sms (short message service) sebagai alat ...kepada kedua orang tua saya yang telah memberi motivasi...

115
SMS (SHORT MESSAGE SERVICE) SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA (Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan No : 56 / Pid.Sus/2011/PN.Pwt.) SKRIPSI Disusun Oleh : SINGGIH DWI KUNCORO E1A109065 KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2014

Upload: buidieu

Post on 18-Feb-2018

219 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

i

SMS (SHORT MESSAGE SERVICE) SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM

PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA

(Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan No : 56 / Pid.Sus/2011/PN.Pwt.)

SKRIPSI

Disusun Oleh :

SINGGIH DWI KUNCORO

E1A109065

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS HUKUM

PURWOKERTO

2014

i

SMS (SHORT MESSAGE SERVICE) SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM

PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA

(Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan No : 56 / Pid.Sus/2011/PN.Pwt.)

SKRIPSI

Disusun Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum

Universitas Jenderal Soedirman

Disusun Oleh :

SINGGIH DWI KUNCORO

E1A109065

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS HUKUM

PURWOKERTO

2014

ii

iii

PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI

Yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Singgih Dwi Kuncoro

NIM : E1A109065

Tahun Angkatan : 2009

Program Studi : Ilmu Hukum

Bagian : Hukum Acara Pidana

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa skripsi ini benar-benar merupakan

hasil karya saya, bukan merupakan pengambil alihan tulisan atau pikiran orang

lain yang saya akui sebagai tulisan atau pikiran saya.

Apabila dikemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa skripsi ini

hasil jiplakan, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai dengan ketentuan yang

berlaku.

Purwokerto, Agustus 2014

Yang Membuat Pernyataan,

Singgih Dwi Kuncoro

NIM. E1A109065

iv

MOTO PENULIS

"Hidup adalah perjuangan"

"Mimpi adalah kunci kesuksesan"

"Awali hari dengan senyum, salam dan

sapa"

v

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan anugerah-Nya

serta kepada Nabi Besar kita Muhammad SAW sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi yang berjudul : SMS (SHORT MESSAGE SERVICE)

SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PENYALAHGUNAAN

NARKOTIKA(Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan No : 56 /

Pid.Sus/2011/PN.Pwt.)

Skripsi ini merupakan salah satu persyaratan dalam memperoleh gelar

Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman.Berbagai

kesulitan dan hambatan penulis hadapi dalam penyusunan skripsi ini.Namun

berkat bimbingan, bantuan dan moril serta pengarahan dari berbagai pihak, maka

skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Oleh karena itu, penulis ingin

menyampaikan terimakasih yang tulus kepada:

1. Dr. Angkasa, S.H.,M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas

Jenderal Soedirman.

2. Handri Wirastuti Sawitri, S.H.,M.H. selaku Dosen Pembimbing I atas

segala arahan dan masukan untuk skripsi ini.

3. Dr. Hibnu Nugroho, S.H.,M.H. selaku Dosen Pembimbing II atas segala

arahan dan masukan untuk skripsi ini.

4. Weda Kupita S.H.,M.H. selaku Dosen Penguji atas segala arahan dan

masukan untuk skripsi ini.

vi

5. Kepada kedua orang tua saya yang telah memberi motivasi saya untuk

lulus dan Keluarga Besar saya yang selalu memberikan dukungannya.

6. Semua teman-teman FH 2009.

7. Dan semua pihak selalu mendukung saya, yang tidak dapat saya sebutkan

satu persatu.

Penelitian ini tentunya masih jauh dari kesempurnaan.Meskipun demikian,

penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua.

Purwokerto, Agustus 2014

Singgih Dwi Kuncoro

NIM. E1A109065

vii

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL .............................................................................. i

HALAMAN PENGESAHAN ................................................................... ii

SURAT PERNYATAAN .......................................................................... iii

MOTO ........................................................................................................ iv

KATA PENGANTAR ............................................................................... v

DAFTAR ISI .............................................................................................. vi

ABSTRAK ................................................................................................. viii

ABSTRACT ............................................................................................... ix

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah .................................................................. 1

B. Perumusan Masalah ......................................................................... 8

C. Tujuan Penelitian ............................................................................. 8

D. Kegunaan Penelitian ........................................................................ 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian dan Tujuan Hukum Acara Pidana ................................. 10

B. Asas–Asas Hukum Acara Pidana .................................................... 12

C. Sistem Pembuktian Dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 25

D. Alat Bukti Menurut KUHAP .......................................................... 33

E. Alat Bukti Elektronik ...................................................................... 56

F. Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika ..................................... 60

viii

BAB III METODE PENELITIAN

A. Metode Pendekatan ......................................................................... 63

B. Spesifikasi Penelitian ...................................................................... 63

C. Bahan Hukum Primer dan Sekunder ............................................... 63

D. Metode Pengumpulan Bahan Hukum ............................................. 65

E. Metode Penyajian Bahan Hukum .................................................... 65

F. Metode Analisis Bahan Hukum ...................................................... 65

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian ............................................................................... 66

B. Pembahasan ..................................................................................... 86

BAB V PENUTUP

A. Simpulan .......................................................................................... 101

B. Saran ................................................................................................ 102

DAFTAR PUSTAKA

ix

ABSTRAK

Penelitian ini mengambil judul SMS (Short Message Service) sebagai alat

bukti dalam Penyalahgunaan Narkotika (tinjauan yuridis terhadap putusan No :

56 / Pid.Sus/2011/PN.PWT.)

Permasalahan pada penelitian ini adalah Apakah bukti SMS (Short

Message Service) dalam penyalahgunaan narkotika dalam Putusan No : 56 /

Pid.Sus/2011/PN.Pwt dapat diklasifikasikan sebagai alat bukti yang sah dan

bagaimana kekuatan pembuktian SMS (Short Message Service) sebagai alat bukti

dalam penyalahgunaan narkotika dalam Putusan No : 56 / Pid.Sus/2011/PN.Pwt.

Untuk membahas permasalahan tersebut, maka metode yang digunakan

adalah yuridis normatif, dengan sumber bahan hukum berupa bahan hukum

primer dan sekunder. Bahan hukum disajikan dalam bentuk uraian yang di susun

secara sistematis dengan analisis kualitatif.

Hasil Penelitian ini adalah SMS (Short Message Service) diklasifikasikan

sebagai alat bukti ”Surat” apabila sudah dalam bentuk hasil cetak atau Print Out

dari SMS (Short Message Service), untuk menentukan hal tersebut tergantung dari

hakim dalam memberikan penafsiran (interpretasi) ekstensif (perluasan) namun

dalam Pasal 187 poin d KUHAP dapat digunakan sebagai acuan pemberlakuan

SMS (Short Message Service) sebagai alat bukti “Surat”, hal tersebut berdasarkan

suatu yang sepenuhnya hal tersebut diserahkan kepada hakim yang memeriksa

perkara tersebut, dengan penafsiran tersebut SMS dapat dikategorikan sebagai alat

bukti surat, serta SMS (Short Message Service) dalam Penyalahgunaan Narkotika

dalam Putusan No : 56 / Pid.Sus/2011/PN.Pwt, mempunyai kekuatan pembuktian

yang sah, akan tetapi kekuatannya hanya sebagai pelengkap saja karena dianggap

sebagai alat bukti petunjuk yang mana alat bukti petunjuk tidak dapat berdiri

sendiri, tetapi harus didukung oleh alat bukti lain untuk menguatkannya, serta

harus ada penggabungan dengan alat bukti lain sebagai konsekuensi dari asas

minimum pembuktian dan penilaian kekuatan pembuktian sepenuhnya diserahkan

kepada hakim, dan hakim haruslah arif, bijaksana, penuh kecermatan dan

keseksamaan dalam mengadakan pemeriksaan dengan menggunakan hati

nuraninya.

Kata kunci: SMS (Short Message Service), alat bukti ,Penyalahgunaan

Narkotika

x

ABSTRACT

This study takes the title of SMS (Short Message Service) as a tool for

evidence in Narcotics Abuse (juridical opinions of decision No: 56 / Pid.Sus /

2011 / PN.PWT.).

Problem in this study was What is SMS (Short Message Service) in

narcotics abuse in Decision No: 56 / Pid.Sus / 2011 / PN.Pwt can be classified as

a valid means of evidence and how the strength of the proof of SMS (Short

Message Service) as a tool evidence of abuse of narcotics in Decision No: 56 /

Pid.Sus / 2011 / PN.Pwt.

To discuss the problem, then the method used is the juridical normative,

with the source material in the form of the law on primary and secondary legal

materials. Material is presented in the form of legal descriptions arranged

systematically with qualitative analysis.

The results of this study are SMS (Short Message Service) is classified as a

tool of evidence "Letter" when it is in the form of print or Print Out of the SMS

(Short Message Service), to determine the subject matter of the judge in giving the

interpretation (interpretation) extensively (expansion ) but in the Criminal

Procedure Code Article 187 point d can be used as a mold enforcement of SMS

(Short Message Service) as a means of evidence "Letter", it is based on a full case

is submitted to the judge examining the case, the interpretation of the SMS can be

categorized as a tool proof of mailing, and SMS (Short Message Service) in the

abuse of narcotics in Decision No: 56 / Pid.Sus / 2011 / PN.Pwt. have valid proof

strength, but strength only as a complementary tool just because it is perceived as

an indication of where the evidence leads proof tool can not stand alone, but must

be supported by other evidence tool to strengthen it, and have no affiliation with

other means of evidence as a consequence of minimum basis of proof and proof

strength assessment fully submitted to the judge, and the judge must be

discerning, wise, full of care and thoroughness in a screening with his conscience.

Keywords: SMS (Short Message Service), the evidence, Narcotics Abuse

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pengaturan alat bukti elektronik dalam hukum acara pidana di

Indonesia yang masih sangat terbatas, meskipun telah diatur dalam beberapa

Undang-Undang, namun demikian bukti elektronik sifatnya masih parsial,

sebab bukti elektronik hanya dapat digunakan dalam hukum tertentu. Akan

tetapi, dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang

Informasi dan Transaksi Elektronik atau sering disingkat UU ITE telah

mengakomodir mengenai alat bukti elektronik yang dapat dipakai dalam

hukum acara di Indonesia. Pasal 5 ayat (1) UU ITE menyebutkan bahwa

informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya

merupakan alat bukti yang sah.Lebih lanjut Pasal 5 ayat (2) UU ITE

mengatakan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil

cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat

bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.

Penemuan dan penciptaan telepon tidak berhenti sampai pada

telepon yang menggunakan kabel, dimana pada jaman yang mutakhir ini

dengan pekembangan IPTEK yang sangatlah pesat, alat komunikasipun

menjadi semakin canggih yakni dengan ditemukannya telepon tanpa kabel

yang lazim diesebut dengan telepon genggam atau hand phone (HP).

Hand phone merupakan suatu terobosan baru yang merupakan

suatu menjadi bukti dari para ahli di bidang teknologi informasi sebagai

1

2

sebuah penemuan dan penciptaan terbesar pada abad ini. Dengan teknologi

ini, telah tercipta sebuah alat komunikasi yang murah namun berkemampuan

tinggi dengan berbagai sistem yang semula dianggap mustahil dapat

diwujudkan seperti bentuk telepon yang tidak menggunakan kabel dan dalam

penggunaanya dapat dipindahkan dan digunakan dari satu tempat ke tempat

lain selama ada sinyal yang mendukung di tempat tersebut.

Keberadaan dari hand phone sendiri sebagai salah satu alat

komunikasi yang dewasa ini banyak digunakan oleh masyarakat awam di

seluruh dunia merupakan terobosan besar dalam dunia teknologi informasi

seperti yang diketahui bahwa pada awalnya penggunaan telepon sebagai salah

satu sarana komunikasi dalam dunia infomasi tidak dapat dipindahkan atau

statis, namun dengan adanya hand phone maka ada suatu nilai tambah dengan

dapat dibawanya hand phone kemana-mana sebagai pemegang peranan

penting dalam kehidupan masyarakat saat ini yang berkembang sesuai dengan

perkembangan globalisasi dunia yaitu adanya efisiensi dan efektifitas.

Keadaan tersebut juga berlangsung di Indonesia tepatnya pada semua lapisan

sosial masyarakat yang penggunanya dapat disaksikan dengan nyata dalam

kehidupan mereka sehari-hari. Saat ini seluruh lapisan sosial masyarakat

mulai dari lapisan sosial paling tinggi hingga masyarakat dari lapisan sosial

yang terendah bisa memiliki hand phone karena murahnya alat komunikasi

ini.

Semakin mudahnya seseorang memperoleh hand phone

dansemakin murahnya tarif dari berbagai kartu telepon, berakibat pula

3

semakin “merakyatnya” penggunaan hand phone yang jika dipandang dari sisi

lain berdampak pula untuk memunculkan suatu modus-modus dari tindak

pidana atau delik.

SMS merupakan salah satu fitur yang pasti ada dalam setiap kartu

telepon, rentan menimbulkan penyalahgunaan yang bisa dimungkinkan akan

menjerat baik si pengirim maupun si penerimanya, Walaupun banyaknya

penyalahgunaan yang dilakukan dengan menggunakan fasilitas SMS, akan

tetapi keberadaannya sebagai alat bukti dalam persidangan kasus pidana

masih dipertanyakan keabsahannya. Hal tersebut sangat dimaklumi

dikarenakan saat pembuatan KUHAP, belum ditemukan hand phone. Kasus-

kasus yang terjadi didunia maya tentunya bukan merupakan hambatan bagi

perkembangan dibidang teknologi informasi di Indonesia, akan tetapi yang

perlu diperhatikan dan ditindaklanjuti ialah bagaimanakah aturan hukum itu

harus bisa diterapkan dalam mengantisipasi maupun memberikan

perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat pengguna dan sekaligus

ancaman hukuman yang seberat-beratnya bagi siapapun yang

menyalahgunakan perkembangan dan kemajuan dibidang teknologi informasi

dan Telekomunikasi ini.

Masalah penyalahgunaan narkotika di Indonesia, sekarang ini sudah

sangat memprihatinkan. Hal ini disebabkan beberapa hal antara lain karena

Indonesia yang terletak pada posisi di antara tiga benua dan mengingat

perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka pengaruh globalisasi,

arus transportasi yang sangat maju dan penggeseran nilai matrialistis dengan

4

dinamika sasaran opini peredaran gelap. Narkotika diperlukan oleh manusia

untuk pengobatan sehingga untuk memenuhi kebutuhan dalam bidang

pengobatan dan studi ilmiah diperlukan suatu produksi narkotika yang terus

menerus untuk para penderita tersebut.

Dasar menimbang Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang

Narkotika disebutkan bahwa narkotika di satu sisi merupakan obat atau bahan

yang bermanfaat di bidang pengobatan atau pelayanan kesehatan dan

pengembangan ilmu pengetahuan dan di sisi lain dapat pula menimbulkan

ketergantungan yang sangat merugikan apabila disalahgunakan atau

digunakan tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat dan saksama.

Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009

tentang Narkotika menyebutkan bahwa :

“Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan

tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan

penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi

sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan

ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan

sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini.”

Pengaruh narkotika selain terhadap individu itu sendiri, juga

berpengaruh pula bagi masyarakat luas, diantaranya akibat adanya pemakaian

narkotika antara lain meningkatkan kriminalitas, timbulnya usaha-usaha yang

bersifat ilegal dalam masyarakat, misalnya pasar gelap narkotika dan

menyebarkan penyakit tertentu seperti HIV/AIDS.1

1 Hari Sasangka, Narkotika dan Psikotropika Dalam Hukum Pidana, Bandung: Mandar Maju,

2003, halaman 25.

5

Menurut Pasal 6 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang

Narkotika, penggolongan narkotika adalah sebagai berikut :

a. Narkotika Golongan I;

b. Narkotika Golongan II; dan

c. Narkotika Golongan III.

Penggolongan Narkotika sebagaimana dimaksud pada Pasal 6 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika untuk pertama kali

ditetapkan sebagaimana tercantum dalam lampiran I dan merupakan bagian

yang tidak terpisahkan dari undang-undang ini. Pengertian dari masing-

masing golongan narkotika sebagaimana tersebut, terdapat pada penjelasan

Pasal 6 ayat (1) sebagai berikut:

1. Narkotika Golongan I adalah narkotika yang hanya dapat digunakan

untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan

dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan

ketergantungan.

2. Narkotika Golongan II adalah narkotika berkhasiat pengobatan

digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi

dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta

mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan.

3. Narkotika Golongan III adalah Narkotika berkhasiat pengobatan dan

banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan

ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan

ketergantungan.

Penggunaan narkotika telah diatur secara rigid dalam Pasal 7 Undang-

Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika karena “narkotika hanya

dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau

pengembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi, bahkan Pasal 8 ayat (1)

mengatur bahwa Narkotika Golongan I dilarang digunakan untuk kepentingan

6

pelayanan kesehatan. Contoh Narkotika Golongan I ini adalah Heroin,

Kokain, dan Ganja.2

Masyarakat Indonesia bahkan masyarakat dunia pada umumnya saat ini

sedang dihadapkan pada keadaan yang sangat mengkhawatirkan akibat

maraknya pemakaian secara illegal bermacam-macam jenis narkotika.

Penyalahgunaan Narkotika merupakan suatu bentuk penyimpangan perilaku.

Menurut pendapat Mardani3;

“Penyalahgunaan narkotika adalah pemakaian narkotika di luar indikasi

medik, tanpa petunjuk atau resep dokter, dan pemakainnya bersifat

patologik (menimbulkan kelainan) dan menimbulkan hambatan dalam

aktivitas di rumah, sekolah atau kampus, tempat kerja, dan lingkungan

sosial.”

Aparat penegak hukum mengalami kesulitan dalam mengatasi masalah

penyalahgunaan Narkotika dan Psikotropika ini, disisi lain masalah peredaran

dan penyalahgunaan ini merupakan perbuatan terlarang dan sangat

membahayakan bagi yang mengkonsumsinya.

Menurut Dadang Hawari4

dampak yang sering terjadi di tengah

masyarakat dari penyalahgunaan/ketergantungan narkoba antara lain :

“Merusak hubungan kekeluargaan, menurunkan kemampuan belajar

dan produktifitas kerja secara drastis, sulit membedakan mana

perbuatan baik maupun perbuatan buruk, perubahan perilaku menjadi

perilaku anti sosial (perilaku maladaptif), gangguan kesehatan (fisik dan

mental), mempertinggi jumlah kecelakaan lalulintas, tindak kekerasan,

dan kriminalitas lainnya”.

2 Ar. Sujono, Bony Daniel, Komentar dan Pembahasan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009

tentang Narkotika, Jakarta : Sinar Grafika, 2011, halaman 72. 3

Mardani, Penyalahgunaan Narkoba Dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Pidana

Nasional, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2008, halaman 2. 4

Dadang Hawari, Konsep Islam Memerangi AIDS dan NAZA, Yogyakarta : Dhana Bakti

Priayasa,1997,halaman 153.

7

Melalui hukum acara pidana ini, maka bagi setiap individu yang

melakukan penyimpangan atau pelanggaran hukum, khususnya hukum

pidana, selanjutnya dapat diproses dalam suatu acara pemeriksaan di

pengadilan, karena menurut hukum acara pidana untuk membuktikan bersalah

tidaknya seorang terdakwa haruslah melalui pemeriksaan di depan sidang

pengadilan, dan untuk membuktikan benar tidaknya terdakwa melakukan

perbuatan yang didakwakan diperlukan adanya suatu pembuktian.

Kasus narkotika dalam Putusan Nomor :

56/Pid.Sus/2011/PN.Purwokerto, bahwa yang menjadi salah satu alat buktinya

berupa surat yaitu dalam bentuk SMS yang terdapat dalam Ponsel terdakwa

dengan merek Nokia Tipe 112 dengan Nomor hand phone 089665766776

yang kemudian alat bukti tersebut diajukan kedalam persidangan sebagai

salah satu alat bukti yang diajukan oleh jaksa penuntut umum dalam

memperkuat dakwaannya.

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk mengadakan

penelitian sebagai bahan penulisan judul :“ SMS (SHORT MESSAGE

SERVICE) SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PENYALAHGUNAAN

NARKOTIKA (Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan No : 56 /

Pid.Sus/2011/PN.Pwt.).”

B. Rumusan Permasalahan

Berdasarkan hal-hal yang telah di uraikan dalam Latar belakang di

atas, maka penulis merumuskan suatu permasalahan sebagai berikut:

8

1. Apakah bukti SMS (Short Message Service) dalam penyalahgunaan

narkotika dalam Putusan No : 56 / Pid.Sus/2011/PN.Pwt dapat

diklasifikasikan sebagai alat bukti yang sah ?

2. Bagaimana kekuatan pembuktian SMS (Short Message Service)sebagai alat

bukti dalam penyalahgunaan narkotika dalam Putusan No : 56 /

Pid.Sus/2011/PN.Pwt.?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui bukti SMS (Short Message Service)dalam

penyalahgunaan narkotika dalam Putusan No : 56 / Pid.Sus/2011/PN.Pwt

dapat diklasifikasikan sebagai alat bukti yang sah.

2. Untuk mengetahui kekuatan pembuktian SMS (Short Message

Service)sebagai alat bukti dalam penyalahgunaan narkotika dalam Putusan

No : 56 / Pid.Sus/2011/PN.Pwt?

D. Kegunaan Penelitian

1. Kegunaan Teoritis

Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberiakan

sumbangan pemikiran sekaligus sebagai bahan infomasi, dokumentasi

kepada kalangan akademisi dan juga masyarakat luas tentang SMS (Short

Message Service)sebagai alat bukti dalam penyalahgunaan narkotika dalam

Putusan No : 56 / Pid.Sus/2011/PN.Pwt dapat diklasifikasikan sebagai

9

alat bukti surat yang sah dan kekuatan pembuktian SMS (Short Message

Service)sebagai alat bukti dalam penyalahgunaan narkotika dalam Putusan

No : 56 / Pid.Sus/2011/PN.Pwt

2. Kegunaan Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan bagi aparat

penegak hukum, praktisi maupun akademisi dalam rangka memberi

pengetahuan tentang SMS (Short Message Service)sebagai alat bukti dalam

penyalahgunaan narkotika dalam Putusan No : 56 / Pid.Sus/2011/PN.Pwt

dapat diklasifikasikan sebagai alat bukti yang sah dan kekuatan

pembuktian SMS (Short Message Service)sebagai alat bukti dalam

penyalahgunaan narkotika dalam Putusan No : 56 / Pid.Sus/2011/PN.Pwt.

