skripsi penentuan formula antioksidan untuk … · kedua uji tersebut menunjukkan bahwa sampel...
TRANSCRIPT
58
SKRIPSI
PENENTUAN FORMULA ANTIOKSIDAN UNTUK
MENGHAMBAT KETENGIKAN PADA BUMBU AYAM
GORENG KALASAN SELAMA SATU BULAN
MAYA KURNIAWATI
F24102058
2007
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
59
SKRIPSI
PENENTUAN FORMULA ANTIOKSIDAN UNTUK
MENGHAMBAT KETENGIKAN PADA BUMBU AYAM
GORENG KALASAN SELAMA SATU BULAN
Oleh :
MAYA KURNIAWATI
F24102058
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
2007
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
60
Maya Kurniawati. F24102058. Penentuan Formula Antioksidan untuk Menghambat Ketengikan pada Bumbu Ayam Goreng Kalasan selama Satu Bulan. Dibawah Bimbingan Prof. Dr. Ir. C. Hanny Wijaya, MAgr (2007)
RINGKASAN
Beberapa makanan tradisional khas Indonesia cukup banyak yang menggunakan bumbu sebagai bahan penambah citarasa. Masalah yang sering dihadapi dalam pembuatan bumbu adalah masalah kerusakan yang disebabkan oleh proses oksidasi yang menyebabkan ketengikan dan mempengaruhi daya simpan dari produk tersebut (Winarno, 1992).
Salah satu contoh adalah adanya ketengikan karena reaksi oksidasi yang terjadi pada industri kecil Ayam Goreng Kalasan. Bumbu ayam yang dipergunakan diolah dengan metode penumisan dan disimpan dengan metode sederhana yaitu memakai plastik transparan pada suhu ruang. Menurut pengalaman bumbu tersebut mulai mengalami ketengikan selama tujuh hari. Oleh karena itu penelitian dilakukan dengan tujuan untuk untuk memperoleh jenis dan konsentrasi antioksidan yang mampu menghambat ketengikan pada Bumbu Ayam Goreng Kalasan selama penyimpanan satu bulan.
Proses awal dari penelitian adalah penentuan kombinasi antioksidan yang akan digunakan pada bumbu. Setelah itu, kombinasi antioksidan dengan beberapa variasi konsentrasi antioksidan dicobakan dalam bumbu dan dipilih jenis dan konsentrasi antioksidan terbaik berdasarkan uji TBA, diena terkonjugasi, uji total mikroba, dan uji sensori berupa uji skalar serta uji hedonik. Rancangan percobaan yang dipakai adalah Rancangan Acak Lengkap sebanyak 10 perlakuan dan dua kali ulangan. Perlakuan tersebut yaitu Formula 1(BHA 25 ppm+BHT 25 ppm), Formula 2 (BHA 50 ppm+BHT50 ppm), Formula 3 (BHA 100 ppm+BHT 100 ppm), Formula 4 (BHA 25 ppm+ askorbil palmitat25 ppm), Formula 5 (BHA 50 ppm+ askorbil palmitat 50 ppm), Formula 6 (BHA 100 ppm+ askorbil palmitat 100 ppm), Formula 7 (BHT 25 ppm+ askorbil palmitat25 ppm), Formula 8 (BHT 50 ppm+ askorbil palmitat 50 ppm), Formula 9 (BHT 100 ppm+ askorbil palmitat 100 ppm), serta Formula 10 (tanpa penambahan antioksidan.
Berdasarkan analisis proksimat didapatkan kadar air bahan 27.05% dan kadar lemak bahan sekitar 37.53%. Kandungan logam Fe cukup rendah yaitu 3.0x 10-3 mg/L dan logam Cu sekitar 8.45 x 10-4 mg/L.
Penambahan BHA dan askorbil palmitat 100 ppm memiliki nilai TBA < 3.0 mg malinaldehid/kg bahan dan nilai diena terkonjugasi 0.901 vol/vol. Hasil kedua uji tersebut menunjukkan bahwa sampel dengan penambahan BHA dan askorbil palmitat 100 ppm efektif menghambat ketengikan pada bumbu ayam goreng kalasan selama satu bulan. Hasil tersebut juga didukung uji sensori (uji skalar dan uji hedonik) yang menunjukkan bahwa panelis belum mencium bau tengik pada sampel dan masih menyukai sampel tersebut setelah satu bulan penyimpanan.
61
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
PENENTUAN FORMULA ANTIOKSIDAN UNTUK
MENGHAMBAT KETENGIKAN PADA BUMBU AYAM GORENG
KALASAN SELAMA SATU BULAN
Oleh :
MAYA KURNIAWATI
F24102058
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Dilahirkan pada tanggal 25 Mei 1984 di Bogor
Tanggal lulus : 7 Februari 2007
Menyetujui,
Bogor, 5 Februari 2007
Prof. Dr. Ir. C. Hanny Wijaya, MAgr
Dosen Pembimbing
Mengetahui,
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.
Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
62
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bogor, 25 Mei 1984 sebagai anak tunggal
dari pasangan bapak Dwi Waluyo dan ibu Kasinem. Penulis
menjalani pendidikan formal di SD Sukamaju II Depok pada
tahun 1989, pendidikan lanjutan tingkat pertama di SMP
Negeri 7 Depok pada tahun 1996, dan pendidikan tingkat atas
di SMU Negeri 3 Bogor pada tahun 1999 . Penulis dinyatakan lulus pada tahun
2002. Pada tahun yang sama penulis diterima di Institut Pertanian Bogor pada
Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian melalui
Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).
Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif sebagai anggota dari Food
Processing Club tahun 2002. Penulis juga aktif sebagai asisten mata kuliah
Tekonologi Pengolahan Pangan dan Teknologi Hasil Hortikultura tahun 2005,
serta Asisten Praktikum Kimia Dasar untuk Tingkat Persiapan Bersama tahun
2006. Pada tahun 2004, penulis mendapatkan Penghargaan Bogasari Nugraha VII
dalam Kategori Rekayasa Proses. Penulis pernah melakukan praktek kerja
lapangan tahun 2005 di Hygiene and Quality Department di PT. Angkasa Cipta
Sarana (ACS) Unit Jakarta.
Sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana pada
Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, penulis membuat tugas akhir dengan
judul “ Penentuan Formula Antioksidan untuk Menghambat Ketengikan
pada Bumbu Ayam Goreng Kalasan selama Satu Bulan”, dibawah bimbingan
Prof. Dr. Ir. Hanny Wijaya, MAgr.
63
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas limpahan
berkah dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Penulis banyak dibantu oleh berbagai pihak selama penyelesaian skripsi ini. Oleh
karena itu, penulis menyampaikan terima kasih, diantaranya kepada :
1. Bapak, Ibu, dan Mbah Putri atas ketulusan kasih sayang dan doa yang tak
putus-putusnya yang menemani perjalanan hidup penulis.
2. Prof. Dr. Ir. C. Hanny Wijaya, MAgr selaku dosen pembimbing atas
segala bimbingan, waktu, dan saran untuk penyempurnaan skripsi ini agar
menjadi lebih baik. Selain itu terima kasih yang tulus untuk pemberian
nasehat, ilmu hidup, dan pengertian kepada penulis disela-sela
kesibukannya yang luar biasa
3. Ir. Budi Nurtama, MAgr atas bantuan dan saran-saran yang diberikan pada
penulis dalam pengolahan data serta kesediaannya menjadi penguji.
4. Dr. Ir. Sukarno, MSc atas kesediaannya sebagai penguji dan saran-
sarannya untuk perbaikan skripsi ini
5. Sahabat tercinta (Dinda, Intan, Yayah, Fafa, Astri, Yelita, Vivi, dan
Aponk) atas dukungannya selama ini serta suka duka yang tak pernah
terlupakan.
6. Teman-teman sebimbingan terutama Vivi, Arti, dan Herold yang
menemani perjuangan penulis hingga sampai saat ini.
64
7. Teman-teman TPG 39 (Hanni, Nea, Evrin, Tina, Ari, Dedi, Ulik, Izal,
Dadik, Didin, Woro, dll) atas kebersamaan yang menyenangkan selama
empat tahun ini khususnya
8. Para laboran Lab. Ilmu dan Teknologi Pangan : Bpk. Wahid, Bpk. Koko,
Bpk. Rozak, Bpk. Gatot, Bpk. Yahya, Bpk. Sidiq, Bpk. Taufik, Bpk. Nuh,
Mas Edi, Teh Ida, Mba Darsih dan Bu Rubiah atas kebaikannya
membantu penulis selama penelitian
9. Keluarga Om Yazeed dan keluarga Om Tarno atas bantuan moril dan
materil selama penyusunan skripsi ini
10. Sepupu-sepupuku tercinta (Ayu, Imam, Agung, Angga, Mas Iwan, Indri,
Mas Budi, Mas Iyus, Mba Yuli, Mba Rin, dan Mas Koko) atas dukungan
dan keceriaan pada penulis di saat sulit sehingga penulis tidak merasa
sendiri
11. Mba Lia dan Mba Ina atas bantuannya selama ini
12. Dokter-dokter RS. Ciprto Mangunkusumo bagian ginekolog (dr. Malvin,
dr. Saipul, dan dr. Sarah) dan suster-suster baik hati (spesial untuk Tante
Sumi) yang telah mengembalikan keceriaan penulis
13. Serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah
membantu penulis dari awal hingga akhir penyusunan penulisan skripsi
ini
Penulis sangat menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna. Oleh sebab
itu, penulis mengharapkan kritik dan saran membangun atas karya ini. Semoga
skripsi ini dapat memberi manfaat bagi yang memerlukannyanya
Bogor, Februari 2007
Penulis
65
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR .............................................................................. iii
DAFTAR ISI ............................................................................................ v
DAFTAR TABEL .................................................................................... vii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................ viii
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................ ix
I. PENDAHULUAN ................................................................................. 1
A. LATAR BELAKANG ...................................................................... 2 B. TUJUAN .......................................................................................... 2
II. TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................... 3
A. BUMBU MASAK SIAP PAKAI .................................................... 3 B. KERUSAKAN BUMBU SIAP PAKAI .......................................... 4 C. ANTIOKSIDAN ............................................................................. 8
1. BHA (Butylated hydroxyanisole) ................................................. 14 2. BHT (Butylated hidroxytoluene) ................................................. 15 3. Askorbil Palmitat ......................................................................... 17
D. METODE PENENTUAN AKTIVITAS ANTIOKSIDAN ............ 19
66
III. METODOLOGI PENELITIAN ...................................................... 21
A. BAHAN DAN ALAT .................................................................... 21 B. METODE PENELITIAN .............................................................. 21 C. METODE ANALISIS .................................................................... 23
1. Kadar air (AOAC, 1995) ............................................................ 23 2. Kadar Lemak (AOAC, 1995) ...................................................... 23 3. Analisis Logam Fe dan Cu (AOAC, 1999) ................................. 23 4. Analisis Bilangan TBA (Woods dan , 1972) ............................. 25 5. Analisis Diena Terkonjugasi (Chiaou, 1996) ............................. 26 6. Analisis Total Mikroba (AOAC, 1995) .................................... 26 7. Uji Skalar (Meilgaard, 1990) .................................................... 26 8. Uji Hedonik ............................................................................... 28
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................... 31
A. PERLAKUAN BUMBU ................................................................ 31 B. ANALISIS PROKSIMAT BUMBU ............................................... 32 C. ANALISIS TOTAL MIKROBA .................................................... 29
D. PEMILIHAN ANTIOKSIDAN ..................................................... 34 1. Nilai Thiobarbituric Acid (TBA) .............................................. 37
2. Nilai Diena Terkonjugasi .......................................................... 42 3. Uji Skalar .................................................................................. 44 4. Uji Hedonik ............................................................................... 46
V. KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................... 53
A. KESIMPULAN ............................................................................... 53 B. SARAN ............................................................................................ 53
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 54
LAMPIRAN .............................................................................................. 58
67
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Penggunaan Antioksidan menurut Peraturan Mentri Kesehatan dan FDA ...................................................................................... 13
Tabel 2. Tingkat Penggunaan BHA pada Produk Pangan ....................... 15
Tabel 3. Tingkat Penggunaan BHT pada Produk Pangan ...................... 16
Tabel 4. Sifat Fisik dari Askorbil Palmitat ............................................. 18
Tabel 5. Tingkat Penggunaan Askorbil Palmitat pada Produk Pangan ... 18
Tabel 6. Formulasi Standar Bumbu untuk 1 kg Ayam Mentah ............... 21
Tabel 7. Standar Penilaian Ketengikan .................................................... 28
68
Tabel 8. Hasil Analisis Proksimat Bumbu Ayam Goreng Kalasan ......... 33
Tabel 9. Hasil Analisis Total Mikroba .................................................... 35
DAFTAR GAMBAR Halaman
Gambar 1. Skema Umum Oksidasi Lemak ................................................ 6
Gambar 2. Penghambatan Antioksidan Primer pada Tahap Propagasi ................................................................................ 10
Gambar 3. Struktur Kimia dari Butylated hydroxyanisole (BHA) .......... 14
Gambar 4. Struktur Kimia dari Butylated hidroxytoluene ........................ 16
Gambar 5. Struktur Kimia Askorbil palmitat ............................................ 17
Gambar 6. Reaksi Pembentukan Komplek Thiobarbituric Acid .............. 20
69
Gambar 7. Skema Penelitian ..................................................................... 22
Gambar 8. Diagram Proses Pembuatan Bumbu ........................................ 23
Gambar 9. Hasil Analisis Bilangan TBA selama Penyimpanan Satu Minggu ..................................................................................... 31
Gambar 10.Hubungan Antara Bilangan TBA dengan Lama Penyimpanan 38
Gambar 11. Sinergisme antara BHA dan BHT ........................................... 41
Gambar 12. Hubungan Antara Nilai Diena terkonjugasi dengan Lama Penyimpanan .................................................................. 43
Gambar 13. Hasil Uji Skalar Hubungan Antara lama Penyimpanan dan Penilaian Panelis Terhadap Ketengikan ........................ 45
Gambar 14. Diagram Rata-rata Uji Hedonik Terhadap Aroma Bumbu Ayam Goreng Kalasan Pada Akhir Penyimpanan ............... 47
Gambar 15. Diagram Rata-rata Uji Hedonik Terhadap Aroma Ayam Goreng Kalasan Pada Akhir Penyimpanan ............................ 48
Gambar 16. Diagram Rata-rata Uji Hedonik Terhadap Rasa Ayam Goreng Kalasan Pada Akhir Penyimpanan ............................ 50
Gambar 17. Diagram Rata-rata Uji Hedonik Terhadap Keseluruhan Ayam Goreng Kalasan Pada Akhir Penyimpanan ................. 51
DAFTAR LAMPIRAN Halaman
Lampiran 1. Pelatihan Penggunaan Skala Garis ........................................ 58
Lampiran 2. Lembar Organoleptik Uji Rating Aroma Tengik ................ 59
Lampiran 3. Lembar Organoleptik Uji Hedonik ......................................... 60
Lampiran 4. Hasil Pengukuran Total Mikroba (x103 koloni/gr sampel) ... 61
70
Lampiran 5. Hasil Pengukuran Bilangan TBA selama Penyimpanan ....... 62
Lampiran 6. Nilai Diena Terkonjugasi Bumbu Ayam Goreng Kalasan Selama Penyimpanan .......................................................... 63
Lampiran 7. Hasil Analisis Sidik Ragam Bilangan TBA .......................... 64
Lampiran 8. Hasil Analisis Sidik Ragam Nilai Diena Terkonjugasi .......... 65
Lampiran 9. Hasil Uji Skalar Garis Selama Penyimpanan ........................ 66
Lampiran10.Data Hasil Hedonik Aroma Bumbu danAyam Goreng Kalasan ................................................................................. 67
Lampiran11.Data Hasil Hedonik Rasa Bumbu dan Penampakan Keseluruhan Ayam Goreng Kalasan .................................... 68
Lampiran12.Hasil Anova Uji Hedonik Aroma Bumbu Ayam Goreng Kalasan pada Akhir Penyimpan ........................................... 69
Lampiran13.Analisis ANOVA Uji Hedonik terhadap Aroma Ayam Goreng Kalasan ................................................................................. 70
Lampiran14.Hasil ANOVA Uji Hedonik terhadap Rasa Bumbu Ayam Goreng Kalasan ................................................................... 71
Lampiran15.Hasil Analisis ANOVA Uji Hedonik terhadap Penilaian Keseluruhan Ayam Goreng Kalasan ..................................... 72
Lampiran16.Hasil Analisis Regresi Hubungan Bilangan TBA dan Lama Penyimpanan ......................................................................... 73
Lampiran17.Hasil Analisis Regresi Hubungan Bilangan Diena Terkonjugasi dan Lama Penyimpanan ......................................................... 74
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
71
Beberapa makanan tradisional khas Indonesia cukup banyak yang
menggunakan rempah-rempah sebagai bahan penambah citarasa sehingga
memiliki citarasa yang dapat diterima dan selera yang lebih nikmat.
Penambahannya dapat memperkuat flavor alami dalam bahan pangan sehingga
menimbulkan taraf penerimaan oleh konsumen. Keseimbangan penambahan
bumbu dari rempah-rempah dan aroma yang khas dari bahan makanan tersebut
dapat menghasilkan makanan yang nikmat dan memberikan kepuasan bagi
yang mengkonsumsinya.
Masalah yang sering dihadapi dalam pembuatan bumbu adalah masalah
kerusakan yang disebabkan oleh proses oksidasi yang menyebabkan
ketengikan dan mempengaruhi daya simpan dari produk tersebut (Winarno,
1992). Kerusakan bahan pangan yang sering terjadi selama penyimpanan
ialah terjadinya oksidasi lemak yang terdapat dalam bahan pangan sehingga
menyebabkan ketengikan. Menurut Cuvelier (1994), oksidasi lemak tidak
hanya menyebabkan penurunan nilai gizi dan kualitas makan tetapi juga
menghasilkan produk teroksidasi seperti radikal bebas yang menyebabkan
beberapa reaksi kimia yang tidak diinginkan. Salah satu contoh adalah adanya
ketengikan karena reaksi oksidasi yang terjadi pada industri kecil Ayam
Goreng Kalasan. Bumbu ayam yang dipergunakan diolah dengan metode
penumisan dan disimpan dengan metode sederhana yaitu memakai plastik
transparan pada suhu ruang. Menurut pengalaman bumbu tersebut mulai
mengalami ketengikan selama tujuh hari. Oleh karena itu dibutuhkan
penanganan yang efektif dan praktis untuk memperlama umur simpan bumbu
tersebut dengan memperhatikan segi keamanan untuk dikonsumsi.
Salah satu penanganan yang dilakukan adalah dengan menambahkan zat
aditif antioksidan untuk menghambat timbulnya ketengikan yang disebabkan
reaksi oksidasi. Antioksidan telah banyak digunakan untuk mengurangi
ketengikan yang ditimbulkan oleh minyak dan lemak dalam bahan pangan
selama lebih dari 50 tahun. Menurut Buck (1991) antioksidan dinyatakan
sebagai senyawa secara nyata dapat memperlambat oksidasi, walaupun dengan
konsentrasi yang lebih rendah sekalipun dibandingkan dengan substrat yang
dapat dioksidasi.
72
Antioksidan alami memang lebih banyak diterima konsumen karena
bukan merupakan produk hasil reaksi kimia, tidak diperlukan tes keamanan,
dan umumnya dinyatakan bersifat aman. Antioksidan alami memiliki beberapa
kekurangan yaitu lebih mahal karena memerlukan pemurnian dan kurang
efisien jika tidak dimurnikan, sifatnya tidak seragam jika tidak dimurnikan,
kemamanan sering tidak diketahui, serta dapat memberi warna, over taste,
serta off flavor pada produk (Rajalaksmi dan Narasimhan, 1996). Sedangkan
antioksidan sintetik sangat efektif digunakan untuk mengurangi reaksi oksidasi
disamping sifat penggunaannya yang praktis dan biaya yang relatif murah.
