skripsi - etheses.uin-malang.ac.idetheses.uin-malang.ac.id/7056/1/04210021.pdf · selain itu, dalam...
TRANSCRIPT
PENGGUNAAN ASET WAKAF PRODUKTIF BAGI PENGELOLANYA DI DESA MRONJO SELOPURO BLITAR
(Tinjauan UU No. 41 Tahun 2004 Dan Fiqh Syafi’iyyah)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan
Mencapai Gelar Sarjana Hukum Islam (S.HI)
Oleh:
IRFAN SANTOSO NIM: 04210021/S-1
PROGRAM STUDI AL-AHWAL AL-SYAKHSIYYAH FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MALANG (UIN) MAULANA MALIK IBRAHIM
MALANG 2010
PENGGUNAAN ASET WAKAF PRODUKTIF BAGI PENGELOLANYADI DESA MRONJO SELOPURO BLITAR
(Tinjauan UU
Mencapai Gelar Sarjana Hukum Islam (S.HI)
PROGRAM STUDI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MALANG
PENGGUNAAN ASET WAKAF PRODUKTIF BAGI PENGELOLANYADI DESA MRONJO SELOPURO BLITAR
Tinjauan UU No. 41 Tahun 2004 Dan Fiqh Syafi’iyyah
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Gelar Sarjana Hukum Islam (S.HI)
Oleh:
IRFAN SANTOSO NIM: 04210021/S-1
PROGRAM STUDI AL-AHWAL AL- SYAKHSIYYAHFAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MALANG MAULANA MALIK IBRAHIM
MALANG 2010
PENGGUNAAN ASET WAKAF PRODUKTIF BAGI PENGELOLANYA
2004 Dan Fiqh Syafi’iyyah)
SYAKHSIYYAH
(UIN)
ABSTRAK Santoso, Irfan. (04210021). Penggunaan Aset Wakaf Produktif Bagi Pengelolanya. Fakultas Syari’ah Jurusan Al-Ahwal Al-Syakhshiyah Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang. Dosen Pembimbing: Drs. H. M. Fauzan Zenrif, M.Ag. Kata kunci: Penggunaan, Aset Wakaf, Produktif.
Praktek pelaksanaan wakaf produktif yang terjadi di Masjid Baitul Huda Desa Kebonsari Kelurahan Mronjo Kec. Selopuro Kab. Blitar, sekilas berbeda dengan materi hukum Islam dalam pandangan fiqh Syafi’iyyah maupun hukum positif. Pelaksanaannya yaitu pengurus (Ta’mir) masjid memberikan wewenang kepada orang lain untuk mengelola dan merawat aset wakaf produktif berupa sawah, dengan konsekuensi ia harus mau menjadi Muaddzin dan mau memelihara kebersihan masjid. Ia juga diberi keluasan dan kebebasan untuk merawat dan memelihara sawah itu dengan tanaman apapun dengan syarat tanah tersebut tidak boleh dijual, disewakan atau dipindah ke pihak lain. Pelaksanaan kedua, wakaf dikelola sendiri oleh Nadzir, melihat dirinya tidak memiliki pekerjaan selain merawat tanah wakaf sebagai kegiatan sehari-hari Nadzir. Dalam keadaan miskin, untuk memenuhi kebutuhan sehari-sehari, tumpuhan Nadzir adalah panen/hasil dari tanah wakaf tersebut, dasar penggunaan hasil wakaf oleh Nadzir adalah dalam merawat sawah ia juga mengeluarkan biaya dan tenaga, sehingga ketika panen ia mengambil sebagian dari hasil panen tersebut untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari atau hutang untuk pembiayaan perawatan sawah wakaf. Selanjutnya sisa dari pengambilan Nadzir diserahkan kepada masjid untuk memenuhi kemaslahatannya.
Dengan demikian rumusan masalahnya adalah, pemanfaatan secara pribadi aset wakaf masjid di desa mronjo dan status hukum pemanfaatan wakaf masjid untuk kebutuhan sehari-hari bagi pengelola miskin menurut UU No. 41 Tahun 2004 dan fiqh syafi’iyyah
Penelitian ini merupakan penelitian literatur (Library Research), dengan Pendekatan Konseptual (conceptual approach). Sumber data yang digunakan meliputi primer yaitu karya Imam Syafi’i serta Tinjauan UU 41 Tahun 2004 dan sekunder. Dengan cara-cara analisis atau penafsiran hukum yang dikenal, seperti penafsiran autentik, penafsiran menurut tata bahasa, penafsiran berdasarkan sejarah perundang-undangan atau berdasarkan sejarah hukum, penafsiran sistematis, penafsiran sosiologis, penafsiran teologis penafsiran fungsional atau penafsiran futuristik. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui tentang konsep Penggunaan Aset Wakaf Produktif Bagi Pengelolanya Di Desa Mronjo Selopuro Blitar (Tinjauan UU No. 41 Tahun 2004 Dan Fiqh Syafi’iyyah).
Adapun hasil penelitian ini adalah, Pengelola memanfaatkan dan menggunakan hasil wakaf produktif masjid Mronjo untuk kepentingan dan kebutuhan sehari-hari keluarga pengelola. Selanjutnya membolehkan pengelola wakaf mengambil bagian dari hasil wakaf itu sendiri maupun dari sumber lain dengan tanpa berlebihan. Artinya Pengelola dapat menerima gaji dan upah 10% (sepuluh persen) dari wakif atau hakim daerahnya, serta tidak bertentangan dengan syari’ah dan peraturan perundang-undangan.
ABSTRACT
Santoso, Irfan (04210021). The using of asset of productive donation for the user. Faculty of islamic low (syari’ah), al ahwal al syakhsiyah department. The state islamic uniiversity of Maulana Malik Ibrahim Malang. The conselor lecturer Drs.H.M. Fauzan Zenrif, M.Ag.
Keyword: using, asset of donation, productive
Practice execution of productive donation ownership that happened in Mosque of Baitul Huda Kebonsari Mronjo Selopuro Blitar, is different from matter of Islamic law in the Syafi'Iyyah fiqh and also positive law. Its execution that is official member ( Mosque Ta'mir) gives authority to others to manage and take care of productive donation ownership asset in the form of rice field, with consequence he have to will become Muaddzin and will look after hygiene of mosque. He is also given freedom and broadness to take care of and look after that rice field with any crop on condition that the land may not be sold, to be rented or moved to other. The second execution, donation managed by Nadzir, he do not have work besides taking care of donation as daily activity of Nadzir. In a impecunious, to fulfill requirement every day, mainstay’s Nadzir is crop from donation land, base usage of donation result by Nadzir is taking care of rice field he also need energy and expense, so that when crop he take some of eat to fulfill everyday requirement or debt for the defrayal donation rice field. The rest of intake of Nadzir delivered to mosque to fulfill its important.
The problem is exploiting mosque communal asset personally in Mronjo and punish exploiting of mosque communal for everyday requirement to impecunious organizer according to UU No. 41 Year 2004 and Syafi'iyyah fiqh.
The research is library research, with conceptual approach. Data source that use envelop primary, it is the imam Syafi’i opus and the observation of UU 41 year 2004 and secondary by analyzing on interpretation of grammar, interpretation based on history of regulation or based on low history, systematic interpretation, sociological interpretation, theology interpretation, functional interpretation or futuristic interpretation. The purpose of this research is to know about concept of the using of asset of productive donation for the user in Mronjo Selopuro Blitar (UU No. 41 year 2004 and Syafi’iyyah Fiqh).
The result of this research is organizer exploit and use asset of mosque productive donation in Mronjo for interest and daily requirement of organizer’s family. Allow the organizer to take part of donation yield it self or from another sources with no excessive. The organizer can accept the salary 10% (ten percent) from donator or judge in that area and it is also use Islamic law (syariah) and ordinance of obligation.
مستخلص البحث
كلية الشريعة . استخدام فعالية الوقف لعامله) ٠٤٢١٠٠٢١(عرفان سانتصا،
. قسم أحوال الشخصية جامعة موالنا مالك إبراهيم اإلسالمية احلكومية مباالنج
.دكتورندس حممد فوزان زنريف املاجستري احلاجحتت اإلشراف
استخدام الوقف، رأس مال الوقف، فعالية: الكلمات األساسية
أن تصرف الوقف الذي تستخدم يف مسجد بيت اهلدى، قرية كبون ساري،
مراجنا، منطقة سلوفورا، باليتار خيالف حملة من تنظيم احلكم من مذهب
-- وهو يعين املؤمتر من املسجد -العامل تصرف . الشافعي والقانون الوضعي
املسؤوليات ألهل القرية أن يدير أو ينفذ مال الوقف الفعايل مثل املزرعة بشرط
وكذلك يعطيه أن يريب املزرعة وال جيوز . أن يكون هو مؤذنا ومديرا للمسجد
وكذلك تصرف الوقف بالناذر، نظرا أن . بيعها أو االستجارة أو االنتقال لآلخر
يف قضاء النقفة ألسرته، عنده العمل إال تربية تلك املزرعة، أنه رجل مسكني ما
والدليل أنه . وتعطى النتيجة من حصاد املزرعة واألجرة من العمل يف املزرعة
.يعمل ويريب يف املزرعة، والفضل من هذا العملية يعطى للمسجد
على تصرف فلذا، تأيت أسئلة البحث كيف تصرف مال الوقف يف قرية مراجنا
والفقه ٢٠٠٤سنة ٤١الوقف لنفقة أسرة العامل من ناحية القانون رقم
.الشافعي
بطريقة ) Library Research(ومنهج هذا البحث يستخدم املنهج الكتايب
املصادر األساسية وهي الكتب : التفسريية، أما مصادر الوثيقة على قسمني
ملصادر الثنائية وهي ، وا٢٠٠٤سنة ٤١قانون رقم للشافعي والقانون
. التحليليات والبيانات والتفسريات
أما نتيجة هذا البحث أن عامل الوقف يستطيع أن يتصرف من قسمته أو
يستطيع العامل يقبل الراتب أو اإلجرة . املصادر اآلخر بنسبة عشرة يف املائة
بعشرة يف املائة من الوقف أو احلكومة يف منطقته بشرط أن ال خيالف الشرع
.والقانون
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Salah satu institusi atau lembaga sosial yang mengandung nilai sosial
ekonomi adalah lembaga perwakafan yang merupakan kelanjutan dari ajaran
tauhid, berdasarkan bahwa segala sesuatu berpuncak pada kesadaran manusia
akan kewujudan Allah Swt. Dari kesadaran dalam diri manusia menumbuhkan
solusi berupa perwakafan yang merupakan perwujudan dan upaya menyetarakan
keadilan sosial, demi mencapai kemaslahatan manusia.
Prinsip harta wakaf dalam ajaran Islam adalah untuk kemaslahatan umat,
sebagaimana ungkapan bahwa wakaf produktif merupakan pemberian dalam
bentuk benda yang bisa diusahakan dan dikembangkan yang manfaatnya
digunakan untuk kebaikan dan kemaslahatan umat.1 Sehingga lembaga
perwakafan merupakan salah satu lembaga yang dapat mendistribusikan hasil
pemilikan harta dengan seimbang dan merata dalam ranah sosial.
Ungkapan senada bahwa wakaf produktif berfungsi untuk kesejahteraan
masyarakat yang tuntutannya tidak bisa dihindari lagi, dengan kondisi Negara
pada saat ini sedang mengalami krisis ekonomi, yang pantas membutuhkan
partisipasi dari berbagai pihak.2
Untuk itu wakaf produktif tidak hanya terdapat dalam ajaran Islam yang
selama ini menjadi pedoman masyarakat, tetapi juga diatur dalam undang-undang
hukum positif yaitu Undang-undang No. 41 Tahun 2004 tentang wakaf.3
Menurut hukum positif maupun Islam, pemanfaatan harta wakaf itu
diperuntukkan untuk kepentingan umum, bukan kepentingan pribadi. Melihat
wakaf dalam tradisi masyarakat sudah tidak asing lagi, bahkan perwakafan ini
sudah mentradisi dan melembaga sepanjang manusia ada (meski dalam pengertian
dan pengistilahan yang berbeda-beda). Tetapi, pengaturan tentang sumber hukum,
tatacara, prosedur dan praktik perwakafan dalam bentuk undang-undang bisa di
bilang baru.4
Adapun undang-undang yang mengatur benda-benda wakaf tidak
bergerak dan penggunaannya lebih banyak untuk kepentingan ibadah mahdhah,
1 Abdul Ghofur Anshori, Hukum dan Praktik Perwakafan di Indonesia, (Yogyakarta, P.T. Pilar Media, 2006), hal. 90. 2 Ahmad Djunaidi, Thobib Al-Asyhar, Menuju Era Wakaf Produktif, (Jakarta, P.T. Mumtas, 2007), hal. 90. 3 Ibid, hal. 90. 4 Ahmad Djunaidi, Thobib Al-Asyhar. Loc.Cit,. hal. 23.
seperti masjid, mushalla, pesantren, dan kuburan, yang semestinya kegunaannya
untuk mendongkrak dan meningkatkan kualitas ekonomi masyarakat.
Praktik perwakafan yang tidak dilakukan dengan cara-cara konvensional
yang dalam praktiknya rentan timbulnya persoalan, bahkan terkadang harus
berakhir di pengadilan, lantaran adanya perbedaan persepsi dan sengketa dalam
perwakafan. Kondisi ini ditemukan dengan maraknya indikasi yang mengarah
pada praktik penyimpangan dalam pengelolaan benda-benda wakaf (tanah dan
uang).
Oleh sebagian orang, wakaf dianggap sebagai aset, sehingga bisa
diperjual-belikan. Kondisi yang semacam ini tidak hanya berdampak buruk bagi
tradisi pengelolaan wakaf semata, melainkan juga akan menodai nilai-nilai luhur
agama yang mengkatagorikan wakaf sebagai bagian dari ibadah dan bentuk
ketaatan manusia kepada Allah Swt.
Sebagai salah satu instrument ekonomi yang berdimensi sosial,
perwakafan tanah merupakan konsekuensi logis dari sistem pemilikan dalam
Islam. Pemilikan harta benda dalam Islam harus disertai dengan
pertanggungjawaban moral, artinya segala sesuatu (harta benda) yang selama ini
dimiliki oleh seseorang atau sebuah lembaga, harus dipertanggungjawabkan
secara moral. Selanjutnya dalam ideologis bahwa ada sebagian harta seseorang
menjadi hak bagi pihak lain secara istimewa, yaitu harta untuk kesejahteraan
sesama, seperti fakir miskin dan yatim piatu atau didermakan ke lembaga-
lembaga sosial.5
Aset wakaf dapat berupa benda tidak bergerak dan benda bergerak.
Salah satu contoh dari wakaf benda tidak bergerak adalah tanah. benda wakaf
berupa tanah dapat dimanfaatkan untuk pembangunan masjid, mushalla, madrasah
dan tempat-tempat yang bermanfaat bagi kepentingan masyarakat umum.6
Benda wakaf berupa tanah dapat juga dimanfaatkan untuk pertanian,
perkebunan, perikanan, tambak ikan dan lain-lain. Perwakafan yang semacam ini
dapat disebut sebagai wakaf produktif. Sehingga pengelolaan sawah dalam Islam
itu dapat dilakukan dengan sistem bagi hasil seperti Muzara’ah dan Mukhabarah.
dari muamalah itu terdapat akad/kontrak perjanjian yang jelas dan mengikat.
Selain itu, dalam memelihara dan merawat masjid, pengurus (Ta’mir)
masjid diperbolehkan untuk mengambil upah/gaji dari hasil amal jariyah dengan
pantas dan tidak berlebihan.
Seiring perkembangan zaman, wakaf tidak hanya berupa sawah, tetapi
dapat berupa benda-benda yang dapat diambil manfaatnya, selanjutnya hasilnya
dipergunakan untuk kepentingan masjid, yang manfaatnya dapat dinikmati
masyarakat. Untuk mendapatkan manfaat dari waqaf hendaknya pengelola waqaf
mengelola dengan baik dan penggunaannya juga dapat dirasakan oleh masyarakat,
hasil waqaf betul-betul ditasarrupkan sebagaimana mestinya.
Praktek pelaksanaan wakaf produktif yang terjadi di Masjid Baitul Huda
Desa Kebonsari Kelurahan Mronjo Kec. Selopuro Kab. Blitar, sekilas berbeda 5Sumuran Harahap, Panduan Pemberdayaan Tanah Wakaf Produktif Strategis Di Indonesia (Jakarta: Direktorat pemberdaya Wakaf, 2007), hal. 8-9 6 Ibid., hal. 17.
dengan materi hukum Islam dalam pandangan fiqh Syafi’iyyah maupun hukum
positif.
Pelaksanaannya yaitu pengurus (Ta’mir) masjid memberikan wewenang
kepada orang lain untuk mengelola dan merawat aset wakaf produktif berupa
sawah, dengan konsekuensi ia harus mau menjadi Muaddzin dan mau memelihara
kebersihan masjid. Ia juga diberi keluasan dan kebebasan untuk merawat dan
memelihara sawah itu dengan tanaman apapun dengan syarat tanah tersebut tidak
boleh dijual, disewakan atau dipindah ke pihak lain.
Pelaksanaan kedua, wakaf dikelola sendiri oleh Nadzir, melihat dirinya
tidak memiliki pekerjaan selain merawat tanah wakaf sebagai kegiatan sehari-hari
Nadzir. Dalam keadaan miskin, untuk memenuhi kebutuhan sehari-sehari,
tumpuhan Nadzir adalah panen/hasil dari tanah wakaf tersebut, dasar penggunaan
hasil wakaf oleh Nadzir adalah dalam merawat sawah ia juga mengeluarkan biaya
dan tenaga, sehingga ketika panen ia mengambil sebagian dari hasil panen
tersebut untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari atau hutang untuk pembiayaan
perawatan sawah wakaf. Selanjutnya sisa dari pengambilan Nadzir diserahkan
kepada masjid untuk memenuhi kemaslahatannya.
Melihat panen di Desa Mronjo menuai hasil dua kali, untuk ukuran
pertanian di Desa tersebut rata-rata menjadi tumpuhan hidup Nadzir. Pada
umumnya ia menyamakan pengelolaan sawah wakaf dengan seseorang yang
mengelola sawah orang lain, sehingga mendapatkan separo dari hasil panen sawah
tersebut. Selain itu Nadzir sangat minim pemahamannya tentang tata cara dan
pengelolaan tanah wakaf, sehingga penggunaannya menyimpang dari hukum yang
berlaku. Melihat Nadzir hidup dalam keadaan serba kurang, maka dapat diprediksi
semua kebutuhannya mengambil dari hasil wakaf. Walaupun ia juga mempunyai
penghasilan lain yang sifat hasilnya tidak tentu.
Adapun luas tanah sawah wakaf Masjid Baitul Huda Mronjo adalah
1320 M2 yang memiliki tipe tanah subur dengan ditopang cuaca dan irigasi yang
memadahi serta perawatan yang maksimal, sehingga hasil panen dari tanah seluas
1320 M2 ditaksir mencapai 7 (tujuh) sampai 8 (delapan) kwintal padi basah.
Dengan hasil tersebut Nadzir yang miskin dapat memenuhi kebutuhannya dan
dapat membayar kembali hutang-hutang dalam pembiayaan perawatan tanah
wakaf tersebut.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Praktek Penggunaan Aset Wakaf Masjid Bagi Pengelolanya di
Desa Mronjo?
2. Bagaimana Hukum Penggunaan Wakaf Masjid Untuk Keperluan Hidup
Bagi Nadzir Miskin Menurut UU No. 41 Tahun 2004 Dan Fiqh
Syafi’iyyah?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk Mengetahui Praktek Penggunaan Aset Wakaf Produktif Masjid
Bagi Pengelolanya Di Desa Mronjo
2. Untuk Mengetahui Hukum Penggunaan Wakaf Produktif Masjid Untuk
Keperluan Hidup Bagi Nadzir Miskin Menurut UU No. 41 Tahun 2004
Dan Fiqh Syafi’iyyah.
D. Manfaat Penelitian
1. Teoritis
a. Sebagai sumbangsih pengetahuan teori Praktek Penggunaan Aset
Wakaf Produktif Masjid Bagi Pengelolanya Di Desa Mronjo.
b. Sebagai sumbangsih pengetahuan berupa teori Hukum Penggunaan
Wakaf Produktif Masjid Untuk Keperluan Hidup Bagi Nadzir Miskin
Hukum Penggunaan Wakaf Masjid Untuk Keperluan Hidup Bagi
Nadzir Miskin Menurut UU No. 41 Tahun 2004 Dan Fiqh Syafi’iyyah.
2. Praktis
a. Peneliti
Sebagai landasan praktek bagi peneliti khususnya dan bagi para
pembaca pada umumnya di bidang Penggunaan Aset Wakaf Produktif
Masjid Bagi Pengelolanya yang miskin, baik menurut Menurut UU 41
2004 Dan Fiqh Syafi’iyyah.
b. Lembaga Perwakafan
Selain itu dapat juga digunakan sebagai landasan bagi hukum
perwakafan, selanjutnya direalisasikan di berbagai lembaga yang
mengelola wakaf produktif baik menurut UU No. 41 Tahun 2004 Dan
Fiqh Syafi’iyyah.
E. Definisi Operasional
1. Penggunaan
Upaya menjadikan hasil sesuatu menjadi berguna dan bermanfaat.7
2. Aset
Kekayaan yang mahal harganya.8
3. Wakaf
Benda bergerak atau tidak bergerak yang disediakan untuk kepentingan
umum.9
4. Produktif
Sesuatu yang bersifat atau mampu menghasilkan secara terus menerus
untuk membentuk unsur-unsur baru.10
5. Pengelola
Satuan pengurus yang mengelola suatu lembaga.11
F. Penelitian Terdahulu
1. Farach, Dinia Nailul (01210024) PEMAHAMAN WAKAF
PRODUKTIF BAGI PENGELOLA ASET WAKAF (Kasus di Pondok
7 Tim Redaksi, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2003), hal. 323. 8 Pius A. Partanto dan M. Dahlan al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: P.T. Arkola, 2003), hal. 49. 9 Tim Redaksi., Loc.Cit., hal. 1266. 10 Ibid., hal. 897. 11
Pius A. Partanto dan M. Dahlan al-Barry, Op.Cit., hal. 434.
Pesantren An Nur II Bululawang Kab. Malang), Jurusan al-Ahwal al-
Syakhsyiyah, Fakultas Syari'ah, Universitas Islam Negeri (UIN) Malang,
2006. Dosen Pembimbing Israqunnajah, M.Ag.
Hasil dari penelitian ini menyebutkan, bahwa secara umum tingkat
pengetahuan pengelola mengenai perwakafan produktif cukup tinggi.
Bahkan pengelola tidak lagi beranggapan dan berpikiran wakaf itu terbatas
pada benda-benda tidak bergerak, tetapi bisa juga digunakan untuk hal-hal
lain yang bersifat produktif. Dari salah satu pemahaman pengelola terdapat
relevansi dengan praktek perwakafan yang ada di An Nur II, mereka
memahami wakaf produktif sebagai wakaf yang bisa berkembang,
menghasilkan dan bermanfaat untuk kemaslahatan umat.
2. Khoiron, Yajid. 2001. Validitas Prosedural Perwakafan Di Kantor
Urusan Agama Kecamatan Kanigoro Kabupaten Blitar (Tinjauan PP
No. 28 Tahun 1977 Permendagri No. 06/Tahun 1977). Skripsi, Jurusan
Syari’ah Program Studi al-Ahwal Al-Syakhsiyah, Sekolah Tinggi Agama
Islam Negeri Malang. Dosen Pembimbing: Bapak Drs. Zainuddin M.A.