10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian dan Tujuan Hukum Acara Pidana

Hukum acara pidana tidak dapat dilepaskan dari hukum pidana, karena

keduanya mempunyai hubungan yang sangat erat dan saling terkait. Untuk

mengetahui arti hukum acara pidana maka harus mengetahui dahulu tentang

hukum pidana. Hukum pidana dibedakan menjadi dua, yaitu :

a. Hukum pidana materiil yang berisi petunjuk dan uraian tentang

delik, peraturan tentang syarat-syarat dapat dipidananya sesuatu

perbuatan, petunjuk tentang orang yang dapat dipidana dan aturan

tentang pemidanaan, dan mengatur kepada siapa dan bagaimana

pidana itu dapat dijatuhkan.

b. Hukum pidana formil yang mengatur bagaimana Negara melalui

alat-alatnya melaksanakan haknya untuk memidana dan

menjatuhkan pidana.5

Pengertian hukum acara pidana tidak secara jelas didefinisikan di

dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP),

hanya memberikan pengertian-pengertian mengenai bagian-bagian dari

hukum acara pidana, seperti penyelidikan, penyidikan, penangkapan, upaya

hukum, penyitaan, penggeledahan, dan lain-lain.

Untuk memahami apa hukum acara pidana itu, maka di bawah ini ada

beberapa definisi hukum acara pidana menurut para sarjana, diantaranya

adalah sebagai berikut :

5Andi Hamzah. Hukum Acara Pidana Indonesia (Edisi Revisi). Jakarta: Sinar Grafika.2001.Hal.

4.

10

11

J. Dc Bosch Kemper6

Hukum Acara Pidana adalah sejumlah asas-asas dan peraturan-

peraturan, Undang-Undang yang mengatur hak Negara untuk

menghukum bilamana Undang-Undang pidana itu dilanggar.

R. Soesilo7

Hukum Acara Pidana adalah hukum yang mengatur tentang cara

bagaimana mempertahankan atau menyelenggarakan hukum pidana

materiil, sehingga memperoleh keputusan hakim dan cara bagaimana

isi putusan itu harus dilakukan.

“Menurut Van Bemmelen8

Seperti yang dikutip oleh R. Atang Ranoemihardjo menyatakan

bahwa kedua definisi di atas agak sempit dan kurang tepat, sebab

keduanya menitikberatkan kepada cara bagaimana hukum pidana

materiil harus dilaksanakan dan karenanya diabaikan tugas utama dari

hukum acara pidana yaitu mencari dan mendapatkan kebenaran

selengkap-lengkapnya, tentang apakah perbuatan itu terjadi dan

siapakah yang dapat dipersalahkan. Jadi dapat dikatakan tidak tepat

karena hukum acara pidana tidak selalu dapat melaksanakan hukum

pidana materiil”.

Sedangkan menurut Van Bemmelen seperti yang dikutip Andi

Hamzah, mengatakan bahwa pengertian Hukum Acara Pidana adalah :

“Ilmu yang mempelajari peraturan-peraturan yang diciptakan Negara,

karena adanya dugaan terjadi pelanggaran Undang-Undang pidana,

yaitu sebagai berikut:

1. Negara melalui alat-alatnya menyidik kebenaran;

2. Sedapat mungkin menyidik pelaku perbuatan itu;

3. Mengambil tindakan-tindakan yang perlu guna menangkap si

pembuat dan kalau perlu menahannya;

4. Mengumpulkan bahan-bahan bukti (bewijsmateriaal) yang telah

diperoleh pada penyidikan kebenaran guna dilimpahkan kepada

hakim dan membawa terdakwa ke depan hakim tersebut;

5. Hakim memberikan keputusan tentang terbukti tidaknya perbuatan

yang dituduhkan kepada terdakwa dan untuk itu menjatuhkan

pidana atau tindakan tata tertib;

6. Upaya hukum untuk melawan keputusan tersebut;

6Andi Hamzah, Bungan Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana, Jakarta: Ghalia

Indonesia,1986,Hal 16. 7 R Soesilo,Hukum Acara Pidana (Prosedur Penyelesaian Perkara Pidana menurut KUHAP bagi

penegak Hukum), Bogor: Politeria, 1982. Hal 3 8 R. Atang Ranoemihardjo. Ilmu Kedokteran Kehakiman (forensic Science). Bandung:

Tarsito.1983.Hal. 11.

12

7. Akhirnya melaksanakan keputusan tentang pidana dan tindakan

tata tertib”.

Definisi yang diberikan oleh Van Bemmelen9

dikatakan lebih

lengkap dan tepat karena dalam definisi tersebut merinci pula

substansi hukum acara pidana seperti disebutkannya tahap

penyelidikan, tahap penyidikan, tahap penuntutan, sampai pada

proses di pengadilan. Jadi bukan permulaan dan akhirnya saja.

Pengertian hukurn acara pidana sebagaimana dikemukakan oleh para

sarjana, pada hakekatnya tujuan yang hendak dicapai oleh ketentuan hukum

acara pidana adalah mencari dan mendapatkan kebenaran dari suatu perkara

pidana.

Menurut R. Soesilo10

, tujuan dari hukum acara pidana adalah sebagai

berikut:

“Tujuan hukum acara pidana pada hakekatnya memang mencari

kebenaran. Para penegak hukum mulai dari polisi, jaksa sampai pada

hakim dalam menyelidiki, menuntut dan mengadili perkara senantiasa

harus berdasarkan kebenaran, harus mendasarkan hal-hal yang

sungguh-sungguh terjadi. Untuk itu dibutuhkan petugas-petugas yang

selain berpengalaman luas, berpendidikan yang bermutu dan berotak

yang cerdas, juga berkepribadian yang tangguh, yang kuat

mengelakkan dan menolak segala godaan.”

B. Azas-azas Hukum Acara Pidana

Kitab Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara

Pidana (KUHAP) mengatur perlindungan terhadap keluhuran harkat serta

martabat manusia yang telah diletakkan di dalam undang-undang, baik pada

waktu pemeriksaan permulaan maupun pada waktu persidangan pengadilan.

Terdapat asas-asas dalam hukum acara pidana yang menjadi patokan hukum

9 Andi Hamzah.Opcit.Hal. 6.

10Ibid. Hal. 19.

13

sekaligus merupakan tonggak pedoman bagi instansi jajaran aparat penegak

hukum dalam menerapkan pasal-pasal KUHAP.

Makna asas-asas hukum itu sendiri merupakan ungkapan hukum yang

bersifat umum. Sebagian berasal dari kesadaran hukum serta keyakinan

kesusilaan atau etis kelompok manusia dan sebagian yang lain berasal dari

pemikiran dibalik peraturan undang-undang serta yurisprudensi. Rumusan

pengertian asas-asas hukum yang demikian itu konsekuensinya adalah

kedudukan asas itu menjadi unsur pokok dan dasar yang penting dari

peraturan hukum.

Asas-asas penting yang terdapat dalam Hukum Acara Pidana

a. Asas Peradilan Cepat, Sederhana dan Biaya Ringan

Asas Peradilan Cepat, Sederhana dan Biaya Ringan adalah suatu

asas dimana suatu proses peradilan diharapkan dapat dilaksanakan secara

cepat dan sederhana sehingga biayanyapun ringan, sehingga tidak

menghabiskan anggaran Negara terlalu besar dan tidak memberatkan pada

pihak yang berperkara.

Tekanan pada peradilan cepat atau lazim disebut contante justitie

semakin ditekankan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang

Hukum Acara Pidana (KUHAP), dalam penjelasan umum butir 3 e

dikatakan:

“Peradilan yang harus dilakukan dengan cepat, sederhana dan biaya

ringan serta bebas, jujur dan tidak memihak harus diterapkan secara

konsekuen dalam seluruh tingkat peradilan.” Ini dikutip dari

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-

Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.

14

Penjelasan umum tersebut dijabarkan dalam banyak pasal dalam

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

(KUHAP), misalnya Pasal-pasal 24 ayat (4), 25 ayat (4), 26 ayat (4), 27

ayat (4), 28 ayat (4). Umumnya dalam pasal-pasal tersebut dimuat

ketentuan bahwa jika telah lewat waktu penahanan seperti tercantum dalam

ayat sebelumnya, maka penyidik, penuntut umum dan hakim harus sudah

mengeluarkan tersangka atau terdakwa dari tahanan demi hukum. Hal ini

mendorong penyidik, penuntut umum dan hakim untuk mempercepat

penyelesaian perkara tersebut.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara

Pidana (KUHAP) pasal 50 juga mengatur tentang hak tersangka dan

terdakwa untuk “segera” diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang

dimengerti olehnya tentang apa yang disangkakan kepadanya pada waktu

di mulai pemeriksaan, ayat (1), segera perkaranya diajukan ke pengadilan

oleh penuntut umum, ayat (2), segera diadili oleh pengadilan, ayat (3).

Pasal 102 ayat (1) KUHAP juga mengatakan penyelidik yang

menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang

patut diduga merupakan tindak pidana wajib “segera” melakukan tindakan

penyelidikan yang diperlukan. Selain bagi penyelidik berlaku juga bagi

penyidik dalam hal yang sama, penyidik juga harus segera menyerahkan

hasil penyidikannya kepada penuntut umum. Penuntut umumpun menurut

Pasal 140 ayat (1) diperintahkan untuk secepatnya membuat surat dakwaan.

15

Dari pasal-pasal tersebut dapat diketahui bahwa KUHAP menghendaki

peradilan yang cepat, sederhana dan biaya ringan.

MenurutYahya Harahap11

menjabarkan mengenai asas sederhana

dan biaya ringan adalah sebagai berikut :

1) Penggabungan pemeriksaan perkara dengan tuntutan ganti rugi

yang bersifat perdata oleh seorang korban yang mengalami

kerugian sebagai akibat langsung dari tindak pidana yang

dilakukan oleh terdakwa.

2) Pembatasan penahanan dengan memberi sanksi dapat dituntut

ganti rugi pada sidang praperadilan, tidak kurang artinya

sebagai pelaksana dari prinsip menyederhanakan proses

penahanan.

3) Demikian juga peletakan asas diferensiasi fungsional, nyata-

nyata member makna menyederhanakan penanganan fungsi dan

wewenang penyidikan, agar tidak terjadi penyidikan bolak-

balik, tumpang tindih atau overlapping dan saling bertentangan.

b. Asas Praduga Tak Bersalah (Presumption of innocence).

Asas Praduga Tak Bersalah (presumption of innocence) adalah asas

yang wajib menganggap bahwa setiap orang yang disangka, ditangkap,

ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan tidak

bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan

kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.

Asas ini disebutkan dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 48 Tahun

2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan juga dalam Penjelasan Umum

butir 3 huruf c yang merumuskan :

“Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau

dihadapankan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak

bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan

kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.”

11

M. Yahya Harahap,Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP (Jilid I).,Jakarta :

Pustaka Kartini,2001, Hal 54.

16

Menurut M. Yahya Harahap12

menyatakan pendapatnya yaitu :

“Asas praduga tak bersalah ditinjau dari segi teknis yuridis ataupun

dari segi teknis penyidikan dinamakan “prinsip akusatur”. Prinsip

akusatur menempatkan kedudukan tersangka/terdakwa dalam setiap

tingkat pemeriksaan adalah sebagai subjek, bukan objek

pemeriksaan, karena itu tersangka/terdakwa harus didudukan atau

diperlakukan dalam kedudukan manusia yang mempunyai harkat

martabat harga diri. Sedangkan yang menjadi objek pemeriksaan

dalam prinsip akusatur adalah kesalahan (tindakan pidana), yang

dilakukan oleh tersangka/terdakwa. Karena itulah pemeriksaan

ditujukan”.

c. Asas Oportunitas

Hukum acara pidana mengenal suatu badan yang khusus diberi

wewenang untuk melakukan penuntutan pidana ke pengadilan yang disebut

penuntut umum. Hakim tidak dapat meminta supaya suatu delik diajukan

kepadanya, jadi hakim hanya menunggu saja penuntutan dari penuntut

umum karena penuntut umum memiliki hak penuntutan, dalam hubungan

dengan hak penuntutan dikenal dua asas yaitu asas legalitas dan asas

oportunitas.

Asas Oportunitas adalah adanya hak yang dimiliki oleh penuntut

umum untuk tidak menuntut ke Pengadilan atas seseorang. Di Indonesia

wewenang ini hanya diberikan pada kejaksaan (Pasal 6 butir a dan b serta

Pasal 137 sampai dengan Pasal 144 KUHAP).

Pasal 6 butir a dan b Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang

Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyebutkan :

12

Ibid. Hal. 38.

17

a. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh Undang-Undang

ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan

putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

b. Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-

Undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan

penetapan hakim.

Pasal 137 sampai dengan Pasal 144 Undang-Undang Nomor 8 Tahun

1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyebutkan :

Pasal 137

Penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun

yangdidakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya

dengan'melimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang

mengadili.

Pasal 138

(1) Penuntut umum setelah menerima hasil penyidikan dari penyidik

segera mempelajari dan menelitinya dan dalam waktu tujuh hari

wajib memberitahukan kepada penyidik apakah hasil penyidikan

itu sudah lengkap atau belum.

(2) Dalam hal hasil penyidikan ternyata belum lengkap, penuntut

umum mengembalikan berkas perkara kepada penyidik disertai

petunjuk tentang hal yang harus dilakukan untuk dilengkapi dan

dalam waktu empat belas hari sejak tanggal penerimaan berkas,

penyidik harus sudah menyampaikan kembali berkas perkara itu

kepada penuntut umum.

Pasal 139

Setelah penuntut umum menerima atau menerima kembali hasil

penyidikan yang lengkap dari penyidik, ia segera, menentukan apakah

berkas perkara itu sudah memenuhi persyaratan untuk dapat atau tidak

dilimpahkan ke pengadilan.

Pasal 140

(1) Dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa dari hasil

penyidikan dapat dilakukan penuntutan, ia dalam waktu

secepatnya membuat surat dakwaan.

(2) a. Dalam hal penuntut umum memutuskan untuk menghentikan

penuntutan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa

tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau perkara

ditutup demi hukum, penuntut umum menuangkan hal tersebut

dalam surat ketetapan.

18

b. Isi surat ketetapan tersebut diberitahukan kepada tersangka dan bila

ia ditahan, wajib segera dibebaskan.

c. Turunan surat ketetapan itu wajib disampaikan kepada

tersangka atau keluarga atau penasihat hukum, pejabat rumah

tahanan negara, penyidik dan hakim.

d. Apabila kemudian ternyata ada alasan baru, penuntut umum dapat

melakukan penuntutan terhadap tersangka.

Pasal 141

Penuntut umum dapat melakukan penggabungan perkara dan

membuatnya dalam satu surat dakwaan, apabila pada waktu yang

sama atau hampir bersamaan ia menerima beberapa berkas perkara

dalam hal:

a. beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh seorang yang sama dan

kepentingan pemeriksaan tidak menjadikan halangan terhadap

penggabungannya;

b. beberapa tindak pidana yang bersangkut-paut satu dengan yang

lain;

c. beberapa tindak pidana yang tidak bersangkut-paut satu dengan

yang lain, akan tetapi yang satu dengan yang lain itu ada

hubungannya,yang dalam hal ini penggabungan tersebut perlu bagi

kepentingan pemeriksaan.

Pasal 142

Dalam hal penuntut umum menerima satu berkas perkara yang

memuat beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa orang

tersangka yang tidak termasuk dalm ketentuan Pasal 141, penuntut

umum dapat melakukan penuntutan terhadap masing-masing terdakwa

secara terpisah.

Pasal 143

(1) Penuntut umum melimpahkan perkara ke pengadilan negeri

dengan permintaan agar. segera mengadili perkara tersebut

disertai dengan surat dakwaan.

(2) Penuntut umum membuat surat dakwaan yang diberi tanggal dan

ditandatangani serta berisi :

a. nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin,

kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan tersangka;

b. uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana

yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat

tindak pidana itu dilakukan.

(3) Surat dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana

dimaksud dalam ayat (2) huruf b batal demi hukum.

(4) Turunan surat pelimpahan perkara beserta surat dakwaan

disampaikan kepada tersangka atau kuasanya atau penasihat

hukumnya dan penyidik, pada saat yang bersamaan dengan

19

penyampaian surat pelimpahan perkara tersebut ke pengadilan

negeri.

Pasal 144

(1) Penuntut umum dapat mengubah surat dakwaan sebelum

pengadilan menetapkan hari sidang, baik dengan tujuan untuk

menyempurnakan maupun untuk tidak melanjutkan

penuntutannya.

(2) Pengubahan surat dakwaan tersebut dapat dilakukan hanya satu

kaliselambat-lambatnya tujuh hari sebelum sidang dimulai.

(3) Dalam hal penuntut umum mengubah surat dakwaan ia

menyampaikan turunannya kepada tersangka atau penasihat

hukum dan penyidik.

Sebagai kebalikan dari asas ini adalah asas legalitas, asas ini

mengandung arti bahwa jaksa penuntut umum tidak diwajibkan untuk

melakukan penuntutan terhadap seseorang jika kepentingan umum akan

dirugikan.

A.Z. Abidin Farid13

memberi perumusan tentang asas oportunitas

sebagai berikut :

“Asas hukum yang memberikan wewenang kepada Penuntut Umum

untuk menuntut atau tidak menuntut dengan atau tanpa syarat

seseorang atau korporasi yang telah mewujudkan delik demi

kepentingan hukum.”

d. Asas Pemeriksaan Pengadilan Terbuka Untuk Umum

Asas Pemeriksaan Pengadilan Terbuka Untuk Umum ialah asas yang

memerintahkan bahwa dalam tahap pemeriksaan, pengadilan terbuka untuk

umum maksudnya yaitu boleh disaksikan dan diikuti oleh siapapun, kecuali

dalam perkara yang menyangkut kesusilaan dan perkara yang terdakwanya

anak-anak.

13

A.Z. Abidin Farid,Sejarah dan Perkembangan Asas Opportunitas di Indonesia, Ujung Pandang:

UNHAS, 1981. Hal. 12.

20

Asas ini terdapat dalam Pasal 153 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang merumuskan

sebagai berikut :

“Untuk keperluan pemeriksaan, Hakim Ketua Sidang membuka

sidang dan menyataka terbuka untuk umum kecuali dalam perkara

mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak-anak”.

Uraian di atas mengemukakan bahwa saat membuka sidang hakim

ketua harus menyatakan “sidang terbuka untuk umum”. Pelanggaran atas

ketentuan ini atau tidak dipenuhinya ketentuan ini mengakibatkan putusan

pengadilan “batal demi hukum” (Pasal 153 ayat (4) KUHAP) ada

pengecualian dalam ketentuan ini yaitu sepanjang mengenai perkara yang

menyangkut kesusilaan atau terdakwanya adalah anak-anak, yang dalam hal

ini persidangan dapat dilakukan dengan pintu tertutup.

Andi Hamzah14

berpendapat mengenai hal ini bahwa :

“Seharusnya kepada hakim diberikan kebebasan untuk menentukan

sesuai situasi dan kondisi apakah sidang terbuka atau tertutup untuk

umum. Sebenarnya hakim dapat menetapkan apakah suatu sidang

dinyatakan seluruhnya atau sebagiannya tertutup untuk umum yang

artinya persidangan dilakukan di belakang pintu tertutup.

Pertimbangan tersebut sepenuhnya diserahkan kepada hakim. Hakim

melakukan itu berdasarkan jabatannya atau atas permintaan penuntut

umum dan terdakwa. Saksi pun dapat mengajukan permohonan agar

sidang tertutup untuk umum dengan alasan demi nama baik

keluarganya. Misalnya dalam kasus perkosaan, saksi korban

memohon agar sidang tertutup untuk umum agar ia bebas memberikan

kesaksiannya”.

e. Semua Orang Diperlakukan Sama di Depan Hukum

Asas semua orang diperlakukan sama di depan hukum maksudnya

ialah hukum tidak membeda-bedakan siapapun tersangkanya atau apapun

jabatannya dalam melakukan pemeriksaan.

14

Andi Hamzah.Opcit.Hal. 18.

21

Romli Atmasasmita15

dalam bukunya mengatakan bahwa :

“Asas persamaan di muka hakim tidak secara eksplisit tertuang

dalam KUHAP, akan tetapi asas ini merupakan bagian yang tak

terpisahkan dari KUHAP. Ditempatkannya asas ini sebagai satu

kesatuan menunjukan bahwa betapa pentingnya asas ini dalam tata

kehidupan Hukum Acara Pidana di Indonesia.”

Asas yang umum dianut di negara-negara yang berdasarkan hukum

ini tegas tercantum pula dalam Undang-Undang Pokok Kekuasaan

Kehakiman Pasal 5 ayat (1) dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dalam penjelasan umum butir 3a.

Pasal 5 ayat (1) tersebut merumuskan :

“Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-

bedakan orang.”16

f. Asas Peradilan Dilakukan Oleh Hakim Karena Jabatannya dan Tetap

Asas ini berarti bahwa pengambilan keputusan salah tidaknya

terdakwa dilakukan oleh hakim karena jabatannya dan bersifat tetap.

Hakim-hakim tersebut diangkat oleh kepala negara secara tetap. Ini disebut

dalam Pasal 31 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman yang merumuskan :

“Sistem hakim yang tetap di Indonesia mengikuti sistem di negeri

Belanda yang dahulu menganut sistem juri, tetapi sejak tahun 1813

dihapuskan. Sebaliknya Perancis sejak revolusi meniru sistem itu dari

Inggris. Karena banyaknya kelemahan-kelemahan sistem itu maka

Jerman juga tidak menganutnya.”

Menurut D. Simons17

sebagaimana dikutip dalam bukunya Andi

Hamzah, menyatakan sebagai berikut:

15

Romli Atmasasmita,Bunga Rampai Hukum Acara Pidana, Jakarta : Bina Cipta, 1983.hal.30. 16

Ibid. Hal. 20.

22

“Sistem hakim yang tetap di Indonesia mengikuti sistem di Negara

Belanda yang dahulu juga menganut sistem juri pula, tetapi sejak tahun

1813 dihapuskan. Sebaliknya Perancis sejak revolusi meniru sistem itu

dari Inggris. Karena banyaknya kelemahan-kelemahan sistem tersebut

maka Jerman juga tidak menganutnya.”

g. Asas Tersangka / Terdakwa Berhak Mendapat Bantuan Hukum

Asas berhak mendapat bantuan hukum bagi tersangka atau terdakwa

adalah suatu upaya yang secara filosifi melindungi hak asasi manusia dari

diri tersangka maupun terdakwa dalam suatu perkara untuk memperoleh

bantuan hukum dari seorang penasehat hukum.

