strategi nasional mewujudkan

243
STRATEGI NASIONAL MEWUJUDKAN PERDAMAIAN DAN HARMONISASI NASIONAL DI INDONESIA Saudara-saudara sekalian peserta seminar yang berbahagia, Assalamu”alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Selamat pagi dan Salam Sejahtera bagi kita semua, 1 1

Upload: reju-seven

Post on 05-Jul-2015

310 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

STRATEGI NASIONAL MEWUJUDKAN PERDAMAIAN DAN HARMONISASI NASIONAL DI INDONESIASaudara-saudara sekalian

11 G-a

peserta seminar yang berbahagia, Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, Selamat pagi dan Salam Sejahtera bagi kita semua,

11 G-a

Pertama-tama perkenankan saya secara tulus mengucapkan terima kasih atas undangan Moslem Statisticians and Mathematicians Society in South Eats

11 G-a

Asia untuk memberikan sambutan pada acara The First International Conference on Mathematics and Statistics (ICoMS-1).

11 G-a

Cita-cita perdamaian mungkin sudah berumur sama dengan usia manusia itu sendiri. Namun demikian, kegagalan -kegagalan menciptakan perdamaian

11 G-a

juga sama usianya dengan cita-cita damai sepanjang zaman. Hal itu menyebabkan berbagai konsekuensi, antara lain pesimisme bahwa perdamaian

11 G-a

abadi dianggap merupakan sebuah utopia belaka, mengingat kenyataan bahwa kodrat manusia yang ditakdirkan heterogen dalam cita -cita kelompok, keyakinan,

11 G-a

1 serta kepentingan sosial politik, sudah mengandung implikasi bahwa potensi

11 G-a

konflik adalah sebuah keniscayaan di muka bumi ini. Kalau demikian halnya, mengapa manusia modern di awal millennium ke -3 ini, masih terus mencoba

11 G-a

tidak kehabisan akal untuk mencari cara dalam mengupayakan terciptanya perdamaian bagi diri, keluarga, kelompok, bangsa, serta perdamaian global?

11 G-a

Salah satu jawabannya adalah bahwa selain kodrat manusia yang berbedabeda dan bertentangan berdasarkan suku, bangsa, ras, agama, dan perbedaan

11 G-a

kelompok-kelompok secara primordial maupun pertentangan kepentingan politik dan ideologi, maka merupakan kodrat/naluri (instinct) manusia pula untuk

11 G-a

mempertahankan jenisnya agar tidak mengalami kemusnahan total oleh saling menghancurkan dan memusnahkan. Itulah sebabnya, dalam sejarah, setelah

11 G-a

peperangan demi peperangan, kekerasan demi kekerasan dilakukan oleh sesama manusia, maka manusia secara akumulatif selalu berusaha

11 G-a

menciptakan mekanisme-mekanisme untuk mewujudkan pemulihan keadaan damai.

11 G-a

Perang dan damai yang silih berganti, serta konflik dan konsensus yang mewarnai kehidupan manusia dalam sejarahnya, masih terus berlanjut dalam

11 G-a

kehidupan modern ini. Alat persenjataan dan peralatan militer yang diciptakan untuk memenangkan suatu konflik ataupun peperangan skala besar antar

11 G-a

negara, sudah sampai pada suatu tingkat yang mampu melakukan pemusnahan total seluruh spesies manusia ini dalam waktu hanya beberapa jam saja, apabila

11 G-a

kecanggihan peralatan perang, seperti nuklir, dikuasai oleh pihak-pihak yang salah. Selain itu, peperangan dan konflik yang pada awalnya berskala lokal,

11 G-a

seringkali mengundang intervensi di luar lingkungan konflik semula, sehingga meluas menjadi peperangan berskala besar, didorong oleh berbagai hal, antara

11 G-a

lain oleh solidaritas pada latar belakang agama, etnik, keyakinan politik, ideologi, ras dan bangsa. Kompleksitas konflik d an peperangan di masa sekarang, baik

11 G-a

ditinjau dari sebab-sebabnya maupun pihak-pihak yang mungkin terlibat, menyebabkan upaya-upaya perdamaian pun menjadi makin tidak mudah

11 G-a

perwujudannya. 2 Pada perkembangannya, semangat manusia untuk hidup damai dan

11 G-a

tenteram telah menyebabkan munculnya upaya-upaya bersama yang terus menerus untuk mencari jalan melanggengkan atau memelihara situasi damai

11 G-a

sesuai cita-cita bersama. Penelitian perdamaian (peace researchs) dilakukan, strategi perdamaian (strategy of peace) dirumuskan dan diperbaiki, lembagalembaga

11 G-a

internasional, regional dan lokal -pun didirikan sepanjang sejarah modern ini, untuk merealisasikan keinginan akan perdamaian dan

11 G-a

menghindarkan peperangan yang memusnahkan dan mengundang penderitaan dahsyat bagi umat manusia. Di zaman modern ini, setelah Perang Dunia ke -II berakhir dan

11 G-a

menyebabkan penderitaan serta kesengsaraan yang sangat dalam, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dibentuk oleh beberapa negara sebagai

11 G-a

lembaga internasional terbesar yang diciptakan untuk menciptakan, mendorong, dan memelihara tata tertib serta perdamaian dalam kehidupan internasional.

11 G-a

Betapapun sudah begitu banyak yang dilakukan PBB beserta organ-organ yang ada di dalamnya selama beberapa dasawarsa keberadaannya, masih begitu

11 G-a

banyak pekerjaan rumahnya dalam menciptakan dan mendorong perdamaian dunia.

11 G-a

Perdamaian dalam pengertian negatifnya adalah suatu kondisi tidak adanya peperangan, konflik kekerasan, ketegangan dan huru hara kerusuhan berskala

11 G-a

besar, sistematis dan kolektif. Namun demikia n, berlanjutnya tindak kekerasan seperti terorisme, diskriminasi dan penindasan terhadap minoritas dan kaum

11 G-a

wanita serta anak-anak, kekerasan struktural oleh sebab-sebab kimiskinan dan pengangguran, intoleransi agama, dan rasisme serta sentimen kesukuan, bisa

11 G-a

dikatakan merupakan keadaan tidak adanya situasi damai bagi mereka yang menjadi korban. Oleh karena itu, perdamaian harus dirumuskan pula secara

11 G-a

lebih positif, tidak hanya dengan meniadakan peperangan dan konflik bersenjata berskala besar, melainkan juga memberantas berbagai tindak kekerasan,

11 G-a

ketidakadilan, kriminalitas, penindasan dan eksploitasi manusia oleh manusia lainnya yang lebih kuat serta berkuasa. 3

11 G-a

Berbagai konflik bersenjata, kekerasan, kerusuhan dan huru hara dan konflik sosial dalam berbagai jenisnya yang meningkat selama beberapa tahun

11 G-a

terakhir menunjukkan adanya pergeseran -pergeseran politik, sosial budaya kemasyarakatan yang tidak mampu diidentifikasi secara lengkap dan

11 G-a

komprehensif akar-akarnya untuk kemudian dikelola dan dicari solusinya secara memadai, baik oleh mekanisme kelembagaan politik, maupun kelembagaan

11 G-a

sosial tradisional yang sudah ada. Perubahan sistemik dari sistem politik otoriter menuju sistem politik

11 G-a

demokrasi, menciptakan suatu keadaan transisi sosial, yang merupakan suatu situasi keadaan yang serba menggelisahkan karena ketidakpastian yang

11 G-a

diciptakannya. Di satu pihak, masyarakat sudah meninggalkan sistem politik otoriterisme. Di lain pihak, sistem demokrasi belum terbentuk secara solid,

11 G-a

karena lemahnya lembaga-lembaga demokrasi dan belum berpengalamannya masyarakat dalam memasuki sistem politik demokrasi. Warisan ketidakadilan,

11 G-a

diskriminasi, ketertutupan, KKN, dan berbagai ketidakberesan pengelolaan pemerintahan dan birokrasi, meledakkan ekspresi ketidakpuasan dan penolakan

11 G-a

terhadap apa saja yang berhubungan dengan kekuasaan dan pengaturan di segala bidang kehidupan publik. Padahal sebelumnya berbagai aspirasi,

11 G-a

keinginan dan cita-cita politik masyarakat tidak mampu atau tidak berani diekspresikan secara terbuka apa adanya, karena ancaman kekerasan oleh

11 G-a

aparat-aparat negara keamanan dan intelijen. Setiap warga negara yang berpikir sehat tentu tidak menghendaki berbagai konflik sosial yang berdimensi

11 G-a

kekerasan dewasa ini akan menjadi awal bagi kerusakan sosial, perpecahan bangsa, dan disintegrasi nasional.

11 G-a

Strategi nasional untuk perdamaian barangkali merupakan suatu tema yang paling mendesak untuk dibahas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara

11 G-a

dewasa ini. Kajian tentang strategi ini akan menyangkut begitu banyak faktor dan berbagai sub-sistem kehidupan nasional. Selain itu, seperti yang sudah

11 G-a

diuraikan, strategi nasional untuk perdamaian tidak mungkin terwujud perumusan dan implementasinya, tanpa suatu hubungan timbal balik antara

11 G-a

perkembangan dunia internasional deng an situasi nasional. Hal yang paling baik 4

11 G-a

untuk dilakukan adalah, menemukan dan memanfaatkan faktor faktor positif yang ada dalam sistem hubungan internasional secara optimal, melalui

11 G-a

diplomasi pro-aktif, untuk membangun dan memantapkan perdamaian domestik pada tingkat nasional. Suatu konsep strategi nasional untuk perdamaian akan

11 G-a

gagal apabila tidak memperhitungkan faktor -faktor strategis, perkembangan konstelasi, dan dinamika hubungan internasional.

11 G-a

Sebagai suatu ilustrasi adalah penanganan masala h Timor Timur, yang memisahkan diri sebagai salah satu propinsi Republik Indonesia, setelah

11 G-a

kelompok pro-kemerdekaan memenangkan jajak pendapat penentuan nasib Timtim pada tahun 1999. Kekeliruan memahami perubahan konstelasi politik

11 G-a

internasional dan lingkungan strategis, menyebabkan segala pengorbanan dan upaya mempertahankan Timor Timur mengalami kegagalan yang menyakitkan.

11 G-a

Bahkan, walaupun Indonesia telah mengalami kegagalan mempertahankan integrasi, masih saja mendapatkan tudingan internasional, karena dianggap

11 G-a

gagal juga dalam menjamin proses transisi pasca jajak pendapat, karena dianggap tidak mampu mencegah terjadinya pertumpahan darah, terutama yang

11 G-a

dialami oleh kelompok pro-kemerdekaan. Berdasarkan kondisi-kondisi sosial politik yang berkembang dalam transisi

11 G-a

sistemik yang terjadi di Indonesia yang sudah berlangsung selama beberapa tahun belakangan ini, maka kajian akan membahas dua strategi nasional pokok

11 G-a

untuk perdamaian di Indonesia. Rekonsiliasi Nasional Gagasan utama dari rekonsiliasi nasional d apat disimpulkan pada dua hal.

11 G-a

Pertama, penyelenggaraan dialog nasional dan kerjasama pada tingkat nasional maupun daerah, yang melibatkan semua komponen bangsa, baik

11 G-a

formal maupun informal, yang mewakili kemajemukan agama, suku dan kelompok masyarakat lainnya untuk menampung berbagai sudut pandang guna

11 G-a

mencari titik-titik persamaan pandangan dalam rangka mencari solusi dari berbagai konflik kekerasan dan krisis sosial politik yang ada. 5

11 G-a

Kedua, penyelenggaraan suatu program terlembaga dalam rangka mengungkapkan penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran hak azasi

11 G-a

manusia pada masa lampau, dan menegakkan keadilan serta kebenaran, berlandaskan hukum serta perundang -undangan yang berlaku; untuk

11 G-a

selanjutnya melakukan rekonsiliasi dalam perspektif kepentingan nasional. Langkah-langkah setelah pengungkapan kebenaran, dapat dilakukan dengan

11 G-a

pengakuan kesalahan, permintaan maaf, pemberian maaf, perdamaian, penegakan hukum, amnesti, rehabilitasi, atau cara -cara lain, dengan

11 G-a

memperhatikan rasa keadilan yang hidu p dalam masyarakat dan persatuan nasional.

