sociology of citizenship

4
1 Membangun Ukhuwah Islamiyah 1 Oleh Dr. Drs. Muhammad Idrus, S.Psi., M.Pd 2 Belajar dari sejarah masa lampau serta mencandra fenomena yang terjadi akhir- akhir ini, menjadikan kita perlu mengkaji nilai-nilai persaudaraan yang tumbuh di antara kita. Jika tumbuh kesadaran bahwa Islam merupakan agama universal yang bukan untuk segolongan umat tertentu dan hadirnya di muka bumi ini sebagai rahmat bagi semesta alam, maka sudah semestinyalah dengan komunitas masyarakat Islam yang dominan -dalam arti kuantitatif- ini menjadikan Islam sebagai agama pembawa rahmat bagi masyarakat Indonesia. Fenomena empiris tidak selamanya mendukung tesis di atas, sebab pada kebanyakan masyarakat kita belum seluruhnya menyadari (memahami?) esensi yang diinginkan Islam -sebagai agama wahyu-. Islam saat ini dicandra sebagai lembaga agama yang telah memisahkan mereka dari akar budaya mereka sendiri, dari etnis, dari hubungan darah, bahkan dalam komunitas Islam itu sendiri, sehingga cendrung dipandang sebagai sesuatu yang eksklusif, terpisah dan teraleniasi. Islam yang ditangkap kebanyakan masyarakat kita adalah Islam dengan nuansa yang sempit, yang berbicara surga dan neraka, hukum halal, haram, selebihnya Islam tidak membicarakannya. Islam yang muncul di hadapan mereka adalah Islam yang membatasi mereka untuk bersahabat dengan kelompok Islam lainnya karena perbedaan faham semata, apalagi persahabatan antar pemeluk agama yang berbeda5. Pada akhirnya tali ukhuwah yang diharapkan dapat tersimpul baik, justru sebaliknya kendur dan rapuh --jika tidak ingin mengatakan hancur-- seiring dengan kemajuan zaman. Jika begini senyatanya, maka akan terasa berat bagi umat Islam untuk menarik gerbong peradaban ini menuju negara yang diharapkan, negara yang selalu dalam suasana kebaikan dan senantiasa di bawah ampunan Allah. Menggalang satu ikatan 1 Disampaikan dalam forum Pengabdian di Masjid Al-Muhajirin Perum. GKP Argorejo, Sedayu, Bantul. 2 Dosen FIAI UII Yogyakarta

Upload: mohddede

Post on 30-Sep-2015

217 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

explaination about faith and people

TRANSCRIPT

  • 1

    Membangun Ukhuwah Islamiyah1

    Oleh Dr. Drs. Muhammad Idrus, S.Psi., M.Pd 2

    Belajar dari sejarah masa lampau serta mencandra fenomena yang terjadi akhir-

    akhir ini, menjadikan kita perlu mengkaji nilai-nilai persaudaraan yang tumbuh di

    antara kita. Jika tumbuh kesadaran bahwa Islam merupakan agama universal yang

    bukan untuk segolongan umat tertentu dan hadirnya di muka bumi ini sebagai rahmat

    bagi semesta alam, maka sudah semestinyalah dengan komunitas masyarakat Islam

    yang dominan -dalam arti kuantitatif- ini menjadikan Islam sebagai agama pembawa

    rahmat bagi masyarakat Indonesia.

    Fenomena empiris tidak selamanya mendukung tesis di atas, sebab pada

    kebanyakan masyarakat kita belum seluruhnya menyadari (memahami?) esensi yang

    diinginkan Islam -sebagai agama wahyu-. Islam saat ini dicandra sebagai lembaga

    agama yang telah memisahkan mereka dari akar budaya mereka sendiri, dari etnis,

    dari hubungan darah, bahkan dalam komunitas Islam itu sendiri, sehingga cendrung

    dipandang sebagai sesuatu yang eksklusif, terpisah dan teraleniasi.

    Islam yang ditangkap kebanyakan masyarakat kita adalah Islam dengan nuansa

    yang sempit, yang berbicara surga dan neraka, hukum halal, haram, selebihnya Islam

    tidak membicarakannya. Islam yang muncul di hadapan mereka adalah Islam yang

    membatasi mereka untuk bersahabat dengan kelompok Islam lainnya karena

    perbedaan faham semata, apalagi persahabatan antar pemeluk agama yang berbeda5.

    Pada akhirnya tali ukhuwah yang diharapkan dapat tersimpul baik, justru sebaliknya

    kendur dan rapuh --jika tidak ingin mengatakan hancur-- seiring dengan kemajuan

    zaman.

