standar untuk pengolahan limbah emas fix

22
Standar untuk pengolahan limbah emas Berdasarkan peraturan yang telah dibuat, berikut merupakan peraturan dalam pertambangan emas: (Kep. Men. LH No. 51/Men.LH/10/1995) SNI 13 – 4181 – 1996 Pengolahan limbah cair dari proses sianida bijih emas secara kimiawi I. Ekstraksi emas Proses ekstraksi emas adalah memisahkan dan memekatkan emas. Tergantung pada jenis mineral emas dan sifatnya, emas dapat dipekatkan dengan pemisahan gravitasi. Akan tetapi , pada konsentrasi emas yang rendah dan tidak adanya perbedaan kepadatan yang cukup, proses ekstraksi fisik saja tidak layak secara ekonomi maupun kuantitatif. Ketika pemisahan fisik tidak dapat dicapai, emas biasanya dipisahkan dari unsur-unsur lain dari bijih dengan pelarutan kimia dalam sianida. Proses ini umum disebut sebagai pelindian, dan sebagai sianidasi dengan referensi khusus untuk sianida. Proses pelarutan emas dengan sianida dilakukan dengan mencampurkan bubur basah bijih emas yang ditumbuk halus dengan natrium sianida. Bubur dibuat dalam suasana basa dengan penambahan alkali seperti kapur, dan oksigen ditambahkan untuk melengkapi reaksi. Leaching Sianida adalah proses pelindian selektif oleh sianida dimana hanya logam-logam tertentu yang dapat larut, misalnya Au, Ag, Cu, Zn, Cd, Co dan lain-lain. Setelah menemukan garam sianida, Carl Wilhelm Scheele membuktikan bahwa emas dapat terlarut dalam larutan sianida pada tahun 1783.

Upload: ainimomoai

Post on 28-Dec-2015

203 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

lalala

TRANSCRIPT

Page 1: Standar Untuk Pengolahan Limbah Emas fix

Standar untuk pengolahan limbah emas

Berdasarkan peraturan yang telah dibuat, berikut merupakan peraturan dalam pertambangan emas:

(Kep. Men. LH No. 51/Men.LH/10/1995)

SNI 13 – 4181 – 1996 Pengolahan limbah cair dari proses sianida bijih emas secara kimiawi

I. Ekstraksi emas

Proses ekstraksi emas adalah memisahkan dan memekatkan emas. Tergantung pada jenis

mineral emas dan sifatnya, emas dapat dipekatkan dengan pemisahan gravitasi. Akan tetapi ,

pada konsentrasi emas yang rendah dan tidak adanya perbedaan kepadatan yang cukup,

proses ekstraksi fisik saja tidak layak secara ekonomi maupun kuantitatif. Ketika pemisahan

fisik tidak dapat dicapai, emas biasanya dipisahkan dari unsur-unsur lain dari bijih dengan

pelarutan kimia dalam sianida. Proses ini umum disebut sebagai pelindian, dan sebagai

sianidasi dengan referensi khusus untuk sianida.

Proses pelarutan emas dengan sianida dilakukan dengan mencampurkan bubur basah bijih emas yang ditumbuk halus dengan natrium sianida. Bubur dibuat dalam suasana basa dengan penambahan alkali seperti kapur, dan oksigen ditambahkan untuk melengkapi reaksi.

Leaching Sianida adalah proses pelindian selektif oleh sianida dimana hanya logam-logam tertentu yang dapat larut, misalnya Au, Ag, Cu, Zn, Cd, Co dan lain-lain.

Setelah menemukan garam sianida, Carl Wilhelm Scheele membuktikan bahwa emas dapat terlarut dalam larutan sianida pada tahun 1783. Melalui karya Bagration (1844), Elsner (1846), dan Faraday (1847), dipastikan bahwa setiap atom emas membutuhkan dua sianida, yaitu stoikiometri senyawa larut. 

Namun ekstraksi emas dengan menggunakan leaching sianida diterapkan pertama kali oleh John Stewart Mac Arthur yang didanai dua bersaudara Dr Robert dan Dr William Forrest, di Glasgow, Scotland tahun 1887. Metode ekstraksi bijih emas dengan sianida yang dikenal sebagai proses MacArthur-Forrest merupakan proses hidrometalurgi yang paling ekonomis dan hingga kini telah diterapkan pada berbagai industri pengolahan emas di dunia. Walau sesungguhnya banyak lixiviants  (leaching agen) lainnya yang dapat digunakan, antara lain :

Bromides ( Acid and Alkaline ) Chlorides Iodium-Iodida Thiourrea / Thiocarbamide ( CH4N2S ) Thiosulphate ( Na2S2O3 )

Page 2: Standar Untuk Pengolahan Limbah Emas fix

Untuk keperluan ekstraksi dari bijihnya, proses dengan melibatkan senyawa sianida dapat diterapkan pada ekstraksi logam emas. Emas membentuk berbagai senyawa kompleks. Emas (I) oksida, Au2O adalah salah satu senyawa yang stabil dengan tingkat oksidasi +1, seperti halnya tembaga, tingkat oksidasi +1 ini hanya stabil dalam senyawa padatan, karena semua larutan garam emas (I) mengalami disproporsionasi menjadi logam emas dan ion emas (III) menurut persamaan reaksi :

3Au+(aq) → 2Au (s) + Au3+

(aq)          (Bertrand, 1895).

