strategi pengembangan mutu pesantreneprints.ums.ac.id/18935/8/10-naskah_publikasi.pdf · pesantren...
TRANSCRIPT
1
STRATEGI PENGEMBANGAN MUTU PESANTREN
(STUDI KASUS DI PESANTREN AL-IRSYAD, TENGARAN KAB. SEMARANG)
NASKAH PUBLIKASI
Diajukan Kepada
Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Dalam Mendapatkan Gelar
Magister Manajemen Pendidikan
O l e h :
FITYAN AMALI
NIM: Q.100.040.032
PROGRAM PASCA SARJANA MAGISTER MANAJEMEN PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
TAHUN 2012
2
NASKAH PUBLIKASI
STRATEGI PENGEMBANGAN MUTU PESANTREN
(STUDI KASUS DI PESANTREN AL-IRSYAD, TENGARAN KAB. SEMARANG)
Telah Disetujui Oleh:
Dosen Pembimbing
Prof. Dr. Bambang Setiaji
Dosen Pembimbing
Dr. Syamsul Hidayat, MA
PROGRAM PASCA SARJANA MAGISTER MANAJEMEN PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
TAHUN 2012
1
STRATEGI PENGEMBANGAN MUTU PESANTREN
(STUDI KASUS DI PESANTREN AL-IRSYAD, TENGARAN KAB. SEMARANG)
FITYAN AMALI
Abstract
Fityan Amali. Q.100.040.032 Quality Development Strategy Pesantren (Case
Studies in Islamic boarding school al-irsyad, Butuh-Tengaran, district Semarang).
Thesis. Surakarta: Post Graduate Education Management Muhammadiyah
University of Surakarta, 2012
This study aims at describing the strategy of developing Islamic boarding
school quality, in particular the quality of education in Islamic boarding school al-
irsyad, seen from three major perspectives that each perspective consists of
several points. The first perspective, is the implementation of the strategy of
developing quality in Islamic boarding school of Al-Irsyad, which consit of
several subjects, among others: Thuruq Tadris, Tathbiq Tadris, practice of
preaching, apprenticeship in teaching (wiyata bakti), weekly seminar, practicing
Arabic, and additional lesson to face national exam. Second perspective, the
capability of managing Islamic boarding school in planning, coordinating,
applying, controlling, and evaluating the concept of Total Quality Management.
Third perspective is the connection between the process of teaching, learning,
TQM, and the achievement of school academically as well as non academically.
The latter perspective consists of the additional lesson to face national exam,
subject thuruq tadris and tathbiq tadris, practicing preaching, apprenticeship in
teaching, and practicing Arabic. The research conducted in Al-Irsyad Islamic
Boarding School, Butuh-Tengaran, Semarang. The research used qualitative
approach. The object of research was who‟s incharge of teaching, several
supervisors incharge of TQM, several teachers and several students doing
apprentice in to the Islamic Boarding School. Data collection techniques used
were observation, interviews and document analysis. Of the three dimensions
above, have been analyzed it according to the experts in their fieldtheory, and
success it can be felt by learners. This too can be proven and view by the author,
either in terms of academic and non academic.
Keywords: Quality Development Strategy, The Quality of Education, Islamic
Boarding School, Al-Irsyad, Total Quality Management, management.
Pendahuluan
Di era globalisasi ini persaingan bukan hanya hak monopoli bidang
ekonomi saja, di bidang pendidikan pun persaingan tak bisa terelakkan.
Masyarakat atau orang tua siswa, merupakan „pelanggan‟ setia dari „jasa institusi
2
pendidikan‟ yang harus diperhatikan karena sebagian besar animo masyarakat,
khususnya yang tinggal di kota dan sekitarnya, sudah bisa berfikir secara rasional
mana yang bagus dan yang tidak. Permasalahan kualitas pendidikan untuk saat
sekarang ini, sudah menjadi pembicaraan dihampir banyak kesempatan, bahkan
sudah banyak dibahas di berbagai pertemuan. Adanya beberapa kali perubahan
sistem pendidikan nasional ke arah yang lebih baik, dari sistem yang satu ke
sistem yang lainnya, menandakan adanya itikad baik pemerintah terhadap mutu
pendidikan. Dengan kata lain untuk meningkatkan mutu sekolah, pemerintah
kembali berusaha mengintervensi manajemen sekolah (lihat Syafaruddin, 2002:
16). Hal ini dilakukan untuk menemukan formulasi pendidikan atau pembelajaran
yang bisa menonjolkan kualitas, yang berujung pada pembentukan sumber daya
manusia berkualitas.
Melihat tujuan pendidikan nasional dalam UU Sisdiknas No. 20 Tahun
2003 yang bunyinya: “….. bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik
agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab”, maka pendidikan dengan
sistem pesantren, seharusnya lebih mudah untuk membawa para peserta didik
pada tujuan di atas. Tapi mengapa hingga saat ini, anggapan miring tentang mutu
pesantren masih saja belum turun. Menyadari akan adanya beberapa kelemahan
dalam dunia pesantren khususnya dalam permasalahan mutu pendidikan, penulis
berusaha untuk mengangkat permasalahan ini sehingga bisa ditemukan rumusan
atau strategi jitu dalam pengembangan mutu pendidikan di pesantren.
Ada beberapa faktor, minimalnya tiga faktor, yang bisa mendukung
terjadinya penerapan langkah-langkah pengembangan mutu pendidikan di
Pesantren Islam Al-Irsyad yang berlokasi di Kabupaten Semarang. Pertama,
kesadaran semua komponen Pesantren terhadap pentingnya mutu dengan cara
mendalami konsep manajemen mutu terpadu (Total Quality Management), karena
manajemen ini sangat mendasari bahkan menjadi pondasi bagi perubahan
selanjutnya seperti KBK dan MBS. Kedua, kesadaran pengurus pesantren
terhadap pentingnya manajemen pendidikan yang bisa mewujudkan tujuan
3
pendidikan. Ketiga, kesadaran yang tinggi dari kepala sekolah, para guru, dan staf
untuk mempersiapkan peserta didiknya atau outputnya agar bisa memuaskan
pelanggan, unggul, mampu bersaing, dan diterima pangsa pasar dengan tidak
melupakan IQ, EQ, dan SQ.
Momigliano (1967) dalam Salusu (2006: 85), menjelaskan bahwa istilah
strategy berasal dari kata Yunani strategos, atau strategus dengan kata jamak
strategi. Strategos berarti jenderal tetapi dalam Yunani Kuno sering berarti
perwira negara (state officer) dengan fungsi luas.
Disebutkan Barry dalam Tedjo Tripomo (2005: 17), “Strategy is plan of
what an organization intends to be in the future an how it will get there”. Dengan
kata lain bahwa strategi adalah rencana tentang apa yang ingin dicapai atau
hendak -menjadi- apa suatu organisasi di masa depan (arah) dan bagaimana cara
mencapai keadaan yang diinginkan tersebut (rute).
