sosial forestry dan pemberdayaan masyarakat di …
TRANSCRIPT
SOSIAL FORESTRY DAN PEMBERDAYAAN
MASYARAKAT DI SEKITAR HUTAN
Oleh
Y U N A S F I
NIP 132288490
DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2007
iiYunasfi : Sosial Forestry dan Pemberdayaan Masyarakat di Sekitar Hutan, 2007 USU Repository © 2008
KATA PENGANTAR
Pertambahan jumlah penduduk yang pesat mengakibatkan semakin banyak terjadi
konversi lahan-lahan pertanian dan kehutanan menjadi sarana jalan, perumahan, industi dan lain-
lain. Dampak dari hal ini menyababkan luas hutan yang ada akan mengalami penurunan dari tahun
ke tahun. Sebagian besar masyarakat Indonesia yang hidup di pedesaan menggantungkan hidupnya
pada usaha pertanian. Dalam rangka memenuhi kebutuhan areal untuk usaha tani maka masyarakat
desa melakukan kegiatan ekstensifikasi, yaitu perluasan areal usaha tani. Akibatnya banyak
masyarakat desa di sekitar hutan melakukan perambahan hutan. Perambahan hutan yang dilakukan
oleh masyarakat desa di sekitar hutan, akan memberikan dampak yang merugikan baik dari segi
ekonomi maupun dari segi ekologi jika dilakukan terus menerus dan tidak terkendali.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut perlu dilakukan usaha-usaha untuk mengikutkan
masyarakat berperan serta dalam pengelolaan hutan. Bentuk kegiatan yang bisa dilaukan adalah
dengan cara penerapan social forestry dan agroforestry. Pada kegiatan ini masyarakat terlibat
secara langsung dalam pemanfaatan sumber daya hutan. Kegiatan social forestry dan agroforestry
ditujukan untuk pemanfaatan lahan hutan secara optimal, sehingga diharapkan dalam
pembangunan hutan terutama pada tahap awal lahan yang masih kosong di antara tanaman hutan
dapat diusahakan oleh masyarakat untuk usaha taninya dalam jangka waktu tertentu.
Dengan kegiatan social forestry dan agroforestry, diharapkan tekanan terhadap hutan
menjadi berkurang dan masyarakat dapat manfaat dari kegiatan yang dilakukan.
Medan, Januari 2008
Penulis
iiiYunasfi : Sosial Forestry dan Pemberdayaan Masyarakat di Sekitar Hutan, 2007 USU Repository © 2008
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
DAFTAR TABEL iii
DAFTAR GAMBAR iv
I. PENDAHULUAN 1
II. KONSEP-KONSEP SOCIAL FORESTRY DAN AGROFORESTRY 5
2. 1. Konsep-Konsep Social Forestry 5
2. 2. Konsep-Konsep Agroforestry 9
2. 3. Perkembangan Agroforestry di Indonesia 10
2. 3.1. Sistem Agroforestry Tradisional 11
a. Sistem Kebun Talun dan Pekarangan di Jawa Barat 11
b. Sistem Kebun Agroforestry Bertingkat Ganda di Sumatera Barat 11
2. 4. Teknologi Agroforestry 12
2. 5. Peran Agroforestry dalam Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat dan Pelestarian Sumber Daya Alam 13
2. 6. Kendala-kendala Sistem Agroforestry 15
III PROGRAM PERHUTANAN SOSIAL DI JAWA (KETERPADUAN SOCIAL FORESTRY DAN AGROFORESTRY) 17
3. 1. Prosperity Approach (Pendekatan Kesejahteraan Masyarakat) 17
3. 2. Pembinaan Masyarakat Desa Hutan (PMDH) 22
3. 3. Model PMDH
3. 4. Perhutanan Sosial 26
IV KESIMPULAN 31
PUSTAKA ACUAN 33
ivYunasfi : Sosial Forestry dan Pemberdayaan Masyarakat di Sekitar Hutan, 2007 USU Repository © 2008
DAFTAR GAMBAR
No.
Teks Halaman
1. Tumpangsari sebagai strategi kerjasama pengelolaan sumberdaya hutan 19
2. Model MA-MA 20
3. Komponen-komponen Pembinaan Masyarakat Desa Hutan (PMDH) 25
4. Keterpaduan antara Konsep Social Forestry dan Agroforestry 27
vYunasfi : Sosial Forestry dan Pemberdayaan Masyarakat di Sekitar Hutan, 2007 USU Repository © 2008
DAFTAR TABEL
No.
Teks Halaman
1. Aliran Permukaan dan Erosi pada Sistem Agroforestry selama enam bulan 14
viYunasfi : Sosial Forestry dan Pemberdayaan Masyarakat di Sekitar Hutan, 2007 USU Repository © 2008
I. PENDAHULUAN
Sekitar 120 juta rakyat Indonesia atau 73 % berada di pedesaan. Sebagian dari mereka
tinggal di dalam dan di daerah sekitar hutan, dengan kehidupan dan kesejahteraan yang kurang
beruntung bila dibandingkan dengan kehidupan masyarakat di tempat lainnya, khususnya dengan
masyarakat kota.
Secara umum penyebab kurang beruntungnya masyarkat di dalam dan di sekitar hutan
adalah terdapatnya berbagai macam keterbatasan seperti (1) Lokasi, masyarakat ini masih terisolir,
sulit dijangkau, pemukiman yang terpencar-pencar dan dan tanah yang relatif tidak subur ; (2)
Tigkat pendidikan, sangat rendah dan keterampilan tidak mendukung ; (3) Sosial budaya, tidak
mudah dengan cepat menerima perubahan, sangat tergantung dengan sumber daya alam, cepat
puas dengan apa yang telah dicapai dan kurang produktif ; (4) Ekonomi, sarana pertanian tidak
tersedia dengan cukup dan sulit diperoleh serta kesempatan bekerja dan berusaha yang sangat
terbatas ; (5) Kesehatan dan populasi, kesehatan relatif buruk dan tingkat kelahiran relatif tinggi
(Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia, 1991).
Dari keadaan tersebut di atas, maka salah satu alternatif kegiatan yang merupakan untuk
mata pencaharian pokok yang dapat dilakukan adalah dengan cara perladangan berpindah. Dari
hasil kegiatan perladangan berpindah ini, terlihat bahwa tingkat kesejahteraan mereka jauh
tertinggal dengan masyarakat kota, baik dalam hal sandang , pangan dan perumahan.
Permasalahan-permasalahan peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan
sangat luas dan kompleks, yang melibatkan berbagai disiplin ilmu serta perlu melibatkan dan
koordinasi dengan berbagai instansi terkait. Tanpa itu semua sulit sekali bahkan mustahil
kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan dapat ditingkatkan secara berarti sesuai dengan yang
diharapkan. Demikian pula halnya dengan pelestarian lingkungan atau hutan tanpa adanya
keberhasilan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat, maka masyarakat tidak mungkin
melepaskan ketergantungannya terhadap hutan untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari.
Menurut Perum Perhutani (1996) bahwa dalam mengelola kawasan hutan dengan azas
kelestarian yang berwawasan lingkungan akan dihadapkan pada suatu kondisi lingkungan sosial
yang terus memberikan tekanan-tekanan terhadap kelestarian hutan itu sendiri. Tekanan-tekanan
sosial ini terjadi karena terus adanya peningkatan jumlah penduduk khususnya yang berada di
sekitar hutan dan menggantungkan kehidupannya dari usaha pertanian. Sementara itu lahan
pertanian semakin berkurang dengan terus bertambahnya penduduk sehingga terciptanya suatu
keadaan dimana masyarakat kekurangan lahan garapan dan akibatnya kondisi ekonomi masyarakat
kurang mendukung untuk pencapaian taraf hidup yang sejahtera.
Laju pertambahan penduduk yang cukup tinggi dan penyebaran penduduk yang tidak
merata merupakan masalah nasional yang perlu diperhitungkan untuk menentukan kebijaksanaan
viiYunasfi : Sosial Forestry dan Pemberdayaan Masyarakat di Sekitar Hutan, 2007 USU Repository © 2008
pembangunan pertanian. Karena masalah ini dapat menyebabkan semakin banyak lahan pertanian
yang dikonversi menjadi pemukiman, jalan sebagai sarana transportasi, sehingga para petani yang
tergusur tersebut akan melakukan pembukaan lahan pertanian baru di daerah hulu (lahan kering
yang bertopogafi bergelombang), melakukan perladangan berpindah, bahkan melakukan
penebangan hutan secara liar tanpa diikuti oleh usaha-usaha konservasi tanah dan air. Oleh karena
itu pengelolaan usaha tani pada lahan kering harus disertai usaha-usaha konservasi tanah dan air,
terutama pada daera-daerah yang terjal, dan merupakan sistem usaha tani terpadu (intergrated
farming system).