Berawal dari sebuah realita di lapangan, bahwa pelaksanaan
perwakafan yang sering terjadi adalah kurang sesuai dengan aturan-aturan
yang berlaku, pada hal dalam pelaksanaan dan pengelolaannya sudah ada
aturannya yang mengatur yaitu PP No. 28/ Tahun 1977 tentang
Perwakafan Tanah Milik. Kemudian dengan adanya Peraturan Pemerintah
tersebut berarti secara yuridis segala hal yang berkaitan dengan hal
tersebut hendaknya sesuai dengan aturan yang berlaku. Dalam hukum
Islam, sebenarnya juga sudah ada aturan yang mengatur dengan jelas
tentang perwakafan, yaitu dengan adanya syarat-syarat dan rukun-rukun
yang harus dipenuhi dan dilaksanakan ketika proses perwakafan. Namun
dalam pelaksanaan di lapangan masih banyak hal dan kejadian yang belum
sesuai dan harus kita cermati. Oleh karena itu penulis tertarik untuk
mengangkat dan meneliti tema tersebut dalam sebuah skripsi dengan judul
“Validitas Prosedural Perwakafan Di Kantor Urusan Agama
Kecamatan Kanigoro Kabupaten Blitar. (Tinjauan PP No. 28 Tahun
1977 Permendagri No. 06/Tahun 1977)”.
Kemudian dalam penulisan skripsi ini dapat disimpulkan
bahwasanya pelaksanaan prosedural perwakafan di Kecamatan Kanigoro
ternyata masih perlu banyak pembenahan dan perbaikan, karena dari hasil
penelitian ternyata masih banyak terdapat beberapa kekurangan yang harus
segera dibenahi. Namun demikian ternyata dalam segi-segi yang lain,
seperti dalam hal pengelolaan harta wakaf sudah bisa dikatakan bagus dan
sempurna, terbukti dengan adanya beberapa perkembangan dalam
pengelolaannya. Oleh karena itu untuk menunjang kondisi yang sesuai
dengan aturan yang berlaku maka dapat penulis kemukakan bahwasanya
sosialisasi terhadap PP No. 28/ Tahun 1977, pada masyarakat sangat
penting dan masih perlu diintensifkan, mengingat kondisi riil masyarakat
Kecamatan Kanigoro yang nota bene belum banyak mengenal dan
mengetahui tentang Peraturan Pemerintah tersebut.
Melihat penelitian saudara Dinia Nailul Farach yang menitikberatkan
pada sisi Pemahaman Wakaf Produktif dan Yajid Khoiron yang memfokuskan
prosedur-prosedur perwakafan, maka dalam hal ini peneliti akan melanjutkan
penelitiannya dan menitikberatkan pada sisi penggunaan dan pengelolaan aset
wakaf produktif yang berupa tanah.
G. Metode Penelitian
Metodologi adalah metode ilmu, cara-cara dan langkah-langkah yang
tepat untuk menganalisa sesuatu.12
Sedangkan penelitian adalah terjemahan dari kata Inggris research, yang
diterjemahkan dengan riset. Reseach itu sendiri berasal dari kata re, yang berarti
"kembali", dan to search, yang berarti mencari. Dengan demikian arti sebenarnya
"riset" adalah mencari sesuatu kembali.13
Menurut Whitney, penelitian adalah pencarian atas sesuatu (inquiry)
secara sistematis dengan penekanan bahwa pencarian ini dilakukan terhadap
masalah-masalah yang penting untuk dipecahkan.14
Dengan dua definisi di atas dapat disimpulkan, bahwa metodologi
penelitian adalah langkah-langkah metode ilmu dan cara-cara untuk mendapatkan
kebenaran ilmiah melalui pencarian dengan sistematis dan objektif, terhadap
masalah yang penting untuk dipecahkan.
12 Pius A. Partanto dan M. Dahlan al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: P.T. Arkola, 1994), hal. 461. 13 Moh. Nazir, Metode Penelitian, (Jakarta: P.T. Ghalia Indonesia, 1988), cet.III, hal. 12. 14 Ibid., hal. 13.
1. Jenis Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas, penelitian ini dapat
dikategorikan sebagai jenis penelitian hukum normatif, sebagai kegiatan
sehari-hari seorang sarjana hukum. Bahkan penelitian hukum yang bersifat
normatif hanya mampu dilakukan oleh seorang sarjana hukum, sebagai
seorang yang disengaja dididik untuk memahami dan menguasai disiplin
hukum.15
Sebagai calon sarjana hukum peneliti akhirnya menemukan dan
memberanikan diri untuk menguak isu yang berkembang tentang
penggunaan wakaf untuk kepentingan pribadi, yang selama ini masyarakat
daerah peneliti tidak memperhatikan dampak penggunaan wakaf secara
pribadi tersebut.
Kegunaan Penelitian Normatif
Kegunaan metode penelitian normatif ialah:
a) Untuk mengetahui atau mengenal apakah dan bagaimanakah hukum
positifnya mengenai suatu masalah yang tertentu dan ini merupakan
tugas semua sajana hukum.
b) Untuk dapat menyusun dokumen-dokumen hukum (seperti gugatan,
tuduhan, pembelaan, putusan pengadilan, akta notaris, sertifikat, kontrak
dan sebagainya) yang sangat diperlukan masyarakat. Hal ini menyangkut
pekerjaan notaris, pengacara, jaksa, hakim dan pejabat.
15 Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum Di Indinesia Pada Akhir Abad Ke-20, (Bandung: P.T. Alumni, 1994), hal. 139.
c) Untuk menulis makalah/ceramah atau buku hukum.16
d) Untuk dapat menjelaskan atau menerangkan kepada orang lain apakah
dan bagaimanakah hukumnya mengenai peristiwa atau masalah yang
tertentu.
Melihat tujuan penelitian hukum normatif tersebut, maka tujuan peneliti
sendiri dalam studi adalah untuk mengetahui dan kepada masyarakat peneliti
tentang status hukum penggunaan hasil wakaf untuk kepentingan pribadi
pengelola/Nadzir.
2. Pendekatan Penelitian
Di dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan. Dengan
pendekatan tersebut, peneliti akan mendapatkan informasi dari berbagai aspek
mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari jawabannya. pendekatan yang
digunakan di dalam penelitian hukum adalah:
Pendekatan Konseptual (conceptual approach)
Pendekatan konseptual beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-
doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum. Dengan mempelajari pandangan-
pandangan dan doktrin-doktrin di dalam ilmu hukum, peneliti akan menemukan
ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep hukum dan
asas-asas hukum yang relevan dengan isu yang dihadapi. Pemahaman akan
pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin tersebut merupakan sandaran bagi
16 Ibid., hal, 140.
peneliti dalam membangun suatu agumentasi hukum dalam memecahkan isu yang
dihadapi.17
Isu yang berkembang mengenai Nadzir yang mengurus tanah wakaf
Masjid di daerah peneliti, bahwa hasil wakaf dimanfaatkan sendiri oleh Nadzir
yang miskin. Melihat isu yang seperti itu, maka peneliti tergugah untuk meneliti
dan mencocokan melalui pendekatan konsep yang dibangun oleh Imam Syafi’iyah
yaitu tentang wakaf.
3. Pengumpulan Bahan Hukum
Secara harfiah “data” berarti fakta atau kenyataan (fact). Akan tetapi
dalam penelitian, istilah tersebut dipakai dalam arti yang lebih luas, karena di
samping data primer, penelitian sosiologi juga menggunakan data sekunder yang
terdiri dari bahan-bahan pustaka. Dengan demikian, untuk penelitian sosiologi,
data lebih dipakai dalam arti keterangan informasi.18
Di dalam penelitian hukum pun diperlukan juga penelusuran fakta-fakta
sebagaimana dijelaskan oleh Jacobstein dan Mersky. Juga dalam penelitian
hukum normatif terutama yang dilakukan oleh para jaksa, pengacara, hakim dan
notaris) pengumpulan fakta dan analisisnya diperlukan sebelum fakta-fakta ini
digolongkan atau dikualifikasikan sebagai peristiwa hukum.19
Oleh karena itu hasil kualifikasi menghasilkan masalah atau peristiwa
hukum yang dapat diteliti lebih lanjut dengan melihat pada indeks masalah atau
daftar isi laporan tentang laporan hukum.
17 Ibid., hal. 95. 18 Wojowasito dan Poewadarminta, Kamus Inggris-Indonesia, Indonesia-Inggris, (Bandung: Hasta, 1980), hal. 37. 19 J. Myeon Jacobstein and Roy. M. Mersky, Pollach’s Fundamentals Of Legal Research, hal. 10.
Bagi penelitian hukum normatif, bahan-bahan primer terdiri atas
undang-undang dasar dan berbagai dokumen resmi yang memuat ketentuan
hukum, termasuk akta notaris dan kontrak, sedangkan textbook, monograf,
laporan penelitian dan sebagainya, merupakan bahan sekunder.
Sedangkan pengumpulan data atau bahan-bahan primer yang peneliti
lakukan adalah kitab-kitab yang dikarang oleh Imam Syafi’i dan tidak melupakan
karangan pengikut Imam Syafi’i. Akan tetapi tidak semua kitab peneliti
kumpulkan, peneliti hanya mengambil kitab mereka yang cocok dengan kontek
dan isu yang peneliti pecahkan.
a. Primer
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat
autoritatif artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer
terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah
dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim.
Rujukan sumber data atau bahan hukum peneliti adalah fiqh
Syafi’iyah. Berhubung adanya keterbatasan, maka peneliti
menggunakan sumber-sumber berupa buah karya Imam Syafi’iyyah
berupa buku meliputi: (Fathul Mu’in bi Syarhi Qurratu al-‘Ain,
Bughyat al-Mustarsyidin dan kifayah al-ahyar) atau kitab yang
membahas tentang wakaf maupun bahan pustaka yang relevan.
Sumber data merupakan komponen yang esensial dalam
penelitian, sebagaimana dikemukakan oleh Arief Furchan, bahwa
untuk mendapatkan sumber data tersebut, dilakukan beberapa
pendekatan antara lain, adanya interaksi sosial yang antara peneliti
dan subyek penelitian. Kedua dokumen pribadi yang berupa bahan-
bahan dan buku, tempat dimana orang mengungkapkan dengan kata
mereka sendiri.20
b. Sekunder
Bahan-bahan sekunder berupa semua publikasi tentang hukum
yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang
hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal
hukum dan komentar-komentar atas putusan pengadilan.21
Termasuk bahan skunder yang peneliti gunakan dalam
memecahkan masalah ini adalah pendapat-pendapat ahli wakaf dan
buku-buku yang membahas wakaf. Usaha ini dilakukan sebagai
penguat hukum yang tertulis dalam kitab (Fathul Mu’in bi Syarhi
Qurratu al-‘Ain, Bughyat al-Mustarsyidin dan kifayah al-ahyar).
4. Teknis Analisis Bahan Hukum
Analisis bahan-bahan yang telah dikumpulkan tentu saja harus dilakukan
menurut cara-cara analisis atau penafsiran hukum yang dikenal, seperti penafsiran
autentik, penafsiran menurut tata bahasa, penafsiran berdasarkan sejarah
perundang-undangan atau berdasarkan sejarah hukum, penafsiran sistematis,
20 Arief Furchan, Pengantar Metoda Penelitian Kualitatif, (Surabaya: Usaha Nasional, 1992), hal. 23. 21 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta : Kencana, 2005), hal. 141.
penafsiran sosiologis, penafsiran teologis penafsiran fungsional atau penafsiran
futuristik.22
Cara penafsiran atau kombinasi yang digunakan tergantung kepada jenis,
tujuan, serta pandangan penelitiannya. Seorang yang bersikap dogmatis tentu saja
hanya akan menggunakan cara penafsiran autentik, gramatikal atau interpretasi
wetshistoris, sedangkan orang yang menganut paham sosiologis atau fungsional
menggunakan juga cara penafsiran sosiologis, teologis dan fungsional.
Akhirnya peneliti yang ingin menemukan suatu asas atau kaidah hukum
untuk masa mendatang menggunakan metode penelitian sosial dan futuristik
untuk melengkapi cara-cara penafsiran hukum sosiologis-teologis dan fungsional.
Bagaimanapun juga peneliti hukum yang futuristik pun harus memulai
penelitiannya dengan cara penafsiran autentik, gramatikal, historis dan sistematis
dan membandingkannya dengan hasil-hasil penafsiran hukum secara teologis atau
fungsional.
Baru pada saat-saat terakhir ia harus mengadakan pilhan, manakah yang
menurut pendapatnya merupakan norma atau asas yang paling baik. Akan tetapi,
pilihan inipun akan terikat pada norma dalam konstitusi (UUD 1945) dan filsafat
kenegaraan (Pancasila) yang ia anut.
Jelaslah bahwa ketajaman pisau analisis hukum bergantung kepada
pemahaman dan penguasaan metode-metode penafsiran dan keahlian
memadukannya dengan metode penelitian lainnya dalam penelitian yang bersifat
interdisipliner.
22 Sunaryati Hartono, Op.Cit., hal. 152.
H. Sistematika Pembahasan
Dalam sistematika pembahasan peneliti membagi menjadi 6 (Enam) bab:
1. Bab I. Berisi Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan
Penelitian, Manfaat Penelitian, Definisi Operasional, Penelitian Terdahulu,
Metode Penelitian dan Sistematika Pembahasan.
2. Bab II. Wakaf dalam Perspektif Fiqh, meliputi: Pengertian Wakaf, Hukum
Wakaf, Nadzir Wakaf Hak dan Kewajiban Nadzir Dan Wakaf Dalam
Perspektif UU No. Tahun 2004, mencakup: Dasar Hukum Pemerintahan
RI, Tata Cara Pelaksanaan Wakaf, Pendaftaran Tanah Wakaf, Perubahan
Status dan Penggunaan Tanah Wakaf dan Strategi Pengelolaan Wakaf Produktif.
3. Bab III. Wakaf Masjid dan Penggunanya, meliputi: Pengertian Wakaf
Masjid, Macam-Macam Wakaf Masjid, Akad dalam Wakaf Masjid,
Pengelolaan Wakaf Masjid, Hak dan Kewajiban Nadzir Wakaf Masjid.
4. Bab IV. Penggunaan Hasil Wakaf Masjid untuk Keperluan Hidup,
meliputi: Profil Nadzir, mencakup: Nadzir dan Kondisi Keluarga Nadzir
dan Ekonomi Nadzir. Hasil Pengelolaan Wakaf Masjid, mencakup: Luas
Tanah Wakaf, Sistem Pengelolaan dan Hasil Pengelolaan. Penggunaan
Hasil Pengelolaan Wakaf Masjid untuk Keperluan Hidup, meliputi: Kasus
Penggunaan, mencakup: Cara Penggunaan dan Jumlah Penggunaan.
Pandangan Fiqh Syafi’iyyah, mencakup: Tentang Cara Penggunaan dan
Tentang Jumlah Penggunaan. Wakaf Dalam Perspektif UU No. 41 Tahun
2004, mencakup: Unsur Wakaf dan Peruntukan Harta Benda Wakaf.
5. Bab V. Penutup, meliputi: Kesimpulan dan Rekomendasi.
BAB II
WAKAF DALAM PERSPEKTIF F1QH SYAFI’IYYAH
A. Wakaf Dalam Perspektif Fiqh Syafi’iyyah
Wakaf merupakan salah satu ibadah kebendaan yang penting yang tidak
memiliki rujukan yang eksplisit dalam kitab suci al-Qur’an. Oleh karena itu,
ulama telah melakukan identifikasi untuk mencari induk kata sebagai sandaran
hukum. Hasil identifikasi mereka juga akhirnya melahirkan ragam nomenklatur
wakaf yang dijelaskan pada bagian berikut:
1. Wakaf Sebagai al-Khayr
Wakaf adalah institusi sosial Islami yang tidak memiliki rujukan yang
eksplisit dalam al-Qur’an dan al-Sunnah. Ulama berpendapat bahwa perintah
wakaf merupakan bagian dari perintah untuk melakukan al-Khayr (secara harfiah
berarti kebaikan). Dasarnya adalah firman Allah sebagai berikut:
$y㕃 r' ‾≈ tƒ šÏ% ©!$# (#θãΖ tΒ#u (#θãèŸ2ö‘ $# (#ρ߉àfó™$# uρ (#ρ߉ç6ôã $# uρ öΝ ä3−/u‘ (#θè= yèøù$# uρ u� ö� y‚ø9 $# öΝ à6 ‾= yès9
šχθßsÎ= ø� è? .
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, ruku'lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.23
Taqiy al-Din Abi Bakr Ibnu Muhammad al-Husaini al-Dimasqi
menafsirkan bahwa perintah untuk melakukan al-Khayr berarti perintah untuk
melakukan wakaf.24 Penafsiran menurut al-Dimasqi tersebut relevan dengan
firman Allah tentang wasiyat.
.معروف حقا على المتقين كتب عليكم اذا حضر احدكم الموت ان ترك خيرا الوصية للوالدين وا�قربين بال
Artinya: Kamu diwajibkan berwasiat apabila sudah didatangi (tanda-tanda) kematian dan jika kamu meninggalkan harta yang banyak untuk ibuk bapak dan karib kerabat dengan cara yang ma’ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang beriman.25
Dalam ayat tentang wasiat, kata al-Khayr diartikan sebagai harta benda.
Oleh karena itu, perintah melakukan al-Khayr berarti perintah untuk melakukan
ibadah bendawi. Dengan demikian, wakaf sebagai konsep ibadah kebendaan
berakar pada al-Khayr. Allah memerintahkan manusia agar mengerjakannya.
Wakaf merupakan kebaikan universal dan dianggap baik oleh
masyarakat, baik pengikut agama maupun orang-orang yang tidak beragama.
Meskipun demikian, wakaf untuk kepentingan secara empiris dapat dibedakan
menjadi dua: Pertama wakaf yang berguna bagi semua orang (termasuk non-
23
Q.S. al-Hajj, Juz 22 ayat 77. 24 Taqy al-Din Abi Bakr Ibnu Muhammad al-Husaini al-Dimasqi, Kifayat al-Akhyar fi Hall Gayat al-Ikhtishar, Juz I, (Semarang: Toha Putra, Tth), hal. 319. 25 Q.S. al-Baqarah, Juz 2, ayat. 180.
muslim), seperti wakaf untuk jalan. Kedua wakaf yang digunakan hanya oleh
umat Islam, seperti wakaf untuk masjid dan taman pemakaman muslim.26
2. Wakaf Sebagai Sadaqah Jariyah
Dalam hadist dikatakan bahwa wakaf disebut dengan sedekah jariyah.
Dalam perspektif ini, wakaf dianggap sebagai bagian dari sedekah. Secara umum
sedekah dapat dibedakan menjadi dua, sedekah yang wajib dan sedekah yang
sunnah. Sedekah yang sunnah pun dapat dibedakan menjadi dua pula, sedekah
yang pahalanya tidak senantiasa mengalir dan sedekah yang pahalanya senantiasa
mengalir meskipun pihak yang menyedekahkan hartanya telah meninggal dunia.
Sedekah yang terakhir disebut wakaf. Imam Muslim meriwayatkan dari Abu
Hurairah yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad Saw, bersabda:
. ولد صالح يدعو له اذا مات ا7نسان انقطع عنه عمله ا7 من ث5ثة صدقة جارية أو علم ينتفع به أو
Artinya: Seluruh pahala perbuatan manusia terputus apabila telah meninggal dunia, kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak saleh yang senantiasa mendoakannya.27
Imam Muslim menempatkan hadist tersebut tidak di bawah judul bab al-
Wakaf, tetapi ditetapkan dengan judul pahala yang diperoleh manusia setelah
meninggal dunia.
3. Wakaf dan al-Ahbas
Selain sedekah jariyah, wakaf disebut pula dengan al-Habs, secara
bahasa al-Habs berarti al-Sijn (penjara), diam, cegahan, rintangan, halangan,
tahanan dan pengamanan. Gabungan kata al-Habs dengan al-Mal berarti wakaf.28
26 Sumuran Harahap. Panduan Pemberdayaan Tanah Wakaf Produktif Strategis di Indonesia. (Jakarta: Depag. R.I. 2007), hal.15. 27 Imam Muslim dan Shahih Muslim, (Bandung: Dahlan. Tth), Juz II, hal. 14. 28 Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: P.T. Raja Grafindo Persada, 1997), hal. 490.
Penggunaan kata al-Habs dengan arti wakaf terdapat dalam beberapa
riwayat. Pertama dalam hadis riwayat Imam Bukhari dari Ibnu ‘Umar yang
menjelaskan bahwa ‘Umar Ibnu al-Khatab datang kepada Nabi Saw, meminta
petunjuk pemanfaatan tanah miliknya di Khaibar, kemudian Nabi Saw bersabda:
قت بھا .ان شئت حبست أصلھا وتصدArtinya: Bila engkau menghendaki, tahanlah pokoknya dan sedekahkanlah hasilnya (manfaatnya).
Imam Bukhari selanjutnya mengutip penjelasan Ibnu ‘Umar yang
mengatakan:
قاب وفى سبيل هللا و فتصدق بھا عم يف ر أنه 7يباع أصلھا و7يوھب و7يورث فى الفقراء والقربى والر الض
بيل 7جناح على من وليھا أن يأكل منھا بالمعروف أو يطعم صديقا غير ل فيه وابن الس .متمو
Artinya: ‘Umar ra. Menyedekahkan tanahnya di Khaibar, tanah itu tidak dijual, tidak dihibahkan dan tidak pula diwariskan kepada orang-orang fakir, kerabat, hamba, kepentingan umum, tamu dan ibnu sabil. Orang yang memeliharanya dibolehkan memakan hasil dari tanah tersebut dengan cara yang ma’ruf atau dengan cara yang baik yang tidak berlebihan.29
Selanjutnya dalam hadis riwayat Ibnu Abbas (yang dijadikan alasan
hukum oleh Imam Abu Hanifah) dijelaskan bahwa Nabi Muhammad Saw,
bersabda:
.7حبس عن فرائض هللا
Artinya: Harta yang sudah berkedudukan sebagai tirkah (harta pusaka) tidak lagi termasuk benda wakaf.30
Ketiga, sebab nuzul (salah satu) ayat dalam surat an-Nisa’ dalam
penjelasan Imam Syuraih bahwa:
29 Imam Bukhari dan Shahih al-Bukhari, Juz III, (Semarang: Thaha Putra, 1981), hal. 196. 30 Ali Fikri, al-Muamalat al-Madiyah wa al-Adabiyah, Juz II, (Mesir: Musthafa al-Babi al-Halabi wa Awladuh, 1938), hal. 300.
د .يبيع الحبس جاء محم
Artinya: Nabi Muhammad Saw, menjual benda wakaf.31
Atas dasar sejumlah riwayat tersebut, nomenklatur wakaf dalam kitab-
kitab hadis dan fikih tidaklah seragam. Al-Syarkhasi dalam kitab al-Mabsut
memberikan wakaf dengan al-Waqf. Imam Syafi’i dalam kitab al-Umm
memberikan nomenklatur dengan al-Habs.32 Bahkan Imam Bukhari menyertakan
hadis-hadis tentang wakaf dengan nomenklatur dengan al-Washaya.33 Oleh karena
itu, secara teknis wakaf disebut dengan al-Habs, shadaqah jariyah dan al-waqf.
4. Wakaf dan Siyasah Amaliyah
Seperti yang telah disinggung bahwa wakaf merupakan bagian dari
ibadah kebendaan (maliyah) dalam Islam. Oleh karena itu konsep wakaf
berhubungan dengan konsep harta dalam Islam.
