ini akan memberikan pengaruh yang besar bagi desa-desa di
sekitarnya. Kecamatan dan desa/kelurahan yang diarahkan menjadi desa pusat
pertumbuhan dapat dilihat pada Tabel 9.
Selain itu telah direncanakan pula sistem pusat permukiman perkotaan
dengan pembagian sebagai berikut :
(a) Orde I, yaitu Kecamatan Cibinong yang memiliki aksesibilitas tinggi
terhadap Pusat Kegiatan Nasional (PKN), antara lain wilayah
JABODETABOKPUNJUR
(b) Orde II, yaitu Kecamatan Cileungsi dan Kecamatan Leuwiliang yang
memiliki aksesibilitas tinggi terhadap Kecamatan Cibinong
43
(c) Orde III, yaitu Kecamatan Jasinga, Kecamatan Parung Panjang, Kecamatan
Parung, Kecamatan Ciawi, Kecamatan Cigombong, dan Kecamatan Cariu.
Tabel 8. Kondisi Administratif Kabupaten Bogor Tahun 2012
No Kecamatan Luas
Wilayah
Jarak dari Ibukota
Kabupaten (km)
Jumlah
Desa/Kel RW RT
1 Nanggung 13.525,25 49 10 100 348
2 Leuwiliang 6.177,12 38 11 126 426
3 Leuwisadeng 3.283,12 45 8 56 272
4 Pamijahan 8.088,29 40 15 137 499
5 Cibungbulang 3.266,15 35 15 122 408
6 Ciampea 5.106,45 32 13 102 435
7 Tenjolaya 2.368,00 45 6 40 147
8 Dramaga 2.437,64 42 10 72 313
9 Ciomas 1.630,57 20 6 129 511
10 Tamansari 2.161,40 25 8 91 360
11 Cijeruk 3.166,23 38 9 64 259
12 Cigombong 4.042,52 41 9 80 287
13 Caringin 5.729,29 34 12 81 348
14 Ciawi 2.581,00 27 13 81 330
15 Cisarua 6.373,62 39 10 73 260
16 Megamendung 3.987,38 37 11 55 256
17 Sukaraja 4.297,38 9 13 105 539
18 Babakan Madang 9.871,00 8 9 70 259
19 Sukamakmur 12.678,00 59 10 74 233
20 Cariu 7.366,12 53 10 55 155
21 tanjungsari 12.998,71 66 10 75 175
22 Jonggol 12.686,00 39 14 119 335
23 Cileungsi 7.378,64 23 12 148 800
24 Klapanunggal 9.764,40 17 9 72 220
25 Gunung Putri 5.628,67 12 10 239 941
26 Citeureup 6.719,00 6 14 110 477
27 Cibinong 4.336,96 0 12 158 909
28 Bojonggede 2.955,32 21 9 140 724
29 Tajurhalang 2.927,76 15 7 79 352
30 Kemang 6.369,99 20 9 78 305
31 Rancabungur 2.168,67 17 7 51 194
32 Parung 7.376,69 22 9 53 230
33 Ciseeng 3.678,86 47 10 60 252
34 Gunung Sindur 5.126,00 32 10 87 340
35 Rumpin 11.100,77 42 13 109 459
36 Cigudeg 15.889,97 53 15 178 536
37 Sukajaya 7.628,31 55 9 85 282
38 Jasinga 20.806,50 64 16 99 449
39 Tenjolaya 6.444,75 79 9 42 192
40 Parung Panjang 6.259,00 87 11 74 307
Total 266.381,50 1.433 430 3.770 15.124
Sumber : Badan Perencanaan Pembangunan, 2011
44
Tabel 9. Pembagian Desa Pusat Pertumbuhan di Kabupaten Bogor
Wilayah Jumlah
Kecamatan Kecamatan
dengan DPP Desa Pusat
Pertumbuhan
Barat 13 12 23
Tengah 20 18 23
Timur 7 7 18
Sumber : Perda RTRW Kabupaten Bogor, 2008
4.2 Kondisi Kependudukan
Jumlah penduduk Kabupaten Bogor pada tahun 2010 tercatat sebanyak
4.771.932 jiwa yang terdiri atas 2.452.562 jiwa laki-laki dan 2.319.370
perempuan dengan rasio jenis kelamin sebesar 106. Adapun laju pertumbuhan
penduduk di Kabupaten Bogor sejak tahun 2000 hingga 2010 sebesar 3,15
persen yang dipengaruhi oleh pertumbuhan penduduk alami dan migrasi masuk.
Jika dibandingkan dengan Provinsi Jawa Barat yang jumlah penduduknya
tercatat sebanyak 43.053.732 jiwa, Kabupaten Bogor memiliki jumlah penduduk
terbanyak, yakni sebesar 11,08 persen dari total penduduk Jawa Barat.
Sementara itu dari 33 provinsi di Indonesia, yang total penduduknya tercatat
sebanyak 237.641.326 jiwa, Provinsi Jawa Barat tercatat sebagai provinsi
dengan jumlah penduduk terbanyak, yakni sebesar 18,12 persen. Berdasarkan
hal ini dapat disimpulkan bahwa jumlah penduduk Kabupaten Bogor merupakan
jumlah penduduk terbanyak diantara kabupaten/kota di Indonesia yakni sekitar
2,01 persen dari total penduduk Indonesia.
Keseluruhan penduduk Kabupaten Bogor tersebar di 40 wilayah
kecamatan dengan kepadatan penduduk rata-rata tahun 2010 tercatat sebesar
25,69 jiwa per hektar. Kepadatan penduduk tertinggi terdapat di Kecamatan
Ciomas, yakni 91,48 jiwa per hektar. Sedangkan kepadatan penduduk terendah
terdapat di Kecamatan Tanjungsari yakni 3,85 jiwa per hektar. Kabupaten Bogor
terbagi atas tiga wilayah, yakni wilayah barat meliputi 13 kecamatan, wilayah
tengah meliputi 20 kecamatan dan wilayah timur meliputi tujuh kecamatan. Rata-
rata kepadatan penduduk pada ketiga wilayah ini tidaklah sama, karena
penduduk lebih terkonsentrasi di wilayah tengah. Hal ini dapat dilihat pada
Gambar 5.
45
Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor, 2011
Gambar 5. Kepadatan Penduduk Kabupaten Bogor Menurut Wilayah
Terkonsentrasinya sebagian besar penduduk di wilayah tengah yakni
sebanyak 34,61 persen dari total penduduk Kabupaten Bogor bisa jadi
dipengaruhi oleh ketersediaan fasilitas dan aksesibilitas pelayanan, sehingga
memudahkan penduduk untuk memenuhi semua kebutuhannya. Dilihat dari
struktur penduduk, mayoritas penduduk Kabupaten Bogor berusia produktif (15-
64 tahun) yakni sebesar 64,16 persen dari total penduduk yang ada. Hal ini
dapat dilihat pada Gambar 6.
Sumber : Badan Pusat Statistika Kabupaten Bogor, 2011
Gambar 6. Struktur Penduduk Kabupaten Bogor Tahun 2010
46
Kondisi struktur penduduk Kabupaten Bogor seperti yang disajikan pada
Gambar 6, berkonsekuensi pada rasio beban tanggungan penduduk usia
produktif yakni sebesar 55,86 persen, artinya setiap seratus penduduk
Kabupaten Bogor yang berusia produktif menanggung hampir 56 jiwa penduduk
usia tidak produktif yang didominasi oleh penduduk usia 0-14 tahun. Di sisi lain,
dari total penduduk usia produktif, sebanyak 56,26 persen merupakan penduduk
yang bekerja. Sektor pekerjaan yang menyerap tenaga kerja terbanyak adalah
sektor perdagangan, hotel dan restoran, yakni sebanyak 24,96 persen dari total
penduduk yang bekerja. Hal ini bisa menunjukkan bahwa pengaruh letak
geografis Kabupaten Bogor yang berdekatan dengan ibukota negara dapat
dicirikan oleh besarnya jumlah tenaga kerja yang bekerja pada sektor non
pertanian. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 7.
Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor, 2011
Gambar 7. Persentase Penduduk Kabupaten Bogor yang Bekerja Menurut Sektor Tahun 2010
Banyaknya jumlah penduduk usia produktif dengan rasio beban
tanggungan yang cukup besar, di satu sisi menimbulkan masalah kependudukan
lainnya, yaitu masalah pengangguran dan kemiskinan. Hal ini disebabkan karena
tidak semua penduduk usia produktif yang bekerja atau mendapatkan pekerjaan.
Hingga tahun 2010 pengangguran terbuka tercatat sebanyak 10,64 persen,
sedangkan jumlah penduduk miskin tercatat 9,97 persen dari total penduduk
Kabupaten Bogor. Di sisi lain sebanyak 23,16 persen penduduk Kabupaten
Bogor rawan terhadap kemiskinan. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 8.
47
Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor, 2011
Gambar 8. Permasalahan Kependudukan di Kabupaten Bogor Tahun 2010
4.3 Kondisi Perekonomian
Kondisi perekonomian di Kabupaten Bogor sedikit banyak dipengaruhi oleh
kondisi perekonomian Jakarta sebagai ibukota negara, karena jarak Kabupaten
Bogor dengan Jakarta yang cukup dekat. Pertumbuhan ekonomi di Kabupaten
Bogor dari tahun ke tahun mengalami fluktuasi. Rata-rata pertumbuhan ekonomi
lima tahun terakhir (2006-2010) tercatat sebesar 5,41 persen. Hal ini dapat dilihat
pada Gambar 9.
Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor, 2011
Gambar 9. Laju Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Bogor Tahun 2006-2010
48
Indikator perekonomian di Kabupaten Bogor juga terlihat dari besarnya
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Perkembangan PDRB dan PDRB
perkapita berdasarkan atas harga berlaku dan harga konstan ini dapat dilihat
pada Tabel 10.
Tabel 10. PDRB Kabupaten Bogor Tahun 2007-2010
PDRB (juta Rp) Tahun
2007 2008 2009 2010
PDRB atas harga berlaku
51.280.219,68 58.389.411,43 66.083.788,55 73.800.700,55
PDRB atas harga konstan
2.8151.318,85 29.721.698,04 30.952.137,83 32.526.449,67
PDRB perkapita atas harga berlaku
11.731.342,36 12.959.070,42 14.232.423,29 15.465.580,93
PDRB perkapita atas harga konstan
6.440.158,82 6.596.497,01 6.666.142,13 6.816.201,42
Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor, 2011
Berdasarkan data pada Tabel 10, terlihat bahwa sejak tahun 2007 hingga
tahun 2010 terjadi peningkatan nilai PDRB maupun PDRB perkapita. Namun
apabila dilihat dari laju pertumbuhannya, ternyata PDRB kabupaten Bogor atas
harga berlaku tahun 2010 mengalami penurunan dari tahun 2007 sebesar 0,02
poin. PDRB atas harga konstan turun sebesar 0,01 poin, dan PDRB perkapita
atas harga berlaku juga turun sebesar 0,01 poin. Hal ini dapat dilihat pada
Gambar 11.
Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor, 2011
Gambar 10. Laju Pertumbuhan PDRB Kabupaten Bogor Tahun 2007-2010
49
Sementara itu, laju inflasi di Kabupaten Bogor dari tahun 2006-2010
berfluktuasi dengan laju tertinggi terjadi pada tahun 2008. Secara rata-rata, laju
inflasi di Kabupaten Bogor tahun 2006-2010 mencapai sebesar 6,14 persen. Hal
ini dapat dilihat dalam Gambar 12.
Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor, 2011
Gambar 11. Laju Inflasi di Kabupaten Bogor Tahun 2006-2010
4.4 Kondisi Sosial
Keberhasilan pembangunan di Kabupaten Bogor dari sudut pandang sosial
dapat dilihat dari berbagai hal, diantaranya adalah capaian Indeks Pembangunan
Manusia (IPM) terutama pada aspek kesehatan dan pendidikan. Hingga tahun
2010 IPM Kabupaten Bogor mencapai 72,16 poin. Perkembangan capaian IPM
tahun 2007-2010 dapat dilihat pada Tabel 11.
Tabel 11. Capaian IPM Kabupaten Bogor Tahun 2007-2010
Tahun
IPM
Angka Harapan
Hidup
Angka Melek Huruf
Rata-rata Lama
Sekolah
Kemampuan Daya Beli
IPM
2007 67,63 93,59 7,20 623,09 70,08
2008 68,03 93,59 7,20 627,74 70,66
2009 68,44 94,29 7,54 628,34 71,35
2010 68,86 95,02 7,98 629,62 72,16
Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor, 2011
50
Besarnya harapan hidup masyarakat Kabupaten Bogor semakin lama
semakin meningkat hingga pada tahun 2010 mencapai usia hampir 69 tahun.
Pada bidang pendidikan, masih terdapat 4,98 persen penduduk diatas usia 15
tahun yang buta huruf, dan rata-rata pendidikan masyarakat Kabupaten Bogor
baru menamatkan jenjang pendidikan dasar tingkat SD/sederajat dan baru
menyelesaikan jenjang pendidikan SMP/sederajat pada kelas tujuh. Sementara
itu, kemampuan daya beli masyarakat baru mencapai Rp 629.620,00 pertahun.
Apabila dilihat dari laju peningkatan IPM dan komponen-komponennya,
maka dari tahun 2007 hingga tahun 2010 terjadi peningkatan IPM dengan laju
peningkatan tertinggi terjadi pada rata-rata lama sekolah. Hal ini menunjukkan
bahwa pembangunan dibidang pendidikan lebih besar terlihat hasilnya
dibandingkan dengan pembangunan di bidang kesehatan maupun ekonomi.
Kondisi ini dapat dilihat pada Tabel 12.
Tabel 12. Laju Peningkatan Capaian IPM Kabupaten Bogor Tahun 2007-2010
Tahun
IPM
Angka Harapan
Hidup
Angka Melek Huruf
Rata-rata Lama
Sekolah
Kemampuan Daya Beli
IPM
2007-2008 0,59 0,00 0,00 0,75 0,83
2008-2009 0,60 0,75 4,72 0,10 0,98
2009-2010 0,61 0,77 5,84 0,20 1,14
Rata-Rata Peningkatan
0,60 0,51 3,52 0,35 0,98
Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor, 2011
Dekatnya wilayah Kabupaten Bogor dengan ibukota negara memberikan
dampak positif dan negatif terhadap kondisi sosial masyarakat. Dampak positif
terutama dirasakan dari tingginya aksesibilitas dan kemudahan pelayanan yang
dirasakan oleh masyarakat, sedangkan dampak negatif yang muncul adalah
tingginya kasus kriminalitas, kecelakaan lalu lintas, dan masalah sosial lainnya.
Hal ini dapat dilihat pada Tabel 13.
51
Tabel 13. Perbandingan Kasus Masalah Sosial di Kabupaten Bogor Tahun 2007 dan Tahun 2010
Masalah Sosial
Tahun
% Kenaikan Kasus 2007 2010
Kecelakaan Lalu Lintas 162 518 219,75
Kriminalitas 2.455 4.864 98,13
Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor, 2007 dan 2011
Berdasarkan data pada Tabel 13, persentase peningkatan kasus
kecelakaan lalu lintas di Kabupaten Bogor sangat tinggi hingga mencapai 219,75
persen pada tahun 2010 dibandingkan tahun 2007, sedangkan kasus kriminalitas
meningkat sebesar 98,13 persen. Hal ini menunjukkan bahwa Kabupaten Bogor
rawan kecelakanaan lalu lintas dan kriminalitas. Di samping itu, masalah
kesejahteraan sosial juga banyak terjadi di Kabupaten Bogor, baik berlatar
belakang korban, anak, maupun latar belakang sosial lainnya. Masalah
kesejahteraan keluarga yang terjadi di Kabupaten Bogor 90,62 persen
disebabkan oleh latar belakang keluarga. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 13.
Sumber : Bappeda Kabupaten Bogor, 2010
Gambar 12. Masalah Kesejahteraan Sosial di Kabupaten Bogor Tahun 2010
Berdasarkan Latar Belakang
52
4.5 Kondisi Umum Pendidikan di Kabupaten Bogor
Penyelenggaraan pendidikan yang menjadi kewenangan Pemerintah
kabupaten Bogor adalah pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar dan
pendidikan menengah. Disamping tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan
ada di tangan pemerintah daerah, pelaksanaan pendidikan pun dilaksanakan
juga oleh Kementerian Agama dan lembaga swasta. Peningkatan jumlah
sekolah, baik tingkat pra sekolah, dasar maupun menengah mengalami
peningkatan dari waktu ke waktu. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 14.
Jumlah sekolah yang ada di Kabupaten Bogor lebih banyak didominasi
oleh sekolah umum daripada sekolah keagamaan. Hal ini terjadi pada setiap
jenjang pendidikan. Sedangkan jumlah sekolah terbanyak terdapat pada jenjang
pendidikan dasar (SD/MI). Hal ini disebabkan oleh gencarnya upaya untuk
menuntaskan wajib belajar sembilan tahun di Kabupaten Bogor. Sedangkan
penyelenggaraan pendidikan usia dini (TK/RA) menempati posisi terbanyak
kedua setelah SD/MI. Hal ini mengingat pula bahwa sebesar 32,32 persen
penduduk Kabupaten Bogor adalah penduduk berusia 0-14 tahun.
Sumber : Dinas Pendidikan Kabupaten Bogor, 2007-2011
Gambar 13. Perkembangan Jumlah Sekolah dalam Kewenangan Pemerintah Kabupaten Bogor Tahun 2007-2011
Apabila dilihat dari penyelenggara pendidikan, maka di wilayah Kabupaten
Bogor lebih banyak didominasi oleh sekolah swasta yang mengambil peran
cukup besar bagi pembangunan pendidikan dengan porsi lebih dari 50 persen
53
dari total sekolah yang ada. Jumlah sekolah yang diselenggarakan oleh lembaga
swasta ini mengalami peningkatan dari tahun ke tahun dengan persentase yang
lebih tinggi daripada peningkatan jumlah sekolah swasta. Hal ini dapat dilihat
pada gambar 15.
Sumber : Dinas Pendidikan Kabupaten Bogor, 2007-2011
Gambar 14. Perbandingan Sekolah Negeri dan Swasta di Kabupaten Bogor Tahun 2007-2011
Jumlah guru yang ada di Kabupaten Bogor sebagian besar merupakan
guru yang mengajar pada jenjang pendidikan SD. Hal ini disebabkan oleh
banyaknya jumlah Sekolah Dasar yang dimiliki oleh Pemerintah Kabupaten
Bogor. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 16.
Sumber : Dinas Pendidikan Kabupaten Bogor, 2007-2011
Gambar 15. Perkembangan Jumlah Guru di Kabupaten Bogor Tahun 2007-2011
54
Para guru yang mengabdi di sekolah-sekolah di Kabupaten Bogor
sebagian besar merupakan guru swasta dengan jumlah lebih dari 50 persen dari
total guru yang ada. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 17.
Sumber : Dinas Pendidikan Kabupaten Bogor, 2007-2011
Gambar 16. Perbandingan Jumlah Guru Negeri dan Swasta di Kabupaten Bogor Tahun 2007-2011
55
V. FAKTOR- FAKTOR INTERNAL PENDIDIKAN
5.1 Hasil Analisis Seluruh Variabel Faktor Internal terhadap Partisipasi Sekolah
Berdasarkan analisis yang dilakukan secara bersamaan pada seluruh
variabel faktor internal pendidikan yang diduga berpengaruh terhadap tingkat
partisipasi sekolah (Y) pada jenjang pendidikan menengah formal di Kabupaten
Bogor, maka diperoleh hasil bahwa model persamaan tersebut dibangun oleh
tiga variabel bebas yang dapat menjelaskan varians variabel terikatnya sebesar
53,05 persen. Hasil analisis terhadap masing-masing variabel yang dilakukan
secara bersamaan menunjukkan bahwa hanya variabel X1 (persentase jumlah
ruang kelas layak pakai) yang berpengaruh secara signifikan terhadap Y (tingkat
partisipasi sekolah), dimana nilai P-value<0,05. Sementara dua variabel lainnya,
yakni X2 (persentase jumlah guru yang berkualifikasi mengajar) dan X3
(persentase jumlah sekolah yang terakreditasi) memiliki nilai P-value>0,05 yang
berarti kedua variabel ini tidak berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat
partisipasi sekolah yang diwakili oleh angka partisipasi murni. Model persamaan
ini tidak menunjukkan terjadinya multikolinearitas, karena diantara variabel-
variabel bebas tersebut tidak memiliki korelasi yang tinggi, dimana nilai toleransi
masing-masing variabel berada diatas 0,1.