Pada pelindian sianidasi para peneliti sepakat bahwa sebelum membentuk senyawa kompleks dengan ion sianida, logam emas harus teroksidasi dahulu menjadi ion emas. Prosesnya merupakan proses redoks (reduksi-oksidasi) dimana ion sianida membentuk senyawa kompleks kuat dengan ion Au+ dan diiringi dengan reduksi oksigen di permukaan logam menjadi hidrogen peroksida atau menjadi hidroksil seperti reaksi berikut ini :

Oksidasi :  Au → Au+ + ePembentukan kompleks :  Au+ + 2CN- → [Au(CN)2]-

Reduksi :  O2 + 2H2O + 2e → H2O2 + 2OH-

   O2 + 2H2O + 4e → 4OH-

Ada banyak teori tentang pelarutan emas mulai dari Teori Oksigen Elsner, Teori Hidrogen Janin, Teori Hidrogen Peroksida Bodlanders, Teori korosi Boonstra, sampai Teori Pembuktian Kinetika dari Habashi. Teori yang paling banyak dipakai adalah Teori Oksigen Elsner dan Pembuktian Kinetika Habashi.

Teori Oksigen Elsner, reaksi pelarutan Au dan Ag dengan sianida adalah sebagai berikut :

4Au + 8CN- + O2 + 2 H2O → 4Au(CN)2- + 4NaOH-

4Ag + 8CN- + O2 + 2 H2O → 4Ag(CN)2- + 4NaOH-

Teori Pembuktian Kinetika ( Habashi. 1970 ), reaksi pelarutan Au dan Ag  adalah sebagai berikut :

2Au + 4CN- + O2 + 2 H2O → 2Au(CN)2- + 2OH- + H2O2

2Ag + 4CN- + O2 + 2 H2O → 2Ag(CN)2- + 2OH- + H2O2

Mekanisme reaksi ini adalah mekanisme elektrokimia. Hidrogen peroksida telah dideteksi dalam larutan sianida dimana emas telah terpisah secara cepat, dan observasi ini menunjukkan bahwa beberapa emas kemungkinan terpisah melalui sepasang reaksi yang melibatkan pembentukan pertama hidrogen peroksida .

2Au + 4CN- + O2 + H2O → 2(Au(CN)2- + 2OH- + H2O2

Lalu hidrogen peroksida bereaksi dengan beberapa emas dan sianida.

2Au + 4CN- + H2O2 → 2(Au(CN)2- + 2OH-  

Proses pengolahan emas dengan sianida terdiri dari dua tahap penting, yaitu proses pelarutan / pelindian ( leaching ) dan proses pemisahan emas ( recovery ) dari larutan kaya.

Page 3: Standar Untuk Pengolahan Limbah Emas fix

Pelarut yang biasa digunakan dalam proses cyanidasi adalah Sodium Cyanide ( NaCN ), Potassium Cyanide ( KCN ) , Calcium Cyanide [ Ca(CN)2 ], atau Ammonium Cyanide ( NH4CN ). Pelarut yang paling sering digunakan adalah NaCN, karena mampu melarutkan emas lebih baik dari pelarut lainnya.

Walaupun penggunaan metode ini sama halnya dengan metode ekstraksi yang lain yang masih memiliki potensi dampak berupa efek beracunnya bagi pekerja dan lingkungan, ekstraksi emas dengan menggunakan metode leaching sianida saat ini telah menjadi proses utama ekstraksi emas dalam skala industri, karena metode ini menawarkan tehnologi yang lebih efektif dan efisien, antara lain adalah :

a. Heap leaching ( pelindian tumpukan ) : pelindian emas dengan cara menyiramkan larutan sianida dengan menggunakan sprinkler pada tumpukan batuan emas ( diameter bijih < 10 cm ) yang sudah dicampur dengan batu kapur. Air kaya yang mengalir di dasar tumpukkan yang kedap kemudian dialirkan dan ditampung untuk kemudian dilakukan proses berikutnya. Efektifitas ekstraksi emas berkisar 35 – 65 %.  Heap leaching dikenalkan pada tahun 1970-an sebagai salah satu metode pengolahan emas menggunakan sianida dengan biaya rendah.

II. Alternatif penggunaan sianida

Ada berbagai teknik untuk memisahkan emas dan logam berharga lainnya dari bijih (McNulty 2001a), selain dari teknik berbasis gravitasi. Teknik dalam pelarutan emas dalam bijih menggunakan bromin / bromida / asam sulfat, hipoklorit / klorida, amonium tiosulfat / amonia / tembaga, dan tiourea / feri sulfat / asam sulfat. Alternatif untuk sianida bisa layak secara ekonomis di mana biaya operasional yang rendah dan / atau ketika harga emas tinggi. Selain itu, alternatif tersebut bisa sama saja atau bahkan lebih merusak lingkungan daripada sianida. Dari sejumlah proses alternatif, pelindian tiosulfat merupakan proses yang paling menjanjikan serta telah diterapkan secara komersial di beberapa Negara. Oleh karena itu, penelitian yang mengkaji pelindian tiosulfat ini akan mempunyai peran berharga dalam menjelaskan dan mensosialisasikan metode ekstrasi emas dengan bahan yang ramah lingkungan, berbiaya operasional yang kompetitif terhadap metoda sianidasi serta kinerja proses yang sebanding dengan proses sianidasi. Penelitian tahun 2007 merupakan penerapan lebih lanjut proses optimasi pelindian tiosulfat system batch dan penelitian skala batch perolehan emas dari larutan kaya hasil pelindian menggunakan metode perukaran ion (resin) dan sementasi serta perancangan peralatan pelindian skala bench. Hasil percobaan menunjukan, pembuatan larutan kaya emas tiosulfat sebagai bahan umpan proses pertukaran ion dan sementasi dengan konsentrasi sebesar 5.3 mg/L (ppm) dapat digunakan dengan baik.