11 G-a

Menghargai Keberagaman . Indonesia yang terdiri dari berbagai unsur dan bermacam-macam kelompok, hanya akan terpelihara eksistensinya, apabila ada

11 G-a

kerelaan untuk saling menerima keberagaman dari setiap komponen bangsa terhadap komponen atau kelompok lainnya. Setiap warganegara mesti

11 G-a

menyadari, tidak mungkin kedamaian dibangun secara hakiki, apabila suatu kelompok agama tertentu menganggap dirinya adalah kelompok agama yang

11 G-a

lebih istimewa dibandingkan dengan yang lainnya. Salah satu potensi besar dalam menyumbang terhadap perdamaian adalah

11 G-a

dengan kembali kepada ajaran -ajaran pokok setiap agama, karena mayoritas sangat besar dari bangsa Indonesia adalah umat beragama. Agama melalui

11 G-a

para pemeluknya harus belajar meninggalkan sikap memutlakkan ajaran agama (absolutisme agama) sendiri sebagai satu -satunya kebenaran yang ada di

11 G-a

dunia, dan sebaliknya dapat berbagi ruang hidup secara lapang dada dengan menerima keanekaragaman agama-agama (pluralisme agama) di Indonesia.

11 G-a

Dialog Perdamaian. Dalam dialog perdamaian ini, sekali lagi harapan dibebankan kepada para pemeluk -pemeluk agama. Hal ini didasarkan oleh

11 G-a

kenyataan, bahwa sudah begitu banyak kekejaman dan kekerasan yang dilakukan oleh manusia terhadap manusia lainnya di seluruh dunia, termasuk di

11 G-a

Indonesia, justru dengan justifikasi yang berasal atas ajaran agama-agama tertentu. Apalagi agamalah tampaknya yang paling sering menjadi alat politik

11 G-a

6 untuk membenarkan kelompok sendiri, serta menyalahkan kelompok lainnya.

11 G-a

Padahal, setiap orang beragama umumnya sepakat, bahwa pesan inti agama adalah memelihara kehidupan damai serta saling mengasihi antar sesama

11 G-a

manusia. Apabila yang terjadi adalah sebaliknya dari pesan pesan pokok setiap agama, tentulah telah terjadi kesalah pah aman antar pemeluk agama. Untuk

11 G-a

itulah dialog perdamaian antar agama perlu dilakukan secara terus-menerus. Momentum dialog antar agama mulai dirasakan keperluannya dan

11 G-a

kemungkinan-kemungkinan keberhasilannya di zaman modern ini, setelah para uskup agama Katolik seluruh dunia menyelenggarakan Konsili Vatikan II, tahun

11 G-a

1964. Pada waktu itu antara lain dibahas agar soal umat Katolik menjalin dialog dengan pemeluk agama dan berbagai kebudayaan lain yang ada di dunia ini.

11 G-a

Inisiatif dialog ini kemudian disambut d engan baik oleh kalangan Islam. Dewasa ini sudah cukup banyak organisasi dan forum -forum dialog agama-agama

11 G-a

internasional, tidak hanya antara Islam dan Kristen, melainkan juga antara Kristen dengan Yahudi, Kristen dengan Hindu, juga yang bersifat multilateral

11 G-a

antara berbagai agama. Hal ini kalau dilakukan secara terus menerus dengan semangat saling menghargai serta sikap yang dilandasi ketulusan dan kejujuran,

11 G-a

diharapkan besar kemungkinan akan memberikan sumbangan berarti bagi perdamaian.

11 G-a

Menegakkan Kebenaran dan Keadilan . Satu hal yang tidak boleh dilupakan dalam proses awal menciptakan perdamaian yang hakiki adalah

11 G-a

dengan upaya melakukan upaya pengungkapan penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu. Tidak akan mungkin tercipta

11 G-a

perdamaian yang hakiki dengan tindakan menutup -nutupi atau menyembunyikan berbagai tindakan kekerasan terhadap HAM di masa lalu, dan

11 G-a

melepaskan para pelaku penyalahgunaan kekuasaan politik atas nama negara terhadap masyarakat yang lemah yang seharusnya dil indungi oleh negara.

11 G-a

Secara struktural sesungguhnya gagasan rekonsiliasi nasional melalui penegakan kebenaran dan keadilan ini sudah diakomodasikan dasar hukumnya

11 G-a

melalui pembentukan Tap MPR No.V/MPR/2000 tentang pemantapan Persatuan 7

11 G-a

dan Kesatuan Nasional. Secara eksplisit Tap MPR No. V/MPR/2000 mengamanatkan pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dalam

11 G-a

mengupayakan rekonsiliasi nasional secara komprehensif. Ini adalah sebuah lembaga ekstra-yudisial yang dimaksudkan untuk menciptakan perdamaian

11 G-a

tanpa harus melalui prosedur-prosedur hukum yang standar, agar sebuah bangsa mampu menciptakan rekonsiliasi dan perdamaian atas perselisihan,

11 G-a

konflik dan permusuhan, serta pelanggaran -pelanggaran HAM di masa. Salah satu asumsi dari pembentukan badan e kstra-yudisial KKR ini adalah adanya

11 G-a

keterbatasan jangkauan prinsip -prinsip dan asas-asas hukum positif yang ada untuk menyelesaikan berbagai konflik kekerasan dan pelanggaran HAM masa

11 G-a

lalu. Keterbatasan ini disebabkan baik karena kekurangan bukti bukti konkret yang dibutuhkan untuk penyelenggaraan suatu peradilan umum, maupun karena

11 G-a

sudah kadaluwarsanya suatu kasus kejahatan dan pelanggaran HAM tertentu. Di berbagai negara pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi,

11 G-a

antara lain bertugas mengungkapkan be rbagai kejahatan terhadap HAM, serta mendorong pengakuan yang jujur dari para aktor pelanggar HAM di masa lalu,

11 G-a

dengan berbagai tawaran keringanan bahkan pengampunan. Pengungkapan dan pengakuan dari para pelanggar HAM masa lalu, dapat diikuti oleh berbagai

11 G-a

langkah, sesuai dengan kasus dan cara -cara pengungkapan yang dilakukan, termasuk permintaan maaf, pemberian maaf, amnesti, dan rehabilitasi.

11 G-a

Selanjutnya harus dibangun konsensus bahwa peristiwa peristiwa pelanggaran HAM dan penyalahgunaan kekuasaan di masa lalu, tidak akan diulangi kembali

11 G-a

di masa mendatang, diikuti oleh komitmen untuk menghapuskan diskriminasi dan sikap-sikap intoleransi terhadap setiap kelompok atas dasar agama,

11 G-a

budaya, politik, ideologi, dan etnisitas. Konsolidasi Demokrasi Umum. Demokrasi erat kaitannya dengan perdamaian, karena demokrasi,

11 G-a

seperti halnya perdamaian sangat menjunjung tinggi persamaan hak antar warganegara, menjunjung tinggi hukum dan keadilan, mengutamakan dialog,

11 G-a

dan menghindari kekerasan. Oleh karena itu konsolidasi demokrasi adalah salah 8

11 G-a

satu cara yang sangat penting dalam upaya mewujudkan perdamaian yang hakiki, yang muncul dari kesadaran dan partisipasi masyarakat, bukan

11 G-a

perdamaian yang semu hasil rekayasa dan intimidasi oleh kekuasaan negara. Demokrasi dapat didorong dengan memperkuat struktur politik dan infrastruktur

11 G-a

demokrasi, memperbaiki mekanisme proses politik, serta dengan membangun budaya politik yang menjunjung tinggi persamaan di muka hukum.

11 G-a

Demokrasi akan berhasil atau mengalami kegagalan, tergantung dari berbagai hal. Tidak ada jaminan bahwa suatu proses demokrasi akan

11 G-a

menghasilkan demokrasi yang sungguh -sungguh. Demokrasi juga tidak mungkin berhasil hanya dengan itikad baik suatu kelompok tertentu. Proses menuju

11 G-a

demokrasi sama pentingnya dengan tujua n-tujuan mulia dari demokrasi itu sendiri. Mencapai suatu demokrasi, tidak mungkin dicapai dengan cara-cara

11 G-a

otoriter, dengan tindakan -tindakan kekerasan yang direkayasa serta pelanggaran hukum secara sistematis.

11 G-a

Dalam kenyataan di lapangan, bukan tidak mun gkin, suatu proses demokrasi menciptakan ketidaksabaran, sehingga menciptakan godaan-godaan

11 G-a

untuk melakukan percepatan yang seringkali berarti pemaksaan, intimidasi, diskriminasi, pembredelan, dan terorisme. Hal -hal terakhir ini justru akan

11 G-a

menciptakan suatu situasi yang bersifat kontraptoduktif, baik terhadap proses demokrasi, maupun terhadap upaya perdamaian, karena menciptakan lingkaran

11 G-a

kekerasan yang tidak ada kesudahannya. Demokrasi yang sungguh-sungguh hanya mampu diwujudkan melalui proses -proses dialog, musyawarah, tukarmenukar

11 G-a

dan proses jual beli gagasan -gagasan, untuk menemukan solusi dan cara terbaik bagi keselamatan rakyat. Dan ini adalah suatu proses yang

11 G-a

memakan waktu berpuluh-puluh tahun, bagaikan spiral menaik, makin lama makin tinggi tahapnya. Dan makin tinggi struktur, proses dan budaya demokrasi,

11 G-a

akan makin sedikit penggunaan cara -cara kekerasan dalam masyarakat. Struktur Politik dan Infrastruktur Demokrasi. Penguatan struktur politik

11 G-a

yang penting adalah penyempurnaan dan penyusunan perundangan-undangan. Salah satu langkah penting yang perlu segera dilakukan adalah finalisasi dan

11 G-a

pemberlakuan RUU tentang Rekonsiliasi Nasional (RUU/RK) yang merupakan 9

11 G-a

dasar bagi pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Aktivitas ini bernilai strategis bagi pengembangan iklim politik yang demokratis. Komisi

11 G-a

Kebenaran dan Rekonsiliasi ini diharapkan mampu bekerja secara efektif sebagai sarana untuk menyembuhkan luka -luka yang disebabkan oleh berbagai

11 G-a

konflik politik dan pelanggaran kemanusiaan di masa lalu, termasuk ekses-ekses dari penumpasan G30S/PKI beserta penyelidikan latar belakang peristiwanya.

11 G-a

Selain itu, UU tentang Pengadilan HAM perlu ditindaklanjuti dengan pelaksanaan pengadilan bagi para pelanggar HAM. Apabila Komisi Kebenaran

11 G-a

dan Rekonsiliasi ini mampu bekerja dengan prosedur standar internasional, maka salah satu langkah rekonsiliasi nasional untuk mewujudkan perdamaian

11 G-a

yang hakiki akan berhasil dilakukan. Selanjutnya, ada jaminan politik dan hukum yang tegas, bahwa pelanggaran -pelanggaran politik dan kemanusiaan serupa

11 G-a

tidak akan terjadi lagi di masa depan, dalam sistem politik demokrasi. Infrastruktur demokrasi dan perdamaian seperti yang sudah diuraikan pada

11 G-a

bagian sebelumnya, mencakup sistem penting lain di luar sistem politik, yang diduga amat berpengaruh terhadap proses terciptanya perdamaian yang hakiki.

11 G-a

Konsolidasi yang menyangkut sistem hukum haruslah memperhatikan pembenahan kelembagaan hukum, materi hukum serta reorientasi tugas-tugas

11 G-a

para penegak hukum. Kesemuanya ditujukan untuk kembalinya kewibawaan hukum, yang dapat menjamin adanya mekanisme penyelesaian konflik secara

11 G-a

damai. Sistem ekonomi mestilah menjamin adanya alokasi sumber daya perekonomian secara adil, menjamin persaingan yang fair dan terbuka antara

11 G-a

pelaku-pelaku ekonomi. Sistem pertahanan keamanan haruslah menjamin bagi berlanjutnya redefinisi, reorientasi, dan reaktualisasi peran Polri dan TNI dalam

11 G-a

kehidupan berbangsa dan bernegara menuju demokrasi. Sistem informasi, komunikasi dan media massa, harus memberikan jaminan berlanjutnya

11 G-a

kebebasan pers dan lancarnya lalu lintas informasi dan komunikasi secara terbuka. Masyarakat harus dijamin haknya untuk melakukan kontrol terhadap

11 G-a

negara, untuk menghindarkan kemungkinan penyalahgunaan kekuasaan politik dan pelanggaran HAM seperti yang pernah terjadi pada masa lalu. Hubungan

11 G-a

luar negeri dan diplomasi Indonesia haruslah diabdikan untuk menunjang kesejahteraan umum. Politik luar negeri haruslah diimplementasikan dengan

11 G-a

10 pendekatan yang bersifat rasional dan moderat d engan mengandalkan prinsipprinsip

11 G-a

kerjasama internasional, saling menghargai kedaulatan nasional, serta menghormati prinsip-prinsip non-intervensi dalam pergaulan internasional.

