sosek.ub.ac.id 2018/prosiding...sosek.ub.ac.id

498
2018

Upload: duongtu

Post on 07-Jun-2019

512 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

2018

Page 2: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id
Page 3: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

2018

SEMINAR NASIONALPembangunan Pertanian I I I

Sumberdaya dan Kebijakan Pembangunan Pertanian diEra Revolosi Industri 4.0

Page 4: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

2018

S E M I N A R N A S I O N A LP e m b a n g u n a n P e r t a n i a n I I I

B U K U P R O S I D I N G 2 0 1 8 : S E M I N A R N A S I O N A LP e m b a n g u n a n P e r t a n i a n I I I S u m b e r d a y a dan Kebi jakan Pembangunan Per tan ian d iEra Revolos i Indust r i 4 .0496 h lm, 18 x 24 cm

Sumberdaya dan Kebijakan Pembangunan Pertanian diEra Revolosi Industri 4.0

ISBN : 978-602-60456-6-9Penerbit :

Badan Penerbitan Fakultas Pertanian UB

Redaksi :Jl. Veteran Malang - 65145

Tel / Fax : +62341 580054Email : [email protected]

SEMINAR NASIONALPEMBANGUNANPERTANIAN III XXI

Hak cipta dilindungi undang - undangDilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara

apapun tanpa ijin tertulis dari penerbit

Page 5: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| i

KATA PENGANTAR

Puji syukur pertama-tama kita panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan karunia-Nya Seminar Nasional Pembangunan Pertanian III bertema: “Sumberdaya dan Kebijakan Pembangunan Pertanian di Era Revolusi Industri 4.0” dapat dilaksanakan dengan baik dan membawa kemanfaatan. Kegiatan ini dilaksanakan pada tanggal 01 Desember 2018 di Gedung Widyaloka, Universitas Brawijaya Malang, Jawa Timur, dalam rangka DIES NATALIS Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya ke-58.

Pentingnya Seminar Nasional ini berangkat dari kesadaran pentingnya sektor pertanian sebagai kunci keberhasilan pembangunan Indonesia. Kemampuan sektor pertanian dalam mensuplai kebutuhan pangan dan bahan baku industri akan mampu mendorong pertumbuhan kekuatan ekonomi sektor lain dan menyebabkan fundamental ekonomi negara semakin kokoh.

Pembangunan Pertanian di era Revolusi Industri 4.0 membutuhkan perhatian semua pihak, baik pemerintah, swasta, maupun petani sebagai ujung tombaknya. Kemajuan infrastruktur, teknologi, kelembagaan, dan juga serangkaian program kebijakan pemerintah yang kondusif diperlukan dalam menjawab tantangan pembangunan pertanian yang semakin kompleks. Teknologi dan kemampuan manajerial perlu ditingkatkan secara terus-menerus untuk mengantisipasi berbagai perubahan yang selalu ada sebagai respon dari cepatnya perkembangan inovasi di era Revolusi Industri 4.0. Outputnya adalah peningkatan efisiensi dan daya saing di sektor pertanian, sedangkan outcomenya adalah tercapainya peningkatan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.

Harapan besar masyarakat untuk peran Perguruan Tinggi yang lebih signifikan akan diwujudkan selangkah demi selangkah ke depan, diantaranya melalui Seminar Nasional Pembangunan Pertanian III ini. Semoga DIES NATALIS Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya ke-58 ini menjadi titik awal menuju Fakultas Pertanian yang semakin maju dan berkontribusi yang lebih signifikan dalam pengembangan ilmu, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat baik dalam lingkup regional, nasional, maupun internasional.

Malang, Desember 2018

Dekan FP UB

Dr. Ir. Damanhuri, MS

Page 6: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

ii |

Page 7: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| iii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................................... v

DAFTAR ISI .................................................................................................................................. vi

EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN FAKTOR-FAKTOR PRODUKSI YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI PADI (Oryza sativa) DI DESA KLUWUT KECAMATAN WONOREJO KABUPATEN PASURUAN, JAWA TIMUR Tatang Suryadi dan Ratna Dewi Mulyaningtiyas ........................................................................... 1 ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEMISKINAN MULTIDIMENSIONAL ATAU KEMISKINAN MONETER (STUDI KASUS DI YOGYAKARTA)

Khalista Arkania H dan Robert Kurniawan ..................................................................................... 8 KETERKAITAN KEANGGOTAAN KERJASAMA ANTAR DAERAH (SEKRETARIAT BERSAMA) DAN SARANA PRODUKSI PADI TERHADAP KETERSEDIAAN PANGAN RUMAH TANGGA USAHA PERTANIAN D.I. YOGYAKARTA

Sri Maya Juliani Hasibuan dan Robert Kurniawan ......................................................................... 16 EFISIENSI TEKNIS USAHATANI PADI SAWAH IRIGASI DI KABUPATEN HULU SUNGAI TENGAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

Yusuf Azis, Nuhfil Hanani, Syafrial, dan A.Wahib Muhaimin .......................................................... 23 PERUBAHAN KESEJAHTERAAN DAN POLA KONSUMSI BERAS SEBAGAI KOMODITAS PANGAN POKOK DI INDONESIA Fitrotul Laili, Ratya Anindita, Agnes Q.P, dan I Wayan.S ............................................................................................................... 31 THE IMPACT OF UNCERTAINTY SHOCKS ON THE VOLATILITY OF STRATEGIC COMMODITY PRICES IN INDONESIA

Fitrotul Laili, Nur Baladina,Putri Budi S, dan Wiwit Widyawati ....................................................... 42 ANALISIS EFEKTIFITAS PENETAPAN KEBIJAKAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) TERHADAP STABILITAS HARGA BERAS

Yati Nuryati dan Muhammad Rizal Taufikurahman ........................................................................ 55

Page 8: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

iv |

FAKTOR – FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI JAGUNG DI DESA BANYUBANG KECAMATAN SOLOKURO KABUPATEN LAMONGAN Wiwit Widyawati dan M. Rofiq Sa‟dullah ......................................................................................... 64 APLIKASI GAME THEORY DALAM ANALISIS PERILAKU PETANI TERHADAPRISIKO USAHATANI PADI DI DESA KEDUNGPEDARINGAN, KECAMATANKEPANJEN, KABUPATEN MALANG Riski Amelia, Putri Budi Setyowati, Sujarwo, dan Nuhfil Hanani .................................................... 69 TANTANGAN PASAR BENIH JAGUNG MANIS HIBRIDA MELALUI IDENTIFIKASI TINGKAT KEPUASAN PETANI Nur Baladina, Arifin Noor Sugiharto, Anisa Aprilia, dan Tatiek Koerniawati Andajani .................... 76 PERKEMBANGAN KINERJA PASAR KOMODITAS KENTANG DI SENTRA PRODUKSI KOTA BATU PROVINSI JAWA TIMUR Rini Dwiastuti, Vetty Seily Kurnia Dessy, dan Ridayati .................................................................. 87 ANALISIS EFISIENSI TEKNIS BUDIDAYA TAMBAK BANDENG PADA TEKNOLOGI TRADISIONAL DAN SEMI-INTENSIF DI JAWA BARAT Mahfudlotul „Ula, dan Suprehatin ................................................................................................... 98 PENGARUH VOLATILITAS NILAI TUKAR TERHADAP KINERJA EKSPOR UDANG INDONESIA Eka Dewi Satriana, Harianto, dan Dominicus Savio Privarsono .................................................... 104 AKSESIBILITAS DAN PENGARUHNYA TERHADAP STATUS KETAHANAN PANGAN DI WILAYAH GUGUS KEPULAUAN HALMAHERA SELATAN Ahmad Yunan Arifin ....................................................................................................................... 112 KAJIAN POLA PRODUKSI DAN KONSUMSI PANGAN RUMAH TANGGA DALAM PERENCANAAN PENYEDIAAN PANGAN BERKELANJUTAN DI KABUPATEN HALMAHERA SELATAN Yopi Saleh dan Ahmad Yunan Arifin .............................................................................................. 119 ANALISIS SITUASI DAN PENGELOLAAN PROGRAM INSEMINASI BUATAN UNTUK PERUMUSAN KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN SAPI POTONG DI MALUKU UTARA Heru Ponco Wardono1 dan Ahmad Yunan Arifin............................................................................ 128

Page 9: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| v

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP PRODUKSI BAWANG MERAH Rini Mutisari dan Deny Meitasari .............................................................................................................. 136 ADOPTION OF TECHNOLOGY AND INSTITUTION OF PRODUCTION AND INCOME OF WOODEN FARMERS IN MALANG DISTRICT Tri Wahyu Nugroho 1, Novil Dedy Andriatmoko .............................................................................. 142 AGRIBISNIS DAN MANAJEMEN PERTANIAN PENERAPAN POLA REGROUPING LAHAN MEKANISASI TERHADAP PENINGKATAN

PENDAPATAN PETANI TEBU DI KECAMATAN JATIREJO KABUPATEN MOJOKERTO

Mashudiana.................................................................................................................................... 152 IMPLEMENTASI PERTANIAN BERKELANJUTAN DI PTPN X UNTUK MENJAGA KESEIMBANGAN EKOSISTEM DAN MENINGKATKAN PRODUKTIVITAS Dita Widi Atmaja ............................................................................................................................. 159 ANALISIS KESIAPAN PETANI DALAM MENGHADAPI ERA REVOLUSI INDUSTRI 4.0 (STUDI KASUS PROVINSI DI YOGYAKARTA) Nurmawiya dan Robert Kurniawan ................................................................................................. 165 POLA KONSUMSI PANGAN IDEAL PETANI SAYUR DI KECAMATAN DAMPIT, KABUPATEN MALANG Despa Siswanti, Sugiyanto, Mas Ayu Ambayoen .......................................................................... 173 KONDISI INDUSTRI KECIL DAN MENENGAH (IKM) MAKANAN RINGAN MENGHADAPI ERA INDUSTRI 4.0 DI KOTA PAYAKUMBUH PROPINSI SUMATERA BARAT Rian Hidayat, Rika Hariance .......................................................................................................... 180 ENTREPRENEURIAL MARKETING PADA INDUSTRI KRIPIK TEMPE SANAN DI KOTA MALANG Novi Haryat, Miftakhurrizal Kurniawan, Faizatul Amalia, , dan M. Adi Surahman ........................... 185 MOTIVASI PELAYANAN PUBLIK DAN KEPUASAN KERJA SEBAGAI PREDIKTOR ORGANIZATIONAL CITIZENSHIP BEHAVIOR DALAM ORGANISASI PUBLIK SEKTOR PERTANIAN Hary Sastrya Wanto dan Endang Siswati ....................................................................................... 192

Page 10: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

vi |

STRATEGI INDUSTRIALISASI PERTANIAN DALAM BENTUKPEMBANGUNAN AGRIBISNIS MERUPAKAN SOLUSI MENSEJAHTERAKAN RAKYAT Markus Patiung .............................................................................................................................. 201 STRATEGI PEDAGANG SAYUR DALAM MENGHADAPI KETIDAKPASTIAN PASAR Sugeng Riyanto .............................................................................................................................. 206 PENINGKATAN DAYA SAING AGRIBISNIS JAMBU KRISTAL DENGAN OPTIMALISASI BUILDING BLOCKS Heptari Elita Dewi dan Bondan Setyawan ...................................................................................... 210 ANALISIS MODEL BISNIS KELOMPOK USAHA PETANI KENTANG DI KOTA BATU Dwi Retnoningsih dan Neza Fadia Rayesa .................................................................................... 214 PREFERENSI PETANI PADI TERHADAP KEBIJAKAN PERTANIAN DI DESA MALASAN, KECAMATAN DURENAN, KABUPATEN TRENGGALEK, JAWA TIMUR Ina Queen Dia Ayu Sari, Novil Dedy Andriatmoko, dan Sujarwo .................................................. 223 ANALISIS PENETAPAN HARGA BERAS SEMI ORGANIK KELOMPOK TANI MAKMUR DI DESA PAMOTAN, KABUPATEN MALANG Ivon Cladiya Martha, Dina Novia Priminingtyas ............................................................................ 231

VALUE CHAIN ANALYSIS OF CHILI COMMODITY IN MALANG

Novil Dedy Andriatmoko dan Febriananda Faizal ......................................................................... 237 ANALISIS PENGARUH SIKAP DAN NORMA SUBJEKTIF TERHADAP NIAT BELI SAYUR ORGANIK DI KOTA MALANG Rika Ismania Susanti, Abdul Wahib Muhaimin dan Hery Toiba ..................................................... 245

KOMUNIKASI DAN PEMBERDAYAAN PERTANIAN

PEMBUATAN SISTEM INFORMASI PERTANIAN BERBASIS SPASIAL (KASUS DI KABUPATEN KEDIRI) Bayu Rahayudi1, Muh. Arif Rahman2, Agus Wahyu Widodo ......................................................... 251 PERSEPSI TENTANG KARAKTERISTIK TEKNIS INSTAGRAM SEBAGAI MEDIA INOVATIF DALAM TRANSAKSI SAYURAN SECARA ONLINE Edi Dwi Cahyono, Reza Safitri dan Eka Pradesti .......................................................................... 259

Page 11: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| vii

NAPAK TILAS KEJAYAAN BAWANG PUTIH SEMBALUN NUSA TENGGARA BARAT Mardiana, Sylvia Kusumaputri Utami , Baiq Nurul Hidaya dan M Saleh Mokhtar ......................... 267 EVALUASI PENDAMPINGAN PETANI ETNIS MADURA TERHADAP KEBERLANJUTAN PENERAPAN INOVASI (KASUS DI KABUPATEN SUMENEP) Tini Siniati Koesno,Suryadi,Nasimun dan Achmad Syarif Fajrullah ............................................... 272 PERSEPSI PETANI TEBU TERHADAP POLA KONSUMSI PANGAN RUMAH TANGGA (Studi Kasus Pola Konsumsi Pangan Rumah Tangga Petani Tebu Di Kecamatan Dampit, Kabupaten Malang) Sugiyanto ...................................................................................................................................... 282 STRATEGI KEBIJAKAN PEMERINTAH KABUPATEN MALANG DALAM MENGANTISIPASI PERUBAHAN FUNGSI LAHAN PERTANIAN Bayu Adi Kusuma dan Medea Rahmadhani Utomo ...................................................................... 285 PENGARUH MODAL PENGHIDUPAN (LIVELIHOODS ASSET) TERHADAP ADAPTASI NELAYAN DALAM PERUBAHAN IKLIM DI KECAMATAN PAITON KABUPATEN PROBOLINGGO Moh. Shadiqur Rahman dan Hery Toiba ....................................................................................... 291 PEMBERDAYAAN MASYARAKAT BERBASIS SOCIOPRENEUR DI PAGUYUBAN MAHAMERU, DESA TULUSBESAR, KEC. TUMPANG, KAB. MALANG Setiyo Yuli Handono ...................................................................................................................... 303 PERANAN PEDAGANG PENGUMPUL DALAM PENGEMBANGAN USAHATANI CABAI BESAR MELALUI KEMITRAAN PADA AGROEKOSISTEM LAHAN KERING DI KELURAHAN MERJOSARI, KOTA MALANG Kliwon Hidayat .............................................................................................................................. 312

KOPERASI DAN KELEMBAGAAN PERTANIAN

KEMITRAAN PABRIK GULA GEMPOLKREP DAN KOPERASI PETANI TEBU RAKYAT “ROSAN MAKMUR” DALAM PENGEMBANGAN TEBU DI KECAMATAN MANTUP, KABUPATEN LAMONGAN Sabar Dwi Komarrudin .................................................................................................................. 324

DAMPAK MEKANISASI PERTANIAN PADA ERA REVOLUSI INDUSTRI 4.0 TERHADAP POLA PEMBAGIAN KERJA SEKSUAL PETANI PADI DI KABUPATEN BLITAR Lintar Brillian Pintakami dan Ulyan Khalif ..................................................................................... 331

Page 12: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

viii |

MITRA KERJA DAN MITRA NON KERJA PADA PENGADAAN BERAS DI PERUM BULOG SUB DIVRE SURABAYA SELATAN Alifia Nadzilla Azhaara dan Zainal Abidin ...................................................................................... 344 POLA PERAN WANITA TANI DALAM PENGAMBILAN KEPUTUSAN MANAJERIAL USAHATANI HORTIKULTURA PADA LAHAN GAMBUT DI DESA LIMBUNG KABUPATEN KUBU RAYA Shenny Oktoriana, Anita Suharyani .............................................................................................. 353 GATOT DAN SAMILER (BERBAHAN BAKU SINGKONG) DENGAN MENGGUNAKAN METODE SWOT (STUDI KASUS: UKM AZZAISY DI MALANG) Ita Yustina dan Farid Rakhmad Abadi ........................................................................................... 358 UNIT PENGOLAHAN DAN PEMASARAN BOKAR (UPPB) : KERAGAAN DAN EKSISTENSINYA DI PROVINSI JAMBI Ernawati HD, Dompak Napitupulu, Mirawati Yanita ...................................................................... 367 KATEGORI POTENSI KECAMATAN BERDASARKAN SUB SISTEM KETAHANAN PANGAN DI KABUPATEN TRENGGALEK Alia Fibrianingtyas ......................................................................................................................... 377 KESIAPAN DESA DALAM MENCAPAI TUJUAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN (KASUS DESA PENYANGGA TAMAN NASIONAL MERU BETIRI JAWA TIMUR) Luh Putu Suciati1, Rudi Wibowo2, Budhy Santoso ........................................................................ 382 PENINGKATAN KINERJA AGROINDUSTRI PISANG DI KOTA BATU MELALUI PENDEKATAN SUSTAINABLE LIVELIHOODS ASSETS Dwi Retno Andriani, Budi Setiawan, Djoko Koestiono dan Abdul Wahid Muhaimin ...................... 390 PROFIL AGROINDUSTRI PENGOLAHAN LIDAH BUAYA SEBAGAI SUMBER PANGAN LOKAL DI KOTA PONTIANAK PROVINSI KALIMANTAN BARAT Melia Puspitasari dan Tietyk Kartinaty ......................................................................................... 398

BIOTEKNOLOGI PERTANIAN

INDUKSI POLIPLOIDI ANGGREK VANDA LOMBOKENSIS J.J. SMITH DENGAN KOLKHISIN SECARA IN VIVO Lita Soetopo .................................................................................................................................. 411

Page 13: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| ix

DINAMIKA SIFAT KIMIA TANAH PASIR PANTAI SELATAN YOGYAKARTA DENGAN PENAMBAHAN BAHAN ORGANIK DAN JAMUR MIKORIZA ARBUSKULA SEBAGAI MEDIUM PERTUMBUHAN JAGUNG (Zea mays) Akhsin Zulkoni, Dewi Rahyuni , Nasirudin ..................................................................................... 418 EFEKTIVITAS FUNGISIDA BAHAN AKTIF MANKOZEB UNTUK MENGENDALIKAN HAWAR DAUN KENTANG (Phytopthora infestans) Riza Ulil Fitria,Diding Rachmawati ................................................................................................ 425

PERTUMBUHAN DAN HASIL TIGA VARIETAS BUNCIS (PHASEOLUS VULGARIS L.) YANG DIBERI BIOURIN DAN DIBUDIDAYAKAN DI DATARAN RENDAH Mudji Santosa, Nur Azizah , Rahayu, P.W. ................................................................................... 434 EVALUASI FORMULASI PAKAN DAN JAMU TERNAK PADA AYAM JAWA SUPER FASE GROWER Dewi Ratih Ayu Daning, Novita Dewi Kristanti .............................................................................. 443 BIOPELLET BERBASIS LIMBAH TEMBAKAU Okta Prima Indahsari .................................................................................................................... 450 EVALUASI PERUBAHAN IKLIM DAN PENGARUHNYA TERHADAPPRODUKTIVITAS UBI JALAR (Ipomoea batatas L.) DI KABUPATEN MOJOKERTO Ninuk Herlina dan Oktavianus Verry Justejo ................................................................................. 456 PENGARUH PEMBERIAN TRICHO PUKAN DAN ARANG SEKAM TERHADAP PERTUMBUHAN TANAMAN KARET (Hevea brassiliensis Muell.Arg.) PADA TANAH BEKAS TAMBANG BATU BATA Anis Tatik Maryani ......................................................................................................................... 464 PENGARUH HERBISIDA OKSIFLUORFEN DAN WAKTU PENYIANGAN PADA PERTUMBUHAN DAN HASIL TANAMAN BAWANG MERAH (Allium ascalonicum L.) Husni Thamrin Sebayang1, Yunita Ekaputri Nursalam ................................................................. 471 INOVASI PELAPISAN BUAH DENGAN KHAMIR UNTUK MEMPERTAHANKAN KUALITAS JERUK PASCAPANEN Dian Indratmi, Chamilia Tohir N.O ................................................................................................ 479

Page 14: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

x |

Page 15: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 1

FAKTOR-FAKTOR PRODUKSI YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI PADI (Oryza sativa) DI DESA KLUWUT KECAMATAN WONOREJO

KABUPATEN PASURUAN, JAWA TIMUR

Tatang Suryadi 1, Ratna Dewi Mulyaningtiyas 2 1 Dosen STTP Malang

2 Dosen UNISKA Kediri Corresponding author: [email protected]

Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh faktor luas lahan, modal, tenaga kerja, pupuk, dan benih terhadap produksi padi, mengetahui hubungan secara bersamaan faktor luas lahan, modal, tenaga kerja, pupuk, dan benih terhadap produksi padi, faktor- faktor yang mempengaruhi produksi padi di Desa Kluwut. Metode yang digunakan dengan diskriptif, kuantitatif dengan jumlah populasi 159 orang. Pengambilan sampling penelitian di Desa Kluwut ini dilakukan dengan metode random sampling. Hasil penelitian bahwa faktor dari variabel luas lahan, modal, tenaga kerja, pupuk dan benih, berpengaruh nyata dengan signifikansi hingga taraf kepercayaan 5% terhadap produksi padi di Desa Kluwut Kecamatan Wonorejo Kabupaten Pasuruan dimana secara partial luas lahan, modal, dan pupuk berpengaruh positif sedangkan tenaga kerja dan benih berpengaruh secara negatif .dan faktor yang paling berpengaruh terhadap produksi padi yaitu variabel pupuk, namun hubungan secara bersamaan (simultan) faktor luas lahan, modal, tenaga kerja, pupuk, dan benih berpengaruh terhadap produksi padi. Kata Kunci: Faktor-faktor produksi, Produksi Padi

PENDAHULUAN

Indonesia merupakan salah satu negara agraris yang memiliki bentangan lahan pertanian sangat luas.

Luas lahan pertanian di Indonesia yang berjumlah 8.112.103 ha menyebabkan mayoritas penduduknya

bermata pencaharian sebagai petani (BPS, 2014). Pertanian di negara Indonesia merupakan salah satu sektor

pendapatan yang cukup besar dalam kegiatan ekonomi pemerintah. Indonesia termasuk ke dalam negara

yang memiliki iklim tropis, sehingga tak heran apabila komoditas yang ditanam di wilayah Indonesia dapat

tersedia sepanjang musim. Berbagai macam jenis komoditas dapat dibudidayakan di Indonesia, mulai dari

komoditas pangan, hortikultura maupun perkebunan. Komoditas tanaman pangan yang banyak dibudiayakan

oleh petani di Indonesia diantaranya yaitu padi, jagung dan kedelai.

Pada tahun 2015 penduduk Indonesia diperkirakan 258,2 juta jiwa dengan konsumsi beras sekitar 78,3

kg/kapita/tahun, sedangkan pada tahun 2016 penduduk Indonesia diperkirakan 261,1 juta jiwa dengan

konsumsi beras sekitar 80,1 kg/kapita/tahun (BPS, 2016), dengan demikan kebutuhan akan beras di wilayah

Indonesia semakin meningkat tiap tahunnya yang diikuti dengan pertambahan jumlah penduduk. Kebutuhan

beras yang semakin meningkat membuat pemerintah Indonesia memperoleh pasokan beras yang cukup untuk

memenuhi kebutuhan penduduk Indonesia. Daerah penghasil padi di Indonesia terbesar terletak di wilayah

propinsi Jawa Timur dengan hasil produksi padi sekitar 13,5 juta ton GKG (BPS,2015). Kabupaten Pasuruan

merupakan salah satu Kabupaten penghasil padi di Propinsi Jawa Timur.

Page 16: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

2 |

Kabupaten Pasuruan memiliki luas wilayah 1.474,015 km2 , yang terdiri dari 24 Kecamatan, dengan 17

kecamatan merupakan daerah penghasil padi yang memiliki luas lahan 98.089 ha (DPM-PT, 2015).

Kecamatan Wonorejo merupakan salah satu daerah penghasil padi di Kabupaten Pasuruan. Luas tanam padi

di Kecamatan Wonorejo tahun 2016 yaitu 4.350 Ha, total produksi sebesar 29.841 ton Gabah Kering Panen,

sedangkan produktivitas rata-rata padi di Kecamatan Wonorejo yakni 6.86 ton/Ha gabah kering panen

(Programa Kecamatan, 2016). Desa Kluwut adalah desa yang terletak di Kecamatan Wonorejo yang memiliki

luas lahan 193,163 ha. Sebagian besar wilayah di Desa Kluwut digunakan untuk lahan sawah. Kondisi wilayah

di Desa Kluwut sangat cocok untuk digunakan kegiatan pertanian atau bercocok tanam. Beberapa komoditas

yang ditanam di wilayah Desa Kluwut terdiri dari tanaman pangan seperti padi, jagung dan kedelai, dan untuk

tanaman hortikultura misalnya bawang merah dan cabai. Komoditas unggulan di Desa Kluwut yaitu padi,

karena kondisi dan iklim di Desa Kluwut cukup mendukung untuk perkembangan tanaman padi, sehingga tak

heran jika mayoritas petani menanam tanaman padi di lahan sawahnya. Produktivitas padi di Desa Kluwut

sendiri terbilang cukup tinggi yaitu sekitar 7 ton/ha, akan tetapi sekitar tiga tahun terakhir produksi padi di

Desa Kluwut menurun. Penurunan produksi padi diketahui dari jumlah produktivitas rata-rata per tahun, yaitu

pada tahun 2014 produktivitas rata-rata padi sebanyak 7 ton/ha, sedangkan pada tahun 2016 produktivitas

rata-rata padi sebanyak 6,86 ton/ha. Penurunan produksi padi yang terjadi di Desa Kluwut dikarenakan

beberapa permasalahan pada faktor produksi padi yang dialami petani, diantaranya mencakup luas lahan,

modal, tenaga kerja, pupuk dan benih.

Permasalah yang terjadi di Desa Kluwut Kecamatan Wonorejo sangat kompleks dengan penurunan

produksi padi tiga tahun terakhir ini, terlihat dimana hasil dari wawancara peneliti dengan petani dan melihat

keadaan di lapangan diperoleh beberapa masalah yang terjadi diantaranya: (1) Luas lahan pertanian yang

semakin kecil, disebabkan oleh banyaknya alih fungsi lahan pertanian menjadi non pertanian (2) Modal yang

diperoleh petani untuk melakukan kegiatan produksi padi lebih sedikit (3) Sulitnya memperoleh tenaga kerja

pada kegiatan produksi padi, yang disebabkan oleh menurunya minat masyarakat sebagai buruh tani karena

upah yang diperoleh sedikit yaitu sekitar Rp. 40.000 untuk pekerja laki-laki dan Rp. 25.000 untuk ongkos kerja

perempuan (4) Pupuk yang digunakan tidak sesuai dengan anjuran yang diberikan (5) Jumlah benih yang

digunakan dalam kegiatan produksi padi masih terbilang tidak sesuai dengan luasan lahan yang dimiliki

petani. Dari hasil gejala yang ditemukan di lapangan maka dapat ditetapkan sebagai judul penelitian yaitu

Faktor-Faktor Produksi yang Mempengaruhi Produksi Padi (Oryza sativa) di Desa Kluwut Kecamatan

Wonorejo Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur. Tujuan Penelitian ini mengetahui pengaruh faktor luas lahan,

modal, tenaga kerja, pupuk, dan benih terhadap produksi padi, mengetahui hubungan secara bersamaan

faktor luas lahan, modal, tenaga kerja, pupuk, dan benih terhadap produksi padi

METODOLOGI

Metode yang digunakan dengan diskriptif kuantitatif. Penelitian ini dilaksanakan di Desa Kluwut,

Kecamatan Wonorejo, Kabupaten Pasuruan, pada bulan Maret 2018 sampai dengan Juni 2018. Populasi

adalah keseluruhan subjek penelitian. Pada penelitian ini populasi yang ditetapkan yaitu kelompok tani di

Desa Kluwut yang melakukan kegiatan usaha tani produksi padi dengan jumlah 159 orang. Sumber data Data

Page 17: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 3

primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari responden penelitian melalui wawancara dan kuisioner di

lapangan. Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dalam bentuk yang sudah jadi, sudah dikumpulkan dan

diolah oleh pihak lain. Biasanya data sekunder yang diperoleh dalam bentuk programa pertanian tingkat

Kecamatan maupun Desa, profil Desa, maupun data-data pendukung lainnya. Analisa Data merupakan

proses penyusunan data yang disajikan dalam bentuk data. Rumus yang digunakan dalam penilitian ini adalah

analisis fungsi produksi cobb-douglas yaitu suatu fungsi yang melibatkan dua atau lebih variabel, yaitu

variabel terikat (Y) dan variabel bebas (X). Fungsi produksi ini pertama kali diperkenalkan oleh Cobb, C.W.

dan Douglas, P.H. pada tahun 1928. Bila fungsi cobb-douglas tersebut dinyatakan oleh hubungan Y dan X,

maka dapat dilihat pada Persamaan 1 (Soekartawi, 1990): Y = f(X1, X2,...,...,...,Xn).

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Karakteristik sosial ekonomi

Hasil analisis terhadap lima variabel produksi padi yaitu (X1) Luas Lahan, (X2) Modal, (X3) Tenaga Kerja,

(X4) Pupuk dan (X5) Benih menghasilkan lima indikator yang mempengaruhi terhadap produksi padi (Y) yaitu

sebagai berikut:

a. Luas Lahan

Berdasarkan hasil kuisioner luas lahan yang dikerjakan oleh responden sebagian besar luas lahan

pertanian yang dimiliki yaitu sekitar 0,15 - 0,25 ha mencapai 42,9%, dengan hasil seperti ini menandakan

bahwa rata-rata luas lahan pertanian di Desa Kluwut Kecamatan Wonorejo Kabupaten Pasuruan sangat

sempit, hal dikarenakan alih fungsi lahan dari pertanian menjadi perumahan atau industri, sehingga dengan

menyempitnya luas lahan sawah dapat berdampak pada kegiatan peningkatan produksi padi.

b. Modal

Berdasarkan hasil kuisioner modal, sebagian responden menjawab modal yang digunakan yaitu sekitar >

Rp.3.099.000 dengan prosentase 85,7%, dimana modal yang digunakan lebih besar dibanding penghasilan

yang diperoleh dalam kegiatan produksi padi, sehingga petani kurang memiliki modal yang cukup untuk

mengelola lahannya karena tidak sebanding dengan hasil penjualannya.

c. Tenaga Kerja

Berdasarkan hasil kuisioner tenaga kerja yang digunakan oleh responden sebagian besar tenaga kerja

yang digunakan yaitu 26 sampai 30 orang dengan prosentase mencapai 71,4%. Hal ini menunjukan

kebutuhan tenaga kerja tidak sesuai dengan luas lahan yang dimiliki oleh petani, sehingga terjadi pemborosan

dalam tenaga kerja, akan tetapi permasalahan lainnya mengenai tenaga kerja di Desa Kluwut adalah sulitnya

memperoleh tenaga kerja dibidang pertanian yang disebabkan oleh menurunnya minat masyarakat dibidang

pertanian.

d. Pupuk

Kegiatan produksi oleh responden yaitu > 225 kg dengan prosentase 74,3%, dimana pupuk yang

digunakan tidak sesuai dengan kebutuhan. Penggunaan pupuk yang berlebihan dapat mempengaruhi

produksi padi yang akan dihasilkan atau akan menurunkan produksi padi apabila penggunaannya tidak

dilakukan sesuai anjuran dan kebutuhan tanaman. Berdasarkan hasil kuisioner benih yang digunakan

Page 18: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

4 |

responden sebanyak >9,6 kg dengan prosentase 94,3%, dimana penggunaan benih berlebihan. Penggunaan

benih yang berlebihan dapat mempengaruhi produksi padi yang dihasilkan, karena bibit yang tumbuh dari

benih ditanam secara berlebihan tidak sesuai dengan kebutuhan dapat mengganggu proses perkembangan

padi itu sendiri.

2. Pengaruh luas lahan terhadap produksi padi

Faktor luas lahan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi produksi padi, hal ini terjadi

dikarenakan semakin luas lahan yang digunakan untuk kegiatan produksi padi maka berpengaruh pula pada

produksi padi yang dihasilkan. Akan tetapi kondisi real di lapangan yaitu tepatnya Desa Kluwut, terjadi

penyempitan lahan yang disebabkan oleh alih fungsi lahan pertanian menjadi non pertanian, sehingga dapat

berpengaruh pada hasil produksi padi yang ditanam.

Dari hasil analisi regresi linier berganda yang dilakukan, luas lahan berpengaruh positif terhadap produksi

padi, dimana nilai thitung (2,362) > ttabel (2,036) yang menyatakan bahwa semakin luas lahan yang digunakan

untuk kegiatan produksi padi maka akan berpengaruh pada peningkatan hasil produksi padi. Penelitian ini

sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Naibaho (2012) dengan judul Pengaruh Faktor Sosial

Ekonomi Petani Terhadap Produksi Usahatani Sawi yang menyebutkan bahwa variabel bebas luas usaha tani

berpengaruh nyata terhadap produksi sawi. Apabila luas usaha tani bertambah maka produksi sawi juga

meningkat.

a. Pengaruh modal terhadap produksi padi

Modal dalam pengertian ekonomi adalah barang atau uang yang bersama-sama faktor produksi lahan

dan tenaga kerja digunakan untuk menghasilkan suatu barang atau hasil pertanian dalam suatu proses

produksi. Modal merupakan penunjang proses produksi padi, dimana setiap kegitan proses produksi padi

harus dikuatkan dengan modal yang tercukupi. Modal yang tidak tercukupi dapat berpengaruh pada produksi

padi dikarenakan penggunaan sarana dan prasarana produksi kurang maksimal akibat minimnya modal yang

dimiliki.

Hasil analisis regresi linier berganda yang digunakan menunjukkan bahwa faktor modal berpengaruh

secara positif terhdap faktor produksi padi, yang dapat dilihat dari nilai koofisien t hitung(1,599) < t tabel (2,036)

dan signifikansi t hitung (0,121) > t tabel (0,05), sehingga penambahan modal dapat berpengaruh pada kegiatan

produksi padi. Penelitian yang dilakukan ini sesuai dengan hasil penelitian Murdiantoro (2011) dengan judul

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Produksi Padi Di Desa Pulorejo Kecamatan Winong Kabupaten Pati yang

menyatakan bahwa pengaruh modal terhadap produksi padi cukup kecil, dikarenakan dengan modal yang

dikeluarkan hanya cukup untuk membeli bahan-bahan produksi dan membayar tenaga kerja sehingga tingkat

dan teknologi yang digunakan sangat rendah dan hasil produksinyapun ikut rendah.

b. Pengaruh tenaga kerja terhadap produksi padi

Tenaga kerja merupakan salah satu faktor utama dalam kegiatan produksi padi, karena tanpa adanya

tenaga kerja aktifitas produksi padi pun tidak berjalan dengan sempurna. Hasil penelitian pada faktor tenaga

kerja menunjukkan bahwa terjadi pengaruh secara negatif terhadap produksi padi yaitu dengan nilai thitung -

1,683. Penggunaan tenaga kerja yang banyak tidak selamanya dapat berpengaruh pada peningkatan produksi

padi, akan tetapi dapat terjadi sebaliknya yaitu penurunan hasil produksi padi atau pendapatan yang diperoleh

petani. Inefisiensi tenaga kerja dapat meningkatkan pengeluaran modal yang digunakan oleh petani sehingga

Page 19: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 5

dapat mengurangi pendapatan petani. Penelitian yang dilakukan ini juga memperkuat hasil penelitian dari

Fauzi (2016) yang menyatakan bahwa dengan bertambahnya jumlah tenaga kerja maka akan mengurangi

produksi padi. Adapun alasan variabel tenaga kerja memiliki pengaruh yang negatif terhadap produksi padi ini

salah satunya karena variabel tenaga kerja telah mencapai titik maksimum di wilayah daerah penelitian.

c. Pengaruh pupuk terhadap produksi padi

Pupuk merupakan salah satu faktor input produksi padi yang dibutuhkan untuk menunjang keberhasilan

produksi padi. Penggunaan pupuk sesuai dengan kebutuhan tanaman dapat mempengaruhi produksi

tanaman. Penggunaan pupuk yang tidak sesuai rekomendasi akan berpengaruh pada pertumbuhan padi,

sehingga pertumbuhan padi yang terganggu akan berdampak pada produksi padi yang dihasilkan.

Hasil analisis Regresi linier berganda pada faktor pupuk yaitu t hitung 2,708, yang menyatakan bahwa

pupuk berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap produksi padi, dimana setiap penamabahan pupuk

0,233 maka akan bertambah pula produksi padi sebesar 0,233. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian

Neonbota (2016) dengan judul Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Usahatani Padi Sawah Di Desa Haekto

Kecamatan Noemuti Timur yang menyatakan bahwa peningkatan penggunaan pupuk akan meningkatkan

produksi padi sebesar 0,294 kg apabila faktor lain dianggap tetap.

d. Pengaruh benih terhadap produksi padi

Penggunaan benih yang berlebihan dapat berpengaruh pada hasil produksi padi yang ditanam, benih

yang berlebihan tidak menjamin terjadinya peningkatan produksi padi yang ditanam, hal ini terjadi karena padi

tidak dapat tumbuh maksimal apabila terlalu rapat atau berlebihan ditanam pada satu lubang, sehingga hal ini

akan berdampak pada penurunan hasil produksi padi, maka dari itu penggunaan benih dalam kegiatan

produksi padi juga harus disesuaikan dengan luas lahan yang akan ditanami padi. Hasil penelitian pada faktor

benih diperoleh nilai koofisien t hitung -1,620 yang menunjukkan bahwa faktor benih berpengaruh secara negatif

terhadap produksi padi, sehingga penambahan jumlah penggunaan benih yang berlebihan akan berpengaruh

pada penurunan produksi padi. Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan yang dikemukakan oleh Neonbota,

(2016) yang menyatakan bahwa setiap kenaikan jumlah benih 1 satuan akan meningkatkan produksi sebesar

0,025 kg bila faktor lain dianggap tetap.

a) Analisis Efisiensi Cobb-Douglas

Efisiensi faktor produksi pada komoditas padi, dapat diketahui dengan menghitung rasio NPM suatu

faktor produksi dengan harga masing-masing faktor produksi NPMx/Px. Perhitungan yang digunakan untuk

analisis efisiensi alokatif faktor-faktor produksi mencantumkan nilai koefisien regresi yang berasal dari fungsi

produksi Cobb- Douglas. Berdasarkan hasil analisis fungsi produksi Cobb-Douglas, diketahui bahwa tidak

semua variabel bebas yang dimasukkan ke dalam model berpengaruh secara nyata terhadap produksi padi,

hanya variabel yang berpengaruh nyata terhadap produksi padi yaitu faktor luas lahan, modal dan pupuk.

Hasil perhitungan efisiensi dapat dilihat pada Tabel 1.

Page 20: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

6 |

Tabel 1. Analisis Efisiensi Penggunaan Faktor Produksi Padi

Variabel Bix Y Py X Px PMx NPMx NPMxPx

Luas Lahan 0,233 6.800 4.000 6,03 250.000 262,75 1.051.000 4,204

Modal 0,358 6.800 4.000 21,8 3.099.000 111,67 446.680 0,144

Pupuk 0,233 6.800 4.000 14,97 328.200 105,84 432.360 1,289

Sumber: Data Primer yang diolah

1) Efisiensi luas lahan

Dari hasil analisis efisiensi yang dilakukan pada faktor luas lahan diperoleh nilai yaitu 4,204 > 1 yang

memiliki arti bahwa penggunaan faktor luas lahan belum efisien. Menurut Soekartawi (1990) mengatakan

bahwa untuk mencapai efisien, maka nilai input = 1. Sehingga dengan hasil yang diperoleh dapat disimpulkan

bahwa untuk mencapai tingkat efisiensi pada faktor luas lahan terhadap produksi padi, maka perlu

dilakukannya penambahan luas lahan untuk meningkatkan kegiatan produksi padi yang dilakukan. Hasil

penelitian yang dilakukan ini sejalan dengan penelitian Rovil (2008) dengan judul penelitian Analisis Efisiensi

Ekonomi Penggunaan Faktor Produksi Pada Usahatani Strowberi Di Desa Dolat Rayat Kecamatan Dolat

Rayat Kabupaten Karo yang menyatakan bahwa nilai efisiensi faktor luas lahan > 1 yaitu 58,2.

2) Efisiensi modal

Hasil analisis efisiensi pada faktor modal menunjukkan nilai 0,144. Faktor dikatakan efisien apabilan nilai

NPMx : Px = 1, sedangkan nilai efisien modal yang diperoleh yaitu 0,144 < 1. Menurut Soekartawi (1990) nilai

efisien < 1 memiliki arti bahwa penggunaan input X tidak efisien. Kesimpulan yang dapat diambil dari hasil

analisis ini yaitu bahwa faktor modal yang digunakan sudah melebihi dari batas efisien, sehingga penggunaan

faktor modal perlu dikurangi, seperti pada pengertian efisiensi pada teori ekonomi produksi yang dikemukakan

oleh Soekartawi (1990) yang menyebutkan efisiensi adalah upaya penggunaan input sekecil-kecilnya untuk

mendapatkan produksi yang sebesar-besarnya. Penelitian yang dilakukan mendukung hasil penelitian dari

Rusdi (2017) dengan judul Analisis Efisiensi Penggunaan Faktor Produksi Pada Usahatani Cengkeh Di Desa

Palangka Kecamatan Sinjai Selatan Kabupaten Sinjai yang mengatakan bahwa nilai efisiensi modal yang

diteliti yaitu 0,193 sehingga faktor modal dikatakan tidak efisien, maka dapat disimpulkan bahwa penggunaan

modal terlalu besar dan perlu dilakukannya pengurangan dalam pemakaian modal agar efisiensi dapat

tercapai.

3) Efisiensi pupuk

Efisiensi penggunaan pupuk pada penelitian ini menunjukkan nilai 1,289 > 1 dimana nilai tersebut dapat

menyimpulkan bahwa hasil efisiensi pada faktor pupuk yang digunakan yaitu kurang efisien, hal ini terjadi

karena nilai NPMx : Px > 1. Sehingga penggunaan pupuk pada kegiatan produksi padi di Desa Kluwut perlu

ditambah agar nilai efisiensi tercapai dan produksi padi meningkat. Penggunaan pupuk yang dapat

ditambahkan dapat berupa pupuk organik yang berfungsi untuk memperbaiki struktur tanah dan kondisi

mikroorganisme yang ada di dalam tanah, selain pupuk organik penggunaan pupuk phonska juga perlu

ditambah karena masyarakat di Desa Kluwut masih kurang seimbang dalam menggunakan takaran pupuk

atau penerapan penggunaan pupuk sesuai dengan tanaman masih kurang

Page 21: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 7

KESIMPULAN

Variabel luas lahan, modal, tenaga kerja, pupuk dan benih, dengan signifikan hingga taraf kepercayaan

5% terhadap produksi padi di Desa Kluwut Kecamatan Wonorejo Kabupaten Pasuruan sehingga hipotesis

luas lahan, modal, dan pupuk berpengaruh positif sedangkan tenaga kerja dan benih berpengaruh secara

negatif akan tetapi signifikan terhadap produksi padi dapat diterima. Sedangkan faktor yang paling

berpengaruh terhadap produksi padi yaitu variabel pupuk.

Hubungan secara bersamaan (simultan) faktor luas lahan, modal, tenaga kerja, pupuk, dan benih

berhubungan dengan produksi padi.

DAFTAR PUSTAKA

BPS. 2014. Statistik Lahan Petanian Tahun 2009-2013. Jakarta: Pusat Data dan Sistem Informasi Petanian BPS. 2015. Survei Pertanian Produksi Padi dan Palawija. Surabaya: BPS Provinsi Jawa Timur

..........2016. Rata-Rata Konsumsi per Kapita Bahan Makanan. https://www.bps.go.id. (Diakses tanggal 27 November 2017)

DPM-PT. 2015. Potensi Sektor Pertanian Kabupaten Pasuruan. http://bpppm.pasuruankab.go.id/content-

601-potensi-sektor-pertanian-kabupaten-pasuruan.html. (Diakses tanggal 27 November 2017) Fauzi, Rizky Ahmad. 2016. Analisis Faktor Yang Mempengaruhi Produksi Usahatani Padi 5 Kabupaten

Terbesar Di Jawa Barat. Skripsi. Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Muridantoro, Bayu. 2011. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Produksi Padi Di Desa Pulorejo Kecamatan

Winong Kabupaten Pati. Skripsi. Universitas Negeri Semarang Naibaho, Tota Totor. 2012. Pengaruh Faktor Sosial Ekonomi Petani Terhadap Produksi Usahatani Sawi.

Medan: jurnal ilmiah Neonbota, Serafina Laka. 2016. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Usahatani Padi Sawah Di Desa Haekto

Kecamatan Noemuti Timur. Timor Tengah Utara: jurnal agribisnis lahan kering Rovil.2008. Analisi Efisiensi Ekonomi Penggunaan Faktor Produksi Pada Usahatani Stroberi Di Desa Dolat

Rayat Kecamatan Dolat Rayat Kabupaten Karo. Medan. Universitas Sumatra Rusdi, Mutmainnah. 2017. Ananlisis Efisiensi Penggunaan Faktor Produksi Pada Usahatani Cengkeh Di Desa

Palangka Kecamatan Sinjai Selatan Kabupaten Sinjai. Skripsi. Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar

Soekartawi. 1990. Teori Ekonomi Produksi Dengan Pokok Bahasan Analisis Fungsi Cobb-Douglas. Jakarta. CV. Rajawali

Page 22: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

8 |

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEMISKINAN MULTIDIMENSIONAL

ATAU KEMISKINAN MONETER (STUDI KASUS DI YOGYAKARTA)

Khalista Arkania H1, Robert Kurniawan2

1Jurusan Statistika Sosial dan Kependudukan, Politeknik Statistika STIS 2Jurusan Komputasi Statistik, Politeknik Statistika STIS

Corresponding Author:[email protected], [email protected]

Abstrak. Nilai tukar petani yang rendah, menyebabkan surplus usaha yang diterima petani sangat minim.Hal ini menyebabkan banyak petani terjerat kemiskinan baik secara moneter maupun multidimensional. Sehingga, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor- faktor sosial ekonomi yang mempengaruhi kemiskinan multidimensional atau kemiskinan moneter. Kemiskinan multidimensional diukur dengan Multidimentional Poverty Index(MPI) yang memperhitungkan keterbatasan akses pendidikan, kesehatan dan standar hidup, sedangkan kemiskinan moneter diukur dengan pendekatan pengeluaran. Data yang digunakan adalah data Badan Pusat Statistik (BPS), yaitu data Survei Pendapatan Petani (SPP) 2013 di Yogyakarta.Berdasarkan hasil yang diperoleh, variabel yang signifikan mempengaruhi kemiskinan multidimensi atau moneter adalah jenis kelamin kepala rumah tangga, pendidikan kepala rumah tanggadan umur kepala rumah tangga. Sehingga pemerintah disarankan untuk meningkatkan bantuan dalam mengakses pendidikan yang berorientasi untuk bekerja pada masyarakat miskin.

Kata kunci : Kemiskinan Moneter, Kemiskinan Multidimensi, Multidimentional Poverty Index

PENDAHULUAN

Kemiskinan menjadi masalah kebijakan publik baik global, nasional maupun tingkat komunitas.

Selama beberapa dekade terakhir, perspektif tentang kemiskinan dengan fokus pada pendapatan dan

konsumsi untuk mendefinisikan orang miskin menjadi perdebatan. Saat ini, kemiskinan difokuskanpada

konsep kondisi manusia yang mencerminkan kegagalan dalambanyak dimensi kehidupan manusia

(UNDP,2006). Menurut Amartya Sen (1976), pengukuran kemiskinan terdiri dari dua hal mendasar yaitu

menentukan siapa yang miskin (identifikasi) dan membangun indeks untuk mencerminkan sejauh

manakemiskinan (agregasi). Selama ini,ukuran yang digunakan untuk membedakan antara orang miskin

dengan orang tidak miskin adalah ukuran unidimensional. Di Indonesia sendiri saat ini, BPS menggunakan

konsep kemampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach) dalam mengukur kemiskinan.

Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi

kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Jadi penduduk

dikategorikan miskin jika penduduk tersebut memiliki rata-rata pengeluaran perkapita perbulan dibawah garis

kemiskinan.

Kemiskinan merupakan indikator makro yang dapat memberikan informasi terkait seberapa banyak

penduduk suatu wilayah yang belum sejahtera. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) persentase

kemiskinan D.I. Yogyakarta masih relatif tinggi di wilayah Pulau Jawa. Selama rentang waktu 2013 – 2017,

Page 23: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 9

tingkat kemiskinan D.I. Yogyakarta selalu tercatat sebagai yang tertinggi untuk Pulau Jawa (BPS, 2013, 2014,

2015, 2016 dan 2017).

Pada tahun 2017, kepala rumah tangga miskin di Provinsi DI Yogyakarta yang bekerja pada

lapangan usaha pertanian mencapai 34,58 persen. Kondisi tersebut menunjukan bahwa sektor pertanian

masih menjadi tumpuan utama rumah tangga miskin untuk memperoleh pendapatan. Sebagai penghidupan

sebagian besar masyarakat Indonesia, pembangunan sektor pertanian harus mampu menyejahterakan petani.

Namun,pembangunan sektor pertanian masih menghadapi banyak hambatan. Hal ini berdampak langsung

pada tingkat kesejahteraan petani. Rendahnya nilai tukar mengakibatkan banyak petani terjerat kemiskinan

(BPS,2014).

Oleh karena itu diperlukan penanggulangan kemiskinan untuk meningkatkan kesejahteraan

petani.Menurut Remi dan Tjiptoherijanto (2002:1) upaya menurunkan tingkat kemiskinan telah dimulai sejak

awal tahun 1970-an. Pada tahun 2002–2007, terdapat indikasi kuat bahwasanya meskipun terdapat

kecenderungan positif dalam penanggulangan kemiskinan, tetapi ternyata implikasinya belum seperti yang

diharapkan (Kuncoro, 2008).

Penanggulangan kemiskinan perlu dilakukan secara komprehensif dan terpadu agar terjadi perbaikan kondisi

sosial, ekonomi dan budaya, serta peningkatan kesejahteraan masyarakat miskin (Undang Undang Nomor 25

Tahun 2000 Tentang Propenas)

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengukur kemiskinan multidimensi atau kemiskinan

moneter RTUP di Provinsi DI Yogyakarta dan mengetahui gambaran mengenai faktor- faktor yang

mempengaruhi kemiskinan multidimensi atau kemiskinan moneter pada rumah tangga usaha pertanian

(RTUP) di Provinsi DI Yogyakarta tahun 2013. Sehingga dapat memberikan implikasi kebijakan untuk

mengatasi kemiskinan multidimensi atau kemiskinan moneter pada RTUP di Provinsi DI Yogyakarta.

METODOLOGI

Penelitian ini menggunakan data sekunder dari Badan Pusat Statistik (BPS), yaitu data Survei

Pendapatan Petani (SPP) 2013 di Provinsi DI Yogyakarta. Unit analisis dalam penelitian ini adalah rumah

tangga usaha pertanian (RTUP) sejumlah 6.075 rumah tangga.

Variable – variable yang digunakan dalam penelitian ini adalah variable bebas dan variable terikat.

Dimana, variable bebasnya adalah (X1) jenis kelamin kepala rumah tangga usaha pertanian, (X2) pendidikan

kepala rumah tangga usaha pertanian dan (X3) umur kepala rumah tangga usaha pertanian, sedangkan

variable terikatnya adalah (Y) kemiskinan multidimensional atau kemiskinan moneter.

Kemiskinan moneter dalam penelitian ini diukur dengan membandingkan pendapatan perkapita

RTUP di Yogyakarta dengan garis kemiskinan Yogyakarta yang telah dihitung oleh BPS. RTUP dikategorikan

miskin moneter jika pendapatan perkapita perbulannya berada dibawah garis kemiskinan di Yogyakarta.

Kemiskinan multidimensi dalam penelitian ini diukur dengan Multidimensional Poverty Index (MPI) melalui 3

dimensi yang memperhitungkan keterbatasan akses pada pendidikan, kesehatan dan standar hidup. Dengan

Page 24: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

10 |

total terdapat 10 indikator untuk mengitung kemiskinan multidimensi. Pada dimensi pendidikan dan kesehatan

masing- masing terdapat 2 indikator sedangkan pada dimensi standar hidup terdiri dari 6 indikator.

Metode analisis dalam penelitian ini menggunakan metode analisis deskriptif dan analisis inferensia.

Metode analisis inferensia menggunakan regresi logistik biner dan pengolahan datanya dilakukan dengan

menggunakan program R. berikut adalah brntuk persamaan umum model logistik biner:

…(1)

………(2) (Agresti, 2002).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Unit analisis dari penelitian ini adalah Rumah Tangga Usaha Pertanian (RTUP) di Provinsi DI

Yogyakarta yang berjumlah 6075 rumah tangga. Tabel 1 menyajikan informasi mengenai status kemiskinan

RTUP di Provinsi DI Yogyakarta tahun 2013. Berdasarkan tabel tersebut, dapat diketahui bahwa RTUP di

Yogyakarta yang teridentifikasi berstatus miskin sebanyak 1925 rumah tangga atau sebesar 31,7 persen.

Tabel 1. Status Kemiskinan Rumah Tangga Usaha Pertanian di Yogyakarta Tahun 2013

Status Kemiskinan Jumlah Persen

Miskin 1925 31,7

Tidak Miskin 4150 68,3

Total 6075 100,0

Sumber: SPP 2013

Berdasarkan status kemiskinan RTUP di Provinsi DI Yogyakarta menurut jenis kelamin kepala

rumah tangga (KRT)pada tahun 2013 pada tabel 2, diketahui bahwa mayoritas RTUP di Yogyakarta dikepalai

oleh KRT berjenis kelamin laki-laki. Yaitu, sebanyak 5287 RTUP di Provinsi DI Yogyakarta pada tahun 2013

mempunyai KRT bersenis kelamin laki-laki. Persentase RTUP dengan KRT berjenis kelamin perempuan yang

berstatus miskin lebih besar daripada persentase RTUP dengan KRT berjenis kelamin laki-laki yaitu sebesar

56,34 persen dan 28,01 persen. Hal ini sejalan dengan sumber dan proses penyebab terjadinya kemiskinan

oleh Nasikun yaitu The marginalization of woman yang berarti peminggiran kaum perempuan karena

perempuan masih dianggap sebagai golongan kelas kedua, sehingga akses dan penghargaan hasil kerja

yang diberikan lebih rendah dari laki-laki.

Page 25: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 11

Tabel 2. Persentasi Status Kemiskinan RTUP Menurut Jenis Kelamis KRT di Yogyakarta Tahun 2013

Jenis Kelamin KRT

Status Kemiskinan

Miskin Tidak Miskin Total

Jumlah Persen Jumlah Persen Jumlah Persen

Perempuan 444 56,34 344 43,66 788 100,0

Laki-laki 1481 28,01 3806 71,99 5287 100,0

Total 1925 31,68 4150 68,32 6075 100,0

Sumber: SPP 2013

Berdasarkan Tabel 3 yang menyediakan informasi mengenai status kemsikinan RTUP menurut

kelompok umur KRT di Yogyakarta pada tahun 2013, kelompok umur 10-24 tahun yang berstatus miskin

mempunyai persentase lebih besar dibandingkan dengan kelompok umur lainnya yaitu sebesar 53,3

persen.Dengan asumsi bahwa semakin bertambahnya umur maka pendapatan akan semakin meningkat dan

tergantung juga pada jenis pekerjaan yang dilakukan. Kekuatan fisik seseorang untuk melakukan aktivitas

sangat erat kaitannya dengan umur karena bila umur seseorang telah melewati masa produktif, maka semakin

menurun kekuatan fisiknya sehingga produktivitasnya pun menurun dan pendapatan juga ikut turun

(Cahyono,1998).

Tabel 3. Status Kemiskinan RTUP menurut Umur KRT di Yogyakarta Tahun 2013

Umur KRT

Status Kemiskinan

Miskin Tidak Miskin Total

Jumlah Persen Jumlah Persen Jumlah Persen

10-24 tahun 8 53,3 7 46,7 15 100,0

25-34 tahun 72 22,5 248 77,5 320 100,0

35-44 tahun 310 27,4 821 72,6 1131 100,0

45-54 tahun 397 24,4 1231 75,6 1628 100,0

≥ 55 tahun 1138 38,2 1843 61,8 2981 100,0

Total 1925 31,7 4150 68,3 6075 100,0

Sumber: SPP 2013

Persentase RTUP yang mempunyai KRT dengan pendidikan tertingginya tidak sekolah dan rumah

tangga tersebut teridentifikasi berstatus miskin moneter atau miskin multidimensi yaitu sebesar 56,5 persen.

Tabel 4 memberikan informasi mengenai status kemiskinan moneter atau kemiskinan multidimensi RTUP di

Yogyakarta menurut pendidikan KRT pada tahun 2013. Berdasarkan informasi tersebut, RTUP dengan KRT

berpendidikan rendah lebih rentan untuk mengalami kemiskinan moneter atau kemiskinan multidimensi

daripada RTUP dengan KRT yang berpendidikan lebih tinggi. Hal ini sesuai dengan pernyataan bahwa orang

yang memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi akan memperoleh pendapatan yang lebih baik (Ward dalam

Ballantine, 1983). Dengan pendidikan yang baik, setiap orang memiliki bekal pengetahuan dan keterampilan,

mempunyai pilihan untuk mendapat pekerjaan, dari menjadi lebih produktif sehingga dapat meningkatkan

pendapatan. Dengan demikian pendidikan dapat memutus mata rantai kemiskinan dan menghilangkan

Page 26: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

12 |

eksklusi sosial, untuk kemudian meningkatkan kualitas hidup dan mewujudkan kesejahteraan masyarakat

(Dicky,2009).

Tabel 4. Status Kemiskinan RTUP menurut Pendidikan KRT di Yogyakarta Tahun 2013

Pendidikan KRT

Status Kemiskinan

Miskin Tidak Miskin Total

Jumlah Persen Jumlah Persen Jumlah Persen

Tidak Sekolah 420 56,5 323 43,5 743 100,0

Belum SD 429 42,0 592 58,0 1021 100,0

SD 584 31,2 1285 68,8 1869 1000

SLTP 238 24,3 740 75,7 978 100,0

SLTA 239 20,3 938 79,7 1177 100,0

D1/D2 3 5,2 55 94,8 58 100,0

D3 4 6,3 59 93,7 63 100,0

D4/S1 7 4,4 150 95,6 157 100,0

S2/S3 1 11,1 8 88,9 9 100,0

Total 1925 31,7 4150 68,3 6075 100,0

Sumber: SPP2013

Berdasarkan uji regresi logistik biner yang diperoleh (Tabel 5), setelah mendefinisikan model logit

yang telah dibentuk dari fungsi glm dengan family= binomial, ketika kita panggil maka akan muncul koefisien

dari regresi logistiknya. Dari hasil dapat diketahui bahwa x11 (KRT berjenis kelamin perempuan) berpengaruh

positif terhadap y (kemiskinan moneter atau kemiskinan multidimensi), sedangkan x21 (KRT dengan

pendidikan tertinggi tamat SD), x22 (KRT dengan pendidikan tertinngi minimal lulus SMP), x31(KRT dengan

kelompok umur 25-34 tahun),x32 (KRT dengan kelompok umur 35-44 tahun), x33 (KRT dengan kelompok

umur 45-54 tahun) ,x34 (KRT dengan kelompok umur ≥ 55 tahun) berpengaruh negatif terhadap kemiskinan

moneter atau kemiskinan multidimensi. Selain itu, dari hasil summary pada output terlihat bahwa semua p-

value bernilai kurang dari taraf signifikansi (α= 0,1). Sehingga model yang terbentuk berdasarkan persamaan

umum 2 adalah sebagai berikut :

….(3)

Setelah ditransformasi logit, maka persamaannya menjadi seperti berikut:

…(4)

Page 27: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 13

Tabel 5. Output Uji Regresi Logistik Biner

Estimate Std.Error Z Value Pr (>|z|)

(Intercept) 0.90305 0.53192 1.698 0.08956

X11 0.86683 0.08300 10.443 <2e-16

X21 -0.55369 0.07253 -7.634 2.27e-14

X22 -1.11717 0.07851 -14.229 <2e-16

X31 -1.20590 0.54543 -2.211 0.02704

X32 -1.05758 0.53265 -1.986 0.04709

X33 -1.47315 0.53192 -2.770 0.00561

X34 -1.16315 0.53080 -2.191 0.02843

Sumber: Output R

Dari output (Tabel 6) juga didapatkan interval kepercayaan untuk perkiraan nilai odds ratio.

Diketahui bahwa rumah tangga dengan kepala rumah tangga usaha pertanian berjenis kelamin perempuan

cenderung 2,26 kali lebih miskin daripada rumah tangga dengan kepala rumah tangga usaha pertanian

berjenis kelamin laki-laki. Untuk kepala rumah tangga usaha pertanian dengan pendidikan tertinggi tamat SD

cenderung 0,63 kali lebih miskin daripada kepala rumah tangga usaha pertanian yang tidak bersekolah.

Kepala rumah tangga dengan usaha pertanian dengan pendidikan tertingginya minimal tamat SD cenderung

0,44 kali lebih miskin daripada kepala rumah tangga usaha pertanian yang tidak bersekolah. Selain itu, untuk

kepala rumah tangga usaha pertanian yang berusia 25-34 tahun cenderung 0,33 kali lebih miskin daripada

kepala rumah tangga usaha pertanian yang berusia 10-24 tahun, rumah tangga usaha pertanian dengan

kelompok umur KRT 35-44 tahun cenderung 0,27 kali lebih miskin daripada rumah tangga dengan KRT

berusia 10-24 tahun, rumah tangga usaha pertanian dengan KRT berusia 45-54 tahun cenderung 0,05 kali

lebih miskin daripada rumah tangga dengan KRT berusia 10-24 tahun,rumah tangga dengan KRT berusia ≥

55 tahun cenderung 0,06 kali lebih miskin daripada rumah tangga dengan KRT berusia 10-24 tahun.

Tabel 6. Output Uji Regresi Logistik Biner

or 2.5% 97.5%

(Intercept) 2.88285842 0.86146599 7.2185284

X11 2.26693351 2.02246085 2.8004166

X21 0.63296584 0.49856571 0.6625331

X22 0.44577439 0.28039725 0.3814646

X32 0.33469107 0.09985054 0.8798317

X33 0.27312044 0.11857503 0.9963703

X34 0.05227615 0.07834913 0.6565644

X35 0.06963781 0.10703115 0.8931763

Sumber: Output R

Untuk menentukan kebaikan suatu model regresi logistik, maka dilakukan uji statistik Hosmer-

Lemeshow dengan H0 yaitu terdapat kecocokan model yang baik. Jika nilai p-value lebih besar daripada taraf

signifikansi yang digunakan maka menunjukkan kecocokan model yang baik, namun jika p value lebih kecil

Page 28: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

14 |

daripada taraf signifikansinya maka menunjukkan ketidaksesuaian model.Berdasarkan output, diperoleh p-

value sebesar 1 dengan derajat bebas 295 dan X-squared sebesar 59,019. Dengan menggunakan taraf

signifikansi 0,05 dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat cukup bukti untuk menyatakan bahwa model tersebut

kurang baik, karena nilai p-value lebih besar daripada taraf signifikansi yang digunakan. Karena sampel yang

digunakan sebanyak 6075 rumah tangga, maka perhitungan uji statistic Hosmer-Lemeshow menggunakan g

untuk sampel 1000 < n < 25,000 yaitu sebagai berikut:

(Paul, et. al., 2012)

Selain itu, dilakukan juga receiver operating characteristics (ROC) untuk mengetahui keakuratan dari

model. Jika nilai area under the curve (AUC) mendekati 1 maka uji diagnostic tersebut semakin baik.

Berdasarkan output hasil ROC dapat disimpulkan bahwa model yang digunakan masih dapat diterima dengan

nilai area under the curve (AUC) sebesar 0,6677.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil pengukuran diketahui bahwa RTUP yang berstatus miskin moneter atau miskin

multidimensi yaitu sebesar 31,7 persen. Berdasarkan hasil analisis, RTUP yang yang rentan mengalami

kemiskinan moneter atau kemiskinan multidimensidi Provinsi DI Yogyakarta tahun 2013 adalah RTUP dengan

KRT berjenis kelamin perempuan,RTUP dengan pendidikan tertinggi KRT nya adalah tidak bersekolah

maupun belum tamat SD dan RTUP dengan KRT berusia 10-24 tahun.

Hasil regresi logistik biner menunjukkan bahwa jenis kelamin KRT, pendidikan tertinggi yang

dienyam oleh KRT dan umur KRT signifikan mempengaruhi status kemiskinan RTUP di Provinsi DI

Yogyakarta tahun 2013. Oleh karena itu,sebaiknya pemerintah melakukan upaya untuk menanggulangi

kemiskinan dengan meningkatkan akses pendidikan pada rumah tangga usaha pertanian. Upaya

Page 29: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 15

pengentasan kemiskinan ini dapat dilakukan melalui pemberian kemudahan akses untuk sekolah pada RTUP,

meningkatkan akses pendidikan yang berorientasi untuk meningkatkan skill serta atau melalui pemberian

pelatihan pada RTUP di Provinsi DI Yogyakarta.

DAFTAR PUSTAKA

Agresti, A. (2002). Categorical Data Analysis Second Edition. New Jersey: John Wiley & Sons. p:182-186. Aisyarani, Ony.(2016). Analisis Faktor- Faktor yang Memengaruhi Status Kemiskinan Multidimensi Rumah

Tangga Usaha Pertaian (RTUP) di Indonesia. Program Pascasarjana Kajian Kependudukan dan Ketenagakerjaan Universitas Indonesia. p: 31,52-53.

Alkire, S., & Santos, M. E. (2010). Acute multidimensional poverty: A new index for developing countries. p: 19-20

Badan Pusat Statistik (BPS). (2014). Analisis sosial ekonomi petani di indonesia: hasil survei pendapatan rumah tangga usaha pertanian, sensus pertanian 2013. BPS: Jakarta-Indonesia. Ustama, D. D. (2009). Peranan pendidikan dalam pengentasan kemiskinan. Jurnal Ilmu Administrasi dan

Kebijakan Publik, 6(1), 1-12. Dwiandana Putri, A., & Setiawina, D. (2013). Pengaruh umur, pendidikan, pekerjaan terhadap pendapatan

rumah tangga miskin di Desa Bebandem. E-Jurnal Ekonomi Pembangunan Universitas Udayana, 2(4).

Paul,P.,Pennell,M.L., dan Lemeshow,S.(2012).Standardizing The Power of The Hosmer-Lemeshow Goodness of Fit Test in Large Data Sets. John Wiley &Sons, Statistic in Medicine.p:9

Pramana,S.,Yordani,R.,Kurniawan,R.,dan Yuniarto,B.(2017).Dasar-Dasar Statistika Dengan Software R Konsep dan Aplikasi Edisi Kedua.Bogor:in media.p:167-176

Sakiko Fukuda-Parr.(2006). Poverty in Focus. UNDP International Poverty Centre (IPC).p:7 Satriawan, B., & Oktavianti, H. (2012). Upaya Pengentasan Kemiskinan pada Petani Menggunakan Model

Tindakan Kolektif Kelembagaan Pertanian.p:1 Suryawati, C. (2005). Memahami kemiskinan secara multidimensional. Jurnal Manajemen Pelayanan

Kesehatan, 8(03).p: 123 Wibowo, Agung.(2018). Statistik Kemiskinan Daerah Istimewa Yogyakarta 2018. Badan Pusat Statistik (BPS)

D.I. Yogyakarta.p: 38-39 Yulianto, T. (2005). Fenomena Program-Program Pengentasan Kemiskinan Di Kabupaten Klaten (Studi Kasus

Desa Jotangan Kecamatan Bayat) (Doctoral dissertation, Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro). p: 15

Page 30: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

16 |

KETERKAITAN KEANGGOTAAN KERJASAMA ANTAR DAERAH (SEKRETARIAT BERSAMA)

DAN SARANA PRODUKSI PADI TERHADAP KETERSEDIAAN PANGAN RUMAH TANGGA

USAHA PERTANIAN D.I. YOGYAKARTA

Sri Maya Juliani Hasibuan1, Robert Kurniawan2

1Jurusan Statistika Sosial dan Kependudukan, Politeknik Statistika STIS 2Jurusan Komputasi Statistik, Politeknik Statistika STIS

Corresponding author:[email protected], [email protected]

Abstrak. Sebagian besar provinsi Indonesia memiliki kekayaan sumber daya alam dibidang pertanian terutama padi. Pertanian padi banyak di temukan di berbagai daerah Indonesia, salah satunya Daerah Istimewa Yogyakarta. Perlu untuk diketahui bahwa, menjadi salah satu daerah penghasil tanaman padi tidak menjamin kesejahteraan akan ketersediaan pangan petaninya. Bidang Pertanian membutuhkan kebijakan yang tepat pemerintah untuk meningkatkan produktifitasnya guna meningkatkan persediaan pangan petani dan oleh karena itu analisis data yang tepat perlu dilakukan untuk menganalisis ketersediaan pangan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan keikutsertaan suatu daerah dalam sekretariat bersama dan sarana produksi terhadap ketersediaan pangan di Daerah Istimewa Yogyakarta. Uji yang digunakan adalah Regresi Logistik Biner. Sampel yang digunakan adalah seluruh rumah tangga usaha pertanian di Daerah Istimewa Yogyakarta yang didapat dari data Survei Pendapatan Rumah Tangga Usaha Pertanian di Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 2014. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa rumah tangga usaha tani yang tinggal di kota/kabupaten yang ikut menjadi anggota sekretariat bersama dan sarana produksi pertanian masing-masing mempengaruhi ketersediaan pangan.

Kata kunci : Ketersediaan Pangan, Regresi Logistik Biner

PENDAHULUAN

Tanaman pangan yang banyak diusahakan oleh rumah tangga petani adalah padi. Meskipun

demikian, negara Indonesia masih erat dengan permasalahan ketahanan pangannya, dimana masih terdapat

beberapa wilayah yang mengalami kekurangan pangan (ketersediaan pangan tidak mencukupi). Undang-

undang No.7 Tahun 1996 tentang Pangan, menyatakan bahwa ketahanan pangan adalah kondisi

terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah

maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau. Komoditi tanaman pangan memiliki peranan penting sebagai

pemenuh berbagai kebutuhan terutama pangan yang dimana setiap tahunnya cenderung meningkat seiring

dengan pertambahan jumlah penduduk dan perkembangan industri pangan.

Kota Yogyakarta telah terintegrasi dengan sejumlah kawasan di sekitarnya, sehingga batas-batas

administrasi sudah tidak terlalu menonjol. Untuk menjaga keberlangsungan pengembangan kawasan ini,

dibentuklah sekretariat bersama Kartamantul (Yogyakarta, Sleman, dan Bantul) (Wikipedia). Sekretariat

Page 31: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 17

Bersama merupakan bentuk Kerjasama Antar Daerah di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Pembentukan

sekretariat bersama tersebut dilandaskan pada pertumbuhan cepat yang mengakibatkan kebutuhan akan

penyediaan prasarana dan sarana dalam skala yang lebih luas sehingga menuntut adanya kebutuhan untuk

pemanfaatan terhadap sumber daya yang sering melewati wilayah administrasi suatu daerah. Adanya

Kerjasama Antar Daerah mengakibatkan bermacam kebutuhan lebih dipercepat dengan pertumbuhan wilayah

yang terdapat di jalur-jalur infrastruktur pergerakan seperti jalan raya yang akan berdampak terhadap

penyediaan prasarana dan sarana yang menjalar yang berimbas pada produktivitas.

Ketersediaan pangan biasanya berhubungan dengan sarana produksi padi yang digunakan petani.

Tanpa adanya sarana produksi, beras berkualitas tidak akan dihasilkan dalam skala besar yang nantinya

berakibat pada rendahnya ketersediaan pangan. Sarana produksi yang baik biasanya digunakan dari proses

awal pembukaan lahan, budidaya, sampai dengan proses pemanenan. Pemilihan sarana produksi yang tepat

untuk mengolah lahan maupun mengolah tanaman dilihat dari fungsi, dan komponen utama unsur bagian alat.

Oleh karena itu, kedua variabel tersebut melatarbelakangi penulis untuk melakukan penelitian. Penelitian

bertujuan untuk menganalisis keterkaitan antara partisipasi suatu daerah dalam sekretariat bersama dan

sarana produksi dengan ketersediaan pangan di DI Yogyakarta. Penelitian dilakukan dengan menggunakan

regresi logistik biner.

METODOLOGI

Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder merupakan data

yang didapatkan dari mengumpulkan dokumen atau catatan yang mendukung dalam penelitian ini.

Dalam meneliti ketersediaan pangan rumah tangga usaha tani di Provinsi Daerah Istimewa

Yogyakarta dikumpulkan beberapa variabel yang bersumber dari Data Survei Pendapatan Rumah Tangga

Usaha Pertanian Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 2014. Adapun variabel yang dikumpulkan adalah sebagai

berikut

Tabel 1. Variabel-variabel Analisis Ketersediaan Pangan

Variabel Keterangan Skala Sumber

Y Ketersediaan Pangan 0 = Tidak 1 = Ya

Data SPP DIY 2014 X1

Anggota Sekretariat Bersama

0 = Bukan anggota Sekretariat Bersama 1 = Anggota Sekretariat Bersama

X2 Sarana Produksi 0 = Sulit memperoleh sarana produksi 1 = Mudah memperoleh sarana produksi

Pertumbuhan wilayah dan perkotaan di Indonesia mengalami kenaikan yang cukup cepat.

Pertumbuhan yang cepat tersebut menciptakan kebutuhan akan penyediaan prasarana dan sarana dalam

skala yang lebih luas. Disisi lain, pertumbuhan tersebut juga menuntut adanya kebutuhan untuk pemanfaatan

terhadap sumber daya yang sering melewati wilayah administrasi suatu daerah. Untuk itu diperlukan langkah

Page 32: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

18 |

kerjasama antar daerah diantara beberapa daerah yang berdekatan (Decentralization Support Facility,2011).

Salah satu daerah yang melaksanakan kerjasama antar daerah adalah Yogyakarta, Sleman, dan Bantul

(Kartamantul). Bentuk kerjasama antar daerah yang diambil adalah berupa Sekretariat Bersama dimana

bentuk kelembagaan ini lebih bersifat forum komunikasi antar daerah dalam melaksanakan pembangunan.

Pada hubungan kerjasama antar daerah kabupaten/kota di provinsi yang sama, secara formal Provinsi akan

diberi peran yang cukup berarti dalam melaksanakan pembinaan dan pengawasan kerjasama tersebut. Selain

itu, di dalam menjalankan kewenangannya, Provinsi juga menyediakan dukungan/bantuan kerjasama antar

Kabupaten/Kota dalam bidang tertentu seperti pengembangan prasarana dan sarana wilayah, penanaman

modal, industri dan perdagangan, pertanian, dan sebagainya.

Dalam dunia pertanian khususnya padi, sarana produksi juga memiliki keterkaitan penting dengan

ketersediaan pangan. Untuk melakukan usaha pertanian dibutuhkan berbagai jenis bahan dan alat yang tepat

dalam proses produksi pertanian, baik dari persiapan lahan sampai penanganan hasil tanaman pada tahap

pasca panen. Adapun sarana produksi padi dibedakan atas alat seperti alat pengolah, tanah, alat penanaman,

alat pengedali Organisme Pengganggu Tanaman (OPT); dan bahan seperti benih, pupuk, pestisida, zat

pengatur tumbuh, ameliorant.

Metode analisispenelitian ini adalah analisis deskriptif dan analisis inferensia. Analisis deskriptif digunakan

untuk memberikan gambaran data melalui data hasil pengamatan tanpa diadakan pengujian hipotesis. Analisis

ini bertujuan untuk memberikan gambaran secara umum mengenai karakteristik rumah tangga usaha

pertanian melalui sarana produksinya dan lokasi tempat tinggalnya. Analisis inferensia digunakan untuk

melihat hubungan antara variabel anggota sekretariat bersama dan sarana produksi terhadap ketersediaan

pangan. Alanisis inferensia yang digunakan adalah analisis regresi logistik biner.

Analisis regresi logistik biner

Regresi logistik biner merupakan suatu metode analisis data yang digunakan untuk mencari

hubungan antara variabel dependen (Y) yang bersifat biner atau dichotomous dengan variabel independen (X)

yang bersifat polychotomous (Hosmer dan Lemeshow, 1989).

Tahapan analisis regresi logistik biner sebagai berikut:

Uji Simultan

Pengujian ini digunakan untuk mengetahui pengaruh variabel penjelas terhadap variabel respon

secara simultan (bersamaan) di dalam model. Hipotesis yang digunakan adalah:

Ho : (Tidak ada satupun pengaruh variabel penjelas secara simultan terhadap ketersediaan

pangan)

H1 : minimal ada satu (minimal ada satu variabel penjelas berpengaruh terhadap

ketersediaan pangan)

Statistik uji : G = -2 ~ (0.05;2)

Keputusan : Tolak Ho jika Ghitung > (0.05;2) atau p-value < 0.05

Kesimpulan : Jika Ho ditolak maka dapat disimpulkan bahwa minimal ada satu variabel penjelas yang

berpengaruh secara simultan terhadap ketersediaan pangan.

Page 33: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 19

Uji Parsial

Pengujian ini digunakan untuk mengetahui pengaruh variabel penjelas terhadap variabel respon

secara parsial (sendiri-sendiri) di dalam model. Uji yang digunakan adalah uji Wald. Hipotesis yang digunakan

adalah:

Ho : (Tidak ada pengaruh variabel penjelas ke-j terhadap ketersediaan pangan)

H1 : (ada pengaruh variabel penjelas ke-j terhadap ketersediaan pangan)

Statistik uji : W = ~ (0.05;1)

Keputusan : Tolak Ho jika Whitung > (0.05;1) atau p-value < 0.05

Kesimpulan : Jika Ho ditolak maka dapat disimpulkan bahwa minimal ada pengaruh variabel penjelas yang

terhadap ketersediaan pangan.

Uji Ketepatan Model

Pengujian ini digunakan untuk menguji kesesuaian model yang dibentuk. Uji yang digunakan adalah

uji Hosmer and Lemeshow Hipotesis yang digunakan adalah:

Ho : Model fit (tidak ada perbedaan antara hasil observasi dengan hasil prediksi dari model)

H1 : Model tidak fit (ada perbedaan antara hasil observasi dengan hasil prediksi dari model)

Statistik uji : W = ~ (0.05;8)

Keputusan : Tolak Ho jika > (0.05;8) atau p-value < 0.05

Kesimpulan : Jika Ho ditolak maka dapat disimpulkan bahwa model tidak fit. Maka dari, suatu model dikatakan

fit (sesuai) apabila gagal tolak Ho. Jadi, dengan kata lain model yang digunakan sesuai dalam menjelaskan

ketersediaan pangan provinsi DIY.

Rasio Kecenderungan (odds ratio)

Penggunaan odds ratio dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui seberapa besar

kecenderungan setiap variabel penjelas terhadap variabel respon.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian menunjukkan bahwa wilayah tempat tinggal rumah tangga yang berada di

kabupaten yang berpartisipasi menjadi anggota sekretariat bersama dapat mempengaruhi ketersediaan

pangan rumah tangga usaha tani. Hal ini sejalan dengan amanat yang disepakati dalam Decentralization

Support Facility (2011) bahwa ―Provinsi menyediakan dukungan/bantuan kerjasama antar Kabupaten/Kota

dalam bidang tertentu seperti pengembangan prasarana dan sarana wilayah, penanaman modal, industri dan

perdagangan, pertanian, dan sebagainya‖. Dengan kata lain, terciptanya kerja sama antar daerah dapat

menunjang kebutuhan pertanian yang mengakibatkan peningkatan produktifitas yang berimbas tersedianya

pangan di seriap rumah tangga terjadi kerjasama antar Kabupaten/Kota dalam bidang tertentu seperti

pertanian. Namun, diketahui bahwa rumah tangga usaha pertanian Daerah Istimewa Yogyakarta sebagian

Page 34: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

20 |

besar berdomisili di wilayah yang tidak turut berpartisipasi dalam keanggotaan sekretariat bersama yang

diantaranya Yogyakarta, Sleman, Bantul.

Selain pengaruh tersebut, sarana produksi tidak kalah penting berpengaruh dalam ketersediaan

pangan. Hal ini ditegaskan pula oleh Soekartawi (1991) (dalam Endang Widowati, 2007) bahwa faktor produksi

lahan dan modal untuk membeli bibit, pupuk, obat-obatan, tenaga kerja dan aspek manajemen adalah faktor

produksi terpenting diantara faktor produksi yang lain. Di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta 93% rumah

tangga usaha pertanian tidak memiliki masalah dalam memperoleh sarana produksi. Hal ini mengindikasikan

ketersediaan pangan rumah tangga usaha pertanian didukung oleh sarana produksi yang memadai

.

Page 35: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 21

Tabel 2. Hasil estimasi parameter model logistik biner

B Wald Sig Exp(B)

AnggotaSekber ,185 5,695 ,017 1,203

SaranaProduksi ,401 8,871 ,003 1,493

Constant 1,470 125,544 ,000 4,350

Berdasarkan semua variabel independen nilai pvalue uji wald (Sig) masing-masing kurang dari alfa

(0,05), artinya masing-masing variabel mempunyai pengaruh parsial yang signifikan terhadap Ketersediaan

Pangan di dalam model. X1 atau AngotaSekber mempunyai nilai pvalue Sig Wald 0,017 < alfa 0,05 sehingga

mengakibatkan hipotesis awal ditolak dengan kata lain menjadi variabel anggota Sekretariat Bersama

memberikan pengaruh parsial yang signifikan terhadap Ketersediaan Pangan. X2 atau SaranaProduksi

mempunyai nilai Sig Wald 0,003 < 0,05 sehingga juga mengakibatkan hipotesis awal ditolak atau yang

berarti sarana produksi memberikan pengaruh parsial yang signifikan terhadap ketersediaan pangan.

Pembentukan model ini didukung oleh nilai pada Hosmer and Lemeshow Test yaitu 0.524 artinya pengujian

hipotesis dapat dilakukan sebab tidak terdapat perbedaan signifikan antara model dengan nilai observasinya

dengan kata lain model cocok. Ketepatan model penelitian ini adalah sebesar 87,3%. Selain itu, dapat

diketahui bahwa rumah tangga yang tinggal di kabupaten yang berpartisipasi dalam sekretariat bersama

(Yogyakarta, Sleman, Bantul) cenderung memiliki ketersediaan pangan 1,203 kali lebih besar dibandingkan

rumah tangga yang tinggal di kabupaten yang tidak menjadi anggota sekretariat bersama. Selain itu, rumah

tangga yang mudah memperoleh sarana produksi cenderung memiliki ketersediaan pangan1,493 kali lebih

besar dibandingkan rumah tangga yang sulit memperoleh sarana produksi.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa rumah tangga usaha pertanian yang tinggal

di kota/kabupaten yang ikut menjadi anggota Sekretariat Bersama dan sarana produksi pertanian secara

masing-masing mempengaruhi ketersediaan pangan. Adapun saran untuk pemerintah daerah adalah agar

semua kabupaten terlibat dalam kerjasama antar daerah sehingga kebutuhan akan penyediaan sarana

produksi padi dalam skala besar bahkan melewati wilayah administrasi lebih dipercepat yang nantinya

berdampak terhadap penyediaan sarana produksi yang menjalar yang berimbas pada meningkatnya

produktivitas padi sehingga terjaganya ketersediaan pangan.

DAFTAR PUSTAKA

Aziza, T. N., & A., R. (n.d.). KOMPLEKSITAS PENANGANAN PENGUATAN. FACILITY, D. S. (2011, Agustus). Google Chrome. Retrieved November 20, 2018, from

http://documents.worldbank.org/: http://documents.worldbank.org/curated/en/767131468041424166/pdf/685270ESW0P1180retariat0Bersama0KAD.pdf

Hosmer, D. W., & Lemeshow, S. (1989). Applied Logistic Regression. United States of America: Library of Congress Cataloging in Publication Data.

INDONESIA, P. R. (1996). Undang Undang No. 7 Tahun 1996. Dalam Undang-Undang Pangan. Jakarta.

Page 36: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

22 |

Lantarsih , R., Widodo, S., Darwanto, D. H., Lestari, S. B., & Paramita, S. (2011). SISTEM KETAHANAN PANGAN NASIONAL : KONTRIBUSI KETERSEDIAAN DAN KONSUMSI ENERGI SERTA OPTIMALISASI DISTRIBUSI BERAS. Analisis Kebijakan Pertanian, 9.

Sinaga, R. (2014). Google Chrome. Retrieved November 21, 2018, from https://www.academia.edu/: https://www.academia.edu/8906738/PENGENALAN_SARANA_PRODUKSI_PERTANIAN_SAPROKTAN_

Widowati, E. (2007). Analisis Ekonomi Usahatani Padi Organik Di Kabupaten Sragen. Jurnal Ilmu Ekonomi (Widowati, 2007)dan Pembangunan, 6(1).

Wikipedia. (n.d.). Google Chrome. Retrieved November 20, 2018, from https://id.wikipedia.org: https://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Yogyakarta

Widowati, E. (2007). Analisis Usaha Tani Padi Organik di Kabupaten Sragen . Jurnal Ekonomi dan Pembangunan, 6(1).

Page 37: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 23

EFISIENSI TEKNIS USAHATANI PADI SAWAH IRIGASI DI KABUPATEN HULU SUNGAI

TENGAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

Yusuf Azis1, Nuhfil Hanani2, Syafrial3, A.Wahib Muhaimin4

1Jurusan Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian, Universitas Lambung Mangkurat 2,3,4Jurusan Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya

Corresponding Author:[email protected]

Abstrak. Pemanfaatan dan pengembangan lahan sawah irigasi untuk pertanian padi terus dilakukan di Kalimantan Selatan. Namun ada kendala yang harus dihadapi, yaitu masih rendahnya produktivitas yang disebabkan oleh efisiensi teknis penggunaan input. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi padi sawah irigasi, menganalisis efisiensi teknis usahatani padi sawah irigasi dan menganalisis faktor penentu yang mempengaruhi inefisiensi teknis usahatani padi sawah irigasi. Data dikumpulkan dari hasil wawancara langsung dengan 37 petani padi dan dianalisa dengan software Frontier 4.1 untuk menjawab tujuan pertama dan kedua, serta menggunakan model Tobit dengan program Stata ver. 11 untuk menjawab tujuan ketiga.Hasil penelitian menunjukkan bahwa produksi padi dipengaruhi secara nyata oleh faktor luas tanam dan pestisida. Adapun rata-rata efisiensiteknisnya sebesar 0,8838, mendekati 1. Ketidakmampuan petani dalam mencapai produksi maksimalnya semata-mata dikarenakanoleh faktor manajerialpetanisebesar 86,29 persen,sementara 13,71 persennya disebabkanoleh faktor lainnya. Faktor penentu yang mempengaruhi inefisiensi teknis usahatani padi adalah umur petani dan pekerjaan utama.

Kata kunci: efisiensi teknis, usahatani padi, sawah irigasi, .analisis stokastik frontier

PENDAHULUAN

Kalimantan Selatan memiliki 55.116 ha sawah irigasi, dimana 47.877 ha diantaranya ditanami padi

dan sisanya 7.239 ha tidak ditanami padi. Pola pemanfaatan sawah irigasi untuk tanaman padi ini masih

didominasi oleh IP 100 (31.529 ha), sisanya IP 200 (16.266 ha) dan IP 300 (80 ha). Kabupaten yang paling

luas sawah irigasinya adalah Kabupaten Hulu Sungai Tengah, dengan luasan 25.962 ha (Dinas Pertanian

TPH KalSel, 2016).

Produktivitas padi dan indeks pertanaman yang relatif masih rendah menjadi masalah pada lahan irigasi.

Rendahnya produktivitas ini diduga berkaitan erat dengan persoalan efisiensi penggunaan input. Alokasi

penggunaan input juga diduga masih belum optimal (Kurniawan, A.Y. 2010).

Salah satu indikator dari efisiensi adalah jika sejumlah output tertentu dapat dihasilkan dengan

menggunakan sejumlah kombinasi input yang lebih sedikit. Efisiensi akan menurunkan biaya produksi. Biaya

produksi yang minimum akan membuat harga output lebih kompetitif dan pada akhirnya akan meningkatkan

daya saing (Kurniawan, A.Y. 2010).

Page 38: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

24 |

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi padisawah irigasi,

menganalisis efisiensi teknis usahatani padi sawah irigasi denganpendekatanStochastic Frontier Analysis

(SFA) dan menganalisis faktor penentu yang mempengaruhiinefisiensi teknis usahatani padi sawah irigasi.

METODOLOGI

Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Hulu Sungai Tengah, yang merupakan salah satu sentra

produksi padi sawah irigasi, dan salahsatu lumbung padi di Kalimantan Selatan. Namun, produktivitas

padinya masih jauh berada di bawah rata-rata produktivitas nasional.

Metode pengambilan sampel yang digunakan adalah multistage sampling.Pada tahap pertama

dilakukan pengambilan sampel satu kecamatan yang paling luas pengusahaan padi sawah irigasinya, yaitu

dipilih Kecamatan Batang Alai Selatan. Pada tahap kedua dilakukan pemilihan satu desa sampel yang menjadi

sentra produksi, yaitu Desa Cukan Lipai. Pada tahap ketiga dilakukan pemilihan petani sampel secara acak

sederhana, yaitu diambil 10% dari total populasi petani padi sawah irigasi, yaitu sebanyak 37 responden dari

368 orang petani padi di Desa Cukan Lipai.

Faktor-faktor yang didugasecaralangsungberpengaruhterhadapproduksi padi sawah irigasi (PD) adalahfaktor-

faktorproduksi yang digunakanpetani, meliputi luas tanam (LL), benih (BN), pupukanorganik NPK (PAO),

pestisida (PP) dan tenagakerja (TK), dengan model empirisfungsiproduksi stochastic frontierCobb-Douglas

yang dirumuskanpadapersamaan (1).

.........................(1)

Pengukuranefisiensiteknisdari produksiusahatanipadi sawah irigasi untukpetanike-iditaksirdengan persamaan

(2) (Coelli, et al, 2005).

.....................................................................................................(2)

Dimana yi adalahproduksiactualdaripengamatan, yi* adalahdugaanproduksi frontier yang

diperolehdarifungsiproduksi frontier stokastik.Efisiensiteknisuntukseorangpetaniberkisarantara 0 dan

1.Nilaiefisiensiteknistersebutberhubunganterbalikdenganefekinefisiensiteknis. Pengujian parameter stochastic

frontier danefekinefsiensiteknis dilakukandenganduatahap.Tahappertamamerupakanpendugaan parameter

denganmenggunakanmetodeOrdinary Least Squares (OLS).Tahapkeduamerupakanpendugaanseluruh

parameter serta variasi ui danvi denganmengunakanmetodeMaximum Likelihood (MLE).

Padatingkatkepercayaan 5 persendan 10persen. Persamaan (1) dan (2) diselesaikan dan selanjutnya

dianalisisdengan software Frontier 4.1

Untukmengestimasifaktorinefisiensiataufaktor-faktor yang

berpengaruhterhadaptingkatefisiensidigunakansuatu model regresitobit.Penggunaanregresitobitlebihtepat

karena nilaidarivariabletidakbebasyaituindeksefisiensidibatasi (censored) antara 0 dan 100 (Greene 1991;

Page 39: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 25

Hossain 1988) dalam Bravo-Ureta and Pinheiro (1997) danAreerat, et.al. (2012). Model untukmenghitung TE

(Technical Efficiency) masing-masingdianalisissecaraterpisah.Penaksiran parameter dalamregresi

tobitmenggunakanmetode MLE (Maximum Likelihood Estimator).

Variabelbebas yang

didugaberpengaruhterhadaptingkatefisiensiteknisdalampenelitianinimenggunakanvariablebebas yang sama.

Beberapapenelitiantara lain Bravo-Ureta and Pinheiro (1997), danKehindedanAwoyemi (2009)

jugamenggunakanvariablebebas yang samauntukmengidentifikasisumberinefisiensiteknis.

Model estimasifaktor yang berpengaruhterhadaptingkatefisiensimenggunakan model Tobit yang

disajikansebagaiberikut:

..........................................(4)

Dimana :

TE = Tingkat efisiensiteknis

UP =UmurPetani

PF = Pendidikan formal (tahun)

PL = Frekwensi ikut pelatihan/penyuluhan dalam setahun terakhir atau nonformal (kali)

PT=Pengalamanbertanipadi (tahun)

LL = Luas tanam (ha)

AT = Jumlahanggotarumahtangga (orang)

DD = variabel dummy untuk pekerjaan utama

1 = petani

0 = lainnya

Seluruh parameter untukmodel tingkatefisiensididugadenganmetodemaksimum likelihood (MLE)

menggunakan program Stata ver. 11.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Faktor yang Mempengaruhi Produksi Padi Sawah Irigasi dan Analisis Efisiensi Teknis

Kemampuan manajerial petani digambarkan sebagai tingkat efisiensi teknis.Terdapatdua

langkahestimasi untuk mengetahui besarnya nilai efisiensi teknis.Langkahtersebut adalah metode OLS dan

MLE.

Pada pendugaanOLS hanya menunjukkan gambaran tingkat produksi rata-rata. Hasil pendugaan

dengan metode OLS digunakan sebagai nilai awal dalampendugaanselanjutnyayang menggunakan metode

MLE untuk mengetahui tingkatproduksiterbaikyangdapatdicapai dari penggunaan kombinasi faktor produksi

yang ada (Coelli et al, 1998). Adapun hasil analisis fungsiproduksifrontier usahatani padi dengan

menggunakanestimasi MLE disajikan padaTabel 1.

Page 40: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

26 |

Tabel 1.Hasil Estimasi Parameter Fungsi Produksi Stochastic Frontier Usahatani padi sawah irigasidengan

menggunakan OLS dan MLE

Variabel OLS MLE

Koefisien Sd. Error T hitung Koefisien Sd. Error T hitung

Intersep 7.5095 1.6017 4.6882 6.7670 1.6190 4.1814 Luas Tanam 0.9307 0.3373 2.7590 0.7096 0.3621 *1.9598 Jumlah Benih -0.1795 0.2239 -0.8017 -0.0540 0.2118 -0.2547 JumlahPupuk Anorganik

0.0394 0.0712 0.5536 0.0101 0.0673 0.1506

Jumlah Pestisida 0.0736 0.0451 1.6311 0.0733 0.0419 *1.7504 JumlahT.Kerja 0.0234 0.2833 0.8264 0.3623 0.2960 1.2240 Sigma-squared

0.0164 0.0305 0.0140 **2.1781

Gamma

0.8629 0.2022 ***4.2668

Log likelihood 26.8117 27.9560

LR test 3.3563 * = berbeda nyata pada taraf kepercayaan 90 persen atau t label = 1. 6794 **= berbeda nyata pada taraf kepercayaan 95 persen atau t tabel = 2.014.1 ***= berbeda nyata pada taraf kepercayaan 99 persen atau t 1a1>e1 = 2.6896

Sumber : Pengolahan Data Primer, 2018

Tabel 1 menunjukkan hasil estimasi fungsi produksi Cobb-Douglas Stokastik Frontier dengan

menggunakan pendekatan MLE. Pada estimasi MLE, variabel yang berpengaruh terhadap produksi padi

sawah irigasiadalah inputluas tanam dan pestisidapada taraf kepercayaan 90%. Koefisien regresi luas tanam

sebesar 0,7096, menunjukkan apabila penggunaan luas tanam ditambahkan sebesar 1%, maka akan

menaikan produksi sebesar 0,7096%. Sedangkan koefisien regresi pestisida sebesar 0,0733, menunjukkan

apabilapenggunaan pestisida ditambahkan sebesar 1%, maka akan menaikan produksi sebesar 0,0733%.

Nilai pada Tabel 1 adalah 0,8629 dan berpengaruh nyata pada tingkatkepercayaan 99%. Dengan

demikian terdapatefekinefisiensi teknis yang mempengaruhi tingkat produksi setiappetani sehingga

mengakibatkan petani belum berproduksi secara maksimal. Nilai 0,8629menunjukkanbahwa ketidakmampuan

petani dalam mencapai produksi maksimalnya semata-mata dikarenakanoleh faktor manajerialpetanisebesar

86,29%,sementara 13,71%-nya disebabkanoleh faktor lainnya.

Nilai (sigma squared) juga merupakan indikator efisiensi teknis. Jika nilai =0 maka tidak ada

selisih antara produksi aktual petani dengan produksi potensialnya, sehingga dikatakan bahwa usahatani

efisien. Namun, apabila nilai >0, maka usahatani belum efisien.Pada Tabel 1 nilai adalah 0,0305

dengan tingkat kepercayaan 95%.Hal ini menunjukkan bahwa usahatani padi di lokasi penelitian belum

memenuhi efisiensi teknis.Dengan demikian, berdasarkan , dan dapat disimpulkan bahwa

usahatanipadi irigasi didaerahpenelitianbelum mencapai efisiensi teknis yang diharapkan.

Page 41: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 27

Tingkat efisiensi teknis padamasing-masing petani memiliki perbedaan yang sangat beragam.Rata-

rata efisiensi teknis di daerah penelitian sebesar 0,8838.Ini berarti bahwa tingkat efisiensi teknis di daerah

penelitian cukup tinggi, karena rata-rata tingkat efisiensi teknis di daerah penelitian mendekati tingkat efisiensi

yang diharapkan yaitu sebesar1. Hasil ini lebih tinggi dari temuan Bravo dan Pinheiro (1997), Tadase dan

Krishnamoorthy (1997), Daryanto (2000), Myint dan Kyi (2005), Tijani (2006), Prayoga (2010), Khai dan Yabe

(2011), Gedara et al.(2012), Khrisna HK et al.(2014) dan Rosihan A (2017), namun lebih rendah dari hasil

temuan Kurniawan (2010) dan Kusnadi et al.(2011) dan Muhaimin (2012).Hasil tersebut juga menunjukkan

bahwa kemampuan petani dalam menggunakan input minimal untuk menghasilkan tingkat output tertentu

masihtetapperlu ditingkatkan. Tingkatefisiensirata-rata tersebut menunjukkan bahwa penggunaan fisik input

produksi masih bisa dihemat, dimana petani sebaiknya menghemat input hingga 11,62persen.

Nilai efisiensi yang dimiliki oleh petani di daerah penelitian paling tinggi sebesar 0,9743 dan

paling rendah 0,6670. Distribusi tingkat efisiensi teknis usahatani di daerah penelitian menunjukkan bahwa

proporsi terbanyak adalah pada skala 0,8720 – 0,9744 sebesar 70,27%, 0,7695 – 0,8719 sebesar 18,92%,

dan TE 0,6670 – 0,7694 sebesar 10,81%.Berdasarkan tingkatan distribusi efisiensi teknis terdapat 14 petani

yang masih dibawah rata-rata tingkat efisiensi, sedangkan sisanya 23 orang berada diatas rata-rata tingkat

efisiensi. Sedangkan nilai efisiensi teknik masing-masing petani disajikan dalam Gambar 1.

Gambar 1. Nilai efisiensi teknis masing-masing petani

Analisis Faktoryang mempengaruhi Inefisiensi Teknis

Nilai TE pada pendekatanSFA mempunyai variasi nilai yang mampu dijelaskan dari perubah independentnya.

Faktor yang signifikan mempengaruhi TE adalah umur petani dan pekerjaan utama pada taraf kepercayaan

90%.

Page 42: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

28 |

Tabel 2. Faktor yang Mempengaruhi Efisiensi Teknis (TE) Usahatani

Variabel SFA

Coef. Std. Err t P>t

Intercept 0.5349646 0.17893 2.99 0.006

Umur Petani 0.0224769 0.0120728 1.86 0.072

Pendidikan Formal -0.0077478 0.0051754 -1.50 0.145

Frekwensi Penyuluhan 0.0139674 0.0153287 0.91 0.369

Pengalaman Usahatani -0.0227848 0.0120313 -1.89 0.068

Luas Tanam -0.0001066 0.0262757 -0.00 0.997

Jlh Aggt RumahTangga -0.0122163 0.0122098 -1.00 0.325

Pekerjaan Utama 0.1149642 0.0704956 1.63 0.113

Sigma Squared 0.063053 0.0075168

Log Likelihood 46.565357

LR Chi2(7) 9.31

Prob > chi2 0.2309

***= berbeda nyata pada taraf kepercayaan 90 persen atau ttabel = 1.6794

*** = berbeda nyata pada taraf kepercayaan 95 persen atau ttabel = 2.0141

*** = berbeda nyata pada taraf kepercayaan 99 persen atau ttabel = 2.6896

Umur ditemukan berpengaruh negatif terhadap inefisiensi teknis, artinya makin bertambah umurnya,

maka petani cenderung semakin efisien secara teknis. Temuan ini selaras dengan temuan Kurniawan (2010)

dan temuan Mariyah (2008). Demikian pula dengan variabel pekerjaan utama, dimana ditemukan

berpengaruh negatif terhadap inefisiensi teknis, artinya apabila petani menjadi pekerjaan utamanya, maka

petani cenderung semakin efisien secara teknis. Hal ini berbeda dengan temuan ini selaras dengan Kurniawan

dan Aurbacher (2015). Hal ini diduga bahwa usahatani padi sudah menjadi mata pencaharian utama atau

satu-satunya, sehingga petani menjadi lebih fokus dan lebih baik dalam mengelola lahan usahataninya.

KESIMPULAN

Produksi padi sawah irigasi dipengaruhi secara nyata oleh faktor luas tanam dan pestisida. Adapun

rata-rata efisiensiteknisnya sebesar 0,8838, mendekati 1. Ketidakmampuan petani dalam mencapai produksi

maksimalnya semata-mata dikarenakanoleh faktor manajerialpetanisebesar 86,29 persen,sementara 13,71

persennya disebabkanoleh faktor lainnya. Faktor penentu yang mempengaruhi inefisiensi teknis usahatani

padi adalah umur petani dan pekerjaan utama.

Page 43: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 29

DAFTAR PUSTAKA

Bravo-Ureta, B.E and A.E.Pinheiro. 1997. Technical, Allocative and Economic Efficiency in Peasant Farming: Eviden from the Dominican Republic. The Developing Economics, 35(3):48-67.

Coelli, T.J.. 1996. A Guide to Frontier Version 4.1: A Computer Program for Stochastic Frontier Production and Cost Function. Center for Efficiensy and Productivity Analysis. University of New England, Armidale.

Coelli, T.J., D.S.P.Rao and G.E.Battese. 1998. An Introduction to Efficiency and Productivity Analysis. Kluwer Academic Publisher, Boston, USA.

Coelli, T.J., D.S.P.Rao, Donnell, C.J. and G.E.Battese. 2005. An Introduction to Efficiency and Productivity Analysis. Springer Science+Business .Media Inc., 233 Spring Street, New York, NY 10013, USA.

Daryanto, H.K.S. 2000.Analysis of the Technical Efficiencies of Rice Production in West Java Province, Indonesia.A Stochastic frontier Production Function Approach.Ph.D.Thesis University of New England, Armidale.

Dinas Pertanian TPH Provinsi KalSel. 2016. Laporan Tahunan 2015. Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura KalSel. Banjarbaru

Gedara, K.Mohottala, C.Wilson, S.Pascoe, and T.Robinson. 2012. Faktors Affecting Technical Efficiency of Rice Farmers in Village Reservoir Irrigation Systems of Sri Lanka. Journal of Agricultural Economics 63(3):627-638

Kehinde, A.L. and T.T. Awoyemi. 2009. Analysis of Economic Efficiency in Sawnwood Production in Southwest Nigeria. Journal of Human Ecology, 26(3): 175183.

Khai, HV and M. Yabe. 2011. Productive Efficiency of Soybean Production in the Mekong River Delta of Vietnam p.111-126. In: Tzi-Bun Ng (ed.). Soybean- Applications and Technology. Shanghai: Intech.

Krishna HK, et al .2014. Determinants of Rice Productivity and Technical Efficiency in the Philippines. Selected Paper prepared for presentation at the Southern Agricultural EconomicsAssociation (SAEA) Annual Meeting, Dallas, TX, February 1-4, 2014.

Kurniawan, A.Y. 2010.Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Efisiensi Teknis pada Usahatani Padi Lahan Pasang Surut di Kecamatan Anjir Muara, Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan. Jurnal EPP Vol.7 No.2 2010:40-46.

Kurniawan, A.Y dan Joachim Aurbacher. 2015. Economic Efficiency of Tidal Swampland Farming in Indonesia: Local adn Transmigrant Farming Practice. A Paper presented in Conference on International Research on Food Security, Natural Resource Management and Rural Development. Organised by the Humboldt-Universitat zu Berlin and the Leibniz Centre for Agricultural Landscape Research. Berlin, Germany, September 1-18, 2015.

Kusnadi, N., N.Tinaprilla, S.H. Susilowati, dan A. Purwoto. 2011. Analisis Efisiensi Usahatani Padi di Beberapa Sentra Produksi Padi di Indonesia. Jurna Agro Ekonomi 29(1):25-48

Mariyah. 2008. Pengaruh Bantuan Pinjaman Langsung pada Masyarakat terhadap Pendapatan dan Efisiensi Usahatani Padi Sawah di Kabupaten Penajam Paser Utara Kalimantan Timur. Tesis Magister Sains. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor-Indonesia.

Muhaimin, A.K. 2012.AnaiisisEfisiensiTeknisFaktorProduksiPadi(Oryza Sativa) Organik di DesaSumberPasir, Kecamatan Pakis, Kabupaten Malang, JurnalAgrise, 12(3):193-198

Myint, T. and T. Kyi. 2005. Analysis of Technical Efficiency of Irrigated Rice Production System in Myanmar. Presented in: Conference on International Agricultural Research for Development, Stuttgart-Hohenheim, October 11-13, 2005. http:Nwww.tropentag.de. Tanggalakses, 29 Nopember 2011.

Page 44: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

30 |

Prayoga, A. 2010. Produktivitas dan Efisiensi Teknis Usahatani Padi Organik Lahan Sawah. Jurnal Agro Ekonomi 28(1):1-17.

Rosihan Asmara. 2017. EfisiensiUsahataniTanamanPangandalamUpayaPeningkatanProduksi: PendekatanFungsiProduksi Frontier Stokastikdan DEA (Disertasi). UniversitasBrawijaya, Malang.

Tadesse, B. and S. Krishnamoorthy. 1997. Technical Efficiency in Paddy Farms of Tamil Nadu: An Analysis Based on Farm Size and Ecological Zone. Journal Agricultural of Economics, 16 (1) : 185-192.

Tijani, A.A. 2006. Analysis of The Technical Efficiency of Rice Fatms in Ijesha Land of Osun State, Nigeria. Agrekon, 45 (2): 126-13.

Page 45: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 31

PERUBAHAN KESEJAHTERAAN DAN POLA KONSUMSI BERAS SEBAGAI KOMODITAS

PANGAN POKOK DI INDONESIA

Fitrotul Laili1, Ratya Anindita1, Agnes Q.P2, I Wayan.S3

1Jurusan Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya

2 Universitas Tribuana Tunggadhewi 3 Universitas Brawijaya

Corresponding author: [email protected]

Abstrak. Respon perubahan permintaan beras terhadap harga yang terjadi baik pada wilayah pedesaan maupun perkotaan menunjukkan nilai negatif yang berarti bahwa beras menrupakan komoditas pangan yang bersifat inelastis. Perubahan yang terjadi pada permintaan beras lebih kecil dibandingkan perubahan harganya. Sedangkan, pada nilai elastisitas silang menunjukkan bahwa hubungan beras dengan komoditas pangan lainnya baik di wilayah pedesaan maupun perkotaan memiliki hubungan komplementer, akan tetapi pada saat memasukkan dampak perubahan pendapatan maka hubungan yang dibentuk merupakan hubungan subtitusi, hal ini menunjukkan bahwa dampak selain harga memiliki efek yang lebih besar terhadap preferensi konsumen. Nilai elastisitas pengeluaran menunjukkan bahwa terjadinya peningkatan pengeluaran terhadap beras setiap rumah tangga berasosiasi dengan peningkatan budget share yang ditunjukkan pada nilai elastisitas pengeluaran yang memiliki tanda positif baik di pedesaan maupun di perkotaan. Selanjutnya, pada pengujian compensating variation menunjukkan bahwa besaran nilai yang perlu dikompensasi oleh konsumen komoditas pangan di pedesaan lebih besar dibandingkan pada konsumen di perkotaan untuk mengakomodasi dampak dari adanya perubahan harga komoditas pangan. Sehingga menggambarkan terjadinya perubahan tingkat kesejahteraan pada konsumen di level rumahtangga.

Kata kunci :Pola Konsumsi, Perubahan Harga, Perubahan Pendapatan, Compensating Variation

PENDAHULUAN

Perubahan perilaku konsumen dalam mengonsumsi beras menjadi gambaran respon yang diberikan

oleh konsumen akibat adanya beberapa faktor yang berubah. Konsumsi pangan selain dipengaruhi oleh

pendapatan dan harga juga dipengaruhi oleh selera, nilai sosial budaya yang berlaku di masyarakat dan gaya

hidup konsumennya. Konsumen dengan tingkat pendapatan dan tingkat pendidikan yang tinggi tentunya

memiliki gaya hidup yang berbeda. Sehingga terjadinya perubahan perilaku konsumsi pangan akan

memberikan dampak terhadap kegiatan produksi komoditas pangan. Seperti yang diketahui bahwa komoditas

pangan merupakan barang kuasi publik, yakni barang yang tidak hanya untuk pemenuhan privasi tetapi juga

untuk barang publik. Terjadinya perubahan dalam pola konsumsi pangan akan memberikan pengaruh

terhadap besaran produksi komoditas pangan yang dihasilkan dan akan mempengaruhi besaran penyerapan

tenaga kerja pada sektor pertanian, terutama komoditas pangan. Diketahuinya pola konsumsi dan estimasi

permintaan beras dan komoditas pangan lainnya (jagung, ubi kayu, ubi jalar, dan daging sapi) pada tingkat

rumah tangga akan menjadi sumber pengetahuan dan informasi tentang parameter-parameter permintaan

Page 46: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

32 |

komoditas pangan, serta informasi bagaimana pengaruh perubahan harga dan pendapatan terhadap

permintaan pangan dan tingkat kesejahteraan rumah tangga. Di sisi lain, pertumbuhan jumlah penduduk yang

pesat dan semakin menurunnya jumlah lahan pertanian yang tersedia di Indonesia menyebabkan pemenuhan

kebutuhan akan konsumsi pangan menjadi penting.

Oleh karena itu, pemanfaatan atau konsumsi pangan merupakan salah satu entry point dan sub

sistem untuk memantapkan ketahanan pangan. Dengan mengetahui pola konsumsi pangan masyarakat akan

dapat disusun kebijakan terkait dengan penyediaan pangan, baik yang berasal dari produksi dalam negeri

maupun impor. Kebijakan produksi pangan mencakup berapa volume dan jenis pangan yang mampu

diproduksi dengan memperhatikan sumberdaya lahan, air, teknologi dan sarana pendukung lainnya. Dengan

memperhatikan potensi produksi dan permintaan pangan, akan dapat ditetapkan berapa banyak dan jenis

pangan yang harus diproduksi di dalam negeri atau diimpor. Selain itu dengan mengetahui perubahan

konsumsi pangan masyarakat, juga dapat disusun kebijakan harga dan distribusi pangan agar masyarakat

dapat menjangkau pangan yang tersedia.

METODOLOGI

Model Almost Ideal Demand System (AIDS)

Model matematika yang akan digunakan adalah aproksimasi linier dari model AIDS (LA/AIDS,

Linier Approximation/Almost Ideal Demand System), yaitu:

Keterangan :

Wi : Proporsi pengeluaran pangan ke-1 terhadap total pengeluaran pangan (i = 1,2,3,....6)

pj : Harga dari komoditi pangan ke-j (j = 1,2,3,...,6)

x : Total pengeluaran pangan rumah tangga

p* : Indeks stone

a : Parameter untuk intersep

b : Parameter untuk pengeluaran

c : Parameter untuk harga

µi : Error term (i = 1,2,3,...,6)

yang mana 1 = beras, 2 = jagung basah, 3 = jagung kering, 4 = ubi kayu, 5 = ubi jalar, 6 = daging sapi masing-

masing untuk nasional, wilayah (desa,kota).

Untuk menjamin agar asumsi maksimisasi kepuasan tidak dilanggar, maka terdapat tiga restriksi

yang harus dimasukkan ke dalam model, yaitu :

1. Adding-up

, , , memungkinkan share pengeluaran = satu.

2. Simetri

Cij = Cji, menunjukkan konsistensi dari pilihan konsumen.

3. Homogenitas

Page 47: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 33

, yang didasarkan pada asumsi bahwa perubahan proporsional dalam seluruh harga dan

pengeluaran tidak mempengaruhi jumlah barang yang dibeli.

Perhitungan Nilai Elastisitas

Perhitungan elastisitas dalam penelitian ini sama seperti yang dilakukan oleh Jung dan Koo (2002)

menggunakan rumus sebagai berikut :

a. Elastisitas Marshallian (uncompensated elasticity), didalamnya mengandung efek harga dan pendapatan;

...........................................................elastisitas harga

.......................................................................elastisitas pengeluaran

b. Elastisitas Hicksian (compensated elasticity), hanya mengandung efek harga, dapat dihitung dari

elastisitas Marshallian;

dimana = 1 untuk i = j dan = 0 jika

sebaliknya, wi adalah rata-rata budget share, sedangkan βi dan adalah parameter estimasi.

Pengukuran Kesejahteraan Masyarakat

Deaton dan Meullbauer (1980) menjelaskan untuk mengukur kesejahteraan dalam model AIDS,

maka persamaan CV di atas merupakan dasar untuk menghitung perubahan kesejahteraan akibat adanya

perubahan harga. Berdasarkan Friedman dan Levinson (2002), model persamaan kesejahteraan (1) dapat

diturunkan melalui second order Taylor expansion dari fungsi pengeluaran minimum, menjadi:

jiijijiii ppwpwc lnln2

1lnln 111

ipln = 1lnln tt pp

CV akan bernilai positif apabila terjadi kerugian akibat kenaikan harga dan bernilai negatif apabila

terjadi perbaikan kesejahteraan ketika terjadi perubahan harga.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel 1 dan 2 menunjukkan parameter estimasi permintaan komoditas pangan di Indonesia tahun

2015 dan 2016. Estimasi dilakukan dengan menambahkan restriksi berupa homogeneity dan symmetry,

sedangkan syarat restriksi adding-up akan secara otomatis dipenuhi.

Page 48: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

34 |

Tabel 1.Parameter Estimates Model AIDS Demand pada Permintaan Komoditas Pangan Tahun 2015

Perdesaan

Beras

Jagung

Basah

Jagung

Kering Ubi Jalar Ubi Kayu

Daging

Sapi

Beras 0,188437

(0,0001)

0,008620

(0,1408)

0,014376

(0,1305)

0,009421

(0,0294)

0,009436

(0,0184)

-0,23029

(0,0001)

Jagung Basah 0,008620

(0,1408)

0,027869

(0,0001)

0,000012

(0,9968)

-0,00179

(0,3525)

0,0010

(0,5563)

-0,03579

(0,0001)

Jagung Kering 0,014376

(0,1305)

0,000012

(0,9968)

0,019694

(0,0012)

-0,00432

(0,0423)

0,000727

(0,7159)

-0,03049

(0,0005)

Ubi Jalar 0,009421

(0,0294)

-0,00179

(0,3525)

-0,00432

(0,0423)

0,017879

(0,0001)

-0,00075

(0,6227)

-0,02044

(0,0001)

Ubi Kayu 0,009436

(0,0184)

0,001

(0,5563)

0,000727

(0,7159)

-0,00075

(0,6227)

0,019298

(0,0001)

-0,02979

(0,0001)

Daging sapi -0,23029

(0,0001)

-0,03579

(0,0001)

-0,03049

(0,0005)

-0,02044

(0,0001)

-0,02979

(0,0001)

0,346809

(0,0001)

Pengeluaran 0,006366

(0,6519)

0,000537

(0,8359)

0,001673

(0,7313)

0,003184

(0,0811)

0,002027

(0,2353)

0,003280

(0,8110)

Perkotaan

Beras

Jagung

Basah

Jagung

Kering Ubi Jalar Ubi Kayu

Daging

Sapi

Beras 0,192539

(0,0001)

-0,03140

(0,0001)

0,001006

(0,7330)

-0,00142

(0,1372)

0,001714

(0,0057)

-0,16244

(0,0001)

Jagung Basah -0,03140

(0,0001)

0,048317

(0,0001)

0,011822

(0,0001)

-0,00151

(0,0027)

-0,00073

(0,0241)

-0,02649

(0,0001)

Jagung Kering 0,001006

(0,7330)

0,011822

(0,0001)

0,035865

(0,0001)

0,001787

(0,0131)

0,001485

(0,0014)

-0,05196

(0,0001)

Ubi Jalar -0,00142

(0,1372)

-0,00151

(0,0027)

0,001787

(0,0131)

0,023844

(0,0001)

0,000398

(0,2639)

-0,02310

(0,0001)

Ubi Kayu 0,001714

(0,0057)

-0,00073

(0,0241)

0,001485

(0,0014)

0,000398

(0,2639)

0,013120

(0,0001)

-0,01599

(0,0001)

Daging sapi -0,16244

(0,0001)

-0,02649

(0,0001)

-0,05196

(0,0001)

-0,02310

(0,0001)

-0,01599

(0,0001)

0,279987

(0,0001)

Pengeluaran 0,009721

(0,0001)

-0,00626

(0,0001)

0,001626

(0,2912)

0,000462

(0,2356)

0,000201

(0,4159)

-0,00858

(0,0018)

Sumber : Data Primer (diolah), 2018

Page 49: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 35

Tabel 2.Parameter Estimates Model AIDS Demand pada Permintaan Komoditas Pangan Tahun 2016

Perdesaan

Beras Jagung

Basah

Jagung

Kering Ubi Jalar Ubi Kayu Daging Sapi

Beras 0.00338 0.00006*** -0.00442*** 0.00460** 0.00143*** 0.00547***

Jagung Basah -0.00904*** 0.00176*** -0.00036 0.00143*** 0.00249*** 0.00292***

Jagung Kering 0.00026*** -0.00173** -0.0014*** 0.00547*** 0.00292*** 0.00475***

Ubi Jalar -0.00210 -0.0061*** 0.00299*** 0.00024 -0.00043 -0.00147

Ubi Kayu 0.01701*** 0.00053 -0.00017 -0.0052*** 0.00131*** -0.00138*

Daging sapi -0.01610*** -0.00152* 0.00225*** 0.00169 0.00038 -0.0048***

Pengeluaran 0.0002 0.00043 0.00147 0.01073*** 0.00332*** 0.00125

Perkotaan

Beras Jagung

Basah

Jagung

Kering Ubi Jalar Ubi Kayu Daging Sapi

Beras -0.00661 0.00392*** -0.00219 0.00400 0.00089 -0.01272***

Jagung Basah 0.00369 0.00050 0.00357*** -0.00498** 0.00361* 0.03555***

Jagung Kering -0.00575 -0.00281** -0.00128* 0.00552 0.00498 -0.01391***

Ubi Jalar -0.01720*** 0.00071** -0.00151 -0.00297* 0.00037 -0.00193

Ubi Kayu 0.01809*** -0.00238 0.01404*** -0.00499*** 0.01557*** -0.00366**

Daging sapi -0.03402*** 0.00126 -0.00297* 0.00037 0.00116 -0.00188

Pengeluaran 0.00078 0.00027 0.00498 0.00407*** 0.00060 0.00119

Sumber : Data Primer (diolah), 2018

Berdasarkan hasil parameter estimasi permintaan komoditas pangan menggunakan model AIDS

Demand menunjukkan bahwa keputusan dalam mengkonsumsi komoditas pangan sangat dipengaruhi oleh

harga komoditas lain dan tingkat pendapatan, baik pada tahun 2015 maupun 2016. Selain itu, tanda positif

pada parameter estimasi menunjukkan apabila terjadi kenaikan pada tingkat pendapatan masyarakat, tingkat

konsumsi komoditas pangan juga akan mengalami peningkatan. Sebaliknya, tanda negatif pada parameter

estimasi menunjukkan terjadinya penurunan jumlah permintaan komoditas pangan seiring dengan semakin

menurunnya tingkat pendapatan masyarakat.

Sistem permintaan komoditas pangan khususnya beras dapat dilihat dari besaran nilai elastisitas

harga, cross-elasticities, dan elastisitas pengeluaran, karena elastisitas dapat menunjukkan respon

rumahrangga atau konsumen terhadap perubahan yang memberikan dampak nyata terhadap perubahan

keputusan konsumen, seperti tingkat pendapatan, harga komoditas, selera, dan lain sebagainya (Utari, 1996).

Hasil elastisitas harga pada permintaan komoditas pangan tahun 2015 dan 2016 ditunjukkan pada Tabel 3

dan 4.

Page 50: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

36 |

Tabel 3.Elastisitas Harga pada Permintaan Komoditas Pangan Tahun 2015

Perdesaan

Beras Jagung Basah Jagung Kering Ubi Jalar Ubi Kayu

Daging

Sapi

Marshallian -0.6892 -0.7254 -0.6928 -0.9442 -0.9444 -0.9193

Hicksian -0.4744 -0.6828 -0.6359 -0.8606 -0.8999 -0.8584

Perkotaan

Beras Jagung Basah Jagung Kering Ubi Jalar Ubi Kayu Daging

Sapi

Marshallian -0.4750 -0.7147 -0.6910 -0.8337 -0.9477 -0.7900

Hicksian -0.3641 -0.6772 -0.6400 -0.7483 -0.8644 -0.6938

Sumber : Data Primer (diolah), 2018

Tabel 4. Elastisitas Harga pada Permintaan Komoditas Pangan Tahun 2016

Perdesaan

Beras

Jagung

Basah Jagung Kering Ubi Jalar Ubi Kayu Daging Sapi

Marshallian -0.7033 -0.9701 -0.7325 -0.8038 -0.9699 -0.8972

Hicksian -0.5719 -0.9071 -0.6649 -0.7334 -0.9210 -0.8411

Perkotaan

Beras

Jagung

Basah Jagung Kering Ubi Jalar Ubi Kayu Daging Sapi

Marshallian -0.3673 -0.8395 -0.6660 -0.7753 -0.7907 -0.8697

Hicksian -0.2811 -0.8197 -0.6213 -0.7049 -0.9891 -0.8159

Nilai elastisitas harga pada permintaan komoditas pangan tahun 2015 dan 2016 menunjukkan

bahwa baik di wilayah pedesaan maupun perkotaan, memiliki nilai negatif yang berarti bahwa komoditas

pangan memiliki sifat yang inelastis. Perubahan yang terjadi pada permintaan terhadap komoditas pangan

lebih kecil dibandingkan perubahan harga pada komoditas pangan tersebut, yang mana bahwa perubahan

permintaan komoditas pangan tidak sepenuhnya dipengaruhi oleh adanya perubahan harga. Sehingga, sifat

inelastis pada komoditas pangan menunjukkan respon rumah tangga terhadap komoditas pangan masih

tergolong rendah.

Pada nilai elastisitas silang menunjukkan bahwa hubungan antara komoditas pangan baik di

wilayah pedesaan maupun perkotaan memiliki hubungan subtitusi, akan tetapi pada saat memasukkan

dampak perubahan pendapatan untuk komoditas daging sapi memiliki hubungan yang dibentuk merupakan

hubungan komplementer, hal ini menunjukkan bahwa dampak selain harga memiliki efek yang lebih besar

terhadap preferensi konsumen. Hasil elastisitas silang pada komoditas pangan tahun 2015 dan 2016

ditunjukkan pada Tabel 5 dan 6.

Page 51: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 37

Tabel 5.Elastisitas Silang pada Permintaan Komoditas Pangan Tahun 2015

Perdesaan

Marshallian

Beras Jagung

Basah

Jagung

Kering Ubi Jalar Ubi Kayu

Daging

Sapi

Beras

0,9358 -0,5733 0,3939 0,0337 -0,0476

Jagung Basah 0,9358

-0,9549 -0,0117 -0,0010 -0,7291

Jagung Kering -0,5733 -0,0171

-0,0135 -0,0015 -0,8411

Ubi Jalar 0,3939 -0,0127 -0,0260

0,0015 -0,0111

Ubi Kayu 0,4252 -0,0010 -0,3278 0,2253

-0,4001

Daging sapi -0,2482 -0,7291 -0,0081 -0,0056 -0,0005

Hicksian

Beras Jagung

Basah

Jagung

Kering Ubi Jalar Ubi Kayu

Daging

Sapi

Beras -0,8903 -0,5333 -0,3492 -0,3228 -0,3075

Jagung Basah -0,1576 -0,9949 -0,0329 -0,3556 -0,3740

Jagung Kering -0,2049 -0,0284 -0,0311 -0,3551 -0,4859

Ubi Jalar -0,3843 -0,0328 -0,0139 -0,3551 -0,7561

Ubi Kayu -0,3969 -0,0444 -0,2879 -0,1806 -0,1379

Daging sapi -0,2308 -0,6837 -0,0318 -0,0391 -0,3561

Perkotaan

Marshallian

Beras Jagung

Basah

Jagung

Kering Ubi Jalar Ubi Kayu

Daging

Sapi

Beras

0,3179 -0,1150 0,5696 0,7972 -0,4638

Jagung Basah 0,3173

-0,1156 -0,0086 -0,0121 -0,0696

Jagung Kering -0,1150 -0,1724

-0,0018 -0,0334 -0,0145

Ubi Jalar 0,3317 -0,0047 -0,4776

0,0334 -0,1929

Ubi Kayu 0,7533 -0,0244 -0,3411 0,0170

-0,1377

Daging sapi -0,4636 -0,0696 -0,6933 -0,0346 -0,0485

Hicksian

Beras Jagung

Basah

Jagung

Kering Ubi Jalar Ubi Kayu

Daging

Sapi

Beras -0,2681 -0,0788 -0,5523 -0,7704 -0,1778

Jagung Basah -0,8604 -0,0794 -0,0086 -0,0147 -0,2164

Jagung Kering -0,6270 -0,1226 -0,0155 -0,0066 -0,2715

Ubi Jalar -0,8460 -0,0451 -0,4414 -0,0066 -0,0931

Ubi Kayu -0,7158 -0,0254 -0,3049 -0,0002 -0,1482

Page 52: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

38 |

Daging sapi -0,7141 -0,0198 -0,6572 -0,0174 -0,0217

Tabel 6.Elastisitas Silang pada Permintaan Komoditas Pangan Tahun 2016

Perdesaan

Marshallian

Beras

Jagung

Basah Jagung Kering Ubi Jalar Ubi Kayu Daging Sapi

Beras

0,0719 -0,0423 0,0005 0,0041 -0,0039

Jagung Basah -0,3485

-0,0408 -0,0786 -0,0159 -0,0667

Jagung Kering -0,2462 -0,0470

-0,0205 -0,0049 -0,0315

Ubi Jalar 0,0269 -0,0534 -0,0131

0,0005 -0,0084

Ubi Kayu 0,0766 -0,0361 -0,0178 0,0273

-0,0171

Daging sapi -0,0983 -0,0655 -0,0253 -0,0016 -0,0190

Hicksian

Beras

Jagung

Basah Jagung Kering Ubi Jalar Ubi Kayu Daging Sapi

Beras -0,0443 -0,0174 -0,0977 -0,0139 -0,0558

Jagung Basah -0,1471 -0,0340 -0,0866 -0,0656 -0,0352

Jagung Kering -0,0882 -0,0519 -0,0081 -0,0390 -0,0294

Ubi Jalar -0,3273 -0,0873 -0,0053 -0,0620 -0,1185

Ubi Kayu -0,0885 -0,1254 -0,0487 -0,1176 -0,1194

Daging sapi --0,2928 -0,0552 -0,0304 -0,1855 -0,0985

Perkotaan

Marshallian

Beras Jagung

Basah Jagung Kering Ubi Jalar Ubi Kayu Daging Sapi

Beras

0,0085 -0,0090 0,0266 0,0161 -0,0205

Jagung Basah 0,0073

-0,0626 -0,1278 -0,0235 -0,0784

Jagung Kering -0,1407 -0,0178

-0,0042 -0,0204 -0,0315

Ubi Jalar 0,1567 -0,0322 -0,0155

0,0003 -0,0339

Ubi Kayu 0,1475 -0,0191 -0,0055 0,0497

-0,0058

Daging sapi -0,0231 -0,0351 -0,0299 -0,0453 -0,0330

Hicksian

Beras Jagung

Basah Jagung Kering Ubi Jalar Ubi Kayu Daging Sapi

Beras -0,0040 -0,0030 -0,0597 -0,0658 -0,0186

Jagung Basah -0,3408 -0,0039 -0,1075 -0,1726 -0,0426

Jagung Kering -0,0150 -0,0023 -0,1065 -0,0575 -0,1086

Page 53: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 39

Perdesaan

Marshallian

Beras

Jagung

Basah Jagung Kering Ubi Jalar Ubi Kayu Daging Sapi

Ubi Jalar -0,1978 -0,0420 -0,0698 -0,0169 -0,0914

Ubi Kayu -0,3473 -0,1074 -0,0600 -0,0269 -0,0342

Daging sapi -0,1880 -0,0404 -0,0209 -0,1606 -0,0582

Sumber : Data Primer (diolah), 2018

Terjadinya perubahan hubungan antar komoditas pangan menunujukkan adanya perubahan

secara agregat pada konsumsi masyarakat terhadap komoditas pangan itu sendiri. Hal ini disebabkan karena

mulai dilakukannya diversifikasi pangan oleh masyarakat. Selain itu, perubahan dalam demografi, seperti

tingkat pendidikan, tingkat urbanisasi, dan tingkat partisipasi wanita dalam angkatan kerja karena adanya

kemajuan komunikasi dan teknologi, serta pengaruh selera konsumen. Konsumen mulai lebih memperhatikan

terkait keseimbangan pemenuhan kualitas, nutrisi, dan keindahan dalam melakukan konsumsi. sedangkan,

peningkatan partisipasi wanita pada nagkatan kerja, urbanisasi, menyebabkan konsumen memilih untuk

mengkonsumsi pada komoditas yang mudah dimasak, dan lebih praktis.

Nilai elastisitas pengeluaran pada komoditas pangan tahun 2015 dan 2016 ditunjukkan pada Tabel

7 dan Tabel 8. Nilai elastisitas menunjukkan bahwa terjadinya peningkatan pengeluaran terhadap komoditas

pangan setiap rumah tangga berasosiasi dengan peningkatan budget share yang ditunjukkan pada nilai

elastisitas masing-masing komoditas pangan yang memiliki tanda positif baik di pedesaan maupun di

perkotaan. Koefisien estimasi pada total pengeluaran rumah tangga menunjukkan bahwa peningkatan jumlah

pendapatan atau kekayaan akan merubah besaran budget share yang akan dikeluarkan oleh rumah tangga

untuk konsumsi pangan. Hal ini sejalan dengan pandangan World Bank yang menyatakan bahwa peningkatan

pendapatan rumah tangga menjadi faktor penting didalam peningkatan ketahanan pangan dan kesehatan

pada negara berkembang.

Tabel 7.Elastisitas Pengeluaran pada Permintaan Komoditas Pangan Tahun 2015

Beras Jagung Basah

Jagung

Kering Ubi Jalar Ubi Kayu Daging Sapi

Perdesaan 0,385 1,5311 1,3501 0,8537 0,8928 0,8928

Perkotaan 0,3969 1,5541 0,8699 0,9794 1,1148 1,1148

Sumber : Data Primer (diolah), 2018

Tabel 8. Elastisitas Pengeluaran pada Permintaan Komoditas Pangan Tahun 2016

Beras

Jagung

Basah

Jagung

Kering Ubi Jalar Ubi Kayu Daging Sapi

Perdesaan 0,463 1,5567 1,2608 0,7762 0,9321 0,9595

Perkotaan 0,4215 1,12 0,864 0,6939 1,0797 0,8029

Sumber : Data Primer (diolah), 2018

Page 54: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

40 |

Compensating Variation

Implikasi terhadap kesejahteraan karena adanya perubahan harga komoditas pangan ditunjukkan

pada Tabel 9. Hasil pengujian compensating variation menunjukkan bahwa besaran nilai yang perlu

dikompensasi oleh konsumen komoditas pangan di pedesaan lebih besar dibandingkan pada konsumen di

perkotaan untuk mengakomodasi dampak dari adanya perubahan harga komoditas pangan yang terjadi pada

tahun 2015 dan 2016. Konsumen komoditas pangan di pedesaan perlu mengkompensasi sebesar 21,5%

sedangkan konsumen di perkotaan hanya perlu mengkompensasi sebesar 17,7%.

Tabel 9.Compensating Variation Implied by The Price Change

Household Category First Order Effects (%) Full Effects (CV) (%)

Perdesaan 37,9 21,5

Perkotaan 29 17,7

Sumber : Data Primer (diolah), 2018

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil parameter estimasi permintaan komoditas pangan menggunakan model AIDS

Demand menunjukkan bahwa keputusan dalam mengkonsumsi komoditas pangan sangat dipengaruhi oleh

harga komoditas lain dan tingkat pendapatan, baik pada tahun 2015 maupun 2016. Nilai elastisitas harga pada

permintaan komoditas pangan tahun 2015 dan 2016 menunjukkan bahwa baik di wilayah pedesaan maupun

perkotaan, memiliki nilai negatif yang berarti bahwa komoditas pangan memiliki sifat yang inelastis. Perubahan

yang terjadi pada permintaan terhadap komoditas pangan lebih kecil dibandingkan perubahan harga pada

komoditas pangan tersebut, yang mana bahwa perubahan permintaan komoditas pangan tidak sepenuhnya

dipengaruhi oleh adanya perubahan harga. Nilai elastisitas silang menunjukkan bahwa hubungan antara

komoditas pangan baik di wilayah pedesaan maupun perkotaan sebagian besar memiliki hubungan

komplementer, hal ini menunjukkan bahwa dampak selain harga memiliki efek yang lebih besar terhadap

preferensi konsumen. Nilai elastisitas pengeluaran menunjukkan bahwa terjadinya peningkatan pengeluaran

terhadap komoditas pangan setiap rumah tangga berasosiasi dengan peningkatan budget share yang

ditunjukkan pada nilai elastisitas masing-masing komoditas pangan yang memiliki tanda positif baik di

pedesaan maupun di perkotaan.Hasil pengujian compensating variation menunjukkan bahwa besaran nilai

yang perlu dikompensasi oleh konsumen komoditas pangan di pedesaan lebih besar dibandingkan pada

konsumen di perkotaan untuk mengakomodasi dampak dari adanya perubahan harga komoditas pangan yang

terjadi pada tahun 2015 dan 2016. Konsumen komoditas pangan di pedesaan perlu mengkompensasi sebesar

21,5% sedangkan konsumen di perkotaan hanya perlu mengkompensasi sebesar 17,7%.

DAFTAR PUSTAKA

Chang, H.S, and B. Nicholas. 2001. Demand for Winw in Australia : Systems Versus Single Equation Approach. University of New England. Working Paper Series in Agricultural and Resources Economics. http://ageconsearch.umn.edu.

Page 55: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 41

Daniel, M. 2001. Pengantar Ekonomi Pertanian. Jakarta. PT. Bumi Aksara. Deaton, A. and J. Muellbauer. 1980. An Almost Ideal Demand System. American Economic Review Vol. 70 :

312 – 326. Deaton, A. and J. Muellbauer. 1980. Economics and Consumer Behavior. United State of America . Cambridge

University Press. Deaton, Angus.1990. Price Elasticities from Survey Data, Extention and Indonesian Result on Living Standard

Measuring Survey (LSMS). Working Paper No.69. Washington D. C : World Bank. Fiedman,J dan Levinson, J. 2002. Thecistributional impacts of Indonesia‘s financial crisis on household: A

―Rapid Response‖ methodology. The World Bank Economic Review, 16:397-423 Jung, J., and W.K. Won. 2000. An Econometric Analysis of Demand for Meat and Fish Products in Korea.

Agricultural Economics Report No. 439. North Dakota State University. http://ageconsearch.umn.edu Jung, J., and W.K. Won. 2002. Demand for Meat and Fish Products in Korea, Selected Paper Annual Meeting

of American Agricultural Economics Association Long Beach, California July 28-31, 2002. http://ageconsearch.umn.edu

Kementerian Pertanian RI. 2012. Road Map Diversifikasi Pangan 2010-2015. BKP-Kementan : Jakarta. Ngui, Dianah, et all. 2011. Household Energy Demand in Kenya : An Application of the Linear Approximate

Almost Ideal Demand System(LA-AIDS). Energy Policy Vol. 39 : 7084-7094. Elsevier. Pindyck, R.S., and L.R. Daniel. 1996. Microeconomics Third Edition. Prentice-Hall International, Inc. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, 2014. Peningkatan Produksi Padi Menuju 2020.

Badan Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. http://pangan.litbang.pertanian.go.id/files/padi2020.rar. Diakses tanggal 3 September 2015.

Taljaard, P.R. 2003. Econometric Estimation of The Demand for Meat in South Africa. University of the Free State. Bloemfontein. http://faculty.ksu.edu.sa.

Teklu, T and S.R. Johnson. 1998. Demand System from Cross-Sectional Data: An Application to Indonesia. Canadian Journal of Agricultural Economics 36(4) : 83 – 101.

Varian, Hall R. 1993. Intermediate Microeconomics: Modern Approach. Third Edition. w.w. Norton & Company New York, London

Page 56: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

42 |

THE IMPACT OF UNCERTAINTY SHOCKS ON THE VOLATILITY OF STRATEGIC COMMODITY

PRICES IN INDONESIA

Fitrotul Laili1, Nur Baladina2,Putri Budi S3, Wiwit Widyawati3

Jurusan Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya

Corresponding author: [email protected]

Abstrak. Volatilitas harga yang terjadi pada komoditas strategis menunjukkan bahwa jagung dan kedelai mengalami explosive volatility, sedangkan beras masuk dalam kategori low volatility. Sehingga, volatilitas harga komoditas dapat dijadikan sebagai leading indicators inflasi. Alasannya adalah, pertama, harga komoditas mampu merespon secara cepat shock yang terjadi dalam perekonomian secara umum, seperti peningkatan permintaan (aggregate demand shock). Kedua, harga komoditas juga mampu merespon terhadap non-economic shocks, seperti : banjir, tanah longsor dan bencana alam lainnya yang menghambat jalur distribusi dari komoditas tersebut. Pergerakan harga komoditas strategis akan selaras dengan perkembangan harga barang secara keseluruhan, walaupun besarannya akan berbeda. Respon harga komoditas yang cepat tersebut dapat memberikan sinyal bahwa kenaikan harga-harga barang lainnya akan menyusul sehingga tekanan inflasi meningkat. Sehingga penting untuk mengetahui tingkat volatilitas harga komoditas strategis untuk menentukan strategi perekonomian yang tepat untuk menekan laju inflasi di Indonesia. Kata kunci : Volatilitas Harga, Komoditas strategis, Pergerakan Harga

PENDAHULUAN

Perilaku harga komoditas, pendapatan usahatani, kebijakan, dan ketahanan pangan semuanya

memberikan dampak terhadap volatilitas harga komoditas pertanian (Mc Phail, 2012). Komoditas strategis

merupakan komoditas yang memiliki peran terhadap perekonomian nasional. Dari sisi produksi komoditas

strategis mengalami ketergantungan terhadap cuaca, dan stok untuk memenuhi kebutuhan pasar. Pada waktu

yang sama konsumsi akan komoditas strategis semakin meningkat. Adanya keterbatasan penawaran yang

ada di pasar menyebabkan fluktuasi harga yang cepat yang berakibat pada terjadinya volatilitas harga yang

tidak kentara.

Volatilitas harga pangan akan mempengaruhi kinerja ekonomi bukan hanya dari sisi mikro namum

juga dari sisi makro. Secara mikro, harga yang tinggi memberikan dampak negatif bagi rumah tangga dalam

pengambilan keputusan konsumsi pangan pokok (Timmer, 2011). Selain itu, terjadinya peningkatan volatilitas

pada harga komoditas strategis akan menjadi perhatian bagi produsen dan pelaku lain yang terkait dalam

rantai komoditas pangan yang berkaitan dengan pengeluaran yang akan mereka lakukan. Volatilitas harga

pangan akan memberikan dampak jangka panjang terhadap pendpatan produsen dan mengganggu kegiatan

Page 57: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 43

perdagangan komoditas serta akan membuat perencanaan produksi jangka panjang menjadi sulit karena

ketidakpastian yang terjadi akibat harga yang sulit untuk diprediksi.

Pemerintah maupun masyarakat berkepentingan terhadap harga pangan yang (relatif) stabil.

Stabilisasi harga komoditas strategis perlu dilakukan agar pembangunan ekonomi berjalan lancar dan kondusif

untuk mendukung terciptanya stabilitas sosial, politik, dan keamanan mengingat komoditas strategis memiliki

pengaruh terhadap perekonomian nasional. Harga yang stabil pada umumnya juga diinginkan oleh

masyarakat karena harga yang sangat berfluktuasi berimplikasi pada risiko dan ketidakpastian yang harus

dihadapi dalam pengambilan keputusan (Sumaryanto, 2009).

Untuk meningkatkan efektivitas kebijakan dan program stabilisasi harga komoditas strategis

dibutuhkan informasi yang lengkap mengenai perilaku harga komoditas yang bersangkutan. Cakupan

informasi tidak hanya meliputi kecenderungan ataupun arah perubahannya, tetapi juga mencakup pula

volatilitasnya. Pemahaman dan ketersediaan informasi yang lebih lengkap mengenai volatilitas harga sangat

berguna untuk merumuskan tindakan antisipasi yang lebih efektif karena konsep volatilitas berkaitan erat

dengan risiko dan ketidakpastian yang dihadapi dalam pengambilan keputusan.

METODOLOGI

1. Analisis Volatilitas Harga

a. Pengujian Stasioneritas Data

Persamaan uji stasioner dengan ADF dalam penelitian ini dapat dituliskan sebagai berikut:

ΔYPKJGt = α0 + ˠPKJGt-1 + βi PKJGt-i+1 + εt

ΔYPKBRt = α0 + ˠPKBRt-1 + βi PKBRt-i+1 + εt

ΔYPKDLt = α0 + ˠPKDLt-1 + βi PKDLt-i+1 + εt

keterangan:

ΔYPKJGt : Bentuk dari first difference harga konsumen komoditas jagung

ΔYPKBRt : Bentuk dari first difference harga konsumen komoditas padi

ΔYPKDLt : Bentuk dari first difference harga konsumen komoditas kedelai

α0 : Intersep

ˠ : Koefisien variabel yang diuji stasioneritasnya

βi : Koefisien

p : Panjang lag yang digunakan dalam model

ε : Error term

Dalam pengujian ini hipotesis yang digunakan adalah: H0 : 𝛿 = 0, artinya terdapat unit root sehingga

data bersifat tidak stasioner. Diterima H0 apabila nilai probabilitas dari ADF lebih besar dari nilai critical value

yang telah ditetapkan dalam penelitian ini (α = 5%).

b. Pengujian Ordo ARMA

Bentuk umum dari model ARMA (p,q) adalah ordo autoregressivep dan ordo moving averageq, yang

dapat dituliskan dalam persamaan umum sebagai berikut:

Xt = µ + ixt-i + εt + j εt-j

Page 58: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

44 |

Sehingga untuk penentuan ordo ARMA dalam penelitian ini menggunakan persamaan sebagai berikut:

PKJGt = µ + iPKJGt-i + εt + j εt-j

PKBRt = µ + iPKBRt-i + εt + j εt-j

PKKDt = µ + iPKKDt-i + εt + j εt-j

c. Pengujian Adanya ARCH Effect

Pengujian untuk membuktikan adanya efek ARCH ini dilakukan dengan pengujian Heteroskedastisitas.

Pengujian ini dilakukan untuk melihat bahwa nilai varians dari error tidak memiliki varians yang sama. Yang

mana asumsi yang digunakan yakni jika var(µt) = σ2 maka varians dari error bersifat konstan

(homoskedastisitas), sehingga nilai varians error akan bersifat heteroskedastisitas jika var(µt) ≠ σ2. Dalam

pengujian ini mempertimbangkan beberapa ringkasan statistik untuk menentukan adanya heteroskedastisitas

yakni salah satunya nilai kurtosis (keruncingan), apabila nilainya lebih dari tiga maka dapat diasusmsikan

sebagai gejala awal adanya heteroskedastisitas.

d. Estimasi ARCH/GARCH

Untuk mendeskripsikan seri data dengan perubahan volatilitas, model ARCH memperbolehkan varian

dari error term untuk berubah berdasarkan waktu. Engle (1982) dalam Lepetit (2011) mendefinisikan εt dari

persamaan ARMA diatas (4.4) sebagai proses autoregressive conditional heteroskedastic yang mana semua

εt berbentuk:

εt = ztσt

σt2 = ω + iε2t-i

sehingga untuk melihat adanya efek ARCH dalam penelitian ini menggunakan beberapa persamaan antara

lain:

PKJGt = β1 + β2PKJGt-1 + εt

σt2 = ω + αiε2t-i

PKBRt = β1 + β2PKBRt-1 + εt

σt2 = ω + αiε2t-i

PPDGt = β1 + β2PPDGt-1 + εt

σt2 = ω + αiε2t-i

PKKDt = β1 + β2PKKDt-1 + εt

σt2 = ω + αiε2t-i

Meskipun dalam model ARCH εtsecara serial tidak terkorelasi, tetapi conditional variancenya σt2

dapat berubah sepanjang waktu. Model ARCH(p) dianggap sebagai proses singkat yang mana nilai presidual

saat ini memberikan dampak pada variance pada masa yang akan datang.

Dengan menggunakan model GARCH (Bollerslev, 1986 dalam Lepetit, 2011), model ARMA

diasumsikan untuk error variance. Model GARCH (p,q) diwujudkan dalam bentuk yang sama seperti ARCH

kecuali persamaan variancenya yang dituliskan sebagai berikut:

σt2 = ω + iε2t-I + jσ2t-j

Jika semua koefisien βj bernilai nol, maka model GARCH (p,q) akan direduksi menjadi model ARCH

(p). model GARCH (p,q) memungkinkan seluruh residual pada waktu sebelumnya berdampak pada variance

Page 59: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 45

pada saat ini baik secara langsung atau tidak langsung melalui lagvariance. Estimasi GARCH digunakan untuk

mengidentifikasi periode volatilitas yang tinggi dan pengklasifikasian volatilitas. Jumlah αi + βjmenunjukkan

tingkat kekuatan volatilitas yang terjadi dalam seri harga. Jika jumlah αi + βj semakin mendekati satu, maka

tendensi kekuatan volatilitas lebih besar pada jangka waktu yang lebih lama (Lepetit, 2011).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Volatilitas Harga Beras di Indonesia

Pengukuran volatilitas harga beras dimulai dari pengujian stasioneritas data. Pengujian stasioneri

data dalam penelitian ini menggunakan Augmented Dickey Fuller (ADF) dan Philips-Peron (PP) seperti yang

terlihat pada Tabel 1. Hasil pengujian menunjukkan bahwa seri harga beras stasioner pada first difference.

Tabel 1. Unit Root and Stasionarity Tests

Harga Beras

Level First Difference Order of Integration I(d) ADADF PP ADF PP

-3.462678 (0.0483)

-0.250127 (0,9276)

-7.701594** (0.0000)

-7.414193** (0.0000)

I(1)

Keterangan : ADF (Augmented Dickey Fuller), PP (Philips-Peron), **menunjukkan bahwa data stasioner pada

taraf signifikansi 5%.

Untuk pengujian volatilitas harga beras dilakukan dalam beberapa tahap. Yang pertama yakni

pengujian stasioneri data, uji stasioneri seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1 bahwa seluruh seri harga

stasioner pada first differencenya. Setelah dilakukan pengujian stasioneri data tersebut, selanjutnya yakni

dilakukan analisa pergerakan harga. Sebelum menganalisa lebih lanjut perlu diketahui terlebih dahulu, apakah

model mengalami periode tenang dan bergejolak. Pada saat pengujian ini dipilih model ARIMA, ditingkat mean

terdapat model yang optimal yakni AR(1)MA(1) yang memiliki nilai optimal, seperti yang terlihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Model AR(1)MA(1) untuk Tingkat Mean

Kriteria Harga Nominal (Nominal Price)

C 8231,942 (0,0016)**

AR(1) 0,999857 (0,0000)**

MA(1) 0,357222 (0,0000)**

R-squared 0,996172 Adj. R-squared 0,996073 S.E of regression 104,9178 Durbin Watson 1,832456 SC 12,32500 AIC 12,23209

Keterangan : **menunjukkan dsignifikan terhadap taraf signifikansi 5%.

Page 60: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

46 |

Dengan melihat hasil tabel perbandingan diatas, maka dari nilai R-squared terlihat bahwa model

AR(1)MA(1) sangat baik karena memiliki nilai 0,996172, yang mana seluruh variabel independent dalam model

yang diajukan dapat menjelaskan variabel dependennya sebesar 99%. Selanjutnya dilihat dari nilai Durbin-

Watson yang memiliki nilai mendekati 2 (dua) sehingga menunjukkan tidak terjadinya autokorelasi.

Selanjutnya dilakukan pengujian heteroskedastisitas, pengujian ini dilakukan untuk melihat bahwa

nilai varians dari error tidak memiliki varians yang sama. Yang mana asumsi yang digunakan yakni jika var(µ t)

= σ2 maka varians dari error bersifat konstan (homoskedastisitas), sehingga nilai varians error akan bersifat

heteroskedastisitas jika var(µt) ≠ σ2. Pengujian ini dilakukan dengan melihat nilai F dan Obs*R-Squared.

Apabila nilai p-value dari Obs*R-Squared lebih besar dari nilai critical value (α = 5%) maka terima H0 yang

mana tidak terdapat heteroskedastisitas. Hasil pengujian heteroskedastisitas disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Uji Heteroskedastisitas Pada Harga Beras

Heteroskedasticity Test: White

Harga Beras

F-statistic 619,1055 Prob. F (14,105) 0,0000** Obs*R-squared 120,0000 Prob. Chi-Square (14) 0,0000** Scaled esplained SS 747,0825 Prob. Chi-Square (14) 0,0000**

Keterangan : **menunjukkan signifikan pada taraf signifikansi 5%.

Dari hasil pengujian heteroskedastisitas pada Tabel 3 diatas menunjukkan bahwa nilai p-value dari

Obs*R-squared dan F-statistic kurang dari taraf signifikansinya yakni 5% maka tolak H0 yang artinya bahwa

seluruh seri harga bersifat heteroskedastisitas, yakni nilai varians yang dimiliki tidak konstan sepanjang waktu.

Dengan adanya heteroskedastisitas pada setiap seri harga maka dapat dilakukan pengujian selanjutnya, yakni

pengujian adanya ARCH Effect. Hasil pengujian adanya ARCH Effect ini disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Uji ARCH Effect Pada Harga Beras

Heteroskedasticity Test: ARCH

Harga Beras

F-statistic 2146,616 Prob. F (2,117) 0,0000** Obs*R-squared 116,8165 Prob. Chi-Square (2) 0,0000**

Keterangan : **menunjukkan signifikan pada taraf signifikansi 5%.

Berdasarkan hasil pengujian yang disajikan pada Tabel 4 menunjukkan bahwa seluruh seri harga

memiliki nilai p-value untuk Obs*R-squared dan F-statistic kurang dari taraf signifikansinya yakni 5% maka

tolak H0 yang artinya seluruh seri harga memiliki ARCH Effect. Sehingga dapat dilakukan untuk pengujian

volatilitasnya dengan menggunakan estimasi ARCH/GARCH yang disajikan pada Tabel 4 berikut ini:

Tabel 4. Estimasi ARCH/GARCH Pada Harga Beras

ARCH/GARCH Estimation: ARCH(1)GARCH(1)

Harga Beras

C 3773,063 GARCH(-1) (β) -0,221601 RESID(-1)^2 (α) 1,221587 (αi + βj = 0,999986)

Yang mana hasil estimasi ARCH/GARCH diatas dapat dituliskan dalam persamaan sebagai berikut: PBRt =

3773,063 +1,221587ε2PBRt-1 - 0,221601σ2PBRt-1

(αi + βj = 0,999986)

Page 61: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 47

Jumlah koefisien ARCH dan GARCH maka hasilnya adalah 0,999986 atau lebih kecil dari 1 yang

mana hal ini mengindikasikan bahwa harga beras domestik memiliki low volatility. Sebaran temporan volatilitas

harga beras pada tingkat konsumen dapat dilihat pada Gambar 1. Tingkat volatilitas dicirikan oleh simpangan

baku bersyarat (Conditional Standard Deviation – CSD), semakin menjulang/tinggi puncak dalam grafik

menunjukkan semakin besarnya volatilitas harga pada periode tersebut.

0

400

800

1,200

1,600

2,000

2,400

2,800

3,200

2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017

Conditional standard deviation

Gambar 1. Simpangan Baku Bersyarat (Conditional Standard Deviation – CSD) Harga Beras pada Tingkat

Konsumen di Indonesia Periode Januari 2008 – Desember 2017

Volatilitas Harga Jagung di Indonesia

Pengukuran volatilitas harga jagung dimulai dari pengujian stasioneritas data. Pengujian stasioneri

data dalam penelitian ini menggunakan Augmented Dickey Fuller (ADF) dan Philips-Peron (PP) seperti yang

terlihat pada Tabel 5. Hasil pengujian menunjukkan bahwa seri harga beras stasioner pada first difference.

Tabel 5. Unit Root and Stasionarity Tests

Harga Jagung

Level First Difference Order of Integration I(d) ADADF PP ADF PP

-1.626172 (0.7769)

-1.694902 (0.7477)

-9.119926** (0.0000)

-9.097056** (0.0000)

I(1)

Keterangan : ADF (Augmented Dickey Fuller), PP (Philips-Peron), **menunjukkan bahwa data stasioner pada

taraf signifikansi 5%.

Untuk pengujian volatilitas harga jagung dilakukan dalam beberapa tahap. Yang pertama yakni

pengujian stasioneri data, uji stasioneri seperti yang ditunjukkan pada Tabel 5 bahwa seluruh seri harga

stasioner pada first differencenya. Setelah dilakukan pengujian stasioneri data tersebut, selanjutnya yakni

dilakukan analisa pergerakan harga. Sebelum menganalisa lebih lanjut perlu diketahui terlebih dahulu, apakah

Page 62: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

48 |

model mengalami periode tenang dan bergejolak. Pada saat pengujian ini dipilih model ARIMA, ditingkat mean

terdapat model yang optimal yakni AR(1)MA(1) yang memiliki nilai optimal, seperti yang terlihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Model AR(1)MA(1) untuk Tingkat Mean

Kriteria Harga Nominal (Nominal Price)

C 5061.813 (0.0015)**

AR(1) 0.998814 (0,0000)**

MA(1) 0.232503 (0.0177)**

R-squared 0.995502 Adj. R-squared 0.995385 S.E of regression 65.21421 Durbin Watson 1.880281 SC 11.37323

AIC 11.28031

Keterangan : **menunjukkan dsignifikan terhadap taraf signifikansi 5%.

Dengan melihat hasil tabel perbandingan diatas, maka dari nilai R-squared terlihat bahwa model

AR(1)MA(1) sangat baik karena memiliki nilai 0.995502, yang mana seluruh variabel independent dalam model

yang diajukan dapat menjelaskan variabel dependennya sebesar 99%. Selanjutnya dilihat dari nilai Durbin-

Watson yang memiliki nilai mendekati 2 (dua) sehingga menunjukkan tidak terjadinya autokorelasi.

Selanjutnya dilakukan pengujian heteroskedastisitas, pengujian ini dilakukan untuk melihat bahwa

nilai varians dari error tidak memiliki varians yang sama. Yang mana asumsi yang digunakan yakni jika var(µ t)

= σ2 maka varians dari error bersifat konstan (homoskedastisitas), sehingga nilai varians error akan bersifat

heteroskedastisitas jika var(µt) ≠ σ2. Pengujian ini dilakukan dengan melihat nilai F dan Obs*R-Squared.

Apabila nilai p-value dari Obs*R-Squared lebih besar dari nilai critical value (α = 5%) maka terima H0 yang

mana tidak terdapat heteroskedastisitas. Hasil pengujian heteroskedastisitas disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7. Uji Heteroskedastisitas Pada Harga Jagung

Heteroskedasticity Test: White

Harga Jagung

F-statistic 322.0417 Prob. F(4,115) 0,0000** Obs*R-squared 110.1651 Prob. Chi-Square (4) 0,0000** Scaled esplained SS 371.4750 Prob. Chi-Square (4) 0,0000**

Keterangan : **menunjukkan signifikan pada taraf signifikansi 5%.

Dari hasil pengujian heteroskedastisitas pada Tabel 7 diatas menunjukkan bahwa nilai p-value dari

Obs*R-squared dan F-statistic kurang dari taraf signifikansinya yakni 5% maka tolak H0 yang artinya bahwa

seluruh seri harga bersifat heteroskedastisitas, yakni nilai varians yang dimiliki tidak konstan sepanjang waktu.

Dengan adanya heteroskedastisitas pada setiap seri harga maka dapat dilakukan pengujian selanjutnya, yakni

pengujian adanya ARCH Effect. Hasil pengujian adanya ARCH Effect ini disajikan pada Tabel 8.

Page 63: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 49

Tabel 8. Uji ARCH Effect Pada Harga Jagung

Heteroskedasticity Test: ARCH

Harga Jagung

F-statistic 1385.974 Prob. F (2,117) 0,0000** Obs*R-squared 115.1401 Prob. Chi-Square (2) 0,0000**

Keterangan : **menunjukkan signifikan pada taraf signifikansi 5%.

Berdasarkan hasil pengujian yang disajikan pada Tabel 8 menunjukkan bahwa seluruh seri harga

memiliki nilai p-value untuk Obs*R-squared dan F-statistic kurang dari taraf signifikansinya yakni 5% maka

tolak H0 yang artinya seluruh seri harga memiliki ARCH Effect. Sehingga dapat dilakukan untuk pengujian

volatilitasnya dengan menggunakan estimasi ARCH/GARCH yang disajikan pada Tabel 9 berikut ini:

Tabel 9. Estimasi ARCH/GARCH Pada Harga Jagung

ARCH/GARCH Estimation: ARCH(1)GARCH(1)

Harga Jagung

C 1442.163 GARCH(-1) (β) -0.193157 RESID(-1)^2 (α) 1.198421 αi + βj = 1,005264

Yang mana hasil estimasi ARCH/GARCH diatas dapat dituliskan dalam persamaan sebagai berikut: PJG t =

1442,163 +1,198421ε2PJGt-1 – 0,193157σ2PJGt-1

(αi + βj = 1,005264)

Jumlah koefisien ARCH dan GARCH maka hasilnya adalah 1,005264 atau lebih besar dari 1 yang

mana hal ini mengindikasikan bahwa harga jagung domestik memiliki explosive volatility. Sebaran temporan

volatilitas harga jagung pada tingkat konsumen dapat dilihat pada Gambar 2. Tingkat volatilitas dicirikan oleh

simpangan baku bersyarat (Conditional Standard Deviation – CSD), semakin menjulang/tinggi puncak dalam

grafik menunjukkan semakin besarnya volatilitas harga pada periode tersebut.

0

500

1,000

1,500

2,000

2,500

2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017

Conditional standard deviation

Gambar 2. Simpangan Baku Bersyarat (Conditional Standard Deviation – CSD) Harga Jagung pada Tingkat

Konsumen di Indonesia Periode Januari 2008 – Desember 2017

Page 64: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

50 |

Volatilitas Harga Kedelai di Indonesia

Pengukuran volatilitas harga kedelai dimulai dari pengujian stasioneritas data. Pengujian stasioneri

data dalam penelitian ini menggunakan Augmented Dickey Fuller (ADF) dan Philips-Peron (PP) seperti yang

terlihat pada Tabel 10. Hasil pengujian menunjukkan bahwa seri harga beras stasioner pada first difference.

Tabel 10. Unit Root and Stasionarity Tests

Harga Kedelai

Level First Difference Order of Integration I(d) ADADF PP ADF PP

-1.114636 (0.9216)

-1.114636 (0.9216)

-11.44423** (0.0000)

-11.43048** (0.0000)

I(1)

Keterangan : ADF (Augmented Dickey Fuller), PP (Philips-Peron), **menunjukkan

bahwa data stasioner pada taraf signifikansi 5%.

Untuk pengujian volatilitas harga jagung dilakukan dalam beberapa tahap. Yang pertama yakni

pengujian stasioneri data, uji stasioneri seperti yang ditunjukkan pada Tabel 10 bahwa seluruh seri harga

stasioner pada first differencenya. Setelah dilakukan pengujian stasioneri data tersebut, selanjutnya yakni

dilakukan analisa pergerakan harga. Sebelum menganalisa lebih lanjut perlu diketahui terlebih dahulu, apakah

model mengalami periode tenang dan bergejolak. Pada saat pengujian ini dipilih model ARIMA, ditingkat mean

terdapat model yang optimal yakni AR(1)MA(1) yang memiliki nilai optimal, seperti yang terlihat pada Tabel 11.

Tabel 11. Model AR(1)MA(1) untuk Tingkat Mean

Kriteria Harga Nominal (Nominal Price)

C 10297.45 (0.0002)**

AR(1) 0.998963 (0,0000)**

MA(1) 0.081931 (0.4326)**

R-squared 0.996006 Adj. R-squared 0.995903 S.E of regression 118.0007 Durbin Watson 1.966693 SC 12.55780 AIC 12.46488

Keterangan : **menunjukkan dsignifikan terhadap taraf signifikansi 5%.

Dengan melihat hasil tabel perbandingan diatas, maka dari nilai R-squared terlihat bahwa model

AR(1)MA(1) sangat baik karena memiliki nilai 0.996006, yang mana seluruh variabel independent dalam model

yang diajukan dapat menjelaskan variabel dependennya sebesar 99%. Selanjutnya dilihat dari nilai Durbin-

Watson yang memiliki nilai mendekati 2 (dua) sehingga menunjukkan tidak terjadinya autokorelasi.

Page 65: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 51

Selanjutnya dilakukan pengujian heteroskedastisitas, pengujian ini dilakukan untuk melihat bahwa

nilai varians dari error tidak memiliki varians yang sama. Yang mana asumsi yang digunakan yakni jika var(µ t)

= σ2 maka varians dari error bersifat konstan (homoskedastisitas), sehingga nilai varians error akan bersifat

heteroskedastisitas jika var(µt) ≠ σ2. Pengujian ini dilakukan dengan melihat nilai F dan Obs*R-Squared.

Apabila nilai p-value dari Obs*R-Squared lebih besar dari nilai critical value (α = 5%) maka terima H0 yang

mana tidak terdapat heteroskedastisitas. Hasil pengujian heteroskedastisitas disajikan pada Tabel 12.

Tabel 12. Uji Heteroskedastisitas Pada Harga Kedelai

Heteroskedasticity Test: White

Harga Kedelai

F-statistic 179.9151 Prob. F(4,115) 0,0000** Obs*R-squared 103.4663 Prob. Chi-Square (4) 0,0000** Scaled esplained SS 477.2424 Prob. Chi-Square (4) 0,0000**

Keterangan : **menunjukkan signifikan pada taraf signifikansi 5%.

Dari hasil pengujian heteroskedastisitas pada Tabel 5.26 diatas menunjukkan bahwa nilai p-value

dari Obs*R-squared dan F-statistic kurang dari taraf signifikansinya yakni 5% maka tolak H0 yang artinya

bahwa seluruh seri harga bersifat heteroskedastisitas, yakni nilai varians yang dimiliki tidak konstan sepanjang

waktu. Dengan adanya heteroskedastisitas pada setiap seri harga maka dapat dilakukan pengujian

selanjutnya, yakni pengujian adanya ARCH Effect. Hasil pengujian adanya ARCH Effect ini disajikan pada

Tabel 13.

Tabel 13. Uji ARCH Effect Pada Harga Kedelai

Heteroskedasticity Test: ARCH

Harga Kedelai

F-statistic 1878.801 Prob. F (2,117) 0,0000** Obs*R-squared 116.3764 Prob. Chi-Square (2) 0,0000**

Keterangan : **menunjukkan signifikan pada taraf signifikansi 5%.

Berdasarkan hasil pengujian yang disajikan pada Tabel 13 menunjukkan bahwa seluruh seri harga

memiliki nilai p-value untuk Obs*R-squared dan F-statistic kurang dari taraf signifikansinya yakni 5% maka

tolak H0 yang artinya seluruh seri harga memiliki ARCH Effect. Sehingga dapat dilakukan untuk pengujian

volatilitasnya dengan menggunakan estimasi ARCH/GARCH yang disajikan pada Tabel 14 berikut ini:

Tabel 14. Estimasi ARCH/GARCH Pada Harga Kedelai

ARCH/GARCH Estimation: ARCH(1)GARCH(1)

Harga Kedelai

C 5455.421 GARCH(-1) (β) -0.046010 RESID(-1)^2 (α) 1.102370 αi + βj = 1,05636

Yang mana hasil estimasi ARCH/GARCH diatas dapat dituliskan dalam persamaan sebagai berikut: PKD t =

5455,421 +1,102370ε2PKDt-1 – 0,046010σ2PKDt-1

(αi + βj = 1,05636)

Jumlah koefisien ARCH dan GARCH maka hasilnya adalah 1,05636atau lebih besar dari 1 yang

mana hal ini mengindikasikan bahwa harga jagung domestik memiliki explosive volatility. Sebaran temporan

volatilitas harga jagung pada tingkat konsumen dapat dilihat pada Gambar 3. Tingkat volatilitas dicirikan oleh

Page 66: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

52 |

simpangan baku bersyarat (Conditional Standard Deviation – CSD), semakin menjulang/tinggi puncak dalam

grafik menunjukkan semakin besarnya volatilitas harga pada periode tersebut.

0

500

1,000

1,500

2,000

2,500

3,000

3,500

2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017

Conditional standard deviation

Gambar 3. Simpangan Baku Bersyarat (Conditional Standard Deviation – CSD) Harga Kedelai pada Tingkat

Konsumen di Indonesia Periode Januari 2008 – Desember 2017

Hubungan positif antara krisis keuangan dan volatilitas harga strategis Indonesia menyiratkan

pentingnya komoditas strategis sebagai instrumen keuangan (finansialisasi). Ketika inflasi memasuki fase

krisis, maka pasar komoditas juga akan memasuki fase krisis. Krisis keuangan dianggap lebih relevan

menciptakan volatilitas harga daripada sebuah spekulasi. Namun, ketika kegiatan spekulatif terjadi pada pasar

komoditas maka secara tidak langsung dapat terungkap adanya hubungan antara krisis keuangan dan pasar

komoditas (Braun & Tadesse, 2012 dalam Christanty, 2013). Kenaikan harga komoditas strategis mampu

menurunkan daya beli masyarakat terhadap konsumsi komoditas strategis tersebut, sehingga akan

menyebabkan rendahnya tingkat kesejahteraan di dalam masyarakat. Oleh karena itu, tingkat stabilitas harga

komoditas strategis berfungsi sebagai indikator untuk mengukur seberapa baik atau buruknya perekonomian

di suatu negara (Moshin & Zaman, 2012). Perubahan harga komoditas strategis di Indonesia merupakan salah

satu faktor dominan yang menjadi penyumbang penentuan inflasi. Dengan menelaah bahwa volatilitas inflasi

harga komoditas strategis sedemikan tinggi, maka akan menyebabkan unsur resiko dan ketidakpastian yang

relatif tinggi pula dalam perekonomian Indonesia. Pergerakan harga komoditas dapat dijadikan sebagai

leading indicators inflasi. Alasannya adalah, pertama, harga komoditas mampu merespon secara cepat shock

yang terjadi dalam perekonomian secara umum, seperti peningkatan permintaan (aggregate demand shock).

Kedua, harga komoditas juga mampu merespon terhadap non-economic shocks, seperti : banjir, tanah longsor

dan bencana alam lainnya yang menghambat jalur distribusi dari komoditas tersebut.

Pergerakan harga komoditas strategis akan selaras dengan perkembangan harga barang secara

keseluruhan, walaupun besarannya akan berbeda. Respon harga komoditas yang cepat tersebut dapat

memberikan sinyal bahwa kenaikan harga-harga barang lainnya akan menyusul sehingga tekanan inflasi

Page 67: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 53

meningkat. Sehingga penting untuk mengetahui tingkat volatilitas harga komoditas strategis untuk menentukan

strategi perekonomian yang tepat untuk menekan laju inflasi di Indonesia.

KESIMPULAN

Volatilitas harga yang terjadi pada komoditas strategis menunjukkan bahwa jagung dan kedelai mengalami explosive volatility, sedangkan beras masuk dalam kategori low volatility. Sehingga, volatilitas harga komoditas dapat dijadikan sebagai leading indicators inflasi. Alasannya adalah, pertama, harga komoditas mampu merespon secara cepat shock yang terjadi dalam perekonomian secara umum, seperti peningkatan permintaan (aggregate demand shock). Kedua, harga komoditas juga mampu merespon terhadap non-economic shocks, seperti : banjir, tanah longsor dan bencana alam lainnya yang menghambat jalur distribusi dari komoditas tersebut. Pergerakan harga komoditas strategis akan selaras dengan perkembangan harga barang secara keseluruhan, walaupun besarannya akan berbeda. Respon harga komoditas yang cepat tersebut dapat memberikan sinyal bahwa kenaikan harga-harga barang lainnya akan menyusul sehingga tekanan inflasi meningkat. Sehingga penting untuk mengetahui tingkat volatilitas harga komoditas strategis untuk menentukan strategi perekonomian yang tepat untuk menekan laju inflasi di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Balcombe K, Rapsomanikis G. 2008. Bayesian Estimation and Selection of Non-Linier Vector Error Correction Models : The Case of The Sugar-Ethanol-Oil Nexus in Brazil. American Journal of Agricultural Economics.

Balcombe K. 2010. The Nature and Determinants of Volatility in Agricultural Prices: An Empirical Study from 1962–2008. Munich Personal RePEc Archive.

Christanty, Hyldha. 2013. Pengaruh Volatilitas Harga Terhadap Inflasi di Kota Malang: Pendekatan Model ARCH/GARCH. Skripsi. Universitas Brawijaya. Malang

Deptan.2005.http://pse.litbang.deptan.go.id/ind/pdffiles/JAE%20231e.pdf. FAO . 2011. Price Volatility in Food and Agricultural Markets: Policy Responses. Hartono, Anggi. Dwijana, Djoni. Handiwidjojo Wimmie. 2012. Perbandingan Metode Single Exponential

smoothingdan Metode Exponential Smoothing Adjusted for Trend (Holt‘s Method) untuk Meramalkan Penjualan.Studi Kasus: Toko Onderdil Mobil ―Prodi, Purwodadi‖. Jurnal EKSIS Vol 05 No 01 Mei 2012: halaman 8-18

Lepetit, 2011. Price Transmission and Price Leadership in the EU Beef and Pork Meet Market. Institute for Prospective Technological Studies (IPTS), Join Research Center (JRC), European Commission; Spain.

Lepetit, 2011. Price Transmission and Price Leadership in the EU Beef and Pork Meet Market. Institute for Prospective Technological Studies (IPTS),Join Research Center (JRC), European Commission; Spain.

Mboeik RP, Rakhmindyarto. 2012. Pengaruh Kebijakan Makroekoomi terhadap Volatilitas Harga Komoditas dalam Perspektif G20.

Mc Phail, Lihong Lu, et all. 2012. Disentangling Corn Price Volatility: The Role Of Global Demand, Speculation, and Energy. Journal of Agricultural and Apllied Economics,44,3:401-410. Southern Agricultural Economics Assosiation.

Page 68: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

54 |

Mc Phail, Lihong Lu, et all. 2012. Disentangling Corn Price Volatility: The Role Of Global Demand, Speculation, and Energy. Journal of Agricultural andApllied Economics,44,3:401-410. Southern Agricultural EconomicsAssosiation.

Miguez ID, Michelena G. 2011. Commodity Price Volatility: The Case of Agricultural Products. CEI Journal: Foreign Trade and Integration.

O‘Connor, Declan and Keane, Michael. 2011. Empirical Relating to Diary Commodity Price Volatility. Department of Mathematics, Cork Institute ofTechnology. Cork. Ireland.

Sumaryanto, 2009. Analisis Volatilitas Harga Eceran Beberapa Komoditas Pangan Utama dengan Model ARCH/GARCH. Pusat Analisis SosialEkonomi dan Kebijakan Pertanian; Bogor.

Tangermann S. 2011. Policy Solutions to Agricultural Market Volatility: A Synthesis. International Centre for Trade and Sustainable Development. Issue Paper No.33.

Timmer CP. 1996. Does BULOG Stabilize Rice Prices in Indonesia? Should It Try?. Bulletin of Indonesian Economic Studies. 32(2):45-74.

Timmer CP. 2004. Food Security in Indonesia: Current Challenges and the Long Run Outlook. Working Paper No. 48. Center for Global Development.

Timmer CP. 2009. Rice Price Formation in the Short Run and the Long Run: The Role of Market Structure in Explaining Volatility. The Center for Global Development Working Paper Number 172.

Timmer CP. 2011. Managing Price Volatility: Approaches at the Global, National, and Household Levels. Stanford Symposium Series on Global Food Policy and Food Security in the 21st Century.

USDA. 2012. www.usda.gov.

Page 69: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 55

ANALISIS EFEKTIFITAS PENETAPAN KEBIJAKAN HARGA ECERAN TERTINGGI

(HET) TERHADAP STABILITAS HARGA BERAS

Yati Nuryati(1) , Muhammad Rizal Taufikurahman2)

(1)Pusat Pengkajian Perdagangan Dalam Negeri, Kementerian Perdagangan (2)Program Studi Agribisnis, Universitas Trilogi

Corresponding author: [email protected]

Abstract. Beras merupakan salah satu barang kebutuhan pokok yang memiliki karakteristik harga yang fluktuatif terutama saat musim panen, paceklik dan gadu serta menjelang hari besar keagamaan nasional (HBKN). Stabilitas harga beras sangat penting karena beras merupakan bahan makanan pokok hampir seluruh masyarakat Indonesia. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis efektifitas kebijakan HET terhadap stabilitas harga beras pasca penetapan Permendag No 57/M_DAG/PER/8/2017. Jenis data yang digunakan adalah data primer dan sekunder. Data primer berbagai faktor yang mempengaruhi pelaksanaan kebijakan HET sedangkan data sekunder menggunakan data time series periode bulanan dari tahun 2012:1-2018:8. Metode analisis yang digunakan adalah pendekatan Error Correction Model (VECM). Hasil analisis menunjukkan bahwa penetapan kebijakan harga eceran tertinggi pada beras kurang efektif, dilihat dari aspek penerbitannya belum mengantisipasi masa/musim gadu beras, Selain itu, Kebijakan HET juga kurang berpengaruh terhadap stabilitas harga di tingkat eceran karena kebijakan HET diterapkan pada kualitas beras medium dan premium dimana terdapat perbedaan harga yang cukup lebar antara medium dan premium. Rekomendasi disarankan adalah pemerintah memperhatikan kompensasi intervensi terhadap stabilisasi harga beras sebaiknya kebijakan HET ini diimplementasikan yang bertujuan menstabilisasi harga eceran beras domestik diberlakukan untuk jangka pendek. Keywords: Efektifitas, Harga Eceran Tertinggi, Stabilitas Harga, ECM

PENDAHULUAN

Beras merupakan salah satu bahan pangan pokok masyarakat Indonesia dan berperan dalam

pemenuhan hampir 90% masyarakat Indonesia dalam mengkonsumsi kebutuhan pokoknya dan pangsa

pengeluaran untuk beras terhadap total pengeluaran bahan makanan sekitar 10,7% (Susenas, 2017). Selain

konsumsi yang besar, beras memiliki karakteristik yaitu harga yang fluktuatif terutama saat musim panen,

paceklik dan gadu serta menjelang hari besar keagamaan nasional (HBKN) dan memiliki peran terhadap

perekonomian yang cukup penting karena beras berperan dalam inflasi nasional dengan bobot inflasi yang

cukup besar yaitu 3,56% yang berarti bahwa kenaikan sedikit saja pada komoditi tersebut akan memiliki

dampak yang signifikan terhadap perubahan inflasi nasional khususnya inflasi bahan makanan. Harga yang

stabil menjadi penting dalam upaya mempermudah akses masyarakat terhadap pangan dan menjaga ketahan

pangan nasional. Akanni (2013) menyatakan bahwa variabilitas harga komoditi sering menimbulkan implikasi

yang serius terhadap status ketahanan pangan rumah tangga. Volatilitas harga pangan menjadi perhatian

Page 70: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

56 |

pengambil kebijakan di negara-negara berkembang. Belakangan ini intervensi pemerintah ke pasar komoditi

pangan kembali menjadi populer (kornher dan Kalkuhl, 2013).

Stabilisasi harga sebagai salah satu peran pemerintah untuk menjaga harga bahan pangan pokok

diantaranya melalui penetapan harga. Penetapan harga yang dimaksud salah satunya yaitu Kebijakan harga

eceran tertinggi (HET). Kebijakan HET yang telah dikeluarkan oleh pemerintah melalui peraturan Menteri

Perdagangan yang tertuang dalam Permendag No 57/M_DAG/PER/8/2017 tentang harga eceran tertinggi

(HET) beras dan telah diimplementasikan sejak bulan September 2017. Target pemerintah sebagaimana yang

tercantum dalam peraturan tersebut yaitu beras kualitas medium Rp 9.450/kg dan premium Rp 12.800/kg di

wilayah produsen utama.

Pelaksanaan kebijakan HET beras dalam operasional di lapangan tidak mudah. fakta data menunjukkan

bahwa meski telah ditetapkan harga eceran tertinggi tetapi harga beras justru bergerak naik lebih tinggi dari

HET yang di tetapkan. Harga beras selama HET ditetapkan sejak September 2017 terus naik dengan

kenaikan harga sekitar 5,6% dibandingkan periode sebelum implementasi HET dengan harga rata-rata

sebesar Rp 13.148/kg menjadi Rp 13.891/kg. (BPS, 2018).

Naiknya harga beras juga sejalan dengan harga gabah yang terus naik meski tengah terjadi musim

panen raya (Maret-April 2018) sampai panen raya sudah berakhir, dan telah memasuki musim gadu pertama.

Harga gabah kering panen (GKP) masih bertahan pada level Rp 4.300/kg- Rp 4.800/kg di sentra produksi

padi di Jawa dan sumatera. Harga gabah yang tinggi juga telah mendorong harga beras ditingkat

penggilingan naik menjadi Rp 8.600/kg- Rp 9.600/kg. Di sisi yang lain, harga gabah yang terus meningkat

juga belum diikuti dengan harga pembelian pemerintah yang memadai. HPP gabah di tingkat petani masih

mengacu pada Inpres No 5 tahun 2015 yaitu sebesar Rp 3.700/kg. Fakta-fakta ini menunjukkan bahwa

apakah kenaikan harga ini merupakan dampak dari implementasi kebijakan HET? Bagaimana implementasi

kebijakan HET dalam menjaga stabilitas harga beras di tingkat eceran? Oleh karena itu, untuk menjawab

permasalahan tersebut maka perlu dikaji yang bertujuan yaitu (i) menganalisis dampak implementasi

kebijakan HET terhadap Harga Beras dan (ii) bagaimana usulan kebijakan dalam rangka menjaga stabilitas

harga beras.

METODOLOGI

Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer

meliputi data dan informasi terkait dengan permasalahan dan faktor-faktor yang dihadapai dalam pelaksanaan

kebijakan HET beras. Data sekunder yang digunakan yaitu data produksi, konsumsi, harga GKP dan GKG di

tingkat petani dan penggilingan; harga beras di tingkat konsumen, harga beras ditingkat grosir (PIBC). Data

sekunder menggunakan data time series periode bulanan mulai tahun 2012:1-2018:8. Data sekunder

bersumber dari BPS, Kementerian Perdagangan, Kementerian Pertanian, Asosiasi-Asosiasi, Bulog, Pasar

beras induk cipinang (PIBC) serta literature lainnya yang relevan.

Sumber data primer diperoleh melalui diskusi kelompok terpumpun (Focus Group Discussion/FGD) dan

melakukan survey lapangan ke petani, pedagang pengumpul, pedagang besar (grosir), pedagang eceran dan

konsumen. Pedagang besar (grosir) dilakukan di pasar beras induk cipinang dan pasar beras induk

Page 71: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 57

Karawang. Data primer digunakan untuk menangkap fenomena dilapangan yang belum tercakup di dalam

model persamaan.

Metode Analisis Data

Metode analisis data yang digunakan untuk menjawab permasalahan dan mencapai tujuan kajian ini

adalah dengan analisis kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif dilakukan dengan menggunakan analisis

deskriptif. Analisis tersebut melakukan tabulasi dan grafik silang darihasil survey dan pemetaan terkait

dengan identifikasi permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan kebijakan HET pada komoditi Beras

selama ini.

