strategi pembangunan desa pesisir final

16
STRATEGI PEMBANGUNAN DESA PESISIR MANDIRI Oleh : Prof.Dr. Tridoyo Kusumastanto 1 dan Dr. Arif Satria 2 PENDAHULUAN Desa pesisir memiliki karakteristik yang berbeda dengan desa di wilayah pedalaman. Perbedaan tersebut tidak semata pada aspek geografis-ekologis, tetapi juga pada karakteristik ekonomi dan sosial-budaya. Secara geografis, desa pesisir berada di perbatasan antara daratan dan lautan. Desa pesisir memiliki akses langsung pada ekosistem pantai (pasir atau berbatu), mangrove, estuaria, padang lamun, serta ekosistem terumbu karang. Kondisi geografis-ekologis desa pesisir mempengaruhi aktivitas-aktivitas ekonomi di dalamnya. Kegiatan ekonomi di desa pesisir dicirikan oleh aktivitas pemanfaatan sumberdaya dan jasa lingkungan pesisir. Aktivitas ekonomi mencakup perikanan, perdagangan, wisata bahari, dan transportasi. Karakteristik ekologi bersama-sama dengan karakteristik ekonomi desa pesisir membentuk karakteristik sosial-budaya. Cara berbicara yang lugas, terbuka, dan keberanian mengambil resiko adalah bagian dari ciri masyarakat pesisir. Karakteristik ekonomi yang penuh ketidakpastian, seperti penangkapan ikan, juga mendorong terciptanya struktur sosial yang bersifat patron-klien. Hubungan patron-klien disebut dalam istilah yang berbeda- beda di setiap daerah. Di Sulsel, patron-klien dikenal dengan istilah punggawa-sawi,. di Tangerang ada istilah langam, dan di Aceh ada toke bangku.. Sebagai sebuah institusi, patron-klien mampu mengatasi masalah ketidakpastian usaha para nelayan. Namun demikian, pola patron-klien itu sendiri juga memiliki tingkat keragaman yang tinggi, tergantung dari tingkat hubungan emosional antara patron-klien dan 1 Kepala Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PKSPL) IPB 2 Kepala Divisi Pemberdayaan Masyarakat Pesisir PKSPL IPB 1

Upload: seniman-ghotic

Post on 28-Sep-2015

4 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

Strategi pembangunan pesisir

TRANSCRIPT

STRATEGI PEMBANGUNAN DESA PESISIR

PAGE 12

STRATEGI PEMBANGUNAN DESA PESISIR MANDIRIOleh :

Prof.Dr. Tridoyo Kusumastanto dan Dr. Arif Satria

PENDAHULUANDesa pesisir memiliki karakteristik yang berbeda dengan desa di wilayah pedalaman. Perbedaan tersebut tidak semata pada aspek geografis-ekologis, tetapi juga pada karakteristik ekonomi dan sosial-budaya. Secara geografis, desa pesisir berada di perbatasan antara daratan dan lautan. Desa pesisir memiliki akses langsung pada ekosistem pantai (pasir atau berbatu), mangrove, estuaria, padang lamun, serta ekosistem terumbu karang. Kondisi geografis-ekologis desa pesisir mempengaruhi aktivitas-aktivitas ekonomi di dalamnya. Kegiatan ekonomi di desa pesisir dicirikan oleh aktivitas pemanfaatan sumberdaya dan jasa lingkungan pesisir. Aktivitas ekonomi mencakup perikanan, perdagangan, wisata bahari, dan transportasi. Karakteristik ekologi bersama-sama dengan karakteristik ekonomi desa pesisir membentuk karakteristik sosial-budaya. Cara berbicara yang lugas, terbuka, dan keberanian mengambil resiko adalah bagian dari ciri masyarakat pesisir. Karakteristik ekonomi yang penuh ketidakpastian, seperti penangkapan ikan, juga mendorong terciptanya struktur sosial yang bersifat patron-klien. Hubungan patron-klien disebut dalam istilah yang berbeda-beda di setiap daerah. Di Sulsel, patron-klien dikenal dengan istilah punggawa-sawi,. di Tangerang ada istilah langam, dan di Aceh ada toke bangku.. Sebagai sebuah institusi, patron-klien mampu mengatasi masalah ketidakpastian usaha para nelayan. Namun demikian, pola patron-klien itu sendiri juga memiliki tingkat keragaman yang tinggi, tergantung dari tingkat hubungan emosional antara patron-klien dan tingkat surplus transfer dalam arus hubungan dari patron ke klien dan sebaliknya.Kini desa pesisir berjumlah 8,090 desa yang tersebar di seluruh pulau besar maupun kecil. Di dalamnya terdapat sekitar 16 juta jiwa yang tersebar dalam berbagai pekerjaan: (a) nelayan berjumlah empat juta jiwa, (b) pembudidaya ikan berjumlah 2,6 juta jiwa, dan (c) lainnya sebanyak 9,7 jiwa. Diantara 16 juta jiwa tersebut, sekitar 5,2 juta tergolong miskin (Tabel 1). Desa-desa pesisir tersebut tentu memiliki karakteristik yang berbeda-beda, yang tentunya memerlukan pendekatan pembangunan yang berbeda-beda pula. Tabel 1. Kondisi Umum Masyarakat Pesisir di Indonesia, 2002