Berdasarkan model yang dibangun, diperoleh persamaan sebagai berikut :
Y = 5,92 + 7,69 X1 + 0,08 X2 + 0,05 X3
Persamaan ini menunjukkan bahwa peningkatan satu persen jumlah ruang
kelas yang layak digunakan, akan meningkatkan partisipasi sekolah sebesar
7,69 persen. Demikian pula dengan penambahan persentase jumlah guru yang
berkualifikasi mengajar akan meningkatkan partisipasi sekolah sebesar 0,08
persen. Penambahan satu persen jumlah sekolah yang terakreditasi akan
meningkatkan partisipasi murni sebesar 0,05 persen. Hal ini dapat dilihat pada
Tabel 14.
56
Tabel 14. Hasil Analisis Statistik Pengaruh Faktor Internal Pendidikan terhadap Tingkat Partisipasi Sekolah
Variabel Koefisien Signifikansi Korelasi
Konstanta 5, 98 0,88
% Jumlah Ruang Kelas Layak Pakai (X1) 7, 69
0,00 (Signifikan)
0,7
% Jumlah Guru yang berkualifikasi mengajar (X2)
0,08
0,85 (Tidak signifikan)
0,1
% Jumlah Sekolah Terakreditasi (X3) 0,05
0,80 (Tidak signifikan)
0,2
Sumber : Hasil Analisis
Adapun detail uraian dari masing-masing variabel dijelaskan secara terpisah
dengan menggunakan analisis deskriptif yang disertai dengan pembahasan hasil
analisis regresi.
Jumlah penduduk usia 16-18 tahun di Kabupaten Bogor pada tahun 2011
tercatat sebanyak 271.523 jiwa. Hal ini berarti bahwa sebanyak 5,33 persen dari
total penduduk Kabupaten Bogor merupakan penduduk usia sekolah yang
seharusnya mengikuti pendidikan pada jenjang pendidikan menengah. Di sisi lain
usia ini telah tercatat sebagai usia kerja, sehingga memungkinkan anak-anak
usia tersebut tidak melanjutkan pendidikannya pada jenjang menengah
(SMA/sederajat) dengan alasan bekerja. Hingga tahun 2011, jumlah penduduk
usia ini tidak seluruhnya tercatat sebagai siswa pada sekolah-sekolah yang ada
di Kabupaten Bogor. Dengan mengasumsikan jumlah penduduk usia sekolah
yang bersekolah di luar Kabupaten Bogor sama dengan jumlah penduduk luar
Kabupaten Bogor yang bersekolah pada jalur pendidikan menengah formal di
Kabupaten Bogor, tercatat hanya sebanyak 104.638 jiwa yang bersekolah. Hal
ini menyebabkan rendahnya angka partisipasi sekolah yang diukur dengan salah
satu ukuran yakni Angka Partisipasi Murni (APM) jenjang pendidikan menengah
di Kabupaten Bogor yang hanya mencapai 38,54 persen. Pada Tabel 15 dapat
dilihat capaian APM pada setiap kecamatan di Kabupaten Bogor Tahun 2011.
57
Tabel 15. Capaian APM SMA/Sederajat Tiap Kecamatan di Kabupaten Bogor Tahun 2011
No Kecamatan Jumlah
Penduduk 16-18 Tahun
Jumlah Siswa APM (%)
1. Kemang 5.258 6.952 132,22
2. Cibinong 18.579 16.412 88,34
3. Parung 6.403 4.781 74,67
4. Cibungbulang 7.123 4.520 63,46
5. Ciampea 8.372 4.777 57,06
6. Citeureup 11.288 6.325 56,03
7. Cariu 2.628 1.454 55,33
8. Cigombong 5.025 2.712 53,97
9. Ciawi 5.860 3.134 53,48
10. Leuwiliang 6.446 3.417 53,01
11. Jonggol 6.981 3.012 43,15
12. Cileungsi 14.018 5.060 36,10
13. Gunungputri 17.634 6.153 34,89
14. Parungpanjang 6.259 2.153 34,40
15. Rancabungur 2.848 885 31,07
16. Tajurhalang 5.534 1.679 30,34
17. Ciomas 8.488 2.558 30,14
18. Jasinga 5.296 1.551 29,29
19. Bojonggede 13.454 3.940 29,28
20. Klapanunggal 5.407 1.569 29,02
21. Cigudeg 6.673 1.886 28,26
22. Megamendung 5.513 1.549 28,10
23. Rumpin 7.349 2.040 27,76
24. Babakanmadang 5.863 1.624 27,70
25. Caringin 6.502 1.783 27,42
26. Pamijahan 7.617 2.041 26,80
27. Leuwisadeng 4.030 1.054 26,15
28. Gunungsindur 5.861 1.467 25,03
29. Dramaga 5.729 1.323 23,09
30. Ciseeng 5.589 1.263 22,60
31. Tenjo 3.760 804 21,38
32. Cisarua 6.410 1.315 20,51
33. Sukajaya 3.168 380 11,99
34. Tamansari 5.234 578 11,04
35. Sukamakmur 4.243 430 10,13
36. Tenjolaya 3.123 314 10,05
37. Sukaraja 9.858 932 9,45
38. Cijeruk 4.474 333 7,44
39. Nanggung 4.780 324 6,78
40. Tanjungsari 2.846 154 5,41
Sumber : Statistik Pendidikan Kabupaten Bogor, 2011
Perbandingan antara jumlah penduduk usia sekolah dengan penduduk usia
sekolah yang bersekolah pada setiap kecamatan di Kabupaten Bogor berbeda-
58
beda. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Dinas Pendidikan Kabupaten
Bogor Tahun 2011, tingkat partisipasi sekolah tertinggi terdapat di Kecamatan
Kemang, dengan capaian APM sebesar 132,22 persen. Hal ini menunjukkan
bahwa penduduk usia sekolah di Kecamatan Kemang seluruhnya sudah
berpartisipasi pada jenjang pendidikan menengah formal, dan banyak pula
penduduk luar Kabupaten Bogor yang bersekolah di wilayah Kecamatan Kemang
yang diduga berasal dari Kota Bogor, Kota Depok dan Kota tangerang.
Sedangkan tingkat partisipasi terendah terdapat di Kecamatan Tanjungsari
dengan capaian APM sebesar 5,41 persen. Hal ini menunjukkan bahwa hanya
sekitar 5,41 persen penduduk usia 16-18 tahun yang bersekolah pada jenjang
pendidikan menengah formal di Kecamatan Tanjungsari.
5.2 Daya Tampung Sekolah
Berdasarkan hasil analisis statistik diketahui bahwa daya tampung sekolah
yang diwakili oleh ketersediaan jumlah ruang kelas yang layak digunakan
berpengaruh secara signifikan terhadap peningkatan partisipasi sekolah yang
diwakili oleh APM, dengan nilai koefisien sebesar 7,69. Hal ini berarti bahwa
setiap penambahan satu persen jumlah ruang kelas yang layak pakai, akan
meningkatkan APM sebesar 7,69 persen.
Rendahnya capaian APM dapat diidentifikasi dari beberapa faktor internal,
yang salah satunya adalah daya tampung sekolah. Daya tampung sekolah
adalah kemampuan suatu sekolah untuk menyerap penduduk usia sekolah.
Wujud penyelenggaraan pendidikan menengah formal di Kabupaten Bogor
diantaranya terlihat dari adanya aktivitas belajar-mengajar yang dilaksanakan
oleh sejumlah sekolah menengah tingkat atas, baik sekolah umum, agama
maupun kejuruan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah, lembaga
swasta dan Kementerian Agama. Pada tahun 2011, Kabupaten Bogor memiliki
468 unit sekolah yang melayani seluruh jenjang pendidikan menengah. Hal ini
dapat dilihat pada Tabel 16.
59
Tabel 16. Penyelenggaraan Pendidikan Menengah di Kabupaten Bogor Tahun 2011
JENIS PENDIDIKAN MENENGAH JUMLAH
SEKOLAH %
JUMLAH SISWA
%
Sekolah Menengah Atas (SMA) 162 34,62 35.622 33,85
Madrasah Aliyah (MA) 83 17,74 10.051 10,13
Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) 223 47,65 58.965 56,02
TOTAL 468
104.638
Sumber : Dinas Pendidikan Kabupaten Bogor, 2011
Dari total unit sekolah tersebut, penyelenggaraan pendidikan didominasi
oleh sekolah kejuruan, sehingga dapat disimpulkan bahwa sebagian besar siswa
usia 16-18 tahun memilih pendidikan kejuruan. Sejumlah unit sekolah tersebut
melayani 104.638 jiwa penduduk yang tercatat bersekolah pada jenjang tersebut,
padahal total penduduk usia 16-18 tahun berjumlah 271.523 jiwa. Hal ini berarti
bahwa terdapat 106.913 jiwa penduduk usia sekolah yang belum dilayani oleh
sekolah-sekolah yang ada. Dengan demikian, keberadaan sekolah yang ada
saat ini rata-rata hanya mampu melayani 223 jiwa penduduk usia sekolah yang
bersekolah. Apabila dibandingkan dengan jumlah keseluruhan penduduk usia
sekolah, maka keberadaan sekolah yang ada, tanpa melihat jenis pendidikannya,
dapat menampung sekitar 580 jiwa penduduk usia sekolah.
Dilihat dari ketersediaan jumlah ruang kelas yang ada, dimana keberadaan
ruang kelas merupakan salah satu fasilitas yang paling penting bagi
penyelenggaraan jalur pendidikan formal, pada tahun 2011 secara umum
Kabupaten Bogor memiliki total ruang kelas sebanyak 2.637 ruang, dengan
rincian sebanyak 2.266 atau 85,93 persen ruang kelas dalam kondisi baik yang
layak digunakan, 278 ruang kelas atau 10,54 persen dalam kondisi rusak ringan
namun masih memungkinkan untuk digunakan, dan 93 ruang kelas atau 3,53
persen dalam kondisi rusak berat, yang tidak mungkin digunakan untuk kegiatan
belajar mengajar. Berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik
Indonesia Nomor 129a/U/2004 tentang Standar pelayanan Minimal Bidang
Pendidikan, sebuah ruang kelas dapat menampung maksimum 40 siswa,
sehingga sebanyak 2.544 ruang kelas saat ini, baik yang berada dalam kondisi
baik maupun rusak ringan digunakan oleh 104.638 siswa. Hal ini berarti bahwa
setiap ruang kelas diisi oleh rata-rata 41 siswa, sehingga untuk tingkat
60
Kabupaten Bogor jumlah ini dianggap telah melewati daya tampung maksimal
sekolah.
Persentase jumlah ruang kelas yang rusak berat sebagian besar berada
pada jenjang pendidikan SMA baik negeri maupun swasta. Adapun untuk ruang
kelas yang berstatus baik, sebagian besar berada pada jenis pendidikan SMK.
Layak tidaknya ruang kelas yang ada sangat mempengaruhi besarnya kapasitas
daya tampung siswa. Oleh karena itu, disamping animo masyarakat lebih
cenderung bersekolah di SMK, memungkinkan daya tampung SMK paling tinggi
karena sebagian besar ruang kelas yang dimiliki berstatus baik. Hal ini dapat
dilihat pada Gambar 18.
Sumber : Dinas Pendidikan Kabupaten Bogor, 2011.
Gambar 17. Kondisi Ruang Kelas Berdasarkan Jenis Pendidikan Menengah Formal di Kabupaten Bogor Tahun 2011
Penelaahan terhadap kondisi daya tampung pada jenjang pendidikan
menengah di setiap kecamatan berdasarkan jumlah penduduk usia sekolah yang
tercatat bersekolah, memperlihatkan bahwa sebanyak 17 kecamatan atau 42,5
persen telah mengalami kelebihan daya tampung siswa, dan 23 kecamatan atau
57,5 persen kemampuan daya tampung bagi siswa usia sekolah masih
memadai. Hal ini menunjukkan bahwa mayoritas wilayah di Kabupaten Bogor
masih memungkinkan untuk menyerap siswa pada jenjang pendidikan
menengah tanpa mempertimbangkan jenis pendidikan yang diminati.
Perhitungan yang dilakukan berdasarkan keseluruhan jumlah penduduk usia
sekolah menunjukkan adanya perubahan komposisi daya tampung pada setiap
61
kecamatan. Dengan jumlah ruang kelas yang ada, sebagian besar kecamatan
yakni sebanyak 39 kecamatan atau 97,5 persen dipastikan tidak dapat
menampung seluruh penduduk usia sekolah yang ada di wilayah tersebut,
karena telah melebihi kapasitas daya tampung. Hal ini menunjukkan bahwa jika
wajib belajar pendidikan 12 tahun digalakkan di Kabupaten Bogor, masih
dibutuhkan tambahan jumlah sekolah dan atau ruang kelas untuk dapat
menampung semua penduduk usia sekolah yang ada minimal hingga mencapai
daya tampung maksimal.
5.3 Ketersediaan Guru
Berdasarkan hasil analisis statistik diketahui bahwa ketersediaan guru yang
diwakili oleh persentase jumlah guru yang berkualifikasi mengajar tidak
berpengaruh secara signifikan terhadap peningkatan partisipasi sekolah yang
diwakili oleh APM, dengan nilai koefisien sebesar 0,08. Hal ini menunjukkan
bahwa setiap penambahan satu persen jumlah guru yang berkualifikasi
mengajar, akan meningkatkan APM sebesar 0,08 persen.
Jumlah guru yang mengajar pada jenjang pendidikan menengah formal di
Kabupaten Bogor hingga tahun 2011 tercatat berjumlah 8.454 orang yang
tersebar pada sekolah umum, madrasah dan kejuruan. Ditinjau dari keseluruhan
jumlah guru yang ada, sebanyak 7.588 orang atau 89,75 persen merupakan guru
yang memiliki kualifikasi mengajar. Seorang guru dikatakan berkualifikasi
mengajar apabila memiliki latar belakang pendidikan minimum Strata-1 (S1), baik
dari jalur kependidikan maupun non kependidikan yang memiliki sertifikat
mengajar (Akta IV).
Setiap sekolah yang ada di Kabupaten Bogor rata-rata memiliki 18 orang
guru atau 16 orang guru yang berkualifikasi mengajar, namun penyebaran guru
pada setiap kecamatan di Kabupaten Bogor belum merata. Data mengenai rasio
guru terhadap jumlah sekolah dapat dilihat pada Tabel 17.
62
Tabel 17. Perbandingan Guru-Sekolah Formal Pada Jenjang Pendidikan Menengah di Setiap Kecamatan di Kabupaten Bogor Tahun 2011
No Kecamatan Jumlah Sekolah
Jumlah Guru
Rasio Guru :
Sekolah
Jumlah Guru yang
berkualifikasi mengajar
Rasio Guru yang
berkualifikasi mengajar :
Sekolah
1 Parung 14 384 27 366 26
2 Kemang 17 464 27 409 24
3 Cibungbulang 14 337 24 298 21
4 Cigudeg 7 161 23 147 21
5 Cisarua 6 136 23 123 21
6 Cariu 4 85 21 79 20
7 Jasinga 6 141 24 117 20
8 Bojonggede 20 405 20 375 19
9 Nanggung 3 59 20 56 19
10 Tajurhalang 9 177 20 168 19
11 Gunungputri 23 460 20 428 19
12 Ciawi 16 337 21 297 19
13 Megamendung 10 205 21 184 18
14 Rumpin 8 156 20 144 18
15 Cigombong 12 238 20 212 18
16 Babakanmadang 9 178 20 156 17
17 Cibinong 48 899 19 822 17
18 Sukajaya 1 17 17 17 17
19 Dramaga 5 98 20 84 17
20 Citeureup 22 396 18 362 16
21 Leuwiliang 17 284 17 272 16
22 Parungpanjang 14 253 18 223 16
23 Ciomas 14 234 17 212 15
24 Tenjo 5 92 18 74 15
25 Caringin 19 316 17 272 14
26 Klapanunggal 7 114 16 99 14
27 Jonggol 11 185 17 152 14
28 Pamijahan 14 213 15 191 14
29 Cileungsi 26 394 15 350 13
30 Cijeruk 3 46 15 39 13
31 Leuwisadeng 9 118 13 117 13
32 Ciampea 17 227 13 214 13
33 Ciseeng 11 139 13 118 11
34 Gunungsindur 13 176 14 139 11
35 Rancabungur 7 92 13 67 10
36 Tamansari 3 25 8 25 8
37 Sukaraja 9 80 9 72 8
38 Tajungsari 4 43 11 32 8
39 Tenjolaya 7 51 7 51 7
40 Sukamakmur 4 39 10 25 6
Sumber : Dinas Pendidikan Kabupaten Bogor, 2011.
63
Perhitungan terhadap rasio jumlah guru dengan jumlah sekolah yang ada
menunjukkan bahwa di Kecamatan Parung terdapat jumlah guru terbanyak,
yakni 27 orang guru atau 26 orang guru yang berkualifikasi mengajar untuk satu
sekolah, sedangkan di Kecamatan Sukamakmur terdapat guru dengan jumlah
paling sedikit, yakni 10 orang guru atau hanya ada enam orang guru yang
berkualifikasi mengajar untuk satu sekolah. Hal ini menunjukkan bahwa
Kecamatan Sukamakmur masih mengalami kekurangan guru. Kondisi ini
memungkinkan disebabkan oleh jauhnya letak kecamatan Sukamakmur dari
pusat pemerintahan Kabupaten Bogor, serta ketersediaan fasilitas infrastruktur
yang kurang memadai, sehingga banyak guru lebih memilih mengajar di daerah
perkotaan.
Kurangnya jumlah guru dalam suatu lembaga sekolah menyebabkan
permasalahan pada banyak hal. Salah satu diantaranya adalah sekolah tidak
bisa menyelenggarakan kegiatan belajar mengajar dengan baik, karena
kekurangan guru menyebabkan sekolah tidak dapat menerima siswa yang
melebihi batas kemampuan maksimum mengajar guru. Meskipun daya tampung
ruang kelas yang ada cukup memadai, namun jika terdapat kekurangan guru,
murid akan kekurangan pendamping dalam proses belajar mengajar.
Berdasarkan hasil penelaahan terhadap perbandingan antara jumlah guru
dengan jumlah siswa, diperoleh kesimpulan bahwa jika melayani seluruh
penduduk usia sekolah, maka sebanyak 13 kecamatan atau 32,5 persen
kecamatan di Kabupaten Bogor masih mengalami kekurangan guru, dimana
idealnya seorang guru mengajar maksimal 40 siswa.
Komposisi jumlah guru terhadap jenis sekolah tidak sama antara sekolah
umum, madrasah dan kejuruan. SMK memiliki jumlah guru dan guru yang
berkualifikasi mengajar lebih sedikit dibandingkan dengan SMA dan MA,
meskipun jumlah guru terbanyak ada pada SMK. Hal ini menunjukkan bahwa
beban guru yang mengajar di SMK lebih tinggi dibandingkan dengan beban guru
yang mengajar di SMA dan MA. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 18.
64
Tabel 18. Komposisi Jumlah Guru dan Perbandingannya Terhadap Sekolah di Kabupaten Bogor Tahun 2011
Uraian Jenis Pendidikan Formal
SMA MA SMK
Jumlah Guru 3.073 1.619 3.762
Jumlah Guru yang berkualifikasi mengajar 2.853 1.423 3.312
Jumlah Sekolah 162 83 223
Rasio Guru : Sekolah 18 20 17
Rasio Guru yang berkualifikasi mengajar : Sekolah
17 17 15
Sumber : Dinas Pendidikan Kabupaten Bogor, 2011.
5.4 Penyelenggara Pendidikan dan Kualitas Penyelenggaraan Pendidikan
Berdasarkan analisis statistik, diperoleh hasil bahwa kualitas
penyelenggaraan pendidikan yang diwakili oleh persentase sekolah yang
terakreditasi tidak berpengaruh secara signifikan terhadap peningkatan
partisipasi sekolah yang diwakili oleh APM, dengan nilai koefisien sebesar 0,05.
Hal ini menunjukkan bahwa setiap penambahan satu persen jumlah sekolah
yang terakreditasi, hanya akan meningkatkan APM sebesar 0,05 persen.
Penyelenggara pendidikan menengah pada jalur formal di Kabupaten
Bogor terdiri atas Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor yang menyelenggarakan
pendidikan umum dan kejuruan negeri, Kementerian Agama yang
menyelenggarakan pendidikan madrasah negeri, dan lembaga swasta yang
menyelenggarakan pendidikan umum, madrasah serta kejuruan. Hingga tahun
2011, penyelenggaraan pendidikan menengah formal baik pada sekolah umum,
madrasah maupun kejuruan lebih banyak didominasi oleh sekolah swasta. Lebih
dari 90 persen partisipasi lembaga pendidikan swasta yang ada di Kabupaten
Bogor diorientasikan pada penyelenggaraan sekolah kejuruan dan madrasah.
