prosiding simposium infrastruktur informasi geospasial ... siig 2018 - bungaran roy.pdf · kode...
TRANSCRIPT
Infrastruktur Informasi Geospasial untuk
Mendukung Kebijakan Satu Peta
ProsidingSimposium Infrastruktur Informasi Geospasial 2018
(SIIG 2018)
i
Prosiding Simposium Infrastruktur Informasi Geospasial 2018 Departemen Teknik Geodesi, Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta, 14 Mei 2018
Infrastruktur Informasi Geospasial untuk Mendukung Kebijakan Satu Peta
Penerbit
Departemen Teknik Geodesi FT UGM
Gedung Departemen Teknik Geodesi
Jl. Grafika No. 2 Yogyakarta
ISBN 978-979-98731-8-7
ii
Prosiding Simposium Infrastruktur Informasi Geospasial 2018 Infrastruktur Informasi Geospasial untuk Mendukung Kebijakan Satu Peta
Alamat : Jalan Grafika No.2 Bulaksumur, Kampus UGM, Yogyakarta 55281 Telpon/Fax : (0274) 520226 E-mail : [email protected]
iii
Kata Pengantar Infrastruktur Informasi Geospasial (IIG) memiliki beberapa nama lain yang artinya sama atau hampir
sama, yaitu Infrastruktur Data Spasial (IDS), Jaringan Informasi Geospasial (JIG), dan Simpul
Jaringan. Secara internasional, istilah IDS lebih dikenal dan banyak digunakan dibandingkan dengan
IIG, paling tidak melalui Asosiasi IDS Global, yaitu GSDI. Di dalam negeri, istilah resmi dalam
Undang-undang nomor 4 tahun 2011 (UU Informasi Geospasial) adalah IIG.
Terlepas dari variasi istilah yang ada, IIG merupakan bagian dari kegiatan penyelenggaraan IG
nasional yang pembangunannya perlu dipercepat. Hal ini mengingat status IIG pusat dan daerah yang
sebagian besar masih berada di awal pembangunannya. Ini terjadi meskipun Indonesia disebut salah
satu negara pengadopsi awal IDS/IIG oleh Prof Ian Masser di akhir tahun 1990an. Salah satu upaya
yang dilakukan oleh Badan Informasi Geospasial adalah dengan membentuk Pusat Pengembangan
Infrastruktur Data Spasial (PPIDS) di universitas-universitas di setiap provinsi, termasuk PPIDS
UGM di Universitas Gadjah Mada.
Kegiatan Simposium Infrastruktur Informasi Geospasial (SIIG) 2018 ini diharapkan merupakan
sarana berbagi pengetahuan dan pengalaman dalam mengembangkan IIG di pusat dan daerah. Bidang
ilmu yang terkait lainnya juga diwadahi dalam SIIG. Kegiatan simposium seperti ini dipilih karena
minimnya sarana publikasi dan interaksi para peneliti dan praktisi yang khusus membahas IIG. Kami
berharap bahwa simposium tahunan yang baru pertama kali ini diselenggarakan dapat memiliki
kontribusi yang nyata dalam pembangunan IIG nasional.
Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang membantu terselenggaranya kegiatan ini,
diantaranya adalah Badan Informasi Geospasial khususnya Kedeputian IIG, Fakultas Teknik UGM,
dan Departemen Teknik Geodesi FT UGM. Kepada para pemakalah dan peserta SIIG yang telah
mengirimkan makalahnya dalam SIIG, kami tentu saja sangat berterima kasih juga.
Akhir kata, selamat bersimposium.
Heri Sutanta
iv
Susunan Panitia
Pelindung
Prof. Ir. Nizam, M.Sc., Ph.D. Dekan Fakultas Teknik UGM
Ir. Prijono Nugroho Dj, MS.Ph., Ph.D. Ketua Departemen Teknik Geodesi FT UGM
Panitia Pelaksana
Heri Sutanta, ST., M.Sc., Ph.D.
Ir. Nurrohmat Widjajanti, MT., Ph.D.
Dr. Ir. Diyono, ST., MT.
Siti Noor Chayati, ST., M.Sc.
Dany Puguh Laksono, ST., M.Eng.
Annisa Farida Hayuningsih, ST., M.Eng.
Danang Setiaji, ST
Syahril Warasambi Mispaki, ST
M Adnan Yusuf, ST
Editor
Dr. Heri Sutanta
Siti Noor Chayati, M.Sc.
