spi oemar ibn khattab

35
PERADILAN ISLAM MASA UMAR BIN KHATTAB Disusun Oleh: Anwar Nuris Alfi Rohmatin BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam kitab Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu bab Qadha’ oleh Wahbah Zuhaili dijelaskan bahwa salah satu hikmah diadakannya peradilan adalah untuk mewujudkan keinginan manusia, yaitu menghilangkan perselisihan, dan menjaga hak-hak mereka. Hal ini menunjukkan bahwa eksistensi peradilan islam merupakan hal yang urgen bagi seluruh manusia. Umar adalah sahabat dan Khalifah yang memimpin paling lama dibandingkan dengan Khulafa’ ar-Rasyidin yang lain. Beliau memegang estafet pemerintahan islam 1

Upload: anwar-nuris

Post on 26-Jun-2015

448 views

Category:

Documents


7 download

TRANSCRIPT

Page 1: Spi Oemar Ibn Khattab

PERADILAN ISLAM MASA UMAR BIN KHATTAB

Disusun Oleh:

Anwar Nuris Alfi Rohmatin

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam kitab Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu bab Qadha’ oleh Wahbah

Zuhaili dijelaskan bahwa salah satu hikmah diadakannya peradilan adalah untuk

mewujudkan keinginan manusia, yaitu menghilangkan perselisihan, dan menjaga

hak-hak mereka. Hal ini menunjukkan bahwa eksistensi peradilan islam

merupakan hal yang urgen bagi seluruh manusia.

Umar adalah sahabat dan Khalifah yang memimpin paling lama

dibandingkan dengan Khulafa’ ar-Rasyidin yang lain. Beliau memegang estafet

pemerintahan islam selama 10 tahun. Oleh karena itu, selama masa yang cukup

lama ini beliau banyak menghasilkan kebijakan-kebijakan baru- yang berkaitan

dengan agama atau pemerintahan- yang sebelumnya -baik pada zaman Nabi

maupun Abu Bakar- belum pernah ada. Hal ini disebabkan karena perluasan

wilayah islam semakin melebar, sehingga akulturasi budaya islam dengan budaya

lokal secara apriori tidak dapat dihindarkan.

Termasuk dalam hal peradilan. Di zaman Umar juga mengalami banyak

reformulasi dan rekonstruksi kebijakan. Sehingga tidak berlebihan jika Umar

dikatakan sebagai seorang yang reformis (mujaddid).

1

Page 2: Spi Oemar Ibn Khattab

Pemerintahan juga memegang peranan penting dalam perkembangan

peradilan. Di masa Umar faktor pemerintahanlah yang mengakibatkan perubahan

dalam peradilan. Seperti adanya pemisahan kekuasaan antara Eksekutif dan

Yudikatif. Oleh karena itu, membahas peradilan di masa Umar tanpa mengetahui

kondisi pemerintahannya akan menghasilkan pemahaman yang parsial.

Selain itu, Umar-lah yang sebenarnya pencetus teori trias politika. Pada

periode kepemimpinannya dalam islam (13-23 H/634-644 M). Akan tetapi pada

waktu hanya nampak pada tataran praksis dan belum menjadi sebuah teori ilmiah

sebagaimana yang dilakukan oleh ilmuan barat pada beberapa abad kemudian.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana Kondisi Pemerintahan Islam Pada Masa Umar ?

2. Bagaimana Perkembangan Peradilan Islam Pada Masa Umar ?

3. Bagaimana Metode Pengambilan Hukum Pada Masa Umar ?

C. TUJUAN

1. Untuk Mengetahui perkembangan Pemerintahan Islam pada masa Umar.

2. Memahami Perkembangan Peradilan Islam Pada Masa Umar.

3. Memahami Metode Pengambilan Hukum Dalam Peradilan Islam Pada Masa Umar.

2

Page 3: Spi Oemar Ibn Khattab

BAB II

PEMBAHASAN

1. Kondisi Pemerintahan Islam Masa Umar

Umar bin Khattab (583-644) memiliki nama lengkap Umar bin Khattab

bin Nufail bin Abd Al-Uzza bin Ribaah bin Abdillah bin Qart bin Razail bin ‘Adi

bin Ka’ab bin Lu’ay adalah khalifah kedua yang menggantikan Abu Bakar Ash-

Shiddiq.1 Dia adalah salah seorang sahabat terbesar sepanjang sejarah sesudah

Nabi SAW. Kebesarannya terletak pada keberhasilannya, baik sebagai negarawan

yang bijaksana maupun sebagai mujtahid yang ahli dalam membangun Negara

besar yang didirikan atas prinsip-prinsip keadilan (wisdom), persamaan (equality),

dan persaudaraan yang diajarkan oleh Nabi muhammad SAW. Dalam banyak hal,

Umar bin Khattab dikenal sebagai tokoh yang sangat bijaksana dan kreatif,

bahkan genius.

Sebelum masuk islam, Umar termasuk diantara kaum kafir Quraisy yang

paling ditakuti oleh orang-orang yang sudah masuk islam2. Dia adalah musuh dan

penentang Nabi Muhammad SAW yang paling ganas dan kejam, bahkan sangat

besar keinginannya untuk membunuh nabi Muhammad dan Pengikut-

pengikutnya. Dia sering menuduh menyebar fitnah dan menuduh Nabi sebagai

penyair tukang tenung.

Setelah masuk agama islam, pada bulan Dzulhijjah enam tahun setelah

kerasulan Nabi kepribadiannya bertolak belakang dengan keadaan sebelumnya.

Dia berubah menjadi seorang yang gigih dan setia membela islam. Dan menjadi

sahabat terkemuka dan paling dekat dengan Nabi serta menjadi orang besar dalam

sejarah islam3. Ia memerintah selama 10 tahun (13 H/ 624 M - 23 H/ 634 M)4.

Setelah wafatnya Abu Bakar RA, kekhalifahan dipegang Sayyidina Umar

bin Khattab RA. Pada saat ini, daerah Islam semakin luas. Tugas-tugas

pemerintahan dalam bidang politik, sosial, dan ekonomi semakin rumit. Khalifah

1 Departemen Agama, Ensiklopedi Islam, Jilid III. (Jakarta: Depag, 1993). Hlm. 1256.2 Dewan Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jilid. I, (Jakarta: ikhtiar baru Van Hoeve, 1993), hlm. 1256. 3 Untuk lebih lengkapnya Lihat Muhammad Husain Haekal, Umar bin Khattab, Terj. AliAudah. Cet. III. (Bogor: PT. Pustaka Litera AntarNusa, 2002), hlm. 15-33. lihat pula Dedy Supriyadi, Op. Cit., hlm. 78.4 Dedy Supriyadi, sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm. 80.

3

Page 4: Spi Oemar Ibn Khattab

Umar RA juga mulai sibuk dengan peperangan yang berlaku antara negara Islam

dengan Parsi dan Romawi. Dengan semua kesibukan ini, Umar tidak sempat

untuk menyelesaikan semua masalah peradilan. Maka dari itu, beliau memutuskan

untuk mengangkat hakim yang berada di luar kekuasaan eksekutif. Ini adalah

pertama kali pemisahan antara kekuasaan eksekutif dan yudikatif terjadi.