Hal ini dapat dilihat pada Tabel 19.
65
Tabel 19. Perbandingan Penyelenggara Pendidikan Menengah Formal di Kabupaten Bogor Tahun 2011
Penyelenggara Pendidikan
Sekolah Umum
% Madrasah % Sekolah Kejuruan
%
Pemerintah kab. Bogor 38 23,46 0 0,00 7 3,14
Kementerian Agama 0 0,00 5 6,02 0 0,00
Lembaga Swasta 124 76,54 78 93,98 216 96,86
Jumlah 162
83
223
Sumber : Dinas Pendidikan Kabupaten Bogor, 2011.
Penyelenggaraan pendidikan menengah formal di Kabupaten Bogor jika
dikaitkan dengan perbandingan kualitas penyelenggara pendidikan dapat
diuraikan dalam beberapa hal, yaitu :
5.4.1 Capaian Angka partisipasi Murni
Angka partisipasi murni tertinggi dicapai melalui penyelenggaraan sekolah
kejuruan yakni 21,72 persen, sedangkan capaian APM terendah terdapat pada
penyelenggaraan madrasah yakni 3,70 persen. Partisipasi lembaga swasta jika
ditinjau dari aspek penyelenggara pendidikan menengah formal cukup besar
dalam menyumbang pencapaian APM pada setiap jenis pendidikan, terutama
sangat signifikan pada sekolah kejuruan. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 19.
Sumber : Dinas Pendidikan Kabupaten Bogor, 2011.
Gambar 18. Perbandingan Capaian APM Penyelenggara Sekolah Negeri dan Swasta di Kabupaten Bogor Tahun 2011
66
5.4.2 Jumlah dan Kualitas Ruang Kelas
Pendidikan menengah formal yang diselenggarakan oleh lembaga swasta
memiliki fasilitas ruang kelas yang lebih banyak dibandingkan dengan pendidikan
menengah formal yang diselenggarakan oleh Pemerintah Kabupaten Bogor dan
Kementerian Agama. Dilihat dari kualitas dan kelayakan ruang kelas yang ada,
lembaga swasta masih lebih unggul. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 20.
Tabel 20. Perbandingan Kualitas Ruang Kelas Antar Penyelenggara Pendidikan Menengah Formal di Kabupaten Bogor Tahun 2011
Jenis pendidikan
Kondisi Ruang Kelas
Penyelenggara Pendidikan
Pemerintah Kab. Bogor
Kementerian Agama
Lembaga Swasta
Jumlah % Jumlah % Jumlah %
SMA
Baik 343 70,7 0 0,0 507 92,5
Rusak Ringan 96 19,8 0 0,0 32 5,8
Rusak Berat 46 9,5 0 0,0 9 1,6
Total 485
0
548
MA
Baik 0 0,0 99 100,0 289 85,0
Rusak Ringan 0 0,0 0 0,0 35 10,3
Rusak Berat 0 0,0 0 0,0 16 4,7
Total 0 0 99
340
SMK
Baik 73 100,0 0 0,0 955 87,5
Rusak Ringan 0 0,0 0 0,0 115 10,5
Rusak Berat 0 0,0 0 0,0 22 2,0
Total 73 0 1.092
Sumber : Dinas Pendidikan Kabupaten Bogor, 2011.
5.4.3 Kualitas Penyelenggaraan Pendidikan
Ditinjau dari kualitas penyelenggaraan pendidikan, baik pendidikan yang
diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor, Kementerian
Agama dan lembaga pendidikan swasta di Kabupaten Bogor, maka diantaranya
dapat dilihat dari status akreditasi sekolah. Secara umum dari 468 sekolah pada
jenjang pendidikan menengah yang ada di Kabupaten Bogor, sebanyak 282
sekolah atau 60,26 persen telah terakreditasi. Status akreditasi sekolah di satu
sisi merupakan salah satu hal yang diduga menjadi dasar pertimbangan bagi
orang tua untuk menyekolahkan anaknya pada sekolah tersebut, karena jika
ditinjau dari sisi mutu, status akreditasi sekolah dapat dianggap sebagai salah
satu ukuran penjaminan mutu. Status akreditasi sekolah-sekolah pada jenjang
pendidikan formal dapat dilihat pada Tabel 21.
67
Tabel 21. Status Akreditasi Sekolah di Kabupaten Bogor Berdasarkan Jenis Sekolah Tahun 2011
Status Akreditasi
Jenis Seklolah
SMA % MA % SMK %
A 55 33,95 3 3,61 29 13,00
B 54 33,33 23 27,71 60 26,91
C 26 16,05 25 30,12 7 3,14
Belum Terakreditasi 27 16,67 32 38,55 127 56,95
Total 162
83
223
Sumber : Dinas Pendidikan Kabupaten Bogor, 2011
Secara umum, SMA memiliki jumlah sekolah dengan status terakreditasi A,
B dan C paling tinggi dibandingkan dengan MA dan SMK yakni sebesar 83,33
persen. MA memiliki 61,45 persen sekolah yang terakreditasi, sedangkan SMK
hanya memiliki 43,05 persen sekolah yang terakreditasi. Banyaknya daya
tampung penduduk usia sekolah pada jenjang pendidikan menengah yang
didominasi oleh SMK menunjukkan bahwa status akreditasi tidak mempengaruhi
angka partisipasi sekolah, karena masyarakat lebih mengutamakan mencari
sekolah yang dapat menampung anak mereka agar bisa bersekolah tanpa
mempertimbangkan status akreditasi sekolah. Hal ini didukung oleh data yang
menunjukkan bahwa sebagian besar SMK belum terakreditasi.
68
69
VI. FAKTOR-FAKTOR KONDISI MASYARAKAT
6.1 Hasil Analisis Seluruh Variabel Faktor Kondisi Masyarakat terhadap Partisipasi Sekolah
Hasil analisis regresi logistik biner dengan menggunakan alat analisis
SPSS versi 15,0 yang dilakukan secara bersamaan pada seluruh variabel faktor
kondisi masyarakat yang diduga berpengaruh terhadap tingkat partisipasi
sekolah (Y) pada jenjang pendidikan menengah di Kabupaten Bogor, yakni : (1)
faktor orang tua yang diwakili oleh penghasilan orang tua (X1), dan pendidikan
orang tua (X2), serta (2) faktor anak yang diwakili oleh minat anak bersekolah
(X3), dan jenis kelamin anak (X4), menunjukkan bahwa :
(1) model yang digunakan layak untuk diinterpretasikan. Hal ini dibuktikan
dengan nilai signifikansi berdasarkan uji Hosmer and Lemeshow sebesar
0,556 > 0,05.
(2) Korelasi secara bersama-sama antara keempat variabel menghasilkan nilai
chi-square sebesar 30,254 dengan nilai signifikansi < 0,05. Hal ini
menunjukkan bahwa secara bersamaan, seluruh variabel penjelas (X1-X4)
berhubungan dengan variabel respon (Y).
(3) Berdasarkan nilai Nagelkerke R Square diperoleh nilai sebesar 0,555. Hal
ini berarti keempat variabel penjelas mampu menjelaskan varians
partisipasi sekolah sebesar 55,5 persen, sedangkan sisanya yaitu sebesar
44,5 persen dijelaskan oleh faktor lain.
(4) Nilai ketepatan prediksi seluruh variabel X terhadap variabel Y adalah
sebesar 78,3 persen.
Hasil analisis berupa tanda koefisien, signifikansi, dan peluang disajikan pada
Tabel 22. Variabel pendidikan orang tua memiliki pengaruh yang nyata
(signifikan) terhadap peluang anak untuk bersekolah pada jenjang pendidikan
menengah formal, sedangkan penghasilan orang tua, minat anak dan jenis
kelamin anak tidak berpengaruh secara signifikan.
70
Tabel 22. Hasil Analisis Statistik Pengaruh Faktor Kondisi Masyarakat terhadap Partisipasi Sekolah
Variabel Koefisien Signifikansi Peluang
Konstanta -23,369 0,999 0,000
Penghasilan orang tua di atas UMK 0,837 0,294 2,309 Pendidikan orang tua SMP ke atas 3,227 0,004 25,193 Anak berminat sekolah 22,821 0,999 81.458.815 Jenis kelamin anak perempuan 0,015 0,985 1,015
Sumber : Hasil Analisis
Penjelasan terhadap perbandingan masing-masing variabel penjelas (X)
adalah :
(1) Kondisi penghasilan orang tua sejalan dengan peluangnya menyekolahkan
anak. Pada kondisi variabel lainnya tetap, orang tua yang berpenghasilan
di atas UMK memiliki peluang 2,309 kali lebih besar untuk menyekolahkan
anaknya dibandingkan dengan orang tua yang berpenghasilan di bawah
UMK.
(2) Kondisi pendidikan orang tua sejalan dengan peluangnya menyekolahkan
anak. Pada kondisi variabel lainnya tetap, orang tua yang berpendidikan
SMP ke atas memiliki peluang 25,193 kali lebih besar untuk
menyekolahkan anaknya dibandingkan dengan orang tua yang
berpendidikan SD ke bawah.
(3) Kondisi minat anak sejalan dengan peluang untuk bersekolah. Pada
kondisi variabel lainnya tetap, anak yang berminat sekolah memiliki
peluang 8,15 X 107 kali lebih besar untuk bersekolah dibandingkan dengan
anak yang tidak berminat sekolah.
(4) Kondisi jenis kelamin sejalan dengan peluang anak bersekolah. Pada
kondisi variabel lainnya tetap, anak perempuan memiliki peluang 1,015 kali
lebih besar untuk bersekolah daripada anak laki-laki.
Adapun detail uraian dari masing-masing variabel dijelaskan secara
terpisah dengan menggunakan analisis deskriptif.
6.2 Faktor Orang tua
Faktor orang tua diduga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
tinggi rendahnya tingkat partisipasi sekolah pada jenjang pendidikan menengah
71
di Kabupaten Bogor. Dalam penelitian ini, beberapa komponen faktor orang tua
yang dianggap berpengaruh adalah :
(1) Penghasilan orang tua
(2) Pendidikan orang tua
Berdasarkan hasil pengumpulan data primer yang dilakukan secara acak
terhadap 60 responden yang memiliki anak berusia 16-18 tahun di tiga desa
yang memiliki karakter berbeda, yakni : (1) Desa Karehkel Kecamatan Leuwiliang
yang memiliki karakteristik wilayah pertanian, (2) Kelurahan Cisarua Kecamatan
Cisarua yang memiliki karakteristik wilayah perdagangan dan jasa, serta (3)
Desa Kembang Kuning Kecamatan Klapanunggal yang memiliki karakteristik
wilayah industri, diperoleh beberapa informasi yang terkait dengan partisipasi
sekolah yang akan diuraikan masing-masing dalam sub-sub bab.
6.2.1 Penghasilan Orang tua
Penghasilan orang tua yang menjadi responden cukup bervariasi.
Berdasarkan data yang diperoleh, ditemukan bahwa rata-rata penghasilan orang
tua di ketiga lokasi sampel berbeda-beda, dimana rata-rata penghasilan terendah
ditemukan pada responden dari Desa karehkel, dan rata-rata penghasilan
tertinggi ditemukan pada responden dari Desa Kembang Kuning. Hal ini dapat
dilihat pada Tabel 23. Dari keseluruhan jumlah responden yang ada, sebanyak
36,67 persen berpenghasilan di bawah UMK (Upah Minimum Kabupaten),
dimana pada tahun 2011 UMK di Kabupaten Bogor ditetapkan sebesar Rp
1.172.000,00. Responden terbanyak dengan penghasilan di bawah UMK berasal
dari Desa Karehkel, sedangkan 63,33 persen responden berpenghasilan di atas
UMK.
Tabel 23. Keadaan Responden Berdasarkan Penghasilan
Desa/Kelurahan Penghasilan
Minimum Penghasilan maksimum
Rerata Penghasilan
Range
Karehkel 300.000 1.500.000 1.005.000 1.200.000
Cisarua 900.000 4.000.000 1.725.000 3.100.000
Kembang Kuning 600.000 5.000.000 2.405.000 4.400.000
Sumber : Data Primer (diolah)
72
Setiap responden memiliki jumlah tanggungan keluarga yang berbeda-
beda. Sebagian besar responden memiliki tanggungan keluarga lebih dari tiga
orang, dengan rincian sebanyak 53 responden atau 88,33 persen memiliki
jumlah tanggungan keluarga lebih dari tiga orang, sedangkan tujuh orang atau
11,67 persen memiliki tanggungan keluarga kurang dari tiga orang. Komposisi
responden berdasarkan penghasilan dan jumlah tanggungan keluarga dapat
dilihat pada Tabel 24.
Tabel 24. Responden Berdasarkan Penghasilan dan Jumlah Tanggungan Keluarga
Lokasi Sampel Penghasilan Jumlah Tanggungan
Total ≤ 3 Orang > 3 Orang
Desa karehkel Di Bawah UMK 4 9 13
Di atas UMK 0 7 7
Kelurahan Cisarua Di Bawah UMK 1 5 6
Di atas UMK 1 13 14
Desa kembang Kuning Di Bawah UMK 1 2 3
Di atas UMK 0 17 17
Sumber : Data Primer (diolah)
Hasil perhitungan tingkat partisipasi sekolah anak berdasarkan penghasilan
orang tua menunjukkan bahwa sebanyak 68,33 persen anak usia 16-18 tahun
bersekolah pada jenjang pendidikan menengah formal tanpa melihat jenis
pendidikan, dan 31,67 persen anak tidak bersekolah. Secara umum, sebagian
besar responden yang berasal dari Desa karehkel memiliki anak usia 16-18
tahun yang tidak melanjutkan hingga ke jenjang pendidikan menengah formal.
Sebagian besar responden tersebut berpenghasilan di bawah UMK.
Perbandingan antara penghasilan orang tua dengan partisipasi sekolah anak
pada jenjang pendidikan menengah dapat dilihat pada Tabel 25.
Perhitungan yang dilakukan dengan tidak membedakan penghasilan orang
tua, apakah di bawah atau di atas UMK menunjukkan bahwa anak responden
yang tidak bersekolah di Desa Karehkel sebanyak 50,00 persen, 10,00 persen di
Kelurahan Cisarua, dan 30 persen di Desa Kembang Kuning. Di samping itu,
dijumpai bahwa lima dari enam orang anak yang berasal dari responden dengan
penghasilan di atas UMK di Desa Kembang Kuning tidak bersekolah. Diduga hal
ini dipengaruhi oleh banyaknya jumlah tanggungan keluarga yang berjumlah 3-7
orang.
73
Tabel 25. Perbandingan Hubungan Penghasilan Orang tua dengan Partisipasi Sekolah Anak di Lokasi Sampel
Lokasi Sampel Penghasilan
Partisipasi Sekolah Anak
Total Bersekolah
Tidak Bersekolah
Desa karehkel Di Bawah UMK 5 8 13
Di atas UMK 5 2 7
Kelurahan Cisarua Di Bawah UMK 4 2 6
Di atas UMK 14 0 14
Desa kembang Kuning Di Bawah UMK 2 1 3
Di atas UMK 12 5 17
Sumber : Data Primer (diolah)
6.2.2 Pendidikan Orang tua
Orang tua yang menjadi responden memiliki tingkat pendidikan yang
beragam, mulai dari tidak pernah mengenyam bangku pendidikan, hingga
perguruan tinggi (S1). Sebagian besar responden, yakni sebanyak 45 persen
dari total responden mengenyam pendidikan hanya sampai tingkat SD,
sedangkan paling sedikit, yakni 1,67 persen dari total responden sempat
bersekolah hingga jenjang perguruan tinggi. Secara keseluruhan jumlah
responden berdasarkan pendidikan terakhir yang ditempuh dapat dilihat pada
Gambar 20.
Sumber : Data Primer (diolah)
Gambar 19. Keadaan Responden Berdasarkan Jenjang Pendidikan
74
Hasil penelitian di masing-masing lokasi penelitian menunjukkan bahwa
sebagian besar responden yang ada di Desa Karehkel berpendidikan
SD/sederajat. Kelurahan Cisarua mayoritas responden berpendidikan SMA
sederajat, sedangkan di Desa Kembang Kuning, didominasi oleh responden
yang berpendidikan SD dan SMA. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 26.
Tabel 26. Persentase Responden Berdasarkan Pendidikan
Pendidikan Orang tua
% Responden Berdasarkan Pendidikan
Karehkel Cisarua Kembang
Kuning
Tidak Bersekolah 0,00 5,00 5,00
SD/sederajat 75,00 20,00 40,00
SMP/sederajat 15,00 15,00 15,00
SMA/sederajat 10,00 55,00 40,00
PT 0,00 5,00 0,00
Sumber : Data Primer (diolah)
Hasil perhitungan terhadap hubungan antara tingkat pendidikan orang tua
dengan tingkat partisipasi sekolah anak menunjukkan bahwa di Desa Karehkel
dan Kembang Kuning, sebagian besar responden yang berpendidikan hingga
jenjang sekolah dasar memiliki anak yang tidak bersekolah, sedangkan bagi
orang tua yang memiliki pendidikan hingga jenjang SMP ke atas sebagian besar
memiliki anak yang bersekolah hingga ke jenjang pendidikan menengah formal.
Hal ini dapat dilihat pada Tabel 27.
Tabel 27. Hubungan Pendidikan Orang tua dengan Partisipasi Sekolah Anak Berdasarkan Lokasi Sampel
Lokasi Sampel Pendidikan Orang tua
Partisipasi Sekolah Anak
Total Bersekolah
Tidak Bersekolah
Desa karehkel SD Ke bawah 6 9 15
SMP Ke atas 3 2 5
Kelurahan Cisarua SD Ke bawah 3 2 5
SMP Ke atas 15 0 15
Desa kembang Kuning
SD Ke bawah 3 6 9
SMP Ke atas 11 0 11
Sumber : Data Primer (diolah)
75
6.3 Faktor Anak
Faktor anak diduga memiliki pengaruh terhadap partisipasi sekolah.
Dalam penelitian diduga terdapat dua komponen faktor yang berpengaruh, yaitu :
(1) Faktor minat anak untuk bersekolah
(2) Faktor jenis kelamin anak
Adapun data dan informasi yang terkait dengan kedua faktor tersebut diuraikan
ke dalam sub-sub bab.
6.3.1 Minat Anak Bersekolah
Secara umum sebagian besar anak memiliki keinginan yang muncul atas
kesadaran sendiri untuk melanjutkan pendidikannya hingga jenjang pendidikan
menengah, namun hanya sebanyak 68,33 persen dari keinginan tersebut yang
dapat tercapai, sementara sebanyak 26,67 persennya berminat untuk sekolah
namun tidak dapat melanjutkan sekolah. Dilihat dari masing-masing lokasi
sampel, ditemukan sebanyak lima persen anak di Desa Karehkel yang tidak
memiliki keinginan untuk bersekolah, sedangkan di lokasi lainnya tidak
ditemukan anak yang tidak ingin bersekolah. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 28.
Tabel 28. Hubungan Minat Anak Bersekolah dengan Partisipasi Sekolah Berdasarkan Lokasi Sampel
Lokasi Sampel Minat Anak Bersekolah
Partisipasi Sekolah Anak Total
Bersekolah Tidak Bersekolah
Desa karehkel Berminat 9 8 17
Tidak Berminat 0 3 3
Kelurahan Cisarua
Berminat 18 2 20
Tidak Berminat 0 0 0
Desa kembang Kuning
Berminat 14 6 20
Tidak Berminat 0 0 0
Sumber : Data Primer (diolah)
6.3.2 Jenis Kelamin
Jenis kelamin diduga mempengaruhi tingkat partisipasi sekolah.
Berdasarkan data yang diperoleh, sebanyak 60 persen responden memiliki anak
76
perempuan yang berusia sekolah. Komposisi anak laki-laki dengan perempuan
pada setiap lokasi sampel dapat dilihat pada Gambar 21.
Sumber : Data Primer (diolah)
Gambar 20. Perbandingan Jumlah Anak Laki-laki dan Perempuan Berdasarkan Lokasi Sampel
Berdasarkan data yang dikumpulkan, diperoleh hasil bahwa di satu sisi
persentase anak perempuan yang bersekolah lebih banyak daripada anak laki-
laki, namun di sisi lain, persentase anak perempuan yang tidak bersekolah juga
lebih banyak daripada anak laki-laki. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 21.
