slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/pro... · s d b disel pusa...

322
Sponsored by : Peran Penelitian Metalurgi dan Material Dalam Mendukung Peningkatan Inovasi Indonesia IPTEK Auditorium Widy , J l . G a t o t Subroto N o . 1 0 - J a k a r t a Sasana a S a r w o n o - L I P I ISSN.2085-0492 PROSIDING Diterbitkan tanggal 201 , 23 November 5 Diterbitkan tanggal 201 , 23 November 5 SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

Upload: others

Post on 10-Nov-2020

5 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

Sponsored by :

Peran Penelitian Metalurgi dan Material

Dalam Mendukung Peningkatan Inovasi IndonesiaIPTEK

A u d i t o r i u m W i d y , J l . G a t o t S u b r o t o N o . 1 0 - J a k a r t aS a s a n a a S a r w o n o - L I P I

ISSN.2085-0492

PROSIDING

Diterbitkan tanggal 201, 23 November 5Diterbitkan tanggal 201, 23 November 5

SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

Page 2: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

S

d

B DiselPusaLembKaw Disp

SEMIN

dalam M

BUK

lenggarakaat Penelitianbaga Ilmu P

wasan PUSPI

ponsori oleh

NAR M

“Peran Menduku

KU

an oleh: n Metalurgi PengetahuanIPTEK Ged

h:

MATE

Penelitiung Pen

20Jak

PR

dan Materian Indonesiadung 470 Ta

i

ERIAL

ian Metaningkata

0 Oktobekarta, Ind

ROS

al a angerang Se

L META

alurgi dan Inova

er 2015 donesia

SID

elatan - Ban

ALUR

dan Mateasi IPTE

ING

nten 15314

RGI 20

erial EK Nasio

G

015

onal”

Page 3: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

DPLTTFW

ProsSem

Hak cipta © Hak cipta termasuk mbuku ini ta Reviewer/E

Edit TekniDesain Sam Gambar sa

Diterbitkan Pusat PeneliLembaga IlmTangerang STelp. : +6Faks. : +6Website : w

sidinminar

© 2015 oleh

dilindungi umem-fotocopanpa izin ter

Editor

s oleh mpul oleh

ampul diund

oleh: itian Metalumu PengetaSelatan – B62 21 7560962 21 75605

www.metalur

ng r Mat

h Pusat Pen

undang-undopy, merekartulis dari pe

: Dr. NonoDr. I NyIr. BambDr. Sugen

: Sigit Dw: M. Yunan

duh dari http

urgi dan Maahuan Indonanten Indon911 553 rgi.lipi.go.id

terial

nelitian Meta

dang. Dilaraam, atau meenerbit.

o Darsono; yoman Jujubang Sriyonng Supriyad

wi Yudanto, n Hasbi

p://www.icts

aterial nesia nesia 15314

d

ii

l Me

alurgi dan M

ang menyalenyimpan in

Dr. Rudi Sur; Dr. Agno, Dipl. Idi Septian Ad

sd.org

4

etalur

Material – L

in, mempronformasi, se

Subagja; Drgung ImadIng; Dr. Ir

i Chandra, M

rgi 2

LIPI

oduksi dalamebagian atau

r. Efendi; Dddudin; Dr.r. Hadi Su

M. Yunan H

ISSN: 2

015

m segala beu seluruh is

Dr. Ika Kar. F. Firdiy

uwarno, M.

Hasbi

2085-0492

entuk, si dari

rtika; yono; Eng;

2

Page 4: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

iii

KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karuniaNya pada tanggal 20-21 Oktober 2015, Pusat Penelitian Metalurgi dan Material - LIPI telah menyelenggarakan rangkaian kegiatan Seminar Material Metalurgi 2015 in conjunction with 3rd Biomaterial Conference yang bertempat di Auditorium Sasana Widya Sarwono, LIPI, Jakarta dengan mengusung tema “Peran Penelitian Metalurgi dan Material dalam Mendukung Peningkatan Inovasi IPTEK Nasional”.

Seminar Material Metalurgi dan konferensi biomaterial ini dihadiri oleh pembicara kunci dari perwakilan dari Kementerian Republik Indonesia (Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral), Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN), Tohoku University, Universitas Brunei Darussalam, Universitas Gadjah Mada, dan RS. Pusat Pertamina. Selain itu, seminar ini dihadiri para pembicara diskusi ilmiah dari berbagai instansi penelitian, universitas, dan peserta pendengar dari berbagai kalangan dan perwakilan dari sponsor, yaitu perwakilan dari PT. Teknolab, PT. Ditek Jaya, dan Fischer Instrumentation (s) PTE, LTD.

Hasil Seminar Material Metalurgi 2015 in conjunction with 3rd Biomaterial Conference dipublikasikan dalam bentuk Buku Prosiding Seminar Material Metalurgi dan 3rd Biomaterial Conference yang memuat tulisan atau makalah kontribusi dari peneliti dan praktisi dari berbagai lembaga penelitian, perguruan tinggi, industri, mahasiswa dan umum. Prosiding Seminar Material Metalurgi terdiri 40 makalah yang mencakup topik-topik: Advanced Material dan Nanoteknologi; Rekayasa Metalurgi dan Material; Metalurgi Ekstraksi dan Daur Ulang Material; Korosi; Analisa Kegagalan Material; Metalurgi Fisik dan Manufaktur; Pengolahan Sumber Daya Mineral; Permodelan dan Simulasi Material/Metalurgi; dan Material Energi. Sedangkan Prosiding 3rd Biomaterial Conference terdiri 14 makalah mencakup topic-topik: Soft Tissue biomaterial; hard tissue biomaterial dan biomechanics; Pengembangan Teknologi Proses, Manufaktur, Sintesis, Disain dan Karakterisasi Material Implan; Modelling dan Komputasi Biomaterial; Aspek Klinis biomaterial; Tissue Engineering dan Kedokteran Regeneratif; Penggunaan Implan dan Biomaterial dalam Kasus Medis; dan Dental Material dan Implan.

Kami berharap prosiding ini bermanfaat bagi pakar ilmu material, dosen, peneliti, mahasiswa dan industriawan yang berkecimpung dalam bidang mineral, material dan metalurgi umumnya bagi kalangan pemerhati ilmu material metalurgi. Tangerang Selatan, November 2015 Tim Editor

Page 5: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

iv

Halaman ini sengaja dikosongkan

Page 6: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

v

SUSUNAN PANITIA

Penanggung Jawab Seminar : Dr. Ing. Andika Widya Pramono, M.Sc Panitia Pengarah Ir. Harsisto, M.Eng Anggota Dr. F. Firdiyono

Ir. Bambang Sriyono, Dipl. Ing Ir. Bintang Adjiantoro, MT

Panitia Pelaksana Ketua : Nurhayati Indah Ciptasari, M.Si Sekretaris dan kesekretariatan : Lutviasari Nuraini, S.Si (Koordinator)

Arini Nikitasari, ST Dhyah Annur, M.Sc Aprilia E, M.Si Satrio Herbirowo, ST

Bendahara : Fitri Yendra, A.Md Rosliana, SE

Tim Editor : Dr. Nono Darsono (Koordinator) Dr. Rudi Subagja Dr. Efendi Dr. Ika Kartika Dr. Ir. Hadi Suwarno, M.Eng (BATAN) Dr. I Nyoman Jujur (PTM BPPT)) Dr. Agung Imaddudin Ir. Bambang Sriyono, Dipl. Ing Dr. F. Firdiyono Dr. Sugeng Supriyadi ( T. Mesin FTUI)

Sponsorship dan Dokumentasi : Eddy PU, ST (Koordinator) Arif Nurhakim, S.Sos

Humas dan Publikasi : Daniel P. Malau, M.Si (Koordinator) M. Syaiful Anwar, M.Si Yosephine Dewiani, S.Si

Acara Dr. M. Ikhlasul Amal (Koordinator) Agus Budi Prasetyo, MT Ariyo Suharyanto, ST Galih Senopati, ST Nadia Chrisayu Natasha, ST Siska Prifiharni, ST Wahyu Mayangsari, ST

Seminar Kit : Yani Kusliani, S.Sos Konsumsi : Sugiarti Buku Program dan Prosiding : Sigit Dwi Yudanto, M.Si (Koordinator)

Septian Adi Chandra, A.Md M. Yunan Hasbi, ST

Perlengkapan dan Transportasi : Joko Triwardhono, A.Md (Koordinator) Heri Nugraha, A.Md Hendrik, M.Sc

Page 7: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

vi

Halaman ini sengaja dikosongkan

Page 8: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

vii

KATA SAMBUTAN KETUA PANITIA Yth. Prof. Dr. Ir. Iskandar Zulkarnain, Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Yth. Dr. Ir. Zainal Arifin, M.Sc, Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Kebumian LIPI Yth. Dr.-Ing. Andika Widya Pramono, M.Sc, Kepala Pusat Penelitian Metalurgi dan Material LIPI Yth. Prof. H. Mohamad Nasir, Ph.D., Ak., Kementrian Riset dan Teknologi dan Pendidikan Tinggi RI Yth. Ir. Rida Mulyana, M.Sc, Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi Yth. Prof. Dr. Djarot S. Wisnubroto, Kepala Pusat Badan Tenaga Nuklir Nasional Yth. Prof. Shuji Hanada, Tohoku University – Japan Yth. Prof. Mohammad Mansoob., Ph.D, Universitas Brunei Darussalam Yth. Prof. Ika Dewi Ana, DDS, Ph.D, Universitas Gadjah Mada Yth. Dr. dr. Norman Zainal, Sp.OT, FCIS, M. Kes, RS. Pusat Pertamina, Jakarta Yth. Badrul Munir, Ph.D, Departemen Teknik Metalurgi dan Material, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia Yth. Lina Jaya Diguna, Ph.D, Prasetya Mulya School of Business and Economics Yth. Dr. Neni Sintawardani, Pusat Penelitian Fisika LIPI Yth. Dr. Alva E. Tontowi, Universitas Gadjah Mada Yth. Prof. Bambang Sunendar, M.Eng, Institut Teknologi Bandung Yth. Dr. Efendi Mabruri, Pusat Penelitian Metalurgi Material LIPI Para Hadirin dan undangan sekalian yang kami muliakan, Assalamu`alaikum Wr.Wb.

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT. Atas izin, rahmat, dan karunia-Nya sehingga kami dapat melaksanakan Seminar Material Metalurgi 2015 in Conjunction with 3rd Biomaterial Conference. Hadirin Yth,

Seminar Material Metalurgi dan Seminar Biomaterial merupakan agenda tahunan Pusat Penelitian Metalurgi dan Material LIPI sebagai sarana komunikasi ilmiah bagi berbagai pihak antara lain lembaga riset, akademisi, pemerintahan daerah dan industri. Seminar Material Metalurgi dan Seminar biomaterial yang sebelumnya diselenggarakan secara terpisah, mulai tahun ini kami mencoba untuk mengkolaborasikan keduanya sehingga pelaksanaan seminar kali ini berlangsung selama dua hari, dimana pada hari pertama dilaksanakan seminar material metalurgi dan hari ke-2 seminar biomaterial.

Pada tahun ini, Seminar Material Metalurgi in Conjunction with 3rd Biomaterial Conference mengusung tema “Peran Penelitian Metalurgi dan Material dalam mendukung Peningkatan Inovasi IPTEK Nasional” terutama penelitian dalam lingkup Material Metalurgi serta biomaterial yang biocompatible. Latar belakang pemilihan tema ini adalah karena IPTEK di Indonesia belum banyak diperhitungkan di kancah internasional karena masih lemahnya daya saing dan kemampuan iptek nasional. Indonesia dengan potensi sumber daya alam dan manusia yang melimpah, seharusnya dapat mengambil peran penting untuk menjadi produsen terkemuka, setidaknya di kawasan Asia. Belajar dari negara-negara produsen, inovasi penelitian dan pengembangan merupakan tahap mendasar untuk kemajuan suatu negara. Pengembangan infrastruktur penelitian terutama fasilitas penelitian dan peningkatan kualitas penelitian merupakan dua faktor yang penting. Selain itu untuk peningkatan penelitian dan pengembangan dibutuhkan kolaborasi antara pemegang saham, peneliti/insinyur, industri dan pemerintah sebagai regulator, maka diperlukan inovasi dalam

Page 9: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

viii

riset/penelitian yang akan mendorong peningkatan percepatan pembangunan teknologi nasional. Untuk mendorong pengembangan program riset dan teknologi, khususnya dalam bidang Material dan Metalurgi serta biomaterial untuk implant medis. Seminar ini juga diharapkan dapat menyumbangkan hasil-hasil penelitian yang bermanfaat untuk pembangunan nasional dan dapat memecahkan masalah serta isu-isu nasional saat ini. Lebih jauh lagi, seminar ini dapat mempererat silahturahmi antar pihak-pihak terkait dalam tataran perkembangan riset dan teknologi.

Pada Seminar tahun ini, makalah yang terdaftar sebanyak 58 naskah dari berbagai lembaga penelitian, perguruan tinggi dan umum di seluruh Indonesia, dengan jumlah makalah seminar material metalurgi sebanyak 40 naskah yang diterima dan 4 naskah yang ditolak, serta 14 naskah seminar biomaterial. Semua makalah dipresentasikan secara oral dan makalah-makalah yang diterima akan diterbitkan di buku prosiding Seminar Material Metalurgi 2015 dan Seminar Biomaterial setelah melalui proses revisi dan edit yang telah ditetapkan oleh Tim Editor Seminar Material Metalurgi 2015 in Conjunction with 3rd Biomaterial Conference.

Akhir kata, atas nama seluruh panitia Seminar Material Metalurgi 2015 in Conjunction with 3rd Biomaterial Conference, kami mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah berpartisipasi dalam seminar ini. Secara khusus, kami ucapkan terima kasih kepada PT. Teknolab, PT. Ditek Jaya, dan Fischer Instrumentation (s) PTE, LTD atas dukungannya dalam pelaksanaan seminar ini. Kami berharap kerjasama ini dapat terus terbina untuk kemajuan riset material dan metalurgi.

Saya mewakili seluruh kepanitiaan Seminar Material Metalurgi 2015 in Conjunction with 3rd Biomaterial Conference mohon maaf sebesar-besarnya, jika selama dalam persiapan dan pelaksanaan seminar ini, ada hal-hal yang kurang berkenan baik teknis maupun non teknis. Billahitaufik walhidayah Wassalamu`alaikum Wr. Wb Tangerang Selatan, Oktober 2015 Ketua Panitia Seminar Material Metalurgi 2015 in Conjunction with 3rd Biomaterial Conference Nurhayati Indah Ciptasari, ST, M.Si

Page 10: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

ix

DAFTAR ISI

HALAMAN DEPAN i KATA PENGANTAR iii SUSUNAN PANITIA v KATA SAMBUTAN KETUA PANITIA vii DAFTAR ISI ix KEYNOTE DAN INVITED SPEAKER 1 PEMBUATAN HEMATIT (Fe2O3) DARI PENGOLAHAN NIKEL LATERIT JENIS LIMONIT DENGAN ASAM KLORIDA Agus Budi Prasetyo, F. Firdiyono, Nanda Pratiwi

5

INDONESIA AKAN MENGHADAPI MASALAH YANG TIDAK SEDERHANA UNTUK LATERIT KADAR RENDAH SEHUBUNGAN DENGAN UU MINERBA 2009 Puguh Prasetyo

13

REDUKSI PELET KOMPOSIT KONSENTRAT PASIR BESI MENGGUNAKAN REDUKTOR BED BATUBARA DENGAN METODE ISOTERMAL-GRADIEN TEMPERATUR Ferdinand Lo, Zulfiadi Zulhan

23

PENGARUH PENAMBAHAN CaCO3 TERHADAP PELARUTAN ALUMINIUM DAN SILIKA REAKTIF DALAM LARUTAN NATRIUM ALUMINAT Dessy Amalia, Tatang Wahyudi, Husaini

33

PENGARUH WAKTU DAN TEMPERATUR PADA KELARUTAN MINERAL KASITERIT INDONESIA MENGGUNAKAN LARUTAN HCl 15 % Latifa Hanum Lalasari, Yosephin Dewiani R, Ariyo Suharyanto

41

REDUKSI PELET KONSENTRAT PASIR BESI MENGGUNAKAN REDUKTOR BED BATUBARA DAN ADITIF Na2CO3 DENGAN METODE ISOTERMAL - GRADIEN TEMPERATUR Indah Suryani, Zulfiadi Zulhan, Adil Jamali

49

PELARUTAN BIJIH BAUKSIT DENGAN SODA KAUSTIK MENJADI LARUTAN SODIUM ALUMINAT SKALA PILOT Husaini, Dessy Amalia, Yuhelda

59

PENGAMATAN PELEPASAN UNSUR KARBON PADA PROSES KALSINASI DOLOMIT GRESIK DENGAN SEM - EDX Eko Sulistiyono, F.Firdiyono, Deddy Sufiandi, Nadia C

67

PENGARUH TERTUNDANYA PENGOLAHAN BIJIH NIKEL LATERIT KADAR RENDAH DENGAN HPAL DI INDONESIA TERHADAP PASOKAN NIKEL DUNIA Puguh Prasetyo

73

Page 11: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

x

PEMBENTUKAN TITANIUM SILIKON KARBIDA DARI BAHAN BAKU ELEMENTER Solihin

83

PENGARUH PENGGUNAAN ELEKTRODA TERHADAP KARAKTERISTIK PRODUK MANGAN DIOKSIDA Eko Sulistiyono

87

PENGARUH SUHU DAN WAKTU REDUKSI TERHADAP PENINGKATAN KADAR Ni PADA PROSES REDUKSI SELEKTIF BIJIH NIKEL LIMONIT DENGAN PENAMBAHAN ADDITIF CaSO4 Wahyu Mayangsari, Agus Budi Prasetyo, Puguh Prasetiyo

93

PENGARUH AUSTENISASI DAN TEMPERISASI TERHADAP STRUKTUR MIKRO DAN SIFAT MEKANIK BAJA TAHAN KARAT 420 Siska Prifiharni, Moch. Syaiful Anwar, Efendi Mabruri

101

ANALISA PRADUGA KEGAGALAN KOROSI KOMPONEN SUPPORT MOUNTING DENGAN METODE SEMI KUANTITATIF XRF-SEM-EDS Nofri Hasanudin

105

PERCOBAAN PEMBUATAN BAJA DENGAN PROSES REDUKSI LANGSUNG CAMPURAN SCALING BAJA DAN BIJIH LIMONIT DITINJAU DARI STRUKTUR MIKRO DAN KEKERASAN Saefudin, Iwan Dwi Antoro

111

ANALISA KEGAGALAN MANUFAKTUR KOMPONEN DINDING SILINDER DENGAN METODA PENGECORAN SENTRIFUGAL Budi Priyono

121

APLIKASI PRINSIP BERNOULLI PADA RECUPERATOR KUPOLA UDARA PANAS Iwan Dwi Antoro, Rahardjo Binudi, Saefudin

127

PEMBUATAN SUPER ABSORBANCE POLYMER COMPOSITE (SAPC) DENGAN BERBAGAI TEKNIK DAN PROSES Jadigia Ginting

133

PENGARUH PROSES ROL DINGIN TERHADAP KEKERASAN DAN STRUKTUR MIKRO PADA PEMBUATAN PELAT TIPIS ALUMINIUM MURNI Saefudin, Toni Bambang Romijarso

141

STUDI PENDAHULUAN REDUKSI PELET KONSENTRAT BESI OKSIDA HASIL BENEFISIASI RED MUD MENGGUNAKAN REDUKTOR BED BATUBARA DENGAN METODE ISOTERMAL- GRADIEN TEMPERATUR Deden Juvenof, Zulfiadi Zulhan

149

PEMBENTUKAN BAINIT DAN PERLIT HALUS DENGAN PERLAKUAN PANAS NORMALISASI UNTUK MENINGKATKAN KEKERASAN TAPAK RODA KERETA API Sri Bimo Pratomo, Husen Taufiq, Eva Afrilinda, Martin Doloksaribu, Sony Harbintoro

157

Page 12: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

xi

PENGARUH TEMPERATUR DAN WAKTU REDUKSI, SERTA PENAMBAHAN BATUBARA DAN Na2SO4 TERHADAP PENINGKATAN KADAR Ni DALAM BIJIH NIKEL LATERIT Rudi Subagja, Agus Budi Prasetyo, Wahyu Mayangsari

169

PROSES PEMBUATAN PADUAN BESI TUANG PUTIH DARI NICKEL PIG IRON Adil Jamali, Fajar Nurjaman, Bintang Adjiantoro

175

ANALISA KERETAKAN PADA KOMPONEN CAMSHAFT Cahya Sutowo, Ika Kartika, Budi Priyono

181

PENINGKATAN KADAR NIKEL MENGGUNAKAN METODE REDUKSI DENGAN PENAMBAHAN ZAT ADITIF NaOH DAN NaCl Agus Budi Prasetyo, Nita Lestari, Wina Yulianti

187

PEREKAYASAAN PEMBUATAN TUNGKU KUPOLA UDARA PANAS Muhammad Yunan Hasbi, Dedi Irawan, Bintang Adjiantoro

195

PENGARUH ION KARBONAT DAN NITRIT DI DALAM LARUTAN BETON SIMULASI YANG TERKONTAMINASI AIR LAUT Nurhayati Indah Ciptasari, Arini Nikitasari, Efendi Mabruri

203

KARAKTERISASI FRAKTOGRAFI DAN SIFAT ELEKTROMAGNETIK

HASIL SINTESIS KOMPOSIT NANO EPOKSI DENGAN FERRO NIKEL Satrio Herbirowo, Adhitya Trenggono

209

PENGARUH SUHU PENYINTERAN TERHADAP PEMBENTUKAN

POLIKRISTAL LaCoO3

M. Yunan Hasbi, Sigit Dwi Yudanto, Ibrahim Purawiardi

217

IDENTIFIKASI SIFAT FISIS DAN ELEKTROKIMIA PADA MESOCARBON MICROBEADS (MCMB) UNTUK BATERAI ION LITHIUM Fadli Rohman, Qolby Sabrina, Bambang Prihandoko

221

SINTESIS PELET Bi-Sr-Ca-Cu-O DENGAN SUHU SINTERING RENDAH DAN ANALISA SIFAT SUPERKONDUKTIVITASNYA Bintoro Siswayanti, Agung Imaduddin, Amirul Hilmi, M. Ikhlasul Amal, Hendrik, Pius Sebleku

227

PENGARUH KOMPOSISI MINYAK PINUS DAN SOLAR DAN KECEPATAN PENGADUKAN PROSES FLOTASI BATUBARA PADA PEMBUATAN KOKAS DENGAN METODE BLENDING Andinnie Juniarsih, Erlina Yustanti, Agung Sapto Aji

233

PENGARUH SUHU KALSINASI DAN PENYINTERAN TERHADAP PEMBENTUKAN Ca3Co2O6 Septian Adi Chandra, Sigit Dwi Yudanto

241

Page 13: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

xii

PENGARUH TEMPERATUR DAN VARIASI KONSENTRASI INHIBITOR IMIDAZOLUNE SALT TERHADAP KETAHANAN KOROSI BAJA API 5L DALAM LARUTAN BRINE DENGAN INJEKSI GAS CO2 JENUH Gadang Priyotomo, Lutviasari Nuraini, Harsisto, Ronald Nasoetion

247

EVALUASI DAMPAK CRYOGENIC TREATMENT DAN TEMPER TERHADAP ADI (AUSTEMPER DUCTILE IRON) TOOL LIFE Agus Suprapto, Agus Iswantoko, Ike Widyastuti

255

INVESTIGASI SUBSTITUSI Fe OLEH Mn DAN Ni PADA STRUKTUR KRISTAL LiFePO4 BERBASIS HASIL UJI XRD MENGGUNAKAN PERANGKAT LUNAK RIGAKU PDXL: STUDI KASUS PADA SAMPEL LiFe0.7Mn0.2Ni0.1PO4/C R. Ibrahim Purawiardi, Betty Haifa Sarwono

261

SINTESIS γ-Al2O3 NANO PARTIKEL METODE SOL GEL SEBAGAI BAHAN PENYANGGA KATALIS UNTUK PROSES HIDROGENASI PARSIAL BIODIESEL Dwita Suastiyanti, Dwi Ratna Mustafida, Nikko Eddy Sugianto, Joelianingsih

271

STUDI PENDAHULUAN UNJUK KERJA CAT ANTIFOULING DAN ANTIKOROSI DI PERAIRAN MUARA BARU, JAKARTA Lutviasari Nuraini, Gadang Priyotomo, Sundjono, Suratno

279

ANALISIS HAMBAT JENIS PENAMBAHAN NANO SiC PADA SUPERKONDUKTOR MgB2 TANPA PERLAKUAN PANAS Sigit Dwi Yudanto, Agung Imaduddin, Hendrik, Bintoro Siswayanti, Satrio Herbirowo

287

SINTESIS FASA Li3Fe2(PO4)3 SEBAGAI PRECURSOR LiFePO4

MENGGUNAKAN BAHAN BAKU LOKAL α-Fe2O3 Achmad Subhan, R. Ibrahim Purawiardi, Betty Haifa Sarwono, Bambang Prihandoko

293

SESI TANYA JAWAB

301

Page 14: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

LEMB

Keyn DireEner

Prof

Dr. M

BAGA ILMU P

note Speake

ektorat Jenrgi dan Sum

Pw

o

f. Dr. Djaro

Mohamma

f

f

PENGETAHU

K

er

nderal Enember Daya

Alamat:Phone/Fax.:www.esdm.

Judul proleh: Direkt

ot Sulistio WBiografi

pendidikan Master danTokyo, JepKepala Bad

Afiliasi:Prapatan, Ja

Judul Pr

d MansoobBiograf

Sciences, Fditekuni adfuel cells, s

Afiliasi:DarussalamTelp.: +6mansoob.k

Judul Pfrom Elect

P

UAN INDONE

KEYNOTE

ergi Baru a Mineral

Jalan Pe: (+62) 21.go.id dan wresentasi: “torat Aneka

Wisnubrotoi: Lahir diTeknik Nu

n Doktoral bang pada t

dan Tenaga : Badan Teakarta, 127resentasi: “T

b Khan fi: Saat iniFaculty of Sdalah kimiasensors, opt: Chemicalm. Jalan T673-246300

[email protected]: “trochemical

PROSIDING

ESIA

E DAN INV

Terbaruka

egangsaan 39830077

www.ebtke.“Kebijakan

Energi Bar

o i Yogyaka

uklir di Univbidang Nucltahun 1990Nuklir Nasi

enaga Nukli10. Telp./FaTantangan

i menjabat Science, Unia anorganiktoelectronicl Sciences,Tungku Lin01 Ext edu.bn “Nanomatelly Active B

G SEMINAR

VITED SPE

an dan Ko

Timur No7 / (+62) esdm.go.id

n Energi Baru dan Energ

arta, 01 Javersitas Gajlear Engine

0 dan 1993ional (BATir Nasional,ax.: (021) 52 Program E

Senior Asiversiti Brun

k: catalysis,c devices dan, Faculty onk Gadong1313, Fa

erials Synthiofilms”

R MATERIA

EAKER

onservasi E

. 1, Ment21 319010

aru Terbargi Terbaruk

anuari 1963ah Mada paeering diper. Saat ini, AN) sejak t, Jl. Kuning20-4246 / (0Energi Nuk

ssistant Pronei Darussa photocatan photoelecof Science

g BE1410, ax.: +673

hesis using

AL METALU

Energi, Ke

teng, Jakar087. Alama

rukan”, dikan

3. Ia menyada tahun 19roleh di Unia menjaba

tahun 2012.gan Barat, 021) 525-11klir di Indo

ofessor di alam. Penellysis, water

ctrodes. e, Universi

Brunei Da3-2461502.

Bioenergy

URGI 2015

1

ementerian

rta 10320. at website:

sampaikan

yelesaikan 986. Gelar

niversity of at sebagai Mampang 110.

onesia”

Chemical litian yang r splitting,

ti Brunei arussalam.

E-mail:

y acquired

5

1

n

Page 15: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

2 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

Invited Speaker Badrul Munir, PhD

Biografi: Lahir di Ngawi, 5 Juli 1974. Ia menyelesaikan program Sarjana di Universitas Indonesia, Jakarta, Indonesia pada tahun 1997. Gelar Master of Science (M.Sc) bidang Advanced Materials diperoleh di Chalmers University of Technology, Sweden pada tahun 2003. Doctor of Philosophy (Ph.D) bidang Materials Science and Engineering diperoleh di Yeungnam University, Rep. of Korea pada tahun 2007. Saat ini ia bekerja sebagai Associate Professor, Department of Metallurgy & Materials Engineering, Universitas Indonesia sejak tahun 1998. Selain itu ia menjabat sebagai direktur Center for Materials Processing & Failure Analysis, Universitas Indonesia sejak tahun 2013. Penelitian yang dilakukan antara lain, Pengembangan material sel surya dan biomaterial

Afiliasi: Department of Metallurgy & Materials Engineering, Universitas Indonesia. Kampus UI Depok 16424. Telp.: +62 21-7863510, Telp. Seluler: (+62)818-147786. E-mail: [email protected]/ [email protected].

Judul Presentasi: “Optimasi Material dan Proses Fabrikasi Sel Surya Lapis Tipis (Thin Films Solar Cells)”

Dr. Lina Jaya Diguna

Biografi: Lahir di Jakarta, 8 November 1980. Ia menyelesaikan pendidikan S1 jurusan Kimia di Institut Teknologi Bandung, Indonesia pada tahun 2003. Gelar Master of Engineering (M.Eng) dan Doctor of Philisophy (Ph.D) diperoleh di Department of Applied Physics and Chemistry The University of Electro-Communications, Japan pada tahun 2006 dan 2009. Saat ini ia mengajar di Prasetiya Mulya School of Business and Economics.

Afiliasi: PMBS - BSD Campus Edutown, Kavling Edu I no. 1, Jl. BSD Raya Barat I, BSD City Serpong - Tangerang 15339. Telp.: 021-304-50-500, 304-50-510 ext. 2231. E-mail: [email protected]. Website: pmsbe.ac.id/eng/details.php?lang=en&id=Ln03.

Judul Presentasi: “Sel Surya Tersensitisasi Semikonduktor Kuantum Dot (Quantum Dot-Sensitized Solar Cells)”

Dr.rer.nat. Ir. Neni Sintawardani

Biografi: Lahir di Cimahi, 14 Januari 1960. Ia menyelesaikan pendidikan Sarjana di Institut Pertanian Bogor, Indonesia. Gelar doktor bidang Process Engineering diraih di Hohenheim Universitat, Germany. Bekerja di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sejak 1983 sampai sekarang. Beberapa penelitian yang telah dilakukan antara lain, wastewater treatment, bio-toilet, dan tofu wastewater.

Afiliasi: Pusat Penelitian Fisika, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Kawasan Puspiptek Setu Tangerang Selatan, Banten, Indonesia. Telp.: +62-21-7560570. E-mail: [email protected].

Judul Presentasi: “Produksi Biogas dari Limbah Tahu: Perancangan dan Pembuatan Reaktor Anaerobik Multi-tahap”

Page 16: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 3

Indria Herman, Ph.D

Biografi: Lahir di Jakarta, 25 Oktober 1984. Ia menyelesaikan pendidikan Sarjana dan Master bidang teknik mesin di Institut Teknologi Bandung, Indonesia pada tahun 2007 dan 2009. Gelar doktor bidang Mechanical Engineering diraih pada tahun 2014 di Korea Advanced Institute of Science and Technology, Republic of Korea. Academic Assistant Mechanical Engineering, Institut Teknologi Bandung, Indonesia

Afiliasi: Mechanical Engineering, Institut Teknologi Bandung, Jalan Ganesha No 10 Bandung, 40132, Indonesia. Telp. Seluler: 0822-2087-2280. E-mail: [email protected].

Judul Presentasi: “Increased Efficiency of ZnO Dye-Sensitized Solar Cells Using Hierarchical Nanowire”

Page 17: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

4 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

Halaman ini sengaja dikosongkan

Page 18: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 5

PEMBUATAN HEMATIT (Fe2O3) DARI PENGOLAHAN NIKEL LATERIT JENIS LIMONIT DENGAN ASAM KLORIDA

Agus Budi Prasetyo1*, F. Firdiyono1, Nanda Pratiwi2

1Pusat Penelitian Metalurgi dan Material – LIPI Gedung 470, Kawasan Puspiptek, Setu, Tangsel

2Jurusan Kimia, Fakultas MIPA Universitas Sebelas Maret Surakarta *E-mail: [email protected]

Abstrak Telah dilakukan percobaan pembuatan besi oksida hematit (Fe2O3) dari proses pengolahan bijih nikel

laterit jenis limonit. Bijih nikel laterit jenis limonit sebagian besar nikel dideteksi keberadaannya dalam mineral goethite (sebagai larutan padat), sebagian lainnya berada dalam manganese oxide dan lithiophorite. Pada limonit, selain mengandung nikel, juga mengandung besi dengan kadar yang cukup tinggi. Nikel banyak digunakan sebagai unsur pemadu yang sangat penting dalam pembuatan baja tahan karat, baja khusus (tool steel, armour steel,dll), katalis, dan lain-lain. Sedangkan besi oksida bisa dimanfaatkan sebagai zat pigmen atau pewarna maupun sebagai bahan baku campuran untuk baterai lithium LiFePO4 dan lain sebagainya seperti pada industri kimia maupun industri elektronik. Pada tahap preparasi sampel, dilakukan proses pengeringan, penggerusan, dan pengayakan. Sampel serbuk bijih nikel laterit jenis limonit dimasukkan kedalam larutan asam klorida (HCl : Akuades ; 1:1). Leaching dilakukan selama 60 menit, berada pada temperatur kamar dengan menggunakan magnetic stirrer. Filtrat hasil penyaringan, kemudian diendapkan dengan NaOH 10%. Hasil dari endapan kemudian dilakukan roasting untuk mendapatkan serbuk besi oksida. Dari analisa XRD terhadap hasil pengolahan nikel laterit limonit melalui proses leaching dengan konsentrasi larutan asam klorida, hidrolisis pH 7, dan roasting selama 3 jam dengan temperatur 500°C menyebabkan serbuk limonit dengan fasa fayalite Fe2(SiO4) dan Taenite (FeNi) terdekomposisi menjadi bentuk hematit (Fe2O3) dan Alumunium oksida (AlO). Semakin pekat larutan asam klorida dalam proses leaching, maka semakin banyak perolehan massa endapan yang didapat. Proses roasting mempengaruhi perolehan massa endapan, dimana hasil paling baik ditunjukkan pada suhu 500°C dengan waktu 2 jam endapan yang diperoleh paling tinggi dan berwarna merah. Kata kunci: Nikel Limonit, Besi oksida, Hematit, Leaching, Roasting PENDAHULUAN

Nikel laterit merupakan sumber bahan tambang yang sangat penting menyumbang terhadap 40% dari produksi nikel dunia[1]. Bijih nikel laterit merupakan salah satu sumber daya mineral yang melimpah di Indonesia. Seperti dalam Gambar 1, cadangan bijih nikel laterit di Indonesia mencapai 12% cadangan nikel dunia, yang tersebar di Pulau Sulawesi, Maluku, dan pulau-pulau kecil disekitarnya. Bijih nikel laterit ini digolongkan menjadi dua jenis, yaitu saprolit yang berkadar nikel tinggi dan limonit yang berkadar nikel rendah. Perbedaan menonjol dari 2 jenis bijih ini adalah kandungan Fe (besi) dan Mg (magnesium), bijih saprolit mempunyai kandungan Fe rendah dan Mg tinggi sedangkan limonit adalah sebaliknya.

Gambar 1. Jumlah Cadangan Nikel Laterit Dunia[2]

Nikel banyak digunakan sebagai unsur pemadu yang sangat penting dalam pembuatan

baja tahan karat, baja khusus (tool steel, armour steel, dll), katalis, dan lain-lain[3]. Sampai saat ini bijih nikel kadar rendah (limonit) masih belum banyak terolah dengan baik, padahal

Page 19: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

6 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

volume limonit biasanya lebih besar 2-3 kali volume saprolit. Keadaan tersebut memungkinkan untuk menggunakan limonit sebagai sumber nikel apabila dapat dilakukan peningkatan kadarnya. Pada limonit, selain mengandung nikel, juga mengandung besi dengan kadar yang cukup tinggi. Oleh karena itu selain memanfaatkan kadar nikel dapat juga dimanfaatkan kandungan besi yang ada dalam bijih nikel limonit.

Pada bijih nikel limonit terkandung nikel dengan grade rendah yaitu 0,8-1,5% sedangkan kandungan besi yang cukup tinggi yaitu mencapai 40-50% dengan kandungan mineral lainnya yaitu MgO 0,5-50% dan Co 0,5-5%. Dengan melihat kandungan besi yang cukup tinggi maka pada percobaan ini akan memanfaatkan unsur besi tersebut untuk pembuatan serbuk besi oksida hematite (Fe2O3). Manfaat dari besi oksida yang akan dibuat bisa digunakan sebagai bahan baku pigmen atau zat warna pada cat maupun bisa juga sebagai bahan baku katalis baterei lithium LiFePO4 dengan syarat standar yaitu dalam bentuk α-Fe2O3 dan kadarnya lebih dari 90%[4]. METODE PERCOBAAN

Pada tahap preparasi sampel, dilakukan proses pengeringan, penggerusan, dan pengayakan. Proses pengeringan (drying) dengan cara memasukkan sampel ke dalam oven dengan suhu 150°C selama 1 jam. Tujuan dari drying adalah untuk menghilangkan uap air yang terdapat pada bijih. Bijih nikel limonit selanjutnya digerus untuk mendapatkan ukuran yang lebih kecil agar lebih mudah dalam melakukan proses-proses selanjutnya. Tahap selanjutnya adalah proses pengayakan (screening). Proses ini bertujuan untuk memperoleh ukuran butir yang seragam. Dalam penelitian ini, ukuran ayak yang digunakan adalah 100 mesh. Bijih yang lebih besar dari 100 mesh tertinggal pada ayakan sedangkan yang lebih kecil 100 mesh akan lolos dari saringan dan jatuh ke bawah.

Pengamatan dilakukan pada variasi percobaan dengan variasi perbandingan HCl: Aquades, pH saat hidrolisis, temperatur roasting, dan waktu roasting. Berat sampel yang diproses sebanyak 50 gram. Variasi konsentrasi larutan asam klorida dengan perbandingan HCl : Aquades yaitu 1:1, 1:2, dan 1:3. Leaching dilakukan selama 60 menit, berada pada temperatur kamar dengan menggunakan magnetic stirrer. Larutan hasil leaching disaring dengan kertas saring teknis. Filtrat hasil penyaringan, kemudian diendapkan dengan NaOH 10%. Sedangkan untuk variasi pH dilakukan hidrolisis/pengendapan kembali yaitu pH 5, 6, dan 7. Kemudian hasil hidrolisis dilakukan penyaringan dengan kain. Gel hasil penyaringan dilakukan proses roasting pada suhu 500°C dengan waktu 2 jam. Sedangkan untuk variasi lamanya waktu roasting dilakukan selama 1 jam, 2 jam, 3 jam, dan 4 jam. Variasi suhu roasting dilakukan pada 300, 400, dan 500°C. Endapan kering hasil roasting, digerus dengan mortar dan dilakukan penimbangan berat akhir. Sampel bijih nikel limonit awal dan sampel hasil proses dilakukannya analisis dengan X-Ray Diffraction (XRD), dan Scanning Electron Microscopy-Energy Dispersive X-Ray Spectroscopy (SEM-EDX).

HASIL DAN PEMBAHASAN Mineralogi Bijih Nikel Limonit

Bijih nikel limonit yang digunakan dalam penelitian dianalisis dengan menggunakan XRD yang dapat dilihat pada Gambar 2. Terlihat bahwa fasa yang terbentuk adalah fasa Fayalite Fe2(SiO4) dan Taenite (FeNi). Difraktogram sampel awal tersebut menunjukkan terbentuknya puncak pada 2θ(hkl) = 21,08 (1,1,0); 26,6334 (1,1,1); 30,4738 (1,2,1) ; 33,1505 (1,3,0); 35,4198 (0,2,2); 36,78 (1,3,1). Dengan munculnya puncak tersebut menunjukkan bahwa sampel awal limonit memiliki kandungan Fe2(SiO4), hal ini dikarenakan puncak yang dihasilkan mendekati atau sama dengan puncak Fe2(SiO4) standar sesuai dengan LPF (Linus Pauling File) NO. 2080021. Selain itu, terbentuknya puncak lain pada 2θ (hkl) = 21,08 (1,1,1); 26,6334 (2,1,0); 35,4198 (2,2,0); 36,78 (2,2,1) merupakan puncak FeNi.

Page 20: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 7

Gambar 2. Hasil XRD bijih nikel laterit limonit

Bijih nikel limonit yang digunakan dalam penelitian ini terbentuk fasa Ni metalik yang

dalam bentuk solid solution dengan Fe membentuk FeNi dan senyawa kompleks fayalit [Fe2(SiO4)]. Terbentuk fasa FeNi disebabkan karena Ni memiliki karakteristik yang hampir sama dengan Fe seperti ukuran jari-jari atom yang hampir sama dan memiliki muatan yang sama. Ni memiliki jari-jari atom sebesar 135 pm sedangkan Fe sebesar 140 pm. Kedua logam, dalam hal ini Fe dan Ni memiliki jari-jari atom yang perbedaannya tidak melebihi 15% sehingga logam Ni mampu untuk berdifusi ke dalam matrik Fe membentuk substituent solid solution.

Pengamatan SEM pada Gambar 3 menunjukkan bahwa ukuran butiran yang bervariasi dari ukuran 5 - 35 μm. Tetapi secara umum hasil analisa ayak menunjukkan bahwa ukuran rata-rata bijih hasil crushing dan grinding sekitar 100 mesh atau 35 mikron. Sedangkan pada komposisi kimia dengan analisis semikuantitatif EDS terlihat pada Tabel 1 bahwa besi, nikel, dan silika terkandung dalam butir tersebut.

Gambar 3. Hasil analisa SEM limonit awal

Tabel 1. Komposisi kimia bijih nikel limonit dari SEM-EDS

Unsur Pengujian EDX (%)

% Massa rata-rata 1 2

Fe 55,87 58,51 57,19 Ni 2,31 2 2,15 C 9,94 9,26 9,60 O 24,80 24,04 24,42 Al 2,99 2,63 2,81 Si 1,16 2,80 1,98 Cr 0,68 0,76 0,72 Mn 2,25 0,00 2,25

Page 21: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

8 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

Dapat dilihat pada Tabel 1 kandungan Fe besar dan kandungan nikel rendah. Hal ini sesuai jika berdasarkan komposisi kimianya, bijih nikel ini termasuk bijih nikel jenis limonit (nikel kadar rendah). Hasil analisa menggunakan EDX menunjukkan kandungan mineral yang berbeda dari setiap unsur-unsurnya. Hal ini dikarenakan pada analisa EDX yang dilakukan hanya pada bagian yang tertembak saja, sedangkan sampel menunjukkan tidak terdistribusi secara merata. Terlihat dari penembakan pada dua titik menghasilkan kandungan unsur yang berbeda.

Pengaruh Konsentrasi Asam Klorida

Hasil massa/berat yang didapat dari leaching dengan larutan asam klorida pada bijih limonit dengan berbagai variasi ditunjukkan pada Gambar 4. Dari data tersebut terlihat bahwa pada perbedaan perbandingan konsentrasi (HCl : Akuades) mempengaruhi hasil akhir perolehan berat. Dimana pada perbandingan 1:1 adalah konsentrasi optimum untuk dilakukannya proses leaching pada bijih limonit. Dalam proses ini reaksi yang mungkin terjadi : Fe2(SiO4) + 6HCl → 2FeCl3 + 3H2 + SiO4 (1) FeNi + HCl → FeCl3 + NiCl2 (2)

Menurut azas Le Chattelier suatu reaksi akan bergeser ke arah pembentukan produk jika terjadi penambahan reaktan[5]. Dalam hal ini reaksi pelarutan nikel dan besi akan bertambah jika jumlah FeNi, Fe2(SiO4) dan HCl ditambah. Dalam percobaan ini jumlah persen solid dibuat konstan, artinya jumlah massa FeNi dan Fe2(SiO4) tidak berubah. Sedangkan asam pada konsentrasi yang berbeda akan memiliki jumlah spesi HCl yang berbeda. Semakin tinggi konsentrasi HCl akan menyebabkan jumlah Ni dan Fe yang terlarut akan semakin banyak. Sehingga diperoleh massa endapan semakin banyak. Fenomena yang mengikuti azas Le Chattelier diperlihatkan pada Gambar 4.

Gambar 4. Hasil berat yang didapat dari variasi konsentrasi HCl

Pengaruh pH Pengendapan

Hasil dari proses pengendapan dengan NaOH pada filtrat dari proses leaching yaitu pH mampu mempengaruhi hasil akhir pengolahan bijih limonit. Dapat dilihat pada Gambar 5 menunjukkan bahwa pada pH 7 memperoleh hasil paling baik untuk dilakukannya proses pengendapan terhadap bijih limonit. Reaksi yang mungkin terjadi pada tahap ini : FeCl3 + 3NaOH → Fe(OH)3↓ + NaCl (3) NiCl2 + 2NaOH → Ni(OH)2↓ + NaCl (4)

Page 22: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 9

Gambar 5. Kurva hubungan pH vs berat yang didapat

Hal ini sesuai dengan literatur dimana pada pH sekitar 7,5 - 7,7 ion ferri mengalami oksidasi dan berikatan dengan hidroksida membentuk Fe(OH)3 yang bersifat tidak larut dan mengendap (presipitasi) di dasar air, membentuk warna kemerahan[6]. pH untuk mengendapkan Ni mulai dari pH 6 dan mengendap paling optimum yaitu pH 9[7]. Semakin tinggi pH akan menyebabkan jumlah Ni dan Fe yang mengendap akan semakin banyak, sehingga diperoleh massa endapan semakin banyak.

Namun, terlihat bahwa grafik yang terbentuk memiliki pola yang tidak sama. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan temperatur roasting yang menyebabkan terjadinya perubahan fasa. Dimana ketika diberikan suhu tinggi, Fe(OH)3 akan berubah menjadi Fe2O3 dengan menguapkan H2O. Oleh karena itulah, pada temperatur 300 dan 400°C dimungkinkan masih terdapat banyak kandungan airnya. Pengaruh Temperatur Roasting Dan Waktu Roasting

Hasil dari pengaruh temperatur roasting dapat dilihat pada Tabel 2 menunjukkan bahwa terjadi penurunan massa yang didapatkan. Hal ini disebabkan terurainya kandungan air atau hidroksida dalam gel Fe(OH)3. Semakin tinggi temperature maka energy penguraian akan semakin besar sehingga proses penghambatannya semakin kecil pula. Pada temperatur 500°C diperoleh serbuk hasil pengolahan dengan perolehan berat endapan sebesar 32,53 gram dan penampakan fisik paling baik yaitu warna merah. Perbandingan warna pada hasil pengolahan bijih nikel setelah dilakukannya pengolahan dapat dilihat pada Gambar 6. Sehingga, variasi antara 300-500°C pada temperatur 500°C merupakan menunjukkan hasil paling baik dilakukannya roasting terhadap sampel.

Tabel 2. Hasil berat dengan variasi temperatur roasting

Temperatur Roasting Massa Endapan Warna Endapan 300°C 39,05 g coklat 400°C 35,23 g Merah kecoklatan

500°C 32,53 g Merah

Page 23: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

10 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

Gambar 6. Hasil roasting dengan variasi temperatur

Pengaruh lamanya waktu roasting juga dapat dilihat pada Tabel 4 menunjukkan bahwa dengan penambahan waktu roasting akan memperbesar kehilangan uap air yang ada dalam gel Fe(OH)3. Waktu roasting semakin lama maka akan semakin banyak material yang akan bereaksi dengan oksigen di muffle furnace. Pada waktu 1 jam diperoleh endapan yang paling banyak, akan tetapi karena reaksi belum sempurna warna masih coklat kehitaman. Pada roasting selama 2 jam diperoleh limonit akhir dengan warna merah dan massa endapan tinggi, sedangkan pada waktu 3 jam diperoleh massa endapan limonit akhir atau limonit hasil pengolahan lebih sedikit dibandingkan dengan 2 jam namun dengan penampakan warna lebih baik yaitu warna lebih merah. Perbandingan warna pada hasil ini juga dapat dilihat pada Gambar 7. Reaksi yang mungkin terjadi pada tahap ini :

O3H OFe Fe(OH) 2 232panas3 (5)

Tabel 3. Hasil berat dengan variasi waktu roasting Waktu Roasting Massa Endapan Warna Endapan

1 jam 39,12 g Coklat kehitaman 2 jam 37,98 g Merah 3 jam 26,36 g Lebih merah 4 jam 25,80 g Coklat

Gambar 7. Hasil roasting dengan variasi waktu

Analisis XRD

Sampel awal yang dilakukan pengolahan leaching, pengendapan dan dilakukan roasting pada suhu 500°C selama 3 jam dilakukan karakterisasi dengtan XRD bertujuan untuk mengetahui perubahan fasa yang terjadi sebelum dan sestelah dilakukannya pengolahan terhadap bijih nikel limonit. Hasil ditunjukkan pada Gambar 8, terlihat bahwa fasa fayalite (Fe2(SiO4)) (Gambar 2) yang dominan pada sampel limonit awal sudah tidak tampak pada

Page 24: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 11

peak XRD limonit akhir. Fasa yang terbentuk sudah berbeda dan fasa baru muncul pada grafik XRD sampel limonit akhir yaitu fasa hematite (Fe2O3) dan Alumunium oksida (AlO).

Gambar 8. Difraktogram hasil XRD terhadap hasil akhir proses

Difraktogram tersebut menunjukkan terbentuknya puncak pada 2θ = 24,1895 ; 33,202

; 35,68 ; 49,50 ; 54,1563 ; 64,14 ; 75,273. Dengan munculnya puncak tersebut menunjukkan bahwa sampel akhir limonit memiliki kandungan Fe2O3, hal ini dikarenakan puncak yang dihasilkan mendekati atau sama dengan puncak Fe2O3 standar sesuai dengan ICSD NO. 82135. Selain itu, terbentuknya puncak lain pada 2θ = 31,6376 ; 45,434 ; 56,483 ; 75,273 merupakan puncak AlO berdasarkan dengan ICSD NO. 28920. Intensitas dari kedua difraktogram dapat dilihat pada Gambar 8 pada difraktogram hasil akhir pengolahan menunjukkan intensitas yang jauh lebih tinggi dibandingkan hasil XRD bijih nikel laterit awal. Hal ini menunjukkan bahwa hasil akhir memiliki kristalinitas yang lebih baik dibandingkan dengan limonit awal.

Dengan adanya pengolahan terhadap bijih nikel limonit dengan berbagai proses yaitu leaching, pengendapan, dan roasting, mampu mengubah fasa Fe2(SiO4) menjadi Fe2O3. Dimana dalam fasa Fe2SiO4, silikat ini dianggap sebagai impurities. Sehingga perlu adanya pengolahan agar besi yang banyak terkandung dalam bijih nikel limonit ini dapat termanfaatkan dalam berbagai aplikasi. Namun, tingkat impurities-nya masih cukup tinggi, sehingga diperlukan pengolahan lanjut agar dapat meningkatkan kemurnian Fe2O3.

KESIMPULAN 1. Hasil dari pengolahan bijih nikel laterit jenis limonit dengan analisa XRD menunjukkan

serbuk limonit awal dengan fasa fayalite Fe2(SiO4) dan Taenite (FeNi) terdekomposisi menjadi bentuk hematit (Fe2O3) dan Alumunium oksida (AlO).

2. Semakin pekat larutan asam klorida dalam proses leaching, maka semakin banyak perolehan massa endapan yang didapat. Hal ini dikarenakan semakin banyak Fe yang berikatan dengan Cl.

3. Pada variasi pH, pH 7 merupakan paling baik dilakukannya pengendapan terhadap bijih nikel limonit karena diperoleh massa endapan tertinggi.

4. Proses roasting mempengaruhi perolehan massa endapan, dimana hasil paling baik ditunjukkan pada suhu 500°C dengan waktu 2 jam endapan yang diperoleh tinggi dan berwarna merah.

Page 25: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

12 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

DAFTAR PUSTAKA 1. Johansyah, D. 2012. Studi Pengaruh Reduksi Pemanggangan dan Waktu Pelindian

Amonium Bikarbonat Terhadap Perolehan Nikel dari Bijih Limonit. Depok: Universitas Indonesia.

2. D Dalvi Ashok, W. G. 2004. The Past and The Future of Nickel Laterites. Trade Show & Investors Exchange March, 7-10.

3. Prasetiyo, P. 2008. Pemanfaatan Potensi Bijih Nikel Indonesia Pada Saat Ini dan Masa Mendatang. Metalurgi.

4. Prasetyo, A. B. 2013. Studi Analisis Bijih Besi Dari Bajuin, Kalimantan Selatan Sebagai Bahan Pembuat α-Fe2O3 Untuk Bahan Baku Katoda Baterai Lithium. Prosiding Seminar Material Metalurgi, 129-133.

5. Dean, J. 1999. Handbook of Chemistry. McGraw-Hil. 6. Cole, G.A. 1998. Textbook of Limnology, 3th Wd. Waveland Press Inc. Illionis USA 7. Hakim dkk. 2009. Pengambilan Logam Ni dalam Limbah Elektroplating dengan proses

Koagulasi Flokulasi. Undip Semarang

Page 26: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 13

INDONESIA AKAN MENGHADAPI MASALAH YANG TIDAK SEDERHANA UNTUK LATERIT KADAR RENDAH SEHUBUNGAN

DENGAN UU MINERBA 2009

Puguh Prasetyo Pusat Penelitian Metalurgi dan Material – LIPI Gedung 470, Kawasan Puspiptek, Setu, Tangsel

E-mail: [email protected]

Abstrak UU Minerba 2009 yang mulai berlaku 2014 mengamanatkan menghentikan ekspor bahan baku

mineral, dan wajib untuk mengolah mineral didalam negeri. Sehubungan dengan UU tersebut Indonesia yang berlimpah sumber daya alam bijih nikel oksida yang lajim disebut laterit, akan menghadapi masalah yang tidak sederhana terutama untuk laterit kadar rendah. Karena laterit kadar rendah yang terdiri dari limonit dan saprolit dengan kandungan Ni < 1,8 %, belum diolah di Indonesia. Namun tidak ada masalah untuk laterit kadar tinggi saprolit dengan kandungan Ni ≥ 1,8 %. Karena saprolit tersebut sudah diolah di Sulawesi Tenggara oleh BUMN PT Aneka Tambang untuk memproduksi FeNi di Pomalaa, dan PMA PT Vale Indonesia untuk memproduksi Ni matte di Sorowako. Indonesia akan menghadapi masalah yang tidak sederhana karena Indonesia telah mengekspor laterit mulai 1938 (era pemerintah kolonial Belanda) sampai 2013. Disamping itu untuk bisa mengolah laterit kadar rendah dibutuhkan kemampuan teknologi dan modal besar. Sebagai gambaran SMM (Sumitomo Metal Mining) Jepang perlu waktu 15 tahun untuk menguasai teknologi HPAL/PAL untuk mengolah limonit Philipina. Sedangkan SMM untuk membangun CBNC (Coral Bay Nickel Corporation) HPAL plant dipulau Palawan mengeluarkan dana ± 1,080 milyar dolar USA, dan dana ± 1,590 milyar dolar USA untuk membangun THPAL (Taganito High Pressure Acid Leach) plant dipulau Mindanao. Atas dasar penjelasan diatas maka dibuat tulisan ini. Kata kunci: UU minerba, Laterit, Kadar rendah, Limonit, Saprolit, Ni < 1,8 %, HPAL PENDAHULUAN

UU Minerba (Mineral dan Batu Bara) 2009 yang mulai berlaku 2014, melarang ekspor bahan baku mineral dan wajib untuk mengolah mineral di dalam negeri. Pada dasarnya UU tersebut bertujuan untuk memberikan nilai tambah terhadap bahan baku mineral, dan menarik investor untuk mengolah mineral di dalam negeri. Investor bisa melalui PMDN (Penanaman Modal Dalam Negeri) dan PMA (Penanaman Modal Asing).

Namun dalam kenyataan ternyata tidak sederhana untuk menjalankan amanat UU tersebut. Misalnya kasus Freeport yang diijinkan oleh pemerintah untuk ekspor konsentrat tembaga selama dua (2) tahun dengan tujuan uang hasil ekspor digunakan untuk membangun smelter. Ternyata pada pertengahan 2015, Freeport minta perpanjangan ijin untuk ekspor konsentrat tembaga. Kasus yang lain PT Weda Bay Nickel (WBN) Eramet Perancis, sampai saat ini belum membangun pabrik pengolahan laterit kadar rendah di Weda Halmahera. Menurut rencana PT WBN akan membangun pabrik pengolahan laterit kadar rendah dengan teknologi berbasis HPAL/PAL (High Pressure Acid Leaching).

Sehubungan dengan UU tersebut khusus untuk sumber daya alam bijih nikel oksida yang lajim disebut laterit, Indonesia akan menghadapi masalah yang tidak sederhana untuk laterit kadar rendah. Karena laterit kadar rendah yang terdiri dari limonit dan saprolit dengan kandungan Ni < 1,8 %, belum diolah ditanah air. Namun tidak ada masalah untuk laterit kadar tinggi saprolit dengan kandungan Ni ≥ 1,8 %. Karena saprolit tersebut sudah diolah di Sulawesi Tenggara oleh BUMN PT Aneka Tambang untuk memproduksi FeNi di Pomalaa sejak 1974, dan PMA PT Vale Indonesia untuk memproduksi Ni matte di Sorowako sejak 1977/1978.

Untuk laterit kadar rendah yang belum diolah ditanah air, pertanyaannya mau diapakan laterit tersebut? Karena untuk bisa mengolah laterit khususnya laterit kadar rendah selain dibutuhkan kemampuan teknologi juga biaya besar. Sebagai gambaran SMM

Page 27: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

14 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

(Sumitomo metal Mining) Jepang sebelum membangun dua (2) HPAL plant untuk mengolah limonit di Philipina, perlu waktu 15 tahun untuk meneliti secara intensip teknologi HPAL/PAL (High Pressure Acid Leach) untuk mengolah laterit kadar rendah khususnya limonit Philipina. Sedangkan untuk membangun dua (2) HPAL plant membutuhkan biaya ± 1,080 milyar dolar (USA) saat membangun CBNC (Coral Bay Nickel Corporation) di pulau Palawan, dan membutuhkan biaya ± 1,590 milyar dolar (USA) saat membangun THPAL (Taganito High Pressure Acid Leaching) plant di pulau Mindanao. Dimana CBNC didisain untuk mengolah limonit selama 20 tahun guna memproduksi ± 20.000 ton Ni + 1.500 ton Co per tahun dalam bentuk NiS. Sedangkan THPAL didisain untuk mengolah limonit selama 30 tahun guna memproduksi ± 30.000 ton Ni + 2.600 ton Co per tahun dalam bentuk NiS[18]. Pengolahan Laterit Di Indonesia

Endapan laterit ideal didaerah khatulistiwa dan proses pengolahannya yang sudah komersial, dapat dilihat pada Gambar 1 dan Gambar 2.

Gambar 1. Endapan laterit secara ideal dan proses pengolahannya[20]

Gambar 2. Proses pengolahan laterit[3]

Page 28: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 15

Untuk mengolah laterit digunakan dua jalur proses, yaitu hidrometalurgi dan pirometalurgi. Proses Caron (ammonia leaching) dan acid leaching (proses HPAL/PAL) tergolong dalam jalur proses hidrometalurgi untuk mengolah laterit kadar rendah. Sedangkan pirometalurgi (smelting) untuk mengolah laterit kadar tinggi, yaitu saprolit. Perkembangan terbaru terutama setelah 2005, pengolahan laterit kadar rendah beralih menggunakan jalur proses pirometalurgi untuk memproduksi NPI (nickel pig iron). NPI diproduksi besar besaran di China menggunakan blast furnace (BF) dan Electric furnace (EF). Selanjutnya NPI oleh China digunakan untuk stainless steel (SS). Untuk mendapatkan bahan baku laterit kadar rendah, China mengimpor dari Philipina dan Indonesia. Sebagai gambaran pada 2013, China mengimpor laterit dengan kandungan Ni < 1,5 % (limonit) dari Philipina ± 29,6 juta ton/tahun, dan mengimpor laterit dengan kandungan Ni ≥ 1,5 % (saprolit kadar rendah) dari Indonesia ± 41 juta ton/tahun.

Pemerintah Orba (Orde Baru) di bawah Presiden Soeharto pada tahun 1970-an telah memberi ijin PMA maupun BUMN untuk mengolah laterit. PMA PT Pasific Nickel USA mendapat ijin untuk mengolah laterit pulau Gag Papua menggunakan proses Caron. Ternyata PT Pasific Nickel USA tidak jadi membangun pabrik pengolahan laterit, dan mengembalikan ijin ke pemerintah. Di Sulawesi Tenggara pemerintah memberi ijin PMA INCO Canada dan BUMN PT Aneka Tambang. PMA INCO Canada melalui PT INCO Indonesia memproduksi Ni matte di Sorowako mulai produksi 1977/1978. Sedangkan BUMN PT Aneka Tambang memproduksi FeNi di Pomalaa mulai produksi 1973/1974. Kemudian INCO Canada beralih kepemilikan ke Vale Brasilia, dan PT INCO Indonesia berubah menjadi PT Vale Indonesia pada 2012/2013. Sampai saat ini pabrik (plant) di Sorowako dan Pomalaa masih beroperasi. Dimana produksi Ni matte PT Vale Indonesia maupun FeNi PT Aneka Tambang menggunakan bahan baku saprolit dengan kandungan Ni ≥ 1,8 %, dan diekspor.

Pada tahun 1990-an pemerintah memberi ijin kepada dua (2) PMA untuk mengolah laterit dengan proses berbasis HPAL/PAL (High Presure Acid Leach), yaitu PT BHP Australia dan PT Weda Bay Nickel (WBN) Canada. PT BHP Australia akan mengolah laterit pulau Gag Papua sedangkan PT WBN Canada akan mengolah laterit teluk Weda Halmahera. Perkembangan selanjutnya PT WBN Canada beralih kepemilikan ke Eramet Perancis pada 2006 sedangkan PT BHP Australia mengembalikan ijin ke pemerintah pada 2009.

Dengan mulai berlakunya UU Minerba yang melarang ekspor bahan baku mineral mulai 2014. Maka China yang tidak mempunyai sumber daya alam laterit namun menjadi negara produsen NPI, dengan terpaksa memindahkan pabrik NPI ke Indonesia. Selanjutnya pemerintah Indonesia telah memberi ijin investor China untuk mengolah laterit kadar rendah terutama di Sulawesi, dan kenyataan tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.

Page 29: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

16 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

Tabel 1. Rencana Pengolahan Laterit Di Indonesia Sebagian Besar Untuk Memproduksi NPI[7]

Kebangkitan HPAL/PAL (High Pressure Acid Leach)

Proses HPAL/PAL untuk mengolah limonit pada skala industri pertama kali dibangun oleh Freeport USA di Moa Bay Cuba menjelang 1960. Dalam membangun Moa Bay HPAL/PAL plant untuk memproduksi NiS, Freeport dibantu oleh Sherrit Gordon Canada. Selanjutnya Freeport dinasionalisasi oleh pemerintah Cuba di bawah rezim Fidel Castro pada 1960, dan saat itu Moa Bay HPAL/PAL plant belum beroperasi. Dengan bantuan Uni Soviet (Rusia) maka Moa Bay plant bisa beroperasi dengan “normal” setelah mengalami berbagai masalah dalam kurun waktu 6 – 7 tahun.

Dengan bubarnya Uni Soviet awal 1990-an otomatis berpengaruh pada Moa Bay plant, sehingga pemerintah Cuba menjalin kerja sama dengan Sherrit Gordon Canada untuk proyek Moa Bay. Kerja sama tersebut ditanda tangani desember 1994 dengan kesepakatan kepemilikan saham sama masing masing 50 %, kinerja Moa Bay plant diperbaiki, dan seluruh produk NiS diolah oleh Sherrit Gordon di Fortsaskatchewan Canada.

Buah dari kerja sama antara pemerintah Cuba dengan Sherrit Gordon Canada, mendatangkan kesuksesan bagi Moa Bay HPAL/PAL plant. Sehingga proses berbasis HPAL/PAL menjadi pilihan utama untuk mengolah laterit kadar rendah yang jumlahnya berlimpah didunia. Karena proses ini sudah terbukti sukses di Moa Bay, dan berdasarkan hasil kajian oleh AMAX USA - Cofremmi Perancis dari pilot plant skala besar. Ternyata proses HPAL/PAL maupun proses berbasis HPAL/PAL yang dikembangkan oleh AMAX USA lebih unggul dalam konsumsi energi dan perolehan logam. Apabila dibandingkan dengan proses matte smelting, proses FeNi smelting, dan proses Caron. Hasil kajian AMAX USA - Cofremmi Perancis tersebut, dapat dilihat pada Tabel 2 dibawah ini.

Tabel 2. Perbandingan proses berbasis HPAL/PAL dengan proses proses yang lain[16]

Perbandingan Matte Smelting

Ferro Nickel

Smelting

Ammonia Leaching (Proses Caron)

Moa Bay Acid

Leaching

Cofremmi Acid

Leaching

Konsumsi energi (MJ/Kg Ni)

700 – 800 600 – 700 500 – 600 350 – 400 200 – 300

Perolehan Logam (% Total)

65 – 80 % 60 – 70 % 65 – 75 % 80 – 90 % 92 – 94 %

Page 30: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 17

Selanjutnya para pemain nikel dunia yang mempunyai rencana untuk mengolah laterit kadar rendah dengan proses berbasis HPAL/PAL berkumpul di Melbourne Australia pada tahun 1995. Pertemuan tersebut dikoordinir oleh ALTA, dan pembawa makalah pada acara tersebut, dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Presenter pada pertemuan ALTA 1995 di Melbourne Australia[15]

No. Proyek Perusahaan 1. 2. 3. 4. 5. 6.

Bulong Australia Murrin Murrin Australia Cawse Australia Ramu Papua Nugini Goro Kaledonia Baru Ambatovy Madagaskar

Resolute group dan Western Mining Anaconda dan Sherrit Gordon Centaur Mining Highlands Gold dan Nord Resources INCO Phelps Dodge

Selain keenam pemain nikel yang presentasi di ALTA, setelah 1995 ada pemain

pemain nikel dunia yang lain untuk mengolah laterit kadar rendah dengan proses berbasis HPAL/PAL juga presentasi di ALTA. Daftar presenter setelah 1995, dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Presenter pada pertemuan ALTA setelah 1995 [15]

No. Proyek Negara 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10

Weda Bay Vermelho Syerston Nonoc Gladstone Marlborough Young Nakety/Bogota Mindoro Agata

Indonesia Brasilia NSW, Australia Philipina Qld, Australia Qld, Australia NSW, Australia Kaledonia Baru Philipina Philipina

Hasil pertemuan ALTA 1995 ditindak lanjuti dengan pembangunan HPAL/PAL plant

generasi kedua di Australia Barat oleh Bulong, Murrin Murrin, dan Cawse yang mulai beroperasi akhir 1998/awal 1999. Dimana laterit kadar rendah Australia yang digunakan sebagai bahan baku oleh ketiga HPAL/PAL plant tersebut adalah smectite dan nontronite, bukan limonite seperti di Moa Bay Cuba. Ternyata ketiga HPAL/PAL plant tersebut mengalami “kegagalan” sehingga Bulong terpaksa tutup pada tahun 2003, dan Cawse mengikuti jejak Bulong tutup 2008. Sedangkan Murrin Murrin berpindah kepemilikan ke Minara tahun 2003/2004, dan Minara menambahkan proses “heap leaching”. Adapun sampai 2015, masih ada proyek proyek HPAL/PAL plant yang mengalami kesuksesan dan “kegagalan” seperti yang ditunjukkan pada Tabel 5.

Page 31: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

18 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

Tabel 5. HPAL/PAL proyek di dunia tahun 2015[18]

Dimana Ravensthorpe di Australia menggunakan proses EPAL (Enhance Pressure Acid Leach). Pada proses EPAL, limonit dan saprolit diolah secara bersamaan. Limonit diolah menggunakan proses HPAL/PAL sedangkan saprolit dengan atmospheric leaching. Proyek proyek yang mengalami kesuksesan adalah CBNC dan THPAL milik SMM (Sumitomo Metal Mining) Jepang yang beroperasi di Philipina. Sedangkan yang mengalami “kegagalan” karena masih ada masalah pada operasi pabrik (plant) sehingga kapasitas produksi belum tercapai secara optimal. Masalah tersebut terus dicari jalan keluarnya agar kapasitas produksi bisa tercapai sesuai dengan yang direncanakan.

Pengalaman SMM (Sumitomo Metal Mining)

Karena menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) maka Jepang sebagai negara yang tidak mempunyai sumber daya alam bijih nikel laterit, bisa memproduksi FeNi (Ferro nikel) di Jepang dan membangun dua (2) HPAL plant di Philipina. Untuk memproduksi FeNi, Jepang mengimpor saprolit dari Indonesia sejak 1938, Philipina, dan Kaledonia Baru. Sedangkan untuk membangun dua HPAL plant di Philipina, SMM melakukan riset secara intensip selama 15 tahun. Kedua HPAL plant tersebut adalah CBNC (Coral Bay Nickel Corporation) di pulau Palawan, dan THPAL (Taganito High Pressure Acid Leach) dipulau Mindanao. Adapun bahan baku dan produksi Ni dari dua plant tersebut, dapat dilihat pada Tabel 6 dan Gambar 3 di bawah ini.

Tabel 6. Perbandingan limonit CBNC dengan THPAL[18]

Gambar 3. Produksi Ni di CBNC dan THPAL[18]

Page 32: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 19

CBNC (Coral Bay Nickel Corporation) CBNC HPAL/PAL plant dipulau Palawan Philipina disain untuk mengolah limonit

selama 20 tahun guna memproduksi NiS. Limonit tersebut berasal dari penambangan saprolit oleh RTNMC (Rio Tuba Nickel Mining Corporation) sejak 1969, dan RTNMC mengekspor saprolit ke Jepang sejak 1977. Limonit hasil kupasan untuk mengambil saprolit (lihat Gambar 1) dikumpulkan berdasarkan kandungan Ni dan perbandingan Si dengan Mg. Limonit yang telah terkumpul tersebut diperkirakan sebanyak 21 juta ton bijih kering mengandung rata rata Ni ± 1,26 % dan Co ± 0,09 %.

Dibangun plant (pabrik) pertama untuk memproduksi NiS pada tahun 2002, kapasitas produksi ± 10.000 ton Ni/th dan 750 ton Co/th. Kemudian commisioning pada akhir 2004, pekerjaan mekanik lengkap di plant tahun 2005, dan produksi mencapai 10.078 ton Ni pada 2007. Kemudian dicapai produksi 10.562 ton Ni pada 2008. Produk NiS mengandung 55 – 58 % Ni dan 4 – 5 % Co.

Pada tahun 2006 CBNC melakukan ekspansi dengan membuat plant kedua yang kapasitasnya sama dengan plant pertama. Pekerjaan mekanik lengkap selesai 20 Februari 2009, dan commisioning May 2009. THPAL (Taganito High Pressure Acid Leach)

THPAL plant dipulau Mindanao Philipina didisain untuk mengolah limonit dengan kandungan 1,1 % Ni selama 30 tahun guna memproduksi NiS. Limonit tersebut berasal dari tambang Taganito Nickel Mine Co. Adapun kapasitas produksi THPAL plant ± 30.000 ton Ni/th dan 2.600 ton Co/th dalam bentuk NiS. THPAL plant mulai dibangun 2010, plant sudah selesai dibangun dan siap beroperasi pada Juni 2013. Kapasitas produksi mendekati sesuai dengan yang direncanakan pada 2014. Masalah Laterit Kadar Rendah Di Indonesia

Sejak 1939 s/d 2013 Indonesia telah mengekspor laterit terutama saprolit dari Pomalaa ke Jepang, limonit dengan persyaratan tertentu ke Australia sejak 1979/1980, dan ekspor laterit (saprolit kadar rendah) dengan kandungan Ni ≥ 1,5 % ke China sejak 2000-an. Di Jepang saprolit digunakan sebagai bahan baku untuk memproduksi FeNi, di Australia limonit tersebut diolah dengan proses Caron untuk memproduksi NiO, sedangkan di China saprolit kadar rendah dengan kandungan Ni ≥ 1,5 % diolah dengan proses pirometalurgi untuk memproduksi NPI (Nickel Pig Iron). Dengan mulai berlakunya UU Minerba pada 2014 yang melarang ekspor, Indonesia akan menghadapi masalah hukum yang rumit dengan Jepang, Australia, dan China.

Untuk mengolah laterit kadar rendah yang terdiri dari limonit dan saprolit dengan kandungan Ni < 1,8 %, dibutuhkan penguasaan teknologi dan modal besar. Sebagai referensi adalah SMM (Sumitomo Metal Mining) Jepang saat membangun dua (2) HPAL/PAL plant di Philipina, butuh waktu 15 untuk menguasai teknologi HPAL/PAL dan modal besar. Sehingga yang bisa mengolah laterit tersebut BUMN atau PMA, seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1 diatas. Apabila diolah oleh bangsa sendiri, pertanyaannya sudah mampukah BUMN kita? KESIMPULAN 1. UU Minerba 2009 yang mulai berlaku 2014, khusus untuk SDA (Sumber Daya Alam)

laterit Indonesia akan menghadapi masalah hukum yang rumit dengan Jepang, Australia, dan China. Karena Indonesia telah melakukan ekspor saprolit terutama dari Pomalaa ke Jepang sejak 1938, limonit dengan persyaratan tertentu ke Australia sejak 1979/1980, dan saprolit kadar rendah dengan kandungan Ni ≥ 1,5 % ke China sejak tahun 2000-an.

2. Untuk mengolah laterit kadar rendah didalam negeri sesuai dengan amanat UU Minerba 2009, tidak sederhana seperti yang tertulis dalam UU tersebut. Karena untuk bisa mengolah laterit kadar rendah dibutuhkan penguasaan teknologi dan modal besar. SMM

Page 33: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

20 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

(Sumitomo Metal Mining) Jepang saat membangun dua (2) HPAL/PAL plant di Philipina, butuh waktu 15 untuk menguasai teknologi HPAL/PAL dan modal besar. SMM untuk membangun CBNC mengeluarkan dana ± 1,080 milyar dolar USA, dan dana ± 1,590 milyar dolar USA untuk membangun THPAL.

DAFTAR PUSTAKA 1. Baillie, M.G. Weda Bay Minerals Inc, ALTA 2002. “An Update of The Weda Bay

Nickel/Cobalt Laterite Project”. 2. Chalkley, M.E.dkk. Hydrometallurgy and Refining of Nickel and Cobalt. Proceeding of

Nickel-Cobalt 97 International Symposium-Volume 1, August 17-20, 1997, Sudbury, Ontario, Canada. 36th Conference of Metallurgist of CIM. 27th Hydrometallurgical Meeting of CIM. “The Acid Pressure Leach Process for Nickel and Cobalt Laterite, Part I : Review of Operation at Moa”.

3. Dalvi, Ashok D. dkk. PDAC 2004 International Convention Trade Show & Investors Exchange, March 7 – 10, 2004. “The Past and The Future of Nickel Laterite”, INCO Limited, 2060 Flavelle Boulevard, Sheridan Park, Mississauga, Ontario L5K 1Z9 Canada.

4. Data data lepas tentang pulau Gag. 5. Elias, Mick. Principal Consultant CSA Global. “Nickel Laterites in SE Asia”. Geology,

Technology and Economics – Finding the Balance. Bali 2013. East Asia : Geology, Exploration Technologies and Mines. May 27, 2013.

6. Habashi, Fathi. Extractive Metallurgy of Copper, Nickel, and Cobalt, Proceeding of the Paul E.Queneau International Symposium 1993. “Nickel in Cuba”.

7. Jansson, Martin. “ From Indo to China and back again”. Handelsbanten Capital Market. Commodity Strategy, June 25, 2014.

8. Kyle, J.H. dkk. Hydrometallurgy and Refining of Nickel and Cobalt, Proceeding of Nickel-Cobalt 97 International Symposium-Volume 1, August 17-20, 1997, Sudbury, Ontario, Canada. 36th Conference of Metallurgist of CIM. 27th Hydrometallurgical Meeting of CIM. “The Cawse Nickel/Cobalt Laterite Project Metallurgical Process Development”.

9. Lennon, Jim. May 11, 2007. The Chinese Nickel Outlook And The Role of Nickel Pig Iron. Presentation to International Nickel Study Group. Macquarie Research Commodities.

10. Llerin, James Elson dkk. “Coral Bay Nickel HPAL Plant Expantion Project”, ALTA 2011 Free Paper, Australia.

11. Lynch, John. Technical Report in Accord With National Instrument 43-101, October 13, 2004, Weda Bay Minerals Inc. “Mineral Resources Estimate Increase for the Weda Bay Nickel Cobalt Project, Halmahera Island, Indonesia”.

12. Motteram, G. dkk. Hydrometallurgy and Refining of Nickel and Cobalt, Proceeding of Nickel-Cobalt 97 International Symposium-Volume 1, August 17-20, 1997, Sudbury, Ontario, Canada. 36th Conference of Metallurgist of CIM. 27th Hydrometallurgical Meeting of CIM. “Application of the Pressure Acid Leach Process to Western Australian Nickel/Cobalt Laterite”.

13. Prado, L Faustino. 2004. ”Sixty Years of Caron : Current Assesment”, International Laterite Nickel Symposium 2004. Edited by W.P Imrie and D.M. Lane. TMS (The Minerals, Metals & Materials Society). March 14 – 18.

14. Rustiadi. Kegiatan Program Insentif Bagi Peneliti & Perekayasa LIPI, DIKTI – LIPI, Laporan akhir tahun 2009. “Identifikasi Mineralogi Bijih Nikel Laterit Kadar Rendah Halmahera Serta Kemungkinan Pengolahannya Kedepan”.

15. Taylor, Alan. “ALTA : 20 Years As A Window Into The World Of PAL”. ALTA 2015 Nickel – Cobalt – Copper Proceedings. ALTA 2015 Free Paper, Australia.

Page 34: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 21

16. The Cofremmi Acid Leach Process For Laterite Ores, COFREMMI S.A, Compagnie Francaise d’Entreprises minieres, Metallurgi ques et d’Investissements.

17. Tsuchida, N dkk. 2004.”Development of Process Design For Coral Bay Nickel Project”, International Laterite Nickel Symposium 2004. Edited by W.P Imrie and D.M. Lane. TMS (The Minerals, Metals & Materials Society). March 14 – 18.

18. Tsuchida, N. 2015. ”HPAL IN Past, Present, AND Future”, ALTA 2015 Nickel – Cobalt – Copper Proceedings. ALTA 2015 Free Paper, Australia.

19. Wicker, Gordon R., Jha, Mahesh C., “Developments in the AMAX-COFREMMI Acid Leach Process for Nickel Laterites”, 25th Annual Conference of Metallurgist of CIM, Toronto Canada, August 17 – 20, 1986.

20. Wedderburn, Bruce., “Nickel Laterite Processing A Shift Towards Heap Leaching”, ALTA Conference May 2009.

Page 35: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

22 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

Page 36: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 23

REDUKSI PELET KOMPOSIT KONSENTRAT PASIR BESI MENGGUNAKAN REDUKTOR BED BATUBARA DENGAN METODE

ISOTERMAL-GRADIEN TEMPERATUR

Ferdinand Lo1*, Zulfiadi Zulhan2

1,2Program Studi Teknik Metalurgi – Institut Teknologi Bandung E-mail: [email protected], [email protected]

Abstrak

Pada penelitian ini dipelajari proses reduksi pelet komposit konsentrat pasir besi dengan menggunakan metode isotermal-gradien temperatur. Penelitian dimulai dengan karakterisasi awal bahan baku seperti konsentrat pasir besi, batubara, dan bentonit dengan XRD, XRF, dan analisis proximate batubara. Ketiga bahan tersebut lalu diaduk hingga homogen dan diaglomerasi dalam bentuk pelet komposit. Pelet komposit kemudian dikeringkan selama 24 jam dan dilanjutkan dengan proses reduksi menggunakan reduktor bed batubara. Proses reduksi dimulai pada tahap isotermal 980°C dengan variasi waktu tinggal selama 20, 40, dan 60 menit. Tahap berikutnya dilanjutkan dengan reduksi gradien temperatur menuju 1380°C, dan setelahnya ditahan selama 20 menit pada temperatur akhir. Sampel pelet komposit dikeluarkan dari muffle furnace setiap 20 menit sekali untuk melihat perubahan dan fenomena yang terjadi. Produk akhir reduksi setelah itu dianalisis menggunakan analisis kimia dengan titrasi untuk menentukan Fe total dan Fe metal, XRD, dan X-ray mapping. Hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan pada temperatur 1380°C, muncul nugget besi pada bagian luar pelet. Besi logam akan bermigrasi menuju permukaan luar pelet membentuk nugget, sedangkan oksida titanium serta pengotor lainnya akan tetap berada pada bagian dalam pelet.

Kata kunci: Pasir Besi, Pelet Komposit, Reduksi, Isotermal-Gradien Temperatur, Metalisasi, Nugget Besi PENDAHULUAN

Industri besi baja merupakan salah satu aspek yang cukup hangat dan penting untuk dibicarakan saat ini. Perkembangan industri besi baja di sebuah negara dapat menjadi sebuah tolak ukur kemajuan negara tersebut. Hal ini tentunya dapat dilihat dari dominasi penggunaan besi dan baja dalam kehidupan manusia mulai dari skala rumah tangga hingga skala industri. Pada tahun 2013 lalu, menurut SEAISI[1], konsumsi baja Indonesia mencapai 13 juta ton dan diperkirakan akan terus meningkat hingga 27 juta ton pada tahun 2020. Namun angka yang konsumsi yang tinggi ini tidak sebanding dengan kemampuan produksi baja nasional. Produksi baja nasional pada tahun 2013 hanya mencapai 5 juta ton[2], sehingga Indonesia mengimpor hingga 60% total kebutuhan baja untuk memenuhi kebutuhan baja nasional. Sungguh merupakan suatu fakta yang ironis mengingat Indonesia merupakan negeri yang memiliki sumber daya alam yang melimpah.

Pemanfaatan dan pengolahan bijih besi yang terdapat di Indonesia dapat menjadi solusi atas permasalahan yang telah diungkapkan di atas. Menurut Laporan Pemutakhiran Data dan Neraca Sumber Daya Mineral[3], pada tahun 2013, Indonesia memiliki cadangan 65 juta ton bijih besi primer, 424 juta ton bijih besi laterit, dan 174 juta ton pasir besi. Namun, sayangnya sumber daya yang melimpah ini belum dapat dimanfaatkan secara optimal. Keterbatasan fasilitas dan teknologi pengolahan membuat Indonesia mengekspor secara besar-besaran kekayaaan alamnya dalam bentuk mineral mentah tanpa peningkatan nilai tambah ke luar negeri. Ironisnya, negara lain yang menerima kekayaan alam Indonesia tersebut dapat mengolahnya menjadi produk yang bermanfaat dan akhirnya menjualnya kembali kepada Indonesia dengan harga yang lebih tinggi.

Hal ini lalu disadari sebagai sebuah kesalahan, sehingga ke depannya kemandirian Indonesia dalam bidang pengolahan sumber daya mineral harus diperjuangkan, salah satunya dengan penerbitan UU No 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara. Salah satu komoditas yang menjadi pusat perhatian dari diimplementasikan peraturan ini adalah pasir besi. Hingga saat ini, proses pengolahan pasir besi di Indonesia masih dalam tahap peningkatan kadar

Page 37: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

24 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

melalui proses magnetic separator, tanpa ada pengolahan dan peningkatan nilai tambah lebih lanjut.

Teknologi teruji pengelolaan pasir besi di dunia sampai saat ini masih mengacu kepada teknologi di New Zealand Steel[4] yang menerapkan rangkaian teknologi multihearth furnace, rotary kiln, dan electric arc furnace. Namun, tentunya kondisi sumber daya pasir besi Indonesia yang berbeda membutuhkan penyesuaian sehingga nantinya teknologi ini dapat diterapkan di dunia industri untuk menjamin kemandirian bangsa ini dalam pengolahan sumber daya mineral. Oleh karena itu, penelitian secara lebih mendalam tentang teknologi pengelolaan dan peningkatan nilai tambah pasir besi yang efektif serta efisien untuk bangsa ini dibutuhkan untuk mendukung kemandirian industri besi baja nasional.

METODE PERCOBAAN

Pasir besi yang digunakan berupa konsentrat berasal dari Sukabumi, Jawa Barat dan komposisi kimia ditunjukkan pada Tabel 1. Pasir besi, batubara, dan bentonit diaduk dengan kebutuhan 30% batubara dari massa konsentrat pasir besi dan bentonit sebanyak 2% dari massa total. Campuran ini kemudian diaglomerasi dalam bentuk pelet komposit menggunakan rotating disc pelletizer hingga didapat pelet berukuran 15-17 mm. Setelah itu, pelet dikeringkan untuk menghilangkan uap air. Pelet dimasukkan dalam krusibel 15 ml seperti yang diperlihatkan pada Gambar 1. Proses reduksi menggunakan metode isotermal- gradien temperatur dengan reduktor bed batubara dengan profil waktu dan temperatur ditunjukkan pada Gambar 2.

Tabel 1. Komposisi kimia konsentrat pasir besi

Gambar 1. Skematik pelet dalam krusibel

Gambar 2. Pola temperatur dan waktu yang digunakan pada percobaan

Proses reduksi dimulai pada tahap isotermal 980°C dengan variasi waktu tinggal

selama 20, 40, dan 60 menit. Tahap berikutnya dilanjutkan dengan reduksi gradien temperatur

Si Al Fe Ti K Ca Mn Mg P Zn O 0,01%

1,25%

59,18%

6,00%

0,01%

0,14%

0,39%

1,16%

0,03%

0,05%

31,79%

Page 38: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 25

menuju 1380°C, dan setelahnya ditahan selama 20 menit pada temperatur akhir. Sampel pelet komposit dikeluarkan dari muffle furnacesetiap 20 menit sekali untuk melihat perubahan fenomena yang terjadi. Produk akhir reduksi setelah itu dianalisis menggunakan analisis kimia dengan titrasi untuk menentukan Fe total dan Fe metal, XRD, dan X-Ray Mapping. HASIL DAN PEMBAHASAN Penggunaan Metode Isotermal-Gradien Temperatur pada Pelet Komposit

Penggunaan metode isotermal - temperatur gradien pada penelitian ini memakai temperatur isotermal 980ºC. Temperatur ini dipilih berdasarkan penelitian Adhiwiguna[5] yang menyebutkan bahwa berdasarkan hasil TG/DTA dan XRD dari sampel campuran konsentrat pasir besi dan batubara, pada temperatur antara 900-1000ºC didapatkan proses reduksi telah berlangsung relatif sempurna untuk menghasilkan besi. Penelitian menggunakan metode isotermal-gradien temperatur yang dilakukan oleh Suryani[6] menyatakan bahwa produk hasil reduksi menghasilkan besi spons yang memiliki lubang pada bagian tengah pelet. Produk akhir yang dihasilkan juga memiliki tekstur yang padat dan keras. Di samping itu, pelet yang telah direduksi menunjukkan pola topo-chemical di mana bagian dalam pelet berwana lebih gelap dibanding lapisan luar dari pelet. Hal ini menjelaskan bahwa besi bagian luar telah menjadi logam sedangkan pada bagian dalam masih dalam bentuk oksida. Namun, pada penelitian ini didapatkan hasil yang berbeda. Produk akhir dari reduksi pelet komposit menggunakan metode isotermal-gradien temperatur menghasilkan pelet yang poros dan memiliki tekstur yang rapuh. Pada reaksi reduksi pelet komposit konsentrat pasir besi, reaksi berlangsung secara non-topochemical. Fenomena unik lain juga terjadi di permukaan luar pelet, dimana nugget logam dapat ditemukan seperti yang diperlihatkan pada Gambar 3b. Perbandingan hasil penelitian yang dilakukan Suryani[6] dengan penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Perbandingan pelet hasil reduksi

Perbedaan hasil ini disebabkan karena pada penelitian yang dilakukan oleh Suryani[6]

digunakan pelet konsentrat pasir besi murni dengan binder bentonit, sedangkan pada penelitian ini digunakan pelet komposit yang terdiri dari konsentrat pasir besi, batubara, dan bentonit. Morfologi non-topochemical terjadi pada pelet komposit konsentrat pasir besi karena batubara yang berada di dalam pelet komposit telah teraduk secara homogen dengan pasir besi. Hal ini menyebabkan reaksi reduksi pasir besi terjadi hampir bersamaan di setiap titik di dalam pelet komposit. Tahapan yang berbeda terjadi pada reaksi reduksi pelet konsentrat pasir besi murni, di mana reaksi reduksi berlangsung secara bertahap dari permukaan luar menuju ke dalam pelet. Selama proses reduksi, batubara yang berada di dalam pelet akan kehilangan karbon, volatile matter, dan ash. Pada akhir reduksi, pelet komposit akan memiliki banyak rongga di dalamnya yang menyebabkan pelet produk akhir pada

Page 39: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

26 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

penelitian ini memiliki struktur yang berongga dan rapuh. Di samping itu, besi metal dalam fasa liquid lebih mudah untuk menerobos keluar permukaan pelet karena adanya rongga-rongga tersebut.

Mekanisme Reduksi Pelet Komposit Konsentrat Pasir Besi

Penentuan mekanisme reduksi pelet konsentrat pasir besi dilakukan dengan uji X-Ray Diffraction (XRD) seperti yang diperlihatkan pada Gambar 4. Sampel yang dilakukan uji XRD terdiri dari sampel konsentrat pasir besi tanpa perlakuan, sampel yang diambil keluar dari muffle furnace pada suhu 980°C, 1113°C, 1247°C, dan 1380°C. Hal ini dilakukan untuk melihat perubahan senyawa yang terjadi pada tiap tahapan dalam proses reduksi menggunakan metode isotermal-gradien temperatur.

Gambar 4. Hasil XRD tiap tahapan reduksi

Hasil analisis XRD menunjukkan bahwa mineral yang dominan pada pasir besi tanpa

perlakuan merupakan magnetit (Fe3O4). Senyawa titanium tidak terbaca pada hasil XRD karena titanium masih membentuk solid-state solution dengan magnetit. Namun, ketika pelet direduksi pada suhu 980ºC, mulai terbaca senyawa titanium dalam bentuk titanomagnetite (Fe3-xTixO4). Hal ini disebabkan karena ikatan titanium dengan magnetit mulai putus. Pada suhu 980°C juga terbaca Fe metal karena adanya proses reduksi pasir besi menggunakan batubara. Pada suhu 1113°C, terbaca senyawa ilmenit (FeTiO3). Senyawa Rutil (TiO2) mulai terbaca pada suhu 1247°C, hal ini menunjukkan bahwa ikatan Ti mulai putus sepenuhnya dengan senyawa Fe.

Analisis XRD juga dilakukan pada Nugget besi dan terak untuk memahami secara lebih mendalam mengenai senyawa yang terbentuk. Hasil XRD menunjukkan bahwa pada terak masih terdapat Fe metal, TiO2, dan FeTiO3. Pada Nugget besi, senyawa yang dominan adalah Fe metal dan Fe karbida (Fe3C). Hasil analisis XRD secara keseluruhan menunjukkan bahwa pasir besi tereduksi menjadi Fe metal dan Fe3C, di mana pada pemisahan pengotor dan besi terjadi pada suhu 1380°C. Pengotor seperti TiO2 dan senyawa selain besi terdapat pada terak, sedangkan Fe metal dan Fe3C bermigrasi membentuk nugget yang terbentuk pada permukaan pelet hasil reduksi. Pada hasil uji XRD, tidak terlihat adanya puncak dari wustit dan Fe2TiO4. Hal ini disebabkan karena wustit dan Fe2TiO4 yang terbentuk langsung tereduksi dengan cepat menjadi besi metal dan ilmenit.

Page 40: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 27

Secara keseluruhan, hasil perubahan senyawa yang terjadi selama proses reduksi pelet komposit pasir basi dalam penelitian ini serupa dengan penelitian yang dilakukan oleh Sun et al[7] dan Hu et al[8] dimana perubahan senyawa yang terjadi adalah sebagai berikut:

Fe3-xTixO4→ FeO+Fe2TiO4→ Fe+Fe2TiO4→ Fe+FeTiO3→ Fe+FeTi2O5 → Fe+TiO2 Pada penelitian ini, mekanisme reduksi pasir besi dapat dilihat secara skematik pada

Gambar 5.

Gambar 5. Alur reduksi konsentrat pasir besi

Hubungan Persen Metalisasi terhadap Waktu dan Temperatur Reduksi

Nilai persen metalisasi dapat diperoleh dari pembagian nilai Fe metal dan Fe total yang diperoleh dari analisis kimia melalui titrasi. Nilai persen metalisasi yang dilakukan secara triplo kemudian dihitung rata-ratanya dan juga dihitung standar deviasinya. Hubungan antara persen metalisasi terhadap waktu reduksi ditunjukkan pada Gambar 6.

Gambar 6. Hubungan persen metalisasi terhadap waktu reduksi

Pada Gambar 6 dapat terlihat bahwa nilai persen metalisasi cenderung untuk naik

seiring dengan bertambahnya waktu reduksi. Persen metalisasi tertinggi dicapai sebesar 99,20% pada temperatur 1380ºC dengan waktu penahanan selama 20 menit yang sebelumnya diikuti dengan perlakuan reduksi 980°C dengan waktu tinggal 60 menit. Penelitian ini menganalisis pengaruh variasi waktu terhadap persen metalisasi baik itu pada waktu tinggal di temperatur awal 980°C maupun waktu penahanan ketika reduksi mencapai temperatur akhir 1380ºC. Berdasarkan Gambar 6 dapat terlihat bahwa waktu penahanan selama 20 menit ketika mencapai temperatur akhir 1380ºC memberikan pengaruh pada kenaikan nilai persen metalisasi. Namun, kenaikan persen metalisasi tersebut bukanlah kenaikan yang signifikan. Hal ini dapat dilihat dari kemiringan kurva yang landai pada selang waktu 20 menit setelah mencapai 1380ºC. Gambar 7 dapat menjelaskan pengaruh dari variasi waktu tinggal selama 20, 40, dan 60 menit pada temperatur 980ºC. Berdasarkan Gambar 7 terlihat bahwa tanpa

Page 41: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

28 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

memperdulikan pengaruh waktu penahanan pada temperatur 980ºC, persen metalisasi pada suhu di atas 980ºC memiliki nilai yang berdekatan satu sama lain. Pada Gambar 7 juga terlihat bahwa nilai persen metalisasi pada perlakuan reduksi 980°C dengan waktu tinggal 20 menit yang diperkirakan akan memiliki nilai metalisasi yang rendah, ternyata dapat langsung mengejar nilai persen metalisasi perlakuan reduksi 980°C dengan waktu tinggal 40 dan 60 menit. Hal ini terlihat dari kemiringan grafik berwarna biru yang begitu curam pada selang 980ºC hingga 1113ºC.

Gambar 7. Hubungan persen metalisasi terhadap temperatur reduksi

Berdasarkan Gambar 6 dan Gambar 7, dapat terlihat bahwa perlakuan waktu

penahanan pada 980ºC dan 1380ºC tidak terlalu berpengaruh pada persen metalisasi. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa reduksi pada tahap temperatur gradien menuju 1380ºC lebih berpengaruh daripada reduksi isotermal dengan variasi waktu penahanan pada temperatur 980ºC. Perhitungan persen metalisasi juga dilakukan dengan perangkat lunak Factsage. Pada Gambar 8 dapat dilihat bahwa nilai persen metalisasi cenderung naik sejalan dengan naiknya temperatur. Hal yang serupa juga ditemui pada percobaan ini, baik pada variasi waktu tinggal 20, 40, dan 60 menit pada reduksi awal suhu 980ºC. Hasil yang ditunjukkan oleh perhitungan Factsage terlihat stabil pada nilai 99% dalam rentang 1000ºC-1400ºC. Hal ini disebabkan karena Factsage mensimulasikan sebuah reaksi hanya secara termodinamika tanpa memperhitungkan kinetika reaksi tersebut.

Gambar 8. Perbandingan persen metalisasi terhadap perhitungan Factsage

Pemisahan Besi dengan Oksida Titanium

Pasir besi sebagai bahan baku alternatif dalam proses pembuatan besi dan baja masih memiliki beberapa aspek permasalahan dalam penentuan teknologi yang sesuai serta efisien untuk proses pengolahannya. Salah satu permasalahan yang cukup rumit adalah pemisahan besi dari unsur-unsur pengotornya. Titanium yang umumnya berada dalam bentuk titanium oksida yang merupakan salah satu pengotor dalam proses reduksi pasir besi menimbulkan

Page 42: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 29

permasalahan yang cukup rumit dalam proses reduksi pasir besi. Seperti yang dituliskan pada bagian-bagian sebelumnya bahwa titanium (IV) oksida akan ikut tereduksi menjadi titanium karbida (TiC) dan titanium (II) oksida yang membuat titik leleh logam menjadi tinggi dan juga menghasilkan terak yang kental. Titik leleh logam yang tinggi membuat proses pengolahan menjadi sulit karena lelehan logam tidak dapat di-tapping serta energi yang dibutuhkan menjadi lebih tinggi untuk. Di samping itu, titik leleh logam yang tinggi membuat umur tanur menjadi tidak tahan lama, karena tanur harus mampu bekerja pada temperatur yang lebih tinggi dari biasanya.

Metode reduksi konsentrat pasir besi yang digunakan oleh Sasabe[9] menunjukkan bahwa besi dapat terpisah dari pengotornya terutama titanium oksida. Hal yang serupa juga terjadi pada penelitian yang dilakukan oleh Suryani[6] yang dilakukan melalui metode isotermal-gradien temperatur, dimana besi akan bermigrasi ke bagian permukaan luar pelet, sedangkan pengotor akan berpindah di bagian dalam pelet. Pada penelitian ini, terlihat juga fenomena yang serupa, namun besi akan terbentuk menjadi nugget di permukaan luar pelet. Pemisahan besi dengan pengotor hanya terjadi pada temperatur 1380°C yang terlihat dari penampakan fisik pelet, dimana nugget besi baru mulai terbentuk ketika temperatur mencapai 1380°C.

Hasil X-ray mapping untuk pelet komposit yang telah direduksi pada temperatur 980°C dengan waktu tinggal selama 60 menit diperlihatkan pada Gambar 9 dimana unsur besi dan titanium masih tersebar secara merata pada bagian penampang permukaan pelet. Hal ini ditunjukkan dengan warna merah muda yang mendominasi pada bagian besi dan titanium. Hasil EDX menghasilkan nilai unsur besi sebesar 49,91 % dan titanium sebesar 11,16 %.

Gambar 9. X-Ray Mapping sampel 980°C dengan perbesaran 30x

Pada temperatur 1380ºC terbentuk nugget dan terak. Hasil X-ray mapping untuk

bagian terak pada temperatur 1380ºC diperlihatkan pada Gambar 10 dimana persebaran besi semakin sedikit dan didominasi oleh titanium. Besi terkonsentrasi pada satu bagian saja di bagian menuju pusat pelet. Titanium dalam bentuk oksida masih tersebar di bagian terak. Hal ini juga didukung dengan nilai EDX yang menunjukkan hasil untuk besi sebesar 24,48 % dan untuk titanium sebesar 24,36 %.