Pada masa Khalifah Umar bin Khattab, keadaan daerah kekuasaan Islam

semakin luas dan pemerintahan menghadapi berbagai masalah politik, ekonomi,

sosial dan budaya, disebabkan terjadinya akulturasi budaya, sehingga Umar perlu

untuk memisahkan kekuasaan Eksekutif dan Yudikatif (Kekuasaan Pemerintahan

dan Peradilan). Dan Umar bin Khattab mengangkat Abu Darda' sebagai Qadli di

kota Madinah, Syuraih di Basrah, Abu Musa al Asy'ary di Kufah, dan Syuraih bin

Qais bin Abil Ash di daerah Mesir5.

Umar bin Khattab dikenal dengan seorang moderenis. Sejarah

membuktikan bahwa Umar bin Khattab memperkenalkan sebuah sistem

administrasi pemerintahan. Dan membentuk badan yaitu Majlis Syuro serta

Majelis Penasehat. Selain itu beliau membentuk Dewan Keuangan Negara, yang

bernama al-Diwan, baik di tingkat pusat maupun propinsi6.

Karena perluasan daerah terjadi dengan cepat, Umar segera mengatur

adminsitrasi negara dengan mencontoh administrasi yang sudah berkembang

terutama di Persia. Administrasi diatur pemerintahan menjadi delapan propinsi:

Makkah, Madinah, Syiria, Jazirah, Basrah, Kufah, Palestina, dan Mesir. Beberapa

departemen yang dipandang perlu didirikan. Pada masanya mulai diatur dan

ditertibkan sistem pembayaran gaji dan pajak tanah. Pengadilan didirikan dalam

rangka memisahkan lembaga yudikatif dengan eksekutif. Untuk menjaga

keamanan dan ketertiban, jawatan kepolisian dibentuk. Demikian pula jawatan

pekerjaan umum, Umar juga mendirikan Baitul Mal, menempa mata uang, dan

menciptakan tahun Hijriyah7.

5 http://rangerwhite09-artikel.blogspot.com/2010/04/sejarah-peradilan-islam-masa-khulafaur.html: Posted by Syifaul Qulub S.Hi at 11:56 AM.

6 K. Ali, A Study Of Islamic History, Terj. Ghufron A. Mas’adi, Cet. III, (Jakarta: Grafindo Persada, 2000), hlm. 115-116.

7 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada , 2004), hlm. 37.

4

Page 5: Spi Oemar Ibn Khattab

Yang dilakukan Umar bin Khattab dalam memperbaiki dan

menyempurnakan sistem pemerintahan beliau membentuk propinsi-propinsi baru

seperti Makkah, Madinah, Syiria, Jazirah, Basroh, Kufah, Palestina dan Mesir.

Selain itu untuk lebih membantu propinsi, Makkah dibentuklah departemen-

departemen yang bermaksud mengefektifkan kerja khalifah, ini sudah merupakan

bentuk pemerintahan yang sangat efektif dan melampaui zaman. Membentuk

jawatan kepolisian, pekerjaan umum dan Baitul Mal yang bertujuan menjaga

stabilitas negara sehingga program pemerintahan berjalan dengan lancar.

Umar melakukan reformasi dalam pemerintahan. Selama memimpin

dalam kurun waktu sepuluh tahun, ia termasuk pemimpin berhasil terutama bagi

kesejahteraan rakyat dan peraturan islam yang semakin kokoh dalam

pemerintahannya, ada Majlis Syura’ karena bagi Umar tanpa musyawarah, maka

pemerintahan tidak bisa berjalan.

Di sisi lain, ia bukan hanya menanamkan nasionalisme arab – untuk arab

demi kekuasaan dan kesatuan negara- juga yang paling utama adalah, in arabia

there shall be no faith but the faith of islam. Dapat diartikan, bahwa di negeri arab

tidak akan ada kepercayaan (kesetiaan) selain islam. Umar mengusir Yahudi dari

Khaibar dan Kristen di Nasran. Namun demikian, mereka mendapatkan ganti rugi.

Mereka (dzimmi) dengan membayar jizyah (pajak) akan dijamin keamanannya

oleh pemerintah islam8. Meskipun demikian, Yahudi dan Nasrani seringkali

merongrong pemerintahan islam.

Umar membentuk departemen dan membagi daerah kekuasaan islam

menjadi delapan propinsi. Setiap propinsi dikepalai oleh Wali (Amir dalam istilah

kekhalifahan Muawiyah, Umayyah). Setiap propinsi didirikan kantor Gubernur.

Tugas-tugas seorang gubernur disamping sebagai kepala pemerintahan daerah,

juga sebagai pemimpin agama, memelihara keamanan dan ketertiban di daerah,

memimpin ekspedisi militer dan mengawasi pelaksanaan pungutan pajak.

Umar juga membentuk kepala distrik yang disebut Amil. Pada masanya, setiap

jabatan pemerintahan sebelum diambil sumpah terlebih dahulu diaudit harta

kekayaannya oleh tim yang telah dibentuk oleh Umar. Kebijakan yang paling

fenomenal adalah kebijakan ekonomi Umar di Sawad (daerah subur).

8 A.F.M. Shamsur Rahman, Spaine Musalmander Itihash. (Khulna: Piramaund Press, 1977), hlm. 49-50.

5

Page 6: Spi Oemar Ibn Khattab

Pranata sosial politik lain Negara Madinah yang dibangun oleh Khalifah

Umar adalah pelaksanaan administrasi pemerintah di daerah dengan menerapkan

sistem Desentralisasi, yaitu pelimpahan wewenang dan otonomi seluas-luasnya

kepada pemerintah daerah. Wilayah kekuasaan Negara Madinah yang luas itu ia

bagi ke dalam delapan propinsi, yaitu Madinah, Mekkah, Syria, Jazirah, Basrah,

Kufah, Mesir, Palestina. Untuk setiap propinsi Umar mengangkat seorang

gubernur yang disebut Wali atau Amir yang berkedudukan sebagai pembantu atau

wakil Khalifah di daerah.

Di bidang pranata sosial ekonomi, khalifah Umar sangat memperhatikan

kesejahteraan rakyat dan pegawai Negara. Hal ini sangat memungkinkan karena

pendapatan Negara di masanya melimpah. Sementara penyelewengan kekayaan

negara relatif kecil karena para pejabat, pegawai dan tentara diberi penghasilan

yang cukup serta peraturan yang tegas tidak memberi peluang untuk itu9.

Adapun kekuasaan eksekutif dipegang oleh Umar bin Khhattab dalam

kedudukannya sebagai kepala Negara. untuk menunjang kelancaran administrasi

dan operasional tugas-tugas eksekutif, Umar melengkapinya dengan beberapa

jawatan, diantaranya:

1. Diwan al-kharraj (jawatan pajak).

2. Diwan alddats (jawatan kepolisian).

3. Nazar al-nafi’at (jawatan pekerjaan umum).

4. Diwana al-jund (jawatan militer).

5. Bait al-Mal (baitul mal)10.

Sistem yang dijalankan oleh khalifah Umar ini sudah sangat baik sekali.