Ketentuan Pasal 69 sampai dengan Pasal 74 Undang-Undang Nomor

8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) diatur tentang

bantuan hukum dimana tersangka / terdakwa mendapat kebebasan-

kebebasan yang sangat luas. Kebebasan-kebebasan itu antara lain sebagai

berikut :

a.) Bantuan Hukum dapat diberikan sejak saat tersangka ditangkap atau

ditahan.

b.) Bantuan hukum dapat diberikan pada semua tingkat pemeriksaan.

c.) Penasihat hukum dapat menghubungi tersangka / terdakwa pada semua

tingkat pemeriksaan pada setiap waktu.

d.) Pembicaraan antara penasihat hukum dan tersangka tidak didengar oleh

penyidik dan penuntut umum, kecuali pada delik yang menyangkut

keamanan negara.

e.) Turunan berita acara diberikan kepada tersangka atau penasihat hukum

guna kepentingan pembelaan.

f.) Penasihat hukum berhak mengirimkan dan menerima surat dari

tersangka / terdakwa.18

Pembatasan-pembatasan hanya dikenakan apabila penasihat hukum

menyalahgunakan hak-hak tersebut. Kebebasan-kebebasan ini hanya dari

17

M Yahya Harahap.Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyelidikan dan

Penuntutan. Jakarta: Sinar Grafika. 2001.hal. 22. 18

Andi Hamzah. Opcit.Hal. 21.

23

segi yuridis semata-mata, bukan dari segi politis, social, dan ekonomi. Segi-

segi yang disebut terakhir ini juga menjadi penghambat pelaksanaan

bantuan hukum yang merata.

Menurut Adnan Buyung Nasution19

“setiap periode sejarah dengan sistem politiknya tersendiri, telah

banyak memberikan pengaruh atas masalah ini. Persoalannya

bertambah rumit apabila kita melihat dari sudut ekonomi, disebabkan

oleh kemiskinan yang merembes luas, tingkat tuna huruf tinggi dan

keadaan kesehatan yang memburuk.”

h. Asas Akusator dan Inkisitor (Accusatoir dan Inquisitor)

Asas akusator mempunyai arti bahwa menempatkan kedudukan

Terdakwa sebagai subyek pemeriksaan, terdakwa tidak lagi dipandang

sebagai obyek. Sedangkan pemahaman dalam asas inkisitor, terdakwa

dipandang sebagai obyek pemeriksaan. Asas inkisitor ini sesuai dengan

pandangan bahwa pengakuan tersangka merupakan alat bukti terpenting,

sehingga untuk mendapatkan pengakuan dari tersangka sering digunakan

tindakan kekerasan ataupun penganiayaan.

Asas akusatoir ini telah ditunjukkan dalam Pasal 54 Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang berisi

ketentuan untuk memberikan kebebasan kepada tersangka maupun

terdakwa untuk mendapatkan penasehat hukumnya.

Pasal 54 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum

Acara Pidana (KUHAP) menyebutkan bahwa :

“Guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak

mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum

19

Andi Hamzah. Loc.Cit. Hal. 21.

24

selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan, menurut

tatacara yang ditentukan dalam undang-undang ini.”

Sesuai dengan hak-hak asasi manusia yang sudah menjadi ketentuan

universal, maka asas inkisitor ini telah ditinggalkan oleh banyak negeri

beradab. Hal ini terbukti dengan adanya hak memperoleh bantuan hukum

sejak awal pemeriksaan ditingkat penyidikan. Selain itu juga dibuktikan

dengan berubahnya pola sistem pembuktian di mana alat-alat bukti berupa

pengakuan diganti dengan “keterangan terdakwa”.

Dalam bukunya, Andi Hamzah20

mengatakan bahwa:

“Kebebasan memberi dan mendapatkan nasihat hukum menunjukan

bahwa dengan KUHAP telah dianut asas akusator itu. Ini berarti

perbedaaan antara pemeriksaan pendahuluan dan pemeriksaan sidang

pengadilan pada asasnya telah dihilangkan.”

i. Asas Pemeriksaan Hakim Yang Langsung dan Lisan

Asas pemeriksaan hakim yang langsung dan lisan artinya yaitu,

dalam acara pemeriksaan pengadilan, pemeriksaan dilakukan oleh hakim

secara langsung kepada terdakwa dan saksi. Ini berbeda dengan acara

perdata di mana tergugat dapat mewakili oleh kuasanya. Sedangkan arti

dari lisan sendiri yaitu pemeriksaan hakim bukan dilakukan secara tertulis

tetapi secara lisan antara hakim dan terdakwa.

Asas ini diatur dalam Pasal 153 ayat (2) dalam Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

menyebutkan bahwa :

20

Andi Hamzah. Loc.Cit. Hal. 21.

25

a. Hakim ketua sidang memimpin pemeriksaan di sidang

pengadilan yang dilakukan secara lisan dalam bahasa Indonesia

yang dimengerti oleh terdakwa dan saksi.

b. Ia wajib menjaga supaya tidak dilakukan hal atau diajukan

pertanyaan yang mengakibatkan terdakwa atau saksi

memberikan jawaban secara tidak bebas.

Pemeriksaan di sidang pengadilan dilakukan oleh hakim secara

langsung, artinya langsung kepada terdakwa dan para saksi. Sedangkan

pemeriksaan hakim dilakukan secara lisan, artinya bukan tertulis antara

hakim dan terdakwa.

Pengecualian dari asas langsung adalah kemungkinan putusan

dijatuhkan tanpa hadirnya terdakwa, yaitu putusan verstek atau in absentia.

Bambang Poernomo21

berpendapat bahwa :

“Pemeriksaan perkara pidana antara para pihak yang terlibat dalam

persidangan harus dilakukan tidak secara tertulis tetapi harus dengan

lisan atau satu sama lain agar dapat diperoleh keterangan yang benar

dari yang bersangkutan tanpa tekanan dari pihak manapun. Tata cara

pemeriksaan perkara pidana dengan mendengarkan keterangan

langsung adalah memberikan kesempatan terutama kepada terdakwa

untuk mengeluarkan pendapatnya atau jika perlu memberikan

keterangan ingkar karena pada waktu pemeriksaan permulaan tidak

bebas keterangannya yang diperiksa secara tertutup.”

C. Sistem Pembuktian dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang

Hukum Acara Pidana (KUHAP)

Pembuktian menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah proses,

perbuatan, cara membuktian, suatu usaha menentukan benar atau salahnya si

terdakwa dalam sidang pengadilan.

21

Bambang Poernomo,Pola Teori dan Asas Umum Hukum Acara Pidana, Yogyakarta: Liberty,

1985.Hal. 79.

26

Membuktikan menurut Martiman Prodjohamidjojo22

yaitu:

“Mengandung maksud dan usaha untuk menyatakan kebenaran adalah

suatu peristiwa, sehingga dapat diterima oleh akal terhadap kebenaran

peristiwa tersebut. Dalam hukum acara pidana, acara pembuktian

adalah dalam rangka mencari kebenaran materiil dan KUHAP

menetapkan tahapan dalam mencari kebenaran sejati yaitu melalui:

1. Penyidikan;

2. Penuntutan;

3. Pemeriksaan di persidangan;

4. Pelaksanaan, pengamatan, dan pengawasan.

Sehingga acara pembuktian hanyalah merupakan salah satu fase dalam

hukum acara pidana secara keseluruhan.”

1. Penyidikan

Pasal 102 ayat (1) Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

menyebutkan :

“Penyelidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan

tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan

tindak pidana wajib segera melakukan tindakan penyelidikan yang

diperlukan.”

2. Penuntutan

Pasal 137 Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

menyebutkan :

“Penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap

siapapun yangdidakwa melakukan suatu tindak pidana dalam

daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara ke pengadilan

yang berwenang mengadili.”

3. Pemeriksaan di Persidangan

Pasal 145 ayat (1) Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

menyebutkan :

22

Martiman Prodjohamidjojo.Sistem Pembuktian dan Alat-Alat Bukti.Jakarta:Ghalia

Indonesia.1983.Hal. 12.

27

“Pemberitahuan untuk datang ke sidang pengadilan dilakukan

secara sah, apabila disampaikan dengan surat panggilan kepada

terdakwa di alamat tempat tinggalnya atau apabila tempat

tinggalnya tidak diketahui, disampaikan di tempat kediaman

terakhir.”

4. Pelaksanaan, Pengawasan, dan Pengamatan Putusan Pengadilan

Pelaksanaan putusan pengadailan diatur dalam Pasal 270 Undang-

Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menyebutkan bahwa :

“Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan

hukum tetap dilakukan oleh jaksa, yang untuk itu panitera

mengirimkan salinan surat putusan kepadanya.”

Pengawasan, dan pengamatan putusan pengadilan diatur dalam Pasal

277 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

yang menyebutkan bahwa :

(1) Pada setiap pengadilan harus ada hakim yang diberi tugas khusus

untuk membantu ketua dalam melakukan pengawasan dan

pengamatan terhadap putusan pengadilan yang menjatuhkan pidana

perampasan kemerdekaan.

(2) Hakim sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang disebut hakim

pengawas dan pengamat, ditunjuk oleh ketua pengadilan untuk

palinglama dua tahun.

Sistem atau teori pembuktian dalam mengungkap tindak pidana di

dalam hukum acara pidana terdapat beberapa macam, antara negara yang satu

dengan yang lain berbeda-beda terutama di negara-negara Eropa Kontinental

yang dianut Belanda, Perancis, dan di Indonesia sendiri yang menekankan

pada penilaian pembuktian ada ditangan hakim berbeda dengan negara-negara

Anglo Saxon yang dianut oleh Amerika Serikat yang menggunakan sistem juri

yang menentukan salah tidaknya terdakwa sedangkan hakim hanya memimpin

sidang dan menjatuhkan pidana.

28

Beberapa ajaran mengenai teori atau sistem pembuktian dalam hukum

acara pidana, yaitu :

a. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang Secara

Positif (Positive Wettelijk Bewijs Theorie)

Sistem atau teori pembuktian ini juga sering disebut dengan teori

pembuktian formal (formele bewijstheorie), teori pembuktian ini dikatakan

secara positif karena didasarkan kepada alat-alat pembuktian yang berupa

undang-undang atau peraturan tertulis yang artinya jika telah terbukti suatu

perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti tersebut oleh undang-undang, maka

keyakinan hakim sudah tidak diperlukan lagi. Walau hakim tidak yakin

dengan kesalahan terdakwa tetapi perbuatannya sudah memenuhi syarat

dan ketentuan pembuktian menurut undang-undang maka sudah cukup

untuk menentukan kesalahan terdakwa. 23

Menurut D. Simons24

seperti yang dikutip oleh Andi Hamzah:

“Sistem atau teori pembuktian berdasar undang-undang secara

positif (positief wettelijk) ini berusaha untuk menyingkirkan semua

pertimbangan subyektif hakim dan mengikat hakim secara ketat

menurut peraturan-peraturan pembuktian yang keras. Dianut di

Eropa pada waktu berlakunya asas inkisitor (inquisitoir) dalam

acara pidana.”

Teori ini menekankan pada ketentuan perundangan sehingga hakim

hanya sebagai corong undang-undang yang hanya mengucapkan sesuai

dengan bunyi undang-undang yang terkait. Keuntungan dari sistem ini

adalah pembuktian bersifat obyektif yang artinya hakim wajib benar-benar

menerapkan mencari dan menemukan kebenaran mengenai salah atau

23

Yahya Harahap.Op.cit. Hal.257. 24

Andi Hamzah.Op.cit.Hal.251.

29

tidaknya terdakwa sesuai dengan cara pembuktian dengan alat-alat bukti

yang telah ditentukan undang-undang.

b. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Melulu

(Conviction-in Time)

M. Yahya Harahap25

berpendapat:

“Dalam sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim melulu

atau yang disebut juga sistem pembuktian conviction-in time, untuk

menentukan salah atau tidaknya terdakwa semata-mata ditentukan

oleh penilaian “keyakinan hakim”. Keyakinan hakim yang

menentukan keterbuktian kesalahan terdakwa. Keyakinan diambil

oleh hakim secara langsung dengan mengabaikan alat-alat bukti

yang ada.”

Sistem pembuktian ini mendasarkan bahwa dalam memutus suatu

perkara pidana hakim mendasarkan pada hati nuraninya sendiri. Dalam hal

ini maka nilai pembuktian berada penuh ditangan hakim dan bersifat

subyektif karena segala sesuatunya itu hakim yang menentukan. Seorang

hakim dapat saja menjatuhkan putusan hanya dengan keyakinannya tanpa

melihat pembuktian melalui alat-alat bukti yang cukup dipersidangan

sehingga dapat timbul kemungkinan bahwa hakim dapat saja melepaskan

terdakwa dari tindak pidana yang dituduhkan kepadanya walaupun

dipersidangan telah cukup bukti kalau terdakwa benar-benar bersalah dan

hakim bisa saja memutus terdakwa bersalah atas dakwaan yang

didakwakan kepadanya walaupun dalam persidangan pembuktian

terdakwa tidak terbukti bersalah berdasarkan alat-alat bukti yang sah.

25

Yahya Harahap.Op.cit.Hal. 256.

30

c. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim atas

Alasan yang Logis (Conviction Raisonee)

Sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim atas alasan yang

logis hampir sama dengan teori pembuktian keyakinan melulu, akan tetapi

teori ini faktor kebebasan hakim lebih dibatasi dimana setiap keyakinan

hakim dalam memutus suatu perkara pidana harus berdasarkan alasan-

alasan yang jelas, hakim wajib menguraikan dan menjelaskan alasan-

alasan apa yang mendasari keyakinannya atas kesalahan terdakwa

sehingga bisa mengambil putusan tersebut. Keyakinan hakim harus

mendasar dengan alasan yang logis dan benar-benar dapat diterima secara

logika.

“Sistem atau teori pembuktian atas alasan yang logis merupakan

jalan tengah atau yang berdasar keyakinan hakim sampai batas

tertentu ini terpecah kedua jurusan. Pertama, sistem atau teori

pembuktian bebas karena hakim bebas untuk menyebut alasan-

alasan keyakinannya (vreije bewijsheorie) yaitu pembuktian

berdasar keyakinan hakim atas alasan yang logis (conviction

raisonee) dan yang kedua teori pembuktian berdasarkan undang-

undang secara negatif (negatief wettelijk bewijsteorie). Persamaan

keduanya ialah keduanya sama berdasar atas keyakinan hakim,

artinya terdakwa tidak mungkin dipidana tanpa adanya keyakinan

hakim bahwa ia bersalah.sedangkan perbedaan keduanya adalah

jika keyakinan hakim atas alasan yang logis pangkal tolaknya ada

keyakian hakim sedangkan yang pembuktian berdasarkan undang-

undang secara negatif pada ketentuan undang-undang. Kemudian

pada yang pertama dasarnya ialah suatu konklusi yang tidak

didasarkan undang-undang sedangkan pada yang kedua didasarkan

kepada ketentuan undang-undang yang disebut secara limitatif.”26

26

Yahya Harahap.Ibid.Hal. 257.

31

d. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang secara

Negatif (Negatief wettelijk)

Sistem pembuktian negatif ini merupakan gabungan dari sistem

pembuktian menurut undang-undang dengan sistem pembuktian menurut

keyakinan atau conviction in time yang kemudian menimbulkan rumusan

salah tidaknya seorang terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakim yang

didasarkan kepada cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut

undang-undang.

Untuk menentukan salah atau tidaknya seorang terdakwa menurut

sistem pembuktian undang-undang secara negatif terdapat dua

komponen yaitu :

1. Pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat

bukti yang sah menurut undang-undang;

2. Dan keyakinan hakim yang juga harus didasarkan atas cara dan

dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.

Dengan demikian, sistem ini memadukan unsur “obyektif dan

subyektif” dalam menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Tidak

ada yang paling dominan di antara kedua unsur tersebut. Jika salah

satu diantara dua unsur itu tidak ada, tidak cukup mendukung

keterbuktian kesalahan terdakwa.27

Dapat disimpulkan bahwa hakim dalam membuat keputusan harus

didasarkan dengan alat-alat bukti dipersidangan dan dengan alat bukti

tersebut menimbulkan keyakinan hakim tentang tindak pidana tersebut.

Sistem Pembuktian Menurut KUHAP

Sistem pembuktian yang dianut oleh Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah sistem atau

teori pembuktian berdasarkan Undang-Undang Negatif (negatief

27

Yahya Harahap.Op.cit.Hal.279.

32

wettelijke). Hal tersebut dapat dilihat dalam Pasal 183 Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang

isinya:

Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada orang kecuali apabila

dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh

keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa

terdakwa yang bersalah melakukannya.

Dengan demikian Pasal 183 KUHAP mengatur untuk menentukan salah

atau tidaknya seorang terdakwa dan untuk menjatuhkan pidana kepada terdakwa,

harus :

a. Kesalahannya terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah

b. Dan atas keterbuktian dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah,

hakim memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana benar-benar terjadi

dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.28

M. Yahya Harahap29

berpendapat :

“Alasan pembuat undang-undang merumuskan Pasal 183 KUHAP

ditujukan untuk mewujudkan suatu ketentuan yang seminimal mungkin

dapat menjamin “tegaknya kebenaran sejati” serta “tegaknya keadilan dan

kepastian hukum”. Dari penjelasan Pasal 183 KUHAP pembuat undang-

undang telah menentukan pilihan bahwa sistem pembuktian yang paling

tepat dalam kehidupan penegak hukum di Indonesia adalah sistem

pembuktian menurut undang-undang secara negatif demi tegaknya

keadilan, kebenaran, dan kepastian hukum.”

Wirjono Prodjodikoro seperti yang dikutip oleh Andi Hamzah30

:

“Bahwa sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif

sebaiknya dipertahankan berdasarkan dua alasan, Pertama memang sudah

selayaknya harus ada keyakinan hakim tentang kesalahan terdakwa untuk

dapat menjatuhkan suatu hukuman pidana, janganlah hakim terpaksa

memidana orang sedangkan hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa.

Kedua, ialah berfaedah jika ada aturan yang mengikat hakim dalam

menyusun keyakinannya, agar ada patokan-patokan tertentu yang harus

diturut oleh hakim dalam melakukan peradilan.”

28

Ibid.Hal. 280. 29

Ibid. Hal. 256-259. 30

Andi Hamzah. Opcit.Hal. 264.

33

R. Soesilo31

, berpendapat bahwa sehubungan dengan masalah kekuatan

pembuktian dari alat-alat bukti yang diajukan di persidangan, maka hakim dalam

memeriksa perkara pidana dalam sidang pengadilan senantiasa berusaha untuk

membuktikan :

a. Apakah betul suatu peristiwa itu terjadi;

b. Apakah betul suatu peristiwa tersebut merupakan tindak pidana;

c. Apa sebab-sebabnya peristiwa itu terjadi;

d. Siapakah orang yang bersalah melakukan peristiwa itu.

D. Alat-Alat Bukti Dalam KUHAP

Alat bukti yang sah dalam hukum acara pidana, diatur dalam Pasal 184

ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

(KUHAP), yaitu:

a. Keterangan Saksi;

b. Keterangan Ahli;

c. Surat;

d. Petunjuk;

e. Keterangan terdakwa.

Dari alat bukti di atas hakim memeriksa untuk memperoleh kebenaran

materiil dari kejadian yang terjadi dan hakim tidak boleh memeriksa selain alat

bukti tersebut.

Sebagaimana yang diuraikan terlebih dahulu, Pasal 184 ayat (1) KUHAP

telah menentukan secara limitatif alat bukti yang sah menurut undang-

undang. Diluar alat bukti itu,tidak dibenarkan dipergunakan untuk

membuktikan kesalahan terdakwa. Ketua sidang, penuntut umum, terdakwa

dan penasehat hukum terikat dan terbatas hanya diperbolehkan

mempergunakan alat-alat bukti itu saja. Mereka tidak leluasa mempergunakan

alat bukti yang dikehendakinya diluar alat bukti yang ditentukan Pasal 184

31

R. Soesilo. Hukum Acara Pidana (Prosedur Penyelesaian Perkara Pidana menurut KUHAP

bagi penegak Hukum). Bogor: Politeria. 1982. Hal. 109.

34

ayat (1). Yang dinilai sebagai alat bukti, dan yang dibenarkan mempunyai

kekuatan pembuktian hanya terbatas pada alat-alat itu saja. Pembuktian

dengan alat bukti diluar jenis alat bukti tersebut pada Pasal 184 ayat (1), tidak

mempunyai nilai serta mempunyai kekuatan pembuktian yang mengikat.32

Tidak setiap hal harus dibuktikan dalam persidangan, Pasal 184 ayat (2)

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

yang rumusan ini disebut sebagai notoire feiten notorious (generally known) yang

disebut sebagai hal yang sudah umum diketahui. Hal-hal yang bersifat umum

yang diketahui oleh setiap orang secara patut maka tidak perlu dibuktikan.

Biasanya dalam hal ini adalah berdasarkan pengalaman setiap manusia secara

umum karena hal ini sudah diketahui dan sudah menjadi kebiasaan sehari-hari.

Dari penjelasan Pasal 184 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang

Hukum Acara Pidana (KUHAP) diterapkan :

1. Majelis hakim dapat menarik dan mengambilnya sebagai suatu kenyataan

yang dapat dijadikan sebagai fakta tanpa membuktikan lagi;

2. Akan tetapi kenyataan yang diambil hakim dari notoire feiten, tidak bisa

berdiri sendiri membuktikan kesalahan terdakwa. Tanpa dikuatkan oleh

alat bukti yang lain, kenyataan yang ditarik dan diambil hakim adri

notoire feiten tidak cukup membuktikan kesalahan yang didakwakan

kepada terdakwa. Bukankah pada hakikatnya notoire feiten tidak

tergolong alat-alat bukti yang diakui oleh undang-undang sebagaimana

disebutkan secara limitatif dalam Pasal 184 ayat (1) Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Hal yang

secara umum sudah diketahui hanyalah merupakan penilaian terhadap

sesuatu pengalaman dan kenyataan tertentu saja. Bukan sesuatu yang

dapat membuktikan kesalahan terdakwa secara menyeluruh.33

a. Keterangan Saksi

Menurut Pasal 1 butir (26) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang

Hukum Acara Pidana (KUHAP) merumuskan bahwa:

32

M. Yahya Harahap. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP.Jakarta : Sinar

Grafika.2002. Hal.252. 33

Ibid. Hal.276.