Dalam konteks pembangunan hutan di Indonesia GBHN 1993 telah menggariskan
pentingnya mewujudkan dan mengembangkan perhutanan sosial yang mempertimbangkan
produktivitas, partisipasi dan efisiensi. Di samping itu, pembangunan kehutanan bertumpu pada
Trilogi Pembangunan dan diarahkan untuk meningkatkan produktivitas hasil hutan. Selanjutnya
dalam rangka pemerataan, peran kehutanan adalah meningkatkan kesempatan kerja, produktivitas
tenaga kerja serta pengentasan kemiskinan.
Untuk mengimplemetasikan hal-hal tersebut di atas, Departemen Kehutanan telah
mengembangkan berbagai model pengelolaan hutan partisipatif atau model Perhutanan Sosial,
atara lain : Hutan Kemasyarakatan, Hutan Rakyat, HTI Trans, HPH Bina Desa, Pembinaan
Masyarakat Desa Hutan (PMDH) dan Transmigrasi Pola Hutan Rakyat (Trans PHR). Namun
demikian program tersebut belum berdampak luas mengingat sebagian besar masyarakat hanya
dilibatkan sebagai tenaga kerja upahan, sehingga belum mampu menjamin kepastian masa
depannya (Sumodhijo, 1996).
Menurut Suryohadiksumo (1996) bahwa kegiatan pengelolaan hutan khususnya di Pulau
Jawa, sejak dahulu telah mengiktsertakan masyarakat setempat. Pola penyertaan masyarakat ini
harus bersifat menjadikan masyarakat sebagai subyek, yaitu diikutsertakan secara aktif dalam
berbagai kegiatan kehutanan dan sebagai objek, yaitu meningkatkan kesejahteraan melalui
kegiatan tersebut. Arah pengikutsertaan ini adalah terciptanya masyarakat yang mandiri dan tidak
mempunyai ketergantungan pada lahan, menuju terwujudnya masyarakat industri.
Pengembangan kegiatan perhutanan sosial pada dasarnya merupakan pembangunan
partisipatif yang akan membawa konsekuensi sebagai berikut :
1. Mengintegrasikan pembangunan kehutanan ke dalam pembangunan wilayah desa
2. Menggesesr kewenangan pengambilan keputusan dari tingkat pusat ke tingkat regional
atau lokal
3. Merintis dan mengaplikasikan sistem pengelolaan sumber daya hutan yang lestari
4. Meningkatkan peran serta masyarakat dalam perencanaan dan pelaksanaan program-
program kehutanan, dengan tujuan untuk meningkatkan swadaya dan swasembada
viiiYunasfi : Sosial Forestry dan Pemberdayaan Masyarakat di Sekitar Hutan, 2007 USU Repository © 2008
masyarakat sehingga tercapai tingkat efisiensi yang lebih tinggi dalam pelaksanaan
program kehutanan.
5. Meningkatkan akses masyarakat lapisan miskin terhadap sumberdaya alam hutan.
ixYunasfi : Sosial Forestry dan Pemberdayaan Masyarakat di Sekitar Hutan, 2007 USU Repository © 2008
II. KONSEP-KONSEP SOCIAL FORESTRY DAN AGROFORESTRY
2.1. Konsep-Konsep Social Forestry Upaya mengikusertakan masyarakat dalam pengelolaan hutan di Pulau Jawa telah dimulai
sejak abad ke sembilan belas, dengan latar belakang yang berbeda-beda, sesuai dengan
perkembangan zaman. Pada zaman pemerintahan Belanda, sebelum Perang Dunia II, motif
pengikutsertaan masyarakat setempat dalam kegiatan pengelolaan hutan, menitikberatkan pada
tujuan keberhasilan penanaman hutan dan pengamanan hutan dari gangguan pencurian kayu.
Menurut Verkuyl (1955 diacu oleh Kartasubrata, 1977), bahwa system pengelolaan hutan
di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa, dipengaruhi oleh ‘German School of Forest Management’
yang diperkenalkan oleh Dirk va Hoogerdorp pada permulaan abad ke sembilan belas. Menurut
tradisi ‘German School’ tersebut para petugas kehutanan memandang dirinya sendiri penjaga
hutan tehadap segala gangguan dari luar maupun dalam, baik dari manusia maupun alam.
Prinsip-prinsip ‘German School of Forest Management’ dilaksanakan melalui berbagai
peraturan perundangan kehutanan, pembentukan organisasi kehutanan dan penyelenggaraan sistem
tata hutan untuk memantapkan usaha-usaha kelestarian fungsi-fungsi hutan dibidang produksi dan
konservasi dengan memperhatikan kepentingan penduduk desa di sekitar hutan.
Adapun kegiatan penanaman hutan dilakukan dengan sistem tumpangsari sampai akhir
tahun 1960, menggunakan biaya penanaman yang rendah oleh tenaga masyarakat di sekitar hutan,
namun kegiatan tidak memberikan perubahan yang berarti bagi kehidupan masyarakat di sekitar
hutan. Pada tahun 1972, mulai dilaksanakan program Prosperity Approah (Pendekatan
Kesejahteraan Masyarakat), yaitu mengikutsertakan masyarakat dalam upaya-upaya pembangunan
hutan, yang bertujuan mengembalikan potensi dan fungsi hutan serta sekaligus meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Adapun kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan dalam program
Prosperity Approach antara lain :
1. Intensifikasi Massal Tumpangsai (Inmas Tumpangsai)
2. Intensifikasi Khusus Tumpangsari (Insus Tumpangsari)
3. Tumpangsari model MA-MA (Magelang-Malang)
4. Pembuatan tanaman kayu bakar
5. Penanaman rumput gajah
6. Usaha perlebahan
7. Pembangunan sarana air bersih (Kaptering Air) dan Check Dam.
Dengan penambahan jumlah penduduk yang pesat, tekanan terhadap hutan dan lahan
hutan makin berat, sehingga konflik kepentingan tidak dapat dihindarkan. Dalam hal ini para
xYunasfi : Sosial Forestry dan Pemberdayaan Masyarakat di Sekitar Hutan, 2007 USU Repository © 2008
petugas kehutanan sering digambarkan sebagai musuh rakyat. Dengan berbagai peraturan dan
tindakan represif, serta kegiatan penyuluhan maka situasi konflik dapat diredam. Namun ekses-
ekses berupa pencurian hutan secara ilegal dan pelanggaran-pelanggaran lainnya tidak dapat
dihindarkan.
Pada Kongres Kehutanan Sedunia ke-8 tahun 1978 di Jakarta dengan mengambil tema
’Forest fo People’ dengan rincian bidang pembicaraan adalah :
1. Forestry for Local Community Development
2. Forestry for Food
3. Forestry for Employment Promotion
4. Forestry for Industrial Development
5. Forestry for Quality of Life
Berdasarkan gagasan-gagasan di atas telah mendorong timbulnya pendekatan-pendekatan
baru dalam pengelolaan dan tata guna hutan, terutama di negara-negara berkembang dengan
menggunakan berbagai istilah lokal yang dapat diringkas dalam kosep-konsep Social Foresty dan
Agroforestry.
Menurut Nasendi (1989) bahwa Social Forestry merupakan suatu konsep dinamis dengan
sistem pengelolaan hutan gaya baru di negara-negara yang banyak penduduknya, tingkat ekonomi
sedang tumbuh dan sumber daya alamnya rawan lingkungan. Ciri negara-negara seperti ini
banyak terdapat di daerah tropis dan negara-negara berkembang. Sebagai suatu sistem
pengelolaan hutan, Social Forestry menekankan pola manajemen partisipatif antara masyarakat
desa di sekitar hutan dengan pengelola hutannya dalam arti seluas-luasnya secara seimbang dan
serasi.
Social Forestry (Perhutanan Sosial) adalah suatu sistem kegiatan pengembangan hutan,
tanah dan air, termasuk pembangunan masyarakat desa yang bersangkutan dengan menggunakan
aturan-aturan tertentu di bidang teknik, ekonomi dan sosial melalui fungsi-fungsi manajemen yang
relevan, yaitu dalam perencanaan, oganisasi dan pengawasan. Kegiatan-kegiatan tersebut juga
mencakup sistem-sistem kegiatan pengembangan dan pengelolaan hutan rakyat yang dikelola oleh
pemiliknya sendiri dengan bantuan tenaga ahli kehutanan dalam melaksankan prinsip-prinsip
kehutanan (Departemen Kehutanan, 1987).
