skripsi perilaku ibu dalam pemberian mi instan pada balita …
TRANSCRIPT
i
i
SKRIPSI
PERILAKU IBU DALAM PEMBERIAN MI INSTAN PADA
BALITA DI POSYANDU KELURAHAN TURIKALE
KECAMATAN TURIKALE KABUPATEN MAROS
PROVINSI SULAWESI SELATAN
NURAENI
K111 13 301
Skripsi ini Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk
Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat
DEPARTEMEN PROMOSI KESEHATAN DAN ILMU PERILAKU
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2017
i
ii
ii
iii
iii
iv
iv
RINGKASAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
PROMOSI KESEHATAN DAN ILMU PERILAKU
NURAENI
“PERILAKU IBU DALAM PEMBERIAN MI INSTAN PADA BALITA DI POSYANDU
KELURAHAN TURIKALE KECAMATAN TURIKALE KABUPATEN MAROS
PROVINSI SULAWESI SELATAN TAHUN 2017”
(viii + 87 Halaman + 4 Tabel + 6 Lampiran)
Pemberian mi instan oleh ibu kepada balita yang merupakan golongan paling rawan
kekurangan energi protein memiliki dampak buruk bagi kesehatan balita jika dikonsumsi secara
terus menerus, terlebih jika disajikan tanpa bahan tambahan yang mengandung protein, mineral
ataupun vitamin. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tahap learn (belajar), feel
(merasakan) dan do (melakukan) dalam teori Multipath Adoption yang dialami oleh informan
dalam mengadopsi perilaku ibu dalam memberikan mi instan untuk dikonsumsi oleh balitanya.
Penelitian ini menggunakan metode pendekatan kualitatif dengan rancangan
fenomenologi. Data penelitian dikumpulkan melalui wawancara terhadap 23 informan yang
terdiri dari ibu balita, keluarga balita dan TPG (Tenaga Pelaksana Gizi) Puskesmas Turikale.
Informan dipilih berdasarkan metode purposive sampling. Selain itu, dilakukan observasi untuk
proses keabsahan data. Data yang diperoleh kemudian diolah dengan menggunakan content
analysis dalam bentuk matriks penelitian yang kemudian diinterprestasikan dan disajikan dalam
bentuk narasi.
Peneliti menemukan bahwa para informan memperoleh informasi mengenai pemberian
konsumsi mi instan pada balita dari pengalaman pribadi, teman, iklan di televisi dan internet.
Pada tahap learn diperoleh informasi pemberian konsumsi mi instan pada balita oleh informan
(ibu balita) dikarenakan faktor keinginan balita, pertimbangan rasa dan harga serta pengaruh
dari anggota keluarga, teman dan tetangga. Sedangkan tahap feel menunjukkan bahwa
informan memiliki keyakinan terhadap bahaya mi instan untuk dikonsumsi oleh balita, namun
keyakinannya tidak lebih besar dari pada faktor keinginan anak dan kelebihan dari mi instan.
Hal tersebut yang mendorong informan ke tahap do dengan pola adopsi trial-do yaitu dengan
mencoba beberapa praktik yang diperolehnya pada tahap learn dan feel. Praktik pemberian mi
instan pada balita umumnya dilakukan oleh informan dengan memberikan mi instan yang tidak
berkuah. Beberapa informan lainnya memilih mi yang berkuah dengan praktik pengolahan
membuang air rebusan pertama kemudian diganti dengan air panas baru sebagai kuah dari mi
instan tersebut. Bahan tambahan yang informan berikan adalah telur dan sawi hijau.
Peneliti menyarankan kepada ibu balita untuk tidak menyediakan mi instan. Puskesmas
Turikale juga diharapkan mengadakan penyuluhan mengenai bahaya mi instan agar ibu balita
tidak memberikan mi instan pada balitanya. Disamping itu, program tersebut sebaiknya juga
memuat informasi mengenai pengolahan makanan tambahan yang sehat dan aman bagi balita.
Kata Kunci : Mi instan, ibu balita, teori Multipath Adoption
Daftar Bacaan : 53 (2004-2016)
v
v
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah adalah kata yang pantas namun tidak akan pernah cukup untuk
penulis tasbihkan sebagai ungkapan rasa syukur atas selesainya skripsi ini. Skripsi yang
berjudul “Perilaku Ibu dalam Pemberian Mi Instan pada Balita di Posyandu Kelurahan
Turikale Kecamatan Turikale Kabupaten Maros Provinsi Sulawesi Selatan” tidak lepas
dari keterbatasan. Meski begitu, dukungan dari berbagai pihak telah membuat skripsi ini
dapat terselesaikan dengan baik.
Puji syukur kepada Allah SWT kita panjatkan kepada sang maha di atas segala
maha. Shalawat dan salam teriring untuk Baginda Muhammad SAW, Rasul terakhir,
sang penyempurna. Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada Bapak Sudirman Nasir, S. Ked, MWH, Ph.D selaku pembimbing I, Bapak Dr.
Ridwan M. Thaha, M.Sc selaku pembimbing II, Ibu Ulfah Najamuddinm, S. Si,M.Kes,
Ibu Dr. Healthy Hidayanti, SKM, M.Kes, Ibu Jumriani Ansar, SKM, M.Kes, dan
Ibu Indra Fajarwati Ibnu, SKM, M. Kes selaku penguji.
Tidak lupa pula penulis haturkan rasa terima kasih yang tiada batas kepada kedua
orang tua tercinta, Makmur dan Rahmatia. Juga hal serupa kepada seluruh teman dan
kerabat yang penulis tidak mampu goreskan namanya satu per satu.
Rentetan ucapan terima kasih ini kemudian penulis akhiri dengan ucapan mohon
maaf atas ketidaksempurnaan dari skripsi ini. Kritik dan saran dari pembaca akan
penulis terima dengan senang hati. Wassalam.
Makassar, November 2017
Penulis
vi
vi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................... i
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN .................................................. ii
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................ iii
RINGKASAN .......................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR ............................................................................................ v
DAFTAR ISI ........................................................................................................... vi
DAFTAR TABEL ................................................................................................... viii
DAFTAR GAMBAR .............................................................................................. ix
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................... x
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
A. Latar Belakang .................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah .............................................................................. 6
C. Tujuan Penelitian ............................................................................... 6
D. Manfaat Penelitian ............................................................................ 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ 8
A. Tinjauan Umum tentang Perilaku ...................................................... 8
B. Tinjauan Umum tentang Pola Konsumsi Balita ................................. 23
C. Tinjauan Umum tentang Konsumsi Mi Instan ................................... 27
D. Hasil-Hasil Penelitian terkait Topik Penelitian .................................. 30
E. Kerangka Teori ................................................................................. 39
vii
vii
BAB III KERANGKA KONSEP .......................................................................... 41
A. Dasar Pemikiran Variabel yang Diteliti ............................................ 41
B. Kerangka Variabel yang Diteliti ....................................................... 42
C. Definisi Konseptual .......................................................................... 43
BAB IV METODE PENELITIAN ........................................................................ 45
A. Jenis Penelitian .................................................................................. 45
B. Waktu dan Lokasi Penelitian ............................................................ 45
C. Penentuan Informan Penelitian ......................................................... 46
D. Mekanisme Pengumpulan Data ......................................................... 47
E. Keabsahan Data ................................................................................. 48
F. Instrumen Penelitian .......................................................................... 49
G. Pengolahan dan Analisis Data ........................................................... 50
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN................................................................... 51
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian .................................................. 51
B. Karakteristik Informan ....................................................................... 51
C. Hasil Penelitian .................................................................................. 53
D. Pembahasan ........................................................................................ 67
E. Hambatan Penelitian .......................................................................... 85
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................. 86
A. Kesimpulan ........................................................................................ 86
B. Saran .................................................................................................. 87
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP
viii
viii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1. Syarat Mutu Mi Instan ............................................................................. 28
Tabel 5.1 Karakteristik Informan Penelitian Perilaku Ibu pada Pemberian Mi
Instan pada Balita di Posyandu Kelurahan Turikale ................................................. 52
Tabel 5.2 Karakteristik Balita pada Penelitian Perilaku Ibu pada Pemberian Mi
Instan pada Balita di Posyandu Kelurahan Turikale ................................................. 52
Tabel 5.3 Pangsa Pasar Produk Mie Instan Tahun 2010-2014 .................................. 79
ix
ix
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1Theory of Reasoned Action ..................................................................... 10
Gambar 2.2 Theory of Planned Behavior .................................................................. 11
Gambar 2.3 Kondisi Model Proses Seleksi Adopsi ................................................... 13
Gambar 2.4 Tahapan Response Adopter terhadap Perilaku yang akan Diadopsi ...... 16
Gambar 2.5 Kerangka Teori Multipath Adoption Process ........................................ 40
Gambar 3.1 Kerangka Konsep................................................................................... 42
Gambar 5.1 Kemasan Belakang dari Indomie Rasa Goreng ..................................... 76
Gambar 5.2 Indomie Rasa Goreng ............................................................................ 80
Gambar 5.3 Megah Mie Rasa Kaldu Ayam .............................................................. 81
Gambar 5.4 Migelas .................................................................................................. 82
x
x
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 : Informed Consent
Lampiran 2 : Lembar Observasi
Lampiran 3 : Pedoman Wawancara
Lampiran 4 : Surat Izin Penelitian
Lampiran 5 : Matriks Wawancara
Lampiran 6 : Hasil Observasi
Lampiran 7 : Dokumentasi
Lampiran 8 : Riwayat Hidup Peneliti
xi
xi
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Mi instan terbuat dari tepung terigu dan dilengkapi dengan bumbu
bubuk aneka rasa. Salah satu makanan instan ini mengandung karbohidrat
dalam jumlah besar dan kadar garam yang tinggi, serta miskin kandungan
protein, vitamin dan mineral. Hal ini sesuai dengan penelitian Zailani (2016)
yang menunjukkan adanya peningkatan yang signifikan pada berat organ
ginjal dan hati pada tikus-tikus albino yang menjadi binatang percobaan
pemberian konsumsi mi instan selama 28 hari. Peningkatannya juga diikuti
oleh bilirubin direk, bilirubin total, kolesterol total, triasilgliserol, dan Low
Density Lipoproteins (LDL). Sedangkan kadar albumin, protein total (TP),
High Density Lipoproteins (HDL), hematokrit dan hemaglobin mengalami
penurunan sejalan dengan semakin ditingkatkannya persentase
perbandingan mi instan dengan pelet. Oleh karena itu, dari segi gizi, mi
instan belum dapat dikatakan sebagai makanan penuh karena belum
mencukupi kebutuhan gizi yang seimbang bagi tubuh. Terlebih bagi balita
yang merupakan golongan paling rawan KEP.
Mi instan yang relaif murah dan mudah dijumpai juga memiliki
komposisi bahan tambahan berupa Monosodium Glutamat (MSG) yang jika
dikonsumsi di atas takaran normal dapat menimbulkan hipertensi, asma dan
kelemahan otot (Warta Konsumen, 2001). Tingginya konsumsi MSG juga
merupakan faktor risiko dari dermatitis (Park, 2016). Selain itu penelitian
1
2
Dr. Kuo juga menunjukkan bahwa mi instan tidak hancur dalam proses
pencernaan selama berjam-jam. Hal tersebut juga dapat menghambat
penyerapan nutrisi makanan lainnya. Mi instan juga mengandung bahan-
bahan aditif seperti tertiary-butyl hydroquinone (TBHQ) yang jika
dikonsumsi terlalu sering akan menimbulkan efek mual, mengigau dan
sesak nafas. Seseorang yang mengonsumsi mi instan dua kali seminggu juga
berisiko mengalami gangguan metabolisme seperti obesitas, tekanan darah
tinggi dan kolesterol (KEMENKES RI, 2015).
Bahaya mi instan yang dampaknya telah terbukti nampaknya tidak
berefek pada kondisi permintaan terhadap produk ini dikarenakan alasan
kepraktisan dan rasanya yang dapat memenuhi selera berbagai kelompok
masyarakat berdasarkan tingkat pendapatan, pekerjaan, usia, maupun jenis
kelamin (Arianto, 2013). Pada tahun 2008, konsumsi mi instan masyarakat
Indonesia mencapai 13,7 miliyar bungkus kemudian meningkat menjadi
14,5 miliyar bungkus pada tahun 2010. Tingginya angka konsumsi mi instan
tersebut menempatkan Indonesia di posisi kedua sebagai negara
pengonsumsi mi instan terbesar di dunia setelah Cina (WINA, 2010). Hasil
penelitian Wandasari (2014) juga menemukan sebagian besar keluarga
miskin mengonsumsi mi instan 3x/minggu dengan persentase 40%,
sedangkan keluarga tidak miskin persentasenya sama antara 2x/minggu dan
3x/minggu yaitu 30%.
Di Indonesia, selain digemari orang dewasa, mi instan juga disukai
oleh anak-anak, termasuk balita. Pada penelitian yang dilakukan terhadap
3
anak dengan rentang usia 3-12 tahun menunjukkan adanya 998 anak yang
tersebar di 33 provinsi di Indonesia menjadikan mi instan sebagai menu
sarapannya (Perdana dan Hardiansyah, 2013). Wandasari (2014) juga
mengemukakan pada hasil penelitiannya bahwa anak termasuk anggota
keluarga yang mengonsumsi mi instan dengan persentase pada keluarga
miskin sebesar 32,1% dan pada keluarga tidak miskin 32,6%.
Sesuai dengan tahap perkembangan diusia balita, anak mulai ingin
mandiri dan bertindak sebagai konsumen aktif dalam hal makanan. Hal
tersebut yang membuat asupan makanan balita cenderung kurang karena
balita telah dapat menolak makanan yang tidak disukai dan hanya
mengonsumsi makanan favoritnya (Jafar, 2010). Untuk mengatasi hal
tersebut, para ibu memberikan mi instan sebagai pengganti nasi untuk
konsumsi anak-anaknya dikarenakan rasanya yang disukai oleh anak-anak
tanpa memperhatikan kandungan gizi makanan yang seimbang (Adriani,
dkk, 2011).
Prevalensi gizi kurang pada balita memberikan gambaran yang
fluktuatif dari 18,4% (2007) menurun menjadi 17,9% (2010) kemudian
meningkat lagi menjadi 19,6% pada tahun 2013. Sedangkan prevalensi gizi
buruk naik sebesar 0,3% dari tahun 2007 hingga tahun 2013 (RISKESDAS,
2013). Kajian tentang tumbuh kembang anak membuktikan bahwa bayi di
Indonesia sampai dengan usia 6 bulan mempunyai berat badan sama
baiknya dengan bayi Amerika. Perlambatan pertumbuhan kemudian mulai
terjadi pada periode 6-24 bulan. Penyebabnya tak lain adalah pola makan
4
yang semakin tidak memenuhi syarat gizi dan kesehatan (Khomsan, 2012).
Hal ini sesuai dengan pandangan UNICEF (1998) yang menyatakan bahwa
faktor asupan makanan merupakan salah satu penyebab langsung terjadinya
gizi kurang, sedangkan salah satu faktor tidak langsung adalah pola asuh
keluarga.
Secara umum di Indonesia, ibu adalah tokoh yang berperan penting
pada pengasuhan anak dan penyiapan makanan yang akan dikonsumsi oleh
keluarga. Ibu harus memiliki pengetahuan dan sikap yang tanggap serta
peduli terhadap pertumbuhan dan perkembangan anaknya. Seorang ibu yang
memiliki sikap baik terhadap gizi akan melahirkan perilaku yang baik pula
dalam meningkatkan staus gizi keluarga, namun pada realitasnya sering kali
tidak sejalan dengan tindakan. Hal ini dikarenakan adanya faktor-faktor
eksternal yang menjadi penghambat, seperti faktor ekonomi dan sosial
budaya (Djola, 2012).
Perilaku ibu dalam memberikan mi instan untuk dikonsumsi oleh
balitanya merupakan hasil dari sebuah adopsi perilaku. Adopsi perilaku
dapat dilakukan dengan menerima dan menyikapi berbagai informasi dari
lingkungan sekitarnya yang kemudian menjadi alasan untuk mengadopsi
perilaku tersebut. Hal ini dijelaskan oleh teori adopsi perilaku yang terdiri
dari tahap learn, feel, dan do (Kotler dan Roberto, 1989). Tahap learn akan
menghasilkan sebuah pengetahuan yang akan disikapi pada tahap feel.
Sedangkan tahap doadalah tahap praktik yang terbagi atas dua yaitu trial-do
dan commited-do. Keduanya disebabkan oleh hasil dari kedua tahap
5
sebelumnya. Jika tahap learn menghasilkan keyakinan rendah maka adopter
akan maju ke tahap trial-do. Namun jika tahap learn dan feel menghasilkan
keyakinan tinggi maka pelaku adopsi akan maju ke tahap commited-do.
Informasi mengenai alasan-alasan ibu dalam memberikan mi instan pada
balitanya akan diperoleh pada tahap learn, feel dan trial-do. Sedangkan pola
adopsi perilaku ibu dalam memberikan mi instan untuk dikonsumsi oleh
balitanya akan berdasarkan pada urutan dari ketiga tahap yang ada.
Satu dari sepuluh penduduk Indonesia mengonsumsi mi instan ≥ 1 kali
per hari dengan Provinsi ketiga yang memiliki persentase konsumsi tertinggi
di atas rata-rata nasional adalah Provinsi Sulawsi Selatan dengan persentase
16,9%. Sedangkan prevalensi gizi buruk-kurang anak balita Provinsi ini
sebesar 25,6% (RISKESDAS, 2013). Lebih spesifik, Kabupaten Maros
merupakan Kabupaten kelima dengan status gizi paling tinggi di Sulawesi
Selatan dengan temuan kasus balita gizi buruk sebanyak 29 anak (Dinkes
Kab. Maros, 2013).
Hasil pemantauan yang dilakukan oleh Direktorar Gizi Masyarakat
tahun 2015 juga menemukan prevalensi gizi buruk-kurang pada anak balita
di Provinsi Sulawesi Selatan sebesar 22,1% dan Kabupaten Maros
merupakan kabupaten dengan perseentase gizi buruk-kurang tertinggi di
provinsi ini, yaitu 30,5% (KEMENKES RI, 2015). Hal ini menunjukkan
bahwa masalah gizi buruk-kurang masih menjadi salah satu masalah
kesehatan masyarakat yang harus diperhatikan, khususnya bagi Kabupaten
Maros.
6
Berdasarkan beberapa uraian di atas maka peneliti tertarik untuk
meneliti tentang “Perilaku Ibu dalam Pemberian Mi Instan pada Balita”.
Penelitian ini akan dilakukan di Posyandu Turikale yang termasuk dalam
wilayah kerja Puskesmas Turikale. Pada tahun 2013, wilayah kerja
puskesmas ini adalah wilayah dengan penemuan terbanyak anak balita
berstatus gizi buruk yaitu sebesar 13,7%. Sedangkan Posyandu Turikale
merupakan posyandu dengan persentase penemuan balita yang berstatus
BGM terbanyak di wilayah kerja Puskesmas Turikale yaitu sebesar 25%
(Dinkes Kab. Maros, 2013). Tempat tersebut dianggap peneliti dapat
dijangkau dan bisa mewakili Kabupaten Maros secara keseluruhan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan pada latar belakang,
maka rumusan masalah penelitian ini adalah “bagaimana perilaku ibu dalam
pemberian mi instan pada balita di Posyandu Turikale Kecamatan Turikale
Kabupaten Maros Provinsi Sulawesi Selatan 2017?”
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui pola adopsi perilaku ibu berdasarkan teori Multipath
Adoption dalam pemberian mi instan pada balita di Posyandu Turikale
Kecamatan Turikale Kabupaten Maros Provinsi Sulawesi Selatan 2017.
7
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui tahap learn pada ibu dalam memberikan mi instan
untuk balitanya di Posyandu Turikale Kecamatan Turikale Kabupaten
Maros Provinsi Sulawesi Selatan 2017.
b. Untuk mengetahui tahap feel pada ibu dalam memberikan mi instan
untuk balitanya di Posyandu Turikale Kecamatan Turikale Kabupaten
Maros Provinsi Sulawesi Selatan 2017.
c. Untuk mengetahui tahap do pada ibu dalam memberikan mi instan
untuk balitanya di Posyandu Turikale Kecamatan Turikale Kabupaten
Maros Provinsi Sulawesi Selatan 2017.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Institusi Kesehatan
Sebagai penambahan masukan dan informasi bagi penelitian selanjutnya
yang berkaitan dengan konsumsi mi instan pada balita.
2. Bagi Peneliti
Menambah wawasan dan pengalaman dalam mengaplikasikan
pengetahuan yang telah didapatkan di bangku kuliah.
3. Bagi Universitas
Hasil penelitian ini diharapakan dapat memberikan sumbangan wawasan
dan pengetahuan serta dapat dijadikan sebagai referensi tentang perilaku
ibu dalam pemberian konsumsi mi instan pada balita.
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum tentang Perilaku
1. Pengertian Perilaku
Perilaku manusia pada hakikatnya adalah segala kegiatan atau
aktivitas manusia baik yang dapat diamati langsung maupun yang tidak
dapat diamati oleh pihak luar (Notoadmodjo, 2007). Sedangkan dalam
psikologi, perilaku manusia (human behavior) merupakan reaksi yang
dapat bersifat sederhana maupun kompleks. Salah satu karakteristik reaksi
perilaku manusia yang menarik adalah sifat diferensialnya. Maksudnya,
satu stimulus dapat menimbulkan lebih dari satu respons yang berbeda dan
beberapa stimulus yang berbeda dapat menimbulkan satu respon yang
sama (Azwar, 2011).
Sedangkan Skinner dalam Notoadmodjo (2010), merumuskan
teorinya bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap
stimulus (rangsangan dari luar). Dengan kata lain, perilaku terjadi melalui
proses adanya stimulus terhadap organisme yang kemudian di respon oleh
organisme tersebut. Teori ini disebut teori “S-O-R” atau stimulus-
organisme-response. Skinner membedakan adanya dua respon yaitu
respondent response (reflexive) dan operant response (instrumental
response).
Dalam teori S-O-R, perilaku mansuia dapat dikelompokkan menjadi
dua yakni perilaku tertutup (covert behavior) dan perilaku terbuka (overt
8
9
behavior). Perilaku tertutup terjadi bila respon terhadap stimulus masih
belum dapat diamati oleh orang lain, sedangkan perilaku terbuka terjadi
bila respon terhadap stimulus dapat diamati oleh orang lain dari luar secara
jelas (Notoadmodjo, 2010).
Teori lain dikemukakan oleh Sunardi (2010) bahwa perilaku adalah
aktivitas glandular, maskular, atau elektrikal seseorang. Tindakan-tindakan
sederhana seperti mengedipkan mata, menggerakkan jari tangan, melirik
dan sebagainya juga merupakan bagian dari perilaku manusia. Secara
umum yang termasuk perilaku adalah apa yang dilakukan dan dikatakan
seseorang yang memiliki satu atau lebih dimensi yang dapat diukur.
Terdapat dua kelompok besar perilaku yaitu perilaku yang tampak dan
yang tidak tampak. Perilaku yang tampak adalah perilaku yang dapat
diamati oleh orang lain, sedang perilaku tidak tampak adalah sebaliknya.