35

“Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan

penyidik, penuntutan dan pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia

dengar sendiri, ia lihat, dan ia alami sendiri.”

Aturan mengenai pembuktian saksi terdapat dalam Pasal 185 ayat (1)

sampai 7 KUHAP. Keterangan saksi yang dimaksud dalam Pasal 184 Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) ini adalah

saksi sebagai alat bukti yang dihadirkan dalam sidang pengadilan agar hakim

dapat menilai keterangan-keterangan saksi itu, yang ditinjau dari sudut dapat atau

tidak dipercaya, berdasarkan tinjauan terhadap pribadi, gerak geriknya dan yang

lain-lain.

Saksi yang dihadirkan dalam persidangan nantinya akan disumpah agar

mempunyai kekuatan pembuktian yang kuat dan nantinya dapat dijadikan

pertimbangan hakim dalam memutus suatu perkara pidana. Disebutkan dalam

Pasal 160 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara

Pidana (KUHAP) bahwa saksi wajib untuk disumpah atau janji dalam setiap akan

dimintai keterangannya di persidangan sesuai dengan agamanya masing-masing.

Kemudian lafal sumpah atau yang diucapkan berisi bahwa saksi akan memberikan

keterangan yang sebenar-benarnya dan tidak lain dari yang sebenarnya yang

dilakukan sebelum saksi memberikan keterangannya dalam persidangan dan jika

dalam keadaan perlu oleh hakim pengadilan sumpah atau janji ini dapat diucapkan

sesudah saksi memberikan keterangannya sesuai dengan Pasal 160 ayat (4)

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Jika saksi yang dihadirkan tidak disumpah karena permintaan sendiri atau

pihak yang lain tidak bersedia saksi untuk disumpah karena saksi ditakutkan akan

36

berpihak pada salah satu pihak, maka keterangan dari saksi tersebut tetap

digunakan, akan tetapi sifatnya hanya digunakan sebagai tambahan alat bukti sah

yang lain.

Selain itu saksi yang karena jabatannya tidak dapat menjadi saksi akan

tetapi mereka tetap bersedia menjadi saksi maka dapat diperiksa oleh hakim akan

tetapi tidak disumpah karena itu merupakan perkecualian relatif karena

menyimpan rahasia jabatan. Saksi yang dihadirkan diharapkan sudah dewasa

sehingga keterangannya bisa dipercaya dan dapat dipertanggung jawabkan.

Saksi yang menolak mengucapkan sumpah atau janji didepan pengadilan

saat akan diambil keterangannya tanpa suatu alasan yang sah maka saksi tersebut

dapat dikenakan sandera yang didasarkan penetapan hakim ketua sidang, paling

lama penyanderaan adalah empat belas hari (Pasal 161 Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana).

Pengertian umum keterangan saksi ada dalam Pasal 1 butir 27 Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang

merumuskan sebagai berikut :

"Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang

berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia

dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan

dari pengetahuannya itu".

Dengan demikian kesaksian yang didengar dari orang lain atau biasa disebut

dengan "testimonium de auditu" bukan merupakan keterangan saksi. Begitu pula

pendapat maupun rekaan yang diperoleh dari hasil pemikiran saja bukan

merupakan keterangan saksi (Pasal 185 ayat (5)Undang-Undang Nomor 8 Tahun

1981 tentang Hukum Acara Pidana).

37

Dari penegasan rumusan Pasal 1 butir 27 Undang-Undang Nomor 8 Tahun

1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dihubungkan dengan Pasal 135

ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

(KUHAP), Pidana dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

a. Setiap keterangan saksi di luar dari yang didengarnya sendiri dalam

peristiwa pidana yang terjadi atau di luar dari yang dilihat dan dialaminya

dalam peristiwa pidana yang terjadi, keterangan yang diberikan di luar

pendengaran, penglihatan atau pengalaman sadar mengenai suatu

peristiwa pidana terjadi, tidak dapat dijadikan dan dinilai sebagai alat

bukti. Keterangan semacam ini tidak memiliki kekuatan nilai

pembuktian.

b. Testimonium de auditu keterangan saksi yang diperoleh sebagai hasil

pendengarannya dari orang lain, tidak mempunyai nilai sebagai alat

bukti. Keterangan saksi di sidang pengadilan berupa keterangan ulang

dari yang didengarnva dari orang lain, keterangan saksi seperti ini tidak

dapat dianggap sebagai alat bukti.

c. Pendapat atau rekaan yang saksi peroleh dari pemikiran bukan

merupakan keterangan. Penegasan ini sesuai dengan ketentuan Pasal 185

ayat (5) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Oleh karena itu

setiap keterangan saksi yang bersifat pendapat atau hasil pemikiran saksi

harus dikesampingkan dari pernbuktian dalam membuktikan kesalahan

terdakwa. Keterangan yang bersifat dan berwarna pendapat dan

pemikiran pribadi saksi tidak dapat dinilai sebagai alat bukti.34

Mengenai keterangan saksi de auditu ini, Mr. S.M. Amin35

dalam bukunya

"Hukum Acara Pengadilan Negeri" telah memberikan penjelasan sebagai berikut :

"Kesaksian de auditu adalah keterangan tentang kenyataan-kenyataan, dan

hal-hal yang didengar, dilihat atau dialami bukan oleh saksi sendiri akan

tetapi keterangan-keterangan yang disampaikan oleh orang lain kepadanya

mengenai kenyataan-kenyataan dan hal-hal yang didengar, dilihat atau

dialami sendiri oleh orang lain tersebut".

Dalam putusan Mahkamah Agung membenarkan Testimonium De Auditu

dapat digunakan sebagai alat bukti yang memenuhi syarat materiil. Hal ini

34

M. Yahya Harahap.Op.cit.Hal. 266. 35

Leden Marpaung.Pemberantasan dan Pencegahan Tindak Pidana Ekonomi.Jakarta :Sinar

Grafika. Jakarta. 1994. Hal. 33.

38

terdapat dalam Putusan Mahkamah Agung No. 239 K/Sip/1973 tanggal 25

November 1975, keterangan saksi pada umumnya adalah menurut pesan, namun

harus dipertimbangkan dan hampir semua kejadian atau perbuatan hukum yang

terjadi pada masa lalu tidak mempunyai surat, tetapi berdasarkan pesan turun-

temurun, sedangkan saksi-saksi yang langsung menghadapi perbuatan hukum itu

pada masa lalu sudah tidak ada lagi yang hidup sekarang, sehingga dengan

demikian pesan turun-temurun itulah yang dapat diharapkan sebagai keterangan

dan menurut keterangan dan pengetahuan majelis hakim sendiri pesan-pesan

seperti itu oleh masyarakat tertentu pada umumnya secara adat dianggap berlaku

dan benar. Walaupun demikian hal itu harus diperhatikan dari siapa pesan itu

diterima berikut orang yang memberi keterangan harus orang yang menerima

langsung pesan.Ternyata masalah tersebut telah sepenuhnya telah terpenuhi

dimana orang yang menerangkan pesan didalam majelis persidangan pengadilan

adalah orang yang langsung menerima pesan.

Tidak setiap orang dapat menjadi saksi dalam persidangan, selain karena

ketidak cakapannya menjadi saksi, yang tidak dapat menjadi terutama karena

mempunyai hubungan dekat dengan terdakwa karena cenderung tidak bernilai

obyektif dan cenderung membela terdakwa, diantaranya :

a. Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus keatas atau ke bawah

sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai

terdakwa, (Pasal 168 butir a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang

Hukum Acara Pidana);

39

b. Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara

ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena

perkawinan, dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga, (Pasal

168 butir b Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara

Pidana);

c. Suami atau isteri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama-

sama sebagai terdakwa, (Pasal 168 butir c Undang-Undang Nomor 8 Tahun

1981 tentang Hukum Acara Pidana);

d. Orang yang mempunyai hubungan pekerjaan, harkat, martabat, atau

jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia yang ditentukan undang-undang.

Kemudian dalam Pasal 171 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang

Hukum Acara Pidana (KUHAP) ditentukan saksi yang tidak disumpah

yaitu:

a. Anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah

kawin;

b. Orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun ingatannya baik kembali.

Dalam penjelasan pasal tersebut dikatakan bahwa anak yang belum berumur

lima belas tahun, demikian juga orang yang sakit ingatan, sakit jiwa, sakit

gila meskipun kadang-kadang saja, yang dalam ilmu penyakit jiwa disebut

psychopaat, mereka ini tidak dapat dipertanggungjawabkan secara sempurna

dalam hukum pidana maka mereka tidak dapat diambil sumpah atau janji

dalam memberikan keterangan, karena itu keterangan mereka hanya dipakai

sebagai petunjuk saja.

Keterangan saksi agar mempunyai kekuatan pembuktian maka harus

dihadirkan saksi lebih dari seorang dan minimal ada dua alat bukti karena

keterangan dari seorang saksi saja tanpa ada alat bukti yang lain tidak cukup

40

membuktikan bahwa terdakwa benar-benar bersalah terhadap dakwaan yang

didakwakan kepadanya (unus testis nullus testis).

Dalam hal terdakwa memberikan keterangan yang mengakui kesalahan yang

didakwakan kepadanya, keterangan seorang saksi sudah cukup untuk

membuktikan kesalahan terdakwa, karena disamping keterangan saksi tunggal

itu, telah terpenuhi ketentuan minimum pembuktian dan the degree of evidence

yakni keterangan saksi ditambah dengan alat bukti keterangan terdakwa.

Dengan ini dapat disimpulkan bahwa persyaratan yang dikehendaki Pasal 185

ayat (2) adalah :

1) Untuk dapat membuktikan kesalahan terdakwa paling sedikit harus

didukung oleh dua orang saksi;

2) Atau kalau saksi yang ada hanya terdiri dari seorang saja maka kesaksian

tunggal itu harus dicukupi atau ditambah dengan salah satu alat bukti yang

lain.36

Keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling utama dalam

pemeriksaan perkara pidana. Dalam Pasal 185 ayat (6) Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) untuk menilai kebenaran

keterangan saksi hakim harus memperhatikan:

a) Persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lainnya;

b) Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti yang lain;

c) Alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi keterangan

yang tertentu;

d) Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya

dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya.

b. Keterangan Ahli

Keterangan ahli merupakan keterangan dari pihak diluar kedua pihak yang

sedang berperkara, dimana yang digunakan adalah keterangan berkaitan dengan

ilmu pengetahuannya dalam perkara yang dipersidangkan sehingga membuat

terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Keterangan ahli

36

Ibid. Hal.288.

41

sebagai alat bukti diatur dalam Pasal 186 KUHAP menunjukkan keterangan ahli

dari segi pembuktian.

Sedangkan dalam Pasal 1 angka 28 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), menerangkan lebih lanjut mengenai

pengertian keterangan ahli, yaitu:

“Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang

memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat

terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.”

Pasal 184 (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum

Acara Pidana (KUHAP), pembentuk undang-undang meletakkan keterangan ahli

dalam urutan kedua hal ini dinilai bahwa dalam pemeriksaan perkara pidana

sangat dibutuhkan dikarenakan perkembangan ilmu dan teknologi telah

berdampak terhadap kualitas metode kejahatan yang memaksa para penegak

hukum harus bisa mengimbanginya dengan kualitas metode pembuktian yang

memerlukan pengetahuan, dan keahlian.

Pasal yang mengatur tentang keterangan ahli dalam Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) terdapat dalam

Pasal 1 angka 28, Pasal 120, Pasal 133, Pasal 179, Pasal 180 dan Pasal 186.

Dikatakan, bahwa keterangan ahli amat diperlukan dalam setiap tahapan

pemeriksaan, oleh karena ia diperlukan baik dalam tahap penyidikan, tahap

penuntutan, maupun tahap pemeriksaan di sidang pengadilan. Jaminan

akurasi dari hasil-hasil pemeriksaan atas keterangan ahli atau para ahli

didasarkan pengetahuan dan pengalamannya dalam bidang-bidang

keilmuannya, akan dapat menambah data, fakta dan pendapatnya, yang dapat

ditarik oleh Hakim dalam menimbang-nimbang berdasarkan pertimbangan

hukumnya, atas keterangan ahli itu dalam memutus perkara yang

bersangkutan. Sudah tentu, masih harus dilihat dari kasus perkasus dari

perkara tindak pidana tersebut masing-masing, atas tindak pidana yang

42

didakwakan pada terdakwa dalam surat dakwaan dari penuntut umum di

sidang pengadilan.37

Keterangan yang diberikan oleh ahli harus diberikan di suatu persidangan

yang terbuka untuk umum. Salah satu syarat seorang ahli untuk memberikan

keterangan adalah disumpah dalam persidangan agar keterangan yang diberikan

sesuai dengan pengetahuannya dan syarat yang lainnya adalah ahli memberikan

keterangan berdasarkan ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Jika dalam

persidangan seorang ahli tidak dapat hadir, maka dapat memberikan

keterangannya dalam surat yang nantinya dibacakan disidang pengadilan yang

sebelumnya juga diangkat sumpah pada ahli.

Keterangan ahli dapat juga diberikan untuk membantu pada waktu

pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum sesuai dalam Pasal 120 Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang

nantinya dituangkan dalam suatu bentuk laporan dan ahli mengingat sumpah

jabatan waktu pertama menerima jabatannya dan diucapkan dimuka penyidik

bahwa ahli akan memberi keterangan menurut pengetahuannya sebaik-baiknya.

Akan tetapi ada pengecualian bagi ahli untuk tidak memberikan keterangannya

dalam pengadilan yaitu dalam suatu hal karena pekerjaan atau jabatan, harkat dan

martabat yang mewajibkan ahli menyimpan rahasia dapat menolak untuk

memberikan keterangan yang diminta.

Ahli dalam Pasal 133 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang

Hukum Acara Pidana (KUHAP) menekankan kepada ahli dalam kedokteran

37

R. Soeparmono. Keterangan Ahli & Visum EtRepertum dalam Aspek Hukum Acara Pidana.

Bandung: Mandar Maju.2002. Hal. 3.

43

forensik yang menangani korban baik luka, keracunan ataupun mati yang

diakibatkan suatu tindak pidana. Untuk itu disetiap satuan kepolisian diperlukan

tim ahli dalam kedokteran forensik, psikiatri, antropologi forensik, ilmu kimia

forensik, fisika forensik dan lain sebagainya untuk membantu penyidikan dalam

mengungkap kasus dan mempermudah proses identifikasi korban, tersangka

ataupun barang bukti yang ada dalam tindak pidana. Tindakan yang dilakukan

oleh tim ahli disini harus dijalankan dengan baik dan penuh tanggung jawab

berdasarkan sumpah jabatan dan profesi yang diembannya.

Seorang ahli yang dihadirkan dipersidangan tidak hanya ahli dalam

kedokteran forensik saja akan tetapi juga ahli dalam bidang tertentu yang

berkaitan dengan pemeriksaan di persidangan sesuai dalam Pasal 179 Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) bisa

dihadirkan oleh hakim, penuntut umum, dan penasehat hukum. Ahli

dipersidangan yang bertugas membantu hakim, penuntut umum, penasehat hukum

dan terdakwa mengenai segala sesuatu yang tidak diketahuinya yang dapat

diketahui mengenai keterangan ahli yang mempunyai keahlian khusus dalam

masalah yang hendak dibuat menjadi jelas dan terang, dan tujuan pemeriksaan

ahli ini untuk membuat terang perkara pidana yang sedang dihadapi. Sifat dari

keterangan ahli ini menunjukkan suatu keadaan tertentu atau suatu hal dan belum

menunjukkan mengenai siapa yang dapat dipersalahkan dalam suatu perkara

tindak pidana yang bersangkutan.

44

Yahya Harahap38

berpendapat:

Apa yang dapat diambil dari Pasal 1 angka 28, dikaitkan dengan ketentuan

Pasal 184 ayat (1) huruf b dan Pasal 186 KUHAP, agar keterangan ahli

dapat bernilai sebagai alat bukti yang sah :

1. Harus merupakan keterangan yang diberikan oleh seorang yang

mempunyai keahlian khusus tentang sesuatu yang ada hubungannya

dengan perkara pidana yang sedang diperiksa.

2. Sedang keterangan yang diberikan seorang ahli, tapi tidak mempunyai

keahlian khusus tentang suatu keadaan yang ada hubungannya dengan

perkara pidana yang bersangkutan, tidak mempunyai nilai sebagai alat

bukti yang sah menurut undang-undang.

Adanya tata cara pembuktian dari ahli sebagai alat bukti di tahap

penyidikan dengan menggunakan laporan atau dalam bentuk surat sesuai dalam

Pasal 133 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

(KUHAP) dan meminta keterangan ahli secara lisan di sidang pengadilan

berdasarkan Pasal 179 dan 186 menimbulkan dualisme, terutama yang berasal dari

laporan atau visum et repertum yaitu :

a) Pada suatu alat bukti keterangan ahli yang berbentuk laporan atau visum et

repertum, tetap dapat dinilai sebagai alat bukti keterangan ahli;

b) Pada sisi lain alat bukti keterangan ahli yang berbentuk laporan, juga

menyentuh alat bukti surat yang terdapat dalam Pasal 187 huruf c KUHAP.39

Untuk menjawab dualisme diatas maka yang dapat dijadikan pedoman

adalah pendapat hakim akan mempergunakan nama alat bukti apa yang akan

diberikan karena keduanya sama-sama bersifat kekuatan pembuktian yang bebas

dan tidak mengikat, hakim bebas menentukan apakah akan membenarkan alat

bukti tersebut atau malah akan menolaknya.

Nilai kekuatan pembuktian dengan keterangan ahli tidak jauh berbeda

dengan keterangan saksi yaitu :

38

Yahya Harahap. Op.cit. Hal.299. 39

Ibid.Hal. 303.

45

1. Mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang bebas atau vrij bewijskaracht

yang ditentukan oleh penilaian hakim apakah akan menerima keterangan

dari ahli tersebut atau akan menolaknya.

2. Keterangan ahli yang berdiri sendiri dan tidak didukung oleh alat bukti yang

lain tidak memadai untuk membuktikan tentang tidak atau bersalahnya

terdakwa. Oleh karena itu agar keterangan ahli dapat digunakan sebagai

dasar memutus perkara pidana oleh hakim harus disertai dengan alat bukti

yang lain.40

Suatu kasus akan sering terdapat dua keterangan ahli yang digunakan yaitu

keterangn ahli yang berupa laporan dan juga berasal dari keterangan yang

diberikan secara lisan di pengadilan. Jika keterangan ahli tersebut menjelaskan hal

yang sama maka alat bukti keterangan ahli masih bernilai satu alat bukti, akan

tetapi jika keterangan ahli ini yang berupa laporan dan juga dari keterangan lisan

di sidang pengadilan menunjukkan suatu keadaan yang berbeda dan menunjukan

hal yang berkesesuaian antara satu dengan yang lainnya maka dapat dinyatakan

bahwa keterangan ahli tersebut ada dua alat bukti keterangan ahli yang sah yang

masing-masing berdiri sendiri dan telah memenuhi batas minimum pembuktian

berdasarkan Pasal 183 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum

Acara Pidana (KUHAP).

c. Surat

A Plito seperti yang dikutip oleh Martiman Prodjohamidjojo41

:

“Pengertian surat adalah pembawa tanda tangan bacaan yang berarti, yang

menterjemahkan suatu isi pikiran. Tidak termasuk kata surat, adalah foto

dan peta, sebab benda ini tidak memuat tanda bacaan, surat sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 187 KUHAP dimaksudkan adalah surat-surat yang

dibuat oleh pejabat-pejabat resmi yang terbentuk berita acara, akta, surat

keterangan ataupun surat yang lain yang mempunyai hubungan dengan

perkara yang sedang diadili.”

40

Ibid.Hal. 253. 41

Martiman Prodjohamidjojo. Komentar Atas KUHAP. Jakarta :Pradya Paramitha. 1983.Hal. 24.

46

Surat sebagai alat bukti diatur dalam Pasal 187 Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menurut

ketentuan ini:

“Surat yang dinilai dengan alat bukti yang sah di persidangan menurut

undang-undang yaitu surat yang dibuat atas sumpah jabatan dan atau surat

yang dikuatkan dengan sumpah. Alat bukti surat menurut definisi Asser-

Anema yaitu segala sesuatu yang mengandung tanda-tanda baca yang dapat

dimengerti, dimaksud untuk mengeluarkan isi pikiran.”42

Sebagai syarat dalam menentukan dapat atau tidaknya suatu surat itu dapat

dikategorikan sebagai suatu alat bukti yang sah ialah bahwa surat-surat itu harus

dibuat diatas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah. Surat resmi yang

dimaksud dalam Pasal 187 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum

Acara Pidana (KUHAP) berbentuk berita acara, akte, surat keterangan ataupun

surat lain yang mempunyai hubungan dengan perkara yang diadili.

Berdasarkan bunyi Pasal 187 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP):

“Surat sebagaimana dimaksud Pasal 184 ayat (1) huruf c Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dibuat atas

sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah:

a. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat

umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat

keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau

yang dialaminya sendiri disertai dengan alasan yang jelas dan tegas

tentang keterangan itu;

b. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan

atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam

tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan

bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan;

c. Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan

keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta

secara resmi daripadanya;

d. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi

dan alat pembuktian yang lain”.

Bunyi dalam Pasal 187 huruf dUndang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), berbeda dengan ketentuan dalam huruf

42

Andi Hamzah.Op.cit. Hal. 276.

47

a,b dan c karena huruf d menunjukkan surat secara umum yang tidak berlandaskan

sumpah jabatan dan sumpah di sidang pengadilan yang bersifat resmi dan

cenderung bersifat pribadi. Penjelasan selanjutnya menyebutkan bahwa

berlakunya alat bukti surat lain harus mempunyai hubungan dengan alat bukti lain

agar mempunyai kekuatan pembuktian artinya alat bukti surat lain tidak dapat

berdiri sendiri secara utuh.