Antioksidan yang cukup meluas penggunaannya diseluruh dunia antara lain
BHA, BHT, TBHQ, tokoferol, dan propil galat (Gordon, 1990).
Pemakaian antioksidan sintetik masih diperbolehkan sepanjang
pemakaiannya sesuai dengan dosis yang diperbolehkan meskipun antioksidan
sintetik memiliki efek toksik (Branen, 1983) serta penggunaan dalam waktu
lama dan dalam dosis yang berlebihan dapat menyebabkan karsinogenik
maupun kanker pada hewan percobaan tikus tetapi tidak pada marmut
(Madhavi et. al, 1996). Berdasarkan percobaan tersebut, efek penggunaan
antioksidan sintetik terhadap tubuh manusia masih belum jelas sehingga belum
dapat diambil kesimpulan antioksidan sintetik dapat berbahaya bagi manusia.
Sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Indonesia : 722/ MENKES/
PER/ IX/ 88 tentang Bahan Tambahan Makanan, jumlah BHT dan BHA yang
diperbolehkan untuk lemak dan minyak makan maksimum 200 mg/kg.
Namun tentu saja batas maksimum pemakaian Bahan Tambahan Makanan di
tiap negara bervariasi penggunaannya (Gordon, 1990).
B. TUJUAN
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh jenis dan konsentrasi
antioksidan yang mampu menghambat ketengikan pada Bumbu Ayam Goreng
Kalasan selama penyimpanan satu bulan
73
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. BUMBU MASAK SIAP PAKAI
Farrel (1990) mendefinisikan bumbu sebagai campuran dari dua atau
lebih bahan rempah-rempah atau ekstrak bahan rempah yang digunakan pada
makanan sebelum diolah sehingga memperkuat timbulnya flavor alami pada
bahan pangan. Sedangkan menurut Hanas (1994), bumbu adalah sesuatu
yang ditambahkan sebelum disajikan yaitu pada saat persiapan ataupun
pengolahan.
Fungsi bumbu menurut Farrel (1990) adalah untuk meningkatkan
flavor alami dari bahan pangan sehingga dapat meningkatkan tingkat
penerimaan konsumen. Ide umum pemberian bumbu adalah untuk
memodifikasi suatu bahan pangan dengan cara menambahkan ramuan yang
dapat memperkaya dan memberikan karakteristik rasa dan bau terhadap bahan
pangan tersebut (Underriner dan Hume, 1994).
Pangan tradisional Indonesia menurut Sampoerna dan Dedi Fardiaz
(2001) mengacu pada tolak ukur yang sama yaitu terkait pada cara
pengolahan, resep, dan cita rasa yang khas yang dikembangkan oleh etnik
tertentu. Pangan tradisional seperti ayam goreng kalasan memiliki potensi
yang besar untuk dikembangkan tetapi pangan tersebut memiliki mutu dan
kualitas yang rendah (penampilan, kebersihan, daya simpan, dan kesehatan).
Peningkatan mutu dapat dilakukan dengan pemilihan bahan mentah yang
baik, Bahan Tambahan Pangan yang baik, higienitas, dan penyajian yang
menarik. Namun kesemuanya itu tetap tidak meninggalkan atribut ciri pangan
tradisional dan memiliki kesamaan dengan unsur yang telah ada sehingga
tetap diterima masyarakat yang telah memiliki kebiasaan pangan (food way).
Secara tradisional bumbu yang dipergunakan pada pangan tradisional
dapat dibuat dengan cara mengiris tipis, menumbuk kasar atau menghaluskan
komponen-komponen penyusunnya kemudian menumisnya dengan minyak
goreng. Komponen-komponen yang digunakan dalam pembuatan bumbu siap
74
pakai olahan industri antara lain senyawa yang dapat menghasilkan flavor
misalnya rempah-rempah, senyawa yang dapat memperkaya flavor misalnya
garam dan monosodium glutamat, dan senyawa yang dapat memberikan
warna (Hanas, 1994). Konsistensi spesifikasi bumbu dapat diuji dengan
menggunakan uji sensori terhadap bumbu atau aplikasinya pada produk
(Ivory, 1994).
C. KERUSAKAN BUMBU SIAP PAKAI
Selama penyimpanan dan distribusi, bahan pangan terbuka terhadap
kondisi lingkungan di sekelilingnya. Faktor-faktor lingkungan seperti suhu,
kelembaban, oksigen, dan cahaya dapat memicu reaksi yang dapat
menimbulkan kerusakan pada bahan pangan. Kerusakan tersebut
mengakibatkan bahan pangan dapat mencapai suatu titik saat konsumen
menolak bahan pangan tersebut atau saat bahan pangan tersebut akan
membahayakan orang yang mengkonsumsinya. Begitu pula pada bumbu
masak siap pakai yang berpengaruh terhadap kualitas bumbu adalah
kelembaban, komposisi kimia, suhu penyimpanan, pengaruh cahaya, dan
oksigen (Underriner dan Hume, 1994).
Kerusakan terhadap bumbu masak siap pakai dapat terjadi karena
adanya perubahan kimia, fisik, dan mikrobiologi. Perubahan fisik dapat
disebabkan oleh adanya kesalahan penanganan dari bahan pangan selama
pemanenan, produksi, dan distribusi. Perubahan mikrobiologis dapat
disebabkan oleh pertumbuhan mikroba pada bahan pangan yang
menimbulkan kebusukan dan karakteristik sensori yang tidak diinginkan.
Pada beberapa kasus dapat menyebabkan bahan pangan tidak aman untuk
dikonsumsi (Singh, 1994). Pembusukan oleh mikroba timbul akibat adanya
absorbsi dan kontaminasi. Absorbsi tersebut dapat diminimalisir dengan
penyimpanan dingin, transportasi yang baik, pengemasan hati-hati, dan
sterilisasi (Hamilton, 1983).
Rempah-rempah pada dasarnya memiliki zat antimikroba alami yang
sebagian besar berasal dari senyawa fenol dan turunannya seperti gugus
vanilamid pada capsaisin cabe merah (Dewanti, 1984). Namun zat
75
antimikroba tersebut pada konsentrasi yang biasa digunakan sehari-hari, tidak
dapat mengawetkan makanan. Beberapa jenis rempah-rempah yang diketahui
memiliki aktivitas antimikroba yang cukup kuat adalah bawang merah,
bawang putih (Thomas, 1984), lengkuas (Rahayu, 1999), cabe merah
(Dewanti, 1984), dan jahe (Jenie et al, 1992). Bumbu tradisional Indonesia
seperti rawon, opor, ayam goreng, rendang, gulai, dan kare mempunyai kadar
air yang cukup rendah yaitu sekitar 30-40% yang menyebabkan rendahnya
jumlah mikroba awal yaitu berkisar 5-26 koloni per gram (Rahayu, 2000).
Rendahnya mikroba juga dapat disebabkan oleh pemasakan terlebih dahulu
pada bumbu tersebut. Kadar garam pada bumbu masakan tradisional pada
umumnya rendah yaitu berkisar antara 1-2.6 % dan pH sekitar 4.0-5.5 yang
berasal dari komponen rempah-rempah, sehingga bakteri pada umumnya tidak
dapat berkembang biak dengan baik pada bumbu tersebut.
Perubahan lain yang menyebabkan kerusakan bahan pangan adalah
perubahan kimia. Perubahan tersebut disebabkan karena adanya perubahan
enzim, reaksi oksidasi, dan reaksi pencoklatan non enzimatis yang
menyebabkan perubahan pada penampakan (Singh, 1994).
Reaksi oksidasi merupakan masalah utama pada lemak atau bahan
pangan berlemak. Oksidasi dapat menyebabkan perubahan pada flavor,
aroma, warna, dan kadang-kadang tekstur atau kekentalan suatu produk.
Selain itu oksidasi dapat menurunkan nilai gizi pangan dan kadang-kadang
produk oksidasi dapat beracun. Sebaliknya oksidasi lemak pada batas-batas
tertentu diperlukan, seperti pada keju atau aroma makanan yang digoreng
(Nawar, 1985).
Menurut Winarno (1992), kerusakan lemak yang utama adalah tibulnya
bau dan rasa tengik yang disebut proses ketengikan. Hal ini disebabkan oleh
autooksidasi radikal asam lemak tidak jenuh dalam lemak. Oksidasi dimulai
dengan pembentukan radikal-radikal bebas yang disebabkan oleh faktor-
faktor yang mempercepat oksidasi bahan pangan meliputi suhu, cahaya,
oksigen, pigmen, dan derajat ketidakjenuhan komponen lemak, dan logam
berat seperti Cu, Fe, Co, dan Mn, (Buck, 1991, Hanas, 1994). Skema umum
oksidasi lemak dapat dilihat pada Gambar 1.
76
Gambar 1. Skema Umum Oksidasi Lemak (Nawar, 1985)
77
Menurut Kochhar (1993), mekanisme tahap inisiasi meliputi reaksi
pembentukan radikal lemak (R*). Radikal tersebut dapat terjadi melalui
beberapa cara seperti karena adanya panas, pemecahan homolitik ikatan RH
secara fotokimia atau oleh inisiator radikal bebas. Gordon (1990)
mengemukakan reaksi inisiasi dimulai dengan pembentukan radikal bebas
oleh suatu energi kuantum akibat terlepasnya hidrogen dari karbon alfa
metilen dekat ikatan rangkap gugus asam lemak tidak jenuh dari molekul
lemak.
Menurut Gordon (1990), terdapat dua proses yang memungkinkan untuk
menjelaskan pembentukan radikal bebas. Inisiasi rantai dapat terjadi dengan
reaksi langsung antara katalis logam dan molekul lemak. Proses ini
berlangsung secara eksotermal untuk metil linoleat
M(n+1)+ + RH Mn+ + H+ + R*
Tahap propagasi radikal lipid (R*) yang dihasilkan dari tahap inisiasi
akan bereaksi dengan oksigen menghasilkan hidroperoksida (ROO*) yang
bersifat tidak stabil. Hidroperoksida selanjutnya akan bereaksi dengan
molekul lipid menghasilkan hidroperoksida dan radikal lipid yang selanjutnya
akan bereaksi kembali dengan oksigen (Koschhar, 1993).
Menurut Gordon (1990), hidroperoksida selain terbentuk dari tahap
propagasi juga dapat terbentuk dari rekasi molekul lemak dengan molekul
oksigen singlet atau reaksi yang dikatalis dengan enzim. Konversi oksigen
menjadi oksigen singlet terjadi jika terdapat fotosenssitaiser (Sens) seperti
klorofil, hematoporifirin, atau flavin. Fotosensitaiser menyerap sinar pada
daerah visibel atau di dekat sinar ultra violet menjadi tereksitasi secara
elektronika sehingga dapat memindahkan energinya kepada oksigen.
Ikatan O-O yang terdapat di hidroperoksida bersifat relatif lemah,
sehingga hidroperoksida mudah terurai kembali. Dekomposisi hidroperoksida
terutama terjadi dengan katalis logam seperti besi dan tembaga baik pada
tingkat oksidasi tinggi maupun rendah. Reaksi yang terjadi merupakan siklus
sehingga dalam jumlah yang sangat kecil ion logam secara efektif dapat
menghasilkan radikal-radikal. Tahap propagasi berlangsung sangat cepat,
78
dimana reaksi oksigenisasi memiliki energi aktivitasi hampir sama dengan
nol, sehingga konsentrasi ROO* jauh lebih tinggi dari R* dalam sistem
pangan yang mengandung oksigen (Gordon, 1990).
Tahap terminasi meliputi pembentukan produk non radikal yang stabil,
hasil interaksi antara radikal R* dan radikal ROO*. Pada pembentukan
hidroperoksida linoleat, metil linoleat menghasilkan empat macam produk
hidroperoksida yang utama. Hidroperoksida diena terkonjugasi dihasilkan
dari penambahan oksigen pada posisi 9 dan 13. Produk tersebut memiliki
geometris cis dan trans.
Koschhar (1993) mengemukakan bahwa hidroperoksida merupakan
senyawa yang tidak berbau tetapi bersifat labil sehingga dapat terpecah
menjadi senyawa yang lebih kecil yang menyebabkan timbulnya bau tengik.
Senyawa dekomposisi hidroperoksida antara lain aldehid, alkohol, dan
hidrokarbon. Menurut Ketaren (1986), ketengikan terbentuk oleh aldehid
bukan oleh peroksida dan bahan pangan akan mengalami ketengikan saat
jumlah malonaldehid lebih dari 3 mg /kg sampel.
Asam lemak pada umumnya bersifat reaktif terhadap oksigen. Semakin
banyak jumlah ikatan rangkap pada rantai molekul asam lemak, maka akan
semakin mudah asam lemak tersebut teroksidasi (Ketaren, 1986). Reaksi
oksidasi merupakan rantai reaksi radikal bebas. Mekanisme dari reaksi
tersebut terdiri dari tiga tahap yaitu inisiasi, propagasi, dan terminasi. Inisiasi
merupakan reaksi pembentukan radikal bebas. Propagasi merupakan reaksi
perubahan radikal bebas menjadi radikal lain. Terminasi merupakan rekasi
yang melibatkan kombinasi dua radikal untuk membentuk produk yang lebih
stabil. Reaksi fenolik sebagai antioksidan dapat dilihat pada Gambar 1.
D. ANTIOKSIDAN
Antioksidan menurut Madhavi et al (1996), adalah senyawa yang
mampu mencegah ketengikan oksidatif dari lemak. Antioksidan dalam
industri pangan mempunyai berbagai macam kegunaan diantaranya dapat
memperpanjang umur simpan dari bahan pangan, mengurangi kehilangan
nutrisi seperti vitamin yang larut dalam minyak. Menurut Winarno (1992),
79
adanya antioksidan dalam lemak dapat menghambat dan mengurangi
terjadinya reaksi oksidasi. Namun menurut Coppen (1983), antioksidan tidak
dapat memperbaiki minyak yang telah mengalami ketengikan karena
antioksidan bekerja saat sebelum terjadinya ketengikan. Menurut Nawar
(1985), efektivitas antioksidan adalah relatif, dipengaruhi oleh beberapa
faktor yaitu energi aktivasi, konstanta kecepatan reaksi, potensial reduksi
oksidasi, kerusakan antioksidan, dan sifat-sifat kelarutannya.
Menurut Koschhar (1993), antioksidan diklasifikasikan menjadi 5 tipe
yaitu :
1. Antioksidan primer, utamanya senyawa fenolik yang dapat menghentikan
rantai radikal bebas oksidasi lemak, contohnya antara lain tokoferol, alkil
galat, BHA, BHT, dan tersier butil hidrokuinon (TBHQ)
2. Perangkap oksigen, seperti asam askorbat (vitamin C), askorbil palmitat,
asam eritorbit, dan garam natriumnya. Antioksidan ini bereaksi dengan
oksigen dan dapat menghilangkan oksigen dalam sistem tertutup.
3. Antioksidan sekunder, berfungsi memecah hidroperoksida lemak menjadi
produk akhir yang stabil.
4. Antioksidan enzimatik, seperti glukosa oksidase, superoksida dismutase,
katalase, dan glutation peroksidase. Antioksidan ini bekerja dengan
melenyapkan pelarut oksigen.
5. Chelating agent (sekuestran), seperti asam sitrat, asam amino, dan EDTA
yang mengkelat ion logam seperti tembaga dan besi yang mengkatalis
oksidasi lemak.
Gordon (1990) mengklasifikasikan antioksidan berdasarkan mekanisme
menjadi dua jenis yaitu antioksidan primer dan antioksidan sekunder.
Antioksidan primer atau disebut juga antioksidan pemutus rantai merupakan
antioksidan yang dapat bereaksi dengan radikal lipid dan mengubahnya
menjadi produk yang lebih stabil. Antioksidan sekunder atau antioksidan
pencegah merupakan antioksidan yang dapat mengurangi kecepatan
rangkaian reaksi pada tahap inisiasi dari reaksi oksidasi.
Menurut Gordon (1990), suatu molekul dapat dijadikan antioksidan
primer jika molekul tersebut dapat memberikan sumbangan atom hidrogen
80
secara cepat pada radikal lipid sehingga radikal yang diturunkan dari
antioksidan (A*) lebih stabil dibandingkan dengan radikal lipid atau dapat
diubah menjadi produk lain yang lebih stabil. Hamilton (1983) menjelaskan
oksidasi pada tahap propagasi dapat dihambat dengan menambahkan
antioksidan pemutus rantai pada konsentrasi yang rendah. Radikal yang
paling banyak terakumulasi adalah radikal alkil peroksida (ROO*). Radikal
ini merupakan senyawa pengoksidasi sehingga dengan cepat dapat bereaksi
dengan donor elektron menghasilkan hidroperoksida (ROOH). Antioksidan
primer pada umumnya menghambat oksidasi lemak dengan menyumbangkan
satu atom hidrogennya kepada radikal lemak. Hamilton (1983), menjelaskan
reaksi penghambatan antioksidan primer (AH) pada tahap propagasi dari
reaksi oksidasi sebagai berikut:
ROO*+AH ROOH+A*
A*+ROO* produk non radikal
A*+A* produk non radikal
Gambar 2. Penghambatan Antioksidan Primer pada Tahap Propagasi
(Hamilton, 1983).
Antioksidan primer yang biasa digunakan pada industri pangan adalah
senyawa fenol seperti BHA, BHT, propil galat, dan TBHQ. Komponen-
komponen tersebut merupakan antioksidan yang dapat kehilangan
kemampuannya pada temperatur tinggi.
Salah satu senyawa antioksidan primer yang terbaik adalah senyawa
fenolik. Fenol sendiri tidak aktif sebagai antioksidan, tetapi jika disubsitusi
dengan gugus alkil pada posisi orto atau para akan meningkatkan kerapatan
elektron pada gugus hidroksilnya sehingga rektivitasnya terhadap radikal
lemak meningkat. Subsitusi posisi para dengan gugus n-butil atau etil
(dibandingkan gugus metil) akan memperbaiki aktivitasnya sebagai
antioksidan. Radikal yang dibentuk antioksidan fenol relatif stabil untuk
terjadi delokalisasi resonansi dan tidak ada posisi yang cocok untuk serangan
oksigen molekular. Rantai yang panjang atau gugus alkil bercabang akan
menurunkan aktivitas antioksidan fenolik (Gordon, 1990).
81
Menurut Koschhar (1993), pengaruh antioksidan terhadap laju oksidasi
dipngaruhi oleh beberapa faktor, yaitu struktur antioksidan, kondisi oksidasi,
dan bahan yang dioksidasi. Seringkali aktivitas antioksidan fenolik menjadi
hilang pada konsentrasi tinggi dan menjadi prooksidan.
Gordon (1990) menjelaskan bahwa bebrapa mekanisme dapat
digunakan untuk menjelaskan aktivitas prooksidan dari senyawa fenolik. Jika
energi resonansi dari radikal fenolik (A*) tidak cukup tinggi dibanding fenol
asalnya (AH), reaksi transfer hidrogen dengan substrat lemak (RH) dapat
terjadi untuk mereinisiasi rantai. Reaksi dapat balik agar tidak menggangu
transfer hidrogen fenol dari fenol ke radikal peroksi (ROO*) sehingga
aktivitas antioksidan fenolik dapat berbalik menjadi pengaruh prooksidan jika
konsentrasinya meningkat.