Atau dengan kata lain, strategi adalah sebuah rencana matang yang
komprehensif, yang mengintegrasikan segala resources dan capabilities yang
mempunyai tujuan jangka panjang untuk memenangkan kompetisi. Jadi strategi
yang sudah dirumuskan bersama melalui pengamatan panjang dengan
memasukkan unsur-unsur penunjang, seperti memahami kekuatan dan kelemahan
internal serta mengetahui kesempatan bagus dan ancaman yang bisa meruntuhkan
harapan, dapat dijadikan pegangan untuk bekerja, berjuang, dan berbuat guna
memenangkan kompetisi.
Namun demikian, menurut Angelica Low (2003: 5), “Tidak ada alat yang
terbaik untuk merumuskan strategi, kecuali bergantung kepada variabel-variabel
situasional”. Itu artinya bahwa strategi pengembangan tidak bersifat saklek dan
baku. Kemungkinan rumusan strategi yang sudah dirembukkan bersama bisa
dijadikan acuan dengan kesepakatan bahwa pelaksanaannya, misalnya, maksimal
sampai 5 tahun atau di bawah itu. Perkataan Low selaras dengan prinsip Sun Tzu
dalam The Art of War Sun Tzu yang dijadikan bahasan utama dalam bukunya.
Sun Tzu menggunakan air sebagai metafor untuk menggambarkan sikap ini:
Seperti air yang mengalir sesuai dengan permukaannya, seorang prajurit
mendapatkan kemenangan karena menyesuaikan dengan musuh yang
4
dihadapinya. Seperti air yang bentuknya tidak tetap, begitu juga dalam
perang tidak ada kondisi yang pasti. Sehingga, seseorang yang merubah
taktiknya sesuai situasi musuh akan mendapatkan kemenangan dan bisa
dikenal sebagai komandan sejati.
Melihat beberapa definisi strategi di atas dan konsekuensinya, nampaknya
strategi pengembangan mutu pendidikan di Pesantren Islam Al-Irsyad, Tengaran
(selanjutnya disingkat PIA), akan menggunakan analisis SWOT (Strength,
Weaknesses, Opportunities, dan Treats) sebagai salah satu alat utama dalam
pengukuran pencapaian tujuan. Pengurus PIA akan mampu mencapai tujuan yang
ditetapkan ketika, meminjam istilah Sabar (2004: 12), kekuatan melebihi
kelemahan serta mampu mengeksploitasi peluang dan mengeliminir tantangan.
Sedangkan landasan teori untuk mutu, sebagaimana didefinisikan oleh
Goetsch dan Davis (Tjiptono & Anastasia, 2003: 4) “Kualitas merupakan suatu
kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa, manusia, proses, dan
lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan”
Joseph C. Field dalam Syafaruddin (2002: 82), menjelaskan, “Mutu
diartikan sebagai ukuran dari produk atau kinerja pelayanan terhadap satu
spesifikasi pada satu titik tertentu”. Dalam kontek ini, mutu pendidikan berarti
seorang siswa yang telah mencapai salah satu tujuan dari kurikulum (objectives of
curriculum).
Kajian penelitian terdahulu yang berbicara sekitar masalah pengembangan
mutu pesantren, menurut hemat penulis masih jarang, terkhusus pembicaraan
yang menekankan pada aspek manajemen yang menonjolkan perencanaan,
pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi. Pembicaraan tentang pengembangan
mutu pesantren, khususnya adalah pendidikan, sudah masuk ke dalam ranah
pesantren modern atau pesantren yang beritikad perubahan.
Penelitian ini difokuskan pada bagaimana pengelola Pesantren Islam Al-
Irsyad, Tengaran Kab. Semarang menerapkan dan mengimplementasikan strategi
pengembangan mutu pendidikan. Dan fokus ini terbagi pada tiga sub penting,
yaitu; (1) Bagaimanakah implementasi Strategi Pengembangan Mutu di Pesantren
Islam Al-Irsyad, Tengaran Kab. Semarang; (2) Bagaimanakah kemampuan
pengelola pesantren dalam menyusun rencana, mengkoordinasikan,
5
melaksanakan, mengawasi, dan mengevaluasi penyelenggaraan konsep Total
Quality Management (TQM); (3) Bagaimanakah keterkaitan proses pembelajaran
dan konsep TQM sebagai salah satu strategi pengembangan mutu yang dilakukan
pengelola pesantren dengan prestasi sekolah yang unggul dari sisi akademik atau
non akademik.
Tujuan penelitian ini adalah (1) untuk mendeskripsikan secara
komprehensif tentang implementasi pengurus Pesantren dalam menerapkan
strategi pengembangan mutu pendidikan; (2) Untuk mendeskripsikan kesiapan
pengelola Pesantren dalam menyusun rencana, mengkoordinasikan,
melaksanakan, mengawasi, dan mengevaluasi penyelenggaraan konsep Total
Quality Management (TQM); (3) Untuk mendeskripsikan keterkaitan proses
pembelajaran dan konsep TQM sebagai salah satu strategi pengembangan mutu
yang dilakukan pengelola pesantren dengan prestasi sekolah yang unggul dari sisi
akademik atau non akademik.
Manfaat praktis penelitian ini diharapkan dapat memperkaya bahan kajian,
sekaligus memberi sumbangan pada diskursus manajemen pendidikan. Juga
sebagai bahan masukan bagi institusi-institusi sekolah yang menggunakan sistem
pesantren atau boarding school, untuk peneliti lain, dan bagi pengembangan ilmu
pengetahuan, khususnya disiplin ilmu yang memfokuskan pada manajemen
pendidikan, sebagai data dasar yang dapat digunakan untuk penelitian lebih lanjut.
Metode Penelitian
Penelitian ini mengambil lokasi di sebuah lembaga pendidikan Islam
bernuansa boarding school yang menerapkan pengawasan terhadap aktifitas
peserta didiknya selama 24 jam, yaitu Pesantren Islam Al-Irsyad yang terletak di
Dusun Gintungan, Desa Butuh, Kecamatan Tengaran, Kabupaten Semarang.
Penelitian ini merupakan studi kualitatif yang akan mencoba melakukan
rekonstruksi sejernih-jernihnya realitas yang penuh makna. Secara deskriptif-
analitis penelitian nanti berusaha menggambarkan perilaku subyek yang diteliti
dengan segenap kekayaaan nuansanya sebagaimana adanya.
6
Sumber data dalam penelitian ini adalah para guru, siswa, peristiwa dan
tingkah laku, dokumen dan arsip, serta berbagai benda lain. Sementara Lofland
dan Lofland (dalam Moleong, 2005: 157) menyebut bahwa sumber data utama
adalah kata-kata dan tindakan, selebihnya merupakan data tambahan seperti
dokumen dan lain-lain.
Teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini
adalah wawancara, observasi, dan pencatatan isi dokumen. Wawancara dilakukan
secara mendalam (in-depth interviewing), guna memperoleh kedalaman informasi.
Selain itu dilakukan tidak secara informan, agar dalam wawancara ini
memperoleh hasil yang diharapkan, diciptakan hubungan yang baik antara peneliti
dengan informasi.