Selanjutnya, analisis untuk menganalisis efektifitas kebijakan HET terhadap stabilitas harga digunakan

dengan dua pendekatan yaitu pendekatan kualitiatif dan kuantitatif, (i) pendekatan kualitatifnya dengan

menggunakan pendekatan RIA (Regulatory Impact Assesment). Regulatory Impact Assessment (RIA)

merupakan salah satu alat yang dapat digunakan untuk mengevaluasi kebijakan regulasi secara efektif dan

efisien. (ii) Berikutnya, pendekatan kuantitatifnya dalam menganalisis efektifitas kebijakan HET terhadap

stabilisasi harga adalah dengan menggunakan Error Correction Model (ECM). Metode ECM/VECM tersebut

digunakan untuk mengukur efektivitas kebijakan HET terhadap stabilitas harga dengan menggunakan jenis

data sekunder

Menurut McKay (1998) serta Angelo dan Zapata (2000) dalam model ECM ketidakseimbangan jangka

pendek diwakili oleh error correction term (ECT), yang merupakan bentuk lag dari nilai residual pada regresi

awal. Regresi awal merupakan regresi dengan menggunakan data yang tidak statsioner, dimana nilai galat ini

sudah statsioner. Dengan demikian, model error correction akan memperoleh perubah bebas yang

memberikan pengaruh jangka panjang dan jangka pendek. Persamaan model yang digunakan untuk

menganalisis dampak kebijakan HET terhadap harga beras di tingkat eceran. Dalam penelitian ini

menggunakan metode kointegrasi yaitu metode koreksi kesalahan (Error Correction Model /ECM/VECM) yang

pertama kali diperkenalkan oleh Engel dan Granger pada tahun 1987. Secara matematik dapat dijabarkan

dengan persamaan berikut:

HBEDt = αo+α1HBEDt+ α2HBMPGt+α3STOKt+α4KURSt+ α5PRODt++ α6 KONSt+α7 HET+εt .............. (1)

dimana:

HBEDt : Harga Beras Eceran Domestic pada periode ke t

HBMPGt : Harga Beras Medium di Tingkat Penggilingan pada periode ke t

STOKt : Stok Beras Bulog pada periode ke t

KURSt : Nilai tukar Rp terhadap $US pada periode ke t

PRODt : Jumlah produksi beras (kg) pada periode ke t

KONSt : Jumlah konsumsi beras (kg) pada periode ke t

HET : Dummy Kebijakan HET

ϵt : Galat (Error Terrm)

Page 72: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

58 |

Dalam pemodelan, harga eceran gula domestik sampai dengan September 2017 merupakan harapan

harga eceran yang diwakili oleh harga eceran sebelumnya, kemudian setelah September 2017 harga eceran

yang diharapkan mengacu pada HET beras medium (asumsinya banyak yang dikonsumsi oleh masyarakat).

Selanjutnya harga impor merupakan perhitungan antara harga landed price (harga internasional) yang

dikalikan dengan nilai tukar (kurs). Sehingga dalam persamaan, harga internasional dan kurs tidak secara

langsung menjadi variabel eksogen. Selanjutnya dalam pengolahan data, variabel HPP beras maupun HPP

gabah di tingkat petani tidak dimasukkan karena selama periode analisis HPP nilainya konstan.

Sebagai mana yang telah dijelaskan oleh McKay (1998) serta Angelo dan Zapata (2000) Selanjutnya

dalam model ECM, ketidakseimbangan jangka pendek diwakili oleh error correction term yang merupakan

bentuk lag dari nilai residual pada regresi awal. ECM memanfaatkan residual/error dari hubungan jangka

panjang untuk menyeimbangkan hubungan jangka pendeknya. Oleh karena itu, persamaan dengan variabel

error term sebagai exogenous dinamakan error correction. Persamaan ECM dengan data statsioner untuk

menganalisis dampak kebijakan HET terhadap harga beras di tingkat konsumen/eceran sebagai berikut:

∆HBEDt= αo+α1∆dHBEDt+ α2∆dHBMPGt+α3∆dSTOKt+α4∆dKURSt+ α5∆dPRODt++

α6∆dKONSt+α7∆dHET+α8∆HBEDt-1+ α9ε(t-1) ................(2)

dimana:

Δd : semua variabel statsioner pada level 1

εt-1 : residual error term yang berperan sebagai exogenus variabel error correction term

Sebelum melakukan estimasi dengan menggunakan ECM/VECM, semua varaibel terlebih dahulu

dilakukan beberapa tahapan, sebagai berikut:

a. Uji Akar-Akar Unit (Unit Root Tests)

Sebuah data time series dikatakan stasioner, jika seluruh moment dari seri tersebut (rata-rata,varians dan

kovarians) konstan sepanjang waktu. Pengujian statsioneritas atau akar-akar unit pada semua variabel yang

digunakan dalam analisis runtun waktu (time series) perlu dillakukan untuk memenuhi kesahihan analisis Error

Correction Model (ECM). Artinya bahwa data yang digunakan harus bersifat statsioner. Dalam pengertian

bahwa perilaku data yang statsioner memiliki varians yang tidak terlalu besar dan mempunyai kecenderungan

untuk mendekati nilai rata-ratanya. Pengujian unit root pada semua variabel yang akan dianalisis di dasarkan

pada Augmented Dickey Fuller Test (ADF) yang perhitungannya menggunakan bantuan software komputer E-

views 9.0

Setelah melakukan uji statsioneritas (uji unit-root) dengan menggunakan Augmented Dickey Fuller test

(ADF) semua variabel yang dianalisis statsioner pada level 1. Selain uji statsioneritas, semua variabel juga

dilkaukan pengujian multikolinearitas untuk melihat terdapat ada tidaknya korelasi antar variabel. Setelah

dilakukan pengujian terhadap multikolinearitas, hasil pengujian menunjukkan bahwa semua variabel tidak

terdapat multikolinearitas yang ditunjukkan dengan nilai r kurang dari 0,75.

Page 73: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 59

b. Estimasi Model

Setelah dilakukan pengujian unit root dan multikolinearitas, selanjutnya melangkah pada tahap estimasi

model. Sesuai dengan tujuan yang telah disebutkan sebelumnya, penelitian ini untuk menganalisis dampak

penerapan HET Beras terhadap harga beras ditingkat konsumen. Estimasi dilakukan dengan beberapa

tahapan, yaitu tahapan estimaasi dengan menggunakan regresi linear serta estimasi dengan model ECM.

Dalam melakukan estimasi, model yang sudah dibangun harus memenuhi kriteria BLUE. Oleh karena itu

dilakukan uji model regresi pada model ECM ini. Estimasi model ECM dilakukan dengan bantuan perangkat

sofware komputer program Eviews 10.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Beradasarkan hasil estimasi model jangka panjang pada model kointegrasi secara signifikan pada taraf

nyata 5 persen pada selang kepercayaan sebesar 95 persen menunjukkan kebijakan penentuan atau

penetapan harga eceran tertinggi (HET) beras mempengaruhi terhadap peningkatan harga beras eceran di

tingkat domestik (HBED) sebesar 325.875 persen. Hal ini menunjukkan bahwa adanya HET beras akan

mendorong harga eceran beras di level domestic secara signifikan dalam jangka panjang. Hal ini artinya,

bahwa dalam jangka panjang, penetapan kebijakan HET beras tidak efektif dalam menciptakan stabilisasi

harga. Selain disebabkan oleh adanya variable-variabel lainnya yang mempengaruhi hal tersebut. Seperti

variable nilai tukar (KURS), harga beras medium di tingkat penggilingan (HBMPG), dan jumlah konsumsi

(KONS) dimana ketiganya secara signifikan mempengaruhi terhadap stabilisasi harga eceran beras domestic

(HBED). HBED = -9651.542 + 0.682*HBMPG + 325.875*HET + 0.489*KURS + 73.412*LOG(PROD)

sig. 0.0000 sig. 0.0033 sig. 0.0000 sig. 0.2811

- 186.271*LOG(STOK) + 6.964E10-6*KONS Fstat = 273.7547 ; adj R-square = 0.128574

Sig. 0.1575 sig. 0.0000 sig. 0.0000

Temuan ini memberikan implikasi bahwa kebijakan HET tidak efektif menstabilisasi harga eceran beras di

domestik jika hanya mengandalkan pada variabel harga beras medium di level penggilingan (HBMPG), nilai

tukar yang tidak stabil (depresiasi) (KURS), jumlah konsumsi (KONS) dalam jangka panjang. Tetapi akan

sangat efektif apabila mengandalkan stok pasokan beras (STOK). Artinya stok akan mendorong penurunan

harga beras domestic dengan signifikan pada taraf nyata 20 persen. Dengan kata lain, bahwa kebijakan HET

dalam jangka panjang akan sangat efektif melalui peningkatan jumlah stok. Artinya, dalam jangka panjang

peningkatan stok beras (STOK) akan menstimulus terhadap penurunan harga beras eceran domestic (HBED)

secara signifikan. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Rahmasuciana, at.al (2015) dengan menggunakan

data selama tahun 1993-2012 menunjukkan bahwa pengadaan beras di dalam negeri berpengaruh negatif

terhadap harga beras domestik dan signifikan. Stok yang dimaksud adalah Stabilization stock untuk menjaga

harga maksimum di pasar umum yang mana dapat dilakukan melalui pengadaan beras di dalam negeri dan

impor. Selanjutnya, dengan model jangka pendek model persamaan ECM yang telah melakukan penyesuaian

dari model jangka panjangnya melalui estimasi koefisien error term, maka model persamaan menjadi sebagai

berikut:

Page 74: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

60 |

LOG(HBED) = -15.756 + 5.435E-05*HBMPG + 0.017*HET + 0.475*LOG(KURS) –

sig. 0.0000 sig. 0.005 sig. 0.000

0.004*D(D(LOG(PROD))) - 0.028*LOG(STOK) + 0.975*LOG(KONS)

sig. 0.0416 sig. 0.0036 sig. 0.0000

+ 0.788*ECT4(-1) Fstat = 543.9173 ; adj R-square = 0.979889

sig. 0.0000 sig. 0.0000

Model ECM di atas merupakan model jangka pendek, dimana model tersebut mampu mengestimasi

terkait kebijakan HET terhadap stabilisasi volatilitas harga eceran beras domestik (HBED). Berdasarkan model

tersebut juga dapat dilihat bahwa model ECM mampu menjelaskan secara signifikan pada taraf alpa 5 persen

pada selang kepercayaan sebesar 95 persen bahwa kebijakan penentuan atau penetapan harga eceran

tertinggi (HET) beras sejak ditetapkan berpengaruh dalam meningkatkan harga beras eceran di tingkat

domestik (HBED) sebesar 0.017 persen, namun sangat kecil. Besaran tersebut menunjukkan bahwa kebijakan

HET mampu menstabilisasi harga eceran beras domestik secara signifikan. Artinya kebijakan HET dalam

jangka pendek sangat efektif menstabilisasi harga eceran beras (HBED) dan signifikan. Pelaksanaan

kebijakan HET mempunyai pengaruh positif yaitu terciptanya ketaatan para pedagang untuk mematuhi atas

harga yang sudah ditetapkan dan terpantauan arus distribusi beras sehingga dapat menjaga stabilitas harga

beras tetapi jika tidak dilakukan pengawasan dan sanksi maka implementasinya menjadi kurang efektif.

Kondisi ini juga menunjukkan bahwa adanya kebijakan HET beras sangat kecil akan meningkatkan

harga eceran beras di level domestic dalam jangka pendek. Artinya pemerintah sebaiknya menerapkan

kebijakan HET ini untuk stabilisasi harga eceran beras domestik, dan diterapkan hanya untuk periode jangka

pendek saja. Karena ternyata jangka pendek lebih efektif dibandingkan dengan jangka panjang. Selain itu,

stok beras juga akan signifikan menurunkan harga eceran beras domestik. Dengan demikian, kombinasi

kebijakan HET sebaiknya diiringi secara bersamaan diterapkan dengan peningkatan jumlah stok beras (STOK)

baik melalui pengadaan dalam negeri maupun impor. Selain disebabkan oleh adanya variable-variabel lainnya

yang mempengaruhi hal tersebut seperti variabel nilai tukar (KURS), harga beras medium di tingkat

penggilingan (HBMPG), dan jumlah konsumsi (KONS) dimana ketiganya secara signifikan mempengaruhi

terhadap stabilisasi harga eceran beras domestic (HBED). Selain variabel-variabel tersebut, menurut Busnita

(2016) dalam jangka panjang fluktuasi harga beras dipengaruhi oleh produksi padi dan perubahan iklim.

Berdasarkan jangka panjang, pelaksanaan kebijakan HET belum efektif karena masih terdapat

permasalahan seperti (i) Kebijakan HET belum menyesuaikan dengan perubahan struktur biaya dan margin

pemasaran; (ii) perbedaan harga yang terlalu jauh antara beras medium dan premium yang berdampak pada

munculnya moral hazard dalam penjualan beras di pasar dan berdampak pada penurunan volume beras

medium di tingkat penggilingan; (iii) varietas beras yang cukup banyak di setiap wilayah, serta (iv) terhadap

nilai tukar rupiah yang tidak stabil.

Model ECM tersebut di atas secara persyaratan harus memenuhi pengujian model, adapun pengujian

model ini dilakukan dengan uji liniearitas, uji heteroskedastis, uji autokorelasi, uji normalitas, dan uji

multikoliniaeritas. Secara detail terkait uji pemenuhan asumsi klasik pada model ECM tersebut sebagai berikut:

Page 75: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 61

Uji Normalitas

Uji normalitas pada model ECM ini digunakan untuk mengetahui apakah residual berdistribusi normal

atau tidak. Untuk menguji apakah distribusi data normal atau tidak dapat dilakukan dengan menggunkan uji

Jarque-Berra (uji J-B). Berdasarkan uji normalitas dapat diketahui bahwa ρ-value sebesar 0,667 > a = 5%.

Maka, dapat disimpulkan bahwa data yang digunakan dalam model ECM tersebut berdistribusi normal. Hal ini

dapat dilihat pada Lampiran 1.

Uji Multikoliniearitas

Uji multikolinearitas menilai adakah korelasi atau interkorelasi antar variabel bebas dalam model regresi.

Di atas menunjukkan bahwa nilai Centered VIF seluruh variable eksogenus kisaran pada angka adalah

1,011750-3.374272 dimana nilai tersebut kurang dari 5, maka dapat dinyatakan bahwa tidak terdapat masalah

multikolinearitas dalam model ECM yang dibangun diperlihatkan pada Lampiran 2.

Uji Heteroskedastisitas

Pada Lampiran 3, menjelaskan bahwa uji heteroskedastisitas merupakan masalah regresi yang faktor

gangguan tidak memiliki varian yang sama atau variannya tidak konstan. Hal ini akan memunculkan berbagai

permasalahan yaitu penaksir OLS yang bias, varian dari koefisien OLS akan tidak berguna. Dalam penelitian

ini akan menggunakan metode dengan uji Breusch-Pagan untuk mendeteksi ada tidaknya heteroskedastisitas

dalam model regresi. Berdasarkan hasil pengolahan data pada jangka pendek diperoleh bahwa nilai Obs* R-

squared atau hitung adalah 0,6068 lebih besar dari α = 5 %. Maka dapat disimpulkan bahwa dalam model

tidak terdapat masalah heteroskedastisitas dalam model ECM.

Uji Autokorelasi

Uji autokorelasi menunjukkan adanya korelasi antara anggota serangkaian observasi. Jika model

mempunyai korelasi, parameter yang diestimasi menjadi bias dan variasinya tidak lagi minimum dan model

menjadi tidak efisien. Dalam penelitian ini, untuk mengetahui ada tidaknya autokorelasi dalam model

digunakan uji Lagrange Multiplier (LM). Prosedur pengujian LM adalah jika nilai Obs*R-Squared lebih kecil dari

nilai tabel maka model dapat dikatakan tidak mengandung autokorelasi. Selain itu juga dapat dilihat dari nilai

probabilitas chisquares, jika nilai probabilitas lebih besar dari nilai a yang dipilih maka berarti tidak ada

masalah autokorelasi. Uji autokorelasi dengan menggunakan metode LM diperlukan lag atau kelambanan.

Lag yang dipakai dalam penelitian ini ditentukan dengan metode trial error perbandingan nilai absolut kriteria

Akaike dan Schwarz yang nilainya paling kecil. Dalam penelitian ini, peneliti memilih nilai dari kriteria Akaike

sebagai acuan utama untuk memudahkan dalam analisis. Dalam estimasi jangka pendek pada lag pertama

nilai Akaike yang diperoleh adalah sebesar 1,16, Sehingga berdasarkan metode tersebut diperoleh nilai

kriteria Akaike terkecil adalah pada lag pertama. Uji ini dijelaskan pada Lampiran 4 dimana hasil perhitungan

uji LM dalam jangka pendek diketahui nilai Akaike terkecil pada lag pertama diperoleh nilai Obs*R-squared

sebesar 1,46. Dalam hal ini ρ-value Obs*R-square 0,0899 yang lebih besar dari a = 5% maka disimpulkan

bahwa tidak terdapat autokorelasi dalam model ECM yang dibangun persamaan kajian ini.

Uji Linieritas

Uji linearitas ini dilakukan untuk menguji model ECM yang dibangun, apakah bisa memprediksi atau

tidak. Selain hal ini sangat tergantung pada tujuan dilakukannya uji regresi linear dari suatu model. Jika

tujuannya adalah untuk membentuk sebuah model yang baru dan bersifat BLUE (Best Linear Unbiased

Estimation), maka uji ini haruslah dilakukan. Berdasarkan hasil olahan pada Lampiran 5 bahwa dengan uji

Page 76: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

62 |

Linearitas dengan Eviews di atas adalah menggunakan uji Ramsey Reset Test, dimana hasilnya bisa anda

lihat pada nilai p value yang ditunjukkan pada kolom probability baris F-statistics. Hasilnya dalam tutorial ini

adalah sebesar 0,1463 dimana > 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa variabel bebas linear terhadap

variabel terikat.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil dan pembahasan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa (1) Kebijakan HET beras

kurang berpengaruh terhadap stabilitas harga di tingkat eceran karena (a) kebijakan HET diterapkan pada

kualitas beras medium dan premium, sementara beras memiliki banyak jenis varietas/merek sehingga

dilapangan masih sulit dalam pengelompokkan kualitas beras medium dan premium berdasarkan

varietas/merek, (b) ada perbedaan harga yang cukup lebar antara medium dan premium sehingga memaksa

keberlanjutan pasokan beras medium mengarah ke premium, (2) Banyak pemain beras pada saat menjual

beras tidak mengacu pada HET tetapi lebih pada permintaan pasar. (3) terhadap nilai tukar rupiah yang tidak

stabil. Faktor-faktor yang mempengaruhi harga beras eceran di tingkat konsumen adalah harga beras

medium di penggilingan, harga eceran tertinggi (HET), nilai tukar rupiah terhadap dollar US, jumlah konsumsi

beras, dan Jumlah produksi beras.

Dalam jangka panjang, ditemukan bahwa penetapan kebijakan HET beras tidak efektif dalam

menciptakan stabilisasi harga eceran beras di tingkat domestik. Selain disebabkan oleh adanya variable-

variabel lainnya yang mempengaruhi hal tersebut seperti variable nilai tukar, harga beras medium di tingkat

penggilingan, dan jumlah konsumsi dimana ketiganya secara signifikan mempengaruhi terhadap stabilisasi

harga eceran beras domestic di tingkat eceran. Kebijakan HET beras memiliki kointergrasi jangka panjang

dalam meningkatkan harga beras domestik sejak kebijakan tersebut diimplementasikan. Temuan lainnya dari

Model ECM kointegrasi, bahwa secara signifikan pada taraf alpa 5 persen pada selang kepercayaan sebesar

95 persen bahwa kebijakan penentuan atau penetapan harga eceran tertinggi (HET) beras sejak ditetapkan

berpengaruh dalam meningkatkan harga beras eceran di tingkat domestik (HBED) sebesar 0.017 persen,

sangat kecil. Besaran tersebut menunjukkan bahwa kebijakan HET mampu menstabilisasi harga eceran beras

domestik secara signifikan.

Saran kebijakan yang dapat disampaikan adalah kebijakan HET hanya dapat dilakukan untuk tujuan

jangka pendek. Jika pemeritah tetap melanjutkan kebijakan HET beras beberapa hal yang perlu diperhatikan

adalah (i) mempertimbangkan struktur biaya di tingkat petani dengan kondisi saat ini serta musim; (ii)

melakukan pengelompokkan kelas kualitas beras dari berbagai jenis varietas/merek beras yang ada ke dalam

kelompok beras medium dan premium melalui pengujian laboratorium; (iii) kebijakan HET harus didukung oleh

kondisi produksi dan stok beras aman dan mencukupi, (iv) kebijakan HET perlu disertai dengan penegakan

hukum dan sanksi yang tegas yang tertuang dalam suatu peraturan serta (v) situasi nilai tukar rupiah terhadap

dollar yang terkendali.

Page 77: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 63

DAFTAR PUSTAKA Akanni.K.A. (2013). Agricultural Price Policy, Cunsumer Demand and Implications for Household Fodd

Security in Nigeria. International Journal of Food and Agricultural Economics, Vol 2 (1), 121 – 132. Angelo, A. and Zapata, H. (2000). Further Empirical Evidence of Wheat and Barley Market Integration in the

EU. Department ofAgricultural Economics. Lousiana State University BPS. (2018). Laporan Bulanan Data Sosial Ekonomi. Badan Pusat Statistik. Jakarta Busnita, S. Silvia. (2016). The Impact Of Climate Change On Paddy Production and Rice Price In Indonesia.

Thesis. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Kornher, L & Kalkuhl, M. (2013). Food Price Volatility in developing Countries and Its Determinants. Quarterly

Journal of International Agriculture. Vol 52(4): 277-308. Diunduh tanggal 10 Juli 2018 dari http: http://ageconsearch.umn.edu/bitstream/156132/2/B4-Kornher-Food_c.pdf.

McKay, A. (1998). Aggregate Export and Food Crop Supply Response in Tanzania. DFID-TERP: Credit Discussion Paper 4 (CDPO4). University of Nottingham

Susenas. (2017). Pengeluaran Untuk Konsumsi Penduduk Indonesia Per Provinsi Hasil Susenas September 2017. Buku 3. Badan Pusat Statistik Jakarta.

Rahmasuciana, Y.Dioni; Darwanto, H.Dwidjono; dan Masyhuri. (2015). Pengaruh Pengadaan Beras dan Operasi Pasar Terhadap Harga Beras Dalam Negeri. Jurnal Agro Ekonomi. Vol. 26 (2), 129-138.

Page 78: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

64 |

FAKTOR – FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI JAGUNG DI DESA

BANYUBANG KECAMATAN SOLOKURO KABUPATEN LAMONGAN

Wiwit Widyawati(1), M. Rofiq Sa‟dullah(2) Jurusan Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya

Jalan Veteran, Malang, Indonesia Corresponding author. [email protected]

Abstrak. Penggunaan teknologi yang sama, pada musim yang sama tidak menjadi acuan bahwa petani jagung di Desa Banyubang Kecamatan Solokuro, Kabupaten Lamongan akan memperoleh hasil produksi yang sama. Selain hal tersebut jumlah produksi yang belum maksimal dan cenderung menurun juga sangat tergantung pada besar kecilnya penggunaan faktor – fator produksi. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis faktor – faktor yang berpengaruh terhadap produksi jagung di Desa Banyubang Kecamatan Solokuro Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Metode yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode Ordinary Least Square (OLS) dengan menggunakan persamaan model regresi linear berganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel luas lahan, jumlah benih, jumlah pupuk kimia nyata secara statistik berpengaruh terhadap produksi jagung sedangkan variabel jumlah pupuk organik tidak nyata secara statistik berpengaruh terhadap tingkat produksi jagung. Variabel luas lahan berpengaruh secara positif sedangkan variabel jumlah benih dan jumlah pupuk kimia berpengaruh negatif terhadap tingkat produksi jagung di Desa Banyubang. Kata Kunci : produksi, produksi jagung, faktor produksi

PENDAHULUAN

Trend peningkatan produksi jagung di Kabupaten Lamongan selama 4 tahun terakhir selama tahun 2013-

2016 menjadi salah satu latar belakang yang mendorong pemerintah Kabupaten Lamongan untuk melakukan

perbaikan usahatani dan program perluasan areal tanam dengan rata-rata peningkatan penambahan luas

areal tanam adalah sebesar 4,91% pertahun. Kabupaten Lamongan memiliki dua kecamatan dengan

penyumbang produksi terbesar, salah satunya adalah Kecamatan Solokuro. 12% produksi jagung di

Kabupaten Lamongan adalah dipasok oleh Kecamatan Solokuro.

Salah satu penyebab tingginya produksi jagung di Kecamatan Solokuro adalah luas areal tanam yang

besar jika dibandingkan dengan 26 Kecamatan lainnya di Kabupaten Lamongan (BPS, 2017). Kecamatan

Solokuro memiliki sentra produksi yang berada di Desa Banyubang. Desa Banyubang berpotensi untuk

dilakukan pengembangan usahatani jagung. Tanaman jagung mulai banyak di minati oleh petani di Desa

Banyubang karena tingginya permintaan dan pemasaran jagung yang mudah.

Page 79: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 65

Salah satu masalah yang terjadi Desa Banyubang adalah tingkat produksi jagung yang belum maksimal

dan mengalami kecenderungan penurunan. Turunnya tingkat produksi jagung sangat kontradiksi dengan

adanya ketersediaan luas areal tanam yang cukup. Hal ini mengindikasikan bahwa adanya perbedaan dalam

alokasi jumlah input produksi di tingkat petani. Hal ini ditunjukkan dengan adanya penggunaan teknologi yang

sama, pada musim yang sama dan lahan yang sama, tetapi jumlah produksi masing-masing petani

menunjukkan adanya perbedaan.

Coelli, et al (2005) menyebutkan bahwa hasil produksi yang diperoleh dipengaruhi banyak faktor

(internal), baik faktor yang dapat dikendalikan (eksternal), faktor yang tidak dapat dikendalikan, maupun faktor

yang mempengaruhi intesitas input dan harga relatifnya. Beberapa faktor penyebab perbedaan jumlah

produksi adalah adanya variasi penggunaan jumlah berbagai Faktor internal berkaitan dengan kemampuan

petani dalam mengatur pelaksanaan praktik usahatani (Sumaryanto dan Siregar 2003). Berdasarkan

permasalahan yang sudah diuraikan diatas, tujuan penelitian ini adalah menganalisis faktor – faktor yang

berpengaruh terhadap produksi jagung di Desa Banyubang Kecamatan Solokuro Kabupaten Lamongan, Jawa

Timur.

METODOLOGI

Lokasi penelitian dilakukan di Desa Banyubang, Kecamatan Solokuro Kabupaten Lamongan pada

bulan Februari 2017. Pemilihan lokasi dilakukan secara purposive dengan pertimbangan Kecamatan Solokuro

merupakan salah satu kecamatan dengan tingkat produksi tertinggi di Kabupaten Lamongan dan memiliki

potensi untuk pengembangan luasan lahan areal tanam. Responden penelitian ini ialah seluruh petani jagung

yang aktif dalam kelompok tani di Desa Banyubang. Metode yang digunakan dalam penentuan jumlah

responden adalah menggunakan metode Simpel Random Sampling. Penentuan besarnya sampel dari suatu

populasi dapat dihitung dan dipakai bersama-sama dengan rumus Slovin (Sevilla dan Consuelo dalam Riyadi,

2007) sehingga dapat ditentukan jumlah responden adalah sebesar 45 orang.

Analisis data yang digunakan untuk menduga faktor-faktor yang berpengaruh terhadap produksi jagung

pada penelitian ini adalah menggunakan model persamaan regresi berganda.

Y = f(X)…………………………………………………………………(Persamaan 1)

Y = a0X1a1 X2a2 X3a3 X4a4 e …………………………………….…. (Persamaan 2)

Persamaan 2 kemudian di estimasi menggunakan OLS sehingga persamaan 2 diuabah menjadi

persamaan linear sebagai berikut.

LnY = a0 + a1LnX1 + a2LnX2 + a3LnX3 + a4LnX 4 + e ………. (Persamaan 3)

Keterangan :

Y = produksi jagung (ton)

X1 = Luas Lahan (Ha)

X2 = Jumlah Benih yang Digunakan selama satu kali musim tanam (Kg)

X3 = Jumlah Pupuk Organik yang Digunakan selama satu kali musim tanam

(Ton)

X4 = Jumlah Pupuk Kimia yang Digunakan selama satu kali musim tanam

Page 80: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

66 |

(Ton)

e = error term

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel 1. Hasil Pendugaan Faktor – Faktor yang Berpengaruh Terhadap Produksi Jagung di Desa Banyubang

Variabel Koefisien t P>|t|

X1 1,131 13,88 0,001

X2 -0,114 -1,77 0,084

X3 0,024 0,47 0,641

X 4 -0,241 -2,55 0,015

Konstanta 2,243 11,51 0,009

Prob > F = 0,0001

R-squared = 0,90244

Berdasarkan Tabel 1, diketahui bahwa variabel luas lahan, jumlah benih, jumlah pupuk kimia, variabel

jumlah pupuk organik dan jumlah pestisida dapat menjelaskan variable produksi jagung sebesar 90,24%

sedangkan sedangkan 9,76% sisanya dijelaskan oleh variabel lain diluar model pendugaan dengan taraf

signifikansi sebesar 0,01%. Faktor – faktor yang nyata secara statistik adalah variabel luas lahan, jumlah

benih, jumlah pupuk kimia, jumlah pestisida sedangkan variabel yang tidak nyata secara statistik adalah

variabel jumlah pupuk organik.

Variabel yang paling mempengaruhi produksi jagung adalah variabel luas lahan dengan signifikansi

sebesar 0,01%. Variabel luas lahan berpengaruh positif terhadap produksi jagung. Hal ini menunjukkan bahwa

jika terjadi peningkatan luas lahan sebesr 1% maka akan menyebabkan peningkatan produksi sebesar

1,131%. Begitu juga sebaliknya, jika terjadi penurunan luas areal tanam jagung sebesar 1% maka akan

menyebabkan penurunan jumlah produksi rata-rata sebesar 1,131%.

Variabel jumlah pupuk kimia berpengaruh negatif terhadap produksi jagung pada taraf signifikansi 5%.

Hal ini menunjukkan bahwa jika terjadi peningkatan jumlah pupuk kimia sebesar 1% maka akan menyebabkan

penurunan produksi jagung rata – rata sebesar 0,241%, tetapi jika penggunaan jumlah pupuk kimia berkurang

sebesar 1% maka akan mengakibatkan peningkatan produksi rata – rata sebesar 0,241%. Hal tersebut

dikarenakan salah satunya adalah kelebihan jumlah pupuk kimia yang digunakan oleh petani dalam budidaya

jagung. Rata-rata penggunaan pupuk kimia yang dilakukan oleh petani adalah 1,08 ton/ha. Sedangkan

anjuran penggunaan pupuk kimia untuk jagung di Kabupaten Lamongan adalah sebesar 1 ton/ha.

Penggunaan pupuk kimia yang melebihi anjuran dapat berakibat pada penurunan kualitas kesuburan lahan

tanam jagung petani. Sehingga walaupun jumlah pupuk kimia yang dialokasikan oleh petani terus bertambah,

tetapi produksi yang didapatkan oleh petani tidak meningkat melainkan produksi yang didapatkan oleh petani

menjadi menurun.

Variabel jumlah benih berpengaruh negatif terhadap produksi jagung pada taraf signifikansi 10%. Hal ini

menunjukkan bahwa jika alokasi jumlah benih ditingkatkan sebesar 1% maka akan menyebabkan penurunan

Page 81: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 67

produksi jagung rata – rata sebesar 0,114%, tetapi jika alokasi jumlah benih dikurangi disesuaikan dengan

anjuran atau petunjuk teknis budidaya jagung maka maka akan mengakibatkan peningkatan produksi rata –

rata sebesar 0,114%. Kondisi tersebut didukung dengan data penggunaan benih per luasan lahan yang

dikelolah petani, diketahui bahwa rata – rata penggunaan benih petani adalah sebanyak 41,29 kg/ha. Hal

tersebut tidak sesuai dengan anjuran alokasi jumlah benih yang harus ditanam dalam budidaya jagung di

Kabupaten Lamongan yakni sebesar 10 kg/ha. Sejumlah 95,565 petani mengalokasikan jumlah penggunaan

benih yang melebihi anjuran dan hanya sekitar 4,445 petani yang penggunaan jumlah benih untuk ditanam

tidak melebihi anjuran budidaya jagung. Oleh karena itu, keputusan petani dalam menambah jumlah input

benih tidak menyebabkan kenakan produksi rata – rata jagung yang di tanam, melainkan penambahan benih

mengakibatkan penurunan rata – rata jumlah produksi jagung yang di tanam oleh petani.

Variabel jumlah pupuk organik berpengaruh positif terhadap produksi jagung tetapi tidak nyata secara

statistik. Hal ini menunjukkan bahwa jika terjadi peningkatan jumlah pupuk organik sebesar 1% maka akan

menyebabkan peningkatan rata – rata produksi sebesar 0,024%. Begitu juga sebaliknya, jika terjadi

penurunan jumlah pupuk organik sebesar 1% maka akan menyebabkan penurunan jumlah produksi rata-rata

sebesar 0,024%. Gambar 3 menunjukkan distribusi penggunaan pupuk organik dengan produksi jagung yang

diperoleh oleh petani. Berdasarkan Gambar 3, diketahui bahwa peningkatan penggunaan pupuk organic di

respon positif oleh hasil produksi jagung yang dibudidayakan petani. Peningkatan penggunaan pupuk organik

berdampak positif terhadap produksi jagung. Anjuran penggunaan pupuk organik untuk budidaya jagung di

Lamongan adalah sebesar 2 ton/ha. Peningkatan penggunaan input pupuk organic yang tidak signifikan

terhadap peningkatan produksi rata-rata adalah karena unsur yang terkandung dalam pupuk organic diserap

perlahan oleh lahan dan pupuk organik yang diaplikasikan berkompetisi dengan penyerapan lahan terhadap

unsur yang terkandung dalam pupuk kimia yang digunakan oleh petani jagung.

Gambar 1. Distribusi Penggunaan Pupuk Organik dengan Produksi yang Dihasilkan Oleh Petani Jagung

Page 82: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

68 |

KESIMPULAN

Kesimpulan

Variabel luas lahan, jumlah benih, jumlah pupuk kimia nyata secara statistik berpengaruh terhadap

produksi jagung, sedangkan variabel jumlah pupuk organik tidak nyata secara statistik berpengaruh terhadap

tingkat produksi jagung. Variabel luas lahan berpengaruh secara positif sebesar 1,131 terhadap produksi

jagung sedangkan variabel jumlah benih dan jumlah pupuk kimia berpengaruh negatif masing-masing sebesar

0,114 dan 0,241 terhadap tingkat produksi jagung di Desa Banyubang.

Saran

Berdasarkan pengamatan di lapang, diperlukan peningkatan pengetahuan petani di Desa Banyubang

melalui salah satunya adalah penyuluhan terkait teknis budidaya jagung yang memperhatikan kondisi

kesesuaian lahan sehingga pengetahuan petani menjadi meningkat dan dapat mengikuti informasi terbaru di

bidang budidaya jagung. Dengan adanya pengetahuan petani terkait analisis kebutuhan pupuk pada lahan

budidaya jagung akan memudahkan petani dalam menentukan berapa jumlah input – input yang harus

dialokasikan agar sesuai dengan kebutuhan masing-masing lahan. Sehingga tidak terjadi penggunaan input

produksi seperti penggunaan pupuk kimia yang melebihi anjuran yang menyebabkan penurunan produksi.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik Indonesia (BPS), 2017. Indonesia dalam Angka 2017, Jakarta. ____________, 2015. Kabupaten Lamongan Dalam Angka 2015. Lamongan. ____________, 2017. Kabupaten Lamongan Dalam Angka 2017. Lamongan. Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Timur, 2017. Jawa Timur Dalam Angka Tahun 2017 : Surabaya. Badan Pusat Statistika Kabupaten Lamongan, 2014. Kabupaten Lamongan Dalam Angka 2014. Lamongan . Coelli TJ, Rao DSP, Battese GE. 2005. An Introduction to Efficiency and Productivity Analysis. 2nd Ed.

Springer: New York. Debertin, David L. 1986. Agricultural Production Economics. New York: Macmillan Co. Debertin, David L. 2010. Agricultural Production Economics Bibliography:p 1. Agricultural production

economics. Doll, John P., and Frank Orazem. 1984. Production Economics, Theory with Applications, 2nd ed. New York:

John Wiley & Sons. Soekartawi. 1990. Teori Ekonomi Produksi dengan Pokok Pembahasan Analisis Faktor Produksi Cobb

Douglas. Jakarta : Rajawali Pres. Soekartawi. 2005. Analisis Usahatani. UI Press. Jakarta. Soekartawi. 2003. Agribisnis Teori dan Aplikasi.PT.

Raja Grafindo Persada. Jakarta. Sumaryanto W, Siregar M. 2003. Determinan Efisiensi Teknis Usahatani di Lahan Sawah Irigasi. Jurnal Agro

Ekonomi. 21(1): 72-96. Sumodiningrat, G. 1996. Ekonometrika Pengantar. Yogyakarta: BPFE.

Page 83: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 69

APLIKASI GAME THEORY DALAM ANALISIS PERILAKU PETANI TERHADAP RISIKO

USAHATANI PADI DI DESA KEDUNGPEDARINGAN, KECAMATAN KEPANJEN, KABUPATEN

MALANG

Riski Amelia1, Putri Budi Setyowati2, Sujarwo3, Nuhfil Hanani4 Jurusan Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya Jalan Veteran, Malang, Indonesia

Email :[email protected], [email protected], [email protected], [email protected]

Abstrak. Produksi pertanian rentan terhadap beberapa risiko usahatani yang salah satunya disebabkan oleh perubahan kondisi iklim. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pendapatan usahatani, mengukur tingkat resiko usahatani dan menganalisis perilaku petani terhadap risiko usahatani padi. Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data usahatani musim tanam I dan musim tanam II tahun 2016. Pengukuran tingkat risiko usahatani menggunakan analisis koefisien variasi. Sedangkan untuk mengetahui perilaku petani dalam menghadapi risiko digunakan pendekatan game theory. Permainan dibuat berdasarkan rata-rata gross profit petani pemilik penggarap dan bukan pemilik penggarap. Kriteria perilaku petani yang digunakan dalam penelitian yaitu Maximax, Maximin, Regret, dan Laplace. Hasil penelitian menunjukkan rata-rata pendapatan petani pemilik penggarap lebih besar pada musim tanam I daripada pada musim tanam II. Hasil analisis risiko menunjukkan jika risiko produksi, harga, dan pendapatan lebih tinggi pada musim tanam II (musim hujan). Perilaku petani pemilik penggarap dalam menghadapi risiko dalam usahatani termasuk dalam perilaku optimis, sedangkan petani bukan pemilik penggarap termasuk dalam kriteria perilaku pesimis, memiliki tingkat kehati-hatian yang tinggi, dan memiliki tingkat penyesalan cenderung tinggi.

Kata kunci : game theory, risiko, perilaku petani

PENDAHULUAN

Produksi padi di Indonesia setiap tahunnya berfluktuasi. Selama 5 tahun terakhir (2012-2016)

produksi padi cenderung mengalami peningkatan. Peningkatan produktivitas padi, dilakukan melalui

pengawalan, pendampingan, penyuluhan, dan koordinasi untuk kegiatan: 1) perakitan, diseminasi dan

penerapan paket teknologi tepat guna spesifik penerapan dan pengembangan teknologi; 2) GP3K (Gerakan

Peningkatan Produksi Pangan berbasis Korporasi); 3) Perlindungan tanaman pangan dari gangguan OPT dan

DPI; serta 4) penurunan kehilangan hasil dan peningkatan rendemen beras (Kementerian Pertanian, 2016).

Diantara tahun 2012-2016 produksi tertinggi terjadi pada tahun 2016. Produksi padi tahun 2016

produksi meningkat sampai pada 79.170.000 ton (BPS, 2017). Diantara beberapa wilayah di Indonesia yang

memproduksi padi, pulau Jawa memiliki kontribusi terbesar dalam menyumbang produksi padi nasional. Jawa

Timur memberikan kontribusi padi yang cukup siginifikan. Selama tahun 2012-2016 Jawa Timur menyumbang

rata-rata produksi sebesar 12,67 juta ton dengan share sebesar 17,32% (Kementerian Pertanian, 2016).

Kabupaten Malang merupakan salah satu penghasil padi yang potensial. Hasil produksi padi di Kabupaten

Malang pada tahun 2016 mencapai 505.138 ton (BPS Kabupaten Malang, 2017). Diantara beberapa

Page 84: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

70 |

kecamatan di Kabupaten Malang yang memproduksi padi, Kecamatan Kepanjen merupakan daerah yang

memiliki produksi terbesar.

Kegiatan usahatani juga menghadapi suatu kendala yang memiliki banyak risiko. Risiko didefinisikan

sebagai suatu ketidakpastian (uncertainty) yang mungkin menimbulkan kerugian (Abbas Salim dalam Kasidi,

2104). Menurut Hardeker et al dalam Renthiandy dkk (2013) risiko yang sering muncul dalam kegiatan

usahatani adalah risiko produksi dan risiko harga. Risiko produksi dalam usahatani diakibatkan oleh

ketergantungan aktivitas pertanian terhadap alam. Jika cuaca dan iklim tidak mendukung maka kemungkinan

risiko yang diterima semakin tinggi. Sedangkan risiko harga dipengaruhi oleh banyaknya produksi padi pada

musim tertentu. Apabila panen raya maka harga padi menurun. Selain itu risiko usahatani padi yang utama

adalah frekuensi banjir, kekeringan, dan serangan hama penyakit yang saat ini menjadi masalah kompleks

dalam situasi perubahan iklim yang sulit diprediksi (Suharyanto dkk, 2015)

Risiko berkaitan dengan pengambilan keputusan. Menurut Nugroho (2012), ketidakpastian

mempengaruhi pengambilan keputusan karena berbuhubungan dengan risiko yang dihadapi. Petani memiliki

perilaku yang berbeda-beda dalam mengadapi risiko yang mungkin terjadi dalam kegiatan pertaniannya.

Herminingsih (2014) menyatakan bahwa sebagian besar petani memiliki perilaku yang enggan terhadap risiko

dan sebagian kecil bersikap netral terhadap risiko, namun tidak ada seorangpun yang memiliki perilaku berani

mengambil risiko. Perbedaan perilaku yang dimiliki petani dalam menghadapi risiko berdampak pada kesiapan

petani untuk menghadapi risiko yang mungkin terjadi. Dengan demikian, penelitian ini bertujuan untuk

mengukur tingkat resiko usahatani dan menganalisis perilaku petani terhadap risiko usahatani padi.

METODOLOGI

Penelitian ini dilakukan di Desa Kedungpedaringan, Kecamatan Kepanjen, Kabupaten Malang. Pemilihan

lokasi penelitian dilakukan secara sengaja atau purposive. Alasan pemilihan tempat lokasi adalah Kecamatan

Kepanjen merupakan sentra padi di Kabupaten Malang dan pemilihan Desa Kedungpedaringan sebagai lokasi

penelitian karena Desa Kedungpedaringan adalah salah satu desa penyumbang padi di Kecamatan Kepanjen.

Di samping itu, di Desa Kedungpedaringan terdapat 2 kelompok tani yaitu, Tirtomanunggal I dan

Tirtomanunggal II. Penelitian ini dilakukan pada rentang waktu yaitu pada bulan Januari-Februari 2017.

Penentuan responden yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan sampel acak sederhana atau

random sampling. Alasan penggunaan teknik random sampling adalah berdasarkan luas lahan yang

dikerjakan oleh petani di Desa Kedungpedaringan. Sebagian besar luasan lahan yang dikerjakan oleh petani

di Desa Kedungpedaringan adalah kurang dari 1 Ha. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini dihitung

dengan menggunakan rumus parel. Dari 80 petani didapatkan sampel representatif sebesar 48 petani

Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

Analisis usahatani menggunakan analisis pendapatan. Pendapatan (Pd) adalah selisih antara

penerimaan (TR) dan total biaya yang dikeluarkan (TC). Secara matematis dituliskan sebagai berikut:

Analisis risiko usahatani menggunakan koefisien variasi

Page 85: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 71

Secara statistik, risiko dapat dihitung dengan menggunakan ukuran keragaman (variance) maupun

simpangan baku. Simpangan baku dalam statistik adalah standar deviasi. Koefisien variasi didapatkan dari

hasil bagi antara simpangan baku (V) dengan rata-rata (E). Secara matematis koefisien variasi dituliskan

sebagai berikut:

Setelah nilai koefisien variasi diketahui maka dapat diketahui besarnya risiko yang ditanggung oleh

petani. Semakin kecil nilai koefisiein variasinya maka risiko yang ditanggung petani semakin kecil. Sebaliknya,

jika nilai koefisien variasi semakin tinggi, maka risiko yang diterima oleh petani juga tinggi. batas bawah

berkaitan dengan pengambilan keputusan petani.

Analisis perilaku petani dengan menggunakan pendekatan Game Theory

Pada penelitian ini strategi pemain yang digunakan adalah kondisi baik dan kondisi buruk. Kondisi baik

menggambarkan kondisi atau musim yang mendukung untuk menanam padi, sedangkan pada kondisi buruk

adalah kondisi atau musim yang kurang sesuai. Kondisi baik dan buruk pada penelitian ini ditetapkan

berdasarkan hasil produksi yang didapatkan oleh petani pada setiap musim tanam pada tahun 2016.

Strategi permainan yang digunakan pada kondisi baik yaitu: Bulan tanam Januari-Juni, Curah hujan

rendah, Serangan hama dan penyakit rendah, Hasil produksi tinggi, dan Harga jual tinggi. Sementara strategi

permainan yang digunakan pada kondisi buruk yaitu bulan tanam Juli- Desember, curah hujan tinggi,

serangan hama dan penyakit tinggi, hasil produksi rendah, dan harga jual rendah.

Metode pengambilan keputusan berdasarkan kriteria dijelaskan sebagai berikut:

a. Maximax: Kriteria maximax diplilih berdasarkan pilihan maksimum dari seluruh pay-off yang sebelumnya

telah dipilih nilai maksimum dari masing-masing jenis status petani.

b. Maximin: Kriteria maximin dipilih dengan pilihan yang maksimum dari seluruh pay-off yang minimum.

c. Regret: Penentuan kriteria regret dilakukan dengan beberapa tahap yaitu, pertama memilih nilai

maksimum pada setiap kondisi. Setelah itu menghitung selisihnya dari pay-off maksimal pada setiap

kondisi dengan setiap nilai pay-off kondisi. Kriteria regret dipilih yang memiliki nilai pay-off terkecil.

d. Laplace: Kriteria laplace ditentukan dengan mengalikan probabilitas pada setiap pay-off. Kriteria yang

dipilih yang adalah nilai terbesar didapatkan dari hasil perkalian dengan probabilitasnya. Probabilitas yang

digunakan ditentukan sesuai dengan state of nature. State of nature dalam penelitian ini adalah Good

Condition dan Bad Condition maka probabilitas yang digunakan pada penelitian ini adalah 0,5.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Secara keseluruhan rata-rata produksi pada musim tanam I lebih besar dibandingkan musim tanam II.

Biaya eksplisit yang dihitung dalam penelitian ini meliputi biaya benih, tenaga kerja, traktor, pengairan, pupuk,

dan pestisida. Rata-rata produksi pada musim tanam I baik pada responden pemilik penggarap dan bukan

pemilik penggarap secara keseluruhan sebesar 5.761 Kg/Ha, sedangkan pada musim tanam II sebesar 5.349

Kg/Ha yangs ecara rinci disajikan pada table berikut ini:

Page 86: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

72 |

Tabel 1. Analisis Usahatani Padi

Rincian Pemilik Penggarap Bukan Pemilik Penggarap

Musim Tanam I

Musim Tanam II

Musim Tanam I

Musim Tanam II

Produksi (kg)

5.807 5.213 5.621 5.758

Harga (Rp/Kg)

4.672 4.500 4.717 4.517

Penerimaan (Rp/Ha)

27.140.509 23.439.281 26.540.944 26.040.278

Total Biaya Eksplisit (Rp/Ha)

8.461.084 8.416.527 9.002.660 9.312.930

Pendapatan (Rp/Ha)

18.679.426 15.022.754 17.538.285 16.727.348

Sumber: Data Primer, 2017 (Diolah)

Perubahan produksi antara musim tanam I dan musim tanam II dipengaruhi beberapa faktor salah

satunya adalah cuaca dan iklim. Hujan yang terjadi pada musim tanam II mengakibatkan kualitas serta

kuantitas tanaman padi menurun, karena tanaman padi banyak yang terkena penyakit busuk leher (potong

leher/patah leher). Penyakit busuk leher menyerang pada batang padi yang menyebabkan batang padi

membusuk dan tanaman padi roboh.

Rata-rata petani di Desa Kedungpedaringan menjual hasil padinya dengan sistem tebasan dan hanya

sebagian kecil yang menjual hasil panen kepada tengkulak. Diketahui bahwa harga jual pada musim tanam I

lebih tinggi dibandingkan dengan musim tanam II. Perbedaan harga pada musim tanam I dan musim tanam II

disebabkan oleh kualitas dari gabah yang dihasilkan. Hal ini berkaitan dengan cuaca dan iklim. Pada musim

tanam kualitas gabah yang dihasilkan pada musim tanam II dapat dikatakan kurang baik diakibatkan hujan

yang terlalu sering.

Page 87: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 73

Analisis Risiko Usahatani

Petani dihadapkan pada tiga risiko usahatani yaitu produksi, harga, dan pendapatan. Perhitungan ketiga

resiko yang dihadapi ini dapat disajikan pada tabel berikut:

Keterangan Musim Tanam I Musim Tanam II

Produksi (Kg/Ha)

Harga (Rp)

Pendapatan (Rp/Ha)

Produksi (Kg/Ha

Harga (Rp) Pendapatan (Rp/Ha)

Rata-Rata 5.761 4.683 18.394.140 5.349 4.504 15.448.902

Simpangan Baku 1.190,61 85,88 6.180.141

1.291,08

100,97 5.348.893

Koefisien Variasi 0,21 0,018 0,34 0,24

0,022

0,35

Batas Bawah 3.380

4.512

6.033.858 2.767 4.302 4.751.116

Sumber: Data Primer (2017)

Resiko Produksi: Tingginya risiko produksi pada musim hujan dikarenakan iklim yang kurang mendukung

dan serangan hama penyakit lebih tinggi pada musim hujan.

Risiko Harga: Tinggi rendahnya harga tergantung pada kualitas padi yang dihasilkan. Pada musim

kemarau kualitas produksi padi cenderung lebih baik dibandingkan dengan musim penghujan. Hal ini

dikarenakan pada musim hujan, memungkinkan serangan hama dan penyakit tinggi.

Risiko Pendapatan: Tingginya nilai koefisien variasi pada musim tanam II menunjukkan bahwa musim

tanam II memiliki risiko yang tinggi. Hal ini berkaitan dengan hasil produksi pada musim tanam II, dimana

produksi musim tanam II lebih rendah dibandingkan musim tanam I yang diakibatkan oleh faktor cuaca dan

iklim. Selain itu berdasarkan perhitungan pada table juga dapat disimpulkan bahwa petani padi di Desa

Kedungpedaringan tidak berpeluang mengalami kerugian.

Analisis Perilaku Petani Terhadap Risiko

Maximax

Petani yang perilaku optimis adalah petani pemilik penggarap

dengan rata-rata keuntungan maksimum sebesar Rp. 18.679.426/Ha. Petani pemilik penggarap memiliki

perilaku optimis dikarenakan petani beranggapan bahwa mereka tidak mengalami kerugian meskipun dalam

kondisi produksi yang buruk. Sedangkan jika pada petani bukan pemilik penggarap hasil produksi yang

diperoleh harus dibagi dengan pemilik lahan yang bekerja sama sesuai dengan sistem pembagian yang telah

disepakati. Selain itu, pendapatan yang diterima harus dikurangi untuk membayar biaya sewa atas lahan yang

digunakan untuk kegiatan usahataninya Jadi, ketika mengalami kerugian, maka pendapatan yang mereka

terima juga semakin sedikit. Sehingga dapat dikatakan bahwa petani pemilik penggarap tidak menghidari

risiko. Hal ini sesuai dengan pernyataan Oliyole et al (2013) bahwa petani dengan perilaku optimis tidak

menghindari risiko

Maximin

Petani yang termasuk dalam kriteria maximin adalah petani bukan pemilik penggarap dengan perilaku

pesimis. Rata-rata keuntungan maksimum yang didapatkan adalah Rp. 16.727.348/Ha. Petani bukan pemilik

Page 88: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

74 |

penggarap termasuk dalam perilaku pesimis dikarenakan petani bukan pemilik penggarap menganggap

bahwa sistem bagi hasil yang mereka lakukan memiliki risiko yang tinggi, ketika pendapatan dari hasil

usahatani menurun, maka pendapatan yang diterima oleh petani bukan pemilik penggarap semakin kecil.

Pendapatan yang diterima dari kesepakatan bagi hasil kecil dan tidak sebanding dengan biaya yang

dikeluarkan, maka petani akan lebih berhati-hati dalam menggunakan input serta biaya yang dikeluarkan. Hal

ini sesuai dengan pernyataan Oluyole et al (2013) yang menyatakan bahwa petani dengan perilaku pesimis

adalah petani yang menghindari risiko yang kemungkinan terjadi pada kegiatan usahataninya.

Regret

Petani yang termasuk dalam krietria regret adalah petani bukan pemilik penggarap dengan perilaku

tingkat kehati-hatian yang tinggi. Pada kriteria regret Menurut Hasan (2002) menyatakan bahwa kriteria regret

sama dengan kriteria minimax. Petani pemilik penggarap memiliki perilaku dengan tingkat kehatian-hatian

yang tinggi dikarenakan lahan yang dikerjakan bukan kepemilikannya dimana hasil dari kegiatan usahataninya

harus dibagi dengan pemilik lahan. Hal ini menjadikan petani bukan pemilik penggarap lebih berhati-hati

terhadap segala ketidakpastian yang dihadapi dalam kegiatan usahataninya, dan bahkan cenderung untuk

menghindar dari risiko yang mungkin terjadi

Laplace

Petani yang termasuk dalam kriteria laplace adalah petani bukan pemilik penggarap. Rata-rata

keuntungan yang didapatkan adalah Rp.17.132.816/Ha. Kriteria laplace menunjukkan perilaku tingkat

penyesalan yang tertinggi.

KESIMPULAN

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan sebagai berikut:

Rata-rata pendapatan yang diperoleh petani pemilik penggarap pada musim tanam I sebesar Rp.

18.679.426/Ha dan rata-rata keuntungan pada musim tanam II sebesar Rp. 15.022.754/Ha. Sedangkan rata-

rata keuntungan usahatani padi yang diperoleh petani bukan pemilik penggarap pada musim tanam I yaitu Rp.

17.538.285/Ha dan pada musim tanam II didapatkan sebesar Rp. 16.727.348/Ha.

Hasil analisis risiko usahatani padi di Desa Kedungpedaringan didapatkan nilai koefisien variasi pada

musim tanam II lebih tinggi dari pada musim tanam I. Nilai koefisien variasi pada musim tanam I untuk risiko

produksi sebesar 0,21, risiko harga 0,018, dan risiko pendapatan sebesar 0,34. Pada musim tanam II

didapatkan nilai koefisien variasi risiko produksi sebesar 0,24, risiko harga sebesar 0,022, dan risiko

pendapatan sebesar 0,35. Hal ini dikarenakan pada musim tanam II sering terjadi hujan yang menyebabkkan

tanaman padi terserangan hama dan penyakit sehingga berpengaruh terhadap hasil panen padi yang

didapatkan oleh petani.

Hasil analisis perilaku dengan menggunakan pendekatan game theory didapatkan petani pemilik

penggarap termasuk dalam kriteria maximax. Kriteria maximax menunjukkan perilaku optimis terhadap risiko.

Sedangkan petani bukan pemilik penggarap termasuk dalam kriteria maximin, regret, dan laplace. Kriteria

maximin menunjukkan perilaku pesimis, regret menandakan perilaku dengan tingkat kehati-hatian yang tinggi,

dan laplace menunjukkan perilaku dengan tingkat penyesalan tertinggi.

Page 89: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 75

DAFTAR PUSTAKA

Ambarsari, Wiwik, et al. 2014. Analisis Pendapatan dan Profitabilitas Usahatani Padi (Oryza sativa, L.) di Kabupaten Indramayu. Program Studi Magister Agribisnis Pasca Sarjana. Fakultas Peternakan dan Pertaian. Universitas Diponegoro. Agri Wiraloda Volume 6 No.2-September 2014.

Badan Pusat Statistik. 2017. Produski Padi Menurut Provinsi. Tersedia

https://bps.go.id/linkTabelDinamis./view/id/865. Diakses 15 Maret 2017. Badan Pusat Statistik Kabupaten Malang. 2017. Produksi Tanaman Pangan di Kabupaten Malang 2011 2016.

Tersedia https://malangkab.bps.go.id/linkTabel Statis/view/id/545. Diakses 13 April 2017. Hasan, M. Iqbal. 2002. Pokok-pokok Materi Teori Pengambilan Keputusan.

Jakarta: Ghalia Indonesia. Herminingsih, Hesti. 2014. Pengaruh Perubahan Iklim terhadap Perilaku Petani Tembakau di Kabupaten

Jember. Agribisnis, FMIPA UPBJJ, UT. Jember. Jurnal Matematika, Saint, dan Teknologi, Vol.15, Nomor 1, Maret 2014

Kasidi. 2014. Manajemen Risiko. Bumi Aksara. Jakarta. Kementerian Pertanian. 2015. Outlook Komoditas Pertanian Sub Sektor Tanaman Pangan, Padi. Pusat Data

dan Sistem Informasi Pertanian Kementerian Pertanian. Jakarta. Kementerian Pertanian. 2016. Outlook Komoditas Pertanian Sub Sektor Tanaman Panga, Padi. Pusat Data

dan Sistem Informasi Pertanian Kementerian Pertanian. Jakarta. Kurniati, Dewi. 2015. Perilaku Petani Terhadap Risiko Usahatni Kedelai di Kecamatan Jawai Sealatan

Kabupaten Sambas. Jurnal Social Economic of Agriculture. Volume 4, No.1, April. 2015. Nugroho, Bernardus Y, Ferdinand D. Saragih, dan Umanto Eko. 2012. Metode Kuantitatif; Pendekatan

Pengambilan Keputusan untuk Ilmu Sosial dan Bisnis (Edisi 2). Jakarta; Salemba Humanika. Oluyole, Yusuf S.A, dan Alao T.K. 2013. Application of Game Theory to Cocoa Production Management

Systems in Ondo State, Nigeria. University of Ibadan. Nigeria. Global Journal of Science Frontier Research. Volume XIII Issue XII Version 1

Prastanti, Gita Dwi. 2014. Analisis Periaku Petani Terhadap Risiko Usahatani Padi Organik (Studi pada Kelompok Tani Sumber Makmur I, Desa Sumberngepoh, Kecamatan Lawang, Kabupaten Malang, Jawa Timur). Skripsi. Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya. Malang.

Purwoto, Adreng. 1993. Sikap Petani Terhadap Risiko Produksi Padi dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Jurnal Agro Ekonomi. Vol. 12, No.2 (1993).

Renthiandy, Pratiska A, J. Sutrisno, dan M. Tri. 2013. Analisis Risiko Usahatani Padi di Kecamatan Karanganyar Kabupaten Karanganyar. Program Studi Agribisnis. Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret. Surakarta.

Suharyanto, dkk. 2015. Analisis Risiko Produksi Usahatani Padi Sawah di Provinsi Bali. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP). Bali. Dol:10.18196/agr.1210. Vol. 1 No.2 Juli 2015.

Page 90: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

76 |

TANTANGAN PASAR BENIH JAGUNG MANIS HIBRIDA MELALUI IDENTIFIKASI

TINGKAT KEPUASAN PETANI

Nur Baladina1, Arifin Noor Sugiharto2, Anisa Aprilia3, Tatiek Koerniawati Andajani4 1,3Jurusan Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya Jalan Veteran, Malang, Indonesia

2,4Maize Research Centre (MRC) LPPM Universitas Brawijaya Email : [email protected], [email protected], [email protected]

, [email protected]

Abstrak.Tren pasar jagung manis yang terus meningkat membuat banyak produsen benih berkompetisi memproduksi benih yang berkualitas baik dan memberikan kepuasan yang tinggi bagi petani konsumen. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis tingkat kepuasan petani terhadap 3 merek benih jagung manis hibrida yang banyak digunakan di Kabupaten Malang, sehingga dapat diketahui tantangan pasar bagi industri benih nasional. Penelitian dilakukan terhadap 165 petani yang tersebar di 3 kecamatan di wilayah Kabupaten Malang. Data dianalisis dengan menggunakan Customer Satisfaction Index (CSI). Hasil analisis menunjukkan bahwa ketiga merek benih jagung manis yang menjadi pemimpin pasar secara keseluruhan belum bisa memuaskan petani. Hal ini terlihat dari hasil indeks kepuasan petani terhadap ketiga merek benih jagung manis yang diteliti berturut-turut sebesar 74% 63%, dan 58%. Namun faktor lain di luar kepuasan, yaitu tingginya ketergantungan petani pada kemitraan dengan pengepul jagung manis menjadikan petani cenderung sulit untuk berpindah produk. Sehingga tantangan pasar bagi produsen benih jagung manis, baik untuk memasuki maupun mempertahankan pasar, selain harus menjaga kualitas produk melalui perbaikan kinerja atribut benih jagung manis, juga harus dapat menjalin hubungan baik dengan pihak-pihak yang berpengaruh dalam komunitas petani maupun saluran pemasaran produk.

Kata kunci : Benih Hibrida, Jagung Manis, Atribut Produk, Kepuasan Konsumen, CSI

PENDAHULUAN

Jagung manis mengalami trend kenaikan yang cukup pesat pada dua tahun terakhir akibat

berkembangnya kondisi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat Indonesia. Produksi jagung manis di

Indonesia pada tahun 2015 tercatat sebesar 490 ribu ton atau mengalami kenaikan sebesar 3,1 %

dibandingkan pada tahun 2014 (475 ribu ton) (Food and Agriculture Organization, 2016). Jagung manis dapat

diolah menjadi berbagai macam olahan pangan dengan cita rasa manis karena tingginya kandungan gula

dalam bijinya dan aroma yang khas sehingga pangan olahan jagung manis dapat dengan baik diadaptasi

konsumen dan memiliki potensi pasar yang besar.

Sentra produksi jagung manis Jawa Timur salah satunya berada di Kabupaten Malang dengan luas

lahan tanam jagung sebesar 54.052 hektar. Kabupaten Malang merupakan salah satu sentra produksi jagung,

dengan produktivitas yang cenderung meningkat dan stabil (Kementrian Pertanian, 2016). Daerah penghasil

Page 91: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 77

jagung manis di wilayah Kabupaten Malang tersebar di Kecamatan Karangploso, Kecamatan Tumpang, dan

Kecamatan Poncokusumo (Badan Pusat Statistik Kabupaten Malang, 2017). Merek benih jagung manis yang

banyak ditanam di wilayah Kabupaten Malang adalah merek B, J, dan T, sehingga ketiga merek benih

tersebut dikaji dalam penelitian ini.

Salah satu faktor yang berpengaruh pada budidaya jagung manis adalah kualitas benih jagung manis

yang dipakai (Purwono dan Hartono, 2007). Kualitas benih jagung manis mempengaruhi produktivitas jagung

manis yang dibudidayakan, karena benih merupakan sumber kebutuhan petani yang harus dipenuhi untuk

menunjang budidaya pertanian (Kansiime dan Mastenbroek, 2016). Kebutuhan benih jagung manis yang

semakin tinggi meningkatkan persaingan perusahaan nasional dan multinasional untuk menyediakan benih

jagung manis yang bermutu (Prihandono, 2015). Perusahaan harus mampu memenuhi kepuasan konsumen,

dalam hal ini adalah kepuasan petani yang membutuhkan produk benih jagung manis dengan mutu lebih baik,

harga yang bersaing, ketersediaan produk serta pelayanan terhadap petani yang lebih baik dari perusahaan

lainnya (Sumarwan, 20011). Petani menyatakan bahwa terdapat beberapa atribut produk benih jagung manis

yang kurang sesuai dengan harapan petani, sehingga persepsi mereka tentang atribut benih jagung manis

menjadi faktor utama dalam pemilihan merek benih jagung manis (Laborte G dkk, 2015). Faktor lain yang

dapat mempengaruhi pemilihan benih jagung manis adalah kemampuan mereka untuk mengevaluasi

beberapa merek benih dan pengalaman lain yang menjadi faktor dalam memilih benih (Waldman B dkk,

2017). Tingkat kepuasan petani akan menentukan preferensi petani dalam menggunakan benih jagung manis

pada musim tanam selanjutnya. Sehingga, tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis tingkat kepuasan

petani terhadap 3 merek benih jagung manis hibrida yang banyak digunakan di Kabupaten Malang. Penelitian

ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi perusahaan jagung manis untuk memasuki pasar dan

menjadi pemimpin pasar dengan melakukan continuous improvement atribut produk benih jagung manis yang

dapat memuaskan petani.

METODOLOGI

Penentuan Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di tiga kecamatan yang ada di wilayah Kabupaten Malang, antara lain

Kecamatan Karangploso, Kecamatan Tumpang, dan Kecamatan Poncokusumo. Pemilihan lokasi ditentukan

secara purposive, berdasarkan tujuan penelitian dan pertimbangan bahwa lokasi penelitian merupakan salah

satu wilayah sentra penghasil jagung manis di Kabupaten Malang. Penelitian ini dilakukan pada bulan

November 2017 sampai bulan Februari 2018.

Teknik Penentuan Sampel

Populasi dalam penelitian adalah petani yang menanam benih jagung manis hibrida di wilayah

Kecamatan Karangploso, Kecamatan Tumpang, dan Kecamatan Poncokusumo pada musim tanam terakhir

yaitu September-Oktober 2017 (sebelum survey lapang dilakukan). Responden penelitian ditentukan dengan

menggunakan metode non probability sampling, yaitu dengan teknik purposive sampling, karena daftar

populasi petani jagung manis di 3 kecamatan yang menjadi lokasi penelitian ini tidak tersedia dan tidak dapat

dikumpulkan oleh peneliti. Penentuan sampel dalam penelitian ini mengacu pada teknik pengukuran sampel

yang dikemukakan oleh Malhotra (1993) dalam Hidayat (2011), bahwa ukuran sampel minimal adalah 4 atau 5

Page 92: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

78 |

kali jumlah variabel. Variabel dalam penelitian ini adalah atribut-atribut produk yang dipertimbangkan oleh

petani jagung manis hibrida dalam memilih benih jagung manis hibrida. Atribut-atribut tersebut didapatkan

dengan uji Cochran Q-test. Dari hasil uji Cochran Q-test, diketahui bahwa atribut-atribut yang valid

dipertimbangkan dalam penelitian ini berjumlah 11, sehingga sampel yang digunakan sebanyak 55 responden

di setiap kecamatan atau total 165 responden.

Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan dengan mengumpulkan dua jenis data,

yaitu data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari wawancara langsung menggunakan kuisioner

dengan petani responden. Selain menggunakan data primer, penelitian ini juga menggunakan data sekunder

yang berasal dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Malang, Balai Penyuluhan Pertanian Kecamatan

Karangploso, Balai Penyuluhan Pertanian Kecamatan Tumpang, Balai Penyuluhan Pertanian Kecamatan

Poncokusumo, Buku Literatur, Jurnal Nasional, dan Jurnal Internasional.

Uji Instrumen

Uji instrumen pada penelitian ini menggunakan uji Cochran Q Test untuk mengetahui atribut-atribut yang

valid dipertimbangkan petani dalam memilih benih jagung manis dari total 24 atribut benih jagung manis yang

diuji. Responden dalam pengujian ini adalah petani yang mengetahui informasi tentang produk benih jagung

manis hibrida. Petani yang dipilih berasal dari 4 daerah di Jawa Timur yaitu Kabupaten Jombang, Kabupaten

Kediri, Kabupaten Mojokerto, dan Kota Batu dengan jumlah keseluruhan 52 responden. Menurut Santoso

(2007), pengujian Cochran Q Test ini dilakukan dengan menggunakan rumus :

( k – 1) [ k( ∑ C2j ) – ( ∑ Cj )2 ]

Q =

k ( ∑ Ri ) - ∑ R2i

Keterangan :

Q = Nilai untuk Cochran Test

k = Banyaknya Kolom

Cj = Jumlah ―Iya‖ dalam Kolom ke j (Columns)

Ri = Jumlah ―Iya‖ dalam Baris ke- i ( Rows)

Kriteria pengukuran menunjukkan bahwa tolak Ho dan terima Ha apabila nilai dari Q hitung > nilai Q

tabel. Jika terima Ho dan tolak Ha maka nilai dari Q hitung < nilai Q tabel. Uji Cochran dilakukan pada 24

atribut benih jagung manis yang digunakan sebagai referensi untuk menentukan atribut yang dipertimbangkan

petani.

Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan untuk mencapai tujuan dari penelitian ini adalah analisis data

kuantitatif dan deskriptif komparatif. Analisis data kuantitatif menggunakan alat analisis Customer Satisfaction

Index (CSI).

1. Customer Satisfaction Index (CSI)

Page 93: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 79

Indeks Kepuasan Konsumen (CSI) digunakan untuk mengetahui tingkat kepuasan petani terhadap ketiga

merek benih jagung manis hibrida secara keseluruhan. Perhitungan Customer Satisfication Index (CSI)

didapatkan melalui beberapa tahapan yaitu:

Tahap pertama adalah menentukan Mean Importance Score (MIS) dan Mean Satisfaction Score (MSS).

Nilai ini berasal dari rata-rata tingkat kepentingan dan kinerja tiap atribut. Rumusnya adalah:

MIS = MSS =

Keterangan:

n = Jumlah responden

Yi = Nilai kepentingan atribut ke-i

Xi = Nilai kinerja atribut ke-i

Tahap kedua adalah menghitung Weight Factors (WF). Bobot ini merupakan persentase nilai MIS per

atribut terhadap total MIS seluruh atribut. Rumusnya adalah:

WFi =

Keterangan:

P = Jumlah atribut kepentingan benih jagung manis

I = Atribut benih jagung manis ke-i

Selanjutnya menghitung Weight Score (WS). Bobot ini merupakan perkalian antara Weight Factor (WF)

dengan rata-rata tingkat kepuasan (Mean Satisfaction Score). Rumusnya adalah:

WSi = WFi x MSSi

Langkah terakhir yaitu menghitung Customer Satisfaction Index (CSI). Rumusnya adalah:

CSI =

Perhitungan CSI dilakukan dengan melakukan Weight Factors dengan presentase dari Mean Important

Score pada setiap atribut yang diuji terhadap total MIS pada semua atribut yang diuji. Nilai Weighted Score

diperoleh dari perkalian WF dengan rata-rata tingkat kinerja. Selanjutnya, Simamora (2008) menyatakan

bahwa untuk membuat skala dapat menggunakan linear numerik yang diawali rentang skala (RS) dengan

rumus sebagai berikut:

Berdasarkan rentang skala di atas, maka kriteria kepuasannya sebagai berikut:

CSI: 0% - 20% = Sangat tidak puas

CSI: 21% - 40% = Tidak puas

CSI: 41% - 60% = Cukup puas

CSI: 61% - 80% = Puas

CSI: > 80% = Sangat Puas

2. Analisis Deskriptif Komparatif

Menurut Nazir (2014), analisis deskriptif komparatif digunakan untuk mendeskripsikan keadaan yang

berhubungan dengan masalah penelitian, dilakukan dengan cara mendiskripsikan data perbandingan antar

Page 94: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

80 |

elemen, fenomena-fenomana, maupun data statistik untuk beberapa periode yang berurutan, sehingga dapat

memberikan gambaran yang jelas, mudah dipahami, dan informatif. Analisa deskriptif digunakan untuk

mendeskripsikan karakteristik responden yang diteliti berdasarkan usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan,

pengalaman berusahatani, keputusan pembelian benih jagung manis, dan tingkat kepuasan responden petani

terhadap ketiga merek benih jagung manis hibrida (B, J, T) yang diteliti.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Uji Instrument

Uji instrument dilakukan dengan menganalisis 24 atribut benih jagung manis dengan Uji Cochran Q Test

kepada 52 responden petani yang mengetahui informasi tentang produk benih jagung manis hibrida.

Tabel 1. Hasil Uji Cochran Q Test

Uji ke- Atribut yang dieliminasi Q hitung Q tabel

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14

Atribut belum dieliminasi Tampilan kemasan Nama produsen Penggantian produk (retur) Kemanisan / kadar gula Panjang tongkol Tebal/tipisnya klobot Jumlah biji per kemasan Ketersediaan di toko Harga Jumlah tongkol per tanaman Nama merek dagang Daya tumbuh (%) Masa kadaluarsa benih

186,4 146,6 120,4 102,4 81,33 62,78 46,83 40,70 33,15 29,84 25,58 22,35 18,33 15,14

32,00 30,81 29,61 28,41 27,20 15,98 24,76 23,54 22,30 21,06 19,81 18,54 17,27 15,98

Sumber : Data Primer Diolah, 2018

Hasil uji cochran pada Tabel 1 menunjukkan pada tahap pengujian ke-14, hasil Q hitung < Q tabel

sehingga telah didapatkan jumlah atribut benih jagung manis yang valid. Hasil akhir uji Cochran pada atribut

benih jagung manis didapatkan 11 atribut yang valid dipertimbangkan oleh petani jagung manis saat memilih

dan membeli benih jagung manis. Atribut yang valid tersebut antara lain bentuk tanaman jagung, hasil

produksi, daya tahan terhadap hama, daya tahan terhadap penyakit, daya tahan simpan klobot (awet hijau),

umur panen, bobot tongkol, ujung tongkol penuh (muput), warna kuning biji jagung manis, ketebalan daging

buah, dan berat kemasan.

Data Karakteristik Responden

Karakteristik responden yang diteliti adalah data mengenai demografi dan karakteristik usahatani

dari 165 responden yang pernah menanam jagung manis, minimal pada musim tanam terakhir yaitu Bulan

September-Oktober 2017. Data karakteristik responden pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 2.

Page 95: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 81

Tabel 2. Data Karakteristik Responden

Variabel Sub-Variabel Jumlah (jiwa) Persentase (%)

Usia 15 – 25 tahun 1 0,60 26 – 35 tahun 17 10,30 36 – 45 tahun 46 27,87 46 – 55 tahun 52 31,51 56 – 65 tahun 49 29,69

Tingkat Pendidikan Tidak Sekolah 7 4,24 SD 86 52,12 SMP 28 16,96 SMA 30 18,18 Sarjana Strata-1 1 0,60

Pengalaman < 5 tahun 12 7,27 5 – 10 tahun 107 64,84 > 10 tahun 46 27,87

Sumber : Data Primer Diolah, 2018

Seluruh petani yang menjadi responden berada pada usia produktif, yaitu berusia antara 15-65

tahun. Mayoritas petani jagung manis yang menjadi responden belum menempuh wajib belajar 9 tahun,

karena sebanyak 86 orang dari total 165 responden hanya menempuh pendidikan sampai jenjang SD. Petani

jagung manis dengan tingkat pendidikan dasar akan lebih mementingkan pengalaman, sedangkan untuk

tingkat pendidikan lanjut akan menyesuaikan pengetahuan yang telah didapat. Sebanyak 107 petani

responden memiliki pengalaman usahatani 5-10 tahun, pengalaman yang cukup dapat mempengaruhi petani

jagung manis dalam memilih produk benih jagung manis. Selain itu dengan semakin berkembangnya

karakteristik produk benih jagung manis, maka petani dengan pengalaman tertentu akan lebih condong

membeli benih jagung manis yang pernah digunakan sebelumnya dan memberikan hasil produksi yang baik.

Tingkat Kepuasan Petani terhadap Produk Benih Jagung Manis Hibrida

Analisis CSI benih jagung manis merek B

Metode analisis Customer Satisfaction Index (CSI) dilakukan untuk mengukur tingkat kepuasan

konsumen terhadap profil suatu produk secara keseluruhan. Kriteria indeks kepuasan dapat dilihat dari tingkat

kesesuaian responden menurut persentase oleh Riduwan (2007), yang menyatakan bahwa pada rentang

skala 61%-80% atau rentang 0,61-0,80 konsumen masih merasa puas dengan atribut suatu produk secara

keseluruhan. Hasil perhitungan indeks kepuasan konsumen pada atribut benih jagung manis merek B

ditunjukkan pada Tabel 3 dengan nilai Customer Satisfaction Index (CSI) sebesar 58% atau 0,58 yang

menyatakan bahwa petani merasa cukup puas terhadap profil produk benih jagung manis merek B.

Page 96: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

82 |

Tabel 3. Perhitungan Customer Satisfaction Index (CSI) Benih Jagung Manis Merek B

No.

Atribut

Mean Important Score (MIS)

Weight Factors (WF)

Mean Satisfaction Score (MSS)

Weighted Score (WS)

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.

Bentuk Tanaman Jagung Produktivitas Daya Tahan terhadap Hama Daya Tahan terhadap Penyakit Daya Tahan Simpan Klobot (Awet Hijau) Umur Panen Bobot Tongkol Ujung Tongkol Penuh (Muput) Warna Kuning Biji Jagung Manis Rendemen Biji Jagung

Berat Kemasan

2,76 4,47 3,16 3,12 2,30 1,98 2,89 3,47 1,90 2,90 1,56

0,09 0,14 0,10 0,10 0,07 0,06 0,09 0,11 0,06 0,09 0,05

3,98 2,72 2,92 2,94 1,40 1,40 3,89 4,10 1,50 1,96 4,76

0,36 0,39 0,30 0,30 0,10 0,09 0,36 0,46 0,09 0,18 0,24

Total 30,50 1 31,60 WAT = 2,91

CSI = ( WAT:5 ) x 100% CSI = (2,91:5 ) x 100% = 58% (0,58)

Sumber : Data Primer Diolah, 2018

Analisis CSI benih jagung manis merek T

Hasil perhitungan indeks kepuasan konsumen pada atribut benih jagung manis merek T ditunjukkan pada

Tabel 4 dengan nilai Customer Satisfaction Index (CSI) sebesar 77% atau 0,77 yang berarti petani merasa

puas terhadap kinerja benih jagung manis merek T. Hasil ini menunjukkan bahwa kinerja benih jagung manis

merek T telah memenuhi sebagian besar keinginan petani sebagai konsumen benih jagung manis hibrida.

Tabel 4. Perhitungan Customer Satisfaction Index (CSI) Benih Jagung Manis Merek T

No.

Atribut

Mean Important Score (MIS)

Weight Factors (WF)

Mean Satisfaction Score (MSS)

Weighted Score (WS)

1 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.

Bentuk Tanaman Jagung Produktivitas Daya Tahan terhadap Hama Daya Tahan terhadap Penyakit Daya Tahan Simpan Klobot (Awet Hijau) Umur Panen Bobot Tongkol Ujung Tongkol Penuh (Muput) Warna Kuning Biji Jagung Manis Rendemen Biji Jagung Berat Kemasan

3,60 4,20 3,62 3,60 4,30 3,60 3,80 3,80 3,70 3,20 2,40

0,09 0,10 0,09 0,09 0,10 0,09 0,09 0,09 0,08 0,06 0,09

3,90 2,30 3,60 3,50 3,60 3,20 4,50 4,30 3,50 4,40 4,90

0,35 0,24 0,32 0,31 0,38 0,28 0,42 0,41 0,32 0,35 0,29

Total 39,82 1 41,70 WAT = 3,73

CSI = ( WAT:5 ) x 100%

Page 97: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 83

CSI = ( 3,73:5 ) x 100% = 74% (0,74)

Sumber : Data Primer Diolah, 2018

Analisis CSI benih jagung manis merek J

Meskipun belum maksimal, kinerja benih jagung manis merek J yang ditunjukkan pada Tabel 4 dengan

nilai Customer Satisfaction Index (CSI) sebesar 63% atau 0,63 termasuk pada kategori puas. Kinerja benih

jagung manis merek J memang tidak sebaik merek T, tetapi petani masih puas terhadap beberapa kinerja

atribut benih jagung manis merek J.

Tabel 4. Perhitungan Customer Satisfaction Index (CSI) Benih Jagung Manis Merek J

No.

Atribut

Mean Important Score (MIS)

Weight Factors (WF)

Mean Satisfaction Score (MSS)

Weighted Score (WS)

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.

Bentuk Tanaman Jagung Produktivitas Daya Tahan terhadap Hama Daya Tahan terhadap Penyakit Daya Tahan Simpan Klobot (Awet Hijau) Umur Panen Bobot Tongkol Ujung Tongkol Penuh (Muput) Warna Kuning Biji Jagung Manis Rendemen Biji Jagung Berat Kemasan

3,20 3,76 3,14 3,16 3,25 3,33 3,22 3,44 3,41 3,00 2,69

0,08 0,10 0,08 0,08 0,09 0,09 0,09 0,09 0,09 0,08 0,07

5 1,49 3,04 2,87 1,80 2,97 3,63 3,86 2,29 3,41 5,00

0,44 0,15 0,26 0,25 0,16 0,27 0,32 0,37 0,21 0,28 0,37

Total 35,60 1 35,36 WAT = 3,15

CSI = ( WAT:5 ) x 100% CSI = (3,15:5 ) x 100% = 63% (0,63)

Sumber : Data Primer Diolah, 2018

Hasil perhitungan kepuasan dengan analisis Customer Satisfaction Index (CSI) pada ketiga merek benih

memiliki perbedaan yang cukup tinggi pada atribut daya tahan simpan klobot. Benih jagung manis hibrida

merek T memiliki ketahanan simpan mencapai 4 hari setelah dipanen, sedangkan untuk merek J hanya

memiliki ketahanan simpan 1-2 hari saja setelah panen, begitu juga dengan benih merek B. Klobot jagung

manis yang cepat menguning akan mempengaruhi keinginan konsumen antara, dalam hal ini pedagang

pengepul dan pedagang luar kota yang membeli jagung manis.

Atribut warna kuning biji jagung manis merek T juga memiliki skor tertinggi karena warna kuning cerah

diminati konsumen. Atribut lainnya yang memiliki selisih yang cukup signifikan adalah atribut produktivitas

jagung manis. Meskipun benih jagung manis merek B memiliki produktivitas tinggi, tetapi dengan rendemen

biji /ketebalan daging buah yang rendah, ikut mempengaruhi keinginan petani dalam memilih benih jagung

manis. Hasil penelitian ini sesuai dengan teori yang dikemukakan Mubyarto (1995), bahwa petani akan lebih

puas jika hasil produksi tinggi karena akan meningkatkan pendapatan petani. Oleh sebab itu banyak petani

memilih benih jagung manis merek T, karena hasil produksi yang cukup memenuhi keinginan petani, dimana

atribut ketebalan daging buah memiliki skor tertinggi diantara benih merek J dan B.

Page 98: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

84 |

Tantangan Pasar Industri Benih Nasional

Era liberalisasi perdagangan dan pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals)

memberikan peluang dan tantangan baru yang harus dihadapi khususnya bagi sektor pertanian. Produk

pertanian yang memiliki daya saing tinggi akan mampu berkelanjutan dan berkembang sehingga ekspor akan

semakin besar. Hal ini selanjutnya dapat mendorong produksi dalam negeri, meningkatkan pendapatan

petani, kesempatan kerja dan devisa negara (Erwindodo, 2015).

Perusahan benih jagung manis yang ada di Indonesia saat ini sebagian besar adalah milik asing (PMA).

Kalaupun ada perusahaan benih jagung manis lokal, namun benih parental yang diturunkan untuk pembuatan

F1 hibridanya masih diimpor.Peraturan Menteri Pertanian Nomor 05/Permentan/OT.140/2/2012 berisi

pembatasan masa edar satu jenis varietas benih parental impor hanya selama dua tahun. Setelah dua tahun,

perusahaan benih harus merakit kembali varitas tersebut. Kebijakan ini menyebabkan sering terjadinya

kelangkaan benih jagung manis yang berkualitas selama proses perijinan untuk jenis yang baru belum ada.

Peraturan Mentri tersebut tidak berlaku bagi benih hibrida yang parentalnya merupakan rakitan breeder

domestik (bukan impor). Namun, riset perakitan vareitas jagung manis hibrida baik oleh perusahaan maupun

lembaga riset dan perguruan tinggi di Indonesia masih sangat langka.

Ketiga merek benih jagung manis hibrida yang mendominasi pasar jagung manis di wilayah Kabupaten

Malang dan menjadi obyek penelitian ini, semua benih parentalnya juga masih impor. Hasil perhitungan indeks

kepuasan petani pada benih jagung manis merek B, J, dan T secara keseluruhan belum bisa memuaskan

petani. Hal ini terlihat dari hasil indeks kepuasan petani terhadap ketiga merek benih jagung manis yang diteliti

berturut-turut sebesar 74% 63%, dan 58%. Namun tingginya ketergantungan petani pada kemitraan dengan

pedagang luar kota dan pedagang pengepul jagung manis dalam hal pemasaran hasil panen jagung manis

yang menginginkan spesifikasi atribut tertentu yang dimiliki oleh salah satu merek benih, menjadikan petani

cenderung sulit untuk berpindah produk. Fenomena ini sesuai dengan penelitian Picon-Berjoyo, Ruiz-Moreno,

dan Castro (2016) yang dapat menjelaskan fenomena produk pemimpin pasar yang memiliki tingkat loyalitas

konsumen tinggi, namun tidak sebanding dengan tingkat kepuasan yang didapatkan oleh konsumennya,

karena terdapat faktor lain di luar kepuasan itu sendiri yang dapat menentukan bagaimana posisi suatu produk

di pasar.

Digerakkan oleh semangat bagaimana produk pertanian lokal mampu menjadi tuan rumah di negara

sendiri, kondisi ini merupakan peluang sekaligus menjadi tantangan bagi produsen benih jagung manis

nasional untuk memasuki dan merebut pasar jagung manis. Produsen benih jagung manis harus selalu

menjaga kualitas produk melalui continuous improvement atribut produk benih jagung manis agar adaptif

terhadap karakteristik agroekologi wilayah pemasaran. Selain itu, produsen benih jagung manis hibrida juga

harus dapat menjalin hubungan baik dengan pihak-pihak yang berpengaruh dalam komunitas petani maupun

saluran pemasaran produk, seperti ketua kelompok tani, pedagang luar kota, dan pedagang pengepul jagung

manis.

Page 99: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 85

KESIMPULAN

Hasil perhitungan Customer Satisfication Index (CSI) menujukkan bahwa secara keseluruhan ketiga

merek benih jagung manis belum bisa memuaskan petani. Hasil indeks kepuasan benih jagung manis merek

T sebesar 74% (0,74) dan benih jagung manis merek J indeks kepuasan konsumen menunjukkan angka 63%

(0,63), artinya petani puas karena kinerja benih jagung manis merek T dan J telah memenuhi sebagian besar

keinginan petani sebagai konsumen benih jagung manis hibrida. Sedangkan indeks kepuasan benih jagung

manis merek B sebesar 58% (0,58), artinya petani merasa cukup puas terhadap profil beberapa atribut produk

benih jagung manis merek B. Selisih indeks kepuasan yang cukup signifikan terjadi karena adanya perbedaan

bobot kinerja pada atribut daya tahan simpan klobot, produktivitas dan rendemen biji jagung manis.

Tantangan bagi produsen benih jagung manis agar dapat memasuki dan menjadi pemimpin pasar,

perusahaan harus selalu menjaga kualitas produk melalui continuous improvement atribut produk benih

jagung manis agar adaptif terhadap karakteristik agroekologi wilayah pemasaran. Selain itu, produsen benih

jagung manis hibrida juga harus dapat menjalin hubungan baik dengan pihak-pihak yang berpengaruh dalam

komunitas petani maupun saluran pemasaran produk, seperti ketua kelompok tani, pedagang luar kota, dan

pedagang pengepul jagung manis.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik Kabupaten Malang .2017. Kabupaten Malang dalam Angka Tahun 2017. Malang : Badan Pusat Statistik.

Erwidodo. 2015. Meningkatnya Daya Saing Produk Holtikultura: Strategi Menghadapi Mea 2015. Daya Saing Kawasan dan Daerah.

FAO. 2016. Green Maize Production in Indonesia 2014-2015 (Online). http://www.fao.org /faostat/en/#data/QC. Diakses pada tanggal 10 Januari 2018.

Kansiime K, Mastenbroek Astrid. 2016. Enhancing resilience of farmer seed system to climate-induced stresses: Insights from a case study in West Nile region, Uganda. The Netherlands.

Kementrian Pertanian. 2016. Outlook Komoditas Pertanian Sub Sektor Pangan. Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian. Jakarta: Kementrian Pertanian.

Hidayat, Taufik dan Nina Istiadah. 2011. Panduan Lengkap Menguasai SPSS 19 untuk Mengolah Data Statistik Penelitian. Jakarta: Media Kita.

Laborte G, dkk. 2015. Farmers‘ Preference for Rice Traits: Insights from Farm Surveys in Central Luzon, Philippines, 1966-2012. China

Mubyarto. 1995. Pengantar Ekonomi Pertanian. Jakarta: LP3ES Nazir. 2014. Metode Penelitian. Cetakan Kesepuluh. Edisi 4. Bogor : Ghalia Indonesia. Picón-Berjoyo, A., Ruiz-Moreno, C., & Castro, I. (2016). A mediating and multigroup analysis of customer

loyalty. European Management Journal, 34, p: 701-713. Prihandono Sony, Any Suryantini. 2015. Analisis Kinerja Produk Benih Padi ―Prima‖ Di Malang. Yogyakarta:

Agroland: The Agriculture Science Journal, 2(1). Purwono dan R. Hartono. 2007. Bertanam Jagung Unggul. Jakarta: Penebar Swadaya. Riduwan, Akdon. 2007. Rumus dan Data dalam Analisis Statistika. Bandung: Alfabeta Santoso, Singgih. 2007. SPSS 10.0. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo.

Page 100: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

86 |

Simamora, Bilson. 2008. Panduan Riset Perilaku Konsumen. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama. Sumarwan, Ujang. 2011. Perilaku Konsumen Teori dan Penerapannya Dalam Pemasaran, Edisi 2. Ghalia

Indonesia. Bogor. Waldman B. 2017. Maize seed choice and perceptions of climate variability among smallholder

Page 101: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 87

PERKEMBANGAN KINERJA PASAR KOMODITAS KENTANG DI SENTRA PRODUKSI

KOTA BATU PROVINSI JAWA TIMUR

Rini Dwiastuti1, Vetty Seily Kurnia Dessy2, Ridayati3 Jurusan Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya Jalan Veteran, Malang, Indonesia

Email : [email protected], [email protected], [email protected]

Abstrak. Selama kurun waktu dua puluh tahun terakhir di Kecamatan Bumiaji Kota Batu terdapat fenomena terjadinya pertambahan pelaku pemasaran pada setiap tingkat lembaga pemasaran, yakni jumlah tengkulak, pengepul, pedagang besar serta pengecer bertambah secara signifikan. Secara teoritis, apabila pelaku pasar yang berpartisipasi bertambah banyak, maka akan terjadi saluran pemasaran semakin beragam. Secara teoritis saluran pemasaran mempengaruhi kinerja pasar. Pengukuran kinerja yang mencerminkan efisiensi akan diukur dengan keragaman saluran pemasaran, besarnya Total Gross Marketing Margin, rasio keuntungan-biaya, dan besarnya Marketing Efficiency Index. Dengan mengelompokan responden lembaga pemasaran yang berpengalaman kurang dari 20 tahun dan lebih dari 20 tahun didapatkan hasil bahwa periode 20 tahun terakhir terjadi bentuk saluran pemasaran lebih beragam. Berdasarkan rata-rata Total Gross Marketing Margin dan rata Marketing Efficiency Index terjadi kecenderungan bahwa periode lebih dari 20 tahun lebih efisien pada pasar lokal, dan terjadi sebaliknya pada pasar luar Jawa. Adapun berdasarkan rata-rata rasio keuntungan-biaya terjadi kecenderungan bahwa pemasaran local dan luar pulau Jawa relative lebih efisien pada periode kurang dari 20 tahun. Hal tersebut membuktikankan bahwa semakin bertambahnya partisipan pada setiap tingkat lembaga pemasaran dalam distribusi komoditas kentang akan menjadikan perkembangan kinerja pasar yang semakin efisien pada lokasi pemasaran luar Pulau Jawa. Kata kunci : Total Gross Marketing Margin, Profit-Cost ratio, Marketing Efficiency Index

PENDAHULUAN

Kentang sebagai suber karbohidrat memiliki potensi untuk mendukung program ketahanan pangan

serta program diversifikasi pangan dalam rangka mewujudkan implementasi pola pangan harapan (Setiadi,

2009). Salah satu program yang terkait dengan sub-sistem ketersediaan dalam system ketahanan pangan

adalah kestabilan dan kesinambungan penyediaan pangan yang berasal dari produksi dalam negeri,

sedangkan dari sub-sistem distribusi adalah kestabilan harga pangan dan aksesibilitas pangan antar waktu

dan antar wilayah. Apabila ditinjau dari sisi sub-sistem ketersediaan, produksi kentang di Provinsi Jawa Timur

mengalami peningkatan dari 189.864 ton pada tahun 2013 menjadi 212.173 ton pada tahun 2015 (BPS,

2016). Peningkatan produksi kentang tersebut apakah juga ditopang oleh kinerja pemasaran yang lebih

efisien?, yakni yang dicerminkan oleh bagian (share) marjin untuk petani yang lebih baik. Fenomena efisiensi

pemasaran akan diukur mengunakan indicator Total Gross Marketing Margin, profit-cost ratio, dan Marketing

Page 102: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

88 |

Efficiency Index; sebagaimana yang telah diaplikasikan oleh Wabbi (2013), Nzima dan Dzanja (2015), dan

Bime et al (2016.

Perkembangan kinerja pemasaran menarik untuk diungkap, karena dalam kurun waktu 20 terakhir di

Kota Batu terdapat fenomena pertambahan partisipan pada setiap tingkatan (level) lembaga pemasaran. Pada

sentra produksi kentang di Desa Sumber Brantas Kecamatan Bumiaji Kota Batu telah terjadi penambahan

tujuh orang tengkulak, dua orang pengepul, empat orang pedagang besar dan sembilan orang pengecer.

Adanya penambahan pelaku pemasaran dapat meningkatkan marjin pemasaran antara produsen dan

konsumen yang akan mempengaruhi kinerja pasar Wabbi (2013), dan peningkatan marjin dalam suatu saluran

pemasaran dapat menunjukkan adanya peningkatan keuntungan yang diperoleh oleh masing-masing pihak

yang terlibat dalam saluran pemasaran tersebut. Kohls dan Uhl (1980). Fenomena yang terjadi di pusat

produksi kentang di Kota batu tersebut menjadikan menurunnya konsentrasi pasar. Sementara itu, pasar yang

memiliki konsentrasi lemah berdampak pada sistem pemasaran yang lebih efisien (Sinaga et al, 2014).

Sementara itu, dalam Mubyarto (1985) dikatakan bahwa kinerja pasar dikatakan baik apabila terdapat

pembagian keuntungan yang adil bagi produsen dan lembaga pemasaran dari keseluruhan harga yang

dibayar konsumen. Dengan demikian, kajian tentang perkembangan kinerja pasar kentang menarik untuk

diungkap.

Fenomena lain yang menarik pada lokasi kajian adalah terjadinya pertambahan partisipan pada setiap

tingkatan (level) lembaga pemasaran tidak hanya pada wilayah pemasaran local, namun juga pemasaran luar

Jawa. Oleh karena itu menarik untuk mendeskripsikan bagaimana kecenderungan perkembangan kinerja

menurut lembaga pemasaran dan lokasi pemasaran.

Secara umum tujuan dari kajian adalah untuk mengetahui perkembangan kinerja pasar komoditas

kentang yang dilakukan oleh masing-masing lembaga pemasaran yaitu pengalaman usaha diatas 20 tahun

dan dibawah 20 tahun. Adapun secara spesifik, tujuan kjian ialah untuk mendeskripsikan kecenderungan

pembagian keuntungan (share marjin) dari setiap tingkatan lembaga pemasaran (mulai dari produsen hingga

pengecer), serta kecenderungan besarnya keuntungan per rupiah biaya yang dikeluarkan. Hasil penelitian ini

diharapkan dapat digunakan sebagai salah satu sumber informasi dalam penetapan kebijakan terkait

pemasaran kentang.

METODOLOGI

Penentuan lokasi dilakukan secara purposive di Desa Sumber Brantas Kecamatan Bumiaji Kota Batu,

Provinsi Jawa Timur dengan pertimbangan bahwa daerah tersebut merupakan salah satu sentra kentang

serta terdapat fenomena perkembangan lembaga pemasaran yang signifikan selama 20 tahun terakhir.

Responden terdiri atas responden produsen dan lembaga pemasaran yang berpartisipasi. Penentuan

responden produsen kentang dilakukan dengan metode stratified random sampling dengan jumlah 41 petani

kentang, sedangkan penentuan responden lembaga pemasaran menggunakan snowball sampling. Adapun

jumlah responden lembaga pemasaran terdiri atas: 7 orang tengkulak, 5 orang pengepul, 6 orang pedagang

besar, dan 13 orang pengecer. Metode pengumpulan data menggunakan metode wawancara dengan

responden dan diskusi dengan informan kunci.

Page 103: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 89

Kecenderungan perkembangan kinerja didasarkan pada hasil analisis besarnya Total Gross Marketing

Margin, profit-cost ratio (keuntungan setiap satu rupiah biaya), dan besarnya Marketing Efficiency Index pada

setiap lembaga pemasaran dari berbagai saluran pemasaran. Adapun rumus perhitungan berbagai analisis

adalah:

a. Total Gross Marketing Margin

Pengukuran yang menggambarkan proporsi penerimaan (gross profit) yang didapatkan oleh

keseluruhan lembaga pemasaran yang terlibat, yang diekspresikan dengan nilai persentase. Secara

sistematis, persamaan Total Gross Marketing Margin adalah sebagai berikut:

. . . . . . . . . (1.a)

Keterangan:

TGMMj : Total Gross Marketing Margin pada saluran pemasaran ke-j (%)

: Harga jual ditingkat petani (Rp/Kg)

: Harga jual ditingkat pengecer (Rp/Kg)

i : lembaga pemasaran ke-i, i = 1, 2, … m

Sedangkan bagian marjin (share margin) untuk produsenkentang dihitung berdasarkan rumus:

. . . . . . . . . .(1.b)

Keterangan:

TGMMj : Total Gross Marketing Margin pada saluran pemasaran ke-j (%)

GMMpj : Gross Marketing Margin Producer pada saluran pemasarn ke-j (%)

j : saluran pemasaran ke-j, j = 1, 2, …, m

b. Rasio Tingkat Keuntungan dengan Biaya

Pada tingkat produsen, rasio dilakukan dengan membandingkan antara keuntungan yang diperoleh

produsen dengan biaya produksi. Sedangkan pada lembaga pemasaran yang berpartisipasi, rasio keuntungan

dengan biaya pemasaran (biaya yang dikeluarkan dari implementasi fungsi pemasaran kentang) pada

lembaga pemasaran. Berikut perhitungan rasio keuntungan dan biaya setiap lembaga pemasaran di setiap

saluran pemasaran kentang:

. . . . . . . . . . (1.c)

Keterangan:

(K/B)j : Rasio keuntungan dan biaya pemasaran pada saluran pemasaran ke-j

Ki : Keuntungan lembaga pemasaran ke-i (Rp/Kg)

Bi : Biaya pemasaran ke-i (Rp/Kg)

Page 104: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

90 |

c. Marketing Efficiency Index

Diperoleh dengan membandingkan harga bersih yang diterima petani terhadap total biaya pemasaran

ditambah surplus dari keseluruhan lembaga pemasaran yang terlibat (Acharya dan Agarwal, 2001). Adapun

persamaan Marketing Efficiency Index sebagai berikut:

. . . . . . . . . .(1.d)

Keterangan:

MEIj : Marketing Efficiency Index pada saluran pemasaran ke-j

NPj : Harga bersih yang diterima oleh petani kentang pada saluran pemasaran ke-j (Rp)

MMj : Total marjin pemasaran (total pedagang surplus) untuk pedagang pada saluran pemsaran ke-j (Rp)

MCj : Total biaya pemasaran kentang yang dilakukan pedagang pada saluran pemasaran ke-j (Rp)

d. Analisis perkembangan kinerja

Dari hasil analisis data berasarkan rumus (1.a) hingga (1.d), selanjutnya dilakukan pengelompokan

(klasifikasi) menurut pengalaman usaha (di bawah 20 tahun dan di atas 20 tahun); serta berdasarkan lokasi

pemasaran (local dan luar Jawa). Jumlah lembaga pemasaran (i) yang terlibat pada setiap saluran

pemasaran (j) bervariasi menurut klasifikasi periode pengalaman partisipan maupun menurut lokasi

pemasaran. Dalam rangka untuk mendapatkan perkembangan kinerja secara umum menurut klasifikasi, maka

nilai Total Gross Marketing Margin , Profit-Cost ratio, dan besarnya Marketing Efficiency Index pada setiap

klasifikasi didekati dengan rata-rata dari keseluruhan saluran pemasaran (j = 1 … m) dengan

mengimplementasikan rumus sebagaimana yang terdapat pada Tabel 1.a hingga Tabel 1.c. Sedangkan untuk

mendapatkan nilai pada setiap klasifikasi didekati dengan rata-rata dari keseluruhan lembaga pemasaran

yang terlibat (i = 1, 2, …n).

Tabel 1.a. Metode analisis Gross Marketing Margin pada setiap level lembaga pemasaran dan Total Gross

Marketing Margin pada klasifikasi menurut periode waktu dan lokasi pemasaran

Pelaku Pasar ke-i Saluran pemasaran ke-j Nilai Rata-rata

1 2 … m

Produsen GMM11 GMM12 … GMM1m

Tengkulak GMM21 GMM22 … GMM2m

Pengepul . . . . .

Pedagang Besar . . . . .

Pengecer GMM51 (GMMij)

GMM52 … GMM5m (GMMnm)

Page 105: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 91

TGMMj TGMM1 TGMMn

Keterangan: i = lembaga pemasaran ke-i (i = 1. 2, .. m), j = saluran pemasaran ke-j (j = 1, 2, …, n),

k = klasifikasi ke-k (k = 1 ialah pengalaman lembaga pemasaran kurang dari 20 tahun dengan

lokasi pemasaran lokal, k = 2 adalah pengalaman lembaga pemasaran lebih dari 20 tahun

dengan pemasaran lokal, k = 3 ialah pengalaman lembaga pemasaran kurang dari 20 tahun

dengan lokasi pemasaran luar Jawa, dan k = 4 adalah pengalaman lembaga pemasaran lebih

dari 20 tahun dengan pemasaran luar Jawa.

Tabel 1.b. Metode analisis Profit-Cost Ratio pada setiap level lembaga pemasaran dan menurut klasifikasi unit

analisis (menurut periode waktu dan lokasi pemasaran).

Pelaku Pasar ke-i Saluran pemasaran ke-j Nilai rata-rata

1 2 … m

Produsen (K/B)11 (K/B)12 … (K/B)1m

Tengkulak (K/B)21 (K/B)22 … (K/B)2m

Pengepul . . . . .

Pedagang Besar . . . . .

Pengecer (K/B)n1 (K/B)n2 … (K/B)nm

Rasio Keuntungan-Biaya pada kelas ke-k

Keterangan: (seperti pada Tabel 1.a)

Tabel 1.c. Metode analisis Profit-Cost Ratio pada setiap level lembaga pemasaran dan menurut klasifikasi unit

analisis (menurut periode waktu dan lokasi pemasaran).

Pelaku Pasar ke-i Saluran pemasaran ke-j Nilai Rata-rata

1 2 … m

Produsen MEI11 MEI 12 … MEI 1m

Tengkulak MEI 21 MEI 22 … MEI 2m

Pengepul . . . . .

Pedagang Besar . . . . .

Pengecer MEI n1 MEI n2 … MEI nm

Page 106: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

92 |

Marketing Efficiency Index pada kelas ke-k

Keterangan: (seperti pada Tabel 1.a)

Sementara itu untuk mendapatkan deskripsi perkembangan kinerja secara spesifik setiap level

lembaga pemasaran dilakukan analisis lanjutan, yakni dengan pembobotan. Pembobotan dimaksudkan untuk

mengembalikan prinsip bahwa total share margin (Gross Marketing Margin = GMM) dari keseluruhan lembaga

pemasaran yang terlibat pada suatu saluran pemasaran besarnya sama dengan satu dikurangi dengan GMM

dari produsen. Dengan kata lain bahwa total GMM dari keseluruhan lembaga pemasaran yang terlibat sama

dengan TGMM dari sautu saluran pemasaran. Apabila GMM dari setiap level lemabaga pemasaran

menggunakan nilai rata-rata dari saluran pemasaran (kolom terakhir pada Tabel 1.a), maka TGMM + GMM >

1, yang tidak mencerinkan kondisi riil. Adapun metode analisis pembobotan GMM pada setiap level lembaga

pemasarn disajikan pada Tabel 1.d.

Tabel 1.d. Metode analisis Gross Marketing Margin terbobot pada setiap level lembaga pemasaran.

Pelaku Pasar ke-i Nilai Rata-rata Awala) Pembobot Nilai Terbobot

A. GMM

Produsen GMM1 Tidak dibobotc)

Tengkulak GMM2

GMM2T = ω * GMM2

Pengepul .

Pedagang Besar .

Pengecer GMMn GMMnT = ω * GMMn

B. TGMM 1 – GMM1b)

Keterangan: a) nilai rata-rata yang diperoleh dari kolom terakhir dari Tabel 1.a.; b) besarnya Gross Marketing

Margin (GMM) dari produsen kentang; c) tidak dibobot agar mencerminkan besarnya share

margin riil yang dinikmati oleh produsen

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan implementasi Tabel 1.a hingga Tabel 1.c, diperoleh deskripsi perkembangan kinerja

pasar kentang secara umum sebagaimana yang disajikan pada Tabel 2. Total lembaga yang berpartisipasi

pada Tabel 2 sebanyak 40 orang, sementara jumlah responden lembaga pemasaran adalah 31. Hal tersebut

mencerminkan terdapat 9 partisipan yang melayani pasar lokal & pasar luar Jawa, diantara partisipan tersebut

terdapat 7 orang yang memiliki pengalaman sebagai lembaga pemasaran kentang kurang dari 20 tahun.

Lokasi pemasaran lokal antara lain, pasar Batu, Pasar Karangploso, dan memasok ke industri pengolahan

kentang. Sedangkan pemasaran luar Jawa yaitu, Kalimantan, Sulawesi, dan Palu. Dengan demikian dapat

dikatakan bahwa lembaga pemasaran yang berpartisipasi kurang dari 20 tahun lebih berani mengembangkan

diri memasarkan ke luar Jawa. Dari 7 responden tengkulak terdapat 4 orang yang memasarkan komoditas

kentang di wilayah local dan luar Jawa; sedangkan pada pengepul dan pedagang besar masing-masing

terdapat tiga orang dan dua orang. Dengan mengkombinasikan jumlah partisipan dan jumlah saluran

Page 107: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 93

pemasaran, pada Tabel 2 juga mencerminkan kecenderungan bahwa lembaga pemasaran yang berpartisipasi

kurang dari 20 tahun memiliki saluran pemasaran lebih dari satu bentuk.

Tabel 2. Saluran Pemasaran, Rata-rata Total Gross Marketing Margin, Rata-rata Rasio Keuntungan-biaya,

dan Rata-rata Marketing Efficiency Index Komoditas Kentang di Kota Batu

Uraian Pemasaran Lokal Pemasaran Luar Jawa

< 20 th > 20 th < 20 th > 20 th

a. Jumlah Partisipan

Tengkulak 5 6

Pengepul 1 3 3 1

Pedagang Besar 4 3 3

Pengecer 8 3

Total 18 9 12 1 b. Jumlah Saluran Pemasaran 5 4 5 1 c. TGMM (%) 22 17 15 19 d. Profit-Cost Ratio 3.05 1.99 1.91 1.81 e. Marketing Efficiency Index 3.80 5.65 5.69 3.09

Sumber: Data Primer Diolah, 2018

1. Total Gross Marketing Margin (TGMM)

Berdasarkan Tabel 2, tercermin bahwa pertambahan partisipan pada setiap tingkatan (level) lembaga

pemasaran menjadikan kinerja pasar local menurun yang ditunjukkan dengan TGMM yang lebih besar pada

klasifikasi periode waktu kurang dari 20 tahun. Kondisi tersebut diperkuat dengan GMM (Gross Marketing

Margin) pada setiap level lembaga pemasaran yang berpengalaman usaha kurang dari 20 tahun yang

menunjukkan angaka relatif lebih besar (Tabel 3). Hal tersebut karena pada pemasaran lokal, produsen

memasarkan kentang tidak hanya di pasar tradisional saja tetapi juga memasok ke industri pengolahan

kentang yang menerapkan standar kualitas kentang yang tinggi. Sehingga produsen melakukan grading dan

sortasi sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh industri, yang pada akhirnya menambah biaya pemasaran

(fungsi fisik) di pihak produsen. Pemasaran ke industry olahan kentang pada umumnya dilakukan oleh

lembaga pemasaran level pedagang besar. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa biaya standarisasi

produk kentang yang dipasarkan pada industry olahan dibebankan pada produsen akan menjadikan Gross

Marketing Margin (GMM) produsen menurun. Disamping itu, pada lembaga pemasaran yang telah

berpartisipasi lebih dari 20 tahun relative dominan pada pemasaran lokal, yakni pada pasar tradisional dengan

harga yang sesuai berlaku di pasar.

Sebaliknya pemasaran luar Jawa, pertambahan partisipan pada setiap tingkatan (level) lembaga

pemasaran menjadikan kinerja pasar luar Jawa relative meningkat. Nilai rata-rata TGMM lembaga pemasaran

yang berpartisipasi kurang dari 20 tahun sebesar 15%, dan lembaga pemasaran berpengalaman lebih dari 20

tahun sebesar 19%. Kondisi tersebut bisa diinterpretasikan bahwa dengan pertambahan partisipan pada

setiap tingkatan (level) lembaga pemasaran, semula produsen kentang hanya menikmati 81% dari setiap Rp

1.00 yang dibayar konsumen menjadi 85% . Secara umum nilai rata-rata TGMM luar Jawa lebih efisien

dibandingkan pemasaran lokal. Hal tersebut karena lembaga pemasaran luar Jawa memaksimumkan

kapasitas sarana transportasi dengan tujuan untuk menekan biaya pemasaran. Serta lembaga pemasaran

Page 108: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

94 |

yang berpartisipasi kurang dari 20 tahun lebih memiliki tingkat mobilitas yang tinggi dan memanfaatkan sarana

informasi untuk membangun jaringan dengan baik. Peningkatan kinerja pemasaran di luar Jawa juga

ditunjukkan pada GMM pada berbagai level lembaga pemasaran relative terdistribusi merata sebagaimana

yang ditunjukkan pada kolom (4) dalam Tabel 3.

Tabel 3. Besarnya Gross Marketing Margin terbobot pada setiap lembaga pemasaran yang berpartisipasi.

Indikator & Pelaku Pasar Pemasaran Lokal Pemasaran Luar Jawa

< 20 th > 20 th < 20 th > 20 th

A. Gross Marketing Margin

Produsen 78%

(n=10) 83% (n=8) 85% (n=27) 81%

(n=7)

Tengkulak 3% (n=2) t.a.p 4% (n=3)

19% (n=1)

Pengepul 8% (n=1) 7% (n=2) 6% (n=2) t.a.p

Pedagang Besar 7% (n=3) 5% (n=2) 6% (n=2) t.a.p

Pengecer 5% (n=3) 5% (n=2) d.t.k d.t.k

B. Profit-Cost Ratio

Produsen 1.04 (n=10) 1.05 (n=8) 1.03 (n=27) 1.04 (n=7)

Tengkulak 0.72(n=2) t.a.p 1.54 (n=3) 1.81 (n=1)

Pengepul 1.09 (n=1) 3.74 (n=2) 2.12 (n=2) t.a.p

Pedagang Besar 7.51 (n=3) 1.60 (n=2) 2.95 (n=2) t.a.p

Pengecer 4.91 (n=3) 1.58 (n=2) d.t.k d.t.k

C. Total Gross Marketing Margin 22% 17% 15% 19%

Keterangan: t.a.p = tidak ada partisipan (lembaga tidak ada); d.t.k = data tiidak diamati karena

berada di luar Jawa.

Apabila mencermati nilai GMM pada tingkat produsen, tidak selalu saluran pemasaran pendek

memiliki GMM produsen (GMM1) yang lebih besar daripada saluran pemasaran panjang. Perbedaan GMM

produsen lebih dipengaruhi oleh keuntungan melalui penerimaan. Pada lima saluran pemasaran yang berbeda

menunjukkan adanya harga jual di tingkat podusen, biaya produksi dan biaya pemasaran per satuan berat

yang sama, namun didapatkan keuntungan per satauan berat yang berbeda. Dengan demikian besarnya

GMM produsen lebih dipengaruhi produktivitas kentang, melalui sisi penerimaan (revenue).

2. Rasio Keuntungan-Biaya

Nilai rasio antara keuntungan dengan biaya mencerminkan besarnya keuntungan yang diterima oleh

pelaku pemasaran dari setiap rupiah biaya yang dikeluarkan. Secara umum dari Tabel 2 terdapat

kecenderungan bahwa pertambahan partisipan pada setiap tingkatan (level) lembaga pemasaran kentang

akan menjadikan keuntungan per rupiah biaya menjadi lebih besar, baik pada pasar local maupun luar Jawa.

Page 109: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 95

Apabila nilai rata-rata ratio keuntungan dan biaya lembaga pemasaran lokal kurang dari 20 tahun sebesar

3.05, artinya setiap lembaga pemasaran mengeluarkan biaya Rp. 1.00, maka lembaga pemasaran

mendapatkan keuntungan sebesar Rp. 3.05.

Dengan kata lain, berdasarkan hasil analisis rata-rata rasio keuntungan dan biaya, lembaga

pemasaran dengan pengalaman usaha kurang dari 20 tahun untuk pemasaran lokal maupun luar Jawa lebih

efisien dibandingkan lembaga pemasaran dengan lama usaha lebih dari 20 tahun. Hal tersebut karena

lembaga pemasaran kurang dari 20 tahun, tidak hanya memasarkan kentang ke pasar tradisonal saja tetapi

juga ke industri, serta lembaga pemasaran juga memaksimalkan kapasitas transportasi untuk

meminimalisirkan biaya pemasaran.

Sementara itu, pada Tabel 3 tercermin bahwa pertambahan partisipan pada setiap tingkatan (level)

lembaga pemasaran kentang akan menjadikan kinerja pasar relatif meningkat. Kondisi tesebut terlihat dari

perkembangan jumlah lembaga pemasaran yang menikmati keuntungan besar relative lebih meingkat, baik

pada pemasarn local maupun luar Jawa. Pada klasifikasi lembaga yang berpartisipasi kurang dari 20 tahun

terdapat dua lembaga pemasaran yang mendapatkan keuntungan tertinggi; sedangkan pada lembaga yang

berpartisipasi lebih dari 20 tahun hanya terdapat satu lembaga pemasaran.

3. Marketing Efficiency Index (MEI)

Hasil perhitungan rata-rata nilai MEI pada pemasaran lokal (Tabel 2) menunjukkan bahwa dengan

pertambahan partisipan pada setiap tingkatan (level) lembaga pemasaran menjadikan MEI pada pasar local

menurun, dan MEI pasar luar Jawa meningkat. Hal tersebut terjadi karena dengan bertambahnya partisipan

lembaga pemasaran menyebabkan semakin beragam dan panjang saluran pemasaran kentang. Sehingga

dengan bertambahnya lembaga pemasaran yang mendapatkan keuntungan dari semakin beragam dan

panjangnya saluran di pasar local akan menjadikan MCj dan MMj meningkat, maka MEI menurun (lihat rumus

1.d).

Sedangkan pertambahan partisipan pada setiap tingkatan (level) lembaga pemasaran menjadikan MEI

pada pasar luar Jawa meningkat karena semakin beragamnya saluran pemasaran justru dapat menekan

biaya pemasarn (MCj). Hal tersebut dikarenakan lembaga pemasaran yang berpartisipasi kurang dari 20

tahun lebih memiliki tingkat mobilitas yang tinggi dan memanfaatkan sarana informasi untuk membangun

jaringan dengan baik sehingga pemasaran yang mereka lakukan lebih efisien dibandingkan dengan lembaga

pemasaran yang telah berpartisipasi lebih dari 20 tahun.

KESIMPULAN

Apabila mengacu pada indicator Total Gross Marketing Margin, terdapat kecenderungan bahwa

pertambahan partisipan pada setiap tingkatan (level) lembaga pemasaran menjadikan kinerja pasar local

menurun, dan terjadi sebaliknya untuk pasar luar Jawa. Penurunan kinerja pada pasar local karena adanya

beban tambahan pada produsen kentang terkait dengan syarat standar kualitas yang diberlakukan pada

industry olahan kentang. Adapun pemasaran kentang pada industry olahan pada umumnya dilaksanakan oleh

Page 110: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

96 |

pedagang besar. Serta lembaga pemasaran yang berpartisipasi lebih dari 20 tahun relative dominan bermain

di pasar local; sedangkan lembaga pemasaran yang berpartisipasi kurang dari 20 tahun lebih dominan

berorientasi pada pemasaran luar Jawa. Hal tersebut karena lembaga pemasaran yang berpartisipasi kurang

dari 20 tahun memiliki tingkat mobilitas dan akses informasi yang relative lebih tinggi untuk membangun

jejaring, serta ditunjang upaya untuk memaksimalkan sarana transportasi dalam rangka menekan biaya

pemasaran.

Berdasarkan hasil analisis rasio keuntungan dan biaya, didapatkan kondisi bahwa pertambahan

partisipan pada setiap tingkatan (level) lembaga pemasaran menjadikan kinerja pasar lebih baik (meningkat)

baik pada pemasaran lokal maupun luar Jawa. Lembaga pemasaran yang berpartisipasikurang dari 20 tahun

mempunyai kinerja yang lebih baik (pasar lebih efisien) karena tidak hanya memasarkan di pasar tradisonal,

namun juga memasok kentang ke industry pengolahan. Secara keseluruhan analisis perkembangan kinerja

pasar menunjukkan pemasaran kentang keluar Jawa lebih efisien dibandingkan lokal karena lembaga

pemasaran memaksimumkan daya angkut transportasi untuk meminimalkan biaya pemasaran.

Sementara itu, berdasarkan besarnya Marketing Efficiency Index diperoleh kesenderungan fenomena

bahwa pertambahan partisipan pada setiap tingkatan (level) lembaga pemasaran menjadikan kinerja pasar

local menurun, dan kinerja pasar luar Jawa membaik. Kondisi tersebut terjadi karena semakin beragam dan

panjangnya saluran pada pemasaran local menyebabkan meningkat pada biaya pemasaran (MCj) dan pihak

yang menerima keuntungan dari suatu saluran bertambah (MMj). Sedangkan pada pemasaran luar Jawa

justru dapat menekan biaya pemasaran (MCj) karena lembaga pemasaran yang berpartisipasi kurang dari 20

tahun telah mengakses fasilitas komonikasi dalam membangun jejaring pada cakupan wilayah yang lebih luas

dan kapasitas yang lebih besar.

Atas dasar hasil analisis Total Gross Marketing Margin , Profit-Cost ratio, dan besarnya Marketing

Efficiency Index dapat dikatakan bahwa dengan semakin beragamnya partisipan pada setiap tingkatan (level)

lembaga pemasaran menjadikan: 1) saluran pemasaran semakin bervariasi karena satu partisipan biasa

membentuklebih sari satu saluran pemasaran, 2) kinerja pemasaran local semakin menurun, dan 3) kinerja

pemasaran ke luar Jawa semakin membaik.

Agar kesimpulan perkembangan kinerja pemasaran kentang lebih akurat, maka deskripsi yang didapat

hanya berdasarkan pada satu desa lokasi sentra produksi kentang, maka perlu pengembangan kajian pada

desa dan kecamatan lain pada wilayah kota Batu. Serta diperluas ke kabupaten lain di Provinsi Jawa Timur.

DAFTAR PUSTAKA

Acharya dan Agarwal. 2001. Agriculture Marketing in India. Oxford and IBH Publishing Co. New Delhi. India. Badan Pusat Statistik. 2017. Statistik Produksi Hortikultura 2017. Direktorat Jenderal Hortikultura Kementerian

Pertanian. [Internet]. [diunduh 20 Januari 2018]. http://www.pertanian.go.id/ap_pages/mod/datahorti Bime M.J., Mai Bong J.K., M. I. (2016). Structure, Conduct And Perfomance Of The Rice Market In North-West

Region Of Cameroon: A Descriptive Analysis. BimeRJOAS, 11(59), November 2016, 11(November), 23–29. https://doi.org/https://doi.org/10.18551/rjoas.2016-11.04

Bonabana-Wabbi, J. (2013). The Performance Of Potato Markets In South Western Uganda. Journal of Development and Agricultural Economics, 5(6), 225–235. https://doi.org/10.5897/JDAE12.124

Kohls RL, Uhn JN. 1980. Marketing of Agricultural Product. New Jerssey (US): Prentisce Hall.

Page 111: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 97

Kurniawan, H., Suganda, T. 2014. Uji Kualitas Ubi Bebebrapa Klon Kentang Hasil Persilangan untuk Bahan Baku Keripik. Jurnal Agro, 1(1), 33-43.

Mubyarto. 1985 Pengantar Ekonomi Pertanian. LP3ES, Jakarta. Nzima, Madede Wisdon dan Dzanja Malawi Joseph. 2015. Efficiency Of Soybean Markets In Malawi:

Structure, Conduct And Performance Approach International Journal of Business and Social Science. [Internet]. [diunduh 2015 Jan 30]; 6(4)

Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian. 2017. Statistik Konsumsi Pangan Tahun 2017. Sekretaris Jenderal, Kementerian Pertanian.

Sinaga, Fariyanti, dan Tinaprilla. 2014. Analisis Struktur, Perilaku, Dan Kinerja Pemasaran Kentang Granola Di Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Page 112: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

98 |

Analisis Efisiensi Teknis Budidaya Tambak Bandeng pada Teknologi Tradisional dan

Semi-Intensif di Jawa Barat

Mahfudlotul „Ula1,Suprehatin2

1Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, IPB 2Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan, LPPM, IPB

PENDAHULUAN

Di Indonesia, usaha perikanan budidaya terus tumbuh dan berkembang seiring dengan pertumbuhan

perikanan tangkap yang cenderung menurun. Perkembangan perikanan budidaya ini penting untuk

mengurangi ketergantungan hasil perikanan tangkap yang memiliki penurunan kontribusi sebesar 11.75

persen dari produksi perikanan nasional. Pengembangan produksi perikanan budidaya juga bertujuan untuk

memenuhi konsumsi ikan dalam negeri yang terus mengalami peningkatan sebesar 7.35 persen setiap

tahunnya (KKP, 2016). Pada periode tahun 2010-2015, kontribusi perikanan budidaya terhadap total produksi

perikanan nasional mencapai 68.89 persen (KKP, 2016).

Salah satu usaha perikanan budidaya potensial untuk dikembangkan di Indonesia adalah usaha

budidaya tambak bandeng. Potensi pengembangan usaha budidaya tambak bandeng dapat dilihat dari dua

hal. Pertama, ketersediaan lahan tambak yang belum dimanfaatkan mencapai 70.7 persen dari total luas

tambak di Indonesia (KKP, 2016). Ketersediaan lahan tersebut berpotensi untuk pengembangan budidaya

bandeng. Kedua, permintaan produk bandeng terus mengalami peningkatan baik di pasar domestik maupun

internasional seperti Filipina, Malaysia, Singapura, dan Taiwan. Hal tersebut juga seiring dengan

perkembangan industri pengolahan ikan di Indonesia yang terus tumbuh seiring peningkatan preferensi

masyarakat akan produk ikan dan olahannya.

Sejalan dengan meningkatnya permintaan bandeng, peningkatan produksi dan produktivitas

bandeng di Indonesia menjadi sangat penting. Secara umum, pelaku usaha budidaya bandeng adalah petani

tambak bandeng. Upaya peningkatan produksi dapat dilakukan melalui penambahan luasan lahan

(ekstensifikasi), pengembangan teknologi (intensifikasi), dan pemanfaatan sumberdaya secara efisien (Bakhsh

et al. 2006). Kedua upaya baik ekstensifikasi maupun intensifikasi sudah banyak dilakukan dalam peningkatan

produksi bandeng di Indoensia. Meskipun demikian, ada beberapa peluang dan tantangan dalam

meningkatkan produksi bandeng baik melalui upaya ekstensifikasi maupun intensifikasi. Pertama, peningkatan

produksi bandeng melalui ekstensifikasi berpotensi dilakukan dikarenakan pemanfatan lahan tambak di

Indonesia masih tergolong rendah yaitu sekitar 22 persen dari total potensi lahan tambak di Indonesia.

Namun, program ektensifikasi ini menghadapi tantangan yaitu adanya konversi lahan pertanian (tambak)

menjadi non pertanian.

Kedua, upaya peningkatan produksi melalui program intensifikasi berpotensi dikembangkan

dikarenakan sudah dilakukan oleh petani tambak bandeng di Indonesia. Meskipun demikian, program

intensifikasi ini menghadapi kendala yaitu akses terhadap modal dimana modal yang cukup diperlukan

petambak bandeng untuk membeli pakan tambahan dan peningkatan padat tebar benih bandeng. Selain itu,

Page 113: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 99

meskipun program intensifikasi mampu meningkatkan produktivitas bandeng 100 persen dibandingkan

penggunaan teknologi tradisional (Ula, 2015), produktivitas bandeng di Indonesia dengan menggunakan

teknologi semi-intensif masih rendah yaitu sebesar 921 kg/ha. Di Filipina, produktivitas bandeng menggunakan

teknologi tradisional mencapai sebesar 800-4,000 kg/ha. Produktivitas bandeng yang rendah di Indonesia baik

menggunakan teknologi tradisional maupun semi-intensif diduga karena penggunaan input yang belum efisien.

Berdasarkan hal tersebut, upaya peningkatan produksi bandeng melalui pemanfaatan sumberdaya

yang efisien sangat penting untuk dikaji untuk memberikan alternatif bagi petani dalam mengelola usaha

tambak bandeng. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan produksi dengan penggunaan input yang ada

sehingga dapat menurunkan biaya usahatani dan meningkatan pendapatan petani. Selain itu, faktor-faktor

yang mempengaruhi efisiensi usaha budidaya bandeng juga perlu dikaji seperti faktor sosio-ekonomi petani

karena faktor-faktor tersebut diduga juga mempengaruhi pada tingkat pendapatan petani. Secara spesifik,

tujuan penelitian ini adalah (1) mendeskripsikan keragaan usaha budidaya tambak bandeng pada kedua

teknologi produksi yaitu tradisional dan semi-teknis, (2) menganalisis efisiensi teknis usaha budidaya tambak

bandeng pada kedua teknologi produksi, dan (3) mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi efisiensi

teknis usaha budidaya tambak bandeng.

METODE

Penelitian ini menggunakan data Sensus Pertanian tahun 2013 dengan total responden 1015 petani

bandeng yang ada di Provinsi Jawa Barat. Selain data Sensus Pertanian tahun 2013, penelitian ini juga

menggunakan data sekunder lainnya sebagai data pendukung. Analisis data dilakukan menggunakan analasis

deskriptif dan kuantitatif. Analisis deskriptif statistik digunakan untuk mendeskripsikan karakterisktik patani

responden, kondisi sosio-ekonomi petani, keragaan penggunaan input-input produksi dari budidaya tambak

bandeng. Analisis kuantitatif digunakan untuk menganalisis efisienni teknis dengan menggunakan pendekatan

Data Envelopment Analysis (DEA) dan mengindentifikasi faktor-faktor sosio ekonomi yang mempengaruhi

efisiensi teknis menggunakan regresi Tobit. Penelitian ini menggunakan pendekatan DEA karena data yang

digunakan berupa data deterministik non parametik dan dapat mengidentifikasi faktor penyebab inefisiensi.

Coelli et al. (2005) mendefiniskan DEA yaitu teknik pemrograman matematis untuk mengevaluasi efisiensi

relatif dari sebuah sekumpulan unit keputusan (DMU) dalam penggunaan faktor produksi untuk menghasilkan

output. DEA membentuk garis batas dengan menggunakan input efisien dan menyarakan perbaikan DMU

yang tidak efisien.

Penelitian ini juga menggunakan pendekatan orientasi input karena petani relatif ebih mudah

mengelola input dibandingkan output. Selain itu, penelitian menggunakan pendekatan variable return to scale

(VRS) karena petani di Jawa Barat belum mencapai skala optimal. Asumsi VRS tidak mensyaratkan

perubahan input dan output secara linier, sehingga dapat terjadi increasing return to scale (IRS) mapun

decreasing return to scale (DRS) (Cooper et al. 2002).

Page 114: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

100 |

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian ini ada tiga yaitu keragaan usaha budidaya tambak bandeng pada kedua teknologi

produksi yaitu tradisional dan semi-teknis di Jawa Barat, efisiensi teknis usaha budidaya tambak bandeng

pada kedua teknologi produksi, dan (3) faktor-faktor yang mempengaruhi efisiensi teknis usaha budidaya

tambak bandeng. Penjelasan ketiga hasil penelitian tersebut sebagai berikut:

Pertama, hasil analisis statistic deskriptif menunjukkan bahwa budidaya bandeng di Provinsi Jawa

Barat pada umumnya dilakukan secara tradisional dan semi-intensif yaitu masing-masing 566 petani

tradisional (56 persen) dan 449 petani semi-intensif (44 persen). Hasil tersebut sejalan dengan kondisi petani

bandeng di Indonesia dimana mayoritas adalah petani bandeng menggunakan teknologi tradisional (75

persen), sedangkan petani yang menggunakan teknologi semi-intensif dan intensif masing-masing sebesar 15

dan 10 persen (FAO, 2003). Perbedaan petani bandeng tradisional dan semi-intensif adalah dalam

penggunaan teknologi input produksi. Petani bandeng tradisional umumnya memiliki keterbatasan modal

untuk mengusahakan teknologi semi-intensif. Rata-rata petani bandeng tradisional mengusahakan bandeng

pada luasan tambak 2.27 ha sedangkan petani bandeng semi-intensif sebesar 2.39 ha. Secara umum petani

bandeng tradisional membudidayakan bandeng pada luasan tambak antara 1–1.9 ha (28 persen). Jika dilihat

dari penggunaan teknologi, petani berteknologi semi-intensif sebagian besar mengusahakan bandeng pada

luasan antara 2–3 ha. Petani bandeng semi-intensif mengusahakan luas tambak lebih luas karena untuk

menunjang pertumbuhan ikan bandeng dan diduga dengan luasan lahan yang lebih luas lebih efisien.

Meskipun tidak menutup kemungkinan bahwa lahan tambak yang lebih sempit juga dapat efisien.

Dilihat dari sisi status kepemilikan lahan tambak, sebagian besar petani bandeng di Provinsi Jawa

Barat memiliki tambak sendiri (56.16 persen) dan sisanya menyewa. Persentase petani bandeng tradisional

dan semi-intensif yang memiliki tambak sendiri masing-masing sebesar 53.53 dan 59.02 persen. Dalam

penggunaan benih, banyak petani bandeng di Provinsi Jawa Barat baik petani bandeng tradisional maupun

semi-intensif yang menggunakan benih tidak sesuai anjuran dimana anjuran padat tebar benih pada budidaya

tradisional yaitu 3,000-6,000 ekor per hektar. Sebagian besar petani ada yang menebar kurang dari 3,000 ekor

per hektar bahkan ada yang melebihi anjuran sampai sekitar 18,000 ekor per hektar. Penggunaan benih yang

tidak sesuai anjuran ini diduga akan mempengaruhi produktivitas lahan yang kurang optimal. Penggunaan

padat tebar benih yang belum sesuai anjuran juga dilakukan petani bandeng semi-intensif bahkan tidak sedikit

petani bandeng yang menggunakan benih melebihi anjuran. Dampak penggunaan benih yang berlebih ini

akan mempengaruhi kualitas pertumbuhan bandeng yang lambat yaitu ikan akan kekurangan oksigen dan

dapat berdampak pada kesehatan ikan, seperti mengalami stres bahkan kematian.

Perubahan teknologi budidaya tambak bandeng juga berdampak pada meningkatnya penggunaan

tenaga kerja. Teknologi semi-intensif umumnya memerlukan tenaga kerja yang lebih banyak terutama dalam

kegiatan perawatan serta panen. Secara umum, penggunaan tenaga kerja dalam keluarga (TKDK) pada

budidaya bandeng tradisional mencapai 86 persen, sedangkan pada budidaya semi-intensif mencapai 86

persen. Tingginya penggunaan TKDK diduga karena jumlah anggota dalam keluarga petani relatif besar,

sehingga menjadi sumber tenaga kerja pada kegiatan produksi bandeng

Page 115: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 101

Input lain yang digunakan dalam budidaya bandeng yaitu pellet dan pupul. Pada teknologi semi-

intensif rata-rata pakan pelet yang diberikan sebesar 328.47 kg/ha. Selain pellet, beberapa petani juga

memberikan pakan berupa roti yang sudah kadaluarsa. Pemberian pakan ini mampu mempercepat

pertumbuhan bandeng, sehingga masa panen nya lebih cepat dibanding teknologi tradasional. Meskipun

budidaya bandeng semi-intensif dapat meningkatkan produktivitas dan kualitas bandeng, tetapi tidak semua

petani bandeng menggunakan teknologi ini. Hal ini disebabkan harga pakan yang relatif mahal, yaitu berkisar

Rp200,000.00 – Rp400,000.00 per karung. Oleh karena itu, petani yang memiliki keterbatasan terhadap modal

memilih mengusahakan secara tradisional. Penggunaan input pupuk dalam budidaya bandeng bertujuan untuk

meningkatkan kesuburan tanah tambak dan pertumbuhan bandeng. Meningkatnya keseburun tanah akan

berdampak pada meningkatnya pertumbuhan alga sebagai pakan alami bandeng. Jenis pupuk yang

digunakan adalah pupuk urea dan TSP

Kedua, hasil analisis menggunakan pendekatan DEA dengan asumsi variable return to scale

technical efficiency menunjukkan bahwa sebagian besar petani bandeng di Jawa Barat memiliki efisiensi

teknis kurang dari satu yaitu sebesar 700 petani (68.97 persen) yang terdiri dari 350 petani tradisional (61.84

persen dari total petani tradisional) petani tradisional dan 350 petani yang menggunakan teknologi semi

intensif (77.95 persen dari total petani semi intensif). Hal ini mengindikasikan bahwa teknologi tradisional lebih

banyak yang efisien secara teknis dibanding teknologi semi-intensif. Hasil ini serupa dengan penelitian yang

dilakukan oleh Den et al. (2007) dan Kiet et al. (2011) menggunakan pendekatan meta frontier technical

efficiency (MTE) yang menunjukkan bahwa budidaya udang dengan teknologi esktensif (tradisional) lebih

efisien dibandingkan budidaya udang berteknologi intensif dan semi intensif. Meskipun demikian, hasil

penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Sharma et al. (1999) pada budidaya ikan mas,

Sharma dan Leung (2000) pada budidaya ikan mas dan Dey et al. (2005) pada budiday perikanan air tawar

secara polikultur menunjukkan bahwa budidaya yang menggunakan teknologi intensif dan semi intensif lebih

efisien secara teknis dibanding teknologi tradisional.

Ketiga, hasil penelitian menggunakan regresi Tobit menunjukkan bahwa faktor-faktor yang

berpengaruh secara signifikan terhadap efisiensi teknis pada usaha budidaya tambak bandeng di Jawa Barat,

yaitu teknologi produksi, usia petani, kelompok tani, dan sumber modal yang digunakan petani (Lampiran 4).

Teknologi produksi berpengaruh terhadap efisiensi tetapi jika dilihat dari koefisiennya menunjukkan bahwa

semakin tinggi teknologi yang digunakan justru cenderung berkurang tingkat efisiensi teknisnya. Hal ini

dibuktikan dengan kondisi dilapangan bahwa petani dalam penggunaan input di teknologi semi intensif masih

tidak sesuai anjuran seperti penggunaan benih (Lampiran 3) dan pemberian pakan yang berlebihan.

Jika dilihat dari variabel keikutsertaan kelompok tani juga secara nyata berpengaruh terhadap

efisiensi teknis dan memiliki koefisien positif. Artinya petani yang tergabung dalam kelompok tani cenderung

meningkatkan efisiensi teknis karena pada kelompok tani juga terdapat pembinaan bagaimana penggunaan

input yang sesuai dengan teknologi produksi. Selain itu, variabel usia petani juga berpengaruh nyata terhadap

efisiensi dan bertanda negatif menyatakan bahwa semakin bertambah usia petani, maka inefisiensi semakin

tinggi. Hal ini menunjukkan perlu adanya regenerasi petani muda (orang tua ke anaknya atau keluarga yang

lebih tua). Akan tetapi, yang menjadi permasalahan adalah anak petani enggan untuk meneruskan usaha

orangtuanya dan cenderung memilih bekerja diluar daerah atau di kota. Hasil penelitian sejalan dengan Khan

Page 116: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

102 |

et al. (2007), Sivaraman et al. (2015) bahwa efisiensi teknis dipengaruhi oleh usia petani, keanggotaan dalam

kelembagaan. Chiang et al. (2004) dan Cinemre et al. (2006 juga menyatakan bahwa pendidikan berpengaruh

positif dan akses terhadap modal juga memiliki pengaruh nyata terhadap efisiensi teknis.

KESIMPULAN

Secara umum, usaha budidaya tambak bandeng Provinsi Jawa Barat secara umum masih

dibudidayakan secara tradisional (56 persen). Bertahannya teknologi tradisional karena keterbatasan petani

dalam mengakses modal karena dalam penggunaan teknologi semi-intensif memerlukan modal yang lebih

besar untuk pembelian pakan serta peningkatan padat tebar benih bandeng. Jika dilihat dari nilai efisiensi

teknis petani bandeng dengan teknologi tradisional yang efisien sebayak 38 persen dari total petani yang

berbudidaya secara tradisional dengan nilai rata-rata efisiensi teknis sebesar 0.7, sedangkan petani bandeng

dengan menggunakan teknologi semi-intensif sebanyak 22 persen dari 449 petani yang menggunakan

teknologi semi intensif dengan nilai rata-rata efisiensi teknis sebesar 0.6. Rendahnya petani bandeng yang

telah efisiensi dikarenakan dalam penggunaan input terutama padat tebar benih dan pemberiaan pakan masih

belum sesuai anjuran yang ada.

Faktor-faktor yang mempengaruhi secara signifikan terhadap nilai efisiensi teknis budidaya tambak

bandeng di Provinsi Jawa Barat yaitu, penggunaan teknologi, usia petani, akses terhdap modal dan

keikutsertaan petani dalam kelompok tani. Sementara itu, variabel jumlah tanggunan keluarga, tingkat

pendidikan dan jenis kelamin tidak mempengaruhi nilai efisiensi teknis budidaya tambak bandeng di Provinsi

Jawa Barat. Oleh karena itu, upaya yang dapat dilakukan untuk memperbaiki efisiensi teknis guna

peningkatan produksi dapat dilakukan melalui pengurangan input produksi terutama pada padat tebar benih.

Selain itu, perlu adanya regenerasi petani bandeng dan kemudahan dalam mengakses modal. Peran serta

penyuluh perikanan serta keikutsertaan dalam kelompok tani ikan juga perlu dioptimalkan dalam memberikan

sosialisasi pedoman teknis budidaya bandeng.

DAFTAR PUSTAKA

Bakhsh K, Ahmad B, Hassan S. 2006. Food Security Through Increasing Technical Efficiency. Asian Journal of Plant Sciences. 5(6): 970-976.

Chiang FS, CH Sun, dan JM Yu. 2004. Technical efficiency analysis of milkfish (Chanos chanos) production in Taiwan-an application of the stochastic frontier production Function. Journal Aquaculture. 230 (1-4):99-116.

Cinemre HA. Ceyhan V, Bozoglu M, Demiryurek K, dan Kilic O. 2006. The cost efficiency of trout farms in the Black Sea Region, Turkey. Journal of Aquaculture. 251(2-4): 324-332.

Coelli TJ, Rao DSP, O‘Donnell CJ, Battese GE. 2005. An Introduction to Efficiency and Productivity Analysis Second Edition. New York (US): Springer Science+Business Media, Inc.

Coelli TJ, Rao DSP, Battese GE. 1998. An Introduction to Efficiency and Productivity Analysis. Boston (US): Kluwer Academic Publishers.

Page 117: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 103

Coelli TJ. 1995. Recent Development in Frontier Estimation and Efficiency Measurement. Australlian Journal of Agricultural Economics. 39(2): 219-245.

Cooper WW, Seiford LM, Zhu J. 2002. Data Envelopment Analysis: History, Models, and Interpretations. Journal of Econometrics. 46.

Cooper WW, Seiford LM, Tone K. 2002. A Comprehensive Text with Models, Applications, References, and DEA-Solver Software. Boston (US): Kluwer Academic Publisher.

Cuong HV. 2009. Technical and scale efficiency of the intensive tiger shrimp cultivation farms in Binh Dai district, Ben Tre, Viet Nam: an application of DEA [tesis]. Vietnam (VN): University of Tromso, Norway dan Nha Trang University, Vietnam.

Dey, Madan M., Paraguas, Ferdinand J., Bimbao, Gaspar B. and Regaspi, Prescilla B.2000. Technical efficiency of tilapia growout pond operations in the Philippine. Journal of Aquaculture Economics and Management. 4(1):33- 47.

Dey MM, FJ Paraguas, GB Bimbao, dan PB Regaspi. 2005. Technical efficiency of freshwater pond polyculture production in selected Asian countries: estimation and implication. Journal of Aquaculture Economics & Management. 9(1-2): 39-63.

Den DT, T Ancev, dan Harris M. 2007. Technical Efficiency of Prawn Farms in the Mekong Delta, Vietnam. Australian Agricultural and Resource Economics Society New Zealand

FAO [ Food and Agriculture Organization].2003. National Aquaculture Sector Overview in Indonesia. Khan MA, Talukder RK, Islam MA. 2007. Technical efficiency of the hatchery operators in fish feed production

farms in Bangladesh. Journal agriculture economic. 30(1):95-108. Kiet Nguyen T dan Fisher Timothy CG. 2011. Efficiency Analysis and the Effect of Pollution on Shrimp Farms

in the Mekong River Delta. ISSN: 2185-6168. [KKP]. Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2016. Kelautan dan Perikanan dalam angka 2016. Sharma KR, Leung P, Chen E, Peterson A. 1999. Economic efficiency and optimum stocking densities in fish

poly-culture: An application of data envelopment analysis (DEA) to Chinese fish farms. Journal of Aquaculture. 180: 207– 221

Sharma, Leung PS. 2001. Technical efficiency of carp pond culture in South Asia: an application of a stochastic meta-production frontier model. Thailand (TH): A Collection of Research Paper Based on the ADB/NACA Farm Performance survey.

Sharma, Leung PS. 2001. Technical efficiency of carp production in Nepal: an application of a stochastic frontier production function approach. Thailand (TH): A Collection of Research Paper Based on the ADB/NACA Farm Performance survey.

Sharma. 2001. Technical efficiency of carp production in Pakistan Thailand (TH): A Collection of Research Paper Based on the ADB/NACA Farm Performance survey.

Sharma. 2001. Technical efficiency and optimum stocking densities in fish polyculture: an application of data envelopment analysis to Chinese fish farm. Thailand (TH): A Collection of Research Paper Based on the ADB/NACA Farm Performance survey

Sharma KR, Leung. 2000. Technical efficiency of carp production in India: a stochastic frontier production function analysis. Journal of Aquaculture Research. 31(12): 937-947.

Ula M. 2017. Analisis usaha budidaya tambak bandeng pada teknologi tradisional dan semi-intensif di Kabupaten Karawang. Forum Agribisnis. 7(1): 56-66

Page 118: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

104 |

PENGARUH VOLATILITAS NILAI TUKAR TERHADAP KINERJA EKSPOR UDANG

INDONESIA

Eka Dewi Satriana1, Harianto2, Dominicus Savio Privarsono2

1Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor 2Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan ManajemenInstitut Pertanian Bogor

Corresponding author:[email protected]

Abstrak:Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh volatilitas nilai tukar terhadap kinerja ekspor udang Indonesia ke negara-negara mitra dagang utamanya dengan menggunakan gravity model. Pengukuran volatilitas nilai tukar menggunakan model ARCH-GARCH. Hasil analisis menunjukkan bahwa volatilitas nilai tukar berpengaruh negatif dan signifikan terhadap ekspor udang Indonesia ke negara-negara mitra dagang utamanya. Artinya, semakin volatil nilai tukar maka akan menurunkan ekspor udang Indonesia ke negara-negara mitra dagang utamanya. Pengaruh negatif tersebut juga menunjukkan adanya penghindaran risiko yang dilakukan oleh pelaku usaha. Selain itu, penelitian ini juga menunjukkan bahwa PDB Indonesia berpengaruh negatif dan signifikan terhadap ekspor udang Indonesia. Kata kunci : Ekspor, Udang, Volatilitas Nilai Tukar, Gravity Model, ARCH-GARCH

PENDAHULUAN

Udang merupakan salah satu komoditas unggulan perikanan Indonesia. Udang juga tercatat sebagai

salah satu ekspor utama Indonesia (Kemendag, 2017). Ekspor udang Indonesia juga termasuk salah satu

ekspor udang terbesar di dunia. Pada tahun 2010 hingga 2014, ekspor udang Indonesia mengalami

pertumbuhan sebesar 14.59 persen. Namun pada tahun 2015, ekspor udang Indonesia mengalami penurunan

yang cukup tajam yakni sebesar 28.87 persen. Banyak aspek yang perlu ditinjau untuk meningkatkan daya

saing ekspor udang Indonesia, salah satu aspek tersebut yakni nilai tukar.

Sejak tahun 1997, Indonesia menerapkan sistem nilai tukar mengambang bebas (flooting exchange

rate). Penerapan tersebut menyebabkan Indonesia tidak terlepas dari kondisi volatilitas nilai tukar. Volatilitas

nilai tukar dapat didefinisikan sebagai seberapa cepat dan banyaknya nilai tukar berubah dari waktu ke waktu.

Nilai tukar merupakan salah satu penentu daya saing ekspor. Jika nilai tukar negara eksportir mengalami

depresiasi, maka negara importir memandang harga komoditas di negara eksportir relatif murah. Sehingga

pada akhirnya permintaan negara eksportir akan meningkat. Namun pada sistem nilai tukar mengambang

bebas, hal tersebut sulit untuk ditentukan oleh eksportir maupun importir karena nilai tukar berfluktuasi

sepanjang waktu. Jika dilihat dari perkembangan nilai tukar dan ekspor utama pertanian selama kurun waktu

triwulan pertama tahun 1997 hingga triwulan ke empat tahun 2015 menunjukkan bahwa nilai tukar dan ekspor

udang Indonesia memiliki pola tren yang cenderung berbeda (Gambar 1).

Nilai tukar rupiah pada tahun 2013 sampai dengan tahun 2015 relatif terdepresiasi (Gambar 1). Pada

tahun 2013, tekanan pelemahan rupiah mulai meningkat pada triwulan ketiga. Kondisi nilai tukar yang

Page 119: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 105

berfluktuasi pada saat itu menyebabkan volatilitas meningkat sebesar 17.67 persen (Bank Indonesia 2013).

Kemudian fluktuasi nilai tukar tersebut terus berlanjut sepanjang tahun 2014 dengan kondisi nilai tukar yang

relatif terdepresiasi (Bank Indonesia 2014). Pada tahun 2015, rupiah mengalami tekanan depresiasi yang

cukup tinggi dan volatilitas nilai tukar yang meningkat, terutama volatilitas nilai tukar triwulan terakhir yakni

sebesar 16.9 persen (Bank Indonesia 2015). Kondisi ekspor udang Indonesia pada triwulan ketiga 2013

hingga triwulan akhir 2014 cenderung berfluktuatif dengan tren yang meningkat. Namun sejak triwulan

pertama 2015, ekspor udang Indonesia mengalami penurunan dengan rata-rata penurunan sebesar 10.54

persen.

Sumber: Bank Indonesia dan Badan Pusat Statistik

Gambar 3 Perkembangan nilai tukar dan ekspor udang Indonesia triwulanan, 1997-2015

Volatilitas nilai tukar merupakan sumber risiko (ketidakpastian) nilai tukar yang dapat berimplikasi

terhadap volome perdagangan internasional (Oztruk 2006). Hal ini dikarenakan nilai mata uang turut berperan

dalam menentukan besaran harga transaksi ekspor-impor. Nilai tukar yang dipakai dalam transaksi disepakati

pada saat kontrak dagang terjadi, sementara pembayaran biasanya dilakukan setelah barang sudah dikirim,

sehingga memunculkan jeda waktu. Mekanisme ini pada akhirnya akan menentukan seberapa besar profit

yang akan diterima dari kegiatan ekspor dan impor tersebut. Ketika volatilitas nilai tukar meningkat, eksportir

akan menghindari risiko dengan cara meninggalkannya, mengurangi volume ekspor atau melakukan premi

risiko (risk premium) seperti lindung nilai (hedging) untuk mempertahankan tingkat aktifitas ekonomi

sebelumnya (Cho et al. 2002; Kandilov 2008; Kafle dan Kennedy 2011).

Beberapa penelitian melaporkan bahwa sektor pertanian (termasuk perikanan) merupakan sektor yang

paling rentan terkena pengaruh volatilitas nilai tukar dibandingkan sektor lainnya (Klein 1990; Orden 2002;

Cho et al. 2002; Wang dan Barrett 2007; Kandilov 2008; Kafle dan Kennedy 2011). Bahkan kondisinya lebih

buruk dalam kasus negara-negara berkembang (Cho et al. 2002; Kandilov 2008). Adanya fenomena volatilitas

nilai tukar pada sistem nilai tukar mengambang bebas yang dianut Indonesia diduga akan memengaruhi

kinerja ekspor udang Indonesia ke negara-negara tujuan utamanya. Sehingga penelitian ini bertujuan untuk

Page 120: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

106 |

menganalisis pengaruh volatilitas nilai tukar terhadap kinerja ekspor udang Indonesia ke negara-negara mitra

dagang utamanya.

METODOLOGI

Data yang digunakan adalah data sekunder. Seluruh data merupakan data panel. Data time series

dimulai dari kuartal pertama 2000 sampai dengan kuartal ke empat 2015. Data cross section yang dianalisis

yaitu 5 negara mitra dagang utama ekspor udang Indonesia. Adapun negara-negara mitra dagang utama

ekspor udang Indonesia yakni Amerika Serikat, Jepang, Tiongkok, Vietnam, dan Kanada. Kode Harmonized

System (HS) ekspor udang Indonesia yang dianalisis yaitu 0306160000-0306179000. Sumber data yang

digunakan dalam penelitian ini bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS), Bank Indonesia (BI), World Bank,

dan Internasional Financial Statistic (IFS), serta instansi dan lembaga terkait lainnya.

Gravity Model

Analisis regresi data panel dengan gravity model digunakan untuk menganalisis pengaruh volatilitas

nilai tukar terhadap ekspor udang Indonesia. Bentuk dasar gravity model menyatakan bahwa ekspor dari

negara i ke negara jEXPijt berbanding lurus dengan massa ekonomi kedua negara yang biasanya ditunjukkan

oleh GDPi dan j dan berbanding terbalik dengan jarak EDISTijt antara kedua negara. Persamaan tersebut

kemudian dimasukkan faktor lain atau variabel lain yang dapat membuat resistensi perdagangan, seperti

volatilitas nilai tukar VNTijt (Kandilov, 2008). Sehingga bentuk persamaanya sebagai berikut:

................................................................ (1)

dimana εijt adalah error term, dan α adalah parameter yang akan diestimasi. Kemudian persamaan 1 akan di-

log-linear-kan menjadi:

dimana adalah intersep, merupakan parameter masing-masing variabel yang akan diuji secara

statistik dan ekonometrik, merupakan error term, merupakan volume ekspor riil dari negara i ke

negara j pada waktu t yang diamati (juta US$), merupakan GDP riil Indonesia (juta USD),

merupakan GDP riil negara-negara mitra dagang utama (juta USD), merupakan jarak ekonomi dari

negara i ke negara j pada waktu t yang diamati, dan variabel merupakan volatilitas nilai tukar rupiah

terhadap USD. Huruf kecil i merupakan negara eksportir yaitu Indonesia, j merupakan negara-negara mitra

dagang (importir) utamanya, dan t merupakan deret waktu yang diamati.

Pengukuran Volatilitas Nilai Tukar

Pengukuran volatilitas nilai tukar pada umumnya menggunakan nilai standar deviasi bersyarat

(conditional standard deviation) seperti pada penelitian Rose (2000), Cho et al. (2002), Kandilov (2008), Kafle

dan Kennedy (2011), Mukhtar dan Malik (2010) dan Chit et al. (2010). Penelitian ini menggunakan model

Page 121: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 107

ARCH-GARCH untuk mengestimasi besaran volatilitas nilai tukar rupiah riil terhadap USD yang telah diubah

kedalam bentuk logaritma natural. Persamaan model ARCH adalah sebagai berikut:

σ 2t = α0 + α1e2t-1 .......................................................................................................... (3)

Persamaan (3) menunjukkan ragam residual (σ2t) yang memiliki unsur konstanta (α0) dan kuadrat residual

periode yang lalu (e2t-1). Model dari residual et adalah heteroskedasitas yang bersyarat pada residual e2t-1.

Persamaan (3) adalah model ARCH (1) karena ragam dari residual et hanya dari fluktuasi residual kuadrat

satu periode sebelumnya.

Model GARCH (r,m) mengasumsikan bahwa varian data fluktuasi dipengaruhi sejumlah m data

fluktuasi sebelumnya dan sejumlah r data volatilitas sebelumnya. Bentuk umum model GARCH (r,m):

...(4)

dimana:

ht = Variabel logaritma natural nilai tukar rupiah riil terhadap USD pada waktu t/varians pada

waktu ke-t

K = Varian yang konstan

= Suku ARCH/ volatilitas pada periode sebelumnya

= Koefisien ordo m yang diestimasikan

= Koefisien ordo r yang diestimasikan

ht-r = Suku GARCH/ varian pada periode sebelumnya

Ada beberapa tahapan estimasi untuk dapat membangun model ARCH-GARCH. Tahapan tersebut

yakni (1) uji stasioneritas terhadap data yang akan dilakukan analisis, (2) identifikasi model Box-Jenkins, (3) uji

efek ARCH dari model Box-Jenkinsyang terpilih. Uji ini akan menentukan apakah model yang dipilih dapat

dianalisis lebih lanjut menggunakan model ARCH-GARCH, (4) estimasi model ARCH-GARCH dengan memilih

model terbaik, dan (5) evaluasi model yang terpilih menggunakan uji normalitas dan melakukan uji ARCH-LM

untuk mengetahui model ARCH/GARCH yang dipilih sudah terbebas dari efek ARCH.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil pengukuran volatilitas nilai tukar

Sebelum melakukan estimasi pengaruh volatilitas nilai tukar terhadap ekspor udang Indonesia, maka

dilakukan terlebih dahulu pengukuran volatilitas nilai tukar. Data nilai tukar rupiah dalam bentuk logaritma

natural yang akan dilakukan pengukuran nilai volatilitasnya terlebih dahulu diuji kestasioneran datanya. Uji ini

dilakukan untuk mengetahui apakah data yang akan dianalisis mengandung akar unit. Uji akar unit dilakukan

dengan menggunakan uji Augmented Dickey Fuller (ADF). Hasil yang diperoleh adalah bahwa data stasioner

pada first difference. Setelah melakukan uji stasioneritas pada data nilai tukar rupiah, maka model Box-Jenkins

dapat dibangun. Jika data stasioner pada first difference maka pendugaan model Box-Jenkinsmenggunakan

model ARIMA. Hasil pendugaan model ARIMA terbaik untuk data nilai tukar rupiah yakni ARIMA (2,1,2). Model

terbaik dipilih setelah melakukan beberapa simulasi model ARIMA.Kemudian dilakukan uji efek ARCH.

Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya masalah heteroskedasitas. Uji efek ARCH dilakukan

Page 122: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

108 |

dengan menggunakan uji ARCH-LM. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa variabel nilai tukar rupiah

memiliki masalah heteroskedasitas karena ditemukan efek ARCH pada model ARIMA terpilih.

Adanya efek ARCH dalam model ARIMA akan menentukan model tersebut untuk analisis selanjutnya

menggunakan model ARCH-GARCH. Pada tahapan ini dilakukan estimasi terhadap beberapa model ragam

tentatif dan kemudian dipilih model terbaik. Model ARCH-GARCH yang terpilih adalah model ARCH(1).

Setelah didapatkan model ARCH-GARCH terbaik, selanjutnya dilakukan evaluasi terhadap model tersebut.

Evaluasi model dilakukan melalui uji normalitas dengan memperhatikan nilai statistik Jarque-Bera. Hasil yang

diperoleh menunjukkan bahwa nilai Jarque-Bera signifikan secara statistik dengan nilai probabilitasnya kurang

dari taraf nyata 5 persen (Tabel 1). Hal ini berarti bahwa error model terdistribusi tidak normal. Sehingga cara

yang dapat dilakukan untuk mengatasi ketidaknormalan error dengan menggunakan Heteroscedasticity

Consistant Covariance Boolerslev-Wooldrige. Tahap selanjutnya yang dilakukan untuk mengevaluasi ARCH-

GARCH terpilih yakni dengan melakukan uji ARCH-LM. Hasil yang diperoleh dari uji ARCH-LM menunjukkan

bahwa model sudah terbebas dari efek ARCH.

Ukuran volatilitas yang digunakan adalah nilai standar deviasi bersyarat (conditional standard

deviation) yang merupakan akar dari ragam model ARCH(1). Seberan temporal volatilitas nilai tukar rupiah

yang diteliti dapat dilihat pada Gambar 2. Volatilitas yang tinggi dapat dicirikan oleh nilai standar deviasi

bersyarat yang jauh lebih besar dari lainnya, didalam Gambar 2 ditunjukkan oleh puncak-puncak grafik yang

menjulang.

Sumber: Diolah

Gambar 1. Volatilitas nilai tukar rupiah terhadap USD

Analisis Pengaruh Volatilitas Nilai Tukar terhadap Ekspor CPO dan Ekspor Karet Alam Indonesia

Setelah dilakukan estimasi model regresi data panel pada gravity model ekspor udang Indonesia,

selanjutnya dilakukan uji Hausman untuk menentukan model terbaik. Hasil yang diperoleh menunjukkan

Page 123: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 109

bahwa Random Effect Model (REM) sebagai pendekatan terbaik pada model ekspor udang Indonesia. Hal ini

dibuktikan dengan nilai prob (F-Stat) uji Hausman yang dihasilkan lebih dari 10 persen (Tabel 1).

Tabel 1 Hasil estimasi data panel ekspor udang Indonesia dengan pendekatan REM

Variabel Koefisien Std. Error Prob

C 3.181136 6.010541 0.5970

VNT -1.517636 0.507894 0.0030

lnGDPINA -0.477089 0.096594 0.0000

lnGDPM 0.406337 0.623618 0.5152

lnEDIST -0.185347 0.629715 0.7687

Cross section effect

Amerika Serikat 1.422027

Jepang 1.888541

Tiongkok -1.942432

Vietnam 0.192837

Kanada -1.560973

R-Squared 0.053390

Prob (F-Stat) 0.002401

Number of observation 305

Hausman test probability 1.0000

Durbin Watsonstat 0.572991

Hasil estimasi data panel pada tabel 1 menunjukkan variabel volatilitas nilai tukar memiliki pengaruh

negatif terhadap ekspor udang Indonesia dengan koefisien 1.65 persen. Hal ini bermakna bahwa peningkatan

1 nilai standar deviasi volatilitas nilai tukar akan mengurangi ekspor udang Indonesia sebesar 1.65 persen,

cateris paribus. Variabel volatilitas nilai tukar yang bertanda negatif mengandung arti adanya pelaku usaha

menghindari risiko sebagai akibat adanya ketidakpastian nilai tukar (Wang dan Barret 2007; Cho et al. 2002;

Kandilov, 2008; Kafle dan Kennedy, 2011). Nilai tukar sangat erat kaitannya dengan harga komoditas ekspor

dan kemudian berpengaruh terhadap keuntungan yang diterima. Adanya ketidakpastian harga yang

disebabkan oleh ketidak pastian nilai tukar, nelayan/peternak sebagai pelaku usaha cenderung untuk

menghindari risiko terutama bagi nelayan/peternak yang memiliki skala usaha kecil dan modal yang kecil.

Komoditas udang indonesia didominasi oleh peternak rakyat. Usaha budidaya udang hingga saat ini masih

dilakukan oleh rumah tangga dan mayoritas dikelola secara tradisional dengan produktivitas rendah (Juarno

2012; KKP 2015). Selain hal itu, rentannya suatu komoditas terhadap volatilitas nilai tukar juga disebabkan

oleh penggunaan input produksi yang berasal dari impor. Pakan udang Indonesia hingga saat ini masih

bersumber dari bahan baku pakan impor. Adanya ketidakpastian nilai tukar akan memengaruhi harga pakan

udang, tentunya akan berimplikasi terhadap produksi udang. Hal ini sebagaimana penelitian yang dilakukan

oleh Juarno (2012) bahwa harga pakan dapat memengaruhi produksi udang dan berdampak terhadap

penawaran dan daya saing udang. Wang dan Barret (2007) juga menjelaskan dalam penelitiannya bahwa

Page 124: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

110 |

rentannya ekspor pertanian (termasuk perikanan) terhadap volatilitas nilai tukar disebabkan oleh skala usaha

tani yang kecil, modal yang kecil, dan ketergantungan input produksi yang bersumber dari impor.

Variabel PDB riil Indonesia pada model ekspor udang menunjukkan tanda negatif dan signifikan pada

taraf nyata 1 persen dengan koefisien sebesar 0.47. Hal ini bermakna bahwa setiap kenaikan PDB riil

Indonesia sebesar 1 persen maka ekspor udang Indonesia ke negara mitra dagang utama akan berkurang

sebesar 0.47 persen, cateris paribus. Meningkatnya PDB riil Indonesia akan meningkatkan pendapatan

masyarakat, sehingga berdampak pada meningkatnya daya beli masyarakat terhadap udang Indonesia.

Sedangkan ekspor udang mengalami penurunan daya saing. Udang Indonesia yang diekspor merupakan

udang kualitas terbaik, dengan meningkatnya pendapatan maka akan terjadi pengalihan konsumsi ke produk

dengan kualitas ekspor. Ketika pertumbuhan PDB meningkat dari 4.60 persen di tahun 2009 menjadi 6.20

persen di tahun 2010, maka pendapatan perkapita pun meningkat sebesar 22.90 persen dan peningkatan

tersebut meningkatkan permintaan udang domestik sebesar 6.64 persen. Begitu juga ketika terjadi penurunan

pertumbuhan PDB pada tahun 2015, pendapatan perkapita juga mengalami penurunan dan permintaan udang

domestik juga turun pada tahun tersebut.

KESIMPULAN

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa volatilitas nilai tukar berpengaruh negatif dan signifikan

terhadap ekspor udang Indonesia. Pengaruh negatif menunjukkan adanya penghindaran risiko yang dilakukan

oleh pelaku usaha disebabkan ketidak pastian nilai tukar. Pada akhirnya hal tersebut berimplikasi terhadap

penurunan ekspor. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa PDB Indonesia memengaruhi kinerja ekspor ekspor

udang secara negatif dan signifikan. Artinya, kenaikan PDB Indonesia akan menurunkan daya saing ekspor

udang dan meningkatkan daya beli masyarakat terhadap udang Indonesia. Berdasarkan hasil penelitian

tersebut, maka rekomendasi yang diberikan yakni penerapan lidung nilai (hedging), kemudahan akses ke

lembaga keuangan, menjaga stabilitas nilai tukar, menjaga pertumbuhan produksi udang, mencari subsitusi

bahan baku pakan yang berasal dari impor dan meningkatkan nilai tambah produk udang.

DAFTAR PUSTAKA

Ashari, U., Sahara, dan S. Hartoyo. (2016). Daya Saing Udang Segar dan Udang Beku Indonesia di Negara Tujuan Ekspor Utama. Jurnal Manajemen Agribisnis, Vol. 13 (1), pp. 1-13.

Bank Indonesia. (2013). Laporan Perekonomian Indonesia 2013. Jakarta: Bank Indonesia. Bank Indonesia. (2014). Laporan Perekonomian Indonesia 2014. Jakarta: Bank Indonesia. Bank Indonesia. (2015). Laporan Perekonomian Indonesia 2015. Jakarta: Bank Indonesia. Chit, MM., M. Rizov, dan D. Willenbrocked. (2010). Exchange Rate Volatility and Exports: New Emperical

Evidence from The Emerging East Asian Economies. The World Economy, Vol. 33 (2), pp. 239-263. Cho, G., I. Sheldon, dan S. Mc Corriston. (2002). Exchange Rate Uncertainty and Agricultural Trade. American

Journal of Agricultural Economics, Vol. 84 (4), pp. 931-942. Juarno, O. (2012). Daya Saing dan Strategi Peningkatan Ekspor Udang Indonesia di Pasar Internasional.

Disertasi. Bogor: Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Page 125: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 111

Kafle, KR, dan PL. Kennedy. (2011). Exchange Rate Volatility and Bilateral Agricultural Trade Flows: The Case of The United States and OECD Countries. Journal of International Agricultural Trade and Development, Vol. 9 (2), pp. 211-231.

Kandilov, IT. (2008). The Effects of Exchange Rate Volatility on Agricultural Trade. American Journal of Agricultural Economics, Vol.90 (2), pp. 1028-1043.

Kementrian Kelautan dan Perikanan. (2015). Kelautan dan Perikanan dalam Angka Tahun 2015. Jakarta: Kementrian Kelautan dan Perikanan.

Kementerian Perdagangan Republik Indonesia. (2017). Sepuluh Komoditi Utama dan Potensial. Diakses tanggal 17 Desember 2017 dari http://www.kemendag.go.id/id/economic-profile/10-main-and-potential-commodities.

Kien, NT. (2009). Gravity Model by Panel Data Approach: An Empirical Aplication with Implications for The ASEAN Free Trade Area. ASEAN Economic Bulletin, Vol. 26 (3), pp. 77-266.

Mukhtar, T, dan SJ. Malik. (2010). Exchange Rate Volatility and Export Growth: Evidence from Selected South Asian Countries. SPOUDAI-Journal of Economics and Business, Vol.60 (3-4), pp. 58-68.

Orden, D. (2002). Exchange Rate Effects on Agricultural Trade. Journal of Agricultural and Applied Economics, Vol.34 (2), pp. 303-312.

Ozturk, I. (2006). Exchange Rate Volatility and Trade: A Literature Survey. International Journal of Applied Econometrics and Quantitative Studies, Vol. 3 (1), pp. 85-102.

Rose, AK. (2000). One Money, One Market: The Effect of Common Currencies on Trade. Economic Policy, Vol. 30, pp. 7-46.

Wang, K, dan C. Barret. (2007). Effect of Exchange Rate Volatility on Export Volumes. Journal of Agricultural and Resources Economics, Vol.32 (2), pp. 225-255.

Page 126: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

112 |

AKSESIBILITAS DAN PENGARUHNYA TERHADAP STATUS KETAHANAN PANGAN DI

WILAYAH GUGUS KEPULAUAN HALMAHERA SELATAN

Ahmad Yunan Arifin Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) D.I. Yogyakarta

Corresponding author: [email protected]

Abstrak:Penelitian dilaksanakan bertujuan 1) menganalisis hubungan antara tingkat aksesibilitas dengan beberapa aspek ketahanan pangan, dan 2) merumuskan simulasi model kebijakan penguatan ketahanan pangan pada wilayah gugusan kepulauan Halmahera Selatan.Desain penelitian menggunakan data time series Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2008 dan Potensi Desa (Podes) tahun 2003, 2006, dan 2011 untuk wilayah kabupaten Halmahera Selatan. Alat statistik yang digunakan adalah analisis crosstab dan komponen utama. Hasil penelitian menunjukkan variabel aksesibilitas berhubungan erat dengan variabel kualitas dan kuantitas konsumsi pangan. Dalam hal ini, tingkat pemenuhan kebutuhan pangan dan gizi (X5 – X9) dipengaruhi oleh kemudahan distribusi pangan (X1) sehingga pangan dapat terdistribusi secara cukup dan merata di tiap wilayah. Aksesibilitas yang baik (X1) juga memberikan kemudahan penyediaan alat produksi dan pemasaran produk hasil pertanian sehingga mampu mendorong intensitas upaya masyarakat dalam penggunaan lahan, terutama lahan perkebunan (X22). Selain itu, tingkat pemanfataan pangan, yang ditunjukkan oleh variabel status gizi buruk wilayah (X6), merupakan kejadian luar biasa yang disebabkan oleh tingkat pendapataan rumah tangga (X7) dan peluang usaha masyarakat (X15) yang rendah. Implikasi kebijakan dari simulasi model ini adalah peningkatan aksesibilitas memiliki dampak terhadap distribusi pangan yang cukup dan merata serta berpengaruh pada peningkatan kemampuan akses ekonomi pangan rumah tangga akibat adanya peluang pemanfaatan lahan yang semakin besar. Selain itu, diperlukan peningkatan aksesibilitas yang baik antar gugus pulau untuk memudahkan proses distribusi pangan dari wilayah produksi ke konsumsi sehingga terwujud kemandirian pangan di kabupaten Halmahera Selatan Kata kunci: aksesibilitas, aspek ketahanan pangan, gugus kepulauan

PENDAHULUAN

Program pembangunan ketahanan pangan di Indonesia telah berhasil meningkatkan ketersediaan

pangan secara nasional. Namun demikian, ketersediaan pangan secara makro belum mampu menjamin status akses pangan di tingkat rumah tangga. Hasil pemetaan wilayah memberikan gambaran bahwa 100 kabupaten/kota di Indonesia tergolong rawan pangan dengan 80% kabupaten/kota berada di wilayah Indonesia Timur. Wilayah rawan pangan Indonesia Timur terkonsentrasi pada wilayah kepulauan dan terpencil, yaitu NTT, NTB, Maluku, Maluku Utara, Papua dan Papua Barat dengan jumlah 50 kabupaten/kota tergolong wilayah rawan pangan. Faktor kemampuan akses pangan masyarakat secara ekonomi dan tingkat harga pangan yang terjangkau menjadi kendala dalam mewujudkan status ketahanan pangan di wilayah Indonesia Timur (Handewi, 2010).

Wilayah gugusan kepulauan didominasi pulau-pulau kecil dengan letak relatif tersebar dan terpencil. Keterpencilan pulau-pulau di Halmahera Selatan merupakan dampak keterbatasan sarana dan prasarana transportasi yang tersedia untuk melayani pergerakan barang antar pulau yang tersebar. Di lain pihak,

Page 127: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 113

pembangunan ketahanan pangan memerlukan ketersediaan pangan yang cukup serta kemampuan akses pangan secara fisik dan ekonomi yang baik untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan pangan dan gizi bagi setiap individu. Oleh karena itu, diperlukan aksesibilitas wilayah yang memadai untuk mendukung distribusi pangan yang merata dan berkembangnya peluang usaha sebagai sumber pendapatan rumah tangga untuk mengakses pangan secara ekonomi. Penelitian ini dilaksanakan bertujuan 1)menganalisis hubungan antara tingkat aksesibilitas dengan beberapa aspek ketahanan pangan, dan 2) merumuskan simulasi model kebijakan penguatan ketahanan pangan pada wilayah gugusan kepulauan Halmahera Selatan.

METODE PENELITIAN

Desain Penelitian Penelitian menggunakan datatime series Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) dan Potensi

Desa (Podes) untuk wilayah kabupaten Halmahera Selatan. Alat statistik yang digunakan adalah analisis crosstab dan komponen utama. Analisis crosstab digunakan pada data yang bersumber dari Susenas tahun 2008 dan Podes tahun 2003, 2006, dan 2011 pada skala gugus pulau sedangkan analisis komponen utama hanya digunakan untuk data Podes. Analisis crosstab digunakan untuk menghasilkan beberapa sub model berdasarkan adanya keterkaitan antar variabel. Selanjutnya, analisis komponen utama digunakan untuk mengidentifikasi keterkaitan antar sub model sehingga terbentuk konsep yang utuh terkait model simulasi keterkaitan antar variabel yang berpengaruh terhadap kondisi ketahanan pangan pada wilayah gugusan kepulauan Halmahera Selatan. Analisis Data

Analisis crosstabdilakukan dengan menggunakan metode chi-square untuk mengukur signifikasi keterkaitan antar variabel. Nilai variabel yang digunakan merupakan data interval yang dikonversi ke data ordinal. Adapun variabel-variabel yang digunakan dalam analisis crosstab berjumlah 24 variabel yang dapat dikelompokkan menjadi 5 komponen variabel, yaitu tingkat aksesibilitas dan mobilitas; kualitas dan kuantitas konsumsi pangan; distribusi dan aktivitas penduduk; tingkat pendapatan penduduk; dan status penggunaan lahan (Tabel 1). Tabel 1. Variabel yang Digunakan dalam Analisis Crosstab

Parameter Variabel Sumber Data Sumber Data Sumber Data Sumber Data

Tingkat aksesibilitas dan mobilitas

Indeks aksesibilitas (X1)*

Potensi Desa, 2003

Tingkat Kesejahteraan Penduduk

Persentase buruh tani (X15)

Potensi Desa, 2011

Indeks mobilitas (X2) **

Potensi Desa, 2003

Rata-rata Pendapatan per Kapita (X16)

Susenas, 2009

Rata-rata Jarak Pasar Terdekat (X3)

Potensi Desa, 2011

Proporsi keluarga pra sejahtera (X17)

Potensi Desa, 2006

Harga produk pangan (beras) (X4)

Susenas, 2009 Persentase buruh tani (X15)

Potensi Desa, 2011

Akses pangan

Skor PPH wilayah sampel (X5)

Susenas, 2009 Penggunaan lahan

Rata-rata Pendapatan per Kapita (X16)

Susenas, 2009

Proporsi Jumlah

Potensi Desa, 2011

Proporsi keluarga pra sejahtera (X17)

Potensi Desa, 2006

Page 128: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

114 |

Parameter Variabel Sumber Data Sumber Data Sumber Data Sumber Data

Penduduk gizi buruk (X6)

Rata-rata Kecukupan Konsumsi Energi RT (X7)

Susenas, 2009 Persentase buruh tani (X15)

Potensi Desa, 2011

Rata-rata Kecukupan Konsumsi Protein RT (X8)

Susenas, 2009 Rata-rata Pendapatan per Kapita (X16)

Susenas, 2009

Keragaman jenis konsumsi pangan strategis (X9)

Susenas, 2009 Proporsi keluarga pra sejahtera (X17)

Potensi Desa, 2006

Ketersediaan produksi pangan strategis (X10)

Susenas, 2009 Persentase buruh tani (X15)

Potensi Desa, 2011

Distribusi dan aktivitas penduduk

Jumlah penduduk (X11)

Potensi Desa, 2011

Kepadatan penduduk (X12)

Potensi Desa, 2011

Proporsi keluarga tanaman pangan (X13)

Potensi Desa, 2003

Proporsi keluarga nelayan (X14)

Potensi Desa, 2003

Keterangan: *Diukur dengan variabel:Skala Jenis Trasnportasi Utama (Darat, air, dan darat-air); Skala kualitas jalan darat

yang dominan (aspal dan tanah); Skala jenis angkutan umum utama (ojek, roda 4, perahu motor, lainnya); Skala intensitas pelayanan transportasi (regeluer dan sewa); Waktu perjalanan dari tiap desa ke kecamatan induk; Waktu perjalanan dari tiap desa ke kabupaten induk/terdekat

**Diukur dengan variabel:Biaya perjalanan dari tiap desa ke kecamatan induk dan Biaya perjalanan dari tiap desa ke kabupaten induk/terdekat

Analisis komponen utama digunakan untuk mengidentifikasi pengelompokkan beberapa variabel

berdasarkan adanya keterkaitan antar variabel dalam satu kelompok yang sama. Hasil identifikasi keterkaitan antar variabel tersebut digunakan sebagai informasi untuk mengidentifikasi keterkaitan beberapa sub model sehingga dapat disusun diagram model kebijakan penguatan ketahanan pangan di kabupaten Halmahera Selatan.Variabel yang digunakan merupakan data interval dengan jumlah 16 variabel (Tabel 2). Tabel 2. Parameter dan Variabel dalam Anallisis Komponen Utama.

No Parameter Variabel No Parameter Variabel

1 Distribusi penduduk

x1: JmlPddk 4 Penggunaan lahan

x9: PersenLuasSwh*

x2: Kpdatan x10: PersenKebun

Page 129: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 115

No Parameter Variabel No Parameter Variabel

2 Akses pangan x3: PersenBuruh

x11: PersenLadangUsahakan*

x4: PersenPraKS

x12: PersenLadangTdkDiushkan

x5: Jml_Wabah x13: PersenLhnNonPertanian*

3 Sarana pendukung usaha

x6: JmlIndustriKecil

x14: FrekBanjir*

x7: Jarak_Pasar

5 Tingkat aksesi-bilitas dan mobilitas

x15: Indeks Aksesibilitas

x8: PersenListrik

x16: Indeks Mobilitas

* variabel dikeluarkan berdasarkan hasil uji validitas dan reliabilitas menggunakan KMO dan Barlett Test serta MSA dalam tabel anti image correlation.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis Variabel Penentu Status Ketahanan Pangan Berdasarkan analisis crosstabdengan menggunakan metode chi-squaremaka teridentifikasi signifikasi

keterkaitan antar variabel. Hasil analisis keterkaitan antar variabel ditampilkan pada Tabel 3. Tabel 3. Hasil Analisis Crostab Keterkaitan Antar Variabel.

Interaksi Identifikasi Hubungan Antar Variabel

1 Indeks Aksesibilitas (+) - Skor PPH (+) - Kecukupan Energi (+) - Produksi Pangan Strategis (+)

2 Indeks mobilitas (+) - Kepadatan penduduk (+) 3 Gizi buruk (+) - Keluarga pra sejahtera (+) - Persentase Buruh (+) 4 Keragaman Konsumsi Pangan Strategis (+) - Keluarga Tanaman Pangan (+) 5 Jumlah penduduk (+) - Harga beras (-) 6 Keluarga Nelayan (+) - Luas lahan pertanian (-) 7 Luas kebun (+) - Jarak pasar terdekat (-)

Tabel 3 menunjukkan adanya keterkaitan antar variabel yang bersifat resiprokal. Beberapa temuan

yang dapat disimpulkan dari analisis crosstabtersebut adalah: a. Beberapa variabel kualitas dan kuantitas konsumsi pangan berhubungan erat dengan variabel aksesibilitas.

Dalam hal ini, tingkat pemenuhan kebutuhan pangan dan gizi (X5 – X9) dipengaruhi oleh kemudahan distribusi pangan (X1) sehingga pangan dapat tersebar dan terjangkau secara merata. Selain itu, aksesibilitas yang baik (X1) memberikan kemudahan penyediaan alat produksi dan pemasaran produk hasil pertanian mampu mendorong intensitas upaya masyarakat dalam melakukan produksi pangan (X10

b. Status gizi buruk masyarakat (X6) merupakan kejadian luar biasa yang disebabkan oleh tingkat pendapatan (X7) dan peluang usaha masyarakat (X15) yang rendah. Tingkat pendapatan masyarakat yang rendah mengakibatkan alokasi pendapatan rumah tangga untuk pemenuhan kebutuhan pangan berkurang sehingga berdampak pada intensitas kejadian gizi buruk wilayah. Proporsi kejadian gizi buruk memiliki angka kejadian yang tinggi di gugus pulau Obi, diikuti gugus pulau Makian, Gane dan Bacan.

Page 130: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

116 |

c. Ketersediaan dan kemudahan aksesibilitas sarana pemasaran hasil produksi (X3) memberikan dorongan kepada masyarakat dalam penggunaan lahan, terutama lahan perkebunan (X22).

d. Indeks mobilitas merupakan kemampuan melakukan pergerakan barang dan manusia yang diukur dari tingkat biaya transportasi. Indeks mobilitas (X2) yang tinggi cenderung berkorelasi secara positif dengan kepadatan penduduk (X12). Hal ini menunjukkan pelayanan transportasi yang murah telah tersedia pada wilayah dengan kepadatan penduduk tinggi. Proporsi kepadatan penduduk yang tinggi terdapat di gugus pulau Obi dan Makian kemudian diikuti Bacan dan Gane.

Selanjutnya, analisis komponen utama digunakan untuk mengidentifikasi pengelompokkan beberapa variabel berdasarkan adanya keterkaitan antar variabel dalam satu kelompok yang sama. Selanjutnya, hasil identifikasi tersebut digunakan sebagai informasi pendukung dalam penyusunan diagram model keterkaitan antar sub model yang bermanfaat sebagai dasar penyusunan simulasi model pemantapan ketahanan pangan wilayah di kabupaten Halmahera Selatan.

Simulasi Model Kebijakan

Kebijakan pemantapan ketahanan pangan memerlukan informasi variabel-variabel yang memiliki pengaruh dalam pengambilan keputusan. Dalam hal ini, model kebijakan disusun berdasarkan mekanisme perubahan terhadap satu atau beberapa variabel mengakibatkan perubahan pada variabel lainnya. Magribi dan Suhardjo, (2004) mengemukakan model kebijakan merupakan pendekatan simulasi persamaan empirik berdasarkan variabel-variabel yang mempresentasikan kondisi nyata di lokasi studi. Pemahaman terhadap model simulasi menjadi panduan dalam penyusunan kebijakan penguatan ketahanan pangan berbasis gugus pulau di Halmahera Selatan(Gambar 1).

Gambar1. Simulasi Model Kebijakan Penguatan Ketahanan Pangan Halmahera Selatan

Diagram model kebijakan penguatan ketahanan pangan berbasis gugus pulau terdiri dari beberapa sub model, yaitu: a. Sub Model I: Mutu dan kuantitas konsumsi – indeks aksesibilitas – ketersediaan produksi pangan.