Mitra Bestari
Dr. Heri Sutanta
Dr. Nurrohmat Widjajanti
Dr. Diyono
Dr. Eng. Purnama Budi Santosa
Dr. Harintaka
Dr. Trias Aditya
Dr. Taufik Hery Purwanto
v
Daftar Isi
Halaman Judul ..................................................................................................................... i
Kata Pengantar ................................................................................................................... iii
Susunan Panitia ................................................................................................................. iv
Daftar Isi .............................................................................................................................. v
Strategi Operasionalisasi Jaringan Informasi Geospasial Nasional dalam Kerangka
Kegiatan Percepatan Pelaksanaan Kebijakan Satu Peta
Suprajaka, Aris Haryanto, Mahardhika Ega N, Nanda A Noor, Anita Silalahi, Mila
Rizqiani .......................................................................................................................... 1
Pengembangan Aplikasi “CORE METADATA ISO 19115”
Diah Kirana, Bebas Purnawan ....................................................................................... 8
Asesmen Kinerja IIG 2015-2018 dan Rencana Pembangunan IIG 2019-2024
Abdul Aziz Nurussadad, Akbar Hiznu Mawanda ....................................................... 13
Problematika Geoportal Indonesia (INA-Geoportal)
Fahmi Amhar ............................................................................................................... 22
Disharmoni Pelaksanaan Sertifikasi Kompetensi Di Bidang Informasi Geospasial
Akbar Hiznu Mawanda, Franko Jhoner ...................................................................... 29
Aplikasi GIS Berbasis Web Menggunakan GeoNode Untuk Diseminasi Informasi
Penginderaan Jauh
Muhammad Priyatna, Ahmad Sutanto, Taufik Hidayat, Aby Al Khudri,
Rokhis Khomarudin, Sastra Kusuma Wijaya .............................................................. 36
Analisis Forward Position Batas ZEE Indonesia terhadap Palau pada Peta NKRI
2017
Helik Susilo, Subaryono, I Made Andi Arsana ........................................................... 42
Perkembangan Penegasan Batas Kabupaten/Kota di Era Otonomi Daerah
Fahrul Hidayat, Bambang Riadi, Turmudi .................................................................. 49
Perubahan Jumlah Segmen Batas dan Luas Desa Hasil Penetapan di Kabupaten
Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta
Imasti Dhani Pratiwi, Heri Sutanta .............................................................................. 54
Rancangan Pembangunan Sistem Informasi Batas Desa di Kabupaten Kulon Progo
Dwi Wahyuningrum, Heri Sutanta .............................................................................. 63
Penetapan Batas Wilayah Adat Kenegerian Batu Songgan Kecamatan Kampar Kiri
Hulu Kabupaten Kampar Provinsi Riau
Khairul Fajri, Heri Sutanta .......................................................................................... 69
Penetapan Batas Daerah Menggunakan Pendekatan Toponimi
Bambang Riadi, Rizka Windiastuti ............................................................................. 79
vi
Menata Penyelenggaraan Pembakuan Nama Rupabumi Pasca Dibubarkannya Tim
Nasional Pembakuan Nama Rupabumi
Franko Jhoner, Akbar Hiznu Mawanda ...................................................................... 85
Evaluasi Hasil Fusi dan Integrasi DTM IFSAR dan DTM RBI Skala 1:50.000
Fanny Zafira Mukti, Harintaka, Djurdjani .................................................................. 89
Pemetaan Cepat untuk Deteksi Area Terbuka Hijau dengan Teknik TDVI dan
Pendekatan Berorientasi Objek pada Foto Udara di Wilayah Urban
Eli Juniati, Harintaka ................................................................................................... 98
Ekstraksi Fitur Bangunan Menggunakan Metode Deep Convolutional Neural
Network pada Citra Satelit Resolusi Tinggi
Erlyna Nour Arrofiqoh, Harintaka ............................................................................ 104
Pemanfaatan Citra Pengindraan Jauh untuk Pemetaan Kawasan Ruang Terbuka
Hijau di Kabupaten Tasikmalaya
Diki Nurul Huda, Aulia Rahman, Dion Hermawan .................................................. 110
Estimasi Stok Karbon Kelapa Sawit PT. Perkebunan Nusantara VII, Unit Rejosari,
Lampung Selatan Menggunakan Google Earth Engine
Kurniawan Budi Santoso, Viky Citrasari Juniandari, Haniefah Astriani .................. 115
Pemetaan Kesesuaian Lahan Mantuala Untuk Pengembangan Komoditi Unggulan
di Kabupaten Hulu Sungai Tengah Provinsi Kalimantan Selatan
Rosalina Kumalawati, Dianita Anjarini Kudiastuti ................................................... 123
Struktur Basis Data Berorientasi Objek Untuk Manajemen Tata Ruang Wilayah
Kabupaten
Putranto Dinar DA .................................................................................................... 127
Desain dan Rencana Pembuatan Aplikasi Spasialisasi Usulan Musrenbang
Riya Nur Azizah, Heri Sutanta .................................................................................. 134
Pemetaan Tingkat Bahaya Erosi Menggunakan Metode RUSLE (Revised Universal
Soil Loss Equation) dan SIG di Sub DAS Kali Progo Hulu
Farouki Dinda Rassarandi, Purnama Budi Santosa, Harintaka ................................. 142
Simulasi Pertumbuhan Pembangunan Di Sekitar Bandara NYIA
Amalia Nurwijayanti, Heri Sutanta, Deva F. Swasto ................................................ 151
TARAHAL: Purwarupa Aplikasi Pemantauan Kondisi dan Pelaporan Kerusakan
Infrastruktur Jalan Berbasis Pemetaan Partisipatif dengan Smartphone di Wilayah
Kota Bandung
Rifqi Oktavianto, M. Reza Chandra K., Rima Dharmastuti, Lady Suci Utami ........ 160
Deliniasi Dan Analis Pola Spasial Hidrologic Response Units (HRU) PADA DAS
Progo Berdasarkan Multitemporal Penggunaan Lahan
Bungaran Roy Satria Tambunan, Purnama Budi Santosa ......................................... 165
Pemodelan Rute Perjalanan Kereta Api Menggunakan Teknik Kalman Filter
Rafi Aulia Rahman, Bilal Ma’ruf .............................................................................. 172
vii
Visualisasi Permintaan Penumpang Angkutan Umum Hasil Analisis Analytical
Hierarchy Process (AHP) di Kabupaten Kulon Progo
Febrian Fitryanik Susanta, Trias Aditya .................................................................... 181
Evaluasi Pemanfaatan Aplikasi MapIt GIS Sebagai Alat Pengumpul Data
Pertanahan Untuk Pendaftaran Tanah
Fahmi Charish Mustofa, Trias Aditya, Heri Sutanta ................................................. 193