Selain dapat diamati, menurut Icek Ajzen dan Martin Fishbein dalam
Azwar (2011) perilaku juga dapat diprediksi dengan menggunakan Teori
Tindakan Beralasan atau Theory of Reasoned Action (TRA). Teori ini
disusun menggunakan asumsi dasar bahwa manusia umumnya melakukan
sesuatu dengan cara-cara yang masuk akal dan mempertimbangkan semua
informasi yang ada maupun implikasi tindakan mereka sendiri. TRA
berasumsi bahwa sikap mempengaruhi perilaku melalui proses
pengambilan keputusan yang teliti dan beralasan serta dampaknya terbatas
hanya pada tiga hal. Pertama perilaku ditentukan oleh sikap yang spesifik
terhadap sesuatu. Kedua, perilaku juga dipengaruhi oleh norma-norma
10
subjektif. Ketiga sikap terhadap suatu perilaku bersama norma-norma
subjektif membentuk suatu niat untuk berperilaku tertentu. Secara
skematik, TRA dapat digambarkan seperti berikut:
Gambar 2.1
Theory of Reasoned Action
Sumber : Fishbein & Ajzen (1975), dalam Azwar (2011)
Pada tahun 1988, Ajzen (dalam Azwar, 2011) kemudian
memodifikasi TRA menjadi Teori Perilaku Terencana (Theory of Planned
Behavior). Teori ini dimaksudkan untuk mengatasi masalah kontrol
volisional yang belum lengkap pada teori TRA. Faktor intention perilaku
tetap menjadi inti teori perilaku ini. Hanya saja, determinan intention tidak
hanya dua aspek (sikap terhadap perilaku yang bersangkutan dan norma-
norma subjektif) melainkan tiga aspek dengan diikutsertakannya aspek
kontrol perilaku yang dihayati (perceived behavioral control). Secara lebih
lengkap Ajzen (1985) menambahkan faktor latar belakang individu ke
dalam perceived behavioral control, sehingga secara skematik perceived
behavioral control dilukiskan sebagaimana pada gambar berikut ini.
Behavioral
Belief
Intention
to Behave Behavior
Attitude
towards
Behavior
Subjective
Norms
Normative
Belief
11
Gambar 2.2
Theory of Planned Behavior
Sumber: Ajzen (2005), dalam Azwar (2011)
2. Bentuk-bentuk perilaku
Menurut Notoadmodjo (2007), dilihat dari bentuk respon terhadap
stimulus, maka perilaku dapat dibedakan menjadi dua yaitu:
a. Perilaku tertutup (covert behavior)
Perilaku tertutup adalah respon seseorang terhadap stimulus dalam
bentuk terselubung atau tertutup. Respon atau reaksi terhadap stimulus
ini masih terbatas pada perhatian, persepsi, pengetahuan/kesadaran, dan
sikap yang terjadi belum bisa diamati secara jelas oleh orang lain.
12
b. Perilaku terbuka (overt behavior)
Perilaku terbuka adalah respon seseorang terhadap stimulus dalam
bentuk tindakan nyata atau terbuka. Secara sederhana overt behavior
merupakan tindakan nyata atau praktik.
Perilaku manusia terjadi melalui suatu proses yang berurutan.
Penelitian Rogers (1974) mengungkapkan bahwa sebelum orang
mengadopsi perilaku baru (berperilaku baru), di dalam diri orang tersebut
terjadi proses yang berurutan, yaitu:
1) Awareness (kesadaran), yaitu orang tersebut menyadari atau
mengetahui stimulus (objek) terlebih dahulu.
2) Interest (tertarik), yaitu orang mulai tertarik kepada stimulus.
3) Evaluation (menimbang baik dan tidaknya stimulus bagi dirinya). Hal
ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi.
4) Trial, orang telah mulai mencoba perilaku baru
5) Adoption, subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan,
kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus.
Apabila penerimaan perilaku baru atau adopsi perilaku melalui
proses seperti ini yang didasari oleh pengetahuan, kesadaran, dan sikap
yang positif maka perilaku tersebut akan menjadi kebiasaan atau bersifat
langgeng (Notoatmodjo, 2010).
Sedangkan menurut teori pemasaran sosial oleh Kotler dan Roberto
(1989), seseorang mengadopsi suatu ide dapat ditempuh melalui 4 macam
model. Berikut konsep model tersebut.
13
Gambar 2.3
Kondisi Model Proses Seleksi Adopsi
1. Proses adopsi
“do-feel-learn”
2. Proses adopsi
“learn-feel-do”
3. Proses adopsi
“learn-do-feel”
4. Kuadran mustahil
Perceived Differentiation among Alternatifs
Sumber: Kotler and Roberto (1989)
a. Learn-feel-do adoption
Proses adopsi diawali dengan tahap belajar oleh adopter (pelaku
adopsi). Proses belajar ini akan menumbuhkan kesadaran adopter.
Keterlibatan yang tinggi dari target sangat diperlukan dalam model
adopsi ini. selain itu, target adopter dapat merasakan perbedaan
mendasar antara tindakan mengadopsi perilaku dan tidak mengadopsi
perilaku secara jelas. Perbedaan tersebut kemudian dapat menimbulkan
keterlibatan oleh target adopter sehingga target tergerak untuk
melakukan adopsi perilaku.
b. Do-Feel-Learn Adoption
Pada model adopsi ini, target terlebih dahulu melakukan adopsi perilaku
yang bersifat sementara. Jika dari hasil percobaan adopsi perilaku
tersebut ditemukan kenyamanan atau kebutuhan di dalamnya maka
target adopter akan mencari informasi yang lebih jauh mengenai
Tinggi
Rendah
Rendah
Involvement
Tinggi
14
perilaku yang akan diadopsinya. Informasi yang positif berkaitan
dengan adopsi perilaku akan menjadi faktor penguat terhadap target
adopter untuk melakukan keputusan final untuk mengadopsi perilaku.
c. Learn-Do-Feel adoption
Pada model adopsi ini, target adopter memilih suatu perilaku untuk
diadopsi. Hal yang mendasari target adopter memilih suatu perilaku
tersebut disebabkan oleh seringnya informasi yang terkait diterima oleh
target adopter. Sehingga target adopter merasa terbiasa dengan perilaku
tersebut yang kemudian menyebabkan target adopter mengadopsi
perilaku sementara watu walaupun keterlibatannya sangat minim. Jika
adopsi perilaku yang dilakukan terasa bermanfaat maka target adopter
akan melanjutkan adopsi perilaku.
d. Multipath Adoption
Model ini merupakan hasil penggabungan dari ketiga model lainnya
yang mengacu pada perbedaan penting antara kepercayaan maupun
kognisi (efek learn), pengaruh (efek feel), dan kemauan (efek do).
Respon dengan keyakinan yang tinggi ataupun rendah serta efek lain
dapat ditunjukkan oleh target adopter.
Tingkat keyakinan pada target adopter akan rendah jika ia merasa tidak
pasti terhadap hubungan antara keinginan dengan perilaku yang akan
diadopsi. Selain itu, jika informasi berkaitan perilaku yang akan
diadopsi tidak dapat diterima oleh target adopter maka dapat
15
berpengaruh pada rendahnya keyakinan. Jika tingkat keyakinan rendah
maka akan menghasilkan pengaruh yang rendah.
Tingkat keyakinan pada target adopter akan tinggi jika target
mengalami adopsi secara objektif baik itu langsung ataupun tidak
langsung. Cara langsung dapat dilakukan dengan adopsi percobaan atau
trial adoption, sedangkan cara tidak langsung dapat dilakukan dengan
menyaksikan pengalaman orang lain. Dari pengalaman adopsi secara
objektif, target adopter memperoleh tingkat keyakinan yang tinggi
terhadap hubungan antara keinginan dan perilaku yang akan diadopsi
serta informasi yang lebih dapat diterima.
Adopsi secara objektif dapat membentuk dasar keyakinan yang kuat
karena dilakukan secara langsung dengan mata kepala sendiri. Tingkat
keyakinan yang tinggi akan menghasilkan tingkat pengaruh yang tinggi
pula. Selanjutnya target adopter mungkin secara langsung atau tidak
langsung nmelakukan percobaan terhadap adopsi perilaku untuk
mencari tahu lebih jauh mengenai perilaku tersebut seselum
memutuskan untuk mengadopsi perilaku tersebut secara permanen.
Dalam hal ini, percobaan adopsi atau trial-adoption sangat berperan
penting terhadap adopsi perilaku.
Tiga tahapan respons target adopter terhadap perilaku yang akan
diadopsi dapat dilihat perbedaannya melalui konsep model multipath
adoption sebagai berikut.
16
Gambar 2.4
Tahapan Response Adopter terhadap Perilaku yang akan Diadopsi
Sumber : R. E. Smith dan W. R. Swinyard, Information Response Models: An
Integrated Approach, Journal of Marketing, 46 (Kotler and Roberto (1989))
3. Perilaku Konsumsi (Perilaku Konsumen)
Pembahasan tentang perilaku konsumsi akan melihat konsumen
sebagai pelaku dari perilaku tersebut. Berbagai teori mengani perilaku
konsumen pun hadir sebagai tinjauan dalam hal pemasaran. Hal tersebut
ditujukan untuk memahami karakteristik konsumen demi usaha dalam
penjualan produk baik itu berupa barang maupun jasa (Widyarini, 2014).
a. Perilaku Konsumen
Perilaku konsumen didefinisikan sebagai tindakan-tindakan individu
yang secara langsung terlibat dalam usaha memperoleh dan
menggunakan barang-barang jasa ekonomi termasuk proses
pengambilan keputusan yang mendahului dan menentukan tindakan-
tindakan tersebut (Engel dalam Dwiastuti, dkk, 2012).
17
Teori lain mengemukakan bahwa perilaku konsumen adalah semua
kegiatan, tindakan, serta proses psikologi yang mendorong tindakan
tersebut pada saat sebelum membeli, ketika membeli, menggunakan,
menghabiskan produk dan jasa setelah melakukan hal-hal diatas atau
kegiatan mengevaluasi (Sumarwan, 2003). Sedangkan menurut Loudon
dan Della-Bitta (dalam Sumarwan, 2003) perilaku konsumen adalah
proses pengambilan keputusan dan aktivitas fisik dalam mengevaluasi,
memperoleh, menggunakan, dan menghabiskan barang atau jasa.
Berdasarkan beberapa pandangan tersebut, dapat disimpulkan bahwa
perilaku konsumsi seorang konsumen adalah tindakan individu dalam
memilih, membeli, menggunakan dan mengevaluasi produk atau jasa
untuk memenuhi kebutuhannya.
b. Faktor-Faktor yang mempengaruhi Perilaku Konsumen
Kebutuhan yang dirasakan oleh konsumen berasal dari faktor luar diri
dan faktor dalam diri konsumen. Faktor dari dalam biasa disebut
dengan kebutuhan primer yang meliputi makanan, air, udara, pakaian,
rumah, dan seks. Sedangkan faktor dari luar atau kebutuhan sekunder
merupakan kebutuhan yang muncul sebagai akibat reaksi konsumen
terhadap lingkungan dan budayanya. Kedua faktor inilah yang
membentuk perilaku konsumsi pada konsumen yang harus memenuhi
kebutuhan primer maupun sekundernya (Dwiastuti, dkk, 2012).
Menurut Marwanti (dalam Suwandi, 2014) di dalam diri manusia
terdapat dorongankebutuhan atau hasrat sosial dalam hirarki atau
18
urutan. Urutan kebutuhan ituadalah (1) kebutuhan untuk hidup, (2)
Kebutuhan untuk memenuhi rasa aman, (3) kebutuhan untuk di akui
kelompok, (4) kebutuhan untuk gengsi, dan (5)kebutuhan untuk
menonjolkan diri.Kelima urutan kebutuhan tersebut dapat dikaitkan
dengan perilaku konsumsi manusia, khususnya pada konsumsi pangan.
Pada tahapan pertama, kebutuhan pangan hanya dipandang sebagai
pemenuhan konsumsi satu hari saja. Jika hal ini telah terpenuhi, maka
kebutuhan manusia akan meningkat pada tahap pemenuhan rasa aman.
Dalam hal pangan, manusia akan menyimpan makanan agar dapat
memenuhi kebutuhan pangannya di hari-hari kedepannya. Apabila
tahap kedua juga terpenuhi, maka perilaku konsumsi manusia akan
mulai memperhatikan kualitas makanan dan pola konsumsi orang-orang
disekitarnya. Untuk mendapat pengakuan dari kelompok, maka manusia
harus berinteraksi dengan kelompok tersebut. Hasil interaksi ini akan
melahirkan suatu nilai yang berlaku umum dikelompok tersebut. Hal ini
juga berlaku pada tahap-tahap selanjutnya, dimana manusia mulai lepas
dari kebutuhan dalam dirinya dan lebih memperhatikan kebutuhan yang
bersentuhan dengan luar dirinya (Marwanti. dalam Suwandi, 2014).
Perilaku atau tindakan konsumen terdiri dari proses keputusan
pembelian, pencarian sumber informasi, melakukan evaluasi alternatif
produk, menyeleksi dan pembelian produk yang berakhir dengan
tindakan pasca konsumsi produk. Perilaku konsumen dapat dikaji
dengan dua pendekatan yaitu pendekatan kognitif dan pendekatan
19
perilaku (Dwiastuti, dkk, 2012). Sedangkan konsumsi di bidang
pangan, menurut Suhardjo (dalam Suwandi, 2014) model perilaku
konsumsi sangat dipengaruhi oleh produksi pangan, sistem distribusi,
sistem sosial, ekonomi, politik, dan keadaan rumah tangga yang
melahirkan gaya hidup dan nampak dalam bentuk perilaku konsumsi.
Hasil penelitian lain menunjukkan bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi perilaku pembelian konsumen yaitu faktor budaya,
faktor sosial, faktor pribadi dan faktor psikologis (Kartikasari et al.,
dalam widyarini, 2014)
1) Faktor Budaya
Faktor ini meliputi budaya, sub-budaya, dan kelas sosial. Budaya
merupakan kumpulan nilai-nilai dasar, persepsi, keinginan dan
tingkah laku yang dipelajari oleh seorang anggota masyarakat dari
keluarga dan lembaga penting lainnya. Hal tersebut menjadi
penentu keinginan dan perilaku yang mendasar. Budaya melengkapi
orang dengan rasa identitas dan pengertian akan perilaku yang dapat
diterima di dalam masyarakat.
Setiap budaya memiliki sub-budaya yang lebih kecil dan
memberikan lebih banyak ciri dan sosialisasi khusus bagi anggota-
anggotanya. Hal tersebut mengindikasikan adanya strata sosial
dalam masyarakat yang kemudian sering ditemukan dalam bentuk
kelas sosial.
20
Kelas sosial merupakan pembagian dalam masyarakat yang terdiri
dari individu-individu yang berbagi nilai, minat dan perilaku yang
sama. Jenis produk, jasa dan merek yang dikonsumsi oleh
konsumen dipengaruhi oleh kelas sosial tersebut.
2) Faktor Sosial
Kelompok referensi, keluarga, peran sosial, dan status merupakan
bagian dari faktor sosial yang mempengaruhi perilaku pembelian.
Kelompok referensi merupakan semua kelompok yang memiliki
pengaruh langsung atau tidak langsung terhadap perilaku orang
tersebut.
Enggel mengategorikan kelompok referensi menjadi beberapa jenis,
yaitu sebagai berikut.
a) Kelompok primer dan kelompok sekunder
Kelompok primer adalah kelompok yang seluruh anggotanya
telah saling mengenal dan memperlihatkan kesamaan yang
mencolok dalam hal kepercayaan dan perilaku. Sedangkan
kelompok sekunder adalah kelompok yang interaksinya bersifat
lebih sporadik, kurang komprehensif dan kurang berpengaruh
dalam membentuk gagasan atau perilaku.
b) Kelompok aspirasi dan kelompok disosiatif
Kelompok aspiratif merupakan kelompok yang di dalamnya
terdapat keinginan untuk menggunakan norma, nilai, serta
perilaku orang lain. Sedangkan kelompok disosiatif adalah
21
kelompok yang nilai-nilai atau norma-normanya berusaha
dihindari oleh orang lain.
c) Kelompok formal dan kelompok informal
Kelompok formal merupakan kelompok yang memiliki
peraturan yang tegas, organisasi dan struktur dimodifikasi secara
tertulis serta hubungan anggotanya didasarkan pada aturan yang
telah ditetapkan. Sedangkan kelompok informal adalah
kelompok yang memiliki lebih sedikit struktur dan mungkin
didasarakan pada persahabatan atau persamaan-persamaan yang
dimiliki anggotanya.
Dalam faktor sosial, keluarga juga merupakan lingkupannya.
Keluarga menurut Engel, merupakan kelompok yang terdiri dari
dua atau lebih orang yang berhubungan darah, perkawinan, atau
adopsi dan tinggal bersama. Latief (2011) mengemukakan bahwa
keluarga merupakan organisasi pembelian konsumen yang paling
penting dalam masyarakat. Keluarga dikemukakannya terbagi
menjadi dua, yaitu sebagai berikut.
a) Keluarga orientasi
Terdiri dari orang tua yang memberikan arah dalam hal tuntunan
agama, politik, ekonomi dan harga diri.
b) Keluarga prokreasi
Terdiri dari suami, istri dan anak sehingga pengaruh pembelian
itu akan sangat keras.
22
Mangkunegara dalam menganalisis perilaku konsumen
mengemukakan bahwa peran faktor keluarga meliputi pihak yang
mengambil inisiatif, keputusan, melakukan pembelian dan
pemakaian.
3) Faktor Pribadi
Dalam menetukan keputusan pembelian, seorang konsumen
dipengaruhi oleh karakteristik pribadi yang meliputi umur dan tahap
daur hidup pembeli, pekerjaan, keadaan ekonomi, gaya hidup,
kepribadian dan konsep diri yang bersangkutan.
4) Faktor psikologis
Kotler dalam Latief (2011) mengemukakan bahwa terdapat 4 faktor
yang mempengaruhi pilihan pembelian seseorang yaitu motivasi,
persepsi, pembelajaran, keyakinan dan sikap.
a) Motivasi
Motivasi adalah keadaan di dalam pribadi seseorang yang
mendorong keinginan individu untuk melakukan kegiatan-
kegiatan guna mencapai suatu tujuan.
b) Persepsi
Persepsi merupakan proses yang dilalui seseorang dalam
memilih, mengorganisasikan dan menginterpretasikan info guna
membentuk gambaraqan yang berarti mengenai sesuatu.
23
c) Pembelajaran
Pembelajaran merupakan proses perubahan dalam tingkah laku
individual yang muncul dari pengalaman.
d) Keyakinan dan sikap
Keyakinan merupakan deskriptif yang dimiliki seseorang
mengenai sesuatu. Sedangkan sikap merupakan evaluasi
perasaan dan kecenderungan dari seseorang terhadap objek atau
ide yang relatif konstan.
B. Tinjauan Umum tentang Pola Konsumsi Balita
Pola konsumsi makan adalah kebiasaan makan yang meliputi jumlah,
ferkuensi dan jenis atau macam makanan (Supariasa, dkk, 2002). Secara
mikro, faktor yang mempengaruhi tumbuh kembang balita meliputi kondisi
sosial budaya masyarakat, tingkat politik dan pembangunan, serta kebijakan
prioritas pelayanan umum. Sedangkan secara makro meliputi karakteristik
anak ciri ibu, keadaan sosial ekonomi keluarga, karakteristik demografi,
lingkungan fisik keluarga, lingkungan fisik asuhan anak, interaksi pengasuh
anak dan stimulasi dalam keluarga (Wardhani, 1992).
Menurut Sutomo B. dan Anggraeni DY. (2010), balita adalah istilah
bagi anak usia 1-3 tahun (batita) dan anak prasekolah (3-5 tahun). Kedua
kelompok tersebut membutuhkan asupan energi dan zat gizi yang cukup
untuk mencapai pertumbuhan dan perkembangan yang optimal. Kekurangan
gizi pada kelompok umur tersebut dapat mempengaruhi perkembangan
24
kognitif balita serta kemampuan dalam berinteraksi dengan lingkungannya
(Brown, 2005).
Pertumbuhan selama masa balita baik masa usia batita atupun
prasekolah, cenderung tetap namun lebih lambat daripada masa bayi . hal
tersebut sejalan dengan penurunan nafsu makan. Pada usia batita, anak
bertindak sebagai konsumen pasif karena makanannya masih bergantung
pada apa yang disiapkan ibunya. Gigi susunya mulai tumbuh tapi belum
dapat digunakan untuk menguyah makanan yang keras. Balita pada usia ini
juga mulai memperlihatkan prefernsi makanan dan memperlihatkan
ketidaksukaan dan penolakan akan makanan tertentu. Perilaku-perlaku
seperti ini disebut food jags. Untuk mengatasinya, para ibu dapat
menyajikan makanan yang biasa balita makan bersamaan dengan makanan
baru yang akan lebih mudah diterima apabila disajikan saat balita lapar atau
bila balita melihat makanan itu ikut dikonsumsi oleh anggota keluarga
lainnya. Hal ini dikarenakan balita yang memiliki rasa ingin tau yang cukup
tinggi secara alami.
Lain halnya dengan balita usia prasekolah. Mereka juga disebut
sebagai picky eater karena hanya mau mengonsumsi makanan yang sama
sepajang waktu. Hal ini disebabkan karena anak mulai nyaman dengan
makanan tertentu sehingga sangat menyukai jenis makanan tertentu.
Pada masa balita, otak anak akan lebih plastis. Plastisitas otak pada
balita akan menimbulkan sisi positif dan sisi negatif. Sisi positifnya, otak
balita lebih terbuka dalam hal pembelajaran dan pengkayaan. Sedangkan sisi
25
negatifnya, otak balita lebih peka terhadap lingkungan, utamanya
lingkungan yang tidak mendukung seperti asupan gizi yang tidak adekuat,
kurang stimulasi dan tidak mendapatkan pelayanan kesehatan yang
memadai. Pada masa ini pula, perkembangan moral serta dasar-dasar
kepribadian anak juga terbentuk, sehigga setiap kelainan/penyimpangan
sekecil apapun apabila tidak dideteksi dan ditangani dengan baik, akan
mengurangi kualitas SDM dikemudian hari. Masa balita merupakan masa
yang sangat pendek dan sanat peka terhadap lingkungannya, oleh karena itu
masa balita disebut sebagai masa keemasan dan masa kritis (KEMENKES
RI, 2014).
Teori lain menyatakan bahwa secara umum terdapat dua faktor utama
yang mempengaruhi proses tumbuh kembang anak, yaitu sebagai berikut
(Soetjiningsih, et al, 2014).
a. Faktor Genetik
Faktor ini merupakan modal dasar yang berperan penting dalam
mencapai hasil akhir proses tumbuh kembang anak. Yang termasuk
faktor genetik adalah berbagai faktor bawaan yang normal dan patologik,
jenis kelamin, suku atau bangsa. Potensi genetik yang baik akan
membuah hasil akhir yang optimal dalam tumbuh kebang anak jika
berinteraksi dengan likungan yang positif. Gangguan pertumbuhan di
negara maju mayoritas disebabkan oleh kelainan kromosom. Sedangkan
di negara berkembang, selain dipengaruhi oleh faktor genetik, gangguan
26
tumbuh kembang anak juga disebabkan oleh faktor lingkungan yang
kurang kondusif.
b. Faktor lingkungan
Lingkungan merupakan yang menetukan tercapai atau tidaknya potensi
genetik yang telah ada. Lingkungan yang baik akan memungkinkan
tercapainya potensi genetik, sedangkan lingkungan yang tidak baik akan
menghambatnya.
Dari segi umur, balita yang bertumbuh dan berkembang adalah
golongan yang paling rawan KEP, hal tersebut dikarenakan (Santoso, 2004,
Arisman, 2004, dalam Jafar, 2010):
a. Kemampuan saluran pencernaan anak yang tidak sesuai dengan jumlah
volume makanan yang mempunyai kandungan gizi yang dibutuhkan
anak.
b. Kandungan gizi kebutuhan anak per-satuan berat badan lebih besar
dibandingkan orang dewasa karena disamping untuk pemeliharaan juga
diperlukan untuk pertumbuhan.
Bahan makanan yang dikonsumsi bayi sejak usia dini merupakan
fondasipenting bagi kesehatan dan kesejahteraannya di masa depan. Dengan
kata lain, kualitas sumber daya manusia (SDM) hanya akan optimal, jika
gizi dan kesehatan pada beberapa tahun kehidupannya di masa balita baik
dan seimbang (Fajar, 2010).