No.Kondisi Masyarakat PesisirJumlah

1Desa Pesisir8,090 desa

2Masyarakat Pesisir:16,420,000 jiwa

- Nelayan4,015,320 jiwa

- Pembudidaya2,671,400 jiwa

- Masyarakat Pesisir Lainnya9,733,280 jiwa

3Prosentase yang hidup di bawah garis kemiskinan (32,14%)5,254,400 jiwa

Sumber : DKP (2007)

Pertanyaannya adalah bagaimana desa pesisir pada tahun 2030 ? Strategi pembangunan desa pesisir seperti apa yang diperlukan untuk mencapai visi tersebut ? Untuk itulah tulisan ini akan berangkat dari analisis terhadap isu-isu kritis desa pesisir, yang kemudian dilanjutkan dengan visi desa pesisir 2030, serta peta jalan menuju 2030 yang berisi strategi dan analisis terhadap lingkungan-lingkungan strategis yang berpengaruh.ISU-ISU KRITISAda sejumlah isu kritis dalam pembangunan desa pesisir, yang dapat terbagi ke dalam lima ranah: ekologi, sosial, ekonomi, agraria, dan geopolitik. Pertama, kerusakan ekologis baik yang bersifat alamiah maupun antropogenik. Kerusakan ekologis secara alamiah di desa pesisir dapat dilihat dari berbagai bencana alam, seperti tsunami, angin topan, elnino, dan gempa. Pemanasan global juga memiliki andil terhadap perubahan ekologi desa pesisir. Kerusakan alamiah ini memang di luar kontrol manusia. Selama ini yang bisa dilakukan hanyalah upaya meminimalkan dampak dari bencana alam tersebut. Wilayah Jepang termasuk negara yang sangat rentan terhadap bencana alam, khususnya angin taifu. Namun demikian, Jepang tidak pasrah dengan kondisi alam tersebut melainkan menyiapkan sejumlah langkah antisipatif baik secara teknologis maupun sosial. Secara teknologi, Jepang mampu mengidentifikasi dan memprediksi pergerakan angin taifu tersebut. Secara sosial, Jepang mampu meningkatkan kesiapan warganya menghadapi bencana. Sementara itu kerusakan ekologis secara antropogenik adalah kerusakan ekologis akibat ulah manusia baik yang bersifat langsung maupun tak langsung. Contoh kerusakan ekologis yang bersifat langsung antara lain seperti pengeboman ikan dan praktek perikanan destruktif lainnya, pencemaran, serta erosi pantai akibat pembabatan mangrove. Sedangkan contoh kerusakan ekologis yang bersifat tidak langsung misal seperti sedimentasi akibat aktivitas hulu yang tidak ramah lingkungan.