11 G-a

Diplomasi Indonesia dilaksanakan dengan menjauhi sikap konfrontatif dan reaktif, melainkan melalui diplomasi proaktif dalam upaya penyelesaian konflik

11 G-a

dengan kekerasan, peperangan pemeliharaan perdamaian dunia. Dunia internasional yang damai mempunyai andil bagi penciptaan dan pemeliharaan

11 G-a

perdamaian di dalam negeri. Proses dan Budaya Politik. Hal strategis yang mendesak dilakukan adalah

11 G-a

menyempurnakan, memantapkan dan menciptakan mekanisme pemilihan umum demokratis. Termasuk dalam strategi ini adalah penyempurnaan proses

11 G-a

politik demokrasi melalui penyelenggaraan pemil ihan Presiden RI secara langsung mulai tahun 2004. Konsekuensinya adalah, dipisahkannya antara

11 G-a

proses Pemilu untuk memilih Presiden dengan Pemilu untuk memilih wakil-wakil rakyat, sehingga diharapkan kemungkinan terjadinya distorsi dalam proses

11 G-a

artikulasi politik aspirasi rakyat dapat dihindarkan secara optimal. Hal ini diharapkan akan mampu menghindarkan sejauh mungkin potensi konflik politik

11 G-a

di masa depan, baik di kalangan elite politik maupun pada tingkat massa. Di negara-negara demokrasi yang sudah mapa n, pemilihan kepala

11 G-a

pemerintahan (eksekutif) diadakan dalam kerangka yang terpisah dengan pemilihan anggota-anggota dewan perwakilan rakyat (legislatif). Dengan

11 G-a

demikian, presiden tidak perlu merasa terganggu dalam pelaksanaan tugastugas eksekutifnya, karena mempunyai legitimasi yang sama kuatnya dengan

11 G-a

legislatif. Terkait dengan agenda penyempurnaan struktur politik melalui amandemen UUD 1945, maka perlu dibangun secara terus menerus proses dan

11 G-a

budaya politik yang mendorong hubungan saling mendukung dan mengoreksi (check and balance) antara Presiden dan DPR. Sistem oposisi politik yang

11 G-a

menghadapkan partai yang membentuk pemerintahan dengan partai yang mengimbangi kekuatan pemerintah perlu diperkenalkan dan dibangun, agar

11 G-a

pemerintah selalu memberikan yang te rbaik dari potensi yang dimilikinya. 11

11 G-a

Budaya oposisi untuk memastikan adanya proses politik yang transparan dan bertanggung jawab pernah menjadi tradisi politik di Indonesia pada masa

11 G-a

demokrasi parlementer. Oleh karena itu, sesungguhnya, Indonesia sudah mempunyai pengalaman, dalam upaya membangun kembali budaya opisisi di

11 G-a

masa mendatang. Dalam jangka pendek sistem oposisi ini tampaknya akan menciptakan suasana transisi yang serba menggelisahkan. Namun demikian,

11 G-a

dalam jangka panjang akan memberikan kontribusi besar bagi upaya mewujudkan perdamaian hakiki di kalangan masyarakat.

11 G-a

Dalam upaya menciptakan proses dan budaya politik demokrasi, diperlukan adanya perbaikan mutu pendidikan nasional di semua tingkat dan bidang.

11 G-a

Keprihatinan yang besar atas mut u pendidikan dewasa ini, harus mampu mendorong terciptanya wacana kurikulum pendidikan nasional yang mendukung

11 G-a

kemandirian, memupuk budaya demokrasi, serta berorientasi pada pembangunan bangsa yang berkarakter ( nation and character building). Selain

11 G-a

itu, budaya menghormati HAM dan menjunjung tinggi hukum perlu ditanamkan pada generasi muda, sebagai dasar pembentukan masyarakat warga yang

11 G-a

modern (civil society), yang mengerti dan berkesadaran tinggi terhadap hak-hak dan kewajibannya sebagai warganegara.

11 G-a

Demikianlah, semoga Allah Yang Maha Kuasa memberi rahmat dan karunia-Nya bagi semua itikad baik kita bagi bangsa dan tanah air tercinta.

11 G-a

Terima kasih Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Jakarta, 11 April 2006 Menteri Negara PPN/Kepala Bappenas

11 G-a

H. Paskah Suzetta 12

11 G-a

11 G-a

11 G-a

11 G-a

11 G-a

11 G-a

11 G-a

11 G-a

11 G-a

11 G-a

11 G-a

11 G-a

B AB XV PERTAHANAN PAN KEAMANAN NASIONAL

11 G-a

.e

.e

.e

.e

.e

BAB XV PERTAHANAN DAN KEAMANAN NASIONAL (HANKAMNAS) UMUM.

Pembangunan Pertahanan dan Keamanan Nasional (Hankamnas) tidak dapat dipisahkan daripada Pembangunan Nasional dalam kese luruhannja. Pada satu pihak Pembangunan Nasional diarahkan pada tertjapainja peningkatan kesedjahteraan bangsa, pada pihak lain tingkat kesedjahteraan bangsa itu wadjib diannankan terhadap segala bentuk antjaman jang dapat mengganggu, bahkan dapat menghantjur kannja dalam bentuk satu perang terbuka. Oleh sebab itu perlu adanja kekuatan jang pada satu pihak mempunjai pengaruh pentjegahan terhadap mereka-mereka jang hendak mengantjam kelangsungan hidup bangsa, pada pihak lain mampu menggagalkan antjaman tersebut de ngan kekuatan sendjata.. Kekuatan inti daripada Pertahanan dan Keamanan Nasional adalah Angkatan Bersendjata, oleh sebab itu meski pun unsur-unsur daripada kekuatan Hankamnas adalah beraneka-ragam tjoraknja, namun unsur Angkatan Bersendjata-lah jang memegang peranan terpenting jang perlu dibangun dan dikembangkan dalam rangka perlindungan dan pengamanan bangsa dan negara terhadap segala antjaman, dalam segala bentuk dan manifestasinja.

HANKAMNAS 1. Politik Pertahanan dan Keamanan Nasional. Pada. dasarnja. Politik Pertahanan dan Keamanan Nasional kita (Hankamnas) diarahkan pada sasaran-sasaran pokok sebagai berikut: a. Kedalam, mentjiptakan suasana dan. keadaan aman, tenteram, tertib dan dinamis, jang merupakan landasan dan iklim bagi tiap usaha dalam pelaksanaan pembangunan disegala bidang. b. Keluar, ikut - serta mendjamin adanja perdamaian dunia, dan mewudjudkan kestabilan di Wilajah Asia Tenggara.117

c. Siap menghadapi: segala kemungkinan.antjaman dalam segala bentuk dan manifestasinja baik dari luar maupun dari dalam, jang dapat menghambat, mengganggu serta dapat memba hajakan kelangsungan hidup bangsa dan negara. 2. Strategi Pertahanan dan Keamanan Nasional. Strategi Pertahapan..dan .Keamanan Nasional diarahkan kepada pembentukan, pengembangan serta penggunaan kekuatan-kekuatan

118

dan unsur - unsur Hankam untuk mendjamin tertjapainja dan terwu djudnja Politik Pertahanan dan Keamanan Nasional. 3. Fungsi-fungsi Pertahanan dan Keamanan Nasional. a. Membentuk suatu kekuatan Hankamnas jang berintikan po tensi Angkatan Bersendjata Republik Indonesia, disamping potensi-potensi jang lain. b. Memelihara dan mempertinggi Ketahanan Nasional disegala bidang, baik dalam bidang mental-ideologi, politik, sosial, budaja maupun militer. c. d. Memelihara serta mempertinggi kewaspadaan serta kesiapsiagaan nasional. Mengembangkan integrasi Angkatan Bersendjata Republik Indonesia dengan Rakjat, integrasi intern Angkatan Bersendjata Republik Indonesia, serta integrasi intern Angkatanangkatan.

KE-KARYA-AN ANGKATAN BERSENDJATA REPUBLIK INDONESIA : Sebagai akibat daripada perdjoangan Angkatan Be rsendjata Republik Indonesia dalam rangka perdjoangan bangsa untuk menegak kan kemerdekaan dan nilai -nilai kehidupan, maka Angkatan Bersendjata Republik Indonesia memperoleh kedudukan dan peranan se bagai Golongan Karya jang berwenang untuk bersama-sama dengan kekuatan-kekuatan sosial lainnja menentukan haluan perdjoangan Bangsa. Tugas pokok kekaryaan Angkatan Bersendjata Republik Indone sia dalam masa pembangunan adalah setjara aktif ikut -serta dalam . segala usaha, daj a-upaja dan kegiatan Negara dan Bangsa dalam bidang pembangunan, sesuai dengan kemampuan jang ada pada Ang katan Bersendjata Republik Indonesia.

PENILAIAN KEADAAN : Keadaan Ekonomi-Keuangan Negara pada dewasa ini mendjadi faktor pembatas utama bagi pengembangan kekuatan-kekuatan Hankamnas, sampai pada tahun 1973/74 baru mampu untuk mendukung118

usaha-usaha pembangunan bagi kepentingan kesedjahteraan Bangsa, sedangkan bagi kepentingan pertahanan dan keamanan hanja dapat disediakan dana-dana jang sangat terbatas.

Namun demikian perlu adanja kemampuan untuk dapat melindungi dan mengamankan usaha-usaha pembangunan terhadap antjam-

119

an-antjaman jang hendak menggagalkan usaha pembangunan Bangsa. Kemungkinan adanja antjaman bahaja jang berbentuk serangan terbuka terhadap kelangsungan hidup Bangsa dan Negara, dalam djangka waktu dckat jang akan datang ini adalah sangat ketjil kemungkinannja. Antjaman bahaja jang dapat mengganggu pelaksanaan pem bangunan akan berbentuk tindakan spionase, sabotase, infiltrasi, sub versi dan pemberontakan-pemberontakan, baik jang bersumber pada kekuatan-kekuatan asing maupun jang berasal dari kekuatan -kekuatan dalam negeri sendiri. Oleh sebab itu setjara optimal kekuatan -kekuatan Hankamnas harus mampu menghadapi segala antjaman tersebut diatas dan dapat meeniadakan efek-efek negatif daripadanja, tanpa melupakan persiapan persiapan jang diperlukan untuk dapat dan mampu menghadapi ke mungkinan serangan jang bersifat terbuka. Angkatan Bersendjata Republik Indonesia sebagai kekuatan inti HANKAMNAS memerlukan waktu untuk mengadakan konsolidasi dan stabilisasi kedalam, sebagai akibat daripada pelaksanaan tugas dalam rargka TRIKORA dan DWIKORA serta penjelesaian Keamanan dan Ketertiban dalam negeri. Konsolidasi dan stabilisasi ini merupa kan landasan bagi pengembangan kekuatan lebih landjut. Angkatan Bersendjata Republik Indonesia sebagai Kekuatan Sosial -Golongan Karya, sesuai dengan kondisi dan situasi dewasa ini baik dalam bidang politik, ekonomi, sosial maupun budaja, wadjib mengadakan penin djauan setjara menjeluruh tentang pelaksanaan peranan dan fungsi nja sebagai Golongan Karya tersebut, agar lebih dapat bermanfaat bagi usaha pembangunan Bangsa disegala bidang. POKOK-POKOK KEBIDJAKSANAAN Realisasi pembangunan sektor Hankam sangat dibatasi oleh keadaan Ekonomi-Keuangan Negara dewasa ini, oleh sebab itu Pem bangunan Hankam disesuaikan dengan kondisi dan situasi tersebut. Dalam babakan Pembangunan Lima Tahun jang akan datang ini, aksentuasi pembangunan Hankam akan diletakan kepada :

1. Hal-hal jang bersifat konsepsionil. a. Penjelesaian Undang-undang Pokok Pertahanan dan Keamanan Nasional, beserta Undang-undang lainnja jang diperlukan.120

b. Penjelesaian lebih landjut daripada Konsep Strategi Nasional kita. c. Penentuan dan penetapan Rentjana : Kekuatan didarat, laut,