27
C. Tinjauan Umum tentang Konsumsi Mi Instan
Mi adalah adonan tipis dan panjang yang telah digulung, dikeringkan,
dan dimasak dalam air mendidih. Mi terbuat dari berbagai macam jenis
tepung, seperti tepung terigu, tepung beras, tepung kanji, dan tepung kacang
hijau. Namun, tepung yang dominan dipakai adalah tepung terigu. Telah
banyak bangsa yang mengkalim sebagai pencipta mi, namun tulisan tertua
mengenai mi berasal dari dinasti Han Timur, antara tahun 25 dan 220 M.
Pada oktober 2005, mi tertua yang diperkirakan berusia 4.000 tahun
ditemukan di Qinghai, Tiongkok (Handayani, et al., 2011).
Pada saat ini mi telah dikenal diberbagai negara termasuk Indonesia.
Pembuatan mi juga telah modern dan dapat dilakukan secara kontinu. Salah
satu jenis mi yang ada didunia berdasarkan tahap pengolahan dan kadar
airnya adalah mi instan (Koswara, 2009). Mi instan adalah produk makanan
kering yang dibuat dari tepung terigu dengan atau tanpa penambahan bahan
makanan lain dan bahan makanan yang diizinkan, berbentuk khas mi dan
siap dihidangkan setelah dimasak atau diseduhdengan air mendidih paling
lama 4 menit (SNI 01-3551-2000). Mi ini diolah dengan penambahan
beberapa proses setelah diproses menjadi mi segar. Tahap tersebut adalah
pengukusan, pembentukan dan pengeringan. Mi instan termasuk makanan
dengan daya simpan yang lama karena kadar air mi instan umumnya hanya
5-8% (Astawan, dalam Wandasari, 2014).
Mi instan merupakan salah satu makanan siap saji yang dikemas,
mudah disajikan, praktis dan diolah dengan cara sederhana. Makanan
28
tersebut umumnya diproduksi oleh industri pangan dengan teknologi dan
penambahan berbagai zat adiktif untuk mengawetkan dan memberikan cita
rasa bagi produk tersebut (Fahmi, dalam Sarkim, 2010). Berikut adalah
syarat mutu mi instan menurut SNI.
Tabel 2.1
Syarat Mutu Mi Instan
No. Kriteria Uji Satuan Persyaratan
1. Keadaan
Tekstur
Aroma
Rasa
Warna
-
-
-
-
Norma/dapat diterima
Norma/dapat diterima
Norma/dapat diterima
Norma/dapat diterima
2. Benda asing - Tidak boleh ada
3. Keutuhan %bb Min. 90
4. Kadar air
Proses
penggorengan
Proses pengeringan
%bb
%bb
Maks. 10,0
Maks. 14,5
5. Kadar protein
Mi dari terigu
Mi bukan dari terigu
%bb
%bb
Min. 8,0
Min. 4,0
6. Bilangan asam Mg KOH/Hg minyak Maks. 20
7. Cemaran logam
Timbal (Pb)
Raksa (Hg)
mg/kg
mg/kg
Maks. 20
Maks. 0,05
8. Arsen (As) mg/kg Maks. 0,5
9. Cemaran mikroba
Angka lempengan
total
E.coli
Salmonella
Kapang
Koloni/g
APM/g
Koloni/g
Maks. 1,0 x
< 3
Negatif per 25 g
Maks. 1,0 x
Sumber: SNI 01-3551-2000
Mi instan umumnya berbentuk gelombang. Bentuk gelombang
tersebut berfungsi untuk memaksimalkan proses pengukusan dan
penggorengan. Pada proses penggorengan mi pada minyak yang panas akan
29
membuat kandungan air dalam mi tersebut menguap dan mengubah struktur
bagian dalam mi instan menjadi berlubang-lubang (Asthami, N., dkk, 2016).
Harga yang terjangkau dari mi instan membuat konsumennya
beragam, bukan hanya dari kalangan ekonomi atas, bahkan keluarga miskin
juga menjadi pelaku konsumsi. Sebagaimana penelitian Handayani (2004)
yang mengungkapkan bahwa frekuensi konsumsi mi instan pada sebagian
besar keluarga miskin (40%) adalah 3x/minggu, sedangkan frekuensi
konsumsi mi instan pada keluarga tidak miskin memiliki persentase yang
sama antara 2x/minggu dan 3x/minggu yaitu 30%. Hanya terdapat 5% rata-
rata kontribusi energi dari mi instan terhadap kecukupan energi keluarga
miskin per kapita, sedangkan pada keluarga tidak miskin sebesar 4%.
Umumnya, baik keluarga miskin ataupun sebaliknya mengonsumsi mi
instan pada malam hari. Sedangkan yang mengonsumsi mi instan pada siang
hari oleh keluarga miskin sebesar 3,3% dan 27,8% keluarga tidak miskin
melakukan hal yang sama. Mi instan yang semua keluarga miskin konsumsi
dibeli secara eceran. Sedangkan pada keluarga tidak miskin dibeli eceran
(73,3%) dan jumlah banyak sebagai persediaan (26,7%).
Makanan instan ini mulai diproduksi secara khusus dan ditujukan
untuk konsumen anak-anak seperti produk my noodlez produksi
PT. Indofood yang ditujukan untuk anak-anak berumur 6-12 tahun, juga
berupa produk MP-ASI yang berbentuk mi instan. Komposisi gizi dalam mi
instan tersebut berbeda dengan komposisi gizi mi instan pada umumnya.
Namun, harga mi instan untuk anak-anak ini tergolong mahal sehingga tidak
30
semua golongan masyarakat mampu membeli mi tersebut. Oleh karena itu,
masyarakat yang tidak dapat membeli mi tersebut lebih memilih mi instan
pada umumnya untuk diberikan kepada anak-anaknya (Wandasari, 2014).
D. Hasil-Hasil Penelitian Terkait Topik Penelitian
Adapun beberapa penelitian yang pernah dilakukan oleh peneliti
sebelumnya tentang topik penelitian ini adalah sebagai berikut.
32
32
No. Peneliti Judul Penelitian Karakteristik
Hasil Perbedaan dengan
Penelitian Penulis Desain Dimensi
1. Fachruddin
Perdana/
2013
Analisis Jenis,
Jumlah, dan Mutu
Gizi Konsumsi
Sarapan Anak
Indonesia
Penelitian ini
menggunakan
desain cross
sectional.
Untuk
menganalisis jenis,
jumlah, dan mutu
gizi konsumsi
sarapan anak
Indonesia usia 3-12
tahun.
Bahwa sepuluh jenis makanan yang
paling banyak dikonsumsi selama
sarapan adalah nasi, kangkung, telur
ayam, ikan, tempe, mi instan, tahu,
roti, daging ayam, dan biskuit;
Lima jenis minuman yang paling
banyak dikonsumsi selama sarapan
adalah air putih, teh, susu, kopi, dan
sirup. Makanan yang dikonsumsi
dengan rata-rata lebih dari 5 g/hari
selama sarapan adalah nasi, kangkung,
telur ayam, ikan, tempe, dan mie
instan.
Perbedaan terletak
pada metode
penelitian yang
digunakan. Fokus
penelitian Fachruddin
juga meluas pada
seputar sarapan anak.
33
33
Minuman yang dikonsumsi dengan
rata-rata lebih dari 15 ml/hari selama
sarapan adalah air putih, teh, dan susu.
Hanya 10.6% dari sarapan anak yang
mencukupi asupan energi>30%.
2. Nurcahyo Tri
Arianto/2013
Pola Makan Mi
Instan : Studi
Antropolgi Gizi
pada Mahasiswa
Antropologi
FISIP UNAIR
Penelitian
kualitatif yang
dilakukan
dengan cara
pengamatan
berpartisipasi
dan
wawancara
mendalam
Untuk mengkaji
pengaruh aspek
sosial budaya
terhadap pola
makan mi instan,
yang berkaitan
dengan
pengetahuan, nilai,
kepercayaan,
alasanyang
mendasari serta
perubaan yang
Nilai-nilai pada mahasiswa yang
mengolah dan mengkonsumsi mi
istan adalah: kreatif, sosial, ekonomi,
dan bersih.
Mahasiswa percaya bila makan mi
instan dapat menghindari resiko
kegemukan maupun kolesterol.
Terdapat 6 variasi pola makan mi
instan menurut waktu (kuantitas) serta
3 variasi pola makan mi instan
menurut kualitas. Mahasiswa
mengkonsumsi mi instan pada pagi
Objek penelitian ini
adalah mahasiswa
dengan fokus
penelitian pada
aspek sosial budaya
yang mempengaruhi
pola makan.
Sedangkan objek
penelitian penulis
adalah ibu yang
memberikan mi
instan untuk
34
34
terjadi. dan malam hari. dikonsumsi oleh
balitanya.
3. Nurul
Wandasari/
2013
Hubungan
Pengetahuan Ibu
tentang Mie
Instan dan
Perilaku
Konsumsi Mie
Instan pada Balita
di RW. 04
Perumahan Villa
Balaraja
Kabupaten
Tangerang.
Penelitian
analisis
kuantitatif
dengan desain
studi cross-
sectional.
Untuk mengetahui
hubungan antara
Pengetahuan Ibu
tentang Mie Instan
dan Perilaku
Konsumsi Mie
Instan pada Balita
di RW. 04
Perumahan Villa
Balaraja Kabupaten
Tangerang.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
penegtahuan ibu tentang mie instan di
RW. 04 perumahan villa Balaraja
kabupaten Tangerang tahun 2013
sebagian besar kurang baik.
Perilaku ibu dalam memberikan mie
instan pada balita di RW. 04
perumahan villa Balaraja kabupaten
Tangerang tahun 2013 sebagian besar
tidak baik.
Ada hubungan yang signifikan antara
pengetahuan ibu tentang mie instan
dengan konsumsi mie instan pada
balita di RW. 04 perumahan villa
Balaraja kabupaten Tangerang.
Perbedaannya
terletak penggunnan
metode penelitian.
Fokus dari
penelitian
Wandasari juga
berfokus pada
pengetahuan ibu,
sedangkan fokus
penelitian penulis
adalah perilaku ibu.
35
35
4. Rolavensi
Djola/2012
Hubungan antar
tingkat
Pendapatan
Keluarga dan
Pola Asuh dengan
Status Gizi Anak
Balita di Desa
Bongkudai
Kecatan Modayag
Barat.
Penelitian ini
observasional
analitik dengan
rancangan
cross
sectional.
Untuk mengetahui
hubungan antara
tingkat pendapat
keluarga dan pola
asuh dengan status
gizi anak balita di
Desa Bongkudai
Kecamatan
Mondayag Barat.
Hasil Penelitian dengan menggunakan
pengukuran BB/U sebagian besar
status gizi anak balita baik (61,5%).
Tidak ada hubungan antara tingkat
pendapatan keluarga dengan status
gizi.
Tidak ada hubungan antara sikap
memberi makan dan merawat anak
dengan status gizi.
Ada hubungan antara praktek
pemberian makan dan merawat anak
dengan status gizi.
Berbeda pada metode
yang digunakan dan
fokus penelitian Djola
pada hubungan antara
tingkat pendapatan
dan sikap serta
praktik pemeberian
makanan pada anak.
5. Eka Pranata
Suwandi/
2014
Perilaku
Konsumsi
Makanan Instan
Pada Siswa Kelas
XI Jasa Boga
Sekolah
Menengah
Kejuruan Negeri
Merupakan
jenis penelitian
kuantitatif.
Untuk mengetahui
tingkat
pengetahuan, sikap
dan tindakan siswa
Kelas
XI Jasa Boga
konsumsi makanan
instan seperti
Aspek pengetahuan makanan instan
besaran skor nilai siswa berada di atas
nilai rerata, dengan jumlah siswa 39
dan di bawah nilai rerata sejumlah 19,
maka dapat disimpulkan bahwa
Peneliti juga meneliti
perilaku konsumsi mi
instan, namun
penelitian Eka
melihat perilaku
36
36
3 Klaten sarden, nugget,
kentang goreng dan
Mie instan.
pengetahuan siswa berada pada
kategori cukup dengan presentase
sebesar 67%. Berdasarkan data kelas
interval frekuensi tebanyak terdapat
pada kelas interval 68-73 dengan 38%
Aspek sikap siswa dalam
mengkonsumsi makanan instan
termasuk dalam kategori cukup
dengan presentase 83%.
Aspek tindakan pola perilaku siswa
dalam mengkonsumsi makanan instan
termasuk tinggi.
SIswa kelas XI,
sedangkan penulis
melihat perilaku ibu
dalam memberikan
konsumsi mi instan
pada balitanya.
6. Ujang
Sumarwan/
2001
Analisis Citra
Merek dan
Perpindahan
Merek pada
Produk Mi Instan
Menggunakan
desain cross
sectional
study.
Untuk menganalisa
perilaku pembelian
mi instan, persepsi
konsumen terhadap
berbagai merek mi
Tidak semua responden meyebutkan
merek yang digunakan sekarang
sebagai merek yang palig diingat.
Salah satu merek yang diuji cobakan
oleh peneliti dalam penelitiaan ini
Penelitian Ujang
yang berfokus pada
citra merek mi instan
menggunakan desai
cross sectional.
37
37
instan dan tingkat
keterikatan
konsumen terhadap
suatu merek mi
instan.
mempunyai tiga asosiasi yang
membentuk brand image yaitu harga
terjangkau, kemudahan mendapat dan
rasanya yang enak.
Berbeda
denganpenelitian
penulis yang
menggunakan metode
kualitatid dengan
pendekatan
fenomenologi.
7. Mardiana/
2006
Hubungan
Perilaku Gizi ibu
dengan Status
Gizi Balita di
Puskesmas
Tanjung Beringin
Kecamatan Hinai
Kabupaten
Langka Tahun
2005
Penelitian
yang bersifat
deskriptif
analitik
melalui
pendekatan
cross
sectional.
Untuk mengetahui
gambaran
hubungan perilaku
gizi ibu dengan
status gizi balita.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
status gizi balita baik 72,4%, status
gizi balita kurang 25,2 %, dan status
gizi balita buruk 1,2% dan status gizi
balita lebih 1,2%.
Ada hubungan antara pengetahuan ibu
dengan status gizi balita.
Ada hubungan yang signifikan antara
tindakan ibu dengan status gizi balita.
Tidak terdapat hubungan yang
Objek penelitian
penulis dengan
Mardiana sama-sama
ibu balita. Namun
variabel yang
digunakan berbeda.
38
38
signifikan antara sikap ibu dengan
status gizi balita.
8. Lestari/2013 Pengaruh
Pemberian Makan
Balita dan
Pengetahuan Ibu
Terhadap Status
Gizi Balita di
Kelurahan
Meteseh
Kecamatan
Tembalang Kota
Semarang
Penelitian
Kuantitatif
dengan
menggunakan
desain cross
sectional
Untuk mengetahui
pengaruh praktik
pemberian makan
balita dan
pengetahuan ibu
terhadap status gizi
balita .
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
praktek pemberian makan balita
sebagian besar (53,7%) tidak baik.
Penegtahuan ibu balita 75,6% baik,
penegtahuan ibu sedang 19,5% dan
4,9% berpengetahuan rendah.
Status gizi balita di Kelurahan
Meteseh, 36,6% baik, 51,2% kurang
dan 12,2% status gizi buruk.
Ada hubungan antara praktik
pemberian makan balita dengan status
gizi balita.
Tidak ada hubungan antara
penegtahuan ibu dengan status gizi
balita.
Lestari menggunakan
metode kuantitatif,
berbeda dengan
penulis yang
mengguakan
kualitatif. Fokus
penelitian hampir
sama dengan penulis,
hanya saja penulis
lebih memfokuskan
pada perilaku dan
pemberian mi instan
pada balita.
39
39
9. Linda
Sarkim/ 2010
Perilaku
Konsumsi Mie
Instan pada
Mahasiswa
Fakultas
Kesehatan
Masyarakat
Undana Kupang
yang Tinggal di
Kos Wilayah
Naikoten
Menggunakan
penelitian
deskriptif
Untuk mengetahui
perilaku konsumsi
mi instan pada
mahasiswa FKM
Undana Kupang
yang Tinggal di
Kos Wilayah
Naikoten
Sebagian besar responden
mengonsumsi mi instan maksimal 1
kali dalam seminggu dan
menyajikannya dalam satu kali makan.
Responden terbanyak mengonsumsi
mi instan sebagai snack atau di luar
waktu makan utama.
Cara penyajian mi terbanyak adalah
dalam bentuk mi goreng.
Sebagian besar menambahkan variasi
menu saat mengonsumsi mi instan.
Perbedaannya
terletak pada objek
penelitian dan fokus
penelitian. Jenis
metode yang
digunakan juga
berbeda.
39
E. Kerangka Teori
Fenomena perilaku ibu dalam memberikan mi instan untuk dikonsumsi oleh
balitanya merupakan hasil dari sebuah adopsi perilaku. Adopsi perilaku ini dapat
terjadi jika ada penerimaan terhadap informasi dari lingkungan sekitarnya yang
menjadi alasan untuk mengadopsi perilaku. Kotler dan Roberto mengemukakan
bahwa terdapat 3 tahap dalam teori ini yaitu tahap belajar (learn), tahap merasakan
(feel), dan tahap tindakan (do) yang terbagi atas dua yaitu percobaan (trial-do) dan
memutuskan melakukan (commited do).
a. Tahap belajar (Learn)
Pada tahap ini, seseorang memperoleh pengetahuan dalam bentuk informasi
mengenai sesuatu. Misalnya seorang ibu balita melihat iklan pemberian mi
instan kepada balita di TV.
Tahap ini dapat berlanjut jika pengetahuan tersebut dapat menimbulkan
keyakinan tinggi mengenai hal tersebut. Namun jika informasi tersebut tidak
meyakinkan, maka proses yang dilalui adalah tahap percobaan atau trial-do.
b. Tahap merasakan (Feel)
Tahap ini berkaitan dengan keyakinan adopter mengenai dampak dari perilaku
yang akan diadopsinya.
c. Tahap melakukan (Do)
Terbagi atas trial-do(percobaan) dan commited-do (memutuskan). Tahap trial-
do merupakan tahap dimana adopter mencoba dan memastikan keyakinannya
40
terhadap apa yang akan diadopsinya. Jika adopter memiliki kesan yang baik
pada tahap ini, maka akan dilanjutkan pada tahap feel.
Sedangkan tahap commited-do adalah tahap dimana adopter telah memutuskan
untuk mengadopsi perilaku yang telah dibuktikan dan memberikan keyakinan
tinggi kepada adopter.
Gambar 2.5
Kerangka Teori Multipath Adoption Process
Sumber : R. E. Smith dan W. R. Swinyard, Information Response Models: An Integrated
Approach, Journal of Marketing, 46 (Kotler dan Roberto (1989))
41
BAB III
KERANGKA KONSEP
A. Dasar Pemikiran Variabel yang Diteliti
Secara umum, ibu adalah tokoh yang berperan penting dalam hal mengasuh
dan menyiapkan makanan yang akan dikonsumsi oleh keluarga termasuk
balitanya. Balita adalah masa anak mulai memunculkan kemandiriannya. Dalam
hal makanan pun anak balita bertindak sebagai konsumen aktif. Oleh karena itu,
balita sering kali memilih-milih makanan yang ingin dikonsumsinya. Untuk
mengatasi masalah tersebut, ibu sering kali memberikan mi instan yang
merupakan salah satu makanan yang disukai oleh mayoritas balita.
Berdasarkan hasil penelitian, mi instan mengandung karbohidrat dalam
jumlah besar, tetapi sedikit kandungan protein, vitamin dan mineral. Selain itu,
salah satu makanan instan ini juga mengandung Monasodium Glutamat (MSG)
yang jika dikonsumsi di atas takaran normal dapat menimbulkan dampak buruk
bagi kesehatan, terlebih lagi bagi balita yang merupakan golongan paling rawan
KEP.
Proses adopsi perilaku ibu dalam memberikan mi instan untuk dikonsumsi
balitanya melalui berbagai tahapan. Tahapan tersebut terdiri dari tahaplearn,
tahapfeel, dan tahapdo (trial-do dan commited-do). Tahaplearn adalah tahap
diperolehnya pengetahuan. Sedangkan tahapfeel adalah tahap dimana adanya
penentuan sikap. Hasil dari proses learn yang tidak meyakinkan akan membuat
adopter maju ke tahap trial-do. Sedangkan hasil dari tahap learnyang meyakinkan
41
42
adopter dan begitu pun dengan tahap trial-do yang menunjukkan adanya
perbedaan akan membuat adopter maju ke tahap feel. Apabila adopter pada tahap
feelmenemukan penilaian yang baik maka adopter akan maju ke tahap commited-
do.Hasil dari tahap learn, feeldan trial-doakan menunjukkan alasan-alasan ibu
memberikan mi instan untuk dikonsumsi oleh balita. Sedangkan berbagai macam
praktik dapat diketahui dengan mengamati tahapan do. Ketiga tahap ini (tahap
learn, feeldan do) dapat membentuk urutan yang beragam sesuai dengan
pengalaman yang dialami oleh masing-masing ibu.
B. Kerangka Variabel yang Diteliti
Gambar 3.1
Kerangka Konsep
Sumber: Dimodifikasi dari The Multipath Adoption Process. Disusun berdasarkan R. E.
Smith dan W. R. Swinyard, “Information Response Models: Ann Integrated
Approach”, Journal of Markleting, 46 (Kotler and Roberto, 1989).
43
C. Definisi Konseptual
1. Definisi Istilah
a. Perilaku Ibu dalam Pemberian konsumsi Mi Instan pada Balita
Ialah upaya yang dilakukan ibu dalam memberikan mi instan pada
balitanya.
b. Mi Instan
Adalah produk makanan instan yang terbuat dari tepung terigu, berbentuk
khas mi dan diolah dengan atau penambahan bahan makanan lain kemudian
dikemas.
c. Belajar (Learn)
Learn merupakan suatu tahapan pada ibu ketika memperoleh pengetahuan
berupa informasi mengenai mi instan ataupun praktik pemberian konsumsi
mi instan pada balitanya. Tahap ini dapat berlajut ke proses feel jika ibu
balita memiliki keyakinan yang tinggi terhadap pengharapannya mengenai
pemberian konsumsi mi instan pada balitanya. Sebaliknya, jika keyakinan
itu rendah, maka proses yang dilalui adalah tahap trial-do atau tahap
percobaan.
d. Merasakan (feel)
Merupakan tahap yang berkaitan dengan keyakinan ibu balita mengenai
hasil dan konsekuensi dalam memberikan mi instan untuk dikonsumsi oleh
balitanya. Tahap feel akan memberikan gambaran mengenai alasan-alasan
ibu memberikan mi instan pada balitanya.
44
e. Tindakan (do)
Tahap ini terbagi menjadi trial-do dan commited-do. Trial-do merupakan
suatu tahap ketika ibu balita mencoba memberikan mi instan untuk
dikonsumsi balitanya untuk memastikan keyakinannya terhadap perilaku
konsumsi mi instan pada balitanya. Tahap ini dapat dilakukan berulang kali
hingga ditemukannya perbedaan ketika percobaan pemberian konsumsi mi
instan yang berpengaruh pada sikap, kemudian dilanjutkan pada tahap feel.
Sedangkan commited-do adalah tahapan ibu balita memberikan mi instan
untuk dikonsumsi balitanya secara terus-menerus setelah yakin dan puas
terhadap aktivitas pemberian konsumsi mi instan pada balita. Tahap
doadalah tahap praktik yang disebabkan oleh hasil dari kedua tahap
sebelumnya.
45
BAB IV
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif.
Penelitian kualitatif adalah multi metode dalam fokusnya menyangkut suatu
penafsiran, pendekatan naturalistik (alamiah) terhadap materi subyeknya. Dengan
kata lain, peneliti melakukan studi pada seseorang dalam keadaan alamiahnya.