Kuantitas dan kualitas konsumsi pangan wilayah dipengaruhi oleh dua variabel yang saling terkait, yaitu

Page 131: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 117

ketersediaan produksi pangan yang dihasilkan oleh wilayah tersebut dan tingkat kemudahan aksesibilitas. Selain itu, tingkat aksesibilitas wilayah yang baik mempengaruhi distribusi pangan secara merata dari wilayah sumber produksi ke wilayah bersangkutan sehingga aksesibilitas memiliki keterkaitan erat dengan jumlah dan keragaman (mutu) pangan yang dikonsumsi masyarakat. Gugus pulau Bacan dengan indeks aksesibilitas tertinggi (0,41) memiliki skor PPH tertinggi dan kecukupan energi yang relatif tinggi masing-masing 65 dan 1916 kkal/kapita/hari.

Tingkat aksesibitas juga berpengaruh pada kemampuan wilayah dalam melakukan produksi pangan, khususnya pada jenis pangan strategis. Hal ini disebabkan, aksesibilitas yang baik berhubungan erat dengan ketersediaan input produksi dan kemudahan melakukan pemasaran sehingga aksesibilitas secara tidak langsung berpengaruh pada penggunaan lahan wilayah. b. Sub Model II: Status Akses Pangan – Tingkat Pendapatan – Peluang Usaha.

Sub model ini menunjukkan keterkaitan tingkat pendapatan (variabel persentase jumlah keluarga pra sejahtera) yang cenderung memiliki pengaruh positif terhadap status pemenuhan kebutuhan pangan dan gizi masyarakat (variabel jumlah gizi buruk). Dalam hal ini, tingkat pendapatan dipengaruhi oleh peluang usaha wilayah (variabel persentase jumlah buruh tani). Gugus pulau Makian dan gugus Gane bagian timur memiliki jumlah keluarga prasejahtera tertinggi, yaitu 77 dan 76% dengan jumlah penderita gizi buruk yang tergolong tinggi di Halmahera Selatan, yaitu 0,2 dan 0,3%. c. Sub Model III: Indeks Mobilitas – Kepadatan Penduduk.

Indeks mobilitas diukur dengan beberapa variabel, yaitu biaya perjalanan desa ke kecamatan induk dan biaya perjalanan desa ke kabupaten induk/kabupaten terdekat. Sub model ini menunjukkan tingkat kemampuan masyarakat dalam melakukan pergerakan yang diukur dengan indeks mobilitas memiliki hubungan erat dengan kepadatan penduduk di suatu wilayah (desa). Namun demikian, variabel indeks mobilitas tidak memiliki keterkaitan erat dengan indeks aksesibilitas. Hal ini berarti bahwa kondisi dukungan sarana-prasarana transportasi yang tersedia di Halmahera Selatan belum mampu memberikan kemudahan melakukan pergerakan transportasi antar wilayah (aksesibilitas) akibat biaya perjalanan yang masih tinggi.

IMPLIKASI KEBIJAKAN/KESIMPULAN

Implikasi kebijakan dari simulasi model pemantapan ketahanan pangan adalah peningkatan

aksesibilitas memiliki dampak langsung terhadap peningkatan pendapatan masyarakat akibat peluang pemanfaatan lahan yang semakin besar. Peningkatan aksesibilitas wilayah akan memberikan dampak terhadap kemudahan penyediaan input produksi dan pemasaran hasil produksi pertanian sehingga peluang usaha dapat dioptimalkan di tingkat wilayah. Namun demikian, peningkatan pendapatan masyarakat harus diiringi dengan upaya peningkatan kesadaran masyarakat terhadap pemenuhan kebutuhan pangan dan gizi. Salah satu upaya peningkatan kesadaran masyarakat dilakukan melalui peningkatan pengetahuan pangan dan gizi. Orientasi peningkatan pengetahunan pangan dan gizi diarahkan agar masyarakat dapat melakukan pengelolaan sumberdaya yang lebih baik sehingga mampu memenuhi kebutuhan pangan dan gizi ideal sesuai kondisi dan potensi wilayah di Halmahera Selatan.

Selain itu, produksi pangan wilayah dan distribusi pangan yang merata dari wilayah sumber produksi ke wilayah konsumsi memiliki nilai strategis dalam memenuhi kebutuhan pangan dan gizi masyarakat di wilayah kepulauan Halmahera Selatan. Status produksi pangan wilayah menjadi faktor penentu dalam pemenuhan pangan dan gizi rumah tangga akibat kondisi tingkat aksesibilitas wilayah yang relatif rendah di Halmahera Selatan. Oleh karena itu, diperlukan peningkatan aksesibilitas yang baik antar gugus pulau untuk memudahkan proses distribusi pangan dari wilayah produksi ke konsumsi untuk mewujudkan kemandirian pangan di kabupaten Halmahera Selatan.

Page 132: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

118 |

DAFTAR PUSTAKA

Andrianik, N.A. (2015). Pengaruh status sosial, ekonomi, dan aksesibilitas terhadap tingkat kemiskinan di desa Ngepung kecamatan Lengkong kabupaten Nganjuk. J. Swara Bhumi2 (3): 1-6.

Ariningsih, E dan H.P.S. Rachman. (2008). Strategi peningkatan ketahanan pangan rumah tangga rawan pangan. Analisis Kebijakan Pertanian. (6) 3: 239 – 255.

BKP (Badan Ketahanan Pangan). (2009). Food Insecurity and Vulnerability Atlas. Food Security Agency-Ministery of Agriculture. Jakarta: Kementerian Pertanian.

BPS(Badan Pusat Statistik). (2016). HalmaheraSelatan dalam Angka 2016. Labuha: Badan Pusat Statistik

Kabupaten Halmahera Selatan. Connell, J. (2015). Food security in the island Pacific: Is Micronesia as far away as ever ?. Reg Environ

Change.15:1299–1311. Hein, P.L. (1990). Economic Problem and Prospect of Small Islands. In W. Beller, P. d‘Ayala and P. Hein

(eds). Sustainable Development and Environmental Management of Smal Islands. The Partenon Publishing Group, Paris, France, New Jersey , USA. pp. 35-44.

Jinca, M. Yamin. (2009). Keterpaduan sistem jaringan antar-moda transportasi di pulau Sulawesi. Jurnal Transportasi. 9 (3).

Lokollo, J. A., (2012). Kajian Model Gugus Pulau Dalam Pengembangan Wilayah Kepulauan Di Kabupaten Maluku Tenggara Barat Provinsi Maluku. Disertasi. Sekolah Pascasarjana. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Mahfi, T., B. Setiawan, dan Y.F. Baliwati. (2008). Analisis situasi pangan dan gizi untuk perumusan kebijakan operasional ketahanan pangan dan gizi kabupaten lampung barat. J.Gizi dan Pangan. 3 (3): 233-238.

Magribi, L.M. dan A. Suhardjo. (2004). Aksesibilitas dan pengaruhnya terhadap pembangunan di perdesaan: konsep model sustainable accesibility pada kawasan perdesaan di provinsi Sulawesi Tenggara. Jurnal Transportasi. (4) 2: 149-160.

Oktaviana, M.G dan H. Sulistio, A. Wicaksono. (2011). Strategi pengembangan transportasi antar wilayahdi provinsi Papua Barat. J. Rekayasa Sipil.5 (3).

Pelling, M. and J.I. Uitto. (2001). Small island developing states, natural disaster vulnerability and global change. Environmental Hazards. 3 (2): 49-62.

Potensi Desa (Podes). (2008). Jakarta: Badan Pusat Statistik Pusat. Ralahalu, K.A., Jinca, M.Y. Siahan, L.D., dan Sihaloho, A. (2013). Pembangunan Transportasi Kepulauan di

Indonesia.Jakarta: Brilian Internasional. Ridhwan, M.H.A., M.N. Ibrahim, F. Indawan, I. Karlina. (2012). Perdagangan Antardaerah, Distribusi,

Transportasi, Dan Pengelolaan Stok Komoditas Pangan Strategis di Indonesia. Working Paper. Jakarta: Bank Indonesia.

Survey Sosial Ekonomi Rumah Tangga Tahun (Susenas). (2014). Jakarta: Badan Pusat Statistik Pusat. Tamin, O.Z. (1997).Perencanaan dan Pemodelan Transportasi. Bandung: Penerbit Institut Teknologi Bandung.

Page 133: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 119

KAJIAN POLA PRODUKSI DAN KONSUMSI PANGAN RUMAH TANGGA DALAM PERENCANAAN PENYEDIAAN PANGAN BERKELANJUTAN DI KABUPATEN

HALMAHERA SELATAN

Yopi Saleh1, Ahmad Yunan Arifin2

1Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Maluku Utara 2Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) D.I. Yogyakarta

Corresponding author: [email protected]

Abstrak: Halmahera Selatan merupakan wilayah kepulauan didominasi pulau-pulau kecil dan terpencil. Setiap

pulau memiliki kapasitas dan kualitas sumberdaya alam yang berbeda sehingga terdapat aktivitas sosial,

budaya, dan ekonomi yang juga berbeda di tiap wilayah. Penelitian bertujuan untuk 1)menganalisis pola

produksi dan konsumsi pangan yang telah berkembang di tingkat rumah tangga, 2) menganalisis status

kecukupan konsumsi pangan dan gizi ideal,dan 3) menyusun rencana penyediaan pangan yang berkelanjutan.

Desain penelitian menggunakan datatime series Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2008, 2011

dan 2014 untuk wilayah kabupaten Halmahera Selatan. Pengolahan data dilakukan dengan aplikasi

―Perencanaan Pangan dan Gizi Wilayah‖ dan dianalisis secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan tingkat

partisipasi pangan sumber pangan karbohidrat non beras didominasi komoditas ubi kayu, ubi jalar dan pisang

sedangkan ikan memiliki peran besar dalam pemenuhan kebutuhan protein hewani, yaitu 122,7 gram/hari

sedangkan produk peternakan hanya berkontribusi sebesar 3,0 gram/hari. Defisit neraca kebutuhan-

ketersediaan pangan terdapat pada kelompok pangan padi-padian, kacang-kacangan, sayur dan buah,

masing-masing sebesar 89.393.340; 8.643.776; dan 10.837.993 kkal/tahun. Hasil prioritas arahan produksi

pangan pokok wilayah untuk komoditas padi sawah dan komoditas kacang-kacangan (kacang tanah, kacang

hijau, kedelai) dikembangkan di Kecamatan Gane Timur, masing-masing sebesar 6.205 dan 604 ha, padi

ladang di kecamatan terpilih pada tiap gugus pulau sebesar 2.057 ha, serta jagung dan ubi kayu di tiap

kecamatan yang mengalami defisit neraca ketersediaan pangan tersebut, masing-masing sebesar 8.585 dan

2.012 ha. Defisit sayur-buah juga diproduksi di tiap kecamatan untuk mengurangi biaya distribusi pangan antar

wilayah.

Kata kunci: sistem pangan lokal, neraca pangan, penyediaan pangan wilayah

PENDAHULUAN

Penyelenggaraan sistem jaminan pemenuhan kebutuhan pangan dan gizi masyarakat ditetapkan

menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 68 tahun 2002. Peraturan pemerintah ini

mengintruksikan pengelolaan dan pengembangan penyediaan pangan berbasis keragaman sumberdaya

pangan dan budaya lokal untuk mewujudkan ketahanan pangan yang berkelanjutan. Dalam hal ini,

pengembangan pangan lokal memiliki peran strategis dalam menjamin ketersediaan pangan yang cukup dan

merata hingga ke tingkat rumah tangga akibat adanya kendala distribusi. Jangkauan wilayah kepulauan yang

Page 134: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

120 |

luas dengan sebagian wilayah belum didukung dengan jaringan infrastruktur transportasi yang memadai

menyebabkan kendala distribusi pangan yang merata ke tiap wilayah.

Halmahera Selatanmerupakan wilayah kepulauan yang didominasi pulau-pulau kecil dan terpencil.

Setiap pulau dan wilayah memiliki kapasitas dan kualitas sumberdaya alam yang berbeda sehingga terdapat

aktivitas sosial, budaya, dan ekonomi yang juga berbeda di tiap wilayah (Briguglio, 1995). Masyarakat secara

turun temurun telah berinteraksi dengan lingkungan dalam melakukan aktivitas kehidupan sehingga terjalin

hubungan antara manusia dengan lingkungan dalam pemenuhan kebutuhan pangan dan kegiatan sosial-

ekonomi masyarakat. Dalam pemenuhan kebutuhan pangan, masyarakat memiliki sistem pangan lokal

dengan memproduksi dan mengembangkan sumber pangan yang sesuai dengan potensi sumberdaya tiap

wilayah.

Masyarakat memiliki kearifan lokal dalam menetapkan pola produksi dan konsumsi pangan.Berbagai

komoditas telah menjadi sumber pangan wilayah meliputi padi ladang, jagung, ubi kayu, ubi jalar, dan sagu.

Dalam hal ini, Halmahera Selatanmemiliki peluang besar dalam mewujudkan ketahanan pangan berkelanjutan

dengan mengoptimalkan sumberdaya spesifik lokasi di tiap wilayah. Oleh karena itu, pemerintah Kabupaten

Halmahera Selatan perlu menyusun perencanaan penyediaan pangan berbasis sumberdaya lokal untuk

menjamin ketersediaan pangan yang cukup, beragam, aman, merata dan mudah diperoleh dengan tingkat

harga yang terjangkau. Penelitian bertujuan untuk 1) menganalisis pola produksi dan konsumsi pangan yang

telah berkembang di tingkat rumah tangga, 2) menganalisis status kecukupan konsumsi pangan dan gizi ideal,

dan 3). menyusun rencana penyediaan pangan yang berkelanjutan sesuai sistem pangan lokal masyarakat.

METODOLOGI

Desain Penelitian

Desain penelitian menggunakan datatime series Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun

2008, 2011, dan 2014 serta data produksi komoditas pangan tahun 2013 untuk wilayah kabupaten Halmahera

Selatan.

Analisis Data

Tahapan penelitian dilakukan dengan menganalisis pola produksi dan konsumsi secara deskriptif

sertastatus kecukupan konsumsi pangan ideal dan neraca ketersediaan-kebutuhan pangan wilayah yang

dihitung berdasarkan standar Pola Pangan Harapan (PPH) untuk 6 kelompok pangan, yaitu padi/serealia,

umbi-umbian, pangan hewani kacang-kacangan, sayur-sayuran dan buah-buahan, serta bumbu-bumbuan.

Perbandingan antara jumlah total pangan yang tersedia dengan standar kebutuhan pangan untuk setiap

individu merupakan ukuran status neraca kebutuhan-ketersediaan pangan wilayah.

Dalam menghitung neraca kebutuhan-ketersediaan pangan, ketersediaan pangandiidentifikasi dengan

melakukan konversi perhitungan total ketersediaan kalori dari total produksi bahan pangan yang yang tersedia

untuk periode waktu tertentu. Total ketersediaan kalori yang dibutuhkan per tahun pada suatu wilayah dihitung

menggunakan acuan kandungan jumlah energi per 100 gr menurut bahan pangan dan faktor konversi

produksi dari ton ke kkal untuk memperoleh jumlah energi yang dapat dikonsumsi berdasarkan standar acuan

Direktorat Pangan dan Gizi (2004).

Page 135: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 121

Kebutuhan pangan wilayah dihitung berdasarkan pada standar Pola Pangan Harapan (PPH). Pola

Pangan Harapan merupakan suatu gambaran tentang jumlah dan jenis kelompok pangan utama yang

dianjurkan bagi setiap individu untuk memenuhi kebutuhan pangan yang cukup dan beragam/berimbang. Total

kebutuhan kalori yang dibutuhkan per tahun pada suatu wilayah dapat dihitung dengan melakukan perkalian

jumlah penduduk suatu wilayah dengan standar kebutuhan energi menurut jenis kelompok pangan untuk tiap

individu. Hasil identifikasi jumlah kebutuhan kalori menjadi acuan dalam penentuan jumlah produksi pangan

yang harus disediakan di suatu wilayah. Jumlah penduduk diproyeksi untuk tahun 2021 dihitung dengan

persamaan geometrik sebagai berikut:

Keterangan:

Pt = proyeksi jumlah penduduk tahun ke-t

Po = jumlah penduduk pada awal proyeksi

r = laju pertambahan pendudk

t = tahun proyeksi

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pola Konsumsi Pangan

Jumlah konsumsi beras di Halmahera Selatan sebesar 153,2 gram/kapita/hari. Konsumsi beras

mendominasi pola konsumsi pangan sebagai sumber karbohidrat di wilayah Kepulauan Halmahera Selatan.

Menurut Martianto dan Ariani (2004), terdapat beberapa alasan yang mendasari dipilihnya beras sebagai

pangan pokok, yaitu cita rasa yang lebih enak, lebih cepat dan lebih praktis diolah, dan mempunyai komposisi

gizi relatif lebih baik dibandingkan pangan pokok yang lain. Selain itu, beras sering diidentikkan dengan

pangan pokok yang mempunyai status sosial tinggi.

Pangan lain yang dikonsumsi dalam jumlah cukup besar di Kabupaten Halmahera Selatan adalah ubi

kayu, ubi jalar dan ikan, dengan rata-rata sebesar 91, 19 dan 123 gram/kapita/hari. Ubi kayu dan ubi jalar

masih dikonsumsi dan diminati sebagai makanan pokok oleh masya-rakat Halmahera Selatan dalam bentuk

beragam produk olahan. Selain itu, ikan mendominasi sebagai sumber protein hewani dibandingkan daging

ruminansia dan unggas. Ikan memiliki kontribusi terbesar dalam pemenuhan kebutuhan pangan kelompok

protein hewani dengan jumlah konsumsi sebesar 123,2 gram/hari sedangkan produk peternakan hanya

sebesar 13,4 gram/hari. Masyarakat hanya mengkonsumsi daging pada acara-acara dan ritual keluarga

sehingga sumber protein hewani ini cenderung tidak dikonsumsi setiap hari. Jenis konsumsi pangan utama

sumber karbohidrat dan protein penduduk di Kabupaten Halmahera Selatan menurut gugus pulau ditunjukkan

pada Tabel 1.

Tabel 1. Jenis Konsumsi Pangan Utama Sumber Karbohidrat dan Protein Penduduk di Kabupaten Halmahera Selatan Menurut Gugus Pulau

No Gugus Pulau Sumber KH Protein Hewani Protein Nabati

1 Obi B, S, P I Kp

2 Bacan B, S, P I, Ta Kh, Kt, Kd

Page 136: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

122 |

3 Makian B, S, P I Kp

4 Gane

a. Bagian Barat B, S, U, P I Kh, Kp

b. Bagian Timur B, S, P I Kh, Kp

Keterangan

B: Beras U: Ubi Jalar Da: Daging ayam

Kp: Kelapa Kd: Kacang kedelai

S: Singkong KH: Karbohidrat Ta: Telur ayam

Kh: Kacang hijau

P: Pisang I: Ikan Ti: Telur itik Kt: Kacang tanah

Sumber: Susenas, 2014 (Diolah)

Pola Produksi Pangan

Dalam pemenuhan kebutuhan pangan, ketersediaan pangan di tingkat wilayah merupakan salah satu

faktor yang mempengaruhi jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi oleh penduduk (Suryana, 2008). Jenis

komoditas pangan yang telah berkembang di Kabupaten Halmahera Selatan terdiri dari padi sawah, padi

ladang, jagung, ubi kayu, kacang tanah, dan berbagai jenis sayur-sayuran serta buah-buahan.

Sebagian besar wilayah Halmahera Selatan merupakan wilayah perairan (78%) sehingga terdapat

keterbatasan luas daratan dan ketersediaan air untuk kegiatan produksi tanaman pangan di lahan sawah.

Keberadaan lahan sawah terkonsentrasi pada di Kecamatan Gane Timur pada gugus Gane dengan luas lahan

padi sawah eksisting mencapai 2.291 ha atau 99,1% dari total lahan sawah di Halmahera Selatan. Namun

demikian, luas tanam sawah di kecamatan ini hanya sebesar 603,7 ha dengan hasil produksi beras mencapai

1.811,1 ton/tahun. Hal ini disebabkan tingkat aksesibilitas wilayah yang sangat rendah mengakibatkan

kendala pemasaran hasil produksi beras.

Padi ladang merupakan komoditas pangan yang dihasilkan sebagian masyarakat di Halmahera

Selatan. Gugus Pulau Obi merupakan penghasil terbesar produksi padi ladang, yaitu sebesar 456 ton/tahun

(71%) kemudian diikuti Gugus Pulau Gane, Makian, dan Bacan, masing-masing sebesar 90,2; 51,3 dan 40,5

ton/tahun. Produksi padi ladang terbesar di gugus Obi terletak pada Kecamatan Obi Timur yaitu 364,9

ton/tahun. Produksi padi ladang yang cukup besar pada skala wilayah kecamatan terletak di Kecamatan

Kayoa, Gane Timur, Gane Barat Utara, dan Bacan Timur Tengah, masing-masing sebesar 49,1; 44,3; 22,8;

dan 11,4 ton/tahun.

Jagung merupakan komoditas pangan yang dihasilkan sebagian besar masyarakat di Halmahera

Selatan. Gugus Pulau Gane merupakan penghasil terbesar produksi jagung di Halmahera Selatan, yaitu

sebesar 575,1 ton/tahun (45%) kemudian diikuti Gugus Pulau Bacan, Obi, Makian, masing-masing sebesar

440,6; 151,1 dan 102,8 ton/tahun. Kisaran jumlah produksi ubi jalar pada tingkat kecamatan di Halmahera

Selatan mencapai 1 – 347,5 ton/tahun. Selain itu, tanaman umbi-umbian merupakan tanaman yang tidak

memiliki persyaratan khusus untuk tumbuh sehingga tanaman ini dapat dibudidayakan dengan relatif mudah

oleh sebagian besar masyarakat di Halmahera Selatan. Ubi kayu dan ubi jalar merupakan tanaman umbi-

umbian yang dominan diproduksi sebagian besar masyarakat di Halmahera Selatan.

Produksi kelompok pangan kacang-kacangan terpusat di Gugus Pulau Gane, yaitu Kecamatan Gane

Timur. Produksi kacang tanah, kacang hijau dan kedelai pada wilayah ini masing-masing sebesar 115; 50;

Page 137: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 123

dan 52 ton dengan proporsi produksi mencapai 52; 64 dan 89% dari total produksi di Halmahera Selatan.

Sebagian besar masyarakat di seluruh wilayah kecamatan Halmahera Selatan melakukan aktivitas produksi

kacang tanah dan kacang hijau dengan kisaran jumlah produksi sebesar 0,1-115,3 dan 0,1-78,5 ton/tahun

sedangkan komoditas kacang kedelai hanya diproduksi pada sebagian wilayah kecamatan Halmahera

Selatan.

Sayuran dan buah-buahan merupakan tanaman yang diproduksi sebagian besar masyarakat di

Halmahera Selatan. Produksi terbesar komoditas sayuran dan buah-buahan terletak di Gugus Pulau Bacan

dan Gane dengan proporsi produksi masing-masing sebesar 37 dan 44% dari total produksi sayuran serta 47

dan 29% dari total produksi buah-buahan di Halmahera Selatan.

Kebutuhan kelompok pangan protein hewani disupply oleh komoditas perikanan dan peternakan.

Berdasarkan pola konsumsi masyarakat, ikan memiliki peran besar dalam pemenuhan kebutuhan protein

hewani, yaitu 122,7 gram/hari sedangkan produk peternakan hanya memiliki kontribusi sebesar 3,0 gram/hari.

Produksi perikanan diperoleh dari perikanan tangkap. Jumlah produksi perikanan di masing-masing gugus

pulau relatif merata dengan jumlah produksi terbesar terletak di Gugus Pulau Bacan, yaitu sebesar 21.721 ton.

Pada komoditas peternakan, populasi ayam ras petelur dan pedaging terkonsentrasi di Gugus Pulau Bacan,

yaitu sebesar 500 dan 1.080 ekor, masing-masing di Kecamatan Bacan Timur dan Bacan Selatan. Populasi

ayam buras relatif tersebar secara merata di Halmahera Selatan dengan populasi tertinggi dan terendah

masing-masing terletak pada Gugus Pulau Gane dan Makian, yaitu sebesar 7.609 dan 2.023 ekor.

Status Kecukupan Konsumsi Pangan Ideal

Dalam pemenuhan gizi masyarakat, penyediaan pangan ditujukan untuk memenuhi kebutuhan jumlah

dan keanekaragaman jenis pangan yang dikonsumsi masyarakat. Dengan demikian, penyediaan pangan tidak

hanya berorientasi pada peningkatan kuantitas, tetapi juga kualitas yang dinilai dari aspek komposisi atau

keragaman penyediaan serta mutu gizi konsumsi pangan dengan mengoptimalkan potensi sumberdaya

wilayah (Rahman, dkk 2002). Penilian kuantitas konsumsi pangan masyarakat menggunakan parameter

Tingkat Konsumsi Energi (TKE) dan Tingkat Konsumsi Protein (TKP) dengan jumlah minimal konsumsi energi

dan protein yang dianjurkan masing-masing sebesar 2.200 kkal/kapita/hari dan 50 gram/kap/hari.

Secara kuantitas, konsumsi energi dan protein di Halmahera Selatan tahun 2014 belum sesuai dengan

jumlah yang dianjurkan, yaitu sebesar 1.757 kkal/kapita/hari (88%) dan 48 gram/kap/hari (90%). Sebaliknya,

nilai TKE dan TKP telah memenuhi kebutuhan minimal yang dianjurkan pada tahun 2005. Terjadi trend laju

penurunan tingkat pemenuhan kebutuhan energi dan protein pada periode 2006 hingga 2014, yaitu masing-

masing sebesar 45 kkal/kapita/hari dan 0,6 gram/kap/hari setiap tahun.

Penilaian kualitas konsumsi pangan menggunakan standar skor Pola Pangan Harapan (PPH).

Berdasarkan skor PPH penduduk Halmahera Selatan pada tahun 2005; 2008 dan 2014 menunjukkan kualitas

konsumsi pangan penduduk Halmahera Selatan masih tergolong rendah, masing-masing sebesar 77,07;

75,58 dan 76,14. Kelompok pangan yang telah memenuhi skor maksimal adalah umbi-umbian, minyak-lemak,

kelompok biji berminyak, gula dan buah-buahan. Sebaliknya, skor PPH yang belum memenuhi skor maksimal

adalah kelompok pangan padi-padian, pangan hewani, kacang-kacangan dan sayuran. Kelompok pangan

tersebut cenderung mengalami trend penurunan jumlah konsumsi, masing-masing sebesar 286,24 menjadi

Page 138: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

124 |

222,71 gr/kapita/hari untuk kelompok padi, 6,10 menjadi 1,35 gr/kapita/hari untuk kelompok pangan kacang-

kacangan dan 242,84 menjadi 215,56 untuk kelompok sayuran-buah. Sebaliknya, trend peningkatan

konsumsi terjadi pada kelompok pangan hewani, yaitu 120,4 menjadi 140,37 gr/kapita/hari. Namun demikian,

peningkatan jumlah konsumsi ini belum dapat memenuhi standar skor maksimal kelompok pangan hewani.

Perencanaan Produksi Pangan Ideal

Kebutuhan pangan penduduk Kabupaten Halmahera Selatan diasumsikan dengan laju pertumbuhan

penduduk tetap, produktivitas masing-masing komoditas pangan tetap dan atau setengah potensi

hasil.Kebutuhan produksi pangan hanya untuk konsumsi penduduk, komposisi umur mendekati komposisi

penduduk nasional dan dihitung dengan mengacu pada Angka Ketersediaan Energi (AKE) nasional sebesar

2.200 kkal/kapita/hari. Berdasarkan proyeksi jumlah penduduk tahun 2021 maka dapat diketahuikebutuhan

jumlah konsumsi pangan ideal per kapita per hari menurut kelompok pangan(Tabel 2).

Tabel 2. Status Produksi dan Proyeksi Kebutuhan Pangan Berdasarkan PPH pada Tahun 2021 (ton/th).

No Komoditas Produksi Aktual

Kebutuhan Ideal

Gap Keterangan

Kelompok Padi/Serelia

1 Padi 2.579 22.863 20.284 Tidak Memenuhi

2 Jagung 1.270 1.525 255 Tidak Memenuhi

Kelompok Umbi-Umbian

3 Ubi Kayu 35.980 7.195 28.785 Memenuhi

Kelompok Kacang-Kacangan

4 Kacang Tanah

220 532 312 Tidak Memenuhi

5 Kacang Hijau

78 714 636 Tidak Memenuhi

6 Kacang Kedelai

47 632 585 Tidak Memenuhi

Kelompok Sayuran

7 Terong 0 9.060 9.060 Tidak Memenuhi

8 Kacang panjang

0 4.332 4.332 Tidak Memenuhi

9 Tomat 243 9.627 9.384 Tidak Memenuhi

Kelompok Buah-Buahan

10 Mangga 3.724 4.160 436 Tidak Memenuhi

11 Durian 1.378 1.539 161 Tidak Memenuhi

12 Pisang 3.242 3.622 380 Tidak Memenuhi

Kelompok Bumbu-Bumbuan

13 Cabe Merah

409 3.154 2.745 Tidak Memenuhi

14 Bawang Merah

242 8.886 8.644 Tidak Memenuhi

Kelompok Protein Hewani

Page 139: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 125

15 Perikanan 45.229 36.821 8.408 Memenuhi

Penentuan jumlah produksi bahan pangan ditentukan berdasarkan identifikasi jenis pangan yang

dominan dikonsumsi pada masing-masing kelompok pangan menurut pola produksi dan konsumsi

masyarakat. Identifikasi jenis pangan diperlukan untuk menkonversikan kebutuhan konsumsi energi dalam

satuan kkal ke kebutuhan produksi dalam satuan ton. Dalam hal ini, jenis pangan yang dipilih merupakan jenis

pangan yang dominan diproduksi dan dikonsumsi sesuai pola produksi dan konsumsi masyarakat dan telah

berkembang di wilayah Kepulauan Halmahera Selatan serta ketersediaan data yang memadai untuk analisis

lebih lanjut. Jenis-jenis pangan yang dipilih antara lain padi sawah. padi ladang, dan jagung untuk kelompok

padi-padian; ubi kayu untuk kelompok umbi-umbian; kacang tanah, kacang hijau dan kedelai untuk kelompok

kacang-kacangan; ikan untuk kelompok protein hewani, terung, tomat, dan kacang panjang untuk kelompok

sayuran; jeruk, durian, pisang untuk kelompok buah-buahan; serta cabai merah dan bawang merah untuk

kelompok bumbu-bumbuan.

Ketersediaan pangan di tingkat wilayah merupakan faktor dominan yang mempengaruhi jumlah dan

jenis pangan yang dikonsumsi setiap penduduk. Oleh karena itu, diperlukan perencanaan penyediaan pangan

wilayah dengan memperhatikan pola produksi dan konsumsi masyarakat sesuai sistem pangan lokal yang

ada, neraca ketersediaan-kebutuhan pangan ideal di tingkat wilayah, dan prioritas arahan wilayah

produksi.Prioritas arahan wilayah produksi ditetapkan berdasarkan hasil analisis ketersediaan dan kesesuaian

lahan yang ada serta keunggulan komparatif wilayah (LQ) dengan mempertimbangkan sebaran lahan aktual

tanaman pangan di tingkat wilayah untuk menjamin aktivitas produksi yang efisien dan berkelanjutan.

Hasil prioritas arahan produksi pangan pokok wilayah untuk komoditas padi sawah dan komoditas

kacang-kacangan (kacang tanah, kacang hijau, kedelai) dikembangkan di Kecamatan Gane Timur, masing-

masing sebesar 6.205 dan 604 ha, padi ladang di kecamatan terpilih pada tiap gugus pulau dengan total

kebutuhan lahan sebesar 2.057 ha, serta jagung dan ubi kayu di tiap kecamatan yang mengalami defisit

neraca ketersediaan pangan tersebut, masing-masing sebesar 8.585 dan 2.012 ha. Defisit sayur-buah juga

diproduksi di tiap kecamatan untuk mengurangi biaya distribusi pangan antar wilayah.

Perencanaan transportasi diperlukan untuk mendukung distribusi pangan antar dan intra gugus

pulau. Distribusi antra gugus pulau diperlukan untuk komoditas padi sawah dan kacang-kacangan, distribusi

intra gugus pulau antar kecamatan untuk komoditas padi ladang, dan distribusi intra gugus pulau intra

kecamatan untuk komoditas jagung, ubi kayu dan sayuran. Distribusi antar gugus pulau memerlukan

pengembangan integrasi transportasi antar moda (transportasi laut, penyebrangan dan jalan), pemberdayaan

sarana pelabuhan regional dan pelabuhan lokal sebagai simpul distribusi antar wilayah, perbaikan jalan untuk

menghubungkan wilayah produksi padi sawah dengan simpul distribusi antar pulau, dan pemberdayaan kapal

rakyat untuk melayani distribusi pangan pada wilayah yang terisolir.

Page 140: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

126 |

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat dikemukakan beberapa kesimpulan

sebagai berikut:

1. Karakteristik pola konsumsi, status pemenuhan kebutuhan pangan dan neraca kebutuhan-ketersediaan

pangan untuk penyediaan pangan berkelanjutan sebagai berikut:

a. Beras mendominasi pola konsumsi pangan sumber karbohidrat di kabupaten Halmahera Selatan.

Jumlah konsumsi beras di masing-masing gugus pulau Obi, Bacan, Kayoa, dan Gane sebesar 166,

161, 162 dan 124 gram/kapita/hari. Pangan sumber karbohidrat yang dikonsumsi dalam jumlah

cukup besar di kabupaten Halmahera Selatan adalah ubi kayu dan ubi jalar dengan rata-rata

sebesar 91, dan 19 gram/kapita/hari.

b. Berdasarkan pola konsumsi masyarakat, ikan memiliki peran besar dalam pemenuhan kebutuhan

protein hewani, yaitu 122,7 gram/hari sedangkan produk peternakan hanya memiliki kontribusi

sebesar 3,0 gram/hari.

c. Pemenuhan kebutuhan pangan dan gizi masyarakat Halmahera Selatan tahun 2014 belum sesuai

standar kuantitas dan kualitas konsumsi pangan tiap individu. Kuantitas tingkat konsumsi energi dan

protein masing-masing sebesar 1757 kkal/kapita/hari (88%) dan 48 gram/kap/hari (90%). Kualitas

konsumsi pangan penduduk masih tergolong rendah, yaitu sebesar 76,14. Trend penurunan

kuantitas pangan terjadi pada periode tahun 2005-2014, yaitu tingkat konsumsi energi dan protein

masing-masing sebesar 45 kkal/kapita/hari dan 0,6 gram/kap/hari setiap tahun.

2. Karakteristik pola produksi pangan menunjukkan ubi kayu, ubi jalar, jagung, sayuran dan buah-buahan

merupakan komoditas pangan yang dihasilkan sebagian besar masyarakat di Halmahera Selatan. Padi

sawah dan padi ladang serta kacang-kacangan merupakan komoditas pangan yang dihasilkan sebagian

masyarakat di Halmahera Selatan. Gugus pulau Obi merupakan penghasil terbesar produksi padi ladang

di Halmahera Selatan, yaitu sebesar 456 ton/tahun (71%). Produksi kelompok pangan kacang-kacangan

terpusat di gugus pulau Gane, yaitu kecamatan Gane Timur.

3. Hasil prioritas arahan produksi pangan pokok wilayah untuk komoditas padi sawah dan komoditas

kacang-kacangan (kacang tanah, kacang hijau, kedelai) dikembangkan di Kecamatan Gane Timur,

masing-masing sebesar 6.205 dan 604 ha, padi ladang di kecamatan terpilih pada tiap gugus pulau

sebesar 2.057 ha, serta jagung dan ubi kayu di tiap kecamatan yang mengalami defisit neraca

ketersediaan pangan tersebut, masing-masing sebesar 8.585 dan 2.012 ha. Defisit sayur-buah juga

diproduksi di tiap kecamatan untuk mengurangi biaya distribusi pangan antar wilayah.

DAFTAR PUSTAKA Absari, U.D. (2007). Perencanaan Produksi Pangan Berdasarkan Daya Dukung Pangan Wilayah untuk

Memenuhi Kebutuhan Konsumsi Pangan Penduduk di Kabupaten Nganjuk, Propinsi Jawa Timur. Tesis. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Arsyad, S. (2012). Konservasi Tanah dan Air. Edisi Kedua. Penerbit IPB Press. Bogor. Hal. 303-344.

Page 141: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 127

Baliwati, Y.F. (2009). Pemberdayaan Makanan Etnik Sebagai Penopang Ketahanan Pangan Dan Sumber Ekonomi Masyarakat: Pendekatan Human Welfare Ecology. Makalah Disampaikan Pada Simposium Ketahanan Pangan dalam rangka Dies Natalis XXVII Universitas Bengkulu. 11 - 12 Mei 2009.

Briguglio, L.(1995). Small island states and their economic vulnerabilities. World Development, 23(9): 1615–1632.

Hardinsyah, S. Madanijah, Y. F. Baliwati. (2002). Analisis Neraca Bahan Makanan dan Pola Pangan Harapan untuk Perencanaan Ketersediaan Pangan. Jakarta: PSKPG-IPB dan Pusat Pengembangan Ketersediaan Pangan. Departemen Pertanian.

Mulyani, A., S. Ritung dan I. Las. (2011). Potensi dan ketersediaan sumber daya lahan untuk mendukung ketahanan pangan. J.Litbang Pertanian. 30 (2).

Rachmaningsih, T. (2012). Ketahanan Pangan Di Kawasan Timur Indonesia. Tesis. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Ralahalu, K. A., Jinca, M. Y, Siahan, L. D., dan Sihaloho, A. (2013). Pembangunan Transportasi Kepulauan di Indonesia.Jakarta: Brilian Internasional.

Rauf, A. W. dan M.S. Lestari. (2009). Pemanfaatan komoditas pangan lokal Sebagai sumber pangan alternatif di papua. J. Litbang Pertanian. 28 (2).

Ridhwan, M.H.A., M.N. Ibrahim, F. Indawan, I. Karlina. (2012). Perdagangan Antardaerah, Distribusi, Transportasi, Dan Pengelolaan Stok Komoditas Pangan Strategis di Indonesia. Working Paper. Jakarta: Bank Indonesia.

Sumarlin. (2009). Analisis Kebutuhan Luas Lahan Pertanian Pangan dalam Pemenuhan Kebutuhan Pangan Penduduk Kabupaten Lampung Barat. Tesis. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Suradisastra, K., (2008). Persepktif Sosial Budaya dalam Pengembangan Pertanian Kawasan Timur Indonesia. Prosiding Lokakarya: Menyoroti Dinamika Pembangunan Pertanian Kawasan Timur Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta. Hal. 9-23.

Suryana, A. (2008). Menelisik ketahanan pangan, kebijakan Pangan, dan swasembada beras. Jurnal Pengembangan Inovasi Pertanian 1(1): 1-16

Survey Sosial Ekonomi Rumah Tangga Tahun (Susenas). (2014). Jakarta: Badan Pusat Statistik Pusat. Survey Sosial Ekonomi Rumah Tangga Tahun (Susenas). (2008). Jakarta: Badan Pusat Statistik Pusat. Survey Sosial Ekonomi Rumah Tangga Tahun (Susenas). 2005. Badan Pusat Statistik Pusat. Jakarta.

Page 142: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

128 |

ANALISIS SITUASI DAN PENGELOLAAN PROGRAM INSEMINASI BUATAN UNTUK

PERUMUSAN KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN SAPI POTONG DI MALUKU UTARA

Heru Ponco Wardono1 dan Ahmad Yunan Arifin2 1Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Maluku Utara

2Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) D.I. Yogyakarta Corresponding author: [email protected]

Abstrak:Potensi ketersediaan bahan baku pakan serta sumber daya manusia memungkinkan pengembangan sapi potong berbasis sumber daya lokal sehingga pengembangan usaha ternak sapi potong merupakan salahsatu upaya mengoptimalkan ketersediaan peluang usaha yang tergolong rendah di wilayah gugusan kepulauan Maluku Utara.Penelitian bertujuan 1) mengidentifikasi dan menganalisislingkungan strategis pengembangan usaha sapi potong dan 2) merumuskan model kawasan sapi potong di Maluku Utara. Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari hingga Desember 2017 di dua desa pada kecamatan berbeda di kabupaten Halmahera Timur dan Halmahera Utara Maluku Utara. Pemilihan lokasi desa yang berbeda memperhatikan perbedaan tingkat adopsi inovasi inseminasi buatan di tiap wilayah. Jenis data yang digunakan dalam penelitian adalah data primer dan sekunder. Data primer diperoleh melalui diskusi, wawancara, pengisian kuesioner, dan pengamatan langsung terhadap kegiatan manajemen pemeliharaan sapi potong di lokasi kajian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Maluku Utara merupakan wilayah potensial untuk pengembangan kawasan sapi potong, baik secara fisik lingkungan, ketersediaan tanaman hijauan makanan ternak, memiliki ketersediaan lahan untuk tempat budidaya sapi potong, dan memenuhi daya dukung/ketersediaan hijauan untuk pakan ternak sapi potong. Selanjutnya, analisis kuadran menghasilkan prioritas startegi pada posisi kuadran I yang merupakan kombinasi pemanfaatan faktor kekuatan dan peluang (SO) dalam pengembangan kawasan sapi potong. Rincian strategi SO hasil dari pencocokan komponen kekuatan dan peluang adalah 1) penerapan standar teknis budidaya sapi potong secara ekstensif (O1; O2; O5; S1; S2); 2) peningkatan kepuasan pelayanan IB (O3, O4, O5, S5); 3)peningkatan intensitas penyuluhan (O3; O4; O5; S3; S4); dan 4) peningkatan dukungan kelembagaan agribisnis sapi potong (O1; O2; O3; O5; S1; S2).

Kata Kunci :kawasan, agribisnis, sapi potong

PENDAHULUAN

Maluku Utara sebagai wilayah kepulauan memiliki keanekaragaman hayati sehinggamasing-masing

pulau memiliki kapasitas sumberdaya alam yang berbeda-beda. Secara alamiah, sumberdaya alam umumnya

bersifat melekat pada pada berbagai permukaan bumi dan tersebar secara tidak merata secara spasial

(Tobler, 1976). Implikasinya, setiap pulau memiliki kapasitas dan kualitas sumberdaya alam, sumberdaya

manusia, dan sumberdaya pertanian yang berbeda sehingga terdapat karakteristik geografi, sosial, budaya,

Page 143: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 129

dan ekonomi yang spesifik antar wilayah. Diperlukan pengelolaan sumberdaya alam yang efisien dengan

memadukan kapasitas dan kualitas sumberdaya alam dengan kemampuan sumber daya manusia (human

capital) dan dukungan sumber daya buatan untuk meningkatkan produktivitasnya sehingga dapat tercapai

secara penuh kapasitas pembangunan pertanian sesuai dengan potensi masing-masing wilayah.

Wilayah kepulauan Maluku Utara yang didominasi pulau-pulau kecil dan sangat kecil memiliki

keterbatasan sumberdaya alam dan kepekaan lingkungan akibat ukuran pulau yang relatif kecil. Ketersediaan

sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan relatif terbatas dalam mendukung perkembangan kehidupan

ekosistem pulau kecil, pemenuhan kebutuhan manusia serta pelaksanaan pembangunan di pulau-pulau kecil.

Oleh karena itu, diperlukan pengelolaan kapasitas sumberdaya wilayah di Maluku Utara dengan

mempertimbangkan pengelolaan sumberdaya alam yang sejalan dengan upaya menjaga dan memelihara

fungsi ekologi untuk mempertahankan keseimbangan dan keberlangsungan ekosistem sehingga sumberdaya

alam dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan. Dalam hal pengembangan sapi potong, terdapat potensi

wilayah yang mampu mendukung ketersediaan bahan baku pakan serta sumber daya manusia memungkinkan

pengembangan sapi potong berbasis sumber daya lokal di wilayah Maluku Utara. Tujuan penelitian ini

bertujuan 1) mengidentifikasi dan menganalisis lingkungan strategis pengembangan usaha sapi potong dan 2)

merumuskan model kawasan sapi potong di Maluku Utara.

METODE PENELITIAN

Desain Penelitian

Pengkajian dilaksanakan pada bulan Januari hingga Desember 2017 di dua desa pada kecamatan

berbeda di kabupaten Halmahera Timur dan Halmahera Utara. Pemilihan lokasi desa yang berbeda

memperhatikan perbedaan tingkat adopsi inovasi inseminasi buatan di masing-masing wilayah.

Metode Analisis Data

Penentuan strategi pengembangan kawasan sapi potong dilakukan dengan analisis deskriptif dan

SWOT. Analisis deskriptif dilakukan untuk memperoleh informasi kondisi aktual perkembangan usaha sapi

potongsedangkan analisis SWOT untuk memformulasikan strategi kebijakan operasional pengembangan

kawasan sapi potong. Adapun tahapan proses analisis SWOT adalah, pertama identifikasi dan evaluasi faktor

eksternal-internal. Tahap ini merupakan analisis situasi dengan mengelompokkan data dan informasi

berdasarkan pada faktor lingkungan internal (kekuatan dan kelemahan) dan faktor lingkungan eksternal

(peluang dan ancaman). Selanjutnya, evaluasi faktor internal dan eksternal dilakukan melalui pemberian Bobot

(B) pada setiap unsur faktor internal dan eksternal dengan kriteria penilaian bobot antara 0 (tidak penting)

hingga 1 (sangat penting). Bobot setiap faktor internal dan eksternal merupakan kunci keberhasilan (Key

Success Factor/KSF) pengembangan kawasan sapi potong. Bobot faktor kunci tersebut ditentukan dengan

membandingkan derajat kepentingan setiap KSF dengan KSF yang lain. Faktor-faktor kunci keberhasilan ini

kemudian dilakukan pemeringkatan (R) yang menandakan nilai dukungan masing-masing faktor dalam

pencapaian tujuan. Skala nilai pemeringkatan adalah 5 (sangat berpengaruh), 3 (berpengaruh), dan 1 (kurang

Page 144: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

130 |

berpengaruh). Bobot faktor dan rating akan menentukan skor (B x R) atau nilai bobot dukungan terhadap

pencapaian tujuan pengembangan kawasan sapi potong. Dalam tahap ini, dilakukan justifikasi secara

personal terhadap nilai urgensi (NU) dan rating (R) dari setiap faktor kunci berdasarkan data dan kondisi aktual

pengembangan usaha sapi potong.

Tahap kedua adalah analisis matrik SWOT. Matrik SWOT diidentifikasi untuk memberikan

gambaran upaya menghadapi peluang dan ancaman dengan menyesuaikan kekuatan dan kelemahan dalam

pengembangan kawasan sapi potong. Selanjutnya, tahap ketiga pengambilan keputusan berdasarkan prioritas

strategi (Marimin, 2004). Tahapan ini dilakukan berdasarkan hasil penghitungan selisih skor pada evaluasi

setiap faktor maka diperoleh total skor faktor internal dan eksternal. Total skor faktor internal dan eksternal

digunakan untuk mengetahui posisi strategis pengelolaan sumberdaya pada posisi kuadran tertentu dalam

kuadran strategi SWOT.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis Lingkungan Strategis

Kondisi lingkungan strategis diidentifikasi dengan merinci faktor kekuatan dan kelemahan (internal)

yang dapat mendorong dan menghambat tercapainya pengembangan kawasan agribisnis sapi potong. Selain

itu, kondisi lingkungan strategis juga diidentifikasi dengan merinci faktor peluang dan ancaman (eksternal)

yang dapat mendorong dan menghambat tercapainya pengembangan kawasan agribisnis sapi potong di

Maluku Utara. Identifikasi dan evaluasi faktor internal kekuatan (S) dan kelemahan (W) dalam pengembangan

kawasan agribisnis sapi potong dinyatakan dalam bentuk skor hasil perkalian bobot dengan peringkat yang

ditunjukkan pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil Evaluasi Faktor Internal

Faktor Internal Bobot Ranking Skor

Kekuatan

Beternak sapi potong sebagai usaha yang menguntungkan

19 5 0,95

Peternak relatif berpengalaman dalam beternak. 4 2 0,08

Karakteristik personal peternak (motivasi, pengetahuan dan sikap) memadai dalam mengembangkan usaha sapi potong

15 4 0,6

Adanya kelompok peternak memiliki peran yang efektif sebagai media komunikasi dalam sistem sosial masyarakat

9 4 0,36

Ketersediaan petugas IB yang terlatih dan sarana IB yang memadai dalam aplikasi penerapan inovasi IB

9 3 0,27

Kekuatan/Strength (S) 2,26

Kelemahan

Tingkat pendidikan peternak yang relatif rendah 2 2 0,04

Tingkat partisipasi peternak dalam kelompok peternak relatif bervariasi

12 5 0,6

Tingkat intensitas penyuluh yang dilakukan petugas 12 5 0,6

Page 145: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 131

penyuluh relatif bervariasi

Nilai harapan dalam pengembangan usaha sapi potong yang ideal masih rendah

11 4 0,44

Tingkat pelayanan IB dan motivasi peternak dalam memanfaatkan teknologi IB antar lokasi relatif bervariasi

7 4 0,28

Kelemahan/Weakness (W) 1,96

S - W 0,3

Identifikasi dan evaluasi faktor-faktor eksternal peluang (O) dan ancaman (T) dalam pengembangan

kawasan sapi potong dinyatakan dalam bentuk skor hasil perkalian bobot dengan peringkat yang ditunjukkan

pada Tabel 2.

Tabel 2. Hasil Evaluasi Faktor Ekternal

Faktor Eksternal Bobot Ranking Skor

Peluang

Ketersediaan dan kesesuaian wilayah potensial yang besar dalam pengembangan sapi potong

5 3 0,15

Ketersediaan dan kontinuitas hijauan makanan ternak yang berkualitas

9 4 0,36

Penggunaan teknologi IB mampu memperbaiki mutu genetik sapi.

14 5 0,7

Peningkatan pendapatan peternak dari penerapan teknologi IB

16 4 0,64

Dukungan program dan kebijakan pemerintah 11 2 0,22

Peluang/Opportunity (O) 2,07

Ancaman

Persaingan usaha sapi potong antar daerah 3 2 0,06

Sistem pemasaran yang belum memadai 5 4 0,2

Ketersediaan pejantan berkualitas yang rendah 4 4 0,16

Gangguan reproduksi dan kesehatan ternak sapi 5 5 0,25

Pengurasan betina produktif 3 4 0,12

Ancaman/Threat (T) 0,79

O - T 1,28

Prioritas Strategi Dan Rencana Aksi Pengembangan Kawasan Agribisnis Sapi Potong

Teknik penentuan strategi dilakukan dengan melakukan kombinasi faktor kekuatan, kelemahan,

peluang dan ancaman. Adapun fokus prioritas strategi dipilih dari keempat strategi dengan analisis kuadran.

Analisis kuadran dilakukan berdasarkan hasil evaluasi penilaian faktor internal dengan mempertimbangkan

aspek kekuatan dan kelemahan serta faktor eksternal dengan mempertimbangkan aspek peluang dan

ancaman, maka dapat diperoleh skor penilaian sebagai sebagai berikut:

a. Skor kekuatan (S) adalah 2,26 sedangkan skor kelemahan (W) adalah 1,96 sehingga selisih S – W yang

merupakan sumbu X dalam kuadran adalah 0,30.

Page 146: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

132 |

b. Skor peluang (O) adalah 2,07 sedangkan skor ancaman (T) adalah 0,79 sehingga selisih O – T yang

merupakan sumbu Y adalah 1,28.

Analisis kuadran menghasilkan prioritas startegi berada pada posisi kuadran I yang merupakan

kombinasi pemanfaatan faktor kekuatan dan peluang (SO). Kombinasi faktor SO merupakan strategi

memaksimalkan kekuatan untuk meraih peluang semaksimal mungkin. Rincian strategi SO hasil dari

pencocokan masing-masing komponen faktor kekuatan dan peluang adalah sebagai berikut:

a. Penerapan standar teknis budidaya sapi potong secara ekstensif (O1; O2; O5; S1; S2)

b. Peningkatan kepuasan pelayanan IB (O3, O4, O5, S5)

c. Peningkatan intensitas penyuluhan (O3; O4; O5; S3; S4)

d. Peningkatan dukungan kelembagaan agribisnis sapi potong (O1; O2; O3; O5; S1; S2)

Keempat prioritas strategi diatas memerlukan rincian kebijakan dan kegiatan dalam pengembangan

kawasan agribisnis sapi potong di Maluku Utara. Berdasarkan hasil FGD dan analisis data terkait maka dapat

disusun rincian komponen-komponen kebijakan operasional, target kebijakan/indikator pencapaian dan

instansi pelaksana terkait menurut identifikasi tiap prioritas strategi.

Prioritas 1. Penerapan standar teknis budidaya sapi potong secara ekstensif

Dalam hal ini, para peternak di Maluku Utara melakukan budidaya sapi potong secara ekstensif

dengan kondisi lingkungan yang panas, sangat kering atau lembab dengan ternak sapi yang dilepas di padang

penggembalaan mempengaruhi status kesehatan ternak. Hal ini dilakukan untuk mengendalikan berbagai

faktor yang dapat menghambat pertumbuhan dan menurunkan kemampuan berproduksi serta reproduksi sapi

secara optimal. Oleh karena itu, manajemen kesehatan merupakan mata rantai kegiatan utama yang perlu

menjadi prioritas dalam upaya meningkatkan keuntungan peternak sapi potong pada pola pemeliharaan

ekstensif di Maluku Utara.

Prioritas 2. Peningkatan Kepuasan Pelayanan IB

Teknologi IB telah menggantikan cara perkawinan alami sapi yang selama ini dilakukan secara

turun-temurun sebagai suatu sistem sosial dan budaya masyarakat yang telah lama berlangsung. Dilain pihak,

keberhasilan penerapan teknologi IB sangat dipengaruhi oleh pola manajemen pemberian pakan,

pengendalian kesehatan dan manajemen perkawinan sehingga sapi hasil IB mampu berproduksi optimal

sesuai dengan potensi genetik ternak. Selain itu, keberhasilan penerapan teknologi IB juga dipengaruhi oleh

tingkat dukungan infrastruktur dasar pelayanan IB seperti peralatan produksi dan distribusi semen,

kelembagaan IB, petugas IB, dan peternak.

a. Aspek Teknis

Pada aspek teknis, optimalisasi sumberdaya IB dan pengendalian masalah kesehatan menjadi faktor

utama dalam meningkatkan keberhasilan adopsi penerapan inovasi IB di kabupaten Halmahera Utara. Namun

demikian, disiplin dan komitmen kerja petugas IB dalam memberikan pelayanan mempengaruhi tingkat

kepuasan pelayanan IB sehingga berpengaruh pada tingkat keberhasilan di kabupaten Halmahera Utara.

Penerapan manajemen kesehatan dilakukan melalui pemberian vaksin dan obat cacing secara rutin diperlukan

Page 147: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 133

untuk mengurangi resiko adanya gangguan serangan penyakit pada sapi yang dilepas pada sistem

pemeliharaan ekstensif di padang penggembalaan.

b. Aspek kelembagaan

Pada aspek kelembagaan, peran aktif penyuluh, kelompok ternak, dan petugas IB mempengaruhi tingkat

keberhasilaan penerapan teknologi IB. Penyuluh merupakan sumber informasi inovasi teknologi IB bagi

peternak sedangkan kelompok ternak merupakan media komunikasi dan sarana pengambilan keputusan yang

efektif dalam suatu sistem sosial masyarakat setempat sehingga teknologi IB dapat diadopsi secara baik dan

luas oleh peternak.

Prioritas 3. Peningkatan Intensitas Penyuluhan

Dama menyusun strategi peningkatan intensitas penyuluhan, perlu memperhatikan proses difusi

inovasi terjadi di dalam suatu sistem sosial. Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap proses adopsi

inovasi adalah ketersediaan sumber-sumber informasi dan proses komunikasi. Dalam hal ini, komunikasi

merupakan suatu proses, di mana anggota masyarakat menciptakan dan berbagi informasi satu dengan yang

lainnya untuk mencapai pemahaman yang sama terhadap suatu inovasi teknologi. Oleh karena itu, diperlukan

pembentukan dan penguatan peran kelompok peternak sebagai media komunikasi dalam diseminasi inovasi

IB serta peningkatan intensitas penyuluhan sebagai sumber informasi yang diharapkan dapat menyampaikan

berbagai informasi yang dibutuhkan dalam proses adopsi inovasi IB. Oleh karena itu, diperlukan pembentukan

dan penguatan peran kelompok peternak sebagai media komunikasi dalam diseminasi inovasi IB serta

peningkatan intensitas penyuluhan sebagai sumber informasi yang diharapkan dapat menyampaikan berbagai

informasi yang dibutuhkan dalam proses adopsi inovasi IB.

Prioritas 4. Peningkatan Dukungan Kelembagaan Agribisnis Sapi Potong

Dalam hal ini, aspek pemasaran ternak sapi memiliki peran penting dalam memberikan memotivasi

peternak untuk menerapkan inovasi teknologi IB secara berkelanjutan karena adanya jaminan keuntungan

yang akan diperoleh peternak. Namun demikian, peternak sapi di lapangan pada umumnya tidak memahami

mekanisme harga sehingga peternak memiliki posisi yang lemah dalam penetapan harga sapi. Dalam hal ini,

harga merupakan imbalan dari biaya produksi sehingga peternak dapat memperoleh keuntungan yang wajar

(margin share). Sebaliknya, penjualan ternak sapi tidak memiliki standar harga yang jelas sehingga peternak

tidak memperoleh keuntungan yang wajar dari hasil budidaya ternak sapi.

Tidak adanya standar harga ternak sapi dan minimnya pengetahuan peternak mengenai penentuan

harga jual ternak sapi dapat merugikan peternak. Oleh karena itu diperlukan ketersediaan pasar hewan untuk

menampung dan memasarkan serta memberikan pengawasan dalam pemasaran ternak sapi di Maluku Utara.

Dalam hal ini, peran pemerintah diharapkan dapat memberikan pelayanan dalam sistem pemasaran sapi

potong yang mampu memberikan kemudahan dan pembagian keuntungan yang wajar antar pelaku usaha di

bidang sapi potong. Peran pemerintah diharapkan dapat memberikan standarisasi penentuan harga sapi

dengan mempertimbangkan faktor-faktor produksi yang ada pada masing-masing pelaku usaha dan kelayakan

harga yang diterima konsumen. Oleh karena itu, keberadaan pasar hewan memerlukan adanya ketersediaan

Page 148: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

134 |

fasilitas-fasilitas yang mendukung proses transaksi yang sehat dalam pembentukan harga sapi, khususnya

pemeriksaan kesehatan dan kesesuaian standar kualitas hewan serta timbangan bobot badan untuk

mengetahui akurasi penetapan harga berdasarkan kondisi daging sapi yang diperdagangkan.

KESIMPULAN DAN SARAN

Sesuai hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat dikemukakan beberapa kesimpulan

sebagai berikut:

1. Kondisi lingkungan strategis diidentifikasi dengan merinci faktor kekuatan dan kelemahan (internal)

masing-masing yang dapat mendorong dan menghambat tercapainya pengembangan kawasan

agribisnis sapi potong. Selain itu, kondisi lingkungan strategis juga diidentifikasi dengan merinci faktor

peluang dan ancaman (eksternal) yang dapat mendorong dan menghambat tercapainya pengembangan

kawasan agribisnis sapi potong di Maluku Utara.

2. Analisis kuadran menghasilkan prioritas startegi berada pada posisi kuadran I yang merupakan

kombinasi pemanfaatan faktor kekuatan dan peluang (SO). Kombinasi faktor SO merupakan strategi

memaksimalkan kekuatan untuk meraih peluang semaksimal mungkin. Rincian strategi SO hasil dari

pencocokan masing-masing komponen faktor kekuatan dan peluang adalah sebagai berikut:

a. Penerapan standar teknis budidaya sapi potong secara ekstensif (O1; O2; O5; S1; S2).

b. Peningkatan kepuasan pelayanan IB (O3, O4, O5, S5).

c. Peningkatan intensitas penyuluhan (O3; O4; O5; S3; S4).

d. Peningkatan dukungan kelembagaan agribisnis sapi potong (O1; O2; O3; O5; S1; S2).

3. Keempat prioritas strategi diatas memerlukan rincian kebijakan dan kegiatan dalam pengembangan

kawasan agribisnis sapi potong di Maluku Utara. Berdasarkan hasil FGD dan analisis data terkait maka

dapat disusun rincian komponen-komponen kebijakan operasional, target kebijakan/indikator pencapaian

dan instansi pelaksana terkait menurut identifikasi tiap prioritas strategi.

DAFTAR PUSTAKA

Ashari, E. Juarini, Sumanto, B. Wibowo dan Suratman.(2003). Pedoman Analisis Potensi Wilayah Penyebaran dan Pengembangan Peternakan. Bogor: Balai Penelitian Ternak Bogor.

Dahuri R, Rais, J.M., Ginting S.P. dan Sitepu, M.J.(1995). Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Jakarta: PT Pradnya Paramita.

Dahuri R.(2004). Paradigma Baru Pembangunan Indonesia Berbasis Kelautan. Bogor: IPB [Deptan] Deparetemen Pertanian Republik Indonesia Dirjen Bina Produksi Peternakan (2002). Pengembangan

Kawasan Agribisnis Berbasis Peternakan.Jakarta: Deptan. Saragih B. (2000). Agribisnis Berbasis Peternakan. Bogor: USESE Foundation dan Pusat Studi Pembangunan

IPB. Nasution Z. (2002). Komunikasi pembangunan: Pengenalan teori dan penerapannya. Edisi Revisi. Jakarta:

RajaGrafindo Persada.

Page 149: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 135

Riady, M. (2004). Tantangan dan Peluang Peningkatan Produksi Sapi Potong Menuju 2020. Di dalam Setiadi

et al, penyunting. Strategi Pengembangan Sapi Potong dengan Pendekatan Agribisnis dan

Berkelanjutan. Prosiding Lokakarya Nasional Sapi Potong. Yogyakarta, 8-9 Oktober 2004, Hal 3-6.

Suratman, S., Ritung, Jaenudin. (1998). Potensi lahan untuk pengembangan ternak ruminansia besar di beberapa provinsi di Indonesia. Di dalam: Karma AS., editor. Prosiding Peternakan Pembangunan dan Komunikasi Hasil Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bidang Pedologi. Cisarua, 4-6 Maret 1997, hlm 169-182. Bogor: Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat.

Susilo S.B. (2003). Keberlanjutan Pembangunan Pulau-Pulau Kecil: Studi Kasus Kelurahan Pulau Panggang dan Pulau Pari, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. [Disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Tampubolon S.M.H. [Tanpa Tahun]. Sistem dan Usaha Agribisnis: Kacamata Sang pemikir. Bogor. Thahar. (2006). Daya Dukung Pakan Suatu Wilayah. Sumatra Selatan. Agung Sungai Lilin. Saragih B. (2000). Agribisnis Berbasis Peternakan. Bogor: USESE Foundation dan Pusat Studi Pembangunan

IPB. Suratman, S., Ritung, Jaenudin. (1998). Potensi lahan untuk pengembangan ternak ruminansia besar di

beberapa provinsi di Indonesia. Di dalam: Karma AS., editor. Prosiding Peternakan Pembangunan dan Komunikasi Hasil Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bidang Pedologi. Cisarua, 4-6 Maret 1997, hlm 169-182. Bogor: Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat.

Page 150: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

136 |

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP PRODUKSI BAWANG MERAH

Rini Mutisari, Deny Meitasari

Jurusan Sosial Ekonomi,Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya, Jl. Veteran, Malang 65145 Jawa Timur,

Indonesia

Corresponding author: [email protected]

Abstrak. Bawang merah merupakan salah satu komoditas yang perlu untuk mendapatkan perhatian dengan serius, mengingat konsumsi domestik komoditas ini terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Namun demikian meski jumlah produksinya juga mengalami peningkatan, sejak tahun 2010 jumlah impor bawang merah masih lebih besar daripada jumlah ekspornya. Untuk itu sebagai upaya untuk meningkatkan produksi bawang merah, maka perlu diketahui faktor-faktor apa saja yang memperngaruhi tingkat produksinya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi produksi bawang merah, sekaligus mengetahui seberapa besar pengaruh musim hujan dan kemarau terhadap tingkat produksinya. Lokasi penelitian dipilih secara purposive, yaitu berada di Kecamatan Junrejo Kota Batu. Data diambil melalui wawancara yang dilakukan pada 94 responden. Sementara itu, metode yang digunakan untuk menjawab tujuan penelitian adalah regresi non linier. Hasil analisis menunjukkan bahwa faktor-faktor yang berpengaruh paling signifikan terhadap peningkatan produksi adalah bibit dan pestisida dengan tingkat signifikansi 99%. Sementara itu untuk setiap jenis penggunaan pupuk tidak berpengaruh signifikan terhadap produksi bawang merah. Kata Kunci: bawang merah, regresi non linier, produksi

PENDAHULUAN

Bawang merah merupakan salah satu komoditas hortikultura unggulan yang telah lama diusahakan oleh

petani. Sebagai salah satu komodias yang tidak bersubtitusi, menjadikan permintaan komoditas ini terus

mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Konsumsi bawang merah di tingkat rumah tangga Jawa Timur

cenderung mengalami peningkatan selama periode 2010 hingga 2016. Dimana pada tahun 2010 konsumi

bawang merah hanya mencapai 2,628 kg/kapita/tahun menjadi 3,47 kilogram/kapita/tahun (BPS Jawa Timur,

2016).

Komoditas bawang merah di Indonesia juga merupakan salah satu komoditas yang diekspor, dimana

tujuan negara ekspornya antara lain adalah Thailand, Malaysia, Singapura, dan Viet Nam. Dimana

pertumbuhan ekspor komoditas ini selama kurun waktu 2010-2014 adalah sebesar 40,675 per tahun. Meski

demikian pemerintah Indonesia tetap melakukan aktvitas impor, terutama pada saat paceklik untuk menutupi

kekurangan pasokan bawang merah. Namun demkian nilai pertumbuhan impornya tidak lebih besar daripada

ekspornya, dimana hanya sekitar 12,12% per tahun.

Page 151: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 137

Jawa Timur merupakan salah satu provinsi dari empat provinsi sentra produksi bawang merah nasional

yaitu Jawa tengah, Jawa Timur, Jawa Barat dan, Nusa Tenggara Barat. Sebagai salah satu sentra bawang

merah, produksi komoditas ini di Jawa Timur terus mengalami peningkatan dimana pada Tahun 2012 jumlah

produksinya 222,862 ton menjadi 304,520 ton pada Tahun 2016. Demikian luas panen juga mengalami

peningkatan, pada Tahun 2012 luas panen komodits ini di Jawa Timur sebesar 22,323 hektar menjadi 36,173

hektar. Peningkatan produksi dan luas panen bawang merah di Jawa Timur ternyata tidak sejalan dengan

kondisi produktivitasnya, dimana selama kurun waktu 2012-2016 terus mengalami penurunan, dari 9,98 ton/ha

menjadi hanya 8,42 ton/ha. Kota Batu meskipun bukan merupakan salah satu sentra produktivitas bawang

merah di Jawa Timur, namun memiliki tingkat produktivitas yang lebih tinggi yaitu sekitar 11 ton/ha.

Bawang merah merupakan salah satu komoditas yang rentan terhadap resiko, baik resiko produksi

maupun resiko pasar (harga). Meski demikian usatani bawang merah hingga saat ini masih banyak diminati

oleh banyak petani (Nitrisia, 2003). Resiko produksi bawang merah adalah kondisi produksi yang tidak

menentu, yang bisa disebabkan oleh faktor internal maupun eksternal. Faktor internal berkaitan dengan faktor

input-input produksi yang digunakan sedangkan faktor eksternal antara lain adalah cuaca, dan serangan hama

penyakit. Perbedaan produktivitas antar wilayah pun sangat erat kaitannya dengan penggunaan faktor-faktor

produksi yang digunakan. Penggunaan faktor-faktor produksi yang berbeda tentu akan menghasilkan output

yang berbeda pula. Berdasarkan uraian tersebut maka kajian ini bertujuan untuk menganalsis faktor-faktor apa

saja yang berpengaruh terhadap tingkat produksi bawang merah di salah satu sentra produksi bawang merah

di Kota Batu.

METODOLOGI

Penelitian dilakukan pada bulan Juli sampai dengan Agustus sementara itu lokasi penelitian ditentukan

secara sengaja (purposive) yaitu di Desa Torongrejo, Kecamatan Junrejo Kota Batu dengan pertimbangan

bahwa daerah ini merupakan salah satu sentra produksi bawang merah di Kota Batu. Penentuan jumlah

sampel petani padi yang diambil menggunakan rumus Parel, et.al. (1973) sebagai berikut:

Keterangan:

n = jumlah sampel minimal yang harus diambil dari total populasi N= jumlah populasi σ2= varians populasi d = kesalahan maksimal yang dapat diterima 5% (0,05) Z = nilai Z pada tingkat kepercayaan tertentu, yaitu 95% (dengan nilai sebesar 1,96) Dimana dari 228 orang petani dihasilkan jumlah responden 60 orang petani, dimana penentuan respondennya ditentukan secara acak.

Data yang digunakan data primer dan sekunder. Pengumpulan data primer menggunakan teknik

wawancara dengan kuisioner yang dilakukan kepada petani responden untuk memperoleh data seperti jumlah

Page 152: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

138 |

produksi, input produksi, harga input produksi, harga jual, dan lain-lain. Sementara itu dapat sekunder

dikumpulkan dengan metode studi literatur.

Metode Analisis Data

Metode yang digunakan untuk menjawab tujuan dari penelitian ini adalah dengan menggunakan metode OLS

Regresi Non Linier, dimana unutk menduga parameter dari fungsi produksi bawang merah berikut ini:

LnY = LnA + α1LnLL + α2LnBBT + α3LnUrea + α4LnZA + α5LnKCL + α6LnNPK + α7LnPest + α8LnTK

Dimana: Y = jumlah produksi bawang merah (kg/ha)

LL = luas lahan (ha)

BBT = jumlah bibit (kg/ha)

Urea = jumlah penggunaan urea (kg/ha)

ZA = jumlah penggunaan ZA (kg/ha)

KCL = jumlah penggunaan KCL (kg/ha)

NPK = jumlah penggunaan NPK (kg/ha)

Pest = jumlah penggunaan pestisida (liter/ha)

TK = jumlah penggunaan tenaga kerja (HKSP/ha)

A = intercept

α1- α8 = koefisien parameter

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Pendapatan Usahatani Bawang Merah Tabel 1. Rata-rata Total Penerimaan, Biaya, dan Pendapatan Usahatani Bawang Merah per Hektar

No. Keterangan Jumlah

1. Produksi (kg/ha) 11344,54 2 Harga jual (Rp/kg) 11500,00 3. Total Penerimaan (Rp/ha) 130462210,00 4. Total Biaya Variabel (Rp/ha) 64458313,00 a. Bibit (Rp/ha) 27758629,00 b. Pupuk (Rp/ha) 9761413,00 c. Pestisida (Rp/ha) 5020880,00 d. Tenaga kerja (Rp/ha) 21917391,00 5. Total Biaya Tetap (Rp/ha) 1551301,00 6. Total Biaya (Rp/ha) 66009614,00 7.. Total Pendapatan (Rp/ha) 64452596,00

Sumber: Data Primer, 2018 (diolah)

Analisis pendapatan usahatani bawang merah di daerah penelitian disajikan pada Tabel 1. Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa rata-rata total pendapatan usahatani bawang merah adalah sebesar Rp 64.452.596, 00/ha, dengan total produksi sebesar 11344,54 kg/ha atau sekitar 11,34 ton/ha. Jika dilihat dari

Page 153: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 139

produktivitas per hektarnya, maka kondisi di daerah penelitian masih lebih baik dengan produktivitas rata-rata bawang merah di Jawa Timur dimana pada Tahun 2016 hanya mencapai sekitar 8,42 ton/ha (BPS Jawa Timur, 2016). Sementara itu jika dilihat dari biaya produksinya maka penggunaan input produksi yang memerlukan biaya paling tinggi adalah dari penggunaan bibit kemudian tenaga kerja. Dimana masing-masing sebesar Rp 27.758.629, 00 dan Rp 21.917.391,00. 2. Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Produksi Bawang Merah

Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan dengan menggunakan regresi non linier, maka hasil pendugaan parameter faktor-faktor produksi usahatani bawang merah ditunjukkan pada Tabel 2 berikut ini: Tabel 2. Hasil Analisis Regresi Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Produksi Bawang Merah

Unstandardized Coefficients

Standardized Coefficients

T Sig.

B Std. Error Beta

(Constant) 1.417 .688 2.060 .044

LnLL .250* .105 .221 2.366 .022

LnBBT .304** .100 .333 3.031 .004

LnUrea -.158 .109 -.122 -1.445 .154

LnKCL .075 .107 .059 .701 .486

LnNPK .167 .140 .096 1.193 .238

LnZA -.045 .122 -.029 -.365 .716

LnPest .434** .103 .331 4.213 .000

LnTK .323* .148 .161 2.180 .034

Sumber: Data Primer, 2018 (diolah)

Berdasaran output analisis yang disajikan pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa faktor yang paling berpengaruh terhadap jumlah produksi bawang merah adalah penggunaan pestisida dengan tingkat signifkansi 99% sementara besar koefisien parameter sebesar 0,434 menunjukkan bahwa setiap ada kenaikan jumlah pestisida sebesar 1% akan meningkatkan tingkat produksi bawang merah sebesar 0,434%. Kemudian dilanjutkan dengan variabel penggunaan bibit yang berpengaruh pada tingkat signifikansi 99%, dimana dengan koefisien parameter sebesar 0,304 maka setiap ada kenaikan jumlah bibit sebesar 1% akan meningkatkan produksi sebesar 0,304%. Selain itu variabel luas lahan dan penggunaan tenaga kerja berpengaruh pada tingkat signifikansi 95% dimana koefisien parameter dari masing-masing variabel adalah 0,250 dan 0,323.

Jumlah penggunaan pestisida di dalam penelitian ini adalah yang paling signifikan berpengaruh terhadap tingkat produksi, hal ini dapat diasumsikan bahwa kondisi usahatani bawang merah di daerah penelitian sangat beresiko terjadi serangan hama dan penyakit. Karena pada faktanya, hampir setiap minggu petani akan melakukan penyemprotan pestisida dengan harapan agar produksi bawang merah bisa dipertahankan tetap tinggi. Meski penggunaan pestisida yang begitu banyak akan membuat biaya produksi bawang merah semakin tinggi, namun petani lebih memilih hal tersebut daripada harus menanggung resiko penurunan hasil produksi bawang merah. Padahal sumber munculnya resiko produksi bawang merah selain dari penggunaan bibit yang tidak tersertifikasi dan pola tanam tahunan, adalah aplikasi penyemprotan pestisida yang tidak seimbang (Hasan, et al, 2016). Ditambah lagi sebagian besar pestisida yang digunakan petani adalah pestisida kimiawi, maka dikhawatirkan akan menyebabkan hama dan penyakit semakin resisten.

Page 154: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

140 |

Kajian yang dilakukan oleh Susanawati, et al. (2016) menjelaskan bahwa dari tiga daerah senra produksi bawang merah, satu daerah yang memiliki produktivitas paling rendah salah satunya disebabkan oleh terlalu banyaknya penggunaan pestisida dan pupuk kimiawi.

Selain itu dari hasil analisis juga dapat dilihat adanya Indikasi penurunan kualitas lahan di daerah penelitian, yaitu dari tidak signifkannya pengaruh seluruh variabel penggunaan pupuk kimia (Urea, NPK, KCL, dan ZA) terhadap produksi bawang merah. Padahal idelanya semakin bertambah penggunaan pupuk (dengan asumsi sesuai dengan dosis yang dianjurkan) maka jumlah produksi akan meningkat, karena pada dasarnya penambahan pupuk kimia pada lahan memang ditujukan untuk menambah unsur-unsur mikro tanah yang diharapkan bisa meningkatkan produksi bawang merah. Untuk itu akternatif penggunaan pupuk alami mungkin bisa dilakukan, karena pupuk alami akan memberikan hasil yang lebh baik dengan produktivitas yang lebih tinggi daripada jika tidak menggunakannya (Latarang dan Syakur, 2006).

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan maka dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor input yang

berpengaruh signifikan terhadap produksi bawang merah adalah jumlah penggunaan pestisida, jumlah

penggunaan bibit, luas lahan dan jumlah penggunaan tenaga kerja. Pengaruh dari masing-masing input

produksi tersebut adalah positif, dimana semakin meningkat penggunaan pestisida, bibit, luas lahan, dan

tenaga kerja maka produksi bawang merah akan semakin meningkat. Sementara itu semua jenis input kimia

tidak berpengaruh signifikan terhadap jumlah produksi bawang merah.

Saran yang bisa diberikan dari hasil penelitian ini adalah agar petani mempertimbangkan lagi terhadap

penggunaan pestisida kimiawi pada usahatani bawang merah. Karena dikhawatirkan penggunaan pestisida

kimiawi secara berlebihan justru akan membuat hama penyakit semakin resisten, sehingga ketergantungan

terhadap pestisida kimiawi akan semakin besar. Untuk itu alternatif yang mungkin bisa dilakukan adalah

dengan menggunakan pestisida alami (hayati). Selain itu penggunaan pupuk kompos dan organik mungkin

juga perlu menjadi pertimbangan, sebagai upaya untuk memperbaiki kondisi tanah usahatani bawang merah.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik Jawa Timur. (2016). Analisis Data Bawang Merah dan Cabai Provinsi Jawa Timur. BPS

Provinsi Jawa Timur. Surabaya.

Badan Pusat Statistik Kota Batu. (2017). Kecamatan Junrejo Dalam Angka. Badan Pusat Statistik. Kota Batu.

Hasan, Fuad; Darwanto, Dwidjono H; Masyhuri; Adiyoga, W. (2016). Risk Management Strategy on Shallot

Farming in Bantul and Nganjuk Regency. Ilmu Pertanian (Agriculture Science) Vol. 1 No. 2: 80-87

Latarang, B; Syakur. A. (2006). Pertumbuhan dan Hasil Bawang Merah (Allium ascalonicum L.) pada Berbagai

Dosis Pupuk Kandang. J. Agroland I3 (3): 265-269

Nutrisia CN. (2003). Keunggulan Komparatif Bawang Merah di Kab. Brebes Jawa Tengah dengan Metode

PAM. Thesis S2. UGM. Yogyakarta.

Parel, C.P, Caldito, P.L Ferre, G. G de Guzman, C.C Sinsioco, dan R.H Tan. (1973). Sampling Design and

Procedure. PSSC. Philippine.

Page 155: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 141

Pusat data dan Sistem Informasi Pertanian Kementerian Pertanian. (2015). Outlook Bawang Merah. Jakarta

Susanawati; Jamhari; Masyhuri; Dwidjono. (2016). Shallot Farming Performance in Java Indonesia.

International Journal of Agricultural Sciences and Veterinary Medicine. Vol.4 No. 3.

Page 156: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

142 |

ADOPTION OF TECHNOLOGY AND INSTITUTION OF PRODUCTION AND INCOME OF WOODEN FARMERS IN MALANG DISTRICT

Tri Wahyu Nugroho 1, Novil Dedy Andriatmoko2,

Department of Socio-Economics, Agriculture Faculty, University of Brawijaya Jalan Veteran, Malang, Indonesia Corresponding author: [email protected], [email protected],

Abstract. Cassava is an important commodity as a material for household consumption and industrial raw materials with demand that tends to increase. However, the productivity level of cassava tends to be stagnant, one of which is caused by the low adoption of technology as seen from the study by Balitkabi (2014) which shows that 73.9% of farmers in East Java still plant local varieties. With this research, it is expected to be a material to formulate how agricultural development policy interventions can help improve food security and reduce poverty in rural areas.The research aims to: 1) review the technology, production, income, technology and institutional status of cassava farming in Malang Regency, and 2) analyze the factors that influence technology and institutional adoption of the production and income of cassava farmers in Malang Regency.The location of the study was determined by multistage sampling, namely in 2 villages in 1 sub-district in Malang district, which was determined intentionally. Respondents from this study were cassava farmers who adopted the new cassava technology, and farmers who did not adopt the new cassava technology determined using the simple random sampling method. The methods that will be used include: 1) descriptive analysis to review the technology, production, income, technology and institutional status of cassava farming, and 2) logit analysis to estimate the factors that explain why cassava farmers choose or not choose to adopt new farming technology cassava. Keywords: technology adoption, cassava, production, farmers' income

PENDAHULUAN

Data dari Food and Agriculture Organization (FAO) menunjukkan bahwa jumlah impor ubikayu Indonesia

meningkat drastis dari 75 ton pada tahun 1990 menjadi 2,18 juta ton pada tahun 2011. Secara agregat

permintaan ubi kayu mengalami peningkatan secara signifikan. Meskipun permintaan agregat ubi kayu

meningkat dari tahun ketahun, namun tingkat produksi ubi kayu domestik tidak dapat memenuhi kebutuhan

permintaan, khususnya permintaan dunia industri. Relatif stagnannya luas areal ubi kayu dan relatif rendahnya

tingkat produktivitas ubi kayu merupakan beberapa penyebab kurangnya pasokan pada pasar lokal.

Tingginya kompetisi dengan tanaman pangan maupun tanaman industri lain, cenderung mengurangi luas

areal tanaman ubi kayu. Studi yang dilakukan Pohan (2011) menunjukkan bahwa banyak petani ubi kayu

yang sudah beralih ketanaman tebu dan tanaman kayu-kayuan seperti pohon yang relatif menguntungkan

dibandingkan dengan budidaya ubi kayu. Dilain pihak rendahnya tingkat produktivitas disebabkan rendahnya

tingkat adopsi teknologi baru dari budidaya ubi kayu. Studi yang dilakukan oleh Balai Penenilitian Tanaman

Kacang-kacangan dan Umbi-umbian (2014) menunjukkan bahwa sebesar 73,9% petani di Jawa Timur masih

menanam varietas lokal, hanya sebesar 26,1% yang telah menggunakan varietas unggul. Angka petani yang

Page 157: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 143

mengadopsi varietas unggul ini relatif rendah jika dibandingkan dengan petani-petani di negara tetangga

seperti Thailand.

Beberapa studi yang pernah dilakukan di beberapa negara menunjukkan bahwa keterbatasan modal,

rendahnya pengetahuan petani, dan kemiskinan adalah beberapa sebab mengapa petani enggan mengadopsi

teknologi baru (Feder dan Umali, 1993). Hasil penelitian Supriadi dan Salim (2004) menunjukkan bahwa

sebagian besar petani ubi kayu didaerah sentra produksi di Indonesia mengusahakan ubi kayunya di lahan

kering marginal seperti tegalan, ladang atau lahan tadah hujan. Dilihat dari pendapatannya, pendapatan

rumah tangga petani ubi kayu di sentra produksi utama di Indonesia tergolong masih rendah yaitu 5,99 juta

per tahun. Sementara 59,66% dari total pendapatannya digunakan untuk belanja kebutuhan pangan. Ini

berarti sebagian besar keluarga petani ubi kayu di Indonesia masih tergolong miskin karena sebagian

pendapatannya masih dialokasikan untuk belanja bahan pangan. Begitu pula dengan di Kabupaten Malang

yang merupakan salah satu sentra ubi kayu di Propinsi Jawa Timur. Permasalahan yang dihadapi sama

dengan permasalahan di sebagian besar di Indonesia yaitu permasalahan produksi dan produktivitas yang

menyebabkan total pendapatan petani.

METODOLOGI

Tempat dan Waktu

Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara multistage sampling. Langkah pertama adalah penentuan

lokasi kabupaten yaitu Kabupaten Malang yang ditetapkan secara purposive, dengan pertimbangan daerah

tersebut merupakan sentra produksi ubi kayu dan daerah penyebaran teknologi baru usahatani ubi kayu.

Kedua, penentuan sampling kecamatan dilakukan secara acak berdasarkan informasi dari dari dinas pertanian

setempat. Ketiga, setelah diperoleh 1 kecamatan, akan dipilih secara acak 2 desa di kecamatan tersebut.

Penelitian ini dilaksanakan selama 6 (enam) bulan terhitung mulai bulan Juli sampai dengan Desember 2018.

Penentuan Responden

Responden dari penelitian ini adalah petani ubi kayu yang mengadopsi teknologi baru ubi kayu, dan petani

yang tidak mengadopsi teknologi baru ubi kayu.Penentuan responden ditentukan dengan mengunakan

metode simple random sampling. Pertama, daftar petani yang menamam ubi kayu di dua desa di masing

kabupaten target penelitian akan disensus, sehingga akan didapatkan kerangka sampling penelitian. Langkah

berikutnya, dari daftar petani di desa tersebut akan dipilih secara acak masing-masing 50 petani sehingga total

2 desa yaitu sebanyak 100 secara acak.

Pengembangan Kuisioner (Daftar pertanyaan)

Kuisioner akan dikembangkan setelah sebelumnya melakukan review literature yang intensif yang

berkaitan dengan tujuan penelitian. Interview dengan key informan seperti staf di dinas pertanian, tenaga

penyuluh pertanian, balai penelitian, dan kelompok tani atau petani ubi kayu.

Analisis Data

Dalam penelitian ini digunakan analisis yaitu antara lain:

Page 158: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

144 |

1. Analisis Deskriptif

Statistika deskriptif merupakan bagian dari statitika yang mempelajari alat, teknik, atau prosedur yang

digunakan untuk menggambarkan atau mendeskripsikan kumpulan data atau hasil pengamatan. Data yang

dikumpulkan tersebut perlu disajikan supaya mudah dimengerti, menarik, komunikatif, dan informatif bagi

pihak lain. Beberapa teknik yang akan dibahas disini meliputi ukuran gejala pusat, ukuran keragaman,

penyajian dalam bentuk tabel dan grafik.

Bentuk-bentuk penyajian data tersebut secara umum dibagi dalam dua aspek, yaitu (1) penyiapan data

yang mencakup proses editing, pengkodean, dan pemasukkan data, serta (2) analisis pendahuluan meliputi

pemilahan, pemeriksaan, dan penyusunan data sehingga diperoleh gambaran, pola, dan hubungan yang lebih

bermakna.

2. Analisis Logit analisis

Analisis logit digunakan untuk menaksir faktor faktor yang menjelaskan mengapa petani ubi kayu

melakukan adopsi atau tidak melakukan adopsi. Logit model dipilih karena metode ini dapat mengakomodasi

kemungkinan nilai probabitas pengadopter dan non-pengadopter yang peluangnya akan jatuh antara 0-1. Alat

analisis yang digunakan untuk menganalisis faktor-faktor yang mepengaruhi petani dalam melakukan adopsi

teknologi dan kelembagaan, faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani untuk melaksanakan atau

tidak melaksanakan suatu opsi adopsi diperiksa dengan menggunakan binary logistic regression

(Nhemachena & Hassan 2007, Mekelle University 2010).

Faktor-faktor yang akan diuji diantaranya pengalaman bertani, pendidikan, keterampilan, mata

pencaharian, jaringan sosial, akses informasi, akses pasar, kepemilikan ternak dan peran kelembagaan

simpan pinjam. Secara sistematis penggunaan model logit adalah sebagai berikut:

Pi = E (Y=1 | Xi ) = β1 + β2Xi

Dimana X adalah variabel independen sedangkan Yi= 1 jika suatu peristiwa ―terjadi‖ dan Yi= 0 jika suatu

peristiwa ―tidak terjadi‖.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Perbandingan karakteristik petani adopter dan non-adopter

Tabel 1 menunjukkan bahwa rata-rata luas penguasaan lahan petani relative kecil yaitu sebesar 0.39 hektar.

hanya 33 persen petani yang telah mensertifikatkan tanahnya yang dimilikinya, sementara dilihat dari rerata

petani yang memiliki langsung akses kredit tergolong masih rendah yaitu ada pada angka 28 persen.

Tabel 1. Perbedaan rata-rata dari variabel karekteristik petani antara petani adopter dan non-adopter

Variabel Adopter (n=113) Non Adopter (n=187)

Mean Std. Dev. Mean Std. Dev. Signifikansi

Pendapatan Kotor 13600000 14400000 3316979 2790601 -7.51***

Food Cope Strategies 40.434 12.75 50.38 21.106 5.09***

Food Consumption Scores 32.65 3.42 28.28 3.771384 -10.31***

Total Pendapatan 21500000 21200000 21600000 14500000 0.07

Page 159: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 145

Variabel Adopter (n=113) Non Adopter (n=187)

Mean Std. Dev. Mean Std. Dev. Signifikansi

Jumlah anggota RT 3.27 1.16 3.21 1.09 -0.45

Umur 55.15 11.9 57.02 10.25 1.38

Umur2 3182.19 1376.46 3355.42 1184.25 1.11

Pendidikan Responden 9.61 2.84 9.856 3.14 0.70

Dummy Asset ternak 0.39 0.49 0.34 0.47 -1.06

Fasilitas publik pertanian 14.95 10.53 9.75 10.71 -4.12***

Pasar Pertanian 8.41 6.66 5.67 5.75 -3.63***

Sertifikat 0.43 0.50 0.27 0.44 -2.92***

Luas areal 0.42 0.067 0.38 0.59 -1.03

Dummy akses kredit 0.27 0.44 0.29 0.45 0.44

Pendapatan 21500000 21200000 21600000 14500000 0.07

Catatan; *,**,*** menunjukkan signifikan pada masing-masing tingkat 10%,5% dan 1%

Tabel 1 menunjukkan perbedaan karakteristik responden antara petani adopter dan non-adopter. Dari

tabel 1 terlihat terdapat 113 petani yang melakukan adopsi dan 187 tidak melakukan adopsi. Tabel 2

menunjukkan adanya perbedaan karakteristik dan output petani yang melakukan adopsi dan tidak melakukan

adopsi. Dilihat dari indicator outcome dari dampak dari adopsi tehnologi baru , Tabel 1 menunjukkan bahwa

ada perbedaan yang nyata antara petani adopter dan non-adopter, dimana petani adopter memiliki

pendapatan kotor dan diversifikasi asupan kelompok pangan yang lebih beragam (lihat skor konsumsi

pangan). Namun demikian jika dilihat perbedaan rata-rata skor strategi copingnya (food cope strategies),

Nampak petani non-adopter memiliki kemampuan strategi menghadapi keterbatasan atau kekurangan akses

pangan yang lebih tinggi dibandingkan dengan petani adopter.

Tabel 1 juga menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang nyata dari beberapa karakteristik petani sampel

seperti jumlah anggota keluarga, umur dan pendidikan. Demikian pula tidak ada perbedaan dalam kepemilikan

asset ternak diantara kedua kelompok petani. Tabel 12 dengan jelas menunjukkan bahwa petani adopter

memiliki akses yang lebih baik terhadap fasilitas public seperti kantor penyuluh, dan pasar pertanian. Petani

adopter lebih memililiki kepastian hukum terhadap status legal kepemilikan lahan yang dikuasainya.

Hasil Estimasi Faktor- faktor yang Mempengaruhi adopsi tehnologi dan pengaruhnya Terhadap

Pendapatan, Ketahanan Pangan dan Kesejahteraan Petani Ubi Kayu

Hasil pendugaan dari analisis Propensity-score Matching ditunjukkan pada Tabel 2 - 7. Tabel 2

menampilkan hasil analisis PSM dari petani yang mengadopsi tehnologi baru serta dampaknya pada

pendapatan kotor, ketahanan pangan, dan status kesejahteraan yang didekat dengan total pengeluaran, baik

pangan dan non-pangan semua anggota keluarga. Sementara hasil pendugaan rerata (average) treatment

effects (ATE) akan ditunjukkan pada Tabel 7.

Page 160: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

146 |

Tabel 2 menunjukkan hasil analisis factor-faktor yang menentukkan partisipasi petani dalam adopsi

tehnologi baru. Variabel penjelas yang digunakan dalam model probit ini antara lain variabel jumlah anggota

keluarga, deprasio, umur, umur2, pendidikan responden, dummy asset ternak, pasar pertanian, fasilitas publik

pertanian, sertifikat, luas areal, dummy akses kredit dan pendapatan. Pseudo R2 diperoleh nilai sebesar

0.0950 dengan probabilitas sebesar 0,0002. Hasil ini menunjukkan bahwa model logit dalam PSM baik atau

goodness of fit

Model probit dalam studi ini digunakan untuk menjelaskan pengaruh beberapa variabel terhadap

keputusan petani dalam melakukan adopsi tehnologi baru berupa varietas high yield product. Tabel 3

menunjukkan bahwa terdapat empat variabel yang memiliki pengaruh signifikan terhadap keputusan petani

dalam melakukan adopsi diantaranya umur, umur2, pasar pertanian dan sertifikat tana. Satu variabel utama

karakkteristik petani yang sangat berpengaruh terhadap perilaku adopsi tehnologi di tingkat petani yaitu umur

petani. Umur memiliki pengaruh negatif terhadap keputusan petani dalam melakukan adopsi akan tetapi

variabel umur2 memiliki pengaruh positif. Hal ini dikarenakan pada umur tertentu petani memiliki

kecenderungan yang lebih tinggi untuk melakukan adopsi dan ketika umur petani semakin tinggi

kecenderungan petani melakukan adopsi akan semakin rendah.

Akses terhadap pasar pertanian memiliki pengaruh positif terhadap keputusan petani dalam melakukan

adopsi, lebih tingginya akses petani terhadap pasar pertanian akan meningkatkan peluang petani dalam

melakuakan adopsi Hasil ini ssetidaknya sejalan dengan banyak penelitian adopsi seperti Feder dan

Zilberman (1985), Feder dan Umami (1993), Ali, dan Abdulai, (2010) Becerril, J., Abdulai, A., 2010 dan

Coromaldi et al.(2015)Satu-satu asset keluarga yang ikut berpengaruh positif terhadap adopsi tehnologi baru

adalah status legal kepemilikan tanah. Sementara itu variabel jumlah anggota keluarga, jumlah tanggungan

keluarga dan pendidikan tidak berpengaruh nyata pada perilaku adopsi petani. Salah satu alasannya adalah

karena akses informasi tehnologi serta manfaatnya relative mudah didapatkan dibandingkan dengan akses

informasi masa lalu yang biasanya tergantung pada tingkat pendidikan. Hasil ini setidaknya sejalan dengan

hasil penelitian Wu et al (2010) di China yang menemukan fenomena yang sama. Petani yang lahannya

bersertifikat cenderung mempunyai peluang yang lebih tinggi untuk mengadopsi varietas tanaman ubi kayu

baru dibandingkan dengan petani non-adopter. Hal ini mungkin disebabkan karena adopsi dianggap petani

sebagai upaya investasi, denagn legal status tanah memberikan kepastian hasil dimasa mendatang akan

investasi yang dikeluarkan oleh petani. Hasil yang agak mengejutkan adalah tidak berpengaruhnya variabel

asset ternak, berbeda denga dengan pengaruhnya pada adopsi tanaman pangan lainnya seperti padi atau

jagung yang umumnya berpengaruh terhadap perilaku adopsi, tetapi variabel ini tidak berpengaruh terhadap

variabel adopsi. Hal ini mungkin disebabkan factor ternak tidak menjadi penentu penting dalam membantu

aktivitas usahatani seperti halnya untuk membantu membajak atau mengolah tanah di usahatani seperti di

tanaman padi.

Tabel 2. Hasil pendugaan model probit pada propensity-score matching

Variable Coeffecient Z-value P>|z|

Jumlah anggota RT 0.054 0.58 0.56

deprasio -0.091 -0.49 0.626

Umur -0.134 -2.12 0.034**

Page 161: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 147

Variable Coeffecient Z-value P>|z|

Umur2 0.0010 1.89 0.058*

Pendidikan Responden -0.044 -1.28 0.201

Dummy Asset ternak 0.266 1.51 0.13

Pasar Pertanian 0.033 2.23 0.026**

Fasilitas publik pertanian 0.014 1.57 0.117

Sertifikat 0.378 2.09 0.036**

Luas areal 0.015 0.41 0.679

Dummy akses kredit -0.157 -0.85 0.394

Pendapatan keluarga 0.0003 0.75 0.454

_cons 3.396 1.89 0.059*

Number of obs =300

LR chi2 = 37.77

Prob > chi2 =0.0002

Pseudo R2 = 0.0950

Log likelihood = -179.84

Catatan; *,**,*** menunjukkan signifikan pada masing-masing tingkat 10%,5% dan 1%

Akses terhadap pasar pertanian memiliki pengaruh positif terhadap keputusan petani dalam melakukan

adopsi, lebih tingginya akses petani terhadap pasar pertanian akan meningkatkan peluang petani dalam

melakuakan adopsi Hasil ini ssetidaknya sejalan dengan banyak penelitian adopsi seperti Feder dan

Zilberman (1985), Feder dan Umami (1993), Ali, dan Abdulai, (2010) Becerril, J., Abdulai, A., 2010 dan

Coromaldi et al.(2015)Satu-satu asset keluarga yang ikut berpengaruh positif terhadap adopsi tehnologi baru

adalah status legal kepemilikan tanah. Sementara itu variabel jumlah anggota keluarga, jumlah tanggungan

keluarga dan pendidikan tidak berpengaruh nyata pada perilaku adopsi petani. Salah satu alasannya adalah

karena akses informasi tehnologi serta manfaatnya relative mudah didapatkan dibandingkan dengan akses

informasi masa lalu yang biasanya tergantung pada tingkat pendidikan. Hasil ini setidaknya sejalan dengan

hasil penelitian Wu et al (2010) di China yang menemukan fenomena yang sama. Petani yang lahannya

bersertifikat cenderung mempunyai peluang yang lebih tinggi untuk mengadopsi varietas tanaman ubi kayu

baru dibandingkan dengan petani non-adopter. Hal ini mungkin disebabkan karena adopsi dianggap petani

sebagai upaya investasi, denagn legal status tanah memberikan kepastian hasil dimasa mendatang akan

investasi yang dikeluarkan oleh petani. Hasil yang agak mengejutkan adalah tidak berpengaruhnya variabel

asset ternak, berbeda denga dengan pengaruhnya pada adopsi tanaman pangan lainnya seperti padi atau

jagung yang umumnya berpengaruh terhadap perilaku adopsi, tetapi variabel ini tidak berpengaruh terhadap

variabel adopsi. Hal ini mungkin disebabkan factor ternak tidak menjadi penentu penting dalam membantu

aktivitas usahatani seperti halnya untuk membantu membajak atau mengolah tanah di usahatani seperti di

tanaman padi. Hasil lain yang menarik dari penelitian ini adalah pengaruh positif dari jauh dekatnya fasilitas

pasar, semakin dekat dengan pasar semakin tinggi peluang petani mengadopsi tehnologi baru. Fakta ini

dapat dipahami mengingat salah satu keenganan petani mengadosi tehnologi baru umumnya adalah masalah

Page 162: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

148 |

jaminan pasar. Semakin dekatnya dengan pasar produk berarti semakin besar memberi peluang

kemungkinan petani memasarkan produk hasil produksi ke pasar. Hasil ini sejalan dengan berbagai penelitian

terdahulu seperti yang dilakukan oleh Wu et al (2010) di China, dan Coromaldi et al.(2015) di Uganda.

Sementara luas tanah dan akses kredit tidak berpengaruh signifikan terhadap perilaku adopsi.

Dampak adopsi tehnologi baru terhadap total pendapatan, ketahanan pangan dan kesejahteraan

usahatani ubi kayu

Dampak adopsi tehnologi varietas baru ubi kayu dalam penelitian dilihat pengaruhnya ke empat indicator

outcome, yaitu pendapatan usahatani, skor konsumsi pangan,dan skor strategi coping (keduanya indikator

ketahanan pangan) serta total pengeluaran keluarga (sebagai proxy pendapatan keluarga dan juga tingkat

kemiskinan). Tabel 4-7 menyajikan pengaruh adopsi terhadap keempat indicator tersebut.

Dalam analisis PSM terdapat empat metode pencocokan yang di gunakan dalam penelitian ini diantaranya

NNM, radius matching, karnel matching dan stratification method. Berikut ini berturut-turut pembahasan

dampak adopsi terhadap total revenue, Food Consumption Score dan Food Cope Strategies,income.

Tabel 3. Dampak adopsi tehnologi baru pada pendapatan ushatani ubi kayu

Matching Method Treat Control ATT Std. Err t

NNM 113 69 11100000 1390000 8.026***

Radius Matching 112 182 10300000 1090000 9.483***

Kernel Matching 113 182 10600000 1030000 10.345**

Stratification method 113 182 10600000 1680000 6.316***

Catatan; *,**,*** menunjukkan signifikan pada masing-masing tingkat 10%,5% dan 1%

Tabel 3 menunjukkan bahwa dampak adopsi terhadap total pendapatan usahatani petani adopter dan non-

adopter. Metode pencocokan (matching) dengan mengunakan the Nearest Neigghbor Matching (NNM)

menghasilkan nilai ATT sebesar 11100000, radius matching menghasilkan nilai rerata pengaruh perlakuan

tehnologi atau average technology effect on adopter (ATT) sebesar 10300000, secara pendekatan karnel

matching menghasilkan nilai ATT sebesar 10600000 dan stratification method menghasilkan nilai ATT sebesar

10600000. Hasil tersebutsecara umum menunjukkan bahwa adopsi terhadap tehnologi baru oleh petani

adopter memiliki dampak positif terhadap total pendapatan usahatani petani. Petani yang melakukan adopsi

memiliki total revenue lebih tinggi sebesar Rp 10.300.000 hingga Rp. 11.100.000 dibanding petani yang tidak

melakukan adopsi tehnologi baru. Hasil ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh oleh Wu et al

(2010) di China dan Becerril, dan Abdulai (2010) di Meksiko. Tabel 3 berikut ini menampilkan pengaruh adopsi

tehnologi baru terhadap skor konsumsi pangan petani adopter dan petani non-adopter. Dari Tabel 5 nampak

bahwa dari keempat metode pencocokan (NNM, Radius matching, Kernel Matching, dan Stratification

Methods) semua menunjukkan hasil adanya perbedaan secara nyata pengaruh adopsi terhadap skor

konsumsi pangan sebagai salah satu indicator ketahanan pangan. Hasil pencocokan menunjukkan NNM

menghasilkan nilai ATT sebesar 3.646, radius matching menghasilkan nilai ATT sebesar 4.345, karnel

matching menghasilkan nilai ATT sebsar 4.359 dan stratification method menghasilkan nilai ATT sebesar

4.298. Hasil pencocokan tersebut menunjukkan bahwa adopsi memiliki dampak positif terhadap skor konsumsi

Page 163: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 149

pangan. Petani yang melakukan adopsi memiliki skor konsumsi pangan lebih tinggi sebesar 3.646 hingga

4.359 dibanding petani yang tidak melakukan adopsi. Hal ini mengidikasikan bahwa petani yang melakukan

adopsi memiliki tingkat peanekaragaman yang relative tinggi tehadap kosumsi berbagai kelompok pangan

atau dengan kata lain petani adopter memiliki kemungkinan ketahanan pangan yang lebih tinggi dibandingkan

dengan petani non adopter.

Tabel 4. Dampak adopsi tehnologi terhadap skor konsumsi pangan (Food Consumption Scores)

Matching Method Treat Control ATT Std. Err t

NNM 113 69 3.646 0.653 5.584***

Radius Matching 112 182 4.345 0.511 8.497***

Kernel Matching 113 182 4.359 0.398 10.938***

Stratification method 113 182 4.298 0.392 10.95***

Catatan; *,**,*** menunjukkan signifikan pada masing-masing tingkat 10%,5% dan 1%

Hasil analisis dengan ATT dengan indicator ketahanan pangan lainnya yaitu the Food Cope Strategies

memberikan hasil sebaliknya, bahwa petani adopter memiliki tingkat strategi coping yang lebih rendah

dibandingkan dengan petani non-adopter.

KESIMPULAN

Hasil analisis dengan menggunakan propensity-score matching menunjukkan heteroginitas dalam impak

terhadap indicator outcome ketahanan pangan. Disatu sisi partisipasi petani dalam adopsi tehnologi baru

mampu meningkatkan pendapatan kotor petani dan skor konsumsi pangan (sebagai salah satu indicator

ketahanan pangan). Namun dilain pihak, keterlibatan petani dalam adopsi tenologi baru belum mampu

meningkatkan startegi coping dalam menghadapi kondisi dimana petani mengalami kondisi keterbatasan atau

kekurangan pangan serta belum mampu meningkat kesejahteraan keluarga secara umum atau mengurangi

tingkat kemiskinan. Volitalitas harga yang terjadi dimana harga cenderung turun selama penelitian ini

dilakukan mungkin ini salah satu penjelas mengapa keterlibatan petani dalam adopsi tehnologi baru belum

memberikan hasil yang signifikan terhadap upaya pengurangan angka kemiskinan di pedesaan.

Hasil ini setidaknya memberikan informasi berharga bahwa upaya peningkatan adopsi tehnologi

dikalangan petani kecil seyogyanya diikuti dengan jaminan kestabilan harga. Tanpa upaya itu maka

partisipasi petani mungkin akan lebih rendah dan petani yang sudah mengadosi tehnologi ini mungkin juga

akan kembali kepada tehnologi lama. Salah satu upaya yang mungkin dilakukan adalah bagaimana membuat

jaminan harga dan pasar dapat stabil dalam kurung waktu yang lama di pasar. Model kemitraan antara petani

dengan pengolah ubi kayu atau produsen tepung terigu sebagai salah satu alternative yang mungkin dapat

menjembatani ketidakstabilan harga dan kepastian pasar.

Page 164: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

150 |

DAFTAR PUSTAKA

Abdoulaye, I.D., and J.H. Sanders. 2013. ―A Matching Approach to Analyze the Impact of New Agricultural

Technologies: Productivity andTechnical Efficiency in Niger.‖ Paper presented at Agricultural & Applied

Economics Association's 2013 AAEA and CAES Joint AnnualMeeting. Washington, DC, August 4-6,

2013.

Alauddin, M, and Tindell, C, 1988.‖Dynamic of adoption and diffusion og HYV technologiy: New evidence of

inter-farm differences in Bangladesh‖, Occasional paper No. 155, Departement of Economics, The

University of New Castle,N.S.W, Australia.

Ali, dan Abdulai, 2010, ―The Adoption of Genetically Modified Cotton and Poverty Reduction in Pakistan‖,

Journal of Agricultural Economics, 61(1):pp175-192.

Amare, M, Asfaw,S, and Shiferaw, B, 2012, ―Welfare impacts of maize–pigeonpea intensification in Tanzania‖,

Agricultural Economics ,43 ,pp: 27–43.

Angrist, J. D., Imben, G. W., Rubin, D. B., 1996. ―Identification and causal effects using instrumental variables‖.

Journal of American Statistic Associations, 91, pp: 444–455.

Awotide, BA, Karimov, A Diagne, A, dan Nakelse,T, 2013,‖The Impact of Seed Voucher on poverty Reduction

among Smallholder Rice Farmers in Nigeria‖, Agricultural Economics, 44,pp: 647-658.

Becerril, J., Abdulai, A., 2010. ―The impact of improved maize varieties on poverty in Mexico: a propensity

score matching approach‖. World Development 38 (7), pp:1024–1035.

Becker, O Sascha and Ichino, A. 2002.―Estimation of Average Treatment Effects Based on Propensity Scores”.

Stata Journal, StataCorp LP, vol. 2(4), pp: 358-377.

Bezu, S, 2014, ―Impact of Improved Maize Adoption on Welfare of Farm Households in Malawi: A Panel Data

Analysis‖,WorldDevelopment, 59, pp: 120–131.

Bhalla,S.S, 1979, ―Farm and Technical Change in Indian Agriculture, in Agrarian Structure and Productivity in

Developing Countries‖, R. Beery and W. Cline, Eds., John Hopkins University Press, Baltimore, MD

Balitkabi, 2014,‖Hasil Penelilitian Tanaman kacang-kacangan dan Umbi-umbian” tahun 2014, Badan Litbang

Pertanian.

Canavire-Bacarreza, G., & Hanauer, M, 2013, ―Estimating the Impacts of Bolivia’s Protected Areas on

Poverty‖. World Development, 41(0), 265–285.

Cavatassi, R., Salazar, L., González-Flores, M., &Winters, P. 2011. ―How do Agricultural Programmes Alter

Crop Production? Evidence from Ecuador‖, Journal of Agricultural Economics, 62(2), 403–428.

Coates, Jennifer, Rogers, Beatrice Lorge, Webb, Patrick, Maxwell, Daniel, Houser, Robert, McDonald,

Christine, 2007. ―Diet Diversity Studi: Final Report to theWorld Food Program‖. Friedman School of

Nutrition Science and Policy, Tufts University, Medford, MA.

David, C, and Otsuke, K, 1990. ―The modern seed-fertilizer technology abd adoption of labor saving

technologies: The Philippines cases‖, Australian Journal of Agricultural Economics, 34,pp:132-146.

Del Carpio, X. V., Loayza, N., & Datar, G. (2011). ―Is Irrigation Rehabilitation Good for Poor Farmers? An

Impact Evaluation of a Non-Experimental Irrigation Project in Peru.”, Journal of Agricultural Economics,

62(2), 449–473.

Page 165: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 151

Diagne, A, and Demont, 2007. ―Taking a new look at empirical models of adoption: average treatment effect

estimation of adoption rates and their determinants‖, Agricultural Economics, 37,pp: 201-210.

Duflo, E., Kremer, M., & Robinson, J., 2008. ―How high are rates of return to fertilizer? Evidence from field

experiments in Kenya‖ .The American Economic Review, 98(2), 482– 488.

Feder, G, Just, R, and Zilberman,D ,1985, ―Adoption of Agricultural Inovations in Developing Countries: A

Survey‖, Economic Development and Cultural Change, 33,pp: 255-298.

Page 166: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

152 |

PENERAPAN POLA REGROUPING LAHAN MEKANISASI TERHADAP PENINGKATAN PENDAPATAN PETANI TEBU DI KECAMATAN JATIREJO KABUPATEN MOJOKERTO

Mashudiana

PG. Gempolkrep - PTPN 10 Corresponding author: [email protected]

Abstra. Pola regrouping lahan mekanisasi menjadi harga mati yang harus ditempuh oleh petani tebu untuk meningkatkan efisiensi biaya produksi, sehingga mampu meningkatkan pendapatan. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh penerapan pola regrouping lahan mekanisasi terhadap peningkatan pendapatan petani tebu di kecamatan Jatirejo Kabupaten Mojokerto. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuantitatif. dengan menggunakan pendekatan AUT (Analisa Usaha Tani) . Hasil penelitian menunjukkan dengan penerapan pola regrouping lahan mekanisasi, petani tebu mampu melakukan efisiensi biaya produksi sebesar 37 %, dan mampu meningkatkan pendapatan petani tebu di Kecamatan Jatirejo Kabupaten Mojokerto lebih dari 50 %. Hal ini menunjukkan bahwa dengan penerapan pola regrouping mekanisasi ini ada pengaruh positif terhadap peningkatan pendapatan petani tebu. Keywords: analisa usaha tani, efisiensi biaya produksi, mekanisasi, peningkatan pendapatan, regrouping.

PENDAHULUAN

Gula merupakan salah satu komoditi yang dihasilkan dari sektor pertanian yang dalam beberapa tahun

terakhir mengalami fluktuasi yang luar biasa dinamis baik dari segi off farm dan on farm. Salah satu masalah

terkait penyediaan sumber pangan, khususnya gula berlangsung sejak tahun 1970 yang mencakup kulaitas,

kuantitas, kontinuitas, dan tataniaga baik lokal maupun internasional (Prabowo, 1998)

Data produksi dan produktivitas tebu dan gula pada tahun 2016 juga memperkuat pernyataan tentang

fluktuasi pergulaan yang sangat dinamis. Untuk produksi gula secara nasional hanya mencapai 2.204.619,19

ton dengan produktivitas 5 ton / ha. (dirjenbun, 2017). Apabila disejajarkan dengan angka konsumsi gula

nasional pada tahun 2016 sebesar 3.064.869 ton, maka masih ada defisit sekitar 1 juta ton untuk memenuhi

kebutuhan ( kementan, 2016)

Menyikapi fakta tersebut, PG Gempolkrep merupakan salah satu Unit Pabrik Gula yang berada di bawah

naungan PTPN 10 yang bergerak dalam industri gula melalui pembinaan Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI),

mulai mencanangkan program baru yang mengutamakan efisiensi dan efektivitas dalam pegelolaan aspek

budidaya tanaman tebu dengan cara regrouping mekanisasi yang dimulai pada tahun 2014. Ada bebrapa

pengertian terkait regrouping berdasarkan penerapannya, yaitu 1) Regrouping pengaturan pengusahaan

pertanian adalah Pengelolaan usaha pertanian dengan pendekatan kelompok/kolektif (mengubah

pengusahaan secara individu menjadi kelompok usaha tani) untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi

usaha tani melalui partisipasi aktif anggotanya (Gempolkrep2014) dan 2) Regrouping pengaturan batas bidang

Page 167: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 153

tanah adalah Pengusahaan usaha pertanian sesuai dengan kepemilikan bidang atau batas tanah yang

dikerjakan secara individu atau berkelompok di dalam satu hamparan lahan dengan melibatkan partisipasi

anggota kelompok (Gempolkrep, 2016)

Dalam pelaksanaan pola regrouping lahan mekanisasi ini tidak hanya melibatkan petani dan pabrik gula

saja, akan tetapi banyak stakeholder yang terlibat didalamnya yaitu Pabrik Gula, Petani, Dinas Pertanian dan

Perkebunan, Koperasi Petani Tebu Rakyat, Pihak perbankan dan provider penyedia jasa mekanisasi. Masing

– masing stakeholder mempunyai peranan yang saling terkait dalam mensukseskan program pola regrouping

lahan mekanisasi tersebut. Pabrik motor yang secara aktif melakukan koordinasi dengan berbagai pihak

yang terkait seperti melakukan koordinasi dengan koperasi, melakukan penyuluhan, koodinasi dengan dinas

pertanian dan perkebunan, mengkoordinir provider penyedia jasa mekanisasi serta koordinasi dengan

perbankan sebagai penyedia sumber dana.

Ada beberapa alasan yang melatar belakangi keharusan dalam penerapan pola regrouping lahan

mekanisasi ini antara lain adalah langkanya tenaga kerja kasar, lahan terpencar dan petak kecil - kecil , masa

tanam yang tidak seragam, kemasakan varietas sangat beragam, sarana dan prasarana produksi tidak

tersedia tepat waktu, infrastruktur kebun tidak mendukung ( jalan, irigasi), manajemen TMA tidak terkoordinir,

produksi tidak optimal sesuai dengan potensi lahan. Dengan berbagai fakta tersebut mengakibatkan biaya

produksi semakin meningkat yang apada akhirnya akan menjadikan pendapatan petani mengalami

penurunan. Dengan semakin tinggi nya biaya produksi membuat pendapatan petani semakin turun. Oleh

karena itu penerapan pola regrouping lahan mekanisasi menjadi harga mati yang harus ditempuh oleh petani

tebu untuk meningkatkan efisiensi biaya produksi sehingga mampu meningkatkan pendapatan. Sehingga

petani mampu meningkatkan taraf hidup petani menjadi lebih baik.

Semua bidang usaha termasuk usaha tani budidaya tebu sudah tentu menginginkan keuntungan dan

kemudian tumbuh serta berkembang sebagaimana juga sering didengungkan di kalangan petani yakni : better

farming – better bussiness – better living (Koto, 2017). Jika ditelaah lebih jauh syarat pertamanya adalah

better farming yang harus disiapkan sejak di kebun atau on farm melalui good agricultural practices (GAP)

agar dapat dihasilkan spesifikasi bahan baku tebu (BBT) yang sesuai dengan persyaratan yang diminta oleh

Pabrik Gula baik kuantitas maupun kualitas. Produk on farm yang dihasilkan dengan kualitas terbaik kemudian

diolah menjadi Gula Kristal Putih (GKP) melalui serangkaian kegiatan off farm (proses produksi dalam Pabrik

Gula) dengan mengupayakan menekan kehilangan (losses) semaksimal mungkin agar dapat mendekati

potensi rendemen kebun. Hasil akhir dari kegiatan on farm dan off farm serta penjualan GKP adalah

perhitungan bagi hasil efektif (PBHE) dimana pendapatan bersih petani dapat diketahui dengan pasti.

Berdasarkan data PBHE tersebut dan catatan total biaya yang telah dikeluarkan maka analisa usaha tani

(AUT) masing-masing kebun juga dapat dievaluasi harga pokok produksi (HPP) yang dinyatakan dalam Rp/Kg

gula milik petani serta sisa hasil usaha (SHU) yang dinyatakan dalam Rp/Ha. Tingkat HPP akan menentukan

daya saing terhadap terhadap produksi gula negara lain maupun dengan komoditas lain dan parameter SHU

menjadi tolok ukur keberhasilan better bussiness usaha tani tebu (Koto,2017).

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penerapan pola regrouping lahan mekanisasi

terhadap peningkatan pendapatan petani tebu di Kecamatan Jatirejo, Kabupaten Mojokerto

Page 168: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

154 |

METODOLOGI

1. Tempat dan waktu Penelitian

Penelitian ini dilakasanakan di Kebun Demoplot regrouping lahan mekanisasi PG Gempolkrep di Desa

Gading, Kecamatan Jatirejo Kabupaten Mojokerto pada tahun 2016 - 2018

2. Metode Pelaksanaan penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dengan metode kuantitatif menggunakan pendekatan Analisa usaha Tani.

Penelitian dilakukan di lahan demoplot pola regrouping lahan mekanisasi seluas 42,750 Ha di Kecamatan

Jatirejo Kabupaten Mojokerto yang kemudian dibandingakan dengan analisa usaha tani sebelum dan sesudah

penerapan pola regrouping lahan mekanisasi

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Peningkatan Produksi

Dari penelitian yang sudah dilaksanakan maka didapat hasil bahwa ada beda produksi dari lahan yang

dikerjakan secara manual individu non regrouping dengan lahan yang dikerjakan secara regrouping lahan

mekanisasi. Data yang didapatkan adalah sebagai berikut

Dari data di atas dapat diketahui bahwa kebun dengan pola regrouping lahan mekanisasi memiliki

produktivitas dan rendemen yang lebih tinggi dari pada kebun dengan pola pengerjaan manual. Kebun dengan

pola regrouping memiliki produktivitas 32 ton lebih tinggi dari pada pola manual non regrouping. Begitun juga

dengan rendemen ada selisih 0,4 % yang mana kebun regrouping lebih tinggi daripada kebun manual. Hal ini

terjadi tidak secara otomatis akan tetapi ini dipengaruhi oleh faktor teknis budidaya yang telah dilaksanakan.

Adapun faktor yang mempengaruhi peningkatan produktivitas anatara lain adalah kualitas pekerjaan yang

homogen dan selesai tepat waktu, pemberian pupuk dan nutrisi sesuai dengan dosis dan tepat waktu (Koto,

2017). Hal ini sangat berbeda dengan pekerjaan yang dilaksakan secara manual. Pekerjaan yang dilakukan

secara manual memiliki kualitas yang tidak sama antara petak satu dan petak satunya, dosis pemberian pupuk

dan nutrisi tidak merata. Hal ini yang menyebabkan produktivitas kebun yang dikerjakan secara manual tidak

sesuai dengan potensi lahan yang ada, selain itu juga menghabiskan biaya tenaga kerja yang tinggi.

NO URAIAN REGROUPING NON REGROUPING

1 PANJANG LENG (meter) 7400 9700

2 JML BTG/ METER 11 8

3 TINGGI BATANG (meter) 3,5 2,75

4 BERAT BTG /METER (Kg) 0,45 0,45

5 PRODUKTVITAS (ton/ha) 128 96

6 RENDEMEN 8,95 8,5

Page 169: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 155

PC REGROUPING PC NON REGROUPING SELISIH

Jumlah Jumlah Jumlah

1IMBALAN PENGGUNAAN LAHAN

Per Hektar

2 PEKERJAAN DAN BIAYA GARAP PER HA

2.1 Pembuatan Got 2.000.000Rp (2.000.000)Rp

2.2 Bajak I dan II 1.400.000Rp 1.400.000Rp -Rp

2.3 Kair 600.000Rp (600.000)Rp

2.4 Tanam/ kepras (cane planter) 2.400.000Rp 3.500.000Rp (1.100.000)Rp

2.5 Herbisida 3 Kali 900.000Rp 1.500.000Rp (600.000)Rp

2.6 Pengairan 4X 3.000.000Rp 3.000.000Rp -Rp

2.7 Pekerjaan Sulam (klantung) 250.000Rp 1.000.000Rp (750.000)Rp

2.8 Aplikasi Kompos 500.000Rp 500.000Rp -Rp

2.9 Aplikasi Pupuk I Manual / FA Tyne 600.000Rp (600.000)Rp

2.10 Aplikasi Pupuk II Manual / FA Tyne 700.000Rp 600.000Rp 100.000Rp

2.11 Kultivasi I / Terratyne 700.000Rp 1.000.000Rp (300.000)Rp

2.12 kultivasi II / Subsoiling 700.000Rp 1.200.000Rp (500.000)Rp

2.13 Gulud 1.500.000Rp (1.500.000)Rp

2.14 Klentek 3.000.000Rp 3.000.000Rp -Rp

13.550.000Rp 21.400.000Rp (7.850.000)Rp Jumlah Biaya Pekerjaan

No Uraian

2. Analisa Usaha Tani

Analisa usaha tani dalam penelitian ini dapat di kategorikan dalam 3 bagian yaitu pada bagian biaya

pekerjaan dan biaya garap, dan hasil produksi. Data yang diperoleh selama penelitian adalah sebagai berikut

:

a. Biaya Pekerjaan dan Biaya Garap

Dari tabel analisa usaha tani di atas dapat diketahui bahwa terdapat perbedaan di setiap item pekerjaan,

untuk pekerjaan yang dilakukan secara regrouping mekanisasi lebih efisien dalam biaya pekerjaan kebun

karena semua sudah dikerjakan dengan mekanis dengan menata layout kebun sebelum melakukan

pembukaan kebun. Sedangkan untuk pekerjaan manual untuk kebun non regrouping ada selisih Rp.

7.850.000 lebih tinggi karena item pekerjaan dikerjakan oleh tenaga manusia membutuhkan waktu lebih lama

dan tidak bisa meringkas 2 pekerjaan pada satu waktu seperti tanam, bandang bibit, sulam. Sedangkan untuk

pekerjaan lainnya seperti pekerjaan kultivasi juga ada selisih harga Rp. 300.000 atau 30% lebih mahal untuk

kebun dengan pola pengerjaan manual.

b. Biaya Pokok Produksi

Page 170: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

156 |

PC REGROUPING PC NON REGROUPING SELISIH

Jumlah Jumlah Jumlah

3 SARANA PRODUKSI -Rp

3.1 kompos 750.000Rp 750.000Rp

3.2 Bibit (kompensasi) 5.200.000Rp 5.200.000Rp -Rp

3.3 Pupuk NPK 1.150.000Rp 1.150.000Rp -Rp

3.4 Pupuk ZA 560.000Rp 560.000Rp -Rp

3.5 Herbisida Ameegrass 510.000Rp 510.000Rp -Rp

3.6 Herbisida Sidamin 300.000Rp 300.000Rp -Rp

7.720.000Rp 7.720.000Rp -Rp

4 -Rp

4.1. Biaya -Rp

4.1.1 Biaya IPL -Rp

4.1.2 Biaya Garap 13.550.000Rp 21.400.000Rp (7.850.000)Rp

4.1.3 Biaya Saprodi 7.720.000Rp 7.720.000Rp -Rp

4.1.4 Bunga Bank 10,5% 1.488.900Rp 2.038.400Rp (549.500)Rp

4.1.5 Biaya TMA (Rp x Produksi) 18.000.000Rp 14.250.000Rp 3.750.000Rp

4.1.6 Biaya Proses (Rp x Produksi) -Rp -Rp -Rp

JUMLAH BIAYA POKOK PRODUKSI per Ha 40.758.900Rp 45.408.400Rp (4.649.500)Rp

Jumlah Biaya Sarana Produksi

ANALISA USAHA

No Uraian

Adapun untuk hasil penelitian untuk biaya pokok produksi adalah sebagai berikut :

Untuk biaya sarana produksi tidak ada perbedaan karena inputan yang diberikan sama, seperti jumlah

bibit, dosis pupuk dan herbisida. jika dilihat dari biaya TMA (Tebang Muat Angkut) ada selisih Rp. 3.750.000

lebih tinggi kebun yang dikerjakan secara regrouping lahan mekanisasi, karena produktivitasnya lebih tinggi

sehingga biaya tebang uat angkut juga lebih tinggi. Akan tetapi Jika dilihat dari total biaya pokok produksi ada

selisih biaya sebesar Rp. 4.649.500 atau sebesar 10% lebih tinggi kebun ysng dikerjakan secara manual.

c. Analisa Usaha

Page 171: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 157

PC REGROUPING PC NON REGROUPING SELISIH

Jumlah Jumlah Jumlah

4 -Rp

4.1. Biaya -Rp

4.1.1 Biaya IPL -Rp

4.1.2 Biaya Garap 13.550.000Rp 21.400.000Rp (7.850.000)Rp

4.1.3 Biaya Saprodi 7.720.000Rp 7.720.000Rp -Rp

4.1.4 Bunga Bank 10,5% 1.488.900Rp 2.038.400Rp (549.500)Rp

4.1.5 Biaya TMA (Rp x Produksi) 18.000.000Rp 14.250.000Rp 3.750.000Rp

4.1.6 Biaya Proses (Rp x Produksi) -Rp -Rp -Rp

JUMLAH BIAYA POKOK PRODUKSI per Ha 40.758.900Rp 45.408.400Rp (4.649.500)Rp

4.2 Pendapatan Kotor -Rp

4.2.1 Harga Gula (Rp/Kg) 9.700Rp 9.700Rp -Rp

4.2.2 Harga tetes (Rp/Kg) 1.650Rp 1.650Rp -Rp

4.2.3 Tetes Per Ku Tebu (Kg) 3 3 -Rp

4.2.4 Pendapatan Gula 6,085 5,746 0Rp

Rendemen X Produksi X 1,002 X Harga Gula 70.825.268Rp 56.070.004Rp 14.755.264Rp

4.2.5 Pendapatan Tetes -Rp

Tetes Per Ku Tebu X Produksi X Harga Tetes 5.940.000Rp 4.702.500Rp 1.237.500Rp

Jumlah Pendapatan kotor 76.765.268Rp 60.772.504Rp 15.992.764Rp

4.3 SHU (Rp./Ha)

Pendapatan Kotor - Jumlah Jumlah Biaya Produksi36.006.368Rp 15.364.104Rp 20.642.264Rp

ANALISA USAHA

No Uraian

Pada analisa usaha tani yang didapat dari penelitian tresebut adalah sebagai berikut:

Dari tabel di atas dapat kita amati bahwa pendapatan petani setelah di regrouping dan sebelum di

regrouping terdapat perbedaan yang sangat nyata yakni ada selisih 57% atau senilai Rp. 20.642.264. hal ini

terjadi karena adanya selisih produkti tebu sejumlah 32 ton dan rendemen 0,4 %

Page 172: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

158 |

KESIMPULAN

Dari hasil penelitian menyimpulkan bahwa 1. Dengan penerapan pola regrouping lahan mekanisasi mampu menekan biaya pokok produksi dan

meningkatkan produktivitas dengan inputan yang sama dengan pola pekerjaan kebun secara manual . 2. Penerapan pola regrouping lahan mekanisasi tebu dapat meningkatakan pendapatan petani jika

dilaksanakan tepat waktu.

DAFTAR PUSTAKA

Anonnim. 2014. Mekanisasi TR dengan Pola Kolektif. PG Gempolkrep. PT Perkebunan Nusantara X. Jawa Timur

Anonim. 2016. Petunjuk pelaksanaan Demontration Plot (Demplot) Mekanisasi. PT. Perkebunan Nusantara X. Jawa Timur

Dektorat Jendral Perkebunan.2017. Upaya Pencapaian swasembada Gula Nasional melalui peningkatan Produktivitas. Jakarta

Kementerian Pertanian. 2016. Penetapan Strategi Pengembangan Mutu dan Kualitas Bahan Baku Industri Gula Nasional. Jakarta

Prabowo. 1998. Memahami penelitian kualitatif. Andi Offset. Yogyakarta Koto, Syahrial, Ma‘ruf, MM, Dkk , 2017. Panduan aplikasi Budidaya tebu. Pusat penelitian Gula Jengkol. PT.

Perkebunan Nusantara X. Jawa Timur

Page 173: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 159

IMPLEMENTASI PERTANIAN BERKELANJUTAN DI PTPN X UNTUK MENJAGA KESEIMBANGAN EKOSISTEM DAN MENINGKATKAN PRODUKTIVITAS

Dita Widi Atmaja

Jengkol Sugar Research Center, Perkebunan Nusantara X, Ltd. Dusun Jengkol, Desa Plosokidul, Kecamatan Plosoklaten, Kabupaten Kediri

Corresponding author: [email protected]

Abstract. PTPN X menerapkan pertanian berkelanjutan dalam rangka mewujudkan peningkatkan produktivitas secara berkelanjutan sesuai kaidah pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Wujud nyata tersebut antara lain; ¹Menjaga keseimbangan ekositem dalam tanah dengan pengembalian sisa tanaman seperti seresah, daduk tebu, blotong, abu ketel dan pemberian biokompos untuk menjaga kesuburan tanah. ²Menerapkan masa tanam optimal dengan harapan lingkungan dapat memenuhi kebutuhan tanaman secara optimal. ³Penggunaan agensia hayati Trichograma sp, Cotesia flavipes dan lalat jatiroto untuk mengendalikan hama penggerek tebu serta metarizium sebagai pengendali uret. ⁴ Pengendalian penyakit dengan menggunakan varietas tahan, tidak menanam varietas rentan penyakit di daerah endemik penyakit dimaksud, pembibitan berjenjang yang terencana untuk menjaga kemurnian dan kesehatan bibit, Perlakuan air panas pada KBN untuk mengeliminasi berbagai penyakit. Pengunaan kebun bibit yang lolos uji sertifikasi, penghilangan sumber inokulum dengan eradikasi tanaman terinfeksi penyakit. Perlindungan bahan tanam dengan fungisida hanya pada varietas rentan didaerah endemik. ⁵ Pengendalian gulma diawali pemetaan dan identifikasi gulma dikebun PTPN X untuk menentukan cara pengendalian. Pengendalian berbagai gulma merambat berdasarkan siklus waktu berbunga. Penentuan komposisi maupun dosis herbisida dan waktu aplikasi herbisida yang tepat sehingga pemakaiannya dapat ditekan serendah mungkin. Langkah-langkah tersebut merupakan peran PTPN X sebagai bagian dari segitiga ekosistem untuk menjaga keseimbangan ekosistem sehingga kesuburan tanah, gangguan OPT, dan pertumbuhan tanaman tebu dapat optimal dalam jangka waktu yang panjang. Keywords: pertanian berkelanjutan, PTPN X

PENDAHULUAN

Sistem pertanian berkelanjutan didefinisikan sebagai suatu sistem pertanian yang memanfaatkan sumberdaya yang dapat diperbarui (renewable resources) dan sumberdaya yang tidak dapat diperbarui (unrenewable resources) dalam rangkaian proses produksi pertanian dengan menekan dampak negatif terhadap lingkungan seminimal mungkin. Keberlanjutan yang dimaksud, meliputi penggunaan sumberdaya, kualitas dan kuantitas produksi, serta lingkungannya. Proses produksi pertanian yang berkelanjutan akan lebih mengarah pada penggunaan produk hayati yang ramah terhadap lingkungan (Kasumbogo, 1997). Pertanian berkelanjutan telah dilaksanakan di kebun PTPN X dengan tujuan mewujudkan peningkatkan produktivitas secara berkelanjutan sesuai kaidah pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup dengan prinsip meminimalkan penggunaan bahan-bahan kimia sintetik seperti pupuk kimia, herbisida kimia sintetik maupun pestisida kimia sintetik. Penggunaan bahan kimia sintetik dalam pertanian memiliki beberapa efek negatif bagi lingkuangan, salah satu efek negatif tersebut adalah menggangu keseimbangan ekosistem yang ada. Menurut

Page 174: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

160 |

Flint L. M dan Van den Bosch. R, (2000). Ekosistem adalah kesatuan komonitas bersama-sama dengan sistem abiotik yang mendukungnya. Sebagai contoh adalah ekosistem pertanian sawah dibentuk oleh komonitas makluh hidup bersama-sama dengan tanah, air, udara dan unsur-unsur fisik lain yang terdapat di sawah tersebut. Konsep ekosistem, seperti konsep biofer menekankan hubungan dan saling ketergantungan yang tetap antara faktor-faktor hidup dan tak hidup di setiap lingkungan. Perwujudan pertanian berkelanjutan di PTPN X dilakukan dengan;

I. MENJAGA KESEIMBANGAN EKOSITEM DALAM TANAH

Penggunaan pupuk anorganik (pupuk kimia) dalam jangka panjang menyebabkan kadar bahan organik tanah menurun, struktur tanah rusak, dan pencemaran lingkungan. Hal ini jika terus berlanjut akan menurunkan kualitas tanah dan kesehatan lingkungan. Untuk menjaga dan meningkatkan produktivitas tanak diperlukan kombinasi pupuk anorganik dengan pupuk organik yang tepat (Isnaini, 2006). PTPN X telah melakukan berbagai usaha mengembalikan bahan organik di tanah untuk menjaga kesuburan tanah dan menjaga ekosistem di dalam tanah, usaha tersebut antara lain dengan melakukan trash management dengan mengembalikan sisa bahan tanam ke lahan seperti daduk dan seresah. Selain pengembalian seresah PTPN X mengembalikan blotong, abu ketel dan pemberian bio kompos di lahan HGU PTPN X. Hasil sampingan industri gula berupa blotong, ampas, abu ketel, serta seresah berpotensi besar dimanfaatkan sebagai sumber bahan organik. Mulyadi (2000) menyatakan bahwa pemberian blotong dapat berpengaruh nyata terhadap peningkatan fase vegetatif tebu. Unsur P merupakan salah satu unsur hara yang penting bagi tanaman, begitu juga untuk tanaman tebu (Saccharum officinarum L.).

Gambar 1. Pengembalin abu dan blotong di lahan sebagai peningkatan bahan organic

Menurut Mulyono (2009), unsur P dibutuhkan untuk menunjang pertumbuhan tanaman, baik

perakaran, anakan, panjang batang dan besarnya ruas-ruas batang tanaman tebu. Namun unsur P merupakan unsur yang sulit tersedia bagi tanamanmeskipun dalam tanah jumlahnya banyak. Menurut Hanafiah (2010), ketersediaan P dipengaruhi oleh beberapa faktor yang meliputi komposisi pelikat tanah, pH tanah, kandungan liat dan kandungan bahan organik. Bahan organik memiliki peran penting dalam meningkatkan ketersediaan unsur P dalam tanah. Hal ini karena kandungan yang terdapat dalam bahan organik mampu membebaskan unsur hara P dari jerapan Al dan Fe sehingga tersedia bagi tanaman. Menurut Hanafiah (2010), penambahan bahan organik dapat meningkatkan ketersediaan P dalam tanah. Permasalahan yang terdapat di lapang adalah ketersediaan unsur hara P yang terkandung dalam tanah rendah. Rendahnya ketersediaan unsur hara P bagi tanaman dapat menghambat pertumbuhan tebu.

Page 175: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 161

II. MENERAPKAN MASA TANAM OPTIMAL

Menurut Djojosoewardhono (1989) penentuan masa tanam tebu disesuaikan dengan iklim. Lokasi dengan sifat iklim yang terlalu basah sepanjang tahun dapat dilakukan penanaman pada saat menjelang musim kemarau atau pada bulan Mei – Agustus (masa tanam A), sedangkan untuk lokasi dengan sifat iklim yang relatif kering sepanjang tahun penanaman dilaksanakan pada awal musim kemarau atau pada bulan Oktober – Desember (masa tanam B). Penanaman menjelang musim kemarau dapat pula dilakukan untuk lokasi dengan pengairan yang baik. Masa tanam yang tepat bermanfaat untuk mendapatkan produktifitas tinggi. Pada HGU PTPN X masa tanam dilakukan dengan pola A dengan harapan dapat mencapai potensi produksi maksimal. Tanaman tebu dengan pola B yang ditanam pada awal musim penghujan memiliki resiko cekaman air terutama kebun dengan drainase yang jelek. Drainase yang buruk menyebabkan dampak yang tidak menguntungkan terhadap perkembangan akar tanaman tebu. Akar akan berkembang secara horizontal sehingga sangat peka terhadap kekeringan sewaktu tanaman muda dan karena tanah kekurangan oksigen pada musim hujan akar segera membusuk, peka terhadap penyakit terutama bakteorosis dan kemudian berlanjut pada kematian pada tebunya (Pamenan, et. al, 1989). Tebu merupakan tanaman yang menghendaki air yang cukup banyak.Kebutuhan air (irigasi) untuk tebu berbanding lurus dengan sifat fase pertumbuhan karena tanaman ini memerlukan air yang cukup banyak pada awal sampai dengan pertengahan waktu biologis pertumbuhan. Setelah itu,pada fase kemasakan menghendaki kebutuhan air yang sangat sedikit.

III. PENGGUNAAN AGENSIA HAYATI

Anonim ( 2002), menyatakan bahwa pengendalian hayati adalah pengendalian serangga hama dengan cara biologi, yaitu dengan memanfaatkan musuh-musuh alaminya (agen pengendali biologi), seperti predator, parasit dan patogen.. Pengendalian hayati di PTPN X diwujudkan dengan penggunaan agensia hayati Trichograma sp, Cotesia flavipes dan lalat jatiroto. Trichograma sp digunakan sebagai parasit telur penggerek. Trichograma chilonis sebagai parasit telur penggerek batang dan Trichograma japonicum sebagai parasit telur penggerek pucuk . Cotesia flavipes dan lalat jatiroto digunakan sebagai parasitoid larva penggerek. Cotesia flavipes digunakan sebagai parasitoid pada larva Chilo Sacchariphagus sedangkan lalat jatiroto untuk chilo auricilius walaupun dilapangan sering ditemukan ulat Chilo Sacchariphagus terparasit lalat jatiroto.

Page 176: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

162 |

Gambar 2. Pelepasan agensia hayati

Menurut Jumar (2000). Pengendalian hayati memiliki keuntungan yaitu : (1). Aman artinya tidak menimbulkan pencemaran lingkungan dan keracunan pada manusia dan ternak, (2). tidak menyebabkan resistensi hama, (3). Musuh alami bekerja secara selektif terhadap inangnya atau mangsanya, dan (4). Bersifat permanen untuk jangka waktu panjang lebih murah, apabila keadaan lingkungan telah stabil atau telah terjadi keseimbangan antara hama dan musuh alaminya.

IV. PENGELOLAAN PENYAKIT

Menanam varietas tahan adalah cara terbaik untuk mengontrol penyakit. Sebagai contoh varietas yang tahan telah tersedia dan digunakan untuk mengendalikan wabah smut di beberapa negara, termasuk Australia, sehingga luka api tidak berkembang di perkebunan tebu (Queensland) hingga 2006. Bahan tanam bebas penyakit biasanya dapat diperoleh dengan melakukan treatment air panas. Namun, treatment air panas mungkin tidak praktis dalam skala besar dan keefektifannya mungkin berbeda pada beberapa varietas. Pada beberapa negara dengan biaya tenaga kerja yang murah, upaya rouging untuk mengeluarkan tanaman terinfeksi luka api pada kebun bibit sering dilakukan akan tetapi upaya ini tidak efektif jika dilakukan pada kebun dalam skala luas (Sundar, 2012). Penyakit tanaman merupakan hasil interaksi antara patogen, inang, dan lingkungannya yang dikenal dengan istilah segitiga penyakit (disease triangle). Pada kondisi alamiah telah terjadi keseimbangan antara komponen-komponen tersebut sehingga tidak terjadi ledakan (outbreak) penyakit. Sebaliknya pada tumbuhan yang diusahakan menjadi tanaman budi daya, campur tangan manusia melalui teknologi (pemilihan varietas, pemupukan, kultur teknis lain) sering mengakibatkan gangguan keseimbangan alam dan menimbulkan ledakan hama/penyakit yang cukup serius. Komponen keempat yaitu manusia berinteraksi dengan tiga komponen penyakit tersebut yang dikenal dengan istilah segi empat penyakit (disease square). Pengendalian pengendalian penyakit secara terpadu dilakukan PTPN X dalam pengendalian luka api, kegiatan pengendalian dilakukan dengan memperhatikan faktor interkasi patogen, inang, manusia dan lingkungan yang dikenal dengan segiempat penyakit. Hal ini diwujudkan dengan menggunakan varietas tahan di daerah endemik, pembibitan berjenjang dan terencana, Perlakuan air panas pada Kebun bibit nenek. Pengunaan bibit lolos uji sertifikasi, dan penghilangan sumber inokulum dengan eradikasi tanaman terinfeksi. Penggunaan varietas tahan di daerah endemik bertujuan menghambat pertumbuhan penyakit luka api sehingga laju perkembangan penyakit akan terhambat. Pembibitan berjenjang dan terencana bertujuan menyediakan bibit dengan varietas dan umur sesuai kebutuhan tanam sehingga varietas tahan luka api dapat tersedia. Perlakuan air panas pada kebun bibit nenek, penggunaan bibit bersertifikat dan eradikasi tanaman terinfeksi luka api terutama pada kebun bibit sebagai usaha penghilangan sumber inokulum yang bertujuan mengurangi jumlah patogen, jumlah patogen terutama pada bibit tingkat tinggi sangat mempengaruhi jumlah patogen yang berada pada kebun bibit tingkat bawah dan tebu giling. Patogen merupakan salah satu bagian dari segiempat penyakit, dengan meminimalisir jumlah patogen diharapkan laju pertumbuhan penyakit luka api akan terhambat.

Page 177: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 163

Gambar 3. Eradikasi tanaman terserang lu kadan penggunaan HWT pada bahan bibit

V. PEGENDALIAN GULMA Prinsip utama dalam pengendalian gulma pada budidaya tanaman ialah menekan populasi gulma sebelum merugikan tanaman. Penundaan pengendalian gulma sampai gulma berbunga akan memberikan kesempatan gulma untuk berkembangbiak dan penyebaran gulma pada lahan budidaya (Puspitasari et al., 2013). Hendrival et al (2014), menyatakan bahwa untuk memperoleh kualitas maupun kuantitas produksi secara maksimal pengendalian gulma perlu diperhatikan dan frekuensi pengendalian gulma tergantung pada pertumbuhan gulma di lahan budidaya. Penyiangan gulma dilakukan untuk membersihkan tanaman dari gulma yang dapat mengganggu proses pertumbuhan tanaman sehingga tanaman dapat tumbuh dan berkembang dengan optimal. Marliah et al (2010), menyatakan bahwa kerugian pengendalian gulma dengan metode penyiangan membutuhkan waktu, tenaga dan biaya yang tinggi. Namun kerugian metode pengendalian gulma dengan penyiangan dapat dikurangi dengan metode pengendalian gulma dengan cara aplikasi herbisida. Efektivitas suatu herbisida sangat ditentukan oleh cara aplikasi dan perhitungan kebutuhan herbisida persatuan luas (Wardoyo 2002) Namun demikian, pengunaan herbisida secara luas perlu mempertimbangkan dampak negatifnya terhadap lingkungan, organisme bukan sasaran, keragaman hayati serta resistensi gulma terhadap herbisida (Zoschke 1994, Clarke 2002, Marshall 2002, Zhang et al. 1995, Heap, 1999, Moss, 2002 dalam Hasanuddin, 2003). Dalam rangka mengurangi pemakaian herbisida PTPN X melakukan pengendalian gulma secara terpadu dengan diawali pemataan gulma berdasarkan dominansi, tingkat kerugian dan jenis gulma yang terdapat di kebun PTPN X, dengan langkah tersebut maka keefektifitasan herbisida dapat dimaksimalkan sehingga pemakaian herbisida dapat terkontrol.

Gambar4. Proses pemetaan jenis gulma di kebun untuk penentuan jenis pengendalian

Page 178: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

164 |

KESIMPULAN

Langkah-langkah tersebut diatas merupakan peran PTPN X sebagai bagian dari segitiga ekosistem untuk

menjaga keseimbangan ekosistem, dengan keseimbangan ekosistem maka suistabilitas produktifitas yang

diharapkan PTPN X dapat terwujud

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2002. Model Budidaya tanaman Sehat ( Budidaya Tanaman Sayuran Secara Sehat Melalui Penerapan PHT), Dirjen Perlindungan Tanaman. Jakarta

A. Ramesh Sundar, E. Leonard Barnabas, P. Malathi and R. Viswanathan (2012). A MiniReview on Smut Disease of Sugarcane Caused by Sporisorium scitamineum, Botany, Dr. John Mworia (Ed.), ISBN: 978-953-51-0355-4, InTech

Djojosoewardhono, S. A. 1989. Peranan tebu dan faktor lingkungan tumbuh terhadap tingkat produktivitas bagi tebu di lahan kering. Pasuruan (ID) : Prosiding Seminar Budidaya Lahan Kering. Pasuruan

Hanafiah, K.A. 2010. Dasar-dasar ilmu tanah.PT Raja Grafindo persada.jakarta. Hasanuddin. 2003. Hasil tanaman kedelai dan pola persistensi akibat herbisida clomazone dan

pendimethalin bervariasi dosis pada kultivar argo mulyo dan wilis. Disertasi. Program Pascasarjana Universitas Padjajaran, Bandung

Isnaini, M. 2006. Pertanian Organik. Kreasi Wacana. Yogyakarta. Hal 247-248. Jumar. 2000. Entomologi Pertanian. Rineka Cipta. Jakarta Mulyadi, M. 2000. Kajian pemberian blotong dan abu ketel pada tanah kandiudoxs pelaihari dalam upaya

memperbaiki sifat kimia tanah, serapan N,Si, P dan S serta pertumbuhan tebu. Tesis Institut Pertanian Bogor. Mulyono, D. 2009. Evaluasi kesesuaian lahan dan arahan pemupukan N,P dan K dalam budidaya tebu

untuk pengembangan daerah Kabupaten Tulungagung. Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia.11(1): 47-53. Nirmala, Lagiman, D. Kastono, S. Virgawati& A. W. Rizain (eds.) Prosiding Seminar Nasional

Budidaya Olah Tanah Konservasi. Yogyakarta, 30 Juli 2002. hal. V:1-18. Pamenan, S. B., D. Siahaan, Lannita. 1989.Pengembangan Tebu Lahan Kering. Pasuruan (ID) :

Prosiding Seminar Budidaya Lahan Kering. 615 – 627. Wardoyo, S.S. 2002. Aplikasi herbisida pada lahan pertanian melalui sistem olah tanah konservasi

(otk) untukmendukung ketahanan pangan. Dalam: S. Hardiastuti, E. K., E. M

Page 179: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 165

ANALISIS KESIAPAN PETANI DALAM MENGHADAPI ERA REVOLUSI INDUSTRI 4.0 (STUDI KASUS PROVINSI DI YOGYAKARTA)

Nurmawiya1, Robert Kurniawan 2

1 Jurusan Statistika Sosial dan Kependudukan Politeknik Statistika STIS 2 Jurusan Komputasi Statistika Politeknik Statistika STIS

Corresponding author: [email protected]

Abstract. Pertanian merupakan sektor yang memegang peranan penting dalam memenuhi kebutuhan pangan rakyat. Jumlah penduduk yang terus bertambah seharusnya diimbangi dengan peningkatan ketersediaan pangan yang cukup. Oleh karena itu, dalam pelaksanaannya sektor pertanian seyogyanya diintegrasikan dengan perkembangan teknologi. Revolusi industri 4.0 yang ditandai dengan penggunaan mesin otomatis yang terintegrasi dengan jaringan internet merupakan tantangan menuju pertanian modern dalam mencapai target swasembada pangan berkelanjutan. Namun, untuk menghadapi era tersebut diperlukan kesiapan dalam berbagai aspek, terutama petani sebagai pelaksana. Sehingga, penelitian ini bertujuan untuk menginvestigasi kondisi kesiapan petani dan melihat faktor yang memengaruhinya. Data yang digunakan adalah data dari Badan Pusat Statistik (BPS), yaitu data Survei Pendapatan Petani (SPP) 2013 Provinsi DI Yogyakarta. Kesiapan petani diukur melalui pendekatan readiness subindex yang merupakan komposit dari networked readiness index oleh World Economic Forum (WEF). Hasil analisis dengan metode regresi logistik biner menunjukkan bahwa petani memiliki kecenderungan untuk siap menghadapi revolusi industri 4.0 jika berpendapatan tinggi, berumur muda, mengikuti penyuluhan pertanian, dan berjenis kelamin laki-laki. Dengan demikian, disarankan untuk memanfaatkan karang taruna dan kelompok tani sebagai sarana melaksanakan penyuluhan dan pelatihan skill bertani. Di sisi lain, diperlukan sosialisasi penggunaan teknologi, seperti internet yang akan memudahkan petani dalam menjual hasil produksi, sehingga dapat meminimalisasi rantai distribusi. Keywords: kesiapan petani, readiness subindex, logistik biner.

PENDAHULUAN

Pangan merupakan persoalan krusial dalam menunjang kelangsungan hidup rakyat. Sebagai pilar

penyedia pangan, sektor pertanian seharusnya mampu mengimbangi kebutuhan pangan seiring dengan

pertambahan jumlah penduduk. Maka dari itu, untuk memenuhi kebutuhan pangan diperlukan adanya

integrasi dengan perkembangan teknologi untuk melipatgandakan hasil produksi. Revolusi industri 4.0 sebagai

fase keempat dari perjalanan sejarah revolusi industri yang dimulai pada abad ke-18 merupakan solusi

sekaligus tantangan untuk mencapai pemenuhan kebutuhan pangan berkelanjutan melalui pertanian modern.

Karakteristik utama dari revolusi industri 4.0 adalah adanya internet, 3D printer, teknik genetika,

penggunaan sumber energi yang ramah lingkungan (green energy), pembangunan industri high tech, serta

transportasi berupa mobil listrik dan kereta ultra cepat (Prisecaru, 2016). Sementara itu, jika dikaitkan dengan

sektor pertanian, maka persyaratan yang harus dipenuhi dalam usaha pertanian untuk menghadapi revolusi

industri 4.0 adalah seperti pada bagan berikut.

Page 180: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

166 |

Sumber : (Braun, et. al., 2018).

Pada bagan tersebut terlihat bahwa proses pertanian dalam era revolusi industri 4.0 erat berkaitan

dengan jumlah data yang besar, penanaman cerdas dan proses penjadwalan, akses yang fleksibel,

pengamanan arus data berkelanjutan, konstruksi moduler, dan mudah digunakan (user-friendly) yang mana

seluruhnya terintegrasi dalam sistem internet (Internet of Things/IoT). Melalui sitem tersebut memungkinkan

petani untuk berpartisipasi dalam e-commerce, sehingga konsumen dapat dengan mudah terhubung ke

penyuplai dan masuk dalam rantai distribusi (Prisecaru, 2016). Hal ini tentunya akan menguntungkan petani

dalam memaksimalkan hasil produksi dan meminimalisasi rantai distribusi.

Untuk menuju pertanian modern berbasis revolusi industri 4.0, diperlukan kesiapan dari seluruh aspek,

terutama petani sebagai pelaku. Oleh karena itu, diperlukan suatu ukuran untuk mengetahui kesiapan petani

dalam menghadapi revolusi industri 4.0. Ukuran tersebut memiliki urgensi terkait pengambilan dan evaluasi

kebijakan oleh stakeholder yang nantinya akan berpengaruh terhadap kesiapan petani di masa yang akan

datang.

Kesiapan petani tersebut dapat diukur melalui readiness subindex yang merupakan komposit dari

Networked Readiness Index (NRI). NRI adalah suatu ukuran yang menunjukkan seberapa siap setiap negara

untuk menuai manfaat dari transisi revolusi industri 4.0 (Breene, 2016). NRI terdiri dari empat elemen, yaitu

environment subindex, readiness subindex, usage subindex, dan impact subindex. Dari empat elemen

tersebut, readiness subindex adalah elemen yang mengukur sejauh mana masyarakat di suatu negara

dipersiapkan untuk menggunakan konten digital dan infrastruktur informasi, komunikasi, dan teknologi yang

terjangkau (Bilbao-Osorio, et.al., 2014). Oleh karena itu, pengukuran kesiapan petani dalam penelitian ini

menggunakan pendekatan terhadap readiness subindex. Selain mengukur kesiapan petani, penelitian ini juga

bertujuan untuk menginvestigasi faktor-faktor yang memengaruhi kesiapan tersebut

Page 181: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 167

METODOLOGI

Penelitian ini menggunakan data Badan Pusat Statistik (BPS), yaitu Survei Pendapatan Petani (SPP)

2013 Provinsi DI Yogyakarta. Jumlah rumah tangga (ruta) yang menjadi sampel dalam survei tersebut adalah

sebanyak 6075 ruta. Sementara itu, objek observasi dalam penelitian ini adalah petani yang merupakan

anggota ruta tersebut, yaitu sebanyak 6728 petani.

Kesiapan petani diukur melalui pendekatan terhadap readiness subindex. Readiness subindex terdiri dari

tiga pilar, yaitu infrastruktur dan konten digital, keterjangkauan, dan skill. Pilar infrastruktur dan konten digital

terdiri dari variabel konsumsi listrik per kapita, proporsi penggunaan mobile network, bandwith internet

internasional per pengguna, server internet yang aman, dan akses terhadap konten digital. Sementara itu,

pilar keterjangkauan terdiri dari tarif penggunaan seluler, tarif internet, serta indeks kompetisi internet dan

telepon. Kemudian, pilar skill terdiri dari kualitas sistem pendidikan, kualitas pendidikan matematika dan sains,

partisipasi pendidikan sekunder, dan status melek huruf. Untuk pembentukan indeks, masing-masing pilar

diberi bobot 1/3 (Bilbao-Osorio, et. al., 2014). Namun, karena keterbatasan data, pengukuran kesiapan petani

dalam penelitian ini hanya meliputi dua pilar, yaitu pilar skill yang terdiri dari status melek huruf dan partisipasi

pendidikan sekunder, serta pilar infrastruktur dan konten digital, yang hanya terdiri dari akses konten digital

melalui pendekatan akses teknologi, informasi, dan komunikasi. Kemudian, masing-masing pilar diberi bobot

½.

Kesiapan petani dapat dilihat dari kenaikan pendapatan dan kesejahteraan petani. Kenaikan pendapatan

petani mengindikasikan adanya kemampuan finansial untuk memiliki gadget atau peralatan lainnya dalam

menggunakan jasa layanan internet yang nantinya akan memicu penggunaan e-commerce pada kalangan

petani (Departemen Kajian dan Aksi Strategis BEM FEB UI, 2018). Dalam penelitian ini, variabel kenaikan

pendapatan didekati melalui pendapatan yang kemudian akan dibagi ke dalam tiga kategori, yaitu pendapatan

rendah, menengah, dan tinggi. Kategori tersebut merujuk pada pembagian kelompok pendapatan oleh Bank

Dunia, yaitu 40% penduduk berpendapatan rendah, 40% penduduk berpendapatan menengah, dan 20%

penduduk berpendapatan tinggi (BPS, 2015). Berkaitan dengan pendapatan, di Indonesia terdapat

ketimpangan dalam memperoleh pendapatan antara laki-laki dan perempuan sebesar 0,5 (The Global Gender

Gap Report 2014). Dalam hal ini laki-laki cenderung memperoleh pendapatan yang lebih besar dibandingkan

perempuan.

Di sisi lain, berdasarkan hasil survei oleh Kemkominfo pada tahun 2015, karakteristik petani pengguna

internet adalah petani muda yang sudah sadar teknologi. Untuk daerah Yogyakarta, sebagian besar petaninya

telah lanjut usia dan hanya sebagian kecil yang mengenal internet, bahkan beberapa ada yang tidak memiliki

handphone. Selain itu, dari 40 sampel petani di Yogyakarta hanya 12,5% yang memiliki akses ke internet.

Oleh karena itu, faktor umur dinilai memiliki pengaruh terhadap kesiapan petani.

Kemudian, faktor lain yang memengaruhi kesiapan petani adalah skill atau pelatihan. Menurut Payut,

orang-orang harus belajar dan beradaptasi untuk hidup dengan teknologi dan memanfaatkannya. Para pekerja

tidak harus digantikan dengan robot, akan tetapi mereka harus membagun skill (Jones, et. al., 2017). Hal ini

juga didukung dalam publikasi Deloitte Insight 2018, yaitu untuk menghadapi revolusi industri 4.0, pekerja

harus dijadikan prioritas dengan menciptakan budaya belajar dan kolaborasi, serta menciptakan kesempatan

pelatihan.

Page 182: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

168 |

Berdasarkan kajian literatur tersebut, berikut adalah variabel-variabel yang digunakan.

Y : Status kesiapan petani (siap, tidak siap). Petani dikatakan siap jika nilai indeks kesiapan lebih dari

0,77. Hal ini merujuk pada klasifikasi NRI, yaitu dikatakan bagus jika bernilai 5,4 dari nilai maksimal 7.

X1 : Pendapatan petani (tinggi, menengah ke bawah (referensi kategori)).

X2 : Jenis kelamin (laki-laki, perempuan (referensi kategori)).

X3 : Umur petani.

X4 : Keikutsertaan penyuluhan (ya, tidak (referensi kategori)).

Dari variabel-variabel yang telah disebutkan di atas, maka model yang sesuai adalah model logistik biner

dengan beberapa prediktor (multiple logistic regression). Berikut adalah bentuk persamaan umumnya (Agresti,

2002).

………..…………. (1)

…......... (2)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berikut adalah hasil penelitian yang diringkas dalam beberapa tabel deskriptif sebagai berikut.

Tabel 1. Frekuensi Petani Berdasarkan Status Kesiapan

Siap Tidak Siap

Jumlah Persentase Jumlah Persentase

934 13,88 5794 86,12

Tabel 1 menunjukkan bahwa hanya 13,88% petani yang siap menghadapi revolusi industri 4.0 atau

sebanyak 934 orang dari 6728 sampel petani, sedangkan sisanya tidak siap menghadapi revolusi industri 4.0.

Tabel 2. Frekuensi Petani Berdasarkan Status Kesiapan dan Kelompok Pendapatan

Siap Tidak Siap

Jumlah Persentase Jumlah Persentase

Pendapatan Tinggi 247 18,36 1098 81,64

Pendapatan Menengah ke Bawah 687 12,76 4696 87,24

Tabel 2 menunjukkan terdapat 18,36% dari petani berpendapatan tinggi siap menghadapi revolusi

industri 4.0, sedangkan 81,64% sisanya tidak siap. Sementara itu, terdapat 12,76% dari petani berpendapatan

menengah ke bawah siap menghadapi revolusi industri 4.0, sedangkan 87,24% sisanya tidak siap. Hasil ini

menunjukkan bahwa kecenderungan untuk siap menghadapi revolusi industri 4.0 dimiliki oleh petani yang

berpendapatan tinggi. Proksi ini memiliki kesesuaian dengan pernyataan Departemen Kajian dan Aksi

Strategis BEM FEB UI, 2018 tentang kenaikan pendapatan yang dapat mendukung kesiapan petani.

Tabel 3. Frekuensi Petani Berdasarkan Status Kesiapan dan Jenis Kelamin

Page 183: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 169

Siap Tidak Siap

Jumlah Persentase Jumlah Persentase

Laki-laki 821 15,91 4339 84,09

Perempuan 113 7,21 1455 92,79

Tabel 3 menunjukkan terdapat 15,91% dari petani laki-laki siap menghadapi revolusi industri 4.0,

sedangkan 84,09% sisanya tidak siap. Sementara itu, hanya 7,21% dari petani perempuan yang siap

menghadapi revolusi industri 4.0, sedangkan 92,79% sisanya tidak siap. Hasil tersebut menunjukkan adanya

ketimpangan antara laki-laki dan perempuan. Hal tersebut bersesuaian dengan publikasi The Global Gender

Gap Report 2014 oleh WEF.

Tabel 4. Frekuensi Petani Berdasarkan Status Kesiapan dan Pengelompokan Status Umur Produktif

Siap Tidak Siap

Jumlah Persentase Jumlah Persentase

Umur produktif (15-64) 847 16,38 4325 83,62

Umur Tidak Produktif (>64) 87 5,59 1469 94,41

Tabel 4 menggunakan pengelompokan umur berdasarkan status umur produktifnya. Pengelompokan ini

hanya untuk memudahkan analisis deskriptif, sedangkan di model pada analisis inferensia variabel umur tidak

dikelompokkan. Tabel tersebut menunjukkan terdapat 16,38% dari petani umur produktif siap menghadapi

revolusi industri 4.0, sedangkan 83,62% sisanya tidak siap. Sementara itu, hanya 5,59% dari petani pada

umur tidak produktif yang siap menghadapi revolusi industri 4.0, sedangkan 94,41% sisanya tidak siap. Hasil

ini membuktikan bahwa petani muda yang didekati dengan pengelompokan berdasarkan umur produktif lebih

siap menghadapi revolusi industri 4.0. Hal ini bersesuaian dengan hasil survei oleh Kemkominfo pada tahun

2015 karena petani muda sudah memiliki kesadaran terhadap teknologi.

Tabel 5. Frekuensi Petani Berdasarkan Status Kesiapan dan Keikutsertaan Penyuluhan

Siap Tidak Siap

Jumlah Persentase Jumlah Persentase

Ikut Penyuluhan 345 15,99 1812 84,01

Tidak Ikut Penyuluhan 589 12,89 3982 87,11

Tabel 5 menunjukkan terdapat 15,99% dari petani yang ikut penyuluhan siap menghadapi revolusi

industri 4.0, sedangkan 84,01% sisanya tidak siap. Sementara itu, terdapat 12,89% dari petani yang tidak ikut

penyuluhan siap menghadapi revolusi industri 4.0, sedangkan 87,11% sisanya tidak siap. Hasil tersebut

membuktikan bahwa minat petani untuk mengikuti penyuluhan pertanian cukup rendah. Hal ini bersesuaian

dengan hasil survei oleh Kemkominfo pada tahun 2015.

Selanjutnya, berikut adalah hasil penghitungan untuk analisis inferensia dengan model multiple

regression logistic menggunakan program R berdasarkan penjabaran pada Dasar-Dasar Statistika Dengan

Software R (Pramana, et. al., 2017).

Tabel 6. Estimasi Koefisien dan P-Value

Page 184: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

170 |

Prediktor Estimasi Koefisien p-value

(Intercept) -0,5063 0,00323

Pendapatan tinggi 0,4048 2,79×

Laki-laki 0,7559 1,73×

Umur -0,0407 < 2×

Ikut penyuluhan 0,1312 0,08925

Uji Wald-Z atau uji parsial dapat dilihat melalui p-value dan berikut adalah hipotesis ujinya.

H0 : Tidak terdapat pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen.

H1 : Terdapat pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen.

Dari hasil tersebut, dapat disimpulkan terdapat cukup bukti bahwa setiap variabel independen

berpengaruh terhadap variabel dependen pada tingkat signifikansi 10%. Sementara itu, berdasarkan hasil

estimasi koefisien logistiknya dapat diperoleh model sesuai dengan persamaan (1) sebagai berikut.

Apabila ditransformasi logit, persamaannya mengikuti persamaan (2) seperti berikut.

Untuk mengetahui kecenderungan akibat pengaruh dari variabel dependen, koefisien logistik tersebut

dieksponensialkan, sehingga menghasilkan output berupa odds ratio. Berikut adalah odds ratio beserta

confidence interval odds ratio.

Tabel 7. Odds Ratio dan Confidence Interval Odds Ratio

Prediktor Odds Ratio Confidence Interval

Batas bawah (2.5%) Batas atas (97,5%)

(Intercept) 0,6027 0,4295 0,8429

Pendapatan tinggi 1,499 1,264 1,7738

Laki-laki 2,1296 1,7332 2,6389

Umur 0,96 0,9546 0,9655

Ikut penyuluhan 1,14 0,9794 1,3255

Berdasarkan hasil tersebut, dapat disimpulkan bahwa petani yang berpendapatan tinggi memiliki

kecenderungan untuk siap menghadapi revolusi industri 4.0 1,5 kali lebih besar dibandingkan petani yang

berpendapatan menengah ke bawah. Petani laki-laki cenderung siap 2,13 kali lebih besar dibandingkan petani

perempuan. Lalu, setiap pertambahan satu tahun umur petani, maka petani tersebut cenderung siap 0,96 kali

lebih kecil. Dengan kata lain, semakin tua umur petani, semakin kecil pula kecenderungan untuk siap. Selain

itu, petani yang mengikuti penyuluhan cenderung siap 1,14 kali lebih besar dibandingkan petani yang tidak

mengikuti penyuluhan. Sementara itu, confidence interval adalah estimasi rentang nilai odds ratio pada tingkat

kepercayaan 95%. Artinya, dengan tingkat kepercayaan 95%, rentang odds ratio pendapatan tinggi

dibandingkan pendapatan menengah ke bawah diperkirakan berada pada 1,264 hingga 1,7738. Demikian pula

interpretasinya pada variabel yang lain.

Page 185: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 171

Kemudian, untuk mengetahui apakah model yang terbentuk sudah memiliki kecocokan yang baik, maka

dilakukan uji kecocokan model dengan uji Hosmer-Lemeshow. Apabila harapan kejadian sukses sebesar

14%, maka jumlah grup yang direkomendasikan adalah greco = 202 untuk n = 5000 (Paul, et. al., 2012). Dalam

penelitian ini, harapan kejadian sukses sebesar 13,88% dan n = 6728, maka jumlah grup yang digunakan

untuk menguji kesesuaian model tersebut mengikuti jumlah rekomendasi, yaitu 202. Selanjutnya, hipotesis uji

kecocokan modelnya adalah sebagai berikut.

H0 : Terdapat kecocokan model yang baik.

H1 : Tidak terdapat kecocokan model yang baik.

Berdasarkan output, p-value yang dihasilkan adalah sebesar 0,93, sehingga pada tingkat signifikansi

10% pernyataan pada H0 gagal ditolak. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dengan tingkat

signifikansi 10%, tidak terdapat cukup bukti untuk mengatakan tidak terdapat kecocokan model yang baik.

Dengan demikian, model yang terbentuk sudah memenuhi goodness of fit. Selain itu, untuk mengetahui

keakuratan model, maka diperlukan receiver operating characteristics (ROC) seperti pada output berikut.

Dari output tersebut, dapat disimpulkan bahwa keakuratan dari model yang dibentuk masih dapat

diterima, dengan nilai kesesuaian model yang digunakan sebesar 0,6767

KESIMPULAN

Penelitian ini membuktikan bahwa pendapatan, jenis kelamin, umur, dan keikutsertaan penyuluhan

memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kesiapan petani untuk menghadapi revolusi industri 4.0.

Pendapatan tinggi, jenis kelamin laki-laki, berumur muda, dan ikut serta dalam penyuluhan pertanian adalah

karakteristik-karakteristik yang dapat mengakibatkan kecenderungan lebih besar bagi petani untuk siap

menghadapi revolusi industri 4.0. Dari hasil penelitian ini pula menunjukkan bahwa sebagian besar petani di

Provinsi DI Yogyakarta tidak memiliki kesiapan dalam menghadapi revolusi tersebut.

Oleh karena itu, disarankan agar memanfaatan karang taruna dan kelompok tani sebagai sarana

melaksanakan penyuluhan dan pelatihan skill bertani. Selain itu, melalui karang taruna dan kelompok tani pula

Page 186: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

172 |

dapat dilakukan sosialisasi tentang penggunaan dan pentingnya manfaat teknologi, seperti internet yang akan

memudahkan petani dalam menjual hasil produksi dan mengetahui harga jual produksi. Kemudian, diharapkan

adanya keberlanjutan dari program dan pelatihan yang telah direalisasikan, sehingga petani dapat merasakan

manfaat dari program dan pelatihan tersebut dalam jangka panjang. Dengan demikian, petani akan lebih siap

untuk memasuki era pertanian modern berbasis revolusi industri 4.0

DAFTAR PUSTAKA

Agresti, A. (2002). Categorical Data Analysis Second Edition. New Jersey: John Wiley & Sons. p: 182-186. Badan Pusat Statistik. (2015). Statistik 70 Tahun Indonesia Merdeka. Jakarta: CV. Dharmaputra. p: 59. Bilbao-Osorio, B., Dutta, S., dan Lanvin, B. (2014). The Global Information Technology Report 2014 Rewards

and Risks of Big Data. Geneva: World Economic Forum. p: 6, 9, 34. Braun, A. T., Colangelo, E., dan Steckel, T. (2018). Farming in The Era of Industrie 4.0, Elsevier. p: 981. Deloitte Insight. (2018). The Fourth Industrial Revolution is Here – Are You Ready? (Report) . UK : Deloitte

Insight. p: 20. Departemen Kajian dan Aksi Strategis BEM FEB UI 2018, ―Meninjau Kesiapan Sektor Agraria Indonesia

dalam Menghadapi Revolusi Industri 4.0‖, http://www.fmeindonesia.org/meninjau-kesiapan-sektor-agraria-indonesia-dalam-menghadapi-revolusi-industri-4-0/, diakses pada 16 November 2018.

Jones, C., & Pimdee, P. (2017). Innovative Ideas: Thailand 4.0 and The Fourth Industrial Revolution, Asian International Journal of Social Sciences, 17(1). p: 4-35.

Keith Breene, ‖What is ‗Networked Readiness Index‘ and Why Does It Matter?‖, https://www.weforum.org/agenda/2016/07/what-is-networked-readiness-and-why-does-it-matter/, diakses pada 17 November 2018.

Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia. (2015). Pemanfaatan dan Pemberdayaan Teknologi Informasi dan Komunikasi Pada Petani dan Nelayan. Jakarta : Kemkominfo. p: 46-61, 81-84.

Paul, P., Pennell, M.L., dan Lemeshow, S. (2012). Standardizing The Power of The Hosmer–Lemeshow Goodness of Fit Test in Large Data Sets, Statistic in Medicine. John Wiley & Sons. p : 67-80.

Pramana, S., Yordani, R., Kurniawan, R., & Yuniarto, B. (2017). Dasar-dasar Statistika dengan Software R Konsep dan Aplikasi. Bogor: in media. p: 167-176.

Prisecaru, P. (2016). Challenges of The Fourth Industrial Revolution. Knowledge Horizons – Economics, 8(1). p:57-62.

World Economic Forum. (2014). The Global Gender Gap Report 2014. Geneva: World Economic Forum. p: 208

Page 187: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 173

POLA KONSUMSI PANGAN IDEAL PETANI SAYUR DI KECAMATAN DAMPIT, KABUPATEN MALANG

Despa Siswanti, Sugiyanto, Mas Ayu Ambayoen

Jurusan Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya

Corresponding author: [email protected]

Abstract. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi unsur-unsur bahan pangan yang dikonsumsi oleh keluarga petani sayur. Menganalisis pola konsumsi pangan keluarga petani sayur dalam pencapaian pola konsumsi pangan ideal. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pola konsumsi pangan keluarga petani sayur dalam pencapaian pola konsumsi pangan yang ideal. Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini yakni deskriptif, analisis basic data dari neraca bahan makanan (NBM), dan analisis regresi linier berganda. Hasil penelitian menunjukan bahwa unsur bahan pangan yang tertinggi dikonsumsi responden yakni beras, dan yang terendah jambu. Capaian pola konsumsi pangan responden secara kuantitas (AKE & AKP) belum memenuhi standar yang ditentukan oleh BPS yakni 1783,52 kkal/kapita/hari, dan 52,25 gram/kapita/hari, sedangkan secara kualitas (PPH) masuk pada kategori beragam yakni 82,23. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pencapaian pola konsumsi pangan responden berdasarkan skor capaian kalori yakni usia, pendidikan, jumlah anggota keluarga, pengalaman usahatani, pengeluaran untuk pangan, pengetahuan tentang gizi, dan diversifikasi pangan, dan berdasarkan skor capaian protein yakni, usia, pendidikan, jumlah anggota keluarga, pengeluaran untuk pangan, pengetahuan tentang gizi, dan diversifikasi pangan. Hal tersebut menunjukan bahwa pola konsumsi pangan responden belum ideal berdasarkan standar yang sudah ditentukan. Keywords: Pola Konsumsi Pangan Ideal, Petani Sayur, AKE, AKP, PPH

PENDAHULUAN

Jawa Timur merupakan salah satu provinsi yang terkenal dengan penghasil sayuran yang beragam.

Tetapi belum semua masyarakatnya memanfaatkan dan mengkonsumsi sayuran tersebut secara optimal.

Kecamatan Dampit salah satu kecamatan yang terletak di Kabupaten Malang, Provinsi Jawa Timur.

Kecamatan Dampit memiliki berbagai potensi sumberdaya lokal yang memungkinkan untuk

penganekaragaman konsumsi pangan, salah satunya dari sektor pertanian. Sektor pertanian ini terdiri dari

komoditas perkebunan, komoditas pangan dan komoditas hotikultura.

Komoditas hortikultura sebagian besar yang ditanam di Kecamatan Dampit yakni cabai, tomat dan

kacang panjang. Menurut data (Dinas Tanaman Pangan Hortikultura dan Perkebunan, 2016) Luas panen

tanaman sayuran di Kabupaten Malang, pada cabai menempati peringkat kedua yakni 3.046 hektar, tomat

1.219 hektar, dan kacang panjang 875 hektar. Data tersebut menunjukan bahwa produksi ketiga sayuran

tersebut berpotensi baik jika budidayakan lebih lanjut di Kecamatan Dampit. Potensi yang baik ini belum

diimbangi dengan pola konsumsi pangan yang baik pula oleh warga yang ada di Kecamatan Dampit. Hal

Page 188: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

174 |

tersebut dapat dilihat dari Skor Pola Pangan Harapan (PPH) berdasarkan (Badan Ketahanan Pangan, 2017)

dapat dikatakan ideal jika skor PPH mendekati 100, sedangkan skor PPH Kecamatan Dampit berdasarkan

data (Badan Ketahanan Pangan, 2017), masih tergolong rendah yakni 67,15.

Berdasarkan permasalahan tersebut penelitian ini bertujuan untuk 1)Mengidentifikasi unsur-unsur bahan

pangan yang dikonsumsi oleh keluarga petani sayur. 2)Menganalisis pola konsumsi pangan keluarga petani

sayur dalam pencapaian pola konsumsi pangan ideal. 3)Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pola

konsumsi pangan keluarga petani sayur dalam pencapaian pola konsumsi pangan yang ideal.

METODOLOGI

1. Metode Penentuan Lokasi dan Waktu Penelitian

Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja atau purposive atas dasar pemilihan lokasi

penelitian berdasarkan kesesuaian karakteristik yang dimiliki responden dengan kriteria tertentu yang

dikehendaki oleh peneliti sesuai dengan tujuan penelitian (Sugiyono, 2008). Penentuan lokasi yang dilakukan

berdasarkan data skor PPH yang didapatkan pada tahun 2017, dimana skor PPH Kecamatan Dampit masuk

dalam kategori rendah jika dibandingkan dengan kecamatan lainnya yang berada di Kabupaten Malang,

berdasarkan hasil laporan Badan Ketahanan Pangan Tahun 2017. Penelitian ini dilaksanakan di tiga desa

yakni Desa Jambangan, Desa Pojok, dan Desa Pamotan, Kecamatan Dampit, Kabupaten Malang. Penentuan

di tiga desa tersebut didasarkan dari desa yang memiliki petani aktif dan berusahatani sayur khususnya

komoditas cabai, tomat dan kacang panjang. Kegiatan pengambilan data dilakukan dari Januari sampai

Februari 2018

2. Metode Penarikan Sampel dan Penentuan Responden

Metode penentuan sampel yang dilakukan dengan cara Non Probability Sampling dengan jenis

Purposive Sampling. Menurut (Sugiyono, 2008), sampling purposive adalah teknik penentuan sampel dengan

pertimbangan tertentu. Karakteristik yang ditentukan pada penelitian ini yakni, petani yang aktif dalam

kegiatan usahatani sayur khususnya cabai, tomat, dan kacang panjang. Selain itu dengan karakteristik

berkeluarga lengkap, yakni adanya ayah, ibu, dan anak.

Penentuan responden pada penelitian ini didasarkan dengan saran yang dikemukakan oleh Roscoe

dalam buku (Sugiyono, 2008) yang menyatakan bahwa untuk penelitian yang menggunakan analisa statistik

ukuran sampel paling minimum yakni 30. Berdasarkan hal tersebut responden dalam penelitian ini sebanyak

33 orang, dengan pertimbangan mendekati batas minimum yang disarankan. Banyaknya responden tersebut

didasarkan oleh karakteristik yang sudah ditentukan oleh peneliti, yakni petani yang melakukan usahatani

sayur, dan memiliki keluarga lengkap (ayah, ibu dan anak).

3. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan dua data yaitu data primer dan data sekunder.

Data primer terdiri dari dokumentasi, observasi, recall, dan wawancara. Sedangkan, data sekunder yakni studi

literatur seperti jurnal, buku dan data lainnya yang mendukung.

4. Metode Analisis Data

Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Deskriptif, metode Recall 7x24 Jam,

Metode analisis basic data dari Neraca Bahan Makanan (NBM), dan Metode Analisis Regresi Linier Berganda.

Page 189: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 175

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Unsur-unsur Bahan Pangan yang Dikonsumsi Responden

Unsur-unsur bahan pangan merupakan keseluruhan unsur-unsur pangan yang dikonsumsi oleh petani

sayur (cabai, tomat dan kacang panjang) beserta keluarganya. Data tersebut dapat dilihat pada tabel 1,

sebagai berikut:

Tabel 1. Rata-rata Konsumsi Kalori Responden (n=33)

No Kelompok

Pangan Bahan Pangan

Rata-rata Konsumsi Kalori

(Kkal/kapita/hari)

Persenta

se (%) Rangking

Capaian

Kalori

1 Padi-padian 1. Beras 2. Biskuit

665.41

1.31

45.43

0.08 I

2 Umbi-umbian 1. Kerupuk 2. Getuk

161.20

0.84

11.00

0.05

III

3 Pangan Hewani 1. Susu SKM 2. Yougurt

25.83

0.07

1.76

0.38

VI

4 Minyak dan

Lemak

1. Minyak

Kelapa Sawit

382.20 26.09 II

5 Buah Biji

Berminyak

1. Santan 56.63 3.86 V

6 Kacang-

Kacangan

1. Tempe 2. Kacang

Tanah

93.69

1.31

6.39

0.08

IV

7 Gula 1. Gula Pasir 25.63 1.75 VII

8 Sayur dan Buah 1. Cabai 2. Jambu

25.12

0.06

1.71

0.04

IX

9. Lain-lain 1. Kopi 2. Kue Putu

25.07

0.17

1.71

0.94

VIII

Total 1783.52

100

Sumber: Data Primer Diolah, 2018

Keterangan:

:

:

:

Konsumsi kalori terendah berdasarkan unsur bahan pangan.

Konsumsi kalori sedang berdasarkan unsur bahan pangan.

Konsumsi kalori tertinggi berdasarkan unsur bahan pangan.

Berdasarkan data tersebut, dari kesembilan kelompok pangan yang dikonsumsi responden. Konsumsi

kalori responden terendah pada kelompok pangan sayur dan buah yakni jambu dengan rata-rata konsumsi

kalori 0.06 kkal/kapita/hari, dengan persentase sebesar 0.04%. Konsumsi kalori responden sedang

berdasarkan kelompok pangan pada peringkat ketiga yakni umbi-umbian dengan bahan pangan yang

dikonsumsi kerupuk, rata-rata konsumsi kalori 161.20 kkal/kapita/hari, dengan persentase sebesar 11.00%.

Konsumsi kalori responden terbanyak pada kelompok pangan padi-padian dengan unsur bahan pangan yang

dikonsumsi yakni beras dengan rata-rata konsumsi kalori 665.41 kkal/kapita/hari, dengan persentase sebesar

Page 190: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

176 |

45.43%. Data tersebut sama seperti yang ada pada data BPS Jawa Timur Tahun 2017 yang menuliskan

bahwa konsumsi masyarakat masih didominasi oleh beras sedangkan konsumsi untuk sayur dan buah

tergolong rendah. Rendahnya konsumsi sayuran dan tingginya konsumsi beras tersebut dikarenakan oleh

kebiasaan mengkonsumsi bahan pangan yang belum beragam yang sudah lama dilakukan sejak lama oleh

responden. Hal tersebut sejalan dengan yang diungkapkan oleh (Khomsan, 2010) menyatakan bahwa

pengetahuan, umur maupun pengetahuan tentang gizi dan kesehatan akan mempengaruhi komposisi dan

konsumsi pangan seseorang, akan tetapi seseorang yang memiliki pengetahuan gizi belum tentu mengubah

kebiasaan makannya.

2. Capaian Pola Konsumsi Responden

Capaian pola konsumsi pangan keluarga petani sayur (cabai, tomat dan kacang panjang) dapat dilihat

dari aspek kuantitas dan aspek kualitas. Pola konsumsi pangan keluarga petani sayur dilihat dari aspek

kuantitas yakni skor Angka Kecukupan Energi (AKE) perkapita//hari dan skor Angka Kecukupan Protein (AKP)

perkapita/hari. Sedangkan pola konsumsi pangan keluarga petani sayur dari kualitas dapat dilihat dari skor

yang didapatkan Pola Pangan Harapan (PPH). Data tersebut dapat dilihat secara rinci pada tabel 2, sebagai

berikut:

Tabel 2. Capaian AKE, AKP dan PPH Responden

No Uraian AKE (kkal/kapita/hari) AKP (gram/kapita/hari) PPH

1 Standar 2150 57 a. <78 :Kurang Beragam b. 78-88 : Beragam c. >88 :Sangat Beragam

2 Real 1783.52

(Belum Memenuhi Standar)

52.25

(Belum Memenuhi Standar)

82.23

(Kategori Beragam)

Sumber: Data Primer Diolah, 2018, BPS Tahun, 2017, dan Rustanti, 2015

Berdasarkan Tabel 5, menunjukan bahwa standar capaian Angka Kecukupan Energi (AKE)

berdasarkan ketentuan (BPS, 2017) yakni 2150 kkal/kapita/hari. Data real capaian Angka Kecukupan Energi

(AKE) responden sebesar 1783.52 kkal/kapita/hari. Skor tersebut menunjukan bahwa skor real AKE

responden masih dibawah standar yang ditentukan oleh (BPS, 2017). Standar capaian Angka Kecukupan

Protein (AKP) berdasarkan data (BPS, 2017) yakni 57 gram/kapita/hari. Data real capaian Angka Kecukupan

Protein (AKP) responden sebesar 52.25 kkal/kapita/hari. Skor tersebut menunjukan bahwa skor real AKP

responden masih dibawah standar yang ditentukan oleh (BPS, 2017). Berdasarkan skor AKE dan AKP

tersebut, dapat menunjukan bahwa secara keseluruhan jika dilihat dari aspek kuantitas pola konsumsi pangan

responden belum memenuhi standar yang ditentukan oleh (BPS, 2017). Sedangkan capaian skor Pola

Pangan Harapan (PPH) responden sebesar 82.23, data tersebut masuk pada kategori beragam dengan

rentang skor PPH 78-88 (Rustanti, 2015). Data tersebut menunjukan bahwa secara keseluruhan jika dilihat

dari aspek kualitas pola konsumsi pangan responden tergolong beragam. Belum tercapaianya pola konsumsi

pangan ideal responden salah satunya dikarenakan kebiasaan konsumsi responden yang belum beragam.