Harta dalam Islam memiliki beberapa kedudukan. Pertama harta
dipandang sebagai titipan, amanat, atau fitnah.34 Kedua harta yang digunakan
bukan untuk kebaikan, dapat mencelakakan pemiliknya. Oleh karena itu dalam al-
Qur’an, dikatakan bahwa sebagian harta berkedudukan sebagai musuh.35 Ketiga
harta berkedudukan sebagai perhiasan dan perkakas.36
31 Suparman Usman, Hukum Perwakafan di Indonesia, (Jakarta: Darul Ulum Press, 1997), hal. 300. 32 Muhammad Ibnu Idris al-Syafi’i, al-Umm, Juz III, (Mesir: Maktabah Kuliyah al-Azhariyah, Tth), hal. 51. 33 Bukhari, Shahih al-Bukhari, hal. 185-199. 34 Q.S. at-Taghaabun, Juz 15 ayat 65. 35 Q.S. at-Taghaabun, Juz 14 ayat 64. 36 Q.S. Ali Imran, Juz 3 ayat 14.
Atas dasar-dasar ayat tersebut, Hendi Suhendi berkesimpulan bahwa
manusia bukan pemilik harta secara mutlak, melainkan kepemilikannya dibatasi
oleh hak-hak Allah atau hak orang lain.37
B. Definisi Wakaf
1. Bahasa
Wakaf menurut bahasa adalah “al-Habsu”, yang berasal dari kata
Habasa-Yahbisu-Habsan, menjauhkan orang dari sesuatu atau memenjarakan.
Kemudian kata ini berkembang menjadi “Habbasa” dan berarti mewakafkan
harta karena Allah.38
Kata wakaf sendiri berasal dari kata kerja Waqafa (fiil madhi) Aqifu (fiil
mudhari’) Waqfan (isim masdar), yang berarti berhenti atau berdiri. Imam
Antharah dalam syairnya berkata: Untaku tertahan disuatu tempat, seolah-olah
dia tahu agar aku bisa berteduh ditempat itu.39
Selain itu wakaf juga berasal dari kata Waqafa sinonim dengan Habasa
dengan makna aslinya berhenti, diam di tempat atau menahan. Kata al-Waqf
adalah bentuk Masdar (gerund) dari ungkapan Waqfu al-Syai’ yang berarti
menahan sesuatu. Sebagai kata benda, kata wakaf semakna dengan kata al-Habs.
Kalimah Habisu Ahbisu Habsan dan kalimah: Ahbasu Uhbisu Ahbaasan,
maksudnya adalah menahan.40
37 Rachmat Djatniko. Tanah Wakaf. (Surabaya: al-Ikhlas. 1983), hal. 17. 38 Adijani al-Alabij. Perwakafan Tanah di Indonesia dalam Teori dan Praktek. (Jakarta: Rajawali Pers. 1989), hal. 25. 39 Umransyah Alie. Diktat Tentang Hibah, Wasiat dan Wakaf. (Banjarmasin: STIHSA. 1987), 49. 40 Abdul Ghofur Anshori, Hukum dan Praktek Perwakafan di Indonesia, (Yogyakarta: Pilar Media, 2006), hal. 7.
2. Istilah
Wakaf menurut istilah syara’ adalah “menahan harta yang mungkin
diambil manfaatnya tanpa menghabiskan dan merusakkan bendanya (Ainnya) dan
digunakan untuk kebaikan.41
Dalam peristilahan syara’ secara umum, wakaf adalah sejenis pemberian
yang pelaksanaannya dilakukan dengan jalan menahan (pemilikan) asal, lalu
menjadikan manfaatnya berlaku umum. Yang dinamakan asal ialah menahan
barang yang diwakafkan itu agar tidak diwariskan, dijual, dihibahkan, digadaikan,
disewakan dan sejenisnya. Sedangkan cara pemanfaatannya adalah menggunakan
sesuai dengan kehendak pemberi wakaf (wakif) tanpa imbalan.
Para ulama berbeda pendapat tentang arti wakaf secara istilah (hukum).
Mereka mendefinisikan wakaf dengan definisi yang beragam, sesuai dengan
perbedaan madzhab yang mereka anut. Baik dari segi kelaziman atau
ketidaklazimannya. Syarat pendekatan di dalam masalah wakaf ataupun posisi
pemilik harta wakaf setelah diwakafkan. Dan, apa-apa yang berkaitan dengan
wakaf, seperti persyaratan serah terima secara sempurna dan sebagainya.
Merujuk kepada para Imam madzhab empat dan pengikut mereka.
Seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, Ahmad bin Hanbal,
wakaf didefinisikan sebagai berikut:
1. Menurut Madzhab Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal
Imam Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa wakaf
adalah melepaskan harta yang diwakafkan dari kepemilikan wakif, setelah
41 Faisal Haq, Hukum Wakaf dan Perwakafan di Indonesia, (Pasuruan: Garoeda Buana Indah, 1993), hal. 5.
sempurna prosedur perwakafan. Wakif tidak boleh melakukan apa saja
terhadap harta yang diwakafkan, seperti, perlakuan pemilik dengan cara
memindahkan kepemilikannya kepada yang lain, baik dengan tukar menukar
atau tidak.42
Jika wakif wafat, harta yang diwakafkan tesebut tidak dapat
diwarisi oleh ahli warisnya. Wakif menyalurkan manfaat harta yang
diwakafkannya kepada Mauquf Alaih, sebagai sedekah yang mengikat,
dimana wakif tidak dapat melarang penyaluran sumbangan tersebut. Apabila
wakif melarangnya, maka Qadli berhak memaksanya agar memberikannya
kepada Mauquf Alaih. Karena itu madzhab Syafi’i mendefinisikan wakaf
yakni, tidak melakukan suatu tindakan atas suatu benda, yang berstatus
sebagai milik Allah Swt, dengan menyedekahkan manfaatnya kepada suatu
kebajikan.43
a. Imam Nawawi dari kalangan madzhab Syafi’i. Mendefinisikan wakaf
dengan, menahan harta yang dapat diambil manfaatnya bukan untuk
dirinya, sementara benda itu masih ada dan manfaatnya digunakan untuk
kebaikan dan mendekatkan diri kepada Allah.
b. Syarbini al-Khatib dan Ramli al-Kabir, mendefinisikan wakaf dengan,
menahan harta yang bisa diambil manfaatnya dengan menjaga keamanan
benda tersebut dan memutuskan kepemilikan barang tersebut dari
pemiliknya untuk hal-hal yang dibolehkan. Ibn Hajar al-Haitami dan
Syaikh Umairah mendefinisikannya dengan, menahan harta yang bisa
42 Tim Redaksi. Paradigma Baru Wakaf di Indonesia. (Jakarta: Depag. R.I. 2007), hal. 3. 43 Ibid., hal. 4.
dimanfaatkan dengan menjaga keutuhan harta tersebut, dengan
memutuskan kepemilikan barang tersebut dari pemiliknya untuk hal
yang dibolehkan.44
2. Menurut Madzhab Hanafi
Ulama madzhab Hanafi berbeda pendapat dalam mendefinisikan
wakaf. Menurutnya wakaf adalah menahan suatu benda yang menurut
hukum, tetap milik si wakif dalam rangka mempergunakan manfaatnya
untuk kebajikan. Berdasarkan definisi itu maka pemilikan harta wakaf tidak
lepas dari si wakif, bahkan ia dibenarkan menariknya kembali dan ia boleh
menjualnya.45
Jika si wakif wafat maka harta tersebut menjadi harta warisan buat
ahli warisnya. Jadi yang timbul dari wakaf adalah menyumbangkan manfaat
dari benda yang diwakafkan. Jadi madzhab Hanafi mendefinisikan wakaf
dengan, Tidak melakukan suatu tindakan atas suatu benda, yang berstatus
tetap sebagai hak milik, dengan menyedekahkan manfaatnya kepada suatu
pihak kebajikan. Baik sekarang maupun akan datang. Perbedaan ini
bersumber dari masalah-masalah yang mereka pertentangkan.46
3. Madzhab Maliki
Imam Malik berpendapat bahwa wakaf itu tidak melepaskan harta
yang diwakafkan kepada pemilikan wakif, namun wakaf tersebut mencegah
wakif melakukan tindakan yang dapat melepaskan kepemilikannya atas
44 Tuhfat Al-Muhtaj dengan syrh minhaj, jilid 6, hlm. 235, dan Hasyiyah Qalyubi dan Hasyiyah Umairah, jilid 3. hal. 97 45 Paradigm Baru Wakaf di Indonesia. Loc.Cit., hal. 2. 46 Ibid., hal. 2.
harta tersebut kepada yang lain. Dan wakif berkewajiban menyedekahkan
manfaatnya serta tidak boleh menarik kembali wakafnya.
4. Madzhab Imamiyah
Dalam madzhab Imamiyah berbeda dalam segi kepemilikan atas
benda yang diwakafkan yaitu menjadi milik Mauquf Alaih, meskipun
Mauquf Alaih tidak berhak melakukan suatu tindakan atas benda wakaf
tersebut, baik menjual atau menghibahkannya.47
5. Rukun Wakaf
Sempurna dan tidaknya wakaf sangat dipengaruhi oleh unsur-unsur
yang ada dalam perbuatan wakaf tersebut. Masing-masing unsur-unsur
tersebut harus saling menopang satu dengan lainnya. Keberadaan yang satu
sangat menentukan keberadaan yang lain. Adapun unsur-unsur atau rukun-
rukun wakaf tersebut menurut sebagian besar ulama (Malikiyah, Syafi’iyah,
Zaidiyah dan Hanabilah) adalah:
a. Ada orang yang berwakaf (Wakif).
Bagi orang yang berwakaf, di syaratkan ia adalah orang yang ahli
berbuat kebaikan dan wakaf dilakukannya secara sukarela, tidak
karena dipaksa. Seperti juga disyaratkan bagi penjual dan pembeli,
maka yang dimaksud dengan “ahli berbuat kebaikan” disini ialah
orang yang berakal (tidak gila atau tidak bodoh), tidak mubadzir
(karena harta orang mubadzir di bawah walinya), dan baligh.48
b. Ada harta yang diwakafkan (Mauquf).
47 Ibid., hal. 4. 48 Rachmadi Usman. Hukum Perwakafan di Indonesia. (Jakarta: Sinar Grafika. 2009), hal. 59.
Untuk barang yang di wakafkan, ditentukan syarat sebagai berikut:
1) Barang atau benda itu tidak rusak atau habis ketika diambil
manfaatnya.49
2) Kepunyaan orang yang berwakaf.
3) Benda yang bercampur haknya dengan orang lain pun boleh
diwakafkan seperti halnya boleh di hibahkan atau disewakan.
4) Bukan barang haram atau najis.50
c. Tujuan wakaf/penerima wakaf (Mauquf ‘Alaih).
Mauquf ‘Alaih tidak bertentangan dengan nilai-nilai ibadah, hal ini
sesuai dengan sifat amalan wakaf sebagai salah satu bagian dari
ibadah. Mauquf ‘Alaih harus merupakan hal-hal yang termasuk dalam
katagori ibadah pada umumnya, sekurang-kurangnya merupakan hal-
hal yang dibolehkan menurut nilai hukum Islam.51
d. Ada akad (Sighat).
Sighat (lafadz) atau pernyataan wakaf dapat dikemukakan dengan
tulisan, lisan atau dengan suatu isyarat yang dapat dipahami
maksudnya. Pernyataan dengan tulisan atau lisan dapat dipergunakan
menyatakan wakaf oleh siapa saja, sedangkan cara isyarat hanya bagi
orang yang tidak dapat menggunakan dengan cara tulisan atau lisan.
Tentu saja pernyataan dengan isyarat tersebut harus sampai benar-
49 Farida Prihatini dan Wirdyaningsih. Hukum Islam Zakat dan Wakaf, (Jakarta: P.T. FKUI. 2005), hal. 112. 50 Saroso dan Nico Ngani. Tinjauan Yuridis Tentang Perwakafan Tanah Hak Milik. (Yogyakarta: Liberty. 1984), hal. 8. 51 Abdul Ghofur Anshori, Op.Cit., hal. 27,
benar dimengerti pihak penerima wakaf agar dapat menghindari
persengketaan di kemudian hari.52
e. Ada pengelola wakaf/Nadzir
Nadzir adalah orang, organisasi atau badan hukum yang memegang
amanat untuk memelihara dan mengurus harta wakaf sebaik-baiknya
sesuai dengan wujud dan tujuannya.
f. Ada jangka waktu yang tak terbatas.53
Para fuqaha berbeda pendapat tentang syarat permanen. Di antara
mereka ada yang mecantumkannya sebagai syarat tetapi ada juga yang
tidak mencantumkannya. Karena itu, ada di antara fuqaha yang
membolehkan wakaf muaqqat (wakaf untuk jangka waktu tertentu).
Pendapat pertama yang menyatakan bahwa wakaf haruslah bersifat
permanen, merupakan pendapat yang didukung oleh mayoritas ulama
dari kalangan Syafi’iyah, Hanafiyah dan Hanabilah.
C. Hukum Wakaf
Wakaf merupakan salah satu tuntunan ajaran Islam yang menyangkut
kehidupan bermasyarakat dalam rangka ibadah Ijtima’iyah (ibadah sosial). Karena
wakaf adalah ibadah, maka tujuan utamanya adalah pengabdian kepada Allah Swt
dan ikhlas karena mencari ridha-Nya.
Ada dampak positif dan negatif yang timbul sebagai akibat daripada
wakaf sebagai ibadah Lillahi Ta’ala. Dampak positifnya adalah perbuatan tersebut
52 Ibibd., hal. 28. 53 Ibid., hal. 25.
murni dilandasi oleh rasa iman dan ikhlas semata-mata pengabdian kepada Allah
Swt. Sementara itu dampak negatifnya adalah kegiatan wakaf tersebut dianggap
sebagai kejadian yang tidak perlu diketahui apalagi diumumkan kepada orang
lain. Akibatnya wakaf semakin sulit untuk diidentifikasi secara pasti.
Menurut Abi Bakr Ibnu Muhammad al-Husaini bahwa hukum wakaf
adalah boleh (Jaiz). Demikian juga menurut Imam Syafi’i dalam kitab Fathul
Qarib al-Mujib, bahwa hukum melaksanakan wakaf adalah boleh (Jaiz).54
Salah satu ikhtilaf ulama dalam bidang perwakafan adalah mengenai
kepemilikan dan hukum status benda yang telah diwakafkan. Menurut Abu
Hanifah, benda yang telah diwakafkan masih tetap milik pihak yang mewakafkan
karena akad (transaksi) wakaf termasuk akad ghyr lazim (tidak menyebabkan
pindahnya kepemilikan benda wakaf) kecuali wakaf untuk masjid, wakaf yang
ditetapkan dengan keputusan hakim, wakaf wasiat dan wakaf kuburan. Oleh
karena itu benda yang telah diwakafkan selain wakaf empat tersebut dapat dijual,
diwariskan dan dihibahkan. Benda wakaf berubah menjadi benda waris ketika
pihak wakif telah meninggal dunia.55
Abu Yusuf (penerus dan pengikut aliran Hanafi) pada awalnya
sependapat dengan Abu Hanifah tentang kebolehan menjual benda wakaf .
Ketika melakukan ibadah haji bersama Harun al-Rasyid, Abu Yusuf
melihat benda-benda wakaf yang telah dilakukan oleh para sahabat Nabi
Muhammad Saw di Madinah. Di Madinah Abu Yusuf mendapatkan bahwa benda
wakaf tidak boleh dijual, dihibahkan atau diwariskan. 54 Muhammad Ibnu Qasim al-Ghazi, Fath al-Qarib al-Mujib, (Surabaya: al-Hidayah, Tth), hal. 39. 55 Abi Bakr Muhammad Ibn Abi Sahl al-Sarkhasi al-Syafi’i, al-Mabsuth, Juz XI, (Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiah, 2001), hal. 23-24.
Kemudian Abu Yusuf mengubah pendapatnya, sehingga ia tidak
sependapat lagi dengan gurunya, kemudian ia berkata, kalau saja berita ini sampai
kepada Abu Hanifah r.a. pasti beliau mencabut pendapatnya.
Bagi ulama Syafi’iyah, wakaf itu mengikat dan karenanya tidak bisa
ditarik kembali atau diperjualbelikan, digadaikan dan diwariskan oleh wakif.56
D. Nadzir Wakaf
Nadzir wakaf adalah orang, organisasi atau badan hukum yang
memegang amanat untuk memelihara dan mengurus harta wakaf sebaik-baiknya
sesuai dengan wujud dan tujuannya.
Pada dasarnya, siapa saja dapat menjadi Nadzir asalkan ia tidak
terhalang melakukan perbuatan hukum. akan tetapi kalau Nadzir itu adalah
perseorangan, ada beberapa syarat yang harus dipenuhinya, yaitu; beragama
Islam, dewasa, dapat dipercaya, serta mampu secara jasmani dan rahani untuk
menyelenggarakan segala urusan yang berkaitan dengan harta wakaf.
Sama halnya Wakif, Nadzir meliputi:
1. Perorangan
Syarat-syarat Nadzir perorangan adalah, warga Negara Indonesia,
beragama Islam, dewasa, amanah, mampu secara jasmani dan rahani dan
tidak terhalang melakukan perbuatan hukum.57
2. Organisasi
56 Ibid., hal. 40. 57 Jaih Mubarok, Wakaf Produktif, (Bandung: Refika Offset, 2008), hal. 154.
Syarat-syarat Nadzir organisasi adalah, pengurus organisasi yang
bersangkutan memenuhi syarat-syarat Nadzir perorangan dan organisasi
yang bersangkutan bergerak dibidang sosial, pendidikan, kemasyarakatan
dan keagamaan Islam.
3. Badan Hukum
Sedangkan syarat-syarat Nadzir badan hukum adalah, pengurus
organisasi yang bersangkutan memenuhi syarat-syarat Nadzir perorangan,
badan hukum Indonesia yang dibentuk sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan organisasi yang bersangkutan
bergerak dibidang sosial, pendidikan, kemasyarakatan dan keagamaan
Islam.58
Dengan demikian Nadzir perorangan, organisasi atau badan hukum
diharuskan warga Negara Indonesia. Oleh karena itu warga Negara asing,
organisasi asing dan badan hukum asing tidak bisa menjadi Nadzir wakaf
di Indonesia.
E. Hak Dan Kewajiban Nadzir
Selanjutnya hak adalah kekuasaan atau kewenangan berbuat sesuatu
karena telah ditentukan oleh undang-undang dan aturan.59 Sedangkan kewajiban
adalah sesuatu yang harus dilaksanakan oleh seseorang.60 Sebagai pelaksana
hukum, Nadzir memiliki hak-hak dan kewajiban. Adapun hak-hak Nadzir dalam
wakaf adalah: 58 Ibid., hal. 155-156. 59 Tim Redaksi, Op.Cit., hal. 139. 60 Ibid., hal. 1266.
1. Nadzir berhak mendapatkan imbalan, upah atau bagian maksimal 10% dari
hasil bersih (keuntungan) atas pengelolaan dan pengembangan harta benda
wakaf.
2. Nadzir berhak mendapatkan pembinaan dari menteri yang menangani
wakaf dan badan wakaf Indonesia untuk melaksanakan tugas-tugasnya
secara benar dan baik.
Selanjutnya kewajiban Nadzir dalam wakaf adalah:
a. Melakukan pengadministrasian harta benda wakaf.
b. Mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan
tujuan, fungsi dan peruntukannya.
c. Mengawasi dan melindungi harta benda wakaf.
d. Melaporkan pelaksanaan tugas kepada Badan Wakaf Indonesia.61
Syarat-syarat umum yang harus dimiliki wakif dan Nadzir adalah
beragama Islam, dewasa atau baligh, berakal dan tidak terhalang
melakukan perbuatan hukum. Sedangkan syarat asasi bagi wakif adalah
pemilik sah dari harta benda yang diwakafkan dan syarat-syarat asasi
bagi Nadzir adalah amanah, mampu menjadi Nadzir secara fisik dan
non fisik, serta warga Negara indonesia. Kelihatannya dalam ketentuan
mengenai syarat-syarat wakif dan Nadzir tidak terdapat syarat takmili.
Nadzir diharuskan warga Negara Indonesia menyangkut ketentuan
politik agar warga asing tidak menguasai fasilitas umum umat Islam.
61 Jaih Mubarok, Loc.Cit., hal. 155.
Di samping itu, dari segi sadd al-Dzari’ah (tindakan preventif), akibat
dari ketentuan ini adalah agar harta benda wakaf tidak terlantar karena
tidak terurus oleh Nadzirnya dan dari segi fath al-Dzari’ah (membuka
media atau jalan), tujuan dari ketentuan ini adalah harta benda wakaf
berdayaguna secara maksimal guna meningkatkan kesejahteraan
masyarakat Islam.62
F. Wakaf Dalam Perspektif UU No. 41 Tahun 2004
Sepanjang sejarah Islam, wakaf merupakan sarana dan modal yang amat
penting dalam memajukan perkembangan agama. Sebelum lahir UU No. 41
Tahun 2004 tentang wakaf, perwakafan di Indonesia diatur dalam PP No. 28
Tahun 1977 tenttang perwakafan tanah milik dan sedikit tercover dalam UU No. 5
Tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok Agraria. Namun, peraturan
perundangan tersebut hanya mengatur benda-benda wakaf tidak bergerak dan
peruntukannya lebih banyak untuk kepentingan ibadah mahdhah, seperti masjid,
musholla, pesantren dan kuburan.63
Karena keterbatasan cakupannya, peraturan perundangan perwakafan di-
regulasikan agar perwakafan dapat diberdayakan dan dikembangakan lebih
produktif. Regulasi peraturan perundangan perwakafan tersebut berupa UU No.
41 Tahun 2004 tentang wakaf dan Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2006
tentang pelaksanaannya.64
62 Paradigma Baru Wakaf Di Indonesia, 2007. Departemen Agama RI, hal. 155. 63 Loc.Cit., hal. 89. 64 Ibid., hal. 89.
1. Dasar Hukum Pemerintahan RI
Ada beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur masalah perwakafan di Indonesia, yaitu: Undang-undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.65 Dalam Undang-undang ini dapat dijelaskan dalam beberapa substansi dibawah ini: a. Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan atau
menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/ atau kesejahteraan umum menurut syariah.(ketentuan umum dan pasal 2).66
b. Wakaf yang telah diikrarkan tidak dapat dibatalkan. Ketentuan ini merupakan payung hukum bagi perbuatan wakaf, sehingga harta benda wakaf tidak boleh dicabut kembali dan atau dikurangi volumenya oleh wakif dengan alas an apapun. (pasal 3).
c. Adapun tujuan dari perbuatan wakaf itu sendiri berfungsi untuk menggali potensi ekonomi harta benda wakaf dan dimanfaatkan untuk kepentingan ibadah dan memajukan kesejahteraan umum. (pasal 5).67
d. Dalam setiap perbuatan wakaf harus memenuhi unsur-unsurnya, (pasal 6) yaitu: 1) Wakif 2) Nadzir 3) Harta Benda Wakaf 4) Ikrar Wakaf 5) Peruntukan Harta Benda Wakaf 6) Jangka Waktu wakaf.
e. Pihak yang ingin mewakafkan (Wakif) meliputi: (pasal 7).68 1) Perseorangan 2) Organisasi 3) Badan hukum
f. Demikian juga bagi nadzir wakaf meliputi: (pasal 9) 1) Perseorangan . 2) Organisasi 3) badan hukum.