Dan mungkin sudah sangat modern. dibandingkan pada waktu itu, di sinilah Islam

sudah memperlihatkan kemajuan yang sangat pesat baik dari segi moral, politik,

ekonomi islam pada waktu itu sudah selangkah lebih maju bila dibandingkan

dengan negara lain.

Selain itu, Umar bin Khattab juga mereformulasi zakat yang diberikan

kepada para muallaf sebagaimana yang pernah diberlakukan oleh khalifah

sebelumnya. Umar berpendapat bahwa zakat yang diberikan kepada para Muallaf

tersebut bertujuan agar mereka berminat masuk islam, akan tetapi sekarang islam

9 http://jangan-bungkamhendaru.blog.friendster.com/2006/03/politik-islam-dan-kekuasaan-2.10 Dedy Supriyadi, sejarah Peradaban Islam, Op. Cit., hlm. 82.

6

Page 7: Spi Oemar Ibn Khattab

sudah jaya dan menyebar luas sehingga tidak membutuhkan mereka lagi11. Kalau

mereka masuk islam silahkan, dan sebaliknya apabila mereka tetap kafir ya

silahkan. Demikian juga dalam talaq tiga sekaligus yang sebelumnya jatuh talak

satu. Lalu Umar merubah pernyataan talaq tiga yang diucapkan sekaligus itu

dihitung jatuh talaq tiga. Alasnanya adalah banyak suami yang mudah dan ringan

saja menyatakan talaq tiga sekaligus12.

Umar bin Khattab menaruh perhatian yang sangat besar dalam usaha

perbaikan keuangan negara, dengan menempatkannya pada kedudukan yang

sehat. Ia membentuk “Diwan” (departemen keuangan) yang dipercayakan

menjalankan administrasi pendapatan negara.

Semasa kekhalifahan sebelumnya, yaitu Abu Bakar, tanah yang telah

ditaklukkan oleh umat muslim menjadi hak para prajurit yang berperang.

Sehingga dengan terpaksa penduduk lokal yang menempati tanah tersebut harus

pindah. Sistem pertanahan di masa kekhalifahan Umar tidak lagi demikian. Ketika

umat muslim menaklukkan daerah tertentu, maka pertanahan tetap menjadi milik

penduduk lokal. Sehingga sebagai konsekuensi, Umar menetapkan gaji tetap

bulanan kepada para prajurit, tentara islam. Selain itu Umar juga memberikan

dekrit agar orang Arab termasuk para prajurit tidak berjual beli tanah di luar Arab.

Hal ini memancing anggota Syuro, namun Umar memberi alasan dengan

seperti itu, maka negara akan rugi 80% dari pendapatan, mutu tentara Arab

menurun, produksi menurun, dan rakyat akan kehilangan mata pencaharian

(sawah), menyebabkan mereka mudah memberontak negara. Padahal sebelumnya,

mereka terjajah oleh tentara Sassania dan Romawi yang merampas tanah-tanah

subur pada daerah yang mereka kuasai, dan hal ini berlanjut sampai masa Abu

Bakar, dimana para tentara mendapat 4/5 bagian dan sisanya disebut al-khums

menjadi hak negara pada daerah taklukan.

Khalifah umar menerapkan pajak perdagangan (bea cukai) yang bernama

al-ushr setelah ia mendapatkan laporan apabila pedagang arab datang ke

Bizantium ditarik pajak 10 % dari barang yang dijual, maka melihat efek

positifnya khalifah juga menerapkan sistem itu bagi para pedagang non-muslim

11 Munawaair Syadzali, Ijtihad Kemanusiaan, Cet. I, (Jakarta: Paramadina, 1997), hlm. 40.12 Muhammad Ali Al-Sayis, Nasy’at al-Fiqhi li Ijtihadi wa Athwaruhu, Cet. I, Terj. M. Ali Hasan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), hlm. 71-72.

7

Page 8: Spi Oemar Ibn Khattab

yang memasuki wilayah kekuasaan islam. Sementara itu bagi dzimmi yang berada

di dalam negeri dikenakan sebesar 5% sedangkan bagi orang islam membayar

2,5% dari harga barang dagangan.

Pembentukkan Lembaga Keuangan (Baitul Mal)

Kas negara dipungut dari zakat, Kharaj dan Jizyah. Zakat atau pajak yang

dikenakan secara bertahap terhadap Muslim yang berharta. Kharaj atau pajak

bumi dan Jizyah atau pajak perseorangan. Pajak yang dikenakan pada orang non

Muslim jauh lebih kecil jumlahnya dari pada yang dibebankan pada kaum

Muslimin. Umar bin Khattab menetapkan pajak bumi menurut jenis penggunaan

tanah yang terkena. Ia menetapkan 4 dirham untuk satu Jarib gandum. Sejumlah

dua dirham dikenakan untuk luas tanah yang sama tapi ditanami gersb (gandum

pembuat ragi). Padang rumput dan tanah yang tidak ditanami tidak dipungut

pajak. Menurut sumber-sumber sejarah yang dapat dipercaya, pendapatan pajak

tahunan di Irak berjumlah 860 juta dirham. Jumlah itu tak pernah terlampaui pada

masa setelah wafatnya Umar.

Pendapat Umar terhadap uang rakyatpun sangat keras, Umar berkata: “Aku

tidak berkuasa apa pun terhadap Baitul Maal (harta umum) selain sebagai

petugas penjaga milik yatim piatu. Jika aku kaya, aku mengambil uang sedikit

sebagai pemenuh kebutuhan sehari-hari. Saudara-saudaraku sekalian! Aku abdi

kalian, kalian harus mengawasi dan menanyakan segala tindakanku. Salah satu

hal yang harus diingat, uang rakyat tidak boleh dihambur-hamburkan. Aku harus

bekerja di atas prinsip kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.”

Dalam penggunaan anggaran kas negara ini, Umar membentuk

Departemen-Departemen yang dibutuhkan, contohnya Departemen Kesejahteraan

Rakyat, Departemen Pertanian. Departemen Kesejahteraan Rakyat dibentuk untuk

mengawasi pekerjaan pembangunan dan melanjutkan rencana-rencana. Di bidang

pertanian Umar memperkenalkan reform (penataan) yang luas, hal yang bahkan

tidak terdapat di negara-negara berkebudayaan tinggi di zaman modern ini. Salah

satu dari reform itu ialah penghapusan zamindari (tuan tanah), sehingga pada

gilirannya terhapus pula beban buruk yang mencekik petani penggarap.

8

Page 9: Spi Oemar Ibn Khattab

Seorang sejarawan Eropa menulis dalam The Encyclopedia of Islam:

“Peranan Umar sangatlah besar. Pengaturan warganya yang non-Muslim,

pembentukan lembaga yang mendaftar orang-orang yang mendapat hak untuk

pensiun tentara (diwan), pengadaan pusat-pusat militer (amsar) yang dikemudian

hari berkembang menjadi kota-kota besar Islam, pembentukan kantor kadi (qazi),

semuanya adalah hasil karyanya. Demikian pula seperangkat peraturan, seperti

sembahyang tarawih di bulan Ramadhan, keharusan naik haji, hukuman bagi

pemabuk, dan hukuman pelemparan dengan batu bagi orang yang berzina.”