Sumber : Data Primer (diolah)
Gambar 21. Perbandingan Antara Anak Laki-laki dan Perempuan yang Bersekolah dan Tidak Bersekolah
77
Hasil perbandingan antara jenis kelamin laki-laki dengan perempuan
pada setiap lokasi sampel menunjukkan bahwa di Desa Karehkel dan Kembang
Kuning, anak perempuan lebih banyak yang tidak bersekolah, sedangkan di
Kelurahan Cisarua, anak laki-laki paling banyak bersekolah. Hal ini dapat dilihat
pada Tabel 29.
Tabel 29. Perbandingan Anak yang Bersekolah dan Tidak Bersekolah Berdasarkan Jenis Kelamin di Lokasi Sampel
Lokasi Sampel Jenis
Kelamin
Partisipasi Sekolah Anak
Total Bersekolah
Tidak Bersekolah
Desa karehkel Laki-laki 3 5 8
Perempuan 8 6 12
Kelurahan Cisarua Laki-laki 10 1 11
Perempuan 8 1 9
Desa kembang Kuning Laki-laki 5 1 6
Perempuan 9 5 14
Sumber : Data Primer (diolah)
78
79
VII. FAKTOR KARAKTERISTIK WILAYAH
7.1 Hasil Analisis Variabel Faktor Karakteristik Wilayah terhadap Partisipasi Sekolah
Faktor karakteristik wilayah yang diwakili oleh (1) pertanian, (2)
perdagangan /jasa, dan (3) industri, dengan wilayah pertanian sebagai faktor
pembanding, diduga berpengaruh terhadap tingkat partisipasi sekolah (Y) pada
jenjang pendidikan menengah di Kabupaten Bogor. Hasil analisis regresi logistik
biner dengan menggunakan alat analisis SPSS versi 15,0 menunjukkan bahwa :
(1) model yang digunakan layak untuk diinterpretasikan. Hal ini dibuktikan
dengan nilai signifikansi berdasarkan uji Hosmer and Lemeshow sebesar
1,000 > 0,05.
(2) Korelasi secara bersama-sama antara kedua variabel menghasilkan nilai
chi-square sebesar 9,956 dengan nilai signifikansi < 0,05. Hal ini
menunjukkan bahwa secara bersamaan, seluruh variabel penjelas (X1dan
X2) berhubungan dengan variabel respon (Y).
(3) Berdasarkan nilai Nagelkerke R Square diperoleh hasil sebesar 0,214. Hal
ini berarti kedua variabel penjelas hanya mampu menjelaskan varians
partisipasi sekolah sebesar 21,4 persen, sedangkan sisanya yaitu sebesar
78,6 persen dijelaskan oleh faktor lain.
(4) Nilai ketepatan prediksi seluruh variabel X terhadap variabel Y adalah
sebesar 71,7 persen.
Hasil analisis berupa tanda koefisien, signifikansi, dan peluang disajikan
pada Tabel 30.
Tabel 30. Hasil Analisis Statistik Pengaruh Faktor Karakteristik Wilayah Terhadap Partisipasi Sekolah
Variabel Koefisien Signifikansi Peluang
Konstanta -0,21 0,655 0,818
Pertanian (X) 0,018 Perdagangan/Jasa (X1) 2,398 0,06 11,000 Industri (X2) 1,048 0,114 2,852
Sumber : Hasil Analisis
80
Variabel pertanian dan pertanian/jasa memiliki pengaruh yang nyata
(signifikan) terhadap peluang anak untuk bersekolah pada jenjang pendidikan
menengah formal, sedangkan variabel industri tidak berpengaruh secara
signifikan. Penjelasan terhadap perbandingan masing-masing variabel penjelas
(X) adalah :
(1) Peluang bersekolah bagi anak-anak yang tinggal di wilayah yang
berkarakteristik perdagangan/jasa, 11 kali lebih besar dibandingkan
dengan anak-anak yang tinggal di wilayah pertanian dan industri.
(2) Peluang bersekolah bagi anak-anak yang tinggal di wilayah yang
berkarakteristik industri 2,852 kali lebih besar dibandingkan dengan anak-
anak yang tinggal di wilayah pertanian dan perdagangan/jasa.
Berdasarkan data primer yang diperoleh, partisipasi sekolah terendah
terdapat di wilayah yang berkarakteristik pertanian. Hal ini ditunjukkan oleh
banyaknya persentase anak yang tidak bersekolah, yaitu sebesar 57,89 persen.
Sebaliknya, partisipasi sekolah tertinggi ada di wilayah yang berkarakteristik
perdagangan/jasa, yaitu sebesar 43,90 persen. Hal ini dapat dilihat pada
Gambar 23.
Sumber : Data Primer (diolah)
Gambar 22. Perbandingan Karakter Wilayah dengan Partisipasi Sekolah
81
Sebanyak 57,89 persen anak usia 16-18 tahun yang tidak bersekolah pada
jenjang pendidikan menengah dan tinggal di wilayah pertanian tersebut memiliki
orang tua yang bermatapencaharian di sektor pertanian, sebaliknya anak yang
bersekolah memiliki orang tua yang berkerja di sektor non pertanian, meskipun
tinggal di wilayah pertanian. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 31.
Tabel 31. Hubungan Antara Pekerjaan Orang tua dengan Partisipasi Sekolah Anak Berdasarkan Karakteristik Wilayah
Lokasi Sampel Pekerjaan Orang
tua
Partisipasi Sekolah Anak
Total Bersekolah
Tidak Bersekolah
Desa karehkel Sektor pertanian 0 7 7
Non Sektor Pertanian 13 0 13
Kelurahan Cisarua
Sektor pertanian 0 0 0
Non Sektor Pertanian 18 2 20
Desa Kembang Kuning
Sektor pertanian 0 0 0
Non Sektor Pertanian 14 6 20
Sumber : Data Primer (diolah)
82
83
VIII. DUKUNGAN PENDANAAN PENDIDIKAN MENENGAH DI KABUPATEN BOGOR
8.1 Kemandirian Anggaran Pendidikan Menengah di Kabupaten Bogor
Berdasarkan perhitungan terhadap perbandingan antara dana pendidikan
menengah yang berasal dari dana asli daerah dengan dana pendidikan
menengah yang diperoleh dari bantuan, diperoleh hasil bahwa kemandirian
anggaran pendidikan menengah formal di Kabupaten Bogor semakin lama
semakin rendah. Hal ini ditunjukkan oleh semakin tingginya dana pendidikan
yang diperoleh dari bantuan dibandingkan dengan dana pendidikan asli daerah.
Kondisi ini dapat dilihat dalam Gambar 24.
Sumber : Bappeda Kabupaten Bogor, (Diolah dari Tahun 2008-2011)
Gambar 23. Perkembangan Rasio Kemandirian Belanja Pendidikan Menengah di Kabupaten Bogor Tahun 2008-2011
8.2 Alokasi Anggaran Pendidikan di Kabupaten Bogor
Penyelenggaraan pembangunan daerah di Kabupaten Bogor merupakan
tugas utama pemerintah daerah dalam era otonomi. Hal ini berimplikasi pada
kewajiban pemerintah daerah untuk menyiapkan sejumlah dana dalam rangka
memenuhi seluruh kebutuhan penyelenggaraan pembangunan tersebut sesuai
84
dengan kemampuan daerah. Selama kurun waktu 2008-2011, Pemerintah
Daerah Kabupaten Bogor telah menganggarkan sejumlah dana yang dari tahun
ke tahun dengan nilai nominal yang terus mengalami peningkatan. Komponen
belanja Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (Belanja APBD) terdiri atas :
(1) Belanja tidak langsung, yang dialokasikan untuk : (a) belanja pegawai, (b)
hibah, (c) bantuan sosial, (d) belanja bagi hasil, (e) bantuan keuangan dan
(f) belanja tidak terduga.
(2) Belanja langsung, yang dialokasikan untuk mendanai program dan
kegiatan setiap Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) secara langsung,
yaitu : (a) belanja pegawai, (b) belanja barang dan jasa, (c) belanja modal.
Perkembangan peningkatan belanja APBD di Kabupaten Bogor ini dapat dilihat
pada Tabel 32.
Tabel 32. Perkembangan Belanja APBD Kabupaten Bogor Tahun 2008-2011
Jenis belanja APBD Tahun (Juta)
2008 2009 2010 2011
Belanja Tidak langsung
1.193.992,59
1.266.963,76
1.418.667,36
1.725.455,23
% Kenaikan 6,11 11,97 21,63
Belanja langsung
900.421,41
1.113.631,46
1.367.277,05
1.839.719,33
% Kenaikan 23,68 22,78 34,55
Total belanja
2.094.413,10
2.380.595,22
2.785.944,41
3.565.174,55
% Kenaikan 13,66 17,03 27,97
Sumber : Bappeda Kabupaten Bogor Tahun 2008-2010
Secara nominal, dari tahun ke tahun terjadi peningkatan persentase jumlah
anggaran pada pos belanja, baik belanja tidak langsung, belanja langsung,
maupun belanja total. Namun perkembangan kenaikan anggaran belanja tidak
langsung dan total belanja setiap tahun lebih kecil daripada perkembangan
kenaikan belanja langsung, meskipun pada tahun 2010 terjadi penurunan
kenaikan persentase alokasi anggaran untuk belanja langsung jika dibandingkan
pada tahun 2009.
Perbandingan komposisi antara belanja tidak langsung dengan belanja
langsung terhadap total belanja pada struktur belanja APBD di Kabupaten Bogor
dari tahun 2008-2011 menunjukkan bahwa alokasi belanja langsung lebih kecil
85
daripada belanja tidak langsung, kecuali pada tahun 2011, dimana anggaran
belanja langsung lebih besar daripada anggaran belanja tidak langsung.
Meskipun demikian, alokasi belanja langsung menunjukkan adanya peningkatan.
Hal ini menandakan bahwa anggaran riil untuk pelaksanaan program dan
kegiatan yang ada di setiap SKPD semakin meningkat. Berbeda halnya dengan
alokasi anggaran belanja tidak langsung yang mengambil porsi lebih dari 50
persen total belanja APBD, dalam kurun waktu 2008-2011 terus mengalami
penurunan, hingga pada tahun 2011, komposisi berubah yang menjadikan
anggaran belanja langsung meningkat menjadi lebih dari 50 persen. Hal ini
dapat dilihat pada Gambar 25.
Sumber : Bappeda Kabupaten Bogor, (Diolah dari Tahun 2008-2011)
Gambar 24. Perkembangan Komposisi Belanja Langsung dan Tidak langsung APBD Kabupaten Bogor Tahun 2008-2011
Belanja daerah untuk penyelenggaraan urusan pendidikan merupakan
salah satu bagian yang wajib dialokasikan dari belanja APBD, mengingat
pendidikan merupakan salah satu urusan wajib pemerintah daerah. Belanja
APBD untuk urusan wajib pendidikan tersebut dialokasikan melalui Dinas
Pendidikan Kabupaten Bogor. Berdasarkan amanat Amandemen keempat
Undang-undang Dasar 1945, pasal 33 ayat (4), prioritas anggaran pendidikan
yang harus dialokasikan oleh anggaran belanja negara dan daerah sekurang-
86
kurangnya sebesar 20 persen. Adapun alokasi belanja APBD untuk urusan wajib
pendidikan di Kabupaten Bogor telah melebihi anggaran pendidikan minimal
yang telah ditetapkan, yakni lebih dari 20 persen per tahun. Persentase
peningkatan anggaran pendidikan tahun 2009 terhadap tahun 2008 tercatat
sebesar 20,47 persen, tahun 2010 terhadap tahun 2009 sebesar 30, 59 persen,
dan tahun 2011 terhadap tahun 2010 sebesar 48,65 persen. Perbandingan
antara belanja APBD dengan belanja pendidikan dapat dilihat pada Gambar 26.
Sumber : Bappeda Kabupaten Bogor, (Diolah dari Tahun 2008-2011)
Gamba 25. Perbandingan Belanja APBD dengan Belanja Pendidikan di Kabupaten Bogor Tahun 2008-2011
Anggaran pendidikan terdiri atas komponen belanja langsung dan belanja
tidak langsung. Selama kurun waktu tahun 2008-2011, anggaran pendidikan
terus mengalami kenaikan setiap tahunnya hingga hampir mencapai 50 persen
dari tahun sebelumnya. Kenaikan anggaran pendidikan ini berdampak pula pada
komposisi anggaran belanja langsung dan belanja tidak langsung pendidikan.
Belanja langsung mengalami kenaikan yang cukup besar, terutama pada tahun
2011, dimana anggaran belanja langsung melonjak hingga 120,77 persen dari
tahun 2010. Berbeda dengan alokasi anggaran pada komponen belanja tidak
langsung, meskipun terjadi kenaikan setiap tahunnya, namun peningkatannya
jauh lebih kecil dibandingkan dengan anggaran belanja langsung pendidikan. Hal
ini dapat dilihat pada Tabel 33.
87
Tabel 33. Perbandingan Antara Persentase Kenaikan Belanja Langsung dan Belanja Tidak Langsung Pada Anggaran Pendidikan Tahun 2008-2011
Tahun
Belanja (Juta)
Langsung %
Kenaikan Tidak
Langsung %
Kenaikan Total
% Kenaikan
2008 116.432,39 494.768,39 611.200,78
2009 185.393,26 59,23 558.708,71 12,92 744.101,97 21,74 2010 277.963,71 49,93 693.722,50 24,17 971.686,21 30,59 2011 613.649,88 120,77 830.745,88 19,75 1.444.395,76 48,65
Sumber : Bappeda Kabupaten Bogor, (Diolah dari Tahun 2008-2011)
Seperti halnya pada belanja APBD, belanja tidak langsung pada urusan
pendidikan pun menghabiskan porsi yang paling besar, yakni diatas 70 persen
dari total belanja pendidikan, meskipun dari tahun ke tahun menunjukkan adanya
penurunan, terutama pada tahun 2011 yang alokasinya hampir mendekati 50
persen. Belanja tidak langsung digunakan untuk membiayai gaji dan tunjangan
pegawai negeri sipil dari kalangan pendidik dan tenaga kependidikan.
Sebaliknya, alokasi belanja langsung mendapatkan porsi yang lebih sedikit, yakni
masih dibawah 30 persen, meskipun dari tahun ke tahun menunjukkan adanya
peningkatan, terutama pada tahun 2011 yang alokasinya hampir mencapai 50
persen. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 27.
Sumber : Bappeda Kabupaten Bogor, (Diolah dari Tahun 2008-2011)
Gambar 26. Komposisi Belanja Tidak Langsung dan Belanja Langsung pada Anggaran Pendidikan di Kabupaten Bogor Tahun 2008-2011
88
Belanja langsung pada urusan wajib pendidikan didistribusikan ke dalam
dua program, yaitu : (1) program utama, dan (2) program pendukung. Program
utama meliputi :
(1) Pendidikan Anak Usia Dini
(2) Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun
(3) Pendidikan Menengah
(4) Pendidikan Non Formal
(5) Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan
(6) Manajemen Pelayanan Pendidikan
Program pendukung merupakan program rutin di bidang ketatausahaan meliputi :
(1) Pelayanan Administrasi Perkantoran
(2) Peningkatan Sarana dan Prasarana Aparatur
(3) Peningkatan Pengembangan Sistem Pelaporan Capaian Kinerja dan
Keuangan
8.3 Anggaran Pendidikan Menengah di Kabupaten Bogor
Alokasi anggaran untuk penyelenggaraan pendidikan menengah di
Kabupaten Bogor hingga saat ini masih mendapatkan porsi yang cukup kecil,
yakni baru berkisar tiga persen dari total anggaran pendidikan. Hal ini
menunjukkan bahwa penyelenggaraan pendidikan menengah belum menjadi
prioritas pembangunan bagi Pemerintah Kabupaten Bogor, karena hingga saat
ini Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor masih memfokuskan diri pada
penuntasan program wajib belajar pendidikan sembilan tahun untuk jenjang
pendidikan dasar SD dan SMP/sederajat. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 34.
Tabel 34. Perbandingan Belanja Pendidikan Menengah Terhadap Total Belanja Pendidikan
Belanja (Juta) Tahun
2008 2009 2010 2011
Belanja Urusan Pendidikan
617.682,30 744.101,97 971.686,21 1.444.395,76
Belanja Pendidikan Menengah
19.868,11 25.808,20 34.506,75 39.457,83
% Pendidikan Menengah terhadap Pendidikan
3,22 3,47 3,55 2,73
Sumber : Bappeda Kabupaten Bogor, (Diolah dari Tahun 2008-2011)
89
Persentase alokasi dana bagi penyelenggaraan pendidikan menengah
terhadap total belanja langsung pada anggaran pendidikan selama kurun waktu
Tahun 2008-2011 menunjukkan kecenderungan yang semakin menurun, yakni
16,70 persen pada tahun 2008 menjadi 6,43 persen pada tahun 2011, meskipun
secara nominal terjadi peningkatan jumlah anggaran pada program pendidikan
menengah dari tahun ke tahun. Ini menunjukkan bahwa alokasi anggaran untuk
pendidikan menengah selama kurun waktu 4 tahun mengalami penurunan
sebesar 10,27 persen. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 28.
Sumber : Bappeda Kabupaten Bogor, (Diolah dari Tahun 2008-2011)
Gambar 27. Perbandingan Belanja Pendidikan Menengah Terhadap Belanja Langsung dan Total Belanja Pendidikan di Kabupaten Bogor Tahun 2008-2011
Anggaran yang digunakan untuk menyelenggarakan pembangunan
pendidikan di Kabupaten Bogor yang diselenggarakan oleh Pemerintah
Kabupaten Bogor tidak seluruhnya berasal dari anggaran asli daerah. Di sisi
lain, sebagai daerah otonom, kebutuhan pemenuhan anggaran pendidikan pun
masih diperoleh dari dana bantuan, baik yang berasal dari pemerintah pusat
maupun pemerintah provinsi. Besarnya dana bantuan yang diterima oleh
Pemerintah Kabupaten Bogor dalam urusan wajib pendidikan tersebut bersifat
tidak tetap dari tahun ke tahun. Pada umumnya dana bantuan tersebut ditujukan
untuk kegiatan-kegiatan yang bersifat fisik, seperti pembangunan ruang kelas
baru dan rehabilitasi ruang kelas yang rusak. Keseluruhan dana bantuan
tersebut tercatat dalam APBD, sehingga total belanja APBD yang ada
merupakan gabungan dari dana belanja asli daerah dan dana bantuan.
90
Penerimaan dana bantuan dari pemerintah pusat dan pemerintah provinsi
yang khusus dialokasikan untuk penyelenggaraan pendidikan menengah formal
selama kurun waktu tahun 2008-2011 cenderung semakin meningkat. Hal ini
dapat dilihat pada Tabel 35.
Tabel 35. Perbandingan Dana Bantuan Terhadap Belanja Pendidikan Menengah di Kabupaten Bogor Tahun 2008-2011
Tahun Belanja Pendidikan
Menengah (A)
Dana Bantuan Pendidikan
Menengah (B) % (B) Terhadap (A)
2008 19.868.112.500 1.421.603.000 7,16
2009 25.808.203.500 4.074.863.000 15,79
2010 34.506.754.000 8.937.613.800 25,90
2011 39.457.834.000 28.514.814.000 72,27
Sumber : Bappeda Kabupaten Bogor, (Diolah dari Tahun 2008-2011)
Peningkatan porsi alokasi dana bantuan terhadap belanja program
pendidikan menengah dari tahun 2008 hingga tahun 2011sebesar 65,11 persen.
Adapun kenaikan jumlah dana bantuan tersebut pada tahun 2011 mencapai
219,04 persen dibandingkan tahun 2010. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 29.
Sumber : Bappeda Kabupaten Bogor, (Diolah dari Tahun 2008-2011)
Gambar 28. Persentase Peningkatan Jumlah Dana Bantuan Pendidikan Menengah di Kabupaten Bogor Tahun 2008-2011
91
Dana bantuan yang diberikan oleh pemerintah pusat dan provinsi telah
ditentukan pengalokasiannya terutama untuk pembangunan ruang kelas baru
dan rehabilitasi ruang kelas yang rusak, dimana untuk kebutuhan fisik tersebut
dibutuhkan dana yang tidak sedikit. Dengan semakin meningkatnya dana
bantuan tersebut, menandakan bahwa pemerintah Kabupaten Bogor
menggantungkan beban untuk menambah dan merehabilitasi ruang kelas pada
anggaran bantuan. Ketergantungan terhadap dana bantuan untuk pembangunan
ruang kelas baru dan rehabilitasi kelas yang rusak semakin tinggi akan
berdampak pada laju penyediaan daya tampung siswa. Hal ini disebabkan
karena pemerintah daerah mengandalkan pembangunan fisik dari dana bantuan
yang tidak rutin setiap tahun. Dengan demikian, sekolah-sekolah negeri yang
diselenggarakan oleh Pemerintah Kabupaten Bogor tidak dapat menambah
kapasitas daya tampung sekolah seiring dengan peningkatan kebutuhan
masyarakat akan ketersediaan daya tampung.