Bentuk surat lain yang diatur dalam huruf d “hanya dapat berlaku” jika

isinya mempunyai hubungan dengan alat pembuktian yang lain. Nilai

berlakunya masih digantungkan dengan alat bukti yang lain. Kalau isi

surat itu atau kalau alat pembuktian yang lain itu terdapat salng hubungan,

barulah surat itu berlaku dan dinilai sebagai alat bukti surat.43

Berdasarkan psssasal diatas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang

Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak mengatur tentang kekuatan pembuktian dari

surat lain karena tidak mempunyai bobot sebagai alat bukti hanya mengatur surat-

surat resmi saja. Penerapan surat lain sebagai bentuk alat bukti surat terlihat ganjil

karena jika suatu alat bukti surat digantungkan dengan alat bukti yang lain yaitu

jika mempunyai hubungan isinya dengan alat bukti yang lain sehingga terkesan

tidak mempunyai nilai pembuktian bahkan cenderung menjadi alat bukti petunjuk

yang intinya saling menghubungkan antara alat bukti satu dengan yang lainnya

sehingga tercipta suatu urutan suatu peristiwa yang terjadi dalam perkara pidana

yang diperiksa di sidang pengadilan.

Pasal 187 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara

Pidana (KUHAP) dapat diartikan bahwa pejabat yang mempunyai wewenang

untuk membuat surat-surat tersebut, dibebaskan untuk menghadap sendiri

43

Yahya Harahap.Op.cit.Hal.309.

48

dipersidangan dan pembacaan surat-surat tersebut telah dianggap mempunyai

kekuatan bukti yang sama dengan apabila mereka menerangkan sendiri secara

lisan dihadapan persidangan pengadilan.

Surat yang dijadikan sebagai alat bukti dipengadilan biasanya berasal dari

kedokteran forensik yang meneliti barang bukti yang ditemukan di tempat

kejadian perkara (TKP) yang kemudian diteliti dimana barang bukti mati

kemudian dituangkan dalam bentuk surat dan dapat dijadikan suatu pegangan bagi

hakim untuk memutus suatu tindak pidana yang bersangkutan karena barang bukti

mati tersebut tidak bisa berbohong dan terdakwa tidak bisa mengelak jika barang

bukti tersebut telah nyata menunjukkan bahwa terdakwa telah melakukan tindak

pidana yang dituntutkan kepadanya.

Nilai kekuatan pembuktian surat menurut Yahya Harahap44

jika dinilai

dari segi teoritis serta dihubungkan dengan prinsip pembuktian dalam Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dapat

dibedakan menjadi 2, yaitu :

1. Ditinjau dari segi formal

Alat bukti yang disebut pada Pasal 187 huruf a,b dan c adalah alat bukti

yang sempurna sebab bentuk surat-surat ini dibuat secara resmi menurut

formalitas yang ditentukan peraturan perundang-undangan. Alat bukti

surat resmi mempunyai nilai pembuktian formal yang sempurna dengan

sendirinya bentuk dan isi surat tersebut :

a. Sudah benar, kecuali dapat dilumpuhkan dengan alat bukti yang lain;

b. Semua pihak tak dapat lagi menilai kesempurnaan bentuk dan

pembuatannya;

c. Juga tak dapat lagi menilai kebenaran keterangan yang dituangkan

pejabat yang berwenang didalamnya sepanjang isi keterangan tersebut

tidak dapat dilumpuhkan dengan alat bukti yang lain;

d. Dengan demikian ditinjau dari segi formal, isi keterangan yang tertuang

di dalamnya, hanya dapat dilumpuhkan dengan alat bukti lain, baik

44

Ibid. Hal.309-312.

49

berupa alat bukti keterangan saksi, keterangan ahli atau keterangan

terdakwa.

2. Ditinjau dari segi materiil

Alat bukti surat tidak mempunyai kekuatan mengikat sama dengan alat

bukti saksi, dan ahli yang sama-sama mempunyai nilai pembuktian yang

bersifat bebas yang penilaiannya digantungkan dari pertimbangan hakim.

Ketidakterikatannya hakim atas alat bukti surat tersebut didasarkan pada

beberapa asas, antara lain :

a. Asas proses pemeriksaan perkara pidana adalah untuk mencari

kebenaran materiil atau kebenaran sejati (materiel waarheid), bukan

mencari kebenaran formal. Nilai kebenaran dan kesempurnaan formal

dapat disingkirkan demi untuk mencapai dan mewujudkan kebenaran

materiil atau kebenaran sejati yang digariskan oleh penjelasan Pasal

183 KUHAP yang memikul kewajiban bagi hakim untuk menjamin

tegaknya kebenaran, keadilan, kepastian hukum bagi seseorang.

b. Asas keyakinan hakim sesuai yang terdapat dalam Pasal 183 KUHAP

yang menganut ajaran sistem pembuktian menurut undang-undang

secara negatif. Dimana hakim dalam memutus harus berdasarkan

sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, dan dengan alat bukti

tersebut hakim memperoleh keyakinan bahwa terdakwa itu bersalah

atau tidak. Hakim diberi kebebasan untuk menentukan putusan yang

diambilnya dengan tetap memperhatikan tanggung jawab dengan

moral yang tinggi atas landasan tanggung jawab demi mewujudkan

kebenaran sejati.

c. Asas batas minimum pembuktian yaitu sesuai dengan Pasal 183

KUHAP hakim dalam memberikan putusan harus berdasarkan

minimal dua alat bukti dan dengan alat bukti tersebut hakim

memperoleh keyakinan untuk memberikan keputusan dipersidangan.

d. Petunjuk

Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau karena keadaan yang karena

persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak

pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa

pelakunya. Alat bukti petunjuk diatur dalam Pasal 188 ayat (1), (2), (3) Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Dari bunyi Pasal 188 ayat (1) KUHAP dijumpai kata-kata “menandakan”

yang maksudnya adalah bahwa justru oleh karena tidak mungkin dapat

diperoleh oleh karena tidak mungkin dapat diperoleh kepastian mutlak

bahwa terdakwa benar-benar telah bersalah melakukan perbuatan yang

50

didakwakan kepadanya secara pasti, maka dari kata-kata demikian

dipergunakan kepadanya secara pasti, maka dari kata-kata demikian

dipergunakan, sehingga dari sekian banyak petunjuk yang ada telah dapat

terbukti. Bahwa perbuatan, kejadian atau keadaan yang dianggap sebagai

petunjuk haruslah ada kesesuaian antara satu dengan yang lain, karena justru

pada persesuaian itulah letak kekuatan utama dari petunjuk-petunjuk sebagai

sebagai alat bukti. Dan dari bunyi Pasal 188 (1), yang menyatakan bahwa

diantara petunjuk-petunjuk itu harus ada “persesuaian”, maka hal itu berarti

bahwa sekurang kurangnya harus ada dua petunjuk untuk memperoleh bukti

yang sah, namun kalau bunyi pasal itu lebih diteliti lagi ternyata satu

perbuatan saja yang ada persesuaiannya dengan tindak pidana itu, ditambah

dengan satu alat bukti yang lain dan yang berkesesuaian keseluruhannya,

maka sudah cukup alasan untuk menyatakan bahwa menurut hukum

perbuatan yang didakwakan telah terbukti.45

Pasal 188 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum

Acara Pidana (KUHAP) menegaskan bahwa petunjuk itu diperoleh dari

keterangan saksi, surat, dan juga keterangan dari terdakwa dimana diantara

ketiganya harus ada kesesuaian dan saling berhubungan. Persesuaian antara

perbuatan, kejadian satu sama lain menunjukkan adanya suatu tindak pidana atau

tidak, jika tidak ada persesuaian diantara ketiga alat bukti diatas maka belum bisa

ditentukan itu merupakan petunjuk dan yang dapat melakukan penilaian itu

merupakan petunjuk dalam setiap keadaan atau bukan adalah hakim, dimana harus

melakukan pemeriksaan secara seksama dan cermat berdasarkan hati nuraninya.

Pasal 188 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara

Pidana (KUHAP) menerangkan bahwa:

Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan

tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana, setelah ia

mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan keseksamaan

berdasarkan hati nuraninya.

45

I Ketut Martika & Djoko Prakoso.Op.cit.Hal.44.

51

Bunyi Pasal 188 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang

Hukum Acara Pidana (KUHAP), sangat berpengaruh dalam setiap penggunaan

alat bukti petunjuk sebagai syarat dan dasar penilaian pembuktian kesalahan

terdakwa, karena nantinya akan berpengaruh terhadap tanggung jawab sebagai

seorang hakim yang merangkai alat bukti yang ada sehingga menjadi dasar

penjatuhan hukuman.

Syarat-syarat untuk dapat dijadikan petunjuk sebagai alat bukti haruslah:

a. Mempunyai persesuaian atau sama lain atas perbuatan yang terjadi.

b. Keadaan-keadaan perbuatan itu berhubungan satu sama lain dengan

sengaja kejahatan yang terjadi.

c. Berdasarkan pengamatan hakim baik dari keterangan terdakwa maupun

saksi di persidangan.46

Penggunaan alat bukti petunjuk dalam praktek persidangan sangat dihindari,

bila perlu menggunakan alat bukti yang lainnya kecuali jika dalam keadaan yang

penting dan mendesak sekali maka alat bukti petunjuk dapat digunakan jika alat

bukti yang lain belum mencukupi untuk membuktikan kesalahan terdakwa.

Dinilai juga bahwa alat bukti petunjuk digunakan manakala alat bukti yang lain

belum mencukupi batas minimum pembuktian yang sesuai dala Pasal 183

KUHAP.

Alat bukti petunjuk dalam persidangan dilihat dari persesuaian antara alat

bukti satu dengan yang lainnya sehingga hakim memperoleh gambaran mengenai

proses terjadinya tindak pidana dan penyebab terjadinya tindak pidana. Sumber

dari alat bukti petunjuk diperoleh hakim dengan memperhatikan alat bukti yang

lain sehingga diperoleh persesuaian antara perbuatan, kejadian, atau keadaan yang

46

Andi Hamzah dan Indra Dahlan.Perbandingan KUHP, HIR dan Komentar.Jakarta.:Ghalia.

Indonesia. 1984. Hal. 263.

52

sebenarnya. Pasal 188 ayat (2) KUHAP ditentukan secara limitatif untuk mencari

bukti petunjuk yaitu diperoleh dari :

a) Keterangan saksi

b) Surat

c) Keterangan terdakwa

Alat bukti petunjuk tidak mencantumkan alat bukti ahli karena keterangan

ahli diperoleh dari keterangan dari pakar dalam bidang keilmuan yang terkait yang

bersifat subyektif dari pengetahuan masing-masing ahli dan dalam hal ini

kemungkinan besar sudah telah bercampur dengan nilai-nilai budaya, keyakinan,

latar belakang hidup, pendidikan dari ahli itu sendiri dan cenderung akan selalu

membenarkan pendapatnya sehingga tidak bernilai obyektif.

Alat bukti petunjuk baru ada jika sudah ada alat bukti yang lain sehingga

sifatnya menggantungkan alat bukti yang lain atau “asessoir”. Dengan kata lain

alat bukti petunjuk tidak akan pernah ada jika tidak ada alat bukti lain.

Djisman Samosir47

berpendapat bahwa:

“Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap

keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana setelah ia

mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan keseksamaan hati

nuraninya.”

e. Keterangan terdakwa

Pengertian keterangan terdakwa diatur dalam Pasal 189 ayat (1) Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP),

merumuskan:

47

C. Djisman Samosir. Jaksa dan Hakim dalam Proses Pidana.Bandung.Binacipta. 1985. Hal. 90.

53

“Keterangan terdakwa ialah apa yang didakwakan di sidang tentang

perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri.”

Keterangan terdakwa disini bukan berarti pengakuan terdakwa yang ada

dalam HIR, akan tetapi keterangan terdakwa bersifat lebih luas baik yang

merupakan penyangkalan, pengakuan, ataupun pengakuan sebagian dari perbuatan

atau keadaan. Suatu perbedaan yang jelas antara keterangan terdakwa dengan

pengakuan terdakwa sebagai alat bukti ialah keterangan terdakwa yang

menyangkal dakwaan, tetapi membenarkan beberapa keadaan atau perbuatan yang

menjurus kepada terbuktinya perbuatan sesuai alat bukti lain merupakan alat

bukti. Pengaturan tentang keterangan terdakwa terdapat dalam Pasal 189-193

KUHAP.

Dengan dilihat dengan jelas bahwa keterangan terdakwa sebagai alat bukti

tidak perlu sama atau berbentuk pengakuan. Semua keterangan terdakwa

hendaknya didengar. Apakah itu berbentuk penyangkalan, pengakuan, ataupun

pengakuan sebagai dari perbuatan atau keadan. Tidak perlu hakim

mempergunakan seluruh keterangan seorang terdakwa atau saksi, demikian

menurut HR dengan arrest-nya tanggal 22 Juni 1944, NJ.44/45 No.59.

sedangkan pengakuan sebagai alat bukti mempunyai syarat-syarat berikut.

a. Mengaku ia yang melakukan delik yang didakwakan

b. Mengaku ia bersalah.48

Menurut Memorie van Toelichting Ned Sv. Penyangkalan terdakwa atas

dakwaan yang ditujukan pada dirinya boleh menjadi alat bukti yang sah, hal ini

lah yang menjadi konsekuensi penggunaan kata keterangan terdakwa sehingga

hakim harus mendengarkan penyangkalan dan pengakuan dari terdakwa.

Keterangan terdakwa yang dapat diambil sebagai alat bukti yang sah harus

mengandung beberapa asas, yaitu :

1. Keterangan terdakwa dinyatakan disidang pengadilan.

48

Andi Hamzah.Op.cit.Hal.278.

54

2. Keterangan terdakwa bisa menjadi alat bukti jika dikemukakan disidang

pengadilan, baik itu yang berbentuk penjelasan yang diutarakan sendiri,

penjelasan ataupun jawaban terdakwa yang diajukan kepadanya oleh hakim,

penuntut umum atau penasehat hukum baik yang berbentuk penyangkalan

ataupun pengakuan. Ada juga keterangan terdakwa yang dikemukakan diluar

persidangan seperti pada waktu penyidikan dan penyelidikan di kepolisian

dapat digunakan untuk membantu untuk menemukan bukti disidang asalkan

keterangan didukung oleh suatu alat yang sah sepanjang mengenai hal yang

didakwakan kepadanya (Pasal 189 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun

1981 tentang Hukum Acara Pidana) dan keterangan yang dinyatakan di luar

sidang sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya. Selain itu

keterangan yang diberikan haruslah dinyatakan di depan penyidik, dicatat

dalam berita acara penyidik, kemudian ditanda tangani oleh penyidik dan

terdakwa;

3. Keterangan terdakwa berisi tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia

ketahui sendiri atau alami sendiri;

4. Keterangan terdakwa hanya mempunyai alat bukti terhadap diri sendiri.

Mengenai kekuatan pembuktian keterangan terdakwa, bahwa seperti alat

bukti yang lainnya untuk menemukan kebenaran materiil maka harus memenuhi

Pasal 183 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

(KUHAP), yaitu paling tidak harus memenuhi batas minimum pembuktian

dengan 2 alat bukti yang sah, oleh karena itu pada Pasal 189 (4) Undang-Undang

55

Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), juga

menjelaskan:

Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia

bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan

harus disertai dengan alat bukti yang lain.

Paling tidak dalam suatu tindak pidana selain keterangan terdakwa

harus ada satu alat bukti lain yang mendukung sehingga hakim dapat

mengambil putusan, selain itu dengan alat bukti tersebut timbul keyakinan

hakim atas tindak pidana tersebut bahwa terdakwa bersalah atau tidak atas

dakwaan yang ditujukan padanya. Kemudian sifat nilai kekuatan

pembuktiannya adalah bebas, maka dengan ini hakim tidak terikat pada nilai

kekuatan pembuktian keterangan terdakwa atau menyingkirkan kebenaran

yang terkandung didalamnya, karena segala sesuatunya harus ada alasan yang

logis yang bisa diterima oleh hakim.

Alat bukti yang ada dalam Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun

1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tersebut dapat dihadirkan oleh

terdakwa dan juga oleh pihak kejaksaan. Alat bukti yang dihadirkan oleh

terdakwa biasanya terkait untuk meringankan hukuman terdakwa yang sering

disebut saksi yang meringankan sedangkan alat bukti yang dihadirkan oleh

jaksa terkesan memberatkan atau untuk membuktikan bahwa benar telah terjadi

tindak pidana karena peran dari jaksa penuntut umum dalam persidangan

adalah sebagai wakil negara yang harus menyandarkan sikapnya kepada

kepentingan masyarakat dan negara sehingga sifatnya harus bersifat obyektif.

56

Selain itu dengan alat bukti tersebut hakim telah menemukan keyakinan

bahwa perbuatan tersebut merupakan tindak pidana dan terdakwalah yang

melakukan tindak pidana, jika dengan alat bukti tersebut hakim tidak

menemukan keyakinannya maka alat bukti tersebut tidak bisa dijadikan acuan

untuk membuktikan bahwa itu merupakan tindak pidana. Dalam pemeriksaan

perkara pidana yang sifatnya ingin mengejar kebenaran materiil agar terdakwa

diperiksa jangan membawa-bawa orang lain yang tidak ada sangkut pautnya

dengan dirinya dan untuk menghindari adanya fitnah terhadap diri orang lain

yang tak bersalah.

E. Alat Bukti Elektronik

Dalam pasal 1 angka 1 dan 2 Undang-undang No 8 tahun 2011 tentang

informasi dan transaksi elektronik, dirumuskan.

3. Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik,

termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan,

foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail),

telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode

Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau

dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.

4. Transaksi Elektronik adalah perbuatan hukum yangdilakukan dengan

menggunakan Komputer, jaringan Komputer, dan/atau media elektronik

lainnya.

Short Message Service (Selanjutnya disingkat SMS) adalah salah satu

bagian dari Teknologi Informasi yang memiliki pengertian sebagai suatu

teknik untuk mengumpulkan, menyiapkan, menyimpan, memproses,

mengumumkan, menganalisa, dan menyebarkan informasi. Dalam hitungan

menit bahkan detik melalui teknologi tersebut individu disuguhi dengan

57

berbagai informasi, tidak lepas dari sifatnya yang positif maupun negatif,

sehingga dalam konteks sikap dan prilaku individu. Pemanfaatan teknologi

informasi tidak lepas dari kemungkinan adanya penyalahgunaan untuk hal-hal

yang bersifat kejahatan dan terhadap hal tersebut juga menyebabkan adanya

kecenderungan yang lebih besar lagi ketika penggunaan teknologi informasi

ini cenderung bersifat tertutup dan sangat mengedepankan aspek privacy,

dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa SMS sama dengan apa yang

disebutkan dalam pasal 1 angka 1 dan 2 Undang-undang No 8 tahun 2011.

Layanan SMS merupakan sebuah layanan yang bersifat nonreal-time

dimana sebuah short messages dapat di-submit kesatu tujuan, tidak peduli

apakah tujuan itu dalam keadaan aktif atau tidak. Bila dideteksi tujuan tidak

aktif, maka sistem akan menunda pengiriman ke tujuan hingga tujuan aktif

kembali. Pada dasarnya sitem SMS akan menjamin delivery atau pengiriman

dari suatu short message hingga sampai ke tujuan, karena SMS memiliki masa

tunggu. Kegagalan pengiriman bersifat sementara seperti tujuan tidak aktif

akan selalu teridentifikasi sehingga pengiriman ulang short messages akan

selalu dilakukan aturan bahwa short messages yang melampaui batas tertentu

harus dihapus dan dinyatakan gagal terkirim, sehingga pada dasarnya

penerima SMS tidak dapat menolak SMS yang masuk kedalam ponselnya,

berbeda dengan panggilan langsung yang dapat ditolak bila penerima

panggilan tidak ingin menerima panggilan tersebut.

Dalam Pasal 3 Undang-undang No 8 tahun 2011 tentang informasi dan

transaksi elektronik, dirumuskan.

58

Pemanfaatan teknologi informasi dan transaksi elektronik dilaksanakan

berdasarkan kepastian hukum, manfaat, kehati-hatian, itikad baik, dan

kebebasan memilih teknologi atau netral teknologi”.

Pasal 28 ayat (1) UU ITE mengatakan bahwa “setiap orang dengan

sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan

yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik”.

Dalam Pasal 42 Undang-Undang No 8 tahun 2011 tentang informasi

dan transaksi elektronik, dirumuskan.

Penyidikan terhadap tindak pidana sebagaimana yang dimaksud dalam

Undang-Undang ini, dilakukan berdasarkan ketentuan dalam Hukum

Acara Pidana dan ketentuan dalam Undang-Undang ini.

Dalam pasal 42 Undang-undang No 8 tahun 2011 tentang informasi

dan transaksi elektronik, dirumuskan.

alat bukti penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang

pengadilan menurut ketentuan Undang-Undang ini adalah sebagai berikut :

a. Alat bukti sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Perundang-undangan;

dan

b. Alat bukti lain berupa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 dan angka 4 serta Pasal 5 ayat

(1), ayat (2), dan ayat (3).

Dengan adanya perkembangan kejahatan dengan menggunakan

komputer, Penyidik dan Penuntut Umum serta Hakim dihadapkan pada

eksistensi bukti-bukti elektronik seperti data komputer, dokumen elektronik,

email, maupun catatan transaksi rekening49

, sehingga alat bukti tidak hanya

terbatas pada keterangan saksi, surat, ahli, petunjuk dan keterangan terdakwa,

49

Arie Eko Yuliearti, Bukti Elektronik Dalam Kejahatan Komputer: Kajian Atas Tindak Pidana

Korupsi dan Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Tesis Pascasarjana Reguler, (Jakarta:

Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006), hlm. 10.

59

akan tetapi mencakup informasi dan dokumen yang tersimpan secara

elektronik50

.