Observasi dilakukan secara langsung, terfokus, dan selektif. Observasi ini
untuk mengamati peristiwa kegiatan belajar mengajar, lingkungan sekolah
maupun lingkungan kerja.
Pengolahan dan analisis data dilakukan secara bertahap, seiring dengan
muncul dan berkembangnya masukan informasi dari subyek penelitian, sepanjang
tidak menyimpang dari fokus penelitian. Analisis akan berakhir jika diperoleh
kesimpulan yang dapat dipertanggungjawabkan berdasarkan informasi yang
mencukupi untuk menjawab pertanyaan penelitian secara akurat.
Data dan informasi yang diperoleh dari subyek penelitian baik yang dicatat
melalui alat rekam maupun alat tulis, kemudian diklasifikasikan berdasarkan
aspek-aspek pokok yang menjadi fokus penelitian.
Hasil Penelitian
Dalam pembahasan ini disajikan hasil penelitian sebagai jawaban atas
permasalahan yang dikemukakan pada pendahuluan. Hasil temuan tersebut,
adalah sebagai berikut: Pertama adalah implementasi strategi pengembangan
mutu di Pesantren Islam Al-Irsyad. Ada beberapa langkah strategi yang dijalankan
pesantren untuk mengembangkan mutu peserta didiknya sehingga diharapkan visi
misi pesantren dapat tercapai. Langkah-langkah strategi itu adalah sebagai
berikut: (1) Adanya pembelajaran mapel Thuruq Tadris dan mapel Tathbiq
7
Tadris. Thuruq Tadris, adalah mapel yang menjelaskan tentang etika dan tata cara
guru mengajar. Mapel ini dipelajari oleh siswa kelas XI yang duduk di jenjang
I‟dad Mu‟allimin. Sedangkan Tathbiq Tadris, adalah praktek mengajar yang
diharuskan bagi siswa kelas XII. (2). Praktek Dakwah. Program praktek dakwah
yang biasa berjalan setiap hari Kamis siang dan Jum‟at ini, ditekankan kepada
siswa kelas XI dan XII. (3). Pengabdian Mengajar (wiyata bakti). Pengabdian
mengajar, atau yang diistilahkan pesantren dengan kata Khidmah, adalah program
terakhir pesantren yang harus dijalankan santrinya. Program pengembangan mutu
ini, mulai dilaksanakan setelah santri lulus dan sebelum dibagikan ijazah. Calon-
calon pengajar ini, ada yang dikirim ke beberapa lembaga pendidikan dan dakwah
yang tersebar di wilayah Indonesia. (4) Muhadharah Usbu'iyyah. Istilah yang
kerap dikenal oleh santri pesantren dengan istilah latihan ceramah mingguan ini,
adalah program unggulan pesantren yang harus diikuti oleh semua jenjang. (5).
Tathbiq 'Arabiyah. Salah satu misi pesantren yang paling dikedepankan, adalah
santri mampu untuk menguasai bahasa Arab secara aktif. Maka tathbiq ‘arabiyah,
atau praktek menggunakan bahasa Arab dalam komunikasi sehari-hari, adalah
merupakan keharusan bagi santri Pesantren Islam Al-Irsyad. (6) Les/Pemantapan
Mapel UAN. Untuk mensiasati keberhasilan siswa dalam menghadapi ujian
nasional, Pesantren Islam Al-Irsyad, begitu juga lembaga pendidikan formal
lainnya, selalu melakukan upaya pendalaman materi-materi yang diujikan
tersebut. Les, atau pemantapan mapel yang di-UAN-kan, yang dilakukan
pesantren, berkisar seputar latihan terhadap soal-soal tahun lalu, mengerjakan
soal-soal yang diprediksi keluar, lalu membahasnya secara bersama-sama.
Kedua adalah kemampuan pengelola pesantren dalam menyusun rencana,
mengkoordinasikan, melaksanakan, mengawasi, dan mengevaluasi
penyelenggaraan konsep Total Quality Management. Walaupun pelaksanaan
konsep ini masih sangat sederhana, dengan kata lain masih banyak penyesuaian
dengan dunia pesantren, namun penekanannya harus sering diulang demi
membangkitkan kesadaran semua lini akan pentingnya manajemen mutu secara
terpadu. Lebih jauh pengelolaan pesantren terhadap konsep ini adalah sebagai
berikut: (1) Penyusunan Rencana Konsep TQM. Penyusunan rencana untuk
8
pengembangan mutu, selama ini masih menjalankan program-program yang
sudah ada. Terkadang pula, proses penyusunan rencana untuk pengembangan
mutu muncul secara spontan dari beberapa guru ketika berkumpul dalam suasana
yang tidak formal, lalu ditindaklanjuti. Dan terkadang pula, ketika pesantren akan
memasuki tahun pelajaran baru, para kabid pengajaran dengan dibantu kabid
lainnya, berkumpul guna merumuskan strategi tentang program unggulan dan
pelayanan apa saja yang menjadi target utama pada tahun berikutnya. Kemudian
butir-butir kesepakatan tersebut, yang nota bene adalah perencanaan untuk satu
tahun ke depan, dipresentasikan di hadapan rapat pleno pada permulaan tahun
pelajaran baru. (2). Koordinasi Program Pengembangan Mutu. Pada awalnya,
tiap-tiap jenjang pengajaran yang ada di pesantren memiliki satu hari diwaktu
siang yang digunakan untuk rapat rutin membahas seputar program, evaluasi, dan
isu-isu pendidikan, lalu pesantren menentukan satu hari yang menjadi hari
kumpulnya para guru sesuai dengan jenjangnya masing-masing, yaitu hari Selasa
siang. (3). Pelaksanaan Program. Setelah adanya koordinasi yang baik antara
kepala, dalam hal ini kabid pengajaran, dengan guru yang menjadi penanggung
jawab program, maka program harus dijalankan sesuai rencana. Pelaksanaan
program pengembangan mutu, kenyataannya harus melihat juga pada tempat
tinggal sang guru, di dalam komplek pesantren ataukah di luar. Adapun
pelaksanaan program pengembangan mutu yang bersifat memperkuat tercapainya
visi misi pesantren secara khusus, dilaksanakan diluar jam pelajaran aktif seperti
malam hari atau pagi. Pelaksanaan ini harus melibatkan seluruh santri dan tidak
ada pengecualian, dengan penanggung jawab pelaksanaannya dipegang oleh seksi
atau bagian yang terstruktur dengan struktur organisasi pesantren. (4).