Penelitian ini menafsirkan suatu masalah dengan pengertian orang yang
diselidikinya (Wijono, 2007).
Penelitian ini menggunakan pendekatan fenomenologi. Menurut Sumantri,
fenomenologi merupakan rancangan penelitian yang digunakan untuk melihat
lebih dekat segala pengalaman dari aktivitas sehari-hari yang terlihat biasa dengan
maksud untuk „merasakan‟ referensi seseorang atau untuk melihat dunia melalui
sudut pandang orang lain (Sandriana, 2014).
B. Waktu dan Lokasi Penelitian
1. Waktu Penelitian
Penelitian ini terlaksan pada bulan Agustus 2017 sampai bulan September 2017
yang meliputi persiapan, pengumpulan data, serta pengolahan dan analisis data
beserta evaluasi kegiatan penelitian.
2. Lokasi Penelitian
Penelitian ini mengambil lokasi Kecamatan Turikale yang merupakan wilayah
penemuan balita status gizi buruk terbanyak di Kabupaten Maros. Setelah
45
46
melakukan kunjungan ke Puskesmas Turikale diperoleh informasi dari TPG
Puskesmas Turikale bahwa Kelurahan yang memiliki jumlah balita berstatus
gizi buruk terbanyak yaitu sebesar 25% adalah Kelurahan Turikale. Kelurahan
ini memiliki 3 posyandu sedangkan penelitian ini fokus pada salah satu
posyandu yaitu Posyandu Bahagia yang terletak di Jl. Reda Beru, Kelurahan
Turikale, Kecamatan Turikale. Pemilihan spesifikasi tempat penelitian ini
berdasarkan arahan dari bidan yang bertugas di wilayah Kelurahan Turikale.
C. Penentuan Informan Penelitian
Pemilihan informan pada penelitian ini tidak diarahkan pada jumlah tetapi
berdasarkan pada asas kesesuaian dan kecukupan hingga memperoleh informasi
yang berulang. Informan pada penelitian ini ditentukan sesuai dengan
karakteristik yang telah ditentukan. Hal ini dilakukan agar informan benar-benar
dapat mewakili terhadap fenomena yang diteliti (Poerwandari, 2005 dalam
Saryono, 2011).
Penelitian ini menggunakan metode purposive sampling. Menurut
Sugiyono (2013), purposive sampling adalah teknik pengambilan sampel sumber
data dengan pertimbangan tertentu. Pertimbangan tertentu ini, misalnya orang
tersebut yang dianggap paling tahu tentang apa yang kita harapkan, atau mungkin
dia sebagai penguasa sehingga akan memudahkan peneliti menjelajahi
objek/situasi sosial yang diteliti.
47
Informan dalam penelitian ini adalah warga Jl. Reda Beru, Keluraha
Turikale yang merupakan lokasi Posyandu Bahagia.Peneliti melakukan
wawancara mendalam terhadap 11 informan utama yang merupakan ibu balita, 11
informan pendukung yang merupakan keluarga balita serta 1 informan kunci yaitu
TPG Puskesmas Turikale. Selama penelitian berlangsung di Jl. Reda Beru,
peneliti didampingi oleh salah satu kader dari Posyandu bahagia yang
mengarahkan ke rumah-rumah warga yang memiliki balita. Sebelum memulai
wawancara mendalam terhadap ibu balita, terlebih dahulu peneliti memastikan
terpenuhinya karakteristik informan yang telah ditentukan, yaitu sebagai berikut.
1. Ibu yang memiliki balita
2. Ibu yang memberikan mi instan pada balitanya
3. Minimal tamat SD
Wawancara mendalam dilakukan berdasarkan pedoman wawancara
sedangkan observasi dilakukan selama penelitian dengan mengamati pengolahan
mi instan yang akan diberikan kepada balita oleh informan.
Selain ibu balita sebagai informan utama, informan kunci yang
diwawancarai adalah pihak TPG (Tenaga Pelaksana Gizi) Puskesmas Turikale.
D. Mekanisme Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan cara penggalian data dari berbagai
sumber data untuk mendapatkan informasi di lapangan. Adapun data yang
diperoleh adalah data primer. Data primer ini diperoleh dengan cara observasi dan
wawancara mendalam (in-depth interview) pada ibu balita.
48
Proses wawacara dimulai dengan menjelaskan maksud dan tujuan dari
kegiatan ini, kemudian meminta persetujuan untuk berpartisipasi dalam penelitian
ini. Bagi ibu balita yang sesuai dengan karakteristik informan penelitian tersebut
telah setuju, peneliti akan menjadikannya sebagai informan dan dimulailah
wawancara mendalam pada waktu dan tempat sesuai kesepakatan.
Wawancara dimulai dengan menanyakan identitas informan. Data identitas
informan diisi pada bagian atas lembar pedoman wawancara. Setelah selesai
mengisi bagian identitas, peneliti dapat memulai menanyakan pertanyaan demi
pertanyaan sesuai dengan topik pertanyaan yang tertera dalam pedoman
wawancara. Saat wawancara berlangsung peneliti menggunakan alat perekam
guna menghindari bias ketika mencoba mengingat jawaban-jawaban yang
informan lontarkan selama wawancara. Kamera juga diperlukan untuk
mendokumentasikan jalannya kegiatan penelitian dan observasi terhadap
pengolahan dan pemberian mi instan pada balita. Untuk kebutuhan observasi,
peneliti menyediakan mi instan sesuai dengan jenis yang biasa informan olah
untuk balita yang digunakan untuk menggambarkan secara real kepada peneliti
mengenai pengolahan mi instan bagi balita.
E. Keabsahan Data
Penelitian kualitatif bersifat subjektif, sehingga keabsahan data adalah hal
yang sangat penting. Oleh karena itu, proses-proses penelitian ini haruslah valid
dengan kata lain dapat diuji kebenarannya. Untuk itu, peneliti menggunakan
metode triangulasi teknik dan triangulasi sumber.
49
Triangulasi teknik adalah cara pengumpulan data dengan metode yang
berbeda namun pada sumber data yang sama. Metode penelitian yang digunakan
adalah teknik observasi dan wawancara mendalam. Triangulasi teknik dilakukan
dengan cara membandingkan informasi yang diperoleh melalui observasi dengan
informasi yang diperoleh dari wawancara mendalam.
Sedangkan triangulasi sumber merupakan teknik triangulasi dengan
penggunaan metode yang sama tapi pada sumber data/informan yang berbeda.
Metode yang digunakan juga adalah metode observasi dan wawancara mendalam.
F. Instrumen Penelitian
Peneliti merupakan salah satu instrumen dalam penelitian ini. Di lapangan,
peneliti melengkapi diri dengan lembar observasi, pedoman wawancara, dan alat
dokumenatsi (perekam suara dan kamera). Pedoman wawancara disusun secara
sistematis dan diawali dengan isian untuk identitas informan. Kemudian bagian
selanjutnya adalah topik pertanyaan yang disusun berdasarkan variabel penelitian.
50
Matriks 1
Matriks Pengumpulan Data Kualitatif
No Informan Jenis Informasi
Teknik
Pengumpulan
Data
Instrumen
1. Ibu balita Alasan dan praktik
pemberian konsumsi mi
instan pada balita.
Wawancara mendalam
Observasi
Pedoman wawancara
Kamera
Perekam suara
Catatan lapangan
2. TPG
Puskesmas
Turikale
Penyuluhan mengenai mi
instan. Juga digali informasi
tentang persepsi
TPGterhadap perilaku ibu
yang memberikan mi instan
untuk dikonsumsi balita
Wawancara mendalam
Observasi
Pedoman wawancara
Kamera
Perekam suara
Catatan lapangan
3. Anggota
keluarga
lainnya
Reaksi, tindakan, dan
persepsi terhadap perilaku
ibu yang memberikan mi
instan untuk dikonsumsi
balita dalam keluarganya.
Selain itu, juga digali
informasi apakah informan
adalah konsumen mi instan
atau bukan.
Wawancara mendalam
Observasi
Pedoman wawancara
Kamera
Perekam suara
Catatan lapangan
G. Pengolahan dan Analisis Data
Data yang diperoleh dari wawancara mendalam dilakukan secara manual
sesuai dengan pengolahan data kualitatif serta sesuai dengan tujuan penelitian ini.
Data tersebut kemudian dimuat dalam transkrip hasil wawancara. Selanjutnya data
tersebut dianalisis dengan metode content analysis dalam bentuk matriks
penelitian yang kemudian diinterprestasikan dan disajikan dalam bentuk narasi.
51
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Kelurahan Turikale adalah salah satu kelurahan diantara 7 kelurahan yang ada
di Kecamatan Turikale Kabupaten Maros. Kelurahan ini berada pada dataran
rendah dengan ketinggian rata-rata 300 meter diatas permukaan laut dengan luas
sekitar 2,71 km2. Kelurahan Turikale mempunyai batas-batas wilayah sebagai
berikut:
1. Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Lau
2. Sebelah selatan berbatasan dengan Kelurahan Pettuadae
3. Sebelah timur berbatasan dengan Kelurahan Boribellaya
4. Sebelah barat berbatasan dengan Keluraha Alliritengae
Penelitian ini fokus pada salah satu dari tiga posyandu yang ada di Kelurahan
Turikale yaitu Posyandu Bahagia. Posyandu ini terletak di Lingkungan Reda Beru
lebih tepatnya di Jl. Langsat, Kelurahan Turikale Kabupaten Maros.
B. Karakteristik Informan
Informan dalam penelitian ini adalah ibu yang memberikan mi instan pada
balitanya, keluarga dari balita dan TPG Puskesmas Turikale. Informan yang
berhasil diwawancarai oleh peneliti berjumlah 23 orang, yang terdiri dari 11 orang
ibu balita, 11 orang keluarga balita, dan 1 orang TPG Puskesmas Turikale. Seluruh
informan adalah pengonsumsi mi instan. Informasi lebih lanjut mengenai
karakteristik informan dapat dilihat pada tabel 5.1.
51
52
Tabel 5.1
Karakteristik Informan Penelitian Perilaku Ibu pada Pemberian Konsumsi Mi
Instan Pada Balita di Posyandu Kelurahan Turikale
No Inisial Usia
(Tahun)
Pekerjaan Pendidikan
Terakhir
Keterangan
1. MA 21 IRT SMP Ibu balita
2. ER 36 Penjual
sembako
SMA Ibu balita
3. FI 27 Penjual
sembako
SMA Ibu balita
4. SU 29 IRT SMP Ibu balita
5. AK 31 IRT SMP Ibu balita
6. HM 34 IRT SMA Ibu balita
7. SA 28 IRT SMA Ibu balita
8. MU 35 IRT SMA Ibu balita
9. KA 28 IRT SMA Ibu balita
10. SI 33 Penjaga kantin
sekolah
SMA Ibu balita
11. MD 26 IRT SMP Ibu balita
12. SR 18 - SD Adik MA
13. NA 26 Guru S1 Adik ER
14. SL 32 Wiraswasta SMA Suami FI
15. AS 31 Buruh pabrik SMA Suami SU
16. SY 32 Petani SMP Suami AK
17. SM 32 Buruh pabrik SMA Adik SM
18. HS 30 Buruh
bangunan
SMA Suami SA
19. AB 34 Petani SMA Suami MU
20. AR 26 Wiraswasta SMA Suami KA
21. MI 36 Buruh pabrik SMA Suami SI
22. AH 37 Buruh
bangunan
SMP Suami MR
23. ML 41 TPG S1 Petugas
TPG
Puskesmas
Turikale Sumber: Data Primer, 2017
53
Tabel 5.2
Karakteristik Balita pada Penelitian Perilaku Ibu pada Pemberian Konsumsi Mi
Instan pada Balita di Posyandu Kelurahan Turikale
No
Inisial
Informan
(Ibu Balita)
Usia Balita
(Tahun)
Usia Balita pada
Pemberian
Pertama Mi
Instan
(Tahun)
Kuantitas
Pemberian Mi
Instan pada Balita
(Kali/Minggu)
1. 1 MA 3 1 4
2. ER 2 1 2
3. FI 2 1 2
4. SU 4 3 2
5. AK 4 3 2
6. HM 4 4 1
7. SA 3 1 2
8. MU 3 2 1
9. KA 2 1 4
10. SI 3 1; 7
11. MD 4 1 3
Sumber: Data Primer, 2017
C. Hasil Penelitian
1. TahapLearn
Learn merupakan suatu tahapan saat informan memperoleh pengetahuan
berupa informasi mengenai pemberian konsumsi mi instan pada balita ataupun
praktiknya. Alasan informan dalam memberikan mi instan untuk dikonsumsi
oleh balitanya juga dapat ditemukan pada tahap ini. Informan pada tahap ini
akan memiliki akses terhadap informasi yang diperoleh dari sumber informasi,
baik dari sumber personal, sumber non-personal ataupun pengalaman praktik
konsumsi mi instan dari informan itu sendiri.
54
a) Pemahaman tentang Mi Instan
Pemahaman informan tentang mi instan bermacam-macam. Mi instan
yang dipahami oleh informan adalah makanan tambahan yang rasanya enak
tapi mengandung zat berbahaya bagi tubuh. Selain itu ada juga informan yang
mengatakan bahwa mi instan dapat dijadikan sebagai cemilan namun dapat
menghilangkan nafsu makan jika mengonsumsinya jika keseringan.
“Semacam makanan tambahan, maksudnya diberikan selingan. Tapi
ada bahan pengawetnya itu mi, bahaya kalau dikonsumsi terus, ada zat
lilinya juga”
(ER, 36 tahun, IRT)
“Mi itu makanan sebagai pengganti nasi, bisa juga dijadikan cemilan,
biasa saya berikan ke anak saya tapi tidak terlalu sering. Saya juga
tidak bisa terlalu sering makan mi karena nafsu makan kita bisa hilang
kalau terlalu sering makan mi”
(FI, 27 tahun, IRT)
Mi instan mengandung zat lilin menurut ungkapan dari informan SU
yang juga merupakan pedagang sembako, termasuk mi instan. Juga
wawancara kepada seorang informan berinisial AK mengungkapkan bahwa
mi instan adalah makanan yang susah dicerna di dalam sistem pencernaan.
“Pernah saya dengar di berita katanya mi itu ada zat lilinnya. Jadi itu
orang kalau masak mi harus dua kali supaya hilang zat lilinnya”
(HM, 34 tahun, IRT)
“Katanya anak-anakmi itu enak, tapi saya baca di internet katanya mi
itu susah hancur, kalau di mulut katanya hancur, tapi di perut itu
mengembang”
(AK, 31 tahun, IRT)
55
Selain dikatakan sebagai makanan yang tidak menyehatkan, adapula
informan yang berinisial KA yang mengemukakan bahwa mi instan adalah
makanan yang lezat dan dapat menjadi makanan penambah nafsu makan. Hal
tersebut sejalan dengan apa yang di ungkapakan dan dialami oleh ibu SM.
“Anak saya juga suka sekali makan mi instan. Jadi dulu itu pernah
saya makan mi sama bapaknya terus dia lihat saya, jadi dia mau juga.
Saya cobakan ke dia, karena waktu itu masih satu tahun jadi saya
kunyahkan dulu baru berikan kuahnya dan ternyata dia suka. Mi itu
kan rasanya lezat, enak, penambah nafsu makan juga. Kita saja kalau
kita orang besar kurang nafsu makan terus kita mau makan yang kecut-
kecut,nah Indomie soto baru kita beri jeruk nipis, dengan lombok biji,
aduh enak sekali, dilupa kenyang”
(SM, 32 tahun, IRT)
Sedangkan dari segi harga, informan yang berinisial MD
mengategorikan makanan instan ini kedalam kategori makanan yang
terjangkau. Hal tersebut sesuai dengan pendapat AB selaku suami dari MU
yang mengatakan bahwa,
“Kalau tidak ada makanan dirumah yah lebih baik memang pergi beli
mi saja di warung, kan mi itu enak, disukai juga sama anak-anak,
murah juga terus gampang didapat”
(AB, 34 tahun, Petani)
b) Kelebihan dan Kekurangan Mi Instan
Informan memandang kelebihan mi instan dari segi kepraktisannya dan
harganya yang murah. ER misalnya yang menyatakan bahwa mi instan
praktis dan enak sehingga bisa memancingg nafsu makan balita. Seperti yang
dikemukakan ER, informan lain yang bernama SM, seorang ibu berusia 32
tahun ini menyatakan bahwa,
56
“Mi itu enak, tidak susah juga dimasak. Baru murah, disuka juga sama
anak-anak”
(KA, 28 tahun, IRT)
“Mi itu praktis. Kalau saya sibuk jualan terus anak saya minta makan
biasanya saya masakkan mi saja. Kan dia juga suka. Jadi tidak repot-
repot terus anak-anak juga senang”
(SI, 33 tahun, Penjaga Kantin Sekolah)
Tapi disisi lain, para informan mengakui adanya kekurangan dari mi
instan, seperti pengakuan ibu FI.
“Mi itu bisa hilangkan nafsu makan kita kalau terlalu sering dimakan.
mi juga tidak ada gizinya, biasa juga anaknya orang saya lihat gatal-
gatal gara-gara makan mi”
(FI, 27 tahun, penjual sembako)
Beberapa informan lainnya juga memiliki pandangan yang sama bahwa
mi instan tidak menyehatkan karena gizi mi instan yang belum memenuhi
kebutuhan tubuh, sebagaimana pendapat ibu SA.
“Mi itu simpel, praktis, kalau tidak ada makanan di rumah, yah yang
paling praktis itu mi, tapi gizinya kurang baru ada juga pengawetnya
jadi tidak bagik untuk kesehatan”
(SA, 28 tahun, IRT)
c) Manfaat Mi Instan
“Bisa tambah nafsu makan anak saya. Waktu itu anak saya tidak mau
makan ikan karena sudah bosan makanya saya coba-coba berikan mi
dan ternyata dia suka”
(KA, 28 tahun, IRT)
KA adalah salah satu informan yang menganggap mi instan memiliki
manfaat, salah satunya dapat dijadikan lauk dan dapat menambah nafsu
makan anak. Wawancara peneliti dengan beberapa informan berhasil
57
memperoleh informasi bahwa mi instan juga dapat dijual, sebagaimana
penuturan dari FI yang juga seorang penjual sembako.
“Selain bisa dimakan, mengenyangkan, bisa juga dijual”
(FI, 27 tahun, pedagang sembako)
Berbeda dengan beberapa informan lainnya, ibu ER mengemukakan
pandangannya bahwa mi instan tidak memiliki manfaat sama sekali.
“Cuma makanan selingan, kayaknya tidak ada manfaatnya mi instan
itu, karena anak-anak kurang gizi biasanya kalau selalu mengonsumsi
mi instan, bisa-bisa juga terkena penyakit kanker darah. Kita juga tidak
tahu bahan-bahannya itu dari mana”
(ER, 36 tahun, penjual sembako)
d) Efek Samping Mi Instan
Kebanyakan informan mengemukakan bahwa berdasarkan informasi
yang diperoleh dari tetangga, keluarga dan media, mi instan memiliki efek
samping, seperti dapat menyebabkan gatal-gatal, anak tidak pintar, kurang
gizi, dan susah BAB serta tidak cocok untuk dikonsumsi ibu hamil.
“Pernah saya lihat di FB katanya kalau makan Indomie itu bisa bikin
anak tidak pintar. Biasa waktu saya hamil juga bidan larang saya
makan Indomie, karena bisa merusak janin katanya. Bagi ibu hamil
juga katanya Indomie itu mengandung karbohidrat yang tinggi. Biasa
juga mi bikin saya gatal-gatal. Terus pernah saya dengar anak bisa
gemuk kalau makan mi tapi gemuknya itu gemuk lembek. Ususnya juga
bermasalah katanya.”
(SM, 32 tahun, IRT)
Salah satu informan juga menambahkan informasi yang diperolehnya
dari internet bahwa terlalu sering banyak mengonsumsi mi instan dapat
menyebabkan kebutaan.
58
“Banyak kejadian juga yang katanya anak tetangganya itu ada yang
buta sama masuk rumah sakit”
(AK, 31 tahun, IRT)
Hal lain juga diakui oleh MI selaku suami dari SI bahwa mi instan
memiliki zat lilin yang dapat membahayakan kesehatan.
“Saya pernah dengar dari teman saya katanya mi itu ada zat lilinnya
jadi sebenarnya bahaya untuk kesehatan kita. Tapi anak saya suka,
terus rasanya memang enak, saya juga suka, jadi beruikan saja yang
penting jangan sering-sering”
(MI, 36 tahun, Buruh pabrik)
Ada berbagai efek samping dari pemberian mi instan pada balita yang
diketahui oleh informan, namu tetap saja pemberiannya dilakukan dengan
alasan anak-anak menyukai mi instan. Hal tersebut juga didukung oleh
anggota keluarga balita, seperti halnya AR.
“Mi itukan enak terus disuka juga sama anak-anak, jadi masakkan saja,
dari pada nanti anak-anak nangis baru tidak mau makan. Kan
harganya murah juga”
(AR, 26 tahun, Wiraswasta)
e) Jenis Mi Instan
Berbagai merek mi instan teriklankan diberbagai media. Hal tersebut
menjadi salah satu faktor penyebab informan mengenal berbagai macam
merek mi instan, seperti merek Indomie, Mie Sedaap dan Megah Mie yang
dikenali oleh semua informan. Berbagai merek pun menawarkan berbagai
rasa pula yang sangat familiar dikonsumsi oleh informan seperti Indomie
goreng dan Indomie rasa soto.
59
“Seperti yang saya jual, kayak Indomie, Mie Sedaap, sarimi, mie sejati,
Megah Mie. Kalau disini itu Indomie rasa goreng dan soto sama
Megah Mie yang paling laku”
(ER, 36 tahun, penjual sembako)
Beberapa informan juga menyebutkan merek lainnya seperti,
“Indomie, Mie Sedaap, Intermie, Megah Mie, Super Mie, dan Mie
Gelas”
(MD, 26 tahun, IRT)
f) Praktik Pemberian Konsumsi Mi Instan dari Orang Lain
Mayoritas informan mengatakan bahwa praktik pemberian konsumsi mi
instan pada balitanya bukan dari hasil mengikuti atau meniru orang lain, tapi
berdasarkan pengalaman sendiri dalam mengolah mi instan. Hal ini sesuai
dengan pengakuan ibu ER.
“Saya masak seperti biasa saya masak. Biasanya saya juga anjurkan ke
pembeli supaya dibuang air rebusan pertamanya, terus cuci satu atau
dua kali baru diberikan air panas lain. Baru setelah itu diberikan ke
anaknya”
(ER, 36 tahu, IRT)
“Saya masak biasa saja. Saya masak air terus kalau sudah mendidih,
minya saya masak terus saya tuang ke mangkuk kemudian dicampur
dengan bumbunya”
(KA, 28 tahun, IRT)
Lain halnya dengan beberapa informan, berinisial MA mengaku
mendapat informasi dan melakukan praktik yang dianjurkan oleh seorang
teman yang juga berprofesi sebagai bidan.
“Jadi saya pernah ditanya teman saya. Dia itu bidan. Katanya kalau
masak mi itu air pertamanya yang dipakai masak itu di buang baru
diganti sama air panas baru. Kalau mi yang berkauh begitu katanya”
(MA, 21 tahun, IRT)
60
Selain MA, Ibu MD juga memiliki pengalaman yang berbeda dengan
mayoritas informan lainnya. Sepenuturan informan, praktik pemberian dan
pengolahan konsumsi mi instan pada balitanya dilakukan berdasarkan anjuran
dari tetangganya. Praktik tersebut serupa dengan apa yang digambarkan oleh
informan MA.