121

Udara dan kepolisian , serta komposisi masing - masing katan. d. Pengembangan

Ang-

Sistim Sendjata baik sosial maupun tehnologi,

Industri Militer serta wewenang pembinaannja. e. Penetapan sistim Komando dan Pengendalian. f. Penetapan didikan. g. Penetapan sistim Pemeliharaan Daja Tahan. h. Penentuan tingkat-tingkat kesiap-siagaan pada suatu taraf waktu tertentu, chususnja dalam djangka waktu Realisasi Pembangunan Lima Tahun (Rentjana Pembangunan Lima Tahun). i. Penetapan program Konsolidasi - Stabilisasi. Landasan-landasan jang bersifat konsepsionil tersebut diatas diperlukan bagi penentuan arah pembangunan Hankam selandjutnja. 2. Dalam rangka konsolidasi stabilisasi kekuatan - kekuatan Hankam, serta dalam rangka mendjamin, keamanan usaha - usaha pembangunan Bangsa, djuga dalam rangka Konsepsi Strategi Nasional kita, diadakan RE - GROUPING Kekuatan Penggantian - penggantian (Replacement) baik personil maupun materiil setjara selektif, dan peningkatan mutu Pradjurit pada umumnja. 3. Dalam rangka Kekaryaan Angkatan Bersendjata Republik Indonesia diadakan penindjauan setjara menjeluruh terhadap segala persoalan jang bersangkutan dengan fungsi Angkatan Bersendjata Republik Indonesia sebagai Kekuatan Sosial. 4. Meletakkan kembali pengertian dan pelaksanaan CIVIC - ACTION dalam rangka CIVIC - MISSION Angkatan Bersentjata Republik Indonesia dalam proporsi jang sebenarnja. 5. Usaha - usaha pembangunan disektor sektor lain jang dilakukan oleh Angkatan Bersentjata Republik Indonesia dibatasi pada bidang - bidang jang belum atau belum tjukup mampu dikerdjakan oleh potensi sipil.120

sistim

Administrasi,

Logistik,

Personil

dan

Pen-

LANGKAH-LANGKAH 1969/70 1970/71 1971/72 1972/73 1973/74 Penjelesaian Rentjana-rentjana jang bersifat Konsepsionil 2. Realisasi tingkat kesiap-siagaan jang telah ditentukan. 3. Realisasi konsolidasi-stabilisasi Kekuatan. 1. Realisasi tingkat kesiap-siagaan jang telah ditentukan. 2. Realisasi Rentjana-rentjana jang bersifat Konsepsionil. 1.

121

3. 4.5

Realisasi alih-tugas Pradjurit setjara bertahap, kan dengan usaha-usaha pembangunan pada sektor jang lain. Siap menghadapi Realisasi Pembangunan Hankam

dikait sektor-

dalam Rentjana Pembangunan Lima Tahun jang ke -II. Melandjutkan reailisasi konsolidasi-stabilisasi kekuatan. 1970/71 1971/72 1972/73 1973/74 1974/ 75 Realisasi Pembangunan Lima Tahun < -------------------------------------------------- > Sekaligus adalah Realisasi Pembangunan Infra-Struktur Hankam Penjelesaian hal-hal < --------------------------- > < 1. Legalistis/konsepsionil. dan stabilisasi kekuatan. Realisasi Rentjana-Rentjana < -------------------------------> 1. Struktur kekuatan serta sistim komando dan pe2. Sistim Logistik serta Pembinaan Sistim Sendjata Tehnologi. 3. Replacement PersonilMateriil (selektif-terbatas) 4. Realisasi Alih-Tugas Pradjurit. sepsionil. 8. Realisasi Kekaryaan AB RI setjara fundamentilkonsepsionil. < ---------------- > Persiapan menghadapi pembangunan Hankam 121 RENTJANA PEMBANGUNAN LIMA KE-II 1969/70

1Kaji Ulang Strategi Pertahanan Nasional Working Group on Security Sector Reform, Monograph No-3, 26 Maret 2004

MONOGRAPH No-3 KAJI ULANG STRATEGI PERTAHANAN NASIONAL26 Maret 2004

PROPATRIAWorking Group on Security Sector ReformKaji Ulang Strategi Pertahanan Nasional Working Group on Security Sector Reform, Monograph No-3, 26 Maret 2004

2

PengantarReformasi lekat dengan ketidakjelasan, karena era transisi di dalamnya berpotensi memiliki sifat yang kontradiktif. Di satu sisi, reformasi bertujuan pada suatu tatanan negara yang demokratis. Sifat yang identik dengan demokrasi adalah masyarakat sipil yang kuat dan mampu memerintah dirinya sendiri. Namun di sisi lain, transisi dari negara otoriter menyebabkan masyarakat sipil lemah dan cenderung untuk memahami reformasi hanya sebagai ajang untuk benar -benar membebaskan dirinya. Hal tersebut seringkali mengakibatkan perbenturan kepentingan, baik berupa konflik vertikal (masyarakat dengan negara) ataupun konflik horisontal (antarkomponen masyarakat). Berbagai konflik tersebut sudah tentu mengakibatkan peningkatan derajat ancaman terhadap keamanan nasional. Melihat dari kondisi di atas, maka menjadi wajar apabila ancaman yang paling nyata dihadapi oleh Indonesia sampai dengan sepuluh tahun ke depan lebih berasal dari dalam negeri. Ancaman dari luar yang paling mungkin terjadi adalah persengketaan wilayah, pencurian sumber daya laut, infiltrasi kapal/pesawat asing, dan perompakan. Invasi dari luar dinilai kecil

121

kemungkinannya terjadi. Walau demikian, berbagai ancaman dari dalam dan dari luar tersebut harus mampu diatasi oleh aktor -aktor keamanan, TNI dan Polri, sebagai alat negara. Agar aktor-aktor keamanan dapat mengatasi berbagai ancaman di atas, maka diperlukan suatu kebijakan negara yang menyeluruh, jelas, dan terukur, berdasarkan pada definisi ancaman yang dihadapi. Sebagai turunannya, pengembangan postur pertahanan ditujukan untuk suatu kemampuan pertahanan -keamanan yang tangguh, profesional, dan akuntabel, dalam kerangka negara demokrasi yang kuat. Namun pada kenyataannya, postur pert ahanan Indonesia sekarang ini masih jauh dari yang diharapkan. Ironisnya lagi, kondisi ini disebabkan oleh kebijakan pertahanan keamanan yang ada sampai dengan sekarang lebih bertujuan untuk melanggengkan kekuasaan otoritarian. Oleh sebab itu, reformasi se ktor keamanan menjadi mendesak. Agenda penting dalam reformasi sektor ini adalah kaji ulang strategis sistem pertahanan ( strategic defense review SDR), yang secara keseluruhan memuat pengkajian definisi ancaman, kebijakan yang dibutuhkan untuk mengatasinya, serta postur pertahanan yang akan dikembangkan. Berkaitan dengan konteks di atas, monograph ini menjadi relevan karena penyusunannya mencerminkan pergulatan pemikiran yang muncul dalam berbagai forum yang difasilitasi oleh ProPatria. Monograph ini merupakan salah satu bentuk pertanggungjawaban publik dalam upaya ProPatria memberikan kontribusi dalam reformasi sektor pertahanan dan keamanan selama lima tahun belakangan ini. Terakhir, monograph ini juga dimaksudkan untuk memicu pemikiran dan tanggapan yang dapat memenuhi kekurangan yang tentu saja dimilikinya,

121

yang pada akhirnya dapat memberikan kontribusi yang berarti bagi reformasi sektor pertahanan dan keamanan ke depan. Jakarta, Maret 2004 ProPatria 3Kaji Ulang Strategi Pertahanan Nasional Working Group on Security Sector Reform, Monograph No-3, 26 Maret 2004

DAFTAR ISII. DETERMINAN DASAR STRATEGI PERTAHAHAN NASIONAL......... 1 II. DINAMIKA LINGKUNGAN STRATEGI........................... .......... 5 III. KEBIJAKAN PERTAHANAN INDONESIA...... ............ .......... 12 IV. DOKTRIN PERTAHANAN INDONESIA . ... ..... 25 V. RULES OF ENGAGEMENT........................................................... 34 VI. POSTUR PERTAHANAN INDONESIA........................................... 37 VII. PENUTUP................................................................................ 45Kaji Ulang Strategi Pertahanan Nasional Working Group on Security Sector Reform, Monograph No-3, 26 Maret 2004

4 Transformasi militer di Indonesia harus menyentuh perubahan postur pertahanan negara. Perubahan postur pertahanan ini terkait erat dengan kebijakan pertahanan nasional yang dirumuskan oleh pemerintah serta kemampuan negara untuk mencukupi kebutuhan pertahanan Indonesia. Keterkaitan antara kebijakan pertahanan, postur pertahanan dan ekonomi pertahanan merupakan inti dari proses Kaji Ulang Strategis Sistem Pertahanan (Strategic Defense Review). Kaji ulang ini dilakukan untuk mengetahui dan mengevaluasi struktur pertahanan, kekuatan pertahanan, kemampuan pertahanan, gelar pertahanan, dan anggaran pertahanan dalam menghadapi ancaman masa depan. Saat ini, Indonesia belum memiliki kebijakan pertahanan negara yang lengkap. Berdasarkan UU No.3/2002 tentang Pertahanan

121

Negara, kebijakan pertahanan negara terdiri dari lima rantai kebijakan. Pertama, pemerintah merumuskan Kebijakan Umum Pertahanan Negara. Perumusan ini dilakukan oleh Presiden dengan melibatkan Dewan Pertahanan Nasional (yang anggotanya terdiri dari Wakil Presiden, Menteri Pertahanan, Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, Panglima TNI, Pejabat -pejabat pemerintah dan non -pemerintah) serta Departemen Pertahanan. Kedua, kebijakan Umum Pertahanan Negara ini dioperasionalisasikan oleh Menteri Pertahanan dengan merumuskan Kebijakan Penyelenggaraan Pertahanan Negara dan Kebijakan Umum Penggunaan Kekuatan TNI. Pasal 16 UU No.3/2002 menyatakan bahwa Departemen Pertahanan mempunyai kewajiban untuk membantu Presiden dalam merumuskan kebijakan umum pertahanan negara dan kemudian menuangkannya ke dalam keb ijakan penyelenggaran pertahanan. Ketiga, sebagai penyelenggara kebijakan pertahanan, Departemen Pertahanan berwenang merencanakan pengembangan kekuatan pertahanan dan merumuskan kebijakan umum tentang penggunaan kekuatan komponen-komponen pertahanan. Pasa l ini juga menyebutkan bahwa Menteri Pertahanan bekerja sama dengan pimpinan departemen dan instasi pemerintah lain untuk menyusun dan melaksanakan perencanaan strategis pengelolaan sumber daya nasional untuk kepentingan pertahanan . Keempat, oleh Panglima TNI, seluruh kebijakan politik tentang pertahanan negara tersebut dijadikan pedoman untuk merencanakan pengembangan strategi -strategi militer.

121

Terakhir, perumusan dan pelaksanaan rangkaian kebijakan pertahanan negara ini secara berkala diawasi oleh DPR. Kelima rantai kebijakan tersebut belum dimiliki oleh Indonesia. Departemen Pertahanan baru memiliki Buku Putih Pertahanan dan Program Pengembangan Kekuatan Pertahanan. Markas Besar TNI dan Angkatan memiliki rencana pengembangan kekuatan untuk jangka meneng ah. DPR telah melakukan pertemuan rutin dengan Departemen Pertahanan dan Mabes TNI.