2. Adapun nadzir mempunyai tugas: (pasal 11) 1) Melakukan penadministrasian harta benda wakaf 2) Mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan
tujuan, fungsi dan peruntukannya. 3) Mengawasi dan melindungi harta benda wakaf 4) Melaporkan pelaksanaan tugas kepada Badan Wakaf Indonesia
Salah satu terobosan dalam Undang-undang ini adalah pengaturan
benda wakaf bergerak berupa uang dan sejenisnya (giro, saham dan surat berharga lainnya), selain harta benda wakaf tidak bergerak (tanah dan bangunan) (pasal 16).69
65 Depag. Op.Cit., hal. 20. 66 Ibid., hal. 21. 67 Ibid., hal. 22. 68 Ibid., hal. 23. 69 Ibid., hal. 26.
Pengaturan ini merupakan salah satu upaya pemerintah agar wakaf dapat berkembang secara cepat dan dapat dijangkau oleh semua kalangan. Wakaf uang jika dikelola secara professional dan transparan, maka akan memberikan efek ekonomi yang positif secara revolusioner.
(a) Wakaf benda bergerak berupa uang dapat dilakukan melalui Lembaga Keuangan Syari’ah (LKS) (pasal 28). Adapun pelaksanaan wakaf uang secara lebih rinci akan diatur dalam Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan UU No.41 Tahun 2004 tentang wakaf.70
(b) Dari hasil pengelolaan wakaf secara produktif tersebut, dapat dimanfaatkan untuk kepentingan: (pasal 22). (1) Sarana dan kegiatan ibadah (2) Sarana dan kegiatan pendidikan serta kesehatan (3) Bantuan kepada fakir miskin, anak terlantar, yatim piatu, bea
siswa. (4) Kemajuan dan peningkatan ekonomi umat (5) Kemajuan kesejahteraan umum lainnya yang tidak bertentangan
dengan syari’ah dan peraturan perundang-undangan.71 3. Dalam pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf secara produktif, nadzir
dapat bekerja sama dengan piha ketiga seperti IDB, investor, perbankan syari’ah, LSM, dan lain-lain.
4. Perubahan status harta benda wakaf yang sudah diwakafkan dilarang: (pasal 40) 1) Dijadikan jaminan 2) Disita 3) Dihibahkan 4) Dijual 5) Diwariskan 6) Ditukar 7) Dialihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya, kecuali untuk
kepentingan umum.72 5. Harta benda wakaf yang sudah berubah statusnya karena ketentuan pengecualian
sebagaimana wajib ditukar dengan harta benda yang manfaat dan nilai tukar sekurang-kurangnya sama dengan harta nebda wakaf semula. (pasal 41 ayat (3) )
6. Wakaf dengan wasiat dilakukan paling banyak 1/3 dari jumlah harta warisan setelah dikurangi utang pewasiat kecuali dengan persetujuan seluruh ahli waris. (pasal 25).73
Di Indonesia sampai sekarang terdapat berbagai perangkat peraturan
yang masih berlaku yang mengatur masalah perwakafan tanah milik. Seperti dimuat dalam buku Himpunan Peraturan Perundang-undangan Perwakafan Tanah diterbitkan oleh Departemen Agama RI, maka dapat dilakukan inventarisasi sebagai berikut:
1) UU No. 5 tahun 1960 tanggal 24 september 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria. Pasal 49 ayat (1) memberi isyarat bahwa
70 Ibid., hal. 24. 71 Ibid., hal. 25. 72 Ibid., hal. 27. 73 Ibid., hal. 28.
“Perwakafan Tanah Milik dilindungi dan diatur dengan Peraturan Pemerintah”.
2) Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1961 tanggal 23 maret 1961 tentang Pendaftaran Tanah. Karena peraturan ini berlaku umum, maka terkena juga didalamnya mengenai pendaftaran tanah wakaf.74
3) Peraturan Pemerintah No. 38 tahun 1963 tanggal 19 Juni 1963 tentang Penunjukan Badan-badan Hukum yang dapat mempunyai Hak Milik Atas Tanah. Dikeluarkannya PP No. 38 tahun 1963 ini adalah sebagai suatu realisasi dari apa yang dimaksud oleh pasal 21 ayat (2) UUPA yang berbunyi: “Oleh Pemerintah ditetapkan badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik dan syarat-syaratnya”.
4) Peraturan pemerintah No. 28 tahun 1977 tanggal 17 Mei 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik.
5) Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6 tahun 1977 tanggal 26 November 1977 tentang Tata Pendaftaran Tanah mengenai Perwakafan Tanah Milik.
6) Peraturan Menteri Agama No. 1 tahun 1978 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 1977 tanggal 10 Januari 1978 tentang Perwakafan Tanah Milik.75
7) Peraturaran Menteri Dalam Negeri No. 12 tahun 1978 tanggal 3 Agustus 1978 tentang Penambahan Ketentuan mengenai Biaya Pendaftaran tanah untuk Badan-badan Hukum tertentu pada Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2 tahun 1978.
8) Instruksi bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 1 tahun 1978 tanggal 23 Januari 1978 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik.
9) Peraturan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam No. Kep/D/75/78 tanggal 18 april 1978 tentang Formulir dan Pedoman Pelaksanaan Peraturan-peraturan Tentang Perwakafan Tanah Milik.
10) Keputusan Menteri Agama No. 73 tahun 1978 tanggal 9 Agustus 1978 Tentang Pendelegasian Wewenang Kepala-kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi/setingkat diseluruh Indonesia untuk Mengangkat atau Memberhentikan setiap Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan sebagai Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW).
11) Instruksi Menteri Agama No. 3 tahun 1979 tanggal 19 Juni 1979 tentang Petunjuk Pelaksanaan Menteri Agama No. 73 tahun 1978.
12) Surat Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji No. D II/5/Ed/14/1980 tanggal 25 Juni 1980 tentang Pemakaian Bea Materai dengan Pelampiran Surat Dirjen Pajak No. S-629/PJ.331/1980 tanggal 29 Mei 1980 yang menentukan jenis formulir wakaf mana yang bebas materai, dan jenis formulir mana yang dikenakan bea materai, dan berapa besar bea materainya.
74 Ibid., hal. 29. 75 Ibid., hal. 30.
13) Surat Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji No. DII/5/Ed/07/1981 tanggal 17 Februari 1981 kepada Gubernur Kepala Daerah Tingkat I diseluruh Indonesia, tentang Pendaftaran Perwakafan Tanah Wakaf Milik dan Permohonan Keringanan atau Pembebasan dari semua Pembebanan Biaya.76
14) Surat Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji No. DII/5/Ed/11/1981 tanggal 16 April 1981 tentang Petunjuk Pemberian Nomor pada Formulir Perwakafan Tanah Milik. Selain berbagai peraturan, instruksi dan edaran seperti disebutkan terdahulu, secara khusus masih ada instruksi dari Gubernur Kepala Daerah Tk I Sumatra Barat, Sumatra Utara, Nusa Tenggara Barat, Daerah Istimewa Aceh, dan DKI Jakarta mengenai Pendaftaran Tanah Wakaf di daerah masing-masing.
7. Tata Cara Pelaksanaan Wakaf
Fiqh Islam tidak banyak membicarakan prosedur dan tata pelaksanaan
wakaf secara rinci. Tetapi PP No.28 Tahun 1977 dan Peraturan Menteri
Agama No.1 Tahun 1978 mengatur petunjuk yang lebih lengkap. Menurut
pasal 9 ayat (1) PP No.8 Tahun 1977, pihak yang hendak mewakafkan
tanahnya diharuskan datang dihadapan Pejabat Pembuat Ikrar Wakaf untuk
melaksanakan Ikrar Wakaf.77
Yang dimaksud dengan Pejabat Pembuat Ikrar Wakaf dalam hal ini
adalah KUA Kecamatan. Dalam hal suatu kecamatan tidak ada kantor KUA-
nya, maka Kepala Kanwil Depag menunjuk Kepala KUA terdekat sebagai
Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf di kecamatan tersebut. Hal ini ditentukan
dalam pasal 5 ayat (1) dan (3) Peraturan Menteri Agama No.1 Tahun 1978.
Sebelumnya, pasal 2 ayat (1) dan (2) memberi petunjuk bahwa ikrar wakaf
dilakukan secara tertulis. Dalam hal wakif tidak dapat menghadap PPAIW,
76 Ibid,. hal. 31. 77Rachmadi Usman. Hukum Perwakafan di Indonesia. (Jakarta: Sinar Grafika. 2009), hal. 87.
maka wakif dapat membuat ikrar sacara tertulis dengan persetujuan dari
Kandepag yang mewilayahi tanah wakaf.78
Kemudian pasal 9 ayat (5) PP No.28 1977 menentukan bahwa dalam
dalam melaksanakan ikrar, pihak yang mewakafkan tanah diharuskan
membawa serta dan menyerahkan surat-surat berikut:
a. Sertifikat hak milik atau tanda bukti pemilikan tanah lainnya.
b. Surat keterangan dari Kepala Desa yang diperkuat oleh Kepala Kecamatan
setempat yang menerangkan kebenaran kepemilikan tanah dan tidak
tersangkut suatu sengketa.
c. Surat keterangan pendaftaran tanah.
d. Izin dari Bupati atau Walikotamadya Kepala Daerah, Kepala Sub
Direktorat Agraria Setempat.79
8. Pendaftaran Tanah Wakaf
Menurut pendapat Imam Syafi’i, Malik, dan Ahmad, wakaf dianggap
telah terlaksana dengan adanya lafadz atau sighat, walaupun tidak ditetapkan
oleh hakim. Milik semula dari di wakif telah hilang atau berpindah dengan
terjadinya lafadz, walaupun barang itu masih berada ditangan wakif.80
Pendaftaran tanah wakaf diatur dalam pasal 10 ayat (1) s/d (5) PP No.
28 Tahun 1977 dan beberapa pasal Peraturan Menteri Agama No. 1 Tahun
1978. Khusus perwakafan yang terjadi sebelum berlakunya PP No. 28 Tahun
1977, tata cara pendaftarannya diatur dalam pasal 15 dan 16 Peraturan Menteri
78 Ibid., hal. 88. 79 Ibid., hal. 89. 80 T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy. Pengantar Fiqih Muamalah. (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hal. 159.
Agama No. 1 Tahun 1978. Dalam hal ini Nadzirlah yang mendaftarkan
kepada KUA setempat. Jika nadzir tidak ada maka yang mendaftarkan adalah
wakif, ahli warisnya, anak keturunan nadzir, atau anggota masyarakat yang
mengetahui. Jika tidak ada maka pihak Kepala Desa yang mendaftarkan
kepada KUA.81
Pasal 12 Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6 Tahun 1977 tentang
Tata Pendaftaran Tanah Mengenai Perwakafan Tanah Milik menyebutkan
bahwa “untuk keperluan pendaftaran tanah dan pencatatan perwakafan tanah,
tidak dikenakan biaya pendaftaran, kecuali biaya pengukuran dan materai.
9. Perubahan Status dan Penggunaan Tanah Wakaf
Pada dasarnya tanah wakaf tidak boleh dijual, diwarisi dan diberikan
kepada orang lain. Tapi seandainya barang wakaf itu rusak, tidak dapat
diambil lagi manfaatnya, maka boleh digunakan untuk keperluan lain yang
serupa, dijual dan dibelikan barang lain untuk meneruskan wakaf itu.82 Hal ini
didasarkan pada menjaga kemaslahatan (hifzan lil maslahah).
PP No. 28 tahun 1977 jiwanya paralel dengan ketentuan Islam, yaitu
pada dasarnya tidak dapat dilakukan perubahan peruntukan atau penggunaan
tanah wakaf. Tetapi sebagai pengecualian, dalam keadaan khusus
penyimpangan dapat dilakukan dengan persetujuan tertulis dari Menteri
Agama. Sedangkan alasannya dapat berupa:
a. Karena tidak sesuai lagi dengan tujuan wakaf, seperti diikrarkan oleh
wakif. 81 Rachmadi Usman. Loc.Cit., hal. 93. 82 Pimpinan pusat Muhammadiyah, Himpunan Putusan Majlis Tarjih Muhammadiyah, Jogjakarta, Cetakan II, 1971, hlm. 272.
b. Karena kepentingan umum.83
10. Strategi Pengelolaan Wakaf Produktif
a. Bisnis dan Produksi
Arti bisnis sebagai salah satu bagian dari ekonomi adalah the buying
and selling of goods and services. Sedangkan Skinner menjelaskan bahwa
bisnis adalah pertukaran barang, jasa, atau uang yang saling menguntungkan
atau memberikan manfaat. Dengan demikian, perusahaan bisnis adalah suatu
organisasi yang terlibat dalam pertukaran barang, jasa, atau uang untuk
menghasilkan keuntungan.84 Perbedaan antara “bisnis” dan “ekonomi” antara
lain terletak pada tujuan dan penghitungan keuntungan. Tujuan ekonomi
adalah untuk mencapai kesejahteraan fisik, sedangkan tujuan bisnis adalah
untuk: (1) mendapatkan keuntungan; (2) mempertahankan kelangsungan
hidup badan usaha atau perusahaan; (3) pertumbuhan badan usaha atau
perusahaan; (4) tanggung jawab sosial. Husein Umar menegaskan bahwa
tujuan utama bisnis adalah laba atau keuntungan.85
b. Regulasi Peraturan Perundangan Perwakafan
Sepanjang sejarah Islam, wakaf merupakan sarana dan modal yang
amat penting dalam memajukan perkembangan agama. Sebelum lahir UU
No.41 tahun 2004 tentang wakaf, perwakafan di Indonesia diatur dalam PP
No. 28 Tahun 1977 tentang perwakafan tanah milik dan sedikit tercover dalam
UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria. Namun,
83 Ibid., hal. 274. 84 Pandji Anoraga, Manajemen Bisnis (Jakarta: Rineka Cipta.2004 ), Cet ke3, hal.3-4 85 Husein Umar, Business an Introduction (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama dan Jakarta Business Research Center. 2003), cet.ke-2. hal.4
peraturan perundangan tersebut hanya mengatur benda-benda wakaf tidak
bergerak dan peruntukannya lebih banyak untuk kepentingan ibadah
mahdhah, seperti masjid, musholla, pesantren, kuburan dan lain-lain.86
Karena keterbatasan cakupannya, peraturan perundangan perwakafan
diregulasi agar perwakafan dapat diberdayakan dan dikembangkan secara
lebih produktif. Regulasi peraturan perundangan perwakafan tersebut berupa
UU No. 41 Tahun 2004 tentang wakaf dan Peraturan Pemerintah No. 42
Tahun 2006 tentang pelaksanaannya. Kedua peraturan perundangan tersebut
memiliki urgensi, yaitu selain untuk kepentingan ibadah mahdhah, juga
menekankan perlunya pemberdayaan wakaf secara produktif untuk
kepentingan sosial (kesejahteraan umat).
Regulasi peraturan perundangan perwakafan tersebut sesungguhnya
telah lama didambakan dan dinantikan oleh masyarakat kita, khususnya umat
Islam. Karena masalah tersebut telah menjadi problem yang cukup lama
karena belum ada UU yang secara khusus tentang wakaf, sehingga
perwakafan di negeri kita kurang berkembang secara optimal.
Pengelolaan wakaf secara produktif untuk kesejahteraan masyarakat
menjadi tuntutan yang tidak bisa dihindari lagi. Apalagi di saat Negara kita
mengalami krisis ekonomi yang memerlukan partisipasi banyak pihak. Oleh
karena itu sudah selayaknya umat Islam khususnya, dan masyarakat Indonesia
pada umumnya mengapresiasi peraturan perundangan perwakafan tersebut
secara positif. Hadirnya regulasi tersebut merupakan penyempurnaan dari
86 Ibid., hal. 6.
beberapa peraturan perundangan wakaf yang sudah ada dengan menambah
hal-hal baru sebagai upaya pemberdayaan wakaf secara produktif dan
professional.87
Peraturan perundangan perwakafan (UU dan PP wakaf) tersebut
memiliki substansi antara lain: pertama, benda yang diwakafkan (mauquf
bih). Dalam peraturan perundangan wakaf sebelumnya hanya menyangkut
perwakafan benda tak bergerak yang lebih banyak dipergunakan untuk
kepentingan yang tidak produktif, seperti masjid, madrasah, kuburan, yayasan
yatim piatu, pesantren, sekolah dan sebagainya. Sedangkan UU dan PP wakaf
ini mengatur juga benda wakaf yang bergerak, seperti uang (cash wakaf),
saham, surat-surat berharga lainnya dan hak intelektual. Tentunya ini sudah
merupakan terobosan yang cukup signifikan dalam dunia perwakafan, karena
wakaf seperti uang, saham atau surat berharga lainnya merupkan variabel
penting dalam pengembangan ekonomi. Wakaf uang, saham atau surat
berharga lainnya sebagaimana yang diatur dalam UU Wakaf ini bukan untuk
dibelanjakan secara konsumtif seperti kekhawatiran sebagian orang.
Pemanfaatan secara konsumtif berarti menyalahi konsep dasar wakaf itu
sendiri, karena esensinya adalah agar wakaf uang, saham atau surat berharga
lainnya yang diamanatkan kepada nadzir dapat dikelola secara produktif
sehingga manfaatnya dapat digunakan untuk kepentingan kesejahteraan
masyarakat banyak. Aspek kemanfaatan dzat (benda yang diwakafkan)
menjadi esensi dari wakaf itu sendiri.
87 Ibid., hal. 7.
Sehingga dengan diaturnya benda wakaf bergerak seperti uang, saham
atau surat berharga lainnya diharapkan bisa menggerakkan seluruh potensi
wakaf untuk kesejahteraan masyarakat luas.88
Kedua, persyaratan nadzir (pengelola harta wakaf). Ada beberapa hal
yang diatur dalam UU dan PP Wakaf mengenai nadzir wakaf, yaitu:
1) Selain perseorangan, terdapat penekanan berupa badan hukum dan
organisasi. Sehingga dengan menekankan bentuk badan hukum atau
organisasi diharapkan dapat meningkatkan peran-peran kenadziran untuk
mengelola wakaf secara lebih baik.
2) Persyaratan nadzir disempurnakan dengan pembenahan manajemen
kenadziran secara professional, seperti amanah, memiliki pengetahuan
mengenai wakaf, berpengalaman dibidang manajemen keuangan,
kemampuan dan kecakapan yang diperlukan untuk menjalankan tugas
nadzir.
3) Pembatasan masa jabatan nadzir. Kalau aturan perundangan sebelumnya
tidak mengatur masa kerja nadzir, dalam PP Wakaf ini menjadi point
penting agar nadzir bisa dipantau kenerjanya melalui tahapan-tahapan
periodik untuk menghindari penyelewengan atau pengabaian tugas-tugas
kenadziran.
4) Nadzir dapat menerima hak pengelolaan sebesar maksimal 10 % dari hasil
bersih pengelolaan pengembangan benda wakaf, agar nadzir wakaf tidak
sekedar dijadikan pekerjaan sambilan yang hanya dijalani seadanya, tapi
88 Panji Anoraga. Op.Cit., hal. 6-7.
benar-benar mau dan mampu menjalankan tugas-tugasnya sehingga
mereka patut diberikan hak-hak yang pantas sebagaimana mereka kerja di
dalam dunia professional.
Ketiga, menekankan pentingnya sebuah lembaga wakaf nasional yang
disebut dengan Badan Wakaf Indonesia (BWI). Badan Wakaf ini bersifat
independent yang bertujuan untuk membina terhadap Nadzir dalam mengelola
dan mengembangkan harta benda wakaf baik secara nasional dan
internasional. Sehingga BWI kelak akan menduduki peran kunci, selain
berfungsi sebagai Nadzir juga berfungsi sebagai Pembina Nadzir sehingga
harta benda wakaf dapat dikelola dan dikembangkan secara produktif.
Keempat, menekankan pentingnya pemberdayaan harta benda wakaf
yang menjadi ciri utama UU dan PP Wakaf ini. Aspek pengembangan dan
pemberdayaan benda wakaf selama ini memang kelihatan belum optimal,
karena disebabkan oleh banyak hal, antara lain paham konservatisme umat
Islam mengenai wakaf, khususnya yang terkait dengan harta benda wakaf
tidak bergerak. UU dan PP Wakaf ini menekankan pentingnya pengembangan
dan pemberdayaan benda-benda wakaf yang mempunyai potensi ekonomi
tinggi untuk kesejahteraan masyarakat banyak.
Kelima, catatan penting dalam UU dan PP ini adalah adanya ketentuan
pidana dan sanksi administrasi. Ketentuan pidana yang dimaksud ditujukan
kepada para pihak yang dengan sengaja menyalahgunakan benda wakaf
dengan ancaman pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana
denda paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah). Sedangkan
bagi pihak yang dengan sengaja mengubah peruntukan benda wakaf akan
dipidana penjara paling lama 4 (empat) tahun, dan pidana denda paling banyak
Rp. 400.000.000,- (empat ratus juta rupiah). Sedangkan sanksi administrasi
akan dikenakan kepada lembaga keuangan syari’ah dan Pejabat Pembuat Akta
Ikrar Wakaf (PPAIW) yang melanggar dalam masalah pendaftaran benda
wakaf. Ketentuan pidana administrasi ini merupakan trobosan yang cukup
penting dalam rangka mengamankan benda-benda wakaf dari tangan-tangan
yang tidak bertanggung jawab dan bertujuan untuk memberikan aspek jera
bagi mereka yang telah melakukan pelanggaran hukum.
Dengan adanya UU dan PP Wakaf tersebut yang memiliki semangat
pemberdayaan benda-benda wakaf secara produktif diharapkan dapat tercipta
kehidupan masyarakat yang lebih adil dan sejahtera. Namun, regulasi
peraturan perundang-undangan di bidang keuangan dan perekonomian
(khususnya perekonomian berbasis Syari’ah) harus segera dilakukan untuk
mendukung semangat UU dan PP Wakaf dalam rangka memberdayakan
wakaf secara produktif. Selama ini, political will pemerintah terhadap
perbankan Syari’ah masih sangat minim, yaitu hanya 2 % dari seluruh
perhatian terhadap perbankan konvensional.
c. Pembentukan Badan Wakaf Indonesia
Penerimaan wakaf berdasarkan literature sejarah dikakukan oleh
institusi Baitul Mal. Baitul Mal merupakan institusi dominan dalam sebuah
pemerintah Islam ketika itu. Baitul Mal itulah yang berperan secara kongkrit
menjalankan program-program pembangunan melalui devisi-devisi kerja yang
ada dalam lembaga ini, disamping tugas utamanya sebagai bendahara Negara.
(treasury house).89
Dengan karakteristiknya yang khas, wakaf memerlukan manajemen
tersendiri dalam lembaga Baitul Mal. Baitul Mal harus menjaga eksistensi
harta wakaf dan keselarasannya dengan niat wakaf dari wakif. Sehinga dalam
konteks perekonomian kontemporer yang tidak (belum) menjadikan Baitul
Mal sebagai institusi negara, diperlukan modifikasi institusi dalam
pengelolaan wakaf tunai ini.90
Karena terdapat kebebasan memberikan jumlah wakaf tunai, institusi
wakaf dapat membatasi alternatif tujuan wakaf dari masyarakat (pos
penerimaan sekaligus penggunaan uang wakaf), agar dapat optimal
pemanfaatan wakaf tunai tersebut. Hal ini dilakukan untuk menghindari
kemungkinan terlalu sedikitnya wakaf tunai yang terkumpul dalam rangka
memenuhi niat akad dari para wakif. Jadi pos wakaf tunai dibatasi sesuai
dengan program kebutuhan masyarakat luas seperti bos pendidikan (misalnya
peruntukan gedung sekolah, gedung dakwah, dan lain-lain), pos masjid dan
pos fasilitas umum (misalnya peruntukan jalan raya, jembatan, dan lain-lain).