Selain antioksidan pemutus rantai (antioksidan primer) juga terdapat
antioksidan pencegah yang berfungsi mengurangi kecepatan rantai inisiasi.
Menurut Hamilton (1983), antioksidan sekunder bekerja dengan cara
menginaktifasi ion logam yang dapat mengkatalis rantai inisiasi. Asam sitrat
dan askorbil palmitat termasuk tipe jenis sekunder. Menurut Gordon (1990)
efektivitas antioksidan tergantung pada beberapa faktor termasuk struktur,
kondisi oksidasi, dan bahan yang dioksidasi.
Antioksidan lainnya yaitu antioksidan alami yang pada umumnya
merupakan kelompok fenolik atau poli fenolik dari sumber tanaman.
Antioksidan alami yang paling umum adalah flavonoid, tokoferol, dan asam
organik polifungsional. Antioksidan alami dalam makanan dapat berasal dari
senyawa endogenous dari satu atau lebih komponen bahan pangan, subtansi
yang terbentuk selama reaksi pengolahan, dan bahan tambahan yang diisolasi
dari bahan alami. Antioksidan alami dapat berfungsi dengan satu atau lebih
cara yaitu sebagai senyawa pereduksi, penghambat radikal bebas, dan sebagai
penekan oksigen singlet (Pratt dan Hudson, 1990).
Menurut Pratt dan Hudson (1990), antioksidan alami dalam makanan
dapat berasal dari 1) senyawa endogenes dari satu atau lebih komponen
makanan, 2) substansi yang terbentuk dari reaksi selama pengolahan, dan 3)
tambahan makanan yang diisolasi dai sumber alami.
82
Antioksidan alami dapat berfungsi dengan satu atau lebih cara seperti
sebagai senyawa pereduksi, penangkap radikal bebas, pengkomplek logam
prooksidan, dan penekan oksigen singlet. Senyawa ini umumnya adalah
senyawa flavonoid, derivat asam sinamat, kumarin, tokoferol, dan asam
organikpolifungsional (Pratt dan Hudson, 1990). Antioksidan alami yang
umum digunakan dalam bahan pangan adalah askorbil palmitat dan lesitin.
Tidak semua antioksidan dapat digunakan dalam bahan pangan.
Antioksidan yang digunakan harus memenuhi persyaratan tertentu, yaitu: 1)
tidak beracun dan tidak mempunyai efek fisiologis, 2) tidak menimbulkan
flavor yang tidak enak, 3)larut sempurna dalam minyak atau lemak, 4) efektif
dalam jumlah relatif kecil (menurut FDA dosis yang diizinkan dalam bahan
adalah 0.01-0.1 %), dan 5) tidak mahal serta selalu tersedia (Ketaren, 1986).
Sedangkan menurut Buck (1991), seleksi antioksidan dapat dilakukan dengan
memperhatikan tipe antioksidan, efektivitas carry through, kelarutan
antioksidan, tendensi diskolorisasi, tipe proses, flavor dan odour, serta status
peraturan dan legalitas penggunaan antioksidan.
Antioksidan buatan juga cukup sering digunakan dalam bahan pangan.
Hal tersebut terjadi karena sifat penggunaannya yang praktis, murah, bersifat
stabil, dan mudah digunakan walaupun penggunaannya harus hati-hati karena
banyak di antaranya dapat menyebabkan keracunan pada dosis tertentu.
Penelitian tentang penggunaan antioksidan buatan yang berhubungan dengan
keefektifan pencegahan reaksi oksidasi pada bahan pangan telah banyak
dilakukan. Biasanya penggunaan antioksidan pada produk pangan diatur oleh
pemerintah. Pengaturan dosis penambahan antioksidan sintesis dapat dilihat
pada Tabel 1.
Berbagai percobaan telah banyak dilakukan untuk mengetahui aktivitas
antioksidan. Penggunaan BHT ,ekstrak rempah-rempah, dan α-tokoperol
untuk kestabilan minyak kedelai, α-tokoperol dan TBHQ serta kombinasinya
terhadap kestabilan terhadap reaksi oksidatif minyak ikan dan minyak Canola
serta penggunaan BHT, BHA, TBHQ untuk menstabilkan kondisi minyak
kedelai (Ruger al, 2002). Penelitian lain pun dilakukan oleh Lanari, et al.
(2003) yaitu pada penggunaan BHA, BHT, dan α-tocopherol terhadap
83
Tabel 1. Acuan Penggunaan BHA, BHT, dan Askorbil Palmitat menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI dan FDA
Nama Bahan
Tambahan
Makanan
Batasan dan Toleransi
Peraturan Menteri
Kesehatan RI* FDA**
BHA 200 mg/kg, tunggal atau
campuran dengan BHT,
senyawa galat, atau
turunan askorbat,
0.02% (200 ppm), tunggal
maupun kombinasi,
berdasarkan berat pada
bagian lemak atau minyak
pada makanan termasuk
minyak essensial (volatil)
boleh dikombinasikan
penggunaannya dengan
BHT
BHT 200 mg/kg, tunggal atau
campuran dengan BHT,
senyawa galat, atau
turunan askorbat, tetapi
tidak lebih dari 100
mg/kg
0.02% (200 ppm), tunggal
maupun kombinasi,
berdasarkan berat pada
bagian lemak atau minyak
pada makanan
dikombinasikan
penggunaannya dengan
BHA
Askorbil
Palmitat
500 mg/kg, tunggal atau
campuran pada minyak
makan, 200 mg/kg pada
margarin dan minyak
nabati
500 mg/kg, tunggal atau
campuran pada minyak
makan, 200 mg/kg
minyak nabati
* Departemen Kesehatan (1988) di dalam Buletin Teknologi Pangan ** Buck (1991)
kestabilan lemak pada daging ayam serta penggunaan antioksidan sintetik
seperti asam galat, hidrokuinon, TBHQ, BHT, α-tokoperol, dan trolox untuk
84
menguji pengaruh kadar minyak terhadap efektivitas antioksidan.
1. BHA (Butylated hydroxyanisole)
BHA merupakan salah satu antioksidan yang cukup digunakan pada
industri pangan. BHA komersial terbentuk dari dua isomer 2-tert-butyl-4-
hydroxyanisole (2-BHA) dan 3-tert-butyl-4-hydroxyanisole (3-BHA) dan
mengandung 90% 3-isomer dengan aktivitas 3-isomer lebih hebat dari 2-
isomer (Gordon, 1990). Menurut Buck (1991), antioksidan ini tidak larut
air tetapi sangat larut dalam lemak (30-50%).
(a) (b) Gambar 3. Struktur Kimia dari Butylated hydroxyanisole (BHA)
(a) 3-BHA, (b)2-BHA (Madhavi et al, 1996)
BHA merupakan antioksidan dengan titik didihnya 264-2700C dan
titik cair 48-630C (Buck, 1991). Bentuknya padatan lilin putih dan dijual
dalam bentuk bubuk atau tablet. Aktivitas antioksidan meningkat dengan
adanya peningkatan konsentrasi hingga 0.02% dan cenderung konstan saat
level lebih tinggi. BHA pada konsentrasi 0.005%-0.01% cukup efektif
digunakan pada bahan pangan (Mahdavi et al, 1996). BHA memiliki
fungsi sinergis dengan galat, tokoferol, BHT, TBHQ, asam sitrat, dan
asam posforat (Fennema, 1985).
Kelebihan dari BHA juga memiliki kestabilan yang bagus untuk
produk panggang dan penggorengan (Gordon, 1990). Berdasarkan
percobaan yang dilakukan oleh Coppen (1983), penambahan BHA 0.02%
pada minyak untuk menggoreng dapat memperbaiki kualitas flavor keripik
kentang setelah dilakukan penyimpanan beberapa minggu pada suhu
penyimpanan 300C. Penggunaan BHA menghasilkan kestabilan pada lard
selama 4-16 hari dan meningkat hingga 36 hari dengan penambahan asam
sitrat. Kombinasi antara 0.01% BHA dan 0.005% dodecyl gallates dalam
85
margarin lebih efektif daripada penggunaan BHA itu sendiri. BHA juga
sering digunakan untuk menjaga kestabilan essential oil seperti d-
limonene, orange oil, dan lime oil. (Mahdavi et al, 1996). Penggunaan
BHA pada produk pangan dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Tingkat Penggunaan BHA pada Produk Pangan
Produk Level BHA (%)
Lemak hewan
Vegetable oil
Produk bakery
Dehydrated mashed potatoes
Minyak essensial
Chewing gum base
Permen
Bahan pengemas makanan
0.001-0.01
0.002-0.02
0.01-0.04
0.01
0.01-0.1
lebih dari 0.1
lebih dari 0.1
0.02-0.1 Madhavi et al (1996)
BHA merupakan bahan tambahan pangan yang dengan cepat
diekresikan melalui urin. Pada manusia, penggunaan BHA 50 atau 100
mg diekresikan melalui urin dalam bentuk glukoronit dan sulfat
terkonjugasi kurang dari 24 jam. Berdasarkan penelitian dalam Coppen
(1983), BHA bersifat penyebab iritasi pada kulit apabila tersentuh
langsung tapi tidak menyebabkan iritasi saat BHA masuk ke dalam saluran
pencernaan.
2. BHT (Butylated hidroxytoluene)
BHT merupakan salah satu antioksidan yang sering digunakan pada
bahan pangan. BHT hampir sama dengan BHA tetapi kelarutannya dalam
lemak dan minyak tidak sebaik BHA (25-40%). BHT sangat efektif pada
lemak hewan tapi kurang pada vegetable oil serta tidak larut pada air.
BHT digunakan untuk mengurangi flavor loss, pembentukan off flavor,
dan perubahan warna yang disebabkan oksidasi pada produk pangan
86
(Madhavi, et al,1996). Struktur kimia dari BHT dapat dilihat pada Gambar
4.
Gambar 4. Struktur Kimia dari Butylated hidroxytoluene
(Madhavi et al, 1996)
Sifat BHT tahan dan stabil pada suhu tinggi yaitu dengan titik
didihnya berkisar dari 264-2700C. Sifat tersebut memberi keuntungan
untuk proses produksi yang memerlukan suhu tinggi tetapi tidak sebaik
BHA (Coppen, 1983). Kemiripan sifat dengan BHA menyebabkan
penggunaannya pada produk pangan pun tidak jauh berbeda walaupun
terkadang BHT kurang efektif dibandingkan BHA. BHT memiliki fungsi
sinergis dengan BHA, TBHQ, dan kelator logam seperti asam sitrat tetapi
tidak memiliki fungsi sinergis dengan propil galat (Buck, 1991).
Menurut Madhavi et al (1996), BHT tidak memiliki konsentrasi
optimum. Stabilitas akan meningkat seiring dengan peningkatan
konsentrasi tetapi peningkatannya menurun saat level cukup tinggi.
Tabel 3. Tingkat Penggunaan BHT dalam Produk Pangan
Produk Level (%)
Lemak hewan
Vegetable oil
Produk bakery
Cereal
Minyak essensial
Chewing gum base
Bahan pengemas makanan
0.001-001
0.002-0.02
0.01-0.04
0.005-0.02
0.001
0.01-0.1
Lebih dari 0.1 Madhavi et al (1996)
87
Penggunaan BHT pada lemak hewan lebih efektif daripada BHA
saat konsentrasi 0.005-0.02%. Level penggunaan BHT pada produk
pangan dapat dilihat pada Tabel 3. BHT menimbulkan phenolic odor pada
level lebih dari 0.02% (Buck, 1991).
BHT seperti halnya BHA sangat cepat terabsorbsi dalam saluran
pencernaan manusia. BHT dikeluarkan melalui feses dan pada urin tikus
dan manusia. Pemberian 0.5% BHT dalam pakan tikus selama 5 minggu
dan pemberian BHT secara oral sejumlah 200 mg/kg daily selama 1
minggu dilaporkan menghasilkan akumulasi tingkat rendah pada lemak
dan hati tetapi di studi yang sama melaporkan tidak ada akumulasi BHT
pada hati (Coppen, 1983). Pada beberapa spesies tikus dan beberapa babi,
efek hemorrhage tidak terlihat. Perbedaan efek pada berbagai hewan
percobaan tersebut menyebabkan efek penggunaan BHT pada manusia
masih belum jelas.
3. Askorbil palmitat
Askorbil palmitat merupakan antioksidan sekunder yang memiliki
berbagai fungsi seperti oxygen scavenger, pengkelat logam, dan dapat
mencegah oksidasi (Fennema, 1985). Selain itu menurut Madhavi et al
(1996) Fungsi lain dari askorbil palmitat untuk mendukung kerja
antioksidan fenolik atau antioksidan larut lemak dan menurunkan produk
Gambar 5. Struktur Kimia Askorbil palmitat (Madhavi et al, 1996)
oksidasi. Penggunaan askorbil palmitat pada lemak hewan yang
mengandung tokoferol pada suhu 75ºC sangat efektif untuk meningkatkan
periode induksi.
88
Tabel 4 . Sifat Fisik dari Askorbil Palmitat Sifat fisik Keterangan
Berat molekul
Bentuk fisik
Melting point
Rasa
Kelarutan (% dalam 25 º C)
Air
Eetil Alkohol
Vegetable Oil
414.55
Bubuk putih
190-192 º C
Soapy
0.0002%
12.5%
0.03-0.12% Madhavi et al (1996)
Sifat fisik dari askorbil palmitat secara lebih jelas dapat dilihat pada
Tabel 4 dan struktur kimia askorbil palmitat dapat dilihat pada Gambar 5.
Askorbil palmitat memiliki efek sinergis bila dikombinasikan dengan
antioksidan primer seperti BHA, BHT, propil galat, tokoferol, serta EDTA
dan asam sitrat. Tingkat Penggunaan askorbil palmitat dapat dilihat pada
Tabel 5.
Kombinasi antara askorbil palmitat dan antioksidan seperti BHA dan
propil galat (PG) efektif mencegah ketengikan pada minyak almond
terhidrogenasi, cocoa butter, dan margarin (Madhavi et al, 1996).
Askorbil palmitat pun banyak digunakan sebagai antioksidan pada daging,
buah segar, hasil ikan, dairy product, dan produk beverages.
Tabel 5. Tingkat Penggunaan Askorbil Palmitat dalam Produk Pangan
Produk Level (%)
Lemak hewan
Vegetable oil
Butter
Susu bubukl
0.01-0.2
0.01-0.1
0.001-0.02
0.01-0.05
Madhavi et. al (1996)
89
E. METODE PENENTUAN AKTIVITAS ANTIOKSIDAN
Efektivitas suatu antioksidan, baik sintetik maupun alami dapat diukur
dengan menentukan stabilitas oksidatif lipid dalam sistem pangan (Hamilton,
1983). Rajalaksmi dan Narashiman (1996) mengelompokkan beberapa
metode penentuan stabilitas oksidatif minyak atau lemak menjadi 5 golongan
yakni metode kimia, metode spektofotometer, metode kromatografi,
pengukuran absorbsi oksigen, serta metode sensori. Selain pengelompokkan
tersebut, penentuan stabilitas oksidatif lipid dibagi menjadi dua bagian
meliputi perubahan primer dan perubahan sekunder. Perubahan primer diukur
dengan memonitor hilangnya asam-asam lemak tidak jenuh, oxygen uptake,
bilangan peroksida, serta bilangan diena terkonjugasi. Perubahan sekunder
mengukur secara kuantitatif pembentukan senyawa karbonil, malonaldehid,
serta hidrokarbon ( Shahidi dan Wanasundhara, 1997).
Metode yang seragam untuk mendeteksi semua perubahan oksidatif
dalam sistem pangan memang belum dapat ditemukan. Pemilihan metode
stabilitas oksidatif tersebut sangat tergantung pada sejumlah faktor meliputi
sifat dan asal usul minyak teroksidasi, waktu yang tersedia, serta kondisi tes
dan peralatan yang ada (Shahidi dan Wanasundhara, 1997)
Shahidi dan Wanasundhara (1997) mengemukakan juga bahwa metode
diena terkonjugasi dapat digunakan untuk mengukur stabilitas lipid dan
efektivitas antioksidan. Diena terkonjugasi merupakan produk primer
oksidasi lipid. Metode ini lebih cenderung dipilih dibandingkan bilangan
peroksida adalah merupakan metode yang lebih cepat, lebih sederhana, tidak
tergantung reaksi kimia atau pengembangan warna, dan membutuhkan sampel
yang lebih kecil. Metode diena terkonjugasi juga lebih sensitif dan sangat
berguna untuk menentukan efektivitas antioksidan. Menurut Frankel et al
(1994), konsentrasi diena terkonjugasi dapat dinyatakan sebagai
hidroperoksida karena diena terkonjugasi yang terbentuk merupakan
hidroperoksida murni.
Perubahan sekunder dari reaksi oksidasi meliputi malonaldehid dapat
diukur dengan metode bilangan Thiobarbituric Acid (TBA). Uji TBA
didasarkan atas terbentuknya pigmen berwarna merah sebagai hasil dari reaksi
90
kondensasi antara dua molekul TBA dengan satu molekul malonaldehid.
Persenyawaan malonaldehid secara teoritis dapat dihasilkan oleh
pembentukan di-peroksida pada gugus pentadiena yang disusul dengan
pemutusan rantai molekul atau dengan cara oksidasi lebih lanjut 2-enol yang
dihasilkan dari penguraian monohidroperoksida (Koschhar, 1993)
Nawar (1985) menjelaskan bahwa malonaldehid terbentuk dari
penguraian senyawa peroksida yang mempunyai lebih dari dua buah ikatan
rangkap (Gambar 6). Malonaldehid tersebut dapat bereaksi dengan pereaksi
TBA membentuk persenyawaan warna merah.
Bilangan TBA merupakan metode pengukuran stabilitas oksidatif
lemak dan minyak yang umum digunakan karena sifatnya yang sederhana
(sampel tidak perlu diekstrak terlebih dahulu), tidak memerlukan waktu yang
lama, dan cukup akurat. Kekurangannya metode tersebut menurut Nawar
(1985), malonaldehid dapat bereaksi dengan protein sehingga malonaldehid
yang bereaksi dengan TBA dapat berkurang sehingga terjadi kesalahan
negatif.
Kelemahan dari uji TBA ini menurut Ketaren (1986), adalah adanya
kemungkinan beberapa senyawa selain hasil oksidasi lemak berupa asam yang
akan tersuling bersama dengan uap dan selanjutnya terhadap destilat
dilakukan uji TBA. Asam thiobarbituric bersifat tidak stabil dan mengalami
dekomposisi di bawah kondisi pengujian (yaitu dengan cara pemanasan dan
asam keras), terutama karena adanya peroksida. Hasil degradasi tersebut
mempunyai warna yang sama (diabsorbsi dengan panjang gelombang yang
sama) dengan kompleks TBA-malonaldehid.
91
III. METODOLOGI PENELITIAN F. BAHAN DAN ALAT
Rempah-rempah yang terdiri dari bawang putih, jahe, kemiri, dan
ketumbar yang diperoleh dari Pasar Cibinong dalam keadaan segar. Kemasan
yang digunakan adalah kemasan plastik polipropilen (PP). Bahan kimia yang
diperlukan adalah bahan kimia untuk analisis TBA, analisis diena
terkonjugasi, analisis logam Fe dan Cu, uji total mikroba, dan bahan analisis
(kadar air dan kadar lemak.
Alat yang dipergunakan adalah grinder, blender, alat distilasi, vorteks,
tabung reaksi bertutup, cawan alumunium, gelas piala, spektrometer, labu
ukur, hotplate, pipet volumetrik, pipet tetes, labu Erlenmeyer, bunsen, cawan
petri, inkubator, pemanas mantel, oven, neraca analitik, wajan Teflon, kompor
gas, dan peralatan masak lainnya.
