sni sosis2

10
TINJAUAN PUSTAKA RPO (Red Palm Oil) Minyak yang diperoleh dari mesokarp atau sabut buah kelapa sawit (Elaeis guineensis JACQ) disebut minyak sawit kasar (Crude Palm Oil -CPO). Hasil pemurniannya disebut Red Palm Oil (RPO) (Ketaren 2008). Berger (2005) menyebutkan, setelah CPO dimurnikan menjadi RPO kandungan karotenoidnya sebesar 550 ppm, sedangkan menurut Butt et al. (2004) karotenoid RPO sebesar 580 ppm. Karotenoid pada RPO dapat diabsorbsi lebih baik dibandingkan sumber karotenoid nabati lainnya. Absorbsi karotenoid pada RPO sebesar 98% sedangkan karotenoid dari sumber nabati lain adalah 37-75%. Jika dibandingkan dengan karotenoid yang ada pada wortel, tingkat absorbsi karotenoid RPO sebesar 15 sampai 40 kali lebih besar (Scrimshaw 2000). Tingginya tingkat absorbsi ini disebabkan karena karotenoid RPO berada pada medium minyak (Narasinga 2000). Suplementasi RPO telah digunakan untuk meningkatkan kadar vitamin A dalam pangan, seperti penggunaannya pada cake, biskuit, roti, cookies dan shortening (El Hadad et al. 2009). Pada penelitian Rucita (2010), RPO juga telah dimanfaatkan sebagai sumber provitamin A produk mie instan. Vitamin A Istilah Vitamin A yang biasa digunakan mencakup berbagai komponen kimia yang memiliki aktivitas biologis vitamin, yakni: provitamin A karotenoid, retinol dan metabolit aktifnya (Bender 2003). Aktivitas biologis vitamin A ditentukan berdasarkan konversi komponen aktif vitamin A menjadi Retinol Equivalents (RE) (Eitenmiller 2008). Satuan vitamin A dan ekivalennya berdasarkan National Research Council adalah sebagai berikut: 1,0 RE = 1,0 μg retinol = 6,0 μg β-karoten = 12,0 μg karotenoid lain = 3,3 SI (Satuan Internasional) retinol = 9,9 SI (Satuan Internasional) β-karoten Menurut Institute of Medicine (2004), konversi komponen aktif vitamin A menjadi Retinol Activity Equivalents (RAE) adalah sebagai berikut: 1,0 RAE = 1,0 μg retinol = 12 μg β-karoten

Upload: apriliatunggaldewi

Post on 02-Jan-2016

49 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: SNI Sosis2

4

TINJAUAN PUSTAKA

RPO (Red Palm Oil)

Minyak yang diperoleh dari mesokarp atau sabut buah kelapa sawit

(Elaeis guineensis JACQ) disebut minyak sawit kasar (Crude Palm Oil -CPO).

Hasil pemurniannya disebut Red Palm Oil (RPO) (Ketaren 2008). Berger (2005)

menyebutkan, setelah CPO dimurnikan menjadi RPO kandungan karotenoidnya

sebesar 550 ppm, sedangkan menurut Butt et al. (2004) karotenoid RPO sebesar

580 ppm. Karotenoid pada RPO dapat diabsorbsi lebih baik dibandingkan

sumber karotenoid nabati lainnya. Absorbsi karotenoid pada RPO sebesar 98%

sedangkan karotenoid dari sumber nabati lain adalah 37-75%. Jika dibandingkan

dengan karotenoid yang ada pada wortel, tingkat absorbsi karotenoid RPO

sebesar 15 sampai 40 kali lebih besar (Scrimshaw 2000). Tingginya tingkat

absorbsi ini disebabkan karena karotenoid RPO berada pada medium minyak

(Narasinga 2000).

Suplementasi RPO telah digunakan untuk meningkatkan kadar vitamin A

dalam pangan, seperti penggunaannya pada cake, biskuit, roti, cookies dan

shortening (El Hadad et al. 2009). Pada penelitian Rucita (2010), RPO juga telah

dimanfaatkan sebagai sumber provitamin A produk mie instan.