Proses pertukaran ion yang efektif dengan adanya ion tembaga hanya dapat terjadi dalam kondisi terbatas karena ketidakstabilan larutan tiosulfat. Dengan kondisi 0,1 m ammonium tiosulfat, 500 ppm tembaga, pH optimum 11, diperoleh adsorpsi emas pada resin yang lebih kuat dari pada tembaga.

Page 4: Standar Untuk Pengolahan Limbah Emas fix

Reaksi sementasi emas mengikuti kinetika tingkat pertama dan dengan de-aerasi larutan, dapat meningkatkan perolehan emas. Namun, kehadiran ion feri dalam larutan pelindian dapat menurunkan efisiensi pengendapan emas dari 86 menjadi 78%.

III. LIMBAH PADAT

Dalam penambangan emas, menghasilkan hasil samping yang tidak terpakai (waste), jika bahan tersebut didiamkan terus menerus akan menghasilkan hasil samping yang akan berbahaya untuk lingkungan dan makhluk hidup. Limbah padat ini dinamakan tailing. Tailing secara teknis didefinisikan sebagai material halus, yaitu merupakan mineral yang tersisa setelah mineral berharganya diambil dalam suatu proses pengolahan bijih . Dalam kamus istilah teknik pertambangan umum, tailing diidentikkan dengan ampas. Tailing juga didefinisikan sebagai limbah proses pengolahan mineral yang butirannya berukuran relatif halus. Sementara waste adalah material buangan yang berupa batuan yang dipisahkan dari bijih (batuan yang mengandung logam). Waste dan tailing ini umunya langsung dibuang ke perairan sehingga nanti akan menyebabkan pendangkalan. Agar tidak terjdi hal tersebut maka waste dan tailing yang udah didapatkan bisa dibuat batu bata. Agar komponen-komponen campuran waste dan tailing dapat terikat maka ditambahkan binder binder waterglass (binder WG) dan binder portland cement (binder PC), sehingga dapat dimanfaatkan lagi. Percontoh tailing dikeringkan dalam oven pada temperatur 100-105◦C selama 2 jam untuk menghilangkan kadar airnya, kemudian dilakukan homogenisasi dan pembagian percontoh Untuk mengetahui distribusi ukuran butirnya, waste dan tailing diayak menggunakan ayakan getar (sieve shaker) standar ASTM (American Society fot Testing and Materials) ukuran 4 mesh, 8 mesh, 16 mesh, 40 mesh, 60 mesh, 80 mesh, 100 mesh, 140 mesh, dan 200 mesh. Analisis ini bertujuan untuk mengetahui variasi jumlah (berat) dan ukuran butir masing-masing percontoh. Analisis kimia percontoh waste dan tailing dilakukan untuk mengetahui komposisi kimianya,seperti SiO , Al2O3 , Fe2O3, TiO , MgO, CaO . Na2O, dan K2O. Sementara analisi fisika meliputi analisis besar butir waste dan tailing serta kuat tekan benda uji bata cetak.

LIMBAH CAIR TAMBANG EMAS

Kandungan mineral alam di bumi Indonesia beraneka macam dan besar jumlahnya. Salah

satunya adalah deposit emas, perak dan tembaga yang keberadaannya sebagai urat kuarsa di pegunungan Pongkor, Bogor, Jawa Barat. Identifikasi lokasi keberadaan mineral tersebut ditemukan oleh PT. Aneka Tambang, Tbk dengan hasil analisis perkiraan kandungan emasnya berkisar 5,4 juta ton dengan kadar Au rata-rata 12,31 gram/ton dan Ag 135,20 gram/ton. Pelaksanaan eksploitasi yang meliputi kegiatan eksplorasi dan proses pengolahan bijih dilakukan di lokasi yang sama sehingga merupakan industri terpadu yang mudah pengawasannya. Penambangan dilakukan di kedalaman tanah lebih dari 10 m di bawah permukaan tanah dan menerapkan metode cut and fill stopping, sehingga kelestarian lingkungan di atas permukaan tambang tidak terganggu. Metode cut and fill stopping adalah metode penambangan dengan mengembalikan padatan sisa pengolahan ke dalam lobang bekas penambangan dan perlakuan tersebut merupakan reklamasi dini lahan bekas

Page 5: Standar Untuk Pengolahan Limbah Emas fix

penambangan. Pengolahan bijih emas hasil penambangan dilakukan dengan proses sianidasi, yaitu pengambilan logam emas dengan cara ekstraksi memakai pelarut sianida. Metode sianidasi tersebut dipakai karena prosesnya memberikan nilai recovery (perolehan kembali) relatif besar, yaitu 90-97 %. Diagram alir proses pengolahan bijih emas seperti pada Gambar 1.

Sianida adalah senyawa yang termasuk B-3 (Bahan Berbahaya dan Beracun), sehingga pada pemakaiannya sebagai pelarut proses pengambilan logam emas, konsentrasinya dibatasi sampai 1500 ppm. Dari proses pengolahan bijih secara sianidasi akan ditimbulkan limbah cair yang dikenal sebagai tailling effluent yang mengandung sianida sehingga harus diolah agar tidak berbahaya bagi lingkungan. Iklim global yang cenderung naik temperaturnya, mengakibatkan kesulitan mendapatkan sumber mata air baru untuk kehidupan masyarakat dan industri. Sehubungan dengan program peningkatan kapasitas produksi industri pertambangan emas Pongkor yang tentu akan meningkatkan jumlah limbah tailing effluent yang harus diolah, maka dibutuhkan tambahan pasokan air atau meningkatkan kapasitas tailing dam untuk mengolah limbahnya. Kendala tersebut dapat diatasi dengan cara mengurangi semaksimal mungkin kandungan/kadar sianida dalam limbah. Oleh karenanya, maka diperlukan penelitian yang bertujuan untuk mengurangi kandungan/ kadar sianida dalam limbah.