92
93
IX. STRATEGI PENINGKATAN PARTISIPASI SEKOLAH
9.1 Identifikasi Faktor Berdasarkan Analisis SWOT
Berdasarkan batasan yang telah ditetapkan dalam metodologi, bahwa
faktor internal pendidikan merupakan faktor analisis internal dalam SWOT,
sedangkan faktor analisis eksternal dalam SWOT adalah faktor kondisi
masyarakat dan anggaran pendidikan, maka berdasarkan batasan tersebut,
identifikasi kekuatan dan kelemahan difokuskan pada faktor internal pendidikan,
sedangkan identifikasi peluang dan ancaman difokuskan pada faktor kondisi
masyarakat dan anggaran pendidikan.
9.1.1 Identifikasi Faktor Kekuatan (Strengths)
Faktor kekuatan diidentifikasi berdasarkan uraian faktor-faktor internal
pendidikan, yakni daya tampung, guru, kelembagaan penyelenggaran
pendidikan, dan kualitas penyelenggaraan pendidikan. Berdasarkan uraian
faktor-faktor tersebut, diperoleh identifikasi faktor-faktor kekuatan untuk dapat
meningkatkan partisipasi sekolah pada jenjang pendidikan menengah formal
sebagai berikut :
(1) Adanya kerjasama yang sinergis antar penyelenggara pendidikan menengah formal
Penyelenggaraan pendidikan menengah formal di Kabupaten Bogor
dilakukan secara bersama-sama oleh Pemerintah Daerah, Kementerian
Agama dan lembaga swasta. Sinergi antara ketiga unsur ini memperkuat
upaya untuk meningkatkan angka partisipasi murni. Hal ini ditandai dengan
lengkapnya jenis pendidikan menengah yang terdiri atas sekolah umum,
madrasah dan kejuruan. Ketiga penyelenggara ini melayani penduduk usia
sekolah sesuai dengan kemampuan yang dimiliki.
(2) Ruang kelas yang ada sebagian besar layak pakai
Sebagian besar dari jumlah ruang kelas yang tersedia masih layak pakai.
Kelayakan ini terlihat dari 85,93 persen ruang kelas dalam kondisi baik, dan
10, 54 persen ruang kelas dalam kondisi rusak ringan. Hal ini berarti bahwa
ruang kelas yang layak pakai tersedia sebesar 96,47 persen.
94
(3) Ketersediaan guru yang berkualifikasi mengajar
Sebagian besar guru yang mengajar pada jenjang pendidikan menengah
formal merupakan guru-guru yang telah memiliki kualifikasi mengajar (layak
mengajar). Hal ini ditunjukkan oleh 89,75 persen guru berlatar pendidikan
S1 hingga S3.
(4) Lembaga swasta berpartisipasi aktif
Peran lembaga swasta sangat dominan dalam membantu meningkatkan
penyelenggaraan pendidikan menengah formal di Kabupaten Bogor, baik
dari penyediaan ruang kelas maupun guru. Berdasarkan data yang ada,
penyelenggara pendidikan swasta yang melayani sekolah menengah umum
sebanyak 76,54 persen, madrasah 93,98 persen, dan sekolah menengah
kejuruan sebanyak 96,86 persen. Jumlah guru yang kompeten pada
penyelenggara pendidikan swasta sebanyak 68,21 persen, dimana 50,71
persen adalah guru SMA swasta, 76,37 persen guru MA swasta, dan 87,06
persen guru SMK swasta.
Disamping itu sekolah swasta memiliki kapasitas daya tampung murid paling
besar. Kapasitas daya tampung ini memungkinkan untuk menerima siswa
dalam jumlah yang besar. Dari jumlah sekolah swasta yang ada, kapasitas
daya tampungnya lebih dari 90 persen, karena sebagian besar ruang kelas
yang ada layak pakai.
(5) Sebagian besar sekolah menengah formal telah terakreditasi
Sekitar 60,26 persen sekolah menengah formal telah terakreditasi, dengan
rincian 18,59 persen sekolah terakreditasi A, 29,27 persen sekolah
terakreditasi B, dan 12,40 persen sekolah terakreditasi C.
9.1.2 Identifikasi Faktor Kelemahan (Weaknesses)
Faktor kelemahan diidentifikasi berdasarkan uraian faktor-faktor internal
pendidikan, yakni daya tampung, guru, kelembagaan penyelenggaran
pendidikan, dan kualitas penyelenggaraan pendidikan. Berdasarkan uraian
faktor-faktor tersebut, diperoleh identifikasi faktor-faktor kelemahan yang dapat
mempengaruhi partisipasi sekolah pada jenjang pendidikan menengah formal
sebagai berikut :
95
(1) Kapasitas daya tampung sekolah di setiap kecamatan belum merata
Daya tampung sekolah untuk setiap kecamatan tidak merata. Hal ini terlihat
dari adanya kecamatan yang telah mengalami kelebihan daya tampung,
yakni sebanyak 17 kecamatan, sementara masih terdapat kecamatan yang
masih memungkinkan untuk menambah jumlah siswa yakni 23 kecamatan.
Di samping itu belum semua penduduk usia sekolah bisa tertampung pada
sekolah-sekolah menengah yang ada. Tercatat masih terdapat 39,40 persen
jumlah penduduk usia sekolah yang belum terlayani oleh pendidikan
menengah.
(2) Jumlah dan distribusi guru di setiap kecamatan tidak merata
Rasio guru-sekolah masih rendah. Hal ini terlihat dari adanya kecamatan
yang memiliki sekitar 27 orang guru dalam satu sekolah, sementara ada
kecamatan yang hanya memiliki 7 orang guru dalam satu sekolah. Ini
menunjukkan bahwa ketersediaan jumlah guru di sekolah-sekolah masih
kurang. Kekurangan guru terutama dialami oleh SMK, padahal disisi lain
kemampuan daya tampungnya paling tinggi jika dibandingkan dengan jenis
pendidikan menengah lainnya. Ketersediaan ruang kelas layak pakai untuk
SMK mencapai 98 persen, namun ketersediaan guru hanya 17 orang untuk
satu sekolah.
(3) Masih terdapat ruang kelas yang rusak berat
Keberadaan jumlah ruang kelas yang rusak berat sehingga tidak bisa
digunakan menyebabkan berkurangnya kapasitas daya tampung sekolah
bagi siswa di Kabupaten Bogor. Ruang kelas yang rusak berat tercatat
sebanyak 3,53 persen. SMA memiliki lebih banyak ruang kelas yang rusak
berat dibandingkan dengan jenis pendidikan lainnya, yakni sebesari 59,14
persen, sedangkan madrasah memiliki ruang kelas rusak berat paling
sedikit, yakni 17,20 persen.
(4) Minat masyarakat masih cenderung pada SMK
Tingginya minat masyarakat untuk bersekolah di SMK karena jenis sekolah
ini dipersiapkan agar lulusan siap bekerja, jika dilihat dari satu sisi
menimbulkan ketidakmerataan distribusi siswa terhadap jenis sekolah. Hal
ini terlihat dari rendahnya minat masyarakat untuk menyekolahkan anaknya
ke madrasah,sehingga mengakibatkan jumlah siswa madrasah hanya
96
sebanyak 10,13 persen dari total siswa yang ada. Di sisi lain, tingginya minat
masyarakat bersekolah di SMK tidak diimbangi dengan kualitas
penyelenggaraan pendidikan, karena sebanyak 56,95 persen SMK belum
terakreditasi.
9.1.3 Identifikasi Faktor Peluang (Opportunities)
Faktor peluang diidentifikasi berdasarkan uraian faktor-faktor kondisi
masyarakat, karakteristik wilayah, dan pendanaan anggaran pada pendidikan
menengah formal. Faktor kondisi masyarakat dilihat dari dua aspek, yaitu : (1)
faktor orang tua yang diwakili oleh penghasilan, dan pendidikan orang tua, serta
(2) faktor anak yang diwakili oleh minat anak bersekolah dan jenis kelamin.
Faktor karakteristik wilayah dilihat dari karakteristik wilayah pertanian,
perdagangan/jasa, dan industri. Adapun faktor pendanaan ditinjau dari
kemandirian anggaran pendidikan menengah formal.
Berdasarkan uraian faktor-faktor tersebut, diperoleh identifikasi faktor-
faktor peluang peningkatan partisipasi sekolah pada jenjang pendidikan
menengah formal sebagai berikut :
(1) Orang tua yang berpenghasilan di atas UMK
Penghasilan orang tua sebagian besar berada di atas Upah Minimum
Kabupaten (UMK), sehingga berpeluang untuk mampu menyekolahkan
anaknya. Berdasarkan hasil penelitian di lokasi sampel, sebanyak 63,33
persen orang tua berpenghasilan di atas UMK. Hal ini menunjukkan bahwa
orang tua yang berpenghasilan di atas UMK dapat menyediakan biaya
pendidikan yang dibutuhkan.
(2) Pendidikan orang tua SMP ke atas
Sebanyak 93,55 persen orang tua yang berpendidikan SMP ke atas. Bagi
orang tua yang memiliki pendidikan SMP ke atas, ternyata berpeluang untuk
cenderung menyekolahkan anaknya minimal hingga jenjang pendidikan
menengah.
(3) Minat anak tinggi untuk bersekolah
Sebanyak 95 persen anak usia 16-18 tahun ternyata memiliki minat untuk
melanjutkan sekolah minimal hingga jenjang pendidikan menengah.
97
(4) Karakteristik wilayah industri dan perdagangan/jasa kondusif untuk anak bersekolah
Partisipasi sekolah terbukti tinggi pada wilayah-wilayah kecamatan yang
berkarakter industri maupun perdagangan/jasa. Hal ini terlihat dari
persentase jumlah anak yang bersekolah di kedua wilayah tersebut.
Sebanyak 90 persen anak yang tinggal di lingkungan perdagangan/jasa
ternyata bersekolah, dan 70 persen anak yang tinggal di lingkungan industri
juga bersekolah pada jenjang pendidikan menengah formal.
9.1.4 Identifikasi Faktor Ancaman (Threats)
Faktor ancaman diidentifikasi berdasarkan uraian faktor-faktor eksternal
yang dilihat dari faktor kondisi masyarakat, karakteristik wilayah, dan pendanaan
pendidikan menengah formal. Berdasarkan uraian faktor-faktor tersebut,
diperoleh hasil identifikasi ancaman sebagai berikut :
(1) Rendahnya penghasilan orang tua
Masih terdapat orang tua yang berpenghasilan rendah, yakni di bawah UMK.
Hal ini menyebabkan mereka tidak mampu menyekolahkan anak mereka.
Berdasarkan temuan di lokasi penelitian, sekitar 36,67 persen orang tua
berpenghasilan rendah.
(2) Tingginya jumlah tanggungan keluarga
Jumlah anggota keluarga yang menjadi tanggungan orang tua sebagian
besar lebih dari tiga orang, sehingga beban orang tua untuk menyekolahkan
anak dirasa cukup membaratkan. Sebanyak 88,33 persen keluarga
responden memiliki tanggungan anggota keluarga lebih dari tiga orang.
(3) Orang tua berpenghasilan di atas UMK, namun anaknya tidak bersekolah
Masih adanya orang tua yang berpenghasilan di atas UMK namun anaknya
tidak bersekolah. Sebanyak 38,87 persen anak yang tidak bersekolah
memiliki orang tua berpenghasilan di atas UMK.
(4) Rendahnya pendidikan orang tua
Sebagian besar orang tua masih berpendidikan rendah, yakni SD ke bawah.
Tingkat pendidikan orang tua ternyata berpengaruh kepada kecenderungan
orang tua untuk tidak menyekolahkan anaknya. Berdasarkan data, sebanyak
98
58,62 persen orang tua yang berpendidikan rendah tidak menyekolahkan
anaknya.
(5) Anak tidak berminat sekolah
Masih terdapat anak yang tidak berminat untuk melanjutkan sekolah minimal
hingga ke jenjang pendidikan menengah, meskipun tidak ada kendala dari
pihak orang tua. Sebanyak 15,79 persen anak yang tidak bersekolah secara
sengaja tidak berminat untuk bersekolah.
(6) Banyak anak perempuan yang tidak bersekolah
Sebanyak 63,16 persen anak yang tidak bersekolah adalah anak
perempuan.
(7) Banyak anak tidak bersekolah di daerah yang berkarakteristik
pertanian
Sebanyak 57,89 persen anak yang tinggal di wilayah berkarakteristik
pertanian tidak melanjutkan sekolahnya hingga ke jenjang pendidikan
menengah.
(8) Rendahnya kemandirian daerah dalam pendanaan pendidikan menengah
Kemandirian pendanaan pendidikan di Kabupaten Bogor dari tahun ke tahun
menunjukkan penurunan. Hal ini disebabkan oleh semakin tingginya
ketergantungan daerah terhadap dana bantuan, baik dari provinsi maupun
pusat.
9.2 Perumusan Alternatif Strategi Berdasarkan Analisis SWOT
Strategi adalah sekumpulan sasaran yang disertai dengan metode-metode
untuk mencapainya (Rustiadi, E, dkk, 2011). Strategi dalam unsur perencanaan
meliputi hal yang ingin dicapai dan cara untuk mencapai tujuan yang bersifat
normatif dan terukur. Berdasarkan hasil identifikasi terhadap faktor-faktor yang
menjadi kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman, maka dapat dirumuskan
beberapa alternatif strategi yang dapat digunakan untuk meningkatkan partisipasi
sekolah pada jenjang pendidikan menengah formal. Hasil perumusan alternatif
strategi disajikan pada Gambar 30.
99
Faktor Internal
Faktor Eksternal
Kekuatan (Strengths) Kelemahan (Weaknesses)
1. Adanya kerjasama yang sinergis antar penyelenggara pendidikan menengah formal
2. Ruang kelas yang ada sebagian besar layak pakai
3. Guru-guru yang ada sebagian besar berkualifikasi mengajar
4. Lembaga swasta berperan dominan
5. Sebagian besar sekolah sudah terakreditasi
1. Kapasitas daya tampung sekolah di setiap kecamatan tidak merata
2. Jumlah dan distribusi guru di setiap kecamatan tidak merata
3. Masih ada ruang kelas yang rusak berat
4. Minat masyarakat cenderung memilih jenis pendidikan SMK
Peluang (Opportunities) Strategi S-O
(Aggressive Strategies) Strategi W-O
(Turn-Around Strategies)
1. Orang tua yang berpenghasilan di atas UMK
2. Pendidikan orang tua SMP ke atas
3. Minat anak tinggi untuk bersekolah
4. Karakter wilayah perdagangan/jasa dan industri mendukung untuk anak bersekolah
1. Meningkatkan aksesibilitas pendidikan berdasarkan kebutuhan dan karakter wilayah (S1-5 ; O 1-4)
2. Meningkatkan peran dan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan (S 1,4 ; O 1,2)
1. Optimalisasi aksesibilitas pendidikan berdasarkan kebutuhan wilayah (W 1,2,4 ; O 1-4)
2. Memperbaiki kualitas sarana dan prasarana pendidikan di wilayah yang membutuhkan (W 2,3 ; O 1-4)
Ancaman (Threats) Strategi S-T
(Diversification Strategies) Strategi W-T
(Defensive Strategies)
1. Rendahnya penghasilan orang tua
2. Tingginya jumlah tanggungan keluarga
3. Orang tua berpenghasilan di atas UMK namun anaknya tidak bersekolah
4 Rendahnya pendidikan orang tua
5. Anak tidak berminat sekolah meskipun orang tua mampu
6. Banyak anak perempuan tidak bersekolah
7. Di wilayah pertanian banyak anak tidak bersekolah
8. Kemandirian pendanaan daerah rendah
1. Meningkatkan pemahaman masyarakat tentang wajib belajar 12 tahun (S 1,4 ; T 3-7)
2. Meningkatkan pemberdayaan ekonomi masyarakat (S 1,3,4 ; T 1,2,7)
3. Memberikan jaminan pendidikan daerah bagi siswa(S 1,4 ; T 1,6,7)
4. Meningkatkan kepedulian penyelenggara pendidikan terhadap masyarakat (S 1-5 ; O 1,4,5,6,8)
1. Optimalisasi pemanfaatan pendanaan pendidikan ( W 1-3 ; T 8)
Gambar 29. Matriks Analisis SWOT dan Perumusan Alternatif Strategi
9.2.1 Strategi S-O (Aggressive Strategies)
Strategi ini disusun dengan memanfaatkan seluruh kekuatan agar dapat
memanfaatkan seluruh peluang yang ada (Rangkuti, 1997). Secara garis besar,
kekuatan yang ada meliputi kerjasama antar penyelenggara pendidikan
menengah, ketersediaan ruang kelas yang layak pakai, guru yang berkualitas
mengajar, lembaga swasta yang berpartisipasi aktif, dan kualitas sekolah yang
terakreditasi. Adapun peluang yang harus dimanfaatkan adalah orang tua yang
berpenghasilan di atas UMK dan berpendidikan SMP ke atas, anak yang
100
memiliki keinginan kuat untuk bersekolah, serta lingkungan kondusif yang
mendukung anak bersekolah yakni diluar sektor pertanian. Beberapa alternatif
strategi yang memungkinkan untuk disusun dalam rangka memanfaatkan
peluang adalah :
(1) Meningkatkan aksesibilitas pendidikan
Strategi ini dilakukan untuk memanfaatkan semua unsur penunjang yang
ada, seperti ketersediaan daya tampung, guru berkualitas dan kerjasama
antar penyelenggara pendidikan untuk dapat mengoptimalkan peluang yang
ada di masyarakat, terutama pada kelompok masyarakat yang potensial dan
tidak berkendala dalam mengapresiasi pendidikan menengah.
(2) Meningkatkan peran dan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan
Strategi ini dilakukan untuk memanfaatkan potensi besar masyarakat yang
memberikan perhatian terhadap penyelenggaraan pendidikan menengah.
Peran dan partisipasi masyarakat tersebut dapat berupa peningkatan komite
sekolah yang merupakan wadah masyarakat yang peduli kepada
pendidikan.
9.2.2 Strategi W-O (Turn-Around Strategies)
Strategi ini disusun dengan memanfaatkan peluang yang ada untuk
mengatasi kelemahan-kelemahan yang dimiliki (Rangkuti, 1997). Secara garis
besar, kelemahan yang ada meliputi tidak meratanya daya tampung sekolah di
setiap kecamatan, permasalahan ketersediaan dan distribusi guru, ruang kelas
masih banyak yang rusak, dan minat masyarakat terhadap salah satu jenis
pendidikan menengah. Adapun peluang yang harus dimanfaatkan adalah orang
tua yang berpenghasilan di atas UMK dan berpendidikan SMP ke atas, anak
yang memiliki keinginan kuat untuk bersekolah, serta lingkungan kondusif yang
mendukung anak bersekolah yakni diluar sektor pertanian. Beberapa alternatif
strategi yang memungkinkan untuk disusun dalam rangka mengatasi kelemahan
adalah :
(1) Optimalisasi aksesibilitas pendidikan berdasarkan kebutuhan wilayah
Strategi ini dilakukan mengingat masih banyak penduduk usia sekolah yang
belum dapat dijangkau, akibat masih kurangnya kapasitas daya tampung,
101
padahal potensi dan apresiasi terhadap penyelenggaraan pendidikan
menengah formal cukup besar. Strategi ini dilaksanaan di wilayah-wilayah
yang sangat membutuhkan adanya sekolah, terutama pada kecamatan-
kecamatan yang memiliki kelebihan kapasitas daya tampung.
(2) Memperbaiki kualitas sarana dan prasarana pendidikan di wilayah yang membutuhkan
Strategi ini dilakukan untuk merehabilitasi sarana yang ada agar dapat
berfungsi kembali dengan baik, terutama ditujukan untuk ruang kelas yang
rusak berat. Disamping itu, strategi ini dilakukan pula untuk mengatasi
permasalahan jumlah dan distribusi guru yang kurang dan belum merata
pada kecamatan-kecamatan yang masih kekurangan guru, sehingga dapat
mengotimalkan pelayanan kepada masyarakat, terutama bagi masyarakat
yang membutuhkan dan tidak berkendala untuk bersekolah. Strategi ini
mencakup pula bagaimana membuat agar masyarakat dapat memanfaatkan
jeni-jenis pendidikan yang ada tanpa menghilangkan kecenderungan untuk
mencari sekolah yang mempersiapkan siswa untuk siap kerja.
