strategi pengelolaan

26
BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Pelaksanaan otonomi daerah menimbulkan konsekuensi bertambahnya kewenangan pemerintah daerah sebagai akibat dari pelimpahan urusan (wewenang) yang semula dilakukan oleh pemerintah pusat yang kemidian dialihkan kepada daerah. Salah satu contohnya adalah terjadinya perubahan kewenagngan dalam hal pengelolaan asset Negara (pemerintah) yang semula banyak ditangani oleh pemerintah pusat, maka dengan otonomi daerah, pemerintah daerah akan mendapat pelimpahan kewenangan yang lebih besar untuk melakukan pengelolaan asset Negara (pemerintah). Perubahan tersebut meliputi terjadinya kenaikan jumlah maupun nilai kekayaan negara yang dikuasai pemerintah daerah yang tadinya dimiliki/dikuasai pemerintah pusat.

Upload: dedenikhsan

Post on 29-Jun-2015

443 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: strategi pengelolaan

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Pelaksanaan otonomi daerah menimbulkan konsekuensi bertambahnya kewenangan

pemerintah daerah sebagai akibat dari pelimpahan urusan (wewenang) yang semula dilakukan oleh

pemerintah pusat yang kemidian dialihkan kepada daerah. Salah satu contohnya adalah terjadinya

perubahan kewenagngan dalam hal pengelolaan asset Negara (pemerintah) yang semula banyak

ditangani oleh pemerintah pusat, maka dengan otonomi daerah, pemerintah daerah akan mendapat

pelimpahan kewenangan yang lebih besar untuk melakukan pengelolaan asset Negara (pemerintah).

Perubahan tersebut meliputi terjadinya kenaikan jumlah maupun nilai kekayaan negara yang dikuasai

pemerintah daerah yang tadinya dimiliki/dikuasai pemerintah pusat.

1.2. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang di atas, dalam penulisan makalah ini penulis mengemukakan

rumusan masalah yaitu sebagai berikut :

1. Bagaimana prinsip dasar pengelolaan kekayaan daerah

2. Bagaimana strategi optimalisasi pengelolaan kekayaan daearah

Page 2: strategi pengelolaan

1.3. TUJUAN PENULISAN

Tujuan yang ingin dicapai penulis adalah :

1. Mengetahui prinsip dasar pengelolaan kekayaan daerah.

2. Mengetahui strategi optimalisasi pengelolaan kekayaan daearah.

Page 3: strategi pengelolaan

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1. PENGELOLAAN KEKAYAAN DAERAH

Apakah asset daerah? Terminologi “asset daerah” memiliki makna yang sama dengan Barang

Milik Negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang

Perbendaharaan Negara dan Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang

Milik Negara/Daerah, namun memiliki makna yang lebih sempit dari “kekayaan negara” dalam

terminologi hukum dan mengandung makna yang lebih luas dari “aset tetap“ yang biasa digunakan

dalam terminologi akuntansi. Barang milik daerah adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas

beban APBD atau berasal dari perolehan lainnya yang sah.

Aset atau barang daerah merupakan potensi ekonomi yang dimiliki oleh daerah. Potensi

ekonomi bermakna adanya manfaat finansial dan ekonomi yang bisa diperoleh pada masa yang akan

datang, yang bisa menunjang peran dan fungsi pemerintah daerah sebagai pemberi pelayanan publik

kepada masyarakat. Pemahaman akan aset bisa berbeda antara ilmu perencanaan, manajemen

keuangan, dan akuntansi.