Page 191: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 177

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pola Konsumsi Responden

Rincian hasil regresi dapat dilihat pada tabel 3 dan 4.

Tabel 3. Hasil Regresi berdasarkan Rata-rata Konsumsi Energi Responden (n=33)

No Variabel Independent Koefisien Regresi

(b)

z Hitung Z Tabel Sig.

1 % 5 %

Constant 0,928

2,58 1,96

0,363

1 Usia(X1) 0,517** 3.499 0,002

2 Tingkat Pendidikan (X2) 0,355* 2.670 0,014

3 Jumlah Anggota Keluarga (X3) -0,381** -29562 0,007

4 Pengalaman Usahatani (X4) -0,402* -2569 0,017

5 Pendapatan (X5) 0,142 854 0,402

6 Pengeluaran U/ Pangan (X6) -0,467** -2.979 0,077

7 Frekuensi Makan (X7) 0,156 907 0,374

8 Pengetahuan Tentang Gizi (X8) -0,630** -3160 0,004

9 Diversifikasi Pangan (X9) 0,862** 4486 0,000

Sumber : Data Primer Diolah, 2018 Keterangan: Variabel dependen (Y): Kalori * : Signifikansi pada taraf 5% ( ɑ= 0,05, z Tabel =1,96) ** : Signifikansi pada taraf 1% (ɑ=0,01, z Tabel = 2,58) F hitung : 6.278 R Square : 0,711

Data tersebut menunjukkan bahwa faktor yang mempengaruhi konsumsi pangan responden yang

berpengaruh sangat nyata berdasarkan capaian kalori yakni, usia, jumlah anggota keluarga, pengeluaran

untuk pangan, pengetahuan tentang gizi, dan diversifikasi pangan. Faktor yang berpengaruh nyata

berdasarkan capaian kalori yakni tingkat pendidikan dan pengalaman usahatani. Sedangkan faktor yang tidak

berpengaruh terhadap konsumsi pangan responden berdasarkan capaian kalori yakni pendapatan dan

frekuensi makan. Faktor pendapatan tidak mempengaruhi pola konsumsi pangan responden. Hal tersebut

dapat terjadi karena hasil dilapang menunjukan bahwa, tinggi atau rendahnya pendapatan seseorang tidak

mempengaruhi seseorang mengeluarkan uangnya lebih banyak untuk konsumsi pangan. Faktor frekuensi

makan tidak berpengaruh pada pola konsumsi pangan responden karena frekuensi makan responden rata-

rata 3 kali dalam sehari dan frekuensi makan tersebut memang sudah kebiasaan responden. Berdasarkan

hasil penelitian yang dilakukan tersebut, selaras dengan hasil penelitian yang sudah dilakukan oleh (Ningsih,

Suandi, & Damayanti, 2013), yang menyatakan bahwa faktor-faktor yang berpengaruh signifikan terhadap pola

konsumsi pangan dan gizi rumah tangga yakni, jumlah anggota keluarga berpengaruh signifikan terhadap

konsumsi secara individu. Selain itu Pendidikan juga berpengaruh signifikan terhadap konsumsi secara

individu. Pendidikan formal yang ditempuh seorang akan mempengaruhi keberagaman yang dikonsumsi

setiap keluarga, dimana tingkat pengetahuan gizi yang baik akan mempermudah pelaksanaan tanggung jawab

seorang, yaitu tanggung jawab berupa pemilihan jenis pangan yang mengandung zat gizi yang baik.

Page 192: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

178 |

Tabel 4. Hasil Regresi berdasarkan Rata-rata Konsumsi Protein Responden (n=33)

No Variabel Independent

Koefisien

Regresi

(b)

z Hitung

Z Tabel

Sig. 1 % 5 %

Constant 31.395 .584

2,58 1,96

.565

1 Usia(X1) 0,384* 2.382 .026

2 Tingkat Pendidikan (X2) 0,398** 2.746 .012

3 Jumlah Anggota Keluarga (X3) -0,326* -2.346 .028

4 Pengalaman Usahatani (X4) -0,265** -1.553 .134

5 Pendapatan (X5) 0,324 1.791 .087

6 Pengeluaran U/ Pangan (X6) -0,398* -2.328 .029

7 Frekuensi Makan (X7) -0,034 -.183 .856

8 Pengetahuan Tentang Gizi (X8) -0,593** -2.727 .012

9 Diversifikasi Pangan (X9) 0,858** 4.093 .000

Sumber: Data Primer Diolah, 2018

Keterangan:

Variabel dependen (Y) : Protein * : Signifikansi pada taraf 5% ( ɑ= 0,05, z Tabel =1,96) ** : Signifikansi pada taraf 1% (ɑ=0,01, z Tabel = 2,58) F hitung : 6.278 R Square : 0,711

Data tersebut menunjukkan bahwa faktor yang mempengaruhi konsumsi pangan responden

berpengaruh sangat nyata berdasarkan konsumsi protein yakni tingkat pendidikan, pengalaman usahatani,

pengetahuan tentang gizi, dan diversifikasi pangan. Faktor yang mempengaruhi konsumsi pangan responden

yang berpengaruh nyata berdasarkan konsumsi protein yakni usia, jumlah anggota keluarga dan pengeluaran

untuk pangan. Sedangkan faktor yang tidak berpengaruh terhadap konsumsi responden berdasarkam

konsumsi protein yakni pendapatan dan frekuensi makan. Tingkat pendidikan berpengaruh sangat nyata

terhadap konsumsi responden pada Yprotein disebabkan semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka

semakin tinggi pengetahuan seseorang akan pentingnya konsumsi protein sehari-hari. Faktor pendapatan

tidak berpengaruh terhadap konsumsi responden disebabkan pendapatan tinggi belum tentu menentukan

seseorang untuk mengeluarkan uangnya lebih banyak untuk kebutuhan pangan. Pada saat penelitian,

keadaan di lapang terdapat bahwa pendapatan responden tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan makan

saja tetapi untuk kebutuhan yang lainnya, seperti kebutuhan sekolah anak, kebutuhan listrik, acara

kondangan, dan kebutuhan rumah tangga lainnya, sehingga kebutuhan akan makan tidak terlalu diperhatikan

dan diperhitungkan.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Unsur-unsur bahan pangan yang dikonsumsi responden berdasarkan peringkat kelompok pangan yakni

pada peringkat pertama terdapat pada kelompok pangan padi-padian dengan unsur bahan pangan yang

paling banyak dikonsumsi yakni beras dengan rata-rata konsumsi kalori sebesar 665.41 kkal/kapita/hari

dan konsumsi kalori terendah biskuit dengan rata-rata konsumsi kalori sebesar 1.31 kkal/kapita/hari.

Page 193: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 179

Sedangkan konsumsi kalori terendah responden terdapat pada kelompok pangan sayur dan buah dengan

unsur bahan pangan yang paling banyak dikonsumsi pada unsur bahan pangan cabai sebesar 25.12

kkal/kapita/hari, konsumsi kalori terendah jambu dengan rata-rata konsumsi kalori sebesar 0.06

kkal/kapita/hari. Berdasarkan data tersebut, konsumsi sayur dan buah terdapat pada peringkat terakhir

dan rata-rata konsumsi responden pada sayur dan buah masih tergolong rendah.

2. Capaian pola konsumsi pangan dilihat dari aspek kuantitas dan kualitas. Aspek kuantitas berdasarkan

skor AKE dan AKP responden. Standar ketetapan (BPS, 2017) skor AKE 2150 kkal/kapita/hari dan skor

AKP 57 gram/kapita/hari. Skor AKE responden sebesar 1783.52 kkal/kapita/hari, skor AKP responden

52.25 gram/kapita/hari. Data tersebut menunjukan bahwa secara kuantitas pola konsumsi pangan

responden belum memenuhi standar ketetapan BPS tahun 2017. Berdasarkan aspek kualitas dilihat dari

skor Pola Pangan Harapan (PPH). Dimana skor PPH responden sebesar 82.23 masuk dalam kategori

beragam, yang berarti responden yang diteliti pola pangannya beragam.

3. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pencapaian pola konsumsi pangan responden berdasarkan

skor capaian kalori yakni usia, pendidikan, jumlah anggota keluarga, pengalaman usahatani, pengeluaran

untuk pangan, pengetahuan tentang gizi, dan diversifikasi pangan. Faktor-faktor yang berpengaruh

terhadap pencapaian pola konsumsi pangan responden berdasarkan skor capaian protein yakni, usia,

pendidikan, jumlah anggota keluarga, pengeluaran untuk pangan, pengetahuan tentang gizi, dan

diversifikasi pangan. Sedangkan faktor-faktor yang tidak berpengaruh terhadap pencapaian pola

konsumsi pangan responden berdasarkan dari skor capaian kalori dan skor capaian protein yakni

pendapatan dan frekuensi makan.

DAFTAR PUSTAKA

Ariani, M., & Purwantini, B. T. 2002. Analisis Konsumsi Pangan Rumah Tangga Pasca Kritis Ekonomi di

Provinsi Jawa Barat. AGRISTA , 11. Badan Ketahanan Pangan, P. P. 2017. Laporan Kinerja. Surabaya: Badan Ketahanan Pangan. BPS. 2017. Konsumsi Kalori dan Protein Penduduk Indonesia dan Provinsi. 2017 , p. 1. Khomsan, A. 2010. Pangan dan Gizi untuk Kesehatan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Ningsih, M., Suandi, & Damayanti, Y. 2013. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pola Konsumsi Pangan dan

Gizi Rumah Tangga Nelayan Kecamatan Tungkal Ilir Kabupaten Tanjung Jabung Barat . Sosio Ekonomika Bisnis , 6.

Rustanti, N. 2015. Buku Ajar Ekonomi Pangan dan Gizi. Yogyakarta: Deepublish. Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Kuantitaif, kualitatif Dan R&D. Bandung: Alfabeta. Suhardjo. 2002. Perencanaan Pangan dan Gizi. Jakarta: Bumi Aksara. Suryana, A., & Kariyasa, K. 2008. Ekonomi Padi Asia: Suatu Tinjauan Berbasis Kajian Komparatif. Ekonomi

Pembangunan , 5.

Page 194: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

180 |

KONDISI INDUSTRI KECIL DAN MENENGAH (IKM) MAKANAN RINGAN MENGHADAPI

ERA INDUSTRI 4.0 DI KOTA PAYAKUMBUH PROPINSI SUMATERA BARAT

Rian Hidayat, Rika Hariance

Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Andalas Corresponding author: [email protected]

Abstract. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan Industri Kecil dan Menengah (IKM) makanan ringan untuk menghadapi Era Industri 4.0. Penelitian dilakukan pada wilayah sentra makanan ringan di Kota Payakumbuh Propinsi Sumatera Barat. Metode penelitian menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan mengunakan pendekatan wawancara dan kuisioner yaitu untuk mempelajari pengunaan teknologi Internet of Things (IoT) pada proses produksi, e-commerce dan logistik pada industri makanan ringan berbahan baku ubi atau singkong yang di produksi oleh Industri Kecil dan Menengah (IKM). Hasil penelitian memperlihatkan bahwa pengunaan Internet of Things (IoT) pada aspek integrasi horizontal dan integrasi vertikal masih rendah. Hal ini menunjukan ada pekerjaan penting yang harus dilakukan seluruh pemangku kepentingan untuk mempersiapkan Industri Kecil dan Menengah (IKM) makanan ringan agar mampu berkompetisi atau berdaya saing dan berbisnis di Era Industri 4.0. Keywords: Makanan Ringan, IKM, Payakumbuh, IoT

PENDAHULUAN

Era Industri 4.0 merupakan babak baru perindustrian yang akan lebih banyak melibatkan teknologi digital.

Kementerian perindustrian Republik Indonesia memperkirakan keberadaan revolusi industri membawa

beberapa dampak dalam proses industri dan kehidupan manusia seperti inovasi, daya saing, pengelolaan,

dan pengunaan teknologi. Sehubungan dengan itu, perlu antisipasi cepat menghadapi revolusi industri 4.0

yang akan serba digital, salah satunya di bidang industri kecil dan menengah (IKM), karena menurut

Kementerian Perindustrian bahwa pemanfaatan teknologi digital untuk memacu produktivitas dan daya saing

bagi Industri Kecil dan Menengah (IKM) agar mampu menghadapi persaingan global.

Untuk menghadapi tantangan era industri 4.0, Pemerintah Indonesia mempersiapkan 4 strategi untuk

memasuki era Revolusi Industri 4.0, yaitu a) Mendorong agar angkatan kerja di Indonesia terus meningkatkan

kemampuan dan ketrampilannya terutama dalam mengunakan teknologi internet of thing atau

mengintegrasikan kemampuan internet dengan lini produksi di industri, b) Pemanfaatan teknologi digital untuk

memacu produktivitas dan daya saing bagi industri kecil dan menengah (IKM) agar mampu menembus pasar

global, c) Pemanfaatan teknologi digital yan lebih optimal dalam perindustrian nasional seperti Big Data,

Autonomous Robots, Cybersecurity, d) Mendorong inovasi teknologi melalui pengembangan start-up dengan

memfasilitasi inkubasi bisnis agar lebih banyak wirausaha berbasis teknologi di wilayah indonesia (Menurut

Kemenperin, 2018). Dari empat strategi diatas terlihat bahwa Industri Kecil dan Menengah (IKM) menjadi

salah satu fokus pemerintah untuk dipersiapkan menghadapi revolusi industri 4.0.

Page 195: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 181

Berdasarkan data BPS Kota Payakumbuh (2016) bahwa Kota Payakumbuh memiliki 1.294 Industri Kecil

dan Menengah yang telah menyerap jumlah tenaga kerja dengan sebanyak 4.515 orang, dan 612 unit usaha

bergerak dalam bidang makanan ringan seperti gelamai, beras rendang, rendang telur, rendang runtiah,

kerupuk sanjai, karak kaliang dan jenis kerupuk lainnya, sedangkan yang khusus makanan ringan dengan

berbahan baku utama ubi atau singkong adalah 285 unit usaha.

Industri Kecil Menengah (IKM) merupakan sub sektor yang memiliki berbagai peran penting dalam

perekonomian. Diantara berbagai peran tersebut, yang paling menonjol adalah perannya dalam penyerapan

tenaga kerja. Sub sektor IKM juga merupakan bentuk pemberdayaan masyarakat ekonomi lemah yang

bergerak dalam berbagai sektor ekonomi. Selain itu, Industri Kecil Menengah (IKM) adalah usaha yang

mempunyai ketahanan akan krisis ekonomi. Hal ini terbukti saat terjadi krisis tahun 1998, IKM bisa bertahan

dari keterpurukan yang dialami usaha besar lainnya, Menurut Purnomo (2017) bahwa beberapa permasalahan

yang harus diatasi pada industri kecil dan menengah (IKM) adalah terkait kemampuan teknologi yang

sederhana, kemampuan sumberdaya manusia yang belum kompetitif, kemampuan penguasaan informasi

yang masih rendah, jejaring dan distribusi yang masih sedikit.

Untuk mampu bersaing dan memasuki pasar global maka butuhkan pemahaman teknologi digital untuk

menghadapi tantang era revolusi industri 4.0, terutama keterampilan-keterampilan menggunakan teknologi

digital sederhana. Untuk itu penting mengambarkan kondisi industri kecil dan menengah (IKM) makanan

ringan menghadapi Era Industri 4.0 di Kota Payakumbuh, maka tulisan ini akan mengambarkan Kondisi

Industri Kecil dan Menengah (IKM) Makanan Ringan Menghadapi Era Industri 4.0 di Kota Payakumbuh

Propinsi Sumatera Barat.

METODOLOGI

Penelitian dilakukan di Sentra Makan Ringkan Kota Payakumbuh Propinsi Sumatera Barat. Metode

penelitian menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan mengunakan pendekatan wawancara dan

kuisioner yaitu untuk mempelajari pengunaan teknologi Internet of Things (IoT) pada proses produksi, e-

commerce dan logistik pada makanan ringan yang di produksi oleh Industri Kecil dan Menengah (IKM).

Populasi pada penelitian ini adalah seluruh pelaku usaha IKM makanan ringan berbahan bahan baku utama

Ubi atau Singkong di Kota Payakumbuh. Menurut BPS Kota Payakumbuh (2016) bahwa jumlah IKM makanan

ringan dengan bahan baku utama Singkong adalah 285 unit usaha, dan jumlah sampel yang akan diambil

adalah 10 % dari jumlah populasi yaitu 29 Unit Usaha.

Untuk mengambarkan kondisi Industri Kecil dan Menengah (IKM) Makanan Ringan menghadapi Era

Industri 4.0 di Kota Payakumbuh yaitu dilihat dari Aspek integrasi vertikal dan integrasi horizontal dengan

mengunakan teori yang dikembangkan Kagerman (2013) yaitu Integrasi horisontal menyangkut

mengintegrasikan teknologi ke dalam strategi atau jaringan kerjasama Industri Kecil dan Menengah (IKM)

dengan rekanan atau penyedia dan pelanggan, sedangkan Integrasi vertikal menyangkut bagaimana

menerapkan teknologi ke dalam sistem manufaktur atau proses produksi yang ada di Industri Kecil dan

Menengah (IKM) makan ringan.

Page 196: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

182 |

Variabel yang diamati pada integrasi vertikal dan horizontal adalah penggunaan Internet of Things (IoT)

pada proses produksi, e-commerce dan logistik di Industri Kecil dan Menengah (IKM) makanan ringan dengan

bahan baku utama ubi atau singkong, lengkapnya dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Variabel Penelitian

No Variabel Integrasi

1 Proses Produksi;

Pemesanan/pembelian bahan baku utama untuk produksi

Pemesanan/pembelian bahan pendukung untuk produksi

Pemesanan/pembelian kemasan untuk produk

Penghitungan/penelusuran perputaran persediaan bahan baku utama

Penghitungan/penelusuran perputaran persediaan bahan pendukung

Penghitungan/penelusuran perputaran persediaan kemasan untuk produk

Penghitungan/penelusuran transaksi produk

Mesin produksi yang terkoneksi dengan komputer

Penghitungan/penelusuran jumlah product retur

H

H

H

V

V

V

V

V

V

V

2 E-Commerce;

Website untuk menampilkan produk dan transaksi pembayaran

Kerjasama dengan marketplace

Sistem pembayaran transaksi online

Layanan keluhan konsumen

Profil dan laporan kinerja karyawan

Manajemen keuangan atau pencatatan keuangan

H

H

H

H

V

V

3 Logistik;

Pengiriman pesanan produk dengan jasa logistik online

Pencatatan jumlah dan penelusuran daerah asal permintaan produk

H

V

Sumber: Data diolah, 2018

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengunaan Teknologi Internet of Things (IoT) di IKM Makanan Ringan Berbahan Baku Ubi

Pengunaan teknologi Internet of Things (IoT) pada proses produksi, e-commerce dan logistik di Industri

Kecil dan Menengah (IKM) Makanan Ringan berbahan baku utama Ubi atau Singkong di Kota Payakumbuh

Propinsi Sumatera Barat dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Persentase (%) Pengunaan IoT Pada IKM Makanan Ringan Di Kota Payakumbuh

No Variabel Persentase (%)

1

Proses Produksi;

Integrasi Horizontal

Integrasi Vertikal E-Commerce;

0,0

2,3

Page 197: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 183

2

3

Integrasi Horizontal

Integrasi Vertikal Logistik;

Integrasi Horizontal

Integrasi Vertikal

25,9

3,4

13,8

6,9

Sumber: Data diolah, 2018

Pengunaan Internet of Things (IoT) pada proses produksi secara horizontal yaitu aktivitas yang

terkoneksi dengan rekanan atau pihak luar untuk kebutuhan produksi belum ada. IKM makanan ringan belum

terkoneksi dengan rekanan penyedia bahan baku utama untuk proses produksi, bahan pendukung untuk

proses produksi dan pengadaan kemasan untuk produk, sedangkan secara vertikal yaitu aktivitas yang

terkoneksi dalam internal usaha, IKM makanan ringan sudah ada aktivitas mengunakan Internet yaitu pada

aktivitas transaksi penjual produk yang sudah dilengkapi pengunaan teknologi bar code yaitu sebanyak 2,3%.

Hubungan antara pelaku usaha dengan rekanan penyedia kebutuhan produksi masih bersifat tradiosional

yaitu berdasarkan komitmen yang belum tertulis. Kebutuhan yang berkaitan dengan proses produksi yaitu

kebutuhan akan ubi, kayu bakar, bumbu-bumbu, kemasan plastik dan karton.

Kondisi pengunaan IoT yang masing sangat rendah pada proses produksi menyebabkan pelaku IKM

kesulitan menelusuri persediaan bahan baku produksi dan produk yang belum terjual dengan produk yang

sudah dijual ke konsumen. Pelaku usaha IKM kesulitan dalam mengambil keputusan karena tidak tersedianya

informasi yang lebih baik dengan waktu yang jauh lebih cepat.

Perdagangan elektronik atau e-commerce adalah pengunaan jaringan digital dan internet untuk transaksi

produk sehingga aktivitas perdagangan produk menjadi lebih cepat dan mudah. Pengunaan Internet of Things

pada e-commerce secara horizontal di IKM adalah aktivitas yang menghubungkan IKM dengan pelanggan

atau pihak luar adalah 25,9%. Aktivitas yang sudah dilakukan IKM secara horizontal adalah sudah mempunyai

website yang digunakan untuk menampilkan produk dan transaksi penjualan, kerjasama dengan marketplace,

sistem pembayaran online dan layanan keluhan konsumen, sedangkan secara vertikal yaitu aktivitas profil dan

laporan kinerja karyawan serta manajemen keuangan adalah 3,4%. Hasil ini memperlihatkan bahwa pelaku

usaha IKM sudah melakukan aktivitas e-commerce yaitu aktivitas penyebaran informasi dan pemasaran

barang melalui sistem elektronik atau pengunaan internet sehingga lebih cepat sampai di dunia bisnis.

Menurut Heizer dan Render (2005) Perusahaan yang terlambat mengunakan e-commerce bukan hanya akan

tertinggal tapi mereka juga akan hilang, karena mengunakan e-commerce sebagai suatu keunggulan dalam

mengalahkan pesaing. Dan menurut Mulyadi (2007) bahwa upaya perusahaan untuk bertahan hidup dan

berkembang dalam bisnis sangat tergantung kepada kompetensi perusahaan memanfaatkan teknologi dalam

melaksanakan aktivita bisnisnya.

Menurut Kotler (2008) bahwa fungsi logistik utama mencakup pergudangan, manajemen persediaan,

manajemen informasi informasi dan transportasi. Aktivitas logistik yang dimaksud dalam penelitian ini adalah

fungsi transportasi yaitu aktivitas memindahkan atau mengirimkan pesanan barang dari sumber produksi atau

pelaku usaha IKM makanan ringan berbahan baku Ubi atau Singkok ke pasar atau pelanggan. Aktivitas

logistik dengan fasilitasi internet yang dilakukan oleh IKM makanan ringan secara horizontal adalah

Page 198: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

184 |

pengiriman pesanan produk dengan jasa logistik online adalah 13,8% seperti pengunaan tiki online, dan lain-

lain. Sedangkan secara vertikal yaitu pencatatan jumlah dan asal daerah permintaan produk adalah 6,9%.

Pelaku usaha IKM masih sangat sedikit yang melakukan pencatatan volume penjualan dan daerah asal

permintaan produk sehingga pelaku usaha IKM kesulitan menjelaskan tentang distribusi produknya. Menurut

Kotler (2008) bahwa aktivitas logistisk transportasi adalah membantu menyediakan tingkat layanan terbaik

untuk pelanggan sehingga akan meningkatkan kepuasan pelanggan.

Pengunaan teknologi digital yang dikombinasikan dengan teknologi komunikasi akan menimbulkan

dampak yang luar biasa dalam produktvitas dan daya saing Industri Kecil dan Menengah (IKM) makanan

ringan berbahan baku ubi atau singkong. Menurut Mulyadi (2007) salah satu karakteristik teknologi digital

adalah kemampuan dan keterhubungan dengan multimedia yaitu mampu mengirimkan bentuk media gambar,

teks, audio, video secara serentak ke seluruh penjuru dunia, namun IKM makanan ringan di Kota

Payakumbuh masih punya keterbatasan dalam hal ini.

Menurut Mulyadi (2007), pengunaan teknologi digital yang dikombinasikan dengan teknologi informasi

seperti internet akan menembus berbagai faktor penghambat bisnis seperti hambatan waktu dan hambatan

geografis. Selama ini pelanggan makanan ringan dari IKM Kota Payakumbuh adalah yang berasal dari Kota

Payakumbuh, sehingga dengan pengunaan IoT pelaku usaha IKM dapat meningkatkn dan melayani

konsumen dalam jumlah yang lebih banyak dengan jarak geografis yang lebih jauh dan luas.

KESIMPULAN

Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa pengunaan Internet of Things (IoT) pada proses produksi, e-

commerce dan logistik pada industri makanan ringan berbahan baku ubi atau singkong yang di produksi oleh

Industri Kecil dan Menengah (IKM) Kota Payakumbuh Propinsi Sumatera Barat secara horizontal dan vertikal

masih rendah sehingga pelanggan punya keterbatasan dalam melakukan akses dari produk yang dihasil IKM

makan ringan secara online dan realtime. Kegagalan pelaku usaha IKM memenuhi kecepatan dan ketepatan

waktu dan hambatan geografis akan berakibat larinya konsumen ke produk lain dan perusahaan lain. Hal ini

menunjukan ada pekerjaan penting yang harus dilakukan seluruh pemangku kepentingan untuk

mempersiapkan Industri Kecil dan Menengah (IKM) makanan ringan agar mampu berkompetisi atau berdaya

saing dan berbisnis di Era Industri 4.0.

DAFTAR PUSTAKA

BPS Kota Payakumbuh. 2016. Kota Payakumbuh Dalam Angka. BPS Kota Payakumbuh. Heizer, Jay dan Barry Render. 2005. Manajemen Operasi Edisi Ketujuh. Salemba Empat. Jakarta. Kagermann, H., Lukas, W.D., & Wahlster, W. 2013. Final report: Recommendations for implementing the

strategic initiative INDUSTRIE 4.0. Industrie 4.0 Working Group. Mulyadi. 2007. Sistem Perencanaan dan Pengendalian Manajemen. Salemba Empat. Jakarta. Purnomo, Dwi dan Koko Iwan Agus. 2017. Sociopreneur Milenial; Bisnis Berbasis Kolaborasi antara Desa dan

Kota. Bitread Publishing. Bandung.

Page 199: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 185

ENTREPRENEURIAL MARKETING PADA INDUSTRI KRIPIK TEMPE SANAN DI KOTA

MALANG

Novi Haryati(1), Miftakhurrizal Kurniawan(2), Faizatul Amalia(3), M. Adi Surahman(4)

(1)Jurusan Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya (2)Jurusan Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Brawijaya

(3)Jurusan Sistem Informasi Fakultas Ilmu Komputer, Universitas Brawijaya (4)Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Brawijaya

Corresponding author: [email protected]

Abstract. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi pengaruh Entrepreneurial Marketing dan Kebijakan Pemerintah terhadap Daya Saing. Analisis data dilakukan secara deskriptif kuantitatif menggunakan konsep Entrepreneurial Marketing yang terdiri dari 7 dimensi pendekatan, sedangkan tahun kedua, penelitian akan dilakukan dengan menggunakan SEM berbasis WarPLS dan SWOT untuk mengetahui keterkaitan hubungan antara faktor-faktor penting dalam pengembangan pasar UMKM tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pengusaha Industri Kripik Tempe Sanan telah melakukan 7 pendekatan dalam Entrepreneurial Marketing, yaitu: Proactiveness, Opportunity focus,, Calculated risk taking, Innovativeness, Consumer Intensity, Value creation. Tujuh dimensi dalam Entrepreneur Marketing ditujukan untuk melihat kesinambungan antara faktor-faktor penting yang perlu diperhatikan untuk menghasilkan pemasaran yang optimal. Variabel entreprenural marketing mempunyai kontribusi positif terhadap daya saing sedangkan variable kebijakan pemerintah tidak signifikan terhadap daya saing. Berdasarkan diagram bobot dan rating setiap unsur matrik SWOT dapat diketahui bahwa posisi Industri Keripik Tempe Sanan pada saat ini berada pada kuadran II. Meskipun menghadapi berbagai ancaman, perusahaan masih memiliki kekuatan dari segi internal. Strategi yang harus diterapkan pada kondisi ini adalah menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang jangka panjang. Strategi diversifikasi produk dapat mengatasi persoalan pengembangan sentra UMKM Keripik Tempe Sanan agar mampu berkompetisi dalam meraih pangsa pasar produk olahan di MEA 2025. Keywords: UMKM, pangan, kelembagaan, entrepreneurial marketing, daya saing

PENDAHULUAN

Kemunculan konsep entrepreneurial marketing merupakan respon dari beberapa hasil penelitian yang

menunjukkan adanya ketidaksesuaian antara teori pemasaran tradisional dan praktek pemasaran pada

pelaku usaha kecil dan menengah, atau UKM (Ionita 2012). Berdasarkan kondisi tersebut diketahui bahwa

konsep pemasaran yang ada (pemasaran tradisional) yang awalnya dikembangkan untuk perusahaan besar,

tidak dapat langsung ditransfer ke dunia usaha kecil tanpa adaptasi. Hal itu atas dasar penerapan konsep

pemasaran oleh para pelaku IKM yang dipraktekkan dengan cara yang berbeda dari buku teks pemasaran

tradisional (Kraus et al. 2007). Hasil penelitian tersebut memberi gambaran bahwa dibutuhkan keberadaan

konsep pemasaran yang lebih sesuai dengan karakteristik khas yang dimiliki UKM.

Page 200: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

186 |

Kraus, et.al (2010) mendefinisikan Entrepreneurial Marketing adalah sebuah fungsi organisasi dan

seperangkat proses untuk menciptakan, mengkomunikasikan dan memberikan nilai kepada pelanggan dan

untuk mengelola hubungan pelanggan dengan cara yang menguntungkan organisasi dan stakeholder, dan itu

memiliki karakteristik dari innovativeness, risk-taking, proactiveness, dan mungkin dilakukan tanpa

sumberdaya yang terkendali. Morrish et al. (2010), menyebutkan konstruk dari Entrepreneurial Marketing tidak

sesederhana hubungan antara seperangkat proses marketing dan entrepreneurial yang muncul sebagai

konsep konvensional, tetapi meliputi keseluruhan aspek dari Administrative Marketing dan Entrepreneurship.

Kotler & Armstrong (2012) mengatakan bahwa dalam tahap awal, ketika perusahaan kecil, fleksibel dan

bersedia untuk mengalami hal-hal baru, sebuah tipe informal pemasaran dipraktekkan dan ini akan menjadi

Entrepreneurial Marketing.

Tujuan dari penilitian ini adalah mendapatkan gambaran terkait dengan IKM sektor pangan berbasis

agribisnis yaitu pada IKM Keripik Tempe Sanan, dan 2) mengidentifikasi faktor internal dan eksternal

perusahaan untuk merumuskan strategi yang sesuai.

METODOLOGI

Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif. Waktu dan tempat penelitian akan dilakukan di Sentra Kripik

Tempe Sanan yang berlokasi di Kabupaten Malang dari bulan Maret hingga Mei 2018. Tempat penelitian

ditentukan secara purposive dikarenakan industri ini merupakan salah satu bentuk agroindustri di bidang

pangan. Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data primer. Data primer diperoleh dari informasi

yang diberikan oleh pihak Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Malang dan Pengusaha UMKM Keripik

Tempe Sanan Kota Malang. Sebagian besar data primer berjenis informasi kualitatif. Pengumpulan data

primer pada penelitian ini dilakukan dengan metode wawancara.

Pemilihan contoh dilakukan dengan prosedur penarikan contoh non probabilitas dengan menggunakan

metode purposive sampling. Purposive sampling adalah teknik pengambilan sampel yang dilakukan secara

sengaja dengan pertimbangan tertentu yang mencerminkan representasi terhadap populasi atau judgment

para pakar untuk mencapai tujuan penelitian (Singarimbun dan Effendi 1995). Untuk menganalisis

permasalahan kedua terkait dengan faktor apakah yang memberikan hubungan terkuat dari ketujuh dimensi

tersebut pada sentra IKM Kripik Tempe Sanan dilakukan dengan mencari hubungan antar variable endogen (7

variabel EM) (Morris, Schindehutte & LaForge, 2002)

HASIL DAN PEMBAHASAN

7 Dimensi dalam Entrepreneur Marketing ditujukan untuk melihat kesinambungan antara faktor-faktor

penting yang perlu diperhatikan untuk menghasilkan pemasaran yang optimal. Dimensi tersebut terdiri dari:

1. Proactiveness adalah tingkat kemampuan menciptakan hubungan baik secara informal dan formal.

IKM Keripik Tempe Sanan telah mendapat dukungan dari pemerintah dalam hal ini adalah Dinas Perindustrian

dan Perdagangan Kota Malang. Dukungan tersebut adalah berupa alat, modal usaha dan pelatihan- pelatihan

dalam pembuatan keripik tempe. Para pengusaha tersebut telah menjalin hubungan yang baik selama

bertahun-tahun dengan pemberi bantuan. Mereka memiliki sebuah bentuk yayasan yang memudahkan

Page 201: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 187

sebagai wadah yang menyalurkan aspirasi dengan pemerintah. Dinas, mereka juga mendapatkan dukungan

dari pihak perbankan.

2. Opportunity focused adalah tingkat kemampuan membaca peluang pasar. IKM Keripik Tempe

Sanan telah melakukan analisis pasar secara sederhana. Mereka sangat yakin bahwa semenjak dibangunnya

kawasan sentra tersebut, dapat memusatkan perhatian pembeli dan konsumen terhadap kebutuhan

pembelian keripik tempe.

3. Calculated risk taking adalah tingkat kemampuan untuk mengkalkulasikan resiko terhadap pemasok

dan penjual produk (supplier). Jenis resiko tertinggi berdasarkan wawancara adalah resiko produksi dan resiko

dari manajemen sumber daya manusia. Resiko produksi dapat dilihat dari fluktuasi harga bahan baku tempe,

misalnya, adanya isu konversi gas tabung hijau yang digantikan gas tabung merah muda dengan harga yang

lebih mahal (Rp. 68.500/5 kilo), selanjutnya adalah bahan baku kedelai ini yang merupakan kedelai import.

Bahan baku tempe juga sangat riskan terhadap suhu yang ekstrim. Pengusaha tempe dapat menanggulangi

hal ini dengan adanya treatment khusus pada suhu tempe, sehingga tempe yang diproduksi menjadi

berkualitas baik dan mampu diproduksi lebih lanjut menjadi kripik tempe dengan cita rasa yang enak. Resiko

dalam manajemen tenaga kerja terkait dengan ketidakhati-hatian tenaga kerja dalam proses produksi.

Penanggulangan resiko ini adalah dengan cara memathui aturan kerja dalam pembuatan keripik tempe. Akses

kesehatan tenaga kerja dilakukan oleh paguyuban atau yayasan dengan mendaftarkan para tenaga kerja

untuk mengikuti BPJS.

4. Innovativeness adalah tingkat kemampuan berkreasi dan diversifikasi produk. Produk yang dijual

adalah Keripik tempe dan tempe. Namun demikian, Produk yang unggul adalah keripik tempe. Dulu sebelum

tahun 2010, tempe merupakan produk unggulan namun seiring berjalannya waktu dan perkembangan jaman

produk unggulan berubah menjadi keripik tempe yang dipasarkan sebagai oleh-oleh. Pengusaha keripik

tempe telah melakukan diversifikasi. Diversifikasi yang dilakukan adalah terdapat dua bentuk dalam produk

keripik tempe yaitu bentuk bulat dan kotak. Selain itu juga berat dari keripik tempe yang diproduksi dibedakan

menjadi dua yaitu berat 100 gram dan 200 gram. Sedangkan inovasi yang dilakukan adalah dengan membuat

dua bentuk produk keripik tempe yang berbeda yaitu bentuk bulat dan kotak, serta terdapat dua pilihan berat

produk yaitu 100 gram dan 200 gram. Usaha yang dilakukan untuk mempromosikan produk adalah dengan

mengikuti pameran di berbagai daerah, promosi melalui media sosial yaitu facebook, instagram dan website,

serta melalui liputan yang dimuat dalam kolom khusus IKM di media masa.

5. Resource leveraging adalah tingkat kemampuan untuk mengoptimalkan sumberdaya di IKM. Jumlah

karyawan yang dimiliki oleh setiap IKM adalah sekitar 5 -10 orang yang terdiri dari tenaga kerja laki-laki dan

tenaga kerja perempuan. Tenaga kerja laki-laki melakukan pengirisan, sedangkan tenaga kerja perempuan

melakukan penggorengan dan pengemasan. Pembagian kerja tersebut didasarkan pada keahlian dari masing-

masing tenaga kerja tersebut. Optimalisasi sumberdaya di IKM dilakukan dengan pelatihan kerja tiap 1 bulan

sekali, yang dinaungi oleh Dinas Industri. Pelatihan tersebut meliputi pelatihan mutu, kesehatan, dan

keterampilan produksi.

6. Consumer Intensity merupakan tingkat frekuensi mengikuti selera pelanggan. Consumer intensity

dilakukan dengan mencatat asal dari konsumen. Pelanggan produk Keripik Tempe Sanan ini berasal dari luar

kota seperti Aceh, Pontianak, Bengkulu hingga Papua yang mendapatkan informasi tsb dari internet. Pelangan

Page 202: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

188 |

yang berasal dari Malang, mendapatkan informasi dari tetangga ataupun internet. Kebanyakan dari konsumen

menyukai rasa original. Promosi diberikan oleh distributor atau penjual di hari-hari besar seperti jika membeli

pada jumlah tertentu akan mendapat potongan harga. Produksi massal pernah dilakukan untuk kebutuhan

ekspor. Namun hal ini memengaruhi kualitas rasa. Pemasaran dengan teknologi Informasi telah dilakukan,

pengusaha sudah memiliki beberapa jaringan informasi seperti website, akan tetapi menurut mereka

pemasaran yang paling menjual adalah melalui word of mouth yaitu dari pembeli sebelumnya. Media yang

telah gunakan untuk mempromosikan produk pengusaha dibagi menjadi 2 yaitu: Media secara offline media

massa, kerjasama dengan pemerintah, selain itu juga terdapat Media secara online yaitu website, Instagram,

google, facebook. Menurut beberapa pengusaha teknologi informasi sangat membantu dalam bisnis mereka

dikarenakan lebih efektif dalam memasarkan produk sehingga bisa menjangkau konsumen yang berada di

luar kota. Pengusaha IKM Keripik Tempe Sanan merasa sangat terbantu dengan adanya Google Map untuk

menunjukkan lokasi mereka, demikian pula sangat membantu dalam pemasaran produk.

7. Value creation adalah tingkat frekuensi pencarian informasi terhadap jenis produk baru oleh

konsumen. Permasalahan yang mendasar adalah bahwa para IKM tersebut tidak mendata konsumen yang

membeli produk Keripik Tempe namun demikian, mereka sudah mengenal pelanggan setia keripik tempe

mereka seperti sekolah, dinas, yang membeli dalam jumlah banyak untuk keperluan oleh-oleh. follow-up

secara berkala, dilakukan setiap 3 bulan sekali kepada pelanggan loyal tersebut terkait dengan apakah akan

memesan lebih lanjut. Pihak penjual menyediakan ruang kritik dan saran untuk konsumen yang didukung

dengan adanya website, supaya usaha kripik tempe Sanan kedepannya semakin lebih baik. Terkait value

creation produk, Penjual cukup sering mengikutkan produknya dalam pameran, terakhir mengikuti pameran

Malang Expo, paling jauh mengikuti pameran di Riau. Untuk membantu informasi kepada para pembeli,

penjual telah menyertakan keterangan lengkap kepada produk yang dijual berupa nama produk, rasa, ukuran,

harga, ijin PIRT dan contact person serta asal produk. Selalu ada Quality Control yang dilakukan. QC

dilakukan setiap hari untuk bahan baku dan rasa setelah mengalami proses pengolahan. Terdapat variasi

produk untuk rasa dan bentuk kripik tempe yang dijual, karena mengikuti selera pasar dan permintaan

langsung dari konsumen.

Analisis SWOT dilakukan dengan menganalisis faktor internal dan eksternal. Skor didasarkan pada

penilaian saat ini (tinggi atau rendah), sedangkan pembobotan dilakukan berdasarkan tingkatan penanganan.

Jika nilai pembobotan tinggi, maka sebuah faktor perlu ditangani dan juga sebaliknya. Adapun perhitungannya

adalah sebagai berikut:

Tabel 1. Analisis Faktor Internal IKM Sentra Kripik Tempe Sanan

No. Faktor-faktor Internal Pembobotan

Bobot Skor BxS

Strength 0,5

1. Produk Kripik Tempe Sanan memiliki harga yang terjangkau

0,125 4 0,5

2. Produk Kripik Tempe Sanan memiliki pelanggan khusus

0,125 3 0,375

Page 203: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 189

3. Kawasan Sentra memberikan kemudahan akses pemasaran bagi Pengusaha IKM Sanan

0,125 4 0,5

4. Pengusaha memiliki Paguyuban dan Asosiasi 0,125 3 0,375

1,75

Weakness

0,5

1. Produksi dilakukan secara tradisional 0,125 4 0,5

2. Pengusaha IKM memproduksi dengan kapasitas terbatas 0,125 2 0,25

3. Pengusaha memiliki modal terbatas dalam pengembangan usaha

0,125 4 0,5

4. Pengusaha Kripik Tempe memperhatikan selera konsumen dan telah melakukan riset pemasaran

0,125 3 0,375

S-W = 0,125 1 1,625

Tabel 2 Analisis Faktor Eksternal pada IKM Sentra Kripik Tempe Sanan

No. Faktor-faktor Eksternal Pembobotan

Bobot Skor BxS

Opportunity 0,6

1. Dukungan dari pihak Swasta dan Pemerintah 0,2 4 0,8

2. Pemasaran dengan media online 0,1 4 0,4

3. Kemudahan dalam mengakses kredit untuk investasi 0,1 3 0,3

4. Daya saing produk tinggi untuk pangsa pasar ekspor 0,2 3 0,6

2,1

Threat 0,4

1. peningkatan harga bahan pokok dalam usaha pembuatan keripik tempe 0,1 4 0,4

2. Persaingan antar pengusaha pengrajin kripik tempe 0,1 2 0,2

3. Adanya persaingan dengan produk kripik berbahan baku selain tempe

(kripik nangka, kripik singkong, dll)

0,1 1 0,1

4. Teknologi pengolahan yang semakin maju 0,1 4 0,4

Page 204: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

190 |

O-T = 1,99 1 0,11

Sumber: data diolah, 2018

Berdasarkan analisis pada faktor internal dan eksternal dapat dirumuskan sebuah strategi entrepreneurial marketing sebagai berikut:

STRATEGI SO

1. Diferensiasi Produk

2. Meningkatkan pelayanan konsumen

3. Pemanfaatan

media

massa untuk promosi

STRATEGI ST

1. Mengusahakan produksi kedelai dalam negeri untuk memenuhi pasokan bahan baku keripik tempe

2. Peningkatan

pelatihan bisnis

berbasis e commerce

STRATEGI WO

1. Memanfaatkan teknologi pengolahan untuk produksi masal

2. Memanfaatkan dukungan

pemerintah untuk

membantu permodalan

pengusaha

STRATEGI WT

1. Meningkatkan pemasaran dengan segmenting, targeting dan positioning

2. Memperluas pasar ke

luar kota dan luar negeri

Berdasarkan diagram tersebut penulis merekomendasikan untuk menggunakan strategi SO (Strengths

Opportunities Strategies) yaitu menggunakan kekuatan dalam memanfaatkan peluang dan peneliti juga

merekomendasikan alternatif strategi yaitu dengan menggunakan strategi diferensiasi. Bila perusahaan

memilih strategi ini, perusahaan berusaha untuk memiliki keunikan pada dimensi tertentu dari produk yang

mereka hasilkan, dimana keunikan tersebut dianggap bernilai oleh konsumen. Menurut Kotler (2012)

diferensiasi dapat dilakukan oleh perusahaan dalam lima dimensi yaitu diferensiasi produk, diferensiasi

layanan, diferensiasi personil, diferensiasi saluran dan diferensasi citra. Dari manapun sumber diferensiasi

yang dilakukan perusahaan, apabila pelanggan menganggap diferensiasi yang dilakukan perusahaan

merupakan sesuatu yang berharga maka pelanggan akan bersedia membayar produk dengan harga tinggi

disbanding pesaing. Untuk menjalankan strategi SO dapat dilakukan dengan cara lebih meningkatkan kualitas

pelayanan bagi para pelanggan dengan melakukan pengembangan terhadap software dan teknologi yang

digunakan, memperluas target pasar dengan melakukan strategi promosi melalui media sosial, aktif

memperbarui informasi mengenai software untuk mengedit foto dan video. Selain menggunakan strategi SO,

perusahaan juga menggunakan strategi diferensiasi yakni perusahaan berusaha untuk memiliki keunikan pada

dimensi tertentu dari produk yang mereka hasilkan, dimana keunikan tersebut dianggap bernilai oleh

konsumen.

Page 205: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 191

KESIMPULAN

Sentra Keripik Tempe Sanan merupakan bagian dari industri pengolahan pangan yang memiliki kajian

entrepreneurial marketing cukup baik, walaupun demikian terdapat kendala yang memerlukan strategi SO

agar mampu memberikan pelayanan baik kepada pelanggannya. Studi terkait agroindustry menjadi sangat

urgensi bagi penelitian selanjutnya mengingat maketing selalu berpacu terhadap perubahan era dan teknologi

yang semakin tinggi.

DAFTAR PUSTAKA

Ionita D. 2012. Entrepreneurial Marketing: A New Approach for Challenging Times. Journal of Management

and Marketing Kotler, Philip dan Armstrong, Gary. 2012. Principles of Marketing. New Jersey: Prentice Hall. Kraus S, Fink M, Rossl D, Jensen SH. 2007. Marketing in small and medium sized enterprises.International

Business Journal. 7(3). ISSN: 1546-2609. Kraus, S., Harms, R. And Fink, M. (2010), Entrepreneurial Marketing: Moving beyond Marketing in New

Ventures, International Journal of Entrepreneurship and Innovation Management, 11(1), pp.19-34. Morish,Sussie C., Miles, Morgan P. And Deacon, Jonathan H (2010), Entrepreneurial marketing:

acknowledging the enterpreneur and customer- centric interrelationship. Journal of strategic marketing Vol. 18, No.4, July 2010, 303-316.

Singarimbun, M. dan Sofyan E., 1995, Metode Penelitian Survei, Edisi. Revisi, PT. Pustaka LP3ES, Jakarta. Walidin, W., dkk. 2016. Metodologi Penelitian Kualitatif dan Grounded Theory. Banda Aceh: FTK Ar-Raniry

Press

Page 206: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

192 |

MOTIVASI PELAYANAN PUBLIK DAN KEPUASAN KERJA SEBAGAI PREDIKTOR

ORGANIZATIONAL CITIZENSHIP BEHAVIOR DALAM ORGANISASI PUBLIK SEKTOR

PERTANIAN

Hary Sastrya Wanto(1) , Endang Siswati(2)

(1) Universitas Wijaya Kusuma Surabaya (2)Universitas Hang Tuah Corresponding author: -

Penelitian ini berjutuan melihat hubungan variabel-variabel motivasi pelayanan publik, kepuasan kerja dan Organizational Citizenship Behavior. Untuk menguji hipotesis digunakanstatistik inferensial menggunakan model persamaan simultan. Sampel diambil secara acak 51orang dari anggota populasi yang berjumlah 71 orang. Hasil penelitian menujukkan bahwa motivasi pelayanan publik, kepuasan kerja baik secara simultan dan parsial berpengaruh positif dan signifikan terhadap Organizational Citizenship Behavior. Keywords: motivasi pelayanan publik, kepuasan kerja, Organizational Citizenship Behavior, persamaan simultan

PENDAHULUAN

Teori rational choice menyatakankan bahwa orang bekerja karena didorong oleh harapan untuk

memaksimalkan kepentingan pribadi.Menurut Houston (2006), dalam perkembangan teori tersebut telah gagal

untuk menjelaskan fenomena tersebut, melalauikehadiran teori perilaku pro sosial (prosocial behavior)

dilingkungan pelayansektor publik.Diantaranya dalam teori perilaku pro social, dinyatakan bahwa perilaku

didasarkan atas pilihan padareward intrisik dan ekstrinsik diantara pegawai pemerintah (Houston, 2000).

Perilaku pro sosial merupakan istilah lain dari Organizational Citizenship Behavior (OCB) atau Extra-Role

Behavior yang diformat di luar sisi dari pembagian atau spesifikasi kerja (Morison dalam Davis, 2006). OCB

merupakan perilaku individu yang bebas, tidak dipengaruhi secara langsung atau eksplisit dengan sistem

reward dan mau terlibat meningkatkan fungsi efektivitas organisasi. Di sisi lain, OCB ditemukan sebagai

alternatif penjelasan pada hipotesis "kepuasan berdasarkan performance" (Organ and Ryan, 1995).Demikan

pula, munculnya teoriMotivasi Pelayanan Publik (MPP)yang dikembangkan oleh Perry (2000) menambah

khazanah motif berperilaku.Oleh karena itu, fenomena akan stigma negatif terhadap pelayanan public

khususnya dalam problematika menajamen pelayanan public di Indonesia yang bisa dijawab dengan banyak

pendekatan sikap dan perilaku.

Menurut Perry (2000), cakupan teori motivasi pelayanan publik lebih luas dibanding teori rational choice,

bahwa MPP didasarkan atas gagasan di mana individu ―termotivasi oleh banyak dorongan atau

kecenderungan,‖. Oleh karena itu, penting untuk mengembangkan skala pengukuran yang lebih banyak

sehingga bisa merefleksikan kajian konseptual yang lebih terukur.

Page 207: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 193

Hubungan Motivasi Pelayanan Publik terhadap Kepuasan Kerja dan Organizational Citizenship

Behavior

Perry dan Hondegem(2008) menyatakan bahwa dalam dua dekade akhir ini, studi MPP telah

berkembang dan menjadi banyak perhatian para ilmuwan peneliti, tema MPP banyak dikonstruksikan dalam

riset di barat untuk mencari dan mengembangkan model ideal, pengembangan ilmu administrasi dan

manajemen publik.

Perry & Wise (1990) mendefinisikan motivasi pelayanan publik dipahami sebagai kecenderungan individu

dalam merespon kepentingan publik sebagai motivasi utama di dalam organisasi.Perry (1996)

mengembangkan empat dimensi skala pengukuran yaitu:Keterlibatan dalam Pembuatan Kebijakan Publik

(attraction to Public policy making), Komitmen pada Kepentingan Publik(commitment to the public interest),

Solidaritas (self-sacrifice)dan Patriotisme(compassion).

MPP sebagai dasar tindakan dan perilaku meraih pencapai outcome pelayanan kepentingan publik

(Pandey danStazyk, 2008). Teori MPP ditemukan berhubungan positif pada sikap dan perilaku kerja (Perry

dan Hondegem, 2008). Dalam studi sebelumnya, Kim (2006) menunjukkan bahwa MPP berdampak signifikan

terhadap kepuasan kerja.

Ada banyak pengertian tentang tentang kepuasan kerja (job satisfaction), kepuasan kerja didefinisikan

sebagai acuan dari sikap individu secara umum terhadap pekerjaannya (Robbins, 2002). Kepuasan kerja

adalah keadaan emosi yang positif dari pengevaluasian pengalaman kerja seseorang (Mathis dan Jackson,

2001).

Penelitian berikutnya dilakukan oleh Liu and Tang (2011),Kim (2012) Cun (2012),Taylor (2014),

Homberg and Tabvuma (2015) Quratulain and Khan (2015) menemukan terdapat pengaruh signifkan antara

Motivasi Pelayanan Publik dan Kepuasan Kerja.

Berdasarkan studi tersebut, maka penelitian ini mengusulkan hipotesis 1:―Motivasi Pelayanan Publik

berpengaruh signifikan terhadap Kepuasan Kerja‖.

Hubungan antara MPP dengan sikap dan perilaku terus dikembangkan oleh banyak peneliti, misalnya

antara MPP dan Organizational Citizenship Behaviour.

Organizational Citizenship Behavior (OCB) merupakan kontribusi individu yang mendalam melebihi

tuntutan peran di tempat kerja dan di-reward oleh perolehan kinerja tugas.OCB melibatkan beberapa perilaku

meliputi perilaku menolong orang lain, menjadi volunteer untuk tugas-tugas ekstra (extra role), patuh terhadap

aturan dan prosedur di tempat kerja (Aldag & Resckhe, 1997).OCB merupakan sebagai perilaku individu yang

bebas, tidak dipengaruhi secara langsung atau eksplisit dengan sistem reward dan bisa meningkatkan fungsi

efektif organisasi. OCB ditemukan sebagai alternatif penjelasan pada hipotesis "kepuasan berdasarkan

performance" (Organ and Ryan, 1995). Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa OCB

merupakan perilaku yang bersifat sukarela yang mengedepankan kepentingan organisasi, sebagai wujud dari

kepuasan berdasarkan performance, yang tidak diperintahkan secara formal.

Cun (2012,) danCoursey et al., (2012) telah membuktikan terdapat hubungan signifikan antara MPP

dengan OCB. Demikian pula, Emerson (2014), Mostafa et al.,(2015), Koumenta (2015) Esteve et al., (2016)

menemukan bahawa Motivasi Pelayanan Publik berpengaruh signifikan terhadap Organizational Citizenship

Behaviour(OCB). Berdasarkan studi tersebut, maka penelitian ini mengusulkan hipotesis 2:

Page 208: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

194 |

―Motivasi Pelayanan Publik berpengaruh signifikan terhadapKepuasan Kerja dan Organizational

Citizenship Behavior(OCB)

Keberpihakan pelayanan masyarakan secara umum diawali dengan perilaku yang pro peduli pada

pelayanan masyarakat.OCB adalah pro-social atau extra-role behavior dibentuk di luar sisi dari pembagian

atau spesifikasi kerja (Morison dalam Davis, 2006).Dalam sebuah penelitian sebelumnya OCB secara empirik

menunjukkan dipengaruhi oleh MPP. Para peneliti terus mengembangkan yang bisa berdampak pada

kontribusi OCB, seperti dalam studi Murphy (2002), Gonzales & Garazo (2006), Najafi et al.,(2011), Huang et

al., (2012) yang menemukan bahwa kepuasan kerja berpengaruh positif terhadap OCB.Meskipun penelitian

sebelumnya oleh Kim (2006) danMogotsi et al., (2011)juga membuktikan sebaliknya bahwa kepuasan kerja

tidak berdampak signifikan terhadap OCB.

Berdasarkan studi tersebut, maka penelitian ini mengusulkan hipotesis 3 dan 4:

―Kepuasan kerjaberpengaruh signifikan terhadap OCB

―Motivasi pelayanan publik dan kepuasan keja secara simultan berpengaruh signifikan terhadap OCB‖

METODOLOGI

Research Approach

Studi ini bertujuan untuk menjelaskan kedudukan variabel-variabel yang diteliti serta hubungan dan

pengaruh antara satu variabel yang satu dengan variabel yang lain melalui proses pegujuan hipotesis.

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pegawai Dinas Pertanian, Kota Surabaya. Jumlah

populasi pegawai dinas pertaanian kota Surabaya adalah 75 orang,sementara jumlah sampel dalam studi ini

adalah seluruh pegawai yang berstatus pegawai negeri sipil adalah 51 orang.

Measuring Instruments

1.Motivasi Pelayanan Publik (X).

Motivasi Pelayanan Publik (MPP) dipahami sebagai kecenderungan individu untuk merespon

kepentingan publik sebagai motivasi utama atau unik di dalam lembaga publik . MPP diukur berdasarkan skor

responden atas empat indikator yang dikembangkan oleh Perry (1996): Keterlibatan dalam Pembuatan

Kebijakan Publik (Attraction to public policy making, Komitmen pada Kepentingan Publik (commitment to the

public interest), Solidaritas (self-sacrifice), dan Patriotisme (compassion). Berikut ini adalah definisi empat sub

dimensi dari MPP:

1) Keterlibatan dalam Pembuatan Kebijakan Publik(X1), keinginan individu untuk berpartisipasi dalam

proses pembuatan kebijakan organisasi yang disikapi dengan rasa bahagiah yang berhubungan dengan

proses kebijakan dan keyakinan individu akan arti penting peran pemerintah di masyarakat. Indikator terdiri

atas: Perspektif politik (X1.1), Ketertarikan kebijakan public (X1.2), Perhatian pada politik (X1.3).

2) Komitmen pada Kepentingan Publik (X2), adalah sikap peduli (altruistik) individu yang berkeinginan

untuk melayani bagi kepentingan masyarakat. Indikator terdiri atas: Kepedulian lingkungan kerja (X2.1),

Prioritas kepentingan (X2.2), Pentingnya pelayanan public (X2.3), Kinerja pejabat publik (X2.4), Tugas

pelayanan publik (X2.5).

Page 209: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 195

3) Solidaritas (X3) adalah kesedian individu untuk mengedepankan kepentingan orang lain di atas

kepentingan pribadi (altruism), sikap ikut merasakan perasaan orang lain (empati), dan perilaku prosocial

lainnya. Indikator terdiri atas: Solidaritas penderitaan orang (X3.1), Kepentingan program social (X3.2),

Keperihatinan sesama(X3.3),Dukungan kesejahteraan (X3.4), Memikirkan kebahagian orang(X3.5),Arti

penting sesama (X3.6),Kepedulian pada orang yang cuek (X3.7),Dukungan program public (X3. 8),

4) Patriotisme (X4) adalah kecintaan individu terhadap warga Negara dan menyakini bahwa hak

masyarakat harus dilindungi. Indikator terdiri atas: Arti konpensasi (X4.1), Peluang berkarir (X4.2), Pekerjaan

menarik(X4.3),Bekerja mandiri (X4.4),Peluang membantu orang (X4.5), Pekerjaan berguna(X4. 6),Fleksibilitas

bekerja (X4.7), Impian bekerja(X4.8).

2.Kepuasan Kerja (Y1)

Kepuasan kerja yang dimaksudkan dalam studi ini sebagai acuan dari sikap individu secara umum

terhadap pekerjaannya itu sendiri. Berkaitan di mana pekerjaan memberikan tugas yang menarik, kesempatan

untuk belajar, dan kesempatan untuk menerima tanggung jawab. Studi ini akan menggunakan 8 indikator Job

Description Index oleh Smith dan Hulin (1969), yaitu: 1). Kesesuaian Gaji (Y1.1), 2). Waktu penggajian (Y1.2),

3). Prestasi dalam promosi kerja (Y1.3), 4). Pengembangan SDM (Y1.4), 5). Daya tarik pekerjaan (Y1.5), 6).

Proporsionalitas tanggung jawab (Y1.6), 7). Efektifitas pengawasan (Y1.7), 8). Perlakuan atasan (Y1.8).

3. Organizational Citizenship Behavior(Y2)

Organizational Citizenship Behavior(OCB)merupakan perilaku yang bersifat sukarela yang

mengedepankan kepentingan organisasi, sebagai wujud dari kepuasan berdasarkan performance, yang tidak

diperintahkan secara formal dan perilaku tersebut berdasarkan subjektif aktor.Studi ini menggunakan 10

indikator oleh Podsakoff et al., (dalam Davis, 2006), yang meliputi: 1). Prioritas masalah (Y2.1), 2). Tindakan

menghadapi masalah (Y2.2), 3). Menjaga citra organisasi (Y2.3), 4). Partisipasi dalam kegiatan (Y2.4), 5).

Pemikiran positif (Y2.5), 6). Usaha pencegahan masalah (Y2.6), 7). Kepedulian pada rekan kerja (Y2.7), 8).

Kepedulian pendidikan (Y2.8), 9). Kataatan terhadap aturan (Y2.9), 10). Keyakinan terhadap tindakan (Y2.10)

Uji Validitas Reliabilitas Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian dinyatakan valid jika memliki nilai Meyer Olkin Measure of sampling Adequase (KMO

MSA).>0,5 dan faktor loading 0,5-0,6 (Hair et al 2010). Berdasarkan hasil uji validitas variabel Motivasi

Pelayanan Publik diperoleh nilai KMO MSA 0,635 dengan komponen matrik indikator lebih besar dari 0,6.

Hasil uji validitas variabel Kepuasan Kerja (Y1) diperoleh nilai KMO MSA 0,672 dengan komponen matrik

indikator lebih besar dari 0,6. Hasil uji validitas variabelOrganizational Citizenship Behavior(Y2) diperolrh nilai

KMO MSA 0,647 dengan komponen matrik indikator lebih besar dari 0,6 dengasn demikian instrumen

penelitian ini dapat dikatakan valid.

Berdasarkan hasil uji reliability instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini dinyakan rebialel

karena hasil uji Alfa Cronbah‘s = 0,653 > 0,50

Metode Analisis Data

Berdasarkan kerangka konseptual yang dituangkan pada model yang dikembangkan dalam penelitian ini

tergolong model persamaan simultan. Berdasarkan model itu, dapat ditulis persamaan sebagai berikut:

KK = ao + a1 MPP

Page 210: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

196 |

OCB = bo + b1 MPP

OCB = co + c1 KK

OCB = do + d1 MPP + d2 KK

Ket : OCB : Organizational Citizenship Behavior

KK : Kepuasan Kerja

MPP : Motivasi Pelayanan Publik

Untuk menganalisis koefisien persamaan tersebut dapat dilakukan dengan analisis regresi linear

berganda dengan OLS dua tahap.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Uji Penyimpangan Asumsi Klasik

Dalam menganalisis model persamaan simultan dengan metode OLS terlebih dahulu dilakukan pengujian

asumsi klasik agar hasil perhitungan koefisien regresi dapat dipercaya. Pengujian asumsi klasik pada

penelitian ini meliputi uji normalitas, uji heteroscdastik dan uji multikolinearity, sedaangkan uji autokorelasi

tidak dilakuakan karena data yang digunakan adalah data primer yang diperoleh langsung bersarkan

instrumen penelitian yang terstruktur.

Berdasraaakan uji normalitas dengan mengunakan uji Kolmogorov-Smirnov Z untuk MPP = 1,383, KK =

1,21 dan OCB = 0,916. Hasil uji terbut lebih besar dari 0,05 dengan demikian data yang digunakan tergolong

normal.

Untuk menlihat heteroscedastik digunakan analisis ouput scatterplots, berdasarkan analisis ini

didapatkan tidak terdapat heteroscedastik karena (1) titik-titik penyebar dibawah atau disektar angka nol, (2)

titik-titik tidak mengumul dan (3) penyebaran titik-titk tidak berpola.

Selanjutnya untuk mendeteksi adanya multikoliearity dilihat nilai Tolerance dan Varience Inflating Faktor.

Berdasarkan hasil hasil perhitungan variabel prediktor yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh bahwa

nilai tolerance lebih besar dari 0,1 dan nilai VIF lebih kecil dari 10, dengan demikian variabel prediktor dalam

penelitian ini bebas dari multicolinearity.

Pengaruh Motivasi Pelayanan Publik terhadap Kepuasan Kerja

Hasil uji statistik mengunakan persamaan regresi linear model persamaan yang digunakan secara

statistik sudah benar karena nilai keefisien determinasi 0,43 >0,3 untuk data skala likert (Solimun 2010),

dengan demikian model ini sudah sesuai sebagai model analisis. Koefisien regresi bernilai positif dengan dilai

t hitung 2,31 dengan tingkat kesalahan 2,2%, dengan demikian motivasi pelayanan publik berpengaruh

signifikan terhadap kepuasan kerja, makin baik motivasi makin meningkat kepusan kerja pegawai hasil

penelitian ini mendukung penelitian yang dilakukan oleh Liu and Tang (2011),Kim (2012) Cun (2012),Taylor

(2014), Homberg and Tabvuma (2015) Quratulain and Khan (2015) yang membuktikan bahwa MPP

berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepuasan kerja.

Page 211: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 197

Pengaruh Motivasi Pelayanan Publik terhadap Organizational Citizenship Behavior

Koefisien determinasi pada model persamaan 2 adalah 0,47> 0,3, berarti model ini secara statistik

merupakan model yang sesuai sebagai model analisis. Hasil perhitungan koefien regresi bernilai positif degan

pengertian makin baik motivasi pelayan publik bagi pegawai makin baik pula Organizational Citizenship

Behavior. Hasil uji statistik statistik menujukkan bahwa nilai t hitung 2,29 dengan tingkat kesalahan 2,2%

dengan demikianmotivasi pelayan publik berpengaruh signifikan terhadap Organizational Citizenship Behavior.

Hasil penelitian ini sesuai dengan studi yang dilakukan Cun (2012,) danCoursey et al., (2012) telah

membuktikan terdapat hubungan signifikan antara motivasi pelayanan publik denganOrganizational

Citizenship Behavior.Hasil penelitian ini juga menguatkan penelitian yang dilakukan oleh Emerson (2014),

Mostafa et al.,(2015), Koumenta (2015) Esteve et al., (2016) yang mengatakan bahwa Motivasi Pelayanan

Publik berpengaruh signifikan terhadap Organizational Citizenship Behaviour.

Pengaruh Kepuasan Kerja terhadap Organizational Citizenship Behavior

Kepuasan kerja dalam penelitian ini berpengaruh signifikan terhadap Organizational Citizenship

BehaviourBerdasarkan hasil perhitungan menunjukkan bahwa koefisien regresi kepuasan kerja bernilai postif

dan signifikan (t hitung 3,01 dengan tingkat kesalahan 0,07%). Dengan demikian apabila kepusasn kerja

meningkat maka Organizational Citizenship Behaviour makin baik. Hasil penelitian ini mendukung studi yang

dilakukan Murphy (2002), Gonzales & Garazo (2006), Najafi et al.,(2011), Huang et al., (2012) yang

menemukan bahwa kepuasan kerja berpengaruh positif terhadap Organizational Citizenship Behavior,namun

penelitian ini tidak mendukung penelitian sebelumnya yang dilakukan Kim (2006) danMogotsi et al., (2011)

dengan membuktikan sebaliknya bahwa kepuasan kerja tidak berpengaruh signifikan terhadap Organizational

Citizenship Behavior

Pengaruh Motivasi Pelayanan Publik dan Kepuasan Kerja terhadap Organizational Citizenship

Behavior

Model persamaaan hubungan pengaruh motivasi pelayanan publik dan kepuasan kerja terhadap

Organizational Citizenship Behavior dalam model persamaan regresi merupakan persamaan tepat sebagai

model analisi, koefisien determinasinya 0,46 > 0,3, dengan demikian variasi motivasi pelayanan publik dan

kepuasan kerja dapat menjelaskan variasi Organizational Citizenship Behavior. Hasil uji F 6,589 dengan

tingkat kesalahan 0,3% ini berarti motivasi pelayanan publik dan kepuasan kerja secara simultan berpengaruh

positif dan signifikan terhadap Organizational Citizenship Behavior. Motivasi pelayanan publik secra parsial

berpengaruh positif dan signifikan terhadap Organizational Citizenship Behavior (t hitung 3,03 dengan tingkat

kesalahan 0,4%), begitu juga kepuasan kerja berpengaruh postif dan signifikan terhadap Organizational

Citizenship Behavior(t hitung 2,27) dengan tingkat kesalahan 0,28).

Hasil penelitian ini menguatkan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Cun (2012,), Coursey et al.,

(2012),Emerson (2014), Mostafa et al.,(2015), Koumenta (2015) Esteve et al., (2016) yang mengatakan

bahawa Motivasi Pelayanan Publik berpengaruh signifikan terhadap Organizational Citizenship Behaviour.

Penelitian ini juga mendukung hasil penelitian Murphy (2002), Gonzales & Garazo (2006), Najafi et al.,(2011),

Page 212: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

198 |

Huang et al., (2012),yangmembuktikan bahwa kepuasan kerja berpengaruh signifikan terhadap

Organizational Citizenship Behavior.

KESIMPULAN

1. Motivasi pelayanan publik dan kepuasan keja secara simultan berpengaruh positif dan signifikan terhadap

Organizational Citizenship Behavior

2. Motivasi pelayanan publik secara parsial berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepuasan kerja

3. Motivasi pelayanan publik secara parsial berpengaruh positif dan signifikan terhadap Organizational

Citizenship Behavior

4. Kepuasan keja berpengaruh secara parsial positif dan signifikan terhadap Organizational Citizenship

Behavior

Rekomendasi

1. Berdasarkan hasil penelitian disarankan Organisasi pelayanan publik memperhatikan variabel motivasi

pelayanan publik dan kepuasan kerja untuk meningkatkan kinerja pegawai.

2. Penelitian akan datang perlu modifikasi model dengan menambahkan lain sehingga dapat memperkaya

pengetahuan yang berkaitan dengan OCB, selain perlu mengubah obyek penelitian karena di Indonesia

banyak kegaman lokal yang mungkin dapat menghasilkan kesimpulan yang berbeda.

DAFTAR PUSTAKA

Houston, David J. 2000. Public Service Motivation: A Multivariate Test. Journal of Public Administration

Research and Theory 10(4): 713-728.

Houston, David J. 2006. ―Walking the Walk‖ of Public Service Motivation: Public Employees and Charitable

Gifts of Time, Blood, and Money. Journal of Public Administration Research and Theory 16(1): 67-86.

Davis, Victoria. 2006. Relationships among Subjective Workplace fit perception, Job Satisfaction,

Organizational Citizenship Behavior, Organizational Commitment, and Turnover Intentions.

Dissertation. California, Alliant International University

Organ, D. andRyan, K. 1995.A meta-analytic review of attitudinal and dispositional predictors of organizational

citizenship behavior.Personnel Psychology, Vol. 48, pp. 775-802.

Pandey, Sanjay K., and Edmund G. Stazyk. 2008. Antecedents and Gorrelates of Public Service Motivation. In

Motivation in Public Management, edited by James

Perry, J.L. and Wise, R. 1990. ―The Motivational Bases of Public Service‖, Public Administration Review, Vol.

50 No. 3, pp. 367-73 [22]

Perry, J.L. 1996, ―Measuring public service motivation: an assessment of construct reliability and validity‖,

Journal of Public Administration Research and Theory, Vol. 6 No. 1, pp. 5-22

Perry, J. L. 2000. Bringing Society In: Toward a Theory of Public-Service Motivation. Journal of Public

Administration Research and Theory 10(2): 471488.

Page 213: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 199

Perry,J.LandHondeghem,A.(2008),―MotivationinPublicManagement:TheCallforPublicService, Oxford

University, Oxford.

Mogotsi, I.C.,Boon, J.A..,Fletcher, L (2011). Modelling the Relationships between Knowledge Sharing,

Organisational Citizenship, Job Satisfaction and Organizational Commitment among School Teachers

in Botswana. Afr. J. Lib, Arch. & Inf.Sc. Vol.21, No. 1 (2011) 41-58

Najafi, Sajjad., Noruzy, Ali., Azar, Hemin Khezri., Nazari-Shirkouhi, S., Dalvand M.R. (2011). Investigating the

relationship between organizational justice, psychological empowerment, job satisfaction,

organizational commitment and organizational citizenship behavior: An empirical model. African

Journal of Business Management Vol.5 (13), pp. 5241-5248.

Murphy, Gregory., Athanasou, James., King, Neville (2002). Job satisfaction and organizational citizenship

behaviour: A study of Austalian human-service professionals Journal of Managerial Psychology. Vol.

17 No. 4, 287 - 297

Huang, Chun-Chen.,You, Ching-Sing.,Tsai, Ming-Tien (2012). A multidimensional analysis of ethical climate,

job satisfaction, organizational commitment, and organizational citizenship behaviors. Nursing Ethics

19(4) 513–529

Gonzales, Jose Varella and Garazo, Teresa Garzia. 2006. ―Structural Relationship Between Organizational

Service Orientation, Contact Employee Job Satisfaction And Citizenship Behaviour‖, International

Journal Of Service Industry Management, Vol.17 No.1, pp.23-50

Kim, Sangmook. 2006. ―Public Service Motivation And Organizational Citizenship Behaviour In Korea‖,

International Journal of Manpower, Vol. 27 No. 8, pp.722-740

Cun, X. (2012). Public service motivation and job satisfaction, organizational citizenship behavior: An

empirical study based on the sample of employees in Guangzhou public sectors. Chinese

Management Studies, 6(2):330-340.

Esteve, M., Urbig, D., Wittleloostujin, A., and Boyne, G. (2016).Prosocial behavior and public service

motivation. Public Administration Review, 76(1):177.

Koumenta, M. (2015).Public service motivation and organizational citizenship. Public Money & Management

35(5): 341-348.

Coursey, D., Pandey, S.K., and Yang, K. (2012). Public service motivation (PSM) and support for citizen

participation: A test of Perry and Vandenabeele‘s reformulation of PSM theory. Public Administration

Review, 72(4):572-582.

Hair et al (2010)

Homberg, F., McCarthy, D., and Tabvuma, V. (2015).A meta-analysis of the relationship between public

service motivation and job satisfaction. Public Administration Review, 75(5): 711-722.

Mostafa, A.M.S., Gould-Williams, J.S., and Bottomley, P. (2015). High-performance human resource practices

and employee outcomes: the mediating role of public service motivation. Public Administration Review

75(5): 747-757.

Quratulain, S. and Khan, A.K. (2015). How does employee‘s public service motivation get affected? A

conditional process analysis of the effects of person-job fit and work pressure. Public Personnel

Management, 44(2):266

Page 214: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

200 |

Taylor, J. (2014). Public service motivation, relational job design, and job satisfaction in local government.

Public Administration, 92(4): 902-918.

Kim, S. (2012). Does person-organization fit matter in the public sector? Testing the mediating effect of

person-organization fit in the relationship between public service motivation and work attitudes. Public

Administration Review, 72(6):830-840.

Liu, B., and Tang, T.L. (2011). Does the love of money moderate the relationship between public service

motivation and job satisfaction? The case of Chinese professionals in the public sector. Public

Administration Review, 71(5):718-727

Aldag, R and Resckhe, W. 1997. Employee Value Added. New-York.Center for Organizational Effevtiveness

Inc.

Mathis, Robert L and Jackson, John H. 2001.Manajemen Sumber Daya Manusia. Alih Bahasa Sadel, Jimmy

dan Hie, Bayu P. Edisi Pertama. Jakarta. Salemba Empat.

Robbins, Stephen(2002). Prinsip-prinsip Perilaku Organisasi. Alih Bahasa, Halida, Dewi Sartika. Edisi

kelima.Jakarta. Erlangga

Solimun (2010) Analisis Statistik dengan Struktural Equation Modeling, UB Press Malang

Smith, P., Kendall, L. and Hulin, C. 1969. The Measurement of Satisfaction in the Work and

Retirement.Chicago.Rand McNally.

Page 215: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 201

STRATEGI INDUSTRIALISASI PERTANIAN

DALAM BENTUK PEMBANGUNAN AGRIBISNIS

MERUPAKAN SOLUSI MENSEJAHTERAKAN RAKYAT

Markus Patiung

Universitas Wijaya Kusuma Surabaya, Indonesia [email protected]

PENDAHULUAN

Semua bangsa di dunia memiliki potensi sebagai anugerah dari Tuhan. Dan Potensi inilah yang harus

dikelolah dan dikembangkan dengan baik oleh pemerintah agar rakyatnya makmur dan sejahtera. Indonesia

memiliki potensi Sumber Daya Alam (SDA) yakni Kehutanan, Perkebunan, Peternakan, Perikanan dan

Tanaman Pangan yang kemudian negara Indonesia dikenal sebagai negara agraris/pertanian/agtribisnis.

Ketika suatu negara mengelola diluar potensi yang dimiliki, maka disitulah negara itu jatuh miskin. Karena

mengelolah suatu negara di luar dari potensi yang dimiliki akan membutuhkan biaya yang tinggi, produk yang

dihasilkan sulit bersaing dengan negara lain, dan lain sebagainya.

Para ahli/pakar mengatakan bahwa : Cara yang paling tepat untuk mengembangkan perekonomian

nasional agar rakyatnya sejahtera adalah mengembangkan kegiatan ekonomi yang menjadi tumpuan

kehidupan ekonomi sebagian besar rakyatnya. Indonesia (60-70%) penduduknya hidup disektor pertanian.

Oleh karena itu sektor Agribisnis harus menjadi tolak ukur/tulang punggung ekonomi nasional. Untuk itu

strategi industrialisasi yang harus dikembangkan adalah strategi industri pertanian dalam bentuk

pembangunan agribisnis.

Permasalahan yang terjadi di Bangsa Indonesia adalah potensi yang dimiliki (kehutanan, perkebunan,

peternakan, perikanan dan tanaman pangan) bangsa Indonesia tidak dikelolah dengan baik, bahkan sebagian

besar potensinya mengalami kerusakan. Salah satu contoh misalnya sub-sektor kehutanan, hutan Indonesia

telah mengalami kerusakan dan tidak pernah dilakukan reboisasi. Sub-sektor tanaman pangan, lahan-lahan

produktif terlalu banyak yang telah beralih fungsi menjadi lahan non pertanian. Sub-sektor perikanan, laut

sebagai perikanan tangkap tidak dikelola dengan baik. Sub-sektor peternakan, kebanyakan induan dipotong

sehingga sulit untuk memproduksi kususnya pedaging.

PEMBAHASAN

Untuk mensejahterakan rakyat Indonesia hanya ada satu cara yakni mengembalikan pengelolaan potensi

Sumber Daya Alam (Kehutanan, Perkebunan, Peternakan, Perikanan, dan Tanaman Pangan) secara optimal.

Karena itulah potensi yang dimiliki bangsa Indonesia. Dewasa Ini Terdapat dua Pilihan Strategi Industrialisasi

yang berkembang di masyarakat Indonesia : (1) Strategi Industrialisasi Dengan Industri Teknologi Tinggi

(Hightech Industry). Industry yang dikembangkan adalah industri pesawat terbang, industry perkapalan,

Page 216: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

202 |

industri otomotif dan lain-lain. Terdapat beberapa kelemahan dari strategi industrialisasi ini antara lain adalah

bahwa untuk mendukung strategi ini diperlukan mutu SDM yang tinggi yang justru belum mampu dipenuhi

oleh SDM Indonesia saat ini. Kemudian industri yang menjadi pilihan bagi strategi ini belum memiliki industri

pendukung dalam negeri sehingga harus mengimpor. (2) Strategi industrialisasi pertanian dalam bentuk

pembangunan agribisnis. Ide dasar dari strategi ini adalah bahwa pembangunan agribisnis sebagai bentuk

industrialisasi pertanian merupakan kelanjutan dari pembangunan pertanian sebelumnya dengan orientasi

peningkatan produktivitas dan nilai tambah. Cara yang paling tepat untuk mengembangkan perekonomian

nasional adalah mengembangkan kegiatan ekonomi yang menjadi tumpuan kehidupan ekonomi sebagian

besar rakyat dan mampu mengakomodir keadaan sumber daya manusia yang ada.

Strategi industrialisasi yang bijaksana adalah strategi yang mampu mewujudkan konsistensi kinerja mikro

dengan kinerja makro. Dan suatu Negara akan mampu memanfaatkan peluang ekonomi di pasar internasional

khususnya pada era perdagangan bebas bila Negara yang bersangkutan mampu menghasilkan produk yang

dibutuhkan di pasar internasional dan memiliki basis sumber daya di dalam negeri (domestic resources

based).

Pengalaman pembangunan ekonomi masa lalu menunjukkan bahwa sektor agribisnis telah memberikan

kontribusi yang besar dalam perekonomian nasional. Peranan klasik dari sektor agribisnis dalam

perekonomian nasional adalah penyediaan bahan pangan bagi penduduk Indonesia yang saat ini berjumlah ±

220 juta jiwa. Penyediaan bahan pangan disini menyangkut dimensi luas seperti jumlah, jenis dan kualitas,

ruang (distribusi) dan waktu (setiap hari sepanjang tahun). Dengan peranan sektor agribisnis sebagai

penyedia bahan pangan yang relatif murah, telah memungkinkan biaya hidup di Indonesia tergolong rendah di

dunia. Relatif rendahnya biaya hidup di Indonesia telah menjadi salah satu daya saing perekonomian nasional.

Kemudian dengan penyediaan bahan pangan yang cukup dan stabil yang diperankan oleh sektor agribisnis,

telah memberikan sumbangan yang besar bagi stabilitas ekonomi, sosial politik, sehingga secara keseluruhan

menyumbang pada terciptanya iklim kondusif bagi pembangunan disegala bidang.

penyediaan lapangan kerja di Indonesia, sektor agribisnis mempunyai kontribusi sangat besar dan

terbesar diantara sektor-sektor yang ada. sebagaimana dikemukakan sebelumnya, dengan jumlah angkatan

kerja 98 juta jiwa sekitar 45% diserap oleh sub-sektor pertanian primer. Bila jumlah angkatan kerja pada sub-

sektor agribisnis baik hulu, hilir dan penunjang diperhitungkan, maka paling sedikit 65% dari total angkatan

kerja nasional diserap oleh sektor agribisnis. dengan rata-rata jumlah anggota keluarga 4 orang, maka

diperkirakan 70 % dari jumlah penduduk Indonesia, menggantungkan kehidupan ekonominya pada sektor

agribisnis.

Peranan sektor agribisnis dalam ekspor nasional juga cukup besar dan pangsanya meningkat. Besarnya

kontribusi sektor agribisnis dalam total nilai ekspor nasional menunjukkan bahwa sektor agribisnis masih

andalan penerimaan devisa Negara sampai saat ini, seyangnya belum diupayakan secara optimal.

Meningkatnya pangsa ekspor agribisnis tersebut, mengindikasikan bahwa sektor agribisnis mampu melampaui

pertumbuhan pangsa sektor ekonomi lainnya dalam menyumbang ekspor.

Sektor agribisnis yang menghidupi sebagian besar rakyat Indonesia, ditambah dengan kontribusinya

yang besar pada ekspor, menunjukkan bahwa sektor agribisnis merupakan penyumbang terbesar bagi

pertumbuhan ekonomi yang selama ini tumbuh rata-rata 7,0 persen per tahun.

Page 217: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 203

Di masa yang akan datang, sektor agribisnis Indonesia masih memiliki prospek pengembangan yang

cukup luas dan dukungan pasar yang cukup potensial. Prospek sektor agribisnis ini dapat ditelusuri dari sisi

penawaran dan permintaan.

Dari sisi penawaran, prospek ekonomi pengembangan sektor agribisnis di Indonesia dapat dijelaskan

sebagai berikut :

1. Indonesia memiliki sumber daya dasar agribisnis seperti iklim tropis, keanekaragaman hayati

(biodiversity), baik yang ada di daratan maupun yang ada di perairan. Menurut informasi, sekitar 80 % gen

keanekaragaman hayati dunia berada di Indonesia, Bazil, dan Zaire. Kekayaan keanekaragaman hayati

yang dimiliki Indonesia dapat menghasilkan komoditi dan produk agribisnis (bahan pangan, farmasi,

produk bio-kimia lainnya) yang besar jumlahnya.

2. Indonesia memiliki sumberdaya perikanan berupa sumberdaya perairan seluas 5-7 juta km2 dan garis

pantai 91.000 km (terpanjang di dunia). Menurut Ditjen Perikanan, di dunia terdapat 17 wilayah

penangkapan ikan, dimana 14 diantaranya telah mengalami tingkat penangkapan ikan berlebih

(overfishing). Sedangkan 3 wilayah penangkapan lainnya, termasuk perairan Indonesia, masih tergolong

daerah dengan tingkat penangkapan rendah (underfishing), sehingga masih terbuka luas untuk

pengembangan agribisnis berbasis perikanan laut/tangkap.

3. Indonesia memiliki komoditas perkebunan dimana beberapa komoditas diperkirakan menjadi salah satu

produsen terbesar dunia, seperti komoditas minyak kelapa, komoditas minyak sawit, karet, kakao,, the dan

kopi).

4. Komoditas peternakan khususnya ayam ras, Indonesia juga berpeluang menjadi produsen terbesar dunia,

terutama dilihat dari kemampuan daya dukung pakan. Indonesia memiliki struktur industry hulu ayam ras

yang cukup kuat. Dengan struktur industry hulu yang kuat tersebut, kapasitas produksi agribisnis ayam ras

nasional mampu menghasilkan sekitar 1,5 miliar ekor DOC (day ald chichen), 5 juta ton pakan dan lebih

dari 5 miliar dosis vaksin hewan.

5. Indonesia memiliki potensi SDM dan lembaga penelitian dan pengembangan yang besar, hanya saja

belum dimanfaatkan dan diorganisir secara optimal.Sumber daya manusia agribisnis tersebut terdiri dari

lulusan akademi, S1, S2 dan S3. Sedangkan lembaga penelitian dan pengembangan terdiri dari penelitian

dan pengembangan Departemen (seperti tanaman pangan & Hortikultura, Perkebunan, Perikanan,

Kehutanan, Bioteknologi) serta lembaga penelitian dan pengembangan non-depatemen seperti Perguruan

Tinggi Negeri/Swasta, PAU Bio Sain dan Bioteknologi (IPB, ITB, UGM) dan PAU Pangan & Gizi (IPB dan

UGM).

6. Indonesia memiliki modal sosial (Social Capital) dan pengalaman dalam mengembangkan agribisnis.

Tenaga kerja yang terbesar di kawasan pedesaan seluruh Indonesia mempunyai mempunyai modal sosial

yang tinggi dalam mengembangkan agribisnis. selain itu, aparat pemerintah (pusat hingga ke daerah) dan

lembaga swasta memiliki pengalaman yang cukup dalam menangani agribisnis. pengalaman dalam

membangun pertanian sehingga mampu mencapai swasembada beras, merupakan pengalaman dan

modal terdendiri untuk membangun agribisnis yang berdaya saing.

Dari sisi Permintaan, prospek pengembangan sektor agribisnis di Indonesia dapat dijelaskan sebagai

berikut (1) konsumsi per kapita produk pangan agribisnis di Indonesia masih tergolong rendah di dunia,

Page 218: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

204 |

kecuali konsumsi beras (tertinggi di dunia), konsumsi per kapita ikan, sayuran, buah-buahan, daging, susu,

telur dan lainnya, masih terendah di dunia. rendahnya konsumsi produk pangan disebabkan karena masih

relative rendahnya tingkat pendapatan per kapita penduduk. Penduduk Indonesia yang sudah mencapai 220

juta jiwa merupakan pasar produk agribisnis yang sangat besar.

Pasar Produk-produk agribisnis di pasar Internasional masih sangat besar. Terdapat dua fenomena masa

depan yang menyebabkan meningkatnya peluang pasar produk agribisnis di pasar internasional yaitu (1)

liberalisasi perdagangan duni, dan (2) meningkatnya industrialisasi yang tidak berbasis pertanian (non-agro

based industry) di Negara-negara dunia, khususnya di Negara-negara yang sempit wilayahnya.

Meningkatnya industrialisasi yang tidak berbasis pertanian dinegara-negara dunia, khususnya di Negara-

negara yang sempit wilayahnya, akan mengakibatkan mengalirnya sumber daya dari sektor pertanian ke

sektor luar pertanian. Akibatnya produksi pertanian pada Negara yang bersangkutan akan menurun karena

tidak kompetitif dengan sektor lainnya. Fenomena itu sudah mulai tampak di sejumlah Negara nseperti

Malaysia, Singapura, Thailand, Korea Selatan, Taiwan, dan Jepang. Kedua fenomena tersebut akan

menciptakan peluang pasar yang sangat besar bagi produk-produk agribisnis di pasar internasional. Dengan

demikian Negara-negara yang masih memiliki ruang gerak yang luas bagi pengembangan sektor agribisnis

seperti Indonesia akan memiliki peluang yang besar untuk memanfaatkannya.

Mengembangkan Industrialisasi Pertanian Dalam Bentuk Pembangunan Agribisnis sebagai potensi yang

dimiliki bangsa Indonesia akan memberikan keuntungan, karena (1) sumber daya sudah tersedia (baik SDA

maupun SDM); (2) tidak membutuhkan modal yang besar; (3) mampu bersiang dengan negara lain; (4) produk

yang dihasilkan unggul dari produk yang dihasilkan dengan negara lain; (5) dijamin tidak akan ada

pengangguran; (6) masyarakatnya dijamin sejahtera.

Uraian di atas menunjukkan bahwa sektor agribisnis memiliki prospek ekonomi yang cerah di masa yang

akan datang, sektor agribisnis akan mampu diandalkan untuk memecahkan isu-isu strategis pembangunan

ekonomi nasional.

Solusi yang ditawarkan dalam mensejahterakan rakyat Indonesia adalah :

Laut sebagai perikanan tangkap, nelayan harus memiliki alat tangkap yang modern dan industri

pengolahan ikan yang modern. Pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota harus menyusun program

penyediaan alat tangkap yang modern bagi nelayan.

Kembalikan pengelolaan hutan sebagai hutan produksi dan paru-paru dunia dengan mereboisasi hutan

yang telah rusak. Serta kembalikan pengelolaan hutan kepada rakyat, bukan kepada pengusaha HPH.

Tingkatkan hasil perkebunan (dengan mengembangkan teknologi hulu, usahatni dan hilir)

Kembalikan peternakan seperti di masa lalu (induk-an jangan dipotong)

Tingkatkan swasembada pangan dengan tidak mengalihfungsikan lahan produktif menjadi lahan non

pertanian (misalnya mewujudkan LP2B)

Berikan kesempatan kepada petani untuk menyediakan bibit (jangan dimonopoli oleh BUMN)

Berikan kesempatan kepada petani untuk menyediakan pupuk organik

Fungsikan penyuluh pertanian/nelayan sebagai ujung tombak ekonomi rekayat (satu desa satu

penyuluh).

Page 219: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 205

Dalam kabinet harus ada menteri koordinator yang membidangi/ membawahi menteri pertanian, menteri

perikanan, menteri kehutanan, menteri peternakan, menteri perkebunan, menteri perindustrian dan

pedagangan, dan menteri pertanahan.

Ada 6 miliar jiwa manusia di dunia ini yang membutuhkan pangan, dan negara yang mampu

menyediakan pangan adalah negara agraris/pertanian dan Indonesia adalah salah satu negara pertanian

terbesar di dunia.

KESIMPULAN

Untuk menyediakan pangan dunia dan untuk mensejahterakan rakyat Indonesia, tidak ada jalan lain

kecuali ―mengembalikan penengelolaan negara pada potensi SDA yang dimiliki (kehutanan, Perkebunan,

peternakan, perikanan dan tanaman pangan) sebagai anugerah dari Tuhan.

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Pertanian. 2001. Pembangunan Sistem agribisnis Sebagai Penggerak Ekonomi Nasional. Edisi

Pertama. Jakarta.

Downey, W.D., dan S.P. Erickson. 1992. Manajemen Agribisnis. Ed. Ke-2, Cet. Ke-3. R. Ganda.S. dan A.

Sirait, Penerjemah. Jakarta: Erlangga. Terjemahan dari: Agribusiness Management

Firdaus, Muhammad. 2008. Manajemen Agribisnis. Jakarta: Bumi Aksara.Gumbira-Sa‘id, E. dan A. Haritz

Intan. 2004. Manajemen Agribisnis. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Hartoyo, S. Eka I. K. P. 2010. Dampak Kenaikan Harga Minyak Bumi terhadap Ekspor Minyak Sawit dan

Ketersediaan Minyak Sawit Domestik suatu Simulasi. Jurnal Ekonomi Pembangunan Indonesia. 25

(1): 1-13

Krisnamurthi, danBungaran Saragih. 1992. Perkembangan Agribisnis Kecil. Mimbar Sosek No.6 Desember

1992. Faperta IPB. Bogor.

Manurung, J. 1993. Model Ekonometrika Industri Komoditi KelapaSawit Indonesia: Suatu Analisis Simulasi

Kebijakan ThesisMagister PPS IPB. Bogor

Purba, J. H. 2011. Dampak Pajak Ekspor CPO terhadap Industri

Minyak Goreng Indonesia. Disertasi Doktor. SPS. IPB. Bogor.

Majalah Cokelat. Edisi Desember-Februari 2014. Cocoa Sustainability Partnership (CSP). Makasar.

Wibulwan Wannamolee, 2008. Development of Good Agricultural Practices (GAP) for Fruit and Vegetables in

Thailand. Paper for ToT in Good Agricultural Practices (GAP) and Benchmarking: GLOBALGAP for

Fruit and Vegetables, 14-23 July 2008. Kuala Lumpur, Malaysia.

Great Sun Pitaya Farm SDN Berhad. Situs: http://www.pitayafarm.com/salm.html. Diakses Januari 2015.

http://econ.upm.edu.my. Jurnal IMPAK Issue 1, 2009.

ftp://ftp.fao.org/docrep/fao/010/ag130e/ag130e00.pdf. Regulation, Standards and Certification for Agricultural

Exports. FAO. 2007.

Page 220: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

206 |

SETRATEGI PEDAGANG SAYUR DALAM MENGHADAPI KETIDAK PASTIAN PASAR

Sugeng Riyanto1

Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya Jalan Veteran, Malang, Indonesia E-mail : [email protected]

Abstrak. Tujuan penelitian adalah mengetahui setrategi pedagang dalam mehgadapi ketidak pastian pasar, ketidak pastian pasar tersebut diantaranya adallah; 1. Pedagang lain yang tidak jujur, 2. Petani yang tidak jujur, 3. Harga yang naik turun dengan cepat 4. Modal dagang yang harus 2 sampai 3 kali lipat. Metode yang digunakan dalam Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif yaitu dengan wawancara secara mendalam (indepth interview), observasi partisipatif, dan dokumentasi. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa: 1. Untuk menghadapi ketidak jujuran pedagang lain adallah dengan cara tidak memberikan pinjaman pada pedagang baru dan pedagang yang memiliki rekan jejak yang tidak jujur, 2. Untuk pemasalahan petani yang tidak jujur petani pedagang mengirim pekerja untuk ikut mengawasi proses panen yang dilakukan petani 3. Harga yang naik turun dengan cepat pedagang menerapkan sistem bayar setelah laku dan memiliki infroman pasar yang setiap hari memberikn info tentang perubahan harga. 4. Untuk mengatasi modal yang harus berlipat i yaitu enga sistem hutang pada petani.

Kata Kunci : Pedagang, Sayura, Fluktuasi Harga , Setrategi

PENDAHULUAN

Pendukung kemajuan dalam sektor pertanian adallah pemasaran. Salah satu komoditas pertanian

yang sangat membutuhkan pemasaran adallah komoditas sayuran. Sesuai dengan sifanya komoditas sayuran

yang sangat cepat rusak membutuhkan sistem pemasaran yang sangat cepat. Pemasaran sayuran dimulai

dari pedagang pengepul kecil, pengepul besar, pedagang antar daerah, dan pengecer. Pedagang memiliki

peran sangat penting dalam memasarkan produk pertanian sayuran tersebut, senada dengan pernyataan

Syahyuti (2007) Pedagang memiliki peran sebagai jembatan yang menjebatani petani dan konsumen

(Demand Driver).

Peran pedagang dalam memasarkan produk pertanian sering mengalami kendala kerana pasar produk

pertanian di Indonesaia pada umunya dalam bentuk pasar persaingan tidak sempurna. Pasar persaingan tidak

sempurna disebabkan oleh berbagai hal, yaitu: terbatasnya informasi, biaya transaksi yang mahal, dan bentuk

kelembagaan pasar yang lemah secara struktural dan kultural (Syahyuti 2007). Dalam mengatasi permsalhan

tersebut pedagang memerlukan berbagai macam setrategi untuk mengatasinya.

Page 221: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 207

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yaitu proses penggalian data untuk memahami

fenomena sosial yang didasari pada penelitian yang menyeluruh (holistic), dibentuk oleh kata-kata, dan

diperoleh dari situasi yang alamiah. Dalam penerpan pendekatan kualitatif ini, digunakan untuk mengamti

fenomena dari dinamika modal sosial dalam pemasaran sayuran yang ada di Desa Tawangargo

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Strategi mengatasi ketidak jujuran pedagang lain

Dalam berdagang pedagang juga mengalami kendala dimana rekan pedagang mereka tidak jujur.

Pedagang yang tidak jujur biasanya akan lari setelah hutang merka bertumpuk. Karena hutang yang tidak ada

hitam diatas putih pedagang tidak bisa melaukan tuntutan pada pedagang lain lari dari hutang. Pedagang

yang lari dari hutang ini biasanya adallah pedagang baru, pedagang dari luar daerah, dan pedagang yang

bangkrut. Karena tidak ada hitam diatas putih biasnya yang berlaku dalam memberikan sangsi pada pedagang

yang nakal adalah sangsi sosial.

Sangsi sosial tersebut yang merupakan setrategi yang digunakan oleh pedagang dalam mengatsi

pedagang yang nakal. Pedagang yang nakal diatsi dengan tidak memberikan pinjaman lagi, dimana pedagang

nakal harus menyedikan modal cees dalam membeli sayuran. Sangsi ini sangat efektif karena rata-rata

pedagang yang nakal modalnya paspasan jadi pedagang ini lama-lama kan terlempar dari pasar dan tidak

akan bisa lagi bergagang.

Mengatasi Ketidak Jujuran Petani

Petani sejak dulu dikenal sebagai orang yang sengat jujur. Tetapi saat ini ada beberapa petani yang

mulai tidak jujur. Petani yang tidak jujur dalam penelitian ini adalah petani yang melakukan usaha komoditas

sayuran. Selain melakukan usaha tani dikomoditas sayuran dan terumata petani yang sering sekali

bersentuhan pedagang besar dari luar daerah Misalkan surabaya, jakarta semarang. Ketida jujuran tersebut

misalan syuran yang bai dioplos engan sayuran yang tida baik. Tekninya adallah apabila sauran ditata dalam

karung atau keranjang dengan cara menatanya sayuran yang baik-baik ditaruh diatas sedangan yang jelek

ditata di bawah atau di tengah-tengah.

Cara mengatasi ketida jujuran ini pedagang menerpakan cara dari yang paling sederhan dan sami

yang paling rumit. Cara yang paling sederhana adallah dengan cara mengganti wadah saat pembeliian

berlangsung dan disaksikan oleh petani yang menjual. Ini hanya bisa diterpakan pada komoditas tertenru saja

misal kentang. Cara ini tidak bisa diterapkan pada omoditas lain. Pada omoditas yang tiak bisa diterpakan cara

ini pedagang mengunakan cara mengirim pkerja merka padaa saat petani panen. Pekerja berfuungsi untuk

mengawasi kejujuran petani dan juga berfungsu untuk mengontrol mutu sayuran yang di jual oleh pedaang.

Kegiatan ini pun juga terbatas pada petani yang sudah memiliki kesepakatan harga dan penjualan yang akan

dijual pada pedagang tersebut.

Mengatasi Fluktuasi Harga

Sayuran merupakan jenis komoditas yang memiliki harga yang tinggi dan juga miliki tingkat perubahan

harga yang sangat cepat. Perubahan harga yang sangat cepat ini tentu saja akan menjadi masalah jika

Page 222: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

208 |

pedagang tidak memiliki inforhaga yang update dan cepat. Keberhasilan peagang dalam mendaptan informasi

harga yang update menentukan keberhasilan peagang dalam melaukan usaha pemsaran sayuran. Infromasi

harga dugunakan dasar pedagang untuk melakukan kulakan sayuran. Sekali saja pedagang salah

menentukan harga akan mengaibatkan kerugian.

Dalam mengatasi permasalahan informasi harga ini pedagang menerpakan berbagi setrategi; 1.

Pertama adallah dengan cara menaruh pekerjanya stanbay dipasar tepam pedagang menjual sayuran,

setrategi ini cukup mahal kerena pedagang harus membayar orang untuk mencari informasi harga, 2.

Setrategi kedua adllah mempekrjakan orang lokal atau saudara yang tinggal dilokasi skitar pasar, ini biayanya

lebih murah tapi kadang kurang begitu tepat jika orang yang disruh tidak stanbay dipasar, 3. Setrategi yang ke

tiga adllah dengan cara membangu hubungan baik dngan pedagang lain yang ada dipasar atau pedagang lain

yang menjadi langganan mengulak hasil pada mereka. Setrategi ini cukup efisian karena kita tida perlu

memberikan upah pada informan pasar. Imbalan yang harus diberikan adallah memberikan sayuran yang biak

dan kadang memberikan pinjaman syuran pada infroman kita. Cara ini terbukti efisian dan informasi yang

didaptkan sangat akurat.

Setrategi menyiasati modal yang harus berlipat.

Pemasaran sayuran memiliki ciri yang unik, ciri unik pemasaran sayuran adallah rata transaksi antar

pedagang mengunakan sistem ―nyaur ngamek‖. Nyaur ngamek adallah bentuk transaksi dimana pedagang

memebeli sayur kepedagang lain dengan menghutang dan hutang itu akan dibayar jika pedagang akan

mengambil barang berikutnya, dan bareng berikutnya ini statusnya hutang langgi dan ini dibayar jika

pedagang mengambil barang selanjutnya dan pedagang mebayar barang kemarin, dan seterusnya. Sistem ini

otomatis pedagang harus memiliki modal doubel.

Untuk mengatasi permasalhan tersebut pedagang memiliki beberapa cara; 1. Pertama adallah dengan

meminjam sayauran pada petani, sayuran tidak langsung dibayar oleh pedagang saat mengulak sayur pada

petani, bisa jeda 1 hari, 2 hari, 3 hari dan bahkan sampai 1 minggu baru dibayar. Jeda pembayaran yang

sangat panjang ini bisa dugunakan pedagang untuk memutar modal atau untuk mendapatan bayaran dari

pedagang yang membeli dagangan mereka. Setrategi ini dugunakan oleh pedagang yang tipis modalnya atau

pedagang yang baru mulai berdagang. Pedagang harus menmenuhi janji pembayran yang diberikan misal 2

hari ya dua hari, misal 3 ya harus 3 hari, jika sekali meleset pedagang akan sulit mendaptkan kepercayaan

dari petani. Cara kedua adallah meminjam modal pada bank cara ini hanya dilaukan oleh pedagang yang

sudah lama dan sudah memliki kepercaan pada bank.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data yang telah dilakukan, maka diperoleh kesimpulan sebagai

berikut. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa:

1. Untuk menghadapi ketidak jujuran pedagang lain adallah dengan cara tidak memberikan pinjaman pada

pedagang baru dan pedagang yang memiliki rekan jejak yang tidak jujur,

Page 223: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 209

2. Untuk pemasalahan petani yang tidak jujur petani pedagang mengirim pekerja untuk ikut mengawasi

proses panen yang dilakukan petani

3. Harga yang naik turun dengan cepat pedagang menerapkan sistem bayar setelah laku dan memiliki

infroman pasar yang setiap hari memberikn info tentang perubahan harga. 4. Untuk mengatasi modal

yang harus berlipat yaitu denga sistem hutang pada petani.

DAFTAR PUSTAKA

Sugiyono, 2009. Metode penelitian kuantitatif kualitatif dan R&D. CV. ALVABETA: Bandung Syahyuti.2008. Peran modal sosial (social capital) dalam perdagangan hasil pertanian. Pusat Analisis Sosial

Ekonomi dan Kebijakan Pertanian: Bogor 2007 Urgensi Perlunya Perubahan Perspektif Kebijakan untuk Mengoptimalkan Peran Pedagang

Hasil-Hasil Pertanian. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian :Bogor Sedana, G. 2013. Modal Sosial Dalam Pengembangan Agribisnis Petani Pada Sistem Subak Di Bali.

Desertasi. Program Pascasarjana Universitas Udayana: Denpasar

Page 224: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

210 |

PENINGKATAN DAYA SAING AGRIBISNIS JAMBU KRISTAL DENGAN OPTIMALISASI

BUILDING BLOCKS

Heptari Elita Dewi1 dan Bondan Setyawan

Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya Jalan Veteran, Malang, Indonesia

corresponding email: [email protected]

PENDAHULUAN

Agribisnis jambu kristal merupakan usaha potensial yang menjanjikan keuntungan tinggi karena pasar

terbuka lebar. Permintaan jambu kristal sangat tinggi dan membuat pelaku agribisnis jambu kristal kewalahan

untuk memenuhinya, dimana banyak pengepul yang sering datang ke kebun sebelum waktu panen dan

meminta untuk memanen buah sebelum waktunya karena sulitnya mendapat buah di pasaran (Trubus, 2018).

Selain itu, hanya pekebun yang bersaing dalam segi kualitas dan kontinuitas yang dapat bertahan. Oleh

karena itu, pelaku agribisnis jambu kristal harus mengoptimalkan buiding blocks agar dapat bersaing dari segi

kualitas dan kontinuitas.

Building blocks untuk mendukung kesuksesan usaha terdiri dari tiga dasar, yaitu proses (processes),

manusia (people), dan teknologi (Bryceson, 2006). Processes atau operasi dan praktik adalah tugas-tugas

atau rangkaian yang harus dilaksanakan agar pekerjaan dapat diselesaikan. People adalah sebuah kehidupan

dalam suatu perusahaan yang bertugas melaksanakan proses bisnis untuk memenuhi kebutuhan konsumen.

Tanpa kemampuan manajemen manusia yang baik, maka bisnis tidak akan sukses. Technology menjamin

kinerja perusahaan lebih efektif dan mengoptimalkan kinerja terbaik manusia dalam proses bisnis. Seorang

manajer harus menyadari bahwa tiga dasar ini saling terkait dan bertugas untuk memastikan kesesuaian dari

kebutuhan, keinginan, dan persyaratan dari ketiga dasar ini. Hal tersebut bertujuan untuk menciptakan model

bisnis yang bermanfaat yang dapat menggambarkan bagaimana bisnis berjalan (Bryceson, 2006). Manajer

juga harus mampu mengendalikan jalannya perusahaan agar sukses dalam mengimplementasikan

strateginya (Barnard, 2012)

Wisata Agro Bumiaji adalah salah satu usaha jambu kristal yang unggul di Indonesia. Usaha ini mampu

panen jambu kristal setiap hari dan tidak pernah ada habisnya (Trubus, 2017), sementara pekebun yang lain

tidak bisa melakukan hal yang sama karena kendala hama penyakit tanaman dan keterbatasan lahan

(Pertanianku.com, 2017). Selain itu, dari usaha jambu kristal, pengelola mampu mendapatkan puluhan juta

rupiah setiap bulan dan dapat memberdayakan masyarakat sekitar. Oleh karena itu, penelitian ini penting

untuk mengungkap bagaimana optimalisasi building blocks yang dilakukan oleh Wisata Agro Bumiaji sehingga

dapat memiliki daya saing secara kualitas dan kontinuitas.

METODOLOGI

Page 225: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 211

Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara purposive di Wisata Agro Bumiaji Kotamadya Batu Jawa

Timur yang merupakan salah satu pelopor usahatani jambu kristal di Kota Batu. Responden penelitian ini

adalah pemilik Wisata Agro Bumiaji yang dapat mewakili proses bisnis jambu kristal. Metode pengumpulan

data dilakukan dengan wawancara dan observasi. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang

menggunakan analisis deskriptif untuk mengidentifikasi dan menggambarkan building blocks yang terbentuk

dari processes, people, dan technology pada usaha jambu kristal di Wisata Agro Bumiaji Kota Batu.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Wisata Agro Bumiaji merupakan salah satu perkebunan jambu kristal yang dikembangkan menjadi wisata

pertanian. Komoditi jambu kristal dipilih untuk dibudidayakan dengan pertimbangan permintaan konsumen

yang tinggi dan memilki prospek yang besar. Berikut ini adalah identifikasi dan deskripsi dari building blocks

(processes, people, dan technology) yang diterapkan oleh Wisata Agro Bumiaji untuk meningkatkan daya

saingnya.

Processes

Wisata Agro Bumiaji dapat memanen rata-rata 700-800 kg jambu kristal setiap minggunya saat panen

raya pada Bulan April, Agustus, November, dan Desember, sedangkan pekebun lain hanya dapat memanen

jambu kristal pada waktu-waktu tertentu. Hal ini menunjukkan tingginya daya saing Wisata Agro Bumiaji.

Selain itu, sekitar 80% dari hasil panen termasuk kategori A atau kualitas terbaik dengan ciri berbobot lebih

dari 300 gram dengan diameter 4 jari. Sisanya termasuk kategori B (bobot 250-300 gram dan diameter 3 jari)

dan kategori C (berbobot sekitar 200 gram). Harga jual jambu kristal kategori A paling tinggi Rp 15.000/kg,

sedangkan kategori B seharga Rp 12.500/kg dan kategori C seharga Rp 7.000,kg. Hal ini berarti omzet Wisata

Agro Bumiaji mencapai Rp 33,6 juta – Rp 38,4 juta per bulan saat panen raya.

Pemasaran yang dilakukan adalah dengan mengirimkan hasil panen ke pasar modern di Surabaya,

Malang, dan Bali. Jambu kristal ini dibungkus dengan jaring busa dan plastik sehingga konsumen swalayan

menyukai produk itu. Hal ini didukung pula dengan cita rasa jambu yang enak dan bertekstur renyah. Selain

itu, pemasaran juga mengandalkan peran sosial media untuk mempromosikan kebun. Dengan promosi ini,

jumlah pengunjung kebun meningkat, yaitu 1.500 pengunjung per bulan dari dalam dan luar negeri.

Agrowisata ini juga memiliki keunggulan tersendiri, yaitu harga semua jambu kristal disamakan dengan harga

kategori A dan promosi gratis karena pengunjung dapat berswafoto (selfie) di kebun dan menyebarkannya

melalui sosial media. Keunggulan lainnya adalah perkebunan tidak mengeluarkan biaya panen dan

pengemasan seperti yang dilakukan pada pasar swalayan.

Untuk mendukung pemasaran, kegiatan budidaya ditingkatkan dengan menambah populasi jambu kristal

dari 60 tanaman pada tahun 2012 menjadi 6.000 tanaman. Penanaman ini tersebar di 12 tempat Kecamatan

Bimiaji Kota Batu. Total luas kebun sekitar 4 hektar dengan 4.700 tanaman yang produktif. Budidaya jambu

kristal dilakukan dengan intensif dengan penggunaan pupuk kalium, kapur, pupuk kandang, arang sabut

kelapa, serta zat pengatur tumbuh kimia dan organik.

Selain itu, proses bisnis yang dilakukan Wisata Agro Bumiaji adalah mendaftarkan bibit hasil cangkokan

berumur 6 bulan ke Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih (BPSP) dan menjualnya dengan harga Rp 35.000

Page 226: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

212 |

per bibit. Wisata Agro Bumiaji mampu memasarkan 3.000 bibit setiap tahun yang menghasilkan omzet Rp 105

juta. Untuk meningkatkan daya saing lebih tinggi, perkebunan ini juga membudidayakan sayuran organik

seperti kale seluas 1 hektar. Perkebunan mampu memanen 100-120 kale per minggu dengan harga jual Rp

100.000-Rp 150.000 per kg sehingga omzet dari pemasaran kale mencapai Rp 1 juta – Rp 1,5 juta setiap

minggu.

People

Pemilik perkebunan jambu kristal bernama Bapak Imam Ghozali yang menyerahkan seluruh pengelolaan

kebun kepada menantunya. Pengelola utama atau manajer dari perkebunan ini adalah Rahmad Hardiyanto,

seorang pemuda alumnus S1 Teknik Mesin Universitas Brawijaya. Meskipun bukan berasal dari latar

pendidikan pertanian, ia sukses beragribisnis jambu kristal hingga mengembangkan kebunnya menjadi

agrowisata. Menurutnya, agrowisata membuat jambu kristal menjadi lebih terkenal dan memberikan banyak

manfaat pada semua lapisan masyarakat. Hal ini ditunjukkan dengan kemampuan manajerialnya dalam

memberdayakan masyarakat setempat. Pada awal usaha dimulai, karyawan hanya 2 orang, sedangkan saat

ini, karyawan meningkat menjadi 17 orang yang berasal dari masyarakat setempat. Karyawan dikelola dengan

baik, dimana semua karyawan dibekali dengan telepon pintar (smart phone) agar memudahkan komunikasi

antar bagian. Dengan pemberdayaan ini, kehidupan masyarakat setempat menjadi relatif baik karena bekerja

di Wisata Agro Bumiaji.

Technology

Teknologi merupakan salah satu kunci utama dalam menjalankan proses bisnis jambu kristal. Dengan

teknologi yang diterapkan oleh pengelola, Wisata Agro Bumiaji mampu panen sepanjang tahun dan tidak

pernah mengecewakan pasar. Pengelola membudidayakan jambu kristal secara intensif dengan memberikan

20 gram pupuk kalium dan 1 kg kapur setiap bulan per pohon. Pada musim kemarau, pengelola memberikan 5

kg pupuk kandang terfermentasi dan 2 kg sabut kelapa setiap tiga bulan per pohon. Selain itu, digunakan pula

zat pengatur tumbuh kimia dan organik untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Pemberian zat pengatur

tumbuh ini dilakukan bergantian setiap dua minggu.

Rahasia untuk memacu tanaman dapat berbuah secara terus menerus adalah dengan teknik

pemangkasan. Pohon dipangkas rutin ranting dan tunas tidak produktifnya setiap 2 pekan sekali agar dapat

panen setiap hari. Cabang-cabang atau ranting yang saling menutupi dipotong secara rutin. Tujuannya adalah

agar antar cabang tidak bersentuhan sehingga sinar matahari bebas masuk. Setiap selesai panen, karyawan

juga memotong cabang bekas dompolan buah sepanjang 5 cm untuk merangsang keluarnya tunas baru dan

bunga. Pemanenan dan pemangkasan dilakukan pada waktu yang sama untuk menghemat biaya operasional

tenaga kerja.

KESIMPULAN

Building blocks pada perkebunan jambu kristal Wisata Agro Bumiaji dilakukan secara optimal meliputi

processes, people, dan technology. Proses bisnis dilakukan dengan pemasaran melalui pasar modern,

Page 227: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 213

optimalisasi penggunaan pemasaran dengan media sosial, penambahan populasi tanaman untuk mendukung

pemasaran, memproduksi dan mendaftarkan bibit jambu kristal, serta membudiayakan sayuran organik. Untuk

people, pengelola utama perkebunan memiliki kemampuan manajerial yang baik, mampu mengoptimalkan

kinerja karyawan, dan memberdayakan masyarakat setempat. Teknologi yang diterapkan juga sangat

berperan penting agar perkebunan mampu panen sepanjang tahun dan tidak pernah mengecewakan pasar.

Optimalisasi yang telah dilakukan Wisata Agro Bumiaji dapat menjadi strategi kunci dalam meningkatkan daya

saing agribisnis jambu kristal.

DAFTAR PUSTAKA

Barnard, F. (2012). Agribusiness Management. Oxon: Routledge.

Bryceson, K. (2006). ‗ E ‘ Issues for Agribusiness. Cambridge: The University of Queensland.

Pertanianku.com. (2017). Ini Dia Kendala Membuahkan Jambu Kristal. pertanianku.com.

Trubus. (2017, Oktober). Omzet Besar Jambu Kristal. Depok: Trubus Swadaya.

Trubus. (2018). Jambu Kristal. Depok: Trubus Swadaya.

Page 228: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

214 |

ANALISIS MODEL BISNIS KELOMPOK USAHA PETANI KENTANG DI KOTA BATU

Dwi Retnoningsih1, Neza Fadia Rayesa2 Jurusan Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya

Jalan Veteran, Malang, Indonesia Email: [email protected], [email protected]

Abstrak. Penelitian bertujuan untuk: (1) Mengidentifikasi model bisnis Petani kentang di Kota Batu, (2) Menganalisis Aktivitas dan Sumber dalam model bisnis Petani kentang di Kota Batu, dan (3) Merumuskan Strategi yang tepat dalam implementasi model bisnis Petani kentang di Kota Batu. Lokasi penelitian ditentukan secara purposive, yaitu di kota Batu yaitu kelompok usaha kentang. Metode penelitian yang dipakai yaitu 1) analisis deskriptif, 2) analisis busisness model canvas, 3) Analisis VRIO, dan 4) Analisis SWOT. Kelompok usaha kentang di Batu sudah memiliki model bisnis yang diuraikan meliputi Customer Segments (segementasi pelanggan), Value Propositions (Nilai Tambah), Chanels (Saluran), Customer Relationships (Hubungan dengan Pelanggan), Revenue Streams (pendapatan), Key Resources, Key Activities, Key partnership (Mitra bisnis), Cost Structure (Komponen Biaya). Di bagian kedua, kami membuat alat analisis dan menganalisa model bisnis nyata di kelompok usaha kentang dan menentukan karakteristik bagian dari model bisnis, yaitu pelanggan, distribusi, nilai, sumber daya, kegiatan, biaya dan pendapatan. Kelompok usaha kentang memiliki kekuatan pada kesadaran akan kelembagaan yang kuat antar petani. Perlu adanya pendampingan terhadap kelompok terkait budidaya dan pemasaran sayur yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Selain itu kelompok tersebut dapat meminimalisir tingkat serangan hama dan penyakit dengan mencari informasi kegiatan monitoring dan pendampingan dari pemerintah atau perguruan tinggi. Kata Kunci: Model Bisnis, petanikentang, VRIO, SWOT

PENDAHULUAN

Sektor Perdagangan, Hotel, Restoran, Industri Pengolahan, dan Pertanian masih menjadi

kontributor terbesar, masing - masing sebesar, 31,54%, 26.60%, dan 14,91%. Bila ditelusuri lebih jauh

pertanian sebagai sektor hulu masih memegang peranan penting sebagai supplier bahan baku dari 2 sektor

terbesar kontributor PDRB Provinsi Jawa Timur. Hal ini menunjukkan bahwa, sektor pertanian masih menjadi

sektor fundamental untuk dibangun di tengah cepatnya industrialisasi. Sebagai penyokong dari industri-

industri besar sudah bisa dipastikan bahwa sektor pertanian harus menjadi perhatian serius bagi pemerintah

Provinsi Jawa Timur.

Usaha pertanian di Jawa Timur didominasi oleh rumah tangga. Hal ini tercermin dari besarnya

jumlah rumah tangga usaha pertanian jika dibandingkan dengan perusahaan pertanian berbadan hukum atau

pelaku usaha lainnya yaitu selain rumah tangga dan perusahaan pertanian berbadan hukum. Jumlah rumah

tangga usaha pertanian di Jawa Timur Tahun 2013 tercatat sebanyak 4.978.358 rumah tangga, berkurang

sebesar 21,16 persen dari tahun 2003 yang tercatat sebanyak 6.314.370 rumah tangga. Sedangkan jumlah

Page 229: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 215

perusahaan pertanian berbadan hukum Tahun 2013 tercatat sebanyak 410 perusahaan dan pelaku usaha

lainnya sebanyak 1.083 unit. Dominasi usaha rumah tangga di sektor perhatian memberikan catatan bahwa

terdapat banyak potensi yang dapat dimaksimalkan oleh pemerintah melalui inovasi program - program yang

diciptakan, sehingga, tujuan - tujuan mensejahterakan rakyat melalui peningkatan omset basis usaha rumah

tangga ataupun yang berbadan hukum melalui UMKM dapat diwujudkan.

Usaha di sektor Pertanian memang menjadi sektor vital dengan berbagai permasalahannya seiring

berkembangnya zaman, dimulai dari teknologi sarana produksi, tenaga kerja yang mulai tergerus di sektor

industri sedikit demi sedikit, serta penciptaan inovasi produk lokal yang mampu bersaing di pasar bebas. Maka

dari itu, perencanaan pengembangan ini pun harus mampu dirancang sebaik mungkin mulai dari hulu hingga

hilirnya, mulai dari on-farm hingga off farm. Perencanaan-perencanaan berbasis mikro harus menjadi pondasi

awal pengambangannya dan memperbaiki permasalahan ditiap rincian eksekusinya.

Pengembangan pasar hortikultura merupakan salah satu masalah yang masih sering dihadapi

terutama untuk akses pasar internasional dan mengandalikan produk produk impor.Fadhillah (2016)

menyatakan bahwa petani hortikultura Indonesia masih belum mengenal teknologi dengan baik sehingga

masih banyak dilakukan secara tradisional.

Model bisnis yang prospektif diterapkan dalam pertanian salah satunya adalah model klaster bisnis

berbasis komoditi. Michael Porter (1998) mendefinsikan klaster sebagai konsentrasi perusahaandan institusi

(pemasok, pelanggan, kompetitor dan institusi pendukunglainnya seperti perguruan tinggi, lembaga penelitian,

institusi keuangan dandinas pelayanan umum) yang terkait satu sama lainnya pada bidang industritertentu.

Faktor-faktor yang memicu inovasi dan pertumbuhan klaster adalah : (1) Faktor produksi seperti sumber daya

manusia dan sumber daya alam, sumber daya pengetahuan, sumber daya modal, dan infrastruktur yang

relevan untuk persaingan di industri tertentu; (2) Permintaan sektor domestik atau pelanggan-pelanggan lokal.;

(3) Industri pendukung dan terkait, akan meningkatkan efisiensi dan sinergi dalam klaster (Porter, 1998).

Manfaat klaster selain mengurangi biaya transportasi dantransaksi,juga meningkatkan efisiensi,

menciptakan aset kolektif, danmemungkinkan terciptanya inovasi. Strategi pengembangan produk unggulan

berbasis klaster secara garis besar mencakup aspek peningkatan kapasitas sumberdaya manusia (SDM),

pengembangan kelembagaan, pemberdayaan aspek pemasaran dan pengembangan teknologi tepat guna

dan pembangunan citra spesifik daerah.

Selain model tersebut ada salah satu model bisnis yang dapat dikembangkan adalah model bisnis

canvas.Model bisnis kanvas adalah sebuah model bisnis yang menggambarkan dasar pemikiran tentang

organisasi atau perusahaan menciptakan, menyerahkan, dan menangkap (Osterwalder dan Pigneur, 2010).

Suharti (2013) menyatakan bahwa ada sembilan strategi yang harus dikembangkan , peneliti harus

menggunakan sembilan building block Business Model Canvas antara lain Customer Segments, Value

Propositions, Channel,Customer Relations, Revenue Streams, Key Resources, Key Activities, Key

Partnerships dan Cost Structure. Kotler (2005) menyatakan bahwa kelompok pelanggan yang memiliki

seperangkat keinginan yang sama adalah segmen pasar. Pendekatan geografi cenderung membagi

pelanggan berdasarkan wilayah tempat tinggal, sedangkan pendekatan psikografi meliputi gaya hidup, sikap-

sikap, dan minat pelanggan.

Page 230: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

216 |

Modernisasi dan Inovasi manajemen menjadi hal yang wajib dalam pengembangan usaha.

Persaingan akan terus menuntut output yang unggul di mata konsumen, tidak terkecuali produk-produk

pertanian yang merupakan konsumsi bagi industri serta rumah tangga. Hal ini berarti semakin mudah untuk

dikonsumsi serta memiliki manfaat lebih dari produk yang lain yang komplemen ataupun yang sejenis,

sehingga bisa dipastikan konsumen pun tak akan menolak untuk mengolah dan mengkonsumsinya.

METODOLOGI

Penelitian dilakukan di Kota Batu yaitu kelompok usaha kentang di desa Sumberbrantas Kecamatan

Bumiaji. Penelitian ini dilaksanakan selama 3 (bulan) bulan terhitung mulai bulan Agustus sampai dengan

Oktober 2018.

Penelitian ini menggunakan dua jenis data, yaitu data primer dan data sekunder. Pengumpulan data

primer menggunakan konsep yang diajukan oleh Sugiono (2013). Data primer diperoleh dan dikumpulkan

langsung dari responden dan informan kunci di lapangan, melalui wawancara langsung berdasarkan daftar

pertanyaan (kuisioner) yang telah disiapkan sebelumnya berupa daftar pertanyaan bagi petani dan pelaku

usaha kentang di Kota Batu. Responden penelitian ini adalah ketua dan anggota pengurus kelompok usaha

kentang yaitu berjumlah 15 petani kentang.

Analisis data yang dipakai yaitu 1) analisis deskriptif, 2) analisis busisness model canvas, 3)

Analisis VRIO, dan 4) Analisis SWOT. Kelompok usaha kentang di Batu sudah memiliki model bisnis yang

diuraikan meliputi Customer Segments (segementasi pelanggan), Value Propositions (Nilai Tambah), Chanels

(Saluran), Customer Relationships (Hubungan dengan Pelanggan), Revenue Streams (pendapatan), Key

Resources, Key Activities, Key partnership (Mitra bisnis), Cost Structure (Komponen Biaya).

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Profil Objek Penelitian

Kelompok Tani Anjasmoro V dibentuk oleh petani-petani muda dengan usia rata-rata di bawah 40

tahun. Kelompok tani ini beranggotakan 35 orang petani muda yang sebagian anggotanya merupakan lulusan

sarjana termasuk di dalamnya terdapat sarjana pertanian sehingga aktifitas kelompok sangat dinamis.

Anggota dari kelompok ini aktif melakukan kegiatan kelompok seperti pertemuan rutin dan kegiatan studi

lapang.

Kelompok Tani Anjasmoro V beralamat di dusun Krajan, Desa Sumberbrantas kecamatan Bumiaji.

Komoditas utama yang dibudidayakan adalah tanaman kentang dengan luasan lahan berkisar 30 ha dan

kapasitas produksi 200 ton per ha sekali tanam. Selain kentang, komoditas utama yang dibudidayakan adalah

wortel dan sawi.Tanaman kentang yang dihasilkan biasanya dipasarkan kepada tengkulak di wilayah kota

Batu dan di kirim ke wilayah jakarta, Kalimantan dan sebagian di ekspor.

B. Hasil Observasi Business Model Canvas pada Objek Penelitian

Hasil observasi Business Model Canvas pada Kelompok Tani Anjasmoro V ditampilkan pada Tabel

berikut :

Page 231: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 217

Tabel 1. Business Model Canvas pada Kelompok Tani Anjasmoro V

Aspek Hasil Observasi

Customer Segments

Pelanggan untuk Kelompok Tani Anjasmmoro V lebih beragam dibandingkan Kelompok Tani Maju Makmur, yaitu antara lain adalah tengkulak atau pengepul, ibu-ibu rumah tangga, dan penjual sayuran di pasar. Berdasarkan hasil wawancara, segmentasi pelanggan yang dapat dirumuskan untuk penjualan sayuran kelompok tani (kubis, kentang, wortel) yaitu dengan menentukan segmentasi utama dan segmentasi sekunder. Segementasi pelanggan sayuran yang utama adalah penjual retail, hotel, supermarket, hypermarket, hotel, dan rumah sakit sementara segmentasi sekunder adalah masyarakat di sekitar lahan yang dapat membeli hasil tani secara ecer.

Value Propositions

Nilai tambah produk sayuran yang ada di Kelompok Tani Anjasmoro V adalah kualitas sayuran yang baik dan daya simpan yang cukup lama. Value lain yang dapat ditambahan oleh bisnis kelompok tani ini diantaranya pengiriman produk yang cepat.

Chanels Saat ini saluran yang digunakan oleh Kelompok Tani Anjasmoro V hanyalah tengkulak atau pedagang pengepul. Selain itu, petani hanya menggunakan informasi dari mulut ke mulut (word of mouth) dari pembeli dan masyarakat sekitar terkait produknya. Masyarakat kelompok tani dapat mengembangkan chanels dengan cara menajlin kemitraan dengan jaringan ritel sertalembaga bisnis lain seperti rumah makan, rumah sakit, restoran, dan hotel.

Customer Relationships

Hubungan pelanggan yang dilakukan oleh hanya dengan menjaga kualitas dan diskon pembelian dalam jumlah banyak. Untuk meningkatkan hubungan dengan pelanggan dapat dilakukan dengan cara pelayanan gratis pengiriman, pelayanan 24 jam.

Revenue Streams

Pendapatan yang didapatkan oleh petani saat ini terbatas hanya dari penjualan produk-produk sayuran segar.

Key Resources Berdasarkan hasil wawancara, sumber daya utama yang tersedia saat ini di kelompok tani adalahsumber daya manusia dibidang produksi dan penjualan, serta lahan. Untuk meningkatkan bisnis usahatani sayuran, perlu ada penambahan sumber daya kunci terutama pada bidang keuangan dan pemasaran.

Key Activities Aktivitas kunci dalam usahatani sayuran Kelompok Tani Anjasmoro V adalah budidaya (produksi) dan pemasaran. Perlu ada perhatian yang lebih pada aktivitas pemasaran sehingga dapat meningkatkan revenue stream petani.

Key partnership Kelompok Tani Anjasmoro V hingga saat ini hanya menjalin kemitraan atau kerjasama dengan pedagang pengepul (tengkulak) dan kios pertanian. Perlu adanya pengembangan kerja sama dengan lembaga keuangan dan pemasok.

Cost Structure Komponen biaya pada aktivitas bisnisKelompok Tani Anajasmoro V adalah upah tenaga kerja, pembelian bibit, pembelian pupuk, obat-obatan, dan biaya pengiriman.

Kelompok Tani Anjasmoro V menyadari bahwa belum adanya rancangan bisnis di kelompok

tersebut. Perumusan BMC akan memunculkan ide kepada pelaku usaha terkait aktivitas distribusi dan

pemasaran yang efektif. BMC Kelompok Tani Anjasmoro V dapat dilihat pada Gambar 1.

Page 232: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

218 |

Gambar 1. BMC Kelompok Tani Anjasmoro V

C. Hasil Analisis VRIO

Aktivitas dan sumber dari petani muda hortikultura dievaluasi menggunakan metode VRIO.

Karakterisitik analisis ini berdasarkan 4 kriteria yaitu value, rarity, imitation dan organanization.Sumberdaya

kunci menggambarkan komponen yang ketersediaannya penting bagi penciptaan nilai bisnis ditampilkan pada

Tabel 2.

Page 233: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 219

Tabel 2. Key Resources Resource V R I O Avarage IS O by IS

Pengetahuan dan Pengalaman

3.33 3.20 3.40 5.33 3.82 5.33 1

Merek dan Reputasi

3.07 3.00 3.27 5.27 3.65 5.27 2

Jaringan Penjualan 3.20 3.13 3.07 3.87 3.32 3.87 8

Mesin dan teknologi 3.07 3.00 3.00 4.67 3.43 4.67 5

IT 2.60 2.73 2.67 3.80 2.95 3.80 9

Manager 2.67 2.87 2.80 4.80 3.28 4.80 3

Keuangan 2.73 2.80 2.87 4.73 3.28 4.73 4

Lahan (Lokasi dan Infrastruktur)

2.40 2.60 2.47 4.13 2.90 4.13 7

Pekerja 2.47 2.53 2.73 4.67 3.10 4.67 5

Bangunan 2.33 2.60 2.33 4.60 2.97 4.60 6

Keterangan:

V-value, R-rarity, I-imitatibility, O-organization

Skala VRIO 0= tidak dibutuhkan; 1=level lokal; 2= level regional; 3= level nasional; 4=level ASEAN; 5=level

ASIA; 6= level dunia

IS= importance of Source (menggunakan skala likert 7)

O by IS= order of significance of source

Petani muda hortikultura di Batu memiliki nilai pengetahuan dan pengalaman yang sangat baik

dalam mengelola bisnis hortikultura sehingga dapat menghasilkan produk yang berkualitas. Reputasi

kelompok tani telah dikenal oleh masyarakat karena kualitas produk yang dihasilkan. Jaringan penjualan

memiliki nilai yang rendah pada kelompok tani di Batu, namun memiliki tingkat kepentingan yang cukup tinggi.

Hal ini disebabkan petani hortikultura masih bergantung pada tengkulak dan belum dapat mengembangkan

jaringan pemasaran sendiri. Kondisi dan ketersediaan bangunan juga menjadi perhatian karena kelompok tani

belum memiliki bangunan yang memadai untuk mendukung bisnis hortikulturanya.Kapabilitas kelompok tani

dalam mengkonversi sumber daya menjadi output yang produktif dapat dilihat pada Tabel 9. Kapabilitas

tertinggi kelompok tani hortikultura di Batu berada pada kemampuan petani dalam melakukan inovasi produk.

Kapabilitas ini didukung oleh pengetahuan dan pengalaman petani dalam mengelola usaha hortikultura yang

sudah dilakukan turun-temurun.

Tabel 3. Key Capabilities

Capabilities V R I O Avarage IS O by IS

Inovasi 3.27 3.13 3.33 3.40 3.28 4.60 4

Kecepatan 3.00 3.00 3.20 3.13 3.08 4.93 2

Kerjasama antar bagian

3.13 3.07 3.00 3.27 3.12 3.93 7

Pembelajaran 3.00 2.93 2.93 3.07 2.98 4.47 5

Page 234: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

220 |

Budaya usaha 2.53 2.67 2.60 2.80 2.65 3.87 8

Komunikasi 2.60 2.80 2.73 2.80 2.73 5.13 1

Sistem managemen 2.67 2.73 2.80 2.73 2.73 4.67 3

Kerjasama didalam satu bagian

2.33 2.53 2.40 2.47 2.43 4.27 6

Kondisi lingkungan 2.40 2.47 2.67 2.53 2.52 3.80 9

Keterangan:

V-value, R-rarity, I-imitatibility, O-organization

Skala VRIO 0= tidak dibutuhkan; 1=level lokal; 2= level regional; 3= level nasional; 4=level ASEAN; 5=level

ASIA; 6= level dunia

IS= importance of Source (menggunakan skala likert 7)

O by IS= order of significance of source.

Nilai kepentingan tertinggi untuk kapabilitas berada pada kemampuan dan kualitas komunikasi

terutama dengan pelanggan. Komunikasi memiliki nilai yang rendah karena hingga saat ini kelompok tani

masih mengandalkan informasi dari mulut ke mulut (word of mouth) dalam menjual dan mempromosikan

produknya ke pelanggan. Kecepatan dalam pengiriman juga memiliki tingkat kepentingan tertinggi karena

kelompok tani diharapkan dapat melakukan pengiriman lebih cepat agar kualitas produk tetap terjaga dengan

baik.

D. Analisis SWOT

Kelompok Tani Anjasmoro V memiliki kekuatan pada kesadaran akan kelembagaan yang kuat antar

petani.Perlu adanya pendampingan terhadap kelompok tani terkait budidaya dan pemasaran sayur yang

memiliki nilai ekonomis tinggi. Selain itu kelompok tani dapat meminimalisir tingkat serangan hama dan

penyakit dengan mencari informasi kegiatan monitoring dan pendampingan dari pemerintah atau universitas di

sekitar lokasi. Hasil analisis SWOT kelompok tani Anjasmoro V dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Analisis SWOT Kelompok Tani Anjasmoro V

IFE

Kekuatan (S) 1. Status lahan petani

sampel adalah milik sendiri 2. Keberadaan kelompok

tani yang mendukung pengembangan usahatani sayuran

3. Input produksi selalu tersedia

4. Pemerintah memiliki perhatian kepada kelompok tani

5. Petani mulai sadar akan pentingnya membuat model bisnis

Kelemahan(W) 1. Petani tidak melakukan

pencatatan usahatani 2. Hasil produksi usahatani

yang rendah karena bergantung cuaca

3. Tingkat serangan hama dan penyakit yang tinggi

Page 235: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 221

EFE Strategi S-O Strategi W-O

Peluang (O) 1. Permintaan sayuran yang

tinggi 2. Harga sayuran yang tinggi 3. Variasi penjualan sayuran 4. Intensitas monitoring

Pemerintah 5. Produksi aneka olahan

kentang yaitu keripik dan tepung kentang

1. Mulai bertanam sayur kentang yang berkualitas(S1, S3, S4, O1, O2)

2. Memanfaatkan ketersediaan input produksi dan status kepemilikan lahan untuk melakukan perluasan usahatani atau memanfaatkan pekarangan rumah(S1, O1, O3)

3. Mulai membentuk jaringan pemasaran (S5, O1, O2)

4. Menganalisis kelayakan olahan kentang menjadi tepung kentang (S4, O5)

1. Meningkatkan SDM dalam budidaya, pemasaran dan IT melalui pelatihan (W1, W2, O5)

2. Mengusulkan pada pemerintah untuk melakukan pendampingan- pendampingan intensif terhadap budidaya dan pemasaran sayur yang memiliki nilai ekonomis tinggi(W1, W2, W3, O1, O3)

3. Meminimalisir tingkat serangan hama dan penyakit dengan mencari informasi ketika ada monitoring dan kegiatan-kegiatan dari pemerintah dan universitas di sekitar(W3, O4)

Ancaman (T) 1. Harga sayuran yang fluktuatif 2. Kelangkaan input 3. Kenaikan harga input

Strategi S-T Strategi W-T

1. Update informasi harga kepada sesama kelompok tani(S1, S4, T1, T3)

2. Memaksimalkan penggunaan website untuk promosi dan pemasaran (S5, T1)

1. Meningkatkan kualitas dan produksi sayuran sehingga dapat bersaing dengan harga sayuran lainnya (W2, W3, T2)

KESIMPULAN

1. Petani mampu merancang model bisnis pertanian dari hulu sampai hilir yaitu dari aspek budidaya

sampai dengan pengolahan dan pemasaran.

2. Aspek kunci keberhasilan sumberdaya dalam menjalankan model bisnis adalah pengetahuan dan

pengalaman, reputasi dan kemampuan manajer/pimpinan. Sedangkan kunci kapabilitas dalam

menjalankan model bisnis adalah kemampuan komunikasi, kecepatan dan sistem manajemen.

3. Masyarakat petani mampu menemukenali masalah yang dihadapi dan solusi apa yang harus di lakukan

dalam memperbaiki kinerja usaha taninya. Pengolahan hasil menjadi permasalahan beberapa kelompok

dan dengan mengenal businesscanvasmodel (BMC), kelompok merancang bisnis yang akan dijalankan

yaitu mengolah komoditas yang dihasilkan. Pemasaran merupakan permasalahan yang dihadapi oleh

kelompok usaha, kelompok tersebut sudah memiliki website yang dapat digunakan sebagai ajang

promosi dan pemasaran yang berbasis kearifan lokal, hanya saja belum dimanfaatkan secara maksimal.

Page 236: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

222 |

DAFTAR PUSTAKA

Kotler dan Keller. 2005. Manajemen Pemasaran Terjemahan Edisi 12. Jakarta: ERLANGGA. Porter, Michael E.1998. Competitive Advantage: Creating & Sustaining Superior Performance. New York: Free

Press. Osterwalder, Alexander dan Pigneur, Yves terjemahan (2010). Business Model Generation. Jakarta: Elex

Media Komputindo Sugiyono. 2013. Metode Penelitian Pendidikan, Pendekatan Kuantitatif Kualitatif, dan R&D. Bandung:

Alfabeta. Suharti. 2015. Penerapan Business Model Canvas Pada Perumahan Galaxy Regency Malang PT. Sarana

Hijrah Kamulyan. Malang: Jurnal Universitas Brawijaya Malang.

Page 237: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 223

PREFERENSI PETANI PADI TERHADAP KEBIJAKAN PERTANIAN DI DESA

MALASAN, KECAMATAN DURENAN, KABUPATEN TRENGGALEK, JAWA TIMUR

Ina Queen Dia Ayu Sari, Novil Dedy Andriatmoko, Sujarwo Jurusan Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian

Universitas Brawijaya Corresponding author: [email protected]

Abstrak:Kebijakan pembangunan pertanian memiliki peranan yang sangat penting dalam upaya memajukan pertanian dan peningkatan kesejahteraan petani. Berbagai kebijakan telah ditempuh untuk dapat meningkatkan kesejahteraan petani melalui kebijakan teknis produksi, ekonomi produksi, kelembagaan pertanian, pasar, kemitraan, dan kelestarian lingkungan. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui karakteristik petani padi, mengidentifikasi dan menganalisis preferensi petani terhadap kebijakan pertanian, serta mengetahui kombinasi kebijakan pertanian yang paling diinginkan oleh petani. Alat analisis yang digunakan dalam penelitian yaitu analisis konjoin. Lokasi penelitian berada di Desa Malasan, Kecamatan Durenan, Kabupaten Trenggalek. Hasil dari penelitian menunjukkan (1)karakteristik umum petani padi Desa Malasan mayoritas berjenis kelamin laki-laki sebesar 100% dengan dominan usia 51-62 tahun sebesar 52%, pendidikan terakhir paling banyak tamatan SMA sebesar 44%, dan luas lahan usahatani paling banyak 0,76-1 ha sebesar 26%. (2)Hasil analisis konjoin menunjukkan nilai kepentingan atribut kebijakan terpenting adalah aspek teknis produksi sebesar 37,45%, aspek ekonomi petani sebesar 33,41%, aspek kelembagaan petani sebesar 29,14%. Petani padi Desa Malasan lebih menginginkan kebijakan pada aspek teknis produksi yaitu kebijakan perbaikan teknik usahatani melalui penyuluhan. Aspek ekonomi produksi, petani lebih menginginkan kebijakan harga pupuk. Aspek kelembagaan petani ternyata petani lebih menginginkan kebijakan penguatan kelembagaan petani. Kombinasi kebijakan pertanian yang paling diinginkan petani padi di Desa Malasan yaitu kebijakan perbaikan teknik usahatani penyuluhan, kebijakan harga pupuk, dan kebijakan penguatan kelembagaan petani. Kata kunci: Kebijakan Pembangunan Pertanian, Preferensi Petani, Analisis Konjoin

PENDAHULUAN

Kebijakan pertanian diartikan sebagai upaya pemerintah melalui berbagai peraturan untuk

meningkatkan produksi dan konsumsi komoditas pertanian (Ragasa, 2011). Kebijakan pembangunan

pertanian sangat penting dalam upaya memajukan pertanian dan dapat meningkatkan kesejahteraan petani.

Pada Rencana Strategis Kementerian Pertanian tahun 2010-2014 visi dari pembangunan pertanian Indonesia

adalah terwujudnya pertanian industrial unggul berkelanjutan yang berbasis sumber daya lokal untuk

meningkatkan kemandirian pangan, nilai tambah, daya saing, ekspor, dan kesejahteraan petani. Berbagai

kebijakan telah ditempuh untuk dapat meningkatkan kesejahteraan petani dalam teknis produksi, ekonomi

produksi, kelembagaan pertanian, pasar, kemitraan, dan kelestarian lingkungan. Kebijakan yang telah

dikeluarkan oleh pemerintah kemudian diimplementasikan untuk kemudahan pembangunan pertanian di

Page 238: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

224 |

lapangan. Implikasi kebijakan dapat mewujudkan target yang ditetapkan dalam revitalisasi pembangunan

pertanian seperti penyediaan modal di sektor pertanian,penyediaan lahanpertanian, sarana dan prasarana

pertanian, pembiayaan pertanian yang murah dan mudah diakses petani, penciptaan inovasi teknologi,

penguatan kelembagaan petani, serta peningkatan penyuluhan pertanian.

Monitoring implementasi kebijakan pertanian diperlukan agar kebijakan yang selama ini telah

diterapkan dapat dilaksanakan sesuai dengan yang diharapkan dan mendapatkan hasil yang maksimal.

Evaluasi kebijakan pertanian berdasarkan preferensi petani padi di Kecamatan Durenan, Kabupaten

Trenggalek ini berguna dalam rangka memperbaiki paket kebijakan yang ada selama ini untuk lebih berhasil

guna dan berdaya guna. Petani identik dengan produsen utama sebagai penghasil produk, namun petani

merupakan salah satu konsumen utama dalam implementasi kebijakan pertanian yang diberikan oleh

pemerintah. Preferensi petani sebagai konsumen sangat diperlukan demi peningkatan kualitas kebijakan yang

telah diterapkan.

Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Durenan Kabupaten Trenggalek karena mayoritas penduduknya

bekerja sebagai petani. Kawasan ini juga merupakan sentra padi terbesar di wilayah Kabupaten Trenggalek.

Produktifitas padi di Kecamatan Durenan dari tahun 2012 sampai 2016 bersifat fluktuatif. Rata-rata

produktifitas padi di Kecamatan Durenan dalam kurun waktu 5 tahun terakhir ini sebesar 6,32 ton/ha dengan

jumlah tersebut menunjukkan penurunan tingkat produktivitas tanaman padi (BPS, 2017).Sistem pola tanam

padi di Kecamatan Durenan ditentukan sendiri oleh petani dan belum ada waktu tanam yang sama antar tiap

petani. Perbedaan waktu musim tanam untuk pergantian tanaman dari padi menjadi palawija membuat petani

bingung menentukan kapan waktu yang tepat. Sehingga petani menginginkan kebijakan pertanian yang dapat

membantu petani dalam mencari solusi yang berkelanjutan. Adanya kebijakan pertanian yang sesuai dengan

keinginan dan kebutuhan petani padi diharapkan dapat meningkatkan produktifitas padi. Preferensi petani

terhadap kebijakan pertanian mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap kelanjutan kebijakan pertanian

ke depannya. Maka dari itu penelitian ini bertujuan untuk mengetahui preferensi petani padi terhadap

kebijakan pertanian dan kombinasi kebijakan yang paling diinginkan. Hal ini berguna untuk mengevaluasi

kebijakan pertanian yang telah diterapkan dapat dilanjutkan atau dilakukan pembaharuan kebijakan yang lebih

efektif ke depannya.

METODOLOGI

Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan pada salah satu desa yang terdapat di Kecamatan Durenan, Kabupaten

Trenggalek, Jawa Timur. Lokasi ini dipilih secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa lokasi

merupakan sentra pertanian tanaman padi terbesar di Kabupaten Trenggalek. Mayoritas penduduk di desa ini

adalah petani. Penentuan lokasi penelitian juga berdasarkan pertimbangan key informan yaitu Dinas

PertanianKabupaten Trenggalek. Penelitian ini dilakukan pada bulan September 2017 sampai dengan Januari

2018.

Page 239: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 225

Teknik Penentuan Sampel

Penarikan sampel pada penelitian ini menggunakan teknik probabilitysampling dengan pendekatan

simple random sampling. Sampel yangdigunakan dalam penelitian merupakan responden yang berprofesi

sebagai petani padi di Desa Malasan, KecamatanDurenan, Kabupaten Trenggalek. Penentuan jumlah sampel

petani padi yang diambil menggunakan rumus Parel, et.al. (1973) sebagai berikut:

Keterangan:

n = jumlah sampel minimal yang harus diambil dari total populasi N= jumlah populasi σ2= varians populasi d = kesalahan maksimal yang dapat diterima 5% (0,05) Z = nilai Z pada tingkat kepercayaan tertentu, yaitu 95% (dengan nilai sebesar 1,96)

Teknik Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data primer dan data sekunder. Data primer

merupakan data yang di dapatkan langsung dari petani responden dengan metode wawancara menggunakan

alat bantu kuisioner. Data sekunder merupakan data pendukung yang didapatkan dari studi literatur dan

informasi yang telah tersedia dari sumber-sumber lain yang terpercaya.

Teknik Analisis Data

1. Analisis Deskriptif

Analisis deskriptif dilakukan untuk mengetahui karakteristik petani dalam memilih kebijakan

pertanian yang telah diterapkan. Data dan informasi berasal dari kuisioner yang diolah dan disajikan

dalam uraian dan tabulasi sederhana..

1) Analisis Konjoin

Analisis konjoin digunakan untuk menganalisis preferensi petani terhadap kebijakan pertanian.

Churcill (2005) mendefinisikan analisis konjoin sebagai suatu teknik pemberian nilai oleh responden pada

setiap atribut produk disimpulkan dari preferensi yangdiekspresikannya terhadap berbagai kombinasi

atribut produk tersebut.

Tahapan dalam merancang dan melaksanakan analisis konjoin (Aaker etal. 2003 dan Santoso,

2010) adalah :

1) Pemilihan atribut dan taraf atribut padapenelitian ini diperoleh dari penggalian informasi dari petani

padi melalui wawancara, kajian literatur penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini.

2) Perancangan stimuli

Tahap perancangan stimuli ini dilakukan dengan stimuli atau profil produk yang berarti yaitu

kombinasi dari taraf atribut satu dengan taraf atribut yang lainnya. Pada penelitian ini parancangan stimuli

menggunakan pendekatan full profile.

Page 240: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

226 |

a. Penentuan jenis data

Data yang diperlukan dalam analisis konjoin dapat berupa nonmetrik (nominal dan ordinal) maupun

metrik (berskala interval atau rasio)..

b. Penilaian Stimuli

Pada tahap penilaian stimuli, setiap responden diminta untuk menilai atau mengurutkan stimuli,

nilai ranking (paling diinginkan hingga paling tidak diinginkan) sehingga mencerminkan perilaku

konsumen dalam situasi nyata. Model dasar analisis konjoin (Gustafsson A et al., 2007) dengan

prosedur analisis tersebut adalah :

Keterangan :

U(x) = Utilitas total

= Banyak taraf ke-j dari atribut ke-i atau banyaknya level atribut i

= Jumlah atribut

= Nilai kegunaan atribut ke-i taraf ke-j

= Atribut ke-i taraf ke-j (jika taraf ke-j atribut ke-i terjadi (1), tidak (0))

i = 1,2, … , m (atribut ke-i) j = 1,2, … , kj (level ke-j)

3) Interpretasi Hasil

Tahapan terakhir dari analisis konjoin adalah interpretasi hasil. Pada tahap ini didapatkan nilai utiliti

yang merupakan nilai setiap taraf dari masing-masing faktor, atau sifat relatif terhadap taraf lainnya.

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Karakteristik Petani

Karakteristik petani dalam penelitian ini terbagi menjadi 4 yaitu berdasarkan jenis kelamin, usia,

tingkat pendidikan, dan luas lahan usahatani. Secara rinci identifikasi mengenai karakteristik petani

sebagai berikut:

Jenis Kelamin Petani

Seluruh responden berjenis kelamin laki-laki. Dengan hasil yang menunjukkan persentase responden

laki-laki sebesar 100 persen. Hal ini menandakan bahwa mayoritas petani yang aktif yaitu berjenis kelamin

laki-laki.

Usia Petani

Karakteristik petani padi berdasarkan usia pada penelitian ini menunjukkan bahwa usia petani

mayoritas berada pada usia yang produktif sebanyak 87% dan sisanya 13% berada pada usia yang sudah

tidak produktif lagi dalam melakukan usahatani padi. Menurut Undang-Undang Tenaga Kerja No. 13 Tahun

2003, usia produktif adalah usia antara 15 sampai 64 tahun.

Page 241: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 227

Tingkat Pendidikan Petani

Kategori pendidikan petani pada penelitian ini terdiri dari 7 kelompok yaitu Tidak Sekolah, Tidak Tamat

SD, Tamat SD, Tamat SMP, Tamat SMA, Tamat D3, dan Sarjana/lebih tinggi. Dari 50 responden sebagian

besar memiliki latar belakang tingkat pendidikan tamatan SMA sebanyak 22 orang atau sebesar 44%.

Luas Lahan Usahatani

Karakteristik petani berdasarkan luas lahan terbesar yaitu 0,76-1 ha dengan persentase sebesar 26%,

kemudian pada luas lahan antara 0,26-0,5 ha sebesar 24%, luas lahan diatas 1 ha sebesar 22%, dan luas

lahan antara 0-0,25 ha serta antara 0,51-0,75 ha sama-sama sebesar 14%.

Preferensi Petani

Sumber : Data Primer Tahun 2018 Gambar 1. Rata-rata Nilai Kepentingan Atribut Kebijakan

Dari hasil penelitian didapatkan hasil yakni kepentingan tertinggi adalah aspek teknis produksi dengan nilai

persentase sebesar 37,45%, untuk urutan tingkat kepentingan kedua adalah aspek ekonomi petani dengan

nilai persentase sebesar 33,41%, dan kepentingan selanjutnya adalah aspek kelembagaan petani dengan nilai

persentase sebesar 29,14%. Perbedaan tingkat kepentingan pada ketiga atribut tersebut sangat kecil. Hal ini

disebabkan karena atribut aspek teknis produksi, aspek ekonomi produksi, dan aspek kelembagaan petani

memiliki peranan yang penting bagi petani.

Nilai Kegunaan (Utility)Atribut Aspek Teknis Produksi

Level Atribut Aspek Teknis Produksi Utility Estimate Std. Error

Kebijakan Pembangunan Irigasi -.260 .005

Perbaikan Teknik Usahatani-Demo Plot -.431 .005

Perbaikan Teknik Usahatani-Penyuluhan .692 .005

Sumber: Data Primer Tahun 2018 diolah

Page 242: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

228 |

Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa petani lebih menginginkan kebijakan perbaikan teknik

usahatani melalui penyuluhan daripada kebijakan pembangunan irigasi dan kebijakan perbaikan teknik

usahatani melalui demo plot.Hasil data yang telah diolah juga didukung dengan fakta permasalahan sosial

yang ada. Petani padi di Desa Malasan lebih menginginkan kebijakan perbaikan teknik usahatani melalui

penyuluhan karena mayoritas petani berpendidikan tinggi, sehingga petani lebih memilih keuntungan yang

didapat dari penyuluhan. Petani sangat membutuhkan penyuluhan yang lebih baik agar usahatani dapat

dijalankan dengan efektif dan efisien serta dapat membantu menyelesaikan permasalahan dalam

berusahatani.

Nilai Kegunaan (Utility)Atribut Aspek Ekonomi Produksi

Level Atribut Aspek Ekonomi Produksi Utility Estimate Std. Error

Bantuan Kredit Usahatani -.897 .005

Kebijakan Harga Pupuk .642 .005

Kebijakan Harga Hasil Pertanian .255 .005

Sumber :Data Primer Tahun 2018 diolah

Dari hasil analisis data penelitian yang tersaji pada tabel diatas, dapat diketahui bahwa kebijakan

pertanian pada aspek ekonomi produksi yang paling diinginkan petani adalah kebijakan harga pupuk . Petani

padi membutuhkan kepastian harga pupuk agar biaya total usahatani menjadi pasti (tidak fluktuatif). Apabila

biaya faktor produksi tidak stabil, maka petani juga mengalami ketidakstabilan dalam penerimaan hasil panen.

Kebijakan harga pupuk bertujuan sekaligus untuk meminimalisir kerugian pasca panen dan optimalisasi

pendapatan akhir.Ditinjau dari kebijakan harga hasil pertanian, para petani tidak terlalu mempermaslahkan

karena telah ada penetapan harga atap dan harga dasar. Sedangkan kebijakan bantuan kredit kurang diminati

oleh petani dengan alasan petani tidak ingin mengambil resiko, petani lebih memilih untuk berusahatani

dengan modal pribadi yang mereka miliki.

Nilai Kegunaan (Utility)Atribut Aspek Kelembagaan Petani

Level Atribut Aspek Kelembagaan Petani Utility Estimate Std. Error

Penguatan Kelembagaan Petani .457 .005

Pengembangan Pertanian Kawasan .413 .005

Pengembangan Koperasi Tani -.870 .005

Sumber: Data Primer Tahun 2018 di olah

Page 243: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 229

Berdasarkan kondisi yang ada di lapang, petani padi di Desa Malasan aktif melakukan kegiatan di

kelompok tani. Hal ini terbukti dengan kegiatan-kegiatan peingkatan pengetahuan para petani melalui kegiatan

kontak tani dengan penyuluh lapang, SLPHT (Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu), perkumpulan

gabungan kelompok tani di Desa Malasan (BPS, 2017).Pengembangan pertanian kawasan di Desa Malasan

telah berjalan dengan baik. Desa Malasan telah menjadi sentra pertanian padi terbesar di Kabupaten

Trenggalek. Hal ini terbukti dengan sumbangan PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) terbesar di

Trenggalek pada tahun 2015 yakni sebesar 31,21% dengan PDRB Kabupaten Trenggalek didominasi oleh

Sektor Pertanian (BPS, 2016). Desa Malasan merupakan desa dengan penyumbang PDRB terbesar pertama

dalam sektor pertanian pangan berupa tanaman padi di Kabupaten Trenggalek. Sedangkan untuk

pengembangan koperasi tani, kebijakan ini kurang diinginkan petani padi di Desa Malasan. Koperasi tani yang

ada di Desa Malasan kurang berjalan secara maksimal. Menurut data BPS (2017). Hanya perangkat desa

yang memanfaatkan sarana yang ada, banyak petani yang kurang memahami tentang keuntungan adanya

koperasi tani. Koperasi tani yang diharapkan berfungsi sebagai wadah kelompok tani kurang berjalan secara

optimal.

2. Kombinasi Level Atribut yang Paling Diinginkan Petani

Berdasarkan hasil penelitian menggunakan analisis konjoin, dapat diketahui kombinasi level atribut

yang paling diinginkan oleh petani. Petani padi Desa Malasan lebih menginginkan kebijakan pada aspek teknis

produksi yaitu kebijakan perbaikan teknik usahatani melalui penyuluhan. Kemudian pada aspek ekonomi

produksi, petani lebih menginginkan kebijakan harga pupuk. Pada aspek kelembagaan petani ternyata lebih

menginginkan kebijakan penguatan kelembagaan petani. Sehingga kombinasi kebijakan pertanian yang lebih

diinginkan petani padi di Desa Malasan ini adalah kebijakan perbaikan teknik usahatani melalui penyuluhan,

kebijakan harga pupuk, dan kebijakan penguatan kelembagaan petani. Menurut Bekele (2007) meskipun

penelitian dibuat untuk area kecil, kerangka penelitian dapat digunakan sebagai instrumen untuk analisis

preferensi dalam skala daerah yang lebih besar dan hasil tertentu bisa berlaku untuk daerah dengan kebijakan

dan fenomena yang sama.

KESIMPULAN

Kesimpulan yang diapatkan dari penelitian dengan judul analisis preferensi petani terhadap kebijakan

pertanian di Desa Malasan Kabupaten Trenggalek antara lain adalah sebagai berikut:

1. Karakteristik umum petani padi Desa Malasan mayoritas berjenis kelamin laki-laki dengan dominan usia

petani produktif, pendidikan terakhir paling banyak tamatan SMA, dan luas lahan usahatani mayoritas

dibawah 1 ha.

2. Hasil analisis konjoin menunjukkan nilai kepentingan atribut kebijakan terpenting adalah aspek teknis

produksi yaitu sebesar 37,45%, aspek ekonomi produksi yaitu sebesar 33,41%, dan aspek kelembagaan

petani yaitu sebesar 29,14%. Kebijakan yang paling diinginkan petani padi Desa Malasan pada aspek

teknis produksi (kebijakan perbaikan teknik usahatani melalui penyuluhan), aspek ekonomi produksi

(kebijakan harga pupuk), dan aspek kelembagaan petani (kebijakan penguatan kelembagaan petani).

Page 244: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

230 |

3. Kombinasi kebijakan pertanian yang paling diinginkan petani padi di Desa Malasan yaitu kebijakan

perbaikan teknik usahatani melalui penyuluhan, kebijakan harga pupuk, dan kebijakan penguatan

kelembagaan petani.

DAFTAR PUSTAKA

Aaker DA, Kumar V, Day GS. (2003).Marketing Research. 8th ed. United States: John Wiley & Sons. Badan Pusat Statistik. (2017). Kabupaten Trenggalek dalam Angka. Trenggalek:PenerbitKantor BPS

Kabupaten Trenggalek. Badan Pusat Statistik. (2017). Kecamatan Durenan dalam Angka. Trenggalek: PenerbitKantor BPS

Kabupaten Trenggalek. Bekele, Wagayehu. (2007). Farmers’Preferences for Development Intervention Programs: A Case Study of

Subsistence Farmers fromEastEthiopianHighlands.International Conference on African Development Archives. Paper 124.

Christina P. Parel, et al. (1973).SamplingDesign and Procedures. NewYork: ADC. Churchill GA. (2005). Dasar-dasar Riset Pemasaran. Edisi ke-4 Jilid 1.(Andrianti, Yahya DDK, Salim E,

penerjemah. Saat S, Kristiaji WC, editor.) Jakarta (ID): Erlangga. Terjemahan dari: Basic Marketing Research, Fourth Edition.

Gustafsson, A., et al. (2007). Conjoint Measurement methodes and Applications. Fourth Editions.Berlin: Springer Verlage.

Kementan. (2009). Rencana Strategis Kementerian Pertanian Tahun 2010-2014. Jakarta: Kementerian Pertanian.

Kementan. (2010). Rencana Strategis Kementerian Pertanian 2010-2014 (Permentan Nomor 15 Tahun 2011). Jakarta: Kementerian Pertanian.

Kementan. (2013). Strategi Induk Pembangunan Pertanian 2013-2045. Jakarta: Biro Perencanaan. Kementan. (2015). Rencana Strategis Kementerian Pertanian 2015-2019. Jakarta: Kementerian Pertanian. Ragasa, C., S.C. Babu and J. Ulimwengu. (2011).Institutional and Capacity Challenges in Agricultural Policy

Process. Melbourne: IFPRI.

Page 245: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 231

ANALISIS PENETAPAN HARGA BERAS SEMI ORGANIK KELOMPOK TANI MAKMUR DI DESA PAMOTAN, KABUPATEN MALANG

Ivon Cladiya Martha, Dina Novia Priminingtyas Jurusan Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya

Abstrak: Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk menganalisis penetapan harga jual beras semi organik, menganalisis metode penetapan harga jual produk serta menganalisis alternatif metode penetapan harga jual produk beras semi organik yang dilakukan oleh Kelompok Tani Makmur di Desa Pamotan. Metode Penentuan responden yang dipilih sebagai sumber informasi (key informan). Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif. Analisis dilakukan dengan menghitung harga pokok produksi dengan pendekatan full costing, menganalisis dengan Mark up, menganalisis dengan titik impas (Break Even Point), serta alternatif metode penetapan harga analisis Target Return On Sales Pricing. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa Harga Pokok Produk antara Rp 41.000,00- Rp 45.000,00. Pada metode BEP unit dengan jumlah 53 unit sedangkan mark up 30,73%. Target Return on Sales Pricing memiliki nilai yang hampir sama dengan perhitungan Mark up.

Kata kunci: penetapan harga, BEP, Mark up, Target Return on Sales Pricing

PENDAHULUAN

Persaingan produsen berbagai macam untuk memperoleh pasar dengan tepat sasaran. Sasaran yang dituju salah satunya dengan masyarakat peduli akan bahan yang tidak mengandung kimia. Penggunaan metode pertanian organik dapat memproduksi bahan pangan organik dengan tidak adanya bahan kimia. Salah satu komoditas pangan organik dengan jumlah permintaan yang cukup tinggi adalah padi (beras). Berdasarkan cara penanaman padi, dikenal dengan beras organik dan beras non organik (Andoko, 2008). Beras organik merupakan beras yang ditanam dengan menggunakan teknik pertanian organik, yaitu suatu teknik pertanian yang bersahabat dan selaras dengan alam, berpijak pada kesuburan tanah sebagai kunci keberhasilan produksi yang memperhatikan kemampuan alami dari tanah, tanaman dan hewan untuk menghasilkan kualitas yang baik bagi hasil pertanian maupun lingkungan (Agrispektro, 2002; dalam Murniati, 2006).

Dalam pengembangan produksi beras organik para produsen beras organik baik perusahaan maupun petani menjadi peluang yang lebar (Ahmad, 2007). Selain itu dukungan dari pemerintah untuk pertanian organik telah dilakukan sejak tahun 2015. Kementerian Pertanian tengah mengembangkan sejumlah desa organik tahun ini untuk memproduksi beberapa komoditas seperti beras (Tomie dalam Anam, 2015). Namun dalam memproduksi komoditas beras organik tidak mudah untuk direalisasikan karena masih banyak kandungan kimia yang tersisa di dalam tanah dan petani yang sudah ketergantungan dengan bahan-bahan kimia untuk memproduksi beras tersebut.

Harga merupakan bagian dari komponen penting yang dapat menentukan pendapatan serta laba yang akan diperoleh. Bagi konsumen harga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi minat atau tidaknya dalam suatu produk, dimana calon pembeli akan lebih tertarik dengan produk yang berkualitas dan memiliki fungsi yang sama namun harganya lebih rendah dibandingkan dengan produk sejenis lainnya.

Page 246: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

232 |

Kondisi harga beras semi organik yang tidak menentu atau berfluktuasi menjadi hal yang tidak mudah dalam menentukan harga. Harga yang ditetapkan oleh pemerintah dirasa kurang adil, sehingga dari pihak produsen merasa dirugikan. Oleh karena itu penentuan harga yang dilakukan oleh Kelompok Tani Makmur harus tepat dalam melakukan keputusan yang saling menguntungkan. Harga yang ditetapkan harus dapat menutup biaya produksi dan mendapatkan laba namun tidak membuat volume penjualan berkurang.

Kelompok Tani Makmur menetapkan harga beras semi organik dengan harga jual beras semi organik dengan harga Rp.33.000,00 untuk kemasan 2,5 kg atau dengan harga Rp.13.200,00/kg (Data Pribadi Kelompok Tani Makmur, 2017). Sedangkan harga beras semi organik yang dijual dipasar cukup berbeda dengan harga Rp.16.000,00/kg. Mengingat perbedaan dalam harga yang diberikan oleh Kelompok Tani Makmur cukup jauh dengan harga dipasar, sehingga diperlukan analisis perhitungan penetapan harga beras semi organik di Desa Pamotan Kabupaten Malang. Hal ini dikarenakan harga menjadi salah satu faktor penentu dalam keputusan pembelian suatu produk.

METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan studi tentang penetapan harga yang dilakukan pada Kelompok Tani

Makmur di Desa Pamotan Kecamatan Dampit Kabupaten Malang, Jawa Timur. Pendekatan yang dilakukan pada penelitian ini adalah dengan pendekatan secara kuantitatif. Penentuan responden yang dipilih sebagai sumber informasi (key informan). Metode pengumpulan data dengan data primer yakni observasi dan wawancara pada Kelompok Tani Makmur serta data sekunder yakni dengan dokumentasi. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan analisis harga pokok produksi, BEP (Break Even Point), Mark up dan Target Return on Sales Pricing.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Pembahasan

Kelompok Tani Makmur berdiri pada tanggal 5 Januari 2005 bertempat di rumah Ir. Guruh Syang dengan dihadiri oleh Bapak Kepala Desa Pamotan, penyuluhan pertanian, Mantri Tani dan Tokoh masyarakat Desa Pamotan yang telah sepakat untuk membentuk kelompok tani dengan nama Kelompok Tani Makmur. Kelompok Tani Makmur terletak di Desa Pamotan yakni pada saat itu yang menjabat adalah Adi Yuda Rifa‘i, Kecamatan Dampit, Kabupaten Malang. Pembentukan kelompok tani tersebut telah tertulis dalam SK Bupati Malang No. 188.45/430/KEP/421.013/2015Reg.441.61/13/421.207.101/2005 bahwa jumlah anggota dari Kelompok Tani Makmur dengan anggota awal 25 orang. Luas hamparan lahan sawah dari awal pembentukan hingga sekarang kurang lebih 70 Ha dengan komoditas utama tanaman padi sawah. Tujuan dari pembentukan Kelompok Tani Makmur adalah untuk mempermudah dalam memperoleh alstintan dan menghasilkan beras yang dapat diproses hingga siap di pasarkan.

Biaya Tetap

Biaya tetap merupakan biaya dengan jumlah yang tetap tidak dipengaruhi besarnya oleh jumlah produksi. Biaya tetap Kelompok Tani Makmur dalam produksi beras semi organik yakni; penyusutan mesin dan peralatan, penyusutan bangunan, pajak bumi dan bangunan, pajak ijin mendirikan usaha serta pemeliharaan mesin dan peralatan. Biaya tetap Kelompok Tani Makur dalam produksi beras semi organik dapat diliat pada tabel berikut:

Page 247: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 233

Tabel 1. Biaya Tetap Produksi Beras Semi Organik Kelompok Tani Makmur

Sumber: Data primer, 2018 (Diolah) Pada semua data biaya tetap yang ada didalam Kelompok Tani Makmur, Biaya penyusutan mesin dan peralatan memiliki kontribusi paling tinggi yakni sebesar 60,24% dari total biaya, kontribusi tinggi kedua adalah biaya pemeliharaan mesin dan peralatan sebesar 19,73% serta biaya pajak dan perizinan sebesar 12,78%. Sedangkan untuk biaya sewa lahan dan bangunan memiliki kontribusi paling rendah yakni sebesar 7,25%. Harga Pokok Produk

Harga pokok produk merupakan penentuan harga jual yang digunakan oleh Kelompok Tani Makmur sebagai harga dasar agar kelompok tani tersebut tidak mengalami kerugian. Harga pokok produksi dapat dikatakan dengan biaya produksi yang dibutuhkan untuk memproduksi satu unit barang. Harga pokok produksi dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 2. Biaya Harga Pokok Produk Kelompok Tani Makmur Bulan Januari-Oktober 2017

Sumber: Data primer, 2018 (Diolah)

Harga pokok dari bulan Januari-Oktober 2017 mengalami harga pokok paling rendah pada bulan Agustus 2017 sebesar Rp 41.000,00. Sehingga pada bulan tersebut, memperoleh harga pokok produksi yang dapat menguntungkan Kelompok Tani Makmur. Hal ini dapat terjadi karena total biaya yang dikeluarkan termasuk rendah namun menghasilkan produk dalam kemasan 5 kg cukup tinggi. Harga pokok produk yang lebih tingi maupun lebih rendah ditentukan dari biaya variabel yang berubah-ubah setiap bulan pada total biaya atau biaya yang dikeluarkan oleh Kelompok Tani Makmur. Biaya yang dikeluarkan berhubungan dengan yang lain, yakni biaya tenaga kerja dipengaruhi oleh jumlah panen gabah kering sawah (GKS) yang dihasilkan. Biaya bahan baku beras semi organik Kelompok Tani Makmur dipengaruhi oleh rendemen menjadi gabah

No Uraian Jumlah (Rp/bulan)

Presentase (%)

1. Penyusutan Mesin dan Peralatan 519.000,00 60,24

2. Penyusutan Bangunan 62.500,00 7,25

3. Pajak dan Perizinan 110.000,00 12,78

4. Pemeliharaan Mesin dan Peralatan 170.000,00 19,73

Total Biaya Tetap 861.500,00 100

No Bulan Produksi Total Biaya (TC) Jumlah Produksi (5 Kg) HPP

1. Januari 13.595.550 273 49.800

2. Februari 13.653.700 262 52.100

3. Maret 12.545.400 216 58.000

4. April 18.676.200 428 43.600

5. Mei 12.651.450 219 57.800

6. Juni 18.454.700 412 44.700

7. Juli 19.768.300 466 42.400

8. Agustus 16.022.300 390 41.000

9. September 16.019.600 363 44.100

10. Oktober 21.357.150 469 45.500

Page 248: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

234 |

kering giling (GKG) serta harga gabah yang ditentukan oleh kelompok tani tersebut berdasarkan kualitas. Sedangkan pada biaya kemasan dipengaruhi oleh hasil beras pengilingan.

Metode Penetapan Harga Beras Semi Organik Kelompok Tani Makmur 1. Metode Break Even Point (BEP)

Analisis BEP merupakan analisis yang dapat digunakan untuk menentukan tingkat penjualan baik dari BEP harga maupun BEP unit untuk menutup keseluruhan biaya yang telah dikeluarkan selama periode tertentu. Analisis BEP untuk mengetahui keadaan Kelompok Tani Makmur mengalami posisi tidak memperoleh keuntungan namun juga tidak mengalami kerugian atau titik impas. Perhitungan BEP di Kelompok Tani Makmur dilakukan pada awal perencanaan produksi supaya mengetahui titik saat pengembalian modal produksi yang akan berlanjut ke titik saat perusahaan memperoleh keuntungan. BEP yang terdapat di Kelompok Tani Makmur selama bulan Januari-Oktober 2017 dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 3. BEP Unit dan BEP Rupiah di Kelompok Tani Makmur pada bulan, Januari-Oktober 2017 Sumber: Data primer, 2018 (Diolah) 2. Metode Mark-Up Pricing Kelompok Tani Makmur menggunakan mark up dalam menentukan harga jualnya. Pada penentuannya, dengan menambahkan presentase tertentu dari biaya pada semua jenis suatu kelas produk agar mendapatkan laba yang diinginkan. Mark up pada Kelompok Tani Makmur dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 4. Harga Beras Semi Organik dan Mark Up Kelompok Tani Makmur

No Bulan Produksi BEP Unit (5 Kg) BEP Rupiah (Rp)

1. Januari 256 12.838.555

2. Februari 206 10.936.907

3. Maret 145 8.749.345

4. April 56 3.193.465

5. Mei 206 11.997.996

6. Juni 76 4.117.610

7. Juli 64 3.464.614

8. Agustus 53 2.938.239

9. September 56 3.221.691

10. Oktober 64 3.692.350

No Bulan Produksi Harga Beras Semi

Organik (Rp) Harga pokok produk (HPP)

Selisih Harga Jual dengan

HPP

Mark up (%)

1. Januari 50.000 49.800 200 0,40

2. Februari 53.000 52.100 900 1,73

3. Maret 60.000 58.000 2.000 3,44

4. April 57.000 43.600 13.400 30,73

5. Mei 58.000 57.800 200 0,34

6. Juni 54.000 44.700 9.300 20,80

7. Juli 54.000 42.400 11.600 27,35

8. Agustus 55.000 41.000 14.000 34,15

Page 249: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 235

Sumber: Data primer, 2018 (Diolah) Pada tabel 20 dapat diketahui mark up yang dilakukan pada Kelompok Tani Makmur bulan Januari-

Oktober 2017 mengalami fluktuatif. Mark up pada bulan Agustus 2017 merupakan mark up tertinggi, dikarenakan keuntungan yang didapat Kelompok Tani Makmur melonjak tinggi jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya Juli 2017. Laba yang didapatkan pada bulan Agustus 2017 adalah sebesar Rp 5.460.000,00. Keuntungan juga terlihat dari selisih harga jual dengan harga pokok produknya, selisih pada Agustus 2017 memiliki selisih yang paling besar yakni sebesar Rp 14.000,00. Sedangkan bulan Januari dan Mei 2017 memiliki mark up terendah jika dibandingkan dengan yang lain. Hal ini dikarenakan harga jual beras semi organik yang relatif rendah sedangkan harga pokok produk tidak berbeda jauh nilainya. Selisih dari harga jual dengan harga pokok produk dapat dilihat bahwa sangat kecil hanya Rp 200,00. Alternatif Metode Penetapan Harga Beras Semi Organik Kelompok Tani Makmur 1. Target Return on Sales Pricing Pada metode ini Kelompok Tani Makmur terlebih dahulu harus menentukan target penjualan yang akan dicapai dan presentase keuntungan yang diinginkan. Sedangkan target volume penjualan semisal terdapat 2 alternatif pada volume 460 kemasan 5 kg dan 480 kemasan 5 kg. Dapatr dilihat pada tabel berikut ini: Tabel 5. Data Target Return on Sales Pricing

Sumber: Data primer, 2018 (Diolah)

Rekomendasi harga yang diberikan berdasarkan pengaruh dari harga gabah beras yang masih fluktuatif dan harga yang masih bergantung pada pasar sehingga berpengaruh terhadap biaya variabel yang dikeluarkan Kelompok Tani Makmur seperti biaya bahan baku dan biaya tenaga kerja panen. Oleh karena itu, berdasarkan data bulan terakhir bulan Oktober 2017 untuk memperoleh hasil laba yang lebih menguntungkan maka Kelompok Tani Makmur lebih baik menggunakan metode alternatif kedua dengan 480 kemasan 5 kg.

KESIMPULAN

Harga Pokok Produk yang ditetapkan oleh Kelompok Tani Makmur dalam memproduksi beras semi organik kemasan 5 kg adalah dengan mempertimbangkan jumlah produksi, total biaya yang terdiri dari biaya tetap dan biaya variabel. Pada bulan Januari-Oktober 2017 dapat menetapkan harga pokok produksi saat produksi normal adalah antara Rp 41.000,00- Rp 45.000 akan tetapi jika memproduksi jumlah produksi dalam jumlah yang sedikit adalah sebesar Rp 58.000,00 untuk nilai HPP yang membuat laba yang diperoleh Kelompok Tani Makmur sedikit.

Metode BEP adalah sebesar 53 sampai 64 unit Sedangkan pada Mark up diperoleh hasil tertinggi sebesar 30,73% dan terendah sebesar Rp 0,34% yang didasarkan oleh selisih besaran harga beras semi organik dipasar dengan harga pokok produksi beras semi organik.

9. September 57.000 44.100 12.900 29,25

10. Oktober 57.000 45.500 11.500 25,27

No Tingkat Keuntungan (%) Volume Penjualan (kg) Rekomendasi Harga Jual (Rp)

1. 20 460 58.035

2. 20 480 55.617

Page 250: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

236 |

Alternatif metode penetapan harga yang ditetapkan oleh Kelompok Tani Makmur dengan menggunakan Target Return on Sales Pricing memiliki nilai yang hampir sama dengan perhitungan Mark up yakni sebesar Rp 58.035,00 untuk kemasan 5 kg pada bulan Oktober 2017 dengan target panjualan sebanyak 460 kamsan 5 kg.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Firdaus Ahmad Dunia dan Wasilah. (2012). Akntansi Biaya. Jakarta: Salemba Empat Alma, Buchari. (2005). Manajemen Pemasaran dan Pemasaran Jasa. Bandung: Alfabeta Basu Swastha dan Irawan, (2005), Manajemen Pemasaran Modern Yogyakarta: Liberty Bustami Bastian.& Nurlela. (2010). Akuntansi Biaya. Yogyakarta: Graha Ilmu Bustami, Bastian dan Nurlela. (2008). Akuntansi Biaya, Jakarta: Mitra Wacana Media Djarwanto Ps, (2001). Pokok – pokok Analisa Laporan Keuangan, Edisi Pertama, Cetakan Kedelapan.

Yogyakarta: BPFE Djaslim Saladin. (2001). Manajemen Pemasaran, Analisis, Perencanaan Pelaksanaan dan Pengendalian.

Bandung: Lindakarya Fandy Tjiptono. (2008). Strategi Bisnis Pemasaran. Yogyakarta: Andi. Garrison, H. Ray; Eric W. Noreen; dan Peter C. Brewer. (2006), Akuntansi Manajerial, Buku I edisi kesebelas.

Jakarta: Salemba Empat. Hansen dan Mowen. (2011). Akuntansi Manajerial. Jakarta: Salemba Empat. Horngren, Charles T, George Foster, Srikant M. Datar. (2006). Akuntansi Biaya: dengan Penekanan

Manajerial, edisi 12. Dialih bahasakan oleh P.A. Lestari. Jakarta: Erlangga. Horngren, Charles T., Srikant M. Datar, dan George Foster. (2008). Akuntansi Biaya: Penekanan Manajerial.

Buku Kedua, Edisi Kesebelas. . Dialih bahasakan oleh Desi Adhariani. Jakarta: Indeks Kotler, Philip. & Gary Armstrong. (2014). Principle Of Marketing, 15th edition. New Jersey: Pearson Prentice

Hall. L, M. Samryn. (2015). Pengantar Akuntansi-Metode Akuntansi untuk Elemen Laporan Keuangan Diperkaya

dengan Perspektif IFRS & Perbankan. Edisi Pertama. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada Mulyadi. (2007). Akuntansi Biaya. Yogyakarta:BPFE-UGM. Munawir, S, (2002). Analisis Laporan Keuangan, Edisi Kedua.Yogyakarta: YPKN. Radiks Purba. (2002). Asuransi Indonesia. Jakarta: Salemba Empat. Simamora, Bilson.(2001). Memenangkan Pasar dengan Pemasaran Efektif dan Profitable. Jakarta: Gramedia

Pustaka Utama. Simamora, Henry. (2012). Akuntansi Manajemen. Jakarta: Star Gate Publisher. Sunarto. (2004). Prinsip–Prinsip Pemasaran Edisi ke-2.Yogyakarta: AMUS Yogyakarta & UST Press. Supriyono, R. (2011). Akuntansi Biaya, Perencanaan dan pengendalian biaya, serta pengambilan keputusan.

Yogyakarta: BPFE. Suryana. (2001). Kewirausahaan. Jakarta: Salemba Empat. Tjiptono, Fandy. (2008). Strategi Pemasaran. Edisi ke 3. Yogyakarta: Andi

Page 251: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 237

VALUE CHAIN ANALYSIS OF CHILI COMMODITY IN MALANG

Novil Dedy Andriatmoko1, Febriananda Faizal2, Department of Socio-Economics, Agriculture Faculty, University of Brawijaya Jalan Veteran, Malang, Indonesia

Corresponding author: [email protected] Abstract. In general, the value chain for horticulture in Malang Regency sees a variety of complex activities carried out by various actors including: major producers, processors, traders, and service providers to bring raw materials through a value chain to become the final product sold. Value chain analysis seeks to understand the mechanism of the value of customers created in a business by examining various activities against that value (Udaya et al, 2013). Value from customers comes from activities that differentiate products, activities that reduce costs, and activities that meet customers' needs quickly. Interactions between activities or activities in the company can be analyzed using the value chain. Three steps that need to be done in value chain analysis according to (Suwarsono, 1996) are as follows: 1) Management needs to specifically identify the activities that need to be done, either directly or indirectly, 2) Analyze company profiles to find linkages from various main activities and supporting activities. This step is to find out the effect of one activity on other activities. If this connection can be known clearly, it is expected that coordination can be carried out between activities and optimization of costs and outputs, 3) Finding potential synergies that may be found between various products and strategic business units owned by the company. Keywords: Value Chain, SWOT, Horticulture

PENDAHULUAN

Perkembangan jumlah produksi dan permintaan cabai di Indonesia sejalan dengan semakin

meningkatnya jumlah penduduk di Indonesia. Cabai merupakan bahan hortikultura pokok dari tanaman cabai

(Oryza sativa) yang paling banyak dikonsumsi oleh masyarakat di Indonesia. Kondisi ini didukung dengan

pernyataan Sumodiningrat (2001) bahwa tingginya permintaan cabai di Indonesia disebabkan oleh anggapan

masyarakat bahwa cabai merupakan makanan pokok yang belum tergantikan oleh bahan hortikultura lainnya.