SATUDeterminan Dasar Strategi Pertahanan Nasional5Kaji Ulang Strategi Pertahanan Nasional Working Group on Security Sector Reform, Monograph No-3, 26 Maret 2004Pertahanan Nasional Strategi Raya

Nilai Dasar Bangsa Indonesia Tujuan Nasional Dinamika AncamanSumber Daya Pertahanan Teknologi Persenjataan

Lingkungan Strategis

Namun, Kebijakan Umum Pertahanan Negara dan Kebijakan Penyelenggaran Pertahanan yang menjadi acuan bagi perencanaan, penyelenggaraan, dan pengawasan sistem pertahanan negara belum dibuat ketetapannya oleh Presiden. Ketiadaan dua kebijakan induk ini mempengaruhi pengelolaan sistem pertahanan negara. Dua kebijakan induk tersebut dapat dirumuskan jika pemerintah memiliki Strategi Raya Pertahanan Nasional. Strategi Raya ini dibentuk dengan memperhatikan enam determinan dasar keamanan nasional. Enam

121

determinan dasar tersebut merupakan variabel-variabel penjelas yang menentukan dinamika strategi raya pertahana n Indonesia. Variabel-variabel tersebut harus dianalisa secara berkala agar kebijakan pertahanan Indonesia selalu relevan dengan perubahan yang terjadi di dalam dan di sekitar Indonesia. Enam determinan dasar tersebut tampak dari bagan 1 di bawah ini. Bagan 1. Enam Determinan Dasar Strategi Determinan pertama adalah nilai -nilai ideal yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Nilai-nilai tersebut secara legal formal tertera di pembukaan UUD 1945 yang memandatkan negara untuk memperjuangkan keamanan dan kesejahteraan bangsa. Untuk Strategi Raya, keamanan bangsa yang menjadi prioritas. Keamanan bangsa yang harus diperjuangkan negara meliputi tugas -tugas untuk mempertahankan kemerdekaan, melindungi keselamatan bangsa, menjaga integritas teritorial, dan menciptakan perdamaian dunia. Determinan kedua adalah tujuan nasional yang ingin dicapai dalam kurun waktu tertentu. Pemerintah membagi tujuan nasional dalam bentuk kepentingan nasional yang meliputi survival interest, core values, dan vital interest . Tujuan nasional ini tertera dalam Program Pembangunan Nasional (Propenas) yang menentukan prioritas -prioritas program pembangunan yang ingin dilakukan pemerintah selama lima tahun ke depan. Determinan ketiga adalah dinamika ancaman. Ancaman didefinisikan sebagai segala sesuatu yang membahayakan kedaulatan nasional, integritas wilayah, keselamatan warga negara dan kehidupan demokrasi

121

di Indonesia, serta membahayakan ketertiban dan perdamaian regional dan internasional, baik yang bersifat konvensional maupun non-konvensional. Ancaman merupakan suatu konsep multidimensional yang memiliki empat dimensi utama: militer-non-militer; konvensional-non-konvensional; langsungtidak langsung; eksternal-internal. Perpaduan dari empat dimensi tersebut secara teoretik menghasilkan 16 tipologi ancaman. Berdasarkan 16 tipologi tersebut dapat dirumuskan otoritas penangkal yang akan mengantisipasinya. Walaupun ancaman bersifat multi KajiUlang Strategi Pertahanan Nasional Working Group on Security Sector Reform, Monograph No-3, 26 Maret 2004

6 dimensional dan secara teoretik memiliki 16 tipologi, namun tidak berarti TNI harus mengantisipasi seluruh tipologi ancaman. TNI yang profesional hanya akan menangani tipologi ancaman yang menjadi spesialisasinya. Tipologi ancaman yang harus diantisipasi oleh TNI adalah (1) ancaman yang bersifat militer, (2) berasal dari lingkungan eksternal, (3) menggunakan strategi -strategi militer konvensional, dan (4) langsung mengancam integritas teritorial Indonesia. TNI juga dapat dilibatkan untuk menangani tipologi ancaman lain seperti, ancaman militer -internal-konvensionallangsung, ancaman militer-eksternalnonkonvensional-langsung, ancaman nonmiliter eksternal-non-konvensional-langsung, dan ancaman non-militer-internal-nonkonvensionallangsung. Untuk ancamanancaman non-militer dan tidak langsung, TNI dikerahkan dalam tugas perbantuan kepada institusi lain seperti POLRI, pemerintah, dan atau intelijen strategis. Ancaman militer yang

121

harus ditangani oleh TNI adalah ancaman yang menggunakan keku atan bersenjata yang terorganisasi yang dinilai mempunyai kemampuan yang membahayakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah negara, dan keselamatan segenap bangsa. Ancaman militer ini dapat berbentuk antara lain: agresi, pelanggaran wilayah yang dilakukan ol eh negara lain, baik yang menggunakan kapal maupun pesawat non-komersial, spionase, sabotase, aksi teror bersenjata, pemberontakan bersenjata, dan perang saudara. Determinan keempat adalah sumber daya nasional. Upaya negara untuk membangun suatu kekuatan pertahanan yang tangguh, profesional, dan modern membutuhkan alokasi sumber daya nasional yang tidak kecil. Pemerintah harus dapat memutuskan trade-off yang akan dilakukan untuk melakukan distribusi pendapatan negara ke sektor pertahanan sehingga distribusi tersebut (1) tidak mengganggu program-program pemerintah di sektorsektor non-pertahanan; dan (2) tidak diinterpretasikan oleh negara -negara lain sebagai upaya untuk melakukan military build-up . Determinan kelima adalah perubahan teknologi di bidang pertah anan. Perubahan teknologi yang pesat harus diantispasi dengan mengembangkan suatu rencana sistematis untuk membangun industri -industri pertahanan yang mampu mengantisipasi revolusi di bidang militer. Rencana ini akan menjadi dasar dari transformasi teknolo gi militer yang akan memodifikasi paradigma strategik TNI dari strategi yang didasarkan pada evaluasi ancaman ke strategi pengembangan

121

kapasitas pertahanan. Modifikasi ini juga harus diikuti dengan suatu program mobilisasi ekonomi yang bersifat jangka panj ang yang berupaya untuk menyerap secara proporsional sumber daya nasional untuk kepentingan pembangunan kekuatan pertahanan. Masalah utama yang dihadapi Indonesia untuk mengembangkan industri pertahanan dalam negeri adalah ketidakmampuan sektor industri dan pendidikan untuk menyerap aspek-aspek fundamental dari Revolution in Military Affairs (RMA). Ketidakmampuan ini tidak memungkinkan Indonesia untuk mengalami terobosan berarti dalam pengaplikasian RMA. Solusi jangka panjang dari masalah ini adalah denga n menginisiasi kerjasama di bidang penelitian dan teknologi pertahanan antara lembaga -lembaga kajian dan industri strategik. Solusi ini menuntut adanya komitmen politik dari pemerintah untuk memberikan subsidi yang signifikan untuk mengembangkan industri p ertahanan. 7Kaji Ulang Strategi Pertahanan Nasional Working Group on Security Sector Reform, Monograph No-3, 26 Maret 2004

Determinan keenam adalah dinamika lingkungan strategis global dan regional. Analisa dinamika lingkungan strategis menunjukkan bahwa ancaman akan termanifestasi dalam tiga jenis konflik. Tiga konflik itu adalah inter-state, intra-state, dan transnational conflicts . Konflik pertama adalah konflik-konflik antar negara yang terutama mengancam kedaulatan teritorial Indonesia. Manifestasi konflik ini adalah invasi militer dari negara lain. Kemungkinan merebaknya konflik ini bisa diperkecil jika Indonesia dapat (1) menggelar kekuatan

121

penangkalan (deterrence) yang memadai; dan (2) mengoptimalkan diplomasi sebagai garis depan pertahanan Indone sia untuk menghilangkan intensi dan situasi yang akan memicu konflik. Konflik kedua adalah konflikkonflik internal yang bisa berupa gerakan separatis bersenjata dan/atau konflik komunal yang melibatkan kekerasan bersenjata. Konflik ini akan termanifestasi menjadi konflik bersenjata jika terjadi kegagalan beruntun dari pemerintah dan masyarakat sipil untuk mengelola konflik secara konstruktif. Konflik ketiga adalah konflik-konflik transnasional seperti terorisme, penyelundupan senjata, dan bajak laut. Konflik-konflik ini memiliki karakter baru seperti optimalisasi jejaring internasional, intensitas konflik yang cenderung kecil, dan daerah sebaran konflik yang luas. Kekuatan pertahanan Indonesia tidak dirancang untuk menghadapi konflik-konflik transnasional sehingga perlu ada proses transformasi kekuatan yang signifikan.Kaji Ulang Strategi Pertahanan Nasional Working Group on Security Sector Reform, Monograph No-3, 26 Maret 2004

8 Perkiraan tentang dinamika lingkungan strategis merupakan pijakan penting untuk menyusun sebuah strategic defense review . Lingkungan itu, baik internal maupun eksternal, merupakan peluang dan sekaligus kendala untuk memperjuangkan apa yang dianggap sebagai kepentingan nasional. Seperti halnya dengan politik luar negeri, pertahanan negara perlu dibuat untuk menjawab dan/ atau mengantisipasi perubahan -perubahan lingkungan strategis. Meski demikian tentu tidak semua fenomena yang berkembang

121

pada lingkungan strategis mempunyai bobot yang sama dalam strategic defense review . Dalam konteks itu pula juxta-posisi antara karakter dan kecenderungan perubahan dapat memberi kontribusi untuk menyusun strategic defense review yang lebih obyektif dan realistik. Dimensi yang disebut terdahulu, karakter perubahan, lebih mengacu pada perubahan struktur dan pola hubungan kekuatan antar negara -negara di Asia Pasifik. Dimensi kedua, kecenderungan, hanya menekankan pada beberapa aspek penting yang diduga mempunyai implikasi signifikan, dan oleh karenanya layak menjadi pertimbangan penting dalam penyusunan strategic defense review . Hingga hampir 15 tahun setelah berakhirnya Perang Dingin, perubahan struktur hubungan internasional belum menemukan pola yang mantap. Setelah tumbangnya Uni Soviet, Amerika Serikat menjadi superpower tunggal yang mempunyai dampak bagi kehidupan internasional pada tingkat global, regional dan nasional. Keinginan Amerika untuk menegakkan kepemimpinan Amerika dengan bertumpu pada kekuatan militer dan kejelasan moral , sesuatu yang berkembang di Amerika Serikat sejak 199 2 dan mencapai titik puncak pada 1997, pada akhirnya menimbulkan berbagai masalah. Sulit disangkal jika saat ini Amerika merupakan kekuatan militer paling tangguh. Dan di tengah ketidakjelasan mengenai ukuran kejelasan moral , kemungkinan besar Amerika akan tetap mengandalkan pada kekuatan militer itu untuk memaksakan kepemimpinannya melalui cara-cara unilateral. Kecenderungan itu menjadi semakin kuat

121

sejak tahun 2003 setelah Washington merumuskan doktrin bela diri preemtif (preemptive self defense) atau beladiri antisipatorik (anticipatory self defense). Berdasarkan doktrin itu pula Amerika melakukan serangan terhadap Afghanistan dan Iraq. Di kawasan Asia Pasifik, aliansi Amerika dengan Jepang dan Korea Selatan dan orientasi politik luar negeri Cina merupakan kunci stabilitas kawasan. Untuk jangka waktu yang dapat diperhitungkan ke depan, kemungkinan besar Cina masih tetap hanya menjadi kekuatan regional dan preoccupied dengan reformasi internal dan menjalin hubungannya dengan bagianTimur Rusia, Jepang, dan Korea Selatan. Suasana

DUADinamika Lingkungan Strategis9Kaji Ulang Strategi Pertahanan Nasional Working Group on Security Sector Reform, Monograph No-3, 26 Maret 2004

liberalisasi perdagangan dan keniscayaan bagi penanaman modal asing langsung (foreign direct investment) menyebabkan Cina harus berpikir ulang untuk menjadi agresif, kecuali terhadap Taiwan. Keadaan itu hadir bersama-sama dengan meningkatnya kemampuan Cina yang, berbeda dari masa pertumbuhan industri militer Soviet di tahun 1940-an, ditopang oleh sustainabilitas pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi. Hampir dapat dipastikan Cina akan tampil sebagai kekuatan militer yang semakin kuat. Reorientasi doktrin militer Cina tahun 1980an, yang kemudian dilanjutkan dengan modernisasi, melalui rasionalisasi dan/atau penyesuaian struktur kekuatan (force structure) pertahanan Cina yang semakin

121

intensif pada dasawarasa 1990an, mencerminkan keinginan Cina untuk menjadi kekuatan global. Namun keinginan itu tampaknya masih teredam oleh keterbatasannya melakukan gelar kekuatan (power projection). Dalam hal ini Cina masih terbelenggu oleh banyak hal, termasuk diantaranya keharusan untuk mengakomodasi kepentingan negara luar untuk mengamankan aliran penanaman modal asing. Sebab itu, dalam 10 tahun mendata ng Cina kemungkinan besar belum mampu menjadi kekuatan laut (naval power) yang mampu menangkal kekuatan global Amerika. Sekalipun demikian, pada tingkat regional Cina tampil sebagai kekuatan militer yang memiliki kemampuan bukan hanya untuk sekedar menangkal (deterrence) tetapi memaksa (compellence). Sengketa Laut Cina Selatan, yang melibatkan beberapa negara ASEAN, misalnya, akan menjadi tumpuan utama politik luar negeri Cina di Asia Tenggara. Sebelum akhir dasawarsa silam, Washington telah merumuskan kembali kerjasama keamanannya dengan Jepang dan Korea Selatan. Mereka tetap akan melakukan koordinasi dalam kebijakan keamanan dan luar negeri. Di Jepang, perubahan generasional dan intensi natural untuk tampil sebagai negara normal (normal state) kemung kinan besar akan semakin memperkuat desakan bagi Jepang untuk membangun kekuatan militer. Secara konstitusional, artikel 9 Konstitusi Jepang masih akan menjadi pembatas bagi Jepang untuk tampil sebagai kekuatan militer. Namun, sulit disangkal bahwa sejak