Yahya Harahap mengungkapkan bahwa:

Hakim tidak terkait atas kebenaran persesuaian yang diwujudkan atas

petunjuk sebagai alat bukti, karena alat bukti elektronik tidak bisa

berdiri sendiri-sendiri untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Oleh

karena itu, perlu didukung oleh alat bukti lain.51

Edmon Makarim mengemukakan bahwa :

Alat bukti elektronik sebagai suatu alat bukti yang sah dan yang berdiri

sendiri, tentunya harus dapat diberikan jaminan bahwa suatu

rekaman/salinan data (data recording) berjalan sesuai dengan prosedur

yang berlaku (telah dikalibrasi dan diprogram) sedemikian rupa

sehingga hasil print out sutau data diterima dalam pembuktian suatu

kasus.52

T. Nasrullah yang menegaskan bahwa:

alat bukti elektronik seperti SMS (Short Message Service) hanya

berlaku dalam hukum pidana khusus dan tidak berlaku pada hukum

pidana umum. Sementara pakar teknologi komunikasi, Roy Suryo

menyatakan SMS tidak dapat dijadikan alat bukti tunggal. Penggunaan

SMS sebagai alat bukti harus didukung dengan keterangan ahli

(expertise).53

Selain itu, proses mengajukan dan proses pembuktian alat bukti yang

berupa data digital perlu pembahasan tersendiri mengingat alat bukti dalam

bentuk informasi elektronik ini serta berkas acara pemeriksaan telah melalui

proses digitalisasi dengan proses pengetikan (typing), pemeriksaan (editing),

dan penyimpanan (storing) dengan menggunakan komputer. Namun, hasilnya

tetap saja dicetak di atas kertas (printing process). Oleh karena itu, diperlukan

50Ibid, hlm. 138 51

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang

Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, (Jakarta: Sinar Grafika, 1985), hlm. 312. 52

Edmom Makarim, Pengantar Hukum Telematika: Suatu Kompilasi Kajian, (Jakarta: PT Raja

Grafindo Persada, 2005) hlm. 451 53

Ahsan Dawi Mansur, SMS Sebagai Alat Bukti, 2006.

60

kejelasan bagaimana mengajukan dan melakukan proses pembuktian terhadap

alat bukti yang berupa data digital.

Pembuktian terhadap suatu alat bukti berupa data digital juga

menyangkut aspek validasi yang dijadikan alat bukti, karena bukti elektronik

mempunyai karakteristik khusus dibandingkan bukti non-elektronik,

karakteristik khusus tersebut karena bentuknya yang disimpan dalam media

elektronik, disamping itu bukti elektronik dapat dengan mudah direkayasa

sehingga sering diragukan validitasnya.54

F. Tindak Pidana Narkoba

Narkoba adalah singkatan dari narkotika dan obat/bahan berbahaya. Selain

"narkoba", istilah lain yang diperkenalkan khususnya oleh Departemen

Kesehatan Republik Indonesia adalah Napza yang merupakan singkatan dari

Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif. Semua istilah ini, baik "narkoba"

ataupun "napza", mengacu pada kelompok senyawa yang umumnya memiliki

risiko kecanduan bagi penggunanya.

Narkoba sebenarnya adalah senyawa-senyawa psikotropika yang biasa

dipakai untuk membius pasien saat hendak dioperasi atau obat-obatan untuk

penyakit tertentu.

Secara etimologis narkoba atau narkotika berasal dari bahasa Inggris

narcose atau narcosis yang berarti menidurkan dan pembiusan. Narkotika

berasal dari bahasa Yunani yaitu narke atau narkom yang berarti terbius

sehingga tidak merasakan apa-apa. Narkotika berasal dari perkataan narcotic

54

L. Volodino, Electronic Evidence and Computer Forensic, (Communication of AIS, Vol. 12,

Oktober 2003), hlm. 7.

61

yang artinya sesuatu yang dapat menghilangkan rasa nyeri dan dapat

menimbulkan efek stupor (bengong), bahan-bahan pembius dan obat bius.55

Secara terminologi, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, narkoba atau

narkotika adalah obat yang dapat menenangkan syaraf, menghilangkan rasa

sakit, menimbulkan rasa mengantuk atau merangsang.56

Pengertian yuridis tentang narkotika diatur dalam ketentuan Pasal 1 butir 1

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika merumuskan:

“Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan

tanaman, baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan

penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai

menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan yang

dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam

undang-undang ini”.

Menurut istilah kedokteran, narkotika adalah obat yang dapat

menghilangkan terutama rasa sakit dan nyeri yang berasal dari daerah viresal

atau alat-alat rongga dada dan rongga perut, juga dapat menimbulkan efek

stupor atau bengong yang lama dalam keadaan masih sadar serta menimbulkan

adiksi atau kecanduan.57

Menurut M. Ridha Ma’roef58

, narkotika adalah:

a. Bahwa narkotika ada dua macam, yaitu narkotika alam dan narkotika

sintetis. Narkotika alam ialah berbagai jenis candu, morphine, heroin,

ganja, hashish, codein, dan cocaine. Narkotika alam ini termasuk dalam

pengertian narkotika sempit. Narkotika sintetis adalah termasuk dalam

pengertian narkotika secara luas. Narkotika sintetis yang termasuk

didalamnya zat-zat (obat) yang tergolong dalam tiga jenis obat yaitu:

Hallucinogen, Depressant, dan Stimulant.

55

Mardani, Penyalahgunaan Narkoba Dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Pidana

Nasional, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2008,hal. 78. 56

Ibid. 57

Ibid, hal.79. 58

Ibid, hal. 34.

62

b. Bahwa narkotika itu mempengaruhi susunan syaraf sentral yang

akibatnya dapat menimbulkan ketidaksadaran atau pembiusan.

Berbahaya apabila disalahgunakan.

c. Bahwa narkotika dalam pengertian dalam pengertian ini adalah

mencakup obat-obat bius dan obat-obat berbahaya atau narcotic and

dangerous drugs.

63

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Metode Pendekatan

Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian yuridis

normatif,59

yaitu suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan

kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya. Dalam

kajian ini, hukum dilihat sebagai sebuah sistem tersendiri yang terpisah

dengan berbagai sistem lain yang ada di dalam masyarakat sehingga memberi

batas antara sistem hukum dengan sistem lainnya.

B. Spesifikasi Penelitian

Spesifikasi penelitian yang digunakan adalah preskriptif60

yaitu suatu

penelitian ditujukan untuk mendapatkan saran-saran mengenai apa yang harus

dilakukan untuk mengatasi masalah-masalah tertentu yang dikaitkan

denganbagaimanakah kekuatan pembuktian SMS (Short Message

Service)sebagai alat bukti dalam tindak pidana penyalahgunaan narkotika

dalam Putusan No : 56 / Pid.Sus/2011/PN.Pwt dan bagaimanakahSMS (Short

Message Service)diklasifikasikan sebagai alat bukti surat yang sah.

C. Bahan Hukum Primer dan Sekunder

Dalam penelitian ini Penulis menggunakan sumber data sebagai

berikut:

59

Jhonny, Ibrahim, 2007, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang,

Cetakan Ketiga, Bayumedia Publishing, Hal. 296. 60

Soerjono soekanto,1981, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, Cetakan Pertama, UII

Press, Hal .10

63

64

Data Sekunder

Sumber data sekunder adalah sejumlah keterangan atau fakta-fakta

yang secara tidak langsung diperoleh melalui bahan dokumen, Peraturan

perundang-undangan, laporan, arsip, literatur, dan hasil penelitian lainnya.61

Sumber data sekunder yang digunakan Penulis antara lain :

1) Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer, yaitu: norma atau kaidah dasar, peraturan

Perundang -undangan. Dalam penelitian ini, bahan hukum primer yang

digunakan adalah :

a) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

b) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

c) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Tindak Pinda

Penyalahgunaan Narkotika.

d) Undang-Undang No 11 tahun 2008 Tentang ITE.

e) Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor:

56 / Pid.Sus/2011/PN.Pwt.

2) Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder, yaitu: bahan-bahan yang memberikan

penjelasan mengenai bahan hukum primer, berupa hasil karya dari

kalangan hukum dalam bentuk buku-buku literatur atau artikel. Bahan

hukum sekunder digunakan dengan pertimbangan bahwa data primer tidak

dapat menjelaskan realitas secara lengkap sehingga diperlukan bahan

hukum primer dan sekunder sebagai data sekunder untuk melengkapi

deskripsi suatu realitas.

61

Ibid.,Hal. 12

65

D. Metode Pengumpulan Bahan Hukum

Data yang dikumpulkan dilakukan melalui studi kepustakaan. Studi

kepustakaan yaitu dengan melihat buku literatur, kumpulan bahan hokum

kuliah, dan peraturan perundang-undangan, sehingga menjadi pedoman dalam

pembuatan karya tulis ini.

E. Metode PengajianBahan Hukum

Hasil penelitian disajikan dalam bentuk uraian-uraian yang disusun

secara sistematis, maksudnya adalah keseluruhan data yang diperoleh akan

dihubungkan satu dengan yang lainnya disesuaikan dengan pokok

permasalahan yang diteliti sehingga merupakan satu kesatuan yang utuh.

F. Metode Analisis Bahan Hukum

Data yang diperoleh akan dianalisis dengan menggunakan metode

normatif kualitatif, yaitu dengan cara menjabarkan dan menafsirkan data yang

diperoleh berdasarkan norma-norma atau kaidah-kaidah, teori-teori,

pengertian-pengertian hukum dan doktrin-doktrin yang terdapat dalam ilmu

hukum, khususnya dalam Hukum Acara Pidana.

66

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil penelitian

Hasil penelitian yang telah dilakukan peneliti terhadap Putusan

Nomor :56/Pid.Sus/2011/PN.Purwokerto, tentang Tindak Pidana Narkotika,

diperoleh sebagai berikut:

1. Duduk Perkara

Pada awalnya tanggal 1 September 2011 pukul 21.00 WIB saksi

Aris Budi Setyono dan saksi Pramuaji bersama tim sedang melaksanakan

tugas di Taman Andang Pangrenan Kelurahan Karangklesem Kecamatan

Purwokerto, melihat tingkah laku terdakwa yang mencurigakan di depan

pintu Taman Andang Pangrenan, bahwa pada saat di tanya identitasnya

terdakwa sedang menerima SMS dari Niko dengan nomor 08190332269

yang isinya “Barange wis ana durung sich” kemudian saksi Aris

menanyakannya apa maksud SMS tersebut dan terdakwa menjawab

bahwa itu pesanan ganja, dari keterangan terdakwa diketahui bahwa

ganja tersebut sekarang tidak ada ditangannya dan disimpan di kamar

kosong yang merupakan kamar Ari (DPO) di rumah saksi Dirin di Jalan

Raya Kampus Kelurahan Grendeng Purwokerto Utara, selanjutnya saksi

Aris Budi Setyono dan saksi Pramuaji mengajak terdakwa menuju rumah

saksi Dirin untuk menunjukkan tempat ganja disimpan dan mengambil

ganja tersebut, setelah sampai di rumah saksi Dirin, terdakwa mengambil

headset serta satu kertas minyak warna coklat yang berisi ganja dan

66

67

terdakwa mengakui ganja tersebut adalah miliknya yang dipesan kepada

Ari seharga Rp 100.000,- yang patungan dengan Niko masing-masing

membayar Rp 50.000,- .

Pemesanan ganja dilakukan kepada Ari pada hari Selasa tanggal

30 Agustus 2011, pada waktu itu Niko datang ke rumah terdakwa untuk

memesan ganja seharga Rp 50.000,- dan terdakwa sepakat untuk

memakai ganja tersebut secara bersama-sama sehingga terdakwa ikut

patungan juga sebesar Rp 50.000,-. Kemudian terdakwa pergi ke rumah

Ari untuk memesan ganja seharga Rp 100.000,- tetapi Ari belum mau

memberikan pesanan tersebut karena terdakwa belum membayar.

Hari Kamis tanggal 1 September 2011 sekitar jam 14.00 WIB

terdakwa datang ke rumah Ari untuk memastikan ganja yang di pesan

sudah ada di kamar Ari yang di bungkus kertas minyak warna cokelat di

sembunyikan di lemari bawah baju, setelah itu terdakwa memberi tahu

Niko bahwa ganja sudah ada lalu terdakwa bersama Udin pergi ke

Andang Pangrenan, namun belum sempat bertemu Niko dan

menggunakan ganja bersama Niko terdakwa sudah di datangi oleh

sejumlah petugas.

Terdakwa tidak mempunyai ijin dari pihak yang berwenang untuk

menggunakan atau mengisap ganja dan terdakwa mengakui dirinya

menggunakan ganja karena di tawari Ari sehingga di dalam diri terdakwa

timbul keinginan kembali untuk menggunakan ganja atau memakai ganja

yang sebelumnya terdakwa sudah dua kali memesan ganja kepada Ari

68

seharga Rp 100.000,- dan itu pun selalu digunakan sendiri bukan untuk di

jual.

Barang bukti berupa :Satu bungkus kertas cokelat berisi batang,

daun dan biji sesuai dengan hasil laboratoris kriminalistik tertanggal 7

September 2011 No.Lab : 1000/NNF/IX/2011 yang di tandatangani oleh

Yayuk Murti Rahayu, B.Sc. dan Ibnu Sutarto, ST adalah positif Derivat

Cannabinoid / ganja dan terdata dalam golongan 1 (satu) nomor urut 8

(delapan) Lampiran Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35

Tahun 2009 tentang narkotika.

2. Dakwaan Jaksa

Berdasarkan uraian di atas, terdakwa melakukan tindak pidana

penyalahgunaan narkotika menyimpan, memiliki ganja tanpa ada ijin dari

pihak yang berwenang dengan tujuan untuk dimiliki atau dikuasai secara

pribadi. Terdakwa didakwa oleh Penuntut Umum dengan dakwaan

berbentuk alternatif yaitu :

a. Melanggar ketentuan Pasal 111 ayat (1) Undang-undang RI No.35

Tahun 2009 tentang Narkotika atau ;

b. Melanggar ketentuan Pasal 127 huruf a Undang-Undang RI No.35

Tahun 2009 tentang Narkotika.

3. Barang Bukti

a. 1 (satu) paket kecil ganja dalam bungkus kertas minyak seberat 4,025

gram;

b. 1 (satu) buah botol plastik berisi urine milik terdakwa ;

69

c. 1(satu) buah HP merk Nokia warna silver tipe 112 ;

4. Pembuktian

a. Keterangan Saksi

1) Saksi Aris Budi Setyono

Saksi dalam persidangan menerangkan tidak kenal dan

tidak ada hubungan keluarga dengan Terdakwa,kemudian saksi

menjelaskan awal mula kasus ini,yaitu awalnya pada hari Kamis

tanggal 1 September 2011 sekitar pukul 21.00 WIB saksi dan

saksi Pramuji bersama team yang sedang melaksanakan tugas di

depan pintu Taman Andang Pangrenan Kelurahan Karangklesem

Kecamatan Purwokerto, melihat seseorang yang mencurigakan di

depan pintu Taman Andang Pangrenan Purwokerto tersebut,

kemudian saksi dan saksi Pramuaji mendekati lalu saksi Pramuaji

menanyakan identitas dan mengaku bernama Saeful (terdakwa)

dan pada saat terdakwa ditanya identitasnya terdakwa menerima

SMS dari Niko dengan nomor 08190332269 yang isinya “barange

wis ana durung sich” dan atas SMS tersebut saksi Aris Budi

kemudian menanyakan barang apa yang dimaksud dan kemudian

dijawab terdakwa pesanan ganja, setelah itu saksi juga

menanyakan lagi dimana ganja tersebut sekarang yang dijawab

terdakwa ganja disimpan di kamar kosong di rumah Dirin di jalan

Raya Kampus Kel. Grendeng RT 6/7 Kec.Purwokerto Utara

Kabupaten Banyumas, selanjutnya saksi dan saksi Pramuaji serta

70

terdakwa berangkat menuju rumah Dirin di Jalan Raya Kampus

Kelurahan Grendeng RT 6/7 Kecamatan Purwokerto Utara

Kabupaten Banyumas untuk menunjukkan serta mengambil

ganja; dan setelah berada di rumah Dirin lalu terdakwa masuk

kedalam kamar kosong dan mengambil 1 (satu) bungkus kertas

minyak warna cokelat yang berisi ganja yang disembunyikan di

dalam lemari dan saksi sempat menanyakan terdakwa ganja

tersebut darimana dan terdakwa mengakui bahwa 1 (satu)

bungkus kertas minyak warna coklat yang berisi ganja itu adalah

milik terdakwa yang dibeli dari Ari (DPO) seharga Rp 100.000,-

dan terdakwa tidak memiliki ijin dari pihak yang berwenang

untuk membeli ganja tersebut sehingga kemudian dilakukan

penangkapan terhadap terdakwa, menurut pengakuan terdakwa

ganja sebanyak 1 (satu) bungkus kertas minyak warna coklat itu

akan digunakan sendiri, sebelumnya sebagai seorang anggota

saksi telah mendapat informasi bahwa di taman Andhang

Pangrenan Purwokerto antara sekitar jam 19.00 WIB hingga jam

21.00 WIB dijadikan transaksi narkoba.

2) Saksi Pramuaji

Saksi dalam persidangan menerangkan tidak kenal dan

tidak ada hubungan keluarga dengan Terdakwa, kemudian saksi

menjelaskan awal mula kasus ini, yaitu awalnya pada hari Kamis

71

tanggal 1 September 2011 sekitar pukul 21.00 WIB saksi dan

saksi Pramuji bersama team yang sedang melaksanakan tugas di

depan pintu Taman Andang Pangrenan Kelurahan Karangklesem

Kecamatan Purwokerto, melihat seseorang yang mencurigakan di

depan pintu Taman Andang Pangrenan Purwokerto tersebut,

kemudian saksi dan saksi Pramuaji mendekati lalu saksi Pramuaji

menanyakan identitas dan mengaku bernama Saeful (terdakwa)

dan pada saat terdakwa ditanya identitasnya terdakwa menerima

SMS dari Niko dengan nomor 08190332269 yang isinya “barange

wis ana durung sich” dan atas SMS tersebut saksi Aris Budi

kemudian menanyakan barang apa yang dimaksud dan kemudian

dijawab terdakwa pesanan ganja, setelah itu saksi juga

menanyakan lagi dimana ganja tersebut sekarang yang dijawab

terdakwa ganja disimpan di kamar kosong di rumah Dirin di jalan

Raya Kampus Kel. Grendeng RT 6/7 Kec.Purwokerto Utara

Kabupaten Banyumas, selanjutnya saksi dan saksi Pramuaji serta

terdakwa berangkat menuju rumah Dirin di Jalan Raya Kampus

Kelurahan Grendeng RT 6/7 Kecamatan Purwokerto Utara

Kabupaten Banyumas untuk menunjukkan serta mengambil

ganja; dan setelah berada di rumah Dirin lalu terdakwa masuk

kedalam kamar kosong dan mengambil 1 (satu) bungkus kertas

minyak warna cokelat yang berisi ganja yang disembunyikan di

dalam lemari dan saksi sempat menanyakan terdakwa ganja

72

tersebut darimana dan terdakwa mengakui bahwa 1 (satu)

bungkus kertas minyak warna coklat yang berisi ganja itu adalah

milik terdakwa yang dibeli dari Ari (DPO) seharga Rp 100.000,-

dan terdakwa tidak memiliki ijin dari pihak yang berwenang

untuk membeli ganja tersebut sehingga kemudian dilakukan

penangkapan terhadap terdakwa, menurut pengakuan terdakwa

ganja sebanyak 1 (satu) bungkus kertas minyak warna coklat itu

akan digunakan sendiri, sebelumnya sebagai seorang anggota

saksi telah mendapat informasi bahwa di taman Andhang

Pangrenan Purwokerto antara sekitar jam 19.00 WIB hingga jam

21.00 WIB dijadikan transaksi narkoba.

3) Saksi Ahmad Sodirin

Saksi dalam persidangan menerangkankenal dengan

terdakwa dan ada hubungan keluarga yaitu saudara sepupu dan

saksi mengatakan diperiksa oleh penyidik dan keterangan yang ada

di BAP adalah benar dan saksi masih tetap dengan keterangannya

dulu, saksi mengetahui pada hari Kamis tanggal 1 September 2011

sekitar jam 21.30 WIB saat saksi sedang berada di rumahnya di

ruang tengah melihat TV di Kelurahan Grendeng RT 6/7

Kecamatan Purwokerto Utara Kabupaten Banyumas, saksi

kedatangan terdakwa Saeful yang mengatakan kepada saksi akan

mengambil headset yang ketinggalan, karena tidak tahu maka saksi

tetap melihat TV di ruang tengah saat terdakwa masuk ke kamar

73

yang biasanya dipakai Ari anaknya kalau pulang ke rumah untuk

mengambil headset; dan tidak lama kemudian terdakwa keluar dari

kamar tersebut dan pergi; namun saksi tidak tahu terdakwa

membawa apa karena saksi tetap menonton TV dan yang

mengantar serta menutup pintu adalah anak saksi, tempat dimana

terdakwa masuk akan mengambil headset adalah kamar yang biasa

digunakan oleh Ari kalau pulang ke rumah dan di kamar tersebut

juga biasa teman-teman Ari yang laki-laki termasuk terdakwa

sendiri sering masuk; namun saat kejadian kamar tersebut memang

kosong karena Ari tidak ada ditempat, serta saksi menerangkan jika

terdakwa dan teman-temannya yang laki-laki memang sudah sering

dan biasa main di kamar Ari tersebut, akan tetapi tidak tahu apa

yang diambil terdakwa dari dalam lemari anaknya tersebut adalah

benar headset atau bukan karena saksi tidak memperhatikan;

namun kemudian dari Polisi saksi mengetahui kalau yang diambil

terdakwa dari dalam kamar ruamhanya adalah ganja dan saksi juga

tidak mengetahui sewaktu datang kerumahnya sama petugas Polisi

atau tidak karena saksi sedang menonton TV; namun baru

besoknya saksi tahu dari adinya Nino kalau terdakwa datang

bersama polisi, serta saksi membenarkan jika saksi mempunyai

anak yang bernama Ari dan sering main bersama terdakwa; namun

saksi tidak mengetahui kalau anaknya Ari terlibat kasus ganja

dengan terdakwa, akan tetapi sejak terdakwa saeful ditangkap oleh

74

petugas anak saksi yaitu Ari memang pergi dari rumah alasannya

mencari pekerjaan, namun sampai sekarang tidak pernah pulang ke

rumah dan saksi tidak mengetahui keberadaan Ari dimana dan

status Ari saat ini adalah DPO;

b. Surat

1) Hasil laboratoris kriminalistik tertanggal 7 September 2011

No.Lab : 1000/NNF/IX/2011 yang di tandatangani oleh Yayuk

Murti Rahayu, B.Sc. dan Ibnu Sutarto, ST adalah positif Derivat

Cannabinoid / ganja dan terdata dalam golongan 1 (satu) nomor

urut 8 (delapan) Lampiran Undang-Undang Republik Indonesia

Nomer 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

2) Kutipan akta kelahiran No.12160/TP/1998 tertanggal 3 Desember

1998 atas nama Saeful Ngibad, lahir pada tanggal 2 September

1993.