9.2.3 Strategi S-T (Diversification Strategies)
Strategi ini disusun untuk memanfaatkan seluruh kekuatan yang ada
secara optimal dengan cara menekan seminimal mungkin ancaman yang
dihadapi (Rangkuti, 1997). Secara umum ancaman yang dihadapi cukup banyak,
terutama berkaitan dengan orang tua, dimana pendidikan orang tua rendah,
banyaknya jumlah anggota keluarga yang menjadi tanggungan orang tua rata-
rata lebih dari tiga orang, dan berpenghasilan tinggi namun tidak mau
menyekolahkan anaknya. Di samping itu, ancaman yang muncul dari sisi anak
seperti anak yang sudah tidak berminat bersekolah, banyaknya anak perempuan
yang tidak bersekolah, serta karakter wilayah pertanian yang sebagian besar
penduduknya tidak meneruskan sekolah hingga jenjang pendidikan menengah.
Di sisi lain, ancaman juga muncul dari tingginya ketergantungan pendananan
pendidikan menengah terhadap bantuan luar. Kekuatan yang dimiliki untuk
digunakan meminimalkan ancaman meliputi kerjasama antar penyelenggara
pendidikan menengah, ketersediaan ruang kelas yang layak pakai, guru yang
berkompetensi, lembaga swasta yang berpartisipasi aktif, dan kualitas sekolah
102
yang terakreditasi. Beberapa alternatif strategi yang memungkinkan untuk
disusun dalam rangka meminimalkan ancaman adalah :
(1) Meningkatkan pemahaman masyarakat tentang wajib belajar 12 tahun
Strategi ini disusun untuk membuka dan meningkatkan kesadaran
masyarakat akan pentingnya penyelenggaraan pendidikan menengah
sebagai salah satu sarana untuk meningkatkan kesejahteraan.
(2) Meningkatkan pemberdayaan ekonomi masyarakat
Strategi ini disusun untuk memfasilitasi upaya penyelesaian berbagai
kendala di masyarakat terutama terkait dengan faktor ekonomi masyarakat.
Diharapkan pemberdayaan ekonomi akan meningkatkan taraf hidup
masyarakat sehingga mampu menyekolahkan anaknya. Strategi ini
dilakukan dengan melibatkan berbagai lembaga teknis dan dinas daerah.
(3) Memberikan jaminan pendidikan daerah bagi siswa
Strategi ini disusun untuk melayani masyarakat yang secara teknis sangat
berkendala dalam pembiayaan operasional pendidikan, sehingga tidak ada
alasan bagi masyarakat untuk tidak menyekolahkan anaknya.
(4) Meningkatkan kepedulian penyelenggara pendidikan terhadap masyarakat
Strategi ini dilakukan untuk memanfaatkan potensi kekuatan yang dimiliki
penyelenggara pendidikan terutama swasta untuk membantu masyarakat.
9.2.4 Strategi W-T (Defensive Strategies)
Strategi ini disusun untuk meminimalkan kelemahan yang ada serta
menghindari ancaman (Rangkuti, 1997). Kelemahan yang ada meliputi tidak
meratanya daya tampung sekolah di setiap kecamatan, permasalahan
ketersediaan dan distribusi guru, ruang kelas masih banyak yang rusak, dan
minat masyarakat terhadap salah satu jenis pendidikan menengah. Sedangkan
ancaman yang dihadapi cukup banyak, terutama berkaitan dengan orang tua,
dimana penghasilan dan pendidikan orang tua rendah, banyaknya jumlah
anggota keluarga yang menjadi tanggungan orang tua rata-rata lebih dari tiga
orang, dan berpenghasilan tinggi namun tidak mau menyekolahkan anaknya. Di
103
samping itu, ancaman yang muncul dari sisi anak seperti yang sudah tidak
berminat bersekolah, dan banyaknya perempuan yang tidak bersekolah. Faktor
ancaman lainnya adalah karakteristik wilayah pertanian yang sebagian besar
penduduknya tidak meneruskan sekolah hingga jenjang pendidikan menengah.
Di sisi lain, ancaman juga muncul dari tingginya ketergantungan pendananan
pendidikan menengah terhadap bantuan luar. Alternatif strategi yang
memungkinkan untuk disusun dalam rangka meminimalkan kelemahan dan
menghindari ancaman adalah :
(1). Optimalisasi pemanfaatan pendanaan pendidikan menengah
Strategi ini dilakukan untuk menyelesaikan permasalahan ketimpangan
alokasi pendanaan dalam penyelenggaraan pendidikan menengah, terutama
dalam penyediaan fasilitas sarana dan prasaran pendidikan menengah
formal, dengan melihat keterbatasan pendanaan daerah yang ada.
9.3 Penyusunan Road Map Strategy dan Prioritas Program/Kegiatan Berdasarkan Pendekatan Arsitektur Strategi
Berdasarkan hasil analisis SWOT ditemukan sebanyak sembilan strategi
yang memungkinkan untuk dilaksanakan dalam upaya meningkatkan partisipasi
sekolah pada jenjang pendidikan menengah. Terdapat dua strategi agresif, dua
strategi stabilitatif/rasional, empat strategi diversifikatif, dan satu strategi defensif.
Agar terwujud pelaksanaan strategi yang berkesinambungan dan saling
bersinergi antar satu strategi dengan strategi lainnya, maka pemetaan
pelaksanaan strategi tersebut disusun dalam bentuk kebijakan. Kebijakan
merupakan sekumpulan aktivitas terukur yang ingin dicapai dalam jangka pendek
dan dilakukan dengan cara-cara tertentu (Rustiadi dkk, 2011). Dalam hal ini,
kebijakan yang dilakukan dibagi atas tiga pengelompokan utama berdasarkan
prioritas, yaitu: (1) kebijakan optimalisasi pendanaan pendidikan, (2) kebijakan
peningkatan faktor internal pendidikan, dan (3) kebijakan peningkatan kondisi
masyarakat terutama di wilayah pertanian. Ketiga kebijakan tersebut disusun
berdasarkan rentang waktu tertentu yang dalam hal ini direncanakan selama lima
tahun. Penetapan waktu selama lima tahun disesuaikan menurut agenda
perencanaan pembangunan jangka menengah daerah, sehingga memungkinkan
bagi tahapan pelaksanaan program/kegiatan.
104
Pemetaan alternatif strategi yang telah dirumuskan hingga terimplementasi
dalam bentuk program/kegiatan dilakukan melalui pendekatan arsitektur strategi.
Secara tabulasi, pemetaan ini disajikan pada Tabel 36.
105
Tabel 36. Kebijakan, Strategi, Program dan Kegiatan Peningkatan Partisipasi Sekolah Jalur Pendidikan Formal di Kabupaten Bogor
Prioritas Kebijakan
Prioritas Strategi Program Kegiatan Waktu Pelaksanaan
(Tahun) SKPD
Pelaksana I II III IV V
1. Peningkat an Pendanaan Pendidikan Menengah
1.Optimalisasi Pemanfaatan Pendanaan Pendidikan
1.Kerjasama Pendanaan Pendidikan
1.Penandatanganan MoU dengan DU/DI
Disdik, Setda
2.Pendanaan Pendidikan Sembilan tahun
2.Gerakan sadar Menabung Sembilan tahun (Pencanangan)
Disdik
2. Peningkatan Faktor Internal Pendidikan
2.Meningkatkan Aksesibilitas Pendidikan
3.Pengembangan Fasilitas terutama di Wilayah Pertanian
3.Pengadaan Lahan Disdik *, DTBP, DTRP, Setda
4.Pemberian Kemudahan Perijinan pembangunan Sekolah Baru (Rutin)
Disdik
5.Pembangunan Sekolah Baru
Disdik * , DTBP, DTRP
6.Pembangunan Sekolah berbasis
Karakteristik Wilayah
Disdik*, Dinsosnakertrans, Distanhut, Disnakkan, Diskoperindag
3.Optimalisasi Aksesibilitas
Pendidikan Berdasarkan Kebutuhan Wilayah
4.Peningkatan Daya
tampung Siswa terutama di Wilayah Pertanian
7. Pendirian SD-SMP-SMA Satu
Atap
Disdik*, DTBP, DTRP
8.Penambahan Waktu Operasional Sekolah
Disdik*, BKPP
9. Penambahan Ruang Kelas Baru Disdik*, DTBP, DTRP
5.Penataan Guru 10. Relokasi Guru
Disdik*, BKPP
11. Pemberian Intensif Khusus Guru di Wilayah Tertentu (Rutin)
Disdik*, BKPP, DKD
12. Rekturtmen Guru Bantu Daerah Disdik*, BKPP,DKD
4. Memperbaiki kualitas sarana dan prasarana pendidikan di wilayah yang membutuhkan
6.Perbaikan Sarana dan Prasarana Pendidikan
13.Rehabilitasi Ruang kelas (Rutin) Disdik*, DTBP
14. Akreditasi Lembaga Pendidikan (Rutin)
Disdik
7.Meningkatkan kepedulian penyelenggara pendidikan terhadap masyarakat
7.Peningkatan Kepedulian terhadap Pendidikan Masyarakat
15. Pemberlakuan Kuota Siswa Khusus untuk Sekolah Peduli Lingkungan (Rutin)
Disdik, Setda
16. Pemberian Beasiswa Sekolah Swasta (Rutin)
Disdik, Setda
17.Penerapan Sekolah Murah bagi Siswa Kurang mampu (Rutin)
Disdik
3. Peningkatan Kondisi Masyarakat terutama di Wilayah Pertanian
5.Pemberian jaminan pendidikan daerah bagi siswa
8.Bantuan Daerah untuk Siswa
18.Pemberian Beasiswa Daerah (Rutin)
Disdik,Setda DKD
6.Meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap wajib belajar 12 tahun
9.Sosialisasi Wajib Belajar Pendidikan 12 tahun
19.Gerakan Sadar Sekolah 12 Tahun (Pencanangan)
Disdik,BPMPD
8.Meningkatkan peran dan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan
10.Peningkatan Peran Komite Sekolah
20.Optimalisasi Komite Sekolah Disdik
9.Meningkatkan pemberdayaan ekonomi masyarakat
11.Optimalisasi Lintas Sektoral
21.Kegiatan Lintas Sektoral (Rutin) Bappeda, Disdik, SKPD terkait
Sumber : Hasil Analisis SWOT
Keterangan : Disdik: Dinas Pendidikan; Setda: Sekretariat Daerah; DTBP: Dinas Tata Bangunan dan Permukiman; DTRP:Dinas Tata Ruang dan Pertanahan; BKPP:Badan Kepegawaian, Pendidikan dan Pelatihan;DKD:Dinas Keuangan Daerah;BPMPD:Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa; SKPD:Satuan Kerja Perangkat Daerah;Dinsosnakertran:Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi;Distanhut:Dinas Pertanian dan Kehutanan; Disnakkan : Dinas Peternakan dan Perikanan; Diskoperindag:Dinas Koperasi, Perindustrian dan Perdagangan; Bappeda : Badan Perencanaan Pembangunan Daerah; *) Koordinator.
106
9.3.1 Kebijakan Peningkatan Pendanaan Pendidikan
Kebijakan pendanaan pendidikan diorientasikan pada bagaimana agar
daerah dapat mengalokasikan anggaran pendidikan yang ada agar optimal
dalam membiayai pendidikan menengah. Kebijakan ini merupakan implementasi
dari satu strategi defensif, yaitu :
(1) Optimalisasi pemanfaatan pendanaan pendidikan menengah
Optimalisasi pendanaan pendidikan merupakan strategi prioritas pertama
yang dicanangkan. Strategi ini dapat diimplementasikan ke dalam dua
program, yakni : (a) program kerjasama pendanaan pendidikan, dan (b)
program penggalangan dana pendidikan untuk wajib belajar 12 tahun.
Program kerjasama pendanaan pendidikan dijadikan sebagai salah satu
alternatif implementasi strategi dalam rangka mengajak para pemangku
kepentingan terutama dari sektor bisnis untuk berpartisipasi dalam
membantu pendanaan pendidikan menengah formal. Program ini dapat
dilakukan melalui satu kegiatan, yakni penandatanganan kerjasama
dengan dunia usaha dan dunia industri. Kegiatan ini memungkinkan untuk
dilaksanakan pada tahun pertama. Penanggung jawab kegiatan ini adalah
Dinas Pendidikan sebagai SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) yang
berwenang untuk menyelenggarakan pendidikan, serta Sekretariat Daerah
yang berwenang untuk melakukan kerjasama daerah dengan pihak-pihak
di luar Pemerintah Kabupaten Bogor.
Program penggalangan dana pendidikan untuk wajib belajar 12 tahun
dapat dilakukan melalui kegiatan gerakan sadar menabung siswa sembilan
tahun, dengan mempertimbangkan bahwa masyarakat perlu diberikan
pemahaman untuk ikut berpartisipasi dalam merencanakan pendidikan
anaknya minimal hingga jenjang pendidikan menengah. Kegiatan ini
merupakan kegiatan rutin yang pencanangannya dapat dilakukan pada
tahun keempat. Penanggung jawab kegiatan ini adalah Dinas Pendidikan.
9.3.2 Kebijakan Peningkatan Faktor Internal Pendidikan
Kebijakan peningkatan faktor internal pendidikan lebih diorientasikan
kepada terselenggaranya program/kegiatan yang mendukung peningkatan daya
107
serap penduduk usia sekolah dan terlaksananya proses belajar-mengajar.
Kebijakan ini merupakan implementasi dari empat strategi, yaitu :
(1) Meningkatkan aksesibilitas pendidikan
Strategi ini merupakan strategi prioritas kedua yang bertujuan untuk
menambah fasilitas dan memperkuat jaringan infrastruktur yang sudah ada
dengan lebih efektif dan efisien. Strategi ini dapat diimplementasikan ke
dalam program pengembangan fasilitas pendidikan, terutama di wilayah
pendidikan. Program ini diimplementasikan ke dalam 4 kegiatan, yaitu : (a)
Pengadaan lahan sekolah. Kegiatan ini dilakukan untuk menyediakan
lokasi bagi pembangunan sekolah baru maupun penambahan unit ruang
kelas yang sudah ada. Kegiatan ini dapat dilaksanakan pada tahun
pertama dan disesuaikan menurut kebutuhan pengadaan lahan.
Penanggung jawab kegiatan ini adalah Dinas Pendidikan selaku SKPD
yang memiliki kewenangan penyelenggaraan pendidikan, berkoordinasi
dengan Dinas Tata Bangunan dan Permukiman, Dinas tata Ruang dan
Pertanahan, serta Sekretariat Daerah. (b) Pemberian kemudahan perijinan
bagi pembangunan sekolah baru. Kegiatan ini juga dapat dilakukan pada
tahun pertama dan berlangsung secara rutin berdasarkan adanya
permintaan penyelenggara sekolah untuk membangun unit sekolah baru.
Penanggung jawab kegiatan ini adalah Dinas Pendidikan. (c)
Pembangunan sekolah baru. Kegiatan ini dilakukan untuk menambah
aksesibilitas pendidikan di wilayah-wilayah tertentu yang membutuhkan,
sehingga dapat meningkatkan daya tampung siswa. Kegiatan ini dapat
dilaksanakan pada tahun ketiga dan memungkinkan untuk dilaksanakan
secara rutin sesuai dengan kemampuan dana daerah yang tersedia serta
prioritas kebutuhan masyarakat akan adanya sekolah baru. Penanggung
jawab kegiatan ini adalah Dinas pendidikan yang berkoordinasi dengan
Dinas tata Bangunan dan permukiman serta Dinas tata Ruang dan
Pertanahan. (d) Pembangunan SMK berbasis karakteristik wilayah.
Kegiatan ini ditujukan untuk memfasilitasi kebutuhan masyarakat untuk
siap bekerja setelah menempuh jenjang pendidikan menengah yang
disesuaikan dengan permintaan wilayah, seperti pertanian, industri dan
perdagangan/jasa. Kegiatan ini dapat dilaksanakan pada tahun kelima.
Penanggung jawab kegiatan ini adalah Dinas Pendidikan yang
berkoordinasi dengan dinas terkait, seperti Dinas Sosial Tenaga Kerja dan
108
Transmigrasi, Dinas Pertanian dan Kehutanan, Dinas Peternakan dan
Perikanan untuk teknis muatan SMK yang berkarakteristik pertanian, dan
dengan Dinas Koperasi, Perindustrian dan Perdagangan untuk teknis SMK
yang berkarakteristik perdagangan/jasa dan insustri.
(2) Optimalisasi aksesibilitas pendidikan berdasarkan kebutuhan wilayah
Strategi ini merupakan strategi prioritas ketiga yang bertujuan untuk
memanfaatkan fasilitas yang telah ada dalam rangka meminimalkan
ketimpangan daya tampung, mengingat adanya peluang dan kebutuhan
masyarakat yang tidak berkendala dalam bersekolah. Strategi ini dapat
diimplementasikan ke dalam dua program, yakni : (a) Peningkatan daya
tampung siswa terutama di wilayah pertanian, dan (b) Pemerataan
pendidikan.
Program peningkatan daya tampung dapat dilakukan melalui dua kegiatan,
yaitu : (1) Pendirian SD-SMP-SMA satu atap. Kegiatan ini dimaksudkan
untuk memanfaatkan ruang kelas SD atau SMP yang telah ada untuk
dijadikan tempat pembelajaran bagi pendidikan menengah khususnya pada
wilayah-wilayah yang belum memungkinkan dibangun sekolah baru dalam
waktu dekat. Kegiatan ini dapat mulai dilaksanakan pada tahun kedua dan
memungkinkan untuk dilaksanakan pada tahun-tahun berikutnya sesuai
dengan kebutuhan wilayah. Penanggung jawab kegiatan ini adalah Dinas
Pendidikan, berkoordinasi dengan Dinas Tata Bangunan dan Permukiman
serta Dinas Tata Ruang dan Pertanahan. (2) Penambahan waktu
operasional sekolah. Kegiatan ini dimaksudkan untuk memaksimalkan
fungsi kelas agar dapat menampung lebih banyak rombongan belajar
dengan cara membagi rombongan ke dalam beberapa termin
pembelajaran mulai dari pagi hari hingga sore hari. Kegiatan ini dapat
dimulai pada tahun ketiga dan memungkinkan untuk dilaksanakan pada
tahun-tahun berikutnya sesuai dengan kebutuhan wilayah. Penanggung
jawab kegiatan ini adalah Dinas Pendidikan berkoordinasi dengan Badan
Kepegawaian, Pendidikan dan Pelatihan. (3) Penambahan ruang kelas
baru. Kegiatan ini ditujukan untuk memanfaatkan lahan sekolah yang
masih ada dalam rangka menambah kapasitas daya tampung sekolah.
Kegiatan ini dapat dilakukan pada tahun keempat. Penanggung jawab
109
kegiatan ini adalah Dinas Pendidikan, berkoordinasi dengan Dinas Tata
Bangunan dan Permukiman serta Dinas Tata Ruang dan Pertanahan.
Program penataan guru bertujuan untuk mengatur ulang distribusi guru
yang telah ada disesuaikan dengan perkembangan kebutuhan wilayah.
Program ini dapat dilakukan melalui tiga kegiatan, yaitu : (1) Relokasi guru.
Relokasi guru dilakukan dengan tujuan untuk mendistribusikan guru secara
merata sesuai dengan kebutuhan guru dan kompetensi guru. Diupayakan
agar relokasi guru dapat mempertimbangkan lokasi mengajar dan tempat
tinggal guru. Kegiatan ini dapat dilakukan pada tahun pertama dan dapat
dilakukan secara periodik setiap lima tahun sekali. Penanggung jawab
kegiatan ini adalah Dinas Pendidikan berkoordinasi dengan Badan
Kepegawaian, Pendidikan dan Pelatihan. (2) Pemberian insentif bagi guru
khusus di wilayah tertentu. Kegiatan ini bertujuan untuk memberikan
penghargaan kepada guru-guru yang berdedikasi dan mengabdi di
wilayah-wilayah yang sulit dijangkau atau terpencil. Diharapkan dengan
adanya pemberian insentif tersebut, dapat meningkatkan kinerja guru di
wilayah tertentu. Kegiatan ini dapat dilakukan pada tahun kedua dan
dilaksanakan secara rutin selama kebijakan ini masih berlaku. Penanggung
jawab kegiatan ini adalah Dinas Pendidikan berkoordinasi dengan Badan
Kepegawaian, Pendidikan dan Pelatihan serta Dinas Keuangan Daerah. (3)
Rekrutmen guru bantu daerah. Kegiatan ini ditujukan khusus untuk wilayah
kecamatan yang membutuhkan guru, sementara jumlah guru yang ada
tidak memungkinkan untuk didistribusikan ke tempat-tempat tertentu.