Aset daerah diperoleh dari dua sumber, yakni dari APBD dan dari luar APBD. Secara singkat,

berikut pengertian dan implikasi kedua sumber aset ini:

Page 4: strategi pengelolaan

1. Aset yang bersumber dari pelaksanaan APBD merupakan output/outcome dari

terealisasinya belanja modal dalam satu tahun anggaran. Namun, pengakuan besarnya nilai

aset tidak sama dengan besaran anggaran belanja modal. Penafsiran atas Permendagri

No.13/2006 memang memungkinkan kita menyataan bahwa besaran belanja modal sama

dengan besaran penambahan aset di neraca. Hal ini kurang pas jika neraca dipandang dari

konsep akuntansi, karena penilaian suatu aset haruslah sebesar nilai perolehannya (konsep

full cost). Artinya, seluruh biaya yang dikeluarkan sampai aset tersebut siap digunakan

(ready to use) haruslah dihitung sebagai kos aset bersangkutan. Dalam konsep anggaran

kinerja, biaya yang dikeluarkan adalam semua biaya yang menjadi masukan ( input) dalam

pelaksanaan kegiatan yang menghasilkan aset ini. Dengan demikian, termasuk di dalamnya

belanja pegawai dan belanja barang & jasa, selain dari belanja modal tentunya. Jadi, kos

untuk aset adalah seluruh pengeluaran untuk mencapai outcome.

2. Aset yang bersumber dari luar pelaksanaan APBD. Dalam hal ini, pemerolehan aset tidak

dikarenakan adanya realisasi anggaran daerah, baik anggaran belanja modal maupun

belanaj pegawai dan belanja barang & jasa. Pemda sering menerima aset dari pihak lain,

seperti lembaga donor dan masyarakat. Saat ini, beberapa daerah menerima penambahan

aset yang cukup signifikan dari pihak lain, seperti di Aceh, Sumut, dan DIY. Di Aceh, ALGAP

dan LGSP memberikan sumbangan peralatan kerja seperti komputer jinjing, jaringan

internet, dan printer. Belum lagi pembangunan gedung untuk perkantoran dari NGO asing.

Pengelolaan aset daerah diatur dalam PP No.6/2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah,

yang kemudian ditindaklanjuti dengan Permendagri No.17/2007 tentang Pedoman Pengelolaan Barang

Milik Daerah. Lingkup pengelolaan aset dimaksud meliputi:

1. Perencanaan kebutuhan dan penganggaran,

Page 5: strategi pengelolaan

2. Pengadaan,

3. Penggunaan,

4. Pemanfaatan,

5. Pengamanan dan pemeliharaan,

6. Penilaian,

7. Penghapusan,

8. Pemindahtanganan,

9. Penatausahaan, dan

10. Pembinaan, pengawasan, dan pengendalian.

2.2. KINERJA PEMERINTAH DAERAH

Kinerja suatu organisasi dinilai baik jika organisasi yang bersangkutan mampu melaksanakan

tugas-tugas dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan pada setandar yang tinggi dengan

biaya yang rendah. Kinerja yang baik bagi suatu orhganisasi dicapai ketika admistrasi dan penyediaan

jasa oleh organisasi yang bersangkutan dilakukan pada tingkat yang ekonomis, efesiensi, dan efektivitas.

Manajemen kinerja pemerintahan yang meliputi perancangan sistem, pendeklarasian variabel,

mekanisme penerapan, proses pelaporan serta evaluasi dan tindak lanjut yang mencakup efisiensi,

kualitas dan efektivitas program pemerintah merupakan topik yang hangat dikupas di Amerika Serikat

sepuluh tahun yang lalu (Blodgett and Newfarmer, 1996; Curcio, 1996; Martin & Kettner, 1996; Tracy,

1996) baik di level pemerintah federal, negara bagian maupun pemerintahan lokal setingkat kota

madya.

Page 6: strategi pengelolaan

Penerapan manajemen kinerja pemerintahan ini didorong oleh empat kekuatan utama yaitu The

Government Performance and Results Act of 1993 (GPRA), The National Performance Review (NPR),

Usaha tolok banding (benchmarking) yang dilakukan oleh negara bagian dan komunitas masyarakat, dan

laporan yang diminta oleh The Governmental Accounting Standards Board (GASB).