Evaluasi Kualitas Data Spasial PIBT Desa/Kelurahan Lengkap Hasil Pemetaan
Partisipatif dalam Mendukung Pendaftaran Tanah
Kariyono, Djurdjani ................................................................................................... 203
Analisis Kemampuan Lahan Di Kawasan Perhutanan Sosial Kabupaten Pemalang
Guridno Bintar Saputro, Diyah Novita Kurnianti ..................................................... 213
Proses Bisnis dan Perancangan Aplikasi Mobile GIS Berbasis Android untuk
Updating Data Pajak Bumi dan Bangunan
Putra, Purnama Budi Santosa .................................................................................... 218
Analisis Perubahan Nilai Tanah Dampak Rencana Pembangunan Kampus II UIN
di Kabupaten Bantul
Dwi Setianingsih, Djurdjani, Prijono Nugroho ......................................................... 225
Pendefinisian Koordinat 3D Stasiun Gayaberat Teknik Geodesi dengan Teknologi
GNSS
Nurrohmat Widjajanti, Parseno, Hilmiyati Ulinnuha, Nurkhalis Rahili ................... 232
Perbandingan Beberapa Metode Klasifikasi Dasar Laut Menggunakan Data
Backscatter Multi-Beam Echosounder
Kholqi Azam Rizaldi, Abdul Basith, Dwi Haryanto ................................................. 239
Pengadaan Data Spasial untuk Pemodelan Run Up Tsunami di Wilayah Pesisir
Kulon Progo
Farikhotul Chusnayah, Abdul Basith, Widjo Kongko ............................................... 243
166
Kode Makalah: SIIG-025 Prosiding Simposium Infrastruktur Informasi Geospasial 2018
Deliniasi Dan Analis Pola Spasial Hidrologic Response Units
(HRU) PADA DAS Progo Berdasarkan Multitemporal
Penggunaan Lahan Bungaran Roy Satria Tambunan1, Purnama Budi Santosa2
1,2 Jurusan Magister Teknik Geomatika FT UGM
Jln. Grafika 2 Yogyakarta 55281 INDONESIA [email protected]
__________________________________________________________________________________
Intisari— Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan gabungan antara daerah perairan dan daratan dimana yang
membatasinya adalah topografi pemisah air. DAS dapat diimajinasikan sebagai suatu cekungan yang miring dari
hulu ke hilir sehingga semua air hujan yang jatuh pada batas topografi akan mengalir ke sungai. Akhir dari sistem
drainase tersebut adalah pada suatu single outlet yang bermuara pada satu badan air yang lebih besar seperti sungai,
danau, atau laut. Karakteristik hidrologi DAS dapat dihasilkan dari Hidrologic Response Units (HRU). HRU
merupakan unit analisis hidrologi yang dibentuk berdasarkan asosiasi penggunaan lahan, jenis tanah, dan
kemiringan lahan dalam lingkup dan hubungan antar sub DAS. Kesamaan karakteristik fisik dari entitas tersebut
mempuunyai kesamaan kontrol hidrologi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan hasil deliniasi dan
pola spasial dari hidrologic response units (HRU) yang terbentuk pada DAS Progo berdasarkan penggunaan lahan
pada tahun 2006, 2011, dan 2016. Kriteria yang digunakan untuk mendefinisikan kehomogenan dari setiap HRU
berdasarkan variasi hidrologi secara dinamis dibandingkan dengan tetangganya. Hasil penelitian menunjukkan
HRU yang terbentuk pada tahun 2006 sebanyak 184, tahun 2011 sebanyak 194, dan tahun 2016 sebanyak 192.
HRU tersebut tersebar pada 35 sub DAS yang terbentuk berdasarkan deliniasi DEM SRTM yang dilakukan secara
otomatis. Perubahan pola spasial HRU terjadi akibat pengaruh perubahan penggunaan lahan yang cukup signifikan
dari tahun 2006 sampai dengan tahun 2016 dengan kelas penggunaan lahan Hutan Tanaman naik sebesar 27.04%
dan Pertanian Lahan Kering turun sebesar 31.2 %.
Kata kunci— DAS, Hidrologic Response Units, Penggunaan Lahan
Abstract— Watershed is a combination of waters and land areas where the boundary is topography of water
separator. Watershed can be imagined as a sloping basin from upstream to downstream where rainwater that falls
on the topographic boundary will flow into river. The end of the drainage system is in a single outlet that boils
down to a larger body of water such as a river, lake, or sea. Hydrological characteristics of the watershed can be
generated from Hydrologic Response Units (HRU). HRU is a hydrological analysis unit established on the basis of
land use associations, soil types, and slope of land within the scope and relationships between sub - watershed. The
similar physical characteristics of the entity have the same hydrological controls. The aim of this study was to
obtain the delineation and spatial patterns of hydrologic response units (HRU) on Progo watershed based on landuse
in 2006, 2011 and 2016. The criteria used to define the homogeneity of each HRU based on dynamically varying
hydrology compared with its neighbors. The research results show that HRU formed in 2006 as many as 184, in
2011 as many as 194, and 2016 as many as 192. HRU is spread on 35 sub DAS formed based on DEM SRTM
delineation done automatically. The change in the spatial pattern of HRU occurred due to the influence of
significant landuse change from 2006 until 2016 with the class of land use of Plantation Forest increased by 27.04%
and the dryland farms decreased by 31.2%.
Keywords— Watershed, Hidrologic Response Units, Landuse.
___________________________________________________________________________________________
I. PENDAHULUAN
Karakteristik fisik Daerah Aliran Sungai (DAS)
merupakan variabel dasar yang menentukan proses
hidrologi pada suatu DAS sehingga pemahaman
mengenai karakteristik fisik DAS dapat membantu
dalam melakukan identifikasi daerah yang rentan
terhadap persoalan DAS serta melakukan
perancangan teknik pengendalian yang sesuai dengan
kondisi wilayah tersebut. Dalam analisis hidrologi
sering dilakukan deliniasi DAS dengan tujuan untuk
membuat batas DAS yang akan mengalir ke satu titik
yang sama. Pembuatan DAS sebagai batas topografi
yang membagi habis suatu wilayah.
Penggunaan lahan merupakan kondisi lahan yang
memiliki campur tangan dari manusia untuk
memenuhi kebutuhan hidup untuk saat ini maupun
yang akan datang. Jika terjadi perubahan lahan pada
daerah hulu pada Daerah Aliran Sungai (DAS) akan
berdampak pada perubahan karakteristik hidrologi
dari DAS tersebut. Perubahan karakteristik hidrologi
yang terjadi berupa prilaku dan fungsi air sehingga
dapat menyebabkan banjir (Harto, 2000).
Karakteristik hidrologi dari suatu Daerah Aliran
Sungai dapat diidentifikasi berdasarkan hasil analisis
dari Hydrologic Response Units (HRU) suatu wilayah
tertentu berdasarkan penggunaan lahan, jenis tanah,
dan kelerengan dari wilayah tersebut. Hasil dari
analisis HRU adalah fenomena dan fakta spasial yang
ada dalam lingkup dan hubungan antar sub DAS.