G. METODE PENELITIAN
Bumbu yang dipergunakan adalah bumbu standar hasil formulasi keluarga
yang bahan-bahannya terdiri atas bawang putih, ketumbar, kemiri, jahe,
garam, dan MSG dicampur dengan grinder. Proses pembuatan bumbu dapat
dilihat pada Gambar 8. Formula bumbu dapat dilihat pada Tabel 6 dan skema
penelitian dapat dilihat pada Gambar 7.
Tabel 6. Formulasi Bumbu Ayam Kalasan untuk 1 kg ayam mentah
Nama Bahan Komposisi (b.b)
Jahe a g
Kemiri b g
Ketumbar c g
Bawang putih d g
MSG e g
Garam f g Ket : Formulasi dirahasiakan, bagi yang memerlukan informasi dapat
menghubungi Prof. Hanny Wijaya di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
92
1. Penelitian Utama
Gambar 7. Skema Penelitian
Tidak tengik dan tidak rusak
Bumbu Ayam Kalasan
Dikemas
Disimpan selama 30 hari, T ruang
Uji TBA, mikroba, uji sensori (uji skalar) , serta uji diena
terkonjugasi berkala tiap hari ke 0,4,8,14,20,25, dan 30
Ditumis 10’, 90oC
Antioksidan terpilih
Penambahan antioksidan
Analisis kadar air Analisis lemak Analisis logam Fe dan Cu
Uji hedonik pada hari ke-30
Tengik dan rusak
Tidak tengik dan tidak rusak
Bumbu Ayam Kalasan
Dikemas
Disimpan selama 30 hari, T ruang
Uji TBA, mikroba, uji sensori (uji skalar) , serta uji diena
terkonjugasi berkala tiap hari ke 0,4,8,14,20,25, dan 30
Ditumis 10’, 90oC
Antioksidan terpilih
Penambahan antioksidan
Analisis kadar air Analisis lemak Analisis logam Fe dan Cu
Uji hedonik pada hari ke-30
93
Proses awal dari penelitian adalah penentuan kombinasi antioksidan
yang akan digunakan pada bumbu. Setelah itu, kombinasi antioksidan
dengan beberapa variasi konsentrasi antioksidan dicobakan dalam bumbu
dan dipilih jenis dan konsentrasi antioksidan terbaik berdasarkan uji TBA,
diena terkonjugasi, uji total mikroba, dan uji sensori berupa uji skalar
serta uji hedonik.
Rempah-rempah
↓ Dikupas dan dicuci
↓ ← garam, air, dan MSG Digiling
Antioksidan → ↓
Ditumis dengan minyak (15 menit 80-90oC)
↓ Diaduk hingga homogen
↓ bumbu ayam standar
Gambar 8. Diagram Proses Pembuatan Bumbu
Masing-masing sampel dikemas dengan bahan pengemas PP
kemudian disealer sebanyak 8 bungkus. Kandungan malonaldehid akan
diamati dengan uji TBA dan nilai diena terkonjugasi secara berkala setiap
empat hari selama penyimpanan 30 hari. Uji skalar dan total mikroba
dilakukan setiap tujuh hari sekali. Uji hedonik terhadap atribut aroma
bumbu ayam goreng kalasan, rasa, aroma serta penampakan ayam goreng
kalasan dilakukan pada akhir penyimpanan.
H. METODE ANALISIS 1. Kadar air (AOAC, 1990)
Pengukuran kadar air memakai metode distilasi azeotropik. Sebanyak
3-5 gram sampel dimasukkan ke labu distilasi yang telah dikeringkan dan
telah diketahui beratnya. Pelarut toluen disiapkan dan diletakkan labu
distilasi pada pemanas mantel lalu pelarut dan sampel dipanaskan dengan
94
suhu rendah dahulu kemudian baru suhu tinggi selama satu jam. Blanko
dibuat untuk menghitung faktor kesalahan.
Kadar air = faktor kesalahan x volume air
2. Kadar Lemak (AOAC, 1995)
Labu lemak dikeringkan dalam oven, didinginkan dalam desikator,
kemudian ditimbang. Sebanyak 5 gram sampel dalam bentuk tepung (kira-
kira 60 mesh) dibungkus dengan kertas saring bebas lemak lalu diletakkan
dalam alat ekstraksi soklet dan dipasang alat kondensor di atasnya dan labu
lemak di bawahnya. Pelarut heksan atau dietil eter dimasukkan ke dalam
labu lemak secukupnya. Refluks dilakukan minimum 5 jam sampai pelarut
yang turun kembali ke labu lemak berwarna jernih. Distilasi terhadap
pelarut dilakukan. Selanjutnya labu lemak hasil ekstraksi dipanaskan
dalam oven pada suhu 105oC. Sampel didinginkan dalam desikator setelah
dikeringkan sampai berat tetap, kemudian labu beserta lemaknya tersebut
ditimbang. Berat lemak dapat dihitung:
% lemak = ((Berat labu + lemak) - Berat labu) x 100 Berat sampel
3. Analisis Logam Fe dan Cu (AOAC, 1999)
Analisa logam Fe dan Cu dilakukan dengan menggunakan
Spektofotemetri Absorpsi (AAS). Persiapan sampel dilakukan di awal
pengukuran mineral untuk mendektruksi bahan dengan metode pengabuan
basah karena karbon lebih cepat hancur dibandingkan pengabuan kering.
Alat yang disiapkan adalah labu Kjeldhal. Sebanyak 5-10 gram sampel
ditimbang dan dimasukkan ke dalam labu Kjeldhal, kemudian ditambahkan
10 ml H2SO4 dan 10 ml HNO3 serta beberapa buah labu didih. Larutan
dipanaskan perlahan-lahan sampai berwarna gelap, pembentukan buih yang
berlebihan dihindari. Sebanyak 1-2 ml HNO3 ditambahkan dan dilanjutkan
sampai larutan lebih gelap lagi. Penambahan HNO3 dilanjutkan selama 5-
10 menit sampai larutan tidak gelap lagi (semua zat organik sudah
teroksidasi) kemudian dinginkan. Larutan aquades ditambahkan 10 ml
(larutan menjadi tidak berwarna atau menjadi kuning muda bila
95
mengandung Fe) dan panaskan sampai berasap. Larutan didiamkan hingga
dingin kemudian ditambahkan akuades dan dididihkan hingga berasap.
Larutan didinginkan dan diencerkan hingga volume tertentu. Sampel
dipanaskan lebih dahulu dengan HNO3 sebelum ditambah H2SO4 jika
merupakan sampel basah.
Larutan abu yang berasal dari pengabuan basah dipindahkan ke dalam
labu takar 100 ml tepatkan hingga tanda tera dengan air dan dicampur
merata kemudian dilakukan penyaringan hingga partikel-partikel halus
yang dapat mengganggu pengukuran hilang. Alat AAS diset kemudian
diukur larutan standar dan blanko yaitu air bebas ion dengan pereaksi yang
sama dan larutan sampel baru dapat diukur. Selama penetapan sampel,
periksa secara periodik agar nilai standar terjaga tetap konstan. Kurva
standar untuk masing-masing logam (nilai absorpsi/emisi vs konsentrasi
logam dalam µg/ml) akan terbentuk secara otomatis.
4. Bilangan TBA (Woods dan Aurand, 1977)
Bahan ditimbang sebanyak 10 gram dengan teliti lalu dimasukkan ke
dalam penghalus dan ditambahkan 50 ml aquades serta dihancurkan 2
menit. Sampel dipindahkan secara kuantitatif ke dalam labu destilasi
sambil dicuci dengan 47.5 ml aquades. Sebanyak 2.5 ml HCL 4 M
ditambahkan sampai pH 1.5 lalu dimasukkan batu didih dan pencegah
buih dan didestilasi hingga dapat 50 ml destilat selama 10 menit
pemanasan. Destilat diaduk kemudian 5 ml destilat dipipet ke dalam
tabung tertutup lalu ditambah 5 ml pereaksi TBA. Tabung reaksi ditutup
dan dipanaskan 35 menit dalam air mendidih. Blanko disiapkan dengan
mencampurkan 5 ml aquades dan 5 ml pereaksi. Tabung reaksi
didinginkan 10 menit dan diukur absorbansinya dengan panjang
gelombang 528 nm dengan sampel sel berdiameter 1 cm. Pelarut TBA
dibuat dengan cara mencampur 0.2883 g TBA dalam 100 ml asam asetat
glasial 90%. Pelarutan ini dipercepat dengan pemanasan memakai
penangas air. Bilangan TBA dinyatakan dalam mg malonaldehid per kg
sampel.
96
Bil TBA = 3 x 7. 8 x A Wl
5. Analisis Diena Terkonjugasi (Chiou, 1996)
Sebanyak 1 ml aliquot minyak diletakkan dalam tabung coklat 20
ml dan diletakkan dalam oven 600C. Selama penyimpanan ,2.5 μl minyak
ditambah 2.5ml isooktana dan diukur nilai optical density(OD) pada
panjang gelombang 234 nm. Nilai OD berkorelasi dengan jumlah diena
terkonjugasi.
6. Analisis Total Mikroba (AOAC, 1995)
Sebanyak 17.5 g PCA (Plate Count Agar) dilarutkan dalam 1000 ml
air akuades lalu dipanaskan sampai mendidih dan disterillisasi hingga 15
menit. PCA diletakkan dalam inkubator dengan suhu 550C. Larutan
pengencer dibuat dengan melarutkan 8.5 gram NaCl dalam 1000 ml air,
lalu ditempatkan dalam tabung reaksi bertutup sebanyak 9 ml. Larutan
tersebut disterilisasi selama 15 menit dan diinkubator pada suhu 300C
selama dua hari.
Sampel sebanyak 1 gram diencerkan dengan larutan pengencer
NaCl 0.85% dengan beberapa tingkat pengenceran (10-1-10-3) lalu
dilakukan pemupukan ke dalam cawan petri dengan metode tuang.
Inkubasi dilakukan selama 2-3 hari dengan suhu 300C baru dilakukan
pengamatan. Koloni yang tumbuh dihitung dengan metode SPC.
TPC = ( Jumlah koloni) n = jumlah cawan (n + n x 0.1) x p p = pengenceran tertinggi
7. Uji Skalar (Meilgaard, 1999)
7.1 Tahap Seleksi dan Pelatihan Panelis
Seleksi panelis merupakan tahap untuk mencari calon panelis
yang bersedia dilatih dengan memberikan kuisioner dan mengisi surat
pernyataan. Calon panelis terdiri dari 30 orang mahasiswa
Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan.
Pengujian panelis dilakukan untuk melihat seberapa peka dan
konsisten panelis akan memberi penilaian. Pengujian awal dilakukan
97
dengan uji berpasangan (matching test). Uji ini dilakukan untuk
mengetahui tingkat pengetahuan panelis terhadap rempah-rempah.
Sampel yang digunakan merupakan halusan jahe, bawang putih,
kemiri, ketumbar, lada, dan kencur. Sampel disiapkan dua set
kemudian panelis diminta memasangkan set pertama dan set kedua
Calon panelis yang terpilih adalah yang mampu menjawab benar
lebih dari 75%.
Uji segitiga dilakukan setelah uji berpasangan. Sampel yang
digunakan adalah bumbu ayam goreng kalasan yang belum disimpan
dan bumbu yang telah mengalami penyimpanan selama satu minggu.
Uji segitiga ini dilakukan selama empat kali dan dipilih panelis yang
menjawab benar lebih dari 75%.
Panelis akan dikenalkan lebih jauh tentang aroma dan
penampakan bumbu ayam kalasan agar panelis lebih terbiasa lagi
terhadap produk yang akan diujikan. Tahap pelatihan ini
menggunakan uji perbandingan berpasangan dan pelatihan
penggunaan skala garis.
Uji perbandingan berpasangan membandingkan kelebihan
sampel yang diujikan lebih baik atau lebih buruk dan seberapa jauh
tingkat kelebihan tersebut. Sampel yang dipakai adalah bumbu ayam
kalasan yang baru dibuat dan yang telah mengalami penyimpanan
selama satu minggu. Kriteria uji adalah sampel mana yang beraroma
lebih tengik.
Pelatihan penggunaan skala garis pun dilakukan untuk melatih
panelis agar dapat menggunakan skala garis dengan baik. Pelatihan
menggunakan beberapa bangun yang sebagian diarsir. Panelis dilatih
untuk dapat menunjukkan proporsi dari bangun yang diarsir tersebut
ke dalam bentuk garis (Meilgaard, 1999). Pelatihan dilakukan dua
kali pertemuan.
Pelatihan selanjutnya adalah pengenalan bumbu standar yang
telah diketahui nilai bilangan TBA-nya selama 15 menit. Bumbu
standar yang dipergunakan yaitu bumbu dengan bilangan TBA 1, 3, 5
98
mg malonaldehid/kg sampel dengan skala intensitas ketengikan
sedang, kuat, dan sangat kuat (Ketaren, 1986). Standar tersebut
digunakan sebagai pembanding pada saat panelis melakukan uji
skalar saat sampel telah mengalami penyimpanan. Panelis diberikan
tiga sampel, kemudian diminta untuk menentukan tingkat
ketengikannya sampel dalam skala garis. Pelatihan tersebut
dilakukan dua kali pertemuan.
7.2 Tahap Pengujian
Uji skalar dilakukan untuk menguji penggunaan antioksidan
terhadap tingkat ketengikan produk. Uji tersebut menggunakan 10
orang panelis terlatih dan dilakukan selama studi penyimpanan 30
hari. Panelis disajikan sampel, kemudian masing-masing sampel
diberi penilaian dengan memberikan tanda silang (x) pada skala garis
sesuai dengan kode masing-masing sampel. Penilaian dilakukan
dengan membandingkan antara sampel dan sampel standar yang telah
ditentukan nilainya. Sampel standar (Tabel 7) disediakan dihadapan
panelis. Analisis linier dipakai untuk mengetahui korelasi antara
penilaian panelis dan lama penyimpanan produk bumbu ayam goreng
Kalasan.
Tabel 7. Standar Penilaian Ketengikan
Aroma Nilai standar Nilai TBA produk
tidak tengik <25 1 g malonaldehid/kg bahan
tengik 50-75 3 g malonaldehid/kg bahan
sangat tengik >75 5 gram malonaldehid/kg bahan Balai Pasca Panen (2000)
8. Uji Hedonik (Soekarto, 1985)
Uji hedonik memakai 20 panelis agak terlatih. Uji hedonik
merupakan salah satu uji kesukaan terhadap produk tertentu. Panelis
diminta tanggapan pribadinya tentang kesukaan atau sebaliknya terhadap
salah satu produk dengan menggunakan skala hedonik. Adanya skala
hedonik ini secara tidak langsung dapat digunakan untuk mengetahui
99
Yijk = µ + Ai + εijk
adanya perbedaan (Soekarto, 1985). Sampel bumbu ayam goreng
kalasan dan ayam goreng kalasan diuji pada hari ke-30 penyimpanan.
Sampel disajikan dalam wadah sebanyak 5 gram, lalu masing-masing
sampel diberi kode secara acak. Panelis diminta secara spontan
menyatakan penilaiannya terhadap sampel. Sampel disajikan secara
acak dan tidak boleh diulang dan dibandingkan. Hasil penilaian akan
dikonversi ke dalam skala numerik dan dianalisis dengan ANOVA
kemudian dilanjutkan dengan Uji Duncan bila hasil analisis sidik ragam
menunjukkan berpengaruh nyata antar semua perlakuan .
I. RANCANGAN PERCOBAAN
Rancangan percobaan yang dipakai adalah Rancangan Acak Lengkap
sebanyak 10 perlakuan dengan dua kali ulangan. Perlakuan tersebut yaitu
perlakuan dengan Formula 1(BHA 25 ppm+BHT 25 ppm), Formula 2 (BHA
50 ppm+BHT50 ppm), Formula 3 (BHA 100 ppm+BHT 100 ppm), Formula 4
(BHA 25 ppm+ askorbil palmitat25 ppm), Formula 5 (BHA 50 ppm+askorbil
palmitat 50 ppm), Formula 6 (BHA 100 ppm+askorbil palmitat 100 ppm),
Formula 7 (BHT 25 ppm+askorbil palmitat 25 ppm), Formula 8 (BHT
50 ppm+askorbil palmitat 50 ppm), Formula 9 (BHT 100 ppm+askorbil
palmitat 100 ppm), serta Formula 10 (tanpa penambahan antioksidan).
Model Matematika rancangan yang digunakan ialah :
Yijk = Variabel respon hasil observasi ke-k yang terjadi karena
pengaruh bersama taraf ke-i faktor A dan taraf ke-j faktor B
µ = rata-rata (konstan)
Ai = pengaruh faktor A pada taraf ke-i
εijk = galat percobaan
100
Analisis statistik keragaman yang dilakukan menggunakan progam
Statistical Process Selection System (SPSS) untuk menunjukkan berbeda
nyata atau tidak antar perlakuan. Analisis dapat dilanjutkan dengan Uji
Duncan apabila hasil analisis menunjukkan hasil yang berpengaruh nyata.
Rancangan Acak Lengkap ini digunakan untuk melihat pengaruh taraf
perlakuan pada beberapa kombinasi dan konsentrasi antioksidan yang
dicobakan terhadap sampel. Analisis regresi dilakukan pula untuk
mengetahui seberapa kuat hubungan antara hasil uji objektif dan lama
penyimpanan.
101
0,0
0,5
1,0
1,5
2,0
2,5
3,0
3,5
0 1 2 3 4 5 6 7 8
Lama Penyimpanan (hari)
Bila
ngan
TBA
(mg
mal
onal
dehi
d/kg
bah
an)
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. PENANGANAN BUMBU
Bumbu ayam goreng kalasan memiliki ciri khas rasa yang selalu dijaga
secara turun menurun. Kualitas bumbu ayam goreng kalasan dapat terganggu
dengan adanya proses ketengikan yang dapat terjadi dalam kurun waktu 1
minggu yang tentu saja dapat mempengaruhi rasa dan aroma dari ayam goreng
kalasan itu sendiri. Hasil pengukuran bilangan TBA selama satu minggu
dapat dilihat pada Gambar 9.
Gambar 9. Hasil Analisis Bilangan TBA selama Penyimpanan
Berdasarkan Gambar 9 dapat dilihat bahwa bumbu ayam goreng kalasan
selama penyimpanan selama satu minggu penyimpanan telah mengalami
ketengikan dengan nilai TBA pada hari ke tujuh penyimpanan bernilai >3 mg
malonaldehid/kg bahan. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan pembuat
bumbu yang menyatakan berdasarkan pengalaman bumbu telah mengalami
ketengikan setelah tujuh hari.
Bumbu ayam goreng yang telah diolah lalu dikemas dalam plastik dan
disealer. Setiap kemasan plastik berisi 10 kg. Setelah itu, bumbu ayam
goreng dikirimkan langsung dari pusat industri di Yoyakarta ke rumah
makan cabang setiap satu minggu sekali. Pengiriman dari pusat dilakukan
102
untuk menjaga kerahasiaan bumbu serta keseragaman rasa dan aroma dari
bumbu ayam goreng kalasan tersebut.
Bumbu yang telah tiba di rumah makan cabang, segera disimpan dalam
gudang berukuran 3mx3m. Gudang tersebut letaknya terlindung dari cahaya
secara langsung. Hal itu baik untuk mengurangi laju reaksi oksidasi karena
menurut Buck (1991), adanya cahaya dan suhu tinggi dapat mempercepat
laju reaksi oksidasi.