Kedua, isu sosial terkait dengan struktur sosial, budaya, dan politik. Seperti dijelaskan di muka, bahwa struktur sosial masyarakat pesisir dicirikan oleh pola hubungan patron-klien. Scott (1993) melihat hubungan patron-klien sebagai fenomena yang terbentuk atas dasar ketidaksamaan dan sifat fleksibilitas yang tersebar sebagai sebuah sistem pertukaran pribadi, yang berarti ada arus dari patron ke klien dan sebaliknya, yang mencakup: (1) penghidupan subsistensi dasar, berupa pemberian pekerjaan tetap, penyediaan saprodi, jasa pemasaran, dan bantuan teknis, (2) jaminan krisis subsistensi, berupa pinjaman yang diberikan pada saat klien menghadapi kesulitan ekonomi, (3) perlindungan, berupa perlindungan terhadap klien baik dari ancaman pribadi (musuh pribadi) maupun ancaman umum (tentara, pejabat, pemungut pajak, dsb), (4) memberikan jasa kolektif, berupa bantuan untuk mendukung sarana umum setempat (sekolah, tempat ibadah, jalan, dsb). Sementara itu arus dari klien ke patron menurut Scott (1993) sulit untuk dikategorisasi. Karena klien adalah orangnya patron, yang menyediakan tenaga dan keahliannya untuk kepentingan patron, apa pun bentuknya, seperti jasa pekerjaan dasar, jasa tambahan bagi rumah tangga patron, jasa domestik pribadi, dan juga klien merupakan anggota setia dari faksi lokal patron tersebut. Meskipun apa yang digambarkan Scott tersebut merupakan hasil kajiannya berdasarkan konteks sosial agraris, namun gambarannya tentang hubungan patron-klien dapat membantu untuk menggambarkan kondisi masyarakat pesisir (Satria, 2002). Berdasarkan tata hubungan di atas jelas bahwa memang antara nelayan dengan patronnya menguasai sumberdaya tidak sama. Artinya, patron menguasai sumberdaya modal jauh lebih besar daripada nelayan. Karena ketidaksamaan penguasaan sumberdaya tersebut menyebabkan ikatan patron-klien terjalin. Isu kritis yang muncul umumnya terkait dengan hubungan yang bersifat eksploitatif. Kisah di Pasuruan, misalnya, patron dianggap mengeksploitasi nelayan karena menekan harga jual ikan nelayan. Ketiga, isu ekonomi umumnya terkait aktivitas ekonomi masyarakatnya yang bergantung pada sumberdaya pesisir. Aktivitas ekonomi di desa pesisir mencakup perikanan (tangkap, budidaya, pengolahan), ekstraktif (pasir laut), pariwisata, industri garam, pelabuhan dan transportasi, dan perdagangan. Potensi sumberdaya tersebut seharusnya dapat mensejahterakan masyarakat pesisir, namun karena kebijakan kelautan pemerintah yang belum berpihak pada pengembangan ekonomi berbasis sumberdaya pesisir dan lautan maka peluang tersebut masih belum berkembang. Kusumastanto (2003) mengemukakan kebijakan pembangunan ekonomi yang tidak berpihak kepada masyarakat pesisir tersebut berdampak pada terhambatnya peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir dan terjebak dalam kemiskinan (poverty trap). Berdasarkan hasil studi Smeru (2002), kemiskinan masyarakat di desa pesisir tahun 2002 mencapai 32 persen. Diperkirakan kenaikan BBM, kemiskinan masyarakat pesisir makin tinggi. Keempat, isu agraria. Persoalan penting yang menjadi penyebab kemiskinan tersebut adalah ketimpangan struktur agraria di desa pesisir. Isu agraria di desa pesisir dapat dibedakan antara isu agraria yang terjadi di desa pesisir yang berada di pulau besar (mainland), dan di desa pesisir yang berada di pulau kecil (small island). Desa pesisir di pulau-pulau besar memiliki sejumlah isu-isu kritis baik di tanah maupun air. Pada sumber agraria tanah, isu yang muncul adalah tentang : (a) status lahan pemukiman, (b) pola penguasaan areal pertambakan, (c) pola penguasaan lahan untuk produksi garam, dan (d) mangrove. Permasalahan utama dalam isu tersebut adalah siapa yang dominan dalam penguasaan lahan-lahan tersebut. Masalah berikutnya adalah masalah reklamasi dan konflik spasial, umumnya juga terkait siapa yang diuntungkan di dalamnya. Sementara itu relokasi nelayan, terkait dengan adaptasi sosial-ekologis dari nelayan pendatang. Adapun di wilayah perairan, isu agraria terkait dengan pola produksi perikanan yang merusak, pencemaran, dan hak-hak pengelolaan pesisir oleh nelayan. Pola produksi perikanan yang merusak memang sering dilakukan nelayan. Pencemaran akibat aktivitas non-perikanan yang dilakukan baik di darat maupun air namun berpengaruh terhadap pencemaran air. Masyarakat seringkali kurang diuntungkan oleh sejumlah produk perundangan yang hingga saat ini belum mengakomodasi kepentingan masyarakat dalam akses dan kontrol terhadap sumberdaya pesisir.