Sesuai baku mutu air limbah kategori II (Kep. Men. LH No. 51/Men.LH/10/1995) keberadaan sianida dalam limbah cair dibatasi tidak boleh melebihi konsentrasi 0,5 ppm. Untuk memenuhi baku mutu tersebut, PT. Aneka Tambang, Tbk sebagai pengelola industri pertambangan emas pongkor melakukan pengolahan limbah tailling effluent nya dengan proses penguraian secara alamiah. Proses reduksi kandungan sianidanya terjadi karena adanya proses biodegradasi oleh mikroorganisme dan biota air. Berkaitan dengan banyaknya limbah yang ditimbulkan maka untuk mengolahnya diperlukan fasilitas penampungan yang besar, sehingga dibangun sebuah tailing dam yang berkapasitas besar, terbuka sehingga memungkinkan kehidupan mikroorganisme dan biota air.

Page 6: Standar Untuk Pengolahan Limbah Emas fix

Foto visual tailing dam, tailling efluent dan salah satu sumber air pengenceran serta pengendalian dispersi hasil pengolahannya dapat dilihat pada Gambar : 2,3,4 dan 5. Gambar 2 menunjukkan aliran tailing effluent yang masuk fasilitas dam, Gambar 3 adalah salah satu sumber air untuk pengenceran maksimum dan Gambar 4 mengambarkan besarnya daya tampung fasilitas tailing dam serta Gambar 5 adalah kolam pengendalian limbah olahan yang siap dispersi ke aliran sungai. Kemudian untuk menjaga supaya proses penguraian berjalan optimal, konsentrasi sianida (tailling dam input) diatur dengan cara pengenceran sehingga konsentrasinya turun dari ± 500 ppm menjadi ± 125 ppm. Proses penguraian alamiah (biodegradasi) yang terjadi di tailling dam dirancang mampu menurunkan kandungan sianida hingga konsentrasinya (over flow) ± 10 ppm. Kemudian untuk memenuhi nilai baku mutu di atas, limbah keluaran tailling dam dioksidasi dengan H2O2 sehingga konsentrasinya turun dari ± 10 ppm menjadi < 0,1 ppm yang selanjutnya dapat didispersikan ke aliran Sungai (Cikaniki).

Jika kapasitas produksi ditingkatkan, maka akan menimbulkan tambahan sejumlah limbah yang harus diolah. Pada keadaan tersebut, permasalahan yang dihadapi adalah meningkatnya beban sianida di tailing dam yang dapat mengakibatkan turunnya laju pertumbuhan atau penyebab matinya mikroorganisme dan biota air. Kondisi tersebut mengakibatkan proses penguraian alamiah berjalan lambat bahkan dapat berhenti tidak seperti yang diharapkan. Bila perlakuan pengenceran diintensifkan sampai batas yang ditentukan, maka debit aliran limbah yang masuk ke talling dam akan bertambah besar dan berakibat pada turunnya waktu tinggal limbah di talling dam. Pada kejadian tersebut proses penguraian secara alamiah berjalan tidak optimal dan mengakibatkan rendahnya penurunan kadar sianida dalam limbah. Kedua keadaan tersebut akan mempengaruhi proses selanjutnya, yaitu oksidasi secara kimia dengan H2O2. Permasalahan lain yang akan dihadapi adalah semakin sulitnya mendapatkan sumber mata air baru untuk tambahan pengenceran.

Tindakan penyelesaian yang harus dilakukan adalah dengan cara meningkatkan kapasitas

Page 7: Standar Untuk Pengolahan Limbah Emas fix

tampung tailing dam sehingga waktu tinggal limbahnya tidak berubah atau menurunkan konsentrasi

kandungan sianida limbah keluaran sistem prosesnya. Penyelesaian dengan cara meningkatkan

kapasitas tailling dam akan menemui kendala oleh keterbatasan lahan dan membutuhkan biaya yang

sangat besar karena lokasi keberadaannya di daerah pegunungan. Upaya untuk menurunkan kandungan sianida limbah awal (fresh waste) adalah merupakan salah satu solusi yang harus dilakukan, sehingga dibutuhkan berbagai penelitian untuk mereduksi konsentrasi sianida limbah.

Metode iradiasi dipandang efisien untuk penguraian sianida dalam limbah yang keluar dari proses (fresh waste) karena volumenya relatif masih kecil. Fenomena pembentukan ion-ion radikal air yang reaktif oleh akibat interaksi iradiasi akan menyebabkan penguraian molekul sianida. Pada penelitian awal dilakukan iradiasi limbah simulasi KCN menggunakan sumber Ra-226 bekas terkapsulisasi dengan laju dosis 760 mSv/jam hasil pengolahan PTLR. Tujuan penelitian awal ini adalah untuk mempelajari pengaruh efek iradiasi Ra-226 terhadap senyawa sianida dalam limbah.

Pengolahan bijih tambang emas dan pengolahan limbahnya

Bijih hasil penambangan diolah untuk mengambil logam emasnya dengan proses sianidasi.