Umar bin Khattab merupakan Khalifah yang sangat memperhatikan

rakyatnya, sehingga pada suatu ketika secara diam-diam ia turun berkeliling di

malam hari untuk menyaksikan langsung keadaan rakyatnya. Pada suatu malam,

ketika sedang berkeliling di luar kota Madinah, di sebuah rumah dilihatnya

seorang wanita sedang memasak sesuatu, sedang dua anak perempuan duduk di

sampingnya berteriak-teriak minta makan. Perempuan itu, ketika menjawab

Khalifah, menjelaskan bahwa anak-anaknya lapar, sedangkan di ceret yang ia

jerang tidak ada apa-apa selain air dan beberapa buah batu. Itulah caranya ia

menenangkan anak-anaknya agar mereka percaya bahwa makanan sedang

disiapkan. Tanpa menunjukan identitasnya, Khalifah bergegas kembali ke

Madinah yang berjarak tiga mil. Ia kembali dengan memikul sekarung terigu,

memasakkannya sendiri, dan baru merasa puas setelah melihat anak-anak yang

malang itu sudah merasa kenyang. Keesokan harinya, ia berkunjung kembali, dan

sambil meminta maaf kepada wanita itu ia meninggalkan sejumlah uang sebagai

sedekah kepadanya.

Sistem Monitoring dan Kontroling Pemerintah Daerah

Wilayah kedaulatan umat Islam yang semakin meluas mengharuskan

Umar bin Khattab sebagai khalifah melakukan monitoring dan kontroling yang

baik terhadap gubernur-gubernurnya. Sebelum diangkat seorang gubernur harus

menandatangani pernyataan yang mensyaratkan bahwa “Dia harus mengenakan

pakaian sederhana, makan roti yang kasar, dan setiap orang yang ingin

mengadukan suatu hal bebas menghadapnya setiap saat.” Lalu dibuat daftar

barang bergerak dan tidak bergerak begitu pegawai tinggi yang terpilih diangkat.

9

Page 10: Spi Oemar Ibn Khattab

Daftar itu akan diteliti pada setiap waktu tertentu, dan penguasa tersebut

harus mempertanggungjawabkan terhadap setiap hartanya yang bertambah dengan

sangat mencolok. Pada saat musim haji setiap tahunnya, semua pegawai tinggi

harus melapor kepada Khalifah. Menurut penulis buku Kitab ul-Kharaj, setiap

orang berhak mengadukan kesalahan pejabat negara, yang tertinggi sekalipun, dan

pengaduan itu harus dilayani. Bila terbukti bersalah, pejabat tersebut mendapat

ganjaran hukuman13.

Selain itu Umar mengangkat seorang penyidik keliling, dia adalah

Muhammad bin Muslamah Ansari, seorang yang dikenal berintegritas tinggi. Dia

mengunjungi berbagai negara dan meneliti pengaduan masyarakat. Sekali waktu,

Khalifah menerima pengaduan bahwa Sa’ad bin Abi Waqqash, gubernur Kufah,

telah membangun sebuah istana. Seketika itu juga Umar mengutus Muhammad

Ansari untuk menyaksikan adanya bagian istana yang ternyata menghambat jalan

masuk kepemukiman sebagian penduduk Kufah. Bagian istana yang merugikan

kepentingan umum itu kemudian dibongkar. Kasus pengaduan lainnya

menyebabkan Sa’ad dipecat dari jabatannya, seperti kesombongannya dalam

memipin pasukan perang.

2. Peradilan Islam Pada Masa Umar

Salah satu hal fenomenal yang diukir oleh Umar pada masa

pemerintahannya adalah etika beliau dalam proses peradilan (al-Qadla’), Sehingga

tidak terlalu berlebihan jika dikatakan beliau ibarat lentera yang menjadi petunjuk

dan suriteladan yang dijadikan panutan ketika hendak menjalankan peadilan yang

menyangkut masalah umat Islam.

Para Hakim ditetapkan daerah yurisdiksinya dan diangkat oleh Khalifah

atau diwakilkan kepada para gubernur di daerah. Kepada hakim yang diangkat

secara langsung, Khalifah memberikan ketentuan-ketentuan untuk dijadikan

pedoman. Hal ini terjadi dari surat yang dikirim oleh Umar kepada Abu Musa

al-'Asyari, (Qadli di Kufah) yang isinya mengandung pokok-pokok penyelesaian

perkara dimuka sidang, yang ternyata disambut dan diterima dikalangan Ulama'

serta menghimpun pokok-pokok hukum.

13 . lihat Muhammad Abdul Aziz al-Halawi, Fatwa dan Ijihad Umar bin khattab, Terj. Zubeir Suryadi Abdullah, (Surabaya: Risalah Gusti, 2003), hlm. 16-23.

10

Page 11: Spi Oemar Ibn Khattab

Surat Umar tersebut berisikan 10 (sepuluh) butir yang merupakan

Pemikiran Umar khususnya dalam peradilan yang masih berlaku sampai sekarang

dalam istilah kutipan M. Fauzan disebut Naskah Asas-asas Hukum Acara14

sebagai berikut:

1. Kedudukan Lembaga Peradilan.

Kedudukan lembaga peradilan ditengah-tengah masyarakat suatu Negara

hukumnya wajib (sangat urgen) dan sunnah yang harus diikuti/ dipatuhi.

2. Memahami Kasus Persoalan, baru Memutuskannya.

Pahami persoalan suatu kasus gugatan yang diajukan kepada anda, dan

ambillah keputusan setelah jelas persoalan mana yang benar dan mana

yang salah. Karena sesungguhnya, suatu kebenaran yang tidak

memperoleh perhatian hakim akan menjadi sia-sia.

3. Samakan Pandangan Anda Kepada Kedua Belah Pihak dan Berlaku

Adillah.

Dudukkan kedua belah pihak di majelis secara sama, pandangan mereka

dengan pandangan yang sama, agar orang yang terhormat tidak

melecehkan anda, dan orang yang lemah tidak merasa teraniaya. Dalam

teori hukum positif hal ini disebut asas equality before the law.

4. Kewajiban Pembuktian

Penggugat wajib membuktikan gagatannya, dan tergugat wajib

membuktikan bantahannya.

5. Lembaga Damai

Penyelesaian perkara secara damai dibenarkan, sepanjang tidak

menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal.

6. Penundaan Persidangan

Barang siapa menyatakan ada suatu hal yang tidak ada ditempatnya atau

sesuatu keterangan, berilah tempo kepadanya untuk dilaluinya.kemudian

jika dia memberi keterangan hendaklah anda memberikan kepadanya

haknya. Jika dia tidak mampu memberikan yang demikian, anda dapat

memutuskan perkara yang merugikan haknya, karena yang demikian itu

14 M fauzan, Pokok-pokok Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syar’iyah di Indonesia, (Jakarta: Kencana 2005), Cet. II, hlm. 93-94.