121

dasawarsa silam Jepang semakin meningkatkan keikutsertaannya dalam misi-misi perdamaian di bawah naungan PBB. Stabilitas Semenanjung Korea dan hubungannya dengan Amerika Serikat akan merupakan kunci masa depan Jepang. Dalam 5 -10 tahun kedepan, mungkin Jepan g akan sanggup tampil sebagai kekuatan militer pada tingkat regional di Asia Timur/Pasifik Utara, selain menjaga partisipasinya dibawah naungan PBB. Namun ketergantungan Jepang pada pasokan energi dan bahan mentah tampakya akan menjadi stabilising factor, sekurangkurangnya sampai Jepang menemukan alternatif, misalnya sumber gas di Siberia yang sebagian besar diantaranya akan sangat tergantung pada pasang-surut hubungan TokyoMoskow. Pada lingkaran kedua adalah negaranegara seperti Australia dan India yang masing-masing mempunyai obsesi dan/atau komplikasi internal dalam rumusan politik luar negeri mereka terhadap Asia Pasifik. India mungkin tetap akan memusatkan perhatiannya untuk semakin memantapkan kedudukanKaji Ulang Strategi Pertahanan Nasional Working Group on Security Sector Reform, Monograph No-3, 26 Maret 2004

10 sebagai kekuatan sub-regional Asia Selatan. Pertikaiannya dengan Pakistan, yang dalam perang melawan terorisme semakin dekat dengan Amerika Serikat, menyebabkan India terbelenggu di kawasan itu. Namun pada saat yang sama, gejolak fundamentalisme Islam di Asia Tengah dan negara -negara Islam di bagian Barat akan menyebabkan India secara natural berusaha untuk memperkuat kehadirannya dalam politik di Asia Tenggara.

121

Australia merupakan negara ya ng mempunyai politik identitas. Letak geografisnya di Asia tetapi orientasi kulturnya yang Anglo-Saxon menjadikan negara itu selalu berada dalam kebimbangan dalam merumuskan politik luar negeri dan pertahanannya. Sebagai insular state, tanpa ada ancaman militer riil dari arah Selatan dan Timur, secara natural perhatian Australia adalah ke sebelah Utara. Indonesia dan Asia Tenggara akan menjadi penting dalam prioritas politik luar negeri Australia. Salah satu variabel kontrol kecenderungan ini adalah hubun gan Australia dengan negara-negara Barat. Terlepas dari kecenderungan itu, Australia akan tetap menjadi bagian penting dari strategi pertahanan Barat. Merupakan tandatanya apakah perkembangan perkembangan seperti itu dapat dikelola dalam ARF (ASEAN Region al Forum), selain dalam fora sekunder seperti APEC dan ASEAN Plus. Didalam fora itu sendiri, negaranegara maju tampaknya akan tetap memusatkan perhatiannya pada masalah -masalah konvensional. ARF tetap menjadi wahana utama untuk membahas soal-soal konvensional, seperti nuklir Semenanjung Korea dan isu-isu yang berkaitan dengan legitimasi pembangunan kekuatan militer. Kecil kemungkinan ARF akan membahas agenda transnasional, selain terorisme yang menjadi agenda utama Washington. Kedudukan ASEAN sebagai driving force dalam ARF hingga tingkat tertentu justru menyebabkan ASEAN terbelenggu dalam agenda seperti itu. Sebagai akibatnya, ancaman -ancaman transnasional yang menjadi tantangan utama mereka tetap menjadi isu sekunder.

121

Di dalam ASEAN sendiri kecil kem ungkinan terjadinya konflik bersenjata berkepanjangan. Berbagai norma dan kesepakatan, misalnya Treaty of Amity and Cooperation , telah menjadi aturan main di antara sesama negara ASEAN untuk menyelesaikan pertikaian di antara mereka melalui cara diplomatik . Kalaupun terjadi konflik bersenjata sebagian besar diantaranya tidak lebih dari sekedar low intensity conflict atau skirmish di perbatasan. Bagi Indonesia, ancaman agresi militer secara langsung yang kemudian diikuti oleh pendudukan dalam waktu relatif l ama kecil kemungkinannya akan terjadi. Persoalan paling serius adalah keamanan maritim dan yang penting bukan hanya karena alasan sumber daya (maritime resources) tetapi juga kedudukannya sebagai jalur pelayaran (sea lane of communication) yang semakin pen ting seiring dengan meningkatnya liberalisasi perdagangan. Gangguan -gangguan terhadap batas wilayah maritim, baik yang berasal dari perompakan (high-sea piracy), terorisme laut (maritime terrorism), maupun sekedar sebagai jalur perdagangan gelap dan penyelundupan, merupakan tantangan serius terhadap kedaulatan negara. Dari segi kecenderungan, dapat dilihat beberapa gejala penting. Globalisasi terbukti sebagai tantangan yang sulit dihindari 11Kaji Ulang Strategi Pertahanan Nasional Working Group on Security Sector Reform, Monograph No-3, 26 Maret 2004

sehingga yang dapat dilakukan adalah bagaimana mengelola agar globalisasi tidak menimbulkan, atau sekurang-kurangnya meminimalisasi, dampak yang tidak dikehendaki.

121

Dalam hubungan antarnegara, globalisasi itu menampilkan dirinya dalam berbagai bentuk, misalnya interdependensi dan relativisasi kedaulatan nasional. Sebagai fenomena yang ditandai dengan luluhnya perbatasan (boundary eroding), ketidakamanan bagi suatu negara dapat menjadi sumber ketidakamanan bagi negara lain. Kedaulatan negara menjadi semakin relatif, meski mungkin terbatas pada efektivitas pemerintahan, bukan pada soal keutuhan wilayah. Suatu negara tidak lagi dapat memutuskan segala sesuatu hanya berdasarkan pada apa yang mereka anggap sebagai kepentingan nasional, tetapi juga harus mempertimbangkan kepentingan negara-negara lain. Beberapa isu yang secara langsung berkaitan dengan interdependensi adalah ancaman transnasional. Semakin kuat kesadaran bahwa ancaman terhadap kedaulatan negara yang semula bersifat konvensional (fisik) dan saat ini berkembang menjadi multidimensional (fisik dan nonfisik). Dapat bersumber pada berbagai dimensi non -militer permasalahan ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya maupun permasalahan keamanan yang terkait dengan kejahatan internasional seperti terorisme, imigran gelap, bahaya narkotika, pencurian kekayaan alam, bajak laut, dan perusakan lingkungan tantangan itu dapat menjadi ancaman serius terhadap keamanan nasional. Dimensi eksternal-internal menjadi tidak lagi absolut. Universalisme nilai dan transnasionalitas ancaman menyebabkan luluhnya batas-batas antar negara. Keamanan menjadi isu bukan hanya pemerintahan nasional tetapi juga global dan transgovernmental .

121

Pada saat yang sama keharusan untuk reassert kedaulatan pemerintahan semakin mendesak, karena keharusan untuk early warning dan mencegah eskalasi agar ancaman non-fisik tidak berubah menjadi ancaman fisik. Alternatif untuk itu, membangun norma baru mengenai kedaulatan interdependen (interdependence sovereignty) tidak terlalu mudah. Masalah lain adalah menguatnya upaya penerapan nilai -nilai yang dianggap universal, mulai dari sesuatu yang bertumpu pada nilai keagamaan sampai dengan hakhak asasi manusia, nilai demokrasi, dan penadbiran (governa nce). Globalisasi nilainilai universal itu belum tentu dapat diterima oleh beberapa negara, khususnya bagi mereka yang karena alasannya masingmasing menggunakan argumen relativisme kultural. Nilai universal lain adalah fundamentalisme agama yang kini tampil sebagai kekuatan yang luar biasa. Sebagian dari usaha itu muncul dalam bentuk retrogresi; sebagian yang lain justru muncul dalam bentuk militansi. Di beberapa negara, fundamentalisme Islam dipandang sebagai alternatif terhadap rejim-rejim sekuler yang selama beberapa puluh tahun dianggap tidak mampu menyediakan kesejahteraan kepada masyarakatnya. Di kalangan yang terpinggirkan (marginalised), fundamentalisme itu dapat muncul dalam bentuk radikalisme dan militansi segmen masyarakat tertentu. Lebih dari itu, faktor kunci dalam hal ini adalah pelaku bukan -negara (non-state actors). Perkembangan lingkungan globalKaji Ulang Strategi Pertahanan Nasional

121

Working Group on Security Sector Reform, Monograph No-3, 26 Maret 2004

12 pasca Perang Dingin juga mensyar atkan dikedepankannya cara pandang keamanan yang berorientasi pada upaya mewujudkan kesejahteraan dan menjamin keamanan manusia (human security). Selain itu, aktor non-pemerintah menjadi semakin penting. Pada tingkat global maupun societal, aktoraktor non-pemerintah memainkan peranan semakin penting. Persoalannya, negara nasional tidak sepenuhnya mampu atau tidak mengendalikan aktor -aktor seperti itu. Negara-negara Barat tidak memiliki kapasitas hukum untuk melarang aktivitas pelakupelaku non-negara di negaranya. Pelaku non-negara yang lain adalah lembaga-lembaga internasional seperti PBB. Di satu sisi, gagasan tentang responsibility to protect mencerminkan kepedulian yang semakin besar terhadap keamanan manusia (human security). Namun di sisi lain, gagasan tersebut juga dapat merupakan tantangan baru bagi konsep-konsep tradisional tentang kedaulatan negara. Dibingkai dengan prinsip kedaulatan negara merupakan tanggungjawab negara untuk melindungi, bukan semata-mata menuntut kesetiaan, warganegaranya, tanggung jawab untuk melindungi itu dapat menjadi dalih bagi intervensi militer atas dasar kemanusiaan (humanitarian intervention). Asumsinya adalah bahwa masyarakat internasional mempunyai kewajiban untuk melakukan campur tangan ke wilayah nasional suatu negar a ketika negara tersebut dianggap tidak sanggup lagi melindungi keselamatan dan kesejahteraan warga negaranya. Ketidakdemokrasian dalam pengambilan

121

keputusan dalam Dewan Keamanan dan/atau tiadanya unit militer tetap (stand by forces) di PBB menyebabkan beberapa pihak menganggap intervensi itu tidak lebih dari sekedar imperialisme negara -negara kuat. Pendek kata, perubahan struktur hubungan kekuatan itu hadir bersama dengan fenomena kedua, yaitu meningkatnya interdependensi dalam hubungan antar negara, membengkaknya ancaman transnasionalitas, dan globalisasi nilai -nilai lintasnasional, baik nilai universal seperti hak -hak asasi manusia atau nilai -nilai fundamentalisme agama. Ketiga-tiganya merupakan fenomena yang langsung maupun tidak langsung berkaitan dengan boundary eroding . Dalam kaitan itu, persoalan terbesar adalah bagaimana mengelola batas bersama (common border). Padahal border dalam beberapa hal, khususnya di Asia Tenggara, acapkali mengaburkan konsep frontier, boundary dan border. Revolusi dibidang teknologi komunikasi, informasi, dan persenjataan semakin mempersulit upaya untuk merumuskan response terhadap ancamanancaman. Kombinasi paling serius dari beberapa unsur tersebut menjelma dalam bentuk ancaman terorisme internasional. Berbeda dengan terorisme tradisional yang pada umumnya berkaitan dengan tujuan pembebasan nasional, terorisme modern seringkali mempunyai tujuan terlalu luas dan tidak dapat dibingkai dalam ranah konvensional. Kehadiran mereka dalam jaringan internasional dan potensi mereka untuk menguasai senjata-senjata pemusnah menjadi persoalan serius. Setelah insiden World Trade Center (11 September 2001) ancaman semacam itu