Pengawasan. Dijenjang Mutawasithah, juga pada jenjang lainnya, proses
pengawasan dari pelaksanaan sebuah program pengembangan mutu, dipegang
oleh wali kelas, yang nantinya melaporkan perkembangannnya kepada kabid
pengajaran. Terkadang, dan ini tidak rutin, kabidpun ikut mengontrol dan
mengawasi proses pelaksanaan program tersebut. (5). Evaluasi. Salah satu bentuk
evaluasi di lapangan adalah langkah wali kelas yang menanyakan kepada santri-
santrinya tentang keberhasilan program pengembangan mutu yang sudah
9
dijalankan dan efek yang bisa dirasakan oleh mereka, apakah ada perubahan
ataukah tidak. Maka hasil dari dialog yang tidak lain adalah evaluasi itu sendiri,
akan dihadapkan kepada kabid pengajaran untuk dievaluasi. Bentuk evaluasi
lainnya untuk setiap kepala bidang, dilakukan pada hari Selasa siang selepas
shalat Zhuhur dengan dihadiri personel dari bidangnya masing-masing. Dan rata-
rata agenda pembahasan yang diangkat oleh bidang pengajaran, entah jenjang SD,
jenjang MTW/IL, dan jenjang IM, adalah sama. Pembicaraan berjalan seputar
masalah program pengembangan, absensi siswa, dan evaluasi apa saja yang terkait
dengan siswa.
Ketiga adalah keterkaitan proses pembelajaran dan konsep Total Quality
Management dengan prestasi sekolah yang unggul dari sisi akademik atau non
akademik. Dari sisi akademik, minimalnya bisa terlihat dari siswa yang lulus tiap
tahunnya. Hal ini banyak dipengaruhi oleh proses pembelajaran yang guru-
gurunya banyak menerapkan metode pengajaran yang beragam. Selain itu,
Les/Pemantapan Mapel UAN juga banyak mempengaruhi kesiapan peserta didik
dalam menghadapi Ujian Nasional. Adapun dari sisi non akademik, kondisi rilnya
hanya bisa dirasakan oleh santri-santri itu sendiri setelah mengenyam program-
program yang mereka jalani di pesantren. Di antara program dan keterkaitannya
dengan prestasi siswa dari sisi non akademik, adalah sebagai berikut: (1) Adanya
mapel Thuruq Tadris dan Tathbiq Tadris. Mapel Thuruq Tadris dan Tathbiq
Tadris, atau yang biasa dikenal dengan ilmu cara-cara mengajar dan praktek
mengajar, merupakan mata pelajaran yang hanya diajarkan pada jenjang I‟dad
Mu‟allimin saja.
Dari pengamatan, sedikitnya kedua disiplin ilmu di atas sangat membantu
para santri khidmah untuk bisa mengajar tanpa canggung selama berwiyata bakti
di pesantren. Gambaran ini tidak jauh berbeda dengan yang diungkapkan,
misalnya oleh Khairul Anwar, “Kita mengetahui bahwa mengajar mempunyai
cara-cara dan tidak harus satu cara dalam mengajar”. Kenyataan di atas ternyata
diamini juga oleh Sufyan Ba‟asyir. (2) Tathbiq 'Arabiyah, Muhadharah
Usbu'iyyah, Praktek Dakwah Lapangan, dan Pengabdian. Keempat program yang
merupakan strategi pengembangan mutu ini, betul-betul menekankan pada
10
pembiasaan. Di antara keterkaitan program-program tersebut dengan prestasi
siswa dari sisi non akademik, adalah sebagaimana dirasakan beberapa santri
berikut. Untuk program Tathbiq „Arabiyah, atau praktek berkomunikasi dengan
bahasa Arab, dirasakan manfaatnya oleh Abdul Sape‟i, “Lidah kita terbiasa
mengucapkan bahasa Arab dan tidak terasa kaku, serta memperkuat daya hafal
kosa kata dan memperkuat pendengaran dan pemahaman dari lawan bicara kita
dengan bahasa Arab”.
Untuk program Muhadharah Usbu‟iyyah, atau biasa disebut dengan
program latihan ceramah mingguan, sebagaimana diungkapkan manfaatnya oleh
oleh Sufyan Ba‟asyir, “Terbiasa dalam penyampaian materi ceramah dan melatih
mental”. Pernyataan ini diperkuat oleh Khairul Anwar, “Muhadharah usbu’iyyah
melatih saya untuk tidak gagap dalam berbicara di depan umum”.
Untuk program Praktek Dakwah, sebagaimana diungkapkan oleh Shidrotul
Muntaha, “Praktek dakwah bisa membuka wawasan umum”. Ditambahkan oleh
Abdullah Mizan, “Membiasakan santri berdakwah di masyarakat, pokoknya
banyak pengalaman”.
Untuk program Pengabdian (khidmah), seperti diungkapkan oleh Dulbasir
yang ketika khidmahnya mengampu mapel Al-Qur`an pada dua jenjang, yaitu
Mutawasithah dan SDITQ, “Dengan adanya khidmah, kita bisa menyalurkan
ilmu”. Ditambahkan oleh Khairul Anwar yang saat khidmah mengajar dijenjang
Mutawasithah, “Kita bisa menerapkan apa yang kita pelajari dari mapel
Thuruqut Tadris sekaligus juga bisa memantapkan ilmu yang kita miliki”.
Pembahasan
Sebagaimana deskripsi pada hasil penelitian, pembahasan atas hasil
penelitian tentang strategi pengembangan mutu di Pesantren Islam Al-Irsyad
meliputi, Pertama, analisa tentang Implementasi Strategi Pengembangan Mutu.
Ada beberapa cakupan dalam implementasi ini, di antaranya adalah: (1) Adanya
pembelajaran mapel Thuruq Tadris dan mapel Tathbiq Tadris. Dalam salah satu
studi, disebutkan, sebagaimana diungkapkan Safar al-Ghamidi dan Abdullah al-
Qa‟id (2006: 2) bahwa ada beberapa unsur yang menjadi komponen keberhasilan
11
seorang pengajar atau pendidik, yaitu menguasai pelajaran yang akan diajarkan,
bersikap baik terhadap siswa, mengikutsertakan siswa ketika mengambil beberapa
kebijakan, kreatif dalam menggubah metode pengajaran, dan berkepribadian kuat
serta cerdas.
Sementara Lozanov dalam Bobbi Deporter dkk (2003: 3) menyatakan
bahwa proses belajar-mengajar adalah fenomena yang kompleks. Segala
sesuatunya berarti -setiap kata, pikiran, tindakan, dan asosiasi- dan sampai sejauh
mana anda menggubah lingkungan, presentasi, dan rancangan pengajaran, sejauh
itu pula proses belajar berlangsung. Dari berbagai rumusan faktor keberhasilan
pengajar di atas, salah satu di antaranya, yaitu metode pengajaran atau yang biasa
dikenal dengan Thuruq Tadris, telah diajarkan kepada peserta didik jenjang I‟dad
Mu‟allimin meskipun dengan porsi yang sederhana. (2) Praktek Dakwah. Tujuan
umum pendidikan Pesantren Islam Al-Irsyad Tengaran, adalah mempersiapkan
para pengajar agama Islam dan bahasa Arab, serta mencetak generasi muslim dan
da‟i yang berkualitas bermanhaj Ahlus Sunnah wal Jama‟ah. Kegiatan yang dapat
dirancang oleh pesantren untuk mencapai tujuan tersebut adalah menciptakan
aktifitas yang memungkinkan santri terbiasa untuk berdakwah sekaligus
mengajar. Hal ini senada dengan yang dinyatakan dalam Al-Qur`an surat Ali
Imran ayat 104. Praktek dakwah santri yang notabene adalah ajang latihan bagi
mereka, merupakan program pesantren yang didesain untuk mendukung kualitas
calon out put nantinya. Hal ini sejalan dengan konsep yang ditekankan oleh
Confusius dalam Roem Topatimasang dkk. (1986: 49) tentang pentingnya arti
belajar dari pengalaman ketika ia menyatakan: “Saya dengar dan saya lupa. Saya
lihat dan saya ingat. Saya lakukan dan saya paham”.