Tabel 1. Isu-Isu Agraria di Desa Pesisir-Pulau-Pulau Besar

Sumber AgrariaIsu Aktual

Tanah Status lahan pemukiman,tambak, garam, mangrove

Reklamasi, abrasi, konflik spasial

Air Overfishing, polusi, kerusakan ekosistem

Hak pengelolaan sumberdaya laut oleh masyarakat?

Sumber : Satria (2006)

Isu-isu kritis baik di tanah maupun air juga terjadi di desa pesisir di pulau-pulau kecil. Isu agraria tanah seperti masalah pemukiman, penguasaan mangrove dan penyewaan pulau kecil yang terjadi di desa pesisir di pulau-pulau besar juga terjadi di desa pesisir di pulau-pulau kecil. Isu pemukiman muncul ketika pemukiman di atas perairan pantai mulai berkembang. Nelayan membangun rumah di atas air sebagian karena alasan kultural, yaitu karena mereka sudah menyatu dengan alam, dan kondisi tersebut memudahkan mereka dalam menjalankan aktivitas di laut. Namun, sebenarnya ada alasan struktural, yakni adanya faktor tekanan penguasaan lahan di wilayah darat yang umumnya sudah dikuasai elit desa. Di Babo Papua, berkembangnya pemukiman di atas perairan pada ekosistem mangrove merupakan konsekuensi dari tekanan sumberdaya lahan yang dikuasai petuanan, yakni suku yang pertama kali menduduki Pulau Babo dan berhak untuk menguasai tanah di pulau tersebut.Hutan mangrove di beberapa wilayah juga dikuasai perusahaan negara maupun swasta, dan akses masyarakat terhadap pemanfaatan hutan mangrove menjadi tertutup. Sementara itu, yang terkait dengan kebijakan pemerintah pusat untuk menyewakan pulau-pulau kecil juga bisa menjadi sumber konflik dengan masyarakat lokal. Saat ini penguasaan pulau kecil oleh swasta yang kemudian digunakan untuk pengembangan wisata bahari. Meski sebenarnya akses swasta tersebut hanya di darat, pada kenyataannya sampai ke wilayah perairan, sehingga menutup akses nelayan untuk menangkap ikan.

Tabel 2. Isu-Isu Agraria di Desa Pesisir-Pulau-Pulau Kecil

Sumber AgrariaIsu Aktual

Tanah Mangrove

Pemberian HGU sebagai Penyewaan Pulau Kecil (private property regime) Relokasi nelayan

Air Privatisasi sumberdaya laut untuk/oleh Wisata Bahari (private property regime) Ketidakadilan Konservasi (state property regime)

Sumber : Satria (2006)

Kelima, isu geopolitik. Desa pesisir merupakan wilayah daratan terdepan yang berhadapan dengan wilayah perbatasan. Oleh karena itu desa pesisir rentan terhadap gangguan keamanan, baik secara politik maupun ekonomi. Secara politik, desa pesisir, khususnya di pulau kecil perbatasan, sangat rentan terhadap masuknya pengaruh asing yang dapat mempengaruhi nasionalisme. Kasus di Miangas, menggambarkan pengaruh budaya dan spirit kebangsaan Filipina sudah mulai terjadi. Secara ekonomi, gangguan terlihat dalam berbagai aktivitas ilegal baik dalam pertambangan, perikanan, maupun perdagangan.