GPRA menuntut semua lembaga pemerintahan melacak dan melaporkan kinerja program-

program yang dicanangkan dengan penekanan utama pada efektivitas hasil yang dicapai. GPRA ini

menjadi kekuatan penekan utama yang paling penting yang menghendaki adanya pengukuran kinerja

pemerintahan karena merupakan hukum yang ditetapkan di level negara federal.

NPR merupakan penjelmaan dari gerakan untuk ‘menemukan kembali praktek pemerintahan

yang benar’ (reinventing government) yang merupakan kekuatan utama lain dalam mempromosikan

pengukuran kinerja. Prinsip dasar dari gerakan ini adalah semboyan yang dijiwai oleh “apa yang dapat

diukur, itulah yang sudah dikerjakan oleh pemerintah”(Osborne & Gaebler, 1992).

Kekuatan utama lain yang mempromosikan penggunaan pengukuran kinerja adalah adanya

berbagai usaha yang dilakukan oleh beberapa negara bagian dan komunitas masyarakat untuk

melakukan tolok banding (benchmarking) atas kinerja yang sudah dicapai di masing-masing lokaliti.

Tolok banding (benchmarking) dapat didefinisikan sebagai perbandingan antara produk, pelayanan,

proses kerja dan berbagai ukuran lain terhadap praktek terbaik yang terkait (Spendolini,1992). Beberapa

negara bagian (misalnya Colorado, Connecticut, Florida, Georgia, Hawaii, Iowa, Maine, Minnesota,

Nebraska, New Mexico, North Carolina, Oregon, Utah) telah mengembangkan atau sedang

mengembangkan tolok banding pada berbagai variabel pemerintahan untuk diterapkan pada seluruh

atau sebagian negara bagian tersebut. Tiga program utama yang telah dikenal baik di antaranya adalah

Oregon Options, Minnesota Milestones dan Florida Benchmarks.

Page 7: strategi pengelolaan

Lembaga terakhir yang mempromosikan pentingnya penerapan manajemen kinerja di sektor

pemerintahan adalah GASB yang mensyaratkan setiap pemerintah negara bagian untuk melaporkan

efisiensi, kualitas, dan efektivitas pencapaian program mereka. Pelaporan itu meliputi antara lain:

pemenuhan pelayanan dalam hal efisiensi program yang dihasilkan, kualitas dan efektivitas program,

serta rasio antara usaha pelayanan yang telah dilakukan pemerintah dengan hasil pelayanan yang

dinikmati masyarakat.

Dari beberapa kerangka rancangan penilaian kinerja yang ada saat ini, Balanced Scorecard (BSC)

merupakan pendekatan yang paling populer diterapkan. Pendekatan yang diperkenalkan oleh Prof.

Kaplan dari Harvard University Dan David P. Norton, Presiden Renaissance Solutions Inc. pada tahun

1992 ini telah diterapkan di berbagai perusahaan dan pemerintahan. Salah satu pemerintahan yang

mengunakan pendekatan ini untuk mengukur kinerjanya adalah pemerintah kota Charlotte di North

Carolina, Amerika Serikat.

Dalam konteks penilaian kinerja pemerintahan Indonesia, variabel-variabel pengukuran kinerja

yang dapat diajukan di bawah ke empat perspektif tersebut adalah sebagai berikut:

1. Perspektif Finansial

Pada dasarnya dalam perspektif finansial, tolok ukur dari pengukuran kinerja

pemerintahan adalah tercapainya ukuran-ukuran perbaikan (improvement) di bidang finansial.

Ukuran perbaikan ini dapat diperbandingkan dengan pencapaian pada periode sebelumnya

maupun diperbandingkan dengan pencapaian negara lain. Bahkan dalam titik yang lebih

ekstrim, pencapaian pada beberapa variabel, pada suatu saat nanti, sebaiknya diperbandingkan

dengan pencapain terbaik (best practice/ best-in-class) dengan melakukan kaji banding

(benchmarking) dengan pencapaian di level dunia.