Vitamin A

Istilah Vitamin A yang biasa digunakan mencakup berbagai komponen

kimia yang memiliki aktivitas biologis vitamin, yakni: provitamin A karotenoid,

retinol dan metabolit aktifnya (Bender 2003). Aktivitas biologis vitamin A

ditentukan berdasarkan konversi komponen aktif vitamin A menjadi Retinol

Equivalents (RE) (Eitenmiller 2008). Satuan vitamin A dan ekivalennya

berdasarkan National Research Council adalah sebagai berikut:

1,0 RE = 1,0 μg retinol

= 6,0 μg β-karoten

= 12,0 μg karotenoid lain

= 3,3 SI (Satuan Internasional) retinol

= 9,9 SI (Satuan Internasional) β-karoten

Menurut Institute of Medicine (2004), konversi komponen aktif vitamin A

menjadi Retinol Activity Equivalents (RAE) adalah sebagai berikut:

1,0 RAE = 1,0 μg retinol

= 12 μg β-karoten

Page 2: SNI Sosis2

5

= 24,0 μg α-karoten

= 24,0 μg β-kriptoxantin

RAE sebagai satuan provitamin A karotenoid dalam pangan bernilai dua kali

lebih besar daripada RE.

Bentuk vitamin A yang paling umum dan paling aktif adalah all-trans-

retinol. All-trans-retinol terdiri dari cincin β-ionon yang menempel pada atom C-6

pada sisi rantai yang disusun oleh dua unit isoprena tidak jenuh (Ball 1988).

Vitamin A tidak larut di dalam air, tetapi larut dalam minyak dan lemak serta

pelarut organik (Eitenmiller et al. 2008). Oleh karena itu, asupan lemak yang

rendah akan mengakibatkan penyerapan vitamin A yang rendah pula. Begitu

juga dengan asupan protein yang rendah akan mengakibatkan kekurangan

protein pengangkut serta penurunan konsentrasi vitamin A dalam plasma

(Wiseman 2002).

Vitamin A umumnya stabil terhadap panas, asam dan alkali, tetapi sangat

mudah teroksidasi oleh udara. Vitamin A akan rusak bila dipanaskan pada suhu

yang tinggi bersama udara, sinar dan lemak yang sudah tengik (Winarno 2008).

Pada cara memasak biasa tidak banyak vitamin A yang hilang. Suhu tinggi untuk

menggoreng dapat merusak vitamin A (Almatsier 2005).

Vitamin A berperan dalam berbagai proses faali tubuh diantaranya

penglihatan, diferensiasi sel, fungsi kekebalan, pertumbuhan dan perkembangan,

reproduksi, serta pencegahan kanker dan penyakit jantung (Almatsier 2005).

Oleh karena itu, asupan vitamin A yang cukup diperlukan untuk fungsi tubuh

normal dan agar imunitas tubuh tetap terjaga. Kecukupan vitamin A berbeda-

beda pada setiap golongan umur dan jenis kelamin.

Kekurangan vitamin A merupakan masalah serius terutama di negara

berkembang. Asia Tenggara memiliki prevalensi KVA pada balita tertinggi di

antara wilayah lain. Data prevalensi KVA dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Prevalensi KVA pada anak dibawah lima tahun

Wilayah Defisiensi Subklinis Defisiensi Klinis

Juta % Juta %

Afrika 49 45,8 1,08 1,0

Amerika 17 21,5 0,06 0,1

Asia Tenggara

125 70,2 1,3 0,7

Eropa - - - - Timur Tengah 23 31,5 0,16 0,3 Pasifik Barat 42 30,0 0,1 0,1

Total 256 40.3 2.7 0.1

Sumber: Bender (2003)