2. Tahap Feel
Feel merupakan tahap yang berkaitan dengan keyakinan informan
mengenai hasil dan konsekuensi dari perilaku pemberian konsumsi mi instan
pada balita. Dengan keyakinan yang tinggi maka proses akan berlanjut ke tahap
commited-do.
a) Manfaat balita mengonsumsi mi instan
Mayoritas informan tidak merasakan dan meyakini adanya manfaat dari
pemberian konsumsi mi instan ini pada balita. Namun salah satu informan
memiliki pandangan yang berbeda.
“Mi bisa tambah nafsu makan anak saya, kebanyakan anak-anak
oranglain juga suka”
(KA, 28 tahun, IRT)
Sedangkan menurut informan yang bernama HM, mi instan memiliki
nilai gizi yang takarannya sesuai dengan informasi yang diberikan oleh
bagian belakang bungkusan mi instan.
“Ada proteinnya, vitaminnya yang bisa dibaca di belakang
pembungkusnya mi itu”
(HM, 34 tahun, IRT)
b) Efek Samping Konsumsi Mi Instan pada Balita
61
“Bisa gatal-gatal juga kalau sering makan mi”
(SA, 28 tahun, IRT)
Pandangan yang diperoleh peneliti dari hasil wawancara dengan
informan SA disepakati pula oleh kebanyakan informan lainnya.
Salah satu informan juga mengemukakan bahwa anaknya ketagihan
pada mi dan kehilangan nafsu makan untuk mengonsumsi nasi.
“Biasa anak saya kembung perutnya, terus malas makan nasi. Kalau
dia makan mi dia tidak mau makan ansi. Jadi kalau makan mi di siang
hari, malamnya dia tidak mau makan”
(SI, 33 tahun, IRT)
c) Pandangan ibu balita tetang pemberian konsumsi mi instan pada balita
Hampir semua infoman memberikan pandangan bahwa mi instan tidak
cocok untuk dikonsumsi balita dengan berbagai alasan seperti alasan yang
dikarenakan mi mengandung zat lilin, tidak bergizi, menyebabkan susah
BAB, dan susah dicerna.
“Mi itu tidak cocok untuk anak-anak, susah BAB. Saya dengar itu hari
di berita. Lama dicerna di lambung, satu minggu katanya”
(HM, 34 tahun, IRT)
“Tidak baik memang itu mi. kita saja yang besar tidak baik makan mi
apa lagi untuk anak kecil. Itu kan mi ada pengawetnya sama vetsinnya
juga. Tidak baik juga untuk lambung barang kali”
(SA, 28 tahun, IRT)
Lain halnya dengan beberapa informan, dua informan yang tidak
sepakat dengan pemberian konsumsi mi instan mengaku tetap
memberikannya karena balita menyukainya. Selain itu, ada juga informan
62
berinisial KA yang menyatakan persetujuannya dikarenakan anaknya yang
susah makan.
“Tidak cocok, tapi anak saya suka jadi dimasakkan saja dari pada
nangis kalau dia minta”
(SI, 33 tahun, IRT)
“Setuju saja, tidak apa-apa, daripada dia (balita) susah makan”
(KA, 28 tahun, IRT)
Dari informasi yang diperoleh pada penelitian ini dapat dilihat bahwa
pengetahuan mengenai efek samping mi instan cukup beragam tapi tidak
menjadi alasan yang cukup utnuk menghentikan pemberian mi instan oleh
informan kepada balitanya. Hal tersebut juga didukung oleh pengakuan salah
satu TPG Puskesmas Turikale bahwa tidak pernah diadakan suatu kegiatan
yang khusus membahas bahaya pemberian mi instan pada balita.
“Mi instan itu tidak baik kalau dikonsumsi berlebihan sama balita
karena ada bahan-bahan pengawetnya yang bisa membahayakan
kesehatan dan kandungan gizinya juga belum bisa cukupi
kebuituhannya balita, apalagi kalau tidak diberi sayuran atau telur.
Tapi kalo di Puskesmas Turikale itu memang belum ada program yang
khusus bahas tentang mi instan. Cuma biasanya infiormasi mengenai
bahaya mi instan itu disampaikan pas penyuluhan di posyandu. Biasa
diikutkan sama penyuluhan gizi seimbang. Tapi kalau penyuluhan itu
biasanya tidak dihadiri sama semua ibu-ibu jadi banyak yang tidak
dapat informasinya langsung dari petugas, makanya katanya masih ada
yang beri mi instan untuk balitanya“
(ML, 41 tahun, TPG Puskesmas Turikale)
3. Tahap Do
Tahap do adalah tahap yang identik dengan praktik pemberian konsumsi
mi instan pada balita. Tahap ini terbagi atas dua yaitu trial-dodan commited-do.
Tria-domerupakan suatu tahapan ketika informan melakukan percobaan
63
pemberian konsumsi mi instan pada balita untuk memastikan keyakinannya
terhadap perilaku dalam memberikan mi instan untuk dikonsumsi oleh balita.
Tahapan ini dapat dilakukan berulang kali. Tahap ini juga dapat menjadi
bagian tahap learn dimana informan memperoleh informasi mengenai
pemberian konsumsi mi instan pada balita dari percobaan konsumsi yang
dilakukannya. Selanjutnya tahapan akan berlanjut ke tahap feel. Sedangkan
tahap commited-domerupakan suatu tahapan ketika informan melakukan
pemberian konsumsi mi instan pada balita secara terus-menerus setelah yakin
dan puas terhadap aktivitas pemberian konsumsi mi instan pada balita.
Kepuasan yang dimaksud adalah ketika informan merasakan efek yang sesuai
dengan harapan informan.
a) Pengolahan Mi Instan untuk Balita
“Saya masak dulu baru saya buang air pertamanya, saya tiris dulu,
baru saya masakkan air lagi baru saya campur”
(SM, 32 tahun, IRT)
Praktik pengolahan mi instan berkuah yang dilakukan oleh informan
SM juga dilakukan oleh kebanyakan informan lainnya.
Namun ada pula informan yang berinisial KA yang mengolah mi instan
sesuai dengan petunjuk yang ada di belakang bungkus mi instan tersebut.
Informan lainnya juga memiliki cara lain dalam mengolah mi instan, seperti
dibuat mi telur dadar.
“Saya biasa masaknya sama dengan cara yang dijelaskan dibelakang
pembungkus mi itu”
(KA, 28 tahun, IRT)
64
“Kalau mi goreng kan bisa dibuang airnya baru diberi telur dicampur
sama bumbunya juga lalu didadar. Bisa jadi pengganti ikan”
(HM, 34 tahun, IRT)
b) Waktu Pertama Pemberian Konsumsi Mi Instan pada Balita
Pemberian konsumsi mi instan pada balita oleh informan untuk pertama
kalinya pada saat balita berusia satu tahun. Ketika balita sudah memiliki gigi
dan dianggap dapat mengonsumsi nasi, maka disaat itu pula informan
beranggapan bahwa balita dapat diberikan mi instan. Terlebih jika balita
sedang mengalami kurang nafsu makan. Hal ini sejalan dengan keterangan
dari ibu MD.
“Saya beri pertama itu kira-kira pas anak saya umur satu tahun”
(MD, 26 tahun, IRT)
Informan lain seperti MD mengatakan memberikan mi instan untuk
dikonsumsi balitanya pada usia dua tahun .
Lain halnya dengan SU yang mengaku memberikan mi instan pertama
kali pada anaknya ketika balita tersebut berusia tiga tahun dan HM pada saat
anaknya berusia empat tahun.
c) Jenis Mi Instan yang Diberikan (Merek dan Harga)
Indomie goreng, Indomie rasa Soto, Indomie rasa Kaldu dan Megah
Mie adalah produk mi instan yang para informan berikan kepada balitanya.
Produk-produk tersebut informan peroleh dari warung dan salah satu
minimarket terdekat dari lokasi penelitian.
Rasanya yang enak dan tanpa kuah rebusan pertama yang dianggap
berbahaya menjadi alasan indomie rasa goreng dipilih oleh ibu balita. Para
65
balita juga menyukai produk ini berdasarkan keterangan dari beberapa
informan termasuk ibu MA.
“Biasanya saya masakkan Indomie goreng. Dia lebih suka itu daripada
mi lainnya”
(MA, 21 tahun, IRT)
Berbeda dengan beberapa informan lainnya, ibu ER mengatakan sering
memberikan Megah Mie karena tanpa minyak.
“Biasa saya beri Megah Mie karena tidak ada minyaknya. Biasa juga
Indomie kaldu, yang tidak punya minyak. Pokoknya yang tidak ada
miyaknya”
(ER, 36 tahun, penjual sembako)
d) Kuantitas Pemberian Mi Instan pada Balita dalam Seminggu
Informan memberikan mi instan untuk balitanya dua kali seminggu
dengan penyajian sebungkus mi instan diperuntukkan untuk balita tersebut
dan saudaranya. Hal tersebut dituturkan oleh beberapa informan termasuk ibu
SM.
“Biasa saya masakkan dua kali seminggu, kalau bisa tidak sama sekali.
Tapi kalau dia (anak balita) minta yah dimasakkan saja. Yang penting
dibatasi karena tidak boleh sering-sering juga”
(SM, 32 tahun, IRT)
Beberapa informan lainnya mengaku memberikan mi instan pada
balitanya satu bungkus perminggu. Juga ada yang empat kali dalam
seminggu.
Keterangan dari salah satu informan lainnya memberikan informasi
bahwa setiap hari disajikan mi untuk dikonsumsi oleh balita. Hal tersebut
sesuai dengan pengakuan ibu SI.
66
“Tiap hari dia makan mi. sering makan pas siang, kadang malam, tapi
lebih sering siang. Biasa dia makan Indomie satu bungkus berdua sama
kakaknya, tapi kalo mi gelas biasanya sendiri-sendiri.”
(SI, 33 tahun, IRT)
e) Bahan Tambahan pada Pengolahan Mi Instan pada Balita
Telur merupakan bahan makanan yang paling banyak ditambahkan oleh
informan ke dalam sajian mi instan untuk balita. Nasi yang bagi masyarakat
Indonesia merupakan makanan pokok juga menjadi hal yang selalu
disediakan oleh informan bersamaan dengan penyediaan mi instan. Selain itu,
sayuran seperti sawi hijau juga menjadi pelangkap sajian makanan instan ini,
khususnya sawi hijau, namun tidak selalu diberikan.
“Biasa diberi sawi hijau, bakso kalau ada, sama telur. Saya beri nasi
juga sedikit supaya kenyangnya lama. Kalau Cuma mi saja itu cepat
sekali lapar lagi”
(ER, 36 tahun, penjual sembako)
Ada pula informan yang mengemukakan bahwa anaknya tidak
menyukai sayur, sehingga bahan tambahan yang biasa disediakan hanyalah
telur.
“Biasa dicampur telur. Tapi kalau sayur, anak-anak tidak suka. Anak-
anak bilang „bukan mi itu mama‟. Biasa juga saya makan sama nasi”
(SA, 28 tahun, IRT)
Selain bahan-bahan tersebut, bahan seperti sosis dan baksojuga
informan lainnya sebutkan.
67
D. Pembahasan
1. Alasan pemberian konsumsi mi instan pada balita
Dalam kasus perilaku ibu dalam pemberian konsumsi mi instan pada
balita, alasan pemberian konsumsi tersebut dapat diketahui dari tahap learn dan
feel dalam teori Multipath Adoption Process.
a) Learn
Learn merupakan suatu tahapan saat informan (ibu balita)
memperoleh pengetahuan berupa informasi mengenai pemberian konsumsi
mi instan pada balita ataupun praktiknya. Pengetahuan merupakan hal
penting bagi manusia yang dapat mengubah persepsi mengenai suatu hal.
Pengetahuan juga bisa diartikan sebagai pengelaman yang dialami. Dalam
hal ini, pengetahuan yang informan dapatkan mengenai mi instan dan
pemberiannya pada balita akan sangat berpengaruh pada keputusan dan
praktik pemberian konsumsi mi instan pada balita.
Pada hasil wawancara menunjukkan bahwa sebagian besar informan
memperoleh informasi mengenai pemberian konsumsi mi instan pada balita
dari dari pengalaman pribadi, teman, tetangga, anggota keluarga informan
serta informasi dari televisi maupun internet. Hal ini sesuai dengan
pandangan Kotler dan Roberto (1989) bahwa informan memiliki akses
terhadap informasi yang diperoleh dari sumber informasi, baik dari sumber
personal, sumber non-personal ataupun pengalaman dari informan itu
sendiri. Pertama, sumber personal merupakan sumber informasi yang teribat
68
dalam komunikasi interpersonal yang dimana pemberi informasi dapat
memberikan informasi secara langsung dan penerima informasi dapat
menerima dan menanggapi informasi secara langsung pula. Komunikasi ini
dapat dilakukan oleh dua orang atau lebih. Kedua, sumber non-personal
merupakan sumber informasi yang dapat ditemukan dalam komunikasi
massa yang melibatkan khalayak luas. Media massa yang dilibatkan berupa
surat kabar, majalah, radio, televisi, dan juga internet. Sumber informasi
ketiga adalah sumber informasi yang terkait dengan pengalaman pribadi
informan ketika mengonsumsi mi instan.
Salah satu informasi yang diterima oleh informan dari sumber
informasi adalah cara pengolahan mi instan. Mayoritas informan mengaku
mengolah mi instan berdasarkan pengalamannya sendiri. Tapi beberapa
diantaranya mengaku membedakan cara pengolahan mi instan untuk
konsumsi pribadi informan dan untuk konsumsi balita. Untuk konsumsi
pribadi, beberapa informan memakai air rebusan pertama sebagai kuah bagi
varian mi yang berkuah. Sedangkan untuk konsumsi balitanya, mereka
membuang air rebusan pertama mi dan menggantinya dengan air panas yang
baru. Status balita sebagai anak-anak yang dalam masa pertumbuhan
menjadi alasan bagi informan untuk melakukan perbedaan sikap tersebut.
Selain itu, adanya informasi mengenai kandungan zat lilin yang larut pada
air rebusan pertama mi instan menjadi sebab praktik tersebut. Namun
faktanya, mi instan tidak mengandung zat lilin. Tidak benarnya informasi
69
yang diterima pada suatu proses adopsi dapat mempengaruhi sikap seorang
target adopter dalam mengadopsi perilaku tertentu. Hal ini juga didukung
oleh belum adanya sumber pengetahuan yang terjamin faktanya seperti
misalnya penyuluhan dari TPG Puskesmas Turikale. Sepenturan salah satu
TPG di Puskesmas ini mengakui belum adanya kegiatan atau program yang
khusus membahas mengenai bahaya mi instan pada balita. Informasi terkait
hal tersebut biasanya hanya disampaikan pada program penyuluhan gizi
seimbang bersamaan dengan pemberian imunisasi di Posyandu. Namun pada
saat program berlangsung, tidak semua ibu menghadirinya sehingga
informasi tidak tersampaikan secara menyeluruh kepada ibu balita.
Terdapatnya minyak dan air rebusan pertama dari mi instan yang
nampak keruh bukan disebabkan oleh adanya lilin yang ikut larut, melainkan
minyak tersebut merupakan sisa dari deep frying. Deep frying merupakan
cara pengawetan menggoreng bahan dalam minyak panas (Nutrifood
Research Center, 2014). Namun proses penggorengan tersebut tetap saja
membuat mi instan kaya lemak jenuh yang bisa meningkatkan kadar
kolesterol dalam darah.
Informasi terkait bahaya mi instan bagi balita juga merupakan
informasi yang diterima oleh informan. Seluruh sumber informasi, baik
personal maupun dari pengalaman informan sendiri sepakat bahwa mi instan
berdampak buruk bagi kesehatan balita. Informasi mengenai dampak
70
kesehatan yang informan peroleh dari lingkungan sosial ataupun media
adalah alergi, mencret, mutah-muntah, gangguan pada lambung dan obesitas.
Atin Supriatin (2011) menjelaskan bahwa mi instan dapat membuat
seseorang akan lebih cepat merasa lapar dan membuat konsumennya
obesitas, dikarenakan mi ini termasuk dalam makanan yang berindeks
glikemik tinggi. Pemakaian minyak sayur yang dikemas bersama mi juga
bisa menjadi pemicu kenaikan berat badan. Selain itu, informan juga
menyatakan bahwa mi instan susah dicerna oleh sistem pencernaan dan
mengandung MSG. Indonesia memberikan batas aman konsumsi MSG
sebesar 0,6 gr/hr. Pada beberapa kasus, konsumsi MSG diatas ambang
normal dapat memicu reaksi alergi seperti gatal-gatal, bintik-bintik merah
dikulit, dan mual. Sedangkan penggunaan lebih dari 2 gr tiap kali penyajian
dapat menimbulkan gejala Chinese Restaurant Syndronme (CRS). Gejala ini
ditandai adanya rasa panas di dada, bagian belakang leher dan lengan bawah,
sakit kepala, mual, jantung berdebar-debar, sesak nafas dan sering
mengantuk (Muchsin, 2009). Selain mengandung MSG, di dalam mi instan
juga terkandung TBHQ (tertiary-butyl hydroquinone)yang merupakan bahan
kimia dengan fungsi sebagai antioksidan. TBHQ ini berasal dari bahan kimia
sintesis yang berfungsi untuk mencegak oksidasi lemak dan minyak,
sehingga dapat menjadi bahan pengawet. Hanya saja, dalam takaran
konsumsi yang berlebihan dapat menyebabkan mual disertai muntah,
mengigau dan sesak nafas. Mi instan juga mengandung kristal vetsin yang
71
dapat mengiritasi lapisan mukosa lambung. Namun, konsumsi mi instan
yang sangat sering yang dapat berujung pada inflamasi lapisan mukosa
lambung (Anggita, 2012).
Salah satu informan juga menuturkan bahwa mi instan dapat membuat
anak-anak tidak cerdas dikarenakan bumbu dan pengawet yang dikandung
oleh mi instan. Informasi tersebut diperolehnya dari tetangga informan.
Tambahannya, anak-anak dapat ketergantungan dengan mi instan serta
menurunkan nafsu makan terhadap nasi, ikan dan sayur yang dinilai
informan memiliki nilai gizi lebih baik dari pada mi instan. Informan lain
juga mendapat informasi yang berbeda dari keluarganya, bahwa anak-anak
yang mengonsumsi mi instan secara berlebihan dapat terkena penyakit
kanker darah.
Mi instan yang mengandung MSG jika dikonsumsi berlebihan dapat
menyebabkan disfungsi kerja otak dan kerusakan berbagai organ. Zat
tersebut menjadikan anak kesulitan belajar, bahkan dapat menyebabkan
penyakit Alzheimer dan Parkinson (KEMENKES, 2010). Mi instan juga
mengandung tartazin (pewarna kuning), bahan pengawet, MSG
(Monosodium Glutamate), natrium alginta dan CMC (Carboxy Methil
Cellulose) yang mengandung radikal bebas (Harahap, 2010). Radikal bebas
merupakan atom atau molekul yang mengandung satu atau lebih atom yang
tidak berpasangan. Secara kimia molekul yang tidak berpasangan
menyebabkan radikal bebas yang cenderung bereaksi dengan molekul sel
72
tubuh. Reaksi tersebut dapat merusak sel-sel dalam tubuh. Ada beberapa
komponen tubuh yang rentan terhadap radikal bebas, diantaranya kerusakan
DNA, membran sel, protein, dan lipid peroksida (Astuti, 2009).Pandangan-
pandangan ini yang kemudian mendorong pandangan informan mengenai
ketidak cocokan mi instan untuk dikonsumsi balita.
Informasi lain yang diperoleh dari penelitian ini adalah informasi
mengenai brand (merek) mi instan yang diketahui oleh informan. Pola
konsumsi masyarakat yang kini mengalami perubahan misalnya mi instan
yang kian digemari sebagai subtitusi nasi menimbulkan persaingan
dikategori produk mi instan. Produk-produk mi instan yang ada di pasaran
antara lain: dari grup Indofood ada Indomie, Sarimi, Supermi; dari grup
Wings Food ada Mie Sedaap; dari PT. Delly Food SC ada Miduo dan Mie
Gelas, dan lain sebagainya.
Umumnya, informan mengenali mi instan dengan merek Indomie, Mie
Sedaap, Megah Mie, Intermie, Sarimi, Supermi, Mie Gelas. Selain dari
faktor rasa, harga dan porsi dari setiap merek, faktor diri informan yang
memiliki ketertarikan terhadap hal baru menjadikannya sering kali mencoba
merek baru ataupun varian baru dari setiap merek yang mereka kenali.
Media televisi memiliki peranan penting akan hal ini. Promosi yang terus
menerus ditayangkan dan oleh perusahaan terkait sering kali diperbaharui
menjadi lebih menarik, berhasil mengait informan.
73
Berbagai macam praktik pemberian konsumsi mi instan pada balita
yang diketahui oleh informan berdasarkan pengalaman pribadi ataupun
anjuran dari teman dan orang lain yang mereka lihat. Mayoritas informan
mengetahui untuk membuang air rebusan pertama dari mi instan.Tapi
beberapa informan lainnya memilih untuk menghiraukan informasi yang
mereka ketahui itu. Alasan terlalu lama membuang waktu dan rasa mi yang
tidak seenak jika memakai kuah rebusan pertama menjadi pertimbangan para
informan.
Kebanyakan informan juga mengetahui pentingnya pemberian mi
instan disertai dengan bahan tambahan sebagai pelengkap sumber vitamin,
mineral dan protein yang diperlukan oleh tubuh balita. Hal ini sesuai dengan
hasil penelitian Fahmi (2010) bahwa mi instan belum dapat dianggap sebagai
makanan penuh karena belum mencukupi kebutuhan gizi yang seimbang
bagi tubuh. Mi yang terbuat dari terigu mengandung karbohidrat dalam
jumlah besar, tetapi kandungan protein, vitamin dan mineralnya hanya
sedikit. Oleh karenanya pemenuhan gizi mi instan dapat diperoleh dengan
adanya penambahan sayuran dan sumber protein.
Sayuran mengandung antioksidan yang berfungsi mencegah
berkembangnya radikal bebas di dalam tubuh sekaligus memperbaiki sel-sel
tubuh yang rusak (Astuti, 2009). Antioksidan alami mampu melindungi
tubuh terhadap kerusakan yang disebabkan spesies oksigen reaktif,
74
menghambat terjadinya penyakit degeneratif serta mampu menghambat
perosida lipid pada makanan. (Sunarmi, 2005).
Informasi-informasi yang diperoleh informan tersebut kemudian
menjadi alasan infroman dalam melakukan praktik pemberian konsumsi
pada balitanya. Informasi tersebut akan diproses pada tahap selanjutnya,
yaitu pada tahap feel.
b) Feel
Feel merupakan suatu tahap pada informan yang berkaitan dengan
keyakinannya mengenai hasil dan konsekuensi dalam perilaku pemberian
konsumsi mi instan pada balita. Keyakinan tersebut akan berdampak pada
sikapnya terhadap perilaku pemberian konsumsi pada balita. Dengan
keyakinan tinggi maka proses akan berlanjut ke tahap commited-do.
Baudrillard (2011) menjelaskan bahwa perilaku konsumsi saat ini
tidak hanya dipengaruhi oleh faktor-faktor yang murni ekonomis dan
berdasarkan pada pilihan-pilihan rasional akan tetapi juga terdapat unsur
budaya dan sistem pemaknaan sosial sehingga mampu mengarahkan
individu atas suatu komoditi. Sedangkanmenurut Suhardjo (dalam Suwandi,
2014) model perilaku konsumsi sangat dipengaruhi oleh produksi pangan,
sistem distribusi, sistem sosial, ekonomi, politik, dan keadaan rumah tangga
yang melahirkan gaya hidup dan nampak dalam bentuk perilaku konsumsi.