Page 8: strategi pengelolaan

Variabel-variabel yang dapat digunakan dalam menilai kinerja pemerintah yang

termasuk dalam perspektif finansial ini misalnya pertumbuhan ekonomi, penguatan nilai tukar

rupiah terhadap mata uang asing, penurunan laju inflasi atau laju inflasi yang stabil pada angka

terendah yang dapat dicapai pada periode waktu yang lama, peningkatan pendapatan dan daya

beli masyarakat relatif terhadap harga barang dan jasa di dalam negeri maupun luar negeri,

menyempitnya gap pendapatan berbagai lapisan masyarakat di berbagai sektor dan bidang

usaha, peningkatan daya saing produk dan jasa yang dihasilkan dalam pasaran internasional

(pertumbuhan ekspor bukan karena penurunan nilai mata uang), tumbuhnya investasi dari para

pemodal baik dalam negeri maupun luar negeri, penurunan biaya operasional yang digunakan

oleh pemerintah dalam melaksanakan berbagai program kerjanya (rasio biaya yang dikeluarkan

dengan keluaran yang dihasilkan, misalnya: biaya kunjungan ke luar negeri terhadap investasi

yang masuk, gaji dan fasilitas yang dibayarkan terhadap hasil kerja, dsb), dan penggunaan

sumber-sumber finansial dari kekuatan sendiri, bukan dari hutang.

2. Perspektif Pelanggan

Dalam konteks negara, pelanggan utama pemerintah adalah warga negara Indonesia

(WNI) baik rakyat yang berdiam di wilayah negara kesatuan Republik Indonesia maupun yang

berdomisili di negara lain. Setelah itu, pelanggan level berikutnya adalah negara lain yang

membina hubungan dalam berbagai bidang dengan RI termasuk di dalamnya warga negara

sahabat tersebut.

Pada perspektif pelanggan yang menyangkut rakyat yang menjadi warga negara

Indonesia, maka variabel ukuran kinerja pemerintah yang dapat diukur keberhasilannya adalah

antara lain: pemerataan hasil-hasil pembangunan antara berbagai kawasan di Indonesia yang

secara kasar dapat diukur dari dua hal. Pertama, persentasi beredarnya uang di suatu kawasan

Page 9: strategi pengelolaan

relatif terhadap seluruh uang yang beredar di negara tersebut (di mana saat ini diperkirakan

lebih dari 60% uang hanya beredar di Jakarta). Kedua pemerataan lapangan kerja baik bagi

orang-orang yang terdidik maupun pekerja biasa ( di mana kecenderungan para lulusan S1

perguruan tinggi saat ini mayoritas ‘terpaksa’ menuju Jakarta, Surabaya, Bandung dan Medan).

Variabel yang termasuk ke dalam perspektif pelanggan lainnya adalah meningkatnya kepuasan

masyarakat terhadap berbagai macam program pemerintah, kebijakan dan langkah riil

pemerintah yang dapat direpresentasikan dengan sedikitnya gejolak kemasyarakatn yang

terjadi, kualitas dan kuantitas demonstrasi yang dihadapi pemerintah, teredamnya berbagai

konflik sosial yang terjadi, hilangnya rasa ketakutan mengeluarkan pendapat (termasuk di

dalamnya meningkatnya kesantunan dalam mengeluarkan pendapat baik oleh berbagai

kalangan masyarakat, politisi maupun media masa), menurunnya kuantitas dan kualitas

kriminalitas, meningkatnya level kebutuhan masyarakat yang tidak hanya terus berkutat pada

masalah kebutuhan dasar seperti sandang, pangan dan papan saja tetapi pada level yang lebih

tinggi dan masih banyak lagi variabel yang dapat diturunkan dalam perspektif pelanggan yang

menyangkut kebutuhan warga negara ini.