11

Page 12: Spi Oemar Ibn Khattab

lebih mantap lagi keudzurannya- tak ada jalan baginya untuk mengatakan

ini itu lagi- dan lebih menampakkan apa yang tersembunyi.

7. Kebenaran dan Keadilan adalah Masalah Universal

Janganlah anda dihalangi oleh suatu putusan yang telah anda putuskan

pada hari ini, kemudian anda tinjau kembali putusan itu lalu anda ditunjuk

pada kebenaran untuk kembali kepada kebenaran, karena kebenaran itu

suatu hal yang qadim yang tidak dapat dibatalkan oleh sesuatu. Kembali

pada hak, lebih baik dari pada terus bergelimang dalam kebatilan.

8. Kewajiban Untuk Menggali Hukum Yang Hidup dan Melakukan

Penalaran Logis.

Pergunakanlah kekuatan logis suatu kasus perkara yang diajukan kepada

anda dengan menggali dan memahami hokum yang hidup, apabila hukum

suatu perkara kurang jelas dalam al-Quran dan Sunnah. Kemudian

bandingkanlah permasalahan tersebut satu sama lain, dan ketahuilah

(kenalilah) hukum yang serupa, kemudian ambillah mana yang lebih mirip

dengan kebenaran15.

9. Orang Islam Haruslah Berlaku Adil.

Orang Islam dengan orang Islam lainnya haruslah adil, terkecuali orang

yang sudah pernah menjadi saksi palsu atau pernah dijatuhi hukuman had

atas orang yang diragukan asal-usulnya, karena sesunggunya Allah yang

mengendalikan rahasia hamba dan menutupi hukuman atas mereka,

terkecuali dengan adanya keterangan dan sumpah.

10. Larangan Bersidang Ketika Sedang Emosional.

Jauhilah diri anda dari marah, pikiran kacau, perasaan tidak senang, dan

berlaku kasar terhadap para pihak. Karena kebenaran itu hanya berada

dalam jiwa yang tenang dan niat yang bersih.

Surat tersebut berisi petunjuk tentang peradilan yang kemudian dikenal

dengan Risalah al-Qadha dari Umar. Risalah al-Qadha ini berisi sepuluh butir

pedoman para hakim dalam melaksanakan peradilan. Dengan demikian, pada

masa ini lembaga peradilan merupakan badan khusus di bawah pengawasan

penguasa. Meskipun telah terjadi pemisahan antara lembaga " Eksekutif dan

15 Hal yang dimaksud Umar yaitu Deduksi Analogis (Qiyas).

12

Page 13: Spi Oemar Ibn Khattab

Yudikatif ", pada masa Khalifah Umar belum terdapat Panitera pengadilan dan

registrasi keputusan hakim. Akan tetapi, pada masa ini sudah dikenal praktek

Yurisprudensi16.

Dalam pemisahan yang dilakukan Umar RA adalah pemisahan yang

sesungguhnya, sehingga kekuasaan Eksekutif benar-benar dapat diadili oleh

kekuasaan Yudikatif. Ini dibuktikan dengan sebuah riwayat bahwa, suatu ketika

Umar RA mengambil seekor kuda untuk ditawar. Maka beliau menunggangnya

untuk mencobanya. Lalu kuda tersebut rusak. Lelaki itupun bertikaian dengan

Umar. Umar RA berkata: “Ambillah kudamu!”. Lelaki yang memiliki kuda pun

menjawab: “Aku tidak mau menggambilnya, kuda itu sudah rusak!”. Umar pula

berkata: “Kamu harus mencari orang tengah pada apa yang berlaku antara aku

dan kamu”. Lelaki itu berkata: “Aku rida dengan Syuraih dari Irak”.

Pada saat dibawa pada Syuraih, Syuraih berkata: “Kamu mengambilnya

dalam keadaaan sehat dan selamat, maka kamulah yang menggantinya sampai

kamu memulangkannya dalam keadaan sehat dan selamat”. Lalu Umar berkata:

“Aku sungguh kagum dengannya, maka aku pun mengutusnya menjadi hakim”.

Lalu Umar berkata pada Syuraih: “Apabila telah jelas bagimu sesuatu melalui

Alquran, maka jangan kamu pertanyakan lagi. Seumpama tidak jelas apa yang

ada di Alquran, maka carilah sunnah. Seumpama kamu tidak menemukannya di

sunnah, berijtihadlah memakai rasio kamu!”.

Menurut Doktor ‘Athiyyah, peradilan pada masa Khalifah Umar RA

adalah sesuatu yang mudah, luas, serta bebas dari administrasi yang banyak

seperti yang dapat disaksikan sekarang ini. Hakim pada masa itu tidak

memerlukan panitera, juga sekretaris. Pada masa itu juga tidak diperlukan untuk

mengkodifikasi hukum-hukum peradilan, karena semua hukum keluar di balik

hati seorang hakim. Hukum acara juga tidak diperlukan. Ini karena peradilan

masih berada pada awal-awalnya dilahirkan. Belum ada pemikiran untuk ke situ.

Selain dari itu, hakim juga adalah sebagai pelaksana hukum, dalam arti mereka

juga adalah sebagai juru sita, bukan hanya pemutus hukum.

Sumber hukum yang dipakai Umar RA adalah sama seperti Abu Bakar

RA. Beliau memakai Alquran, lalu sunnah Nabi. Sempama tidak ada, beliau

16 Dedy Supriyadi, Op. Cit., hlm. 78 dan lihat Moh. Idris Ramulyo, Asas-asas Hukum Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 1995), hlm. 171.

13

Page 14: Spi Oemar Ibn Khattab

melihat apakah Abu Bakar RA pernah memutuskan hal serupa. Seumpama tidak

ada barulah memanggil para tokoh untuk dimusyawarahkan. Kalau ada

kesepakatan, barulah diputuskan17.

Meskipun jalan ijtihadnya sama, ada perbedaan mendasar pada masa

Khalifah Abu Bakar dan Umar, yakni di masa Abu Bakar Ulama’ yang

dikumpulkan untuk berembug, masih sedikit sehingga Ijma’ masih dapat

dijalankan dengan mudah. Berbeda halnya di zaman Khalifah Umar, mengadakan

Ijma’ mulai sulit, karena para sahabat terpencar di daerah-daerah yang baru yang

jatuh di bawah kekuasaan Negara Islam. Diantara mereka ada yang tinggal di

Mesir, Suria, Irak, dan Persia. Namun demikian karena sahabat mempunyai

wibawa yang besar, ijtihad mereka mudah diterima oleh masyarakat umum18.

Tegasnya, para sahabat yang memegang kewenangan berijtihad pada periode ini

menetapkan hukum berdasarkan al-Qur’an dan Sunnah. Setelah mereka

menyelidiki dengan sungguh-sungguh barulah berijtihad.

Khalifah Umar RA juga pernah memiliki dustûr al-qudlât, yaitu sebuah

pedoman bagi hakim agung dalam menjalankan peradilan serta dasar-dasar pokok.