Menurut Tiwari (1983 diacu oleh Kartasubrata, 1992) Social Forestry adalah ilmu dan
seni penanaman pohon-pohon dan atau tumbuhan lainnya pada lahan yang tersedia untuk
keperluan tersebut, di dalam dan di luar kawasan hutan dan pengelolaan hutan yang sudah ada
dengan melibatkan rakyat, serta dipadukan dengan kegiatan-kegiatan lain, yang menghasilkan
suatu bentuk penggunaan lahan yang berimbang dan komplementer, dengan tujuan untuk
menghasilkan berbagai macam benda dan jasa bagi perorangan maupun masyarakat pada
xiYunasfi : Sosial Forestry dan Pemberdayaan Masyarakat di Sekitar Hutan, 2007 USU Repository © 2008
umumnya.
Tujuan utama dari program Social Forestry adalah mencapai keadaan sosial ekonomi
penduduk pedesaan yang lebih baik, terutama penduduk di dalam dan di sekitar hutan. Selain itu
masyaakat setempat diajak untuk berpartisipasi dalam pengelolaan dan pemanfaatan lahan secara
lebih teratur dan lebih bertangungjawab.
Menurut Noronha (1982 diacu oleh Kartasubrata, 1997) terdapat beberapa perbedaan
antara Social Forestry dan Commercial Forestry :
a. Dalam Social Forestry pada umumnya hasil hutan dimanfaatkan dengan cara non
komersial
b. Dalam kegiatan Social Forestry para pengguna jasa terlibat secara langsung
c. Dalam kegiatan Social Forestry para ahli kehutanan tidak hanya berperan sebagai
pengaman hutan, akan tetapi ia harus bekerja sama dengan masyarakat sebagai
kelompok maupun perorangan dalam produksi maupun pemanfaatan hasil hutan
Bentuk-bentuk Social Forestry menurut Wiersum (1984) adalah sebagai berikut :
a. Perticipatory forestry, yaitu pengelolaan hutan yang diselenggarakan oleh negara
dengan mengikutkansertakan masyarakat
b. Village forestry, yaitu pengelolaan hutan dan sumber daya pohon-pohon lainnya
dalam usaha kecil yang dilaksanakan oleh pelaku non profesional, pada lahan
perorangan
c. Communal atau Community forestry, yaitu suatu bentuk village forestry, yang
pengelolaannya dilakukan sebagai usaha bersama
d. Farmer’s forestry, yaitu suatu bentuk village forestry, dimana pengelolaan
sumberdaya pohon merupakan tanggungjawab para petani perorangan
Dalam hal tempat pelaksanaan bentuk-bentuk Social Forestry di atas Nasendi (1989)
mengemukakan bahwa :
a. Participatory foresry, dilaksanakan pada kawasan hutan negara, seperti kawasan
Perum Perhutani, kawasan HPH PT. Inhutani I, II, dan III, kawasan HPH swasta, dan
berbagai kawasan hutan negara termasuk kawasan penyangga dari Hutan Konservasi
atau Pelestarian Alam dan Hutan Lindung.
b. Village forestry, dilaksanakan pada kawasan desa
c. Communal atau Community forestry, dilaksanakan pada kawasan hutan rakyat atau
pada tanah-tanah milik rakyat secara berkelompok, milik marga/suku, tegalan dan
ladang keluarga/klen dan sebagainya. Artinya fokus kegiatannya di luar kawasan
hutan negara
xiiYunasfi : Sosial Forestry dan Pemberdayaan Masyarakat di Sekitar Hutan, 2007 USU Repository © 2008
d. Farmer’s forestry, kegiatan ini dilaksanakan di lahan milik petani seperti di talun,
tegalan milik, pekarangan milik dan sebagainya.
Jadi dalam hal ini Social Foresty adalah suatu sistem atau konsepsi induk yang
memayungi berbagai sub sistem manajemen hutan berpola partisipatif masyarakat yang
berhubungan dengan pola pemanfaatan lahan dan pengelolaan sumber daya alamnya (Nasendi,
1989).
2.2. Konsep-Konsep Agroforestry
Agroforestry merupakan suatu sistem pengelolaan lahan, baik di dalam kawasan hutan
maupun di luar kawasan hutan, yang merupakan perpaduan dari kegiatan kehutanan, pertanian,
peternakan dan atau perikanan ke arah usaha tani terpadu sehingga tercapai optimalisasi dan
diversifikasi penggunaan lahan.
Beberapa konsep dan pengertian agroforestry yang dikemukakan oleh beberapa ahli yang
diacu Kartasubrata (1992) adalah sebagai berikut :
1. Suatu sisem pengelolaan lahan dengan berazaskan kelestarian, dan meningkatkan hasil
lahan secara keseluruhan, mengkombinasikan produksi tanaman pertanian termasuk
tanaman pohon-pohon dan tanaman hutan dan atau hewan secara bersamaan atau
berurutan pada unit lahan yang sama, dan menerapkan cara-cara pengelolaan yang sesuai
dengan kebudayaan penduduk setempat (King dan Chandler, 1978).
2. Suatu metode penggunaan lahan secara optimal, yang mengkombinasikan sistem-sistem
produksi biologis yang berotasi pendek dan panjang dengan suatu cara berdasarkan azas
kelestarian, secara bersamaan atau berurutan, dalam kawasan hutan atau di luarnya,
dengan tujuan untuk mencapai kesejahteraan rakyat (Satjapradja dkk., 1981).
Dalam rangka optimalisasi dan diversifikasi penggunaan lahan terdapat berbagai bentuk
kegiatan agroforestry yang pelaksanaannya perlu disesuaikan dengan keadaan fisik ekologis dan
sosial ekonomi masyarakat setempat, antara lain : Agrisilvikultur, Silvopastural, Silvofishery,
Agrisilvopastural, Farm forestry, Alley cropping dan Hutan serbaguna. Sasaran lokasi bagi
pelaksanaan agroforestry adalah di daerah-daerah yang dikenal sebagai daerah marginal. Konsep
agroforestry ini diharapkan dapat memberikan perbaikan teknologi usaha pengelolaan hutan di
daerah semacam itu.
Pada hakekatnya penerapan agroforestry bertujuan untuk meningkatkan produksi,
kesempatan kerja dan pendapatan petani, khususnya masyarakat di sekitar hutan serta untuk
meningkatkan produktivitas lahan dan usaha pelestarian sumber daya alam (tanah, air dan
xiiiYunasfi : Sosial Forestry dan Pemberdayaan Masyarakat di Sekitar Hutan, 2007 USU Repository © 2008
tumbuhan). Untuk mengetahui apakah tujuan tersebut sudah dapat tercapai atau belum dapat
dilihat dari pengaruh langsung pelaksanaan agroforestry dengan mengukur produktivitas lahan,
tingkat pendapatan, tingkat produksi, tingkat penyerapan tenaga kerja dan tingkat erosi (Anwar,
Baheramsyah dan Hamzah, 1989).
2.3. Perkembangan Agrforestry di Indonesia
Nair (1987 dalam Kartasubrata, 1992) membedakan antara sistem agroforestry dan
teknologi agoforestry. Sistem agroforestry meliputi berbagai bentuk kegiatan agroforestry yang
sudah umum dilakukan di suatu daerah, sedangkan teknologi agroforestry merupakan suatu
inovasi baru dalam bidang agroforestry yang biasanya ditemukan berdasarkan hasil penelitian
yang memiliki keunggulan dalam penerapannya. Teknologi agroforestry yang cukup terkenal
antara lain Improved Fallow, Integrated Taungnya, Aley Cropping, Multipurpose Trees on Farm
Lands dan lain-lain.
2.3.1. Sistem Agroforestry Tradisional
a. Sistem Kebun-Talun dan Pekarangan di Jawa Barat
Widagda dkk. (1984 diacu oleh Kartasubrata, 1992) menggambarkan sistem kebun talun
terdiri atas tiga fase, yaitu kebun, kebun campuran dan talun.
Fase pertama, yang terbentuk sesudah menebang hutan merupakan kebun yang biasanya ditanami
oleh tanam-tanaman semusim. Hasil dari kebun dikonsumsi oleh keluarga petani dan sebagian lagi
dijual.