Banyaknya pos tergantung pada banyaknya keinginan masyarakat dalam
mewakafkan hartanya pada maksud tertentu.91
Namun, pada wakaf yang mutlak, artinya tidak ditentukan tujuan dan
pemberian wakaf secara spesifik oleh wakif, maka kebijakan institusi
89 Mawardi Muzamil. Pembaharuan Hukum Perwakafan Tanah Milik Menuju Perwujudan Fiqih Indonesia. (Semarang: Pustaka Ahkam. 1983), hal. 15. 90 Ibid., hal. 17. 91 Taufiq Hamami. Perwakafan Tanah dalam Hukum Politik Agraria Nasional. (Jakarta: Tata Nusa. 2003), hal. 27.
wakaflah yang berperan dalam hal keputusan penggunaannya, tentu saja
mempertimbangkan skala prioritas kebutuhan masyarakat. Pada wakaf tunai
yang memiliki definisi dan aplikasi seperti yang dilakukan oleh Prof. M.A.
Mannan, sebaiknya memang menjadi kesepakatan para ulama berikut
intelektual agar aplikasinya tidak menemui hambatan-hambatan yang
kemudian mengganggu jalannya perekonomian secara keseluruhan.
Untuk konteks Indonesia, lembaga wakaf yang secara khusus akan
mengelola dana wakaf dan beroperasi secara nasional itu berupa Badan Wakaf
Indonesia (BWI). Tugas dari lembaga ini adalah mengkoordinir nadzir-nadzir
(membina) yang sudah ada atau mengelola secara mandiri terhadap harta
wakaf yang dipercayakan kepadanya, khususnya wakaf tunai. Sedangkan,
wakaf yang sudah ada dan berjalan ditengah-tengah masyarakat dalam bentuk
wakaf benda tidak bergerak, maka terhadap wakaf dalam bentuk itu perlu
dilakukan pengamanan dan dalam hal benda wakaf yang mempunyai nilai
produktif perlu didorong untuk dilakukan untuk pengelolaan yang bersifat
produktif.92
Untuk itulah Badan Wakaf Indonesia (BWI) yang mempunyai fungsi
sangat strategis harus segera dibentuk dan diharapkan dapat membantu, baik
dalam pembiayaan, pembinaan maupun pengawasan terhadap para nadzir
untuk dapat melakukan pengelolaan wakaf secara produktif. Pembentukan
BWI bertujuan untuk menyelenggarakan administrasi pengelolaan secara
nasional, mengelola sendiri harta wakaf yang dipercayakan kepadanya,
92 Ibid., hal. 27.
khususnya yang berkaitan dengan tanah wakaf produktif strategis khususnya
benda wakaf terlantar dan internasional dan promosi program yang diadakan
oleh BWI dalam rangka sosialisasi kepada umat Islam dan umat lain
umumnya.
d. Wakaf Produktif Sebagai Solusi
Pemunculan wakaf produktif, karenanya menjadi pilihan utama, ketika
umat sedang dalam keterpurukan kemiskinan akut. Wakaf produktif, berarti
bahwa wakaf yang ada memperoleh prioritas utama ditujukan pada upaya
yang lebih menghasilkan. Tentu dengan ukuran-ukuran paradigma yang
berbeda dengan wakaf konsumtif, memberi harapan-harapan baru bagi
sebagian besar komunitas umat Islam. Wakaf ini tidak berkehendak untuk
mengarahkan wakaf pada ibadah mahdlah an sich, sebagaimana yang
diarahkan wakaf konsumtif.
Wakaf produktif memiliki dua visi sekaligus; menghancurkan struktur-
struktur sosial yang timpang dan menyediakan lahan subur untuk
mensejahterakan umat Islam. Visi ini secara langsung digapai ketika totalitas
diabdikan untuk bentuk-bentuk wakaf produktif yang selanjutnya diteruskan
dengan langkah-langkah taktis yang mengarah pada hasil tersebut. Langkah
taktis itu sebagai derivasi dari filosofi disyari’atkannya wakaf produktif
dimana lebih berupa teknis-teknis pelaksanaan wakaf yang produktif.
Jenis wakaf produktif ini tentu saja juga sangat berdimensikan sosial.
Ia semata-mata hanya mengabdikan diri pada kemaslahatan umat Islam.
Sehingga, yang tampak dari hal ini adalah wakaf yang pro kemanusiaan,
bukan wakaf yang hanya berdimensikan ketuhanan. Makanya juga, yang
tampak dalam wakaf jenis ini adalah wakaf lebih menyapa realitas umat Islam
yang berujud kemiskinan, keterbelakangan dan kebodohan.
e. Wakaf Produktif Antara Harapan dan Hambatan
Besar harapan dengan dua model wakaf produktif di atas dalam bentuk
wakaf uang, wakaf saham atau juga wakaf yang lain disebut-sebut sebagai
yang lebih mampu mensejahterakan umat. Dengan cara ini pula, gapaian-
gapaian yang senantiasa jauh dari asa dalam cita keadilan sosial sedikit akan
mendapatkan momentumnya. Modul wakaf produktif dipandang salah satu
terobosan baru untuk mencita-citakan kesejahteraan sosial umat.93
Namun persoalannya justru muncul dari massa akar rumput, umat yang
dalam konteks Indonesia, telah membentuk karakter sosial yang dalam batas-
batas tertentu malah menghambat eksistensi wakaf produktif. Karakter sosial
sebagaimana dimaksud, misalnya bangunan berpikir madhab. Karena itu,
pertanyaannya kemudian adalah, apakah umat dapat begitu saja menerima
jenis wakaf produktif tersebut? Bukankah mindset umat Islam Indonesia
khususnya sedemikian rupa telah terbentuk, utamanya karena mereka telah
memiliki logika hukum Islam yang bersandarkan mazhab empat: Hanafi,
Maliki, Syafi'i dan Hambali.94
Tidak salah kiranya, kalau kemudian jenis wakaf produktif baik yang
dalam bentuk wakaf uang, wakaf saham dan wakaf sementara harus
dihubungkan dengan landasan hukum yang terdapat dalam madzhab empat. 93 Anshori Abdul Ghafur. Hukum dan Praktek Perwakafan di Indonesia. (Yogyakarta: Pilar Media. 2005), hal. 23. 94 Ahmad Azhar Basyir. Op.Cit., hal. 8.
Pilihan madzhab empat lebih karena mayoritas umat Islam di Indonesia adalah
penganut fanatik paham ahlussunah wal al-jama’ah yang dilandasi oleh
pemikiran fiqh empat madhab. Lebih jauh, karena empat madhab ini
dipandang mu’tabar dalam arti lebih dipandang sistematis dalam cara
berpikirnya, banyak referensi yang mengokohkannya dan juga dipandang
lebih adaptif dalam setting masyarakat Indonesia.95
f. Batasan Wakaf Produktif
Lahirnya undang-undang nomor 41 tahun 2004 tentatang wakaf serta
Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-
undang Nomor 41 Tahun 2004 adalah bagian dari semangat memperbaharui
dan memperluas cakupan objek wakaf dan pengelolaannya agar
mendatangkan manfaat yang maksimum. Oleh karena itu, wakaf produktif
dianggap sebagai paradigma baru wakaf di Indonesia.96
Konsep wakaf produktif pada dasarnya dilandasi oleh ketidakpuasan
pihak pemerintah (terutama Departemen Agama) terhadap pengelolaan harta
wakaf yang dilakukan oleh para nazhir yang berjalan sekarang ini.
Ketidakpuasan tersebut kemudian memicu pemerintah untuk memperbaikinya
dengan paradigma wakaf produktif, antara lain dengan membentuk undang-
undang tentang wakaf.
Jika dihubungkan antara konsep “produksi” dengan ketidakpuasan
pemerintah atas pengelolaan wakaf yang dilakukan oleh para nazhir, definisi
wakaf produktif secara terminologi adalah transformasi dari pengelolaan 95 http://one.indoskripsi.com/node/256 96 Achmad Djunaidi dan Thobieb al-Asyhar, Menuju Era Wakaf Produktif (Jakarta: Mumtaz Publising. 2007). Hal. 162.
wakaf yang alami menjadi pengelolaan wakaf yang profesional untuk
meningkatkan atau menambah manfaat wakaf.97
97 Prof.Dr. Jaih Mubarok,M.Ag. Wakaf Produtif (Bandung: Simbiosa Rekatama Media. 2008). hal. 15.
BAB III
WAKAF MASJID DAN PENGGUNAANNYA
Ibadah diyakini oleh umat Islam sebagai kegiatan untuk mendekatkan
diri kepada Allah. Salah satu prinsip dalam beribadah adalah dilakukan secara
sembunyi-sembunyi.98
Salah satu keyakinannya, bahwa ibadah yang pahalanya mengalir terus
adalah berwakaf. Oleh karena itu boleh berwakaf dengan benda yang bermanfaat
serta bertahan lama. Seperti sawah yang maslahahnya untuk kepentingan masjid.
Maka apapun yang tumbuh di sawah itu tidak boleh dimanfaatkan kepada yang
lain.99
98Ahmad Warson Munawwir, Kamus Arab-Indonesia, (Yogyakarta: Pesantren al-Munawwir, 1984), hal. 381. 99 Sayyid ‘Abdurrahman bin Muhammad bin Husein bin ‘Umar, Bughyat al-Mustarsyidin, (al-Haramain: Jiddah Indonesia, Tt), hal. 171.
Prinsip ini tidak lepas dari pemahaman ulama yang mengatakan bahwa
wakaf adalah bagian dari sedekah (sedekah jariyah). Syaikh Zainuddin
menafsirkan bahwa yang dimaksudkan dari sedekah jariyah adalah bukan wasiyat,
tetapi berwakaf dengan benda-benda yang bermanfaat serta dihalalkan yang tidak
boleh dijual, diwariskan dan diberikan. Dan orang yang diberi amanat wakaf oleh
wakif boleh memanfaatkannya dengan cara yang baik dan memberi makan pada
temannya dengan tidak menjadi hak miliknya.100
Mohammad Daud Ali menjelaskan bahwa sedekah secara fiqhiyah
dibedakan menjadi dua; sedekah yang hukumnya wajib dan sedekah yang
hukumnya sunnah. Sedekah yang hukumnya wajib di antaranya adalah zakat,
sedangkan sedekah yang hukumnya sunnah antara lain adalah wakaf masjid yang
penggunaannya untuk perawatan dan kemaslahatan masjid, lebih luasnya untuk
kepentingan dan kemaslahatan umat.101
Dengan demikian, wakaf yang merupakan bentuk penafsiran dari amal
jariyah yang senantiasa dilaksanakan oleh umat Islam selama masjid berdiri tegak
di lingkungan mereka. Dengan harapan wakaf masjid berupa sawah tersebut
hasilnya dapat digunakan untuk keperluan dan kebutuhan masjid secara utuh.
Sebagaimana pendapat:
��� ����� � ��� ���� �� ������� ������� ���� � � ���!"� #��$%�� &'�� (� )*��%�)��� ��+!,���(����, - � #��$%�� ./.
100 Syaikh Zainuddin bin ‘Abdul ‘Aziz al-Malibari, Fath al-Mu’in bi Syarkh Qurrat al-‘Ain, (Surabaya: Dar al-‘Ilmi, Tt), hal. 87. 101 Mohammad Daud Ali, Loc.Cit., hal. 38.
Para ulama telah bersepakat sesungguhnya wakaf masjid merupakan bentuk
pengguguran dan pembebasan yang seorangpun tidak berhak memilikinya, karena
wakaf tersebut sudah menjadi milik Allah.102
Menurut Imam Syafi’i dalam kitab yang sama adalah:
...(����, -� (�1 ��34�, 4��6�� 74� 8��# �(��9 :��;< =�4�>� ��� . �?$�@�� )4�>�;�� &'��A�� ��� � �9 C�D� )E)4F�; :���9��GH)� (��9 &'�A�� 8��# �(��9 :��;4� )I34�@!��� )J�K��;�� :�� ):�.4�>, &'��A�� �(��9 )LM��%�;�� -�.
Atau hasil wakaf digunakan pada jalan kebaikan sebagai bentuk takarrub kepada
Allah. Selanjutnya harta wakaf telah lepas dari kepemilikan wakif dan menjadi
tertahan oleh ketentuan hukum Allah dan wakif dilarang menggunakannya.
Sehingga hasil wakaf wajib digunakan kebaikan menurut kehendak wakaf.103
A. Pengertian Wakaf Masjid
Ulama telah berhasil menjelaskan taksonomi fikih menjadi ibadah dan
muamalah. Ulama Hanafiyah misalnya, membagi fikih menjadi tiga, yaitu fikih
ibadah (hukum yang mangatur hubungan antara manusia dengan Allah), fikih
muamalah (hukum yang mengatur hubungan manusia dengan sesama makhluk)
dan jinayah (hukum yang menetapkan pelanggaran dan kejahatan atas fikih ibadah
dan muamalah.
Meskipun demikian, ulama juga menjelaskan bahwa ibadah dan
muamalah masing-masing memiliki dua arti yaitu, ibadah dan muamalah dalam
102 Wahbah Zuhaili, al-Fiqhu al-Islami wa Adillatuhu, Juz X, (Dimsyiq: Dar al-Fikr, 2006), hal. 7602. 103 Ibid., 7601.
arti sempit serta ibadah dan muamalah dalam arti luas, di dalamnya termasuk
wakaf untuk kemaslahatan masjid dan perawatannya.
Pengertian Wakaf Masjid
Mengingat pengertian wakaf baik secara bahasa maupun istilah telah
disebutkan dalam pembahasan sebelumnya, maka pengertian wakaf masjid
menurut peneliti berdasarkan keterangan dalam kitab salaf adalah:
�N�A)#�A�� O��@)� �=�4�>�� (��9 :��@'�< LP�� :M��9 *���� �L�� :� )I�+�"Q�� ) H�%); C��� )R�@��. Yakni, menahan harta yang dapat dimanfaatkan tanpa lenyap bendanya, dengan
cara tidak melakukan tindakan hukum terhadap benda tersebut disalurkan pada
sesuatu yang mubah (tidak haram) di dalamnya termasuk (masjid, mushalla,
madrasah dan panti asuhan) yang ada.104
Dengan kata lain pengertian wakaf masjid adalah perbuatan hukum
manusia atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari
benda miliknya guna kepentingan ibadat untuk masjid atau keperluan umum
lainnya sesuai dengan ajaran Islam. Sedangkan benda wakaf adalah segala benda,
baik bergerak atau tidak bergerak, yang memiliki daya tahan yang tidak hanya
sekali pakai dan bernilai tinggi menurut ajaran Islam.
Wakaf yang merupakan bagian dari sedakah yang pahalanya bersifat
terus menerus. Maka menurut Imam Taqayyuddin tentang pengertian wakaf
masjid adalah memindah hak milik yang bermanfaat (Sawah) untuk sesuatu yang
berhak menerima wakaf (Masjid).105
104 al-Ramli, Nihayah al-Muhtaj ila Syarh al-Minhaj, Juz V, (Dar al-Fikr, 1984), hal. 357. 105 Imam Taqayyudin Abi Bakar bin Muhammad al-Huseni, Kifayat al-Akhyar fi Hilli Ghayat al-Ikhtisar, Juz I, (Surabaya: Dar al-‘Ilmi, Tt), hal. 257.
Selanjutnya menurut peneliti wakaf masjid berupa sawah adalah
tindakan wakif mewakafkan sawah yang statusnya halal yang memiliki daya tahan
kuat serta bernilai tinggi yang tidak boleh dijual, digadaikan, dihibahkan dan
diwariskan.
B. Macam-macam Wakaf Masjid
Penjelasan mengenai penempatan wakaf dalam ruang lingkup fikih
ibadah termasuk wakaf untuk masjid (Habl min Allah) mengisyaratkan bahwa
wakaf yang terbaik dilakukan secara sembunyi-sembunyi agar terhindar dari riya.
Akan tetapi penempatan wakaf sebagai wilayah ibadah yang sebaiknya dilakukan
secara sembunyi-sembunyi dapat melahirkan beberapa dampak yaitu sangat
sedikit orang yang mengetahui bahwa objek tertentu telah diwakafkan oleh orang
tertentu dan dalam konteks benda terdaftar dan benda tidak terdaftar, sebagai
pengembangan dari benda bergerak dan tidak bergerak dalam hukum kebendaan
sulit dipahami bahwa wakaf sebaiknya dilakukan secara sembunyi-sembunyi,
sebab wakaf tersebut melibatkan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf.
Mengenai benda yang diwakafkan untuk masjid baik yang bergerak dan
tidak bergerak jumlahnya sangat banyak, tetapi benda yang diwakafkan untuk
masjid terutama di daerah pedesaan berupa benda yang tidak bergerak, rata-rata
meliputi:
1. Tanah persawahan
a. Pertanian
b. Tambak Ikan
2. Tanah perkebunan
Perkebunan
3. Tanah ladang
Palawija.106
Dengan lingkungan, cuaca dan bentuk tanah yang berbeda membuat
tanaman berbeda pula. Sehingga kesimpulan dari beberapa macam wakaf masjid
tersebut adalah benda yang tidak bergerak yaitu wakaf berupa sawah, hal ini
berdasarkan hadist Nabi Saw:
C�' �4�%)9 ��� �9 :�G!����� :���9 -� (!��T [email protected]�� )4�%)9 C�' : WX' ����� �YT� �G� �4�@��6 (� �V� �V�!�� G���� 8Z�� ./1[. �>,� �/� )\�N�<� � ' ����M� .V�1 �Y�]�9� ����, �G!����� :���9 -� (!��T [email protected]�� C�'�� :���,�4�% _U@���� �����T� �R@���.
Artinya: Diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar r.a.: Ia berkata ‘Umar r.a. berkata kepada Nabi Saw, “Saya mempunyai seratus saham (tanah dan kebun) di Khaibar, belum pernah saya mendapatkan harta yang lebih saya kagumi melebihi tanah itu, saya bermaksud menyedekahkannya” Nabi Saw, berkata “Tahanlah pokoknya dan sedekahkan buahnya pada sabilillah.107
Berdasarkan hadist yang lain mengenai indikasi banda-benda wakaf
masjid adalah:
):�M�9 -� �V �< )4���# C�' : C�A'�� �&'�� �!�� ab�<. �)� ):� �G!����� :���9 -� (!��T -� C�A)��< ���c�T� � � a ��� �V������d�.e��) :�L+��M�; �/� :M��9 *���� �L�� :� ()h)4�i�� )<������ :�� _�6�N��.
Artinya: Sahabat Jabir r.a. berkata bahwa seluruh sahabat Nabi Muhammad Saw tidak meninggalkan sedikitpun bagian harta kecuali hanya diwakafkan. Selanjutnya Syaikh Abi Bakr menyimpulkan dengan benda yang bermanfaat serta memiliki daya tahan yang kuat. Di dalamnya termasuk:
1) Persawahan
2) Perkebunan
106 Depag R.I. Panduan Pemberdayaan Tanah Wakaf Produktif Strategis di Indonesia, (Jakarta: Direktur Pemberdayaan Wakaf, 2007), hal. 119. 107 an-Nasa’i Dalam Kitab al-Ihbas Bab Habs al-Masya’, hal. 3546.
3) Tanah ladang dan lain-lain.108
Menurut Sayyid Bakry bahwa yang dimaksud dengan benda-benda
wakaf adalah:
�� �4�i (,j�� ���k�4�e� 8�M.��)%�� ) ����� C��%��� )N��4D���ab�N�A)#�A�� a ��9 ���� (��@�;��� �����4�>� )J ���M, ���!"� 4�"�". ���� G�l��<. . Maksud dari harta di sini adalah benda-benda yang tampak bukan berupa dirham
dan dinar, karena keduanya akan habis ketika dibelanjakan, sehingga tidak tersisa
sedikitpun. Yang syarat-syaratnya akan dibahas pada pembahasan berikutnya.109
Termasuk benda-benda wakaf dalam kitab ini adalah benda-benda yang
bermanfaat serta bertahan lama, seperti sawah, kebun, ladang, sumur dan benda-
benda lain. Sebagaimana pendapat:
�m�"��A���� <��)N�� n�<� � � � � �<Q��o )<����� )&'�� 3p>�; )/��A < 8����c.>�� � � 8�9��%�# ./Q� [�+q,r�� ��lA�c"�� � �,��$�������� ./Q��� �4�@��6 (� ): �<� ):�M�9 -� �V �< �4�%)9 &'�� � � �J. �, ��%�s� )h�A+'�� �G����9 -�J���. �� �(��9 (��@�; a .�Q�)� �<�.
Boleh mewakafkan sawah, seperti tanah, rumah, bata, ladang dan sejenisnya
dengan kesepakatan. Karena golongan dari sahabat r.a. mewakafkan harta mereka
sebagaimana yang dipraktekan Umar yang mewakafkan tanahnya di Khaibar.
Karena perkebunan bersifat kuat dan bertahan lama.110
Selain pembagian benda wakaf, maka ada dua macam wakaf menurut
objeknya yaitu:
a. Wakaf Khairi
Wakaf Khairi adalah wakaf yang sejak semula ditujukan untuk
orang kepentingan umum, tidak dikhususkan untuk orang tertentu.
108
Imam Taqayyudin Abi Bakar bin Muhammad al-Huseni, Loc.Cit., hal. 257. 109 Sayyid Bakry bin Sayyid Muhammad Syatha ad-Dimyati al-Misyri, Hasyiat I’anat al-Thalibin, Juz III, (al-Haramain: Jiddah, Tt), hal. 157. 110 Wahbah Zuhaili., Op.Cit., hal. 7609.
b. Wakaf Ahli
Wakaf Ahli atau wakaf keluarga ialah wakaf yang ditujukan pada
orang-orang tertentu atau seorang atau lebih, baik keluarga wakif atau
bukan. Wakaf ahli dapat dijumpai misalnya wakaf kepada kyai yang
sehari-hari bertugas mengajar santri-santrinya di Pondok-Pesantren.111
Hal ini berdasarkan hadis Nabi Saw bersabda:
�N�<���� :8�u �� ) #��$�%�� �Vl�� n�<�� _�lQ� *��%.$�� (� )J�A)]3M�� *)(v, ��%o *��%.$�� _�l� n�<�� (� )*(v, )m���/��4��� w���� )m����� G������.
Artinya: Diceritakan, bahwa ada tiga hal di bumi yang menyinari kepada
penduduk langit sebagaimana terangnya bintang-bintang di langit yang menyinari
penduduk bumi, yaitu masjid, rumah para ulama dan rumah orang yang hafal al-
Qur’an.112
Dalam hadist ini mencakup tiga hal yaitu masjid, rumah ulama dan
penghafal al-Qur’an, lebih luasnya masjid termasuk wakaf khairi, yang
kepentingannya untuk orang umum. Sedangkan rumah para ulama dan penghafal
al-Qur’an lebih luasnya adalah wakaf ahli.
C. Akad Dalam Wakaf Masjid
Secara umum rukun akad adalah dua pihak yang melakukan akad dan
pernyataan (ijab-qabul) dari para pihak. Akan tetapi dalam akad juga dikenal akad
tabarru’.
Akad tabarru’ adalah pernyataan dalam bentuk perkataan atau perbuatan
yang dilakukan secara sepihak, tanpa memerlukan pihak lain serta tidak
111 Abdul Ghofur Anshori, Op.Cit., hal. 31. 112 Sayyid Bakry bin Sayyid Muhammad Syatha ad-Dimyati al-Misyri, Loc.Cit., hal. 157.
memerlukan pernyataan penerimaan (qabul). Akad ini terutama diarahkan pada
akad-akad yang berhubungan dengan ibadah seperti zakat, infaq dan sedekah.