Fasilitas proses sianidasi Pongkor I dirancang mampu mengolah bijih sebanyak 182.500 ton/th, dengan kadar Au 15 g/ton dan Ag 156 g/ton dengan recovery Au 97 % dan Ag 79,5 %. Kapasitas produksi tersebut dapat menghasilkan emas sekitar 2,3 ton/ th dan perak 23 ton/th. Kemudian mengingat bahaya yang dapat ditimbulkan oleh sianida adalah besar, maka pemakaiannya sebagai pelarut ekstraksi konsentrasinya dibatasi sampai 1500 ppm, karena di atas konsentrasi tersebut dan berada di udara terbuka akan menimbulkan gas HCN yang tingkat bahayanya pada manusia sangat besar. Untuk mengolah limbah tailling effluent yang besar jumlahnya dan mengandung sianida, maka dibangun sebuah fasilitas pengolahan dengan proses sederhana tetapi memerlukan biaya mahal. Fasilitas pengolahan tersebut terdiri dari sistem penampungan berupa dam, sistem oksidasi kimia dengan H2O2 dan sistem penjernihan limbah dengan proses koagulasi dan flokulasi, seperti Gambar 6.

Page 8: Standar Untuk Pengolahan Limbah Emas fix

Senyawa sianida bersifat mudah terdegradasi secara alamiah (degradable compound), sehingga oleh karakteristik tersebut sistem utama pengolahan sianida dilakukan dengan cara menampung dan diupayakan tinggal lama di fasilitas dam untuk mengalami proses degradasi secara alamiah. Untuk mengoptimalkan proses tersebut, maka kapasitas tampung dam (tailling dam) dibuat sangat besar sehingga mampu menurunkan konsentrasi sianida dari ± 125 ppm menjadi ± 10 ppm. Tailing dam tersebut dibuat di antara bukit sehingga menyerupai danau yang besar dengan kedalaman 42 m. Setelah berproses destruksi alamiah di tailing dam, cairan luapan (over flow) dijernihkan dengan proses koagulasi-flokulasi dan selanjutnya dioksidasi secara kimia dengan H2O2 . Selanjutnya hasil pengolahan limbah cair dengan konsentrasi sianidanya < 0,1 ppm tersebut dapat didispersikan ke lingkungan melalui aliran sungai karena di bawah nilai baku mutu limbah yang dipersyaratkan.

Metode Radiolitik Untuk Penguraian Sianida.

Page 9: Standar Untuk Pengolahan Limbah Emas fix

Radium adalah sumber radiasi pemancar α dan γ dengan energi E(α) 4,602 Mev dan 4,784 Mev dan E(γ) pada 186 keV dan berumur paro 1600 tahun. Pasca pengolahan proses kapsulasi, keadaan/sifat sumber radium berubah menjadi sumber tertutup yang mengakibatkan tertahannya berkas radiasi α sehingga yang tersisa dan masih potensial dimanfaatkan adalah berkas energi radiasi γ nya. Tingkat energi radiasi γ dari Ra-226 relatif kecil untuk dipakai sebagai iradiator jika dibandingkan Co-60, akan tetapi jumlahnya yang besar dan terproteksi dalam kapsul SS 304 yang mudah di tangani maka akan lebih menguntungkan untuk dipakai sebagai iradiator. Kapsul radium hasil pengolahan relatif kecil dan sifat pancaran radiasinya ke semua arah, sehingga dengan cara perendaman akan menambah efektifitas proses iradiasi. Pengaturan jarak antara sumber dengan limbah dapat diatur sedekat mungkin. Untuk pemanfaatannya sebagai sumber radiolitik limbah tailing effluent yang besar volumenya, maka diperlukan kajian penempatannya dengan memperhatikan faktor kecepatan destruksi dan debit alirannya. Besaran parameter proses tersebut akan didapatkan dari tes pengujian di laboratorium dan dari pengukuran besaran proses yang beroperasi.

Mekanisme destruksi molekul sianida oleh pengaruh iradiasi γ yang terjadi sangat komplek karena pengaruh banyaknya jenis dan besarnya kandungan senyawa kimia yang ada di limbah tersebut. Semua senyawa di limbah tersebut ikut teriradiasi dan masing-masing berkemampuan untuk mengabsorpsi energi radiasi γ sesuai dengan besarnya faktor penyerapannya. Molekul yang teraktivasi cenderung tidak stabil ikatannya sehingga reaktivitasnya meningkat dan menyebabkan terdestruksinya senyawa. Berbagai pengaruh interaksi energi pada molekul dan jenis perubahannya terlihat pada Tabel 1.

Kemudian karena pelarut yang dipakai adalah air yang keberadaannya di limbah adalah besar, maka mekanisme destruksinya dominan dikarenakan terbentuknya ion-ion hidroksil radikal yang terjadi oleh molekul air yang teraktivasi. Mekanisme tersebut dapat dilihat pada persamaan reaksi di bawah :

Page 10: Standar Untuk Pengolahan Limbah Emas fix

Proses oksidasi sianida di sistem pengolahan limbah tailling effluent dilakukan di akhir proses

dengan menggunakan oksidator H2O2 dan CuSO4 , yaitu untuk mengoksidasi sianida sisa menjadi sianat. Pada proses tersebut terjadi penurunan konsentrasi sianida dari ± 10 ppm menjadi < 0,5 ppm sehingga memenuhi baku mutu limbah yang dapat didispersi ke sungai. Reaksi oksidasi yang terjadi adalah seperti pada persamaan reaksi (6).