121

mendorong berbagai negara untuk melakukan kaji ulang strategis mereka, termasuk yang kemudian muncul dalam bentuk hak suatu negara untuk melakukan serangan berdasarkan pada doktrin beladiri preemtif ketika suatu negara merasa terancam. 13Kaji Ulang Strategi Pertahanan Nasional Working Group on Security Sector Reform, Monograph No-3, 26 Maret 2004

Di dalam negeri, lingkungan strategis tetap akan ditandai dengan ketidakpastian. Otonomi daerah telah mengakibatkan menguatnya politik identitas dan menimbulkan berbagai masalah, mulai dari ketegangan pusat-daerah sampai pada konflik komunal. Bersamaan dengan itu, refo rmasi masih menyisakan banyak agenda, mulai dari stagnasi pembangunan ekonomi, reinstitusionalisasi sistem politik, sampai masalahmasalah yang berkaitan dengan reformasi birokrasi dan perubahan perilaku masyarakat. Dalam transisi politik, sistem belum sepenuhnya terbentuk. Involusi organisasi, kelangkaan ketentuan perundangan yang memadai, dan tidak adanya kebijakan yang komprehensif menyebabkan terbatasnya kapasitas negara untuk menyelesaikan masalahmasalah tersebut. Yang terjadi kemudian adalah security deficit. Daerah-daerah pinggiran, seperti Papua dan Aceh akan menjadi hot-spots bagi politik identitas dan masalah residual dari pemerintahan pusat yang terlalu kuat pada masa Orde Baru. Penindasan politik pada masa Orde Baru, bersama dengan deprivasi relatif (relative deprivation) dan persepsi tentang ketidakadilan dalam pembagian

121

keuntungan sumber daya menyebabkan menguatnya keinginan untuk merdeka. Lebih seperempat abad Aceh telah menjadi ajang bagi kaum separatis bersenjata. Papua kemungkinan akan menempuh garis yang sama kalau pemerintah pusat tidak segera dapat meredam gejolak di provinsi itu. Di beberapa tempat lain, program transmigrasi ternyata membawa serta berbagai persoalan, mulai dari segregasi pemukiman dan pembagian kerja menurut garis etnik. Bersamaan dengan pergeseran sirkulasi elit, unsur-unsur itu dengan mudah memicu potensi menjadi konflik komunal di beberapa tempat, seperti Maluku, Poso (Sulawesi Tengah), Sampit (Kalimantan Tengah), dan Mataram (Nusa Tenggara Barat). Risiko terbesar yang ditimbulkan oleh konflik komunal adalah rusaknya ikatan persatuan dan kesatuan bangsa, serta menyebabkan gelombang pengungsian dalam skala besar. Di samping itu, akibat kerusakan berbagai infrastruktur, fasilitas sosial dan fasilitas umum dalam skala besar, menyebabkan terganggunya kegiatan pemerintahan. Gugatan terhadap legitimasi pemerintah pusat di Aceh dan Papua serta gugatan terhadap otoritas pemerintahan di tempattempat yang mempunyai potensi kuat terjadinya konflik komunal merupakan ancaman serius terhadap kredibilitas pemerintah pusat. Ketidakmampuan aparat keamanan meredam suasana akan semakin memperbesar security deficit. Kegagalan pemerintah pusat dalam menyusun response yang tepat bisajadi justru memperkuat kecenderungan untuk terjadinya konflik dikelak kemudian hari.

121

Di masa lalu, ancaman didefinisikan secara longgar sebagai segala sesuatu yang membahayakan kedaulatan nasional, integritas wilayah, keselamatan warga negara dan kehidupan demokrasi di Republik Indonesia, serta membahayakan kete rtiban dan perdamaian regional dan internasional, baik yang bersifat konvensional maupun non -konvensional. Ancaman tersebut dapat multidimensional dan berdifusi secara eskalatif dan secara teknis dapat dihadapi oleh seluruh kekuatan nasional, mulai dari diplomasi sampai dengan kekuatan militer.Kaji Ulang Strategi Pertahanan Nasional Working Group on Security Sector Reform, Monograph No-3, 26 Maret 2004

14 Dalam semua itu terdapat persoalan relevansi sumber daya yang digunakan dan kontekstualisasi ancaman sehingga hanya ancaman bersenjata, yaitu ancaman yang menggunakan kekerasan secara sistematik dan teorganisir, yang dapat dijawab dengan kekuatan militer. Ancaman-ancaman itu dapat berupa, antara lain, agresi, pelanggaran wilayah yang dilakukan oleh negar a lain, baik yang menggunakan kapal maupun pesawat non-komersial, spionase, sabotase, aksi teror bersenjata, pemberontakan bersenjata, dan perang saudara. Kalaupun ancaman lain akan dijawab dengan kekuatan militer tentu memerlukan rincian dan ketentuan ter sendiri. Sebagai operasi yang melibatkan kalangan non-militer dan tidak menghadapi musuh yang memiliki status combatant , operasi militer selain perang (OMSP) memerlukan pengaturan yang sama sekali berbeda dari perang konvensional. Meski sebagian besar ancaman yang

121

akan dihadapi Indonesia berupa separatis bersenjata, eskalasi konflik internal yang tidak dapat diatasi dengan cara normal, berbagai bentuk ancaman transnasional, dan/atau penegakan hukum di laut, tidak berarti bahwa Indonesia tidak perlu meng embangkan kekuatan militer sebagai kekuatan penangkal (deterrence), penindak, dan/atau semata-mata untuk menopang upaya diplomasi dan politik luar negeri Indonesia. Pertanyaan pokok adalah bagaimana pengembangan kekuatan dapat dilakukan secara efektif tanpa mengabaikan legitimasi pembangunan kekuatan itu sendiri. Bersamaan dengan itu adalah keharusan untuk mengandalkan pada kerjasama dengan negara-negara ASEAN dan menunjukkan komitmen pada upaya global dalam menghadapi ancaman transnasional serta ancaman terhadap keamanan manusia. Dalam suasana seperti itu tidak mudah merumuskan kebijakan pertahanan yang dapat diterima oleh publik, bahkan sekedar komitmen nasional. Hingga kini kebijakan pertahanan dan keamanan tetap hanya merupakan persoalan bagi sekelompok orang. Bahkan di lingkungan DPR, tidak banyak anggota parlemen yang menganggap pertahanan sebagai persoalan serius. Agenda DPR dalam 5 tahun belakangan lebih didominasi oleh agenda jangka pendek. Pendek kata, bagi sebagian orang, perencanaan pertahanan bukan merupakan prioritas baik karena tergeser oleh agenda transisi politik yang lain, budaya strategis yang tetap beranjak dari prinsip kontinental, maupun karena ketidakpahaman terhadap risiko keamanannya.

121

15Kaji Ulang Strategi Pertahanan Nasional Working Group on Security Sector Reform, Monograph No-3, 26 Maret 2004

Regulasi politik di bidang pertahanan merupakan masalah mendasar dalam pengelolaan negara karena beberapa hal. Pertama, dilihat dari substansinya, masalah pertahanan adalah masalah survival of the state, survival of the nation , dan untuk itu harus memberi perhatian pada upaya ketertiban dunia. Ketiga hal tersebut menggarisbawahi makna keberadaan negara baik dalam konteks domestik dengan segala aspeknya terutama aspek pertanggungjawaban politik maupun dalam hubungan eksternal dalam interaksinya dengan negara lain. Kedua, regulasi politik menjadi penting untuk menjamin kepastian hukum dan kepastian politik tentang pelaksanaan fungsi pertahanan dalam sistem penyelenggaraan negara. Di dalamnya diatur tidak hanya kedudukan, kewenangan, dan interaksi antara antar institusi politik pertahanan, melainkan juga hubungan mereka dengan instrumen pelaksana kebijakan pertahanan, terutama TNI. Aspek kedua ini pada dasarnya menyangkut masalah tataran kewena ngan dalam pengelolaan pertahanan negara. Dalam konteks ini regulasi politik bidang pertahanan dimaksudkan untuk menata penyelenggaraan fungsi pemerintahan di bidang pertahanan dalam sistem demokrasi dengan batas-batas wewenang dan tanggung jawab (akuntabilitas) yang jelas. Ketiga, dengan kepastian hukum dan politik tentang hubungan institusional seperti itu, regulasi politik dimaksudkan untuk mencegah penyalahgunaan institusi dan instrumen pertahanan untuk kepentingan

121

politik atau kekuasaan kelompok terten tu. Dengan demikian, pembentukan dan perumusan regulasi politik yang tegas ditujukan untuk melindungi instrumen pertahanan negara dari permainan -permainan politik. Pengalaman selama Orde Baru, ketika TNI dan POLRI menjadi alat kekuasaan, adalah contoh tepat yang menggambarkan hal itu. Keempat, regulasi politik bidang pertahanan sangat fundamental karena tugas untuk menjaga kelangsungan hidup negara dan bangsa yang menjadi tujuan dasar upaya pertahanan mensyaratkan upaya diplomasi dan interaksi dengan ne gara lain. Ini berarti regulasi politik bidang pertahanan harus memberikan ruang bagi keikutsertaan Indonesia dengan menggunakan instrumen pertahanan dalam upaya perdamaian dan ketertiban dunia. Keempat hal di atas menjadi sangat relevan pada saat ini keti ka pengaturan legal dan konstitusional bidang pertahanan masih saling tumpang tindih yang sering membuat instrumen pertahanan dan keamanan raguragu dalam bertindak dalam menghadapi berbagai persoalan atau ancaman saat ini. Atau, karena regulasi politik yan g tumpang tindih seperti itu, kontrol terhadap instrumen pertahanan menjadi tidak efektif atau lemah. Regulasi politik dengan demikian mempunyai dimensi legal-konstitusional dan dimensi politik baik ke dalam maupun dalam hubungannya dengan masyarakat internasional. Dilihat dari substansi yang diatur, regulasi politik bidang pertahanan pada dasarnya memuat tiga hal pokok yaitu kewe -

TIGAKebijakan Pertahanan Indonesia

121

Kaji Ulang Strategi Pertahanan Nasional Working Group on Security Sector Reform, Monograph No-3, 26 Maret 2004

16 nangan dalam kebijakan pertahanan, upaya pembinaan kekuatan pertahanan, dan penggunaan kekuatan pertahanan, dan pembinaan potensi pertahanan. Hubungan antar institusi dalam bidang pertahanan memberi batas tegas antara kewen angan politik dan aspek operasional yang masingmasing mempunyai wilayah akuntabilitas yang berbeda. Tetapi perlu digarisbawahi bahwa persoalan-persoalan di atas tidak bisa dilepaskan dari cara pandang/filosofi, nilai, atau ideologi, serta konteks sejarah, meskipun juga diakui terdapat prinsip -prinsip umum pengelolaan pertahanan negara, baik aspek kebijakan maupun pelaksanaannya. Oleh karena itu menjadi penting membahas kerancuan pemahaman antara pertahanan dan keamanan, yang sering berimplikasi pada kerancuan penataan institusional dalam menata sistem keamanan nasional, termasuk pertahanan. Dengan pemahaman ini, terlihat bahwa ketidakjelasan regulasi politik bidang pertahanan bahkan keamanan nasional dalam konteks yang lebih besar, tidak hanya karena saat ini Indonesia berada dalam periode transisi yang diwarnai oleh beberapa ketidakjelasan penataan sistem politik, melainkan juga karena terdapat beragam ketidakkonsistenan dan cara pandang yang tidak dapat diakomodasi oleh sistem politik. Dalam konteks ini, faktor sejarah sering menimbulkan ketidakjelasan regulasi politik pertahanan. Sejarah sering dipahami sebagai sesuatu yang given yang memberikan