Kegiatan ini memungkinkan untuk dapat dilaksanakan pada tahun ketiga
dan dapat dilaksanakan juga pada tahun-tahun berikutnya sesuai dengan
kebutuhan pengadaan guru bantu di lingkup Pemerintah Kabupaten Bogor.
Penanggung jawab kegiatan ini adalah Dinas Pendidikan berkoordinasi
dengan Badan Kepegawaian, Pendidikan dan Pelatihan serta Dinas
Keuangan Daerah.
(3) Memperbaiki kualitas sarana dan prasarana pendidikan di wilayah yang membutuhkan
Strategi ini merupakan strategi prioritas keempat yang dapat
diimplementasikan ke dalam satu program, yaitu program perbaikan sarana
dan prasarana pendidikan. Program ini dapat ditempuh melalui dua
kegiatan, yaitu : (1) rehabilitasi ruang kelas, dan (2) akreditasi sekolah.
110
Kegiatan rehabilitasi ruang kelas merupakan upaya untuk memfungsikan
kembali ruang kelas yang rusak, terutama rusak berat sehingga dapat
kembali digunakan. Kegiatan ini dapat mulai dilaksanakan pada tahun
kedua dan memungkinkan untuk dilaksanakan secara rutin sesuai dengan
kebutuhan dan alokasi dana yang tersedia. Penanggung jawab kegiatan
ini adalah Dinas Pendidikan, berkoordinasi dengan Dinas Tata Bangunan
dan Permukiman. Kegiatan akreditasi sekolah bertujuan untuk
meningkatkan kualitas penyelenggaraan pendidikan yang dilaksanakan
oleh seluruh penyelenggara pendidikan menengah. Kegiatan ini dapat
dilaksanakan pada tahun kelima secara periodik sesuai dengan aturan
yang berlaku. Penanggung jawab kegiatan ini adalah Dinas Pendidikan.
(4) Meningkatkan kepedulian penyelenggara pendidikan terhadap masyarakat
Strategi ini dicanangkan sebagai prioritas ketujuh dan diimplementasikan
ke dalam satu program, yaitu program Peningkatan kepedulian terhadap
pendidikan masyarakat. Program ini ditempuh melalui tiga kegiatan, yaitu
(a) pemberlakuan kuota khusus bagi siswa yang berada di sekitar
lingkungan untuk sekolah peduli lingkungan sekolah. Kegiatan ini
dimaksudkan untuk menjaring sejumlah penduduk usia sekolah 16-18
tahun yang berada di wilayah sekitar sekolah untuk dapat bersekolah.
Penanggung jawab kegiatan ini adalah Dinas Pendidikan berkoordinasi
dengan Sekretariat Daerah. Kegiatan ini dapat dilaksanakan pada tahun
keempat dan bersifat rutin. (b) Pemberian beasiswa oleh sekolah swasta.
Kegiatan ini bertujuan untuk membantu sejumlah penduduk usia sekolah
yang berkendala biaya agar mampu melanjutkan pendidikannya di
lembaga pendidikan swasta. Kegiatan ini dapat dilaksanakan pada tahun
kelima dan bersifat rutin. Penanggung jawab kegiatan ini adalah Dinas
Pendidikan berkoordinasi dengan Sekretariat Daerah. (c) Pemberlakuan
sekolah gratis/murah bagi siswa yang kurang mampu. Kegiatan ini
bertujuan untuk membebaskan siswa yang benar-benar tidak mampu
memenuhi kebutuhan pendidikan. Kegiatan ini dapat dilaksanakan pada
tahun kelima dan bersifat rutin. Penanggung jawab kegiatan ini adalah
Dinas Pendidikan.
111
9.3.3 Kebijakan Peningkatan Kondisi Masyarakat Terutama di Wilayah Pertanian
Kebijakan peningkatan kondisi masyarakat terutama di wilayah pertanian
lebih diorientasikan kepada peningkatan pemberdayaan dan kesadaran
masyarakat untuk menyekolahkan anaknya minimal hingga ke jenjang
pendidikan menengah. Kebijakan ini merupakan implementasi empat strategi,
yaitu :
(1) Pemberian jaminan pendidikan daerah bagi siswa
Strategi ini merupakan prioritas kelima yang dapat diimplementasikan ke
dalam satu program, yaitu program bantuan daerah untuk siswa. Program
ini dapat dilakukan melalui satu kegiatan, yaitu pemberian beasiswa
daerah. Kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan akses siswa untuk
dapat bersekolah melalui kebijakan daerah yang berlaku untuk semua
siswa pada jenjang pendidikan menengah. Kegiatan ini dapat dimulai
pada tahun ketiga dan bersifat rutin sesuai dengan kebijakan pimpinan
daerah. Penanggung jawab kegiatan ini adalah Dinas Pendidikan
berkoordinasi dengan Sekretariat Daerah dan Dinas Keuangan Daerah.
(2) Meningkatkan pemahaman masyarakat tentang wajib belajar 12 tahun
Strategi ini merupakan prioritas keenam yang dapat diimplementasikan
kedalam satu program, yaitu sosialisasi wajib belajar 12 tahun. Program ini
bertujuan untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat terutama
yang berada di wilayah pertanian, berpenghasilan rendah dan
berpendidikan rendah tentang pentingnya menyekolahkan anak minimal
hingga sampai pada jenjang pendidikan menengah. Program ini dapat
diimplementasikan melalui satu kegiatan yakni gerakan sadar sekolah 12
tahun yang pencanangannya dapat dilaksanakan pada tahun pertama dan
bersifat rutin. Penanggung jawab kegiatan ini adalah Dinas Pendidikan
berkoordinasi dengan badan Pemberdayaan Masyarakat dan
Pemerintahan Desa.
(3) Meningkatkan peran dan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan
Strategi ini dicanangkan menjadi prioritas kedelapan yang dapat
diimplementasikan ke dalam satu program, yaitu program peningkatan
peran komite sekolah. Komite sekolah merupakan wadah orang tua siswa
112
untuk memantau penyelenggaraan pendidikan sekolah dengan tujuan agar
penyelenggaraan pendidikan dapat berlangsung sesuai harapan semua
pihak. Peran komite sekolah dapat berjalan dengan baik apabila
dioptimalkan. Oleh karena itu, program ini dilaksanakan melalui satu
kegiatan yakni optimalisasi komite sekolah yang dapat dilaksanakan pada
tahun ketiga. Penanggung jawab kegiatan ini adalah Dinas Pendidikan
(4) Meningkatkan pemberdayaan ekonomi masyarakat
Strategi ini merupakan strategi prioritas kesembilan yang
diimplementasikan ke dalam satu program, yaitu program optimalisasi
lintas sektoral. Upaya untuk meningkatkan partisipasi sekolah pada
hakikatnya merupakan upaya bersama antar sektor yang terkait dengan
pemberdayaan ekonomi masyarakat. Oleh karena itu, program ini
dilaksanakan melalui kegiatan lintas sektor yang dapat dimulai pada tahun
kedua dan bersifat rutin. Penanggung jawab kegiatan ini adalah Badan
Perencanaan Pembangunan Daerah sebagai koordinator program dan
kegiatan lintas sektor bersama dengan Dinas Pendidikan sebagai
penanggung jawab masalah pendidikan dan SKPD yang terkait langsung
dengan pemberdayaan ekonomi masyarakat.
Road Map Strategy dan program/kegiatan yang tersaji melalui pendekatan
arsitektur strategi dapat dilihat pada Gambar 31.
113
Tahun Pelaksanaan I II III IV V
Prioritas
Strategi
9
8
7
6
5
4
3
2
1
Prioritas
Kebijakan
Faktor Kondisi
Masyarakat
Faktor Internal
Pendidikan
Pendanaan
Penandatanganan
MoU dengan
DU/DI
Gerakan sadar
menabung 9
tahun
Relokasi guru Pendirian SD-
SMP-SMA satu
atap
Peningkatan Partisipasi Sekolah
Insentif guru
khusus
Rekrutmen
guru bantu
daerah tertentu
Penambahan
ruang kelas
baru
Pengadaan
lahan
Pembangunan
sekolah baru
Pembangunan
SMK berbasis
karakter
wilayah
Kemudahan
perijinan
pendirian
sekolah Rehabilitasi
ruang kelas
Akreditasi
sekolah
Beasiswa
daerah
Sosialisasi
wajib sekolah
12 tahun
Penguatan
komite sekolah
Pemberlakuan
Kuota sekolah
peduli
lingkungan Beasiswa
sekolah swasta
Sekolah
murah/gratis
bagi siswa
kurang mampu
dan berprestasi
Kerjasama lintas
sektoral
pemberdayaan
masyarakat
Gambar 30. Road Map Strategy dan Prioritas Program/kegiatan Peningkatan Partisipasi Sekolah Pada Jenjang Pendidikan Menengah Formal
di Kabupaten Bogor dengan Pendekatan Arsitektur Strategi
Optimalisasi
Pendanaan
Pendidikan
Meningkatkan aksesibilitas
Optimalisasi
aksesibilitas
Perbaikan
kualitas sarpras
Jaminan
pendidikan
daerah
Pemahaman
wajar 12 tahun
Kepedulian
penyelenggara
pendidikan
Peran dan
partisipasi
masyarakat
Pemberdayaan
ekonomi
1
2
3
1 1
1 1
2
2
2
2
2 2
3 2 3 2
3
2
4 2
5 3
2 4
6
3
7 2
7
2
8 3
9 3
113
114
115
X. KESIMPULAN DAN SARAN
10.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan yang dilakukan untuk menjawab
permasalahan yang telah dirumuskan pada bab pendahuluan, maka kesimpulan
yang dapat diambil adalah sebagai berikut :
(1) Berdasarkan analisis dengan menggunakan metode regresi linear
berganda terhadap faktor-faktor internal pendidikan, yakni ketersediaan
daya tampung sekolah, ketersediaan guru yang berkualifikasi mengajar,
dan kualitas penyelenggaraan pendidikan yang diduga mempengaruhi
angka partisipasi murni, diperoleh hasil bahwa faktor ketersediaan daya
tampung yang diwakili oleh ketersediaan jumlah ruang kelas yang layak
pakai berpengaruh secara signifikan terhadap peningkatan angka
partisipasi murni pada jenjang pendidikan menengah formal di Kabupaten
Bogor.
(2) Berdasarkan analisis dengan menggunakan metode regresi logistik biner
terhadap faktor kondisi masyarakat yang dilihat dari dua faktor, yakni faktor
orang tua yang diwakili oleh penghasilan dan pendidikan orang tua, dan
faktor anak yang diwakili oleh minat bersekolah dan jenis kelamin,
diperoleh hasil bahwa faktor yang berpengaruh secara signifikan terhadap
partisipasi sekolah pada jenjang pendidikan menengah formal di
Kabupaten Bogor adalah pendidikan orang tua. Peluang bersekolah bagi
penduduk usia 16-18 tahun di Kabupaten Bogor ternyata ditemukan pada
kondisi orang tua yang berpenghasilan di atas UMK, orang tua yang
berpendidikan SMP ke atas, anak yang berminat sekolah, dan anak yang
berjenis kelamin perempuan.
(3) Berdasarkan analisis dengan menggunakan metode regresi logistik biner
terhadap faktor karakteristik wilayah yang dilihat dari tiga katagori, yaitu
pertanian, perdagangan/jasa, dan industri, diperoleh hasil bahwa
karakteristik wilayah pertanian dan perdagangan/jasa berpengaruh secara
signifikan terhadap partisipasi sekolah pada jenjang pendidikan menengah
formal di Kabupaten Bogor. Peluang bersekolah bagi penduduk usia 16-18
tahun di Kabupaten Bogor ternyata lebih besar ditemukan pada wilayah
116
yang memiliki karakteristik perdagangan/jasa, sedangkan peluang tidak
bersekolah ternyata lebih besar ditemukan pada wilayah yang memiliki
karakteristik pertanian.
(4) Berdasarkan analisis terhadap kemandirian daerah dalam pendanaan
pendidikan menengah di Kabupaten Bogor dengan menggunakan
perhitungan rasio kemandirian, diperoleh hasil bahwa tingkat kemandirian
pendanaan pendidikan menengah semakin lama semakin rendah. Hal ini
disebabkan oleh semakin tingginya ketergantungan daerah terhadap dana
bantuan yang berasal dari luar alokasi anggaran asli daerah.
(5) Berdasarkan hasil analisis SWOT terhadap faktor internal dan eksternal,
teridentifikasi lima faktor kekuatan, empat faktor kelemahan, empat faktor
peluang, dan delapan faktor ancaman. Hasil identifikasi tersebut
melahirkan dua strategi agresif, dua strategi stabilisasi/rasionalisasi, empat
strategi diversifikasi dan satu strategi defensif. Dengan demikian, dalam
rangka meningkatkan partisipasi sekolah pada jenjang pendidikan
menengah formal, Pemerintah Kabupaten Bogor lebih banyak bertumpu
pada strategi diversifikasi.
Berdasarkan hasil perancangan pelaksanaan strategi dengan
menggunakan road map strategy dan pendekatan arsitektur strategi,
diperoleh rumusan sembilan prioritas strategi dengan urutan prioritas yaitu :
(a) Optimalisasi pemanfaatan pendanaan pendidikan, (b) Meningkatkan
aksesibilitas pendidikan berdasarkan kebutuhan dan karakteristik wilayah,
(c) Optimalisasi aksesibilitas pendidikan berdasarkan kebutuhan wilayah,
(d) Memperbaiki kualitas sarana dan prasarana pendidikan di wilayah yang
membutuhkan, (e) Memberikan jaminan pendidikan daerah bagi siswa, (f)
Meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap wajib belajar 12 tahun,
(g) Meningkatkan kepedulian penyelenggara pendidikan terhadap
masyarakat, (h) Meningkatkan peran dan partisipasi masyarakat dalam
penyelenggaraan pendidikan, dan (i) Meningkatkan pemberdayaan
ekonomi masyarakat.
Strategi tersebut dapat diimplementasikan ke dalam tiga kebijakan
prioritas, yaitu : (a) Peningkatan pendanaan pendidikan, (b) Peningkatan
faktor internal pendidikan, dan (c) Peningkatan kondisi masyarakat.
Berdasarkan pendekatan arsitektur strategi, kesembilan prioritas strategi
117
yang diimplementasikan ke dalam tiga prioritas kebijakan tersebut
dilaksanakan melalui 11 program dan 21 kegiatan baik rutin maupun tidak
rutin secara bertahap dalam waktu lima tahun. Tahun pertama
dimungkinkan untuk melaksanakan enam kegiatan, tahun kedua sebanyak
empat kegiatan, tahun ketiga sebanyak tiga kegiatan, tahun keempat
sebanyak tiga kegiatan, dan pada tahun kelima sebanyak empat kegiatan.
10.2 Saran
Berdasarkan hasil dan pembahasan yang ada, beberapa saran yang
direkomendasikan dalam rangka meningkatkan partisipasi sekolah pada jenjang
pendidikan menengah formal di Kabupaten Bogor adalah :
(1) Pemerintah Kabupaten Bogor perlu melakukan kerjasama pendanaan
pendidikan dengan dunia usaha/dunia industri mengingat adanya
keterbatasan alokasi anggaran asli daerah dalam APBD.
(2) Pemerintah Kabupaten Bogor perlu melakukan strategi peningkatan
aksesibilitas pendidikan dan mengoptimalkan pemanfaatan fasilitas yang
sudah ada untuk menambah kapasitas daya tampung sekolah. Kegiatan-
kegiatan seperti pemberian kemudahan perijinan penyelenggaraan
pendidikan, pengadaan lahan, pembangunan sekolah baru terutama
berbasis karakteristik wilayah, penambahan ruang kelas, dan rehabilitasi
ruang kelas yang rusak, perlu terus dilakukan agar dapat memenuhi
kebutuhan daya tampung sekolah.
(3) Pemerintah Kabupaten Bogor perlu menggalakkan sosialisasi wajib belajar
12 tahun kepada masyarakat, terutama di kalangan masyarakat yang
berpendidikan rendah di wilayah pertanian, sehingga diharapkan akan
muncul kesadaran untuk menyekolahkan anaknya hingga jenjang
pendidikan menengah.
(4) Pemerintah Kabupaten Bogor perlu memberikan jaminan pendidikan
daerah bagi siswa usia sekolah 16-18 tahun dan dapat melakukan
kerjasama dengan penyelenggara pendidikan lainnya untuk
mengupayakan bantuan biaya pendidikan menengah bagi masyarakat
seperti beasiswa di sekolah swasta, pemberian keringanan biaya
118
operasional sekolah, atau sekolah gratis untuk merangsang masyarakat
agar bersekolah.
(5) Pemerintah Kabupaten Bogor perlu membangun snediri dan memberikan
kesempatan bagi penyelenggara pendidikan lainnya untuk membangun
sekolah yang berkarakteristik wilayah, terutama sekolah formal jenis SMK
yang berbasis keunggulan lokal, seperti membangun SMK pertanian dan
teknologi pasca panen di wilayah pertanian, SMK teknologi dan informatika
di wilayah industri, dan SMK bisnis/perhotelan di wilayah perdagangan /
jasa.
(6) Peningkatan partisipasi sekolah merupakan tanggung jawab seluruh
perangkat daerah. Oleh karena itu, Pemerintah Kabupaten Bogor perlu
senantiasa membangun koordinasi lintas sektoral terutama pada sektor-
sektor yang terkait dengan pemberdayaan ekonomi masyarakat.
119
DAFTAR PUSTAKA
Acmad,Z. 2008. Analisis Tingkat Partisipasi Pendidikan Siswa Madrasah.
http://pendis. kemenag.go.id/ Adi,W. 2001. Kajian Ketimpangan Pembangunan Ekonomi antar Wilayah
Indonesia. Pusat Penelitian dan pengembangan Ekonomi dan Pembangunan (PEP-LIPI). Jakarta. Perpustakaan.ekonomi.lipi.go.id
Arsyad,L. 1993. Ekonomi Pembangunan. Gunadarma. Jakarta. Cetakan-1. Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor. 2011. Kabupaten Bogor dalam Angka
Tahun 2010. Bogor. Baga, L.M. 2009. Strategi Pengembangan Kelembagaan Koperasi Pertanian
Berbasis Jagung di Provinsi Gorontalo. Jurnal Manajemen Pembangunan Daerah. Volume 1 No. 1 April 2009. Program Magister Profesional Manajemen Pembangunan Daerah. Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB. Bogor.
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Bogor. 2012. Laporan
Keterangan Pertanggungjawaban Bupati Bogor Tahun 2011. Cibinong. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Bogor. 2011. Laporan
Keterangan Pertanggungjawaban Bupati Bogor Tahun 2010. Cibinong. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Bogor. 2010. Laporan
Keterangan Pertanggungjawaban Bupati Bogor Tahun 2009. Cibinong. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Bogor. 2009. Laporan
Keterangan Pertanggungjawaban Bupati Bogor Tahun 2008. Cibinong. Cahyawati, D.S dan Oki, D. 2011. Pemetaan Biplot untuk Masalah Putus Sekolah
Pendidikan Dasar pada Masyarakat Miskin antar Kecamatan di Kabupaten Ogan Ilir. Jurusan Matematika, Universitas Sriwijaya. Sumatera Selatan. http://jpsmipaunsri.files. wordpress.com/.
Chamidi, S. 2002. Kontribusi Sekolah Swasta bagi Pendidikan di Indonesia.
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan No. 035 Tahun ke-8, Maret 2002. Badan Penelitan dan Pengembangan Depdiknas. ISSN: 0215-2673.
Chan,S.M dan Tuti, T.S. 2006. Analisis SWOT Kebijakan Pendidikan Era
Otonomi Daerah. PT. Raja Grafindo Perkasa. Jakarta. Departemen Pendidikan Nasional. 2006. Kilas Balik Pendidikan Nasional. Pusat
Informasi dan Humas Depdiknas. Jakarta. Dinas Pendidikan Kabupaten Bogor. 2011. Statistik Pendidikan Kabupaten Bogor
Tahun 2011/2012. Pemerintah Kabupaten Bogor.
120
Dinas Pendidikan Kabupaten Bogor. 2010. Statistik Pendidikan Kabupaten Bogor Tahun 2010/2011. Pemerintah Kabupaten Bogor.