Fase kedua, sesudah dua tahun di kebun mulai tumbuh anakan tanaman keras sehingga makin
lama ruangan bagi tanaman semusim makin berkurang. Pada keadaan ini terbentuklah kebun
campuran. Dari segi nilai ekonomi kebun campuran mempunyai nilai ekonomi lebih rendah dari
kebun, namun nilai biofisiknya meningkat. Peningkatan nilai biofisik ini disebabkan karena
adanya peran penting dari kebun campuran dalam konservasi tanah dan air.
Fase ketiga, setelah dipanennya tanaman semusim dalam kebun campuran, lahan biasanya akan
ditinggalkan selama lebih kurang dua sampai tiga tahun, sehingga akan didominasi oleh tanaman
keras. Fase ini disebut talun, yang merupakan klimaks dari sistem kebun talun.
Pekarangan adalah lahan di sekitar rumah yang ditumbuhi campuran tanaman semusim
dan tanaman keras, disertai adanya berbagai binatang liar dan hewan ternak. Pekarangan
merupakan suatu sistem dengan batas-batas tertentu dan mempunyai manfaat ekonomi, biofisik
xivYunasfi : Sosial Forestry dan Pemberdayaan Masyarakat di Sekitar Hutan, 2007 USU Repository © 2008
dan sosio-kultural bagi pemiliknya (Kartasubrata, 1992).
b. Sistem Kebun Agroforestry Bertingkat Ganda di Sumatera Barat
Sistem agroorestry bertingkat ganda memiliki beberapa tahapan dalam satu periode
penanaman, seperti budidaya tanaman pangan, tahap budidaya campuran tanaman pangan dan
tanaman hutan, serta tahap budidaya tanaman hutan. Sistem kebun agroforestry bertingkat ganda
di Sumatera Barat ini dicirikan oleh perpaduan tanaman hutan dan tanaman pertanian yang
komersial.
2. 4. Teknologi Agroforestry
Istilah teknologi agroforestry menunjukkan adanya suatu inovasi baru dalam bidang
agroforestry yang biasanya ditemukan berdasakan hasil penelitian yang memiliki berbagai
keunggulan dalam penerapannya. Teknologi agroforestry yang terkenal antara lain : Improved
fallow, Integrated taungnya, Alley cropping dan lain-lain :
Menurut Moeliono (1987) bahwa peran teknik agroforesty secara umum adalah sebagai
berikut :
a. Pemanfaatan lahan secara rasional berdasarkan kemampuannya
b. Pemanfaatan yang lebih efsien dari relung ekologi yang tersedia
c. Pemanfaatan tanaman pertanian untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pedesaan
d. Menyediakan tempat rerumputan sebagai penghasil pakan ternak dengan tujuan untuk
meningkatkan paroduksi ternak
e. Meningkatkan kesempatan kerja
f. Mencegah serta mengurangi erosi tanah
Teknologi agroforestry dalam kawasan hutan antara lain : Tumpangsari, Inmas Tumpangsari dan
Tumpangsari selama daur dalam Program Perhutanan Sosial. Teknologi agroforestry ini pertama
kali dikembangkan di Pulau Jawa untuk mengantisipasi meningkatnya tekanan penduduk terhadap
hutan terutama oleh masyarakat di sekitar hutan.
Sedangkan teknologi agroforestry di luar kawasan hutan antara lain : Agroforestry pada
Program Hutan Kemasyarakatan, Sistem Tiga Strata di Bali, Pola Agroforestry Tanaman Lorong
di NTB dan NTT dan lain-lain.
2. 5. Peran Agroforestry dalam Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat dan Pelestarian Sumber Daya Alam
xvYunasfi : Sosial Forestry dan Pemberdayaan Masyarakat di Sekitar Hutan, 2007 USU Repository © 2008
Secara garis besar peran agroforestry dapat dibagi atas dua bagian, yaitu (1) pengaruh
terhadap fisik, yaitu agroforestry dapat meningkatkan produktivitas lahan dan menurunkan tingkat
erosi, (2) pengaruh terhadap sosial ekonomi yang dapat dilihat dari peningkatan tenaga kerja dan
pendapatan masyarakat.
a. Aspek Fisik Agroforestry
Aspek fisik agroforestry yang terpenting adalah dapat menekan tingkat erosi dan aliran
permukaan tanah. Praktik bercocok tanam yang serampangan tanpa memperhatikan kaidah
koservasi tanah dan air serta penggembalaan, akan menyebabkan tingginya laju aliran permukaan
dan erosi tanah. Usaha-usaha untuk penanggulangan keadaan ini telah banyak dilakukan oleh
pakar, namun sangat sulit untuk mendapat cara yang efektif. Agroforestry merupakan satu cara
dari sekian banyak cara untuk penanggulangan erosi tersebut.
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Anwar dkk., (1989) dilapokan bahwa penyebab
terjadinya erosi tidak hanya dipengaruhi oleh curah hujan, namun juga dipengaruhi oleh jenis-jenis
tanaman, jumlah tanamannya, dan ada tidaknya tindakan konservasi yang memadai.
Penelitian tentang dampak agroforestry terhadap tingkat erosi dan aliran permukaan
dilakukan pada lahan seluas 0,38 Ha dengan kemiringan sekitar 15 – 30 persen, jenis tanah latosol
dan dengan mengkombinasikan sebelas jenis tanaman yang berumur dua tahun, yaitu jambu biji
(Psidium guajava), Sirsak (Annona squamosa), Mahoni (Swietenia mahagaoni), Jeujing
(Paraserianthes falcataria), Petai (Parkia speciosa), Nangka (Artocarpus integra), Kapulaga
(Elettaria cardomomum), rumput kembang goyang (Chloris guyana), rumput benggala (Panicum
maximum), lamtoro (Leucaena leucocephala), dan kayu Afrika (Maesopsis eminii). Adapun hasil
pengukuran besarnya aliran pemukaan dan erosi pada sistem agroforestry yang dilakukan dapat
dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Aliran Permukaan dan Erosi pada Sistem Agroforestry selama enam bulan
Bulan Curah Hujan (mm/bulan) Aliran Permukaan (m3/ha/bulan)
Erosi (ton/ha/bulan)
April 37 1.651 0.004186 Mei 25 0.004 0.000000 Juni 51 4.820 0.026179 Juli 19 0.126 0.000000 Agustus 57 0.116 0.000000 September 47 0.421 0.000000 Jumlah 236 7.138 0.030365
Sumber : Anwar dkk, (1989)
Dari Tabel 1 dapat ditarik kesimpulan, bahwa dengan adanya kegiatan agroforestry, yaitu
dilakukan penanaman dengan mengkombinasikan beberapa jenis tanaman, ternyata dapat
mengurangi tingkat erosi dan laju aliran permukaan.
xviYunasfi : Sosial Forestry dan Pemberdayaan Masyarakat di Sekitar Hutan, 2007 USU Repository © 2008
b. Aspek Sosial Ekonomi Agroforestry
a. Tingkat Pendapatan
Dari hasil penelitian yang dilakuan oleh Saragih (1988) di Desa Kertajasa, Kecamatan
Penawangan Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, tentang analisa kelayakan suatu usaha agrforestry
didapatkan hasil bahwa pada tahun 1980, sebelum dihasilkan tanaman tahunan, yaitu kayu-kayuan,
buah-buahan dan tanaman perkebunan rata-rata penerimaan petani adalah sebesar Rp 138.88,-.
Pada tahun 1985 yaitu pada tahun ke-8 dari pelaksanan kegiatan agroforestry pendapatan rata-rata
yang diterima petani adalah sebesar Rp 2.274.220,70. Periode pelaksanaan kegiatan agroforestry
ini berlangsung dari tahun 1978 – 1987.
b. Penyerapan Tenaga Kerja
Menurut Gunawan dan Widodo (1993) bahwa dalam kegiatan produktif, manusia
merupakan salah satu input yang paling vital. Manusia dapat berperan sebagai pekerja ataupun
pengelola. Sebagian besar penduduk Indonesia bertempat tinggal di daerah pedesaan yang berarti
bahwa potensi angkatan kerja yang memadai banyak terdapat di desa, sehingga terjadi
pengangguran yang terselubung ataupun pengangguran murni yang pada akhirnya akan
menimbulkan berbagai masalah sosial.
Untuk kesuksesan program perhutanan sosial, diperlukan banyak tenaga kerja yang
berasal dari luar keluarga pessanggem baik untuk lahan perhutanan sosial maupun untuk lahan
bukan perhutanan sosial, sehingga akan semakin banyak dibutuhkan tenaga kerja (Nainggolan,
1991).