Konsep di atas diperkuat oleh pernyataan Ralp G. Lewis dan Douglas H.
Smith (1996) dalam Syafaruddin (2002: 29). Dijelaskan bahwa mutu terpadu
(total quality) tercakup dalam tiga pengertian, yaitu: mencakup semua proses
(every process), mencakup setiap pekerjaan (every job), dan setiap orang (every
person). (3) Pengabdian Mengajar (Khidmah). Memperhatikan konsep di atas
yang telah diungkapkan oleh Confusius dalam Roem Topatimasang dkk. (1986:
49) tentang pentingnya arti belajar dari pengalaman ketika ia menyatakan: “Saya
12
dengar dan saya lupa. Saya lihat dan saya ingat. Saya lakukan dan saya paham”,
maka ini menjadi argumentasi penting bagi pesantren dalam mengarahkan
outputnya sesuai harapan. Salah satu di antara harapan tersebut adalah mencetak
seorang guru dan da‟i, maka cara untuk menuju cita-cita agung itu adalah
dicanangkannya sebuah program yang bisa dilihat oleh santri supaya mudah
diingat dan bisa dilakukan agar mudah dipahami, bahkan bisa dirasakan dan
diukur sejauh mana kemampuannya ketika berinteraksi. Cara tersebut adalah
pengabdian mengajar.
Program khidmah, dalam banyak hal memiliki banyak kemiripan dengan
program KKN (Kuliah Kerja Nyata) yang ada pada dunia kampus. Dalam banyak
literatur, KKN didefinisikan sebagai suatu bentuk pendidikan yang dapat
memberikan pengalaman belajar kepada mahasiswa untuk hidup di tengah-tengah
masyarakat di luar kampus dan secara langsung mengidentifikasi serta menangani
masalah-masalah pembangunan yang dihadapi.
Sejalan dengan definisi di atas, program khidmah yang dijalankan PIA,
memang bertujuan untuk memberikan pengalaman kepada calon alumninya
bagaimana hidup dan berinteraksi dengan masyarakat di luar pesantren, tanpa
adanya aturan mengikat sebagaimana sebelumnya ketika menjadi santri murni. (4)
Muhadharah Usbu'iyyah. Program Muhadharah Usbu’iyyah adalah satu istilah
yang ada di Pesantren untuk menggambarkan tentang latihan ceramah tiap minggu
yang harus dijalankan oleh semua santri. Latihan secara kontinyu ini diharapkan
bisa menanamkan sikap berani dan percaya diri pada siswa. Meminjam paparan
Rofiq A dkk (2005: 38) yang mengungkapkan bahwa pelatihan ini bermanfaat
dalam pembentukan kepribadian individu, di antaranya membentuk pribadi berani
dan mandiri, yakni pribadi yang senantiasa berani dalam mengambil keputusan
dan mandiri dalam bertindak.
Sementara Ahmad Yani (2005: 15-16) menjelaskan bahwa penyampaian
ajaran Islam secara lisan umumnya dilakukan dengan ceramah, pidato, atau
khotbah, meskipun ada juga dalam bentuk dialog. Untuk bisa berceramah dan
berkhotbah dengan baik, harus ada persiapan. Karena itu diperlukan proses
pembiasaan yang lebih dikenal dengan istilah latihan. (5) Tathbiq 'Arabiyah
13
(Praktek komunikasi dengan bahasa Arab). Pentingnya mempelajari bahasa Arab,
khususnya bagi Pesantren Islam Al-Irsyad, adalah suatu hal yang menjadi
perhatian besar bagi pesantren. Ustadz Nafi Zainuddin, Lc, selaku direktur
pesantren dengan tegas menyatakan bahwa harus ada pelatihan khusus tentang
bahasa Arab yang diperuntukkan bagi semua karyawan, khususnya guru-guru
yang belum bisa, karena ketika mereka mampu berbahasa Arab, sedikit banyak
akan membantu kemampuan santri dalam praktek bahasa Arab.
Pendapat Nafi ini sejalan dengan nilai TQM sebagaimana yang
diungkapkan Victoria Konidari and Yvan Abernot, (2006: 10). Menurut keduanya
bahwa “TQM is the fact that we should focus not only on customers (pupils) but
also to employees.”
Kedua, analisa tentang kemampuan pengelola pesantren dalam menyusun
rencana, mengkoordinasikan, melaksanakan, mengawasi, dan mengevaluasi
penyelenggaraan konsep Total Quality Management (TQM). Adapun rinciannya,
adalah sebagai berikut: (1) Penyusunan Rencana Konsep TQM. Perencanaan
merupakan salah satu fungsi manajemen. Semakin baik perencanaan disusun,
maka hasilnya bisa diperkirakan akan semakin baik pula. Secara definisi,
pengertian ini banyak diungkapkan oleh para pakar dengan kalimat yang berbeda,
namun substansinya memiliki kemiripan dan saling mengisi. Hal ini sebagaimana
yang diungkapkan Malayu S.P. Hasibuan (2005: 92) ketika mengutip beberapa
pakar, di antaranya Harold Koontz dan Cyril O‟Donnel, yang mengatakan:
“Planning is function of a manager which involves the selection from alternatives
of objectives, policies, procedures, and programs.
Intinya, bahwa perencanaan adalah pekerjaan mental untuk memilih
sasaran, kebijakan, prosedur, dan program yang diperlukan untuk mencapai apa
yang diinginkan pada masa yang akan datang. Dan inilah yang terjadi di Pesantren
Islam Al-Irsyad, yaitu ketika pesantren akan memasuki tahun pelajaran baru, para
kabid pengajaran dengan dibantu kabid lainnya, berkumpul guna merumuskan dan
merencanakan strategi tentang program unggulan dan pelayanan apa saja yang
menjadi target utama pada tahun berikutnya. Kemudian butir-butir kesepakatan
tersebut, dipresentasikan di hadapan rapat pleno pada permulaan tahun pelajaran
baru. (2) Koordinasi Program Pengembangan Mutu. Secara arti, makna koordinasi
14
menurut Malayu S.P. Hasibuan (2005: 85), adalah kegiatan mengarahkan,
mengintegrasikan, dan mengkoordinasikan unsur-unsur manajemen dan
pekerjaan-pekerjaan para bawahan dalam mencapai tujuan organisasi.