Pengiriman bumbu ayam goreng kalasan satu minggu sekali tentu saja
kurang efisien dalam distribusi dan transportasi barang karena volume barang
yang dikirim tidak sebanding usaha yang dikeluarkan. Hal tersebut
mendorong pemikiran untuk mengirimkan bumbu ayam goreng kalasan satu
bulan sekali berbarengan dengan pengiriman barang lain seperti halnya
kemasan. Pengiriman bumbu ayam goreng kalasan satu bulan sekali juga
memudahkan dalam pengontrolan keluar masuk barang dan perhitungan
jumlah bahan baku yang diperlukan. Adanya ruang penyimpanan yang tidak
terlalu luas yaitu sekitar 3x3 m juga merupakan alasan pengiriman barang
dilakukan tidak lebih dari satu bulan sekali.
Pengiriman bumbu satu bulan sekali tentu saja harus dibarengi dengan
kualitas bumbu ayam goreng kalasan itu sendiri agar tidak tengik selama satu
bulan. Penggunaan antioksidan merupakan salah satu pemecahan masalah
yang diharapkan tidak menimbulkan permasalahan perubahan yang besar
pada kegiatan rumah makan ayam goreng kalasan sehingga pemecahan
masalah tidak menimbulkan masalah yang baru lagi.
B. ANALISIS PROKSIMAT BUMBU AYAM
Menurut Harijadi (1993), analisis proksimat dilakukan saat tahap awal
penelitian untuk mengetahui karakteristik produk. Analisis yang dilakukan
yaitu pengukuran kadar air, kadar lemak, dan kandungan logam Fe dan Cu
pada produk. Hasil analisis proksimat bumbu ayam goreng kalasan dapat
dilihat pada Tabel 8.
103
Tabel 8. Hasil Analisis Proksimat Bumbu Ayam Goreng Kalasan Jenis Analisis Konsentrasi
Kadar air 27.05%
Kadar Lemak 37.53%
Logam Cu 8.4 x 10-4 mg/L
Logam Fe 3.0x10-3 mg/L
Pengukuran kadar air dilakukan dengan menggunakan metode
azeotropik. Metode tersebut dipilih karena menurut Day dan Underwood
(1993), metode distilasi azeotropik sangat cocok digunakan untuk bahan -
bahan yang mengandung lemak dan komponen-komponen yang mudah
menguap disamping air sehingga dapat mengurangi kesalahan negatif
akibat hilangnya komponen-komponen volatil saat pemanasan. Hal
tersebut sesuai dengan karakteristik bumbu ayam goreng kalasan yang
mengandung lemak yang cukup tinggi dan mengandung rempah-rempah
sebagai komposisi utama penyusun bumbu ayam goreng kalasan.
Rempah-rempah memiliki komponen-komponen yang mudah
menguap apabila dipanaskan pada suhu tinggi. Pemanasan yang cukup
tinggi dapat menyebabkan komponen volatil mudah menguap sehingga
akan terjadi kesalahan positif pada pengukuran kadar air yaitu nilai kadar
air yang lebih besar dari seharusnya (Day dan Underwood, 1993). Hasil
analisis proksimat bumbu dapat diketahui bahwa bumbu memiliki kadar
air yang cukup rendah yaitu 27.05%. Menurut Rahayu (2000), kadar air
bumbu masih terbilang cukup rendah pada kisaran 30-40%.
Secara alami lemak mudah teroksidasi sehingga menimbulkan
perubahan baik pada aroma, rasa, ataupun penampakan (Buck, 1991).
Hasil pengukuran kadar lemak didapatkan bahwa rata-rata kadar lemak
produk setelah dilakukan dua ulangan cukup tinggi yaitu sekitar 37,53%.
Hasil tersebut didukung oleh pernyataan Ivory (1994) bahwa kadar lemak
pada bumbu tradisional terbilang cukup tinggi pada kisaran 30-75%.
Kadar lemak yang cukup tinggi kemungkinan disebabkan karena adanya
kemiri sebagai bahan penyusun bumbu. Menurut Farrel (1990), kadar
104
lemak kemiri cukup tinggi yaitu 39.75%. Penyebab lain dari tingginya
kadar lemak karena adanya penumisan saat pembuatan bumbu dengan
persentase minyak goreng 30% dari jumlah bumbu.
Komponen logam Fe dan Cu merupakan salah satu komponen yang
mempengaruhi aktivitas antioksidan (Fennema, 1985). Berdasarkan
analisis logam Fe dan Cu didapatkan kosentrasi Fe cukup rendah yaitu
3.0x10-3 mg/L dan konsentrasi Cu sekitar 8.4 x 10-4 mg/L. Kandungan
logam bivalen ternyata sangat mempengaruhi aktivitas antioksidan bumbu.
Cu dan Fe merupakan logam yang umumnya mempercepat reaksi
otooksidasi. Ketaren (1986) mengungkapkan bahwa Cu paling efektif
untuk mengkatalisasi reaksi oksidasi karena pada konsentrasi 2 mg/L
minyak pangan sudah apek. Menurut Ketaren (1986) pula Cu efektif
untuk mengkatalisasi reaksi oksidasi kemungkinan disebabkan karena
elektron valensinya sehingga Cu menjadi tidak stabil. Gordon pun juga
melaporkan logam Cu pada konsentrasi 0.05 mg/kg atau Fe pada
konsentrasi 0.6 mg/kg dapat mempengaruhi umur simpan daging babi
sebanyak 50% pada suhu 98oC.
C. ANALISIS TOTAL MIKROBA
Total mikroba produk cenderung meningkat selama penyimpanan.
Menurut Fardiaz (1989), peningkatan jumlah mikroba dapat dijadikan
indikator kerusakan produk pangan. Kerusakan karena mikroba juga
menunjukkan penurunan mutu atau proses kerusakan.
Menurut Rahayu (2000) level aman mikroba yang terdapat pada
bumbu masakan tradisional untuk dikonsumsi manusia adalah <105
kol/gram sampel. Hasil pengujian total mikroba selama 30 hari (Tabel 9)
menunjukkan bahwa total mikroba pada kontrol dan sampel <3.2 x 104
kol/gram sampel. Hasil tersebut menunjukkan bahwa kontrol dan sampel
masih aman untuk dikonsumsi manusia.
Pertumbuhan mikroba pada sampel dan kontrol tidak berkembang
pesat selama penyimpanan karena pada komponen rempah-rempah
penyusun bumbu ayam goreng kalasan terdapat komponen antimikroba.
105
Tabel 9. Hasil Analisis Total Mikroba (x 103 koloni /gram sampel)
Jenis Perlakuan Lama Penyimpanan 0 4 8 13 17 22 26 30
Tanpa antioksidan 0,5 1,4 2,4 3,1 4,0 7,8 18,2 21,0 BHA+BHT 25 ppm 0,4 1,3 2,8 3,1 3,8 7,3 18,9 21,0
50 ppm 0,5 1,3 1,8 3,6 3,4 7,6 17,0 20,0 100 ppm 0,6 1,4 2,3 3,1 4,2 8,0 19,0 22,7 BHA+AP 25 ppm 0,5 1,3 2,7 3,2 3,7 9,3 18,3 21,9
50 ppm 0,4 1,5 2,6 3,4 3,7 9,9 17,5 21,6 100 ppm 0,5 1,5 2,6 3,2 4,3 10,8 19,0 22,9 BHA+AP 25 ppm 0,6 1,4 2,6 3,7 4,0 10,8 19,0 22,9
50 ppm 0,4 1,3 2,2 3,2 4,1 8,9 19,0 20,3 100 ppm 0,6 1,5 2,7 3,6 4,1 19,8 26,5 32,2
Ket : BHA : Butylated hydroxyanisole BHT : Butylated hidroxytoluene AP : Askorbil palmitat
Menurut Pratt dan Hudson (1990), zat antimikroba yang terdapat
pada rempah-rempah sebagian besar merupakan senyawa fenol dan
turunannya. Penghambatan pertumbuhan sel mikroba oleh komponen
fenol disebabkan kemampuan fenol untuk merusak membran sel mikroba
(Rahayu, 2000). Pratt dan hudson (1990) mengungkapkan bahwa fenol
dapat mendenaturasi protein dan merusak membran sel dengan cara
melarutkan lemak yang terdapat pada dinding sel karena senyawa ini
mampu bermigrasi dari fase cair ke lemak. Selain itu senyawa fenol juga
mapu menurunkan tegangan permukaan membran sel. Rempah-rempah
yang digunakan dalam pengolahan makanan sehari-hari dapat membantu
mencegah pertumbuhan mikroba pada makanan.
Selain itu pertumbuhan mikroba pada sampel tidak berkembang pesat
karena kadar air produk yang cukup rendah yaitu 27.05% yang menurut
Rahayu (2000), kadar air bumbu masih terbilang cukup rendah pada kisaran
30-40%. Rendahnya kadar air bumbu diduga menjadi salah satu penyebab
kecilnya jumlah mikroba pada bumbu tersebut (Rahayu, 2000).
Proses penumisan pun diduga turut menjadi penyebab rendahnya
jumlah mikroba awal pada bumbu. Menurut Fardiaz (1989), proses
106
pemasakan dapat menurunkan jumlah mikroba dan bahkan dapat
membunuh mikroba pada suhu sterilisasi.
D. PEMILIHAN ANTIOKSIDAN
Salah satu cara pencegahan proses ketengikan oleh oksidasi lemak
pada bumbu ayam goreng kalasan adalah dengan penambahan antioksidan.
Menurut Winarno (1992), adanya antioksidan dalam lemak dapat
menghambat dan mengurangi timbulnya rasa dan aroma tengik.
Antioksidan yang terpilih diharapkan mampu menghambat ketengikan
pada bumbu ayam goreng kalasan. Menurut Buck (1991), seleksi
antioksidan dapat dilakukan dengan memperhatikan tipe antioksidan,
efektivitas carry trough, kelarutan antioksidan, tipe proses pengolahan
produk, flavor dan odour, ketersediaan produk (mudah didapatkan), serta
status peraturan dan legalitas penggunaan antioksidan.
Bumbu ayam goreng kalasan pada proses pembuatannya
mengalami proses penumisan pada suhu tinggi (lebih dari 900C). Menurut
Ketaren (1986), suhu tinggi dapat mempercepat berlangsungnya reaksi
oksidasi. Oleh sebab itu untuk mencegah atau mengurangi reaksi oksidasi
diperlukan antioksidan yang cukup tahan pada suhu tinggi sehingga efektif
penggunaannya. Antioksidan seperti BHA, BHT, dan askorbil palmitat
merupakan antioksidan yang memiliki titik lebur di atas 900C (Madhavi et
al, 1996).
Antioksidan yang dipilih merupakan antioksidan yang larut lemak
karena produk bumbu ayam goreng kalasan dalam penelitian ini memiliki
kandungan lemak bumbu yang cukup tinggi yaitu 37,53%. Antioksidan
yang dipergunakan dalam produk pangan juga diharapkan tidak
mempengaruhi flavor dan bau serta perubahan warna dari produk bumbu
ayam goreng kalasan sehingga citarasa dan penampakan dari ayam goreng
kalasan tetap khas dan sama dengan aslinya walaupun menggunakan
bumbu yang mengandung antioksidan.
Selain pertimbangan tersebut, diharapkan antioksidan yang terpilih
memiliki efek carry trough yang baik pada produk akhir dan mudah
107
didapatkan serta terjamin keberadaannya di pasaran. Ketiga antioksidan
seperti BHA, BHT, dan askorbil palmitat merupakan antioksidan yang
telah meluas penggunaannya (Gordon, 1990). Ketiga antioksidan tersebut
dapat dengan mudah didapatkan untuk memenuhi kebutuhan antioksidan
dalam aplikasinya pada produk pangan.
Berdasarkan kriteria tersebut di atas diperoleh beberapa jenis
antioksidan yang dapat diaplikasikan untuk bumbu ayam goreng kalasan
untuk menghambat reaksi oksidasi, antara lain BHA, BHT, dan askorbil
palmitat (Ivory, 1994). Ketiga antioksidan saling dikombinasikan
penggunaannya dalam produk ayam goreng kalasan menurut kisaran
konsentrasi efektif. Menurut Fennema (1985), kombinasi antioksidan
dengan kesinergisannya dapat meningkatkan kemampuan antioksidan
untuk menghambat reaksi oksidasi.
Konsentrasi antioksidan yang dipilih adalah berkisar antara 25-100
ppm dan dipakai kontrol sebagai pembanding karena menurut Madhavi et.
al (1996), BHA pada konsentrasi 0.005%-0.01% cukup efektif digunakan
pada bahan pangan, BHT efektif pada 0.005-0.02%, dan askorbil palmitat
efektif pada konsentrasi 0.003%-0.5%. Pemilihan kombinasi jenis
antioksidan dan konsentrasi antioksidan yang akan digunakan didasarkan
pada uji TBA, diena terkonjugasi, dan uji sensori.
1. Nilai Thiobarbituric Acid (TBA)
Bilangan TBA menunjukkan jumlah malonaldehid yang ada pada
produk, yaitu hasil oksidasi lemak. Menurut Gordon (1990),
pengukuran malonaldehid merupakan salah satu cara untuk mengukur
tingkat ketengikan lemak. Prinsip utamanya adalah dengan
mereaksikan asam 2-thiobarbiturat dengan lemak yang mengalami
ketengikan dan mengandung malonaldehid (Fennema, 1985)
Salah satu keuntungan dari penggunaan parameter ini adalah
reagen asam TBA dapat langsung digunakan pada lemak bahan yang
diuji tanpa diperlakukan ekstraksi terlebih dahulu. Selain itu
keuntungan yang lain, penggunaan metode TBA langsung menganalisa
108
0
1
2
3
4
5
6
0 10 20 30 40
Lama Penyimpanan (hari)
Bila
ngan
TB
A (m
g m
alon
alde
hid/
kg
baha
n
Formula 1 (BHA 25 ppm + BHT 25 ppm)Formula 2 (BHA 50 ppm +BHT 50 ppmFormula 3 (BHA 100 ppm + BHT 100 ppm)Formula 4 (BHA 25 ppm +AP 25 ppm)Formula 5 (BHA 50 ppm + AP 50 ppm)Formula 6 (BHA 100 ppm+AP 100 ppm)Formula 7 (BHT 25 ppm + AP 25 ppm)Formula 8 (BHT 50 ppm + AP 50 ppm)Formula 9 (BHT 100 ppm+ AP 100 ppm)Formula 10 (tanpa antioksidan)
aldehid yang telah diketahui menyebabkan ketengikan pada lemak
(Buck, 1991).
Tingkat ketengikan lemak yang diukur dapat dilihat dari
intensitas warna merah yang dihasilkan akibat reaksi tersebut. Makin
kuat warna merah yang dihasilkan dari reaksi tersebut, maka tingkat
ketengikannya makin tinggi (Ketaren, 1986). Hasil pengukuran
bilangan TBA bumbu ayam goreng kalasan selama penyimpanan
disajikan pada Gambar 10 dan Lampiran 5.
Gambar 10. Hubungan Antara Bilangan TBA dengan Lama Penyimpanan
109
Gambar 10 menunjukkan kenaikan bilangan TBA pada sampel
bumbu ayam goreng kalasan selama penyimpanan. Data kenaikan
bilangan TBA secara lebih jelas dapat dilihat pada Lampiran 5.
Berdasarkan Gambar 10 dapat dilihat bahwa kombinasi BHA+BHT
dan kombinasi BHT+askorbil palmitat dengan konsentrasi 50 ppm dan
100 ppm memiliki nilai TBA <3 mg malonaldehid/kg bahan pada akhir
penyimpanan (hari ke-30). Menurut Ketaren (1986), bahan pangan
telah mengalami ketengikan yang lanjut apabila telah mencapai nilai
malonaldehid >3 mg malonaldehid/kg bahan. Hasil itu menunjukkan
bahwa perlakuan pada sampel tersebut cukup efektif untuk
menghambat ketengikan bumbu selama 30 hari penyimpanan.
Nilai TBA sampel dengan perlakuan tanpa penambahan
antioksidan (Formula 10) telah mengalami ketengikan pada hari ke-8
penyimpanan. Hal tersebut ditandai dengan nilai TBA rata-rata 3.09
mg malonaldehid/kg bahan. Sampel dengan tanpa penambahan
antioksidan pada dasarnya telah memiliki antioksidan alami.
Antioksidan alami tersebut berasal dari senyawa endogenous yang
terdapat dalam rempah-rempah yang merupakan penyusun bumbu.
Menurut Pratt dan Hudson (1990), sumber antioksidan alami
pada rempah-rempah pada umumnya dari kelompok fenolik. Koschhar
(1993) juga mengungkapkan bahwa tidak kurang dari 30 jenis tanaman
rempah-rempah menunjukkan sifat antioksidan. Ketengikan yang
terjadi pada sampel tanpa penambahan antioksidan kemungkinan
disebabkan karena kurangnya konsentrasi antioksidan alami pada
bahan untuk menghambat proses oksidasi apalagi dalam proses
pembuatan bumbu terdapat proses penumisan menggunakan suhu
90oC. Menurut Ketaren (1986), suhu penggorengan (90-180 oC) dapat
mempercepat reaksi oksidasi.
Darmini (1998) juga meneliti aktivitas antioksidan pada bumbu
tradisional Indonesia seperti bumbu ayam goreng, rawon, rendang, dan
bumbu opor. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwajumlah bumbu
yang biasa digunakan untuk memasak sehari-hari (100-300 g
110
bumbu/kg bahan) belum cukup mampu untuk menghambat ketengikan
yang terjadi.
Berdasarkan Gambar 10 pun dapat dilihat bahwa sampel dengan
perlakuan penambahan antioksidan 25 ppm memiliki peningkatan
bilangan TBA yang lebih tinggi dibanding perlakuan penambahan
antioksidan 50 ppm dan 100 ppm. Hasil pengamatan menunjukkan
bahwa penambahan antioksidan 25 ppm belum cukup efektif
menghambat ketengikan bumbu setelah penyimpanan 30 hari. Hasil
tersebut didukung oleh penelitian Darmini (1998) bahwa penggunaan
BHA dan BHT 30 ppm tidak dapat mencegah peningkatan bilangan
TBA hingga di bawah 3 mg malonaldehid/kg bahan pada bumbu ayam
goreng tradisional selama satu bulan penyimpanan.
Gambar 10 menunjukkan bahwa sampel dengan perlakuan
penambahan BHA dan BHT konsentrasi 100 ppm merupakan sampel
dengan kenaikan bilangan TBA terendah dibandingkan sampel
lainnya. Berdasarkan Uji Duncan (Lampiran 7) pun dapat dilihat
bahwa sampel dengan perlakuan penambahan BHA dan BHT 100 ppm
tidak berbeda nyata dari sampel dengan perlakuan penambahan
BHA+askorbil palmitat 100 ppm. Hal tersebut menunjukkan bahwa
perlakuan penambahan kombinasi BHA+BHT dan BHA+askorbil
palmitat 100 ppm pada sampel memiliki kemampuan untuk
menghambat reaksi oksidasi yang tidak berbeda.
BHA dan BHT merupakan kombinasi antioksidan yang dapat
memberikan efek sinergis yang efektif bila digunakan dalam bahan
pangan (Fennema, 1985). Mekanisme sinergisme antara BHA dan
BHT dapat dilihat pada Gambar 11.
Kombinasi BHA+askorbil palmitat 100 ppm(Gambar 8) yang
merupakan salah satu kombinasi antioksidan yang memiliki efektifitas
untuk menghambat ketengikan pada bumbu selama satu bulan. Hal
tersebut kemungkinan terjadi karena kedua antioksidan dengan
konsentrasi 100 ppm saling mendukung untuk mencegah oksidasi pada
bumbu. Menurut Madhavi et al (1996), askorbil palmitat dapat
111
mengikat oksigen sehingga pembentukan radikal ROO* pada proses
oksidasi dapat terhambat. Sedangkan BHA yang merupakan
antioksidan primer, bekerja dengan mendonorkan hidrogen untuk
membentuk radikal yang lebih stabil (Gordon, 1990).