Variabel untuk mengukur perspektif pelanggan dalam kaitannya dengan negara lain di

antaranya adalah pertama, banyaknya warga negara lain yang ikut menikmati hasil kerja

pemerintah yang misalnya dapat diukur melalui jumlah, lama dan penyebaran kunjungan

wisatawan luar negeri, jumlah pekerja kelas menengah dan bawah yang mencari nafkah ke

Indonesia yang bukan merupakan paket dari bantuan asing yang menyertainya tetapi karena

memang adanya daya tarik secara ekonomis maupun sosial. Kedua, terpeliharanya hubungan

bilateral dan multilateral yang saling menguntungkan di berbagai bidang: pendidikan,

perdagangan, industri, kesehatan dan tenaga kerja.

Page 10: strategi pengelolaan

3. Perspektif Internal

Dalam perspektif internal, fokus utama ukuran yang dapat dipakai untuk menilai kinerja

pemerintah adalah lebih pada proses yang terjadi. Beberapa variabel ukuran kinerja yang dapat

diterapkan di antaranya adalah efisisiensi pelayanan terhadap kebutuhan masyarakat yang

misalnya dapat diukur dari proses perijinan yang harus ditempuh warga negara dalam berbagai

urusan baik menyangkut lama waktu pelayanan maupun kompleksitas prosedur yang ditempuh;

produktivitas aparat dalam melaksanakan tugasnya; menurunnya/ tiadanya ongkos-ongkos

siluman yang harus dibayarkan dalam pengurusan berbagai macam kebutuhan; peningkatan

jumlah dan kualitas aturan-aturan yang dikeluarkan yang berkaitan dengan jaminan berusaha

yang adil dan transparan; peningkatan daya saing sektor-sektor yang menjadi tanggung jawab

pemerintah seperti misalnya BUMN, Perguruan Tinggi, Pelayanan Kesehatan dan sebagainya;

rasio kebocoran anggaran; penggunaan anggaran pada bidang yang tepat dan urgent (the right

money for the right needs); penurunan hutang; efektivitas komunikasi antara pemerintah

dengan rakyatnya.

4. Perspektif Pembelajaran dan Perkembangan

Dalam tataran yang paling dasar dari pengukuran kinerja pemerintah adalah ukuran

yang ditinjau dari perspektif pembelajaran dan perkembangan. Perspektif ini, dalam beberapa

variabel, selain lebih berorientasi pada jangka panjang juga seringkali ukuran-ukuran yang

dpakai lebih bersifat kualitatif dari pada kuantitatif dan bahkan seringkali lebih bersifat subjektif

yang artinya dapat dirasakan namun sulit untuk diungkapkan. Variabel yang dapat digunakan

antara lain peningkatan pemberdayaan masyarakat; peningkatan partisipasi masyarakat dalam

keamanan, penjagaan asets umum, pendidikan dan bisnis; keterlibatan berbagai elemen

masyarakat dalam proses pengambilan keputusan; kesamaan hak dan kemampuan untuk

Page 11: strategi pengelolaan

mengakses berbagai sumber informasi (misalnya kesempatan untuk memperoleh pendidikan

yang murah terutama di jenjang sampai dengan level sekolah menengah atas, informasi sektor

usaha yang dapat dimasuki, tender-tender yang dapat diikuti dan sebagainya); peningkatan daya

kreativitas dan inisiatif dalam berbagai bidang (seni, budaya, usaha); peningkatan sarana dan

prasarana serta pelayanan di bidang perhubungan, telekomunikasi, energi dan air minum dan

penghargaan yang layak atas pekerjaan yang dilakukan (gap pendapatan antar berbagai jenjang

karir dan profesi)

Page 12: strategi pengelolaan

BAB III

PEMBAHASAN

3.1. PRINSIP DASAR PENGELOLAAN KEKAYAAN DAERAH

3.1.1. PERENCANAAN

Untuk melaksanakan apa yang menjadi kewenangan wajibnya (tupoksi) pemerintah daerah

memerlukan barang atau kekayaan untuk menunjang pelaksanaan tugas dan kewenangannya. Untuk

itu, pemerintah daerah perlu membuat perencanaan kebutuhan asset yang akan digunakan/dimiliki.