2. 6. Kendala-kendala Sistem Agroforestry
Kendala-kendala dalam pengembangan agroforestry pada suatu tempat akan berbeda
antara satu daerah dengan daerah lainnya, namun secara umum kendala yang dihadapi adalah
sama, yaitu kendala fisik, teknologi, sosial ekonomi dan kelembagaan.
Kendala fisik, yaitu suatu keadaan wilayah yang kondisi fisiknya merupakan faktor pembatas
dalam pelaksanaan konsep agroforestry. Kendala ini terutama menyangkut aspek kesuburan tanah,
iklim, curah hujan, topografi dan ketinggian dari permukaan laut.
Kendala teknologi, yaitu pada umumnya teknologi usaha tani yang digunakan oleh petani masih
xviiYunasfi : Sosial Forestry dan Pemberdayaan Masyarakat di Sekitar Hutan, 2007 USU Repository © 2008
tradisional.
Kendala kelembagaan, yaitu mencakup organisasi produksi, penguasaan lahan, organisasi seperti
bank, gudang, angkutan dan lain-lain.
Pakpahan dan Widodo (1981) menyarankan beberapa langkah yang perlu diperhatikan
dalam pelaksanaan konsep agroforestry di wilayah hutan, terutama dalam membina petani yang
tidak mempunyai lahan. Langkah-langkah yang dimaksud adalah sebagai berikut :
a. Pembentukan kelompok petani pesanggem
b. Meningkatkan teknik manajerial dan efsiensi produksi para petani
c. Menyediakan sarana produksi
d. Memperbaiki sistem pemasaran hasil produksi dan mengadakan kegiatan yang dapat
merangsang petani
Tujuan program-program agroforestry adalah untuk meningkatkan kesejahteraan petani,
terutama di sekitar hutan, dengan memprioritaskan perbaikan lingkungan yang rusak dan terus
memeliharanya. Program-program agroforestry biasanya diarahkan pada peningkatan dan
pelestarian produktivitas sumber daya yang akhirnya akan meningkatkan taraf hidup masyarakat
sendiri (Kartasubrata, 1992).
xviiiYunasfi : Sosial Forestry dan Pemberdayaan Masyarakat di Sekitar Hutan, 2007 USU Repository © 2008
III. PROGRAM PERHUTANAN SOSIAL DI JAWA (KETERPADUAN SOCIAL FORESTRY DAN AGROFRESTRY)
3.1. Prosperity Approach (Pendekatan Kesejahteraan Masyarakat) Kegiatan untuk mengikutsertakan masyarakat dalam upaya pembagunan hutan, yang
bertujuan untuk mengembalikan potensi dan fungsi hutan serta sekaligus meningkatkan
kesejahteraan masyarakat, khususnya di Pulau Jawa telah dilakukan sejak tahun 1972. Kegiatan
ini dikenal dengan nama Prosperity Approach (Pendekatan Kesejahteraan Masyarakat). Kegiatan
yang dilakukan dalam program ini adalah : (Perum Perhutani, 1996).
a. Intensifikasi Massal Tumpangsari (Inmas Tumpangsari)
b. Intensifikasi Khusus Tumpangsari (Insus Tumpangsari)
c. Tumpangsari model MAMA (Magelang-Malang)
d. Pembuatan tanaman kayu bakar
e. Usaha perlebahan
f. Kaptering air dan check dam
a. Intensifikasi Massal Tmpangsari (Inmas Tumpangsari)
Pola Inmas Tumpangsari adalah penyempurnaan dari sistem tumpangsari biasa
(tradisional), dengan memberikan bantuan kepada para pessanggem berupa upah penggarapan
tanah, pupuk, bibit unggul, insektisida, dan ketentuan pelebaran jarak tanam serta
pemangkasan dahan guna memberi peluang penyinaran matahari yang cukup bagi tanaman
tumpangsari. Pelaksanaan kegiatan tersebut didahului oleh pemberian penjelasan,
penyuluhan, demo teknik pelaksanaan kegiatan, percontohan, dan bimbingan (dikenal dengan
sebutan DCB).
b. Intensifikasi Khusus Tumpangsari (Insus Tumpangsari)
Pola Insus adalah peningkatan dari pola Inmas, yaitu disamping pemberian bantuan
pengadaan saprotan (bibit unggul, pupuk dan insektisida) juga bantuan pengolahan tanah dan
bimbingan pasca panen. Pada tahap ini dirintis pembentukan kelompok peserta Insus (belum
dibentuk organisasi Kelompok Tani Hutan atau KTH).
Sistem tumpansari telah sukses dipraktikan pada manajemen hutan jati di Jawa sejak
tahun 1873, yang diperkenalkan oleh W. Baurman di KPH Tegal-Pekalongan (Poffenberger,
1990 diacu oleh Wiratno, 1994). Dari beberapa penelitian diketahui bahwa kelemahan dalam
sistem tumpangsari disebabkan oleh karena lemahnya aspek institusi di berbagai level, dari
level mikro (kurang kompaknya kerja kelompok pesanggem) sampai pada tingkat naisonal,
misalnya ketidakjelasan petunjuk teknis, terutama dalam pemilihan lokasi tumpangsari dan
xixYunasfi : Sosial Forestry dan Pemberdayaan Masyarakat di Sekitar Hutan, 2007 USU Repository © 2008
kriteria pemilihan pesanggem (Wiratno, 1994).
Perum Perhutani sebagai pihak yang menyelenggarakan kegiatan sosial forestry
dalam melakukan bentuk perbaikan apapun, karena sistem manajemen Perhutani yang top
down (sentralisasi) maka perbaikan perlu dimulai dari tingkat makro (pusat) dimana
kebijaksanaan penanaman diputuskan.
Wiratno dan Luning (1993 diacu Wiratno, 1994), mengemukakan kerangka
pemikiran sistem tumpangsari sebagai resource sharing strategy, atau strategi kerjasama
pengelolaan sumberdaya hutan dapat dilihat pada Gambar 1.
c. Proyek Ma-Ma (Malang-Magelang)
Pola tanam pada proyek MA-MA pada dasarnya sama seperti tumpangsari. Lahan
yang akan dihutankan, lebih dahulu dibagi menjadi enam bagian, masing-masing bagian
ditetapkan dalam bentuk jalur selebar 50 meter mengikuti kontur. Untuk jelasnya pola dan
jadwal kegiatan penghutanan kembali model MA-MA dapat dilihat pada Gambar 2.
TINGKATAN LEMBAGA KEWAJIBAN
- KEBIJAKAN - PETUNJUK - KOORDINASI
MAKRO NASIONAL DIREKSI PERUM PERHUTANI
MESO : PROPINSI BIRO PERENCANAAN PERUM PERHUTANI
- BIMBINGAN TEKNIS
- MONITORING
KABUPATEN KESATUAN PEMANGKUAN HUTAN (PERENCANAAN)
- PEMILIHAN LOKASI
- CARA PENANAMAN
MIKRO : DESA RESOR PENGELOLAAN
HUTAN
- PEMILIHAN PESANGGEM
- KOORDINASI DENGAN LEMBAGA RESMI
BAGIAN KESATUAN PEMANGKUAN HUTAN
- PENGAWASAN LAPANGAN
- PENGKAJIAN - KOORDIASI DGN
LEMBAGA RESMI
KEPALA
DESA
PEKERJA
xxYunasfi : Sosial Forestry dan Pemberdayaan Masyarakat di Sekitar Hutan, 2007 USU Repository © 2008
MANDOR TANAM
LEMBAGA SETEMPAT
Sumber : Wiratno dan Luning (1993 diacu Wiratno, 1994)
d. Pembuatan Tanaman Kayu Bakar
Sumber : Kartasubrata (1996)
Gambar 2. Model MA-MA
Dalam upaya menyediakan sumber kayu bakar dibangun hutan kayu bakar dengan
jenis kaliandra merah. Kaliandra memiliki sifat multiguna, yaitu kayunya baik untuk kayu
bakar, daunnya untuk makanan ternak dan seperti leguminosa lainnya dapat memperbaiki
kesuburan tanah, sedang bunganya yang muncul sepanjang tahun, berguna untuk bahan pakan
lebah madu.