Sedangkan akad yang tidak dapat dilakukan secara sepihak disebut akad ghyr
tabarru’.113
Akad juga terdapat konsep akad lazim dan akad ghyr lazim. Akad lazim
adalah akad yang menyebabkan terjadinya perpindahan kepemilikan (intiqal al-
Milkiyah), sementara akad ghyr lazim adalah akad yang tidak menyebabkan
terjadinya kepemilikan benda (atau objek) yang diakadkan. Di antara perbuatan
hukum yang termasuk akad lazim adalah jual beli, sedangkan di antara perbuatan
hukum yang termasuk pada akad ghyr lazim adalah pinjam dan sewa.114
Secara implisit, penempatan akad wakaf dari segi kepindahan
kepemilikan memperlihatkan waktu wakaf. Akad wakaf yang diyakini sebagai
bagian dari akad ghyr lazim (kepemelikannya tidak berpindah), memperlihatkan
bahwa jangka waktu wakaf terbatas (muaqqat atau tidak muabbad).115 Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa ada dua akad dalam wakaf masjid yang rata-
rata telah dipraktekan oleh masyarakat Indonesia yaitu:
1. Lazim
Sedangkan Imam Syafi’i berpendapat bahwa akad wakaf termasuk
akad lazim (atau mulazamah). Oleh karena itu benda yang telah diwakafkan
bukan lagi milik wakif, melainkan telah menjadi milik umum (atau milik
Allah). Akibatnya adalah bahwa benda yang telah diwakafkan tidak boleh
113 MUI, Himpunan Fatwa Dewan Syari’ah Nasional, (Jakarta: DSN-MUI dan Bank Indonesia, 2006), Edisi Revisi, hal. 465. 114 Jaih Mubarok, Op.Cit., hal. 40. 115 Ibid., hal. 41.
dijual, dihibahkan dan diwariskan, karena memang ia bukan lagi milik
perorangan, melainkan milik publik.
2. Ghyr Lazim
Menurut Abu Hanifah, benda yang telah diwakafkan masih tetap milik
pihak yang mewakafkan, karena akad (transaksi) wakaf termasuk akad ghyr
lazim (tidak menyebabkan pindahnya kepemilikan benda wakaf).
Dari dua akad yang telah dipraktekan dan menggunakan statemen yang
berbeda dalam akad wakaf, maka dalam madzhab Syafi’i akad wakaf masjid
disepakati milik Allah. Oleh karena itu, kepemilikan wakaf untuk masjid
berpindah dari milik wakif menjadi milik umum. Hal ini berarti bahwa akad
wakaf untuk masjid bersifat mulazamah.116
Adapun pendapat yang disampaikan Abu Hanifah bahwa akad wakaf
masjid termasuk ghyr lazim sudah ditarik oleh pengikutnya yaitu Imam Abu
Yusuf.
Shighat yang merupakan akad berupa lafal yang menunjukkan arti
wakaf seperti ucapan: Tanah ini aku wakafkan untuk selamanya kepada
fakir miskin.
Sementara Sayyid Bakri membagi shighat wakaf menjadi 2 (dua) yaitu:
a. Sharih
Shighat Sharih yaitu akad yang menunjukkan penerimaan dan
penyerahan maukuf dengan lafadz atau maksud yang jelas tanpa
membutuhkan niat. Seperti lafadz Wakaftu, Sabaltu dan Habistu.
116 Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Juz X, (Beirut: Dar al-Fikr al-Mu’ashir, 1997), hal. 7602.
b. Kinayah
Shighat Kinayah yaitu akad yang menunjukkan penerimaan dan
penyerahan maukuf dengan menggunakan lafadz sindiran atau lafadz
yang berbeda tetapi mempunyai maksud yang sama dengan disertai niat.
Seperti lafadz Haramtu, Abadtu dan Tashaddaqtu Bihi.117
Hal ini sesuai dengan pendapat Imam Jalaluddin bahwa akad yang
menggunakan dengan lafadz yang Sharih tidak disertai dengan niat,
karena secara langsung akad tersebut menjadi sah dengan lafadz Sharih
tersebut. Sedangkan akad Kinayah harus disertai dengan niat, karena
penggunaan akad Kinayah masih umum, untuk penentuannya
membutuhkan niat.118
Untuk itu akad dalam wakaf masjid tersebut adalah: “Sawah ini
aku wakafkan untuk selamanya kepada masjid atau Sawah ini aku
sedekahkan untuk selamanya kepada masjid”. Setelah pelafadzan akad
penerimaan dan penyerahan wakaf, maka sawah tersebut bukan lagi
menjadi kepemilikan perorangan melainkan menjadi milik masjid secara
utuh atau dalam wakaf masjid berupa sawah kelangsungan kepemilikan
untuk masjid tersebut bersifat mulazamah.
Adapun syarat shighat wakaf adalah:
117 Sayyid Bakry bin Sayyid Muhammad Syatha ad-Dimyati al-Misyri, Op.Cit., 156. 118 Imam Jalaluddin ‘Abdurrahman bin Abi Bakar al-Suyuti, al-Asybah wa al-Nadzair fi al-Furu’ (Surabaya: P.T. Irama Minasari, Tt), hal. 181.
) ��Q!��� :!��� �(��9 WC) �;��%� 8.H��D� �4�i <�A)��%]�� � �M9 )&'�A�� 3p>�;�u� �G�� 8���4��� :�#�� �(��9 C��� )E��4�61 ):!"Q� �b. %)� m�'Q�b. )� (�1 �K)]�;.
Bersifat lama, menurut jumhur selain pengikut Imam Malik, maka tidak sah
wakaf dibatasi dengan waktu, karena wakaf itu melepaskan harta berdasarkan
bertakarrub kepada Allah sehingga tidak boleh dibatasi dengan waktu.
)K�]�M!��� :��9 ):!"Q� _�@���$%�� (� �m'�� (�1 �=�v)� r�� ���4�e� �!���)� 4�i C�x� (� �?K�]�M)� �/�AH�; �/Q� _�" �Vv���; a �; �G�� C�x� (� ���%��8.H��D� 4�i <�A)��%y� z��< (� 8.@����� L��@�� �o ���4�{ �(��9 ):�����, .p>.
Berlangsung, sebagaimana wakaf harus berlangsung seketika tanpa digantungkan
dengan syarat dan tidak disandarkan pada waktu, karena akad wakaf adalah
mendorong pemindahan kepemilikan pada waktu itu. Maka tidak sah
menggantungkannya berdasarkan syarat seperti jual beli dan hibbah. Hal ini
menurut pendapat jumhur selain pengikut Imam Malik.119
D. Pengelolaan Wakaf Masjid
Dalam pengelolaan harta wakaf masjid, pihak yang paling berperan
berhasil tidaknya dalam pemanfaatan harta wakaf adalah Nadzir wakaf, yaitu
seseorang atau kelompok orang dan badan hukum yang diserahi tugas oleh wakif
(orang yang mewakafkan harta) untuk mengelola wakaf. Walaupun dalam kitab-
kitab fiqh, ulama tidak mencantumkan Nadzir wakaf sebagai salah satu rukun
wakaf, karena wakaf merupakan ibadah tabarru’ (pemberian yang bersifat
sunnah.120
Sebagaimana hadist yang disampaikan Imam Damiri:
119 Wahbah Zuhaili, Op.Cit., hal. 7656, 7658. 120 Rachmadi Usman, Op.Cit., hal. 134.
J�.%�� �GU' ):����# ):v|��� �}1�� � ]�$�� �GU' ):����# �? �@�9 -� .Y��� �}1. Artinya: Ketika Allah mencintai seorang hamba, maka Allah menjadikannya sebagai pembangun atau pendiri masjid dan ketika Allah membenci hambanya maka Allah menjadikannya sebagai pembangun atau pendiri tempat pemandian.121
Kandungan hadist tersebut adalah bahwa pengurus atau pengelola
sarana-sarana yang dimiliki masjid benar-benar pemberian langsung dari Allah.
Allah memilih orang-orang yang mempunyai kejujuran dan penguasaan dalam
mengelola benda-benda masjid dengan pemilihan Allah sendiri.
Namun demikian, setelah memperhatikan tujuan wakaf yang ingin
melestarikan manfaat dari hasil tanah wakaf, maka keberadaan Nadzir sangat
dibutuhkan. bahkan menempati pada peran sentral. Sebab di pundak Nadzir
tanggungjawab dan kewajiban memelihara, menjaga dan mengembangkan wakaf
serta menyalurkan hasil atau manfaat dari wakaf kepada sasaran wakaf.
Keterangan ini sudah tergambar dalam beberapa kitab diantaranya adalah:
�4�@��%��� m��.M�� 4�].e�� )4�% ):� �~�4i �/� ):H�� ]�$D� (� ~��)4|D� )4�%�� (���� ���c���>�%� ):��4�T�� aO��@)� 8����@)%�� baO��@)%� C�x� _)��# ��� _o���� �~�4i �/��� :c���>�%� ):�4�>�� .
Buah pohan yang tumbuh di pemakaman umum itu boleh diambil dan
menggunakannya untuk kemaslahatan pemakaman itu lebih utama. Adapun buah
yang ditanam untuk kepentingan masjid itu milik masjid dengan catatan
penanamannya untuk masjid, sehingga penggunaannya juga kembali pada
kemaslahatan masjid. Kalau buah pohon yang ditanam hanya untuk dimakan atau
tidak diketahui statusnya maka itu boleh diambil.122
121
Sayyid ‘Abdurrahman bin Muhammad bin Husein bin ‘Umar, Op.Cit., hal. 173. 122
Syaikh Zainuddin bin ‘Abdul ‘Aziz al-Malibari, Op.Cit., hal. 90.
Terlalu banyak contoh pengelolaan harta wakaf yang dikelola oleh
Nadzir yang sebenarnya tidak mempunyai kemampuan memadai, sehingga harta
wakaf tidak berfungsi secara maksimal, bahkan tidak memberi manfaat sama
sekali kepada sasaran wakaf. Untuk itulah profesionalisme Nadzir menjadi ukuran
yang paling penting dalam pengelolaan wakaf jenis apapun termasuk wakaf
masjid.123
Sebagaimana penjelasan tentang profesionalisme Nadzir:
�*��{ (��� ����� )L�#�4); ):� 8;<��9 �m"�o ):,r� �&��; ��� �?���4�6 �? ]�$�� �4.%�9 �A�. Apabila wakif berwakaf sesuatu untuk membangun masjid yang rusak dan wakif
tidak mewakafkan alat-alat sekaligus untuk membangun masjid, maka statusnya
sebagai benda pinjaman yang sewaktu-waktu dapat dikembalikan lagi.124
Maksud ungkapan ‘Imarah adalah pengurus atau Nadzir masjid, dengan
kata lain orang yang dipercaya wakif untuk merawat benda wakaf harus betul-
betul orang yang profesional dalam membangun dan mengembangkan benda-
benda wakaf termasuk sawah.
Senada dengan pendapat diatas adalah:
�� � � ��� :���� � � )&'��A�� ���k.4�{ )���� � � :,�<��%9�� hK���], �/��)��� =�A'�AD� 8�+" ./�.%� ):!"Q� &'�A�� C� ):k�4�{ �L�@!,� �:��+" (� :k�4�{ )I��@q"� �Y�#�� &'�A�� _�@�� (� . ��!+x� ./Q� �<����� 8!�|o :����M�� ��� =�A'�AD� 8!�i � %� � H�%); �G� �/��
�9 [�+"��� !r� ) H%�;�� &'�A�� _�T� �(��9:,�<��)4 � � [�+"�� �/�H� :�!�i � � :��. Sesungguhnya biaya perawatan wakaf dan pengembangannya tergantung pada
syarat wakif, boleh diambil dari harta wakif atau dari harta wakaf, karena apa
yang disyaratkan wakif itu menentukan jalan dalam perawatan dan pengembangan
123 Loc.Cit., hal. 41. 124 Sayyid Bakry bin Sayyid Muhammad Syatha ad-Dimyati al-Misyri, Loc.Cit., hal. 160.
wakaf. Kalau semuanya tidak mampu maka diambilkan dari hasil maukuf atau
manfaatnya, seperti hasil persawahan. Karena kelangsungan pengembangan
wakaf tidak berjalan kecuali dengan hasil wakaf, maka biaya wakaf adalah wajib
demi pengembangannya.125 Kualifikasi profesionalisme Nadzir secara umum dipersyaratkan
menurut pandangan fiqh sebagai berikut: beragama Islam, mukallaf (memiliki
kecakapan dalam melakukan perbuatan hukum), baligh, aqil, memiliki
kemampuan dalam mengelola wakaf dan memiliki sifat amanah, jujur dan adil.
Persyaratan minimal seseorang atau lembaga Nadzir dalam pandangan
fiqh dari pengelolaan wakaf masjid bisa dijabarkan sebagai berikut:
1. Syarat Moral
a. Paham tentang hukum wakaf dan Zis, baik dalam tujuan syari’ah
maupun perundang-undangan Negara RI.
b. Jujur, amanah, adil dan ihsan, sehingga dapat dipercaya dalam proses
pengelolaan dan penggunaan kepada sasaran wakaf.
c. Punya kecerdasan baik emosional maupun spritual.
2. Syarat Manajemen
a. Mempunyai kapasitas dan kapabalitas yang baik dalam kepemimpinan
wakaf masjid.
b. Mempunyai visi dan misi dalam pengelolaan tanah wakaf masjid.
c. Mempunyai kecerdasan yang baik secara intelektual sosial dan
pemberdayaan.
125 Wahbah Zuhaili, Op.Cit., hal. 7671.
d. Profesional dalam bidang pengelolaan dan penggunaan harta wakaf
masjid.126
Selanjutnya Wahbah Zuhaili memberikan tiga syarat pada Nadzir adalah
‘adil secara dhahir, mampu mengelola hasil wakaf dan Islam.127
Adapun harta benda wakaf masjid adalah:
1) Sarana dan kegiatan ibadah
2) Sarana dan kegiatan pendidikan serta kesehatan
3) Bantuan kepada fakir miskin, anak terlantar, yatim piatu serta
kemaslahatan ummat.128
Sebagaimana praktek pengelolaan sawah yang berada di pedesaan,
sawah wakaf masjid juga dikelola sebagaimana praktek pengelolaan di
pedesaan ditanami menurut musim dan cuaca daerah tersebut, dengan
pengelolaan yang profesional. Hal ini dapat dibuktikan dengan hasil
yang melimpah serta memuaskan.
Artinya pengelolaan wakaf sawah Masjid tidak berhenti hanya pada
hasil berupa padi dan sejenisnya, melainkan dari hasil penjualan padi
tersebut dikembangkan lagi dengan bentuk yang lain.
E. Hak dan Kewajiban Nadzir Wakaf Masjid
Nadzir adalah orang yang menerima harta benda wakaf dari wakif untuk
dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya. Nadzir dalam
126 Ibid., hal. 41. 127
Wahbah Zuhaili, Loc.Cit., hal. 7687. 128 Mohammad Daud Ali dan Habibah Daud, Lembaga-lembaga Islam di Indonesia, (Jakarta: P.T. Raja Grafindo Persada, 1995, hal. 270.
mengelola wakaf tentunya banyak mengeluarkan tenaga dan pikiran demi
pengembangan dan memenuhi target yang diinginkan oleh wakif yang senantiasa
manfaat wakaf tidak hanya terbatas pada kepentingan masjid, melainkan dapat
dirasakan seluruh kalangan masyarakat. Dengan jerih payah Nadzir dalam
mengelola wakaf, maka ia berhak mendapatkan hak-hak dari hasil wakaf sebagai
imbalan dari jerih payah mengelola wakaf. Adapun hak-hak Nadzir dari hasil
wakaf masjid adalah:
1. Nadzir berhak mendapatkan imbalan atau upah 10% dari hasil bersih atas
pengelolaan dan pengembangan wakaf masjid.
2. Nadzir berhak mendapatkan pembinaan dari ahli wakaf masjid agar dalam
mengelola wakaf masjid dapat terlaksana dengan baik.
3. Nadzir berhak mendapatkan imbalan sesuai dengan ukuran tanah wakaf
masjid dalam waktu akad. Sebagaimana hadis Nabi Saw:
�4�@�F� � �<� ����T� ��!P�� ) �� �4�%)9 ./� ��%)��M�9 -� �V �< �4�%)9 ��� �9 �G!����� :���9 -� (!��T [email protected]�� �(,Q�C��� ����� )h)4�Q��$�; :�<��; �Vq")4)�Q, ��%� ):�M� �� �M9 )R+"� WX' ����� �YT� � �4�@�F� � �<� )m�@�T� �Vq"1 -� C�A)�
:�.C�' � :��� [. �>,�� )��<�A);r�� )Y�l�A);���� )I��@);�� ):!"� )4�%)9 ���� �m'. �>�� �����T� �m�$@�� �m�{ �/1 (� �Q�; �/� ������� � �� �(��9 �O��M)# �� &�!v���� _�@.$�� ����� -� _�@�� (��� (���4��� (��� *��4�+�� =��)4���%��� ����M� _o
C.A�%�)� �4�i �G�P);��. Artinya: Diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar r.a. bahwa Umar bin Khathab r.a. memperoleh tanah di Khaibar, lalu ia datang kepada Nabi Saw untuk meminta petunjuk mengenai tanah tersebut. Ia berkata “Wahai Rasulullah Saya memperoleh tanah di Khaibar yang belum pernah saya peroleh harta yang lebih baik bagiku melebihi tanah tersebut, apa perintah Engkau kepadaku mengenainya.? Nabi Saw menjawab, jika mau kamu tahan pokoknya dan kemu sedekahkan hasilnya. Ibnu Umar berkata, “Maka Umar menyedekahkan tanah tersebut, dengan mensyaratkan bahwa tanah itu tidak dijual, tidak dihibahkan dan tidak diwariskan. Ia menyedekahkan
hasilnya kepada fuqara, kerabat riqab, (hamba sahaya orang tertindas), sabilillah, ibnu sabil dan tamu. Tidak berdosa orang yang mengelolanya untuk memakan dari hasil tanah itu secara makruf (wajar) dan memberi makan (kepada orang lain) tanpa menjadikannya sebagai harta hak milik.129
Sebagai pelaksana hukum dan pengelola wakaf dengan tujuan
memaksimalkan hasil wakaf masjid yang tidak mengecewakan pihak wakif, maka
Nadzir mempunyai kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan, yaitu:
1. Mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf masjid sesuai dengan
dengan tujuan, fungsi dan peruntukan wakaf masjid.
2. Mengawasi dan melindungi harta benda wakaf masjid.
3. Melaporkan dan membukukan dari hasil wakaf masjid kepada ta’mir
masjid.
Dengan demikian Nadzir berkewajiban untuk menjaga, mengembangkan
dan melestarikan manfaat dari harta yang diwakafkan bagi orang-orang yang
berhak menerimanya, jelas bahwa fungsi dan tidak berfungsinya suatu wakaf
tergantung dari pada peran Nadzir. Meskipun demikian Nadzir tidak memiliki
kekuasaan mutlak terhadap harta yang diamanatkan kepadanya. Para ulama
sepakat bawa kekuasaan Nadzir wakaf hanya terbatas pada pengelolaan wakaf
untuk dimanfaatkan sesuai dengan tujuan wakaf yang dikehendaki oleh wakif.130
Hal di atas juga disampaikan oleh Wahbah Zuhaili sebagai berikut:
129 H.R. Bukhari, hal. 2532. 130 Depag, Op.Cit., hal. 43.
):� J����� ��;A+!��� � �M9 4��.M�� 8+���� :�<��� h<��]�;1�� :,�<��%9�� &'�A�� w+� � � 8!�|�� _�>�c,�� :�� 8�%�T�F)%���� :9�������� �(��9 \.u|���� C�A)T�� w+��� � �q��c��$D� � ��� �����%�$'�� 4�%��� I�<���� �b�4�#� :��9�� :�s� (� )N�A)����%�� ):!"�
�M, (� )N�����#Q��7�c��$)� *�P�91�� O�u�T1�� b�<��%9 � � :,���# (� :��4�T�� =�A'�AD� 8�% . Nadzir, secara umum mempunyai beberapa kewajiban di antaranya, menjaga,
membangun, menyewakan, menanami, merawat wakaf, menghasilkan keuntungan
baik berupa upah, tumbuh-tumbuhan dan buah-buahan, selanjutnya dibagikan
kepada yang berhak. Menjaga pokok wakaf dan hati-hati menjaga keuntungannya,
karena semuanya merupakan perjanjian wakaf dan diupayakan untuk
mengembangkan maukuf dan menggunakan untuk membangun, memperbaiki dan
memberikan pada yang berhak.131
Dari berbagai kesulitan dan kepayahan Nadzir dalam mengelola wakaf
masjid berupa sawah, untuk memberi motivasi dan agreisifitas Nadzir dalam
perawatan wakaf masjid berupa sawah, maka pihak pengurus masjid memberikan
hak dan bagian tersendiri untuk Nadzir yaitu 10% dari hasil sawah atau hak
Nadzir tersebut tergantung pada kesepakatan yang tertulis dalam penerimaan dan
penyerahan sawah tersebut. Sebagaimana pendapat:
���4!P�� (��A�� Go�x� /}1 �u� b�4�#Q��� :$+�M� 8��A'�A�%�� n�<�� )~�4i 4��.M�� �R�� (�>'� ):��K��� �"��]�� �L�' _��� �/�� )&'��A�� �/}� �/1 �G��" &'�A�� p���>�� (� ����4�>�; 4�#�� ��� :$+�M� ����9<�K);��� �����4|); �/� ��l4���M� &'��A�� Y�)T (�
&'��A�� ��4�eo &'��A�� 8"�<��)%�� b�N4!P)%�� �b�N����� ./� ���# ������ =�4��� )N��4qk� .
Nadzir tidak boleh mengambil untung dari tanaman bumi yang diwakafkan untuk
dirinya tanpa izin dari hakim sebagai penguasa keduanya. Apabila ia melanggar
maka ia boleh dipecat secara cuma-cuma dan wajib menanggung semua
131 Wahbah Zuhaili, Op.Cit., hal. 7688.
keuntungan yang telah dipergunakan dalam perawatan harta wakaf, itu benar.
Apabila wakif telah memberi izin kepada nadzir dalam penyerahan wakif untuk
menggarap dan menanaminya untuk dirinya atau hal itu sesuai dengan adat yang
berlaku maka itu boleh, karena kebiasaan yang berlaku pada wakif seperti syarat
dalam wakif.132
Artinya Nadzir dalam mengelola maukuf berhak mendapatkan imbalan
yang sesuai dengan perjanjian pada waktu penerimaan dan penyerahan maukuf
atau menurut hukum Nadzir berhak mendapatkan 10% dari hasil maukuf.
BAB IV
PENGGUNAAN ASET WAKAF PRODUKTIF UNTUK KEPERLUAN
HIDUP MENURUT TINJAUAN UU NO. 41 TAHUN 2004 DAN FIQ H
SYAFI’IYYAH
132
Sayyid ‘Abdurrahman bin Muhammad bin Husein bin ‘Umar, Op.Cit., hal. 174.
Wakaf adalah salah satu instrumen ekonomi dan keuangan syari’ah yang
dikembangkan untuk kesejahteraan umat. Melalui wakaf, pihak-pihak yang
berhak menerima manfaat wakaf akan dapat memenuhi kebutuhannya. Seiring
dengan perubahan dan perkembangan undang-undang yang mengatur tentang
wakaf, serta untuk meningkatkan atau memaksimalkan fungsi wakaf, pengelolaan
wakaf pun berubah menjadi pengelolaan wakaf yang profesional.
Dengan pengelolaan yang profesional serta perawatan yang maksimal
tanah wakaf dapat menghasilkan keuntungan dan penghasilan yang maksimal
juga, dari hasil wakaf tersebut, semua pihak yang sangat membutuhkan
mempunyai harapan dan angan-angan untuk mendapatkan bagian dari hasil wakaf
tersebut, dengan harapan dan bagian yang merata.