Setiap pembelian barang atau asset baru harus dicatat dan terdokumentasi dengan baik dalam system

database kekayaan daerah.

Pengadaan barang atau kekayaan daerah harus dilakukan berdasarkan system tender. Hal

tersebut supaya pemerintah daerah dan masyarakat tidak dirugikan.

Pada dasarnya, kekayaan daerah dapat diklasifikasikan menjadi 2 jenis, yaitu:

1. Kekayaan yang sudah ada (eksis) sejak adanya daerah tersebut. Contohnya adalah tanah,

hutan,tambang, gunung, danau, pantai dan laut, sungai, dan peninggalan bersejarah.

2. Kekayaan yang akan dimiliki baik yang berasal dari pembeliaan maupun yang akan dibangun

sendiri. Contohnya adalah jalan, jembatan, kendaraan, dan barang modal lainnya.

Pemerintah daerah harus membuat perencanaan yang tepat terhadap kedua jenis kekayaan

tersebut. Perencanaan juga meliputi perencanaan terhadap asset yang belum termanfaatkan atau masih

Page 13: strategi pengelolaan

berupa asset potensial. Perencanaan yang dilakukan harus memperhatikan 3 hal, yaitu melihat kondisi

asset daerah dimasa lalu, asset yang dibutuhkan untuk masa sekarang, dan perencanaan kebutuhan

asset di masa yang akan datang.

Pemerintah daerah perlu menetapkan standar kekayaan minimum yang harus dimiliki daerah

untuk dapat memenuhi cakupan layanan yang dibutuhkan masyarakat.

3.1.2. PELAKSANAAN

Kekayaan milik daerah harus dikelola secara optimal dengan memperhatikan prinsip efisiensi,

efektifitas, transparansi, dan akuntabilitas publik. Pengelolaan menyangkut pendistribusian,

pengamanan, dan perawatan. Perlu ada unit pengelola kekayaan daerah yang professional agar tidak

terjadi overlapping tugas dan kewenangan dalam mengelola kekayaan daerah. Pengamanan terhadap

kekayaan daerah harus dilakukan secara memadai baik pengamanan fisik, maupun melalui system

akuntansi (sistem pengendalian internal).

Pengelolaan kekayaan daerah harus memenuhi prinsip akuntabilitas publik, yang paling tidak

meliputi:

1. Akuntabilitas kejujuran dan akuntabilitas hukum

2. Akuntabilitas proses

3. Akuntabilitas kebijakan.

3.1.3. PENGAWASAN

Pengawasan yang ketat perlu dilakukan sejak tahap perencanaan hingga penghapusan asset.

Dalam hal ini peran serta masyarakat dan DPRD auditor internal sangat penting. Keterlibatan auditor

Page 14: strategi pengelolaan

internal dalam proses pengawasan ini sangat penting untuk menilai konsistensi antara praktik yang

dilakukan oleh pemerintah daerah dengan standar yang berlaku. Pengawasan diperlukan untuk

menghindari penyimpangan dalam perencanaan maupun pengelolaan asset yang dimiliki daearah.

3.2. STRATEGI OPTIMALISASI PENGELOLAAN KEKAYAAN DAERAH UNTUK

MENINGKATKAN KINERJA PEMERINTAH DAERAH

Strategi optimalisasi pengelolaan kekayaan (asset) daerah meliputi:

1. Identifikasi dan inventarisasi nilai dan potensi asset daerah

Pemerintah daerah perlu mengetahui jumlah dan nilai kekayaan daerah yang dimilikinya, baik

yang saat ini dikuasai maupun yang msaih berupa potensi yang belum dikuasai atau

dimanfaatkan. Untuk itu, pemerintah daerah perlu melakukan identifikasi dan inventarisasi nilai

dan potensi asset daerah. Kegiatan identifikasi dan inventarisasi dimaksudkan untuk

memperoleh informasi yang akurat, lengkap, dan mutakhir mengenai kekayaan daerah yang

dimiliki atau dikuasai oleh pemerintah daerah. Identifikasi dan inventarisasi asset daerah

tersebut penting untuk pembuatan Neraca Kekayaan Daerah yang akan dilaporkan kepada

masyarakat. Untuk dapat melakukan identifikasi dan inventarisasi asset daerah secara lebih

efektif dan dapat diandalkan, pemerintah daerah perlu memanfaatkan profesi auditor atau jasa

penilaian yang independen.

2. Perlunya sitem informasimanajemen asset daerah

Untk mendukung asset pengelolaan asset daerah secara efesien dan efektif serta menciptakan

transparansi kebijakan pengelolaan asset daerah, maka pmerintah daerah perlu memiliki atau

mengembangkan system informasi manajemen yang komprehensif dan handal sebagai alat

untuk pengambilan keputusan . Sistem Informasi manajemen asset daerah juga berisi database

asset yang dimiliki daerah. System tersebut bermanfaat untuk menghasilkan laporan

Page 15: strategi pengelolaan

pertanggungjawaban. Selain itu, sitem informasi tersebut juga bermanfaat untuk dasar

pengembangan keputusan mengenai kebutuhan pengadaan barang dan estimasi kebutuhan

belanja pembangunan (modal) dalam penyusunan APBD.

3. Pengawasan dan pengandalian pemanfaatan asset daerah

Pemanfaatan asset daerah harus diawasi dan dikendalikan secara ketat agar tidak terjadi salah

urus (miss management), kehilangan, dan tidak termanfaatkan (idle). Untuk meningkatkan

fungsi pengawasan tersebut, peran masyarakat dan DPRD sangat penting. Pengawasan oleh

masyarakat dan DPRD tersebut harus menghasilkan feedback bagi pemerintah daerah berupa

perbaikan perencanaan dan pemenfaatan asset daerah.

4. Keterlibatan jasa penilai (Appraisal)

Pertambahan asset daerah dari tahun ke tahun perlu didata dan dinilai oleh penilai yang

independen. Peran profesi penilai secara aktif dalam pengelolaan asset daerah antara lain:

a. Identifikasi dan inventarisasi asset daerah

b. Member informasi mengenai status hukum harta

c. Penilaian harta kekayaan daerah baik yang berwujud (tangible asset) maupun yang tidak

berwujud (intangible asset)

d. Analisis investasi dan set-up investasi/pembiayaan

e. Pemberian jasa konsultasi manajemen asset daerah (asset management consultant)

Dalam era otonomi daerah, pemerintah daerah memiliki kewenangan yang lebih besar untuk

mengelola kekayaan daerahnya. Untuk itu, pemerintah daerah dituntut untuk dapat mengelola

kekayaan daerah secara professional, transparan, akuntabel, efisien, dan efektif.

Kebutuhan sistem baru penilaian kinerja pemerintah saat ini merupakan salah satu hal yang

tidak terelakkan. Kebutuhan tersebut di dasarkan atas tiga alasan utama :

Page 16: strategi pengelolaan

Pertama, dalam kondisi krisis multi dimensi yang sudah relatif lama dialami ini, penilaian kinerja

pemerintah sudah selayaknya tidak lagi didasarkan pada proses penilaian dan evaluasi yang biasa.

Dalam proses penilaian yang biasa tersebut, dengan hanya banyak menghabiskan waktu, tenaga dan

biaya untuk berbagai proses seremonial atau bahkan tanpa melakukan apa-apa, cukup dengan tidur-

tiduran saja pemerintah ‘berhak’ untuk dipertahankan mandatnya sampai masa jabatan berakhir asal

tidak melanggar undang-undang dan haluan negara.