HRU mengelompokan karakterik fisiogeospasial
167
berdasarkan pada asosiasi penggunaan lahan, jenis
tanah, kelerengan dari suatu wilayah. Variabel-
variabel tersebut merupakan varibel dinamis yang
dapat menyebabkan perubahan HRU dari waktu ke
waktu. Perubahan HRU ini biasanya terjadi akibat
berkembangnya suatu wilayah yang membutuhkan
lahan untuk pemukiman maupun tutupan lahan
lainnya. Hal ini menyebabkan terjadinya konversi
hutan menjadi pemukiman, sawah, ladang ataupun
fasilitas lainnya (Flugel, 1997).
Banyak penelitian yang menggunakan Sistem
Informasi Geospasial untuk melakukan berbagai
macam model hidrologi. Knijff, dkk. (2008)
menyusun model hidrologis curah hujan-limpasan
permukaan, yaitu LISFLOOD yang
diimplementasikan menggunakan PCRaster sebagai
bahasa program SIG untuk data raster. Jetten (2002)
menyusun model hidrologi LISEM (Limburg Soil
Erosion Model) yang mensimulasikan proses
hidrologi dan transpor sedimen saat dan sesaat setelah
hujan terjadi. Usage (2002) menyusun model
hidrologi HEC-GeoRAS (Hydrological Engineering
Center River Analysis System) yang dapat
menyajikan model-model aliran dengan input data
geometri. USDA-SCS (1985) menyusun model
hidrologi Runoff Curve Number (CN) untuk
memprediksi limpasan permukaan langsung saat
hujan terjadi berdasarkan grup hidrologi tanah.
Penggunaan SIG dalam berbagai model hidrologi
dapat memberikan teknik untuk pengolahan
informasi yang bereferensi geospasial untuk berbagai
analisis dalam memecahkan masalah-masalah
keruangan di permukaan bumi.
Rau, et al. (2015) menganalisis debit sungai di
DAS Cipasauran dengan menggunakan model
SWAT berdasarkan karakteristik tanah, iklim, tata
guna lahan dan hidrologi untuk memenuhi pasokan
kekurangan air pada PT Krakatau Tirta Industri (KTI).
Hasil analisis menunjukkan besarnya debit harian
DAS Cipasauran sebesar 0 – 3.309 m3/s, sedangkan
debit bulanan sebesar 0.648 – 3.266 m3/s.
Berdasarkan hasil tersebut, maka kebutuhan air
harian dan bulanan PT KTI sebesar 0.6 m3/s dapat
terpenuhi masing-masing sebesar 98.22% dan 100%.
Penggunaan Digital Elevation Model (DEM)
memungkinkan untuk mendapatkan informasi terkait
topografi permukaan tanah yang akan digunakan
dalam analisis hidrologi. Perkembangan DEM yang
semakin baik dapat dimanfaatkan dalam berbagai
analisis spasial. Dengan tersedianya data DEM
diharapkan dapat dimanfaatkan untuk
mengidentifikasi karakteristik fisik DAS. Penetapan
dan pengelolaan DAS dibutuhkan dalam skala yang
detil. Hal ini bertujuan untuk melakukan perencanaan,
pengelolaan, dan monitoring yang lebih tepat dan
spesifik sesuai dengan karakteristik lahan.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
menganalisis Hidrologic Response Units (HRU) dan
pola sapasial yang terbentuk pada Daerah Aliran
Sungai (DAS) Progo dengan menggunakan data
multitemporal penggunaan lahan tahun 2006, 2011,
dan 2016.
II. METODOLOGI PENELITIAN
Lokasi penelitian berada di wilayah DAS Progo
yang membentang dari lereng Gunung Sindoro,
Sumbing, Merbabu, dan Merapi di wilayah Provinsi
Jawa Tengah dan Yogyakarta dan bermuara di
Samudera Indonesia di Pantai Selatan Pulau Jawa.
Gambar 1. Lokasi DAS Progo
A. Bahan Penelitian
Bahan penelitian yang digunakan dalam penelitian
ini antara lain data DEM, penggunaan lahan, jenis
tanah, dan kelerengan. Data DEM yang digunakan
adalah data DEM Shuttle Radar Topography Mission
(SRTM) yang diunduh dari https://www.usgs.gov/
untuk melakukan deliniasi DAS, jaringan sungai,
outlet, dan sub DAS. DEM yang digunakan dalam
bentuk raster grid yang bersistem koordinat WGS’84
dalam sistem proyeksi UTM.
Proses pembentukan Hidrologic Response Unit
(HRU) membutuhkan tiga komponen utama data,
antara lain peta multitemporal penggunaan lahan
tahun 2006, 2011, dan tahun 2016 yang bersumber
dari interpretasi citra satelit Landsat oleh Badan
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Hutan
Lindung (BPDASHL) Serayu – Opak – Progo dengan
skala 1 : 50000, peta jenis tanah yang diunduh dari
http://www.fao.org dengan skala 1 : 100000, dan peta
kelerengan yang diturunkan dari data DEM SRTM
dengan skala 1 : 50000 yang telah diunduh
sebelumnya.
168
Gambar 2. DEM SRTM dengan nilai pixel 30 x 30 m
B. Peralatan
Peralatan yang digunakan untuk menunjang
pelaksanaan penelitian ini terdiri atas perangkat keras
(hardware) dan perangkat lunak (software).
Perangkat keras yang digunakan adalah laptop untuk
melakukan pengolahan data dan penulisan laporan,
sedangkan perangkat lunak yang digunakan adalah
ArcGIS 10.4 untuk pengolahan data shapefile dan
pembuatan peta. Tools ArcSWAT pada ArcGIS
untuk melakukan reklasifikasi penggunaan lahan,
jenis tanah, dan kelerengan serta pembuatan
Hidrologic Response Unit. Microsoft Word 2016
untuk melakukan penulisan laporan.
C. Pemrosesan
Batas fisik DAS dideliniasi dengan menggunakan
tools ArcSWAT pada ArcGIS secara otomatis dengan
data masukan Digital Elevation Model (DEM). DEM
yang digunakan adalah DEM SRTM yang sudah
diunduh pada persiapan bahan. Cakupan wilayah
DAS Progo pada data DEM SRTM yang diunduh
terdiri dari 3 bagain data DEM yang terlebih dahulu
harus digabungkan menjadi satu kesatuan. DEM
SRTM tersebut memiliki nilai pixel sebesar 30 x 30
m (gambar 2). Sebelum diturunkan menjadi beberapa
data, data DEM tersebut dilakukan analisis fill sink.