Gambar 10. Hasil uji x-ray mapping sampel terak 1380°C dengan perbesaran 30x

Page 43: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

30 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

Hasil X-ray mapping untuk bagian nugget pada temperatur 1380ºC diperlihatkan pada Gambar 11. Pada bagian nugget, hal yang terlihat merupakan kebalikan dari hasil terak. Uji SEM-EDX pada nugget dilakukan dalam bentuk serbuk. Nugget yang diperoleh dari hasil reduksi, digerus terlebih dahulu menggunakan Ring Mill. Pada Gambar 11 dapat dilihat bahwa unsur besi tersebar dengan banyak dan merata, sedangkan persebaran titanium terlihat sangat sedikit. Hasil EDX juga menunjukkan bahwa nilai titanium sebesar 0,88 %, sedangkan nilai besi sebesar 61,12%.

Gambar 11. Hasil uji x-ray mapping sampel nugget 1380°C dengan perbesaran 200x

Analisis Persen Ekstraksi dan Fe Total

Pada Gambar 12 dapat dilihat bahwa pada penelitian ini besi yang berhasil terekstrak dalam bentuk nugget yang muncul di permukaan pelet rata-rata berada pada rentang 46-67%. Adapun nilai persen ekstraksi besi paling tinggi sebesar 66,56% yang diperoleh pada perlakuan reduksi awal 980ºC dengan waktu tinggal 40 menit, yang dilanjutkan menuju suhu 1380ºC dengan penahanan selama 20 menit. Untuk memperoleh nilai persen ekstraksi besi yang lebih tinggi, diperlukan temperatur akhir reduksi yang lebih tinggi ataupun waktu penahanan pada temperatur akhir yang lebih lama.

Perhitungan neraca massa proses reduksi pelet komposit konsentrat pasir dapat dilihat pada Gambar 13. Prinsip utama neraca massa adalah massa yang masuk sama dengan massa yang keluar. Pada neraca massa di atas digunakan besi sebagai basis perhitungan. Pada neraca massa tersebut terlihat bahwa massa besi yang masuk sebesar 2,15 gram hampir sama dengan massa besi produk dari proses sebesar 2,09 gram. Berdasarkan prinsip neraca massa tersebut, maka dapat dibuat grafik persebaran besi dan pengotor dalam setiap tahap reduksi pelet komposit pasir besi. Grafik persebaran besi dengan pengotor pada tiap tahap reduksi dapat dilihat pada Gambar 14.

Gambar 12. Perbandingan ekstraksi besi di nugget dan terak

Page 44: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 31

Gambar 13. Neraca massa proses reduksi pasir besi komposit

Pada Gambar 14 dapat dilihat persebaran besi dan pengotor selama proses reduksi.

Sebelum pelet komposit direduksi, kandungan pengotor serta karbon sebanyak 53% dan besi sebanyak 47%. Seiring dengan naiknya temperatur, volatile matter dari batubara yang berada di dalam pelet komposit menguap. Mineral-mineral oksida tereduksi yang menyebabkan ikatan dengan oksigen putus yang berakibat terhadap pengurangan massa dari pelet komposit. Hal inilah yang menyebabkan kandungan besi di dalam pelet komposit akan semakin besar, sedangkan pengotor akan semakin kecil. Pada suhu 1380ºC, ketika pelet komposit terbagi menjadi nugget dan terak, besi bermigrasi keluar permukaan pelet membentuk nugget besi. Pada Gambar 14 dapat dilihat bahwa pada bagian nugget, besi mendominasi kandungan berat sebesar 88%, sedangkan pengotor hanya tersisa sebesar 12%. Berbeda dengan bagian terak, jumlah kandungan besi dan pengotor berimbang yaitu sebesar 53% dan 47%. Hal ini sesuai dengan hasil XRD, X-ray mapping, dan perhitungan persen ekstraksi, dimana pada bagian terak masih cukup banyak terdapat besi, sehingga tahap berikutnya perlu diadakan penelitian lebih lanjut untuk memaksimalkan proses reduksi dengan metode isotermal-gradien temperatur supaya dapat dihasilkan persen ekstraksi besi yang lebih tinggi.

Gambar 14. Persebaran besi dengan pengotor selama proses reduksi

Page 45: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

32 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

KESIMPULAN Berdasarkan serangkaian percobaan dan pembahasan yang telah dilakukan, maka

dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Penggunaan metode isotermal-gradien temperatur pada pelet komposit pasir besi

menghasilkan produk akhir berupa nugget besi dan terak pada temperatur 1380ºC. Reaksi reduksi yang terjadi merupakan reaksi non-topochemical.

2. Mekanisme reduksi konsentrat pasir besi terlihat dari perubahan senyawa yang terjadi selama proses reduksi, yaitu sebagai berikut: Fe3O4 → Fe → Fe3C dan Fe3O4 → Fe3-

xTixO4 → FeO +Fe2TiO4 → Fe + Fe2TiO4 → Fe + FeTiO3 → Fe + TiO2 → Fe3C + TiO2. 3. Proses reduksi lebih dipengaruhi oleh tahap reduksi gradien menuju temperatur 1380ºC

dibandingkan pada tahap reduksi isotermal di 980ºC. Hal ini terlihat dari variasi waktu tinggal pada 980ºC yang ternyata tidak memberikan dampak yang signifikan pada kenaikan persen metalisasi.

4. Proses reduksi isotermal-gradien temperatur pada pelet komposit menyebabkan besi terpisah dari oksida titanium dan pengotor lainnya. Bagian nugget didominasi oleh logam besi, sedangkan bagian terak didominasi oleh oksida pengotor dan masih terdapat besi di dalamnya. Adapun persen ekstraksi besi rata-rata pada bagian nugget diperoleh sebesar 57,63%.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Kemenristekdikti yang telah mendanai penelitian ini melalui program pengembangan IPTEK dengan Judul Pemisahan Besi Logam dan Oksida dari Pelet/Briket Pasir Besi Menggunakan Reduktor Bed Batubara pada Temperatur ≤1400 oC dan PT Sumber Baja Prima yang telah memberikan bahan percobaan. DAFTAR PUSTAKA 1. Yong, T.A. Performance of the ASEAN Iron and Steel Industry in 2014 and Outlook.

South East Asia Iron and Steel Institute (SEAISI). 2015. 2. Indonesian Iron and Steel Industry Association (IISIA). Peranan dan Prospek Industri

Baja Nasional.FGD Penyelarasan Road Map Industri & Pasar Baja Nasional. 2015. 3. Tim Pemutakhiran Data Mineral.Laporan Pemutahiran Data dan Neraca Sumber Daya

Mineral. Pusat Sumber Daya Geologi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, 34/INF/BGD/2013. 2013.

4. Informasi dari http://nzic.org.nz/ ChemProcesses/metals/8A.pdf. TheManufacture of Steel. Diunduh pada 18 Agustus 2015.

5. Sumbranang A., Karakterisasi dan reduksi pelet tekan silinder konsentrat pasir besi pada temperatur 600-1000ºC, Tugas Akhir, Program Studi Sarjana Teknik Metalurgi, Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan, Institut Teknologi Bandung, Bandung,2014.

6. Suryani, I. Reduksi Pelet Konsentrat Pasir Besi Menggunakan Reduktor Bed Batubara dan Aditif Na2CO3 dengan Metode Isotermal - Gradien Temperatur. Tugas Akhir, Program Studi Sarjana Teknik Metalurgi, Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan, Institut Teknologi Bandung, Bandung. 2015.

7. She, X.F., Sun, H.Y., Dong, X.J., Xue, Q.G., Wang, J.S. Reduction Mechanism of Titanomagnetite Concentrate by Carbon Monoxide, Journal of Mining and Metallurgy, Section B : Metallurgy 49 (3) B (2013) 263 - 270. 2013.

8. Hu, T., Lv. X., Bai, C.G., Lun Z., Qiu, G.B., Reduction Behavior of Panzhihua Titanomagnetite Concentrates with Coal, International Journal of Mineral Processing.2015

9. Sasabe, T.,Process For Separating Non-Molten Slag from Titanium-containing Iron Sand. United States Patent 3218152. 1965.

Page 46: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 33

PENGARUH PENAMBAHAN CaCO3 TERHADAP PELARUTAN ALUMINIUM DAN SILIKA REAKTIF DALAM LARUTAN NATRIUM

ALUMINAT

Dessy Amalia*, Tatang Wahyudi, Husaini Puslitbang Teknologi Mineral dan Batubara Jalan Jenderal Sudirman No. 623, Bandung

*E-mail: [email protected]

Abstract Reactive silica within lateritic bauxite dissolves in NaOH solution, reacted with sodium aluminate and

precipitated forms desilication product (DSP) such as sodalite. The ability of calcium carbonate (CaCO3) as desilication agent has been used in this experiments. The -60 mesh washed bauxite is reacted with 129 g/L NaOH solution (1.5 stoichiometry) and CaCO3-containing Whitton 800 addition based on the ratio of reactive silica to CaCO3 namely, 1:1; 1:1.5 and 1:2. Digestion process is performed in autoclave at certain temperatures (140, 150 and 160C) for 15, 30, 45 and 60 minutes. The experiment result shows that the SiO2 concentration in sodium aluminate solution can be reduced to 0.01 g/L SiO2 by adding whitton 800 1.5 times the SiO2 content in -60-mesh washed bauxite. Such a result provides less SiO2 content compared to that conducted by Noworyta. A 7.1-g CaO of Noworyta experiment presents 0.02 g/L SiO2. The research showed that Whitton 800 has ability as desilicating agent that can be reduce dissolve silica to 99.27%. However, the performance only got 91.28% of extracted Al. Based on such a fact, it is still required several experiments using various feed size to get the optimum condition. Keywords: CaCO3, SiO2 concentration, Al percentage INTRODUCTION

Commercially, aluminium extaction from bauxite into sodium aluminate is proceed through digestion in Bayer Process untill now. Several efforts has been done to get higher extraction percentage of sodium aluminate. Some efforts are dealing with reduction of NaOH consumption and dissolution of silicate.

Silicate materials in lateritic bauxite occur as kaolinite and halloysite (Bardossy, 1990). The former will dissolve in NaOH solution as digestion process that based on reaction as follow:

3 Al2Si2O5(OH)4 + 18 NaOH 6 Na2SiO3 + 6 NaAl(OH)4 + 3H2O Dissolved silica is then precipitated to form desilication product (DSP) such as

sodalite through a following reaction: 6 Na2SiO3 + 6 NaAl(OH)4+ Na2XNa6[Al6Si6O24].Na2X +12 NaOH + 6H2O

The X represents various anorganic anionssuch as sulfate, carbonate, chloride, aluminate and hydroxide (Smith, 2009). The DSP causes scaling to the operation unit usually to theheat exchanger tube (Jamialahmadi dan Müller-Steinhagen, 1998). Such a material owns structure similar to zeolite, however, it depends on its dissolution temperature and dissolved Al and Si concentrations that will result in various Al2O3.SiO2 ratios. Each Al3+replaces Si4+in its crystal lattice, where the single ion Na+is required to neutralize the charges (Habashi, F, 1997). DSP formation can reduce Na+ that should be reacted with Al3+ within the gibb site.

To prevent Na+reaction to Al3+in DSP formation, addition of additive material as a binder to reactive silica can be conducted to form quite small solubility compound such as calcium alumino silicate. Some additive materials to be used for this purpose include lime compounds such as calcium oxide (CaO) and calcium hydroxide (Ca(OH)2). Noworyta (1981) applied 7.1 gram/L CaO and is able to reduce dissolved SiO2 until <0.02 g/L. Lime derivatives compound with high desilication capacity are 4CaO·A12O3·CO2·11H2O and tricalcium hydroaluminate (C3AH6: 3CaO·A12O3·6H2O). The former is made from Ca(OH)2 while the later from CaO. Another compound that can be used for desilication process is

Page 47: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

34 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

Friedel's salt (3CaO·A12O3·CaCl2·10H2O). It has ion exchange capacity to silicate in synthetic sodium aluminate and can reduce more than 95% of dissolved silica. The Friedel’s salt is more effective than CaO due to its hydrated crystal structure. Silica will attached with FS-forming DSP of calcium alumina-silicate chloride known as chabazite dan wadalite (Ma et al, 2009).

CaSO4·2H2O is another alternative material for desilication process that is cheap and abundant. It is proved that the material retains high desilication capacity in synthetic sodium aluminate. Desilication process is held in 90C within 300g/L NaOH. Initial concentration of Al and Si are 100 g/L and 6 g/Lrespectively and the CaSO4·2H2O dosage is 40 g/L. Such condition can reduce dissolved silica more than 95% (Ma et al., 2011). The DSP form is identified as alumina-silicate-sulfate and called hauyne and lazurite.

A preliminary desilication research used Whiton 800 – a reagent brand name containing CaCO3. The research was conducted by Amalia and Aziz (2011). Desilication occurs along with digestion process in 129 g/L NaOH and 140C for 2 hours. CaCO3 addition was two times larger than that of stoichiometry amounts of reactive silica content in bauxite. The produced sodium aluminate solution contains dissolved silica concentration much less than the solution produced without CaCO3 addition. The dissolved silica decreased until 93.97%. The result shows that CaCO3 is a potential desilication agent.

Indirect CaCO3 consumption as desilication agent has been studied by Amer (2013). The experiment applies Na2CO3 as reactant and Ca(OH)2 as desilication material. Chemical reactions that occur in the process are illustrated as follow:

Na2CO3+ Ca(OH)2 → 2NaOH+ CaCO3

Al2O3.3H2O + 2NaOH → 2NaAlO2 + 4H2O SiO2 + 2NaOH → Na2SiO3 + H2O

Na2SiO3 + CaCO3 → CaSiO3 + Na2CO3

Last reaction shows that CaCO3 reacts with sodium silicate to produce calcium

silicate. This means that CaCO3 is the real desilication agent. Optimum concentration of Na2CO3 for 0.3 M provides the optimum result.

Sodium silicate produced from kaolinite and NaOH reaction will react with sodium aluminate in conventional Bayer process to form sodium silikon aluminum hydrate hydroxysodalite or HS (3[Na2O·Al2O3·2SiO2]·2NaOH.aH2O) – the a depends on the amount of water crystal available within material pores. If the reactive CaO is added, the Ca-containing product will develop into cancrinite or Ca-CAN [3(Na2O·Al2O3·1.8SiO2)·1.42CaCO3·2.4H2O] or hydrogamet known as HG[(Ca3Al2(SiO4)n(OH)(12-4n)] where n < 0.8. The HG formation can reduce dissolved silica content in sodium aluminate solution. Transformation of HS or Ca-CAN to HG because the presence of CO3

2- ions in solution (Pan et al., 2012). Therefore, CaCO3 can be effective as desilication agent. Possible reaction in desilication using CaCO3 is as follows:

NaAl(OH)4 + Na2SiO3 + CaCO3 [Na2O·Al2O3·1.8SiO2]·1.42CaCO3·2.4H2O+NaAl(OH)4

Desilication can also be carried out in different process steps. Those are before or after digestion. Figure 1 is a flow chart for desilication before digestion while Figure 2 refers to desilication process after digestion. Both steps require additional equipment in alumina plant that will increase capital and operational costs. The objective of study is investigating effect of some variables on Al and Si dissolution by simultaneously conducting both desilication and digestion in terms of reducing the operational costs.

Page 48: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 35

Figure 1. Bayer process fordesilication before digestion process (Smith, 2009)

Figure 2. Bayer process for desilikation after digestion process (Ma et al., 2009)

METHOD

The experiment employs West Kalimantan washed bauxite. Preparation and characterization for the experiment is exactly the same as previous experiments by Amalia et al.in 2014. The washed bauxite is prepared through sampling and comminuting procedures to get -60#-mesh size. The material is then reacted with 129 g/L NaOH solution (1.5 stoichiometry) and CaCO3-containing Whitton 800 as desilication agent. The amount of Whitton 800 is based on the ratio of reactive silica to CaCO3 namely, 1:1; 1:1.5 and 1:2. Digestion process is performed in autoclave at certain temperatures (140, 150 and 160C) for 15, 30, 45 and 60 minutes. The process yields sodium aluminate solution and red mud. The solution is then analyzed through Atomic Absorption Spectrophotometer (AAS) to identify the concentrations of aluminum and silikon. The results are also compared to previous digestion process that is conducted without desilication (Amalia et al., 2014) Figure 3 shows the step in desilication process.

Page 49: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

36 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

Figure 3. Desilication conducted with digestion process

RESULTS AND DISCUSSION

The best result of Al extraction perecentage in sodium aluminate from previous experiments occurs for -100 mesh feed at 160C (Amalia et al., 2014). Though the concentration of Si2+ has already determined to < 0.6 mg/L (commercial standard), the dissolution of Al3+ still decreases because of DSP formation during the time. The reactive silica dissolution reduce to 89,77% only. Nevertheless, the milling process to get the mentioned size requires high energy. As a result desilication agent should be added to reduce the dissolved concentration of Si2+ in sodium aluminate as well as applying rougher size (-60 mesh) to reduce energy consumption of milling.

Desilication occurs along with digestion at certain SiO2 and CaCO3 ratios at 150C as seen in Figure 4. Generally, CaCO3 addition increases Al concentration in sodium aluminate solution. The amount of Al extraction is better than that of without any addition of CaCO3. The best result of Al dissolution (Figure 6) is reached forthe ratio of 1:1.5 where Al extraction increases in 45 minutes followed by the decrease of SiO2 as seen in Figure 5. Smaller amount of CaCO3 (0.5 times of SiO2 amount) will lessen the dissolved Al after 15 minutes reaction because some CaCO3 have previously reacted to existed dissolved SiO2 to form calcium silicate (Amer, 2013). Therefore, after 15 minutes reaction, dissolved SiO2 responds to less amount of CaCO3 and consumes the dissolved Al to form DSP. Therefore, Al concentration decreases. Meanwhile, CaCO3 addition with ratio to SiO2 content in bauxite more than 1 gives lower Al extraction because the developed calcium silicate has further reaction with sodium aluminate. Such a reaction results sodium-calcium-aluminum silicate complex (Amer, 2013).

Figure 4. Percent of extracted Al3+ using various ratios of SiO2 to CaCO3 compared to

experiments without CaCO3 addition

Page 50: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 37

Figure 5. SiO2 concentration resulted from various ratios of SiO2 to CaCO3 compared to

experiments without CaCO3 addition

The concentration of Al and SiO2 in Figure 4 and 5 show almost same phenomena. Al extraction raises followed by SiO2 due to the reactive silica performed by kaolinite has a formula of Al2Si2O5(OH)4. This means that there is a chemical attachment between them. Therefore, different behavior will reveal in different reaction temperatures. From the Gibbs energy point of view, SiO2 dissolution is insignificant in higher temperature (Amalia et al., 2014). Further reaction of sodium aluminate and sodium silicate will give less DSP formation in higher temperature and raise Al dissolution as seen in Figure 6. However, the addition of CaCO3 in higher temperature is not as good as the solubilityof CaCO3 in the water (Coto et al., 2012). The amount of Ca2+ species from CaCO3 decomposition lessens to attach to SiO3

2-. Referring to such a condition (Figure 6 and 7), the optimum temperature for desilication process using CaCO3 is 150C at which the SiO2 concentration in sodium aluminate is less than 0.02 g/L, namely 0.01 g/L. This can only be achieved with 0.56 g/L CaCO3. The figure is less than that of Noworyta (1981), namely by adding 7.1 g/L CaO and yields 0.02 g/L SiO2.

Figure 6. Percent of extracted Al in different temperatures by adding CaCO3 1.5 times relates

to SiO2 content within bauxite

Page 51: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

38 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

Figure 7. Concentration of SiO2 for different temperatures by adding CaCO3 1.5 times relates

to SiO2 content within bauxite

CONCLUSION

Calcium carbonate has the ability as desilication agent in digestion process. The SiO2 concentration in sodium aluminate solution can be reduced to < 0.02 g/L equals with 99,27% dissolved SiO2 reduced while without calcium carbonate addition can only reduce 89.77% of silica reactive dissolution. Meanwhile percentage of extracted Al 91.28% at 150C by adding 0.56 g/L CaCO3 or 1.5 times the SiO2 content in -60-mesh washed bauxite. The result provides lesser SiO2 content. It is suggested to use finer particle size to get higher Al extraction with less dissolve SiO2.

ACKNOWLEDGEMENT

Authors acknowledge the Ministry of Energy and Mineral Resources for the research funding. REFERENCES 1. Amalia D. dan Aziz M., 2011. Percobaan Pendahuluan Pembuatan Alumina Kualitas

Metalurgi Dari Bauksit Kalimantan Barat. Jurnal Teknologi Mineral dan Batubara,Vol. 7, No.4, Oktober 2011. Hal 183-191. ISSN 1979 – 6560.

2. Amalia, D, Suganal, Wahyudi, T. and Husaini, 2014.Pengaruh Ukuran Partikel, Suhu Dan Stoikometri NaOH Terhadap Ekstraksi Alumina Dari Bauksit Kalimantan Barat Dengan Kadar Rendah Silika (Skala Laboratorium). Jurnal Teknologi Mineral dan Batubara, Vol. 10, No.2, Mei 2014.

3. Amer, M.A., 2013. Hydrometallurgical Processing of Egyptian Bauxite. Physicochemical Problems of Mineral Processing Journal Vol. 49 No. 1,Hal 431−442.

4. Bardossy, G., and Aleva, G.J.J., (1990) : Lateritic Bauxites. Elsevier Science Publishing Co., Inc., USA.

5. Cotoa, dkk, 2012. Effects in the solubility of CaCO3: Experimental study and model description. Fluid Phase Equilibria, 324, 1–7

6. Habashi F., 1997. General Principles. Handbook of Extractive Metallurgy Volume I. Gordon and Breach science publisher, inc, New York.

7. Jamialahmadi, M dan Müller-Steinhagen, H., 1998. Determining Silica Solubility in Bayer Process Liquor. Research Summary, Journal of Mineral.

8. Ma, J., Li, Z., Zhang,Y., dan Demopoulos, G. P., 2009. Desilication Of Sodium Aluminate Solution By Friedel's Salt (FS: 3CaO·A12O3·CaCl2·10H2O). Hydrometallurgy,99, 225–230.

9. Ma, J., Zhai, K., dan Li, Z., 2011. Desilication Of Synthetic Bayer Liquor With Calcium Sulfate Dehydrate: Kinetics And Modeling. Hydrometallurgy,107, 48–55.

Page 52: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 39

10. Noworyta, A.,1981a. On the removal of silica from aluminate solutions: mechanism and kinetics of the process. Hydrometallurgy 7, 99– 106.

11. Pan X., Yu H., Wang B., Zhang S., Tu, G., dan Bi S., 2012. Effect Of Lime Addition On The Predesilication And Digestion Properties Of A Gibbsitic Bauxite.Light Metals 2012. Edited by: Carlos E. Suarez. TMS (The Minerals, Metals & Materials Society).

12. Smith, P., 2009. The Processing Of High Silica Bauxites — Review Of Existing And Potential Processes. Hydrometallurgy,98,162–176.

Page 53: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

40 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

Page 54: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 41

PENGARUH WAKTU DAN TEMPERATUR PADA KELARUTAN MINERAL KASITERIT INDONESIA MENGGUNAKAN

LARUTAN HCl 15 %

Latifa Hanum Lalasari*, Yosephin Dewiani R, Ariyo Suharyanto Pusat Penelitian Metalurgi dan Material – LIPI Gedung 470, Kawasan Puspiptek, Setu, Tangsel Email: [email protected]; [email protected]

Abstrak

Telah dilakukan percobaan kelarutan mineral kasiterit Indonesia menggunakan larutan HCl 15%. Kasiterit (SnO2) merupakan mineral timah yang mempunyai banyak manfaat namun masih mengandung banyak mineral pengikut. Proses pendahuluan yang banyak dilakukan untuk memisahkan mineral pengikut dari kasiterit adalah dengan pencucian dan pemisahan high magnetic separator (HTS). Percobaan ini bertujuan untuk menginvestigasi pengaruh waktu dan temperatur pada kelarutan kasiterit Indonesia menggunakan larutan asam encer dalam upaya memisahkan mineral pengikut dari kasiterit. Hasil percobaan menunjukkan bahwa larutan HCl 15% mampu melarutan elemen pengikut (pengotor) dari kasiterit Indonesia diantaranya silikon (Si), titanium (Ti), besi (Fe), zircon (Zr), lantanum (La) dan cerium (Ce). Kelarutan kasiterit maksimum menggunakan HCl 15% adalah pada temperatur 110oC selama 2 jam dimana mampu menurunkan elemen pengotor lebih besar dibandingkan kondisi lainnya. Kadar timah (Sn) yang berhasil ditingkatkan dalam penelitian ini adalah berkisar 68 69,56% dengan kandungan kasiterit (SnO2) berkisar 86,3 88,26 %.

Kata kunci: Kasiterit, Asam klorida, Leaching, Timah, XRF, ICP PENDAHULUAN

Bijih timah berada di alam umumnya sebagai oksida. Sumber utamanya adalah mineral kasiterit (SnO2) yang di Indonesia umumnya lebih banyak ditemukan sebagai endapan aluvial hasil dari pelapukan, erosi, dan transportasi dalam kurun waktu yang sangat lama, bersama dengan mineral pengotor seperti kwarsa dan mineral ikutan seperti ilmenit, monazit, rutil dan zirkon. Oleh sebab itu, untuk mendapatkan logam timahnya, terhadap bijih timah perlu dilakukan beberapa tahapan proses dengan dua tahapan utama yaitu pengolahan bijih dan peleburan (pemurnian)[1].

Kasiterit disebut juga tinstone (batu timah) yang keras, seperti logam dan timah oksida (SnO2) yang keras. Kasiterit tidak berwarna ketika dalam keadaan murninya, tetapi berwarna coklat atau hitam ketika terdapat pengotor (impurities) yaitu besi. Latifa dkk[2] menjelaskan bahwa warna kasiterit tergantung pada mineral pengikutnya dimana bisa terlihat berwarna kuning kecoklatam, coklat perak, putih hingga hitam dengan memperlihatkan pancaran berkilauan. Kondisi ini berdasarkan data hasil karakterisasi kasiterit Indonesia dimana banyak dijumpai pengotor seperti silika (Si), kalsium (Ca), titanium (Ti), besi (Fe), lantanum (La), cerium (Ce) pada batuan timah.

Kegunaan timah banyak sekali terutama untuk bahan baku logam pelapis, solder, cendera mata, dan lain-lain[3][4][5] menyebabkan kebutuhan timah di dunia masih stabil. Penelitian kasiterit masih menarik perhatian karena melihat cadangan timah di Indonesia berlimpah menempati posisi kedua dunia setelah China yaitu berkisar 800 ribu tones[3]. Beberapa penelitian sudah dilakukan diantaranya Djamaluddin dkk[1] melakukan peleburan timah pada temperatur tinggi kira-kira 1300oC untuk memungkinkan slag (ampas biji timah) dalam keadaan cair. Dalam smelting ini sebagiannya terdapat pengotor, misalnya Fe ikut tereduksi dan berikatan dengan Sn dan terbawa bersama lelehan Sn (kadar kira-kira 99,8%). Karena slag peleburan pertama masih mengandung Sn relatif tinggi, maka perlu dilakukan pengolahan lebih lanjut untuk mendapatkan Sn nya kembali. Li dan Wei, 1996[6]; Wright, 1982[7] melakukan leaching pada kasiterit, kasiterit tersebut dipanggang pada suhu 900°C selama 120 menit dan proses leaching menggunakan 25% HCl untuk menghilangkan elemen

Page 55: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

42 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

pengotor utama, termasuk Fe, As, S, Pb, dan Sb. Dari hasil ditemukan bahwa kasiterit (SnO2) jarang bereaksi selama pemanggangan dan tidak larut dalam asam klorida. Jian-Guang Yang[8] melakukan leaching konsentrat timah kadar rendah dengan HCl dan dilanjutkan roasting dengan kombinasi Na2CO3, NaOH dan batu bara dimana mampu memisahkan besi sampai 99,4% dari konsentrat timah. Latifa dkk[2] dalam penelitian sebelumnya menjelaskan bahwa kasiterit (SnO2) Indonesia terlarut tidak signifikan dengan kenaikan konsentrasi larutan HCl. Kondisi ini mengindikasikan bahwa kasiterit stabil dalam kondisi asam dan partikel yang terlarut merupakan mineral ikutan (pengotor) dari kasiterit tersebut. Keberhasilan penelitian ini menjadi tahapan awal untuk memisahkan kasiterit (SnO2) dari mineral pengikutnya sebelum dilakukan proses lebih lanjut yaitu pembuatan tin chemical. Mengacu pada penelitian sebelumnya dan menekan biaya operasional penggunaan pelarut asam klorida pekat, maka penelitian ini mencoba mengeksplorasi dan menginvestigasi kelarutan kasiterit Indonesia menggunakan larutan asam encer (HCl 15%) dalam berbagai variasi waktu dan temperatur leaching. METODE PERCOBAAN Bahan baku

Bahan baku yang digunakan dalam percobaan adalah kasiterit dari Bangka Indonesia dengan komposisi kimia ditunjukkan pada Tabel 1. Pelarut yang digunakan adalah asam klorida (HCl) 37% dan aquades.

Tabel 1. Komposisi kimia dari kasiterit Bangka Indonesia[2] No Simbol % No Simbol % 1 Si 1,4783 27 Pd 0,0000 2 P 0,0003 28 Ag 0,0001 3 K 0,0010 29 Cd 0,0000 4 Ca 4,8812 30 In 0,0575 5 Sc 0,1934 31 Sn 66,3575 6 Ti 3,1998 32 Sb 0,0001 7 Cr 0,0318 33 Te 0,0001 8 Mn 0,2381 34 I 0,0001 9 Fe 1,1597 35 Cs 0,0001 10 Co 0,0039 36 Ba 0,0311 11 Ni 0,0001 37 La 0,5290 12 Cu 0,0245 38 Ce 0,9085 13 Zn 0,0038 39 Pr 0,0239 14 Ga 0,0007 40 Nd 0,2174 15 Ge 0,0001 41 Sm 0,0242 16 As 0,0001 42 Er 0,0054 17 Se 0,0001 43 Yb 0,0149 18 Br 0,0001 44 Hf 0,1907 19 Rb 0,0006 45 Ta 0,0483 20 Sr 0,0008 46 W 0,1409 21 Y 0,0909 47 Tl 0,0001 22 Zr 1,1608 48 Pb 0,0151 23 Nb 0,0428 49 Bi 0,0001 24 Mo 0,0001 50 Th 0,1282 25 Ru 0,0001 51 U 0,0167 26 Rh 0,0001 52 Others 18,7770

Page 56: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 43

Percobaan Tahapan percobaan adalah menghaluskan kasiterit menggunakan ball mill sampai

ukuran partikel -100 mesh dan membuat larutan asam klorida encer (HCl) 15% dari asam klorida pekat 37%. Proses dilanjutkan dengan pelarutan (leaching) meliputi melarutan 10 gram kasiterit dalam 100 ml larutan HCl 15% dengan variasi waktu (1,2,3,4,5 dan 6 jam) dan temperatur (35, 50, 70, 90, 110, 130 dan 150oC). Tahapan terakhir adalah proses pemisahan fitrat dan residu menggunakan kertas saring Whatman No. 42. Hasil proses pemisahan (filtrat dan residu) tersebut kemudian dikarakterisasi.

Karakterisasi

Kasiterit awal dilakukan karakterisasi menggunakan analisis X-Ray Fluorescence (XRF) untuk mengetahui komposisi kimia dari kasiterit. Sedangkan produk hasil leaching meliputi filtrat dikarakterisasi menggunakan Inductively Coupled Plasma (ICP) untuk mengetahui elemen (unsur) dari kasiterit yang terlarut dan residu yang merupakan kasiterit tidak terlarut dikarakterisasi menggunakan analisis XRF. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pengolahan data percobaan kelarutan kasiterit menggunakan larutan HCl 15% dalam berbagai variasi waktu dan temperatur pelarutan dapat dilihat pada gambar-gambar berikut: Pengaruh waktu

Pengaruh waktu terhadap kelarutan kasiterit dan elemennya dilakukan pada temperatur 90oC dimana hasil percobaan dapat dilihat pada Gambar 1 dan 2.

Gambar 1. Kelarutan kasiterit dalam berbagai waktu pelarutan

Pada Gambar 1 terlihat kelarutan kasiterit dalam berbagai waktu proses adalah tidak

signifikan. Kelarutan kasiterit maksimum diperoleh pada waktu 2 jam adalah sebesar 2%. Pada waktu proses lebih lama 2 jam, kelarutan kasiterit menurun namum tidak signifikan. Penurunan presentasi kelarutan kasiterit diduga karena adanya proses oksidasi pada sebagian elemen kimia penyusun mineral kasiterit yang bisa dilihat pada Tabel 1. Oksidasi tersebut dimungkinkan karena proses pelarutan kasiterit menggunakan larutan HCl 15% dilakukan dalam kondisi atmosferik dan adanya kandungan air berlebihan dalam proses leaching. Untuk mengetahui elemen apa yang terlarut atau teroksidasi maka dilakukan analisis ICP dari filtrat hasil leaching. Filtrat hasil leaching bisa dilihat pada Gambar 3.

Page 57: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

44 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

Gambar 2. Kelarutan elemen Fe, Si, Ti, Sn dari kasiterit dalam berbagai waktu pelindian

(leaching)

Gambar 3. Perubahan warna filtrat hasil leaching dalam berbagai waktu pelarutan (leaching):

(a) 1 jam; (b) 2 jam; (c) 3 jam; (d) 4 jam; (e) 5 jam; (f) 6 jam

Pada Gambar 3 terlihat warna filtrat hasil proses leaching adalah hampir sama yaitu kehijauan. Warna hijau lebih tajam terlihat pada hasil leaching selama 5 jam. Kondisi ini mengindikasikan terdapat banyak elemen kasiterit yang terlarut dalam larutan HCl 15 %. Dari pengolahan data hasil analisis ICP untuk elemen besi (Fe), silikon (Si), titanium (Ti) dan timah (Sn) yang ditunjukkan pada Gambar 2, terlihat elemen kasiterit yang terlarut banyak adalah besi dibandingkan dengan titanium, silikon dan timah. Gambar 2 juga menunjukkan bahwa kelarutan titanium dan silikon adalah lebih besar daripada timah. Timah tidak mudah larut dan relatif stabil dalam larutan HCl 15% dan berbagai waktu proses.

Hasil yang sama juga telah dijelaskan Latifa dkk[2] pada penelitian sebelumnya yaitu pengaruh konsentrasi asam pada kelarutan kasiterit dimana elemen Fe dalam kasiterit relatif tidak stabil dalam larutan asam dibandingkan dengan Si, Ti dan Sn. Reaksi elemen Fe dalam kasiterit menggunakan larutan asam adalah sebagai berikut[2][9]: Fe2O3 + 6HCl 2FeCl3 + 3H2O (1) FeS2 + HCl FeCl2 + H2S + S (2) Gambar 2 juga memperlihatkan bahwa kelarutan besi dalam kasiterit menggunakan HCl 15% adalah terbesar pada waktu 5 jam dan dilanjutkan waktu 2 jam. Kelarutan besi tersebut pada waktu proses 2 jam dan 5 jam adalah mencapai di atas 80% menggunakan larutan HCl 15%. Kecenderungan hasil pada Gambar 2 adalah sesuai dengan warna yang

Page 58: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 45

ditunjukkan pada fitrat hasil leaching dimana pada waktu leaching 5 jam terlihat warna filtrat adalah hijau lebih jelas dibandingkan dengan lainnya. Kondisi ini mengidentifikasi bahwasanya warna hijau dari sampel filtrat mencerminkan adanya besi yang terlarut dalam larutan HCl 15%. Pengaruh temperatur

Percobaan pengaruh temperatur terhadap kelarutan kasiterit dan elemennya dilakukan selama 2 jam. Waktu proses leaching 2 jam tersebut dipilih sebagai waktu yang optimal karena mampu melarutkan kasiterit terbesar (Gambar 1). Hasil percobaan pengaruh temperatur terhadap kelarutan kasiterit dan elemennya dapat dilihat pada Gambar 4 dan 5.

Gambar 4. Kelarutan kasiterit dalam berbagai temperatur pelarutan (leaching)

Gambar 5. Kelarutan elemen Fe, Si, Ti, Sn dari kasiterit dalam berbagai temperatur pelarutan

(leaching)

Pada Gambar 4 juga terlihat bahwa kelarutan kasiterit dalam berbagai temperatur proses adalah tidak signifikan. Kelarutan kasiterit maksimum didapatkan pada temperatur leaching 110 oC dimana mampu melarutkan kasiterit sebesar 2,29%. Kelarutan kasiterit dalam larutan HCl 15% mulai terlihat stabil di atas temperatur 90oC yaitu berkisar 2%. Gambar 5 menunjukkan bahwa kelarutan besi lebih besar daripada titanium, silikon dan timah seperti yang terlihat juga pada Gambar 2. Kelarutan maksimum besi terjadi pada

Page 59: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

46 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

range suhu 70 – 90oC yaitu di atas 90 %. Pada suhu lebih rendah dari 70oC, elemen besi dari kasiterit tidak terlarut, namun di atas suhu 90oC kelarutan besi menurun karena efek oksidasi lanjut sehinga besi lebih stabil dalam oksidanya, sedangkan titanium dan silikon mulai terlarut tidak signifikan yaitu di bawah 1 % yang ditunjukkan dengan grafik lebih tajam pada range temperatur di atas 90oC. Elemen timah tetap stabil meskipun temperatur pelarutan ditingkatkan sampai 150oC. Kondisi ini cukup memuaskan untuk memisahkan timah dari elemen pengikutnya. Berikut ini komposisi kimia dari residu yang merupakan kasiterit tidak terlarut ditunjukkan pada Tabel 2. Tabel 2. Komposisi kimia dari residu hasil pelarutan kasiterit menggunakan larutan asam klorida encer (HCl 15%)

Elemen Kadar (%) dalam berbagai temperatur

35 oC 50 oC 70 oC 90 oC 110 oC 130 oC 150 oC

Si 0,2209 0,8064 0,5914 0,2418 0,3096 0,6404 0,3322

Ti 0,7706 0,7797 0,7969 0,6367 0,6530 0,7595 0,6876

Fe 0,8858 0,8998 0,6974 0,7887 0,7308 0,7953 0,5486

Zr 0,0289 0,0427 0,0306 0,0396 0,0374 0,0262 0,0426

Sn 69,5603 66,2029 68,1506 66,7321 68,6017 68,4835 68,7735

La 0,1398 0,1273 0,1013 0,1093 0,0524 0,0587 0,0508

Ce 0,2645 0,2569 0,2223 0,1927 0,1066 0,1101 0,1177

Pada Tabel 2 terlihat bahwa larutan HCl 15% mampu melarutkan elemen pengikut (pengotor) dari kasiterit diantaranya silikon (Si), titanium (Ti), besi (Fe), zirkon (Zr), lantanum (La) dan cerium (Ce) dengan persentase yang semakin menurun dibandingkan pada Tabel 1. Elemen tersebut merupakan pengotor terbesar dalam kasiterit Indonesia. Berkurangnya elemen pengotor dalam kasiterit menyebabkan kadar Sn meningkat namun tidak signifikan dalam range (68 69,56%) atau SnO2 berkisar 86,3 88,26 % karena kemungkinan masih banyak elemen pengotor lain yang tidak terlarut.

Hasil analisis XRF pada residu (Tabel 2) juga memperlihatkan bahwa temperatur pelarutan 110oC ternyata mampu melarutan elemen pengotor secara merata dan banyak dengan ditunjukkan persentase semakin menurun pada hasil analisis Tabel 2. Kondisi ini sesuai dengan Gambar 4 dimana kelarutan kasiterit maksimum didapatkan pada temperatur 110oC. Kondisi percobaan yang cukup menarik dan perlu penelitian lebih lanjut dan detail adalah pada temperatur rendah 35oC dimana peningkatan kandungan timah terlihat lebih tinggi yaitu sampai 69.5603% meskipun elemen pengotor besi (Fe), titanium (Ti), lantanum (La) dan cerium (Ce) tidak terlarut banyak. Kemungkinan elemen pengotor lain yang terlarut pada temperatur 35oC. Keberhasilan percobaan kelarutan kasiterit menggunakan pelarut asam encer dan dilakukan pada temperatur rendah diharapkan mampu menurunkan biaya operasional. KESIMPULAN Kelarutan kasiterit Bangka Indonesia menggunakan larutan asam encer (HCl 15%) mampu menurunkan elemen pengikut (pengotor) yaitu silikon (Si), titanium (Ti), besi (Fe), zirkon (Zr), lantanum (La) dan cerium (Ce). Semakin tinggi temperatur proses menyebabkan kelarutan kasiterit meningkat maksimum pada temperatur 110oC selama 2 jam dimana mampu melarutkan pengotor dari kasiterit sebesar 2,29%. Percobaan ini berhasil meningkatkan kadar timah (Sn) berkisar 68 69,56% atau SnO2 berkisar 86,3 88,26 %.

Page 60: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 47

UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih atas bantuan pendanaan melalui Hibah Kegiatan

Tematik Tahun Anggaran 2015 di Pusat Penelitian Metalurgi dan Material, LIPI. Ucapan terima kasih juga diberikan pada Adi Prayoga, Mahasiswa Magang Jurusan Kimia, Universitas Negeri Syarif Hidayatullah (UIN), Jakarta dan semua pihak yang membantu dalam penyelesaian penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA 1. H. Djamaluddin, M. Thamrin, and A. Achmad, “Nilai Tambah Mineral Logam di

Indonesia (Suatu Kajian Terhadap Upaya Konservasi Mineral),” in Prosiding 2012, Hasil Penelitian Fakultas Teknik, 2012, vol. 6, pp. 978–979.

2. L. H. Lalasari, Y. Dewiani, A. Suharyanto, and F. Firdiyono, “Characterization and dissolution of Cassiterite Indonesia mineral in various concentrations of hydrochloric acid,” in International Conference Proceeding on Materials and Metallurgical Engineering 2015 ( ICOMMET 2015 ), 4-6 October 2015, 2013, pp. 1–5.

3. S. I. Angadi, T. Sreenivas, H. Jeon, S. Baek, and B. K. Mishra, “A review of cassiterite beneficiation fundamentals and plant practices,” Miner. Eng., vol. 70, pp. 178–200, 2015.

4. C. Bunnakkha and C. Jarupisitthorn, “Extraction of Tin from Hardhead by Oxidation and Fusion with Sodium Hydroxide,” vol. 22, no. 1, pp. 1–6, 2012.

5. N. Chukwuka, J. Hwang, and E. T. Al, “Model for Prediction of the Concentration of Extracted Tin during Leaching of Cassiterite in Potassium Hydroxide Solution,” vol. 2012, no. July, pp. 730–734, 2012.

6. Y. D. Li, W.C., Wei, Nonferrous Met. (in Chinese), vol. 48, no. 1, pp. 54–60, 1996. 7. Peter A. Wright, Extractive Metallurgy of Tin (Process metallurgy). Elsevier Science

Ltd; 2nd edition (September 1982), 1982, p. 344. 8. J. Yang, Y. Wu, and X. Zhang, “Study on separation of tin from a low-grade tin

concentrate through leaching and low-temperature smelting processes,” vol. 123, no. 4, 2014.

9. L. H. Lalasari, Yosephin Dewiani, and E. Sulistiyono, “Air flow effect on the dissolution of iron in tin slag using hydrochloric acid,” in International Conference Proceeding on Materials and Metallurgical Engineering 2015 ( ICOMMET 2015 ), 4-6 October 2015, 2013, pp. 1–5, 2015.

Page 61: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

48 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

Page 62: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 49

REDUKSI PELET KONSENTRAT PASIR BESI MENGGUNAKAN REDUKTOR BED BATUBARA DAN ADITIF Na2CO3 DENGAN

METODE ISOTERMAL - GRADIEN TEMPERATUR

Indah Suryani1, Zulfiadi Zulhan2, Adil Jamali3 1,2Teknik Metalurgi FTTM ITB

3Pusat Penelitian Metalurgi dan Material LIPI E-mail: [email protected], [email protected], [email protected]

Abstrak Metode isotermal -gradien temperatur digunakan untuk mempelajari reduksi pelet konsentrat pasir besi

menggunakan reduktor bed batubara. Penelitian dimulai dengan karakterisasi bahan baku konsentrat pasir besi menggunakan XRD dan XRF. Konsentrat pasir besi kemudian diaglomerasi menjadi pelet dengan penambahan 2% bentonit dan penambahan Na2CO3 divariasikan dari 1% hingga 5%. Pelet dikeringkan dalam oven lalu dilanjutkan dengan proses reduksi menggunakan reduktor bed batubara. Proses reduksi dilakukan pada temperatur isotermal 980oC selama 30 menit dilanjutkan dengan gradien temperatur menuju temperatur akhir 1180oC, 1230oC, 1280oC, 1330oC, dan 1380oC selama 1 jam. Pada temperatur akhir ditahan selama 10 menit. Pelet yang telah direduksi dianalisis X-ray mapping. Pelet yang telah direduksi memperlihatkan lubang pada bagian tengah pada temperature 1330oC, dan 1380oC. Selain itu, logam besi cenderung berada pada bagian permukaan luar pelet dan oksida cenderung berada di bagian dalam.

Kata kunci: Pasir besi, Reduksi, Gradien temperatur, Na2CO3 PENDAHULUAN

Pasir besi merupakan salah satu alternatif sumber besi dalam pembuatan besi dan baja. Di Indonesia pasir besi terdapat di sepanjang pantai bagian selatan Pulau Jawa dan pantai barat Pulau Sumatera. Menurut pemutakhiran data dan neraca sumber daya mineral[1], sumber daya pasir besi di Indonesia mencapai 2,12 milyar ton dengan cadangan sebesar 173,81 juta ton. Jumlah ini jauh lebih besar dibanding dengan bijih besi primer yang memiliki sumber daya sebesar 712,46 juta ton dan cadangan sebesar 65,58 juta ton.

Berdasarkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 7 Tahun 2012 dan diperbaharui dalam Permen ESDM Nomor 1 Tahun 2014 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral di Dalam Negeri, hingga akhir tahun 2016 komoditas pasir besi diperbolehkan untuk diekspor dengan ketentuan produk konsentrat memiliki batasan minimum besi diatas atau sama dengan 58%. Selama 3 tahun semenjak peraturan tersebut dikeluarkan, pemegang Ijin Usaha Pertambangan (IUP) diwajibkan untuk menunjukkan keseriusan membangun fasilitas pemurnian untuk mendapatkan ijin penjualan konsentrat ke luar negeri. Pada tahun 2017, hasil produksi yang dapat diekspor sudah merupakan produk pemurnian berupa besi spon, besi wantah, dan terak berupa TiO2, TiCl4, V2O5, dan logam paduan dengan ketentuan tertentu. Hingga saat ini, pasir besi di Indonesia diolah hingga konsentrat yang kemudian diaglomerasi menjadi pelet konsentrat pasir besi.

Penelitian reduksi konsentrat pasir besi yang telah dilakukan di Metalurgi ITB oleh Fu’adi[2], Cocen[3], dan Akbar[4] pada kondisi isotermal. Pada penelitian tersebut tidak dilakukan pemisahan TiO2 dari besi. Mengacu pada paten Sasabe (US pantent 3,218,152)[5], TiO2 dapat dipisahkan dari besi logam pada selang temperatur 1350 – 1500 °C dengan metode gradien temperatur. Pada penelitian ini, metode paten yang diajukan oleh Sasabe dikombinasikan dengan metode isotermal terutama untuk mendapatkan proses pemisahan logam besi dan oksida titanium pada temperatur yang lebih rendah. Metode yang digunakan ini dinamakan metode isotermal - gradien temperatur.

Page 63: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

50 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

METODE PERCOBAAN Pasir besi yang digunakan berupa konsentrat berasal dari Sukabumi dan komposisi

kimia ditunjukkan pada Tabel 1. Konsentrat pasir besi yang telah dicampur dengan bentonit dan Na2CO3 kemudian dipeletisasi menggunakan rotating disc pelletizer hingga didapat pelet berukuran 14-16mm. Bentonit ditambahkan sebesar 2% berat dan divariasikan Na2CO3 dari 0% hingga 5%. Setelah itu, pelet dikeringkan untuk menghilangkan kadar air. Pelet yang telah dikeringkan ini kemudian direduksi menggunakan metode isotermal - gradien temperatur dengan reduktor bed batubara. Analisis proksimat batubara ditunjukkan pada Tabel 2. Pelet dimasukkan ke dalam krusibel 20ml seperti diperlihatkan pada Gambar 1.

Tabel 2. Komposisi kimia konsentrat pasir besi

Tabel 3. Data hasil analisis proksimat (air dried basis)

Moisture Volatile Matter Ash Fixed

Carbon 8,13% 36,03% 10,37% 45,47%

Gambar 1. Skematik pelet dalam krusibel

Proses reduksi menggunakan metode isotermal gradien temperatur dengan reduktor

bed batubara dimana profil temperatur untuk percobaan ditunjukkan pada Gambar 2. Periode pertama, krusibel yang telah diisi dengan pelet dan batubara dipanaskan secara isotermal pada temperatur 980oC selama 30 menit. Periode kedua, krusibel tersebut dipanaskan dari 980oC hingga temperatur akhir yang telah ditentukan dengan jangka waktu 60 menit. Temperatur akhir yang digunakan adalah 1180oC, 1230oC, 1280oC, 1330oC, dan 1380oC. Setelah itu, krusibel dipertahankan pada kondisi isotermal selama 10 menit pada temperatur akhir. Pelet yang telah direduksi dibelah menjadi dua untuk kemudian ditentukan %Fe metal dan %Fe total dengan analisis kimia menggunakan metode titrasi dan analisis persebaran unsur menggunakan analisis X-ray mapping.

HASIL DAN PEMBAHASAN Metode Isotermal - Gradien temperatur terhadap Hasil Reduksi

Metode isotermal-gradien temperatur pada penelitian ini menggunakan temperatur isothermal 980oC. Temperatur ini dipilih berdasarkan penelitian Adhiwiguna[6] yang menyebutkan bahwa berdasarkan hasil TG/DTA dan XRD dari sampel campuran konsentrat pasir besi dan batubara didapatkan pada temperatur antara 900-1000oC proses reduksi telah berlangsung relatif sempurna untuk menghasilkan besi.

Si Al Fe Ti K Ca Mn Mg P Zn O 0,01% 1,25% 59,18% 6,00% 0,01% 0,14% 0,39% 1,16% 0,03% 0,05% 31,79%

Page 64: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 51

Gambar 2. Profil temperatur reduksi

Produk besi spon yang dihasilkan serupa dengan yang telah dideskripsikan oleh

Sasabe[5] menggunakan pelet konsentrat pasir besi yang direduksi pada temperatur akhir 1350-1500oC yaitu pelet yang memiliki lubang di bagian tengah. Pada penelitian ini, lubang terbentuk pada temperatur akhir yang lebih rendah yaitu 1330oC seperti diperlihatkan pada Gambar 3. Pada temperatur akhir 1180oC dan 1230oC sudah terlihat perbedaan antara lapisan bagian dalam dan bagian luar.

Gambar 3. Penampang pelet pasir besi setelah reduksi pada penambahan 3% Na2CO3

Gambar 4 memperlihatkan persen metalisasi yang dihitung berdasarkan data

kehilangan berat. Persen metalisasi tertinggi dicapai pada temperatur 1280oC, setelah itu persen metalisasi menurun. Hal ini dapat terjadi dikarenakan laju gradien temperatur yang semakin cepat memungkinkan adanya besi oksida berupa wustit yang belum sempat tereduksi pada waktu 100 menit. Sedangkan pada temperatur 1180oC hingga 1280oC, oksida besi yang belum sempat tereduksi pada temperatur isotermal dapat kembali tereduksi selama gradien temperatur dikarenakan belum adanya kerak metal yang menghalangi reduktor mereduksi lapisan dalam pelet.

Gambar 4. Persen metalisasi dengan temperatur akhir reduksi pada pelet tanpa penambahan

aditif

Kurva penentuan % Fe metal melalui titrasi yang ditunjukkan pada Gambar 5 memperlihatkan perbedaan kadar besi di bagian luar dengan kadar besi di bagian dalam atau bagian tengah pelet yang telah direduksi. Perbedaan ini menunjukkan bahwa pada bagian

Page 65: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

52 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

dalam lebih banyak mengandung oksida pengotor. Hasil ini mirip saat dibandingkan dengan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Fu’adi[2] bahwa pada bagian dalam masih didominasi oleh besi oksida. Selain itu meningkatnya temperatur akhir yang digunakan saat berlangsungnya gradien temperatur dapat menghasilkan %Fe metal yang lebih tinggi.

Gambar 5. Hubungan %Fe metal terhadap temperatur

Perbedaan antara pelet setelah direduksi menggunakan metode isotermal dengan

metode isotermal - gradien temperatur dapat dilihat pada Gambar 6. Gambar 6(a) adalah pelet bersama penampang yang dihasilkan pada temperatur 1100oC selama 90 menit dan sebelumnya telah dilakukan firing 1250oC selama 60 menit. Sedangkan Gambar 6 (b) adalah pellet setelah direduksi bersama penampangnya dengan menggunakan metode isotermal-gradien temperatur pada temperatur akhir 1180oC dan Gambar 6(c) adalah pelet setelah direduksi bersama penampang dengan menggunakan metode isotermal-gradien temperatur pada temperatur akhir 1380oC.

Gambar 6. Metode isotermal (a)[2], Metode isotermal - gradien temperatur (b) dan (c)

Pengaruh Penambahan Aditif Na2CO3

Penambahan aditif dimaksudkan untuk menghasilkan produk yang lebih baik atau mempercepat proses. Berdasarkan Gambar 7, % metalisasi yang dihitung dari data kehilangan berat menunjukkan kecenderungan meningkat dengan penambahan Na2CO3. Secara umum, persen metalisasi tertinggi dicapai pada penambahan 5% Na2CO3.

Kurva yang terbentuk dari data perhitungan persen metalisasi dan penambahan Na2CO3 memperlihatkan hasil yang fluktuatif. Fluktuatifnya kurva diakibatkan dari hasil percobaan yang memiliki standar deviasi yang besar terutama ketika temperatur rendah. Pada temperatur 1180oC, standar deviasi dapat mencapai 24% yaitu pada penambahan 3% Na2CO3. Walaupun demikian, dapat dilihat bahwa persen metalisasi cenderung meningkat seiring penambahan Na2CO3.

Page 66: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 53

Gambar 7. Hubungan % metalisasi dengan penambahan Na2CO3 pada berbagai temperatur

akhir reduksi

Gambar 8 menunjukkan bahwa penambahan 5% Na2CO3 dapat meningkatkan %Fe metal. Walaupun perbedaannya cukup kecil dan semakin menyempit pada temperatur akhir yang lebih tinggi. Ini menunjukkan bahwa ada titik optimum %Fe metal yang dapat dicapai saat reduksi atau telah mendekati %Fe total pada sampel tersebut.

Gambar 8. Hubungan %Fe metal hasil titrasi dengan temperatur akhir reduksi

Perubahan Volume Pelet Setelah Reduksi

Pada metode reduksi yang digunakan ini terjadi pengurangan volume atau shringkage dari produk besi spon. Perilaku perubahan volume yang terjadi berbeda dengan yang diprediksi oleh Chateerjee[7] yang menyatakan bahwa saat reduksi bijih magnetit volume produk akhir menyusut sebanyak 4 hingga 5%. Gambar 9 memperlihatkan hubungan antara persen reduksi dengan penyusutan volume pelet setelah reduksi. Penyusutan rata-rata volume bernilai 26,68% dengan nilai penurunan terendah 8,07% dan tertinggi pada 43,18%.

Page 67: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

54 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

Gambar 9. Hubungan persen penyusutan volume dengan persen reduksi

Fenomena shrinkage pada produk besi spon ini dikarenakan pada awalnya mineral

dominan pada pasir besi adalah magnetit. Perlakuan firing atau proses hematisasi seperti yang dilakukan pada penelitian sebelumnya tidak dilakukan pada percobaan ini, maka mineral magnetit hanya mengalami swelling yang sedikit saat tereduksi menjadi wustit. Sedangkan pada saat wustit tereduksi menjadi besi metal akan terjadi penyusutan volume karena pertumbuhan inti besi[8].

Pelet hasil reduksi yang dihasilkan sangatlah berbeda dengan pelet hasil reduksi yang dihasilkan pada penelitian yang dilakukan oleh Fu’adi[2]. Pelet hasil reduksi ini sangat keras dan relatif sulit untuk dibelah karena adanya lapisan besi metal pada permukaan bola besi spon yang telah dijelaskan sebelumnya.

Pemisahan Oksida Pengotor dari Besi Metal

Metode gradien temperatur yang diajukan Sasabe[5] menyebutkan bahwa oksida pengotor khususnya titanium dapat terpisah dari besi metal. Fenomena ini juga ditemui pada metode isotermal – gradien temperatur yang digunakan pada percobaan ini. Perbedaan metode pada penelitian ini dengan metode Sasabe adalah gradien temperatur dari temperatur kamar ke temperatur 1000oC diganti dengan isotermal pada temperatur 980oC selama 30 menit.

Terpisahnya oksida pengotor, khususnya titanium oksida sudah dapat diamati pada temperatur di atas 1280oC. Hasil X-ray mapping dengan perbesaran 200x pada Gambar 10 terlihat jelas bahwa ada bagian yang banyak mengandung elemen-elemen oksida yang berkumpul pada lokasi tertentu dan terpisah dari elemen besi. Unsur titanium sendiri terdapat pada bagian oksida pengotor yang terpisah dari besi.

Page 68: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 55

Gambar 10. X-ray mapping pada penampang besi spon dengan temperatur akhir reduksi

1380oC dan penambahan 5%Na2CO3, perbesaran 200x Pada uji X-ray mapping selanjutnya dilakukan dengan pembesaran yang lebih kecil

yaitu 30x. X- ray mapping dilakukan pada bagian perbatasan bagian luar dan dalam sehingga didapat persebaran yang mewakili kedua daerah. Hasil X-ray mapping dari pelet setelah direduksi pada perbesaran 30x ditunjukkan pada Gambar 11. Gambar 11(a) memperlihatkan bahwa unsur besi masih menyebar namun hanya terdapat sedikit di bagian dalam atau tengah. Ini ditunjukkan dengan warna merah yang tidak dominan di bagian tengah. Sedangkan unsur Ti masih menyebar. Gambar 11(b) menunjukkan bahwa unsur Ti yang masih dalam bentuk oksida berkumpul ke daerah yang lebih tengah. Unsur oksigen juga ikut terdeteksi di daerah tersebut yang dapat diprediksi bahwa unsur pengotor dan sebagian unsur besi masih dalam bentuk oksida.

Gambar 11. X-ray mapping dari pelet setelah direduksi dengan reduktor bed batubara pada

temperatur akhir 1180°C

Page 69: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

56 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

Hasil X-ray mapping untuk sampel yang ketiga pada Gambar 12(a) memperlihatkan bahwa pada daerah 1mm dari tengah terdapat daerah persebaran Ti. Pada daerah luar atau permukaan tempat unsur Fe terlihat makin tebal, unsur pengotor tersebut sudah terlihat jarang. Terdeteksinya unsur oksigen dibagian luar menunjukkan bahwa sebagian besi metal sudah kembali teroksidasi. Pada Gambar 12(b) terlihat jelas pada daerah permukaan dominan unsur Fe sedangkan pada daerah tengah terdapat daerah yang terdiri dari unsur Ti. Gambar 13(a) menunjukkan bagian yang analisis mapping bagian permukaan hingga ke tengah pelet setelah reduksi. Pada temperatur akhir 1380oC dengan tanpa penambahan Na2CO3 menunjukkan hasil yang mirip. Bagian tengah memperlihatkan daerah pengotor slag oksida lebih dominan. Ti sebagai unsur pengotor paling banyak pada pasir besi terpeta dominan kearah bagian dalam dari besi spon. Sedangkan pada bagian lainnya unsur Fe lebih dominan. Gambar 13(b) memperlihatkan hasil yang sama dengan sebelumnya. Bagian permukaan memiliki unsur Fe yang dominan sedangkan unsur Ti lebih dominan di daerah tengah.

Gambar 12. X-ray mapping dari pelet setelah direduksi dengan reduktor bed batubara pada

temperatur akhir 1280°C

Gambar 13. X-ray mapping dari pelet setelah direduksi dengan reduktor bed batubara pada temperatur akhir 1180°C

Page 70: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 57

KESIMPULAN Berdasarkan serangkaian percobaan dan pembahasan yang telah dilakukan dapat

diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Penggunaan metode isotermal–gradien temperatur menghasilkan pelet yang memiliki

lubang pada bagian tengah pada temperatur 1330oC dan 1380oC. Selain itu, oksida pengotor hasil dari reduksi dapat terpisah dari besi. Hal ini dapat dilihat dari gambar hasilX-ray mapping yang menunjukkanperbedaaan daerah oksida dengan metal. Oksida cenderung dominan pada daerah bagian dalam dari pelet hasil reduksi sedangkan besi metal berada pada bagian permukaan.

2. Penambahan Na2CO3 berefek pada peningkatan %metalisasi sebesar 81,57% dibanding tanpa penambahan yaitu sebesar 59,95%. Nilai %Fe metal tertinggi pada penambahan 5% Na2CO3 sebesar 73,54% dengan %Fe total 83,22% pada bagian permukaan dari besi spon.

3. Volume besi spon hasil dari metode isotermal-gradien temperaturmengalami penyusutan. Penyusutan volume rata-rata sebesar 26,68%, dengan penyusutan tertinggi sebesar 43,18%terjadi pada penambahan 4%Na2CO3 di temperatur akhir reduksi 1380oC.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Kemenristekdikti yang telah mendanai penelitian ini melalui program pengembangan IPTEK dengan Judul Pemisahan Besi Logam dan Oksida dari Pelet/Briket Pasir Besi Menggunakan Reduktor Bed Batubara pada Temperatur ≤1400oC dan PT Sumber Baja Prima yang telah memberikan pasir besi untuk bahan percobaan. DAFTAR PUSTAKA 1. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Badan Geologi.Executive Summary

Pemutakhiran Data dan Neraca Sumber Daya Mineral status 2014. Pusat Sumber Daya Geologi. 2014. Diunduh pada 5 Mei 2015.

2. Fu’adi, A.Studi Kinetika Reduksi Pelet Konsentrat Pasir Besi menggunakan Reduktor BedBatubarapada Temperatur 800-1200oC, Tugas Akhir, Program Studi Sarjana Teknik Metalurgi, FakultasTeknik Pertambangan dan Perminyakan, Institut Teknologi Bandung, Bandung, 2014.

3. Cocen, O.R.Reduksi Sinter Campuran Bijih Besi Laterit dan Konsentrat Pasir Besi pada Temperatur 800-1100oC, Tugas Akhir, Program Studi Sarjana Teknik Metalurgi, Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan, Institut Teknologi Bandung, Bandung, 2014.

4. Akbar, R.P.Studi Pengaruh Ukuran pada Reduksi Konsentrat Pasir Besi dari Sukabumi dengan Reduktor Batubara pada Temperatur 1000-1300oC, Tugas Akhir, Program Studi Sarjana Teknik Metalurgi, Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan, Institut Teknologi Bandung, Bandung, 2014.

5. Sasabe, T.1965. Process For Separating Non-Molten Slag from Titanium-containing Iron Sand. United States Patent 3,218,152.

6. Sumbranang, A. Karakterisasi dan reduksi pelet tekan silinder konsentrat pasir besi pada temperatur 600-1000oC, Tugas Akhir, Program Studi Sarjana Teknik Metalurgi, Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan, Institut Teknologi Bandung, Bandung, 2014.

7. Chatterjee, A. 2010.Sponge Iron Production by Direct Reduction of Iron Oxide, PHI Learning PrivateLimited, New Delhi.

8. Gupta, R.C. 2010.Theory and Laboratory Experiments in Ferrous Metallurgy. PHI Learning. New Delhi.

Page 71: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

58 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

Page 72: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 59

PELARUTAN BIJIH BAUKSIT DENGAN SODA KAUSTIK MENJADI LARUTAN SODIUM ALUMINAT SKALA PILOT

Husaini*, Dessy Amalia, Yuhelda

Puslitbang Teknologi Mineral dan Batubara Jalan Jenderal Sudirman No 623, Bandung

*E-mail: [email protected]

Abstrak

Sodium aluminat merupakan bahan kimia anorganik yang penting karena digunakan sebagai sumber aluminium hidroksida untuk berbagai macam penggunaan. Sodium aluminat dihasilkan melalui proses digestion menggunakan bauksit sebagai bahan baku dan NaOH sebagai pereaktan. Proses digestion skala laboratorium sudah banyak dilakukan untuk memperbaiki performa hasil proses. Performa hasil proses ini ditingkatkan kapasitasnya melalui proses skala pilot pada kapasitas 100 kg umpan/batch. Hasil dari proses digestion skala pilot menunjukkan waktu proses terbaik adalah 1 jam dengan persen ekstraksi sebesar 63,13% sedangkan semakin bertambahnya waktu proses digestion diatas 1 jam (2;3;4 jam) menghasilkan persen ekstraksi semakin kecil. Tambahan pula semakin halus ukuran partikel bauksit ( -80; -100; -150 mesh) yang diumpankan maka persen ekstraksi semakin besar yaitu 73,43% pada ukuran partikel -150 mesh. Sementara semakin besar jumlah kelebihan NaOH yang digunakan menghasilkan persen ekstraksi semakin besar namun akan semakin sulit dihidrolisis sehingga ekses NaOH yang optimum adalah sebesar 21,6% yang menghasilkan persen ekstraksi Al2O3 mencapai 83, 99%. Hasil percobaan terbaik dalam proses digestion skala pilot menggunakan reaktor bertekanan dengan sampel yang kontak langsung dengan uap (steam) adalah menggunakan bijih bauksit berukuran -150 mesh selama 1 jam.

Kata kunci: Bauksit, Proses Bayer, Ekses NaOH, Sodium aluminat PENDAHULUAN

Bauksit merupakan mineral yang tersusun dari oksida aluminium yaitu berupa mineral buhmit (Al2O3.H2O) dan mineral gibsit (Al2O3.3H2O). Secara umum bauksit mengandung 45 – 65% Al2O3, 1 – 12% SiO2, 2 – 25%, Fe2O3, >3%, TiO2 dan 14 – 36% H2O. Indonesia memiliki sumber daya bauksit yang cukup besar yaitu sekitar 1.293.838.207 ton dengan cadangan sebesar 582.621.415 ton (Anonim, 2014). Sebelum berlakunya Permen No. 1 tahun 2014, bijih bauksit Indonesia hanya diekspor berupa bahan mentah, namun saat ini pemerintah mewajibkan pemilik IUP, dalam hal ini bijih bauksit, untuk mengolahnya menjadi alumina dan aluminium dengan mendirikan pabrik pemurnian sehingga memberikan nilai tambah bijih bauksit.

Banyak jenis proses sudah dikembangkan untuk ekstraksi alumina dari bijih bauksit untuk menghasilkan sodium aluminat, yaitu dengan pereaksi asam (pH<5) dan basa (pH>9) (Tompson, 1995). Pada proses asam (menggunakan asam sulfat), larutan yang dihasilkan di samping mengandung pengotor besi juga ditemui kendala pada saat proses presipitasi aluminanya karena menghasilkan presipitat berbentuk gelatin yang sulit disaring dan dicuci. Sedangkan pada proses basa dimulai oleh Henry Louis Le Chatelier asal Prancis dengan menggunakan pereaksi sodium karbonat (Na2CO3) yang dipanaskan pada suhu 1200°C dalam kondisi padat yang dilanjutkan dengan pelarutan dengan air, di mana larutan sodium aluminat yang dihasilkan dipresipitasi dengan karbon dioksida (CO2). Proses ini telah ditinggalkan setelah ditemukan proses Bayer oleh Karl Bayer (Rusia) yang menggunakan soda kaustik pada tahun 1887 dan proses ini lebih menguntungkan karena dapat dioperasikan pada suhu yang lebih rendah dan endapan yang didapat mudah disaring dan dicuci, sehingga proses ini paling umum digunakan sampai saat ini (Habashi, 2005). Untuk pereaksi soda kaustik, konsentrasinya yang digunakan untuk keperluan proses umumnya berkisar 100-300 g/liter pada suhu reaksi antara 140-280oC yang tergantung pada jenis bauksitnya (Thompson, 1995). Untuk bauksit jenis gibsit membutuhkan suhu reaksi sekitar 140oC, sedangkan jenis bohmit memerlukan suhu yang lebih tinggi yaitu antara 200-240oC. Walaupun suhu makin tinggi

Page 73: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

60 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

memberikan keuntungan dalam hal ekstraksinya, namun kerugiannya adalah masalah korosi terhadap peralatan dan kemungkinan oksida selain alumina juga ikut terlarut oleh kaustik soda (International Aluminium Institute, 2000).

Tahapan proses Bayer dimulai dengan pemecahan dan penggerusan untuk mendapatkan derajat liberasi yang dibutuhkan agar lebih mudah dalam ekstraksinya, dilanjutkan dengan pengayakan (klasifikasi). Bauksit halus dicampur dengan soda kaustik, kemudian dilarutkan/dimasak (digestion) menggunakan media pemanas berupa steam pada tekanan 60 lb/in2, suhu sampai 140oC, konsentrasi NaOH 140 g/L, waktu 60 menit yang menghasilkan larutan sodium aluminat yang dapat dipisahkan dari sisa padatan tidak larut (red mud) (Habashi, 1980). Adapun reaksi yang terjadi pada proses digestion bauksit tipe gibsit adalah sebagai berikut:

Al2O3.3H2O + 2NaOHaq → 2 NaAlO2 + 4 H2O (110-150 °C) (1)

Bauksit yang akan diolah dengan menggunakan proses Bayer, selain harus memiliki kadar alumina cukup tinggi (>45% Al2O3), kandungan silika reaktifnya harus cukup rendah. Secara umum, bila bijih bauksit mengandung silika reaktif> 7% (dasar kering) diproses dengan metoda Bayer, maka tidak ekonomis karena setiap 1 lb keberadaan silika reaktif dalam bijih akan mengkonsumsi dan menghilangkan 1 - 2 lb alumina serta menkonsumsi 2-3 lb soda kaustik (Sydney, 1961). Hal ini disebabkan, selain bereaksi dengan Al2O3, NaOH juga bereaksi dengan silica reaktif membentuk Na2O.SiO2 (sodium silikat) dan senyawa ini akan bereaksi dengan Na2O.Al2O3 (sodium aluminat) membentuk sodium aluminat silikat yang merupakan sodalite, sebagai berikut: Na2O.Al2O3 + 2 (Na2O. SiO2) + 4 H2O = Na2O.Al2O3. 2SiO2 + 2 H2O + 4 NaOH (2)

Senyawa Na2O.Al2O3. 2SiO2 ini akan segera mengendap bersama red mud.

Berdasarkan fenomena diatas, maka biasanya kandungan silika reaktif dalam bijih bauksit harus< 3%. Kandungan oksida besi dan titan juga harus relatif rendah karena kedua komponen tersebut sebagai vahan pengotor yang terbawa bersama red mud. Tetapi bauksit yang mengandung oksida besi sebesar 20% masih dapat digunakan untuk memproduksi logam aluminium. Untuk bauksit yang kandungan silikanya tinggi atau yang termasuk low grade biasanya digunakan metoda kombinasi antara proses Bayer dengan proses lime-sintering dilakukan oleh Alcoa. Metoda ini dapat memanfaatkan kelebihan dari kedua proses tersebut. Dalam proses Alcoa, residu dari proses Bayer dicampur dengan kapur dan soda api dan disinter pada suhu 1800-2000oF dan sinternya direaksikan dengan larutan soda api untuk melarutkan sebagian besar alumina dan sebagian kecil silika. Soda kasutik sisa hasil reaksi kemudian ditambahkan sebagai bagian dari umpan pada proses digestion pada proses Bayer. Proses ini mampu mengekstrak alumina dalam bauksit antara 85-90% dibandingkan dengan proses Bayer yang hanya mencapai di bawah 70% bila digunakan vahan baku yang sama (Sydney, 1961). Namun sampai saat ini, proses Bayer masih diaplikasikan secara komersial dan belum ada pabrik alumina menggunakan metode selain proses Bayer.

Metode lain untuk memperbaiki kinerja dari proses Bayer yaitu dengan menambahkan bahan desilikasi berupa kapur atau turunannya. Penambahan kapur dapat menurunkan jumlah konsumsi NaOH terutama pada suhu proses yang tinggi. Selain itu kapur juga dapat mengkonversi sodalite dan cancrinite menjadi hydrogamet dengan bantuan ion CO3

2-. Penambahan kapur juga dapat mengurangi pengotor berupa karbonat, silika dan phosphorous dalam larutan sodium aluminat (Pan dkk, 2012). Oleh sebab itu, kapur yang dipilih untuk percobaan digestion dalam tulisan adalah kalsium karbonat (CaCO3)

Sodium aluminat yang dihasilkan merupakan bahan kimia anorganik. Bahan ini digunakan sebagai sumber aluminium hidroksida yang diperoleh dari proses presipitasi larutan sodium aluminat supersaturasi dengan bantuan seed. Aluminium hidroksida yang

Page 74: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 61

dihasilkan dapat menjadi berbagai macam penggunaan, oleh sebab itu pembuatan sodium aluminat juga harus memperhatikan spesifikasi larutan yang sesuai untuk langkah proses berikutnya yaitu presipitasi.

Sodium aluminat anhidrat murni adalah kristal padat berwarna putih mempunyai beberapa rumus kimia yaitu NaAlO2, Na2O.Al2O3, atau Na2Al2O4. Pentingnya bahan ini secara komersial adalah karena aplikasi tekniknya yang beragam. Dalam sistem pengolahan air bahan ini digunakan untuk pelunakan air, sebagai koagulan untuk memisahkan padatan tersuspensi dan beberapa logam di antaranya Cr, Ba, dan Cu serta penghilangan silika terlarut. Di bidang teknik konstruksi, sodium aluminat dipakai untuk mempercepat pemadatan beton terutama bila bekerja selama perioda dingin (frosty). Bahan ini digunakan juga di industri kertas, produksi bata api dan alumina. Selain itu, bahan ini digunakan sebagai produk antara (intermediate product) dalam pembuatan zeolit sintetik untuk detergen, penapis molekul (molecular sieves), adsorben dan katalis (Contreas, dkk., 2006).

Pemanfaatan larutan sodium aluminat di atas menunjukkan pentingnya kualitas sodium aluminat yang dihasilkan. Kebutuhannya yang beragam menunjukkan akan jumlahnya yang diperlukan akan besar. Untuk itu, dalam paper ini akan dibahas mengenai optimasi ekstraksi bauksit dengan soda kaustik pada skala pilot untuk menghasilkan larutan sodium aluminat menggunakan reaktor bertekanan yang dilengkapi steam yang kontak langsung dengan sampel.

METODE PERCOBAAN Percobaan digestion dilakukan dengan menggunakan bauksit dari Kalimantan Barat

yang sudah melalui proses upgrading dengan kadar rata-rata 47,62% Al2O3 dan 3,09%. SiO2 reaktif. Kadar oksida yang digunakan adalah kadar rata-rata karena setiap percobaan kadar Al2O3 dan SiO2 reaktif pada bauksit yang digunakan tidak tepat sama. Percobaan digestion awal dilakukan terhadap umpan bauksit dengan ukuran partikel -80 mesh menggunakan NaOH yang berkonsentrasi 422 g/L dengan persen solid campuran sebesar 38%. Bahan-bahan tersebut dimasukkan ke dalam reaktor yang tampak pada Gambar 1 (reaktor berwarna biru) dengan pemanas steam bertekanan 4 atm yang kontak langsung dengan material dalam reaktor. Uap dihasilkan dari boiler (Gambar 1). Variasi yang pada ukuran partikel (-80, -100, dan -150 mesh) dilakukan selama 2 jam proses. Setelah itu ukuran partikel yang terbaik di lakukan variasi waktu pelarutan (digestion) yaitu 1;2;3;4 jam. Kebutuhan NaOH dihitung berdasarkan stoikometri reaksi terhadap kandungan Al2O3 dan SiO2 reaktif dalam bauksit.

Selain ukuran partikel, juga dilakukan percobaan dengan variasi ekses (berlebih) NaOH dengan kondisi percobaan yaitu ukuran umpan (bauksit tercuci) -150 mesh, suhu sekitar 140-150oC dengan tekanan steam antara 4-4,6 bar yang dihasilkan dari boiler (Gambar 2) dengan lama reaksi 1 jam. Bagan alir dan neraca massa proses dapat dilihat pada Gambar 3.

Percobaan digestion yang dilakukan menghasilkan slurry yang dialirkan ke filter press (Gambar 4) untuk dipisahkan larutan sodium aluminatnya dengan red mud. Larutan dan padatan yang dihasilkan dianalisis komposisi kimianya untuk mengetahui kandungan Al terlarut dan Al tidak terlarutnya yang dinyatakan sebagai Al2O3 dan persen ekstraksi dari proses digestion.

Gambar 1. Reaktor autoclaf

Page 75: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

62 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

Gambar 2. Boiler pembangkit steam

Gambar 3. Bagan alir dan neraca masa percobaan digesting skala pilot

Gambar 4. Filter Press untuk Pemisahan Larutan sodium aluminat dari red mud

HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam percobaan ini dapat dihasilkan filtrat sodium aluminat dan cake berupa red

mud, kedua produk dihasilkan dari filtrasi dengan menggunakan filter press. Persen ekstraksi yang dihasilkan dihitung berdasarkan kadar (%) Al2O3 dalam filtrate dan red mud yang dihasilkan. Data persen ekstraksi yang dihasilkan untuk variasi ukuran partikel selama 2 jam proses pada Gambar 5 menunjukkan semakin halus ukuran partikel, maka semakin besar persen ekstraksi yang diperoleh. Semakin halus partikel, maka derajat liberasi mineral gibbsite yang kandungan utamanya Al2O3 semakin besar. Inklusi mineral tersebut dalam pengotor terbebaskan sehingga lebih banyak Al2O3 mudah terekstrak. Namun energi yang dibutuhkan semakin besar untuk mendapatkan ukuran partikel yang semakin halus (Sahoo, 2014). Untuk itu perlu dilakukan optimasi terhadap variabel lain yaitu waktu dengan ukuran partikel kasar yaitu -80 mesh seperti yang tertera pada Gambar 6.

Page 76: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 63

Gambar 5. Persen ekstraksi Al2O3 hasil digestion bauksit dengan variasi ukuran partikel (-80;

-100 dan -150 mesh) selama 2 jam

Gambar 6. Persen ekstraksi Al2O3 hasil digestion bauksit ukuran - 80 mesh dengan

bertambahnya waktu

Persen ekstraksi pada ukuran partikel -80 mesh dengan bertambahnya waktu cenderung semakin berkurang. Hal ini disebabkan dengan bertambahnya waktu jumlah sodium aluminat yang dihasilkan bereaksi kembali dengan kelebihan NaOH yang ada dalam proses membentuk suatu padatan yang dikenal dengan sodalite (Na2O.Al2O3.2SiO2). Sehingga semakin bertambahnya waktu maka jumlah sodium aluminat yang dihasilkan semakin berkurang. Berdasarkan hasil penelitian Amalia dkk (2014), persen ekstraksi menanjak curam pada menit ke 0 sampai 15 dan hampir tunak pada menit ke 15 sampai 60, sehingga dapat disimpulkan bahwa pada menit ke 15 reaksi antara NaOH dengan Al dari gibbsite yang dikandung dalam bijih bauksit bereaksi secara optimum. Sehingga pada ukuran partikel -80 mesh yang terbaik dari variasi waktu adalah 1 jam namun hendaknya dilakukan juga percobaan dengan variasi waktu kurang dari 1 jam sesuai dari hasil percobaan Dessy dkk (2014). Selain itu, persen ekstraksi tertinggi hanya 63,13% disebabkan boiler yang diharapkan dapat mensuplai steam 5 – 6 atmosfer (bar) ternyata terbatas hanya 4 – 4,5 bar. Tekanan tersebut sepadan dengan suhu di bawah 100oC, padahal yang diharapkan diatas 120oC. Hal tersebut terjadi diakibatkan dari sistem pemipaan dan pompa yang bocor. Selain itu, filter press sering tak berfungsi dengan baik akibat kain filter yang tidak kuat. Untuk itu perlu dilakukan kembali percobaan dengan fasilitas pendukung yang memadai.

Selain ukuran partikel dan waktu, yang mempengaruhi persen ekstraksi adalah jumlah pereaktan dalam percobaan ini adalah NaOH. Penambahan NaOH yang divariasikan mulai dari 1,37% stoikiometri sampai ekses 35% berdasarkan jumlah Al2O3 dalam bauksit. Data tersebut menunjukkan bahwa nilai ekstraksi alumina terjadi fluktuasi terhadap variasi ekses

Page 77: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

64 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

NaOH, namun ada kecenderungan yang nyata yaitu semakin tinggi ekses NaOH yang digunakan, persen ekstraksi alumina semakin tinggi. Fluktuasi nilai ekstraksi ini disebabkan oleh terbentuknya sodalite yang dihasilkan dari sodium aluminat dan sodium silikat dengan adanya kelebihan NaOH. Dengan ekses NaOH 35% lebih, persen ekstraksi alumina mencapai lebih dari 92%. Sebaliknya bila ekses NaOH lebih rendah, persen ekstraksi alumina mengalami penurunan. Untuk ekses NaOH di bawah 6%, persen ekstraksi alumina yang dicapai relatif rendah yaitu di bawah 60%. Ekses NaOH yang memberikan persen ekstraksi alumina yang optimum adalah berkisar 16-22%, dengan persen ekstraksi alumina di atas 80%. Rentang angka ekses tersebut dikatakan optimum karena bila larutan sodium aluminat yang dihasilkan dihidrolisis,akan memberikan hasil yang baik. Berbeda sekali dengan ekses NaOH yang terlalu tinggi, walaupun persen ekstraksi proses digestion lebih tinggi, namun larutan sodium aluminat yang dihasilkan sulit dihidrolisis. Hal ini disebabkan konsentrasi NaOH yang berlebih akan melarutkan seed yang dipakai untuk proses hidrolisis. Hasil percobaan digestion dengan variasi ekses NaOH dapat dilihat pada Tabel 1. Ilustrasi pengaruh ekses NaOH terhadap ekstraksi Al2O3 dapat dilihat pada Gambar 7.

Tabel 1. Digestion bauksit variasi ekses NaOH

No. Ekses NaOH (%) Ekstraksi Al2O3 (%) 1 1,37 26,65 2 1,49 43,99 3 2,59 32,32 4 3,41 57,97 5 5,90 33,74 6 8,41 48,76 7 16,37 73,78 8 19,74 53,97 9 21,60 83,99 10 24,48 53,23 11 25,45 74,18 12 26,46 74,79 13 28,83 78,32 14 31,40 69,97 15 35,25 92,15

Gambar 7. Pengaruh ekses NaOH terhadap persen ekstraksi Al2O3

Page 78: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 65

KESIMPULAN Dari hasil dan pembahasan di atas, diperoleh kesimpulan sebagai berikut:

Semakin lama proses digestion dilakukan (1;2;3 dan 4 jam) semakin kecil (<63,13%) persen ekstraksi yang diperoleh. Hal ini disebabkan sodium aluminat yang dihasilkan bereaksi kembali dengan sejumlah NaOH yang berlebih membentuk padatan yang disebut sodalit.

Semakin halus ukuran partikel, maka semakin besar persen ekstraksi karena semakin besar derajat liberasi dan gibbsite yang terlepas dari pengotor makin banyak. Namun eenrgi pengecilan ukuran yang dibutuhkan besar.

NaOH ekses yang dapat menghasilkan persen ekstraksi Al2O3 sampai >90% yaitu >35%, namun filtrat sodium aluminat (NaAlO2) yang dihasilkan sulit dihidrolisis sehingga hasil optimasi digestion yang baik adalah menggunakan NaOH ekses 21,6% dengan persen ekstraksi Al2O3 yang diperoleh 83,99%.

Saran yang dapat dilakukan untuk memperbaiki hasil proses diatas, adalah sebagai berikut :

1. Lakukan percobaan dengan ukuran -80 mesh dengan variasi waktu kurang dari 1 jam (60 menit);

2. Fasilitas pendukung alat seperti tekanan steam dan kain filter pada filter press harus dibenahi untuk memperoleh kondisi operasi yang optimum.

UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Kementerian Energi dan Sumber Daya

Mineral atas dukungan anggaran penelitian yang disediakan. Tak lupa diucapkan terima kasih kepada Kusna Wijaya, atas bantuannya dalam proses digestion di plant Bauksit, Citatah.

DAFTAR PUSTAKA 1. Antam, PT, Tbk, 2014. Rotary Drum Scrubber di UBPB Tayan. Tayangan Presentasi

Unit Bisnis Pertambangan Bauksit di Focus Group Discussion Bauksit di Puslitbang tekmira

2. Anonim, 2012. Kajian Kebijakan Pengembangan Industri Mineral Sebagai Kawasan Ekonomi Khusus. Pusat Data dan Informasi, Kementrian energi dan Sumber Daya Mineral.

3. Amalia D, Suganal, Wahyudi T. dan Husaini, 2014. Pengaruh ukuran partikel, suhu, stokiometri NaOH terhadap ekstraksi alulmina dan kandungan silika terlarutnya dari Bauksit Kalimantan Barat (skala Laboratorium). Jurnal Teknologi Mineral dan Batubara Vol. 10, No.2, ISSN 1979-6560.

4. Contreas,A., Sugita, S., dan Ramos, E., 2006. Preparation of Sodium Aluminate From Basic Aluminium Sulfate. Azo Journal of Materials Online, Volume 2.

5. Habashi, F., 2005 .A History of hydrometallurgy.Hydrometallurgy, 79, 15-22.Elsevier. 6. Pan X., Yu H., Wang B., Zhang S., Tu, G., dan Bi S, 2012. Effect Of Lime Addition

On The Predesilication And Digestion Properties Of A GibbsiticBauxite.Light Metals 2012Edited by: Carlos E. Suarez. TMS (The Minerals, Metals & Materials Society).

7. Sahoo A., 2014. Simulation studies on Energy Requirement, Work Input and Grindability of Ball Mill.International Journal of Emerging Technology and Advanced EngineeringVolume 4, Issue 2, Halaman592 – 597.

8. Smith, P., 2009. The Processing Of High Silica Bauxites — Review Of Existing And Potential Processes. Hydrometallurgy,98,162–176.

9. Sydney, Margery, and Johnstone, J., 1961.Minerals for the Chemical and allied Industries, Edisikedua, John Wiley & Sons Inc, New York, USA, hal. 5-28

10. Thompson, R., 1995.Industrial Inorganic Chemicals : Production and Uses, The Royal Society of Chemistry, Cambridge CB4 4WF, UK.

Page 79: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

66 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

11. The International Aluminium Institute, 2000, Bayer Process Chemistry, World Aluminium Org., home of the International Aluminium Institute.

Page 80: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 67

PENGAMATAN PELEPASAN UNSUR KARBON PADA PROSES KALSINASI DOLOMIT GRESIK DENGAN SEM - EDX

Eko Sulistiyono*, F.Firdiyono, Deddy Sufiandi, Nadia C

Pusat Penelitian Metalurgi dan Material – LIPI Gedung 470, Kawasan Puspiptek, Setu, Tangsel

*E-mail: [email protected]

Abstrak Proses kalsinasi dalam mineral yang berbasis karbonat seperti kalsit, dolomite dan magnesit banyak

menjadi perhatian bagi para peneliti yang berkecimpung dalam pembuatan bahan magnesium karbonat maupun kalsium karbonat. Hal ini karena setiap mineral karbonat seperti dolomite, kalsit dan magnesit memiliki ciri yang berbeda-beda disetiap daerah di berbagai belahan dunia. Pada percobaan ini dilakukan pengamatan SEM-EDX pada hasil kalsinasi 75°C dengan waktu kalsinasi 4 jam dan dengan pembanding dolomite yang belum dilakukan proses kalsinasi. Dari hasil pengamatan dengan SEM-EDX terlihat bahwa sebelum dilakukan kalsinasi persebaran unsur karbon dibanding dengan unsure kalsium dan magnesium adalah membentuk pola yang sama, dimana unsur karbon tinggi maka unsur Mg dan Ca juga tinggi. Kemudian setelah dilakukan proses kalsinasi maka persebaran unsur karbon dengan Mg dan Ca tidak empiris, dimana pada konsentrasi kalsium tinggi maka unsur karbon belum tentu tinggi demikian juga dengan unsur Mg. Dari pengamatan SEM-EDX terlihat bahwa pelepasan unsur karbon pada terjadi pada unsure karbon yang melekat pada magnesium dan kalsium. Kata kunci: Dolomit, Kalsinasi, Karbon, Magnesium, Kalsium PENDAHULUAN

Mineral Dolomit merupakan mineral dalam kelompok mineral karbonat yang berasal dari proses pelindian alami antara batu kapur / kalsium karbonat dengan magnesium dari air laut membentuk MgCO3.CaCO3 atau disingkat dengan CaMg(CO)3

[1]. Dolomit pertama kali didiskripsikan oleh ahli mineralogist dari Perancis bernama Deodat De Dolomeu pada tahun 1791 dari tempat terdapatnya mineral dolomit di Pegunungan Alpen[1]. Mineral dolomit tersebar diseluruh Indonesia, dengan kandungan terbesar berada di sepanjang pantai utara Jawa Timur dengan deposit terbesar di Kabupaten Lamongan dan Gresik[2]. Di beberapa daerah di Kabupaten Lamongan dan Gresik Dolomit hanya dimanfaatkan untuk bahan baku bangunan berupa batu kumbung yaitu bata berwarna putih hasil dari proses pemotongan mineral dolomit menjadi seukuran batako[2].

Mineral Dolomit jika diolah lebih lanjut dapat digunakan sebagai bahan baku industry seperti magnesium karbonat untuk keperluan industri farmasi dan sebagai bahan pengisi untuk industri kertas yang memberikan efek putih cerah[3,4]. Sebagai langkah awal dalam pemanfaatan mineral dolomit, maka diperlukan proses kalsinasi untuk melepaskan ikatan kabonat dalam dolomit sehingga dolomite menjadi aktif. Jika dolomit tidak dikalsinasi maka mineral dolomite tersebut sulit bereaksi dengan bahan lain seperti asam sulfat, asam chlorida, air dan lain-lain[5].

Proses kalsinasi adalah proses pelepasan unsur kabonat dalam mineral dolomit yang mengasilkan gas karbondioksida sehingga dolomit menjadi senyawa oksida berupa CaO dan MgO[6]. Dalam perkembanganya proses kalsinasi dolomite dibedakan menjadi dua macam proses yaitu proses kalsinasi parsial dan proses kalsinasi total. Proses kalsinasi parsial adalah kalsinasi sebagian yaitu kalsinasi pada temperatur rendah yaitu 700OC sampai 800OC dan dihasilkan MgO dan CaCO3

[7]. Sedangkan kalsinasi total adalah proses kalsinasi dolomit secara menyeluruh sehingga hanya tersisa MgO dan CaO dengan pelepasan karbonat pada kedua unsure Mg dan Ca, dengan temperature proses pada rentang 900OC sampai 1.000OC[8].

Pada tulisan ini akan dipaparkan hasil analisa SEM-EDX pada hasil kalsinasi parsial dan dolomite bahan Baku. Pada proses ini menggunakan bahan baku dolomit dari Gunung

Page 81: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

68 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

Sekapuk di Gresik, Jawa Timur. Proses kalsinasi dilakukan pada temperature 750°C selama dua jam dalam tungku muffle furnace menggunakan krusibel karbida salamander. Percobaan ini merupakan bagian dari kegiatan pembuatan magnesium karbonat dari mineral dolomit yang dilakukan di Pusat Penelitian Metalurgi dan Material – LIPI. Tujuan dari pengamatan proses kalsinasi dengan SEM-EDX adalah untuk melihat persebaran unsur karbon pada matriks magnesium dan kalsium dalam dolomit hasil dari proses kalsinasi. METODE PERCOBAAN

Pada penelitian ini bahan baku dolomit diperoleh dari hasil pengambilan di daerah penambangan dolomit yang berada dalam kawasan pertambangan dolomite G. Sekapuk milik P.T. Plowijo Gosari di Kabupaten Gresik. Sebelum dilakukan penelitian bijih dolomit dari Kabupaten Gresik dikarakterisasi dengan menggunakan instrumen XRF untuk melihat komposisi mineral, dengan hasil analisis sebagai berikut:

Tabel 1. Hasil Analisa XRF basis kering pada Dolomit G. Sekapuk, Kabupaten Grasik

No Component Kadar ( % Wt) No Senyawa Kadar ( % Wt) 1 CaO 32,5937 4 SiO2 0,4629 2 MgO 19,6018 5 Al2O3 0,4337 3 LOI 43,5019 6 Fe2O3 0,1436

Dari hasil analisa XRF tersebut dicoba untuk dihitung jika terjadi proses kalsinasi

menjadi CaO dan MgO dengan reaksi sebagai berikut :

MgCO3 ========== MgO + CO2 ………….(1) CaCO3 ========== CaO + CO2 ……………(2)

Berdasarkan data literature sebelumnya, proses kalsinasi untuk MgCO3 terjadi lebih dahulu dibandingkan dengan kalsinasi CaCO3

[7,8]. Jika melihat hasil analisa XRF terlihat bahwa kandungan MgO dalam bahan baku adalah 19,6018 % berat, sedangkan kadar CaO adalah 32,5973 %. Dari hasil perhitungan stoikiometri maka jika seluruh MgCO3 mengalami proses kalsinasi menjadi MgO terjadi pengurangan berat karena terbentuk gas CO2 sebanyak 21,16 %, sehingga menjadi 78,84 %. Kemudian jika MgCO3 dan CaCO3 dalam dolomite terurai menjadi MgO dan CaO terjadi pengurangan berat 46,77 % menjadi gas CO2 sehingga berat akhir menjadi 53,23 %.

Setelah diperoleh bahan baku kemudian bahan baku dihancurkan sampai ukuran butiran 0,5 cm dengan pertimbangan ukuran tersebut adalah ukuran yang paling optimum. Kemudian dolomite dilakukan kalsinasi pada temperatur 750OC selama 4 jam dalam tungku muffle furnace. Hasil proses kalsinasi selanjutnya dilakukan karakterisasi dengan analisa XRD, dilanjutkan dengan Mapping SEM-EDX untuk melihat pelepasan gas CO2 apakah terletak pada titik unsure Mg atau Ca dalam dolomite. HASIL DAN PEMBAHASAN

Dari hasil percobaan kalsinasi pada temperatur 750OC selama 4 jam terhadap dolomit dengan ukuran butiran 0,5 cm diperoleh hasil terjadi pengurangan berat sebesar 27,74 % sehingga menjadi 72,26 %. Berdasarkan perhitungan stoikiometri terlihat bahwa pada dolomite tersebut telah melewati kalsinasi parsial, dimana kalsinasi parsial terjadi pada rentang 100 % sampai 78,84 %. Pada rentang 78,84 % sampai 53,23 % dalam rentang kalsinasi total, pada kalsinasi 53,23 % berarti terjadi kalsinasi secara sempurna yaitu terbentuk CaO dan MgO yang maksimal. Dengan melihat data tersebut dapat disimpulkan bahwa kalsinasi pada temperatur 750°C selama 4 jam terhadap dolomit dengan ukuran

Page 82: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 69

butiran 0,5 cm menghasilkan MgO dan CaO dimana MgCO3 seluruhnya berekasi dan CaCO3 sebagian kecil bereaksi.

Namun hal ini belum dapat dijadikan kesimpulan bahwa seluruh MgCO3 telah terkalsinasi. Oleh karena itu perlu dilakukan analisis XRD terhadap hal tersebut dengan membandingkan XRD pada bahan baku. Adapun hasil analisa XRD dapat dilihat pada gambar di bawah sebagai berikut:

Gambar 1. Hasil Analisa XRD sebelum dan sesudah kalsinasi

Dari hasil analisa XRD terlihat bahwa sebelum kalsinasi peak didominasi oleh peak

MgCO3.CaCO3 dengan peak yang lain sangat kecil. Dari data tersebut terlihat bawa pada mineral dolomit hanya ada peak MgCO3.CaCO3 dan tidak ada terlihat peak CaCO3 hal ini berbeda dengan perhitungan stoikiometri menunjukkan bahwa unsur Mg dibanding Ca dalam perbandingan mol : 49 : 58. Dengan melihat hasil analisa XRD setelah dilakukan kalsinasi terlihat bahwa pada kalsinasi 750°C tersebut unsur dolomite terurai menjadi MgCO3 dan CaCO3, kemudian masing-masing melakukan kalsinasi menjadi MgO dan CaO. Dari hasil analisa setelah kalsinasi terbukti tidak ada peak MgCO3.CaCO3 sehingga sebelum temperature tersebut dolomite sudah terurai terlebih dahulu menjadi menjadi MgCO3 dan CaCO3. Dari hasil kalsinasi pada temperatur 750°C tersebut di atas terbukti bahwa ada sebagian CaCO3 yang terkalsinasi menjadi CaO meskipun dalam jumlah yang sangat kecil.

Dari hasil pemetaan dengan menggunakan SEM-EDX terlihat bahwa unsur kalsium memiliki konsentrasi yang cukup tinggi pada semua bidang butiran dolomit yang belum diproses. Unsur magnesium konsentrasi tinggi hanya pada beberapa titik dan pada umumnya jumlahnya kurang dari 50 % unsur kalsium.

Page 83: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

70 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

Gambar 2. Mapping persebaran unsur Ca, Mg, O dan C dalam bahan baku dolomit

Page 84: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 71

Dari Gambar 2 dapat diketahui bahwa dalam mineral dolomite jumlah Ca dan Mg tidak selalu dalam posisi perbandingan yang sama, sehingga dalam mineral dolomite tidak semua unsur kalsium dan magnesium terikat membentuk MgCO3.CaCO3 tetapi ada yang lepas berupa CaCO3 tunggal. Pada pemetaan SEM-EDX terlihat bahwa konsentrasi unsur karbon dalam dolomite terjadi pada pinggir sampel dan yang di tengah konsentrasinya rendah, hal ini berbeda dengan persebaran unsur oksigen yang cenderung tersebar merata. Hal ini menunjukkan bahwa unsur oksigen disamping terikat dengan karbon juga terikat erat dengan unsur Ca dan Mg, dari hal tersebut dapat diketahui bahwa sangat sulit membuat logam Ca dan Mg dari mineral dolomit secara langsung.

Setelah melihat hasil pemetaan SEM-EDX pada mineral dolomite sebelum dilakukan kalsinasi maka langkah berikutnya adalah pemetaan SEM-EDX pada mineral dolomite setelah dilakukan kalsinasi pada temperatur 750°C selama 4 jam. Hasil dari pemetaan pada Gambar 3 terlihat bahwa persebaran konsentrasi unsur C telah berkurang cukup banyak dibanding unsur Mg dan Ca.

Gambar 3. Mapping persebaran unsur Ca, Mg, dan C dalam dolomite hasil kalsinasi

Pada Gambar 3 terlihat bahwa persebaran konsentrasi unsur karbon mengikuti persebaran unsure Ca dari pada unsur Mg. Sehingga dapat diketahui bahwa proses kalsinasi terjadi sebagian besar baru terjadi pada unsur Mg, sementara itu unsur Ca sebagian besar masih berikatan dengan karbon. Dengan membandingkan mapping unsur Ca,Mg dan karbon setelah proses kalsinasi dapat ditarik kesimpulan bahwa proses kalsinasi dolomit terjadi pada unsur Mg terlebih dahulu dari pada unsur Ca.