Pandangan tersebut juga sesuai dengan hasil penelitian ini yang
menunjukkan bahwa pengetahuan akan bahaya pemberian konsumsi mi
75
instan pada balita yang diperoleh dari tahap learn tidak serta-merta
menjadikan informan menolak memberikan mi instan pada balitanya. Hal
tersebut dikarenakan adanya faktor-faktor lain yang menghambat penolakan
pemberian konsumsi mi instan oleh informan kepada balitanya, baik faktor
kelebihan dari mi instan ataupun faktor dari pelaku konsumsi.
Faktor yang paling dominan adalah faktor keinginan anak balita yang
dibentuk oleh keadaan lingkungan sosial, khususnya dalam lingkungan
keluarga. Balita adalah golongan paling rawan KEP yang juga merupakan
golongan yang rawan akan penurunan nafsu makan. Diusianya, balita mulai
memperlihatkan perilaku yang biasa disebut foodjags atau perilaku
ketidaksukaan dan penolakan akan makanan tertentu. Hal inilah yang
membuat para informan memberikan mi instan pada balitanya.
Terdapat tiga alur cerita dari informan mengenai pembentukan
perilaku balita ini. Cerita pertama menjelaskan bahwa pemberian konsumsi
mi instan pada balita dengan alasan untuk memancing nafsu makan anak,
sedangkan cerita kedua menjelaskan alasan pemberian mi instan pada balita
dikarenakan balita yang pernah mendapati dan diberikan oleh informan,
anggota keluarga atau tetangga yang sedang mengonsumsi mi instan. Dari
hasil wawancara bersama anggota keluarga informan juga menunjukkan
bahwa tidak ada tindakan pelarangan terhadap perilaku ibu dalam
memberikan mi instan pada balita dilingkungan keluarganya.
76
Sajian makanan baru bagi balita terlebih jika dikonsumsi oleh anggota
keluarga atau orang-orang di lingkungan sosialnya akan menimbulkan
ketertarikan dari balita untuk mengonsumsi makanan tersebut. Hal ini
dikarenakan balita memiliki rasa ingin tau yang cukup tinggi secara alami.
Namun, mi instan yang memiliki rasa yang dinilai enak oleh kebanyakan
orang kemudian menimbulkan efek ketagihan pada balita dari salah satu
informan.
Salah satu informan juga memberikan alur cerita yang berbeda.
Alasan pemberian konsumsi mi instan yang pada akhirnya membuat
balitanya ketagihan dikarenakan faktor kesibukan dari informan yang
merupakan ibu balita sekaligus pemilik warung. Mi instan yang mudah dan
cepat disajikan menjadi jawaban alternatif yang ibu balita berikan ketika
balitanya meminta makanan. Salah satu informan juga menyatakan bahwa
mi instan memiliki kandungan vitamin, protein dan karbohidrat seperti yang
dijelaskan pada keterangan yang ada di bagian belakang kemasan mi instan
tersebut.
77
Gambar 5.1 Kemasan Belakang dari Indomie Rasa Goreng
Selain faktor keinginan balita, faktor ekonomi merupakan salah satu
alasan dalam pemberian konsumsi mi instan pada balita. Beberapa informan
mengaku memberikan mi instan dikarenakan harganya yang murah dan
sesuai dengan kondisi disaat tidak ada lauk atau sayur di rumah. Juga faktor
distribusi yang dimaksud oleh Suhardjo mempengaruhi pemberian konsumsi
mi instan pada balita. Dalam hal ini para informan mengemukakan
mudahnya menjumpai produk-produk mi instan di warung-warung sekitaran
rumah ataupun di mini market yang juga sering menawarkan diskon pada
merek-merek mi instan tertentu.
Potongan harga (discount) merupakan pengurangan harga dari harga
normal. Discount ini adalah salah satu strategi pemasaran dalam upaya
78
meningkatkan penjualan. Berdasarkan penelitian Kartikasari (2015)
menunjukkan bahwa adanya pemotongan harga pada suatu produk secara
parsial meningkatkan penjualan.
Keyakinan akan adanya manfaat dan keunggulan dari mi instan serta
faktor keinginan balita yang tidak dapat dibendung oleh informan membuat
informan terdorong untuk melakukan praktik pemberian konsumsi mi instan
pada balita. Namun beberapa informan lainnya tidak menemukan adanya
manfaat dari pemberian konsumsi mi instan pada balita. Mereka lebih
meyakini bahwa mi instan memiliki efek samping seperti dapat
menyebabkan alergi, gizi kurang pada balita, ketagihan, dan susah BAB,
sebagaimana pengalaman dan informasi yang mereka peroleh di tahap learn.
2. Praktik Pemberian Konsumsi Mi Instan pada Balita
a) Do
Tahap do adalah tahap yang menjelaskan praktik pemberian konsumsi
mi instan oleh ibu kepada balitanya. Tahap ini terbagi atas dua yaitu trial-
dodan commited-do. Trial-do merupakan suatu tahapan ketika informan
melakukan percobaan pemberian konsumsi mi instan pada balita utnuk
memastikan keyakinannya terhadap perilaku pemberian konsumsi mi instan
pada balitanya. Tahap ini dapat dilakukan berulang kali hingga ditemukan
perbedaan ketika percobaan pemberian mi instan pada balita yang kemudian
berpengaruh pada sikap. Tahap ini juga menjadi bagian dari tahap learn
dimana informan memperoleh informasi mengenai mi instan dari percobaan
79
konsumsi yang dilakukannya. Selanjutnya tahapan akan berlanjut ke tahap
feel. Sedangkan commited-do merupakan suatu tahap ketika informan
memberikan mi instan untuk dikonsumsi balitanya secara terus-menerus
setelah yakin dan puas terhadap aktivitas tersebut. Kepuasan yang dimaksud
adalah ketika informan merasakan adanya efek dari pemberian konsumsi mi
instan pada balita sesuai dengan harapannya.
Sesuai dengan keterangan dari beberapa informan, pemberian konsumsi
mi instan pada balitanya dilakukan sejak balita berusia satu tahun.
Sepenuturan salah satu informan bahwa diusia ini, anak-anak sudah mulai
bisa mengunyah makanan keras sehingga mi juga sudah bisa diberikan. Selain
itu, beberapa informan lain memberikan mi instan disaat anaknya berusia dua,
tiga atau empat tahun. Berbagai alasan dituturkan para informan, seperti salah
satunya dikarenakan anak balita yang mulai bosan dengan ikan dan sayur
sehingga diberikan mi instan sebagai pemancing nafsu makan.
Indomie rasa goreng dan kaldu, Megah Mie serta Mie Gelas adalah mi
instan yang diberikan oleh informan kepada balita. Namun mayoritas itu
adalah Indomie. Bagi informan Indomie adalah mi instan yang memiliki
varian rasa seperti rasa goreng, soto dan kaldu.
80
Tabel 5.3
Pangsa Pasar Produk Mie Instan Tahun 2010-2014
No Merek Market Share (%)
2010 2011 2012 2013 2014 Rata-rata
1. Indomie 81,0 75,9 77,5 76,5 75,7 77,32
2. Mie Sedaap 13,5 17,6 20,4 15,6 16,2 16,66
3. Supermie 3,6 3,2 1,3 3,5 3,1 2,94
4. Sarimie 0,6 1,6 0,5 2,3 2,7 1,54
5. Lain-lain 1,3 1,7 0,3 2,1 2,3 1,54
Sumber: Majalah SWA
Dalam hal varian rasa, indomie rasa goreng merupakan varian yang
paling diminati. Warnanya yang mencolok serta dilengkapi dengan kecap
menjadikan rasanya dinilai lebih enak dan disukai oleh balita. Kecap yang
menjadi bumbu pelengkap mi instan varian goreng mengandung nipagin
sebagai bahan pengawet. Di Indonesia, batasan konsumsi harian dari nipagin
(methyl p-hydroxybenzoate) dalam kecap yaitu sebesar 250 mg/kg. konsumsi
berlebihan nipagin dapat menimbulkan gangguan fungsi hati (Herbet, 2010).
Sedangkan kandungan nipagin dalam kecap yang ada pada mi instan produksi
Indonesia sebesar 250 mg/kg (KEMENKES, 2010).
81
Gambar 5.2 Indomie rasa Goreng
Selain itu, informasi mengenai bahaya mi instan yang juga dapat
ditemui pada air rebusan pertama mi instan dapat dihindari oleh informan
karena varian ini disajikan tanpa kuah rebusan mi tersebut. Beberapa
informan juga mengatakan bahwa rasa dari merek indomie tidak terlalu
menyengat jika dibandingkan dengan merek lainnya.
Informan lain memiliki pandangan yang berbeda mengenai pemilihan
produk terfavorit. Seperti dua informan lebih menyukai varian rasa kaldu dari
merek Megah Mie yang diproduksi oleh PT Megah Putra Sejahtera.
82
Gambar5.3 Megah Mie Rasa Kaldu Ayam
Hal tersebut dikarenakan produk ini tidak memiliki minyak dalam
penyajiannya. Minyak dinilai dapat memberikan dampak buruk bagi
kesehatan. Selain itu, produk lokal Sulawesi Selatan ini juga tergolong lebih
murah jika dibandingkan dengan merek lainnya.
Berbeda dengan dua pandangan sebelumnya, salah satu informan lebih
memilih Mi Gelas dikarenakan porsinya yang tidak terlalu banyak dan juga
mengandung sayuran kering. Iklan ditelevisi yang menampilkan anak-anak
juga menjadi bayangan bagi informan bahwa merek tersebut cocok untuk
diberikan kepada anak-anak.
83
Gambar 5.4 Migelas
Iklan televisi mempengaruhi perubahan konsumen dari segi kognitif,
afektif dan psikomotorik. Berdasarkan penelitian Kuroifah (2014)
menunjukkan bahwa iklan di televisi mempunyai daya tarik yang lebih
dibandingkan media yang lain. Daya tarik iklan di televisi adalah lebih mudah
dijangkau, dapat dilihat setiap saat, menampilkan suara dengan jelas, efektif,
efisien, mampu memperkenalkan produk secara persuatif, memiliki unsur
pendukung/bintang iklan, unsur humor, unsur musik, dan unsur komparatif.
Iklan berisi representasi kenyataan yang hidup dalam mayarakat melalui
simbol tertentu yang dapat menimbulkan impresi dalam benak konsumen
bahwa citra produk yang ditampilkan merupakan bagian dari budayanya
(Wibowo, 2011). Perusahaan harus memiliki cara kreatif dalam
menyampaikan iklan agar dapat menarik perhatian konsumen dan
menciptakan preferensi terhadap merek. Salah satu cara kreatif dalam
mempromosikan suatu produk berupa iklan adalah dengan menggunakan
model yang sekarakteristik dengan konsumen yang menjadi sasaran.
84
Iklan produk-produk mi instan biasanya menampilkan sosok yang
mewakili berbagai kalangan seperti anak-anak, wanita karir, buruh bangunan,
mahasiswa, dan petani. Pencitraan ini dimaksudkan untuk menanamkan
pandangan bahwa produk tersebut merupakan makanan yang tidak mengenal
kelas sosial. Dengan kata lain, makanan instan ini tidak memalukan jika
dikonsumsi kalangan atas dan juga terjangkau oleh kalangan kelas bawah.
Frekuensi pemberian konsumsi mi instan pada balita oleh informan
cukup bervariatif. Beberapa informan memberikannya hanya satu kali dalam
seminggu. Hal tersebut dipengaruhi oleh adanya ketakutan akan efek samping
yang diketahui oleh informan. Namun ketakutan tersebut tidak membuat
informan menolak untuk memberikan mi instan untuk dikonsumsi oleh
balitanya dikarenakan balita yang sering kali menangis jika informan tidak
memberikan mi instan tersebut. Informan lainnya menyajikannya dua kali
hingga 4 kali dalam seminggu. Selain itu, umumnya, informan mengaku
memberikan sebungkus mi instan untuk dikonsumsi berdua dengan saudara
atau anggota keluarga dari balita tersebut. Penyajian yang bagi informan
dianggap tidak terlalu sering dengan porsi yang dibatasi ini dimaksudkan
untuk menahan efek ketagihan berdasarkan informasi yang diperolehnya pada
tahap learn dan feel.
Mi instan yang tidak berkuah atau yang tidak memiliki minyak lebih
sering dipilih oleh informan untuk diberikan kepada balitanya. Telur dan sawi
85
hijau sering dijadikan sebagai bahan tambahan penyajiaannya. Penambahan
sawi hijau dapat menurunkan jumlah radikal bebas (Pahlevi, 2014).
Selain itu, pemberian mi instan ini sering kali dilengkapi oleh nasi yang
merupakan makanan pokok mayoritas masyarakat Indonesia. Informan
mengaku memberikan nasi dengan porsi yang lebih banyak dari pada mi
instan supaya balita merasa kenyang dan terbiasa untuk tidak mengonsumsi
terlalu banyak mi instan. Bahan tambahan lain seperti bakso dan sosis juga
disebutkan oleh beberapa informan. Namun salah satu informan mengaku
balitanya tidak menyukai mi yang disajikan bersamaan dengan sayuran.
E. Hambatan Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti menemukan berbagai hambatan seperti
pengobservasian pengolahan mi instan yang tidak dapat dilakukan secara
menyeluruh terhadap informan. Oleh karenanya, informasi yang diperoleh hanya
berdasarkan penjelasan secara verbal dari informan.Kesulitan komunikasi juga
dialami oleh penelti dikarena informan terkadang menggunakan istilah dari
bahasa daerah yaitu bahasa bugis yang tidak dimengerti oleh peneliti.Namun
hambatan ini dapat disiasati dengan memohon pendampingan dari pihak kader
Posyandu Bahagia yang juga sewilayah tempat tinggal dengan para informan.
86
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan peneliti mengenai perilaku ibu
dalam pemberian konsumsi mi instan pada balita, maka diperoleh beberapa
kesimpulan sebagai berikut:
1. Pada tahap learn diperoleh informasi alasan pemberian konsumsi mi instan pada
balita oleh informan (ibu balita) dikarenakan oleh faktor keinginan balita,
pertimbangan rasa dan harga serta pengaruh dari anggota keluarga, teman dan
tetangga.
2. Tahap feel adalah dimana informan memberi keyakinan pada konsekuensi yang
diterimanya berkaitan dengan pemberian mi instan pada balitanya. Pada tahap
feel menunjukkan bahwa informan memiliki keyakinan terhadap bahaya mi
instan untuk dikonsumsi oleh balita, namun keyakinannya tidak lebih besar dari
pada faktor keinginan anak dan kelebihan dari mi instan. Hal tersebut yang
mendorong informan maju ke tahap do dengan pola adopsi trial-do.
3. Pola adopsi yang dilakukan informan adalah pola trial-do. Sebelum mengadopsi
perilaku, informan terlebih dahulu mencoba beberapa praktik yang diperolehnya
pada tahap learn dan feel. Praktik pemberian konsumsi mi instan pada balita
yang umumnya dilakukan oleh informan ialah dengan memberikan mi instan
yang tidak berkuah. Beberapa informan lainnya memilih mi yang berkuah
dengan praktik pengolahan membuang air rebusan pertama kemudian diganti
86
87
baru sebagai kuah dari mi instan tersebut. Bahan tambahan yang informan
berikan adalah telur dan sawi hijau.
B. Saran
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, maka peneliti menyarankan beberapa
hal berikut:
1. Ibu balita tidak menyediakan mi instan di rumah sebagai bentuk
pencegahan terhadap pemberian mi instan pada balitanya.
2. Puskesmas Turikale mengadakan penyuluhan mengenai bahaya mi instan
agar ibu balita tidak memberikan mi instan pada balitanya. Disamping itu,
program tersebut sebaiknya juga memuat informasi mengenai pengolahan
makanan tambahan yang sehat dan aman bagi balita.
DAFTAR PUSTAKA
Adriani, M., et al. 2013. Pola Asuh Makan Pada Balita Dengan Status Gizi
Kurang Di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Kalimantan Tengah Tahun
2011. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan Volume 16 Nomor 2 Hal.
185-193.
Amarowicz. R., et al. 2004. Free-radical Scavenging Capacity and Antioxidant of
Selected Plant Species from the Canadian Prairies. Food Chem Nomor
84 Hal. 551-562.
Anggita, Nina. 2012. Hubungan Faktor Konsumsi dan Karakteristik Individu
dengan Persepsi Gangguan Lambung pada Mahasiswa Penderita
Gangguan lambung di Pusat Kesehatan Mahasiswa (PKM) Universitas
Indonesia Tahun 2011. Jakarta, Universitas Indonesia.
Arianto, N. T. 2013. Pola Makan Mi Instan: Studi Antropologi Gizi pada
Mahasiswa Antropologi Fisip Unair. BioKultur Volume 2 Nomor 1 Hal.
27-40.
Astuti, Niluh. 2009. Uji Aktivitas Penangkap Radikal DPPH oleh aAnalog
Kurkumin Monoketon dan nHeteroalifatik Monoketon. Surakarta,
Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Azwar, S. 2011. Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta, Pustaka
Pelajar.
Badan Standar Nasional. 2000. SNI. 01-3551-2000: Mi Instan.
Baudrillard, J.P. 2011. Masyarakat Konsumsi. Yogyakarta, Kreasi Wacana.
Brown, J. E. 2005. Nutrition Through The Life Cycle Second Edition.USA,
Thomson Wadsworth.
Departemen Kesehatan RI. 2009. DKBM (Daftar Komposisi Bahan Makanan).
Jakarta, Departemen Kesehatan RI.
Departemen Kesehatan RI. 2014. Peraturan Menteri Kesehatan RI No 66 Tahun
2014, Jakarta.
Djola, R. 2012. Hubungan antara Tingkat Pendapatan Keluarga dan Pola Asuh
dengan Status Gizi Anak Balita di Desa Bongkudai Kecamatan Madayag
Barat. Manado, Universitas Sam Ratulangi.
Dwiastuti, R., et al. 2012. Ilmu Perilaku Konsumen. Malang, UB Press.
Eddyono, F., et al. 2014. Purchase Behavior of Noodles: A Case Study of Effort
Primary Food Diversification in Indonesia. International Journal of
Science and Technology Volume 3 Nomor 10 Hal. 655-662.
Handayani, T. H. W., et al. 2011. Pengolahan Makanan Indonesia. UNY.
Yogyakarta, Kementerian Pendidikan Nasional.
Harahap, Rahmadiwati. 2010. Penetapan Bilangan Asam dalam Mie Instan
Produk PT Indofood. Medan, Universitas Sumatera Utara.
Herbet, Manurung. 2010. Analisis Bahan-Bahan Natrium Benzoat pada Bumbu
dan Kecap Mie Instan secara Spektrofotometer. Medan, Universitas
Sumatera Utara.
Jafar, N. 2010. Status Gizi Balita. FKM UNHAS. Makassar, Universitas
Hasanuddin.
Kartikasari, Dwi., et al. 2015. Pengaruh Biaya Promosi dan Potongan Harga
terhadap Penjualan (Studi Kasus PT Daihan Labtech Batam). Batam,
Politeknik Negeri Batam.
Kementerian Kesehatan RI. 2011. Strategi Nasional Penerapan Pola Konsumsi
Makanan dan Aktifitas Fisik untuk Mencegah Penyakit Tidak Menular.
Jakarta, Kementerian Kesehatan RI.
Kementerian Kesehatan RI. 2015. Bahaya Mie Instant bagi Kesehatan. Diakses
tanggal 15 Juli 2017. gizi.depkes.go.id/bahaya-mie-instant-bagi-
kesehatan
Kementrian Kesehatan RI. 2010. Produk Mie Instan di Indonesia Aman
Dikonsumsi. www.depkes.go.id
Kementrian Kesehatan RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar 2013. Jakarta: Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Kementrian Kesehatan RI. 2015. Buku Saku Pemantauan Gizi dan Indikator
Kinerja Gizi tahun 2015. Jakarta, Direktorat Gizi Masyarakat.
Khomsan, A. 2012. Ekologi Masalah Gizi, Pangan, dan Kemiskinan. Bandung,
Alfabeta.
Koswara, S. 2009. Teknologi Pengolahan Mie. eBookPangan.com : diakses 4
Februari 2017
Kotler, P. and E. L. Roberto. 1989. Social Marketing: Strategies for Changing
Public Behavior. New York, The Free Press.
Kurniasih, et al. 2010. Sehat & Bugar Berkat Gizi Seimbang. Jakarta, Kompas
Gramedia.
Kuroifah, M. 2014. Pengaruh Daya Tarik Iklan Makanan Instan di Televisi
terhadap Perilaku Konsumsi Makanan pada Mahasiswa Kos Program
Studi Pendidikan Teknik Boga FT UNY. Yogyakarta, Universitas Negeri
Yogyakarta.
Kuroifah, Mita. 2014. Pengaruh Daya Tarik Iklan Makanan Instan di Televisi
terhadap Perilaku Konsumsi Makanan pada Mahasiswa Kos Program
Studi Pendidikan Teknik Boga FT UNY. Yogyakarta, Universitas Negeri
Yogyakarta.
Latief, A. W. 2011. Analisis Faktor Psikologis Konsumen dan Pengaruhnya
terhadap Keputusan Pembelian. Jurnal Administrasi Indonesia Volume 1
Nomor 1 Hal. 70-94.
Lestari, T. W., et al. 2013. Pengaruh Pemberian Makan Balita dan Pengetahuan
Ibu Terhadap Status Gizi Balita di Kelurahan Meteseh Kecamatan
Tembalang Kota Semarang. Semarang, Universitas Muhammadiyah
Semarang.
Mardiana. 2005. Hubungan Perilaku Gizi Ibu dengan Status Gizi Balita di
Puskesmas Tanjung Beringin Kecamatan Hinai Kabupaten Langkat
Tahun 2005. FKM USU. Medan, Universitas Sumatera Utara.
Muchsin, Rosanti. 2009. Pengaruh Pemberian Monosodium Gluamate terhadap
Histologi Endometrium Mencit (Mus Musculus L). Medan, Universitas
Sumatera Utara.
Notoadmodjo, S. 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta, Rhineka
Cipta.
Notoadmodjo, S. 2010. Ilmu Perilaku Kesehatan. Jakarta, Rineka Cipta.
Nutrifood Research Center. 2014. Buka Fakta! 101 Mitos Kesehatan. Jakarta,
Gramedia Pustaka Utama.
Pahlevi, et al. 2014. Studi Pengaruh Sawi Hijau (Brassica juncea) terhadap
Jumlah Radikal Bebas pada Mie Instan. Malang, Universitas Brawijaya.
Park, S., et al. 2016. Instant Noodles, Processed Food Intake, and Diaterry
Pattern are Associated with Atopic Dermatitis in a Adult Population
(KNHANES 2009-2011). Asia Pac J Clin Nutr 2016 Volume 25 Nomor 3
Hal. 602-613.
Perdana, F. dan Hardinsyah. 2013. Analisis Jenis, Jumlah, dan Mutu Gizi
Konsumsi Sarapan Anak Indonesia. Jurnal Gizi dan Pangan, Volume 8
Nomor 1 Hal. 39-46.
Sarkim, L., et. al. 2010. Perilaku Konsumsi Mie Instan pada Mahasiswa Fakultas
Kesehatan Masyarakat UNDANA Kupang yang Tinggal di Kos Wilayah
Naikoten 1. MKM Volume 5 nomor 1 Hal. 41-48.
Soetjiningsih, et. al. 2014. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta, Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Sumarwan, U. 2003. Perilaku Konsumen: Teori dan Penerapannya dalam
Pemasaran. Jakarta, Ghalia Indonesia.
Sunardi. 2010. Konsep Dasar Modifikasi Perilaku. PLB FIP UPI. Bandung,
Universitas Pendidikan Indonesia.
Sunarmi, T. 2005. Aktivitas Antioksidan Penangkap Radikal Bebas Beberapa
Kecambah dari Biji Tanaman Familia Pepilionaceae. Jurnal Farmasi
Indonesia Volume 2 Nomor 2 Hal. 53-6.