Definisi lain dari kata koordinasi, diungkapkan juga oleh G.R. Terry,
sebagaimana disebutkan oleh Hasibuan (2005: 85) dengan suatu usaha yang
sinkron dan teratur untuk menyediakan jumlah dan waktu yang tepat, dan
mengarahkan pelaksanaan untuk menghasilkan suatu tindakan yang seragam dan
harmonis pada sasaran yang telah ditentukan.
Lebih lanjut diterangkan Hasibuan (2005: 86), sambil mengutip penjelasan
Awaluddin Djamin, bahwa koordinasi adalah suatu usaha kerja sama antara
badan, instansi, atau unit dalam pelaksanaan tugas-tugas tertentu sedemikian rupa,
sehingga terdapat saling mengisi, saling membantu, dan saling melengkapi.
Dan inilah yang terjadi di Pesantren Islam Al-Irsyad. Ketika pesantren
menghendaki outputnya mampu berkomunikasi dengan menggunakan bahasa
Arab secara aktif, maka jalinan koordinasi lebih banyak bermuara pada bidang
pengajaran dan kesantrian. (3) Pelaksanaan Program. Pelaksanaan dari sebuah
rencana yang telah disusun secara matang merupakan fase yang paling penting
dalam fungsi manajemen. Implementasi, atau pelaksanaan strategi, sebagaimana
yang didefinisikan oleh J. Salusu (2006: 409) adalah seperangkat kegiatan yang
dilakukan menyusul satu keputusan. Suatu keputusan selalu dimaksudkan untuk
mencapai sasaran tertentu. Guna merealisasikan pencapaian sasaran itu,
diperlukan serangkaian aktivitas. Jadi, dapat dikatakan bahwa implementasi
adalah operasionalisasi dari berbagai aktivitas guna mencapai suatu sasaran
tertentu.
Di Pesantren Islam Al-Irsyad, pada banyak program pengembangan mutu,
pelaksanaannya banyak bermuara pada garis bawah. Merekalah yang banyak
memegang peranan penting. Dalam pengembangan mutu bahasa Arab, misalnya,
maka jajaran guru dalam lingkup bidang pengajaranlah yang banyak bersentuhan
dengan siswa. Sedangkan lingkup bidang kesantrian, maka guru yang menjabat
seksi Jam‟iyyah Tholabah (osis) dengan diback-up kuat oleh jajaran osis bagian
bahasa, yang banyak bersinggungan dengan peserta didik.
15
Keadaan ini sejalan dengan yang diisyaratkan oleh J. Salusu (2006: 285)
bahwa pada fase pelaksanaan ini, justru eselon bawahlah yang paling banyak
memegang peranan penting. (4) Pengawasan. Sondang P. Siagian (1995: 257)
menjelaskan bahwa untuk menentukan apakah implementasi strategi terlaksana
sebagaimana mestinya atau tidak, manajemen mutlak perlu melakukan tiga jenis
tindakan, yaitu melakukan pengawasan, membuat penilaian, dan menciptakan
suatu sistem umpan balik yang sifatnya stratejik pula.
Secara definisi, pengawasan adalah keseluruhan upaya pengamatan
pelaksanaan kegiatan operasional guna menjamin bahwa berbagai kegiatan
tersebut sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan sebelumnya. (Sondang P.
Siagian. 1995: 258).
Sedangkan menurut Yayat M. Herjito (2006: 242), pengawasan
(controlling) sebagai elemen atau fungsi keempat manajemen ialah mengamati
dan mengalokasikan dengan tepat penyimpangan-penyimpangan yang terjadi.
Pakar manajemen lainnya, Hadari Nawawi, (2003: 115) menjelaskan
bahwa kontrol diartikan sebagai proses mengukur (measurement) dan menilai
(evaluation) tingkat efektifitas kerja personil dan tingkat efisiensi penggunaan
sarana kerja dalam memberikan kontribusi pada pencapaian tujuan organisasi.
Dan ini pulalah yang terjadi di Pesantren Islam Al-Irsyad. Pengawasan
yang dilakukan oleh para kabid, khususnya kabid pengajaran di SD, MTs, dan
MA, hampir setiap hari mereka lakukan dalam aktifitas kesehariannya. Sehingga
tidak jarang tatkala mereka berkumpul dalam forum formal ataupun non formal
yang digelar dengan beberapa kabid lainnya dan dihadiri oleh mudir pesantren,
hasil pengawasan mereka dilontarkan untuk selanjutnya dibahas. Inilah fungsi
pengawasan yang melekat dalam jabatan para pimpinan sebagaimana diterangkan
Nawawi. (5) Evaluasi. Pupuh Fathurrohman dan M. Sobry Sutikno, (2007: 17),
menjelaskan makna evaluasi, bahwa itu berasal dari bahasa Inggris, yaitu
evaluation. Dalam buku Essential of Educational Evaluation karangan Edwin
Wand & Gerald W. Brown, dikatakan bahwa “Evaluation refer to the act or
process to determining the value of action refer to the value of something”.
16
Evaluasi adalah suatu tindakan atau proses untuk menentukan nilai dari suatu
tindakan atau suatu proses untuk menentukan nilai dari sesuatu.
Dalam prosesnya, evaluasi meliputi beberapa aspek yang harus
diperhatikan. Aspek tersebut adalah sebagaimana diungkapkan Ellyasa, (2004:
60), yaitu aspek substansi, aspek metodologis, dan aspek teknis lainnya. Namun
begitu, yang paling penting dari manfaat evaluasi atau penilaian, adalah
mengetahui sejauh mana hasil yang telah diperoleh dari pelaksanaan program,
khususnya program pengembangan mutu di Pesantren Islam Al-Irsyad. Apakah
sesuai target, ataukah melebihi target yang diharapkan, atau bahkan jauh dari
target alias meleset?. Harapan dari evaluasi ini, diungkapkan juga oleh Sondang P.
Siagian (1995: 262), bahwa dengan penggunaan berbagai instrumen dan teknik
penilaian, para manajer yang melakukan penilaian akan menemukan satu dari tiga
bentuk temuan, yaitu: 1) Hasil yang dicapai melebihi harapan dan target. 2) Hasil
yang dicapai sama dengan harapan dan target. 3) Hasil yang dicapai kurang dari
harapan dan target.
Ketiga, analisa tentang keterkaitan proses pembelajaran dan konsep TQM
dengan prestasi sekolah yang unggul dari sisi akademik atau non akademik.
Prestasi sekolah dari sisi akademik, bisa dilihat dari kelulusan santri tiap tahunnya
yang 100%. Di antara langkah penting yang dijalankan untuk mendongkrak
prestasi dari sisi akademik, adalah adanya Les/Pemantapan Mapel UAN.
Kebanyakan para santri yang diwawancarai mengenai langkah ini,
semuanya menyatakan setuju karena selain untuk menambah pengetahuan, juga
sebagai ajang untuk mengulang kembali pelajaran yang sudah lupa. Demikian
sebagaimana diungkapkan oleh Abdul Sape‟i, “Program pemantapan materi yang
akan di-UAN-kan ini sangat perlu sekali diadakan, karena akan membantu kita”.