121

legitimasi permanen kepada instrumen pertahanan untuk memainkan peran di luar expertise mereka. Bahkan lebih bu ruk lagi, sejarah sering juga membentuk cara pandang di kalangan politisi sipil tentang berbagai persoalan, terutama hubungan sipilmiliter yang menghambat upaya pembentukan sistem politik demokratis yang ditandai oleh supremasi otoritas politik terhadap institusi militer. Dwifungsi ABRI di masa lalu dan sistem pertahanan semesta ditafsirkan secara keliru dengan menggunakan legitimasi sejarah. Demikian pula halnya dengan dominannya peran militer dalam institusi pertahanan, terutama Departemen Pertahanan, adalah karena pemahaman yang keliru bahwa masalah pertahanan adalah domain kewenangan militer. Pada tingkat operasional dan taktikal juga menunjukkan hal yang sama. Sistem pertahanan yang bertumpu pada pengembangan kekuatan darat dengan strategi pertahanan pulau besar merupakan warisan cara pandang tentang perang gerilya atau perang kemerdekaan. Sementara perkembangan internasional, sifat dan bentuk perang, serta sumber ancaman telah melampaui batas-batas politik dan wilayah tradisional. Seharusnya, sejarah dilihat sebagai proses atau perkembangan yang mempunyai kekhususan untuk jamannya. Di sinilah pemahaman tentang ketentuan konstitusi mengenai pertahanan harus dilihat. Sangat jelas bahwa UUD 1945 adalah konstitusi yang sangat sederhana dan dibuat pada jam an revolusi kemerdekaan dalam situasi perang, suatu konstitusi perang. Dilihat dari proses penyusunannya pada awal -awal tahun 1940an, tampak sekali bahwa UUD 1945 berwatak

121

konstitusi perang. Karena itu rumusanrumusannya tentang pertahanan negara tampak menggantung, umum, dan kabur. Rumusan konstitusional tentang pertahanan hanya terbatas pada pasal 10 -12 dan 30. Pasal-pasal ini menunjukkan bahwa para perancang UUD 1945 telah memperhitungkan bahwa negara baru Indonesia akan ber17Kaji Ulang Strategi Pertahanan Nasional Working Group on Security Sector Reform, Monograph No-3, 26 Maret 2004

ada dalam situasi perang. Menjadi wajar yang dimuat adalah ketentuan tentang kewajiban warganegara dalam upaya bela negara dan wewenang presiden untuk menyatakan perang, membuat perdamaian dengan negara lain, dan kedudukan presiden sebagai pemegang kekuasaan tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara. Meskipun pasal-pasal ini masih relevan, mereka tidak cukup menjadikan UUD 1945 seperti sekarang sebagai fondasi peletak dasar-dasar hubungan sipil-militer dalam pengelolaan pertahanan negara. Tetapi, perkembangan selanjutnya menunjukkan pasal-pasal UUD 1945 hasil amandemen tentang pertahanan juga masih bertentangan satu sama lain. Bab XII tentang pertahanan, yaitu Pasal 30, berjudul Pertahanan dan Keamanan Negara. Tetapi pada ayat (4) dinyatakan bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat yang bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, dan menegakkan hukum. Harus dipikirkan ulang apakah rumusan fungsi dan tugas kepolisian seperti itu masuk dalam kategori pertahanan dan keamanan negara sebagaimana dimaksud

121

dalam Bab XII Pasal 30 UUD 1945 hasil amandemen. Kerancuan lain adalah tentang kedudukan TNI sebagai alat negara yang bertugas mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara. Tidak hanya pasal ini sangat state-centric karena memusatkan pertahanan pada aspek pertahanan negara, bukan pertahanan nasion al, melainkan juga karena pasal ini tidak menjelaskan peran dan fungsi TNI sebagai komponen utama dalam pertahanan negara untuk menghadapi bentuk dan jenis ancaman seperti apa. Mungkin agak berbeda jika fungsi-fungsi itu dilihat sebagai fungsi negara secara umum. Tetapi, ketika fungsi seperti itu diberikan kepada suatu instrumen, dalam hal ini TNI, maka bisa muncul interpretasi bahwa TNI akan memasuki wilayah-wilayah di luar expertise nya dan kewenangannya atas nama pertahanan negara. Selain itu, masih terdapat kekaburan makna sishankamrata (sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta). Kekaburan pertama adalah pada aspek substansi. Jika yang dimaksudkan adalah pertahanan dan keamanan negara, maka fungsi polisi seperti dirumuskan pada ayat (4) harusnya tidak termasuk pada sishankamrata. Paling tidak, bisa lahir perdebatan panjang tentang posisi polisi dalam sishankamrata, sementara rumusan tentang fungsi kepolisian dalam Bab yang sama adalah hanya untuk keamanan dan ketertiban masyarakat yang kemudian d irinci menjadi melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum. Bab ini juga sangat aneh karena Han dan Kam yang telah dipisah oleh Tap MPR Nomor VI dan VII tahun 2000 digabung lagi menjadi

121

Pertahanan dan Keamanan Negara di mana baik TNI dan POLRI menjadi komponen utama dalam sishankamrata tersebut. Ini berarti bahwa fungsi TNI dan polisi menjadi kabur dalam sistem penyelenggaraan negara. Masalah lain adalah apakah makna dari sishankamrata? Apakah ini doktrin ataukah suatu sistem pertahanan dan keamanan yang menunjukkan hubungan -hubungan kewenangan dalam pengelolaan pertahanan dan keamanan negara yang menggariskan aturan-aturan tentang pengerahan kekuatan pertahanan, termasuk potensi pertahanan? Sementara itu, jika sishankamrata adalah doktrin, maka tidak tepat pengaturannya di KajiUlang Strategi Pertahanan Nasional Working Group on Security Sector Reform, Monograph No-3, 26 Maret 2004

18 masukkan pada tingkat konstitusi. Jika sishankamrata dilihat sebagai sistem dalam pengertian di atas, maka harus ada penjelasan atau ketentuan lebih lanjut tentang sistem yang dimaksud. Sementara UUD 1945 hasil amandemen tidak mengatur hal itu, peraturan perundang-undangan di bawah tingkat konstitusi juga tidak menjawab pertanyaanpertanyaan di atas. Pertanyaan-pertanyaan siapa yang harus mengembangkan dan bertanggung jawab atas pelaksanaan sishankamrata, TNI dan POLRI, Presiden, ataukah Departemen Pertahanan? Karena faktor sejarah dan pengalaman, pendapat umum menyatakan bahwa ini adalah tanggung jawab TNI bersama-sama dengan POLRI. Jadi secara umum, terdapat ketidaksinkronan antara Tap MPR dan konstitusi dalam masalah pertahanan dan keamanan negara. Lebih fundamental dari masalah di

121

atas adalah perlunya meletakkan kembali maksud Pasal 30 UUD 1945. Pasal 30 UUD 1945 sebenarnya dimaksudkan sebagai pengaturan tentang hak dan kewajiban warganegara dalam pertahanan negara. Terlepas dari persoalan bahwa hak bela negara oleh warganegara masih menjadi perdebatan atau paling tidak harus dirumuskan dalam kebijakan pertahanan negara yang dirinci ke dalam suatu undang -undang mobilisasi atau undang-undang bela negara, adalah rancu meletakkan hak dan kewajiban warganegara dalam bidang pertahanan dalam suatu Bab yang mengatur negara dan instrumennya dalam bidang pertahan an. Ketentuan yang mengatur negara dan instrumennya dalam bidang pertahanan, sesuai dengan tujuan didirikannya negara Indonesia harus diatur tersendiri dalam konstitusi yang intinya menggarisbawahi pemberian wewenang kepada yang berdaulat yaitu negara atas dasar mandat rakyat. Jadi, kewenangan bidang pertahanan tidak diserahkan kepada salah satu instrumen negara yaitu TNI. Hal ini makin jelas jika Alinea ke 4 Pembukaan UUD 1945 dilihat lebih dalam. Pada alinea ini, aspek pertahanan dan keamanan negara dinya takan dalam rumusan ... untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan ikut melaksanakan ketertiban dunia . Ketiga hal ini adalah fungsi politik negara. Pembukaan UUD 1945 ini berbenturan dengan Bab XII tentang Pertahanan dan Keamanan Negara. Seharusnya, fungsi kepolisian dalam bidang keamanan dan ketertiban masyarakat tidak termasuk aspek

121

yang diatur oleh Alinea 4 Pembukaan UUD 1945. Karena alinea 4, khususnya pertahanan dan keamanan negara merupakan politik negara, maka ia memasuki mandat politik rakyat. Untuk itu bab tentang pertahanan dan keamanan negara harus menjadi bab tersendiri dalam konstitusi dengan rumusan yang lebih komprehensif dari pada sekedar rumusan seperti sekarang ini. Persoalannya adalah bagaimana menempatkannya dalam struktur kekuasaan negara? Jika pertahanan dan keamanan negara adalah politik negara atas dasar mandat rakyat, maka kekuatan pertahanan dan keamanan negara tidak dapat ditempatkan dalam salah satu kekuatan dari trias politika . Kekuatan pertahanan dan keamanan negara tidak boleh diletakkan di bawah eksekutif, legislatif, atau yudikatif saja. Mereka harus diletakkan dalam hubungan -hubungan antara ketiga lembaga negara tersebut yang mencerminkan mekanisme checks and balances . Melihat masalah-masalah di atas, maka sa19Kaji Ulang Strategi Pertahanan Nasional Working Group on Security Sector Reform, Monograph No-3, 26 Maret 2004

ngat mendesak dilakukan penafsiran ulang (reinterpretasi) dan konstruksi tentang isi Pembukaan UUD 1945, perubahan UUD 1945, dan perbaikan perundang -undangan organik tentang pertahanan dan keamanan negara. Sementara itu pada tingkat undangundang, UU No. 3/2002 mengandung inkonsistensi atau mengandung beberapa hal yang mengundang perdebatan. Pertama tentang kesan atau persepsi bahwa pertahanan menjadi jurisdiksi eksklusif TNI. Ataukah hanya ancaman militer saja? Selain itu,

121

pengerahan kekuatan militer dalam keadaan mendesak juga harus dilihat lebih komprehensif. Memang, dalam situasi tertentu Presiden berwenang mengerahkan kekuatan militer, tanpa otorisasi dari DPR. Persoalannya adalah syarat pengerahan kekuatan militer tanpa otorisasi tersebut tidak mempunyai landasan konstitusional, kecuali hanya dinyatakan dalam konstitusi bahwa Presiden berwenang menyatakan keadaan darurat. Jika hal ini dipandang sebagai hal yang sangat mendasar, akan lebih tepat secara politik memperdebatkan atau memasukkan masalah ini ke dalam konstitusi, bukan pada tingkat undang-undang. Undang-undang No. 3 Tahun 2002 juga tidak secara definitif memilah antara pembinaan kekuatan dan penggunaan kekuatan. Masing-masing angkatan mempunyai kekhasan berdasarkan masing-masing matra. Oleh karena itu, pembinaan masing -masing angkatan harus diserahkan kepada Kepal a Staf Angkatan. Kepala Staf Angkatan dengan demikian bertanggung jawab atas kesiapan dan expertise militer di setiap angkatan yang pada situasi tertentu dibutuhkan oleh panglima untuk melakukan suatu operasi militer. Artinya, wewenang penggunaan kekuatan militer setelah ada keputusan dari otoritas politik, ada pada panglima. Sementara itu, Pasal 18 UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara menyatakan bahwa Panglima TNI menyelenggarakan pembinaan profesi dan kekuatan militer. Memang pada akhirnya masalah ini tergantung dari pilihan -pilihan, apakah akan memilih model panglima seperti sekarang yang mempunyai kedudukan kuat terhadap masing-masing angkatan, ataukah

121

model Kepala Staf Gabungan. Dalam hal ini, UU No. 3/2002 tidak tegas di dalam menentukan kompetensi internal otoritas militer. Hal ini akan melahirkan perdebatan panjang di kalangan internal militer. Kontroversi lain tentang panglima adalah kedudukannya setingkat menteri langsung di bawah presiden. Muncul dua persoalan. Pertama, hal ini akan m enyulitkan perwujudan supremasi Departemen Pertahanan terhadap TNI. Departemen Pertahanan seharusnya tidak hanya merumuskan kebijakan pertahanan negara dan kewenangan -kewenangan lain sebagaimana telah dirumuskan dalam Undang-undang No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, melainkan juga mempunyai kewenangan melakukan kontrol terhadap TNI, sebab pertanggungjawaban politik tentang TNI melekat pada Departemen Pertahanan atau Menteri Pertahanan. Persoalan kedua berkaitan dengan makna Presiden sebagai pemegan g kekuasaan tertinggi atas angkatan -angkatan. Beberapa kejadian empirik dan ketentuan politik -legal menunjukkan keraguan -keraguan terhadap legitimasi presiden sebagai pemegang kekuasaan tertinggi atas angkatan -angkatan. Perdebatan di sekitar pasal 19 RUU TNI adalah contoh mutakhir tentang hal ini.Kaji Ulang Strategi Pertahanan Nasional Working Group on Security Sector Reform, Monograph No-3, 26 Maret 2004

20 Jadi, regulasi politik bidang pertahanan dan keamanan masih simp