Tumpangsari sebagai strategi kerjasama pengelolaan sumberdaya hutan Gambar 1.
e. Penanaman Rumput Gajah
xxiYunasfi : Sosial Forestry dan Pemberdayaan Masyarakat di Sekitar Hutan, 2007 USU Repository © 2008
Rumput gajah (Pennisetum purpureum) ditanam di bawah tegakan hutan atau
sepanjang batas hutan yang mudah didatangi oleh peduduk untuk mengambilnya. Upaya
penanaman pakan ternak ini ternyata membantu peningkatan hasil peternakan, baik ternak
pedaging, maupun ternak susu perah. Dampak positif yang lain adalah terjadinya perubahan
kebiasaan menggembalakan ternak secara liar menjadi dikandangkan sehingga kerusakan
hutan akibat penggembalaan dapat dikurangi.
f. Usaha Perlebahan
Dalam proyek perlebahan Perum Perhutani diterapkan cara beternak lebah dengan
menggunakan stup, yaitu kotak tempat lebah memelihara ratu dan berkembangbiak serta
menghasilkan madu dan hasil lain, seperti lilin. Proyek perlebahan ini diperkenalkan kepada
masyarakat melalui penyuluhan dan percontohan dengan maksud agar masyarakat mau dan
mampu berternak lebah sebagai tambahan sumber mata pencaharian.
g. Kaptering Air dan Check Dam
Kaptering air dibangun di daerah pemukiman yang pada musim kemarau sangat
kekurangan air bersih yang merupakan sarana fisik untuk mengalirkan air dari sumbernya di
dalam kawasan hutan melalui pipa-pipa ke dalam bak air (reservoir) di tempat pemukiman
penduduk.
Check Dam adalah bendungan yang dibangun pada bagian-bagian sungai, yang
biasanya kering di musim kemarau, untuk mengendalikan banjir di musim hujan dan sekaligus
penyimpan persediaan air. Check Dam dibuat di dalam kawasan hutan dan sedapat mungkin
berdekatan dengan desa.
Perhutanan Sosial Perum Perhutani menurut Sidik (1992) adalah program pembangunan
dan pengamanan hutan dengan cara mengikutsertakan masyarakat dalam mengelola hutan, dengan
tujuan meningkatkan fungsi-fungsi hutan secara optimal dan kesejahteraan masyarakat sekaligus
perbaikan lingkungan.
Adapun ciri-ciri Perhutanan Sosial menurut Sidik (1992) adalah sebagai berikut :
a. Adanya komunikasi yang baik antara petugas Perum Perhutani dengan masyarakat
sebagai mitra sejajar dalam pembangunan hutan
b. Perlaksanaan Perhutanan Sosial didasarkan atas kerjasama yang saling menguntungkan
c. Memberi peran yang lebih besar kepada masyarakat penggarap, khususnya dalam
penentuan jenis tanaman semusim dan hortikultura.
Selanjutnya, tujuan yang ingin dicapai adalah :
xxiiYunasfi : Sosial Forestry dan Pemberdayaan Masyarakat di Sekitar Hutan, 2007 USU Repository © 2008
a. Keberhasilan pembangunan hutan di lahan kritis dan lahan yang belum berfungsi sebagai
kawasan hutan
b. Terselenggaranya peran serta masyarakat secara aktif dalam pembangunan hutan
c. Peningkatan kesejahteraan masyarakat penggarap di sekitar hutan
d. Tertanggulanginya masalah penduduk terhadap hutan
e. Secara bertahap permasalahan yang berkaitan dengan keagrarian dapat terselesaikan
f. Timbulnya kesadaran masyarakat penggarap akan manfaat Perhutanan Sosial yang saling
menguntungkan
Program Prosperity Approach yang dilakukan dengan pendekatan pembimbingan,
penyuluhan, percontohan dan upaya pemenuhan kebutuhan hidup serta menanamkan pengertian
akan arti dan makna kelestarian hutan, diharapkan tumbuh partisipasi aktif masyarakat dalam
kegiatan pengelolaan hutan demi kesejahteraan dan terjaminnya kelestarian lingkungan hidup yang
sehat. Untuk mendukung berhasilnya program Prosperity Approach diperlukan adanya kerjasama
dengan Pemerintah Daerah setempat. Dalam hal ini aparat yang terlibat langsung adalah Mantri
Hutan untuk urusan tanaman pohon-pohonan dan Lurah yang mengurus rakyatnya atau lebih
dikenal dengan proyek kerjasam Mantri Hutan dan Lurah (Proyek MA-LU).
3. 2. Pembinaan Masyarakat Desa Hutan (PMDH)
Pengertian
Menurut Perum Perhutani (1996b) desa hutan adalah desa-desa yang berbatasan langsung
dengan hutan yang perikehidupan masyarakatnya mempunyai ketergantungan pada hutan. Sedang
Pembinaan Masyarakat Desa Hutan (PMDH) adalah semua kegiatan yang ditujukan untuk dan
berdampak meningkatkan kesejahteraan desa hutan dan lingkungannnya serta meningkatkan
fungsi-fungsi hutan secara optimal.
Berdasarkan batasan tersebut, semua kegiatan PMDH berpedoman kepada hal-hal sebagai
berikut :
1. Azas manfaat sosial, manfaat ekonomi dan manfaat ekologi
2. Tujuan, untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan terwujudnya kelestarian
hutan, melalui pembinaan masyarakat desa hutan dengan menumbuhkan kesadaran
masyarakat akan pentingnya hutan, meningkatkan keterampilan dan penguasaan Iptek
terapan.
3. Sasaran yang akan dicapai :
• Keberhasilan pembangunan hutan dan fungsi-fungsinya
• Meningkatnya pendapatan atau kesejahteraan masyarakat desa hutan
xxiiiYunasfi : Sosial Forestry dan Pemberdayaan Masyarakat di Sekitar Hutan, 2007 USU Repository © 2008
• Partisipasi positif dari masyarakat akan pentingnya pelestarian hutan
• Tercapainya kualitas lingkungan atau biofisik desa hutan
Pada dasarnya program PMDH sudah dilakanakan Perum Perhutani sejak tahun 1972
melalui kegiatan-kegiatan seperti Tumpangsari, MALU (Mantri-Lurah), MA-MA (Magelang-
Malang), PA-PA (Pasuuan-Pandeglang), BIBI (Biji-Bibit), TEKO (Terasering-Komposisasi),
subsidi ternak, base camp, kaptering air persemaian desa dan lain-lain. Dalam perkembangannya
sampai tahun 1995 program PMDH sudah mencapai luas 47.549 hektar dan melibatkan 137.090
kepala keluarga di hutan darat dan di hutan mangrove (Perum Perhutani, 1996 b).
Selanjutnya Perum Perhutani (1996 b) mengemukakan bahwa dalam perencanaan
kegiatan-kegiatan PMDH harus mempertimbangkan tiga hal, yaitu : secara ekonomis harus
feasible (layak untuk dilakukan), secara ekologis harus aceptable (bisa diterima) dan secara sosial
harus suitable (cocok).
Dalam pelaksanaan kegiatan PMDH akan melibatkan berbagai komponen, menurut
Perum Perhutani (1996 b) komponen-komponen tersebut dapat dilihat pada Gambar 3.
3. 3. Model PMDH
Model Pembinaan Masyarakat Desa Hutan meliputi kegiatan-kegiatan di dalam dan di
luar kawasan hutan sebagai berikut : (Perum Perhutani, 1996 b).