    Jika begini senyatanya, maka akan terasa berat bagi umat Islam untuk menarik

    gerbong peradaban ini menuju negara yang diharapkan, negara yang selalu dalam

    suasana kebaikan dan senantiasa di bawah ampunan Allah. Menggalang satu ikatan

    1Disampaikan dalam forum Pengabdian di Masjid Al-Muhajirin Perum. GKP Argorejo, Sedayu,

    Bantul. 2Dosen FIAI UII Yogyakarta

  • 2

    persaudaraan dengan berdasarkan kaidah Islam yang dituntunkan al-Quran dan As-

    sunah.

    Untuk itu dalam upayanya untuk membangun satu peradaban baru, sudah

    seharusnyalah umat Islam Indonesia kembali pada akar sejarah teologi yang benar

    dengan menempatkan al-Quran dan As-Sunah sebagai parameter utama dan pertama

    dalam kehidupan bermasyarakatnya. Sebab Quran telah menegaskan bahwa hadirnya

    etnis, suku, bangsa-bangsa di dunia ini sebagai cara Allah untuk saling mengenalkan

    antar etnis, bangsa, budaya, agama dan sebagai cara Allah untuk membuka mata

    manusia bahwa kekuasaanNya terhampar di seluruh jagad ini (lihat Quran surat Al

    Hujurat 13).

    Meski demikian harus pula diakui, bahwa untuk menegakkan ikatan

    persaudaran secara universal bukan persoalan yang mudah. Selain itu juga harus

    disepakati, persoalan ukhuwah ternyata bukan hanya milik golongan umat, etinis

    ataupun bangsa tertentu, juga bukan milik umat Islam Indonesia saja, tetapi

    merupakan persoalan dunia pada umumnya. Artinya seluruh negara -bangsa,

    pemerintah dan masyarakat- di dunia harusnya memperhatikan uhkuwah antar

    manusia, jika tidak ingin meninggalkan dunia yang centang-perenang, penuh carut-

    marut perselisihan dan pertentangan.

    Artinya kesadaran untuk menjalin persaudaraan (ukhuwah) haruslah merupakan

    kesadaran kolektif seluruh bangsa-bangsa yang ada di atas dunia, bahkan di dunia

    dalam dimensi lain (semesta alam; universe). Kesadaran itu harus ditumbuhkan

    melampaui batas teritorial (geografis), etnis (suku, ras, bangsa), budaya dan keyakinan

    agama, bahkan seandainya mungkin menembus batas waktu yang mampu dilalui

    manusia.

    Dengan begitu yang harus dijalankan memang ukhuwah Islamiyah dalam arti

    persaudaraan yang universal, bukan sekadar ukhuwah dinniyah, ukhuwah wathaniyah,

    ukhuwah basyariyah, tetapi melampaui itu semua. Persaudaraan tersebut muncul

    sebagai derivasi nilai ajaran Islam yang menjadi rahmat bagi semesta alam (rahmatan

    lil 'alamin, universe, universal), tanpa batas wilayah, etnis, budaya, bahkan agama

    sekalipun. Sebab, harus disadari bahwa dunia yang ingin diciptakan Islam adalah

    sebuah dunia yang diliputi iklim persamaan, keadilan, persaudaraan dan toleransi (QS.

    Al_hujurat: 10, 13 dan 15; An-Nisa: 58; An-Nahl90; Al Maidah: 8; Az-Zumar: 18; Al

    Baqarah 256).1

  • 3

    Pada titik kulminasi ini harus muncul kesadaran bahwa keberadaan manusia secara

    ontologi memang diharapkan oleh Sang Pencipta untuk saling mengenal, membantu

    dalam kebaikan, serta berlomba-lomba dalam amal kebajikan. Dengan sendirinya

    harus menghilang sifat mencurigai (syu'udhan), mencari aib orang lain, menggunjing,

    membanggakan golongan, mengolok-olok kelompok lain (QS Al Hujurat: 11, 12; Ar-

    Rum: 32; Al Mu'minun: 53).

    Tentunya untuk mewujudkan cita-cita luhur tersebut, yang harus dilakukan

    dekontruksi terhadap anggapan bahwa dirinya yang paling benar, serta sikap

    berbangga (jumawa: Jawa) dan menganggap dirinya yang paling mulia. Untuk

    selanjutnya merekontruksi ulang kesadaran bahwa secara ontologi keberadaan

    manusia adalah egaliter, nilai kualitatif yang membedakannya adalah kompetisi

    ketaqwaan dan kebaikan. Selanjutnya persoalan kebenaran harus diyakini bahwa hal

    itu hanya milik Allah SWT, sedangkan pendakuan kebenaran jelas-jelas

    menyimpangan dari sunatullah.