3) Kartu keluarga No. 3302272602054207 tertanggal 27 Desember

2006 atas nama Kepala Desa Keluarga Kusworo.

c. Keterangan Terdakwa

Terdakwa juga memberikan keterangan di muka persidangan

yang pada pokoknya adalah sebagai berikut:

Terdakwa menerangkan pernah di periksa oleh penyidik

dan keterangan yang terdakwa sampaikan adalah benar, terdakwa

menerangkan awal kasus ini yaitu pada tanggal 1 September 2011

pukul 21.00 WIB saksi Aris Budi Setyono dan saksi Pramuaji

75

bersama tim sedang melaksanakan tugas di Taman Andang

Pangrenan Kelurahan Karangklesem Kecamatan Purwokerto,

melihat tingkah laku terdakwa yang mencurigakan di depan pintu

Taman Andang Pangrenan, bahwa pada saat di tanya identitasnya

terdakwa sedang menerima SMS dari Niko dengan nomor

08190332269 yang isinya “Barange wis ana durung sich”

kemudian saksi Aris menanyakannya apa maksud SMS tersebut

dan terdakwa menjawab bahwa itu pesanan ganja akan tetapi ganja

tersebut sekarang tidak ada ditangannya dan disimpan di kamar

kosong yang merupakan kamar Ari (DPO) di rumah saksi Dirin di

Jalan Raya Kampus Kelurahan Grendeng Purwokerto Utara,

selanjutnya saksi Aris Budi Setyono dan saksi Pramuaji mengajak

terdakwa menuju rumah saksi Dirin untuk menunjukkan tempat

ganja disimpan dan mengambil ganja tersebut, setelah sampai di

rumah saksi Dirin, terdakwa mengambil headset serta satu kertas

minyak warna coklat yang berisi ganja dan terdakwa mengakui

ganja tersebut adalah miliknya yang dipesan kepada Ari seharga

Rp 100.000,- yang patungan dengan Niko masing-masing

membayar Rp 50.000,-,Pemesanan ganja dilakukan kepada Ari

pada hari Selasa tanggal 30 Agustus 2011, pada waktu itu Niko

datang ke rumah terdakwa untuk memesan ganja seharga Rp

50.000,- dan terdakwa sepakat untuk memakai ganja tersebut

secara bersama-sama sehingga terdakwa ikut patungan juga sebesar

76

Rp 50.000,-. Kemudian terdakwa pergi ke rumah Ari untuk

memesan ganja seharga Rp 100.000,- tetapi Ari belum mau

memberikan pesanan tersebut karena terdakwa belum membayar

dan pada hari Kamis tanggal 1 September 2011 sekitar jam 14.00

terdakwa datang ke rumah Ari untuk memastikan ganja yang di

pesan sudah ada di kamar Ari yang di bungkus kertas minyak

warna cokelat di sembunyikan di lemari bawah baju, setelah itu

terdakwa memberi tahu Niko bahwa ganja sudah ada lalu trdakwa

bersama Udin pergi ke Andang Pangrenan, namun belum sempat

bertemu Niko dan menggunakan ganja bersama Niko terdakwa

sudah di datangi oleh sejumlah petugas, sebelumnya terdakwa

sudah dua kali memesan ganja kepada Ari seharga Rp 100.000,-

dan itu pun selalu digunakan sendiri bukan untuk di jual akan

tetapi terdakwa belum pernah di hukum, terdakwa menyesali

perbuatannya serta terdakwa membenarkan terhadap barang bukti

yang diperlihatkan di persidangan.

5. Tuntutan Jaksa Penuntut Umum

Penuntut Umum menuntut supaya Majelis Hakim Pengadilan

Negeri Purwokerto yang memeriksa dan mengadili perkara ini memutus

sebagai berikut:

a. Menyatakan bahwa terdakwa Saeful Ngibad Bin Kusworo terbukti

secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana

penyalahgunaan narkotika golongan 1 bagi diri sendiri, sebagaimana

77

diatur dan di ancam dalam Pasal 127 ayat 1 huruf a Undang-Undang

No.35 Tahun 2009 tentang narkotika;

b. Menjatuhkan pidana penjara terhadap terdakwa oleh karena itu

selama 2 (dua) tahun, di kurangi selama waktu terdakwa menjalani

tahanan sementara dan memeritahkan terdakwa tetap dalam tahanan.;

c. Menyatakan barang bukti berupa:

1) 1 (satu) bungkus kertas minyak warna coklat berisi ganja seberat

4,025 gram.

2) 1 (satu) botol plastik berisi urine milik Saeful Ngibad Bin

Kusworo.

Seluruhnya dirampas untuk di musnahkan.

3) 1 (satu) buah handphone merk Nokia warna silver tipe 112.

Dirampas untuk negara.

d. Menetapakan kepada terdakwa biaya perkara sebesar Rp 2.500,- (Dua

Ribu Lima Ratus Rupiah).

6. Putusan Hakim Pengadilan Negeri

a. Pertimbangan Hukum Hakim

Menimbang, bahwa dalam perkara ini terdakwa diajukan oleh

Penuntut Umum ke persidangan dengan dakwaan Alternatif, yaitu

Kesatu Pasal 111 Ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Kedua Pasal 127 ayat (1)

huruf a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009

tentang Narkotika.

78

Menimbang, bahwa oleh karena dakwaan Penuntut Umum

berbentuk alternatif, maka Majelis akan mempertimbangkan dakwaan

yang mendekati dengan pembuktian/fakta di persidangan, dan apabila

salah satu dakwaan telah terbukti, maka dakwaan selebihnya tidak

perlu dipertimbangkan.

Menimbang, bahwa dalam perkara ini Majelis akan

mempertimbangkandakwaan kedua, yaitu pasal 127 huruf a Undang-

Undang Republik IndonesiaNomor 35 Tahun 2009 tentang

Narkotika, yang unsur-unsurnya adalah sebagaiberikut :

1. Setiap Orang ;

2. Penyalah Guna Narkotika golongan I bagi diri sendiri ;

Ad.1.Unsur Setiap Orang

Menimbang, bahwa Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009

tentang narkotika tidak mendefinisikan secara jelas yang dimaksud

dengan “Setiap Orang”. Namun beberapa Undang-undang

mendefinisikan “Setiap Orang” adalah orang perseorangan atau

termasuk korporasi.

Menimbang, bahwa unsur “Setiap Orang” dalam perkara ini

ditujukan kepada orang perseorangan, hal ini sebagaimana dari fakta-

fakta hukum yang terungkap di persidangan, bahwa Penuntut Umum

telah mengajukan seorang terdakwa dalam perkara ini adalah

bernama Saiful Ngibad Bin Kusworo dan terdakwa tersebut mampu

79

mempertanggungjawabkan terhadap perbuatan yang dilakukannya

sendiri.

Menimbang, bahwa dipersidangan terdakwa tersebut

membenarkan identitas dirinya sebagaimana termuat dalam dakwaan

Penuntut Umum, sehingga orang yang dimaksud dalam perkara ini

benar ditujukan kepada terdakwa tersebut diatas, sehingga tidak salah

orang atau error in persona.

Menimbang, bahwa sesuai alat bukti surat berupa Kutipan

Akta Kelahiran No.12160/TP/1998 tertanggal Purwokerto 3

Desember 1998, Kartu keluarga No.3302272602054207 tertanggal 27

Desember 2006, serta hasil Laporan Petugas Pembimbing

Kemasyarakatan, dan keterangan terdakwa serta orang tua terdakwa,

terbukti bahwa terdakwa Saiful Ngibad Bin Kusworo dilahirkan pada

tanggal 2 September 1993.

Menimbang bahwa apabila kelahiran terdakwa tersebut di atas

dikaitkan dengan tindak pidana yang terjadi pada tanggal 1

September 2011, maka terdakwa Saiful Ngibad Bin Kusworo saat

kejadian tindak pidana berusia 17 (tujuh belas) tahun, 11 (sebelas)

bulan, 29 (duapuluh sembilan) hari artinya masih dibawah 18

(delapan belas) tahun.

Menimbang, bahwa karena usia terdakwa Saiful Ngibad Bin

Kusworo masih dibawah 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah

menikah, sehingga secara yuridis terdakwa Saiful Ngibid Bin

80

Kusworo masih tergolong anak (vide Pasal 1 angka 1 Undang-

Undang Nomor 3 Tahun 1997), dengan demikian maka yang

berwenang memeriksa perkara terdakwa a quo adalah pengadilan

anak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997.

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas,

menurut pendapat Hakim unsur “Setiap Orang” ini telah terpenuhi.

Ad.2. Unsur Narkotika golongan I bagi diri sendiri.

Menimbang, bahwa yang dimaksud dengan “penyalah guna

Narkotika” adalah orang yang menggunakan Narkotika tanpa hak

atau melawan hukum (vide Ketentuan Umum Pasal 1 angka 15

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika);

sedangkan pecandu narkotika yaitu orang yang menggunakan atau

menyalahgunakan narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada

narkotika, baik secara fisik maupun psikis (vide Ketentuan Umum

Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang

narkotika).

Menimbang, bahwa pengertian “tanpa hak” disini adalah

tiadanya kewenangan yang melekat pada diri seseorang untuk

melakukan suatu perbuatan menurut Undang-Undang atau tidak

termasuk lingkup tugas dan wewenang seseorang atau karena tidak

mendapat ijin dari pejabat yang berwenang sebagaimana ditentukan

Undang-Undang, sedangkan yang dimaksud dengan “melawan

hukum” adalah melakukan suatu perbuatan yang bertentangan

81

hukum, baik dalam arti formil yaitu bertentangan dengan Undang-

Undang atau hukum tertulis lainnya, maupun dalam arti materiil

yakni bertentangan nilai-nilai kepatuhan, nilai-nilai keadilan yang

hidup dan dijunjung tinggi oleh masyarakat.

Menimbang, bahwa yang dimaksud narkotika golongan I

sesuai dengan Pasal 6 ayat (1) huruf a Penjelasan Undang-Undang RI

Nomor 35 Tahun 2009 yaitu Narkotika yang hanya dapat digunakan

utnuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan

dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan

ketergantungan.

Menimbang, bahwa narkotika golongan I sesuai dengan Pasal

8 ayat (1 dan 2) Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang

narkotika disebutkan bahwa narkotika golongan I dilarang digunakan

untuk kepentingan pelayanan kesehatan, dan dalam jumlah terbatas

narkotika golongan I dapat digunakan untuk kepentingan

pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi setelah mendapat

persetujuan dari Menteri.

Menimbang, bahwa berdasarkan fakta-fakta hukum yang

terungkap dipersidangan adalah:

1) Bahwa tanggal 1 September 2011 pukul 21.00 WIB saksi Aris

Budi Setyono dan saksi Pramuaji bersama tim sedang

melaksanakan tugas di Taman Andang Pangrenan Kelurahan

Karangklesem Kecamatan Purwokerto, melihat tingkah laku

82

terdakwa yang mencurigakan di depan pintu Taman Andang

Pangrenan, bahwa pada saat di tanya identitasnya terdakwa

sedang menerima SMS dari Niko dengan nomor 08190332269

yang isinya “Barange wis ana durung sich” kemudian saksi

Aris menanyakannya apa maksud SMS tersebut dan terdakwa

menjawab bahwa itu pesanan ganja.

2) Bahwa ganja tersebut sekarang tidak ada ditangannya dan

disimpan di kamar kosong yang merupakan kamar Ari (DPO)

di rumah saksi Dirin di Jalan Raya Kampus Kelurahan

Grendeng Purwokerto Utara, selanjutnya saksi Aris Budi

Setyono dan saksi Pramuaji mengajak terdakwa menuju rumah

saksi Dirin untuk menunjukkan tempat ganja disimpan dan

mengambil ganja tersebut, setelah sampai di rumah saksi Dirin,

terdakwa mengambil headset serta satu kertas minyak warna

coklat yang berisi ganja dan terdakwa mengakui ganja tersebut

adalah miliknya yang dipesan kepada Ari seharga Rp 100.000,-

yang patungan dengan Niko masing-masing membayar Rp

50.000,- .

3) Bahwa Pemesanan ganja dilakukan kepada Ari pada hari Selasa

tanggal 30 Agustus 2011, pada waktu itu Niko datang ke rumah

terdakwa untuk memesan ganja seharga Rp 50.000,- dan

terdakwa sepakat untuk memakai ganja tersebut secara

bersama-sama sehingga terdakwa ikut patungan juga sebesar

83

Rp 50.000,-. Kemudian terdakwa pergi ke rumah Ari untuk

memesan ganja seharga Rp 100.000,- tetapi Ari belum mau

memberikan pesanan tersebut karena terdakwa belum

membayar.

4) Bahwa Pada hari Kamis tanggal 1 September 2011 sekitar jam

14.00 WIB terdakwa datang ke rumah Ari untuk memastikan

ganja yang di pesan sudah ada di kamar Ari yang di bungkus

kertas minyak warna cokelat di sembunyikan di lemari bawah

baju, setelah itu terdakwa memberi tahu Niko bahwa ganja

sudah ada lalu trdakwa bersama Udin pergi ke Andang

Pangrenan, namun belum sempat bertemu Niko dan

menggunakan ganja bersama Niko terdakwa sudah di datangi

oleh sejumlah petugas.

5) Bahwa terdakwa tidak mempunyai ijin dari pihak yang

berwenang untuk menggunakan atau mengisap ganja dan

terdakwa mengakui dirinya menggunakan ganja karena di

tawari Ari sehingga di dalam diri terdakwa timbul keinginan

kembali untuk menggunakan ganja atau memakai ganja yang

sebelumnya terdakwa sudah dua kali memesan ganja kepada

Ari seharga Rp 100.000,- dan itu pun selalu digunakan sendiri

bukan untuk di jual.

6) Bahwa barang bukti berupa : Satu bungkus kertas cokelat berisi

batang, daun dan biji sesuai dengan hasil laboratoris

84

kriminalistik tertanggal 7 September 2011 No.Lab :

1000/NNF/IX/2011 yang di tandatangani oleh Yayuk Murti

Rahayu, B.Sc. dan Ibnu Sutarto, ST adalah positif Derivat

Cannabinoid / ganja dan terdata dalam golongan 1 (satu)

nomor urut 8 (delapan) Lampiran Undang-Undang Republik

Indonesia Nomer 35 Tahun 2009 tentang narkotika.

Menimbang, bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum

diatas, maka unsur ke-2 “Penyalah Guna Narkotika Golongan I

Bagi Diri Sendiri” menurut pendapat hakim telah terpenuhi.

Hal-hal yang memberatkan :

1) Terdakwa tidak mendukung Program Pemerintah dalam

memberantas peredaran Narkotika.

2) Perbuatan terdakwa dapat merusak mental generasi muda yang

merupakan modal penerus bangsa.

Hal-hal yang meringankan :

1) Terdakwa mengakui dan berterus terang dipersidangan.

2) Terdakwa menyesesali perbuatannya dan berjanji tidak akan

mengulanginya lagi.

3) Terdakwa belum pernah dihukum.

4) Terdakwa masih sangat muda masih bisa diharapkan

memperbaiki diri dikemudian hari.

5) Terdakwa masih ingin melanjutkan sekolah lagi.

85

b. Amar Putusan Pengadilan Negeri

Mejelis Hakim dalam perkara ini menjatuhkan putusan

terhadap terdakwa yaitu:

a. Menyatakan terdakwa Saeful Ngibad Bin Kusworo terbukti

secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana

penyalahgunaan narkotika golongan 1 bagi diri sendiri.

b. Menjatuhkan pidana penjara terhadap terdakwa oleh karena itu

selama 1 (satu) tahun dan 1 (satu) bulan,

c. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani oleh terdakwa

tersebut dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan:

d. memeritahkan terdakwa tetap dalam tahanan;

e. Menyatakan barang bukti berupa:

1) 1 (satu) bungkus kertas minyak warna coklat berisi ganja

seberat 4,025 gram.

2) 1 (satu) botol plastik berisi urine milik Saeful Ngibad Bin

Kusworo.

Seluruhnya dirampas untuk di musnahkan.

3) 1 (satu) buah handphone merk Nokia warna silver tipe 112.

Dirampas untuk negara.

f. Menetapakan kepada terdakwa biaya perkara sebesar Rp 2.500,-

(Dua Ribu Lima Ratus Rupiah).

86

B. Pembahasan

1. SMS (Short Message Service) sebagai alat bukti dalam Tindak Pidana

Penyalahgunaan Narkotika.

Ketentuan mengenai alat bukti surat diatur dalam Pasal 187

KUHAP, berdasarkan Pasal 187 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), SMS dikategorikan sebagai alat

bukti surat.

“Surat sebagaimana dimaksud Pasal 184 ayat (1) huruf cUndang-Undang

Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dibuat atas

sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah:

a. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat

umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat

keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau

yang dialaminya sendiri disertai dengan alasan yang jelas dan tegas

tentang keterangan itu;

b. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan

atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam

tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan

bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan;

c. Surat keterangan dari seorang ahli yamng memuat pendapat

berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan

yang diminta secara resmi daripadanya;

d. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi

dan alat pembuktian yang lain”.

Dari rumusan Pasal 187 KUHAP tersebut tidak memberikan

pengertian secara jelas penggunaan SMS (Short Message Service) sebagai

alat bukti. Akan tetapi dalam pengertian mengenai surat tersebut, poin d

dapat digunakan sebagai acuan pemberlakuan SMS (Short Message Service)

sebagai sebuah “Surat Lain”.

Jadi berdasarkan analisa tersebut, SMS dapat dikategorikan sebagai

alat bukti “surat”. Untuk menentukan termasuk alat bukti surat, tergantung

87

dari peranan hakim dalam memberikan keyakinannya (Conviction-

Raisonee) tentang suatu perkara dalam persidangan.

Untuk menjadikan SMS (Short Message Service)termasuk ke dalam

alat bukti surat maka disini dituntut peranan Hakim untuk dapat

menggunakan suatu metode penafsiran (interpretasi) terhadap ketentuan

peraturan perundang-undangan, yaitu dengan menggunakan Interpretasi

ekstensif (perluasan). 62

Penafsiran ekstensif, memberi tafsiran dengan memperluas arti

kata-kata dan peraturan itu sehingga sesuatu peristiwa dapat dimasukkan

seperti halnya perluasan mengenai makna “aliran listrik” yang

digolongkan sebagai sebuah “benda”. Sehingga pencurian listrik sama

halnya dengan pencurian sebuah benda.63

Dengan menggunakan penafsiran ekstensif dapat diketahui bahwa

pengertian dari surat jika hanya sebatas berbentuk fisik saja, maka

pengertian tersebut adalah sangat sempit dan tidak akan bisa menjangkau

keadaan dan perkembangan jaman saat ini, dimana surat sudah tidak lagi

harus berbentuk fisik saja.

Dengan demikian, Hakim akan benar-benar berfungsi melengkapi

ketentuan-ketentuan hukum tertulis atau membuat hukum baru (creation of

new law) dengan cara melakukan pembentukan hukum (rechtsvorming)

baru dan penemuan hukum (rechtsvinding), guna mengisi kekosongan

dalam hukum dan mencegah tidak ditanganinya suatu perkara dengan

62

C.S.T. Kansil, 2002. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Balai Pustaka, Hal 36-41. 63

Ibid

88

alasan karena hukum tertulisnya sudah ada tetapi belum jelas, atau sama

sekali hukum tertulisnya tidak ada. Dalam penegakan hukum, Hakim

senantiasa dalam putusannya memperhatikan dan menerapkan serta

mencerminkan tiga unsur atau asas yaitu Kepastian hukum

(Rechtssicherheit), kemanfaatan (Zweckmassigkeiit) dan Keadilan

(Gerechtigkeit) dengan mengusahakan kompromi secara proporsional

seimbang diantara ketiga unsur tersebut.

Sehingga hakim yang bersangkutan itu tidak dapat hanya mengutamakan

atau menonjolkan salah satu unsur saja sedangkan dua unsur lainnya dari

ketiga unsur penegakan hukum tersebut dikorbankan atau dikesampingkan

begitu saja.

Untuk memberikan nilai valid pada bukti SMS (Short Message

Service)haruslah ada saksi lebih dari seorang yang menyatakan bahwa

benar telah terjadi suatu tindak pidana dimana saksi juga mengetahui

sendiri adanya keterkaitan antara tindak pidana yang terjadi dengan isi dari

SMS(Short Message Service)tersebut, keterangan tentang apa yang

diketahui saksi tersebut haruslah dinyatakan di depan pengadilan di bawah

sumpah.

Dalam Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor:

56/Pid.Sus/2011/PN. Pwt, Saksi Aris Budi Setyono dan Saksi Saksi

Pramuaji dalam persidangan menerangkan :

“Pada saat terdakwa ditanya identitasnya terdakwa menerima

SMS dari Niko dengan nomor 08190332269 yang isinya “barange

wis ana durung sich”“

89

Berdasarkan analisa penulis, penggunaan SMS (Short Message

Service) sebagai alat bukti akan lebih valid jika hanya diberlakukan untuk

tindak pidana khusus. Hal tersebut dikarenakan tindak-tindak pidana

khusus ini lebih memberikan pengaturan dan pengertian yang jelas

mengenai pengaturan adanya bukti elektronik. Jadi penerapannya adalah

dengan menggabungkan atau mengaitkan pasal (juncto) yang ada di dalam

KUHAP dengan pasal yang ada dalam undang-undang yang mengatur

tindak pidana khusus tersebut. Penggabungan pasal tersebut sama sekali

tidak melanggar asas hukum. Hal itu bisa dilihat dari poin “mengingat”

dari undang-undang tersebut dimana dicantumkan Undang-Undang No. 8

Tahun 1981 tentang KUHAP sebagai undang-undang yang dijadikan

acuan.

Di samping itu, menurut Jaksa pada Kejaksaan Agung RI Arief

Indra Kusuma Adhi yang kami kutip dari artikel Faksimili Sebagai Alat

Bukti, ada dua pilihan yang sering dipakai untuk menyikapi alat bukti

elektronik yaitu, sebagai alat bukti surat, dengan ketentuan:

“Informasi elektronik menjadi alat bukti surat jika informasi

elektronik itu diubah dalam bentuk cetak”64

Dalam pasal 42Undang-undang No 11 Tahun 2008 Tentang

Informasi dan Transaksi Elektronik, dirumuskan

Alat bukti penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang

pengadilan menurut ketentuan Undang-Undang ini adalah sebagai

berikut :

64

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4f1243b9c9a95/jerat-hukum-buat-pengirim-pesan-

tidak-senonoh-lewat-blackberry diakes pada tanggal 15 Oktober 2013.