1. Kegiatan di dalam Kawasan Hutan meliputi :
a. Insus Tumpangsari/Tanaman sistem banjar harian
b. Base Camp (Magersaren)
c. Tanaman kayu bakar
d. Tanaman obat-obatan (empon-empon)
e. Tanaman rumput gajah (hijauan pakan ternak)
f. Giriwana Rally
g. Perhutanan sosial
2. Kegiatan di Luar Kawasan Hutan meliputi :
a. Bimbingan dan pelatihan
b. Bantuan Kaptering air (sarana air bersih)
c. Bantuan bibit penghijauan
d. Bantuan ternak gaduhan
e. Bantuan pembudidayaan perlebahan
f. Bantuan pembangunan check dam
xxivYunasfi : Sosial Forestry dan Pemberdayaan Masyarakat di Sekitar Hutan, 2007 USU Repository © 2008
PMDH
PERHUTANAN SOSIAL
BANTUAN TEKNIK/EKONOMI
AGRO-FORESTRY
PADAT KARYA
MITRA USAHA
BANTUAN TEKNIK
BANTUAN EKONOMI
USAHA TANI, TERNAK IKAN
BERCOCOK TANAM
USAHA PERKAYUAN
REBOISASI PRASARANA
INDUSTRI SARANA USAHA NON PEMANENAN PETERNAKAN
KAYU
PEMASARAN USAHA LAIN
PENYULUHAN PENGOLAHAN HASIL HUTAN
PERIKANAN
Gambar 3. Komponen-komponen Pembinaan Masyarakat Desa Hutan (PMDH)
KELESTARIAN HUTAN
KESEJAHTERAAN MASYARAKAT
Sumber : Perum Perhutani (1996)
KUALITAS LINGKUNGAN HIDUP
xxvYunasfi : Sosial Forestry dan Pemberdayaan Masyarakat di Sekitar Hutan, 2007 USU Repository © 2008
2. Kegiatan di Luar Kawasan Hutan meliputi :
g. Bimbingan dan pelatihan
h. Bantuan Kaptering air (sarana air bersih)
i. Bantuan bibit penghijauan
j. Bantuan ternak gaduhan
k. Bantuan pembudidayaan perlebahan
l. Bantuan pembangunan check dam
3. 4. Perhutanan Sosial
Strategi pelakanaan program Perhutanan Sosial di Perum Perhutani adalah dengan
pendekatan agroforestry dan Pembinaan Kelompok Tani Hutan. Adanya dua kepentingan yang
saling berlawanan antara Perhutani dengan masyarakat, yaitu satu pihak menghendaki hutan
murni, dipihak lain pertanian murni. Apabila hal ini dibiarkan akan mengakibatkan kerusakan
hutan (kegagalan reboisasi), kualitas tanah menurun dan lahan kurang termanfaatkan secara
optimal. Untuk mencapai tujuan yang saling menguntungkan harus ada jalan tengah, yaitu dengan
pendekatan agroforestry (Purwanto, 1989).
Perum Perhutani (1996 b) menyatakan bahwa sasaran awal dari pendekatan agroforestry
adalah memfungsikan lagi lahan hutan yang rusak sekaligus memberi manfaat langsung kepada
penduduk di sekitar hutan.
Menurut Purwanto (1989) kebijakan agroforestry dalam pendekatan Perhutanan Sosial
ada perbedaan dengan tumpangsari biasa seperti disajikan pada Tabel 2.
Dengan demikian secara keseluruhan tujuan penerapan pola agroforestry dalam program
Perhutanan Sosial adalah :
a. Meningkatkan fungsi dan produktifitas lahan sehingga dapat lebih mendukung
perkembangan sosial ekonomi masyarakat
b. Menjamin kelestarian dan peningkatan daya guna sumber daya alam, termasuk lahan dan
air.
c. Memperbaiki kualitas lingkungan sehubungan dengan bertambahnya penduduk dan
peningkatan kesejahteraan.
Selanjutnya Bratamihardja (1987 diacu oleh Kartasubrata dkk., 1995) menyatakan bahwa
Program Pehutanan Sosial di Jawa merupakan bentuk dari Participatory Forestry yang bertujuan :
a. Untuk perbaikan hutan dan lahan hutan yang rusak
b. Untuk meningkatkan pendapatan petani
c. Adanya kemitraan antara Perum Perhutani dan petani hutan
Keterpaduan antara Konsep Social Forestry dan Agroforestry dikemukakan oleh Kartasubrata
xxviYunasfi : Sosial Forestry dan Pemberdayaan Masyarakat di Sekitar Hutan, 2007 USU Repository © 2008
(1997) dapat dilihat pada Gambar 4.
A-B-C-D : Agroforestry A-B-C-D-E : Social Forestry Sumber : Kartasubrata (1997)
Masukan
Perlindungan dan Rehabilitasi Lingkungan yang Rusak
Peningkatan dan Keterlanjutan Proroduktivitas
Perbaikan Sosial Ekonomi
Pembinaan Partisipasi Masyarakat Desa Dalam Bidang
Kehutanan Non Kehutanan
A
B C
D
Gambar 4. Keterpaduan antara Konsep Social Forestry dan Agroforestry
Konsep Perhutanan Sosial Perhutani mentikberatkan pada :
1. Pembinaan masyarakat melalui pembentukan KTH guna meningkatkan penguasaan ilmu dan
teknologi terapan, meningkatkan keterampilan dan memantapkan persepsi terhadap perlunya
keberadaan hutan, sehingga dapat berfungsi sebagai mitra kerja dan mitra usaha Perum
Perhutani
2. Pembangunan teknologi agoforestry yang dapat memberi manfaat langsung secara
berkelanjutan kepada penduduk sekitar hutan disamping tetap mempertahankan fungsi hutan
sebagai pendukung kualitas lingkungan secara efektif tanpa merugikan Perum Perhutani.
Pembentukan Kelompok Tani Hutan (KTH)
Menurut Kartasubrata (1994) membina petani hutan merupakan bagian penting dari
Progam Perhutanan Sosial dengan tujuan untuk mencapai hubungan ”mitra sejajar” antara petugas
xxviiYunasfi : Sosial Forestry dan Pemberdayaan Masyarakat di Sekitar Hutan, 2007 USU Repository © 2008
Perum Perhutani dengan penduduk desa yang berpartisipasi dalam program tersebut.
Pembentukan Kelompok Tani Hutan (KTH) merupakan sarana untuk meningkatkan
partisipasi petani dengan menyelenggarakan komunikasi tiga arah yaitu buttom-up, top-down dan
horisontal.
Kelompok Tani Hutan adalah institusi lokal yang perlu untuk didayagunakan dan
dirangsang untuk mengembangkan kerja kelompok yang lebih baik dalam upaya mengatasi
berbagai masalah. Kekompakan kerja kelompok akan bisa membawa anggota kelompok tersebut
ke arah yang sama sambil berbagi tanggungjawab, tugas da hak (Wiratno, 1994).
Menurut Purwanto (1989) latar belakang dari pembentukan KTH adalah sebagai berikut :
1. Pada umumnya masyarakat desa hutan tergolong miskin dan bertaraf hidup rendah,
sehingga tekanan sosial ekonominya mempengaruhi sumberdaya alam di sekitarnya
(termasuk hutan)
2. Belum adanya kerjasama antar petani hutan secara organisatoris.
3. Kurangnya partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan, dengan adanya KTH dapat
merupakan wadah atau sarana komunikasi antara petani sendiri atau dengan pihak lain.
Selanjutnya Purwanto (1989) juga mengemukakan bahwa jika dilihat dari kepentingan
Perum Perhutani manfaat KTH adalah :
1. Mempermudah pembinaan dan penyebaran informasi
2. Melalui KTH mendorong interaksi ke arah ” mitra sejajar ” antara Perum Perhutani
dengan petani hutan, ini berati telah dikembangkannya suatu institusi pengelolaan hutan
yang mengikutsertakan partisipasi masyarakat
3. Merubah persepsi masyarakat terhadap hutan
Selain dari pembentukan KTH, menurut Nasendi (1986) faktor-faktor yang perlu
diperhatikan dalam pengembangan suatu program Perhutanan Sosial adalah dapat dilhat pada
Gambar 5.
Secara keseluruhan Nasendi (1988) menyatakan bahwa ada tiga sasaran pokok dalam
Perhutanan Sosial, yaitu :
1. Sasaran Sosial Ekonomi (Prosperity)
a. Meningkatkan prodktivitas lahan
b. Terpenuhinya kebutuhan penduduk akan kayu dan hasil hutan lainnya
c. Meingkatnya pendapatan petani dan kesejahteraan masyarakat desa hutan
d. Terbukanya lapangan kerja khususnya di bidang pengusahaan hutan
xxviiiYunasfi : Sosial Forestry dan Pemberdayaan Masyarakat di Sekitar Hutan, 2007 USU Repository © 2008
e. Membina tumbuhnya kesadaran masyarakat untuk menjadi pelestari sumber daya alam
secara swakarsa dan swadaya
2. Sasaran Fisik-Lingkungan hidup (Environment)
a. Mencegah erosi dan sedimentasi sekaligus pengamanan Daerah Aliran Sungai terhadap
pelumpuran
b. Terehabilitasinya lahan kritis dan menjaga kesuburan tanah
c. Terlindungnya sumber-sumber air
d. Terciptanya iklim mikro yang baik
3. Sasaran Keamanan dan Keutuhan Hutan Negara (Security)
Tercegahnya ancaman dan gangguan terhadap keamanan hutan berupa pencurian kayu,
penggembalaan liar, penyerobotan tanah dan hambatan-hambatan lainnya.