    Persoalan pembenaran secara hak, yang terindah adalah dengan menyerahkan

    pada sang Khalik. Kebenaran bagi manusia adalah usaha untuk mendekati sang

    Khalik, bukan meng-klaim bahwa sang Khalik miliknya, sedangkan orang lain tidak

    punya hak atasNya. Sejarah perjalanan Musa A.S telah membuktikan bahwa ada

    kebenaran lain selain yang dimiliki Musa, dan itu kebenaran Khidir A.S yang datang

    dari Allah (kebenaran wahyu).

    Jika kita mencoba untuk berupaya melakukan posisi di atas, maka tak akan

    pernah kita menganggap diri yang paling benar. Dan jika hal tersebut dapat terlaksana,

    maka rajutan ukhuwah antar bangsa akan menjadi lebih kuat tanpa adanya gesekan

    yang membawa petaka, dan tentu saja sejarah peradaban manusia akan terbingkai

    dengan format yang lebih manis dan lebih mesra.

    Menarik ungkapan Samuel P Hutington pada bagian akhir tulisannya yang berjudul

    Jika Bukan Peradaban, Apa? yang dimuat majalah U.Q Nomor 2 Thn V 1994, bahwa

    sejarah belum berakhir dan dunia tidaklah satu. Peradaban bisa menyatukan dan

    memecahkan manusia. Kekuatan yang menyebabkan benturan antarperadaban dapat

    dipahami hanya jika peradaban tersebut dikenal. Dalam dunia peradaban yang

    berbeda-beda, masing-masing harus harus belajar untuk hidup berdampingan dengan

    yang lain.

  • 4

    Dengan menyadari bahwa serangkaian keyakinan yang kita miliki suatu saat

    dapat menjadikan manusia terpecah, berselisih. Perselisihan yang muncul sebenarnya

    lebih disebabkan arogansi yang dimiliki manusia tentang kelebihan-kelebihan yang

    dimilikinya. Padahal Al-Quran menegaskan manusia adalah umat yang tunggal (Q.S.

    Al Baqarah 213 dan Yunus 19), sehingga agar ikatan tersebut tetap ada maka manusia

    haruslah mengenal sesamanya (Al Hujurat 13).

    Wujud lain ukhuwah Islamiyah adalah kelapangan kita (munsyarihu al-sadr)

    untuk menerima orang lain yang berbeda paham dengan kita. Islam mengakui

    keberagaman serta menghormati segala macam bentuk keberagaman tersebut, dan

    Islam tidak pernah memaksakan manusia untuk masuk dalam komunitasnya dengan

    paksa (Q.S. Al Baqarah 256). Bahkan meski Allah mampu untuk melakukannya,

    Allah tidak ingin keimanan manusia atas dasar paksaan (QS Yunus 99).

    Inilah wujud akhir dari ukhuwah Islamiyah satu komunitas manusia

    (masyarakat) yang hidup saling berdampingan, saling bantu membantu dan berlomba

    dalam kebajikan (fatabiqu al-khairat) dengan berlandaskan wahyu Allah, dan

    menggalang persatuan untuk mengatasi kelaparan, kemiskinan, keserakahan, dan

    segala macam bentuk kejahatan yang dilandasi emosi syetan.

    Dalam komunitas itu tidak lagi dibatasi etnis, golongan, ras, pangkat, kedudukan

    agama atau tidak beragama. Mereka komunitas manusia yang mencoba menjalankan

    ukhuwah universal berlandaskan nilai-nilai wahyu sebagai derivasi ajaran agama yang

    mereka anut masing-masing. Sebab, Allah tidak menciptakan kalian dan tidak

    membangkitkan kalian, kecuali seperti satu jiwa saja (QS. Luqman: 28).

    Pada tahapan tersebut akan teryakini, bahwa ukhuwah Islamiyah merupakan

    peradaban baru yang dicita-citakan oleh seluruh umat manusia yang menginginkan

    kedamaian dan kebahagian --dunia dan akhirat-. Untuk mengaktualisasikannya,

    memang butuh kesedian dan pengorbanan kita-kita yang merasa memiliki jabatan,

    derajat, kekayaan, kekuasaan ataupun kejayaan masa lalu. Andai hal itu disadari

    sebagai sekadar satu titipan Allah SWT, maka eksistensi manusia sebagai khalifah di

    bumi ini akan dapat terwujud dalam bingkai peradaban yang lebih manis.