Kemudian apabila proses oksidasi tersebut dilakukan bersamaan dengan proses iradiasi (mix treatment) maka diharapkan laju distruksi sianida limbahnya meningkat karena terbentuknya On bebas yang teraktivasi. Reaksi pembentukannya seperti pada persamaan reaksi (8). Reaksi pembentukan hidroksil radikal dengan keberadaan oksidator H2O2

Untuk mengawali pengkajian aplikasi iradiasi reduksi sianida limbah di tailling effluent keluaran industri pertambangan emas, maka dilakukan percobaan destruksi sianida dengan sampel limbah simulasi KCN. Percobaan iradiasi dilakukan dengan cara merendamkan kapsul radium hasil pengolahan PTLR ke dalam sampel selama selang waktu iradiasi tertentu guna menurunkan konsentrasi sianida. Besarnya nilai penurunan konsentrasi sianida tersebut mengindikasikan potensi kemungkinan penerapan metode tersebut dipakai untuk mereduksi kandungan sianida limbah sehingga beban sianida sistem tailling dam dapat diatur dan mekanisme proses destruksi secara alamiah yang diharapkan dapat berjalan optimal.

Upaya meningkatkan kapasitas produksi pengolahan bijih emas secara sianidasi terkendala oleh bertambah besarnya volume limbah cair berupa tailing effluent yang mengandung sianida. Sampai batas konsentrasi tertentu, senyawa sianida mudah terdegradasi secara alamiah sehingga proses pengolahan tailing effluent ekonomis dilakukan dengan cara mengkondisikan cairan limbah dengan pengenceran sampai batas konsentrasi sianida tertentu dan ditampung dalam tailling dam untuk mengalami proses distruksi alamiah. Oleh berbagai kendala yang muncul, diantaranya kesulitannya mendapatkan tambahan pasokan air untuk pengenceran dan keterbatasan lahan untuk mengembangkan sistem penampungannya, maka program peningkatan produksi sulit untuk direalisasikan. Pembatasan konsentrasi pemakaian sianida pada 1500 ppm untuk mencegah terjadinya gas HCN yang sangat berbahaya bagi manusia (persamaan reaksi 1) dan tidak tersedianya sistem regenerasi molekul sianida adalah faktor utama penyebab besarnya volume limbah.

Berkaitan dengan hal tersebut maka dibutuhkan adanya proses tambahan yang dapat mengurangi kandungan sianida yang terdapat pada limbah awal (fresh waste) sehingga dengan keterbatasan pasokan air pengenceran tidak menghambat/mematikan proses destruksi alamiah di tailling dam. Metode radiolitik dengan mekanisme proses pembentukan ion-ion radikal air dipandang dapat dipakai sebagai solusi proses menurunkan kandungan sianida limbah. Tingkat efisiensi destruksi ditentukan oleh lama waktu iradiasi dan jarak dari sumber.

Page 11: Standar Untuk Pengolahan Limbah Emas fix

Penguraian limbah simulasi KCN dengan iradiator radium terkapsulasi

Hasil percobaan iradiasi 700 ml sampel limbah simulasi larutan KCN dengan konsentrasi awal

1500 ppm dan diiradiasi selama 33 hari dengan sumber Ra-226 terkapsulasi berlaju dosis 760 mSv/jam dapat dilihat pada Tabel. 2. Hasilnya menunjukkan adanya penurunan kandungan sianida dari 1500 ppm menjadi 22 ppm. Hasil percobaan awal tersebut mengindikasikan adanya proses penguraian molekul sianida yang diakibatkan oleh interaksi iradiasi energi γ pada sampel. Pada irradiasi dengan waktu panjang menyebabkan penurunan konsentrasi sianida semakin besar, kejadian tersebut dapat dipahami dengan semakin besarnya dosis radiasi yang diserap (dose absorbed) maka tingkat radiolitiknya menjadi besar dan proses penguraian sianida yang diakibatkannya menjadi besar pula. Pada hubungan antara besarnya dosis terpancar terhadap konsentrasi sianida, (Gambar. 7) didapatkan adanya hubungan secara linier antara besarnya dosis terserap dengan penurunan konsentrasi sianida yang diakibatkannya. Kemudian apabila yang diharapkan adalah konsentrasi sianida 0,5 ppm sesuai dengan batas baku mutu limbah kategori II maka diperlukan iradiasi dengan waktu selama ± 40 hari. Kebutuhan waktu iradiasi tersebut dapat diperkecil dengan cara meningkatkan besaran laju dosis iradiator yang dipakai. Selanjutnya apabila diterapkan pada limbah sesungguhnya maka diperlukan dosis yang lebih besar lagi mengingat keberadaan polutan di limbah sungguhan adalah besar. Sangat dimungkinkan terjadinya mekanisme proses lain sehubungan dengan bertambahnya kandungan senyawa di limbah. Untuk menelusuri proses yang terjadi masih diperlukan analisis secara kuanti-kualitatif dengan berbagai metode seperti spektrofotometer IR dan UV.

Sumberdaya dan kelayakan pemakaian

Lokasi fasilitas pengolahan bijih tambang yang berada di perbukitan dan tertutup untuk umum

merupakan faktor yang menguntungkan jika metode aplikasi iradiasi diterapkan di sistem pengolahan

limbahnya. Jauh dari pemukiman penduduk dan merupakan daerah terpencil dengan akses jalan transportasi yang hanya mengarah ke fasilitas industri tersebut adalah gambaran untuk memudahkan

monitoring yang harus dilakukan. Faktor ketersediaan akan sumber bekas Ra-226 terkapsulasi yang

masih dapat dimanfaatkan relatif besar, apalagi jika ditunjang dengan sumber jenis lain seperti Co-60,

Iridium dan Cesium yang juga banyak jumlahnya. Ketentuan dan peraturan yang mengatur terhadap

pemakaian bahan radioaktif adalah hal yang harus diperhatikan.