Dustûr ini dikenal dengan nama risâlat al-qadlâ’. Isi dari dustûr ini adalah seperti

yang dicatat dalam A’lamul Muwaqqi’ien, berisi pokok-pokok penyelesaian

perkara di muka sidang19:

Dikarenakan peradilan adalah sebagian dari kewenangan umum, maka

yang memiliki kekuasaan ini (kepala negara) yang dapat menentukan wewenang

hakim dalam wilayah tertentu, dan tidak pada lainnya. Oleh karena itu, Umar bin

al- Khattab pada saat beliau menentukan seseorang untuk menjadi hakim, beliau

membatasi wilayah wewenang mereka hanya pada hal-hal pertikaian perdata saja.

Sedangkan permasalahan pidana dan yang berhubungan dengannya seperti

qishâsh, atau hudûd itu tetap dipegang pemimpin negara, yaitu khalifah sendiri

atau penguasa daerah20.

17 Dedy Supriyadi, Sejarah Hukum Islam, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2007), hlm. 71.18 Harun Nasution, Islam di Tinjau dari berbagai Aspeknya, Jilid II, (Jakarta: UI-Pres, 1986), hlm. 10.19 Selengkapnya lihat, Salam Madzkur, Peradilan Dalam Islam, Cet. VI. Terj. Imron AM, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1993), hlm. 43-46.20 Ibid., hlm. 42

14

Page 15: Spi Oemar Ibn Khattab

3. Metode/ Mekanisme Dalam Pemutusan Perkara

Sebagaimana telah dijelaskan diatas, bahwa Umar adalah sosok

pembaharu, sehingga tidak heran jika fatwa-fatwanya acapkali berseberangan

dengan Nabi, baik ketika beliau masih hidup maupun sesudah wafatnya. Seperti

Umar berpendapat lain yang telah diputuskan oleh Nabi, yaitu dalam masalah

tawanan perang. Sedangkan sesudah nabi, Umar mengambil beberapa kebijakan

yang berbeda dengan Kebijakan Nabi maupun Abu Bakar, baik mengenai

pembagian ghanimah (rampasan perang), pembagian zakat untuk muallaf,

hukuman bagi pencuri dan lain-lain21.

Metode yang dipakai oleh Umar secara garis besar sama dengan apa yang

telah dilakukan oleh Abu Bakar; yaitu Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, Qiyas jika dari

salah satu keempat sumber hukum tersebut masih belum menemukan solusinya,

maka Ia akan memanggil para sahabat lainnya untuk bermusyawarah. Umar akan

menanyakan apakah Abu Bakar sebelumnya pernah menetapkan hal serupa atau

tidak, jika tidak ada baru Umar dengan para sahabat lain menetapkan. Dan apa

yang telah disepakati bersama itulah yang akan dipakai22.

Umar lebih mengedepankan makna batin (tersirat) dari pada makna lahir

(tersurat). Umar lebih mengedepankan moral hukum dari pada logika formal

dalam menangkap isyarat-isyarat tertentu dan makna-makna al-Qur’an. Lantaran

ide-ide kreatifnya itu, Umar diakui baik oleh kalangan sarjana muslim maupun

nonmuslim, sebagai orang kedua setelah Nabi Muhammad SAW. Yang paling

menentukan dalam sejarah hukum islam23.

Pembentukan Lembaga Peradilan yang Independen

Selama masa pemerintahan Umar diadakan pemisahan antara kekuasaan

pengadilan dan kekuasaan eksekutif. Von Hamer mengatakan, “Dahulu hakim

diangkat dan sekarang pun masih diangkat. Hakim ush-Shara ialah penguasa yang

ditetapkan berdasarkan undang-undang, karena undang-undang menguasai

seluruh keputusan pengadilan, dan para gubernur dikuasakan menjalankan

keputusan itu. Dengan demikian dengan usianya yang masih sangat muda, Islam

21 Munawir Sadjali, Ijtihad Kemanusiaan, (Jakarta: Paramadina, 1997), hlm. 41.22 Dedy Supriyadi, Sejarah Hukum Islam, Ibid., 23 Ibid., hlm. 79.

15

Page 16: Spi Oemar Ibn Khattab

telah mengumandangkan dalam kata dan perbuatan, pemisahan antara kekuasaan

pengadilan dan kekuasaan eksekutif.” Pemisahan seperti itu belum lagi dicapai

oleh negara-negara paling maju, sekalipun di zaman modern ini.

Pemisahan wewenang ini menghidupkan check and balance antara

eksekutif yang melaksanakan pemerintahan dengan lembaga peradilan sebagai

ujung tombak penegakkan hukum. Dengan sistem ini eksekutif tidak dapat meng-

intervensi keputusan dan proses hukum yang sedang berjalan, hingga jauh dari

budaya Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.

Maka sesungguhnya, jauh sebelum ada teori tentang trias politica

(Eksekutif, Yudikatif dan Legislatif), Umar bin Khattab sudah menerapkan hal

tersebut, meskipun dalam teori trias plotika oleh seorang ahli politik dan filsafat

Perancis yaitu Montesquieu yang baru muncul pada kurun waktu (1689-1755)24.

Akan tetapi, perbedaannya hanya Umar tidak menjadikannya sebagai teori, tetapi

Umar menerapkan dalam pemerintahannya, sebagaimana yang pernah Umar

sampaikan di depan kaum muslimin:

“Saudara-saudaraku! Aku bukanlah rajamu yang ingin menjadikan Anda

budak. Aku adalah hamba Allah dan pengabdi hamba-Nya. Kepadaku telah

dipercayakan tanggung jawab yang berat untuk menjalankan pemerintahan

khilafah. Adalah tugasku membuat Anda senang dalam segala hal, dan akan

menjadi hari nahas bagiku jika timbul keinginan barang sekalipun agar Anda

melayaniku. Aku berhasrat mendidik Anda bukan melalui perintah-perintah,

tetapi melalui perbuatan.”

Umar mendidik rakyatnya dengan perbuatan dan contoh, bukan dengan

teori dan kata-kata.

Pembentukan Majelis Permusyawaratan dan Dewan Pertimbangan

Musyawarah bukan bentuk pembatasan wewenang khalifah dalam

memimpin kaum muslimin seperti dalam pengertian parlemen sekarang ini.

Musyawarah dilakukan sebagai upaya mencari ke-ridho-an dan keberkahan Allah

dalam setiap pengambilan kebijakan negara. Keputusan tertinggi tetap berada

ditangan khalifah.

24 CST. Kansil, Sistem Pemerintahan Indonesia, (Jakarta: Bumi Aksara, 1990), hlm. 10.

16

Page 17: Spi Oemar Ibn Khattab

Nabi SAW sendiri tidak pernah mengambil keputusan penting tanpa

melakukan musyawarah, kecuali yang sifatnya wahyu dari Allah SWT. Pohon

demokrasi dalam Islam yang ditanam Nabi dan dipelihara oleh Abu Bakar

mencapai puncaknya pada zaman Khalifah Umar. Semasa pemerintahan Umar

telah dibentuk dua badan penasehat. Badan penasehat yang satu merupakan

sidang umum atau majelis permusyawaratan yang diundang bersidang bila negara

menghadapi bahaya. Sifatnya insidental dan melibatkan banyak orang yang

mempunyai kompetensi akan masalah yang sedang dibicarakan. Sedang yang satu

lagi adalah badan khusus yang terdiri dari orang-orang yang integritasnya tidak

diragukan untuk diajak membicarakan hal rutin dan penting. Bahkan masalah

pengangkatan dan pemecatan pegawai sipil serta lainnya dapat dibawa ke badan

khusus ini, dan keputusannya dipatuhi.