Suwandi, E. P. 2014. Perilaku Konsumsi Makanan Instan pada Siswa Kelas XI
Jasa Boga Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 3 Klaten. Yogyakarta,
Universitas Negeri Yogyakarta.
Wandasari, N. 2014. Hubungan Pengetahuan Ibu tentang Mi Instan dan Perilaku
Konsumsi Mi Instan pada Balita di RW. 04 Perumahan Villa Balaraja
Kabupaten Tangerang. Forum Ilmiah Volume 11 Nomor 3 Hal.386-401.
Warta Konsumen. 2001. Jenis-Jenis Makanan Mengandung MSG. Diakses
tanggal 27 Januari 2017.
Wibowo, Indiwan Seto Wahyu. 2011. Semiotika Komunikasi-Aplikasi Praktis
bagi Penelitian dan Skripsi Komunikasi. Jakarta, Mitra Wacana Media.
Widyarini.2014. Perilaku Konsumsi Minuman Energi pada Sopir Pete-pete
Trayek Sudiang Kota Makassar tahun 2014. Makassar, Universitas
Hasanuddin.
Wijono, D. 2007. Paradigma dan Metodologi Penelitian Kesehatan.Surabaya,
CV. DUTA PRIMA AIRLANGGA.
World Instan Noodle Association (WINA).National Trend In Instant
NoodleDemands. Diakses 27 Januari 2017;
http://instantnoodles.org/noodles/expanding-market.html.
Zailani, et al. 2016.Effect of Instant Noodles Formulated Diet on Weanling Albino
Rats. Journal of Agriculture and Food Science Volume 4 Nomor 7
Hal.161-168.
LAMPIRAN
Lampiran 1
INFORMED CONSENT
PERSETUJUAN MENJADI INFORMAN
Selamat Pagi/Siang/Sore
Perkenalkan nama saya Nuraeni. Saya adalah mahasiswi S1 angkatan 2013
Bagian Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku, Fakultas Kesehatan Masyarakat,
Universitas Hasanuddin. Saya bermaksud melakukan penelitian mengenai
“Perilaku Ibu dalam Pemberian Konsumsi Mi Instan pada Balita”. Penelitian ini
dilakukan sebagai tahap akhir dalam penyelesaian studi di Fakultas Kesehatan
Masyarakat, Universitas Hasanuddin.
Saya berharap Bapak/Ibu, Saudara/Saudari bersedia untuk menjadi informan
dalam penelitian ini dimana saya akan melakukan wawancara mendalam terkait
dengan penelitian. Semua informasi yang Bapak/Ibu, Saudara/Saudari berikan
terjamin kerahasiaannya, dengan cara hanya mencantumkan inisial nama dari
Bapak/Ibu, Saudara/Saudari dan tidak mencantumkan identitas informan ke dalam
hasil penelitian saya.
Setelah Bapak/Ibu, Saudara/Saudari membaca maksud dan kegiatan penelitian di
atas, saya mohon untuk mengisi nama dan tanda tangan di bawah ini.
Saya yang bertanda tangan dibawah ini, setuju untuk ikut serta dalam penelitian.
Nama : ________________________________________
Tanda tangan : ________________________________________
Terima kasih atas kesedian Bapak/Ibu, Saudara/Saudari untuk ikut serta di dalam
penelitian ini.
Lampiran 2
PERILAKU IBU DALAM PEMBERIAN KONSUMSI MI INSTAN
PADA BALITA
Lembar Observasi
Observasi akan ditempuh dengan cara melihat perilaku ibu dalam memberika mi
instan pada balitanya, seperti kapan dan bagaimana ibu mengolah mi instan,
tempat ibu membeli mi instan, jumlah pemberian konsumsi mi instan oleh ibu
kepada balitanya, dll. Observasi pada penjual mi instan hanya berbatas pada
kondisi dan jenis mi instan yang dijual.Sedangkan pada pihak anggota keluarga
lainnya hanya berbatas pada upaya mendukung atau tidak mendukung perilaku
ibu dalam memberikan mi instan pada balitanya. Hasil observasi nantinya akan
dibandingkan dengan hasil wawancara.
Tanggal Observasi : …… /…… /………. (tgl/bln/thn)
Lokasi Observasi : ..........................................................................
Objek Observasi : ..........................................................................
Lampiran 3
PERILAKU IBU DALAM PEMBERIAN KONSUMSI MI INSTAN
PADA BALITA
Pedoman Wawancara untuk Ibu yang Memberikan Konsumsi Mi Instan
pada Balita
Identitas Informan
Nama Informan : ...........................................................................
Usia : ...........................................................................
Alamat : ...........................................................................
Nomor Telepon : ...........................................................................
Tanggal wawancara : _ _ / _ _ / _ _ _ _ (tgl/bln/thn)
Wawancara Mendalam
A. Alasan Pemberian Konsumsi Mi instan pada Balita
1. Tahap Learn
a. Apa yang Anda ketahui tentang mi instan?
b. Apa kelebihan dan kekurangan dari mi instan?
c. Apa manfaat mi instan?
d. Apaefek samping dari mi instan?
e. Jenis mi instan (kemasan, merek) yang Anda ketahui?
f. Bagaimana praktik pemberian konsumsi mi instan pada balita yang Anda
ketahui dari orang lain?
g. Siapa yang menjadi informan Anda yang memberikan informasi tentang
poin f?
2. Tahap Feel
a. Apa manfaat balita mengkonsumsi mi instan?
b. Apa efek samping konsumsi mi instan pada balita?
c. Apakah Anda setuju atau tidak untuk memberikan mi instan pada balita?
B. Praktik Pemberian Konsumsi Mi Instan pada Balita
1. Tahap Do
a. Kapan waktu pertama Anda memberikan konsumsi mi instan pada balita
Anda?
b. Jenis mi instan apa yang Anda berikan pada balita Anda?
c. Jenis mi instan apa yang paling sering Anda berikan pada balita Anda?
d. Dalam seminggu, berapa kali Anda memberikan mi instan untuk
dikonsumsi oleh balita Anda?
e. Bagaimana cara Anda menyajikan mi instan untuk dikonsumsi oleh
balita?
f. Apakah Anda menambahkan bahan makanan lain pada mi instan yang
akan diberikan kepada balita Anda?
g. Dimana tempat Anda memperoleh mi instan dan berapa harganya?
PERILAKU IBU DALAM PEMBERIAN KONSUMSI MI INSTAN
PADA BALITA
Pedoman Wawancara untuk Pihak Anggota Keluarga Lainnya
Identitas Informan
Nama Informan : ...........................................................................
Status dalam Keluarga : ...........................................................................
Usia : ...........................................................................
Jenis Kelamin : ...........................................................................
Alamat : ...........................................................................
Nomor Telepon : ...........................................................................
Tanggal wawancara : _ _ / _ _ / _ _ _ _ (tgl/bln/thn)
Wawancara Mendalam
1. Apakah Anda mengonsumsi mi instan?
2. Apakah Anda mengetahui bahwa ibu yang memiliki balita dalam keluarga anda
memberikan mi instan untuk dikonsumsi balitanya?
Jika Iya:
a. Bagaimana reaksi Anda?
b. Tindakan apa yang diambil oleh Anda?
3. Bagaimana persepsi Anda mengenai pemberian mi instan untuk dikonsumsi
balita?
PERILAKU IBU DALAM PEMBERIAN KONSUMSI MI INSTAN
PADA BALITA
Pedoman Wawancara untuk TPG Puskesmas Turikale
Identitas Informan
Nama Informan : ...........................................................................
Usia : ...........................................................................
Jenis Kelamin : ...........................................................................
Alamat : ...........................................................................
Nomor Telepon : ...........................................................................
Tanggal wawancara : _ _ / _ _ / _ _ _ _ (tgl/bln/thn)
Wawancara Mendalam
1. Bagaimana menurut anda tentang ibu yang memberikan mi instan untuk
dikonsumsi oleh balitanya?
2. Apakah ada program yang pernah dilaksanakan terkait pemberian mi instan oleh
ibu kepada balitanya?
3. Apa nama program tersebut?
4. Berapa kali program tersebut telah dilaksanakan?
5. Bagaimana cara mensosialisasikan program tersebut?
6. Apa hambatan yang muncul pada pelaksanaan kegiatan tersebut?
7. Bagaimana hasil dan evaluasi dari program tersebut?
Lampiran 4
Lampiran 5
MATRIKS WAWANCARA IBU BALITA DI POSYANDU KELURAHAN TURIKALE
NO INFORMASI INFORMAN ANALISIS REDUKSI INTISARI INTERPRETASI
Variabel: Alasan Pemberian Konsumsi Mi Instan pada Balita
Tahap Learn
1 Pemahaman
tentang mi
instan
MA Merupakan makanan
tambahan.
Informan
memahami mi
instan sebagai
makanan tambahan
dan cemilan yang
enak dan terbuat
dari terigu,
berbentuk keriting
dengan harga yang
murah tapi sulit
hancur dalam
pencernaan dan
kurang bergizi serta
berbahaya bagi
kesehatan karena
mengandung zat
lilin, MSG, dan zat
pengawet.
Mi instan
merupakan
makanan
tambahan dan
cemilan yang
enak dan terbuat
dari terigu,
berbentuk
keriting dengan
harga yang murah
tapi sulit hancur
dalam pencernaan
dan kurang
bergizi serta
berbahaya bagi
kesehatan karena
mengandung zat
lilin, MSG, dan
zat pengawet.
Menurut informan,
mi instan adalah
makanan tambahan
dan cemilan yang
enak dan terbuat
dari terigu,
berbentuk keriting
dengan harga yang
murah. Namun
disisi lain,
informan juga
beranggapan bahwa
mi instan sulit
hancur dalam
pencernaan dan
kurang bergizi serta
berbahaya bagi
kesehatan karena
mengandung zat
lilin, MSG, dan zat
pengawet.
ER Semacam makanan
tambahan yang
diberikan selingan.
Mi instan juga
mengandung zat
lilin.
FI Makanan pengganti
nasi dan bisa juga
dijadikan cemilan.
SU Makanan instan yang
mengandung zat
lilin.
AK Makanan yang enak
tapi susah dicerna.
HM Makanan yang
mengandung zat
lilin.
SA Makanan yang
mengandung banyak
pengawet dan MSG.
MU Makanan cepat saji
yang enak dan
mudah diolah
KA Makanan penambah
nafsu makan.
SI Makanan yang
terbuat dari terigu
yang berbentuk
keriting.
MD Makanan instan yang
enak dan murah.
2 Pandangan ibu
balita tentang
pemberian
konsumsi mi
instan pada
balita
MA Tidak cocok untuk
balita.
Informan memiliki
pandangan bahwa
mi instan tidak
cocok diberikan
untuk balita karena
memiliki zat lilin,
susah dicerna dan
tidak mencukupi
kebutuhan gizi
balita serta
membuat anak
alergi. Namun,
karena alasan
kesukaan anak dan
dapat menambah
nafsu makan maka
mi instan tetap
diberikan kepada
balita untuk
Mi instan tidak
cocok diberikan
untuk balita
karena memiliki
zat lilin, susah
dicerna dan tidak
mencukupi
kebutuhan gizi
balita serta
membuat anak
alergi. Namun,
karena alasan
kesukaan anak
dan dapat
menambah nafsu
makan maka mi
instan tetap
diberikan kepada
balita untuk
Mayoritas informan
memiliki
pandangan bahwa
mi instan tidak
cocok diberikan
untuk balita.
Bebertapa informan
menolak karena
beranggapan mi
instan memiliki zat
lilin dan susah
dicerna. Sedangkan
menurut beberapa
informan lainnya,
mi instan tidak
mencukupi
kebutuhan gizi
balita serta
membuat anak
ER Tidak cocok. Anak-
anak bisa kurang gizi
karena karena mi
mengandung zat lilin
dan kurang bergizi.
FI Tidak cocok karena
tidak bergizi justru
nanti bikin anak-
anak gatal-gatal, tapi
mi ini juga bias
dijual.
SU Tidak baik bagi
balita karena
mengandung zat
lilin.
AK Tidak cocok, tapi
anak-anak menyukai
mi meskipun
dilarang.
dikonsumsi. dikonsumsi. alergi. Namun,
karena alasan
kesukaan anak dan
dapat menambah
nafsu makan maka
mi instan tetap
diberikan kepada
balita untuk
dikonsumsi.
HM Tidak cocok karena
mi instan susah
dicerna.
SA Tidak baik karena mi
mengandung bahan
pengawet.
MU Sebenarnya tidak
boleh tapi terpaksa
diberikan ke anak
karena anak
mengamuk
(menangis) jika mau.
BN Anak saya suka jadi
diberikan.
KA Baik untuk
memancing nafsu
makan anak yang
susah makan.
SI Tidak cocok tapi
disuka sama anak
saya.
MD Sebenarnya tidak
cocok karena anak
tetangga pernah
masuk rumah sakit
karena kebanyakan
makan mi katanya.
Tapi anak-anak suka.
3 Manfaat mi
instan
MA
Dapat dijadi
makanan tambahan.
Informan
beranggapan bahwa
mi instan dapat
dijadikan makanan
tambahan,
menambah selera
makan,
mengenyangkan dan
idgunakan untuk
memancing anak
untuk makan.
mi instan dapat
dijadikan
makanan
tambahan,
menambah selera
makan,
mengenyangkan
dan idgunakan
untuk memancing
anak untuk
makan.
Mayoritas
Informan
mengatakan bahwa
mi instan memiliki
manfaat seperti
dapat dijadikan
makanan tambahan,
menambah selera
makan,
mengenyangkan
dan idgunakan
untuk memancing
anak untuk
makantapi diantara
semua informan,
terdapat dua
informan yang
beranggapan bahwa
tidak ada manfaat
dari mi instan
ER Tidak ada manfaat
dari mi instan.
FI Mengenyangkan dan
dapat dijual.
SU Dijadikan makanan
untuk sarapan pagi
dan bisa dipakai
memancing anak
untuk makan.
AK Bisa menambah
selera makan.
HM Mengenyangkan.
SA Sebagai lauk.
MU Kata orang bisa
membuat anak
gemuk.
KA Menambah nafsu
makan anak yang
susah makan.
SI Bisa bikin kenyang.
MD Bisa dijadikan lauk.
4 Jenis mi instan MA Indomie, Sedaap,
Mega Mie.
Informan
mengetahui ada
beberapa jenis mi
instan yaitu
Indomie, Mie
Sedaap, Megah Mie,
Mi instan dengan
merek Indomie,
Mie Sedaap,
Megah Mie, Mie
Sejati, Sarimi,
Mie Gelas,
Mi instan terdiri
dari berbagai
macam merek yang
dikemas dalam satu
bentuk kemasan
persegi empat
ER Indomie, Sedaap,
Sejati, Mega Mie,
Sarimi.
FI Indomie, Sedaap,
Megah Mie, Sarimi. Mie Sejati, Sarimi,
Mie Gelas, Intermie
dan Supermie yang
kesemuaannya
dikemas dalam
bungkusan persegi
empat
Intermie dan
Supermie yang
kesemuaannya
dikemas dalam
bungkusan
persegi empat
seperti merek
Indomie, Mie
Sedaap, Megah
Mie, Mie Sejati,
Sarimi, Mie Gelas,
Intermie dan
Supermie
SU Indomie, Sarimi dan
Sedaap.
AK Indomie, Megah
Mie, Mie Sedaap,
Sarimi.
HM Indomie, Mi Gelas,
Megah Mie.
SA Indomie, Mie
Sedaap, Megah Mie.
MU Indomie. Mie
Sedaap, Megah Mie,
Sarimi, Intermie.
KA Megah Mie,
Indomie, Mie Sejati,
Mie Sedaap, Sarimi
SI Indomie, Mie
Sedaap, Inter mie,
Megah Mie, Sarimi,
Mie Gelas
MD Indomie, Mie
Sedaap, Intermie,
Megah Mie,
Supermi, Mie Gelas
5 Kelebihan dan
kekurangan mi
instan
MA Kelebihannya itu
mudah dan cepat
disajikan sedangkan
kekurangannya
adalah tidak
mengenyangkan.
Informan
beranggapan bahwa
mi instan memiliki
kelebihan mudah
dan cepat disajikan,
enak, murah dan
Mi instan
memiliki
kelebihan mudah
dan cepat
disajikan, enak,
murah dan mudah
Menurut informan,
mi instan memiliki
kelebihan dan
kekurangan. Ada
yang beranggapan
bahwa mi instan
ER Kelebihannya karena
praktis dan enak jadi
bisa memancing
anak balita untuk
makan tapi bisa bikin
anak sakit.
mudah dijumpai.
Sedangkan
kekurangannya
adalah tidak
mengenyangkan,
tidak menyehatkan,
mengandung zat
lilin. Salah satu
informan juga
meiliki pandangan
bahwa kekurangan
dari mi instan
adalah porsinya
yang kurang banyak
dijumpai.
Sedangkan
kekurangannya
adalah tidak
mengenyangkan,
tidak
menyehatkan,
mengandung zat
lilin. Salah satu
informan juga
meiliki
pandangan bahwa
kekurangan dari
mi instan adalah
porsinya yang
kurang banyak
memiliki kelebihan
mudah dan cepat
disajikan. Beberapa
informan lainnya
beranggapan bahwa
mi instan memiliki
rasa yang enak,
murah dan mudah
dijumpai.
Sedangkan
kekurangannya
adalah tidak
mengenyangkan,
tidak menyehatkan,
mengandung zat
lilin. Namun salah
satu informan juga
meiliki pandangan
bahwa kekurangan
dari mi instan
adalah porsinya
yang kurang
banyak
FI Kelebihannya praktis
tapi kekurangannya
itu tidak
menyehatkan.
SU Kelebihannya praktis
tapi punya zat lilin.
AK Kelebihannya itu
murah, mudah
dimasak, gampang
didapat.
Kekurangannya
membuat kita gatal-
gatal.
HM Rasanya enak dan
murah meriah. Kalau
tidak ada ikan yang
paling praktis itu
penggantinya mi.
kekurangannya itu
porsinya kurang
banyak.
SA Gizinya kurang dan
tidak baik untuk
kesehatan tapi
rasanya enak, praktis
dan murah.
MU Praktis, murah dan
mudah dijumpai.
Tapi kekurangannya
itu bisa membuat
kita tidak sehat.
KA Enak, murah,
gampang dimasak,
juga disukai anak-
anak tapi kata
tetangga mi ini lama
dicerna di dalam
pencernaan.
SI Kelebihannya itu
ekonomis, cepat dan
enak. Sedangkan
kekurangannya itu
sering membuat
anak-anak mencret
dan muntah-muntah.
MD Kelebihannya murah,
praktis dan enak.
Tapi bisa
mengganggu
kesehatan. Bahkan
anaknya tetangga ku
ada yang meninggal
gara-gara terlalu
sering makan mi.
6 Praktik
pemberian
konsumsi mi
instan yang
diketahui dari
orang lain
MA Kata teman yang
juga seorang bidan,
jika memasak mi
yang berkuah, air
yang digunakan
untuk merebus mi
instan dibuang dan
diganti dengan air
rebus yang baru.
Sepuluh informan
mengatakan bahwa
tidak ada praktik
pemberian konsumsi
mi instan yang
diketahui dari orang
lain. Sedangkan dua
orang lainnya
melakukan praktik
pemberian konsumsi
mi instan
berdasarkan anjuran
dari bidan dan
tetangganya yang
keduanya
mengatakan bahwa
rebusan air pertama
mi dibuang lalu
kemudian diganti
dengan air panas
yang baru.
Praktik
pemberian
konsumsi mi
instan dilakukan
berdasarkan
anjuran dari bidan
dan tetangganya
yang keduanya
mengatakan
bahwa rebusan air
pertama mi
dibuang lalu
kemudian diganti
dengan air panas
yang baru. Tapi
mayoritas ibu
mengolah mi
instan
berdasarkan
pengalaman
mereka.
Menurut informan,
praktik pemberian
konsumsi mi instan
dilakukan
berdasarkan
anjuran dari bidan
dan tetangganya
yang keduanya
mengatakan bahwa
rebusan air pertama
mi dibuang lalu
kemudian diganti
dengan air panas
yang baru. Selain
itu, mayoritas
informan yang
tidak memiliki
pengalaman praktik
pemberian
konsumsi mi instan
dari orang lain
hanya
menggunakan
pengalaman diri
sendiri dalam
mengolah mi instan
untuk diberikan
kepada balitanya.
ER Tidak ada.
FI Tidak ada.
SU Tidak ada. Hanya
coba-coba sendiri.
AK Tidak ada.
HM Tidak ada.
SA Tidak ada.
MU Tidak ada. Hanya
saya yang coba-coba
sendiri.
KA Tidak ada, saya coba
sendiri.
SI Saya masak dengan
cara saya sendiri.
MD Tetangga saya
mengatakan supaya
air mi yang rebusan
pertama itu dibuang
dulu baru diganti
dengan air panas
yang baru.
Tahap Feel
1 Manfaat balita
mengonsumsi
mi instan
MA Menjadi makanan
tambahan.
50% informan
menganggap mi
instan tidak
memiliki manfaat
bagi balita.
Sedangkan yang
lainnya beranggapan
bahwa mi instan
dapat dijadikan
makanan tambahan
yang
mengenyangkan,
menambah nafsu
makan dan
mengandung gizi
sesuai dengan
keterangan pada
bungkusan mi instan
Mi instan dapat
dijadikan
makanan
tambahan yang
mengenyangkan,
menambah nafsu
makan dan
mengandung gizi
sesuai dengan
keterangan pada
bungkusan mi
instan. Namun
beberapa ibu juga
memandang mi
instan tidak
memiliki manfaat
bagi balita.
Menurut beberapa
informan, Mi instan
dapat dijadikan
makanan tambahan
yang
mengenyangkan,
menambah nafsu
makan dan
mengandung gizi
sesuai dengan
keterangan pada
bungkusan mi
instan. Namun
beberapa informan
lainnya juga
memandang mi
instan tidak
memiliki manfaat
bagi balita.
ER Tidak ada.
FI Tidak ada.
SU Tidak ada.
AK Tidak ada.
HM Terdapat vitamin,
protein dan lainnya
berdasarkan
keterangan pada
bungkusan mi instan.
SA Tidak ada.
MU Menambah nafsu
makan anak yang
susah makan.
KA Menambah nafsu
makan anak.
SI Bikin kenyang.
MD Tidak ada.
2 Efek samping
konsumsi mi
instan pada
balita
MA Dapat menyebabkan
alergi jika
dikonsumsi terlalu
sering.
Informan
mengetahui adanya
efek samping dari
konsumsi mi isntan
pada balita seperti
menyebabkan
alergi, anak
mengalami
Mi instan
memiliki efek
samping seperti
alergi,
kekurangan gizi,
ketagihan dan
gangguan
pencernaan.
Menurtu informan,
mi instan memiliki
efek samping. Ada
yang beranggapan
bahwa mi instan
dapat menyebabkan
alergi, kurang gizi
dan ketagihan. Ada
ER Anak-anak bisa
kurang gizi.
FI Jika terlalu sering
makan mi bisa gatal-
gatal dan anak-anak
bisa ketagihan. Kata
orang yang punya
pengalaman juga
bilang mi instan
tidak cocok untuk
orang penyakit
maag.
kekurangan gizi,
ketagihan dan
gangguan
pencernaan.
juga yang
mengatakan bahwa
mi instan dapat
menyebabkan
gangguan
pencernaan.
SU Tidak tau.
AK Anak balita bisa
kurang gizi, alergi,
juga membuat anak
tidak cerdas karena
memiliki pengawet.
Mi instan juga bisa
membuat anak-anak
ketergantungan.
HM Jika terlalu banyak
makan mi, anak-anak
bisa gatal-gatal.
SA Bisa alergi.
MU Membuat alergi.
KA Membuat anak-anak
alergi kalau terlalu
sering dikonsumsi.
SI Berat badan anak
tidak naik,alergi,
mencret, dan anak
ketagihan.