Hal ini juga berkaitan dengan tingkat konsumsi cabai nasional menurut Badan Pusat Stastistik (2014).

Konsumsi cabai nasional per kapita mencapai 34,13 kg per kapita. Persebaran tingkat konsumsi cabai

nasional per kapita di Indonesia sebagian besar didominasi oleh konsumsi rumah tangga sebesar 25,04 kg

per kapita dan rumah makan sebesar 9,32 kg per kapita. Tingkat konsumsi cabai nasional tersebut akan terus

mengalami fluktuasi seiring dengan tingkat pertumbuhan penduduk di Indonesia.

Berbagai permasalahan seputar harga cabai yang berlaku di tingkat konsumen, petani, maupun

pemanenan telah terjadi selama beberapa bulan terakhir di tahun 2017. Badan Pusat Statistik (2017)

menyatakan bahwa fluktuasi harga cabai terjadi selama tahun 2017 baik di tingkat konsumen, petani, maupun

pemanenan. Pada Juli 2017, harga cabai kualitas premium di tingkat pemanenanan sebesar Rp9.384,00 per

kg atau turun sebesar 0,64% dari bulan sebelumnya. Pada tahun yang sama di bulan Oktober, harga cabai

mengalami kenaikan. Harga cabai kualitas premium di tingkat pemanenanan meningkat rata-rata 1,41% dari

bulan sebelumnya.

Page 252: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

238 |

Penelitian ini dilakukan untuk mendeskripsikan aktivitas rantai nilai komoditas cabai di Kabupaten

Malang, menganalisis nilai keuntungan yang diperoleh masing-masing pelaku dalam rantai nilai komoditas

cabai di Kabupaten Malang, dan merumuskan upaya untuk meningkatkan keunggulan bersaing di Kabupaten

Malang dibanding rantai nilai cabai lainnya.

METODOLOGI

Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kuantitatif. Lokasi penelitian dilakukan di outlet Rumah

Hortikultura Kita (PASAR) yang berada di wilayah Kecamatan Lowokwaru Kabupaten Malang. Penelitian

dilakukan mulai dari Mei-Desember 2018. Objek dalam penelitian ini adalah pelaku yang terlibat dalam rantai

nilai komoditas cabai, dalam rantai nilai. Identifikasi pelaku rantai nilai dilakukan secara backward meliputi

lembaga pemasaran, g, dan petani serta secara forward kepada konsumen. Sampel penelitian ditentukan

menggunakan teknik non probability sampling. Purposive berdasarkan rekomendasi dari pihak BALITBANG

terhadap beberapa pasar yang cukup rutin melakukan pembelian ulang. Adapun metode snowball sampling

digunakan untuk mengetahui sampel penelitian yang berperan dalam rantai nilai. Jumlah keseluruhan sampel

yang digunakan dalam penelitian adalah 100 orang. Data penelitian dikumpulkan dengan menggunakan

instrumen kuesioner terbuka dan tertutup.

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis statistik deskriptif, analisis rantai

nilai, dan analisis SWOT. Analisis rantai nilai menggunakan tahapan the point of entry for value chains,

mapping value chains, dan pengukuran kinerja rantai nilai. Pada rantai nilai komoditas cabai di pasar, titik

masuk awal dimulai dari pasar sebagai ritel yang akan memberikan informasi selanjutnya terkait pelaku-pelaku

sebelum dan setelahnya hingga ke konsumen akhir. Pasar akan berperan sebagai inti dalam rantai pasok

komoditas cabai yang akan diteliti, dimana identifikasi pelaku lainnya akan dilakukan secara backward (ke

arah hulu) hingga ke produsen dan forward (ke arah hilir) menuju konsumen akhir. Pemetaan pelaku dan

aktivitas pemasaran serta pemasukan nilai output dalam rantai nilai berfungsi untuk mengetahui nilai marjin

keuntungan yang diperoleh masing-masing pelaku pada rantai nilai komoditas cabai Pasar. Analisis SWOT

dilakukan dengan mengidentifikasi dan analisis faktor lingkungan internal dan eksternal yang dimiliki oleh

pasar Malang. Setelah diperoleh faktor-faktor internal (strengths dan weaknesses) dan faktor-faktor eksternal

(opportunities dan threats), dilakukan pembobotan dan pemberian rating pada masing-masing faktor.

Page 253: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 239

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pasar merupakan suatu program berupa outlet penjualan hortikultura pokok milik masyarakat umum yang

pengelolaannya berada di bawah binaan Badan Usaha Logistik (BALITBANG).

Analisis Rantai Nilai

2) The Point of Entry for Value Chain

Tahap ini digunakan untuk mendeskripsikan pelaku-pelaku yang terlibat dalam aktivitas rantai nilai

komoditas cabai. Menurut Kaplinsky dan Morris (2000), terdapat kemungkinan titik masuk (point of entry) pada

penelitian rantai nilai. Adapun fokus pada penelitian ini adalah peran ritel (role of retailers) sehingga titik

masuk pertama yang diidentifikasi dalam rantai nilai adalah toko, supermarket, ataupun jenis ritel lainnya.

peneliti memberikan rantai nilai cabai konvensional sebagai pembanding bagi rantai nilai cabai yang di

pasarkan.

Beberapa aktivitas utama diantaranya aktivitas budidaya cabai, aktivitas pengolahan cabai, dan aktivitas

pemasaran. Aktivitas budidaya cabai dilakukan oleh petani sedangkan aktivitas pengolahan cabai dilakukan

oleh pemanenan. Adapun aktivitas pemasaran dilakukan oleh pengepul, pedagang besar, pedagang toko, dan

juga pasar. Adanya beberapa lembaga pemasaran yang terlibat dalam rantai nilai cabai menunjukkan adanya

dua rantai nilai yang berbeda antara cabai yang dipasarkan dan cabai yang dipasarkan secara konvensional.

Perbedaan rantai nilai yang terjadi pada komoditas cabai tersebut menunjukkan adanya perbedaan biaya

yang telah dikeluarkan oleh suatu usaha. Gabungan biaya dari seluruh aktivitas dalam suatu rantai nilai

menentukan besarnya biaya yang harus dikeluarkan suatu usaha dalam menjalankan bisnisnya (David, 2009).

Selain itu Kaplinsky dan Morris (2000) juga menyatakan tentang different types of value chain yang berarti

bahwa terdapat dua jenis rantai nilai yang masing-masing berguna untuk menggambarkan pelaku dalam rantai

nilai dan menjelaskan koordinasi pada tiap hubungan antarpelaku. Hal tersebut sesuai dengan penjelasan

hasil analisis rantai nilai cabai yang telah dilakukan peneliti bahwa masing-masing aktivitas yang dilakukan

pelaku dalam rantai nilai cabai dapat menggambarkan adanya koordinasi yang terjadi di sepanjang rantai nilai.

Kondisi tersebut juga dapat menjadi langkah untuk mengetahui efisiensi rantai nilai cabai dari segi biaya

keuntungan.

2. Mapping Value Chains

Tahap mapping value chains merupakan tahap pemetaan rantai nilai yang dilakukanuntuk

menggambarkan keseluruhan aktivitas, pelaku, dan hubungan yang terjadi diantaranya. Di Pasar

Konvensional Rantai pemasaran cabai yang dijual di pasar Kabupaten Malang yaitu cabai premium biasa dan

Cabai Kita Premium. Rantai pemasaran keduanya menunjukkan total biaya produksi petani hingga panen dan

harga jual yang berlaku pada tiap lembaga pemasaran.

Adanya perbedaan harga yang berlaku pada cabai premium biasa dan Cabai Kita Premium dikarenakan

adanya perbedaan jenis kualitas premium dan kemasan pada kedua jenis cabai. Cabai premium biasa

diproduksi dengan standar kualitas premium dari merk cabai pemanenan itu sendiri, sedangkan Cabai Kita

Premium diproduksi sesuai standar kualitas premium yang diminta BALITBANG dan dikemas dengan karung

yang dikirim langsung oleh BALITBANG kepada pemanenan mitranya. Hal itulah yang menyebabkan

BALITBANG memberlakukan harga jual cabai lebih mahal pada Cabai Kita Premium. Adapun pasar menjual

Cabai Kita Premium dengan marjin keuntungan yang lebih kecil daripada cabai premium biasa agar harga

Page 254: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

240 |

tidak melebihi HET dan tetap mudah dijangkau oleh konsumennya. Cara ini diterapkan oleh setiap agen pasar

untuk menarik konsumen membeli cabai premium kualitas terbaik dengan harga yang lebih murah

dibandingkan dari ritel lainnya. Perbedaan standar kualitas yang berlaku pada cabai premium biasa dan Cabai

Kita Premium menyebabkan perbedaan marjin yang cukup signifikan pada BALITBANG maupun pasar.

Analisis rantai nilai juga dilakukan untuk mengetahui besarnya nilai marjin keuntungan yang diperoleh

pelaku dalam rantai nilai cabai di Pasar konvensional. rantai pemasaran cabai premium yang dijual di Pasar

konvensional di Kabupaten Malang. Rantai pemasaran keduanya menunjukkan total biaya produksi petani

hingga panen dan harga jual yang berlaku pada tiap lembaga pemasaran. Perbedaan rantai pemasaran cabai

di PASAR dan Pasar konvensional yaitu adanya peran pengepul sebagai penyalur cabai basah dari petani ke

pengiling. Harga jual cabai basah yang berlaku di tingkat petani adalah sebesar Rp3.950,00 per kg, sehingga

besarnya marjin keuntungan yang diperoleh petani adalah Rp1.098,00 per kg. Selanjutnya cabai basah akan

disalurkan oleh pengepul kepada pemanenan dengan harga jual cabai basah yang berlaku yaitu sebesar

Rp4.600,00 per kg dengan marjin keuntungan pengepul sebesar Rp650,00 per kg. Selanjutnya cabai basah

digiling hingga menjadi cabai oleh pemanenan sehingga harga jual yang berlaku pada tingkat pemanenan

adalah Rp9.800,00 per kg dengan marjin keuntungan Rp5.200,00 per kg. Cabai dari pemanenan akan

dipasarkan oleh pedagang besar dengan rata-rata harga jual cabai Rp10.182,00 per kg dengan besarnya

marjin keuntungan yang diterima yaitu Rp382,00 per kg. Adapun harga di tingkat pedagang took akan menjadi

harga akhir cabai yang harus dikeluarkan oleh konsumen yaitu sebesar Rp10.500,00 per kg dengan besarnya

marjin keuntungan pedagang toko yaitu Rp318,00.

Page 255: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 241

No Rantai Pemasaran Cabai Rantai Nilai

(Rp/kg)

Nilai Marjin Persentase

Keuntungan (Rp/kg)

Marjin (%)

Cabai Premium Biasa 1. Biaya produksi petani hingga panen 12.183 - - 2. Harga di tingkat petani 14.800 2.617 28,6 3. Harga di tingkat pemanenan 19.700 4.900 53,5 4. Harga di tingkat BALITBANG 80.472 772 8,4 5. Harga di tingkat PASAR 81.330 858 9,4

6. Harga yang diterima konsumen akhir

91.330 - -

Total 9.147 100 Cabai Kita Premium 1. Biaya produksi petani hingga panen 12.183 - - 2. Harga di tingkat petani 14.800 2.617 27,6 3. Harga di tingkat pemanenan 19.700 4.900 51,6 4. Harga di tingkat BALITBANG 80.080 1.380 14,5 5. Harga di tingkat PASAR 81.680 600 6,3

6. Harga yang diterima konsumen akhir

91.680 - -

Total 9.497 100

Sumber: Data Primer Diolah (2018)

Tabel 3. Analisis Rantai Nilai Komoditas Cabai di Pasar Konvensional

No Rantai Pemasaran Cabai Rantai Nilai

(Rp/kg)

Nilai Marjin

Keuntungan

(Rp/kg)

Persentase

Marjin (%)

Cabai Premium Biasa

1. Biaya produksi petani hingga panen 12.852 - -

2. Harga di tingkat petani 13.950 1.098 14,4

3. Harga di tingkat pengepul 14.600 650 8,5

4. Harga di tingkat pemanenan 19.800 5.200 68,0

5. Harga di tingkat pedagang besar 80.182 382 4,9

6. Harga di tingkat pedagang toko 80.500 318 4,2

7. Harga yang diterima konsumen akhir 80.500 - -

Total 7.648 100

Sumber: Data Primer Diolah (2018)

Page 256: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

242 |

Harga akhir cabai premium yang diPasarkan melalui pasar lebih mahal dibandingkan harga akhir cabai

premium di Pasar konvensional. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan standar kualitas pada masing-masing

jenis cabai. Cabai premium yang dijual di pasar melalui tahapan seleksi yang diawasi secara ketat oleh

BALITBANG. Kualitas yang terjamin dan harga terjangkau menyebabkan cabai premium di pasar masih tetap

diminati oleh konsumen meskipun konsumen harus mengeluarkan biaya lebih mahal untuk cabai premium di

pasar. Selain itu, dilihat dari sisi besarnya nilai marjin yang diterima oleh masing-masing pelaku, rantai nilai

cabai premium yang dijual di pasar lebih efisien dibanding cabai premium di Pasar konvensional. Hal ini

dikarenakan distribusi marjin yang diperoleh masing-masing pelaku pada rantai nilai cabai premium di pasar

lebih merata dibandingkan rantai nilai cabai premium di Pasar konvensional.

3. Analisis Rantai Nilai Porter

Berdasarkan Gambar 3, keseluruhan kinerja rantai nilai komoditas cabai di pasar Kabupaten Malang

menghasilkan skor akhir sebesar 1,89. Hasil tersebut menunjukkan bahwa kinerja rantai nilai di pasar

Kabupaten Malang masih tergolong di bawah rata-rata karena < 2. Aktivitas terendah menunjukkan bahwa

potensi yang dimiliki dalam menciptakan nilai terhadap produk rendah, yaitu pada aktivitas primer operasi

yang diterapkan pasar dalam bentuk pemeliharaan produk sebelum dijual kembali dan aktivitas pendukung

manajemen sumber daya manusia yang diterapkan pasar dalam bentuk rekrutmen karyawan. Aktivitas

tertinggi sangat perlu dipertahankan kinerjanya karena dapat meningkatkan keunggulan bersaing pasar dari

para pesaingnya sedangkan aktivitas terendah memerlukan perbaikan kinerja agar dapat menambah nilai

pada produk sehingga terjadi peningkatan keunggulan bersaing pada pasar.

Analisis SWOT

1. Tahap Input

Tahap input dilakukan dengan menyusun Matriks Evaluasi Faktor Internal (Internal Factor Evaluation – IFE)

dan Matriks Evaluasi Faktor Eksternal (External Factor Evaluation – EFE). Keseluruhan item pada faktor

internal dibandingkan satu sama lain berdasarkan tingkat kepentingan perusahaan. Besarnya bobot pada tiap

faktor internal diperoleh berdasarkan rincian perhitungan menggunakan matriks pasangan perbandingan

(paired comparison matrix). Matriks IFE dan EFE dapat dilihat pada Tabel 4 dan 5.

2. Tahap Pencocokan

Tahap pencocokan dilakukan untuk merumuskan beberapa pilihan strategi yang dapat dilakukan oleh pasar

untuk berkembang dan bertahan dalam persaingan. Rumusan strategi merupakan hasil dari perpaduan antara

seluruh faktor kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman yang dimiliki pasar.

Page 257: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 243

Infrastruktur Perusahaan (0,36)

Manajemen Sumber Daya Manusia (0,04)

Pengembangan Teknologi (0,14)

Pembelian (0,20)

Logi

stik

ke

Dal

am(0

,21)

Op

eras

i (0,

13)

Logi

stik

ke

Luar

(0,2

4)

Pem

asar

an

dan

Pen

jual

an(0

,3

0)

Pel

ayan

an (

0,27

)

Mar

jin

Aktivitas Primer

Keterangan:

Aktivitas tertinggi Aktivitas terendah

Sumber: Data Primer Diolah (2018)

Gambar 1. Pemetaan Aktivitas Rantai Nilai PASAR

KESIMPULAN

1. Aktivitas yang terjadi pada rantai nilai komoditas cabai di pasar Kabupaten Malang meliputi aktivitas

budidaya cabai oleh petani, aktivitas pengolahan cabai oleh pemanenan, dan aktivitas pemasaran cabai

yang dilakukan oleh BALITBANG dan pasar. Selain itu pasar sebagai pelaku bisnis ritel juga melakukan

beberapa aktivitas primer dan aktivitas pendukung dalam rantai nilai.

2. Marjin keuntungan terbesar diperoleh pemanenan yaitu Rp4.900,00 per kg atau sebesar 53,5% untuk

cabai premium biasa dan 51,6% untuk Cabai Kita Premium pada rantai nilai cabai di PASAR Kabupaten

Malang sedangkan pada Pasar konvensional pemanenan memperoleh marjin keuntungan sebesar

Rp5.200,00 per kg atau 68%. Adapun marjin keuntungan terkecil pada rantai nilai cabai di pasar

Kabupaten Malang diperoleh BALITBANG untuk cabai premium biasa yaitu sebesar Rp772,00 per kg atau

8,4% dan PASAR untuk Cabai Kita Premium yaitu Rp600,00 per kg atau 6,3% sedangkan pada rantai nilai

cabai di Pasar konvensional, pedagang toko memperoleh marjin keuntungan terkecil yaitu Rp318,00 per

kg atau 4,2%.

3. Perhitungan kinerja rantai nilai menunjukkan bahwa aktivitas pemasaran dan penjualan serta aktivitas

infrastruktur perusahaan memberikan potensi pencipta nilai terbesar dalam rantai nilai komoditas cabai di

pasar Kabupaten Malang. Kekuatan terbesar yang dimiliki pasar adalah adanya branding nama

BALITBANG yang melekat pada pasar sedangkan kelemahan terbesar yang dimiliki pasar adalah

Page 258: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

244 |

penerapan manajemen yang belum optimal pada setiap agen. Selain itu, dukungan dan sarana dari

BALITBANG menjadi peluang terbesar yang dimiliki pasar untuk terus berkembang. Ancaman terbesar

diantaranya banyaknya saingan bisnis ritel bahan hortikultura pokok yang telah lebih dulu dikenal

masyarakat dan pengadaan cabai dari BALITBANG yang masih mengandalkan mitra. Posisi pasar yang

kuat dan berpeluang besar dapat memberikan kemudahan pada pasar untuk tetap bertahan dalam

persaingan.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik. 2014. Konsumsi Cabai Nasional Per Kapita. (Online). www.bps.go.id. Diakses 14

Desember 2017.

Badan Pusat Statistik. 2017. Harga Cabai basah dan Cabai di Tingkat Petani Turun. (Online).

https://ekbis/sindonews.com. 1 Agustus 2017. Diakses 14 Desember 2017.

David, Fred R. 2009. Manajemen Strategis. Jakarta: Salemba Empat.

Kaplinsky, R., and Morris, M. 2000. A HANDBOOK FOR VALUE CHAIN An Important Health Warning or A

Guide for Using this Handbook. Institute for Development Studies: Brighton, UK,

(September), 4–7. https://doi.org/10.1057/9781137373755.0 007.

Sumodiningrat, G. 2001. Menuju Swasembada Hortikultura Revolusi Hijau. Jakarta: RBI.

Page 259: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 245

ANALISIS PENGARUH SIKAP DAN NORMA SUBJEKTIF TERHADAP NIAT BELI SAYUR ORGANIK DI KOTA MALANG

Rika Ismania Susanti1, Abdul Wahib Muhaimin2, Hery Toiba3

1Program Pascasarjana, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya 2Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya

Corresponding author: [email protected]

Abstrak: Permintaan produk organik dunia meningkat setiap tahunnya. Namun, permintaan produk organik di negara berkembang seperti Indonesia, permintaannya masih terbatas. Penelitian ini bertujuan menganalisis pengaruh sikap dan norma subjektif terhadap niat pembelian sayur organik di kota Malang. Teori yang digunakan pada penelitian ini yaitu Theory of Reasoned Action. Pengumpulan data penelitian ini dengan melakukan wawancara pada 120 ibu rumahtangga yang dipilih secara purposive menggunakan kuesioner. Pada penelitian ini menggunakan Stuctural Equation Modeling (SEM) dengan program AMOS sebagai alat analisis. Dimana, hasilnya menunjukkan bahwa kedua variabel Theory of Reasoned Action yaitu sikap dan norma subjektif berpengaruh positif dan signifikan terhadap niat beli sayur organik. Kata Kunci: Niat beli, sayur organik, theory reasoned action, stuctural equation modelling.

PENDAHULUAN

Permintaan makanan yang diproduksi secara organik semakin meningkat di seluruh dunia sebagai

tanggapan terhadap kekhawatiran tentang efek negatif dari praktik pertanian konvensional, keamanan pangan

dan masalah kesehatan manusia Schifferstein dan Oude (1998). Penjualan makanan dan minuman organik

telah meningkat dari kurang dari 15 miliar dolar AS menjadi hampir 90 miliar dolar AS selama dua dekade

menurut Ecovia Intelligence dalam IFOAM, 2018. Hal ini termasuk konsentrasi permintaan (sekitar 90 pecahan

penjualan berada di Amerika Utara dan Eropa).

Pada tahun 2015 menurut IFOAM, 2018 pasar tunggal terbesar adalah Amerika Serikat (47 persen

dari pasar global), diikuti oleh Uni Eropa (30,7 miliar euro, 37 persen), dan Cina (5,9 miliar euro, 6 persen). Di

Asia pasar organik terbesar selain Cina, Jepang juga merupakan pasar organik terbesar dengan penjualan 1

miliar euro dan Korea Selatan melaporkan pasar sebesar 281 juta euro (IFOAM, 2015). Sedangkan, untuk

negara Indonesia menurut data Aliansi Organik Indonesia 2015, penjualan produk organik masih 6 juta euro

dengan pertumbuhan pasar 5% pertahun.

Salah satu produk pertanian organik yang dipasarkan di Indonesia adalah sayur organik. potensi

pasar sayur organik di Indonesia masih tergolong kecil dibandingkan dengan sayur konvensional. Hal ini

disebabkan salah satunya permintaan sayur organik yang masih terbatas.Beberapa literatur penelitian

terdahulu, telah banyak yang meneliti mengenai faktor apasaja yang mempengaruhi niat pembelian seseorang

terhadap sayur organik yang dimana hasil dari penelitian bertujuan untuk mendorong minat dan niat

masyarakat dalam membeli sayur organik. menurut Ajzen dan Feshbein, 1980 dalam Theory of Reasoned

Page 260: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

246 |

Action niat merupakan prediktor terkuat dalam memprediksi perilaku pembelian selanjutnya. Terdapat

beberapa variabel yang mempengaruhi konsumen dalam niat beli yaitu sikap dan norma subjektif. Dalam

penelitian yang dilakukan oleh Tarkiainen dan Sundqvist (2005); Lodorfos dan dennis (2008) menunjukkan

bahwa sikap dan norma subjektif berpengaruh positif dan signifikan terhadap niat pembelian produk pangan

organik. Sehingga, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh sikap dan norma subjektif terhadap

niat pembelian sayur organik di Kota Malang.

LITERATUR REVIEW DAN HIPOTESIS PENELITIAN

Kelompok referensi seseorang seprti keluarga ataupun kelompok acuan lainnya merupakan faktor

yang memiliki pengaruh bagi seseorang dalam melakukan pembelian. Menurut Wijaya dan Hidayat, 2011;

Sampson, 2009 dalam penelitiannya mengenai niat pembelian pangan organik menunjukkan hasil bahwa

norma subjektif berpengaruh positif terhadap niat beli. Dengan begitu, hipotesisnya adalah :

H1 : Norma subjektif berpengaruh positif terhadap niat beli sayur organik di kota Malang

Sikap terhadap perilaku mengacu pada sejauh mana seseorang memiliki evaluasi yang

menguntungkan atau tidak menguntungkan atau penilaian perilaku yang bersangkutan (Ajzen, 1991). Menurut

Ajzen (1991) semakin baik sikap terhadap perilaku, semakin kuat niat individu untuk melakukan perilaku yang

sedang dipertimbangkan. Sampson, 2009; Teng dan Wang, 2014 dalam hasil penelitiannya mengenai niat beli

pangan organik menunjukkan bahwa terdapat pengaruh positif dan signifikan antara sikap terhadap niat beli

Dengan demikian, hipotesisnya adalah :

H2 : Sikap berpengaruh positif dan signifikan terhadap niat beli sayur organik di kota Malang

METODE PENELITIAN

Penelitian ini masuk dalam jenis penelitian Explanatory Research. Jumlah sampel pada penelitian ini

yaitu 120 responden, dikarenakan alat analisis yang digunakan adalah SEM (Structural Equation Modelling)

yang mengasumsikan bahwa sampel yang diambil minimal 100 responden dan sampel dipilih secara kuota

sampling dengan kriteria ibu rumah tangga yang mengetahui mengenai sayur organik.

Definisi Operasional

Definisi opersaional pada penelitian ini disajikan pada Tabel 1. Di bawah ini :

Tabel 1. Definisi Operasional Penelitian

Variabel Definisi Variabel Indikator

Norma Subjektif Keyakinan reseponden akan tekanan sosial dan harapan orang sekitarnya yang berkaitan dengan pembelian sayur organik

1. Keluarga 2. Teman dekat 3. Media

Sikap

Evaluasi yang diyakinin responden mengenai baik atau tidaknya pembelian sayur organik untuk dikonsumsi

1. Kesehatan 2. Kemanan 3. Kualitas

Niat Beli Rencana responden untuk berkomitmen pada aktivitas-aktivitas membeli sayur

1. Berencana akan beralih membeli sayur organik

Page 261: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 247

Variabel Definisi Variabel Indikator

organik 2. memutuskan akan membeli sayur organik

3. Mengutamakan pilihan pada sayur organik

HASIL DAN PEMBAHASAN

Uji Asumsi Normalitas Data

Suatu data dikatakan berdistribusi normal jika nilai CR atau critical ratio dibawah 1,96. Dari hasil

pengolahan data didapatkan hasil CR yaitu 10,096 lebih besar dari 1,96 sehingga dinyatakan tidak valid

secara multivariat. Namun, menurut Solimun, 2003 menyatakan bahwa asumsi ini tidak terlalu kritis untuk

sampel yang berukuan besar, minimal sampel yaitu 100, maka dinyatakan bahwa data mendekati distribusi

normal walaupun hasilnya tidak berdistribusi normal

Uji Asumsi Outlier

Asumsi ini dilakukan dengan melihat jarak mahalobis untuk tiap tiap observasi. Hasil dikatakan

bebas outlier apabila nilai jarak mahalobisnya lebih kecil dari nilai chi-square tabel pada tingkat derajat

kebebasan atau degree of freedom. Dari hasil olahan data didapatkan DF yaitu sebesar 24 dengan chi-square

36,415, dengan jarak mahalobis terbesar 33,196 pada sampel 74 sehingga dinyatakan bebas outlier.

Uji Validitas dan Reabilitas

Metode yang digunakan yaitu Confirmatory Factor Analysis, dengan melihat hasil dari hasil estimasi

muatan faktornya. Hasil dari uji validitas dan reabilitas dapat dilihat ada Tabel 2 dibawah ini :

Tabel 2. Hasil Uji Validitas dan Reabilitas

Variabel Laten Indikator Loading Factors Construct Reability

X1 X1.1 X1.2 X1.3

0.875 0.787 0.720

0.838

X2 X2.1 X2.2 X2.3

0.815 0.865 0.708

0.890

Y Y1.1 Y1.2 Y1.3

0.822 0.851 0.814

0.868

Dari hasil diatas dinyatakan bahwa seluruh indikator memiliki loading factor ≥ 0,50 (Valid). Dengan

demikian dapat disimpulkan bahwa validitas semua variabel-variabel manifes (indikator) terhadap variabel

latennya adalah baik. Sedangkan dari hasil perhitungan reliabilitas menunjukkan bahwa semua nilai Cronbach

Reliability (CR) ≥ 0,70 (Reliabel), dengan demikian dapat disimpulkan bahwa semua variabel-variabel laten

tersebut memiliki reliabilitas yang baik.

Page 262: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

248 |

Uji Ketetapan Goodness of Fit

Uji kecocokan ini untuk mengevaluasi secara umum derajat kecocokan atau Goodness of Fit (GOF)

antara data dengan model. Analisis pertama hasilnya menunjukkan bahwa nilai GOF masih terdapat nilai yang

poor fit atau tidak baik, sehingga dilakukan modifikasi model dengan melihat rekomendasi dari modification

indices, setelah melaui serangkaian uji coba modifikasi diperoleh hasil uji ketepatan model sebagai berikut:

Tabel 3. Hasil evaluasi kecocokan model struktural

GOF Index Cut of Value Hasil Keterangan

Chi-Square <36,415 41,911 Model Poor Fit Probablitity >0,050 0,013 Model Poor Fit CMIN/DF <2,000 1,746 Model Good Fit RMSEA <0,080 0,079 Model Good Fit GFI >0,900 0,930 Model Good Fit AGFI >0,900 0,869 Model Marginal Fit CFI >0,900 0,970 Model Good Fit

Pada tabel diatas menunjukkan bahwa keseluruhan hasil dari modifikasi model baik. Menurut Bollen

(1993) tidak satupun dari ukuran-ukuran GOF atau GOFI secara eksklusif dapat digunakan sebagai dasar

evaluasi kecocokan keseluruhan model. Petunjuk terbaik dalam menilai kecocokan model adalah teori

substantive yang kuat. Artinya meskipun terdapat kriteria yang tidak terpenuhi, bukan berarti model secara

keseluruhan tidak diterima, jika ada salah satu saja indikator GOF terpenuhi, maka indikator tersebut dapat

mewakili indikator uji katepatan model yang lain.

Hasil Model Struktural

Suatu hubungan kausal dinyatakan signifikan jika nilai critical rationya (C.R.) lebih besar dari 1.96

dengan tingkat signifikansi lebih kecil dari 0,05. Dari hasil olah data menggunakan AMOS 20 estimasi nilai

critical ratio model structural. Secara ringkas hasil perhitungan koefisien-koefisien tersebut disajikan dalam

tabel berikut:

Tabel 4. Hasil estimasi dan pengujian hipotesis

Hubungan Koefisien Jalur CR P-value

X1 > Y 0,254 2,309 0,021 X2 > Y 0,614 5,093 0,000

Pada tabel diatas menunjukkan bahwa, semua memiliki pengaruh yang positif dan signifikan dan

semua hipotesis diterima. Berikut merupakan diagram jalur model pengukuran outer model dan inner model

sebagaimana pada Gambar 1.

Page 263: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 249

Gambar 1. Diagram Jalur Pengukuran Outer Model dan Outer Model

Norma subjektif berpengaruh positif dan signifikan terhadap niat pembelian sayur organik. Temuan

ini mendukung hasil penelitian yang dilakukan oleh Tarkiainen dan Sundqvist (2005); Lodorfos dan dennis

(2008) norma subjektif, menurut Engel et all, 2000. Namun, hasil dari penelitian ini variabel norma subjektif

merupakan variabel yang memberikan pengaruh terendah dalam mempengaruhi niat individu membeli sayur

organik. Begitu pula sikap dari hasil penelitian menunjukkan bahwa sikap berpengaruh positif dan signifikan

terhadap niat pembelian sayur organik. Temuan ini mendukung hasil penelitian yang dilakukan oleh Tarkiainen

dan Sundqvist (2005); Lodorfos dan dennis (2008) Menyakakan bahwa semakin positif keyakinan seseorang

akan manfaat dari suatu objek sikap, maka semakin postif juga sikap seseorang terhadap objek sikap

tersebut. Pada model Theory Planned Behavior, dari ketiga variabel yang mempengaruhi niat dalam

berperilaku, sikap merupakan variabel yang berpengaruh paling besar terhadap niat pembelian sayur organik.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti, maka

kesimpulan pada penelitian ini yaitu tiga variabel dari theory reasoned action yaitu norma subjektif dan sikap

teruji berpengaruh positif dan signifikan terhadap niat pembelian sayur organik di kota Malang. Dari hasil

penelitian terdapat beberapa saran yang bisa diberikan yaitu pertama, produsen, ritel, dan pemerintah dapat

memberikan edukasi mengenai manfaat dan pentingnya sayur organik bagi kesehatan dan lingkungan,

dengan cara penyuluhan pada acara PKK. Saran kedua yaitu, pihak produsen, ritel ataupun pemasar dapat

mendekati kelompok-kelompok acuan seperti keluarga atau memperhatikan kelompok referensi sebagai

bagian dari target komunikasi pemasaran, anggota keluarga merupakan kelompok acuan primer yang paling.

Untuk penelitian selanjunya dapat meneliti hal yang sama dengan lokasi yang berbeda dan juga

menambahkan beberapa variabel seperti melanjutkan pengaruh niat terhadap perilaku aktual konsumen.

Page 264: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

250 |

DAFTAR PUSTAKA

Ajzen, I., dan Fishbein, M. (1980). Understanding attitudes and predicting social behavior. Englewood Cliffs,

Nj: Prentice-Hall

Ajzen, I. (1991). The Theory Planned Behavior and Human Decision Processes, 50(2), 179-211.

Aliansi Organik Indonesia. (2015). Pertumbuhan Pangan Organik Nasional Hanya 5 Persen.

http://aoi.ngo/web/pertumbuhan-pangan-organik-nasional-hanya-5-persen/. Diakses pada 15 April

2018

Aliansi Organik Indonesia. (2016). Statistik Pertanian Organik Indonesia 2016

Bollen, Kenneth A., dan J. Scot Long (editors). (1993). Testing Structural Equation Model, Sage Publication

IFOAM. 2018. The Word of Organic Agriculture Statistic and Emerging Trends. (2018). http:// www.organic-

world.net/yearbook/yearbook-2018.html. Di download pada tanggal 20 September 2018

Lodorfos, G.N., dan Dennis, J. (2008). Consumers‘ intent: in the organic food market. Journal of Food

Products Marketing. Vol. 14, No. 2. 17-38

Sampson, L.K. (2009). Consumer Analisys of Purchasing Behavior for Green Apparel. Thesis. North Carolina

State University

Schifferstein, H.N.J. and Oude-Ophuis, P.A.M. (1998). Healthrelated determinants of organic food

consumption in the Netherlands. Food Quality and Preference 9(3):119–133.

Solimun. (2003).Multivariate Analysis Structural Equation Modelling (SEM) Lisrel dan Amos. Fakultas MIPA,

Universitas Brawijaya.

Tarkiainen, A. & Sundqvist, S. (2005). Subjective Norms, Attitudes and Intentions of Finnish Consumers in

Buying Organik Food. British Food Journal, 107(11): 808–822.

Teng, Ching-Ching dan Yu-Mei Wang. (2014). Decisional Factors Driving Organic Food Consumption

Generation of Consumer Purchase Intentions. British Food Journal, Vol. 117, No. 3.

Wijaya, T., dan Hidayat, A. (2011). Model Niat Pembelian Pangan Organik. Call for Paper Update Ekonomi,

Akutansi dan Bisnis Indonesia, Proceeding Fakultas Ekonomi UII-Yogyakarta, 28 Juni

Page 265: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 251

PEMBUATAN SISTEM INFORMASI PERTANIAN BERBASIS SPASIAL

(KASUS DI KABUPATEN KEDIRI)

Bayu Rahayudi1, Muh. Arif Rahman2, Agus Wahyu Widodo3

Jurusan Sistem Informasi, Fakultas Ilmu Komputer, Universitas Brawijaya

Corresponding Author: [email protected], [email protected], [email protected]

Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk membuat Sistem Informasi Pertanian berbasis Spasial. Sistem

informasi yang dibuat menggunakan data primer yang diperoleh dari survey lapangan terhadap Gapoktan

(Gabungan Kelompok Tani) yang terdapat di Kabupaten Kediri. Data yang diperoleh berupa data pertanian

tanaman pangan, dan juga lokasi koordinat GPS dari ketua Gapoktan. Setelah disesuaikan dengan peta

administratif Kabupaten Kediri, maka dibuat Sistem Informasi Pertanian berbasis Spasial, yang menggunakan

peta dasar dari Google Maps, dan peta administratif yang diperoleh dari Badan Informasi Geospasial (BIG)

Indonesia. Hasil penelitian ini berupa Sistem Informasi yang dapat diakses oleh pemerintah Kabupaten Kediri

untuk mengetahui data pertanian tanaman Pangan yang terdapat di Kabupaten Kediri.

Kata kunci : Sistem Informasi, Informasi Pertanian, Berbasis Spasial

PENDAHULUAN

Sebagaimana telah diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem

Perencanaan Pembangunan Nasional Bab VII Pasal 31, yang menyatakan bahwa perencanaan

pembangunan didasarkan pada data/informasi yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan. Dalam

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional(RPJPN)

2005-2025 menegaskan bahwa aspekwilayah/spasial haruslah diintegrasikan dan menjadibagian dari

kerangka perencanaan pembangunan pada semua tingkatan pemerintahan (MENSETNEG, 2004).

Data dan informasi merupakan salah satu bahan evaluasi pelaksanaan perencanaan pembangunan

daerah serta bahan penentu/perumusan kebijakan dan perencanaan pembangunan daerah, karena pada saat

ini data-data pembangunan dipandang belum lengkap sehingga diperlukan suatu upaya untuk melengkapi dan

senantiasa untuk memperbaharuinya dengan pengumpulan data secara bertahap dengan mekanisme yang

berubah dari pola manual ke pola elektronik (O‘Brien, 2001).

Seiring dengan perkembangan teknologi informasi yang sangat pesat, permodelan aplikasi data-data

pembangunan daerah dapat dilakukan dengan berbasis pada data spasial, yaitu data yang berbasiskan pada

lokasi koordinat yang diperoleh dari GPS. Diharapkan dengan pembuatan aplikasi tersebut, penyediaan

informasi berbasis pada peta spasial dan administratif dapat dilakukan secara lebih efektif dan efisien

sehingga pengambilan keputusan penanganannya dapat dilakukan dengan lebih cepat dan tepat.

Page 266: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

252 |

Oleh karena itu sudah menjadi hal yang urgent bagi pemerintah untuk membuat Sistem Informasi

yang berbasis pada data spasial yang mencakup semua urusan secara detail, realtime dan dapat diakses

kapan saja (anytime).

METODOLOGI

Di dalam melaksanakan penelitian ini, digunakan metodologi penelitian untuk menyusun sistem

informasi, khususnya pada bidang pertanian. Metodologi yang digunakan dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Metodologi Penelitian Pembuatan Sistem Informasi

1 Analisis kebutuhan Sistem Informasi Analisis kebutuhan informasi pemakai Analisis eksisting sistem Analisis kebutuhan sarana prasarana Analisis proses sistem

2 Desain Sistem Informasi 3 Pengembangan Sisten Informasi 4 Uji coba Sistem Informasi 5 Implementasi Sistem Informasi 6 Maintenance Informasi

▪ Latar Belakang ▪ Maksud, Tujuan & Sasaran Kegiatan

▪ Pengumpulan Data : - Survei Primer - Survei Sekunder

- Data sekunder pertanian - Data Eksisting pertanian pangan,

pertanian holtikultura, perkebunan, peternakan, dan perikanan

Page 267: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 253

Analisis Kebutuhan Sistem

Analisis sistem adalah proses mempelajari masalah dengan tujuan agar dapat diatasi melalui sistem

informasi. Pada tahap ini dilakukan langkah-langkah yang berupa menentukan masalahnya, mengindentifikasi

berbagai penyebabnya, menspesifikasi solusi dan mengidentifikasi kebutuhan informasi yang harus dipenuhi

oleh solusi tersebut (Davis, 1984). Pada analisis sistem ini juga dilakukan analisis deskriptif yang

mendeskripsikan kondisi, potensi dan permasalahan bidang pertanian di Kabupaten Kediri. Komponen yang

dianalisis dalam menentukan kebutuhan dalam pengembangan sistem informasi database pembangunan

Kabupaten Kediri antara lain :

a. Analisis eksisting sistem yang sudah berjalan

Metode yang digunakan adalah dengan pendataan sistem yang berjalan meliputi fungsi sistem, input-

ouput sistem, proses, dan basis data serta perangkat yang digunakan.

b. Analisis kebutuhan perangkat keras agar sistem dapat berjalan secara optimal

Beberapa perangkat keras seperti seperangkat komputer, peralatan jaringan dan koneksi internet perlu

ditentukan spesifikasinya agar sesuai dengan kebutuhan.

c. Analisis kebutuhan perangkat lunak dalam pengembangan sistem

Dalam pengembangan sistem informasi ini perlu ditentukan perangkat lunak untuk basis data, desain

antarmuka dan aplikasi yang akan dikembangkan.

d. Analisis kebutuhan informasi

Metode analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif berdasarkan tabulasi data, dimana dijelaskan

mengenai informasi-informasi yang diperlukan untuk mendukung dalam pengambilan keputusan.

e. Analisis Partisipatif

Analisis partisipatif digunakan untuk mengetahui dan mengidentifikasi pelaku-pelaku yang berbeda beserta

kepentingannya terhadap suatu rencana atau program (Susanto, 2004). Hasil yang diharapkan dari analisis

partisipatif ini adalah:

Memperoleh gambaran mengenai semua lembaga dan kelompok yang berperan di daerah tersebut;

Menyelidiki kepentingan dan prioritas dari pihak-pihak tersebut

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil dari penelitian ini berupa desain struktur data basis data, perancangan antar muka, dan hasil

implementasi sistem.

Desain Struktur Basis Data

Hal utama yang harus dirancang dan diimplementasikan, agar sistem informasi yang dibuat dapat berjalan

dengan baik, adalah perancangan struktur basis data yang digunakan. Struktur basis data ini akan menjadi

referensi di dalam pembuatan sistem informasi dan aplikasi yang akan dibuat. Seluruh proses penyimpanan,

pemrosesan dan pengambilan data yang dilakukan oleh sistem dan aplikasi akan memproses data yang

tersimpan dengan menggunakan struktur data yang ditentukan.

Berdasarkan pada diskusi yang telah dilakukan melalui FGD (Forum Group Discussion) dan juga analisa

dokumen yang ada, termasuk dokumen survey, maka ditentukan struktur basis data sebagaimana berikut.

Page 268: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

254 |

Basis data yang dibuat terdiri dari sebuah basis data yang terdiri dari beberapa tabel yang dibuat dengan

tujuan yang berbeda, yaitu untuk menyimpan data hasil survey, data umum dan data yang berisi

lokasi/direktori video gallery dan deskripsinya. Gambar 2 adalah skema basis data yang dibuat dan relasi dari

basis data tersebut.

Berikut penjelasan dari relasi basis data di atas. Basis data yang dibuat terdiri atas beberapa jenis, yaitu :

1. Basis data Unit, adalah basis data referensi yang digunakan untuk menyimpan data unit yang akan

menjadi referensi basis data yang lain. Data yang disimpan pada basis data unit ini antara lain basis data

nama desa, nama kecamatan, dan nama SKPD/OPD yang terdapat di Kabupaten kediri.

2. Basis Data User, adalah basis data yang digunakan untuk menyimpan data pengguna yang akan

memanfaatkan sistem informasi ini. Di dalam basis data ini juga memuat nama user dan password yang

digunakan sebagai identitas pengguna dan pengamanan sistem ketika pengguna memanfaatkan sistem

informasi.

3. Basis Data Elemen, adalah basis data yang digunakan untuk menyimpan data elemen dan kategori dari

data yang akan disimpan. Basis data ini akan menjadi tabel referensi bagi data-data yang disimpan pada

basis data survey dan juga pada basis data rekap data.

4. Basis Data Survey, adalah basis data yang digunakan untuk menyimpan data hasil survey yang dilakukan

sebagai bagian dari kegiatan penyusunan sistem informasi ini.

5. Basis Data Survey Detail, adalah basis data yang berisi detail dari data hasil survey yang berisi data-data

kelompok tani, dan data-data yang terkait dengan bidang pertanian tanaman pangan yang telah dilakukan

survey atas bidang tersebut Basis data yang dijelaskan di atas adalah basis data utama yang digunakan

di dalam pembuatan Sistem Informasi Pertanian berbasis Spasial.

Desain Antar Muka

Selain struktur basis data, desain antar muka juga menjadi hal yang cukup penting di dalam pembuatan sistem

informasi ini, karena antar muka merupakan jembatan awal yang menghubungkan pengguna sistem informasi

dengan basis data yang terdapat di dalam sistem informasi tersebut. Antar muka yang dibuat harus memiliki

desain yang menarik, tetapi juga memberikan kemudahan di dalam berinteraksi dengan sistem informasi,

termasuk juga kemudahan di dalam memahami informasi yang disediakan oleh sistem. Selain itu, karena

sistem informasi ini juga berbasiskan pada data geospasial, maka informasi yang disajikan dan disediakan

oleh sistem informasi ini juga berbasiskan pada informasi spasial.

Untuk kemudahan di dalam pembuatan dan pengaksesan sistem informasi dan juga keumuman di dalam

bentuk antar muka sistem informasi yang dibuat, maka di dalam pengembangan sistem informasi ini

dimanfaatkan pustaka-pustaka pengembangan sistem yang terdapat di Internet dan dapat diperoleh dan

dipergunakan secara umum. Berikut adalah desain antar muka yang dibuat.

Page 269: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 255

a. Antar muka halaman dashboard

Halaman dashboard adalah halaman awal yang ditampilkan, ketika seorang pengguna berhasil masuk ke

dalam sistem informasi ini, setelah melalui proses login. Pengguna juga dapat memilih untuk melihat data

untuk data dalam lingkup kabupaten ataupun dalam lingkup kecamatan, dengan memilih (mengklik) area

kecamatan yang ingin dilihat informasi datanya. Gambar 3 adalah antar muka halaman dashboard.

Page 270: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

256 |

Gambar 3.Antar Muka Halaman Dashboard

b. Antar muka halaman data survey

Halaman survey adalah halaman yang menampilkan data hasil survey yang datanya telah diinputkan oleh

petugas entry data survey. Halaman ini terbagi atas dua halaman yang berbeda, yaitu halaman data umum

survey, yang memuat data tentang jenis survey, petugas survey, PPL dan penanggung jawab, termasuk lokasi

survey, dan nama kelompok tani ataupun gabungan kelompok tani. Halaman kedua adalah halaman detail

survey, yang berisi data detail hasil survey, yang berupa nama petani, sebagai anggota kelompok tani ataupun

gabungan kelompok tani. Data survey ini dilengkapi dengan data lokasi ketua kelompok tani, yang disimpan

dalam bentuk koordinat, sehingga bisa diketahui lokasi dari kelompok tani tersebut. Gambar antar muka

halaman survey dapat dilihat pada gambar 4.

c. Antar muka halaman rekap survey

Halaman rekap data survey adalah halaman yang berisi dan menampilkan rekap data hasil survey, yang

dimunculkan dalam bentuk lokasi dari kelompok tani yang terdapat pada area atau kecamatan tersebut.

Pengguna dapat mengetahui jumlah atau aggregasi dari kelompok tani di lokasi kecamatan atau area tertentu.

Warna dari aggregasi atau jumlah kelompok tani yang terdapat di kecamatan atau area tersebut,

menunjukkan banyaknya kelompok tani di dalam klaster tersebut. Gambar antar muka halaman rekap data

dapat dilihat pada gambar 5.

Page 271: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 257

Gambar 4.Antar Muka Halaman Data Survey

Gambar 5.Antar Muka Halaman Rekap Data Survey

KESIMPULAN

Pada penelitian ini telah dilakukan pembuatan Sistem Informasi Pertanian yang berbasis pada data

spasial. Pembuatan sistem ini menggunakan metodologi yang umum digunakan di dalam pembuatan sistem

informasi. Hasil dari pembuatan sistem informasi ini dapat dimanfaatkan oleh pemerintah Kabupaten Kediri di

dalam memperoleh data pertanian tanaman pangan untuk menunjang di dalam pengambilan keputusan

Page 272: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

258 |

DAFTAR PUSTAKA

Davis, G. B. (1984). Management information systems: conceptual foundations, structure, and development.

McGraw-Hill.

MENSESNEG. (2004). Undang-Undang Negara Republik Indonesia No.25 Tahun 2004. In pasal 1 ayat 1.

Jakarta: MENSESNEG.

O‘Brien, J. (2001). Introduction to information systems: Essentials for the internet worked ebusiness enterprise.

McGrawhill Public Company .

Susanto, A. (2004). Sistem Informasi Manajemen konsep dan pengembangannya,. Lingga Jaya.

Page 273: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 259

PERSEPSI TENTANG KARAKTERISTIK TEKNIS INSTAGRAM SEBAGAI MEDIA INOVATIF

DALAM TRANSAKSI SAYURAN SECARA ONLINE

Edi Dwi Cahyono1, Reza Safitri 2, Eka Pradesti3

Jurusan Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya Corresponding Author: [email protected], [email protected], [email protected]

Abstrak. Akhir-akhir ini Instagram merupakan media sosial inovatif yang cukup populer untuk bertransaksi sayuran secara online. Penelitian ini difokuskan untuk mendiskripsikan tingkat kemudahan relatif dari inovasi tersebut sebagaimana dipersepsi oleh para konsumennya. Survei dilakukan terhadap 53 konsumen dari beberapa pemasar sayuranonline di wilayah Malang Raya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas pembeli sayuran secara online adalah perempuan berpendidikan tinggi dengan pengalaman menggunakan media sosial lebih dari tiga tahun. Melalui teknik Skala Likert terungkap bahwa Instagram dianggap sebagai media yang praktis untuk membeli sayuran karena kemudahan dan fleksibilitasnya dibanding dengan membeli secara langsung. Faktor penting lainnya adalah Instagram memungkinkan penggunanya untuk memantau feedback dari pembeli potensial lainnya. Masalah teknis yang dianggap mengganggu adalah tenggang waktu yang relatif lama antara proses transaksi dan penerimaan sayuran. Rekomendasi diberikan mengingat masih belum yakinnya para konsumen untuk melakukan pembelian ulang secara online dalam jangka panjang.

Kata kunci : Media Sosial, Instagram, Karakteristik Teknis, Sayuran Organik

PENDAHULUAN

Salah satu produk media baru untuk komunikasi adalah media sosial –seperti Instagram, Line, atau

Facebook— dan telah menjadi bentuk atau metoda berkomunikasi penting di seluruh dunia (Lathiya, Rathod,

& Choudhary, 2015). Secara umum kepopuleran media sosial ditopang oleh semakin terjangkaunya harga

tilpun pintar (smart phone) dan karena alasan gaya hidup modern. Secara teoritis, media sosial mendorong

terjadinya ‗participatory culture‘. Mengacu pada tulisan Fuch (2017), pada dasarnya participatory culture

adalah keterlibatan pengguna, konsumen, dan partisipan lainnya dalam pembentukan budaya dan inovasi

sosial. Dalam dunia online, proses demokratisasi terjadi karena karena pihak yang terlibat dalam transaksi

mampu menciptakan budaya sendiri. Hal ini terjadi karena menurut Jenkins dan Levy, konsumen diundang

untuk berpartisipasi aktif, saling berinteraksi, berkolaborasi untuk menciptakan‗collective intelligence‘ dalam

pembentukan dan sirkulasi inovasi karena penggabungan sumberdaya dan keterampilan yang tersedia (Fuch,

2017). Terkait penggunaan Instagram, konsep collective intelligence tersebut bermanfaat untuk

mendiskripsikan keputusan konsumen dalam pembelian sayuran online karena memungkinkan mereka untuk

saling bertukar informasi dan memberikan komentar atas produk sayuran yang dijual ataupun kualitas

layanannya.

Page 274: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

260 |

Media sosial adalah alat komunikasi yang sangat berguna untuk proses transaksi di bidang

pertanian (Balkrishna,& Deshmukh, 2017). Bagi konsumen, kehadiran media sosial membantu untuk

melakukan proses komunikasi dan mengekspresikan diri (Krumm, Davies, & Narayanaswami, 2008). Selain

itu, media sosial berfungsi untuk mencari keuntungan (Rogers, 2003). Sebuah penelitian di bidang industri

pertanian terungkap bahwa peran media sosial bermanfaat untuk pengembangan networking, pengetahuan,

penyuluhan, keterkaitan dengan konsumen, dan pemasaran (Lathiya, Rathod, & Choudhary, 2015). Bagi para

pemasar, media sosial dapat meningkatkan relasi atau meluaskan komunitas (White, Meyers, Doerfert, &

Irlbeck, 2014). Selain itu, media sosial membantu untuk menyediakan konten sebagai bentuk ekspresi dan

gratifikasi aktualiasasi diri (Nardi, Schiano, Gumbrecht, & Swartz, 2004; Shao, 2009), baik bagi perusahaan

ataupun konsumennya.

Salah satu media sosial yang populer untuk aktivitas transaksi barang dan jasa adalah Instagram.

Bahkan, akhir-akhir ini mulai ditemukan penggunaan Instagram untuk transaksi produk-produk pertanian

secara online. Namun penelitian mengenai penggunaan media sosial, khususnya Instagram, untuk kegiatan

transaksi seperti ini masih sangat terbatas. Oleh karena itu, paper ini menampilkan hasil kajian mengenai

penggunaan Instagram dalam transaksi produk pertanian, khususnya sayuran, secara online sebagai alternatif

bagi cara-cara transaksi konvensional (non-online).Penggunaan Instagram sebagai sebuah inovasi teknologi

atau cara baru untuk bertransaksi menarik untuk dikaji. Salah satu alasannya adalah sifat kebaruan teknis dari

inovasi Instagram bagi para penggunanya, khususnya para konsumen untuk melakukan transaksi sayuran

secara online.

Kebaruan ini dapat menimbulkan rasa ketidak-pastian dari pengguna potensialnya. Sebuah studi

mengungkapkan bahwa para penyuluh pertanian merasa kesulitan dalam menggunakan teknologi informasi

dan komunikasi, dimana hanya 35.7% dari responden yang merasa ‗puas‘ atau ‗sangat puas‘ dengan

kemampuan mereka dalam menggunakannya (Cahyono, 2014; Cahyono, & Agunga, 2016). Pada umumnya,

faktor demografis seperti usia, jender, dan pengalaman juga menentukan respon terhadap penggunaan

inovasi (Agunga, Cahyono, Buck, & Scheer, 2016). Karena Instagram berkaitan dengan penggunaan teknologi

baru atau fitur baru, maka konsumen dari kalangan generasi muda kemungkinan lebih merespon secara positif

atas kehadiran Instagram. Selain itu, aspek jender menarik dikaji, apakah perempuan atau laki-laki yang

memiliki kedekatan dengan Instagram? Pengalaman menggunakan media sosial lainnya juga diprediksikan

berpengaruh terhadap penggunaan Instagram; benarkah konsumen yang terbiasa dengan variasi penggunaan

sosial media lebih responsif terhadap penggunaan Instagram untuk bertransaksi sayuran secara online?

Lebih dari itu, persepsi tentang karakteristik sebuah inovasi itu sendiri adalah salah satu faktor

utama untuk memprediksi respon penggunanya. Persepsi adalah kompleksitas proses mental yang bersifat

subyektif, menyangkut kesadaran lingkungan atau keyakinan tentang karakteristik suatu obyek berdasarkan

berbagai pengalaman atau pikiran (Severin & Tankard, 2001). Persepsi bermanfaat untuk memprediksikan

perilaku individu, yang dalam konteks penelitian ini digunakan untuk memprediksi perilaku pengguna

Instagram dalam pembelian sayur organik secara online. Salah satu karakteristik teknis inovasi yang menonjol

adalah kompleksitas atau ‗complexity‘(kerumitan); kerumitan adalah tingkat yang menunjukkan apakah suatu

inovasi mudah untuk dipahami dan digunakan oleh potensial adopternya (Rogers, 2003). Faktor teknis lain

Page 275: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 261

yang penting adalah ‗observabilitas‘; inovasi yang karakteristiknya dapat diamati dengan mudah berpeluang

untuk diadopsi dengan relatif cepat (Rogers, 2003).

Beberapa penelitian terdahulu menunjukkan hubungan antara persepsi tentang faktor teknis dengan

adopsi beberapa jenis teknologi budidaya pertanian (Cahyono, 1998; Noviyanti,& Cahyono, 2016;

Malahayatin, & Cahyono, 2017; Safitri, & Cahyono, 2017; Alawiyah, & Cahyono, 2018), dan dalam

penggunaan media sosial (Warren, 2004; Setiowati, Hartoyo, Daryanto, & Arifin,2016). Dalam konteks

penelitian ini, indikator kompleksitas diukur dengan: 1) kesulitan (atau kemudahan) subyektif pengguna

Instagram untuk melakukan transaksi sayuran secara online; 2) kemudahan dalam mengamati pendapat

pembeli potensial lainnya(melalui fitur comment dalam Instagram); 3) fleksibilitas penggunanya dari segi waktu

dan lokasi transaksinya; 4) kemudahan pertukaran pesan dengan pemasarnya; 5) kecepatan transaksi; 6)

intensi untuk mengulangi pembelian sayuran; dan 7) kemudahan transaksinya relatif dibanding membeli

secara langsung (offline).

METODOLOGI

Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kuantitatif. Metoda penelitian yang digunakan adalah

survei secara online, dengan menggunakan instrumen kuesioner. Hasil uji validitas dan reliabilitasnya adalah

nilai pearson di atas 0,53 (r tabel) dan Cronbach‘s Alpha di atas 0,60 sehingga kuesioner dapat dikatakan valid

dan reliabel. Populasi penelitian adalah para pengguna Instagram yang terhubung melalui Instagram dengan

para penjual sayuran online.Cakupan penelitian adalah seluruh anggota jaringan pembeli sayuran yang

terhubung dengan 7 (tujuh) penjual online di wilayah Malang Raya (Kota Malang, Kabupaten Malang, dan

Kota Batu), Jawa Timur. Seluruh followers akun sayurnet, vigurorganik, harvest_queen, rumah_sayurku,

griyahidroponik, keranjang_sayur, hidroponikmlg dihubungi melalui direct message yang merupakan salah

satu fitur yang tersedia di Instagram. Jumlah followers tersebut adalah sekitar 3000 followers, namun tidak

semuanya pernah membeli sayuran tersebut. Jumlah pembeli yang bersedia untuk mengisi kuesioner sampai

dengan waktu yang ditetapkan oleh peneliti adalah 53 orang. Hanya pembeli yang bersedia mengisi kuesioner

yang selanjutnya diminta mengisi jawaban dari pertanyaan atau pernyataan di dalam kuesioner yang telah

disiapkan melalui direct message tadi.Penelitian dilakukan antara bulan Agustus hingga September 2018.

Skala Likert digunakan untuk mengukur persepsi responden terhadap karakteristik teknis dari

penggunaan Instagram untuk melakukan transaksi sayuran secara online. Beberapa pernyataan diajukan dan

responden diminta memilih satu jawaban dari kemungkinan 5 (lima) jawaban dari yang sangat tidak setuju (1)

sampai dengan sangat setuju (5). Selanjutnya, data yang didapat ditabulasi, dimana statistik diskriptif

digunakan unntuk menghitungfrekuensi dari responden yang menjawab ‗setuju‘ atau ‗sangat setuju‘ terhadap

setiap butir pernyataan yang diajukan. Persentase digunakan untuk mengetahui kelompok responden yang

menjawab salah satu dari ke dua jawaban tersebut. Selanjutnya, hasil tersebut dideskripsikan dan dilengkapi

dengan pernyataan konsumen terkait dengan isu teknis tertentu, dandidukung dengan pustaka-pustaka untuk

menjelaskan fenomena teknis tertentu dari penggunaan Instagram.

Page 276: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

262 |

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas responden 49 pembeli atau 92.5%) adalah

perempuan. Selanjutnya, jumlah responden yang telah berpengalaman lebih dari tiga tahun dalam

menggunakan media sosial mencapai 50 orang (94.3%). Indikator demografis lain yang cukup penting adalah

edukasi, dimana 39 responden (73.6%) merupakan lulusan dari perguruan tinggi.

Gambar 1. Diagram Karakteristik Responden berdasarkan Jenis Kelamin, Pengalaman Menggunakan Media

Sosial, dan Pendidikan Terakhir

Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden yang merasa ‗setuju‘ atau ‗sangat setuju‘ dengan

pernyataan ―Instagram mudah penggunaannya‖ adalah 46 orang (86.8%). Hal ini mengindikasikan bahwa

sebagian besar konsumen merasa bahwa membeli sayuran secara online melalui Instagram relatif mudah

dilakukan. Ibu Putri (lebih dari 3 tahun) menjelaskan bahwa melalui Instagram dia ―bisa lebih mudah memilih

jenis sayuran yang tersedia‖. Kemudahan transaksi tersebut jugatercermin dari pernyataan Ibu Dianyang

menggambarkannya sebagai tinggal ―klik dan antar‖.

Situasi yang digambarkan oleh konsumen –yang umumnya kaum perempuan— adalah bahwa waktu mereka

terbatas. Oleh karena itu faktor kepraktisan adalah penting. Ibu Nurmayasari (lebih dari 3 tahun) menegaskan

bahwa transaksi online dipandang sebagai ―lebih simpel untuk ibu yang bekerja‖; sedang Ibu Vira memberikan

argumen bahwa transaksi online ungkapan sebagai ―sangat menghemat waktu dan tenaga‖.

Namun hasil penelitian juga mengungkapkan bahwa hampir separuh dari jumlah responden (22

orang atau 41.5%) merasa bahwa transaksi sayuran secara onlinememiliki kendala tersendiri. Hal ini terlihat

dari hanya 31 responden (58.5%) yang ‗setuju‘ atau ‗sangat setuju‘ dengan pernyataan ―Mudah melakukan

transaksi (dibandingkan dengan membeli sayur secara offline)‖. Terkait dengan pernyataan ini, Ibu Don

menjelaskan bahwa pembelian via Instagram dirasa ―sedikit lama sampai ke tujuan‖, karena proses

pengiriman sayuran dilakukan oleh jasa angkutan barang.

Bagaimanapun, secara umum, sebagai media komunikasi dan transaksi sayuran, Instagram memiliki

banyak karakteristik positif. Instagram dipersepsi oleh mayoritas responden (dengan jawaban ‗setuju‘ atau

Page 277: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 263

‗sangat setuju‘ sekitar 60-85%), sebagai: 1) mudah mengetahui pendapat konsumen lainnya; 2) fleksibel; 3)

mudah untuk saling bertukar pesan dengan pemasarnya; dan 4) relatif cepat waktu transaksinya (Tabel 1).

Tabel 1.Persepsi Konsumen tentang Tingkat Kerumitan Instagram untuk Transaksi Sayuran secara Online

(n=53)

No. Pernyataan

Tanggapan (%)

Setuju Sangat

Setuju Total

1. Instagram mudah penggunaannya. 43.4 43.4 86.8

2. Melalui Instagram, mudah melihat pendapat pembeli/calon

pembeli melalui fitur comment.

43.4 35.8 79.2

3. Transaksi melalui Instagram bisa kapan saja dan dari mana

saja (fleksibel).

35.8 37.7 73.5

4. Melalui Instagram, mudah bertukar pesan dengan penjual. 39.6 32.1 71.7

5. Transaksi melalui Instagram cepat. 34 28.3 62.3

6. Saya ingin membeli sayuran lagi melalui Instagram. 28.3 32.1 60.4

7. Mudah melakukan transaksi (dibandingkan dengan membeli

sayur secara offline).

30.2 28.3 58.5

Pembahasan

Hasil penelitian ini menunjukkan adanya pola yang khas terkait dengan segmen demografis

konsumen yang melakukan transaksi sayuran melalui Instagram. Tiga segmen utamanya ialah perempuan

dari kalangan berpendidikan tinggi, denganpengalaman menggunakan media sosial lebih dari tiga tahun.

Temuan ini menguatkan beberapa penelitian terdahulu bahwa karakteristik demografis perlu diperhatikan

terkait dengan perilaku adopsi suatu inovasi, termasuk dalam penggunaan media sosial (Severin & Tankard,

2010; Cahyono, 2013), yang mengindikasikan bahwa media sosial, khususnya Instagram lebih direspon oleh

kalangan sosial tertentu.

Para perempuan pengguna aktif Instagram kemungkinan lebih konsumtif dibanding dengan laki-laki

(Fitria, 2015). Hal tersebut boleh jadi karena variasi stimulus berupa fitur-fitur yang disediakan di Instagram,

yang mampu membangkitkan aspek emosional sehingga menimbulkan ketertarikan para perempuan untuk

membeli sayuran secara online. Keengganan laki-laki dalam melakukan transaksi sayuran secara online

kemungkinan dipengaruhi oleh faktor budaya, yaitu ketidak-biasaan sehari-hari untuk membeli sayuran di

pasar tradisional ataupun pasar modern.

Page 278: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

264 |

Gambar 2. Fitur Comment pada Instagram

Tidak terlalu mengherankan bila faktor edukasi juga berasosiasi dengan penggunaan Instagram.

Pada umumnya orang yang berpendidikan lebih tinggi cenderung memiliki kesiapan yang lebih tinggi dalam

penggunaan inovasi, termasuk Instagram sebagai media baru untuk berkomunikasi dan bertransaksi.

Wawasan, pengetahuan, dan rasa ingin tahu konsumen dari segmen sosial terdidik ini membantu

mempercepat adopsi Instagram sebagai sarana untuk bertransaksi. Pengalaman konsumen dengan media

sosial sebelumnya juga terbukti berasosiasi dengan penggunaan Instagram (Severin & Tankard, 2010). Hal ini

berkaitan dengan prinsip kompatibilitas, yaitu seseorang yang telah terpapar dengan inovasi terdahulu yang

mirip atau sesuai cenderung akan lebih mudah mengadopsi inovasi sejenis di waktu yang berbeda (Rogers,

2003). Media sosial terdahulu serupa dengan Instagram yang telah digunakan antara lain adalah Facebook,

Twitter, dan Linkedln.

Instagram adalah aplikasi tilpun genggam berbasis Android yang berguna untuk berbagai keperluan,

seperti mengambil foto, melakukan filter digital, mengelola foto, mengedit foto, dan membagikannya ke

pengguna lainnya (Atmoko, 2012). Dalam perkembangannya, layanan Instagram juga mencakup kemampuan

untuk mengunggah video dan saling bertukar pesan. Banyaknya fitur yang tersedia kemungkinan menarik

minat penggunanya. Selain karakteristik teknis, karakteristik lan dari inovasi Instagram sebagai media

transaksi sayuranadalah keuntungan relatif (relative advantage) dan kompatibilitas (compatibility)

sebagaimana yang sempat disinggung sebelumnya. Namun ke dua karakteristik lain tersebut tidak menjadi

fokus utama dari paper ini.

Secara teknis, konsumen merasa bahwa Instagram mudah untuk digunakan. Faktor penunjangnya

adalah tersedianya fitur-fitur seperti homepage, followers, like, caption, hashtag, dan terutama comment. Fitur

yang terakhir disebut ini memungkinkan penggunanya untuk saling memberikan feedback, sebagaimana

tercermin dari hasil penelitian ini, dimana para konsumen sayuran organik saling memberikan informasi

mengenai misalnya kualitas sayuran atau layanan dari pemasarnya. Aspek teknis lain yang menonjol adalah

Page 279: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 265

kemudahan penggunaan Instagram juga tercermin dari sejauhmana konsumen sayuran mampu menggunakan

fitur yang tersedia tanpa kesulitan yang berarti (Atmoko, 2012). Transaksi via Instagram juga dipandang

efisien, fleksibel (bisa dilakukan kapan dan darimana saja), dan relatif cepat. Kehadiran Instagram membuat

jarak dan waktu bukan lagi masalah untuk berinteraksi dan bertransaksi, yang dihargai oleh konsumen yang

memiliki kesibukan tinggi. Satu-satunya persoalan terkait dengan waktu dalam transaksi online adalah relatif

lebih lamanya proses pengirimam sayuran ke rumah pembelinya, dibanding dengan pembelian secara ‗cash

and carry’ (bayar dan bawa barang sendiri), sebagaimana lazimnya dalam transaksi secara langsung (offline).

Karakteristik teknis penting lain dari Instagram adalah kemudahan konsumen untuk melihat referensi

dari pembeli atau calon pembeli laintermasuk penjualnya. Dua buah fitur, yaitucommentdandirect messages,

memungkinkan konsumen untuk memberikan tanggapan dan mengamati tanggapan orang lainnya

(karakteristik observability). Observability adalah keadaan yang menunjukkan dimana semakin mudah individu

memvisualisasikan hasil dari suatu inovasi, maka semakin besar adopsi inovasi terjadi (Rogers, 2003).

Karakteristik inilah yang memungkinkan Instagram digunakan oleh konsumen sayuran tersebut.

Bagaimanapun, hanya sebagian dari konsumen, yaitu 60.4% saja yang ingin membeli kembali

sayuran secara online.Lebih dari itu, hanya 41.5% yang pernah melakukan lebih dari tiga kali pembelian.

Faktor keingin-tahuan boleh jadi menjadi alasan di balik perilaku ini. Sebagian dari konsumen―hanya

mencoba‖, sebagaimana diungkapkan olehIbu Tristanti. Apalagi hal ini didukung dengan fakta bahwa hampir

separuh dari jumlah responden menyatakan kesulitan dalam bertransaksi secara online dibanding dengan

cara-cara konvensional. Hal ini menyisakan pertanyaan tentang bagaimana keberlanjutan sistem transaksi

sayuran secara online tersebut.

KESIMPULAN

Instagram mulai mendapatkan popularitasdalam proses transaksi online terkait produk pertanian

khususnya sayuran. Karakteristik teknis –berupa relatif mudahnya melakukan transaksi secara online,

fleksibilitas, dan kemudahan dalam mendapatkan atau memberikan feedback— adalah beberapa alasan

fundamental bagi para penggunanya. Namun nampaknya segmen sosial yang paling responsif terhadap

aplikasi Instagram adalah perempuan berpendidikan tinggi dengan pengalaman lebih dari tiga tahun dalam

menggunakan media sosial. Secara umum, tidak terdapat hambatan teknis yang berarti dalam penggunaan

Instagram, kecuali relatif lamanya barang sampai di tangan pembelinya dibanding dengan metoda pembelian

secara langsung.Terakhir, beberapa karakteristik Instagram lainnya, seperti keuntungan relatif dan

kesesuaian dengan media sosial sejenis perlu dikaji lebih mendalam, mengingat masih adanya keengganan

dari konsumen untuk melakukan transaksi sayuran secara terus-menerus.

DAFTAR PUSTAKA

Agunga, A., Cahyono, E.D., Buck, E., & Scheer, S. (2016). Challenges of implementing participatory extension in Indonesia. The Journal of Communication and Media Research, 8(1), 20-45 (Special Issue of May 2016)

Page 280: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

266 |

Alawiyah, F.M., & Cahyono, E.D. (2018). Persepsi petani terhadap introduksi inovasi agens hayati melalui kombinasi media demplot dan FFD. Jurnal Ekonomi Pertanian dan Agribisnis, 2(1), 57-61. Tersedia di

http://jepa.ub.ac.id/index.php/jepa/article/view/25 Atmoko, B. D. (2012). Handbook instagram. Jakarta: Media Kita. Balkrishna, B. B., & Deshmukh, A. A. (2017). A study on role of social media in agriculture marketing and its

scope. Global Journal of Management and Business Research: E Marketing, 17 (1), 1-5. Cahyono, E.D. (2014). Challenges facing extension agents in implementing the participatory extension

approach in Indonesia: A case study of Malang Regency in the East Java Region (Doctoral dissertation, The Ohio State University).

Cahyono, E.D., & Agunga, R. (2016). Policy and practice of participatory extension in indonesia: A case study of extension agents in Malang District, East Java Province. Journal of International Agricultural and Extension Education (JIAEE), 23(3), 38-57Direktorat Budidaya Tanaman Hias. (2008). Petunjuk Lapangan SL GAP/SOP Bunga Potong Krisan. Direktorat Jenderal Hortikultura. Kementerian Pertanian.

Fitria, E.M. (2015). Dampak online shop di instagram dalam perubahan gaya hidup konsumtif perempuan shopaholic di Samarinda. eJournal Ilmu Komunikasi, 1 (3), 117-128.

Fuchs, C. (2017). Social media: A critical introduction. Sage. Krumm, J., Davies, N., & Narayanaswami, C. (2008). User-generated content. Pervasive Computing, 7 (4), 10-

11. Lathiya, A., Rathod, A., & Choudhary, K. (2015). Role of social media in agriculture. international. Journal of

Commerce and Business Management, 8 (2), 268-273. Malahayatin, D.M., & Cahyono, E.D. (2017). Faktor kesesuaian dengan kebutuhan petani dalam keputusan

adopsi inovasi pola tanam jajar legowo (Studi kasus petani padi di Kecamatan Widang, Kabupaten Tuban).Jurnal Ekonomi Pertanian dan Agribisnis, 2(1), 57-61. Tersedia di http://jepa.ub.ac.id/index.php/jepa/article/view/9/0

Nardi, B. A., Schiano, D. J., Gumbrecht, M., & Swartz, L. (2004). Why we blog. Communications of The ACM, 47 (12), 41-46.

Noviyanti, & Cahyono, E.D. (2016). Persepsi dan tipe keputusan petani Madura terhadap inovasi agens hayati-PGPR. Dalam E.D. Cahyono, dkk. (Eds.). Proceeding Konferensi Nasional Penyuluhan & Komunikasi Pembangunan (pp.284-292). Malang: Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya.

Rogers, E. M. (2003). Diffusion of innovations. New York: The Free Press. Safitri, R., & Cahyono, E.D. (2017). Adopsi petani padi terhadap agens hayati dengan menggunakan ‗mi-lo‘

(mikro organisme lokal). Proceeding Seminar Nasional Pembangunan Pertanian II: Arah dan tantangan pembangunan pertanian dalam era SDG’s (pp. 207-212). Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya, Malang.

Setiowati, R., Hartoyo, H., Daryanto, H. K., & Arifin, B. (2016). Understanding ICT Adoption Determinants among Indonesian SMEs in Fashion Subsector. International Research Journal of Business Studies, 8(1).

Severin, W. J., & Tankard, J. W. (2001). Communication theories: Origins, methods, and uses in the mass media. Pearson College Division.

Page 281: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 267

NAPAK TILAS KEJAYAAN BAWANG PUTIH SEMBALUN NUSA TENGGARA BARAT

Mardiana(1) , Sylvia Kusumaputri Utami(2) , Baiq Nurul Hidayah(3) ,

M Saleh Mokhtar(4)

(1) Kelji Pasca Panen, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Balitbangtan Nusa Tenggara Barat Corresponding author: [email protected]

Abstract. Masyarakat Kecamatan Sembalun, Kabupaten Lombok Timur, Provinsi Nusa Tenggara Barat, mengenal bawang putih sebagai komoditas yang sangat penting karena sejarah daerah tersebut sangat lekat dengan komoditas ini. Dataran tinggi Sembalun merupakan penghasil utama bawang putih di Indonesia sampai tahun 1990-an. Dengan dibukanya keran impor bawang putih pada tahun 1998, bawang putih Sembalun langsung merosot dan masyarakat beralih menanam komoditas lain seperti kentang, wortel, bawang merah, cabai dan lain-lain. Sejak lima tahun terakhir, pemerintah berupaya menghidupkan kembali masa kejayaan bawang putih Sembalun. Tulisan ini bertujuan untuk memaparkan sejarah bawang putih di Sembalun sejak tahun 1960-an hingga saat ini. Pengkajian dilaksanakan sejak bulan Januari hingga Mei 2018. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara mendalam dengan beberapa tokoh masyarakat yang ada di wilayah tersebut sebagai pelaku sejarah. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa sejak dimulainya budidaya bawang putih tahun 1960-an, terjadi pasang surut produksi bawang putih, dimana pada awalnya bawang putih ditanam di hutan-hutan Sembalun dengan hasil yang tinggi, kemudian mengalami kemunduran saat terjadi penutupan hutan tahun 1979. Tahun 1980-an bawang putih kembali bangkit dan mencapai masa kejayaannya sampai tahun 1998 yang ditandai dengan produktivitas yang sangat tinggi mencapai 40 ton/ha. Namun saat ini produktivitas bawang putih di Sembalun menurun dan berkisar antara 15-18 ton/ha. Keywords: Bawang Putih, Napak Tilas, Sejarah, Sembalun

PENDAHULUAN

Bawang putih (Allium sativum L.) merupakan salah satu produk hortikultura yang sangat penting bagi

masyarakat Indonesia karena digunakan sebagai bumbu masak, obat dan bahan kosmetika (Santoso, 1988

dalam Hilman et al., 1997). BPS (2015) mencatat setidaknya saat ini kebutuhan Nasional bawang putih

sekitar 500.000 ton per tahun. Jumlah yang sangat besar tersebut dipenuhi dari impor sebesar 480.000 atau

sekitar 96% dan sisanya dipenuhi dari produksi dalam negeri sebesar 20.000 ton atau sekitar 4% (Gambar 1).

Dari jumlah 4% tersebut, Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) memberi kontribusi luas tanam terbesar

terhadap luas panen Nasional yaitu mencapai 45% (Gambar 2) (Tabloid Sinar Tani, 2016). Tingginya impor

bawang putih dimulai sejak dibukanya keran impor secara besar-besaran tahun 1998 yang menyebabkan

bawang putih lokal tidak dapat bersaing dengan bawang putih impor yang ukurannya lebih besar, warnanya

lebih putih bersih, serta harganya lebih murah sehingga lebih disukai konsumen.

Page 282: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

268 |

Gambar 1. Persentase perbandingan bawang putih lokal dan impor di Indonesia

Gambar 2. Daerah sebaran produksi bawang putih di Indonesia

(Tabloid Sinar Tani, 11 Januari 2016)

Ketergantungan yang sangat besar terhadap impor bawang putih tentunya harus menjadi perhatian

semua pihak, terlebih dengan adanya target pemerintah melalui Kementerian Pertanian untuk swasembada

bawang putih pada tahun 2021. Upaya utama yang harus dilakukan adalah dengan meningkatkan produksi

bawang putih dalam negeri. Sejak tahun 1980-an sampai dengan tahun 1998, Provinsi NTB merupakan salah

satu daerah penghasil bawang putih utama di Indonesia dengan sentra produksinya berada di wilayah

Sembalun Kabupaten Lombok Timur. Capaian produktivitas saat itu sangat tinggi, mencapai 35 hingga 40 ton

bawang putih segar/Ha, atau bila dikonversi menjadi bawang putih kering sekitar 11,55 – 13,2 ton/Ha. Pada

tahun 1987 Presiden RI, Soeharto. secara khusus datang untuk melakukan panen raya bawang putih ke

wilayah Sembalun. Bila dibandingkan dengan hasil yang dicapai di daerah lain, hasil yang dicapai petani

Sembalun tentunya tergolong cukup tinggi. Permadi et al. (1992) dalam Hilman et al. (1997) menyebutkan

bahwa potensi hasil umbi kering tertinggi di Karang Ploso (dataran medium) adalah bawang putih varietas

Sanur yaitu sebesar 8,1 ton/Ha, dan varietas Gombloh yang ditanam di daerah Banaran (dataran tinggi) yang

mencapai 8,3 ton/Ha.

Saat ini produksi bawang putih di wilayah Sembalun adalah 4.765 ton dari 363 ha lahan yang dikelola,

atau dapat dikatakan produktivitasnya hanya sekitar 13,12 ton/Ha berat basah yang jika dikonversi menjadi

4,3 ton/Ha berat kering (BPS, 2015). Kemerosotan hasil produksi bawang putih di wilayah Sembalun tentu

bukan tanpa sebab. Perbandingan hasil yang dicapai antara tahun 1980-an sampai tahun 1998 dengan hasil

Page 283: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 269

yang dicapai beberapa tahun terakhir menjadi menarik untuk ditelaah sebagai bahan napak tilas kejayaan

bawang putih Sembalun yang diharapkan dapat menjadi pelajaran untuk bangkit dari kondisi saat ini.

METODOLOGI

Tulisan ini disusun melalui kajian yang dilakukan di Kecamatan Sembalun Kabupaten Lombok Timur

selama bulan Januari hingga Mei 2018. Penelitian ini menggunakan desain kualitatif untuk dapat

menggambarkan dan menjelaskan situasi dan kondisi secara lebih jelas dan terperinci. Dengan pendekatan

kualitatif, situasi alamiah di lingkungan sumber data terjaga sehingga analisis masalah dapat dilakukan

dengan akurat (Nawawi dan Hadari, 1995).

Data diperoleh melalui wawancara mendalam dengan beberapa tokoh masyarakat yang ada di

Kecamatan Sembalun. Tokoh yang diwawancara (key informant) dipilih dengan beberapa kriteria, yaitu 1)

merupakan pelaku sejarah; 2) orang yang berkecimpung aktif dalam masalah bawang putih sehingga dapat

memberikan informasi yang cukup mendetail secara gamblang; 3) memiliki cukup waktu untuk memberikan

informasi yang dibutuhkan; dan 4) memberikan informasi secara apa adanya, tanpa dilakukan rekayasa atau

berfikir lebih dahulu tentang apa yang akan disampaikan. Data yang dikumpulkan dari hasil wawancara

kemudian dianalisis dan disajikan secara deskriptif.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sejarah pertanian di Sembalun dimulai sejak zaman penjajahan Belanda yaitu sekitar tahun 1927 sampai

dengan tahun 1959, dimana saat itu komoditas pertanian utama adalah tanaman kopi arabica, sapi dan padi

lokal (padi merah). Bawang putih dibudidayakan hanya untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga

masyarakat saja dan tidak untuk tujuan komersial. Bawang putih sendiri dikenal oleh masyarakat Sembalun

melalui para pedagang Cina yang banyak bermukim di Sembalun. Ketika perdagangan kopi mengalami

kejayaannya, pedagang Cina membeli kopi Sembalun untuk dikirim ke luar Lombok melalui pelabuhan

Ampenan. Mengingat saat itu daerah Sembalun tidak mudah untuk dilalui, pedagang Cina menetap di

Sembalun untuk waktu yang cukup lama. Bawang putih yang ditanam di Sembalun merupakan bawang putih

yang dibawa oleh pedagang Cina yang disebut bawang putih Shanghai. Adaptasi penyebutan oleh

masyarakat, lama kelamaan bawang putih Shanghai dikenal dengan nama bawang putih Sangga Sembalun.

Pada tahun 1960-an, komoditas kopi anjlok sehingga masyarakat kemudian beralih, mulai melakukan

budidaya bawang putih secara lebih intensif.

Sejak tahun 1960 an hingga tahun 1979, masyarakat Sembalun bekerjasama dengan Dinas Kehutanan

dalam upaya menanam kembali (reboisasi) hutan Sembalun dengan tanaman akasia. Sebagai kompensasi

dari kerjasama tersebut, Dinas Kehutanan memberikan hak olah lahan kepada masyarakat Sembalun untuk

menanam bawang putih di areal yang mereka kelola sebagai lahan reboisasi. Dengan demikian, pada

awalnya bawang putih dibudidayakan masyarakat Sembalun di lahan-lahan hutan. Karena bawang putih

merupakan tanaman yang membutuhkan sinar matahari cukup, setelah 4-5 tahun tanaman akasia mulai besar

dan rindang, masyarakat akan diberikan lahan baru kembali untuk menanam bawang putih.

Page 284: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

270 |

Budidaya bawang putih yang dilakukan masyarakat di hutan ditanam sekitar bulan Januari atau Februari.

Sebelum melakukan penanaman, masyarakat mengolah tanah dengan cara mencangkul dan membiarkan

tanah selama dua sampai tiga minggu terkena sinar matahari dan angin. Tujuannya adalah supaya hama dan

inokulum patogen yang ada di dalam tanah tidak dapat berkembang dengan baik. Setelah itu tanah

dihaluskan dengan menggunakan alat dari kayu setinggi satu meter sehingga tidak terdapat lagi bongkahan-

bongkahan kasar. Saat tanah telah benar-benar halus tanah diratakan kembali dan dibuatkan bedengan.

Proses pengolahan tanah memakan waktu sekitar dua bulan sampai tanah siap ditanami. Dengan demikian,

untuk dapat menanam saat Januari atau Februari, maka olah tanah mulai dilakukan pada November atau

Desember tahun sebelumnya.

Masyarakat Sembalun melakukan seleksi benih sebelum ditanam. Mereka yakin bahwa 80 persen

keberhasilan budidaya bawang putih ditentukan oleh benih yang baik. Menurut mereka, benih yang baik

adalah benih yang benar-benar padat, sedapat mungkin yang ukurannya cukup besar. Untuk mendapatkan

benih yang baik, sejak awal teknik budidayanya dibedakan dengan bawang putih konsumsi, yaitu jarak tanam

yang lebih rapat, setelah panen dikeringkan, diangin-anginkan, kemudian diasap untuk membunuh hama dan

patogen. Masa dormansi benih optimal sekitar enam bulan. Tunas/titik tumbuh telah berkembang dengan baik

dan bila ditanam besar peluangnya untuk tumbuh dengan baik. Penggunaan pupuk dan pestisida pada saat

itu tidak ada. Kandungan humus yang tinggi di hutan memungkinkan mendapatkan hasil yang cukup tinggi.

Pada tahun 1979, perjanjian kerjasama antara pemerintah dalam hal ini Dinas Kehutanan dan

masyarakat Sembalun berakhir. Pemerintah daerah setempat yaitu kepala desa kemudian mengupayakan

pembukaan lahan baru untuk bawang putih dengan mengeringkan sawah besar (bangket beleq) yang selama

ini hanya dapat ditanami oleh padi lokal (beras merah) yang berumur 6 bulan. Sejak saat itu, penanaman

bawang putih di bangket beleq dilakukan sekitar bulan Juni atau setelah panen padi lokal. Sampai saat ini

penanaman bawang putih lebih banyak dan lebih intensif dilakukan di bangket beleq karena kualitas tanahnya

lebih baik dan pengairan yang lebih terjamin.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil dan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa sejak dimulainya budidaya

bawang putih tahun 1960-an, terjadi pasang surut produksi bawang putih, dimana pada awalnya bawang putih

ditanam di hutan-hutan Sembalun dengan hasil yang tinggi, kemudian mengalami kemunduran saat terjadi

penutupan hutan tahun 1979. Tahun 1980-an bawang putih kembali bangkit dan mencapai masa kejayaannya

sampai tahun 1998 yang ditandai dengan produktivitas yang sangat tinggi mencapai 40 ton/ha. Hasil yang

tinggi ini selain karena kesuburan tanah Sembalun, juga karena praktik budidaya baik untuk konsumsi maupun

perbenihan yang dilakukan dengan kearifan yang dipelajari sejak turun-temurun yang patut untuk dipelajari

dan diaplikasikan kembali dalam rangka menyongsong kebangkitan baru menuju swasembada bawang putih

yang telah dicanangkan oleh pemerintah melalui Kementerian Pertanian.

Page 285: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 271

DAFTAR PUSTAKA BPS, 2015. NusaTenggara Barat Dalam Angka. Badan Pusat Statistik. Rebuplik Indonesia.

Hilman, Y., Hidayat, A., dan Suwandi. 1997. Budidaya Bawang Putih di Dataran Tinggi. Monograf No. 7.

Balai Penelitian Tanaman Sayuran. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura. Badan

penelitian dan Pengembangan Pertanian.

Nawawi, H dan Hadari, M. 1995. Instrumen Penelitian Bidang Sosial. Gadjah Mada University Press.

Tabloid Sinar Tani. 2016. Distribusi produksi bawang putih di Indonesia. Edisi 11 Januari 2016.

Page 286: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

272 |

EVALUASI PENDAMPINGAN PETANI ETNIS MADURA TERHADAP KEBERLANJUTAN

PENERAPAN INOVASI (KASUS DI KABUPATEN SUMENEP)

Tini Siniati Koesno(1), Suryadi(2), Nasimun(1), Achmad Syarif Fajrullah(2)

(1)Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur (2)Dinas Pertanian Tanaman Pangan, Hortikultura dan Perkebunan Kabupaten Sumenep

Corresponding author: [email protected]

Abstract. Kegiatan pendampingan inovasi menyasar pada petani etnis Madura, di Kabupaten Sumenep. Tujuannya adalah terjadi percepatan hilirisasi inovasi pertanian yang diterapkan pengguna. Kegiatan dimulai 2016 dan berakhir 2018. Basis komoditi padi sawah tadah hujan, ditanam satu kali hingga dua kali dalam setahun, yaitu di musim penghujan (MH) dan kemarau (MK). Pendekatan pendampingan secara partisipatif seperti: menggeser kultur tanam; menggeser varietas lama dengan Varietas Padi Unggul Baru (VUB). Pemilihan sampel purposif satu poktan yang bisa memberikan pengaruh positif, pada lahan seluas 5 ha. Pengambilan data dan informasi dilakukan melalui tiga cara: pengamatan langsung selama kegiatan, wawancara dan diskusi, kemudian dianalisa secara diskriptif. Ukuran keberhasilan ditunjukkan: 1). penambahan luasan penerapan inovasi tanam jajar legowo 2:1, semula 5 ha menjadi 15 ha (MK I); 40 ha (MK II) di 2016. Di tahun 2018 menjadi 162 ha (MH) dan 178 ha; 2). peningkatan jumlah poktan penerap inovasi semula satu poktan, seketika menjadi 3 poktan (MK 2016), dan menjadi 21 poktan di tahun 2018; 3). peningkatan jumlah lokasi sebaran inovasi, semula satu desa dan satu kecamatan (2016), tersebar ke 9 desa di 4 kecamatan (2018); 4). jumlah VUB padi yang diperkenalkan sudah mencapai 9 jenis Inpari (4, 10, 16, 19, 24, 30, 32, 33 dan 42), dan 4 jenis padi gogo (Inpago 5 dan 9 serta Situpatenggang dan Situbagendit); selanjutnya 5). Tercapainya Mandiri benih antar poktan. Keywords: Evaluasi, penerapan inovasi, etnis Madura

PENDAHULUAN

Seiring dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk Indonesia, mencapai 263 juta jiwa di tahun

2017, telah memunculkan kerisauan akan terjadinya keadaan ―rawan pangan‖ di masa yang akan datang.

Meskipun demikian potensi sumber daya yang dimiliki Indonesia diyakini mampu menyediakan dan

berkontribusi mengatasi masalah pangan dunia melalui pembangunan lumbung pangan di berbagai wilayah,

termasuk perbatasan (Sulaiman, A A., et al., 2017). Pernyataan tersebut, tidak menutup kemungkinan pulau

Madura, yang sebelumnya kurang diperhitungkan dalam pasokan pangan, karena sebagian besar wilayah

Madura dalam kategori lahan sub optimal. Kebanyakan belum optimal memanfaatkan inovasi dalam

mencapai produktivitas pertanian. Misal penggunaan varietas unggul baru (VUB), umur semaian muda, dan

sistem tanam jajar legowo. Bila petani mau dan mampu mengoptimalkan penerapan inovasi tersebut, niscaya

Page 287: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 273

produktivitas dapat ditingkatkan. Menurut Abdulrachman et. al. (2011) melalui penerapan inovasi sistem

tanam jajar legowo dapat meningkatkan produksi 9,63 % hingga 15 %. Penggunaan VUB yang diikuti dengan

pemupukan dan pengairan yang tepat memberikan kontribusi cukup nyata terhadap peningkatan produktivitas

padi. Penggunaan VUB padi bermutu memberikan kontribusi produksi sekitar 30 % (BPTP NAD, 2010)

Potensi sumberdaya tidak hanya dalam bentuk biofisik sumberdaya lahan, namun lebih dari itu.

Kemampuan sumberdaya manusia pelaku utama (petani) dan pelaku usaha perlu mendapatkan perhatian

seksama dalam mengembangkan inovasi untuk mengelola sumberdaya lahan agar diperoleh hasil yang

optimal dan berkelanjutan. Mereka adalah penggerak dan garda depan dalam penerapan inovasi untuk

keberhasilan pembangunan pertanian. Oleh sebab itu diperlukan pendampingan petani yang

berkesinambungan sebagai wujud bahwa keberadaan mereka sangatlah dibutuhkan dalam membangun

lumbung pangan, utamanya dalam penyediaan pangan yang cukup dan berkualitas.

Pendampingan petani bermakna setara dengan melakukan pembelajaran penerapan inovasi pertanian

kepada petani, baik perorangan, kelompok tani (poktan) dan gabungan kelompok tani (gapoktan) atau massa.

Kegiatan tersebut dilakukan terjadwal secara periodik; menggunakan berbagai metoda pembelajaran dan

dengan menggunakan alat bantu melalui berbagai media. Maka dari itu kegiatan tersebut tak ubahnya juga

sebagai kegiatan penyuluhan pertanian atau penyebarluasan (diseminasi) hasil litkaji kepada pelaku utama

(petani) dan pelaku usaha. Tujuannya yaitu agar dengan menerapkan inovasi, petani Madura mampu

mengoptimalkan hasil pada lahan sub optimal untuk pasokan pangan kedepan.

Suatu inovasi dapat diterima dan diterapkan oleh petani sasaran, dipengaruhi oleh dua aspek.

Diantaranya: karakteristik penerima pesan (petani sasaran) dan pemberi pesan (sumber inovasi). Kemudian

karakteristik masing-masing aspek berpengaruh terhadap hasil pendampingan. Dari sisi komunikan, yaitu: 1).

Karakteristik komunikan; 2). Materi inovasi; 3). Metode penyampaian pesan; 4). Media yang digunakan dan

5). Lamanya pendampingan. Karakteristik penerima pesan meliputi: 1). Agroekosistem; 2). Kultur etnis; 3).

Pendidikan; 3). Usia; 4). Pemilikan lahan. Sehubungan dengan hal tersebut, maka didesainlah kegiatan

pendampingan inovasi kepada petani di kabupaten Sumenep selama beberapa periode tanam padi. Diyakini

melalui beberapa periode pendampingan akan terjadi kontak psikologis antara petani penerima pesan dengan

komunikan (sumber inovasi). Apabila tercipta keharmonisan hubungan psikologis antara petani dan

komunikan, maka sasaran mudah menerima pesan dari komunikan (sumber informasi dan inovasi).

Keberhasilan pendampingan inovasi diperoleh apabila petani mau menerima dan berupaya

menerapkannya tanpa beban. Apabila penerapan inovasi tersebut terus berlanjut, ini yang dinamakan terjadi

adopsi inovasi. Kondisi demikian biasanya diikuti dengan proses difusi inovasi. Ciri-cirinya adalah: 1). Adanya

pertambahanjumlah poktan penerap inovasi; 2). Terjadi perluasan tambah tanam penerap inovasi; 3). Terjadi

difusi atau hilirisasi inovasi ke lain desa dan kecamatan.

METODOLOGI

Untuk mengevaluasi hasil pendampingan petani Etnis Madura terhadap keberlanjutan penerapan inovasi

utamanya padi, dilakukan di Kabupaten Sumenep. Awal kegiatan dilakukan di desa Bragung, kecamatan

Guluk-Guluk, di poktan Albana. Waktu kegiatan dimulai pada tahun 2016, kemudian dilanjutkan pada tahun

2017 dan berakhir di tahun 2018.

Page 288: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

274 |

Untuk menggali kultur masyarakat etnis Madura, dilakukan observasi langsung, diskusi dan sharing

pendapat pada pendampingan tahun 2017. Untuk tujuan penggalian informasi tersebut dipilihlah 7 ketua

poktan dari 10 poktan yang memenuhi kriteria memahami kultur etnis Madura.

Waktu pendampingan penerapan inovasi tersebut, tidak dilakukan sepanjang tahun. Namun dilakukan

pada musim tanam padi dimana petani menghadapi masa sulit dalam ketersediaan air, benih dan lainnya.

Namun di sisi lain, target luas tambah tanam (LTT) dan panen (LP) UPSUS Pajale tetap terpenuhi walau di

musim kemarau (MK I atau II). Berkaitan dengan hal tersebut, maka periode pendampingan dilakukan seperti

pada tabel 1.

Metode pendampingan diberikan melalui percontohan penerapan inovasi budidaya padi sawah tadah

hujan (lahan sub optimal), sesuai anjuran. Dikerjakan bersama poktan sasaran, pada lahan seluas 5 ha.

Percontohan ditekankan pada penerapan tiga jenis inovasi, yaitu:1). penggunaan bibit tanaman umur muda

antara 15-20 hari; 2). perbaikan sistem tanam jajar legowo (jarwo) 2:1 dan 3). penggunaan bibit padi varietas

unggul baru (VUB), guna meningkatkan produksi. VUB padi yang diintroduksi ke petani meliputi: Inpari 16; 30;

32; 33 dan Inpari 42 Agritan Green Super Rice (GSR).

Tabel 1. Waktu Pendampingan Petani di MH dan MK Tahun 2016 s/d 2018

No. Tahun

Waktu Pendampingan di Musim Tanam Jumlah

Pendampingan Musim

Hujan (MH)

Musim

Kemarau (MK I)

Musim Kemarau

(MK II)

1. 2016 - √ √ 2

2. 2017 - √ √ 2

3. 2018 - √ - 1

3 tahun

pendampingan

- 3 MK I 2 MK II 5 Musim Tanam

MK

Keterangan: - : tanpa pendampingan √ : pendampingan

Pada awal kegiatan, untuk persiapan tanam, poktan sasaran selalu diberikan pembekalan inovasi.

Bentuk pembekalan berupa sosialisasi inovasi, simulasi, peragaan di lapang serta diskusi. Di setiap akhir

musim panen, selalu diselenggarakan acara Temu Lapang Petani. Tujuannya adalah untuk mengekspose

hasil nyata yang telah dicapai akibat dari penerapan inovasi, kepada petani lainnya.

Walau demikian, kecepatan dalam penerimaan pesan inovasi terhadap setiap orang, tidaklah sama.

Tergantung pada karakteristik masing-masing sasaran seperti: umur, pendidi-kan, pemilikan lahan dan

karakteristik sosial budaya setempat. Oleh sebab itu dalam pemilihan media dan penetapan metoda

penyampaian inovasi, perlu mengetahui karakter sasaran. Ukuran keberhasilan pendampingan inovasi, dapat

diketahui dengan cara mengevaluasi kondisi poktan sebelum dan sesudah diberikan pendampingan inovasi.

Evaluasi tersebut meliputi: 1). Perkembangan jumlah poktan penerap inovasi; 2). Perkembangan luas tanam;

3). Perkembangan jumlah desa dan kecamatan; serta 4). Perkembangan produksi yang dicapai.

Page 289: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 275

Metode pengambilan data dan informasi untuk tujuan tersebut, merujuk pada laporan pengkajian

metodologi penyuluhan pertanian yang dilakukan oleh Moekaddas, A. (1985). Untuk itu, dibutuhkan dua jenis

data: primer dan sekunder. Data primer bersifat kuantitatif dan kualitatif diperoleh melalui pengamatan selama

kegiatan, serta dari sumber informasi (petani dan petugas tingkat desa hingga kabupaten). Data sekunder

cenderung bersifat kuantitatif diperoleh dari Dinas Pertanian, Hortikultura dan Perkebunan Kabupaten

Sumenep, serta desk study literatur. Untuk memperoleh semua data yang dibutuhkan, dilakukan melalui tiga

cara, yaitu penggalian melalui: wawancara, fokus group diskusi (FGD) dan observasi langsung di lokasi

kegiatan. Selanjutnya data-data yang diperoleh tersebut, ditabulasi, kemudian dianalisa secara diskriptif.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Lahan dan Kultur Etnis Madura

Kabupaten Sumenep, Jawa Timur terletak paling timur dari Pulau Madura. Data 10 tahun terakhir,

wilayah ini memiliki curah hujan 1.054 mm/tahun dengan jumlah hari hujan 61 hari, serta mempunyai bulan

basah 5-6 bulan dan 5-6 bulan kering (Programa Penyuluhan Pertanian Kecamatan Guluk-Guluk, 2016).

Kondisi demikian menjadikan hampir seluruh wilayah tersebut sebagai sawah tadah hujan atau dalam kategori

lahan sub optimal. Walaupun di beberapa daerah terdapat jaringan irigasi namun belum optimal. Ini sebagai

salah satu alasan pemilihan lokasi tersebut karena dalam mensukseskan program swasembada pangan

khususnya padi, perlu meng-eksplorasi lahan sub optimal. Tujuannya untuk memacu luas tambah tanam dan

luas panen. Secara keseluruan Kabupaten Sumenep memiliki potensi lahan sawah 25.185 ha, dengan

produktivitas rata-rata 6,0 ton/ha. (Dispertahortbun Sumenep, 2016)

Karakter sosial budaya masyarakat Madura memiliki falsafah bhapa, bhabu, ghuru, rato, yang tunduk

tokoh sentral atau penguasa dan memiliki harga diri yang tinggi. Ada pepatah lebbi bagus pote tollang,

atembang pote mata (lebih baik mati dari pada malu). Ini yang melahirkan tradisi carok. Untuk menekan

budaya tersebut, maka nilai moral terus ditingkatkan melalui ajaran kebaikan, Iman Islam terus

dikumandangkan. Untuk mengajak agar lebih bijaksana dalam mengendalikan harga diri. Oleh sebab itu, tak

heran orang Madura menganut ajaran Islam begitu kental hingga sensasi menganut kultur asal usul Islam.

Melihat hal demikian, komunikan harus pandai mengatur strategi di setiap kegiatan. Pemberian penghargaan

terhadap karya-karya mereka amatlah penting, guna memacu semangatnya.

Berjalannya waktu lambat laun, budaya carok ini melemah dengan terdidiknya kaum muda. Untuk

menyelesaikan masalah sudah lebih arif, tidak lagi dengan ―otot besi dan emosi‖, tetapi cukup dengan ―otak

bersih yang berisi‖. Perlu diketahui bahwa karekteristik masyarakat Madura Barat (Bangkalan dan Sampang)

lebih keras, sehingga banyak merantau karena lahannya lebih gersang. Berbeda dengan Madura Timur

(Pamekasan dan Sumenep), lebih halus sikap dan tatakramanya, serta lahannya lebih subur sehingga sedikit

merantau.

Karakteristik Petani

Karakteristik petani berpengaruh pada pengambilan keputusan. Pada awal kegiatan dilakukan

identifikasi poktan pelaksana kegiatan. Diperoleh hasil sebagai berikut: 45 % petani memiliki lahan antara

0,08 – 0,16 ha dan sekitar 45 % petani memiliki 0,2 – 0,4 ha. Nampaknya usahatani banyak dilakukan oleh

Page 290: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

276 |

petani berusia muda ≤ 30 tahun: 14,63 % petani; berusia 31-40 tahun: 41,46 % petani; berusia 41-50 tahun:

25,61 % petani dan 15 % petani berusia 50-60 tahun. Selanjutnya 50,6 % petani berpendidikan SD; 25,3%

berpendidikan SMP; 20,5 % berpendidikan SMA dan Sarjana 3,6 % (Koesno, T.S.; Nasimun; H.A. Dewi dan

I.B. Raharja, 2017). Selanjutnya dikatakan, melihat kondisi demikian, petani tidak buta aksara, sehingga bisa

berpikir logis terhadap penerimaan materi inovasi yang diberikan melalui pendampingan secara kontinu.

Selain itu, lokasi pendampingan tersebut memiliki prospek pengembangan usaha pertanian cukup tinggi,

karena hanya 15 % petani berusia 50-60 tahun, selebihnya dibawah usia tersebut (usia produktif). Kondisi

demikian dijadikan peluang sebagai bahan pertimbangan melakukan pembinaan dan pendampingan

penerapan inovasi melalui berbagai media dan metode penyuluhan.

Karakteristik Usahatani Eksisting

Recording data usahatani eksisting dilakukan pada awal akan dilaksanakan pendampingan inovasi, yaitu

pada MK I tahun 2016. Karakteristik usahatani eksisting dicirikan pola tanam dalam setahun: padi-jagung-

tembakau atau padi-tembakau-jagung. Petani fanatik padi varietas Ciherang yang ditanam lebih dari 10

tahun. Lamanya pemakaian benih tanpa penggantian dan pembaharuan varietas, dikhawatirkan potensi

produksinya akan menurun. Selain itu dikuatirkan dalam jangka panjang, varietas tersebut akan menjadi

rentan atau menjadi host hama dan penyakit tertentu.

Dalam sistem tanam padi menggunakan jarak tanam 20 cm x 20 cm, sistem tegel namun masih banyak

yang tak beraturan (70 %). Selain itu, bibit yang ditanam dari umur semaian tua, 30 hari bahkan lebih. Cara

budidaya tersebut, dicapai produktivitas (provitas) antara 5,5 hingga 6 ton per ha GKP. Berdasarkan kondisi

tersebut, maka pendampingan diarahkan pada penerapan inovasi sistem tanam jajar legowo 2:1, serta

penggunaan varietas unggul baru (VUB) yang sesuai dengan agriklimat Sumenep. Harapannya dengan

penerapan inovasi tersebut, provitas dapat ditingkatkan minimal 10 % atau 6,6 ton/ha.

Penanaman jagung dilakukan petani dengan inovasi seadanya sebagai cadangan pangan keluarga.

Menggunakan varietas jagung lokal Madura ditanam dengan jarak tak menentu. Berbeda dengan tembakau,

dilakukan dengan penuh kecermatan. Jarak tanam (80-40) x 35 cm sehingga populasi sekitar 47.00 tanaman

per hektar. Namun harga jual tembakau beberapa musim terakhir, kurang menggairahkan petani, yakni di

harga Rp. 35.000,- per kg dengan hasil 225 kg/ha (Hasil Wawancara Langsung Petani Pelaksana, Nur Cholis,

2016). Dalam perhitungan kelayakan usaha tani tembakau diperoleh BCR (Benefit Cost Ratio) 0,34. Bila

mengusahakan padi lebih menguntungkan karena nilai BCR 1,38. Namun apabila harga tembakau tinggi

pada kisaran Rp. 45.00,- s/d. Rp 50.000,- per kilogramnya, maka petani akan memilih tanam tembakau di MK

II (Hasil Wawancara Langsung Petani Pelaksana, Kamilah, 2018). Namun apabila stock gudang tembakau

melebihi kebutuhan, maka harga akan terjun bebas. Selain itu tidak ada kepastian harga, yang menentukan

adalah para pengepul (http://taberita.com. 12 September 2018)

Evaluasi Kinerja Pendampingan Inovasi

Pendampingan inovasi telah dilakukan selama lima musim tanam, utamanya dilakukan pada musim

tanam MK I atau II. Sedangkan musim tanam MH, hanya dilakukan pemantauan jarak jauh melalui android.

Percontohan ditekankan pada penerapan tiga jenis inovasi, yaitu:1). penggunaan bibit tanaman umur muda

Page 291: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 277

antara 15-20 hari; 2). perbaikan sistem tanam jajar legowo (jarwo) 2:1 dan 3). penggunaan bibit padi varietas

unggul baru (VUB), guna meningkatkan produksi. VUB padi yang diintroduksi ke petani meliputi: Inpari 16; 30;

32; 33 dan Inpari 42 Agritan Green Super Rice (GSR). Dalam kegiatan ini, Varietas Ciherang masih

digunakan sebagai materi pembanding.

Selain itu petani juga mengikuti anjuran tanam bibit muda, yaitu pada umur semai padi antara 15-20 hari.

Sebelumnya hampir semua petani menanam bibit semaian umur sekitar 30 hari. Alasannya bibit sudah bisa

tegak bila ditanam, dibandingkan umur 15-21 hari. Hasil evaluasi setelah empat musim pendampingan

inovasi, maka 30 % petani menerapkan umur semai <20 hari; 56,6% petani menerapkan umur semai 20-21

hari dan 13% petani menerapkan umur semai 25 hari. Sebenarnya petani menerima inovasi tanam padi

dengan semaian umur muda antara 15-20 hari. Hanya saja petani itu tanam bibit lebih dari 20 hari

dikarenakan mengantri jadwal regu tanam. Selain itu, pada awalnya, penanaman terkesan lambat karena

regu tanam masih belajar tanam jarwo.

Hasil kumulatif evaluasi kinerja pendampingan terhadap 3 komponen inovasi tersebut, dicirikan adanya:

1). Perkembangan Jumlah Poktan Penerap Inovasi; 2). Perkembangan Luas Tanam Penerap Inovasi (ha);

3). Pengembangan jumlah Desa dan Pengembangan jumlah Kecamatan, sebagi bentuk terjadinya hilirisasi

inovasi. Hasil evaluasi kinerja pendampingan inovasi disajikan pada tabel 2.

Tabel 2. Evaluasi Kinerja Hasil Pendampingan Tiga Komponen Inovasi

No. Komponen

Evaluasi

2016 2016 2016-

2017 2017

2017-

2018 2018

Ren-

cana MK I MK II MH MK I MK II MH MK I

1. Perkembangan

Poktan Penerap

Inovasi

1 3 4 4 10 8 15 21

2. Perkembangan

L.Tanam Penerap

Inovasi (ha)

15 40 40 60 115 55 162 165,65

3. Pengembangan

Desa

1 1 2 2 4 3 6 10

4. Pengembangan

Kecamatan

1 1 1 1 1 1 1 4

Untuk mengevaluasi keberhasilan kinerja pendampingan tiga komponen inovasi pada kegiatan tersebut

pada tingkat adopsi dan telah terjadi difusi inovasi, dapat dilihat pada tabel 2; serta gambar 1 dan 2.

Awal kegiatan pendampingan inovasi, dilakukan pada MK I tahun 2016, hanya melibatkan satu poktan

Albana seluas 15 ha di desa Bragung. Selanjutnya dalam proses berjalannya kegiatan pendampingan,

kelompok bertambah menjadi 3 poktan (300%), yaitu Albana, Kasih Ibu dan Al Irsyad, luasan bertambah

menjadi 40 ha (266 %). Adanya fenomena alam La Nina, tanam padi berlanjut di MK II, peserta bertambah

lagi menjadi 4 poktan (133 %) dengan luasan 40 ha (133 %) berkembang di 2 desa yaitu Bragung dan Guluk-

Guluk.

Page 292: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

278 |

Pada MH (2016-2017) penerapan inovasi padi tetap berlanjut dengan luasan meningkat lagi menjadi 60

ha (150 %) masih di 2 desa yang sama. Pada MK I 2017, penerap inovasi meningkat menjadi 10 poktan

(330%) dengan luasan bertambah menjadi 115 ha (191 %). Berkembang di 4 desa, yaitu desa Bragung;

Guluk-Guluk; Pordapor dan Penanggungan. Pada akhir pendampingan di MK I 2018, poktan penerap

berkembang menjadi 21 poktan yang tersebar di 10 desa, dan di 4 kecamatan.

Gambar 1. Perkembangan Jumlah Desa dan Kecamatan, serta Jumlah Poktan Penerap Inovasi

Penggunaan VUB telah memberikan kontribusi cukup besar terhadap produksi padi nasional hingga

saat ini varietas unggul tetap lebih besar sumbangannya dalam peningkatan produktivitas dibandingkan

dengan komponen teknologi produksi lainnya (Sembiring dan Wirajaswadi, 2001 dalam Putra, S. dan Y.

Haryati, 2018). Di wilayah kegiatan pendampingan, penggunaan Ciherang menjadi primadona lebih dari 10

tahun. Lamanya pemakaian benih tanpa penggantian dan pembaharuan varietas, dikhawatirkan potensi

produksinya akan menurun. Selain itu dikuatirkan dalam jangka panjang, varietas tersebut akan menjadi

rentan atau menjadi host hama dan penyakit tertentu. Padahal salah satu solusi untuk dapat meningkatkan

Page 293: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 279

produksi padi adalah dengan menerapkan varietas unggul baru (Koesno, T.S., H.A. Dewi dan Nasimun, 2016).

Oleh karena itu pendampingan diarahkan pada pengenalan VUB padi, selain Ciherang. Diaantaranya

menanam VUB padi: Inpari 16, Inpari 30, Inpari 32, Inpari 33, dan Inpai 42 Agritan Green Super Rice (GSR),

yang ditanam selama beberapa periode pendampingan, dengan hasil seperti pada tabel 3 dan gambar 3.

Tabel 3. Capaian Produktivitas Ciherang dan Lima VUB Padi, Melalui Beberapa Periode Tanam

No. VUB Padi Periode Musim Tanam

(MT) Capaian Provitas ton/ha

1. Ciherang 3 MT 6,723

2. Inpari 32 5 MT 6,899

3. Inpari 33 4 MT 7,039

4. Inpari 16 2 MT 7,190

5. Inpari 30 4 MT 8,131

6. Inpari 42 1 MT 10,322

Dari enam VUB padi, ternyata Inpari 42 Agritan GSR memberikan hasil tertinggi dibandingkan lainnya,

walaupun baru ditanam sekali yang tersebar di dua desa. Hasil tersebut merupakan hasil rerata dari dua desa

(Gapura dan Poreh) di dua kecamatan (Gapura dan Lenteng). Perbedaan hasil tersebut memang nampak

nyata 20 % lebih tinggi dari Inpari 30. Memang karakteristik Inpari 42 Agritan GSR, merupakan jenis VUB

yang agak tahan cekaman kekurangan air, makanya dinamakan Green Super Rice (GSR). Namun

provitasnya tetap tinggi di kisaran hasil penelitian terendah 7 ton/ha dan tertinggi 10 ton/ha. Rasa nasi pulen,

walaupun nasi tidak dalam kondisi hangat, seperti umumnya .

VUB Inpari 42, sangat cocok dikembangkan pada lahan dengan karakteristik seperti di Sumenep Madura,

yaitu sering terjadi ckaman kekurangan air. Hasil observasi, di lokasi pengembangan Inpari 42, hampir semua

Page 294: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

280 |

petani (95 %) menerima dan menghendaki tanam kembali di musim tanam MH 2018. Bahkan petani di luar

kegiatan pendampingan berkeinginan mendapatkan dan mengembangkan dengan cara membeli gabah Inpari

42. Namun, hasil panen pendampingan 2018 di MK I seluas 10 hektar, semua gabah oleh 4 poktan di 4 desa

(Kec. Gapura dan Lenteng) dikembangkan menjadi benih untuk persiapan tanam MH 2018-2019. Bila rerata

hasil 8 ton/ha, dan hanya 25 % untuk penyediaan benih, maka akan tersedia benih Inpari 42 Agritan GSR

sebanyak 20 ton. Taksasi kebutuhan benih 25 kg/ha, maka dengan 20 ton benih tersebut, dapat digunakan

untuk mencukupi luasan tanam 800 hektar, di musim tanam MH 2018-2019.

KESIMPULAN

Setelah dilakukan evaluasi pada kegiatan pendampingan petani etnis Madura terhadap keberlanjutan

penerapan inovasi padi, maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:

1. Sasaran kegiatan adalah petani etnis Madura yang menganut falsafah hidup bhapa, bhabu, ghuru, rato,

yang tunduk pada tokoh sentral atau penguasa dan memiliki harga diri yang tinggi. Ada pepatah lainnya,

yaitu lebbi bagus pote tollang, atembang pote mata (lebih baik mati dari pada malu). Ini yang melahirkan

tradisi carok. Melihat hal demikian, komunikan harus pandai mengatur strategi di setiap kegiatan.

Pemberian penghargaan terhadap karya-karya mereka amatlah penting, guna memacu semangatnya;

2. Lokasi kegiatan awal pendampingan di desa Bragung, kecamatan Guluk-Guluk, dilaksanakan oleh satu

poktan dengan metode pendampingan: menggelar percontohan pada lahan seluas 15 ha, dengan

menerapkan strategi diseminasi Multy Chanel (berbagai media dan metoda);

3. Pendampingan secara intensif dilakukan selama lima (5) periode tanam, utamanya di MK I, 3 periode

tanam dan di MK II, 2 periode tanam;Penerapan inovasi ditekankan pada penggunaan umur bibit muda;

penggunaan lima VUB padi (Inpari 16, Inpari 30, Inpari 32, Inpari 33 dan Inpari 42 Agritan GSR. Rerata

produktivitas yang dicapai berturut-turut: 6,899; 7,039 ; 7,190 ; 8,131; dan 10,322 ton/ha

4. Mampu menghilirisasi inovasi padi dari satu desa satu poktan, hingga pada akhir pendampingan di MK I

2018, poktan penerap berkembang menjadi 21 poktan yang tersebar di 10 desa, dan di 4 kecamatan

kabupaten Sumenep, demikian pula Luasan penerapan inovasi semula 15 ha (1 poktan), di akhir kegiatan

meningkat menjadi 165,5 ha;

DAFTAR PUSTAKA

Abdulrachman, S., M.J. Mejaya; N. Agustiani; I. Gunawan; P. Sasmita dan A. Guswara. 2015. Sistem Tanam

Legowo. Badan Penelitian Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian Badan Litbang Pertanian, 2011. Pedoman Umum Spektrum Diseminasi Multi Chanel (SDMC). Badan

Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta. Badan Litbang Pertanian. 2014. Petunjuk Teknis PTT Padi Sawah Irigasi. Badan Penelitian dan

Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian. Jakarta. Dinas Pertanian Tanaman Pangan Sumenep. 2016. Programa Penyuluhan Pertanian Kecamatan Guluk-

Guluk, Kabupaten Sumenep.

Page 295: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 281

Putra, S. dan Y. Haryati. 2018. Kajian produktivitas dan respon petani terhadap VUB padi di kabupaten sukabumi jawa barat. Journal pengkajian dan pengembangan teknologi pertanian Vo. 21, No. 1. Maret 2018

Koesno, T.S., H.A. Dewi, Nasimun, dan I. Bagus. 2017. Evaluasi Capaian Kinerja Metoda Diseminasi Gelar Inovasi Pertanian Di Kabupaten

Page 296: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

282 |

PERSEPSI PETANI TEBU TERHADAP POLA KONSUMSI PANGAN RUMAH

TANGGA

(Studi Kasus Pola Konsumsi Pangan Rumah Tangga Petani Tebu Di

Kecamatan Dampit, Kabupaten Malang)

Sugiyanto

Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya Jalan Veteran, Malang, Indonesia

Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan unsur-unsur bahan pangan apa saja yang dikonsumsi rumah tangga petani tebu di wilayah Kecamatan Dampit Kabupaten Malang, guna mencapai Pola Konsumsi Pangan Ideal, dilakukan melalui analisis persepsi petani tebu terhadap pola konsumsi pangan rumah tangga dan menganalisis faktor-faktor apa saja yang memengaruhi pola konsumsi pangan rumah tangga petani tebu tersebut. Metode penentuan sampel yang digunakan adalah simple random sampling, sejumlah 34 responden. Pengumpulan data dilakukan melalui observasi lapangan dan kegiatan wawancara dan menggunakan kwesioner terstruktur. Metode analisis data menggunakan deskriptif kuantitatif dan Skala Likert. Hasil analisis data diperoleh unsur-unsur bahan pangan yang dikonsumsi oleh rumah tangga petani tebu masih kurang dari 8 jenis kelompok pangan anjuran, capaian Angka Kecukupan Energi (AKE) sebagian besar petani tebu tergolong rendah, yaitu sebesar 52,94% demikian juga capaian Angka Kecukupan Protein (AKP) tergolong sedang, yaitu sebesar 76,47%, Capaian skor PPH rumah tangga petani tebu masih di bawah skor maksimal karena kurang dari 78,00%. Persepsi petani tebu terhadap pola konsumsi pangan rumah tangga tergolong baik, yaitu 72,61%. Adapun faktor-faktor yang memengaruhi AKE adalah pengalaman usahatani dan jumlah anggota keluarga, sedangkan AKP adalah pengalaman usahatani, pengetahuan gizi, pendapatan, diversifikasi pangan, frekuensi makan, dan jumlah anggota keluarga. Berdasarkan hasil penelitian Persepsi Petani Tebu Terhadap Pola Konsumsi Pangan Rumah Tangga Petani Tebu di Kecamatan Dampit Kabupaten Malang, dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Wilayah kecamatan Dampit kabupaten Malang, sebagian besar penduduknya adalah bekerja sebagai petani, salah satunya bekerja sebagai petani tebu, dalam hal pola konsumsi pangan wilayah tersebut termasuk daerah yang penduduknya masih tergantung pada beras dalam pola konsumsi pangan pokok rumah tangganya (Dinas Ketahanan Pangan, 2017). Minimnya pengetahuan petani tebu terhadap bahan pangan pokok yang dikonsumsi merupakan salah satu penyebabnya. Capaian pola konsumsi pangan tingkat rumah tangga petani tebu sangat berkaitan erat dengan kebiasaan konsumsi pangan keluarga, hal ini dipengaruhi oleh persepsi individu atau anggota keluarga dan masyarakat tentang pola pangan ideal. Minimnya pemahaman mengenai komposisi dalam asupan bahan makanan berdampak pada tidak seimbangnya asupan gizi anggota keluarga petani tebu tersebut dalam mengkonsumsi pangan sehari-hari.

2. Kecamatan Dampit adalah salah satu wilayah Kabupaten Malang yang penduduknya banyak mengusahatanikan tanaman tebu. Hal itu berarti pendapatan petani tebu di kecamatan Dampit tersebut tergolong tinggi. Tingginya pendapatan usahatani tebu ternyata belum diimbangi dengan tercapainya pola konsumsi pangan rumah tangga petani tebu yang ideal. Kondisi tersebut dibuktikan dengan tingkat konsumsi pangankhususnya gula pada tahun 2014-2017 di wilayah Kecamatan Dampit berada pada urutan tiga

Page 297: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 283

terbawah jika dibandingkan dengan jenis-jenis pangan lainnya. Hal itu berarti konsumsi gula pada wilayah kecamatan Dampit tergolong masih sangat rendah (Dinas Ketahanan Pangan Kabupaten Malang, 2017)

3. Unsur-unsur bahan pangan yang dikonsumsi rumah tangga petani tebu berdasarkan usia petani tebu, pada usia ≤ 40 sampai 50 tahun sebagian besar mengkonsumsi lebih dari 8 jenis kelompok pangan, sedangkan pada usia 51 sampai > 60 tahun cenderung meng-konsumsi kurang dari 8 jenis kelompok pangan. Berdasarkan pendidikan petani tebu, responden yang sebagian besar berlatar belakang pendidikan SD cenderung mengkonsumsi kurang dari 8 jenis kelompok pangan. Berdasarkan jumlah anggota keluarga, responden yang sebagian besar memiliki jumlah anggota keluarga dalam rentang 4–5 orang sebagian besar mengkonsumsi kurang dari 8 jenis kelompok pangan. Berdasarkan pendapatan, responden yang sebagian besar memiliki pendapatan dalam rentang Rp. 2.500.000 – Rp. 5.000.000 sebagian bersar mengkonsumsi kurang dari 8 jenis kelompok pangan.

4. Capaian AKE berdasarkan usia, pendidikan, jumlah anggota keluarga dan pendapatan responden diperoleh persentase sebesar 26,47% kurang dari skore 70, sebesar 20,59% dalam rentang skore 70–79, dan sebesar 52,94% lebih dari skore 79. Capaian AKP berdasarkan usia, pendidikan, jumlah anggota keluarga dan pendapatan diperoleh persentase sebesar 8,82 kurang dari skore 70, sebesar 14,71% dalam rentang skore 70–79, dan sebesar 76,47% lebih dari skore 79. Capaian skor PPH berdasarkan usia, pendidikan, jumlah anggota keluarga dan pendapatan diperoleh persentase sebesar 94,12% kurang dari skore 78, sebesar 5,88% dalam rentang skore 78 – 88.

5. Persepsi petani tebu terhadap pola konsumsi pangan rumah tangga sehari-hari pada sumber bahan makanan rumah tangga petani tebu aktual tergolong sedang dan sebagian besar sudah mengetahui akan manfaat diversifikasi pola konsumsi pangan yang mereka lakukan, pengambilan keputusan menetapkan menu makanan pada rumah tangga petani tebu dianggap sesuatu yang penting, sedangkan perilaku mengkonsumsi makan secara bersama dengan anggota keluarga dianggap cukup penting.

6. Faktor-faktor yang memengaruhi AKE adalah pengalaman usahatani dan jumlah anggota keluarga, sedangkan faktor-faktor yang memengaruhi AKP pengalaman usahatani, pengetahuan gizi, pendapatan, diversifikasi pangan, frekuensi makan, dan jumlah anggota keluarga.

Saran yang diajukan yakni untuk rumah tangga petani tebu setiap harinya diharapkan dapat memulai kebiasaan makan sehat dengan memperhatikan komposisi penyediaan kelompok pangan dan gizi yang seimbang, hal ini diperlukan sosialisasi dan penyuluhan yang intens kepada keluarga sebagai upaya meningkatkan asupan gizi melalui pola konsumsi pangan yang ideal. Diperlukan perbaikan ketersediaan dan keanekaragaman pangan di masyarakat agar pangan dapat diakses dengan harga murah dan terjangkau dan perlu penelitian selanjutnya yang diharapkan dapat lebih memperdalam penelitian tentang persepsi berdasarkan pengaruh faktor internal dan faktor eksternal, serta pengaruh faktor budaya terhadap pola konsumsi pangan rumah tangga petani tebu.

DAFTAR PUSTAKA

Aditianti, A., Prihatini, S., & Hermina, H. (2016). Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Individu Tentang Makanan Beraneka Ragam sebagai Salah Satu Indikator Keluarga Sadar Gizi (KADARZI). Buletin Penelitian Kesehatan, 44(2), 117-126.

Page 298: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

284 |

Ariani, M. et al.. (2013). Laporan Kegiatan Kajian Isu-Isu Aktual Kebijakan Pembangunan Pertanian 2013: Kajian Strategi Pengembangan Diversifikasi Pangan Lokal. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

Ariani, M., Askin, A., & Hestina, J. (2004). Analisis daya saing usahatani tebu di Propinsi Jawa Timur. Soca (Socio- Economic Of Agriculturre And Agribusiness).

Dinas Ketahanan Pangan. (2017). Laporan Akhir Pemetaan dan Penanganan konsumsi Pangan Tahun Anggaran 2017 di Kabupaten Malang. Malang.

Ditjen Perkebunan. (2016). Statistik Perkebunan Indonesia (Tree Crop Estate Statistics of Indonesia) 2015 – 2017 : Tebu

Page 299: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 285

STRATEGI KEBIJAKAN PEMERINTAH KABUPATEN MALANG DALAM MENGANTISIPASI PERUBAHAN FUNGSI LAHAN PERTANIAN

Bayu Adi Kusuma, Medea Rahmadhani Utomo Jurusan Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya

Corresponding author : [email protected]

Abstrak:Kondisi aktual lahan pertanian di Kabupaten Malang, dapat dilihat dari bagaimana kesempatan petani untuk menanam di lahan terbuka semakin kecil. Disamping itu warga yang berpenghuni di pedesaan juga mulai jarang mengkonsumsi hasil budidayanya sendiri. Salah satu upaya yang bisa dilakukan melalui Strategi Kebijakan Regulation StrategyPemerintah Kabupaten Malang yakni 1) memantapkan Peraturan Daerah sebagai pijakan perlindungan lahan produktif, 2) mengedepankan kekuatan hukum power of lawsebagai upaya perlindungan lahan pertanian, 3) pemberdayaan masyarakat community empowerment sebagai upaya pencegahan perubahan fungsi lahan pertanian, 4)mengoptimalkan peran stakeholder luar dalam menjaga keberlangsungan lahan pertanian, dan 5) upaya intensifikasi, ekstensifikasi serta diversifikasi lahan untuk menjaga keberlangsungan lahan pertanian. Dengan berbagai langkah melalui strategi kebijakan tersebut mengarah pada upaya pencegahan degradasi dan alih fungsi lahan, termasuk perlindungan terhadap lahan produktif yang beresiko teralih fungsi menjadi menjadi fungsi non pertanian. Kata Kunci: Strategi Kebijakan, Pemberdayaan Masyarakat, Intensifikasi dan Diversifikasi Lahan.

PENDAHULUAN

Lingkup Kabupaten Malang, dikabarkan sampai tahun awal tahun 2020 para pengembang properti membidik 342.994 Ha untuk menuntaskan proyek pembangunannya. Jika upaya pengembang properti terus dilancarkan, memungkinkan akan berseberangan dengan target produksi pangan Kabupaten Malang yakni menaikkan surplus beras 5 persen dari tahun sebelumnya (2017) yang juga mengalami surplus sebesar 67 ribu ton. Dari kasus yang sama, kesempatan untuk menanam sayuran di lahan terbuka semakin kecil, disamping itu warga yang berpenghuni di pedesaan juga mulai jarang mengkonsumsi hasil budidayanya sendiri. Seiring berkurangnya lahan pertanian produktif, juga menyurutkan semangat petani muda yang tergolong usia 15-29 tahun. Dari data BPS di tahun 2013 jumlah petani sebanyak 714.921 orang, menyusut pada tahun 2017 menjadi 393.206 orang. Fenomena ini menggeser semangat muda untuk berkarya di bidang pertanian dan kecenderungan beralih pada sektor industri. Masalahnya dunia industri juga mengalami kompetisi yang ketat sehingga generasi muda yang terpinggirkan tanpa lahan produktif menjadi ancaman bagi masa depannya. Keterpurukan petani yang terpinggirkan salah satunya karena faktor pendidikan yakni 73,97 persen di antaranya hanya mengenyam pendidikan setingkat Sekolah Dasar (SD) dan penguasaan teknologi yang kurang mumpuni. Rawan jika petani yang konsen pada lahan produktif kemudian beralih pada industri, kasusnya mereka juga dibenturkan dengan berbagai lulusan yang jauh di atas status pendidikan mereka, baik yang bergelar Sarjana maupun Magister.Penguatan paradigma bahwa lahan pertanian berumur panjang, tentu menjadi keyakinan yang harus dimantapkan oleh warga malang, lebih lagi upaya ini berimplikasi pada

Page 300: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

286 |

keselamatan petani untuk menikmati profesi dan sumbermata pencahariannya.Kini warga malang khususnya Kecamatan Wagir dan Pakisaji semakin gencar menginisiasi gerakan satu RW satu Greenhouse. Aksi warga ini tentu tidak hanya dilandasi dengan asupan financial bagi rumah tangganya, tapi juga untuk menghidupkan suasana pemukiman yang asri dan sehat. Tidak adanya lahan pertanian, hanya sekedar berprofesi ibu rumah tangga, dan kurangnya partisipasi anggota karang taruna yang terjun di dunia usaha menjadikan beberapa desa yang tersebar di Kabupaten Malang semakin kurang produktif. Dengan berbagai terjangan kasus diatas maka strategi kebijakan Pemerintah Kabupaten Malang mendesak untuk segara di luncurkan dalam mengatasi dan mengantisipasi perubahan fungsi lahan pertanian menjadi non pertanian.

METODE

Data empiris berkaitan dengan laju perubahan fungsi lahan serta perilaku pelaku usaha pertanian dan non pertanian diperoleh melalui pernyataan-pernyataan petani yang digali secara mengalir dan mendalam menggunakan in depth interview. Kedua dilakukan Focus Group Discussion (FGD) dengan stakeholder terkait dalam membahas rencana kebijakan yang didasari oleh Peraturan Daerah (PERDA) dalam merumuskan langkah-langah strategis untuk mengantisipasi perubahan fungsi lahan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Peraturan Daerah sebagai Pijakan Perlindungan Lahan Produktif Dalam menghasilkan Peraturan Daerah, sebelumnya telah diatur dengan tegas bahwa perlindungan lahan pertanian secara berkelanjutan harus dilindungi. Dalam hal ini berkelanjutan diartikan sebagai fungsi lahan pertanian untuk aktivitas produksi bisa digunakan dalam jangka panjang selama 50 tahun hingga 70 tahun. Tidak mungkin lahan pertanian dapat dikelola secara optimal tanpa campur tangan petani dan pemerintah dalam menjaga produktivitas, kesuburan dan nilai-nilai ekologis yang ada. Proyeksi jangka panjang untuk menjaga dan memperbaiki kondisi tanah pada lahan pertanian berkaitan dengan nasib generasi-generasi petani berikutnya untuk memeperoleh poekerjaan. Maka dengan adanya aturan perlindungan lahan pertanian berkelanjutan diharapkan muncul keasadaran dan kekhawatiran pertanian akan terjadinya degradasi lahan secara cepat. Penguatan Fungsi Ekologis sebagai Upaya Perlindungan Lahan Produktif Kesuburan, fungsi ekologis dan produktifitas yang terjaga tidak hanya berpengaruh pada keberlajutan saja, tetapi juga terhadap ketersediaan lahan sebagai ladang mata pencaharian para petani khususnya di Kabupaten Malang. Ketersediaan lahan pertanian akan menjamin petani untuk menekuni profesinya, memberikan arah kesejahteraan yang pasti, dan memberikan peluang-peluang untuk memperoleh pendapatan yang besar kecilnya tergantung dari kinerja petani. Kapasitas lahan yang dimiliki agar petani dikatakan sejahtera ketika mereka memiliki lahan diatas 2 Ha, dikatakan prasejatera 0,5 hingga 2 Ha, kurang sejahtera di bawah 0,5 sejahtera, dan terakhir tergolong petani jauh dari sejahtera yakni tidak punya hingga 0,5 Ha. Kondisi tidak sejahtera atas tidak tersedianya lahan yang cukup menjadikan pesimisme petani terhadap nasib pekerjaannya, yang mendorong mereka untuk alih profesi dari petani ke buruh pabrik, pekerjaan-pekerjaan administratif, buruh bangunan bahkan mirisnya menjadi pengangguran. Untuk mengatasi masalah tersebut maka para petani besar bersama Pemerintah memberikan akses lahan pertanian kepada petani kecil baik dalam bentuk sewa, peminjaman, atau dihibahkan.

Page 301: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 287

Ketika petani mampu bertahan hidup dari lahannya sendiri maka secara pelan-pelan mereka akan masuk pada tahap kemandirian. Kemandirian bisa terjadi ketika tidak ada ketergantungan petani kecil terhadap juragan, subsidi pemerintah, dan swasta. Petani akan mampu berdiri dengan bebas di lahannya sendiri ketika mereka memiliki kekuatan secara finansial, sarana produksi yang memadai, pendidikan yang mendukung pekerjaannya, dan jaringan sosial untuk memudahan pemasaran hasil pertanian. Untuk mencapai hal tersebut tentu tidak dilakukan dengan proses yang instan, akan tetapi perlu ketelatenan, kesabaran dan kerja keras dari petani. Konsiolidasi secara vertikal dengan pemerintah Daerah khususnya di Kabupaten Malang. Mengedepankan Kekuatan Hukum sebagai Upaya Perlindungan Lahan pertanian Melindungi keberadaan lahan pertanian agar dimiliki petani secara aman secara hukum tentu ada proses administrasi yang memberikan identitas bagi petani. Salah satunya yaitu melegalkan kepemilikan lahan pertanian yang bersertifikat. Masih banyak petani lokal khususnnya di Kabupaten Malang yang memiliki lahan peranian tanpa sertifikat, dengan alasan peninggalan leluhur, wasiat, warisan, pengakuan dan hak milik tanpa pernyataan tertulis yang diproses oleh Notaris. Rawan terjadi kehilangan lahan pertanian, jika kepemilikan tidak segera diproses untuk sertifikat lahan, belum lagi jka ada agenda pemerintah pusat untuk perluasan jalan tol yang secara mudah menggusur lahan pertanian yang tidak berseritfikat atau kepastian hukum. Peningkatan kesejahteraan petani belum tentu dipandang sebagai peningkatan taraf hidup secara ekonomi, tetapi juga menjamin kesehatan, pendidikan, tempat tinggal, dan sosial budayanya. Keseluruhan aspek yang meliputi ekonomi, sosial budaya, kesehatan dan pendidikan tersebut terintegrasi secara komplek sehingga dikatakan kesejahteraan. Sebagai misal tanpa ekonomi yang cukup sulit bagi petani untuk mengakses pendidikan untuk mempersiapkan generasinya. Sebaliknya tanpa pendidikan yang mumpuni sulit bagi mereka untuk menghasilkan teknologi yang muktahir untuk kemudahan pekerjaannya. Kasus kedua, tanpa ekonomi yang cukup sulit bagi mereka memperoleh gizi pangan yang cukup, sehingga dampaknnya terjadi gangguan pada kesehatan bahkan mirisnya meneyebabkan gizi buruk dan resiko kematian. Dalam konteknya kesejahteraan dapat dikatakan sebagai kondisi, ilmu, pekerjaan sektoral dan kegiatan-kegiatan yang menyangkut proses pemberdayaan. Pemberdayaan Masyarakat sebagai Upaya Pencegahan Perubahan Fungsi Lahan pertanian Pemberdayaan masyarakat sebagai langkah untuk mendorong kesadaran petani bahwa mempertahankan lahan pertanian baik itu yang produktif maupun yang rawan hampir tidak produktif menjadi penting karena menyangkut nasib orang banyak. Sasaran utama dalam pemberdayaan yakni pada usia produktif, petani tersebut sekitar usia 25-50. Jalan menuju masa depan pertanian dengan memanfaatkan lahan pertanian produktif secara jangka panjang berada di tangan petani muda, dikarenakan generasi lanjut usia lebih ditekankan pada perencana dan memberikan motivasi pada pelaku usaha utama yakni generasi muda. Selain terkonsentrasi pada usia produktif, latar belakang pendidikan dan pengalaman menjadi salah satu kunci keberhasil pemberdayaan dalam memperkuat perlindungan lahan produktif melalui kesadaran manusianya. Pendidikan bukan berarti pendidikan formal melainkan segala konstruksi pengetahuan yang tebangun di susunan pikiran manusia yang mampu memberikan ide untuk memecahkan permasalahan atas kerawanan hilangnya dan tergesarnya lahan pertanian pangan di Kabupaten Malang. Kontribusi pemikiran yang diharapkan muncul dari masyarakat lokal diantaranya cara penyelesaian lahan tandus dan kering, mengintegrasikan potensi ternak dan pertanian dengan memanfaatkan limbah yang ada, mengoptimalkan tenaga petani muda untuk lebih dalam berkiprah di lahan pertanian, dan konsolidasi vertikal petani dengan pemerintah daerah dalam menunjang karir petani serta penghidupan rumah tangga

Page 302: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

288 |

petani yang lebih layak. Lahan tandus dan kering tidak dianggap karena faktor alam saja tetapi juga adanya perilaku manusia yang tidak beriringan dengan jalan berprosesnya alam, sehingga ada orientasi keinginan yang berbeda adanya alam dan manusia. Lahan pertanian pada hakekatnya bukan hanya perkara dialektika dukungan fisik terhadap lahan pertanian pangan saja tetapi lebih mendasar yakni hubungan perilaku manusia terhadap permasalahan lahan pertanian pangan berkelanjutan. Pemerintah daerah Malang berusaha memperbaiki dan mencegah lahan berpotensi alih fungsi dengan langkahlahan pertanian tetapi pembangunan manusia yang berkaidah ekologis belum diselesaikan kiranya mustahil lahan pertanian berjalan dengan baik. Maka jalan pemberdayaan menjadi sentran dan mendasar untuk pertama kali dilakukan. Lahan kering bukan perkara manusia yang kemudian petani enggan melakukan penanaman, tetapi lebih pada pemikiran petani yang perlu dibuka secara kompleks, bahwa masih ada cara lain memanfaatkan lahan kering. Jalan keluar lain bahwa pengembangan ternak pada lahan kering bisa dijadikan sebagai alternatif solusi, kedua penanaman komoditas non padi yang tidak membutuhkan cukup air bisa diterapkan. Tentu pertimbangan jika buka non padi persoalannya adalah pasar atau tidak ada permintaan. Ketika pasar menjadi pembatas maka pelaku pasar bersama pihak pemerintah daerah berkolaboraasi untuk membuka akses pasar yang lebih fleksibel dan mengandung banyak opsi untuk dibidik. Peran Stakeholder Luar dalam Menjaga Keberlangsungan Lahan pertanian Selain adanya pekerjaan-pekerjaan alternatif yang mampu memanfaatkan lahan kering, peran Dinas Perairan dapat dioptimalkan untuk memperluas jaringan mekanisasi pipa air masuk ke daerah yang paling sulit dijangkau. Jika permasalahannya adalah biaya maka upaya keswadayaan bisa direalisasikan. Investasi yang besar untuk kepentingan bersama apalagi menyangkut penghidupan pertanian skala luas tentu buak suatu kerugian malah memberikan upaya perbaikan dalan jangka waktu yang lama. Berbicara pekerjaan alternatif dengan langkah pertanian non padi maka lingkup pertanian secara luas muncul salah satunya yakni pengembangan peternakan pada lahan kering. Integrasi potensi ternak dan pertanian diupayakan untuk mengurangi sisa-sisa panen yang tertimbun di sawah, bahkan untuk sisa panen komoditas lainnya. Integrasi antara potensi pertanian dan ternak jika berjalan dengan baik maka perlu adanya aktor yang mampu merawat dalam jangka waktu yang lama yakni petani muda. Kelebihan petani muda biasanya ditandai dengan lebih tanggap terhadap kemajuan teknologi, mampu berkomunikasi secara interkatif baik dalam bahasa lokal maupun formal, dan berfikir secara kritis untuk mengubah cara-cara lama yang dianggap selama ini menghambat berkembangnya upaya lahan pertanian. Aktor kunci sebetulnya buka para petani lanjut melainkan para petani muda yang memainkan pikiran kritisnya. Pemikiran kritis ini kemudian mampun mendorong para SKPD di lingkungan Malang untuk bergerak, sebagai misal dinas perumahan untuk mengurangi zona sasarannya dalam pembangunan rumah, dinas peternakan untuk berkolaborasi dengan petani yang kesulitan akses ternak dan memiliki potensi hijauan yang melimpah, dinas kebersihan yang tidak memikirkan kebersihan sentral umum tetapi juga memperhatikan sampah yang mampu berimbas pada keseimbangan ekologis juga, dinas koperasi dan UMKM yang mampu memfasilitasi para petani untuk menghasilkan bibit lokal berkualitas, menghasilkan pupuk yang efektif untuk diaplikasikan dan obat tanaman organik biopest. Upaya tersebut tentu akan menjadi suatu kerugian jika dikesampingkan, karena selama ini perhatian para penyelenggara program hanya pada sarana fisik, tetapi belum menyentuk secara dalam terhadap pembentukan mentalitas, motivasional dan cara pandang petani yang lebih luas. Strategi kebijakan yang ada bukan untuk perlindungan dan terjaganya lahan pertanian pangan saja, tetapi juga menyediakan lapangan kerja bagi masyarkat lokal yang masih pada usia produktif dalam hal ini adalah petani muda. Hilangnya generasi petani bukan hanya karena kurangnya motivasi dalam keluarga petani, tetapi juga kesulitan akses mereka terhadap pekerjaan terutama lahan pertanian. dengan adanya

Page 303: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 289

lahan pertanian diharapkan mampu merehabilitasi dan merevitalisasi lahan kering menjadi lahan yang produktif untuk memberikan ruang-ruang produktifitas bagi petani terutama petani muda. Lahan pekerjaan dalam bidang pertanian tidak terfokus pada lahan pertanian pangan saja, yang juga perlu diberi perhatian diantaranya lahan hutan, lahan perkebunan dan pekarangan untuk dioptimalkan sampai tidak ada lahan yang menganggur. Dari upaya ini tidak ada lagi istilah lahan tidak terurus dan lahan marginal. Lapangan pekerjaan yang lebih kompleks ketika hasil panen dari lahan pertanian kemudian diteruskan menjadi produk olahan kedalam pabrik skala besar maupun industri rumahan yang tentu tenaganya menyerap dari tenaga-tenaga lokal. Jalan ini akan mampu menyelesaikan persoalan pengangguran tidak hanya pada kalangan muda, tetapi juga pada kalangan ibu rumah tangga bahkan lansia. Keseluruhan fungsi-fungsi diatas mencerminkan bahwa lahan pertanian sebagai pendorong petani untuk berperan serta secara aktif dalam melindungi, mempertahankan dan turut memperbaiki segala kondisi lahan pertanian pangan yang kritis. Melalui jalan 1) kemandirian, 2) ketahanan pangan, 3) kedaulatan pangan, 4) kepemilikan lahan milik petani, 5) pemberdayaan, 6) penyediaan lapangan kerja, dan 7) keseimbangan ekologis yang telah diuraikan merupakan konstruksi lahan pertanian untuk menjalankan agenda utama yakni melindungi, memetakan sekaligus mengembangkan kawasan lahan pertanian sampai terumuskan dalam bentuk raperda yang mampu memberika acuan bagi pelaku lahan pertanian . Upaya Intensifikasi, Ekstensifikasi dam Diversifikasi Lahan untuk Menjaga Keberlangsungan Lahan pertanian Selanjutnya, guna menjaga keberadaan lahan produktif yang terancam beralih fungsi menjadi fungi lainnya salah satunya yaitu dilakukan intensifikasi lahan pertanian. Beberapa upaya intensifikasi diantaranya dilakukan 1) pemupukan untuk menjaga kesuburan tanah, 2) pengendalian hama dan penyakit, 3) perbaikan irigasi dan 4) pengembangan inovasi pertanian melalui wisata dan pemanfaatan teknologi pertanian lainnnya. Selain intensifikasi untuk perlindungan lahan pertanian secara berkelanjutan, upaya ekstensifikasi seperti pemanfatan lahan marginal, lahan terlantar dan lahan di bawah tegakan menjadi alternaif yang memungkinkan lahan pertanian dapat terjaga. Lahan marginal diartikan sebagai lahan yang tidak diperhatikan oleh pemilik baik negara, intitusi, peroragan karena dianggap tidak produktif, sulit diakses karena letak yang jauh dan kondisi jalan menuju lahan yang rusak. Kedua, lahan terlantar merupakan lahan yang tidak terurus karena masalah hukum, sengketa, dan pembagian hak-hak dalam keluarga. Ketiga, lahan di bawah tegakan yakni lahan yang memiliki nilai ekologis yang tinggi berada di kawasan hutan, biasanya telah memperoleh ijin dari pemerintah, perhutan, Taman Nasional akan tetapi masyarakat lokal masih belum memanfaatkan lahan tersebut karena dianggap beresiko terjadi konflik sosial jika bekerja di lahan hutana atau di bawah tegakan. Sebenarnya dari berbagai pemanfaatan lahan yang tidak terurus tersebut jika pemerintah juga mendorong dan masyarakat sadar bahwa ada potensi ekonomi yang bisa digali maka lahan marginal dan lahan terlantar tidak akan terjadi. Setelah intensifikasi dan ekstensifikasi dilakukan, untuk memperkuat berlangsungnya Lahan pertanian perlu adanya diversifikasi lahan pertanian pangan dengan cara diantaranya 1) pengaturan sistem tanam yang tepat, 2) penentuan pola tanam yang sesuai dengan kondisi cuaca dan kemampuan sumberdaya lahan dan air, dan 3) mengelola sistem pertanian terpadu dengan mengintegrasikan berbagai aspek yang mendukung berlangsungnya lahan pertanian dalam melindungin dan memperbaiki lahan kritis di Kabupaten Malang.

Page 304: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

290 |

KESIMPULAN

Rencana strategi kebijakan dalam mengatasi lahan pertanian yang rawan terdegradasi, longsor dan teralih fungsi merupakan bagian dari upaya Pemerintah Kabupaten Malang bersama instansi terkait terutama Dinas Pertanian dalam membuktikan kinerja di pandangan masyarakat luas. Ditemukan beberapa rencana strategis yang mampu dilakukan adalah 1) memantapkan Peraturan Daerah sebagai pijakan perlindungan lahan produktif, 2) mengedepankan kekuatan hukum power of law sebagai upaya perlindungan lahan pertanian, 3) pemberdayaan masyarakat community empowerment sebagai upaya pencegahan perubahan fungsi lahan pertanian, 4)mengoptimalkan peran stakeholder luar dalam menjaga keberlangsungan lahan pertanian, dan 5) upaya intensifikasi, ekstensifikasi serta diversifikasi lahan untuk menjaga keberlangsungan lahan pertanian.

DAFTAR PUSTAKA

Alonso, W. (1970). Location and Land Use. Harvard University Press, Cambridge. Barlowe, R. (1978). Land Resorce Economics. New Jersey: Prentice-Hall, Inc Chisholm, M. (1966). Rural Settlement and Land Use. London: Hutchinson University Library. Linehan, JR., M. Gross. (1998). Back to the future, back to basics: the social ecology of landscapes and the

future of landscape planning. Landscape and Urban Planning 42 (1998) 207-223 Pearce, D. W. And R. K. Turner. (1990). Economics of natural resources environment. London: Harvester

wheatsheaf. Pérez-Llorentea, I., J. Paneque-Gálveza, A.C Luzb, M.J Macíac, M. Guèzeb, J.A Domínguez-Gómezd, V.

Reyes-Garcíae. (2013). Changing indigenous cultures, economies and landscapes: The case of the Tsimane‘, Bolivian Amazon. Landscape and Urban Planning 120 (2013) 147– 157

Rescia, AJ., B.A Willaartsc, M.F Schmitza, P.A Aguilerac. (2010). Changes in land uses and management in two Nature Reserves in Spain: Evaluating the social–ecological resilience of cultural landscapes. Landscape and Urban Planning 98 (2010) 26–35

Page 305: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 291

PENGARUH MODAL PENGHIDUPAN (LIVELIHOODS ASSET) TERHADAP ADAPTASI NELAYAN DALAM PERUBAHAN IKLIM DI KECAMATAN PAITON KABUPATEN

PROBOLINGGO

Moh. Shadiqur Rahman1, Hery Toiba2 1Program Pascasarjana, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya

2Jurusan Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya Corresponding author: [email protected]

Abstrak:Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh modal penghidupan nelayan terhadap adaptasi terkait perubahan iklim. Responden dalam penelitian ini adalah nelayan kecil di Kecamatan Paiton Kabupaten Probolinggo. Terdapat dua strategi adaptasi yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya penggunaan teknologi untuk meminimalisisir resiko terkait perubahan iklim dan pekerjaan alternative. Metode yang digunakan yaitu regresi logistic dengan modal penghidupan sebagai variabel independen dan strategi adaptasi sebagai variabel dependen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat tiga variable yang berpengaruh signifikan terhadap penggunaan teknologi diantaranya lama trip, pendidikan dan modal finansial. Terdapat lima variable yang berpengaruh terhadap pekerjaan alternative nelayan diantaranya lama trip, jarak trip, pendidikan, modal finansial dan modal sosial. Hal ini menyiratkan bahwa perlu adanya peningkatan akses terhadap modal penghidupan nelayan. sehingga peluang nelayan dalam melakukan adaptasi semakin tinggi Kata kunci: Perubahan Iklim, Modal penghidupan, Adaptasi

PENDAHULUAN

Perubahan iklim merupakan dampak yang ditimbulkan akibat fenomena global warming yaitu

terjadinya peningkatan suhu global dari tahun ketahun. Intergovernmental panel on climate change (2001)

menjelaskan bahwa temperatur udara global sejak tahun 1861 meningkat sebesar 0,6 derajat celcius. Dimana

faktor utama penyebab meningkatnya pemanasan global yaitu kegiatan manusia yang menghasilkan gas-gas

rumah kaca. Terjadinya perubahan iklim berpengaruh terhapad kondisi sosial, ekonomi, politik dan

penghidupan manusia (Martin et al., 2007), terutama mereka yang mengandalkan sumberdaya alam sebagai

mata pencaharian mereka (Shaffril et al., 2017), salah satunya adalah nelayan, dimana sumber penghidupan

utama nelayan adalah sumberdaya perikanan yang kondisinya sangat dipengaruhi oleh dinamika iklim.

Terjadinya perubahan iklim mengakibatkan berubahnya suhu perairan, kecepatan angin, tinggi

gelombang, kenaikan permukaan air laut (Gafton, 2009). Dimana hal ini dapat merubah kondisi ekologis dan

biologis pada ekosistem perairan laut (bedjeck et al., 2010) yang berdampak terhdap distribusi dan stok ikan

pada suatu perairan. Selain berubahnya distribusi dan stok ikan, perubahan iklim juga akan berdampak

terhadap kegiatan penangkapan (Westlund, 2007). Dimana terjadinya badai, tingginya gelombang, akan

Page 306: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

292 |

mengganggu nelayan dalam melakukan operasi penangkapan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa fenomena

perubahan iklim mengakibatkan menurunnya produktifitas nelayan dalam melakukan kegiatan penangkapan.

Salah satu solusi yang tepat dalam menghadapi perubahan iklim yaitu melakukan berbagai strategi

adaptasi. Sehingga nelayan dapat mempertahankan bahkan meningkatkan kualitas dan kuantitas

penghidupan mereka. Menurut Shaffril et al., (2017) beberapa strategi adaptasi yang perlu dilakukan nelayan

yaitu meminimalisir terjadinya resiko, meningkatkan hubungan sosial, meningkatkan keterampilan untuk

memperoleh pekerjaan alternatif, dan adanya akses terhadap fasilitas kredit. Akan tetapi tidak semua nelayan

memiliki kemampuan atau peluang yang sama dalam melakukan adaptasi. Hal ini dikarenakan dalam

melakukan adaptasi diperlukan akses yang lebih terhadap modal penghidupan diantaranya modal alam, modal

manusia, modal sosial, modal finansial dan modal fisik. Nelayan yang memiliki akses yang lebih terhadap

modal penghidupan, mereka akan lebih mudah untuk beradaptasi. Menurut Abdurrahim (2015) nelayan skala

kecil lebih rentan terhadap perubahan iklim dan sulit dalam melakukan adaptasi. Selain akses terhadap modal

yang mereka miliki sangat minim, masyarakat miskin memiliki kapasita sumberdaya manusia dan keuangan

yang terbatas (Martin et al, 2007). Sehingga dalam penelitian ini mencoba untuk mengetahui bagaimana

pengaruh modal penghidupan nelayan kecil terhadap kemampuan mereka dalam melakukan adaptasi.

METODOLOGI

Data Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Paiton, Kabupaten Probolinggo pada bulan mei - juni 2018.

Dengan pertimbangan daerah tersebut telah terdampak fenomena perubahan iklim yang dibuktikan dengan

terdamparnya spesies langka yaitu hiu paus (Rhincodon typus). Informasi yang dikumpulkan yaitu modal

penghidupan nelayan dan adaptasi nelayan terhadap perubahan iklim. Dengan jumlah responden sebanyak

109 nelayan kecil yang ditentukan menggunakan metode slovin.

Statistik Diskriptif

Terdapat dua kategori variabel yang digunakan dalam penilitian ini diantaranya variabel dependen

dan variabel independen. Variabel debenden yang digunakan adalah adaptasi nelayan terhadap perubahan

iklim. Terdapat dua strategi adaptasi yang dianalisis dalam penelitian ini diantaranya penggunaan teknologi

untuk memperoleh informasi tentang kondisi cuaca dan pekerjaan alternatif. Sedangkan variabel independen

yang digunakan adalah modal penghidupan nelayan yang terdiri dari lama trip, jarak trip, modal fisik, umur,

pendidikan pengalaman, modal keuangan dan modal sosial.

Tabel 1. Statistik Destiptif

Variabel Definisi Mean SD

Penggunaan Teknologi 1 jika Melakukan

0.26 0.44 0 Jika tidak melakukan

Page 307: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 293

Pekerjaan alternative 1 jika Melakukan

0.57 0.50 0 Jika tidak melakukan

Lama Trip Lama kegiatan penangkapan (jam/ bulan) 206.34 77.45

Jarak trip Jarak kegiatan penangkapan (Km) 4.62 1.99

Modal fisik Total modal fisik usaha penangkapan (unit)

9.35 4.70

Umur Umur pelaku usaha (tahun) 47.30 10.63

Pendidikan Tidak sekolah =0, Sekloah dasa = 1, SMP =2, SMA=3

1.14 0.74

Pengalaman Pengalaman Pelaku usaha (tahun) 25.53 13.33

Modal keuangan Total modal keuangan rumah tangga nelayan (Rupiah)

4278303 2885537

Modal sosial Partisipasi nelayan dalam organisasi dan kegiatan sosial (Poin)

4.25 1.65

Analisis Regresi Logistik

Metode yang digunakan untuk mengetahui pengaruh modal penghidupan terhadap adaptasi nelayan

yaitu dengan menggunakan regresi logistik. Regresi logistic dapat digunakan ketika variabel dependen (Y)

bersifat biner dalam penelitian ini yaitu adaptasi = 1 tidak melakukan adaptasi = 0 (Hendayana, 2014).

Pada penelitian ini variabel depanden yang digunakan yaitu adaptasi nelayan (Melakukan adaptasi =

1 dan Tidak melakukan adaptasi = 0) dimana variable terdapat empat adaptasi yang akan di analisis antara

lain penggunaan teknologi, partisipasi dalam kelompok nelayan, pekerjaan alternative dan fasilitas pinjaman.

Sedangkan variabel independen yang digunakan dalam penelitian ini yaitu modal penghidupan nelayan yang

terdiri dari lama trip (x1) jarak (x2) alat penangkapan (x3) umur (x4) pendidikan (x5) pengalanan (x6) modal

finansial (x7) modal sosial (x8). Secara matematis model regresi logistik dalam penelitian ini dapat di tuliskan

sebagai berikut:

Ln = β0+ β1X1+ β2X2+ β3X3+ β4X4+ β5X5+ β6X6+ β7X7+ β8X8+e

Dimana

πi= Peluang nelayan melakukan adaptasi (π = 1 jika melakukan adaptasi dan π = 0 jika tidak melakusan

adaptsai)

1- π1 = Peluang nelayan tidak melakukan adaptasi

π1/(1- π1) = Odds Rasio

β0 = Intersep

β1 – β10 = Koefesien Regresi

X1 = Lama trip

X2 = Jarak

Page 308: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

294 |

X3 = Alat penangkapan

X4 = Umur

X5 = pendidikan

X6 = pengalaman

X7 = modal finansial

X8 = modal sosial

e = Random Error

A. Uji Simultan (Likelihood Ratio)

Uji parsial digunakan untuk mengetehui pengaruh variabel independen terhadap variabel

dependen secara bersama sama atau simultan. Dalam regresi logistic pengujian ini dilakukan dengan

menggunakan likelihood ratio. Adapun hipotesis dalam uji ini yaitu:

H0 : β1=β2=β3=β4=β5=β6=β7=β8=β9=β10=0

secara statistik variabel independen lama trip (x1) jarak (x2) alat penangkapan (x3) umur (x4)

pendidikan (x5) pengalanan (x6) modal finansial (x7) modal sosial (x8). tidak berpengaruh secara

simultan terhadap variabel dependen Adaptasi (Yi)

Ha : setidaknya ada satu βi≠0, i=(1,2,3,4,5,6,7,8,9,100 atau jika X2>X2(n-k) atau p value a < a

secara statistik variabel lama trip (x1) jarak (x2) alat penangkapan (x3) umur (x4) pendidikan (x5)

pengalanan (x6) modal finansial (x7) modal sosial (x8). berpengaruh secara simultan terhadap variabel

dependen Adaptasi (Yi)

B. Uji Parsial (Wald Test)

Uji Parsial dalam regresi logistik menggunakan Wald test. Tujuan dari wald test yaitu untuk

mengetahui pengaruh variabel independen terhadap variabel depanden secara parsial (sendiri-sendiri).

Adapun hipotesis untu melakukan uji parsial dalam penelitian ini yaitu:

H0 : β1=β2=β3=β4=β5=β6=β7=β8=β9=β10=0 p-value (βi)>α (5%, 10%)

Ha : βi≠0 i=(1,2,3,4,5,6,7,8,9,10) atau p-value (βi) < α(5%, 10%)

Hipotesis 1

a. Jika p-value (β1) > α(5%, 10%) maka Ho diterima dan Ha ditolak artinya lama trip tidak

berpengaruh signifikan terhadap adaptasi

b. Jika p-value (β1) < α(5%, 10%) maka Ho ditolak dan Ha diterima artinya lama trip berpengaruh

signifikan terhadap adaptasi

Hipotesis 2

a. Jika p-value (β2) > α(5%, 10%) maka Ho diterima dan Ha ditolak artinya jarak tidak berpengaruh

signifikan terhadap adaptasi

b. Jika p-value (β2) < α(5%, 10%) maka Ho ditolak dan Ha diterima artinya jarak berpengaruh

signifikan terhadap adaptasi

Hipotesis 3

Page 309: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 295

a. Jika p-value (β3) > α(5%, 10%) maka Ho diterima dan Ha ditolak artinya alat penangkapan tidak

berpengaruh signifikan terhadap adaptasi (Yi)

b. Jika p-value (β3) < α(5%, 10%) maka Ho ditolak dan Ha diterima artinya alat penangkapan

berpengaruh signifikan terhadap adaptasi

Hipotesis 4

a. Jika p-value (β4) > α(5%, 10%) maka Ho diterima dan Ha ditolak artinya umur tidak

berpengaruh signifikan terhadap adaptasi

b. Jika p-value (β4) < α(5%, 10%) maka Ho ditolak dan Ha diterima artinya umur berpengaruh

signifikan terhadap adaptasi

Hipotesis 5

a. Jika p-value (β5) > α(5%, 10%) maka Ho diterima dan Ha ditolak artinya pendidikan tidak

berpengaruh signifikan terhadap adaptasi

b. Jika p-value (β5) < α(5%, 10%) maka Ho ditolak dan Ha diterima artinya pendidikan

berpengaruh signifikan terhadap adaptasi

Hipotesis 6

a. Jika p-value (β6) > α(5%, 10%) maka Ho diterima dan Ha ditolak artinya pengalaman tidak

berpengaruh signifikan terhadap adaptasi

b. Jika p-value (β6) < α(5%, 10%) maka Ho ditolak dan Ha diterima artinya pengalaman

berpengaruh signifikan terhadap adaptasi

Hipotesis 7

a. Jika p-value (β7) > α(5%, 10%) maka Ho diterima dan Ha ditolak artinya modal finansial tidak

berpengaruh signifikan terhadap adaptasi

b. Jika p-value (β7) < α(5%, 10%) maka Ho ditolak dan Ha diterima artinya modal finansial

berpengaruh signifikan terhadap adaptasi

Hipotesis 8

a. Jika p-value (β8) > α(5%, 10%) maka Ho diterima dan Ha ditolak artinya total modal sosial tidak

berpengaruh signifikan terhadap adaptasi

b. Jika p-value (β8) < α(5%, 10%) maka Ho ditolak dan Ha diterima artinya total modal sosial

berpengaruh signifikan terhadap adaptasi

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaruh Modal Penghidupan terhadap Adaptasi Nelayan

Adaptasi merupakan merupakan salah satu cara yang harus dilakukan oleh nelayan dalam

menghadapi perubahan iklim. Dalam penelitian ini beberapa strategi adaptasi yang perlu dilakukan oleh

nelayan diantaraya penggunaan tekologi untuk memperoleh informasi cuaca, partisipasi dalam kelompok

nelayan, pekerjaan alternatif dan tersedianya fasilitas pinjaman (Bedjeck et, al., 2010). Akan tetapi dalam

Page 310: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

296 |

melakukan adaptasi nelayan membutuhkan akses yang lebih terhadap modal penghidupan. Dengan akses

yang lebih mudah terhadap modal penghidupan, maka nelayan akan lebih mudah beradaptasi terhadap

perubahan iklim. Dalam pendekatan penghidupan berkelanjutan terdapat lima modal penghidupan yang dapat

mendukung strategi atau adaptasi nelayan diantaranya modal fisik, modal alam, modal manusia, modal

finansial dan modal sosial (Scoones, 1998). Berikut rincian bagaimana pengaruh modal penghidupan terhadap

adaptasi nelayan.

Penggunaan Teknologi

Analisis pengaruh modal penghidupan terhadap penggunaan teknologi dapat dilihat pada tabel 17.

Dari hasil analisis yang telah dilakukan diperoleh nilai Prob>Chi2 yaitu sebesar 0,000 yang artinya Variabel

independen lama trip, jarak, modal fisik, umur, pendidikan pengalaman, modal keuangan dann modal finansial

berpengaruh secara simultan terhadap adaptasi 1 yaitu penggunaan teknologi.

Selanjutnya yaitu analisis pengaruh modal penghidupan terhadap penggunaan teknologi secara

parsial. Dari hasil analisis yang telah dilakukan terdapat 3 variabel independen yang berpengaruh signifikan

terhadap penggunaan teknologi diantaranya jarak trip, pendidikan dan modal keuangan. Berikut rincian

pengaruh modal penghidupan terhadap penggunaan teknologi;

1. Lama trip

Dari hasil analisis regresi logit yang telah dilakukan diperoleh nilai signifikansi sebesar 0,039 dimana

nilai tersebut lebih kecil dari 0,05 atau 5%. Yang artinya lama trip berpengaruh signifikan terhadap adaptasi 1

yaitu penggunaan teknologi. Kegiatan penangkapan yang mansih mengandalkan pengalaman dan informasi

dari nelayan lain dalam mengetahui kondisi cuaca mengakibatkan nelayan tidak memperoleh informasi yang

tepat tentang cuaca ketika melakukan kegiatan penangkapan. sehingga mereka mendapatkan hasil yang tidak

maksimal bahkan kerusakan asset mereka. masuknya teknologi yang dapat digunakan untuk memperoleh

informasi tentang cuaca di Kecamatan Paiton, mengakibatkan nelayan lebih berhati-hati dalam melakukan

kegiatan penangkpanan sehingga resiko dalam melakukan kegiatan penangkapan dapat diminimalisir. Shaffrill

et al., (2017) mengemukakan bahwa penggunaan teknologi dalam meminimalisir resiko melaut akubat

perubahan iklim sangat efektif, dimana hal ini telah di terapkan di Bangladesh yang membangun aplikasi

seluler untuk memberikan informasi tentang cuaca kepada nelayan.

2. Jarak Trip

Dari hasil analisis regresi logit yang telah dilakukan diperoleh nilai signifikansi sebesar 0,218 dimana

nilai tersebut lebih besar dari 0,05 atau 5%, yang artinya jarak trip tidak berpengaruh signifikan terhadap

adaptasi 1 yaitu penggunaan teknologi. Hal ini bisa disbabkan karena nelayan kecil di Kecamatan Paiton

hanya menggunakan perahu < 5 GT. Dimana kemampuan perahu tersebut sangat minim di banding perahu

dengan kapasitas > 5GT. Sehingga kemampuan jarak semua nelayan dalam melakukan kegiatan

penangkapan relatif sama.

3. Modal Fisik

Dari hasil analisis regresi logit yang telah dilakukan diperoleh nilai signifikansi sebesar 0,668 dimana

nilai tersebut lebih besar dari 0,05 atau 5%, yang artinya Modal fisik tidak berpengaruh signifikan terhadap

adaptasi 1 yaitu penggunaan teknologi. Hal ini bisa disebabkan karena kurangnya pengetahuan nelayan

Page 311: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 297

bagaimana pentingnya penggunaan teknologi untuk memperoleh informasi tentang cuaca. Kebanyakan

nelayan di Kecamatan Paiton masih mengandalkan pengalaman dan informasi dari orang untuk memperoleh

informasi tentang cuaca. Sehingga mereka tidak menganggap begitu penting penggunaan teknologi ini.

Mereka lebih memilih memperbanyak modal fisik mereka teru tama rumpon, dimana rumpon merupakan

rumah ikan yang kemudian akan di gunakan sebagai lokasi penangkapan. Simbolon et al., (2013)

menjelaskan penggunaan rumpon merupakan salah satu modal fisik yang sangat efektif untuk melakukan

kegiatan penangkapan.

4. Umur

Dari hasil analisis regresi logit yang telah dilakukan diperoleh nilai signifikansi sebesar 0,456 dimana

nilai tersebut lebih besar dari 0,05 atau 5%, yang artinya umur tidak berpengaruh signifikan terhadap adaptasi

1 yaitu penggunaan teknologi. Sesuai kondisi dilapang penggunaan teknologi berdasarkan umur masil belum

mereta, dimana hanya nelayan yang memiliki kesadaran akan pentingnya penggunaan teknologi saja yang

menggunakannya. Kurangnya informasi tentang pentingnya penggunaan teknologi mengakibatkan banyak

nelayan yang tidak menggunakan teknologi dalam memperoleh informasi tentang cuaca. Hal ini sesuai

dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Wirjono (2015) dimana umur tidak berpengaruh signifikan dalam

penggunaan teknologi informasi.

5. Pendidikan

Dari hasil analisis regresi logit yang telah dilakukan diperoleh nilai signifikansi sebesar 0,001 dimana

nilai tersebut lebih kecil dari 0,05 atau 5%, yang artinya pendidikan berpengaruh signifikan terhadap adaptasi

1 yaitu penggunaan teknologi. Pendidikan merupakan salah satu modal manusia yang dapat mendorong

nelayan dalam mengambil keputusan untuk menggunakan teknologi untuk memperoleh iformasi tentang

cuaca. Nelayan yang memiliki pendidikan yang lebih tinggi akan memiliki pengetahuan yang lebih luas tentang

teknologi. Sesuai kodisi dilapang nelayan yang memiliki pendidikan yang lebih tinggi mereka sadar jika dalam

memperoleh informasi tentang cuaca tidak bias mengandalkan pengalaman dan informasi dari orang lain saja.

Hal ini sesuai dengan penelitian yang telah di lakukan oleh Anjani & Wirawati, dimana hasil penelitiannya

menunjukkan tingkat pendidikan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap penggunaan teknologi dan

informasi.

6. Pengalaman

Dari hasil analisis regresi logit yang telah dilakukan variabel pengalaman diperoleh nilai signifikansi

sebesar 0,778 dimana nilai tersebut lebih besar dari 0,05 atau 5%, yang artinya pengalaman tidak

berpengaruh signifikan terhadap adaptasi 1 yaitu penggunaan teknologi. seperti yang telah dijelaskan

sebelumnya, tidak meratanya kesadaran nelayan di Kecamtan Paiton akan pentingnya penggunaan teknologi

dalam memperoleh informasi tentang tuaca mengakibatkan masih banyak nelayan yang tidak

menggunakannya. Terlebih nelayan yang memiliki pengalaman yang sudah lama dalam melakukan kegiatan

penangkapan. Mereka lebih mengandalkan pengalamannya untuk mengetahui kondisi cuaca ketika mereka

melakukan kegiatan penangkapan. Akan tetapi sudah ada beberapa nelayan yang sadar bahwa mengetahui

cuaca berdasarkan pengalaman ternyata kurang tepat sehingga mereka memutukan untuk menggunakan

teknologi.

7. Modal keuangan

Page 312: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

298 |

Dari hasil analisis regresi logit yang telah dilakukan variabel modal keuangan diperoleh nilai

signifikansi sebesar 0,016 dimana nilai tersebut lebih kecil dari 0,05 atau 5%, yang artinya modal keuangan

berpengaruh signifikan terhadap adaptasi 1 yaitu penggunaan teknologi. Modal keuangan merupakan salah

satu faktor yang berpengaruh signifikan terhadap penggunaan teknologi. Dimana tingkat modal keuangan

yang dimiliki oleh nelayan menentekuan kemampuan nelayan untuk memiliki teknologi. Sesuai dengan kondisi

dilapang nelayan yang memiliki modal finansial rendah tidak mampu untuk membeli teknologi yang dapat

memberika informasi tentang cuaca, sebaliknya nelayan yang memiliki modal finansial yang lebih tinggi

mampu membeli teknologi ini. Hal ini sesuai yang diungkapkan oleh Scoones (1998) dimana modal keungan

dapat menentukan kemampuan masyarakat dalam menjalankan strategi penghidupannya dalam hal ini

adaptasi nelayan terhadapperubahan iklim dengan cara penggunaan teknologi.

8. Modal Sosial

Dari hasil analisis regresi logit yang telah dilakukan variabel modal sosial diperoleh nilai signifikansi

sebesar 0,534 dimana nilai tersebut lebih besar dari 0,05 atau 5%, yang artinya modal sosial tidak

berpengaruh signifikan terhadap adaptasi 1 yaitu penggunaan teknologi. Modal sosial merupakan hal yang

penting bagi masyarakat dalam melakukan strategi penghidupannya (DFID, 2010) dalam hal ini nlayan.

Dengan modal sosial yang tinggi nelayan akan lebih mudah untuk mendapatkan informasi yang mereka

butuhkan. sesuai kondisi dilapang, banyaknya nelayan yang masih mengandalkan pengalaman dan informsi

dari nelayan lain tentang cuaca, mengakibatkan nelayan lebih mudah memperoleh informasi tentang cuaca

dari nelayan satu ke nelayan lain. Terlebih, masih minimnya nelayan yang menggunakan teknologi. Sehingga

mayoritas informasi yang mereka peroleh hanya berdasarkan pengalaman dan informasi dari orang lain saja

dan merek lebih meyakini informasi yang lebih banyak digunakan oleh kaum mayoritas daripada informasi dari

kaum minoritas.

Tabel 2. Pengaruh modal penghidupan terhadap penggunaan teknologi

Penggunaan Teknologi Coef. P>|z|

x1lama -0.01109 0.039**

x2jarak 0.239267 0.218

x3mfisik 0.030708 0.668

x4umur -0.06374 0.456

x5pendidikan 2.14107 0.001***

x6pengalaman 0.020349 0.778

x7totalmkeuangan 2.80E-07 0.016**

Page 313: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 299

x8msosial 0.149501 0.534

_cons -2.60403 0.328

Log likelihood = -33.490529

Number of obs = 109

LR chi2(8) = 57.23

Prob > chi2 = 0.0000

Pseudo R2 = 0.4607

Pekerjaan Alternatif

Analisis pengaruh modal penghidupan terhadap Pekerjaan alternatif dapat dilihat pada tabel 19. Dari

hasil analisis yang telah dilakukan diperoleh nilai Prob>Chi2 yaitu sebesar 0,000 yang artinya Variabel

independen lama trip, jarak, modal fisik, umur, pendidikan pengalaman, modal keuangan dann modal finansial

berpengaruh secara simultan terhadap adaptasi 3 yaitu pekerjaan alternatif.

Selanjutnya yaitu analisis pengaruh modal penghidupan terhadap pekerjan alternatif secara parsial.

Dari hasil analisis yang telah dilakukan terdapat 4 variabel independen yang berpengaruh signifikan terhadap

pekerjaan alternatif diantaranya lama trip, jarak, pendidikan, dan modal keuangan. Berikut rincian pengaruh

modal penghidupan terhadap pekerjaan alternatif;

1. Lama Trip

Dari hasil analisis regresi logit yang telah dilakukan variabel lama trip diperoleh nilai signifikansi

sebesar 0,000 dimana nilai tersebut lebih kecil dari 0,05 atau 5%, yang artinya lama trip berpengaruh

signifikan terhadap adaptasi 3 yaitu pekerjaan alternatif. Menurunnya modal alam akibat terjadinya perubahan

iklim memicu nelayan untuk mencari pekerjaan diluar perikanan tangkap. Sehingga mereka dapat memeroleh

penghasilan tambahan. Shafrill et al., (2017) menjelaskan tejadinya perubahan iklim akan menurunkan lama

trip yang dilaukan nelayan dalam melakukan kegiatan penangkapan, dan mereka harus melakukan pekerjaan

alternatif sebagai salah satu strategi adaptasi sehingga mereka memperoleh penghasilan tambahan. Hal ini

sesuai dengan kondisi dilapang dimana nelayan cenderung mengurangi lama trip mereka untuk melakukn

pekerjaan di luar sektor perikanan tangkap.

2. Jarak trip

Dari hasil analisis regresi logit yang telah dilakukan variabel Jarak trip diperoleh nilai signifikansi

sebesar 0,045 dimana nilai tersebut lebih kecil dari 0,05 atau 5%, yang artinya jarak trip berpengaruh

signifikan terhadap adaptasi 3 yaitu pekerjaan alteratif. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, menurunnya

modal alam yang mengakibatkan nelayan cenderung mengurangi lama trip untuk melakukan pekerjaan

Page 314: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

300 |

alternatif akan berdampak terhadap jarak trip yang mereka lakukan. Dimana dengan waktu yang lebih singkat,

jarak trip yang dilakukan nelayan juga akan terbatas.

3. Modal Fisik

Dari hasil analisis regresi logit yang telah dilakukan variabel modal fisik diperoleh nilai signifikansi

sebesar 0,978 dimana nilai tersebut lebih besar dari 0,05 atau 5%, yang artinya modal fisik tidak berpengaruh

signifikan terhadap adaptasi 3 yaitu pekerjaan alternatif. Shafrill et al., (2017) menjelaskan terjadinya kejadian

ekstrim yang diakibatkan fenomena perubahan iklim menyebabkan rusaknya modal fisik dan hasil tangkapan

nelayan. Sesuai dengan kondisi dilapang nelayan terjadinya perubahan iklim yang berdampak terhadap hasil

tangkapan mendorong nelayan memiliki modal fisik yang lebih, akan tetapi mereka tidak sadar bahwa

menurunnya hasil tangkapan merupakan dampak yang ditimbulkan oleh fenomena perubahan iklim, bukan

karena kurangnya alat tangkap yang mereka miliki. Akan tetapi banyak juga nelayan yang tidak mampu

menambah alat tangkap dan alat bantu penangkapan, sehingga mereka memutuskan untuk mencari

pekerjaan alternatif.

4. Umur

Dari hasil analisis regresi logit yang telah dilakukan variabel umur diperoleh nilai signifikansi sebesar

0,279 dimana nilai tersebut lebih besar dari 0,05 atau 5%, yang artinya umur tidak berpengaruh signifikan

terhadap adaptasi 3 yaitu pekerjaan alternatif. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan Tarigan

(2010), dimana umur tidak berpengaruh signifikan terhadap pekerjaan alternatif. Sesuai dengan kondisi

dilapang, penghasilan nelayan yang cenderung menurun mengakibatkan nelayan harus memperoleh

penghasilan tambahan, salah satu cara yang mereka lakukan yaitu pekerjaan alternatif. pekerjaan alternatif

dilakukan oleh semua nelayan baik yang masih muda hingga yang lebih tua. Dengan hal ini mereka dapat

memenuhi kebutuhan mereka.

5. Pendidikan

Dari hasil analisis regresi logit yang telah dilakukan variabel pendidikan diperoleh nilai signifikansi

sebesar 0,000 dimana nilai tersebut lebih kecil dari 0,05 atau 5%, yang artinya pendidikan berpengaruh

signifikan terhadap adaptasi 3 yaitu pekerjaan alternatif. nelayan yang memiliki pendidikan yang lebih tinggi

cenderung memiliki kesadaran yang lebih terhdap pentingnya melakukan adaptasi salah satunya yaitu

perubahan iklim. Disamping itu nelayan dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan lebih mudah untuk

memperoleh pekerjaan alternatif diluar sektor perikanan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan

Tarigan (2010) dimana tingkat pendidikan memiliki pengaruh signifikan terhadap pekerjaan alternatif nelayan.

6. Pengalaman

Dari hasil analisis regresi logit yang telah dilakukan variabel pengalaman diperoleh nilai signifikansi

sebesar 0,898 dimana nilai tersebut lebih besar dari 0,05 atau 5%, yang artinya pengalaman tidak

berpengaruh signifikan terhadap adaptasi 3 yaitu pekerjaan alternatif. sesuai dengan kondisi dilapang

mayoritas hasil tangkapan nelayan yang cenderung menurun. Nelayan yang memiliki pengalaman yang lama

pun tidak bisa mengatasi fenomena alam ini, sehingga banyak nelayan yang harus melakukan pekerjaan

alternatif untuk memenuhi kebutuhan mereka.

7. Modal Keuangan

Page 315: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 301

Dari hasil analisis regresi logit yang telah dilakukan variabel modal keuangan diperoleh nilai

signifikansi sebesar 0,000 dimana nilai tersebut lebih kecil dari 0,05 atau 5%, yang artinya modal keuangan

berpengaruh signifikan terhadap adaptasi 3 yaitu pekerjaan alternatif. Hal ini sesuai dengan kondisi dilapang,

dimana modal keuangan yang dimiliki oleh nelayan yang melakukan pekerjaan alternatif cenderung lebih tinggi

disbanding nelayan yang tidak memiliki pekerjaan alternatif. hal ini sesuai dengan pendapat Satriawan dan

Oktaviani (2012), mereka berpendapat bahwa petani yang memiliki pekerjaan alternatif cenderung memiliki

modal keuangan yang lebih tinggi.

8. Modal Sosial

Dari hasil analisis regresi logit yang telah dilakukan variabel modal sosial diperoleh nilai signifikansi

sebesar 0,074 dimana nilai tersebut lebih kecil dari 0,1 atau 10%, yang artinya modal sisoal berpengaruh

signifikan terhadap adaptasi 2 yaitu partisipasi dalam kelompok nelayan. Modal sosial merupakan hal yang

perlu ditingkatkan oleh nelayan dalam memperoleh pekerjaan alternatif, dengan modal sosial yang lebih tinggi

nelayan akan lebih mudah untuk memperoleh informasi tentang pekerjaan alternatif, seingga pekerjaan

alternatif akan lebih mudah mereka peroleh. Shafrill et al., (2017) berpendapat bahwa modal sosial yang tinggi

akan mempermudah nelayan dalam melakukan adaptasi terhadap perubahan iklim.

Tabel 3. Pengaruh modal penghidupan terhadap pekerjaan alternatif

Pekerjaan Alternatif Coef, P>|z|

X1lama -0,03109 0,000***

X2jarak -0,39124 0,045**

X3mfisik -0,00235 0,978

X4umur -0,086 0,279

X5pendidikan 1.737.956 0,026**

X6pengalaman 0,00848 0,898

X7totalmodalkeuangan 5,30E-07 0,000***

x8modalsosial 0,460758 0,074*

_cons 7.119.953 0,020

Number of obs = 109

LR chi2(8) = 84.20

Prob > chi2 = 0.0000

Page 316: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

302 |

Log likelihood = -31.009125

Pseudo R2 = 0.5758

KESIMPULAN

Dari hasil penelitian tentang adaptasi nelayan Kecil terhadap perubahan iklim di Kecamatan Paiton,

Kabupaten Probolinggo dapat disimpulkan bahwa. Terdapat tiga variable yang berpengaruh signifikan

terhadap penggunaan teknologi diantaranya lama trip (X1), pendidikan (X5) dan modal finansial (X7).

Sedangkan jarak trip (X2), modal fisik (X3), umur (X4), pengalaman (X6) dan modal sosial (X8) tidak

berpengaruh signifikan terhadap penggunaan teknologi. Terdapat lima variable yang berpengaruh terhadap

pekerjaan alternative nelayan diantaranya lama trip (X1), jarak trip (X2), pendidikan (X5), modal finansial (X7)

dan modal sosial (X8). Sedangkan modal fisik (X3), umur (X4), pengalaman (X6) tidak berpengaruh signifikan

terhadap pekerjaan alternative nelayan.