xxixYunasfi : Sosial Forestry dan Pemberdayaan Masyarakat di Sekitar Hutan, 2007 USU Repository © 2008
IV. KESIMPULAN
1. Upaya untuk mengikutsertakan masyarakat dalam pengelolaan hutan di Pulau Jawa telah
dimulai sejak akhir abad XIX, namun pada waktu itu pengikutsertaan masyarakat adalah
bertujuan untuk keberhasilan penanaman hutan
2. Pada tahun 1972 dimulai pelaksanaan Prosperity Approach (Pendekatan Kesejateraan
Masyarakat) yaitu mengikutsertakan masyarakat dalam upaya-upaya pembangunan hutan,
yang bertujuan mengembalikan potensi dan fungsi hutan serta sekaligus meningkatkan
kesejahteraan masyarakat
3. Kongres Kehutanan Sedunia ke-8 tahun 1978 yang bertemakan ‘ Forest for People ‘
merupakan dasar yang mendorong lahirnya konsep-konsep Social Forestry dan
Agroforestry
4. Social Forestry adalah ilmu dan seni penanaman pohon-pohon dan atau tumbuhan
lainnya pada lahan yang tersedia untuk keperluan tersebut, di dalam dan di luar kawasan
hutan, dan pengelolaan hutan yang sudah ada dengan melibatkan rakyat secara akrab,
serta dipadukan dengan kegiatan-kegiatan lain yang menghasilkan suatu bentuk
penggunaan lahan yang berimbang dan komplementer, dengan tujuan untuk
menghasilkan berbagai macam benda dan jasa bagi perorangan maupun masyarakat pada
umumnya.
5. Agroforestry adalah suatu metode penggunaan lahan secara optimal yang
mengkombinasikan sistem-sistem produksi biologis yang berotasi pendek dan panjang
dengan satu cara berdasarkan azas kelestarian, secara bersamaan atau berurutan, dalam
kawasan hutan atau di luarnya, bertujuan untuk mencapai kesejahteraan rakyat
6. Keterpaduan antara Social Forestry dan Agroforestry dapat dijelaskan sebagai berikut
dalam konsep Social Forestry akan tercakup semua kosep-konsep Agroforestry namun
dalam Agrofrestry lebih diarahkan untuk perbaikan kondisi lingkungan yang bertujuan
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pada konsep Social Forsetry di samping
diarahkan untuk perbaikan kondisi lingkungan juga ditekankan untuk adanya peran serta
atau partisipasi masyarakat yang juga ditujukan untuk peningkatan kesejahteraan
masyarakat.
7. Dalam Program Social Forestry untuk membangun partisipai masyarakat dalam kegiatan
perlu dibentuk Kelompok Tani Hutan (KTH) yang bertujuan untuk mengembangkan
kerja kelompok yang lebih baik dalam upaya mengatasi berbagai masalah. Di sini perlu
dikembangkan komunikasi tiga arah, yaitu buttom-up, top-down dan horizontal.
xxxYunasfi : Sosial Forestry dan Pemberdayaan Masyarakat di Sekitar Hutan, 2007 USU Repository © 2008
PUSTAKA ACUAN
Anwar, C., K. Baheramsyah dan Z. Hamzah. 1989. Efektivitas Semak dan Agroforestry di Desa
Kadipaten (Sub Das Citanduy Hulu) dalam Memperkecil Aliran Permukaan dan Erosi. Bulletin Penelitian Hutan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan. Bogor.
Asosasi Pengusaha Hutan Indonesia. 1991. HPH Bina Desa Sabagai Upaya Membantu Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat dan Pelestarian Lingkungan. Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia. Jakarta.
Departemen Kehutanan. 1987. Program Pengembangan Perhutanan Sosial di Indonesia. Departemen Kehutanan. Jakarta.
Gunawan, M. Dan Erwidodo. 1993. Urbanisasi dan Pengurangan Kemiskinan (Kasus Migrasi Desa-Kota di Jawa Barat) Prisma No. 3, Tahun XII. LP3ES. Jakarta.
Kartasubrata, J. 1992. Agroforsetry dalam Manual Kehutanan. Departemen Kehutanan RI. Jakarta.
Kartasubrata, J. 1994. Peranan LSM Dalam Rangka Partisipasi Masyarakat untuk Mengelola Sumberdaya Htan yang Berkelanjutan. Disampaikan pada Diskusi Panel Peranan Pengembangan Kehutanan pada PJP II dalam Rangka Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat Sekitar Hutan. Semarang.
Kartasubrata, J. 1997. Konsep-konsep Dasar Tentang Manfaat Sosial Ekonomi Hutan dan Kehutanan. Ringkasan Presentasi Manfaat Sosial Ekonomi Kehutanan pada Pelatihan Forestry for Non Foresters. IMTEK-HIIKINDO
Kartasubrata, J. 1996 b. Vision and Role of Community Forestry in Sustainable Development in Java. Indonesia Prosea. Bogor.
Kartasubrata, J., S. Suniti dan D. Suharjito. 1995. Social Foresty Programme in Java. A State of the Art Report. Perum Perhutani.
Meliono. 1987. Agroforetry dan Perladangan. Lokakarya Perhutanan Sosial di Madiun. Departemen Kehutanan RI. Jakarta.
Nainggolan, T. 1991. Pengaruh Program Perhutanan Sosial Terhadap Kesempatan Kerja dan Berusaha (Studi Kasus di RPH Kedung Kumpul, BKPH Ploso Barat, KPH Jombang, Jawa Timur). Seminar III Hasil Penelitian Perhutanan Sosial di Jawa dan Luar Jawa. Pusat Studi Pembangunan IPB. Bogor.
Nasendi, B. D. 1986. Pengembangan Perhutanan Sosial (Social Forestry) di Indonesia. Makalah disampaikan pada Simposium Pembangunan Berwawasan Lingkungan/Pertemuan Nasional LSM di Bidang Lingkungan Hidup. Diselenggarakan ole Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI). Yogyakarta.
Nasendi, B. D. 1988. Model Hutan Tanaman Industri dengan Pendekatan Perhutanan Sosial. Makalah disampaikan pada Seminar Mahasiswa Kehutanan se-Indonesia di Yoyakarta. Departemen Kehutanan RI. Jakarta.
Nasendi, B.D. 1989. Perhutanan Sosial Sebagai Konsep Induk. Hlm 16-19 dalam Tumbuh. Tahun I-No. 8.
Pakpahan, A. dan E. Widodo. 1981. Agroforestry Sebagai suatu Kebijaksanaan Pengembangan Pengusahaan Hutan di Wilayah yang Berpenduduk Padat (Tinjauan Aspek Agroekonomi). Seminar Agroforestry dan Pengendalian Perladangan. Departemen Kehutanan RI. Jakarta.
Perum Perhutani. 1996 a. Kineja Aparat Perhutani dalam Pelaksanaan Program PMDH. Perum
xxxiYunasfi : Sosial Forestry dan Pemberdayaan Masyarakat di Sekitar Hutan, 2007 USU Repository © 2008
Perhutani-Ford Foundation. Workshop PMDH Perum Perhutani. Jakarta.
Perum Perhutani. 1996 b. Pengintegrasian Manajemen Hutan dan Pembangunan Desa Hutan. Perum Perhutani. Jakarta.
Purwanto, T. 1989. Meningkatkan Partisipasi Masyarakat Desa Hutan dalam Pembangunan dan Pelestarian Hutan. Hlm 13-17 dalam Duta Rimba. 103-104/XV/1989
Saragih, M.J. 1988. Analisa Usaha Agroforestry dan Pengembangan di desa Kertajasa, Kecamatan Penawangan, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Fakultas Pertanian IPB. Bogor.
Sidik, A. 1992. Penerapan Program Perhutanan Sosial di KPH Tasikmalaya dalam Duta Rimba 139-140/XVIII/1992.
Sumadhijo, B. 1996. Hutan Kemasyarakatan sebagai Upaya Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Tradisional dalam Pengelolaan Hutan. Disampaikan dalam Pertemuan CGIF Putaran ke-6 tanggal 8 – 11 Oktober 1996 di Hotel Safari Garden Cisarua. Bogor.
Suryohadikusumo, D. 1996. Sambutan Menteri Kehutanan dalam Peran Serta Masyarakat dalam Pengelolaan Hutan di Pulau Jawa. Perum Perhutani. Jakarta.
Wiratno. 1994. Tinjauan atas Sistem Tumpangsari. Kasus BPKPH Gede Barat, KPH Sukabumi, Jawa Barat. Dalam Duta Rimba September-Oktober/171-172/IX/1994.
xxxiiYunasfi : Sosial Forestry dan Pemberdayaan Masyarakat di Sekitar Hutan, 2007 USU Repository © 2008