MD Bisa membuat perut
kembung dan susah
BAB.
3 Setuju atau tidak
untuk
memberikan mi
instan pada
balita
MA Tidak setuju. Informan mayoritas
tidak setuju untuk
memberikan mi
instan pada balita.
Namun beberapa
informan lainnya
setuju apabila
pemberian tidak
terlalu sering, air
rebusan pertamanya
dibuang dan juga
karena alasan anak
menyukai mi instan
tersebut.
Mayoritas ibu
tidak setuju untuk
memberikan mi
instan pada balita.
Namun beberapa
informan lainnya
setuju apabila
pemberian tidak
terlalu sering, air
rebusan
pertamanya
dibuang dan juga
karena alasan
anak menyukai
mi instan
tersebut.
Mayoritas ibu tidak
setuju untuk
memberikan mi
instan pada balita.
Namun beberapa
informan
menyatakan sikap
untuk setuju
asalkan tidak
terlalu sering
diberikan dan air
rebusan
pertamanya
dibuang. Ada juga
informan yang
setuju dengan
alasan karena anak
menyukai mi instan
dan terlebih bila
tidak ada lauk.
ER Tidak setuju.
FI Tidak setuju.
SU Tidak setuju.
AK Setuju tapi jangan
sering-sering
diberikan.
HM Setuju saja yang
karena anak
menyukainya.
SA Tidak setuju.
MU Tidak sebenarnya
tapi anak-anak
menyukainya.
KA Setuju saja karena
anak susah makan
kalau tidak diberikan
mi.
SI Tidak setuju karena
tidak bergizi.
MD Selama air rebusan
pertamanya dibuang,
tidak masalah.
Variabel : Praktik pemberian konsumsi mi instan pada balita
Tahap Do
1 Alasan
pemberian
konsumsi mi
MA Karena jika tidak
diberikan anak balita
akan menangis.
Informan memiliki
beberapa alasan
dalam memberikan
Alasan dalam
memberikan mi
instan untuk
Berdasarkan
keterangan
informan, alasan
instan pada
balita
ER Karena anak susah
makan, jadi
diberikan mi instan
untuk memancing
nafsu makan anak.
selain itu, karena
praktis jadi cocok
ketika tidak ada
makanan untuk
sarapan pagi.
mi instan untuk
dikonsumsi oleh
balitanya,
diantaranya karena
anak menyukai mi
isntan, harganya
murah dan mudah
diolah.
dikonsumsi oleh
balitanya
diantaranya
karena anak
menyukai mi
instan, harganya
murah dan mudah
diolah.
dalam memberikan
mi instan untuk
dikonsumsi oleh
balitanya karena
anak menyukai mi
instan, harganya
murah dan mudah
diolah.
FI Anak saya
biasayanya juga mau
mengonsumsi mi
ketika mendapati
saya mengonsumsi
mi instan. Dia
biasanya makan
sambil memainkan
mi instan itu.
SU Memancing nafsu
makan anak yang
susah makan.
AK Karena anak sering
ikut makan ketika
saya juga makan mi.
HM Karena anak sering
ikut-ikutan pas saya
makan mi instan.
SA karena mudah
disajikan ketika tidak
ada lauk. Anak juga
suka dengan rasanya.
Harganya juga
murah.
MU Karena anak
menyukainya.
Karena anak suka
terus ikut-ikutan
kalau melihat
temannya makan mi.
KA Karena anak susah
makan jadi
dicobakan mi instan.
SI Karena anak
menyukainya dan
saya sibuk.
MD Karena bisa
dijadikan pengganti
lauk.
2 Pengolahan mi
instan untuk
pada balita
MA Jika memasak mi
yang berkuah, air
yang digunakan
untuk merebus mi
instan dibuang dan
diganti dengan air
rebus yang baru.
Informan mengolah
mi instan yang
berkuah dengan
merebus mi instan
namun air rebusan
mi tersebut dibuang
dan diganti dengan
air rebusan baru.
Beberapa informan
lainnya mengolah
mi yang sama
Mi instan yang
berkuah direbus
dengan air
namun air
rebusan mi
tersebut dibuang
dan diganti
dengan air
rebusan baru.
Ada juga yang
mengolah mi
Berdasarkan
penuturan
informan, mi instan
yang berkuah
direbus dengan air
namun air rebusan
mi tersebut dibuang
dan diganti dengan
air rebusan baru.
Beberapa informan
lainnya mengolah
ER Air rebusan pertama
dibuang lalu diganti
dengan air rebus
yang baru. Mi yang
sduah direbus dicuci
terlebih dahulu
sebelum di campur
dengan air rebusan
baru.
dengan hanya
merebusnya dengan
air dan langsung
mencampurnya
dengan bumbu dan
pelengkap yang ada.
Sedangkan jika mi
goreng, mi direbus
kemudian ditiriskan
dan dicampur
dengan bumbu dan
pelengkap lainnya.
yang sama
dengan hanya
merebusnya
dengan air dan
langsung
mencampurnya
dengan bumbu
dan pelengkap
yang disediakan.
Sedangkan jika
mi goreng, mi
direbus kemudian
ditiriskan dan
dicampur dengan
bumbu dan
pelengkap
lainnya.
mi yang sama
dengan hanya
merebusnya dengan
air dan langsung
mencampurnya
dengan bumbu dan
pelengkap yang
ada. Sedangkan
jika mi goreng, mi
direbus kemudian
ditiriskan dan
dicampur dengan
bumbu dan
pelengkap lainnya.
FI Air rebusan
pertamanya dibuang.
SU Mi direbus tapi
airnya di buang dan
di rebuskan air lain.
AK Dimasak dulu terus
tiriskan air
pertamanya
kemudian masakkan
air lagi. Sebungkus
mi dimasak untuk
anak balita ini
dengan kakaknya.
HM Mi itu dimasak dua
kali, air pertamanya
dibuang lalu
dididihkan air lagi.
Biasa juga mengolah
mi instan goreng
dengan didadar
bersama telur.
SA Direbus kemudian
disajikan bersama
dengan bumbu dan
minyaknya.
MU Direbus terlebih
dahulu terus buang
air rebusannya lalu
diganti dengan air
rebus yang lain
untuk kuahnya.
KA Dimasak sesuai
petunjuk di
pembungkus mi.
SI Masak terlebih
dahulu. Jika mi yang
berkuah, air rebusan
pertamanya dibuang
dan diganti dengan
air rebusan baru.
Kemudia dicampur
dengan bumbunya.
Biasanya satu
bungkus untuk
dimakan berdua
dengan kakaknya.
MD Saya ganti air rebus
pertamanya dengan
air panas yang baru.
3 Waktu pertama
pemberian
konsumsi mi
instan pada
balita
MA Berusia satu tahun
setengah.
Mayoritas informan
mengatakan bahwa
pertama kali
pemberian konsumsi
mi instan pada anak
balita ketika
Pertama kali
pemberian
konsumsi mi
instan pada anak
balita ketika
berumur satu
Menurut
pengakuan
mayoritas informan
menyatakan bahwa
pemberian
konsumsi mi instan
ER Umur satu tahun.
FI Umur satu tahun.
SU Umur tiga tahun.
AK Umur tiga tahun.
HM Umur empat tahun. berumur satu tahun.
Beberapa informan
juga ada yang
memberikannya saat
balita mereka
berumur dua, tiga
atau empat tahun.
tahun. Beberapa
informan juga ada
yang
memberikannya
saat balita mereka
berumur dua, tiga
atau empat tahun.
pada balita ketika
berumur satu tahun.
Selai itu, ada
beberapa informan
juga yang
mengatakan
memberikan mi
instan pertama kali
pada balita ketika
berumur dua, tiga,
atau empat tahun.
SA Umur satu tahun.
MU Umur dua tahun.
KA Umur satu tahun.
SI Sejak umur dua
tahun.
MD
Sejak umur satu
setengah tahun.
4 Jenis mi instan
yang diberikan
pada balita
MA Indomie rasa goreng
dan rasa soto.
Jenis mi instan yang
diberikan pada
balita oleh informan
adalah Indomie rasa
goreng, indomie
rasa soto, indomie
rasa kaldu, Megah
Mie, dan mie gelas.
Jenis mi instan
yang diberikan
pada balita oleh
ibu adalah
Indomie rasa
goreng, indomie
rasa soto,
indomie rasa
kaldu, Megah
Mie, dan mie
gelas.
Menurut
keterangan
informan, Indomie
rasa goreng,
indomie rasa soto,
indomie rasa kaldu
dan mie gelas.
Selain itu, beberapa
informan juga
memberikan
Megah Mie untuk
diberikan pada
balita.
ER Mega mie dan
Indomie rasa Kaldu.
Pokoknya mi instan
yang tidak punya
minyak.
FI Indomie rasa goreng
dan soto.
SU Indomie rasa soto
dan rasa goreng
AK Indomie rasa goreng
dan soto.
HM Indomie rasa goreng
dan kari.
SA Indomie rasa soto
dan goreng.
MU Indomie rasa goreng,
kari dan soto.
KA Megah Mie dan
indomie rasa soto.
SI Indomie rasa goreng
dan Mie Gelas.
MD Indomie rasa goreng
dan Indomie rasa
soto.
5 Jenis mi instan
yang paling
sering diberikan
pada balita
MA Indomie rasa goreng. Jenis mi instan yang
paling sering
diberikan pada
balita oleh informan
adalah Indomie rasa
goreng dan soto
serta merek Megah
Mie
Jenis mi instan
yang paling
sering diberikan
pada balita oleh
ibu adalah
Indomie rasa
goreng dan soto
serta merek
Megah Mie
Menurut
keterangan
informan, Indomie
rasa goreng dan
soto serta merk mi
instan yang
bernama Megah
Mie adalah mi
instan yang paling
sering diberikan
pada balita.
ER Mega Mie.
FI Indomie rasa goreng.
SU Indomie rasa Soto.
AK Indomie rasa goreng.
HM Indomie rasa goreng.
SA Indomie rasa soto.
MU Indomie rasa goreng.
KA Megah Mie.
SI Indomie rasa goreng.
MD Indomie rasa goreng.
6 Kuantitas
pemberian mi
instan pada
balita dalam
seminggu
MA Kurang lebih 4 kali
seminggu dengan
satu kali masak itu
setengah bungkus mi
instan.
Informan
memberikan mi
instan pada
balitanya minimal
satu kali seminggu
dan maksimal ada
yang memberikan
satu bungkus mi
setiap harinya
dengan sekali masak
hanya separuh
bungkus mi untuk
Pemberian mi
instan pada balita
minimal satu kali
seminggu dan
maksimal ada
yang memberikan
satu bungkus mi
setiap harinya
dengan sekali
masak hanya
separuh bungkus
mi untuk seorang
Menurut
keterangan
informan mi instan
pada balitanya
minimal satu kali
seminggu dan
maksimal ada yang
memberikan satu
bungkus mi setiap
harinya dengan
sekali masak hanya
separuh bungkus
ER Dua kali seminggu.
FI Dua kali seminggu.
SU Dua kali seminggu.
AK Dua kali seminggu.
Sebungkus itu
dimasak untuk dua
anak.
HM Sekali atau lebih
dalam seminggu.
seorang balita atau
satu bungkus
diberikan kepada
dua anak.
balita atau satu
bungkus
diberikan kepada
dua anak.
mi untuk seorang
balita atau satu
bungkus diberikan
kepada dua anak. SA Lebih dari 2 kali
seminggu.
MU Kadang hanya 1 atau
dua kali seminggu.
KA Lebih dari 4 kali
seminggu tapi
sebungkus itu dibagi
dua dengan
kakaknya.
SI 7 kali seminggu tapi
sebungkus diberikan
untuk dua anak saya.
MD Sekitar 3 kali
seminggu.
7 Bahan tambahan
pada pengolahan
mi instan untuk
balita
MA Biasa ditambah telur,
sayuran seperti sawi
hijau, bakso dan juga
nasi.
Informan
mengatakan bahwa
mi instan biasanya
diolah dengan bahan
tambahan berupa
telur, sayuran
seperti sawi hijau,
bakso, dan sosis.
Konsumsi mi instan
biasanya juga
dibarengi dengan
nasi.
mi instan
biasanya diolah
dengan bahan
tambahan berupa
telur, sayuran
seperti sawi hijau,
bakso, dan sosis.
Konsumsi mi
instan biasanya
juga dibarengi
dengan nasi.
Menurut penuturan
informan, mi instan
biasanya diolah
dengan bahan
tambahan lainnya
dan dibarengi
dengan nasi.
Beberapa informan
menmabhakan telur
dan sayuran seperti
sawi hijau.
Sedangkan
informan lainnya
menambahkan
ER Sawi Hijau, bakso,
telur dan sedikit nasi.
FI Telur di makan
bersama nasi.
SU Telur .
AK Telur .
HM Telur dan sawi hijau.
SA Telur. Hanya
biasanya dikonsumsi
bersama nasi. Bila
dicampur dengan
sayur, anak-anak
tidak suka.
sosis dan bakso.
MU Telur, sosis, bakso,
sawi hijau.
KA Telur dan juga
ditambahi nasi
sedikit.
SI Hanya telur dan
sedikit nasi.
MD Biasa cuma telur
dimakan bersama
nasi.
8 Tempat
memperoleh mi
instan
MA Di warung. Informan
memperoleh mi
instan dari warung,
dan Alfamart.
Mi instan dapat
diperoleh dari
warung dan
Alfaamart
Menurut informan,
mi instan dapat
diperoleh dari
warung dan
Alfamart
ER Di warung sendiri.
FI Di warung sendiri.
SU Di Alfamart atau
warung.
AK Di Alfamart dan
warung.
HM Di warung.
SA Di warung.
MU Di warung.
KA Di warung.
SI Di Alfamart.
MD Di warung.
MATRIKS WAWANCARA TPG PUSKESMAS TURIKALE
No. Informasi Analisis Reduksi Intisari Interpretasi
1. Pandangan
mengenai ibu yang
memberikan mi
instan pada balia
Mi instan itu tidak
baik jika dikonsumsi
berlebihan oleh balita
karena didalamnya
mengandung bahan-
bahan pengawet dan
belum mencukupi gizi
yang dibutuhkan oleh
balita jika terlebih jika
pemberiannya tanpa
bahan tambahan
Informan mengatakan
bahwa mi instan tidak
baik untuk balita karena
mengandung bahan
pengawet dan belum
mencukupi gizi yang
dibutuhkan oleh balita
terlebih jika
pemberiannya tanpa
bahan tambahan
mi instan mengandung
bahan pengawet dan
belum mencukupi gizi
yang dibutuhkan oleh
balita terlebih jika
pemberiannya tanpa
bahan tambahan
Menurut penuturan
informan, mi instan
mengandung bahan
pengawet dan belum
mencukupi gizi yang
dibutuhkan oleh
balita terlebih jika
pemberiannya tanpa
bahan tambahan
2. Program terkait
pemberian mi
instan pada balita
Tidak pernah ada
penyuluhan yang
fokus mengenai
bahaya mi instan
namun biasa
disinggung pada saat
penyuluhan gizi balita.
Informan mengatakan
bahwa tidak ada
program yang spesifik
mengenai pemberian mi
instan pada balita
namun infromasi
mengenai hal tersebut
biasanya disampaikan
pada program
penyuluhan gizi.
Tidak ada program
yang spesifik mengenai
pemberian mi instan
pada balita namun
infromasi mengenai hal
tersebut biasanya
disampaikan pada
program penyuluhan
gizi.
Informasi dari
informan bahwa tidak
ada program yang
spesifik mengenai
pemberian mi instan
pada balita namun
infromasi mengenai
hal tersebut biasanya
disampaikan pada
program penyuluhan
gizi.
3. Nama program Penyuluhan Gizi
Seimbang
Penyuluhan Gizi
Seimbang
Penyuluhan Gizi
Seimbang
Penyuluhan Gizi
Seimbang
4. Berapa kali
program tersebut
dilaksanakan
Biasa programnya
dilaksakan bersamaan
dengan pemberian
Informan mengatakan
bahwa program Gizi
Seimbang dilaksanakan
Program Gizi Seimbang
dilaksanakan
bersamaan dengan
Berdasarkan
keterangan informan,
program Gizi
imunisasi di posyandu bersamaan dengan
pemberian imunisasi di
Posyandu
pemberian imunisasi di
Posyandu
Seimbang
dilaksanakan
bersamaan dengan
pemberian imunisasi
di Posyandu
5. Cara
mensosialisasikan
program
Dengan penyuluhan Informan
mensosialisasikan
programnya dengan
penyuluhan
Program Gizi Seimbang
disosialisasikan dalam
bentuk penyuluhan
Sepenuturan
informan, program
Gizi Seimbang
disosialisasikan
dalam bentuk
penyuluhan
6. Hambatan Tidak semua ibu balita
menghadiri kegiatan
ini jadi informasinya
tidak tersebar secara
menyeluruh
Informan mengatakan
bahwa tidak semua ibu
balita menghadiri
penyuluhan Gizi
Seimbang
Tidak semua ibu balita
menghadiri penyuluhan
Gizi Seimbang
Hambatan yang
ditemui oleh
informan adalah tidak
semua ibu balita
menghadiri
penyuluhan Gizi
Seimbang
7. Hasil dan evaluasi Masih ada ibu yang
memberikan mi instan
untuk balitanya
Informan mengatakan
bahwa masih ada ibu
yang memberikan mi
instan pada balitanya
Masih ada ibu yang
memberikan mi instan
pada balitanya
Informan
menjelaskan bahwa
masih ada ibu yang
memberikan mi
instan pada balitanya
MATRIKS WAWANCARA KELUARGA BALITA DI POSYANDU KELURAHAN TURIKALE
No. Informasi Informan Analisis Reduksi Intisari Interpretasi
1 Status
konsumsi mi
instan
SR Iya Sepengakuan informan
bahwa mereka adalah
pengonsumsi mi instan.
Seluruh informan
adalah pengonsumsi
mi instan
Informan adalah
pengonsumsi mi
instan NA Iya
SL Iya
AS Iya
SY Iya
SM Iya
HS Iya
AB Iya
AR Iya
MI Iya
AH Iya
2 Reaksi dan
tidakan
terhadap ibu
balita yang
memberikan
SR Saya biarkan saja,
biasanya saya
juga ikut makan
Informan mengatakan
bahwa pemberian mi
pada balita dibiarkan
saja karena anak-anak
menyukai mi instan dan
Pemberian mi pada
balita dibiarkan saja
oleh informan karena
anak-anak menyukai
mi instan dan
Menurut pengakuan
informan, pemberian
mi pada balita
dibiarkan saja oleh
informan karena NA Boleh saja yang
mi instan
pada balita
penting tidak
setap hari
harganya murah namun
asalkan konsumsinya
tidak setiap hari.
Informan juga
menambahkan bahwa
urusan makanan bagi
balita diserahkan
kepada ibu balita.
harganya murah
namun asalkan
konsumsinya tidak
setiap hari. Informan
juga menambahkan
bahwa urusan
makanan bagi balita
diserahkan kepada ibu
balita.
anak-anak menyukai
mi instan dan
harganya murah
namun asalkan
konsumsinya tidak
setiap hari. Informan
juga menambahkan
bahwa urusan
makanan bagi balita
diserahkan kepada
ibu balita.
SL Dibiarkan saja
karena biasa
kalau saya makan
mi anak saya juga
sering ikut makan
AS Terserah ibunya
SY Yang penting
anak suka. Mi
juga kan murah
SM Saya biarkan,
saya juga sering
ikut makan
HS Biarkan saja
AB Berika saja, kita
juga suka mi
AR Berikan saja yang
penting jangan
sering-sering
MI Sebenarnya mau
dilarang tapi dari
pada nangis
AH Mi kan disuka
sama anak-anak
jadi berikan saja
3 Persepsi
mengenai
pemberian mi
instan pada
balita
SR Yang saya lihat
anak-anak itu
suka jadi tidak
apa-apa
Informan memiliki
persepsi bahwa mi
instan rasanya enak,
murah, mudah dijumpai
dan disukai oleh anak-
anak seingga pemberian
mi instan pada balita
dibiarkan saja.
Mi instan rasanya
enak, murah, mudah
dijumpai dan disukai
oleh anak-anak
seingga pemberian mi
instan pada balita
dibiarkan saja.
Sepengakuan
informan, mi instan
rasanya enak, murah,
mudah dijumpai dan
disukai oleh anak-
anak seingga
pemberian mi instan
pada balita dibiarkan
saja.
NA Saya pernah
dengar mi instan
itu ada
pengawetnya
yang bahay bagi
kesehatan tapi
kata saudara saya
anak-anaknya
suka jadi diberika
tapi yang penting
dibatasi
SL Yang penting
anak-anak suka
AS Kalau anak-anak
suka diberikan
saja
SY Berikan saja, mi
kan enak dan
murah juga
SM Kalau tidak ada
lauk beri mi saja
HS Beri saja yang
penting anak-anak
suka
AB Kalau tidak ada
makanan dirumah
masakkan mi saja
karena mi enakm,
murah dan
gampang juga
didapat
AR Beri saja yang
penting anak-anak
tidak rewel kalau
minta makanan
MI Katanya mi itu
ada zat lilinnya
jadi bahaya bagi
kesehatan tapi
dari pada anak
nangis jadi beri
mi saja yang
penting jangan
sering-sering
AH Mi itu kan enak
dan disuka anak-
anak jadi berikan
saja
Lampiran 6
Hasil Observasi
Hasil observasi selama penelitian memperoleh gambaran bahwa
terdapat dua cara pengolahan mi instan oleh para informan. Cara pertama
yaitu dengan membuang air rebusan pertama dari mi instan yang dilakukan
dengan maksud untuk mebuang zat lilin yang bagi informan dikandung
didalam air rebusan pertama mi instan tersebut. Namun pada faktanya,
tidak terdapat zat lilin dalam air rebusan tersebut, minyak yang dalam
prasangka informan sebagai zat lilin merupakan sisa minyak pada proses
deep frying atau penggorengan mi instan. Setelah air rebusan pertama
dibuang, mi instan yang telah matang dicuci terlebih dahulu sebelum
dituang kedalam kuah mi instan yang berupa campuran air rebusan baru
dan bumbu mi instan. Informan yang melakukan cara ini mengaku hanay
memberikan mi instan yang tidak memiliki minyak, dengank kata lain
hanya mi instan rasa kaldu dari dua merek yaitu merek Indomie dan Megah
Mie.
Cara kedua yaitu dengan mengikuti saran penyajian yang berada di
belakang pembungkus mi instan.Cara ini dilakukan oleh informan yang
memberikan mi instan rasa goring ataupun yang berkuah.
Sebungkus mi instan yang diperoleh informan dari warung terdekat
dari rumahnya ataupun mini market biasanya oleh informan diber ikan
kepada dua anak sekaligus, dengan alasan anak balita tidak dapat
menghabiskan sebungkus mi instan sendirian dan untuk meminimalkan
efek samping dari mi instan.
Lampiran 7
DOKUMENTASI
Bekas gatal-gatal pada lengan dan muka balita
RIWAYAT HIDUP
Nama : Nuraeni
NIM : K111 13 301
Tempat, Tanggal Lahir : Maros, 26 Februari 1996
Agama : Islam
Suku : Makassar
Alamat : Jl. Samudera Soreang, Maros
Email : [email protected]
Riwayat Pendidikan :
1. SDN 49 INPRES Soreang tahun 2001-2007
2. SMPN 2 Maros tahun 2007-2010
3. SMAN 3 Maros tahun 2010-2013
4. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin 2013-2017
Riwayat Organisasi :
1. KM FKM Universitas Hasanuddin
2. Himpunan Mahasiswa Islam Kom. FKM Uiversitas Hasanuddin
3. Lingkar Advokasi Mahasiswa Universitas Hasanuddin
4. Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia
5. Liga Mahasiswa untuk Demokrasi
Lampiran 8