Fill sink dilakukan untuk menghilangkan sink, yaitu
cekungan seperti danau kecil atau kolam pada DEM.
Sink akan dianggap sebagai tempat pemberhentian
akhir dari aliran air sehingga dapat dianggap sebagai
muara. Jika sink tidak dihilangkan, maka batas DAS
tidak akan valid lagi. Sebagai pengecualian, sink tidak
dapat dihilangkan jika ukurannya sangat signifikan
seperti danau besar. Setelah dilakukan proses sink,
selantutnya data DEM dapat digunakan untuk proses
deliniasi. Proses delineasi secara otomatis
menghasilkan jaringan sungai, sub DAS, dan outlet
sungai (gambar 3). Pembagian sub DAS merupakan
prosedur dalam model SWAT yang membagi wilayah
berdasarkan topografi dan jaringan sungai.
Selanjutnya adalah melakukan input untuk ketiga
parameter utama dalam pembentukan HRU, yaitu
penggunaan lahan, jenis tanah, dan kelerengan. Data
spasial tersebut harus dalam satu sistem koordinat.
Sebelum dilakukan proses penggabungan, ketiga
parameter tersebut dilakukan proses reklasifikasi
sesuai dengan kelas-kelas yang digunakan pada
model SWAT.
(a) (b) (c)
Gambar 3. (a) jaringan sungai, (b) outlet, dan (c) sub DAS
Berdasarkan data penggunaan lahan yang
diperoleh dari Badan Pengelolaan Daerah Aliran
Sungai dan Hutan Lindung (BPDASHL) Serayu –
Opak – Progo, penggunaan lahan yang terdapat pada
DAS Progo pada tahun 2006, 2011, dan tahun 2016
antara lain hutan lahan kering sekunder, hutan
tanaman, semak/belukar, perkebunan, pemukiman,
tanah terbuka, tubuh air, pertanian lahan kering,
pertanian lahan kering campur, dan sawah.
Penggunaan lahan tersebut selanjutnya dilakukan
reklasifikasi sesuai dengan kelas penggunaan lahan
pada model SWAT. Hasil reklasifikasi dapat dilihat
pada tabel I di bawah ini. TABEL I
REKLASIFIKASI PENGGUNAAN LAHAN DI DAS PROGO (PUTRA, 2015)
Penggunaan
Lahan
Nomor
Kode SWAT LU
Kode
SWAT
Hutan Lahan Kering Sekunder
2002 Forest-
Deciduous FRSD
Hutan Tanaman 2006 Forest-
Evergreen FRSE
Semak/belukar 2007 Range-Brush RNGB
Perkebunan 2010 Plaintains PLAN
Pemukiman 2012 Residential-
Medium Density URMD
Tanah Terbuka 2014 Wetlands-Non-
Forested WETN
Tubuh Air 5001 Water WATR
Pertanian Lahan
Kering 20091
Agricultural
Land-Row Crops
AGRR
Pertanian Lahan
Kering Campur 20092
Agricultural
Land-Close- grown
AGRC
Sawah 20093 Rice RICE
Data jenis tanah yang digunakan dalam penelitian
ini adalah data jenis tanah DAS Progo yang diunduh
dari FAO (Food and Agriculture Organization). Jenis
tanah tersebut selanjutnya dilakukan reklasifikasi
sesuai dengan kelas jenis tanah pada model SWAT.
Terdapat delapan jenis tanah pada daerah DAS Progo
berdasarkan hasil reklasifikasi jenis tanah tersebut.
Hasil reklasifikasi dapat dilihat pada tabel II di bawah
ini. TABEL II
REKLASIFIKASI JENIS TANAH DI DAS PROGO (FAO, 2018)
Jenis Tanah FAO Soil Kode SWAT
Latosol Vitrik (Lv) Lv5-3b Lv5-3b-4538
Andosol Okrik (To) To24-2c To24-2c-4575
Andosol Vitrik (Tv) Tv38-1bc Tv38-1bc-
4580
Andosol Molik (Tm) Tm23-2c Tm23-2c-4573
169
Litosol (I) I-Ao-2/3c I-Ao-2-3c-
4508
Regosol Eutrik (Re) Re82-1bc Re82-1bc-
4570
Jd Jd10-2/3a Jd10-2-3a-
4515
Litosol (I) I-E-3bc I-E-3bc-4509
Selain digunakan untuk deliniasi DAS, sub DAS,
dan outlet, data DEM SRTM juga digunakan untuk
menentukan kelas kelerengan dan dilakukan secara
otomatis oleh SWAT sesuai dengan interval yang
telah ditentukan. Berdasarkan Peraturan Dirjen RLPS
Kemenhut (2009) tentang penetapan kelas kelerengan,
ditetapkan sebanyak 5 kelas, yaitu 0-8% (landai), 8-
15% (bergelombang), 15-25% (berbukit), 25-40%
(curam), dan > 40% (sangat curam).