Dan tidak kalah pentingnya dari poin-poin strategis di atas, adalah sikap
dan perilaku guru yang berkualitas dalam membimbing dan mengarahkan siswa-
siswanya. Di antara perilaku guru yang berkualitas, adalah sebagaimana ditulis
oleh Mohammad Asrori (2008: 26), menguasai materi pelajaran dengan baik,
mampu mengajar dengan menarik, berperilaku sopan, bertutur kata santun, dan
perilaku lain yang sejenis.
17
Yang jelas, bahwa les atau pemantapan mapel yang diujikan secara
nasional, tidak dilaksanakan pada hari-hari menjelang pelaksanaannya namun
harus jauh-jauh hari dan harus dengan memperbanyak latihan dan praktek.
Apalagi kalau latihan dan praktek yang dilakukan secara berulang-ulang, tentu
akan memberikan keuntungan yang signifikan bagi siswa itu sendiri. Dan inilah
yang ditekankan Sumiati dan Asra (2008: 104), bahwa dalam belajar verbal dan
belajar keterampilan, meningkatkan kemampuan hasil belajar dapat dicapai
melalui latihan dan praktek.
Adapun prestasi unggulan dari sisi non akademik, strategi yang
dijalankannya adalah sebagai berikut: (1) Adanya mapel Thuruq Tadris dan
Tathbiq Tadris. Di antara pakar pendidikan yang memiliki statemen bagus, yang
mengarah pada program mapel di atas, adalah Jeanette Vos dalam Gordon Dryden
(2002: 132). Menurutnya bahwa semakin luas anda mengait-ngaitkan (berbagai
hal) semakin banyak anda belajar. Dan ini terbukti dengan ungkapan yang
dilontarkan oleh Khairul Anwar, tatkala merasakan pengalamannya mempelajari
mapel tersebut. “Kita mengetahui bahwa mengajar mempunyai cara-cara dan
tidak harus satu cara”.
Lebih jauh diungkapkan oleh Silberman (2007: 1-2), yang telah
memodifikasi dan memperluas pernyataan Confucius, menjadi apa yang ia sebut
paham Belajar Aktif. Ungkapan yang dia maksud kurang lebih demikian: What I
hear, I forget. What I hear, see, and ask question about or discuss with someone
else, I begin to understand. What I hear, see, discuss, and do, I acquire knowledge
and skill. What I teach to another, I master.
Konteks terakhir dari pernyataan Silberman, kalau penulis perhatikan lebih
mendalam, benar-benar akan menjadikan siswa memahami dan bahkan menguasai
materi pelajaran yang dia sampaikan, apalagi kalau itu terjadi berulang-ulang. (2)
Tathbiq 'Arabiyah, Muhadharah Usbu'iyyah, Praktek Dakwah, dan
Pengabdian. Keempat program pesantren di atas, semuanya memiliki kesamaan
tujuan. Kesamaan itu adalah membentuk santri agar terbiasa dalam melakukan
hal-hal yang dijadikan target visi misi Pesantren Islam Al-Irsyad.
18
Pembiasaan yang ingin dibentuk pesantren terhadap santrinya, adalah
kebiasaan yang mengandung pengetahuan, keterampilan, dan keinginan,
sebagaimana yang diungkapkan Stephen R. Covey dalam Hernowo (2005: 55).
Dijelaskan Covey bahwa kebiasaan adalah titik pertemuan dari pengetahuan,
keterampilan atau kecakapan, dan keinginan. Lebih lanjut diterangkan bahwa
pengetahuan (knowledge) adalah paradigma teoritis, apa yang harus dilakukan
dan mengapa. Keterampilan (skill) adalah bagaimana melakukannya. Dan
keinginan (desire) adalah motivasi, keinginan untuk melakukannya.
Pengabdian untuk mengajar bermakna memberikan knowledge dan skill,
sebagaimana disimpulkan Smith (1987) yang tertuang dalam Sumiati (2008: 24).
Menurutnya bahwa mengajar adalah menanamkan pengetahuan dan keterampilan.
Ungkapan pakar di atas, memang dirasakan oleh beberapa santri alumni
yang terlibat dengan program pengembangan pesantren, seperti diungkapkan oleh
Khairul Anwar yang menceritakan pengalamannya tentang program Muhadharah
Usbu‟iyah, “Melatih saya untuk tidak gagap dalam berbicara di depan umum”.
Pendapat para pakar di atas, jelas sangat terasa sekali oleh beberapa santri
alumni yang mengenyam seperti program Khidmah atau pengabdian. Dulbasir,
“Dengan adanya khidmah, kita bisa menyalurkan ilmu”. Khairul Anwar, “Bisa
menerapkan mapel Thuruqut Tadris dan memantapkan ilmu”. Sufyan Ba‟asyir,
“Aplikasi dari pelajaran thuruq tadris”. Dan ungkapan lainnya.
Kesimpulan Dan Saran
Dari hasil temuan penelitian tentang strategi pengembangan mutu
Pesantren Islam Al-Irsyad, Butuh-Tengaran, Kabupaten Semarang, dapat
dikemukakan kesimpulan tentang sejumlah dimensi sebagai berikut: Pertama
adalah implementasi strategi pengembangan mutu di Pesantren Islam Al-Irsyad.
Ada beberapa langkah strategi yang dijalankan pesantren untuk mengembangkan
mutu peserta didiknya sehingga diharapkan visi misi pesantren dapat tercapai.
Langkah-langkah strategi itu adalah sebagai berikut: (1) Adanya pembelajaran
mapel Thuruq Tadris dan mapel Tathbiq Tadris, (2) Praktek Dakwah, (3)
Pengabdian Mengajar, (4) Muhadharah Usbu'iyyah, (5) Tathbiq 'Arabiyah, dan
19
(6) Les/Pemantapan Mapel UAN. Dari keenam strategi yang dijalankan ini,
setelah dilakukan analisa data, ternyata berkesesuaian dengan teori-teori yang
banyak diungkapkan oleh para pakar di bidangnya. Bahkan lebih jauh dari itu,
setelah dilakukan wawancara dan pengamatan mendalam, ternyata strategi yang
selama ini dijalankan telah menghasilkan bukti, yaitu mencetak para keluaran
sesuai dengan visi misi yang diharapkan pesantren.
Kedua adalah kemampuan pengelola pesantren dalam menerapkan konsep
Total Quality Management. Konsep tersebut, diperinci menjadi beberapa langkah
berikut, yaitu (1) Penyusunan Rencana Program Pengembangan Mutu, (2)
Koordinasi Program, (3) Pelaksanaan Program, (4) Pengawasan dari pelaksanaan
program, dan (5) Evaluasi. Setelah dianalisa, kelima langkah manajemen yang
telah dijalankan pengelola pesantren, masih terlihat sangat sederhana dan perlu
penajaman serta pemahaman bersama antar semua lini yang ada mengenai lima
konsep tersebut dan pelaksanaannya. Dengan melakukan pengamatan secara
mendalam, proses evaluasi harus lebih ditekankan lagi.