Perataan pembagian wakaf merupakan salah satu fungsi yang harus
dilaksanakan oleh pengurus wakaf, dengan harapan dapat membantu beban dan
tanggungan yang dapat memberatkan hidup mereka, tetapi harapan yang dibangun
sejak lama akhirnya terputus dan menjadi sirna dengan terjadinya fenomena
bahwa banyak di antara sekian hasil wakaf digunakan untuk keperluan hidup dan
kebutuhan sehari-hari. Sebagaimana fenomena yang terjadi di daerah perdesaan di
mana Nadzir memanfaatkan hasil wakaf secara pribadi, tetapi dalam
penggunaannya masih belum jelas bagaimana keadaan dan kondisi ekonomi
pengurus/Nadzir. Sebagaimana keterangan:
):� �4){ �����6Q� !_���$�; �/� 4��.M�� ��A)��� ):!"� )4����; �z��!���.
Menurut pendapat yang jelas, bahwa Nadzir Khas tidak boleh
mengambil hasil wakaf yang telah disyaratkan oleh wakif, yaitu untuk
kepentingan masjid.133
Maka peneliti akan menguraikan dengan jelas tentang kondisi dan
keadaan ekonomi yang melatarbelakangi Nadzir yang berani memanfaatkan hasil
wakaf secara pribadi, sebagai berikut:
A. Profil Nadzir
Profil merupakan suatu gambaran nyata dalam diri seseorang yang perlu
dijelaskan dan diuraikan secara gamblang baik melalui lisan, tulisan atau media-
media yang lain, dengan harapan bisa mendapatkan pengertian dari pihak yang
bersangkutan.
Nadzir dapat berupa perorangan, lembaga atau badan wakaf yang
semuanya berperan untuk mengurusi, mengembangkan dan memfungsikan wakaf
dengan tepat sasaran, tanpa digunakan untuk kepentingan pribadi, kecuali
kebutuhan yang seperlunya dan berstatus dihalalkan.
Nadzir yang mengelola tanah wakaf tidak selalu berstatus kaya, bahkan
Nadzir yang menggarap tanah wakaf di sini adalah berstatus miskin yang sudah
beristri dengan dikaruniai satu anak laki-laki dan belum mempunyai rumah sendiri
yang mana Nadzir bertempat tinggal dengan kedua orang tuanya. Artinya ia tidak
memenuhi kebutuhan sehari-harinya, dengan tidak mempunyai pekerjaan tetap,
133 Sayyid Abdurrahman bin Muhammad, Fatawi Kubra al-Fiqhiyah, Juz 3, (Ttp), hal. 278.
hanya sebagai buruh tetangganya. Dalam pandangannya menggarap tanah wakaf
dapat membantu beban kebutuhannya.
Status kemiskinan Nadzir tidak selalu mengakibatkan penyelewengan
dalam penggunaan hasil wakaf, di samping itu ia adalah paham tentang agama,
bahkan dengan adanya ia merawat tanah wakaf dapat menghasilkan kemanfaatan
yang kembali pada dirinya dan pada pengembangan tanah wakaf tersebut. Karena
di sisi lain tujuan wakaf adalah untuk membantu orang-orang fakir miskin.
Dalam penentuan memilih Nadzir tidak disyaratkan harus kaya dan
miskin atau berpendidikan tinggi, tetapi ia adalah orang yang amanah, jujur dan
mampu mengelola tanah wakaf dengan baik, sehingga Nadzir yang berstatus kaya
boleh menerima upah dari perawatan wakaf, apalagi Nadzir yang miskin boleh
menerima upah. Dengan harapan wakif tentunya harta yang diwakafkan itu
bermanfaat terus menerus, dan dialah yang paling mengetahui orang yang mampu
mengurus dan memelihara harta yang diwakafkan walaupun keadaan Nadzir
miskin.134
1. Nadzir
Nadzir adalah orang yang ditunjuk wakif untuk mengurusi wakaf
yang berupa tanah yang diberikan kepada masjid. Semestinya dari pihak
wakif sudah paham dalam memilih Nadzir wakaf dan dipertimbangkan
dengan matang, bukan hanya itu pasti melalui musyawarah dengan
pengurus masjid dan masyarakat sekitar tentang amanah dan kejujuran
134 Wahbah al-Zuhaili., Op.Cit., hal. 216.
Nadzir tersebut.135 Sehingga wakif berani memberikan amanah berupa
wakaf tanah kepada Nadzir.
Walaupun para mujtahid tidak menjadikan Nadzir sebagai salah
satu rukun wakaf, namun para ulama sepakat bahwa wakif harus menunjuk
Nadzir wakaf (pengawas wakaf) baik Nadzir tersebut wakif sendiri mauquf
alaih atau pihak lain, bahkan ada kemungkinan Nadzirnya terdiri dari dua
pihak yakni wakif dan mauquf alaihnya.136
Dengan modal kepercayaan dari wakif akhirnya ia menerima
menjadi Nadzir. Selain itu sebelum diangkat menjadi Nadzir di mata
masyarakat ia terkenal baik dalam beribadah, berinteraksi dengan
masyarakat sangat baik dan sopan dalam berperilaku sehingga masyarakat
dan pengurus sepakat mempercayakan wakaf tanah kepadanya.
Melihat perilaku dan keterangan masyarakat sekitar beberapa
sumber mengatakan dalam pendidikan agama sudah sangat cukup untuk
menunjang dalam mengurus wakaf tanah masjid selain itu juga
mendapatkan pengarahan dari tokoh dan ta’mir masjid, sehingga Nadzir
paham dan mengerti tentang hukum, kegunaan dan manfaat hasil wakaf
tanah yang sebenarnya. Sebagaimana keterangan:
�A)�. ���� 4������ z���4+.M��o Y�l�D� _�l� � � � ���� )4�i �v�;� )h�4o} ����� ��%� 4��.M�� =34�>, ���A�# � � V'&'��A�� �n�4i V���M);��.
135 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004, pasal 10, ayat (1). 136 Wahbah al-Zuhaili, Loc.Cit., hal. 231.
Pendapat selanjutnya adalah pendapat selain golongan madzhab, seperti
Imam Nafrawi, Amir dan Dasuqi, yaitu Nadzir boleh menggunakan hasil
wakaf yang tidak bertentangan dengan tujuan wakaf.137
Namun dalam segi pendidikan, Nadzir tidak diharuskan
berpendidikan tinggi. Karena pada dasarnya siapapun dapat menjadi Nadzir
asalkan ia berhak melakukan tindakan hukum.138 Akan tetapi karena tugas
Nadzir adalah menyangkut harta benda yang manfaatnya harus
disampaikan kepada pihak yang menerimanya, maka jabatan Nadzir harus
diberikan kepada orang yang mampu menjalankan tugas wakaf.
Walaupun ia sudah cukup dalam ilmu agama, tetapi pendidikan
formalnya layak sebagai penunjang dalam mengurus wakaf tanah serta
hasilnya, dengan tujuan profesional dalam mengurus, mengelola dan
mentasarrupkan hasil wakaf dengan tepat sasaran. Karena dalam kontek
manajemen, Nadzir termasuk sumber daya manusia yang harus berjiwa dan
memiliki ketrampilan wiraswasta.139
2. Kondisi Keluarga dan Ekonomi Nadzir
Kondisi merupakan keadaan luar yang tampak dari diri Nadzir dan
keluarganya yang menentukan apakah keluarga Nadzir hidup bahagia atau
sebaliknya. Selama menempuh hidup baru, yakni berumahtangga dengan
dilandasi pemahaman agama yang kental serta keimanan yang kuat sampai
dikaruniai satu anak, sekilas kondisi keluarga Nadzir tampak hidup rukun
137 Sayyid Alawi al-Maliki al-Hasani, Majmu’ Fatawa wa Rasail, (Ttp), hal. 144. 138 Muhammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1988), hal. 92. 139 Abdul Hamid Mursi, SDM yang Produktif Pendekatan al-Qur’an dan Sains, terj, Moh. Nurhakim, (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), hal. 56.
berdampingan bersama keluarga layaknya masyarakat pada umumnya.
Artinya Nadzir mampu menahkodai keluarganya dengan tenang dan
berwibawa, dengan menyadarkan keluarganya bahwa hidup itu tidak selalu
dalam kondisi bahagia atau sebaliknya.
Dalam menjadi Nadzir tidak harus kaya dan miskin, melainkan
mempunyai sifat adil. Jumhur ulama berpendapat bahwa yang dimaksud
adil adalah mengerjakan apa yang diperintahkan dan menjauhi yang
dilarang syari’at, selanjutnya Nadzir tidak harus laki-laki, karena ‘Umar
berwasiat agar Hafsah menjadi Nadzir dari harta yang diwakafkannya.
Dengan demikian Nadzir dapat menikmati hidup yang sebenarnya yaitu
kondisi nyaman bersama keluarga.140
Ekonomi adalah segala usaha manusia dalam memenuhi
kebutuhannya guna mencapai kemakmuran hidupnya. Menurut pandangan
masyarakat luas bahwa kebahagiaan kehidupan berumahtangga salah
satunya ditentukan oleh ekonomi, dengan penghasilan tinggi Nadzir akan
hidup bahagia dan akan hidup susah dengan penghasilan yang rendah.
Dengan kata lain keluarga Nadzir termasuk dalam kategori fakir miskin
yang berhak menerima zakat. Selain itu pertanian yang hanya musiman,
maka pekerjaan apapun ia lakukan demi mencukupi kebutuhan keluarganya
tanpa menghiraukan ia berstatus Nadzir yang secara sosial lumayan tinggi
wibawanya. Sebagaimana keterangan:
140 Wahbah al-Zuhaili, Op.Cit., hal. 232.
" )LP��M�; �.� �/�AH�; �� �/��� &'�A�� � �� �?N�A)#�A�� ):)9�A" ��� :���9 )=�A'�AD� �/�AH�; �/� �z� 8��# � .�9 �}1 �!�1 ):)9�A hN����� (��9 �&'��� �}1 ��%o )LP��M, �� ��4�6��Gl ���� � � *��4�+�� .G.
Ketika berwakaf mauquf alaih harus ada dan tidak terdiri dari
sesuatu yang hilang wujudnya, kecuali wakif menentukan pihak yang lain,
seperti wakif mewakafkan kepada anak-anaknya kemudian kepada fakir
miskin.141
Walaupun ia berstatus fakir dan miskin tetap berusaha merawat
tanah wakaf yang nantinya juga mendapatkan bagian dari hasil wakaf
tersebut, sehingga dengan bagian dari hasil wakaf tanah dimungkinkan
dapat membantu meringankan beban berat hidup Nadzir yang
berpenghasilan rendah. Kaidah fiqh mengatakan:
?uv� )4so� �/�o ?u��� )4so� �/�o���.
Barang siapa yang banyak usahanya, maka banyak pula
penghasilanya.142 Hal ini menandakan bahwa Nadzir selalu bersungguh-
sungguh dalam merawat, mengelola dan mengembangkan tanah wakaf
tersebut.
B. Hasil Pengelolaan Wakaf Produktif
Bila dipandang dari sudut hukum Islam semata-mata, maka soal wakaf
menjadi begitu sederhana asalkan dilandasi kepercayaan dan dianggap telah
memenuhi ketentuan format dengan pengelolaan yang baik pula. Artinya
kemudahan administratif dengan tidak ada prosedur yang rumit dalam berwakaf,
141 Musthafadib al-Bagha, al-Tadzhib fi Adillat Matan Abi Syuja’, (Surabaya: al-Hidayah, tt), hal. 144. 142 Abdulhamid Hakim, Mabadi’ Awwaliyah, (Jakarta: Sa’adiyah Putra, 1927), hal. 43.
namun demikian di sisi lain kemudahan itu berakibat pada kesulitan pengawasan
dalam pengelolaan hasil wakaf.
Seorang Nadzir bertugas dan bertanggung jawab memelihara harta
wakaf, mengelola, mengawasi, memperbaiki, mengembangkan harta wakaf,
menyalurkan hasil wakaf kepada pihak yang menerimanya dan mempertahankan
harta wakaf dari gugatan orang lain.143
Adapun praktek pengelolaan hasil wakaf masjid tergantung kebijakan
pengurus masjid, dapat juga dibelikan benda-benda yang berhubungan dengan
masjid dan benda-benda lainnya yang dapat dikembangkan yang dikelola kembali
dengan harapan hasil wakaf tanah masjid dapat meningkat sebagaimana yang
harapan wakif. Sebagaimana ungkapan:
Muhammad Ubaid al-Kubaisy mengungkapkan bahwa Nadzir bertugas untuk
mentsharrupkan (membelanjakan) wakaf. Dalam mentasharrupkan harta
wakaf tersebut ada yang sifatnya wajib dan ada yang sifatnya jaiz. Yang
dianggap wajib dikerjakan oleh Nadzir adalah mengembangkan wakaf,
melaksanakan hak-hak wakaf dan menjaganya, menyalurkan keuangan wakaf
dan menyampaikan hak-hak penerima wakaf. Sedangkan yang sifatnya jaiz
dilakukan oleh Nadzir antara lain menyewakan wakaf dengan menanami tanah
tersebut dengan berbagai tanaman, mendirikan bangunan di atas tanah wakaf
untuk disewakan dan merubah peruntukan wakaf jika tidak sesuai lagi dengan
tujuan wakaf.144
143 Mansur Ibnu Yunus al-Bahuti, Kasysyaf al-Qaana’an Matan al-Iqna’ Jil IV, (Beirut: Dar al-Fikr, 1982), hal. 268. 144 Muhammad Ubaid al-Kubaisy, Ahkam al-Wakf fi Syari’ah al-Islamiyah, (Bagdad: Matba’ah al-Irsyad, tt), hal. 187-208.
1. Luas Tanah Wakaf
Hasil wakaf tanah masjid dapat melimpah salah satunya ditunjang
dengan keluasan tanahnya, di samping itu perawatan yang maksimal serta
ketekunan Nadzir dalam mengelola hasil wakaf. Melihat lokasi tanah wakaf
tersebut didaerah yang strategis baik secara pengairan dengan kondisi tanah
yang subur, sehingga dapat dipastikan hasilnya sangat melimpah ruah serta
memuaskan kepada Nadzir dan jajaran pengurus masjid.
Adapun luas tanah sawah wakaf Masjid Baitul Huda Mronjo
adalah 1320 M2 yang memiliki tipe tanah subur dengan ditopang cuaca dan
irigasi yang memadahi serta perawatan yang maksimal, sehingga hasil
panen dari tanah seluas 1320 M2 ditaksir mencapai 7 (tujuh) sampai 8
(delapan) kwintal padi basah.
a. Sejarah
Wakaf yang merupakan ajaran Rasulullah sebagai tabungan
untuk meringankan beban manusia di akhirat nanti, wakaf juga
dipraktekkan oleh para sahabat Nabi sampai pada zaman sekarang,
sebagaimana yang dilakukan oleh Umar bin Khatab.
Melihat bangunan atau tempat-tempat ibadah orang Islam yang
tidak layak, terutama bangunan Masjid Baitul Huda Mronjo, karena di
pedesaan jarang yang membantu pembangunannya dengan langsung
menggunakan uang tunai, maka salah satu solusinya adalah mewakafkan
tanah untuk kepentingan masjid. Dan pada tahun 1995 ada wakif yang
mewakafkan tanahnya yang berupa sawah untuk masjid tersebut nama
wakif adalah Bu. Supirah yang mana sawah itu diserahkan kepada pihak
ta’mir Masjid Baitul Huda.
Kemudian pada tahun 2003 oleh pihak ta’mir diserahkan kepada
Bapak Sabar (Nadzir) yakni orang yang mengelola sawah tersebut.
Karena dengan merawat tanah yang hasilnya dua kali dalam setahun,
maka hasilnya dapat digunakan untuk membenahi tempat-tempat ibadah
dengan tanpa merepotkan orang lain, bahkan dapat membantu mereka
yang derajatnya kurang seimbang dalam ranah sosial. Sebagaimana
pendapat:
Konsep-konsep Islam yang sudah membumi, dalam tempo dua
puluh tahun saja telah mampu memimpin dunia yang gemanya sanggup
membungkam suara penentangnya, karena dengan syari’at Islam mampu
menginjeksi dan mendidik mereka hingga sampai pada derajat
kemuliaan, karena Islam adalah agama mampu mewujudkan keadilan di
muka bumi ini.145
b. Jumlah
Adapun jumlah tanah yang diwakafkan wakif adalah 2 (dua)
petak, yang berlokasi sebelah selatan dari sawah Bapak Supar, utara dari
Bapak Kasdi, timur Bapak Tayyibin dan sebelah barat dari kalen, dengan
bentuk tanah subur dengan didukung pengairan yang memadai.
c. Hasil
145 M. Yusuf Qardlawi, al-Madkhal fi Dirasat al-Syari’ah al-Islamiyah, Terj. Muhammad Zakki dan Yasir Tajid, Membumikan Syari’at Islam. (Surabaya: Dunia Ilmu, 1997), hal. 31.
Dari tanah seluas 1320 M2 ditaksir mencapai 7 (tujuh) sampai 8
(delapan) kwintal padi basah. Hasil tersebut dari bentuk tanaman padi
yang subur, kalau keadaan tanaman padi yang kurang subur biasanya
menghasilkan 4 (empat) sampai 5 (lima) kwintal padi basah.
d. Sistem Penggunaan Hasilnya
Pada waktu itu hasil dari sawah tersebut oleh Nadzir untuk
merawat tanaman berupa padi maupun palawija yang ditanam secara
bergiliran serta untuk kepentingan keluarganya.
Seharusnya langkah awal dalam menangani hasil tersebut, lebih
dulu dibagi dengan pihak pengurus masjid serta dilaporkan berapa
jumlah hasilnya, pengelola mendapatkan 2 (dua) kwintal dari hasil
tersebut, selebihnya diserahkan pada pengurus masjid. Karena pengelola
yang bertanggung jawab dan merawat tanah wakaf sehingga pantas
mendapatkan imbalan dari jerih payahnya, walaupun hanya sebatas
untuk memberi semangat dalam mengelola tanah wakaf.
Penggunaan hasil wakaf biasanya tergantung pada awal wakif
mewakafkan tanahnya, dapat diperuntukkan untuk keperluan masjid,
pondok pesantren dan madrasah. Melihat niat wakif yang mewakafkan
tanahnya yang hasilnya diperuntukkan kepentingan Masjid Baitul Huda
Mronjo, maka semua hasilnya harus diberikan pada Masjid Baitul Huda
Mronjo.
Melihat wakaf ini termasuk wakaf Khairi, yang artinya hasilnya
ditujukan kepada fakir miskin, yatim piatu para ulama, atau kepada
sesuatu bukan manusia seperti masjid, sekolah, panti asuhan dan
sebagainya. Semua wakaf yang demikian adalah semata-mata untuk
mendekatkan diri kepada Allah. Bahkan Imam Syafi’i mengatakan
bahwa wakaf juga sah sekalipun segi pendekatan diri kepada Allah tidak
kelihatan seperti wakaf kepada orang kaya, kaum dzimmi dan orang
fasik.146
2. Sistem Pengelolaan
Sistem adalah cara yang teratur untuk melakukan sesuatu,
sedangkan pengelolaan adalah bentuk praktek dari Nadzir dalam mengelola
dan mengurus wakaf produktif dengan cara yang teratur dan mudah.
Dengan demikian sistem pengelolaan adalah cara yang teratur dalam
mengelola tanah wakaf masjid dengan cara yang mudah dan maksimal.
Salah satunya dengan cara menyewakan, Nadzir boleh
menyewakan dalam jangka waktu satu sampai dua tahun, apabila wakaf itu
berbentuk tanah.147
Sistem pengelolaan tanah wakaf dapat dilihat dari kondisi tanah.
Tanah yang gersang atau tidak subur jelas tidak menguntungkan secara
ekonomi. Walaupun letak tanahnya strategis secara ekonomi, tetapi jika
tidak mempunyai kekuatan ekonomi yang memadai maka tanah tersebut
akan ditinggalkan atau tidak diurusi oleh para Nadzir wakaf. Kondisi tanah
wakaf seperti ini memang dibutuhkan kemampuan para Nadzir untuk
mengelola secara produktif yang tidak selalu berorientasi pada penggarapan
146 Nazaroeddin Rachmat, Harta Wakaf, (Jakarta: Bulan Bintang, 1964), hal. 60. 147 Wahbah al-Zuhaili, Op.Cit., hal. 235.
di bidang agraria. Namun tentu saja hambatan yang umum dialami
perwakafan adalah minimnya kemampuan para Nadzir wakaf untuk
memecahkan persoalan tersebut.
Hambatan yang cukup mencolok untuk mengelola tanah wakaf
secara produktif adalah kemampuan sumber daya manusia penggarap yang
tidak profesional. Kondisi ini banyak dialami oleh para Nadzir wakaf yang
ada di pedesaan hampir di seluruh pelosok nusantara, bahwa kemampuan
penggarap masih sangat minim.
Sebagaimana tanah-tanah yang berlokasi di pedesaan, tanah wakaf
masjid yang berlokasi strategis baik secara irigasi pengairan dengan tanah
yang subur dan perawatan pupuk yang maksimal, secara matematika dapat
menghasilkan panen yang melimpah dengan harapan dapat
mensejahterakan masyarakat banyak.
Melihat tanah wakaf masjid di daerah yang tanahnya sangat subur,
sehingga jenis tanamannya tergantung pada musim yang menjadi kebiasaan
masyarakat setempat. Selain itu yang sangat menunjang keberhasilan tanah
wakaf masjid adalah kematangan kemampuan dan optimisnya Nadzir
dalam mengelola tanah wakaf tersebut.
Pengelolaan selanjutnya adalah dengan cara lain yang lebih banyak
kemaslahatannya dari penyewaan dengan waktu yang lama.148
Selain dukungan internal, Nadzir juga mengikuti pelatihan perawatan tanah
yang diselenggarakan Kelompok Pertanian setempat yang menjadi
148 Ibid., hal. 71.
kemampuan tambahan dalam mengelola dan mengembangkan tanah wakaf
atau disebut dukungan eksternal.
3. Hasil Pengelolaan
Melalui sistem pengelolaan yang baik, tanah wakaf masjid yang
dilaksanakan dengan sunguh-sungguh dan rasa optimis tinggi, maka dari
hasil pengelolaan tersebut menghasilkan 7 (tujuh) sampai 8 (delapan)
kwintal padi basah.
Dari hasil tersebut diserahkan pada ta’mir masjid sesuai
kesepakatan sebelumnya, langkah selanjutnya adalah dimanfaatkan untuk
keperluan masjid dan selebihnya diberikan kepada masyarakat yang berhak
menerima bantuan. Penyaluran tersebut juga melalui musyawarah antar
pengurus masjid dan masyarakat sekitar yang tentunya Nadzir juga
berperan dalam penyaluran tersebut.
C. Penggunaan Hasil Pengelolaan Wakaf Produktif Untuk Keperluan Hidup
Melalui serangkaian dan proses yang memakan waktu yang lama mulai
akad penerimaan dan penyerahan sampai penggarapan tanah wakaf, maka tiba
saatnya adalah memanen hasilnya, selanjutnya disalurkan kepada yang berhak.
Wakaf merupakan ungkapan hamba yang masuk dalam lingkup
pengabdian kepada Allah, wakaf juga salah satu ekspresi rasa cinta dan rasa sosial
tinggi seseorang kepada masyarakat atau lembaga yang membutuhkan.
Melihat biaya kebutuhan masyarakat yang semakin tinggi, baik
menyangkut kebutuhan sehari-hari, pendidikan anak dan kebutuhan sosial, selain
itu keadaan Negeri yang semakin terjepit dalam ekonominya, maka wakaf
merupakan solusi tepat untuk mengurangi tanggungan pemerintah.