Skala pemetaan mempunyai peranan sangat
penting karena menyangkut pada keteilitan data dan
informasi yang akan dihasilkan. Skala pemetaan
ditentukan berdasarkan luas DAS masing-masing
mengikuti ketentuan sebagai berikut: TABEL III
SKALA PEMETAAN UNTUK KARAKTERISTIK DAS (DITJEN
BPDASPS, 2013)
Luas DAS
(Ha)
Klasifikasi
DAS Keterangan Skala Peta
1.500.000 ke
atas
DAS Sangat
Besar
Lintas Provinsi 1 : 250.000
Lintas Kabupaten 1 : 250.000
Dalam Kabupaten 1 : 50.000
500.000 - <
1.500.000 DAS Besar
Lintas Provinsi 1 : 250.000
Lintas Kabupaten 1 : 250.000
Dalam Kabupaten 1 : 50.000
100.000 - <
500.000 DAS Sedang
Lintas Provinsi 1 : 100.000
Lintas Kabupaten 1 : 100.000
Dalam Kabupaten 1 : 50.000
Dalam Kota 1 : 25.000
10.000 - < 100.000
DAS Kecil
Lintas Provinsi 1 : 50.000
Lintas Kabupaten 1 : 50.000
Dalam Kabupaten 1 : 25.000
Dalam Kota 1 : 10.000
Kurang dari
10.000
DAS Sangat
Kecil
Lintas Provinsi 1 : 10.000
Lintas Kabupaten 1 : 10.000
Dalam Kabupaten 1 : 10.000
Dalam Kota 1 : 10.000
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Deliniasi DAS, sub DAS, dan Outlet
Proses delineasi data input yang berupa data DEM
SRTM secara otomatis menghasilkan laporan hasil
deliniasi DAS, jaringan sungai, pembentukan outlet,
dan hasil deliniasi sub DAS. Pembagian sub DAS
merupakan prosedur dalam model SWAT yang
membagi wilayah berdasarkan topografi dan jaringan
sungai. Hasil dari delineasi terbentuk 35 outlet dan
sub DAS (gambar 4.) dengan luasan minimum sub
DAS sebesar 186 Ha (sub DAS 5) sampai dengan
luasan maksimum sub DAS sebesar 22064 85 Ha (sub
DAS 17).
Deliniasi DAS terbentuk setelah tahapan
pembentukan jaringan sungai, outlet, dan sub DAS
telah dilakukan. Total luas DAS Progo yang
diperoleh berdasarkan hasil deliniasi adalah sebesar
229945.440 Ha. Berdasarkan Peraturan Direktur
Jendral Bina Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan
Perhutanan Sosial Nomor : P. 3/V-SET/2013 tentang
Pedoman Identifikasi Karakteristik Daerah Aliran
Sungai, DAS Progo termasuk ke dalam karakteristik
DAS sedang dilihat dari luasnya. DAS Progo
melintasi dua Provinsi, dengan demikian berdasarkan
peraturan tersebut, penyajian peta untuk DAS Progo
berada pada skala 1 : 100.000.
Gambar 4. Hasil deliniasi DAS, sub DAS, dan pembentukan
outlet
B. Perubahan Penggunaan Lahan
Berdasarkan hasil pengolahan data reklasifikasi
penggunaan lahan, dapat diketahui bahwa
penggunaan lahan pada DAS Progo pada tahun 2006
didominasi oleh pertanian lahan kering dengan
persentase sebesar 36.14% dan turun secara
signifikan pada tahun 2011 dan tahun 2016 dengan
masing-masing nilai persentase sebesar 8.97% dan
4.94%. Terjadi kenaikan luas penggunaan lahan
untuk hutan tanaman, dmana pada tahun 2011
memiliki persentase sebesar 6.6%, pada tahun 2011
naik secara signifikan sebesar 33.98%, dan pada
tahun 2016 turumenjadi sebesar 33.64%. Dalam
kurun waktu 10 tahun terjadi perubahan yang cukup
signifikan untuk kelas pertanian lahan kering dan
hutan tanaman. Proporsi luasan masing-masing kelas
penggunaan lahan beserta peta sebarannya dapat
dilihat pada Tabel IV dan Gambar 5.
TABEL IV
PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN PADA DAS PROGO
Penggunaan Lahan Kode
SWAT
Luas (%)
2006 2011 2016
Hutan Lahan Kering
Sekunder FRSD 0.20
0.20 0.20
Hutan Tanaman FRSE 6.6 33.98 33.64
Semak/belukar RNGB 0.27 0.28 0.41
Perkebunan PLAN 0.11 0.11 0.11
Pemukiman URMD 19.16 19.18 19.42
Tanah Terbuka WETN 0.79 0.80 0.98
Tubuh Air WATR 0.37 0.37 0.38
Pertanian Lahan
Kering AGRR 36.14
8.97 4.94
Pertanian Lahan
Kering Campur AGRC 9.64
8.82 12.68
Sawah RICE 26.72 27.28 27.24
DAS
Outlet
Jaringan sungai
Sub DAS
170
(a) (b)
(c)
Gambar 5. Penggunaan lahan tahun (a) 2006, (b) 2011, dan (c)
2016
C. Jenis Tanah
Berdasarkan hasil reklasifikasi jenis tanah
menggunakan model SWAT diketahui bahwa tanah
pada DAS Progo diklasifikasikan menjadi delapan
kelas jenis tanah. Umumnya tanah berjenis Latosol
Vitrik (Lv). Proporsi luasan masing-masing jenis
tanah beserta peta sebarannya dapat dilihat pada
Tabel V dan Gambar 6 di bawah ini. TABEL V
JENIS TANAH PADA DAS PROGO
Jenis Tanah FAO Soil Kode
SWAT
Luas
(%)
Latosol Vitrik
(Lv)
Lv5-3b Lv5-3b-4538 46.78
Andosol Okrik
(To)
To24-2c To24-2c-
4575
0.24
Andosol Vitrik
(Tv)
Tv38-1bc Tv38-1bc-
4580
18.35
Andosol Molik
(Tm)
Tm23-2c Tm23-2c-
4573
3.62
Litosol (I) I-Ao-2/3c I-Ao-2-3c-4508
13.01
Regosol Eutrik
(Re)
Re82-1bc Re82-1bc-
4570
8.13
Jd Jd10-2/3a Jd10-2-3a-
4515
1.20
Litosol (I) I-E-3bc I-E-3bc-
4509
8.67
Gambar 6. Jenis tanah
D. Kelerengan
Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi
karakteristik aliran air adalah kemiringan lahan
(kelerengan) karena dapat menentukan besarnya
debit yang keluar dari outlet dan kecepatan runoff.
Lahan dengan kemiringan yang curam memiliki
potensi runoff yang tinggi jika terjadi hujan. Data
spasial kelerengan diklasifikasi secara otomatis oleh
SWAT dari data input DEM sesuai dengan kelas
interval yang ditentukan sebanyak 5 kelas, yaitu 0-8%
(landai), 8-15% (bergelombang), 15-25% (berbukit),
25-40% (curam), > 40% (sangat curam). Pada
wilayah DAS Progo didominasi oleh kelas
kelerengan yang landai dengan luas wilayah sebesar
44% dan wilayah yang sangat curam sebesar 7.90%.