Page 85: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

72 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

KESIMPULAN 1. Dolomit sebagai bahan baku percobaan yang berasal dari Kabupaten gresik memiliki

kualitas yang cukup tinggi, hasil perhitungan stoikiometri menunjukkan perbandingan mol unsure Mg dan Ca yaitu 49 : 58 mendekati 1 : 1.

2. Hasil analisa XRD menunjukkan bahwa sebelum kalsinasi peak pada dolomite didominasi oleh peak MgCO3.CaCO3 dan tidak ada peak CaCO3. Setelah dilakukan kalsinasi terbukti bahwa ada sebagian CaCO3 yang terkalsinasi menjadi CaO meskipun dalam jumlah yang sangat kecil.

3. mineral dolomite tidak semua unsur kalsium dan magnesium terikat membentuk MgCO3.CaCO3 tetapi ada yang lepas berupa CaCO3 tunggal.

4. Unsur oksigen disamping terikat dengan karbon juga terikat erat dengan unsur Ca dan Mg, dari hal tersebut dapat diketahui bahwa sangat sulit membuat logam Ca dan Mg dari mineral dolomit secara langsung.

5. Dengan membandingkan mapping unsur Ca,Mg dan karbon setelah proses kalsinasi dapat ditarik kesimpulan bahwa proses kalsinasi dolomit terjadi pada unsur Mg terlebih dahulu dari pada unsur Ca.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada P.T. Polowijo Gosari yang telah berkenan membantu dalam hal penyediaan sampel dolomit dari G. Sekapuk yang telah kami jadikan sebagai bahan percobaan.

DAFTAR PUSTAKA 1. Lalu Jamaludin (2010 ), “ Artikel Bahan Galian Industri : Dolomit, “ Makalah Ilmiah ,

Program Studi Kimia Fakultas MIPA Universitas Mataram, Mataram , 7-10. 2. Dinas Pertambangan Daerah Provinsi Jawa Timur (1996). ” Memperkenalkan Bahan

Galian Golongan C di Jawa Timur “ Dolomit “. Pemerintah Daerah Tingkat I Provinsi Jawa Timur.

3. J.A.H. Oates (1998),” Lime and Limestone: Chemistry and Technology, Production,” John Wiley _VCH , 1 Edition ( July 8,1998 ), ISBN-10 : 3527295275.

4. Sastrawiguna, S ( 2000), “ Pembuatan Magnesium Karbonat Sebagai Bahan Baku Pemutih Kertas” Laporan Teknik Proyek Penelitian dan Pengembangan Material Tahun Anggaran 2000 , Pusat Penelitian Metalurgi LIPI.

5. Samtani M, Dollimore D, Alexander K (2002) , “ Comparison of Dolomite Decomposition Kinetics With Related Carbonates an The Effect of Procedural Variables On Its Kinetic Parameters, “ Thermocimica Acta 392-393 , 135-145.

6. H. Gelai, M. Pijolat , K. Nahdi , M. Trabelsi-Ayadi (2007) ,” Mechanism of Growth of MgO and CaCO3 During a Dolomite Partial Decomposition”, Journal Solid State Ionics, 178 : 1039-1047

7. Andliswarman ( 2003) , “ Proses Ekstraksi MgO Dari Mineral Dolomit dan Analisis Techno Enonomic Proses Produksi “ Tesis Magister Bidang Ilmu Material, Universitas Indonesia.

8. Eni Febriana (2011) , ” Kalsinasi Dolomit Lamongan Untuk Pembuatan Bahan Baku Kalsium dan Magnesium Karbonat Presipitat “ , Skripsi Program Ekstensi Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia.

Page 86: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 73

PENGARUH TERTUNDANYA PENGOLAHAN BIJIH NIKEL LATERIT KADAR RENDAH DENGAN HPAL DI INDONESIA TERHADAP

PASOKAN NIKEL DUNIA

Puguh Prasetyo Pusat Penelitian Metalurgi dan Material – LIPI Gedung 470, Kawasan Puspiptek, Setu, Tangsel

E-mail: [email protected] Abstrak

Negeri ini berlimpah dengan sumber daya alam bijih nikel oksida yang lazim disebut laterit. Laterit jenis saprolit berkadar nikel tinggi (Ni>1,8%) sudah diolah dengan jalur pirometalurgi di Sulawesi Tenggara. Perusahaan yang mengolah saprolit adalah PT Aneka Tambang untuk memproduksi FeNi (ferro nikel) di Pomalaa, dan PT INCO Canada untuk memproduksi nikel matte (NiS) di Sorowako. Laterit berkadar nikel rendah yang terdiri dari limonit dan saprolit kadar rendah (Ni<1,8%), belum diolah di dalam negeri. Untuk mengolah laterit kadar rendah pada skala industri digunakan proses Caron dan HPAL (High Pressure Acid Leaching). Kedua proses tersebut termasuk pengolahan dengan jalur hidrometalurgi. Pemerintah RI sudah mengeluarkan ijin untuk mengolah laterit pulau Gag Papua dengan proses Caron kepada PT Pasific Nickel USA pada tahun 1968/1969. Ijin untuk mengolah laterit dengan HPAL (High Pressure Acid Leaching) juga diberikan pada awal tahun 1998. Kepada PT BHP Australia untuk laterit pulau Gag Papua dan PT Weda Bay Nickel (WBN) Canada untuk laterit teluk Weda Halmahera. Sampai saat ini (akhir tahun 2010) belum satupun ijin tersebut direalisasikan. Dengan adanya kegagalan tiga HPAL plant di Australia (Bulong, Cawse, dan Murrin Murrin) yang commissioning hampir bersamaan pada akhir tahun 1998. Maka semakin jauh laterit kadar rendah diolah dengan HPAL ditanah air, dan kenyataan ini berpengaruh terhadap pasokan nikel dunia. Kata kunci: Laterit kadar rendah, Limonit, Saprolit, Ni<1,8%, HPAL, Pasokan nikel PENDAHULUAN

Di alam semesta ada dua jenis bijih nikel, yaitu nikel sulfida berada dibelahan bumi subtropis dan nikel oksida yang lazim disebut laterit berada di belahan bumi khatulistiwa. Dimana cadangan nikel dunia sekitar 70 % adalah laterit. Distribusi cadangan nikel tersebut, dapat dilihat pada Tabel 1 s/d 3 .

Tabel 1. Cadangan nikel dunia[3]

Mt % Ni Mt Ni % Total Bijih Sulfida 10500 0,58 62 27,8 %

Laterit (Oksida) 12600 1,28 161 72,2 % Total 23100 0,97 % 223 100 %

Tabel 2. Cadangan nikel dunia dari bijih nikel sulfida[3]

Negara MT % Ni Mt Ni % Rusia Canada Australia China Afrika Lain lain

2036 1475 1158 552 2932 2441

0,86 1,10 0,76 1,20 0,27 0,19

17,5 16,2 8,7 6,6 7,8 4,6

29 % 26 % 14 % 11 % 13 % 7 %

Total 10.594 0,58 62 100 %

Page 87: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

74 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

Tabel 3. Cadangan nikel dunia dari laterit[7] Negara MT % Ni Mt Ni %

Australia Afrika Amerika Latin Karibia Indonesia Philipina Kaledonia Baru Asia dan Eropa Australasia dll

2452 996 1131 944 1576 2189 2559 506 269

0,86 1,31 1,51 1,17 1,61 1,28 1,44 1,04 1,18

21 13 17 11 25 28 37 5 3

13,1 % 8,1 % 10,6 % 6,9 %

15,7 % 17,4 % 22,9 % 3,3 % 2,0 %

Total 12621 1,28 161 100 %

Walaupun total cadangan laterit ± 70 % cadangan dunia (lihat Tabel 1) kenyataan yang ada untuk pasokan nikel dunia ± 43 % (510 kt Ni /tahun pada 2003) berasal dari laterit. Dimana sebagian besar pasokan berasal dari pengolahan laterit dengan jalur pirometalurgi (± 60 %) terutama dari produk FeNi (ferro nikel). Sisanya berasal dari pengolahan laterit dengan jalur hidrometalurgi (± 40 %). Walaupun laterit didominasi oleh laterit kadar rendah yang sesuai untuk diolah dengan jalur hidrometalurgi, dan kenyataan tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Laterit untuk bahan baku jalur proses pirometalurgi dan hidrometalurgi[3]

Jalur Cadangan Mt Kadar % Ni Kandungan Ni Mt

% Distribusi

Pirometalurgi Hidrometalurgi

4000 8600

1,55 1,15

62 99

39 61

Total 12600 1,28 161 100

Diperkirakan pasokan nikel dunia yang berasal dari laterit meningkat menjadi 51 % pada tahun 2012, dan sebagian besar pasokan tersebut berasal dari pengolahan laterit dengan proses HPAL (High Pressure Acid Leaching) yang termasuk jalur hidrometalurgi[3].

Dengan adanya penutupan HPAL plant dan penundaan pembangunan HPAL plant diberbagai tempat khususnya ditanah air. Maka perkiraan bakal terjadi peningkatan produksi nikel (Ni) dari HPAL menjadi meleset. Hal ini akan berpengaruh terhadap pasokan dan harga nikel dunia. Adapun HPAL plant yang ditutup berada di Australia, yaitu Bulong tutup tahun 2003, Cawse tahun 2008, dan Reventhorpe awal tahun 2009. Sedangkan yang ditunda pembangunannya di Indonesia adalah PT Weda Bay Nickel (WBN) Eramet Perancis yang beroperasi diteluk Weda Halmahera. Gambaran Produksi Dan Kebutuhan Nikel Dunia

Negara negara yang merupakan papan atas produksi nikel dunia pada tahun 2000-an sampai 2004 adalah Rusia, Canada, Australia, Kolumbia, dan Indonesia. Produksi nikel tersebut berasal dari penambangan dan hasil produksi pengolahan bijih nikel oksida (laterit) maupun sulfida.

Dari penambangan nikel, Indonesia yang memproduksi 93.000 ton Ni pada 1999 menjadi 145.000 ton Ni pada tahun 2003. Kaledonia Baru yang memproduksi 99.000 ton Ni pada 1999 menjadi 126.000 ton Ni pada tahun 2003. Australia yang memproduksi 122.000 ton Ni pada 1999 menjadi 199.000 ton Ni pada tahun 2003. Hanya Canada yang mengalami penurunan produksi dari186.000 ton Ni pada 1999 menjadi 156.000 ton Ni pada tahun 2003[8].

Untuk hasil produksi pengolahan nikel, Australia mengalami kenaikan dari 85.000 ton Ni pada tahun 1999 menjadi 127.000 ton Ni pada tahun 2003. Jepang juga mengalami

Page 88: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 75

kenaikan produksi dari 134.000 ton Ni pada tahun 1999 menjadi 165.000 ton Ni pada tahun 2003. Selanjutnya Canada mengalami penurunan produksi dari 137.000 ton Ni pada tahun 2001 menjadi 124.000 ton Ni pada tahun 2003[8].

Adapun gambaran produksi nikel dunia dapat dilihat pada Gambar 1 dan 2[8].

Gambar 1. Produksi tambang nikel dunia

Gambar 2. Produksi pengolahan bijih nikel

Dari penjelasan di atas terlihat bahwa ada kenaikan produksi nikel dunia, untuk

penambangan laterit terutama berasal dari Indonesia, Kaledonia Baru, dan Australia. Sedangkan pengolahan laterit berasal dari peningkatan kapasitas produksi PT Antam di Pomalaa, PT INCO Canada di Sorowako, produk HPAL plant di Australia, dan FeNi (ferro nikel) dari Jepang. Dimana Jepang untuk bahan baku pabrik FeNi mengimpor saprolit dari Indonesia, Philipina, dan Kaledonia Baru. Untuk produksi nikel dunia yang berasal dari bijih nikel sulfida diduga mengalami penurunan. Hal ini tercermin dari hasil produksi pertambangan maupun pengolahan nikel di Canada.

Terjadinya kenaikan produksi nikel dunia karena kebutuhan nikel yang terus meningkat terutama untuk stainless steel (SS). Selain untuk SS, nikel juga digunakan untuk plating, high Ni alloy, low Ni alloy, foundry, dan Cu alloy. Adapun pertumbuhan pemanfaatan nikel secara global dari tahun 2000 - 2006, dapat dilihat pada Gambar 3.

Page 89: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

76 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

Gambar 3. Pertumbuhan pemanfaatan nikel secara global dari 2000 s/d 2006[5]

Sampai saat ini China adalah negara paling banyak mengkonsumsi nikel terutama

untuk SS. Tentu sangat membutuhkan bahan baku terutama laterit karena China hanya memiliki cangan nikel sulfida. Oleh karena itu tidak heran apabila China mengimpor laterit dalam jumlah besar khususnya dari Indonesia, dan ini tercermin dari peningkatan penambangan laterit ditanah air. Dari penambangan nikel, Indonesia yang memproduksi 93.000 ton Ni pada 1999 menjadi 145.000 ton Ni pada tahun 2003. Adapun bukti bahwa China mengkonsumsi nikel terbesar dunia, dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. China mengkonsumsi nikel terbesar dunia[5]

Pertumbuhan SS dari negara lain yang cukup besar selain China ádalah India yang

maju dalam industri besi/baja, dan hal ini dapat dilihat pada Gambar 5.

Page 90: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 77

Gambar 5. Pertumbuhan stainless steel secara global[5]

Untuk mendapatkan SS sesuai dengan pertumbuhan tentunya dibutuhkan nikel yang

seimbang dengan pertumbuhan SS, dan perkiraan konsumsi nikel secara global tersebut dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Perkiraan konsumsi nikel untuk stainless steel dari 1995-2010[5]

Pengolahan Laterit

Ada dua jalur proses pengolahan laterit untuk memasok kebutuhan nikel dunia, yaitu pirometalurgi dan hidrometalurgi. Adapun diagram alir proses pengolahan laterit dengan jalur pirometalurgi dan hidrometalurgi, dapat dilihat pada Gambar 7.

Page 91: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

78 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

Gambar 7. Diagram alir proses pengolahan laterit[3]

Pirometalurgi digunakan untuk mengolah saprolit berkadar Ni tinggi (di Indonesia Ni≥

1,8%) untuk memproduksi FeNi (ferro nikel) seperti produksi PT Aneka Tambang di Pomalaa. Atau untuk memproduksi nikel matte (NiS) seperti produksi PT INCO Canada di Sorowako. Sebagian besar jalur pirometalurgi digunakan untuk memproduksi FeNi untuk bahan baku stainless steel.

Hidrometalurgi digunakan untuk mengolah laterit kadar rendah yang terdiri dari limonit dan saprolit dengan kadar Ni<1,8% (untuk Indonesia). Pada skala industri digunakan proses Caron dan proses HPAL. Di Indonesia belum ada pabrik pengolahan laterit kadar rendah dengan hidrometalurgi, baru sebatas ijin dari pemerintah.

Pionir pengolahan laterit kadar rendah dengan jalur hidrometalurgi adalah Freeport USA yang beroperasi di Cuba. Freeport membangun pabrik untuk mengolah serpentin dengan proses Caron di Nicaro pada tahun 1942/1943, tutup tahun 1947, dan dibuka lagi pada tahun 1952. Proses Caron tergolong pada jalur pyro-hidrometalurgi karena melakukan tahapan pengeringan yang dilanjutkan dengan kalsinasi/reduksi pada T ± 7600C, dan terhadap produk kalsinasi/reduksi dilakukan leaching (pelindian) dengan pelarut AAC (Ammonia Ammonium Carbonate) pada temperatur kamar dan tekanan atmosfir.

Pabrik untuk mengolah limonit dengan proses HPAL (High Pressure Acid Leaching) di Moa Bay juga dibangun oleh Freeport pada tahun 1959. Limonit dileaching (pelindian) dengan asam sulfat (H2SO4) pada temperatur (230 – 260 °C) dan tekanan tinggi (4000 – 4500 kPa) di dalam autoclave.

Selanjutnya proses Caron dan HPAL digunakan diberbagai tempat (Philipina, Australia, dan Brasilia) seperti yang ditunjukkan pada Tabel 5 di bawah ini.

Tabel 5. Contoh pabrik pabrik pengolahan laterit di dalam dan luar negeri

Operasi Negara Perusahaan Mulai Kt Ni/tahun

Produk Proses

Doniambo Pomalaa Sorowako Nicaro Moa Bay Punta Gorda

Kaledonia Indonesia Indonesia Cuba Cuba Cuba

SLN/Eramet PT Antam PT INCO Freeport Freeport Union del

1879/ 1958 1975 1995 1977 2000 1952 1959 2000 1986

49 11 5 6 45 23 23 25 6

31,5

FeNi Matte FeNi FeNi Matte Matte NiO NiS NiS NiO

Pyro

Pyro

Pyro

Caron HPAL

Caron

Page 92: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 79

*Surigao Yabulu Sao Paulo Murrin Murrin Cawse Bulong

Philipina Australia Brasilia Australia Australia Australia

Niquel Freeport Freeport/QNY/BHP Tocantins Anaconda Nickel Centaur Resolute/Preston Resources

1974 1974 1981 1999 1998 1999

35 18 10

17,5 40 9 7

Briket Briket Briket Elektoda Briket Ni Elektoda Elektoda

Caron Caron

Caron HPAL HPAL HPAL

* Surigao Philipina tutup pada tahun 1986 Produk Surigao dan Yabulu adalah briket NiO Produk Tocantin, Bulong, dan Cawse adalah elektroda Ni Bulong tutup tahun 2003, menysusul Cawse tutup tahun 2008, dan Murrin Murrin

berpindah kepemilikan ke Minara pada tahun 2003/2004. Minara merubah menjadi heap leach pada tahun 2007/2008.

Pemerintah Cuba dibawah rezim Fidel Castro menasionalisasi Freeport pada tahun

1960, dan pada saat nasionalisasi Moa Bay plant belum selesai pembangunannya. Dengan bantuan Uni Soviet (saat ini Rusia) maka Moa Bay plant bisa diselesaikan pembangunannya pada tahun 1961. Setelah mengalami berbagai macam kesulitan selama 6 – 7 tahun maka plant mulai berjalan normal, dan sampai tahun 1990-an menjadi satu satunya HPAL plant didunia.

Untuk lebih menyempurnakan Moa Bay HPAL Plant, pemerintah Cuba bekerja sama dengan Sherrit Gordon Canada pada tahun 1993. Dimana kepemilikan saham pada kerja sama tersebut masing masing 50%. Sebelum kerja sama, produksi tertinggi ± 19.500 ton (Ni + Co)/tahun dalam bentuk NiS dicapai pada tahun 1989. Setelah kerja sama dengan Sherrit maka produksi Moa Bay plant bisa ditingkatkan menjadi 20.651 ton (Ni + Co)/tahun dalam bentuk NiS pada tahun 1995, dan meningkat menjadi 26.035 (Ni + Co) ton/tahun dalam bentuk NiS pada tahun 1996. Selanjutnya kapasitan Moa bay ditambah dari 25 kt/tahun menjadi 31 kt/tahun pada tahun 2000, dan ada rencana ditingkatkan menjadi 49.000 ton/tahun. Kesuksesan Moa Bay HPAL Plant menyebabkan HPAL menjadi trend untuk mengolah laterit. Karena HPAL lebih unggul dari jalur pirometalurgi maupun proses Caron, yaitu dalam perolehan (recovery) diatas 90 % untuk Ni maupun Co dengan konsumsi energi yang rendah. Selanjutnya sejalan dengan kebutuhan nikel dunia yang terus meningkat terutama untuk stainless steel. Maka bermunculan rencana pembangunan pabrik pengolahan laterit kadar rendah dengan HPAL oleh para pemain nikel dunia. Proyek proyek HPAL plant yang segera direalisasi adalah sebagai berikut:

1. Cawse berkapasitas ± 9 kt Ni/tahun 2. Bulong berkapasitas ± 7 kt Ni/tahun 3. Murrin Murrin berkapasitas ± 40 kt Ni/tahun 4. Coral Bay of Sumitomo/Mitsui Jepang berkapasitas ± 10 kt Ni/tahun di Philipina 5. Revensthorpe Australia berkapasitas ± 45 kt Ni/tahun milik BHP 6. Goro Kaledonia Baru berkapasitas ± 54 kt Ni/tahun milik INCO Canada

Kemudian menyusul proyek proyek HPAL yang lain misalnya pulau Gag Papua oleh BHP Australia, Weda Halmahera oleh PT Weda Bay Nickel (WBN) Canada, Ramu di Papua Nugini oleh MMC China, dsb.

Tiga HPAL plant generasi kedua yang telah dibangun di Australia ternyata gagal. Walaupun pengolahan laterit dengan HPAL telah sukses secara laboratorium maupun pilot plant. Dari hasil evaluasi ternyata kegagalan HPAL plant di Australia karena mengolah

Page 93: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

80 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

limonit berkadar silikat tinggi (SiO2 ± 42 %). Sedangkan Moa Bay HPAL plant bisa sukses karena mengolah limonit berkadar silikat rendah (SiO2 < 10 %).

Revensthorpe langsung tutup setelah pabrik dengan kapasitas 45 kt Ni/tahun selesai dibangun pada awal tahun 2009. Sedangkan Goro demonstration plant tutup pada pertengahan tahun 2010. Dimana INCO membangun Goro demonstration plant dengan tujuan melakukan uji coba semi plant sebelum dibangun Goro HPAL plant dengan kapasitas 54 kt Ni/tahun dalam bentuk NiO.

Dari enam (6) HPAL plant yang disebutkan diatas hanya Coral Bay of Sumitomo/Mitsui Jepang di Philipina dengan kapasitas 10 kt Ni/tahun adalah HPAL plant yang sukses. Kesuksesan Coral Bay diduga karena mengolah laterit kadar rendah mirip dengan laterit di Moa Bay Cuba. Dimana Coral Bay yang memproduksi nikel hydroxide telah commisioning pada tahun 2005, dan saat ini (akhir tahun 2010) kapasitasnya telah ditingkatkan menjadi 20 kt Ni/tahun.

Adapun perbandingan silikat (SiO2) pada laterit terutama untuk HPAL plant, dapat dilihat pada Tabel 6 dibawah ini.

Tabel 6. Komposisi kimia laterit untuk bahan baku proses pengolahan

Unsur Kimia

(% berat)

PT Antam PT INCO Moa Bay (HPAL)

Nicaro (Caron)

Murrin Murrin (HPAL)

Ni Co

Cr2O3 Fe2O3 MgO CaO SiO2 Al2O3 MnO

P H2O LOI

2,20 0,05

0,4 (Cr) 13,40 (Fe)

23,60 0,4

38,80 1,4

0,7 (Mn) 0,003

- 11

1,8 0,07

- 18 (Fe) 10 (Mg)

- 34

1,3 0,1 3 64 1,7 1

3,7 8,5 1 -

17,5

1,4 0,1 1 30 8 1 40 2

0,5 -

10

1,3 0,09

- 22 (Fe) 4 (Mg)

- 42

2,5 (Al) 0,4 (Mn)

Akibat dari kegagalan tiga HPAL plant di Australia yang diharapkan bisa menambah

pasokan nikel dunia. Maka terjadi defisit nikel ± 41.000 ton Ni pada pasar global pada tahun 2006 (dari 1,36 Mt produksi global), dan harga nikel turun naik seperti roller coaster. Harga nikel mencapai puncak $51,000/ton pada Mei 2007. Padahal pada tahun 2006 harga nikel pada kisaran $12,000 – 16,000/ton. Sedangkan harga tahun 2002 masih $7,000/ton saat tiga HPAL plant Australia masih beroperasi.1)

Untuk perkembangan pengolahan laterit dengan HPAL ditanah air, PT WBN Canada berpidah kepemilikan ke Eramet Perancis pada Mei 2006. Sampai saat ini PT WBN Eramet belum mewujudkan proyeknya. Sedangkan BHP mengembalikan ijin pulau Gag Papua ke pemerintah pada tahun 2008/2009.

Kenyataan adanya penutupan HPAL plant di Australia dan penundaan pembangunan HPAL plant diberbagai tempat khususnya ditanah air. Hal ini akan berpengaruh terhadap pasokan dan harga nikel dunia. Inilah peluang riset untuk mengolah laterit kadar rendah oleh bangsa sendiri agar kita punya posisi dengan pihak asing saat asing berminat untuk mengolah laterit kadar rendah di tanah air.

Page 94: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 81

KESIMPULAN 1. Teknologi pengolahan laterit kadar rendah dengan HPAL yang diharapkan bisa

memasok kebutuhan nikel dunia yang terus meningkat. Ternyata gagal pada skala plant saat digunakan untuk mengolah laterit kadar rendah terutama limonit yang mengandung silikat tinggi (SiO2 > 10 %). Walaupun secara laboratorium dan pilot plant tidak ada masalah.

2. Kenyataan adanya penutupan HPAL plant di Australia dan penundaan pembangunan HPAL plant diberbagai tempat khususnya ditanah air. Hal ini akan berpengaruh terhadap pasokan dan harga nikel dunia. Inilah peluang riset untuk mengolah laterit kadar rendah oleh bangsa sendiri agar kita punya posisi dengan pihak asing saat asing berminat untuk mengolah laterit kadar rendah di tanah air.

DAFTAR PUSTAKA 1. Cross, Jessica., ”Outlook for the International nickel market”, Virtual Metals Research

& Consulting Ltd, t/a The VM Group/Mine Life 85 Albany Street, London-NW1 48T, http://www.virtualmetals.co.id, Presentation for Indaba February 2008, Cape Town.

2. Chalkley, M.E., Toirac, I.C., “The Acid Pressure Leach Process for Nickel and Cobalt Laterite, Part I : Review of Operation at Moa”, Hydrometallurgy and Refining of Nickel and Cobalt, Proceeding of Nickel-Cobalt 97 International Symposium-Volume 1, August 17-20, 1997, Sudbury, Ontario, Canada. 36th Conference of Metallurgist of CIM. 27th Hydrometallurgical Meeting of CIM.

3. Dalvi, Ashok D., Bacon, W.Gordon., Osborne, Robert C., “The Past and Future of Nickel Laterites”, Inco Limited, 2060 Flavellle Boulevard, Sheridan Park, Mississauga, Ontario, L5K 1Z9 Canada, PDAC 2004 International Convention, Trade Show & Investors Exchange, March 7 – 10, 2004.

4. Habashi, Fathi., “Nickel in Cuba”, Extractive Metallurgy of Copper, Nickel, and Cobalt, Proceeding of the Paul E.Queneau International Symposium 1993.

5. Kirves, Marja., “The Outlook for Nickel : Back to Fundamentals”, MK Commodities Consulting, [email protected], Raw Materials Group 6th Annual Exploration & Mining Investment Conference November 13, 2009.

6. Kyle, J.H., Furfaro, D., “The Cawse Nickel/Cobalt Laterite Project Metallurgical Process Development”, Hydrometallurgy and Refining of Nickel and Cobalt, Proceeding of Nickel-Cobalt 97 International Symposium-Volume 1, August 17-20, 1997, Sudbury, Ontario, Canada. 36th Conference of Metallurgist of CIM. 27th Hydrometallurgical Meeting of CIM.

7. Krause, Eberhard., Kerfoot, Derek., “Nickel Processing Technologies and the Next Millennium”, Inco Technical Services Limited, 1999 Parker Centre Hydrometallurgy Conference, October 10 – 12, 1999.

8. Raja, B.V.R., Talwar, P.L., Jayaswal, N.P., “Global Outlook of Nickel Market”, Alloy Steels Plant, Steel Authority of India, Ltd., Durgapur -713 208., Metal World, September 2005.

9. Reuters, “Update 2 Goro Nickel Mine Still Delay”, 21 April 2010 10. Rustiadi, “Identifikasi Mineralogi Bijih Nikel Laterit Kadar Rendah Halmahera Serta

Kemungkinan Pengolahannya Kedepan”, Kegiatan Program Insentif Bagi Peneliti & Perekayasa LIPI, DIKTI – LIPI, Laporan akhir tahun 2009.

11. The Cofremmi Acid Leach Process For Laterite Ores, COFREMMI S.A, Compagnie Francaise d’Entreprises minieres, Metallurgi ques et d’Investissements.

12. Wicker, Gordon R., Jha, Mahesh C., “Developments in the AMAX-COFREMMI Acid Leach Process for Nickel Laterites”, 25th Annual Conference of Metallurgist of CIM, Toronto Canada, August 17 – 20, 1986.

13. Motteram, G., Ryan, M., Weizenbach, R., “Application of the Pressure Acid Leach Process to Western Australian Nickel/Cobalt Laterite”, Hydrometallurgy and Refining

Page 95: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

82 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

of Nickel and Cobalt, Proceeding of Nickel-Cobalt 97 International Symposium-Volume 1, August 17-20, 1997, Sudbury, Ontario, Canada. 36th Conference of Metallurgist of CIM. 27th Hydrometallurgical Meeting of CIM.

Page 96: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 83

PEMBENTUKAN TITANIUM SILIKON KARBIDA DARI BAHAN BAKU ELEMENTER

Solihin

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI Komplek LIPI, Jl. Sangkuriang, Bandung

E-mail: [email protected] Abstrak

Indonesia memiliki sumber daya mineral yang mengandung logam titanium, karbon dan silikon. Ketiga unsur elementer ini dapat digunakan untuk memproduksi titanium silikon karbida. Titanium silikon karbida merupakan material yang memiliki sebagian sifat logam dan keramik. Material ini merupakan kandidat material untuk aplikasi seperti elektroda pada peleburan logam, rotator pada bangkit tenaga listrik dan lain-lain Material ini dapat dibuat menggunakan bahan baku unsur elementer melalui proses plasma discharge sintering. Hasil percobaan menunjukkan bahwa pembentukan titanium silikon karbida didahului oleh pembentukan senyawa intermediate titanium silisida dan titanium karbida. Titanium silikon karbida telah terbentuk secara signifikan pada temperature 1300°C.

Kata kunci: Mineral, Keramik, Karbida, Plasma, Sintering PENDAHULUAN

Indonesia memiliki sumber mineral titanium, silikon dan karbon yang melimpah dalam bentuk ilmenite, kwarsa, silikat, dan batubara[1]. Ketiga unsur dalam mineral-mineral tersebut dapat digunakan untuk membuat titanium silikon karbida. Titanium silikon karbida merupakan material yang memiliki sebagian sifat logam dan keramik. Material ini dapat digunakan pada aplikasi yang memerlukan gabungan sifat logam dan keramik seperti elektroda pada peleburan logam, rotator pada pembangkit tenaga listrik dan lain sebagainya[2]. Material ini dapat disintesis pada berbagai system bahan baku. Salah satunya adalah sistem bahan baku elementer Ti-Si-C[3,4]. Walaupun secara teoritis titanium silikon karbida dapat dibuat melalui sistem bahan baku ini tetapi penelitian mengenai mekanisme pembentukannya masih belum banyak dilakukan[5,6]. Oleh karena itu dalam penelitian ini akan dilakukan penyelidikan mengenai mekanisme pembentukan titanium silikon karbida melalui sistem bahan baku Ti-Si-C. METODE PERCOBAAN

Titanium, silikon karbida dan grafit dicampur dan diaduk secara otomatis selama 24 jam. Hasil pencampuran kemudian ditempatkan pada cetakan yang terbuat dari grafit dan dilakukan pengepresan dan pensinteran melalui peralatan plasma discharge sintering dalam kondisi vakum. Penentuan untuk menentukan senyawa pada sampel hasil penyinteran serta pengamatan morfologinya dilakukan melalui peralatan X-Ray Diffraction (XRD) dan Scanning Electron Microscope (SEM). HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 1 menunjukkan pola XRD dari sampel yang disinter pada temperatur 700, 900 dan 1200°C. Pada sampel yang disinter pada temperatur 700°C unsur/senyawa yang ditemukan adalah titanium, silikon, karbon dan titanium silisida. Sangat jelas terlihat bahwa pada temperatur ini sudah terjadi pembentukan dua jenis titanium silisida yakni Ti3Si5, TiS dan TiC. Berdasar eksistensi tiga senyawa ini maka kemungkinan persamaan reaksi yang terjadi pada temperatur ini adalah :

5Ti + 3Si Ti5Si3 (1) Ti5Si3 + 2Si 5TiSi (2) Ti + C TiC (3)

Page 97: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

84 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

Karena pada temperatur 700°C titanium dan silikon masih berada dalam fasa padat, maka kedua reaksi di atas merupakan reaksi antar padatan. Sesuai dengan pola reaksi antar padatan umumnya, maka dalam hal ini titanium silisida mulai terbentuk pada titik kontak antara butiran titanium dan silikon dan kemudian reaksi tersebut berlangsung progresif ke arah jari-jari dalam masing-masing butiran titanium dan silikon tersebut. Titanium silikon karbida baru mulai terbentuk pada temperature 900°C. Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang juga melaporkan pembentukan titanium silikon karbida juga telah dilaorkan terbentuk pada temperatur ini[5,6,7]. Pada sampel yang disinter pada temperatur ini terdapat titanium silikon karbida dan titanium karbida tetapi tidak ditemukan senyawa elementer awal (titanium dan silikon). Titanium dan silikon pada temperatur sejak temperatur 700°C telah membentuk titanium silisida, sedangkan karbon pada temperatur yang lebih tinggi dari 700°C kemungkinan besar telah membentuk titanium karbida. Pada temperatur 900°C tidak ditemukan titanium silisida dan hanya ditemukan puncak intensitas minor titanium karbida. Oleh karena itu reaksi pembentukan Ti3SiC2 diduga kuat melibatkan titanium silisida dan titanium karbida. Titanium karbida yang tersisa adalah sisa titanium karbida yang belum bereaksi dengan titanium silisida.

TiSi + 2TiC Ti3SiC2 (4)

Gambar 1. Profil XRD dari sampel yang disinter pada berbagai temperatur

Gambar 2. Morfologi hasil sintering pada temperatur 700°C

Hasil pengamatan melalui Scanning Electron Microscope (SEM-EDS) terhadap

sampel yang telah disinter pada temperatur 700°C menunjukkan adanya silikon, karbon, titanium silisida dan titanium karbida. Hasil ini sama dengan hasil pengamatan sebelumnya

Page 98: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 85

melalui XRD yang menunjukkan eksistensi senyawa-senyawa tersebut pada temperatur 700°C.

Gambar 3. Morfologi hasil sintering pada temperatur 700°C

Gambar 4. Morfologi hasil sintering pada temperatur 1300°C

Analisa morfologi terhadap sampel yang disinter pada temperatur 900 dan 1300°C

menunjukkan eksistensi silikon, titanium silisida dan titanium karbida. Terlihat bahwa reaksi pembentukan senyawa intermediate semakin progresif sehingga hampir seluruh karbon dan silikon bereaksi membentuk titanium silisida dan karbida. Pengamatan morfologi (Gambar 2 dan Gambar 3) juga menunjukkan bahwa di dalam sampel yang disinter pada temperatur 700 dan 900°C belum ditemukan adanya titanium silikon karbida. Jelas bahwa pada rentang temperatur ini pembentukan titanium silikon karbida belum dimungkinkan. Selain itu, pembentukan titanium silikon karbida juga tidak dimungkinkan langsung terbentuk dari unsur elementer karena unsur-unsur tersebut telah terlebih dahulu membentuk senyawa intermediate titanium silisida dan titanium karbida. Titanum silikon karbida baru mulai terbentuk secara siginfikan pada temperatur 1300°C, seperti yang diperlihatkan pada Gambar 3. Gambar ini memperlihatkan morfologi dari sampel yang disinter pada temperatur 1300°C. Terlihat bahwa sampel tersebut mangandung du senyawa yakni titanium silikon karbida dan titanium karbida. Titanium silikon karbida merupakan senyawa yang dominan dalam sampel tersebut. KESIMPULAN

Titanium silikon karbida dapat diproduksi dari unsur-unsur elementer titanium, silikon dan karbon melalui proses plasma discharge sintering. Hasil sintering pada 700°C menunjukkan telah terjadinya pembentukan titanium silisida dan titanium karbida sebagai senyawa intermediate. Pembentukan senyawa intermediate ini terus berlangsung dengan naiknya temperatur pada rentang temperatur 700-900°C. Pada rentang temperatur tersebut belum terjadi pembentukan titanium silikon karbida secara signifikan. Titanium silikon karbida baru terbentuk secara signifikan melalui reaksi antara senyawa-senyawa intermediate

Page 99: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

86 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

tersebut pada temperatur lebih tinggi, dan pada temperatur 1300°C telah terjadi pembentukan titanium silikon karbida secara signifikan.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Z.M. Sun dan Sdri. Tomomi Sato dari Divisi Material System Advanced Industrial Science and Technology Tohoku Center yang telah membantu terlaksananya kegiatan penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA 1. Pusat Data dan Informasi ESDM. 2012. Kajian Supplay dan Demand Mineral. Jakarta.

Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral. 2. Barsoum, MW, Raghby, T. 1996. Synthesis and Characterization of a remarkable

Ceramic: Ti3SiC2 . J. Am. Ceramic Soc. 79[7].1953-1956. 3. Arunajatesan, S. 1995.Synthesis of Titanium Silikon Carbide. J. American Soc. 78

[3].667-6721 4. Radhakrishnan, R. 1994. Synthesis and high temperature stability of Ti3SiC2. J. of

Alloy and Compound 285. 85-88 5. Solihin. 2013.Mekanisme Pembentukan Titanium Silikon Karbida dari Sistem Ti-SiC-C.

Jurnal Metalurgi 23[3] 6. Solihin. 2013. Pembuatan Keramik Komposit Karbida. Seminar Material dan Metalurgi

2013. 7. Solihin. 2001. Research Report in Titanium Silikon Carbide Synthesis. Advanced

Industrial Science and Technology, Japan.

Page 100: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 87

PENGARUH PENGGUNAAN ELEKTRODA TERHADAP KARAKTERISTIK PRODUK MANGAN DIOKSIDA

Eko Sulistiyono

Pusat Penelitian Metalurgi dan Material – LIPI Gedung 470, Kawasan Puspiptek, Setu, Tangsel

E-mail: [email protected]

Abstrak Seiring dengan dikembangkannya teknologi baterai lithium yang menggunakan bahan katoda lithium

manganese phosphate maka diperlukan peningkatan kualitas produk mangan dioksida. Salah satu tuntutan kualitas dari bahan baku katoda baterai lithium adalah produk mangan dioksida bebas dari logam berat seperti timbal, air raksa dan lain-lain serta logam titanium yang mempengaruhi tegangan baterai lithium. Untuk menghasilkan produk mangan dioksida sesuai dengan criteria bahan katoda baterai lithium diperlukan modifikasi penggunaan elektroda timbal. Pada penelitian ini dilakukan percobaan penggantian elektroda timbal dengan elektroda grafit dan stainless Steel untuk melihat apakah penggantian elektroda ini dapat meningkatkan kualitas produk mangan dioksida. Penggunaan elektroda grafit menghasilkan kualitas mangan dioksida yang lebih baik dan hasil produk lebih banyak dibandingkan dengan elektroda timbal untuk kondisi percobaan dan wadah elektroda yang sama.

Kata kunci: Mangan dioksida, Elektroda, Timbal, Stainless steel, Grafit, Mangan sulfat PENDAHULUAN

Baterai lithium merupakan baterai masa depan yang cerah karena memiliki keunggulan antara lain dapat dibuat dalam ukuran mikro, memiliki densitas energi yang tinggi dan dapat diisi ulang hingga ribuan kali serta ramah lingkungan. Seiring dengan tuntutan baterai lithium yang memiliki densitas energy yang tinggi, terutama untuk mobil listrik maka dikembangkan paduan bahan katoda baterai lithium dengan bahan oksida nikel dan kobalt[1]. Kemudian dalam perkembangan berikutnya ditemukan bahan mangan dioksida yang mengantikan bahan nikel dan kobalt dengan keunggulan bahan lebih murah, resiko ledakan yang rendah dan memiliki kapasitas sangat besar pada rentang 2,5 - 4,6 V. Output energi >1 Wh g-1, dengan potensi limit point elektrolit cairan ionik dan operasi >40oC[1]. Telah dikembangkan juga paduan bahan katoda lithium manganese yang dapat diaplikasikan untuk baterai pada mobil listrik yang memiliki densitas energy yang cukup tinggi[2].

Dalam perkembanganya telah muncul varian yang lebih baik dari batere lithium manganese yang dilakukan oleh The National Institute of Advanced Industrial Science and Technology (AIST) di Jepang[3]. Hasil penelitian dari institut tersebut yang dipublikasikan pada tahun 2011 telah menemukan varian baru dari batere lithium manganese yaitu Lithium titanat manganese dengan rumus kimia Li0,44Mn0,78Ti0,22O2 bahan tersebut memiliki density energi yang lebih besar dimana density nya mencapai 180 mAh/g[3,4].

Bahan mangan dioksida untuk pembuatan bahan katoda baterai lithium adalah mangan dioksida hasil dari proses elektrolisis larutan mangan sulfat, yang dikenal dengan bahan Electrolytic Manganese Dioxyde[5]. Pada proses elektrolisa ini diperoleh bahan mangan dioksida berupa serbuk berwarna hitam yang menempel pada bahan anoda sehingga dikenal dengan proses elektrowinning[6]. Sebagai bahan baku digunakan larutan mangan sulfat yang memiliki sifat stabil dan dapat diperoleh dari proses reduksi bijih mangan kadar rendah dengan bantuan hidrogen peroksida[6]. Melalui proses leaching dengan asam sulfat mempunyai keuntungan disamping stabil dari oksidasi juga mampu untuk melalukan proses leaching terhadap bijih mangan yang memiliki kadar mangan rendah[7].

Untuk menghasilkan mangan dioksida dari larutan mangan sulfat dengan proses elektrowinning diperlukan bahan elektroda yang berkualitas. Bahan elektroda yang berkualitas adalah elektroda yang tahan terhadap media dan korosi akibat adanya arus listrik

Page 101: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

88 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

sehingga bahan tersebut tidak mencemari produk[8]. Pusat Penelitian Metalurgi dan Material – LIPI melalui kegiatan sinas telah mengembangkan proses elektrolisis larutan mangan sulfat dengan menggunakan bahan elektroda logam timbal pada kedua elektrodanya[9]. Penggunaan elektroda timbal memiliki keunggulan antara lain logam timbal harganya jauh lebih murah dibandingkan dengan logam mulia seperti platimun, emas dan perak. Dengan menggunakan bahan elektroda titanium menimbulkan pengotor titanium yang menurunkan mutu mangan dioksida untuk bahan katoda baterai lithium karena anoda baterai lithium menggunakan bahan lithium titanat[1].

Oleh karena itu pada peneletian ini akan dilakukan proses elektrolisa dengan mengganti elektroda timbal dengan bahan Grafit dan Stainless Steel. Adapun elektroda yang diganti adalah elektroda negatif yaitu pada katoda sedangkan anoda tetap menggunakan timbal tetapi dibungkus dengan kain tipis sehingga mangan dioksida yang terbentuk di anoda tidak melekat erat pada plat timbal. Hasil penelitian yang dilakukan di Pusat Penelitian Metalurgi dan material-LIPI melalui program Sinas tahun 2014 diperoleh hasil optimum kadar MnO2 mencapai 97 %[9]. Tetapi meskipun kadar MnO2 sampai 97 % terdapat pengotor timbal dalam jumlah yang cukup tinggi yaitu sekitar 2 %. METODE PERCOBAAN

Pada percobaan ini dilakukan proses elektrolisis larutan mangan sulfat yang berasal dari proses reduksi bijih mangan dari Kabupaten Tasikmalaya. Bijih mangan dari Kabupaten Tasikmalaya memiliki kualitas yang cukup bagus dengan kadar MnO2 yang cukup tinggi dan mengandung pengotor alumina, silica dan besi dalam jumlah yang sedikit. Prosedur percobaan pada penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Bahan baku

Pada percobaan elektrolisa ini dilakukan proses pembuatan bahan baku terlebih dahulu yaitu larutan mangan sulfat. Mangan sulfat pada penelitian ini dibuat dari hasil reduksi bijih mangan Kabupaten Tasikmalaya dengan proses leaching menggunakan asam sulfat. Dari proses leaching ini diperoleh larutan mangan sulfat berwarna pink dengan pH sekitar 1-3.

2. Variabel Proses Pada percobaan ini dilakukan pengujian perbedaan penggunaan elektroda terhadap kualitas produk mangan dioksida, terutama adanya kadar timbal dalam produk. Variabel tetap dalam percobaan ini adalah sebagai berikut: Ukuran volume proses 5 liter Temperatur proses dijaga 80oC Kuat arus 25 A dan tegangan 5 V. Waktu proses 5 jam pH larutan sekitar 1

Page 102: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 89

Gambar 1. Rangkaian proses elektrolisa

3. Karakteristik Produk

Setelah dilakukan proses elektrolisa selama lima jam maka diperoleh produk padatan yang melekat pada kain yang menempel pada anoda. Padatan selanjutnya dilepaskan dari kain dan lempengan anoda sehingga diperoleh butiran mangan dioksida berwarna hitam. Selanjutnya dilakukan proses karakterisasi meliputi :

Karakterisasi kandungan unsur dengan menggunakan analisis XRF Karakterisasi komposisi senyawa dengan analisis XRD Karakterisasi bentuk butiran dengan analisis SEM-EDX.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Setelah dilakukan proses elektrwinning seperti diatas maka diperoleh produk serbuk MnO2 berwarna hitam yang dikumpulkan dari anoda. Hasil percobaan dan pembahasan adalah sebagai berikut: 1. Perolehan Mangan Dioksida

Dari hasil percobaan perolehan mangan dioksida terlihat bahwa dengan menggunakan bahan katoda Stainless Steel diperoleh hasil yang lebih banyak dari pada grafit. Hal ini menujukkan bahwa penggunaan bahan kaoda logam yang memiliki hambatan arus lebih rendah maka proses elektrowinning lebih cepat. Penggunaan logam Stainless Steel pada percobaan dengan kualitas logam yang rendah ternyata ada sebagian bahan katoda yang terkorosi. Penggunaan logam Stainless Steel menghasilkan katoda yang lebih capat diganti sehingga menambah anggaran untuk pengadaan bahan elekroda. Adapun hasil perolehan dari kedua proses tersebut adalah sebagai berikut :

Tabel 1. Hasil perolehan Mangan Dioksida No Katoda Perolehan (g) % Efisiensi 1 Stainless Steel 89,22 44 2 Grafit 68,01 34

Page 103: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

90 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

Dari hasil perolehan diatas terlihat bahwa proses elektrolisis berjalan masih jauh dari sempurna, hal ini dapat dilihat dari persentase efisiensi yang kurang dari 50 %. Hal ini terutama dari bahan katoda grafit dengan perolehan hanya 34 % dari perhitungan teori. Oleh karena itu proses elektrolisis perlu disempurnakan terutama pada proses pemanasan mangan sulfat dimana pada proses pemasan ini menggunakan kompor listrik yang diletakkan dibawah. 2. Analisa Kandungan Unsur Dengan XRF

Dari hasil analisa XRF terlihat bahwa kadar mangan yang diperoleh baik dengan elektroda Stainless dan elektroda grafit diperoleh kadar 93 %. Hal ini masih jauh dibandingkan proses yang telah dilakukan dengan menggunakan wadah yang lebih sempurna dengan hasil optimal kadar mangan dioksida sekitar 97 %. Hasil analisa XRF pada produk mangan dioksida dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Hasil analisa XRF pada produk MnO2

No. Oksida Kadar ( % Berat ) Basis Kering Pada Elektroda Pb-Pb Pb-SS Pb-Grafit

1 MnO2 97,5033 93,3066 93,5147 2 Al2O3 0,0109 1,3890 1,7565 3 Fe2O3 0,3161 0,9652 0,1818 4 CaO 0,1328 0,2570 0,1522 5 As2O3 0,0349 0,0000 0,0000 6 P2O3 0,2165 0,0049 0,0035 7 Sb2O5 0,0135 0,0158 0,0076 8 K2O 0,0376 0,0094 0,1267 9 PbO 1,6267 1,7414 1,0040 10 SiO2 0,0000 2,2302 3,1652 11 Sc2O3 0,0407 0,0370 0,0289

Meskipun diperoleh hasil percobaan dengan kadar yang lebih rendah, namun dengan

mengganti katoda dari timbale dengan grafit dan stailess steel mampu mengurangi kadar timbal pada produk untuk penggantian dengan elektroda grafit. Dengan mengganti elektroda tersebut terjadi penurunan kadar timbal menjadi sekitar 1 % untuk elektroda grafit, sementara itu untuk elektroda Stainless Steel tidak terjadi penurunan. Dari hasil analisa XRF terlihat bahwa dengan menggunakan bahan katoda grafit diperoleh kualitas yang lebih bangus dari pada elektroda Stainless Steel. Sehingga dengan menyempurnaan pada proses elektrowinning tidak menutup kemungkinan penggunaan katoda grafit mampu meningkatkan kadar mangan dioksida diatas 97 %. 3. Analisa Komposisi Senyawa Dengan XRD

Dengan melihat hasil analisa dengan menggunakan XRD terlihat bahwa kedua produk tersebut masih bersifat amorf. Hal ini dapat dilihat dari peak analisa XRD pada Gambar 2 yang tidak menghasilkan puncak yang tajam.

Page 104: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 91

Gambar 2. Puncak hasil analisa XRD pada elektroda Pb-Grafit dan Pb-Stainless steel

Dari hasil analisa XRD terlihat bahwa untuk sampel Pb-Grafit lebih banyak

persenyawaan MnO2 dengan jenis peak Akhtensite dan jenis pyrolusite dan jumlah peak pengotor lebih sedikit. Sedangkan untuk produk Pb-Stainless Steel terlihat hanya ada tiga peak MnO2 bentuk Akhtensite dan pyrolusite tidak ada. Dari hasil analisa XRD terlihat bahwa produk MnO2 dengan elektroda Pb-Grafit memiliki pengotor yang lebih sedikit dan kualitas produk lebih baik dari pada MnO2 dengan elektroda Pb-Stainless Steel. Hal ini sesuai dengan hasil analisa XRF yang juga menujukkan bahwa produk MnO2 dengan elektroda Pb-grafit lebih baik dari pada elektroda Pb-Stainless Steel.

4. Penampakan butiran dengan SEM

Dari hasil penampakan SEM terlihat bahwa pada pengujian SEM dilakukan perbesaran sebesar 2000 x dan 3000 x dan dapat dikatakan bahwa kristal MnO2 hasil elektrolisis dari kedua jenis elektroda cenderung bersifat amorf. Pada perbesaran sebesar 3000 x dapat dibandingkan bahwa pada elektroda Pb-Grafit hasil MnO2 terlihat lebih halus jika dibandingkan dengan hasil elektroda Pb - Stainless Steel yang mana terlihat lebih tidak teratur. Hal ini dikarenakan kecenderungan terdapat pengotor seperti Fe, Cr, Ni yang diduga berasal dari stainless steel yang ikut larut dalam proses elektrolisis sedangkan pada grafit tidak ditemukan karena sifat dari elektroda grafit yang inert.

Gambar 3. Hasil analisa SEM pada produk MnO2

KESIMPULAN 1. Hasil proses elektrolisis dengan elektroda timbal-grafit didapatkan massa MnO2

sebanyak 68,01 gram dengan efisiensi sebesar 33,5 %. Sedangkan pada elektroda timbal – stainless steel didapatkan mangan dioksida 89,22 gram dengan nilai efisiensi sebesar 44 %.

Page 105: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

92 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

2. Berdasarkan analisa XRF terlihat bahwa dengan menggunakan bahan katoda grafit diperoleh kualitas yang lebih bangus dari pada elektroda Stainless Steel. Sehingga dengan menyempurnaan pada proses elektrowinning tidak menutup kemungkinan penggunaan katoda grafit mampu meningkatkan kadar mangan dioksida diatas 97 %.

3. Berdasarkan analisa puncak-puncak XRD, dapat dikonfirmasi bahwa senyawa yang terbentuk adalah MnO2 namun masih terdapatnya puncak selain MnO2 menunjukkan masih terdapatnya pengotor.

4. Pada analisa SEM dapat dilihat permukaan dari MnO2 hasil elektrolisis dan diketahui bahwa berbentuk kristal-kristal.

UCAPAN TERIMA KASIH

Bersama tulisan ini penulis, mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Mahasiswa Universitas Negeri Syarif Hidayatulloh (UIN) Ciputat atas nama Ainul Yakin yang telah membantu dalam melakukan kegiatan penelitian melalui program Magang di Pusat Penelitian Metalurgi – LIPI. DAFTAR PUSTAKA 1. Ritchie, A and Howard, W. (2005). Recent Development and Likely Advances in

Lithium-ion Batteries. Journal of Power Sources 162 (2006) 809–812. 2. K. Amine, I. Belharouak, J. Liu, S.-H. Kang, A. Kahaian, D. Vissers, G. Henrikson.

(2004) Advanced cathode materials for high power applications. Abstract 51, IMLB12 Meeting, 2004.

3. Anonymous, (2006), http://www.aist.go.jp 4. Ronghua Li, Feyan Gong, Hua Lin, and Wenji Wang (2005) , “ Co-precipitation

Syntesis and Characterization of Multiple Subtituted Lithium Manganese Oxydes in Lithium Ion Batteries”, Journal Ionics ISSN: 0947-7047, Volume 11, pp 343-351.

5. Ilea, Petru, dkk. (1996), “ The Electrodeposition of Manganese From Aqueous Solutions of MnSO4.IV : Electrowinning by Galvanostatic Electrolysis , “ Hydrometallurgy 46 (1997) 149-156.

6. Nayl, A.A, I.M Ismail, H.F. Aly. ( 2011) . Recovery of Pure MnSO4.H2O by reductive leaching manganese from pyrolusite ore by sulfuric acid and hydrogen peroxide. International Journal of Mineral Processing 100 (2011) 116-123

7. Zhang, Yuanbo, Zhixioung You, Guanghui Lui. (2013). Manganese Extraction by Sulfur Based Reduction Roasting-Acid Leaching From Low-Grade Manganase Oxide Ores. Hydrometallurgy 133 (2013) 126-132

8. Rahmawati, Dewi.( 2013). Elektrokimia : Transformasi Energi Kimia – Listrik. Yogyakarta : Graha Ilmu

9. Laporan Akhir Kegiatan Sinas tahun ke 2 ( 2014 ), “ Peningkatan Kadar MnO2 dari Mineral Mangan, “ Konsorsium Baterai Lithium, WP Mangan Dioksida , Pusat Penelitian Metalurgi dan Material – LIPI.

Page 106: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 93

PENGARUH SUHU DAN WAKTU REDUKSI TERHADAP PENINGKATAN KADAR Ni PADA PROSES REDUKSI SELEKTIF

BIJIH NIKEL LIMONIT DENGAN PENAMBAHAN ADDITIF CaSO4

Wahyu Mayangsari*, Agus Budi Prasetyo, Puguh Prasetiyo Pusat Penelitian Metalurgi dan Material LIPI

Gedung 470, Kawasan Puspiptek, Setu, Tangsel *E-mail: [email protected]

Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh suhu dan waktu reduksi terhadap peningkatan

kadar nikel pada bijih nikel limonit dengan proses reduksi selektif yang diikuti dengan pemisahan magnet. Preparasi bijih nikel limonit dilakukan dengan pengovenan, pengecilan ukuran, dan pengayakan untuk mendapatkan bijih dengan ukuran 100 mesh. Kemudian melakukan pencampuran bijih nikel limonit 100 mesh dengan reduktor dan additif CaSO4, mereduksi campuran pada muffle furnace carbolite dengan variabel suhu (800°C, 900°C, 1000°C, 1100°C) dan variabel waktu (1/2 jam, 1 jam, 2 jam, 4 jam). Selanjutnya melakukan pemisahan magnet pada hasil reduksi dan melakukan analisis AAS untuk mengetahui kadar Ni.Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi suhu reduksi, kadar Ni semakin meningkat, dengan hasil terbaik 2,44% untuk variabel suhu reduksi 1100°C dan waktu reduksi 1 jam. Semakin lama waktu reduksi, kadar Ni semakin meningkat, dengan hasil terbaik 1,80% untuk variabel waktu 4 jam dengan suhu reduksi 1000°C. Hal ini menunjukkan bahwa suhu reduksi dan waktu reduksi mempunyai peran penting dalam proses peningkatan kadar nikel dengan proses reduksi selektif diikuti dengan pemisahan magnet. Namun masih terdapat Ni yang terikat dengan Fe, sehingga perlu untuk mendorong Fe menjadi komponen non-magnetik melalui reduksi selektif yang diharapkan dapat meningkatkan kadar Ni yang diperoleh lebih tinggi lagi. Kata kunci: Nikel laterit, Limonit, Reduksi selektif, Pemisahan magnet, CaSO4 PENDAHULUAN

Nikel diklasifikasikan menjadi dua, yaitu sulfida dan laterit. Nikel sulfida terdiri dari pentlandite ((Ni, Fe)9S16) yang hampir selalu berasosiasi dengan chalcopyrite (CuFeS2) dan sejumlah besar pyrrhotite (Fe7S8). Selain itu nikel sulfida juga mengandung millerite (NiS), heazlewoodite (Ni3S2) sulfida dari linnaeite ((Fe, Co, Ni)3S4). Nikel sulfida terbentuk ribuan meter dibawah permukaan bumi oleh reaksi sulfur dengan batuan yang mengandung nikel. Sedangkan bijih laterit terbentuk dalam waktu yang lama sebagai hasil pelapukan batuan yang mengandung nikel yang menghasilkan nikel yang terdeposit lagi pada pembentukan oksida atau silikat. Salah satu jenis nikel laterit adalah limonit ((Fe, Ni)O(OH).nH2O yang mengandung hidrat besi oksida dimana nikel tersebar di padatan. Jenis yang lain adalah nikel silikat dimana nikel terkandung pada padatan hidrat magnesium-iron mineral seperti garnierit ((Ni, Mg)6Si4O10(OH)8)

[1]. Nikel limonit mengandung 1-1,7% Ni dan 0,1 – 0,2% Co, garnierit mengandug 10 - 20% Ni dan 0,05 – 0,1 % Co. Jenis nikel laterit yang lain adalah nontronit yang mengandung 1 – 5% Ni dan 0,05 – 0,1% Co serta serpentin yang mengandung 1,5 - 10% Ni dan 0,05 – 0,1 % Co[2].

Cadangan bijih nikel dunia sekitar 70% adalah laterit dan hanya sekitar 40% yang diproduksi[2]. Indonesia mempunyai cadangan Ni laterit yang melimpah dan berkembang menjadi produsen utama (~190 ktNi/ tahun). Dua produsen terbesar adalah PT. Inco di Pulau Sorowako, Sulawesi dan sekarang memproduksi sekitar 73 kt Ni/ tahun (sebagai Ni matte), dan PT. Antam yang juga beroperasi di Pulau Sorowako di Pomala (memproduksi ferronickel) dengan kapasitas sekitar 26 kt Ni/ tahun[3].

Di zaman infrastruktur dan teknologi yang modern seperti saat ini, penggunaan nikel sangat penting, yaitu untuk stainless steel (~ 58%), nikel alloy (~ 14%), casting dan alloy steel (~ 9%), elektroplating (~ 9%), dan rechargeable batteries (~ 5%)[4].

Page 107: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

94 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

Pentingnya nikel seperti yang telah disebutkan sebelumnya, menuntut pemenuhan kebutuhan akan nikel, namun karena cadangan bijih nikel kadar tinggi sebagai bahan baku terus menurun secara signifikan, maka bijih nikel kadar rendah (laterit) mulai diperhatikan, khususnya yang mengandung < 2% bw nikel[5]. Sehingga pemrosesan bijih nikel laterit secara komprehensif dan lengkap menjadi perlu seiring dengan meningkatnya permintaan nikel[6].

Reduksi selektif diikuti dengan pemisahan magnet metode basah merupakan proses yang dilakukan dengan metode yang simpel, biaya yang efektif dan ramah lingkungan. Reduksi selektif bertujuan untuk mengubah struktur kristal Fe yang merupakan properti magnetik dan juga properti-properti magnetik lain yang terkandung pada bijih laterit menjadi non magnetik sehingga selektivitas nikel dapat ditingkatkan[7] yang kemudian dipisahkan dengan magnetic separator antara konsentrat dan tailingnya.

Dengan adanya UU minerba no 4 tahun 2009 yang mulai diberlakukan pada tahun 2014, mengharuskan semua bahan mineral yang akan dipasarkan harus diolah terlebih dahulu menjadi konsentrat atau bahan setengah jadi sampai bahan jadi. Sehingga pengembangan proses peningkatan kadar nikel laterit yang merupakan salah satu bahan mineral yang ada di Indonesia perlu dilaksanakan. Karena limonit yang tergolong dalam laterit kadar rendah belum diolah didalam negeri (kadar Ni < 1,8 %). Sedangkan saprolit yang juga termasuk nikel laterit kadar rendah dengan kadar Ni ≥ 1,8 % sudah diolah di Sulawesi Tenggara oleh BUMN PT Aneka Tambang untuk memproduksi FeNi di Pomalaa, dan PMA PT Vale Indonesia untuk memproduksi Ni matte di Sorowako.

Pada penelitian ini, nikel laterit jenis limonit diproses dengan metode reduksi selektif dengan menambahkan additif CaSO4 dan reduktor, diikuti dengan pemisahan magnet yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh suhu dan waktu reduksi terhadap peningkatan kadar Ni yang diperoleh. Dengan adanya peningkatan kadar Ni pada bijih nikel laterit jenis limonit diharapkan hasil penelitian ini dapat memberi informasi yang berguna untuk penelitian lebih lanjut. METODOLOGI PERCOBAAN Bahan Baku Penelitian ini menggunakan bijih nikel laterit jenis limonit yang berasal dari Halmahera, Maluku Utara, Indonesia. Preparasi bijih nikel adalah dengan mengeringkan bijih nikel pada oven dengan suhu 110°C selama 12 jam, mengecilkan ukurannya dengan menggunakan crusher hingga diameter ± 1cm, menghaluskan dengan menggunakan grinding diskmill dan kemudian melakukan pengayakan untuk mendapatkan bijih dengan ukuran 100 mesh. Komposisi bijih nikel laterit diketahui dari analisis XRF, dimana komposisi yang dominan adalah besi dan silikat. Tabel 1. Hasil analisis XRF bijih nikel laterit jenis limonit (%)

Fe2O3 SiO2 Al2O3 Cr2O3 MnO NiO CoO MgO CaO 69,55 14,84 4,63 1,56 1,4 1,42 0,2 3,04 0,12

Berdasarkan hasil analisis XRD (Gambar 1) pada sudut 2 tetha, komposisi dari bijih nikel yang digunakan antara lain adalah wuestite (FeO), silikon oksida (SiO2), Trevorite (NiFe2O4), hematite (Fe2O3), geothite (FeO) dan lizardite (Mg, Fe)3Si2O5(OH)4.

Reduktor yang digunakan digerus menggunakan crusher, kemudian dilakukan pengecilan ukuran dengan grinding disk mill dan dilakukan pengayakan untuk mendapatkan ukuran 100 mesh.

CaSO4 yang digunakan adalah bahan kimia untuk penggunaan analisis laboratorium.

Page 108: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 95

Gambar 1. Grafik analisis XRD bijih nikel limonit

METODE PERCOBAAN Reduksi selektif dan Pemisahan Magnet

Mencampur bijih nikel laterit jenis limonit yang telah dipreparasi dengan reduktor dan additif CaSO4, kemudian mereduksi campuran pada muffle furnace carbolite dengan variabel suhu (800°C, 900°C, 1000°C, 1100°C) dan variabel waktu (1/2 jam, 1 jam, 2 jam, 4 jam). Menimbang hasil reduksi dan melakukan pemisahan antara konsentrat dan tailing menggunakan magnetic separator metode basah. Secara garis besar dapat dilihat pada diagram alir Gambar 2.

Gambar 2. Diagram alir proses reduksi selektif nikel limonit diikuti dengan pemisahan

magnet

Karakterisasi dan Pengukuran Karakterisasi bijih nikel limonit dilakukan dengan analisis XRF(X-ray fluorescence)

untuk mengetahui komponen-komponen pada sampel secara kualitatif dan kuantitatif, analisis XRD (X-ray diffraction) untuk mengetahui metalisasi sampel dan SEM-EDS untuk mengetahui morfologi, ukuran partikel dan persebaran komponen-komponen pada bijih nikel limonit.

Pada hasil reduksi selektif, dilakukan karakterisasi dan pengukuran dengan analisis AAS (Atomic Absortion Spectrophotometer) untuk mengetahui kadar Ni, analisis XRD untuk mengetahui metalisasi pada setiap perubahan variabel suhu reduksi dan SEM-EDS untuk mengetahui perubahan morfologi, ukuran partikel dan persebaran sebelum dan sesudah reduksi. Setelah reduksi selektif, dilakukan pemisahan magnet untuk memisahkan komponen magnetik (konsentrat) dan non-magnetik (tailing) kemudian dilakukan analisis AAS untuk mengetahui peningkatan kadar Ni pada konsentratnya.

Page 109: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

96 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Suhu pada Proses Reduksi Selektif Menggunakan Additif CaSO4

Untuk mengetahui pengaruh suhu reduksi terhadap peningkatan % Ni pada nikel limonit, penelitian ini dilakukan dengan mencampur sejumlah bijih nikel limonit, reduktor dan additif CaSO4. Kemudian mereduksi dengan variabel suhu 800°C – 1100°C dengan interval 100°C selama 1 jam.

Gambar 3. Grafik pengaruh suhu reduksi terhadap % Ni

Dari Gambar 3 dapat diketahi bahwa setelah reduksi terjadi peningkatan kadar Ni

dari 1,12% hingga 1,27% pada rentang suhu reduksi 800°C – 1100°C selama 1 jam, dengan hasil terbaik pada variabel suhu reduksi 1000°C, dan terjadi sedikit penurunan pada suhu reduksi 1100°C menjadi 1,20%. Hal tersebut menunjukkan bahwa pada suhu reduksi1100°C metalisasi semakin baik (Gambar 5), dimana sebagian Ni sudah terlepas dari Fe dan komponen yang terbentuk pada hasil reduksi dengan variabel suhu 1000°C lebih sedikit sehingga kadar Ni pada variabel suhu reduksi 1100°C masih sedikit lebih rendah daripada kadar Ni pada suhu reduksi 1000°C. Selain itu, komponen yang tereduksi menjadi non-magnetik semakin tinggi seiring dengan meningkatnya suhu reduksi sehingga setelah dilakukan pemisahan magnet, dimana komponen magnetik dan non-magnetik dipisahkan, % Ni pada suhu reduksi 1100°C lebih tinggi daripada % Ni pada suhu reduksi 1000°C, yaitu 2,44% dan 1,56% secara berturut-turut. Setelah pemisahan magnet dengan metode basah, kadar Ni meningkat dari 1,29% hingga 2,44% berturut-turut pada variabel suhu reduksi 800 - 1100°C selama 1 jam. Hal ini sesuai dengan literatur bahwa semakin tinggi suhu reduksi, peningkatan % Ni juga semakin tinggi dan meningkatkan derajat metalisasi[8]. Pengaruh Waktu terhadap Hasil Reduksi Selektif Menggunakan Additif CaSO4

Untuk mengetahui pengaruh waktu reduksi terhadap peningkatan kadar Ni pada nikel limonit, penelitian ini dilakukan dengan mencampur sejumlah bijih nikel limonit, reduktor dan additif CaSO4. Kemudian mereduksi pada suhu 1000°C dengan variabel waktu 0,5 jam, 1 jam, 2 jam dan 4 jam menggunakan muffle furnace carbolite.

Page 110: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

LEMB

mengNi 1variadilakhinggpercorecovmenuvariameni

Meta

(Fe3Odalam(Fe2(redukdan Mdengmenj

dan pembhasil

terbeterdeFeO terbe

masilimon

BAGA ILMU P

Dari Ga

ggunakan a,44% untuk

abel waktu kukan pemisga 1,80% dobaan Guanvery Ni seunjukkan baabel waktu ingkat seirin

alisasi Bijih

BerdasarO4), trevoritm bentuk ok(SiO4)), Fe ksi 11000C MgSiO4. Pa

gan Fe dalamjadi logam N

Trevoritepada suhu

bentukan lol dehidroksi

Pada haentuknya fekomposisi

pada bijihentuknya fay

Pada mah ada Ni ynit menjadi

PENGETAHU

Gambar

ambar 4 dadditif CaSOk variabel w2 jam dan

sahan magndari waktu nghui Li, makin baikahwa banya1 jam dan

ng dengan m

h Nikel Limrkan Gambte (NiFe2O4

ksida (NiO)dan kamacterbentuk m

ada suhu 10m bentuk kaNi pada vare (NiFe2O4)

reduksi 1ogam Ni dalasi lizardit

asil reduksi fayalite dimenjadi S2

h nikel limyalite[8]. asing-masinyang terika lebih tingg

P

UAN INDONE

r 4. Grafik p

dapat diketaO4 belum mwaktu 0,5 j1,53% unt

net meningk0,5 jam h

Tangming k[6]. Kecendak terbentukn 4 jam sehmeningkatn

monit bar 5, pada4), NiO, SiO). Pada suhcite (Fe, Nimagnetite (F000°C dan 1amacite padriabel suhu r) membentu100°C, trevan Fe. Selate[6].

untuk varipengaruhi 2(g), O2(g), d

monit mem

ng variabel sat sehingga gi lagi.

PROSIDING

ESIA

pengaruh wa

ahui bahwamenunjukkanjam, 1,27%tuk variabelkat seiring mhingga 4 jaShi, dll, 2

derungan yk komponenhingga seteya waktu re

a suhu reduO2, dan fayahu reduksi 1i), dimana NFe 3O4), fay100°C tidak

da hasil redureduksi 110uk kamacitevorite (NiFain itu juga

riabel suhu oleh ada

dan CaO, dimbentuk kir

suhu reduksmasih mem

G SEMINAR

aktu reduks

a % Ni sen kecenderu

% untuk varl waktu 4 j

meningkatnyam. Hal ter2011 dimanyang naik tn non-magnelah dilakukeduksi.

uksi 800°Calite (Fe2(S1000°C terbNi masih teyalite (Fe2(Sk ada lagi ouksi pada v

00°C.Selain e (Fe, Ni) paFe2O4) muna terbentuk

800° – 1anya penaimana CaOschsteinite

si kecuali 1mungkinkan

R MATERIA

i terhadap %

etelah dilakungan yangriabel waktujam. Namuya waktu rersebut telahna semakinturun pada netik yang ikan pemisa

dan 900°CiO4)), dima

bentuk magnerikat dengaSiO4)), Fe, toksida Ni (Nvariabel suh

itu, juga terada variabelncul lagi, n

MgSiO4 (C

100°C terdambahan a

O akan bere(CaFeSiO4

1000°C, terdn untuk m

AL METALU

% Ni

kukan redukg baik, dimau 1 jam, 1,

un untuk % duksi yaitu h sesuai de

n lama wakhasil setel

ikut pada taahan magne

C terbentukana Ni sudanetite (Fe3Oan Fe. Dantrevorite (NNiO), namunhu 1000°C drbentuk logl suhu reduknamun diikClinoenstati

dapat fayaliadditif Caeaksi dengan4) yang m

dapat trevormeningkatkan

URGI 2015

97

ksi selektifana hasil %,55% untuk

Ni setelahdari 1,54%

engan hasilktu reduksilah reduksiailing untuket kadar Ni

k magnetiteh terbentuk

O4), fayaliten pada suhuNiFe2O4), Ni

n Ni terikatdan terlepasgam Fe. ksi 1000°C,kuti denganite) sebagai

ite, dimanaaSO4 yangn SiO2 danempercepat

rite dimanan kadar Ni

5

7

f % k h

% l i i k i

e k e u i t s

, n i

a g n t

a i

Page 111: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

98 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

Gambar 5. Grafik hasil XRD pada variabel suhu reduksi 800°C – 1100°C

Mikrostruktur Bijih Nikel Limonit Pada Gambar 6 dan Gambar 7 dapat diketahui bentuk morfologi bijih nikel limonit

dan hasil reduksi bijih nikel limonit dengan penambahan reduktor dan additif CaSO4 pada variabel suhu 1100°C. Dari gambar terlihat jelas bahwa partikel tumbuh lebih besar, pada analisis SEM-EDS dengan perbesaran 5000x menunjukkan rata-rata ukuran partikel bijih nikel limonit adalah 10µm, sedangkan untuk hasil reduksi bijih nikel limonit dengan penambahan reduktor dan additif CaSO4 pada variabel suhu 1100°C dengan perbesaran 2000x menunjukkan rata-rata ukuran partikel 20µm. Hal tersebut menunjukkan bahwa partikel tumbuh seiring dengan meningkatnya suhu reduksi.

Dari Gambar 6 dapat dilihat persebaran unsur pada bijih nikel limonit, dimana komponen yang tinggi adalah Fe dan Si dimana hal tersebut sesuai dengan hasil analisis XRD dan XRF. Persebaran O juga merata dan menunjukkan kadar yang tinggi, dimana Fe dan Si dalam bentuk oksida.

Dari Gambar 7 dapat diketahui bahwa persebaran Fe mulai terpisah dengan O, dimana Fe bukan dalam bentuk oksida lagi, namun telah menjadi logam Fe. Persebaran Fe terlihat sama dengan persebaran Ni, hal ini menunjukkan bahwa masih ada Ni yang terikat dengan Fe, dengan mendorong Fe menjadi komponen non-magnetik melalui reduksi selektif diharapkan bisa meningkatkan kadar Ni dan persebaran Ni tidak tertutup lagi oleh keberadaan Fe yang dapat menyebabkan sulit terpisahnya Fe dan Ni dengan menggunakan metode pemisahan magnet metode basah.

Page 112: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 99

Gambar 6. SEM-EDS sampel

Gambar 7. SEM-EDS pada variabel suhu 1100°C

Page 113: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

100 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

KESIMPULAN 1. Semakin tinggi suhu reduksi, peningkatan kadar Ni semakin tinggi. Hasil terbaik

dicapai pada suhu reduksi 1100°C selama 1 jam, yaitu 2,44 %. 2. Semakin lama waktu reduksi, peningkatan kadar Ni semakin tinggi, Hasil terbaik

dicapai pada suhu reduksi 1000°C untuk variabel waktu reduksi selama 4 jam, yaitu 1,80%.

3. Masih terdapat Ni yang terikat dengan Fe, sehingga perlu untuk mendorong Fe menjadi komponen non-magnetik melalui reduksi selektif yang diharapkan kadar Ni yang diperoleh bisa ditingkatkan lebih tinggi lagi.

DAFTAR PUSTAKA 1. Kirk-Othmer, 1998, Encyclopedia of Chemical Technology, 4th edition, John Willey &

Sons Inc., USA. 2. Dalvi AD dkk., 2004, The past and the future of nickel laterite, PDAC 2004:

International Convention. Trade show & investor exchange, North Carolina USA. 3. Gavin M. Mudd, 2010, Global trends and environmental issues in nickel mining:

Sulfides versus laterites, Elsevier: Ore Geology Reviews. 4. Kuck, P.H. 2009, US Departement of interior: US Geological

Survey.<http://minerals.usgs.gov> 5. Lee,dkk., 2005, Electrochemical leaching of nickel from low-grade laterite,

Hydrometallurgy 77, 263 - 268. 6. Guanghui Li, dkk., 2011, Benification of nickeliferous laterite by reduction roasting in

the presence of sodium sulfate, Elsevier: Mineral Engineering. 7. Kim J, Dodbiba G, Okaya K, Matsuo S, Fujita T, 2009, Calcination of low-grade

laterite for concentration of Ni by magnetic separation, Journal of Mineral Engineering. 8. Zhu D.Q., dkk, 2012, Upgrading low nickel content laterite ores using selective

reduction followed by magnetic separation, International Journal of Mineral Processing.

Page 114: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 101

PENGARUH AUSTENISASI DAN TEMPERISASI TERHADAP STRUKTUR MIKRO DAN SIFAT MEKANIK

BAJA TAHAN KARAT 420

Siska Prifiharni*, Moch. Syaiful Anwar, Efendi Mabruri Pusat Penelitian Metalurgi dan Material, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

Gedung 470, Kawasan Puspiptek, Setu, Tangsel *E-mail: [email protected]

Abstrak Martensitik stainless steel biasa digunakan untuk aplikasi di turbin uap. Martensitik stainless steel

digunakan karena memiliki sifat mekanik dan ketahanan korosi yang baik. Perlakuan panas dilakukan untuk memperbaiki sifat mekanik dari suatu material. Dalam penelitian ini sampel diaustenisasi pada suhu 1000 dan 1050°C selama 1 jam diikuti dengan quenching oli, kemudian ditemper pada variasi suhu temper 150, 250, 350, 450, dan 550°C. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kenaikan suhu austenisasi tidak terlalu berpengaruh terhadap perubahan kekerasan yang terjadi. Peningkatan suhu temper menyebabkan terjadinya presipitasi karbida yang muncul dan pengerasan kedua terjadi pada suhu 350 – 550°C.

Kata kunci: Martensitik stainless steel, Perlakuan panas, Karbida PENDAHULUAN

Martensitik stainless steel biasa digunakan untuk industri kimia dan energi dan sebagai kompresor blade di mesin pesawat terbang modern karena memiliki ketahanan korosi pada temperatur tinggi, sifat mekanik yang baik dan ketahanan radiasi yang cukup[1,2]. Sifat dari stainless steel ini dapat diubah dengan cara perlakuan panas, oleh karena itu stainless steel jenis ini biasanya digunakan untuk generator uap, bejana tekan, mixer blade, dan alat potong[3]. Dari beberapa struktur mikro yang dapat terbentuk dari perlakuan panas, struktur martensitik adalah struktur yang paling keras dan kuat, tapi yang paling getas dan hampir tidak memiliki keuletan sama sekali. Dalam kondisi setelah quenched, martensit menjadi sangat keras sehingga tidak dapat digunakan dalam beberapa aplikasi. Ketangguhan dan keuletan dari martensit dapat ditingkatkan dengan cara perlakuan panas yang disebut temper[4].

Sifat mekanik dan ketahanan korosi baja tergantung dari unsur karbon dan chromium yang terkandung didalamnya. Stainless steel AISI 420 memiliki unsur paduan 11,5 – 18% chromium dan unsur karbon sampai 0,6%. Struktur mikro AISI 420 sangat tergantung dari perlakuan panas baja yang diterima, dan biasanya terdiri dari martensitik, karbida yang tidak terlarut, dan austenit sisa. Fraksi volume dan ukuran karbida yang muncul dalam baja dan jumlah austenit sisa merupakan peran utama dalam penetuan nilai kekerasan, kekuatan, ketangguhan, ketahanan korosi, dan ketahanan aus dalam baja[5]. Pada umumnya, dalam medium karbon martensitik stainless steel mengandung 0,2% karbon terlarut di dalam matriksnya. Namun, pengkasaran butir, dekarburisasi, dan austenit sisa harus dihindari karena kehadiran tegangan sisa akan menyebabkan penurununan sifat mekanik dan ketahanan korosi[3].

Efek temperatur austenisasi terhadap struktur mikro dan sifat mekanik telah dijelaskan di beberapa penelitian. Temperatur austenitizing mengontrol pemisahan unsur paduan antara austenit dan karbida pada suhu tinggi, dan mengakibatkan terjadinya transformasi martensit, ukuran butir, kekerasan, dan austenit sisa pada kondisi quenching. Temperatur austenisasi yang lebih tinggi akan meningkatkan kelarutan karbida dan berat jenis karbida menurun seiring dengan peningkatan temperatur austenisasi. Kelarutan karbida selama austenisasi mempengaruhi ukuran butir austenit[5]. Menurut Calliari, et al[6] melaporkan bahwa harga kekerasan maksimum yang dicapai oleh AISI 420 martensitik steel yaitu setelah austenisasi pada suhu 1050°C. Penerapan suhu tempering yang sesuai akan mengurangi tegangan dan

Page 115: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

102 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

menyebabkan dekomposisi karbida baru[3]. Penelitian ini ditujukan untuk menganalisa efek dari austenisasi dan tempering terhadap kekerasan berdasarkan struktur mikro yang terbentuk.

METODE PERCOBAAN

Material yang digunakan dalam penelitian ini adalah martensitik stainless steel AISI 420 dengan komposisi kimia yang dapat dilihat pada Tabel 1. Seperti yang terlihat dalam Tabel 1, stainless steel ini mengandung 12% khromium dan 0,4% karbon.

Tabel 1. Komposisi kimia Stainless Steel AISI 420 yang digunakan pada penelitian

C Cr Mn Si Mo Ni P S V Fe 0,432 12,413 0,368 0,26 0,00942 0,145 0,017 0,019 0,045 86,23

Stainless steel dalam bentuk round bar dipotong menjadi dimensi 20 x 30 x 5 mm.

Sampel diaustenisasi dengan menggunakan tube furnace pada 2 variasi suhu yaitu 1000°C dan 1050°C selama 1 jam dan diikuti dengan quenching oli. Semua sampel kemudian ditemper pada beberapa variasi suhu, yaitu 150, 250, 350, 450, dan 550°C selama 30 menit.

Semua sampel di mounting dalam resin dan bahan pengeras selama 24 jam, diampelas dimulai dari ampelas kasar sampai yang halus dari kekasaran 80 – 1200 mesh, dan dipoles dengan pasta alumina sampai halus seperti kaca. Sampel yang telah dipoles kemudian dietsa dengan menggunakan kalling’s reagent (5 gr CuCl2, 100 mL HCl, dan 100 mL ethanol). Sampel kemudian diuji dengan menggunakan mikroskop optik dan SEM-EDS untuk mengetahui struktur mikro dan karbida yang muncul setelah mengalami perlakuan panas. Uji kekerasan menggunakan metoda Rockwell C – HC 10 dengan beban 150 kgf dan indentor intan 120°. HASIL DAN PEMBAHASAN Harga kekerasan martensitik AISI 420 setelah austenisasi dan tempering pada suhu yang berbeda ditunjukkan oleh Gambar 1. Perubahan temperatur austenisasi tidak terlalu menunjukkan perubahan yang signifikan terhadap harga kekerasan. Harga kekerasan pada suhu austenisasi 1050°C lebih tinggi dibandingkan dengan harga kekerasan pada suhu 1000°C. Peningkatan kekerasan ini bisa diakibatkan oleh peningkatan unsur karbon di fasa martensit karena karbida terlarut sebagian. Oleh karena itu, martensit menjadi lebih keras karena unsur karbon yang lebih besar[5].

Gambar 1. Pengaruh suhu temper terhadap nilai kekerasan

Struktur mikro dari sampel setelah austenisasi 1000°C dapat dilihat pada Gambar 2.

Struktur mikro martensitik stainless steel yang terlihat dalam Gambar 1 terdiri dari struktur martensit tajam dan karbida M23C6. Jumlah karbida yang terbentuk akan bervariasi tergantung

Page 116: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 103

dari temperatur austenisasi. Setelah quenching, kisi martensit adalah fasa yang paling dominan muncul dalam struktur mikro. Peningkatan suhu austenisasi dapat menyebabkan lebih banyak karbida yang terlarut, sehingga meningkatkan kadar paduan austenit dan menekan pertumbuhan martensit, kemungkinan meningkatkan austenit sisa setelah quencing. Menurut Barlow, et.al[5] suhu austenisasi pada 1000°C dan 1050°C masih rendah untuk melarutkan jumlah karbida M23C6 secara seluruhnya. Hanya 4% dan 6% austenite sisa yang muncul setelah austenisasi 1000°C dan 1050°C pada masing – masing suhu. Perbedaan kekerasan pada setiap suhu austenisasi bisa dipengaruhi oleh peningkatan unsur – unsur paduan seperti kromium dan karbon di dalam austenit dengan meningkatnya temperatur dan waktu[3].

Gambar 2. Foto struktur mikro SEM quenching oli setelah austenisasi 1000°C selama 1 jam

Gambar 3. Foto struktur mikro SEM-EDS austenisasi 1000°C selama 1 jam dan temper pada

suhu (a) 250°C, (b) 350°C dan (c) 550°C

Page 117: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

104 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

Kekerasan optimum terjadi pada saat suhu austenisasi 1050°C dan temper 550°C dengan nilai kekerasan 48 HRC. Pada Gambar 1 terlihat suhu 150 sampai 250°C harga kekerasan mulai mengalami peningkatan dan kemudian harga kekerasan turun pada suhu 350°C. Kekerasan kembali meningkat pada temperatur 350 – 550°C. Peningkatan kekerasan dari suhu 350 – 550°C dapat disebabkan terjadinya fenomena secondary hardening. Hal ini biasanya berhubungan dengan terbentuknya carbida M7C3 dengan kisi martensit yang ditunjukkan pada Gambar 3. KESIMPULAN

Efek perlakuan panas terhadap sifat mekanik dan struktur mikro baja tahan karat martensitik dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Kekerasan maksimum yang didapat adalah 48 HRC pada suhu austenisasi 1050°C dan

temper 550°C. 2. Peningkatan kekerasan yang terjadi pada suhu austenisasi diakibatkan oleh peningkatan

unsur karbon di fasa martensit karena adanya karbida yang terlarut. 3. Pengerasan kedua terjadi pada suhu tempering 350 – 550°C formasi karbida M7C3 pada

kisi martensit. DAFTAR PUSTAKA 1. Lim, L.C. 1993. Tempering of AISI 403 Stainless Steel. Materials Science and

Engineering, A171: 13-19 2. J. Dubey, S.L Wadekar, J.K Chakravartty. 1998. Elevated Temperature Fracture

Toughness of AISI 430 Martensitic Stainless Steel. Journal of Nuclear Materials, 254: 271-274

3. A. Nasery, H. Saghafian, G. Borhani. 2011. The effect of heat treatment on mechanical properties and corrosion behaviour of AISI 420 martensitic stainless steel. Journals Alloys and Compounds, 509: 3931-3936

4. Menes, Rafael. dkk. 1991. ASM handbook Volume 4: Heat Treating. The Materials Information Company.

5. L.D Barlow, M. Du Toit. 2011. Effect of austenitizing heat treatment on the microstructure and hardness of martensitic stainless steel. Journals of Materials Engineering and Performance, 21: 1327-1336

6. I. Calliari. dkk. 2006. Investigation of microstructure and properties of a Ni-Mo martensitic stainless steel. Materials and Designs, 29: 246-250

Page 118: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 105

ANALISA PRADUGA KEGAGALAN KOROSI KOMPONEN SUPPORT MOUNTING DENGAN METODE SEMI KUANTITATIF XRF-SEM-EDS

Nofri Hasanudin

PT. Akebono Brake Astra Indonesia Pegangsaan 2 Km 1.6 Jakarta Utara 14250

E-mail: [email protected] Abstrak Analisa kegagalan korosi umumnya dirunut dari investigasi lingkungan tempat komponen tersebut mengalami kegagalan korosi. Tetapi, beda halnya dalam kasus apabila keterbatasan dimensi dan wilayah mengharuskan kita menganalisa komponen kegaggalan korosi secara cepat dengan menggunakan metode yang tepat demi memenuhi tanggung jawab sebagai pembuat komponen kepada pihak customer yang telah membeli komponen tersebut. Analisa praduga kegagalan korosi komponen otomotif support mounting dilakukan dengan metode semi kuantitatif XRF (X-Ray Fluourescence), SEM (Scanning Electron Microscope), dan EDS (Energy Dispersive Spectroscopy) guna mendapatkan penyebab kegagalan korosi pada komponen otomotif support mounting. Hasil investigasi dengan metode XRF, SEM, dan EDS menunjukkan komponen otomotif yang telah terlapisi Zinc plating mengalami korosi yang disebabkan oleh Sulfur dan Chlor. Hasil pengujian dengan XRF diperoleh konten Sulfur yang signifikan lebih tinggi 3,0% pada komponen yang mengalami karat merah (red rust) dan sebesar 1,18% pada komponen yang mengalami karat hitam (black rust) dibandingkan dari komponen normal yang tidak mengalami korosi sebesar 0,17%. Hasil pengamatan dengan SEM dan EDS juga mendeteksi kehadiran unsur Chlor yang berpotensi menyebabkan akselarasi korosi pada komponen. Kata kunci: Analisa korosi, Analisa korosi XRF-SEM-EDS, Korosi Zinc plating, Black rust, Red rust PENDAHULUAN Korosi pada komponen otomotif sering terjadi dikarenakan sebagian besar komponen komponen otomotif bermaterial ferrous. Material ferrous sangat rentan bereaksi reduksi-oksidasi (redoks) apabila terdapat elektrolit yang berkontakan secara langsung dengan permukaan sehingga membentuk karat (rust). Untuk mengatasi hal tersebut, tak banyak komponen otomotif tersebut diproteksi secara lapisan permukaan dengan metode plating baik dengan cara spraying, dipping, ataupun electro deposition (ED). Meskipun telah terproteksi secara lapisan, tidak sedikit komponen otomotif yang bermaterial ferrous mengalami korosi. Hal ini dikategorikan sebagai hal yang di luar batas kewajaran kondisi normal. Kondisi ini bisa terjadi akibat proses yang salah, ataupun kondisi lingkungan pemakaian yang tidak tepat (ekstrim). Pada proses yang salah, terdapat kemungkinan abnormality proses sehingga proses tidak berjalan dengan normal sehingga menghasilkan komponen yang bermutu tidak baik (NG). Kemudian pada kondisi pemakaian yang tidak tepat, terdapat kemungkinan pemakaian komponen dalam kondisi yang ekstrim, hal ini mengakibatkan umur pakai komponen menjadi lebih pendek. Kegagalan komponen pada kondisi ini tidak bisa diprediksi. Kejadian korosi pada komponen support mounting PT. Akebono Brake Astra Indonesia diawali dari customer claim yang melaporkan kejadian korosi pada komponen support mounting lot prdoduksi baru. Pada komponen tersebut ditemukan bahwa komponen mengalami korosi sebagian. Pada komponen tersebut terdapat bagian yang tidak mengalami korosi, kemudian sebagian lainnya terdapat korosi merah (red rust), dan korosi hitam (black rust). Hasil temuan ini segera ditindaklanjuti dengan melacak ulang data mutu (quality) lot produksi yang sama dengan lot produksi komponen yang mengalami kegagalan korosi. Disisi lain pengujian laboratorium pada komponen yang mengalami kegagalan korosi dilakukan secara paralel untuk mengetahui praduga penyebab kegagalan korosi. Dari hasil lacak ulang data mutu (quality) lot produksi yang sama didapat data produksi yang OK. Ini menunjukkan bahwa tidak ada abnormality proses produksi Zinc plating komponen support mounting.

Page 119: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

106 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

Kemudian analisa dilanjutkan berdasar hasil pengujian laboratorium pada komponen yang mengalami kegagalan korosi. Hasil yang ditemukan dari pengujian laboratorium XRF, SEM, dan EDS yang akan menjadi bahasan pada makalah ini. METODE PERCOBAAN Makalah ini membahas hasil pengujian laboratorium komponen support mounting berlot produksi baru yang mengalami kegagalan korosi dengan metode observasi XRF, SEM, dan EDS. Pengujian dilakukan dengan membandingkan komponen OK dan komponen yang mengalami kegagalan korosi. Hasil yang didapat dari komparasi pengujian (bench test) ini yang akan menjadi bukti analisa praduga kegagalan komponen support mounting. Metode Observasi XRF (X-Ray Fluourescence) Pada metode ini komponen normal OK dan komponen yang mengalami kegagalan korosi diletakkan pada chamber XRF. Kedua komponen tersebut disinari pada bagian yang sama untuk identifikasi hasil yang sebanding (Gambar 1b dan c). Untuk komponen yang mengalami korosi, penyinaran XRF dilakukan pada warna karat yang berbeda secara visual yaitu karat hitam (black rust) dan karat merah (red rust) untuk mendapatkan identifikasi lebih rinci pada komponen yang mengalami kegagalan korosi tersebut.

Gambar 1. (a) Gambar alat XRF, (b) Sampel normal OK, (c) Sampel korosi. (Sumber. PT

Akebono Brake Astra Indonesia, 2015) Metode Observasi SEM (Scanning Electron Microscope), dan EDS (Energy Dispersive Spectroscopy) Pada metode ini, komponen yang mengalami korosi diekstrak deposit korosinya untuk diinvestigasi dengan SEM dan EDS. Bagian ekstraksi yang akan diamati pada bagian korosi hitam (black rust) dan korosi merah (red rust). Metode pengecekan SEM dan EDS dideskripsikan pada gambar di bawah ini:

Gambar 2. (a) Gambar alat SEM dan EDS, (b) hasil ekstraksi korosi hitam (black rust), (c) hasil ekstraksi korosi merah (red rust). (Sumber. PT Akebono Brake Astra Indonesia, 2015)

Page 120: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 107

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Observasi XRF (X-Ray Fluourescence) Berdasarkan pengujian komparasi (bench test) antara komponen plating normal OK dan komponen yang mengalami kegagalan korosi, hasil observasi XRF pada titik pengamatan yang sama ditunjukan pada tabel berikut: Tabel 1. Hasil observasi XRF (X-Ray Fluorescence) komponen normal plating OK dan komponen korosi. (Sumber, PT Akebono Brake Astra Indonesia 2015) Sample Category

Element Detection Result

Sample Normal Plating OK (a)

Sample Area Black Rust (b)

Sample Area Red Rust (c)

Zn 79,40% 78,01% 40,58% Cr 0,10% None None S 0,17% 1,18% 3,00% Ti 0,16% 1,32% 19,52% Fe 16,39% 9,62% 28,15% Si None None 8,42%

Gambar 3. Hasil spectrum XRF (a) komponen plating normal OK, (b) komponen korosi

hitam (black rust), (c) komponen korosi merah (red rust). (Sumber. PT Akebono Brake Astra Indonesia, 2015)

Dari hasil observasi XRF, terlihat ada perubahan yang signifikan antara sampel

normal plating OK (a), sampel korosi hitam (black rust) (b), dan sampel korosi merah (red rust) (c). Perbedaan pertama pada unsur Zn yang menjadi pelindung lapisan korosi material komponen support mounting, terlihat sekali bahwa sampel area black rust (b) mengalami penipisan lapisan Zn pada permukaan sekitar 1,39% dan lebih jauh lagi penipisan yang terjadi pada sampel area red rust (c) mengalami penipisan sekitar 38,82%. Kemudian pada unsur Cr yang berfungsi sebagai passivation film, lapisan Zinc plating mengalami segregasi lapisan film Cr3+ yang ditunjukan dengan tidak terdeteksinya Cr pada sampel area black rust (b) dan

Page 121: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

108 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

red rust (c). Selanjutnya unsur S signinfikan naik dari komponen normal plating OK dari 0,17% menjadi 1,18% pada sampel area black rust dan menjadi 3,00% pada sampel area red rust. Unsur Fe dan Si terdeteksi sebagai unsur penyusun lapisan Zinc plating pada sampel normal plating OK dan sampel area black rust sedangkan menjadi komponen penyusun material FCD pada sample area red rust karena lapisan permukaan Zinc plating sudah rusak sehingga XRF mengidentifikasi material dasar pada komponen support mounting yaitu FCD. Hasil Observasi SEM (Scanning Electron Microscope) dan EDS (Energy Dispersive Spectroscopy) Hasil observasi SEM dan EDS dari hasil ekstraksi sampel area black rust dan red rust menunjukkan hasil lain yang mengindikasikan penyebab fenomena akselarasi korosi pada komponen support mounting. Hasil observasi SEM dan EDS dari ekstraksi korosi sampel area black rust dan red rust didapat bahwa unsur S dan Cl juga terdapat pada hasil ekstraksi korosi sampel area black rust dan red rust. Pada ekstraksi korosi sampel area black rust, EDS mendeteksi unsur Zn sebesar 9,87%, unsur S sebesar 0,70% dan Cl sebesar 0,92%. Pada sampel area red rust, EDS juga mendeteksi unsur Zn sebesar 32,42%, unsur S sebesar 0,10%, dan unsur Cl sebesar 0,17%. Fenomena perbedaan komposisi Zn yang besar ini menunjukkan bahwa pada ekstraksi sampel area red rust, deposit karat telah terbentuk dalam jumlah besar dibandingkan pada sampel area black rust. Tabel 2. Hasil observasi SEM (Scanning Electron Microscope) dan EDS (Energy Dispersive Spectroscopy) hasil ekstraksi deposit black rust (b) dan red rust (c). (Sumber, PT Akebono Brake Astra Indonesia 2015) Sample Category

Component Detection Result

Series Sample Area Black Rust (b)

Sample Area Red Rust (c)

Zn K-series 9,87% 32,42% S K-series 0,70% 0,10% Cl K-series 0,92% 0,17%

KESIMPULAN Dari hasil penemuan observasi menggunakan metode XRF (X-Ray Fluorescence), SEM (Scanning Electron Microscope) dan EDS (Energy Dispersive Spectroscopy) dapat disimpulkan bahwa yang menjadi penyebab korosi dari komponen support mounting adalah Sulfur (S) dan Chlor (Cl). Peningkatan unsur S dan Cl yang terjadi secara signifikan pada komponen yang mengalami korosi menguatkan kedua unsur ini menjadi agen pengkorosi melalui reaksi reduksi-oksidasi (redoks) sehingga membentuk deposit karat black rust dan red rust pada permukaan komponen. Fenomena pembentukan korosi oleh Sulfur ini dapat diilustrasikan pada Gambar 3. Sulfur yang umumnya ditemukan dalam bentuk polutan atmosfir H2S melalui hujan asam, emisi kendaran yang tidak ramah lingkungan, serta komponen partikulat debu abrasi ban kendaraan dapat menjadi agen pengkorosi apabila diakselarasi pada lingkungan berkadar garam tinggi (Cl). Sulfur menyerang lapisan pelindung Zn plating dalam 2 tahapan. Tahapan pertama menyerang lapisan Zn dan Cr, pada tahapan ini lapisan Zn mengalami penipisan sedangkan lapisan pasif Cr3+ mengalami segregrasi yang kemudian Sulfur merusak lapisan pelindung komponen hingga sampai pada tahapan kedua, Sulfur melakukan penetrasi korosi sampai ke dalam material dasar support mounting, FCD.

Dengan kejadian ini sangat penting bahwa kebersihan komponen otomotif harus selalu diperhatikan untuk menghindari percepatan masa pakai suatu komponen. Kotoran polutan yang menempel pada komponen otomotif dapat menjadi pemicu kegagalan korosi apabila diperparah dengan kehadiran faktor lain seperti lingkungan berkadar garam tinggi (Cl) atau temperatur lingkungan yang ekstrim yang dapat mengkaselarasi reaksi pembentukan korosi.

Page 122: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 109

Gambar 4. Ilustrasi fenomena pembentukan korosi oleh Sulfur. (Sumber. PT Akebono Brake

Astra Indonesia, 2015) DAFTAR PUSTAKA 1. Salas, Benjamin. dkk. 2012. H2S Pollution and Its Effect on Corrosion of Electronic

Components. Lisence InTech Report. Mexico: University of Baja California 2. Hanada, Yoichiro. dkk. 2009. Research and Development of Technology for Use of

Trivalent Chromating as Substitution Aimed at Abolition of Hexavalent Chromium. Komatsu Technical Report. Japan: Komatsu, Co, Ltd.