Page 12: Standar Untuk Pengolahan Limbah Emas fix

KESIMPULAN

Sumber Ra-226 bekas yang tersimpan di PTLR relatif banyak jumlahnya dan setelah

dikapsulasi dengan isolator bahan baja tahan karat jenis SS.304 masih berpotensi untuk dimanfaatkan

sebagai iradiator γ karena umur parohnya panjang. Pada percobaan iradiasi limbah simulasi KCN

menggunakan sumber jenis tersebut dengan laju dosis 760 mSv/jam pada jarak 1 m mampu

menurunkan konsentrasi sianida dari 1500 ppm menjadi 22 ppm dalam waktu iradiasi 33 hari

PENANGANAN LIMBAH UDARA INDUSTRI PERTAMBANGAN

Limbah udara merupakan salah satu jenis limbah yang dihasilkan oleh industri pertambangan. Limbah tersebut dihasilkan sebagai emisi atmosferik dari industri tersebut. Jenis komponen yang termasuk ke dalam emisi tersebut di antaranya adalah sebagai berikut :

a. Debu atau partikulatb. Gas yang diproduksi oleh proses pembakaran, seperti CO, CO2, NOx, SO2

c. Gas alam, seperti metan, yang banyak dihasilkan pertambangan batu bara dan sedikit pertambangan logamd. Coolants, seperti CFCs, yang berasal dari air-conditioners

Pada umumnya, sumber utama dari limbah udara tersebut adalah akses pertambangan yang tak diaspal, aktivitas penggalian, pembuangan, operasi sabuk conveyer, serta pembukaan lahan pertambangan. Adapun penanganan debu tersebut dapat dibagi menjadi dua tahap, yaitu tahap awal dan akhir, berdasarkan besar partikel debu yang dipisahkan.

1. Penanganan Limbah Udara Tahap AwalPenanganan tahap awal dikhususkan untuk menangani partikel debu

yang berukuran cukup besar berskala milimeter. Alat yang sering digunakan untuk menangani debu pada tahap awal adalah settling chamber (ruang pengendapan) dan siklon, yang dijelaskan sebagai berikut.

a) Settling chamber

Alat ini merupakan teknologi penanganan debu yang telah diterapkan sejak lama. Prinsip dari alat ini adalah pengendapan berdasarkan gaya gravitasi. Alat ini terdiri dari sebuah chamber (kamar/ruang) besar yang terintegrasi dalam aliran pipa gas pertambangan yang mengandung partikel debu yang akan dipisahkan. Keberadaan ruang tersebut akan mengurangi kecepatan gas yang melewatinya sehingga partikel debu

Page 13: Standar Untuk Pengolahan Limbah Emas fix

yang cukup besar akan terendapkan di dasar chamber tersebut. Partikel debu yang dapat dipisahkan oleh alat ini berukuran lebih besar dari 60 mm. Alat inipun kemudian difungsikan sebagai pembersih awal (preliminary cleaners) gas dari sistem penanganan debu yang ada. Alat ini dapat dipasang sejumlah tray pada tiap sisi chamber untuk mempersingkat waktu pengendapan partikel debu yang akan dipisahkan sehingga efisiensi pemisahan dan pengumpulan debu menjadi lebih besar. Settling chamber ini memiliki biaya instalasi dan operasi yang murah, namun juga memiliki efisiensi pengumpulan debu overall yang cukup rendah. Berikut ini adalah skema operasi settling chamber yang pada umumnya digunakan oleh industri pertambangan.

b) Cyclone (siklon)

Alat ini menggunakan gaya sentrifugal sebagai driving force pemisahan debu dari gas yang akan dihasilkan kegiatan pertambangan. Alat ini memiliki biaya instalasi dan operasi yang rendah, serta memiliki dimensi yang relatif kecil untuk mendukung efisiensinya. Keuntungan tersebut membuat siklon banyak digunakan industri pertambangan untuk mengumpulkan partikel debu yang akan menimbulkan  pencemaran udara. Siklon yang berdiameter kecil akan memberikan gaya sentrifugal sampai 2500 kali dibandingkan dengan gaya gravitasi pada settling chamber. Efisiensi siklon dapat ditingkatkan dengan pengurangan diameter, penambahan panjang siklon, dan penambahan rasio siklon terhadap diameter keluaran gas. Contoh industri yang menggunakan siklon ini adalah Ampol Lytton, industri petroleum refinery di Brisbane, Queensland, dan Alcoa, industri refinery bauksit di Kwinana, Western Australia.

2. Penanganan Limbah Udara Tahap AkhirPenanganan tahap akhir digunakan untuk menangani partikel debu

berukuran lebih kecil dan tidak dapat dipisahkan pada tahap awal akan ditangani pada tahap akhir. Tahap ini dapat menangani partikel debu berukuran diameter kurang dari 5 mm. Alat atau metode yang pada umumnya digunakan pada tahap ini adalah electrostatic precipitator, fabric flter (bag-house), dan wet collector (scrubber). Berikut ini penjelasannya.

a) Electrostatic Precipitation

Alat ini memiliki teknik pemisahan partikel padat dan tetesan kecil cairan dari gas terpolusi yang paling efisien. Gas yang mengandung partikel debu dilewatkan melalui daerah yang dialiri listrik bertegangan 50.000 Volt antara dua elektroda dengan polaritas berlawanan. Efesiensi alat ini dipengaruhi oleh laju alir gas yang melalui sistem elekroda,