Gambar 11. Sinergisme antara BHA dan BHT (Madhavi et. al, 1996)
Hasil pengukuran nilai bilangan TBA (Lampiran 5)
menunjukkan bahwa kombinasi BHA+askorbil palmitat lebih efektif
daripada kombinasi BHT+askorbil palmitat. Hal tersebut kemungkinan
terjadi karena sifat carry trough dan kelarutan BHA lebih baik dari
BHT. Menurut Madhavi et al (1996), BHA memiliki keefektifan, sifat
carry trough,dan kelarutan yang lebih baik dari BHT pada minyak
nabati.
Uji bilangan TBA merupakan uji yang sensitif tetapi tidak
spesifik untuk menganalisis malonaldehid sebagai produk sekunder
dari rekasi oksidasi (Heras et. al, 2003). Kekurangan metode tersebut
menurut Ketaren (1986), asam TBA bersifat tidak stabil dan
mengalami dekomposisi di bawah kondisi pengujian (dengan adanya
pemanasan dan asam keras). Hasil degradasi tersebut memiliki warna
yang sama (terabsorbsi pada panjang gelombang yang sama) dengan
kompleks TBA malonaldehid. Oleh sebab itu diperlukan uji lain
sebagai pendukung untuk memilih kombinasi dan konsentrasi
antioksidan yang akan digunakan pada bumbu ayam goreng kalasan.
112
2. Nilai Conjugated Diene Hydroperoxide (CDHP)
Pengukuran nilai hidroperoksida diena terkonjugasi adalah
suatu cara untuk mengetahui potensi atau peluang lemak untuk
mengalami kerusakan oksidatif berupa ketengikan selama
penyimpanan. Diena terkonjugasi merupakan salah satu hasil
perubahan primer oksidatif lipid yang cenderung stabil dibanding
peroksida merupakan indikator yang sensitif terhadap kerusakan
oksidatif pada tahap awal (Madhavi et al, 1996).
Metode tersebut dipilih karena menurut Shahidi dan
Wanasundara (1997), metode diena terkonjugasi merupakan metode
yang lebih cepat, lebih sederhana, dan tidak tergantung pengembangan
warna serta membutuhkan jumlah sampel yang lebih sedikit
dibandingkan pengukuran bilangan peroksida yang lebih dahulu
populer. Hasil pengukuran diena terkonjugasi dapat dilihat Gambar 12
dan lebih jelasnya pada Lampiran 6.
Gambar 12 menunjukkan bahwa terjadi peningkatan nilai diena
terkonjugasi pada masing-masing sampel selama penyimpanan 30 hari.
Peningkatan nilai diena terkonjugasi terjadi karena adanya perubahan
primer oksidatif lipid yang membentuk senyawa hidroperoksida.
Peningkatan tersebut dipercepat dengan adanya ekspos oksigen,
cahaya dan suhu lebih tinggi saat proses penyimpanan (Ketaren, 1986).
Peningkatan nilai bilangan diena terkonjugasi kontrol terlihat sangat
signifikan dibandingkan dengan sampel. Menurut Koschhar (1993),
adanya penambahan antioksidan akan mengakibatkan pemisahan
radikal bebas sehingga mampu menekan terjadinya proses oksidasi.
Berdasarkan Gambar 12 dapat dilihat bahwa peningkatan
bilangan diena terkonjugasi terendah dimiliki oleh sampel dengan
penambahan BHA+askorbil palmitat 100 ppm. Nilai bilangan diena
terkonjugasi adalah 0.901. Hal tersebut menunjukkan bahwa
kombinasi BHA dan askorbil palmitat 100 ppm merupakan perlakuan
yang lebih efektif untuk mencegah reaksi oksidasi dibandingkan
perlakuan lainnya.
113
0
0,5
1
1,5
2
2,5
0 10 20 30 40Lama Penyimpanan (hari)
Bila
ngan
Die
na T
erko
njug
asi
(0.1
ml/0
.1 m
l v/v
)
Formula 1 (BHA 25 ppm + BHT 25 ppm)Formula 2 (BHA 50 ppm +BHT 50 ppmFormula 3 (BHA 100 ppm + BHT 100 ppm)Formula 4 (BHA 25 ppm +AP 25 ppm)Formula 5 (BHA 50 ppm + AP 50 ppm)Formula 6 (BHA 100 ppm+AP 100 ppm)Formula 7 (BHT 25 ppm + AP 25 ppm)Formula 8 (BHT 50 ppm + AP 50 ppm)Formula 9 (BHT 100 ppm+ AP 100 ppm)Formula 10 (tanpa antioksidan)
Gambar 12. Hubungan antara Nilai Diena Terkonjugasi dengan
Lama Penyimpanan
Dugan (1984) juga melaporkan bahwa kombinasi BHA+askorbil
palmitat 100 ppm lebih efektif untuk mencegah ketengikan pada
minyak nabati daripada kombinasi BHT+askorbil palmitat 100 ppm.
Hasil tersebut sejalan dengan pengukuran nilai TBA sebelumnya yang
menunjukkan bahwa penambahn BHA+askorbil palmitat lebih efektif
menghambat ketengikan pada bumbu ayam kalasan selama
penyimpanan satu bulan.
114
Berdasarkan analisis sidik ragam pada Lampiran 8
menunjukkan bahwa pebngaruh antar perlakuan berbeda nyata. Hasil
uji lanjut Duncan pada Lampiran 8 menunjukkan bahwa perlakuan
perlakuan BHA+askorbil palmitat 100 ppm berbeda nyata dari
perlakuan lainnya. Hal tersebut didukung hasil pengamatan pada
Lampiran 6 yang menunjukkan bahwa rata-rata nilai diena
terkonjugasi perlakuan BHA+BHT pada taraf konsentrasi yang sama
lebih rendah dibandingkan perlakuan lainnya yaitu 0.901. Menurut
Sherwin (1990), BHA dan askorbil palmitat bila digunakan bersama
juga bersifat lebih efektif dalam memperpanjang umur simpan lemak
atau minyak dalam bahan pangan bila dibandingkan dengan kombinasi
BHA dan antioksidan lain seperti asam askorbat, asam galat, atau
TBHQ.
3. Uji Skalar
Uji skalar garis merupakan salah satu uji skalar yang
menggunakan garis sebagai parameter penentuan suatu kesan dari
suatu rangsangan (Lea dan Tormad, 1998). Menurut Meilgaard
(1999), skala garis digunakan untuk mengetahui besaran kesan yang
diperoleh suatu komoditi hingga dapat diketahui mutu dari komoditi
tersebut.
Skala yang digunakan pada uji skalar adalah 0-100.
Berdasarkan Lea dan Tormad (1998), skala yng biasa digunakan pada
uji sensori adalah 1-7, 1-9, dan 0-100. Hasil penilaian panelis dengan
uji skalar dapat dilihat pada Gambar 13. Penilaian panelis pada
Gambar 13 telah dikonversi pada skala 0-100 berdasarkan standar
Balai Pasca Panen (2000) pada Tabel 7. Lembar penilaian panelis
dapat dilihat pada Lampiran 3.
Berdasarkan Gambar 13 dapat dilihat bahwa selama
penyimpanan skor penilaian panelis terhadap sampel mengalami
peningkatan. Skor penilaian panelis yang makin meningkat
115
0 20 40 60 80 100 120
Formula 1
Formula 2
Formula 3
Formula 4
Formula 5
Formula 6
Formula 7
Formula 8
Formula 9
Formula 10
Sam
pel
Skor Panelis
H30
H22
H14
H7
H0
mengindikasikan penerimaan panelis terhadap sampel makin
berkurang.
Gambar 13. Hasil Uji Skalar Penilaian Panelis terhadap Sampel
Berdasarkan Gambar 13 peningkatan skor panelis yang cukup
tajam terjadi pada sampel dengan perlakuan tanpa penambahan
Ket Formula 1(BHA 25 ppm + BHT 25 ppm) Formula 6 (BHA 100 ppm+Askorbil palmitat 100 ppm)
Formula 2 (BHA 50 ppm +BHT 50 ppm Formula 7 (BHT 25 ppm + Askorbil palmitat 25 ppm)
Formula 3 (BHA 100 ppm + BHT 100 ppm) Formula 8 (BHT 50 ppm + Askorbil palmitat 50 ppm)
Formula 4 (BHA 25 ppm +Askorbil palmitat 25 ppm) Formula 9 (BHT 100 ppm+ Askorbil palmitat 100 ppm)
Formula 5 (BHA 50 ppm + Askorbil Palmitat 50 ppm) Formula 10 (tanpa penambahan antioksidan
116
antioksidan dan sampel dengan penambahan konsentrasi antioksidan
paling rendah yaitu 25 ppm. Penilaian panelis terhadap sampel dengan
perlakuan penambahan antioksidan 25 ppm disebabkan meningkatnya
aroma ketengikan pada sampel tersebut. Menurut komentar panelis,
berkurangnya aroma rempah dalam bumbu selama penyimpanan
makin menyebabkan panelis dapat mencium ketengikan yang terjadi
selama penyimpanan.
Hasil tersebut sesuai dengan pengukuran objektif (bilangan
TBA dan nilai bilangan diena konjugasi) yang juga menunjukkan
perlakuan penambahan antioksidan 25 ppm belum mampu
menghambat ketengikan pada bumbu ayam goreng kalasan selama 1
bulan penyimpanan.
Peningkatan skor penilaian yang cukup tinggi terlihat pada
sampel tanpa penambahan antioksidan. Sampel tersebut telah
mengalami ketengikan menurut panelis pada hari ke-7. Hasil penilaian
panelis pada akhir penyimpanan (Gambar 13) dapat dilihat bahwa
sampel yang belum mengalami ketengikan adalah sampel dengan
penambahan BHA dan BHT dengan konsentrasi 50 dan 100 ppm serta
sampel dengan penambahan BHA dan askorbil palmitat 100 ppm.
Hasil tersebut sejalan dengan uji TBA dan uji diena terkonjugasi yang
telah dilakukan sebelumnya.
4. Uji Hedonik
Uji hedonik pada penelitian ini juga dilakukan. Uji hedonik
merupakan salah satu uji penerimaan (Maynard et al, 1965). Menurut
Meilgaard (1999), uji hedonik merupakan uji panelis diminta untuk
mengungkapkan tanggapan pribadinya tentang tingkat kesukaan atau
ketidaksukaan yang bertujuan untuk mengetahui penilaian panelis
terhadap sifat mutu yang umum seperti penampakan, aroma, rasa,
warna, dan tekstur. Tingkat kesukaan tersebut disebut sebagai skala
hedonik.
117
00.5
11.5
22.5
33.5
44.5
5
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Formula
Pen
ilaia
n P
anel
is
Aroma Bumbu
Hasil uji hedonik terhadap aroma bumbu ayam goreng
kalasan saat akhir penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 14
yang menunjukkan bahwa pada sampel dengan penambahan
BHA+BHT, BHA+askorbil palmitat, dan BHT+askorbil palmitat
25 ppm berada pada kisaran 2-3 (antara tidak suka dan agak tidak
Ket : Formula 1(BHA 25 ppm + BHT 25 ppm) Formula 6 (BHA 100 ppm+Askorbil palmitat
100 ppm)
Formula 2 (BHA 50 ppm +BHT 50 ppm Formula 7 (BHT 25 ppm + Askorbil palmitat 25 ppm)
Formula 3 (BHA 100 ppm + BHT 100 ppm) Formula 8 (BHT 50 ppm + Askorbil palmitat 50 ppm)
Formula 4 (BHA 25 ppm +Askorbil palmitat 25 ppm)
Formula 9 (BHT 100 ppm+ Askorbil palmitat 100 ppm)
Formula 5 (BHA 50 ppm + Askorbil Palmitat 50 ppm) Formula 10 (tanpa penambahan antioksidan
Gambar 14. Diagram Rata-rata Uji Hedonik terhadap Aroma Bumbu Ayam Goreng Kalasan pada Akhir Penyimpanan
suka). Hasil Uji Lanjut Duncan pada Lampiran 10 menunjukkan
perlakuan penambahan BHT+askorbil palmitat merupakan
perlakuan yang berbeda nyata dibandingkan perlakuan lainnya.
Bumbu dengan penambahan BHT dan askorbil palmitat
konsentrasi 25 ppm dengan nilai 2.05 menunjukkan penilaian
tidak suka. Nilai kesukaan yang rendah disebabkan karena
adanya aroma tengik yang tidak disukai oleh panelis.
Berdasarkan uji Duncan (Lampiran 10), dihasilkan sampel
dengan penambahan BHA+BHT 50 ppm dan 100 ppm serta
118
sampel dengan penambahan BHA+askorbil palmitat dan
BHT+askorbil palmitat 100 ppm tidak berbeda nyata. Sampel
tersebut memiliki skor antara 4 dan 5 (agak suka sampai suka)
Hasil penilaian uji hedonik oleh para panelis sejalan dengan
pengukuran objektif dengan menggunakan bilangan TBA dan nilai
diena terkonjugasi yang telah dilakukan saat penyimpanan bumbu
ayam goreng Kalasan selama 30 hari yang menunjukkan bahwa
sampel dengan perlakuan penambahan BHA+BHT dan
BHA+askorbil palmitat 100 ppm cukup efektif untuk menghambat
ketengikan pada bumbu ayam goreng kalasan.
Aroma Ayam Goreng Kalasan
Nilai skor rata-rata aroma ayam goreng kalasan denagn
berbagai perlakuan dapat dilihat pada Gambar 15. Hasil uji sidik
ragam (Lampiran 13) menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata
antar sampel Uji kemudian dilanjutkan dengan Uji Duncan yang
pada lampiran 13 menunjukkan bahwa sampel dengan
penambahan BHT+askorbil palmitat berbeda nyata dari sampel
lainnya.
Hasil penilaian panelis terhadap sampel dengan perlakuan
penambahan antioksidan 25 ppm berada pada titik agak tidak suka
hingga agak suka. Panelis mencium adanya bau tengik pada
sampel ayam goreng kalasan selain aroma ayam goreng yang
khas.
Berdasarkan Gambar 15, panelis masih menyukai sampel
dengan penambahan BHT+BHT, BHA+askorbil palmitat, 100
ppm dan BHT+BHT 50 ppm. Panelis mengemukakan masih
menyukai sampel-sampel tersebut karena bau tengik pada ketiga
sampel tersebut belum tercium.
119
0
1
2
3
4
5
6
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Formula
Peni
laia
n Pa
nelis
GambaGambar 15. Diagram Rata-rata Uji Hedonik terhadap Aroma Ayam Goreng Kalasan pada Akhir Penyimpanan
Selain itu juga menurut panelis karena adanya aroma ayam
goreng yang khas. Menurut Ketaren (1986), penggunaan minyak
dalam menggoreng dapat menghasilkan aroma yang
menyenangkan. Mottram (1991) pun mengungkapkan bahwa
selama pemanasan daging terjadi reaksi-reaksi kompleks yang
melibatkan senyawa amino, karbonil, dan lipid (PUFA) yang
berkontribusi terhadap aroma daging ayam.
Rasa Ayam Goreng Kalasan
Pengujian hedonik terhadap rasa ayam goreng kalasan juga
dilakukan. Rasa dapat dinilai dengan indera pencicip dalam
rongga mulut terutama lidah dan sebagian langit-langit lunak
(Meilgaard, 1999).
Nilai skor rata-rata aroma ayam goreng kalasan dengan
berbagai perlakuan dapat dilihat pada Gambar 16. Hasil uji sidik
ragam (Lampiran 14) penilaian panelis terhadap aroma ayam
Ket : Formula 1(BHA 25 ppm + BHT 25 ppm) Formula 6 (BHA 100 ppm+Askorbil palmitat 100
ppm)
Formula 2 (BHA 50 ppm +BHT 50 ppm Formula 7 (BHT 25 ppm + Askorbil palmitat 25 ppm)
Formula 3 (BHA 100 ppm + BHT 100 ppm) Formula 8 (BHT 50 ppm + Askorbil palmitat 50 ppm)
Formula 4 (BHA 25 ppm +Askorbil palmitat 25 ppm)
Formula 9 (BHT 100 ppm+ Askorbil palmitat 100 ppm)
Formula 5 (BHA 50 ppm + Askorbil Palmitat 50 ppm) Formula 10 (tanpa penambahan antioksidan
120
0
1
2
3
4
5
6
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Formula
Peni
laia
n Pa
nelis
goreng kalasan memberikan pengaruh yang berbeda nyata antar
sampel. Uji kemudian dilanjutkan dengan Uji Duncan yang
ditunjukkan pada Lampiran 14.
Skor kesukaan panelis terendah adalah sampel penambahan
BHA+askorbil palmitat 25 ppm dengan nilai rata-rata 3.25 (agak
tidak suka). Sampel penambahan BHT+askorbil palmitat
berdasarkan uji Duncan (lampiran 14) menunjukkan hasil yang
tidak berbeda nyata dengan sampel penambahan BHA+askorbil
palmitat 25 ppm.
GambaGambar 16. Diagram Rata-rata Uji Hedonik terhadap Rasa Ayam Goreng Kalasan pada Akhir Penyimpanan
Hasil penilaian panelis terhadap sampel dengan perlakuan
penambahan antioksidan 25 ppm pun rendah pada agak tidak suka
hingga agak suka. Ketengikan karena proses oksidasi lanjut turut
mempengaruhi kesukaan panelis terhadap rasa ayam goreng. Hasil
tersebut didukung oleh pengukuran dengan uji TBA dan diena
Ket : Formula 1(BHA 25 ppm + BHT 25 ppm) Formula 6 (BHA 100 ppm+Askorbil palmitat
100 ppm)
Formula 2 (BHA 50 ppm +BHT 50 ppm Formula 7 (BHT 25 ppm + Askorbil palmitat 25 ppm)
Formula 3 (BHA 100 ppm + BHT 100 ppm) Formula 8 (BHT 50 ppm + Askorbil palmitat 50 ppm)
Formula 4 (BHA 25 ppm +Askorbil palmitat 25 ppm)
Formula 9 (BHT 100 ppm+ Askorbil palmitat 100 ppm)
Formula 5 (BHA 50 ppm + Askorbil Palmitat 50 ppm) Formula 10 (tanpa penambahan antioksidan
121
0
1
2
3
4
5
6
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Formula
Pen
ilaia
n P
anel
is
terkonjugasi yang menunjukkan bahwa perlakuan penambahan
antioksidan 25 ppm belum cukup efektif untuk mencegah
ketengikan pada bumbu ayam goreng kalasan.
Hasil uji Duncan (Lampiran 14) menunjukkan bahwa ayam
dengan penambahan sampel yang diberi BHA+BHT,
BHA+askorbil palmitat 100 ppm, serta BHT+askorbil palmitat
dengan konsentrasi 50 ppm tidak berbeda nyata satu sama lain.
Sampel-sampel tersebut berada pada kisaran agak suka hingga
suka. Kesukaan panelis terhadap ayam goreng kalasan dipengaruhi
oleh rasa tengik dan rasa gurih akibat proses penggorengan.
4.4 Penampakan Keseluruhan
Perlakuan tanpa penambahan antioksidan menurut uji
Duncan (Lampiran 15) berbeda nyata dibandingkan perlakuan
lainnya. Nilai kesukaan panelis pada kisaran 1-2 (sangat tidak
suku hingga tidak suka). Panelis tidak menyukai sampel tersebut
karena aroma dan rasa tengik yang terasa jelas.