Wilayah yang sangat curam berada di sekitaran
Gunung Sumbing, Gunung Sindoro, Gunung Merapi,
dan Gunung Merbabu. Hasil pembagian kelas
kelerengan pada DAS Progo dan peta sebarannya
dapat dilihat pada tabel VI dan Gambar 7 di bawah
ini. TABEL VI
KELAS KELERENGAN PADA DAS PROGO
Tingkat Kelerengan
(%)
Kelas
Kelerengan
Luas (%)
0 – 8 Landai 44.00
8 – 15 Bergelombang 21.82
15 - 25 Berbukit 15.68
25 - 40 Curam 10.60
> 40 Sangat curam 7.90
Gambar 7. Kelerengan
E. Deliniasi dan Pola Spasial Hidrologic Response
Units (HRU)
Hidrologic Response Units (HRU) merupakan unit
analisis hidrologi berdasarkan hasil asosiasi antara
peta penggunaan lahan, peta jenis tanah, dan peta
kelerengan yang sudah di reklasifikasi berdasarkan
model SWAT. Hasil pembentukan HRU memberikan
informasi spesifik mengenai penggunaan lahan, jenis
tanah, kemiringan lahan, luas area, dan persentase
luas HRU pada masing-masing sub DAS.
Pembentukan HRU di DAS Progo dilakukan
berdasarkan multi temporal peta penggunaan lahan
yang digunakan sehingga terdapat 3 peta HRU yang
dihasilkan. Jumlah HRU yang terbentuk pada tahun
2006 adalah 184 HRU pada yang terbagi pada
masing-masing sub DAS. HRU yang terbentuk pada
> 40
171
tahun 2011 adalah sebanyak 194 HRU, sedangkan
DAS yang terbentuk pada tahun 2016 adalah 192
HRU pada yang terbagi pada masing-masing sub
DAS.
Gambar 8. HRU
Berdasarkan HRU yang terbentuk terjadi
peningkatan jumlah HRU sebanyak 10 HRU dari
tahun 2006 ke tahun 2011, sedangkan pada tahun
2016 terjadi penurunan HRU sebanyak 2 HRU.
Perubahan yang cukup signifikan pada sub DAS 12
dmana pada tahun 2011 berjumlah 5 HRU, sedangkan
pada tahun 2011 dan tahun 2016 berjumlah 8 HRU.
Penurunan jumlah HRU yang paling signifikan
terjadi pada Sub DAS 22, damana pada tahun 2006
berjumlah 13 HRU menjadi 7 HRU pada tahun 2011
dan pada tahun 2016. Hasil pembagian jumlah HRU
pada DAS Progo berdasarkan multitemporal landuse
untuk masing-masing sub DAS dapat dilihat pada
tabel VII di bawah ini. TABEL VII
JUMLAH HRU PADA MASING-MASING SUB DAS
Sub DAS
Jumlah HRU
Tahun 2006 Tahun 2011 Tahun 2016
1 9 10 10
2 7 7 7
3 5 5 5
4 7 8 8
5 6 6 6
6 3 3 3
7 4 4 4
8 11 11 11
9 6 7 7
10 6 6 6
11 5 5 5
12 5 8 8
13 4 4 4
14 8 10 10
15 3 3 3
16 3 4 4
17 8 11 11
18 10 9 9
19 1 1 1
20 2 2 2
21 3 3 3
22 13 7 7
23 2 2 2
24 2 2 2
25 9 9 9
26 2 2 2
27 6 6 3
28 4 4 4
29 6 6 6
30 4 4 4
31 7 7 7
32 4 9 9
Sub DAS
Jumlah HRU
Tahun 2006 Tahun 2011 Tahun 2016
33 2 2 2
34 3 3 3
35 4 4 5
Total 184 194 192
Jika melihat komponen HRU yang mengalami
penurunan dan kenaikan yang cukup signifikan
berdasarkan tabel VII, maka komponen yang paling
berpengaruh terhadap perubahan tersebut adalah
kelas penggunaan lahan hutan tanaman dan pertanian
lahan kering. Adapun komponen HRU pada sub DAS
12 dan sub DAS 22 dapat dilihat pada tabel VIII di
bawah ini. TABEL VIII
HRU SUB DAS 12 DAN 22 Sub
DAS HRU 2006 % area HRU 2011 % area HRU 2016 % area
12
AGRR/Lv5-
3b-4538/8-
15
28.35
FRSE/Lv5-
3b-4538/15-
25
19.62
FRSE/Lv5-
3b-4538/8-
15
25.46
AGRR/Lv5-
3b-4538/15-
25
21.85 FRSE/Lv5-
3b-4538/0-8 18.54
FRSE/Lv5-
3b-4538/15-
25
19.62
AGRR/Lv5-
3b-4538/0-8 20.62
FRSE/Lv5-
3b-4538/8-
15
25.46 FRSE/Lv5-
3b-4538/0-8 18.54
RICE/Lv5-
3b-4538/0-8 17.3
FRSE/Tm23-
2c-4573/15-
25
2.9
FRSE/Tm23-
2c-4573/25-
40
2.48
RICE/Lv5-
3b-4538/8-
15
11.88
FRSE/Tm23-
2c-4573/25-
40
2.48
FRSE/Tm23-
2c-4573/15-
25
2.9
FRSE/Tm23-
2c-4573/8-15 2.67
FRSE/Tm23-
2c-4573/8-15 2.67
RICE/Lv5-
3b-4538/8-
15
11.53
RICE/Lv5-
3b-4538/8-
15
11.53
RICE/Lv5-
3b-4538/0-8 16.79
RICE/Lv5-
3b-4538/0-8 16.79
22
FRSE/Lv5-
3b-4538/40-
9999
1.3
FRSE/Lv5-
3b-4538/15-
25
8.08
FRSE/Lv5-
3b-4538/15-
25
8.58
FRSE/Lv5-
3b-4538/15-
25
0.85
FRSE/Lv5-
3b-4538/8-
15
8.51
FRSE/Lv5-
3b-4538/8-
15
9.03
FRSE/Lv5-
3b-4538/25-
40
1.05
FRSE/Tm23-
2c-4573/15-
25
10.95
FRSE/Tm23-
2c-4573/40-
9999
14.58
FRSE/Tm23
-2c-4573/40-
9999
14.43
FRSE/Tm23-
2c-4573/25-
40
13.32
FRSE/Tm23-
2c-4573/15-
25
11.73
FRSE/Tm23
-2c-4573/25-
40
6.89
FRSE/Tm23-
2c-4573/40-
9999
18.82
FRSE/Tm23-
2c-4573/25-
40
13.28
AGRR/Lv5-
3b-4538/15-
25
4.68 RICE/Lv5-
3b-4538/0-8 31.54
RICE/Lv5-
3b-4538/0-8 33.48
AGRR/Lv5-
3b-4538/0-8 6.51
RICE/Lv5-
3b-4538/8-
15
8.78
RICE/Lv5-
3b-4538/8-
15
9.32
AGRR/Lv5-
3b-4538/8-
15
5.86
AGRR/Tm2
3-2c-
4573/25-40