Page 3: SNI Sosis2

6

Klasifikasi status vitamin A didasarkan pada kandungan vitamin A dalam

serum darah. Seseorang dikatakan kekurangan vitamin A jika kadar vitamin A

dalam serumnya < 20 µg/dl (Sommer dan West 1996). Klasifikasi status vitamin

A lebih lengkap dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Klasifikasi status vitamin A

Status vitamin A Kadar Serum

µg/dl µmol/liter

Normal ≥ 20 ≥ 0,7 Low 10 – 20 0,35 – 0,69

Deficient < 10 < 0,35

Sumber: Sommer dan West (1996)

Kekurangan vitamin A dapat menyebabkan kegagalan dalam fungsi

sistemik (dicirikan oleh kelainan perkembangan janin), gangguan dalam

spermatogenesis, anemia, lemahnya fungsi imun (menurunkan jumlah dan

respon mitogenik dari sirkulasi limfosit T). KVA juga dapat menyebabkan

keratinisasi pada mukosa membran yang melapisi saluran pernafasan, saluran

pencernaan, saluran urinari, kulit dan epitelium pada mata (Mahan & Stump

2004). Selain itu, defisiensi vitamin A dapat menyebabkan buta senja dan

berbagai perubahan pada mata (atrofi kelenjar mata, keratinisasi, melunaknya

kornea, perdarahan, dan lain-lain) (Almatsier 2005).

Sehubungan dengan vitamin A dan anemia, Ramakrishnan (2001)

menyatakan, defisiensi vitamin A dapat menyebabkan anemia. Deplesi vitamin A

pada penelitian di Amerika menyebabkan penurunan Hb. Pada penelitian

tersebut, penurunan Hb tidak terjadi pada suplementasi zat besi yang dilakukan

bersama vitamin A. Mekanisme pasti mengenai hal ini masih terus diteliti, salah

satunya kemungkinan mobilisasi penyimpanan vitamin A yang terhambat karena

defisiensi vitamin A pada reseptor transferin.

Karotenoid

Kristal karotenoid terdapat dalam beberapa bentuk dan warna yang

bervariasi, mulai dari merah-orange hingga ungu kehitaman (Hendry & Houghton

1996). Bender (2003) mengklasifikasikan karotenoid berdasarkan struktur

kimianya, yaitu : (1) Hydrophobic hydrocarbon carotenoid (α-, β-karoten dan

likopen); (2) Monohydroxycarotenoid (β- kriptoxantin); (3) Dihydroxycarotenoid

(lutein, zeaxanthin).

Karotenoid memiliki melting point yang tinggi, biasanya berkisar antara

130-220oC. Karotenoid dapat larut dalam lemak atau minyak dan tidak larut

Page 4: SNI Sosis2

7

dalam air (Hendry & Houghton 1996). Hal ini disebabkan karena karotenoid

memiliki struktur yang nonpolar (Fennema 1996).

Efisiensi penyerapan karotenoid dari makanan sekitar 50-60%,

tergantung bioavailabilitasnya (Olson 1991). Mahan dan Stump (2004)

menyatakan bahwa banyaknya karotenoid yang dapat diserap tubuh dipengaruhi

oleh faktor diet lain seperti pencernaan kompleks protein dengan karotenoid dan

kadar serta jenis lemak dalam diet (vitamin larut lemak memerlukan lemak untuk

penyerapan optimum).

Karotenoid yang merupakan prekursor vitamin A adalah karotenoid yang

mengandung cincin beta ionon yang dapat diubah menjadi vitamin A, diantaranya

α-, β- dan γ-karoten. Ketiga karotenoid ini dalam tubuh hewan akan dipecah atau

diubah menjadi vitamin A (Hendry & Houghton 1996). Struktur kimia β-karoten

disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1 Struktur kimia β-karoten

Pada manusia, sekitar 25-60% β-karoten yang dikonsumsi akan diubah

menjadi vitamin A, tergantung dari jenis makanan dan faktor-faktor lain (Muchtadi

1989). Beta karoten memiliki Acceptable Daily Intake (ADI) sebesar 2,5 mg/Kg

berat badan (Kitts 1996).