Dinas Pendidikan Kabupaten Bogor. 2009. Statistik Pendidikan Kabupaten Bogor
Tahun 2009/2010. Pemerintah Kabupaten Bogor. Dinas Pendidikan Kabupaten Bogor. 2008. Statistik Pendidikan Kabupaten Bogor
Tahun 2008/2009. Pemerintah Kabupaten Bogor. Djojohadikusumo,S. 1994. Perkembangan Pemikiran Ekonomi, Dasar Teori
Ekonomi Pertumbuhan dan Ekonomi Pembangunan. LP3ES. Jakarta. Firdaus, M dkk. 2011. Aplikasi Metode Kuantitatif Untuk Manajemen dan Bisnis.
IPB Press. Bogor. Hasbullah. 2006. Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan. PT. Raja Grafindo Persada.
Jakarta. Edisi-5. Hutagaol, Y.M.R. 2009. Minat dan Motivasi Siswa Memilih Sekolah Menengah
Kejuruan (SMK) Mendorong Peningkatan Mutu Pendidikan di Kabupaten Tapanuli Utara. Tesis Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara. Medan. http://repository.usu.ac.id/
Iskandar, M. 2009. Evaluasi Sebaran Lokasi Fasilitas Pendidikan SMP dan SMA
di Kota Bogor. Tesis Program Studi Perencanaan Wilayah Kota. Sekolah Arsitektur Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan. Institut Teknologi Bandung.
Kurniady, D.A. 2004. Manajemen Pembiayaan Pendidikan dan Pengaruhnya
Terhadap Kualitas Pendidikan. (Kajian Pada SMU di Dinas Pendidikan Kota Bandung). Tesis Program Studi Administrasi Pendidikan Pascasarjana UPI Bandung. Bandung.
Lutan, R. 1991. Mesin Penggiling Status Sosial. Biaya Melanjutkan Sekolah.
Dilema dalam Pendidikan : Murah, Merata dan Bermutu. Mimbar Pendidikan. Jurnal Pendidikan No. 1 Tahun X April 1991. Badan Penelitian dan Pengembangan Depdiknas. ISSN 0215-2673.
Malik, A.A.M. 2009. Arahan Distribusi Fasilitas Pendidikan SLTA di Kabupaten
Minahasa Tenggara Tahun 2028. Program Studi Magister Perencanaan Wilayah dan Kota. Institut Tekonologi Bandung. Bandung.
Kementerian Pendidikan Nasional RI. 2004. Keputusan Menteri Pendidikan
Nasional Republik Indonesia Nomor 129a/U/2004 Tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Pendidikan. Jakarta.
Muhammad, F. 2004. Gagasan dan Pemikiran Membangun Sulawesi.
Puslitbang Gorontalo Post. Gorontalo. Cetakan-1. Muiz, A. 2008. Tingkat Partisipasi Dewan Pendidikan dalam Proses Penyusunan
Rencana Kerj Pemerintah Daerah (RKPD) Urusan Pendidikan Kota Cimahi Tahun 2008. Tesis Program Studi Magister Perencanaan Wilayah
121
dan Kota. Sekolah Arsitektur Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan ITB. Bandung.
Mulyasa,E. 2002. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Konsep, Karakteristik,
Implementasi dan Inovasi. PT.Remaja Rosdakarya. Bandung. Cetakan-9 (2006).
Oktaviani, R dan Eka P. 2005. Dampak Kebijakan Pemerintah pada Sektor
Pendidikan Terhadap Ekonomi Indonesia dan Distribusi Pendapatan. Jurnal Bisnis dan Ekonomi Politik vol.6(I) April 2005. Institue for Development of Economics and Finance (INDEF). Jakarta-Indonesia. ISSN : 1410-2625
Pramono, Y. 2009. Kajian Kebutuhan dan Penyediaan Sekolah Menengah
Kejuruan di Kabupaten Rembang. Tesis Program Studi Magister Teknik Pembangunan Wilayah dan Kota. Universitas Diponegoro. Semarang. http://eprints.undip.ac.id/
Prayitno,D. 2008. Partisipasi Masyarakat Dalam Implementasi Kebijakan
Pemerintah (Studi Kasus Pelaksanaan Program Wajib Belajar Sembilan Tahun Di Distrik Semangga, Kabupaten Merauke). Program Pascasarjana Universitas Diponegoro. Semarang. http://eprints.undip.ac.id/
Presiden Republik Indonesia. 2003. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003
Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta. Presiden Republik Indonesia. 2004. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
Tentang Pemerintahan Daerah. Jakarta. Rangkuti, F. 1997. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis. PT.
Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Rustiadi, E, dkk. 2011. Perencanaan dan pengembangan Wilayah. Crestpent
Press dan Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Jakarta. Siregar,S. 2010. Statistik Deskriptif Untuk Penelitian. Rajawali Press. Jakarta. Sjafrizal. 2008. Ekonomi Regional, Teori dan Aplikasi. Baduose Media. Padang.
Cetakan-1. Sudibyo, A.P. 2009. Supervisi Kelompok Pendekatan Direktif, Strategi untuk
Meningkatkan Skor Akreditasi Pada SMA Islam Pragolapati Semarang. Jurnal Widyatama Vol 6. No. 2. Juni 2009. Semarang. http://isjd. pdii.lipi.go.id/
Sujanto,B. 2007. Manajemen Pendidikan Berbasis Sekolah. Model Pengelolaan
Sekolah di Era Otonomi Daerah. CV. Sagung Seto. Jakarta. Cetakan-2 (2009).
Sujanto,B. 2007. Guru Indonesia dan Perubahan Kurikulum. Mengorek
Kegelisahan Guru. CV. Sagung Seto. Jakarta.
122
Suradi. 2006. Perlindungan Anak di Nusa Tenggara Barat. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Usaha Kesejahteraan Sosial, Vol 11 No.03,2006:1-17. http://www.depsos.go.id/
Suryadi,A. 2002. Pendidikan, Investasi SDM dan Pembangunan : Isu, Teori dan
Aplikasi. Balai Pustaka. Jakarta. Cetakan-2. Tilaar, HAR. 2004. Multikulturisme : Tantangan-Tantangan Global Masa Depan
Dalam Transformasi Pendidikan Nasional. PT. Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta.
Toyamah,N dan Syaikhu, U. 2004. Laporan Lapangan SMERU Alokasi Anggaran
Pendidikan di Era Otnomi Daerah : Implikasinya terhadap pengelolaan pelayanan pendidikan dasar. http://www.smeru.or.id/
Wibowo, E. 2008. Strategi Perancangan Kebijakan Umum APBD Untuk
Meningkatkan Kualitas Pembangunan Manusia Di Kabupaten Bogor. Program Pascasarjana IPB. Bogor.
Yoshida, D.F. 2006. Arsitektur Strategik. Solusi Meraih Kemenangan dalam
Dunia yang Senantiasa Berubah. PT. Elex Media Komputindo. Kelompok Gramedia. Jakarta.
123
LAMPIRAN
124
Lampiran 1. Hasil Analisis Statistik Pengaruh Faktor Internal Terhadap Angka Partisipasi Murni
Descriptive Statistics
Mean Std.
Deviation N
Angka Partisipasi Murni
34,8085 24,75418 40
% Ruang Kelas Layak Pakai 2,5005 2,30573 40
% Guru Layak mengajar
88,8108 7,41020 40
% Jumlah Sekolah terakreditasi
62,7675 16,93949 40
Variables Entered/Removed(b)
Model Variables Entered
Variables Removed Method
1 % Jumlah Sekolah terakreditasi, % Guru Layak mengajar, % Ruang Kelas Layak Pakai(a)
. Enter
a All requested variables entered. b Dependent Variable: Angka Partisipasi Murni Model Summary
Model R R
Square
Adjusted R
Square
Std. Error of the
Estimate Change Statistics
R Square Change
F Change df1 df2
Sig. F Change
R Square Change
F Change df1 df2
1 ,728(a) ,530 ,491 17,65591 ,530 13,554 3 36 ,000
a Predictors: (Constant), % Jumlah Sekolah terakreditasi, % Guru Layak mengajar, % Ruang Kelas Layak Pakai
125
Correlations
Angka Partisipas
i Murni % Ruang Kelas
Layak Pakai % Guru Layak
mengajar
% Jumlah Sekolah
terakreditasi
Pearson Correlation
Angka Partisipasi Murni
1,000 ,728 ,139 ,208
% Ruang Kelas Layak Pakai ,728 1,000 ,171 ,253
% Guru Layak mengajar
,139 ,171 1,000 -,193
% Jumlah Sekolah terakreditasi ,208 ,253 -,193 1,000
Sig. (1-tailed) Angka Partisipasi Murni
. ,000 ,196 ,099
% Ruang Kelas Layak Pakai ,000 . ,146 ,058
% Guru Layak mengajar
,196 ,146 . ,116
% Jumlah Sekolah terakreditasi ,099 ,058 ,116 .
N Angka Partisipasi Murni
40 40 40 40
% Ruang Kelas Layak Pakai 40 40 40 40
% Guru Layak mengajar
40 40 40 40
% Jumlah Sekolah terakreditasi 40 40 40 40
ANOVA(b)
Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.
1 Regression 12675,679 3 4225,226 13,554 ,000(a)
Residual 11222,323 36 311,731
Total 23898,001 39
a Predictors: (Constant), % Jumlah Sekolah terakreditasi, % Guru Layak mengajar, % Ruang Kelas Layak Pakai b Dependent Variable: Angka Partisipasi Murni
126
Coefficients(a)
Model Unstandardized
Coefficients
Standardized
Coefficients t Sig. Correlations
Collinearity Statistics
B Std. Error Beta Zero-order Partial Part
Tolerance VIF B
Std. Error
1 (Constant) 5,984 39,053 ,153 ,879
% Ruang Kelas Layak Pakai 7,685 1,303 ,716 5,900 ,000 ,728 ,701 ,674 ,886 1,129
% Guru Layak mengajar
,076 ,400 ,023 ,191 ,850 ,139 ,032 ,022 ,911 1,097
% Jumlah Sekolah terakreditasi
,045 ,178 ,031 ,254 ,801 ,208 ,042 ,029 ,878 1,138
a Dependent Variable: Angka Partisipasi Murni
Collinearity Diagnostics(a)
Model Dimension Eigenvalue Condition
Index Variance Proportions
(Constant)
% Ruang Kelas Layak
Pakai
% Guru Layak
mengajar
% Jumlah Sekolah
terakreditasi (Constant)
% Ruang Kelas Layak
Pakai
1 1 3,595 1,000 ,00 ,02 ,00 ,00
2 ,354 3,185 ,00 ,90 ,00 ,01
3 ,048 8,648 ,01 ,02 ,03 ,83
4 ,003 35,685 ,99 ,05 ,97 ,16
a Dependent Variable: Angka Partisipasi Murni
127
Lampiran 2. Hasil Analisis Regresi Logistik Biner untuk Faktor Kondisi Masyarakat
Case Processing Summary
Unweighted Cases(a) N Percent
Selected Cases Included in Analysis 60 100,0
Missing Cases 0 ,0
Total 60 100,0
Unselected Cases 0 ,0
Total 60 100,0
a If weight is in effect, see classification table for the total number of cases. Dependent Variable Encoding
Original Value Internal Value
tidak bersekolah 0
bersekolah 1
Categorical Variables Codings
Frequency Parameter
coding
(1) (1)
Jenis kelamin laki-laki 25 ,000
perempuan 35 1,000
Pendidikan orang tua SD ke bawah 29 ,000
SMP ke atas 31 1,000
Minat anak bersekolah tidak berminat 3 ,000
berminat 57 1,000
Penghasilan orang tua di bawah UMK 22 ,000
di atas UMK 38 1,000
Iteration History(a,b,c)
Iteration -2 Log
likelihood Coefficients
Constant Constant
Step 0 1 74,936 ,733
2 74,920 ,769
3 74,920 ,769
a Constant is included in the model. b Initial -2 Log Likelihood: 74,920 c Estimation terminated at iteration number 3 because parameter estimates changed by less than ,001.
128
Classification Table(a,b)
Observed Predicted
Partisipasi Sekolah Percentage
Correct
tidak
bersekolah bersekolah tidak
bersekolah
Step 0 Partisipasi Sekolah tidak bersekolah 0 19 ,0
bersekolah 0 41 100,0
Overall Percentage 68,3
a Constant is included in the model. b The cut value is ,500 Variables in the Equation
B S.E. Wald df Sig. Exp(B)
Lower Upper Lower Upper Lower Upper
Step 0 Constant ,769 ,278 7,680 1 ,006 2,158
Variables not in the Equation
Score df Sig.
Step 0 Variables X1(1) 8,403 1 ,004
X2(1) 18,845 1 ,000
X3(1) 6,814 1 ,009
X4(1) ,266 1 ,606
Overall Statistics 25,458 4 ,000
129
Iteration History(a,b,c,d)
Iteration -2 Log
likelihood Coefficients
Constant X1(1) X2(1) X3(1) X4(1) Constant
Step 1 1 49,433 -3,082 ,680 1,707 2,598 ,059
2 45,531 -4,736 ,829 2,533 4,190 ,035
3 44,807 -6,161 ,845 3,040 5,612 ,016
4 44,705 -7,333 ,838 3,210 6,785 ,015
5 44,680 -8,361 ,837 3,226 7,812 ,015
6 44,671 -9,366 ,837 3,227 8,818 ,015
7 44,668 -10,368 ,837 3,227 9,820 ,015
8 44,666 -11,369 ,837 3,227 10,820 ,015
9 44,666 -12,369 ,837 3,227 11,821 ,015
10 44,666 -13,369 ,837 3,227 12,821 ,015
11 44,666 -14,369 ,837 3,227 13,821 ,015
12 44,666 -15,369 ,837 3,227 14,821 ,015
13 44,666 -16,369 ,837 3,227 15,821 ,015
14 44,666 -17,369 ,837 3,227 16,821 ,015
15 44,666 -18,369 ,837 3,227 17,821 ,015
16 44,666 -19,369 ,837 3,227 18,821 ,015
17 44,666 -20,369 ,837 3,227 19,821 ,015
18 44,666 -21,369 ,837 3,227 20,821 ,015
19 44,666 -22,369 ,837 3,227 21,821 ,015
20 44,666 -23,369 ,837 3,227 22,821 ,015
a Method: Enter b Constant is included in the model. c Initial -2 Log Likelihood: 74,920 d Estimation terminated at iteration number 20 because maximum iterations has been reached. Final solution cannot be found. Omnibus Tests of Model Coefficients
Chi-square df Sig.
Step 1 Step 30,254 4 ,000
Block 30,254 4 ,000
Model 30,254 4 ,000
Model Summary
Step -2 Log
likelihood Cox & Snell R Square
Nagelkerke R Square
1 44,666(a) ,396 ,555
a Estimation terminated at iteration number 20 because maximum iterations has been reached. Final solution cannot be found.
130
Hosmer and Lemeshow Test
Step Chi-square df Sig.
1 3,953 5 ,556
Contingency Table for Hosmer and Lemeshow Test
Partisipasi Sekolah = tidak bersekolah
Partisipasi Sekolah = bersekolah Total
Observed Expected Observed Expected Observed
Step 1 1 3 3,000 0 ,000 3
2 6 5,704 3 3,296 9
3 4 5,042 4 2,958 8
4 5 4,254 5 5,746 10
5 1 ,254 3 3,746 4
6 0 ,376 13 12,624 13
7 0 ,370 13 12,630 13
Classification Table(a)
Observed Predicted
Partisipasi Sekolah Percentage
Correct
tidak
bersekolah bersekolah tidak
bersekolah
Step 1
Partisipasi Sekolah
tidak bersekolah 13 6 68,4
bersekolah 7 34 82,9
Overall Percentage 78,3
a The cut value is ,500 Variables in the Equation
B S.E. Wald df Sig. Exp(B) 95,0% C.I.for EXP(B)
Lower Upper Lower Uppe
r Lowe
r Upper Lower Upper
Step 1(a)
X1(1) ,837 ,797 1,103 1 ,294 2,309 ,484 11,005
X2(1) 3,227 1,135 8,084 1 ,004 25,193 2,725 232,949
X3(1) 22,821
21582,180
,000 1 ,999 8145881560,
093 ,000 .
X4(1) ,015 ,777 ,000 1 ,985 1,015 ,221 4,654
Constant -23,369
21582,180
,000 1 ,999 ,000
a Variable(s) entered on step 1: X1, X2, X3, X4.
131
Correlation Matrix
Constant X1(1) X2(1) X3(1) X4(1)
Step 1 Constant 1,000 ,000 ,000 -1,000 ,000
X1(1) ,000 1,000 -,267 ,000 -,260
X2(1) ,000 -,267 1,000 ,000 ,094
X3(1) -1,000 ,000 ,000 1,000 ,000
X4(1) ,000 -,260 ,094 ,000 1,000
132
Lampiran 3. Hasil Analisis Statistik Logistik Biner Pengaruh Karakteristik Lingkungan terhadap Partisipasi Sekolah
Case Processing Summary
Unweighted Cases(a) N Percent
Selected Cases Included in Analysis 60 100,0
Missing Cases 0 ,0
Total 60 100,0
Unselected Cases 0 ,0
Total 60 100,0
a If weight is in effect, see classification table for the total number of cases. Dependent Variable Encoding
Original Value Internal Value
tidak bersekolah 0
Bersekolah 1
Categorical Variables Codings
Frequency Parameter coding
(1) (2) (1)
Karakteristik Wilayah
pertanian 20 ,000 ,000
Perdagangan/jasa 20 1,000 ,000
Industri 20 ,000 1,000
Iteration History(a,b,c)
Iteration -2 Log
likelihood Coefficients
Constant Constant
Step 0 1 74,936 ,733
2 74,920 ,769
3 74,920 ,769
a Constant is included in the model. b Initial -2 Log Likelihood: 74,920 c Estimation terminated at iteration number 3 because parameter estimates changed by less than ,001.
133
Classification Table(a,b)
Observed Predicted
Partisipasi Sekolah Percentage
Correct
tidak
bersekolah Bersekolah tidak
bersekolah
Step 0 Partisipasi Sekolah tidak bersekolah 0 19 ,0
Bersekolah 0 41 100,0
Overall Percentage 68,3
a Constant is included in the model. b The cut value is ,500 Variables in the Equation
B S.E. Wald df Sig. Exp(B)
Lower Upper Lower Upper Lower Upper
Step 0 Constant ,769 ,278 7,680 1 ,006 2,158
Variables not in the Equation
Score df Sig.
Step 0 Variables X 9,397 2 ,009
X(1) 6,508 1 ,011
X(2) ,039 1 ,844
Overall Statistics 9,397 2 ,009
Iteration History(a,b,c,d)
Iteration -2 Log
likelihood Coefficients
Constant X(1) X(2) Constant
Step 1 1 65,726 -,200 1,800 1,000
2 64,986 -,201 2,287 1,048
3 64,963 -,201 2,393 1,048
4 64,963 -,201 2,398 1,048
5 64,963 -,201 2,398 1,048
a Method: Enter b Constant is included in the model. c Initial -2 Log Likelihood: 74,920 d Estimation terminated at iteration number 5 because parameter estimates changed by less than ,001.
134
Omnibus Tests of Model Coefficients
Chi-square df Sig.
Step 1 Step 9,956 2 ,007
Block 9,956 2 ,007
Model 9,956 2 ,007
Model Summary
Step -2 Log
likelihood Cox & Snell R Square
Nagelkerke R Square
1 64,963(a) ,153 ,214
a Estimation terminated at iteration number 5 because parameter estimates changed by less than ,001. Hosmer and Lemeshow Test
Step Chi-square df Sig.
1 ,000 1 1,000
Contingency Table for Hosmer and Lemeshow Test
Partisipasi Sekolah = tidak bersekolah
Partisipasi Sekolah = Bersekolah Total
Observed Expected Observed Expected Observed
Step 1 1 11 11,000 9 9,000 20
2 6 6,000 14 14,000 20
3 2 2,000 18 18,000 20
Classification Table(a)
Observed Predicted
Partisipasi Sekolah Percentage
Correct
tidak
bersekolah Bersekolah tidak
bersekolah
Step 1 Partisipasi Sekolah tidak bersekolah
11 8 57,9
Bersekolah 9 32 78,0
Overall Percentage 71,7
a The cut value is ,500
135
Variables in the Equation
B S.E. Wald df Sig. Exp(B) 95,0% C.I.for EXP(B)
Lower Upper Lower Upper Lower Upper Lower Upper
Step 1(a)
X 8,022 2 ,018
X(1) 2,398 ,870 7,590 1 ,006 11,000 1,998 60,572
X(2) 1,048 ,663 2,495 1 ,114 2,852 ,777 10,467
Constant -,201 ,449 ,199 1 ,655 ,818
a Variable(s) entered on step 1: X. Correlation Matrix
Constant X(1) X(2)
Step 1 Constant 1,000 -,516 -,678
X(1) -,516 1,000 ,350
X(2) -,678 ,350 1,000