90

a. Alat bukti sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Perundang-

undangan; dan

b. Alat bukti lain berupa informasi elektronik dan/atau dokumen

elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 dan

angka 4 serta Pasal 5 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3).

Semua uraian diatas menjelaskan bahwa adanya alat bukti

elektronik sebagai upaya untuk mengantisipasi meningkatnya tindak

kejahatan dengan menggunakan sarana dan media informasi dan

elektronik antara lainSMS (Short Message Service).

SMS (Short Message Service) diklasifikasikan sebagai alat bukti”Surat”

jika sudah dalam bentuk hasil cetak atau Print Out dan SMS (Short Message

Service), untuk menentukan hal tersebut tergantung dari hakim dalam

memberikan penafsiran (interpretasi), sebagaimana dimaksud dalam Pasal

187 poin d KUHAP dapat digunakan sebagai acuan pemberlakuan SMS

(Short Message Service) sebagai alat bukti “Surat”, hal tersebut berdasarkan

suatu penafsiran (interpretasi) ekstensif (perluasan) yang sepenuhnya hal

tersebut diserahkan kepada hakim yang memeriksa perkara tersebut,

dengan penafsiran tersebut SMS dapat dikategorikan sebagai alat bukti

surat.

2. Bagaimanakah Kekuatan Pembuktian SMS (Short Message Service)

sebagai alat bukti dalam Penyalahgunaan Narkotika dalam Putusan

No : 56 / Pid.Sus/2011/PN.Pwt.

Pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa melakukan

perbuatan yang didakwakan, merupakan bagian yang terpenting acara

pidana. Dalam hal ini pun hak asasi manusia dipertaruhkan, sehingga

91

bagaimana akibatnya jika seseorang yang didakwa dinyatakan terbukti

melakukan perbuatan yang didakwakan akan tetapi hal tersebut tidak

benar. Untuk inilah hukum acara pidana berusaha mencari kebenaran

materiil.Pembuktian juga merupakan titik sentral hukum acara pidana.

Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan

dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan Undang-Undang

membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian

juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan

undang-undang yang boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan

yang didakwakan. Persidangan pengadilan tidak boleh sesuka hati dan

semena-mena membuktikan kesalahan terdakwa.65

Sistem pembuktian yang dianut oleh Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah sistem atau

teori pembuktian berdasarkan Undang-Undang Negatif (negatief

wettelijke). Hal tersebut dapat dilihat dalam Pasal 183 Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang

isinya:

Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada orang kecuali

apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia

memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar

terjadi dan bahwa terdakwa yang bersalah melakukannya.

Untuk menentukan salah atau tidaknya seorang terdakwa menurut

sistem pembuktian undang-undang secara negatif terdapat dua komponen

yaitu :

65

Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang

Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali), Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hal. 273.

92

1. Pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat bukti

yang sah menurut Undang-Undang;

2. Dan keyakinan hakim yang juga harus didasarkan atas cara dan

dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.

Dengan demikian, sistem ini memadukan unsur “obyektif dan

subyektif” dalam menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Tidak

ada yang paling dominan di antara kedua unsur tersebu. Jika salah

satu diantara dua unsur itu tidak ada, tidak cukup mendukung

keterbuktian kesalahan terdakwa.66

Pasal 183 KUHAP mengatur untuk menentukan salah atau tidaknya

seorang terdakwa dan untuk menjatuhkan pidana kepada terdakwa, harus :

a. Kesalahannya terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat

bukti yang sah

b. Dan atas keterbuktian dengan sekurang-kurangnya dua alat

bukti yang sah, hakim memperoleh keyakinan bahwa tindak

pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang

bersalah melakukannya.67

Kekuatan pembuktian SMS (Short Message Service) sebagai alat

bukti maka harus diketahui terlebih dahulu apakah yang dimaksud dengan

alat bukti surat, alat bukti surat ini diatur dalam pasal 187 KUHAP,

Berdasarkan bunyi Pasal 187 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP):

“Surat sebagaimana dimaksud Pasal 184 ayat (1) huruf cUndang-Undang

Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dibuat atas

sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah:

a. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh

pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang

memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar,

dilihat atau yang dialaminya sendiri disertai dengan alasan yang jelas

dan tegas tentang keterangan itu;

66

Yahya Harahap.2001. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyelidikan dan

Penuntutan. Jakarta: Sinar Grafika.Hal.279. 67

Ibid.Hal. 280.

93

b. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan

atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam

tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan

bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan;

c. Surat keterangan dari seorang ahli yamng memuat pendapat

berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan

yang diminta secara resmi daripadanya;

d. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi

dan alat pembuktian yang lain”.

Rumusan dalam Pasal 187 huruf dUndang-Undang Nomor 8

Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), berbeda dengan

ketentuan dalam huruf a,b dan c karena huruf d menunjukkan surat secara

umum yang tidak berlandaskan sumpah jabatan dan sumpah di sidang

pengadilan yang bersifat resmi dan cenderung bersifat pribadi. Penjelasan

selanjutnya menyebutkan bahwa berlakunya alat bukti surat lain harus

mempunyai hubungan dengan alat bukti lain agar mempunyai kekuatan

pembuktian artinya alat bukti surat lain tidak dapat berdiri sendiri secara

utuh.

Bentuk surat lain yang diatur dalam huruf d “hanya dapat berlaku”

jika isinya mempunyai hubungan dengan alat pembuktian yang

lain. Nilai berlakunya masih digantungkan dengan alat bukti yang

lain. Kalau isi surat itu atau kalau alat pembuktian yang lain itu

terdapat salng hubungan, barulah surat itu berlaku dan dinilai

sebagai alat bukti surat.68

Pada perkembangandan kemajuan teknologi yang sedemikian pesat

telah menyebabkan perubahan kehidupan dalam berbagai bidang yang

secara langsung telah mempengaruhi lahirnya bentuk-bentuk perbuatan

hukum baru.Dalam perkembangan kemajuan teknologi tersebut apabila

masyarakat tidak mengimbangi dengan sikap ataupun tingkah laku yang

68

Yahya Harahap.Op.cit.Hal.309.

94

mengarah pada pola kehidupan yang membangun dan berkesinambungan.

Tren kejahatan denganmemanfaatkan teknologi telepon seluller semakin

marak dilakukan.Sementarapara pakar pidana ataupun masyarakat belum

juga mencapai titik temu dalam halpenyebutan ataupun pendefisiannya

sehingga terjadi ambiguitas di masyarakat.

Eksistensi teknologi informasi disamping menjanjikan sejumlah

harapan,pada saat yang sama juga melahirkan kecemasan-kecemasan baru

antara lainmunculnya kejahatan baru yang lebih canggih dalam bentuk

cyber crime.

Yang menarik dan perlu untuk dicermati adalah kaitannya dengan

pembuktian oleh perundang-undangan kita, dalam hal ini adalah Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana ( KUHAP ). Perihal alat bukti

dalam KUHAP bersifat limitatif, hanya terbatas pada apa yang disebut

dalam pasal 184 KUHAP, dimana alat bukti elektronik tidak dikenal

didalamnya. Namun demikian tidak berarti bila terjadi suatu perkara

tindak kejahatan dengan menggunakan media teknologi telekomunikasi

pelakunya lolos dari jeratan hukum.

Pengakuan data elektronik sebagai alat bukti di pengadilan

nampaknya masih dipertanyakan validitasnya. Dalam praktek pengadilan

di Indonesia, penggunaan data elektronik sebagai alat bukti yang sah

memang belum biasa digunakan. Padahal di beberapa negara, data

elektronik dalam bentuk e-mail sudah menjadi pertimbangan bagi hakim

dalam memutus suatu perkara (perdata maupun pidana).

95

Disahkannya Undang-undang Republik Indonesia No. 11 Tahun

2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik agaknya dapat digunakan

sebagai sarana untuk menjerat pelaku yang menggunakan sarana

kecanggihan teknologi,sehingga lahirnya bentuk-bentuk perbuatan hukum

baru dapat tercover, dengan demikian para praktisi hukum dapat

denganpasti mempunyai senjata andalan untuk menyeret pelaku untuk

mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Adanya perkembangan kejahatan dengan menggunakan komputer,

membuat Penyidik dan Penuntut Umum serta Hakim dihadapkan pada

eksistensi bukti-bukti elektronik seperti data komputer, dokumen

elektronik, email, maupun catatan transaksi rekening69

, sehingga alat bukti

tidak hanya terbatas pada keterangan saksi, surat, ahli, petunjuk dan

keterangan terdakwa, akan tetapi mencakup informasi dan dokumen yang

tersimpan secara elektronik70

.

Mengenai SMS (Short Message Service) sebagai alat bukti, beberapa

ahli berpendapat sebagai berikut:

Andi Hamzah71

menjelaskan bahwa yang termasuk alat bukti surat,

diantaranya yaitu pesan pendek melalui SMS (Short Message

Services), surat elektronik (e-mail) dan data dalam VCD serta CD,

seperti halnya keterangan saksi, alat bukti surat tidak dapat berdiri

sendiri kecuali diperkuat dengan alat bukti lain.

Yahya Harahap mengungkapkan bahwa:

Hakim tidak terkait atas kebenaran persesuaian yang diwujudkan atas

petunjuk sebagai alat bukti, karena alat bukti elektronik tidak bisa

69

Arie Eko Yuliearti, Bukti Elektronik Dalam Kejahatan Komputer: Kajian Atas Tindak Pidana

Korupsi dan Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Tesis Pascasarjana Reguler, (Jakarta:

Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006), hlm. 10. 70

Ibid, hlm. 138 71

http:hukumonline, RUU KUHAP, diakses tanggal 24 oktober 2013, 09:51 WIB

96

berdiri sendiri-sendiri untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Oleh

karena itu, perlu didukung oleh alat bukti lain.72

Edmon Makarim mengemukakan bahwa :

Alat bukti elektronik sebagai suatu alat bukti yang sah dan yang berdiri

sendiri, tentunya harus dapat diberikan jaminan bahwa suatu

rekaman/salinan data (data recording) berjalan sesuai dengan prosedur

yang berlaku (telah dikalibrasi dan diprogram) sedemikian rupa

sehingga hasil print out sutau data diterima dalam pembuktian suatu

kasus.73

T. Nasrullah yang menegaskan bahwa:

alat bukti elektronik seperti SMS (Short Message Service) hanya

berlaku dalam hukum pidana khusus dan tidak berlaku pada hukum

pidana umum. Sementara pakar teknologi komunikasi, Roy Suryo

menyatakan SMS tidak dapat dijadikan alat bukti tunggal.Penggunaan

SMS sebagai alat bukti harus didukung dengan keterangan ahli

(expertise).74

Dalam pasal 1 angka 1 dan 2 Undang-undang No 11 Tahun 2008

Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dirumuskan.

1. Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik,

termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta,

rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat

elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau

sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi

yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh

orang yangmampu memahaminya.

2. Transaksi Elektronik adalah perbuatan hukum yangdilakukan

dengan menggunakan Komputer, jaringanKomputer, dan/atau

media elektronik lainnya.

Meskipun demikian dengan diundangkannya Undang-undang No

11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, terdapat

suatu kemajuan, karena memberikan pengakuan bukti transaksi elektronik

72

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang

Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, (Jakarta: Sinar Grafika, 1985), hlm. 312. 73

Edmom Makarim, Pengantar Hukum Telematika: Suatu Kompilasi Kajian, (Jakarta: PT Raja

Grafindo Persada, 2005) hlm. 451 74

Ahsan Dawi Mansur, SMS Sebagai Alat Bukti, 2006.

97

diakui sebagai alat bukti jika terjadi sengketa. Hal ini secara tegas diatur

dalam Pasal 5 Undang-undang No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan

Transaksi Elektronik, dirumuskan sebagai berikut:

(1) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil

cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.

(2) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil

cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan

dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di

Indonesia.

(3) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah

apabila menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang

diatur dalam Undang- Undang ini.

(4) Ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/atau Dokumen

Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk:

a. surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk

tertulis; dan

b. surat beserta dokumennya yang menurut Undang- Undang harus

dibuat dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh

pejabat pembuat akta.

Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor:

56/Pid.Sus/2011/PN. Pwt menyebutkan bahwa pada awal tanggal 1

September 2011 pukul 21.00 Wib saksi Aris Budi Setyono dan saksi

Pramuaji bersama tim sedang melaksanakan tugas di Taman Andang

Pangrenan Kelurahan Karangklesem Kecamatan Purwokerto, melihat

tingkah laku terdakwa yang mencurigakan di depan pintu Taman Andang

Pangrenan, bahwa pada saat di tanya identitasnya terdakwa sedang

menerima SMS dari Niko dengan nomor 08190332269 yang isinya

“Barange wis ana durung sich” kemudian saksi Aris menanyakannya apa

maksud SMS tersebut dan terdakwa menjawab bahwa itu pesanan ganja.

98

Berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor:

56/Pid.Sus/2011/PN. Pwt telah diajukan barang bukti berupa 1 (satu)

bungkus kertas minyak warna coklat berisi ganja seberat 4,025 gram, 1

(satu) botol plastik berisi urine milik Saeful Ngibad Bin Kusworo serta 1

(satu) buah handphone merk Nokia warna silver tipe 112 yang berisikan

SMS (Short Message Service) pemesanan Ganja dari terdakwa ke Niko,

majelis hakim hanya berpegang pada surat dakwaan dan barang bukti dari

penuntut umum, serta dari keterangan para saksi, dan SMS (Short Message

Service) tersebut dikategorikan sebagai surat lain atau surat elektronik,

akan tetapi SMS (Short Message Service) hanya dijadikan sebagai alat

bukti petunjuk.

Dalam pasal 188 ayat 1 di sebutkan bahwa :

Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena

persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun

dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi

suatu tindakan pidana dan siapa pelakunya.

Syarat-syarat untuk dapat dijadikan petunjuk sebagai alat bukti

haruslah mempunyai persesuaian satu sama lain atas perbuatan yang

terjadi. Keadaan-keadaan perbuatan itu berhubungan satu sama lain

dengan kejahatan yang terjadi dan berdasarkan dari pengamatan hakim,

baik dari keterangan terdakwa maupun saksi di persidangan.

Pembuktian di dalam petunjuk ini tidak dapat di kesampingkan

begitu saja, karena alat bukti petunjuk ini sangat berperan dalam

99

meberikan gambaran pada hakim untuk memutuskan suatu perkara di saat

alat bukti yang ada tidak mampu membuat suatu perbuatan menjadi terang.

Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam

setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif bijaksana,

setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan

keseksamaan berdasarkan hati nuraninya. Dari bunyi pasal di atas, maka

dapat dikatakan bahwa petunjuk adalah merupakan alat bukti tidak

langsung (Circumtantial evidence) yang bersifat sebagai pelengkap saja

yang artinya petunjuk bukanlah alat bukti yang mandiri, tetapi alat bukti

sekunder yang di peroleh dari alat bukti primer, dimana alat bukti petunjuk

tidak dapat berdiri sendiri, tetapi harus di dukung oleh alat bukti lainnya

maka disini hakim dalam mengambil kesimpulan tentang pembuktian,

haruslah menghubungkan suatu alat bukti dengan alat bukti lainnya dan

memilih yang ada persesuaiannya satu sama lain. Keterangan para saksi-

saksi telah membenarkan bahwa terdakwa telah melakukan

pemesananganja dengan media elektronik berupa SMS (Short Message

Service) tanpa mendapatkan izin dari pihak yang berwenang dan dari

keterangan terdakwa di dalam persidangan tersebut juga telah mengaku

atau membenarkan isi dariSMS (Short Message Service) dalam pemesanan

ganja tersebut tersebut.

Dari semua penjelasan diatas, maka dapat ditari suatu kesimpulan,

yaitu SMS (Short Message Service) dalam penyalahgunaan narkotika dalam

Putusan No : 56 / Pid.Sus/2011/PN.Pwt. mempunyai kekuatan

100

pembuktian yang sah, akan tetapi kekuatanya hanya sebagai pelengkap

saja karena dianggap sebagai alat bukti petunjuk yang mana alat bukti

petunjuk tidak dapat berdiri sendiri, tetapi harus didukung oleh alat bukti

lain untuk menguatkanya, serta harus ada penggabungan dengan alat bukti

lain sebagai konsekuensi dari asas minimum pembuktian, adapun

mengenai penilaian kekuatan pembuktian sepenuhnya diserahkan kepada

hakim, dan hakim haruslah arif, bijaksana, penuh kecermatan dan

keseksamaan dalam mengadakan pemeriksaan dengan menggunakan hati

nuraninya.

101

BAB V

PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan terhadap Putusan

Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor: 56/Pid.Sus/2011/PN. Pwt, maka dapat

disimpulkan bahwa:

1) Alat bukti SMS (Short Message Service) diklasifikasikan sebagai alat bukti

surat yang sah karena :

a. SMS (Short Message Service) diklasifikasikan sebagai alat bukti ”Surat”

atau alat bukti informasi elektronik apabila sudah dalam bentuk hasil cetak

atau Print Out dari SMS (Short Message Service).

b. Untuk menentukan SMS (Short Message Service) sebagai alat bukti”Surat”

atau alat bukti informasi elektronik, hal ini tergantung dari hakim dalam

memberikan penafsiran (interpretasi), sebagaimana dimaksud dalam

pasal 187 poin d dapat digunakan sebagai acuan pemberlakuan SMS

(Short Message Service) sebagai alat bukti “Surat”, hal tersebut

berdasarkan suatu penafsiran (interpretasi) ekstensif (perluasan) yang

sepenuhnya hal tersebut diserahkan kepada hakim yang memeriksa

perkara tersebut, dengan penafsiran tersebut SMS dapat dikategorikan

sebagai alat bukti surat, akan tetapi SMS (Short Message Service) tetap

harus memenuhi syarat yaitu isi dari SMS (Short Message Service) tidak

meragukan dari keasliannya, dapat diperlihatkan dipersidangan, sudah

teregistrasinya nomor dengan registrasi identitas yang lengkap serta harus

didukung dengan alat bukti lain yang sah sebagai konsekuensi dari asas

minimum pembuktian.

101

102

2) Kekuatan pembuktian SMS (Short Message Service) sebagai alat bukti

dalam penyalahgunaan narkotika dalam Putusan No : 56 /

Pid.Sus/2011/PN.Pwt.

a. SMS (Short Message Service) dalam penyalahgunaan narkotika dalam

Putusan No : 56 / Pid.Sus/2011/PN.Pwt. mempunyai kekuatan

pembuktian yang sah, akan tetapi kekuatanya hanya sebagai

pelengkap saja karena dianggap sebagai alat bukti petunjuk yang

mana alat bukti petunjuk tidak dapat berdiri sendiri, tetapi harus

didukung oleh alat bukti lain untuk menguatkanya, serta harus ada

penggabungan dengan alat bukti lain sebagai konsekuensi dari asas

minimum pembuktian.

b. Penilaian kekuatan pembuktian sepenuhnya diserahkan kepada hakim,

dan hakim haruslah arif, bijaksana, penuh kecermatan dan

keseksamaan dalam mengadakan pemeriksaan dengan menggunakan

hati nuraninya.

B. Saran

Penulis menyarankan untuk perkembangan ilmu pengetahuan

khususnya di bidang ilmu hukum acara pidana, yaitu KUHAP sebagai acuan

dalam beracara pidana dilakukan revisi khususnya yang mengatur mengenai

pembuktian khususnya tentang alat bukti. Revisi tersebut harus

mengakomodir perkembangan jaman saat ini dimana khsusnya yang alat

bukti elektronik.

103

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku Literatur :

Atmasasmita, Romli. 1983. Bunga Rampai Hukum Acara Pidana. Jakarta

:BinaCipta.

C.S.T. Kansil, 2002. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Balai Pustaka.

Farid, A.Z. Abidin. 1981. Sejarah dan Perkembangan Asas Opportunitas di

Indonesia, Ujung Pandang: UNHAS.

Hamzah, Andi. 2008. Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika.

. 2001. Hukum Acara Pidana Indonesia (Edisi Revisi). Jakarta: Sinar Grafika.

Hamzah, Andi dan Indra Dahlan. 1984. Perbandingan KUHP, HIR dan

Komentar. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Harahap, M. Yahya. 2001. Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP

(Jilid I), Jakarta: Pustaka Kartini.

. 2001. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyelidikan dan

Penuntutan. Jakarta: Sinar Grafika.

. 2002. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP.Jakarta : Sinar

Grafika.

. 2008. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP

(Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan

Kembali). Jakarta: Sinar Grafika.

Makarao, Moh Taufik dkk. 2003. Tindak Pidana Narkotika. Jakarta: Ghalia

Indonesia.

Mardani. 2008. Penyalahgunaan Narkoba Dalam Perspektif Hukum Islam dan

Hukum Pidana Nasional. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Moelyatno.1983. Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Dalam Hukum

Pidana. Jakarta:Bina Aksara.

Poernomo, Bambang. 1985. Pola Teori dan Asas Umum Hukum Acara Pidana.

Yogyakarta: Liberty.

104

Prodjohamidjojo, Martiman. 1983. Sistem Pembuktian dan Alat-Alat

Bukti.Jakarta: Ghalia Indonesia.

Samosir, C. Djisman. 1985. Hukum Acara Pidana Dalam Perbandingan

Bandung: Bina Cipta.

Sasangka, Hari. 2003. Narkotika dan Psikotropika Dalam Hukum Pidana.

Bandung: Mandar Maju.

Simanjuntak, Nikolas. 2009. Acara Pidana Indonesia Dalam Sirkus Hukum.

Jakarta: Ghalia Indonesia.

Soesilo, R. 1982. Hukum Acara Pidana (Prosedur Penyelesaian Perkara Pidana

menurut KUHAP bagi penegak Hukum). Bogor: Politeria.

Sujono, A.R, dan Bony Daniel. 2011. Komentar & Pembahasan Undanng-

Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Jakarta: Sinar Grafika.

B. Peraturan Perundang-Undangan :

Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana (KUHAP).

________, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.

_____, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang ITE.

C. Sumber Lain :

Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor: 56/Pid.Sus/2011/PN.Pwt.