DESA PESISIR 2030Bagaimana potret desa pesisir 2030 ? Memang angka 2030 sebenarnya hanya simbolisasi sesuatu yang bersifat jangka panjang. Tentu tidak ada bedanya antara 2030 dengan 2029. Namun demikian, visi desa pesisir 2030 menjadi penting sebagai suatu titik yang akan dituju dalam proses pembangunan saat ini dan mendatang, meski titik impian tersebut memang masih sangat lama dan sangat rentan terhadap berbagai perubahan sejumlah variabel makro. Setelah mencermati sejumlah isu kritis di atas, maka visi desa pesisir 2030 dapat diformulasikan dalam bingkai kemandirian desa dalam memenuhi kebutuhan dasarnya, seperti pangan, energi, kesehatan, dan pendidikan. Konsep kemandirian sebagai visi 2030 tidaklah berarti desa pesisir terlepas kesaling-tergantungannya dengan desa atau wilayah lain. Konsep kemandirian tersebut mengacu pada konsep net-benefit yang dihasilkan dari pertukaran dengan daerah lain. Hal ini sekaligus untuk mengatasi problem surplus transfer dari desa ke kota yang selama ini terjadi.Konsep kemandirian tersebut selanjutnya dapat menjadi spirit dalam pembangunan berkelanjutan. Charles (2001) menekankan aspek-aspek keberlanjutan, yang mencakup: (a) keberlanjutan ekologis (ecological sustainability), (b) keberlanjutan sosial ekonomi (socioeconomic sustainability), (c) keberlanjutan komunitas (community sustainability), dan (d) keberlanjutan institusi (institutional sustainability). Meski kerangka Charles tersebut sebenarnya untuk konteks perikanan, namun prinsip-prinsip pokoknya bisa dipinjam untuk desain pembangunan desa pesisir. Keberlanjutan ekologis terwujud dari praktek perikanan yang tidak merusak lingkungan dan pemanfaatan sumberdaya pesisir yang tidak melebihi daya dukung lingkungan. Kata kuncinya adalah adanya kebijakan pengelolaan sumberdaya pesisir untuk menjamin keberlanjutan ekologis tersebut. Tentu, disini juga mencakup pengendalian pencemaran baik yang disebabkan limbah domestik maupun limbah industri. Karena itulah membangun desa pesisir tidak bisa berdiri sendiri karena persoalan lingkungan disebabkan juga oleh pihak supra-desa. Keberlanjutan sosial ekonomi mengacu pada tercapainya kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat pesisir. Keberlanjutan komunitas mengacu pada stabilitas sistem sosial, terjaminnya peran masyarakat dalam pembangunan, dan akses masyarakat pada sumberdaya baik untuk kepentingan pemanfaatan maupun pengelolaan. Sementara itu keberlanjutan institusi merupakan prasyarat bagi tercapainya tiga dimensi keberlanjutan sebelumnya. Keberlanjutan institusi mencakup institusi politik (kapabilitas birokrasi desa), institusi sosial-ekonomi (seperti institusi keuangan desa, pasar), dan institusi sumberdaya (institusi pengelola sumberdaya). Dalam konteks pembangunan desa pesisir yang lebih spesifik dapat tercermin dari sejauh mana aturan-aturan pengelolaan sumberdaya pesisir ditegakkan dan sejauh mana kapasitas organisasi pengelola sumberdaya diperkuat. Dengan mengacu pada beberapa atribut dalam pembangunan berkelanjutan di atas, maka karakteristik desa pesisir 2030 adalah sebagai berikut :a) mandiri dalam memenuhi kebutuhan dasar: pangan, kesehatan, pendidikan, air bersih dan energib) mampu mengembangkan perencanaan desa (potensi, rencana strategis, tataruang wilayah darat dan perairan, rencana pengelolaan, rencana aksi) serta implementasinya secara dinamis dan partisipatif. c) memiliki sistem produksi untuk mendaya-gunakan sumberdaya lokal dengan produktivitas yang tinggi dan mampu menyediakan lapangan kerjad) masyarakatnya mampu mengorganisasi diri baik untuk kepentingan ekonomi, sosial, maupun pengelolaan sumberdaya pesisir,