3. ISO 3497:2000. Metallic coatings-Measurement of coating thickness-X-ray spectrometric methods.

Page 123: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

110 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

Page 124: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 111

PERCOBAAN PEMBUATAN BAJA DENGAN PROSES REDUKSI LANGSUNG CAMPURAN SCALING BAJA DAN BIJIH LIMONIT

DITINJAU DARI STRUKTUR MIKRO DAN KEKERASAN

Saefudin*, Iwan Dwi Antoro Pusat Penelitian Metalurgi dan Material - LIPI Gedung 470, Kawasan Puspiptek, Setu, Tangsel

*E-mail: [email protected]

Abstrak Telah dilakukan penelitian pembuatan baja, dengan pencampuran limonit dan mill scale akan

berpotensi menghasilkan paduan dengan komposisi kimia baja. Campuran antara mill scale dan limonit, dimana variasi persen berat limonit adalah 10%,20%, 30%, 40%, 50% dari scaling baja sebagai pembanding 100% mill scale dan 100% limonit ditambah 10% reduktor, 5% kapur,1% binder. Campuran dibuat briket, kemudian briket tersebut direduksi dengan suhu 1100°C ditahan selama satu jam. Setelah itu briket diproses peleburan dari hasil peleburan diperoleh sampel berupa logam dan terak. Hasil dari proses peleburan tersebut kemudian diuji komposisi kimia, analisa struktur mikro, dan kekerasan. Dari hasil peleburan, campuran yang optimum adalah Campuran IV dengan komposisi yang lengkap adalah : 0.12%C, 0.3-1.2%Ni, 0.01%-0.54% Cr, 0.03%-0.13% Mn, dimana kekerasan yang diperoleh 377,7HV, fasa yang diperoleh ferit dan perlit. Kata kunci: Scaling baja, Limonit kadar Ni rendah, Reduksi langsung PENDAHULUAN

Kandungan bijih nikel limonit yang mengandung nikel 0,8 hingga 1,5% berpotensi untuk memberikan sifat unggul, kekuatan tinggi, tahan korosi, sifat mampu las dan sifat kriogenik. Baja yang dihasilkan dari bijih ini akan memiliki kandungan nikel 1,52% hingga 4%. Baja unggul laterit adalah baja yang dihasilkan dari peleburan bijih nikel laterit kadar rendah dengan mengutamakan pemanfaatan kandungan nikelnya. Penggunaan nikel biasanya dihindari karena memiliki harga yang jauh lebih tinggi dibandingkan unsur pemadu lain seperti khrom[1].

Fungsi unsur paduan kimia pada pembuatan baja adalah sebai berikut; 1. Fungsi Unsur Paduan Chronium

Tujuan penambahan unsur Chromium ini adalah untuk menambah sifat keuletan, kekerasan dan ketahanan material terhadap aus, sehingga material akan mempunyai sifat yang lebih baik. 2. Fungsi Unsur Paduan Silikon

Tujuan penambahan unsur paduan silikon adalah untuk meningkatkan sifat elastisitas material baja karbon, sehingga baja karbon yang mendapat penambahan unsur paduan silikon baik digunakan untuk material pegas. 3. Fungsi Unsur Paduan Nikel

Unsur paduan Nikel (Ni) mempunyai sifat yang akan membuat baja karbon menjadi lebih ulet, kuat dan paduan ini juga dapat mencegah baja karbon terhadap serangan korosi atau karat. 4. Fungsi Unsur Paduan Mangan

Unsur paduan mangan dapat membuat hasil produk baja akan menjadi lebih mengkilap dan bersih, selain itu paduan ini juga dapat membuat kekuatan dan ketahanan panas dari baja karbon tersebut dapat menjadi lebih baik.

Pada penelitian ini akan dicoba divariasikan komposisi limonit dan scalling baja untuk menghasilkan struktur yang diinginkan dan sifat mekanik yang menguntungkan. Scaling baja perlu ditambahkan dalam campuran untuk mendapatkan perolehan logam yang lebih banyak dibandingkan dengan terak yang dihasilkan.

Page 125: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

112 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

METODE PERCOBAAN Bahan–bahan yang akan dipakai yaitu adalah scaling baja, bijih limonit kadar rendah, batu bara, dan kapur dikeringkan terlebih dulu dengan menggunakan muffle furnace pada suhu pengeringan 200°C selama 5 jam. Bahan kemudian digerus dengan mesin grinding hingga berbentuk serbuk berukuran mesh -80.

Setelah bahan awal dianalisa dibuat komposisi campuran antara 200g scaling baja ditambah dengan variasi persen berat limonit dari berat scaling yaitu dari 10%, 20%, 30%, 40%, 50% limonit. Kemudian ditambahkan 10 % reduktor, 5% kapur, 1% binder dari berat total campuran (scaling+limonit). Kelima sampel campuran itu diberi kode campuran I sampai dengan campuran V. Sebagai pembanding dibuat sampel sebagai berikut;

100 % scaling baja dan 100% bijih limonit yang ditambah bahan reduktor, kapur dan binder, dengan komposisi berikut ini : 200g scaling + 10% reduktor+ 5% kapur + 1% binder;

200g bijih limonit ditambah 10% reduktor, 5% kapur dan 1% Binder. Ketujuh sampel itu kemudian dicampur dan dimixer masing-masing sampai homogen.

Lalu dibuat briket, dimana pembuatan briket tersebut menggunakan cetakan logam, satu persatu ketujuh sampel itu dicetak dengan cara serbuk campuran diisikan ke dalam cetakan logam kemudian dipress dengan penekanan setiap pengepresan briket sebesar 3000 psi, ditekan sebanyak tiga kali penekanan. Setelah ketujuh sampel tersebut semua menjadi briket kemudian dilakukan proses reduksi. Proses reduksi tersebut pemanasannya menggunakan tungku muffle dan tempat atau wadah briket yang dipanaskan memakai krusibel silikon karbida dengan ukuran A5. Selain sampel, ke dalam krusibel juga ditambahkan karbon. Susunan sampel dan karbon dalam krusibel yaitu antara lain;

1. Pertama tambahkan karbon sebanyak 50 gram di dasar krusibel baru briket sampel pertama dimasukan hingga tersusun rapi,

2. Kemudian tambahkan kembali karbon sebanyak 50 gram pada permukaan briket sampel kedua dan seterusnya, kemudian ditutup glass woll. Penggunaan karbon pada setiap briket sampel adalah untuk mengurangi dekarburisasi.

Krusibel yang sudah terisi muatan dimasukkan ke dalam tungku muffle (Gambar 1) untuk direduksi dengan suhu pemanasan 1100°C, dan ditahan selama satu jam.

Gambar 1. Tungku muffle yang digunakan

Proses ini dilakukan sama untuk ketujuh sampel di atas. Sampel dari ketujuh briket tersebut yang sudah mengalami proses reduksi, satu persatu dilebur dengan arc furnace pada skala lab. Hasil ketujuh sampel adalah berbetuk logam dan terak. Briket dari ketujuh sampel, sebelum dilebur ditimbang terlebih dulu untuk mengetahui berat sebelumnya, kemudian hasil leburan logam dan terak juga ditimbang. Logam hasil peleburan kemudian dianalisa komposisi kimia dengan alat spectrometer, struktur mikro dan kekerasan (HV).

Page 126: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 113

Gambar 2. Diagram alir percobaan dalam penelitian ini

Semua bahan digerus dengan alat grinding sehingga menjadi serbuk berukuran -80 mesh dari bahan scaling baja, biji limonit kadar rendah, batu bara, kapur (Gambar 3).

Gambar 3. Bahan hasil dimesin grinding disc Analisa Bahan Bahan yang dianalisa diantaranya yaitu scaling baja, biji limonit, dan batubara, adapun hasil dapat dilihat pada Tabel 1- 3 berikut ini.

Page 127: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

114 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

Tabel 1. Hasil analisis XRF scaling baja hasil roll mill Oksida Konsentrasi (%) Fe2O3 70,14 SiO2 10,66 Al2O3 0,590 P2O5 0,60 MnO 0,154 CrO 1,24 CoO 0,2 MgO 1,74 CaO 0,450

Tabel 2. Hasil analisis XRF Biji laterit kadar rendah jenis limonit Oksida Konsentrasi (%) Fe2O3 63,55 SiO2 14,84 Al2O3 4,63 Cr2O3 1,56 MnO 1,4 NiO 1,42 CoO 0,2 MgO 3,04 CaO 0,12

Tabel 3. Hasil analisis proximat dan ultimat batu bara dari daerah Dandang Kaltim yang digunakan sebagai bahan baku reduktor

Fixed karbon(%)

Volatile matter(%)

Ash Content (%)

Moisture (%)

Nilai kalor(Kalor)

33,4 43,3 13,5 9,85 5555,1 Desain campuran scaling baja dan variasi persen limonit

Kmposisi campuran scaling baja dan limonit dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Campuran antara variasi persen berat scaling dan limonit untuk pembuatan baja Berat scaling 200g

Sampel I II III IV V % limonit 10 20 30 40 50 Berat limonit (g) 20 40 60 80 100 Total campuran scaling +limonit (g) 220 240 260 280 300 0 % Karbon dari campuran (g) 22 24 26 28 30 5% Kapur dari campuran (g) 11 12 13 14 15 1% Binder dari Campuran (g) 1,1 1,2 1,3 1,4 1,5 Total berat campuran (g) 254,1 277,2 300,3 323,41 346,5

Scaling baja 100% = 220g, 10/100 reduktor X 220g= 22g, 5/100 Kapur x 220g = 11g,

1/100 binder x 220g = 2,2g. Biji limonit 100% = 220g, 10/100 reduktor X 220g= 22g, 5/100 Kapur x 220g = 11g,

1/100 binder x 220g = 2,2g.

Page 128: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 115

Proses Campuran Dari ketujuh sampel campuran kemudian dimixer, adapun hasil mixer dapat dilihat

pada Gambar 4.

Gambar 4. Hasil campuran scalling dan limonit dan sudah dimixer

Proses Pembuatan Briket Pembuatan briket menggunakan cetakan logam seperti ditunjukkan pada Gambar 5.

Gambar 5. Cetakan briket dari bahan baja

Dari ketujuh sampel campuran kemudian dibuat briket satu persatu, dimana bahan sampel campuran dimasukkan ke dalam cetakan kemudian dipress. Mesin press yang dipakai berkekuatan 100 ton dan penekanan cetakan pada pembuatan briket menggunakan tekanan 3000 Psi. Penekanan diulang sebanyak tiga kali penekanan. Adapun hasil pembuatan briket dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Briket hasil kompresi dengan bahan scalling baja dan limonit

Hasil Proses Reduksi Pada Briket Briket yang sudah direduksi pada temperatur 1100 °C dapat dilihat pada Gambar 7 serta hasil penimbangan briket yang telah direduksi dapat dilihat pada Tabel 5.

Page 129: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

116 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

Gambar 7. Briket hasil reduksi pada T = 1100°C Tabel 5. Hasil penimbangan briket yang sudah mengalami proses reduksi Sampel Briket telah direduksi

Berat (g)

Sampel campuran I 89,18 Sampel campuran II 85,45 Sampel campuran III 70,42 Sampel campuran IV 84,01 Sampel campuran V 89,87 Scaling baja 171,62 Biji limonit kadar Ni rendah 51,53

Proses Peleburan Briket Proses peleburan briket dilakukan terhadap sampel yang sudah mengalami proses reduksi. Proses peleburan menggunakan tungku arc sebagai anoda dan katoda menggunakan mesin las dengan voltase 220 V - 100 A. Briket ditempatkan pada krusibel terbuat dari grafit padat. Alat peleburan dapat dilihat pada Gambar 8, sedangkan hasil peleburan briket yang berupa logam pada Gambar 9.

Gambar 8. Proses peleburan Gambar 9. Hasil peleburan briket dengan tungku arc skala lab berbentuk logam dari semua sampel Tabel 6 menunjukkan hasil peleburan briket yang berupa logam, terak, serta persentase logam yang dihasilkan dari proses peleburan briket tersebut. Tabel 6. Hasil penimbangan produk briket setelah proses peleburan

No Jenis sampel Berat briket sudah

direduksi (g)

Hasil berat logam semua

sampel (g)

Hasil berat terak semua sampel (g)

Perolehan logam (%)

1 Sampel campuran I 89,18 66,92 22,26 76 2 Sampel campuran II 85,45 68,19 17,36 79,8

Page 130: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 117

3 Sampel campuran III 70,42 50,62 19,80 71,9 4 Sampel campuran IV 84,01 41,04 42,97 48,85 5 Sampel campuran V 89,87 46,47 43,40 51,71 6 Scaling baja 171,62 138,55 33,07 80,73 7 Biji limonit kadar Ni

rendah 51,53 19,70 31,73 38,3

Analisa Komposisisi Komposisi kimia logam hasil peleburan dari semua sampel briket dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Hasil uji pemeriksaan komposisi kimia logam hasil peleburan dari semua sampel briket

Unsur (%

Berat)

Camp.I

Camp.II

Camp.III

Camp.IV

Camp.V

Scaling Baja

C 0,0091 0,0002 0,0006 0,1272 0,0322 0,1107 Si 0,0006 0,0012 0,1177 0,0789 0,0024 0,0181 S 0,0988 0,0198 0,0870 0,1146 0,0999 0,0471 P 0,0025 0,0024 -0,000 0,0119 0,0009 0,0011 Mn 0,0484 0,0354 0,0794 0,1371 0,0598 0,1304 Ni 0,3065 0,7833 0,9488 0,5464 1,2060 0,1995 Cr 0,0755 0,0170 0,1273 0,5443 0,0910 0,1144 Mo 0,0205 0,0239 0,0210 0,0148 0,0227 0,0203 V 0,0015 0,0017 0,0026 0,0039 0,0030 0,0013 Cu 0,0789 0,1084 0,0834 0,0457 0,1172 0,0435 W 0,0031 0,0023 0,0006 0,0038 0,0041 0,0127 Ti 0,0014 0,0015 0,0037 0,0026 0,0019 0,0031 Fe 99,304 98,951 98,231 98,272 98,286 99,244

Pemeriksaan struktur mikro

Pemeriksaan struktur mikro menggunakan alat mikroskop metalografi Olympus dengan pembesaran 50µm memakai etsa Etsa Kalling’s reagent. Adapun hasilnya dapat dilihat pada Gambar 10 sampai dengan Gambar 12.

Gambar 10. Struktur mikro sampel campuran; (a) I dan, (b) II. Struktur yang terbentuk ferit

dan perlit. Etsa Nital 2%

Page 131: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDIN

118

Gambar

Gamba

Hasil uji k

Hasmenggunak

Tabel 8. H

I 140

HASIL DA

Gamb Ter

mill ditamb

NG SEMINA

r 11. Struktu

r 12. Strukt

kekerasan sil uji kekkan alat ke

Hasil uji kek

0

AN PEMBA

ar 13. Peng

rlihat pada bah 10% be

AR MATER

ur mikro saf

tur mikro sa

kerasan paekerasan Vic

kerasan (Hv)

II 193,3

AHASAN

garuh campu

Gambar 1erat limonit

IAL METAL

ampel campuferit dan per

ampel campEtsa

ada sampelckers dapat

) dari kelimKEKER

uran scaling

3 bahwa pat terhadap b

LURGI 201

LEM

uran; (a) IIIrlit. Etsa Ni

puran V. Stra Nital 2%

l briket I dilihat pad

ma sampel brRASAN (H

III 169

g baja dan li

ada campurberat scaling

5

MBAGA ILMU

I dan, (b) IVital 2%

ruktur yang

sampai dda Tabel 8.

riket hasil pHV)

IV377

imonit terha

ran I yaitu g baja, dipe

U PENGETAH

V. Struktur y

terbentuk f

dengan V .

peleburan

V 7,7

adap briket

200g scalineroleh logam

HUAN INDON

yang terben

ferit dan per

hasil peleb

V 184,6

yang dilebu

ng baja hasim sekitar ±

NESIA

ntuk

rlit.

buran

ur

il roll ± 67 g

Page 132: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 119

dan terak sekitar ± 22g. Pada campuran II logam yang diperoleh sedikit meningkat dengan berat yaitu 68g dan hasil terak sedikit turun yaitu 17g. Tetapi pada campuran III terlihat perolehan logam sedikit turun yaitu 51g tetapi terak yang dihasilkan meningkat menjadi 20g dibandingkan campuran II. Sedangkan pada campuran IV posisi perolehan berat logam dan terak hampir sama yaitu untuk berat logam 41g dan berat terak 42g. Pada campuran V persentase logam dan terak yang dihasilkan hampir sama yaitu untuk berat logam 46g dan berat terak 43g.

Pada campuran Scaling baja 100% dan campuran 100% biji limonit sangat mencolok perbedaan berat logam dan berat terak. Pada 100% scaling baja, berat logam yang diperoleh sangat tinggi yaitu 139g dan untuk berat teraknya 33g. Sedangkan untuk 100% limonit sangat turun perolehannya yaitu perolehan logam 20g dan terak 32g. Hal ini dikarenakan Fe sangat mudah direduksi dibandingkan Ni, terlihat pada Gambar 13 perolehan 100 % scaling baja dari berat logam sangat tinggi dibandingkan perolehan 100% biji limonit yang sangat sedikit sekali perolehan berat logamnya.

Gambar 14. Persentase limonit terhadap komposisi unsur-unsur yang dihasilkan pada

campuran I-V Dilihat pada Gambar 14 dan Tabel 7 terlihat pada sampel I yaitu 10% berat limonit

terhadap scaling diperoleh komposisi untuk unsur C rendah yaitu 0,009%, Mn 0,05%, Cr 0,08% serta Ni paling tinggi. Untuk sampel II yaitu 20% berat limonit terhadap scaling diperoleh komposisi untuk C yaitu 0,0002%, Mn 0,04%, sedangkan untuk Cr lebih rendah dari Mn dan lebih tinggi dari C yaitu 0,02 % dan unsur Ni naik lagi yaitu 0,8%. Untuk sampel III, C yang diperoleh masih rendah yaitu 0,0006%, untuk Mn dan Cr naik yaitu 0,07% dan 0,13 % dan Ni pada posisi optimum 0,95%. Pada sampel IV kadar C, Mn, Cr adalah berturut-turut sebesar 0,13%, 0,14%, 0,54% sedangkan Ni turun yaitu 0,55% hampir sama dengan Cr. Pada sampel V untuk unsur C, Mn, Cr menurun dibandingkan sampel-sampel sebelumnya yaitu C 0,03%, Mn 0,06%, Cr 0,09 sedang Ni naik sangat tinggi yaitu 1,21%. Jadi komposisi yang paling unggul yaitu sampel IV, dimana campuran scaling 200g + limonit Ni kadar rendah 50% dari berat scaling.

Kandungan unsur C sangat berpengaruh pada fasa yang diperoleh dan kekerasannya. Ternyata sampel I s/ d III memiliki struktur ferit dan perlit, dengan persentase fasa ferit lebih banyak dibandingkan fasa perlit. Akibat dari kandungan C rendah maka hasil uji keras (Hv) untuk sampel I-III berturut-turut sebesar 140Hv; 193,3 Hv dan 169 Hv. Sampel IV dan V, kekerasannya tinggi tetapi paling tinggi kekerasan adalah sampel IV karena kedua sampel berfasakan Ferit dan Perlit, dimana persentase fasa perlit lebih tinggi dibandingkan fasa ferit.

Page 133: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

120 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

Gambar 15. Nilai kekerasan pada sampel campuran I – V terhadap %berat limonit pada

sampel KESIMPULAN

Dari proses pembuatan baja dengan menggunakan bahan dasar scaling baja dan

limonit kadar Ni rendah, komposisi campuran yang paling optimum sehingga menghasilkan sifat mekanik dan struktur yang diinginkan adalah pada campuran IV, berupa 40% limonit Ni kadar rendah dari 200g scaling baja. DAFTAR PUSTAKA 1. Prasetio. A.B, dan Prasetio. P. 201. “Peningkatan kadar nikel dan besi dari bijih nikel

laterit kadar rendah jenis saprolit untuk bahan baku NCPI” Majalah Metalurgi : Vol. 26, No. 1, April 2014.

2. Binudi. R, dan Edi. H. 2008.,, Penelitian Pendahuluan Nickel Containing Pig Iron (NCPI) Proseding Seminar Material Metalurgi.

3. DIAZ et al. 1993. ,, Low Temperatur Thermal Upgrading of Lateritic Ores”. U.S. Patent Document. Patent Number.: 5.178.666.

4. R.A. Bergmen . 2003.,, Nickel Production from low-iron laterit ores : Process description “.CIM Bulletin : Vol 96, No 1072.

Page 134: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 121

ANALISA KEGAGALAN MANUFAKTUR KOMPONEN DINDING SILINDER DENGAN METODA PENGECORAN SENTRIFUGAL

Budi Priyono

Pusat Penelitian Metalurgi dan Material LIPI Gedung 470, Kawasan Puspiptek, Setu, Tangsel

E-mail: [email protected] Abstrak

Pada proses pembuatan dinding silinder dengan menggunakan metoda pengecoran sentrifugal terjadi kegagalan manufaktur berupa bercak hitam pada permukaan bagian dalam. Bercak tersebut terlihat jelas setelah dilakukan proses pengerjaan akhir dengan pemesinan. Untuk mengetahui faktor penyebab kegagalan dilakukan serangkaia pengujian, yaitu: pengamatan visual, analisa komposisi kimia, kekerasan, metalografi optic dan metalografi elektron (SEM & EDX). Dari hasil pengujian bahan dinding silinder terbuat dari besi cor kelabu perlitik paduan Cr dengan kekerasan rata-rata 210 HB. Sedangkan dari hasil pengamatan metalografi optik dan elektron menunjukkan bahwa bercak hitam tersebut adalah inklusi dari oksida besi yang berasal dari pengotor pada bahan baku yang terperangkap dan belum sempat tertarik menjadi terak pada proses peleburan. Sehingga hal ini akan nampak jelas setelah dilakukan pemesinan. Untuk menghindari kasus tersebut sebaiknya perlu dilakukan pemilihan bahan baku yang relatif bersih dan pembersihan terak sebelum proses penuangan. Kata kunci: Pengecoran sentrifugal (centrifugal casting), Besi cor kelabu perlitik, Komponen dinding silinder, Inklusi, Terak, Oksida besi (Fe3O4) PENDAHULUAN

Komponen dinding silinder merupakan salah satu bagian dari beberapa komponen yang terdapat pada bagian blok mesin. Fungsi dari komponen dinding silinder adalah untuk melindungi bagian dalam blok silinder dari gesekan ring piston. Disamping itu untuk mempermudah penggantian apabila keausan telah melebihi batas ketentuan. Pada proses pemakaian komponen dinding silinder umumnya memiliki temperatur dan tekanan yang tinggi, sehingga dibutuhkan dinding silinder yang memiliki kekerasan yang tinggi agar pemakaian blok silinder akan lebih lama. Jika dilihat dari penggunaannya, besi cor yang digunakan dalam pembuatan komponen dinding silinder adalah besi cor kelabu. Komponen dinding silinder diproduksi dengan menggunakan proses centrifugal casting. Tahapan proses produksi komponen dinding silinder meliputi pembuatan core, melting, casting, dan finishing.

Komponen dinding silinder berbentuk seperti tabung dimana proses pembuatannya dapat menggunakan pengecoran sentrifugal atau pengecoran grafitasi. Pada proses pembuatan komponen dinding silinder dengan metoda pengecoran sentrifugal telah terjadi kegagalan manufaktur berupa bercak hitam pada permukaan dinding dalam silinder. Bercak tersebut terlihat setelah komponen dinding silinder dilakukan proses pengerjaan akhir melalui proses pemesinan. Akibat dari kegagalan tersebut dapat menurunkan unjuk kerja komponen.

Untuk mengetahui faktor penyebab kegagalan dilakukan pengujian, yaitu: pengamatan visual, analisa komposisi kimia, kekerasan, metalografi optik dan elektron. Diharapkan dari serangkaian pengujian tersebut dapat diketahui faktor penyebab kegagalan dan selanjutnya dapat meningkatkan produksi komponen dinding silinder.

METODA PERCOBAAN Bahan

Bahan yang akan diteliti adalah komponen dinding silinder berukuran diameter 4 in yang mengalami kegagalan berupa bercak hitam pada permukaan dalam (ID) setelah proses pemesinan.

Page 135: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

122 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

Prosedur Pengujian

Serangkaian pengujian yang dilakukan adalah pengamatan visual, analisa komposisi kimia, kekerasan dan metalografi (optik dan elektron). Metoda dan prosedur pengujian yang dilakukan adalah sebagai berikut: A. Pengamatan visual, pengamatan inklusi pada permukaan dinding silinder bagian dalam

(ID) B. Analisa Komposisi Kimia, pengujian analisa komposisi kimia menggunakan metoda

Optical Emision Spektrometer (OES) dari ARL 3460. C. Kekerasan, pengujian kekerasan menggunakan metoda Brinell. D. Pengamatan struktur mikro yang dilakukan sesuai dengan prosedur sebagai berikut:

spesimen dipotong dan dibuatkan bingkai atau mounting. Kemudian diampelas, dipoles dan dietsa dengan larutan Etsa larutan Nital 3%. Pengamatan dan pemotretan menggunakan mikrokop optik dan mikroskop elektron (SEM).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini akan dibahas mengenai bahan komponen didnding silinder, ciri-ciri kegagalan dan analisa penyebab kegagalan. Bahan komponen dinding silinder

Hasil analisa komposisi kimia komponen dinding silinder ditunjukkan pada Tabel 1. Bahan dinding siliner dikelompokkan kedalam besi cor kelabu paduan rendah yang mengandung Cr sebesar 0,3 %. Kekerasan rata-rata dari komponen dinding silinder adalah sebesar 210 HB, seperti ditunjukkan pada Tabel 2. Sedangkan dari hasil pengamatan metalografi pada Gambar 2, menunjukkan fasa grafit lamelar, karbida pada matrik perlitik. Sehingga bahan komponen dinding silinder secara lengkap dapat disebut bahan besi cor kelabu perlitik yang mengandung Cr (0,3%) sebagai penyetabil karbida yang berfungsi untuk meningkatkan ketahanan aus.

Tabel 1. Hasil analisa komposisi kimia pada komponen dinding silinder

Sampel Unsur (%berat)

C Si S P Mn Ni Cr Mo V Cu Ti CL 3,45 1,0 0,06 0,12 1,03 0,05 0,27 0,02 0,01 0,15 0,02

Tabel 2. Hasil uji keras pada komponen dinding silinder

Kekerasan (HB 30) Keterangan

206,6 212,5 210,4 211,1 209,5 Pogram HB 30, Beban 187,5 Kgf dan

Ø Indentor 2,5 mm 209,8 Kekerasan rata-rata

Ciri-Ciri Kegagalan

Hasil pengamatan visual terhadap permukaan dinding silinder bagian dalam (ID) pada Gambar 2, menunjukkan ciri-ciri kegagalan sebagai berikut: a) bercak berwarna hitam dengan ukuran 1 – 2 mm, b) bersifat diskontinu, selalu muncul dipermukaan dan berpindah-pindah posisinya c) terlihat setelah proses pengerjaan akhir melalui pemesinan. Kegagalan tersebut mengakibatkan menurunnya unjuk kerja komponen dan menimbulkan kerugian dari sektor produksi. Hal ini disebabkan pada proses pemakaian komponen dinding silinder umumnya memiliki temperatur dan tekanan yang tinggi akibat panas pembakaran dan gesekan dengan cincin torak (ring piston).

Page 136: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 123

Gambar 1. Bercak hitam pada permukaan komponen dinding silinder bagian dalam (OD)

Gambar 2. Struktur mikro potongan melintang komponen dinding silinder pada bagian

permukaan dinding silinder (a) tanpa etsa (b) etsa 3% Nital

Analisa penyebab kegagalan Ciri-ciri kegagalan tersebut di atas menunjukkan bahwa komponen dinding silinder

mengandung inklusi (pengotor) yang terjebak di dalam coran. Dari hasil pengamatan dengan SEM & EDS pada Gambar 3 dan 4, menunjukkan kondisi inklusi pada permukaan komponen dinding silinder bagian dalam. Inklusi yang terbentuk tidak memiliki ikatan kuat dan mudah lepas terhadap logam dasarnya.

Page 137: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

124 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

Gambar 3. Hasil pengamatan SEM pada inklusi di permukaan dinding silinder bagian dalam

(ID) (a) rongga yang mengandung inklusi (b) bentuk rongga setelah inklusinya terlepas

Gambar 4. Hasil EDS inklusi pada Gambar 3(a)

Dari hasil pengamatan SEM & EDS pada Gambar 4, menunjukkan bahwa bercak

hitam tersebut adalah inklusi dari besi oksida yang mengandung unsur Si dan Cr. Salah satu sumber besi oksida sebagai inklusi dalam coran adalah berasal dari bahan baku yang kotor dan terjebak dalam coran serta belum sempat tertarik menjadi terak pada proses peleburan. Pada saat penuangan gaya sentrifugal yang ditimbulkan pengotor dalam cairan logam akan terbawa menuju permukaan dinding silinder bagian dalam dan akan dibuang melalui pemesinan. Sebagai ilustrasi proses pengecoran sentrifugal dapat dilihat pada Gambar 5, yang menunjukkan proses penuangan sampai dengan produk coran yang padat. Pengecoran sentrifugal dilakukan dengan cara menuangkan logam cair ke dalam cetakan yang berputar. Di bawah pengaruh gaya sentrifugal benda coran akan padat, permukaan halus dan struktur

Page 138: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 125

logam yang dihasilkan mempunyai sifat yang unggul. Proses ini sesuai untuk benda coran yang berbentuk simetris dan dengan adanya gaya sentrifugal dimungkinkan dihasil produk coran yang tipis.

Gambar 5. Proses pengecoran sentrifugal

Pada proses pembuatan komponen dinding silinder cetakan diberi lapisan tahan api

yang tipis. Hal ini memungkinkan terjadinya solidifikasi dengan cepat dan mengakibatkan inklusi terperangkap. Kotoran-kotoran yang memiliki berat jenis lebih rendah dibandingkan dengan logam, seharusnya berkumpul di permukaan sebelah dalam dan bila perlu dibuang melalui pemesinan. Dengan adanya inklusi yang terjebak dalam coran ditandai dengan terlihatnya bercak hitam pada permukaan setelah dilakukan pemesinan. Untuk menghindari kasus tersebut sebaiknya perlu dilakukan pemilihan bahan baku yang relatif bersih dan pembersihan terak sebelum proses penuangan. KESIMPULAN

Dari hasil pengujian dan pembahasan terhadap kegagalan komponen dinding silinder dapat dibuat kesimpulan sebagai berikut: 1) Komponen dinding silinder terbuat dari bahan besi cor kelabu perlitik paduan rendah

Cr (0,3 %). 2) Kegagalan manufaktur berupa bercak hitam berasal dari pengotor atau inklusi yang

terjebak pada saat proses pengecoran berlangsung. 3) Penyebab kegagalan adalah bahan baku pengecoran mengandung pengotor berupa

oksida besi yang tinggi. UCAPAN TERIMAKASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada pengelola dan pelaksana PNBP P2MM-LIPI bidang jasa pengujian yang telah membantu dalam pelaksanaan pengujian komponen dinding silinder. DAFTAR PUSTAKA 1. ASM Handbook, Volume 1, Properties and Selection: Irons, Steels, and High

Performance Alloys , American Society for Metals, Ohio, 1998 2. ASM., Wordldwide Guide To Equivalent Irons and Steels, American Society for

Metals, Ohio, 1993 3. ASM, Metals Hand Book Vol. 15, Casting , American Society for Metals, Ohio, 1998 4. Charles Fayette Taylor., The Internal-Combustion Engine in Theory and Practice, MIT

Press paperback edition, 1985 5. Krauss.G., Steels Heat Treatment and Processing Principles, ASM International,

Materials Park, Ohio, 1990

Page 139: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

126 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

Page 140: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 127

APLIKASI PRINSIP BERNOULLI PADA RECUPERATOR KUPOLA UDARA PANAS

Iwan Dwi Antoro*, Rahardjo Binudi, Saefudin

Pusat Penelitian Metalurgi dan Material - LIPI Gedung 470, Kawasan Puspiptek, Setu, Tangsel

*E-mail: [email protected]

Abstrak Peningkatan efisiensi pada kupola dengan memanfaatkan panas gas buangnya dapat dilakukan dengan

membangun suatu sistem recuperator. Recuperator ini akan mengambil panas dari gas buang kemudian memindahkannya ke udara yang akan masuk ke dalam kupola. Udara panas ini kemudian akan membakar kokas yang diumpankan dalam kupola dan menghasilkan energi dalam bentuk panas (kalor). Energi panas yang dihasilkan ini sebagian dimanfaatkan untuk menaikkan temperatur dalam kupola, sebagian digunakan untuk melebur material yang ada di dalam kupola, dan sisanya dibuang bersama dengan gas hasil pembakaran. Panas yang terbuang bersama dengan gas hasil pembakaran inilah yang dimanfaatkan kembali untuk memanaskan udara masuk.Untuk mencapai tujuan itu, gas buang tadi dilewatkan ke dalam unit recuperator. Secara teknis, recuperator biasanya ditempatkan di atas kupola dan hanya mengandalkan tarikan alamiah untuk menyedot gas buangnya. Belajar dari kasus yang ditemui di lapangan, penempatan recuperator seperti ituakan membuat aliran gas buang agak tertahan, sehingga terjadilah overheating di area tersebut dan akhirnya bagian bawah recuperator tersebut hancur terbakar. Untuk mengatasinya, di sini diusulkan aplikasi prinsip Bernoulli untuk memberikan daya hisap pada recuperator. Diharapkan dengan teknik ini tidak terjadi overheating yang melebihi kapasitas material. Selain itu, bisa juga untuk mengontrol temperatur di area di bawah recuperator dengan cara mengatur kecepatan aliran udaranya.

Kata kunci: Kupola, Recuperator, Bernoulli, Heat exchanger PENDAHULUAN Prinsip Bernoulli

Prinsip Bernoulli adalah sebuah istilah di dalam mekanika fluida yang menyatakan bahwa pada suatu aliran fluida, peningkatan pada kecepatan fluida akan menimbulkan penurunan tekanan pada aliran tersebut. Prinsip ini sebenarnya merupakan penyederhanaan dari Persamaan Bernoulli yang menyatakan bahwa jumlah energi pada suatu titik di dalam suatu aliran tertutup sama besarnya dengan jumlah energi di titik lain pada jalur aliran yang sama. Prinsip ini diambil dari nama ilmuwan Belanda/Swiss yang bernama Daniel Bernoulli. Dalam bentuknya yang sudah disederhanakan, secara umum terdapat dua bentuk persamaan Bernoulli; yang pertama berlaku untuk aliran tak-termampatkan (incompressible flow), dan yang lain adalah untuk fluida termampatkan (compressible flow).

Gambar 1. Aliran dalam sebuah pipa yang menyempit: meningkatnya kecepatan aliran

menyebabkan menurunnya tekanan fluida Aliran Tak-termampatkan

Aliran tak-termampatkan adalah aliran fluida yang dicirikan dengan tidak berubahnya besaran kerapatan massa (densitas) dari fluida di sepanjang aliran tersebut. Contoh fluida tak-termampatkan adalah: air, berbagai jenis minyak, emulsi, dll.

Page 141: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

128 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

Dimana: V = kecepatan fluida G = percepatan gravitasi bumi H = ketingian relative terhadap suatu referensi P = tekanan fluida P = densitas fluida

Persamaan di atas berlaku untuk aliran tak termampatkan dengan asumsi-asumsi: aliran bersifat tunak (steady state), tidak terdapat gesekan. Dalam bentuk lain, persamaan Bernoulli dapat dituliskan sebagai berikut:

Aliran Termampatkan Aliran termampatkan adalah aliran fluida yang dicirikan dengan berubahnya besaran

kerapatan massa (densitas) dari fluida di sepanjang aliran tersebut. Contoh fluida termampatkan adalah: udara, gas alam, dan lain-lain. Persamaan Bernoulli untuk aliran termampatkan adalah sebagai berikut: Hukum Bernoulli menyatakan bahwa jumlah dari tekanan ( p ), energi kinetik per satuan volum (1/2 PV^2 ), dan energi potensial per satuan volume (ρgh) memiliki nilai yang sama pada setiap titik sepanjang suatu garis arus.Dalam bagian ini kita hanya akan mendiskusikan bagaimana cara berfikir Bernoulli sampai menemukan persamaannya, kemudian menuliskan persamaan ini. Akan tetapi kita tidak akan menurunkan persamaan Bernoulli secara matematis. Kita disini dapat melihat sebuah pipa yang pada kedua ujungnya berbeda dimana ujung pipa 1 lebih besar dari pada ujung pipa 2.

Dimana O = energi potensial gravitasi per satuan massa W = entalpi fluida persatuan massa

dimana e adalah energi termodinamika per satuan massa, juga disebut sebagai energi internal spesifik. Recuperator pada Hot Blast Cupola

Kupola udara panas adalah kupola yang memanfaatkan gas buangnya untuk memanaskan udara masuk dengan menggunakan recuperator.

Page 142: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 129

Gambar 2. Deskripsi kupola udara panas

Gambar 3. Distribusi energi pada kupola udara panas

Distribusi energi pada kupola udara panas dapat dilihat pada Gambar 3. Distribusi

Energi pada kupola adalah sebagai berikut: Wo: Energi yang dihasilkan dari pembakaran kokas W1: Energi yang dihasilkan dari Si dan Mn W10: Energi dalam logam cair W11: Energi yang terbuang dalam slag dan kelembaban udara W12: Energi yang terbuang dalam pendingin kupola W13: Energi yang terbuang melalui pintu charging W14: Energi yang terbuang melalui flue gas WR: Energi yang direkoveri oleh recuperator Kupola menggunakan kokas sebagai bahan bakarnya. Indonesia tidak mempuyai

sumber daya kokas yang layak untuk ditambang. Sampai saat ini kebuthan kokas masih diimpor dari luar negeri. Dari komposisi bahan baku kupola, kokas mengambil 40 % nya. Penggunaan recuperator yang efektif akan meningkatkan efisiensi bahan bakar (kokas). Kokas akan lebih hemat.

Page 143: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDIN

130

Bag

limbah panbakar atauuntuk tujupanasnya, yang tidakSejumlah bterbuang dEnergi yanbanyak pabesar cara-perlalatan untuk pene

Paddinding kediberi pem

NG SEMINA

gian ini secnas. Limba

u reaksi kimuan ekonom

namun lebik digunakanbesar gas bdapat dimanng hilang danas yang d-cara untukkomersial y

erapan dan pda recuperaeramik atau

manasan awa

AR MATER

Gambar

cara ringkaah panas admia, yang k

mis dan bermih kepada “n tergantunbuang pananfaatkan ke

dalam limbadapat dimank meminimayang dapat penggunaanator, pertuku logam. Sal, sementar

Gambar 5

IAL METAL

r 4. Distribu

as menjelasdalah panaskemudian “manfaat. Fa“nilai” nya.ng pada suas dihasilkaembali makah gas tidaknfaatkan daalkan kehildigunakan

n lainnya. karan panasSaluran ataura disisi lain

5. Desain sk

LURGI 201

LEM

usi temperat

skan tentang yang diha

“dibuang” kakta yang p Mekanism

uhu gas paan dari boilka sejumlahk seluruhnyan dalam bangan terseuntuk mem

s terjadi diu pipa-pipannya terdapa

kematik kup

5

MBAGA ILMU

tur pada kup

g keistimewasilkan olehke lingkungpenting ada

me untuk meanas yang tler, kiln, ovh bahan ba

ya dapat dimbab ini akanebut. Bagianmanfaatkan

iantara gas a membawaat aliran lim

pola udara p

U PENGETAH

pola

waan pemah proses pemgan dan tidaalah bukan emanfaatkanterbuang dven dan tunakar primermanfaatkan n disampaikn ini menjekembali li

buang dana udara pem

mbah panas.

panas

HUAN INDON

anfaatan kemmbakaran bak diguna umasalah jun kembali p

dan ekonomngku. Jika pr dapat dih

kembali. Tkan secara elaskan bermbah pana

n udara mmbakaran u

NESIA

mbali bahan ulang

umlah panas

minya. panas

hemat. Tetapi

garis rbagai s dan

elalui untuk

Page 144: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 131

Gambar 6 berikut menyajikan desain recuperator yang telah dibuat pada penelitian ini.

Gambar 6. Desain recuperator yag telah dibuat pada penelitian ini

Prinsip Kerja:

Dengan menggunakan prinsip Bernoulli, udara berkecepatan tinggi dihembuskan melalui cerobong sehingga tekannanya menjadi rendah. Tekanan rendah ini akan menyebabkan gas panas dalam kupola keluar melalui recuperator. Sehingga diharapkan dapat mencegah terjadinya overheating.

Gambar 7. Recuperator yang telah selesai difabrikasi sesuai desain pada Gambar 6

HASIL DAN PEMBAHASAN

Konfigurasi recuperator pada kupola ditunjukkan secara skematik pada Gambar 6. Pengalaman di lapangan desain heat exchanger seperti itu (dijelaskan dengan gambar), ketika

Page 145: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

132 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

dipasang pada kupola dengan konstruksi seperti pada Gambar 6, akan memberikan hambatan terhadap aliran gas hasil pembakaran (flue gas). Hambatan itu akan mengurangi energy panas yang keluar melalui cerobong dan akan menambah energi panas di diarea bawah heat exchanger. Apabila kita membuat suatu sistem di area bawah heat exchanger. Di mana apabila ada suatu kondisi energi panas yang masuk ke dalam sistem lebih besar dari pada energi yang keluar dari sistem itu. Maka energi panas yang berlebih itu akan menyebabkan kenaikan temperatur dalam sistem itu, atau bisa juga untuk melakukan transformasi fasa terhadap zat yang ada di dalam sistem itu. Untuk mencegah kenaikan temperatur dalam sistem itu salah satu caranya adalah dengan membuat energi panas yang keluar menjadi lebih besar. Hal ini bisa dilakukan dengan menggunakan prinsip Bernoulli.

Gas hasil pembakaran memiliki suhu tinggi alias panas. Karena suhu tinggi, maka massa jenis udara tersebut kecil. Udara yang massa jenisnya kecil mudah terapung alias bergerak ke atas. Alasannya bukan cuma ini. Prinsip bernoulli juga terlibat dalam persoalan ini. prinsip bernoulli mengatakan bahwa jika laju aliran udara tinggi maka tekanannya menjadi kecil, sebaliknya jika laju aliran udara rendah, maka tekanannya besar.

Deskripsi skema sistem recuperator dengan memanfaatkan prinsip Bernoulli dapat dilihat pada gambar x. Secara singkat, prisip kerjanya dapat dijelaskan sebagai berikut: Heat exchanger dipasang diatas kupola seperti terlihat di gambar. Dengan menggunakan pipa penghubung, Heat exchanger ini dihubungkan ke pipa cerobong. Di ujung pipa cerobong dipasang kompresor. Kompresor di sini, selain menyuplai udara ke kupola melalui heat exchanger, juga akan memberikan aliran udara berkecepatan tinggi melalui cerobong. Semakin tinggi kecepatan udara, maka tekanannya akan semakin kecil. Sehingga gas panas dalam kupola akan terhisap keluar melalui heat exchanger. Pengontrolan kecepatan udara di sini mempunyai peran yang penting untuk menjaga temperatur di area bawah heat exchanger. Di area ini temperatur dijaga sekitar 600 °C, sesuai dengan kemampuan material baja yang digunakan yaitu pipa baja SS 304 dan pelat mild steel. KESIMPULAN

Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut: aplikasi prinsip Bernoulli pada recuperator udara panas secara teori memiliki potensi untuk mengontrol temperatur di area bawah heat exchanger sehinga tidak terjadi over heating yang melebihi kapasitas material. DAFTAR PUSTAKA 1. Streeter, V.L., Fluid Mechanics, Example 3.5, McGraw–Hill Inc. (1966), New York. 2. Katz S., Stanek V., Landefeld C.: The basic cupola model. Chapter 27. Cupola

Handbook, American Foundrymen's Society Inc., Des Plaines, Illinois, USA (1999) 3. Kirk, Edward (1899). "Cupola management". Cupola Furnace - A Practical Treatise on

the Construction and Management of Foundry Cupolas. Philadelphia, PA: Baird. p. 95. 4. http://www.hiflux.co.uk/index.php/applications/recuperator 5. Çengel, Yunus A.; Boles, Michael (1994). Thermodynamics: An Engineering Approach 6. "Bernoulli's Principle states that faster moving air has lower pressure".

http://www.tallshipschannelislands.com

Page 146: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 133

PEMBUATAN SUPER ABSORBANCE POLYMER COMPOSITE (SAPC) DENGAN BERBAGAI TEKNIK DAN PROSES

Jadigia Ginting

BSBM PSTBM-BATAN Kawasan Puspiptek Serpong

E-mail: [email protected]

Abstrak Berbagai macam filler dipakai untuk membuat sederetan Super Absorbent Polymers Composites

(SAPC) dengan reaksi kopolimerisasi menggunakan polimer akrilat. Beberapa filler yang digunakan antara lain: bentonit dan montmorrilonit K10/Ksf untuk membuat SAPC. Hasil sintesis kemudian diidentidikasi dengan spektroskopi FTIR. Kemudian dilakukan uji daya serap air keempat polimer komposit yang disintesis. Hasil pengukuran menunjukkan daya serap air SAPC-bentonit adalah 0.165 dan SAPC-m-K10 dan SAPC-m-Ksf berturut-turut adalah 0,577 dan 0,607. SAPC dengan filler yang dihaluskan high energy mechanical milling (HEMM)selama 10 jam, dihasilkan SAPnC (super absorban polimer nano komposit) memberikan daya serap air SAPnC-ben 0.837, sementara SAPnC-m-K10 dan SAPnC-m-Ksf masin –masing 0.621 and 0.636. Pengamatan SEM dilakukan untuk melihat morfologi, kepastian isotropik dan homogenisasi sampel SAPC.dan SAPnC Kata kunci: SAPC-ben , SAPC-m-K10, SAPC-m-Ksf, SAPnC, Laju serapan air, Kapasitas serapan air

PENDAHULUAN Polimer Super absorban dapat digolongkan menjadi beberapa jenis yaitu

berdasarkan morfologi, jenis bahan penyusunnya dan proses pembuatan. Berdasarkan morfologinya, polimer super absorban diklasifikasikan menjadi polimer serbuk, partikel, bola, serat, membran, dan emulsi. Bentuk morfologi polimer disesuaikan dengan aplikasinya.

Super absorben polimer komposite merupakan suatu bahan yang dapat mengabsorpsi dan menyimpan cairan[1]. Polimer komposit super absorbent bersifat ramah lingkungan karena 90% bahannya dapat diuraikan[2]. Polimer komposit super absorben memiliki kelebihan dibandingkan dengan polimer absorben biasa tanpa penguat seperti kapasitas absorbansi yang lebih baik, karakteristik fisik yang cukup kuat, stabil terhadap perubahan suhu dan keasaman (pH)[3-4]. Kapasitas absorbansi dari polimer komposit super absorben yang dihasilkan harus baiksehingga mampu menyerap air lebih baik. Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas dan kapasitas SAPC menuju super absorban komersial kompetitif-sustainabel. Proses dilakukan dengan variasi beberapa jenis filler/penguat dan Tehnik pengolahan dengan penghalusan ke dimensi nano, yang diharapkan dapat mencapai target aplikatif dan komersial.

Polimer komposit superabsorban SAPC dibuat dengan proses polimerisasi adisi antara AA dengan AM menggunakan ammonium persulfat (APS) sebagai inisiator. Semakin tinggi konsentrasi inisiator, panjang rantai polimer yang dihasilkan semakin pendek, gel yang dihasilkan akan semakin keruh dan elastisitas gel menurun. Sedangkan sifat produk gel yang diinginkan adalah rantai polimer yang panjang, jernih, dan elastik. Terdapat dua mekanisme penyerapan air yaitu kimiawi dan fisik. Penyerapan air melalui proses penyerapan air kimiawi melibatkan reaksi kimia yang akan mengubah sifat alami material seperti sifat swelling yang meningkat karena fenomena interkalasi filer ke dalam polimer yang dapat digambarkan sebagai besaran interkalasi seperti illustrasi berikut (Gambar 1).

Page 147: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

134 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

Gambar 1. Ilustrasi SAPC montmorillonit terinterkalasi[1,3]

Kerangka dasar penyusun polimer komposit super absorben ini adalah asam akrilik, akrilamid, dan filler/pengisi (tepung keramik/clay: bentonit, zeolit, pirofilit, feldsfar, kaolin, batu apung, abu terbang dan montmorillonite Ksf/K10). Bahan pengisi yang digunakan dalam penelitian ini adalah bentonit dan montmorillonit K10 dan Ksf dari Aldrich.

Bentonit adalah sebuah alumunium filosilikat penyerap yang terbuat dari abuvulkanik. Bentonit didominasi oleh montmorillonit (75-85%). Terdapat beberapa jenis bentonit dan namanya tergantung pada elemen dominan, seperti kalium (K), natrium (Na), kalsium (Ca), dan alumunium (Al). Pada bidang industri, bentonit yang sering dipakai adalah jenis natrium dan kalsium. Na-bentonit disebut juga bentonit swelling Bentonit sedikit terlarut dalam air membentuk campuran sangat kental. Contoh batuan bentonite ditunjukkan pada Gambar 2.

Gambar 2. Batuan bentonite

Mineral lain untuk pengisi yaitu montmorillonit yang merupakan mineral alami

hasil ekstrak yang dapat dipakai sebagai filler. Serbuk halus ini merupakan hasil olah bentonit alam yang dikomersialkan secara scientific pada catalog Aldrich. Memiliki bentuk halus dan lembut.

Gambar 3. Struktur layer montmorillonite (Syuhada, 2008)

Penelitian ini bertujuan untuk melihat kemampuan daya serap air dari SAPC dengan

berbagai tehnik dan proses menggunakan berbagai filler seperti bentonit serta montmorillonit dalam bentuk serbuk biasa dan yang dihaluskan dengan High Energy Mechanical Milling (HEMM).

Page 148: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 135

METODE PERCOBAAN Lingkup Penelitian

Penelitian yang dilakukan terdiri dari beberapa tahapan antara lain merupakan proses pembentukan polimer komposit super absorben dengan cara polimerisasi adisi untuk membentuk kopolimer dan metode grafting untuk menggabungkan polimer dengan bentonit/montmorillonit serbuk biasa dan yang dihaluskan dengan HEMM. Proses polimerisasi dilakukan dengan metode kimia, yaitu dengan menggunakan bahan kimia inisiator polimerisasi dan bahan pembentuk ikatan silang (crosslinker). Bahan inisiator yang digunakan adalah amonium persulfat (APS) dan bahan pembentuk ikatan silang adalah N,N metilen bisakrilamid (MBA) disertai pemanasan, lalu menguji sifat penyerapan air dari polimer super absorben yang dihasilkan yaitu kapasitas penyerapan air serta laju penyerapan air. Proses pembuatan SAPC dalam penelitian ini menggunakan metode group T.Kimia ITB[2]

Berbagai proses yang ditampilkan yaitu penggunaan filer yang berbeda dan ukuran serbuk yang berlainan.

Kemudian karakterisasi SAPC yang mencakup identifikasi ikatan dalam komposit polimer super absorben menggunakan FTIR dan penentuan morfologi komposit polimer super absorben menggunakan SEM. Pembuatan SAPC

Asam akrilik sebanyak 10,4 mL dimasukkan ke dalam labu leher tiga ; 11 mL NaOH dan 35 mL aqua dan ditambahkan ke dalamnya. Kemudian, sebanyak 5,5 g akrilamida, MBA dan 0,6 g bentonit Aldrich atau zeolit dimasukkan ke dalam campuran. Jumlah MBA yang dimasukkan adalah 0,02 %. Campuran ini kemudian diaduk dengan menggunakan magnetic stirrer selama 1 jam tanpa pemanasan. Setelah itu di tambahkan 0,12 gram APS ditambahkan. Setelah semua bahan masuk, campuran diaduk sambil dipanaskan. Campuran akan berubah menjadi gel setelah mencapai temperatur reaksi pada 70oC dan atau diproses dengan ultrasonic. Gel SAPC dikeluarkan dan kemudian dibilas dengan air aqua dm untuk menghilangkan sisa-sisa reaktan. SAPC yang terbentuk, dipotong kecil untuk meningkatkan kapasitas penyerapan air, dan dikeringkan di dalam oven pada suhu 70oC selama 24 jam. Uji Kapasitas Penyerapan Air dan Laju Penyerapan Air

SAPC yang dihasilkan, direndam dalam air aqua dm pada temperatur ruang selama 12 hari untuk mencapai kestetimbangan penggembungan. SAPC yang telah menggembung kemudian dipisahkan dari air aqua demin yang tidak terserap dengan cara penyaringan kemudian ditimbang setiap 2 hari. Untuk pengukuran laju penyerapan air, SAPC yang dihasilkan direndam dalam air aqua dm pada temperatur ruang. Pada menit ke 5, 15, 30, 45 dan 60 SAPC yang telah menggembung tersebut diambil dan ditimbang.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Polimer komposit super absorban (Super Absorbance Polymer Composite/SAPC) yang dibuat pada penelitian kali ini merupakan hasil kopolimerisasi dari asam akrilik dan akrilamid dengan ditambahkan bentonit, zeolit, pirofilit dan montmorillonite sebagai bahan penguatnya. Pembuatan SAPC menggunakan ammonium persulfat (APS) sebagai inisiator dan 2,2-N,N methylene bisacrylamide (MBA) sebagai crosslinker. Penelitian ini bertujuan mengetahui laju serta kapasitas penyerapan air yang maksimum. Analisa kuantitatif yang dilakukan dengan percobaan meliputi penentuan laju serta kapasitas abosrbsi dalam air. Kemudian data SAPC dengan berbagai filler diatas akan dibandingkan untuk melihat kualitas bahan super absorban tersebut. Sementara, analisis kualitatif dilakukan dengan menggunakan Fourier Transform Infra Red (FTIR) dan Scanning Electron Microscopy (SEM).

Page 149: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

136 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

Dibawah ini grafik penentuan laju penyerapan air beberapa polimer komposit dengan berbagai filler: SAPC-ben, SAPC-m-K10, SAPC-m-Ksf. Laju penyerapan air sebagai salah satu uji yang dilakukan dalam penelitian kali ini ialah laju penyerapan air awal selama 60 menit pertama. Penentuan laju penyerapan air untuk keempat jenis polimer komposit yang diakukan dengan melakukan perendaman sampel di dalam air pada temperatur ruangan. Selama selang waktu tertentu (5, 15, 30, 45, dan 60 menit), polimer akan mengalami penggembungan. Polimer yang telah menggembung kemudian disaring dan ditimbang. Dengan demikian, berat air yang terserap oleh polimer pada selang waktu yang telah ditetapkan dapat dihitung. Data ini kemudian diplot pada sebuah grafik yang menyatakan hubungan jumlah air yang diserap (gram) terhadap waktu penyerapan air (menit). Gradien grafik inilah yang menyatakan laju penyerapan air polimer (gram/menit). Laju serapan air SAPC-ben

Gambar 4. Grafik Daya serap air SAPC bentonite dan SAPnC bentonite

Gambar 5. Daya serap air SAPnC –m-K10 dan SAPnC-m-Ksf

Dari grafik Gambar 4 dan Gambar 5 menunjukkan daya serap air SAPC–bentonit

dengan perlakuan filler yang di milling dengan HEM selama 10 jam laju serap airnya dengan gradient 0,837 sedangkan and SAPC-bentonit-non milling gradient laju serap airnya 0,164. Dari hasil diatas menunjjukkan perbedaan harga gradient yang cukup besar, sama halnya dengan daya serap air SAPnC –m-K10 dan SAPnC-m-Ksf yaitu 0,621 dan 0,636 dibandingkan dengan daya serap air dengan filler non-milling SAPC–m-K10 dan SAPC-m-Ksf yaitu masing –masing 0,577 dan 0,607. Menurut sebuah studi sebelumnya[6-7], bahwa filler/clay pada SAPC dapat bereaksi dengan PAA yang dapat berfungsi untuk meningkatkan jaringan polimer. Dalam penelitian ini, terlihat mekanisme jenis dan ukuran filler pada SAPC dapat meningkatkan interaksi berupa ikatan antara –gugus COO dan gugus -OH pada permukaan serbuk bentonit yang digiling halus mempunyai luas permukaan yang besar yang berarti semakin banyak kontak interface antara matriks polimer dan nanofiller itu sendiri dan juga SAPC nano filler

Page 150: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 137

mempunyai ukuran Kristal / butir Kristal sangat kecil yang dapat meningkatkan serapan air lebih baik Identifikasi dengan FTIR a/SAPC-ben

b/SAPC-mmnt

Gambar 6. Spektra FTIR SAPC dengan filler bentonit dan montmorrilonit

Kontribusi serapan FTIR beberapa SAPC terlihat seperti dalam Tabel 1.

Tabel 1. Kontribusi serpan FTIR gugus fungsi SAPC

Gugus fungsi –CH; Si-O-Si; -C=O dan –OH menunjukkan struktur kimia SAPC ditunjukkan oleh serapan puncak gelombang pada 1037,70 dan 1037,70 yang mengacu pada gugus Si-O-Si. Gugus ini berasal dari serbuk clay. Pada filler bentonit, zeolit, pirofilit dan montmorillonit K10 dan Ksf terdapat gugus-gugus –CH, -C=O, dan –OH yang bersifat hidrofilik. Adanya gugus yang bersifat hidrofilik inilah yang memampukan kopolimer bisa mengikat air. Pada SAPC pirofilit, SAPC-m-K10 dan Ksf diduga filler penyususn SAPC telah terinterkalasi dalam lapisan polimer sehinnga akan memperbesar pori-pori dan rongga-rongga pada SAPC, perbesaran pori-pori pada SAPC tersebut lebih besar/variatif dibandingkan SAPC bentonit dan zeolit sehingga dapat menyerap air lebih baik. Terbentuknya pori/rongga dalam bentuk layer dipengeruhi oleh sifat keasaman clay yaitu kemudahan melepaskan H atau penolakan

Bil.gelombang teori (cm-1) Bil.gelombang isolat (cm-1) SAPC Gugus Reaktif

675-1000 677,01 -CH 685-1050 1037,70 Si-O-Si 1670-1760 1637,56 -C=O 2500-3000 3429,43 -OH (karboksilat)

Page 151: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDIN

138

terhadap mdan Lewispenyerapan Pengamat

Misotropic ymemiliki stersimpan l Pengamat

Spe

memiliki bHEMM.

NG SEMINA

molekul air.s. Pori-pori n air SAPC

tan struktu

Mikrrograf dyang merastruktur lebilebih baik.

tan XRD

Gamba

ektrograf dbentuk isotro

Gam

AR MATER

Hal ini peatau rongg

.

ur mikro de

Gamb

di atas meata serta hih kuat dan

ar 8. Pola d

diatas menuopic merata

mbar 9. Pol

IAL METAL

erlu diteliti ga-rongga y

engan SEM

bar 7. Mikr

nunjukkanhomogen, dn lebih poro

difraktograf

unjukkan ma serta homo

la difraktogr

LURGI 201

LEM

lebih jauh yang besar

M

rograf bebe

mikrostrukdimana SAos, sehingga

f XRD dari

mikrostruktuogen, diman

raf XRD da

5

MBAGA ILMU

dengan parinilah yan

erapa SAPC

ktur beberapAPC montma dapat men

SAPC-ben

ur SAPC, na untuk fil

ari SAPC-be

U PENGETAH

rameter keang berkont

C

pa SAPC,morillonit ynyerap air le

–non millin

dengan filler yang dih

en –milling

HUAN INDON

asaman Brotribusi pada

, dengan byang dihaluebih banyak

ng

iller biasa. haluskan de

NESIA

onsted a laju

entuk uskan k dan

Dan engan

Page 152: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 139

Gambar mikrograf dari SAPC-ben milling ini, menunjukkan pelebaran puncak pada sudut 2 di titik 5 (Gambar 9). Hal tersebut menunjukkan hasil pengukuran mikrograf SAPC memperlihatkan pelebaran puncak sebagai fenomena interkalasi filler ke dalam polimer, hal ini menunjukkan adanya konsistensi dengan hasil pengamatan SEM (Gambar 7). Hasil penelitian lain dengan filler yang berbeda yaitu pirofilit yang dihaluskan dengan waktu penggilingan yang bervariasi, menunjukkan hasil daya serap air yang yang optimal, sesuai dengan pengamatan spektrograf di bawah ini (Gambar 10).

Gambar 10. Difractograf SAPC pirofilit, dimiling beberapa jam (16)

SAPC pirofilit memiliki struktur lebih kuat dan lebih poros, sehingga menyerap air

lebih banyak/optimal dan tersimpan lebih baik. KESIMPULAN

Laju penyerapan air SAPC-ben 0164 dan SAPC-ben-milling 0,837 sementara SAPC-m-K10 0,577 dan SAPC-m-Ksf 0,607, sedangkan dengan penghalusan filler menggunakan HEMM dihasilkan daya serap air SAPnC-m-K10 dengan serapan 0,621 dan SAPnC-m-Ksf 0,636 yang dinyatakan sebagai gradient serapan.

Terjadi peningkatan Laju serapan air pada SAPC dengan filler yang dihaluskan dengan bentuk fisis/tekstur yang lebih baik/stabil.

Berbagai filler alami dan komersial berhasil membentuk SAPC dengan karakteristik dan kapasitas tertentu, sehingga dapat digunakan dan ditingkatkan penggunaannya untuk komoditas komersial. UCAPAN TERIMA KASIH Penelitian ini dapat dilaksanakan atas dukungan dan penggunaan fasilitas laboratorium Bidang Sains Bahan Maju PSTBM Batan, untuk itu kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang terkait di PSTBM Batan. DAFTAR PUSTAKA 1. Gao, Deyu. 2003. Super absorbent Polymer Composite (SAPC) Materials and their

Industrial and High Tech Applications. Dissertation, Der Technischen U ätBergakademie Fiberg University.

2. Ade Rahma Dyah H dan RiscaYanditia. 2011. Optimalisasi kondisi reaksi untuk meningkatkan sifat absorbansi komposit polimer super absorben..Laporan Penelitian Teknologi Kimia 2. Teknik Kimia Fakultas Teknologi Industri ITB

Page 153: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

140 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

3. A. Zainal Abidin, I. Noezar, and Ridhawati. 2011. Synthesis and Characterization of Super absorbent Polymer Composites Based on Acrylic Acid, Acrylamide and Bentonite. Indonesian Journal of Material Science, Vol. 12 (2). January.2011.

4. Deni. Swastomo, Kartini Megasari, Rany Sapta Aji. 2008. Pembuatan Komposit Polimer Super absorben dengan Mesin Berkas Elektron. Seminar Nasional IV SDM Teknologi Nuklir.Yogyakarta 25-26 Agustus 2008.

5. Sri Yatmani dan Jadigia Ginting . 2012. Sintesis dan Karakterisasi Superabsorban Polimer Komposit Berbasis Nanoclay Montmorillonit. Prosiding Seminar Nasional XXI Kimia dalam Industri dan Lingkungan Jasa Kiai Yogyakarta 6 Des 2012 . ISSN : 0854-477 8

6. Jadigia Ginting, Bambang Sugeng dan Deswita. 2013. Study on Nanosize Filler Effect Toeard Water Absorbance Capacity of SAPC, International Symposium on ” Nanotechnology and Nano-Biotechnology Innovative Applications For Sustainable Green Economy and Climate Change Mitigation, Batan-Inesco-Comsats, Puspiptek Serpong , 16-18 Dec 2013

7. Acrylamide Polymerization-http://www.biocompare.com/Articles/ApplicationNote/1089/%E2%80%94-A-Practical-Approach.html (tanggal akses : 9 Mei 2010)

8. Ferfera-harrar Hafida at.al. 2014. Preparation of Chitosan-g-Poly (acrylamide) /Montmorillonite Super absorbent Polymer Composites: Studies on Swelling, Thermal, and Antibacterial Properties, Journal of Applied Polymer Science, , DOI: 10.1002/APP.39747

9. Li An, Wang Aiqin. 2005.Synthesis and properties of clay-based super absorbent composite. European Polymer Journal 41 1630-1637, ScienceDirect, Elsevier

10. Li an, Zhang Junping, Wang Aiqin. 2007. Utilization of starch and clay for the preparation of super absorbent composite. Bioresource Technology 98. 327-332, ScienceDirect. Elsevier.

11. Xie huafei. 2011. Study and Preparation of Super absorbent Composite of Chitosan-g-poly (Acrylic Acid ) Kaolin by In-situ Polymerization, International Journal of Chemistry,Vol.3, No. 3. August 2011.

12. J. Ginting. 2014. Utilization Of Micropowder Pyrophyllite For The Preparation Of Super absorbent Polymer Composite (Sapc), ICMST 2014 , PTBIN Batan Sepong. Oct.2014

Page 154: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 141

PENGARUH PROSES ROL DINGIN TERHADAP KEKERASAN DAN STRUKTUR MIKRO PADA PEMBUATAN PELAT TIPIS

ALUMINIUM MURNI

Saefudin*, Toni Bambang Romijarso Peneliti Pusat Penelitian Metalurgi dan Material LIPI Gedung 470, Kawasan Puspiptek, Tangerang Selatan

*E-mail: [email protected] Abstrak

Telah dilakukan penelitian terhadap plat hasil proses rapid solidification twin roll, dimana tebal plat tersebut adalah 2 mm. Dari bahan tersebut kemudian dibuat lima sampel uji dengan ukuran, yaitu tebal (awal) pelat 2 mm, lebar 20 mm, dan panjang 100 mm, selanjutnya ke lima sampel tersebut dirol dingin dengan berbagai tahapan yang berbeda-beda, yaitu : sampel pertama 1x, kedua 3x, ketiga 4x, keempat 6x dan kelima 7x. Dari hasil pengerolan tersebut kemudian setiap sampel diukur tebal dan panjangnya, juga diuji kekerasan serta pemeriksaan struktur mikro. Dari hasil proses tersebut ternyata ketebalannya berubah, yaitu pada proses tahapan pengerolan 1 kali diperoleh ketebalan 1 mm, untuk 3 kali tahapan diperoleh ketebalan 0,6 mm, untuk 4 kali tahapan diperoleh ketebalan 0,5 mm, untuk 6 kali tahapan diperoleh ketebalan 0,4 mm dan untuk 7 kali tahapan diperoleh ketebalan 0,3 mm. Hasil uji keras untuk bahan awal adalah 25,36 HV, sedangkan bahan pelat yang telah diproses rol dingin dengan banyaknya variasi tahapan pengerolan, adalah : untuk 1 kali tahapan pengerolan nilai kekerasan 44,95 HV, 3 kali tahapan pengerolan nilai kekerasan 43,67 HV, 4 kali tahapan pengerolan nilai kekerasan 45,02 HV, untuk 6 kali tahapan pengerolan nilai kekerasan 45,55 HV dan untuk 7 kali tahapan pengerolan diperoleh nilai kekerasannya adalah 42,20 HV. Pada pemeriksaan struktur mikro untuk bahan awal berbutir equal dimana material tersebut adalah hasil proses pembuatan pelat tipis dengan proses rapid solidification twin roll. Untuk proses 1 dan 3 kali tahapan pengerolan dingin, mempunyai butir pipih dimana hal tersebut karena terjadinya pengerasan regangan sehingga nilai kekerasan yang diperoleh lebih tinggi dibandingkan dengan bahan awal. Untuk struktur mikro pada proses tahapan 4, 6, dan 7 kali pengerolan terjadi recoveri butir, sehingga nilai kekerasan yang diperoleh tidak jauh berbeda dengan proses 1 dan 3.

Kata kunci: Pelat tipis, Rapid solidification twin roll, variasi tahapan roll dingin, butir equal, butir pipih, pengerasan regangan, recoveri butir PENDAHULUAN Pembuatan pelat tipis aluminium murni yang dihasilkan dari proses rapid solidification twin roll, tidak sama dengan cara proses pembentukan pelat tipis biasa, dimana pada proses biasa material yang di rol tersebut dalam keadaan padat seperti halnya pada proses pengecoran direct chill dan pengecoran panas pada bilet secara langsung[1]. Rapid Solidification, awalnya dikembangkan sekitar 35 tahun yang lalu oleh Dewez dan rekan-rekannya di California Institute of Technology[2]. Dimana rapid solidification didefinisikan sebagai transformasi dari cair ke padat dengan memindahkan superheat dan panas laten pada tingkat pendinginan 102-106 Ks – 1[2]. Proses twin roll casting pada beberapa paduan alumunium akan meningkatkan sifat mekaniknya. Akan tetapi, untuk paduan alumunium dengan waktu pembekuan yang relatif lebih lama, teknik ini tidak menguntungkan karena penekanan rol menjadi terbatas dan pelat tipis tidak dapat didinginkan secara langsung[1]. Proses pengecoran alumunium menggunakan konvensional twin roll casting memiliki beberapa kelebihan bila dibandingkan dengan proses direct-chill casting, seperti biaya proses dan biaya perawatan yang murah. Tetapi proses ini memliki kelemahan, yaitu: kecepatan pengecoran yang rendah (1m/min) dan terbatasnya paduan yang dapat di cor (alumunium murni, seri 3xxx dan seri 5xxx)[3]

Pada proses percobaan yang dilakukan, logam cair dialirkan dari tundish ke dalam celah diantara kedua rol melalui penampung, dimana logam cair tersebut akan membeku dan langsung dideformasi (di rol) dalam keadaan panas, sehingga menjadi pelat tipis. Selanjutnya dari proses tersebut dilakukan proses rol dingin berkali-kali pada pelat tersebut, sehingga

Page 155: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

142 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

diperoleh ketebalan pelat yang lebih tipis bila dibanding dengan tebal pelat awal. Pada proses ini penyerapan panas yang cepat menyebabkan penurunan suhu setinggi 100° C atau lebih sebelum terjadinya pemadatan[2].

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menghasilkan produk aluminium dengan ketebalan yang lebih tipis dari proses sebelumnya yaitu rapid solidification twin roll. Selain itu untuk menanggulangi bahan baku import pada pembuatan aluminium foil. METODE PERCOBAAN Proses percobaan yang dilakukan adalah dengan bahan awal yang mempunyai dimensi tebal 2 mm dari hasil proses rapid solidification twin roll. Kemudian dilanjutkan dengan proses pengerolan berkali-kali. Pertama pengerolan, O (tidak diproses rol dingin), kemudian di roll 1 kali, 3 kali, 4 kali, 6 kali dan 7 kali). Diagram alir percobaan penelitian Penelitian yang dilakukan meliputi :

1. Proses pembuatan pelat tipis dengan cara proses rapid solidification. 2. Proses rol dingin dari hasil percobaan rapid solidification twin roll. 3. Pengukuran dimensi hasil rol, kekerasan dan struktur mikro.

Skema diagram alir pada percobaan penelitian hasil proses rapid solidification twin roll dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Diagram percobaan penelitian

Bahan pelat tipis 2 mm dari hasil proses rapid solidification twin roll tersebut

dipotong dengan ukuran 100x20x2 mm. Satu sampel langsung diuji kekerasan dan struktur mikronya, sementara lima lainnya dilakukan proses lanjutan, yaitu diproses rol dingin dengan cara rol bertahap, dengan variasi tahapan, yaitu: 1 kali, 3 kali, 4 kali, 6 kali dan 7 kali. Dari sampel yang tidak di rol dan yang di rol tersebut kemudian diukur tebal, panjang dan lebarnya, dimana hasil pengukuran dapat dilihat pada Tabel 1. Selain diuji kekerasannya dengan metode Hardness Vicker yang hasilnya dapat dilihat pada Tabel 2, juga dilihat struktur mikronya. Tabel 1. Data ketebalan hasil proses

Dimensi, (mm)

Bahan Awal, (mm)

Di rol dingin

1 kali 3 kali 4 kali 6 kali 7 kali

Panjang 10 18 38,5 55,5 58 77 Lebar 2 2 2 2 2 2 Tebal 2 1 0,6 0,5 0,4 0,3

Page 156: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 143

Tabel 2. Hasil uji keras

Proses untuk penipisan ketebalan yang dilakukan adalah dengan cara proses rol dingin dan pengkodean benda uji dipaparkan pada Tabel 3. Tabel 3. Keterangan pengkodean sampel

No. Sampel Keterangan AM 0 Bahan pelat 2 mm dari hasil proses rapid solidification twin roll

AM 1 Dari ketebalan 2 mm dijadikan 1 mm diproses rol sebanyak 1 kali, dari panjang 10 cm setelah dirol menjadi 18 cm dengan lebar 3 cm

AM 2 Dari ketebalan 1 mm dijadikan 0,6 mm diproses rol sebanyak 3 kali, AM 3 Dari ketebalan 0,6 mm dijadikan 0,5 mm diproses rol sebanyak 4 kali. AM 4 Dari ketebalan 0,5 mm dijadikan 0,4 mm diproses rol sebanyak 6 kali. AM 5 Dari ketebalan 0,4 mm dijadikan 0,3 mm diproses rol sebanyak 7 kali.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pelat tipis hasil proses rol dingin dengan tahapan variasi pengerolan yang berbeda dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Hasil rol dingin dengan variasi bertahap

Hasil pengujian kekerasan dengan menggunakan metoda Hardness Vicker’s dapat

dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Hasil uji keras sampel setelah beberapa tahapan rol dingin

No. Sampel

Ketebalan (mm)

Harga Kekerasan (HV), Posisi

1 2 3 4 5 Rata-rata AM 0 2 26,41 24,90 24,90 24,90 25,67 25,36 AM 1 1 45,99 44,57 42,57 44,16 47,47 44,95 AM 2 0,6 43,89 42,57 44,57 41,31 45,99 43,67 AM 3 0,5 43,89 43,89 44,85 42,57 43,89 45,02 AM 4 0,4 45,56 45,27 45,56 43,89 47,47 45,55 AM 5 0,3 42,57 40,70 41,93 41,93 43,89 43,20

Karena benda kerja yang sangat tipis, sehinga pelepasan panasnya relatif cepat yang

mengakibatkan benda kerja hasil rol cepat mendingin, sehingga pengukuran suhu pada setiap proses pengerolan tidak dilakukan. Jadi dari hasil proses rol tersebut, yang diukur adalah

Keterangan Bahan awal

Rol dingin 1 kali 3 kali 4 kali 6 kali 7 kali

Harga Kekerasan, HV

25,36 44,95 43,67 45,02 45,55 42,20

Page 157: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

144 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

perubahan tebal, panjang dan lebarnya. Dimensi lebar hasil dari proses pengerolan tersebut tidak mengalami perubahan, ukurannya stabil. Hasil Pemeriksaan Struktur Mikro

Hasil pemeriksaan struktur mikro yang diperoleh dapat dilihat mulai dari Gambar 3 sampai dengan Gambar 8. Pada Gambar 3 terlihat bahwa pelat hasil proses Rapid Solidification twin roll tersebut, tidak mengalami proses pengerolan dingin dimana struktur mikronya berbutir equal. Pada Gambar 4 sampai dengan Gambar 8 terlihat bahwa struktur mikro tersebut berbentuk pipih.

Gambar 3. Struktur mikro yang tidak mengalami proses pengerolan dingin di daerah tengah.

Etsa Kalling’s reagent

Gambar 4. Struktur mikro 1 kali tahapan pengerolan pada daerah tengah. Etsa Kalling’s

reagent

Gambar 5. Struktur mikro 3 kali tahapan pengerolan daerah tengah. Etsa Kalling’s reagent

Page 158: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 145

Gambar 6. Struktur mikro 4 kali tahapan pengerolan daerah tengah. Etsa Kalling’s reagent

Gambar 7. Strutur mikro 6 kali tahapan pengerolan daerah tengah. Etsa Kalling’s reagent

Gambar 8. Struktur mikro 7 kali tahapan pengerolan daerah tengah. Etsa Kalling’s reagent

Gambar 9. Hubungan dimensi, kekerasan dengan banyaknya tahapan pengerolan

Page 159: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

146 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

Ditinjau dari dimensi bahan awal dengan ketebalan 2 mm dan setelah mengalami pengerolan dingin dengan posisi roll space yang rapat atau hampir mendekati nol, maka pada tahap pertama dengan pengerolan 1 tahap, diperoleh ketebalan 1 mm. Semakin banyak tahap pengerolan yang dilakukan, maka ukuran ketebalannya semakin tipis. Untuk proses 3 tahap diperoleh ketebalan 6 mm, untuk 4 kali tahap diperoleh ketebalan 0,5 mm, untuk 6 kali tahap diperoleh ketebalan 0,4 mm dan untuk 7 kali proses tahapan tebal yang diperoleh adalah 0,3 mm. Selain pengukuran ketebalan juga diukur panjangnya, semakin banyak tahap pengerolan yang dilakukan, maka hasilnya akan semakin panjang. Hal tersebut terlihat pada paparan tabel 1, dimana panjang awal adalah 100 mm, setelah mengalami satu kali proses tahapan, maka panjangnya menjadi 180 mm, selanjutnya pada 3 kali tahapan pengerolan panjang menjadi 385 mm, untuk 4 kali tahapan pengerolan, panjangnya menjadi 555 mm, untuk enam kali tahapan pengerolan panjangnya menjadi 580 mm, dan untuk 7 kali pengerolan panjangnya menjadi 770 mm, sedangkan lebar tidak mengalami perubahan. Hubungan Kekerasan dengan Struktur Mikro

Pada percobaan pembuatan pelat tipis dengan proses Rapid solidification twin roll suhunya 20°C dari titik cair, maka butir yang dihasilkan berbentuk equal. Ditinjau dari hubungan hasil uji kekerasan, dimana bahan hasil proses rapid solidification twin roll adalah 25,4 HV, dengan struktur mikro berbutir equal (Gambar 3). Setelah mengalami proses pengerolan dingin 1 kali tahap dan 3 kali tahap, nilai kekerasannya naik, yaitu 45 HV dan 44 HV, hal itu terjadi karena adanya pengerasan regangan yang ditunjukkan oleh bentuk struktur mikro pipih (Gambar 4 dan Gambar 5).

Untuk sifat kekerasan dan struktur mikro pada pembuatan pelat tipis aluminium murni, dimana bila suatu bahan pelat alumunium mengalami proses rol dingin dari butir equal menjadi berbutir pipih. Butir pipih akan menghalangi proses dislokasi akibat terjadinya pengerasan regangan sehingga akan menghambat dislokasi, mengakibatkan matrik tersebut menjadi keras[5]. Pada setiap proses pengerolan, akan terjadi gesekan antara kedua rol dan benda kerja, sehingga terjadi panas yang tinggi[6]. Panas yang tinggi ini melebihi suhu di atas temperatur rekristalisasi alumunium murni tersebut, sehinga akan terjadi pertumbuhan butir baru[7]. Dimana butir baru ini akan berpengaruh pada butir fasa yang diperoleh, yang berpengaruh juga terhadap sifat berat material yang dirol tersebut[8]. Suhu rekristalisasi bisa diperoleh dari rumus ½ titik lebur dari material tersebut[9]. Pada pelat tipis ini mengalami suhu yang tinggi, tetapi cepat terjadi pelepasan panas sehingga suhu cepat menjadi dingin.

Sedangkan untuk pengerolan dengan 4, 6 dan 7 tahap, pelat tersebut mengalami recovery, dimana pada keadaan ini, akan terjadi fenomena pergerakan dan penghilangan cacat titik yang berupa vacansi dan intertisi, termasuk juga penghilangan dan penyusunan kembali dislokasi, yang menghasilkan pembentukan tilt dan atau twist long angle boundaries. Pada saat recovery tidak terjadi perubahan fisik butir, perubahan yang terjadi hanya pengaturan kembali dislokasi di butir, sehingga kekerasan menurun sedikit (pada rol dingin 7 kali tahap) akibat dari pengurangan rapat dislokasi dan cacat titik. Pemicu dari recovery ini adalah pengurangan energi di dalam material dengan penataan ulang dislokasi. Dimana mekanismenya adalah pergerakan atom dan vakansi untuk menghasilkan pergerakan dislokasi[9]. Hasilnya adalah terjadi penghilangan tegangan sisa dan pembentukan daerah pengintian[9] (Gambar 6, 7 dan 8), sehingga harga kekerasannya adalah: 45 HV, 46 HV dan 42 HV tidak jauh berbeda dengan proses pengerolan 1 tahap dan 3 tahap sebelumnya. KESIMPULAN 1. Struktur mikro bahan awal berbutir equal 2. Struktur mikro proses 1 dan 3 kali tahapan berbutir pipih 3. Proses 1 dan 3 kali tahapan terjadi pengerasan regangan dimana kekerasannya

meningkat.

Page 160: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 147

4. Pada proses 4, 6, dan 7 kali tahapan pengerolan, butir mengalami recoveri sehingga hasil kekerasan tidak jauh berbeda.

DAFTAR PUSTAKA 1. Saefudin, Ika Kartika, “Analisa Retak Pada Pelat Tipis Paduan Al-17Mg-1Si Hasil

Pembekuan Cepat Dengan Twin Roll Pengecor”, Majalah Metalurgi Volume 25 Nomor 3, Desember 2010, ISBN 0126-3188.

2. Enrique J. Lavernia, T.S. Srivatsan, “The rapid solidification processing of materials: science, principles, technology, advances, and applications”, Published online: 1 December 2009-Springer Science, Business Media, LLC 2009.

3. Galih Senopati, Saefudin, “Penambahan AlTiB Sebagai Penghalusan Butir Pada Proses Rapid Solidification Alumunium”, Majalah Metalurgi Volume 29 Nomor 3, Desember 2014, ISBN 0126-3188.

4. F. Alshmri, “Rapid Solidification Processing: Melt Spinning of Al-High Si Alloys”, Advanced Materials Research Vols. 383-390 (2012) pp 1740-1746 Online available since 2011/Nov/22 at www.scientific.net © (2012) Trans Tech Publications, Switzerland.doi:10.4028/www.scientific.net/AMR.383-390.1740

5. Sidney H Avner, “Introduction to Physical Metallurgy” , Second Edition, Copy Right © 1974 by Mc Graw Hill Inc.

6. Donald S.Clark, PhD & Wilburr. Varnew,M.S. “Physical Metallurgy for Engineerings” Second Edition © 1962 by Litton Educastonal Publishing, Inc.

7. R.M. Brick/ A.W. Pense/ R.B.Gordon “Structure and Properties of Engineering Materials“ Fourth Edition © 1977 by Mc Grow hill, Inc.

8. Van Vlack.L.H.1989. Elemens of Materal Science and Engineering. Published by person education inc. publishing as prentice hal.l 6th edition ISBN 0201093146

9. E.R.Petty,Bcc Phd.AJM “Physical Metallurgy Of Engineering Materials” George Allen and Unwin Ltd.

Page 161: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

148 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

Page 162: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 149

STUDI PENDAHULUAN REDUKSI PELET KONSENTRAT BESI OKSIDA HASIL BENEFISIASI RED MUD MENGGUNAKAN

REDUKTOR BED BATUBARA DENGAN METODE ISOTERMAL- GRADIEN TEMPERATUR

Deden Juvenof1*, Zulfiadi Zulhan2

1,2Teknik Metalurgi-Institut Teknologi Bandung E-mail: [email protected], [email protected]

Abstrak Limbah red mud yang dihasilkan dari proses Bayer mengandung logam-logam berharga seperti

Al,Ti,Na,V termasuk logam Fe. Setelah dilakukan proses benefisiasi pada red mud, maka dihasilkan konsentrat besi oksida yang memiliki kadar Fe sebesar 57,68%. Konsentrat besi oksida hasil benefisiasi red mud ini direduksi dengan reduktor bed batubara menggunakan metode isotermal-gradien temperatur. Konsentrat besi oksida terlebih dahulu dilakukan proses karakterisasi awal melalui XRD dan XRF. Kemudian konsentrat besi oksida diaglomerasi menjadi pelet yang memiliki diameter 12-16 mm. Setelah itu pelet dikeringkan dan dilanjutkan dengan reduksi dengan reduktor bed batubara pada temperatur isotermal 980°C selama 30 menit, kemudian dinaikkan temperaturnya dengan laju 3,33°C/menit, 5°C/menit, dan 6,67°C/menit. Pelet dianalisis dengan metode titrasi untuk menentukan persen metalisasi dan analisis X-ray mapping.

Kata kunci: Besi oksida, Isotermal,Gradien temperatur, Red mud PENDAHULUAN

Aluminium merupakan salah satu logam yang paling banyak digunakan dalam kehidupan manusia dalam bidang otomotif, bahan konstruksi, peralatan rumah tangga, pengemasan, dan lain-lain. Proses untuk mendapatkan logam aluminium ini dilakukan melalui dua tahapan yaitu melalui proses Bayer kemudian dilanjutkan dengan proses Hall Heroult.

Proses Bayer menghasilkan produk samping berupa lumpur yang disebut red mud. Red mud yang berisi mineral-mineral yang tidak larut dalam NaOH seperti Fe2O3, SiO2, TiO2, dan pengotor lainnya yang jumlahnya cukup besar. Rata-rata setelah memproduksi sebanyak 1 ton alumina, dihasilkan 0,3-2,5 ton red mud tergantung dari kadar bijih bauksit yang diolah[1].

Red Mud yang mengandung mineral Fe2O3 rata-rata 14-35% ditingkatkan konsentrasinya sehingga dapat digunakan di industri misalnya di industri besi baja. Upaya pemanfaatan limbah red mud untuk menghasilkan konsentrat besi oksida dapat dilakukan dengan jalur pirometalurgi dan hidrometalurgi. Konsentrat besi oksida yang dihasilkan dari red muddapat diolah lebih lanjut melalui jalur pirometalurgi menjadi besi spons (Direct Reduced Iron/DRI) atau besi wantah.

Penelitian reduksi konsentrat besi oksida hasil benefisiasi red mud belum banyak dilakukan. Penelitian terbaru dilakukan oleh Yu-hua dkk[2] yang mempelajari reduksi secara langsung konsentrat besi oksida hasil benefisiasi red mud yang menghasilkan iron nugget. Penelitian reduksi langsung untuk menghasilkan iron nugget ini dilakukan dengan mencampurkan konsentrat besi, batubara, dan CaO dengan perbandingan tertentu, dibentuk menjadi briket, kemudian direduksi dalam muffle furnace. Pada penelitian tersebut dinyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi hasil reduksi langsung meliputi temperatur reduksi, waktu reduksi, rasio molar karbon dan oksigen, dan basisitas. Parameter yang paling menentukan pada penelitian tersebut adalah temperatur reduksi. Hasil paling baik didapatkan pada temperatur isotermal 1400°C, waktu reduksi 30 menit, rasio molar karbon dan oksigen 1,6 dan basisitas 1.

Pada penelitian ini, metode yang digunakan untuk mereduksi oksida besi dalam pelet adalah metode isotermal – gradient temperatur yang telah digunakan oleh Suryani[3] untuk mereduksi oksida besi dalam pasir besi.

Page 163: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

150 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

METODA PERCOBAAN

Sampel yang digunakan pada percobaan adalah konsentrat besi oksida hasil benefisiasi red muddengan komposisi kimia ditunjukkan pada Tabel 1. Konsentrat besi oksida yang telah dicampurkan dengan bentonit sebagai bahan pengikat dibuat pelet dengan mesin disc pelletizer. Bentonit ditambahkan sebesar 10% berat. Kemudian green pellet dikeringkan menjadi dry pellet dengan ukuran diameter 12-16 mm. Pelet tersebut direduksi menggunakan metode isotermal-gradien temperatur. Pelet dimasukkan kedalam krusibel sperti yang ditunjukkan pada Gambar 1. Profil temperatur metode isotermal-gradien temperatur yang digunakan dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 1. Susunan pelet dalam krusibel

Gambar 2. Profil temperatur

Tabel 1. Komposisi kimia dalam %berat Fe Al2O3 CaO Cr2O3 K2O MgO MnO2 Na2O 57,68 2,89 0,02 0,04 0,01 0,18 0,39 1,40 SiO2 TiO2 V Zn P S LOI 3,81 2,61 0,34 0,02 0,01 0,01 4,93

Reduksi dilakukan menggunakan laju kenaikan temperatur. Pertama, pelet direduksi

pada temperatur 980°C selama 30 menit, kemudian dilakukan proses pemanasan dengan laju tertentu hingga temperatur 1180°C, 1280°C, dan 1380°C selama 60 menit dan ditahan pada temperatur akhir selama 10 menit. Pada menit ke 30, 45, 60, 75, 90, 100 sampel dianalisis untuk mempelajari fenomena yang terjadi. Percobaan pada tiap perlakuan dilakukan secara triplo sehingga total sampel yang digunakan berjumlah 48 sampel. Terdapat 3 laju kenaikan temperatur yang digunakan pada percobaan ini yaitu 3,33°C/menit, 5°C/menit,dan 6,67°C/menit. Pelet yang telah direduksi dibelah menjadi dua untuk kemudian ditentukan %Fe metal dan %Fe total dengan analisis kimia menggunakan metode titrasi dan analisis persebaran unsur menggunakan analisis X-ray mapping. HASIL DAN PEMBAHASAN

Produk yang dihasilkan dari proses reduksi dengan metode isotermal-gradien temperatur yaitu berupa bongkahan besi dan setelah dipotong melintang memiliki lapisan bagian dalam yang berwarna gelap dan lapisan luar yang berwarna metalik seperti diperlihatkan pada Gambar 3.

Gambar 3. Potongan melintang pelet hasil reduksi

Page 164: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 151

Pengaruh Laju Kenaikan Temperatur terhadap Persen Reduksi dan Persen Metalisasi Metode yang dikembangkan oleh Suryani[3] yakni metode isotermal-gradien

temperatur adalah metode yang menggunakan laju kenaikan temperatur pada proses reduksinya. Metode ini tentu berbeda dengan metode reduksi pada kondisi isotermal. Produk besi yang dihasilkan dari metode ini memilki lubang di tengahnya. Masing-masing gradien temperatur yang digunakan pada percobaan ini, menghasilkan produk dengan penampang yang berbeda-beda. Lapisan luar produk berwarna logam, sedangkan lapisan dalam merupakan besi oksida yang belum tereduksi. Masing-masing laju kenaikan temperature mempengaruhi proses perubahan massa yang berkorelasi dengan nilai persen reduksi dan persen metalisasi. Grafik persen reduksi dan persen metalisasi berdasarkan data pengurangan massa dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Hubungan (a) persen reduksi dan (b) persen metalisasi terhadap waktu pada

masing-masing laju kenaikan temperatur

Pada pelet hasil reduksi juga dilakukan analisis titrasi Fe metal dan Fe total pada lapisan luar dan lapisan dalam sehingga dihasilkan nilai persen metalisasi. Persen metalisasi pada lapisan luar dan dalam dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Grafik persen metalisasi (a) 3,33°C/menit (b) 5°C/menit (c) 6,67°C/menit

Page 165: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

152 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

Pada saat pelet mengalami gradien temperatur, besi metal yang sudah tereduksi akan bermigrasi ke lapisan luar pelet karena temperatur pada lapisan luar lebih tinggi daripada temperatur pada lapisan dalam sehingga pada lapisan dalam lebih banyak berisi oksida pengotor dan juga besi oksida yang belum tereduksi. Pengaruh Reduksi terhadap Persen Perubahan Volume

Perubahan volume pelet yang terjadi setelah proses reduksi berkaitan erat dengan terjadi perubahan struktur kristal. Chatterjee[4] mengatakan bahwa akan terjadi swelling pada pelet seiring dengan meningkatnya temperatur. Pada percobaan ini, pelet justru mengalami penyusutan seiring kenaikan temperatur yang artinya terjadi pengurangan volume pada masing-masing gradien temperatur. Namun pada temperatur tertentu, nilai penyusutan volume menurun dari sebelumnya yang dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Perilaku perubahan volume pelet

Rata-rata besar penyusutan volume pelet yang terjadi adalah 12%. Penyusutan volume

terbesar yakni 33,8% dan yang terkecil yaitu 3,44%. Laju kenaikan temperatur yang dilakukan pada percobaan ini memegang pernanan besar terhadap terjadinya proses penyusutan volume. Pada saat kondisi isotermal 980°C, pelet terlebih dahulu mengalami peningkatan volume sebesar 3,72%, sebelum akhirnya pelet mengalami penyusutan saat temperatur dinaikkan. Hal ini mengindikasikan reduksi berlangsung cukup baik. Mengingat bahwa mineral yang dominan ada dalam sampel adalah hematit dan magnetit, maka perubahan struktur kristal yang terjadi yaitu close-packed hexagonal menjadi FCC kemudian menjadi struktur kristal besi. Kemampuan mineral hematit untuk tereduksi lebih baik dibandingkan dengan mineral magnetit, sehingga sebaiknya perlu dilakukan proses pre-oksidasi sebelum percobaan ini dilakukan. Hubungan antara persen reduksi terhadap perubahan volume dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7. Hubungan antara persen reduksi dan persen perubahan volume

Page 166: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 153

Persebaran Pengotor dan Besi Metal Metode yang dilakukan oleh Sasabe[5] menghasilkan produk yang pada lapisan luar

dihuni oleh besi metal dan pada lapisan dalam dihuni oleh unsur pengotor. Hasil yang didapatkan dari hasil analisis x-ray mapping pada kelima sampel dilakukan

dengan perbesaran 30x yang terlebih dahulu diamplas sehingga permukaan sampel menjadi rata. Hasil analisis dapat dilihat pada Gambar 8 sampai dengan Gambar 12.

Gambar 8. X-ray mapping menit ke-30

pada 980°C

Gambar 9. X-ray mapping menit ke-60 pada

6,67°C/menit,T=1180°C

Gambar 10. X-ray mapping menit ke-100 pada 3,33°C/menit, T=1180°C

Gambar 11. X-ray mapping menit ke-100 pada 5°C/menit, T=1280°C

Page 167: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

154 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

Gambar 12. X-ray mapping menit ke-100 pada 6,67°C/menit, T=1380°C

Dari hasil analisis pada isotermal 980°C (Gambar 8) menunjukkan bahwa unsur Fe

dan unsur-unsur lain masih tersebar dan cenderung masih tercampur satu sama lain. Hasil EDS menunjukkan kadar Fe sebesar 54,26%, Si 7,2%, Al 4,45%, dan Ti 2,68%.

Saat gradien temperatur 6,67°C/menit (Gambar 9), partikel-partikel mulai bergerak satu sama lain dan saling berdekatan untuk menghasilkan ukuran yang lebih besar. Hasil EDS menunjukkan kadar Fe sebesar 52,82%, Si 8,87%, Al 2,64%, dan Ti 3,46%.

Pada temperatur akhir 1180°C partikel besi mulai bermigrasi ke lapisan bagian luar pelet juga bersamaan dengan unsur lainnya (Gambar 10). Hasil EDS menunjukkan kadar Fe sebesar 55,67%, Si 8,16%, Al 2,59%, dan Ti 3,61%.

Pada temperatur akhir 1280°C partikel besi mulai saling berdekatan dan saling mengumpul (Gambar 11). Namun, hal tersebut tetap masih diikuti oleh unsur-unsur lainnya. Hasil EDS menunjukkan kadar Fe sebesar 55,09%, Al 2,7%, Si 8,01%, dan Ti 3,55%

Pada temperatur yang paling tinggi yakni 1380°C (Gambar 12), proses pengintian dan pertumbuhan partikel besi sudah menghasilkan ukuran yang lebih besar dari sebelumnya. Namun, unsur-unsur lain masih berada pada daerah yang sama dengan besi. Hasil EDS menunjukkan kadar Fe sebesar 55,26%, Al 2,78%, Si 7,96%, dan Ti 3,38%.

Analisis x-ray mapping menunjukkan bahwa mineral yang mengandung besi sudah tereduksi menjadi besi metal. Partikel besi metal berukuran kecil yang terbentuk akan tumbuh dengan berkumpulnya partikel besi metal kecil yang berdekatan membentuk partikel besi metal yang lebih besar. Namun, berkumpulnya partikel besi metal yang terjadi masih belum optimal. Hal ini terlihat adanya partikel besi metal yang masih tersebar luas diantara oksida pengotor. Ikatan antara unsur Fe dengan unsur lain seperti unsur Si dan Al juga menjadi penghambat terjadi migrasi besi metal menuju lapisan luar pelet, sehingga masih ada besi metal yang berada pada lapisan dalam pelet. Hal ini dilihat dari hasil analisis x-ray mapping pada perbesaran 100x yang ditunjukkan pada Gambar 13.

Page 168: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 155

Gambar 13. Hasil x-ray mapping sampel menit ke-100 pada gradien 6,67°C/menit,

T=1380°C KESIMPULAN

Berdasarkan percobaan dan pembahasan, maka kesimpulannya adalah sebagai berikut: 1. Konsentrat besi oksida hasil benefisiasi red mud dapat dimanfaatkan untuk direduksi

menjadi besi metal dengan persen metalisasi pada gradien temperatur 6,67°C/menit di temperatur 1380°C menit ke-100 sebesar 94,88% pada bagian luar sampel.

2. Ketiga gradien temperatur 3,33°C/menit, 5°C/menit dan 6,67°C/menit dapat meningkatkan hasil persen reduksi dan persen metalisasi sebesar 60 – 70%

3. Pengaruh gradien temperatur 3,33°C/menit, 5°C/menit dan 6,67°C/menit pada sampel konsentrat besi hasil benefisiasi red mud belum optimal untuk memisahkan oksida pengotor karena adanya monomer seperti Si dan Al yang menghalangi proses migrasi Fe.

4. Penyusutan volume rata-rata yang terjadi sebesar 12% dengan penyusutan volume paling besar terjadi pada gradien temperatur 5°C/menit di menit ke-90 yaitu 33,79% dan penyusutan paling kecil pada gradien temperatur 5°C/menit di menit ke-45 sebesar 3,44%.

UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Kemenristekdikti yang telah mendanai penelitian ini melalui program pengembangan IPTEK dengan Judul Pemisahan Besi Logam dan Oksida dari Pelet/Briket Pasir Besi Menggunakan Reduktor Bed Batubara pada Temperatur ≤1400oC. DAFTAR PUSTAKA 1. Liu,Y. dkk.2014,Recycling of Iron from Red Mud by Magnetic Separation after Co-

roasting with Pyrite,Thermocimia Acta,588,11-15.

Page 169: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

156 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

2. Yu-hua, G., dkk.2013,Nuggets Production by Direct Reduction of High Iron Red Mud, Journal of Iron and Steel Research, International, 20(5), (2013), 24-27.

3. Suryani, I. 2015, Reduksi Pelet Konsentrat Pasir Besi Menggunakan Reduktor Bed Batubara dan Aditif Na2CO3 Dengan Metode Isotermal-Gradien Temperatur, Tugas Akhir, Program Studi Sarjana Teknik Metalurgi, Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan, Institut Teknologi Bandung, Bandung.

4. Chatterjee, A. 2010. Sponge Iron Production by Direct Reduction of Iron Oxide, PHI Learning Private Limited, New Delhi.

5. Sasabe, T. 1965. Process For Separating Non-Molten Slag from Titanium-containing Iron Sand. United States Patent 3,218,152.