Pembentukan Demokrasi

Di awal pembaitannya sebagai khalifah Umar bin Khattab berpidato di

depan kaum muslimin, dia berkata:

“Aku telah terpilih menjadi khaliifah. Kerendahan hatu Abu Bakar selaras

dengan jiwanya yang terbaik diantara kamu dan lebih kuat diantara kamu dan

lebih mampu untuk memikul urusan kamu yang penting-penting. Aku diangkat

dalam jabatan ini tidaklah sama dengan beliau. Andaikata aku tahu bahwa ada

orang yang lebih kuat untuk memikul jabatan ini. Maka memberikan leherku

untuk dipotong lebih aku sukai daripada memikul jabatan ini25”. “Sesungguhnya

Allah menguji kamu dengan aku dan mengujiku dengan kamu dan membiarkan

aku memimpin kamu sesudah sahabatku. Maka demi Allah bila ada suatu urusan

dari urusan kamu dihadapkan kepadaku , maka janganlah urusan itu diurus oleh

seseorang selain aku, dan janganlah seseorang menjauhkan diri dari aku,

sehingga aku tidak dapat memilih orang yang benar dan memegang amanah, jika

mereka berrbuat baik, tentu aku akan berbuat baik kepada mereka dan jika

mereka berbuat jahat, maka tentu aku akan menghukum mereka”26.

Dalam pidato awal kepemimpinannya itu Umar tidak menempatkan

dirinya lebih tinggi dari umat Islam lainnya, justru Umar menempatkan dirinya

25 Tim Penyusun, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Jakarta: Depag, 1981/1982), hlm. 54. 26 Dedy Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, Op. Cit., hlm. 80.

17

Page 18: Spi Oemar Ibn Khattab

sebagai pelayan masyarakat. Suatu kali Umar berpidato di depan para

Gubernurnya: “Ingatlah, saya mengangkat Anda bukan untuk memerintah rakyat,

tapi agar Anda melayani mereka. Anda harus memberi contoh dengan tindakan

yang baik sehingga rakyat dapat meneladani Anda.”

Dalam pidato awal itupun Umar menegaskan bahwa semua orang sejajar

di mata hukum (equality before the law), bahwa yang berbuat kebaikan akan

mendapat kebaikan dan yang melakukan kejahatan akan dihukum sesuai

kadarnya, tidak memandang siapa dan seberapa kaya27. Suatu ketika anaknya

sendiri yang bernama Abu Syahma, dilaporkan terbiasa meminum khamar. Umar

memanggilnya menghadap dan ia sendiri yang mendera anak itu sampai

meninggal. Cemeti yang dipakai menghukum Abu Syahma ditancapkan di atas

kuburan anak itu.

Bukan hanya itu, Umar bin Khattab membuka keran pendapat seluas-

luasnya. Umar dengan lapang dada mendengarkan kritik dan saran dari rakyatnya.

Suatu kali dalam sebuah rapat umum, seseorang berteriak: “O, Umar, takutlah

kepada Tuhan.” Para hadirin bermaksud membungkam orang itu, tapi Khalifah

mencegahnya sambil berkata: “Jika sikap jujur seperti itu tidak ditunjukan oleh

rakyat, rakyat menjadi tidak ada artinya. Jika kita tidak mendengarkannya, kita

akan seperti mereka.” Suatu kebebasan menyampaikan pendapat telah

dipraktekan dengan baik.

Umar pernah berkata, “Kata-kata seorang Muslim biasa sama beratnya

dengan ucapan komandannya atau khalifahnya.” Demokrasi sejati seperti ini

diajarkan dan dilaksanakan selama masa Khulafa’ ar-Rasyidin, hampir tidak ada

persamaannya dalam sejarah umat manusia. Islam sebagai agama yang

demokratis, seperti digariskan Al-Qur’an, dengan tegas meletakkan dasar

kehidupan demokrasi dalam kehidupan Muslimin, dan dengan demikian setiap

masalah kenegaraan harus dilaksanakan melalui konsultasi dan perundingan.

Dapatlah disimpulkan pada masa Umar bin Khattab- sebagaimana pada

masa Khulafa’ ar-rasyidin- para qadli belum mempunyai sekretaris atau catatan

yang menghimpun hukum-hukum produk qadla’nya, karena qadlilah yang

melaksanakan sendiri segala keputusan yang dikeluarkannya, demikian juga qadli

27 Ibid.,

18

Page 19: Spi Oemar Ibn Khattab

pada masa itu, belum memiliki tempat khusus (gedung pengadilan), sehingga

mula-mula seorang qadli hanya berada di rumah, kemudian dalam perkembangan

selanjutnya, masjidlah yang dijadikan tempat untuk menyelesaikan segala

sengketa dimana fungsi masjid yang sebenarnya tidaklah terbatas hanya untuk

melakukan sembahyang saja, tetapi ia merupakan pusat bagi memecahkan segala

urusan sosial, seperti peradilan, pengajaran, dan memecahkan berbagai masalah28.

Beberapa Keputusan Umar Bin Khattab Dalam Peradilan

Secara praktis, Umar bin Khattab sering menjadi rujukan berbagai buku

hukum baik Islam ataupun Murni29. Contoh mekanisme pengambilan keputusan

Umar. Pada suatu ketika Khalifah Umar RA yang sedang menjalankan tugasnya

sebgai hakim, didatangi seorang wanita yang menyeret seorang pemuda

bersamanya, sambil berteriak-teriak seperti orang panik. Wanita itu melapor dan

mengadu kepada Khalifah Umar bahwa si pemuda yang diseretnya itu telah

memperkosanya dan mempermalukannya ditengah-tengah keluarganya. Dalam

dakwa dan pengaduannya itu, ia memajukan saksi-saksi, bahkan bahan bukti lain

juga diajukan, yakni dengan menunjukkan tempat tertentu dari pakainnya yang

basah dan bagian tertentu dari anggota badannya. Sementara itu terdakwa, yaitu si

pemuda dengan nada mohon dikasihani menyangkal perbuatan yang dituduhkan

atas dirinya, dan menangkis tuduhan itu bahwa yang sesungguhnya terjadi ialah

wanita tersebut merayu dan mengajak saya berbuat sesuatu atas dirinya, tetapi

saya menampik rayuannya itu. Karena ia malu, datanglah menyeret saya seperti

ini30.

Dalam mempertimbangkan perkara ini, Khalifah Umar selaku hakim yang

bijaksana melakukan dua hal penting yang patut mendapat perhatian dan menjadi

pelajaran berharga bagi para hakim di sepanjang zaman. Kadua hal penting

tersebut adalah:

1. Beliau sekalipun dikenal sebagai orang yang keras dan tegas menghadapi

setiap pelanggar hukum Allah, dan orang-orang jahat, namun beliau

28 Muhammad Salam Madzkur, Op. Cit., hlm. 47.29 Dedy Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, Op. Cit., hlm. 84.30 Ibid.,

19

Page 20: Spi Oemar Ibn Khattab

mampu menguasai dan mengendalikan diri untuk tidak terburu-buru

menjatuhkan suatu keputusan (vonis).