e) mampu mengelola sumberdaya maupun lingkungan pesisir dan lautan serta daerah aliran sungai terkait, dengan baik berdasarkan prinsip-prinsip pengelolaan yang berpusat pada kekuatan masyarakat dan bersumber dari kombinasi pengetahuan lokal dan sainsf) masih terjaganya budaya dan nilai-nilai lokal yang positif yang menjadi dasar pengembangan kehidupan masyarakatg) kapabilitas pemerintahan desa memadai untuk menggerakkan roda pembangunan desa dan mengendalikan pemanfaatan sumberdaya pesisirh) berkembangnya aktivitas ekonomi berbasis kelautan yang mapu bersaing dalam pasar lokal, regional dan global serta dapat diandalkan dalam meningkatkan kualitas hidup masyarakat secara berkelanjutan (Kusumastanto, 2006) JALAN MENUJU 2030Dengan visi desa pesisir 2030 sebagaimana di atas, maka diperlukan sejumlah upaya sebagai jalan menuju 2030. Upaya-upaya tersebut adalah (a) pemetaan desa pesisir, dan (b) strategi transformasi sebagaimana dapat terlihat pada Gambar 1. 1. Pemetaan Desa Pesisir

Pemetaan desa pesisir dapat dilakukan melalui tahapan sebagai berikut : (a) penyusunan indeks, (b) pembuatan tipologi, dan (c) analisis tipologi. Saat ini desa pesisir berkembang secara alamiah tanpa sebuah desain yang sistematik. Ini terjadi karena belum adanya instrumen untuk memetakan desa pesisir, sehingga tipologi desa pesisir juga belum pernah dirumuskan berbasis pada berbagai atribut yang komprehensif. Oleh karena itu, sangatlah penting untuk memulai mengidentifikasi atribut-atribut multi-dimensi: ekonomi, politik, ekologi, sosial, dan budaya sebagai indikator. Dengan atribut-atribut tersebut kemudian dapat dibuat indeks pembangunan desa pesisir, yang selanjutnya menjadi dasar bagi penyusunan tipologi desa pesisir. Tipologi tersebut akan memudahkan jalan dalam rangka merumuskan strategi transformasi, sehingga strategi tersebut bisa efektif dilaksnakan.

Gambar 1. Menuju Desa Pesisir 2030

2. Strategi transformasiUpaya mewujudkan visi desa pesisir 2030 di atas memerlukan seperangkat pendekatan dan strategi transformasi. Strategi transformasi dapat dibagi menjadi tiga macam, yakni strategi makro, strategi, meso dan strategi mikro.

Pendekatan

Visi desa pesisir 2030 hendak dicapai dengan menggunakan sejumlah prinsip sebagai berikut : Berpusat pada rakyat (people-centered): merupakan prinsip yang mengutamakan rakyat sebagai sasaran maupun subyek pembangunan desa pesisir. Berbasis pada budaya dan kearifan lokal : merupakan prinsip yang mendorong pembangunan desa pesisir tetap bertumpu pada kekayaan budaya dan kearifan lokal untuk menghadapi derasnya arus budaya global dan populer, Fokus pada keberlanjutan (sustainability) : merupakan prinsip yang mengutamakan hasil pembangunan yang dapat dinikmati secara terus menerus dan memikirkan dampak dalam jangka panjang, Holistik: merupakan prinsip yang menekankan perlunya menyentuh seluruh aspek kehidupan yang terkait satu sama lain, Kemitraan : merupakan prinsip yang mementingkan adanya kerjasama antar pelaku yang terkait dengan pembangunan desa pesisir, baik masyarakat, pemerintah, dan swasta, Keterkaitan antara proses mikro dan makro: merupakan prinsip yang menekankan keharmonisan antara proses yang berlangsung secara makro baik di tingkat nasional dengan proses mikro di daerah maupun desa, Dinamis : merupakan prinsip yang mementingkan kemampuan desa untuk merespon perubahan-perubahan yang terjadi di luar, termasuk di dalamnya kemampuan beradaptasi tanpa harus tercerabut dari akar budaya lokalnya, Ramah lingkungan : merupakan prinsip yang menekankan pentingnya kelestarian lingkungan pesisir dalam setiap kegiatan pembangunan desa.Strategi Makro