Page 170: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 157

PEMBENTUKAN BAINIT DAN PERLIT HALUS DENGAN PERLAKUAN PANAS NORMALISASI UNTUK

MENINGKATKAN KEKERASAN TAPAK RODA KERETA API

Sri Bimo Pratomo*, Husen Taufiq, Eva Afrilinda, Martin Doloksaribu, Sony Harbintoro Balai Besar Logam Dan Mesin

Jalan Sangkuriang 12, Bandung, Indonesia, 40135 *E-mail: [email protected]

Abstrak

Saat ini komponen kereta api yang masih diimpor seluruhnya adalah roda kereta api. Tetapi roda kereta api impor memiliki tapak roda dengan kekerasan yang tidak sesuai dengan standar nilai kekerasan PT. KAI. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh roda kereta api prototipe dengan tapak rodanya yang memiliki kekerasan sesuai standar PT. KAI. Penelitian ini dimulai dengan analisis material roda kereta api impor sebagai acuan untuk membuat roda kereta api prototipe. Pembuatan prototipe menggunakan metoda pengecoran dengan modifikasi penambahan unsur-unsur molibden, nikel, mangan, tembaga, dan krom, serta mengaplikasikan proses perlakuan panas normalisasi dengan pendinginan yang berbeda. Tapak roda kereta api prototipe yang memakai normalisasi pendinginan kipas memiliki nilai kekerasan sebesar 336 BHN, dimana nilai kekerasan tersebut sudah masuk ke dalam standar nilai kekerasan PT. KAI, yaitu nilai kekerasan antara 320 hingga 341 BHN. Struktur mikro tapak roda kereta api impor yaitu perlit dengan sangat sedikit ferit pada batas butir dapat dimodifikasi menjadi perlit halus pada tapak roda kereta api prototipe, sehingga dapat ditingkatkan nilai kekerasannya. Laju pendinginan yang cepat; hasil proses normalisasi dengan pendinginan kipas, akan menghambat difusi karbon lebih jauh sehingga perlit yang terbentuk menjadi sangat halus. Selain itu unsur-unsur mangan, krom dan tembaga mengontrol pertumbuhan perlit sebagai elemen partisi sehingga menghasilkan perlit yang halus. Kata kunci: Tapak roda, Difusi karbon, Elemen partisi, Perlit yang halus PENDAHULUAN

Roda kereta api adalah satu-satunya komponen kereta api yang saat ini seluruhnya masih diimpor. Negara pengekspor roda kereta api untuk Indonesia adalah Cina, baik sebagai suku cadang PT. Kereta Api Indonesia (PT. KAI) untuk mengganti roda yang sudah aus, maupun sebagai komponen untuk merakit gerbong dan lokomotif baru yang diproduksi oleh PT. Industri Kereta Api (PT. INKA). Karena moda transportasi kereta api merupakan transportasi massal yang memiliki banyak keunggulan, maka rencana pengembangan perkeretaapian nasional telah menargetkan peningkatan panjang jalan kereta api pada tahun 2030 meningkat sebesar 260%. Saat itu persentase penumpang kereta api dan angkutan barang sebagai bagian moda transportasi, diprediksi naik menjadi 13 % dan 17 %, dimana saat ini hanya 7,3 % dan 0,6%[1]. Hal tersebut tentunya akan berimplikasi kepada peningkatan jumlah kebutuhan roda kereta api. Saat ini kebutuhan roda kereta api nasional pertahunnya adalah sekitar 30.000 keping, dengan berat satu keping roda sekitar 320 kg[2]. Gambar 1 berikut ini memperlihatkan roda-roda kereta api yang sudah terpasang pada as-nya dan siap dipasang pada gerbong penumpang.

Page 171: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

158 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

Gambar 1. Roda kereta api yang terpasang pada as-nya

Tapak roda kereta api adalah bagian yang terpenting dari roda kereta api. Hal tersebut

disebabkan karena tapak roda langsung bergesekan dengan rel. Tapak roda yang sudah aus sedalam 10 mm sudah tidak dapat digunakan sehingga roda kereta api harus diganti dengan yang baru. Gambar 2 berikut ini memperlihatkan potongan melintang tapak roda kereta api.

Gambar 2. Potongan melintang tapak roda kereta api

Standar roda kereta api penumpang dan barang milik PT. KAI mensyaratkan bahwa

kekerasan tapak roda adalah sebesar 320 hingga 341 BHN[3], pada kedalaman diantara 5 mm hingga 35 mm dari permukaan. Berdasarkan hasil analisis struktur mikro dan pengujian kekerasan pada bagian tersebut, tapak roda impor memiliki struktur mikro perlit dengan sedikit ferit pada batas butir, dengan kekerasan sebesar 258 BHN. Nilai kekerasan tersebut masih di bawah standar nilai kekerasan PT. KAI.

Bainit (Bainite) merupakan struktur mikro yang unik, yaitu keras tetapi tetap tangguh. Hasil penelitian dari Departemen Transportasi Amerika Serikat menyatakan bahwa material baja bainit layak digunakan untuk material roda kereta api[4]. Sedangkan perlit (pearlite) adalah fasa komposit yang unik, terdiri dari lamel-lamel sementit (cementite) yang keras dan ferit (ferrite) yang lunak. Semakin halus dari lamel-lamel perlit akan menyebabkan kekerasannya meningkat. Dengan pemaduan (alloying) yang tepat, serta menggunakan perlakuan panas normalisasi (normalizing) dengan pendinginan tertentu, diharapkan dapat menghasilkan struktur mikro bainite atau pearlite halus.

Dari uraian terdahulu terlihat bahwa kebutuhan roda kereta api di Indonesia cukup besar, tetapi masih diimpor. Nilai kekerasan tapak roda kereta api impor masih dibawah standar nilai kekerasan PT. KAI. Hal-hal tersebut yang melatarbelakangi untuk melakukan penelitian dan pengembangan material roda kereta api yang memiliki tapak roda dengan kekerasan yang tinggi.

Untuk meningkatkan kekerasan dibutuhkan modifikasi dari struktur mikro awal yaitu perlit menjadi bainit atau perlit halus. Modifikasi struktur struktur mikro akan menggunakan pemaduan dan perlakuan panas normalisasi dengan pendinginan yang sesuai. Jenis

Page 172: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 159

pendinginan yang dicoba adalah pendinginan udara bebas dan pendinginan menggunakan kipas angin (fan). METODE PERCOBAAN

Penelitian ini adalah penelitian terapan yang dimulai dengan analisis material tapak roda kereta api impor. Analisis material dilakukan dengan cara menganalisis komposisi kimia, struktur mikro, serta pengujian kekerasan. Struktur mikro roda kereta api impor adalah perlit yang merupakan acuan untuk pengembangan material.

Pengembangan material yang dituju adalah menghasilkan struktur mikro yang sesuai untuk tapak roda, seperti bainit atau perlit dengan morfologi yang halus, sehingga diperoleh kekerasan yang sesuai dengan standar nilai kekerasan PT. KAI. Diperlukan penambahan unsur pembentuk bainit (bainite promotor) dan perlit (pearlite promotor), serta proses perlakuan panas normalisasi dengan laju pendinginan yang sesuai. Unsur-unsur pembentuk bainit yang ditambahkan adalah molibden (Mo) dan nikel (Ni), sedangkan unsur-unsur pembentuk perlit yang ditambahkan adalah mangan (Mn), tembaga (Cu) serta krom (Cr).

Setelah proses pemaduan di tungku induksi listrik kapasitas 500 kg, cairan logam cair dituang ke dalam cetakan pasir. Kemudian produk cor roda kereta api yang dihasilkan dbersihkan, dan dilanjutkan dengan memotong pada daerah tapak roda-nya. Tapak roda kereta api prototipe tersebut lalu dilakukan proses perlakuan panas normalisasi menggunakan tungku perlakuan panas. Proses normalisasi dimulai dengan memanaskan prototipe tapak roda kereta api hingga temperatur 920oC, ditahan selama 1 jam, lalu didinginkan dengan udara bebas atau kipas angin.

Gambar 3 berikut ini memperlihatkan proses penuangan cairan logam ke dalam cetakan pasir. Sedangkan Gambar 4 memperlihatkan roda kereta api prototipe pada saat pembongkaran dari cetakan pasir setelah proses pengecoran.

Gambar 3. Penuangan cairan logam ke Gambar 4. Pembongkaran prototipe roda

dalam cetakan pasir roda kereta api kereta api dari cetakan pasir

Nilai kekerasan dan struktur mikro tapak roda kereta api prototipe setelah dicor (as-cast), prototipe setelah dinormalisasi dengan pendinginan udara bebas, dan prototipe setelah dinormalisasi dengan pendinginan kipas, dibandingkan dengan nilai kekerasan dan struktur mikro tapak roda kereta api impor. Tapak roda prototipe yang memiliki nilai kekerasan yang sesuai dengan standar nilai kekerasan PT. KAI akan digunakan sebagai rujukan material yang tepat untuk tapak roda kereta api prototipe.

Pengujian kekerasan menggunakan metoda brinnel. Pengujian kekerasan dikerjakan pada 2 lokasi, yaitu bagian permukaan dan bagian dalam tapak roda kereta api. Pembagian lokasi pengujian kekerasan tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa nilai kekerasan pada kedua bagian tersebut berbeda, dan memiliki nilai kekerasan yang serupa untuk satu bagian yang sama. Kenyataan tersebut berlaku untuk seluruh tapak roda yang diuji.

Page 173: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

160 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

Bagian permukaan adalah bagian dengan kedalaman hingga 1 mm, sedangkan bagian dalam adalah bagian dengan kedalaman dari 1 mm hingga 40 mm. Skematik lokasi bagian permukaan dan bagian dalam tapak roda kereta api untuk pengujian kekerasan dapat dilihat pada Gambar 5 berikut ini.

Gambar 5. Skematik posisi untuk pengujian kekerasan

Analisis struktur mikro menggunakan optical microscope dan scanning electron

microscope (SEM). Sedangkan analisis komposisi kimia menggunakan optical emission spectrometer. HASIL DAN PEMBAHASAN

Komposisi kimia roda kereta api impor dapat dilihat pada Tabel 1 berikut ini. Dari komposisi kimia dapat disimpulkan bahwa material roda kereta api impor adalah mendekati material baja eutectoid. Kadar karbon baja ini komposisi yang mendekati nilai eutectoid akan menghasilkan struktur mikro perlit dengan sedikit ferit.

Tabel 1. Komposisi kimia roda kereta api impor

Fe C Si Mn P S Cr Mo Ni Cu sisa 0,52 0,32 0,76 0,012 0,008 0,17 <0,002 0,01 0,02

Dari hasil pengamatan struktur mikro tapak roda impor pada bagian permukaan

(kedalaman hingga 1 mm), memperlihatkan bahwa fasa perlit sangat mendominasi. Ditemukan juga sedikit fasa proeutectoid ferrite pada batas butir fasa perlit. Batas butir fasa perlit merupakan batas butir fasa austenit sebelum fasa perlit terbentuk. Beberapa bagian dari fasa ferit adalah acicular ferrite. Gambar 6 berikut ini memperlihatkan struktur mikro tapak roda impor pada bagian permukaannya.

Gambar 6. Struktur mikro bagian permukaan tapak roda kereta api impor hasil pengamatan

dengan optical microscope, etsa nital 5%

Struktur mikro tapak roda impor bagian dalam (kedalaman di antara 1 mm hingga 40 mm), tetap didominasi oleh fasa perlit, sedikit fasa ferit dan adanya karbida (cementite) pada batas butir perlit. Gambar 7 berikut ini memperlihatkan struktur mikro yang menggunakan

Page 174: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 161

mikroskop optik (optical microscope). Sedangkan Gambar 8 memperlihatkan struktur mikro yang menggunakan secondary electron image - scanning electron microscope. Pada Gambar 8 terlihat dengan jelas fasa sementit (cementite) pada batas butir perlit.

Kekerasan dari tapak roda impor dapat dilihat pada Tabel 2. Terlihat bahwa kekerasan pada bagian permukaan tapak roda lebih rendah dibandingkan dengan bagian dalamnya. Hal ini dapat dimengerti karena pada bagian dalam tapak roda terbentuk fasa sementit yang keras. Laju pendinginan yang lebih lambat pada bagian dalam menyebabkan unsur mangan dan krom yang tidak larut di dalam larutan padat austenit akan tersegregasi pada batas butir austenit, lalu bersenyawa dengan besi dan karbon membentuk sementit, (Fe,Mn,Cr)3C.

Gambar 7. Struktur mikro bagian dalam tapak roda kereta api impor hasil pengamatan

dengan mikroskop optik, etsa nital 5%

Gambar 8. Struktur mikro bagian dalam tapak roda kereta api impor hasil pengamatan

dengan scanning electron microscope, etsa nital 5% Tabel 2. Kekerasan tapak roda kereta api impor Kekerasan hingga 1mm dari permukaan

(Bagian Permukaan) Kekerasan 1 mm hingga 40 mm dari

permukaan (Bagian Dalam) 240 BHN 258 BHN

Komposisi kimia roda kereta api prototipe dapat dilihat pada Tabel 3 berikut ini.

Perbedaan komposisi kimia dengan roda kereta api impor adalah lebih besarnya jumlah kandungan unsur-unsur mangan (Mn), krom (Cr), molibden (Mo), nikel (Ni) dan tembaga (Cu). Mangan, krom dan tembaga dikenal sebagai unsur pembentuk perlit (pearlite promotor), sedangkan molibden dan nikel dikenal sebagai unsur pembentuk bainit (bainite promotor)[5]. Dengan adanya penambahan unsur pembentuk bainit dan perlit tersebut, serta aplikasi perlakuan panas normalisasi dengan laju pendinginan tertentu, diharapkan struktur mikro yang terbentuk pada bagian tapak adalah bainit atau perlit halus.

Page 175: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

162 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

Tabel 3. Komposisi kimia prototipe roda kereta api Fe C Si Mn P S Cr Mo Ni Cu sisa 0,64 0,38 0,94 0,02 0,01 0,24 0,10 0,19 0,30

Gambar 9 dan 10 berikut ini memperlihatkan struktur mikro hasil pengamatan

menggunakan mikroskop optik dari tapak roda prototipe tanpa perlakuan panas (as-cast) pada bagian permukaan dan bagian dalamnya.

Gambar 9. Struktur mikro bagian permukaan prototipe tapak roda kereta api as-cast yang

menggunakan mikroskop optik, etsa nital 5%

Gambar 10. Struktur mikro bagian dalam prototipe tapak roda kereta api as-cast yang

menggunakan mikroskop optik, etsa nital 5% Dari Gambar 9 terlihat bahwa tapak roda prototipe as-cast, pada bagian permukaannya terdiri dari fasa perlit dan fasa ferit, dengan jumlah yang hampir sama. Sedangkan dari Gambar 10 terlihat bahwa bagian dalam memiliki jumlah fasa ferit yang semakin berkurang. Fasa perlit baik pada bagian permukaan dan bagian dalam banyak terdiri dari fasa perlit yang kasar. Gambar 11 adalah hasil struktur mikro yang menggunakan secondary electron image, yang memperlihatkan fasa perlit yang kasar, yang terdiri dari lamel-lamel sementit yang kasar pula.

Gambar 11. Struktur mikro bagian dalam tapak roda kereta api prototipe as-cast hasil analisa

SEM. Etsa nital 5%

Page 176: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 163

Gambar 12 memperlihatkan kurva continous cooling transformation (CCT) untuk baja karbon paduan rendah[5]. Bila merujuk kepada kurva CCT tersebut, dengan adanya peningkatan laju pendinginan maka fasa ferit yang terbentuk akan berjumlah lebih banyak dibandingkan fasa perlit. Hal tersebut sesuai dengan pengamatan struktur mikro dari tapak roda prototipe as-cast, yang memperlihatkan bahwa fasa ferit pada bagian permukaan (laju pendinginan lebih cepat) memiliki jumlah yang lebih banyak dibandingkan pada bagian dalam (laju pendinginan lebih lambat). Proses pembentukan fasa perlit dikontrol oleh laju difusi karbon. Laju pendinginan yang cepat tidak memberikan kesempatan pada karbon untuk berdifusi lebih jauh, sehingga austenit cenderung bertransformasi menjadi ferit dibandingkan menjadi perlit.

Gambar 12. Kurva CCT untuk baja karbon paduan rendah[6]

Gambar 13 dan Gambar 14 memperlihatkan struktur mikro hasil pengamatan

menggunakan mikroskop optik dari tapak roda prototipe dengan perlakuan panas normalisasi dengan pendinginan udara bebas, masing-masing untuk bagian permukaan dan bagian dalam. Terlihat bahwa mikrostruktur pada bagian permukaan terdiri dari fasa perlit dan fasa ferit, dengan jumlah perlit yang lebih banyak. Sedangkan bagian dalam seluruhnya terdiri dari fasa perlit dengan kekasaran yang tidak sama. Laju pendinginan udara, yang memiliki laju pendinginan yang lebih cepat dibandingkan as-cast, serta ditunjang adanya unsur mangan, krom serta tembaga akan mendorong pembentukan fasa perlit. Semakin ke dalam, laju pendinginan semakin berkurang, sehingga jumlah fasa ferit juga semakin berkurang.

Gambar 13. Struktur mikro bagian permukaan prototipe tapak roda kereta api normalisasi

pendinginan udara yang menggunakan optical microscope, etsa nital 5%

Page 177: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDIN

164

Gambar

Ga

prototipe bagian peradalah baiaggregate partikel se12, terlihatdapat terbmendorong

Padsangat haluini mempedengan nusementit ycementit ytersebut. H

Gambar

NG SEMINA

r 14. Struktupendingina

ambar 15 ddengan per

rmukaan dainit denganbainite ata

mentit halut bahwa de

bentuk fasag pembentuda bagian dus. Batas buerlihatkan iukleasi semyang bernuyang tumbuhHal ini berlan

r 15. Struktupendingin

AR MATER

ur mikro baan kipas yan

dan 16 berrlakuan pan

an bagian dan morfologiau ferrite/caus di dalam engan pendia bainit. Uukan struktudalam terlihutir austeniilustrasi pe

mentit pada ukleasi akanh. Hal tersengsung seca

ur mikro banan kipas ya

IAL METAL

agian permung menggun

rikut ini mnas normaalam. Pada i seperti uparbide aggmatriks fer

inginan yanUnsur molibur mikro baihat bahwa fat adalah tem

embentukanbatas buti

n berkuranebut menyebara terus me

agian permuang menggu

LURGI 201

LEM

ukaan prototnakan optica

memperlihatklisasi pendbagian permpper baini

gregate bainrit[7,8]. Bila ng lebih cebden dan nnit.

fasa yang tempat nuklean perlit padir. Kadar kng karena babkan ferienerus sehin

ukaan prototunakan mikr

5

MBAGA ILMU

tipe tapak roal microsco

kan struktudinginan kimukaan strute. Beberapnite (FCA)merujuk pa

epat dan konikel sebag

erbentuk selasi dari perda batas bukarbon padaadanya dif

it akan terbengga terben

tipe tapak roroskop opti

U PENGETAH

oda kereta a

ope, etsa nita

ur mikro tapas, masinuktur mikropa peneliti , yang terdada kurva C

omposisi yagai bainite

luruhnya adrlit[9,10]. Gamutir austenia austenit fusi karbonentuk di sek

ntuk koloni p

oda kereta aik, etsa nital

HUAN INDON

api normalisal 5%

apak roda kng-masing uo yang terb

memberi diri dari sebCCT di Gamang sesuai,

promotor

dalah perlit mbar 17 beit, yang didi sekitar n menuju keliling semperlit.

api normalisl 5%

NESIA

sasi

kereta untuk entuk nama baran mbar maka akan

yang erikut iawali lamel lamel

mentit

sasi

Page 178: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

LEMB

G

kipasmangdan sehinhalussesuayangkarbodan memmasidengpadadiban

Ga

BAGA ILMU P

Gambar 16pen

Ga

Perlit yas adalah sagan, krom dmengontro

ngga mengs[11,12]. Lajuai untuk pe

g relatif tingon untuk bemenyebabk

mperlihatkanng-masing

gan kipas. Da tapak rodndingkan de

ambar 18. S

PENGETAHU

6. Struktur mndinginan ki

ambar 17.

ang terbentuangat halusdan tembagol pertumbughambat peu pendinginembentukanggi pada baerdifusi mekan lamel-ln struktur m

untuk tapDari Gambada protipe engan tapak

Struktur mik

P

UAN INDONE

mikro bagiaipas yang m

Skematik p

uk pada bags. Hal ini

ga. Unsur-unuhan perlitertumbuhanan dengan p

n perlit dibaagian dalamenjadi sangalamel perlit

mikro hasil ak roda im

ar 18 dan 1dengan no

k roda impo

kro bagian dmicroscope

PROSIDING

ESIA

an dalam prmenggunaka

ertumbuhan

gian dalam disebabkan

nsur tersebut sebagai en lamel-lampendinginan

andingkan um tersebut akat singkat st menjadi dari scanni

mpor dan tap9 tersebut d

ormalisasi pr.

dalam tapake, mengguna

G SEMINAR

ototipe tapaan mikrosko

n perlit pada

tapak rodan karena aut akan terselemen parmel perlit n kipas paduntuk terbenkan menyeb

sehingga jarsangat haluing electronpak roda pdapat dibandpendinginan

k roda impoakan etsa ni

R MATERIA

ak roda kereop optik, ets

a batas butir

a protipe noadanya penegregasi pa

rtisi diantardan meng

da bagian dantuknya baibabkan wakrak difusi mus. Gamban microscopprototipe nodingkan bah

n kipas ter

r hasil analiital 5%

AL METALU

eta api norma nital 5%

r austenit

ormalisasi pnambahan uada batas bura ferit daghasilkan palam tapak init. Laju pktu yang dimenjadi sanar 18 dan pe pada bagormalisasi phwa lamel-llihat lebih

isa scanning

URGI 2015

165

malisasi

pendinginanunsur-unsurutir austenitan sementitperlit yangroda, lebih

pendinginanimiliki olehngat pendek

19 berikutgian dalam,pendinginanlamel perlithalus bila

g electron

5

5

n r t t g h n h k t , n t a

Page 179: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

166 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

Gambar 19. Struktur mikro bagian dalam tapak roda prototipe dengan normalisasi pendinginan kipas hasil analisa scanning electron microscope, menggunakan etsa nital 5%

Gambar 20 berikut ini memperlihatkan perbandingan nilai kekerasan skala brinnel untuk semua tapak roda kereta api pada bagian dalam. Dari kurva perbandingan kekerasan tersebut terlihat bahwa nilai kekerasan tapak roda prototipe hasil normalisasi pendinginan dengan udara dan pendinginan dengan kipas adalah lebih besar dibandingkan nilai kekerasan tapak roda impor. Nilai kekerasan tertinggi dicapai oleh prototipe tapak roda hasil normalisasi pendinginan dengan kipas, dengan struktur mikro pearlite yang sangat halus, yaitu sebesar 336 BHN. Nilai kekerasan tapak roda impor dan tapak roda prototipe hasil normalisasi pendinginan udara masing-masing adalah 258 BHN dan 294 BHN. Sedangkan nilai kekerasan prototipe tapak roda as-cast hanya 200 BHN.

Standar nilai kekerasan PT. KAI untuk tapak roda pada bagian dalam, yaitu bagian dengan kedalaman antara 5 mm hingga 35 mm dari permukaan tapak roda, adalah 320 hingga 341 BHN. Mengacu kepada standar tersebut dapat disimpulkan bahwa tapak roda prototipe yang menggunakan pendinginan kipas memiliki kekerasan yang sudah sesuai dengan standar nilai kekerasan PT. KAI.

Gambar 20. Kurva perbandingan nilai kekerasan pada bagian dalam tapak roda kereta api

Nilai kekerasan tapak roda pada bagian permukaan dan dalam adalah berbeda, yang

disebabkan oleh perbedaan struktur mikro yang terbentuk akibat perbedaan laju pendinginan. Gambar 21 berikut ini memperlihatkan kurva perbedaan kekerasan seluruh jenis tapak roda, baik pada bagian permukaan maupun pada bagian dalam. Terlihat bahwa nilai kekerasan di bagian permukaan lebih rendah dibandingkan dengan kekerasan di bagian dalam untuk seluruh jenis tapak roda.

Page 180: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 167

Gambar 21. Kurva perbandingan nilai kekerasan tapak roda kereta api pada bagian

permukaan dan dalam KESIMPULAN

Tapak roda kereta api prototipe dengan penambahan unsur-unsur pembentuk bainit yaitu molibden (Mo) dan nikel (Ni), serta unsur-unsur pembentuk perlit yaitu mangan (Mn), tembaga (Cu) dan krom (Cr), serta diaplikasikannya perlakuan panas normalisasi yang menggunakan pendinginan kipas dapat menghasilkan struktur mikro perlit yang halus, sehingga memiliki kekerasan yang sesuai dengan standar nilai kekerasan PT. KAI. Nilai kekerasan dari tapak roda kereta api prototipe tersebut adalah 336 BHN, sedangkan dtandar nilai kekerasan PT. KAI berkisar antara 320 hingga 341 BHN.

DAFTAR PUSTAKA 1. B. Hertasning, ”Pembangunan Perkeretaapian Berdastungku arkan Rencana Induk

Perkeretaapian Nasional Dan Rencana Strategis Kementerian Perhubungan Bidang Perkeretaapian”, disajikan dalam Seminar Nasional Litbang Roda Kereta Api, Bandung, Indonesia, 2011

2. H. Atmosukardjo, ”Pengalaman Menggunakan Roda Kereta Api dan Harapan Penggunaan Produk Lokal”, disajikan dalam Seminar Nasional Litbang Roda Kereta Api, Bandung, Indonesia, 2011

3. Spesifikasi Teknik Roda Solid Kereta Dan Gerbong Golongan CC, No. 01/K-G/TR/VIII/09, PT. Kereta Api (Persero), 2009

4. Roger K. Steele, “Steel Alloys with Lower Bainite Microstructure for Use in Railroad Cars and Track”, U.S. Department of Transportation, USA, Laporan teknis, 2002

5. S. Bimo. P “ Research on Nodular Cast Iron Containing of Small Amount Boron”, Doctor Dissertation, Iwate University Japan, 2010

6. Y. Ohmori, H. Ohtsubo, Y. C. Jung, S. Okaguchi, H. Ohtani “Morphology of Bainite and Widmanstatten Ferrite”, Metallurgical and Materials Transactions A, volume 25A, pages 1982, 1994

7. S. Bimo. P, Hafid, E. Afrilinda “Pengembangan Material Bainitic Cast Steel Untuk Komponen Tapak Rantai Kendaraan Tempur Tank Subsitusi Impor”, Jurnal Riset Industri, volume 7, No. 3, pages 173-182, 2013

8. S.F. Di Martino, G. Thewlis “Transformation Characteristics of Ferrite/carbide Aggregate in Continuosly Cooled, Low Carbon-Manganese Steels”, Metallurgical and Materials Transactions A, volume 45A, pages 579-580, 2014

9. V.G. Vaks, A. Yu. Stroev, V.N. Urtsev, A.V. Shmakov “Experimental and Theoritical Study of the Formation and Growth of Peralite Colonies in Eutectoid Steels”, Journal of Experimental and Theoretical Physics, volume 23A, No. 6, pages 961-962, 2011

10. N. Ridley “A review of the Data on the Interlamellar Spacing of Pearlite”, Metallurgical Transactions A, volume 15A, pages 1019, 1984

Page 181: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

168 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

11. S. K. Tewari, Romesh C. Sharma “The Effect of Alloying Elements on Pearlite Growth”, Metallurgical Transactions A, volume 16A, pages 597-598, 1985

12. S. A. Al-Salman, G. W. Lorimer, N. Ridley “Pearlite Growth Kinetics and Partioning in Cr-Mn Eutectoid Steel”, Metallurgical Transactions A, volume 10A, page 1703, 1979

Page 182: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 169

PENGARUH TEMPERATUR DAN WAKTU REDUKSI, SERTA PENAMBAHAN BATUBARA DAN Na2SO4 TERHADAP

PENINGKATAN KADAR Ni DALAM BIJIH NIKEL LATERIT

Rudi Subagja*, Agus Budi Prasetyo, Wahyu Mayangsari Pusat Penelitian Metalurgi dan Material-LIPI

Gedung 470, Kawasan Puspiptek, Setu, Tangsel *E-mail: [email protected]

Abstrak Pada penelitian ini telah dilakukan percobaan untuk mempelajari pengaruh temperatur dan waktu

reduksi serta penambahan batubara dan natrium sulfat terhadap peningkatan kadar nikel dalam bijih nikel laterit kadar rendah dengan cara reduksi selektip dalam mufle furnace, yang dilanjutkan dengan proses pemisahan magnet terhadap kalsin hasil proses reduksi. Variabel percobaan yang diamati meliputi temperatur reduksi dari 800oC sampai 1100oC, waktu reduksi dari 0,5 jam sampai 4 jam, penambahan batubara dari 5 % sampai 20 %, dan penambahan Na2SO4 dari 5 % sampai 20 %, Variabel tersebut diamati pengaruhnya terhadap peningkatan kadar nikel dalam konsentrat hasil pemisahan magnet. Hasil tertinggi peningkatan kadar nikel adalah 3,64 % dicapai pada proses pemanggangan pada temperatur 1000oC selama 1 jam dengan penambahan batubara sebesar 10 % dan natrium sulfat 20 %. Kata kunci: Nikel laterit, Reduksi selektif, Peningkatan kadar nikel PENDAHULUAN

Nikel merupakan salah satu logam penting yang banyak digunakan di Industri sebagai bahan baku untuk industri kimia, pelapisan logam, paduan logam, dan baterai muat ulang. Karena kegunaannya sangat luas maka pola produksi nikel di dunia cenderung makin meningkat seiring dengan berkembangnya waktu, dimana produksi nikel di dunia pada saat ini telah meningkat sebanyak 10 kali lipat bila dibandingkan dengan produksi nikel pada tahun 1950[1].

Indonesia merupakan salah satu negara penghasil nikel, dimana sumber utama bahan baku nikel di Indonesia berasal dari nikel laterit yang tersebar dalam jumlah yang cukup besar di beberapa daerah seperti Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Maluku, dan Papua[2,3]. Pada saat ini bijih nikel yang telah dimanfaatkan adalah bijih nikel yang mempunyai kadar nikel relatif tinggi (diatas 1,5 %) yaitu untuk membuat Fero nikel oleh P.T Aneka Tambang dan nikel matte oleh P.T Vale, sementara bijih nikel laterit kadar rendah belum dimanfaatkan dengan baik karena dianggap belum ekonomis untuk diolah menjadi logam nikel atau paduannya. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian untuk dapat meningkatkan kadar nikel dalam bijih nikel laterit kadar rendah. Permasalahannya adalah bagaimana mendapatkan teknologi untuk meningkatkan kadar nikel dalam laterit kadar rendah yang cocok dengan karakteristik laterit Indonesia.

Beberapa kegiatan penelitian untuk meningkatkan kadar nikel dalam laterit telah dilakukan oleh beberapa peneliti terdahulu. Kim dan kawan kawan[4] telah melakukan penelitian konsentrasi nikel laterit kadar rendah yang mempunyai kandungan nikel 1.50%, dan besi 22,33% dengan cara kalsinasi pada temperatur 500oC selama 1 jam dan dilanjutkan dengan pemisahan magnet dalam media air. Hasil penelitiannya memperlihatkan bahwa kadar nikel dapat ditingkatkan dari 1,5 % menjadi 2,9 % akan tetapi recoveri nikel yaitu jumlah nikel yang dapat dipisahkan dari bijih nikel laterit kedalam konsentrat nikel hanya 48 %. Li dan kawan kawan[5] melaporkan bahwa konsentrat dengan kadar nikel 9,48 % dengan recoveri nikel sebesar 83,01 %, telah diperoleh dari nikel laterit yang mempunyai kadar Ni 1,91% dan Fe 22,10 % dengan cara mereduksi bijih nikel laterit pada temperatur 1100°C selama 60 menit dengan penambahan 20 % Na2SO4. Kemudian dalam penelitiannya dilaporkan bahwa proses reduksi besi dalam bijih nikel laterit pada lingkungan Na2SO4 tidak dihambat oleh

Page 183: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

170 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

pembentukan fasa Fayalit atau fosterit. Rendahnya metalisasi besi lebih disebabkan oleh terjadinya fasa troilit FeS. Zhu dan kawan kawan[6] telah melakukan penelitian reduksi selektif yang dilanjutkan dengan pemisahan magnet terhadap bijih nikel laterit kadar rendah yang mempunyai kadar Ni 1,42 % dan Fe 23,16 %. Proses reduksi dilakukan pada temperatur 1100oC selama 60 menit dengan penambahan 6 % CaSO4 dan 5 % batubara. Hasil percobaannya diperoleh konsentrat feronikel dengan kadar nikel 6 % dan recoveri nikel 92,10 %, dan proses reduksi selektif bergantung pada atmosphere reduksi dan kandungan silika; adanya unsur belerang mempromot secara signifikan pertumbuhan partikel feronikel untuk memperbaiki pengkayaan fasa logam.

Dari hasil hasil penelitian tersebut dapat dilihat bahwa proses reduksi selektif untuk meningkatkan kadar nikel dari bijih nikel laterit dipengaruhi oleh kondisi atmosfer proses reduksi, komposisi bahan baku bijih nikel laterit dan penambahan bahan aditif. Beberapa peneliti tersebut telah berhasil meningkatkan kadar nikel dari bijih laterit yang mempunyai kadar besi relatif rendah, sedangkan untuk bijih nikel laterit yang mempunyai kadar besi relatif tinggi belum banyak dilakukan. Oleh karena itu untuk menjajagi kemungkinan peningkatan kadar nikel dari laterit Indonesia yang mempunyai kadar nikel rendah dan kadar besi relatif tinggi, khususnya yang berasal dari Sulawesi, pada penelitian ini dilakukan penelitian awal proses peningkatan kadar nikel laterit asal sulawesi dengan cara reduksi selektif dengan bahan aditif natrium sulfat dan dilanjutkan dengan proses pemisahan magnet. METODE PERCOBAAN

Bahan baku yang digunakan dalam percobaan ini terdiri dari bijih nikel laterit, batubara dan natrium sulfat. Komposisi kimia bijih nikel laterit yang digunakan diperlihatkan pada Tabel 1 dimana senyawa dominan penyusun bijih nikel laterit adalah besi oksida dan silikat.

Tabel 1. Komposisi kimia nikel laterit Senyawa Fe2O3 SiO2 Al2O3 Cr2O3 MnO2 NiO CoO MgO CaO % 69,55 14,84 4,63 1,56 1,4 1,42 0,2 3,04 0,12

Sedangkan komposisi kimia batubara yang digunakan diperlihatkan pada Tabel 2,

dimana batubara ini mempunyai kandungan karbon tetap 36,92 %, nilai kalor 6047 cal/gr dan zat terbang 36,26 %.

Tabel 2. Komposisi batubara Komponen Zat

terbang abu Karbon

tetap S Moisture Nilai Kalor

(Cal/g) % 36,26 14,39 36,92 0,91 14,4 6047

Gambar 1 memperlihatkan diagram alir percobaan peningkatan kadar nikel dalam

bijih nikel laterit melalui tahapan proses reduksi selektif yang dilanjutkan dengan proses pemisahan magnet.

Page 184: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 171

Gambar 1. Diagram alir percobaan

Sebelum direduksi, bijih nikel laterit dikeringkan dalam oven pada temperatur 100oC

selama 24 jam sehingga diperoleh bijih nikel laterit dengan kadar air di bawah 5 %. Sebagian bijih kering dianalisis komposisi kimianya dengan menggunakan ICP (Inductivelly couple plasma), sebagian lagi dicampur dengan batubara dan natrium sulfat untuk selanjutnya digerus dalam ball mill dengan menggunakan bola bola alumina sehingga diperoleh campuran bijih dengan batubara yang mempunyai ukuran lebih kecil dari 100 mesh. Campuran bijih, batubara dan natrium sulfat kemudian dipanggang dalam tungku. Kalsin yang dihasilkan kemudian digerus bersama sama air dalam ball mill untuk selanjutnya dilewatkan alat pemisah magnet (magnetic separator) sehingga dihasilkan konsentrat dan tailing. Komposisi nikel dan besi yang terdapat dalam konsentrat kemudian dianalisis dengan ICP. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Temperatur

Pengaruh temperatur terhadap proses peningkatan kadar nikel dalam laterit dilakukan dengan menggunakan campuran bijih yang telah dicampur dengan 10 % Na2SO4 dan 10 % batubara. Campuran bijih, Na2SO4 dan batubara kemudian dipanggang pada temperatur 800oC sampai 1100oC selama 1 jam. Kandungan nikel dan besi dalam kalsin hasil pemanggangan dan dalam konsentrat hasil pemisahan dengan alat magnetik separator diperlihatkan pada Tabel 3.

Page 185: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

172 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

Tabel 3. Kandungan nikel dan besi dalam kalsin dan dalam konsentrat Temperatur reduksi (oC)

Kandungan Ni dan Fe dalam Kalsin

Kandungan Ni dan Fe dalam Konsentrat

% Ni % Fe % Ni % Fe 800 1,19 42,67 1,20 42,87 900 1,25 44,38 1,33 45,72 1000 1,43 46,98 1,89 55,39 1100 1,31 48,58 2,47 67,08 Dari data percobaan pada Tabel 3 dapat dilihat bahwa kenaikan temperatur reduksi

dari 800oC menjadi 1100oC menyebabkan kenaikan kandungan nikel dalam konsentrat hasil proses pemisahan dengan magnet dari 1,20 % menjadi 2,47 %, demikian juga kandungan besi dalam konsentrat meningkat dari 42,87 % menjadi 67,08 % jika temperatur reduksi dinaikan dari 800oC menjadi 1100oC. Pengaruh waktu reduksi

Pengaruh waktu reduksi terhadap proses peningkatan kadar nikel dalam laterit dilakukan dengan menggunakan campuran bijih yang telah diberi 10 % Na2SO4 dan 10 % batubara. Campuran bijih, Na2SO4 dan batubara kemudian dipanggang pada temperatur 1000oC dalam selang waktu dari 0,5 jam sampai dengan 4 jam. Kandungan nikel dan besi dalam kalsin hasil pemanggangan dan dalam konsentrat hasil pemisahan dengan alat magnetik separator diperlihatkan pada Tabel 4 berikut:

Tabel 4. Pengaruh waktu reduksi terhadap kandungan nikel dan besi dalam kalsin dan dalam konsentrat

Waktu (Jam) Kandungan Ni dan Fe dalam Kalsin

Kandungan Ni dan Fe dalam Konsentra

% Ni % Fe % Ni % Fe 0,5 1,44 48,30 1,84 54,22 1 1,43 46,98 1,89 55,39 2 1,61 49,71 2,15 61,37 4 1,63 48,19 2,21 62,45

Dari data percobaan pada Tabel 4 dapat dilihat bahwa kenaikan waktu reduksi dari 0,5

jam menjadi 4 jam menyebabkan kandungan nikel dalam konsentrat hasil proses pemisahan dengan magnet meningkat dari 1,84 % menjadi 2,21 %, demikian juga kandungan besi dalam konsentrat meningkat dari 54,22 % menjadi 62,45 % jika waktu reduksi diperpanjang dari 0,5 jam menjadi 4 jam. Pengaruh penambahan batubara

Pengaruh penambahan batubara terhadap proses peningkatan kadar nikel dalam laterit dilakukan dengan menggunakan campuran bijih yang telah diberi 10 % Na2SO4, dimana kandungan batubara dalam campuran bijih divariasikan dari 5 % sampai dengan 20 %. Campuran bijih, Na2SO4 dan batubara kemudian dipanggang pada temperatur 1000oC dalam selang waktu 1 jam. Kandungan nikel dan besi dalam kalsin hasil pemanggangan dan dalam konsentrat hasil pemisahan dengan alat magnetik separator diperlihatkan pada Tabel 5.

Page 186: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 173

Tabel 5. Pengaruh penambahan batubara terhadap kandungan nikel dan besi dalam kalsin dan dalam konsentrat

Batubara (%) Kandungan Ni dan Fe dalam Kalsin

Kandungan Ni dan Fe dalam Konsentra

% Ni % Fe % Ni % Fe 5 1,30 45,07 1,78 50,81 10 1,43 46,98 1,89 55,39 15 1,41 49,11 1,49 51,86 20 1,31 45,54 1,57 53,21

Dari data hasil percobaan pada Tabel 5 dapat dilihat bahwa kenaikan kandungan

batubara dari 5 % menjadi 10 % menyebabkan kenaikan kandungan nikel dan besi dalam konsentrat. Akan tetapi kenaikan kandungan batubara lebih lanjut dari 10 % menjadi 20 % menyebabkan penurunan kandungan nikel dan besi dalam konsentrat. Pengaruh penambahan Na2SO4

Pengaruh penambahan Na2SO4 terhadap proses peningkatan kadar nikel dalam laterit dilakukan terhadap campuran bijih yang telah diberi batubara 10 % dan kandungan Na2SO4 yang divariasikan dari 5 % sampai dengan 20 %. Campuran bijih, Na2SO4 dan batubara kemudian dipanggang pada temperatur 1000oC dalam selang waktu 1 jam. Kandungan nikel dan besi dalam kalsin hasil pemanggangan dan dalam konsentrat hasil pemisahan dengan alat magnetik separator diperlihatkan pada Tabel 6 berikut:

Tabel 6. Pengaruh penambahan Na2SO4 terhadap kandungan nikel dan besi dalam kalsin dan dalam konsentrat

Na2SO4 (%) Kandungan Ni dan Fe dalam Kalsin

Kandungan Ni dan Fe dalam Konsentra

% Ni % Fe % Ni % Fe 5 1,54 22,83 2,18 31,97 10 1,43 46,99 1,89 55,39 15 1,33 19,88 2,51 33,02 20 1,31 18,49 3,64 46,87

Dari data hasil percobaan pengaruh penambahan Na2SO4 terhadap kandungan nikel

dan besi dalam kalsin dan dalam konsentrat pada Tabel 6 dapat dilihat bahwa kenaikan penambahan Na2SO4 dari 5 % menjadi 20 % menyebabkan peningkatan kandungan nikel dalam konsentrat dari 2,18 % menjadi 3,64 %. Akan tetapi untuk besi, kenaikan penambahan Na2SO4 dari 5 % menjadi 10 % menyebabkan kandungan besi dalam konsentrat meningkat, dan kenaikan Na2SO4 lebih lanjut dari 10 % menjadi 20 % menyebabkan penurunan kandungan besi dalam konsentrat.

Dari hasil percobaan pengaruh temperature dan waktu reduksi serta penambahan batubara dan natrium sulfat terhadap peningkatan kadar nikel dalam konsentrat dapat dilihat bahwa kandungan nikel dalam bijih nikel laterit mempunyai potensi untuk ditingkatkan. Hasil tertinggi peningkatan kadar nikel percobaan pada saat ini adalah 3,64 % dicapai pada proses pemanggangan pada temperatur 1000oC selama 1 jam dengan penambahan batubara sebesar 10 % dan natrium sulfat 20 %. Masih rendahnya kadar nikel dalam konsentrat disebabkan oleh karena unsur besi yang terdapat dalam konsentrat masih tinggi.

Page 187: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

174 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

KESIMPULAN Dari hasil percobaan dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Kandungan nikel dalam bijih nikel laterit kadar rendah dapat ditingkatkan dengan cara mereduksi bijih nikel laterit oleh batubara dan dengan penambahan natrium sulfat yang kemudian dilanjutkan dengan proses pemisahan magnet.

2. Proses peningkatan kadar nikel dalam bijih laterit dipengaruhi oleh temperatur reduksi, waktu reduksi, jumlah penambahan batubara sebagai bahan reduktor dan penambahan bahan aditif natrium sulfat.

3. Kenaikan temperatur dan waktu reduksi menyebabkan kandungan nikel dan besi dalam konsentrat meningkat.

4. Kenaikan penambahan batubara sampai dengan 10 % menyebabkan kandungan nikel dan besi dalam konsentrat meningkat, akan tetapi kenaikan kandungan batubara lebih lanjut sampai dengan 20 % menyebabkan kandungan nikel dan besi dalam konsentrat menjadi turun.

5. Kenaikan penambahan natrium sulfat dari 5 % menjadi 20 % menyebabkan kandungan nikel dalam konsentrat meningkat dan kandungan besi dalam konsentrat menjadi turun.

DAFTAR PUSTAKA 1. Oxley Anne & Barcza Nic., 2013, Hydro-pyro integration in the processing of nickel

laterite. International Journal of Minerals Engineering. 54: hal 2-13. 2. Departemen Pertambangan dan Energi, 1998, Potensi dan Prospek Investasi di Sektor

Pertambangna dan Energi 1998-1999. 3. Peta Ekonomi Mineral Dit. Sumber daya Mineral, 1997. 4. Kim, J., Dodbiba, G., Tanno, H., Okaya, K., Matsuo, S., Fujita, T., 2010. Calcinations

of low-grade laterite for concentration of Ni by magnetic separation. Miner. Eng. 23(4), 282–288.

5. Li, G.H., Shi, T.M., Rao,M.J., Kiang, T., Zhang, Y.B., 2012, Beneficiation of nickeliferous laterite by reduction roasting in the presence of sodium sulfate. Miner. Eng. 32, 19–26.

6. Zhu, D.Q., Cui, Y., Vining, K., Hapugoda, S., Douglas, J., Pan, J., Zheng, G.L., 2012. Upgrading low nickel content laterite ores using selective reduction followed by magnetic separation. Int. J. Miner. Process. 106–109, 1–7.

Page 188: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 175

PROSES PEMBUATAN PADUAN BESI TUANG PUTIH DARI NICKEL PIG IRON

Adil Jamali1*, Fajar Nurjaman2, Bintang Adjiantoro1

1Pusat Penelitian Metalurgi dan Material LIPI Gedung 470, Kawasan Puspiptek, Setu, Tangsel 2UPT Balai Pengolahan Mineral Lampung LIPI

*E-mail: [email protected] Abstrak

Besi tuang putih paduan dengan kandungan nikel dan khrom adalah besi tuang paduan yang bersifat tahan gesek. Umumnya material tersebut banyak digunakan pada komponen mesin penggerus dalam industri pertambangan, diantaranya adalah sebagai wall liner dan grinding ball pada ball mill unit. Nickel Pig Iron (NPI) merupakan pig iron dengan kandungan unsur Ni, Cr, Si dan C. Dalam penelitian ini dipelajari proses pembuatan dua jenis besi tuang putih paduan dari bahan baku NPI, yaitu besi tuang putih paduan-tinggi (High Alloy White Cast Iron), dan besi tuang putih paduan-rendah (Low Alloy White Cast Iron). Dalam penelitian ini, NPI dilebur menggunakan tungku induksi kapasitas 500 kg/heat hingga mencair. Kemudian logam cair/hot metal dimasukkan ke dalam tungku konverter kapasitas 250 kg logam cair. Kedalamnya ditiupkan oksigen sehingga beberapa unsur bereaksi hingga terbentuk komposisi logam cair yang dapat dikarakterisasi sebagai besi tuang putih paduan. Pada sampel besi tuang putih paduan dilakukan analisa kimia dengan Optical Emission Spectroscopy (OES), uji kekerasan menggunakan brinell hardness tester, serta analisa metalografi menggunakan mikroskop optik. Dari hasil penelitian ini diperoleh dua jenis besi tuang putih paduan, yaitu 2,1 C -2,1 Si – 0,4 Mn – 2,1 Cr – 4,3 Ni – 0,2 S dan 2,8 C – 0,6 Si – 0,2 Mn – 1,2 Cr – 1,2 Ni – 0,05 S, dengan nilai kekerasan masing-masing sebesar 560 BHN dan 418 BHN pada kondisi as-cast. Keduanya memiliki struktur mikro yang terdiri dari sementit (Fe3C) dan pearlit.

Kata kunci: Besi tuang putih paduan, Nickel Pig Iron (NPI), Tungku konverter, Kekerasan, Struktur mikro PENDAHULUAN

Komponen peralatan tahan gesek banyak digunakan dalam industri pertambangan, diantaranya kuku loader dan excavator, plate-jaw crusher, grinding ball, impeller hamer mill, ball mill liner, shootblast liner dan liner bin penampung material. Komponen komponen tersebut dapat dibuat dari bahan besi tuang putih dan paduannya, paduan baja-krom, atau besi tuang putih paduan multi-komponen. Material besi tuang putih dan paduannya sudah sejak lama digunakan sebagai komponen tahan gesek pada berbagai jenis industri. Dalam perkembangannya besi tuang putih paduan ini mulai ditinggalkan dengan ditemukannya paduan baja-khrom yang mempunyai kinerja lebih baik dengan harga yang bersaing. Namun, dewasa ini pengembangan terhadap besi tuang putih paduan kembali dilakukan, khususnya terkait peningkatan sifat-sifat mekanik melalui penambahan unsur pemadu pembentuk karbida multi komponen. Jika sebelumnya pembentuk karbida adalah besi dan krom saja, maka pada besi tuang putih paduan multi komponen, ditambahkan juga unsur-unsur lain pembentuk karbida kuat, seperti W, Mo, V dan Cr.

Dari ketiga jenis material tahan gesek tersebut, bahan besi tuang putih paduan sangat tepat jika dibuat dari Nickel Pig Iron (NPI) yang saat ini telah diproduksi oleh industri dalam negeri. Hal ini disebabkan bahan paduan utamanya yaitu nikel dan khrom telah ada didalam bahan baku NPI tersebut, sehingga hanya diperlukan sedikit bahan pemadu pada proses akhir pengerjaannya. Sebelumnya paduan besi putih dibuat dengan melebur pig iron atau scrap cor kemudian ditambahkan material ferroalloy hingga diperoleh komposisi Ni, Cr, Si, Mn dan lainnya sesuai yang diinginkan. Dalam penelitian ini dipelajari proses pembuatan besi tuang putih paduan dengan menggunakan bahan baku logam NPI dengan menggunakan tungku induksi dan konverter.

Page 189: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

176 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

METODE PERCOBAAN Dalam penelitian ini, NPI dilebur dalam tungku induksi kapasitas 500 kg/heat hingga

mencair. Selanjutnya dilakukan proses dekarburisasi terhadap logam cair/hot metal tersebut dengan menggunakan tungku konverter kapasitas 250 kg. Kedalamnya ditiupkan oksigen sehingga beberapa unsur bereaksi hingga terbentuk komposisi logam cair yang dapat dikarakterisasi sebagai besi tuang putih paduan. Proses dekarburisasi logam NPI cair dilakukan secara terbatas, dimana proses dekarburisasi dihentikan sebelum logam NPI menjadi baja. Selanjutnya ditambahkan bahan paduan sesuai dengan komposisi yang dikehendaki yaitu besi tuang putih paduan-tinggi dengan kandungan nikel +/- 4 % dan besi tuang putih paduan-rendah yang mengandung Nikel +/- 2 % . Setelah penyesuaian komposisi dengan penambahan bahan paduan atau tanpa penambahan bahan paduan, selanjutnya logam cair besi tuang putih paduan tersebut dicetak dalam cetakan pasir. Setelah dingin dilakukan analisa komposisi kimia dengan menggunakan Optical Emission Spectroscopy (OES) dan struktur mikro dengan menggunakan mikroskop optik. Proses pembuatan besi tuang putih paduan untuk aplikasi tahan gesek dari NPI ditunjukkan dalam diagram alir pada Gambar 1.

Gambar 2. Converting NPI menjadi besi tuang putih paduan

Gambar 1. Pembuatan besi tuang putih paduan dari NPI

Gambar 3. Penuangan hasil converting, besi tuang putih paduan

cair ke ladle 30 kg

Untuk menghasilkan besi tuang putih paduan-rendah, NPI sebanyak 400 Kg dengan kandungan 2,5% Ni dilebur dalam tungku induksi hingga mencair. Sedangkan untuk menghasilkan besi tuang putih paduan-tinggi, NPI dengan kandungan 12% Ni dilebur dalam tungku induksi bersama scrap mild steel dengan komposisi 136 kg NPI dan 264 kg scrap mild steel. Setelah logam dalam tungku induksi mencair, selanjutnya dituang ke dalam tungku konverter dengan menggunakan ladle transfer. Oksigen dialirkan (blowing) melalui selang karet dan lance ke permukaan logam cair dalam tungku konverter. Setelah oksigen dalam tabung habis, dilakukan pengambilan sampel logam yang kemudian dituang ke dalam cetakan pasir. Kemudian selang oksigen dipasangkan ke tabung oksigen baru, demikian seterusnya hingga habis 2-3 tabung oksigen. Untuk besi tuang putih paduan-tinggi, ditambahkan beberapa unsur paduan, yaitu Cr dan Mn, ke dalam tungku konverter sesaat setelah blowing selesai dilakukan.

Page 190: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 177

Berikut ini adalah beberapa peralatan yang digunakan dalam percobaan ini, diantaranya adalah: (1) Tungku induksi kapasitas 500 kg besi cair/heat; (2) Sebuah konverter kapasitas 200 – 250 Kg besi cair, dilengkapi lance penyalur oksigen; (3) Ladle transfer 300 kg, dan ladle 30 kg sebanyak lima buah; (4) Tabung oksigen berisi oksigen murni sebanyak 7-8 kg/tabung, sebanyak 10 tabung; (5) Stand by generator dengan daya 1,2 Mega watt; (6) Pipa karet penyalur oksigen dari botol ke lance; (7) Peralatan cetakan pasir, pengaduk, dan flash; (8) As baja (pejal) untuk membersihkan konverter. HASIL DAN PEMBAHASAN

Berikut adalah Tabel 1 dan 2, yang berisikan komposisi kimia NPI dan hasil proses converting berupa Besi Tuang Putih Paduan-Tinggi (Sampel A) dan Besi Tuang Putih Paduan-Rendah (Sampel B). Dari tabel tersebut, tampak bahwa Sampel A memiliki kemiripan komposisi dengan Ni-Hard Tipe 2 (530-630 BHN), sedangkan sampel B memiliki kemiripan komposisi dengan produk yang dikembangkan oleh Farge, et al., dimana nilai kekerasannya akan meningkat secara signifikan (615-690 BHN) setelah diberi proses perlakuan panas. Tabel 1. Komposisi kimia bahan baku NPI dan produk converting besi tuang putih paduan-tinggi (sampel A)

Produk Unsur, % berat

C Ni Cr Mn Si S P NPI (Bahan baku) 3,4 4,08 3,8 1,3 3,3 0,25 0,54

Produk Converting (Sampel A) 2,1 4,30 2,09 0,4 2,12 0,2 0,07 Tabel 2. Komposisi kimia bahan baku NPI dan produk converting besi tuang putih paduan-rendah (sampel B)

Produk Unsur, % berat

C Ni Cr Mn Si S P NPI (Bahan baku) 3,2 1,8 3,8 1,3 3,3 0,25 0,54

Produk Converting (Sampel B) 2,8 1,97 1,2 0,23 0,56 0,25 0,48

Dari hasil uji kekerasan produk converting Sampel A, yaitu 560 BHN, memiliki nilai kekerasan yang lebih tinggi dibandingan Sampel B, yaitu 418 BHN, pada kondisi as-cast. Umumnya, semakin besar kandungan karbon dalam material besi tuang putih, maka jumlah sementit (Fe3C) akan semakin besar, sedangkan jumlah perlit (a+Fe3C) akan semakin berkurang, dimana nilai kekerasan sementit lebih tinggi dibanding kekerasan perlit. Hal yang berbeda terjadi dalam penelitian ini, dimana nilai kekerasan Sampel A dengan kandungan 2,1% C memiliki nilai kekerasan yang lebih tinggi dibandingkan Sampel B dengan kandungan 2,8% C. Tingginya nilai kekerasan Sampel A disebabkan oleh tingginya kandungan khrom dalam material tersebut. Khrom merupakan unsur paduan pembentuk karbida yang kuat, dimana khrom akan bersenyawa dengan karbon membentuk karbida khrom (Fe,Cr)3C atau (Fe,Cr)7C3. Menurut Hinckley, et al., bahwa karbida khrom memiliki nilai kekerasan (1500-1800 HV) lebih tinggi jika dibandingkan dengan sementit/Fe3C. Selain itu, tampak pada Tabel 1 dan 2, Sampel A memiliki unsur-unsur paduan seperti Si, Mn, dan Ni yang lebih besar jika dibandingkan dengan Sampel B. Silikon berperan dalam menurunkan laju pendinginan, sehingga akan memperbaiki sifat mampu alir dari besi tuang putih. Nikel berperan dalam menurunkan laju pendinginan, selain itu juga memberikan kontribusi dalam peningkatan kekerasan sampai kandungan nikel mencapai sekitar 5%. Mangan berperan dalam peningkatan ketangguhan pada besi tuang putih, dimana mangan akan mencegah terbentuknya besi sulfida (FeS) yang memiliki sifat getas.

Page 191: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDIN

178

Darseperti dituSedangkanditunjukkaberpengarudan Gambdibandingkterhadap titampak pukarbida. KAvery, H.Skontribusi KESIMPU

Bes4,3 Ni – 0,– 1,2 Cr –terkontrol. masing sebbesi tuangMn, dan Ndirekomen

Gambar

Gambar 5

NG SEMINA

ri hasil pengunjukkan pan untuk stran pada Gamuh terhadapbar 5a, dimkan denganingginya ni

ula pada struKarbida memS, bahwa peterhadap ni

ULAN si tuang put,2 S dan bes– 1,2 Ni – 0

Kedua matbesar 560 B putih padu

Ni yang terdndasikan seb

(a)4. Struktur

(a)5. Struktur m

AR MATER

gamatan strada Gambaruktur mikmbar 5, ter

p struktur mmana Sampen sampel Bilai kekerasuktur mikro

miliki sifat kenggabungailai ketangg

tih paduan-si tuang put0,05 S, telaterial terseb

BHN dan 41uan-tinggi dapat dalam

bagai materi

) mikro besi

(b)

) mikro besi

(b)

IAL METAL

ruktur mikroar 4, tampakro besi turdiri dari sem

mikro dari beel A tampak

B. Hal tersesan Sampelo Sampel Akeras, sedanan antara keuhan dari m

-tinggi, dengtih paduan-rah dibuat dbut memiliki

8 BHN paddisebabkan kandunganial tahan ge

tuang putihperbesaran

tuang putihperbesaran

LURGI 201

LEM

o pada besi ak bahwa teruang putih mentit dan pesi tuang puk memiliki ebut juga m A dibandi

A (Gambarngkan matriduanya (ma

material besi

gan komporendah dengari bahan bi nilai kekerda kondisi a

oleh kebern NPI. Besi esek pada be

h paduan-tinn 200x, etsa

h paduan-renn 200x, etsa

5

MBAGA ILMU

tuang putihrdiri dari ka

paduan-reperlit. Kebeutih. Sepertvolume kar

memberikaningkan dengr 5) adanyaiks memilikatriks dalami tuang putih

sisi 2,1 C -gan komposbaku NPI mrasan yang

as-cast. Tingradaan unsutuang putih

erbagai mes

nggi (SampeNital 3%

ndah (SampNital 3%

U PENGETAH

h paduan-tinarbida, perlndah (Sameradaan unsi tampak parbida yang

n pengaruh gan Sampe

a matriks (pki sifat lebihm karbida) ak

h.

-2,1 Si – 0,4sisi 2,8 C –

melalui prossangat tingggginya nilaiur-unsur pah dari bahansin industri.

(b) el A): (a) pe

(b) pel B): (a) p

HUAN INDON

nggi (Sampelit, dan lede

mpel B), sesur khrom sada Gambajauh lebih yang signi

l B. Selainpearlit) di teh lunak. Mekan membe

4 Mn – 2,1– 0,6 Si – 0,ses dekarbugi, yaitu mai kekerasan

aduan sepern baku NPI

erbesaran 10

erbesaran 1

NESIA

el A), eburit. eperti angat

ar 4a, besar ifikan n itu, engah enurut erikan

Cr – 2 Mn

urisasi asing-n pada rti Cr, dapat

00x;

00x;

Page 192: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 179

UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terimakasih disampaikan kepada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

(LIPI), yang telah memberikan dana melalui kegiatan unggulan-LIPI 2015 terkait pengembangan baja unggul. Terimakasih juga disampaikan kepada Pusat Penelitian Metalurgi dan Material-LIPI dan UPT Balai Pengolahan Mineral Lampung-yang telah menyediakan tenaga peneliti dan teknisi serta fasilitas allloying dan metal forming dalam percobaan ini. DAFTAR PUSTAKA 1. Matsubara, Y. 2015. Research and Development of Abrasion Wear Resistant Cast

Alloys For Rolls of Rolling and Pulverizing Mills, Kurume National College of Technology. (www.hwe.oita-u.ac.jp/kiki/.../paper_matubara.pdf, diakses 16 Sept. 2015).

2. Farge, et al. 1982. Low alloy White Cast Iron, United States Patent , No. 4338128, Jul. 6, 1982.

3. Farge et al. 1991. Low alloy Grinding Slug , United States Patent No. 5034069. 4. Anonymous. 2015. High-Alloy White Irons. (http://apac.totalmateria.com/page.aspx ID-

Check Article & site-kts & NM-92, diakses 18 Sept 2015). 5. Nickel Institute. 2015. Ni-Hard, Material Data and Applications,

(www.nickelinstitute.org/.../Ni_HardMaterialDataa..., diakses September 2015). 6. B. Hinckley, et al. 2008. SEM Investigation of Heat Treated High Chromium Cast Iron,

Materials Forum, 32. 7. Avery, H.S. 1961. Wear. pp. 427.

Page 193: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

180 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

Page 194: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 181

ANALISA KERETAKAN PADA KOMPONEN CAMSHAFT

Cahya Sutowo*, Ika Kartika, Budi Priyono Pusat Penelitian Metalurgi dan Material - LIPI Gedung 470, Kawasan Puspiptek, Setu, Tangsel

*E-mail: [email protected]

Abstrak Camshaft merupakan salah satu komponen pada engine suatu kendaraan bermotor, komponen ini

terbuat dari material besi cor maleabel yang dibuat melalui proses grafity casting. Kegagalan pada komponen ini akan berakibat fatal jika terjadi pada saat engine beroperasi. Pada kasus ini kegagalan diketahui pada saat proses machining (pembubutan), kegagalan pada camshaft tersebut berupa retakan dan patah. Untuk mengetahui penyebab kegagalan tersebut, beberapa karakterisasi dilakukan pada area permukaan retakan berupa pemeriksaan secara visual, metalografi dengan optical microscope dan fraktografi patahan dengan SEM (scanning electron microscope) dan analisi komposisi kimia pada permukaan patahan dengan EDS (energy dispersive spectroscopy). Hasil pengujian menunjukkan retakan atau patahan yang terjadi pada camshaft adalah brittle-ductile fracture dimana pada area ductile fracture terjadi patahan merambat sepanjang grafit dan batas butir ferit dalam komponen tersebut. Patahan pada komponen camshaft menjalar saat proses perlakuan panas (heat treatment). Hal ini terindikasi dengan adanya retakan mikro dilihat dari fraktografi patahan hasil SEM, dan adanya retakan sekunder yang dipicu oleh oksida logam teramati dari hasil metalografi.

Kata kunci: Chamshaft, Besi cor maleabel, Gravity casting, Fracture, Heat treatment, Oksida logam PENDAHULUAN

Camshaft merupakan suatu komponen pada engine yang berfungsi untuk menggerakkan katup intake & exhaust berdasarkan putaran crankshaft dengan kata lain komponen camshaft sebagai pengatur waaktu pembukaan dan penutupan katup. Camshat mempunyai dua buah tonjolan (cam) yang memiliki karakteristik masing – masing. Pembukaan katup diatur oleh camshaft melalui sentuhan profil cam dengan rocker arm sehingga akan menyebabkan membuka dan menutupnya katup intake dan exhaust[1]. Bahan camshaft biasanya besi tuang melalui proses perlakuan panas (hardening) yang bertujuan untuk meningkatkan ketahanan terhadap keausan ketika bergesekan dengan rocker arm[2].

Camshaft dibuat melalui proses grafity casting dengan material besi cor maleabel FCMP (ferrous casting malleable perlitic), besi cor maleabel merupakan besi cor putih yang telah dilakukan heat treatment sehingga dihasilkan grafit maleabel dengan matrik perlit[2]. Kegagalan yang terjadi pada komponen camshaft tersebut berupa retak, adanya retak tersebut diketahui pada saat proses machining (pembubutan). Komponen cam shaft yang mengalami retak sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 1.

Gambar 1. Foto visual komponen camshaft yang mengalami retak

Page 195: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

182 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

METODE PERCOBAAN Untuk mengetahui penyebab kegagalan tersebut, beberapa karakterisasi dilakukan

pada area permukaan patahan berupa pemeriksaan secara visual, metalografi, analisa komposisi kimia, pengujian kekerasan. Tahapan penelitian yang dilakukan meliputi pengamatan visual dan fraktografi, pengujian dan analisa pembahasan.

Pengamatan visual dan fraktografi baik secara makro visual dengan menggunakan kamera ataupun mikro visual menggunakan SEM (scanning electron microscope) untuk dapat melihat kerusakan pada area permukaan patahan dan untuk mengidentifikasi bentuk patahan, sehingga diketahui jenis dan penyebab kerusakan komponen tersebut.

Pengamatan metalografi menggunakan mikroskop optik dilakukan untuk mengamati area disekitar kerusakan pada penampang melintang area yang mengalami kegagalan. Sampel sebelumnya dipreparasi terlebih dahulu dengan diampelas dan dipoles sampai halus untuk selanjutnya dietsa dan terakhir dilakukan pengamatan.

Pengujian SEM/EDS (scanning electron microscope / energy dispersive spectroscopy) bertujuan untuk mengetahui kandungan unsur secara kualitatif pada area permukaan patahan serta mengamati jenis patahan dengan menggunakan perbesaran yang lebih tinggi.

Pengujian komposisi kimia dilakukan untuk mengetahui apakah material yang digunakan untuk komponen camshaft sudah sesuai dengan standar yang disyaratkan sedangan pengujian kekerasan dilakukan menggunakan metode Brinell (HB 30) dengan beban 187,5 kgf dan diameter indentor 2,5 mm. Standar yang digunakan adalah (ASTM E 10-98) untuk mengetahui jenis dan standar material yang digunakan.

Pengujian dilakukan pada area camshaft yang mengalami kegagalan retak atau patah seperti ditunjukkan pada Gambar 2.

Gambar 2. Komponen camshaft yang mengalami kegagalan

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengamatan fraktografi dilakukan pada penampang komponen camshaft yang mengalami retak atau patah. Dari pengamatan visual makro terlihat pada penampang patahan terbagi atas tiga area yaitu (1) area inisiasi retakan, (3) area penjalaran retak, (2) daerah akhir retakan sebagaimana pada Gambar 3.

Gambar 3. Foto pengamatan visual pada area patahan menunjukkan(1). area inisiasi retakan,

(2). area penjalaran retak, (3). area akhir retakan.

Page 196: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 183

Hasil fraktografi dengan menggunakan SEM pada Gambar 4 sampai 6, pada permukaan patahan camshaft menunjukkan patahan jenis brittle-ductile fracture. Pada permukaan patahan dengan ciri ductile fracture teramati patahan menjalar sepanjang grafit (irregular graphite), retakan mikro juga teramati pada permukaan patahan.

Gambar 4 menunjukkan foto fraktografi menggunakan SEM pada permukaan patahan camshaft area 1 menunjukkan retakan menjalar ke arah tengah dari komponen. Retakan pada posisi ini menunjukkan ciri dari patah getas. Gambar 4(b) menunjukkan perbesaran dari Gambar 4(a), pada area yang ditandai menunjukkan adanya retakan-retakan mikro sepanjang batas butir.

Gambar 4. Foto fraktografi hasil SEM permukaan patahan camshaft pada area 1 Gambar 5 Menunjukkan foto fraktografi menggunakan SEM pada permukaan

patahan camshaft area 2 menunjukkan retakan menjalar sepanjang batas butir. Retakan pada posisi ini menunjukkan ciri dari patah getas, Gambar 5(b) menunjukkan perbesaran dari Gambar 5(a) pada area yang ditandai.

Gambar 5. (a) Foto fraktografi hasil SEM permukaan patahan camshaft area 2

Gambar 6 menunjukkan foto fraktografi menggunakan SEM pada permukaan patahan

camshaft area 3 menunjukkan retakan menjalar sepanjang batas butir ferit dan grafit yang berbentuk iregular. Retakan pada posisi ini menunjukkan ciri dari ductile-brittle fracture; Gambar 6(b) menunjukkan perbesaran dari Gambar 6(a) pada area yang ditandai.

Page 197: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

184 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

Gambar 6. Foto fraktografi hasil SEM permukaan patahan camshaft pada area 3

Hasil metalografi pada Gambar 7 pada posisi melintang dari permukaan patahan

menunjukkan struktur yang terbentuk dari hasil metalografi adalah ferit, perlit dan grafit (irregular graphite). Hasil struktur mikro memperlihatkan adanya retakan sekunder disamping retakan primer yang disebabkan oleh penjalaran oksida, adanya penjalaran oksida teramati berwarna abu-abu pada foto hasil metalografi pada Gambar 7.

Gambar 7. Struktur mikro arah melintang dari permukaan patahan camshaft menunjukkan

fasa ferit, perlit dan grafit. Sepanjang rambatan patahan teramati struktur yang terbentuk adalah ferit dan teramati adanya retakan sekunder. Etsa Nital 2%

Hasil analisa komposisi kimia dengan OES pada Tabel 1 menunjukkan bahwa

komposisi kimia dari material camshaft adalah sesuai bila dibandingkan dengan standar yang ada. Hanya bila ada penambahan atau modifikasi unsur-unsur yang disarankan oleh standar yang ada, unsur Ni dan Mo terlihat masih di bawah standar yang ditentukan. Karbon ekivalen (CE) untuk material camshaft adalah sebesar 3,26% menunjukkan harga yang sesuai untuk pembentukan besi cor malleabel[3].

Tabel 1. Hasil analisa komposisi kimia camshaft dengan OES dan standar malleabel[3]

Komponen Unsur (%)

C Si S P Mn Ni* Cr* Mo* Cu*

Camshaft 2,789 1,422 0,011 0,004 0,686 0,0142 0,029 0,001 0,018

Std.Malleabel 2,2-2,9 0,9–1,9 0,02-0,20 0,02-0,15 0,15-1,25 0,5-0,8 0,01-0,03 0,35-0,5 ≤ 1,0% *Unsur yang biasa ditambahkan dalam malleable iron, CE = C + (Si+P)/3 = 3,26 %

Page 198: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 185

Hasil SEM-EDS pada Gambar 9 sampai 11 menunjukkan adanya kandungan unsur O sebagai pembentuk oksida logam.

Gambar 9. Hasil SEM-EDS pada permukaan patahan area 1

Gambar 10. Hasil SEM-EDS pada permukaan patahan area 2

Gambar 11. Hasil SEM-EDS pada permukaan patahan area 3

Patahan pada komponen camshaft menjalar saat dilakukan proses perlakuan panas

(heat treatment)[5]. Hal ini terindikasi dengan adanya retakan mikro dilihat dari fraktografi

Page 199: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

186 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

patahan menggunakan SEM (Gambar 9), dan adanya retakan sekunder yang dipicu oleh oksida logam teramati dari hasil metalografi (Gambar 7).

Tabel 2. Harga kekerasan material camshaft dengan metoda Brinell (HB-30)

NO. UJI HARGA KEKERASAN

(HB-30) KETERANGAN

1 284,2 BEBAN 187,5 Kgf,

Ø INDENTOR 2,5 mm 2 293,0 3 281,0 4 281,0 5 281,0 6 281,0 7 285,8 8 283,4 9 292,2 10 297,8

KEKERASAN RATA-RATA

286,0

Harga kekerasan rata – rata material camshaft sebagaimana pada Tabel 2 adalah 286

BHN. Tingginya harga kekerasan ini menyebabkan material bersifat getas (brittle) dan memiliki ketangguhan yang rendah (poor of toughness)[5]. KESIMPULAN 1. Material camshaft sesuai dengan standar komposisi material besi cor maleabel hanya

pada unsur tambahan, material komponen camshaft ini memiliki komposisi unsur Ni dan Mo yang masih rendah. Range komposisi yang disarankan adalah Ni 0,5-0,8 %berat dan Mo 0,35-0,5 %berat sedangkan kandungan unsur Ni dan Mo pada komponen camshaft masing-masing adalah 0,0142% berat dan 0,001% berat.

2. Patahan yang terjadi pada camshaft adalah brittle-ductile fracture. Pada area ductile fracture, patahan merambat sepanjang grafit dan batas butir ferit.

DAFTAR PUSTAKA 1. https://en.wikipedia.org/wiki/Camshaft, diakses September 2015. 2. http://www.slideshare.net/AntonioManicone/engine-materials-for-camshaft-crankshaft,

diakses September 2015. 3. Standar JIS, Handbook, Ferrous Materials and Metallurgy, Japanese Standards

Association. 4. Unterweiser P.M., Heat Treater’s Guide Standard Practices and Procedures for Steel,

American Society For Metals, Metals Park, Ohio 44073, 1994. 5. ASM, Metals Hand Book Vol. 12, Fractography, American Society for Metals, Ohio

Page 200: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 187

PENINGKATAN KADAR NIKEL MENGGUNAKAN METODE REDUKSI DENGAN PENAMBAHAN ZAT ADITIF NaOH DAN NaCl

Agus Budi Prasetyo1*, Nita Lestari2, Wina Yulianti2

1Pusat Penelitian Metalurgi dan Material – LIPI Gedung 470, Kawasan Puspiptek, Setu, Tangsel

2Program Keahlian Analisis Kimia, Program Diploma, Institut Pertanian Bogor *E-mail: [email protected]

Abstrak Telah dilakukan percobaan reduksi bijih nikel limonit dengan penambahan zat aditif NaOH dan NaCl.

Percobaan dilakukan dengan terlebih dahulu preparasi bijih nikel limonit samapi ukuran 100 mesh. Hasil dari preparasi kemudian ditambahkan zat aditif NaOH maupun NaCl, serta dengan penambahan batubara sebagai reduktor. Peningkatan kadar nikel dilakukan dengan menggunakan metode reduksi dan dilanjutkan dengan pemisahan magnetik separator. Metode reduksi didasarkan pada reaksi reduksi oksidasi pada suhu tinggi. Bijih nikel limonit dalam bentuk serbuk direduksi dengan variasi suhu, waktu, dan persen reduktor. Suhu yang digunakan yaitu 800, 900, 1000, dan 1100 °C. Waktu yang digunakan yaitu selama 0,5; 1 ; 2 ; dan 4 jam. Persen reduktor yang digunakan yaitu 5, 10, 15, dan 20%. Reduksi selektif dilakukan dengan penambahan zat aditif berupa NaOH dan NaCl. Pada pemisahan magnetic separator, senyawa magnetik akan menjadi konsentrat dan senyawa non-magnetik menjadi tailing. Hasil dari reduksi bijih nikel limonit kemudian dianalisa dengan menggunakan analisa basah yaiyu Atomic Absortion Spectrophotometer (AAS). Hasil yang didapat berupa persen kadar nikel baik dengan penambahan zat aditif NaOH maupun NaCl. Hasil reduksi dengan penambahan NaOH lebih baik daripada dengan penambahan NaCl. Hasil analisa menunjukkan variasi percobaan yang optimum terjadi pada suhu 1100 °C dengan waktu reduksi ditahan selama 4 jam dan jumlah reduktor sebanyak 15%. Kadar Ni meningkat dari 1,11% menjadi 2,01 sampai 2,21%.

Kata kunci: Nikel limonit, Konsentrat, Reduksi, Zat aditif, NaOH, NaCl PENDAHULUAN

Mineral merupakan salah satu sumber daya alam yang melimpah ruah di bumi. Salah satu mineral yang saat ini diminati secara komersial adalah nikel. Menurut Oxley & Barcza (2013) jumlah produksi nikel meningkat sepuluh kali lipat sejak tahun 1950[1]. Nikel merupakan logam yang berwarna putih perak, lentur, mudah ditempa, dan tahan terhadap korosi. Secara umum nikel digunakan dalam produksi stainless steel, electroplating, cast iron, paduan logam, dan sebagainya. Nikel terdapat dalam dua bentuk di alam, yaitu bijih sulfida dan laterit (oksida dan silikat). Bijih nikel sulfida berada di bagian subtropis, sedangkan bijih nikel laterit di daerah tropis seperti Indonesia. Besarnya cadangan nikel dalam bijih laterit di Indonesia diduga mencapai 15% dari cadangan dunia[2]. Bijih nikel laterit di Indonesia tersebar di Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Maluku, dan Papua.

Berdasarkan kadar nikelnya, bijih nikel laterit dibagi menjadi dua, yaitu bijih nikel saprolit dan limonit. Bijih nikel limonit secara umum mengandung nikel sekitar 0,8% sampai 1,5%, bijih nikel saprolit memiliki kadar yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan limonit, yaitu sekitar 2% sampai 3%[3]. Bijih limonit terletak di atas lapisan bijih saprolit, bijih ini lebih ekonomis dan lebih mudah ditambang dibandingan dengan saprolit. Rendahnya kadar nikel yang terdapat dalam bijih limonit menyebabkan minimnya pemanfaatan terhadap bijih tersebut. Penggunaan nikel yang semakin tinggi mengakibatkan cadangan saprolit di alam semakin berkurang. Hal ini menjadi dasar untuk memanfaatkan bijih limonit dengan cara meningkatan kadar nikel dalam bijih tersebut. Kadar nikel dapat ditingkatkan dengan menghilangkan berbagai macam matriks yang terdapat dalam bijih.

Ekstraksi nikel dapat dilakukan dengan berbagai macam proses, yaitu hidrometalurgi, pirometalurgi dan proses Caron. Proses hidrometalurgi melibatkan penghilangan logam dari berbagai jenis bijih, konsentrat dan produk-produk limbah oleh larutan air yang mengandung reagen kimia yang berbeda[4]. Proses pirometalurgi merupakan proses ekstraksi nikel dengan

Page 201: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

188 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

menggunakan suhu tinggi berdasarkan prinsip reaksi reduksi oksidasi (thermal upgrading), seperti reduksi selektif. Proses Caron merupakan gabungan dari hidrometalurgi dan pirometalurgi. Metode pelengkap untuk peningkatan kadar nikel dari bijih laterit limonit dapat dilakukan dengan proses yang sederhana, murah, dan ramah lingkungan, yaitu dengan metode pemisahan magnet basah[5].

METODE PERCOBAAN Reduksi selektif

Reduksi merupakan sebuah proses konversi logam oksida menjadi logam dengan menggunakan reduktor tertentu pada suhu tinggi. Senyawa yang direduksi hanya logam oksida sehingga dikatakan sebagai reduksi selektif. Akan tetapi tidak ada mineral nikel murni dalam laterit. Nikel dalam bijih berasosiasi dengan besi lalu akan membentuk paduan setelah direduksi[6]. Reduktor yang paling banyak digunakan ialah karbon karena selain harganya yang relatif murah, tingkat efektivitasnya juga tinggi[2].

Percobaan dilakukan dengan cara bijih laterit limonit dihaluskan terlebih dahulu dengan menggunakan disk mill sampai ukurannya menjadi ±80 mesh. Sebanyak 50 g sampel yang telah dihaluskan ditambahkan zat aditif dan reduktor. Zat aditif yang digunakan adalah NaOH dan NaCl sebanyak 5 g. Karbon yang ditambahkan memiliki bobot yang berbeda untuk setiap uji dalam variasi persen reduktor, yaitu 5, 10, 15, dan 20 %. Sampel tersebut dihomogenisasi, kemudian dimasukkan ke dalam crussible salamander A3. Crussible ditutup dengan glass woll sampai padat, kemudian ditambahkan arang sampai penuh. Crussible dimasukkan ke dalam muffle furnace. Suhu dan waktu diatur sesuai dengan yang diinginkan. Suhu yang digunakan adalah 800, 900, 1000, dan 1100°C. Waktu digunakan adalah 0.5, 1, 2, dan 4 jam. Sampel hasil reduksi selanjutnya diproses dengan pemisahan magnet untuk mendapatkan konsentrat dan tailing.

Bijih laterit jenis limonit mengandung kadar besi lebih dominan dari pada kandungan yang lainnya. Peningkatan kadar nikel dalam bijih laterit limonit dilakukan dengan menghilangkan matriks yang terdapat dalam bijih. Matriks tersebut berupa Fe2O3, MgO, SiO2, CoO, Cr2O3, dan Al2O3, dan CaO (Li et al 2011) yang dapat dipisahkan dengan Ni menggunakan berbagai macam proses. Proses pertama menggunakan metode reduksi selektif yang akan mereduksi logam oksida menjadi logam. Sampel limonit dihaluskan terlebih dahulu agar mineral-mineral yang terperangkap dalam kristal bijih dapat lepas. Penghalusan sampel juga bertujuan memperbesar luas permukaan sampel sehingga proses pemisahan mineral lebih efektif dan efisien. Penambahan zat aditif seperti NaOH dan NaCl bertujuan mengikat silika menurut reaksi berikut[7] : SiO2 + 2NaCl Na2SiO3 + Cl2 (1) SiO2 + 2NaOH + Na2SiO3 + H2 (2)

Sampel yang telah ditambahkan reduktor dan zat aditif dimasukkan kedalam krusibel grafit ditutup dengan menggunakan glass woll untuk mencegah masuknya udara ke dalam sampel. Udara yang masuk ke dalam sampel akan mengoksidasi karbon yang telah ditambahkan ke dalam sampel. Adanya oksigen dapat menyebabkan berkurangnya jumlah karbon yang akan bereaksi dengan nikel oksida sehingga menyebabkan kesalahan negatif. Kesalahan tersebut dapat diatasi dengan penambahan reduktor berdasarkan reaksi berikut[8].

C + O2 CO2 (3) C + CO2 2CO (4)

Karbon bereaksi dengan oksigen dari udara membentuk karbon dioksida. Karbon

dioksida selanjutnya bereaksi lagi dengan karbon menghasilkan karbon monoksida. Karbon berperan penting sebagai pereduksi. Nikel oksida bereaksi dengan karbon menghasilkan

Page 202: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 189

karbon monoksida, sisa nikel oksida bereaksi dengan karbon monoksida menghasilkan karbon dioksida menurut reaksi berikut[8].

NiO + C Ni + CO (5) NiO + CO Ni + CO2 (6)

Menurut Li et al (2011) bijih laterit merupakan bijih kompleks yang mengandung

nikel oksida, hematit (Fe2O3), dan magnetit (Fe3O4). Nikel oksida yang berikatan dengan hematit bereaksi dengan karbon monoksida sehingga nikel oksida lepas dari hematit dan sebagian hematit berubah menjadi magnetit. Selanjutnya nikel oksida tereduksi menjadi nikel[8].

3NiO.Fe2O3 + CO 3NiO + 2Fe3O4 + CO2 (7) NiO.2Fe3O4 + CO Ni + 2Fe3O4 + CO2 (8) Ni + Fe3O4 + CO Ni + 3FeO + CO2 (9) FeO + CO [Fe]Ni + CO2 (10) Pemisahan dengan Magnetic Separator

Pemisahan magnet dilakukan dengan menggunakan magnetic separator merek Schimadzu pada 1 Ampere dan 59-60 Volt. Sampel diaduk sampai homogen kemudian dimasukkan ke dalam magnetic separator dengan penambahan aquades/air. Magnetic separator dinyalakan, pengadukan dilakukan selama 15 menit. Keran dibuka sampai campuran masuk ke dalam collecting bin (sambil dicuci dengan akuades). Campuran yang masuk ke dalam collecting bin (tailing) dimasukkan kembali ke dalam magnetic separator untuk pemisahan tahap 2. Konsentrat yang terdapat di dalam box dimasukkan secara kuantitatif ke dalam gelas piala, lalu disaring, dikeringkan pada suhu 1200C selama 4 jam, ditimbang, dan digerus dengan menggunakan disk mill.

Pemisahan magnet basah dilakukan dengan menggunakan magnetic separator. Penghalusan, penambahan air serta pengadukan terhadap hasil reduksi atau yang disebut kalsin bertujuan memisahkan setiap senyawa yang terkandung di dalamnya. Terdapat dua jenis senyawa di dalam kalsin tersebut, yaitu senyawa magnetik dan non-magnetik. Senyawa magnetik masuk ke dalam konsentrat. Senyawa tersebut berupa Ni dan Fe yang akan tertahan di dalam bola-bola yang dialiri medan magnet. Senyawa non-magnetik seperti Mg, Al, dan Cr akan lolos dan masuk ke dalam collecting bin yang disebut tailing. Nikel dan besi bersifat magnetik dikarenakan kedua atom tersebut memiliki beberapa spin elektron yang tidak berpasangan. Atom Ni dan Fe dengan konfigurasi elektron secara berturut-turut yaitu [Ar]3d84s2 dan [Ar]3d64s2 masing-masing memiliki 2 dan 4 buah spin elektron yang tidak berpasangan. Spin elektron yang tidak berpaangan tersebut akan memberikan medan magnetik, sehingga menghasilkan total medan magnetik yang lebih besar.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil yang didapat dari percobaan ini berupa data peningkatan kadar nikel dari proses reduksi dengan penambahan zat aditif dilanjutkan dengan proses pemisahan magnet. Untuk mengetahui peningkatan kadar nikel setelah proses terlebih dahulu disajikan data karakterisasi hasil XRF dari bijih nikel limonit awal untuk mengetahui komposisi dan kadarnya. Pada Tabel 1 dapat dilihat hasil XRF bijih limonit awal.

Page 203: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDIN

190

Tabel 1. HOksida

Fe2O3 SiO2 Al2O3 Cr2O3 MnO NiO CoO MgO CaO

Pad

besi oksidapaling tingdihilangkabijih nikel Diharapkandilakukan p

Pengaruh

Meterhadap rsampai 1101 jam, redGambar 1

Gambarredu

Pen

1. Kondisizat aditif magnet. K1,35; 1,47peningkataSampel deoptimum y

Berpemisahanpemisahansuhu 800, optimum d

NG SEMINA

Hasil analisiKonsentr

69,55 14,84 4,63 1,56 1,4 1,42 0,2 3,04 0,12

da Tabel 1 a sebesar 6ggi yaitu siln kandungalaterit dita

n natrium pada proses

Suhu terhetode redukreduksi sam00°C. Kond

duktor 10% 1.

r 1. Grafik uksi limonit.

ningkatan ki variabel suNaCl, kad

Kadar nikel p7; dan 1,34an kadar niengan pemiyang sama drbeda halny

n magnet mn magnet. K900, 1000,

dicapai pad

AR MATER

s XRF terharasi (%)

terlihat bah9,55 % denlika sebesaran silika yaambahkan Ndapat men

s reduksi de

adap Peninsi selektif d

mpel dapat disi operasi

dan zat ad

Pengaruh te. Ket.: sebelu

kadar Ni beruhu reduks

dar nikel mpada suhu 8

4%. Berdasaikel yaitu pisahan magdengan sampya dengan memiliki ka

Kadar nikel 1100°C seca 1100°C. B

IAL METAL

adap bijih n

hwa sampengan nikel or 14,84 %. ang tinggi. DNaOH dan Ngikat SiO2

engan varias

ngkatan Kadilakukan d

diketahui yang lain d

ditif sebany

emperature um pemisahan

rbeda-beda ui mempeng

meningkat j800, 900, 1arkan nilai

pada 1000°Cgnet hanya pel tanpa pehasil dari

adar nikel yang diper

cara berturuBerdasarka

LURGI 201

LEM

nikel limonit

el bijih nikeoksida sebeSehingga uDengan adaNaCl untuk

sesuai densi suhu, wak

adar Nikeldengan men

dengan medibuat konstyak 10%. H

terhadap pen magnet (VS)

untuk setiapgaruhi peninauh lebih 000, dan 11tersebut d

C yang mememiliki k

emisahan mpenggunaayang lebih

oleh dari saut-turut seben nilai ters

5

MBAGA ILMU

t

el limonit sesar 1,42 %untuk meninanya silika tk mengikat ngan reaksiktu dan % re

nggunakan senggunakantan,waktu yHasil yang d

eningkatan kdan sesudah p

p perlakuanngkatan kadtinggi sebe100°C secadapat diketaemiliki kadakadar nikel

magnet yaituan zat adith tinggi dampel dengesar 1,40; 1ebut dapat

U PENGETAH

ebagian be. Sedangkangkatkan katersebut masilika agar i (1) dan (eduktor.

suhu tinggin variasi suang digunakdiperoleh d

kadar Ni (%pemisahan ma

n ditunjukkadar nikel. Pelum dilaku

ara berturut-ahui bahwaar tertinggil sampai 1,u 1000°C. tif NaOH. ibandingkan

gan pemisah,59; 1,83; ddinyatakan

HUAN INDON

sar menganan pengotor adar nikel, aka pada re

menjadi ta(2). Pengam

i. Pengaruh uhu dari 8kan yaitu se

ditunjukkan

%) pada proagnet (VSM)

an pada GamPada pengguukan pemis-turut yaitu a suhu optii sebesar 1,,39% pada

Sampel den dengan han magnet dan 2,01%.

n bahwa sem

NESIA

ndung yang harus

eduksi ailing. matan

suhu 800°C elama

pada

ses

mbar unaan sahan 1,28;

imum ,47%. suhu

engan tanpa pada Suhu

makin

Page 204: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 191

tinggi suhu, nikel yang tereduksi akan semakin banyak. Akan tetapi, pada sampel tanpa pemisahan magnet hanya diperoleh kadar nikel sampai 1,57% dengan suhu optimum pada 1000°C. Peningkatan kadar nikel berdasarkan variasi suhu diperoleh suhu optimum dari keempat perlakuan yaitu sekitar 1000°C. Penggunaan zat aditif NaOH memperoleh kadar nikel yang lebih tinggi dibandingkan dengan NaCl yaitu sebesar 2,01%. Pada Gambar 1 terlihat bahwa dengan meningkatnya suhu proses reduksi dengan penambahan NaOH maupun NaCl, maka konsentrasi Ni juga meningkat. Hal ini disebabkan semakin tinggi suhu proses akan semakin banyak gas reduktor yang dapat bereaksi dengan oksida-oksida logam yang ada dalam bijih. Pengaruh Waktu terhadap Peningkatan Kadar Nikel

Pengaruh waktu terhadap kalsinasi bijih laterit limonit dapat diketahui dengan membuat variasi waktu. Waktu tersebut divariasikan pada 0,5; 1,0; 2,0; dan 4,0 jam. Kondisi lain yang digunakan konstan yaitu pada suhu 1000 °C dengan persen reduktor 10% dan zat aditif 10%. Suhu 1000°C dipilih karena merupakan suhu optimum dari variasi suhu.

Gambar 2 menunjukkan bahwa waktu mempengaruhi peningkatan kadar nikel dari bijih limonit. Kondisi waktu reduksi memengaruhi peningkatan kadar nikel. Dari pengamatan pada Gambar 2 terlihat bahwa semakin lama waktu proses reduksi akan memberikan kecenderungan terhadap peningkatan persen perolehan konsentratnya. Hal ini karena gas CO yang dihasilkan akan semakin banyak, dan waktu kontak semakin lama, sehingga semakin lama waktu reduksi akan semakin banyak Ni oksida yang akan tereduksi. Pada penggunaan zat aditif NaCl, kadar nikel meningkat jauh lebih tinggi pada sampel dengan pemisahan magnet. Sampel yang direduksi selama 0,5; 1,0; 2,0; dan 4,0 jam secara berturut-turut memiliki kadar nikel sebesar 1,37; 1,39; 1,52; dan 1,50%. Berdasarkan nilai tersebut dapat diketahui bahwa waktu optimum peningkatan kadar nikel yaitu dengan reduksi selama 2 jam yang memiliki kadar tertinggi sebesar 1,52%. Sampel tanpa pemisahan magnet hanya memiliki kadar nikel sampai 1,51% pada waktu optimum yang berbeda dengan sampel tanpa pemisahan magnet yaitu 4 jam.

Hasil dari penggunaan zat aditif NaOH diperoleh sampel dengan pemisahan magnet memiliki kadar nikel yang lebih tinggi dibandingkan tanpa pemisahan magnet. Kadar nikel yang diperoleh dari sampel dengan pemisahan magnet yang direduksi selama 0,5; 1,0; 2,0; dan 4,0 jam secara berturut-turut sebesar 1,87; 1,83; 1,52; dan 2,21%. Waktu optimum dicapai pada reduksi selama 4 jam yang memiliki kadar nikel sebesar 2,21%. Berdasarkan nilai tersebut dapat dinyatakan bahwa semakin lama reduksi, nikel yang tereduksi akan semakin banyak. Hal ini sesuai dengan Li et al (2011) yang menyatakan bahwa penurunan waktu menyebabkan reaksi berjalan tidak sempurna, sehingga konversi nikel oksida menjadi logam nikel terhambat. Semakin lama waktu maka semakin banyak nikel yang tereduksi. Akan tetapi, pada sampel tanpa pemisahan magnet hanya diperoleh kadar nikel sampai 1,57% dengan waktu optimum selama 1 jam. Peningkatan kadar nikel berdasarkan variasi waktu diperoleh waktu optimum yang berbeda-beda dari setiap perlakuan. Penggunaan zat aditif NaOH memperoleh kadar nikel yang lebih tinggi dibandingkan dengan NaCl yaitu sebesar 2,21%.

Page 205: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDIN

192

Gamba

Pengaruh

Redmereduksi mereduksi lainnya dib°C digunakpada variaoptimum pdapat menidapat dikeoptimum 2

Ganikel dari tinggi padsebanyak 51,61; dan 1peningkataSampel tanreduktor op

Hasmemiliki knikel yangsebanyak Persen redkadar nikediperoleh kzat aditif Nsebesar 2.,

NG SEMINA

ar 2. Hubunpemisah

Persen Reduksi selekt

nikel oksinikel oksid

buat konstankan karena si suhu. Wapada sampeingkatkan ketahui bahw2 atau 4 jamambar 3 me

bijih limonda sampel 5, 10, 15, d1,45%. Beran kadar ninpa pemisaptimum yansil dari pen

kadar nikel g diperoleh

5, 10, 15,duktor optimel sebesar kadar nikel NaOH mem01%.

AR MATER

ngan antara whan magnet

duktor terhtif dilakukada menjadida dapat din. Suhu redpada suhu

aktu selamael tanpa pemkadar nikel wa pada su

m tidak dipilienunjukkan nit. Pada pedengan pemdan 20% sedasarkan niikel yaitu sahan magneng sama yainggunaan zayang lebih

h dari samp, dan 20% mum dicapa

2,01%. Aksampai 1,5

mperoleh kad

IAL METAL

waktu dan k(VW) dan

hadap Penan dengan pi logam nikiketahui de

duksi yang dtersebut kad

a 1 jam dipimisahan mcukup tingg

uhu 1000 °ih karena akbahwa ban

enggunaan zmisahan mecara berturilai tersebutebanyak 5%

et hanya metu 5%. at aditif Natinggi diban

pel dengan secara ber

ai pada penkan tetapi,

58% yang ddar nikel ya

LURGI 201

LEM

kadar Ni pasesudah pem

ingkatan Kpenambahankel. Banyakngan varias

digunakan ydar nikel teilih karena

magnet denggi yaitu sam°C selama kan mengelunyaknya redzat aditif N

magnet. Samrut-turut met dapat dike% yang meemiliki kad

aOH diperondingkan dpemisahan

turut-turut nambahan r

pada samditambahkanang lebih ti

5

MBAGA ILMU

ada kalsin limmisahan ma

Kadar Niken reduktor bknya reduksi persen re

yaitu 1000 °elah mencaplama waktu

gan zat aditmpai 1,57%1 jam nikuarkan ener

duktor memNaCl, kadar mpel yang emiliki kadaetahui bahwemiliki kadadar nikel sam

leh sampel engan tanpa

n magnet ysebesar 1,7eduktor seb

mpel tanpa n reduktor singgi diband

U PENGETAH

monit sebelagnet (VWM

el berupa karboktor yang dieduktor, sed°C selama 1pai kadar yau tersebut mtif NaOH. K

%. Berdasarkel sudah tergi yang lebengaruhi penikel menidireduksi dar nikel seb

wa persen rear tertinggimpai 1,52%

dengan pea pemisahan

yang ditamb71; 1,83; 2banyak 15%

pemisahansebanyak 15dingkan den

HUAN INDON

lum dilakukM)

on. Karbonibutuhkan udangkan ko jam. Suhu

ang paling tmerupakan wKondisi terkan nilai terereduksi. Wbih banyak. eningkatan ngkat jauh dengan redbesar 1,72; eduktor optii sebesar 1,% dengan p

emisahan mn magnet. Kbahkan red,01; dan 1,

% yang memn magnet h5%. Penggungan NaCl

NESIA

kan

n akan untuk ondisi 1000

tinggi waktu rsebut rsebut Waktu

kadar lebih

duktor 1,39;

imum ,72%.

persen

magnet Kadar duktor ,63%. miliki hanya unaan yaitu

Page 206: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

LEMB

G

1,11%adanPeninmasimagn

Tabe

Var

SuhWakPers

KES

limonmagnoptim1,13% DAF1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

BAGA ILMU P

Gambar 3. Hdilaku

Hasil pe%, baik ber

nya kandungngkatan kadh terdapat net akan iku

el 2. Hasil p

riabel

hu ktu sen reduktor

SIMPULANBerdasark

nit dapat dnet basah. Nmum pada 1% menjadi 2

FTAR PUSTOxley Anlaterite. InKusuma Gterhadap rTeknik MTambunanreduction Teknik. DBazhko OHydrometKim J et magnetic sValiks M temperatuSvehla G.Edisi Keli

PENGETAHU

Hubungan aukan pemisa

eningkatan rdasarkan vgan Fe yandar Ni optimdalam samp

ut menjadi k

pengukuran KadaSebe

N kan hasil peditingkatkanNaOH lebi1100°C sela2,01 sampa

TAKA nne & BarcnternationalGD. 2012. recovery nietalurgi dann Deddy. 2terhadap tr

Depok: UnivO. (2009). tallurgical S

al. 2010. separation. & Cheung

ure. Internat. 1990. Bukima. Setion

P

UAN INDONE

antara perseahan magnet

kadar Ni yvariasi suhung cukup timum dapat pel dikarenkonsentrat b

kadar Fe daar Fe (%)

elum pemisa29,59 –29,07 –33,08 –

enelitian dan dengan mih baik diguama 4 jam

ai 2,21%.

za Nic. 20l Journal ofPengaruh r

ikel dari bijn Material. D2012. Studi ransformasi

versitas IndoApplicatio

Solution, SoCalcinationInternationWH. 2007

tional Journku Teks Anano L dan P

PROSIDING

ESIA

en reduktor t (VR) dan

yang diperou, waktu, minggi di dadilakukan d

nakan sifat bersama Ni.

alam sampe

ahan magnet41,84 41,84 48,74

apat disimpmetode reduunakan sebdan redukt

13. Hydro-pf Minerals Ereduksi roajih limoniteDepok: Unipengaruh p

i fasa bijih onesia. on of Redouth Africa. n of low-grnal Journal 7. Study of nal of Mineralisis Kuali

Pudjaatmaka

G SEMINAR

dan kadar Nsesudah pem

oleh hanya maupun persalam sampedengan menmagnetikny

el dengan A

t Setelah

pulkan bahuksi selektibagai zat adtor sebanyak

pyro integrEngineeringasting dan ke. [Skripsi]. iversitas Indpenggunaannikel dari

dox TitratioHydrometa

rade lateriteof Mineraslphase transrals Engineitatif dan Ka AH, pene

R MATERIA

Ni pada kalsmisahan ma

mencapai sen reduktorel, yaitu di nghilangkanya sehingga

AAS

h pemisahan37,44 – 5136,69 – 5437,96 – 56

wa kadar Nif dilanjutkditif daripadk 15%. Kad

ration in theg. 54: 2-13. konsentrasiFakultas T

donesia. n float-sinkbijih sapro

on Techniqallurgy Confe for concel Engineerinsformation oering.15: 60

Kuantitatif Merjemah. Ja

AL METALU

sin limonit sagnet (VRM

1,5 sampair. Hal ini datas 25%

n Fe dalam a pada saat

n magnet ,43

4,68 6,56

Ni dalam ban dengan da NaCl dedar Ni men

e processin

i leaching aTeknik Prog

k process dolit. [Skripsi

ques for Aference. 45entration ofng. 23: 282-of laterite o07-612. Makro dan akarta: Kalm

URGI 2015

193

sebelum M)

i 2,3% daridikarenakan

(Tabel 2).sampel. Fepemisahan

bijih lateritpemisahan

engan suhuningkat dari

ng of nickel

asam sulfatgram Study

an roastingi]. Fakultas

Analysis of7-463. f nickel by-288. ores at high

Semimikroman Media

5

3

i n . e n

t n u i

l

t y

g s

f

y

h

o a

Page 207: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

194 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

Pustaka. Terjemahan dari: Textbook of Macro and Semimicro Qualitative Inorganic Analysis.