Ga Gambar 17. Diagram Rata-rata Uji Hedonik terhadap Penilaian Keseluruhan padaAyam Goreng Kalasan
Ket : Formula 1(BHA 25 ppm + BHT 25 ppm) Formula 6 (BHA 100 ppm+Askorbil palmitat
100 ppm)
Formula 2 (BHA 50 ppm +BHT 50 ppm Formula 7 (BHT 25 ppm + Askorbil palmitat 25 ppm)
Formula 3 (BHA 100 ppm + BHT 100 ppm) Formula 8 (BHT 50 ppm + Askorbil palmitat 50 ppm)
Formula 4 (BHA 25 ppm +Askorbil palmitat 25 ppm)
Formula 9 (BHT 100 ppm+ Askorbil palmitat 100 ppm)
Formula 5 (BHA 50 ppm + Askorbil Palmitat 50 ppm) Formula 10 (tanpa penambahan antioksidan
122
Berdasarkan Gambar 17 dapat dilihat bahwa secara
keseluruhan ayam goreng dengan penambahan sampel yang
menggunakan antioksidan 25 ppm agak disukai panelis. Hal
tersebut karena rasa dan aroma dari ketiga ayam goreng tersebut
agak tidak disukai panelis. Menurut Maynard (1965), atribut rasa
dan aroma bahan pangan memang berperan penting dalam
mempengaruhi konsumen. Hal yang sama juga diungkapkan oleh
Fianto (2001), atribut penting yang mempengaruhi kesukaan
konsumen terhadap ayam goreng sebagian besar adalah rasa
(47,4%) dan aroma (27,1%).
Berdasarkan uji lanjut Duncan ayam goreng yang dibumbui
sampel dengan penambahan BHA+ BHT 50 ppm, BHA+BHT 100
ppm, dan BHA+askorbil palmitat 100 ppm tidak berbeda nyata.
Ketiga sampel tersebut memiliki skor penerimaan panelis yang
tinggi antara 5 dan 6 dengan kisaran suka hingga sangat suka.
Menurut panelis kesukaan terhadap ketiga sampel tersebut karena
tidak adanya bau atau rasa tengik pada ayam goreng tersebut.
Berdasarkan pengukuran objektif dengan menggunakan dua
hasil uji yaitu bilangan TBA dan nilai diena terkonjugasi didapatkan
sampel yang efektif menghambat ketengikan pada bumbu ayam goreng
kalasan selama satu bulan adalah sampel dengan penambahan
BHA+askorbil palmitat dengan konsentrasi 100 ppm. Hasil penilaian
didukung dengan uji skalar dan uji hedonik pada bumbu ayam goreng
kalasan menunjukkan bahwa sampel tersebut belum memiliki aroma
tengik dan masih disukai oleh panelis.
123
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Bumbu ayam goreng kalasan yang digunakan dalam penelititan
mempunyai kadar air bahan 27.05% dan nilai kadar lemak bahan sekitar
37.53%. Analisis kandungan logam Fe dan Cu cukup rendah yaitu 3.0 x
10-3 mg/L dan 8.45 x 10-4 mg/L.
Penambahan BHA dan askorbil palmitat 100 ppm memiliki nilai
TBA < 3.0 mg malinaldehid/kg bahan dan nilai diena terkonjugasi 0.901
vol/vol. Hasil kedua uji tersebut menunjukkan bahwa sampel dengan
penambahan BHA dan askorbil palmitat 100 ppm efektif menghambat
ketengikan pada bumbu ayam goreng kalasan selama satu bulan. Hasil
tersebut juga didukung uji sensori (uji skalar dan uji hedonik) yang
menunjukkan bahwa panelis belum mencium bau tengik pada sampel dan
masih menyukai sampel tersebut setelah satu bulan penyimpanan.
B. SARAN
1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang pengaruh waktu dan suhu
penggorengan ayam goreng kalasan terhadap ketengikan yang terjadi
pada produk.
2. Perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui self life dari bumbu ayam
goreng kalasan
124
DAFTAR PUSTAKA
Ananta, I. 1998. Pengaruh Lama Penggorengan dan Penggunaan Absorben Terhadap Mutu MiNew Yorkak Goreng Bekas Penggorengan Ayam. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB. Bogor.
Association of Official Analytical Chemists. 1999. Official Methods of Analysis of the Association of Official Analytical Chemists. AOAC,Inc.Arlington.Virginia.
______________________________________. 1995. Official Methods of Analysis of The Association of Official Analytical Chemists, AOAC,Inc.Arlington.Virginia
Branen. 1983. Food Additive Hand Book. 1990. Marcell Dekker. New York.
Buck. 1991. Antioxidant. Di Dalam Food Additive User’s Hand Book. Jim Smith (eds). Blackie & Sons Ltd. London. pp 149-183
Chiou, R. Y, K-L, Ku, Y. S. Lai, dan L. G. Chang. 2001. Antioxidant Charateristic of Oil in Ground Pork-Fat Patties Cooked with Soy Sauce. Paper. JAOCS Vol. 78. pp 1154-1157
Coppen. P. P. 1983. Use of Antioxidant. Di Dalam Rancidity in Food. Allen, J. C dan R. J. Hamilton (eds). Applied Science Publisher. London. pp 65-86
Cuvelier, M. E. C. Berset, dan H. Richard. 1994. Antioxidant Constituent in Sage (Salvia officinalis). Journal of Agriculture and Food Chemistry Vol 42. pp 1255-1261
Darmini, N.W. 1998. Aktivitas Antioksidan Bumbu Segar Masakan Tradisional Indonesia. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB. Bogor.
Departemen Kesehatan RI. 1988. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No: 722/MENKES/PER/IX/88. Di Dalam Bahan Tambahan Makanan. Buletin Teknologi dan Industri pangan Vol. 5 no. 2.
Dewanti, R. 1984. Pengaruh Bubuk Cabe Merah (Capsicum Annum L.) terhadap Pertumbuhan Beberapa Bakteri PeNew Yorkebab Kerusakan Pangan. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB. Bogor.
Dugan, P. 1984. Effect of BHA and BHT in Sunflower Oil, Alone and with The Combination. Di Dalam Food Antioxidant Technological, Toxilogical, and Health Perspectives. Madhavi, S.,D.L., S.S Depandhe, dan D.K. Salunkhe (eds). Marcel Dekker Inc. New York. pp 145
Fardiaz, S. 1989. Mikrobiologi Pangan. Gramedia Pustaka. Jakarta.
Farrell, K. T. 1990. Spices, Condiment, and Seasoning. AVI Book Van Nostrand Reinhold. New York
Fennema, O. R. 1985. Principle of Food Science. Marcel Dekker. New York.
125
Frankel, E. N., S.W Huang, J. Kanner, J.B Bruce German. 1994. Interfacial Phenomena in The Evaluation of Antioxidant: Bulk oil vs Emulsion. Journal Agriculture and Food Chemistry Vol. 42. pp 1054-1059.
Gordon. 1990. The Mechanism of Antioxidant Action in Vitro. Di Dalam Food Antioxidant. Hudson, B. J. F (eds). Elsiever Applied Science Publisher. London. pp 270-291
Hamilton. R. J. 1983. The Chemistry of Rancidity in Foods. Di Dalam. Rancidity in Food. Allen, J. C dan R. J. Hamilton (eds). Applied Science Publisher. London. pp 65-86
Hanas, O. P. 1994. Seasoning Ingridients. Di Dalam Handbook of Industrial Seasoning. E. E Underriner dan I.R Hume. Blackie Academic Press. London. pp 21-61.
Harijadi, A. 1993. Ilmu Kimia Analitik Dasar. Gramedia Pustaka. Jakarta.
Heras, A., A. Schoch, dan M. Gibis. 2003. Comparison of Methods for Determining Malonaldehyde in Dry Sausage by HPLC and The Classic TBA Test. Paper. Eur Food Res. Technol 217. pp 180-184.
Ivory, T. 1994. Typical Seasoning Formulation. Di Dalam Handbook of Industrial Seasoning. E. E Underriner dan I.R Hume (eds). Blackie Academic Press. London
Jenie, B. S. L., Undriyani, K. dan Dewanti, R. 1992. Pengaruh Konsentrasi Jahe dan Waktu Kontak terhadap Aktivitas Beberapa Mikroba PeNew Yorkebab Kerusakan Pangan. Buletin Teknologi Pangan. Vol. 2. pp 25-31.
Koschhar, S. P. 1993. Oxidative Pathways to The Formation of Off-flavors. Blackie Academic and Profesional. London.
Ketaren. 1986. MiNew Yorkak dan Lemak Pangan. UI Press. Jakarta
Lanari, M.C., A. K. Hewavitharana, C. Becu, dan S.De Jong. 2003. Effect of Dietary Tocopherol and Tocotrienol on Antioxidant Status and Lipid Stability of Chicken. Elsevier Ltd. UK
Lea, P dan Tormad, N. 1998. Análisis of Variante for Sensory Data. John Willey and Sons. New York.
Lee, J. 1994. Specifying a Seasoning. Di Dalam Underriner, E.W dan I. R. Hume (eds). Handbook of Industrial Seasonings. Blackie Academic and Profesional. London. pp 113-145.
Madhavi, D. L. dan D. K. Salunkhe. 1996. Toxilogical Aspects of food Antioxidant. Di Dalam Food Antioxidant Technological, Toxilogical, and Health Perspectives. Marcel Dekker Inc. New York.
Madhavi, Singhai, Kulkarni. 1996. Technological Aspect of Food Antioxidant. Di dalam Food Antioxidant Technological, Toxilogical, and Health Perspectives. Madhavi, S.,D.L., S.S Depandhe, dan D.K. Salunkhe (eds). Marcel Dekker Inc. New York. pp. 159-267
126
Maynard, A, Amerin, R. M. Pangborn, Edward, B. Roester. 1965. Principles of Sensory Evaluation of Food. Academic Press. New York
Meilgaard. 1999. Sensory Evaluation Techniques. 3rd ed. CRC Press. London. New York.
Mottram. 1991. Meat Science. Di Dalam Ananta. I. 1998. Pengaruh Lama Penggorengan dan Penggunaan Absorben Terhadap Mutu MiNew Yorkak Goreng Bekas Penggorengan Ayam. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB. Bogor.
Nawar, W. W. 1985. Lipids. Di Dalam Principle of Food Science. Fennema, O. R.(eds). Marcel Dekker Inc. New York. pp 275-288
Nazir, Moh. 1988. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia. Jakarta
Pratt, D. E dan J. F. Hudson. 1990. Natural Antioxidant Not Exploited Commercially. Di Dalam Food Antioxidant. Hudson, B. J. F. (ed). Elsevier Applied Science. London. 315-362
Prianto, A. 2001. Analisis Posisi Persaingan dalam Upaya Penetrasi Pasar Produk Ayam Goreng ( Studi Kasus PT. Ayam Goreng Fatmawati Indonesia). Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB. Bogor.
Rahayu, W.P. 1999. Aktivitas Antimikroba Lengkuas (Alpina galanga L. SWARTZ). Prosiding Seminar Nasional Makanan Tradisional Yogyakarta 16 Maret 1999. ISBN 979-95554-18
Rahayu, W. P. 2000. Aktivitas Antimikroba Bumbu Masakan Tradisional Hasil Olahan Industri terhadap Bakteri Patogen dan Perusak. Buletin Teknologi dan Industri Pangan Vol. 1, no.2. pp. 39-48
Rajalaksmi, D. S, Narasimhan. 1996. Food Sources and Methods of Evaluation. Di dalam Food Antioxidant Technological, Toxilogical, and Health Perspectives. Madhavi, S.,D.L., S.S Depandhe, dan D.K. Salunkhe (eds). Marcel Dekker Inc. NEW YORK. pp 65-156
Rugger, C. W., Eric, J.K., Earl G. Hammond. Abilities of Some Antioxidant ti Stabilize Soybean Oil in Industrial Use Condition. Journal Paper. JAOCS vol. 79. pp 733-735
Sampoerna dan Dedi Fardiaz. 2001. Kebijakan dan Pengembangan Pangan Fungsional dan Suplemen di Indonesia. Di Dalam Pangan Tradisional Basis bagi Industri Pangan Fungsional dan Suplemen. Ratih Haryadi dan Lilis Nuraida (eds). Prosiding Seminar 14 Agustus 2001. Jakarta. Teknologi Pangan dan Gizi, PSPG, PKMT, IPB.
Shahidi, F., Wanasundhara. 1997. Methods of Measuring Oxidative Rancidity in Fats and Oils. Di Dalam Food Lipids, Chemistry, and Nutrition.C. C. Akoh dan D. B Min (eds). Marcel Dekker Inc. New York. pp 377-396
Sherwin, E.R. 1990. Antioxidant. Di Dalam Food Aditive Hand Books. Branen, L. P. M. Davidson, S. Salminen (eds). Marcell Dekker. New York.
127
Singh, R. P. 1994. Scientific Principle of Self Life Evaluation. Di Dalam. Self Life Evaluation of Foods. Man, C. M. D dan A. A Jones (eds) Blackie Academic and Profesional, London. pp 105-140
Soekarto. S. T. 1985. Penilaian Organoleptik Industri Pangan dan Hasil Pertanian. Bharata Karya Aksara. Jakarta.
Thomas, P. R. 1984. Mempelajari pengaruh bubuk rempah-rempah terhadap pertumbuhan kapang Aspergillus flavus Link. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB, Bogor.
Underriner dan I. R. Hume. 1994. Handbook of Industrial Seasonings. Blackie Academic and Professional. London
Underwood, A. L dan R. A. Day Jr. 1993. Quantitative Analytic of Chemistry. Marcel Dekker Inc. New York.
Winarno, F. G. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia, Jakarta.
Woods, W dan Aurand. 1977. Laboratory Manual in Food Chemistry. Di Dalam Analisis Pangan. A. Priyantono, D. Fardiaz, N. L. Puspita, S. Budiyanto, dan Sedarnawati. Y. IPB Press. Bogor.
128
129
Lampiran 1. Pelatihan Penggunaan Skala Garis
PELATIHAN SKALA GARIS Nama : Tanggal : Telp : Petunjuk : 1. Beri tanda silang pada garis di bawah ini (dari kiri ke kanan menunjukkan luas
bangun yang diberi warna hitam makin besar bagiannya) untuk mengindikasikan luas bangun yang berwarna hitam.
2. Tiga bangun disajikan sebagai perbandingan anda dalam memberi penilaian pada bangun selanjutnya
0 bagian satu bagian 0 bagian satu bagian 0 bagian satu bagian 0 bagian satu bagian 0 bagian satu bagian 0 bagian satu bagian 0 bagian satu bagian Meilgaard (1999)
130
Lampiran 2. Lembar Organoleptik Uji Rating Aroma Tengik
UJI RATING AROMA TENGIK PADA BUMBU AYAM GORENG KALASAN
Sampel : Bumbu Ayam Goreng Kalasan Tanggal : Nama : Telp : Petunjuk :
1. Tiga sampel standar dengan nilai tertentu disajikan didepan Anda untuk pembanding pada saat Anda menilai beberapa sampel yang akan diuji.
2. Cium sampel selama 3 detik kemudian isi skala garis sesuai penilaian Saudara setelah itu hirup udara segar selama 5 detik dahulu sebelum mencium sampel selanjutnya.
3. Tulis kode sampel pada kolom kode dan beri tanda silang (x) pada skala garis yang disediakan makin kekanan menunjukkan aroma tengik makin kuat.
4. Cium aroma sampel satu persatu tanpa membandingkan sampel satu sama lain terkecuali dengan standar yang ada.
Kode …….. Tidak terdeteksi Sangat kuat …….. Tidak terdeteksi Sangat kuat …….. Tidak terdeteksi Sangat kuat …….. Tidak terdeteksi Sangat kuat …….. Tidak terdeteksi Sangat kuat …….. Tidak terdeteksi Sangat kuat …….. Tidak terdeteksi Sangat kuat …….. Tidak terdeteksi Sangat kuat
#####Terima Kasih Atas Bantuannya#####
131
Lampiran 3. Lembar Organoleptik Uji Hedonik UJI HEDONIK BUMBU AYAM GORENG KALASAN
DAN APLIKASI AYAM GORENG KALASAN Nama : Tanggal : Petunjuk :
1. Isi kolom kode dengan kode yang terdapat pada tiap-tiap sampel
2. Lalu cium aroma sampel bumbu dan ayam goreng satu persatu dari kiri ke
kanan dan antar sampel diberi jeda kira-kira 3 menit.
3. Untuk atribut rasa pada ayam goreng kalsan, Anda diminta mencicip
masing-masing sampel dari kiri ke kanan. Air diminum setiap anda akan
mencicip sampel berikutnya.