DAFTAR PUSTAKA

Martin et al, (2007). ―Climate Change: Impact, Vulnerabilities and Adaptation In Developing Countries‖. Germany: United Nations Conservation On Climate Change (UNFCCC):

Shaff ril H. A. M., Asnarulkhadi Abu Samah, Jeff rey Lawrence D'Silva, (2017). ―Climate change: Social adaptation strategies for fishermen‖. Journal of Marine Policy 81: 256-261

Gafton R. Quentin, (2010). ―Adaptation To Climate Change in Marine Capture Fisheries‖ Journal of Marine Policy 34: 606-615

Westland L, Poulain F, Bage H, van Anrooy R, (2007). Disaster Response And Risk Management In The fisheries Sector. Rome: FAO

Hendayana Rachmat, (2014). ―Penerapan Metoe Regresi Logistik dalam Menganalisis Adopsi Teknologi Pertanian‖. Bogor: Balai Besar dan Pengembangan Teknologi Pertanian.

Scoones Ian(1998) ―Sustainable Rural Livelihoods A Framework For Analysis‖ IDS Working Paper 72 Simbolon, D., Jeujanan, B dan Wiyono, E. S (2013). Efektivitas Pemanfaatan Rumpon dalam Operasi

Penangkapan Ikan di Perairan Maluku Tenggara. Jurnal Amanisal PSP FPIK Unpatti. Ambon Vol 2. No 2. Hal 19-31. 2085-5109.

Wirjono, E. R. (2017). Pengaruh Kepercayaan dan Umur Terhadap Kinerja Indvidual dalam Penggunaan Teknologi Informasi. Yogyakarta: Fakultas ekonomi Universitas Atma Jaya Yogyakarta.

Tarigan, S.E. (2009). Analisis Pekerjaan Alternatif Nelayan Kecamatan Talawi Kabupaten Batu Bara. Medan: Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.

Satriawan, B dan Oktavianti, H. (2012). Upaya Pengentasan Kemiskinan Pada Petani Menggunakan Model Tindakan Kolektif Kelembagaan Pertanian. Jurnal Ekonomi Pembangunan Vol 13. No 1.

Page 317: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 303

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT BERBASIS SOCIOPRENEUR DI PAGUYUBAN

MAHAMERU, DESA TULUSBESAR, KEC. TUMPANG, KAB. MALANG

Setiyo Yuli Handono

Jurusan Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya Corresponding author: [email protected]

Abstrak:Tujuan penelitian ini adalah menganalisa pendekatan sociopreneur dalam memberdayakan anggota UMKM yang ada di Paguyuban Mahameru Tumpang Malang. Metode analisis data adalah deskriptif kualitatif. Pendekatan sociopreneur mampu meningkatkan solidaritas diantara anggota UMKM dengan saling membantu satu sama lain jika ada permasalahan (mulai produksi sampai dengan distribusi), selain itu mampu meningkatkan sinergi pasar (pelanggan), serta saling menguatkan satu sama lain untuk maju secara bersama (pelatihan PIRT, Standarisasi Halal dan pengemasan produk yang higienis dan efisien). Meskipun ada kelemahan antara lain sebagian kecil anggota atau pengurus Paguyuban Mahameru ada yang mendominasi dalam berpendapat karena merasa memiliki usaha yang cukup besar produksi atau banyak pelanggan. Pemberdayaan berbasis sociopreneur di Paguyuban Mahameru dapat berjalan secara berkelanjutan dengan tetap memegang prinsip kekeluargaan atau persaudaraan dan meminimalisir keegoisan (menang sendiri) di antara anggota paguyuban tersebut Kata kunci : Sociopreneur, Pemberdayaan, Berkelanjutan, Kekeluargaan

PENDAHULUAN

Pemberdayaan masyarakat merupakan issu yang sangat krusial saat ini, karena kaitannya dengan

kemiskinan dan kesejahteraan masyarakat. Prinsip pemberdayaan secara umum ada perubahan dari

sebelumnya powerless (tidak berdaya) menuju powerfull (berdaya). Issu ini bukan hanya perbincangan saja

namun sudah secara kongkret dilaksanakan oleh pemerintah daerah sampai dengan pemerintah pusat,

bahkan LSM (Lembaga Sosial Masyarakat) juga berperan aktif dalam pemberdayaan masyarakat. Salah

satunya program pemberdayaan dari pemerintah ke UMKM antara lain memfasilitasi UMKM (Usaha Mikro

Kecil Menengah) mulai dari pelatihan, pendanaan dan pendampingan.

Peran UMKM dalam pembangunan perlu ditingkatkan lagi dalam mencapai kemandirian UMKM

secara professional dan mandir, hanya saja tidak semuanya berjalan sesuai rencana dikarenakan ada

permasalahan dari UMKM itu sendiri, missal keterbatasan dana, kekuatan dan sinergisitas diantara UMKM

dan lain-lainnya. Oleh karena itu perlu adanya strategi yang tepat dalam memberdayakan UMKM tersebut

sehingga kesejahteraan masyarakat (peningkatan pendapatan dan relasi bisnis) dapat tercapai.

Strategi pemberdayaan UMKM tidak selalu berhasil. Menurut Wulandari dkk (2007) kegagalan pada umumnya disebabkan karena:

1. Kurang kesadaran dan motivasi dari pengusaha sendiri untuk mengembangkan usaha lebih profesional. Mereka sudah merasa cukup jika produknya terjual.

2. Kurang inovasi dalam manajemen usaha baik di bidang pemasaran, produksi

Page 318: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

304 |

maupun strategi penjualan. 3. Terbatasnya waktu untuk terjun secara total dalam usaha karena terbentur aktivitas

domestik maupun sosial (pengajian, arisan, pertemuan warga, dll) terutama bagi pengusaha perempuan, sehingga mereka tidak punya waktu untuk kegiatan pelatihan usaha, dll

4. Akses kepada pendanaan dan permodalan rendah Alternatif strategi dalam pemberdayaan masyarakat (UMKM) antara lain dengan berbasis

sociopreneur atau sociopreneurship. Sociopreneurship ialah kewirausahaan berbasis sosial. Seseorang yang berjiwa entrepreneur atau organisasi yang berjiwa entrepreneur mampu menggerakkan masyarakat untuk meningkatkan kemampuannya agar dapat berdaya saing. Kewirausahaan sosial adalah kewirausahaan yang ditujukan untuk kepentingan masyarakat bukan sekadar memaksimalkan keuntungan pribadi. Kewirausahaan sosial dapat disebut organisasi bisnis yang bertujuan sosial (Tan et all, 2005).

Perbedaan mendasar antara sociopreneurship dengan entrepreneurship adalah pada siapa yang akan menerima manfaatnya. Sociopreneurship ini menjadi sangat penting mengingat keuntungan yang diperoleh bukan hanya untuk kepentingan individu saja tetapi lebih ditujukan untuk kemakmuran masyarakat. Oleh karena itu harus terus diupayakan munculnya sociopreneur-sociopreneur baru agar masyarakat semakin berdaya

Drayton merumuskan entrepreneur sosial adalah individu yang memiliki solusi inovatif untuk mengatasi masalah sosial dengan cara mengubah sistem, memberikan solusi dan memengaruhi masyarakat untuk melakukan perubahan (Appanah & Estin, 2009). Hal ini bukanlah perkara yang mudah mengingat merubah sistem harus melibatkan semua elemen terkait. Masyarakat harus disadarkan atas masalah yang dihadapi karena belum tentu mereka mampu menganalisa masalah dengan baik. Masalah harus dicari solusinya dengan mengetahui terlebih dahulu akar permasalahannya. Perubahan perlu dilakukan sebagai koreksi atas tindakan yang kurang tepat sehingga permasalahan akan teratasi.

Dees, J Gregory menekankan entrepreneur social sebagai agen perubahan atau pelaku reformasi. Selaras dengan pendapat Drayton maka perubahan harus dilakukan untuk memperbaiki keadaan. Masyarakat yang telah memiliki kebiasaan yang dianggap kurang produktif harus disadarkan dengan adanya inovasi-inovasi baru. Inovasi diarahkan untuk mengatasi satu permasalahan atau beberapa permasalahan sekaligus. Sebagai contoh permasalahan sampah yang menumpuk diatasi dengan mengolah sampah menjadi pupuk yang bermanfaat sehingga dapat meningkatkan income bagi masyarakat.

Pelaku entrepreneur sosial dapat berupa individu maupun organisasi yang proaktif mengentaskan permasalahan-permasalahan sosial. (Tan et all, 2005) mengemukakan ada beberapa bentuk organisasi wiraniaga sosial: a. Organisasi berbasis komunitas

Organisasi ini berkonsentrasi untuk mengatasi permasalahan dari kelompok masyarakat tertentu. Misalnya pendidikan non formal untuk komunitas anak jalanan, pelatihan untuk kelompok mantan pecandu narkoba, organisasi pembina penyandang tuna netra, dan kelompok petani, kelompok peternak, sebagainya. Organisasi ini biasanya terdiri dari para sukarelawan yang mengumpulkan dana dari para pendonatur.

b. Socially responsible enterprises Wirausaha sosial ini memiliki perusahaan atau berbentuk perusahaan yang melakukan bisnis untuk mendapatkan keuntungan. Hasil bisnis bukan digunakan untuk para sukarelawan, namun digunakan untuk kepentingan sosial. Organisasi ini juga dapat mendirikan dua perusahaan

Page 319: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 305

sekaligus. Satu perusahaan bersifatkomesial dan satu lagi bersifat sosial. Perusahaan yang bersifat komersial keuntungannya untuk membiayai operasional kegiatan sosial.

c. Socio-economic atau dualistic enterprises. Wirausaha sosial ini berbentuk perusahaan komersial yang didirikan sengaja untuk mengatasi

permasalahan-permasalahan sosial secara profesional. Diharapkan dengan semakin banyaknya

perusahaan ini maka permasalahan sosial akan semakin berkurang. Misalnya perusahaan yang

mempekerjakan orang cacat, perusahaan daur ulang, perusahaan penyedia dana untuk kaum dhuafa,

dan Iain-lain

Dengan demikian anggota UMKM yang masuk di Paguyuban Mahameru di Tumpang Malang

memiliki kesamaan usaha secara profit dan memiliki semangat kebersamaan atau sociopreneur. Namun

apakah pemberdayaan mampu dilakukan pada anggota masyarakat (UMKM) dalam Paguyuban Mahameru

dengan pendekatan sociopreneur. Perlu diketahui bahwa Paguyuban Mahameru ini awanya (dibentuk

tahun 2014) tidak solid ataupun tidak terstruktur usaha atau polanya, namun lambat laun paguyuban ini

mulai berbenah diri karena memang sebelumnya tidak ada multiplier effect dari keberhasilan yang telah

diraih oleh salah satu anggota ataupun proses pembelajaran bersama tidak jalan. Selain permasalahan

tersebut, belum adanya pembinaan yang terintegrasi baik dari sisi permodalan, manajerial, maupun

pengembangan sumberdaya manusia, sehingga diperlukan pembinaan yang lebih terintegrasi agar

kemajuan usaha dapat bertahan lama tanpa mengurangi kemandirian usaha.Dengan demikian Program

pemberdayaan masyarakat dengan pendekatan sociopreneurship sangat relevan untuk mengatasi

masalah UMKM maupun masyarakat umum. Sehingga penelitian tentang pemberdayaan masyarakat (UMKM)

berbasis sociopreneur sangat penting dilakukan dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat UMKM di

Paguyuban Mahameru, Tumpang Malang.

METODOLOGI

Studi yang dilakukan menggunakan pendekatan metode deskriptif kualitatif. Pengumpulan data

menggunakan indepth interview terhadap key informan (anggota dan pengurus paguyuban mahameru).Waktu

penelitian adalah Desember 2017 sampai dengan Januari 2018. Penelitian ini dilakukan di Paguyuban

Mahameru, Tumpang, Malang.

Metode Analisis Data

Metode analisis data merupakan penilaian terhadap berbagai keadaan yang dilakukan berdasarkan

pendekatan dan metode serta teknik analisis data. Metode analisis data yang digunakan dalam kajian ini

adalah metode deskriptif kualitatif. Tujuannya mempu menganalisa atau memotret pendekatan sociopreneur

dalam memberdayakan anggota UMKM yang ada di Paguyuban Mahameru Tumpang Malang

HASIL DAN PEMBAHASAN

Page 320: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

306 |

PROFIL PAGUYUBAN MAHAMERU

Paguyuban Mahameru merupakan wadah bagi pelaku usaha mikro kecil menengah (UMKM) yang

ada di Desa Tulusbesar, Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang. Paguyuban ini terbentuk pada saat team

Universitas Brawijaya bersama Kementan RI menginisiasi KP3HP (Kawasan Pengembangan Pengolahan

Hasil Pertanian) di Kabupaten Malang pada tahun 2013 s.d 2014. Paguyuban ini menyediakan berbagai

macam olahan pasca panen hasil pertanian seperti sari apel dan sari buah lainnya, keripik buah, keripik

singkong, keripik pepaya dan masih banyak lainnya. Kantor Paguyuban ini ada di Jalan Ronggowuni 65

Tumpang, Kabupaten Malang (depan Candi Jago). Total anggota serta pengurus Paguyuban Mahameru

adalah 25 orang (UMKM).

Potensi dan peluang yang terdapat dalam paguyuban Mahameru Kec. Tumpang adalah potensi

wilayah yang merupakan jalur transit wisatawan baik wisatawan domestik maupun mancanegara yang akan

berkunjung ke Bromo maupun gunung Semeru yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Pusat oleh-oleh

maupun outlet dan rest area yang menjadi salah satu tujuan wisatawan akan menjadikan sarana efektif bagi

para anggota paguyuban dalam memasarkan produk yang mereka hasilkan. Selain itu dengan kondisi dan

suasana perekonomian Kec.Tumpang yang semakin tumbuh dan berkembang dari tahun ketahun dapat pula

menjadikan produk-produk hasil pengolahan pertanian Kec. Tumpang menjadi ikon pariwisata pangan maupun

oleh-oleh kota Malang, Jawa Timur dan Indonesia pada akhirnya. Potensi lain adalah dengan bantuan dinas

terkait dan pihak-pihak yang memiliki itikad baik untuk memajukan Kec. Tumpang maka kerja sama-kerja

sama yang saling menguntungkan dapat mungkin terbentuk kedepannya.

Berdasarkan hasil penelitian serta hasil FGD (Focus Group Discussion) bersama tokoh-tokoh,

pelaku usaha dan petani maka didapatkan Paguyuban atau Gapoktan ―MAHAMERU‖ memiliki peluang

pengembangan agroindustri (pengolahan hasil pertanian) yang dapat menunjang penguatan paguyuban

tersebut. Secara prinsip paguyuban ini memiliki berbagai potensi dan permasalahan yang dihadapi. Adapun

potensi yang dimiliki adalah bahwa pagyuban mahameru mampu memproduksi dan mengolah hasil pertanian

secara kontinyu dari buah apel menjadi sari serta keripik buah lainnya. Keberlanjutan produksi sari buah dan

keripik buah tidak diikuti oleh keberlanjutan konsumsi dari konsumen sehingga hal tersebut menjadikan

tantangan sekaligus kendala bagi paguyuban Mahameru untuk terus tumbuh dan berkembang. Kendala

pemasaran yang diketemukan di lapang adalah dengan kurang mampu bersaingnya produk olahan dengan

produk olahan sejenis lainnya, seperti contoh sari buah merk terkenal di Kota Batu lebih kuat brandingnya

dibandingkan merk dari paguyuban ini.

PENDEKATAN SOCIOPRENEUR

Inkubator bisnis merupakan salah satu cara atau metode dalam memberdayakan masyarakat. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh A.E Tontowi dkk (2004), model pembelajaran berbasis inkubator industri atau IIBL dapat digunakan sebagai model pembelajaran untuk meningkatkan jiwa kewirausahaan peserta didik. Peran inkubator bisnis telah teruji efektivitasnya melalui penelitian dengan judul : Efektivitas Inkubator Bisnis dalam Pengembangan Jiwa Kewirausahaan (Pujiastuti, Humam, dan Suratna, 2007). Jiwa kewirausahaan yang tinggi akan berdampak positif dalam menjalankan kegiatan bisnis. Inkubator bisnis dirancang melalui tahapan-tahapan yang sistematis

Page 321: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 307

sehingga jiwa kewirausahaan seperti kepemimpinan, kemandirian, kreativitas, inovasi, keberanian menghadapi resiko dapat dikembangkan

Implementasi model inkubator bisnis dapat dibagi menjadi dua kategori menurut keputusan menteri negara koperasi dan usaha kecil dan menengah Republik Indonesia nomor 81.2/kep/M.KUKM/VIII/2002 adalah: 1. In wall adalah inkubasi dengan cara pengusaha kecil yang sedang dibinadikonsentrasikan di

dalam suatu gedung atau kawasan tertentu dan manajemeninkubator menyediakan berbagai pelayanan penyewaan tempat dan konsultasimanajemen.

2. Out wall adalah inkubasi dengan cara pengusaha kecil atau calon pengusaha baruyang sedang dibina tidak ditempatkan di dalam satu gedung atau kawasan yangdikelola Tim manajemen inkubator bisnis, tetapi berada di tempat usahanyamasing-masing dan tetap aktif mengikuti tahap-tahap pembinaan secaraterprogram dan berkelanjutan.

Efektivitas program pemberdayaan UKM yang telah dilaksanakan oleh pemerintah malang melalui disperindag, disperta mengindikasikan bahwa program pemberdayaan UKM sebagian besar efektif, namun masih cukup banyak dijumpai pemberdayaan yang kurang efektif. Hal ini disebabkan karena program pemberdayaan bersifat parsial dan tidak didukung dengan data tentang permasalahan masing-masing UKM. Setiap UKM belum tentu mengalami permasalahan yang sama sehingga jika program pemberdayaannya diseragamkan maka menjadim kurang efektif. Apalagi pada akhir tahun (2017) sebagian dinas yang ada di Kabupaten Malang menyelenggarakan kegiatan pemberdayaan secara instan, ada indikasi serapan anggaran pada masyarakat. Sebenarnya hal ini bagusada bentuk kongkret pemberdayaan, namun karena tidak dilaksanakan secara sistematis (base on need, RRA, PRA, sampai keberlanjutan) akhirnya hasilnyakurang efektif.

Pelaku UMKM merupakan ujung tombak dalam berwirausaha (berdagang) di sector riil. Karena penghubung langsung dengan konsumen atau rekanan/agen. Pelaku UMKM bisa dikatakan entrepreneur alami karena mereka memproduksi barang, mengeluarkan pendanaan, dan menanggung resiko. Risiko yang selalu dihadapi pelaku UMKM antara lain adalah kenaikan harga produksi (ketidakpastian harga disebabkan fluktuasi harga barang), harga packaging (pengemasan), dan transportasi, sehingga keuntungan mereka yang diperoleh relatif kecil bahkan terkadang merugi (karena tidak laku atau tidak memenuhi target). Sehingga mereka perlu melakukan efisiensi dalam usahanya dengan cara meminimalisir biaya dan meningkatkan penjualan.

Program pemberdayaan masyarakat berbasis sociopreneurini harapannya mampu mengatasi permasalahan mereka. Apalagi prinsip dari sociopreneur adalah kebersamaan (socius/common) diantara mereka (pelaku UMKM). Dengan adanya sinergi, kebersamaan diantara mereka maka diharapkan mampu mengatasi permasalahan yang dihadapi. Adapun dalam implementasi pemberdayaan masyarakat ada beberapa langkah sebagai berikut: 1. PRA (Participatory Rural Appraisal) atau Focus Group Discussion (FGD) 2. Pelatihan 3. Bantuan Pemasaran 4. Pendampingan 5. Pengukuran efektivitas sociopreneur.

PRA (Participatory Rural Appraisal) merupakan pendekatan desa/pelaku UMKM secara partisipatif (ikut andil), tujuan PRA ini sebenarnya sama dengan Focus Group Discussion (FGD) yaitu untuk mengemukakan permasalahan mulai dari aspek bahan baku, produksi, standard mutu pengelolaan, distribusi atau pemasaran. Termasuk kaitannya dengan peralatan mereka yang digunakan, atau standarisasi (PIRT, Halal, Packaging/pengemasan) dan lain lain. Al hasil dengan kegiatan inidilakukan secara bersama maka ada

Page 322: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

308 |

kesepakatan-kesepakatan untuk meningkatkan ketrampilan dalam memenuhi berbagai standard tersebut. Sehingga mereka melakukan berbagai pelatihan dalam rangka penguatan internal dan paguyuban untuk kemajuan bersama.

Pelatihan yang sudah terlaksana antara lain pelatihan PIRT, pelatihan penggunaan vakum frying, pelatihan packaging (pengemasan), pelatihan standarissasi halal dan pelatihan pemasaran. Adapun deskripsi pelatihan sebagai berikut. Pelatihan PIRT dilaksanakan pada hari senin, 16 september 2017 bertempat di BPP Tumpang Kab. Malang. Materi yang disampaikan berupa tata cara pengelolaan hasil pertanian oleh tim ahli LPPM UB yang diwakili bapak Lutfi dan sertifikat PIRT oleh DINKES yang diwakili Ibu Retno Endarti. Pada pelatihan tersebut juga menghasilkan sinkronisasi antara paguyuban mahameru dengan BPP Tumpang (kebersamaan). Sinkronisasi berupa fasilitas dari BPP terhadap paguyuban dalam hal registrasi untuk mendapatkan pengesahan Taruna Tani.. Pelatihan pengelolaan hasil pertanian oleh tim ahli LPPM UB berupa manajemen produksi yang secara detail mengolah hasil pertanian dari input sampai output dan manajemen pengelolaannya secara optimal. Pengelolaan hasil pertanian yang belum secaara detail dilakukan pada paguyuban mahameru antara lain standarisasi produk, segmentasi pasar, dokumentasi /administrasi ,,dll. Standarisasi produk dan segmentasi pasar menjadi target yang akan segera direalisasi oleh paguyuban untuk meningkatkan pengelolaan hasil pertanian. Standarisasi berupa penerapan jaminan mutu dari paguyuban mahameru mulai dari input bahan baku sampai output produk. Penyeragaman ini dilakukan untuk mendapatkan merk jual yang sama/merk atas binaan (dibawah naungan) Mahameru, dengan kepemilikan merk yang sama maka jaminan mutu dan pengendaliannya akan dilakukan bersama dan saling memiliki rasa tanggung jawab antar pengurus.

Gambar 1. Pelatihan Pengelolaan Hasil Pertanian oleh Tim Ahli LPPM UB

Pelatihan berikutnya adalah keamanan pangan dan PIRT yang secara langsung menunjukkan

kualitas produk hasil pertanian paguyuban Mahameru (gambar 2). Secara garis besar keamanan pangan berkesinambungan dengan standarisasi produk sehingga keamanan pangan menjadi salah satu prioritas pembenahan kualitas produk paguyuban Mahameru. Pencantuman masa kadaluarsa, komposisi sebenarnya, nama produk atau merk dagang dan ijin produksi akan meningkatkan keputusan pembelian konsumen terhadap produk tersebut selain penampilan visual lain seperti warna, bentuk kemasan dll. Oleh karena itu, peningkatan mutu dilakukan secara berkesinambungan antara keamanan pangan untuk menjaga kualitas

Page 323: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 309

produk, ijin produksi untuk mendapatkan pengakuan dari instansi terkait dan konsumen tentang kelayakan produksinya serta kemasan produk untuk lebih mampu menarik konsumen.

Gambar 2. Pelatihan PIRT oleh Perwakilan DINKES Kabupaten Malang

Bantuan pemasaran juga diberikan, baik pemasaran tradisional maupun pemasaran melalui

media online. Kegiatan pemasaran dimulai dari spesifikasi produk, penentuan merek produk, penentuan harga pokok produksi, penentuan harga jual, pengemasan, alat promosi, sampai dengan menjalin relasi bisnis yang lebih luas. Disamping itu, juga disediakan tempat untuk menjual hasil produknya secara semi permanen (outlet yang ada di Rumah Ketua Paguyuban Mahameru), beliau beralasan dalam kebersamaan menuju kesuksesan bersama. Pertimbangan di rumah sendiri karena lokasi strategis, dan tidak memerlukan biaya sewa.

Pendampingan bisnis dilakukan untuk memastikan semua program yang direncanakan dapat berjalan secara efektif. Kendala-kendala di lapangan yang dijumpai dapat segera diatasi sehingga hasilnya diharapkan akan optimal. Pelaku UMKM didampingi dalam pembukuan kas sederhana, promosi online (pembuatan website: http://paguyubanmahameru.blogspot.com/). Hasilnya pelaku UMKM saling bersinergi, menguatkan satu sama lain karena mereka merasakan penambahan relas i, penambahan pengetahuan, ketrampilan akan berbagai hal termasuk dalam aspek pemasaran.

Dampak pemberdayaan berbasis Efektivitas sociopreneurdapat diukur dengan berkurangnya permasalahan yang dihadapi oleh pelaku UMKM (anggota atau pengurus paguyuban mahameru). Disamping itu juga perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi dari paguyuban bisa terlaksana dengan baik. Terbukti adanya rencana program tahunan, pelaksanaan dan laporan tahunan. Berdasarkan analisis yang telah dilakukan menunjukkan bahwa secara umum sociopreneuryang dikembangkan di Paguyuban Mahamerudinilai cukup sukses. Hal ini disampaikan baik oleh ketua maupun anggota paguyuban tesebut akan manfaat kegiatan ini. Permasalahan sulitnya mendapatkan bahan baku olahan hasil pertanian yang berkualitas dengan harga murah dapat diatasi oleh mereka dengan bekerja sama langsung dengan petani di daerah tumpang dan sekitarnya (termasuk Poncokusumo Malang) serta adanya saling getoktular info diantara mereka tentang bahan baku sampai dengan pemasaran.

Page 324: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

310 |

Hal inilah yang menguatkan mereka satu sama lain dalam kebersamaan usaha (sociopreneur) untuk maju bersama. Hubungan diantara mereka di Paguyuban Mahameru dikarena adanya kebersamaan, rasa memiliki, dan jiwausaha secara bersama (sociopreneur) memiliki banyak manfaat. Pemberdayaan Model seperti ini dapat dijadikan sebagai inspirasi bagi daerah lain atau kelompok masyarakat lain untuk mengembangkan potensinya sehingga permasalahan yang dihadapi dapat diatasi. Secara implicit atau eksplisit pemberdayaan masyarakat berbasis sociopreneur mampu meningkatkan solidaritas diantara anggota UMKM dengan saling membantu satu sama lain jika ada permasalahan (mulai produksi sampai dengan distribusi/ calon customer atau pelanggan), selain itu mampu meningkatkan sinergi pasar (pelanggan), serta saling menguatkan satu sama lain untuk maju secara bersama (pelatihan PIRT, Standarisasi Halal dan pengemasan produk yang higienis dan efisien). Meskipun ada kelemahan antara lain sebagian kecil anggota atau pengurus Paguyuban Mahameru ada yang mendominasi dalam berpendapat karena merasa memiliki usaha yang cukup besar produksi atau banyak pelanggan. Permasalahan tersebut dapat diminimalisir dengan tetap memegang prinsip kekeluargaan atau persaudaraan dan meminimalisir keegoisan (menang sendiri) di antara anggota atau pengurus paguyuban tersebut

KESIMPULAN

Pemberdayaan masyarakat (pelaku UMKM di Paguyuban Mahameru, Tumpang, Malang) berbasis

sociopreneur merupakan salah satu alternative dalam penguatan dan pemantaban usaha agroindustri yang

berprinsip pada kebersamaan (socius). Efektivitas program pemberdayaan masyarakat dengan pendekatan

sociopreneur telah teruji di Paguyuban Mahameru ini yang melibatkan banyak UMKM (pelaku usaha

olahan makanan minuman) yang sebelumnya berusaha sendiri-sendiri, berkompetisi satu sama lain,

akhirnya dengan pendekatan kebersamaan (sociopreneur) merek bersinergi, saling menguatkan satu

sama lain dan sama-sama maju (sukses) bersama. Meskipun ada beberapa yang ingin mendominasi

dalam paguyuban ini. Namun tidak sampai terjadi karena saling mengingatkan satu sama lain, serta

memeiliki keterikatan seperti saudara (kekeluargaan). Peningkatan jiwa usaha bersama ( sociopreneur)

secara kontinyu dan profesional maka peningkatan pendapatan akan didapatkan oleh mereka (pelaku

UMKM di Paguyuban Mahameru)

DAFTAR PUSTAKA

Appanah, S. Dev dan Brooke Estin. (2009).Social Entrepreneurship Definition Matrix",www.changefusion.com Pujiastuti, Eny Endah, Humam Santosa, Suratna. (2009). Pengembangan JiwaKewirausahaan Untuk

Pengentasan Kemiskinan Melalui Inkubator Bisnis, LaporanPenelitian Tan, Wee Ling, John William, Teck Meng Tan. (2005). Defining the social in socialentrepreneurship:

Altruism and Entrepreneurship". InternationalEntrepreneurship and Management Journal, pg 53-365

Tontowi, Aliq,Subagyo, Ramdhani, Aswandi. (2004). Pembelajaran Berbasis Inkubator Industrisebagai model pembelajaran untuk mengembangkan potensi jiwa kewirausahaanmahasiswa Master teknologi industri, UGM

Page 325: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 311

Utomo, Humam Santoso, Eny Endah Pujiastuti, dan Suratna. (2009). Pengembangan JiwaKewirausahaan Untuk Pengentasan Kemiskinan Melalui Inkubator Bisnis. Laporan Penelitian

Page 326: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

312 |

PERANAN PEDAGANG PENGUMPUL DALAM PENGEMBANGAN USAHATANI CABAI

BESAR MELALUI KEMITRAAN PADA AGROEKOSISTEM LAHAN KERING DI

KELURAHAN MERJOSARI, KOTA MALANG

Kliwon Hidayat

Jurusan Sosial Ekonomi,Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya, Jl. Veteran, Malang 65145 Jawa Timur, Indonesia

Corresponding author: [email protected]

Abstrak: Komoditas cabai besar memiliki peran yang strategis dalam perekonomian di Indonesia. Tetapi usahatani ini membutuhkan banyak modal dan penanganan yang intensif serta memiliki risiko produksi dan pemasaran yang tinggi. Kebijakan pemerintah dalam penyediaan modal melalui kredit bersubsidi telah tersedia dan semakin mudah diakses. Demikian pula, kemajuan dalam teknologi komunikasi, informasi pertanian semakin mudah diakses petani melalui handphone(HP). Namun demikian, kontrak pertanian dengan pedagang pengumpul dipilih petani untuk mengatasi masalah pengembangan usahatani cabai besar tersebut diatas. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik petani cabai merah besar dan peranan pedagang pengumpul dalam pengembangan usahatani cabai besar pada lahan kering di perkotaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa petani cabai besar di perkotaan memiliki karakteristik dominan berusia tua dengan tingkat pendidikan rendah(dominan SD), serta dengan luas lahan garapan sempit(<0,500 ha). Dalam kondisi seperti ini, pedagang pengumpul mempunyai peranan penting dalam pengembangan usahatani cabai besar di perkotaan terutama dalam penyediaan modal usahatani, bimbingan teknis dan pemasaran hasil cabai. Peranan pedagang tersebut dilaksanakan melalui kemitraan informal antar keduanya. Keyword: Usahatani cabai, pedagang pengumpul, kontrak Pertanian, pemasaran

PENDAHULUAN

Cabai merupakan salah satu komoditas hortikultura strategis nasional, karena komoditas ini

dibutuhkan oleh semua lapisan masyarakat sepanjang tahun, mempunyai nilai ekonomi tinggi yang potensial

sebagai sumber pendapatan petani, mempunyai manfaat beragam baik penyedap makanan, bahan baku

industri, serta obat tradisional dan manfaat kesehatan, dan gejolak harga cabai memiliki pengaruh cukup

signifikan terhadap inflasi. Tetapi di lain pihak, usahatani cabai besar ini bersifat intensif tenaga kerja, rentan

dari gangguan hama-penyakit tanaman, sehingga cenderung intensif penggunaan pestisida kimia dan memiliki

risiko produksi dan pasar yang tinggi serta membutuhkan modal yang relatif lebih besar dari pada usahatani

lainnya(Saptana dkk, 2018).

Seperti diketahui bahwa petani di Indonesia pada umumnya dan di pulau Jawa pada khususnya

memiliki beberapa ciri, yaitu memilik keterbatasan modal finansial dan jaringan pemasaran, luas lahan

sempit, dan budaya pedesaan atau hubungan bersifat informal masih melekat dalam kehidupan sosial

ekonomi mereka(Arief Satria, 1999, Rahardjo, 2000; Hidayat, 2017). Oleh karena itu, tidak setiap petani mau

dan mampu berusahatani cabai sebagai pilihan usahanya. Hal ini merupakan kendala yang dihadapi dalam

Page 327: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 313

pengembangan usahatani cabai merah besar. Dalam rangka mengatasi kendala tersebut dan mendukung

Usaha Menengah Kecil dan Mikro(termasuk petani cabai), pemerintah telah mengeluarkan kebijakan kredit

bersubsidi antara lain Kredit Ketahanan Pangan dan Energi(KKPE) dan Kredit Usaha Rakyat (KUR) melalui

bank-bank pemerintah seperti BRI dan BNI 1946. Namun hanya sebagian kecil petani cabai yang

memanfaatkan fasilitas permodalan dari pemerintah tersebut(Hidayat, 2017). Demikian pula jaringan informasi

melalui internet mulai berkembang luas di kalangan masyarakat, apalagi informasi tersebut dapat diakses

melalui HP. Banyak warga masyarakat mulai dari lapisan atas sampai bawah memiliki HP. Layanan informasi

melalui tenaga penyuluh pertanian lapang semakin sulit diperoleh, karena jumlah penyuluh pertanian dan

sarana pendukung yang ada terbatas (Syaifudin, 2017).

Hasil kajian tentang kendala-kendala dalam usahatani cabai telah banyak dilakukan antara lain oleh

Ramadhan (2013) , Saptana dkk(2010). Hasil penelitian tentang peranan pedagang pengumpul menunjukkan

bahwa mereka hanya berperan membeli hasil cabai petani, yang selanjutnya dijual kepada pedagang besar

atau pedagang eceran di pasar tradisional yang ada atau menjual kepada Perusahaan Industri Pangan

Olahan (BPS, 2015, Yanuarti, dkk, 2016). Sementara itu, hasil penelitian Saptana dkk( 2018) di kabupaten

Malang menjelaskan bahwa pedagang pengumpul selain membeli hasil cabai petani, juga memberi pinjaman

kepada petani mitranya. Sedangkan bagaimana peranan pedagang pengumpul dalam pengembangan

usahatani cabai besar petani termasuk di perkotaan belum banyak atau belum ada yang melakukan kajian.

Oleh karena itu, hal ini menarik dikaji ditengah berkembangannya media social dan meningkatnya jumlah dan

kemudahan layanan permodalan dari lembaga keuangan pemerintah atau swasta.

Berdasarkan uraian di atas, maka penelitian ini memiliki beberapa tujuan, yaitu: (1) Mendeskripsikan

karakteristik petani dan usahatani cabai besar di kelurahan Merjosari kota Malang, (2) Mendiskripsikan dan

menganalisis peranan pedagang pengumpul dalam pengembangan usahatani cabai di kelurahan Merjosari

kota Malang.

METODE PENELITIAN

Lokasi penelitian ditentukan secara sengaja(purposive), yaitu di kelurahan Merjosari, Kota Malang,

Jawa Timur, karena kelurahan ini merupakan sentra produksi cabai merah besar di kota Malang (BPS Kota

Malang, 2017). Penentuan pedagang pengumpul dilakukan secara sengaja, yaitu MJD, karena di daerah ini

hanya terdapat seorang pedagang pengumpul yang membeli hasil cabai petani baik melalui kemitraan dan

non kemitraan dengan para petani cabai di sekitarnya. Daftar petani cabai di daerah ini diperoleh dari

pedagang pengumpul(MJD) dan berjumlah 70 petani. Jumlah petani sampel ditentukan sebanyak 30 petani

dan dipilih secara acak sederhana dari 70 petani tersebut di atas.

Data dikumpulkan dengan wawancara dan observasi. Wawancara dilakukan dengan petani cabai

besar dan pedagang pengumpul menggunakan kuesioner. Sedangkan pengamatan dilakukan di lahan petani

yang ditanami cabai merah besar dan aktivitas di Kios Pertanian milik pedagang pengumpul pada periode

musim tanam 2017/2018. Data dianalisis secara diskriptif dengan menggunakan table frekuensi dan table

silang.

Page 328: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

314 |

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Gambaran Lokasi Penelitian

Merjosari merupakan salah satu kelurahan di kecamatan Lowokwaru kota Malang. Kelurahan terletak

di pinggiran kota Malang, karena berbatasan dengan dengan desa Tegalweru kecamatan Dau kabupaten

Malang. Sebelum tahun 1988, kelurahan ini merupakan salah satu desa di kecamatan Dau. Karena ada

pemekaran wilayah kota Malang, maka sejak tahun 1988 menjadi salah satu kelurahan di wilayak kecamatan

Lowokwaru Kota Malang (Gambar 1 ).

Sumber : Kecamatan Lowokwaru Dalam Angka 2017

Gambar 1. Peta Kecamatan Lowokwaro Kota Malang dan Kelurahan Merjosari

Ketika masih berstatus desa dan menjadi bagian dari kecamatan Dau kabupaten Malang, sebagian

besar wilayah Merjosari merupakan lahan(kering) pertanian(tegal). Demikian juga pendudukanya sebagian

memiliki mata pencaharian sebagai petani. Sejalan dengan perkembangan kota dan wilayah pemukiman,

maka terjadi pengalihan sebagian hak milik atas lahan pertanian dari petani setempat kepada pihak lain.

Pihak lain tersebut bertempat tinggal di kelurahan Merjosari dan di luar Merjosari. Pada umumnya mereka

bukan sebagai petani. Mereka membeli lahan di daerah itu sebagai investasi untuk rumah di kemudian hari.

Oleh karena itu,sebelum lahan tersebut dibangun rumah, maka lahan tersebut dimanfaatkan oleh petani

setempat untuk usahatani cabai, tebu atau tanaman lainnya. Hak garap atas lahan tersebut diperoleh petani

setempat melalui sistem sewa, atau penggarap hanya dikenai kewajiban membayar pajak dan menjaga

batas-batas lahan.

Sebelum tahun 2010, komoditas pertanian utama di kelurahan Merjosari adalah tebu, jagung,

kacang tanah, jeruk dan cabai rawit. Baru sejak tahun 2010-an, petani di kelurahan ini mulai banyak yang

mengusahakan tanaman cabai merah besar.

Kel. Merjosari

Page 329: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 315

2. Karakteristik Petani dan Usahatani Cabai Merah Besar

Yang dimaksud karakteristik petani cabai merah besar di sini adalah ciri-ciri yang melekat pada

petani cabai besar dan keluarganya, yaitu umur, tingkat pendidikan, dan luas lahan garapan. Karakteristik

petani cabai besar tersebut dapat diikuti pada tabel 1 berikut.

Tabel 1. Karakteristik Petani Cabai Merah Besar di Kelurahan Merjosari Kota Malang, 2018

Uraian Jumlah (Orang) Persentase (%)

1. Golongan Umur petani (tahun)

< 30 2 6,7 30-50 13 43,3 > 50 15 50,0

Total 30 100,0 2.Tingkat Pendidikan petani

Tidak Sekolah 2 6,7 SD 22 73,3

SMP 4 13,3 SMA 2 6,7 Total 30 100,0

3.Golongan Luas Garapan Lahan (Ha)

< 0,5 15 50,0 0,5-1 13 43,3 > 1 2 6,7

Total 30 100,0

Sumber : Data Primer Diolah, 2018

Tabel 1 di atas menunjukkan bahwa sebagian besar (50 %) petani cabai besar tergolong

berumur diatas 50 tahun, kemudian diikuti petani yang berumur 30-50 tahun sebanyak 43,3% dan 6,7% petani

yang berumur kurang 30 tahun. Dengan demikian petani cabai besar dominan berusia tua. Hal ini terjadi,

karena mereka yang berusia muda kurang tertarik bekerja sebagai petani. Sejalan dengan umur yang

cenderung tua, maka tingkat pendidikan petani cabai dominan (73 %) tergolong rendah(berpendidikan SD),

sedangkan sisanya berpendidikan SLTP dan SLTA.

Sementara itu, luas lahan garapan mereka juga dominan(50%) tergolong sempit (< 0,500 ha).

Petani cabai dengan luas lahan garapan 0,5-1,0 ha sebanyak 43,3%. Yang mempunyai luas lahan garapan

lebih dari 1 hektar hanya sebesar 6,7 %. Lahan garapan petani cabai sebagian besar merupakan lahan milih

sendiri, dan sebagian merupakan lahan sewa dan lahan garapan yang bukan sewa, tetapi hanya dikenai

kewajiban membayar pajak lahan dan memelihara batas-batas lahan oleh pemiliknya.

Selanjutnya usahatani cabai besar di kelurahan ini merupakan usahatani lahan kering. Oleh

sebab itu, musim tanam cabai besar berlangsung pada musim hujan, karena kebutuhan air untuk tanaman

tersebut bergantung dari air hujan.

Usahatani cabai besar dimulai dari kegiatan pengolahan tanah. Kegiatan ini tergolong lebih rumit

dari pada untuk tanaman selain cabai besar seperti jagung dan kacang tanah. Karena terdapat beberapa

Page 330: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

316 |

kegiatan, yaitu diawali dengan pengolahan tanah menggunakan traktor, kemudian pembuatan bedengan,

setelah itu pemberian pupuk organik (kotoran kambing atau yang lain), setelah selang berapa waktu diberi

pupuk dasar(NPK). Bedengan dibiarkan menunggu saat waktu tanam. Kegiatan pengolahan tanah ini sudah

dimulai pada bulan Juli sampai Agustus atau September.

Kegiatan selanjutnya adalah pembibitan. Pembibitan dibuat di sekitar lahan yang akan ditanami

cabai besar. Kegiatan ini sangat bergantung kepada rencana waktu tanam cabai dari petani. Umur bibit cabai

besar adalah kurang lebih 20 hari. Jadi pembibitan dilakukan sekitar 20 hari sebelum tanam. Tetapi dua tahun

terakhir ini, petani cenderung tidak membuat pembibitan sendiri. Mereka pesan bibit di kecamatan Wajak

kabupaten Malang (kurang lebih 25 Km dari kelurahan Merjosari). Kalau bibit cabai pesan, maka pemesaran

dilakukan sekitar 20 hari sebelum tanam.

Ada dua kelompok petani menurut waktu tanam cabai. Pertama, ada petani yang menanam cabai

lebih awal, yaitu masih musim kemarau (September –Oktober). Kedua, ada petani yang menanam cabai

menjelang atau awal musim hujan(November-Desember). Petani yang tanam cabai bulan Oktober akan mulai

panen akhir Desember pada tahun yang sama atau mulai panen awal Januari tahun berikutnya. Mereka yang

menanam lebih awal untuk memperoleh harga cabai yang baik (relatif tinggi), yaitu berdasarkan pengalaman

terjadi pada akhir tahun atau awal tahun berikutnya. Sebagai konsekuensinya, mereka harus mengeluarkan

biaya penyiraman selama musim kemarau tersebut. Sementara petani yang menanam awal musim hujan,

tidak perlu mengeluarkan biaya penyiraman, tetapi pada waktu panen, mereka memperoleh harga yang lebih

rendah.

Sebelum tanam dilakukan, pada bedengan lahan tersebut harus dipasang mulsa plastik dan

dilanjutkan dengan pembuatan lubang tanam pada mulsa sekaligus penyiraman. Setelah itu, bibit cabai

ditanam dengan cara melepaskan polybag secara perlahan, dimasukkan kedalam lubang tanam, kemudian

disiram.

Ada beberapa kegiatan sampai tanaman cabai berumur 60 HST. Kegiatan pertama adalah

pemupukan. Pupuk yang digunakan ialah pupuk NPK. Pemupukan dilakukan sebanyak 5-6 kali atau setiap

10-15 hari sekali hingga tanaman cabai berumur 60 HST. Kegiatan yang lain adalah penyemprotan.

Penyemprotan dilakukan petani kurang lebih setiap 7-10 hari sekali sampai umur 60 HST dan dilanjutkan

hingga akhir musim panen. Penggunaan obat disesuaikan dengan gejala dan tanda penyakit maupun hama

yang ditemukan. Sedangkan kegiatan pewiwilan dan penyiraman yang dilakukan pada saat cabai berusia 15

HST. Pewiwilan adalah kegiatan pembuangan tunas pada ketiak daun dibawah cabang yang berbentuk Y.

Kemudian kegiatan pemasangan lanjaran dilakukan setelah pewiwilan tersebut. Lanjaran diletakkan diantara 2

pohon cabai yang berdiri. Pewiwilan selanjutnya dilakukan pada saat cabai berusia 25 HST. Kegiatan

selanjutnya adalah pemanenan. Panen dilakukan pada saat tanaman cabai berumur 70 HST dan dilakukan

kurang lebih setiap 7-10 hari sekali.

3. Pola Kemitraan antara Pedagang Pengumpul dengan Petani Cabai Besar

MJD (suami) dan HNY (isterinya) mulai menjalani profesinya sebagai pedagang pengumpul hasil

pertanian sejak tahun 1996. Semula kegiatan ini dilakukan di kecamatan Turen (sekitar 30 km dari kota

Malang). Kemudian sejak tahun 2010, pedagang pengumpul ini pindak ke kelurahan Merjosari tepatnya di

Page 331: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 317

kawasan Genting yang merupan kawasan pinggiran kota Malang. Di tempat baru ini, mereka melanjutkan

usahanya sebagai pedagang pengumpul terutama untuk cabai besar.

Pada awal menjalani profesinya ini, mereka mendatangi para petani cabai besar dan tanaman sayur

lainnya untuk membeli hasil panen mereka, kemudian menjual ke pasar induk Gadang, kota Malang. Pada

mulanya ada 4 petani cabai kekurangan modal dan pinjam kepada pedagang pengumpul ini. Informasi tentang

pinjam-meminjam uang kepada pedagang pengumpul ini tersebar kepada petani cabai lainya dari mulut ke

mulut, sehingga mulai banyak petani yang meminjam kepada pedagang pengumpul ini. Dari pengalaman ini,

kemudian muncul ide dari pedagang pengumpul untuk membuat program kemitraan yang lebih terstruktur

guna memberi layanan peminjaman modal kepada para petani cabai besar. Kemitraan antara pedagang

pengumpul dengan petani cabai besar bersifat informal atau kesepakatan secara lisan.

Pada awalnya, pinjaman modal yang diberikan pedagang kepada petani dalam bentuk uang,

kemudian pinjaman modal kepada petani dirubah menjadi dalam bentuk sarana produksi pertanian. Hal ini

dilakukan pedagang pengumpul, karena ada kekhawatiran dana pinjaman tersebut tidak digunakan untuk

membeli saprodi oleh petani. Untuk menunjang kegiatan ini, pada tanggal 21 Juni 2012, pedagang

pengumpul ini mendirikan UD. Palsma Panen Unggul (UD-PPU) atau Kios Pertanian yang menyediakan

beragam sarana produksi pertanian (benih, pupuk dan pestisida kimia dan lain-lain) yang dibutuhkan petani

mitra maupun petani non mitra di sekitarnya.

Pada dasarnya kesepakatan antara kedua belah pihak mengatur hak dan kewajiban masing-

masing pihak. Karena kesepakatan dilakukan secara lisan, maka kesepakatan ini mengandalkan rasa saling

percaya antar kedua belah pihak. Isi kesepakatan mengenai hak dan kewajiban tersebut diuraikan di bawah

ini.

Adapun kewajiban pedagang pengumpul kepada petani cabai mitra adalah sebagai berikut :

1) Menyediakan sarana produksi dalam bentuk pinjaman yang diperlukan petani selama kegiatan usahatani

cabai merah besar berlangsung, tanpa bunga.

2) Menyediakan pinjaman di luar sarana produksi, jika petani mitra membutuhkan.

3) Membeli semua hasil panen usahatani cabai besar yang dimitrakan selama musim panen baik dalam

kondisi harga tinggi, sedang maupun rendah.

4) Memberi kelonggaran dalam pengembalian hutang dalam bentuk sarana produksi maupun uang kepada

petani mitra jika petani mitra mengalami kegagalan panen usahatani cabai.

5) Bersedia memberi pinjaman modal usahatani cabai pada musim tanam berikutnya, walaupun belum

mampu melunasi hutang musim tanam sebelumnya karena gagal panen.

6) Memberi bimbingan teknis budidaya tanaman cabai besar kepada petani mitra, terutama ketika petani

cabai menghadapi masalah di lapangan.

Sedangkan hak pedagang pengumpul dalam kemitraan dengan petani cabai merah ini adalah

sebagai berikut :

1) Mendapatkan setoran semua hasil panen cabai yang dimitrakan dari petani.

2) Memotong harga cabai petani yang dimitrakan sesuai dengan harga cabai pada saat panen berdasarkan

kesepakatan

Page 332: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

318 |

3) Mendapatkan pengembalian hutang dalam bentuk sarana produksi maupun dalam bentuk uang dari

petani setelah panen terakhir selesai.

Di lain pihak, kewajiban petani cabai mitra kepada pedagang pengumpul adalah sebagai berikut :

1) Membayar pinjaman modal usahatani yang diberikan oleh pedagang pengumpul setelah panen terakhir

selesai. Pengembalian hutang dilakukan dengan cara memotong total penerimaan petani yang tercatat di

Kartu Hasil Panen Anggota (Gambar 3) dengan total nilai pinjaman petani yang tercatat dalam Kartu Kas

Anggota (Gambar 2).

2) Menyediakan lahan untuk usahatani cabai besar. Lahan itu adalah lahan milik, lahan sewa, ataupun

lahan dengan status garapan lainnya.

3) Menyediakan semua tenaga kerja yang dibutuhkan untuk usahatani cabai besar. Petani bertanggung

jawab terhadap penyediaan tenaga kerja pada usahatani cabai besar yang dikelolanya. Tenaga kerja

tersebut dapat diperoleh dari dalam keluarga maupun luar keluarga melalui sistem upah atau cara yang

lain.

4) Menjual semua hasil panen cabai besar yang dimitrakan kepada pedagang pengumpul dan tidak boleh

menjual hasil panen kepada pihak lain.

5) Petani harus menerima harga cabai yang ditetapkan oleh pedagang pengumpul. Harga yang diterima

petani mitra adalah harga pasar cabai besar setiap panen dipotong dengan besarnya imbalan jasa layanan

yang diberikan pedagang pengumpul sesuai kesepakatan.

Sementara yang menjadi hak petani mitra dari hubungan kemitraan dengan pedagang pengumpul

adalah sebagai berikut.

1) Menerima pinjaman modal untuk usahatani baik berupa sarana produksi seperti benih, pestisida, pupuk,

mulsa, dan salaran maupun dalam bentuk uang untuk upah tenaga kerja atau membeli saprodi yang tidak

tersedia di kios pedagang pengumpul.

Page 333: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 319

2) Mendapat jaminan pemasaran semua hasil panen cabai yang dimitrakan pada tingkat berapapun harga di

pasar.

3) Mendapat bimbingan teknis budidaya.Petani berhak menerima bimbingan teknis usahatani cabai dari

pedagang pengumpul. Petani boleh menyampaikan kendala yang ditemukan di lapang, bertanya dan

mendapatkan saran dari pedagang pengumpul.

4) Petani berhak menerima pendapatan usahatani: sisa hasil penjualan dari pedagang pengumpul. Sisa

hasil penjualan itu diperoleh setelah total hasil penjualan(penerimaan usahatani) dikurangi dengan total

pinjaman petani. Sisa tersebut merupakan pendapatan usahatani petani mitra.

4. Peranan Pedagang Pengumpul dalam Pengembangan Usahatani Cabai Besar

Berdasarkan uraian tentang hak dan kewajiban pedagang pengumpul dan petani cabai besar mitra

di atas, maka terdapat tiga layanan (peranan) utama yang diberikan pedagang pengumpul kepada petani

cabai, yaitu pemberian pinjaman modal usahatani dalam bentuk sarana produksi dan uang tunai, bimbingan

teknis budidaya cabai besar dan pemasaran hasil panen cabai. Masing-masing peranan tersebut akan

diuraikan di bawah ini.

1) Penyedia Modal Usahatani

Sekalipun petani cabai besar di kelurahan Merjosari bertempat tinggal di kota, tetapi perilaku

mereka diwarnai oleh budaya pedesaan dalam mengakses modal dan informasi pertanian(Rahardjo, 2000).

Pada umumnya petani cabai enggan meminjam modal usahatani dari lembaga keuangan formal (bank). Hal ini

dapat diikuti pada table 2 berikut.

Tabel 2. Alasan Petani Cabai Enggan Meminjam Modal ke Bank di Merjosari, 2018

No. Alasan Petani Merasa Tidak Nyaman

Meminjam Modal Ke Bank Jumlah Petani

(Orang) Persentase (%)

1. Harus membayar cicilan setiap bulan 8 26,7 2. Tingkat bunga yang tinggi 6 20,0 3. Harus memiliki jaminan 8 26,7 4. Prosedur peminjaman yang rumit 4 13,3 5. Peminjaman modal kurang praktis (tidak

berupa saprodi) 4 13,3

Total 30 100,0

Sumber : Data Primer Diolah, 2018

Tabel 2 menunjukkan bahwa terdapat beragam alasan petani cabai besar enggan meminjam modal

dari bank. Adapun alasan mereka yang menonjol adalah harus membayar cicilan setiap bulan, harus memiliki

jaminan dan tingkat bunganya dinilai tergolong tinggi. Sementara alasan yang lain adalah prosedurnya dinilai

rumit dan pinjam ke bank tidak praktis, karena yang dibutuhkan petani adalah sarana produksi untuk usahatani

cabai.

Ada beberapa alasan petani memilih pinjam modal usahani cabai kepada pedagang pengumpul

dari pada kepada bank, yaitu (1) Pinjam modal kepada pedagang pengumpul tidak terikat pada hari dan waktu

kerja, artinya pinjam dapat dilakukan pada hari libur, pagi atau sore, (2) Lebih praktis, karena tidak

membutuhkan persyaratan administrasi,termasuk dalam arti petani langsung mendapatkan sarana produksi

Page 334: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

320 |

yang dibutuhkan, (3) Tanpa agunan(jaminan) dan bunga, (4) Risiko lebih kecil. Apabila usahatani mereka

mengalami kegagalan, waktu pengembalian pinjaman kepada pedagang lebih longgar (fleksibel), sementara

kalau pinjam kepada bank, waktu pengembalian harus tepat waktu. Jika ketentuan ini dilanggar, maka

risikonya akan kehilangan agunan, karena disita.

Dengan demikian pinjaman modal usahatani dari pedagang pengumpul merupakan alternatif

sumber modal yang dinilai sangat membantu petani dalam berusahatani cabai. Dengan kata lain, pedagang

pengumpul turut berperan dalam pengembangan usahatani cabai besar melalui jasa pinjaman modal yang

diberikan. Apalagi seperti telah diuraikan di muka bahwa usahatani cabai jauh lebih besar membutuhkan

modal dari tanaman yang lain. Sementara petani cabai sendiri memiliki keterbatasan modal untuk usahatani

cabai. Oleh karena itu, tanpa dukungan modal tersebut, mustahil petani dapat menjalankan usahatani cabai

dengan baik.

2) Memberi Bimbingan Teknis Budidaya Cabai Besar

Mereka juga lebih suka mendapatkan informasi secara langsung dari sumbernya, bukan melalui media massa

atau media sosial.

Usahatani cabai besar membutuhkan penanganan yang intensif dari pada usahatani lain seperti

kacang tanah dan jagung. Usahatani cabai besar sangat intensif tenaga kerja, karena banyak kegiatan yang

harus dilakukan agar terhindar dari risiko kegagalan. Dengan demikian, petani cabai besar dituntut memiliki

pengetahuan dan ketrampilan dalam budidaya cabai besar yang memadai. Oleh karena itu bimbingan teknis

tentang budidaya usahatani cabai besar diperlukan bagi petani. Salah satu sumber pengetahuan dan

ketrampilan tentang usahatani cabai adalah penyuluh pertanian lapang dari dinas terkait. Berdasarkan

informasi dari Dinas Pertanian Kota Malang, di kelurahan Merjosari ditempatkan seorang penyuluh pertanian

(THL). Namun 97 persen petani cabai besar di Merjosari tidak mengenal dan tidak mengetahui adanya

penyuluh dan kegiatan penyuluhan pertanian di wilayahnya. Hal ini berarti di Merjosari selama beberapa tahun

terakhir tidak ada kegiatan penyuluhan pertanian pada umumnya dan penyuluhan tanaman sayuran(cabai

besar) pada khususnya dari pemerintah kota. Di sisi lain, 53 persen petani cabai menyatakan pernah

mengikuti penyuluhan yang diselengagrakan oleh pedagang pengumpul dengan nara sumber dari perusahaan

obat-obatan (swasta) dan kadang-kadang dari pemerintah daerah. Perlu dijelaskan bahwa yang dimaksud

penyuluhan pertanian oleh petani di sini adalah penyuluhan yang diselenggarakan melalui pertemuan.

Sedangkan bimbingan teknis yang diberikan pedagang pengumpul kepada petani mitra juga berbentuk

konsultasi perorangan. Petani mitra yang menghadapi masalah dalam usahataninya dapat berkonsultasi ke

Klinik Tani milik pedagang pengumpul. Yang memberikan saran atau masukan kepada petani adalah

HNY(isteri MJD). Jika pihak klinik tidak mampu memberikan saran, maka pihak klinik akan mengundang

tenaga agronomis dari perusahaan swasta yang bermitra dengan Kios Pertanian milik pedagang tersebut.

Alternatif lain adalah pihak klinik menghimpun pengalaman petani mitra yang berhasil mengatasi masalah

usahatani cabai besar yang pernah dialami. Pengalaman ini kemudian dibagikan(disare) kepada petani lain

yang menghadapi masalah yang sama.

Uraian di atas menunjukkan bahwa pedagang pengumpul mempunyai peranan dalam memberikan

bimbingan teknis kepada petani mitranya. Petani cabai besar di kelurahan Merjosari lebih menyukai

Page 335: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 321

bimbingan teknis melalui diskusi atau dialog langsung dengan nara sumber dari pada melalui media massa

atau media social. Sebagian besar petani cabai mitra pedagang pengumpul memiliki HP. Tetapi mereka

menyatakan bahwa tidak mengerti internet, tidak mengerti cara mengakses internet, tidak pernah berhasil

ketika mengakses informasi melalui internet atau susah mengerti informasi dari internet, dan ada pula yang

menyatakan lebih percaya dan menyenangi jika informasi tentang pertanian diterima langsung dari

narasumber(petani lain, pedagang pengumpul maupun petugas perusahaan swasta).

3) Menjamin Pemasaran Hasil Panen Cabai Besar

Aspek penting dalam pengembangan usahatani cabai besar adalah adanya jaminan pemasaran

dari hasil usahatani cabai. Alasan ini yang menjadi pertimbangan penting yang lain dari petani cabai bermitra

dengan pedagang pengumpul. Tabel 3 di bawah ini menyajikan alasan petani cabai besar bermitra dengan

pedagang pengumpul terkait dengan jaminan pemasaran cabai.

Tabel 3. Alasan Petani Bermitra dengan Pedagang Pengumpul terkait Jaminan Pemasaran hasil panen Cabai di Kelurahan Merjosari, Kota Malang, 2018

No. Alasan Petani bermitra dengan pedagang pengumpul Jumlah Petani (Orang)

Persentase (%)

1. Tidak Memiliki jaringan dengan pedagang cabai yang lain 16 53,4 2. Tidak semua hasil panen cabai laku secara langsung di

Pasar 10 33,3

3. Cabai tidak laku saat harga rendah 4 13,3 Total 30 100,0

Sumber : Data Primer Diolah, 2018 Tabel 3 menunjukkan bahwa 53,4% petani menyatakan bahwa mereka tidak memiliki jaringan

dengan pedagang pengumpul sehingga petani merasa bingung harus menjual kepada siapa dan takut jika

hasil panen mereka tidak habis terjual. Sedangkan 33,3% petani merasa takut seluruh hasil panen mereka

tidak terjual semua jika mereka menjual ke pedagang eceran di pasar. Seperti diketahui pedagang eceran

tidak akan membeli dalam jumlah banyak sehingga akan menambah biaya dan waktu petani untuk menjual.

Sisanya, yaitu 13,3% petani mengaku takut jika cabai mereka tidak laku khususnya ketika harga cabai

rendah. Kemudian ada pula petani menyampaikan bahwa harga yang diterima petani dari pedagang

pengumpul (MJD) lebih tinggi daripada pedagang pengumpul lainnya walaupun terkadang sempat lebih

murah. Selanjutnya penilaian petani cabai besar mitra terhadap layanan yang diberikan pedagang pengumpul

dapat diikuti pada Tabel 4 berikut.

Tabel 4. Persepsi Petani Cabai Besar Mitra terhadap tiga layanan Utama yang diberikan Pedagang Pengumpul kepada Petani di Keluarahan Merjosari, 2017/2018.

Persepsi petani cabai mengenai tingkat kepuasan terhadap layanan pedagang pengumpul dalam

Skror yang dicapai

Persentase(%)

1. Memberi pinjaman modal usahatani 2,9 96

2. Memberi bimbingan teknis budidaya cabai 2,6 87

3. Menjamin pemasaran hasil panen cabai 2,9 96

Jumlah 8,4 93

Page 336: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

322 |

Dari data tabel 4 diatas menunjukkan bahwa layanan yang diberikan pedagang pengumpul kepada

petani mitra dinilai memuaskan. Namun diantara layanan tersebut, bimbingan teknis dalam budidaya cabai

besar memperoleh skor terendah. Artinya ada kekurangan dalam layanan bimbingan tersebut. Dari

beberapa petani terungkap bahwa kadang-kadang pedagang pengumpul memanfaatkan petugas perusahaan

swasta(obat-obatan) untuk memberikan bimbingan teknis kepada petani. Hal ini dinilai petani cenderung lebih

mempromosikan produk perusahaannya dari pada memecahkan masalah yang dihadapi petani.

KESIMPULAN

1. Kesimpulan

1) Petani cabai besar mitra pedagang pengumpul di Merjosari kota Malang dicirikan oleh dominan

berusia tua, memiliki tingkat pendidikan rendah dengan luas lahan garapan kurang dari 0,500

hektar. Karakteristik ini mencerminkan bahwa mereka memiliki keterbatasan modal dan

pengetahuan serta ketrampilan dalam mengelola usahatani cabai besar dan ketrampilan dalam

teknologi informasi.

2) Kehadiran pedagang pengumpul yang tidak hanya menjalankan fungsi pemasaran, tetapi juga

memberi pinjaman modal dan bimbingan teknis mempunyai arti penting bagi eksistensi dan

pengembangan usahatani cabai besar petani.

2. Saran

1) Penguatan petani cabai melalui pendampingan pengembangan usahatani cabai besar alternatif,

yakni usahatani lebih ramah lingkungan perlu diperkenalkan dan diupayakan.

2) Kajian pedagang pengumpul sebagai adaptor dalam pengembangan usahatani cabai besar perlu

dilakukan guna mengantisipasi teknologi informasi yang terus berkembang.

DAFTAR PUSTAKA

BPS, 2015. Distribusi Perdagangan Komoditas Cabai Merah Indonesia 2015. Subdirektorat Statistik

Perdagangan Dalam Negeri, Jakarta.

Hidayat, K. (2017). Farmer Strategy Towards Risks in Chili Agribusiness Through Informal Partnership in Maju

District Siram Village Malang Regency. Agricultural Socio Economics Journal, Vol. 17, No. 01:06-15

Hidayat,K. 2016. Peluang dan Tantangan Transformasi Pertanian Menuju Bioindustri Berkelanjutan : Kasus di

Desa Kucur Kecamatan Dau Kabupaten Malang. Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya,

Malang

Nuryati, Leli dan Noviati (Penyunting), 2015.Oulook Komoditas Pertanian Subsektor Hortikultura Cabai. Pusat

Data dan Sistem Informasi Pertanian Sekretariat Jenderal Kementerian Pertanian, Jakarta.

Putranto, W., S.Sayekti dan S.Indrayanti, 2011. Bunga Rampai Statistik Percabaian. BPS, Jakarta

Rahardjo, 1999, Pengantar Sosiologi Pedesaan dan Pertanian, Edisi Pertama, Gadjah Mada University Press

Page 337: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 323

Saptana, C.Muslim, S.H. Susilowati, 2018.Manajemen Rantai Pasok Komoditas Cabai Pada Agroekosistem

Lahan Kering di Jawa Timur. Jurnal Analisis Kebijakan Pertanian, 16(1): 19-41.

Saptana, Daryanto, A., Heny, Kuntjoro. (2010). Analisis Efisiensi Teknis Produksi Usaha Tani Cabai Merah

Besar dan Perilaku Petani dalam Menghadapi Risiko. Jurnal Agro Ekonomi, Vol. 28, No.2, Oktober

2010 : 153–188

Saptana, Agustin, N. K., Ar-Rozi, A. M. (2012). Kinerja Produksi dan Harga Komoditas Cabai Merah. Badan

Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor: Departemen Pertanian.

Yanuarti, A.R.P., dan M.D.Afsari, 2016. Profil Komoditas Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting

Komoditas Cabai. Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri, Kementerian Perdagangan,

Jakarta

Page 338: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

324 |

KEMITRAAN PABRIK GULA GEMPOLKREP DAN KOPERASI PETANI TEBU RAKYAT “ROSAN MAKMUR” DALAM PENGEMBANGAN TEBU DI KECAMATAN MANTUP,

KABUPATEN LAMONGAN

Sabar Dwi Komarrudin 1

Pusat Penelitian Gula, PT Perkebunan Nusantara X Jengkol, Plosokidul, Plosoklaten, Kediri 64175, Jawa Timur, Indonesia

No HP: +6281333334423 Corresponding author: [email protected]

Abstrak. Pabrik Gula Gempolkrep, Mojokerto merupakan salah satu Pabrik Gula terbesar di bawah naungan PT Perkebunan Nusantara X. Kecamatan Mantup yang berada di Kabupaten Lamongan merupakan salah satu wilayah binaan PG Gempolkrep. Keberhasilan Pengembangan Tebu Rakyat adalah bagaimana pihak-pihak terkait yaitu pemerintah, swasta, dan masyarakat dapat menjalankan peran untuk meningkatkan produktivitas tebu dan memenuhi pasokan bahan baku gula yang dibutuhkan pabrik gula. PG Gempolkrep manjalik kemitraan dengan KPTR Rosan Makmur dalam pengembangan areal tebu di Kecamatan Mantup. Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif dan komparatif. Data diperoleh dengan wawancara dan penelusuran dokumen, literatur atau laporan-laporan. Penelitian dilakukan untuk mengetahui peraan Pabrik Gula dan Koperasi dalam pengembangan tebu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peran PG Gempolkrep dan KPTR Rosan Makmur dalam pengembangan tebu di Kecamatan Mantup, Kabupaten Lamongan sangat penting. Kemitraan yang terjalin secara baik dapat meningkatkan luas areal dan produksi tebu. Begitu juga dalam hal penyaluran kredit dari bank juga mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Kata Kunci: Kemitraan, Peran, PG Gempolkrep, KPTR Rosan Makmur, Tebu

Page 339: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 325

PENDAHULUAN

Pabrik Gula Gempolkrep, Mojokerto merupakan salah satu Pabrik Gula terbesar di bawah naungan PT

Perkebunan Nusantara X. Wilayah binaan PG Gempolkrep meliputi kabupaten Mojokerto, Jombang, dan

Lamongan. Kecamatan Mantup yang berada di Kabupaten Lamongan merupakan salah satu wilayah binaan

PG Gempolkrep. Kecamatan Mantup merupakan wilayah pengembangan lahan tebu. PG Gempolkrep setiap

tahun meningkatkan kapasitas giling, sehingga perlu melakukan perluasan areal tebu untuk memenuhi

pasokan bahan baku tebu

Keberhasilan Pengembangan Tebu Rakyat adalah bagaimana pihak-pihak terkait yaitu pemerintah,

swasta, dan masyarakat dapat menjalankan peran untuk meningkatkan produktivitas tebu dan memenuhi

pasokan bahan baku gula yang dibutuhkan pabrik gula. Sebagaimana menurut Taschereau dan Campos

dalam Thoha (2003), Governance lebih merupakan kondisi yang menjamin adanya proses kesejajaran,

kesamaan, kohesi dan keseimbangan peran serta adanya saling mengontrol yang dilakukan oleh tiga

komponen yakni: pemerintah (government), rakyat (citizen) dan usahawan (business) yang berada di sektor

swasta.

Pihak-pihak terkait dalam pelaksanaan Pengembangan Tebu Rakyat pada tingkat kabupaten/kota yaitu

―Tim Teknis Kabupaten/ Kota dengan keanggotaan terdiri dari Dinas yang membidangi Perkebunan, Pabrik

Gula berbasis tebu dan instansi lain yang dianggap perlu; Pabrik Gula di wilayah kerjanya; Asosiasi Petani

Tebu rakyat (APTR); Koperasi Petani Tebu Rakyat (KPTR); serta Petani Tebu/ Kelompok Tani‖ (Anonim,

2015).

Hubungan petani tebu dengan pabrik gula perlu ditingkatkan melalui hubungan kemitraan subkontrak

(Hafsah, 2003). Pabrik gula membutuhkan tebu yang dihasilkan oleh petani tebu rakyat untuk memenuhi

pasokan bahan baku tebu. Sedangkan petani tebu membutuhkan permodalan yang cukup tinggi yang dapat

diperoleh melalui kredit dengan pabrik gula. Kemitraan antara pabrik gula juga melibatkan bank sebagai

pemilik modal. Pabrik gula hanya sebagai penyalur modal yang diberikan oleh bank. Kemitraan yang terjadi

antara petani tebu rakyat dan pabrik gula, secara tidak langsung juga membantu dalam memberdayakan

masyarakat di sekitar pabrik gula, khususnya para petani

METODOLOGI

Penelitian ini dilaksanakan di Pabrik Gula Gempolkrep, Mojokerto dan di KPTR Rosan Makmur

Kecamatan Mantup, Kabupaten Lamongan, tahun 2011 sampai dengan 2016.

Metode yang digunakan adalah metode deskriptif dan komparatif. Adapun daerah penelitian ditentukan

secara sengaja (purposive method), di Kecamatan Mantup, Kabupaten Lamongan. Pemilihan daerah

penelitian didasarkan atas pertimbangan bahwa di Kecamatan Mantup merupakan wilayah pengembangan

tebu Pabrik Gula Gempolkrep di bawah naungan PT Perkebunan Nusantara X.

Jenis data yang dikumpulkan adalah data primer dan sekunder. Metode yang digunakan dalam

pengambilan data adalah wawancara. Data primer dalam penelitian ini didapat melalui wawancara, sedangkan

Page 340: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

326 |

data sekunder didapat dari penelusuran dokumen, literatur atau laporan-laporan yang terkait dengan topik

penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN

Profil Pabrik Gula Gempolkrep (PG GK)

Pabrik Gula Gempolkrep salah satu unit usaha PT. Perkebunan Nusantara X, yang terletak di Desa

Gempolkerep, Kecamatan Gedeg, Kabupaten Mojokerto Provinsi Jawa Timur. Didirikan pada tahun 1912

dengan nama ―CULTUR MAATSCHAPPIJ GEMPOLKREP‘‘ oleh N.V. KOOY A COSTER VAN VOOR.

Kapasitas giling sampai 1975 adalah 1.500 TCD, pada tahun 1978 meningkat menjadi 3.000 TCD, dan pada

tahun 2016 memiliki kapasitas giling 6.500 TCD. Wilayah binaan PG Gempolkrep meliputi kabupaten

Mojokerto, Jombang, dan Lamongan. Luas areal terdaftar tahun 2016 adalah 12.948,10 Ha (Anonim, 2016).

Profil Koperasi Petani Tebu Rakyat Rosan Makmur (KPTR Rosan Makmur)

KPTR Rosan Makmur beralamat di desa Kedungsoko, Kecamatan Mantup, Kabupaten Lamongan.

Koperasi ini Didirikan pada tanggal 01 April 1999 sesuai Akta Pendirian Koperasi yang dikeluarkan oleh

Departemen Koperasi, Pengusaha Kecil dan Menengah. Jumlah anggota sampai dengan tahun 2016 adalah

156 orang. Total Aktiva adalah Rp. 1.942.779.480, sedangkan areal tebu yang dibawahi seluas +1 .500 Ha

(Anonim, 2017).

Peran PG Gempolkrep dan KPTR Rosan Makmur

Robbins (2001), mendefinisikan peran sebagai ―a set of expected behavior patterns attributed to

someone occupying a given position in a social unit‖. Menurut Soekanto (1990), peran adalah suatu konsep

perihal apa yang dapat dilakukan individu yang penting bagi struktur sosial masyarakat, peranan meliputi

norma-norma yang dikembangkan dengan posisi atau tempat seseorang dalam masyarakat, peranan dalam

arti ini merupakan rangkaian peraturan-peraturan yang membimbing seseorang dalam kehidupan

kemasyarakatan.

Pabrik gula merupakan salah satu perusahaan yang bersifat industri, dimana industri merupakan

perusahaan yang menarik suatu barang yang nantinya akan dijadikan atau dikeluarkan dalam bentuk lain atau

barang jadi. Peranan Pabrik gula antara lain:

a. Melaksanakan alih pengetahuan dan keterampilan dalam meningkatkan kualitas SDM petani/koperasi,

baik melalui pendidikan, pelatihan, dan magang dalam bidang kewirausahaan, manajemen, dan

keterampilan teknis.

b. Secara bersama menyusun rencana usahan dengan petani/koperasi mitranya untuk disepakati

bersama.

c. Pabrik gula bertindak sebagai penjamin kredit (avalis) untuk permodalan petani/koperasi mitranya.

d. Melaksanakan bimbingan teknologi kepada petani/koperasi.

e. Melaksanakan pelayanan dan penyediaan sarana produksi untuk keperluan usaha bersama yang

disepakati.

Page 341: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 327

f. Menjamin pembelian hasil produksi petani/koperasi sesuai dengan kesepakatan yang telah disusun

bersama.

Peran-peran diatas dilakukan dalam beberapa kegiatan antara lain:

a. Kegiatan Penyuluhan

b. Forum Temu Kemitraan (FTK).

c. Kegiatan Latihan dan Kunjungan (LAKU) Kebun Peraga

KPTR merupakan lembaga koperasi petani tebu yang dibentuk dari, oleh, dan untuk petani ini akan

ditingkatkan keterlibatannya dan diberikan peran yang lebih jauh. Koperasi sebagai wadah para petani tebu

harus lebih diberdayakan baik sebagai penyelenggara, pengadaan sarana produksi, maupun pemasaran hasil

agar dapat menjembatani kepentingan petani tebu, dari penyediaan lahan, bibit, penyediaan modal,

pengolahan lahan, panen, pengangkutan, dan proses pengolahan di tingkat pabrik, termasuk

memperjuangkan hak-haknya sebagai petani. Peranan KPTR Rosan Makmur antara lain:

a. Memberdayakan petani melalui kegiatan-kegiatan petani/anggota dalam budi daya tanaman tebu (on

farm).

b. Berperan secara aktif membantu petani/anggota dalam upayanya meningkatkan kualitas budi daya

tanaman tebu.

c. Memfasilitasi petani/anggota dalam pelatihan-pelatihan, permodalan, pengadaan saprodi, alsintan, dan

hal-hal yang diperlukan dalam menunjang kegiatan budi daya tanaman tebu dan pemasarannya.

d. Berperan sebagai ―jembatan‖ antara petani, pabrik gula, dan pemerintah.

Menurut Hanani et al. (2012), produktivitas tebu sangat dipengaruhi oleh peranan koperasi dan peranan

koperasi terbesar dan terpenting adalah dalam penyediaan sarana produksi. Asmara dan Nurholifah (2010)

mengungkapkan bahwa petani tebu menjadi anggota koperasi untuk mendapatakan kredit/modal usaha tani,

sarana produksi, dan posisi tawar yang lebih baik dengan pabrik gula. Sementara, studi Wibowo (2013),

menemukan bahwa petani yang memperoleh kredit melalui koperasi mempunyai pendapatan yang lebih tinggi

dibanding petani yang tidak memperoleh kredit. Lebih lanjut,. Studi Yekti dan Sulastyah (2009) menemukan

bahwa mayoritas petani menggunakan kredit yang diperolehnya untuk mendukung usaha tani yang sedang

digelutinya; hanya sebagian kecil petani yang menggunakan kredit tersebut untuk membuka usaha baru. Di

sisi lain, studi Afriza (2010) dan Kurniawan dan Mahri (2011) menunjukkan bahwa manfaat ekonomi yang

diberikan koperasi mempunyai pengaruh positif yang nyata terhadap partisipasi anggota. Semua studi

tersebut menunjukkan pentingnya kredit/modal dalam menarik petani untuk berpartisipasi aktif dalam kegiatan

ekonomi koperasi dan meningkatkan pendapatan petani. Hal tersebut disebabkan karena terbatasnya modal

yang dimiliki petani tebu sementara usaha tani tebu memerlukan biaya yang tinggi.

Peran PG Gempolkrep dan KPTR Rosan Makmur dalam penyaluran kredit dari bank dapat dilihat pada

Tabel 1.

Page 342: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

328 |

Tabel 1. Penyaluran Kredit oleh PG Gempolkrep dan KPTR Rosan Makmur

Rp PROGRAM

1 2010/2011 5.651.994.404 KKPE BRI

2 2011/2012 6.410.353.160 KKPE BRI

3 2012/2013 10.543.830.817 KKPE BRI

4 2013/2014 13.610.145.674 KKPE BRI

5 2014/2015 15.824.858.015 KKPA MANDIRI

6 2015/2016 18.685.574.717 KKPA MANDIRI

NO MTKREDIT

Kemitraan PG Gempolkrep dan KPTR Rosan Makmur

Definisi kemitraan menurut beberapa ahli, antara lain: menurut Hafsah (2000), kemitraan adalah suatu

strategi bisnis yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih dalam jangka waktu tertentu untuk meraih manfaat

atau keuntungan bersama sesuai prinsip saling membutuhkan dan saling mengisi berdasarkan pada

kesepakatan. Adapun menurut Partomo (2004), kemitraan usaha merupakan salah satu strategi

pengembangan UKM di mana terdapat hubungan kerja sama usaha di antara pihak yang bersifat sinergis,

suka rela, berdasarkan prinsip saling membutuhkan, saling mendukung, dan saling menguntungkan disertai

dengan pembinaan dan pengembangan UKM oleh usaha besar. Konsep formal kemitraan terdapat dalam

Undang-Undang Nomor 9 tahun 1995: ―Kemitraan adalah kerja sama antara usaha kecil dengan usaha

menengah atau dengan usaha besar yang disertai dengan pembinaan dan pengembangan usaha yang

berkelanjutan oleh usaha besar atau usaha menengah dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan,

saling memperkuat, dan saling menguntungkan‖ (Sumardjo, 2004).

Maksud dan tujuan dari kemitraan adalah ―win-win solution partnership‖, di mana kedua pihak yang

bermitra tidak ada yang dirugikan, keduanya sama-sama mendapatkan keuntungan melalui praktik kemitraan

Kemitraan merupakan jalinan kerjasama usaha yang merupakan strategi bisnis yang dilakukan antara dua

pihak atau lebih dengan prinsip saling membutuhkan, saling memperkuat dan saling menguntungkan yang

disertai adanya satu pembinaan dan pengembangan. Hal ini dapat terjadi karena pada dasarnya masing-

masing pihak pasti mempunyai kelemahan dan kelebihan, justru dengan kelemahan dan kelebihan masing-

masing pihak akan saling melengkapi dalam arti pihak yang satu akan mengisi dengan cara melakukan

pembinaan terhadap kelemahan yang lain dan sebaliknya.

Kemitraan antara PG GK dengan petani tebu rakyat yang dalam hal ini diwadahi dalam Koperasi Petani

Tebu Rakyat Rosan Makmur (KPTR Rosan Makmur) termasuk dalam kemitraan subkontrak. Hal ini sesuai

dengan pengertian kemitraan subkontrak menurut Sumardjo (2004), bahwa kemitraan subkontrak adalah pola

kemitraan antara perusahaan dengan kelompok mitra usaha yang memproduksi komponen yang diperlukan

perusahaan mitra sebagai bagian dari produksinya.

Petani tebu rakyat sangat antusias menyambut kemitraan tersebut. Hal ini dapat dilihat dengan semakin

meningkatnya luas areal lahan milik petani tebu rakyat yang semakin meningkat setiap tahunnya. Peningkatan

luas areal dan produksi tebu rakyat dapat dilihat pada Tabel 2.

Page 343: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 329

1 2010/2011 768,200 55.432,8

2 2011/2012 949,195 66.964,9

3 2012/2013 1.133,869 80.540,0

4 2013/2014 1.242,064 89.763,5

5 2014/2015 1.407,256 98.648,6

6 2015/2016 1.453,999 102.143,0

NO MTLUAS

(HA)

PRODUKSI

(TON)

Tabel 2. Luas Areal dan Produksi Tebu Kecamatan Mantup

Menurut Hafsah (2003), pola kemitraan dapat dikembangkan mulai dari yang paling sederhana sampai

pola ideal. Adapun kemitraan antara PG GK dan KPTR Rosan Makmur termasuk dalam pola kemitraan

sederhana. Kemitraan pola sederhana adalah pengembangan usaha bisnis dengan adanya ikatan tanggung

jawab dari masing-masing pihak dalam mewujudkan kemitraan usaha yang saling membutuhkan, saling

menguntungkan, dan saling memperkuat. Dalam pola ini, pabrik gula memiliki kewajiban memberikan

dukungan atau kemudahan dalam memperoleh modal, sarana produksi, teknologi, dan manajemen. Adapun

kelompok tani wajib memberikan hasil produksinya kepada pabrik gula dengan jumlah yang telah disepakati

sebelumnya

KESIMPULAN

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Peran PG Gempolkrep dan KPTR Rosan Makmur dalam

pengembangan tebu di Kecamatan Mantup, Kabupaten Lamongan sangat penting. Kemitraan yang terjalin

secara baik dapat meningkatkan luas areal dan produksi tebu. Begitu juga dalam hal penyaluran kredit dari

bank juga mengalami peningkatan dari tahun ke tahun

DAFTAR PUSTAKA

Afriza M. 2010. Pengaruh kompetensi pengurus dan manfaat ekonomi terhadap partisipasi anggota koperasi (Suatu kasus pada Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia (KOPTI) Kota Bandung). JIETT. 5(1):42-54.

Anonim, 2015. Pedoman Teknis Kredit Ketahanan Pangan dan Energi Tahun 2015. Direktorat Jenderal Prasarana Dan Sarana Pertanian, Kementerian Pertanian Jakarta

______, 2016. Selayang Pandang PG Gempolkrep. Laporan Evaluasi Giling Tahun 2016 PG Gempolkrep. Mojokerto.

______, 2017. Laporan Pertanggungjawaban Pengurus KPTR Rosan Makmur. Rapat Anggota Tahunan KPTR Rosan Makmur Tahun 2017.

______, 2018. Profil Kecamatan Mantup. https://lamongankab.go.id/mantup. Diakses tanggal 22 Oktober 2018.

Page 344: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

330 |

Asmara R, Nurholifah R. 2010. Analisis pendapatan dan faktor-faktor yang memengaruhi pendapatan petani tebu dalam keanggotaan suatu koperasi. Agrise. 10(2):108-120.

Kurniawan H, Mahri JW. 2011. Kualitas pelayanan, promosi ekonomi anggota, dan pengaruhnya terhadap partisipasi anggota. Jurnal Ekonomi dan Koperasi. 6(1):10-21

Hanani N, Sujarwo, Asmara R. 2012. Peran koperasi dalam sistem agribisnis tebu rakyat. Dalam: Krisnamurthi B, editor. Ekonomi gula. Jakarta (ID): PT Gramedia Pustaka Utama. hlm. 305-318.

Hafsah, Mohammad Jafar. 2000. Kemitraan Usaha Konsepsi dan Strategi. Jakarta: PT. Pustaka Sinar Harapan

____________________. 2003. Bisnis Gula di Indonesia. Jakarta: PT. Pustaka Sinar Harapan Partomo, Tiktik Sartika. 2004. Ekonomi Skala Kecil/ Menengah dan Koperasi. Bogor: Ghalia Indonesia Robbins, S.P. (2001) Organizational Behavior: Concepts, Controversies, Applications. Englewood Cliffs,

NJ, Prentice Hall. Soekanto, Soerjono. (1990) Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta, Rajawali Pers. Sumardjo, 2004. Teori dan Praktik Kemitraan Agribisnis. Jakarta: Penebar Swadaya. Thoha, Miftah. (2003) Birokrasi dan Politik di Indonesia. Jakarta, Rajawali Pers. Wibowo E. 2013. Pola kemitraan antara petani tebu rakyat kredit (TRK) dan mandiri (TRM) dengan

Pabrik Gula Modjopangoong Tulungagung. J Manajemen Agribisnis. 13(1):1-12. Yekti A, Sulastyah A. 2009. Eksistensi lembaga keuangan mikro dalam peningkatan aksesibilitas pelaku

usaha pertanian pada sumber permodalan di pedesaan. JIIP. 5(2):114-134

Page 345: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 331

DAMPAK MEKANISASI PERTANIAN PADA ERA REVOLUSI INDUSTRI 4.0 TERHADAP POLA PEMBAGIAN KERJA SEKSUAL PETANI PADI DI KABUPATEN BLITAR

Lintar Brillian Pintakami 1, Ulyan Khalif 2, 1 Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian

Universitas Islam Balitar 2 Departemen Penataan Pertanahan

Kementerian Agraria dan Tata Ruang Kabupaten Blitar Corresponding author: [email protected]

Abstract. Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan perubahan mekanisasi pertanian dan menganalisis dampaknya terhadap bentuk pembagian kerja secara seksual serta kesenjangan dalam curahan waktu kerja antara petani laki-laki dan perempuan di Kabupaten Blitar. Metode penelitian menggunakan pendekatan kualitatif. Data dikumpulkan melalui wawancara mendalam, observasi partisipatif, checklist, dan dokumentasi. Penentuan sampel menggunakan teknik snowball sampling dan didapat informan sebanyak 20 orang petani (laki-laki dan perempuan). Pemilihan 5 Key Informan ditentukan dengan purposive sampling. Analisis data menggunakan teknik analisis kualitatif fenomenologi dan analisis gender Model Harvard (periode waktu tahun 2012 sampai 2018). Hasil penelitian menunjukkan adanya perubahan sistem pertanian pada aspek metode, penggunaan alat, dan serapan tenaga kerja. Mekanisasi pertanian modern menurunkan keterlibatan perempuan tani dalam pembagian kerja usahatani padi dari 8 tahapan menjadi 2 tahapan, sedangkan petani laki-laki yang sebelumya terlibat pada 7 tahapan, kini mendominasi pada keseluruhan tahapan. Selain itu, curahan waktu peran produksi perempuan tani menurun menjadi 4 jam/hari atau 17%. Alih pekerjaan ke sektor non-pertanian (buruh ternak) meningkatkan peran produksi perempuan tani menjadi 9 jam/hari atau 38%. Sedangkan curahan waktu dalam peran produksi petani laki-laki tidak berubah. Penelitian ini membuktikan bahwa Era Revolusi Industri 4.0 memberikan kemajuan dalam sistem pertanian melalui mekanisasi pertanian modern. Namun disamping manfaat teknis yang ditawarkan, terdapat pula pengaruh pada aspek sosial budaya yaitu perubahan pola pembagian kerja seksual dan curahan waktu kerja petani. Keywords: Mekanisasi Pertanian, Pembagian Kerja , Curahan Kerja, Analisis Gender

PENDAHULUAN

Badan Pusat Statistik (2018) mencatat bahwa sektor pertanian memberikan peningkatan kontribusi

sebesar 9,93% dibandingkan sektor lain seperti jasa perusahaan (3,37%) dan jasa lainnya (3,3%). Salah satu

faktor pendukungnya adalah hasil produksi dari komoditi unggulan pertanian salah satunya padi. Pada

cakupan skala Nasional padi memiliki total hasil produksi terbesar sebesar 81.382.000 ton (Kementan, 2017).

Potensi dari komoditi pangan tersebut menjadikan Indonesia mempunyai target jangka panjang yaitu menjadi

Lumbung Pangan Dunia pada tahun 2045. Perubahan sistem pertanian dengan pendekatan teknologi

pertanian modern sangatlah diperlukan sebagai upaya percepatan produktifitas tanaman pangan.

Era Revolusi Industri 4.0 menjadi moment penting dalam transformasi sistem pertanian manual menjadi

pertanian modern. Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman menegaskan bahwa salah satu komponen penting

Page 346: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

332 |

dalam pertanian modern adalah melalui mekanisasi pertanian sebagai usaha pencapaian target swasembada

pangan berkelanjutan (Khumaini, 2018). Namun, di sisi lain mekanisasi pertanian akan berpotensi menggeser

tenaga kerja manusia dan ternak serta berdampak terhadap peluang kerja perempuan (Aldillah, 2016).

Perubahan sistem pertanian akan mengubah hal-hal mendasar dari kehidupan masyarakat petani, salah

satunya adalah perubahan hubungan pola pembagian kerja (Sudarta, 2016).

Kecamatan Talun memiliki lahan seluas 2.352 Ha untuk lahan pertanian yang masih berproduksi aktif

menghasilkan padi (Dinas Pertanian dan Pangan Kab. Blitar, 2018), salah satu wilayah dengan luas lahan

produksi padi terbesar di Kabupaten Blitar. Sejak tahun 2014 Dinas Pertanian dan Pangan telah memberikan

sejumlah bantuan mekanisasi pertanian berupa alat mesin pertanian dari proses pengolahan lahan hingga

proses penggilingan padi. Perubahan mekanisasi pertanian Era Revolusi Industri 4.0 mampu mengubah corak

pertanian tradisional menjadi pertanian modern (Sudarta, 2016). Nisha (2008) menyatakan penerapan

mekanisasi menyebabkan tingginya tingkat pengurangan pekerjaan dan kasualisasi (perubahan pola kerja dari

permanen menjadi kontrak, dari waktu penuh menjadi paruh waktu) di sektor pertanian, di mana hal ini

merupakan ancaman yang nyata bagi kepentingan kaum perempuan di sektor pertanian. Hal ini mendasari

perlunya kajian yang lebih mendalam dalam pembagian pola pembagian kerja secara seksual dalam

perubahan mekanisasi pertanian di Kecamatan Talun.

Pintakami (2018) mengidentifikasi pola pembagian kerja berkaitan erat dengan proporsi waktu yang

dicurahkan untuk kegiatan-kegiatan di dalam dan di luar sektor pertanian terhadap total waktu kerja angkatan

kerja. Bantuan mekanisasi pertanian yang diberikan selama ini hanya terfokus pada manfaat teknis dan belum

mempertimbangkan aspek sosial budaya (Lakitan, 2013). Penelitian ini sangat penting dilakukan untuk

mengkaji dampak perubahan mekanisasi pertanian di Era Revolusi Industri 4.0 terhadap pola pembagian kerja

seksual dan perubahan curahan jam kerja antara petani laki-laki dan perempuan dalam usahatani padi. Hasil

penelitian ini diharapkan mampu memberikan gambaran aktual kesiapan petani laki-laki dan perempuan

dalam menghadapi era baru sistem pertanian dan mengetahui sejauh mana mekanisasi pertanian mampu

menyerap tenaga kerja laki-laki dan perempuan serta perubahan terhadap curahan waktu yang dihasilkan

METODOLOGI

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif, dengan mendeskripsikan dan menganalisis

fenomena di balik perubahan mekanisasi pertanian, dampaknya terhadap bentuk pembagian kerja seksual,

serta kesenjangan dalam curahan waktu kerja antara petani laki-laki dan perempuan. Penentuan lokasi

penelitian secara sengaja (purposive) yaitu dilakukan di Kecamatan Talun, Kabupaten Blitar, yang merupakan

salah satu wilayah yang memiliki lahan pertanian produktif eksisting terbesar di Kabupaten Blitar.

Pertimbangan lain pemilihan lokasi adalah pemerataan sebaran bantuan mekanisasi pertanian yang diberikan

kepada kelompok tani dibandingkan dengan kecamatan lainnya (hasil pra survey, 15 Oktober 2018).

Pengumpulan data primer dilakukan pada bulan Oktober hingga November 2018.

Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara mendalam, observasi partisipatif, checklist/

lembar observasi, dan dokumentasi. Populasi penelitian ini adalah keseluruhan petani padi baik laki-laki

Page 347: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 333

maupun perempuan di Kecamatan Talun. Informan dalam penelitian ini ditentukan dengan metode snowball

sampling, yaitu metode menggali informasi dari satu informan yang sekaligus menjadi rujukan untuk

menentukan informan berikutnya hingga data yang diperoleh lengkap (Pintakami, 2013). Jumlah informan

dalam penelitian ini sebanyak 20 orang petani (laki-laki dan perempuan) . Penelitian ini juga akan melibatkan 5

orang key informants yang ditentukan secara sengaja (purposive sampling), terdiri dari Kepala Seksi Dinas

Pertanian dan Pangan, Mantri Tani, Penyuluh Pertanian Lapang, Ketua Kelompok Tani, dan Ketua Kelompok

Wanita Tani. Analisis kualitatif fenomenologi digunakan untuk mendeskripsikan pola dan struktur dari

fenomena perubahan mekanisasi pertanian yang terjadi di lokasi penelitian (Edward dan Welch, 2011).

Analisis gender Model Harvard digunakan untuk pembagian peran/pekerjaan petani laki-laki dan perempuan

sebelum dan setelah adanya perubahan mekanisasi pertanian. Analisis gender ini meliputi komponen-

komponen yang saling berhubungan antara satu dengan yang lain, yaitu: (1) profil kegiatan/ kerja; (2) profil

akses dan kontrol; dan (3) profil manfaat (Puspitawati, 2010). Selanjutnya, dengan menggunakan model yang

sama akan dilakukan analisis curahan waktu kerja sebagai dampak perubahan mekanisasi pertanian dalam

usahatani padi

HASIL DAN PEMBAHASAN

Profil Lokasi Penelitian

Kecamatan Talun merupakan bagian dari wilayah administrasi Kabupaten Blitar yang terletak di sebelah

Utara Sungai Brantas dan berjarak sekitar 16 km sebelah Timur dari wilayah pemerintahan Kota Blitar.

Kecamatan Talun memiliki lahan pertanian yang masih berproduksi aktif menghasilkan padi berupa sawah

dengan luas 2.352 Ha. Sektor pertanian merupakan mata pencaharian utama bagi sebagian besar

masyarakat Kecamatan Talun. Sensus penduduk tahun 2016 mencatat 9.186 dari 60.519 jiwa penduduk

Kecamatan Talun bermata pencaharian sebagai petani maupun buruh tani (BPS, 2017). Potensi Kecamatan

Talun sebagai penghasil padi tergolong tinggi karena didukung dengan sistem irigasi teknis yang telah

mencakup hampir seluruh luasan sawah yang ada (2.076 Ha, 88 % dari keseluruhan luas sawah).

Perubahan Mekanisasi Pertanian di Kecamatan Talun

Pengamatan terhadap perubahan mekanisasi pertanian ditinjau dalam waktu 5 tahun yaitu dari tahun

2012 hingga tahun 2018. Pertimbangan pelaksanaan pengamatan perubahan didasarkan pada hasil

pengamatan pra-survey yang dilakukan di Dinas Pertanian Kabupaten Blitar. Berdasarkan hasil wawancara

pendahuluan, diketahui bahwa awal bantuan hibah alat mesin pertanian pertama kali diterima pada tahun

2012, kemudian meningkat pada tahun 2015 sejak adanya Program Upaya Khusus Swasembada Padi,

Jagung, dan Kedelai. Bantuan mekanisasi pertanian yang diberikan kepada petani menyebabkan perubahan

pada sistem pertanian di Kecamatan Talun baik pada aspek metode yang digunakan, perubahan penggunaan

alat, dan perubahan jumlah serapan tenaga kerja manusia. Perubahan signifikan penggunaan alat

mekanisasi pertaniaan terjadi pada saat sistem pertanian modern, tepatnya pada tahap penanaman,

pemanenan, dan pasca panen yang berpengaruh terhadap pengurangan tenaga kerja petani. Hal ini senada

dengan penelitian Kawarazuka (2018) bahwa mekanisasi mengacu pada proses pertanian dimana peran

manusia atau kemanfaatan tenaga hewan digantikan oleh tenaga mesin untuk meningkatkan produktifitas dan

Page 348: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

334 |

mengurangi kebutuhan tenaga kerja. Secara umum perubahan mekanisasi pertanian untuk usahatani padi di

lokasi penelitian disajikan pada tabel 1.

Tabel 1. Perubahan Mekanisasi Pertanian Pada Tahapan Usahatani Padi di Kecamatan Talun, Kabupaten

Blitar

NO TAHAPAN

USAHATANI PADI

PERUBAHAN MEKANISASI PERTANIAN

Alat Yang Digunakan

Pada Sistem Pertanian

Manual (Tahun 2012)

Alat Yang Digunakan Pada

Sistem Pertanian Modern

(Tahun 2018)

1 Pemilihan Benih Baskom Baskom

2 Persemaian Tebar benih Tray Semai

3 Pengolah Lahan a. Bajak Sapi

Traktor Roda Dua b. Cangkul

4 Penanaman Tenaga Manusia Alat Tanam Padi

(RiceTransplanter)

5

Pengendalian OPT

a. Penyemprot Hand

Sprayer Penyemprot (Hand Sprayer dan

Power Sprayer) b. Tenaga Manusia

(Penyiangan Manual)

6 Pengairan

Tadah Hujan Pompa air

Sungai a. < 4 Inci

b. > 4 Inci

7

Pemanen

Sabit

Rice Combine Harvester

a. Combine

harvester kecil

b. Combine

harvester besar

8 Perontokan Papan Kayu (Gebotan) Perontok Multiguna

9 Pembersihan Tapen/ Ayakan Pembersih Gabah/ Winower

10 Pengeringan Terpal (Sinar Matahari) Pengering Tipe Datar/ Flat Bed

Dryer

11 Penggilingan Penumbuk Padi Penggilingan Padi Kecil/ Small

Rice Mill

Pada tahap penanaman, alat tanam Rice Transplanter telah menggantikan metode penanaman

tradisional dengan tenaga manusia, dan memungkinkan petani untuk menanam dengan umur bibit yang masih

muda, mempercepat proses penanaman, mengatur jadwal penanaman yang lebih fleksibel, serta

meningkatkan produktifitas padi. Pada proses pemanenan, saat ini petani sudah menggunakan Combine

Harvester. Penggunaan alat ini telah mengurangi serapan tenaga kerja khususnya perempuan tani dengan

menggantikan beberapa pekerjaan yang biasanya dilakukan oleh tenaga kerja perempuan, seperti

pengambilan hasil panen dan ―nggeblok‖ (perontokan hasil panen menggunakan papan kayu yang disebut

―gebotan‖). Pembersihan gabah pun saat ini telah dimekanisasi dengan menggunakan Winower bertenaga

diesel.

Pengeringan gabah dahulu dilakukan dengan menebar gabah di atas terpal untuk dijemur di bawah terik

matahari. Mekanisasi pertanian kini mempermudah petani dalam mengatasi ketidakpastian cuaca pada saat

Page 349: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 335

proses pengeringan, yaitu dengan menggunakan Flat Bed Dryer yang bekerja dengan prinsip pemanasan

lantai jemur untuk mempercepat pengeringan. Tahap akhir dari usahatani padi adalah penggilingan. Alat

Penggilingan Padi Kecil/ Small Rice Mill telah menggantikan penumbuk padi yang sudah lama digunakan oleh

petani sebelum adanya mekanisasi pertanian saat ini. Terdapat 40 unit bantuan alat Small Rice Mill telah

didistribusikan kepada petani di lokasi penelitian.

Bentuk Pembagian Kerja Secara Seksual Di Kecamatan Talun Sebagai Akibat Dari Perubahan

Mekanisasi Pertanian

1. Pembedaan Profil Kegiatan/ Kerja

Pembedaan kegiatan atau kerja biasanya berdasarkan kegiatan yang menghasilkan uang, memelihara

dan merawat keluarga, pergaulan masyarakat, keagamaan/ritual, pesta, maupun kegiatan politik yang

berhubungan dengan pengambilan keputusan (Handayani, 2009; Buvinic dalam Rosmini, 2007). Antara laki-

laki dan perempuan umumnya pembedaan pembagian kerja terdiri dari :

1.1. Pembagian Kerja dalam Kegiatan Produktif

Kegiatan produktif adalah kegiatan yang menghasilkan uang atau barang-barang yang bisa dipertukarkan

dengan uang (Pintakami, 2018). Mayoritas kegiatan produktif yang dilakukan oleh masyarakat Kecamatan

Talun, Kabupaten Blitar adalah sebagai petani pangan. Dalam kegiatan produktif yang berlangsung, tentunya

ada pembagian kerja antara petani laki-laki dan perempuan. Perubahan alat dan mesin yang digunakan dalam

usahatani padi juga akan mempengaruhi pembagian kerja yang berlangsung antara laki-laki dan perempuan.

Perubahan pada pembagian kerja produktif di tampilkan dalam tabel 2.

Tabel 2. Perubahan Pembagian Kerja Produktif

NO TAHAPAN USAHATANI PADI

PERUBAHAN PEMBAGIAN KERJA

PRODUKTIF

Sistem Pertanian

Manual (Tahun

2012)

Sistem Pertanian

Modern (Tahun 2018)

1 Pemilihan Benih ♂ ⚤

2 Persemaian ♀ ♂

3 Pengolah Lahan ♂ ♂

4 Penanaman ♀ ♂

5 Pengendalian OPT ⚤ ♂

6 Pengairan ♂ ♂

7 Pemanenan ⚤ ♂

8 Perontokan ♀ ♂

9 Pembersihan ♀ ♂

10 Pengeringan ♀ ♂

11 Penggilingan ♂ ♂

12 Pemasaran ⚤ ⚤

Keterangan: ♀ : Petani Perempuan; ⚤ : Bersama; ♂ : Petani Laki-Laki.

Perubahan alat mekanisasi pertanian tampak jelas pada tahap penanaman. Dahulu, kegiatan

penanaman hanya dilakukan oleh petani perempuan dimana untuk setiap luasan 0,14 Ha membutuhkan

pekerja perempuan sebanyak 4 orang yang bekerja dari pukul 07.00-15.00 WIB. Namun, kini dengan adanya

alat Rice Transplanter pekerjaan penanaman dilakukan oleh laki-laki sebagai operator alat tanam.

Page 350: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

336 |

Pertimbangan lain petani lebih dominan menggunakan alat tersebut dalam penanaman karena untuk

menanam pada luasan 0,70 Ha hanya membutuhkan 2 orang petani laki-laki sebagai operator alat dan

pembantu operator dalam pengaturan bibit. Terkadang juga dibantu oleh satu perempuan tani yang bertugas

untuk merapikan sekitar galengan atau pinggiran lahan yang sulit dijangkau alat Rice Transplanter. Oleh

karena itu, dengan adanya alat tersebut biaya produksi usahatani dan mempercepat waktu penanaman dapat

dikurangi. Pada tahap pemanenan hasil padi juga tampak perbedaan. Tahun 2012 pemanenan dilakukan

secara manual bersama baik oleh petani laki-laki maupun perempuan. Tahun 2018 pemanenan hanya

dilakukan oleh petani laki-laki menggunakan alat Combine Harvester. Setelah panen, tahap selanjutnya

adalah perontokan, pembersihan, pengeringan, dan penggilingan. Tiga tahapan tersebut pada sistem

pertanian manual dilakukan oleh petani perempuan menggunakan alat tradisional. Sedangkan pada sistem

pertanian modern, tahap-tahap tersebut menggunakan alat modern sehingga dominan dilakukan oleh petani

laki-laki.

Secara umum, perubahan mekanisasi pertanian telah menurunkan keterlibatan perempuan tani dalam

pembagian kerja usahatani padi dari 8 tahapan menjadi 2 tahapan, sedangkan petani laki-laki yang sebelumya

terlibat pada 7 tahapan, kini mendominasi pada seluruh 12 tahapan usahatani padi. Penurunan keterlibatan

perempuan tani dalam pekerjaan usahatani padi, mengakibatkan perempuan tani berupaya untuk

mendapatkan pendapatan tambahan baik melalui penanganan pasca panen komoditi lain maupun alih

pekerjaan ke sektor lain. Sebagian perempuan tetap bertahan untuk mendapatkan penghasilan dari sektor

pertanian non padi dengan aktif terlibat pada kelompok wanita tani. Sedangkan, mayoritas perempuan tani

lainnya beralih menjadi buruh ternak ayam. Faktor lain yang mempengaruhi perempuan tani beralih ke sektor

peternakan disebabkan karena faktor kenyamanan kerja, kepastian upah, dan keberlanjutan pekerjaan.

1.2. Pembagian Kerja dalam Kegiatan Reproduktif

Kegiatan reproduktif merupakan kegiatan domestik yang tidak menghasilkan uang namun memegang

peranan penting dalam keberlangsungan rumah tangga (Yuliati, 2015). Tabel 3 menunjukkan perubahan

pembagian kerja reproduktif antara perempuan dan laki-laki baik dalam hal pengasuhan anak, memasak

makanan sehari-hari, membersihkan rumah, berbelanja kebutuhan pokok, mengambil makanan di

lahan/pekarangan, dan mencuci. Dahulu semua kegiatan reproduktif hanya dilakukan oleh perempuan dimana

kegiatan reproduktif perempuan dilakukan sepanjang waktu di sela-sela melakukan kegiatan produktif pada

sistem pertanian manual.

Tabel 3. Perubahan Pembagian Kerja Reproduktif

NO JENIS KEGIATAN

PERUBAHAN PEMBAGIAN KERJA

REPRODUKTIF

Sistem Pertanian

Manual (Tahun

2012)

Sistem Pertanian

Modern

(Tahun 2018)

1 Pengasuhan Anak ♀ ⚤

2 Memasak ♀ ♀

3 Membersihkan Rumah ♀ ⚤

4 Berbelanja ♀ ♀

Page 351: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 337

NO JENIS KEGIATAN

PERUBAHAN PEMBAGIAN KERJA

REPRODUKTIF

Sistem Pertanian

Manual (Tahun

2012)

Sistem Pertanian

Modern

(Tahun 2018)

5 Mengambil Bahan Makanan di

Lahan/Pekarangan ♀ ♀

6 Mencuci Pakaian dan Alat

Dapur ♀ ⚤

Keterangan: ♀ : Petani Perempuan; ⚤ : Bersama; ♂ : Petani Laki-Laki.

Perubahan sosial masyarakat yang terjadi saat ini telah meningkatkan kesadaran masyarakat untuk

melakukan pekerjaan domestik bersama-sama. Pada tabel perubahan pembagian kerja reproduktif nampak

bahwa sekarang petani laki-laki turut terlibat bersama-sama dengan perempuan (istri) dalam kegiatan

pengasuhan anak, membersihkan rumah, dan mencuci pakaian/ alat dapur. Meskipun secara alokasi waktu

dan sebaran tanggung jawab domestik masih dominan dilakukan oleh perempuan.

1.3. Pembagian Kerja dalam Kegiatan Sosial Kemasyarakatan

Kegiatan sosial kemasyarakatan di Kecamatan Talun, Kabupaten Blitar masih terjaga dengan baik

hingga sekarang. Bahkan pengelompokkan kegiatan pada masing-masing kelembagaan lebih beragam.

Berdasarkan hasil pengelompokan perubahan pembagian kegiatan sosial masyarakat antara petani laki-laki

dan perempuan tampak pada tabel 4.

Tabel 4. Perubahan Pembagian Kegiatan Sosial Kemasyarakatan

NO JENIS KEGIATAN

PERUBAHAN PEMBAGIAN SOSIAL

KEMASYARAKATAN

Sistem

Pertanian

Manual

(Tahun 2012)

Sistem Pertanian

Modern

(Tahun 2018)

FORMAL

1 PKK ♀ ♀

2 Posyandu ♀ ♀

3 Usaha Pelayanan Jasa Alsintan (UPJA) - ♂

4 Kelompok Tani (Poktan) ♂ ⚤

5 Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) ♂ ♂

6 Koperasi Unit Desa (KUD)/ Koperasi Tani ♂ ♂

7 Kelompok Penangkar Benih ♂ ♂

NON FORMAL

1 Pengajian ⚤ ⚤

2 Arisan ♀ ♀

3 Gotong Royong ⚤ ⚤

Keterangan: ♀ : Petani Perempuan; ⚤ : Bersama; ♂ : Petani Laki-Laki.

Page 352: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

338 |

Jenis kegiatan sosial kemasyarakatan di Kecamatan Talun, Kabupaten Blitar dibagi menjadi 2 jenis yaitu

formal dan non-formal. Kegiatan sosial kemasyarakatan formal adalah kegiatan sosial dalam sebuah lembaga

yang sudah memiliki sertifikat pendirian, struktur organisasi, dan memiliki rencana anggaran kegiatan.

Sedangkan kegiatan non-formal adalah komunitas sosial yang berasakan kekeluargaan, disatukan oleh

wilayah yang sama, serta tidak mempunyai sertifikat pembentukan (Lestari, Yuliati, dan Hilmy, 2015). Tabel 4

menunjukkan bahwa adanya mekanisasi pertanian hanya merubah pola pembagian kerja pada kegiatan sosial

kemasyarakatan formal.

Pada kegiatan formal, perubahan pembagian kerja dominan pada Kelompok Tani (Poktan). Pada sistem

pertanian manual (2012), kegiatan mayoritas melibatkan laki-laki. Namun seiring dengan perubahan sosial

yang terjadi dan juga minimnya perempuan dalam kegiatan pertanian secara langsung dalam usahatani padi,

akhirnya perempuan di Kecamatan Talun membentuk organisasi khusus melalui Kelompok Wanita Tani.

Adanya Kelompok Wanita Tani diharapkan dapat menjadi sumber pendapatan sampingan para perempuan

yang tidak berkecimpung kembali dalam usahatani padi serta sebagai sarana aktualisasi diri. Hingga saat ini,

jumlah kelompok tani di Kecamatan Talun terdiri dari 93 kelompok tani. Jumlah tersebut terdiri dari 84

Kelompok Tani laki-laki, dan 9 kelompok wanita tani yang tersebar di beberapa desa antara lain Duren, Talun,

Wonorejo, Kamulan, Tumpang, Kendalrejo, Bendosewu, dan 2 kelompok wanita tani lainnya di Pasirharjo.

Perubahan selanjutnya pada kegiatan Usaha Pelayanan Jasa Alsintan (UPJA), dimana pada tahun 2012

belum berjalan dan terbentuk. Kelompok Usaha Pelayanan Jasa Alsintan (UPJA) Kecamatan Talun mulai

dibentuk pada tahun 2014, kemudian lambat laun mulai berjalan sejak peningkatan bantuan mekanisasi

pertanian dimana puncaknya pada tahun 2015. Kelompok UPJA masih melibatkan petani laki-laki karena

berhubungan dengan alat berat mesin pertanian. Kegiatan sosial kemasyarakatan formal lainnya yang

mayoritas melibatkan petani laki-laki adalah Gapoktan, KUD, dan Kelompok Penangkar Benih. Bahkan

berdasarkan hasil lapang didapatkan bahwa perempuan hanya terlibat 20% dalam kegiatan di Koperasi Unit

Desa ―Bajang‖ Talun.

2. Pembedaan Profil Akses dan Kontrol Pada Sumberdaya

Akses menggambarkan sejauh mana peluang laki-laki dan perempuan di lokasi penelitian dalam

berinteraksi dengan sumber daya yang ada (Mulyaningtyas, 2013). Yang dimaksud dengan kontrol adalah

kemampuan untuk menguasai sumber daya yang ada, sehingga dapat dikatakan seseorang yang memiliki

kontrol atas suatu sumber daya memiliki hak untuk menentukan atau mengambil keputusan pada sumber

daya tersebut. Tabel 5 menunjukkan bahwa pada masa pertanian manual seluruh akses dan kontrol terhadap

informasi, permodalan, organisasi, pelatihan, dan kepemilikan sawah hanya untuk laki-laki.

Perubahan sosial dalam mekanisasi pertanian telah memberikan kesempatan kepada perempuan tani

yang sudah sedikit terlibat di usahatani padi, untuk berkreatifitas di Kelompok Wanita Tani. Meskipun kondisi

lapang, mendata bahwa akses dan kontrol perempuan terhadap 4 hal tersebut masih sedikit. Berdasarkan

data dari BP3K Talun, mengemukakan bahwa jumlah kelompok wanita tani hanya 9,7% atau 9 Kelompok

Wanita dari total 93 Kelompok Tani laki-laki. Bahkan peraturan terbaru yang terbit tahun 2017 menyatakan

Dinas Pertanian dan Pangan sudah tidak mengeluarkan sertifikat pembentukan Kelompok Wanita Tani.

Sehingga legalitas Kelompok Wanita Tani dianggap sama dengan kelompok tani pada umumnya. Meskipun

Page 353: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 339

demikian, hingga saat ini Kelompok Wanita Tani masih aktif dalam mengusahakan usaha produk olahan

pertanian seperti pembuatan nugget kelor, jamu tradisional, jahe instan, dan usaha budidaya tanaman sayur

dan obat herbal. Bahkan secara insidentil beberapa kelompok wanita tani menyelenggarakan studi banding

dan mengikuti pelatihan di kota lain untuk menambah pengetahuan.

Tabel 5. Perubahan Pembagian Akses dan Kontrol

NO AKSES DAN KONTROL

TERHADAP

PERUBAHAN PEMBAGIAN

PEMBAGIAN AKSES DAN KONTROL

Sistem Pertanian

Manual (Tahun

2012)

Sistem Pertanian

Modern (Tahun

2018)

1 Informasi Pasar ♂ ⚤

2 Pemodalan/Kredit ♂ ⚤

3 Organisasi ♂ ⚤

4 Pelatihan/pendidikan ♂ ⚤

5 Kepemilikan Sawah ♂ ♂

Keterangan: ♀ : Petani Perempuan; ⚤ : Bersama; ♂ : Petani Laki-Laki.

3. Pembedaan Profil Manfaat

Aspek manfaat merupakan kesempatan untuk memperoleh manfaat atau hasil dari pembagian kerja

berdasarkan jenis kelamin. Aspek manfaat berupa kesempatan untuk memperoleh manfaat meliputi

pengalaman dan ketrampilan. Pada tabel 6 diperlihatkan pembagian manfaat berupa pengalaman dalam

mekanisasi pertanian lebih dominan dirasakan oleh laki-laki. Hal ini dikarenakan laki-laki mempunyai peluang

lebih besar untuk mengikuti kegiatan organisasi formal seperti UPJA, Kelompok Tani, Gapoktan, dan KUD.

Demikian juga dengan kegiatan rapat, pembinaan, dan sosialisasi yang dilakukan oleh pihak Dinas Pertanian

dan Pangan dalam hal bantuan alat mesin pertanian perempuan sama sekali tidak dilibatkan. Pengalaman

informasi pasar untuk menjual hasil panen juga mayoritas yang lebih mengerti adalah laki-laki meskipun pada

tahap pemasaran dilakukan secara bersama-sama. Umumnya kegiatan pemasaran dilakukan oleh petani laki-

laki, sedangkan perempuan bertugas dalam pengaturan keuangan hasil pemasaran.

Tabel 6. Perubahan Pembagian Manfaat

NO MANFAAT BERUPA

PERUBAHAN PEMBAGIAN MANFAAT

Sistem Pertanian

Manual (Tahun

2012)

Sistem Pertanian

Modern (Tahun

2018)

1 Pengalaman ♂ ♂

2 Keterampilan ♂ ⚤

Keterangan: ♀ : Petani Perempuan; ⚤ : Bersama; ♂ : Petani Laki-Laki.

Sedangkan untuk manfaat berupa ketrampilan pada saat sistem pertanian manual hanya dirasakan oleh

laki-laki. Seiring dengan perkembangan pada sistem pertanian modern, laki-laki dan perempuan memiliki

manfaat yang sama untuk ketrampilan. Ketrampilan ini didapatkan melalui kegiatan pelatihan baik yang

diselenggarakan oleh BP3K Talun maupun Dinas Pertanian dan Pangan Kabupaten Blitar. Petani laki-laki

umumnya mendapatkan ketrampilan berupa pengoperasian mekanisasi pertanian, budidaya tanaman,

Page 354: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

340 |

pelatihan kelembagaan kelompok tani, pengendalian OPT, pembuatan pupuk bokashi dan pestisida nabati.

Sedangkan perempuan melalui kelompok wanita tani, mendapatkan ketrampilan pasca panen seperti

pembuatan nugget kelor, pembuatan jamu tradisional, jahe instan, serta ketrampilan dalam budidaya tanaman

obat keluarga dan sayuran dalam Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL).

Dampak Kesenjangan Curahan Jam Kerja Antara Petani Laki-Laki dan Perempuan

Pada sistem pertanian manual (2012), petani laki-laki mengalokasikan rata-rata 8 jam per hari untuk

melakukan kegiatan produksi, dan 2 jam per hari untuk terlibat dalam kegiatan sosial kemasyarakatan. Pada

sistem pertanian modern (2018), disamping penambahan alokasi waktu untuk kegiatan sosial kemasyarakatan

hingga rata-rata 4 jam per hari, petani laki-laki kini juga memiliki waktu untuk menjalankan peran reproduksi

hingga rata-rata 2 jam per hari (tabel 7). Curahan waktu pada kegiatan sosial kemasyarakatan petani laki-laki

mengalami peningkatan dengan mulai diselenggarakannya kelembagaan pertanian berupa Usaha Pelayanan

Jasa Alsintan (UPJA).

Tabel 7. Perubahan Curahan Waktu Kerja Petani Laki-Laki

NO URAIAN KEGIATAN

PERUBAHAN CURAHAN WAKTU

Sistem Pertanian

Manual (Tahun 2012)

Sistem Pertanian Modern

(Tahun 2018)

Jam (%) Jam (%)

1 Peran Produksi 8 33 8 33

2 Peran Reproduksi 0 0 2 8

3 Peran Sosial Kemasyarakatan 2 8 4 17

Bagi petani perempuan yang bekerja di sektor pertanian, sistem pertanian modern berdampak pada

menurunnya curahan waktu untuk peran produksi sebesar 16%, namun meningkatkan curahan waktu untuk

peran reproduksi sebesar 17% (tabel 8). Pada sistem pertanian manual tahun 2012, petani perempuan

mengalokasikan rata-rata 8 jam per hari untuk melakukan kegiatan produktif, 6 jam per hari untuk kegiatan

reproduktif, serta 2 jam per hari untuk kegiatan sosial kemasyarakatan. Seiring perkembangan menuju sistem

pertanian modern tahun 2018, curahan waktu untuk peran produksi bagi petani perempuan menurun hingga

rata-rata 4 jam saja per hari. Sebaliknya, curahan waktu untuk melakukan kegiatan reproduktif meningkat

hingga-rata-rata 10 jam per hari.

Page 355: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 341

Tabel 8. Perubahan Curahan Waktu Kerja Petani Perempuan.

NO URAIAN KEGIATAN

PERUBAHAN CURAHAN WAKTU

Sistem Pertanian Manual

(Tahun 2012)

Sistem Pertanian Modern

(Tahun 2018)

Jam (%) Jam (%)

1 Peran Produksi 8 33 4 17

2 Peran Reproduksi 6 25 10 42

3 Peran Sosial Kemasyarakatan 2 8 2 8

Mekanisasi tanpa mempertimbangkan perspektif gender merupakan faktor utama penyebab hilangnya

kesempatan kerja bagi kaum perempuan di sektor pertanian (Okemwa, dkk., 2013), serta kesempatan

partisipasi aktif mereka dalam pengembangan teknologi (Wijaya, 2014; dan Yunus, 2015). Dalam tulisannya

mengenai inkorporasi perspektif gender dalam pengembangan rekayasa alat dan mesin pertanian, Suhaeti,

dkk., (2017) berpendapat bahwa introduksi suatu alat pertanian seringkali berdampak pada marjinalisasi buruh

tani perempuan yang disebabkan oleh faktor-faktor hambatan sosial, institusional, serta pendesainan alat dan

mesin pertanian yang disesuaikan pengoperasiannya untuk tenaga laki-laki. Fenomena tersebut juga

ditemukan di lokasi penelitian, dimana mekanisasi pertanian modern menurunkan keterlibatan perempuan tani

dalam pembagian kerja pada tahapan-tahapan dalam usahatani padi. Pada sistem pertanian manual

perempuan tani masih berperan utama dalam persemaian, penanaman, perontokan, pembersihan, dan

pengeringan, serta terlibat dalam kegiatan pengendalian OPT, panen, dan pemasaran. Pada sistem pertanian

modern, hampir keseluruhan tahapan dalam usahatani padi merupakan peran produksi bagi petani laki-laki,

sedangkan keterlibatan perempuan tani hanya pada tahapan penanaman serta pemasaran, itupun tidak

dominan.

Perubahan sistem pertanian dari tradisisional/manual menjadi modern juga membawa pengaruh bagi

dinamika ketenaga-kerjaan petani perempuan di lokasi penelitian. Sebagian perempuan tani di Kecamatan

Talun beralih profesi baik secara parsial maupun secara penuh dari sektor pertanian ke non-pertanian, dan

yang paling banyak adalah alif profesi menjadi buruh di peternakan ayam. Fenomena alih pekerjaan ini

meningkatkan curahan waktu peran produksi perempuan dari sebelumnya rata-rata 8 jam per hari menjadi 9

jam per hari. Penambahan ini disebabkan karena alokasi jam kerja yang lebih lama dan paten pada lokasi

kerja di peternakan ayam, dibandingkan dengan pekerjaan di sawah yang lebih singkat dan cenderung

fleksibel. Kemudian, pada tabel 9 ditunjukkan bahwa alih profesi yang dilakukan sebagian perempuan tidak

mengurangi tugas dan beban kerja mereka dalam pekerjaan domestik, maupun alokasi waktu pada kegiatan

bersosial.

Page 356: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

342 |

Tabel 9. Perubahan Curahan Waktu Kerja Petani Perempuan Beralih-profesi ke Sektor Non-Pertanian

NO URAIAN KEGIATAN

PERUBAHAN CURAHAN WAKTU

Sistem Pertanian Manual

(Tahun 2012)

Sistem Pertanian Modern

(Tahun 2018)

Jam (%) Jam (%)

1 Peran Produksi 8 33 9 38

2 Peran Reproduksi 6 25 6 25

3 Peran Sosial

Kemasyarakatan 2 8 2 8

KESIMPULAN

Perubahan mekanisasi pertanian pada Era Revolusi Industri 4.0 memberikan berbagai kemudahan untuk

petani dalam melakukan usahatani padi yang lebih efisien. Bantuan mekanisasi pertanian yang diberikan

kepada petani menyebabkan perubahan pada sistem pertanian di Kecamatan Talun baik pada aspek metode

yang digunakan, perubahan penggunaan alat, dan perubahan jumlah serapan tenaga kerja manusia. Namun

disamping manfaat teknis yang ditawarkan, terdapat pula pengaruh pada aspek sosial budaya yaitu

perubahan pola pembagian kerja seksual dan curahan waktu kerja petani. Perbedaan pembagian kerja

seksual sebagai dampak dari perubahan mekanisasi pertanian tampak pada menurunnya keterlibatan

perempuan tani dalam pembagian kerja usahatani padi dari 8 tahapan menjadi 2 tahapan, sedangkan petani

laki-laki yang sebelumya terlibat pada 7 tahapan, kini mendominasi pada seluruh 12 tahapan usahatani padi.

Sehingga perempuan tani memilih untuk beralih ke sektor peternakan yang dirasa lebih berkelanjutan

meskipun dari curahan waktu kerja lebih panjang. Alih pekerjaan ke sektor non-pertanian (buruh ternak)

meningkatkan peran produksi perempuan tani menjadi 9 jam/hari atau 38%. Sedangkan untuk perempuan tani

yang tetap bekerja di sektor pertanian, curahan waktu peran produksi perempuan tani menurun menjadi 4

jam/hari atau 17%. Curahan waktu pada kegiatan sosial kemasyarakatan petani laki-laki mengalami

peningkatan dengan mulai diselenggarakannya kelembagaan pertanian berupa Usaha Pelayanan Jasa

Alsintan (UPJA)

DAFTAR PUSTAKA

Aldillah, R. (2016). Kinerja pemanfaatan mekanisasi pertanian dan implikasinya dalam upaya percepatan produksi pangan di Indonesia. Forum Penelitian Agro Ekonomi, Vol. 34 No. 2, Desember 2016. p : 163-177.

BPS. (2018). Statistik Indonesia 2018. Jakarta: Badan Pusat Statistik Republik Indonesia. Dinas Pertanian dan Pangan Kab. Blitar. (2018). Rencana Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B)

Kabupaten Blitar Tahun 2018. [Tidak Dipublikasikan]. Edward, K.L. and Welch, T. (2011). The extension of Colaizzi‘s method of phenomenological enquiry.

Contemporary nurse, 39(2), p: 163-171. Kawarazuka, N., Béné, C. and Prain, G. (2018). Adapting to a new urbanizing environment: gendered

strategies of Hanoi‘s street food vendors. Environment and Urbanization, 30(1). p : 233-248.

Page 357: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 343

Kementan. (2017). Statistik Pertanian 2017. [Online]. Diunduh dari: http://epublikasi.setjen.pertanian.go.id/ download/file/390-statistik-pertanian-2017 [Diakses pada 01 November 2018].

Khumaini, Anwar. (2018). Kementan dorong pemanfaatan industri 4.0 sektor pertanian. [Online]. Diunduh dari: https://www.merdeka.com/peristiwa/kementan-dorong-pemanfaatan-industri-40-sektor-pertanian.html [Diakses pada 01 November 2018].

Lakitan B. (2013). Connecting all the dots: identifying the ―actor level‖ challenges in establishing effective innovation system in Indonesia. Technol Soc. p :35:41-54.

Lestari, T.W.P., Yuliati, Y. and Hilmy, U. (2015). Comparative Study Strategy of Women Cigarette Factory Workers in Formal and Informal Industry Meets the Needs of Household Economics (Case In Women Workers of PT. HM. Sampoerna Tbk. And Cigarette Manufacturing Industry Household Suwayuwo Village, Sukorejo District, Pasuruan). Indonesian Journal of Women's Studies, p: 3(1).

Mulyaningtiyas, R.D. and Sukesi, K. (2013). Dampak Perubahan Sistem Pertanian Terhadap Pola Pembagian Kerja Secara Seksual Di Pedesaan (Studi Kasus Di Desa Nambakan, Kecamatan Ringinrejo, Kabupaten Kediri). Indonesian Journal of Women's Studies. p: 1(1).

Okemwa, P., Dimo, H., & Bosire, T. (2013). Challenges to Mechanization of Agriculture in Kenya: Case of Hand-Operated Tea Harvesting Machines. International Journal of Innovative Research and Studies, 2(10) p : 535-548.

Pintakami, L.B., Yuliati, Y. and Purnomo, M. (2013). Keterlibatan Perempuan Tani Pada Program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) Dalam Rangka Mencapai Kesejahteraan Rumah Tangga (Studi Kasus Di Desa Bayem, Kecamatan Kasembon, Kabupaten Malang). Indonesian Journal of Women's Studies. p: 1(1).

Pintakami, L.B. (2018). Gender Roles In Optimisation of House- Yard Land to Improve Household Income. Jares Balitar Islamic University. p : 1- 15.

Puspitawati, Herien. (2010). Teknik Analisis Gender Dalam Penelitian Bidang Ilmu Keluarga Untuk Masukan Bagi Kebijakan Daerah Responsif Gender. Pusat Studi Wanita Institut Pertanian Bogor. p : 1-30.

Putri, D.P.K. and Lestari, S. (2016). Pembagian peran dalam rumah tangga pada pasangan suami istri jawa. Jurnal Penelitian Humaniora, 16(1). p :72-85.

Rosmini. (2007). Keterlibatan Wanita Tani Pada Kegiatan Usahatani ―Bawang Goreng Lokal Palu‖ Dalam Upaya Peningkatan Pendapatan Keluarga Di Kabupaten Donggala. Agroland 14 (3) p : 201 – 207.

Soe, S.H, Aye, S.P, and Clemens, M.G. (2017). Impacts of rural changes on women labor involvement in crop production of Myanmar. DOI: 10.13140/RG.2.2.35920.81927.

Sudarta, Wayan. (2016). Sosiologi Pertanian. Udayana University Press. p : 210- 236 Suhaeti, R.N., Suharni, S. and Pangan, B.P.B.T. (2017). Inkorporasi perspektif gender dalam pengembangan

rekayasa alat dan mesin pertanian (Alsintan). Wijaya, Hesti R. (2014). ―Gender Sensitive Agricultural Technology Development in The Indonesian Timor

Semi-Arid Farming System.‖ Indonesian Journal of Women‘s Studies. E-ISSN: 2338-1779, Vol.2, No.1.

Yuliati, Yayuk. dan Bhastoni1, Khamiliya. (2015). Peran Wanita Tani Di Atas Usia Produktif Dalam Usahatani Sayuran Organik Terhadap Pendapatan Rumah Tangga Di Desa Sumberejo Kecamatan Batu. Jurnal Habitat, Volume 26, No. 2, (Agustus 2015), p: 119-129.

Yunus, R. (2015). Indonesia women and agriculture sector. [Online]. Diunduh dari: http://repocitory.unhas.ac.id. [Diakses pada 20 November 2018]

Page 358: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

344 |

MITRA KERJA DAN MITRA NON KERJA PADA PENGADAAN BERAS DI PERUM BULOG SUB

DIVRE SURABAYA SELATAN

Alifia Nadzilla Azhaara1, Zainal Abidin2

Jurusan Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Pembangunan Nasional ―Veteran‖ Jawa Timur

Corresponding Author:[email protected], [email protected]

Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sistem pengadaan beras oleh BULOG melalui kemitraan

yang meliputi: proses, sistematika, ketentuan-ketentuan yang berlaku, dan kinerja kemitraan BULOG serta

menyusun strategi dalam menghadapi kendala yang di hadapi BULOG dalam proses pengadaan. Metode

Analisis data adalah deskriptif kuantitafif. Dari hasil penelitian ini disimpulkan bahwa terdapat dua jenis mitra

yang dimiliki oleh BULOG, yaitu mitra kerja dan mitra non kerja. Mitra kerja BULOG merupakan mitra yang

terikat kontrak kerja dengan BULOG, sedangkan mitra non kerja merupakan mitra yang tidak terikat dengan

kontrak kerja atau mitra lepas. Adapun kendala-kendala yang dihadapi oleh Petani, BULOG, maupun mitra

dari adanya persyaratan tersebut. Kendala yang dihadapi oleh petani adalah serangan hama dan penyakit,

banjir, serta ketersediaan pupuk yang terbatas, kendala yang dihadapi oleh BULOG adalah telatnya

pendistribusian pesanan oleh mitra kepada BULOG, tingginya biaya distribusi dan pengangkutan barang, serta

tidak tercapainya target pengadaan. Selain itu, adapun kendala yang dihadapi oleh mitra BULOG adalah

rendahnya kualitas beras/gabah dari petani, dan kurangnya sarana dan prasarana seperti lantai jemur serta

mesin pengering gabah.

Kata kunci : Pengadaan beras, Mitra Kerja Pengadaan, Mitra Non Kerja, Kendala

PENDAHULUAN

Berdasarkan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2015 tentang kebijakan

pengadaan gabah/beras dan penyaluran beras oleh pemerintah dilakukan oleh BULOG. Pengadaan beras

yang dilakukan oleh BULOG Jawa Timur pada tahun 2017 mentargetkan 1,2 juta ton. Hingga saat ini BULOG

Jawa Timur telah memenuhi 129.000 ton beras, dengan bantuan beberapa Divisi Regionalnya. Salah satu

divisi regional yang dinaungi oleh BULOG Jawa Timur adalah divisi regional Surabaya Selatan. BULOG Sub

Divre Surabaya Selatan telah memberikan 30 ton beras. BULOG membuka kesempatan kepada para Petani/

Kelompok Tani maupun pengusaha yang bergerak pada sektor komoditi beras untuk dapat mengembangkan

usahanya dengan menjadi Mitra Kerja Pengadaan (MKP).

Untuk menjadi Mitra Kerja Pengadaan (MKP), BULOG menerapkan persayaratan yang harus

dipenuhi oleh calon mitra.`Persyaratan tersebut meliputi persyaratan administratif serta persyaratan teknis.

Persyaratan administratif lebih mengarah pada dokumen serta surat-surat pendukung yang berisi identitas

Page 359: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 345

kelompok tani, koperasi, maupun badan usaha yang akan melakukan hubungan kemitraan dengan BULOG.

Selain itu, surat pernyataan dari dinas maupun instansi terkait juga diperlukan oleh badan usaha, kelompok

tani, maupun koperasi yang ingin menjalin kemitraan dengan BULOG. Sedangkan dalam persyaratan teknis

berisi ketersediaan lahan, mesin, serta alat-alat yang dapat digunakan untuk menunjang kegiatan kemitraan

tersebut.

Adapun kendala-kendala yang dihadapi oleh BULOG, mitra maupun petani dari adanya persyaratan

tersebut. Kendala yang dihadapi oleh BULOG adalah telatnya pendistribusian pesanan oleh mitra kepada

BULOG, tingginya biaya distribusi dan pengangkutan barang, serta tidak tercapainya target pengadaan. Selain

itu, adapun kendala yang dihadapi oleh mitra BULOG adalah rendahnya kualitas beras/gabah dari petani, dan

kurangnya sarana dan prasarana seperti lantai jemur serta mesin pengering gabah. Sedangkan kendala yang

dihadapi oleh petani adalah serangan hama dan penyakit, banjir, serta ketersediaan pupuk yang terbatas.

Dibalik kendala yang dihadapi oleh BULOG dalam menjalin kemitraan dengan mitranya, dengan

melakukan kegiatan kemitraan BULOG dapat melakukan tugasnya, yaitu sebagai penyedia beras sejahtera

(Rastra) bagi pemerintah dan masyarakat, serta menstabilkan harga beras dengan cara menurunkan harga

beras disaat harga tinggi, dan meningkatkan harga disaat harga jatuh. Sehingga petani maupun masyarakat

tidak dirugikan. Untuk itu, penulis tertarik untuk melakukan kegiatan magang kuliah kerja profesi dengan judul

―Pola Kemitraan BULOG terhadap Pengadaan Beras‖.

Berdasarkan permasalah tersebut, maka perumusan masalah yang diteliti adalah:

1. Bagaimana sistem kemitraan yang diterapkan oleh BULOG?

2. Bagaimana kinerja kemitraan yang dilakukan oleh BULOG?

3. Bagaimana strategi kemitraan yang dilakukan oleh BULOG?

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Mengetahui sistem pengadaan beras (pangan) oleh BULOG melalui Kemitraan yang meliputi : proses,

sistematika, serta ketentuntuan-ketentuan yang berlaku.

2. Mendeskripsikan kinerja kemitraan yang dilakukan oleh BULOG, yang terkait terutama sehubungan

dengan kinerja petugas Satker (Satuan Kerja), mitra kerja, mitra non kerja, serta petani.

3. Menyusun strategi dalam menghadapi kendala yang dihadapi oleh BULOG.

METODOLOGI

Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif kuantitafif. Penelitian dengan metode

deskriptif kuantitatif merupakan penelitian yang dilakukan dengan cara mendeskripsikan suatu gejala,

peristiwa, dan kejadian yang terjadi secara faktual, sistematis, dan akurat serta menyangkut keadaan subjek

atau fenomena dari suatu populasi. Data yang digunakan terdiri dari dua jenis, yaitu data primer dan data

sekunder. Data primer berisi data-data penting yang bersifat utama, sehingga merupakan kunci dari penulisan

penelitian ini. Sedangkan data sekunder, merupakan data penunjang yang berfungsi untuk memperkuat data

utama atau data primer yang ada. Data primer diperoleh dari kegiatan observasi lapang, wawancara dengan

pegawai BULOG Sub Divre Surabaya Selatan, serta pencatatan materi yang didapatkan dari hasil survei

Page 360: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

346 |

lapang. Sedangkan data sekunder diperoleh dari studi jurnal, literatur, serta situs resmi dari BULOG yang

beralamat di www.bulog.co.id.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Terdapat dua jenis mitra yang dimiliki oleh BULOG, yaitu mitra kerja dan mitra non kerja. Mitra kerja

BULOG merupakan mitra yang terikat kontrak kerja dengan BULOG, sedangkan mitra non kerja merupakan

mitra yang tidak terikat dengan kontrak kerja atau mitra lepas.

Pengadaan Beras Melalui Mitra Kerja

Proses pengadaan beras dengan bantuan mitra kerja BULOG merupakan cara memenuhi pasokan

beras yang dilakukan oleh BULOG dengan cara menjalin proses kemitraan dengan mitra kerja.

Syarat Mitra Kerja

Untuk dapat menjadi mitra kerja BULOG, calon mitra harus memenuhi persyaratan administratif dan

teknis :

Persyaratan Administratif :

1. Memiliki dokumen yang sah sebagai berikut:

a. Surat Permohonan Menjadi MKP ditujukan kepada Kadivre/Kasubdivre/ Kakansilog

b. Akta Notaris pendirian perusahaan bagi MKP yang berbadan hukum atau badan usaha

c. Surat Ijin Usaha Perdagangan (SIUP)

d. Tanda Daftar Perusahaan (TDP)

e. Surat Keterangan Tidak Mengganggu Lingkungan (HO)

f. Surat Ijin Usaha Penggilingan Padi dan/atau Penyosohan Beras (sesuai perijinan daerah masing-

masing)

g. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan Nomor Pokok Pengusaha Kena Pajak (NPPKP), bagi MKP

yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP)

h. Kontrak atau Surat Kuasa yang dinotarilkan dari pemilik penggilingan, bagi yang tidak memiliki tetapi

menguasai sarana penggilingan

2. Seluruh dokumen yang dipersyaratkan harus masih berlaku dan dokumen yang habis masa berlakunya

harus dilampiri surat keterangan dalam proses dari instansi yang berwenang.

3. Dalam rangka pembinaan, bagi calon MKP yang belum memiliki kelengkapan administrasi, dapat

diikutsertakan proses seleksi sebagai MKP. MKP yang bersangkutan harus membuat surat pernyataan

kesanggupan untuk melengkapi persyaratan administrasi dimaksud paling lama 3 (tiga) bulan.

4. Calon MKP hanya diperbolehkan mengajukan 1 (satu) nama perusahaan dalam 1 (satu) wilayah Divre

Operasional atau Subdivre/Kansilog.

5. Calon MKP dapat mengajukan permohonan sebagai MKP di wilayah Subdivre lainnya dalam satu wilayah

kerja Divre dengan syarat memiliki sarana penggilingan, pengolahan dan persyaratan teknis lainnya di

wilayah Subdivre.

Page 361: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 347

6. Dalam rangka pemenuhan persediaan pangan, MKP dapat melakukan pengadaan di luar Wilayah kerja

Divre/Subdivre/Kansilog dimana MKP tersebut terdaftar dengan tetap memprioritaskan melaksanakan

pengadaan di wilayah asal MKP.

Persyaratan Teknis

1. Memiliki dan/atau menguasai secara sah sarana dan prasarana pengeringan gabah, yaitu:

a. Lantai Jemur dan/atau

b. Pengering Mekanis

2. Memiliki dan/atau menguasai secara sah sarana dan prasarana pengolahan padi, sekurang-kurangnya

yaitu:

a. Mesin Pemecah Kulit

b. Mesin Penyosoh

c. Alat Pemisah Beras (grader) atau Ayakan

Sarana lain yang diharapkan dimiliki MKP:

a. Mesin Pemisah Gabah dan Beras Pecah Kulit

b. Pemisah batu (destoner)

c. Mesin Pemisah warna (colour shorter)

3. Khusus untuk MKP komoditi pangan lainnya, memiliki dan/atau menguasai secara sah sarana prasarana

pengolahan pangan dimaksud dan pendukung lainnya

Setelah calon mitra telah memenuhi dan melengkapi dokumen-dokumen tersebut, kemudian mitra dapat

melakukan registrasi dan pendaftaran di BULOG pusat terdekat.

Tujuan dan Manfaat

Tujuan

1. Menjalin kerjasama dengan KUD, Gapoktan, PT, maupun PP yang ada di daerah Mojokerto, Jombang,

dan Lamongan.

2. Meningkatkan perekonomian bagi daerah asal mitra dengan cara membeli beras sesuai harga standar.

3. Mengurangi permainan harga yang terjadi di masyarakat.

Manfaat

1. Memenuhi kebutuhan pasokan beras bagi setiap perdugangan.

2. Mencapai target pasokan beras yang ditetapkan pada setiap awal tahun.

3. Menjalankan tugas dan fungsi BULOG sebagai pemasok beras sejahtera (Rastra).

Terdapat 29 mitra kerja BULOG Sub Divre Surabaya Selatan yang terdiri dari satu Persekutuan

Komanditer (CV), enam Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan), satu Koperasi Unit Desa (KUD), tiga

Penggilingan Padi, satu Perseroan Terbatas, serta 16 Usaha Dagang (UD). Semua mitra tersebut memiliki

tugas untuk mensuplai gabah serta beras pada gudang-gudang penyimpanan yang dinaungi oleh BULOG Sub

Divre Surabaya Selatan. Gudang-gudang tersebut berada di daerah Mojokerto, Jombang dan Lamongan.

Proses Pengadaan Beras Melalui Mitra Kerja

Dalam proses pengadaan beras oleh mitra kerja, terdapat beberapa tahap yang perlu dilakukan oleh

calon mitra kerja, tahap – tahap tersebut dapat dipaparkan dalam skema berikut :

Page 362: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

348 |

Berdasarkan skema tersebut, maka dapat dijabarkan proses pengadaan beras melalui mitra kerja dilakukan

melalui beberapa tahap, yaitu :

1. Membuat kontrak pengadaan dengan BULOG (Lama kontrak selama 30 hingga 40 hari).

2. Membuat dan menyerahkan jaminan kepada BULOG berupa sejumlah uang dengan perhitungan :

= Jumlah karung yang dibutuhkan X Rp 1.950,00 (harga karung per buah).

3. Memperoleh surat keterangan yang digunakan untuk ditukarkan dengan karplas (karung plastik) dari

gudang BULOG.

4. Medapatkan karplas (karung plastik) dari gudang BULOG yang dituju.

5. Menyerahkan beras yang telah sesuai dengan persyaratan dan dikemas dalam karung BULOG.

6. Beras akan di cek dan diperiksa kadar air, kadar Broken, kualitas, serta aroma dengan metode sampling

acak.

7. Setelah beras dinyatakan lolos uji, maka mitra akan memperoleh surat LHPK (Lembar Hasil

Pemeriksaan Kualitas) dan surat GD1M (Gudang 1 kali Masuk)

8. Apabila mitra telah menyerahkan seluruh beras sesuai kontrak, maka mitra dapat meminta BSTB (Berita

Acara Serah Terima Barang) untuk dapat ditukarkan dengan uang.

Pengadaan Beras Melalui Mitra Non Kerja

Proses pengadaan beras melalui mitra non kerja dilakukan dengan bantuan petugas Satker (Satuan

Kerja) dan Satgas (Satuan Tugas) yang dimiliki oleh BULOG. Mitra Non Kerja adalah mitra BULOG yang tidak

memiliki cukup modal untuk memberikan jaminan kepada BULOG, namun memiliki pasokan beras untuk

disetorkan kepada BULOG. Mitra Non Kerja tidak memiliki kontrak kerja seperti Mitra Kerja, Mitra Kerja

memiliki jumlah lebih banyak dibandingkan dengan Mitra Kerja yaitu 341 mitra, sedangkan untuk Mitra Kerja

yaitu hanya 29 mitra. Perbedaan jumlah yang cukup signifikan tersebut dikarenakan Mitra Non Kerja tidak

memiliki kontrak kerja dengan BULOG sehingga dapat secara aktif maupun pasif dalam hal menyetorkan

Page 363: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 349

beras kepada BULOG. Mitra Non Kerja terdiri dari Petani perorangan, Kelompok Tani, KUD (Koperasi Unit

Desa), PP (Penggilingan Padi), maupun UPGB (Unit Pengolahan Gabah dan Beras). Mitra Non Kerja dapat

melakukan penyetoran beras melalui bantuan petugas Satker (Satuan Kerja) serta petugas Satgas (Satuan

Tugas) yang ada.

Syarat Mitra Non Kerja

Untuk menjadi mitra non kerja BULOG, calon mitra harus memenuhi beberapa persyaratan, yaitu antara lain :

1. Memiliki komitmen untuk bekerjasama dengan BULOG secara jujur dan konsisten.

2. Telah memiliki pasokan beras yang siap untuk dikirimkan ke BULOG.

3. Memenuhi proses administratif dengan Satker maupun Satgas.

Tujuan dan Manfaat

Tujuan

1. Menjalin kerjasama dengan petani-petani kecil, KUD, maupun Gapoktan yang masih belum memiliki

modal besar untuk menjalin kemitraan dengan BULOG.

2. Membantu perekonomian mitra non kerja dengan cara membeli beras sesuai harga standar.

3. Mengurangi tingkat kemiskinan dengan cara meningkatkan kesejahteraan petani.

Manfaat

1. Memenuhi kebutuhan pasokan beras bagi setiap perdugangan.

2. Mencapai target pasokan beras yang ditetapkan pada setiap awal tahun.

3. Menjalankan tugas dan fungsi BULOG sebagai pemasok beras sejahtera (Rastra).

Terdapat 72 Mitra Non Kerja Aktif di wilayah Mojokerto dan Jombang, dengan jumlah 40 Mitra Non

Kerja Aktif di wilayah Mojokerto, dan 32 Mitra Non Kerja Aktif di wilayah Jombang. Jumlah mitra non kerja

wilayah Mojokerto lebih banyak dibandingkan dengan wilayah Jombang, hal ini dikarenakan jumlah gudang

penyimpanan beras di Mojokerto lebih banyak dibandingkan dengan gudang yang dimiliki Jombang, sehingga

jumlah pasokan beras yang dapat ditampung juga lebih banyak

Page 364: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

350 |

Proses Pengadaan Beras Melalui Kemitraan Non Kerja

Berdasarkan skema tersebut diatas, maka proses pengadaan beras melalui mitra non kerja dapat dijabarkan

sebagai berikut :

1. Calon mitra menemui petugas Satker (Satuan Kerja) yang telah berada di lokasi.

2. Melakukan proses administrasi dengan petugas Satker (Satuan Kerja), yang terdiri dari : pendaftaran,

pencatatan jumlah gabah, dan kualitas gabah.

3. Mitra memperoleh karplas (karung plastik) dari petugas Satker (Satuan Kerja) untuk digunakan dalam

pengemasan beras.

4. Petugas Satker (Satuan Kerja) melakukan pengecekan kualitas beras dari mitra yang kemudian

digunakan untuk menentukan harga beras dari petani.

5. Mitra menyerahkan beras ke gudang BULOG terdekat dengan bantuan petugas Satker (Satuan Kerja).

6. Memperoleh uang dari Satker (Satuan Kerja).

Kinerja Kemitraan yang dilakukan oleh BULOG

Kinerja kemitraan yang dilakukan oleh BULOG dapat dikatakan berjalan cukup baik, hal tersebut

terlihat dari jumlah mitra kerja maupun mitra non kerja yang melakukan kerjasama dengan BULOG. selain itu,

kinerja kemitraan yang dilakukan oleh BULOG juga efisien, karena proses yang dilakukan oleh mitra BULOG

cukup mudah dan singkat jika dibandingkan dengan proses pengadaan yang dilakukan oleh swasta. Upah

hasil penjualan gabah/beras juga langsung diberikan oleh BULOG kepada mitra pada saat mitra menyerahkan

gabah/beras kepada BULOG.

Kendala dan Solusi dalam Proses Pengadaan Beras Melalui Mitra Kerja dan Mitra Non Kerja

Dalam melakukan proses pengadaan beras, BULOG mengalami berbagai kendala, kendala-kendala tersebut

muncul mulai dari tingkat Petani, Mitra, hingga di BULOG. Kendala yang ada di tingkat petani dengan mitra

Page 365: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 351

adalah gagal panen untuk mengatasinya dapat dilakukan dengan cara meningkatkan produktivitas hasil

pertanian melalui peningkatan sarana produksi dan perbaikan sumberdaaya manusia, Kendala di tingkat mitra

dengan BULOG adalah tingginya biaya angkut dikarenakan jarak lokasi mitra dengan gudang BULOG cukup

jauh yaitu lebih dari 15 km untuk mengatasinya dapat dilakukan dengan cara melakukan proses pengangkutan

secara efisien dan pengoptimalan pengangkutan, Kendala di tingkat BULOG adalah tidak tercapainya target

pengadaan untuk mengatasi kendala tersebut dilakukan dengan cara mengambil beras dari daerah yang

memliki surplus produksi dan peningkatan produktifitas hasil pertanian , serta kendala yang ada di tingkat

BULOG dengan masyarakat adalah persebaran penduduk dan akses jalan yang tidak memadai yang

menyebabkan BULOG mengalami kesulitan saat proses distribusi beras kepada masyarakat sehingga untuk

mengatasinya dilakukan dengan cara penyaluran beras di kantor-kantor kecamatan, sehingga proses distribusi

dibantu oleh pemerintah daerah.

KESIMPULAN

1. Dapat disimpulkan bahwa proses pengadaan beras yang dilakukan oleh Perusahaan Umum Badan

Usaha Logistik Sub Divisi Regional Surabaya Selatan terjadi dengan bantuan mitra kerja dan mitra non

kerja. Mitra kerja merupakan KUD, Gapoktan, PP, CV, maupun PT yang tergolong besar, sehingga

dapat memberi jaminan berupa sejumlah uang kepada BULOG pada awal kontrak, serta telah memiliki

berbagai dokumen-dokumen penunjang seperti SIUP (Surat Ijin Usaha Perdagangan), HO (Ijin

Gangguan), SIPP (Surat Ijin Penggilingan Padi), NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak), serta TDP (Tanda

Daftar Perusahaan). Sedangkan mitra non kerja merupakan petani, Gapoktan, maupun jenis usaha lain

yang memiliki keinginan untuk ikut menyuplai pasokan beras bagi BULOG namun belum memiliki cukup

modal. Proses kerja mitra dibantu oleh Satker (Satuan Kerja) yang telah dimiliki dan dibentuk oleh

BULOG. Untuk dapat melakukan kerjasama dengan BULOG, mitra kerja maupun mitra non kerja harus

dapat memenuhi persyaratan BULOG, yaitu antara lain: (1) Melengkapi dokumen serta persyaratan

administratif, (2) Memiliki pasokan beras untuk dapat disetorkan kepada BULOG, (3) Memiliki kualitas

beras sesuai persyaratan yaitu tidak berbau, berkutu, serta tidak memiliki tingkat kerusakan (Broken)

tidak lebih dari 10%.

2. Kinerja yang dilakukan baik oleh BULOG maupun dengan mitra berjalan dengan baik. Hal ini terlihat dari

banyaknya jumlah Mitra Kerja dan Mitra Non Kerja BULOG yang terdiri dari 341 Mitra Non Kerja yang

terdiri dari 72 Mitra Kerja Aktif dan 269 Mitra Non Kerja Pasif, dan 29 Mitra Kerja BULOG, serta 7 unit

Satker (Satuan Kerja) yang memiliki tugas untuk mencari, dan mengumpulkan beras dari Mitra Non

Kerja.

3. Terdapat beberapa macam kendala yang dihadapi oleh BULOG, yang terdapat di tingkat Petani dengan

Mitra, Mitra dengan BULOG, serta Stok beras BULOG. (1) Kendala yang terjadi di tingkat Petani

perorangan maupun kelompok dengan Mitra adalah gagal panen, untuk menanggulangi gagal panen

tersebut dapat dilakukan dengan cara meningkatkan produktivitas hasil pertanian, serta bekerjasama

dengan Dinas Pertanian dan Dinas Ketahanan Pangan untuk melakukan penyuluhan terkait cara

meminimalisir kegagalan panen. (2) Pada tingkat Mitra dengan BULOG terdapat kendala yaitu biaya

Page 366: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

352 |

angkut yang tinggi, karena jarak mitra dengan gudang penyimpanan BULOG cukup jauh, yaitu sekitar 15

km. Kendala tersebut dapat diatasi dengan mengoptimalkan kapasitas angkut. (3) Tidak tercapainya

target pengadaan oleh BULOG, hal ini dapat diatasi dengan cara mendatangkan beras dari daerah lain

yang memiliki pasokan beras berlebih seperti Banyuwangi dan Jember yaitu sekitar 30%.

DAFTAR PUSTAKA

Allidawati dan Bambang, K. 1993, Metode Uji Mutu Beras dalam Program Pemuliaan Padi, dalam Padi: Buku

2, Eds: Ismunadji dkk., Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Pusat Penelitian dan

Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor. Badan Standarisasi nasional (BSN). 1999. Stadar

Nasional Beras giling No. 01-6128-2008. Jakarta.

Bulog. 2014. Laporan Tahunan 2014 Annual Report, BULOG, Jakarta. Dalam http://www.bulog.co.id. Diunduh

pada Senin, 9 Oktober 2017 pukul 10.00 WIB.

Bulog. 2013. Laporan Tahunan 2013 Annual Report, BULOG, Jakarta. Dalam http://www.bulog.co.id. Diunduh

pada Senin, 9 Oktober 2017 pukul 09.30 WIB.

Bulog. 2012. Alur Pengadaan. Dalam http://www.bulog.co.id/alur_persediaan.php. Diunduh pada Rabu, 12 Juli

2017 pukul 09.45 WIB.

Bulog. 2012. Pelayanan Publik. Dalam http://www.bulog.co.id/pp.php. Diunduh pada Rabu, 12 Juli 2017 pukul

10.00 WIB.

Damardjati, D.S. 1995, Karakterisasi Sifat dan Standarisasi Mutu Beras sebagai Landasan Pengembangan

Agribisnis dan Agroindustri Padi di Indonesia, Badan Litbang Pertanian. Jakarta

Jurnalis, Koran SINDO, 2017, Gawat! Harga Gabah Tinggi, BULOG Pesimistis Capai Target Pengadaan

Beras. Jakarta. Dalam http://economy.okezone.com. Diunduh pada Senin, 9 Oktober 2017 pukul

08.00 WIB.

Perpres Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah

Perpres Nomor 70 Tahun 2012 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (Perubahan kedua Perpres

Nomor 54 Tahun 2010)

Setyono, A., Bram, K., Jumali dan Prihadi W. 2008, Evaluasi Mutu Beras di Beberapa Wilayah Sentra Produksi

Padi dalam Prosiding Seminar Nasional Padi 2008, Eds: Setyono dkk, Balai Besar Penelitian

Tanaman Padi, Subang.

Suismono, A.S., Indrasari, S.D., Wibowo, P. dan Las. 2003, Evaluasi Mutu Beras Berbagai Varietas Padi di

Indonesia, Balai Penelitian Tanaman Padi, Sukamandi.

Page 367: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 353

POLA PERAN WANITA TANI DALAM PENGAMBILAN KEPUTUSAN MANAJERIAL USAHATANI HORTIKULTURA PADA LAHAN GAMBUT DI DESA LIMBUNG

KABUPATEN KUBU RAYA

Shenny Oktoriana, Anita Suharyani

Jurusan Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian Universitas Tanjungpura

Corresponding author: [email protected]

Abstract. Penelitian dilakukan untuk melihat pola dominasi peran wanita tani dalam pengambilan keputusan manajerial usahatani, dengan responden wanita tani sayuran di Desa Limbung Kabupaten Kubu Raya. Data dianalisis menggunakan metode deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan dominasi peran wanita tani dalam keputusan manajerial usahatani terlihat menonjol pada aspek modal, jenis komoditi yang akan ditanam, keputusan jumlah maupun tingkat upah tenaga kerja luar keluarga, serta aspek pemasaran. Pada keputusan penggunaan modal dan penentuan jenis komoditi terlihat dominasi peran wanita tani paling tinggi pada tahap intelligence yaitu aktif mencari informasi terkait kedua aspek tersebut. Pengambilan keputusan untuk aspek penentuan jumlah tenaga kerja beserta, upah yang akan diberikan pada tenaga kerja luar keluarga, memutuskan waktu serta jalur pemasaran hasil panen dominasi peran wanita tani paling tinggi pada tahap choice, yaitu memutuskan kapan dan kepada siapa produk dijual. Hal tersebut menunjukkan bahwa walaupun keputusan akhir masih didominasi oleh pria, namun wanita memiliki pengaruh yang cukup besar dalam proses pengambilan keputusan tersebut. Keywords: peran wanita tani, pengambilan keputusan, usahatani

PENDAHULUAN

Dalam menjalankan usahatani sebagai usaha keluarga, setiap keputusan yang diambil pasti juga

dipengaruhi oleh peran wanita tani sebagai bagian dari usahatani maupun bagian dari keluarga. Walaupun

pada umumnya yang berperan dalam mengambi keputusan akhir adalah pria, sebagai kepala keluarga. Hasil

penelitian menyatakan bahwa wanita pedesaan tidak hanya bertanggung jawab terhadap urusan rumah

tangga, tetapi juga banyak berpartisipasi aktif dalam kegiatan usahatani, luar usahatani, serta non usahatani,

demikian juga dalam proses pengambilan keputusan (AARD dan IDRC, 1991). Hal tersebut menunjukkan

bahwa wanita tani harus dianggap sebagai unsur penting dalam keputusan yang dibuat dalam suatu

usahatani.

Sering kali upaya perubahan perilaku petani yang menjadi salah satu visi dalam pembangunan pertanian

adalah dengan melibatkan petani pria sebagai aktor utama usahatani. Namun pada kenyataannya wanita juga

berperan dalam proses perubahan perilaku tersebut. Terutama dalam pengambilan keputusan usahatani yang

terdiri dari hal-hal yang terkait dengan operasional usahatani.

Berdasarkan hasil pengumpulan informasi pendahuluan di lokas penelitian diketahui bahwa perubahan

perilaku petani dalam mengubah cara mengolah lahan dengan tidak lagi menggunakan api adalah akibat

Page 368: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

354 |

kontribusi peran wanita tani dalam pengambilan keputusan. Perubahan perilaku tersebut merupakan upaya

untuk mengurangi peluang terjadinya kebakaran lahan di daerah gambut akibat pengolahan lahan

menggunakan api saat musim kering.

Berdasarkan latar belakang tersebut maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk melihat pola

dominasi peran wanita tani dalam pengambilan keputusan manajerial usahatani. Hal tersebut dimaksudkan

agar diperoleh gambaran terkait kapasitas wanita tani dalam proses pengambilan keputusan tersebut,

sehingga dapat dijadikan sebagai dasar perumusan strategi untuk merubah perilaku petani dalam bertani ke

arah yang lebih baik.

METODOLOGI

Penelitian dilakukan menggunakan metode deskriptif untuk mengambarkan dominasi peran wanita tani

dalam pengambilan keputusan manajerial usahatani. Data diperoleh dengan melakukan wawancaran kepada

64 orang wanita tani di Desa Limbung Kabupaten Kubu Raya Provinsi Kalimantan Barat.

Variabel yang diukur dalam penelitian ini yaitu peran wanita tani dalam aspek manajerial usahatani yang

terdiri dari penentuan 1) modal usahatani, 2) luas lahan yang digarap, 3) jenis komoditi yang diusahakan, 4)

penggunaan pupuk, 5) penggunaan pestisida, 6) penggunaan peralatan pertanian, 7) lokasi tenaga kerja, 8)

upah tenaga kerja, 9) waktu panen, 10) harga jual komoditi, 11) pemasaran hasil panen. Pada setiap aspek

dilakukan pengukuran keterlibatan peran wanita dalam setiap tahap pengambilan keputusan, yaitu tahap

intelligence, design, serta choice, berdasarkan teori keputusan yang dikemukakan oleh Herbert A. Simon

(1986) yang dikenal sebagai Simon‘s Model of Decision Making.

Peran wanita tani pada tahap intelligence ditinjau berdasarkan keterlibatan wanita tani dalam

mengidentifikasi permasalahan dan pengumpulan informasi terkait dengan aspek manajerial yang akan

diputuskan. Peran wanita tani pada tahap design ditinjau berdasarkan perannya dalam mencari alternatif

pemecahan masalah dari aspek-aspek manajerial tersebut dengan melakukan eksplorasi terhadap

kemungkinan-kemungkinan yang dihadapi. Kemudian peran wanita tani pada tahap choice ditinjau

berdasarkan keterlibatannya dalam pengambilan keputusan akhir.

Dominasi peran wanita tani kemudian diukur berdasarkan skor yang diberikan pada jawaban responden.

skor diberikan berdasarkan kriteria sebagai berikut:

Tabel 1. Kriteria Skor Dominasi Peran Wanita Tani untuk Setiap Tahap Keputusan Manajerial Usahatani

No. Tahap Keputusan Tindakan Tingkat Dominasi Skor

1 Intelligence - Mencari informasi - Sangat dominan 4 - Bersama suami mencari

informasi - Dominan 3

- Membantu suami mencari informasi

- Kurang dominan 2

- Suami yang mencari informasi - Tidak dominan 1

2 Design - Merancang alternatif - Sangat dominan 4 - Bersama suami merancang

alternatif - Dominan 3

- Membantu suami merancang - Kurang dominan 2

Page 369: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 355

No. Tahap Keputusan Tindakan Tingkat Dominasi Skor

alternatif

- Suami yang merancang alternatif - Tidak dominan 1

3 Choice - Mengambil keputusan - Sangat dominan 4 - Bersama suami mengambil

keputusan - Dominan 3

- Membantu suami mengambil keputusan

- Kurang dominan 2

- Suami yang mengambil keputusan

- Tidak dominan 1

Pada masing-masing aspek manajerial yang diputuskan diberikan skor total untuk setiap tahap

keputusan. Kemudian penentuan tingkat dominasi peran wanita tani dilihat berdasarkan total skor

tertinggi dari setiap tahap keputusan tersebut.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil perhitungan skor dominasi peran wanita tani dalam pengambilan keputusan aspek manajerial pada

usahataninya menunjukkan bahwa wanita tani memiliki peran tinggi dalam enam aspek, artinya lebih dari 50%

keputusan-keputusan yang diambil dalam usahatani melibatkan wanita tani dengan dominasi yang relatif

tinggi.

Tabel 2. Skor Peran Wanita Tani untuk Masing-masing Aspek Keputusan Manajerial Usahatani

No Aspek Manajerial Intelligence Design Choice Rata-

rata

1. Penggunaan modal 2,3281 2,2656 2,2031 2,2656

2. Luas lahan yang digarap 2,1563 2,0625 1,7813 2,0000

3. Jenis komoditi yang diusahakan 2,3438 2,2344 2,2656 2,2813

4. Aplikasi pupuk 2,0938 2,1094 1,7656 1,9896

5. Aplikasi pestisida 2,0469 2,0000 2,0313 2,0260

6. Peralatan yang digunakan 1,7500 1,7500 1,7813 1,7604

7. Jumlah tenaga kerja luar keluarga 2,0469 2,3281 2,3594 2,2448

8. Upah tenaga kerja luar keluarga 2,2656 2,2500 2,3281 2,2813

9. Waktu dan cara panen 2,0625 2,0469 2,3125 2,1406

10. Harga jual hasil panen 2,1094 1,8281 1,8125 1,9167

11. Saluran pemasaran hasil panen 2,0156 2,0156 2,2969 2,1094

Rata-rata 2,111 2,081 2,085 2,092

Sumber: Hasil analisis data primer (2017)

Berdasarkan rata-rata skor secara total menunjukkan wanita tani memiliki dominasi lebih tinggi dari rata-

rata pada enam aspek manajerial, yaitu penggunaan modal, jenis komoditi yang diusahakan, jumlah tenaga

kerja luar keluarga, upah tenaga kerja luar keluarga, waktu dan cara panen serta saluran pemasaran hasil

panen.

Page 370: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

356 |

Hasil selanjutnya yang dapat dibahas dari skor tersebut adalah pada tahap mana peran wanita tani

mendominasi pada keenam aspek manajerial tersebut. Berdasarkan rata-rata skor dominasi peran wanita tani

pada setiap tahap keputusan menunjukkan pola wanita tani cenderung berperan tinggi dalam hal penggunaan

modal dan penentuan jenis komoditi pada tahap intelligence. Dominasi peran wanita tani untuk tahap choice

terlihat dalam pengambilan keputusan aspek penentuan jumlah tenaga kerja, besar upah yang akan diberikan

pada tenaga kerja luar keluarga, aspek waktu pemasaran serta jalur pemasaran hasil panen.

Hasil wawancara dengan responden menunjukkan bahwa wanita tani memang sangat berperan dalam

pencarian informasi alternatif sumber modal serta jumlah modal yang diperlukan untuk musim tanam

berikutnya. Wanita tani di Desa Limbung menjalin hubungan sosial dengan warga di sekitar, dimana salah

satu kegiatannya adalah kelompok arisan. Pada kelompok tersebut biasanya terdapat kesempatan untuk

mendapatkan pinjaman modal usaha jika anggotanya memerlukan. Disamping itu, alternatif sumber modal

usahatani yang ada yaitu dari pedagang pengepul di desa. Wanita tani cenderung menjalin hubungan kerja

yang baik dengan pedagang pengepul, karena di Desa Limbung wanita tani sangat berperan dalam

pemasaran hasil pertanian.

Selain mendapatkan informasi terkait modal, hubungan sosial wanita tani dengan warga sekitar maupun

pedagang pengepul menjadi media bagi wanita tani untuk mendapatkan informasi-informasi lainnya. Seperti

jenis komoditi apa yang mudah ditanam, tidak mudah terserang hama penyakit, serta harga jual yang tinggi.

Dalam hubungannya dengan warga sekitar, wanita tani mendapatkan informasi berdasarkan pengalaman

warga lainnya tersebut. Sedangakan dari pedagang pengepul, wanita tani dapat memperoleh informasi pasar

berupa jenis komoditi yang memiliki harga dan permintaan yang sedang tinggi.

Dalam hal penentuan jumlah dan tingkat upah tenaga kerja luar keluarga wanita tani ikut memutuskan

berapa jumlah yang dibutuhkan serta berapa upah yang mampu mereka bayarkan. Tingginya peran wanita

tani dalam hal ini karena terkait dengan pengaturan modal usahatani yang umumnya ditangani oleh wanita

tani. Walaupun pada aspek-aspek ini secara teknis pelaksanaannya di lapangan lebih didominasi oleh petani

pria, karena umumnya tenaga kerja luar keluarga diperlukan pada saat pengolahan lahan untuk persiapan

tanam.

Pada aspek waktu pemasaran dan saluran pemasaran, wanita tani juga memegang peranan yang sangat

dominan. Hal ini disebabkan pada lokasi penelitian, kegiatan panen serta penjualan hasil panen dilakukan

oleh wanita tani. Sebagian besar wanita tani memutuskan bagaimana menjual hasil panen mereka.

Alternatifnya yaitu menjual kepada pedagang pengepul atau menjual langsung di pasar.

Pada aspek-aspek manajerial lainnya dominasi peran wanita tani cenderung lebih rendah dari nilai rata-

rata total, yaitu pada aspek penentuan luas lahan usahatani yang digarap, cara aplikasi pupuk, aplikas

pestisida, jenis peralatan yang digunakan, serta harga jual saat panen. Dari aspek-aspek manajerial tersebut,

dominasi peran wanita tani cenderung tinggi pada tahap intelligence, yaitu untuk aspek luas lahan yang

digarap, aplikasi pestisida, serta aspek harga jual hasil panen. Sedangkan pada aspek aplikasi pupuk wanita

berperan secara dominan dalam tahap design. Pada aspek keputusan peralatan yang digunakan dominasi

peran wanita pada tahap choice.

Keputusan penentuan luas lahan lebih didominasi oleh petani pria sebagai kepala keluaga. Dalam hal ini

wanita tani hanya berperan besar pada tahap intelligence, yaitu ikut mempertimbangkan berapa luas lahan

Page 371: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 357

yang mampu mereka olah terkait dengan kesiapan modal dan ketersediaan tenaga kerja. Pada aspek aplikasi

pestisida dominasi wanita tani pun cenderung rendah dalam keputusan akhir. Wanita tani berperan hanya

pada tahap mencari informasi kepada warga petani di sekitar terkait jenis pestisida dan cara mengatasi hama

dan penyakit. Sedangkan pelaksanaan pengendalian hama dan penyakit di lapangan selalu ditangani oleh

pria. Begitu juga halnya dengan dominasi peran wanita tani terhadap harga jual hasil panen. Peran wanita tani

hanya pada menanyakan harga terbaik dari beberapa pedagang pengepul yang ada di desa.

Untuk peran dalam tahap design, wanita tani memiliki peran dominan dalam hal aplikasi pupuk. Hal ini

sejalan dengan kondisi di lapangan dimana wanita tani ikut membantu dalam memutuskan kapan membeli

pupuk serta jumlahnya. Sedangkan keputusan untuk aplikasi pupuk di lapangan lebih didominasi oleh petani

pria. Dominasi peran wanita tani dalam cenderung tinggi pada tahap pengambilan keputusan akhir, choice,

yaitu pada aspek jenis peralatan yang akan digunakan di lahan usahatani. Hal ini disebabkan wanita tani

memiliki peran tinggi dalam pengelolaan keuangan usahatani, sehingga keputusan untuk membeli alat, jenis

serta pertimbangan manfaat yang didapatkan dipengaruhi oleh peran wanita tani.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil pembahasan dapat dirumuskan kesimpulan bahwa wanita tani memiliki peran dalam

pengambilan keputusan sebagian besar aspek-aspek manajerial. Walaupun dengan dominasi yang berbeda-

beda pada masing-masing tahap pengambilan keputusan (intelligence maupun choice). Hal tersebut

menunjukkan bahwa keputusan akhir seorang petani pria, yang menunjukkan perilakunya dalam menjalankan

usahatani, tidak terlepas dari peran wanita tani. Oleh karena itu, dalam proses perubahan perilaku petani ke

arah yang lebih baik sangat penting untuk ikut melibatkan wanita tani. Dengan kata lain, peningkatan

kapasitas wanita tani dalam menjalankan usahatani sangat dibutuhkan untuk mewujudkan usahatani yang

lebih produktif dan berkelanjutan.

DAFTAR PUSTAKA

Gibson, J. L., Ivancvich, M. J., & Donelly, J. H. (1996). Organisasi, Perilaku, Struktur. Proses. Jakarta:

Binarupa Aksara. Huki, L. (2016, Maret 26). Pengertian imitasi dan sugesti. Diambil kembali dari Blog Pengetahuan:

http://anen9.blogspot.co.id/2016/03/pengertian-imitasi-dan-sugesti.html Khasanah, W. (2008). Hubungan Faktor-Faktor Sosial Ekonomi Petani dengan Tingkat Adopsi Inovasi

Teknologi Budidaya Tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) di Kecamatan Lendah Kabupaten Kulon Progo. Surakarta: Faklutas Pertanian Universitas Sebelas Maret.

Mardikanto, T., & Sutarni, S. (1982). Penyuluhan Pembangunan Pertanian dalam Teori dan Praktek. Jakarta: Hapsari.

Samaria. (2012). Persepsi Dan Perilaku Petani Dalam Pengendalian Hama Dan Penyakit Pada Tanaman Sayuran Di Desa Kanreapia Kecamatan

Page 372: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

358 |

GATOT DAN SAMILER (BERBAHAN BAKU SINGKONG) DENGAN MENGGUNAKAN

METODE SWOT (STUDI KASUS: UKM AZZAISY DI MALANG)

Ita Yustina(1) , Farid Rakhmad Abadi(2) (1)Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Timur

(2) Balai Penelitian Kacang dan Umbi Corresponding author: [email protected]

Abstract Tantangan yang dihadapi oleh UKM seringkali menyebabkan UKM sulit berkembang, terutama UKM bahan pangan lokal seperti Kasava. Mulai dari permasalahan kontinyuitas bahan baku, pengembangan produk hingga pemasaran. Studi kasus dilakukan di UKM Azzaisy ayng memproduksi aneka produk berbahan baku kasava, seperti gatot, tiwul, samiler. Berdasarkan hasil analisa strategi melalui metode SWOT, kondisi UKM Azzaisy saat ini berada pada kuadran II, maka untuk mengembangkan usahanya UKM Azzaisy sebaiknya menggunakan strategi diversifikasi yaitu diversifikasi produk, sedangkan untuk permasalahan suplai bahan baku yaitu dengan membuat kerjasama dengan beberapa suplier bahan baku, dan pemasaran melalui penguatan kinerja reseller dan dropshipper. Keywords: UKM, bahan baku lokal, kasava, analisa SWOT

PENDAHULUAN

Keberadaan UKM di Indonesia dipercaya mampu menjaga kestabilan pertumbuhan ekonomi. Hal ini

sudah terbukti saat krisis moneter tahun 1997, industri besar banyak yang bangkrut dan menghentikan

operasinya, berbeda dengan UKM yang justru menjadi penggerak ekonomi yang masih tetap eksis saat itu

(Kristiyanti, 2012). Hal yang menjadikan UKM tetap kuat bertahan saat krisis global adalah produk/jasa yang

dihasilkan merupakan kebutuhan utama masyarakat maka kondisi krisis atau tidak, masyarakat tetap akan

membutuhkannya, sumber daya yang digunakan adalah sumber daya lokal baik tenaga kerja maupun bahan

sehingga tidak tergantung impor dan produksi dapat tetap terus berjalan, UKM memiliki biaya operasional

relatif kecil, bermodal mandiri (tanpa ditopang dana pinjaman bank).

Pangan lokal umumnya bersifat mudah dibudidayakan, pemanfaatan lahan (farm value), kemampuan

pemenuhan sendiri (tanpa impor). Bantacut (2016) menyebutkan bahan baku lokal seperti singkong, ubijalar,

jagung, kentang, sagu berpotensi sebagai upaya penganekaragaman pangan lokal. Saat ini pangan lokal

belum secara nyata tereksploitasi dalam agroindustri. Agroindusti hilir berbasis (tambacut). Ukm berbabahan

daar singkong salaah satu bentuk agroindustri pangan lokal hilir yang perlu dikemabngkan.

Deskripsi UKM

UKM Azzaisy adalah UKM yang bergerak dibidang pengolahan singkong. Produk yang dihasilkan adalah

gatot, tiwul, dan samiler. UKM ini mentargetkan konsumen pria dan wanita, menengah kebawah dan

Page 373: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 359

menengah ke atas, berumur diatas 20 tahun. Selain itu, masyarakat penderita penyakit diabetes/kolesterol

juga dibidik sebagai konsumen produknya. Karena beberapa produknya seperti tiwul dan gatot bebas gula dan

lemak (fat). Menurut Ong (2013) bahwa tuntutan konsumen saat ini tidak hanya produk yang enak namun juga

inovatif untuk menjadi produk yang menyehatkan. Produk dikemas dan dipasarkan dalam bentuk mentah,

kecuai keripik samiler juga dijual matang. Pengemasan produk sudah memenuhi kaidah dan tujuan

pengemasan, dimana untuk produk mentah dikemas menggunakan plastik PP ketebalan 0,08 dengan label

yang berisi informasi nama produk, nama produsen, netto, tanggal kadaluwarsa, petunjuk cara penyajian,

komposisi. Sedangkan keripik samiler matang dikemas mengunakan kemasan standing berbahan alumunium

foil dan menggunakan zipper sebagai penutup untuk menghindari penurunan kualitas saat produk dikonsumsi.

Juga dilengkapi dengan label yang menyajikan keterangan produk yaitu nama produk, nama produsen, netto,

tanggal kadaluwarsa, komposisi.

UKM memiliki 2 lokasi pengelolaan bisnis, yaitu rumah produksi di Malang Selatan dan kantor untuk

pengelolaan pemasaran dan administrasi di Malang kota. Rumah produksi ditempatkan di Malang selatan

untuk mendekati suplai bahan baku dan tenaga kerja. Kantor sebagai ruang inventory untuk produk yang siap

dipasarkan, karena pada tenaga pemasaran dan konsumen banyak berada di Malang kota.

Dalam pemasaran produk penting untuk menentukan cara dan tempat pemasaran serta upaya promosi.

Dalam agroindusti ini sistem pemasaran menggunakan kombinasi pasar riil (tradisional) dan maya (sistem

online). Sales yang dimiliki adalah sales Freelance tanpa batas minimal maksimal penjualan. Sales lebih

menyukai pemasaran secara on line. 2 tipe age pemasaran atau sales yang digunakan adalah dropshipper

dan reseller. Dropshipper mendapat persentase keuntungan 10% dari harga jual produk. Harga jual produk flat

sesuai yang ditentukan perusahaan. Sedangkan untuk reseller bebas dalam menentukan harga jual dan

pengambilan keuntungan. Namun terdapat batasan minimum belanja produk 30 bungkus. Fungsi promosi

dilakukan oleh sales dan perusahaan membantu memberikan materi promosi. Dropshipper dan reseller

mayoritas dari berdomisili sekitaran kota Malang, namun terdapat beberapa dari luar kota Malang. Konsumen

produk berasal dari kota malang dan luar malang, namun perusaahan tidak dapat merekam jejak konsumen

karena sistem pemasaran menggunakan agen pemasaran freelance, sehingga selama ini tidak ada informasi

mengenai konsumen. Sistem pemasaran online menyebabkan kebutuhan jasa pengiirman sangat penting.

Perusahaan telah memeiliki kerjasama dengan agen pengiriman, sehingga pengiriman produk tidak menjadi

kendala.

Proses produksi gatot dan samiler menggunakan proses yang sederhana namun tetap menjaga

kebersihan untuk menjaga kualitas produk yang dihasilkan. Proses pengolahan gatot terdiri atas pengupasan,

pencucian, pemotongan, penjemuran dan fermentasi, perendaman 12 jam, pencucian, pengukusan,

penjemuran. Titik kritis proses pembuatan gatot adalah penjemuran dan fermentasi. Proses yang tidak tepat

dan bahan baku yang tidak memenuhi standart akan membentuk produk yang kurang berkualitas dan tidak

disukai oleh konsumen.

Proses pembuatan samiler lebih mudah dan lebih singkat dibandingkan gatot. Yaitu dengan cara

singkong dikupas, cuci, parut halus, campur dengan bumbu, cetak lembaran tipis, kukus dan jemur. Untuk

samiler mentah. Dan dilanjutkan penggorengan untuk samiler matang. Ketiga macam produk melalui proses

pengeringan. Tahap pengeringan ini merupakan tahap kritis, jika pengeringan tidak optimal akan

Page 374: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

360 |

menyebabkan produk tidak tahan simpan, mudah berjamur, dan menimbulkan rasa pahit. Saat musim hujan,

UKM tidak dapat hanya mengnadalkan tenaga sinar matahari dengan pengeringan manual, namun

perusahaan telah memiliki mesin pengering yang sangat emmbantu terutama saat intesitas sinar matahari

kurang. Kotler & Armstrong (2008) mengatakan bahwa kualitas produk merupakan senjata strategis

yang potensialuntuk mengalahkan pesaing.

singkong merupakana bahan baku utama yang digunakan dalam produksi gatot, tiwul dan samiler.

Singkong memiliki karakter yang kurang mendukung sebagai bahan baku industri yaaitu produksi per tahun

rendah dan mudah busuk (Sagala 2017). Oleh sebab itu supplay singkong terkadang menjadi kendala buat

agroindustri pengoahan singkong. UKM memperoleh bahan baku dari petani singkong, pedagang singkong

atau pedagang gaplek. Ketersediaan singkong cukup banyak, namun pada saat-saat tertentu seperti saat

musim penghujan, produktivitas singkong menurun, ketersediaan singkong berkurang, menyebabkan

perusahaan harus bersaing dengan industri lain dalam mendapatkan bahan baku. Biasanya pada saat itu,

harga singkong segar dan gaplek naik cukup drastic dan kualitas jg kurang baik, karena petani kesulitan

menyimpang dna mengerigkan singkong dan gapleknya. Sehingga sebagai upaya untuk mepertahankan

kualitas, gaplek disortasi terlebih dahulu, sehingga rendemen menjadi turun.

Visi perusahaan adalah menjadi perusahaan yang menghasilkan produk olahan berbahan baku lokal

yang berkualitas, selalu fokus pada pelanggan dan berorientasi pada profit, dengan bekerja bersama dengan

karyawan, agen pemasaran dan suplier. Misi perusahaan adalah 1) menjaga kualitas produk yang

dihasilkan, baik kualitatif maupun kuantitif , 2) menjaga kontinyuitas suplai bahan baku, 3) meningkatkan

jumlah penjualan produk. Tujuan penelitian ini adalah untuk menggali informasi yang berkenaan mengenai

UKM yang akan digunakan untuk menyusun strategi UKM dalam mencapai visi dan misinya.