Kedua, kondisi ‘luar biasa’ yang dihadapi Indonesia saat ini menuntut pemerintah untuk

merespons secara cepat dan tepat agar dapat mengembalikan tatanan kehidupan berbangsa,

bernegara, dan berusaha, pulih seperti sedia kala.

Ketiga, pengalaman pergantian pemerintahan yang pernah terjadi memberikan pelajaran bagi

kita bahwa perlu dikaji kembali proses penilaian kinerja pemerintah yang didasarkan pada tolok ukur

dan variabel-variabel yang lebih jelas dan objektif. Selain substansi materi yang masih sering

diperdebatkan dalam berbagai proses penggantian tersebut (memorandum I, II dan SI), proses yang

ditempuh pun, selama ini, membuka peluang dilakukannya langkah-langkah secara sepihak yang dapat

mengarahkan pada proses tarik-menarik kekuatan (Dekrit, SI dipercepat, pergantian personil jabatan

tertentu) yang menyebabkan kondisi kontra produktif yang cukup lama karena masyarakat, pengusaha

dan pejabat berada dalam situasi menunggu tanpa berani mengambil keputusan-keputusan yang

bersifat strategis.

Kerangka penilaian kinerja pemerintah yang diajukan dalam tulisan ini berangkat dari adanya

kebutuhan seperti yang disinyalir dalam paragraf di atas selain adanya kecenderungan di negara maju

bahwa penilaian kinerja pemerintahan sudah saatnya diletakkan dalam proporsi seperti halnya menilai

eksekutif dalam organisasi bisnis. Empat perspektif utama yaitu finansial, pelanggan, proses internal

serta pembelajaran dan perkembangan dapat dirinci menjadi variabel-variabel terukur yang selain lebih

Page 17: strategi pengelolaan

dapat dinilai secara objektif juga dapat diset sejak mula sebagai strategi pengelolaan negara. Namun

demikian, hal utama yang harus dijadikan pegangan adalah bahwa sistem manajemen kinerja hendaklah

dipandang sebagai sebuah sistem yang dinamis, yang bukan saja harus selalu di update sesuai dengan

kebutuhan dan perubahan yang terjadi, namun juga mensyaratkan tolok banding yang tidak hanya

menitik beratkan pada pencapaian hasil saja tetapi juga pada proses dalam mencapai hasil tersebut.

Berbagai variabel usulan dalam tulisan ini masih bersifat tentatif dan perlu untuk dikaji lebih mendalam

dalam proses penerapannya. Dengan adanya variabel yang terukur dan objektif ini setidaknya dapat

dihindarkan pemborosan keuangan (untuk lobi-lobi, penyamaan pendapat, rapat-rapat baik terang

maupun gelap, provokasi, mempengaruhi opini melalui media) dan meningkatkan jenjang elit (baik

eksekutif maupun legislatif) untuk mulai bekerja berdasarkan knowledge base tidak lagi common sense,

intuitif dan self interpretation.

Page 18: strategi pengelolaan

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, S. (2009). Optimalisasi Pengelolaan Aset Daerah. [Online]. Tersedia:

http://syukriy.wordpress.com/2009/04/25/optimalisasi-pengelolaan-aset-daerah/. [28

September 2009].

Acuviarta. (2009). Mengelola Kekayaan Daerah. [Online]. Tersedia: http://newspaper.pikiran-

rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=29936. [28 September 2009].

Mardiasmo. (2004). Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta: Penerbit Andi.

Pemerintah Republik Indonesia. (2006). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 6 Tahun

2006, Jakarta: Sekretariat Negara RI.

Wibisono, D. (2008). Mengukur Kinerja Pemerintah dan Pemerintah Daerah. [Online]. Tesedia:

http://dermawanwibisono.wordpress.com/2008/07/15/mengukur-kinerja-pemerintah-dan-

pemerintah-daerah/. [28 September 2008]