Karoten bersifat larut dalam lemak dan stabil bersama antioksidan dan

juga dapat melindungi lemak itu sendiri. Karoten juga larut dalam pelarut organik

namun tidak larut dalam air (Mosquera et al. 2002). Provitamin A pada umumnya

cukup stabil selama pengolahan pangan, tetapi mempunyai sifat sangat mudah

teroksidasi oleh udara dan akan rusak bila dipanaskan pada suhu tinggi bersama

udara, sinar dan lemak yang sudah tengik (Winarno 2008). Pada penelitian

Sulaeman et al. (2001), α- dan β-karoten pada produk keripik wortel relatif stabil

selama proses deep frying.

Oksidasi menyebabkan perubahan bentuk karotenoid menjadi tidak aktif,

baik oleh reaksi enzimatis selama penyimpanan maupun terpapar cahaya dan

oksigen (Olson 1991). Kehilangan aktivitas vitamin A dari karotenoid makanan

terutama terjadi karena reaksi autooksidasi ataupun isomerisasi geometris pada

rantai isoprenoid tidak jenuh (Fennema 1996).

Page 5: SNI Sosis2

8

Sosis

Kata sosis berasal dari bahasa latin salsus, yang berarti daging yang

diawetkan dengan penggaraman. Pembuatan sosis bertujuan untuk

mengawetkan daging segar yang tidak langsung dikonsumsi. Sosis adalah

contoh emulsi minyak dalam air dimana lemak berfungsi sebagai fase diskontinu

dan air sebagai fase kontinu, sedangkan protein daging berfungsi sebagai

pengemulsi (Kramlich 1978).

Menurut Wilson (1981), proses pembuatan sosis sangat dipengaruhi oleh

kemampuan daging yang dengan penambahan garam, air serta bahan pembantu

seperti polifosfat dan bahan lain yang berfungsi untuk membentuk emulsi dengan

lemak yang stabil. Kestabilan emulsi ini ditunjukkan dengan tidak terpisahnya

lemak dari sosis.

Berdasarkan kehalusan emulsi daging, sosis dibedakan menjadi sosis

kasar dan sosis emulsi. Pada proses pembuatan sosis kasar tahap

pengolahannya lebih singkat dan sederhana, yaitu menggiling daging sampai

halus kemudian mencampurkannya dengan lemak sampai merata sedangkan

pada proses pembuatan sosis emulsi, tahapan pencampuran dikembangkan

menjadi pencampuran, pencacahan dan pengemulsian dengan menggunakan

alat-alat khusus (Pearson dan Tauber 1984). Proses penggilingan bertujuan

untuk membentuk daging giling dan untuk mendistribusikan lemak. Butiran-

butiran lemak yang ditambahkan pada tahap pencampuran diharapkan

terdistribusi dan merata (Kramlich 1978).

Menurut Forest et al. (1975), berdasarkan metode pembuatannya, sosis

dibagi menjadi enam kategori, yaitu (1) sosis segar, merupakan sosis yang

dibuat dari daging segar, tidak diperam (tanpa curing), dicacah, dilumatkan atau

digiling diberi bumbu-bumbu dan dimasukkan dan dipadatkan dalam selongsong.