Page 14: Standar Untuk Pengolahan Limbah Emas fix

temperatur gas, konsentrasi debu, dan ukuran partikel. Alat ini mampu memisahkan partikel berdiameter di bawah 10 nm dengan efisiensi mencapai 99,5%. Walaupun biaya instalasi dan pemeliharaan alat ini cukup mahal, namun biaya operasinya murah karena menggunakan konsumsi energi yang rendah. Rasio kebutuhan energi untuk electrostatic precipitator mendekati 50% apabila dibandingkan dengan sistem wet scrubbing dan 25% apabila dibandingkan dengan sistem bag filter. Electrostatic precipitation ini digunakan di pertambangan emas Kalgoorlie Consolidated, Australia Barat (gas mengalir melalui electrostatic precipitation sebelum dilepaskan ke atmosfer), di pabrik refinery alumina Alcoa di Kwinana, Australia Barat, dan sejumlah daerah internasional lainnya.

b) Fabric filters

Alat ini sering digunakan sebagai unit tahap akhir filtrasi partikel debu. Lapisan kain atau tenun yang digunakan pada alat ini berfungsi untuk menahan partikel debu yang masih terkandung didalam gas. Walaupun memiliki efisiensi cukup tinggi, alat ini memiliki beberapa kekurangan, di antaranya dapat menyebabkan terjadinya penurunan tekanan gas yang melewati medium filtrasi ini dan terbentuknya lapisan partikel debu di permukaan filter yang akan mempengaruhi proses filtrasi akibat sifat bahan filter tersebut.

c) Wet collector (scrubber)

Venturi Scrubber menghilangkan partikel debu dan kontaminan gas tertentu dari gas aliran dengan memaksanya melewati aliran cair, menghasilkan cairan yang teratomisasi. Tinggi kecepatan diferensial di antara gas kotor dan cairan droplets menyebabkan partikel bertumbukan, kemudian akan berkelompok untuk membentuk tetesan yang lebih besar. Terakhir, tetesan cair tersebut dilemparkan pada dinding alat pemisah dan gas bersih pun dikeluarkan melalui puncak scrubber. Sebelum gas kotor dilepaskan ke dalam scrubber, suhu harus direndahkan di bawah 100 oC, dan gas bersih harus dipanaskan kembali sebelum dikeluarkan.

Air dipompakan kembali melewati sistem ketika scrubber tidak mampu lagi menahan partikel debu dan bahan yang terlarut. Proses ini beroperasi dengan efisiensi 85% untuk pemidahan sulfur dioksida (SO2), 30% untuk pe Proses ini membedah efisiensi sebanyak sekitar 85% untuk pemisahan dioksida belerang, 30% untuk pemisahan nitrogen oksida (NO), dan 99% untuk pemisahan debu/partikulat.

Sejauh ini, teknologi untuk mengontrol pencemaran sebagian besar didesain unuk memisahkan partikel debu dari emisi gas. Pemisahan polutan gas yang lain pun penting dilakukan dengan teknologi yang

Page 15: Standar Untuk Pengolahan Limbah Emas fix

spesifik. Misalnya pada pemisahan sulfur oksida (SO2), injeksi batu kapur sangat umum digunakan. Proses tersebut dilakukan di mana batu kapur digiling dengan batubara dan dimasukkan ke dalam tungku perapian. Gas polutan dipanaskan terlebih dahulu dan dimasukkan ke dalam tungku perapian, dimana batu kapur akan bereaksi dengan belerang dioksida (SO2) dan oksigen (O2)untuk menghasilkan kalsium sulfat (CaSO4 atau gips). Proses ini dapat memisahkan sekitar 20-30% sulfur oksida. Senyawa sulfat, abu terbang, dan kapur yang tidak bereaksi mengalir melalui pre-heater sebelum memasuki wet scrubber, agar senyawa tersebut dapat mengalami kontak dengan air. Efisiensi pemisahan yang dapat tercapai adalah sebesar 80% untuk SO2 dan 98% untuk zat partikulat.

DAFTAR PUSTAKA

sutoto, 2007, studi efek iradiasi radium untuk pengolahan limbah sianida industri pertambangan emas, Jurnal Teknologi Pengolahan Limbah, 10, 2, pusat teknologi limbah radioaktif, BATAN.

Widodo ,Priyo,Hartanto, Danang Nor Arifin, Firman Arifianto, 2012, Pemanfaatan “Waste Dan Tailing” untuk Pembuatan Bata Cetak dari Kegiatan Pertambangan Bijih Emas Daerah Cineam Kabupaten Tasikmalaya dan Waluran Kabupaten Sukabumi, Buletin Geologi Tata Lingkungan, 22, 2, 63-74, LIPI.

Donato, D, 1999, Bird Usage Patterns on Northern Territory Mining Water Tailings and theirManagement to Reduce Mortalities, Public Report, 1999, Darwin, Northern Territory, Department of Mines and Energy. hal. 179.

Donato, D, Noller, B, Moore, M. Possingham, H, Ricci, P, Bell, C & Nicholls, O, ‘Cyanide use, wildlife protection and the International Cyanide Management Code: An industry brokeredapproach’, in Inaugural Global Sustainable Development Conference, Melbourne, Minerals Council of Australia.

Donato, D Griffiths, SR 2005, ‘Wildlife cyanosis: managing the risks, in workshop on GoodPractice of Cyanide Management in the Gold Industry, Perth, ACMER.

Smith, GB & Donato, DB, 2007, ‘Wildlife cyanide toxicosis: monitoring of cyanide-bearing tailing and heap leach facilities compliance with the International Cyanide Management Coin World Gold Conference, Cairns, AusIMM.

Page 16: Standar Untuk Pengolahan Limbah Emas fix