Page 375: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 361

METODOLOGI

Penelitian ini adalah penelitian deskripstif dengan pendekatan kualitatif. Analisis data yang dilakukan

melalui tahapan sebagai berikut:

HASIL DAN PEMBAHASAN

Faktor Internal dan Eksternal UKM

Tabel 1. IFAS

No. Kekuatan Bobot Rating Skor

1 Manajemen Pemasaran sudah terbentuk 0,10 3,75 0,375

2 Produk berkualitas 0,14 4,00 0,56

3 Proses produksi yang higienis 0,14 3,75 0,525

4 Memiliki tenaga kerja cukup 0,09 3,75 0,3375

5 Adanya margin keuntungan 0,05 2,50 0,125

Jumlah 0,52 1,9225

No. Kelemahan Bobot Rating Skor

1 Keterbatasan modal 0,06 4,00 0,24

2 Ketersediann bahan baku tidak menentu baik

kualitas maupun kuantitas

0,16 3,00 0,48

3 Tidak memiliki staf bagian mencari bahan baku 0,12 2,00 0,24

4 agen pemasaran yang bekerja kurang optimal 0,14 2,5 0,35

Jumlah 0,48 1,31

Skor kekuatan – kelemahan = 1,9225-1,3100= 0,6125

Tabel 2. EFAS

No. Peluang Bobot Rating Skor

1 perusahaan produk sejenis masih sangat rendah 0,15 3,50 0,52

2 Pangsa pasar yang masih luas (dalam & luar negeri) 0,14 3,50 0,49

3 Pasar tenaker cukup banyak 0,06 4,00 0,24

4 Peminat produk meningkat (khususnya pemerhati 0,14 2,50 0,35

Survey UKM

Profil UKM

Grand Strategi Pengembangan UKM

Strategi Pelaksanaan

Analisa Deskriptif

Analisa SWOT

Page 376: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

362 |

kesehatan)

Jumlah 0,49 1,60

No. Ancaman Bobot Rating Skor

1 Masalah bahan baku sangat bergantung pada suplier 0,17 4,00 0,68

2 Persaingan mendapatkan bahan baku dengan

industri lain

0,15 3,00 0,45

3 Penyuka produk terbatas umur tertentu 0,16 3,00 0,48

4 Kenaikan ongkos kirim dari ekspedisi pengiriman 0,03 1,00 0,03

Jumlah 0,51 1,64

Skor Peluang – Ancaman= 1,60-1,64 = - 0,04

Diagram SWOT merupakan diagram yang digunakan untuk menentukan posisi perusahaan dengan

cara memadukan kekuatan (strength), kelemahan ( weakness), peluang (opportunities) dan ancaman

(threat) sehingga dapat ditentukan titik koordinat.

Matriks Grand Strategy (Matriks Posisi)

Matriks Grand Strategy digunakan untuk mengetahui strategi bisnis yang tepat bagi perusahaan.

Perusahaan dapat memilih untuk menggunakan kekuatan atau mengatasi kendala. Menurut Rangkuti (2015),

adapun ide dasar dari strategi ini adalah pemilihan dua variabel sentral di dalam proses penentuan,

yaitu penentuan tujuan utama grand strategy dan memilih faktor-faktor internal atau eksternal untuk

pertumbuhan atau profitabilitas. Penentuan posisi perusahaan dilakukan dengan cara memadukan kekuatan

(strength), kelemahan ( weakness), peluang (opportunities) dan ancaman (threat) milik perusahaan

sehingga dapat ditentukan titik koordinat dalam diagram SWOT. Diagram SWOT merupakan diagram

yang digunakan untuk menentukan posisi perusahaan dengan sehingga dapat ditentukan titik koordinat.

Berdasarkan gambar 1 dapat dilihat titik koordinat (0,6125 , -0,04) yang diperoleh menunjukkan

bahwa UKM Azzaisy berada pada kuadran II (mendukung strategi Diversifikasi). Posisi ini merupakan

situasi dimana meskipun menghadapi berbagai ancaman (skor 1,64), perusahaan mempunyai kekuatan

keunggulan sumber daya (skor 1,92), perusahaan-perusahaan pada posisi seperti ini dapat menggunakan

kekuatannya untuk memanfaatkan peluang jangka panjang, dilakukan melalui penggunaan strategi

diversifikasi.

Page 377: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 363

Untuk meminimalisir biaya operasional, Strategi diversifikasi yang digunakan sebaiknya strategi

penambahan produk baru yang memiliki kesamaan teknologi. Fasilitas, jaringan pasar/pemasaran dengan

produk yang sudah diproduksi sebelmnya. Karena ancaman ukm ini adalah suppply bahan baku singkong,

maka strategi yang bisa diambil adalah dengan menambah produk baru yang teknologi pembauatannya

memiliki kesamaan proses dan peralatan, anatara lai produk dari jagung seperti marning, keripik, emping.

Produk ini juga bisa dijual mentah maupun matang, dengan tipe/jenis kemasan yang sama dengan produk

yang sudah ada.

Dalam proses peengambangan usaha ini UKM dapat meminimalisir resiko dengan diversifikasi. Jika

salah satu unit produksi mengalami kemacetan produksi atau bahkan kerugian, maka perusahaan masih bisa

menjalankan proses produksi unit yang lain. Sehingga perusahaan tidak berhenti beroperasi.

Matriks SWOT Alat yang digunakan untuk menyusun faktor-faktor strategis usaha . Matriks SWOT

akan menggambarkan bagaimana peluang dan ancaman eksternal digabungkan dengan kekuatan dan

kelemahan pada agroindustri produk olahan singkong di UKM Azzaisy Malang, sehingga akan menghasilkan

suatu rumusan strategi pengembangan usaha.

Tabel 3. Matrik SWOT

Ekternal dan internal Kekuatan (S)

1. Manajemen Pemasaran sudah terbentuk melaui pemasaran online dan jaringan dropshipper dan reseller

2. Produk berkualitas sesuai dengan standart konsumen

3. Proses produksi yang higienis dengan menggunakan alat dan sarana pengeringan buatan

4. Tenaga kerja tersedia cukup 5. Adanya margin keuntungan

dari hasil penjualan produk

Kelemahan (W)

1. Keterbatasan modal 2. Bahan baku sangat bergantung

pada suplier (tidak memiliki kebun sendiri)

3. Manajemen yang dimiliki masih sederhana, belum ada staf bagian khusus mencari bahan baku

4. Memiliki agen pemasaran yang bekerja kurang optimal karena karena pemasaran produk gatot dan samiler sebagai pekerjaan sampingan.

Peluang (O)

1. Persaingan perusahaan produk sejenis masih sangat rendah

2. Pangsa pasar yang masih luas (dalam dan luar negeri)

3. Merupakan lapangan pekerjaan bagi masyarkat di sekitar lokasi produksi sebagai buruh dan masyarakat umum sebagai agen

Strategi S-O

1. Meningkatkan penjualan produk dan memperluas pemasaran dalam negeri dengan mengoptimalkan agen pemasaran yang dimiliki.

2. penigkatan kapasitas produksi dengan tenaga kerja yang tersedia banyak di lokasi produksi

3. memperluas area pemasaran luar negeri (khususnya konsumen indonesia yang berada di luar negeri) dengan memberikan motivasi dan

Startegi W-O

1. memiliki tenaga kerja khusus menggali informasi suplier bahan baku seperti petani singkong, dengan makelar singkong/gaplek, pasar yang bisa diambil dari orang setempat yang lebih mengenal kondisi setempat.

2. menjaga kontinyuitas produksi dengan memiliki stok bahan baku dan pekerja (bidang produksi dan pemasaran) yang cukup.

3. menjaga hubungan baik dengan suplier bahan baku untuk keterjaminan

Page 378: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

364 |

pemasaran online 4. Peminat produk

semakin meningkat dengan semakin meningkatnya jumlah penderita diabetes/kolesterol dan masyarkat umum yang peduli jajanan sehat.

5. Fee yang cukup tinggi untuk agen pemasaran yaitu minimal 10%

ketrampilan pemasaran di retail virtual luar negeri.

kelangsungan produksi 4. memberikan bonus kepada

agen pemasaran yang berhasil mencetak penjualan tertentu

Ancaman (T)

1. Ketersediann bahan baku yang sanagt fluktuatif baik jumlah maupun kualitas

2. Persaingan mendapatkan bahan baku dengan industri lain

3. Kenaikan ongkos kirim dari ekspedisi pengiriman

4. Konsumen produk terbatas orang tua/dewasa dan sedikit remaja/anak-anak

Strategi S-T

1. menyetok bahan baku berupa produk setengah jadi (gaplek) yang berkualitas baik saat harga singkong segar rendah dan jumlahnya banyak, diproses dengan alat pengering lalu disimpan dengan metode penyimpanan yang baik agar tahan sampai berbulan-bulan.

2. memotivasi agen pemasaran dan memberi pengetahuan tentang kandungan baik dalam produk, manfaat untuk kesehatan, khususnya untuk penderita diabetes/kolesterol/gluten untolerance dan masyarakat secara umum, sebagai media promosi

3. Memberikan inovasi rasa dan kemasan menarik yang disukai konsumen anak, remaja, dan dewasa seperti rasa pandan, rasa pedas, rasa manis gula merah, dll. dan menghindari kesan tradisional.

Strategi W-T

1. untuk menjaga ketersediaan bahanbaku, perlu memiliki tenaga kerja khusus menggali informasi suplier bahan baku seperti petani singkong, dengan makelar singkong/gaplek, pasar

2. menjaga hubungan baik dengan suplier bahan baku yang sudah dikenal dan membuat kontrak kerjasama dengan suplier bahan baku

3. inovasi produk dengan pemberian varian rasa dan kemasan yang menarik.

Strategi Operasional

Sesuai misi perusahaan yaitu 1) menjaga kualitas produk yang dihasilkan, baik kualitatif maupun

kuantitif, 2) menjaga kontinyuitas suplai bahan baku, 3) meningkatkan jumlah penjualan produk. Dimensi

strategi operasi dapat dikelompokkan menjadi empat yaitu: biaya, kualitas, fleksibilitas, dan delivery. Keempat

dimensi strategi tersebut bukanlah strategi yang saling meniadakan satu sama lain, tetapi merupakan satu

kesatuan yang terpadu dan saling memperkuat. Maka strategi operasi produksi dan pemasaran untuk

Page 379: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 365

memenuhi ketiga misi tersebut, yaitu produk yang dihasilkan memiliki kualitas yang baik (quality), proses

produksi dan pengiriman produk (delivery) tepat waktu, dan biaya yang murah (cost), dan bersifat fleksibel.

Maka dibutuhkan fungsi atau tenaga dalam struktur organisasi perusahaan untuk hunting suplier bahan baku

seperti petani singkong, pedagang singkong/gaplek, menjaga hubungan baik dengan suplier bahan baku yang

sudah dikenal dan membuat kontrak kerjasama dengan suplier bahan baku sebagai ikatan serta melakukan

inovasi produk dengan pemberian varian rasa dan kemasan yang menarik untuk segmen konsumen yang

lebih luas yaitu dewasa, remaja dan anak.

Strategi difersifikasi yang sesuai untuk pengembangan usaha UKM Azzaisy adalah: dengan

menciptakan produk baru (selain produk yang sudah ada) yang berbahan baku selain singkong, tetapi masih

termasuk bahan lokal dan tetap konsekuen pada pangan sehat (non gluten, non kolesterol, rendah kalori)

seperti jagung. Jagung memiliki masa panen yang lebih pendek, sehingga diharapkan jumlahnya di pasar

bahan baku lebih banyak dan kontinyu. Dengan memanfaatkan tenaga kerja yang ada, peralatan pengering

buatan, dan agen pemasaran yang telah dimiliki akan dihasilkan produk olahan baru yang berkualitas dan

dapat memperluas pasar yang dimiliki saat ini. Diversifikasi produk menghasilkan rasa yang berbeda juga

akan meningkatkan minat masyarakat terhadap produk; menjalin kerjasama dengan beberapa suplier

pedagang dan petani; memberikan pelatihan kepada agen pemasaran yang dimiliki untuk meningkatkan

pengetahuan keunggulan produk dan ketrampilan dibidang pemasaran.

UKM di era Revolusi Industri 4.0

Di era revolusi industri 4.0, IoT (Internet of Thing), big data, blockchain telah banyak dimanfaatkan baik

dalam industri maupun dalam kehidupan sehari-hari. Tanpa kita sadari, saat kita menggunakan aneka aplikasi

dalam smartphone, ikut telah memanfaatkan IoT, big data bahkan blockchain. UKM dengan karakter sumber

daya dan modal terbatas, tidak dapat dituntut untuk penggunaan IT dalam teknologi prosesnya, namun

penggunaan IT berpeluang sebagai media pemasaran. UKM Azzaisy telah menggunakan metode pemasaran

berbasis internet. Para dropshipper dan reseller lebih suka memasarkan produknya menggunakan

pemasaran online, dan sebagian diantaranya menggunakan platform seperti Shopee, facebook fun page,

tokopedia, bukalapak, dsb. Dengan demikian pemasaran berpeluang semakin luas dan tidak dibatasi oleh

lingkungan produsen dan tempat produksi. Namun kendala pemasaran masih dihadapi oleh UKM ini, hal ini

disebabkan karena sebagian besar dropshipper dan reseller masih menempatkan pekerjaan pemasaran

produk ini sebagai pekerjaan sampingan dan kurang serius. Maka strategi yang dapat dilakukan adalah

dengan memberikan reward khusus kepada dropshipper dan reseller berdasarkan capaian penjualan. Bisa

juga penyebabnya karena mereka belum memiliki ketrampilan pemasaran berbasis internet, sehingga prestasi

penjualan kurang optimal. Maka perusahaan perlu memberikan pengetahuan dan ketrampilan mengenai

berbagai cara pemasaran berbasis internet.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil analisa strategi melalui metode SWOT, dihasilkan kesimpulan bahwa kondisi UKM

Azzaisy saat ini berada pada kuadran II, maka untuk mengembangkan usahanya UKM Azzaisy sebaiknya

menggunakan strategi diversifikasi yaitu diversifikasi produk, sedangkan untuk permasalahan pemasaran yaitu

Page 380: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

366 |

dengan mencari dan membuat kerjasama dengan beberapa suplier bahan baku untuk meningkatkan

kontinyuitas bahan baku.

DAFTAR PUSTAKA

Ranagkuti, F. 2015. Analisis SWOT: Teknik Membedah Kasus Bisnis. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta Ong I.A. dan Sugiono Sugiharto, 2013. Analisa Pengaruh Strategi Diferensiasi, Citra Merek, Kualitas Produk

Dan Harga Terhadap Keputusan Pembelian Pelanggan Di Cincau Station Surabaya. Jurnal Manajemen Pemasaran Vol. 1, No. 2. Hal. 1-11

Armstrong. (2008). Prinsip – Prinsip Pemasaran. Edisi 12, Jilid 1. Erlangga, Jakarta. Bantacut, Tajudin. 2016. Pengembangan agroindustri pangan berbasis komoditas lokal untuk kemandirian dan

kedaulatan pangan. Seminar Nasional Strategi Keberlanjutan Kedaulatan Pangan Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean.

Kristiyanti, M. (2012). Peran Strategis Usaha Kecil Menengah (UKM) dalam pembangunan Nasional. Majalah Ilmiah Informatika, 3(1), 63-89.

Page 381: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 367

UNIT PENGOLAHAN DAN PEMASARAN BOKAR (UPPB) : KERAGAAN DAN

EKSISTENSINYA DI PROVINSI JAMBI

Ernawati HD, Dompak Napitupulu, Mirawati Yanita

Jurusan Agribisnis, Fakultas Pertanian Universitas Jambi Corresponding author: [email protected]

Abstract. Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan kondisi eksisting UPPB dan mengkaji eksistensinya di Provinsi Jambi. Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Fishbone Analysis. Analisis dengan diagram sebab-akibat dipergunakan untuk menunjukkan faktor-faktor penyebab (sebab) dan karakteristik kualitas (akibat). Hasil penelitian menunjukkan bahwa Provinsi Jambi memiliki 52 UPPB, dimana 61,53 % diantaranya memiliki sarana dan bangunan lengkap dan 46,88 % aktif beroperasi. Keberadaan atau eksistensi UPPB di Provinsi Jambi belum berjalan sesuai dengan tujuannya. Hal ini dikarenakan masih terdapat permasalahan dari sisi petani itu sendiri sebagai pelaku, ketersediaan modal, sistem panen dan pasca panen yang dilakukan petani dan penggunaan bibit yang tidak unggul, serta masih dilakukannya praktek perdagangan bokar yang tidak menguntungkan petani. Hasil analisis Fishbone menunjukkan bahwa perlu membangun kembali kemitraan yang memposisikan petani melalui kelompok tani atau koperasi petani di dalam UPPB sebagai pemasok yang dapat berhubungan langsung dengan pasar dalam hal ini pabrik crumb rubber serta dukumgan perhatian yang sungguh-sungguh dari pihak terkait. Keywords: UPPB, Keragaan, Eksistensi

PENDAHULUAN

Komoditas karet alam telah menjadi salah satu komoditas ungulan Indonesia dalam menghasilkan

devisa terutama setelah daya dukung minyak dan gas semakin menurun. Data statistik menunjukkan bahwa

meskipun harga karet alam di pasar Singapura sebagai pasar utama ekspor karet alam Indonesia secara

fluktuatif menurun setelah mencapai titik tertinggi (US $. 1481/ton) pada tahun 1995, hinga dua puluh tahun

kemudian yakni pada Tahun 2014 hasil penjualan komoditas karet ke luar negeri tercatat mampu

menyumbang devisa senilai US $. 8,398 milyar dollar AS atau sekitar Rp 83,98 triliun (Pusdatin Pertanian,

2015). Penurunan harga karet yang terjadi secara konsisiten dari tahun ke tahun di pasar dunia telah

diantisipasi dengan berbagai upaya intervensi pasar yang salah satu diantaranya dengan upaya pengurangan

penawaran melalui kesepakatan tiga negara produsen utama karet dunia yakni Thailand, Indonesia dan

Malasysia. Namun upaya tersebut tidak memberikan hasil sebagaimana yang diharapkan. Rendahnya mutu

karet yang dihasilkan oleh produsen utama karet alam dunia menyebabkan harga karet alam yang

diperdagangkan cenderung semakin rendah. Karet di Indonesia umumnya diusahakan oleh petani

perkebunan rakyat yang dicirikan oleh produktivitas yang rendah, pemeliharaan yang minim, mayoritas pohon

tua dan rusak, serta inefisiensi dalam proses pemasaran dan distribusi, ketidakadilan harga penjualan serta

rendahnya pendapatan yang diterima petani (Anuja, 2012).

Page 382: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

368 |

Sesuai dengan bentuk fisik karet alam yang diperdagangkan, mayoritas atau sekitar 81,44 % ekspor

karet alam tersebut tergolong pada produk industri primer. Berdasarkan jenis komoditasnya, bahan olahan

karet (bokar) yang dihasilkan dapat dibedakan ke dalam karet remah Standard Indonesian Rubber (SIR)

sebanyak 96,9 %, karet Sit Ribbed Smoked Sheet (SRSS) sebanyak 2,6 %, dan dalam bentuk lateks pekat

(0,5 %). Jenis mutu produk karet remah sendiri terdiri atas SIR 10 (2,8 %), SIR 20 (95 %), SIR 3L (0,5 %), SIR

3CV (1,5 %). Dengan demikian hanya sekitar 18,56 % dari total produksi produk primer diserap industri

barang jadi karet di Indonesia. Dari jumlah tersebut sekitar 50 % diserap oleh industri ban, 15 % oleh industri

sarung tangan dan sejumlah 35 % diserap oleh industri benang/gelang karet, alas kaki, vulkanisir ban, sarung

tangan medis, karpet dan lainnya (Kementerian Perindustrian, 2013).

Gambaran dari industri karet alam di Provinsi Jambi kiranya tidak jauh berbeda dengan provinsi-

provinsi penghasil karet lainnya di Indonesia. Provinsi Jambi merupakan penghasil karet alam keempat

terbesar di Indonesia setelah Sumatera Selatan, Sumatera Utara, dan Riau. Tabel 1 menunjukkan luas areal,

produksi karet dan keadaan tanaman di Sumatra tahun 2014.

Tabel 1. Luas Areal dan Produksi Perkebunan Karet Menurut Provinsi di Sumatra dan Keadaan Tanaman

Tahun 2014

No. Provinsi Luas (Ha) Produksi (Ton) Petani

TBM TM TTM/TR Jumlah Total /Ha KK

1. Aceh 16.972 81.393 15.612 113.977 74.526 916 85.706

2.

Sumatera

Utara 36.916 384.068 2.212 423.196 409.450 1.066 153.905

3.

Sumatera

Barat 10.739 118.243 517 129.499 120.648 1.020 151.121

4. Riau 26.815 305.312 13.342 345.469 323.621 1.060 199.626

5.

Kepulaua

n Riau 3.333 17.917 2.420 23.670 20.817 1.162 15.071

6. Jambi 53.602 306.167 18.235 378.004 262.173 856 211.905

7.

Sumatera

Selatan 108.252 705.666 21.444 835.362 947.890 1.343 459.874

8.

Kepulaua

n Babel 9.104 36.931 689 46.724 46.203 1.251 41.762

9. Bengkulu 19.067 75.967 1.007 96.041 92.508 1.218 74.735

10. Lampung 28.561 122.822 817 152.200 130.553 1.063 119.842

Jumlah 313.361

2.154.4

86 76.295 2.544.142 2.428.389 1.127 1.513.547

Sumber : Statistik Perkebunan Indonesia Komoditas Karet 2014-2016

Data pada Tabel 1 menunjukkan bahwa salah satu daerah sentra produksi karet alam di Pulau

Sumatera adalah Provinsi Jambi yakni dengan produktivitas rata rata sebesar 856 Kg/Ha relatif lebih rendah

Page 383: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 369

dibandingkan dengan provinsi Sumatra Selatan yakni sebesar 1.343 Kg/Ha. Hal ini menunjukkan bahwa pada

dasarnya potensi karet alam sebagai sumber mata pencaharian petani di Provinsi Jambi masih dapat

ditingkatkan. Selain memiiki potensi yang belum optimal, peran komoditas karet sebagai pendorong

pertumbuhan ekonomi daerah masih dapat ditingkatkan melalui peningkatan nilai tambah yang dapat

dihasilkan. Mayoritas karet alam Provinsi Jambi masih dipasarkan ke luar negeri dalam bentuk bahan olahan

karet kering (Bokar) dengan kualitas SIR20 yang merupakan kualitas karet terendah yang dapat memasuki

pasar internasional. Peningkatan nilai tambah karet alam Provinsi Jambi yang dapat dilakukan melalui

peningkatan mutu bokar dan diiukuti dengan peningkatan nilai tambah melalui perubahan bentuk masih perlu

dilakukan. Potensi komoditas karet sebagai tumpuan ekonomi keluarga dan basis perekonomian daerah juga

dapat dilihat dari sistem pemasaran karet yang masih belum berpihak kepada petani produsen (Kopp, 2015).

Dari aspek sosial ekonomi dapat dilihat bahwa umumnya usaha perkebunan karet di Provinsi Jambi

diusahakan oleh petani rakyat masih dalam skala yang relatif kecil. Dilain sisi, usahatani karet bagi sejumlah

daerah dapat dikatakan merupakan way of life yang merupakan sumber pendapatan utama bahkan satu

satunya bagi keluarga petani rakyat. Data statistik menunjukkan bahwa terdapat sekitar 250.000 rumah tangga

petani di Provinsi Jambi bergantung pada pengusahaan karet (Statistik Tahunan Perkebunan, 2015). Hal ini

dapat menunjukkan peran komoditas karet alam yang cukup besar dalam perekonomian baik rumah tangga

petani maupun daerah.

Data menunjukkan selain masalah produktivitas dari sisi on farm atau aspek produksi komoditas

karet, masalah lain adalah masih rendahnya bagian yang diterima petani di Provinsi Jambi, yaitu hanya

berkisar 55%, sedangkan dari sektor hilir terjadi masalah industri barang karet yang perlu lebih mendapatkan

perhatian dari pemerintah dan pelaku usaha terutama di Provinsi Jambi (Yanita, et.al, 2016). Saat ini kebijakan

pembangunan perkebunan telah berubah arah, tidak lagi hanya menitikberatkan pada peningkatan produksi

tetapi juga berupa pengembangan agribisnis komoditas perkebunan yang terpadu, berdaya saing,

berkelanjutan dan berkerakyatan.

Bagi Provinsi Jambi, hampir 85 % lebih pengusahaan perkebunan karet dimiliki oleh perkebunan

rakyat. Mengusahakan karet merupakan satu kunci untuk perkembangan sosial ekonomi masyarakat di

pedesaan, peningkatan situasi sosial ekonomi berjuta juta petani. Secara total 250.000 rumah tangga petani

bergantung pada pengusahaan karet (Statistik Tahunan Perkebunan, 2015). Hal ini mengindikasikan betapa

satu juta petani akan merasakan dampak dari pengusahaan karet ini. Terlebih lagi bila diikuti oleh

ketidaksesuaian kondisi pasar yang menjadi kerugian bagi petani itu sendiri (Kopp, 2015).

Page 384: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

370 |

Petani sebagai penghasil karet utama melalui perkebunan rakyat masih mengalami kendala dalam

hal proses distribusi karet (Sujardwo, 2015) Selama ini distribusi karet di provinsi Jambi mayoritas dilakukan

petani melalui pedagang pengumpul. Menurut Napitupulu (2011), terdapat sejumlah 5 (lima) lembaga yang

membentuk 12 kombinasi saluran pemasaran yang terlibat dalam pengaliran bokar dari titik produsen sampai

ke pabrik crumb rubber dengan kualitas karet yang diperdagangkan masih rendah. Keadaan ini membuat

bagian harga yang diterima petani semakin berkurang.

Pemerintah Provinsi Jambi melalui Dinas Perkebunan telah membentuk Unit Pengolahan dan

Pemasaran Bahan Olah Karet (UPPB) yang merujuk pada Permentan Nomor 8 Tahun 2008. UPPB

merupakan satuan usaha atau unit usaha yang dibentuk oleh dua atau lebih kelompok pekebun sebagai

tempat penyelenggaraan bimbingan teknis pekebun, pengolahan, penyimpanan sementara dan pemasaran

BOKAR. Tujuan dibentuknya UPPB ini adalah agar kegiatan petani dalam proses pengolahan lateks menjadi

BOKAR dapat sesuai dengan baku mutu serta membantu kegiatan pemasaran di tingkat usahatani dengan

tujuan untuk mendapatkan harga yang proposional bagi pekebun atau petani karet.

Berdasarkan kondisi ini, ke depan untuk mengantisipasi perubahan permintaan karet dalam negeri

dan ekspor guna mendapatkan akselerasi industri perkaretan Jambi sehingga petani akan mendapatkan

harga yang lebih kompetitif serta diperoleh nilai tambah dari BOKAR bersih yang dihasilkan, diperlukan kajian

lebih lanjut terkait Kajian Sosial ekonomi Keberadaan atau kondisi eksisting Unit Pemasaran dan Pengolahan

BOKAR (UPPB) di Provinsi Jambi.

Provinsi Jambi sendiri sangat berkepentingan untuk segera melakukan kegiatan menghasilkan

BOKAR bersih dan meningkakan bagian harga yang diterima petani, dikarenakan hal berikut ini. selain alasan

wilayah ini sebagai salah satu sentra produksi karet juga akan memiliki pelabuhan laut berskala nasional.

Sehingga seharusnya ada suatu counter policy dan evaluasi keberadaan UPPB yang tepat, terukur dan

terarah untuk meningkatkan bagian harga yang diterima petani sesuai dengan PERMENTAN No 38 Tahun

2008 tersebut.

Saat ini dimana kondisi perekonomian yang terus berkembang, sektor industri termasuk industri agro

telah menunjukkan peran yang semakin penting dan strategis. Karet sebagai salah satu bahan baku industri

dan penyumbang devisa dari sisi non migas telah mendapatkan perhatian yang cukup dari pemerintah.

Dengan dibentuknya UPPB, diharapkan petani yang tergabung dalam kelompok tani dapat mendistribusikan

karet bersih kepada UPPB dan didistribusikan ke pabrik tanpa melalui pedagang pengumpul. Proses

memperpendek jalur distribusi ini dapat meningkatkan bagian yang diterima petani. Kondisi di lapangan dari

52 UPPB yang telah dibentuk oleh Dinas perkebunan hanya 30 persen yang masih aktif melaksanakan

kegiatan. Sehingga dengan fenomena ini sangat disayangkan tujuan awal dibentuknya UPPB akan

Page 385: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 371

mengalami hambatan. Penelitian ini ditujukan untuk menggambarkan kondisi eksisting UPPB dan mengkaji

eksistensinya di Provinsi Jambi.

METODOLOGI

Penelitian dilaksanakan pada 7 (tujuh) wilayah kabupaten yang menjadi wilayah penyebaran usahatani

karet di Provinsi Jambi. Data pengembangan perkebunan berbasis komoditas karet Provinsi Jambi

menunjukkan bahwa terdapat 52 Unit Pengolahan dan Pemasaran Bokar (UPPB) yang tersebar pada tujuh

Kabupaten tersebut. Guna menjawab tujuan penelitian dihimpun data primer dari responden pengelola UPPB

dan data sekunder dari instansi terkait.

Pengumpulan data dilakukan dengan metode survei dengan mewawancarai seluruh UPPB baik yang

masih aktif maupun yang sudah tidak aktif lagi. Karakteristik yang dilihat adalah 1) UPPB yang memiliki

fasiltas lengkap dan melaksanakan fungsi UPP, 2) UPPB yang mempunyai kelengkapan kelembagaan tetapi

tidak menjalankan fungsi UPPB dan 3) UPPB yang tidak lengkap syarat keberadaannya UPPB dan tidak

menjalankan fungsi UPPB. Variabel Utama yang dilihat adalah eksistensi Unit Pengolahan Pemasaran Bokar

(UPPB). Analisis data dengan metode deskriptif untuk menjawab tujuan pertama yang menggambarkan

secara keseluruhan kondisi eksisting UPPB yang ada di provinsi Jambi, seperti nama setiap UPPB,

kelengkapan sarana dan prasarana UPPB, Surat Tanda Registrasi, Surat Ketrangan Asal, kapasitas pasokan,

alamat UPPB dan sebagainya. Selain itu juga akan dijabarkan kondisi eksisting dari UPPB secara

keseluruhan.

Hal lain yang digambarkan seperti frekuensi penjualan BOKAR UPPB ke pabrik, Volume BOKAR,

persentase yang aktif maupun yang tidak aktif. Demikian pula terkait hambatan dan peluang serta kekuatan

selama bergabung maupun tidak lagi antara UPPB dan pihak pembeli. Data disajikan secara tabulasi dan

persentase baik dengan tabel dan dinarasikan untuk memberikan gambaran mendalam mengenai UPPB yang

ada di Provinsi Jambi.

Tujuan kedua dengan menggunakan kuesioner dan dianalisis dengan Fishbone Analysis. Analisa tulang

ikan dipakai untuk mengkategorikan berbagai sebab potensial dari satu masalah atau pokok persoalan

dengan cara yang mudah dimengerti dan rapi. Juga alat ini membantu kita dalam menganalisis apa yang

sesungguhnya terjadi dalam proses. Yaitu dengan cara memecah proses menjadi sejumlah kategori yang

berkaitan dengan proses, mencakup manusia, material, mesin, prosedur, kebijakan dan sebagainya (Imamoto

et al., 2008).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Mekanisme Terbentuknya Unit Pengolahan dan Pemasaran BOKAR (UPPB)

Karet merupakan komoditas unggulan perkebunan yang mampu menghasilkan devisa bagi negara, yang

menyediakan lapangan kerja bagi masyarakat dan membantu pelestarian fungsi lingkungan hidup. Sebagai

komoditas yang krusial perlu usaha meningkatkan peranan dan daya saing komoditas karet diamana salah

satunya dapat dilakukan melalui perbaikan mutu bahan olah karet (BOKAR). Sejumlah penelitian

menunjukkan bahwa petani karet di sejumlah daerah mengasilkan bokar dengan mencumpurkan berbagai

Page 386: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

372 |

kontaminan atau benda asing dengan tujuan petani mencampur ini adalah dengan anggapan bahwa berat

karet akan bertambah. Selain itu kebiasaan merendam dalam sungai ataumenambah bobot bokar yang

dihasilkan. Kebiasaan produksi sedemikian rupa menyebabkan rusaknya mutu bokar yang dihasilkan. Hal ini

pada gilirannya menyebabkan harga bokar yang diterima menjadi rendah juga.

Permasalahan mutu Bokar yang rendah serta proses pendistribusian yang panjang melalui rantai tata

niaga dari petani, pedagang pengumpul atau tengkulak sampai ke pabrik diatasi dengan diterbitkannya

Peraturan Menteri Pertanian Nomor 38 Tahun 2008 tentang Pengolahan dan pemasaran Bokar. Lebih lanjut

dibentuk Unit Pengolahan dan Pemasaran BOKAR yang selanjutnya disebut UPPB adalah satuan usaha atau

unit usaha yang dibentuk oleh dua atau lebih kelompok pekebun sebagai tempat penyelenggaraan bimbingan

teknis pekebun, pengolahan, penyimpanan sementara dan pemasaran BOKAR.

UPPB dibentuk oleh Pemerintah daerah dengan terbitnya Surat Tanda Registrasi UPPB yang selanjutnya

disebut STR-UPPB yang merupakan dokumen tertulis sebagai bentuk legalitas terdaftar dari pemerintahan

kabupaten/kota yang menunjukkan bahwa kegiatan pengolahan dan pemasaran BOKAR mendapat bimbingan

dan pembinaan dari pemerintah. Selain itu kelengkapan dalam proses pendistribusian BOKAR diperlukan

adanya Surat Keterangan Asal yang selanjutnya disebut dengan SKA sebagai dokumen tertulis yang

diterbitkan UPPB sebagai pelengkap administrasi dalam proses perdagangan BOKAR yang menjelaskan

tentang nama dan alamat pengolah, jenis, berat timbangan serta tingkat mutu BOKAR.

Sasaran utama dalam pembentukan UPPB ini secara umum ada 4. Pertama adalah proses mengubah

kebiasaan dalam pengolahan Bokar, untuk mendapatkan bokar yang bersih dan kadar karetnya tinggi.

Diharapkan dalam kegiatan pengolahan lateks menjadi BOKAR yang sesuai dengan baku mutu dan kegiatan

pemasaran di tingkat usahatani dengan tujuan untuk mendapatkan harga yang proposional bagi petani. Kedua

secara kelembagaan petani diharapkan bergabung dalam satu kelompok tani atau beberapa kelompok tani

agar diperoleh nilai tambah dari sisi kuantitas bokar yang dipasarkan dan juga dapat meningkatkan posisi

tawar petani dengan pembeli dalam hal ini pabrik. Selanjutnya sasaran ketiga adalah kegiatan distribusi atau

pemasaran. Dalam hal ini UPPB pemasarkan Bokar ke Pabrik yang sudah menjadi mitra ataupun belum

menjadi mitra. Seyogyanya kegiatan pemasaran ini dilkaukan dengan mitra yang telah melalui

penandatanganan kesepakatan (MOU) atau Memorandum of Agreement (MOA). Dengan melakukan

kesepakatan bersama UPPB berkewajiban memasok bokar ke pabrik dalam waktu dan jumlah tertentu secara

berkala. Sistem pembayaran juga .masuk dalam kegiatan pemasaran ini. Pembayaran ke petani seharusnya

dilakukan begitu UPPB menerima bokar petani anggota kelompok UPPB berhak menerima pembayaran

secara tunai, tetapi biasanya pembayaran baru dilakukan setelah terjadi pencairan oleh ketua UPPB di bank.

Sasaran terakhir adalah berjalannya pembinaan dan pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah setempat

kepada UPPB. Pembinaan dan pengawasan ini dilaksanakan secara kontinu, agar dapat diinventarisir

permasalahan yang ada di lapangan serta dicari jalan keluarnya bersama. Jumlah Unit Pengolahan dan

Pemasaran Bokar (UPPB) di Indonesia sudah mencapai 388 unit di 10 Provinsi (Dirjenbun 2017). Meski yang

terbentuk sudah banyak, namun masih banyak yang belum berjalan secara optimal.

Page 387: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 373

Eksistensi Unit Pengolahan dan Pemasaran Bokar di Provinsi Jambi

Provinsi Jambi sebagai salah satu penghasil karet keempat di Indonesia, menjalankan peraturan ini

sebagai pedoman bagi pihak yang berkepentingan (stakeholders) dalam kegiatan pengolahan lateks menjadi

BOKAR yang sesuai dengan baku mutu dan kegiatan pemasaran di tingkat usahatani dengan tujuan untuk

mendapatkan harga yang proposional bagi petani. Untuk itu Pemerintah Provinsi Jambi dibawah tanggung

jawab Dinas Perkebunan Provinsi Jambi mengejawantahkan peraturan ini dengan membentuk Unit

Pengolahan Pemasaran Bokar (UPPB) yang sampai saat ini berjumlah 52 unit. Pembentukan UUPB ini

diharapkan dapat menjawab permasalahan proses pengolahan dan pemasaran bokar petani yang ada di

Provinsi Jambi selama ini.

Pada Lampiran 1 disajikan sebaran UPBB berdasarkan kelengkapan yang dimiliki. Pada data tersebut

dapat dilihat bahwa dari 52 UPPB yang ada di Provinsi Jambi 61,53 persen memiliki sarana dan bangunan

yang lengkap. Lengkap disini artinya UPPB memiliki gedung atau tempat secara permanen untuk

menampung atau menyimpan karet petani sebelum dibawa ke pabrik, mempunyai timbangan, gerobak bahkan

laptop serta bantuan awal dari Dinas Perkebunan Provinsi sebesar Rp. 25 juta. Kabupaten yang paling

banyak mempunyai UPPB yang lengkap berturut turut adalah kabupaten Muaro Jambi 28,12 persen,

Kabupaten Tebo 25 persen, Kabupaten Batanghari 18,75 persen, Kabupaten merangin 12,5 persen,

Kabupaten Sarolangun 12,5 persen dan Terakhir Kabupaten Bungo 3,13 persen.

Selain lengkap UPPB tersebut ada yang sudah bermitra dengan pabrik dan ada yang belum. Terdapat

total 34 persen UPPB yang lengkap dan memiliki mitra dengan pabrikan. Kabupaten yang memiliki mitra

dengan pabrik adalah Kabupaten Muaro Jambi 36,4 persen, Kabupaten Batanghari 18,2 persen, kabupaten

Merangin 9,1 persen, Kabupaten tebo 27,3 persen, Kabupaten bungo tidak ada yang bermitra, dan

Kabupaten Sarolangun sebanyak 9,1 persen.

Selain kelengkapan, sudah bermitra atau belum Surat Tanda Registrasi (STR) juga tidak semuanya

dimiliki oleh UPPB yang lengkap. Terdapat 28 persen UPPB yang memiliki STR sedangkan sisanya belum

memiliki atau sebesar 72 persen. Dari 28 persen UPPB yang mempunyai STR, Kabupaten Muaro Jambi

memiliki proporsi paling tinggu yakni 44,5 persen, diikuti Kabupaten Batanghari dan Merangin masing masing

sebesar 22,2 persen dan Kabupaten Tebo sebanyak 11,1 persen.

Lebih lanjut pada Lampiran 2 disajikan data UPPB yang masih aktif beroperasi di lokasi penelitian. Pada

data yang disajikan pada Lampiran 2 tersebut dapat dilihat bahwa hanya 46,88 persen UPPB yang lengkap

dan masih beroperasi atau berjalan. Walaupun 33,3 persen kemitraan belum ada, UPPB tersebut masih

berjalan. Kepemilikan STR juga tidak menjadi jaminan bahwa UPPB tetap berjalan seperti biasa. Kebiasaan

petani yang menginginkan uang cash begitu selesai menyadap adalah salah satu kendala kelompok tani atau

UPPB untuk mempertahankan anggotanya. Selain itu praktek pasca panen yang disebutkan di atas masih

diterapkan petani serta masih maraknya para tengkulak yang menjanjikan kemudahan pinjaman atau

kebutuhan modal lainnya yang menyebabkan petani kembali menjual bokarnya dengan para tengkulak.

Terdapat 9 UPPB atau 60 persen yang tidak memiliki STR justru masih beroperasi. Sedangkan sisanya yang

mempunyai STR juga tetap berjalan.

Kapasitas UPPB yang lengkap dan beroperasi jumlahnya bervariasi dari yang paling rendah sebesar 2

ton sampai 120 ton per bulan, bahkan untuk UPPB Maju Lancar di Kabupaten Tebo data terakhir untuk

Page 388: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

374 |

penjualan bulan Agustus 2018 mencapai 130 ton. Kondisi ini dikarenakan UPPB ini merupakan UUPB

terbesar di Provinsi Jambi dengan anggota sebanyak 700 petani dalam 43 kelompok tani. Ketua UPPB Maju

Lancar sudah menjadi nara sumber nasional untuk membagikan pengalaman mereka dalam bentuk

Bimbingan Teknis yang diadakan Direktorat Perkebunan Kementrian Pertanian.

Rata rata kapasitas UPPB yang berjalan hanya sebesar 2 ton sampai 10 ton. Jumlah ini masih sedikit

bila dibandingkan dengan kebutuhan pabrik untuk memenuhi kapasitas pabrik yang rata-rata mengalami idle

capacity sebesar 30 sampai 40 persen. (Yanita, 2016). Kondisi tidak terpenuhinya kapasitas pabrik ini tidak

hanya terjadi di Provinsi Jambi tetapi juga berlaku di Provinsi sentra produksi karetlainnya seperti di Sumatra

Selatan dan Sumatra Utara. Bagi UPPB yang sudah memiliki kapasitas per bulan mencapai 120 ton lebih,

mereka memperoleh batch khusus dalam bentuk kontrak untuk memenuhi kebutuhan pengolahan bokar

menjadi crumb rubber (CR).

Unit pengolahan dan Pemasaran Bokar (UPPB) yang ada di Provinsi Jambi ini sebagian memang baru

dibentuk dibawah binaan Dinas Perkebunan. Tetapi dikarenakan keterbatasan sumber daya tidak semua

UPPB dapat diawasi secara terus menerus dan diberikan pembinaan. Sangat disayangkan jika UPPB yang

telah dibentuk ini masih belum bisa mandiri serta hanya menunggu bantuan serta arahan dari Pemerintah

saja. Keaktifan pengurus UPPB berkoordinasi dengan pihak Pabrik dan Pemerintah juga sangat diperlukan.

Dibalik masalah tersebut ancaman lainnya adalah para tengkulak atau ―Kapuik‖ yang selalu siap menampung

hasil panen petani. Ditambah lagi bila petani membutuhkan dana yang cepat, pedagang akan senang

memberikan bantuan di muka untuk lebih mengikat petani agar terus memasarkan hasil Bokar mereka ke para

tengkulak.

Lebih lanjut, data pada Lampiran 3 menunjukkan bahwa terdapat 20 UPPB yang `tidak lengkap bahkan

bagi yang baru didirikan sarananya sangat minim sekali tersebar di 5 kabupaten. Kabupaten yang memiliki

UUPB tidak lengkap paling banyak adalah Kabupaten Muaro Jambi dan Kabupaten Batanghari masing

masing sebesar 40 persen, diikuti Kabupaten Tanjung Jabung Barat sebanyak 10 persen dan terakhir

Kabupaten Sarolangun serta Merangin masing masing sebesar 5 persen. Walaupun status UPPB tersebut

tidak lengkap tetapi sudah ada beberapa UPPB yang bermitra dengan pabrikan yakni UPPB Kulim Jaya di

Kabupaten Muaro Jambi, UPPB Panca Karya dan UPPB Harapan Jaya di Kabupaten Batanghari. Sisanya

belum melakukan perjanjian kerjasama dalam bentuk kemitraan dengan pabrik.

Seiring dengan kemitraan yang dilakukan dari 3 UPPB tersebut di atas, dari 20 UPPB yang tidak lengkap

tersebut terdapat UPPB yang tetap beroperasi yaitu sebanyak 15 persen. Ketidaklengkapan sarana dan

prasarana tidak membuat UPPB di Kabupaten Muaro Jambi dan Batanghari tersebut mendistribusikan hasil

Bokar petani mereka ke pedagang pengumpul atau tengkulak. Mereka konsisten memasarkan hasil panen

karet mereka ke pabrik. Hal ini dikarenakan mereka telah menjalin kemitraan dengan pihak pabrik.

Keuntungan lainnya adalah pihak pabrik biasanya dapat memberikan pinjaman atau modal diawal

dikarenakan faktor kepercayaan dengan komitmen UPPB juga secara konsisten memasarkan hasil bokarnya

ke Pabrik.

Page 389: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 375

Analisis Fishbone Keberadaan UPPB di Provinsi Jambi

Indonesia mempunyai 140 pabrik crumb rubber dengan kapasitas produksi mencapai 5,2 juta ton/tahun.

Artinya, ada kekurangan pasok sekitar 2,2 juta ton. Hal ini mengindikasikan sebanyak 140 pabrik hanya

bekerja sekitar 60-70% dari kapasitas produksi yang ada. Begitu juga yang terjadi di Provinsi Jambi terdapat

14 pabrik crumb rubber yang beroperasi tetapi sama halnya dengan pabrik di daerah lainnya, masih banyak

terdapat idle capacity yang disebabkan oleh kurangnya pasokan bahan baku.

Keberadaan UPPB sesungguhnya sangat diperlukan oleh pabrik. Hal ini dikarenakan jika UPPB

beroperasi dan dapat memasok sebagian bahan baku akan berimbas pada lancarnya proses produksi bokar

menjadi crumb rubber. Permasalahannya UPPB yang telah dibentuk bila dilihat dari unsur unsur Manajemen

yaitu Man, Money, Material, Machine, Method dan Market (6M).

Man atau manusia disini diartikan adalah petani sebagai pelaku dan termasuk juga didalamnya para

pengurus dalam UPPB. Mind set petani yang menganggap bahwa bokar agar memperolah uang yang lebih

banyak, maka berat bobotnya harus ditambah, sehingga direndam dalam air sungai atau ditambah

kontaminan lainnya. Perbuatan ini dilakukan dengan asumsi apapun kualitas mutu yang dihasilkan mereka

tetap memperoleh harga yang kurang memadai. Apalagi pabrik membutuhkan bahan baku untuk proses

produksi mereka. Adanya UPPB justru ingin merubah perilaku petani dalam membuat bokar yang Masalah

modal yang tidak tersedia untuk membeli bokar petani. Sedangkan petani menginginkan pembayaran dimuka.

KESIMPULAN

Hasil penelitian menunjukkan bahwa:

1. Sejumlah 61,53 persen UPPB di Provinsi Jambi memiliki sarana dan bangunan yang lengkap. Namun

hanya 46,88 persen dari sejumlah UPPB tersebut yang aktif beroperasi

2. Sejumlah 15 persen UPPB yang tidak lengkap ternyata ditemui dalam kondisi beroperasi.

3. Terdapat beberapa variabel penyebab yang menjelaskan mengapa UPPB tidak bisa melaksanakan fungsi

pokoknya sesuai dengan Permnentan NO 8 tersebut, diantaranya adalah:

a) Kapasitas manajerial kewirausahaan pengurus yang masih rendah

b) Ketersediaan dana talangan yang masih lemah

c) Komitmen terhadap kesepakatan yang masih rendah

Berdasarkan temuan tersebut maka perlu disarankan sebagai berikut:

1. Diperlukan sinergi yang kuat antara petani dalam kelompk tani serta pemerintah dan pihak pabrikan untuk

mengoptimalkan UPPB sebagai salah sau alternatif memperpendek jalur tata niaga serta kepastian harga

unttuk petani

2. Masih perlu pengawasan dan control yang ketat dari pejabat yang berwenang

Page 390: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

376 |

3. Tetap aktif memberikan pengetahuan melalui sosialisai kepada petani agar mulai melepaskan di dari

keterikatan dengan pedagang pengumpul dan bergabung dengan kelompok tani.

DAFTAR PUSTAKA

Agustina, DS, Syarifa, Lf, Nancy, C. 2013. Kajian Kelembagaandan Kemitraan pemasaran Kayu Karet di

Provinsi Sumatra Selatan. Jurnal Penelitian Karet 20113, 31 (1): 54-67 Anantanyu, S. 2011. Kelembagaan Petani, peran dan Strategi Pengembangan Kapasitasnya. SEPA: Volume

7 No 2 Februari 2011: 102-109. ISSN: 1829-9946 Anuja, A.R. 2012. Input delivery, processing and marketing of natural rubber: The role of producers‘

cooperatives in Kerala. Agricultural Economics Research Review, 25, 379–386. BadanPusat Statistik, 2015. Jambi Dalam Angka. Jambi Garkovich, Lorraine E. 1989. ―Local Organizations and Leadership in Community Development‖ dalam

Community Development in Perspective. Editor James A. Christenson dan Jerry W. Robinson, Jr Iowa State University Press. Iowa. Hal. 196 – 218.

Kementerian Pertanian. 2015. Pusdati Pertanian. Jakarta Kementerian Perindustrian. 2013. Roadmad Karet tahun 2014. Jakarta Kementerian Pertanian. 2015. Statistik Perkebunan. DirjenBun Jakarta Kementerian Pertanian. 2016. Statistik Perkebunan Indonesia Komoditas Karet 2014-2016. Jakarta Kopp, T. et al. 2014. Have Indonesian Rubber Processors Formed a Cartel? Analysis of Intertemporal

Marketing Margin Manipulation. Paper prepared for presentation at the EAAE 2014 Congress ‗Agri-Food and Rural Innovations for Healthier Societies‘. Ljubljana, Slovenia

Learning, Innovation and Development. Volume 4 issue 4. DOI:10.1504/IJTLID.2011.044139 Nakandala and Turpin. 2011. Downstream developments of a traditional industry through foreign investment

and local knowledge and capabilities – evidence from the Sri Lankan rubber industry. International Journal of Technological

Napitupulu, D. (2011). Study on Natural Rubber distribution: An Efforts To increase farmers Welfare. Jurnal Penelitian Karet, 29(1), 76–92

Roucek, Joseph S. dan Roland L. Warren. 1984. Pengantar Sosiologi. Terjemahan oleh Sahat Simamora. Bina Aksara. Jakarta

Uphoff, Norman Thomas. 1986. Local. Institutional Development: An Analytical Sourcebook With Cases. Kumarian Press.

Page 391: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 377

KATEGORI POTENSI KECAMATAN BERDASARKAN SUB SISTEM KETAHANAN PANGAN DI KABUPATEN TRENGGALEK

Alia Fibrianingtyas1

Jurusan Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya Email : [email protected]

Abstrak. Pemenuhan pangan untuk gizi dan kesehatan masyarakat merupakan investasi untuk peningkatan kualitas sumber daya manusia. Hal tersebut dapat dicerminkan dari definisi ketahanan pangan berdasarkan Undang-Undang Pangan No. 7 Tahun 1996 yaitu ―kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau‖. Pangan adalah kebutuhan dasar manusia yang paling utama dan merupakan bagian dari hak asasi individu, pangan menjadi dasar utama untuk mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas. Sumber daya manusia yang berkualitas adalah yang memiliki fisik tangguh, mental kuat, kesehatan prima serta cerdas. Apabila dicermati maka hal ini selaras dengan konsep ketahanan pangan nasional, yaitu kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Oleh karena itu pemerintah Kabupaten Trenggalek terus berupaya memacu pembangunan ketahanan pangan melalui program–program yang benar-benar mampu memperkokoh ketahanan pangan sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kabupaten Trenggalek merupakan salah satu sasaran pengembangan wilayah di bagian selatan Jawa Timur, karena selain memiliki keunggulan dalam sektor pertanian, Kabupaten Trenggalek memiliki potensi-potensi sumber daya alam yang cukup besar. Sebab hampir 2/3 dari luas wilayah Kabupaten Trenggalek merupakan pegunungan (BPS, 2009). Namun dalam kenyataannya masih terdapat beberapa kecamatan di Kabupaten Trenggalek yang belum mampu menyerap pangan secara baik dan merata, sehingga status gizi masyarakat di beberapa kecamatan masih buruk. Dari uraian tersebut dapat dirumuskan tujuan dalam penelitian ini yaitu untuk mengkategorikan potensi kecamatan berdasarkan sub sistem ketahanan pangan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuantitatif. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat empat kategori potensi kecamatan berdasarkan sub sistem ketahanan pangan, yaitu penyerapan pangan baik, akses pangan buruk, status gizi buruk dan ketersediaan pangan buruk.

Kata kunci: Ketahanan Pangan, Status Gizi, Sumber Daya Manusia

PENDAHULUAN

Kabupaten Trenggalek merupakan salah satu kabupaten yang terletak di bagian selatan Propinsi

Jawa Timur. Dengan luas wilayah 1.261,40 km², Kabupaten Trenggalek memiliki potensi-potensi sumber daya

alam yang cukup besar. Untuk penggunaan lahan, di Kabupaten Trenggalek dari tahun ke tahun tetap

didominasi oleh sektor pertanian. Sekitar lebih dari 60% luas total wilayah merupakan lahan pertanian. Luas

tersebut meliputi 9,56% tanah sawah, 38,02% tanah kering, 1,57% perkebunan, hutan negara seluas 48,31%

serta sisanya lain-lain seluas 2,54%. Penggunaan lahan di subsektor kehutanan memiliki proporsi yang besar

sebab hampir 2/3 dari luas wilayah Trenggalek merupakan pegunungan (BPS, 2009). Sebagai salah satu

sasaran pengembangan wilayah di bagian selatan Jawa Timur, Kabupaten Trenggalek memiliki keunggulan

Page 392: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

378 |

dalam sektor pertanian sehingga perekonomiannya masih dititikberatkan pada kegiatan pada sektor pertanian.

Berdasarkan PDRB (Produk Domestik Ragional Bruto), pada tahun 2008 sektor pertanian memberikan

kontribusi paling besar terhadap PDRB (Produk Domestik Ragional Bruto) kabupaten yaitu sebesar 34,62%.

Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Trenggalek masih bersifat agraris karena mayoritas bekerja pada

sektor ini. Sedangkan menurut RTRW Kabupaten Trenggalek tahun 2002 hingga 2012, subsektor yang paling

potensial di Kabupaten Trenggalek adalah subsektor tanaman pangan dan perkebunan.

Pada subsektor tanaman pangan, Kabupaten Trenggalek merupakan salah satu penghasil

komoditas ubi kayu terbesar di Jawa Timur. Produktivitas komoditas ubi kayu ini cukup baik apabila

dibandingkan dengan komoditas lainnya. Pada tahun 2008, produktivitas ubi kayu mencapai 223,09 Kw/Ha.

Produksi ubi kayu di Kabupaten Trenggalek terus mengalami peningkatan, kecuali pada tahun 2008

mengalami penurunan akibat adanya banjir besar yang melanda Kabupaten Trenggalek (BPS, 2009). Untuk

komoditas padi, meskipun produktivitasnya masih kalah dengan kabupaten atau kota lain di Jawa Timur

namun di Kabupaten Trenggalek produktivitasnya sudah cukup baik. Hal ini dapat dilihat dari produksi padi

yang terus meningkat rata-rata 7,03% per tahun. Peningkatan ini dikarenakan padi merupakan salah satu

komoditas tanaman primer yang tingkat permintaan serta konsumsi masyarakatnya cukup besar (BPS, 2009).

Perkembangan produksi pangan di Kabupaten Trenggalek tahun 2005 hingga 2010 dapat dilihat pada Tabel 1.

berikut :

Tabel 1. Perkembangan Produksi Pangan di Kabupaten Trenggalek

Komoditas Produksi (Ton)

2005 2006 2007 2008 2009 2010

1. Beras 73,223 78,596 83,235 94,430 106,744 111,766

2. Jagung 54,847 59,424 75,654 79,031 103,155 84,698

3. Kedelai 4,775 5,519 5,457 5,793 7,313 2,083

4. Kacang Tanah 2,981 3,873 2,943 2,021 1,333 3,033

5. Kacang Hijau

85 30 43 16 12

6. Ubi Kayu 366,697 394,206 438,242 495,738 434,365 326,596

7. Ubi Jalar 791 999 340 345 222 400

8. Daging 1,557 1,951 1,576 2,205 1,304 4,748

9. Telur 3,879 3,803 2,074 2,452 898 8,282

10. Susu 1,922 1,170 2,686 3,134 11,399 6,881

11. Ikan 8,920 10,563 14,176 15,981 17,972 34,028

12. Sayuran 18,286 27,620 39,531 27,547 25,324 47,811

13. Buah 28,074 24,550 33,229 29,196 28,867 46,606

Sumber : BPS (2009)

Berdasarkan Tabel 1. tersebut dapat dijelaskan bahwa perkembangan produksi pangan di

Kabupaten Trenggalek dari tahun 2005 hingga 2010 mengalami fluktuasi. Dari semua komoditas pangan yang

terdapat di Kabupaten Trenggalek, fluktuasi khususnya terjadi pada komoditas selain beras. Komoditas ini dari

Page 393: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 379

tahun ke tahun terus mengalami peningkatan. Namun dalam kenyataannya masih terdapat beberapa

kecamatan di Kabupaten Trenggalek yang belum mampu menyerap pangan secara baik dan merata,

sehingga status gizi masyarakat di beberapa kecamatan masih buruk. Dengan demikian, dapat dirumuskan

tujuan dalam penelitian ini yaitu untuk mengkategorikan potensi kecamatan berdasarkan sub sistem

ketahanan pangan.

METODOLOGI

Lokasi penelitian ditentukan secara purposive di Kabupaten Trenggalek. Penentuan lokasi tersebut

didasarkan karena terdapat kesenjangan antara potensi tanaman pangan dengan penyerapan pangan. Dalam

hal ini, potensi tanaman pangan di Kabupaten Trenggalek tergolong baik, namun terdapat beberapa

kecamatan yang belum berperan secara optimal dalam penyerapan pangan. Hal tersebut didukung dengan

adanya data yang tersedia mengenai status gizi yang masih tergolong rendah. Dari 14 kecamatan yang

terdapat di Kabupaten Trenggalek, semua kecamatan tersebut akan dipilih menjadi fokus penelitian, yaitu

Kecamatan Panggul, Munjungan, Watulimo, Kampak, Dongko, Pule, Karangan, Suruh, Gandusari, Durenan,

Pogalan, Trenggalek, Tugu dan Bendungan. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data

sekunder, yang meliputi ketersediaan pangan, jumlah penduduk, luas wilayah, jumlah penduduk pra sejahtera,

Neraca Bahan Makanan (NBM), angka kelahiran dan kematian bayi, serta Kurang Energi Protein (KEP).

Kemudian data sekunder ini dianalisis menggunakan SPSS.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Terdapat empat klaster yang terbentuk berdasarkan sub sistem ketahanan pangan, yaitu:

Penyerapan Pangan Baik

(Klaster I)

Akses Pangan Buruk

(Klaster II)

Status Gizi Buruk (Klaster

III)

Ketersediaan Pangan

Buruk (Klaster IV)

Bendungan Dongko Durenan Kampak

Suruh Panggul Gandusari Munjungan

Pule Karangan

Watulimo Pogalan

Trenggalek

Tugu

Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa anggota dari klaster I adalah Kecamatan Bendungan dan

Suruh; anggota dari klaster II adalah Kecamatan Dongko, Panggul, Pule dan Watulimo; anggota dari klaster III

adalah Kecamatan Durenan, Gandusari, Karangan, Pogalan, Trenggalek dan Tugu; sedangkan anggota dari

klaster IV adalah Kecamatan Kampak dan Munjungan.

Klaster I : Penyerapan Pangan Baik

Klaster I dengan nama penyerapan pangan buruk memiliki dua anggota yaitu Kecamatan

Bendungan dan Suruh. Kedua kecamatan ini memiliki kemiripan indikator penyerapan pangan berupa energi,

protein, lemak, vitamin A, vitamin B1, vitamin C, kalsium, fosfor dan zat besi yang baik dibandingkan

kecamatan lain.

Page 394: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

380 |

Klaster II : Akses Pangan Buruk

Klaster II dengan nama akses pangan buruk memiliki empat anggota, yaitu Kecamatan Dongko,

Panggul, Pule dan Watulimo. Keempat kecamatan ini memiliki kemiripan indikator berupa kepadatan

penduduk, jumlah penduduk, luas wilayah, dan jumlah penduduk pra sejahtera yang tinggi dibandingkan

kecamatan lain.

Kecamatan

Kepadatan

Penduduk

(km²)

Jumlah

Penduduk

(jiwa)

Luas

Wilayah

(km²)

Jumlah Penduduk Pra

Sejahtera (%)

Dongko 71.964 141.2 509.66 10.57

Panggul 87.625 131.56 666.05 6.61

Pule 59.989 118.12 507.86 6.22

Watulimo 75.628 154.44 489.69 3.52

Klaster III : Status Gizi Buruk

Klaster III dengan nama status gizi buruk memiliki enam anggota, yaitu Kecamatan Durenan,

Gandusari, Karangan, Pogalan, Trenggalek dan Tugu. Keenam kecamatan ini memiliki kemiripan indikator

berupa angka kelahiran bayi, angka kematian bayi, dan Kurang Energi Protein (KEP) yang buruk. Angka

kelahiran bayi yang tinggi pada keenam kecamatan ini, menunjukkan bahwa jumlah penduduk pra sejahtera

tergolong tinggi. Semakin tinggi jumlah penduduk pra sejahtera, maka semakin tinggi pengetahuan

masyarakat untuk menekan laju pertumbuhan penduduk.

Kecamatan Kelahiran Bayi (%) Kematian Bayi (%) KEP (%)

Durenan 99.74 0.26 11.22

Gandusari 99.44 0.56 10.02

Karangan 99.85 0.15 6.83

Pogalan 99.75 0.25 6

Trenggalek 99.45 0.55 10.26

Tugu 99.50 0.50 10.8

Kecamatan

Energi

(kkal/k

ap/har

i)

Protein

(g/kap/ha

ri)

Lemak

(g/kap

/hari)

Vit A

(mg/ka

p/hari)

Vit B1

(mg/ka

p/hari)

Vit C

(mg/ka

p/hari)

Kalsium

(g/kap/ha

ri)

Fosfor

(g/kap

/hari)

Zat Besi

(g/kap/ha

ri)

Bendungan 10755 199.71 80.13 6899.

92 6.93

890.54

1801.27 5145.

44 52.89

Suruh 10049 175.11 70.96 6626.

78 6.6 953.2 1259.92

4694.34

53.54

Page 395: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 381

Klaster IV : Ketersediaan Pangan Buruk

Klaster IV dengan nama ketersediaan pangan buruk memiliki dua anggota, yaitu Kecamatan

Kampak dan Munjungan. Kedua kecamatan ini memiliki kemiripan indikator ketersediaan pangan buruk,

sehingga hal tersebut berdampak pada akses terhadap pangan, penyerapan pangan dan status gizi yang

kurang baik.

Kecamatan Ketersediaan Pangan (ton/tahun)

Kampak 6.424

Munjungan 12.788

KESIMPULAN

Terdapat empat klaster berdasarkan sub sistem ketahanan pangan, yaitu:

1. Klaster I (penyerapan pangan buruk): Kecamatan Bendungan dan Suruh

2. Klaster II (akses pangan buruk): Kecamatan Dongko, Panggul, Pule dan Watulimo

3. Klaster III (status gizi buruk): Kecamatan Durenan, Gandusari, Karangan, Pogalan, Trenggalek dan Tugu

4. Klaster IV (ketersediaan pangan buruk): Kecamatan Kampak dan Munjungan

DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Bustanul, 2004, Penyediaan dan Aksesibilitas Ketahanan Pangan (Supply and Accessibility of Food

Security). Widyakarya Pangan dan Gizi VIII, 17-19 Mei, Jakarta BPS, 2009, Trenggalek Dalam Angka. Tren

Page 396: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

382 |

KESIAPAN DESA DALAM MENCAPAI TUJUAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN

(KASUS DESA PENYANGGA TAMAN NASIONAL MERU BETIRI JAWA TIMUR)

Luh Putu Suciati1, Rudi Wibowo2, Budhy Santoso3 Kelompok Riset Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, Universitas Jember;

Kampus Tegalboto, Jember 68121 Email korespondensi: [email protected]

Abstrak. Secara umum penelitian bertujuan melakukan eksplorasi kesiapan desa menghadapi tantangan pembangunan berkelanjutan berdasarkan indikator pilar sosial, ekonomi, lingkungan dan tata kelola sejumlah 16 target. Metode pengumpulan data menggunakan RRA (Rapid Rural Appraisal) dan FGD (Focus Group Discussion) dengan analisis skoring menggunakan kuisioner dengan pertanyaan terstruktur terhadap target dan indikator masing-masing pilar. Dilanjutkan analisis AHP (Analytical Hierarchy Process) untuk menentukan prioritas kebijakan. Hasil penelitian menunjukkan nilai skor pilar sosial meliputi 5 target adalah 4, 47 (cukup banyak kasus sosial), nilai skor ekonomi adalah 5,00 (cukup sedikit masalah ekonomi) berdasarkan 4 ukuran target, sedangkan skoring pilar lingkungan adalah 5,53 artinya cukup sedikit masalah lingkungan yang diukur berdasarkan 5 target, sedangkan skoring tata kelola cukup baik ditandai dengan nilai 6,00 artinya sedikit permasalahan terkait konflik. Semua skoring tersebut memiliki nilai maksimal 7,00 yang artinya semakin sedikit permasalahan terkait pilar. Hasil analisis AHP (Analytical Hierarchy Process) menunjukkan bahwa prioritas kebijakan mencapai pembangunan berkelanjutan adalah penekanan pilar ekonomi yaitu meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan,kesempatan kerja yang produktif dan menyeluruh, serta pekerjaan layak untuk semua. Kata kunci : Desa Penyangga, Taman Nasional Meru Betiri, Tujuan Pembangunan Berkelanjutan

PENDAHULUAN Pembangunan adalah upaya untuk meningkatkan kualitas hidup secara bertahap dengan

memanfaatkan sumber daya yang dimiliki negara secara bijaksana. Sumber daya tersebut sifatnya terbatas,

sehingga dalam penggunaannya harus secara cermat dan hatihati. Ketidakcermatan dalam penggunaan

sumber daya yang dimiliki negara dapat menimbulkan masalah-masalah lingkungan. Pembangunan

berkelanjutan adalah upaya peningkatan kualitas manusia secara bertahap dengan memperhatikan faktor

lingkungan. Dalam prosesnya, pembangunan berkelanjutan ini mengoptimalkan manfaat sumber daya alam,

sumber daya manusia, dan iptek dengan menserasikan ketiga komponen tersebut, sehingga dapat

berkesinambungan (BPS. 2016).

Pembangunan berkelanjutan telah diimplementasikan dalam berbagai skema yang pada dasarnya

ditujukan untuk mencapai kesejahteraan manusia secara global. Pembangunan berkelanjutan sampai saat ini

terus menjadi kunci bagi pembangunan dan pengelolaan lingkungan (Eliot.2006 dalam Arief Anshori et all.

2018). Agenda pembangunan berkelanjutan disusun untuk menjawab tuntutan kepemimpinan dunia dalam

mengatasi kemiskinan, kesenjangan, dan perubahan iklim dalam bentuk aksi nyata. Konsep tujuan

pembangunan berkelanjutan berdasarkan penetapan rangkaian target yang bisa diaplikasikan secara

Page 397: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 383

universal serta dapat diukur dalam menyeimbangkan tiga dimensi pembangunan berkelanjutan, yaitu: (1)

lingkungan, (2) sosial, dan (3) ekonomi; yang dilengkapi dengan aspek tata kelola. Sachs (2015) dalam

Alisjahbana et all (2017) menjelaskan bahwa konsep dasar pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan

yang menyelaraskan antara tujuan ekonomi,sosial,lingkungan dan pemerintahan atau institusi yang baik.

Sebagai turunan dari konsep utama tersebut, pilar pertama dari SDGs dikenal sebagai 5P yaitu People,

Planet, Prosperity, Peace dan Partnership (UN,2015).

Tim penyusun indikator global SDGs, IAEG-SDGs, secara resmi menyepakati adanya 241 indikator

global dimana 11 diantaranya adalah indikator yang sama untuk target yang berbeda sehingga sejumlah 230

indikator terpilih sebagai indikator global dari target dalam tujuan SDGs. Adapun dari 17 tujuan tersebut di

tingkat nasional dan provinsi ada 16 tujuan yang relevan dengan pembangunan nasional dan daerah.

Sedangkan tujuan ke-17 yaitu kemitraan global untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan tidak

relevan dengan analisis ditingkat provinsi. Sejumlah tujuan SDG‘s, antara lain: (1) tanpa kemiskinan (2) tanpa

kelaparan (3) kehidupan sehat dan sejahtera (4) Pendidikan berkualitas (5) Mencapai kesetaraan gender (6)

Menjamin ketersediaan air bersih dan sanitasi (7) Menjamin akses terhadap sumber energi yang bersih dan

terjangkau (8) pekerjaan layak dan pertumbuhan ekonomi (9) industri,inoasi dan infrastruktur; (10)

berkurangnya kesenjangan; (11) kota dan permukiman yang berkelanjutan; (12) Pola konsumsi dan produksi

yang bertanggung jawab (13) penanganan perubahan iklim (14) ekosistem laut; (15) ekosistem daratan dan

(16) perdamaian,keadilan dan kelembagaan yang tangguh.

Tujuan pembangunan berkelanjutan sudah menjadi komitmen global dengan prinsip utama no one left

behind. Universitas Jember juga berkomitmen untuk mendukung tercapainya tujuan pembangunan

berkelanjutan melalui beberapa kegiatan. Upaya mendukung tercapainya tujuan tersebut, maka Kelompok

Riset Tujuan Pembangunan Berkelanjutan Universitas Jember mengadakan survey di beberapa tipologi desa

untuk merekam kesiapan desa menuju tujuan pembangunan berkelanjutan yang harus dipenuhi sampai tahun

2030. Desa dengan tipologi kawasan penyangga Taman Nasional menjadi salah satu tipologi yang menarik

untuk dikaji karena kawasan ini rentan terhadap berbagai macam perubahan sosial, ekonomi, lingkungan dan

konflik. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk melakukan eksplorasi kesiapan desa dalam menghadapi

tantangan pembangunan berkelanjutan berdasarkan indikator-indikator pada pilar sosial, ekonomi, lingkungan

dan tata kelola sejumlah 16 indikator.

METODOLOGI

Lokasi Penelitian adalah Desa Wonoasri, Kecamatan Tempurejo Kabupaten Jember yang merupakan

salah satu desa penyangga Taman Nasional Meru Betiri. Berjarak sekitar 35 km dari kampus Universitas

Jember dengan tipologi desa dikategorikan desa hutan. Data dan informasi dikumpulan menggunakan metode

RRA (Rapid Rural Appraisal) yang merupakan pengenalan kondisi desa secara cepat dilanjutkan FGD (Focus

Group Discussion) dengan beberapa key informan. Selanjutnya sejumlah tujuan SDG‘s yang terdiri dari 4 pilar

yaitu pilar sosial, ekonomi, lingkungan dan tata kelola, dirangkum dalam kuisioner dengan pertanyaan

terstruktur dengan metode skoring dan AHP (Analytical Hierarchy Process).

Tujuan pencapaian SDGs yang diukur antara lain: (1) tanpa kemiskinan (2) tanpa kelaparan (3)

kehidupan sehat dan sejahtera (4) Pendidikan berkualitas (5) Mencapai kesetaraan gender yang termasuk

Page 398: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

384 |

pilar sosial. Target pilar ekonomi terdiri dari tujuan (7) Menjamin akses terhadap sumber energi yang bersih

dan terjangkau (8) pekerjaan layak dan pertumbuhan ekonomi (9) industri,inovasi dan infrastruktur; (10)

berkurangnya kesenjangan. Sedangkan target pilar lingkungan terdiri dari (6) Menjamin ketersediaan air

bersih dan sanitasi (11) kota dan permukiman yang berkelanjutan; (12) Pola konsumsi dan produksi yang

bertanggung jawab (13) penanganan perubahan iklim; (15) ekosistem daratan dan dilengkapi satu tujuan pilar

tatakelola yaitu (16) perdamaian,keadilan dan kelembagaan yang tangguh. Tujuan pembangunan

berkelanjutan yang kurang cocok bagi desa Wonoasri sebagai desa dengan tipologi desa hutan adalah (14)

ekosistem laut, sehingga pertanyaan ini tidak termasuk dalam kuisioner.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Skoring Kesiapan Desa Penyangga Taman Nasional Meru Betiri dalam Mencapai Tujuan Pembangunan

Berkelanjutan

Karakteristik desa Wonoasri yang merupakan salah satu desa penyangga Taman Nasional Meru Betiri

menjadi daya tarik utama. Selain itu Desa Wonoasri merupakan desa mitra Universitas Jember dengan

berbagai program seperti kegiatan mitigasi berbasis lahan dalam kerangka ICCTF (Indonesia Climate Change

Trust Fund) Project, KKN Tematik Buruh Migran, KKN Tematik Stunting dan KKN tematik SDGs yang program

LP2M Universitas Jember dll. Tipologi desa pinggir hutan dengan masyarakat yang sebagian besar bermata

pencaharian petani hutan dan petani lahan kering menjadi karakter tersendiri. Selain itu desa Wonoasri juga

dikenal sebagai salah satu kantong buruh migran di kabupaten Jember.

Metode Skoring dilakukan melalui kegiatan FGD (Focus Group Discussion) untuk menggali berbagai

informasi dari key informan terkait kondisi desa. Sebelumnya sudah dilakukan aktivitas RRA (Rapid Rural

Appraisal) yang merupakan pengenalan kondisi desa secara keseluruhan. Kegiatan FGD dilakukan di Balai

Desa dengan dihadiri sejumlah perangkat desa yaitu kepala desa Wonoasri Bapak Sugeng Priyadi dan

sekretaris Desa beserta sejumlah perangkat desa, pengurus Badan Permusyawaratan Desa (BPD),

perwakilan lembaga desa seperti PKK, Karang Taruna, dan LKMD (Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa).

Selain itu kelembagaan penunjang desa yang terkait juga menjadi key informan seperti pengurus BUMDES

Dana Asri Sejahtera, Kelompok Desa Tangguh Bencana (Destana), Kelompok Desbumi (Desa Buruh Migran)

Srikandi Wonoasri, Karang Taruna Tunas Bangsa, Pokdarwis (Kelompok Sadar Wisata), pengurus Griya Asih,

pengurus Kelompok Usaha Bersama (KUBE) Batik Warna Alam, KUBE Camilan Khas Wonoasri, KUBE

minuman Herbal, LMDHK (Lembaga Masyarakat Desa Hutan Konservasi) Wono Mulyo, perwakilan Resort

Wonoasri, STPN II Ambulu, Balai Taman Nasional Meru Betiri juga turut memberikan masukan terkait dengan

kondisi lingkungan hutan dan ekosistem Taman Nasional Meru Betiri. Pemilihan peserta FGD merupakan

perwakilan kelompok masyarakat di desa yang dianggap memiliki pengetahuan tentang desa Wonoasri

sehingga secara singkat sehingga diharapkan dapat memprediksi kondisi desa dan target pencapaian tujuan

pembangunan berkelanjutan tahun 2030 mendatang.

Hasil FGD (Focus Group Discussion) terhadap 16 tujuan yang masing-masing dipilah menjadi 4 pilar

(sosial,ekonomi, lingkungan dan tata kelola) dijelaskan pada gambar 1. Skoring pilar sosial yang terdiri dari 5

target yaitu (1) tanpa kemiskinan (2) tanpa kelaparan (3) kehidupan sehat dan sejahtera (4) Pendidikan

Page 399: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 385

berkualitas (5) Mencapai kesetaraan gender yang dijabarkan dalam 15 pertanyaan untuk mengukur indikator

sosial menghasilkan nilai skoring yaitu 4,47. Artinya bahwa cukup banyak permasalahan sosial yang harus

dibenahi di desa penyangga Taman Nasional untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan.

Selanjutnya pilar ekonomi memiliki skor 5,00 artinya bahwa permasalahan ekonomi dianggap cukup sedikit

dialami oleh masyarakat desa penyangga Taman Nasional Meru Betiri. Skoring pilar ekonomi tersebut terdiri

dari 4 tujuan yaitu target nomor 7) Menjamin akses terhadap sumber energi yang bersih dan terjangkau (8)

pekerjaan layak dan pertumbuhan ekonomi (9) industri, inovasi dan infrastruktur; (10) berkurangnya

kesenjangan yang meliputi 11 pertanyaan. Hasil skoring pilar lingkungan yang terdiri dari tujuan (6) Menjamin

ketersediaan air bersih dan sanitasi (11) kota dan permukiman yang berkelanjutan; (12) Pola konsumsi dan

produksi yang bertanggung jawab (13) penanganan perubahan iklim; (15) ekosistem daratan menghasilkan

nilai 5,53 artinya permasalahan lingkungan dianggap cukup sedikit. Hal tersebut terkait antara lain dengan

kondisi desa Wonoasri yang tergolong memiliki prosentase lahan kritis yang paling rendah dibanding 3 desa

penyangga Taman Nasional lainnya seperti Desa Curahnongko, Andongrejo, dan Sanenrejo. Hal lain yang

turut mendukung adalah kelembagaan lokal masyarakat dan dukungan petugas TN Meru Betiri terutama di

Resort Wonoasri dan sejumlah kelembagaan desa lainnya yang menunjang kegiatan berbasis lingkungan dan

mitigasi bencana. Pilar tata kelola seperti diilustrasikan pada gambar 1 memiliki nilai yang cukup tinggi yaitu

6,00, artinya bahwa masalah kejahatan, kriminalitas sampai pelanggaran hak politik jumlahnya sedikit di Desa

Wonoasri.

Gambar 1. Skoring Pilar Sosial, Ekonomi, Lingkungan

dan Tata Kelola Desa Penyangga Taman Nasional Meru

Betiri menuju Pembangunan Berkelanjutan

Page 400: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

386 |

Hasil skoring juga dilakukan untuk masing-masing indikator pada pilar sosial seperti dijelaskan pada gambar 2

berikut. Berdasarkan 11 pertanyaan yang mencerminkan indikator terukur untuk mendiskripsikan 5 tujuan

pembangunan berkelanjutan, diperoleh hasil bahwa indikator yang nilainya rendah terkait rumah tangga pra

sejahtera, penerima BLT (bantuan langsung tunai),pengangguran, buta huruf pada sebagai warga dan anak

putus sekolah SMA yang disebabkan minat bersekolah rendah. Permasalahan sosial tersebut harus ditangani

melalui program yang relevan.

Gambar 2. Skoring indikator Pilar Sosial pada Desa Penyangga

Taman Nasional Meru Betiri

Gambar 3. Skoring indikator Pilar Ekonomi pada Desa

Penyangga Taman Nasional Meru Betiri

Page 401: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 387

Hasil skoring 11 indikator tujuan pembangunan berkelanjutan pilar ekonomi seperti diilustrasikan pada gambar

3 terdapat beberapa indikator dengan nilai masih rendah. Beberapa indikator yang memerlukan perhatian

antara lain banyaknya rumah tangga yang memakai kayu bakar, walaupun distribusi gas elpiji sudah

menjangkau wilayah desa Wonoasri. Ternyata aspek budaya dan kebiasaan masyarakat yang memiliki

persepsi bahwa memasak menggunakan tungu kayu lebih alami dan merupakan kegiatan tradisional yang

belum dapat ditinggalkan. Kebiasaan ini jika berlanjut akand menyebabkan permintaan bahan bakar kayu

meningkat. Indikator lain yang nilainya rendah adalah upah pekerja di bawah UMR kabupaten Jember pada

tahun 2018 yaitu Rp. 1.881.000 perbulan. Upah yang diterima oleh masyarakat yaitu Rp. 50.000 perhari kerja

jika bekerja 8 jam. Sebagian besar masyarakat desa bekerja paruh waktu dan berdasarkan ada atau tidaknya

kegiatan produktif yang dilakukan. Kondisi ini diperparah oleh penduduk usia produktif yang tidak bekerja.

Beberapa indikator yang bernilai rendah ini memerlukan penanganan serius melalui program berbasis

ekonomi kreatif mengingat potensi desa Wonoasri sebagai penyangga Taman Nasional Meru Betiri yang

merupakan salah satu taman nasional ikon Jawa Timur dan Kabupaten Jember.

gambar 4 berikut mendiskripsikan kondisi beberapa 15 indikator pada pilar lingkungan tujuan pembangunan

berkelanjutan. nampak pada gambar bahwa indikator penebangan pohon, dampak perubahan iklim seperti

kekeringan dan banjir merupakan permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat desa penyangga Taman

Nasional Meru Betiri. Paparan bencana tersebut merupakan kondisi rutin yang silih berganti dihadapi oleh

masyarakat desa. Adanya komunitas Destana (Desa Tangguh Bencana) yang diinisiasi oleh BPBD (Badan

Penanggulangan Bencana Daerah) Kabupaten Jember merupakan upaya mandiri warga untuk mitigasi

bencana. Namun demikian perlu upaya konkrit dan berkesinambungan dengan melibatkan berbagai pihak

Gambar 4. Skoring indikator Pilar Lingkunganpada Desa Penyangga

Taman Nasional Meru Betiri

Page 402: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

388 |

agar indikator lingkungan yang menghambat tujuan pembangunan berkelanjutan dapat mencapai target yang

diharapkan pada tahun 2030.

Prioritas Kebijakan Terkait Pilar Tujuan Pembangunan Berkelanjutan

Analisis AHP (Analytical Hierarchy Process) digunakan untuk menentukan prioritas kebijakan yang

harus menjadi perhatian pemangku kepentingan baik di tingkat desa, kecamatan maupun kabupaten beserta

instansi dan dinas terkait. Gambar 5 merupakan hasil analisis AHP (Analytical Hierarchy Process)

menggunakan MS Excell untuk membandingkan elemen-elemen pilar dalam tujuan pembangunan

berkelanjutan. Pada analisis ini, dilakukan penggabungan pilar lingkungan dan tata kelola mengingat indikator

target pilar tata kelola yang hanya 1 indikator.

Menggunakan perbandingan berpasangan terhadap pilar dalam tujuan pembangunan berkelanjutan,

diketahui bahwa kebijakan yang menjadi prioritas bagi desa Wonosri yang dikategorikan sebagai desa hutan

adalah pilar ekonomi. Para key informan sebagai expert yang terdiri dari perangkat desa dan beberapa

lembaga desa yang dianggap mengetahui kebutuhan Desa Wonoasri untuk mencapai tujuan pembangunan

berkelanjutan, memberi tingkat kepentingan yang tinggi pada pilar ekonomi (nilai 0,525).

Selanjutnya dari 4 target untuk mencapai pilar ekonomi, para key informan memberikan bobot paling

tinggi pada pekerjaan layak dan pertumbuhan ekonomi sebagai kebijakan dan arah pembangunan desa

Gambar 5. Prioritas Kebijakan mencapai Tujuan Pembangunan

Berkelanjutan bagi Desa Penyangga Taman Nasional Meru Betiri

Page 403: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 389

Wonoasri (nilai 0,57). Kebijakan berbasis ekonomi yang disarankan sejalan dengan permasalahan ekonomi

yang dihadapi masyarakat yaitu rendahnya upah yang diterima karena tingkat pendidikan relatif rendah dan

beberapa warga masih buta aksara. Prioritas kebijakan bidang ekonomi juga akan mengatasi masalah

pengangguran dan usia produktif yang tidak bekerja.

Walaupun pilar ekonomi menjadi prioritas kebijakan bagi desa Wonoasri untuk meraih tujuan

pembangunan berkelanjutan, target dalam pilar sosial yaitu kehidupan sehat dan sejahtera. Beberapa

program pilar ekonomi dapat disinergikan dengan pilar sosial seperti program terkait masyarakat pra

sejahtera. Target pilar lingkungan pun tidak dapat diabaikan. Pola produksi dan konsumsi pun menjadi target

lingkungan dan tata kelola yang dapat mendukung target pilar sosial dan pilar ekonomi

KESIMPULAN

1. Skoring kesiapan desa penyangga taman nasional meru betiri dalam mencapai tujuan pembangunan

berkelanjutan dari pilar sosial adalah 4, 47 (cukup banyak kasus sosial), skor pilar ekonomi 5,00 (cukup

sedikit masalah ekonomi), skoring pilar lingkungan 5,53 (cukup sedikit masalah lingkungan), skoring tata

kelola cukup baik ditandai dengan nilai 6,00 (sedikit permasalahan terkait konflik).

2. Pprioritas kebijakan mencapai pembangunan berkelanjutan adalah penekanan pilar ekonomi yaitu meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan,kesempatan kerja yang produktif dan menyeluruh, serta pekerjaan layak untuk semua.

DAFTAR PUSTAKA

Alisjahbana Armida 2017. Menyongsong SDGs : Kesiapan Daerah-Daerah di Indonesia. Bandung: Unpad Press.

Arief Anshori Yusuf. 2018. Seri Menyongsong SDGs: Kesiapan Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat. Bandung: Unpad Press.

Badan Pusat Statistik. 2017. Kecamatan Tempurejo Dalam Angka. Jember: Badan Pusat Statistik Kabupaten Jember

Badan Pusat Statistik. Indikator Pembangunan Berkelanjutan 2016. Badan Pusat Statistik / BPS Indonesia. Santoso., B dan Suciati, L.P 2018. Penguatan Kelembagaan Masyarakat Melalui Modal Sosial. (lesson learn

dari Assesment Kelembagaan Masyarakat . Desa Penyangga Taman Nasional Meru Betiri) Suciati, L.P. 2016. Pemetaan Sosial Ekonomi Kelembagaan dan Sumberdaya Alam Desa Wonoasri sebagai

Desa Penyangga Taman Nasional Meru Betiri. Jember: Balai Taman Nasional Meru Betiri.

Page 404: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

390 |

PENINGKATAN KINERJA AGROINDUSTRI PISANG DI KOTA BATU MELALUI PENDEKATAN SUSTAINABLE LIVELIHOODS ASSETS

Dwi Retno Andriani, Budi Setiawan, Djoko Koestiono, Abdul Wahid Muhaimin

Jurusan Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian

Universitas Brawijaya Corresponding author: [email protected]

Abstract. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efisiensi kinerja agroindustri pisang dengan pendekatan faktor internal dan eksternal dalam kepemilikan sumberdaya. Permasalahan utama peningkatan agroindustri unggulan adalah ketidakmampuan dalam mengoptimalkan sumberdaya yang dimiliki pelaku agroindustri dan mengelola lingkungan bisnisnya, sehingga berdampak pada rendahnya produktivitas, mutu, dan daya saing agroindustri. Kondisi tersebut memicu untuk melakukan kegiatan evaluasi kinerja dari faktor individu sebagai motor penggerak agroindustri unggulan. Upaya-upaya tersebut berhubungan dengan indikator akses sumber daya yang merupakan komponen dari livelihood Asset. Langkah-langkah untuk mengevaluasi kinerja agroindustri unggulan agar mampu mewujudkan suatu hasil yang sesuai dengan visi, misi, tujuan, dan sasaran perusahaan melalui perumusan model evaluasi kinerja sebagai salah satu usaha memperbaiki produktivitas, mutu, dan daya saing usaha. Metode analisis data menggunakan desain Data Envelopment Analysis (DEA) untuk melihat tingkat efisiensi kepemilikian sumber daya dan kondisi kerentanan pelaku agroindustri terhadap kinerja agroindustri. Hasil identifikasi faktor internal dari kepemilikan sumber daya agroindustri pisang kota Batu yang perlu dioptimalkan yaitu SDM sebesar 0.78, SDS 0.49, SDK 0.56, sedangkan pengelolaan SDA dan SDF lebih optimal dengan nilai paling tinggi yaitu sebesar 0.98. Selanjutnya, faktor eksternal yang mempengaruhi kinerja dan perlu dioptimalkan yaitu kondisi trend sebesar 0.52, musiman 0.46 dan shock 0.22. Melalui sistem pengukuran kinerja yang efektif dengan memperhatikan faktor internal dan eksternal agroindustri menghasilkan nilai validitas sebesar 0.88 sistem pemasaran dan jumlah varian produk, 0.55 produktivitas, 0.43 jenis produk, dan diservikasi produk sebesar 0.66. Hal ini menunjukkan upaya peningkatan kinerja daya saing bisnis dengan digerakkan oleh kepentingan pelanggan sebagai tolak ukur efisiensi kinerja yang sudah diterapkan. Keywords: Livelihood Asset, Agroindustri, Kinerja,

PENDAHULUAN

Agroindutri merupakan salah satu strategi penting dalam bidang pertanian yang kegiatan bagaimana

proses dan strategi pengelolaan hasil pertanian pasca panen. Kegiatan agroindustri sangat membantu dalam

meningkatkan program pemerintah seperti membantu pengentasan kemiskinan melalui konsep perekonomian

mandiri dan kesejahteraan petani. Agroindustri sendiri dapat diartikan dua hal, pertama agroindustri

merupakan industri yang berbahan baku utama dari produk pertanian, kedua merupakan suatu tahapan

pembangunan sebagai kelanjutan dari pembagunan pertanian, tetapi sebelum tahapan pembangunan

tersebut mencapai tahapan pembangunan industri (Soekartawi, 2001). Pembangunan industri dimulai dari

Page 405: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 391

identifikasi beberapa faktor yang mempengaruhi seperti kepemilikan livelihood asset dan mengatasi

vulnarebility context sebagai bentuk kinerja unggulan yang sustainable melalui persaingan agroindustri yang

semakin ketat dan terus meningkat.

Untuk mengukur faktor-faktor kinerja agroindustri unggulan melalui pendekatan Livelihoods asset teridiri

dari modal manusia (SDM), modal sosial (SDS), modal keuangan/finansial (SDK), modal alam (SDA) dan

moal fisik (SDF) sedangkan Vulnerability context terdiri dari trend, musiman, dan shock yang berpengaruh

signifikan terhadap peningkatan kinerja. Livelihood adalah istilah pembangunan yang menggambarkan

kemampuan (capabilities), kepemilikan sumber daya (sumber daya sosial dan material), dan kegiatan yang

dibutuhkan seseorang/masyarakat untuk menjalani kehidupannya (Saragih 2007).Menurut Laesis (2016),

Suistainable Livehoods Approach memungkinkan menganalisis saling keterkaitan dan saling ketergantungan

antara berbagai pemangku kepentingan dan untuk memvisualisasikan cara suistainable economic dampak

pariwisata terhadap mata pencaharian.

Penelitian ini mengkaji faktor Livehood Assets dan vulnerability terhadap peningkatan kinerja Agroindustri

unggulan di kota Batu. Faktor-faktor ini mempengaruhi agroindustri dalam upaya meningkatkan kinerja dari

kapabilitas kepemilikan sumber daya (sumber daya sosial dan material), dan kegiatan yang dibutuhkan

perusahaan untuk menjalankan aktivitas usahanya. Livelihoods aset yang memiliki lima aspek modal

digambarkan dengan kemampuan akses suatu individu. Namun dalam penelitian ini ditambahkan faktor

Enterpreneur dan Intuisi yang merupakan kebaruan dalam menambah strategi peningkatan kinerja.

Peningkatan kinerja agroindustri dimulai dengan perencanaan dan manajemen yang sesuai kondisi dan

target yang telah dipetakan masing-masing pelaku agroindustri. Shrader et al (1989) mengatakan bahwa

perencanaan dengan kinerja berhubungan erat dan cocok diterapkan pada industri-industri kecil yang memiliki

potensi ke dalam industri skala besar ke depannya. Selain itu, Aram dan Cowen, 1991 dalam Rue &Ibrahim

(1998) menyatakan bahwa perencanaan dapat meningkatkan keuntungan (profit) dan perencanaan yang baik

adalah kunci menuju sukses (Hillidge,1990; Branch,1991; Brokaw,1992; Knight,1993 yang dikutip oleh Rue

dan Ibrahim,1998).

Meningkatnya persaingan sektor industri dalam bidang hasil pertanian memicu adanya upaya-upaya

peningkatan kinerja sebagai strategi bertahan dalam bisnis. Hunger dan Wheelen (2001) menyatakan bahwa

kinerja berhubungan dengan manajemen strategi yang terdiri dari empat elemen yang diperhatikan. Elemen

tersebut meliputi pengamatan lingkungan, perumusan strategi, implementasi strategi, serta evaluasi dan

pengendalian. Kinerja perusahaan menurut Ferdinand (2000) merupakan konstruk yang umum digunakan

untuk mengukur dampak dari strategi perusahaan. Meskipun masalah pengukuran kinerja sudah menjadi

permasalahan dan perdebatan klasik dalam dunia bisnis. Sebab kinerja bersifat multi dimensi dimana di

dalamnya termuat beragam tujuan dan tipe organisasi yang diterapkan (Bhargava,et.al,1994; Lumpkin&

Dess,1996). Pendapat Narver & Slater (1997) menyarankan 3 kriteria pengukuran kinerja yakni efektivitas,

efisiensi dan adaptabilitas untuk mengidentifikasi faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi.

METODOLOGI

Page 406: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

392 |

Penelitian ini menggunakan dua macam teknik analisis, yaitu, pertama menggunakan Decision Making

Unit (DMU) di dalam DEA, atau analisa faktor intenal dan faktor eksternal untuk memaksimalkan kinerja..

kedua Regression Weight pada DEA yang digunakan untuk meneliti seberapa besar variabel-variabel

penelitian yang saling mempengaruhi.

Langkah-langkah analisis penggunaan metode Data Envelopment Analysis (DEA) dilakukan dengan

mengumpulkan semua data yang memiliki indikator sama kemudian dikelompokkan pada setiap perspektif

yang ingin diteliti, sehingga menghasilkan nilai relasi berdasarkan kinerja pada masing–masing kepemilikan

sumberdaya dan hasil output yang dikeluarkan secara timbal balik. Setelah dianalisis akan dihasilkan nilai

kinerja mulai 0 hingga 1, dimana nilai 1 menunjukkan skor efisiensi tertinggi yang merupakan kinerja terbaik.

Maka dari itu, dalam pembahasan hasil penelitian menggunakan klasifikasi sesuai keeratan hubungan

berdasarkan kinerja antar pelaku agroindustri kripik pisang di Kota Batu.

Tabel 1. Klasifikasi Tingkat Sumberdaya dari Analisis Kinerja Agroindustri Unggulan di Kota Batu

No Sumberdaya Kinerja Unggulan

1. 0.4 – 0.6 Tidak erat

2. 0.7 – 0.9 Cukup erat

3. 1 Erat

Formulasi model dijelsakan sebagai berikut:

Relasi kepemilikan sumber daya = 1. X1 + X2 + X3+ X4 + X5

2. X6+ X47+ X8

Relasi sumberdaya pendukung = Z1+Z2

Relasi peningkatan kinerja unggulan = Y1 + Y2 + Y3+ Y4+ Y5

Formasi input untuk kepemilikan sumber daya livelihoods antara lain,

X1 = Human Capital X5 = Nature Capital

X2 = Social Capital X6 = Shock

X3 = Financial Capital X7 = Seasonability

X4 = Physical Capital X8 = Trends

Selanjutnya formasi input relasi untu kepemilikan sumberdaya pendukung antara lain:

Z1 = Enterpreneur behaviour

Z2 = Intuisi

Page 407: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 393

Sedangkan, Formasi input kinerja relasi agroindustri unggulan terdiri dari:

Y1 = Human Capital Y4 = Nature Capital

Y2 = Social Capital Y5 = Shock

Y3 = Financial Capital

Berikut rumus yang digunakan untuk menentukan DMU dalam DEA:

Tabel 2. Rumus DMU dalan DEA

Keterangan

yrj = jumlah output r yang diproduksi/diterima oleh daerah j

xij = jumlah input i yang digunakan oleh daerah j

ur = bobot yang diberikan kepada output r (r = 1 ,..., t dan t adalah jumlah output)

vi = bobot yang diberikan kepada input i, (i = 1, ..., m dan m adalah jumlah input)

n = jumlah daerah,

j0 = daerah yang diberi penilaian

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil dari mengidentifikasi apa yang dimiliki, manajemen yang dilakukan, target yang direncanakan dan

hasil yang pemetaan sumber daya, maka kinerja agroindustri pisang di Kota Batu dapat memperlihatkan

faktor-faktor apa saja yang perlu dikurangi dan ditingkatkan. Livelihhod asset, enterpreneur berperan penting

dalam proses keberlangsungan produksi. Berikut hasil masing-masing aset sumber daya internal yang paling

tinggi yaitu SDA dan SDF sebesar 98% sedangkan sumber daya yang paling rendah yaitu modal sosial

sebesar 49% dan sumber keuangan sebesar 56%, hal ini dikarenaka minimnya relasi yang meraka jalin

sehingga berpengaruh pada pengetahuan mereka tentang bagaimana mendapatkan sumber dana untuk

mendukung modal ataupun manajemen bisnis mereka.Berikut pemaparan persentase aset yang dimiliki oleh

pelaku agroindustri disajikan dalam tabel gambar 1. Berikutnya pemaparan gambar 2 merupakan identifikasi

vulnerability context sebagai faktor eksternal yang menggambarkan kondisi agroindustri yang pernah dialami.

Page 408: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

394 |

Faktor eksternal dalam kondisi yang dialami paling tinggi yaitu trend sebanyak 52%, bagi mereka trend ini

selalu menghantui karena banyak anak-anak muda sekarang lebih kreativitas dalam melakukan usaha.

Berbeda kemudian dengan mereka yang secara usia lebih tua, tingkat pendidikan juga rendah. Pengaruh

trend ini berhubungan dengan keterbatasan 3 sumber daya yang dimiliki oleh UKM yang kurang optimal.

Dengan begitu mereka merasa sedikit terancam dengan kebaruan-kebaruan yang akan mereka hadapi dalam

persaingan industri pisang ini.

Masalah yang kedua yaitu pada waktu musiman sebesar 56%. Tidak dipungkiri bahwa buah pisang hadir

dalam waktu musim-musim tertentu, sehingga produksi mereka kadang terhenti karena bahan pokok tidak

diperoleh, selain itu juga didukung dengan keterbatasan teknologi untuk penyimpanan pisang baik masih

mentah maupun sudah menjadi olahan sebagai stock/gudang. Oleh karena itu kendala yang dikhawatirkan

oleh mereka pada saat ini adalah trend dan musiman. Akan tetapi capaian kinerja saat ini berdasarkan aset

sumber daya yang dimiliki menghasilkan beberapa kinerja sebagai berikut dalam pemaparan gambar 3.

Hasil persentase identifikasi kinerja dari faktor internal dan Eksternal paling tinggi yaitu jumlah varian dan

sistem pemasaran sebesar 88%. Sistem pemasaran yang digunakan sekarang adalah sistem konvensional

diantaranya penyebaran brosur, door to door,dan word of moth. UKM yang menggunakan sistem pemasaran

konvensional yaitu 20 UKM sedangkan yang 3 UKM sudah menggunakan media sosial meskipun belum

Gambar1. Tingkat Kepemilikan Sumber Daya Internal

Gambar 2. Kondisi Eksternal yang Pernah Dialami

Gambar 3. Hasil Identifikasi Kinerja dari Faktor Internal dan Eksternal

Page 409: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 395

terlalu maksimal, berbeda kemudia 2 UKM CV Nikilo dan Elpis sudah melaju cepat dengan menggunakan

media sosial seperti instagram dan toko-toko online.

Hasil luaran kinerja ini tentu tidak lepas dengan adanya pengaruh aset yang mereka miliki sebelumnya,

seperti kepemilikan SDM, jaringan, perilaku bisnis dan juga intuisi, seperti pemaparan gambar 1. Jika dalam

proses pengembangan agroindustri melalui pendekatan sustainable livelihood dan vulnerability context maka

kinrja ke depan akan lebih terencana dengan menghitung mana yang paling optimal dan tidak, kemudian

dapat memberikan solusi yang tepat untuk menghadapai segala tantagan dan masalah yang dihadapi, dengan

kata lain lebih matang dalam segala perencanaan dan teknisnya.

Hasil kinerja agroindustri pisang di Kota Batu diantaranya data dashboard tahun 2017, identifikasi sumber

daya, hasil luaran dari kinerja yang dimiliki serta tingkat efisiensi kinerja UKM/ perusahaan. data dashboard

yang paling tinggi tahun 2017 pada UKM Nawangsari, dengan jumlah keuntungan Rp. 4.300.000,- dengan

perincian setiap bulannya mengeluarkan biaya tetap sebesar Rp. 7.000.000,- jumlah operasional yang

dikeluarkan sebagai biaya variabel seperti akomodasi, pengemasan pembuatan stiker dan juga pemasaran

mengeluarkan biaya sebesar Rp. 4.700.000,-. Dari jumlah pengeluaran yang dikeluarkan UKM Nawangsari

mendapatkan Jumlah omset Rp.16.000.000,- per bulannya dengan perhitungan jumlah keuntungan bersih

sebesar Rp.2.800.000,- perbulannya. Hal ini dikarenakan UKM nawangsari sebagai pemasok perusahaan di

Surabaya, sehingga omset yang diperoleh paling tinggi dibandingkan UKM lainnya yang rata-rata hasil omset

yang diperoleh Rp. 5.000.000 sampai Rp. 8.000.000 perbulannya. Berikut pemaparan laju detail dari ke 25

UKM agroindustri di kota Batu.

Gambar 4. Data Dashboard Tahun 2017

Page 410: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

396 |

Dari Pemparan hasil identifikasi kepemilikan aset, kondisi yang pernah dialami dan hasil yang dicapai

dapat ditarik kesimpulan bahwa tingkat efisiensi dari ke dua puluh lima UKM mecapai nilai 1, dalam artian nilai

yang dihasilkan adalah efisien, dengan rata-rata 0.98 persen. Akan tetapi terdapat 1 UKM yang tidak efisien

dalam penerapan kinerja dan hasil yang diperolehnya, yaitu UKM nomer 2. UKM nomer dua tertera industri

CV Nawangsari.

Jika di lihat kembali pada gambar 4 tentang jumlah dashboard keseluruhan UKM omset yang diperoleh

justru UKM Nawangsari yaitu mencapai Rp. 16.000.000,- per bulannya, namun setelah diidentifikasi melalui

pendekatan livelihoods dan vulnerability context kinerja yang selama ini mereka lakukan tidak seimbang

dengan apa yang dihasilkan. Oleh karena itu jumlah omset tidak bisa dijadikan patokan bahwa semakin tinggi

omset semakin tinggi pula tingkat efisiensi yang diterapkan. Pada prinsipnya pernyataan efisien jika data input

yang dimasukkan seminimal mungkin, namun output yang dihasilkan semaksimal mungkin, namun melihat

ketentuan dalam menyesuaikan kondisi dan faktor yang mempengaruhinya.

UKM yang paling efisien dalam kinerja agroindustri pisang di Kota Batu yang dilakukan yaitu UKM nomer

1 (Rizky Abadi), meskipun nilai efisiensinya juga sempurna yaitu 1, namun yang paling efisien dari 23 UKM

yaitu firm (UKM) nomer 1. Dengan bukti DMU yang diuji adalah lima sumber daya (livelihood asset) yang

dimiliki, kemudian di dukung dengan dua sumber daya (enterpreneur Behaviour dan intuisi) yang dimiliki /

bawaan dalam dirinya, kemudian di dukung dengan strategi penanganan faktor internal dan eksternal yang

pernah dialami dengan pengaruh langsung pada kinerja yang dilakukan

KESIMPULAN

Hasil identifikasi antara kinerja agroindustri dengan pendekatan livelihood frameworks dan Vulenarebilty

Context berpengaruh pada proses sistem pemasaran,produktivitas, jenis produk, jumlah varian dan

diversivikasi Produk. Livelihood frameworks dipengaruhi lima sumber daya internal yang dimiliki pelaku UKM

dalam peningkatan kinerja. Selama proses produksi terdapat tiga sumber daya yang belum diolah secara

optimal oleh pelaku UKM, diantaranya Human Capital sebesar 78%, Social Capital 49%, dan Financial Capital

56%. Sedangkan Vulnerability Context yang memiliki pengaruh besar selama proses produksi pada kondisi

trend sebesar 52%. Selain livelihood frameworks dan Vulnarebilty Context, pelaku UKM memiliki Enterpreneur

Behaviour dan intuisi sebesar 78%, hal ini berpengaruh besar terhadap keberlangusngan manajemen kinerja

agroindustri pisang di Kota Batu. Dari 25 UKM yang ada di Kota Batu menjelaskan bahwa omset yang

dihasilkan tidak selalu menjadi patokan dalam proses peningkatan kinerja agroindustri, namun dipengaruhi

oleh optimalisasi dari livelihood frameworks, Vulenarebilty Context, Behaviour dan intuisi.

Page 411: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 397

Evaluasi yang perlu dilakukan proses peningkatan kineja yaitu mengoptimalkan manajemen dari masing-

masing sumber daya yang dimiliki, seperti menejemen modal sosial dan keuangan, kedua modal tersebut

saling berkaitan dengan yang hubungan satu orang dengan orang lainnya. Oleh karena itu butuh

pendampingan bagaimana mengelola sumber daya-sumber daya yang belum optimal. UKM nomer 1 (Rizki

Abadi) dapat dijadikan sebagai contoh UKM dengan kinerja yang efisien, karena UKM tersebut dapat

memproduksi hasil pertanian dari bahan mentah hingga pemasaran konsumen terakhir, berbeda dengan UKM

nomer 2 (Nawangsari) yang memiliki omset besar akan tetapi produksi yang dilakukan hanya fokus pada

tingkat pemasaran skala besar (pemasok)

DAFTAR PUSTAKA Afandi, Aang. 2014. Analisis Tourism Livelihoods Berkelanjutan Di Kota Batu: Pendekatan SLFT (Sustainable

Livelihood Framework for Tourism) (DISERTASI). Universitas Brawijaya, Malang.

Barney, J.B. (1991). Firm Resources and suistained Competitive Advantange. Journal of Management 17 (1):

pp. 99-120

Bharadwaj, S.G.P.R. Varadarajan, et al. (1993). Sustainable Competitve Advatange in Service Industries: A

Conceptual Model and Research Propositions. Journal of Marketing 57 (October) : pp. 83 – 100.

Bhargava,M. Dubelaar,C and S.Ramaswari. (1994). Reconciling Diverse Measures of performance: A

Conseptual Framework Test of Methodology. Journal of Business Research.Vol 31:pp.235-246

Didu, Said Muhammad, 2003. Kinerja Agroindustri Indonesia. Agrimedia Volume 8.

Herlambang, Andhika P. 2015. Analisa Tingkat Kemiskinan Masyarakat Nelayan Perikanan Tangkap Jawa

Timur (Metode Sustainable Livelihood Approach) (DISERTASI). Universitas Brawijaya, Malang.

Hunger, J. David dan Thomas L. Wheelen. 2001. Manajemen Strategis. ANDI . Yogyakarta Rahardi.F, 2003.

Cerdas Beragrobisnis Mengubah Rintangan Menjadi Peluang Berinvestasi. PT. AgroMEDIA Pustaka.

Depok. (Online) avaible at http://www.google.book.co.id// (Verified 09 Oktober. 2016).

Laeis, C.M Grabriel, 2016. Social Entrepreneurship in Tourism: Applying Sustainable Livelihoods Approaches.

Emerald Group Publishing Limited.

Kusnadi. 2000. Pengantar Manajemen Strategi. Universitas Brawijaya. Malang.

Pearce, Jhon A dan Richard B Robinson. 2014. Managemen Strategis : Formulasi, Implementasi dan

Pengendalian. Salemba Empat, Jakarta.

Rue,L.W, Ibrahim,N.A.(1998). ―The Ralationship between Planning Sophistication and Performance in Small

Businesses‖ Journal of Small Business Managment‖ October 1998, pp.24-32

Soekarwi. 2005. Agroindustri : Dalam Perspektif Sosial Ekonomi. PT. RajaGrfaindo Persada, jakarta.

Umar, Husein. 2003. Strategic Management in Action. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta

Page 412: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

398 |

Profil Agroindustri Pengolahan Lidah Buaya Sebagai Sumber Pangan Lokal Di Kota Pontianak Provinsi Kalimantan Barat

Melia Puspitasari1, Tietyk Kartinaty1 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Kalimantan Barat

Email : [email protected]

ABSTRAK

Agroindustri adalah salah satu bagian dari subsistem agribisnis yang berperan sebagai penggerak pembangunan sector pertanian dalam menciptakan pasar bagi hasil-hasil pertanian melalui berbagai produk olahannya.Agroindustri telah memberikan kontribusi terhadap perekonomian nasional, hal ini dapat dilihat pada nilai Produk Domestik Bruto (PDB). Secara nasional nilai Produk Domestik Bruto (PDB) pada industri makanan dan minuman pada tahun 2014 mencapai 560,62 trilyun rupiah atau memberi kontribusi sebesar 5,32 % terhadap total nilai PDB. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan identifikasi profil agroindustri lidah buaya melalui identifikasi karakteristik usaha serta analisis biaya dan pendapatan usaha agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa agroindustri pengolahan lidah buaya di Kota Pontianak 68 % tergolong skala usaha kecil dengan omzet penjualan mencapai Rp 311.136.000 sampai dengan Rp 2.414.880.000 per tahun. Sementara 23 % tergolong skala usaha menengah dengan omzet mencapai Rp. 4.418.400.000 sampai dengan Rp. 23.500.800.000 dan sisanya sebanyak 8 % usaha adalah tergolong usaha skala mikro dengan omzet penjualan pertahun mencapai Rp. 195.840.000 sampai dRp. 285.000.000. Analisis biaya dan pendapatan sangat perlu untuk mengetahui sejauh manakelayakan suatu usaha, menguntungkan atau tidak secara ekonomis. Hasil analisis menunjukkan bahwa penerimaan dihitung berdasarkan beberapa jenis olahan lidah buayayaitu minuman lidah buaya, dodol lidah buaya, manisan lidah buaya, kerupuk lidah buaya, coklat lidah buaya, nastar lidah buaya dan teh lidah buaya maka diperoleh penerimaan sebesar Rp. 620.750.000/tahun. Nilai R/C nya adalah 1,72 menunjukkan usaha tersebut layak untuk diusahakan.

Kata Kunci : Agroindustri, agribisnis, lidah buaya, skala usaha, penerimaan

PENDAHULUAN

Agroindustri sangat berperan dalam kegiatan pembangunan daerah baik dalam sasaran pemerataan

pembangunan, pertumbuhan ekonomi, maupun stabilitas nasional (Soekartawi, 2000). Agroindustri telah

memberikan kontribusi terhadap perekonomian nasional, hal ini dapat dilihat pada nilai Produk Domestik Bruto

(PDB). Secara nasional nilai Produk Domestik Bruto (PDB) pada industri makanan dan minuman pada tahun

2014 mencapai 560,62 trilyun rupiah atau memberi kontribusi sebesar 5,32 % terhadap total nilai PDB.

Sementara nilai Produk Domestik Bruto (PDB) pada bidang usaha kimia farmasi dan obat tradisional adalah

179,34 trilyun rupiah pada tahun 2014 atau memberi kontribusi sebesar 1,70 % terhadap nilai total PDB (BPS,

2015). Namun demikian jika dilihat secara regional tahun 2015 maka nilai Produk Domestik Regional Bruto

(PDRB) di kota Pontianak pada industri pengolahan mencapai 4,58 trilyun rupiah dengan kontribusi terhadap

nilai total PDRB sebesar 16,59 % (BPS Kota Pontianak, 2016).

Page 413: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 399

Pemanfaatan pangan lokal merupakan bentuk kearifan lokal dimana menurut Djaenuderajat (2010)

kearifan lokal merupakan bagian dari sistem adaptasi masyarakat terhadap lingkungannya, sehingga

masyarakat telah mengetahui dengan baik kondisi alam dan lingkungannya sendiri.Indonesia yang memiliki

kekayaan budaya daerah ternyata juga memiliki kekayaan kearifan lokal pada bidang usaha pertanian dan

berbagai olahan bahan makanan.Hal ini perlu dikaji kembali dan disesuaikan dengan kondisi yang terjadi saat

ini sehingga dapat mengatasi krisis pangan.

Tanaman lidah buaya (Aloe vera) di Kota Pontianak, Kalimantan Barat bersifat spesifik lokasi dimana

tanaman yang ditanam pada lahan gambut dengan cahaya penuh yang diperoleh tanaman pada wilayah

khatulistiwa tersebut dapat menghasilkan pelepah super dengan ukuran lebih besar. Hasil panen pelepah

lidah buaya dapat mencapai berat 0,8 – 1,2 kg dengan lebar ± 10 cm dan ketebalan daging 2 – 3 cm.

Pengembangan lidah buaya di kota Pontianak merupakan bentuk kearifan lokal.

Saat ini produk lidah buaya di Kota Pontianak sudah banyak dikembangkan menjadi berbagai produk

pangan olahan mulai dari minuman, dodol, jelly, kerupuk, coklat, dan lain-lain yang tentunya memberikan nilai

tambah bagi produk tersebut.

Dalam perkembangannya, agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak masih menghadapi berbagai

permasalahan, diantaranya menurut Dimyati dan Sahari (2002) bahwa kandungan nutrisi seperti vitamin,

mineral, enzim, dan asam amino pada produk olahan lidah buaya yang dihasilkan belum sesuai dengan

standar InternationalAloe Science Council (IASC). Hal ini disebabkan masih rendahnya teknik pengolahan

yang digunakan sehingga kandungan nutrisi pada produk olahan lidah buaya menjadi berkurang. Standar

yang ditetapkan oleh IASC yaitu lidah buaya pada saat diolah menjadi suatu produk, harus memiliki

kandungan nutrisi yang sama dengan lidah buaya dalam keadaan segar atau belum diolah. Disamping itu

menurut Ellyta (2007)bahwa kualitas produk yang dihasilkan belum sesuai dengan apa yang diinginkan pasar,

padahal kualitas produk yang dihasilkan merupakan faktor utama penentu harga dan permintaan produk di

pasar domestik maupun ekspor. Kemampuan untuk menjamin kualitas sesuai dengan permintaan konsumen

merupakan kunci keunggulan kompetitif.Namun, untuk meningkatkan kualitas produk lidah buaya, pengusaha

masih terkendala dengan modal produksi.

Tujuan pemelitian ini adalah melakukan identifikasi profil agroindustri lidah buaya melalui

identifikasi karakteristik usaha serta analisis biaya dan pendapatan usaha agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak.

METODE PENELITIAN

Penelitian dilaksanakan di kota Pontianak sebagai pusat pengembangan agroindustri pengolahan

lidah buaya. Lokasi agroindustri pengolahan lidah buaya di kota Pontianak dengan populasi agroindustri

pengolahan lidah buaya berjumlah 22 unit usaha pengolahan yang yang tergolong ke dalam unitusaha kecil

dan menengah (UKM). Penentuan sampel dari setiap kecamatan dilakukan secara sengaja (purposive

sampling) yang diambil dari populasi yang ada yaitu 22 unit usaha.Waktu pelaksanaan penelitian yaitu selama

3 bulan dengan waktu pengambilan data di lokasi penelitian mulai dari bulan April 2017 sampai dengan Juni

2017.

Page 414: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

400 |

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Pengusaha Agroindustri Lidah Buaya

Karakteristik pengusaha agroindustri lidah buaya yang dimaksud adalah meliputi usia, gender,

pendidikan terakhir, lama usaha, dan status pekerjaan yang dilakukan. Karakteristik pengusaha ini untuk

melihat seberapa jauh kemampuan pengusaha dalam memanajemen usahanya dan berperan dalam

pengambilan keputusan untuk keberlanjutan usaha yang telah dirintis selama ini.Disamping itu, keberhasilan

pengembangan suatu usaha yang telah dijalankan juga dapat dilihat dari karakteristik tersebut.

1. Umur pengusaha Menurut Hubeis (1997), Sjaifudian et al. (1997) bahwa umur produktif merupakan salah satu faktor

penting dalam mengembangkan usaha menjadi lebih baik. Umur pengusaha akan mempengaruhi produktivitas

dalam bekerja. Pengusaha yang memiliki umur lebih muda, diasumsikan produktivitas tenaga kerjanya lebih

tinggi, lebih kreatif dan terbuka terhadap ide-ide baru dibandingkan pengusaha yang memiliki umur lebih tua,

sehingga lebih mudah meningkatkan ketrampilan dalam merencanakan dan melaksanakan kegiatan

produksi.Dalam penelitian ini, umur pengusaha agroindustri lidah buaya berada pada umur 30 sampai 65

tahun.Untuk lebih jelas dapat dilihat pada tabel 1 dan tabel 2 sebagai berikut.

Tabel 1. Kelompok Umur Pengusaha Agroindustri Lidah Buaya

Kelompok Umur

(Tahun)

Jumlah Pengusaha Persentase (%)

Tidak Produktif (0 – 14)

Produktif (15 - 54)

Kurang Produktif (≥ 55)

0

16

6

0

72.7

27.3

Jumlah 22 100.00

Sumber : Data primer (2017)

Berdasarkan tabel 1 dapat dilihat bahwa dari 22 orang pengusaha agroindustri lidah buaya di Kota

Pontianak bahwa mayoritas pengusaha berada pada kelompok umur produktif yaitu 15 – 54 tahun dengan

jumlah pengusaha sebanyak 14 orang atau sebesar 72.7 persen. Sedangkan untuk kelompok umur yang

kurang produktif yaitu ≥ 55 tahun berjumlah 6 orang atau sebesar 27.3 persen. Banyaknya pengusaha yang

berumur produktif akan menjadi keunggulan tersendiri bagi agroindustri lidah buaya untuk dapat terus

meningkatkan dan mengembangkan usaha, terutama dari segi kreatifitas berinovasi mengingat pengusaha

diumur tersebut masih dapat melakukan segala aktivitas baik yang menggunakan tenaga fisik maupun pikiran.

Sehingga kedepannya agroindustri lidah buaya dapat berdaya saing di tingkat nasional dan internasional.

Page 415: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 401

Tabel 2. Pengusaha Agroindustri Lidah Buaya Menurut Umur

Umur Pengusaha Jumlah Pengusaha Persentase (%)

30 – 36

37 – 43

44 – 50

51 – 57

58 – 64

65 – 71

3

8

4

3

3

1

13.6

36.4

18.3

13.6

13.6

4.5

Jumlah 22 100.00

Sumber : Data Primer (2017)

Berdasarkan tabel 2, bahwa mayoritas pengusaha agroindustri lidah buaya berada pada umur 37

sampai 43 tahun yaitu berjumlah 8 orang atau sebesar 36.4 persen, dan rata-rata berumur 42 tahun.

Sedangkan pengusaha yang telah berumur antara 65 sampai 71 tahun hanya berjumlah 1 orang. Jika dilihat

dari rata-rata umur, pengusaha agroindustri lidah buaya masih berada dikelompok umur produktif. Dengan

asumsi bahwa pengusaha tersebut masih produktif dalam mengembangkan diri dan usaha agroindustri lidah

buaya di masa yang akan datang, sehingga dapat memajukan produk yang menjadi ciri khas daerah Kota

Pontianak dan mendorong pengusaha pengusaha baru yang ingin berusaha disubsektor agroindustri

khususnya lidah buaya.

2. Jenis Kelamin (Gender). Menurut Hubeis (1997), bahwa jenis kelamin atau gender juga menjadi salah satu faktor yang dapat

mempengaruhi perkembangan dan keberhasilan suatu usaha yang akan dijalankan. Pada umumnya pria lebih berani dalam mengambil resiko yang merupakan faktor penting dalam pengelolaan usaha.Akan tetapi, dari segi sosial budaya, kesempatan berusaha bagi pria lebih besar dibanding perempuan.Oleh karena itu, mengembangkan usaha kecil menjadi sangat relevan dengan isu perempuan, mengingat usaha kecil merupakan sumber pendapatan dan peluang berusaha utama bagi kebanyakan perempuan dan masyarakat pada umumnya.

Dilihat dari tabel 3 bahwa jumlah pengusaha perempuan lebih banyak sedikit jumlahnya dengan pengusaha laki-laki yaitu sebanyak 12 orang atau 54.5 persen. Dari status gender tersebut terdapat kesempatan yang sama dalam berusaha antara laki-laki dan perempuan, kecuali dalam hal proses berwirausaha, jaringan sosial, dan akses terhadap sumberdaya yang akan memberikan perbedaan.

Tabel 3. Pengusaha Agroindustri Lidah Buaya Menurut Jenis Kelamin.

Jenis Kelamin Jumlah Pengusaha Persentase (%)

Laki – laki

Perempuan

10

12

45.5

54.5

Jumlah 22 100

Sumber : Data Primer (2017)

Page 416: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

402 |

Selain itu, agroindustri lidah buaya juga membuka peluang bagi seluruh masyarakat, khususnya laki-

laki yang tidak atau belum memiliki kesempatan kerja di sektor formal untuk berwirausaha.Pada agroindustri

lidah buaya, pengusaha perempuan lebih memiliki kreatifitas yang tinggi dalam berinovasi dibanding

pengusaha laki-laki.Hal ini dapat dilihat dari beragamnya produk yang diproduksi dan dijual oleh pengusaha

perempuan.Tidak hanya memproduksi minuman, pengusaha perempuan juga memproduksi dodol, manisan,

cokelat, kerupuk, stick, dan selai, bahkan produk terbaru berupa kue nastar lidah buaya.Sehingga agroindustri

lidah buaya yang dijalankan oleh pengusaha perempuan lebih berkembang dari segi diversifikasi produk.

3. Tingkat Pendidikan. Tingkat pendidikan formal secara relatif juga berhubungan dengan kemampuan dalam adopsi

inovasi ataupun mengakses dan mengadopsi kemajuan teknologi dan informasi, mudah bernegosiasi,

membangun networking, dan lain sebagainya yang dapat menunjang keberlanjutan usaha. Selain itu,

pendidikan juga akan mempengaruhi kemampuan pengusaha dalam mengelola kinerja usaha. Dengan

pendidikan tinggi, seseorang akan memiliki perencanaan dan pemikiran yang matang untuk mengambil

keputusan dengan memperhitungkan segala resiko yang mungkin terjadi, sehingga dapat meminimalisir

terjadinya kerugian.

Pada penelitian ini, tingkat pendidikan yang ditamatkan oleh pengusaha agroindustri lidah buaya

bervariasi mulai dari yang hanya menamatkan pendidikanditingkat Sekolah Dasar sampai ada yang

menamatkan pendidikan ditingkat Perguruan Tinggi. Untuk lebih jelasnya jumlah pengusaha yang

menamatkan pendidikan dapat dilihat pada tabel 4.

Tabel 4. Pengusaha Agroindustri Lidah Buaya Menurut Tingkat Pendidikan.

Tingkat Pendidikan Jumlah Pengusaha Persentase (%)

SD

SLTP

SLTA

PT

4

6

10

2

18.2

27.3

45.4

9.1

Jumlah 22 100

Sumber : Data primer (2017)

Berdasarkan tabel 4 bahwa mayoritas pengusaha menyelesaikan pendidikan di tingkat Sekolah

Menengah Atas yaitu berjumlah 10 orang atau sebesar 45.4 persen. Terdapat juga pengusaha yang hanya

menyelesaikan pendidikan ditingkat Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama, yang berturut-turut

berjumlah 4 orang atau sebesar 18.2 persen dan 6 orang atau sebesar 27.3 persen. Namun, terdapat pula 2

orang pengusaha yang menyelesaikan pendidikan hingga Perguruan Tinggi.Banyaknya pengusaha yang

menamatkan pendidikan di tingkat Sekolah Menengah Atas merupakan hal yang cukup baik, karena

pengusaha telah menempuh pendidikan lebih dari 9 tahun sesuai yang dianjurkan oleh pemerintah Indonesia.

Setidaknya pada tingkat pendidikan tersebut, pengusaha akan lebih mudah mencari dan menyerap ilmu

Page 417: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 403

pengetahuan dan teknologi yang tersedia dan berguna untuk pengembangan usaha. Namun, ada juga

pengusaha yang hanya menamatkan pendidikan ditingkat Sekolah Dasar.

Hal ini menandakan bahwa dalam usaha pengolahan lidah buaya ini tidak membutuhkan

keterampilan khusus yang mengharuskan seorang pengusaha harus menamatkan pendidikan setinggi-

tingginya.Akan tetapi, faktor pertama yang dibutuhkan adalah kemauan yang kuat dalam berusaha.Meskipun

demikian, pendidikan akan menjadi faktor yang sangat penting dalam membentuk kinerja seseorang dalam

mengembangkan usaha, apalagi ditambah dengan ketrampilan atau skill yang baik maka akan menjadi

kekuatan dalam mengembangkan usaha.

4. Pengalaman Usaha. Lamanya pengalaman usaha yang dijalankan akan mempengaruhi kesuksesan usaha yang diraih.

Pada umumnya, waktu yang diperlukan untuk mencapai kesuksesan dalam usaha tidaklah singkat, orang-

orang yang sukses berwirausaha memerlukan waktu yang panjang, dimana dalam kurun waktu tersebut akan

terjadi berbagai hambatan dan masalah dalam menjalankan usahanya. Pengusaha yang telah lama

menjalankan usaha akan lebih banyak pengalamannya terutama dari sisi proses produksi dan pengenalan

mutu produk, pemasaran, dan masalah yang dihadapi, sehingga akan lebih banyak mengetahui bagaimana

mengatasi dan menyelesaikan masalah. Pada penelitian ini, lamanya usaha yang dijalankan oleh pengusaha

agroindustri lidah buaya berkisar antara 4 sampai 23 tahun, dengan rata-rata pengalaman selama 12 tahun.

Untuk lebih jelasnya, lamanya usaha yang dijalankan pengusaha agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak

dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Pengusaha Agroindustri Lidah Buaya Menurut Lama Usaha

Lama Usaha (tahun) Jumlah Pengusaha Persentase (%)

4 – 7

8 – 11

12 – 15

16 – 19

20 – 23

1

6

9

4

2

4.5

27.3

40.9

18.2

9.1

Jumlah 22 100

Sumber : Data primer (2017)

Berdasarkan tabel 5 bahwa mayoritas pengusaha telah lama menjalankan usaha dibidang

pengolahan lidah buaya yang rata-rata lebih dari 10 tahun yaitu dalam waktu antara 12 hingga 15 tahun

sebanyak 9 orang atau sebesar 40.9 persen. Bahkan ada pengusaha yang telah berusaha selama 20 hingga

23 tahun yaitu sebanyak 2 orang atau 9.1 persen.

Pada dasarnya, usaha pengolahan lidah buaya ini memang telah lama dilakukan oleh sebagian kecil

petani lidah buaya keturunan Cina yaitu sejak tahun 1988, akan tetapi mulaiberkembang pada tahun 1990.

Sehingga tidak heran pengusaha olahan lidah buaya ini mayoritas dilakukan oleh warga keturunan Cina yang

lebih dulu mempopulerkan dan mengusahakan produk olahan lidah buaya. Oleh karena itu, pengusaha

Page 418: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

404 |

agroindustri lidah buaya yang keturunan Cina lebih berpengalaman dalam agroindustri lidah buaya ini, dan

usaha yang dijalankan lebih berkembang terutama jika dilihat dari jumlah produksi, area pemasaran, dan merk

yang telah dikenal oleh masyarakat pecinta aloe vera.

5. Status Pekerjaan. Status pekerjaan dianalisis untuk melihat seberapa banyak pengusaha yang mencurahkan waktunya

dalam mengusahakan industri pengolahan lidah buaya, dikarenakan pekerjaan yang ditekuni pengusaha

bermacam-macam yaitu mulai dari pengolah lidah buaya, petani lidah buaya, buruh, dan pegawai.Oleh karena

itu, status pekerjaan ini untuk melihat apakah industri pengolahan lidah buaya tersebut merupakan pekerjaan

pokok atau hanya sebagai pekerjaan sampingan.Untuk itu, tabel 6 menunjukkan karakteristik pengusaha

menurut status pekerjaan.

Tabel 6. Pengusaha Agroindustri Lidah Buaya Menurut Status Pekerjaan

Status Pekerjaan Jumlah Pengusaha Persentase (%)

Pokok

Sampingan

16

6

72.7

27.3

Jumlah 22 100

Sumber : Data Primer (2017)

Pada tabel 6 dapat dilihat bahwa agroindustri lidah buaya merupakan pekerjaan pokok yang

dilakukan oleh mayoritas pengusaha yang berjumlah 16 orang atau sebesar 72.7 persen.Agroindustri lidah

buaya ini dijadikan pengusaha sebagai pekerjaan pokok dikarenakan tingkat pendidikan pengusaha yang

memang sulit bersaing di pekerjaan formal, sehingga membuat pengusaha termotivasi untuk menekuni usaha

ini.Selain itu, agroindustri ini banyak dilakukan oleh warga keturunan Cina yang pada umumnya lebih senang

berwirausaha dibanding bekerja disektor formal, dan juga usaha ini memberikan keuntungan dan penghasilan

untuk kebutuhan hidup sehari-hari.

Dari pengamatan di lapang terlihat bahwa pengusaha yang menjadikan agroindustri lidah buaya

sebagai pekerjaan pokok lebih fokus dalam mengembangkan usaha dibandingkan pengusaha yang

menjadikan pekerjaan sampingan. Hal ini terlihat dari kontinyuitas produk yang terjaga untuk memenuhi

permintaan pasar di luar kota Pontianak, bervariasinya produk yang dihasilkan karena waktu lebih fokus untuk

berinovasi dan berkreatifitas guna mengembangkan usaha, selalu menjaga hubungan baik dengan petani

lidah buaya bahkan menjalin kemitraan dengan petani dalam bentuk kelompok tani agar ketersediaan bahan

baku terjaga dengan baik. Sedangkan untuk pengusaha yang menjadikan sebagai pekerjaan sampingan

hanya memproduksi satu jenis produk saja dan area pemasarannya pun hanya disekitar Kota Pontianak saja.

Karakteristik Usaha Agroindustri Lidah Buaya

Karakteristik UMKM merupakan sifat atau kondisi faktual yang melekat pada aktifias usaha maupun

perilaku pengusaha yang bersangkutan dalam menjalankan bisnisnya.

Page 419: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 405

Karakteristik ini yang menjadi ciri pembeda antar pelaku usaha sesuai dengan skala usahanya.

Menurut Bank Dunia, UMKM dapat dikelompokkan dalam tiga jenis, yaitu: 1. Usaha

Mikro (jumlah karyawan 10 orang); 2.Usaha Kecil (jumlah karyawan 30 orang); dan 3. Usaha Menengah

(jumlah karyawan hingga 300 orang). Sementara menurutPeraturan Bank Indonesia (PBI) No. 17/12/PBI/2015

tanggal 25 Juni 2015tentang Perubahan atas Peraturan bank Indonesia No. 14/22/PBI/2012, dan PBI PBI

No.14/22/PBI/2012 tentang Pemberian Kredit atau Pembiayaan oleh Bank Umum danBantuan Teknis dalam

rangka Pengembangan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah.

Kriteria usaha mikro, kecil, menengah dan besar menurut peraturan tersebut adalah sebagai berikut;

1. Usaha mikro, omset maksimal Rp. 300 juta 2. Usaha kecil, omset > Rp 300 juta – Rp 2,5 Milyar 3. Usaha menengah, omset > 2,5 Milyar – 50 Milyar 4. Usaha besar, omset > 50 Milyar (LPPI dan Bank Indonesia, 2015).

Usaha agroindustri pengolahan lidah buaya di Kota Pontianak yang terdiri atas 22 usaha

berdasarkan omzet penjualan pertahun maka dapat dikelompokkan ke dalam beberapa kriteria usaha (tabel 7)

yaitu usaha mikro, kecil dan menengah. Dari 22 usaha tersebut sebagian besar yaitu 15 usaha atau 68 %

tergolong usaha skala kecil dengan omzet mencapai Rp. 311.136.000 s/d Rp. 2.414.880.000. Tabel berikut

menyajikan data jumlah tenaga kerja, produksi, omzet dan skala usaha agroindustri pengolahan lidah buaya.

Sementara yang tergolong usaha skala menengah berjumlah 5 atau 23 % dari total jumlah usaha

yang ada dengan omzet mencapai Rp. 4.418.400.000 s/d Rp. 23.500.800.000dan sisanya senbanyak 2

usaha adalah tergolong usaha skala mikro dengan omzet penjualan pertahun mencapai Rp. 195.840.000 s/d

Rp. 285.000.000. Sebagian besar usaha tergolong usaha kecil, hal ini karena sebagian besar usaha masih

terkendala oleh modal dimana pemilik usaha belum memanfaatkan modal pinjaman atau kredit bank, modal

yang digunakan sebagian besar adalah modal sendiri dan tenaga kerja yang digunakan sebagian juga adalah

tenaga kerja keluarga yang seringkali tidak diperhitungkan biaya nya.

Wilayah pemasaran sebagian besar untuk memenuhi permintaan lokal dan domestik dan sudah ada

sebagian yang ekspor ke beberapa negara.Untuk pasar lokal biasanya sasarannya adalah terminal agribisnis,

supermarket, hotel, bank, restoran, apotik, dan lain-lain. Sementara untuk pasar domestik ada beberapa kota

yang menjadi tujuan pemasaran yaitu Jakarta, Surabaya, Semarang, Bali, Palembang, dan Jogjakarta.

Beberapa Negara tetangga menjadi tujuan ekspor agroindustri pengolahan lidah buaya dilakukan oleh unit

usaha skala menengah seperti korea, singapura, Brunei Darussalam, Malaysia. Beberapa produk ekspor

diantaranya adalah kosmetik, minuman dan teh lidah buaya.

Tabel 7.Jumlah tenaga kerja, produksi, omset dan skala usaha agroindustri pengolahan lidah buaya di Kota

Pontianak Kalimantan Barat Tahun 2017.

No. Merk Jumlah Tenaga

Kerja (org)

Produksi (per

bulan)

Omset (pertahun)

(Rp)

Skala Usaha

1. 2.

3. 4.

5. 6.

7. 8.

Kemuning

Arya Cipta Mandiri Cha-Cha

Snack

Artika Vera

6

2 (DK)

3

7

14.400 *

71.470 *

10.800 *

18.000 *

1.440.000.000

972.000.000

478.800.000

1.209.600.000

Kecil

Kecil

Kecil

Kecil

Page 420: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

406 |

9.

10.

11.

12.

13.

14.

15.

16.

17.

18.

19.

20.

21.

22.

Barokah

Jetskin borneo

Ulira Food

Ayu Kurnia Jaya Rotiku

Hidup

My Beauty

Billionaire

Mavera

Kimken

O-Degree

Hidayah

Nusa Indah

Sun Vera

Saviera

Hidayah

Kaliovera

Mitra Sumber Aloe Vera

Tripple

7

15

2

2

7

2

4

3

4

15 kontrak

4 tetap

7

2

21

2

7

3

8

30

14.400 *

12.000 +

5.760 *

4.800 *

96.000 *

8.100 *

11.520 *

30.000 *

18.000 +

76.800 -

11.520 *

4.663 *

200.000 *

14.400 +

10.800 *

18.000 *

36.000 *

180.000 *

1.363.600.000

4.418.400.000

311.136.000

285.000.000

2.414.880.000

1.117.800.000

1.271.808.000

326.400.000

763.200.000

3.456.000.000

1.152.000.000

313.344.000

19.489.920.000

610.560.000

864.000.000

195.840.000

3.144.960.000

23.500.800.000

Kecil

Menengah

Kecil

Mikro

Kecil

Kecil

Kecil

Kecil

Kecil

Menengah

Kecil

Kecil

Menengah

Kecil

Kecil

Mikro

Menengah

Menengah

Sumber : Hasil Analisis Data Primer, 2017

Keterangan : * = kg

+ = dus

- = botol

Analisis Biaya dan Pendapatan

Analisis biaya dan pendapatan sangat perlu untuk menetahui sejauh mana kelayakan suatu usaha,

menguntungkan atau tidak secara ekonomis.Investasi yang dibutuhkan mencerminkan besarnya modal yang

harus dimiliki pelaku usaha dalam memulai usahanya dan dapat memperkirakan besar kecilnya manfaat yang

diperoleh dari usaha tersebut.

Pendapatan dalam hal ini adalah selisish antara penerimaan dengan biaya total usaha yang

dikeluarkan oleh pelaku usaha selama satu tahun. Adapun biaya total terdiri dari biaya tetap (fix cost) dan

biaya tidak tetap (variable cost). Biaya tetap (fix cost) meliputi penyusutan alat dan bangungan, perbaikan dan

pemeliharaan serta pajak. Sementara biaya tidak tetap (variable cost) meliputi biaya listrik, biaya produksi,

biaya transportasi, serta upah tenaga kerja.

Biaya produksi atau operasional meliputi bahan baku utama bahan olahan dalam hal ini adalah pelepah lidah buaya dan pengadaan air bersih. Pelepah lidah buaya diperoleh pelaku usaha dari petani yang ada di sekitar Pontianak.Petani yang mananam lidah buaya sebagian besar berada di wilayah Pontianak Utara atau kecamatan Siantan.Sudah ada kesepakatan antara petani dengan pemilik usaha yang difasilitasi oleh Dinas Pertanian untuk mensuplai hasil usahataninya ke pemilik usaha agroindustri pengolahan lidah buaya tersebut. Selain itu bahan baku utama yang tidak kalah pentingnya adalah pengadaan air bersih. Mengingat

Page 421: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 407

kondisi infrastruktur air bersih dari PDAM kota Pontianak tidak memungkinkan untuk dikonsumsi hanya untuk penggunaan MCK maka para pelaku usaha harus membeli air bersih layak konsumsi dari luar kota Pontianak. Hal ini mengakibatkan adanya biaya tambahan operasional. Berdasarkan tabel 8 tampak bahwa untuk biaya total dalam proses produksi produk olahan lidah buaya mencapai Rp. 306.002.200 dimana pengeluaran untuk biaya tidak tetap (variable cost) lebih besar dari biaya tetap (fix cost). Total biaya tidak tetap (variable cost) adalah Rp 346.512.000 (96 %) sementara biaya tetap (fix cost) adalah Rp 13.490.200 (4 %).

Berikut disajikan analisis biaya dan pendapatan agroindustri pengolahan lidah buaya Tabel 8.Analisis Biaya dan Pendapatan Agroindustri Pengolahan Lidah Buaya di Kota Pontianak.

I. Investasi

521,000,000

II. Biaya Tetap

13,490,200

1. Penyusutan Alat dan bangunan

7,000,000

2. Perbaikan dan pemeliharaan

6,340,200

3. PBB

150,000

III. Biaya Tidak Tetap

346,512,000

1. Biaya Listrik

8,000,000

2. Biaya Produksi

300,000,000

3. Biaya Transportasi

28,000,000

4. Tenaga Kerja

10,512,000

Total Biaya

360,002,200

IV. Penerimaan

620,750,000

Minuman Lidah Buaya Dus 4,500 56,000 252,000,000

Dodol Lidah buaya Bks 3,700 15,000 55,500,000

Manisan Lidah buaya Bks 3,000 35,000 127,750,000

Kerupuk Lidah Buaya Bks 1,500 21,000 31,500,000

Coklat Lidah buaya Bks 2,780 25,000 69,500,000

Nastar Lidah Buaya Bks 1,000 22,000 22,000,000

Teh Lidah Buaya Bks 2,500 25,000 62,500,000

V. Keuntungan/ Pendapatan kotor 260,747,800

pajak penghasilan 2,607,478

VI. Pendapatan bersih 258,140,322

VII. R/C Ratio 1.72

Sumber : Hasil analisis data primer, 2017

Penerimaan dihitung berdasarkan beberapa jenis olahan lidah buaya yaitu minuman lidah buaya,

dodol lidah buaya, manisan lidah buaya, kerupuk lidah buaya, coklat lidah buaya, nastar lidah buaya dan the

lidah buaya selama satu tahun maka diperoleh penerimaan sebesar Rp 620.750.000/ tahun. Nilai R/C nya

adalah 1,72 menunjukkan usaha tersebut layak untuk diusahakan.

Page 422: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

408 |

Kendala Agroindustri Lidah Buaya di Kota Pontianak

Kota Pontianak merupakan kota yang strategis umtuk membudidayakan tanaman lidah buaya

karena ditunjang dengan kondisi agroklimat yang baik yang sesuai dengan tanaman lidah buaya, sehingga

Kota Pontianak dapat dikatakan sebagai sentra lidah buaya yang memiliki kualitas ekspor. Tanaman lidah

buaya dapat mendorong terciptanya usaha baru yaitu usaha pengolahan lidah buaya atau agroindustri lidah

buaya yang memberikan nilai tambah bagi petani maupun bagi masyarakat, serta membantu petani

mempermudah dalam pemasaran lidah buaya mentah.

Pada umumnya, agroindustri lidah buaya yang ada di Kota Pontianak telah lama diusahakan oleh

warga setempat. Pengusaha agroindustri lidah buaya telah banyak menciptakan diferensiasi produk dari

tanaman lidah buaya, tidak hanya membuat minuman yang pada umumnya telah dikenal luas oleh masyarakat

di Indonesia, namun juga membuat produk-produk seperti teh, dodol, manisan, selai, kerupuk, dan makanan

lainnya. Pengembangan lidah buaya sebagai produk unggulan daerah Kota Pontianak mendapat perhatian

dari pemerintah daerah, sehingga pemerintah membangun pusat penelitian dan pengkajian teknologi lidah

buaya nasional yaitu Aloe Vera Center, yang lokasinya dekat dengan sentra produksi lidah buaya milik petani

dan pengusaha kecil agroindustri lidah buaya. Akan tetapi dalam perkembangannya, agroindustri lidah buaya

ini banyak menghadapi kendala, salah satunya yaitu masih kurangnya ketersediaan bahan baku lidah buaya,

terutama pada saat hari besar nasional. Keterbatasan bahan baku ini terjadi dikarenakan pada tahun 2004

hingga 2010 banyak petani yang mengalihfungsikan lahan lidah buaya untuk menanam tanaman lain seperti

nanas, pepaya dan sayur-sayuran yang pasarnya lebih jelas dibandingkan dengan lidah buaya.

Peristiwa ini juga didorong dengan melimpahnya produksi lidah buaya, namun sedikit sekali lidah

buaya yang dapat diserap pasar yaitu baru sekitar 6.85 persen dari total potensi produksi, sedangkan sisanya

ditunda panen. Belum berkembangnya usaha pengolahan lidah buaya pada saat itu, membuat petani tidak

ada alternatif lain selain menjual ke pabrik dan pedagang pengumpul dengan harga yang relatif murah yaitu

hanya mencapai Rp 2.000 hingga Rp 3.000 per kilogram. Hingga tahun 2017 jumlah petani yang

membudidayakan lidah buaya pun semakin menurun, yang semula berjumlah 115 petani di tahun 2009

menjadi 49 petani di tahun 2017 (Aloe Vera Center 2017).

Disamping keterbatasan bahan baku, kendala lain yang umumnya dihadapi pengusaha agroindustri

lidah buaya adalah terbatasnya modal untuk membeli peralatan produksi dan akses pemasaran produk lidah

buaya. Pengusaha agroindustri lidah buaya tidak banyak yang mendapatkan bantuan dari pemerintah dalam

hal penyediaan alat produksi.Pada umumnya, pengusaha menggunakan modal sendiri dalam

mengembangkan usahanya begitu juga dalam memasarkan produk.

Disamping itu, banyaknya produk-produk makanan dan minuman olahan selain lidah buaya di Kota

Pontianak, menjadikan agroindustri lidah buaya ini memiliki banyak pesaing, ditambah lagi masuknya

minuman lidah buaya yang diproduksi oleh perusahaan besar. Harga yang tawarkan pun begitu kompetitif,

sehingga pengusaha yang umumnya masih berskala kecil dan rumah tangga mengalami kesulitan dalam

memasarkan produknya di pasar lokal maupun luar kota. Oleh sebab itu, peran pemerintah sangat penting

dalam mempromosikan produk lidah buaya dari Kota Pontianak ke luar kota hingga mancanegara, dalam

upaya membuka akses pasar bagi pengusaha yang memang kesulitan memasarkan produknya.

Page 423: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 409

Kendala lain yang juga dihadapi pengusaha adalah kebutuhan air bersih. Agroindustri lidah buaya

membutuhkan banyak air dalam proses produksinya, terutama dalam memproduksi minuman lidah buaya,

yang membutuhkan pencucian, pembilasan berkali-kali dan perendaman, sehingga air bersih menjadi

kebutuhan yang sangat vital bagi agroindustri ini. Buruknya infrastruktur air bersih di Kota Pontianak,

mengharuskan pengusaha membeli air bersih dari daerah luar kota Pontianak yang harganya dirasa cukup

mahal oleh pengusaha yaitu mencapai Rp 500.000 hingga Rp 700.000 per tangki berukuran 6.000 liter.

Kondisi ini menyebabkan pengusaha harus mengeluarkan biaya yang cukup besar dalam hal penyediaan dan

penyimpanan air bersih jika terjadi musim kemarau. Dibagian lain, tidak adanya industri kemasan juga menjadi

kendala yang umumnya dirasakan pengusaha untuk menghasilkan produk lidah buaya yang berkualitas dari

segi kemasan.

KESIMPULAN

Hasil penelitian menunjukkan bahwa skala usaha agroindustri pengolahan lidah buaya bervariasi mulai dari skala mikro, kecil dan menengah dngan omzet penjualan berkisar antara Rp 195.840.000,- sampai dengan Rp 23.500.800.000,- per tahun.Sementara dilihat dari hasil analisis biaya dan pendapatan menunjukka bahwa total biaya pengolahan lidah buaya adalahRp 360.002.200 dengan pendapatan bersih Rp 258,140,322 danR/C sebesar 1.72 yang berarti bahwa usaha pengolahan lidah buaya layak untuk diusahakan.

Agroindustri pengolahan lidah buaya di kota Pontianak berpotensi untuk dikembangkan namun demikian masih terdapat beberapa kendala yang menghambat perkembangannya diantaranya keterbatasan modal, kurangnya infrastruktur air bersih, alat mesin yang terbatas. Oleh karena itu berbagai hambatan tersebut perlu diantisipasi agar dapat menunjang perkembangannya ke depan.

DAFTAR PUSTAKA

Aloe Vera Center. 2017. Laporan Tahunan Aloe Vera Center. Pontianak.

BPS. 2015. Statistik Indonesia 2015. BPS. Jakarta.

BPS. 2016. Kota Pontianak Dalam Angka. BPS Kota Pontianak.

Crijns, H., and Ooghi. (2000). Growth Paths of Medium Standardized Enttrepreneurial Companies. De Vlerick

Schol Voor Management: University of Ghent.

Dimyati dan Sahari.2002. Potensi Lidah Buaya dan Isu-Isu Penelitian Masa Depan. Pontianak: Dinas Urusan

Pangan Kota Pontianak.

Djaenuderadjat, Endjat. 2010. Nusantara Kaya Kearifan Lokal Pangan. Seminar Nasional Ketahanan Pangan :

Strategi dan Kearifan Lokal Dalam Perspektif Sejarah. Direktorat Geografi Sejarah Direktorat

Jenderal Sejarah dan Purbakala Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata dengan Jurusan Sejarah

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada.Yogyakarta.

Ellyta. 2007. Analisis jaringan komunikasi petani dalam pemasaran lidah buaya [tesis]. Bogor: Program

Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Ghemawat, P. (1997). Strategy and the Business Landscape. New York: Prentice Hall.

Hubeis M. 1997. Menuju Industri Kecil Profesional di Era Globalisasi Melalui

Pemberdayaan Manajemen Industri. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor.

LPPI dan Bank Indonesia. 2015. Profil Bisnis Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). Jakarta.

Page 424: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

410 |

Soekartawi.2000. Agroindustri Dalam Perspektif Sosial Ekonomi. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Wilkinson, B. (2002). Small, Micro, and Medium Enterprise Development: Expanding the Option for Debt and

Equity Finance. Financial Sector Workshop, National Economic Development and Labour Council

(NEDLAC). Johanesburg, South Africa.

Page 425: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 411

INDUKSI POLIPLOIDI ANGGREK VANDA LOMBOKENSIS J.J. SMITH DENGAN

KOLKHISIN SECARA IN VIVO

Lita Soetopo

Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya Corresponding author: [email protected]

Abstrak. Penelitian ini bertujuan mendapatkan konsentrasi yang efektif untuk menginduksi poliploidi pada anggrek Vanda lombokensis secara in vivo Penelitian dilaksanakan Januari-Juli 2018 di Soerjanto Orchid Batu, Laboratorium Bioteknologi, dan Laboratorium Pemuliaan Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya. Bahan yang digunakan antara lain bibit aggrek Vanda lombokensisi J. J. Sm. yang berumur 3 bulan setelah aklimatisasi dan kolkhisin. Perlakuan konsentrasi kolkisin yaitu 0 ppm (kontrol), 1500 ppm, 3000 ppm, 4500 ppm, dan 6000 ppm. Data pengamatan morfologi, anatomi, dan sitologi dianalisis menggunakan T-Test pada taraf 5%. Hasil pengamatan pemberian kolkisin berbeda nyata terhadap kontrol pada parameter umur muncul akar baru, dan jumlah akar pada konsentrasi 4500 ppm serta panjang akar pada pada konsentrasi 6000 ppm. Selain itu, T-Test menunjukkan hasil berbeda nyata terhadap kontrol pada parameter jumlah daun, lebar daun, dan tebal daun di konsentrasi 1500 ppm dan 4500 ppm. Pengamatan stomata menunjukkan hasil berbeda nyata terhadap kontrol pada parameter jumlah stomata dan kerapatan stomata di semua konsentrasi kolkisin, tetapi tidak berbeda nyata pada panjang dan lebar stomata. Pada parameter jumlah kromosom menunjukkan hasil berbeda nyata terhadap kontrol pada konsentrasi 3000 ppm, 4500 ppm, dan 6000 ppm. Pengamatan kromosom pada konsentrasi 4500 ppm terdapat tanaman tetraploid. Kata Kunci: vanda lombokensis, poliploid, kolkhisin, in vivo

PENDAHULUAN

Salah satu spesies anggrek Vanda dengan bunga yang menarik adalah anggrek Vanda lombokensis J. J.

Sm. Anggrek ini merupakan salah satu anggrek asli Indonesia yang ditemukan oleh Johannes Jacobus Sm. di

Kepulauan Sunda kecil, Nusa Tenggara Barat (Smith, 1925; Journal Storage (JSTOR). 2000; Roberts et al.,

2002).

Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengembangkan potensi anggrek Vanda adalah dengan

menggunakan mutagen, sehingga didapatkan variasi lain dari anggrek Vanda seperti Vanda poliploid. Pada

umumnya mutagen yang banyak digunakan adalah mutagen kimia yaitu, kolkisin. Kolkisin (C22H25O6N)

merupakan suatu alkaloid yang diperoleh dari umbi tanaman Colchichum autumnale L. (Familia Liliaceae)

(Suminah, Sutarno, dan Setyawan, 2002. Secara morfologi, poliploidi dapat menghasilkan ukuran bunga yang

lebih besar, bentuk bunga yang lebih bulat, dan warna bunga yang lebih pekat (Miguel dan Leonhardt, 2011).

Adanya induksi kolkisin maka dapat menghasilkan tanaman yang memiliki karakteristik yang berbeda dari

tanaman diploidnya.

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui konsentrasi kolkisin yang efektif bagi induksi poliploidi pada

Vanda lombokensis J. J. Sm

Page 426: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

412 |

METODOLOGI

Tempat dan Waktu Pelaksanaan

Penelitian dilakukan di CV Soerjanto Orchid Batu. Laboratorium Bioteknologi dan Laboratorium

Pemuliaan Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya pada bulan Januari-Juni 2018.

Alat dan Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bibit aggrek Vanda lombokensis J. J. Sm. berumur ± 3

bulan setelah aklimatisasi, bambu, pupuk daun NPK (20:20:20), kolkisin, asam asetat, aceto orcein,

hidroxyquinolin, HCL 1 N, aquades, spirtus, tisu, cat kuku bening, dan sarung tangan, masker, kertas label.

Bibit berasal dari benih anggrek Vanda lombokensisi J. J. Sm. yang kemudian disebar pada media VW.. Alat

yang digunakan adalah Pantone Color Chart, tray, penggaris, bambu, botol, injeksi spluit 1 mL, plastik, tali,

alat tulis, kamera, pipet, pinset, kaca peparat, coverglass, bunsen, tube, jangka sorong, gelas arloji, waterbath,

silet, dan mikroskop Olympus.

Metode Penelitian

Perlakuan yaitu konsentrasi kolkisin dengan lima taraf : 0 ppm (kontrol), 1500 ppm, 3000 ppm, 4500 ppm,

dan 6000 ppm. Setiap perlakuan terdiri dari 20 bibit anggrek yang diikat di bambu yang telah dipasang di tray,

total populasi bibit adalah 100 bibit.

. Data pengamatan karakter morfologi, anatomi dan sitologi dianalisis menggunakan T-Test pada taraf

5%

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakter Morfologi

Hasil T-Test dan Rerata Parameter Karakter Morfologi pada beberapa konsentrasi kolkisin terhadap

kontrol disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil T-Test dan Rerata Parameter Morfologi pada beberapa konsentrasi kolkisin terhadap kontrol

Parameter

Perlakuan (ppm)

0 ppm 1500 3000 4500 6000

Rerata Rerata t

hitung Rerata

t

hitung Rerata

t

hitung Rerata

t

hitung

Umur

Muncul

Akar Baru

20,75 20,2 0,11 tn 17,45 0,56 tn 8,3 2,78* 20,6 0,02 tn

Jumlah

Akar 1 0,95 0,29 tn 0,75 1,56 tn 0,5 3,25* 0,75 1,31 tn

Panjang

Akar 2,42 1,64 1,71 tn 1,47 1,94 tn 1,54 1,76 tn 1,105 2,95*

Umur

Muncul

Daun

19,3 29,9 -1,72

tn 21,35

-0,35

tn 28,6

-1,69

tn 25,35 0,93 tn

Page 427: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 413

Baru

Jumlah

Daun 0,75 1,2 -2,65* 0,9

-0,86

tn 1

-1,75

tn 0,8

-0,33

tn

Panjang

Daun 1,16

1,59

5

-1,53

tn 1,065 0,31 tn 1,38

-0,77

tn 1,695 -1 tn

Lebar

Daun 0,41 0,61 -2,64* 0,448 -0,5 tn 0,61 -2,61* 0,495 0,95 tn

Tebal

Daun 0,09

0,12

7 -2,58* 0,098

-0,63

tn 0,123 -2,32* 0,092 -0,3 tn

Panjang

Tanaman 3,71

4,00

5

-0,73

tn 3,55 0,5 tn 4,315

-1,56

tn 3,905

-0,46

tn

Keterangan: * = Nyata pada taraf 5%, tn = Tidak nyata pada taraf 5%,

Hasil dari parameter Warna Daun yang disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Warna Daun pada beberapa konsentrasi kolkisin

Perlakuan Warna Daun

0 ppm Pantone 18-0130 TPX (Cactus)

1500 ppm Pantone 18-0130 TPX (Cactus)

3000 ppm Pantone 18-0130 TPX (Cactus)

4500 ppm Pantone 18-0130 TPX (Cactus)

6000 ppm Pantone 18-0130 TPX (Cactus)

Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa warna daun pada semua perlakuan didominasi oleh

warna Cactus dengan kode Pantone 18-0130 TPX.

Nilai T-Test dan rerata parameter stomata pada beberapa konsentrasi kolkisin terhadap kontrol yang

disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Nilai T-Test dan Rerata Parameter Stomata pada beberapa konsentrasi kolkisin terhadap kontrol

Parameter

Perlakuan (ppm)

0 ppm 1500 3000 4500 6000

Rerata Rerata t hitung Rerata t hitung Rerata t hitung Rerata t hitung

Jumlah

Stomata 5,93 3,73 6,08* 3,33 7* 3,4 4,93* 3,93 2,93*

Kerapatan

Stomata 30,23 19,02 6,08* 16,99 7* 17,32 4,93* 20,04 2,93*

Panjang

Stomata 63,94 67,34 -1,11 tn 67,83 -0,79 tn 68,79 -1,53 tn 65,54 -0,48 tn

Lebar

Stomata 54,99 58,46 -0,75 tn 60,39 -1,28 tn 60,16 -1,46 tn 60,31 -1,11 tn

Keterangan: * = Nyata pada taraf 5%, tn = Tidak nyata pada taraf 5%,

Page 428: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

414 |

Nilai T-Test dan rerata jumlah kromosom pada beberapa konsentrasi kolkisin terhadap kontrol disajikan

pada Tabel 4.

Tabel 4. Nilai T-Test dan Rerata Jumlah Kromosom pada beberapa konsentrasi kolkisin terhadap kontrol

Parameter

Perlakuan (ppm)

0 ppm 1500 3000 4500 6000

Rerata Rerata t hitung Rerata t hitung Rerata t hitung Rerata t hitung

Jumlah

Kromosom

38 40,2 -1,62 tn 45,4 -2,87* 58,6 -2,97* 43,4 -3,03*

Keterangan: * = Nyata pada taraf 5%, tn = Tidak nyata pada taraf 5%,

Berdasarkan tabel di atas, hasil T-Test menunjukkan bahwa parameter jumlah kromosom berbeda nyata

pada konsentrasi 3000, 4500, dan 6000 ppm dengan rata-rata tertinggi pada konsentrasi 4500 ppm yaitu 58,6

kromosom. Sedangkan tidak berbeda nyata pada konsentrasi 1500 ppm. Rerata dan kisaran jumlah

kromosom pada berbagai konsentrasi kolkisin disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Rerata dan Kisaran Jumlah Kromosom pada beberapa konsentrasi kolkisin

Perlakuan Rata-Rata Jumlah Kromosom Kisaran Jumlah Kromosom

0 ppm 38 38

1500 ppm 40 38-44

3000 ppm 45 38-52

4500 ppm 59 43-76

6000 ppm 42 38-50

Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui jumlah kromosom akibat pemberian kolkisin. Dimana perlakuan

yang memiliki kisaran jumlah kromosom terbanyak yaitu 4500 ppm dengan kisaran 43-76 kromosom yang

kemudian diikuti perlkauan 3000 ppm dan 6000 ppm, sedangkan perlakuan dengan kisaran jumlah kromsom

terendah yaitu 0 ppm dengan jumlah 38 kromosom. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan yang optimal untuk

mengasilkan popliploid yaitu perlakuan dengan konsentrasi 4500 ppm.

Menurut Omezzine et al. (2012) poliploidi dapat diamati melalui parameter morfologi, sitologi, kimia dan

fisiologi.

Tanaman poliploid memiliki jumlah kromosom lebih banyak dari kromosom diploidnya, sehingga melalui

pengamatan kromosom dapat diketahui jumlah kromosom dan tingkat ploidi suatu tanaman. Pada penelitian

ini, poliploidi diamati melalui parameter morfologi, anatomi dan sitologi.

Tanaman yang diaplikasi kolkisin memiliki jumlah akar baru dan panjang akar baru lebih kecil

dibandingkan tanaman kontrolnya, dan semakin tinggi konsentrasi maka jumlah akar dan panjang akar juga

semakin rendah. Dengan kata lain, aplikasi kolkisin dapat menghambat pembentukan dan pertumbuhan akar.

Hal ini sesuai dengan penelitian Tuwo dan Andriyanto (2016) pada protocorm Vanda Hibrida (Vanda limbata

Blume X Vanda tricolor Lindl. var. suavis) yang diaplikasikan kolkisin, menunjukkan bahwa perlakuan kolkisin

berpengaruh nyata pada jumlah akar, panjang akar, dan panjang daun. Dimana jumlah akar, panjang akar dan

Page 429: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 415

panjang daun lebih kecil dibandingkan kontrol. Pada penelitian Moghbel, Borujeni, dan Bernard (2015)

menunjukkan bahwa tanaman yang diberi perlakuan kolkisin memiliki pertumbuhan yang lambat dibandingkan

tanaman kontrol.

Adanya pengaruh yang nyata pada parameter umur muncul akar baru jumlah akar dan panjang akar

menunjukkan bahwa diduga terdapat kontak langsung antara akar dan kolkisin. Meskipun aplikasi kolkisin

dilakukan dengan cara ditetes pada titik tumbuh, tetapi peluang akar berinteraksi dengan kolkisin tetap ada,

yaitu melalui tetesan kolkisin yang meresap ke ruas-ruas daun hingga ke pangkal akar. Hal ini dapat terjadi

karena secara morfologi pola pertumbuhan Vanda lombokensis J. J. Sm adalah monopodial. Dimana pada

pola pertumbuhan ini, anggrek tidak memiliki batang utama sehingga pangkal daun dengan pangkal akar

langsung bertemu, berbeda dengan tipe pertumbuhan simpodial. Pada pola pertumbuhan simpodial, pangkal

daun tidak bertemu langsung dengan pangkal akar, melainkan dipisahkan oleh bulb, seperti pada anggrek

Dendrobium dan Cattleya. Hal ini sesuai dengan Widyastoety dan Santi (2012) yang menyatakan bahwa pola

pertumbuhan kelompok Vandaceous adalah monopodial dengan bentuk batang lurus, ramping, serta tidak

berumbi. Sehingga apabila kolkisin diaplikasikan dengan cara ditetes pada titik tumbuh, maka peluang akar

berinteraksi dengan kolkisin akan lebih besar pada anggrek dengan pola pertumbuhan monopodial seperti

Vanda lombokensis J. J. Sm.

Meskipun kontak yang terjadi hanya melalui serapan atau rembesan kolkisin dari ruas daun ke pangkal

akar, tetapi kontak tersebut dapat memberikan pengaruh yang nyata seperti yang ditunjukkan hasil analisis

ragam pada jumlah akar dan panjang akar. Hal ini dapat disebabkan karena bagian akar lebih sensitif

terhadap pemberian perlakuan dibandingkan bagian tanaman yang lain. Hal ini sesuai dengan Syukur et al.

(2013) yang menyatakan bahwa akar merupakan bagian tanaman yang sangat sensitif terhadap bahan kimia,

sehingga aplikasi kolkisin sebaiknya tidak diberikan pada bagian akar.

Berdasarkan hal tersebut, apabila terjadi kontak antara bagian akar dengan kolkisin terutama pada

konsentrasi yang tinggi, maka dapat menimbulkan pengaruh atau perbedaan dengan kondisi kontrolnya. Hal

ini sesuai dengan hasil jumlah akar dan panjang jumlah akar perlakuan yang lebih rendah dibandingkan

kontrolnya.

Hasil T-Test menunjukkan bahwa parameter jumlah stomata dan kerapatan stomata berbeda nyata

terhadap kontrol pada semua konsentrasi kolkisin. Dimana rerata jumlah dan kerapatan stomata tertinggi

terdapat pada kontrol (5,93 dan 30,23 mm-2), sedangkan jumlah dan kerapatan stomata terendah terdapat

pada konsentrasi 3000 ppm (3,33 dan 16,99 mm-2) yang diikuti konsentrasi 4500 ppm (3,4 dan 17,32 mm-2).

Sementara itu, pada parameter panjang stomata dan lebar stomata tidak berbeda nyata terhadap kontrol pada

semua konsentrasi. Hal ini menunjukkan bahwa semakin banyak jumlah stomata, maka semakin tinggi

kerapatan stomatanya dan semakin sedikit jumlah stomata, maka semakin rendah kerapatan stomatanya.

Kerapatan stomata merupakan salah satu indikator tingkat ploidi. Dimana semakin rendah kerapatan

stomatanya, maka peluang ploidinya semakin besar. Hal ini sesuai dengan Gantait et al. (2011) yang

menyatakan bahwa induksi ploidi mengarah ke kerapatan stomata yang lebih rendah, kemungkinan karena

stomata dan sel epidermis lebih besar. Penelitian Noori et al. (2017) juga menunjukkan bahwa kerapatan

stomata pada tanaman Trachyspermum ammi L. tetraploid lebih rendah dibandingkan diploidnya.

Page 430: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

416 |

Berdasarkan T-Test menunjukkan hasil yang berbeda nyata pada parameter jumlah kromosom di

konsentrasi 3000 ppm, 4500 ppm, dan 6000 ppm dengan rerata tertinggi terdapat pada konsentrasi 4500 ppm

sebesar 58,6 kromosom. Selain itu, pada konsentrasi 4500 ppm juga terdapat tanaman yang diduga tetraploid

berdasarkan pengamatan kromosom dengan jumlah 76 kromosom atau dengan presentase sebesar 5% dari

total 20 tanaman. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan 4500 ppm lebih optimal untuk menghasilkan tanaman

poliploid dibandingkan perlakuan lainnya. Hal ini didukung oleh penelitian Omidbaigi et al. (2010) yang

menunjukkan bahwa autetraploid pada tanaman basil (Ocimum basilicum) dihasilkan oleh perlakuan

pemberian kolkisin di titik tumbuh dengan konsentrasi 0,5%, dan paling efektif untuk menghasilkan

autotetraploid. Selain itu, konsentrasi kolkisin 0,5% pada durasi 4 dan 8 jam memberikan hasil terbaik, dimana

39% dan 43% eksplan menghasilkan tanaman tetraploid (Aina et al., 2012). Dibandingkan dengan perlakuan

lain, maka perlakuan 4500 ppm diduga dapat menghasilkan tanaman poliploid dan paling mendekati dengan

konsentrasi yang optimal seperti pada penelitian lainnya, yaitu 0,5% atau 5000 ppm

KESIMPULAN

Dapat disimpulkan bahwa konsentrasi kolkhisin yang optimal untuk menghasilkan tanaman poliploid

adalah 4500 ppm.

DAFTAR PUSTAKA

Aini, H., Mansyurdin, dan Suwirmen. 2015. Induksi PLB Anggrek Vanda sumatrana Schltr. Liar Pada Media

MS dengan Penambahan BAP dan NAA serta Poliploidisasi dengan Kolkisin. J. Bio. UA (4): 208-215. Gantait, S., N. Mandal, S. Bhattacharyya, and P. K. Das. 2011. Induction and Identification of Tetraploids

using In Vitro Colchicine Treatment of Gerbera jamesonii Bolus cv. Sciella. Plant Cell, Tissue and Organ Culture 106: 485–493.

Journal Storage (JSTOR). 2000. (Online). Available at http://plants.jstor.org/

stable/10.5555/al.ap.specimen.l0062527?searchUri=genus%3DVanda%26species%3Dlombokensis, accessed November 2017.

Miguel, T.P. and K.W. Leonhardt. 2011. In Vitro Poliploid Induction of Orchids using Oryzalin. Scientia Horticulturae 130: 314–319.

Moghbel, N., M.K. Borujeni, and F. Bernard. 2015. Colchicine Effect on the DNA Content and Stomata Size of Glycyrrhiza glabra var. glandulifera and Carthamus tinctorius L. cultured in vitro. Journal of Genetic Engineering and Biotechnology 13: 1-6.

Noori, S. A. S., M. Norouzi, G. Karimzadeh, K. Shirkool, and M. Niazian. 2017. Effect of Colchicine-Induced Poliploidiy on Morphological Characteristics and Essential Oil Composition of Ajowan (Trachyspermum ammi L.). Plant Cell Tiss Organ Cult 130: 543–551.

Omezzine, F., A. Ladhari, F. Nefzi, R. Harrath, M. Aouni, and R. Haoula. 2012. Induction and Flow Cytometry Identification of Mixoploidi through Colchicine Treatment of Trigonella foenum-graecum L. African Journal of Biotechnology 11: 16434-16442.

Page 431: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 417

Omidbaigi, R., M. Mirzaee, M.E. Hassani, and M.S. Moghadam. 2010. Induction and Identification of Poliploidi in Basil (Ocimum basilicum L.) Medicinal Plant by Colchicine Treatment. International Journal of Plant Production 4 (2): 87–98.

Roberts, Jacqueline A., Lee R. Allman, S. Anuku, C. R. Beale, J. C. Benseler, J. Burdon, R. W. Butter, K. R. Crook, P. Mathew, H. N. McGough, A. Newman, and D. C. Zappi, 2002. CITES Orchid Checklist. The Royal Botanic Gardens Kew: CITES Secretariat. P: 405.

Smith, Johannes Jacobu. 1925. Vanda lombokensis J.J. Sm. Published In: Meded. Herb. Leid. 53: 14. 1925.

(Online). Available at http://www.tropicos.org /Name/50030965, accessed November 2017. Suminah, Sutarno, dan A. D. Setyawan. 2002. Induksi Poliploidi Bawang Merah (Allium ascalonicum L.)

dengan Pemberian Kolkisin. Biodiversitas, 3(1): 174-180. Tuwo, M., A. Indrianto. 2016. Improvement of Orchid Vanda Hybrid (Vanda limbata Blume X Vanda tricolor

Lindl. var. suavis) by Colchicines Treatment In Vitro. Canadian Center of Science and Educatio. 10 (11): 83-89.

Widyastoety, D. dan A. Santi. 2012. Keunggulan Kelompok Anggrek Vanda dalam Meningkatkan Variasi dan Kualitas Anggrek Bunga Potong. Prosiding Seminar Anggrek 2012. Balai Penelitian Tanaman Hias

Page 432: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

418 |

DINAMIKA SIFAT KIMIA TANAH PASIR PANTAI SELATAN YOGYAKARTA DENGAN PENAMBAHAN BAHAN ORGANIK DAN JAMUR MIKORIZA ARBUSKULA SEBAGAI

MEDIUM PERTUMBUHAN JAGUNG (Zea mays)

Akhsin Zulkoni1, Dewi Rahyuni 2, Nasirudin 3

Fakultas Teknik Lingkungan Institut Teknologi Yogyakarta (ITY)

Jl. Janti Km 4. Yogyakarta

Corresponding author: [email protected]

Abstract. Tanah pasir termasuk tanah yang tidak subur karena memiliki sifat fisika, kimia maupun biologi yang

sangat rendah. Agar dapat diperuntukkan sebagai lahan pertanian, maka tanah pasir perlu dilakukan

perbaikan kualitasnya. Pada penelitian ini dilakukan pembenahan tanah pasir menggunakan bahan organik

(kompos) dan inokulasi Jamur Mikoriza Arbuskula. Percobaan disusun dalam rancangan fatkorial secara acak

kelompok lengkap dengan tiga ulangan. Faktor pertama adalah takaran bahan organik yaitu 0 ton ha-1, 10 ton

ha-1, dan 20 ton ha-1. Faktor kedua yaitu takaran propagul meliputi 0 g pot-1, 50 g pot-1, 100 g pot-1, dan 150 g

pot-1. Parameter yang diukur ialah perubahan sifat kimia tanah sesudah inkubasi maupun setelah penanaman

jagung. Berdasar analisis keragaman, bahan organik berpengaruh sangat nyata terhadap beberapa sifat kimia

tanah. Inkubasi tanah selama 14 hari telah mampu meningkatkan C organik sebanyak 0,0335 %, N total 0,005

% dan P 8,5 ppm dibanding tanah awal. JMA yang diinokulasikan ke dalam tanah yang telah mengalami

inkubasi menyebabkan penyerapan unsur hara oleh tanaman jagung lebih intensif. Sifat kimia tanah setelah

panen mengalami penurunan, terutama P tersedia sebesar 43,01%, sedangkan C organik dan N total justru

naik menjadi 0,18 % dan 0,12 %. Namun takaran JMA seberat 150 g pot-1 masih menyediakan hara lebih

banyak dibanding takaran di bawahnya, maupun kontrol.

Keywords: dinamika, sifat kimia tanah, bahan organik, JMA

Page 433: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 419

PENDAHULUAN

Lahan pasir pantai menjadi satu alternatif untuk mengatasi permasalahan penurunan ketersediaan lahan

pertanian sebagai akibat alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian. Tanah pasir memiliki

karakter yang tidak subur, karena sifat fisika, sifat kimia dan sifat biologi yang sangat rendah. Agar dapat

diperuntukkan sebagai lahan pertanian, maka tanah pasir perlu dilakukan perbaikan kualitasnya. Penggunaan

bahan pembenah tanah bisa menjadi satu upaya untuk meningkatkan produktivitas tanah.

Penambahan bahan pembenah tanah merupakan upaya untuk meningkatkan kesuburan tanah pasir.

Pada penelitian ini dipilih bahan organik (kompos) dan Jamur Mikoriza Arbuskula sebagai ameliorannya.

Millner dan Kaufman (2005) menyatakan bahwa bahan organik dalam tanah merupakan faktor kunci dalam

menentukan kualitas dan produktivitas tanah karena fungsinya dalam mendaur nutrisi dan dalam memperbaiki

fisik, kimia, dan biologi tanah. Pupuk organik berfungsi sebagai pupuk tanah karena dapat memperbaiki sifat

fisika, kimia dan biologi tanah (Sarief, 1985). Sifat fisika tanah yang diperbaiki antara lain agregasi, aerasi,

permeabilitas, dan kapasitas memegang air (Tan, 1995). Persediaan air penting untuk melarutkan unsur hara

sehingga tersedia bagi tanaman (Sarief, 1985).

Penambahan bahan orgnik ke dalam tanah akan menambah jumlah mikroorganisme yang berperan

dalam proses humifikasi dan mineralisasi, karena pupuk organik merupakan sumber C dan N serta energi

baginya. Mikroorganisme menguraikan pupuk organik menjadi ikatan kimia yang langsung dapat diserap oleh

tanaman seperti elemen-elemen essensial : N, P, K, Ca, Mg, S, dan unsur mikro. Bahan organik

meningkatkan KTK sehingga kemampunuan mengikat kation menjadi lebih tinggi (Rosmarkam dan Yuwono,

2001). Bila aerasi tanah baik, maka semua komponen organik akan dioksidasi menjadi CO2, H2O dan energi

(Wong & Swift, 1995). Gas CO2 ini terlarut dalam air membentuk asam karbonat yang dapat mendekomposisi

mineral primer tanah, yang akan menyebabkan fosfor lepas dan meningkatkan P tersedia di dalam tanah

(Tisdale & Nelson, 1975). Sanzhes (1976) menjelaskan bahwa bahan organik menyediakan unsur hara N, P,

dan S yang dilepaskan secara lambat, menurunkan fiksasi P karena pemblokan sisi fiksasi oleh radikal

organik, membantu pemantapan agregat tanah, memodifikasi retensi air, dan membentuk komplek dengan

unsur mikro. Mikroorganisme tidak hanya merombak P organik menjadi P anorganik, tetapi juga dapat

melepas berbagai asam terutama di daerah rizosfer yang dapat melarutkan P anorganik sehingga mudah

diserap oleh tanaman (Sarief, 1985).

Pupuk organik mengandung sejumlah gugus fungsional, antara lain gugus karboksilat, gugus hidroksil

(fenolat dan alkoholik), gugus asam amino, amida, keton dan aldehida (Tan, 1995). Anion organik hasil

dekomposisi pupuk organik akan membentuk ikatan komplek stabil dengan Fe dan Al yang bisa menghambat

reaksi dengan fosfor. Ion-ion komplek ini melepas P yang terfiksasi oleh Fe dan Al. Anion yang paling aktif

melepas P adalah sitrat, oksalat, tartat, malat dan malonat (Tisdale & Nelson, 1975). Penambahan pupuk

organik dapat meningkatkan pH melalui proses : 1) pelepasan NH3 dari dekomposisi pupuk organik (Rao,

1994), 2) produksi OH- oleh a) dissolution Mn padat dan oksida Fe dalam suasana reduksi atau b) pertukaran

ligan antara OH- terminal dari oksida hidroksida Al atau Fe oleh anion anorganik (Hue & Amien, 1989 dalam

Bessho & Bell, 1992).

Page 434: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

420 |

Jamur Mikoriza Arbuskula merupakan agensia nutrisi tanaman dan nutrisi tanah (Bethlenfalfvay, 1992

dalam Kabirun, 2004). Jamur mikoriza terlibat dalam siklus dan dapat memanen unsur P. Phytat di dalam

tanah merupakan sumber phosphat, dengan bantuan enzim fosfatase, phytat dapat dihidrolisis menjadi

myoinosital, fosfor bebas dan mineral, sehingga ketersediaan fosfor dan mineral dalam tanah dapat terpenuhi

(Madjid, 2009). Penelitian yang dilakukan di padang rumput tahunan California membuktikan bahwa inokulasi

JMA dapat meningkatkan P tersedia (Hayman et al., 1994) dan mampu mengatasi kekahatan N di wilayah

tersebut (Wong et al., 1994). Talanca (2010) menjelaskan bahwa Infeksi MVA pada akar tanaman

menyebabkan tanaman mampu memanfaatkan unsur-unsur P yang tidak tersedia tersebut menjadi tersedia.

Killham (1994) menuturkan bahwa ukuran hifa lebih halus dari bulu-bulu akar yamg memungkinkan hifa

bisa menyusup ke pori-pori tanah yang paling kecil (mikro) sehingga hifa bisa menyerap air pada kondisi kadar

air tanah yang sangat rendah. Serapan air yang lebih besar oleh tanaman bermikoriza, juga membawa unsur

hara yang mudah larut dan terbawa oleh aliran massa seperti N, K dan S sehingga serapan unsur tersebut

juga makin meningkat. Jamur mikoriza bisa membentuk hormon seperti auxin, citokinin, dan giberalin, yang

berfungsi sebagai perangsang pertumbuhan tanaman. Hifa-hifa jamur juga mampu mengikat tanah secara

tidak langsung melalui produksi agensia pengikat berupa polisakarida amorf, menjadikan agregat tanah lebih

longgar (Tisdall, 1994 dalam Kabirun, 2004).

Akar tanaman inang yang terinfeksiMVA mempunyai eksudat akar yang berbeda dengan eksudat akar

yang tidak terinfeksi MVA. Perubahan eksudat akar tanaman inang mempengaruhi perubahan dalam rhizosfer

yang mengakibatkan meningkatnya ketahanan tanaman. Infeksi MVA pada akar tanaman kedelai akan

merangsang terbentuknya senyawa isoflavonoid, sehingga membentuk endomikoriza, yang mengakibatkan

meningkatnya ketahanan tanaman dari serangan cendawan patogen dan nematode (Talanca (2010)

METODOLOGI

Percobaan disusun dalam rancangan fakorial secara acak kelompok lengkap dengan tiga ulangan.

Faktor pertama adalah takaran kompos meliputi 0, 10 dan 20 ton ha-1. Faktor kedua yaitu takaran propagul,

terdiri dari 0, 50, 100, dan 150 g pot-1. Percobaan dilaksanakan dalam dua tahap. Tahap pertama adalah

inkubasi tanah pasir menggunakan bahan organik selama 14 hari. Tahap kedua adalah penanaman jagung

selama 3,5 bulan. Sebelum benih jagung ditanam, ke dalam tanah yang telah diinkubasi, terlebih dulu

dilakukan inokulasi JMA dengan cara meletakkan propagul ke dalam lubang tanam. Parameter yang diukur

adalah pH (H2O), C organik, N total dan P2O5. Analiasis parameter dilakukan setelah tanah pasir diinkubasi

dan pasca penanaman jagung. Data hasil percobaan dianalisis statistik menggunakan Anova α 1% dan 5%.

Bila F hitung > F tabel, maka dilanjutkan uji LSD α5%

Page 435: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 421

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sifat kimia tanah awal

Berdasar analisis keragaman, ternyata penambahan kompos tidak berpengaruh terhadap tingkat

kemasaman tanah, yaitu tetap pada kondisi netral, masih sama statusnya dengan tanah awal. Berbeda

dengan sifat kimia tanah yang lain, menurut analisis keragaman kompos yang ditambahkan ke dalam tanah

pasir telah memberikan pengaruh yang sangat nyata. Data selengkapnya disajikan dalam Tabel 1.

Tanah pasir yang ditambah kompos sebanyak 20 ton ha-1 mempunyai C organik dan N total tertinggi,

berturut-turut 0,04 % dan 0,006 %, mengalami kenaikan sebanyak 0,0335% dan 0,005 %. Kenaikan C dan N

ini sebanding dengan takaran kompos. Hal ini senada yang disampaikan Sarief (1985) bahwasanya bahan

organik merupakan sumber C dan N.

Tabel 1. Rerata hasil analisis tanah pasir setelah diinkubasi menggunakan kompos selama 14 hari

No Parameter Satuan Takaran bahan organik (ton/ha)

0 10 20

1 pH (H2O) 6,96a 6,62a 6,56a

2 C organik % 0,0065a 0,035a 0,04b

3 N total % 0,001a 0,004b 0,006c

4 C/N 6,5a 8,75b 6,66a

5 P2O5 ppm 35a 40,5b 43,5c

Keterangan: huruf kecil yang sama di belakang angka pada baris menunjukkan tidak ada beda nyata

antara satu dengan yang lain berdasar uji LSD α 5%.

Unsur P tersedia juga mengalami peningkatan. Takaran 20 ton ha-1 memiliki nilai tertinggi dibanding

takaran 10 ton ha-1 maupun kontrol, terpaut sebanyak 8,5 ppm. Hal ini terjadi karena bahan organik yang

ditambahkan ke dalam tanah pasir akan memperbaiki sifat fisika, kimia dan biologi tanah (Tan, 1995),

sehingga menciptakan lingkungan yang baik bagi mikroorganisme. Bila aerasi tanah baik, maka semua

komponen organik akan dioksidasi menjadi CO2, H2O dan energi (Wong & Swift, 1995). Gas CO2 ini terlarut

dalam air membentuk asam karbonat yang dapat mendekomposisi mineral primer tanah, yang akan

menyebabkan fosfor lepas dan meningkatkan P tersedia di dalam tanah (Tisdale & Nelson, 1975). Dijelaskan

lebih lanjut oleh Tisdale & Nelson (1975) bahwa anion organik hasil dekomposisi pupuk organik akan

membentuk ikatan komplek stabil dengan Fe dan Al yang bisa menghambat reaksi dengan fosfor. Ion-ion

komplek ini melepas P yang terfiksasi oleh Fe dan Al. Anion yang paling aktif melepas P adalah sitrat,

oksalat, tartat, malat dan malonat. Sementara itu, Sarief 91985) mengemukakan bahwa mikroorganisme tidak

hanya merombak P organik menjadi P anorganik, tetapi juga dapat melepas berbagai asam terutama di

daerah rizosfer yang dapat melarutkan P anorganik sehingga mudah diserap oleh tanaman.

Sifat kimia tanah pasca penanaman jagung

Tanah pasir pantai Selatan setelah digunanakan untuk menanam jagung selama 3,5 bulan mengalami

perubahan sifat kimianya bila dibandingkan dengan tanah awal. Data selengkapnya disajikan dalam Tabel 2.

Page 436: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

422 |

Tabel 2. Analisis tanah pasir yang ditambah kompos dan JMA pasca penanaman jagung

No Perlakuan pH C organik %) N total (%) P2O5

1 B0M0 7,28h 0,13a 0,004a 2,27a

2 B0M1 7,02fg 0,15c 0,005b 3,07ab

3 B0M2 7.02fg 0,15c 0,006c 4,8bc

4 B0M3 6,94ef 0,16d 0,006c 7,03d

5 B1M0 7,12g 0,14b 0,005b 2,6a

6 B1M1 7,05fg 0,14b 0,006c 3,7abc

7 B1M2 7,03fg 0,15c 0,007d 5,47cd

8 B1M3 6.14b 0,15c 0,007d 16,9e

9 B2M0 5,95a 0,13a 0,005b 3,83bc

10 B2M1 6,43c 0,15c 0,006c 5,57cd

11 B2M2 6,64d 0,15c 0,009e 17,5e

12 B2M3 6,66d 0,18e 0,12f 21,2f

Keterangan: M0: propagul (0 g), M1: propagul (50 g), M2: propagul (100 g), M3: propagul (150 g), B0: bahan organik

0 (ton ha-1), B1: bahan organik 10 (ton ha-1), B2: bahan organik 20 (ton ha-1)

Keterangan: huruf kecil yang sama di belakang angka pada kolom menunjukkan tidak ada beda antara

satu dengan yang lain berdasar uji LSD α 5%.