Sosis ini harus dimasak sebelum dikonsumsi. (2) Sosis asap tidak dimasak,

merupakan sosis yang dimasak dari daging segar, bisa diperam atau tidak, dan

langsung diasap tanpa pemasakan terlebih dahulu. (3) Sosis asap dimasak,

merupakan sosis yang dibuat dari daging segar, bisa diperam atau tidak, dan

dimasak sebelum dilakukan pengasapan. (4) Sosis masak, merupakan sosis

yang dibuat dari daging segar, bisa diperam atau tidak, dimasukkan dan

dipadatkan dalam selongsong, tidak diasap, harus segera dimasak dan siap

untuk dimakan. (5) Sosis fermentasi, sebagai hasil kerja bakteri pembentuk

laktat, baik yang terdapat dalam daging secara alami, maupun bakteri starter

Page 6: SNI Sosis2

9

yang ditambahkan dan diasap. (6) Daging giling masak, merupakan sosis yang

dibuat dalam bentuk batangan atau daging loaf, diperam atau tidak diperam,

dimasak dan jarang diasap. Sosis merupakan salah satu produk emulsi minyak

dalam air. Minyak dan air adalah cairan yang tidak dapat bersatu, tetapi dalam

sosis minyak dan air dapat dicampur karena adanya agen pengemuksi (Kramlich

1978). Syarat mutu sosis daging menurut SNI 01-3820-1995 tersaji pada Tabel 3.

Tabel 3 Syarat mutu sosis daging

Mutu (% b/b)

Kadar air Maks 67,0

Kadar abu Maks 3,0

Kadar protein Min 13,0

Kadar lemak Maks 25,0

Kadar karbohidrat Maks 8,0

Sumber : Standar Nasional Indonesia 01-3820-1995

Bahan Pengikat Sosis

Bahan pengikat adalah bahan yang digunakan dalam makanan untuk

mengikat air yang terdapat dalam adonan. Fungsi bahan pengikat adalah untuk

memperbaiki stabilitas emulsi, menurunkan penyusutan akibat pemasakan,

memberi warna yang terang, meningkatkan elastisitas produk, memberi tekstur

padat, dan menarik air dari adonan (Tanikawa 1985).

Jenis bahan pengikat yang umum ditambahkan adalah tepung tapioka,

beras, maizena, sagu, dan terigu (Tanikawa 1985). Produk-produk pati yang

berasal dari serealia mampu mengikat air, namun berbagai macam pati tidak

sama sifatnya, tergantung dari panjang rantai karbonnya serta ada tidaknya

cabang pada rantai molekulnya (Winarno 2008).

Isolat protein kedelai adalah produk dari protein kedelai bebas lemak atau

berlemak rendah (bisa dibuat dari kedelai utuh) yang diolah sedemikian rupa

sehingga kandungan proteinnya tinggi. Menurut definisinya, kandungan protein

pada isolat protein kedelai minimum 95% dalam berat kering. Produk ini hampir

bebas dari karbohidrat, serat dan lemak sehingga sifat fungsionalnya jauh lebih

baik dibandingkan dengan konsentrat kedelai dan tepung kedelai. Isolat protein

kedelai sangat dibutuhkan dalam industri pangan karena banyak digunakan

untuk formulasi berbagai jenis makanan. Yang diinginkan dari isolat protein

kedelai adalah fungsi proteinnya juga sebagai pengikat dan pengemulsi produk

pangan. Sifat ini menentukan pemakaian atau fungsi produk tersebut dalam

berbagai produk makanan (Soeparno 1992).

Page 7: SNI Sosis2

10

Bahan Pembantu Sosis

Bahan pembantu adalah bahan yang sengaja ditambahkan untuk

meningkatkan konsistensi, nilai gizi, cita rasa, mengendalikan keasaman dan

kebasaan, serta memantapkan bentuk dan rupa (Wilson 1981). Bahan pembantu

yang biasa digunakan adalah bawang putih, merica, dan garam.

Bawang putih berfungsi sebagai penambah aroma dan meningkatkan cita

rasa produk yang dihasilkan. Bawang putih ditambahkan dalam produk untuk

memperoleh aroma yang khas guna meningkatkan selera makan. Bau khas

bawang putih berasal dari minyak volatil yang mengandung komponen sulfur.

Karakteristik bawang putih muncul jika terjadi perusakan jaringan atau

pemotongan (Palungkun dan Budiarti 1992).