Strategi makro adalah strategi yang disusun oleh pusat, baik berupa undang-undang maupun peraturan-peraturan di bawahnya. Strategi makro yang penting meliputi: kebijakan kelautan, kebijakan infrastruktur, kebijakan pengelolaan sumberdaya alam, kebijakan lingkungan hidup, kebijakan perbankan, kebijakan perikanan, kebijakan pendidikan, kebijakan pemerintahan desa, kebijakan sosial dan kesehatan, dan perdagangan. Kebijakan tersebut sudah semestinya hanya berisi norma dan standar yang menjadi payung bagi regulasi operasional di level daerah. Artinya, kebijakan tersebut memberi ruang bagi daerah untuk melakukan elaborasi kebijakan sehingga lebih efektif untuk diterapkan di tingkat daerah dan desa. Arah dari seluruh kebijakan nasional tersebut pada prinsipnya memuat dukungan dan perlindungan terhadap desa pesisir dalam mencapai kemandirian dan karakter keberlanjutan. Juga, kebijakan tersebut memuat aspek pemerataan pembangunan. Seperti dalam hal infrastruktur, sudah saatnya arah kebijakan infrastruktur dapat difokuskan pada pengembangan infrastruktur desa pesisir sebagai landasan bagi pengembangan ekonomi masyarakat pesisir. Tanpa pemerataan infrastruktur, justru akan menyebabkan ketimpangan ekonomi yang makin tajam.Strategi Meso

Strategi meso adalah strategi yang disusun oleh daerah (provinsi dan kabupaten/kota), meliputi kebijakan-kebijakan yang secara operasioanal dapat mengadopsi serta mendanai pengembangan desa pesisir mandiri berupa peraturan daerah (perda) maupun peraturan turunannya. Di era otonomi daerah ini, strategi meso perlu dijabarkan ke dalam sejumlah perda dan peraturan turunannya yang relevan dengan karakteristik daerah dan tidak bertentangan dengan kebijakan di atasnya. Beberapa kebijakan yang penting untuk diperkuat pada tingkat daerah untuk memperkuat desa adalah kebijakan pengelolaan sumberdaya pesisir, kebijakan tata ruang, kebijakan perikanan, kebijakan pengembangan keuangan mikro, dan kebijakan tat pemerintahan desa. Arah dari kebijakan pada level meso adalah disamping pemerataan pengembangan infrastruktur, dukungan dan perlindungan terhadap kemandirian desa, juga devolusi sebagian kewenangan kepada masyarakat atau pemerintahan desa. Dalam era otonomi daerah, semakin besar kesempatan dan kemungkinan bagi daerah untuk menyerahkan sebagian kewenangan tersebut, khususnya dalam pengelolaan sumberdaya pesisir.Strategi Mikro