Tabel 2 menampilkan kondisi sifat kimia tanah pasir yang telah digunakan untuk tumbuh tanaman jagung.

Berdasar analisis keragaman, ternyata kompos dan JMA berpengaruh sangat nyata terhadap beberapa sifat

kimia tanah pasca penanaman jagung.

Tanah pasir pasca penanaman telah mengalami perubahan karena adanya proses penguraian bahan

organik yang disertai dengan aktivitas akar tanaman dan JMA. Disamping ada pelepasan enyawa-senyawa

essensial, juga terjadi penyerapan unur-unsur hara maupun pelepasan eksudat akar serta JMA. Hal ini bisa

dilihat dari kemasaman tanah. Dibanding tanah awal, maka terjadi penurunan pH akibat pelepasan NH3 dari

dekomposisi pupuk organik (Rao, 1994). Nilai pH terrendah dialami oleh tanah dengan perlakuan B2M0, yaitu

5,95, sehingga ada penurunan sebesar 0,61 dibanding tanah awal. Namun demikian secara keseluruhan,

kemasaman tanah masih berstatus netral.

Kadar C organik dan N total pada seluruh perlakuan mengalami peningkatan. C organik dalam tanah

pasir pasca penanaman jagung naik antara 0,105-0,1535% dari awal. Demikian juga dengan N total yang

mengalami penambahan sebanyak 0,003-0,114%. Berdasar uji LSD α 5%, tanah pasir yang diperlakukan

dengan B2M3 mengandung C organik dan N total tertinggi, yakni berturut-turut 0,18 % dan 0,12 %, sementara

kadar awal sebelum penanaman bernilai 0,04 % dan 0,006 %. Berarti ada peningkatan sebesar 0,14 % dan

0,114%. Hal ini menunjukkan bahwa selama pertumbuhan jagung, telah berlangsung penguraian kompos

menjadi senyawa-senyawa yang tersedia bagi tanaman (Rosmarkam dan Yuwono, juga berlangsung

pelepasan bahan organik ke dalam tanah yang bisa meningkatkan C organik N total. Beberapa penjelasan

yang dapat disampaikan terhadap peristiwa ini adalah: 1) Jamur mikoriza membentuk hormon seperti auxin,

citokinin, dan giberalin, yang berfungsi sebagai perangsang pertumbuhan tanaman, 2) hifa-hifa jamur

memproduksi agensia pengikat berupa polisakarida amorf yang menjadikan agregat tanah lebih longgar

(Tisdall, 1994 dalam Kabirun, 2004), serta 3) akar tanaman inang yang terinfeksi JMA mempunyai eksudat

Page 437: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 423

akar yang berbeda dengan eksudat akar yang tidak terinfeksi JMA. Infeksi JMA pada akar tanaman kedelai

akan merangsang terbentuknya senyawa isoflavonoid (Talanca (2010).

Kadar P tersedia dalam tanah pasca penanaman jagung juga mengalami penurunan. Sebelum

penanaman, kadar P awal berkisar 35-43,5 ppm. Setelah digunakan untuk pertumbuhan jagung, ketersediaan

P tinggal 2,27-21,2 ppm, sehingga mengalami penurunan sebanyak 22,2-32,73 ppm. Kadar P tersedia tertintti

terdapat pada tanah yang mendapat perlakuan B2M3, yaitu 21,2 ppm. Pada tanah yang tidak bermikoriza,

ketersediaan P naik sebanding dengan takaran kompos yang ditambahkan ke dalam tanah. Sedangkan pada

tanah yang bermikoriza, ternyata P tersedia di dalam tanah lebih banyak dibanding tanah yang tidak

bermikoriza. Berdasar uji LSD α 5%, takaran kompos 20 ton ha-1 dan propagul 150 g pot-1 masih mengandung

P tersedia paling banyak. Hal ini sejalan dengan pendapat Talanca (2010) yang menjelaskan bahwa Infeksi

JMA pada akar tanaman menyebabkan tanaman mampu memanfaatkan unsur-unsur P yang tidak tersedia

tersebut menjadi tersedia. Madjid (2009) juga menyampaikan bahwa JMA mampu menghidrolisis phytat

menjadi myoinosital dengan bantuan enzim fosfatase, sehingga fosfor bebas. Killham (1994) menuturkan

bahwa ukuran hifa yang lebih halus dari bulu-bulu akar memungkinkan hifa bisa menyusup ke pori-pori tanah

yang paling kecil (mikro) sehingga hifa bisa menyerap air pada kondisi kadar air tanah yang sangat rendah.

Serapan air yang lebih besar oleh tanaman bermikoriza, juga membawa unsur hara yang mudah larut dan

terbawa oleh aliran massa seperti N, K dan S sehingga serapan unsur tersebut juga makin meningkat.

Dengan demikian terjadi keseimbangan antara pelepasan dengan penyerapan unsur P

KESIMPULAN

Inkubasi tanah selama 14 hari telah mampu meningkatkan C organik sebanyak 0,0335 %, N total 0,005

% dan P 8,5 ppm dibanding tanah awal.

Tanah pasir yang diperlakukan dengan kompos dan JMA mengalami penurunan P tersedia, namun

terjadi peningkatan C organik dan N total dibanding tanah awal. Sifat kimia tanah yang terbaik terdapat pada

tanah pasir dengan perlakuan kompos sebanyak 20 ton ha-1 dan propagul seberat 150 g pot-1.

DAFTAR PUSTAKA

Bessho, T and L.C Bell. 1992. Soil solid and solution phase changes and mung bean respons during

amelioration of aluminium toxicity with organik matter, Plant and Soil. 140: 183 –196

Hayman, D.S & M. Tavares. 1985. Plant growth responses to vesicular – arbusular mycorrhiza. XV.

Influence of soil pH on the symbiotic eficiency of different endophytes. Plant and Soil.216 : 103 – 116.

Kabirun, S. 2004. Peranan mikoriza arbuscula pada pertanian berkelanjutan.Universitas Gadjah Mada

Yogyakarta.

Killham, K. 1999. Soil Ecology. Cambridge University Press. New York.

Page 438: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

424 |

Madjid, A. 2009. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Bahan Ajar Online. Fakultas Pertanian Unsri $ Program Studi

Ilmu Tanaman, Program Magister (S2), Program Pascasarjana, Universitas Sriwijaya, Palembang, Propinsi

Sumatera Selatan, Indonesia.

Millner, P.D. and D.D. Kaufman. 2005. Soil Organic Matter Dynamic and Microbial Interactions.

Agricultural Research Service US. Departmentof Agriculture, Beltsville, Maryland, USA. 8pp.

Rao, N.S.S. 1994. Mikroorganisme tanah dan pertumbuhan tanaman, edisi kedua. Penerbit Universitas

Indonesia Jakarta.

Rosmarkam, A dan Yuwono, N. W. 2002. Ilmu Kesuburan Tanah. Penerbit Kanisius Yogyakarta.

Sanchez, P. A. 1976. Properties and Management of Soils in the Tropics. A Wiley-Interscience

Publication. John Wiley and Sons. New York.

Sarief, S. 1985. Konservasi tanah dan air. Penerbit Pustaka Buana – Bandung.

Suciatmih. 1996. Bagaimana Jamur Mikoriza Vesikular-arbuskular meningkatkan ketersediaan dan

Pengambilan Fosfor. Warta Biotek, tahun X, No.4. Hlm.4-7.

Talanca, H. 2010. Status Cendawan Mikoriza Vesikular-Arbuskular (MVA) pada Tanaman. Prosiding

Pekan Serealia Nasional, 2010 ISSN : 978-979-89-40-29-3

Tan, K.H. 1995. Dasar-dasar kimia tanah.Gadjah Mada University Press.

Tisdale, S.L & W.L. Nelson. 1975. Soil fertility and fertilizers. Macmillan Publishing Co., Inc Nw York.

Wong, M.T.F & R.S. Swift. 1995. Amelioration of aluminium phytotoxity with organik matter. In Date, R.A et al.

(edds).Plant soil interaction at low pH. Kluwer Academic Publishers Printed in the Netherland. 41 – 45

Page 439: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 425

EFEKTIVITAS FUNGISIDA BAHAN AKTIF MANKOZEB UNTUK MENGENDALIKAN HAWAR DAUN KENTANG (Phytopthora infestans)

Riza Ulil Fitria, Diding Rachmawati

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur, Jl. Raya Karangploso Km.4 , Malang, Jawa Timur

Abstract. Penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat efektifitas fungisida Furizeb 80% berbahan aktif mankozeb 80% terhadap serangan patogen Phythopthora infestans pada kentang. Penelitian ini dilaksanakan di desa Sumberbrantas, Kota Batu mulai bulan Oktober – Desember 2016. Penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok dengan 5 ulangan. Perlakuan terdiri dari A.Mankozeb 80% dosis 4gr/lt, B. Mankozeb 80% dosis 3gr/lt, C. Mankozeb 80% dosis 2 gr/lt D. Mankozeb 80% dosis 1 gr/lt, E.Kontrol (Tanpa perlakuan). Hasil penelitian menunjukkan bahwa Di lokasi Sumberbrantas- Batu, Mankozeb 80% dengan dosis yaitu 4 gr/l dan 3 gr/l efektif terhadap penyakit hawar daun kentang (P.insfestans) pada tanaman kentang dengan kemampuan menekan serangan masing-masing sebesar 77,99% dan 66,578%, dengan produksi 6,9 ton/ha dan 7,9 ton/ha. Di lokasi Nongkojajar-Pasuruan, fungisida Mankozeb 80% kurang efektif terhadap penyakit hawar daun kentang P.infestans . . Keywords: Efektifitas, Fungisida, Hawar daun kentang

PENDAHULUAN

Kentang merupakan salah satu pangan utama dunia setelah padi, gandum, dan jagung. Disamping itu,

kentang termasuk salah satu komoditas hortikultura yang mempunyai nilai perdagangan domestik dan potensi

eksport yang cukup baik. Produksi kentang di Indoneaia pada tahun 2010 mencapai 1.060.579 ton dengan

produktivitas 15,95 ton/ha menurun jika dibandingkan produksi dan produktivitas kentang pada tahun 2009,

masing-masing 1.176.304 ton dan 16,51 ton/ha (BPS,2009). Kemampuan produksi di Indonesia hanya dapat

memenuhi 10 % konsumsi kentang nasional yaitu 8,9 juta pertahun. Menurut Puslitbang Hortikultura (2008),

pengembangan industri potato chips di Indonesia masih tertinggal oleh langkanya ketersediaan kentang

sebagai bahan baku.

Sentra produksi kentang berada di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sumatera Utara. Kota

Batu merupakan salah satu setral produksi kentang di Jawa Timur. Upaya peningkatan produksi kentang

menghadapi berbagai kendala. Salah satunya adalah adanya serangan patogen tanaman. (Jeger,et,al.1996;

Hanm,2007). Hal ini ditunjukkan dengan seringnya dijumpai penyakit pada tiap musim tanam, sehingga lahan

tersebut tidak mampu memberikan hasil optimum. Sebagian besar patogen pada umumnya bersifat tular

tanah yang mampu hidup, menyebar, dan bertahan dalam jangka waktu yang lama di dalam tanah

((Jeger,et,al.1996; Hanm,2007). Patogen tular tanah utama yang sering dijumpai dan sangat merugikan

dipertanamankentang, antara lain Phythopthora infestans (Jeger,et,al.,1996; Elphinste,2007). Kerugian yang

disebabkan oleh patogen tersebut dapat menyebabkan penurunan produksi yang signifikan yaitu lebih dari

90%. (Sengooba,et,al,1999).

Page 440: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

426 |

Patogen Phythopthora infestans merupakan penyakit penting dan berbahaya pada kentang yang

ditanam di dataran tinggi (1200 m) diatas permukaan laut (Semangun.2006. Priou et al. 2011). Keadaan

lahan kentang di Indonesia umumnya sudah terkontaminasi patogen. Hal ini ditunjukkan dengan selalu

dijumpainya penyakit pada setiap musim tanam, sehingga lahan tersebut tidak mampu memberikan hasil

optimum. Sebagian besar patogen tersebut umumnya bersifat tular-tanah, yang mampu hidup, menyebar, dan

bertahan dalam jangka waktu lama di dalam tanah. Penyakit utama yang ada di pertanaman kentang di

antaranya penyakit hawar daun (Phythophtora infestans). Semangun (2000) dan Priou et al. (2011)

melaporkan, kehilangan hasil karena penyakit hawar daun P. infestans dapat mencapai 50%.

Umumnya gejala serangan penyakit mulai muncul pada tanaman yang berumur lebih dari satu bulan.

Gejala pertama pada daun yang terserang terlihat bercak-bercak nekrotis coklat mulai dari tepi daun,apabila

cuaca kering bercak tidak meluas, namun bila kondisi sering hujan, berkabut, dan lembab nekrotis meluas

dengan cepat dan mematikan daun, pada sisi bawah daun terlihat lapisan kelabu tipis terdiri dari konidiofor

dan konidium jamur (semangun,2000). Bahkan kalau cuaca demikian berlangsung lama, batang utama akan

terserang atau seluruh bagian diatas akan mati. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa kentang varietas

granola yang ditanam didataran tinggi sumber brantas selalu terserang hawar daun dari tahun ketahun

terutama pada musim hujan antara bulan September sampai Januari. Kondisi ini terjadi pada kebun yang

diaplikasi fungisida secara intensif bahkan sering melebihi dosis anjuran.

Pada kesempatan ini akan dilakukan uji efikasi fungisida Furizeb 80 WP yang berbahan aktif

mankozeb 80% dengan interval 7 hari sekali untuk mengendalikan serangan patogen Phythopthora infestans

pada kentang di sumber brantas.

METODOLOGI

Penelitian dilaksanakan di desa Sumberbrantas, Kota Batu mulai bulan Oktober – Desember 2016.

Menggunakan Rancangan Acak Kelompok terdiri dari

A. Mankozeb 80% 4 gr/lt

B. Mankozeb 80% 3 gr/lt

C. Mankozeb 80% 2 gr/lt

D. Mankozeb 80% 1 gr/lt

E. Kontrol (Tanpa perlakuan)

Analisis percobaan dilakukan untuk mengetahui pengaruh perlakuan dengan menggunakan analisis

varian (ANOVA) dan apabila ada perbedaan setiap perlakuan diuji dengan Duncan‘s Multiple Range Test

(DMRT) 5%.

Untuk mengetahui Intensitas serangan patogen dihitung menggunakan rumus (Correa,et,al, 2008)

sbb:

Page 441: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 427

Keterangan :

IS : Intensitas serangan (%)

n : Jumlah skor yang sama

v : Nilai skor

N : Jumlah sampel yang diamati

Z : Nilai skor tertinggi

Skala serangan menurut (Correa et,al.,2008) sebagai berikut :

0 : Tidak ada serangan

1 : Kerusakan antara 1-12%

2 : Kerusakan antara 12-22%

3 : Kerusakan antara 22-40%

4 : Kerusakan antara 40-77%

5 : Kerusakan antara 77-100%

Aplikasi fungisida menggunakan alat semprot punggung semi otomatis. Pengamatan pertama

sebelum aplikasi dilakukan apabila tanaman sudah berjumlah 3-4 daun. Kemudian satu minggu setelah

pengamatan pertama dilakukan aplikasi penyemprotan dengan interval 1 minggu sekali sebanyak 7 kali

aplikasi. Pengamatan intensitas serangan penyakit dilakukan dengan interval satu minggu sekali. Data

dianalisis dengan menggunakan program SAS dengan tingkat perbedaan antar perlakuan dinyatakan pada

taraf 5%.

Selanjutnya dihitung keefektifan fungisida yang diuji dengan rumus Abbott (Sugama dan Rochjadi, 1989)

:

ISk - ISp

ISkEF = x 100%

Keterangan:

EF : Keefektifan fungisida

ISk : Intensitas serangan penyakit pada kontrol

ISp : Intensitas serangan penyakit pada perlakuan

Kemampuan fungisida dinilai dengan kategori (Irasakti dan Sukatsa, 1987):

0 = tidak efektif , >0-20% = sangat kurang efektif, >20-40% = kurang efektif, >40-60% = cukup efektif,

>60-80% = efektif, dan >80% = sangat efektif

Page 442: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

428 |

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Pengamatan Lokasi Sumberbrantas Batu

Dari hasil pengamatan gejala awal yang ditimbulkan oleh penyakit hawar daun yaitu pada susunan

daun terbawah terlihat ada noda berwarna cokelat menghitam pada ujung dan sisi daun, kemudian pada

bagian bawah daun terlihat adanya spora yang berwarna putih (Gambar 1). Pada kondisi serangan berat,

gejala tidak hanya menyerang daun bahkan batang tanaman pun menjadi hitam kecokelatan dan

Gambar 1. Gejala awal pada daun

Gambar 2. Gejala pada batang yang menyebabkan batang patah

Pengaruh beberepa dosis fungisida Furizeb 80 WP terhadap intensitas serangan penyakit hawar daun

P.infestans pada umur 21-56 HST. disajikan pada Tabel 2.

Page 443: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 429

Tabel 2. Intensitas Serangan Phythopthora infestans(%)di Sumberbrantas Batu MH2016

Perlakuan

Intensitas serangan P. infestans (%)

Hari Setelah Tanam (HST)

Rata-

rata

21 28 35 42 49 56

A.Furizeb 80 WP 4 gr/l 2,8 a 12,6 a 6,4 a 4,8 a 6,4 a 7,00 a 7,44

B.Furizeb 80 WP 3gr/l 3,6 a 7,2 a 12,8 a 11,2 b 12,8 a 21,60 b 13,12

C.Furizeb 80 WP 2 gr/l 10,4 b 12 a 23,2 b 14,4 b 20 b 24,00 b 18,72

D.Furizeb 80 WP 1 gr/l 16 c 12,8 a 28 ab 23,6 c 32 c 35,20 c 26,32

E.Kontrol 14,4 bc 25,2 b 36,4 c 37,2 d 38 c 55,2 d 38,4

Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan Uji

BNJ pada taraf kesalahan 5%. HST (hari setelah tanam)

Dari tabel 2, dapat dilihat bahwa intensitas serangan P.infestans sejak umur 21 hari setelah tanam (hst)

terus meningkat dengan meningkatnya umur tanaman. Dengan meningkatnya serangan P.infestans pada

tanaman yang mendapat perlakuan fungisida tidak secepat perlakuan kontrol (tidak disemprot)

Pada saat pengamatan umur 28 hst perlakuan A dan B tidak berbeda nyata dengan tingkat serangan

2,8% dan 3,6%, namun berbeda nyata dengan perlakuan C, D, dan E yaitu 10,4 %, 16%, dan 14%.

Selanjutnya pada pengamatan 35 hst, perlakuan A, B, C, dan D tidak berbeda pada masing-masing

perlakuan, namun berbeda nyata dengan perlakuan E sebesar 25,2%. Pada pengamatan 42 hst, perlakuan A

dan B berbeda nyata dengan tingkat serangan sebesar 4,8% dan 11,2%, namun tidak berbeda nyata dengan

perlakuan C, D, dan E masing-masing sebesar 14,4%, 23,6%, dan 37,2%. Pada pengamatan 49 hst dan 56

hst, perlakuan A tingkat serangan tetap rendah dan berbeda nyata dengan perlakuan lainnya.

Dari hasil rata rata intensitas serangan penyakit hawar daun P infestans ditunjukkan bahwa perlakuan

A dengan dosis 4 g/lt serangannya terendah yaitu 7.44%, sedangkanserangan tertinggi perlakan E sebesar

38.4%. Hal ini dikarenakan perlakuan A dengan dosis tinggi yaitu 4 gr/l mampu menekan intensitas serangan

P.infestans. Menurut Abeygunawardena,(1960) , bahwa semakin tinggi dosis anjuran yang digunakan

umumnya semakin efektif dalam pengendalian serangan penyakit tanaman. Begitu juga dengan hasil

penelitian Ignatius Yuliantono (2002) bahwa fungisida berbahan aktif mankozeb 80 WP mampu menekan

serangan penyakit daun P infestans dengan dosis 3 g/lt dengan hasil tertinggi 8.4 t/ha.

Tabel 3. Efektifitas Fungisida Furizeb 80 WP (mankozeb 80%) terhadap serangan Phythopthora infestans di

Sumberbrantas Batu MH 2016.

Perlakuan Tingkat Efikasi Fungisida (%)

Rata-rata

Efektifitas

(X)

Kategori

Efektifitas 1 2 3 4 5

A.Furizeb 80 WP 4gr/l 50 82.41 87.09 83.15 87.31 77.99 Efektif

B.Furizeb 80 WP 3gr/l 71 64.83 69.89 66.31 60.86 66.58 Efektif

C.Furizeb 80 WP 2gr/l 52.38 36.26 61.29 47.36 56.52 50.76 Cukup efektif

D.Furizeb 80 WP 1gr/l 49.2 23.07 36.56 15.78 36.23 32.17 Kurang efektif

E. Kontrol 0 0 0 0 0 0 Tidak efektif

Page 444: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

430 |

Kemampuan fungisida dinilai dengan kategori efektifitas (Irasakti dan Sukatsa, 1987): 0 = tidak efektif , >0-20% = sangat kurang efektif,

>20-40% = kurang efektif, >40-60% = cukup efektif, >60-80% = efektif, dan >80% = sangat efektif

Dari tabel 3,dapat dilihat bahwa perlakuan A dan B efektif dalam menekan P.infestans yaitu rata-rata

efektifitasnya 77,9% dan 66,58%, sedangkan pada perlakuan C termasuk cukup efektif sebesar 50,76% dan

perlakuan D kurang efektif sebesar 32,17%

Rata-rata jumlah dan berat umbi kentang per tanaman dari 10 tanaman contoh disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Rerata produksi umbi kentang per tanaman dengan perlakuan fungisida di Sumberbrantas Batu MH.

2016

Perlakuan Rerata Produksi Kentang per tanaman Konversi ton/ha

Jumlah Umbi (buah) Berat Umbi Kentang (kg)

A.Furizeb 80 WP 4 gr/l 10,1 a 1,29 a 6,9

B.Furizeb 80 WP 3 gr/l 10,8 a 1,46 a 7,9

C.Furizeb 80 WP 2gr/l 9,45 a 1,26 a 6,7

D.Furizeb 80 WP 1gr/l 8,9 a 1,11 a 5,9

E. Kontrol 8,28 a 1,07 a 5,7

Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata

berdasarkan Uji BNJ pada taraf kesalahan 5%

Pada Tabel 4, menunjukkan bahwa rerata produksi umbi kentang per tanaman dari 10 tanaman

contoh dengan perlakuan perbedaan dosis fungisida menunjukkan,bahwa jumlah umbi pertanaman contoh

antar perlakuan tidak berbeda nyata. Rerata jumlah umbi tertinggi diperoleh pada perlakuan B sebesar 10,8

dan terendah pada perlakuan E sebesar 8,28 buah. Begitu pula apabila hasil tertingg pada perlakuan B

sebesar 1,46 kg, sedangkan terendah pada perlakuan E sebesar 1,07 kg. Produksi kentang antar perlakuan

tidak berbeda nyata, hal ini diduga akibat adanya serangan P.insfestans tidak begitu tinggi atau hanya

menyerang daun sehingga tanaman kentang masih mampu berproduksi untuk membentuk umbi.

Hasil Pengamatan Lokasi Nongkojajar Pasuruan

Pengaruh beberapa dosis fungisida Furizeb 80 WP terhadap intensitas serangan P. Infestans disajikan

pada Tabel 5.

Tabel 5. Intensitas Serangan Phythopthora infestans(%) di Nongkojajar Pasuruan MH 2016.

Perlakuan

Intensitas Serangan P.infestans (%) Hari

Setelah Tanam (HST)

Rata-

Rata

21 hst 28 hst 35 hst 42 hst 49 hst

A. Furizeb 80 WP 4 gr/l 17,98 a 24,62 a 27,3 a 29,96 a 47,3 a 30,368

B. Furizeb 80 WP 3 gr/l 28,62 ab 38,62 b 30,62 a 48,62 ab 60,62 ab 40,356

C. Furizeb 80 WP 2 gr/l 28,64 ab 34,64 bc 33,3 a 59,94 bc 67,32 ab 44,768

D. Furizeb 80 WP 1 gr/l 25,96 bc 43,98 b 39,3 a 79,98 cd 82,73 bc 53,586

E. Kontrol 51,4 c 68,62 c 69,96 b 90 d 98,06 c 75,608

Page 445: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 431

Perlakuan Tingkat Efikasi Fungisida (%)

Rata-rata

Efektifitas

(X)

Kategori

Efektifitas

1 2 3 4 5

A. Furizeb 80 WP 4 gr/l 65,01 63,8 60,97 66,71 51,76 61,650 Efektif

B. Furizeb 80 WP 3 gr/l 44,31 43,72 56,23 45,97 38,18 45,682 Cukup Efektif

C. Furizeb 80 WP 2 gr/l 44,28 49,52 52,4 33,4 31,34 42,188 Cukup Efektif

D. Furizeb 80 WP 1 gr/l 35,17 35,91 43,82 11,13 15,63 28,332 Kurang Efektif

E. Kontrol 0 0 0 0 0 0 Tidak Efektif

Perlakuan

Intensitas serangan P. infestans (%)

Hari Setelah Tanam (HST) Rata-rata

21 28 35 42 49

A.Furizeb 80 WP 4 gr/l 23.9a 31.3a 27.3a 55.9a 83.99a 44.46

B.Furizeb 80 WP 3gr/l 26.6a 33.3a 30.6ab 73.9b 84.67a 49.82

C.Furizeb 80 WP 2 gr/l 22.6a 34.6a 33.3ab 73.9b 87.33ab 50.35

D.Furizeb 80 WP 1 gr/l 23.9a 37.9a 39.3b 81.9bc 92.72bc 55.06

E.Kontrol 32.1a 41.8a 69.9c 90.0c 98.06c 66.37

Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata

berdasarkan Uji BNJ pada taraf kesalahan 5%.

Dari Tabel 5. Dapat dilhat bahwa perkembangan biak penyakit P. Infestans sangat cepat dari awal

sampai akhir pengamatan. Pada saat pengamatan umur 21 dan 28 HST. semua perlakuan tidak berbeda

nyata dengan kontrol. Selanjutnya pada penamatan umur 35 sampai 49 HST pada perlakuan A walaupun

berbeda nyata dengan perlakuan lainnya namun serangannya tetap tinggi dan selalu meningkat. Tingginya

intensitas serangan P infestans di Nongkojajar dikarenakan intensitas curah hujannya cukup tinggi terjadi

setiap hari sehingga fungisida yang diberikan banyak yang tercuci, akibatnya dalam hitungan hari seluruh

pertanaman kentang menjadi rusak (Lampiran 1, Gambar 3). Menurut Suhardi (1981), bahwa tingkat

kerusakan tanaman oleh P infestans bekorelasi positif dengan banyaknya curahujan. Selain curah hujan

faktor lain yang menimbulkan ledakan penyakit adalah lamanya embun berlangsung dan keawanan

(Beaumont, 1948).

Tabel 6. Efektifitas Fungisida Furizab 80 WP (mankozeb 80%) terhadap serangan Phythopthora infestans di

Nongkojajar Pasuruan MH 2016.

Perlakuan Tingkat Efikasi Fungisida (%) Rata-rata

Efektifitas

(X)

Kategori

Efektifitas 1 2 3 4 5

A.Furizeb 80 WP 4gr/l 25.27 25.44 60.97 37.8 14.35. 32.77 Kurang efektif

B.Furizeb 80 WP 3gr/l 10/78 20.67 56.23 17.82 13.66 23.83 Kurang efektif

C.Furizeb 80 WP 2gr/l 29.49 17.48 52.4 17.84 10.94 25.63 Kurang efektif

D.Furizeb 80 WP 1gr/l 25.31 9.57 43.82 17.84 5.43 29.39 Kurang efektif

E.Kontrol 0 0 0 0 0 0 Tidak efektif

Page 446: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

432 |

Kemampuan fungisida dinilai dengan kategori efektifitas (Irasakti dan Sukatsa, 1987): 0 = tidak efektif , >0-20% = sangat

kurang efektif, >20-40% = kurang efektif, >40-60% = cukup efektif, >60-80% = efektif, dan >80% = sangat efektif

Sebagai data penunjang yang dilokasi Nongkojajar- Pasuruan, berupa produksi kentang tidak bisa

dilaporkan karena tanaman tidak menghasilkan umbi. Hal ini disebabkan tanaman umur 20-50 HST. sudah

terserang penyakit hawar daun (P.infestans) cukup tinggi. Hasil penelitian di Indonesia menunjukkan bahwa

periode kritis pembentukan umbi kentang ialah sampai dengan umur 75 hari setelah tanam (Sunaryono,et

al.,1979)

KESIMPULAN

Di lokasi Sumberbrantas- Batu, Fungisida Mankozeb 80% dengan dosis yaitu 4 gr/l dan 3 gr/l efektif

terhadap penyakit hawar daun kentang (P.insfestans) pada tanaman kentang dengan kemampuan menekan

serangan masing-masing sebesar 77,99% dan 66,578%, dengan produksi 6,9 ton/ha dan 7,9 ton/ha. Di lokasi

Nongkojajar-Pasuruan, fungisida Mankozeb 80% kurang efektif terhadap penyakit hawar daun kentang

P.infestans. Selama percobaan tidak terdapat tanda-tanda fitotoksis pada daun tanaman kentang

DAFTAR PUSTAKA

Abeygunawardena,D.V.W. 1960. Experiment on The Fungicidae Control of Late Blight of Potato II. Some Aspects on Improvement of The Field Control of Epiphyfotic Tropical. Agriculture in Ceylon 116. p.125-130.

Beaumont,A.1948. The depedence on the weather of the date of outbreak of potato blight epedermis. Trans. Br. Mycol. Soc. 31:45-53

BPS (Badan Pusat Statistik). 2009. Luas panen, Produksi dan Produktivitas Kentang, 2009−2011. http://www.bps.go.id. diakses 16 Desember 2016.

Correa RM.JEBP Pinto,CABP Pinto, V Faquin, E Reis, AB Monteiro, WE Dyer. 2008. Acomparison of potato seed tuber yields in beds, post and hydroponic systems, Sci Hort,116 :17-20

Hanm,P.B. 2007. The Canon of Potato Science :9. Soil-Borne Fungi. Potato Pres 50 : 239- 241. Doi 10.1007/S.11540-008-0904.x (26 juni 2010).

Irasakti, L. dan Sukatsa. 1987. Uji kemempanan beberapa fungisida terhadap penyakit bercak coklat pada tanaman padi. Gatra Penelitian Penyakit Tumbuhan dalam Pengendalian Secara Terpadu, PFI, Surabaya, 24-26 Nopember. Hal. 55-70.

Lapwood,DM. 1961. Laboratory assessment of the suspectibility of potato haulm to blight P infestans Eur.pot jour.4 (2): 117-126

Jeger,M.J.,G.A.Nide, P.H.J.F.Van den Boosert,A.J. Termorshuizen and P.Van. Baarlen. 1996. Pathology and Control of Soilborne Fungal Pathogen of Potato. Potato pes.39 :437-469.

Priou, S., A.P. Aley, E. Chujoy, B. Lemaga, and E. Frenh. 2011. Integrated Control of Bacterial Wilt of Potato. http://www.cipotato.org/csd/materials-/Publications/guiaing.pdf diakses 3 Januari 2017.

Puslitbang Hortikultura. 2008. Pengembangan Varietas Kentang Prosesing mendukung Industri Potato Chips di Indonesia. Bahan Pers Release. Puslitbang Hortikultura. Jakarta.

Semangun, H. 2000. Penyakit-Penyakit Tanaman Hortikultura di Indonesia. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Page 447: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 433

Semangun, H. 2006. Pengantar Ilmu Penyakit Tumbuhan. Gadjah Mada. University Press, Yogyakarta. 754 hal.

Sengooba,T.and J.J.Hakiza. 1999. The Current Status of Late Blight Caused by Phytophthora insfestans in Africa with Empasis on Eastern and Soutern Africa. In Crisman, Land C. Lizarraga (Eds). Late Blight a Threat to Global Food Initiative on Late Blight Conference, March 10-19,1999. Quito-Equador.pp.25-28.

Sugama, I.W. dan A. Rochjadi. 1989. Kemempanan beberapa fungisida menekan serangan jamur Hemileia vastatrix Berk & Br. pada tanaman kopi arabica. Prosiding Kongres Nasional X dan Seminar PFI, Bali. Hal. 415-416.

Suhardi, 1981. Dinamika populasi penyakit busuk daun P infestans Mont De Bary. Pada tanaman kentang di kebun percobaan Segunung. Bul. Penel. Hort. Vol X, No. 1 1983. Hal. 36-44.

Sunaryono,H.,S. Sahat dan H.Iriany. 1979. Usaha untuk mendorong pembentukan umbi berukuran bibit pada tanaman kentang. Bul. Penel. Hort. 7 (4): 43-48

Page 448: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

434 |

PERTUMBUHAN DAN HASIL TIGA VARIETAS BUNCIS (PHASEOLUS VULGARIS L.) YANG DIBERI BIOURIN DAN DIBUDIDAYAKAN DI DATARAN RENDAH

Mudji Santosa1, Nur Azizah2, Rahayu, P.W.3

Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya, Jl. Veteran Malang Jawa Timur, Indonesia 65145 Telepon; + 62-341-570471

Corresponding Author: [email protected] Abstrak. Sebuah penelitian lapangan dilakukan untuk mempelajari pertumbuhan dan hasil dari tiga varietas buncis (Phaseolus vulgaris L.). Penelitian dilakukan di dataran rendah, Kunjang, Kediri, Jawa Timur, tinggi tempat 100 m dpl, dengan suhu udara 29oC-36⁰ C, jenis tanah regosol, di budidayakan pada musim penghujan (dari Januari hingga April 2016). Rancangan Acak Kelompok Faktorial digunakan untuk mengatur dua faktor (A) Biourine (fermentasi dari campuran urin sapi + kotoran sapi + air) yang diaplikasikan dengan cara: 1) NB (Tanpa biourine); 2) B1 (Pemberian biourine 1); 3) B2 (Pemberian biourine 2) dan (B) Varietas Buncis yang terdiri: 1) V1 (Perkasa); 2) V2 (Grand Bayu) dan 3) V3 (Lebat-3). Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada interaksi antara (A) aplikasi Biourine dan (B) Kultivar yang digunakan pada pertumbuhan dan hasil kacang merah. Penerapan biourine tidak berpengaruh pada pertumbuhan kacang merah, namun, meningkatkan jumlah polong, rata-rata panjang polong dan berat segar polong. Penggunaan Lebat-3 menghasilkan bobot segar polong tertinggi per tanaman (331 g / tanaman atau 21,9 ton / ha) kemudian Perkasa (278 g / tanaman atau 18,5 ton / ha) dan terendah dihasilkan oleh Grand Bayu (200,2 g/tanaman atau 13,2 ton /ha). Kata Kunci: Biourine, organik, pupuk, varietas, buncis

PENDAHULUAN

Buncis (Phaseolus vulgaris L.) adalah polong buah muda dari tanaman aneka kacang yang masih

muda, belum berbiji masak (hijau lunak) umumnya dikenal sebagai buncis (buah muda) yang dikenal juga

dengan nama green bean, dry bean, french bean, kidney bean dan snap bean (Gepts, 1998; Jones, 1999;

Moniruzzaman et al., 2008; Datt et al., 2013; dan Gosh et al., 2014), merupakan sayuran aneka kacang paling

penting di dunia dan di Indonesia. Buncis yang dipanen sebelum fase benih (Gepts, 1998), merupakan sumber

protein yang baik, asam folat, serat makanan dan karbohidrat (Jones, 1999).

Direktorat Jenderal Hortikultura (2015) melaporkan bahwa produksi buncis di Indonesia mencapai

318.214 ton, luas panen 28.632 ha dan produktivitas 11,11 ton / ha, dan dapat ditanam di semua provinsi yang

ada di Indonesia. Buncis umumnya tumbuh baik di dataran tinggi yaitu, 1.000 - 1.500 dpl, andosol dan regosol

jenis tanah (drainase yang baik), pH tanah netral (5.5 - 6.0) dan curah hujan sekitar 1.500 - 2.500 mm per

tahun (Djuariah, 2008). Penghasil utama buncis adalah Sumatera dan Jawa. Jawa Barat sebagai wilayah

terluas (6.111 ha) dan Sulawesi Barat sebagai daerah tersempit (9 ha) di mana masing masing menghasilkan

94.623ton (15,48 ton / ha) dan 15 ton (1,77 ton / ha). (Direktorat Jenderal Hortikultura (2015).

Page 449: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 435

Beberapa jenis buncis telah dibudidayakan seperti Le-01, Le-02, Le 44 dan Le 166 (Rahayu dan

Sumpena, 2015) dan beberapa jenis beradaptasi dengan baik dan dikenal oleh petani yaitu Perkasa, Grand

BayudanLebat-3(Anonim,2015). Jenis Buncis varietas Perkasa, adalah hasil dari seleksi Galur BU 041 oleh

P.T. East West Seed Indonesia, jenis tanaman yng merambat, berbunga 35 hst, panen pertama 49 hst,

mempunyai hasil sekitar 128 polong/tanaman dan 20-30 ton/ha (Anonim a. 2015). Jenis Buncis Grand

Bayu,ctipe tumbuh merambat, panjang tanaman 235-250 cm, berbunga 30-32 dap, panen pertama 53 dap,

110-124 polong / tanaman dan 25-30 ton / ha (Anonimb. 2015). Jenis Lebat-3 adalah jenis buncis dari Chia Tai

Seed Co. Ltd., Thailand, tipe pertumbuhan merambat, berbunga pada 34 hst, panen pertama 47 hst, 198

polong / tanaman, frekuensi panen rata-rata 15 kali, polong berat 45 ton / ha (Anonimc, 2015).

Band et al., (2007), melaporkan bahwa penggunaan ekstensif pupuk kimia tanpa pertimbangan

kesehatan dan kualitas tanah, yang merupakan faktor penting untuk mewujudkan hasil pertanian yang

berkelanjutan. Aplikasi pupuk kimia tidak hanya meningkatkan biaya produksi tetapi secara bertahap

menurunkan produktivitas hasil buncis dan menyebabkan risiko tinggi terhadap kesehatan. Budidaya buncis di

India, sama halnya dengan sayuran lainnya, pemberian dosis nitrogen yang lebih tinggi meningkatkan

pertumbuhan dan hasil yang lebih baik, dan tanaman buncis juga mampu menggunakan nitrogen atmosfer

dari lingkungan oleh mikroba. (Ghosh, dkk., 2014). Kebutuhan nitrogen tanaman melalui aplikasi pupuk

organik telah terbukti bermanfaat untuk hasil yang lebih tinggi (Reddy, 2008; Maske et al., 2009).

Triwulaningrum (2009); Utami et al., (2012), menyatakan bahwa keseimbangan penggunaan pupuk

organik dan anorganik adalah kunci untuk mengelola nutrisi tanah dengan benar. Itu karena pupuk organik

dan pupuk anorganik memberikan banyak manfaat masing-masing.Aplikasi pupuk anorganik adalah cara yang

lebih cepat untuk menjaga produktivitas tanaman, karena nutrisi melepaskan nutrisi (misalnya nutrisi NPK)

yang mudah tersedia untuk tanaman. Sedangkan bahan organik dapat terdiri dari pupuk organik (kotoran sapi,

pupuk hijau) yang mampu memperbaiki tanah fisik, kimia dan biologi (Sherawat dan Singh, 2009; Ghosh et al.,

2014).

Salah satu aplikasi pupuk organik untuk meningkatkan kacang yang umum adalah menggunakan

biourine. Biourine adalah pencampuran urin dengan faeces dan air (1 liter urin sapi + 5 kg kotoran sapi + 50

liter air, (Santosa et al., 2014). Bahan organik ini tersedia di desa-desa banyak dan juga mudah dapatkan

(Rachmadani, 2014; Rinanto dkk., 2015).Beberapa peneliti melaporkan bahwa aplikasi biourine meningkatkan

pertumbuhan dan hasil dari beberapa tanaman seperti pada tanaman bawang merah (Santosa et al., 2014 .;

Rinanto dkk., 2015), pada buncis (Rachmadani et al., 2014); padi (Santosa et al., 2015); dan bawang daun

(Filaprasetyowati et al., 2015).

METODE PENELITIAN

Sebuah percobaan lapang dilakukan untuk mempelajari pertumbuhan dan hasil tiga cv kacang

merah (Phaseolus vulgaris L.) yaitu cvs Perkasa, Grand Bayu dan Lebat-3 yang ditanam di dataran rendah

dan diaplikasi dengan pupuk organik (biourine). Itu dilakukan dalam jenis tanah regosol (N total konten 0,1%,

sangat rendah), di Kediri, Jawa Timur, 100 m di atas permukaan laut, 29-36⁰ C dan di musim hujan (curah

hujan di Januari, Februari, Maret dan April 2016 , masing-masing 447, 446, 340 dan 52 mm.

Page 450: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

436 |

Penelitian ini menggunakan dua faktor yaitu: (A) aplikasi Biorine (terdiri dari tiga level yaitu: 1) NB

(tidak diberikan biourine); 2) B1 (formula biourine 1) (urine sapi 1 liter: 5 kg kotoran sapi: 25 liter air) 3) B2

(biourine formula 2) (urine sapi 1 liter: 5 kg kotoran sapi: 50 liter air) dan (B) penggunaan kultivar (terdiri dari 3

tingkatan yaitu: 1) V1: Perkasa; 2) V2: Grand Bayu dan 3) V3: Lebat-3), Percobaab menggunakan Rancangan

Acak Kelompok Faktorial digunakan dan diulang 3 kali.

Kacang umum ditaburkan dengan jarak tanam tanaman 50 x 30 cm (ukuran plot 4,0 x 1,2 m).

Pemberian pupuk kotoran sapi 2,5 ton / ha, pupuk kimia 25 kg / ha P2O5 (SP36), 50 kg K2O (KCl) dan 1/3

dosis N (20 kg Urea) diberikan saat tanam buncis dan sisanya 2 / 3 dosis N (40 kg Urea) diberikan pada 28

hari setelah tanam (hst).

Panjang tanaman, luas daun per tanaman diukur pada 14, 28, 42, 56 dan 70 hst dan juga

pengamatan waktu berbunga, jumlah bunga per tanaman, waktu pembentukan polong dan jumlah polong per

tanaman, panjang dan diameter polong diamati pada delapan tanaman dipilih secara acak dari masing-masing

plot di setiap ulangan. Berat segar polong per tnaman dan perkiraan berat segar polong per hektar dari setiap

kultivar buncis dihitung dari 1 (satu) luas panen m2 (per m2 = 6,6 tanaman). Data yang diperoleh dianalisis

secara statistik menggunakan program Excel untuk versi Windows 7.0. Hasil percobaan yang pada masing-

masing perlakuan yang berbeda diuji lebih lanjut dengan menggunakan Uji Beda Nyata Jujur 5%.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pertumbuhan tanaman buncis

Pada Tabel 1, menunjukkan bahwa aplikasi biourine pada varietas buncis, tidak berbeda pada

hasilpengamatan panjang tanaman pada berbagai umur tanaman. Aplikasi biourine menunjukkan bahwa

panjangtanaman bervariasi dari 280,0 cm hingga 237,8 cm tetapi tidak menunjukkan perbedaan. Curah hujan

yang tinggipada bulan Januari, Februari, Maret dan April(447, 446, 340 dan 52 mm, masing-masing), sehingga

kondisi tersebut menyebabkan pencucian biourine dan pupuk lain yang telah diterapkan.Panjang tanaman

setiap jenis buncis menunjukkan perbedaan dari awalpertumbuhan (14 hst) (hari setelah tanam) sampai akhir

panen 70 hst, yang merupakan panjang tanaman terpendek ditunjukkan oleh kultivar Grand Bayu (3,9 cm) dan

Panjang tanaman terpanjang ditunjukkan oleh Perkasa (7,0 cm), sedangkan pada akhir panen (70 hst),

panjang tanaman terpendek ditunjukkan oleh GrandBayu (179,4cm) dan yang terpanjangadalah Lebat-3

(245,8 cm), masing-masing. Perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan karakter masing-masing kultivar

kacangPerkasa, Grand Bayu

dan Lebat-3, Anonim a, b, c, 2015).

Pada Tabel 2, dapat ditunjukkan bahwa penerapan biorin tidak berpengaruh pada pertumbuhan

luasdaun per tanaman buncis. Pada luas daun per tanaman bervariasi dari 54,9 cm2 (Grand Bayu) dan 63,9

cm2(Lebat-3) pada 14 hst, dan pada 3800,6 cm2 (Grand Bayu) dan 4378.0 cm2 (Lebat-3), pada umur 70 hst.

itu jugamenunjukkan bahwa luas daun Lebat-3 adalah yang terluas.

Page 451: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 437

Tabel 1. The Influenced Of Biourine Application And Cultivars Used On The Plant LengthOf Common BeanAt

Several Days After Planting (Dap)

Note: The number followed by the same letter and same column (or no letter) showed no different (hsd 5%).

Tabel 2. The Influenced Of Biourine Application And Cultivars Used On The Leaf Area Of The Common

BeanAt Several Days After Planting (Dap)

Treatments

Leaf area per plant (cm2//p) at

14dap 28dap 42dap 56dap 70dap

No biourine (B0) 54,9 361,0 1434,8 3518,2 3800,6

Biourine 1 (B1) 55,6 350,9 1398,4 3045,9 4500,2

Biourine 2 (B2) 63,9 387,5 1731,0 3632,1 4378,0

Hsd 5% ns ns ns ns ns

Perkasa (v1) 70,7 b 364,6 ab 1440,8 a 3025,2 a 3774,5 a

Grand Bayu (v2) 39,5 a 265,4 a 1034,7 a 2549,3 a 3446,0 a

Lebat-3 (v3) 64,1 b 469,4 b 2088,7 b 4621,7 b 5458,3 b

Hsd 5% 16,1 118,3 647,8 972,6 786,2

CV (%) 22,8 26,5 34,9 23,5 15,2

Note: The number followed by the same letter and same column (or no letter) showed no different (hsd 5%)

Treatments Plant length (cm) at

14dap 28dap 42dap 56dap 70dap

No biourine (B0) 13,20 47,29 161,36 211,45 252,2

Biourine 1 (B1) 13,39 48,99 153,56 222,38 263,19

Biourine 2 (B2) 13,54 55,19 164,13 231,3 268,28

Hsd 5% ns ns ns ns ns

Perkasa (v1) 13,48 58,12 168,92 223,71 261,15

Grand Bayu (v2) 13,33 54,72 146,05 215,73 256,37

Lebat-3 (v3) 13,32 58,67 164,06 225,69 266,15

Hsd 5% ns ns ns ns ns

CV (%) 22,8 26,5 34,9 23,5 15,2

Page 452: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

438 |

Hasil tanaman buncis

Pada Tabel 3, menunjukkan bahwa tidak ada interaksi antara aplikasi biourine dengan varietas buncis

berarti tidak ada efek pemberian biourine pada saat berbunga (dap), jumlah bunga per tanaman (f / p) dan

waktu pembentukan polong. Waktu pembungaan buncis mencapai rata-rata 40 hari setelah tanam (hst).

jumlah bunga per tanaman rata-rata 59 bunga dan waktu terbentuknya polong membutuhkan waktu rata-rata

48 hst.

Waktu pembentukan polong terlama ditunjukkan varietas Lebat-3 (49 hst), dan waktu yang terpendek

ditunjukkan oleh varietas Perkasa (47 hst).

Tabel 3.The Average Of Time Of Flowering (Dap), Flower Number Per Plant (F/P)And Pod Forming Of Three

Cvs Of Green Bean Applied By Cow Biourine

Treatment Time of flowering

(dap) Number of flowers

per plant Time of Pod forming

(dap)

No Biourine (B0) 40,6 58,0 48,9

Biourine1 (B1) 40,5 60,5 48,8

Biourine 2.(B2) 40,0 59,7 48,6

Hsd 5% ns ns ns

Perkasa (V1) 38,7 a 58,5 a 47,7 a

Grand Bayu (V2) 40,2 a 52,8 a 49,6 b

Lebat-3 (V3) 42,1 b 66,9 b 49,1 b

Hsd 5% 1,8 6.2 1.3

CV (%) 8,7 8,6 7,2

Note: The number followed by the same letter and same column showed no different (hsd 5%); ns: no

signifificance different; dap: days after planting; cv: correction of variation; f/p: flowers number per plant

Pada Tabel 4, menunjukkan bahwa rata-rata jumlah polong per tanaman, panjang polong (cm) dan

diameter polong tiga varieats buncis. Aplikasi biourin menngkatkan jumlah polong per tanaman sekitar 20%,

dibanding dengan tanaman buncis yang tidak diberi biourin (kandungan N total 0,5%).

Varietas Perkasa dan Lebat-3 menunjukkan (rata-rata jumlah polong per tanaman) lebih tinggi dan

berbeda dengan Grand Bayu, sementara Lebat-3 menunjukkan panjang polong (cm) lebih panjang

dibandingkan yang lain. Perbedaan sifat ini diduga karena perbedaan karakter (sifat genetik) seperti yang

dinyatakan oleh Nazrul dan Shaheb, 2016.

Page 453: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 439

Tabel 4.The Average Of Pod Number Per Plant , Pod Length (Cm) And Pod Diameter (Cm) Of Three Common

Bean And Applied With Biourine

Treatment Pod number

per plant Pod length

(cm) Diameter

of pod (cm)

No Biourine (B0) 46.5 a 14.6 a 0.81

Biourine 1.(B1) 54,2 b 14.7 a 0.83

Biourine 2 (B2) 53.4 ab 15.1 b 0.82

Hsd 5% 7.2 4.4 ns

Perkasa (V1) 54.9 b 14.3 a 0.82

Grand Bayu (V2) 39.7 a 14.4 a 0.84

Lebat-3 (V3) 59.5 b 15.5 b 0.83

Hsd 5% 7.2 0.4 ns

CV (%) 11.5 8.3 7.9

Note: The number followed by the same letter and same column showed no different (hsd 5%); ns : no signifificance different ; dap : days after planting; cv : correction of variation f/p : flower no/ plant

Pada sisi lain Putrasamedja 1992 mengemukakan bahwa untuk pembentukan polong kacang umum

membutuhkan suhu yang lebih rendah dari 25oC karena dalam suhu lebih tinggi banyak bunga yang rontok

sebelum pembentukan polong,(Djuariah, 2008).Pada suhu yang lebih tinggi dalam penelitian ini (di Kunjang,

Kediri, menunjukkan bahwa suhu berada di antara 29oC – 36o C), jumlah polong berkurang, mungkin

disebabkan perbedaan suhu dimana Lebat-3 pada dataran tinggi di Malang yang suhu rata-ratanya berada

antara 18o C -25oC mampu menghasilkan bobot polong 26,2-34,5 ton/ha(Sartika, et.al., 2013).

Pada Tabel 5, nampak bahwa bobot segar polong buncis per tanaman (maupun per ha), dipengaruhi

juga oleh pemberian biourin walaupun walaupun curah hujan tinggi. Pemberian biourin masih meningkatkan

hasil polong buncis per tanaman sekitar 24 %. Nampaknya pemberian biourine mampu meningkatkan jumlah

nutrisi tanaman (unsur N, P, K maupun unsur mikro) sehingga meningkatkan pertumbuhan dan hasil tanaman

buncis seperti dikemukakan peneliti lainnya (Moniruzzaman et al., 2008; Maske et al., 2009; Santosa et al.,

2014).

Page 454: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

440 |

Tabel 5. The Average Of Pod Fresh Weight (G/Plant) And Pod Fresh Weight (Ton/Ha) Of Three Common

Bean Grown In Lowland Area And Applied By Biourine

Note: The number followed by the same letter and same column shows no difference (hsd 5%)

Varietas Lebat-3, terlihat bahwa bobot segar polong per tanaman tertinggi yaitu sekitar

331g/tanaman (21,98 ton/ha) diikuti Perkasa (18,49 ton/ha) dan Grand Bayu terendah (13,17 ton per ha).

Varietas tersebut menunjukkan perbedaan masing-masing deskripsi sesuai perbedaan sifat-sifat genetik

masing-masing (Anonim, a, b, c, 2015).Seperti dikemukakan oleh Rahayu dan Sumpena, 2015, yang menguji

beberapa kultivar introduksi bahwa perbedaan hasil dari beberapa jenis buncis karena perbedaan sifat

genetik, yaitu Le 44 yang mencapai hasil polong tertinggi (94,95 g per tanaman) diikuti oleh Le 02 ( 83,72 g

per tanaman), Balitsa 2 (77, 93 g per tanaman), Le 01 (76,47 g per tanaman), Le 166 (74,47 g per tanaman)

dan hasil terendah dicapai oleh Balitsa 1 (74,25 g) per tanaman).

KESIMPULAN

Aplikasi biourine dan kultivar yang digunakan menunjukkan tidak ada interaksi pada pertumbuhan

dan hasil dari kacang umum (perkasa, grand bayu dan lebat-3), tumbuh di daerah dataran rendah di kunjang,

kediri, di musim hujan.

Aplikasi biourine meningkatkan pertumbuhan (panjang tanaman, jumlah daun dan luas daun, dan

hasil (jumlah polong dan berat polong per ha) tanamanbuncis.

Kultivar lebat-3 menghasilkan buncis yang tertinggi (21,98 ton /ha) selanjutnya diikuti oleh perkasa

(18,49 ton / ha) dan yang terendah ditunjukkan oleh grand bayu (13,17 ton /ha).

Treatment Pod fresh weight g/plant Pod fresh

weight(ton/ha)

No Biourine (B0) 231,86 a 15,29 a

Biourine 1 (B1) 289,46 b 18,93 b

Biourine 2 (B2) 288,63 b 19,42 b

Hsd 5% 47,57 2,69

Perkasa (V1) 278,77 b 18,49 b

Grand Bayu (V2) 200,16 a 13,17 a

Lebat-3 (V3) 331,02 c 21,98 c

Hsd 5% 49,15 2,88

CV (%) 14,48 12,86

Page 455: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 441

UCAPAN TERIMAKASIH

Ucapan terima kasih penulis kepada Kepala Departemen Agronomi dan Dekan Fakultas Pertanian

UniversitasBrawijaya atas dukungannya untuk terhadap percobaan tersebut. Selain itu, penulis berterima kasih

kepada petani di Kunjang, Kediri atas kerjasamanya selama percobaan.

DAFTAR PUSTAKA

Anonymousa. 2015. Green bean cvs Perkasa. (Online). http://www.panahmerah.id/product/perkasa. Accesed:

25 December 2015.

Anonymousb. 2015. Green bean cvs Grand Bayu. (Online).http://betrasia.blogspot.co.id/ Accesed : 25

December 2015.

Anonymousc. 2015. Green bean cvs Lebat-3. (Online). http://www.tanindo.com/index. Acessed 25 Desember

2015.

Band, A.N., Mendhe S. N., Kolte, H. S., Choudhary, R. L, Verma, R. and Sharma, S. K. (2007). Nutrient

management studies in French bean (Phaseolus vulgaris L.). J Soils Crops 17(2): 367-372.

Datt, N., Dubey, Y.P. and Chaudhary, R. (2013). Studies on impact of organic and integrated use of nutrients

on symbiotic parameters, yield, quality of French bean (Phaseolus vulgaris L) vis-a vis soil properties

of an acid alfisol. African Journal of Agricultural Research 8(22): 2645-2654

Directorate General of Horticulture, 2015. Statistics horticultural production in 2014. The Ministry of Agriculture,

Directorate General of Horticulture.

Djuariah, D. 2008. Performance of five common bean cultivars on low land. J. Agrivigor 8(1):64-73.

Filaprasetyowati, N., M. Santosa., dan N. Herlina. 2015. The study of biourine application and inorganic

fertilizer on growth and yield of green onion (Allium fistulosum L.). (in Indonesia) J. Produksi

Tanaman 3 (3): 239-248

Gepts, P. 1998. Origin and evolution of common bean: past event and recent trends.HortScience 33(7): 1124-

1130.

Ghosh, C., P. Biswas and V. K. Dhangrah. 2014. Effect of organic and inorganic sources of Nitrogen on growth

and yield of French bean (Phaseolus vulgaris L.). VEGETOS, Vol. 27 (1): 23-25

Jones, A.L. 1999. Phaseolus bean: post-harvest operation. INPhO Post-harvest Compendium.FAO. 24 pages.

http://www.fao.org/3/a-av015e.pdf.

Maske N. M., Kadam S. B., Tidke R. T. and Pawar, S. B. (2009). Performance of French bean (Phaseolus

vulgaris. L.) genotypes under different fertility levels. International J. Agric. Sci., 5(1): 134-136.

Moniruzzaman M., MR Islam and J. Hasan. 2008. Effect of N P K S Zn and B on Yield Attributes and Yield of

French Bean in South Eastern Hilly Region of Bangladesh. J Agric Rural Dev 6(1&2): 75-82.

Nazrul, M.I., M.R., Shaheb. 2016. Performance of French bean (Phaseolus vulgaris L.) genotypes in Sylhet

region of Bangladesh. Bangladesh Agron. J. 19 (1):37-44.

Page 456: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

442 |

Putrasamedja, S. 1992. The adaption of kind cultivars of upright common bean (Phaseolus vulgaris L.) grown

in lowland area (in Indonesia) Bull. Penel. Hort. XXII (2): 5-9.

Rahayu, A. and U. Sumpena. (2015). Comparison of production several strains plants of upright beans

(Phaseolus vulgaris L.) results introductions with varietiy Balitsa-1 and Balitsa-2. (in Indonesia)

Proseding Seminar Nasional Swasembada Pangan. Politeknik Negeri Lampung, 29 April 2015.

Rachmadhani, N.W., Koesriharti dan M. Santoso. (2014). Effect of organic and anorganic fertilizers on the

growth and yield of kidney bean. (in indonesian). Jurnal Produksi Tanaman 2 (6): 443-452.

Reddy P. P. (2008). Organic Farming for Sustainable Horticulture, Scientific Publishers, Jodhpur, India. 1-2.

Safitry, M.R. and J.G. Kartika. 2013. Growth and production of kidney bean (Phaseolus vulgaris L.) on some

combination of organic plant growth media. Bul. Agrohorti 1 (1): 94-103. (in Indonesian).

Santosa, M., M. Dawam Maghfoer, S. Fajriani. 2014. Effect of fertilizer and biourine application on shallot cvs

Philiphinna in farmer‘s area Ngujung, Batu, East of Java. (in Indonesia). Prosiding Seminar Nasional

Perhorti 2014, Malang, 5-7 Nopember 2014, ISBN: 978-979-508-017-6, pp. 303-308.

Santosa, M. and A. Suryanto (2015). The Growth and Yield of Paddy Ciherang Planted in Dry and Rainy

Season and Fertillized with Organic and Inorganic Fertilizers. Agrivita (Journal of Agricultural

Science), Vol. 37, (1): 24-29.

Sartika, R., Y.B.S. Heddy, M.D. Maghfour. (2013). Growth and yield of common bean (Phaseolus vulgaris L.)

on various goat manure dosage and concentration of plant regulators Decamon. (in Indonesian).

Jurnal Produksi Tanaman 1 (4): 369-377.

Sherawat, S. and Singh, O. P. (2009). Effect of nitrogen and potassium on growth and yield of French bean

and grown in intercropping system. International J. Agric. Sci. 5 (1): 168-172.

Triwulaningrum, W. 2009. Effect of the application of Cow Manure and Phosphorus (inorganic fertilizers) on the

Growth and Yield Upright beans (Phaseolus vulgaris, L). (in Indonesian), J. Scientific Agriculture. 23

(4): 154-162.

Utami C. D., L. Setyobudi and M. Nawawi. 2012. The effect of plant density of three varieties green beans

(Phaseolus vulgaris L.). Departement of Agronomy, Faculty of Agriculture, Univerity of Brawijaya.

Page 457: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 443

EVALUASI FORMULASI PAKAN DAN JAMU TERNAK PADA AYAM JAWA SUPER FASE GROWER

Dewi Ratih Ayu Daning1, Novita Dewi Kristanti2

1Program Studi Agribisnis Peternakan

Politeknik Pembangunan Pertanian Malang 2Program Studi Penyuluhan Peternakan dan Kesejahteraan Hewan

Politeknik Pembangunan Pertanian Malang Corresponding author: [email protected]

Abstract. Penelitian bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian formulasi pakan dan jamu ternak selama 35 hari terhadap konsumsi, konversi pakan, dan feed cost ayam jawa super. Penelitian dilaksanakan selama 35 hari dikandang Instalasi Ternak Unggas, Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian Malang. Ternak yang digunakan adalah Ayam Jawa Super sebanyak 200 ekor doc dengan kisaran bobot awal 50 gram. Formulasi ransum yang teridiri dari bahan Jagung giling 54%, Bungkil Kacang Kedelai 17%, Tepung Ikan 11%, Pollard 12%, premix 2%, dan dicalcium phosphate 2% berdasarkan metode trial dan error. Komposisi bahan jamu terdiri dari bawang putih, kencur, lengkuas, kunyit, temulawak, kayu manis, siirh, mahkota dewa, molasses, dan mikroba. Data yang dikoleksi meliputi konsumsi, konversi pakan, dan feed cost per gain. Data dianalisis untuk diambil rata-rata dan standard deviasi yang selanjutnya disajikan secara deskriptif kuantitatif. Formulasi pakan sebelum diaplikasikan sebagai pakan ayam diujikan terlebih dahulu komposisi nutrientnya dengan metode analisis proksimat. Hasil pengamatan dapat diketahui bahawa Bahan kering 90,40%, Bahan organik (21,38%), Protein Kasar (16,94), Lemak kasar (2,13), dan serat kasar (18,855), selanjutnya diperoleh rata-rata bobot badan 600 gram, konsumsi 1668 gram/ekor/35hari, FCR 3,94, feed cost/gain/35 hari sebanyak dan mortalitas 11%. Hal ini dapat disimpulkan bahwa formulasi pakan dan jamu ternak memiliki pengaruh sesuai standar terhadap performa produksi ayam jawa super, sehingga dapat digunakan sebagai rekomendasi formulasi pakan dan jamu secara mandiri untuk peternak ayam jawa super. Keywords: Formulasi pakan, Jamu Ternak, Produksi Ternak, Ayam Jawa Super

Page 458: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

444 |

PENDAHULUAN

Ayam kampung super adalah persilangan antara ayam kampung pejantan dan ayam ras petelur betina

(Salim 2013). Ayam kampung super saat ini banyak di budidayakan di ndonesia sebagai alternatif ayam

broiler. Dibandingkan ayam broiler, ayam kampung super memiliki tekstur daging yang lebih padat sehingga

memberikan rasa daging yang khas (Hartatik, 2014). Untuk melindungi kesehatan ayam kampung super,

antibiotik telah lazim digunakan dalam pakan. Namun, penggunaan antibiotik dalam jangka waktu yang lama

telah diketahui membahayakan kesehatan manusia sebagai konsumen, sehingga penggunaan antibiotik perlu

dihindari. Berdasarkan hal tersebut, Penggunaan feed additive sebagai alternatif pengganti antibiotik pada

pakan sangat berguna untuk menjaga peforma kesehatan ayam kampung super (Wicaksono, 2015). Produksi

ayam kampung super yang tinggi ini menyebabkan beberapa peternak tidak memperhatikan kualitas pakan

yang digunakan untuk memacu pertumbuhan ayam kampung super menjadi optimal, sehingga perlu adanya

penyuluhan terkait pembuatan pakan yang berkualitas.

Banyak hal-hal yang harus diperhitungkan untuk peningkatan populasi ayam lokal, diantaranya yaitu

pakan. Dalam pemeliharaan ayam lokal pedaging, konsumsi ransum merupakan hal dasar yang harus

diperhatikan karena merupakan kebutuhan pokok akan berpengaruh terhadap pertambahan bobot badan.

FCR (Feed Conversion Ratio) atau konversi ransum merupakan acuan dari tingkat efisiensi ransum yang

dikonsumsi selama pemeliharaan. Jumlah pakan yang dikonsumsi oleh ternak digunakan untuk mencukupi

hidup pokok dan untuk produksi hewan tersebut (Tilman et al., 1998). Faktor yang mempengaruhi konsumsi

ransum antara lain besar tubuh ayam, aktifitas sehari-hari, suhu lingkungan, kualitas dan kuantitas ransum

(NRC, 1994). Penimbangan bobot badan hendaknya dilakukan setiap minggu dengan mengambil contoh acak

dari kelompok. Kecepatan pertumbuhan dapat diukur melalui pertambahan bobot badan pada saat tertentu,

terhadap bobot badan pada minggu sebelumnya (Charles dan Spackman, 1985). Konversi ransum merupakan

suatu ukuran yang dapat digunakan untuk menilai efisiensi penggunaan dan kualitas ransum. Konversi

ransum adalah perbandingan antara jumlah ransum yang dikonsumsi dengan pertambahan bobot badan

dalam jangka waktu tertentu. Salah satu ukuran efisiensi adalah dengan membandingkan antara jumlah

ransum yang diberikan (input) dengan hasil yang diperoleh baik itu daging atau telur (output) (Rasyaf, 1995).

Pakan yang diberikan untuk ayam buras biasanya menggunakan sisa makanan dan nasi aking. Pakan

merupakan unsur yang pentng dalam peningkatan produktivitas ayam buras, sehingga perlu adanya teknologi

pembuatan pakan secara mandiri untuk memenuhi kebutuhan ternak. Selain itu, permasalahan utama yang

dialami peternak ketika musim pancaroba banyak penyakit yang sering menyerang unggas seperti Avian

Influenza (AI) dan New Castle Diseases (ND), sehingga salah satu alternative untuk menghindari penyakit

adalah menjaga agar ayam buras memiliki kondisi dan daya tahan tubuh yang baik, salah satunya adalah

dengan memberi jamu herbal. Berdasarkan kaji literature dan beberapa permasalahan peternak ayam jawa

super perlu adanya kajian evaluasi formulasi pakan dan penggunaan jamu herbal untuk efisiensi produksi.

Page 459: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 445

METODOLOGI

Penelitian dilaksanakan selama 35 hari dikandang Instalasi Ternak Unggas, Sekolah Tinggi Penyuluhan

Pertanian Malang. Ternak yang digunakan adalah Ayam Jawa Super sebanyak 200 ekor doc dengan kisaran

bobot awal 50 gram. Formulasi ransum yang teridiri dari bahan Jagung giling 54%, Bungkil Kacang Kedelai

17%, Tepung Ikan 11%, Pollard 12%, premix 2%, dan dicalcium phosphate 2% berdasarkan metode trial dan

error dapat dilihat pada tabel 1. Komposisi bahan jamu terdiri dari bawang putih, kencur, lengkuas, kunyit,

temulawak, kayu manis, sirih, mahkota dewa, molasses, dan mikroba dapat dilihat pada tabel 2. Data yang

dikoleksi meliputi konsumsi, konversi pakan, dan feed cost per gain. Data dianalisis untuk diambil rata-rata

dan standard deviasi yang selanjutnya disajikan secara deskriptif kuantitatif. Formulasi pakan sebelum

diaplikasikan sebagai pakan ayam diujikan terlebih dahulu komposisi nutrientnya dengan metode analisis

proksimat

Page 460: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

446 |

Tabel 1. Formulasi Pakan Berdasarkan Metode Trial and error

Bahan

baku

Prop

%

PK

(%)

ME

(Kcal/kg)

Ca

(%)

Pav

(%)

Methionin

(%)

Lysin

(%)

Tryptophan

(%)

Harga

(Rp)

Jagung 54 4.644 1819.8 0.0108 0.054 0.0972 0.108 0.054 2484

Polar 12 1.8 156 0.0168 0.0384 0.0204 0.036 0.012 432

Tepung

Ikan 11 5.5 290.4 0.22 0.165 0.22 0.704 0.099 935

Bungkil

Kedelai 17 7.14 380.8 0.0493 0.1105 0.1105 0.493 0.102 1190

Minyak

Goreng 2 0 172 0 0 0 0 0 80

Premix 2 0 0 0.5 0 0 0 0 100

Dicalsium

Phospat 2 0 0 0.373 0.002 0 0 0 80

Jumlah 100 19.084 2819 1.1699 0.3699 0.4481 1.341 0.267 5301

Tabel 2. Komposisi bahan jamu ternak untuk pembuatan 10 liter.

No. Bahan tanaman obat dan rempah Bagian yang

digunakan Jumlah

1. Bawang putih (Allium sativum. L) Umbi akar 250 gram

2. Kencur (Kaempferia galangal L) Rimpang 250 gram

3. Jahe (Gingeber officinale Rosc) Rimpang 125 gram

4. Lengkuas (Langkuas galangal Stunz) Rimpang 125 gram

5. Kunyit (Curcuma domestica Vahl) Rimpang 125 gram

6. Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb) Rimpang 125 gram

7. Kayu manis (Cinnamomum burmanii B) Kulit batang 62,5 gram

8. Sirih (Piper betle L) Daun 62,5 gram

9. Mahkota dewa (Phaleria macrocarpa Boerl) Daun 62,5 gram

10. Molasses Larutan 250 ml

11. EM4 (efektif mikroba) atau M-Bio Larutan 250 ml

Sumber: Zainuddin dan Wakradihardja (2002) dalam Zainuddin (2006: 203).

Variabel yang Diamati

Variabel yang diamati atau diukur dalam penelitian ini adalah sebagai berikut ini :

1. Konsumsi ransum : konsumsi ransum diukur setiap minggu sekali, yaitu selisih antara jumlah ransum

yang diberikan dengan sisa ransum.

2. Pertambahan berat badan : pertambahan berat badan diperoleh dengan mengurangi berat badan akhir

dengan berat badan pada minggu sebelumnya. Sebelum penimbangan terlebih dahulu ayam dipuasakan

selama kurang lebih 12 jam.

3. Feed Conversion Ratio (FCR) : merupakan perbandingan antara jumlah ransum yang dikonsumsi

dengan pertambahan berat badan. Ini merupakan tolok ukur untuk menilai tingkat efisiensi penggunaan

ransum. Semakin rendah nilai FCR, semakin tinggi efisiensi penggunaan ransumnya, demikian sebaliknya.

Page 461: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 447

4. Feed cost/gain: merupakan perbandingan antara biaya konsumsi ransum dengan pertambahan berat

badan. Ini untuk menetukan total biaya yang diperlukan untuk menghasilkan bobot badan tertentu

HASIL DAN PEMBAHASAN

Konsumsi pakan merupakan jumlah pakan yang dimasukkan kedalam tubuh ternak. Pakan yang

dikonsumsi tersebut digunakan ayam untuk pemenuhan kebutuhan energi pemeliharaan organ dalam (body

maintenance) dan kebutuhan produksi terutama untuk proses pembentukan daging (meat production).

Konsumsi pakan ayam kampung super sangat perlu diperhatikan untuk menjaga agar produktivitas yang

dihasilkan dapat maksimal. Rata-rata nilai konsumsi pakan ayam kampung super pada penelitian Widodo et

al. (2018) berkisar antara 42-43 g/ekor/hari atau setara 294 g/ekor/minggu. Nilai konsumsi ayam kampung

super tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Munira et al (2016) yang menunjukkan bahwa

konsumsi pakan ayam kampung super berkisar antara 42,49 – 44,31 g/ekor/hari. Rataan hasil konsumsi

pakan diketahui untuk setiap minggunya sebesar 880, 1505. 2058, dan 2891 gram/ekor/minggu dengan total

konsumsi salaam fase grower sebanyak 7,34 kg/ekor/28 hari dengan kenaikan bobot badan sebesar 342

gram, dengan total biaya pakan sebesar Rp.15,324/ekor/28 hari, data dapat dilihat pada tabel 3.

Data hasil penelitian menunjukkan jumlah konsumsi yang lebih rendah dibandingkan dari beberapa

penelitian tentang evaluasi produksi ayam jawa super seperti yang sudah dijelaskan Widodo et al. (2017)

tentang penambahan lempuyang pada pakan ayam jawa super bahwa konsumsi selama 7 minggu

pemeliharaan sebanyak 42,52/gram/ekor/hari,sedangkan penelitian formulasi pakan dan formulasi jamu pada

penelitian ini diperoleh total konsum sebanyak 37,42 gram//ekor/hari. Dalam penelitian ini, pemberian pakan

dan kondisi ayam dianggap sama dengan perlakuan yang sama. Pemberian pakan dilakukan secara ad

libitum sesuai standard kebutuhan efisiensi pakan untuk ayam jawa super. Besarnya konsumsi pakan

dipengaruhi oleh palatabilitas pakan (rasa, bau, dan bentuk), cara pemberian pakan dan kondisi ayam

(Wahyu, J, 2004), selanjutnya untuk pertambahan bobot badan tersebut diatas sangat erat kaitannya dengan

pola tingkah laku ayam terhadap pakan perlakuan. Sidadolog dan Yuwanta, 2009 menyatakan bahwa semakin

rendah kandungan protein energi pakan, maka konsumsi pakan akan lebih tinggi, agar kebutuhan protein

energi untuk pertumbuhan dapat tercapai.

Tabel 3. Konsumsi ransum, PBB dan FCR pada fase grower

Nilai Konsumsi

Pakan(g/ekor)

PBB

(g/ekor)

FCR Feed Cost/Gain

(Rp/ekor/minggu)

Minggu ke-4 880 50 2.51 4667

Minggu ke-5 1505 96 2,24 7978

Minggu ke-6 2058 57 5,16 1090

Minggu ke-7 2891 139 2,974 15324

Rasio konversi pakan (feed Conversi Ratio) adalah perbandingan jumlah pakan yang dikonsumsi dengan

kenaikan berat badan pada waktu tertentu, sehingga rasio konversi pakan menunjukkan efisiensi penggunaan

pakan pada pemeliharaan ayam. Pakan yang diberikan memebrikan output sebagai pertambahan bobot

Page 462: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

448 |

badan yang sesuai dengan standar produksi bibit ayam yang digunakan. Nilai konversi pakan akan semakin

baik jika memiliki nilai yang lebih kecil.

Rata-rata rasio konversi pakan ayam selama pemeliharaan (7 minggu) sebesar 2,97. Dari data hasil

penelitian Akhadiarto, 2017 tentang pertumbuhan ayam jawa super yang diberikan pakan pabrik memiliki FCR

sebesar 2,77. Dengan nilai seperti itu maka pakan yang digunakan tidak efisien karena banyak pakan

terbuang, sehingga berakibat penurunan berat badan. Menurut Penelitin Wijayanti, 2011, bahwa tinggi

rendahnya angka konversi pakan disebabkan oleh adanya selisih yang semakin besar atau kecil pada

perbandingan antara pakan yang dikonsumsi dengan pertambahan bobot badan yang dicapai. Ditambahkan

Siregar dan Sabrani (2005) bahwa konversi pakan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu genetik, bentuk

pakan, temperatur, lingkungan, konsumsi pakan, berat badan, dan jenis kelamin

KESIMPULAN

Berdasarkan analisa diatas formulasi pakan yang terdiri dari jagung, pollard, tepung ikan, bungkil kacang

kedelai, minyak, dan premix meimilik performance produksi ayam jawa super sesuai standard ayam jawa

super yang dipelihara dengan menggunakan pakan pabrik/pakan komersil, sehingga dapat dijadikan

rekomendasi atau alternative formula pakan secara mandiri dengan biaya produksi pakan/kg sebesar

Rp.5301.

DAFTAR PUSTAKA

Akhadiarto, S. 2017. Kajian Pembuatan Pakan Lokal dibanding Pakan Pabrik terhadap Performan Ayam

Kampung di Gorontalo. Pusat Teknoprener dan Kluster Industri, BPPT. P-ISSN 1410-3680 / E-ISSN

2541-1233

Hartatik, D. S. 2014. Pengaruh penambahan serbuk daun sirsak (annona muricata linn) super periode grower.

Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro. terhadap pemanfaatan protein, massa

protein dan massa kalsium daging ayam kampung

Munira, S., L.O Nafiu., A.M. Tasse. 2016. Performans Ayam Kampung Super pada Pakan yang Disubtitusi

Dedak Padi Fermentasi dengan Fermentor Berbeda. JITRO.Vol 3 (2): 21-29.

National Research Council (NRC). Nutrients Requairement for Poultry. Washington, DC. USA, 1994.

Rasyaf, M. 1994.Beternak Itik Komersial.Yogyakarta : Kanisus

Salim, E. 2013. Empat Puluh Lima Hari Siap Panen Ayam Kampung Super. Lily Publisher. Yogyakarta

Sidadolog JHP dan T. Yuwanta. Pengaruh Konsentrasi Protein-Energi Pakan terhadap Pertambahan Berat

Badan, Efisiensi Energi dan Efisiensi Protein pada Masa Pertumbuhan Ayam Merawang. Animal

Production 11 (1) :15-22, 2009.

Siregar, A.P., dan Sabrani. Teknik Beternak Ayam Pedaging di Indonesia. Magie Group. Jakarta, 2005.

Wahyu, J. Ilmu Nutrien Unggas. Cetakan ke 3. Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 2004.

Page 463: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 449

Wijayanti, R.P. Pengaruh Suhu Kandang yang Berbeda terhadap Performans Ayam Pedaging periode Starter.

Fakultas Peternakan. Universitas Brawijaya. Malang, 2011.

Zainuddin, D. 2006. Tanaman Obat meningkatkan Efisiensi Pakan dan Kesehatan Ternak Unggas. Lokakarya

Nasional Inovasi Teknologi dalam Mendukung Usaha Ternak Unggas Berdaya Saing. Balai Penelitian

Ternak. Bogor.

Tillman, A. D. H. Hartadi, S. Reksohadiprojo, S. Prawirokusumo dan S. Lebdosoekojo. 1998. Ilmu Makanan

Ternak Dasar. Gadjah Mada University Yogyakarta.

Charles, D. and D. Spackman. 1995. Back to Basic. Agricultural Development and Advisory. Word Poultry Sci.

49 : 11-25.

Wicaksono, S. 2015. Pengaruh durasi pemberian tepung jahe emprit (zingiber officinale var. amarum)

terhadap performa ayam kampung super. Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas

Diponegoro, Semarang. (Skripsi Sarjana Peternakan)

Widodo, W., D.R, Imbang, A. Sutanto, A.D. Anggraini. 2017. Penmabahan Lemouyang dalam Pakan Ayam

Kampung Super yang Menggunakan Campuran Jamu. Seminar Nasional dan Gelar Produk. UMM-

Malang.17-18 Oktober 2017. (Skripsi Sarjana Peternakan)

Page 464: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

450 |

BIOPELLET BERBASIS LIMBAH TEMBAKAU

Okta Prima Indahsari

Penelitian Tembakau Jember, PT Perkebunan Nusantara X

Corresponding author: [email protected]

Abstrak. Pellet tembakau adalah terobosan baru di PT Perkebunan Nusantara X (PTPN X). Penelitian pellet

tembakau penting bagi PTPN X karena ketersediaan bahan bakunya melimpah, dapat mengurangi volume

limbah padat, dan produksinya berorientasi untuk skala komersial. Dewasa ini, banyak penelitian yang telah

dilakukan untuk pellet biomassa, namun jarang yang menggunakan tembakau. PTPN X menghasilkan

tembakau untuk diambil daunnya saja, dan sisanya menjadi limbah. Dengan melakukan penelitian pellet

tembakau, banyak target yang ingin dicapai. Pertama, diversifikasi produk dari tembakau. Kedua, PTPN X

akan menggerakkan petani tembakau, khususnya di Jember untuk optimalisasi pengolahan limbah. Ketiga,

menciptakan kemandirian energi dari limbah. Pellet dibuat dari kuncup, batang, dan akar tembakau. Proses

pelletisasi dan pengamatan dilakukan di Laboratorium Fisika, Penelitian Tembakau Jember. Hasil analisis

proksimat adalah kadar air pellet dengan tepung kanji sebagai perekat adalah 3,90-12,00%, kadar zat terbang

87,75-74,90%, kadar abu 9,55-5,50%, kadar karbon terikat 2,77-7,60%, kerapatan 0,70-0,81 g/cc, dan nilai

kalor 3.855,60-4.816,96 cal/g. Dari Water Boiling Test (WBT) dinyatakan bahwa tingkat konsumsi pellet 0,22-

0,24 kg/jam dan berat abu pellet 0,135-0,420 kg. Kadar zat terbang, kadar abu, kadar karbon terikat, dan

kerapatan dapat memenuhi standard jika dalam pelletisasi menggunakan mesin pellet otomatis.

Pengembangan pellet tidak hanya mengurangi volume limbah padat di kebun, namun juga berkontribusi

memperkuat ketahanan energi.

Kata kunci : pellet, limbah padat, kebun tembakau, ketahanan energi

PENDAHULUAN

PTPN X merupakan anak dari holding BUMN Perkebunan. Sebagai perusahaan agroindustri, PTPN

X memiliki lini bisnis di sektor tembakau. Tembakau diproduksi oleh tiga kebun PTPN X, yakni Kebun Ajong

Gayasan (KAG) dan Kebun Kertosari (KTS) di Jember, Jawa Timur dan Kebun Klaten (KLT) di Klaten Jawa

Tengah. Produk ketiga kebun tersebut adalah tembakau bawah naungan. Kebun di Jember memroduksi

tembakau Na-Oogst dan kebun di Klaten memroduksi Tembakau Vorstenlanden. Target produksi adalah untuk

memenuhi kebutuhan bahan cerutu di pasar global.Dapat dilihat dalam Tabel 1 bahwa area tembakau PTPN X

di Jember, yakni KAG menangani 290 ha (41,42%), dan KTS 285 ha (40,71%). Sementara KLT menangani

125 ha (17,87%).

Page 465: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 451

Tabel 1. Area Tembakau di PTPN X

No. Kebun Area (ha) %

1 AjongGayasan 290 41,42

2 Kertosari 285 40,71

3 Klaten 125 17,87

Total 700 100,00

Sumber: Data PTPN X (2018)

Tabel 2. Limbah Padat Tembakau di PTPN X

No Limbah AJG (ton) KTS(ton) KLT(ton) Total(ton)

1 Batang 11.600 11.400 5.000 28.000

2 Kuncup 797,5 783,5 343,75 1.925

3 Akar 6.090 5.985 2.625 14.700

Total 18.487,5 18.168,75 7.968,75 44.625

Sumber: Data PTPN X (2018)

Saat kegiatan budidaya dan panen berakhir, organ-organ tembakau seperti kuncup, daun pucuk,

batang, dan akar dibuang begitu saja sebagai limbah. Tabel 2menjelaskan bahwa terdapat 44.625 ton limbah

padat tembakau dari 700 ha lahan. Batang berkontribusi 62,75% terhadap total limbah. Sejauh ini limbah

batang dapat diolah menjadi briket, pellet, nikotin, pot, pengganti sekam dalam proses curing tembakau, dan

kerajinan tangan (Indahsari, 2017). Porsi kedua adalah akar yang berkontribusi 32,94% terhadap total limbah.

Yang terakhir adalah kuncup, yakni berkontribusi 4,31%. Apabila seluruh limbah diolah menjadi pellet

(bioenergy), dapat diperhitungkanmultiplier effect-nya terhadap lingkungan dan ketahanan energi.

METODOLOGI

a. Bahan dan Alat

Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah batang tembakau, kuncup tembakau, dan

akar tembakau. Bahan pembantu yang digunakan adalah tepung tapioka sebagai perekat. Peralatan yang

dibutuhkan dalam penelitian in, meliputi: disk mill, alat press sederhana, dan bomb kalorimeter. Perbandingan

bahan perekat dan limbah padat adalah 1:9. Limbah padat tembakau, dan alat press sederhana ditunjukkan

dalam Gambar 1 hingga Gambar 4.

Page 466: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

452 |

Gambar 1. Batang Tembakau Gambar 2. Kuncup Tembakau

Gambar 3. Akar Tembakau Gambar 4. Alat press sederhana

Limbah padat tembakau dikeringkan dengan sinar matahari selama dua minggu untuk batang

tembakau, sedangkan pengeringan kuncup dan akar tembakau cukup seminggu. Bahan dicacah lalu digiling

dengan menggunakan disk mill. Ukuran partikel serbuk adalah 1 mm. Setelah serbuk limbah dicampur

dengan bahan perekat, maka dilakukan proses pembuatan pellet. Bahan baku pellet dicetak dengan alat press

sederhana.

2. Metode Penelitian

a. Kadar Air

Penetapan kadar air dilakukan dengan memasukkan satu gram (g) sampel diletakkan pada

aluminium foil yang sudah dibentuk cawan. sampel dikeringkan dalam oven dengan suhu 103 ± 2 °C selama

24 jam sampai kadar air konstan. Sampel setelah dioven selanjutnya didinginkan dalam desikator selama 15

menit sampai kondisi stabil dan ditimbang (ASTM E 871).

b. Kadar Zat Terbang

Penetapan nilai zat terbang dilakukan dengan satu gram sampel diletakkan pada cawan porselin

yang bobotnya sudah diketahui. Masukkan sampel kedalam oven suhu 950 ± 200C selama 7 menit,

selanjutnya didinginkan dalam desikator sampai kondisi stabil dan ditimbang (EN 15148, 2009).

c. Kadar Abu

Penetapan kadar abu dilakukan satu gram sampel diletakkan pada cawan porselin yang bobotnya

sudah diketahui. Kemudian dioven pada suhu 600-900 °C selama 5 sampai 6 jam. Selanjutnya didinginkan

dalam desikator sampai kondisi stabil dan ditimbang(ASTM D 1102).

d. Kadar Karbon Terikat

Penentuan nilai karbon terikat diperoleh setelah didapatkan hasil kadar air, zat terbang, dan kadar

abu (ASTM D 3172).

Page 467: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 453

e. Kerapatan

Penetapan kerapatan dinyatakan dalam perbandingan antara berat dan volume pellet(ASTM E

873).

f. Nilai Kalor

Satu gram sampel diletakkan dalam cawan silika dan kemudian dimasukkan kedalam tabung Bomb

Calorimeter IKA C2000. Nilai kalor akan ditunjukkan dalam waktu 10 menit (ASTM E711).

g. Water Boiling Test

Pada pengujian ini menggunakan metode WBT (Water Boiling Test)start dingin, yaitu pengujian

dilakukan pada saat kompor dalam keadaan dingin, kemudian yang berada di dalam panci dipanaskan sampai

airnya mendidih, setelah airnya mendidih kompor dimatikan dan catat waktu yang diperlukan untuk mendidih-

kan air, massa air yang di uapkan, temperatur air setelah mendidih, dan massa bahan bakar yang tersisa.

(Subekti. 2012).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Bio-pellet adalah energi alternatif yang dapat menggantikan batubara kelas rendah dari sumber

biomassa. (Kusumaningrum dan Munawar. 2014). Visual pellet berbasis limbah tembakau tersaji di Gambar 5,

6, dan 7.

Gambar 5. Pellet Batang

Tembakau (PBT)

Gambar 6. Pellet Kuncup

Tembakau (PKT)

Gambar 7. Pellet Akar Tembakau

(PAT)

Pelet limbah padat tembakau dianalisis dan dibandingkan dengan SNI 8021:2014.Berikut hasil dan

pembahasan untuk setiap analisis proksimat. Kadar air merupakan parameter penting dan sangat

mempengaruhi karakteristik pellet. Kadar air PBT 3,90%, PKT 12%, dan PAT 4,45%dengan nilaiSNI maksimal

12%.Kadar air semua ragam pellet memenuhi SNI. Kadar zat terbang PBT 87,75%, PKT 74,90%, dan PAT

82,00%, dengan nilai SNI maksimal 80,00%. Umumnya zat terbang dilepaskan ke udara dalam bentuk CO,

CO2,CH4, dan H2. Tingginya kadar zat terbang menandakan bahwa pellet memiliki kecepatan pembakaran

yang bagus (Jamilatun. 2008) Dapat dinyatakan bahwa pellet limbah tembakau memiliki nyala yang bagus,

namun juga berdampak terhadap banyaknya asap yang dihasilkan.Kadar abu PBT 5,75%, PKT 5,50%, dan

PAT 9,55%,nilai SNI maksimal 1,5%. Kadar abu 3 ragam pellet belum memenuhi standar. Menurut Prima

(2006), kadar abu yang tinggi mempengaruhi tingkat material ikutan (impurities), mempercepat usang dan

korosifnya wadah untuk menampung pellet yang sedang dinyalakan.

Page 468: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

454 |

Tingginya kadar abu tidak diharapkan karena akan mempercepat munculnya kerak.Pembangkit

panas selama pembakaran ditentukan oleh kadar karbon terikat. Tingginya kadar karbon terikat pada pellet

berbanding lurus dengan jumlah zat yang dapat bereaksi dalam proses pembakaran, sehingga reaksi

pembakaran dapat berjalan dengan sempurna (Fisafarani.2010). Kadar karbon terikat PBT 2,77%, PKT

7,60%, dan PAT 4,00%, padahal nilai yang dikehendaki minimal 14%. Proses pembakaran pada ketiga

macam pellet kurang sempurna karena hanya sedikit jumlah zat yang bereaksi.

Pellet limbah tembakau lebih ringan daripada pellet kayu. Hal in ditunjukkan oleh nilai dari kerapatan. Standar

kerapatan untuk pellet kayu adalah minimal 0,8 g/cc. Sementara kerapatan PBT 0,77 g/cc, PKT 0,81 g/cc, dan

PAT 0,70 g/cc. Rendahnya kerapatan pellet tembakau disebabkan oleh pengempaan manual menggunakan

alat press sederhana. Nilai kalor dan porositas pellet juga dipengaruhi oleh proses densifikasi. NNilai kalor

PBT 4.793,78 cal/g, PKT 4.816,96 cal/g, dan PAT 3.855,60 cal/g. Nilai kalor SNI minimal 4.000,00 cal/g. Dari

hasil Water Boiling Test (WBT), diketahui bahwa untuk mendidihkan 1 liter air laju konsumsi PBT 0,24 kg/jam,

PKT dan PAT masing-masing 0,22 kg/jam. Dari penggunaan pellet untuk mendidihkan seliter air dihasilkan

abu PBT 0,232 kg, abu PKT 0,420 kg, dan PAT 0,135 kg.

Upaya pemanfaatan limbah tembakau menjadi pellet ini selaras dengan dua kebijakan bioenergi di

Indonesia, yakni Peraturan Presiden No. 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional dan Peraturan

Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral RI Nomor 39 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Kegiatan Fisik

Pemanfaatan Energi Baru dan Energi Terbarukan serta Konservasi Energi. Menurut Sekjen DEN (2016),

pemanfaatan energi yang bersumber dari EBT, selain untuk ketenagalistrikan, sebagian lainnya (BBN, biogas,

dan biomassa) digunakan untuk keperluan rumah tangga, komersial, dan industri yang penggunaannya dapat

mengurangi konsumsi energi fosil.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil analisis proksimat dibandingkan dengan parameter yang dipersyaratkan dalam

SNI 8021:2014 dapat disimpulkan bahwa: 1) hanya parameter kadar air yang dapat dipenuhi oleh ketiga

ragam pellet; 2) nilai kalor pellet batang tembakau dan pellet kuncup tembakau sesuai SNI; 3) hanya kadar zat

terbang pellet kuncup tembakau yang memenuhi kriteria SNI; 4) hanya kerapatan pellet kuncup tembakau

yang sesuai SNI; 5) tidak satupun ragam pellet yang memenuhi kadar abu, kadar karbon terikat yang

ditentukan SNI. Dari uji Water Boiling Test, performance pellet akar tembakau paling bagus, karena paling

efisien dari sisi laju konsumsi dan menghasilkan abu paling sedikit. Nilai dari parameter-parameter yang belum

memenuhi persyaratan SNI, nilainya bisa diperbaiki apabila proses peletisasi menggunakan alat yang bekerja

secara otomatis, sehingga kerapatannya tinggi. Kerapatan akan mempengaruhi parameter proksimat yang lain

serta laju konsumsi pellet. Pengembangan pellet dari limbah tembakau tidak hanya bermanfaat untuk

meminimalisir limbah padat di kebun, namun juga dapat menciptakan kemandirian energi bagi kebun

tembakau PTPN X, dan pada jangka panjang, energi dari pellet limbah tembakau dapat dimanfaatkan oleh

rumah tangga, UKM, dan industri. Secara tidak langsung pengolahan limbah tembakau menjadi pellet

berkontribusi terhadap ketahanan energi.

Page 469: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 455

DAFTAR PUSTAKA

ASTM D 1102 Standard Test Method for Ash in Wood

ASTM D 3172 Standard Test Method for Proxymate Analysis of Coal And Coke

ASTM E711 Standard Test Method for Gross Calorific Value of Refuse-Derived Fuel by Bomb Calorimeter

ASTM E 871 Standard Test Method for Moisture Analysis of Particulate Wood Fuels

ASTM E 873 Standard Test Method for Bulk Density of Densified Particulate Biomass Fuels.

EN 15148Solid Biofuels - Determination of The Content of Volatile Matter

Fisafarani, H. 2010. Identifikasi Karakteristik Sumber Daya Biomassa dan Potensi Bio-Pellet Di Indonesia.

Skripsi. Universitas Indonesia.

Indahsari, O. P. Briquettes from Tobacco Stems as The New Alternative Energy. Jurnal Kimia Terapan

Indonesia 19 (2). December 2017. P. 74

Jamilatun. 2008. Sifat-Sifat Penyalaan dan Pembakaran Briket Biomassa, Briket Batu Bara dan Arang Kayu.

Jurnal Rekayasa Proses. 2 (2) p. 39-40

Kusumaningrum, W.B and Munawar, S.S. Prospect of Bio-pellet as an Alternative Energy to Substitute Solid

Fuel Based. Energy Procedia 47 ( 2014 ) p. 303

Prima, W. 2006. Pengembangan Abu Bagase dan Blotong Sebagai Bahan Baku Briket. Malang. Universitas

Brawijaya

Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional. 2016. Indonesia Energy Outlook 2016. Jakarta

SNI 8021:2014 Standard Nasional Indonesia untuk Pellet Kayu

Subekti, P. Perhitungan Komparasi Energi Bahan Bakar Sekam Padi Dengan Minyak Tanah. Jurnal Aptek Vol.

4 No. 1 Januari 2012 p. 43

Page 470: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

456 |

EVALUASI PERUBAHAN IKLIM DAN PENGARUHNYA TERHADAPPRODUKTIVITAS UBI

JALAR (Ipomoea batatas L.)DI KABUPATEN MOJOKERTO

Ninuk Herlina1, Oktavianus Verry Justejo2

Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya

Corresponding Author: [email protected], [email protected]

Abstrak. Perubahan iklim secara global menarik perhatian seluruh dunia. Perubahan iklim yang terjadi

ditandai dengan naiknya suhu permukaan bumi. Perubahan iklim berdampak pada produktivitas tanaman. Ubi

jalar sebagai salah satu sumber karbohidrat yang diperlukan oleh manusia. Perubahan iklim yang terjadi

secara global diduga terjadi perubahan iklim di Kabupaten Mojokerto. Penelitian ini bertujuan untuk

mengevaluasi adanya perubahan iklim di Kabupaten Mojokerto, mempelajari dampak perubahan iklim

terhadap AMK, AMH, suhu udara, curah hujan, dan tipe iklim. Serta mempelajari hubungan dan pengaruh

unsur-unsur iklim terhadap produktivitas ubi jalar. Penelitian dilaksanakan di Kecamatan Trawas, Pacet dan

Gondang Kabupaten Mojokerto pada bulan Januari-April 2018. Metode penelitian yang digunakan adalah

metode survei. Data yang digunakan adalah suhu, curah hujan dan produktivitas ubi jalar tahun 1997 – 2016,

dan data hasil wawancara dengan petani. Hasil penelitian menunjukkan perubahan iklim mempengaruhi

perubahan suhu, curah hujan, Awal Musim Kemarau dan Awal Musim Hujan sedangkan tipe iklim tidak

berubah. Curah hujan berkorelasi negatif dengan produktivitas, sedangkan suhu udara berkorelasi positif.

Suhu udara berpengaruh lebih besar terhadap produktivitas ubi jalar.

Kata kunci : Curah hujan, Perubahan iklim, Produktivitas, Suhu, Ubi jalar

PENDAHULUAN

Perubahan iklim secara global menarik perhatian seluruh dunia. Salah satu bentuk perubahan iklim

ini adalah meningkatnya suhu permukaan bumi (Globalwarming). Berdasarkan data dari NASA(2015) dalam

Hairiah et al. (2016) bahwa suhu global terus mengalami kenaikan sebesar 0.68°C dari tahun 1880 sampai

tahun 2014. Hal ini juga diperkuat oleh penelitian Jayatilleke, Bandara dan Cai (2014) bahwa perubahan iklim

global telah terjadi dan melebihi dari yang diperkirakan. Rata-rata suhu permukaan bumi meningkat sebesar

0.8°C sejak awal abad ke-20. Pemanasan global ini menyebabkan peningkatan bencana alam yang

berhubungan dengan iklim, seperti badai topan, banjir, kekeringan dan gelombang panas. Perubahan iklim ini

akan berdampak pada sektor pertanian.

Dampak perubahan iklim pada pertanian bersifat multi dimensional, baik dari sumber daya,

infrastruktur pertanian dan sistem produksi hingga ketahanan pangan, kesejahteraan petani dan masyarakat

Page 471: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 457

umumnya (Santoso, 2016). Dalam sistem produksi, perubahan iklim dapat mempengaruhi pertumbuhan

tanaman, karena pertumbuhan tanaman sangat dipengaruhi oleh cuaca dan iklim. Panas yang berlebihan dan

kekurangan air dapat mengganggu pertumbuhan tanaman dan mengurangi hasil panen (Jayatilleke et al.,

2014). Selain itu penyebab utama dari gagal panen adalah kekeringan (Santoso, 2016). Sedangkan

kebutuhan akan makanan terus meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk.

Jumlah penduduk yang meningkat diiringi dengan kebutuhan karbohidrat sebagai asupan makanan

yang meningkat pula. Salah satu sumber karbohidrat adalah ubi jalar. Ubi jalar bisa menjadi salah satu

alternatif untuk mendampingi beras menuju ketahanan pangan. Ubi jalar termasuk sumber karbohirat utama

setelah padi, jagung dan ubi kayu, yang memiliki peran penting dalam penyediaan bahan pangan, bahan baku

industri maupun pakan ternak (Zuraida dan Supriati, 2001). Ubi jalar mengandung nilai gizi yang cukup tinggi,

dalam setiap 100 gramnya terkandung 562 g kalium, 107 mg kalsium, 2,8 protein, kalori sebanyak 53,00 kal,

5,565 SI vitamin A dan 32 mg vitamin C (Suryani, 2016).

Kabupaten Mojokerto merupakan daerah yang memiliki produktivitas ubi jalar paling tinggi dan lahan

paling luas di Provinsi Jawa Timur yaitu sebesar 374 ton ha-1 dengan luas lahan sebesar 2,227.2 ha (BPS,

2017). Kecamatan Trawas (600 mdpl), Kecamatan Pacet (470 mdpl) dan Kecamatan Gondang (240 mdpl)

merupakan penghasil ubi jalar utama. Dengan adanya perubahan iklim secara global, diduga terdapat

perubahan iklim juga di Kabupaten Mojokerto seperti kabupaten-kabupaten lain di Jawa Timur. Menurut

Herlina dan Pahlevi (2017) di Kabupaten Malang telah terjadi perubahan iklim selama 20 tahun terakhir.

Perubahan iklim ini terindikasi dari naiknya suhu sebesar 0.1°C dan kenaikan rata-rata curah hujan bulanan

pada dua dekade yaitu pada dekade I (1997 – 2006) dan dekade II (2007 – 2016) sebesar 6.7 mm. Selain

Kabupaten Malang, perubahan iklim juga terjadi di Kabupaten Gresik (Cahyaningtyas, 2017). Perubahan iklim

yang terjadi menyebabkan terjadinya pergeseran awal musim hujan (AMH) dan awal musim kemarau (AMK)

dan peningkatan suhu udara. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian mengenai evaluasi perubahan iklim di

Kabupaten Mojokerto dan pengaruhnya terhadap produktivitas ubi jalar.

METODOLOGI

Penelitian menggunakan metode survei dengan dua sumber data, yaitu data primer yang meliputi

data unsur iklim (suhu udara dan curah hujan) dan data produktivitas ubi jalar serta data sekunder dari hasil

wawancara. Penentuan lokasi sample yang digunakan untuk penelitian adalah dengan menggunakan metode

purposive sampling. Responden yangdigunakan dalam penelitian ini sejumlah 45 petani dengan perwakilan

15 petani pada setiap Kecamatan. Data primer didapatkan dari dinas dan badan terkait dan pengumpulan data

sekunder dilakukan dengan cara wawancara petani. Analisis perubahan iklim yang terjadi pada Kabupaten

Mojokerto dilakukan dengan membagi data iklim selama 20 tahun menjadi 2 dekade, masing- masing selama

10 tahun. Untuk mengetahui pergeseran awal musim hujan dan musim kemarau menggunakan sistem

dasarian. Dalam penentuan perubahan iklim dari dekade I (1997-2006) dan dekade II (2007-2016) dengan

menentukan tipe iklim menurut metode Schmidt dan Ferguson. Untuk mengetahui hubungan antara unsur

iklim dan produktivitas tanaman ubi jalar dilakukan analisis korelasi antara unsur iklim dan produktivitas

kemudian dilanjutkan dengan analisis regresi linear berganda dengan meggunakan software Microsoft Office

Page 472: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

458 |

Excel 2013 dan SPSS 16. Hasil wawancara dianalisis dengan menggunakan analisis diskriptif untuk

mendeskripsikan hasil wawancara pendapat petani mengenai perubahan iklim.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Jumlah curah hujan pada dekade I sebesar 38,207 mm dan pada dekade II sebesar 34,269 mm. Hal

ini menunjukkan bahwa curah hujan pada dekade II mengalami penurunan sebesar 293.8 mm per tahun.

Perubahan jumlah curah hujan berdampak pada bergesernya awal musim kemarau dan awal musim hujan.

Awal musim kemarau (AMK) pada dekade I terjadi pada bulan Juli dasarian III dan dekade II terjadi pada bulan

Juni dasarian II. AMK pada dekade I mundur empat dasarian dari rata-rata AMK selama dua puluh tahun,

sedangkan AMK dekade II sama dengan rata-rata AMK dua puluh tahun. Awal musim hujan (AMH) pada

dekade I terjadi pada bulan Oktober dasarian III dan dekade II terjadi pada bulan November dasarian I. AMK

pada dekade I sama dengan rata-rata AMK selama dua puluh tahun, sedangkan AMK pada decade II mundur

satu dasarian dari rata-rata AMK selama dua puluh tahun (Gambar 1).

Pergeseran awal musim kemarau dan awal musim hujan pada dekade I dan dekade II menyebabkan

pada musim kemarau lebih panjang pada dekade II yaitu selama 14 dasarian atau selama 3 bulan 20 hari,

dibandingkan pada dekade I yang berlangsung selama 9 dasarian atau 2 bulan 10 hari.

Hasil analisis tipe iklim berdasarkan metode Schmidt dan Ferguson selama dua dekade tidak

menunjukkan adanya perubahan tipe iklim. Pada dekade I (1997 – 2006) jumlah bulan basah sebanyak 9

bulan, bulan kering sebanyak 2 bulan dan 1 bulan lembab. Hasil perhitungan nilai Q sebesar 22.22%

sehinggra termasuk tipe iklim B. Pada dekade II (2007 – 2016) jumlah bulan basah sebanyak 8 bulan, bulan

kering sebanyak 2 bulan dan bulan lembab sebanyak 2 bulan. Hasil perhitungan nilai Q sebesar 25.00%

sehingga termasuk tipe iklim B. Hasil dari dua perhitungan tipe iklim menunjukkan bahwa tipe iklim di

kabupaten Mojokerto tidak berubah selama dua dekade yaitu tipe iklim B. Tipe iklim B berarti daerah basah,

hutan hujan tropis yang memiliki curah hujan cukup tinggi.

Suhu udara pada dekade I rata-rata sebesar 21.70 0C, pada dekade II sebesar 22.010C dan rata-

rata suhu udara selama 20 tahun sebesar 21.850C. Suhu udara pada dekade I lebih rendah 0.150C daripada

rata-rata suhu udara selama dua dekade, sedangkan pada dekade II rata-rata suhu udara lebih tinggi 0.16°C

dari pada rata-rata suhu udara selama dua dekade. Suhu udara dari dekade I ke Dekade II mengalami

kenaikan sebesar 0.31. Suhu udara relatif naik pada saat musi kemaraua pada bulan Juni-Sepetember

(Gambar 2). Hal ini karena pada dekade II musim kemarau lebih panjang daripada dekade I.

Produktivitas ubi jalar di Kabupaten Mojokerto mengalami fluktuasi selama dua Dekade. Produktivtas

tertinggi pada dekade I terjadi pada tahun 2003 sebesar 11.66 ton ha-1 dan produktivitas terendah terjadi pada

tahun 2006 yaitu sebesar 10.27 ton ha-1 dengan rata-rata produktivitas pada dekade I sebesar 11.30 ton ha-1.

Sedangkan pada dekade II produktivitas tertinggi pada tahun 2012 yaitu sebesar 53.55 ton ha-1 dan

produktivitas terendah pada tahun 2010 yaitu sebesar 9.48 ton ha-1 dengan rata-rata produktivitas pada

dekade II sebesar 24.26 ton ha-1. Rata-rata produktivitas dekade II lebih tinggi 13.03 ton ha-1.

Pengujian korelasi dilakukan untuk mengetahui arah dan keeratan hubungan dari masing-masing

unsur iklim terhadap produktivitas ubi jalar. Nilai koefisien korelasi semakin mendekati 1 semakin kuat

Page 473: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 459

hubungan antar variabel. Hasil pengujian korelasi antara unsur iklim dan produktivitas menunjukkan bahwa

unsur iklim curah hujan memiliki nilai koefisien korelasi, r = -0.527, unsur iklim curah hujan berpengaruh nyata

terhadap produktivitas ubi jalar (Tabel 1).

Nilai korelasi ini menunjukkan bahwa hubungan curah hujan dengan produktivitas berbanding

terbalik. Ketika curah hujan meningkat maka produktivitas akan menurun, dengan tingkat keeratan cukup.

Suhu udara dan produktivitas memiliki nilai koefisien korelasi sebesar r = 0.573. Unsur iklim suhu udara

berpengaruh terhadap produktivitas ubi jalar. Suhu udara dan produktivitas ubi jalar memiliki hubungan yang

positif dengan tingkat keeratan yang cukup. Hubungan ini menunjukkan bahwa ketika suhu udara naik, maka

produktivitas ubi jalar juga akan mengalami peningkatan.

Perubahan curah hujan dan suhu udara secara simultan memiliki nilai korelasi r = 0.710 terhadap

produktivitas (Tabel 1). Nilai korelasi ini menunjukkan bahwa hubungan perubahan curah hujan dan suhu

udara memberikan dampak yang positif terhadap produktivitas ubi jalar. Hubungan antara perubahan curah

hujan dan suhu terhadap produktivitas tergolong hubungan yang sedang.

Pengujian regresi berganda antara unsur curah hujan dan suhu secara simultan terhadap

produktivitas ubi jalar didapatkan persamaan Y= -341,062 -0,006X1 + 17,475X2 (Tabel 2). Hasil regresi ini

menunjukkan bahwa unsur iklim suhu memiliki pengaruh yang lebih besar dari pada curah hujan, karena suhu

memiliki nilai koefisien yang lebih besar dari pada unsur curah hujan.

Hasil survei yang dilakukan di Kecamatan Gondang, Pacet dan Trawas tentang pendapat dan

pengetahuan petani mengenai perubahan iklim dan pengaruhnya terhadap produktivitas ubi jalar menunjukkan

bahwa 66.67% petani mengetahui tentang adanya perubahan iklim, dan 62.22% petani mengerti mengenai

dampak perubahan iklim seperti musim yang tidak menentu, meningkatnya serangan hama. 64.44% petani

setuju dan mengetahui apabila perubahan ilklim mempengaruhi produktivitas ubi jalar, menurut keterangan

responden, bahwa ketika musim kemarau lebih panjang maka produktivitas ubi jalar akan lebih baik dari pada

ketika musim hujan. Tanda-tanda adanya perubahan iklim ini telah dirasakan oleh 75.56% responden.

Upaya adaptasi yang dilakukan petani berdasarkan hasil survei, petani sebenarnya mau untuk

mengubah varietas yang ditanam dengan varietas yang lebih tahan dengan perubahan iklim, tetapi 82.22%

menyatakan bahwa lebih memilih menanam ubi jalar sesuai dengan permintaan pasar, karena lebih terjamin

untuk bisa terjual ketika panen. Untuk mengatasi musim yang tidak menentu 82.22% petani merubah sistem

tata air di lahan mereka dengan membuat saluran irigasi dan drainase. Apabila sudah tersedia saluran irigasi

dan drainase maka petani bisa menanam ubi jalar pada bulan apapun tidak tergantung pada awal musim

hujan atau awal musim kemarau. Hal ini ditunjukkan dengan tidak bergesernya waktu tanam pada 68.89%

petani. Ketika petani sudah merasakan adanya perubahan iklim 57.78% petani tidak menambah dosis pupuk

yang diberikan, karena beranggapan bahwa produktivitasnya masih optimal.

Perubahan jumlah curah hujan, bergesernya awal musim kemarau dan awal musim hujan dan

naiknya suhu udara merupakan tanda-tanda adanya perubahan iklim. Menurut Aldrian, Karmini dan Budiman

(2011), indikator yang bisa digunakan untuk menjelaskan adanya perubahan iklim di Indonesia adalah adanya

perubahan suhu daratan, peningkatan curah hujan ekstrem, maju mundurnya musim, dan perubahan jumlah

volume hujan. Perubahan iklim yang terjadi dengan adanya peningkatan suhu udara juga dijelaskan oleh

Jayatileke et al. (2014) bahwa perubahan iklim secara global telah terjadi, hal ini ditunjukkan denganadanya

Page 474: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

460 |

peningkatan suhu sebesar 0.80C sejak awal abad ke-20. Selain itu menurut Stone et al. (2010), perubahan

iklim ditandai dengan adanya peningkatan suhu secara global, perubahan curah hujan, mencairnya lapisan es

di kutub dan perubahan tinggi muka air laut.

Musim kemarau yang lebih panjang merupakan dampak dari adanya anomali iklim berupa adanya

EL Nino dan La Nina. Anomali iklim ini menyebabkan pergeseran pola curah hujan, perubahan besaran curah

hujan dan perubahan suhu udara. Kejadian EL Nino biasanya diikuti dengan penurunan curah hujan dan

peningkatan suhu udara, sedangkan kejadian La Nina menyebabkan kenaikan curah hujan di atas curah hujan

normal (Irawan, 2006).

Jumlah curah hujan yang menurun dan bergeseranya awal musim kemarau dan musim penghujan

yang menyebabkan musim kemarau lebih panjang pada decade II berdampak positif terhadap produktivitas

ubi jalar. Menurut Widodo dan Rahayuningsih (2009), ubi jalar sangat menyukai kondisi yang kering semasa

proses pertumbuhannya dan tidak tahan genangan. Suhu udara di Kabupaten Mojokerto yang berkisar antara

21 - 220C termasuk suhu yang sesuai bagi ubi jalar dapat tumbuh dengan baik. Hasil dari pengujian regresi

berganda antara unsur curah hujan dan suhu secara simultan terhadap produktivitas ubi jalar didapatkan nilai

R2 = 0.504 yang berarti perubahan iklim mempengaruhi produktivitas ubi jalar sebesar 50.4%, sedangkan

sisanya dipengaruhi oleh faktor lain selain perubahan iklim yang ditandai dengan perubahan curah hujan dan

suhu udara. Faktor lain yang dapat mempengaruhi produksi ubi jalar menurut Andriani, Kernalis dan

Damayanti (2015) adalah luas lahan, tenaga kerja, jumlah bibit dan herbisida yang digunakan.

Suhu udara berpengaruh lebih besar karena suhu berperan dalam reaksi enzimatik, semakin

meningkat suhu semakin tinggi aktivitas enzym (Arifin, 2001). Menurut Koswara (2013) suhu optimal untuk

untuk pertumbuhan ubi jalar rata-rata 24-250C untuk dapat menghasilkan produksi yang optimal. Menurut

Raharjeng (2015) suhu udara berkaitan erat dengan laju penguapan dari jaringan tumbuhan ke udara,

semakin tinggi suhu udara, maka laju transpirasi akan semakin tinggi. Jumlah kebutuhan air ubi jalar selama

masa hidupnya 6 – 7 bulan antara 750 – 1250 mm (Koswara, 2013), sedangkan jumlah air hujan rata-rata satu

tahun selama dua dekade sebesar 3673.9 mm, hal ini berarti jumlah air hujan pada Kabupaten Mojokerto

melebihi kebutuhan air ubi jalar. Bentuk adapatasi yang dilakukan petani dalam menghadapi perubahan iklim

berupa penataan kembali saluran irigasi dan drainase di lahan budidaya mereka. Karena ubi jalar termasuk

tanaman yang menyukai kondisi kering selama proses pertumbuhannya dan tidak tahan terhadap genangan.

Kebutuhan air ubi jalar selama masa hidupnya sebanyak 500 mm (Widodo dan Rahayuningsih, 2009).

KESIMPULAN

Telah terjadi perubahan iklim di Kabupaten Mojokerto selama dua puluh tahun (1997 – 2016) yang

menyebabkan bergesernya awal musim kemarau dan awal musim hujan, meningkatnya suhu udara dan

menurunnya jumlah curah hujan, tetapi tipe iklim tidak berubah. Unsur iklim curah hujan memiliki hubungan

yang berbanding terbalik dengan produktivitas ubi jalar, sedangkan unsur iklim suhu udara memiliki hubungan

yang searah dengan produktivitas ubi jalar. Unsur iklim curah hujan (X1) dan suhu udara (X2) berpengaruh

terhadap produktivitas ubi jalar dengan model pendugaan Y= -341,062 - 0,006 X1 + 17,475X2

Page 475: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 461

DAFTAR PUSTAKA

Aldrian, E., M. Karmini dan Budiman. 2011. Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim di Indonesia. Pusat

Perubahan Iklim dan Kualitas Udara, Kedeputian Bidang Klimatologi Badan Meteorologi,

Klimatologi dan Geofisika. Jakarta

Andriani, M., E. Kernalis dan Y. Damayanti. 2015. Analisa Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Ubi

Jalar (Ipomoea batatas L.) di Kecamatan Kayu Aro Kabupaten Kerinci. Sosio Ekonomika Bisnis

18(2) : 90 – 98

Ariffin. 2001. Dasar Klimatologi.UB Press. Malang

Badan Pusat Statistik. 2017. Provinsi Jawa Timur dalam Angka 2017. BPS Provinsi Jawa Timur. Surabaya

https://jatim.bps.go.id/publication/2017/08/11/d618ba11975447a5fffa5f48/provinsi-jawa-timur-

dalam-angka-2017.html. Diakses pada tanggal 11 Desember 2017

Cahyaningtyas, A. 2017. Evaluasi Dampak Perubahan Iklim Terhadap Produktivitas Padi (Oryza sativa L.) di

Kabupaten Gresik (Skripsi). Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya. Malang.

Hairiyah, K., S. R. Utami, D. Suprayogo dan C. Prayogo. 2016. Perubahan Iklim : Sebab dan Dampaknya

Terhadap Kehidupan. World Agroforestry Centre. Bogor

Herlina, N. dan R. A. Pahlevi. 2017. Evaluasi Dampak Perubahan Iklim terhadap Produktivitas Padi

(Oryzasativa L.) di Kabupaten Malang. Pros.Semnas. Pembangunan Pertanian II. Fakultas

Pertanian Universitas Brawijaya dan Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia. Malang

Irawan, B. 2006. Fenomena Anomali Iklim El Nino dan La Nina: Kecenderungan Jangka Panjang dan

Pengaruhnya Terhadap Produksi Pangan. Forum Penelitian Agro Ekonomi. 24 (1) : 28 – 45

Jayatilleke, S. Bandara and Y. Cai. 2014. The Impact of Climate Change on Food Crop Productivity, Food

Prices and Food Security in South Asia. Economic Analysis and Policy 4(1) : 451 – 465

Koswara, S. 2013. Teknologi Pengolahan Umbi-umbian Bagian 5: Pengolahan Ubi Jalar. SEAFAST Center,

Research and Community Service Institution Bogor Agricultural University.

Raharjeng, A. R. P. 2015. Pengaruh Faktor Abiotik terhadap Hubungan Kekerabatan Tanaman

Sansevieratrifasciata L. Biota 1(1): 33 – 41

Santoso, A. B. 2016. Pengaruh Perubahan Iklim Terhadap Produksi Tanaman Pangan di Provinsi Maluku.

Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 35(1): 29– 38

Stone, S., M. C. Leon dan P. Fredericks. 2010. Perubahan Iklim & Peran Hutan. Conservation International

https://www.conservation.org/publications/documents/redd/CIClimate_Change_and_the_Role_

of_Forests_Bahasa_Manual_Komunitas.pdf. Diakses pada tanggal 11 Desember 2017

Suryani, R. 2016. Outlook Komoditas Pertanian Tanaman Pangan Ubi Jalar. Pusat Data dan Sistem Informasi

Pertanian Kementerian Pertanian. Jakarta

Widodo, Y. dan S. A. Rahayuningsih. 2009. Teknologi Budidaya Praktis Ubi Jalar Mendukung Ketahanan

Pangan dan Usaha Agroindustri. Buletin Palawija 17(1) : 21 – 31

Zuraida, N. dan Y. Supriati. 2001. Usahatani Ubi Jalar Sebagai Bahan Pangan Alternatif dan Diversivikasi

Sumber Karbohidrat. Buletin Agrobio 4(1) : 13-23

Page 476: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

462 |

Tabel 1. Produktivitas Ubi Jalar Kabupaten Mojokerto Selama Dua Dekade

Tahun Ton ha-1 Tahun Ton ha-1

1997 11.70 2007 10.76

1998 11.19 2008 9.86

1999 11.60 2009 10.30

2000 11.00 2010 9.48

2001 11.19 2011 19.73

2002 11.60 2012 53.55

2003 11.66 2013 28.10

2004 11.08 2014 24.86

2005 11.03 2015 38.54

2006 10.27 2016 37.48

Rata-rata 11.30 Rata-rata 24.26

Page 477: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 463

AMK Dekade II AMH Dekade II

AMH Dekade I AMK Dekade I

Gambar 1. Penentuan Awal Musim Hujan dan Awal Musim Kemarau

Gambar 2. Perubahan Suhu Udara pada Dekade I dan Dekade II Dibandingkan Suhu

Rata-Rata Selama 20 Tahun

Page 478: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

464 |

PENGARUH PEMBERIAN TRICHO PUKAN DAN ARANG SEKAM TERHADAP PERTUMBUHAN

TANAMAN KARET (Hevea brassiliensis Muell.Arg.) PADA TANAH BEKAS

TAMBANG BATU BATA

Anis Tatik Maryani

Jurusan Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Jambi

Corresponding Author: [email protected]

Abstrak. Kegiatan pertambangan terbuka dapat menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan,

diantaranya terkupasnya lapisan tanah paling atas (top soil), pemadatan tanah, dan ketidakseimbangan unsur

hara. Kondisi tanah tersebut menyebabkan tanaman revegetasi sulit untuk bertahan hidup pada lahan bekas

tambang batubata. Adapun tujuan dalam melakukan penelitian ini adalah: 1) mengetahui pengaruh pembenah

tanah dari Tricho pukan + arang sekam terhadap; pertumbuhan tanaman karet, 2) mengetahui dosis Tricho

pukan + arang sekam yang terbaik terhadap pertumbuhan tanaman karet yang ditanam pada tanah bekas

tambang batu bata.

Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) yang

terdiri dari satu faktor yaitu: Tricho pukan 100g + arang sekam 100g (p0), Tricho pukan 150g + arang sekam

150g (p1), Tricho pukan 200g + arang sekam 200g (p2), Tricho pukan 250g + arang sekam 250g/polybag (p3),

Tricho pukan 300g + arang sekam 300g (p4), Tricho pukan 350g + arang sekam 350g (p5). Hasil penelitian

menunjukkan bahwa pemberian perlakuan berbagai dosis Tricho pukan + arang sekam menunjukkan

perbedaan pertumbuhan pada variabel pertambahan tinggi tanaman, pertambahan diameter, luas daun.

jumlah tangkai daun serta kandungan hara tanah pada masing-masing perlakuan. Secara umum pemberian

Tricho pukan 300g+ arang sekam 300g per tanaman menunjukkan pertumbuhan tanaman karet yang terbaik.

Kata kunci : Tricho pukan, arang sekam, Tanah Bekas Tambang Batu bata, Tanaman Karet.

PENDAHULUAN

Tanaman karet (Hevea brasiliensis Muell.Arg) merupakan salah satu komoditas pertanian dari sector

perkebunan yang memiliki peranan penting di Indonesia khususnya Provinsi Jambi, baik sebagai sumber

pendapatan masyarakat maupun sumber devisa negara, serta mampu mendorong pertumbuhan sentra

ekonomi baru di wilayah-wilayah perkembangannya (Alfiansyah et al., 2015).

Peningkatan produksi karet harus diimbangi dengan ketersedian lahan. Permasalahan luas areal

perkebunan karet yaitu perlunya penambahan luasan areal pertanaman karet. Alternatif yang dapat dilakukan

yaitu dengan memanfaatkan lahan bekas penambangan batu bata yang biasanya ditinggalkan.

Page 479: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 465

Lahanpascapenambangan apabiladapatdikeloladenganbaik maka dimasa mendatang merupakan salah satu

sumberdaya yang berpotensi besar untuk ekstensifikasi Perkebunan guna mendukun gpembanguna

npertanian, namun terlebih dahulu perlunya perbaikan produktifitas tanahnya. Menurut Kumar (2013) kegiatan

penambangan dapat mengubah sifat fisik dan kimia serta lingkungan biologis tanah. Keadaan ini ditandai oleh

kandungan bahan organik rendah, pH rendah bahkan sangat rendah, kapasitas memegang air rendah (low

water holding capacity) rendah, salinitas, tekstur kasar, pemadatan tanah, pasokan unsur hara pada tanaman

tidak memadai, erosi dipercepat, dan bahan pembangkit asam.

Pupuk kandang dapat memperbaiki kualitas dan sifat-sifat tanah sampai beberapa tahun setelah

pemberian pupuk kandang (Eghaball et al., 2004), sehingga pada penelitian ini dengan penggunakan pupuk

kandang sebagai perlakuan dapat membantu mengembalikan kesuburan tanah bekas tambang yang akan

digunakan sebagai media tumbuh tanaman karet. Namun demikian, pupuk kandang juga memiliki kelemahan

yaitu lambat untuk terurai, sehingga pelepasan haranya lambat. Perlu adanya penambahan mikroorganisme

yang dapat mempercepat proses dekomposisi bahan organik sehingga tersedia bagi kebutuhan tanaman.

Salah satu mikroorganisme yang dapat digunakan sebagai pupuk biologis tanah adalah jamur Trichoderma sp.

dapat memberikan dampak positif terhadap perakaran tanaman, pertumbuhan tanaman (Hastuti dan

Purwantisari, 2009), sehingga perpaduan antara pupuk kandang dan Trichoderma sp. ini dapat disebut

dengan Tricho pukan.

Tricho pukan merupakan pupuk organik yang telah melalui proses penambahan agen hayati Trichoderma sp.

selain sebagai pupuk organik, trichopukan juga berperan sebagi bio-fungisida karena mengandung agen

hayati Trichoderma sp. yang dapat mengendalikan penyakit pada tanaman yang disebabkan oleh jamur

patogen (Suhesy dan Andriani, 2014). Pembenah tanah dengan pemberian pupuk Tricho pukan + arang

sekam diharapkan mampu meningkatkan kesuburan tanah. Selain itu, penambahan pemberian pupuk organik

dan arang sekam kedalam media tanah bekas tambang batubata diharapkan mampu menjadi media

pertumbuhan yang lebih baik bagi tanaman yang akan digunakan untuk revegetasi lahan tambang, sehingga

akan mempercepat upaya reklamasi.

METODOLOGI

Penelitian dilaksanakan pada bekas penambangan batu bata di Jalan Jambi Muara Bulian Km. 18

Kelurahan Pijoan, Kecamatan Jaluko Muaro Jambi. Di tanah bekas penambangan batu bata Pelakasanaan

penelitian berlangsung dari bulan September sampai Desember 2017. Yang disusun dengan menggunakan

Rancangan Acak Kelompok (RAK) terdiri dari satu faktor yaitu Tricho pukan 100 g + arang sekam 100 g (p0),

Tricho pukan 150 g + arang sekam150 g (p1), Tricho pukan 200 g + arang sekam 200 g (p2), Tricho pukan

250 g + arang sekam 250 g/polybag (p3), Tricho pukan 300g + arang sekam 300 g (p4), Tricho pukan 350g +

arang sekam 350 g (p5). Setiap perlakuan diulang sebanyak 4 kali setiap ulangan terdapat 2 tanaman,

sehingga terdapat 48 tanaman.

Variabel pengamatan yang diamati pada penelitian ini adalah pertambahan tinggi tanaman,

pertambahan diameter tanaman, pertambahan jumlah tangkai daun dan luas daun. Data hasil pengamatan

dianalisis secara statistik dengan menggunakan analisis ragam. Untuk melihat adanya perbandingan

Page 480: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

466 |

kemudian dilanjutkan dengan uji Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf α = 5%. Sebagai data

penunjang dilakukan analisis tanah awal penelitian, tanah akhir penelitian yang meliputi kandungan N, P, K, C-

organik dan pH tanah.

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL

1. Pertambahan tinggi tanaman (cm)

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pemberian Tricho pukan + arang sekam berpengaruh nyata

terhadap pertambahan tinggi tanaman. Hasil uji Duncan pengaruh Tricho pukan + arang sekam terhadap

pertambahan tinggi tanaman dapat dilihat dalam Tabel 2.

Tabel 1. Rata-Rata Pertambahan Tinggi Tanaman Karet Yang DiberikanPerlakuan Tricho Pukan + Arang

Sekam

Perlakuan Rata-rata

p0 :Tricho pukan 100 g + arang sekam 100 g 26,17 a

p1 ;Tricho pukan 150 g + arang sekam150g 27,93 a

p2 ;Tricho pukan 200 g + arang sekam200g 28,71 a

p3 ;Tricho pukan 250 g + arang sekam250g 28,39a

p4 :Tricho pukan 300 g + arang sekam300g 35,70b

p5 :Tricho pukan 350 g + arang sekam350g 36,84 b

Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama berbeda tidak nyata menurut uji Duncan New

Multiple Range Test pada taraf α = 5 %.

Tabel 1 menunjukkan bahwa pertambahan tinggi tanaman yang ditunjukkan dengan pemberian Trico

Pukan sebanyak 350 g + 350 g arang sekam memperlihatkan tinggi tanaman karet tertinggi yang berbeda

tidak nyata dengan pemberian perlakuan p4 namun berbeda nyata dengan pemberian perlakuan p0, p1, p2

dan p3.

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pemberian Tricho pukan + arang sekam berpengaruh

nyata terhadap pertambahan diameter tanaman. Hasil uji Duncan pengaruh pemberian Tricho pukan + arang

sekam terhadap pertambahan diameter tanaman dapat dilihat dalam Tabel 2.

Tabel 2. Rata-Rata Pertambahan Diameter Tanaman Tanaman Karet Yang DiberikanPerlakuan Tricho Pukan

+ Arang Sekam

Perlakuan Rata-rata

p0 :Tricho pukan 100 g + arang sekam 100 g 3,85a

p1 ;Tricho pukan 150 g + arang sekam150g 4,05 a

p2 ;Tricho pukan 200 g + arang sekam200g 4,11 a

p3 ;Tricho pukan 250 g + arang sekam250g 4,18 a

Page 481: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 467

p4 :Tricho pukan 300 g + arang sekam300g 4,72 b

p5 :Tricho pukan 350 g + arang sekam350g 4,71 b

Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama berbeda tidak nyata menurut uji Duncan New

Multiple Range Test pada taraf α = 5 %.

Tabel 2 menunjukkan bahwa pertambahan diameter tanaman dengan pemberian Tricho pukan 300

g + arang sekam sebanyak 300 g berbeda nyata dengan pemberian perlakuan p0, p1, p2 dan p3 namun

berbeda tidak nyata dengan pemberian perlakuan p5.

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pemberian Tricho pukan + arang sekam berpengaruh

nyata terhadap luas daun bibit. Hasil uji Duncan pengaruh Tricho pukan + arang sekam terhadap luas daun

dapat dilihat dalam Tabel 3.

Tabel 3. Rata-Rata Luas Daun Tanaman Karet Yang Diberikan PerlakuanTricho pukan + arang sekam

Perlakuan Rata-rata

p0 :Tricho pukan 100 g + arang sekam 100 g 453.52 a

p1 ;Tricho pukan 150 g + arang sekam150g 462.00a

p2 ;Tricho pukan 200 g + arang sekam200g 581,00ab

p3 ;Tricho pukan 250 g + arang sekam250g 591.45 ab

p4 :Tricho pukan 300 g + arang sekam300g 6584,57b

p5 :Tricho pukan 350 g + arang sekam350g 622,14 b

Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama berbeda tidak nyata menurut uji Duncan New

Multiple Range Test pada taraf α = 5 %.

Tabel 3 menunjukkan luas daun terluas dengan pemberian perlakuan Tricho pukan 300 g + arang

sekam 300 g yang berbeda nyata dengan pemberian perlakuan p0 dan p1 namun berbeda tidak nyata

dengan p2, p3 dan p5.

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pemberian perlakuan Tricho pukan + arang sekam

berpengaruh tidak nyata terhadap jumlah tangkai daun .Hasil uji Duncan pengaruh Tricho pukan + arang

sekam terhadap jumlah tangkai daun dapat dilihat dalam Tabel 4.

Tabel 4. Rata-rata jumlah tangkai daun tanaman karet yang diberikan perlakuan tricho pukan + arang sekam

Perlakuan Rata-rata

p0 :Tricho pukan 100 g + arang sekam 100 g 17.14 a

p1 ;Tricho pukan 150 g + arang sekam150g 19,00a

p2 ;Tricho pukan 200 g + arang sekam200g 19,50ab

p3 ;Tricho pukan 250 g + arang sekam250g 20.17 ab

p4 :Tricho pukan 300 g + arang sekam300g 22.20 b

p5 :Tricho pukan 350 g + arang sekam350g 22,14 b

Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama berbeda tidak nyata menurut uji Duncan New

Multiple Range Test pada taraf α = 5 %.

Page 482: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

468 |

Tabel 4, Tabel 2 menunjukkan bahwa pertambahan jumlah tangkai daun dengan pemberian Tricho

pukan 300 g + arang sekam sebanyak 300 g berbeda nyata dengan pemberian perlakuan p0, p1, namun

berbeda tidak nyata dengan pemberian perlakuan p3, p4 dan p5.

Tabel 5. Hasil Analisis Tanah

Sampel N (%) P (ppm) K (mg/100 g) pH

Tanah Awal 0,05 3,86 0,072 4,09

p0:Tricho pukan 100 g + arang sekam 100 g 0,060 8,10 0,079 5,31

p1:Tricho pukan 150 g + arang sekam 150 g 0,077 15.09 0,334 5,70

p2:Tricho pukan 200 g + arang sekam 200 g 0,044 19,03 0,317 5,72

p3:Tricho pukan 250 g + arang sekam 250 g 0,058 27,22 0,324 5,87

p4:Tricho pukan 300 g + arang sekam 300 g 0,062 38,40 0,478 6,36

p5:Tricho pukan 350 g + arang sekam 350 g 0,118 38,54 0,401 6,50

Sumber : Laboratorium Kimia dan Kesuburan Tanah Universitas Jambi (2018)

Pada tabel 7 tanah bekas tambang batu bata yang digunakan sebagai media tanam bibit karet pada

penelitian yang memiliki kondisi hilangnya lapisan tanah atas (top soil) berdampak pada penyusutan

kandungan bahan organik tanah sehingga tanah menjadi kurang subur, dimana tanah bekas tambang batu

bata memiliki kandungan N (0,05 %), P (3,86 ppm), K (0,072 g), pH 4,09. Tanah bekas tambang batu bata

memiliki kesuburan yang rendah terutama pada N (Nitrogen) yang merupakan unsur sangat penting untuk

pembentukan protein, daun-daunan dan persenyawaan organik lainnya, P (Fosfor) memiliki banyak fungsi

penting bagi tanaman, salah satu yang utama adalah menjadi sumber dan transfer energi dalam tanaman, K

(Kalium) mempunyai fungsi yang sangat penting pada proses fisiologis tanaman seperti transport hasil

fotosintesis, hara dan air. Tanaman dapat tumbuh dan berproduksi dengan sempurna apabila unsur hara yang

dibutuhkan cukup terpenuhi. Penatapan dosis dan konsentrasi dalam pemupukan sangat penting dilakukan

karena berpengaruh tidak baik pada pertumbuhan tanaman jika tidak sesuai kebutuhannya (Gardner et al.,

1991).

PEMBAHASAN

Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan pemberian Tricho pukan + arang sekam pada

variabel pertambahan diameter tanaman, namun pada variabel pertambahan tinggi tanaman, luas daun total,

berat kering tajuk, dan berat kering akar tidak terdapat pengaruh Tricho pukan + arang sekam yang diberikan.

Tidak terdapatnya perbedaan pengaruh pemberian Tricho pukan + arang sekam terhadap variabel tersebut

diduga karena sifat dari Tricho pukan + arang sekam yanglambat terurai dilihat dari C/N Tricho pukan + arang

sekam yang tinggi (Lampiran 6) mengakibatkan lambatnya proses dekomposisi sehingga memerlukan waktu

yang lama untuk menyediakan hara yang dibutuhkan bagi tanaman dalam pertumbuhannya.

Variabel pertambahan tinggi tanaman dan luas daun total bibit karet hasil analisis ragam

menunjukkan tidak terdapat pengaruh Tricho pukan + arang sekam yang diberikan. Hasil uji Duncan

Page 483: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 469

menunjukkan pemberian Tricho pukan + arang sekam sebanyak 200 gr/bibit lebih baik dibandingkan dengan

tanpa Tricho pukan + arang sekam, namun bila dibandingkan dengan perlakuan lainnya menunjukkan

perbedaan yang tidak signifikan. Berbeda dengan variabel pertambahan diameter batang dimana hasil analisis

ragam menunjukkan terdapat pengaruh pemberian Tricho pukan + arang sekam terhadap pertambahan

diameter batang.

Pertambahan diameter batang (Gambar 2) terbaik ditunjukkan dengan pemberian Tricho pukan +

arang sekam sebanyak 125 gr/bibit. Secara teori, daun tanaman meningkat seiring bertambahnya tinggi

tanaman, dan tinggi tanaman erat kaitannya dengan diameter batang. Seiring bertambahnya tinggi tanaman,

lingkar diameter batang tanaman juga akan bertambah.

Kandungan P tersedia dalam tanah yaitu pada tanah timbunan batu bata 0,06 ppm dan pada tanah

lapisan atas batu bata 1,20 ppm, sedangkan kandungan N pada tanah timbunan batu bata yaitu 0,38 % dan

pada tanah lapisan atas batu bata yaitu 0,10 %. Hal ini menyebabkan tidak mencukupinya unsur N dan P

dalam tanah sedangkan kerja Tricho pukan + arang sekam berlangsung lambat.

Variabel berat kering tajuk dan berat kering akar hasil analisis ragam menunjukkan tidak terdapat

pengaruh Tricho pukan + arang sekam yang diberikan. Hasil uji Duncan menunjukkan berat kering tajuk dan

berat kering akar yang diberikan Tricho pukan + arang sekam maupun tanpa pemberian Tricho pukan + arang

sekam tidak berbeda nyata. Hal Ini dikarenakan lambatnya proses dekomposisi yang dilakukan Trichoderma

sp. dalam menguraikan unsur hara yang terkandung dalam pupuk kotoran sapi, sehingga pengaruhnya belum

terlihat pada bibit karet. Sesuai dengan pendapat Lakitan (2001) bahwa ketersediaan unsur N dan P akan

dapat mempengaruhi dalam hal bentuk dan jumlah. Tanaman tahunan pertumbuhan vegetatifnya seperti akar,

batang dan daun berjalan sangat lambat, sehingga dalam waktu yang relatif singkat tidak akan terlihat

perbedaan yang nyata pada pertumbuhannya.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa pemberian perlakuan berbagai dosis

Tricho pukan + arang sekam menunjukkan perbedaan pertumbuhan pada variabel pertambahan tinggi,

pertambahan diameter, luas daun total, berat kering tajuk dan berat kering akar. Dan secara umum pemberian

Tricho pukan + arang sekam sebanyak 125 gr/bibit menunjukkan pertumbuhan bibit karet terbaik terhadap

pertambahan diameter batang dan Tricho pukan + arang sekam sebanyak 200 gr/bibit merupakan dosis

terbaik untuk pertumbuhan tinggi tanaman tanaman karet.

DAFTAR PUSTAKA

Alfiansyah, Sukemi I S, Muhammad A K. 2015. Pemberian Zata Pengatur Tumbuh Auksin dengan Berbagai

Konsentrasi pada Bibit Karet (Hevea brasiliensis) Stum Mata Tidur Klon PB 260. Jom Faperta.

Vol 2 No 1.

Direktorat Jenderal Perkebunan Jambi. 2016. Jambi Dalam Angka 2015 Direktorat Jenderal Perkebunan

Jambi.

Page 484: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

470 |

Eghaball, Bahman, Ginting, dan Daniel, 2004. Residual effects of Manure and Compost Application on Corn

Production and Soil Properties.Agron. J. 96.2: 442-447

Hastuti, R. B. dan Purwantisari, S., 2009.Uji Antagonisme Jamur Patogen Phythopthora infestans Penyebab

Penyakit Busuk Daun dan Umbi Tanaman Kentang dengan Menggunakan Trichoderma sp. Isolat

Lokal. (online) (http://eprints.undip.ac.id.pdf, diakses pada 29 Desember 2016)

Kumar, A., & Pandey, A. 2013. Evaluating Impact of Coal Mining Activity on Landuse/Landcover Using

Temporal Satelite Images in South Karanpura Coalfileds and Environs, Jharkhand State, India.

International Journal Of Advanced Remote Sensing And GIS, 2(1), 183-197

Lakitan B. 2001. Dasar-dasar FISIOLOGI TUMBUHAN. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Simtalia M, Armaini dan Muhammad A K. 2013. Pertumbuhan Bibit Karet (Hevea brasiliensis) Stum Mata Tidur

dengan Pemberian Air Kelapa dan Ampas Teh. Universitas Riau

Suhesy S. dan Adriani, 2014.Pengaruh Probiotik dan Trichoderma Terhadap Hara Pupuk Kandang yang

Berasal dari Feses Sapi dan Kambing.Jurnal Ilmiah Ilmu- ilmu Perternakan 18(2):45-53

Page 485: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 471

PENGARUH HERBISIDA OKSIFLUORFEN DAN WAKTU PENYIANGAN PADA PERTUMBUHAN

DAN HASIL TANAMAN BAWANG MERAH (Allium ascalonicum L.)

Husni Thamrin Sebayang1, Yunita Ekaputri Nursalam2

Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Brawiyaya

Corresponding Author: [email protected], [email protected]

Abstrak. Penelitian bertujuan untuk mempelajari pengaruh herbisida oksifluorfen dan waktu penyiangan untuk

mengendalikan gulma pada tanaman bawang merah. Penelitian menggunakan metode Rancangan Acak

Kelompok (RAK) dengan 8 perlakuan dan 4 ulangan, yaitu H0 = Tanpa herbisida + tanpa penyiangan (kontrol),

H1 = Bebas gulma, H2 = Oksifluorfen 240 g ha-1 + tanpa penyiangan, H3 = Oksifluorfen 240 g ha-1 +

penyiangan 15 HST, H4 = Oksifluorfen 240 g ha-1 + penyiangan 45 HST, H5 = Oksifluorfen 480 g ha-1 +

tanpa penyiangan, H6 = Oksifluorfen 480 g ha-1 + penyiangan 15 HST dan H7 = Oksifluorfen 480 g ha-1 +

penyiangan 45 HST. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan herbisida oksifluorfen 240 g ha-1 +

penyiangan 15 HST atau 45 HST nyata mengendalikan gulma dan meningkatkan pertumbuhan dan hasil

tanaman bawang merah. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa kombinasi pengendalian gulma dengan

herbisida Oksifluorfen dan waktu penyiangan dapat dilakukan untuk mengendalikan gulma pada tanaman

bawang merah.

Kata Kunci: Bawang Merah, Gulma, Herbisida Oksifluorfen, Penyiangan

PENDAHULUAN

Bawang merah (Allium ascalonicum L.) adalah salah satu komoditas utama sayuran di Indonesia

dan mempunyai banyak manfaat yang berfungsi sebagai bumbu penyedap makanan serta obat tradisional

(Tandi,et al, 2015). Salah satu faktor yang menyebabkan menurunnya produksi bawang merah adalah

persaingan gulma terhadap sarana tumbuh. Abdillah, et al.(2016), menyatakan bahwa tanaman bawang

merah yang bebas gulma selama 60 hst (hari setelah tanam) menghasilkan bobot segar yang nyata lebih

tinggi dibandingkan dengan tanaman bawang merah yang dibiarkan bergulma selama 60 hst. Untuk itu

diperlukan upaya untuk mengendalikan pertumbuhan gulma. Pengendalian gulma yang banyak dilakukan

petani adalah dengan penyiangan. Pengendalian gulma dapat juga dilakukan dengan cara mengkombinasikan

pengendalian gulma secara cara kimiawi dan mekanis. Herbisida yang banyak digunakan pada budidaya

bawang merah adalah herbisida oksifluorfen. Umiyati (2016) menyatakan bahwa herbisida oksifluorfen 240 g l-

1 yang diberikan 1-3 L ha-1 tidak memberikan gejala keracunan pada tanaman bawang merah dan

menghasilkan bobot umbi basah yang lebih tinggi.Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari dosis herbisida

Page 486: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

472 |

oksifluorfen dan waktu penyiangan yang tepat untuk mengendalikan gulma sehingga dapat meningkatkan

pertumbuhan dan hasil tanaman bawang merah.

METODOLOGI

Penelitian telah dilaksanakan pada bulan April hingga Juli 2018 di Desa Ngijo, Kecamatan

Karangploso, Malang yang terletak pada ketinggian sekitar 525 mdpl. Bahan yang digunakan ialah umbi

bawang merah varietas Super Philip, pupuk Urea (46 %), Pupuk SP-36 (36 % P2O5) dan pupuk KCl (60 %

K2O), herbisida Goal 240 EC berbahan aktif Oksifluorfen 240 g l-1. Penelitian menggunakan Rancangan Acak

Kelompok (RAK) dengan 8 perlakuan dan 4 ulangan, yaitu H0 = Tanpa herbisida + tanpa penyiangan

(kontrol), H1 = Bebas gulma, H2 = Oksifluorfen 240 g ha-1 + tanpa penyiangan, H3 =Oksifluorfen 240 g ha-1 +

penyiangan 15 HST, H4 = Oksifluorfen 240 g ha-1 + penyiangan 45 HST, H5 = Oksifluorfen 480 g ha-1 +

tanpa penyiangan, H6 = Oksifluorfen 480 g ha-1 + penyiangan 15 HST dan H7 = Oksifluorfen 480 g ha-1 +

penyiangan 45 HST. Pengamatan terdiri dari pengamatan gulma, pertumbuhan dan hasil tanaman bawang

merah. Pengamatan gulma terdiri dari bobot kering gulma dan weed control efficiency/efisiensi pengendalian

gulma. Pengamatan pertumbuhan tanaman bawang merah meliputi panjang tanaman, jumlah anakan dan

jumlah daun. Pengamatan komponen hasil bawang merah meliputi jumlah umbi, bobot segar umbi, bobot

kering umbi, hasil ton ha-1 dan weed index/indeks gulma.

Efisiensi pengendalian gulma dihitung menggunakan rumus (Singh, et al, 2013):

WCE (%) = x 100

Keterangan:

WCE =Weed control efficiency (%)

x = Bobot kering gulma petak bergulma.

y = Bobot kering gulma petak perlakuan.

Indeks gulma dihitung menggunakan rumus (Prachand,et al., 2014):

Indeks gulma (%) = x 100

Keterangan:

X = Hasil umbi dari plot bebas gulma

Y = Hasil umbi dari plot perlakuan.

Data pengamatan yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan analisis ragam (uji F) pada taraf 5%.

Perlakuan yang berpengaruh nyata akan diuji lanjut dengan uji BNT pada taraf 5%.

Bobot kering gulma pada Tabel 1 menunjukkan bahwa kombinasi perlakuan dosis herbisida

oksifluorfen dan waktu penyiangan berpengaruh nyata terhadap bobot kering gulma pada semua umur

pengamatan. Pada pengamatan umur 15, 30 dan 45 HST menunjukkan bahwa pengendalian gulma dengan

kombinasi herbisida oksifluorfen dengan waktu penyiangan (H2, H3, H4, H5, H6 dan H7) secara nyata

menurunkan bobot kering gulma dibanding perlakuan tanpa pengendalian (H0) dan tidak berbeda nyata

Page 487: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 473

dengan H1( bebas gulma). Peningkatan dosis oksifluorfen tidak menunjukkan hasil yang berbeda nyata

terhadap penurunan berat kering gulma. Hasil penelitian Poddar,et al. (2017) menunjukkan bahwa aplikasi

herbisida oksifluorfen 250 g ha-1, 300 g ha-1, ataupun 400 g ha-1 tidak berbeda nyata terhadap penurunan

bobot kering gulma. Selanjutnya pada pengamatan umur 60 HST menunjukkan bahwa perlakuan H4 dan H7

tidak berbeda nyata dengan H1 karena pada saat 45 HST telah dilakukan penyiangan manual. Demikian juga

perlakuan H3, H5, dan H6 secara nyata mampu menekan pertumbuhan gulma. Hasil ini menunjukkan bahwa

pengendalian gulma dengan cara aplikasi oksifluorfen mampu menekan pertumbuhan gulma sampai 45

HST.Kumbhar,et al (2017) menyebutkan bahwa oksifluorfen cukup persisten di sebagian besar jenis tanah

dengan waktu sekitar 30 sampai 40 hari. Pada pengamatan efisiensi pengendalian gulma (%) menunjukkan

tingkat efisiensi suatu pengendalian gulma. Pengendalian gulma dengan herbisida oksifluorfen 240 g ha-1 atau

480 g ha-1 dengan atau tanpa penyiangan efisien dalam menekan pertumbuhan gulma. Semakin tinggi nilai

WCE menunjukkan pengendalian semakin efisien. Menurut Kowser,et al. (2017), pertumbuhan dan hasil

panen suatu tanaman berhubungan langsung dengan efisiensi pengendalian gulma. Pada perlakuan bebas

gulma bernilai WCE maksimum, sedangkan pada perlakuan bergulma bernilai WCE minimum.

Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Bawang Merah

Panjang Tanaman

Hasil pada Tabel 2 menunjukkan bahwa kombinasi perlakuan dosis herbisida oksifluorfen dan waktu

penyiangan tidak berpengaruh nyata pada panjang tanaman pada umur pengamatan 15, 30 dan 45 HST. Hal

ini karena pertumbuhan gulma pada perlakuan H0 belum mengganggu pertumbuhan panjang tanaman

bawang merah. Sedangkan pada pengamatan 60 HST, panjang tanaman pada perlakuan H0 adalah panjang

tanaman terpendek, sementara antara perlakuan H1, H2, H3, H4, H5, H6 dan H7panjang tanaman lebih panjang

dan tidak berbeda nyata. Hal ini disebabkan karena pada perlakuan H0 gulma tumbuh semakin besar,

sehingga cahaya yang diterima oleh tanaman bawang sangat sedikit. Sedikitnya cahaya yang diterima

menyebabkan pertumbuhan tanaman terhambat.

Tabel 1.Rerata Bobot Kering Gulma pada Berbagai Cara Pengendalian Gulma

Perlakuan

Bobot Kering gulma (g m-2) WCE(%)

Umur Tanaman (HST) Umur Tanaman (HST)

15* 30* 45* 60* 15 30 45 60

H0 14.22 b 472.19 b 524.09 b 861.09c

H1 0.00 a 0.00 a 0.00 a 0.00 a 80.06 96.72 96.84 97.56

H2 0.16 a 12.34 a 26.72 a 601.25bc 77.53 76.93 80.84 47.80

H3 1.56 a 0.00 a 5.63 a 222.66 ab 63.48 96.72 89.80 55.29

H4 0.00 a 0.00 a 34.61 a 0.00 a 80.06 96.72 88.90 97.56

H5 0.16 a 5.00 a 41.88 a 80.47ab 77.53 90.91 96.84 82.75

H6 0.00 a 0.00 a 30.00 a 80.00 ab 80.06 96.72 82.26 77.56

H7 0.63 a 8.91 a 86.88 a 0.00 a 73.03 88.51 69.03 9756

BNT (5%) 1,02 2,17 6,28 14,10

Page 488: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

474 |

KK 58.24 37.01 71.25 108.05

Keterangan :Bilangan yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata

berdasarkan uji BNT 5%. HST = Hari Setelah Tanam. Tanda * = data telah ditransformasikan ke

dimana x adalah data asli.

Tabel 2.Rerata Panjang Tanaman Bawang Merah pada Perlakuan Dosis Herbisida Oksifluorfen dan Waktu

Penyiangan Gulma pada Berbagai Umur Pengamatan

Perlakuan Panjang tanaman (cm) pada Umur Pengamatan (HST)

15 30 45 60

H0 21,83 39,25 48,00 36,65 a

H1 22,48 41,55 49,40 45,20 b

H2 21,85 39,15 46,30 41,70 b

H3 21,60 38,80 47,15 43,15 b

H4 20,98 39,20 45,60 41,75 b

H5 21,75 39,50 48,40 43,20 b

H6 21,95 40,70 48,18 45,30b

H7 21,50 39,13 49,25 43,70b

BNT 5% tn tn tn 3,96

KK 6,07 6,72 5,13 6,32

Keterangan: Bilangan yang didampingi dengan huruf yang sama pada kolom yang sama tidak

berbeda nyata berdasarkan uji BNT 5%; HST= hari setelah tanam.

Jumlah Anakan

Hasil pada Tabel 3 menunjukkan bahwa jumlah anakan pada umur pengamatan 15, 30 dan 45 HST

tidak berpengaruh nyata perlakuan kombinasi dosis herbisida oksifluorfen dan waktu penyiangan. Pada umur

pengamatan 60 HST, jumlah anakan terendah adalah pada perlakuan H0 dan jumlah anakan tertinggi adalah

perlakuan H1 dan H6. Jumlah anakan pada perlakuan H0 yang rendah adalah salah satu akibat menutupnya

kanopi gulma yang lebih cepat dibandingkan kanopi bawang merah. Semakin banyak gulma yang tumbuh

maka ruang tumbuh tanaman bawang merah semakin kecil, sehingga terjadi persaingan. Menurut Pohan,et al.

(2015), semakin tinggi kepadatan populasi gulma maka produksi organ vegetatif akan semakin menurun.

Kemudian diperjelas dengan pernyataan Bhowmik,et al (2012) yang menyatakan bahwa bila kepadatan

tanaman melebihi tingkat optimal, persaingan untuk mendapatkan cahaya dan nutrisi semakin besar,

akibatnya pertumbuhan menjadi lambat.

Jumlah Daun

Hasil pada Tabel 4 menunjukkan bahwa jumlah daun pada umur pengamatan 15 HST dan 30 HST

tidak berpengaruh nyata pada kombinasi perlakuan dosis herbisida oksifluorfen dan waktu penyiangan.Pada

umur pengamatan 45 HST, jumlah daun terkecil adalah perlakuan H0 dan jumlah daun tertinggi adalah H1 dan

Page 489: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 475

H6. Perlakuan H3 dan H5 tidak berbeda nyata dengan H1. Selanjutnya pada 60 HST jumlah daun terendah

adalah perlakuan H0, dan jumlah daun tertinggi adalah H1. Perlakuan H2, H3, H6 dan H7 tidak berbeda nyata

dengan H1. Jumlah daun yang sedikit pada perlakuan H0disebabkan tingginya populasi gulma sehingga

tanaman bawang merah tidak mampu bersaing untuk mendapatkan cahaya matahari, air ataupun unsur

hara.Dawar,et al. (2007) yang menyebutkan bahwa semakin padat populasi dalam luasan tertentu maka

jumlah daun bawang semakin sedikit. Menurut Sahoo,et al. (2017), aplikasi herbisida pra tanam dapat

menjaga tanaman bebas gulma pada tahap awal pertumbuhannya, kemudian pada tahap selanjutnya dapat

dilakukan penyiangan untuk menjaga populasi gulma agar tetap dibawah ambang ekonomi.

Tabel 3.Rerata Jumlah Anakan Bawang Merah pada Perlakuan Dosis Herbisida Oksifluorfen dan Waktu

Penyiangan Gulma pada Berbagai Umur Pengamatan

Perlakuan Jumlah Anakan (anakan/tan.) pada Umur Pengamatan (HST)

15 30 45 60

H0 7,65 9,05 9,10 7,20 a

H1 8,05 10,05 10,15 13,75 d

H2 7,30 8,50 9,85 11,10 b

H3 7,40 8,85 9,60 11,75 bc

H4 7,35 9,10 9,70 11,65 bc

H5 7,55 8,55 9,35 11,80 bc

H6 7,60 9,05 9,80 12,55 cd

H7 7,20 9,05 9,55 11,50 bc

BNT 5% tn tn tn 1,27

KK 9,02 8,17 4,91 7,56

Keterangan: Bilangan yang didampingi dengan huruf yang sama pada kolom yang sama tidak

berbeda nyata berdasarkan uji BNT 5%; HST= hari setelah tanam.

Tabel 4.Rerata Jumlah Daun Bawang Merah pada Perlakuan Dosis Herbisida Oksifluorfen dan Waktu

Penyiangan Gulma pada Berbagai Umur Pengamatan

Perlakuan Jumlah Daun (daun/ tan.) pada Umur Pengamatan (HST)

15 30 45 60

H0 31,10 39,30 31,80 a 24,65 a

H1 31,55 49,65 59,70c 45,55 c

H2 30,55 47,20 53,80 b 40,65 bc

H3 30,20 48,50 57,70 bc 42,30 bc

H4 30,00 47,20 53,20 b 39,65 b

H5 30,40 46,15 58,10 bc 40,50 b

H6 32,10 48,15 60,60c 43,20 bc

H7 31,30 50,70 52,90 b 42,90 bc

BNT 5% tn tn 5,69 5,02

KK 3,89 9,37 7,24 8,55

Page 490: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

476 |

Keterangan : Bilangan yang didampingi dengan huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata

berdasarkan uji BNT 5%; HST= hari setelah tanam.

Komponen Hasil

Hasil pada Tabel 5 menunjukkan bahwaperlakuan dosis herbisida oksifluorfen dan waktu

penyiangan berpengaruh nyata pada jumlah umbi, berat segar umbi, berat kering umbi dan hasil ton ha-1.

Pada pengamatan jumlah umbi, bobot segar umbi, bobot kering umbi dan hasil (t ha-1)menunjukkan bahwa

pada perlakuan H0, hasil tanaman bawang merah nyata lebih rendah, dan pada perlakuan H1 menunjukkan

hasil yang nyata lebih tinggi. Hal ini disebabkan karena banyaknya gulma yang tumbuh dan lamanya

persaingan antara gulma dengan bawang merah pada H0. Keberadaan gulma dan lamanya waktu persaingan

gulma dengan tanaman sangat mempengaruhi komponen hasil. Semakin rendah populasi gulma dalam suatu

areal tertentu, maka hasil panen akan meningkat. Kemudian semakin lama waktu persaingan antara gulma

dengan tanaman utama, maka hasil panen tanaman utama akan menurun. Menurut Vijayvergiya, et al. (2018),

berkurangnya persaingan tanaman dengan gulma menyebabkan status kesuburan tanah terjaga, sehingga

menguntungkan untuk pertumbuhan dan hasil tanaman utama. Selanjutnya terlihat pada perlakuan H3 tidak

berbeda nyata dengan H4 dan perlakuan H6 tidak berbeda nyata dengan H7, artinya pada perlakuan dengan

dosis yang sama tetapi waktu penyiangan yang berbeda tidak menunjukkan adanya perbedaan yang nyata.

Pada penelitian ini antara perlakuan herbisida yang diikuti penyiangan pada 15 HST dan 45 HST menunjukkan

hasil yang tidak berbeda nyata Hasil penelitian Tripathy,et al. (2013), menjelaskan bahwa kepadatan gulma

menurun dan hasil umbi meningkat pada perlakuan oksifluorfen 23,5EC yang diikuti penyiangan satu kali pada

umur 40-60 HST dibandingkan hanya aplikasi oksifluorfen 23,5 EC. Demikian juga pada perlakuan H3 tidak

berbeda nyata dengan H6 dan perlakuan H4 tidak berbeda nyata dengan H7.Hal ini menunjukkan bahwa

aplikasi herbisida oksifluorfen dengan dosis yang berbeda yang diikuti dengan waktu penyiangan yang sama

tidak memberikan perbedaan yang nyata. Sejalan dengan penelitian Poddar et al. (2017) yang menyebutkan

bahwa aplikasi oksifluorfen pada dosis 200 g ha-1, 250 g ha-1, 300 g ha-1 dan 400 g ha-1 memberikan hasil

umbi yang tidak berbeda nyata. Selanjutnya terlihat bahwa perlakuan H3,H4, H6 dan perlakuanH7 tidak berbeda

nyata dengan H1, artinya aplikasi herbisida oksifluorfen dengan dosis yang berbeda yang diikuti dengan waktu

penyiangan yang tidak sama tidak memberikan perbedaan yang nyata dengan H1 ( Bebas gulma).

Indeks gulma (Weed Index) adalah penurunan hasil panen karena adanya gulma dibandingkan

perlakuan bebas gulma. Pada perlakuan herbisida dan penyiangan (H6, H7, H4, H3 ) nilai indeks gulma berkisar

9,92%- 16,01%, sedangkan pada H0 nilai indeks gulma sebesar 67,82 %. Nilai indeks gulma yang rendah

mengindikasikan populasi gulma pada lahan tersebut sedikit, sehingga bobot kering gulma menjadi rendah.

Rendahnya bobot kering gulma menyebabkan nilai WCE yang tinggi dan hasil tanaman bawang merah

meningkat. Hal ini sejalan dengan pernyataan Singh,et al. (2017), bahwa aplikasi herbisida dapat menurunkan

berat kering gulma yang menyebabkan efisiensi pengendalian gulma menjadi tinggi dan nilai indeks gulma

menjadi rendah.

Page 491: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 477

Tabel 5.Rerata Komponen Hasil Tanaman Bawang Merah pada Berbagai Dosis HerbisidaOksifluorfen dan

Waktu Penyiangan Gulma pada Berbagai Umur Pengamatan

Perlakuan Jumlah Umbi

(umbi/ tan.)

Bobot Segar Umbi

(g/ tan.)

Bobot

Kering Umbi (g/

tan.)

Hasil

(t ha-1)

Weed

index

(%)

H0 6,95 a 19,00 a 14,53 a 5,26 a 67,82

H1 16,90d 112,80c 86,27c 16,36c

H2 13,60 b 91,90 b 70,29b 12,32 b 24,67

H3 13,55 b 99,00bc 75,72bc 13,74bc 16,01

H4 14,15 bc 98,15 bc 75,07bc 14,11bc 13,75

H5 14,50 bcd 96,65 bc 73,92bc 12,62 b 22,87

H6 16,25cd 106,60bc 81,53bc 14,74bc 9,92

H7 14,20 bc 101,05 bc 77,28bc 14,45bc 11,66

BNT 5% 2,43 16,82 12,87 2,67

KK 11,99 12,62 12,62 14,03

Keterangan :Bilangan yang didampingi dengan huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata

berdasarkan uji BNT 5%

KESIMPULAN

Herbisida oksifluorfen 240 g ha-1 + penyiangan 15 HST atau 45 HST nyata mengendalikan

pertumbuhan gulma serta meningkatkan pertumbuhan dan hasil tanaman bawang merah, dan tidak

menunjukkan perbedaan dengan perlakuan herbisida oksifluorfen 480 g ha-1 + penyiangan 15 HST atau 45

HST dan perlakuan bebas gulma.

DAFTAR PUSTAKA

Abdillah, M. G., A. M. Purnawanto dan G. P. Budi. 2016. Periode Kritis Tanaman Bawang Merah Varietas

Bima (Allium ascalonicum L.) terhadap Persaingan Gulma. Agritech 18 : 30-38.

Bhowmik, S. K., M. A. R. Sarkar and F. Zaman. 2012. Effect of Spacing and Number of Seedlings per Hill on

the Performance of Aus Rice CV. Nerica 1 Under dry Direct Seeded Rice (DDSR) System of

Cultivation. J. Bangladesh Agril. Univ. 10(2): 191-195.

Dawar, N. M., F. K. Wazir, M. Dawar, and S. H. Dawar. 2007. Effect of Planting Density on Growth and Yield of

Onion Varieties Under Climatic Condition of Peshawar. Sarhad J. Agric. 23(4): 911-918.

Kowser, T., AS. Halepyati, BM. Chittapur, AS. Channabasavanna, I. S. Goud and B. Gowda. 2017. Phyto

toxicity and Weed Control Efficiency of castor (Ricinus communis L.) as Influenced by Weed

Management Practices. Journal of Pharmacognosy and Phytochemistry. 7(1):126-131.

Page 492: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

478 |

Kumbhar, M.B., DT. Prajapati, and Bhuriya KP. 2017. To Study the Degradation and Downward Movement of

Oxyfluorfen in Sandy, Sandy Loam and Clayey Soils. International Journal of Chemical Studies.

5(6):498-501.

Poddar, R., S. Bera and R. K. Ghosh. 2017. Weed Management in Onion Through Oxyfluorfen and its Effect

on Soil Microflora and Succeeding crop of blackgram. Indian Journal of Weed Science. 49 (1):

47-50.

Pohan, J. B., L. Mawarni dan T. Simanungkalit. 2015. Studi Pertumbuhan dan Produksi Dua Varietas Bawang

Merah (Allium ascalonicum L.) terhadap Waktu Penyiangan Gulma. Jurnal Online

Agroekoteknologi 3(3): 1059-1066.

Prachand, S., K. J. Kubde and S. Bankar. 2014. Effect of Chemical Weed Control on Weed Parameters,

Growth, Yield Attributes, Yield and Economics in Soybeans (Glycine max). American-Eurasian J.

Agric. &Environ. Sci. 14(8):698-701.

Sahoo, S.K., S. Chakravorty, L. Soren, C. Mishra and B. B. Sahoo. 2017. Effect of Weed Management on

Growth and Yield of Onion (Allium cepa L.). Journal of Crop and Weed. 13(2): 208-211.

Singh, R. K., Singh S. R. K., and U. S Gautam. 2013. Weed Control Efficiency of Herbicide in Irrigated Wheat

(Triticum aestivum). Indian Res. J. Ext. Edu. 13(1):126-128.

Singh SP., S. Rawal, VK. Dua and SK Sharma. 2017. Weed Control Efficiency of Herbicide Sulfosuron in

Potato Crop. Potato J. 44(2):110-116.

Tandi, O. G., J. Paulus dan A. Pinaria. 2015. Pertumbuhan dan Produksi Bawang Merah (Allium ascalonicum

L.) Berbasis Aplikasi Biourine Sapi. Eugenia. 21(3): 142-150

Tripathy P., B. B. Sahoo, D. Patel and D. K. Dash. 2013. Weed Management Studies in Onion (Allium cepa L.).

Journal of Crop and Weed. 9(2): 210-212.

Umiyati, U. 2016. Studi Efektivitas Herbisida Oksifluorfen 240 g/l sebagai Pengendali Gulma pada Budidaya

Bawang Merah (Allium ascalonicum L.). Jurnal Kultivasi 15 (1): 46-51.

Vijayvergiya, D., SA. Ali, MP. Das, P. Ramgiry and S. Uikey. 2018. Effect of pre-emergence herbicide on weed

control of kharif onion (Allium cepa L.) in vindhyan plateau of Madhya Pradesh. The Pharma

Innovation Journal 7(1):376-378.

Page 493: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 479

INOVASI PELAPISAN BUAH DENGAN KHAMIR UNTUK MEMPERTAHANKAN

KUALITAS JERUK PASCAPANEN

Dian Indratmi, Chamilia Tohir N.O

Jurusan Agroteknologi, Fakultas Pertanian-Peternakan Universitas Muhammadiyah Malang

Corresponding author: [email protected]

Abstract. Buah jeruk pascapanen mempunyai daya simpan relatif pendek dan kualitas buah yang cepat menurun, apalagi dengan riwayat serangan hama pengisap yang tinggi selama dibudidayakan di kebun. Tingkat serangan yang tinggi dari hama pengisap di lahan, salah satunya menyebabkan permukaan kulit buah jeruk terluka yang berakibat buah jeruk mudah terserang patogen penyakit pascapanen. Salah satu penyakit utama jeruk pascapanen adalah penyakit busuk buah Penicillium atau dikenal dengan penyakit kapang biru. Penyakit ini disebabkan oleh jamur Penicillium digitatum. Pelapisan buah merupakan salah satu metode yang digunakan untuk memperpanjang umur simpan dan mempertahankan kualitas buah yang disimpan pada suhu ruang. Pelapisan buah dengan bahan alami masih sedikit diteliti, terutama berbahan dasar khamir. Penelitian bertujuan untuk mengetahui efektivitas pelapisan buah jeruk pascapanen dengan bahan khamir pada berbagai tingkat kematangan terhadap kualitas dan masa simpan buah jeruk. Hasil Penelitian menunjukan pelapisan buah dengan khamir Aureobasidium pullulans dan Debaryomyces hansenii mampu mempertahankan kualitas buah, meningkatkan masa simpan buah jeruk, serta melindungi buah dari serangan patogen pascapanen tanpa menurunkan kualitas buah, sehingga dapat diaplikasikan pada pasca panen buah jeruk. Keywords: Pelapisan buah, khamir Aureobasidium pullulans, Debaryomyces hansenii, pascapanen jeruk

PENDAHULUAN

Jeruk merupakan salah satu tanaman hortikultura yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Tanaman jeruk

banyak dibudidayakan di Jawa dan Bali terutama jenis siam dan keprok (Suamba dkk, 2014). Produksi jeruk

keprok tahun 2014 mencapai 51.098 ton, produksi tersebut belum mencukupi kebutuhan jeruk dalam negeri

(Dirjen Hortikultura, 2015). Salah satu permasalahan agribisnis buah jeruk adalah kualitas buah yang kurang

bagus yang mengakibatkan jatuhnya harga jeruk

Pelapisan buah dengan berbagai bahan alami bertujuan mengurangi oksigen (O2) yang masuk kedalam

sel tanpa menimbulkan fermentasi serta mengurangi penguapan air (H2O) dari dalam sel yang dapat

memperpanjang umur ekonomis produk. Salah satu manipulasi faktor ini dapat dilakukan dengan teknik

pelapisan buah (Ahmad, 2013). Pelapisan buah secara alami menggunakan khamir memiliki beberapa

kelebihan. Khamir buah selain tidak berbahaya juga mampu menghasilkan berbagai senyawa fungsional yang

berpengaruh positif terhadap kualitas buah pasca panen. Khamir terutama untuk menghambat serangan

patogen busuk buah yang umum menyerang buah pasca panen (Qin et al., 2004: Wilson et al.., 2006). Syarat

bahan yang digunakan untuk pelapisan yaitu mampu menahan permeabilitas oksigen dan uap air, tidak

Page 494: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

480 |

berwarna, tidak berbahaya jika dikonsumsi dan tidak menyebabkan perubahan pada sifat makanan

(Pujimulyani, 2012).

METODOLOGI

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Agroteknologi Fakultas Pertanian Peternakan Universitas

Muhammadiyah Malang pada bulan Pebruari - Mei 2018. Buah jeruk menggunakan jenis keprok Batu yang

diperoleh dari kota Batu. Bahan pelapis buah berupa khamir Aureobasidium pullulans dan khamir

Debaryomyces hansenii (kerapatan 1010 sel/ml), yang diisolasi dari buah jeruk.

Penelitian dilaksanakan menggunakan rancangan acak kelompok faktorial, yang terdiri dari dua faktor.

Faktor I: macam pelapis, terdiri dari kontrol negatif (tanpa pelapis khamir dan patogen), kontrol positif

(inokulasi patogen saja tanpa khamir), khamir Aureobasidium pullulans, khamir Debaryomyces hansenii.

Faktor II: fase kematangan buah jeruk (25% kuning, 75% kuning; 100% kuning). Pengamatan dilakukan

selama 15 hari penyimpanan. Pengamatan meliputi susut bobot, kekerasan buah (firmness), total padatan

terlarut (TPT), kandungan vitamin C, keparahan penyakit busuk kapang biru, intensitas serangan penyakit dan

lama simpan buah.

Data yang di peroleh dianalisis menggunakan analisis ragam, untuk mengetahui berpengaruh atau

tidaknya perlakuan maka dibuktikan menggunakan uji F. Apabila data yang diperoleh berpengaruh nyata,

maka dilanjutkan dengan uji Duncan 0,05.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Perlakuan tingkat kematangan buah berpengaruh sangat nyata terhadap susut bobot buah, perubahan

warna buah, kekerasan buah, dan total padatan terlarut. Rerata masing- masing parameter pengamatan

disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Rerata susut bobot buah, perubahan warna buah, kekerasan buah, dan total padatan terlarut selama

15 hari penyimpanan

Perlakuan macam pelapis Susut bobot

Perubahan Warna buah

Kekerasan buah

Total Padatan Terlarut

Kontrol - (tanpa pelapis dan patogen) Kontrol + (inokulasi patogen saja) Khamir Aureobasidium pullulans Khamir Debaryomyces hansenii

2.36 a 2.50 a 2.06 a 1.86 a

4.46 a 4.54 a 4.48 a 4.52 a

3.40 a 3.31 a 3.08 a 3.19 a

7.33 a 7.44 a 7.76 a 7.27 a

Perlakuan tingkat kematangan buah

25% Kuning 2.10 b 3.11 a 5.71 b 7.56 a 75% Kuning 1.69 a 3.97 b 5.23 b 7.88 a 100% Kuning 1.84 a 4.92 c 4.47 a 8.84 b

Ket. Angka yang diikuti huruf sama pada kolom dan faktor perlakuan yang sama tidak berbeda nyata menurut

uji Duncan 0.05

Page 495: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 481

Tabel 1 menunjukkan bahwa aplikasi pelapisan buah jeruk dengan khamir A. pullullans dan D. hansenii

tidak mempengaruhi atau tidak menurunkan kualitas buah. Kualitas buah jeruk yang ditunjukkan dengan susut

bobot, perubahan warna buah, kekerasan buah, dan total padatan terlarut sama baiknya dengan perlakuan

kontrol. Susut bobot buah yang terjadi disebabkan beberapa faktor diantaranya adalah suhu, tingkat

kematangan buah dan laju respirasi. Faktor yang mempengaruhi laju kehilangan air adalah tingkat ketuaan

atau kemasakan buah. Produk buah yang masih muda mempunyai lubang alami yang masih berfungsi dalam

jumlah lebih besar dan lapisan kutikula yang lebih sederhana bila dibandingkan produk yang sudah tua penuh,

sehingga laju kehilangan air dapat terjadi lebih cepat (Ahmad (2013).

Selama penyimpanan, terjadi perubahan warna buah jeruk. Perubahan warna ini menunjukkan buah

mengalami proses pemasakan buah, yang ditandai dengan perubahan warna hijau kekuningan menjadi

kuning. Perubahan warna yang terjadi selama proses pemasakan disebabkan oleh klorofil dalam buah

terdegradasi sehingga warna hijau pudar diganti warna kuning karena meningkatnya jumlah karotenoid

(Hasanah, 2017). Buah jeruk dengan kematangan 25% kuning memiliki kekerasan lebih tinggi. Hal ini

disebabkan buah yang masih didominasi warna hijau, menunjukkan belum masak sempurna meskipun sudah

masak secara fisiologis. Analisis total padatan terlarut menunjukkan kematangan jeruk 100% kuning

memiliki kandungan TPT tertinggi. Hal ini disebabkan saat proses pemasakan buah, terjadi hidrolisis pati

menjadi gula akibatnya kandungan TPT buah meningkat bertahap setelah panen selama proses pematangan

(Suketi et al., 2010 ).

Kadar Vitamin C

Tingkat kematangan buah berpengaruh sangat nyata terhadap kadar vitamin C buah jeruk. Rerata kadar

vitamin C buah pada awal dan akhir penyimpanan disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Rerata Kadar Vitamin C Buah Jeruk Selama 15 Hari Masa Simpan

Perlakuan Macam pelapis

Kadar vit. C awal simpan

Kadar vit. C akhir simpan

Kontrol - (tanpa pelapis khamir dan patogen) Kontrol + (inokulasi patogen, tanpa khamir) Khamir Aureobasidium pullulans Khamir Debaryomyces hansenii

9.50 a 9.54 a 9.53 a 9,54 a

3.59 a 3.79 a 3.76 a 3,72 a

Tingkat kematangan buah

25% Kuning 6.39 a 3.88 a 75% Kuning 8.57 b 4.28 a 100% Kuning 12.04 c 3.85 a

Ket. Angka yang diikuti huruf sama pada kolom dan faktor perlakuan yang sama tidak berbeda nyata menurut

uji Duncan 0.05

Tabel 2 menunjukkan bahwa buah jeruk sebelum disimpan (keadaan segar baru dipanen), tingkat

kematangan buah 100 % kuning memiliki kadar vitamin C paling tinggi. Setelah disimpan selama 15 hari,

kandungan vitamin C baik pada perlakuan macam pelapis maupun tingkat kematangan buah mengalami

Page 496: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

482 |

penurunan. Sehingga dapat dikatakan konsumsi buah jeruk lebih baik dalam keadaan segar sebelum

penyimpanan untuk mendapatkan mutu yang lebih baik. Menurut Bari et al., (2006) semakin matang buah

maka semakin tinggi pula kandungan vitamin C pada buah. Kandungan vitamin C pada stadia kematangan

awal meningkat kemudian menurun pada buah yang disimpan sampai mendekati busuk..

Keparahan dan Intensitas Serangan Penyakit

Penyakit yang dijumpai menyerang buah jeruk adalah penyakit kapang biru yang disebabkan oleh

patogen Penicillium digitatum. Perlakuan macam pelapis berpengaruh sangat nyata terhadap keparahan dan

intensitas penyakit. Rerata keparahan dan intensitas serangan penyakit disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Rerata keparahan dan intensitas penyakit kapang biru selama masa simpan

Perlakuan macam pelapis Keparahan penyakit (%)

Intensitas penyakit (%)

Kontrol - (tanpa pelapis khamir dan patogen) Kontrol + (inokulasi patogen, tanpa khamir) Khamir Aureobasidium pullulans Khamir Debaryomyces hansenii

10,13 b 32,77 c 5,40 a 1,83 a

18,67 b 30,00 c 6,33 a 1,67 a

Perlakuan tingkat kematangan buah Jeruk

25% Kuning 75% Kuning 100% Kuning

10,88 a 12,63 a 14,10 a

12,75 a 14,75 a 15,00 a

Ket. Angka yang diikuti huruf sama pada kolom dan faktor perlakuan yang sama tidak berbeda nyata menurut

uji Duncan 0.05.

Tabel 3 menunjukkan bahwa pelapisan buah jeruk dengan khamir A. pullullans dan D. hansenii mampu

melindungi buah dari serangan patogen busuk buah. Kedua khamir juga tidak menyebabkkan kualitas buah

menurun, sehingga pada akhir penyimpanan buah masih aman dikonsumsi. Khamir efektif menghambat

pertumbuhan dan perkembangan penyakit pada buah pasca panen karena khamir merupakan kompetitor

yang baik terhadap ruang dan nutrisi (Rosa-Magri et al., 2011; Indratmi, 2012; Magallon et al., 2012). Penyakit

yang menyerang jeruk adalah penyakit kapang biru yang disebabkan oleh Penicillium digitatum. Ciri-ciri buah

terserang adalah munculnya jamur pada buah, awalnya buah lembab dan melunak kemudian permukaan

buah ditumbuhi miselium jamur berwarna putih kehijauan. Menurut Hjeljord et al., (2001) suhu yang kondusif

untuk menghambat pertumbuhan penyakit pasca panen adalah 10-15oC. Penyakit lain yang menyerang jeruk

adalah Fusarium sp. Umumnya penyebab penyakit pascapanen adalah kelompok jamur patogen (Phoulivong

et al., 2012).

Masa simpan buah jeruk

Terdapat interaksi yang nyata antara perlakuan macam pelapis dan tingkat kematangan buah terhadap

lama masa simpan buah jeruk. Rerata masa simpan buah jeruk disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Rerata masa simpan buah jeruk akibat perlakuan macam pelapis dan tingkat buah

Page 497: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

| 483

Perlakuan Tingkat kematangan buah jeruk

Macam Pelapis 25 % 75 % 100 %

Kontrol - (tanpa pelapis dan patogen) Kontrol + (inokulasi patogen, tanpa khamir) Khamir Aureobasidium pullulans Khamir Debaryomyces hansenii

14,4 cd 8,4 b 14,8 cd 17,0 f

14,2 c 8,1 b 15,0 cd 16,8 f

14,7 cd 6,2 a 14,5 cd 15,3 de

Ket. Angka yang diikuti huruf sama tidak berbeda nyata menurut uji Duncan 0.05.

Pelapisan buah jeruk dengan khamir D. hansenii pada tingkat kematangan 25 % mampu meningkatkan

masa simpan buah selama 3 hari terhadap kontrol negatif, dan 8 hari terhadap kontrol positif. Peningkatan

masa simpan tersebut disebabkan oleh kemampuan khamir D. hanseni menghambat perkembangan patogen

penyebab busuk buah dan tingkat kematangan buah jeruk yang optimal (Indratmi et al., 2016; Ahmad, 2013).

KESIMPULAN

Pelapisan buah dengan khamir A. pullulans dan D. hansenii mampu mempertahankan kualitas buah,

meningkatkan masa simpan buah jeruk, serta melindungi dari serangan patogen pascapanen tanpa

mengurangi kualitas buah, sehingga dapat diaplikasikan pada pasca panen buah jeruk.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, U. 2013. Teknologi Penanganan Buahan Dan Sayuran. Graha Ilmu. Yogyakarta. 141 Halaman.

Bari, L., P.Hassan, N.Absar, M.E.Haque, M.Khuda, M.Pervin, S.Khatun, and M.Hossain. 2006. Nutritional

Analysis of Two Local Varieties of Papaya at different Maturation Stages. Pakistan Journal of

Biological Sciences. 9 ((1): 137-140.

Dirjen Hortikultura. 2015. Statistik Produksi Hortikultura Tahun 2014. Direktorat Jenderal Hortikulltura

Kementerian Pertanian..

Hasanah, A. 2017. Aplikasi Pelapisan Lidah Buaya (Aloe Vera L.) Untuk Meningkatkan Daya Simpan Buah

Pepaya Callina (Carica Papaya L. ). Bogor. Institut Pertaanian Bogor.

Hjeljord LG, Stensvand A, Tronsmo A. 2001. Antagonism of nutrient-activated conidia of Trichoderma

harzianum (atroviride) P1 antagonist Botrytis cinerea. Phytopathology 91, 1172-1180.

Indratmi, D., I.R.Sastrahidayat, A.L.Abadi, and S.Djauhari. 2016. Antagonist Effect of Volatile Organic

Compounds Produced by Debaryomyces hansenii on Colletotrichum gloeosporioides as Anthracnose

Reason of Troppical Apples. JBES. 9 (4): 133 – 140.

Indratmi D. 2012. Pengembangan Teknologi Produksi Khamir Rhodotorula sp. Sebagai Agensia Pengendali

Hayati Penyakit Antraknosa Pada Cabai. Jurnal Gamma. 7 (2) : 14 – 22.

Magallon, A.C.G., S.G. Luna, S.J.A.Ragazzo,and S.M.Calderon. 2012. Parasitism and Substrate

Competitions Effect of Antagonistic Yeasts forBiocontrol of Colletotrichum gloeosporioides in Papaya

(Carica papaya L.)var Maradol. Mexican J.of Sci. R.l. 1(1): 2-9.

Phoulivong, S., E.H.C.McKenzie, and K.D.Hyde. 2012. Cross infection of Colletotrichum species; a case study

with tropical fruits. Current Research in Environmental & Applied Mycology. 2(2): 99–111.

Page 498: sosek.ub.ac.id 2018/Prosiding...sosek.ub.ac.id

484 |

Pujimulyani, D. 2012.Teknologi Pengolahan Sayur-sayuran Dan Buah-buahan. Graha Ilmu. Yogyakarta.288

Halaman.

Qin G, S.Tian, and Y.Xu. 2004. Biocontrol of postharvest diseases on sweet cherries by four antagonistic

khamirs in different storage conditions. Postharvest Biol Technol. 31:51–58.

Rosa-Magri, MM., S.M.Tauk-Tornisielo, and S.R.Ceccato-Antonini. 2011. Bioprospection of Yeasts as

Biocontrol Agents Against Phytopathogenic Molds. Brazilian Archives Of Biology And Technology.54

(1): 1-5.

Suketi, K., R.Poerwanto, S.Sujiprihati, Sobir, dan W.D.Widodo. 2010. Studi karakteristik mutu buah papaya. J.

Hort. Indonesia. 1(1):17-26.

Suamba, I. W., I. G. P. Wirawan., dan W. Adiartayasa. 2014. Isolasi dan Identifikasi Fungi Mikoriza Arbuskular

(FMA) secara Mikroskopis pada Rhizosfer Tanaman Jeruk (Citrus sp.) di Desa Kerta, Kecamatan

Payangan, Kabupaten Gianyar. E-Jurnal Agroekoteknologi Tropika (Journal of Tropical

Agroecotechnology), 3(4).

Wilson, K.S.H.B., N. Glithero, Q. Ma, P. Alspach and M. Walter. 2006. Yeast Isolates To Inhibit Blue Mould

And Bitter Rot Of Apples. New Zealand Plant Protection. 59: 86-91.