Merica sering ditambahkan dalam bahan makanan untuk meningkatkan

citarasa sekaligus memperpanjang daya awetnya. Kemampuan meningkatkan

keawetan ini berhubungan dengan sifatnya yang dapat mencegah oksidasi

selama penyimpanan (Hirasa & Takemasa 1998). Merica disukai karena memiliki

dua sifat penting yaitu rasa pedas dan aroma khas. Rasa pedas disebabkan oleh

adanya zat piperin dan piperanin serta chacivia (Rismunandar 1993).

Penggunaan garam bertujuan untuk menyempurnakan proses pelayuan

daging, sehingga timbul aroma khas daging yang digunakan. Garam juga

mempengaruhi aktivitas air (aw), juga mengendalikan pertumbuhan

mikroorganisme dengan metode yang bebas dari pengaruh racunnya (Buckle et

al. 1987).

Air atau es merupakan salah satu bahan yang umumnya ditambahkan

dalam adonan sosis. Jumlah air yang ditambahkan dalam adonan sosis adalah

20-30% dari berat daging dan umumnya air yang ditambahkan dalam bentuk es

(Forrest et al. 1975). Penambahan air dalam bentuk es atau air es bertujuan

untuk; (1) melarutkan garam dan mendistribusikan secara merata ke seluruh

bagian massa daging, (2) memudahkan ekstraksi protein serabut otot, (3)

membantu pembentukan emulsi, dan (4) mempertahankan suhu daging agar

tetap rendah selama penggilangan dan pembuatan adonan (Kramlich 1978).

Selongsong atau casing adalah sarung pembungkus yang digunakan

untuk membungkus dan membentuk sosis. Casing sendiri dapat dibagi menjadi 3

yaitu: casing hewan, casing kolagen, casing selulosa dan tabung plastik (Price

dan Bernand 1987). Selongsong diperlukan sebagai wadah pembentuk sosis

dan menentukan bentuk serta ukuran sosis yang dihasilkan (Soeparno 1992).

Page 8: SNI Sosis2

11

Lemak dan Minyak dalam Sosis

Penambahan lemak dalam sosis bertujuan untuk memperoleh produk

sosis yang kompak, tekstur yang empuk, rasa dan adonan yang lebih baik.

Jumlah penambahan lemak dalam sosis berkisar antara 5-25% (Tanikawa 1985).

Jumlah lemak yang ditambahkan harus seimbang dengan jumlah air dan

protein. Apabila jumlah yang ditambahkan terlalu sedikit akan menghasilkan

sosis yang keras dan kering, sebaliknya apabila penambahan lemak atau minyak

berlebih maka sosis yang dihasilkan akan keriput dan lunak, karena selama

pemasakan terjadi kehilangan (cooking loss) yang tinggi sehingga sebagian

lemak terpisah (Wilson 1981). Jumlah penambahan lemak dalam pembuatan

sosis dibatasi untuk mempertahankan tekstur selama pengolahan dan

penanganannya. Lemak yang ditambahkan tidak boleh lebih dari 30% dari bobot

daging (Wilson 1981).

Lemak yang dapat dimakan (edible) dapat diperoleh dari tumbuh-

tumbuhan dan hewan. Lemak nabati yang dapat digunakan dalam pembuatan

sosis seperti minyak jagung, minyak kelapa, minyak sawit merah, dan

sebagainya. Perbedaan utama antara lemak nabati dan lemak hewani adalah

pada kandungan sterolnya, dimana lemak nabati mengandung fitosterol dan lebih

banyak mengandung asam lemak tak jenuh sehingga umumnya berbentuk cair,

sedangkan lemak hewani mengandung kolesterol (Winarno 2008).

Lemak dengan kandungan asam lemak jenuh lebih sukar membentuk

emulsi daripada lemak yang mengandung asam lemak dengan satu atau dua

ikatan rangkap dengan jumlah atom karbon yang sama. Lemak dengan rantai

asam lemak jenuh yang lebih pendek akan lebih mudah membentuk emulsi

daripada lemak dengan asam lemak jenuh yang memiliki rantai lebih banyak.