Strategi mikro adalah strategi operasional pembangunan desa pesisir yang dirumuskan oleh masyarakat sendiri yang bisa difasilitasi unsur masyarakat lainnya (LSM, atau perguruan tinggi) berupa langkah aksi untuk berbagai aspek pembangunan, yang prosesnya tetap mengacu pada prinsip-prinsip pembangunan desa pesisir 2030. Strategi operasional pembangunan desa pesisir melalui sejumlah proses. Pertama, adalah proses identifikasi potensi lokal, yaitu identifikasi kekuatan modal manusia (human capital), modal alam (natural capital), modal finansial (financial capital), dan modal sosial (social capital). Setelah memperhatikan sejumlah isu kritis yang ada di desa pesisir, maka tahap kedua, penting untuk melakukan analisis kebutuhan masyarakat sebagai dasar bagi tahap berikutnya, yakni perencanaan desa. Ketiga, perencanaan desa dilakukan secara partisipatif untuk merumuskan sejumlah program pembangunan sosial, ekonomi, budaya, dan pengelolaan sumberdaya alam. Perencanaan desa berisi pernyataan visi dan misi, daftar prioritas kebutuhan, dan jenis program beserta tujuan, sasaran, indikator kinerja, syarat pokok dan syarat perlu, waktu, serta mekanisme pengendalian. Perencanaan desa tersebut merupakan sebuah proses yang menghasilkan rencana strategis (renstra) dan rencana aksi. Keempat, selanjutnya disusun penataan ruang desa secara partisipatif sesuai dengan arah dari renstra tersebut. Penataan ruang tersebut tetap mengacu pada prinsip-prinsip kelayakan sosial, ekologis, dan ekonomis. Kelima, pengembangan kapasitas organisasi sosial dan organisasi pemerintahan desa. Organisasi sosial diperlukan sebagai alat untuk pencapaian tujuan tertentu sesuai dengan misi organisasi tersebut. Sebagai contoh, masyarakat pesisir perlu membentuk organisasi pengelola sumberdaya pesisir sebagai salah satu bentuk implementasi praktek pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat. Adanya kapasitas masyarakat untuk mengelola sumberdaya pesisir inilah salah satu kekhasan desa pesisir dan menjadi faktor pembeda dari desa lain pada umumnya. Sementara itu pengembangan kapasitas organisasi pemerintahan desa diperlukan untuk perbaikan efisiensi kerja, perbaikan pelayanan, dan perluasan jaringan. Struktur desa pun mesti disesuaikan dengan karakteristik sumberdaya pesisir, sehingga berbagai urusan yang terkait dengan pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya dapat ditangani desa.PENUTUPKarakteristik desa pesisir 2030 adalah desa yang mandiri dalam hal pemenuhan kebutuhan dasar masyarakatnya yakni pangan, energi, pendidikan dan serta sejumlah karakteristik sosial-budaya, ekonomi dan ekologi. Upaya mencapai visi desa pesisir 2030 tersebut memerlukan kerjasama berbagai pihak melalui strategi kebijakan mikro, meso dan makro. Peran perguruan tinggi tidak semata dalam melahirkan sejumlah konsep, inovasi teknologi tepat guna untuk pembangunan ekonomi desa, tetapi juga mendampingi proses pembangunan desa itu sendiri melalui tahap-tahap sebagaimana penjabaran strategi mikro bekerjasama dengan berbagai pihak. Selain hal tersebut, peran perguruan tinggi penting dalam melakukan fungsi advokasi pada pemerintah pusat dan daerah untuk melahirkan strategi makro dan meso yang kondusif bagi kemajuan desa pesisir. Dengan demikian perguruan tinggi memiliki peran penting guna merelisasikan pembangunan desa pesisir mandiri pada level mikro, meso, maupun makro dalam rangka terwujudnya desa pesisir mandiri yang mampu mensejahterakan masyarakatnya serta membangun bangsa Indonesia yang kuat dan mampu bersaing dikancah global.DAFTAR PUSTAKA Kusumastanto, T. 2003. Ocean Policy dalam Membangun Negeri Bahari di Era Otonomi Daerah. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

Kusumastanto, T. 2006. Ekonomi Kelautan (Ocean Economics). PKSPL-IPB Press. Bogor Desa Pesisir 2030

Lingkungan Strategis

Strategi TransformasiMikro

Strategi TransformasiMakro

Analisis Tipologi

Penyusunan Indikator sebagai dasar pemetaan

Strategi TransformasiMeso

Kepala Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PKSPL) IPB

Kepala Divisi Pemberdayaan Masyarakat Pesisir PKSPL IPB