8. Li Bo, Wang Hua, Yonggang Wei. 2011. The reduction of nickel from low-grade nickel laterite using a solid-state deoxidization method. International Journal of Minerals Engineering. 24: 1556-1562.

Page 208: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 195

PEREKAYASAAN PEMBUATAN TUNGKU KUPOLA UDARA PANAS

Muhammad Yunan Hasbi*, Dedi Irawan, Bintang Adjiantoro Pusat Penelitian Metalurgi dan Material LIPI

Gedung 470, Kawasan Puspiptek, Setu, Tangsel *E-mail: [email protected]

Abstrak Kupola merupakan sebuah perangkat yang digunakan untuk memproduksi cast iron dengan

menggunakan bahan baku bijih besi yang selanjutnya diolah untuk dijadikan baja. Pada umumnya, kupola menggunakan bahan bakar berupa kokas dengan sumber energi panas dari udara panas sehingga bisa disebut sebagai Hot Blast Cupola. Dalam penelitian ini akan dibahas mengenai perencanaan pembuatan mini tungku kupola udara panas dengan target diameter tungku yaitu 40 cm. Dengan target diameter tungku 40 cm, maka diperoleh spesifikasi teknis beberapa bagian dari tungku agar mencapai kondisi proses yang optimal. Dari hasil perhitungan matematis didapatkan kupola dengan tinggi kupola 2400 mm serta jumlah tuyere 16 buah dengan diameter masing-masing 2 cm. Dengan spesifikasi tersebut, kupola secara teoritis mampu menghasilkan logam cair sebanyak 150kg/jam. Kata kunci: Kupola udara panas, Nickel pig iron, Tuyere PENDAHULUAN

Tungku kupola merupakan tungku peleburan vertikal. Secara umum desain kupola mirip dengan blast furnace dengan sumber panas dari kokas, udara panas atau gas. Kokas juga berfungsi sebagai oksidator. Umumnya kupola pada industri konvensional memiliki kemampuan dalam memproduksi logam cair yaitu 2-3 ton/jam. Kecepatan tersebut sangat bergantung dengan proses desain yang diinginkan. Hal tersebut juga akan berpengaruh pada keseimbangan panas (thermal balance) yang dihasilkan oleh kupola.

Kupola dipergunakan secara luas untuk peleburan besi cor sebab mempunyai beberapa keunggulan, yaitu sebagai berikut[1]:

a. Konstruksi sederhana dan mudah pengoperasiannya b. Proses peleburan dimungkinkan kontinyu c. Volume peleburan yang besar per jamnya d. Biaya alat-alat peleburan yang rendah

Prinsip-Prinsip Dasar Kupola

Desain sebuah tungku kupola memiliki hubungan atau pengaruh penting terhadap efisiensi dan keekonomisan dalam pengoperasiannya. Fitur desain akan berpengaruh pada kinerja tungku. Terdapat 5 area utama pada sebuah kupola yang memiliki peran masing-masing. Pertama adalah bagian well yang terdapat pada bagian paling bawah dari tungku. Fungsi dari well adalah sebagai tempat logam cair yang siap dituang. Kedalaman dari well akan berpengaruh pada suhu penuangan. Kedua adalah area pembakaran yang mereaksikan bahan bakar menjadi CO dan CO2. Panas yang dihasilkan akan melebur logam dan bahan baku lainnya. Ketiga yaitu daerah reduksi dimana besi mendapatkan suhu tinggi sehingga oksida besi tereduksi. Keempat merupakan daerah peleburan dimana kokas dan bahan baku yang lain telah melebur. Terakhir adalah daerah preheat, dimana suhu belum terlalu tinggi pada daerah ini. Suhu yang rendah tersebut berfungsi untuk mengeringkan bahan baku sehingga proses peleburan dapat berjalan aman[2].

Laju Hembusan (Blast Rate) Optimal Sebagai Dasar Untuk Desain. Sebuah kupola akan sangat efisien dan ekonomis bila dioperasikan pada laju

hembusan (blast rate) tertentu. Gambar 1 menunjukkan hubungan antara laju hembusan dan suhu logam. Pada rasio logam dengan kokas tertentu yang menggambarkan bahwa laju

Page 209: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDIN

196

hembusan nilai makspenurunan

Gam

Dal

dengan kosecara ekspkupola padTabel 1 lapenampang Tabel 1. P Diameter

Lajdan laju hdirekomenlaju pelebumemiliki d133,7 m3/m Spesifikas

Memenetapkasebenarnyadioperasikabaik saat k

NG SEMINA

meningkat simum. Kesuhu logam

mbar 1. Efe

lam praktekkas tertentuperimen bahda zona tuyeaju blowing g pada zona

arameter ku

Kupola ju peleburanhembusan (ndasikan (aturan 10 t/jdiameter damin[3].

si Hembusaeskipun lajuan diametera output dapan dalam k

kekurangan

AR MATER

maka suhu etika peninm.

ek blast rat

knya, blast u dan sifat hwa blast rere[3]. Angkoptimal dit

a melting (k

upola denga

n (melting r(blast rate)tau optimal)jam pada ralam 122 cm

an Udara (Bu hembusan r kupola tepat bervaria

kondisi 15-2ataupun ke

IAL METAL

penuanganngkatan bla

te terhadap ko

rate optimdari bahan

rate optimumka ini dapat tunjukkan p

kolom 3) da

an berbagai

rate) dari k). Kolom ) pada tungrasio logamm serta mem

Blower) spesifik 11

erhadap ouasi dengan 20% dari bllebihan hem

LURGI 201

LEM

n (tapping) last rate di

suhu logamonstan[3]

mum bervaribaku yang

m mendekadiambil seb

pada koloman diameter

kondisi[3]

kupola terga1 (Tabel

gku kupola.m : kokas =menuhi laju

15m3/min petput yang mengubah last rate opmbusan uda

5

MBAGA ILMU

logam menilanjutkan,

m pada kond

iasi sampaig ikut leburati 115m3/mbagai dasar

m 2, untuk kkupola (kol

antung pada1) menunjuDengan de

= 8:1, maku tiupan ud

er m2 telah hendak diclaju hembu

ptimal tanpaara. Spesifik

U PENGETAH

ningkat sampmaka akan

disi charging

i dengan ba. Namun

min.m-2 dari untuk desai

kupola denglom 4).

a rasio logaukkan laju emikian untka diperlukdara (blowin

dipilih sebcapai, dalam

usan. Biasana ada efek kasi yang di

HUAN INDON

pai diperolen menyeba

g kokas yan

atas rasio ltelah ditemluas penam

in kupola. Dgan berbaga

am dengan kpeleburan

tuk mendapkan kupola ng rate) se

agai dasar um operasi

nya kupola yang signif

irekomenda

NESIA

ehnya abkan

ng

ogam mukan mpang Dalam i luas

kokas yang

patkan yang

ebesar

untuk yang dapat fikan,

asikan

Page 210: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 197

untuk peralatan blower diberikan pada Tabel 1 (kol. 5) dimana spesifikasi tersebut memungkinkan untuk memenuhi volume udara yang dibutuhkan terhadap resistansi ledakan, windbelt, tuyere dan semua yang berada di dalam tungku[3]. Untuk kupola dengan diameter yang telah ditentukan, resistansi tersebut mungkin bervariasi sesuai dengan sifat bahan baku awal kupola. Namun nilai-nilai yang diberikan harus memadai terhadap sebagian besar proses peleburan untuk memastikan bahwa volume udara yang dibutuhkan akan dikirim ke tungku secara optimal.

Tuyere

Tuyere berfungsi menghembuskan udara pada tekanan yang sama dari kotak angin (wind box) ke tumpukan kokas pada daerah reduksi di dalam kupola sehingga menghasilkan kondisi pembakaran yang seragam. Jadi jumlah luas penampang tuyere harus ditentukan secara tepat. Jumlah luas penampang tuyere yang terlalu kecil menyebabkan kecepatan udara terlalu tinggi sehingga dapat menurunkan suhu. Sebaliknya luas penampang yang terlalu besar menurunkan kecepatan udara dan pembakaran yang seragam tidak tercapai. Luas tuyere ditetapkan oleh perbandingan tuyere (konstanta) yang didefinisikan sebagai berikut :

Gambar 2. Kupola dengan hembusan udara terbagi[4]

Perbandingan tuyere = A/na

dimana: A : luas irisan dalam kupola pada ketinggian tuyere a : luas irisan minimum dari satu tuyere n : jumlah tuyere

Biasanya nilai perbandingan tuyere ini 5-6 untuk kupola kecil dan 8-12 untuk kupola besar. Gambar 2 menunjukkan salah satu jenis tuyere dengan sistem hembusan udara terbagi.

Tinggi Kupola (Shaft Height) Tinggi kupola dibagi menjadi dua bagian yaitu tinggi di atas bagian tuyere dan tinggi di bawah tuyere (well depth)[2]. Ketinggian kupola akan berpengaruh terhadap efisiensi panas, kupola yang terlalu tinggi tidak akan memberikan peningkatan efisiensi termal, justru memiliki kelemahan yaitu ketika akan dilakukan koreksi atau perubahan dalam pengisian maka hasilnya tidak dapat diamati secara cepat, karena kolom stock mengalami peningkatan kuantitas[3]. Lapisan (Lining)

Lapisan kupola harus cukup tebal untuk berdiri dan tahan keausan selama beroperasi. Lapisan tersebut dapat dibuat dari bata tahan api yang sudah disesuaikan bentuknya untuk memudahkan dalam pemasangannya yaitu dalam bentuk lingkaran/cincin konsentris sedangkan ketebalan lapisan kupola tergantung pada diameter kupola. Hal penting lain yang perlu diperhatikan yaitu jarak antara bata tahan api dengan dinding kupola. Menurut K.N Gupta, antara dinding kupola dengan bata harus diberi jarak ± 10 mm yang bertujuan untuk

Page 211: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDIN

198

menyerap Terdapat byang dapat

Tabel 2. K

Kedalama

Krudasar kupoterak. Kedtidak perludari kupolpengisian kokas, sehdaerah krudan beleramemperkirbawah paskupola tep

MeTabel 1a, untuk berblogam akan

NG SEMINA

tegangan dberbagai mat dilihat dala

Kandungan m

an Krus (Wus atau sumola (alas padalaman kruu menyimpaa dibuat dadapat ditam

hingga volumus. Krus yanang dari kokrakan kapasir sampai kat diseberan

etoda untuk 1b. Dimanabagai diamen kurang da

AR MATER

dan distorsi acam jenis am Tabel 2

Gamb

material ins

Well Depth) mur adalah basir) yang bus dari kupan logam calam. Biasampung dalame krus yanng besar tidkas oleh be

sitas krus, bke lubang teng taphole, menentukana kapasitas eter. Jika tari yang dih

IAL METAL

ketika prosbahan baku

2.

bar 3. Lining

sulasi[5]

bagian dariberfungsi uola yang mair. Tetapi

anya ukuranam daerah ng terisi ole

dak dikehenesi cair sehiasanya ked

erak (H). Ludan biasanyn kapasitasper meter kerlalu besaitung Gamb

LURGI 201

LEM

ses pemanau lapisan k

g of cold-bl

i kupola yanuntuk mengmempunyai

jika tanpa n krus dipilkrus tersebeh logam c

ndaki sebab hingga akandalaman efeubang terakya sekitar 1krus ditun

kedalaman mr, volume tbar 4a dan

5

MBAGA ILMU

asan (dapat kupola deng

last cupola[3

ng letaknyagumpulkan

perapian mperapian mlih sedemikbut. Dalam air kira-kiraberpeluang

n menurunkektif ditentuk umumnya 5 cm di baw

njukkan dalmasing-masterak menu4b.

U PENGETAH

dilihat padgan masing-

3]

a diantara tulelehan log

muka dibuatmuka, maka kian sehingg

daerah krua 45-50% d

g terjadinya kan kualitasukan dari jar

terletak di wah tuyere. lam Gambsing kupola umpuk dida

HUAN INDON

da Gambar -masing sif

uyere sampgam dan let dangkal, skedalaman

ga dua atauus terdapatdari volume

absorbsi kas produk. Drak antara bbagian bela

bar 4a, 4btelah ditent

alam krus.

NESIA

3)[1]. fatnya

pai ke elehan sebab

n krus u tiga t juga e total arbon

Dalam bagian akang

b dan tukan Berat

Page 212: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

LEMB

MET

diamDenggambyang TabeNo.

1

2

3

1) 2) 3) 4)

BAGA ILMU P

TODE PE R Penelitia

meter kupolagan perhitunbar tersebut

g akan dibua

el 3. Ukuran. De

DiametDiametTebal dTinggi e

KonstruShell beRangkaWind bLining RBata tahCastablMortar CeramiAsbes p

Secara gMenentukMembuat PelaksanaEvaluasi d

PENGETAHU

(aG

RCOBAANan ini mema sebesar 4ngan tersebt kemudian at dapat dili

n dan bahanescriptionser luar (ODer dalam (ID

dinding efektif

uksi: entuk rol a ox Refraktori: han api (BTle

c board pita

garis besar, lkan target pr

desain konsaan pekerjaadan analisis

P

UAN INDONE

a) Gambar 4.

N mbahas men0 cm dan k

but kemudiadilakukan phat pada Ta

n kupola s D) 648D) 400

124120

PelaUNPela

TA) TipC -C -Tebb x

langkah-lanroduksi teorstruksi (Ga

an (Gambar

PROSIDING

ESIA

Kapasitas

ngenai perekemudian dan direalisasproses konsabel 3.

Dimens8 mm 0 mm 4 mm 00 mm

at (t) = 8 mm

NP 100 mmat (t) = 6 mm

e Y2, SK 3616 16

bal 12,5 mmt (50x5) mm

ngkah pembritis mbar 5) r 6)

G SEMINAR

krus dari ku

encanaan pdisimulasikasikan dalam

struksi. Ada

si

m

m

6

m m

buatan tungk

R MATERIA

(b) upola[3]

pembuatan an dalam p

m bentuk raapun spesifik

ku kupola y

AL METALU

kupola denerhitungan

ancangan gakasi teknis

yaitu sebaga

URGI 2015

199

ngan targetmatematis.

ambar. Daridari kupola

ai berikut:

5

9

t . i a

Page 213: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

200 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

Gambar 5. Desain tungku kupola

Gambar 6. Tungku kupola yang telah dibuat HASIL DAN PEMBAHASAN Evaluasi Dan Analisis (dimensi kupola yg telah jadi)

Evaluasi dilakukan terhadap dimensi kupola yang telah dibuat, dengan tujuan untuk mengetahui perubahan/modifikasi yang perlu dilakukan. Hal ini untuk mengkonfirmasi apakah hasil desain sudah sesuai dengan perhitungan matematis sebelum dilakukan percobaan. Kedalaman Krus (Well Depth)

Luas Krus (A) = .

..... (cm2)

D = diameter dalam kupola A = Luas irisan krus = 40 cm2 = 1256 cm2

Density dari besi tuangan = 0,007

Page 214: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 201

Kokas menempati sekitar 50% dari volume. Kapasitas krus menampung logam cair, adalah

K.C =

,

=

, = 307,72 kg

Volume Udara Dalam hot blast cupola, volume udara sangat berpengaruh terhadap keefektifan

pembakaran proses. Oleh karena itu perlu perhitungan untuk mengetahui jumlah optimal udara selama proses peleburan berlangsung. Pada umumnya, blower kupola memiliki ukuran 2,5 cfm/inch2 dari luas permukaan antar tuyere. Maka secara sederhana, kebutuhan udara untuk kupola pada penelitian ini yaitu A = 1256 cm2 = 194,68 inch2 2,5cfm x 194,7 = 486,7cfm = 13782 l/min

Berikut alternatif lain untuk menghitung volume udara untuk melebur X kg besi seperti yang ditunjukkan oleh persamaan 1,

, / (1)

Sedangkan debit udara per satuan waktu dapat diketahui dengan menggunakan persamaan 2.

, / / (2) 1. Tuyere

Tuyere juga memiliki pengaruh penting dalam menghasilkan proses pembakaran yang optimal. Sesuai dengan teori yang telah disampaikan sebelumnya, bahwa penentuan jumlah tuyere dihitung menggunakan perbandingan tuyere. Untuk kupola dengan diameter kecil dianjurkan untuk menggunakan nilai 5-6 sedangkan untuk kupola diameter besar menggunakan nilai 8-12.

Untuk menentukan jumlah tuyere yaitu: d = 2 cm (diameter tuyere) A = (d/2)2 = 3,14(2/2)2 = 3,14 cm2 Maka jumlah tuyere yaitu, 209,3 cm2 / 3,14 cm2 = 66 buah

Dalam penelitian ini, telah ditentukan jumlah tuyere yaitu 16 buah dengan masing-masing diameter 2 cm. Secara matematis, spesifikasi tersebut belum memenuhi standar. Namun demikian, zona tuyere telah didesain sedemikian rupa sehingga menjadi perangkat portabel. Ketika hembusan yang diberikan kurang optimal akibat kekurangan jumlah tuyere, maka zona tuyere dapat dimodifikasi berdasarkan spesifikasi yang dibutuhkan. Namun sebelum melakukan perubahan zona tuyere, akan dilakukan variasi volume udara terlebih dahulu untuk memenuhi kebutuhan proses.

2. Kokas

Kebutuhan kokas akan semakin tinggi seiring peningkatan suhu tapping yang dilakukan. Kebutuhan kokas dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Kebutuhan kokas berdasar suhu tapping[3]

No. Tapping Suhu

(oC) Kokas yang dibutuhkan

(kg/100 kg Fe) 1 1400 9,5 2 1426 11 3 1454 12,5 4 1482 14 5 1510 15,5 6 1538 17

Page 215: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

202 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

Jika dihitung menggunakan formula matematis, maka dapat dilakukan dengan menggunakan persamaan 3[3]. 3 Dimana : Hn(c) = panas spesifik karbon (C): 33,200 kJ/kg K = jumlah kokas yang digunakan (%) atau (kg Kokas/100 kg Fe) k = kandungan karbon (C) dari kokas (%) ΔHangin = panas spesifik angin yang terbakar [kJ/t Fe] ΔHelemen = panas pembakaran dari elemen C, Si, Mn [kJ/t Fe] η = Efisiensi [%] ΔHFe(d °C) = panas spesifik untuk melebur dan menaikan suhu sampai 1500°C

[kJ/ton Fe]; untuk 1500°C = 1398,391 103 kJ/t Fe KESIMPULAN

Dari hasil perhitungan matematis dengan target diamter kupola sebesar 40 cm didapatkan kupola dengan tinggi kupola 2400 mm serta jumlah tuyere 16 buah dengan diameter masing-masing 2 cm. Dengan spesifikasi tersebut, kupola secara teoritis mampu menghasilkan logam cair sebanyak 150kg/jam. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis ucapkan terima kasih kepada seluruh teknisi kelompok penelitian baja laterit yang telah membantu terealisasinya tungku kupola udara panas. DAFTAR PUSTAKA 1. K. . Gupta, Cast iron melting in cupola : its design, operation and control. . 2. S. D. Chastain, Iron Melting Cupola Furnce for the Small Foundry.pdf. 2000. 3. bcira, Cupola Design Operation and Control.pdf. 1979. 4. T. Surdia and K. Chijiiwa, Teknik Pengecoran Logam. Pradnya Paramita, 1986. 5. H. U. Ugwu and E. a Ogbonnaya, “Design and Testing of a Cupola Furnace for Michael Okpara University of Agriculture ,” Niger. J. Technol., vol. 32, no. 1, pp. 22–29, 2013.

Page 216: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 203

PENGARUH ION KARBONAT DAN NITRIT DI DALAM LARUTAN BETON SIMULASI YANG

TERKONTAMINASI AIR LAUT

Nurhayati Indah Ciptasari*, Arini Nikitasari, Efendi Mabruri Pusat Penelitian Metalurgi dan Material LIPI

Gedung 470, Kawasan Puspiptek, Setu, Tangsel *E-mail: [email protected]

Abstrak Tulisan ini menyajikan hasil penelitian dari pengaruh ion karbonat dan nitrit terhadap perilaku korosi

beton bertulang menggunakan media larutan simulasi beton (LBS) yang terkontaminasi air laut. Tujuan penelitian difokuskan untuk mengetahui pengaruh adanya ion karbonat dengan konsentrasi tinggi yaitu 0.015 M Na2CO3 dan 0.3 M NaHCO3 serta pengaruh adanya ion nitrit pada berbagai konsentrasi terhadap keefektifannya menghambat korosi pada baja tulangan beton dalam lingkungan air laut. Benda uji yang digunakan yaitu baja tulangan beton berulir dengan diameter 13 mm yang dimounting menggunakan resin. Larutan uji terdiri dari larutan simulasi beton yang terkontaminasi air laut tanpa ion karbonat dan nitrit, larutan simulasi beton yang terkontaminasi air laut dan mengandung ion karbonat tanpa sodium nitrit, larutan simulasi beton yang terkontaminasi air laut dan mengandung ion karbonat serta sodium nitrit dengan konsentrasi masing-masing sebesar 0.1 M; 0.3 M; dan 0.6 M. Benda uji direndam dalam larutan uji selama 24 hari dan dilakukan pengukuran potensial korosi (Ecorr) dan laju korosi (icorr) setiap harinya. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa potensial korosi (Ecorr) dan laju korosi terendah adalah baja tulangan beton yang direndam di dalam larutan simulasi beton yang mengandung ion karbonat dan nitrit dengan konsentrasi sebesar 0.3 M. Kata kunci: Korosi, Karbonat, Sodium nitrit, Potensial korosi (Ecorr), Laju korosi, Larutan simulasi beton PENDAHULUAN

Beton bertulang banyak digunakan sebagai material bangunan dan konstruksi di wilayah pesisir pantai. Kerusakan pada struktur beton akibat korosi baja tulangan beton menjadi salah satu masalah serius yang harus ditangani untuk mengurangi kerugian ekonomi yang besar[1].

Dalam kondisi normal, baja tulangan beton terlindungi terhadap serangan korosi lingkungannya dengan adanya selimut beton. Selimut beton yang bersifat alkalin (pH = 12-13) dapat memberikan proteksi korosi pada permukaan baja tulangan dengan membentuk lapisan pasif yang terdiri dari senyawa-senyawa besi oksida (Fe3O4/γ Fe2O3) atau hidroksida (FeOOH). Namun, apabila beton terekspos dalam lingkungan agresif seperti wilayah pesisir pantai yang mengandung ion klorida dengan konsentrasi melebihi batas kritisnya yaitu pada rentang 0,4 – 1% berat semen pada beton, maka ion klorida akan masuk ke dalam beton dan merusak lapisan pasif sehingga dapat mengakibatkan terjadi korosi pada baja tulangan beton[2]. Selain karena ion klorida, korosi pada baja tulangan beton juga dapat terjadi akibat karbonasi yaitu reaksi antara CO2 dengan semen pada beton yang menghasilkan ion karbonat (CaCO3)

[3]. Ion karbonat dapat berperan ganda yaitu sebagai penyebab terjadinya korosi pada konsentrasi rendah dan sebagai inhibitor korosi pada konsentrasi tinggi[4].

Korosi pada baja tulangan beton dapat dicegah dengan berbagai metode antara lain proteksi katodik, cat epoksi, dan penambahan inhibitor. Salah satu metode yang paling mudah dan ekonomis untuk mencegah terjadinya korosi baja tulangan beton sehingga umur beton lebih lama adalah dengan menggunakan inhibitor korosi[5]. Inhibitor korosi adalah suatu zat kimia yang bila ditambahkan ke dalam suatu lingkungan dapat menurunkan laju korosi suatu logam[6]. Inhibitor berbasis nitrit merupakan jenis inhibitor anodik yang efektif untuk menghambat proses korosi pada baja tulangan beton dan paling banyak tersedia di pasaran[7]. Jenis inhibitor yang dipilih pada penelitian ini adalah sodium nitrit karena telah banyak digunakan sebagai inhibitor korosi baja tulangan beton tetapi hingga saat ini belum ada

Page 217: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

204 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

laporan hasil penelitian yang komprehensif mengenai perilaku dan efisiensinya untuk mereduksi proses korosi baja tulangan beton yang terkontaminasi klorida dari air laut. METODE PERCOBAAN Material dan Larutan

Baja beton yang digunakan adalah baja beton ulir dengan diameter 13 mm. Adapun komposisi dari baja beton yang digunakan tercantum dalam Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi kimia baja beton Unsur Kadar (%) Unsur Kadar (%) C 0,368 W 0,005 Si 0,225 Ti 0,001 S 0,037 Sn 0,028 P 0,027 Al 0,003 Mn 0,536 Pb 0,005 Ni 0,065 Nb 0,003 Cr 0,148 Zr 0,002 Mo 0,013 Zn 0,018 V 0,005 Fe 98,37 Cu 0,141

Baja beton dalam penelitian ini dipotong dengan ukuran 1 cm yang selanjutnya

dimonting menggunakan resin sehingga luas area yang terekspos adalah bagian alasnya saja yaitu seluas 1,23 cm2. Selanjutnya baja beton dipoles menggunakan abrasive paper dimulai dari ukuran 80cw hingga 1000cw. Gambar sampel baja beton yang dimonting dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Mounting baja beton

Larutan beton buatan yang dibutuhkan dalam percobaan ini sebanyak 2500 ml dan

dibuat dengan komposisi sesuai Tabel 2.

Tabel 2. Komposisi kimia larutan beton buatan Unsur Mol/liter NaOH KOH Ca(OH)2

CaSO4.H2O

0,1 0,3 0,03 0,002

Sumber: Concrete Research Letter[2] Larutan beton buatan yang telah dibuat dibagi ke dalam empat beaker glass ukuran

500 ml dan ditambahkan air laut. Setelah itu, dilakukan penambahan inhibitor karbonat kemudian inhibitor sodium nitrit ke dalam tiga larutan masing-masing sebesar 0,1 M; 0,3M; dan 0,6 M. Sedangkan satu larutan sebagai kontrol tidak ditambahkan karbonat maupun sodium nitrit (tanpa inhibitor). Sehingga jumlah sampel dalam penelitian ini berjumlah lima sampel sesuai Tabel 3.

Page 218: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 205

Tabel 3. Sampel larutan beton sesuai parameter penelitian No Larutan Kontaminasi 1 LBS Air Laut - - 2 LBS Air Laut Karbonat - 3 LBS Air Laut Karbonat Sodium Nitrit 0,1 M 4 LBS Air Laut Karbonat Sodium Nitrit 0,3 M 5 LBS Air Laut Karbonat Sodium Nitrit 0,6 M

Teknik Pengukuran

Setelah diekspos selama 24 hari di dalam larutan, dilakukan pengukuran laju korosi terhadap baja beton.

Uji korosi menggunakan metode tiga elektrode yaitu baja beton sebagai working electrode, saturated calomel (SCE) sebagai reference electrode, dan grafit sebagai counter electrode. Adapun susunan ketiga elektoda seperti pada Gambar 2.

Gambar 2. Skema tiga elektroda

Teknik elektrokimia yang digunakan untuk mengukur laju korosi pada penelitian ini

menggunakan metode Tafel menggunakan alat Gamry Instruments Seri G750 pada range potensial -200mV sampai 250mV dari OCP (Open Circuit Potential) dengan parameter scan rate 1,5 mV/s. HASIL DAN PEMBAHASAN Potensial Korosi (Ecorr)

Pada Gambar 3 menunjukkan grafik hasil pengukuran potensial korosi (Ecorr) baja tulangan beton yang direndam dalam larutan uji selama 24 hari dengan penambahan karbonat maupun sodium nitrit pada berbagai konsentrasi.

Gambar 3. Potensial korosi, Ecorr baja tulangan beton pada konsentrasi inhibitor yang berbeda

(V)

Page 219: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

206 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

Berdasarkan Gambar 3, potensial korosi (Ecorr) baja tulangan pada larutan uji dengan inhibitor sodium nitrit memiliki nilai yang lebih positif dibandingkan potensial korosi (Ecorr) pada larutan tanpa inhibitor maupun larutan dengan penambahan inhibitor karbonat. Potensial korosi (Ecorr) pada larutan uji dengan penambahan karbonat dan konsentrasi inhibitor sodium nitrit 0.3 M berada pada rentang -150 hingga -50 V. Potensial korosi (Ecorr) pada larutan uji dengan penambahan karbonat dan konsentrasi sodium nitrit 0.6 M dan 0.1 M berada pada rentang -300 hingga -200 V. Sedangkan potensial korosi (Ecorr) pada larutan uji tanpa inhibitor maupun larutan uji dengan penambahan inhibitor karbonat saja berada pada rentang nilai -500 hingga -300 V. Hal ini membuktikan bahwa dengan adanya penambahan konsentrasi inhibitor sodium nitrit mengakibatkan potensial korosi (Ecorr) semakin positif nilainya. Hal ini mengindikasikan bahwa sodium nitrit adalah jenis inhibitor anodik yang memiliki ciri inhibisi menaikkan potensial korosi (Ecorr). Hasil percobaan ini diperkuat oleh hasil penelitian L. Dhoubi dkk yang menyebutkan bahwa nitrit menunjukkan perilaku sebagai inhibitor tipe anodik yaitu merubah potensial korosi (Ecorr) menjadi lebih positif[8,9].

Laju Korosi

Pengukuran laju korosi dilakukan untuk mengetahui pengaruh penambahan karbonat dengan penambahan konsentrasi sodium nitrit yang optimal untuk menghambat proses korosi yang terjadi pada baja tulangan beton. Semakin kecil hasil pengukuran laju korosi mengindikasikan semakin optimal sodium nitrit menghambat proses korosi pada baja tulangan. Pengukuran laju korosi pada setiap sampel menghasilkan grafik seperti pada Gambar 4.

Gambar 4. Laju korosi vs waktu pada berbagai larutan uji

Berdasarkan Gambar 4 terdapat kecenderungan bahwa dengan penambahan karbonat

dan sodium nitrit, maka laju korosi baja beton mengalami penurunan. Dengan penambahan karbonat akan mempengaruhi penambahan konsentrasi inhibitor sodium nitrit, dimana pada konsentrasi sodium nitrit 0,3 M laju korosinya paling kecil dibandingkan dengan penambahan konsentrasi sodium nitrit 0,6 M.

Hasil pengukuran laju korosi baja tulangan pada larutan uji tanpa inhibitor pada Gambar 4 menunjukkan laju korosi pada rentang nilai 4 hingga 21 mpy. Pada larutan uji dengan penambahan karbonat tanpa sodium nitrit berada pada rentang 3 – 6 mpy. Sedangkan dengan penambahan karbonat dan konsentrasi sodium nitrit 0,1 M dan 0,6 M berada pada rentang 2 hingga 3 mpy. Sedangkan hasil pengukuran dalam larutan karbonat dan sodium nitrit 0,3 M berada pada rentang nilai laju korosi paling rendah yaitu kurang dari 0,2 mpy.

Berdasarkan Gambar 4, hasil pengukuran laju korosi pada larutan tanpa inhibitor mengalami kenaikan dan pada hari ke-5 mengalami penurunan kemudian mulai hari ke-7 terus mengalami kenaikan. Hal ini terjadi akibat adanya proses korosi yang berlangsung pada

Page 220: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 207

baja tulangan dimana pada awal pengukuran adanya ion klorida yang masuk ke baja tulangan yang tanpa terlindungi oleh lapisan pasif. Kemudian pada baja tulangan mulai terbentuk lapisan pasif sehingga laju korosi cenderung turun. Selanjutnya ketika lapisan pasif rusak akibat adanya ion klorida yang masuk maka terjadi peningkatan kembali nilai laju korosi.

Laju korosi selama 24 hari dalam larutan dengan penambahan inhibitor karbonat dan sodium nitrit konsentrasi 0,3 M menunjukkan hasil nilai laju korosi yang cenderung stabil. Kestabilan nilai laju korosi ini menunjukkan bahwa inhibitor sodium nitrit dapat mempertahankan kondisi pasif dari baja tulangan sehingga tidak terjadi kenaikan laju korosi selama pengukuran selama 24 hari.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa potensial korosi (Ecorr) tertinggi (lebih positif) pada lingkungan terkontaminasi klorida adalah potensial korosi baja tulangan beton pada larutan beton buatan dengan penambahan konsentrasi inhibitor sodium nitrit optimum sebesar 0,3 M yaitu -100 hingga -50 V.

Dengan penambahan konsentrasi sodium nitrit, maka laju korosi baja beton cenderung menurun dengan konsentrasi sodium nitrit paling optimal sebesar 0,3 M.

UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih kepada Kegiatan Unggulan Kedeputian IPK TA 2015 yang telah memberikan dana penelitian sehingga penelitian ini dapat terlaksana.

DAFTAR PUSTAKA 1. M. Pandiarajan, P. Prabhakar, S. Rajendran. Corrosion behaviour of mild steel in

simulated concrete pore solution prepared in rain water, well water and sea water. Eur. Chem. Bull, 1(2012) No.7,p. 238-240.

2. Dewi Selvia Fardhyanti dan Isdiriyani Nurdin, 2004. “Kajian Inhibisi Natrium Fosfat dan Natrium Polifosfat pada Korosi Baja Tulangan Dalam Larutan Pori Beton Artifisial Terkontaminasi”. Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Kimia dan Proses ISSN : 1411-4216.

3. M. Ormellese, M. Berra, F. Bolzoni, T. Pastore. 2006. Corrosion inhibitors for chlorides induced corrosion in reinforced concrete structures. Cement and Concrete Research 36 : 536-547

4. M. B. Valcarce, C. Lopez, and M. Vazquez. The role of chloride, nitrite and carbonate ions on carbon steel passivity studied in simulating concrete pore solutions. Journal of The Electrochemical Society, 159(2012), No.5, p.244-251.

5. B. Elsener. Corrosion inhibitors for steel in concrete. State of the Art Report, EFC Publications, vol 35, (2001).

6. Azis Abd. Karim dan Zulkifly A. Yusuf. 2012. “Analisa Pengaruh Penambahan Inhibitor Kalsium Karbonat dan Tapioka terhadap Tingkat Laju Korosi pada Pelat Baja Tangki Ballast Air Laut”. Jurnal Riset dan Teknologi Kelautan (JRTK) Volume 10, Nomor 2.

7. P. Garces, P. Saura, E. Zornoza, C. Andrade. 2011. “Influence of pH on The Nitrite Corrosion Inhibition of Reinforcing Steel in Simulated Concrete Pore Solution ”. Corrosion Science 53 : 3991-4000

8. L. Dhouibi, Ph. Refait, E. Triki, J.M.R. Genin. 2006. “Interactions between Nitrites and Fe(II)-Containing Phases during Corrosion of Iron in Concrete-Simulating Electrolytes”. Journal Mater Science 41 : 4928-4936

9. L. Dhouibi, E. Triki, M. Salta, P. Rodrigues, A. Raharinaivo. 2003. “Studies on Corrosion Inhibition of Steel Reinforcement by Phosphate and Nitrite”. Materials and Structures Vol. 36 : 530-540

Page 221: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

208 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

Page 222: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 209

KARAKTERISASI FRAKTOGRAFI DAN SIFAT

ELEKTROMAGNETIK HASIL SINTESIS KOMPOSIT NANO EPOKSI

DENGAN FERRO NIKEL

Satrio Herbirowo1*, Adhitya Trenggono2 1Pusat Penelitian Metalurgi dan Material – LIPI Gedung 470, Kawasan Puspiptek, Setu, Tangsel

2Universite Laval, Quebec. Canada *E-mail: [email protected]

Abstrak Komposit nano telah diakui sebagai revolusi industri material masa depan. Saat ini pusat perhatian

mengenai komposit nano adalah mengidentifikasi sebuah material komposit yang ringan, ramah lingkungan, mudah didaur ulang, biaya proses efektif, dan berorientasi pada performa yang sesuai dengan berbagai aplikasi. Pada percobaan ini dilakukan perbandingan antara pristine epoksi dan pristine epoksi yang diisi patikel nano 55Fe-45Ni dengan komposisi persen berat 0,01, 0,1, 1, dan 10% dengan waktu sonikasi 30 dan 60 menit. Dari penelitian ini diharapkan mendapatkan sifat listrik dan sifat magnet yang unggul setelah proses sintesis komposit nano. Pada penelitian ini diperoleh sifat konduktifitas listrik yang optimal pada sonikasi 30 menit dan komposisi material pengisi patikel nano 55Fe-45Ni 1% karena memiliki ketahanan volume listrik terendah yaitu 3,97×108 Ω cm. Sifat magnet paling optimal didapatkan pada komposisi 10% patikel nano 55Fe-45Ni karena mendapatkan nilai tertinggi dari magnet saturasi 0,0068 T atau 68 G atau 5,629 emu/g dan susceptibilitas magnet 1,78 x 10-8 Tm/A. Kata kunci: Komposit nano, Konduktifitas listrik, Susceptibilitas magnet, Permeabilitas magnet PENDAHULUAN

Proses pembuatan polimer komposit nano yaitu dengan memasukkan filler skala nano ke dalam matriks polimer. Secara khusus, kristalin logam nano dan partikel nano logam telah menarik banyak kepentingan ilmiah karena unik secara optik, elektronik, magnetik, kimia, thermal dan sifat mekanik. Semua ini membuat material ini menjanjikan secara skala-nano sebagai filler dalam pengembangan polimer komposit nano untuk digunakan sebagai katalis yang efektif, sensor kimia dan membran selektif[1]. Kristalin nano paduan 55Fe-45Ni telah banyak dipertimbangkan untuk berbagai aplikasi karena memiliki sifat magnet yang tinggi, koersivitas rendah, dan tahan korosi, ekspansi termal rendah dan sifat mekanik yang baik[3].

Kebutuhan pasar untuk campuran polimer lebih dari 700.000 m2 ton pertahun dengan tingkat rata-rata laju pertumbuhan 6-7%[2]. Hal ini mengindikasikan pertumbuhan luar biasa dari penggunaan campuran polimer sebagai advance material untuk diproduksi. Epoksi memiliki kelebihan untuk fabrikasi advance komposit, komponen hardware, papan material sirkuit listrik dan peralatan persenjataan. Resin epoksi thermoset digunakan secara luas sebagai bahan pelapis, bahan perekat, komponen cetakan dan komposit polimer karena sifat thermomekanik yang sangat baik dan kemampuan proses yang unggul[2]. Resin ini memiliki kekuatan tinggi, shrinkage rendah, gaya tarik-menarik dengan berbagai substrat yang kuat, material isolator yang efektif, daya tahan sebagai pelarut kimia, murah, dan rendah kadar racun. Epoksi juga kompatibel dengan berbagai substrat dan relative mudah membasahi permukaan substrat, membuatnya sangat cocok digunakan diberbagai aplikasi komposit.

Aplikasi electromagnetic shielding dapat dikembangkan dari penelitian ini sebagai pembatas daerah tertentu dari energi elektromagnet yang berbentuk seperti radiasi, medan elektromagnet statis atau dinamis bergantung waktu, Struktur material penahan harus mencapai batas sifat tertentu, seperti material konduktif atau material penyerap seperti konduktor logam, polimer komposit dengan pengisi logam dan non logam.

Penelitian sebelumnya dengan menggunakan filler partikel nano Fe@FeO sifat listrik dan magnet epoksi komposit nano telah dikarakterisasi menunjukkan penurunan ketahanan

Page 223: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

210 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

volume hingga 104 Ω.cm dan menjadikan epoksi memiliki sifat magnet[1]. Maka penelitian ini ingin membuktikan jika polimer epoksi digunakan sebagai matriks, lalu 55Fe-45Ni partikel nano sebagai filler dengan komposisi 0,01, 0,1, 1 dan 10% bisa menghasilkan sifat listrik dan magnet dari epoksi dan menjadikan suatu material dengan keunggulan tertentu.

METODE PERCOBAAN Alat dan Bahan

Adapun alat yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya yaitu LCR meter hioki 3522-50 hitester, permagraf, Scanning electron microscope (SEM) adalah instrumen untuk karakterisasi material. Alat proses menggunakan ultra sonication bath, cetakan spesimen, neraca analitis, magnetic stirrer, gelas kimia 10 ml, gelas kimia 25 ml, gelas kimia 100 ml, jangka sorong dan spatula. Bahan yang digunakan

Adapun bahan yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya yaitu clear casting epoksi resin polimer, wax mold release, Fe-Ni partikel nano, media air hangat dan air dingin. Sintesis Komposit nano Polimer Epoksi Resin dan Partikel nano 55Fe-45Ni

Adapun langkah percobaan dalam metode ini sebagai berikut : 1. Membuat cetakan dari bahan kaca berukuran 40 x 12 x 3 mm 2. Membuat cetakan dari bahan paralon berukuran Ø17 mm untuk pengujian magnet. 3. Menimbang resin epoksi dan 55Fe-45Ni partikel nano dengan komposisi 0 (pristine

epoksi), 0,01; 0,1; 1; 10 persen berat dengan neraca analitis. 4. Melakukan proses mixing 55Fe-45Ni partikel nano dan polimer epoksi resin dengan

magnetic stirrer selama 6 jam pada suhu kamar (25°C). 5. Menambahkan hardener untuk setiap sampel dengan perbandingan 2:1. 6. Melakukan proses mixing kembali dengan magnetic stirer selama 5 menit. 7. Melakukan sonikasi dengan variasi waktu 30 dan 60 menit untuk pengujian listrik,

Mencetak sampel kedalam cetakan sampel untuk pembuatan spesimen. 8. Mendiamkan sampel jangka waktu 1 hari agar proses curing selesai dalam temperatur

kamar (25°C). 9. Melepaskan spesimen dari cetakan dengan bantuan spatula. 10. Melakukan pengamatan secara visual untuk memastikan pembuatan spesimen dalam

keadaan baik dari segi kekerasan yang baik maupun ukuran dimensi sesuai dan partikel nano terdispersi secara homogen.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisa dari pengaruh penambahan partikel nano 55Fe-45Ni terhadap sifat magnet epoksi dapat dilihat pada kurva hysteresis seperti ditampilkan pada Gambar 1.

Gambar 1. Kurva histeresis komposit

Page 224: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 211

Kurva tersebut dapat digunakan untuk mencari nilai magnet saturasi (Ms), magnet remanen (Mr), koersivitas (Hc), permeabilitas relatif (μr), suseptibilitas magnet (χ).

Gambar 2. Magnet saturasi (Ms) dan magnet remanen (Mr) dari komposit

Gambar 1 memperlihatkan kurva histeresis magnet epoksi hingga komposit

berpengisi 10% partikel nano 55Fe-45Ni. Gambar 2 merupakan magnet saturasi diperlihatkan ketika medan magnet yang diberikan tidak bisa lagi meningkatkan magnetisasi dari material. Magnetisasi ditunjukkan mencapai kejenuhan (saturated) tertinggi pada komposit berpengisi 10% yaitu 0,0068 T atau setara dengan 68 Gauss dan 5,629 emu/g dan terendah ditunjukkan oleh pristine epoksi dengan -0,0002 T atau setara dengan -2 Gauss dan -0,160 emu/g. Nilai negatif menunjukkan bahwa material pristine epoksi bersifat diamagnetik dan tidak bisa dilalui medan magnet.

Magnet remanen adalah magnetisasi yang tersisa dalam bahan ketika medan magnet tidak lagi diberikan. Komposit dengan 10% partikel nano 55Fe-45Ni memiliki nilai magnet remanen 0,001 T dan epoksi memiliki nilai -0,001 T, sedangkan sampel lain memiliki nilai magnet remanen 0 T. Mengindikasikan bahwa komposit selain 10% tidak bisa menyimpan magnetisasi jika sudah tidak diberikan medan magnet eksternal. Matriks polimer epoksi sekali lagi menunjukkan nilai negatif yang menjelaskan bahwa epoksi tidak bisa menyimpan magnetisasi (diamagnetik). Setelah mencapai magnet saturasi, koersivitas mengindikasikan medan magnet yang dibutuhkan untuk membuat material kembali menjadi material non-magnet.

Gambar 3. Koersivitas (Hc) dari komposit

Koersivitas mengalami penurunan pada komposit, hal ini mengindikasikan bahwa

partikel nano 55Fe-45Ni menjadi material magnet yang tidak tahan lama ketika terdispersi dalam epoksi. Penurunan nilai koersivitas dari komposit nano terjadi karena kenaikan interaksi antar partikel, karena partikel nano memiliki luas permukaan yang tinggi dan memperkecil jarak antar partikel sehingga lebih mudah bereaksi. Pada pencitraan SEM 10% partikel nano menunjukkan bahwa partikel terdispersi merata di matriks epoksi, mengindikasikan dispersi yang baik. Koersivitas juga menjadi parameter material bisa

Page 225: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

212 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

dijadikan material magnet permanen (hard magnet) atau tidak bisa dijadikan material magnet permanen (soft magnet). Untuk material soft magnet memiliki nilai Hc < 10 A/cm, sedangkan Hc > 300 A/cm [Daliya, 2007]. Dari grafik dapat dilihat bahwa hanya komposit berpengisi 10% yang tidak bisa dijadikan magnet permanen karena koersivitas bernilai < 300 A/cm.

Gambar 4. Permeabilitas relatif komposit

Permeabilitas relatif magnet bahan merupakan besaran kemampuan suatu bahan dapat

dilewati garis gaya magnet. Dari penelitian yang dilakukan permeabilitas magnet tertinggi terdapat pada 10 persen berat partikel nano 55Fe-45Ni yaitu 0,0148. Pada komposisi pengisi ini terjadi kenaikan interaksi antar partikel, karena partikel nano memiliki luas permukaan yang tinggi dan memperkecil jarak antar partikel sehingga lebih mudah dilewati gaya magnet.

Gambar 5. Magnet suseptibilitas komposit

Parameter karakterisasi suatu material termasuk kelompok sifat magnet diamagnetik,

paramagnetik, ferromagnetik, antiferromagnetik, atau ferrimagnetik adalah nilai dari suseptibilitas magnet. Polimer matriks epoksi merupakan material diamagnet karena memiliki nilai suseptibilitas magnet -9,84x10-10. Material diamagnet merupakan material dengan magnet suseptibilitas (χ<0) [4]. Material paramagnet adalah material yang memiliki nilai magnet suseptibilitas sedikit positif (χ≈0)[4]. Sintesis komposit yang dilakukan bisa menghasilkan material dengan karakterisasi seluruhnya paramagnetik.

Analisa dari pengaruh penambahan partikel nano 55Fe-45Ni terhadap sifat listrik epoksi dapat dilihat pada berbagai grafik berikut ini.

Page 226: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 213

Gambar 6. Grafik ketahanan volume listrik komposit

Dapat dilihat dari Gambar 6 bahwa nilai ketahanan volume listrik berubah dengan

penambahan filler atau material pengisi yaitu partikel nano 55Fe-45Ni. Grafik yang naik turun menandakan bahwa ketahanan volume listrik kurang bergantung pada komposisi partikel nano 55Fe-45Ni. Nilai tertinggi dimiliki oleh 0% partikel nano 55Fe-45Ni atau disebut dengan pristine epoksi yaitu 2,37×109 Ω cm. Nilai terendah pada waktu sonikasi 60 menit (OH) adalah komposit nano dengan komposisi 1 wt % 55Fe-45Ni dengan 4,93×108 Ω cm, sedangkan pada waktu sonikasi 30 menit (HH) komposisi 1 wt % 55Fe-45Ni memiliki ketahanan volume listrik terendah, yaitu 3,97×108 Ω cm. Nilai ketahanan listrik yang semakin rendah mengindikasikan bahwa suatu material semakin konduktif atau mudah menghantarkan listrik.

Nilai ketahanan volume listrik pristine epoksi yang didapat tidak sesuai dengan literatur, yaitu 1012 Ω cm dan termasuk golongan isolator. Nilai pristine epoksi yang didapat 2,37×109 Ω cm merupakan rentang nilai semikonduktor. Peristiwa ini diperkirakan adanya unsur pengotor yang menjadi elektron pembawa muatan listrik. Namun dari hasil karakterisasi SEM-EDS tidak menunjukkan unsur pengotor. Gambar 7 menampilkan hasil analisis unsur kimia .

Gambar 7. Hasil SEM-EDS pristine epoksi

Pada gambar dapat terlihat bahwa unsur penyusun polimer matriks epoksi yang

digunakan terdiri dari O dan C, dan tidak terdapat unsur pengotor. Kemungkinan lain proses sintesis polimer yang dilakukan tidak menghasilkan ikatan kovalen sigma (ikatan-σ). Pada umumnya struktur rantai polimer membentuk ikatan kuat antar atom (ikatan-σ). Karena elektron yang tersedia sudah membentuk ikatan-σ, maka tidak tersisa elektron yang membawa

Page 227: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDIN

214

arus listrikyang memb

Sikonjugasi. sepanjang dan bebas Elektron inBagaimanalain, kemuenergi pasemikondu

Pesintesis mGambar 4mempengalistrik yanpartikel naepoksi. Hamenjadi eltidak terbebaik disperdari hasil S

G

Paddan kompostruktur m(brittle), mdengan hadengan ma

NG SEMINA

k. Ikatan sigbuat epoksiintesis prist

Terdapatnyrantai polimbergerak d

ni dapat dijeapun, lokalidian menur

ada elektrouktor[6]. enyebab laiaterial isol4 dapat diaruhi harga ng tidak meano 55Fe-45al ini karenlektron pementuknya strsi partikel SEM seperti

Gambar 8. M

da Gambarosit nano be

mikro campmengindikasardener denaterial peng

AR MATER

gma ini meri isolator[6]. tine epoksi yya interaks

mer. Tumpadi rantai poelaskan sepeisasi elektrorunkan keseon. Kehadi

in dari nilaiator epoksilihat bahwketahanan v

enurun sign5Ni yaitu 3na keberadambawa enertruktur jarinnano 55Fe-i ditampilka

Morfologi p(c) OH 10

r 6 menunjerkomposispuran halussikan bahwngan baik. gisi 10 per

IAL METAL

rupakan ika

yang dilakusi ikatan tuang tindih inolimer. Elekerti logam son ini mem

eluruhan eneiran gap

i ketahanani, karena sa pengaruhvolume listrnifikan. H3,97×108 Ω aan dispersrgi listrik. Pngan dari s-45Ni makaan pada Gam

permukaan p0%, (d)(e)(f

ukkan pemsi 10 persens tanpa gea sintesis yKemudian rsen berat

LURGI 201

LEM

atan pada no

ukan membumpang tindni akan memktron-π ini ysatu dimens

mbentuk ikaergi dari sisenergi ini

n volume liaat proses

h penambahrik komposi

Harga terendcm atau h

si dari partPenurunan sejumlah paa akan didambar 8 ber

patahan. (a)f) perbesara

meriksaan dan berat 55Feelombang myang dilakuGambar (bpartikel na

5

MBAGA ILMU

on-kondukt

entuk ikatandih antara dmbentuk eleyang menja

si yang terisatan antara tem elektro

yang me

istrik epoksbisa jadi t

han partikeit. Dilihat ddah pada phanya turun tikel nano relatif rend

artikel nanoapatkan matrikut ini.

) Pristine epan 250x dari

ari permukae-45Ni partmenunjukkaukan berhasb) dan (c) ano 55Fe-4

U PENGETAH

tif polimer d

n-π sehinggdua ikatan ktron-π yanadi pembawsi separuh pelektron po

on dan memengubah p

si ini adalahterdapat voel nano 55dari harga kepenambahan

10 kali da55Fe-45Ni

dah ini dituo yang terdterial kondu

poksi, (b) HHi a-c

aan patahantikel nano. Pan patah psil mencampmerupakan

45Ni, dapat

HUAN INDON

dan ikatan i

ga menjadi rrangkap d

ng terdelokawa energi lipita konduksolimer konj

mbuka sebuapolimer me

h kegagalanoids atau rFe-45Ni kuetahanan von 1 persen ari harga pr

sebagai peunjukkan dedispersi, semuktor, dibuk

H 10%,

n pristine ePada gamb

permukaan pur epoksi

n komposit t diamati b

NESIA

inilah

rantai dua di alisasi istrik. sinya. jugasi

ah gap enjadi

n saat retak. urang olume

berat ristine engisi engan makin ktikan

epoksi ar (a) getas resin nano

bahwa

Page 228: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 215

terdapat struktur mikro seperti serabut (flake). Struktur ini mengindikasikan patahan berubah menjadi patahan ulet. Perbedaan antara Gambar (b) dan (c) adalah perlakuan sonikasinya, pada Gambar (b) dengan perbesarannya gambar (e) sonikasi 30 menit menghasilkan struktur mikro patahan seperti gelombang yang tidak rata, mengindikasikan dispersi yang baik dan menghasilkan patahan ulet. Seperti halnya dengan Gambar (c) dapat dilihat dengan perbesarannya Gambar (f) menunjukkan struktur mikro patahan seperti gelombang yang rata dan banyaknya void yang terbentuk merupakan indikasi bahwa dispersi yang baik berhasil dicapai tetapi akan membuat ruang kosong pada polimer komposit nano lebih banyak. Kaitannya dengan nilai ketahanan listrik volume adalah pada 10% Komposit dengan sonikasi 60 menit lebih rendah dibanding 30 menit, berarti dispersi yang baik akan menghasilkan material yang lebih konduktif. Banyaknya void yang terbentuk akan meningkatkan sifat penghantar listrik. Pada dasarnya rantai polimer epoksi memiliki sifat insulator listrik, jika rantai itu terputus atau rusak karena void maka ikatan antar rantai melemah dan mengurangi sifat insulator[5]. KESIMPULAN

Berdasarkan penelitian yang dilakukan mengenai polimer epoksi yang diisi partikel nano 55Fe-45Ni kesimpulan yang didapat adalah: 1. Penambahan partikel nano 55Fe-45Ni kurang mempengaruhi ketahanan volume listrik.

Hal ini karena dispersi partikel nano yang kurang baik sebagai pembawa muatan listrik. Ketahanan volume listrik paling optimal didapat pada penambahan partikel nano 55Fe-45Ni 1% dan waktu sonikasi 30 menit yaitu 3,97×108 Ω cm.

2. Penambahan partikel nano 55Fe-45Ni mempengaruhi sifat magnet dari epoksi, karena mengubah pristine epoksi yang semula diamagnetik menjadi paramagnetik pada komposit. semakin besar konsentrasi persen berat partikel nano 55Fe-45Ni yang diberikan maka bahan komposit semakin mudah menerima medan magnet yang diberikan.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Adhitya yang telah memberikan sampel dan membimbing penelitian ini sampai menjadi paper yang dapat dipublikasikan. DAFTAR PUSTAKA 1. ASM Metal Handbooks. 2000. Vol 21. Composites. ASM International. 2. Blyhte, Tony. 2005. Electrical properties of polymers. University press. Cambridge. 3. Chakradhar K.V.P, et al 2011. Epoxy/Polyester Blend Nanocomposites: Effect of

Nanoclay on Mechanical, Thermal and Morphological Properties. Malaysian polymer journal Malaysia.

4. Mathew, Daliya S. 2007. An overview of the structure and magnetism of spinel ferrite nanoparticles and their synthesis ini microemulsions. University chang-li 32003. Taiwan

5. Singha, Santanu. 2008. Permittivity and Tan Delta Characteristics of Epoxy Nanocomposites in the Frequency Range of 1 MHz–1 GHz. Indian Institure of science. India.

6. Zhu Jiahua, et al. 2010. Magnetic Epoxy Resin Nanocomposites Reinforced with Core-Shell Structured Fe@FeO Nanoparticles: Fabrication and Property Analysis. American chemical society. Texas.

Page 229: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

216 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

Page 230: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 217

PENGARUH SUHU PENYINTERAN TERHADAP PEMBENTUKAN POLIKRISTAL LaCoO3

M. Yunan Hasbi1*, Sigit Dwi Yudanto1, Ibrahim Purawiardi2

1Pusat Penelitian Metalurgi dan Material – LIPI 2Pusat Penelitian Fisika - LIPI

Gedung 470, Kawasan Puspiptek, Setu, Tangsel *E-mail: [email protected]

Abstrak Penelitian mengenai energi alternatif berbasis material perovskite saat ini tengah menjadi pusat perhatian karena berpeluang sebagai aplikasi ramah lingkungan yang murah. Senyawa LaCoO3 (lanthanum cobaltite) termasuk salah satu material perovskite yang memiliki peluang berbagai aplikasi seperti katalis, membran pemisahan oksigen, katoda oksida padat bahan bakar dan sensor O2. Pada penelitian ini akan membahas mengenai sintesis LaCoO3 menggunakan teknik reaksi padatan dengan variasi suhu penyinteran pada 900, 1000 dan 1100oC. Sampel penyinteran yaitu berupa pellet dengan diamater 12 mm. Pola difraksi sinar-X menunjukkan pembentukan polikristal LaCoO3 sudah terjadi pada T = 900oC dengan sudut 2θ = 23,20; 32,90; 32,96; 40,62; 47,50; 58,98; 59,70; 68,96; 69,96; 78,78; 79,48. Untuk suhu 1000 dan 1100oC membentuk pola difraksi yang identik dengan suhu 900oC, namun memiliki intensitas yang fluktuatif. Keadaan tersebut disebabkan oleh peristiwa distorsi kristal LaCoO3 seiring peningkatan temperatur penyinteran. Kata kunci: Perovskite, LaCoO3, Reaksi padatan, Sinter PENDAHULUAN

Senyawa LaCoO3 (Lanthanum Cobaltite) merupakan salah satu material perovskite yang memiliki peluang berbagai aplikasi seperti katalis, membran pemisahan oksigen, katoda oksida padat bahan bakar dan sensor O2

[1]. Disamping itu, struktur perovskite bersifat fleksibel dan tahan terhadap berbagai cacat kristal[1]. Hal menarik lainnya adalah grup provskite menjadi salah satu fasa aktif untuk aplikasi ramah lingkungan dengan biaya yang murah.[2] Penelitian sebelumnya telah berhasil melakukan sintesis senyawa LaCoO3 dengan berbagai metode seperti sol-gel, solid-state thermal decomposition of precipitated precursors, flame hydrolysis of an aqueous solution, metode basis Pechini[3] and Schiff, amorphous heteronuclear complex decomposition synthesis, the polymerizable complex method ,the molten chloride flux method, the alkaline co-precipitation method dan electrochemical oxidation[2]. Salah satu penelitian yang dilakukan oleh Ortiz, et al berhasil mensintesis LaCoO3 menggunakan metode koloid[4]. Penelitian tersebut mengidentifikasi pembentukan senyawa LaCoO3 dengan variasi temperatur kalsinasi 200-700°C. Menurut Ortiz, senyawa LaCoO3 mulai terbentuk ketika suhu kalsinasi 500oC.

Pada penelitian ini dilakukan sintesis LaCoO3 menggunakan metode reaksi padatan pada variasi suhu sintering. Metode reaksi padatan dipilih karena memiliki proses yang sederhana dan penggunaan bahan baku oksida yang murah[2]. Selain itu, metode reaksi padatan tidak menghasilkan limbah (green technology) dan mudah dalam kontrol reaksi.[5] Sebagai tahap awal sintesis, terlebih dahulu dilakukan penyinteran sampel pada berbagai suhu 900, 1000, 1100oC selama 12 jam dengan tujuan untuk mengetahui temperatur pembentukan fasa LaCoO3. Selanjutnya sampel hasil penyinteran dikarakterisasi menggunakan XRD untuk mengkonfirmasi senyawa yang terbentuk.

METODE PERCOBAAN

Percobaan sintesis polikristal LaCoO3 menggunakan metode reaksi padatan sederhana. Bahan baku yang digunakan dalam percobaan adalah serbuk pro analis La2O3 (Merck) dan CoCO3 (Kanto Chemical). Tahap pertama yang dilakukan yaitu menimbang sampel sesuai stoikiometri dan dilanjutkan dengan penggerusan menggunakan planetary ball mill selama 18

Page 231: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

218 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

jam. Selanjutnya adalah membentuk sampel ke bentuk pellet berdiameter 12 mm pada tekanan 30 Mpa menggunakan mesin press. Pellet yang telah dibuat kemudian disinter menggunakan tungku muffle pada variasi suhu 900, 1000 dan 1100oC masing-masing selama 12 jam dengan kondisi atmosfir udara. Hasil penyinteran selanjutnya didinginkan didalam tungku sampai suhu kamar.

Fasa yang terbentuk diamati menggunakan difraktometer sinar-X (Rigaku SmartLab 3kW). Difraktometer sinar-X menggunakan radiasi CuKα (λ = 1,5418 Å). Pengukuran dilakukan pada rentang sudut 2θ = 10 - 90o.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada percobaan sintesis LaCoO3 dengan bahan baku La2O3 dan CoCO3, reaksi kimia yang terjadi dituliskan pada persamaan reaksi kimia 1.

La2O3(s) + 2CoCO3(s) + ½ O2 → 2LaCoO3 + 2CO2(g) (1)

Bahan baku La2O3 stabil pada suhu 650oC[6], sedangkan fasa CoCO3 akan

terdekomposisi menjadi Co3O4 pada rentang suhu 250-370oC[7]. Reaksi dari proses dekomposisi tersebut ditunjukkan oleh persamaan 2.

3CoCO3(s)

+ ½ O2(g) → Co3O4(s) + 3CO2(g) (2)

Sampel hasil penyinteran dikarakterisasi menggunakan difraktometer sinar-X untuk mengetahui fasa yang terbentuk. Hasil analisis kualitatif pola difraksi sinar-X sampel hasil penyinteran menunjukkan bahwa fasa LaCoO3 sudah terbentuk pada suhu penyinteran 900oC. Hasil tersebut sesuai dengan analisis DTA-TG yang dilakukan oleh Tzu-Wei Huang et.al yang menunjukkan perilaku dekomposisi LaCoO3 terjadi pada suhu 900oC[8]. Meskipun dalam penelitian lain menyatakan bahwa kondisi optimum pembentukan LaCoO3 berada pada T = 1200oC namun dengan kondisi penyinteran berada pada atmosfer oksigen[9]. Pola difraksi sinar-X yang ditampilkan Gambar 2 mayoritas menunjukkan fasa terbentuk yaitu LaCoO3 dengan sudut 2θ = 23,20 ; 32,90 ; 32,96 ; 40,62 ; 47,50 ; 58,98 ; 59,70 ; 68,96 ; 69,96 ; 78,78 ; 79,48 dan sesuai dengan JCPDS 48-0123[8], [10], [11]. Jika ditinjau lebih lanjut, pola difraksi yang dihasilkan menunjukkan bahwa intensitas optimal terjadi pada suhu 1000oC. Pada suhu 1100oC, pola difraksi menunjukkan intensitas yang menurun namun tetap berada dalam sistem LaCoO3. Menurut Raccah et.al, pembentukan senyawa LaCoO3 memiliki kecenderungan mengalami perubahan sistem kristal seiring peningkatan suhu. Perubahan tersebut akibat adanya distorsi kristal LaCoO3 yang mempengaruhi kestabilan elektron[12]. Hal itulah yang menyebabkan terjadinya fluktuasi intensitas pola difraksi.

Gambar 2. Pola difraksi sinar-X pada kondisi suhu penyinteran 900, 1000 dan 1100°C

Page 232: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 219

KESIMPULAN Sintesis LaCoO3 menggunakan metode reaksi padatan dengan variasi suhu sinter

dengan rentang 900, 1000 dan 1100°C berhasil terbentuk pada suhu penyinteran 900°C. Hal tersebut dibuktikan dengan pengamatan pola difraksi sinar-X yang menunjukkan puncak-puncak fasa LaCoO3 pada sudut 2θ (°) = 23,20; 32,90; 32,96; 40,62; 47,50; 58,98; 59,70; 68,96; 69,96 ; 78,78; 79,48. Untuk suhu penyinteran 1000 dan 1100oC memiliki pola difraksi yang identik dengan suhu 900°C, namun terjadi fluktuasi intensitas karena peristiwa distorsi kristal akibat pengaruh peningkatan suhu.

UCAPAN TERIMA KASIH Penulis ucapkan terima kasih kepada seluruh tim serta semua pihak atas segala kontribusi dalam penyusunan tulisan ini. DAFTAR PUSTAKA 1. S. F. Moghadam, A. Malekzadeh, M. Ghiasi, F. Karimi, Y. Mortazavi, and A.

Khodadadi, “Manganese Oxide Promoted LaCoO3 Nano-Perovskite for Oxidation of a Model Exhaust Gas,” Iran. J. Chem. Eng., vol. 9, no. 2, pp. 22–33, 2012.

2. S. Sompech, A. Srion, and A. Nuntiya, “Synthesis of perovskite-type lanthanum cobalt oxide powders by mechanochemical activation method,” ScienceAsia, vol. 38, no. 1, pp. 102–107, 2012.

3. E. Nyamdavaa, P. Altantsog, E. Uyanga, B. Bumaa, T. Y. Chen, C. H. Lee, G. Sevjidsuren, and D. Sangaa, “Crystal structure study of Perovskite-type LaCoO3 electro-catalyst synthesized by Pechini method,” Proc. 6th Int. Forum Strateg. Technol. IFOST 2011, vol. 1, no. 3, pp. 61–64, 2011.

4. L. G. Ortiz, H. G. Bonilla, J. S. Salazar, M. D. L. Olvera, T. V. K. Karthik, E. C. González, and J. R. Gómez, “Low-Temperature Synthesis and Gas Sensitivity of Perovskite-Type LaCoO3 Nanoparticles,” J. Nanomater. Hindawi, vol. 2014, 2014.

5. F. M. Nareetsile, “Solventless Isomerisation Reactions of Six-coordinate Complexes of Ruthenium and Molybdenum,” 2005.

6. S. J. Kim, W. K. Han, S. G. Kang, M. S. Han, and Y. H. Cheong, “Formation of Lanthanum Hydroxide and Oxide via Precipitation,” Solid State Phenom., vol. 135, no. 3, pp. 23–26, 2008.

7. S. D. Yudanto and S. A. Chandra, “PREPARASI, SINTESIS DAN KARAKTERISASI MATERIAL OKSIDA Ca3Co4O9,” Maj. ILMU DAN Teknol., vol. 30, no. 1, pp. 25–30, 2015.

8. T. W. Huang, Y. S. Chang, G. J. Chen, and Y. H. Chang, “Preparation and structures of the La1-xKxCo1-xNbxO3 (x = 0-l) system,” J. Alloys Compd., vol. 430, no. 1–2, pp. 205–211, 2007.

9. K. Kitayama, “Thermogravimetric study of the Ln2O3-Co-Co2O3 system,” J. Solid State Chem., vol. 77, no. 2, pp. 366–375, 1988.

10. W. Haron, A. Wisitsoraat, and S. Wongnawa, “Comparison of Nanocrystalline LaMO3 (M = Co, Al) Perovskite Oxide Prepared by Co-Precipitation Method,” Int. J. Chem. Eng. Appl., vol. 5, no. 2, pp. 123–126, 2014.

11. J. Wang, X. Dong, Z. Qu, G. Liu, and W. Yu, “Fabrication and Characterization of LaCoO3 Nanofibers via an Electrospinning Technique,” Int. J. Chem., vol. 2, no. 1, pp. 161–167, 2010.

12. P. M. Raccah and J. B. Goodenough, “First-order localized-electron collective-electron transition in LaCoO3,” Phys. Rev., vol. 155, no. 3, pp. 932–943, 1967.

Page 233: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

220 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

Page 234: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 221

IDENTIFIKASI SIFAT FISIS DAN ELEKTROKIMIA PADA MESOCARBON MICROBEADS (MCMB)

UNTUK BATERAI ION LITHIUM

Fadli Rohman*, Qolby Sabrina, Bambang Prihandoko

Pusat Penelitian Fisika, LIPI Kawasan Puspiptek, Setu, Tangsel *E-mail: [email protected]

Abstrak Karakteristik secara fisis dan sifat elektrokimia pada bahan MCMB yang telah disintesis melalui

metode hidrotermal merupakan bagian penting dalam menganalisa apakah bahan tersebut layak untuk dijadikan bahan anoda untuk baterai ion lithium. Pada tulisan ini, telah dilakukan identifikasi karakteristik dan sifat elektrokimia bahan MCMB tersebut melalui beberapa tahapan. MCMB dari hasil sintesis hidrotermal digerus ulang dengan lamanya waktu penggerusan tiga, empat dan lima jam karena ukuran partikel yang masih terlalu besar. Setelah dilakukan penggerusan, sampel kemudian dikeringkan untuk menghilangkan kadar air yang ada dalam partikel. Sampel dianalisa melalui XRD, BET dan SEM untuk mengetahui karakteristik fisis dan morfologi partikelnya. Hasil XRD menunjukkan bahwa fasa yang terkandung dalam bahan adalah karbon. Pada hasil SEM menunjukkan morfologi dan distribusi partikel MCMB. Hasil BET menunjukkan hubungan antara lama penggerusan bahan MCMB tersebut dengan specific surface area partikel. Lama penggerusan bahan MCMB mengakibatkan bertambahnya nilai dari specific surface area pada MCMB. Serbuk MCMB yang sudah kering dibuat adonan, kemudian dilapisi pada copper foil untuk menjadi lembaran elektroda. Pembuatan adonan terdiri dari bahan 85 wt% MCMB (bahan aktif) : 10 wt% Polyvinylidene fluoride atau PVDF (binder) : 5 wt% Acetylene Black atau AB (aditif). Setelah lembaran elektroda dibuat, lembaran tersebut diassembling menggunakan baterai coin. Elektroda menggunakan MCMB sebagai bahan aktif tersebut dipasangkan dengan metalic lithium. Sifat elektrokimia diidentifikasi melalui pengujian cyclic voltammetry (CV) dengan scan rate 0,1 mV/s dan rentang tegangan 0,01 – 2,4 volt. Dari hasil pengujian CV, pada cycle pertama puncak katodik dan anodik belum terlihat. Namun, pada cycle kedua, terdapat pembentukan puncak tegangan katodik (0,9595 volt) dan anodik (0,525 volt) pada baterai. Ini berarti adanya proses reaksi reduksi dan oksidasi pada elektroda baterai yang dibuat. Kata kunci: Mesocarbon Microbeads, Anoda, Baterai Ion Lithium, Surface Area, Cyclic voltammetry PENDAHULUAN

Baterai lithium ion merupakan sistem penyimpan energi listrik yang sudah banyak dipakai di beberapa aplikasi seperti laptop, mobile phone, kamera digital, gadjet dan kendaraan berbasis energi listrik[1]. Hal ini dikarenakan baterai ion lithium memiliki kerapatan energi yang tinggi, tegangan kerja yang tinggi serta kemampuan self-discharge yang rendah. Performa baterai lithium ion tersebut tergantung pada sifat fisis dan kimiawi pada bahan baik itu untuk bahan aktif katoda (elektroda positif) maupun untuk anoda (elektroda negatif).Untuk bahan katoda ada beberapa bahan yang bisa menjadi pilihan antara lain LiFePO4

[2], LiCoO2[3],

LiMnPO4[4], LiMn2O4

[5] dan LiFe0.4Mn0.6PO4[6]. Sedangkan, untuk anoda, beberapa bahan

yang dapat digunakan antara lain bahan berbasis karbon, lithium vanadite[7] dan lithium titanate[8].

Anoda berbasis karbon sudah banyak digunakan pada baterai lithium. Bahan berbasis karbon ini dikategorikan tiga kelompok antara lain grafit alam, grafit sintesis (soft carbon), danhard carbon. Salah satu jenis grafit sintesis ini adalah Meso carbon micro bead (MCMB). Jenis grafit sintesis ini, artinya, jenis karbon yang dapat digrafitisasi (menjadi bahan grafit) menggunakan temperatur tinggi (>2700⁰C)[9]. MCMB sebagai bahan anoda untuk baterai lithium sudah menjadi benchmark pada industri baterai lithium[10]. MCMB memiliki kestabilan pada proses interkalasi dan de-interkalasi lithium pada sistem baterai lithium. Hanya saja, pemanfaatan MCMB ini memiliki keterbatasan pada sumber karbon yang menghasilkan partikel MCMB ini. Pada paper ini mencoba untuk mengidentifikasi sifat fisis

Page 235: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

222 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

serta sifat elektrokimia bahan MCMB hasil dari metode hydrothermal dari bahan dasar tapioka untuk diaplikasikan pada baterai lithium ion.

METODE PERCOBAAN

Pada penelitian ini, serbuk MCMB yang digunakan merupakan serbuk MCMB hasil sintesis metode hidrotermal dari bahan sari tepung tapioka[11]. Serbuk tersebut kemudian digerus hingga halus dengan lama penggerusan bervariasi yaitu tiga, empat dan lima jam. Setelah serbuk dihaluskan, kemudian dikeringkan dalam oven dengan suhu 80°C. Serbuk MCMB yang sudah halus dan kering, dianalisa dengan menggunakan XRD (Rigaku, kalpa) untuk mengetahui kristalinitas dari bahan serta fasa yang terkandung dalam bahan tersebut. Morfologi partikel sampel MCMB diamati dengan menggunakan SEM (Hitachi, SU3500). Untuk mengetahui pengaruh pada pori dan surface area, sampel MCMB dikarakterisasi menggunakan BET (Quantacrome Nova, 4200e).

Pembuatan baterai coin cel CR2050 dilakukan dengan beberapa proses antara lain mixing, pelapisan/coating, pemotongan, assembling cell, dan pengisian elektrolit. Pada proses mixing atau pencampuran bahan, bahan yang digunakan antara lain 85 wt% MCMB (bahan aktif), 5 wt% AB (aditif) dan 10 wt% PVDF (matriks) dengan pelarut menggunakan DMAC (N-N-dimethyl acetamide). Setelah pembuatan adonan selesai, adonan tersebut kemudian dilapiskan pada lembaran tembaga sebagai subsrat dengan ketebalan 200 µm dengan suhu pengeringan 80°C selama satu jam. Lembaran tersebut kemudian dipotong membentuk lingkaran dengan diameter 15 mm. Proses assembling cell dilakukan di dalam glove box dengan lithium metal sebagai pasangan elektroda MCMB serta LiPF6 sebagai elektrolit dan celgard separator Polypropylene.

Pengujian sifat elektrokimia dilakukan dengan menggunakan cyclic voltammetry atau CV (WBCS 3000). Pengujian cyclic voltammetry dilakukan dengan scan rate 0,1 mV/s dan rentang tegangan 0,01 – 2,24 volt. Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui adanya reaksi elektrokimia (reduksi dan oksidasi) yang terjadi pada baterai. Selain itu, kita dapat mengetahui tegangan oksidasi dan reduksi pada baterai. HASIL DAN PEMBAHASAN

Dari hasil karakterisasi XRD menunjukkan bahwa sampel MCMB memiliki fasa carbon dengan parameter kisi a(Å)= 2,4636; b(Å)= 2,4636; dan c(Å)= 16,768 serta α= 90°; β= 90°; dan γ= 120°. Dari data tersebut dapat diketahui bahwa struktur kristal MCMB berbentuk heksagonal dengan ketentuan a= b≠ c dan α= β= 90°, γ= 120°. Namun, bila mengacu pada pembentukan puncak difraksi pada diffraktogram Gambar 1, sampel MCMB memiliki derajat kristalinitas yang masih rendah karena puncak difraksi yang tidak tajam pada sampel MCMB. Artinya, fasa amorf masih mendominasi struktur yang terdapat pada sampel MCMB. Puncak difraksi yang terbentuk antara lain pada 26,5673° , 42,361° ; 43,73° ; dan 45,3908° dengan indeks millernya yaitu: [005]; [100]; [102]; dan [103], dengan d-spacing masing- masing sekitar 3,35244Å; 2,13197Å; 2,068(8)Å; dan 1,99646Å. Pada bidang d dan Index Miller (hkl) ini refleksi Bragg muncul peak yang tidak terlalu tajam. Hal ini disebabkan bahan MCMB belum tergrafitisasi. Oleh karena itu, perlu adanya proses yang disebut grafitisasi dengan memanaskan sampel MCMB pada temperatur tinggi (di atas 2700°C).

Page 236: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 223

Gambar 1. X-Ray Diffraktogram sampel MCMB

Hasil pengamatan dengan menggunakan SEM, terlihat pada Gambar 2, bahwa

partikel MCMB yang terbentuk berbentuk bulat dengan diameter bervariasi (dapat dilihat pada gambar). Dari hasil karakterisasi BET (pada Gambar 3), menunjukkan bahwa lamanya waktu penggerusan akan memperbesar specific surface area sehingga hal ini dimungkinkan untuk dapat dimanfaatkan untuk penyimpanan lithium pada baterai. Pada hasil BET (Gambar 4) juga kita mendapatkan bahwa material ini memiliki pori dengan ukuran rata-rata pori 9,5 – 11,5 Å (amstrong). Pori ini tampak tak terlihat di SEM karena ukurannya yang sangat kecil sehingga SEM tidak mampu mendeskripsikan keberadaan pori ini dengan resolusi yang dimiliki oleh SEM.

Gambar 2. Morfologi partikel MCMB setelah dilakukan penggerusan selama empat jam

Page 237: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

224 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

Gambar 3. Hubungan waktu lamanya penggerusan dengan specific surface area

Gambar 4. Hubungan waktu lamanya penggerusan dengan ukuran rata-rata pori

Proses reaksi reduksi dan oksidasi yang terjadi pada bahan di dalam baterai, dapat dilihat dari hasil cyclic voltammogram pada Gambar 5. Dari hasil pengujian cyclic voltammetry, pada cycle pertama puncak katodik dan anodik belum terlihat. Namun, pada cycle kedua, terdapat pembentukan puncak tegangan katodik (0,9595 volt) dan anodik (0,525 volt) pada baterai. Ini berarti adanya proses reaksi reduksi dan oksidasi pada elektroda baterai yang dibuat. Hasil pada cyclic voltammetry sangat berhubungan dengan struktur kristal hasil karakterisasi XRD. Terlihat pada cyclic voltammogram, puncak reduksi dan oksidasi tidak terlalu tajam. Hal ini dikarenakan sampel MCMB yang ada belum memiliki struktur kristal yang sempurna seperti halnya grafit sehingga sangat sulit bagi lithium untuk dapat berinterkalasi. Meskipun secara specific surface area besar, tapi proses interkalasi lithium dari katoda maupun anoda yang menunjukkan adanya reaksi reduksi-oksidasi pada bahan sangat dipengaruhi oleh struktur kristal yang dimiliki oleh bahan baik katoda maupun anoda.

Page 238: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 225

Gambar 5. Cyclic voltammogram baterai coin cell dari MCMB dengan sumber carbon

tapioka KESIMPULAN Penggunaan material anoda berbasis karbon sangat banyak digunakan untuk bahan baterai lithium, antara lain grafit dan MCMB. Pada sampel MCMB hasil sintesis menggunakan hidrotermal, teridentifikasi beberapa hal setelah dilakukan proses penggerusan dan pengeringan kadar air yang terdapat dalam bahan. Pada hasil XRD, sampel MCMB yang berbentuk bulat (sesuai hasil SEM) ternyata masih memiliki derajat kristalinitas yang rendah (puncak difraksi yang tidak tajam dan nilai FWHM yang sangat lebar) dengan specific surface area yang besar. Rendahnya sifat kristal ini menyebabkan kurang tajamnya puncak yang dibentuk ada hasil cyclic voltammetry pada tegangan 0,5 volt untuk puncak reduksi dan 1 volt untuk puncak oksidasi. Hal ini dikarenakan, proses interkalasi lithium pada baterai yang menunjukkan adanya proses reaksi reduksi oksidasi, sangat dipengaruhi oleh struktur kristal pada bahan. UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih untuk Kementerian Riset dan Teknologi yang telah membiayai penelitian dalam mengembangkan teknologi baterai lithium di Indonesia melalui dana SINas tahun 2013 – 2015. Terima kasih juga untuk peneliti Grup Baterai, Pusat Penelitian Fisika – LIPI yang sudah meluangkan waktunya untuk menunjang penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA 1. Li-Zhong Bai, dkk. 2013. A comparative study of electrochemical performance of

graphene sheets, expanded graphite and natural graphite as anode materials for lithium-ion batteries. Electrochimica Acta, 107:555 – 561.

2. Huang Zhang, dkk. 2014. A novel nano structured LiFePO4/C composite as cathode for Li-ion batteries. Journal of Power Sources, 249 : 431 – 434.

3. Jingchao Cao, dkk. 2015. Polypyrrole-coated LiCoO2 nanocomposite with enhanced electrochemical properties at high voltage for lithium-ion batteries. Journal of Power Sources, 281 :49 – 55.

4. Yuanxiang Gu, dkk. 2014. Hydrothermal synthesis of 3D-hierarchical hemoglobin-like LiMnPO4 microspheres as cathode materials for lithium ion batteries. Solid State Ionics, 274 : 106 – 110.

Page 239: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

226 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

5. P. Mohan dan G. Paruthimal Kalaignan. 2013. Structure and electrochemical performance of surface modified LaPO4 coated LiMn2O4 cathode materials for rechargable lithium batteries. Ceramic International,40 : 1415 – 1421.

6. Byung Cheol Sin, dkk. 2014. Experimental and theoritical investigation of fluorine substituted LiFe0.4Mn0.6PO4 as cathode material for lithium rechargable batteries. Solid State Ionics, 2014260 :2 – 7.

7. Shibing Ni, dkk. 2014. The electrochemical performance of lithium vanadate/natural graphite composite material as anode for lithium ion batteries. Electrochimica Acta, 145 : 327 – 334.

8. Qioan Zhou, dkk. 2015. Synthesis of lithium titanate nanorods as anode materials for lithium and sodium ion batteries with superior electrochemical performance. Journal of Power Sources, 283 :243 – 250.

9. Masaki Yoshio, dkk. 2009. Lithium-Ion Batteries. New York : Springer. 10. G.X. Wang, dkk. 2004. Electrochemical characteristics of tin-coated MCMB graphite as

anode in Lithium-ion cells. Electrochimica Acta, 50 : 517 – 522. 11. Gustan Pari, dkk. 2014. Porous carbon sphere from Hydrothermal Carbonization and

KOH activation on cassava and tapioca flour raw material. Procedia Enviromental Sciences, 20 : 342 – 351.

Page 240: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 227

SINTESIS PELET Bi-Sr-Ca-Cu-O DENGAN SUHU SINTERING RENDAH DAN ANALISA SIFAT SUPERKONDUKTIVITASNYA

Bintoro Siswayanti1*, Agung Imaduddin1, Amirul Hilmi2, M. Ikhlasul Amal1, Hendrik1,

Pius Sebleku1 1Pusat Penelitian Metalurgi dan Material LIPI Gedung 470, Kawasan Puspiptek, Setu, Tangsel

2Departemen Kimia Fakultas MIPA Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

*E-mail: [email protected]

Abstrak Telah dilakukan percobaan pembuatan berbagai pelet Bi2Sr2Can-1CunOx dengan metode metalurgi

serbuk dari serbuk Bi2O3, SrCO3, CaO, dan CuO. Variasi mol n dipilih 2,3,4, dan 5. Penelitian ini dilakukan untuk melihat pembentukan fasa yang terjadi pada suhu sintering yang relatif rendah yaitu pada suhu 750oC selama 90 jam. Pengukuran ketergantungan hambat jenis terhadap temperatur berbagai pelet Bi2Sr2Can-1CunOx

tersebut menunjukkan nilai Temperatur kritis yang berbeda-beda, yakni benda uji n=2 memiliki Tc 84,72K,benda ujin = 3 memiliki Tc 78,47K, benda uji n =4 memiliki Tc 77,77 K, dan benda uji n =5Tc-nya tidak terdeteksi. Hasil analisa XRD dari berbagai variasi n tersebut semuanya menunjukkan terbentuk fasa utama Bi2(Sr1.6Ca0.4)CuO6 dengan tingkat kristalinias dan jumlah pengotor yang berbeda-beda. Kata kunci: Bi2Sr2Can-1CunOx, Tc, Hambat jenis, Sintering suhu rendah PENDAHULUAN

Superkonduktor suhu tinggi berbasis bismut, atau disebut sistem BSCCO, diketahui memiliki tiga fasa yang stabil yaitu Bi-2201, Bi-2212 dan Bi-2223. Suhu kritisnya (Tc) berturut-turut 10K, 80K dan 110K (Sato, 2015). Dalam Subarwanti (2013), Herlyn mengatakan Superkonduktor sistem BSCCO merupakan superkonduktor oksida keramik yang mempunyai struktur berlapis-lapis, sehingga menyebabkan bahan superkonduktor sistem BSCCO sangat rapuh dan mudah patah. Selain itu, superkonduktor sistem BSCCO memiliki sifat anisotropi superkonduktivitas yang tinggi dan panjang koherensi yang pendek. Dari penelitian yang dilakukan Maeda, terlihat terjadi peningkatan Tc dari Bi-2201 (superkonduktor suhu rendah) ke Bi-2223 (superkonduktor suhu tinggi) sesuai dengan peningkatan jumlah n.

Peningkatan nilai suhu kritis (Tc) mengindikasikan ada pengaruh struktur kristal terhadap suhu kritis superkonduktor sistem BSCCO. Maeda mengatakan bahwa superkonduktor sistem BSCCO memiliki struktur berlapis yang memanjang ke arah sumbu c (c-axis), terjadi penambahan lapisan CuO2 dan Ca dari fasa Bi-2201, Bi-2212 dan Bi-2223.

Semua superkonduktor suhu tinggi memiliki bidang CuO pada struktur kristalnya dan kebanyakan hantaran listrik terjadi pada bidang CuO di sepanjang sumbu ab (Yanmaz, 1996). Jumlah unsur logam memberikan pengaruh pada struktur mikronya, yang mengontrol aliran arus superkonduktor dan oksigen memberikan pengaruh rapatan arus muatan listrik yang mengontrol suhu kritis dan medan magnet (Sato, 2015). Kisi-kisi pada Kristal BSCCO terdistorsi seperti perovskit, dimana lapisan CuO2 berperan sebagai penentu superkonduktor. Ion Cu2+berbentuk persegi planar dengan konfigurasi elektron [Ar] 3d9 (satu elektron bebas, S= ½) (Fahlamn, 2011).

Suhu kritis (Tc) pada superkonduktor sistem BSCCO semakin meningkat sesuai dengan penambahan jumlah n, n=1-3. Tetapi n di atas 4, struktur kristalnya sangat rumit dijelaskan. Untuk mendapatkan kualitas material superkonduktor BSCCO yang tinggi maka ada beberapa hal yang harus diperhatikan seperti metode pembuatan, jenis bahan-bahan yang digunakan, dan penggunaan doping. Selain itu ada beberapa parameter yang perlu diperhatikan yaitu suhu sintering, lama waktu sintering (Day, 1998). Komposisi awal juga berpengaruh terhadap fasa kristal yang diperoleh (Bhargava, 1995).

Page 241: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

228 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

Sementara Strobel (1992) menyatakan walaupun proses sintesis dihasilkan senyawa yang diinginkan, yakni fase dengan komposisi dan struktur tertentu, namun hasil akhir biasanya akan menghadirkan beberapa fase lain.

Sehingga tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh komposisi dan temperatur sintering suhu rendah terhadap fasa yang terbentuk, serta pengaruh keduanya terhadap sifat propertis superkonduktor yang dimilikinya. Komposisi awal benda uji Bi2Sr2Can-1CunOx divariasikan dengan n=2-5, massa bahan dihitung sesuai dengan perbandingan molnya. Adapun temperatur sintering yang relatif rendah, yakni 750°C, dan waktu sintering 90 jam. METODE PERCOBAAN

Superkonduktor system Bi2Sr2Can-1CunOx dengan n=2 sampai dengan n=5 dibuat melalui metode metalurgi serbuk. Serbuk Bi2O3, SrCO3, CaO, dan CuO ditimbang sesuai perbandingan mol kemudian bahan-bahan pada masing-masing varian komposisi dicampur menjadi satu dalam High Energy Milling (HEM) selama 2 jam. Bola-bola baja yang digunakan dalam HEM berdiameter 0,5cm dengan perbandingan berat terhadap serbuk 1:2. Campuran bahan tersebut kemudian dijadikan pelet dengan cara ditekan dengan tekanan 10 ton. Berat setiap pelet 1 gram. Pelet tersebut dibakar pada suhu yang relatif rendah 750°C selama 90 jam, laju pemanasan 5°C/menit.

Pembentukan fasa setelah dipanasi diamati menggunakan difraksi sinar X, sedangkan morfologi diamati menggunakan SEM. Adapun Tc diamati menggunakan metode four point probe pada Cryogenic.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil sintesis fasa yang diperoleh ditunjukkan oleh difraktgram pada Gambar 1,

Gambar 1. Pola difraksi benda uji Bi2Sr2Can-1CunOx, dengan n = 2, 3, 4, 5 setelah dipanaskan

pada suhu 750°C selama 90 jam

Berdasar hasil Match ICDD diperoleh fasa-fasa sebagaimana tertera pada Tabel 1.

Tabel 1. Fasa-fasa yang terdapat paa masing-masing variasi komposisi n=2 n=3 n=4 n=5

Bi2(Sr1.6Ca0.4)CuO6 Bi2(Sr1.6Ca0.4)CuO6 Bi2(Sr1.6Ca0.4)CuO6 Bi2(Sr1.6Ca0.4)CuO6 CaCuO2 Bi4Sr2Ca2Cu4O14+x Bi4Sr4CaCu3O14 Ca0,82CaO2 Cu4O3 CuO CuO

n= 5

n= 4

n= 3

n= 2

Page 242: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 229

Sintesis komposit berbagai variasi komposisi menghasilkan fasa utama yang sama, yakni Bi2(Sr1.6Ca0.4)CuO6 yang berstruktur ortorombik dengan grup kristal bbmb. Parameter kisinya a=5.3826 Å b=5.3761 Å c=24.384 Å. Model kristal Bi2(Sr1.6Ca0.4)CuO6 tersebut mirip model Bi 2201 yang memiliki Tc= 10K seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 2.

Gambar 2. Struktur kristal Bi2(Sr1.6Ca0.4)CuO6

Model tersebut menunjukkan bahwa terdapat satu lapisan bidang CuO2 yang diapit

oleh bidang SrO. Jarak antara Cu dengan O 1,35972 Å dan jarak antara Cu dengan Sr 1,68259 Å.

Selain itu, pada kondisi pembakaran temperaatur relatif rendah ini belum terbentuk fasa Bi-2223 yang memiliki Tc=110K.

Adapun Citra SEM benda uji n=2, yakni tertera pada Gambar 3(a) menunjukkan bahwa terbentuk lapisan-lapisan kristal yang seragam dengan jelas serta pengotornya sedikit. Demikian juga terbentuk lapisan kristal pada benda uji n=3 sebagaimana tertera pada Gambar 3 (b), namun kristal benda uji n=3 tidak seseragam pada benda uji n = 2. Sedangkan Gambar 3(c) dan (d) menunjukkan kristal pada benda uji n=4 dan n=5 tidak teratur.

Gambar 3. Struktur mikro superkonduktor Bi2Sr2Can-1CunOx

(a). n = 2; (b). n = 3; (c). n = 4; (d). n = 5

Page 243: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

230 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

Sehingga dapat dikatakan semakin bertambah jumlah n maka jumlah Cu dan Ca semakin banyak sehingga tidak proporsional dengan jumlah Bi dan Sr untuk membentuk fasa tunggal dengan kristalinitas yang tinggi.

Adapun hasil pengujian cryogenik, diperoleh kurva tahanan terhadap temperatur untuk menentukan Tc yang diperoleh sebagaimana tertera pada Gambar 4.

Gambar 4. Kurva tahanan terhadap temperatur

Gambar 4 menunjukkan kurva karakteristik penurunan tahanan pada benda uji n=5

berbeda dari benda uji lainnya dan juga tidak mencapai tahanan nol. Hal tersebut dimungkinkan karena adanya kandungan air pada benda uji tersebut akibat benda uji tidak langsung diuji sementara desikator kurang cukup kering, namun pengaruh kadar air tersebut perlu dibuktikan lebih lanjut.

Sementara karakteristik kurva pada benda uji n=2-4 dalam perbesaran menunjukkan terjadi penurunan tahanan seiring penurunan temperatur secara linier. Hal tersebut menunjukkan fasa utama dari benda uji adalah superkonduktor, bukan semi konduktor (Imaduddin, 2013).

Gambar 5. Perbesaran Kurva tahanan terhadap temperatur

Page 244: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 231

Perbesaran kurva tahanan terhadap temperatur memudahkan penunjukkan temperatur saat tahanan benda uji turun secara drastis hingga mencapai nilai nol, yakni yang disebut sebagai suhu kritis, Tc. Kurva tersebut menunjukkan suhukritis (Tc) Bi2Sr2Can-1CunOx semakin menurun sesuai dengan peningkatan jumlah n, yakni Tc n=2 sebesar 84,72K, Tc n=3 sebesar 78,47K, Tc n=4 sebesar 77,77K, sedangkan n=5 nilai Tc-nya tidak terdeteksi.Apabila ditinjau dari morfologi permukaannya, kristal berbentuk lapisan yang terbentuk lebih banyak terjadi pada sampel dengan n=2 dan n=3, dibandingkan dengan sample n=4 dan n=5. Semakin besar nilai n, maka Tc yang dihasilkan semakin rendah karena terjadi penurunan kristalinitas, ketidakseragaman orientasi kristal, dan penambahan jumlah pengotor. KESIMPULAN

Pemanasan pelet Bi2Sr2Can-1CunOx dengan variasi n = 2, 3, 4, 5 pada temperatur yang relative rendah yaitu 750°C selama 90 jam menghasilkan satu fasa utama yang sama, yakni Bi2(Sr1.6Ca0.4)CuO6, . Serangkaian benda uji menunjukkan benda uji dengan n=2 memiliki Tc tertinggi yakni 84,72 K, sedangkan n=4 menunjukkan Tc terendah, yakni 77,77K. Semakin tinggi kristalinitas, akan menghasilkan Tc yang tinggi. Adapun benda uji n=5 Tc-nya tidak teridentifikasi perlu diteliti lebih lanjut pengaruh kadar air terhadap sifat superkonduktivitas. DAFTAR PUSTAKA 1. Bhargava, Atit, Toru Yamashita, Ian D.R. Mackinnon. 1995. Manufacture Of Specific

BSCOO Powder Compositions By Co-Precipitation. Physica C 247 (1995) 385-392 2. Fahlman, Bradley D. 2011. Material Chemistry Second Edition. Springer : New York 3. Sato, K. 2015. Bismuth-based oxide (BSCCO) high-temperature superconducting wires

for power grid applications: properties and application. Superconductor in the Power Grid. Elseiver Ltd. http://dx.doi.org/10.1016/B978-1-78242-029-3.00003-0

4. Strobel. 1992. Phase Diagram of System Bi1,6Pb0,4Sr2CanCun+1O6+2n Between 800⁰C and 825⁰C. Physica. 201 pp.

5. Yanmaz, E., I.H. Mutlu, S.Nezir, M. Altunbas. 1996. Magnetic field dependence of samples of nominal composition Bi1,6Pb0,4Sr2Ca3Cu4Ox prepared by various techniques. Journal of Alloys and Compounds 239 (1996) 142-146

6. Imaduddin, Agung, Bintoro Siswayanti, Andika Widya Pramono, Pius Sebleku, Sigit Dwi Yudanto, Hendrik. 2014. Effect Of Annealing On Cu-Nb-Sn SuperconductingWire. Proceedings ICMST 2014

Page 245: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

232 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

Page 246: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 233

PENGARUH KOMPOSISI MINYAK PINUS DAN SOLAR DAN KECEPATAN PENGADUKAN PROSES FLOTASI BATUBARA

PADA PEMBUATAN KOKAS DENGAN METODE BLENDING

Andinnie Juniarsih*, Erlina Yustanti, Agung Sapto Aji Jurusan Teknik Metalurgi, Fakultas Teknik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Jl. Jenderal Sudirman km 3, Cillegon 42435 *E-mail: [email protected]

Abstrak Indonesia memiliki potensi cadangan batubara jenis non-coking cukup besar terutama di daerah

Sulawesi dan Kalimantan, hanya saja pemanfaatannya sebagai bahan bakar di industri belum optimal. Hal ini disebabkan kandungan sulfur (2-4%) dan abunya yang relatif tinggi (10-17%) dapat menyebabkan pencemaran lingkungan. Selain itu tingginya kadar abu dan sulfur dapat menyebabkan rendahnya kadar karbon tetap sehingga akan mempengaruhi nilai kalori batubara dan menunjukkan rendahnya kualitas batubara lokal. Mengingat cadangannya yang cukup besar maka perlu dilakukan upaya peningkatan kualitas tersebut menuju Teknologi Batubara Bersih. Salah satu upaya desulfurisasi yang dikembangkan untuk menghasilkan batubara bersih adalah dengan metode flotasi. Proses flotasi menggunakan Batubara Kalimantan jenis non-coking berukuran 40# direndam di dalam minyak solar sebagai kolektornya dan minyak pinus sebagai frother. Sebelum flotasi, dilakukan karbonisasi terhadap batubara non coking untuk mengurangi volatile mater dan H2O sehingga kalori dapat meningkat. Percobaan dengan variasi kecepatan pengadukan memberikan hasil berupa penurunan ash sebesar 20% pada konsentrasi frother 20% optimum pada kecepatan pengadukan 1200 rpm, sedangkan penurunan kadar sulfur t menjadi 0,46%; 0,46% dan 0,4%. Konsentrat hasil flotasi ini kemudian diblending dengan coking coal lalu dikarbonisasi. Proses blending antara coking coal dan non coking coal hasil proses flotasi dengan konsentrasi 20% dan kecepatan pengadukan 1200rpm menghasilkan kalori sebesar 6751 kkal/kg. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai kalori hasil blending yang sudah dikarbonisasi yang diperoleh belum memenuhi syarat kokas sebagai bahan bakar dalam blast furnace. Meski demikian hasil ini memperlihatkan bahwa metode flotasi terbukti dapat meningkatkan kualitas batubara lokal sehingga perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai variabel-variabel yang berpengaruh untuk menentukan kondisi optimum proses.

Kata kunci: Batubara, Flotasi, Kecepatan Pengadukan, Kokas, Nilai Kalori

PENDAHULUAN Total sumber daya batubara di Indonesia diperkirakan mencapai 105 miliar ton,

dimana cadangan batubara diperkirakan 21 miliar ton. Kalimantan Timur merupakan daerah pertambangan paling mapan menghasilkan lebih dari 65% dari total produksi batubara Indonesia pada tahun 2010. Kalimantan selatan dan tengah menghasilkan lebih dari 100 juta tonbatubara pada tahun 2010. Sumatera memproduksi sekitar 5% atau 15 juta tonbatubara peringkat rendah. Produksi batubara metalurgi mencapai 5 juta ton tahun 2010 dengan mayoritas yang sedang ditambang di cekungan Barito Utara, Kalimantan Tengah[1]. Gambar 1 menunjukkan produksi batu bara Indonesia hingga tahun 2010.

Gambar 1. Produksi batubara Indonesia[1]

Page 247: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

234 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

Batubara metalurgi atau disebut juga coking coal adalah batubara yang digunakan untuk bahan baku pembuatan kokas dalam industri besi baja. Peran kokas dalam proses peleburan besi adalah sangat dominan, yaitu pertama sebagai bahan bakar untuk memproduksi energi panas supaya berlangsungya reaksi kimia dalam proses peleburan. Kedua sebagai agen pereduksi untuk penyedia gas karbon monoksida pada proses mereduksi biji besi (iron ore) menjadi besi murni. Ketiga adalah tempat tumpuan untuk proses pemisahan antara besi cair (hot metal) dengan abu cair (slag).