Penggunaan minyak nabati dalam pembuatan sosis lebih mudah membentuk

emulsi daripada penggunaan lemak hewani (Christian dan Saffle 1967).

Keong Tutut

Keong tutut menurut Suwignyo (1997) memiliki klasifikasi sebagai

berikut:

Filum : Moluska

Kelas : Gastropoda

Sub Kelas : Prosobranchia

Ordo : Mesogastropoda

Family : Viviparidae

Page 9: SNI Sosis2

12

Genus : Bellamnya

Spesies : Bellamnya javanica van den Bush

Gambar 2 Keong tutut (ukuran dibandingkan tangan)

Keong tutut tersebar dari Sumatra sampai Irian Jaya dan merupakan

keong air tawar yang hidup di perairan dangkal yang berdasar lumpur dan

ditumbuhi rerumputan air, dengan aliran air yang lamban seperti sawah,

rawa-rawa. Pinggir danau dan sungai kecil. Keong tutut juga lebih menyukai

perairan yang jernih dan bersih (LBN 1977).

Keong ini mempunyai ciri-ciri antara lain cangkangnya berbentuk

piramid dengan puncak yang tinggi dan dasar yang melingkar. Cangkangnya

berwarna hijau kecoklatan dan hijau kehitaman. Terdapat epidermis dengan

garis-garis melintang. Operkulum memiliki bentuk lebar yang sama dengan

apertur (Sari 2002).

Ukuran tutut dapat mencapai sebesar biji pala. Hewan ini masih

jarang digunakan sebagai bahan pangan. Namun bagi penduduk Indonesia

bagian barat, terutama yang tinggal atau berasal dari Jawa, tutut merupakan

sumber protein yang sudah banyak dikonsumsi dengan diolah mejadi bothok,

gulai, sate, dan sebagainya. Daging yang dapat dimakan beratnya sekitar 4-5

g dari berat total. Keong tutut hanya memakan tanaman air seperti jenis

lumut, ganggang, dan bahan organik. Cara pengambilan tutut mudah dan

sudah umum diperdagangkan. Keong ini berkembang biak dengan telur akan

tetapi seluk beluk daur hidupnya belum banyak diketahui (LBN 1977).

Page 10: SNI Sosis2

13

Tabel 6 Kandungan gizi dari 100 g BDD daging keong tutut

Kandungan Gizi Tutut

Energi (Kalori) 64

Protein (g) 11,8

Lemak (g) 5,3

Karbohidrat (g) 3,0

Kalsium (mg) 299,2

Fosfor (mg) 122,5

Besi (mg) 11,7

Air (g) 75,8

Sumber : Risjad (1996)

Risjad (1996) telah melakukan studi mengenai ketersediaan dan

pemanfaatan keong tutut sebagai sumber protein hewani dan menyatakan

bahwa keong tutut memiliki kelebihan zat gizi dengan kandungan lemak yang

rendah. Selain itu tingginya kandungan kalsium dapat memenuhi kebutuhan

mineral untuk pembentukan tulang dan gigi. Dalam penelitian lainnya oleh tim

PKMP Miftakhurrohmah et al. (2009), telah dilakukan formulasi sosis rendah

lemak dan kolesterol berbahan dasar daging keong mas. Hasil yang diperoleh

dalam penelitian ini adalah sosis keong mas terpilih dengan perbandingan daging

keong mas dan daging ayam sebesar 40:60. Sosis ini memiliki kadar lemak yang

rendah sebesar 8,56% (b/b).

Fokus penelitian yang dilakukan kali ini adalah memodifikasi sosis keong

mas Miftakhurrohmah et al. (2009) dengan mengganti bahan daging keong mas

menjadi daging keong tutut. Selain itu juga dilakukan penambahan Red Palm Oil

pada produk sosis sehingga yang dihasilkan adalah produk yang tidak hanya

sebagai sumber protein tapi juga kaya akan provitamin A.