2. Beliau memanfaatkan tenaga ahli/ penasihat ahli dalam hal ini sahabat

nabi yang terkenal dengan Babul-ilm, yaitu ‘Ali bin Abi Thalib RA31.

Upaya yang dilakukan oleh Umar denga meminta bantuan Ali adalah apa

yang dinamakan sekarang Tahlil Unshuril-Jarimah (menganalisis unsur

kejahatannya sendiri), seperti pemeriksaan darah, sidik jari, dan sebagainya dalam

peristiwa pembunuhan misalnya. Langkah selanjutnya, Umar menitikberatkan

pada bahan bukti yang diajukan oleh pendakwa (wanita yang menuduh). Tempat

yang basah dari kain itu disiram dengan air panas yang mendidih begitu rupa dan

ternyata di tempat yang disiram tersebut tampak suatu unsur yang putih, yaitu

putih telur yang tidak meleleh bersama-sama air panas. Khalifah Umar

memberikan peringatan yang keras kepada wanita tersebut yang akhirnya

mengakui terus terang segala perbuatannya yang tidak benar, dan pemuda yang

tidak berdosa (bersalah) itu, berkat kecerdasan hakimnya, dapat bebas dari segala

tuduhan32.

Lebih lanjut tentang Hasil Fatwa dan Ijtihad Umar bin Khattab mengenai

masalah hukum- termasuk di dalamnya fiqh- bisa dilihat dalam kitab Fatawa wa

Aqhdiyah Amiril Mukminin Umar Ibn al-Khattab33.

BAB III

31 Ibid.,32 Dedy Supriyadi, Sejarah Peradaban islam, Op. Cit., hlm. 85-86.33 Muhammad Abdul Aziz Al-halawi, Fatawa wa Aqhdiyah Amiril Mukminin Umar Ibn al-Khattab, (Kairo: Maktabah Al-quran, Bulaq-Kairo, 1986).

20

Page 21: Spi Oemar Ibn Khattab

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Umar terkenal dengan seorang yang keras, tetapi juga sangat perduli dan

sangat zuhud. Semula ia adalah orang yang membenci dakwah Nabi kemudian

setelah masuk islam, Ia begitu setia dan teguh akan pendiriannya. Maka, wajar

jika ada yang mengatakan bahwa, Ia menempati posisi kedua setelah Nabi

Muhammad SAW.

Secara umum, bisa dikatakan bahwa peradilan islam pada masa Umar

mengalami banyak perubahan. Perubahan tersebut disebabkan karena adanya

tuntutan masyarakat muslim. Karena pada masa Umar wilayah islam semakin

meluas, sehingga islam bukan hanya bertemu dengan penduduk Arab saja, tetapi

juga masyaraakat ‘Ajam yang notebene sangat berbeda secara sosiologis, dan

kebiasaanya.

Perkembangan peradilan di masa Umar juga disebabkan karena faktor

pemerintahan. Khalifah selaku pemegang kebijakan dan kondisi politik juga

mempengaruhi eksistensi peradilan islam pada waktu itu. Umar menetapkan 10

dasar pedoman dalam beracara yang pada masa selanjutnya, hal ini menjadi

pedoman para hakim.

Kejeniusan Umar tampak dengan menyeimbangkan berbagai jabatan

dalam pemerintahan islam. Sehingga, Eksekutif dan Yudikatif menjadi seimbang

dan saling melaksanakan fungsinya masing-masing. Di sisi lain, dibentuknya

Baitul Mal, beberapa jawatan keamanan serta Majlis Syuro. Hal ini menunjukkan

bahwa semua itu dalam rangka menyerasikan lembaga-lembaga Negara agar

sesuai dan menutup terjadinya berbagai penyelewengan.

Dalam teori hukum dijelaskan bahwa unsur-unsur hukum ada tiga, yaitu

Substansi hukum, Struktur hukum dan Kultur hukum. Penegakan hukum ideal

harus memenuhi ke tiga unsure hukum tersebut. Sehingga keamanan, ketertiban

dan keadilan akan terwujud. Di masa Umar, selain sumber hukum yang sudah

jelas, juga didukung oleh para qadli yang adil. Selain itu, kebiasaan masyarakat

untuk melanggar hukum juga sangat sedikit sekali. Sehingga teori hukum di atas

sudah terwujud ketika pemerintahan Umar bin Khattab.

DAFTAR PUSTAKA

21

Page 22: Spi Oemar Ibn Khattab

Ali, K. A Study Of Islamic History, Terj. Ghufron A. Mas’adi, Cet. III, Jakarta: Grafindo Persada, 2000.

Al-Sayis, Muhammad Ali, Nasy’at al-Fiqhi li Ijtihadi wa Athwaruhu, Cet. I, Terj. M. Ali Hasan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995.

Abdul Aziz, Muhammad al-Halawi, Fatwa dan Ijihad Umar bin khattab, Terj. Zubeir Suryadi Abdullah, Surabaya: Risalah Gusti, 2003.

http://rangerwhite09-artikel.blogspot.com/2010/04/sejarah-peradilan-islam-masa-khulafaur.html: Posted by Syifaul Qulub S.Hi at 11:56 AM.

Departemen Agama, Ensiklopedi Islam, Jilid III. (Jakarta: Depag, 1993).

Dewan Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jilid. I, Jakarta: ikhtiar baru Van Hoeve, 1993.

A.F.M. Shamsur Rahman, Spaine Musalmander Itihash. Khulna: Piramaund Press, 1977.

Fauzan, M, Pokok-pokok Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syar’iyah di Indonesia, Cet. II, Jakarta: Kencana 2005.

Kansil CST. Sistem Pemerintahan Indonesia, Jakarta: Bumi Aksara, 1990.

Husain Haekal. Muhammad, Umar bin Khattab, Terj. Ali Audah. Cet. III. Bogor: PT. Pustaka Litera AntarNusa, 2002.

Idris Ramulyo. Moh. Asas-asas Hukum Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 1995.

Nasution Harun, Islam di Tinjau dari berbagai Aspeknya, Jilid II, Jakarta: UI-Pres, 1986.

Rahman, A.F.M. Shamsur. Spain e Musalmander Itihash. Khulna: Piramaund Press, 1977.

Syadzali, Munawir, Ijtihad Kemanusiaan, Cet. I, Jakarta: Paramadina, 1997.

Ali, K. Isamer Itihash. Dhaka: Ali Publication, 1976.

http://jangan-bungkamhendaru.blog.friendster.com/2006/03/politik-islam-dan-kekuasaan-2.

Salam Madzkur, Peradilan Dalam Islam, Cet. VI. Terj. Imron AM, Surabaya: PT Bina Ilmu, 1993.

Supriyadi, Dedy, Sejarah Hukum Islam, Bandung: CV Pustaka Setia, 2007.

Sejarah Peradaban Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2008.

Tim Penyusun, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jakarta: Depag, 1981/1982.

Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003.

22