Selama operasi blast furnace sering terjadi degradasi kokas atau penurunan kekuatan kokas yang dapat menimbulkan pecahan kokas dan terbentuk partikel-partikel kecil dari kokas itu sendiri. Fenomena ini dapat menggangu baik pada proses aliran gas hasil pembakaran seperti CO2, CO, dan H2O dari bawah keatas dan juga dapat menggangu proses pemisahan logam cair (hot metal) dengan abu cair (slag) dari atas ke bawah. Peristiwa ini dapat berakibat terganggunya operasi blast furnace.

Kadar sulfur dalam batubara yang tinggi dapat menyebabkan penyumbatan dan kerusakan alat pembakar, sertadapat menimbulkan pencemaran lingkungan. Demikian pula kadar abu batubaranya yang tinggi dapat menimbulkan pencemaran lingkungan dan berpengaruh terhadap rendahnya nilai karbon tetap sehingga berpengaruh terhadap nilai kalor[2]. Dalam usaha meningkatkan kualitas batubara, termasuk menurunkan kadar sulfur untuk menuju Teknologi Batu bara Bersih (TBB) maka berbagai teknologi desulfurisasi telah dan sedang dikembangkan, salah satu diantaranya adalah desulfurisasi dengan metode flotasi. Desulfurisasi dengan metode flotasi sekaligus dapat mereduksi kandungan abu batubara[2].

Pemisahan secara flotasi ditentukan antara lain penggunaan kolektor yang berfungsi sebagai surfaktan dan frother. Berbagai jenis kolektor telah diterapkan dalam proses flotasi, termasuk kolektor dari jenis sabun dan asam lemak[2]. Dikarenakan produksi coking coal di Indonesia masih sedikit maka pembuatan kokas pada penelitian dilakukan dengan cara mencampur dua jenis batubara coking dan non-coking Batubara non-coking sebelumnya dicuci terlebih dahulu dengan metode flotasi untuk menurunkan kadar sulfur dan abu yang terkandung di dalamnya. Dari Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi ilmu pengetahuan, yaitu fenomena pembuatan kokas dengan blending batubara melalui proses pencucian batubara menghasilkan kokas dengan nilai kekuatan yang maksimum dan tidak mudah hancur sesuai untuk industri metalurgi.

METODE PERCOBAAN

Penelitian yang dibagi ke dalam dua tahap ini bersifat experimental dan dilakukan dalam skala laboratorium. Tahap pertama penelitian yang dilakukan adalah tahap persiapan sampel, karbonisasi kemudian dilakukan flotasi. Selanjutnya proses coal blending, rekarbonisasi serta pengujiannya masuk dalam tahap kedua.

Pada tahap persiapan sampel non coking coal Bayah dilakukan pengeringan lalu splitter dan pengayakan untuk mendapatkan data karakterisasi awal berupa analisa komposisi kimia dan analisa ayak. Proses berikutnya semua sampel yang akan digunakan berukuran 40# sehingga dilakukan penggerusan dengan Ball Mill lalu pengayakan untuk memastikan ukuran telah sesuai. Sampel dikarbonisasi ditambahkan solar sebagai kolektor dan minyak pinus sebagai frother sebelum proses flotasi dilakukan.

Hasil flotasi berupa mineral terapung dan mineral tenggelam dilakukan penyaringan lalu pengeringan pada temperatur 250°C, kemudian dikarakterisasi. Konsentrat yang diperoleh dari flotasi selanjutnya diblending dengan coking coal Samarinda, Kalimantan Timur lalu dikarbonisasi kembali selama 4 jam pada temperatur 1000°C. Percobaan Flotasi

Pencucian batubara yang dilakukan dengan menggunakan metode flotasi. Batubara non coking coal direndam di dalam minyak solar sebagai kolektornya dan minyak pinus sebagai frother.

Page 248: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 235

Pencucian dilakukan bertujuan untuk mengurangi kadar abu dan sulfur yang terdapat batubara. Percobaan dilakukan dengan variasi kecepatan pengadukan dan konsentrasi reagen. Untuk komposisi reagen digunakan perbandingan solar dan minyak pinus (20:20), (20:25) dan (20:30) berdasarkan persen berat sampel. Variabel kecepatan pengadukan yang digunakan adalah 1000, 1100 dan 1200rpm. Waktu flotasi dilakukan selama 45 menit. Sel percobaan flotasi dapat dilihat pada Gambar 2. Mineral terapung dan mineral tenggelam dilakukan penyaringan dan pengeringan menggunakan kertas saring dan memanfaatkan sinar matahari untuk mengurangi kadar air sebelum dilakukan pemanasan temperatur 250°C selama 24 jam.

Gambar 2. Sel Flotasi Batubara[13]

HASIL DAN PEMBAHASAN Analisa Komposisi Kimia Batubara

Mineral berharga pada bijih cenderung berada dalam keadaan terinklusi ataupun berasosiasi dengan mineral pengotornya. Demikian pula halnya dengan batubara yang memiliki inklusi yang berbeda, yaitu tumbuhan (organik) dan serpihan batu lempung (non-organik) yang berasal dari endapan yang terbawa oleh aliran sungai. Material yang sangat berlainan ini memiliki sifat yang berbeda sehingga sifat permukaan kedua material pun berbeda pula. Perbedaan sifat permukaan inilah yang menjadi dasar konsentrasi flotasi.

Batubara memiliki sifat permukaan yang mudah dibasahi oleh minyak (hydrophobic), sedangkan partikel pengotor lebih mudah dibasahi air (hidropilik). Jika gelembung udara ditiupkan ke dalam suspensi yang telah ditetesi minyak partikel batubara akan menempel pada gelembung udara sedangkan pengotor tetap melayang atau mengendap di air. Dikarenakan sistem flotasi meliputi banyak komponen yang saling terkait, maka sebelum melakukan penelitian flotasi perlu dilakukan karakterisasi awal batubara baik untuk jenis non coking maupun coking.

Analisa komposisi kimia untuk batubara jenis non coking maupun coking meliputi analisis proksimat dan ultimat juga mengetahui nilai kalori dari batubara tersebut. Hasil analisa tersebut ditunjukkan pada Tabel 1. Tabel 1. Analisa komposisi kimia non coking coal dengan coking coal Parameter Analisis Non Coking Coal

(%) Coking Coal

(%) Proximate: Moisture (adb) Ash Volatile matter Fixed carbon

4,10 23,79 32,28 38,88

2,39 9,23 34,93 52,35

Ultimate: Total sulphur 0,77

3,43

Gross calorific value

4132 cal/g 7352 cal/g

Page 249: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

236 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

Perbedaan paling utama dari non coking coal dan coking coal terletak pada fixed carbon dan nilai kalorinya. Non coking coal memiliki fixed carbon sebesar 38,88%, kalori 4132 cal/g, sedangkan besar fixed carbon dan nilai kalori untuk coking coal berturut-turut adalah 52,35% dan 7352 cal/g.

Berdasarkan Tabel 1, nilai total sulfur yang dimiliki non coking coal memenuhi persyaratan untuk dijadikan kokas (0,6-0,8%, max 1%), akan tetapi nilai kalori dan fixed carbon yang dimiliki masih rendah. Namun dengan dilakukan karbonisasi nilai kalori dan fixed carbon dari non coking coal ini dapat ditingkatkan (Tabel 2), sehingga nantinya dapat dijadikan bahan pencampur coking coal pada proses coal blending, ditambah dengan cadangan yang melimpah semakin menguatkan alasan untuk melakukan penelitian pemanfaatan bahan baku lokal ini.

Percobaan Fotasi

Percobaan flotasi yang semula dimaksudkan untuk menghilangkan kadar sulfur dari batubara non coking, yang akan digunakan sebagai bahan pencampur coking coal, pada kenyataannya menjadi tidak terlalu penting apabila mengacu pada hasil analisa ultimate Tabel 1 yang menunjukkan nilai total sulfur sebesar 0,77%. Namun percobaan tetap dilakukan untuk mempelajari bagaimana perilaku dari batubara terhadap proses flotasi. Apakah penggunaan solar sebagai kolektor dan minyak pinus sebagai frother dapat bekerja secara efisien untuk menurunkan kadar sulfurnya, begitu pula dengan pemilihan parameter proses lainnya.

Parameter proses yang digunakan seperti yang telah dijelaskan pada bab metode percobaan, diharapkan akan memperlihatkan kesesuaian antara hasil percobaan dengan hipotesa yang telah dibuat. Gambar 3 memperlihatkan penurunan kadar sulfur terhadap perubahan kecepatan pengadukan berdasarkan perubahan konsentrasi frother. Percobaan dengan variasi kecepatan pengadukan memberikan hasil berupa penurunan ash sebesar 20% pada konsentrasi frother (20%) optimum pada kecepatan pengadukan 1200 rpm, sedangkan pada komposisi frother (25%) dan (30%) ash yang dihasilkan berturut-turut sebesar 19 % dan 14%. Begitu pula dengan sulfur, terjadi penurunan kadar di setiap kondisi proses berturut-turut menjadi 0,46%; 0,46% dan 0,4% terlihat pada Gambar 4.

Kondisi ini menunjukkan bahwa melalui metode flotasi yang bertujuan untuk desulfurisasi ternyata juga mampu menurunkan kadar abu. Hal ini dikarenakan komponen penyusun abu seperti Al2O3, SiO2 memiliki kesamaan sifat seperti sulfur, yakni bersifat hidrofilik sehingga dapat dipisahkan melalui flotasi. Gambar 4 memperlihatkan bahwa perubahan konsentrasi frother memberikan hasil yang relatif sama pada kecepatan pengadukan 1200 rpm untuk flotasi selama 45 menit. Kondisi paling efektif justru terjadi pada konsentrasi frother sebesar 20% sebanyak 0,46%. Berdasarkan percobaan ini dapat disimpulkan bahwa proses semakin banyak konsentrasi frother yang ditambahkan membutuhkan waktu lebih lama agar terjadi proses pemisahan.

Gambar 3. Profil penurunan abu terhadap kecepatan pengadukan

Page 250: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 237

Gambar 4. Profil penurunan sulfur terhadap konsentrasi frother

Coal Blending

Uji nilai kalori dari konsentrat hasil flotasi diblending dengan batubara coking dan dikarbonisasi kembali pada suhu 1000°C ditunjukkan pada Gambar 4. Dapat dilihat bahwa nilai kalori dari hasil blending konsentrat hasil proses flotasi dengan konsentrasi frother 20% dengan coking coal menghasilkan nilai kalori sebesar 6751 kkal/kg. namun pada komposisi blending kedua mengalami penurunan nilai kalori yaitu konsentrat hasil proses flotasi pada konsentrasi frother 25% dengan kecepatan pengadukan 1200 rpm menghasilkan 5691 kkal/kg dan konsentrasi frother 30% menghasilkan nilai kalori sebesar 6013 kkal/kg. Bertambahnya nilai kalori disebabkan karena berkurangnya kadar sulfur, abu, maupun pengotor lainnya.

Gambar 4. Profil nilai kalori terhadap konsentrasi frother

Karbonisasi

Proses karbonisasi awal dilakukan terhadap non coking coal bertujuan untuk menghilangkan volatile matter dan kadar air di dalamnya sehingga dapat meningkatkan fixed carbon dan nilai kalorinya. Tabel 2 merupakan perbandingan hasil analisis komposisi kimia dari batubara non coking tanpa karbonisasi dan non coking karbonisasi. Hasil yang cukup signifikan dapat terlihat adanya penurunan nilai volattile mater dari 32. 28% menjadi 2.34% berbanding lurus dengan peningkatan nilai kalori dan fixed carbon berturut-turut meningkat dari 4132 kkal/kg menjadi 5397 kkal/kg, 38.88% menjadi 57.32%.

Tabel 2. Perbandingan komposisi kimia non coking coal tanpa dan dengan karbonisasi

Parameter Analisis Non coking coal sebelum karbonisasi

Non coking coal setelah karbonisasi

Coking coal karbonisasi

Moisture (%) 4,10 4,6 2,39 Ash (%) 23,79 35,11 9,33

Volatile Mater (%) 32,28 2,38 34,93 Fix Carbon (%) 39,83 57,91 53,35

Sulfur (%) 0,77 0,63 3,43 Kalori(kkal/kg) 4132 5397 7352

Page 251: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

238 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

Melihat pada nilai kalori hasil karbonisasi awal non coking coal, meskipun terjadi kenaikan sebesar 30% namun masih belum sesuai harapan karena yang diinginkan sebesar 50-70% agar mendekati nilai kalori coking coal. Tujuannya adalah agar nantinya ketika dilakukan coal blending antara non coking coal dan coking coal tidak akan menurunkan nilai kalori coal blend.

Hasil tersebut juga menunjukkan bahwa perbedaan daerah asal batubara memberikan hasil karakterisasi yang berbeda, mengingat penentuan temperatur karbonisasi 1000°C dan waktu 4 jam didasari oleh hasil penelitian terdahulu menggunakan batubara non coking dari Bukit Asam[13]. Meski demikian, hal ini masih dapat diupayakan dengan mengubah variabel temperatur dan waktu karbonisasi.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa kondisi optimum variabel diperoleh pada kecepatan pengadukan 1200 rpm, dan konsentrasi frother 20% yang memberikan hasil penurunan sulfur sebesar 0,46% dan kadar abu 20%. Begitu pula dengan karbonisasi, hasil menunjukkan bahwa dengan dilakukannya pemanasan terhadap batubara dengan nilai kalori dan fixed karbon rendah terbukti dapat meningkatkan nilainya hingga 30%. Hal ini sesuai dengan hipotesa yang dibuat bahwa apabila kadar air dan volatite matter maupun pengotor lainnya dihilangkan maka akan fixed karbon dan nilai kalori akan naik. DAFTAR PUSTAKA 1. Harrington, Andrew. dan Trivet, Matthew. 2011. Indonesian Coal Review. Patterson

The Australian Stockbroker 2. Aladin, Andi. 2006. Desulfurisasi Batubara Asal Sulawesi Secara Flotasi Menggunakan

Surfaktan Crude Palm Oil (CPO). Program Studi Doktor Bidang Keahlian Teknik Kimia. Surabaya: Jurusan Teknik Institut Teknik Sepuluh November.

3. Annual Book ASTM STANDARD. 2002. Gaseous Fules, Coal and Coke, Petroleum Ptoducts, Lubricant and Fossil Fuels, Section 5 Vol.05.05 : American Society for Testing and Materials : Philadelphia, Pennsylvania.

4. Arslan, V. and M. Kemal. 2006. The effect of inert matters and low volatile coal addition on the plasticity of high volatile Zonguldak coals. The south African institute of mining and metallurgy : Turkey

5. Budiraharjo, Imam. 2011. Indsutri batubara Indonesia. Terjemah bebas artikel berjudul “Indonesia sekitan jijou” oleh Masafumi Uehara dalam JCOAL Journal Vol 18, Januari 2011. (JCOAL Resources Development Division).

6. Curran, Joel. 2009. Fundamental Factors Influencing Coke Strength. The University Of Newcastle : Australia.

7. Eurostat. 2005. Manual Statistik Energi. International Energy Agency (IEA) : France 8. Adiarso, dkk. 2010. Teknologi Pemanfaatan Batubara Peluang Dan Tantangan. Balai

Besar Teknologi Energi BPPT PUSPIPTEK : Tangerang. 9. Herry Suprianto, Desember 2011. Pemanfaatan Kokas Briket Sebagai Bahan Bakar

Industri Pengecoran Logam (online). Available at : www.chem-is-try.org. 10. Isabel, Suarez-ruiz. 2012. Organic Petrologi : An Overview. Instituto Nacional Del

Carbon (INCAR-CSIC) Oviedo : Spain. 11. Jackman, H. W. 1958. Influence Of Coking Time On Expansion Pressure And Coke

Quality. Divosion of the Illinois state geological survey: Urbana. 12. Karen, et. al. 2005. Understanding the Microstructure of Coal During Carbonization

Using Rheometry NMR. ICCS & T : OKINAWA. 13. Khairil dan Irwansyah. 2010. Kajian Eksperimental Teknologi Pembuatan Kokas Dari

Batubara Sebagai Sumber Panas Dan Karbon Pada Tanur Tinggi (Blast Furnace). Aceh: Universitas Syiah Kuala.

Page 252: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 239

14. Majid, Abdul. 2008. Pencucian Batubara. Universitas Sriwijaya Jurusan Teknik Pertambangan.

15. Menendez, R. 1989. COAL Carbonization : Current And Future Application. Instituto Nacional Del Carbon Y Sus Derivados : SPAIN.

16. Muda, Iskandar. 2012.”Metalurgi Ekstraktif”. PT.Krakatau Steel, Cilegon. 17. Nomura, Seiji. et.al. 2006. Coal Blending Theory For Dry Coal Charging Process.

Nippon steel technical report: Japan. 18. Olulana, A. O. 2011. Effect of pre-heating on the mecum strength of coke from a coal

blend include 5 % of non caking Nigerian okaba coal. National Metallurgical Development Centre: Nigeria.

19. PT SMG Consultant. 2011. Indonesia-Exploring Its Potensial. Coking coal and Metallurgy Coke: Singapore.

20. Purawiardi, Rustiadi Msc dan Susanto, AMd. 2003. Proses Pengolahan Batubara Indonesia untuk Kokas Metalurgi dengan Metode Coal Blending. Pusat Penelitian Metalurgi LIPI : Tangerang.

21. Sudarsono. S Arief. 2003. Pengantar Preparasi Dan Pencucian Batubara. Bandung: Departemen Teknik Pertambangan ITB.

22. Tahija, George. 2011. The Quality of Central Kalimantan Coking Coals. PT. Austindo Nusantara Energi: Kalimantan.

23. Valia, Hardarshan S.2006. Coke Production For Blast Furnace Ironmaking Scientist,Ispat Inland Inc.

Page 253: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

240 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

Page 254: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 241

PENGARUH SUHU KALSINASI DAN PENYINTERAN TERHADAP PEMBENTUKAN Ca3Co2O6

Septian Adi Chandra*, Sigit Dwi Yudanto

Pusat Penelitian Metalurgi – LIPI Gedung 470, Kawasan Puspiptek, Setu, Tangsel

*E-mail: [email protected] Abstrak

Percobaan sintesis material Ca3Co2O6 dilakukan menggunakan metode reaksi padatan. Bahan baku sintesis adalah serbuk CaCO3 dan CoCO3. Percobaan diawali dengan menimbang kedua bahan baku sesuai dengan perhitungan stoikiometri. Setelah penimbangan, kedua bahan dicampur dan digerus menggunakan four point planetary ball mill selama 20 jam. Hasil penggerusan kemudian dikalsinasi pada suhu 400°C dan 800°C. Hasil kalsinasi kemudian dibentuk pellet dengan tekanan 140 MPa dan disinter pada suhu 1000°C dan 1100°C yang ditahan selama 12 jam. Proses penyinteran dilakukan dengan kondisi atmosfir udara bebas dan didiamkan dalam tungku sampai suhu kamar. Persentase rata-rata penyusutan massa sampel hasil penyinteran adalah 25,84% untuk kalsinasi 400°C dan 11,67% untuk kalsinasi 800°C. Hasil difraksi sinar-X sampel-sampel hasil penyinteran menunjukkan sudah terbentuknya fasa Ca3Co2O6, meskipun masih terdapat fasa-fasa yang lain. Sampel dengan kalsinasi 800°C yang disinter pada suhu 1000°C dan ditahan selama 12 jam menunjukkan mayoritas terbentuk fasa Ca3Co2O6. Kata kunci: Sintesis, Reaksi padatan, Ca3Co2O6, Kalsinasi, Fasa PENDAHULUAN

Material Ca3Co2O6 merupakan material yang dapat dimanfaatkan sebagai katoda solid-oxide fuel cell (SOFC)[1], termoelektrik [2]–[4], dan pigmen untuk pelapisan[5]. Menurut Tao Wei, dkk, Senyawa Ca3Co2O6 (CCO) sangat menarik karena mempunyai perilaku magnetik, listrik dan termoelektrik yang baik. Sedangkan menurut Kouta iwasaki, dkk, Ca3Co2O6 mempunyai nilai hambat jenis 1,63x102-1,33x10-1 Ωcm pada suhu 127 ke 897°C, koefisien Seebeck dari 660 ke 140 μV/K seiring kenaikan suhu dari 77 ke 897°C dan faktor daya 1,6x10-5 W/(mK2) pada suhu 877°C, sehingga material ini mempunyai potensi sebagai termoelektrik meskipun nilai figure of merit pada suhu mutlak (ZT) 0,15 pada suhu 800°C (material termoelektrik, ZT > 1)[6].

Jika dibandingkan dengan material Ca3Co4O9 yang mempunyai nilai ZT ~0,87[7] nilai ZT Ca3Co2O6 sangat jauh, tetapi senyawa Ca3Co2O6 lebih stabil dibandingkan Ca3Co4O9

[8]. Fasa Ca3Co4O9 stabil sampai suhu 926°C dan terurai menjadi Ca3Co2O6, dimana stabil pada suhu1026°C [6], [9]. Sehingga beberapa penelitian dilakukan untuk meningkatkan performa material Ca3Co2O6 dengan cara pendopingan unsur-unsur tertentu[2], [4], [6], [9].

Page 255: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

242 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

Gambar 1. Struktur kristal Ca3Co2O6

[2,4]

Ca3Co2O6 mempunyai struktur kristal dengan sistem orthorombik dan grup ruang R-3c. parameter kisi kristal Ca3Co2O6 adalah a = ~9,08Å, dan c = ~10,38 Å pada suhu kamar[2,4,10].

Berdasarkan sifat-sifat dan manfaat material Ca3Co2O6 tersebut maka dilakukan percobaan sintesis material Ca3Co2O6. Sintesis menggunakan metode reaksi padatan dengan bahan baku CaCO3 dan CoCO3

[11,12].

METODE PERCOBAAN

Sintesis Ca3Co2O6 menggunakan metode reaksi padatan. Bahan baku yang digunakan adalah serbuk CaCO3 dan CoCO3. Percobaan diawali dengan menimbang kedua bahan baku sesuai dengan perhitungan stoikiometri. Setelah penimbangan, kedua bahan dicampur dan digerus menggunakan four point planetary ball mill selama 24 jam. Hasil penggerusan kemudian dikalsinasi pada suhu 400°C dan 800°C. Hasil kalsinasi digerus kembali dan kemudian dibentuk pellet dengan tekanan 140 MPa dan disinter pada suhu 1000°C dan 1100°C yang ditahan selama 20 jam. Proses penyinteran dilakukan dengan kondisi atmosfir udara bebas dan didiamkan dalam tungku sampai suhu kamar. Diagram alir percobaan ditunjukkan pada Gambar 2.

Gambar 2. Diagram alir percobaan

Page 256: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 243

HASIL DAN PEMBAHASAN Untuk mengetahui pengaruh kalsinasi terhadap proses pembentukan maka dilakukan penimbangan campuran bahan sebelum dan sesudah penyinteran. Pada proses penyinteran sampel terjadi penyusutan massa. Penyusutan massa sampel ditunjukkan pada Tabel 1. Tabel 1. Penyusutan massa sampel hasil penyinteran

No. Nama sampel Penyusutan massa (%)

1. Kalsinasi 400°C Sinter 1000°C 24,52 2. Kalsinasi 800°C Sinter 1000°C 11,54 3. Kalsinasi 400°C Sinter 1100°C 27,16 4. Kalsinasi 800°C Sinter 1100°C 11,80

Dari Tabel 1 terlihat bahwa seiring dengan kenaikan suhu kalsinasi dan penyinteran, penyusutan massa semakin besar. Hal ini dapat dihubungkan dengan reaksi pembentukan material dari bahan baku. Reaksi pembentukan material Ca3Co2O6 dari bahan baku CaCO3 dan CoCO3 dituliskan pada persamaan 1. 3CaCO3(s) + 2CoCO3(s) + ½ O2(g) Ca3Co2O6(s) + 5CO2(g) (1) Dari persamaan 1 terlihat bahwa reaksi pembentukan Ca3Co2O6 disertai dengan pelepasan gas CO2. Pelepasan gas CO2 berasal dari reaksi dekomposisi CoCO3 menjadi Co3O4

[11], [13]. Reaksi dekomposisi CoCO3 dituliskan pada persamaan 2. CoCO3(s) + ½O2(g) Co3O4(s) + CO2(g) (pada rentang suhu 250-370ºC)[13], [14] (2) Selain reaksi dekomposisi CoCO3, pelepasan gas CO2 terjadi karena reaksi dekomposisi CaCO3 menjadi CaO. Reaksi dekomposisi CaCO3 dituliskan pada persamaan 3.

CaCO3(s) CaO(s) + CO2(g) (pada suhu >800°C)[15] (3) Menurut I. Halikia, dkk, reaksi dekomposisi CaCO3 terjadi pada suhu diatas 800°C,

sehingga terlihat bahwa penyusutan massa dengan suhu kalsinasi 800°C lebih besar dari suhu 400°C. Dengan proses kalsinasi ini diharapkan bahwa pembentukan Ca3Co2O6 terjadi dari senyawa logam oksidanya. Sehingga dapat mengurangi pengotor karbon dalam senyawa yang terbentuk. Analisis difraksi sinar-x

Sampel hasil penyinteran dikarakterisasi menggunakan difraktometer sinar-X untuk mengetahui fasa material yang terbentuk. Difraktometer sinar-x memakai cobalt dengan panjang gelombang, λ = 1,789 Å sebagai sumber radiasi. Pengukuran dilakukan pada rentang sudut 2 = 20 – 60. Pola difraksi sinar-x sampel-sampel hasil penyinteran ditunjukkan pada Gambar 2.

Page 257: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

244 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

Gambar 3. Pola difraksi sinar-x sampel, a). kalsinasi 400°C penyinteran 1000°C, b). kalsinasi

400°C penyinteran 1100°C, c). kalsinasi 800°C penyinteran 1000°C[11,12], dan d). kalsinasi 800°C penyinteran 1100°C[11]

Berdasarkan pola difraksi sinar-x, terlihat bahwa pada sampel kalsinasi 400°C dan

suhu penyinteran 1000°C sudah terlihat pembentukan fasa Ca3Co2O6. Puncak-puncak yang merupakan puncak Ca3Co2O6 adalah puncak pada sudut 2= 22,74; 37,96; 39,94; 48,84; 49,6; 54,52; dan 56,3°. Puncak-puncak tersebut sesuai dengan JCPDS No. 089-0629[16]. Meskipun puncak-puncak pola difraksi sudah menunjukkan pembentukan fasa Ca3Co2O6, tetapi intensitas puncak masih terlihat kasar. Jika dibandingkan dengan pola difraksi sampel kalsinasi 800°C dan suhu penyinteran 1000°C, terlihat intensitas puncak-puncak pola difraksi fasa Ca3Co2O6 terlihat sangat halus. Selain fasa Ca3Co2O6, ternyata masih terdapat fasa-fasa lain yaitu, Co3O4

[17] dan CoO[18]. Puncak-puncak yang memperlihatkan fasa Co3O4 adalah puncak pada sudut 2=43,06°. Sedangkan puncak CoO pada sudut 2=42,62°. Masih terdapat fasa ikutan ini mungkin disebabkan oleh tidak ikut bereaksinya bahan baku CoCO3 dengan CaCO3.

Sedangkan pola difraksi pada sampel kalsinasi 400°C dan 800°C dengan suhu penyinteran 1100°C terlihat bahwa fasa-fasa lain yang terbentuk selain Ca3Co2O6 adalah Co3O4, CoO, CaO dan beberapa puncak tidak diketahui fasanya. Hal ini terlihat pada intensitas pola difraksi yang semakin besar.

KESIMPULAN Pembentukan material Ca3Co2O6 dapat dilakukan menggunakan metode reaksi padatan. Meskipun fasa Ca3Co2O6 sudah terbentuk, ternyata masih ada fasa-fasa lain yang terbentuk juga. Proses kalsinasi mempengaruhi pembentukan senyawa oksida. Untuk menghasilkan fasa Ca3Co2O6 yang paling baik dilakukan dengan suhu kalsinasi 800°C dan penyinteran pada suhu 1000°C. DAFTAR PUSTAKA 1. T. Wei, Y.-H. Huang, R. Zeng, L.-X. Yuan, X.-L. Hu, W.-X. Zhang, L. Jiang, J.-Y.

Yang, and Z.-L. Zhang, “Evaluation of Ca3Co2O6 as cathode material for high-performance solid-oxide fuel cell,” Sci. Rep., vol. 3, pp. 1–6, 2013.

2. K. Iwasaki, H. Yamane, S. Kubota, J. Takahashi, and M. Shimada, “Power factors of Ca3Co2O6 and Ca3Co2O6-based solid solutions,” J. Alloy. Compd. 358, vol. 358, pp. 210–215, 2003.

Page 258: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 245

3. J. An and C.-W. Nan, “Electronic structure and transport of Ca3Co2O6 and Ca3CoNiO6,” Solid State Commun., vol. 129, no. 1, pp. 51–56, 2004.

4. K. Iwasaki, H. Yamane, J. Takahashi, S. Kubota, T. Nagasaki, Y. Arita, Y. Nishi, T. Matsui, and M. Shimada, “Influences of Bi and Cu substitutions on the power factor of Ca3Co2O6,” J. Phys. Chem. Solids, vol. 66, no. 2–4, pp. 303–307, 2005.

5. O. A. Fouad, A. M. Hassan, H. A. El-Wahab, A. M. Eldin, A.-R. M. Naser, and O. A. G. Wahba, “Synthesis, characterization and application of some nanosized mixed metal oxides as high heat resistant pigments: Ca2CuO3, Ca3Co2O6, adn NiSb2O6,” J. Alloys Compd., vol. 537, pp. 165–170, 2012.

6. M. Mikami and R. Funahashi, “The effect of element substitution on high-temperature thermoelectric properties of Ca3Co2O6 compounds,” J. Solid State Chem., vol. 178, no. 5, pp. 1670–1674, 2005.

7. M. Shikano, R. Funahashi, and H. Ikuta, “Synthesis of Ca3Co4O9 and CuAlO2 Ceramics of the Thermoelectric Application Using A Reaction- Sintering Process,” J. Aust. Ceram. Soc, vol. 44, no. 1, pp. 17–22, 2008.

8. N. Van Nong and M. Ohtaki, “Power factors of late rare earth-doped Ca3Co2O6 oxides,” Solid State Commun., vol. 139, no. 5, pp. 232–234, 2006.

9. D. Lu, G. Chen, J. Pei, X. Yang, and H. Xian, “Effect of erbium substitution on thermoelectric properties of complex oxide Ca3Co2O6 at high temperatures,” J. Rare Earths, vol. 26, no. 2, pp. 168–172, 2008.

10. B. Raveau and M. Seikh, Cobalt Oxides: From Crystal Chemistry to Physics, vol. 1. 2012.

11. S. D. Yudanto, “Sintesis Ca3Co2O6 dan CaMnO3 dari Bahan Baku CaCO3, CoCO3 dan MnCO3 Melalui Proses Reaksi Padatan,” 2014.

12. S. D. Yudanto and A. Imaduddin, “Studi Arus Bolak-Balik Material Ca3Co2O6,” Maj. Metal., vol. 29, no. 2, pp. 97–102, 2014.

13. C.-H. Wu, “Low Energy-Consumption Industrial Production of Ultra-Fine Spherical Cobalt Powders,” Energy Conserv., 2012.

14. S. D. Yudanto and S. A. Chandra, “Preparasi, Sintesis dan Karkaterisasi Material Oksida Ca3Co4O9,” Maj. Metal., vol. 30, no. 1, pp. 25–30, 2015.

15. I. Halikia, L. Zoumpoulakis, E. Christodoulou, and D. Prattis, “Kinetic study of the thermal decomposition of calcium carbonate by isothermal methods of analysis,” Eur. J. Miner. Process. Environ. Prot., vol. 1, no. 2, pp. 89–102, 2001.

16. S. Kahatta, N. Chaiyo, C. Ruttanapun, W. Techitdheera, B. Boonchom, and N. Vittayakorn, “Preparation and Thermoelectric Properties of Ca3Co2O6 Ceramics by Microwave-Assisted Solution Combustion Method,” 38th Congr. Sci. Technol. Thail., 2008.

17. L. Xue, C. Zhang, H. He, and Y. Teraoka, “Promotion effect of residual K on the decomposition of N2O over cobalt–cerium mixed oxide catalyst,” Catal. Today, vol. 126, no. 3–4, pp. 449–455, 2007.

18. M. Th. Makhlouf, B. M. Abu-Zied, and T. H. Mansoure, “Direct Fabrication of Cobalt Oxide Nano-particles Employing Glycine as a Combustion Fuel,” Phys. Chem., vol. 2, no. 6, pp. 86–93, 2013.

Page 259: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

246 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

Page 260: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 247

PENGARUH TEMPERATUR DAN VARIASI KONSENTRASI INHIBITOR IMIDAZOLUNE SALT TERHADAP KETAHANAN

KOROSI BAJA API 5L DALAM LARUTAN BRINE DENGAN INJEKSI GAS CO2 JENUH

Gadang Priyotomo*, Lutviasari Nuraini, Harsisto, Ronald Nasoetion

Pusat Penelitian Metalurgi dan Material LIPI Kawasan PUSPIPTEK, Gd.470, Setu, Tangerang Selatan

*E-mail: [email protected]

Abstrak Korosi yang disebabkan kehadiran karbon dioksida (CO2) pada perpipaan baja karbon akan semakin

meningkat dengan injeksi CO2 ke sumur minyak untuk mereduksi viskositas minyak. Perfoma inhibitor dipengaruhi temperatur operasional diperbagai konsentrasi inhibitor belum diperhatikan oleh aplikator. Kondisi lingkungan uji menggunakan gas CO2 jenuh dengan variasi temperatur antara suhu kamar hingga suhu 65oC disetiap perubahan konsentrasi inhibitor antara 0 ppm hingga 10 ppm. Larutan uji brine di dalam sel gelas uji dialirkan gas CO2 hingga jenuh, ditahan selama 1 jam, dimana pengujian korosi dilakukan dengan metode polarisasi. Penambahan inhibitor sejumlah 3 ppm inhibitor imidazoline telah menurunkan laju korosi secara dramatis di rentang temperatur uji, dimana efisiensi inhibisi rata-rata adalah 99,9%. Di sisi lain, penambahan konsentrasi 5 ppm dan 10 ppm juga menurunkan laju korosi secara signifikan di bawah nilai 1mpy pada rentang suhu ruang hingga suhu 65°C. Lebih jauh lagi, peningkatan temperatur larutan, memungkinan perfoma lapisan pasif FeCO3 menurun draktis hingga temperatur 65oC, namun daerah aktif (anodik) permukaan baja terlapisi oleh lapisan adsorbsi inhibitor secara sempurna. Kata kunci : Inhibitor imidazolune salt, Variasi temperatur, Konsentrasi inhibitor, Gas CO2 jenuh

PENDAHULUAN

Inhibitor korosi merupakan senyawa yang mampu mengurangi kerentanan logam terhadap proses korosi dengan turunya nilai laju korosi pada permukaan logam[1,2]. Penambahan inhibitor dalam konsentrasi kecil ke dalam lingkungan merupakan bagian dari proses pengendalian korosi. Lebih jauh lagi, peran senyawa tersebut menjadi penting dalam pengendalian korosi pada unit-unit produksi di industri minyak dan gas bumi. Secara singkat, potensi kerentanan terhadap korosi terjadi dikarenakan minyak mentah (crude oil) mengandung bahan-bahan sampingan selain minyak bumi antara gas H2S, gas CO2, air brine dan pengotor lainnya[3]. Kehadiran gas kabon dioksida (CO2) dalam fluida minyak bumi semakin meningkat dengan injeksi CO2 ke sumur minyak untuk mereduksi viskositas minyak[4]. Di sisi lain, selama proses elektrokimia berlangsung, permukaan logam khususnya baja karbon tertutupi oleh lapisan besi karbonat (FeCO3), memberikan efek menurunkan laju korosi dan melindungi baja dari korosi lebih lanjut[5]. Salah satu jenis inhibitor korosi organik yang sering digunakan dalam aplikasi minyak dan gas bumi adalah imidazoline salt[6].

Gambar 1. Struktur molekul imidazoline[7]

Strukur molekul imidazoline merupakan senyawa heterosikilik (R1N(CH2)2NR2)

dengan dua unsur dua unsur nitrogen, rantai panjang hidrokrabon (R1) dan rantai sisi dengan gugus fungsi aktif (R2)[8]. Bagaimanapun juga, investigasi perfoma inhibitor dengan variasi suhu operasional dan konsentrasi inhibitor belum banyak dilakukan oleh para peneliti. Disisi

Page 261: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

248 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

lain, anomali-anomali proses produksi Migas juga sebagai pertimbangan akan dua parameter tersebut. Oleh karena itu, tujuan dari penulisan ini adalah melakukan investigasi awal dan karakter inhibitor komersial berbasis garam imidazolin dengan mensimulasikan kondisi pipa penyalur minyak bumi suatu industri minyak bumi di Indonesia dimana presentase brine water dan minyak mentah adalah 70% dan 30% dengan variasi temperatur operasional dan konsentrasi inhibitor.

METODE PERCOBAAN Persiapan dan karakterisasi spesimen uji

Spesimen uji baja dibuat dengan dimensi 1 cm x 1 cm. Kemudian dikoneksi dengan sebuah kabel melalui proses solder dan dimasukan ke dalam cetakan resin yang telah dicampur dengan senyawa hardener untuk dicetak. Setelah proses pengeringan selama 24 jam, dilakukan proses pengamplasan dengan mesin hingga grit 600. Sebagai catatan bahwa waktu tunggu proses pengamplasan hingga pengujian korosi maksimal 15 menit, dikarenakan permukaan baja mudah teroksidasi di udara terbuka. Disisi lain, spesimen uji baja yang sama juga dipotong dengan dimensi 2 cm x 3 cm untuk dilakukan uji komposisi unsur dengan menggunakan Arc/spark optical emission spectrometry. Persiapan dan Karakterisasi larutan uji

Larutan uji berasal dari 30% fluida pipa penyalur minyak mentah berupa air brine. Penambahan inhibitor komersial berbasis garam imidazolin ditambahkan dengan variasi 3, 5, 10 ppm untuk pengujian elektrokimia tafel. Brine water atau dinamakan air formasi berkadar garam sangat tinggi hingga lebih dari 10.000 ppm berasal dari sumur minyak dimana sampel brine water diambil dari pipa penyalur minyak mentah. Analisa anion-anion yang terkandung di dalam brine water menggunakan referensi dari standar uji migas The American Petroleum Institute (API) RP 45. Pengujian polarisasi

Metode ini bernama tafel, digunakan untuk mendapatkan estimasi akurat nilai laju korosi pipa baja di dalam larutan uji. Rentang nilai potensial yang dilakukan antara -200 mV dan +200 mV. Kondisi lingkungan uji menggunakan gas CO2 jenuh dengan variasi temperatur ruang, 40oC, 50oC dan 65oC. Kecepatan larutan ditetapkan sekitar 250 rpm dimana dikondisikan laju alir di pipa penyalur minyak mentah sekitar 1,13 m/det. Metode Tafel merupakan teknik polarisasi dimana tiga elektroda diletakan di dalam suatu sel gelas uji. Elektroda-elektroda tersebut antara lain elektroda kerja, elektroda pembantu berbentuk logam platina dan elektroda acuan calomel jenuh (SCE). Larutan uji di dalam sel gelas uji dialirkan gas CO2 hingga jenuh, ditahan selama 1 jam, sehingga kadar oksigen diharapkan kecil. Lebih jauh lagi, metode Tafel sesuai acuan standar ASTM G59-97 dengan alat GAMRY DC105. Data-data yang dihasilkan antara lain nilai potensial korosi, arus korosi dan laju korosi. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakterisasi sampel uji

Tabel 1 memperlihatkan komposisi kimia di dalam pipa baja penyalur minyak mentah. Unsur–unsur tersebut mengidentifikasikan baja yang digunakan termasuk standar baja API 5L. Pipa jenis ini digunakan secara umum untuk sistem pipa penyalur untuk industri minyak dan gas bumi, dimana baja tersebut bisa dialirkan berbagai fluida antara lain gas, air dan minyak. Tabel 1. Komposisi unsur-unsur di dalam sampel uji

No Elemen Kadar (wt%) 1 C 0,0579 2 Mn 0,760 3 P 0,006

Page 262: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 249

4 S 0,000 5 Si 0,139 6 V 0,002 7 Nb 0,016 8 Ti 0,002 9 Fe 98,910 10 Lain-lain 0,107

Komposisi air formasi berupa brine di lapangan migas dengan standar metode API RP

45 ditunjukkan pada Tabel 2. Keberadaan anion CO3- dan HCO3

- merupakan hasil dari reaksi antara air formasi dan gas CO2. Reaksi kimia antara gas CO2 dan air formasi telah dijelaskan oleh peneliti[7]. Keberadaan anion Cl- di atas level 12000 mg/L merupakan ciri khas dari brine water berkadar garam tinggi, dimana Osokogwu dkk menjelaskan bahwa kadar NaCl dalam brine hingga 144810 mg/L[9]. Tabel 2. Komposisi air formasi (brine) lapangan dengan metode API RP 45

No Ion-ion Kadar (mg/L) 1 HCO3

- 912,02 3 SO4

- 7374,08 4 Cl- 12874,8

Variasi temperatur larutan uji dan konsentrasi inhibitor

Gambar 1. Kurva polarisasi baja API 5L di lingkungan brine water, gas CO2 jenuh, variasi

suhu tanpa inhibitor imidazoline salt

Gambar 1 memperlihatkan kurva polarisasi Baja API 5L dalam larutan brine water yang dialirkan gas CO2 jenuh dengan variasi suhu tanpa penambahan inhibitor imidazoline. Rapat arus anodik semakin tinggi dengan meningkatnya temperatur uji, dimana rapat arus katodik juga mengalami hal yang sama. Peningkatan temperatur uji meningkatkan laju reaksi elektrokimia suatu material[11]. Peningkatan temperatur memberikan mempercepat secara kinetika reaksi anodik dan katodik, dimana ion-ion dan elektron-elektron mengalir secara cepat dari daerah anoda ke katoda sehingga menyebabkan rapat arus anodik dan katodik meningkat. Peningkatan laju reaksi elektrokimia juga meningkatkan laju korosi secara ekponensial yang terlihat pada Tabel 3. Peningkatan draktis laju korosi terjadi di atas suhu 50oC mengindikasikan telah terbentuknya daerah anodik pada lapisan pasif FeCO3 di permukaan logam. Bagaimanapun juga, selama proses korosi, permukaan baja dapat dilindungi oleh lapisan pasif FeCO3 di bawah temperatur 50oC[11], walaupun penelitian ini memberikan fakta laju korosi di bawah temperatur 50oC, laju korosi cukup tinggi, namun stabil.

Page 263: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

250 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

Tabel 3. Hubungan peningkatan temperatur uji terhadap laju korosi dalam larutan NaCl, injeksi gas CO2 jenuh Temperatur Uji Laju korosi (mpy)

27 8,646 40 9,211 50 24,74 65 42,8

Pada Gambar 2 dan Gambar 3 memperlihatkan kurva polarisasi baja API 5L di

lingkungan brine water yang diinjeksi gas CO2 dalam larutan brine bersuhu 50oC dan 65oC dengan variasi konsentrasi inhibitor imidazoline. Pada kedua kurva polarisasi bersuhu 50oC dan 65oC, penambahan masing-masing konsentrasi 3, 5 dan 10 ppm menurunkan nilai rapat arus anodik dan katodik, dimana ini mengindikasikan proses inhibisi bersifat anodik dan katodik. Lebih jauh lagi, penambahan inhibitor menyebabkan perubahan kecil pada nilai potensial korosi (Ecorr) dibandingkan nilai tersebut tanpa inhibitor, dimana Yadaf dan rekan-rekan mengungkapkan bahwa jika pergerakan nilai Ecorr lebih dari ±85 mV vs SCE terhadap nilai potensial korosi tanpa inhibitor, maka inhibitor bertindak secara masing-masing sebagai tipe katodik atau anodik, sebaliknya jika perubahan Ecorr kurang dari 85 mV vs SCE, inhibitor berjenis campuran. Perubahan nilai maksimum pada tulisan ini, berkisar di bawah nilai 85 mV vs SCE.

Gambar 2. Kurva polarisasi baja API 5L di lingkungan brine water, gas CO2 jenuh, bersuhu

50°C, variasi konsentrasi inhibitor imidazoline salt di dalam larutan brine

Gambar 3. Kurva polarisasi baja API 5L di lingkungan brine water, gas CO2 jenuh, bersuhu

65°C, variasi inhibitor imidazoline salt di dalam larutan brine

Penambahan konsentrasi sedikit inhibitor imidazoline salt ke dalam larutan brine dengan variasi 3,5 dan 10 ppm secara nyata mampu menurunkan laju korosi hingga jauh

Page 264: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 251

dibawah nilai 1 mpy. Kinerja inhibisi dari imidazoline salt secara signifikan juga stabil dengan rentang suhu ruang hingga 65oC. Secara umum perfoma kerja inhibisi suatu senyawa inhibitor ditentukan dengan menggunakan berbagai metode diantaranya melalui data kehilangan berat[13] dan data polarisasi[14]. Dalam penelitian ini penulis menggunakan sumber data polarisasi yang berasal dari metode Tafel. Data tersebut digunakan untuk mengukur nilai efisiensi inhibitor (η) dengan persamaan: η % X 100 (1) dimana CRo dan CRi adalah nilai laju korosi tanpa dan dengan penambahan inhibitor. Tabel 4. Hubungan antara temperatur uji dan konsentrasi inhibitor terhadap nilai laju korosi dan efisiensi inhibitor Inhibitor 3 ppm Temperatur (oC) Laju korosi ( mpy) Efisiensi inhibitor(%) 27 0,000344 99,99603 40 0,000234 99,99746 50 0,000314 99,99873 65 0,001109 99,99741 Inhibitor 5 ppm Temperatur (oC) Laju korosi ( mpy) Efisiensi inhibitor (%) 27 0,000158 99,99817 40 0,000491 99,99467 50 0,000262 99,99894 65 0,000847 99,99802 Inihibitor 10 ppm Temperatur(oC) Laju korosi (mpy) Efisiensi inhibitor (%) 27 0,000856 99,99009 40 0,000777 99,99157 50 0,000824 99,99667 65 0,000869 99,99797

Nilai efisiensi inhibisi (EI) setiap penambahan konsentrasi imidazoline salt hingga 10

ppm tetap menunjukkan nilai EI hampir 100%. Ini menunjukkan lapisan adsorbsi molekul hidrophilik bekerja secara sempurna, dimana lapisan tersebut menahan elektrolit brine masuk ke permukaan baja. Pengamatan aktifitas elektrokimia permukaan suatu logam dapat dilakukan dengan melihat nilai potensial korosi bebas ( rest potential) terlihat pada Gambar 4 dan Gambar 5.

Gambar 4. Hubungan nilai potensial korosi bebas dan waktu dengan variasi suhu pada

larutan NaCl tanpa inhibitor

Page 265: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

252 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

Pada Gambar 4, terlihat bahwa hubungan nilai potensial korosi bebas dan waktu

dengan variasi temperatur pada larutan NaCl tanpa imbuhan inhibitor imidazoline salts. Peningkatan temperatur kerja mengubah nilai potensial korosi bebas menjadi negatif, dimana berarti aktifitas elektrokimia semakin intensif dan reaktif. Pada Gambar 5 memperlihatkan hubungan nilai potensial korosi bebas dan waktu dengan variasi konsentrasi inihibitor dalam larutan NaCl pada suhu 65oC. Penambahan inhibitor mengubah nilai potensial korosi bebas menjadi positif pada konsentrasi 3 ppm dan 10 ppm, dimana berarti menurunkan reaksi anodik. Penurunan reaksi anodik mengurangi aliran elektron (charge) menuju daerah katodik sehingga kecepatan reaksi elektrokimia berkurang. Berkurangnya reaksi elektrokimia berarti menurunkan nilai laju korosi. Di sisi lain, pada konsentrasi 5 ppm, nilai potensial korosi bebas bergerak ke arah negatif, dimana ini berarti menurunkan reaksi katodik. Perilaku perubahan nilai potensial korosi bebas dan nilai potensial korosi (Gambar 2 dan Gambar 3) mempunyai kesamaan, dimana perubahan nilai-nilai tersebut di bawah 85 mV vs SCE. Oleh karena itu, inhibitor imidazoline salts berjenis inhibitor campuran ( mixed inhibitor).

Gambar 5. Hubungan nilai potensial korosi bebas dan waktu dengan variasi inhibitor dalam

larutan NaCl suhu 65oC Mekanisme kerja inhibitor berbasis imidazoline salts

Proses korosi terjadi karena keberadaan gas CO2 ketika terlarut di dalam air terhidrasi membentuk asam karbonik (H2CO3), dimana hal tersebut meningkatkan nilai laju korosi[15]. Kondisi ini sama dengan larutan uji brine water, dengan peningkatan laju korosi yang dipercepat dengan peningkatan temperatur kerja. Salah satu pendekatan korosi CO2, reaksi katodik yang dominan adalah reduksi ion hidrogen, dimana ion hidrogen disuplai dari reaksi disosiasi asam lemah H2CO3

[9] :

H2CO3 H+ + HCO3-

HCO3- H+ + CO3

2-

H+ + e- 1/2H2

Lebih jauh lagi, selama proses korosi, lapisan scale besi karbonat (FeCO3) terbentuk di permukaan baja, dimana lapisan ini sebenarnya dapat meningkatkan ketahanan pada korosi[16]. Namun peningkatan temperatur kerja, laju korosi dikontrol oleh proses dimana lapisan FeCO3 mengalami pelarutan kimia dan mudah menyerap[7]. Senyawa imidazoline salt yang digunakan dalam penelitian ini termasuk dalam inhibitor korosi dengan mekanisme kerja secara adsorpsi[17], dimana inhibitor adsorpsi mengurangi laju korosi berdasarkan polarisasi dari logam dengan membentuk apisan tipis dari molekul tersebut teradsorpsi pada permukaan. mekanisme imidazoline salt sebagai inhibitor menyatakan bahwa elektron bebas dari gugus

Page 266: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 253

amina pada sisi aktif (R2) yang menjalankan peran sebagai molekul yang mengadsorpsi dan berikatan dengan permukaan logam. Rantai panjang hidrokarbon (R2) merupakan gugus hidrofobik dan menjadi jembatan molekul pada permukaan sebagai barrier pada air dan produk korosi. Pada kasus adsorpsi ke permukaan logam yang mengandung orbital d tak penuh, inhibitor organik seperti imidazolin akan menjadi donor dan ion logam bertindak sebagai akseptor proton. Kekuatan adsorpsi yang terjadi tergantung pada densitas elektronik adsorpsi[16]. KESIMPULAN 1. Penambahan konsentrasi 3 ppm inhibitor imidazoline telah menurunkan laju korosi

secara signifikan pada rentang temperatur uji, dimana efisiensi inhibisi rata-rata adalah 99,9%.

2. Penambahan konsentrasi 5 ppm dan 10 ppm menurunkan laju korosi di bawah nilai 1mpy pada rentang suhu ruang hingga suhu 65°C.

3. peningkatan temperatur larutan, perfoma lapisan pasif FeCO3 menurun draktis hingga temperatur 65oC, namun daerah aktif permukaan baja terlapisi oleh lapisan adsorbsi inhibitor.

DAFTAR PUSTAKA 1. Denny A. Jones, "Principles and Prevention of CORROSION".New York: Macmillan

Puplishing Company,1992,pp.501. 2. R. Álvarez-Manzo, J. Mendoza-Canales, S. Castillo-Cervantes, and J. Marín-Cruz.

2013, Studies on the Development of New Efficient Corrosion Inhibitors forCrude Oil Pipelines: Electrochemical Impedance Spectroscopy Results for 1,8-Naphthyridines. Journal of Mexican Chemical Society 57(1): 30-35.

3. X.Jiang, Y.G.Zheng, D.R.Qu and W.Ke. 2006 "Effect of calcium ions on pitting corrosion and inhibition performance in CO2 corrosion of N80 steel", Corrosion Science 48(10): 3091-3108.

4. T.Hong, Y.H.Sun and W.P. Jepson. 2002."Study on corrosion inhibitor in large pipelines under multiphase flow using EIS", Corrosion Science 44(1): 101-112.

5. F.Bentiss, M. Lagrenee, M.Traisnel and J.C. Hornez,1999,"The corrosion inhibition of mild steel in acidic media by a new triazole derivative",Corrosion Science 41(4):789-803.

6. F.Bentiss, M. Lagrenee, M.Traisnel and J.C. Hornez,1999,"The corrosion inhibition of mild steel in acidic media by a new triazole derivative",Corrosion Science 41(4):789-803.

7. H.M. Abd El-Lateef, V.M. Abbasov, L.I. Aliyeva and T.A. Ismayilov.2012."Corrosion Protection of Steel Pipelines Against CO2 Corrosion-A Review", Chemistry Journal 2(2) : 52-63.

8. O. Olivares-Xometl, N.V. Likhanova, M.A. Domı´nguez-Aguilar, J.M. Hallen, L.S. Zamudio, E. Arce, 2006, "Surface analysis of inhibitor films formed by imidazolines and amides on mild steel in an acidic environment", Applied Surface Science 252: 2139–2152

9. Osokogwu,U,Oghenekaro .E.2012,"Evaluation of Corrosion Inhibitors Effectiveness in Oilfield Production Operations”, International Journal of Scientific & Technology Research 1(4): 19-23.

10. M. Fontana, "Corrosion Engineering".New York: McGraw-Hill International ,1987,pp.26.

11. L.M.Rivera-Grau,M. Casales, I. Regla, D. M. Ortega-Toledo, J.G. Gonzalez-Rodriguez, L. Martinez Gomez,2012, “CO2 Corrosion Inhibition by Imidazoline Derivatives Based on Coconut Oil”, International Journal of Electrochemical Science 7:13044-13057.

Page 267: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

254 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

12. M. Yadav, S. Kumar, I. Bahadur, D. Ramjugernath,2014, Electrochemical and Quantum Chemical Studies on Synthesized Phenylazopyrimidone Dyes as Corrosion Inhibitors for Mild Steel in a 15% HCl Solution, International Journal of Electrochemical Science 9: 3928-3950.

13. T. Sethi, A. Chaturvedi, R.K. Upadhyay and S.P. Mathur, 2007 "Corrosion Inhibitory Effects of Some Schiff`s Bases on Mild Steel in Acid Media”, Journal of the Chilean Chemical Society 52(3): 1206-1213.

14. S.Mohammadi, F.B. Ravari, and A. Dadgarinezhad, 2012,"Improvement in Corrosion Inhibition Efficiency of Molybdate-Based Inhibitors via Addition of Nitroethane and Zinc in Stimulated Cooling Water", ISRN Corrosion, vol. 2012, Article ID 515326, 9 hal.

15. S. Nesic,B.F.M.Pots, J. Postlethwaite and N.Thevenot, " Superposition of Diffusion and Chenical Reaction Controlled Limiting Currents- Aplication to CO2 Application”, Technical report, Institute for Energy Technology: 1-9.

16. J. Szyprowski,2003," Methods of Investigation on Hydrogen Sulfide Corrosion of Steel and Its Inhibitors". Corrosion 59(1): 68-81.

17. Anbarasi, M., Rajendran, M., Pandiarajan, M., dan Krishnaveni, A., 2013, An Encounter with Corrosion Inhibitors, Eur. Chem. Bull., 2(4), 197-207

Page 268: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 255

EVALUASI DAMPAK CRYOGENIC TREATMENT DAN TEMPER TERHADAP ADI (AUSTEMPER DUCTILE IRON) TOOL LIFE

Agus Suprapto*, Agus Iswantoko, Ike Widyastuti

Universitas Merdeka Malang *E-mail: [email protected]

Abstrak Mengatasi masalah keausan pahat dengan menggunakan cairan pendingin untuk mengurangi gesekan

atau menggunakan pelapisan pada pahat. Banyak industri mengembangkan penggunaan cryogenic treatment untuk memperbaiki tool life menjadi lebih lama. Tujuan penelitian ini untuk mengevaluasi dampak cryogenic treatment dan temper terhadap ADI (Austemper Ductile Iron) tool life. Metode yang dipakai dalam penelitian ini menggunakan proses cryogenic treatment yang dilanjutkan dengan proses temper pada pahat ADI (Austemper Ductile Iron). Pahat ADI (Austemper Ductile Iron) hasil proses tersebut diatas di implementasikan pada proses pembubutan material paduan Alumunium T-6061 dengan kedalaman potong (a) divariasikan 0,1 mm; 0,5mm dan 1 mm, sedangkan kecepatan potong (Vc) 70 m/menit dan gerak makan (f) 0,1 mm/putaran dibuat konstan. Analisa pengujian ini dilakukan dengan metode analitis dan pengamatan dengan mikroskope digital dan uji keras dengan metode Rockwel. Temuan hasil penelitian: (1). Keausan tepi pahat Vb semakin besar dengan kedalaman potong a semakin besar, dan tool life nya T semakin pendek. (2) Ada peningkatan tool life sebesar 92% dengan cryogenic treatment selama 48 jam pada kondisi kedalaman potong a 1mm, kecepatan potong Vc 70 m/menit dan gerak makan f 0,1 mm/putaran, Dengan kondisi yang sama untuk hasil cryogenic treatment selama 48 jam dan temper pada temperature 150°C selama 1 jam terjadi peningkatan tool life sebesar 125%. (3) Untuk cryogenic treatment pada kondisi kedalaman potong a 1mm persamaan tool life Taylor VT0,072 = 107.8074 dan untuk cryogenic treatment dan temper pada kondisi kedalaman potong yang sama, persamaan tool life Taylor VT0,070 = 106.7000.

Kata kunci: Pahat ADI, Tool life, Keausan tepi pahat, Cryogenic treatment, Temper PENDAHULUAN

Dalam suatu proses pembubutan terjadi gesekan antara pahat dengan benda kerja yang menimbulkan panas, sehingga akan terjadi keausan pahat, hal ini berdampak pada tool life semakin pendek. Pada umumnya pada proses pemotongan logam untuk mengatasi masalah keausan pahat menggunakan cairan pendingin untuk mengurangi gesekan atau menggunakan pelapisan pada pahat. Cryogenic treatment dewasa ini banyak dikembangkan oleh industri untuk memperbaiki ketahanan aus pada cutting tool, gear, dan lain-lain (Thamizhmanii, S. et al, 2011; Ramji B.R. et al, 2010; Kollmer K.P, 2007), sehingga tool life menjadi lebih lama, hal ini dapat menghemat biaya pengasahan/penajaman (resharping) pahat dan waktu pergantian pahat.

Cryogenic treatment adalah suatu proses pendinginan suatu bahan baja, stainless steel dan lain-lain dari temperatur kamar sampai dengan temperature -320°F (-196°C) kemudian pada temperatur tersebut ditahan (soaking) selama waktu tertentu dan dilanjutkan dengan penghangatan sampai temperatur kamar (Singh, S. et al, 2012 dan Ramji B.R. et al, 2010). Rajendra K. et al (2007) mengklasifikasikan jenis treatment bahan dibawah temperatur kamar ada 2, yaitu subzero atau cold treatment dan cryogenic treatment. Subzero treatment dilakukan pada -145°C (-230°F) dan cryogenic treatment dilakukan pada – 195°C di nitrogen cair.

Society of Manufacturing Engineers (SME), 2012 menyatakan pengaruh proses cryogenic treatment pada material Austemper Ductile Iron (ADI) terhadap sifat mekanik (kekerasan HRc 41,4) terjadi peningkatan kekerasan 10,4 % dibanding dengan material ADI tanpa cryogenic treatment (kekerasannya HRc 37,5). Hal ini didukung hasil penelitian Yazdani S.and, Ardestani M.(2007) yang menunjukkan pengaruh sub-zero cooling pada ADI (Austemper Ductile Iron) terhadap sifat kekerasannya meningkat HB 66 (19,6 %) dibanding sebelum di treatment kekerasannya HB 337. Chang-Yong Kang et al (2009), menunjukkan

Page 269: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

256 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

pengaruh Subzero Treatment terhadap sifat kekerasan ADI (Austempered Ductile Iron) semakin meningkat 18%.

Hasil penelitian yang dilakukan (Suprapto, A. et al, 2014A), menunjukkan carbide tool life untuk membubut Alumunium T- 6061, dengan cryogenic treatment pada kondisi kecepatan potong (Vc) 70 m/menit, gerak makan (f) 0,1 mm/putaran dan kedalaman potong a 1mm persamaan tool life Taylor VT0,050 = 115,6598 dan untuk cryogenic treatment dan temper pada kondisi yang sama, persamaan tool life Taylor VT0,035 = 103,6707 terjadi peningkatan tool life sebesar 105% dibandingkan dengan pahat tanpa treatment.

Menindaklanjuti penelitian yang dilakukan Suprapto, A. et al, 2014A, menentukan carbide tool life untuk membubut Alumunium T- 6061, pada penelitian ini mengevaluasi dampak cryogenic treatment dan temper terhadap ADI (Austemper Ductile Iron) tool life untuk di implementasikan pada proses pembubutan material paduan Alumunium T-6061 dengan kedalaman potong (a) divariasikan, sedangkan gerak makan (f) dan kecepatan potong (Vc) yang konstan.

METODE PERCOBAAN Pengujian cryogenic treatment (Suprapto, A. dkk, 2014B) a) Pendinginan pada nitrogen cair ditahan (soaking) dengan variasi 2 jam (6 sampel), 24

jam (6 sampel) dan 48 jam (6 sampel). b) Sampel yang telah didinginkan dalam nitrogen cair dengan variasi soaking diambil

masing-masing 3 sampel, Selanjutnya ditemper pada temperatur 150°C ditahan (soaking) selama 1 jam, kemudian didinginkan di udara.

Pengujian pada proses pemesinan (Suprapto, A. dkk, 2014B) a) Menyiapkan material Alumunium 6061- T dengan panjang = 100 mm dan diameter

= 22 mm, dicekamkan pada spindel utama b) Melakukan proses pembubutan dengan kondisi Vc = 70 m/menit dan f = 0,1

mm/putaran dan kedalaman potong a bervariasi 0,1 mm; 0,5 mm dan 1 mm c) Penghentian proses pembubutan untuk mencatat waktu pemotongan (tc) dengan stop

watch masing-masing 6 menit dan mengukur keausan tepi (VB) dengan menggunakan Digital Microscope

d) Membuat analisa hasil penelitian HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan Tabel 1 hubungan keausan tepi pahat, VB dan tool life, T dengan berbagai kondisi menunjukkan bahwa semakin besar kedalaman potong,a maka keausan tepi pahat, VB semakin besar dan tool life, T semakin pendek.

Tabel 1 menunjukkan keausan tepi pahatnya, VB pada kondisi tanpa perlakuan (untreated) lebih besar dibandingkan dengan perlakuan (treated) pendinginan nitrogen dengan berbagai soaking (penahanan) pada kedalaman potong yang sama, (a: 0,1 mm; 0,5 mm; 1 mm). Hal yang sama juga ditunjukan pada perlakuan (treated) pendinginan nitrogen dengan berbagai soaking (penahanan 2 jam; 24 jam; 48 jam ) pada kedalaman potong yang sama (a: 0,1 mm; 0,5 mm; 1 mm), keausan tepi pahatnya VB lebih besar dibandingkan dengan perlakuan (treated) pendinginan nitrogen + temper pada temperature 150 C selama 1 jam. Hal ini berlaku sebaliknya untuk tool life pada kondisi untreated, treated pendinginan nitrogen dan treated pendinginan nitrogen + temper (lihat Tabel 1).

Gambar 1 menunjukkan bahwa pengaruh penahanan (soaking) semakin lama pada proses pendinginan nitrogen maupun pada proses pendinginan nitrogen + temper, maka ADI tool life semakin meningkat dengan berbagai kedalaman potong, begitu sebaliknya semakin besar kedalaman potongnya maka ADI tool life semakin pendek. Pahat ADI dengan mendapat proses perlakuan pendinganan nitrogen + temper, tool life nya T semakin panjang (lihat Gambar 1).

Page 270: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 257

Berdasarkan Tabel 2 menunjukkan angka kekerasan yang tertinggi HRc 33,7 pada pahat ADI yang telah mendapat perlakuan pendinginan nitrogen dengan soaking selama 48 jam dilanjutkan dengan temper pada temperatur 150°C selama 1 jam, dibandingkan dengan pendinginan nitrogen dengan soaking yang sama tanpa temper ada peningkatan kekerasan sebesar 3 % begitu juga untuk soaking 24 jam ada peningkatan kekerasan sebesar 14 %, sedangkan untuk soaking 2 jam ada peningkatan kekerasan sebesar 30 %. Sedangkan untuk pahat ADI tanpa perlakuan angka kekerasannya hanya HRc 23. Ini menunjukkan dengan perlakuan pendinginan nitrogen dengan variasi soaking : 2jam dan 48 jam ada peningkatan kekerasan pada pahat ADI sebesar 14 % dan 42 %. Hal ini didukung SME (2012) menyatakan pengaruh proses cryogenic treatment pada material ADI (Austemper Ductile Iron) terhadap sifat mekanik (kekerasan HRc 41,4) terjadi peningkatan kekerasan 10,4 % dibanding dengan material ADI tanpa cryogenic treatment (kekerasannya HRc 37,5). Begitu juga hasil penelitian Yazdani S.and Ardestani, M. (2007) yang menunjukkan pengaruh sub-zero cooling pada ADI (Austemper Ductile Iron) terhadap sifat kekerasannya meningkat HB 66 (19,6 %) dibanding sebelum di treatment kekerasannya HB 337. Chang-Yong Kang et al (2009), menunjukkan pengaruh Subzero Treatment terhadap sifat kekerasan ADI (Austempered Ductile Iron) semakin meningkat 18%. Dalam penelitian ini ada perbedaan untuk proses cryogenic treatment dengan tambahan proses temper dengan variasi soaking : 2jam dan 48 jam, angka kekerasannya semakin meningkat 30 % dan 47 %.

Kekerasan pahat ADI semakin tinggi maka ketahanan aus dan tool life nya semakin panjang, hal ini ditunjukkan pada pahat ADI untuk kondisi kedalaman potong a= 0,1 mm, kecepatan potong Vc= 70 m/mnt dan gerak makan f= 0,1 mm/putaran yang mendapat perlakuan pendinginan nitrogen + temper mempunyai keauasan tepi pahat yang terkecil Vb = 0,196 mm (lihat Tabel 1) dengan kekerasan tertinggi HRc 33,7 (lihat Tabel 2) dan tool life T= 83661,95 menit (lihat Tabel 1).

Untuk kedalaman potong a= 1 mm, kecepatan potong Vc= 70 m/mnt dan gerak makan f= 0,1 mm/ putaran, persamaan tool life Taylor tanpa perlakuan, VT0,100 = 136,7363. Persamaan tool life Taylor untuk kondisi perlakuan pendinginan nitrogen dengan soaking 48 jam, VT0,072 = 107,8074. Persamaan tool life Taylor dengan perlakuan pendinginan nitrogen dengan soaking 48 jam + temper pada temperature 150°C selama 1 jam, VT0,070 = 106,7000. Untuk persamaan tool life Taylor VTn = C pada berbagai kondisi dapat dilihat pada Tabel 1. Berdasarkan persamaan tool life Taylor pada kondisi kecepatan potong Vc=70 m/menit, kedalaman potong a=1mm dan gerak makan f= 0,1 mm/putaran terjadi peningkatan tool life hasil cryogenic treatment sebesar 92%, hasil ini didukung oleh Ramji B.R. et al, (2010) menunjukkan cryogenic treatment pada Carbide Inserts yang digunakan untuk membubut besi cor kelabu dapat meningkatkan ketahanan aus sebesar 31 %. Begitu juga yang dilakukan oleh S. Thamizhmanii*, Mohd Nagib, H. Sulaiman (2011), meneliti Cemented carbide tools dilapis dengan cara physical vapour deposition (PVD) digunakan untuk membubut bahan Inconel 718 dengan kecepatan dan gerak makan yang tinggi, pahat yang mendapat cryogenic treatment, tool life lebih besar dibanding tanpa treatment.

ADI tool life yang digunakan untuk membubut Aluminium 6061 hasil cryogenic treatment dan temper terjadi peningkatan tool life sebesar 125%. Hasil ini jauh lebih besar dibanding dengan penelitian yang dilakukan oleh Rupinder Singh, and Kamaljit Singh (2010), yang menunjukkan proses pembubutan crank shaft dengan pahat karbida pada kecepatan potong Vc 250 m/menit, carbide tool life meningkat 22,2 % setelah mendapat cryogenic treatment dan temper. Hal ini dikarenakan bahan yang dibubut lebih keras.

Page 271: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

258 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

Tabel 1. Keausan tepi pahat, VB dengan tool life, T dan Persamaan Taylor pada berbagai kondisi dengan gerak makan f= 0,1 mm/putaran kecepatan potong Vc= 70 m/menit

Kondisi Kedalaman potong, a (mm)

keausan tepi pahat, VB (mm)

Tool life, T (mnt)

Persamaan Taylor

Tanpa perlakuan (Untreated)

0,1 0,499 50992,43 VT0,100 = 152,5478

0,5 0,843 37831,48 VT0,100 = 145,3567

1,0 0,957 25973,72 VT0,100 = 136,7363

Pendinginan Nitrogen dengan soaking 2 jam

0,1 0,485 59162,93 VT0,098 = 151,4663

0,5 0,86 49362,65 VT0,098 = 146,0840

1,0 1,065 41984,62 VT0,098 = 140,4408

Pendinginan Nitrogen dengan soaking 24 jam

0,1 0,175 63905,90 VT0,080 = 125,0543

0,5 0,301 58996,14 VT0,080 = 121,9875

1,0 0,592 45749,44 VT0,080 = 116,7510

Pendinginan Nitrogen dengan soaking 48 jam

0,1 0,164 72481,60 VT0,072 = 115,5026

0,5 0,194 64588,03 VT0,072 = 112,4555

1,0 0,223 49828,35 VT0,072 = 107,8074 Pendinginan Nitrogen dengan soaking 2 jam + temper pd 1500C selama 1 jam

0,1 0,322 73155,34 VT0,087 = 136,7240

0,5 0,517 53782,34 VT0,087 = 130,6818

1,0 0,597 43962,52 VT0,087 = 125,4234 Pendinginan Nitrogen dengan soaking 24 jam + temper pd 1500C selama 1 jam

0,1 0,229 77340,85 VT0,079 = 125,5566

0,5 0,397 57520,62 VT0,079 = 120,4136

1,0 0,499 49322,52 VT0,079 = 116,1933

Pendinginan Nitrogen dengan soaking 48 jam + temper pd 1500C selama 1 jam

0,1 0,196 83661,95 VT0,070 = 114,0860

0,5 0,351 77018,03 VT0,070 = 111,3553

1,0 0,378 58563,33 VT0,070 = 106,7000

Sumber : hasil pengolahan data

Gambar 1. Tool life, T dengan berbagai kondisi pada kedalaman potong yang bervariasi

dengan Kecepatan potong Vc dan gerak makan f konstan

Page 272: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 259

Tabel 2. Hasil uji keras pada pahat ADI tanpa perlakuan (untreated) dan pahat dengan perlakuan (treated) pendinginan nitrogen serta pendinginan nitrogen + temper

KESIMPULAN 1. ADI tool life yang digunakan untuk membubut Aluminium 6061 hasil cryogenic

treatment meningkat sebesar 92% dibandingkan dengan pahat tanpa treatment. 2. ADI tool life yang digunakan untuk membubut Aluminium 6061 hasil cryogenic

treatment dan temper terjadi peningkatan tool life sebesar 125% dibandingkan dengan pahat tanpa treatment.

3. Persamaan tool life Taylor tanpa treatment, VT0,100 = 136,7363. 4. Persamaan tool life Taylor dengan cryogenic treatment VT0,072 = 107,8074. 5. Persamaan tool life Taylor dengan cryogenic treatment dan temper, VT0,070 = 106,7000. 6. Semakin besar kedalaman potongnya maka keausan tepi pahat semakin besar dan ADI

tool life nya semakin pendek. DAFTAR PUSTAKA 1. Thamizhmanii S. et al. 2011. Performance of deep cryogenically treated and non-

treated PVD inserts in milling, Journal of Achievments in Materials and Manufacturing Engineering, Vol.49, Issue 2, Desember 2011, p.460-466

2. Ramji B.R. et al. 2010. Analysis of Roughness and Flank Wear in Turning Gray Cast Iron Using Cryogenically Treated Cutting Tool, Research Journal of Applied Sciences, Engineering and Technology 2(5):Maxwell Scientific Organization, ISSN: 2040-7467, 2010, p.414-417

3. Kollmer K.P, 2007. Applications & Developments in the Cryogenic Processing of Materials, Kollmer-The Technologi Interface.htm.2/23/2007

No Kondisi Uji kekerasan, HRc

Kekerasan Rata-rata,

HRc 1 2 3

1

untr

eate

d

26 21 22 23,0

2

trea

ted

Pen

ding

inan

pa

da

nitr

ogen

ca

ir,

soak

ing

(jam

)

2 25 28 26 26,3

24

29 29 28 28,7

48

32 33 33 32,7

3

trea

ted

Pen

ding

inan

pa

da

nitr

ogen

ca

ir,

soak

ing

(jam

) da

n te

mpe

r 15

00 C 1

jam

2

31 28 31 30,0

24

32 33 33 32,7

48

34 34 33 33,7

Page 273: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

260 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

4. Singh S. et al. 2012. Experimental Analysis of Cryogenic Treatment on Coated Tungsten Carbide Inserts in Turning, International Journal of Advanced Engineering Technology, E-ISSN 0976-3945, IJAET, Vol.III, Issue I, 2012, p.290-294

5. Rajendra K. et al, 2007. Under standing the effect of cryogenic treatment on M2 Tool Steel Properties, Heat Treating Progress, 2007, p.57-60

6. Society of Manufacturing Engineers (SME), 2012.Deep Cryogenic Treatment of Metal, an Emerging Technology, DCT WEBINARS SME March 13 2012, Air Liquide, http://sme.org/ffc/,

7. Yazdani S.and , Ardestani M. 2007.Effect of sub-zero cooling on microstructure and mechanical properties of a low alloyed austempered ductile iron, China Foundry, Vol 4, No 2, pp 120-123

8. Chang-Yong Kang et al. 2009. Effect of Subzero Treatment on the Microstructure and Mechanical Properties of Austempered Ductile Cast Iron”, Materials Transactions, Vol. 50, No. 9 (2009) pp. 2207 to 2211

9. Agus Suprapto, Agus Iswantoko, dan Ike Widyastuti. 2014A.”Impact of Cryogenic Treatment and Temper to carbide tool life on turning process for Al T-6061, International Journal of Applied Engineering Research, ISSN 0973-4562 Volume 9, Number 24 (2014) pp. 30643-30650

10. Agus Suprapto, Agus Iswantoko, dan Ike Widyastuti. 2014B. Dampak Cryogenic Treatment dan Temper terhadap Karakteristik Keausan Pahat Karbida pada Pembubutan Al T-6061, ISBN 2085-2347, Vol-3-2014, Proseding SMM 2014

11. Singh Rupinder, and Singh Kamaljit. 2010. Enhancement of Tool Material Machining Characteristics with Cryogenic Treatment: A Review, Proceedings of the 2010 International Conference on Industrial Engineering and Operations Management Dhaka, Bangladesh, January 9 – 10, 2010

Page 274: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 261

INVESTIGASI SUBSTITUSI Fe OLEH Mn DAN Ni PADA STRUKTUR KRISTAL LiFePO4 BERBASIS HASIL UJI XRD MENGGUNAKAN PERANGKAT LUNAK RIGAKU PDXL: STUDI

KASUS PADA SAMPEL LiFe0.7Mn0.2Ni0.1PO4/C

R. Ibrahim Purawiardi1*, Betty Haifa Sarwono2 1Pusat Penelitian Fisika, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Tangerang Selatan 15314

2Jurusan Fisika, Fakultas Sains dan Teknologi, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta *E-mail: [email protected]; [email protected]

Abstrak LiFePO4 merupakan bahan aktif yang banyak digunakan sebagai katoda baterai lithium-ion. LiFePO4 juga banyak direkayasa menjadi LiFe1-xMxPO4 dan LiFe1-x-yMxMyPO4, dengan M adalah logam transisi. Logam transisi yang banyak digunakan adalah Mn dan Ni. Rekayasa tersebut tidak lain bertujuan untuk meningkatkan kapasitas spesifik dan performa elektrokimia baterai lithium tanpa harus merubah struktur kristal basis LiFePO4. Namun, seringkali pembuatan material rekayasa tersebut mengabaikan ketepatan analisis XRD dalam pengecekan fasa yang terbentuk dan prediksi nilai substitusinya, sehingga saat pengujian elektrokimia seringkali hasil yang diperoleh jauh dari hipotesis yang dirancang. Pengecekan fasa dapat dengan mudah dikarakterisasi dari XRD, namun prediksi nilai substitusinya sulit dilakukan. Sebenarnya, nilai substitusi dapat diprediksi dari hasil analisis kuantitatif XRD. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperkenalkan metode investigasi substitusi Fe oleh Mn dan Ni pada struktur kristal LiFePO4 dengan hanya berbasis hasil uji XRD saja menggunakan perangkat lunak Rigaku PDXL. Penelitian ini menggunakan sampel yang diduga LiFe0.7Mn0.2Ni0.1PO4/C hasil sintesis sendiri sebagai studi kasus. Sampel tersebut kemudian dikarakterisasi menggunakan XRD Rigaku SmartLab. Analisis kuantitatif dan simulasi kemudian dilakukan menggunakan perangkat lunak Rigaku PDXL. Untuk memprediksi posisi atom Fe yang tersubstitusi oleh atom Mn dan atau Ni, dilakukan simulasi perpotongan bidang kristal pensubstitusi (LiMnPO4 dan atau LiNiPO4) terhadap struktur kristal basis LiFePO4. Sementara untuk memprediksi nilai-nilai substitusi, dihitung berdasarkan nilai volume kristal basis LiFePO4 aktual hasil analisis kuantitatif XRD yang dikorelasikan dengan kombinasi nilai-nilai volume kristal standar dari LiFePO4, LiMnPO4, dan LiNiPO4. Hasil investigasi pada sampel contoh kasus dengan target LiFe0.7Mn0.2Ni0.1PO4/C menggunakan metode ini menunjukkan material yang terbentuk adalah LiFe0.68000Mn0.22158Ni0.09842PO4/C dan dapat diketahui pula posisi-posisi atom Fe yang tersubstitusi Ni, atom Fe yang tersubstitusi Mn dan Ni sekaligus, dan atom Fe yang tidak tersubstitusi. Dengan demikian, investigasi substitusi Fe oleh Mn dan Ni pada struktur kristal LiFePO4 berbasis hasil uji XRD dapat dilakukan dengan cara simulasi menggunakan perangkat lunak Rigaku PDXL. Kata kunci: LiFePO4, Mn, Ni, XRD, Substitusi, Simulasi, Investigasi PENDAHULUAN Lithium Iron Phosphate (LiFePO4) merupakan salah satu material yang digunakan sebagai elektroda positif (katoda) pada baterai lithium. LiFePO4 banyak digunakan karena lebih murah, tidak beracun, dan lebih ramah lingkungan[1]. Penelitian awal dari LiFePO4 sebagai katoda baterai lithium menunjukkan nilai kapasitas spesifik yang berkisar 100-110 mAh/g[1]. Penelitian tentang LiFePO4 sendiri semakin lama semakin berkembang, terutama untuk meningkatkan nilai kapasitas spesifiknya. Salah satu cara yang ditempuh untuk meningkatkan kapasitas spesifiknya adalah dengan mensubstitusi sebagian atom Fe dengan Mn dan kombinasi Mn dengan Ni menjadi LiFe1-xMnxPO4, dan LiFe1-x-yMnxNiyPO4. LiFe1-

xMnxPO4 memadukan kombinasi karakteristik dari LiFePO4 dan LiMnPO4. LiMnPO4 sendiri memiliki potensial interkalasi yang dapat mencapai 4,1 V yang berarti lebih besar daripada LiFePO4 yang hanya mencapai 3,45 V[2,3,4]. Dengan demikian tujuan dari dibuatnya LiFe1-

xMnxPO4 adalah meningkatkan pula potensial interkalasi dari struktur basis LiFePO4 menjadi mendekati LiMnPO4. Dalam kombinasi antara LiFePO4 dengan LiMnPO4, material basis yang lebih banyak digunakan adalah LiFePO4, bukan LiMnPO4, oleh sebab itu sintesis LiFe1-

xMnxPO4 lebih banyak dilakukan dibandingkan LiMn1-xFexPO4. Hal ini dikarenakan meskipun memiliki potensial interkalasi yang lebih besar dibandingkan dengan LiFePO4,

Page 275: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

262 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

LiMnPO4 memiliki performa elektrokimia yang buruk[5]. Dalam kasus LiFe1-xMnxPO4 ini, nilai kapasitas spesifiknya dapat mencapai 163,2 mAh/g pada 0.1 C dalam bentuk LiFe0.99Mn0.01PO4/C

[6] dan 138 mAh/g pada 0.1 C dalam bentuk LiFe0.2Mn0.8PO4[7]. LiFe1-x-

yMnxNiyPO4 merupakan bentuk terkini rekayasa doping yang memadukan karakteristik-karakteristik dari LiFePO4, LiMnPO4, dan LiNiPO4. Salah satu bentuknya, yaitu LiFe0.95Ni0.02Mn0.03PO4/C dapat mencapai kapasitas spesifik 115.2 mAh/g pada 10 C[8]. Nilai tersebut cukup untuk digunakan pada mobil listrik. Bila kita perhatikan, bentuk LiFe0.95Ni0.02Mn0.03PO4/C dapat melebihi nilai kapasitas spesifik LiFePO4 pada 10 C. Dengan demikian, peluang semakin berkembangnya penelitian struktur LiFe1-x-yMnxNiyPO4 semakin terbuka lebar mengingat karakteristiknya yang dapat diterapkan pada baterai mobil listrik. Keberhasilan dalam pembuatan katoda LiFe1-x-yMnxNiyPO4 tentu harus diawali dengan keberhasilan sintesisnya itu sendiri. Kesalahan dalam sintesis tentunya akan menyebabkan target performa elektrokimia dari LiFe1-x-yMnxNiyPO4 tidak akan tercapai sesuai dengan harapan. Kesalahan sintesis yang sering terjadi dalam pembuatan LiFe1-x-yMnxNiyPO4 adalah tidak tercapainya struktur kristal basis LiFePO4 dan ketidaktepatan nilai x dan y dalam LiFe1-x-

yMnxNiyPO4. Untuk menginvestigasi apakah struktur LiFePO4 sudah terbentuk, dapat dideteksi dengan pengujian x-ray diffractometer (XRD). Kesulitan yang diperoleh adalah untuk mendeteksi seberapa akurat nilai dari x dan y pada LiFe1-x-yMnxNiyPO4 apabila struktur basis LiFePO4 sudah terbentuk. Dari berbagai publikasi yang ada tentang sintesis LiFePO4 yang disubstitusi dengan Mn atau kombinasi Mn dan Ni, umumnya untuk memastikan fasa tersebut telah terbentuk adalah dengan melihat terbentuknya struktur kristal basis LiFePO4 berbasis uji XRD dan melihat ada tidaknya perubahan pada volume kristalnya. Namun, jarang ditemukan publikasi yang menginvestigasi secara detail apakah nilai substitusi yang terjadi sudah sesuai dengan target yang diinginkan. Memang, untuk menginvestigasi seberapa tepat nilai substitusinya pastinya memerlukan instrumen karakterisasi dengan teknologi tinggi yang tentunya berharga mahal, akan tetapi sebenarnya dari hasil uji XRD pun dapat kita prediksi nilai substitusi tersebut. Dengan bermodalkan data hasil uji XRD saja kita sebenarnya dapat menduga nilai substitusi aktualnya. Oleh sebab itu, penelitian ini mencoba untuk memperkenalkan simulasi metode investigasi substitusi sebagian atom Fe oleh Mn dan Ni pada struktur kristal basis LiFePO4 dengan hanya menggunakan hasil uji XRD saja menggunakan perangkat lunak Rigaku PDXL. Dengan metode ini kita dapat memprediksi seberapa akurat substitusi Mn dan Ni terhadap Fe pada struktur kristal LiFePO4 dengan biaya karakterisasi yang lebih murah karena hanya cukup mengandalkan pengujian XRD saja. METODE PERCOBAAN

Sampel uji dibuat dengan mencampurkan secara homogen 54,64 g LiOH. H2O (teknis, kemurnian 97,3%), 73,57 g α-Fe2O3 (teknis, kemurnian 96,25%), 22,51 g MnO2 (teknis, kemurnian 97,85%), 7,47 g Ni (Merck, kemurnian 99,5%), dan 146,07 g H3PO4 (teknis, kemurnian 85%). Bahan-bahan teknis LiOH.H2O dan H3PO4 merupakan bahan-bahan impor dari Tiongkok, sementara bahan-bahan teknis α-Fe2O3 dan MnO2 merupakan hasil pengembangan dari Pusat Penelitian Metalurgi dan Material – LIPI. Bahan-bahan yang sudah tercampur secara homogen tersebut kemudian dihaluskan hingga ukuran partikel lolos ayakan 200 mesh dan kemudian dikalsinasi dengan temperatur 700oC selama 2 jam. Setelah dikalsinasi, bahan kemudian dihaluskan kembali hingga ukuran partikel lolos ayakan 200 mesh lalu disinter awal dengan temperatur 800oC selama 8 jam. Setelah disinter awal, kembali bahan dihaluskan hingga berukuran partikel lolos ayakan 200 mesh untuk kemudian dicampur hingga homogen dengan tepung tapioka dengan perbandingan massa bahan dan tepung tapioka 4 : 1. Setelah itu, campuran bahan dengan tepung tapioka tersebut disinter akhir dengan temperatur 800oC selama 2 jam. Bahan akhir yang dihasilkan adalah serbuk komposit LiFe1-x-yMnxNiyPO4/C dengan target LiFe0.7Mn0.2Ni0.1PO4/C. Karakterisasi sampel dilakukan menggunakan x-ray diffractometer (XRD) merek Rigaku tipe SmartLab 3kW dengan target Cu-Kα. Parameter pengujian yang digunakan adalah

Page 276: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 263

input 40 kV/30 mA, kecepatan pindai 3o/menit, step width 0,01o, dan interval sudut 2θ mulai 15o hingga 80o. Parameter hasil uji penting yang diperoleh antara lain 2θ, d-spacing, intensitas, parameter kisi, dan volume kristal. Nilai d-spacing digunakan untuk mendeteksi fasa yang terbentuk, sementara nilai volume kristal digunakan untuk menduga nilai-nilai substitusi Mn dan Ni terhadap Fe. Analisis dan simulasi investigasi substitusi menggunakan perangkat lunak Rigaku PDXL. HASIL DAN PEMBAHASAN Langkah pertama untuk melakukan investigasi terhadap sampel berbasis struktur kristal LiFePO4 yang diduga sebagian atom Fe-nya tersubstitusi oleh sebagian atom Mn dan Ni adalah pendeteksian fasa-fasa yang terkandung di dalam sampel yang akan diinvestigasi. Dalam studi kasus ini, sampel yang dipakai adalah sampel yang diduga LiFe0.7Mn0.2Ni0.1PO4/C hasil sintesis sendiri. Hasil pengujian XRD beserta hasil refinement menggunakan perangkat lunak Rigaku PDXL dapat dilihat pada Tabel 1 dan Gambar 1.

Dari hasil pengujian XRD yang dilakukan, terdeteksi fasa LiFePO4. Karbon (C) tidak terdeteksi karena merupakan karbon amorf yang digunakan sebagai penstabil fasa LiFePO4. Fasa LiFePO4 terdeteksi dengan ditemukannya tiga nilai d-spacing sebagai syarat yaitu 2,5228 Å; 3,0097 Å, dan 3,4913 Å pada sudut dua theta 35,557o; 29,658o; dan 25,492o dengan bidang-bidang berindeks Miller (311), (211), dan (111) seperti terlihat pada Tabel 1. Tiga nilai d-spacing tersebut cocok dengan syarat three strongest lines LiFePO4 pada standar ICDD dengan PDF 4+ nomor 01-080-6319 yang mensyaratkan nilai 2,51974 Å untuk d-spacing pertama, 3,0034 Å untuk d-spacing kedua, dan 3,48394 Å untuk d-spacing ketiga. Setelah tiga nilai d-spacing sebagai syarat terpenuhi, langkah selanjutnya adalah mencocokkan nilai-nilai d-spacing yang tersisa. Dari semua nilai d-spacing yang tersisa, seluruhnya cocok dengan nilai-nilai d-spacing pada PDF 4+ nomor 01-080-6319.

Gambar 1. Hasil refinement pola difraksi sinar-x sampel dengan target

LiFe0.7Mn0.2Ni0.1PO4/C

Hasil refinement menggunakan metode Rietveld terhadap pola difraksi sinar-x sampel sendiri menunjukkan hasil yang cukup konvergen dengan nilai chi2 sebesar 1,0323 dan Rwp sebesar 10,12%. Hal ini menunjukkan bahwa hanya terdeteksi satu fasa saja, yaitu fasa LiFePO4. Dengan hanya terdeteksi fasa LiFePO4 saja, maka ada kemungkinan Mn dan Ni mensubstitusi sebagian atom Fe pada struktur kristal LiFePO4. Untuk mengetahui secara pasti,

Page 277: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

264 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

harus dilakukan tahapan investigasi selanjutnya, yaitu simulasi perpotongan bidang-bidang milik LiMnPO4 dan LiNiPO4 terhadap atom Fe yang terdapat pada struktur kristal LiFePO4.

Tabel 1. Hasil analisis fasa pada sampel dengan target LiFe0.7Mn0.2Ni0.1PO4/C

No. 2 theta (deg)

dobs (Å)

Referensi LiFePO4 (PDF4+ # 01-080-

6319)

Referensi LiMnPO4 (PDF4+ # 01-078-5417)

Referensi LiNiPO4 (PDF4+ # 04-006-

9063)

dref (Å)

hkl dref (Å)

hkl dref (Å)

hkl

1. 20,70900 4,28560 4,27677 101 2. 22,65000 3,92200 3,91412 210 3. 25,49200 3,49130 3,48394 111 3,50933 201 4. 29,65800 3,00970 3,00340 211 5. 32,16000 2,78100 2,77577 301 6. 35,55700 2,52280 2,51974 311 2,52973 220 7. 36,46300 2,46210 2,45787 121 8. 39,79000 2,26340 2,27214 221 2,27890 102 9. 52,42100 1,74400 1,74197 222 10. 55,51000 1,65400 1,65355 610 11. 56,53300 1,62655 1,62388 331

Pada dasarnya, material LiFe0.7Mn0.2Ni0.1PO4 merupakan rekayasa dari material

LiFePO4. Oleh sebab itu, struktur kristalnya pun akan tetap merupakan struktur kristal LiFePO4. Justru, bila hasil pengujian XRD menunjukkan ada fasa lain berbasis Mn dan atau Ni disamping fasa LiFePO4 sebagai kristal basisnya, maka substitusi sebagian atom Fe oleh Mn dan Ni tidak terjadi. Meskipun berbasis struktur kristal LiFePO4, material rekayasa LiFe0.7Mn0.2Ni0.1PO4 akan memiliki karakteristik struktur-struktur kristal LiMnPO4 dan LiNiPO4 namun tidak akan mencapai bentuk sempurna struktur-struktur kristal tersebut. Kemiripan tersebut salah satunya terlihat pada kecocokkan pada nilai d-spacing. Pada Tabel 1 dapat dilihat nilai d-spacing 3,4913 Å selain cocok dengan referensi LiFePO4 juga cocok dengan referensi LiMnPO4 (ICDD/PDF 4+ No. 01-078-5417) dengan bidang (201). Selain itu, nilai-nilai d-spacing 2,5228 Å dan 2,2634 Å juga cocok dengan referensi LiNiPO4 (ICDD/PDF 4+ No. 04-006-9063) dengan bidang-bidang (220) dan (102).

Gambar 2. Struktur kristal standar LiFePO4 tanpa substitusi atom

Page 278: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 265

Bidang-bidang LiMnPO4 dan LiNiPO4 yang memiliki kecocokkan nilai d-spacing dengan basis LiFePO4 tersebut kemudian disimulasikan satu per satu ke dalam struktur kristal LiFePO4 yang terdeteksi menggunakan perangkat lunak Rigaku PDXL. Bila bidang-bidang LiMnPO4 dan LiNiPO4 tersebut memotong atom Fe, maka disitulah kemungkinan besar posisi atom Fe yang tersubstitusi oleh atom Mn dan atau Ni. Namun bila bidang-bidang LiMnPO4 dan LiNiPO4 tersebut tidak memotong atom Fe pada struktur kristal LiFePO4, maka Mn dan atau Ni tidak berhasil mensubstitusi sebagian atom Fe. Dari hasil simulasi pada Gambar 3 dapat terlihat bahwa bidang (201) milik LiMnPO4 memotong salah satu atom Fe pada struktur kristal LiFePO4. Hal ini menunjukkan atom Fe pada posisi tersebut kemungkinan besar tersubstitusi sebagian oleh Mn. Bila total atom Fe tergantikan oleh atom yang lain maka bidang dari pensubstitusi akan tepat memotong atom Fe di pusatnya. Pada kasus di Gambar 3, bidang (201) milik LiMnPO4 tidak memotong tepat di pusat atom Fe sehingga kemungkinan terbesarnya adalah atom Fe tersebut hanya tersubstitusi sebagian oleh Mn.

. Gambar 3. Simulasi perpotongan atom Fe dengan bidang (201) LiMnPO4 pada struktur

kristal LiFePO4

Hasil simulasi perpotongan atom Fe pada struktur kristal LiFePO4 dengan bidang (220) milik LiNiPO4 dapat dilihat pada Gambar 4. Hasil simulasi tersebut menunjukkan bidang (220) milik LiNiPO4 juga memotong salah satu atom Fe pada struktur kristal LiFePO4. Seperti halnya simulasi yang ditunjukkan pada Gambar 3, pada hasil simulasi ini atom Fe tidak terpotong tepat pada pusat atomnya oleh bidang pensubstitusi. Hal ini menunjukkan bahwa atom Fe pada posisi ini juga hanya tersubstitusi sebagian saja oleh Ni.

Page 279: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

266 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

Gambar 4. Simulasi perpotongan atom Fe dengan bidang (220) LiNiPO4 pada struktur kristal

LiFePO4

Hasil simulasi perpotongan atom Fe pada struktur kristal LiFePO4 dengan bidang (102) milik LiNiPO4 dapat dilihat pada Gambar 5. Hasil simulasi tersebut juga menunjukkan ada atom Fe pada struktur kristal LiFePO4 yang terpotong oleh bidang pensubstitusi, dalam hal ini pensubstitusi adalah bidang (102) milik LiNiPO4. Namun, atom Fe tersebut tidak terpotong oleh bidang (102) milik LiNiPO4 tepat pada pusat atomnya, sehingga hanya sebagian atom Fe saja yang tersubstitusi oleh Ni pada posisi ini. Uniknya, posisi atom Fe yang terpotong ini, sama dengan posisi atom Fe yang terpotong pada simulasi yang ditunjukkan Gambar 3. Hal ini menunjukkan atom Fe pada posisi tersebut tersubstitusi sebagian oleh Mn dan sebagian lagi oleh Ni.

Gambar 5. Simulasi perpotongan atom Fe dengan bidang (102) LiNiPO4 pada struktur kristal

LiFePO4

Dengan menggabungkan hasil simulasi yang ditunjukkan pada Gambar 3, Gambar 4, dan Gambar 5, maka dapat diketahui atom Fe pada posisi mana yang tersubstitusi oleh atom Ni, atom Fe mana yang tersubstitusi sekaligus oleh Mn dan Ni, serta atom-atom Fe mana yang

Page 280: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 267

tidak tersubstitusi baik oleh Mn maupun Ni. Gambaran detail hasil simulasi keseluruhannya dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Struktur kristal LiFePO4 yang tersubstitusi Mn dan Ni beserta posisi Fe yang

tersubstitusinya

Setelah mengetahui posisi atom-atom Fe yang tersubstitusi, langkah selanjutnya adalah menentukan nilai substitusi aktualnya. Untuk menentukan nilai substitusi aktual, hal yang harus diamati adalah nilai volume kristal setelah refinement. Nilai volume kristal yang diperoleh adalah 292,02 Å3. Idealnya, besar volume kristal untuk LiFePO4 adalah 291,31 Å3 berdasarkan standar LiFePO4 (ICDD/PDF 4+ No. 01-080-6319). Adanya penambahan besar volume kristal dibandingkan standar LiFePO4 dikarenakan adanya volume tambahan dari Mn dan Ni yang mensubstitusi sebagian atom Fe. Substitusi atom Mn kepada atom Fe pada struktur kristal LiFePO4 akan menyebabkan timbulnya sebagian karakteristik LiMnPO4. Di satu sisi, substitusi atom Ni pada atom Fe juga akan menimbulkan sebagian karakteristik LiNiPO4. Salah satu karakteristik tersebut adalah pada nilai volumenya. Standar nilai volume kristal LiMnPO4 adalah 301,67 Å3 (ICDD/PDF 4+ No. 01-078-5417), sedangkan standar nilai volume kristal LiNiPO4 adalah 275,20 Å3 (ICDD/PDF 4+ No. 04-006-9063). Nilai volume aktual setelah refinement merupakan penjumlahan dari volume LiFePO4, LiMnPO4, dan LiNiPO4 yang masing-masing memiliki faktor pengali. Faktor-faktor pengali itulah yang merupakan nilai substitusinya. Bila kita menjumlahkan (0.68 x volume kristal LiFePO4) dengan (0,22158 x volume kristal LiMnPO4) dan (0.09842 x volume kristal LiNiPO4) maka akan terjadi operasi penjumlahan (0,68 x 291,31 Å3) + (0,22158 x 301,67 Å3) + (0,09842 x 275,20 Å3) dengan hasil sebesar 292,02 Å, sesuai dengan volume aktual hasil refinement. Dengan demikian kita dapatkan faktor-faktor pengali 0,68; 0,22158; dan 0,09842 yang merupakan nilai-nilai substitusi untuk Fe, Mn, dan Ni. Dengan demikian, material aktual yang kita uji memiliki rumus kimia LiFe0.68000Mn0.22158Ni0.09842PO4, mendekati target sintesis LiFe0.7Mn0.2Ni0.1PO4. Untuk membuktikan lebih teliti, maka perlu dilakukan refinement kembali menggunakan metode Rietveld namun dengan tambahan atom Mn dan Ni dengan nilai-nilai occupancy pada atom Fe, Mn, dan Ni mengikuti nilai-nilai substitusinya seperti yang terlihat pada Tabel 2.