5.24
AGRR/Tm2
3-2c-4573/8-
15
6.64
AGRR/Tm2
3-2c-
4573/15-25
8
RICE/Lv5-
3b-4538/8-
15
8.39
RICE/Lv5-
3b-4538/0-8 30.16
172
Kelas penggunaan lahan hutan tanaman (FRSE)
dan pertanian lahan kering (AGRR) memiliki
sumbangsih yang cukup signifikan terhadap
perubahan HRU yang terjadi pada tahun 2006, 2011,
dan tahun 2016. Perubahan tersebut dapat diamati
berdasarkan pola spasial yang terbentuk pada masing-
masing tahun penggunaan lahan. Besarnya luas
perubahan penggunaan lahan untuk masing-masing
kelas penggunaan lahan hutan tanaman naik sebesar
27.04% dan pertanian lahan kering turun sebesar
31.2 % dalam kurun waktu selama 10 tahun. Adapun
pola spasial untuk perubahan penggunaan lahan
untuk kelas hutan tanaman dan pertanian lahan kering
dapat dilihat pada gambar 9 dan gambar 10 di bawah
ini.
Gambar 9. Perubahan Hutan tanaman (FRSE)
Gambar 10. Perubahan pertanian lahan kering (AGRR)
IV. KESIMPULAN
Hidrologic Response Units (HRU) merupakan
sekelompok karakterik fisiogeospasial berdasarkan
pada asosiasi penggunaan lahan, jenis tanah,
kelerengan dari suatu wilayah yang bersifat dinamis
sehingga terjadi perubahan HRU dari waktu ke waktu.
Variabe dinamis yang digunakan dalam penelitian ini
adalah variabel penggunaan lahan.
Hasil penelitian menunjukkan HRU yang
terbentuk pada tahun 2006 sebanyak 184 HRU, tahun
2011 sebanyak 194 HRU, dan pada tahun 2016
sebanyak 192 HRU. 35 sub DAS yang terbentuk
memiliki pola komponen HRU yang berbeda-beda.
Perubahan pola spasial HRU terjadi akibat pengaruh
perubahan penggunaan lahan yang cukup signifikan
dari tahun 2006 sampai dengan tahun 2016 dengan
kelas penggunaan lahan Hutan Tanaman naik sebesar
27.04% dan Pertanian Lahan Kering turun sebesar
31.2 %.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada instansi
pemerintah yang telah memberikan izin dalam
perolehan data spasial dan tabular yang diperlukan
dalam penelitian ini, yaitu Kesbangpol Provinsi DI
Yogyakarta dan Badan Pengelolaan Daerah Aliran
Sungai dan Hutan Lindung (BPDASHL) Serayu –
Opak – Progo. Penulis juga mengucapkan terima
kasih kepada pengelola Prodi Magister Teknik
Geomatika UGM yang telah memberikan semangat
dan arahan kepada penulis untuk melakukan
publikasi melalui seminar di Simposium IIG tahun
2018 ini. Penulis juga berterima kasih untuk
Simposium IIG yang boleh memfasilitasi penulis
untuk melakukan publikasi.
REFERENSI Direktorat Jendral Bina Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan
Perhutanan Sosial. 2013. Pedoman Identifikasi
Karakteristik Daerah Aliran Sungai. Nomor: P. 3/V-SET/2013.
Direktorat Jendral Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial. 2009.
Peraturan Direktur Jendral Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial Nomor: P.04/V-SET/2009 tentang
Pedoman Monitoring dan Evaluasi Daerah Aliran Sungai.
Jakarta (ID). Flugel, W. A. 1997. Combining GIS with Regional Hydrological
Modeling using Hydrological Response Units (HRU): An
Application from Germany, Mathematics and Computers in Simulation 43, 297–304. Elsevier.
http://www.fao.org/geonetwork/srv/en/metadata.show?id=14116
(accessed April 10, 2018) Harto, S. B. R. 2000. Analisis Hidrologi. PT Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta.
Jetten, V. G., 2002. LISEM (Limburg Soil Erosion Model), User Manual. Utrecht Centre of Environment and Landscap
Dynamics, Universiteit Utrecht.
Knijff, V. D., Johan, and Roo, A. D. 2008. LISFLOOD: Distributed Water Balance and Flodd Simulation Model, Revised
User Manual. JRC Scieentific and Technical Reports.
Europan Comission. Putra, L. A. 2015. Analisis Efektivitas Waduk Ciawi Menggunakan
Model SWAT Sebagai Upaya Pengendalian Banjir DAS
Ciliwung. Master’s thesis, IPB. Bogor. Rau, M. I., Pandjaitan, N., and Sapei, A., 2015. Analisis Debit
Sungai denga menggunakan Model SWAT pada DAS Cipasauran, Banten. Jurnal Keteknikan Pertanian 3, 113–
120.
Usage (US Army Corps of Engineers). 2002. HEC-GeoRAS: An Extension for Support of HEC-RAS using ArcView,
User's Manual Version 3.1. CA. USA: Hydrologic
Engineering Center. USDA-SCS (US Department of Agriculture -Soil Conservation
Service). 1985. National Engineering Handbook, Section
4 - Hydrology Washnington D.C. USA: USDA-Soil Conservation Service.