Pada saat beban pemerintah dan beban orang-orang yang tidak mampu
juga berkurang dengan adanya ide wakaf yang seharusnya harapan mereka,
akhirnya pupus dengan adanya penggunaan hasil wakaf oleh Nadzir yang
kebetulan keadaan ekonomi Nadzir adalah miskin. Selanjutnya peneliti akan
mengungkap kasus penggunaan hasil wakaf untuk keperluan hidup, kemudian
peneliti padukan dengan konsep wakaf menurut Syafi’iyah.
1. Kasus Penggunaan
Kasus adalah masalah yang bicarakan melalui meja hijau dan
diskusi antar seseorang. Penggunaan hasil wakaf yang seharusnya
difungsikan untuk kepentingan masjid dan kesejahteraan masyarakat, tetapi
digunakan untuk keperluan hidup pribadi Nadzir. Maka penggunaan yang
dilakukan Nadzir ini disebut kasus. Adapun yang menjadi fokus peneliti
dalam mengungkap penyalahgunaan hasil wakaf untuk keperluan hidup
adalah:
a. Cara Penggunaan
Merujuk pada penyerahan dan penerimaan tanah wakaf, bahwa
akadnya termasuk kategori akad Mukhabarah dan Muzara’ah, dalam
akad tanah wakaf pihak Nadzir mendapatkan 10% dari hasil tanah
wakaf, selain biaya perawatan tanaman tersebut.
Melihat keadaan Nadzir yang miskin dengan ekonomi yang rendah
ditambah dengan biaya perawatan wakaf tanah, sehingga untuk biaya
perawatan tanah wakaf ia harus berusaha keras untuk memaksimalkan
hasilnya.
Selain itu Nazdir tidak memiliki pekerjaan tetap, sehingga
kebutuhan sehari-harinya dapat mengambil dari hasil wakaf tanah
tersebut, selebihnya diserahkan pada masjid. Nadzir berani seperti itu,
karena ia juga termasuk orang yang berhak mendapatkan santunan dari
tanah wakaf, walaupun ia sudah mendapatkan 10% dari hasil tanah
wakaf tersebut.
Keadaan Nadzir yang miskin memaksakan hasil wakaf digunakan
untuk keperluan hidup dengan sewajarnya. Sebagaimana ungkapan
bahwa:
Nadzir mempunyai kewajiban yang cukup berat
tanggungjawabnya, juga mempunyai hak untuk mendapatkan
upah/imbalan dari jerih payahnya asal sewajarnya dan tidak bermaksud
untuk memperkaya diri.149
Adapun cara penggunaannya adalah dengan menjual panen
tersebut baik masih basah, kering bahkan dijual berupa beras,
selanjutnya disesuaikan dengan kebutuhan Nadzir sendiri, selama tidak
untuk memperkaya diri.
b. Jumlah Penggunaan
149 Ibid., hal. 347.
Adapun jumlah penggunaan hasil wakaf produktif untuk masjid
biasanya disesuaikan dengan kebutuhan Nadzir sendiri. Artinya Nadzir
dalam menggunakan hasil dari tanah wakaf hanya sewajarnya bukan
untuk memperkaya diri.
2. Pandangan Fiqh Syafi’iyyah
a. Tentang Cara Penggunaan
Menurut fiqh Syafi’iyyah bahwa cara penggunaan hasil wakaf itu
dikembalikan pada pihak wakif, baik untuk masjid, pondok dan fakir
miskin. Sebelum hasil wakaf dimanfaatkan semestinya dari pihak yang
bersangkutan mengadakan musyawarah. Adapun penggunaan hasil
wakaf adalah untuk kepentingan kebaikan sebagai bentuk pendekatan
kepada Allah. Sebagaimana pendapat:
....� 8��# �(��9 :��;< =�4�>� ���(����, -� (�1 �?�34�, 4��6�� 74. Atau hasil wakaf dimanfaatkan kepada kepentingan kebaikan sebagai
bentuk pendekatan kepada Allah.150
Karena harta yang telah diwakafkan statusnya sudah menjadi milik
Allah, sehingga siapapapun tidak boleh mengambilnya sekalipun dari
pihak wakif. Sebagaimana ungkapan:
�>, &'��A�� (��9 )LM��%�;�� (����, -� ��� GH)� �(��9 �?$�@�� )4�>�;�� 8��# �(��9 :��;4� )I34�@!��� )J�K��;�� :�� ):�34&'�A��.
150 Ibid., hal. 7601.
Harta yang telah diwakafkan statusnya tertahan serta menjadi hak dan
hukumnya milik Allah, pihak wakif tidak boleh menggunakannya dan
hasil wakaf dimanfaatkan untuk tujuan wakaf itu sendiri.151
Melihat tugas Nadzir yang sangat berat, maka Nadzir yang
statusnya kaya terutama fakir miskin, berhak menerima gaji baik dari
wakif, hakim atau dari hasil wakaf itu sendiri. Sebagaimana pernyataan:
Adapun golongan Syafi’iyyah berpendapat bahwa yang menetapkan gaji
Nadzir itu wakif, mengenai jumlahnya sesuai dengan ketentuan yang
telah ditetapkan wakif. Jika wakif tidak menetapkan upah bagi Nadzir
menurut madzhab Syafi’I Nadzir tidak berhak mendapatkan gaji. Jika
mengharapkan gaji Nadzir harus mengajukan permohonan kepada
hakim. Selama tidak mengajukan permohonan Nadzir tidak berhak
mendapatkan gaji tersebut. Jika ia memohon gaji kepada hakim,
sebagian Syafi’iyyah Nadzir berhak mendapatkan gaji yang seimbang,
sebagian yang lain menyatakan bahwa ia sebenarnya tidak berhak
menerima gaji kecuali keadaannya sangat membutuhkan. Dalam hal ini
mereka mengkiaskan tanggung jawab Nadzir terhadap anak kecil, ia
tidak berhak mengambil hartanya melainkan hanya secukupnya dengan
ma’ruf ketika ia memerlukannya.152 Pendapat sebagian golongan
Syafi’iyyah berdasarkan firman Allah mengenai masalah perwalian yang
terdapat dalam surat al-Nisa’ ayat 6.
151 Ibid., hal. 7601. 152 Ibid., hal. 348-349.
(#θè= tG ö/$# uρ 4’ yϑ≈ tG uŠ ø9 $# # ¨Lym #sŒ Î) (#θäón= t/ yy% s3ÏiΖ9 $# ÷βÎ* sù Λäó¡nΣ# u öΝåκ ÷] ÏiΒ # Y‰ô© â‘ (#þθãèsù÷Š $$sù öΝ Íκ ö� s9Î) öΝçλm;≡uθøΒ r& (
Ÿωuρ !$yδθè= ä. ù' s? $]ù# u� ó�Î) # �‘#y‰ Î/uρ βr& (#ρç� y9 õ3tƒ 4 tΒ uρ tβ% x. $|‹ ÏΨ xî ô# Ï�÷ètG ó¡uŠ ù= sù ( tΒ uρ tβ% x. # Z��É) sù
ö≅ ä.ù' uŠ ù= sù Å∃ρá� ÷èyϑ ø9 $$Î/ 4 #sŒ Î* sù öΝ çF÷èsùyŠ öΝÍκ ö� s9Î) öΝçλm;≡uθøΒ r& (#ρ߉ Íκô− r' sù öΝÍκ ö� n= tæ 4 4‘x� x. uρ «!$$Î/ $Y7Š Å¡ym .
Artinya: Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), Maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. dan janganlah kamu Makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, Maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan Barangsiapa yang miskin, Maka bolehlah ia Makan harta itu menurut yang patut. kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, Maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu). Yakni: Mengadakan penyelidikan terhadap mereka tentang keagamaan, usaha-usaha mereka, kelakuan dan lain-lain sampai diketahui bahwa anak itu dapat dipercayai.
Walaupun tujuan dan penggunaan wakaf yang seharusnya
dimanfaatkan sebagaimana kehendak wakif dan siapapun tidak boleh
memanfaatkannya. Selanjutnya berdasarkan data-data yang kami
dapatkan, maka Nadzir yang mempunyai tanggung jawab besar dalam
mengelola harta wakaf, maka ia pantas dan berhak mendapatkan upah
dari hasil wakaf itu sendiri sebagai imbalan dalam merawat wakaf.
b. Tentang Jumlah Penggunaan
Dalam madzhab Syafi’iyyah jumlah penggunaan atau
memanfaatkan dari hasil wakaf untuk keperluan hidup atau keperluan
lainya tidak ditentukan jumlah dan ukurannya. Sebagaimana hadist Nabi
Saw:
�<� ����T� ��!P�� ) �� �4�%)9 ./� ��%)��M�9 -� �V �< �4�%)9 ��� �9�4�@�F� � :���9 -� (!��T [email protected]�� �(,Q�C��� ����� )h)4�Q��$�; �G!����� : ):�M� �� �M9 )R+"� WX' ����� �YT� � �4�@�F� � �<� )m�@�T� �Vq"1 -� C�A)��<��;
:� �Vq")4)�Q, ��%�.C�' � :�m�$@�� �m�{ �/1 )��<�A);r�� )Y�l�A);���� )I��@);�� ):!"� )4�%)9 ���� �m'. �>�� �����T��� �(��9 �O��M)# �� &�!v���� _�@.$�� ����� -� _�@�� (��� (���4��� (��� *��4�+�� (� ���� [. �>,�� �/� ������� �
)4���%��� ����M� _oQ�; C.A�%�)� �4�i �G�P);�� =��. Artinya: Diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar r.a. bahwa Umar bin Khathab r.a. memperoleh tanah di Khaibar, lalu ia datang kepada Nabi Saw untuk meminta petunjuk mengenai tanah tersebut. Ia berkata “Wahai Rasulullah Saya memperoleh tanah di Khaibar yang belum pernah saya peroleh harta yang lebih baik bagiku melebihi tanah tersebut, apa perintah Engkau kepadaku mengenainya.? Nabi Saw menjawab, jika mau kamu tahan pokoknya dan kemu sedekahkan hasilnya. Ibnu Umar berkata, “Maka Umar menyedekahkan tanah tersebut, dengan mensyaratkan bahwa tanah itu tidak dijual, tidak dihibahkan dan tidak diwariskan. Ia menyedekahkan hasilnya kepada fuqara, kerabat riqab, (hamba sahaya orang tertindas), sabilillah, ibnu sabil dan tamu. Tidak berdosa orang yang mengelolanya untuk memakan dari hasil tanah itu secara makruf (wajar) dan boleh mengambilnya dengan tidak menjadikannya sebagai kebutuhan pokok.153
Menurut Imam Ahmad Nadzir berhak mendapatkan upah yang
telah ditentukan oleh wakif. Jika wakif tidak menentukan upah Nadzir, di
kalangan Hanabilah terdapat dua pendapat. Pendapat pertama menyatakan
bahwa Nadzir tidak halal mendapatkan upah kecuali hanya untuk makan
seperlunya. Pendapat kedua menyatakan bahwa Nadzir wajib mendapatkan
upah sesuai dengan pekerjaannya.154
3. Pandangan UU No. 41 Tahun 2004
153 H.R. Bukhari, hal. 2532. 154 Muhammad Ubaid Abdullah al-Kubaisyi, Loc.Cit., hal. 219.
Wakaf adalah perbuatan hukm wakif untuk memisahkan dan/atau
menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan
selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya
guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syari’ah.155
a. Unsur Wakaf
Wakaf dapat dilaksanakan dengan memenuhi unsure wakaf sebagai
berikut:
1) Wakif adalah pihak yang mewakafkan harta benda miliknya.
2) Ikrar wakaf adalah peryataan kehendak wakif yang diucapkan secara
lisan dan/atau tulisan kepada Nadzir untuk mewakafkan harta benda
miliknya.
3) Nadzir adalah pihak yang menerima harta benda wakaf dari wakif
untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya.
4) Harta benda wakaf adalah harta benda yang memiliki daya tahan
lama dan/atau manfaat jangka panjang serta mempunyai nilai
ekonomi menurut syari’ah yang diwakafkan oleh wakif.
5) Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf, selanjutnya disingkat PPAIW,
adalah pejabat berwenang yang ditetapkan oleh Menteri untuk
membuat akta ikrar wakaf.
6) Badan Wakaf Indonesia adalah lembaga independen untuk
mengembangkan perwakafan di Indonesia.
155 Tim Redaksi Fokusmedia, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Tentang Kompilasi Hukum Islam, Cet. I, (Bandung: Fokusmedia, 2005), hal. 94.
7) Pemerintah adalah perangkat Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang terdiri atas Presiden beserta para menteri.
8) Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab di bidang agama.
b. Peruntukan Harta Benda Wakaf
Dalam rangka mencapai tujuan dan fungsi wakaf, harta benda wakaf
hanya hanya diperuntukkan bagi:
1) Sarana dan kegiatan ibadah
2) Sarana dan kegiatan pendidikan serta kesehatan
3) Bantuan kepada fakir miskin, anak terlantar, yatim piatu dan bea
siswa
4) Kemajuan dan peningkatan ekonomi umat dan/atau
5) Kemajuan kesejahteraan umum lainnya yang tidak bertentangan
dengan syari’ah dan peraturan perundang-undangan.
6) Dengan demikian, menurut UU No. 41 Tahun 2004 dan Fiqh
Syafi’iyyah bahwa keduanya membolehkan penggunaan hasil aset
wakaf untuk keperluan hidup pengelola dengan tidak berlebihan dan
tidak menjadikannya sebagai pokok penghasilan biaya hidup
pengelola serta tidak bertentangan dengan syari’ah dan peraturan
perundang-undangan.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah meneliti data-data valid dari berbagai kitab madzhab
Syafi’iyyah, maka dari pembahasan di atas jelas bahwa UU No. 41 Tahun
2004 dan sebagian besar ulama terutama madzhab Syafi’iyyah:
1. Pengelola memanfaatkan dan menggunakan hasil wakaf produktif masjid
Mronjo untuk kepentingan dan kebutuhan sehari-hari keluarga pengelola.
2. Membolehkan pengelola wakaf mengambil bagian dari hasil wakaf itu
sendiri maupun dari sumber lain dengan tanpa berlebihan. Artinya
Pengelola dapat menerima gaji dan upah 10% (sepuluh persen) dari wakif
atau hakim daerahnya, serta tidak bertentangan dengan syari’ah dan
peraturan perundang-undangan.
B. Rekomendasi
1. Akademis
Diharapkan peneliti selanjutnya dapat memertajam masalah-
masalah wakaf terutama dalam mengembangkan dan mengelola harta
wakaf produktif.
2. Nadzir
Diharapkan berhati-hati dalam mengelola wakaf dan mampu
mengembangkan aset hasilnya sesuai tujuan dan fungsi wakaf, yaitu demi
kepentingan/kemaslatan ummat.
3. Masyarakat
Melihat wakaf merupakan sumber yang berpotensi dalam
mewujudkan cita-cita pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan serta
membangun ekonomi masyarakat yang pada umumnya bermodal pas-
pasan. Dengan adanya wakaf diharapkan masyarakat ikut membantu dan
mendukung pengembangan wakaf.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an Digital. Q.S. al-Hajj, Juz 22 ayat 77.
Abi Bakr Ibnu Muhammad, Taqy al-Din al-Husaini al-Dimasqi. Kifayat al-Akhyar
fi Hall Gayat al-Ikhtishar, Juz I, Semarang: Toha Putra, Tth.
Al-Qur’an Digital.Q.S. al-Baqarah, Juz 2, ayat. 180.
al-Alabij, Adijani. Perwakafan Tanah di Indonesia Dalam Teori dan Praktek,
Jakarta: CV. Rajawali, 1989.
Al-Qur’an Digital.Q.S. at-Taghaabun, Juz 15 ayat 65.
Al-Qur’an Digital.Q.S. at-Taghaabun, Juz 14 ayat 64.
Al-Qur’an Digital.Q.S. Ali Imran, Juz 3 ayat 14.
al-Alabij, Adijani. Perwakafan Tanah di Indonesia dalam Teori dan Praktek.
Jakarta: Rajawali Pers. 1989.
Alie, Umransyah, Diktat Tentang Hibah, Wasiat dan Wakaf. Banjarmasin:
STIHSA. 1987.
al-Ramli, Nihayah al-Muhtaj ila Syarh al-Minhaj, Juz V, Dar al-Fikr, 1984.
Abi Bakar bin Muhammad, Imam Taqayyudin al-Huseni. Kifayat al-Akhyar fi
Hilli Ghayat al-Ikhtisar, Juz I, Surabaya: Dar al-‘Ilmi, Tt.
an-Nasa’i Dalam Kitab al-Ihbas Bab Habs al-Masya’.
al-Zuhaili, Wahbah. al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Juz X, Beirut: Dar al-Fikr al-
Mu’ashir, 1997.
Alawi, Sayyid al-Maliki al-Hasani. Majmu’ Fatawa wa Rasail, Ttp.
al-Bagha, Musthafadib. al-Tadzhib fi Adillat Matan Abi Syuja’, Surabaya: al-
Hidayah, tt.
Bukhari, Imam dan Shahih al-Bukhari, Juz III, Semarang: Thaha Putra, 1981.
Bukhari, Shahih al-Bukhari, hal. 185-199.
Basyir, Ahmad Azhar. Hukum Islam Tentang Wakaf, Ijarah, Syirkah. Bandung:
al-Ma’arif. 1977.
Bin Muhammad, Sayyid ‘Abdurrahman bin Husein bin ‘Umar. Bughyat al-
Mustarsyidin, al-Haramain: Jiddah Indonesia, Tt.
Bin Sayyid Muhammad Syatha, Sayyid Bakry ad-Dimyati al-Misyri. Hasyiat
I’anat al-Thalibin, Juz III, al-Haramain: Jiddah, Tt.
Bin Muhammad, Sayyid Abdurrahman. Fatawi Kubra al-Fiqhiyah, Juz III, Ttp.
Bukhari Muslim, hal. 2532.
Djatniko, Rachmat. Tanah Wakaf. Surabaya: al-Ikhlas. 1983.
Djunaidi, Ahmad Thobib Al-Asyhar. Menuju Era Wakaf Produktif, Jakarta: P.T.
Mumtas, 2007.
Depag R.I. Panduan Pemberdayaan Tanah Wakaf Produktif Strategis di
Indonesia, Jakarta: Direktur Pemberdayaan Wakaf, 2007.
Daud, Muhammad Ali. Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf, Jakarta:
Universitas Indonesia Press, 1988.
Daud Ali, Mohammad dan Habibah Daud. Lembaga-lembaga Islam di Indonesia,
Jakarta: P.T. Raja Grafindo Persada, 1995.
Furqon, Arif. Pengantar Metode Penelitian Kualitatif, Surabaya: Usaha Nasional,
1992.
Fikri, Ali. al-Muamalat al-Madiyah wa al-Adabiyah, Juz II, Mesir: Musthafa al-
Babi al-Halabi wa Awladuh, 1938.
Ghofur, Abdul Anshori. Hukum dan Praktik Perwakafan di Indonesia,
Yogyakarta: P.T. Pilar Media, 2006.
Harahap, Sumuran. Panduan Pemberdayaan Wakaf Produktif Strategis Di
Indonesia, Jakarta: Direktorat pemberdaya Wakaf, 2007.
Hakim, Abdulhamid. Mabadi’ Awwaliyah, Jakarta: Sa’adiyah Putra, 1927.
Haq, Faisal. Hukum Wakaf dan Perwakafan di Indonesia, Pasuruan: Garoeda
Buana Indah, 1993.
Hartono,Sunaryati. Penelitian Hukum Di Indinesia Pada Akhir Abad Ke-20,
Bandung: P.T. Alumni, 1994.
Redaksi,Tim. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2003.
Rachmat, Nazaroeddin. Harta Wakaf, Jakarta: Bulan Bintang, 1964.
Partanto, Pius A. dan M. Dahlan al-Bary, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: P.T.
Arkola, 2003.
Nazir, Moh. Metode Penelitian, Jakarta: P.T. Ghalia Indonesia, 1988.
Ibnu Yunus, Mansur al-Bahuti. Kasysyaf al-Qaana’an Matan al-Iqna’ Jil IV,
Beirut: Dar al-Fikr, 1982.
Ibnu Idris, Muhammad al-Syafi’i. al-Umm, Juz III, Mesir: Maktabah Kuliyah al-
Azhariyah, Tth.
Ibnu Taimiah, Ahmad Ibnu Abd al-Halim. al-Hisbah fi al-Islam, (Beirut: Dar al-
Kutub al-‘Ilmiah, Tth.
Ibnu Qasim, Muhammad al-Ghazi. Fath al-Qarib al-Mujib, Surabaya: al-Hidayah,
Tth.
J. Myeon Jacobstein and Roy. M. Mersky. Pollach’s Fundamentals Of Legal
Research, Ttp.
Jalaluddin, Imam ‘Abdurrahman bin Abi Bakar al-Suyuti. al-Asybah wa al-
Nadzair fi al-Furu’ Surabaya: P.T. Irama Minasari, Tt.
Muslim, Imam dan Shahih Muslim, Bandung: Dahlan. Tth.
Muhammad, Abi Bakr Ibn Abi Sahl al-Sarkhasi al-Hanafi. al-Mabsuth, Juz XI,
Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiah, 2001.
Mubarok, Jaih. Wakaf Produktif, Bandung: Refika Offset, 2008.
Mursi, Abdul Hamid. SDM yang Produktif Pendekatan al-Qur’an dan Sains, terj,
Moh. Nurhakim, Jakarta: Gema Insani Press, 1997.
MUI, Himpunan Fatwa Dewan Syari’ah Nasional, Edisi Revisi, Jakarta: DSN-
MUI dan Bank Indonesia, 2006.
Prihatini, Farida dan Wirdyaningsih. Hukum Islam Zakat dan Wakaf, Jakarta: P.T.
FKUI. 2005.
Qardlawi, M. Yusuf . al-Madkhal fi Dirasat al-Syari’ah al-Islamiyah, Terj.
Muhammad Zakki dan Yasir Tajid, Membumikan Syari’at Islam. Surabaya:
Dunia Ilmu, 1997.
Rafiq, Ahmad. Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: P.T. Raja Grafindo Persada,
1997.
Redaksi, Tim. Paradigma Baru Wakaf di Indonesia. Jakarta: Depag. R.I. 2007.
Saroso dan Nico Ngani. Tinjauan Yuridis Tentang Perwakafan Tanah Hak Milik.
Yogyakarta: Liberty. 1984.
Tuhfat Al-Muhtaj dengan syrh minhaj, jilid 6, hlm. 235, dan Hasyiyah Qalyubi
dan Hasyiyah Umairah, jilid 3.
Usman, Rachmadi. Hukum Perwakafan di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
2009.
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004, pasal 10, ayat (1).
Ubaid, Muhammad al-Kubaisy. Ahkam al-Wakf fi Syari’ah al-Islamiyah, Bagdad:
Matba’ah al-Irsyad, tt.
Usman, Suparman. Hukum Perwakafan di Indonesia, Jakarta: Darul Ulum Press,
1997.
Wojowasito dan Poewadarminta. Kamus Inggris-Indonesia, Indonesia-Inggris,
Bandung: Hasta, 1980.
Warson, Ahmad Munawwir. Kamus Arab-Indonesia, Yogyakarta: Pesantren al-
Munawwir, 1984.
Zainuddin, Syaikh bin ‘Abdul ‘Aziz al-Malibari. Fath al-Mu’in bi Syarkh Qurrat
al-‘Ain, Surabaya: Dar al-‘Ilmi, Tt.
Zuhaili, Wahbah. al-Fiqhu al-Islami wa Adillatuhu, Juz X, Dimsyiq: Dar al-Fikr,
2006.