Page 281: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

268 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

Tabel 2. Posisi-posisi atom pada sampel dengan target LiFe0.7Mn0.2Ni0.1PO4/C

Atom Koordinat Ruang

Occupancy x/a y/b z/c

Li 0,00000 0,00000 0,00000 1,00000 Fe 0,28222 0,25000 0,97472 0,68000 Mn 0,28222 0,25000 0,97472 0,22158 Ni 0,28222 0,25000 0,97472 0,09842 P 0,09486 0,25000 0,41820 1,00000 O 0,09678 0,25000 0,74279 1,00000 O 0,45710 0,25000 0,20602 1,00000 O 0,16558 0,04646 0,28478 1,00000

Hasil refinement kembali dengan menggunakan input posisi-posisi atom seperti pada

Tabel 2 menghasilkan parameter chi2 sebesar 1,0319 dan Rwp sebesar 10,11%. Nilai-nilai parameter tersebut lebih konvergen dibandingkan refinement pertama yang tidak memperhitungkan atom-atom Mn dan Ni yang menghasilkan chi2 sebesar 1,0323 dan Rwp sebesar 10,12%. Setelah refinement kembali, nilai-nilai parameter kisi dan volume kristal juga harus diamati. Baik dari hasil refinement awal maupun refinement yang memperhitungkan atom Mn dan Ni, tidak ada perbedaan nilai-nilai parameter kisi dan volume kristalnya. Dengan demikian dapat dikatakan nilai-nilai substitusi yang dimasukkan sebagai input refinement sudah cukup akurat. Nilai-nilai parameter kisi sampel sendiri adalah a = 10,3225 Å, b = 6,0143 Å, dan c = 4,7037 Å dengan sudut-sudut α, β, dan γ sebesar 90o yang menunjukkan struktur kristal adalah orthorombik. Space group sampel sendiri adalah Pnma. KESIMPULAN Investigasi substitusi Fe oleh Mn dan Ni pada struktur kristal LiFePO4 berbasis hasil uji XRD dapat dilakukan dengan simulasi menggunakan perangkat lunak Rigaku PDXL. Simulasi perpotongan bidang pensubstitusi terhadap struktur kristal basis dilakukan untuk menentukan posisi atom Fe yang tersubstitusi. Nilai-nilai substitusi merupakan faktor pengali a, b, dan c dari operasi penjumlahan (a x volume kristal standar LiFePO4) + (b x volume kristal standar LiMnPO4) + (c x volume kristal standar LiNiPO4) dengan nilai hasil penjumlahan adalah nilai volume kristal aktual sampel setelah refinement.

Hasil investigasi pada sampel contoh kasus dengan target LiFe0.7Mn0.2Ni0.1PO4/C menggunakan metode ini menunjukkan material yang terbentuk adalah LiFe0.68000Mn0.22158Ni0.09842PO4/C. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih disampaikan kepada program SINas Konsorsium Riset Pengembangan Baterai Sekunder Lithium untuk Kendaraan Ramah Lingkungan (Mobil Listrik), Kementrian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi yang telah membiayai riset dan Pusat Penelitian Fisika – LIPI yang telah menyediakan tempat riset. DAFTAR PUSTAKA 1. A. K. Padhi, K. S. Nanjundaswamy, and J. B. Goodenough, “Phospho-olivines as

Positive-Electrode Materials for Rechargeable Lithium Batteries,” J. Electrochem. Soc., vol. 144, pp. 1188-1194, April 1997.

2. Y. Gu, H. Wang, Y. Zhu, L. Wang, Y. Qian, and Y. Chu, “Hydrothermal Synthesis of 3D-Hierarchical Hemoglobin-like LiMnPO4 Microspheres as Cathode Materials for Lithium-ion Batteries,” Solid State Ionics, vol. 274, pp. 106-110, March 2015.

3. P. Barpanda, K. Djellab, N. Recham, M. Armand, and J. M. Terascon, “Direct and Modified Ionothermal Synthesis of LiMnPO4 with Tunable Morphology for Rechargeable Li-ion Batteries,” J. Mater. Chem., vol. 21, pp. 10143-10152, March 2011.

Page 282: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 269

4. S. M. Oh, S. T. Myung, Y. S. Choi, K. H. Oh, and Y. K. Sun, “Co-precipitation Synthesis of Micro-sized Spherical LiMn0.5Fe0.5PO4 Cathode Material for Lithium Batteries,” J. Mater. Chem., vol. 21, pp. 19368-19374, 2011.

5. G. Meligrana, F. Di Lupo, S. Ferrari, M. Destro, S. Bodoardo, N. Garino, and C. Gerbaldi, “Surfactan-assisted Mild Hydrothermal Synthesis to Nanostructured Mixed Orthophosphates LiMnyFe1-yPO4/C Lithium Insertion Cathode Materials,” Electrochimica Acta, vol. 105, pp. 99-109, May 2013.

6. A. Naik, J. Zhou, C. Gao, G. Liu, and L. Wang, “Rapid and Facile Synthesis of Mn Doped Porous LiFePO4/C from Iron Carbonyl Complex,” Journal of Energy Institute xxx, pp. 1-9, January 2015.

7. J. Hong, F. Wang, X. Wang, and J. Graetz, “ LiFexMn1-xPO4: A Cathode for Lithium-ion Batteries,” Journal of Power Sources, vol. 196, pp. 3659-3663, December 2010.

8. H. Shu, X. Wang, Q. Wu, B. Hu, X. Yang, Q. Wei, Q. Liang, Y. Bai, M. Zhou, C. Wu, M. Chen, A. Wang, and L. Jiang, “ Improved Electrochemical Performance of LiFePO4/C Cathode via Ni and Mn Co-doping for Lithium-ion Batteries,” Journal of Power Sources, vol. 237, pp. 149-155, March 2013.

Page 283: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

270 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

Page 284: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 271

SINTESIS γ-Al2O3 NANO PARTIKEL METODE SOL GEL SEBAGAI BAHAN PENYANGGA KATALIS

UNTUK PROSES HIDROGENASI PARSIAL BIODIESEL

Dwita Suastiyanti1*, Dwi Ratna Mustafida2, Nikko Eddy Sugianto2, Joelianingsih2 1Teknik Mesin Institut Teknologi Indonesia-Serpong, 2Teknik Kimia Institut Teknologi Indonesia-Serpong

*E-mail: [email protected]

Abstrak Energi alternatif pengganti minyak bumi kini menjadi salah satu pertimbangan energi masa depan, salah

satu energi alternatif adalah biodiesel. Dalam pembuatan biodiesel diperlukan katalis yang baik untuk menunjang proses pembuatan biodiesel melalui proses hidrogenasi parsial. Proses hidrogenasi parsial diperlukan untuk meningkatkan stabilitas oksidasi biodiesel. Katalis heterogen yang digunakan dalam proses peningkatan stabilitas oksidasi biodiesel adalah katalis Pt-Rh-Pd yang disupport oleh γ-Al2O3. Senyawa γ-Al2O3

yang tersedia di pasaran sebagai produk komersial umumnya belum dalam bentuk nanopartikel dan fasa tunggal. Padahal ukuran nanopartikel sangat penting untuk mencegah terjadinya porositas sedangkan fasa tunggal diperlukan agar kinerja Pt-Rh-Pd yang akan diimpregnasi ke dalam γ-Al2O3 mempunyai kinerja yang baik untuk proses hidrogenasi tanpa diganggu oleh adanya fasa pengotor. Oleh karena itu dalam penelitian ini akan dilakukan sintesis γ-Al2O3 dengan metode sol-gel. Dengan metode sol-gel diharapkan menghasilkan γ-Al2O3 dalam bentuk nanopartikel dan fasa tunggal, sehingga dapat mensupport katalis Pt-Rh-Pd yang akan memiliki kemurnian tinggi. Pada penelitian ini prekursor yang digunakan adalah alumunium nitrat [Al(NO3)3.9H2O] dan ammonium nitrat, NH4OH yang akan dilarutkan dalam Aquabidestilat. Pengadukan dilakukan di atas hot plate pada suhu 70 – 80°C sampai terbentuk gel kemudian dilakukan pengeringan pada suhu 90 °C. Temperatur kalsinasi dan sintering diketahui dengan melakukan uji TGA/DTA terhadap gel yang terbentuk dan diperoleh hasil bahwa proses kalsinasi dilakukan pada temperatur 345 oC selama 3 jam, dan proses sinter dilakukan pada temperatur 450oC, 500oC, 550oC selama 5 jam. Serbuk alumina yang dihasilkan dikarakterisasi dengan difraksi sinar-X (XRD) untuk mengkonfirmasi fasa yang terbentuk, Particle Size Analyzer (PSA) untuk mengetahui ukuran partikel dan Scanning Electron Microscopy (SEM) untuk mengetahui morfologi butir. Dengan menggunakan metode sol-gel dan proses sinter pada 500oC selama 5 jam diperoleh alumina serbuk dengan ukuran partikel yang paling kecil pada skala nanometer sebesar 84.5 nm tanpa adanya fasa pengotor. Morfologi Kristal yang diperoleh dari analisis SEM berbentuk agregat dengan ukuran yang belum homogen dan masih terlihat adanya aglomerisasi. Kata kunci: Katalis, Sol gel, Fasa tunggal, Nanopartikel, γ-Al2O3, Biodiesel PENDAHULUAN

Kenaikan harga minyak mentah dunia akhir-akhir ini memberi dampak yang besar pada perekonomian nasional, terutama dengan adanya kenaikan harga BBM. Kenaikan harga BBM secara langsung berakibat pada naiknya biaya transportasi, biaya produksi industri dan pembangkit tenaga listrik. Oleh karena itu perlu adanya energi alternatif pengganti minyak bumi salah satunya biodiesel.

Dalam salah satu proses tahapan pembuatan biodiesel, yaitu tahapan peningkatan stabilitas oksidasi biodiesel mengunakan katalis heterogen Pt-Rh-Pd yang disupport oleh γ-Al2O3. Senyawa γ-Al2O3 adalah alumina transisi yang paling dikenal kegunaannya sebagai senyawa penyangga katalis, dimana senyawa γ-Al2O3 stabil pada suhu tinggi, stabil secara fisik dan kuat serta mudah dibentuk dalam proses pembuatannya. Namun, γ-Al2O3 yang tersedia dipasaran belum fasa tunggal dan masih relatif mahal harganya.

Pada penelitian ini akan dibuat katalis heterogen γ-Al2O3 dalam ukuran nanopartikel fasa tunggal dengan metode yang lebih mudah dan lebih ekonomis. Senyawa γ-Al2O3

nanopartikel sebagai penyangga katalis Pt-Rh-Pd merupakan jenis material yang paling diminati karena memiliki luas area yang besar dan relatif stabil pada interval temperatur pada sebagian besar reaksi katalitik. Senyawa γ-Al2O3 pada umumnya dapat diperoleh dipasaran, akan tetapi harganya cukup mahal dan terkadang material dalam bentuk konvensional tersebut

Page 285: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

272 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

tidak cukup efektif, salah satunya disebabkan oleh aktivitas katalis yang rendah sehingga tidak mampu merengkah reaktan menjadi fraksi-fraksi bakar konvensional. Selain itu aktivitas katalis dibatasi oleh pembentukan kokas dan pori-pori katalis tertutup oleh kokas[1].

Salah satu cara untuk meningkatkan kinerja katalis adalah membuat ukurannya menjadi nanopartikel. Penggunaan katalis nanopartikel telah diteliti oleh beberapa peneliti menggunakan katalis ZSM-5 dalam perengkahan LDPE (Low Density Polyethilen). Hasil yang didapat menunjukkan bahwa nanopartikel ZSM-5 memiliki aktivitas katalis yang lebih tinggi daripada mikropartikel. Oleh sebab itu dalam penelitian ini ukuran senyawa γ-Al2O3

akan dibuat dalam ukuran nanopartikel. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode sol gel karena metode ini

memiliki banyak kelebihan diantaranya proses berlangsung pada temperatur rendah, prosesnya relatif lebih mudah, bisa diaplikasikan dalam segala kondisi (versatile), menghasilkan produk dengan kemurnian dan kehomogenan yang tinggi jika parameternya divariasikan. Selain itu, yang paling mengesankan dari proses sol-gel adalah biayanya relatif murah dan produk berupa xerogel silika yang dihasilkan tidak beracun[2].

Alumina mempunyai mempunyai sifat relatif keras secara fisik, relatif stabil pada suhu tinggi, konduktivitas listrik yang rendah, titik leleh tinggi, struktur porinya besar, serta mempunyai luas permukaan dengan kisaran 100–200 m2/g. Dengan karakteristik ini, menyebabkan alumina sering digunakan dalam industri, antara lain sebagai absorben, amplas, katalis, dan penyangga katalis. Sifat alumina bervariasi tergantung pada cara pembuatannya. Alumina bersifat amfoter, artinya mempunyai sifat keasaman dan kebasaan yang ditentukan oleh gugus ion permukaan yang berada di ujung mikrokristalit. Dalam bentuk aktif, alumina mempunyai permukaan polar yang mampu mengadsorpsi senyawa-senyawa polar. Sifat – sifat tersebut dapat berubah–ubah sesuai dengan suhu dan pH[3,4,5,6].

Pada Penelitian yang dilakukan oleh Rahmanpour[7], γ-Al2O3 disintesis dari Al(NO3)3-9H2O (0.26M), NH4OH (3.2%), dan air deionized pada pH 7,5-8,5 dengan suhu 310 hingga 340oC selama 15 jam dan konversi methanol 84%. Menghasilkan ukuran Kristal 1-2 nm, luas permukaan 216 m2/g, rata-rata pori diameter 9,646 nm, dan volume pori 0,5212 cm3/g.

Tujuan penelitian ini adalah sintesis γ-Al2O3 nano partikel metode sol gel sebagai bahan penyangga katalis untuk proses hidrogenasi biodiesel. METODE PERCOBAAN

Pada kegiatan penelitian ini menggunakan peralatan laboratorium yang sederhana antara lain, beaker glass, pipet ukur, cawan keramik, hot-plate, dapur pemanas (furnace), pangaduk kaca, magnetic stirrer dan timbangan analitik. Prekursor yang digunakan termasuk senyawa yang sederhana terdiri dari alumunium nitrat [Al(NO3)3.9H2O], asam sitrat/citric acid (C6H8O7), amonium hidroksida (NH4OH) dan Aquabdestilata. Keseluruhan bahan dasar merupakan senyawa kimia produk Merck. Karakterisasi dari serbuk yang dihasilkan dilakukan dengan pengujian X-Ray Diffractio/XRD (tipe Phillips) untuk mengkonfirmasi pembentukan fasa. Pengamatan dengan Scanning Electron Microscope/SEM (tipe Jeol/EO, JEM-1400 Versi 1.0) untuk mengetahui morfologi butir atau partikel dan untuk mengetahui ukuran partikel digunakan Particle Size Analyzer/PSA tipe Beckman Coulter DelsaTM Nano dengan menggunakan larutan pendispersi Ethyl Alcohol yang dibiarkan selama 4 hari kemudian partikel/serbuk dipecah lagi dengan menggunakan ultrasonic. Pengujian dengan menggunakan TGA/DTA (Thermal Gravimetri Analyzer/Differential Thermal Analysis) dilakukan terhadap gel (sebelum proses sinter) untuk mengetahui temperatur terjadinya perubahan fasa yang bisa diamati melalui pengurangan massa serbuk dan penurunan energi ketika gel dipanaskan pada temperatur sampai dengan 1000oC. Instrumen TGA/DTA yang digunakan mempunyai tipe Research Thermal Balance Series LINSEIS L81-I/L81-STA (TGA-DTA).

Kegiatan penelitian dilakukan berdasarkan diagram alir seperti ditunjukkan pada Gambar 1.

Page 286: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 273

Gambar 1. Diagram alir sintesis γ Al2O3

Proses sol-gel didahului dengan pembentukan gel yaitu dengan cara memanaskan

seluruh larutan dasar, (yang sebelumnya ditentukan dulu beratnya secara stoikhiometri), di atas hot plate pada temperatur 70-80oC sampai terbentuk gel (kurang lebih 4-5 jam). Gel yang diperoleh kemudian dilakukan uji TGA/DTA untuk mengetahui temperatur terjadinya transformasi fasa. Temperatur ini menjadi acuan untuk proses kalsinasi dan sinter. Parameter yang divariasikan adalah temperatur dan waktu sinter. Pada karakterisasi dengan XRD, digunakan software high score plus untuk proses refinement, untuk meyakinkan fasa-fasa apa saja yang terbentuk di dalam serbuk hasil sintesis.

Proses sintering dilakukan setelah proses kalsinasi, dimana proses ini dilakukan untuk membentuk gel menjadi kristal. Dalam pembentukan gel menjadi kristal diperlukan temperatur pembentukan kristal, sehingga temperatur divariasikan untuk mengetahui hasil optium untuk mendapatkan γ-Al2O3 yang mempunyai struktur kristal. Selain temperatur, pada proses sintering, divariasikan juga waktu sintering. Waktu sintering ini dilakukan untuk mendapatkan hasil γ-Al2O3 dengan luas permukaan yang besar.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Untuk mengetahui temperatur kalsinasi dan sintering dilakukan uji TGA/DTA yang hasilnya ditunjukkan pada Gambar 2.

Page 287: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

274 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

Gambar 2. Hasil uji TGA/DTA terhadap gel γ Al2O3

Gambar 2 menunjukkan bahwa kehilangan massa dan penurunan energi terjadi bersamaan pada range temperatur 300-350oC. Pada range temperatur tersebut terjadi penguapan H2O dan unsur-unsur lain yang berasal dari precursor yang digunakan. Proses kalsinasi dilakukan pada temperatur pada range tersebut yaitu pada 345oC selama 3jam. Perubahan energi berikutnya pada diagram TGA/DTA terjadi pada temperatur 498,38oC. Pada temperatur tersebut mulai terbentuk fasa alumina sekaligus terjadi kristalisasi dari alumina tersebut.Proses sinter dilakukan pada variasi temperatur di bawah dan di atas temperatur tersebut yaitu pada variasi temperatur 450, 500 dan 550oC selama 5 jam.

Hasil pengujian XRD terhadap serbuk hasil sinter ditunjukkan pada Gambar 3, 4 dan 5. Analisa terhadap bentuk pola XRD dilakukan dengan refinement menggunakan software HighScore Plus (HSP).

Gambar 3. Pola difraksi sinar x untuk serbuk dengan sinter 450oC selama 5 jam

Page 288: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 275

Gambar 4. Pola difraksi sinar x untuk serbuk dengan sinter 500oC selama 5 jam

Gambar 5. Pola difraksi sinar x untuk serbuk dengan sinter 550oC selama 5 jam

Gambar 3, 4 dan 5 menunjukkan bahwa ternyata seluruh serbuk dengan temperatur

sinter yang bervariasi mempunyai fasa 100% γ Al2O3. Tidak ada fasa impuritas yang dikandung oleh serbuk hasil sinter dengan tempratur 450, 500 dan 550oC. Hal ini dapat dilihat dari bentuk polanya dimana semua peak disapu oleh 1 warna (biru). Dari hasil refinement ini pun dapat diketahui bahwa kristal γ Al2O3 yang terbentuk untuk seluruh variasi temperatur sinter mempunyai ukuran nano yaitu berkisar 3,0 – 3,5 nm. Hal ini mengarah kepada pembentukan partikel dalam ukuran nano pula (< 100 nm).

Untuk mengetahui ukuran partikel, dilakukan uji PSA yang hasilnya ditunjukkan pada Gambar 6, 7 dan 8. Pada pengujian PSA ini digunakan larutan ethyl alcohol untuk melarutkan serbuk yang akan diuji, kemudian dilakukan proses penghancuran dengan alat ultrasonic. Proses ini dilakukan untuk memecah partikel-partikel serbuk agar tidak terjadi penggumpalan (aglomerisasi).

Page 289: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

276 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

Gambar 6. Distribusi ukuran partikel untuk serbuk temperatur sinter 450oC-5 jam

Gambar 7. Distribusi ukuran partikel untuk serbuk temperatur sinter 500oC-5 jam

Gambar 8. Distribusi ukuran partikel untuk serbuk temperatur sinter 550oC-5 Jam

Gambar 6, 7 dan 8 menunjukkan bahwa serbuk yang mempunyai ukuran partikel

nano (< 100 nm) hanya serbuk yang mengalami sinter pada temperatur sinter 500oC (85 nm)

Page 290: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 277

sedangkan untuk temperatur sinter yang lain, menghasilkan serbuk dengan ukuran partikel > 100 nm. Temperatur sinter > 500oC menyebabkan partikel akan tumbuh melebihi ukuran nano (> 100 nm) sedangkan pada temperatur sinter < 500oC, partikel masih mengalami aglomerisasi yang menyebabkan partikel belum tumbuh menjadi partikel tunggal. Hasil dari pengukuran besar partikel ini menunjukkan bahwa proses sol-gel belum mencapai kondisi optimum, karena yang diharapkan adalah serbuk dengan ukuran partikel 20-30 nm jika mengacu dari ukuran kristal yang besarnya antara 3,0 – 3,5 nm.

Untuk mengetahui morfologi dari butir serbuk dilakukan pengamatan dengan Scanning Electron Microscope (SEM) yang hasilnya ditunjukkan pada Gambar 9.

Gambar 9. Hasil pengamatan SEM untuk serbuk dengan temperatur sinter 500oC-5 Jam Gambar 9 menunjukkan bahwa butir berbentuk agregat dengan ukuran yang belum

homogen dan ukuran porositas yang tidak sama. Porositas pada butir serbuk γ Al2O3 sangat penting agar proses impregnasi unsur Pt, Pd atau Rh kedalam pori-pori γ Al2O3 dapat berlangsung efektif sehingga dapat melakukan proses hidrogenasi parsial cukup baik. KESIMPULAN

Dari hasil kegiatan penelitian ini dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Proses sol-gel pada temperatur sinter 450, 500 dan 550oC menghasilkan γ Al2O3 fasa

tunggal tanpa adanya fasa impuritas. 2. Serbuk γ Al2O3 yang merupakan nanopartikel hanya dihasilkan oleh proses sinter pada

temperatur 500oC selama 5 jam. 3. Meskipun proses sol-gel dengan temperatur sinter 500oC sudah menghasilkan ukuran

partikel < 100 nm akan tetapi belum memperoleh ukuran partikel yang diharapkan yaitu sekitar 20-30 nm jika mengacu pada ukuran kristal yang besarnya berkisar 3-3,5 nm.

UCAPAN TERIMA KASIH

Kegiatan penelitian ini didukung secara finansial oleh Hibah Strategis Nasional DIKTI 2015 dengan Surat Keputusan No.Kontrak 123/K3/KM/2015. DAFTAR PUSTAKA 1. Setiadi, Mailisa. F, 2006, Proses Katalitik Sintesis Hidrokarbon Fraksi Bensin Dari

Minyak Sawit Menggunakan Katalis B2O3/Zeolit, Seminar Nasional MKICS, Universitas Indonesia 94-98.

Page 291: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

278 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

2. Zawrah, M. F., El-Kheshen, A. A., Abd-El-All, H., 2009.Facile and Economic Synthesis of Silica Nanoparticles, Journal of Ovonic Reasearch, vol.5, No.5 ,pp.129-133.

3. Rogojan, Radica,dkk, 2011.Synthesis and Characterization of Alumina Nano-Powder Obtained By Sol-Gel Method. U.P.B. Sci. Bull., Series B, Vol. 73, Iss. 2.

4. Karim M.R.,dkk.2011.Synthesis of γ-Al2O3, Particles and Surface Characterization,The Open Colloid Science Journal ,4,32-36.

5. Asencios Y.J.O., Sun-Kou M.R, 2012, Synthesis of High-Surface-Area γ-Al2O3 from Aluminum Scrap and its Use for The Adsorption of Metal : Pb(II), Cd(II), Zn(II). Applied Surface Science 258 10002-10011.

6. Singh L. P., Agarwal, S. K., Bhattacharyya, S. K., Sharma, U., Ahalawat, S.2011. Preparation of Silica Nanoparticles and Its Beneficial Role in Cementitious Materials, Nanomater Nanotechnol, vol.1, No.1, pp.44-51.

7. Rahman O, dkk.2012. New Method For Synthesis Nano Size γ-Al2O3 Catalyst for Dehydration of Methanol to Dimethyl Ether. International Journal of Chemical Engineering and Applications, Vol. 3, No. 2.

Page 292: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 279

STUDI PENDAHULUAN UNJUK KERJA CAT ANTIFOULING DAN ANTIKOROSI DI PERAIRAN MUARA BARU, JAKARTA

Lutviasari Nuraini1*, Gadang Priyotomo1, Sundjono1, Suratno2

1Pusat Penelitian Metalurgi dan Material, LIPI Gedung 470, Kawasan Puspiptek, Setu, Tangsel

2Pusat Penelitian Oseanografi, LIPI *E-mail: [email protected]

Abstrak Masalah korosi pada lapis lindung cat sangat merugikan secara ekonomis, teknis dan estetika di

lingkungan air laut. Penyebab utama timbulnya korosi tersebut adalah keberadaan biota laut (fouling) yang menempel pada substrak. Hal tersebut berimbas pada usia pakai dari lapis lindung cat yang menjadi sangat singkat. Maka dari itu, perlu dilakukan penelitian yang bertujuan melakukan studi pendahuluan unjuk kerja cat antifouling dan antikorosi di lingkungan air laut, dimana ruang wilayah penelitian ini dilakukan di perairan Muara Baru Jakarta. Sampel uji pelat baja yang berukuran 20 x 25 x 0,3 cm terdiri dari pelat baja tanpa lapis lindung, pelat baja dengan lapis lindung cat korosi pada muka depan dan pelat baja dengan lapis lindung cat antifouling pada muka belakang. Cat yang digunakan berasal dari dua jenis produk komersial di Indonesia (Kode cat: A dan B). Selanjutnya sampel uji diekspos selama 1 bulan dengan variasi kedalaman 1, 2, 3 meter dari permukaan laut (dpl). Sebagai pembanding pelat baja tanpa lapis lindung digunakan sebagai blangko. Untuk mengetahui pertumbuhan fouling dan tingkat korosifitas sampel uji, maka dilakukan pengukuran sifat fisik air laut berupa temperatur, pH, salinitas dan kadar oksigen terlarut. Pengamatan yang dilakukan terhadap sampel uji setelah ekpos meliputi pengamatan visual (perubahan warna, pemudaran dan glossy) dan pengamatan fisik (analisis ketebalan sampel uji dan kehilangan berat blanko). Hasil menunjukkan bahwa cat antikorosi yang terekpos ditumbuhi berbagai biota laut, sedangkan cat antifouling tidak menunjukkan adanya penempelan biota laut. Laju korosi masing-masing pelat baja tidak jauh berbeda, yaitu berturut-turut untuk kedalaman 1, 2 dan 3 meter sebesar 0,113; 0,112 dan 0,106 mmpy. Kata kunci: Cat, Antikorosi, Antifouling, Muara Baru Jakarta PENDAHULUAN

Masalah korosi di perairan laut terhadap lapis lindung cat sangat merugikan secara ekonomis, teknis dan estetika. Penyebab utama timbulnya korosi tersebut adalah keberadaan biota laut (fouling) yang menempel pada substrak. Hal tersebut berimbas pada umur pakai dari lapis lindung cat yang menjadi sangat singkat. Biofouling adalah penempelan dan akumulasi organisme hidup yang melekat pada permukaan substrak[1]. Efek negatifnya adalah kerusakan peralatan bawah air, degradasi fungsi konstruksi bangunan bawah air dan peningkatan biaya pemeliharaan (repainting, penggantian struktur, dan lain-lain).

Terbentuknya lapisan fouling diawali dengan proses penempelan koloni primer bakteri atau diatom membentuk biofilm, yang berupa kolonisasi bakteri dan mikroalga[2]. Melalui lapisan kaya nutrisi (biofilm) yang telah terbentuk, terjadi penempelan macrofouling, yang berupa koloniasasi avertebrata dan makroalga seperti bernacle, alga, molusca, dan sebagainya[3]. Untuk mengatasi fouling yang terjadi maka digunakan lapisan pelindung berupa cat antifouling. Cat antifouling adalah salah satu jenis cat yang berfungsi untuk meminimalisir terjadinya fouling melalui proses pencegahan penempelan dan pertumbuhan biofilm di permukaan substrak. Salinitas, pH, dan temperatur memainkan peranan penting dalam mekanisme kerja dari cat antifouling ini. Reaksi kimia dan fenomena difusi merupakan mekanisme kunci dalam unjuk kerja cat antifouling dan hal ini sangat dipengaruhi oleh kondisi air laut[4].

Senyawa Cu2O, ZnO dan senyawa organotin ataupun Tributyltin (TBT)[5] biasanya digunakan sebagai zat aktif dalam cat antifouling. Sejak tahun 2003, telah keluar larangan penggunaan senyawa TBT oleh International Maritime Organization (IMO), sehingga muncul alternatif cat antifouling bebas TBT dengan zat aktif berupa tembaga (Cu)[6].

Page 293: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

280 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

Penggunaan biosida berupa logam tembaga oksida (Cu2O) dalam cat antifouling dikombinasikan pula dengan penambahan biosida organik. Booster biosida organik yang diperkenalkan sebagai alternatif senyawa organotin dalam produk cat antifouling setelah pelarangan penggunaan TBT diantaranya adalah Sea-Nine 211 (DCOIT), Irgarol 1051 (CDMTD), Zineb, Ziram (PZ), Preventol A6 (Diuron), Chlorothalonil, Preventol A4-S (Dichlofluanid), Preventol A5-S (Tolylfluanid), Copper Omadine (CuPT), Zinc Omadine (ZnPT) dan PK (pyridine-triphenylborane)[7].

Tembaga(I) oksida (Cu2O) sampai sekarang masih digunakan sebagai senyawa aktif dalam cat antifouling[8], dimana pelarutan dari senyawa tersebut menghasilkan kompleks tembaga klorida (CuCl2-, CuCl3

2- ) dalam dua reaksi reversibel. Dengan keberadaan O2, kompleks tembaga akan teroksidasi membentuk ion Cu2+ yang membentuk senyawa kompleks koordinasi dengan senyawa organik dan anorganik[9,10]. Variasi antar spesies bergantung pada pH, salinitas dan keberadaan senyawa lain dalam air laut. Ion Cu2+ lebih toksik daripada Cu+ dan pada konsentrasi tinggi ion Cu2+ akan menyebabkan masalah kesehatan untuk organisme laut dan manusia[11]. Laju pelepasan (release rate) dari ion Cu2+ dinyatakan tidak hanya mengenai senyawa target, tetapi juga organisme non target[12], maka dari itu laju pelepasan Cu perlu dikaji[13] dan perlu dicari alternatif senyawa non toksik untuk digunakan sebagai zat aktif pada cat antifouling[14]. Untuk sampai ke arah tujuan tersebut, terlebih dahulu perlu dilakukan studi pendahuluan unjuk kerja dari cat antifouling yang berasal dari produk komersil di Indonesia, begitupula perlu dikaji fouling yang menempel pada substrak di perairan Indonesia karena pada dasarnya setiap daerah mempunyai karakter lingkungan laut yang berbeda sehingga jenis fouling yang timbul akan berbeda antar daerah. Dalam penelitian ini, studi pendahuluan dilakukan di dermaga perairan Muara Baru, Jakarta. METODE PERCOBAAN Sampel Uji

Sampel uji berupa plat baja dengan ukuran 20 x 25 x 0,3 cm, yang terdiri dari pelat baja dengan lapis lindung cat korosi pada sisi depan dan pelat baja dengan lapis lindung cat antifouling pada sisi belakang. Cat yang digunakan berasal dari dua jenis produk komersial di Indonesia (Kode cat: A dan B). Sebelum cat dilapiskan pada pelat baja dilakukan sand blasting sesuai dengan acuan ISO 8501-1. Untuk blangko berupa pelat baja tanpa lapis lindung dengan ukuran 7,5 x 15 x 0,3 cm (Kode sampel: b). Keterangan kode sampel uji: A1, A2, A3 = Produk cat A dengan kedalaman ekspos 1, 2, 3 m dpl B1, B2, B3 = Produk cat B dengan kedalaman ekpos 1, 2, 3 m dpl b1, b2, b3 = Blangko dengan kedalaman ekpos 1, 2, 3 m dpl Lokasi dan waktu penelitian

Lokasi penelitian berada di dermaga perairan Muara Baru Jakarta. Waktu ekpos sampel uji selama 1 bulan dengan kedalaman 1, 2, 3 meter dari permukaan laut (dpl), dimana pemasangan dilakukan pada Bulan Juli 2015. Pengamatan Untuk mengetahui pertumbuhan fouling dan tingkat korosifitas sampel uji maka dilakukan

pengukuran fisik air laut, berupa temperatur, pH, salinitas dan kadar Dissolved Oxygen (DO) pada saat pengeksposan dan pengambilan sampel uji.

Pengamatan pendahuluan yang dilakukan terhadap sampel uji terekspos berupa pengamatan visual (perubahan warna, pemudaran dan glossy) dan pengamatan fisik (analisis ketebalan untuk sampel uji dan kehilangan berat untuk blanko)

Jenis fouling yang menempel setelah ekpos diidentifikasi di Pusat Penelitian Oseanografi, LIPI.

Page 294: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 281

HASIL DAN PEMBAHASAN Dari pengamatan visual (Tabel 1) setelah ekpos selama 1 bulan sampel uji pada sisi

antikorosi tidak ditemukan adanya perubahan warna dan pemudaran untuk sampel uji A maupun B, sedangkan pada sisi antifouling ditemukan adanya perubahan warna pada sampel uji A dan B dari sebelum ekpos berwarna merah menjadi merah muda, begitupula teramati adanya pemudaran warna pada kedua sampel uji pada tiap kedalaman ekpos yang berbeda. Tabel 1. Pengamatan visual sampel uji setelah ekpos

Data analisis tingkat daya kilap (glossy) dari sampel uji ketika dibandingkan antara

sebelum ekpos dan setelah ekpos untuk sampel uji A dan B terlihat pada Tabel 2. Pada Tabel 2 terlihat bahwa tidak terjadi perubahan yang cukup signifikan pada sampel uji A dan B dengan kedalaman yang berbeda, dimana hampir semua sampel masuk ke dalam kategori flat. Hal ini menunjukkan bahwa ekpos selama 1 bulan belum mempengaruhi tingkat glossy sampel uji A dan B.

Tabel 2. Analisis tingkat glossy sampel uji

Pada Tabel 3, pengamatan fisik sampel uji berupa ketebalan cat sebelum dan sesudah

ekpos terlihat bahwa ketebalan cat semakin berkurang pasca ekpos pada kedua cat A dan B. Lebih jauh lagi, berkurangnya ketebalan di kedua cat tersebut tidak terlalu signifikan.

Tabel 3. Ketebalan cat sebelum dan setelah ekspos

Page 295: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

282 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

Pada Gambar 1 memperlihatkan foto sampel uji yang dilapis cat (antikorosi dan antifouling) A dan B, dan tanpa lapis cat sebelum diekspos di lapangan. Tabel 4 memperlihatkan data kehilangan berat dari pelat baja tanpa lapis lindung (blanko) setelah ekpos. Proses kehilangan berat di semua blanko terjadi setelah ekpos di lapangan. Hal ini dikarenakan pelat tersebut ditumbuhi oleh fouling yang ditunjukkan oleh Gambar 2. Keberadaan aktifitas fouling tersebut menyebabkan produk karat terjadi pada pelat baja tanpa lapis lindung sehingga berat baja tersebut berkurang. Laju korosi masing-masing pelat baja tidak berbeda secara signifikan pada kedalaman 1, 2 dan 3 m, sebesar 0,113; 0,112 dan 0,106 mmpy.

Tabel 4. Kehilangan berat dari blangko setelah ekpos

Setelah ekpos selama 1 bulan, hasil menunjukkan bahwa cat antikorosi baik pada kedalaman 1,2,3 m dpl ditumbuhi berbagai biota laut (benthos), sedangkan cat antifouling tidak menunjukkan adanya penempelan biota laut (Gambar 2a dan 2b). Hal tersebut membuktikan bahwa cat antifouling menunjukkan unjuk kerja optimal selama 1 bulan. Disisi lain, permukaan blanko terlihat adanya lapisan produk karat. Lebih jauh lagi, cat antifouling ini dapat bekerja dengan baik dalam mencegah keberadaan fouling dengan adanya pelepasan dari beberapa senyawa biosida, yang terikat ataupun terintergrasi dalam matriks polimer organik cat.

Gambar 1. Sampel uji sebelum ekpos, lapis lindung cat A (a), lapis lindung cat B (b), tanpa

lapis lindung (c)

Page 296: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

LEMB

Gam

utam

dimareaksdalammenj

Gam

BAGA ILMU P

mbar 2. Plat

Sebagianma. Dimana

ana reaksi (si (2) terjadm air laut mjadi Cu2+.

mbar 3. Jeni

PENGETAHU

t baja setela

n besar cattembaga ter

(1) adalah rdi secara in

mengandung

is fouling ya

(a)

(b)

P

UAN INDONE

ah ekpos, lap

t antifoulingrsebut meng

reaksi yangnstan dan g oksigen, m

ang terident

b)

PROSIDING

ESIA

pis lindung lindung

g masih megalami laju

g irreversibreversibel maka komp

tifikasi pada

G SEMINAR

cat A (a), l(c)

enggunakanpelepasan s

ble dan dipeserta berad

pleks temba

a sisi cat an

R MATERIA

apis lindung

n tembaga seperti ditun

engaruhi olda dalam keaga akan de

ntikorosi ma

AL METALU

g cat B (b),

sebagai adinjukkan dal

leh kinetik, esetimbangngan cepat

asing-masing

URGI 2015

283

tanpa lapis

itif pigmenam reaksi:

sedangkanan. Karenateroksidasi

g cat uji

5

3

n

n a i

Page 297: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

284 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

Jenis fouling yang ditemukan pada pelat baja lapis lindung cat A dan B terlihat pada Gambar 3, dimana sebagian besar biota yang ditemukan berasal dari organisme kelas Polychaeta yang merupakan kelas cacing annelida, diikuti nomor dua oleh Krustasea, dimana di dalamnya termasuk teritip, sedangkan hewan triploblastik selomata yang bertubuh lunak yaitu moluska dan organisme lain ditemukan dalam jumlah yang sangat sedikit. Jackson dan Jones menjelaskan bahwa terbentuknya lapisan fouling diawali dengan serangan dari sel bakteri, yang kemudian berkembang menjadi koloni kecil dan selanjutnya meningkat secara jumlah sehingga membentuk suatu lapisan biofilm[16]. Hal ini mendorong berkembangnya lapisan kompleks dari bakteri dan polisakarida ekstraselular. Melalui lapisan kaya nutrisi (biofilm) yang terbentuk, maka terbentuk kolonisasi avertebrata dan makroalga.

Pertumbuhan fouling bergantung pada berbagai hal, diantaranya adalah nilai pH, temperatur, salinitas dan dissolve oxygen (DO)[4]. Gambar 3 membuktikan bahwa tiap kedalaman ekpos, baik 1, 2 ataupun 3 m, jenis organisme fouling yang ditemukan relatif sama. Jika melihat kondisi fisik laut perairan Muara Baru, Jakarta yang terlihat pada Tabel 6 antara lain temperatur, pH, salinitas dan DO memang tidak jauh berbeda antar tiap kedalaman sehingga jenis fouling yang ditemukan sejenis. Tabel 6. Kondisi fisik laut

KESIMPULAN

Hasil menunjukkan bahwa setelah ekpos selama 1 bulan cat antikorosi ditumbuhi berbagai biota laut, sedangkan cat antifouling tidak menunjukkan adanya penempelan biota laut. Laju korosi masing-masing pelat baja tidak jauh berbeda, yaitu berturut-turut untuk kedalaman 1, 2 dan 3 m sebesar 0,113; 0,112 dan 0,106 mmpy. UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih kepada Kegiatan Unggulan pesisir Kedeputian IPK TA 2015 yang telah memberikan dana penelitian sehingga penelitian ini dapat terlaksana. Terima kasih kepada Pusat Jalan dan Jembatan Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Bandung yang membantu perizinan pemasangan sampel dan kepada Pusat Penelitian Oseanografi LIPI yang telah membantu identifikasi fouling. DAFTAR PUSTAKA 1. Leggn, M., Yücel, M.K., Garcia de Carellan, I., Kappatos, V., Selcuk, C., Gan, T.H.,

2015, Acoustic methods for biofouling control: A review, Ocean Engineering, 103, 237–247

2. Chena, C., Makib, J.S., Rittschof, D., Lay-Ming Teo, S., 2013, Short communication Early marine bacterial biofilm on a copper-based antifouling paint, International Biodeterioration & Biodegradation, 83, 71-76

3. Almeidaa,E., Diamantinoa, T.C., Orlando de Sousab, 2007, Review Marine paints: The particular case of antifouling paints, Progress in Organic Coatings, 59, 2–20

Page 298: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 285

4. Yebra, D.M., Kiil, S., Dam-Johansen, K., 2004, Review Antifouling technology—past, present and future steps towards efficient and environmentally friendly antifouling coatings, Progress in Organic Coatings, 50, 75–104

5. Arai, T., Harino, H., Ohji, M., John Langston, M., 2009, Ecotoxicology of Antifouling Biocides, Springer

6. Konstantinou, I.K., Albanis, T.A., 2004, Worldwide occurrence and effects of antifouling paint booster biocides in the aquatic environment: a review, Environment International, 30, 235–248

7. Takahashi, K., 2009, Ecotoxicology of Antifouling Biocides, Springer 8. Alyuruk, H., Doner, E., Karabay, Z., Cavas, L., Dokuz, 2010, Antifouling

Performances and Acute Toxicities of Eco-Friendly Biocides, Hacettepe J. Biol. & Chem., 38 (4), 277-286

9. Kiil, S., Weinell, C.E., Pedersen, M.S., Dam-Johansen, K., 2002, Mathematical Modelling of a Self-Polishing Antifouling Paint Exposed to Sea Water:a Parameter Study, Trans IChemE, 80

10. Yebra, D.M., Kiil, S., Weinell, C.E., Dam-Johansen, K., 2006, Effects of marine microbial biofilms on the biocide release rate from antifouling paints—A model-based analysis, Progress in Organic Coatings, 57, 56–66

11. Kiaune, L., and Singhasemanon, N., 2011, Reviews of Environmental Contamination and Toxicology, Reviews of Environmental Contamination and Toxicology, 213

12. Katranitsas, A., Castritsi-Catharios, J., Persoone, G., 2003, The effects of a copper-based antifouling paint on mortality and enzymatic activity of a non-target marine organism, Marine Pollution Bulletin, 46, 1491–1494

13. Singh, N., Turner, A., 2009, Leaching of copper and zinc from spent antifouling paint particles, Environmental Pollution, 157, 371–376

14. Stupak, M.E., Garcia, M.T., Perez, M.C., 2003, Non-toxic alternative compounds for marine antifouling paints, International Biodeterioration & Biodegradation, 52, 49–52

15. Jackson, S.M., Jones, E.G.B, 1988, Fouling Film Development on Antifouling Paints with Special Reference to Film Thickness, International Biodeterioration, 24, 277-287

Page 299: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

286 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

Page 300: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 287

ANALISIS HAMBAT JENIS PENAMBAHAN NANO SiC PADA SUPERKONDUKTOR MgB2 TANPA PERLAKUAN PANAS

Sigit Dwi Yudanto*, Agung Imaduddin, Hendrik, Bintoro Siswayanti, Satrio Herbirowo

Pusat Penelitian Metalurgi dan Material LIPI Gedung 470, Kawasan Puspiptek, Setu, Tangsel

*E-mail: [email protected]

Abstrak Telah dilakukan percobaan penambahan doping nano SiC pada material superkonduktor MgB2. MgB2

adalah material superkonduktor yang mempunyai suhu kritis 39 K dan memiliki potensi untuk aplikasi kawat superkonduktor pengganti Nb3Sn. Penambahan Nano SiC sebesar 10 dan 15wt.% dilakukan untuk mempelajari pengaruhnya terhadap hambat jenis MgB2. Percobaan penambahan nano SiC sebesar 10 dan 15wt.% pada MgB2 diawali dengan penimbangan serbuk MgB2 (~100 mesh) dan SiC (ukuran 50-60 nm). Masing-masing sampel menggunakan serbuk MgB2 sebesar 4 gram. Pada penambahan nano SiC, setelah penimbangan MgB2 dan nano SiC, kedua bahan kemudian dicampur dan digerus menggunakan mortar agate selama 30 menit. Hasil gerusan dibentuk pelet berdiameter 1,2 cm dengan tekanan sebesar 140 MPa. Analisis pengujian yang dilakukan menggunakan difraktometer sinar-X untuk pembuktian fasa yang terbentuk, sedangkan perilaku superkonduktivitas sampel dianalisis menggunakan cryogenic magnetic untuk mengetahui suhu kritisnya. Suhu kritis hasil percobaan, baik MgB2 komersil adalah ~37,5 K dan MgB2 yang ditambah nano SiC adalah ~38,3 K. Penambahan nano SiC mempengaruhi sifat superkonduktivitas MgB2.

Kata kunci: MgB2, Nano SiC, Hambat jenis PENDAHULUAN

Magnesium diboride (MgB2) adalah superkonduktor yang menjanjikan dengan suhu kritis tinggi, 39K[1]–[3]. Material MgB2 mulai dikembangkan sekitar tahun 1950-an, tetapi sifat superkonduktivitasnya ditemukan pada tahun 2001 oleh Nagamatsu, dkk[1],[3]. Menurut Nagamatsu, dkk, MgB2 adalah senyawa sederhana yang terdiri dari dua unsur logam yang mempunyai perilaku superkonduktor, sehingga membuat para peneliti tertarik untuk mengembangkan material superkonduktor paduan logam tersebut. Selain mempunyai suhu kritis ~39 K (diatas helium cair), MgB2 mempunyai rapat arus kritis yang tinggi, yaitu sebesar 106-107 A/cm2 dan medan magnet 0 pada suhu rendah[1]. Panjang koherensi MgB2 adalah 3-12 nm, dimana nilai ini lebih besar dari superkonduktor suhu tinggi (HTSC)[2].

Penelitian dan pengembangan material MgB2 yang dilakukan diharapkan dapat menggantikan material Nb3Sn, karena selain mempunyai nilai suhu kritis yang lebih tinggi, MgB2 lebih murah dibandingkan dengan Nb3Sn. Perkembangan material superkonduktor logam dan paduannya dari tahun ke tahun ditunjukkan pada Gambar 1.

Gambar 1. Suhu kritis (Tc) beberapa material logam dan paduan[3]

Page 301: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

288 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

Gambar 2. Struktur kristal MgB2

[1], [2] Struktur kristal MgB2 adalah Hexagonal Closed Pack (HCP)[1], [3], termasuk dalam

sistem kristal heksagonal dengan golongan ruang P6/mmm[1] seperti yang terlihat pada Gambar 2. Penelitian penambahan senyawa karbon aromatik pada MgB2, misalnya SiC, TiC, HfC, dan NbC telah dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan rapat arus[4]–[11]. Menurut Yamamoto, dkk, penambahan nano SiC pada MgB2 dapat meningkatkan nilai rapat arus. Dengan dasar tersebut maka dilakukan percobaan awal penambahan SiC pada superkonduktor MgB2

[9]. Pada percobaan yang dilakukan, pengujian hanya sampai pengukuran hambat jenis dan suhu kritisnya. Sedangkan untuk nilai rapat arus tidak dilakukan pengukuran. METODE PERCOBAAN

Percobaan penambahan nano SiC sebesar 10 dan 15wt.% pada MgB2 diawali dengan penimbangan serbuk MgB2 (~100 mesh) dan SiC (ukuran 50-60 nm). Masing-masing sampel menggunakan serbuk MgB2 sebesar 4 gram. Pada penambahan nano SiC, setelah penimbangan MgB2 dan nano SiC, kedua bahan kemudian dicampur dan digerus menggunakan mortar agate selama 30 menit. Hasil gerusan dibentuk pelet berdiameter 1,2 cm dengan tekanan sebesar 140 MPa.

Karakterisasi hasil penambahan nano SiC pada MgB2 menggunakan difraktometer sinar-X SmartLab (Rigaku) untuk mengetahui fasa yang terbentuk. Difraktometer sinar-X memakai radiasi Cu kα (λ =1,5418 Å) dengan filter Cu kβ. Pengukuran dilakukan pada rentang sudut 2ϴ = 10 – 90° dengan laju pengamatan 8 derajat/menit. Pengukuran suhu kritis sampel menggunakan Cryogenic Magnet “Cryotron FR” buatan Oxford dengan metode four point probe. HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis difraksi sinar-X

Gambar 3. Pola difraksi sinar-x MgB2, MgB2+10wt.%SiC dan MgB2+15wt.%SiC

Pola difraksi sinar-x MgB2 komersil, dan MgB2+(10 dan 15 wt.% SiC) ditunjukkan

pada Gambar 3. Dari gambar tersebut terlihat pola difraksi MgB2 murni dengan puncak-

Page 302: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 289

puncak yang sesuai dengan JCPDS PDF-4 No. 04-018-7387 edisi Tahun 2014. Puncak-puncak yang merupakan milik MgB2 adalah puncak pada sudut 2ϴ 32,75;41,69 dan 59,16°. Ketika MgB2 ditambah dengan 10 dan 15 wt.% SiC, muncul puncak baru pada sudut 2ϴ 35°. Puncak pada sudut tersebut adalah milik fasa SiC yang sesuai dengan JCPDS PDF-4 No. 04-008-7773 edisi Tahun 2014.

Penghalusan pola difraksi sampel MgB2, MgB2+10wt.% dan MgB2+15wt.% SiC menggunakan metode Rietvield dilakukan untuk mengetahui data kristalografi MgB2 komersil dan MgB2 yang didoping nano SiC. Hasil penghalusan pola difraksi ditunjukkan pada Gambar 4 dan Tabel 1.

a). MgB2 komersil

b). MgB2+10wt.% SiC

c). MgB2+15wt.% SiC

Gambar 4. Hasil penghalusan pola difraksi sinar-X sampel a). MgB2, b). MgB2+10wt.% dan c). MgB2+15wt.% SiC menggunakan metode Rietvield

Tabel 1. Hasil penghalusan pola difraksi MgB2, MgB2+10wt.% dan MgB2+15wt.% SiC Sampel MgB2 MgB2+10wt.% SiC MgB2+15wt.% SiC

Parameter unit sel (Å) MgB2

a = 3,1315 a = 3,10994 a = 3,1203 b = 3,1315 b = 3,10994 b = 3,1203 c = 3,5683 c = 3,5529 c = 3,6049

Sistem kristal hexagonal Grup ruang P6/mmm (191) Parameter unit sel (Å) SiC

- a = 4,447 a = 4,451 - b = 4,447 b = 4,451 - c = 4,447 c = 4,451

Sistem kristal cubic Grup ruang F-43m (216)

Page 303: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

290 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

Volume unit sel MgB2 (Å3) 30,304 29,759 30,397

Volume unit sel SiC (Å3) - 87,94 88,18 Rwp (%) 55,51 57,95 50,51 Rp (%) 46,84 48,58 39,28 λ2 1,0408 1,8603 1,5025

Analisis hambat jenis Pengukuran suhu kritis sampel MgB2, MgB2+10wt.% dan MgB2+15wt.% SiC dilakukan dengan cryogenic magnetic. Gambar 5 menunjukkan kurva hambat jenis sampel MgB2, MgB2+10wt.% dan MgB2+15wt.% SiC terhadap perubahan suhu. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa suhu kritis MgB2 komersil adalah 37,5K. Penambahan nano SiC ternyata menaikkan suhu kritis mejadi 38,3K. Dari ketiga kurva tersebut terlihat bahwa pola kurva mempunyai kecenderungan pola yang berbeda. Pola kurva hambat jenis material superkonduktor MgB2 tanpa penambahan terlihat linier terhadap suhu sampai mencapai Tconset. Tetapi pada kurva MgB2 yang didoping dengan 10 wt.% nano SiC terlihat bahwa sebelum Tconset, nilai hambat jenis mengalami kenaikan. Kecenderungan ini seiring dengan jumlah penambahan nano SiC. Fenomena ini terjadi karena SiC adalah bahan semikonduktor[12], sehingga penambahan doping SiC membuat sifat superkonduktivitas MgB2 terpengaruh dengan sifat semikonduktor SiC.

Gambar 5. Kurva hambat jenis MgB2, MgB2+10wt.% dan MgB2+15wt.% terhadap

perubahan suhu

Gambar 6. Perbandingan kurva hambat jenis yang dinormalisasi

Page 304: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 291

Gambar 6 memperlihatkan kurva sampel 1, 2 dan 3 yang telah dinormalisasi dengan nilai hambat jenis pada suhu ~38K. pada sampel 1 memperlihatkan penurunan nilai hambat jenisnya terjadi secara lambat, dan mencapai Tc0 nya pada suhu 11,45K. Diantara ketiga sampel, sampel 2 dengan SiC 10 wt.% memiliki nilai Tc0 tertinggi, hal ini menunjukkan bahwa SiC pada jumlah tertentu meskipun menyebabkan nilai mutlak hambat jenis listrik diatas suhu kritis menjadi naik akibat adanya sifat semikonduktor SiC, hal ini juga dapat menaikkan nilai Tc0 pada superkonduktor MgB2. Data suhu kritis MgB2, MgB2+10wt.% dan MgB2+15wt.%SiC ditunjukkan pada Tabel 2.

Tabel 2. Tconset, dan Tc0 MgB2, MgB2+10wt.% dan MgB2+15wt.%SiC

Sampel Tconset

(K) Tc0

(K)

1. MgB2 37,5 11,45 2. MgB2+10wt.% SiC 38,3 24,16 3. MgB2+15wt.% SiC 38,3 22,3

Tabel 2 memperlihatkan rangkuman Tconset, dan Tc0. Dilihat dari nilai Tc0 yang

terjadi, terlihat bahwa penambahan nano SiC membuat nilai Tc0 naik hingga penambahan sebanyak 10 wt.%. Setelah penambahan melebihi 10 wt.%, nilai Tc0 mengalami penurunan. Hal ini disebabkan kelebihan penambahan nano SiC membuat elektron luar yang bergerak menghantarkan listrik semakin terganggu akibat semakin banyaknya atom nano SiC yang terbentuk. KESIMPULAN

Penambahan nano SiC mempengaruhi hambat jenis MgB2. Semakin besar wt.% penambahan nano SiC, sifat material MgB2 berangsur-angsur menuju ke sifat superkonduktivitas MgB2 terpengaruh dengan sifat semikonduktor nano SiC. Penambahan nano SiC pada jumlah tertentu hingga 10 dan 15 wt.% dapat menaikkan nilai Tconset pada superkonduktor MgB2 yaitu dari nilai 37,5K menjadi 38,3K. Nilai Tc0 mengalami kenaikan pada saat MgB2 ditambah 10 wt.% SiC, yaitu dari 11,45K menjadi 24,16K. Setelah melebihi 10 wt.%, nano SiC dapat menyebabkan nilai Tc0 kembali turun menjadi 22,3K.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih penulis ucapkan kepada Pemerintah Indonesia yang telah membiayai penelitian ini melalui kegiatan Penguatan Kompetensi Pusat Penelitian Metalurgi dan Material LIPI Tahun Anggaran 2015. DAFTAR PUSTAKA 1. J. Nagamatsu, N. Nakagawa, T. Muranaka, Y. Zenitani, and J. Akimitsu,

“Superconductivity at 39 K in magnesium diboride.,” Nature, vol. 410, no. 6824, pp. 63–64, 2001.

2. G. Fuchs, B. Holzapfel, K. H. Muller, and L. Schultz, “Superconductors : Basic Properties and Materials Development of MgB2,” Encycl. Mater. Sci. Technol., vol. 41, pp. 1–6, 2002.

3. A. Moys, Superconductor. Croatia: Sciyo Publishing, 2010. 4. T. Dilek, E. Taylan Koparan, M. Başoǧlu, and E. Yanmaz, “The magnetic and structural

properties of SiC-doped MgB2 bulks prepared by the standard ceramic processing,” J. Supercond. Nov. Magn., vol. 24, no. 1–2, pp. 495–497, 2011.

5. Y. Ding, H. C. Wang, F. X. Zhao, Z. X. Shi, Z. L. Zhang, L. Ma, and H. L. Suo, “Nano-SiC doped MgB2 bulks synthesized by rapid process,” J. Supercond. Nov. Magn., vol. 23, no. 5, pp. 633–636, 2010.

Page 305: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

292 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

6. S. X. Dou, S. Soltanian, J. Horvat, X. L. Wang, S. H. Zhou, M. Ionescu, H. K. Liu, P. Munroe, and M. Tomsic, “Enhancement of the critical current density and flux pinning of MgB2 superconductor by nanoparticle SiC doping,” Appl. Phys. Lett., vol. 81, no. 18, pp. 3419–3421, 2002.

7. O. Husnjak, I. Kušević, E. Babić, S. Soltanian, X. L. Wang, and S. X. Dou, “Strong flux pinning in nano-SiC doped MgB2 tapes,” Physica C: Superconductivity and its Applications, vol. 460–462 I, no. SPEC. ISS. pp. 591–592, 2007.

8. A. Yamamoto, J. Shimoyama, S. Ueda, Y. Katsura, I. Iwayama, S. Horii, and K. Kishio, “Universal relationship between crystallinity and irreversibility field of MgB2,” Appl. Phys. Lett., vol. 86, no. 21, pp. 1–3, 2005.

9. A. Yamamoto, J. Shimoyama, I. Iwayama, Y. Katsura, S. Horii, and K. Kishio, “Influence of dopant particle size on the critical current properties and microstructures of MgB2 bulks doped with TiC and SiC,” Phys. C Supercond. its Appl., vol. 463–465, no. SUPPL., pp. 807–811, 2007.

10. M. Ranot, S. G. Jung, W. K. Seong, N. H. Lee, W. N. Kang, J. Joo, C. J. Kim, B. H. Jun, and S. Oh, “Fabrication of SiC-doped MgB2 coated conductors by a simple process,” Phys. C Supercond. its Appl., vol. 470, no. SUPPL.1, pp. 1000–1002, 2010.

11. H. Yamada, M. Hirakawa, H. Kumakura, and H. Kitaguchi, “Effect of aromatic hydrocarbon addition on in situ powder-in-tube processed MgB2 tapes,” p. 6, 2005.

12. A. Ferreira da Silva, J. Pernot, S. Contreras, B. E. Sernelius, C. Persson, and J. Camassel, “Electrical resistivity and metal-nonmetal transition in n-type doped 4H-SiC,” Phys. Rev. B, vol. 74, no. 24, p. 245201, 2006.

Page 306: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 293

SINTESIS FASA Li3Fe2(PO4)3 SEBAGAI PRECURSOR LiFePO4 MENGGUNAKAN BAHAN BAKU LOKAL α-Fe2O3

Achmad Subhan1*, R. Ibrahim Purawiardi1, Betty Haifa Sarwono2, Bambang Prihandoko1

1Pusat Penelitian Fisika – Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Tangerang Selatan 15314 2Jurusan Fisika, Fakultas Sains dan Teknologi, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta

*E-mail: [email protected]

Abstrak Lithium Iron Phosphate (LFP) merupakan salah satu bahan aktif dalam katoda baterai lithium-ion. Fasa stabil dari LFP sendiri adalah LiFePO4. Dalam pembentukannya, LiFePO4 sangat sulit disintesis dalam satu kali tahapan sintering. Umumnya, sintesis LiFePO4 minimal dilakukan dalam dua tahapan, yaitu kalsinasi dan sintering. Kalsinasi dilakukan untuk menghilangkan zat-zat volatil dan membentuk precursor. Sedangkan sintering dilakukan untuk membentuk fasa LiFePO4. Precursor dapat berupa fasa-fasa metastabil dari LFP seperti Li3Fe2(PO4)3, LiFeP2O7, atau LiFeP3O9. Penelitian ini bertujuan untuk membentuk precursor LiFePO4 dalam bentuk fasa Li3Fe2(PO4)3. Bahan-bahan baku LiOH.H2O, α-Fe2O3, dan H3PO4 dicampur hingga homogen kemudian dikalsinasi pada temperatur 900 oC selama 10 jam dalam kondisi inert. Untuk mengetahui fasa-fasa yang terbentuk dilakukan pengujian X-Ray Diffractometer (XRD), sementara untuk menguji sifat kebatreannya menggunakan uji Charge Discharge. Hasil pengujian XRD menunjukkan fasa-fasa yang terbentuk pada precursor adalah Li3Fe2(PO4)3 sebesar 71 wt.% dan α-Fe2O3 sebesar 29 wt.%. Dari hasil pengujian sel charge-discharge diketahui precursor tersebut sudah memiliki sifat kebatrean, dengan kapasitas spesifiknya mencapai ~12 mAh/g dan mampu hingga laju discharge 8C. Dari penelitian ini dapat disimpulkan precusor yang disintesis menggunakan substitusi bahan baku lokal α-Fe2O3 dapat digunakan sebagai starter untuk proses sintering pembentukan LiFePO4. Kata kunci: Precursor LiFePO4, Li3Fe2(PO4)3, Bahan baku lokal α-Fe2O3

PENDAHULUAN Teknologi baterai lithium-ion merupakan teknologi yang hangat diperbincangkan di kalangan ilmuwan sekarang ini karena potensinya yang dapat digunakan untuk kendaraan listrik ramah lingkungan dan kendaraan hybrid [1-2]. Salah satu komponen penting dari baterai lithium-ion adalah katoda. Salah satu katoda yang banyak digunakan sekarang ini adalah LiFePO4. LiFePO4 pertama kali diperkenalkan pada tahun 1997 oleh Goodenough dan timnya[3-5]. LiFePO4 sendiri merupakan salah satu jenis dari material katoda LiMPO4 (dengan M berupa logam transisi). LiMPO4 memiliki keunggulan dalam hal cyclic performance, stabilitas thermal dan kimia yang sangat baik, toksisitas rendah, dan harganya lebih murah[6]. Diantara semua jenis LiMPO4, LiFePO4 merupakan material yang paling menjanjikan untuk aplikasi otomotif[6]. Nilai potensial reduksi dan oksidasi Fe2+/Fe3+ terhadap Li/Li+ berkisar 3.45 V[6]. Bahkan dewasa ini penelitian-penelitian tentang LiFePO4 banyak diarahkan untuk meningkatkan energi dan power density-nya agar ruang lingkup aplikasi baterai lithium tidak hanya pada otomotif saja, tetapi hingga kedirgantaraan dan astronotika[7]. Penelitian mengenai LiFePO4 sendiri mayoritas mengkaji bagaimana sintesisnya, pengujian elektrokimianya, dan rekayasa-rekayasa doping untuk meningkatkan performa elektrokimianya[1-8]. Bila kita perhatikan publikasi-publikasi mengenai LiFePO4, jarang sekali kita temukan yang khusus membahas karakteristik perubahan fasa yang terjadi selama proses sintesis LiFePO4. Padahal sintesis bahan aktif LiFePO4 merupakan hal yang sangat penting. Bahan aktif LiFePO4 yang dihasilkan harus dipastikan memiliki kadar kemurnian yang tinggi terlebih dahulu sebelum masuk ke pembuatan lembaran katoda dan pengujian elektrokimia. Sintesis bahan aktif LiFePO4 sendiri jarang dapat dilakukan hanya dalam satu tahapan sintering. Minimal, sintesis LiFePO4 harus dilakukan dalam dua tahap, yaitu kalsinasi dibawah suhu pembentukkan LiFePO4 dan sintering pada suhu pembentukkan LiFePO4. Kalsinasi tidak akan langsung menghasilkan LiFePO4, tetapi harus dilakukan untuk perlahan-

Page 307: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

294 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

lahan menghilangkan zat-zat volatil dan membentuk fasa-fasa peralihan sebelum membentuk struktur kristal orthorhombic LiFePO4. Selain itu, precursor LiFePO4 yang dihasilkan harus minimal memiliki sedikit sifat kebateraian agar dapat dilanjutkan untuk dilakukan sintering. Dengan terpenuhinya sifat-sifat precursor yang demikian, maka precursor tersebut dapat dilanjutkan untuk bahan baku sintering pembentukkan produk akhir sintesis LiFePO4 dengan tingkat kemurnian yang tinggi. Dengan alasan tersebut, maka penelitian ini dilakukan untuk mencoba membuat fasa Li3Fe2(PO4)3 yang merupakan precursor pembentukkan LiFePO4 yang terbentuk dari hasil kalsinasi dan sekaligus mencoba melihat bagaimana karakteristik fasa yang terbentuknya. Hasil kajian ini akan dipakai sebagai acuan bagaimana karakteristik precursor LiFePO4 hasil kalsinasi yang dapat digunakan sebagai bahan baku sintering untuk pembentukkan produk akhir LiFePO4. METODE PERCOBAAN Sintesis Precursor

Bahan-bahan baku yang digunakan adalah LiOH.H2O teknis buatan China (kemurnian 97.4 wt.%), α-Fe2O3 lokal buatan Pusat Penelitian Metalurgi dan Material – LIPI yang kemurniannya belum diketahui, dan H3PO4 teknis buatan China (kemurnian 85 wt.%). Bahan-bahan baku tersebut kemudian dicampurkan dengan mengikuti persamaan reaksi total pembentukan produk akhir LiFePO4 berikut ini

LiOH.H2O (s) + 0.5Fe2O3 (s) + H3PO4 (l) LiFePO4 (s) + 3H2O (g) + 0.25O2 (g)

Komposisi bahan-bahan baku yang digunakan adalah 26,60 g LiOH.H2O, 50,62 g α-Fe2O3, dan 62,12 g H3PO4. Setelah dicampurkan hingga homogen, bahan-bahan tersebut kemudian dikalsinasi dalam kondisi inert (dialiri gas N2) dengan temperatur 900 oC selama 10 jam. Hasil dari kalsinasi tersebut berupa precursor LFP. Karakterisasi Precursor Sampel bahan baku lokal α-Fe2O3 buatan Pusat Penelitian Metalurgi dan Material – LIPI dan precursor LFP yang dihasilkan dari kalsinasi dianalisis menggunakan X-Ray Diffarctometer (XRD) merek Rigaku tipe SmartLab untuk mengetahui fasa-fasa yang terbentuk dan komposisinya. Sampel precursor LFP hasil kalsinasi juga diuji elektrokimia menggunakan metoda : electrochemical impedance spectroscopy (EIS) Cyclic Voltametry (CV) dan Charge and Discharge (CD) menggunakan alat Wonatech. HASIL DAN PEMBAHASAN Bahan baku yang digunakan dalam riset ini adalah LiOH.H2O teknis buatan China, α-Fe2O3 lokal buatan Pusat Penelitian Metalurgi dan Material – LIPI, dan H3PO4 teknis buatan China. Bahan baku LiOH.H2O teknis dan H3PO4 teknis buatan China sudah diketahui tingkat kemurniannya yaitu 97,4 wt.% untuk LiOH.H2O dan 85 wt% untuk H3PO4. Namun, kemurnian dan karakteristik fasa dari bahan baku lokal α-Fe2O3 yang digunakan belum diketahui secara pasti. Untuk itu bahan baku lokal α-Fe2O3 dikarakterisasi terlebih dahulu menggunakan XRD dan XRF. Hasil pengujian XRD dapat dilihat pada Gambar 1 berikut ini.

Page 308: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 295

Gambar 1. Pola difraksi sinar-x sampel bahan baku lokal α-Fe2O3 buatan Puslit Metalurgi

dan Material – LIPI

Dari hasil pengujian menggunakan XRD, diketahui sampel bahan baku lokal α-Fe2O3 buatan Puslit Metalurgi dan Material – LIPI hanya terdeteksi satu fasa tunggal saja yaitu fasa α-Fe2O3. Hal ini ditunjukkan dengan ditemukannya nilai-nilai three strongest lines pada d-spacing 2,6972 Å; 2,5159 Å; dan 1,6934 Å pada sudut 2θ difraksi 33,189o; 35,657o; dan 54,1147o. Nilai-nilai ini cocok dengan standar three strongest lines pada basis data ICDD 2013/PDF 4 dengan nomor kartu 04-015-7029 yang mensyaratkan three strongest lines dengan nilai-nilai d-spacing 2,69904 Å, 2,51797 Å, dan 1,69445 Å. Hasil dari analisis kuantitatif XRD menggunakan metode Rietveld pada sampel bahan baku lokal α-Fe2O3 menunjukkan nilai parameter kelayakan chi-square adalah 1,0282 dan Rwp 7,09%. Nilai chi-square yang konvergen adalah maksimum 1.3, sedangkan nilai maksimum konvergen untuk Rwp adalah 10%. Dengan demikian indeks keyakinan dari analisis XRD pada sampel ini sangat baik. Meskipun hanya terdeteksi fasa tunggal α-Fe2O3, sampel ini belum tentu hanya memiliki satu fasa saja. Hal pertama yang harus dicek adalah apakah sampel ini memiliki bidang-bidang dengan nilai indeks Miller yang masih satu kelipatan, contohnya [111] dengan [222], [333], [444], dan seterusnya. Bila kita perhatikan nilai-nilai indeks Miller pada bidang-bidang yang terdeteksi pada Gambar 1, kita tidak menemukan bidang-bidang yang merupakan kelipatan dari bidang satu dengan bidang lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa masih ada kemungkinan sampel ini memiliki material-material pengotor yang tidak terdeteksi lagi oleh XRD. Oleh sebab itu, untuk menguji dengan pasti berapa kemurnian sesungguhnya dari sampel, kita juga harus uji dengan XRF. Hasil pengujian XRF pada sampel ini dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil pengujian XRF sampel α-Fe2O3 lokal

Unsur Komposisi (wt.%) Fe 96,24799 Cl 1,32756 Ca 0,00929 Cr 0,00657 Mn 0,00275 Ba 0,00199

Page 309: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

296 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

Ni 0,00151 Sb 0,00100 Ti 0,00066 Cd 0,00017 Cu 0,00010 Ag 0,00007 Sr 0,00007 Zr 0,00003 Mo 0,00003

Dari hasil pengujian XRF dapat kita lihat bahwa unsur yang paling dominan adalah Fe

dengan persentase komposisi 96,24799 wt.% sementara sisanya dapat dianggap pengotor karena bila dijumlahkan tidak lebih dari 4 wt.%. Seperti kita ketahui, XRF hanya mendeteksi unsur saja, dan unsur-unsur dibawah nomor atom 12 tidak akan terdeteksi. Jadi bila kita lihat hasil XRF, unsur dominan Fe dapat berupa senyawa yang berikatan dengan unsur dengan nomor atom dibawah 12. Bila kita komparasikan hasil XRD dengan hasil XRF maka dapat kita tetapkan bahwa unsur Fe yang terdeteksi di XRF tersebut merupakan unsur Fe yang berikatan dengan unsur O yang bernomor atom 8 (di bawah 12) dalam bentuk Fe2O3, tepatnya α-Fe2O3. Dengan demikian, sampel bahan baku lokal yang diduga α-Fe2O3 adalah benar α-Fe2O3 dengan kemurnian 96,24799 wt.%. Dengan demikian, bahan baku lokal α-Fe2O3 ini dapat dilanjutkan untuk digunakan dalam pembentukkan precursor LiFePO4 dalam bentuk fasa Li3Fe2(PO4)3. Proses selanjutnya adalah bahan baku lokal α-Fe2O3 ini dicampurkan dengan bahan-baku teknis buatan China LiOH.H2O dan H3PO4 dalam pembuatan precursor LFP. Hasil kalsinasi dari campuran LiOH.H2O, α-Fe2O3, dan H3PO4 membentuk sebuah material precursor. Karakteristik fasa dari precursor ini kemudian diuji menggunakan XRD. Hasil pengujian XRD berupa pola difraksi sinar-X dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Pola difraksi sinar-x sampel precursor yang terbentuk hasil kalsinasi 900 oC

selama 10 jam

Dari hasil pengujian XRD pada sampel precursor hasil kalsinasi 900 oC selama 10 jam dalam kondisi inert menunjukkan terbentuk dua fasa utama, yaitu Li3Fe2(PO4)3 dan α-Fe2O3.

Page 310: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 297

Fasa Li3Fe2(PO4)3 terdeteksi dengan ditemukannya tiga nilai d-spacing 4,293 Å, 3,6539 Å, dan 3,64361 Å pada posisi sudut 2θ difraksi 20,672o, 24,34o, dan 24,41o. Tiga nilai d-spacing tersebut cocok dengan basis data ICDD 2013 (PDF 4) dengan nomor kartu 01-073-9562 yang memiliki nilai syarat d-spacing 4,29933 Å, 3,65838 Å, dan 3,64905 Å. Sementara fasa α-Fe2O3 terdeteksi dengan ditemukannya tiga nilai d-spacing yaitu 2,7059 Å, 2,5222 Å, dan 1,6969 Å pada posisi sudut 2θ difraksi 33,078o, 35,566o, dan 53,992o. Tiga nilai d-spacing tersebut cocok dengan basis data ICDD 2013 (PDF 4) dengan nomor kartu 04-015-9752. Syarat nilai d-spacing untuk nomor kartu 04-015-9752 sendiri adalah 2,69771 Å, 2,51716 Å, dan 1,69364 Å. Dalam mencocokkan nilai d-spacing yang didapat dengan standar ICDD, margin toleransi yang digunakan adalah ± 0.01 untuk d-spacing yang pertama serta ± 0.02 untuk d-spacing yang kedua dan ketiga. Fasa Li3Fe2(PO4)3 memiliki nilai-nilai parameter kisi yaitu a = 8,597 Å, b = 12,1 Å, c = 8,598 Å dengan sudut-sudut α = 90,13o, β = γ = 90 o dan space group P21/n11 (14). Dengan demikian, fasa Li3Fe2(PO4)3 memiliki karakteristik parameter kisi a ≠ b ≠ c serta salah satu sudut dari α, β, dan γ bernilai tidak sama dengan 90o, sedangkan dua sudut lainnya bernilai 90o. Karakteristik parameter kisi tersebut menunjukkan fasa Li3Fe2(PO4)3 memiliki struktur kristal monoclinic. Fasa α-Fe2O3 mempunyai nilai-nilai parameter kisi a = b = 5,0382 Å dan c = 13,753 Å dengan sudut-sudut kisi α = β = 90o dan γ = 120o, serta memiliki space group R-3c (167). Karakteristik parameter kisi dari fasa α-Fe2O3 tersebut menunjukkan a = b ≠ c dengan karakteristik sudut-sudut kisi α = β = 90o dan γ = 120o. Karakteristik parameter kisi tersebut menunjukkan bahwa fasa α-Fe2O3 memiliki struktur kristal hexagonal. Analisis kuantitatif dilakukan dengan menggunakan metode Rietveld. Nilai Rwp yang diperoleh adalah 9.36%, sedangkan nilai chi-square yang diperoleh adalah 1.5801. Nilai Rwp sudah layak karena bernilai dibawah 10%, namun bila kita lihat nilai chi-square-nya masih diatas 1.3. Hal ini menunjukkan masih ada kemungkinan fasa-fasa pengotor lainnya selain fasa Li3Fe2(PO4)3 dan α-Fe2O3, namun mengingat nilai Rwp nya sudah memenuhi syarat, dan nilai chi-square-nya berselisih hanya 0.2801 saja, maka kemungkinan total jumlah pengotornya pun pasti dibawah 4 wt.% saja, sehingga bisa kita abaikan pengotornya. Dari hasil analisis kuantitatif XRD tersebut diketahui komposisi fasanya adalah 71 wt.% Li3Fe2(PO4)3 dan 29 wt.% α-Fe2O3. Dengan membagi nilai persen massa masing-masing fasa dengan bobot molekul (Mr) masing-masing fasa tersebut, artinya kita dapat menentukan perbandingan mol dari fasa Li3Fe2(PO4)3 dengan α-Fe2O3. Nilai Mr untuk Li3Fe2(PO4)3 sendiri adalah 417,43 g.mol-1, sedangkan nilai Mr untuk α-Fe2O3 adalah 159.69 g.mol-1. Dengan demikian mol dari fasa Li3Fe2(PO4)3 adalah 0.17 dan mol dari fasa α-Fe2O3 adalah 0,18. Dengan diketahuinya nilai mol dari masing-masing fasa yang terbentuk, maka prediksi reaksi kimia yang terjadi selama proses kalsinasi dengan temperatur 900oC selama 10 jam dalam kondisi inert (dialiri gas N2, tanpa ada O2 yang masuk) adalah sebagai berikut 0,51 LiOH.H2O (s) + 0.35 Fe2O3 (s) + 0,51 H3PO4 (l) 0,17 Li3Fe2(PO4)3 (s) + 0,18 Fe2O3 (s) + 1,53 H2O (g)

Dengan reaksi yang terjadi di atas maka tujuan dari kalsinasi ini sudah tercapai, yaitu membentuk precursor LiFePO4 dalam bentuk fasa Li3Fe2(PO4)3 dan menghilangkan zat volatil. Zat volatil yang dilepaskan adalah H2O dalam bentuk gas (uap air). Dengan terbentuknya fasa Li3Fe2(PO4)3 dan α-Fe2O3 maka peluang untuk pembentukkan LiFePO4 pada proses sintering menjadi sangat besar. Ada kemungkinan sintering sebagai proses lanjutan akan berlangsung cukup satu tahap mengingat perbedaan koefisien mol fasa Li3Fe2(PO4)3 dan α-Fe2O3 hanya berselisih 0.01 sehingga koefisien mol antara keduanya dapat dianggap sama. Prediksi reaksi pada proses sintering satu tahap tersebut mengikuti prediksi reaksi kimia sebagai berikut

Li3Fe2(PO4)3 (s) + 0,5 Fe2O3 (s) 3 LiFePO4 (s) + 0,75 O2 (g)

Page 311: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

298 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

Reaksi tersebut harus dilakukan pada kondisi inert agar gas O2 dapat ikut terbawa aliran gas inert sehingga hanya akan menyisakan produk akhir sintesis berupa LiFePO4 murni. Gas inert yang digunakan haruslah gas inert dengan kemurnian tinggi. Selain reaksi sintering satu tahap tersebut, dapat juga diprediksikan reaksi sintering berlangsung lebih dari satu tahap. Proses ini sangat memungkinkan terjadi dalam tiga tahap seperti gambaran prediksi reaksi sintering pada reaksi kimia berikut ini Reaksi tahap pertama : Li3Fe2(PO4)3 (s) + Fe2O3 (s) 3 LiFePO4 (s) + 0.5 Fe2O3 (s) + 0.75 O2 (g) Reaksi tahap kedua : 3 LiFePO4 (s) + 0.5 Fe2O3 (s) + 0.75 C Li3Fe2(PO4)3 (s) + Fe (s) + 0.75 CO2 (g) Reaksi tahap ketiga : Li3Fe2(PO4)3 (s) + Fe (s) 3LiFePO4 (s)

Pada reaksi tahap pertama akan terjadi perubahan fasa dari Li3Fe2(PO4)3 menjadi LiFePO4 akibat difusi sebagian Fe dari fasa α-Fe2O3 yang masuk ke struktur kristal Li3Fe2(PO4)3 sehingga merubah struktur kristal monoclinic yang sudah mendekati orthorhombic menjadi sempurna orthorhombic akibat perbaikan satu sudutnya yang belum sempurna 90o (masih 90.13o) menjadi sempurna 90o akibat dorongan energi dari difusi ataupun penyisipan Fe yang masuk ke struktur kristal monoclinic. Seperti kita tahu fasa Li3Fe2(PO4)3 berstruktur monoclinic sedangkan LiFePO4 berstruktur orthorhombic. Dalam fasa LFP, struktur yang stabil adalah orthorhombic sedangkan monoclinic merupakan fasa metastabilnya. Fasa metastabil monoclinic pada LFP akan mudah berubah menjadi fasa stabil orthorhombic bila diberikan energi yang tepat. Reaksi sintering yang harus berlangsung tiga tahapan ini terjadi bila kondisi gas inert yang digunakan tidak benar-benar murni atau masih dalam grade teknis. Dengan kondisi gas inert yang tidak murni, maka masih ada kemungkinan terbentuk fasa Fe2O3 akibat bereaksi dengan gas oksigen karena Fe akan lebih cepat bereaksi dengan gas oksigen. Dengan terbentuknya LiFePO4 pada reaksi pertama, maka otomatis banyak atom Fe yang berdifusi ke struktur kristal Li3Fe2(PO4)3 sehingga akan mengurangi komposisi dari Fe2O3. Konsekuensi dari hal tersebut menyebabkan akan ada gas oksigen yang terbentuk (O2) yang ikut terbuang ke udara bebas bersama aliran gas inert. Dengan demikian starter pada reaksi sintering tahap kedua menjadi tersisa LiFePO4 dan Fe2O3. Agar menciptakan produk LiFePO4 murni maka reaksi harus ditambahkan penstabil fasa LiFePO4 agar tidak terbentuk lagi fasa Fe2O3. Penstabil fasa yang dapat digunakan adalah soft carbon (C). Soft carbon digunakan karena bentuknya amorf. Jika menggunakan karbon yang berbentuk kristal, maka justru ada kemungkinan terbentuk fasa pengotor karbida (Fe3C) atau lithium carbonate, sedangkan soft carbon akan mudah bereaksi dengan oksigen membentuk CO2 sehingga dapat melepaskan ikatan Fe2O3. Dengan lepasnya ikatan Fe2O3 maka Fe akan berdifusi menuju struktur orthorhombic LiFePO4 dan O akan bereaksi dengan soft carbon membentuk gas CO2 dan terbang mengikuti aliran gas inert sehingga menyisakan fasa LFP. Fasa LFP yang terbentuk pada reaksi sintering tahap kedua ini akan berubah kembali menjadi monoclinic Li3Fe2(PO4)3 akibat fasa stabil LiFePO4 terdorong lagi oleh dorongan energi difusi atau penyisipan atom-atom Fe. Produk akhir dari reaksi tahap kedua ini adalah fasa monoclinic Li3Fe2(PO4)3 dan Fe sebagai starter reaksi tahap ketiga. Untuk memulai reaksi tahap ketiga, sampel tidak perlu dikeluarkan terlebih dahulu dari tungku, tetapi cukup melanjutkan lagi sintering agar kondisi inert di dalam tungku tetap terjaga. Oleh sebab itu tahapan kedua dan ketiga dapat dilangsungkan secara paralel menjadi satu tahap dengan catatan durasi sintering yang dilakukan lebih panjang. Hasil dari proses sintering tahap ketiga ini berupa produk akhir LiFePO4 murni.

Page 312: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 299

Gambar 3. Uji siklus laju charge/discharge dengan laju discharging hingga 8C. Inset (grafik

kapasitas charge/discharge) Uji sel baterai dilakukan dengan membuat sel baterai lembaran katoda LFP dengan

anoda grafit. Sel dibuat dalam bentuk pouchcell berukuran 18 cm2. Elektrolit LiPF6 digunakan sebagai elektrolit cair standar. Hasil uji sel baterai diperlihatkan pada Gambar 3. Pengujian dilakukan dengan laju discharging dari mulai C/10,C/3,1C,1.5C,2C,3C,4C,6C, 8C dan kembali pada C/10 sebagai laju terakhir. Kapasitas yang dicapai pada masing-masing Crates tsb adalah : 11.2 mAh/gr, 9.6 mAh/g, 8 mAh/g, 6.5 mAh/g, 6mAh/g, 4 mAh/g, 3.7 mAh/g, 1.9 mAh/g, 0.8 mAh/g dan 7 mAh/g. Pada siklus pertama Nampak saat C/10 nilainya adalah 11.2 mAh/g, namun pada C/10 diakhir tes kapasitas yg tersisa adalah ~7mAh/g sehingga retensi kapasitasnya berkisar 37 %. Sedangkan pada siklus tertinggi yaitu pada 8C, kapasitasnya mencapai 0.8 mAh/g, atau hampir hanya mampu diambil kapasitas sebesar 7.2%. KESIMPULAN Precursor LiFePO4 dalam bentuk fasa Li3Fe2(PO4)3 dapat dibuat dengan proses kalsinasi 900 oC selama 10 jam dengan kondisi inert menggunakan bahan baku teknis LiOH.H2O buatan China, H3PO4 teknis buatan China, dan α-Fe2O3 lokal buatan Puslit Metalurgi dan Material – LIPI. Fasa Li3Fe2(PO4)3 yang dihasilkan memiliki kemurnian 71 wt.% dan berstruktur kristal monoclinic. Struktur monoclinic dapat dirubah menjadi fasa orthorhombic dengan pemberian energi yang tepat. Hasil pengujian elektrokimia (CV dan CD) pada precursor yang dihasilkan pun menunjukkan ada sifat kebatreannya. Oleh sebab itu precursor yang terbentuk dapat dijadikan starter bahan baku sintering pembentukkan produk akhir LiFePO4 yang berstruktur kristal orthorhombic yang digunakan sebagai katoda baterai lithium-ion.

Page 313: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

300 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

DAFTAR PUSTAKA 1. Shu, Hongbo et al. 2015. Li Fast Ion Conductive La0.56Li0.33TiO3 Inlaid in LiFePO4/C

Microspheres with Enhanced High-Rate Performance as Cathode Materials. Electrochimica Acta 152 (2015). pp 368-377.

2. Ge, Yucui et al. 2010. An Optimized Ni Doped LiFePO4/C Nanocomposite wth Excellent Rate Performance. Electrochimica Acta 55 (2010). pp 5886-5890.

3. Padhi, A.K., Nanjundaswamy, K.S., Goodenough, J.B. 1997. J. Electrochem. Soc.144 (1997). pp 1188.

4. Shu, Hongbo et al. 2013. Improved Electrochemical Performance of LiFePO4/C Cathode Via Ni and Mn Co-Doping for Lithium-ion Batteries. Journal of Power Sources 237 (2013). pp 149-155.

5. Lu, Yang et al. 2009. Synthesis of LiFe1-xNixPO4/C Composites and Their Electrochemical Performance. Journal of Power Sources 194 (2009). pp 786-793.

6. Meligrana, G. et al. 2013. Surfactant-Assisted Mild Hydrothermal Synthesis to Nanostructured Mixed Orthophosphates LiMnyFe1-yPO4/C Lithium Insertion Cathode Materials. Electrochimica Acta 105 (2013). pp 99-109.

7. Dong, Luo et al. 2015. LiMO2 (M = Mn, Co, Ni) Hexagonal Sheets with (101) Facets for Ultrafast Charging-Discharging Lithium Ion Batteries. Journal of Power Sources 276 (2015). Pp. 238-246.

8. Hong, Jian et al. 2011. LiFexMn1-xPO4: a Cathode for Lithium-ion Batteries. Journal of Power Sources 196 (2011). pp 3659-3663.

Page 314: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 301

SESI TANYA JAWAB

Page 315: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

302 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

Halaman ini sengaja dikosongkan

Page 316: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 303

PRESENTASI RUANG I Sesi I Moderator: Dr. Latifa Hanum L Presentasi: 1. Badrul Munir, Solar sel (Optimasi material dan proses fabriaksi sel tipis) 2. Lina jaya diguna, sel surya tersensitisasi semikonduktor kuantum dot Diskusi Pertanyaan Solihin: 1. Badrul Munir: Bagaimana summary penelitian thin film di Indonesia? 2. Lina Jaya: a). Mekanisme sesitisme dengan dye vs quantum dots; b). Apakah hanya cara itu bisa merubah dari sinar UV ke sinar tampak? Jawaban: 1. Beberapa riset yang ada di Indonesia, tentang dye sensitasi solar sel. Kesulitan disini adalah peralatan yang mempunyai proses vakum lebih susah disini, jadi yang berkembang adalah proses non vakum. Tetapi untuk sampai komersialisasi adalah peralatan untuk silikon, walaupun SDA melimpah tetapi masalah implementasi sedikit untuk metalurgi grade. Focus mungkin di efisiensi, sehingga ditahapan efisiensi (diatas 12%) bisa diadopsi/penelitian lebih intensif sampai tahap device. 2. a). Mekanisme untuk sensitasi solar sel vs quantum dots sama, hanya dye untuk semikonduktor quantum dots menggunakan polysulfide dengan kkounter dots jenis electricity dan counter dots harus diperlihatkan. b). untuk TiO2 dibawah radius sangat kecil sehingga harus diperhatikan quantum dot effect. Untuk penelitian pak Mansoob, harus diperhatikan doping. Pertanyaan moderator: Kalau dengan Quantum Dots (QD), apakah surface trap menyebabkan doping A, dengan surface modifikasi terjadi pergerakan electron sehingga surface trap berkurang? Kesimpulan moderator: Peningkatan efisiensi masih dikembangkan meskipun problem energy belum terselesaikan. Pertanyaan Firdiyono: Ferdinand (IPB): a). Uji SEM/EDS komposisi, kenapa tidak uji XRF langsung?; b). apakah hanya standar warna (Fe2O3)?; c). Dari XRD tidak terlihat hasil Nikel? Jawaban: a). Lebih baik lagi AAF/ICP kenapa?, karena XRF tidak punya. SEM itu bukan analisa unsure sehingga tidak mewakili (dominan). c). tidak terlihat nikel sehingga masih ada di larutan (mungkin kebetulan) karena jumlahnya kecil. b). standar warna bukan untuk menjadi pigmen tetapi bisa menjadi bahan baku. Sesi II Moderator : Eko Sulistyono Pemakalah: Indah Suryani: Reduksi pellet konsentrat pasir besi menggunakan reduktor BED batubara dan adiktif NaCO3 dengan metode isothemal-gradien temperatur Desy Amalia: Pengaruh penambahan CaCO3 terhadap alumina dengan silica terlarut dalam larutan sodium aluminat Latifa Hanum: Percobaan kelarutan mineral kasiterit Indonesia menggunakan larutan HCl 15% Ferdinand: Reduksi pellet komposit pasir besi menggunakan reduktor BED batubara dengan metode isothemal-gradien temperature

Page 317: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

304 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

Diskusi: Pertanyaan: Firmansyah (kementrian perindustrian): a). tertarik reduksi pellet baja+adiktif (ibu indah) dari segi industry (secara makro), teknologi mana yang paling efisien? Bilamana industry dapat menerapkan teknologi tersebut? b). Pada preparasi bijih awal, ukurannya berapa? Bentonit berapa %? Efek debu terhadap bentonit, apa tidak terjadi slagging di krusibel (pak Ferdinand)? Jawaban: a). Untuk industri, menurut saya caranya Ferdinand lebih efisien, karena pellet yang dihasilkan memiliki kekerasan lebih tinggi sehingga sulit dihancurkan. b). Ferdinand, bisa dihancurkan langsung dengan crusher dan selanjutnya bisa langsung dilebur. Ukuran batubara : … mesh, sedangkan jumlah bentonit 2% dari total pellet. Ibu indah: slag tidak ada Ibu endah (kementrian ESDM): kekerasan pellet tidak diukur Pak Ferdinand, dalam penelitian dilakukan proses drying untuk memperkuat pellet. Ada debu keluar saat sampel dikeluarkan dari furnace. Sesi III Moderator: Nadya Pemakalah: Husaini: Pelarutan bijih bauksit dengan soda kaustik menjadi larutan sodium alumina skala pilot Eko sulistyono: Pengamatan pelepasan unsure karbon pada proses kalsinasi dolomite SEM-EDX Puguh: Pengaruh tertundanya pengolahan bijih nikel laterit kadar rendah dengan HPAL di Indonesia terhadap pasokan nikel dunia Solihin: Pembentukan titanium silikon karbida dari bahan baku elementer Eko sulistyono: Pengaruh penggunaan elektroda terhadap karakteristik produk mangan dioksida Wahyu mayang: Pengaruh suhu dan waktu reduksi terhadap bijih nikel limonit dengan penambahan aditif CaSO4 Diskusi Pertanyaan: Nadya: Puguh P, jika gagal di Australia, bagaimana di Indonesia? Jawaban: Lab. Dan pasar baja laterit tidak bermasalah, tetapi dari skala industry bermasalah Novrizal: Wahyu Mayang, ukuran slag yang terlalu besar, cara yang mudah untuk pemisahan terak bagaimana? Jawaban: kami menggunakan sampel unuran 100 mesh, untuk mendapatkan 2,24% dengan aditif CaSO4 terlihat kecil tetapi peningkatan sudah tinggi dilihat dari % Ni dari sampel awal setelah reduksi selektif itu kadar awal sudah lebih tinggi. Dari XRD, masih ada Fe dan Ni sehingga penelitian selanjutnya menggunakan pellet karena powder banyak yang menghasilkan lost. Pak firdiyono: ada banyak pengotor jadi untuk penelitian berikutnya adalah slag yang lebih cair. PRESENTASI RUANG II Pemakalah: Dr. Neni sintawardani Diskusi Pertanyaan: novia (Pt. Agen), safety dan preventive maintenance apa sudah dilaksanakan? Jawaban: telah dilakukan test kebocoran pada reactor Pertanyaan: saefudin, pemanfaatan H2 Jawaban: saat ini masih dicampur dengan gas methan yang dihasilkan

Page 318: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 305

Pemakalah: Siska P Diskusi Pertanyaan: Deden (ITB) - apakah metoda sudah representative? Jawaban: masih ada penelitian lanjutan Pertanyaan: singgih (FEDC) - apakah material tidak menggunakan FCD? – apakah metode penghilangan kerak? Jawaban: - sulit dan terbatas untuk beda tipis seperti silinder liner, - saat charging Diskusi Pertanyaan dari rusgeni terhadap sri bimo: dari data bapak, punya data penggantian rel? lebih rumit mana mengganti rel/roda? Jawaban: pt. kai standar masih masuk ke standar kai paling lama 1,5 tahun sudah diganti. Standar kekerasan rel harus lebih keras dari roda. Pertanyaan dari pak budi ke sribimo: pendinginan dengan kipas lebih unggul, metodanya terarah/bebas pendinginannya? Jawaban: kipas diarahkan pada tapak saja Pertanyaan pak budi ke pak toni: kenapa proses rol harus 7, kenapa tidak 10? Jawaban: .. Pertanyaan pak sribimo ke pak toni: kenapa dengan mikrohardness? Kenapa peningkatan reduksi area tidak meningkat? Jawaban: karenabenda tipis, maka pakai mikro Diskusi Pertanyaan giring (untirta) ke cahya sutowo: chamshaft untuk mesin apa? Jenisnya mesin apa? Jawaban: mesin 4 tak, milik kendaraan dua katup (single) Pertanyaan dedi (ITB) ke Agus BP: percobaan menggunakan tiga bahan terhadap NaCl, NaOH dan NaSO4, berapa persen recovery nya? Jawaban: intinya untuk mengikat unsure selain Ni, dan recovery nya sekitar 80%. Pertanyaan pak budi P ke Indah: pemurnian silikon ada impurities nya, impuritiesnya sendiri ada SiO2 yang belum tereduksi berapa? Standar ASTM SiO2 nya sekitar berapa persen? Jawaban:…. PRESENTASI RUANG III A. Increased eff. of ZnO (Indria Herman, Ph.D), DSSC using hierarchical nanowire B. Identifikasi sifat fisis dan elektrokimia pada mesocarbon microbeads untuk baterai ion Li (Fadli Rohman) C. Pengaruh ion karbonat dan nitrat di dalam Larutan Beton Simulasi yang terkontaminasi air laut (arini nikita sari) D. Sintesis Epoksi Komposit Fe-Ni partikel nano dengan karakterisasi sifat elektromagnetik dan morfologi E. Pengaruh suhu penyinteran terhadap pembentukan polikristal LaCoO3 Pertanyaan : 1. Hydrothermal growth, bagaimana bisa? (Arini) 2. Apa yang dikontrol dalam hidrotermal growth? Dan bagaimana kemampuan live cycle? (subhan) 3. Proses sintesis lanjutan bagaimana MCMB bagaimana? (ibrahim) 4. Nanorod ujungnya lancip agar mudah tereksitasi, apakah mungkin? (fadli) 5. Kenapa tidak dibuat bercabang? 6. Mengapa inhibtor berlebih efeknya buruk?

Page 319: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

306 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

Jawab : 1 & 2. Seed ditanam pada TCO tumbuh sesuai pertumbuhan kristal. Pengontrol P.S yang menekan untuk supaya tidak tumbuh ke samping, disamping itu juga dengan mengganti larutan setelah jenuh. Live cycle belum diuji. 3. Dipanaskan 2700oC agar mulai tergrafitisasi 4. pastinya begitu, bagian akar akan ebih lebar. Tapi tidak terlalu urgent untuk kasus riset ini, sebab yang dibutuhkan akar. 5. keunggulan metode ini mengontrol pertumbuhan batang. 6. karena sodium nitrit anodik, dosis harus sesuai. Jika berlebih akan meningkatkan laju korosi, justru membuat tingkat korosi meningkat. Presenter (14.19-15.06) 1. Bintoro Siswayanti (Analisis Hambat Jenis Pelet BSSCO yang dipanaskan pada 750oC selama 90 jam) 2. Andinnie Juniarsih (Pengaruh Komposisi Minyak Pinus dan Solar dan kecepatan pengadukan proses filtrasi batu bara pada pembuatan kokas dengan metode blending) 3. Septian A. Chandra (Pengaruh suhu kalsinasi dan penyinteran terhadap pembentukan material CaCoO) 4. Lutviasari Nuraini (Pengaruh Temperatur dan variasi konsentrasi inhibitor garam imidazolin terhadap ketahanan korosi baja API 5L dalam larutan brine dengan injeksi gas CO2 jenuh) 5. a.n Agus Suprapto (Evaluasi dampak cryogenic treatment dan temper terhadap ADI tool life) Pertanyaan (15.06-....) Untuk Agus Suprapto 1. ada 3 tahapan, apakah sebelum treatment nitrogen cair sampel didiamkan terlebih dahulu? (fadli rohman) Jawab: Didiamkan dahulu di temperatur ruang, baru setelah itu di teratment panas. 2. Apakah ada pemuaian selama treatment? (fadli rohman) Jawab : tidak kami teliti 3. Apakah ada perubahan fasa selama treatment? (a.subhan) Jawab : ada peningkatan fasa dari sisa tersebut menjadi martensit Untuk Septian A. Chandra 1. Yang mana sampel terbaik? (dwita suastiyanti) Jawab: yang C, tetapi masih ada fasa pengotor 2. Apa efek fasa pengotor? (dwita S.) Jawab: tidak diteliti sampai sana Presentasi : 1. Ibrahim : Investigasi Subtitusi Fe oleh Mn dan Ni pada struktur kristal LiFePO4 berbasis hasil uji XRD. 2. Dwita Suastuyanti : Sintesis Gama-Al2O3 Nano partikel metode sol-gel sebagai bahan penyangga katalis untuk proses hidrogenasi parsial biodiesel. 3. Lutvisari : Studi pendahuluan unjuk kerja cat antifouling dan anti korosi di perairan Muara Baru, Jakarta 4. Sigit D.Y : Analisis hambat jenis penambahan nano-SiC pada MgB2 tanpa perlakuan panas. 5. Achamad Subhan : Sintesis fasa Li3Fe2(PO4)3 sebagai precursor LiFePO4 menggunakan bahan baku lokal α-Fe2O3 Presenter a.n Fitrullah tidak hadir

Page 320: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 307

Tanya Jawab: Untuk Dwita S 1. Darimana anda mengetahui bahwa metode sol-gel itu lebih baik? (Agus) 2. Perbesaran SEM tidak sama sehingga tidak bisa dibandingkan. (Agus) Untuk Lutviasari 3. Apakah sudah ada uji ramah lingkungan? Untuk Ibrahim 4. Bagaimana menentukan parameter a,b dan c?Dan manakah yang lebih dulu? Jawaban: 1. Bisa diketahui dari roadmap yang sudah dilakukan 2. Hanya menyatakan bahwa gambar SEM yang paling baik 3. Belum dilakukan uji ramah lingkungan 4. Gunakan excel kontrol Fe-nya sambil diatur Mn-nya

Page 321: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2015

308 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

Page 322: slimm.metalurgi.lipi.go.idslimm.metalurgi.lipi.go.id/ir/assets/uploaded/Pro... · S d B Disel Pusa Lemb Kaw Disp EMIN alam M UK enggaraka t Penelitian aga Ilmu P asan PUSPI onsori

Organized by :

PUSAT PENELITIAN METALURGI MATERIALdan

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

PUSAT PENELITIAN METALURGI MATERIALdan

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

Kawasan Gedung 470, SetuPUSPIPTEK

Tangerang Selatan, Banten 15314

Telp : (021) 7560911, Fax: (021) 7560553

ISSN.2085-0492