Ketiga adalah keterkaitan proses pembelajaran dan konsep Total Quality
Management dengan prestasi sekolah yang unggul dari sisi akademik atau non
akademik. Dari sisi akademik, secara garis besarnya, santri-santri Pesantren Islam
Al-Irsyad bisa lulus sesuai kriteria yang ditetapkan pesantren dan pemerintah,
juga mendapatkan nilai yang menggembirakan. Adapun dari sisi non akademik,
kondisi rilnya hanya bisa dirasakan oleh santri-santri itu sendiri setelah
mengenyam program-program yang mereka jalani di pesantren. Di antara
program dan keterkaitannya dengan prestasi siswa dari sisi non akademik, adalah
sebagai berikut: (1). Adanya mapel Thuruq Tadris dan Tathbiq Tadris, (2)
Tathbiq 'Arabiyah, Muhadharah Usbu'iyyah, Praktek Dakwah, dan Pengabdian.
Dimensi ketiga inipun, setelah dianalisa, dilakukan wawancara, juga
diamati secara mendalam, program-program yang telah dilakukan pesantren
berkesesuaian dengan teori-teori yang dipaparkan oleh para pakar. Bahkan
prestasi dari sisi non akademik bisa dirasakan langsung oleh siswa alumni.
Dari hasil penelitian ini penulis menyarankan kepada pengelola pesantren,
untuk: (1) Menjalankan sistem pengembangan mutu yang kompak sehingga tidak
20
saling berbenturan antara aktivitas pesantren dan waktu yang digunakan siswa
tatkala menghadapi ujian. (2) Perlunya otonom yang bertanggungjawab terhadap
mutu, yang mengevaluasi langsung tentang sejauh mana mutu yang sudah
dikuasai santri, terutama bagi santri-santri baru dijenjang Mutawasithah dan I'dad
Lughawi, khususnya pada awal-awal pembelajaran dan tidak mendekati ujian
akhir. (3) Kemampuan pesantren dalam melakukan serangkaian langkah-langkah
TQM, perlu digiatkan lebih dalam lagi, seperti dengan mengadakan pelatihan
untuk tim inti atau kabid dalam masalah manajemen mutu terpadu. (4) Perlunya
instrumen yang terencana untuk pengawasan terhadap program kerja yang dilakukan
oleh para pimpinan.
Adapun saran penulis untuk lembaga lain, semisal Depag, karena memang
lembaga inilah yang menaungi pesantren dari sisi hukum, adanya standarisasi
manajemen dalam mengatur roda kehidupan pesantren, terkhusus lagi manajemen
mutu pendidikannya.
Saran penulis untuk peneliti lain, bisa memberikan gambaran dasar tentang
pesantren modern yang menerapkan konsep manajemen, terkhusus penelitian
yang berkaitan dengan Strategi Pengembangan Mutu Pesantren, sehingga dapat
digunakan untuk penelitian lebih lanjut.
21
DAFTAR PUSTAKA
Al-Ghamidi, Safar dan Al-Qo‟id, Abdullah. 2006. Maharat Al-Mu’allim An-
Najih. Saudi Arabia: Mu`assasah Bina` Al-Mustaqbal.
Anwar, Moch. Idochi. 2004. Administrasi Pendidikan dan Manajemen Biaya
Pendidikan. Bandung: Alfabeta.
Asrori, Mohammad, M.Pd, Prof. Dr. 2008. Psikologi Pembelajaran. Bandung: CV
Wacana Prima.
As-Sa‟di, Abdurrahman. 2003. Taisir Al-Karim Ar-Rahman fi Tafsir Kalam Al-
Mannan. Kuwait: Jam‟iyyatu Ihya At-Turots Al-Islami.
Darwis, Ellyasa. 2004. Pengorganisasian Aksi Komunitas & Kuliah Kerja Nyata.
Jakarta: Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam, Ditjen Kelembagaan
Agama Islam, Departemen Agama RI.
Deporter, Bobbi, Mark Reardon, dan Sarah Singer-Nourie. 2003. Quantum
Teaching: Mempraktikkan Quantum Learning di Ruang-Ruang Kelas.
Bandung: Kaifa.
Dryden, Gordon & Vos, Jeannette. 2002. The Learning Revolution: To Change
the Way the Learns. Diterjemahkan dengan judul “Revolusi Cara Belajar:
Belajar Akan Efektif Kalau Anda Dalam Keadaan Fun”. Bandung:
Penerbit Kaifa.
Hasibuan, Malayu S.P, Drs. 2005. Manajemen: Dasar, Pengertian, dan Masalah.
Jakarta: PT Bumi Aksara.
Hernowo. 2005. Menjadi Guru Yang Mau Dan Mampu Mengajar Dengan
Menggunakan Pendekatan Kontekstual. Bandung: Mizan Learning Center
(MLC)
Konidari, Victoria and Abernot, Yvan. (2006). “From TQM to learning
organization. Another way for quality management in educational
institutions”. International Journal of Quality & Reliability Management.
23, (1), 8-26.
Low, Angelica. 2003. Penerapan The Art of War Sun Tzu dalam Strategi
Manajemen. Jakarta: Inovasi.
22
Moleong, Lexy J. 2005. Metodologi Penelitian Kualitatif (Edisi Revisi). Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya.
Muliawan, Jasa Ungguh. 2005. Pendidikan Islam Integratif: Upaya
Mengintegrasikan Kembali Dikotomi Ilmu dan Pendidikan Islam.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Narimo, Sabar. 2004. Manajemen Strategi dalam Sistem Pendidikan Nasional-
Strategi Pengembangan. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta
(UMS).
Salusu, J, M.A. Prof. Dr. 2006. Pengambilan Keputusan Stratejik untuk
Organisasi Publik dan Organisasi Non Profit. Jakarta: PT Grasindo
Siagian, Sondang P, MPA. Prof. Dr. 1995. Manajemen Stratejik. Jakarta: Bumi
Aksara
Silberman, Melvin L.. 2007. Active Learning: 101 Strategi Pembelajaran Aktif.
Yogyakarta: Pustaka Insan Madani
Sumiati dan Asra, M.Ed. 2008. Metode Pembelajaran. Bandung: CV Wacana
Prima
Syafaruddin. 2002. Manajemen Mutu Terpadu dalam Pendidikan: Konsep,
Strategi, dan Aplikasi. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.
Tjiptono, Fandy & Diana, Anastasia, 2003. Total Quality Management,
Yogyakarta: Penerbit Andi.
Topatimasang, Roem dkk. 1986. Belajar dari Pengalaman, Panduan Latihan
Pemandu Pendidikan Orang Dewasa untuk Pengembangan Masyarakat.
Jakarta: Perhimpunan Pengembangan Pesantren & Masyarakat (P3M).
Tripomo, Tedjo, S.T., MT dan Udan, S.T., M.T. 2005. Manajemen Strategi.
Bandung: Rekayasa Sains