4. isi skor yang sesuai dengan pendapat saudara di kolom skor (nilai tertinggi
menunjukkan nilai kesukaan tertinggi)
5. Ingat jangan membandingkan antar sampel
# Bumbu Ayam Goreng Kalasan
Aroma
Kode
Skor
1=sangat tidak suka 3=agak suka 5=suka 7=amat sangat suka
2=tidak suka 4=agak tidak suka 6=sangat suka
# Bumbu Ayam Goreng Kalasan
Kode
Skor rasa
Skor Aroma
1=sangat tidak suka 3=agak suka 5=suka 7=amat sangat suka
2=tidak suka 4=agak tidak suka 6=sangat suka Komentar :
132
Lampiran 4. Hasil Pengukuran Total Mikroba (10^3 koloni/gr sampel)
Sampel Hari ke-
0 4 8 13 17 22 26 30
A1B1 Ulangan 1 0,450 1,272 2,140 3,200 4,050 7,500 18,400 20,900Ulangan 2 0,545 1,500 2,700 2,900 3,960 8,100 17,980 21,170Rata-rata 0,498 1,386 2,420 3,050 4,005 7,800 18,190 21,035
A1B2 Ulangan 1 0,500 1,140 2,180 2,950 3,800 7,250 18,500 20,600Ulangan 2 0,360 1,500 3,350 3,150 3,780 7,340 19,310 21,400Rata-rata 0,430 1,320 2,765 3,050 3,790 7,295 18,905 21,000
A1B3 Ulangan 1 0,410 1,270 2,090 3,450 3,500 8,050 17,700 21,700Ulangan 2 0,590 1,230 1,540 3,650 3,280 7,130 16,300 18,210Rata-rata 0,500 1,250 1,815 3,550 3,390 7,590 17,000 19,955
A2B1 Ulangan 1 0,545 1,320 1,780 2,800 4,100 7,950 18,700 22,000Ulangan 2 0,590 1,410 2,900 3,300 4,300 8,070 19,320 23,410Rata-rata 0,568 1,365 2,340 3,050 4,200 8,010 19,010 22,705
A2B2 Ulangan 1 0,410 1,230 2,600 3,100 3,800 9,700 18,700 22,000Ulangan 2 0,500 1,410 2,700 3,200 3,530 8,830 17,940 21,860Rata-rata 0,455 1,320 2,650 3,150 3,665 9,265 18,320 21,930
A2B3 Ulangan 1 0,318 1,640 2,320 3,500 3,800 10,400 17,990 22,000Ulangan 2 0,409 1,410 2,850 3,250 3,620 8,970 16,970 21,250Rata-rata 0,364 1,525 2,585 3,375 3,710 9,685 17,480 21,625
A3B1 Ulangan 1 0,545 1,500 2,500 3,350 4,000 10,400 18,500 22,400Ulangan 2 0,500 1,500 2,700 3,000 4,550 11,160 19,510 23,410Rata-rata 0,523 1,500 2,600 3,175 4,275 10,780 19,005 22,905
A3B2 Ulangan 1 0,545 1,410 2,450 4,000 4,100 10,300 19,100 21,400Ulangan 2 0,545 1,360 2,700 3,350 3,920 9,420 17,310 20,970Rata-rata 0,545 1,385 2,575 3,675 4,010 9,860 18,205 21,185
A3B3 Ulangan 1 0,409 1,450 2,320 3,100 4,150 9,000 19,300 21,500Ulangan 2 0,392 1,210 2,160 3,240 4,040 8,710 18,730 19,130Rata-rata 0,401 1,330 2,240 3,170 4,095 8,855 19,015 20,315
K Ulangan 1 0,500 1,540 2,600 3,750 4,150 20,400 25,800 31,800Ulangan 2 0,591 1,500 2,800 3,350 3,980 19,210 27,130 32,510Rata-rata 0,546 1,520 2,700 3,550 4,065 19,805 26,465 32,155
133
Lampiran 5. Hasil Pengukuran Bilangan TBA selama Penyimpanan
Sampel Hari ke- 0 4 8 13 17 22 26 30
Formula 1
Ulangan 1 1.2575 1.3333 1.3475 1.4088 1.9420 2.3758 3.0982 3.2847Ulangan 2 1.2845 1.3224 1.3767 1.4124 1.9340 2.3725 3.0547 3.3019Rata-rata 1.2710 1.3279 1.3621 1.4106 1.9380 2.3741 3.0765 3.2933
Formula 2
Ulangan 1 1.2188 1.2581 1.2809 1.2542 1.7328 2.1958 2.3357 2.6468Ulangan 2 1.2125 1.3053 1.3142 1.3299 1.7408 2.2183 2.5324 2.7221Rata-rata 1.2156 1.2817 1.2975 1.2921 1.7368 2.2071 2.4340 2.6844
Formula 3
Ulangan 1 1.1604 1.1979 1.2381 1.2631 1.3120 1.4191 1.6819 1.9832Ulangan 2 1.0903 1.1929 1.2095 1.2623 1.2764 1.4095 1.6914 1.9605
Rata-rata 1.1253 1.1954 1.2238 1.2627 1.2942 1.4143 1.6867 1.9719
Formula 4
Ulangan 1 1.3293 1.4163 1.4403 1.6777 1.9551 2.2111 3.1574 3.4651Ulangan 2 1.3700 1.4139 1.4442 1.7326 1.9643 2.2205 3.1831 3.5653Rata-rata 1.3497 1.4151 1.4423 1.7051 1.9597 2.2158 3.1703 3.5152
Formula 5
Ulangan 1 1.3651 1.4028 1.4271 1.6694 1.8034 1.8800 2.2995 2.3702Ulangan 2 1.3826 1.4073 1.4466 1.6760 1.8112 1.8964 2.3172 2.3722Rata-rata 1.3738 1.4051 1.4369 1.6727 1.8073 1.8882 2.3084 2.3712
Formula 6
Ulangan 1 1.2439 1.4193 1.4331 1.6004 1.6666 1.7451 1.9014 2.0201Ulangan 2 1.2576 1.4292 1.4238 1.6482 1.6827 1.7470 1.8915 2.0338Rata-rata 1.2508 1.4243 1.4285 1.6243 1.6747 1.7460 1.8964 2.0269
Formula 7
Ulangan 1 1.3628 1.4465 1.5119 1.7538 2.0164 2.5615 2.6755 3.3169Ulangan 2 1.3762 1.4747 1.5404 1.7339 2.0299 2.3133 2.6240 3.4865Rata-rata 1.3695 1.4606 1.5262 1.7439 2.0232 2.4374 2.6498 3.1017
Formula 8
Ulangan 1 1.3535 1.4495 1.4939 1.7097 1.7796 2.0203 2.4632 2.5743Ulangan 2 1.3595 1.4517 1.4669 1.7162 1.7862 2.0343 2.6808 2.7396Rata-rata 1.3565 1.4506 1.4804 1.7130 1.7829 2.0273 2.5720 2.6569
Formula 9
Ulangan 1 1.2927 1.4002 1.4190 1.6740 1.7466 2.0227 2.3259 2.6011Ulangan 2 1.2997 1.4034 1.4351 1.6925 1.7631 2.0049 2.1324 2.4168Rata-rata 1.2962 1.4018 1.4271 1.6833 1.7548 2.0138 2.2291 2.5089
Formula 10
Ulangan 1 1.3935 2.7246 3.1330 3.5127 3.7642 4.0142 4.3962 5.0171Ulangan 2 1.4027 2.6195 3.0533 3.4579 3.6436 4.0475 4.4234 4.9120Rata-rata 1.3981 2.6720 3.0932 3.4853 3.7039 4.0309 4.4098 4.9646
134
Lampiran 6. Nilai Diena Terkonjugasi Bumbu Ayam Kalasan Selama Penyimpanan (0.1 ml/ 0.1 ml, 234 nm)
Sampel Hari ke- 0 4 8 13 17 22 26 30
Formula 1
Ulangan 1 0.579 0.581 0.641 0.646 0.703 0.941 1.311 1.720Ulangan 2 0.579 0.582 0.628 0.657 0.701 0.940 1.305 1.728Rata-rata 0.579 0.581 0.634 0.651 0.702 0.941 1.308 1.724
Formula 2
Ulangan 1 0.587 0.595 0.611 0.653 0.644 0.700 1.247 1.306Ulangan 2 0.598 0.603 0.620 0.632 0.641 0.704 1.241 1.311Rata-rata 0.592 0.599 0.616 0.642 0.642 0.702 1.244 1.308
Formula 3
Ulangan 1 0.605 0.618 0.613 0.626 0.631 0.672 0.741 0.933
Ulangan 2 0.601 0.609 0.615 0.627 0.633 0.682 0.734 0.971Rata-rata 0.603 0.613 0.614 0.627 0.632 0.677 0.737 0.952
Formula 4
Ulangan 1 0.698 0.703 0.721 0.740 0.775 0.993 1.320 1.730Ulangan 2 0.698 0.702 0.725 0.739 0.775 1.000 1.314 1.698Rata-rata 0.698 0.702 0.723 0.739 0.775 0.996 1.317 1.714
Formula 5
Ulangan 1 0.522 0.580 0.607 0.618 0.650 0.693 0.810 0.997Ulangan 2 0.518 0.563 0.607 0.621 0.652 0.700 0.812 1.007Rata-rata 0.520 0.571 0.607 0.619 0.651 0.696 0.811 1.002
Formula 6
Ulangan 1 0.489 0.507 0.608 0.618 0.628 0.653 0.699 0.907Ulangan 2 0.498 0.508 0.611 0.621 0.629 0.657 0.707 0.896Rata-rata 0.494 0.507 0.609 0.620 0.628 0.655 0.703 0.901
Formula 7
Ulangan 1 0.783 0.801 0.807 0.818 0.902 1.002 1.383 1.831Ulangan 2 0.782 0.803 0.810 0.821 0.901 1.011 1.379 1.833Rata-rata 0.782 0.802 0.809 0.819 0.901 1.006 1.381 1.832
Formula 8
Ulangan 1 0.758 0.770 0.785 0.792 0.821 0.960 1.353 1.232Ulangan 2 0.765 0.786 0.797 0.798 0.818 0.954 1.305 1.220Rata-rata 0.761 0.778 0.791 0.795 0.819 0.957 1.329 1.226
Formula 9
Ulangan 1 0.729 0.729 0.746 0.768 0.781 0.840 0.968 1.149Ulangan 2 0.724 0.742 0.755 0.754 0.783 0.840 0.966 1.164Rata-rata 0.727 0.735 0.750 0.761 0.782 0.840 0.967 1.156
Formula 10
Ulangan 1 0.845 0.901 1.201 1.310 1.750 1.800 2.132 2.317Ulangan 2 0.868 0.906 1.297 1.313 1.746 1.802 2.101 2.322Rata-rata 0.857 0.903 1.249 1.311 1.748 1.801 2.116 2.319
135
ampiran 7. Hasil Analisis Sidik Ragam Bilangan TBA
ANOVA TBA
Sum of
Squares df Mean Square F Sig. Between Groups 14.387 9 1.599 271.365 .000 Within Groups .059 10 .006 Total 14.446 19
TBA Duncan
Formula
N
Subset for alpha = .05 1 2 3 4 5 6
3 2 1.971850 6 2 2.026950 5 2 2.371200 9 2 2.508950 2.508950 8 2 2.656950 2 2 2.684450 1 2 3.293300 7 2 3.401700 3.401700 4 2 3.515200 10 2 4.964550Sig. .489 .103 .054 .188 .170 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000.
136
Lampiran 8. Analisis Sidik Ragam Nilai Diena Terkonjugasi ANOVA CDHP
Sum of
Squares df Mean Square F Sig. Between Groups 3.879 9 .431 2713.934 .000 Within Groups .002 10 .000 Total 3.880 19
CDHP Duncan
Formula
N
Subset for alpha = .05 1 2 3 4 5 6 7 8 9
6 2 .90150 3 2 .95200 5 2 1.00200 9 2 1.15650 8 2 1.22600 2 2 1.30850 4 2 1.71400 1 2 1.72400 7 2 1.83200 10 2 2.31950Sig. 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 .446 1.000 1.000Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000.
137
L ampiran 9. Hasil Uji Skalar Garis Selama Penyimpanan H(hari) Panelis Sampel (Formula-)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 H0 1 28.00 22.00 1.33 25.33 22.00 14.00 34.00 24.67 12.67 47.33 2 31.33 17.33 8.00 28.00 18.67 13.33 40.00 19.33 16.00 54.67 3 26.00 24.67 1.33 30.67 20.00 8.67 32.67 24.00 7.33 43.33 4 24.00 18.67 6.00 28.00 20.67 12.00 37.33 29.33 14.00 46.00 5 30.00 16.00 7.33 40.67 24.00 10.00 40.00 28.67 10.67 42.67 6 24.00 18.67 5.33 34.67 18.67 17.33 32.67 28.00 10.00 44.67 7 28.00 20.67 4.67 30.00 20.00 12.00 31.33 21.33 10.00 53.33 8 25.33 22.00 4.00 25.33 27.33 10.67 35.33 22.67 14.00 54.67 9 37.33 22.00 8.00 25.33 30.00 22.00 34.00 32.67 9.33 45.33 10 24.00 18.67 5.33 34.67 18.67 17.33 32.67 28.00 10.00 44.67 Rata2 27.80 20.07 5.13 30.27 22.00 13.73 35.00 25.87 11.40 47.67 H7 1 46.00 29.33 19.33 47.33 34.67 22.00 48.67 32.67 21.33 68.00 2 48.67 34.67 18.67 46.00 32.67 28.67 48.67 31.33 41.33 68.00 3 48.00 32.00 17.33 54.67 37.33 26.00 48.67 36.00 24.00 74.00 4 34.00 24.00 21.33 47.33 32.00 18.00 46.00 36.67 33.33 75.33 5 40.67 21.33 15.33 52.67 32.00 24.67 54.00 39.33 16.67 76.67 6 50.67 34.67 15.33 51.33 38.00 23.33 57.33 31.33 27.33 72.67 7 50.67 29.33 17.33 49.33 36.67 20.00 54.00 34.00 26.67 68.00 8 46.00 34.00 19.33 46.00 34.67 31.33 48.67 34.67 21.33 79.33 9 46.00 35.33 24.67 58.00 34.67 30.00 52.00 32.67 14.67 78.67 10 34.00 24.00 21.33 47.33 32.00 18.00 46.00 36.67 33.33 75.33 Rata2 44.47 29.87 19.00 50.07 34.47 24.20 50.40 34.53 26.00 73.60H14 1 59.33 45.33 21.33 65.33 50.00 35.33 70.67 56.00 31.33 86.00 2 61.33 43.33 32.00 68.00 44.67 50.00 57.33 52.00 38.00 94.00 3 51.33 43.33 22.67 68.67 49.33 32.67 74.67 52.00 30.00 88.00 4 47.33 38.00 5.33 56.67 44.67 32.00 74.67 48.00 21.33 78.67 5 59.33 42.00 14.00 70.67 47.33 39.33 75.33 52.00 24.00 80.00 6 52.00 44.00 30.67 68.00 50.00 31.33 74.00 53.33 31.33 87.33 7 59.33 45.33 21.33 65.33 50.00 35.33 70.67 56.00 31.33 86.00 8 52.67 47.33 14.67 71.33 50.00 38.67 77.33 49.33 26.67 87.33 9 55.33 40.67 16.00 68.00 51.33 35.33 74.67 56.00 37.33 79.33 10 59.33 42.00 14.00 70.67 47.33 39.33 75.33 52.00 24.00 80.00 Rata2 55.73 43.13 19.20 67.27 48.47 36.93 72.47 52.67 29.53 84.67 H22 1 70.67 46.67 36.00 60.67 55.33 50.00 63.33 50.67 44.00 88.00 2 63.33 44.00 28.67 68.00 52.67 51.33 85.33 46.00 37.33 95.33 3 74.67 47.33 29.33 70.67 61.33 47.33 88.00 50.67 41.33 87.33 4 62.67 50.67 28.67 74.67 52.67 42.67 87.33 54.67 42.67 86.00 5 74.00 54.67 30.67 81.33 49.33 45.33 79.33 56.67 37.33 86.00 6 67.33 54.00 30.67 66.00 49.33 46.00 78.00 57.33 48.00 95.33 7 59.33 55.33 36.00 72.67 55.33 50.00 69.33 50.67 44.00 88.00 8 74.00 51.33 30.67 81.33 49.33 45.33 79.33 56.67 37.33 86.00 9 70.67 45.33 36.00 72.67 55.33 50.00 78.67 50.67 44.00 88.00 10 76.00 49.33 36.00 70.67 60.67 50.00 68.00 50.67 46.00 88.00 Rata2 69.27 49.87 32.27 71.87 54.13 47.80 77.67 52.47 42.20 88.80 H30 1 74.67 52.67 40.67 78.67 60.67 49.33 76.67 60.00 46.00 98.00 2 77.33 52.00 34.00 76.00 51.33 60.67 84.67 49.33 46.00 99.33 3 72.67 56.00 28.67 78.00 53.33 55.33 80.67 58.00 50.00 94.67 4 72.00 52.67 34.00 81.33 52.00 56.67 86.67 56.67 52.00 94.67 5 80.00 52.00 36.00 82.67 55.33 46.00 78.00 60.67 43.33 94.67 6 79.33 46.00 39.33 80.67 50.67 57.33 86.67 58.00 52.00 98.00
138
7 74.67 54.67 40.67 78.67 53.33 55.33 80.67 58.00 50.00 98.00 9 74.67 46.00 40.67 78.67 53.33 55.33 80.67 58.00 50.00 98.00 10 82.00 50.67 34.00 82.67 51.33 60.67 86.67 49.33 46.00 99.33 Rata2 76.20 49.07 36.87 79.60 53.47 55.20 82.20 56.60 48.53 97.27 Lampiran 10a. Data Uji Hedonik Aroma Bumbu Ayam Goreng Kalasan Panelis Sampel (Formula-)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 1 2 4 5 4 3 5 3 4 4 2 2 3 5 5 2 4 3 3 4 3 3 3 4 5 5 3 3 3 3 3 4 14 3 4 6 4 4 4 2 5 4 3 5 3 6 3 2 5 5 2 4 5 1 6 5 5 5 4 4 5 2 3 5 1 7 3 5 5 4 4 4 1 4 3 3 8 3 3 4 3 3 4 3 5 5 3 9 2 4 5 3 3 3 2 4 4 2 10 2 4 4 2 4 5 1 3 4 2 11 2 4 4 2 4 5 1 3 4 2 12 3 3 4 2 5 5 2 3 4 3 13 3 5 5 3 5 4 2 4 3 3 14 2 3 4 4 3 4 2 3 3 2 15 4 4 3 3 2 6 3 2 4 1 16 3 4 5 3 4 5 1 4 5 1 17 3 5 5 4 4 4 2 3 3 1 18 1 3 4 1 5 3 2 3 4 1 19 2 3 4 2 3 5 2 3 4 2 20 3 5 4 3 3 4 2 5 5 3
Rata-rata 2.80 4.20 4.45 2.90 3.75 4.30 2.05 3.60 4.00 1.9
Lampiran 10b. Hasil Uji Hedonik Aroma Ayam Goreng Kalasan Panelis Sampel (Formula-)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 101 3 5 4 4 3 5 3 5 5 2 2 4 4 6 4 3 3 3 6 5 2 3 5 5 5 2 4 4 3 4 5 1 4 4 5 5 3 5 5 3 6 4 2 5 4 4 4 5 5 5 2 5 4 1 6 3 6 4 4 5 6 4 4 5 1 7 5 5 5 4 5 5 4 6 5 1 8 3 5 5 4 4 6 4 4 6 1 9 4 6 6 4 5 4 3 5 5 2 10 2 4 4 3 5 3 4 4 4 2 11 5 5 6 4 6 5 3 5 5 212 4 6 6 4 4 5 3 5 5 1 13 4 5 4 5 6 5 4 5 6 2 14 4 5 5 3 5 6 2 4 3 115 4 6 4 4 3 6 4 5 4 1 16 5 6 5 4 4 6 3 4 5 1 17 4 5 6 3 6 5 3 4 5 118 3 5 5 3 4 4 4 5 5 1 19 4 5 6 4 5 5 3 4 4 1
139
20 5 4 4 2 5 5 3 4 5 1 Rata-rata 3.72 5.05 4.95 3.65 4.60 4.90 3.25 4.70 4.75 1.6
Lampiran 11a. Data hasil Hedonik Rasa Ayam Goreng Kalasan Panelis Sampel (Formula-)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 101 3 5 4 3 3 4 2 5 5 12 4 4 6 4 3 5 3 4 4 1 3 5 5 5 2 4 3 3 4 3 2 4 4 5 5 3 3 3 4 6 4 15 4 4 6 5 4 4 4 5 4 1 6 3 6 4 2 5 5 2 4 5 1 7 5 5 5 4 6 5 4 3 5 1 8 3 5 5 4 4 4 4 4 6 1 9 4 6 6 4 5 4 3 5 5 2 10 2 4 5 3 5 3 3 4 4 2 11 5 5 6 4 4 5 2 5 5 2 12 4 6 6 4 6 5 3 6 5 1 13 4 5 4 5 5 5 4 5 4 1 14 4 5 5 3 5 6 2 4 3 1 15 4 6 5 4 3 6 3 3 4 1 16 5 6 5 4 5 6 3 2 4 1 17 4 5 6 3 6 5 3 4 5 1 18 3 5 5 3 4 4 4 3 3 1 19 4 5 6 4 5 3 3 3 4 2 20 5 4 4 2 3 5 2 3 4 2
Rata-rata 3.95 5.05 5.15 3.50 4.40 5.05 3.05 4.10 4.30 1.5
Lampiran 11b. Hasil Uji Hedonik terhadap Penilaian Keseluruhan Ayam Goreng
Kalasan Panelis Sampel (Formula-)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 1 2 4 5 4 3 5 3 4 4 2 2 3 5 5 2 4 3 3 4 3 3 3 4 5 5 3 3 3 3 3 4 1 4 3 4 6 4 4 4 2 5 4 3 5 3 6 3 2 5 5 2 4 5 1 6 5 5 5 4 4 5 2 3 5 1 7 3 5 5 4 4 4 1 4 3 3 8 3 3 4 3 3 4 3 5 5 3 9 2 4 5 3 3 3 2 4 4 2 10 2 4 4 2 4 5 1 3 4 2 11 2 4 4 2 4 5 1 3 4 2 12 3 3 4 2 5 5 2 3 4 3 13 3 5 5 3 5 4 2 4 3 3 14 2 3 4 4 3 4 2 3 3 2 15 4 4 3 3 2 6 3 2 4 1 16 3 4 5 3 4 5 1 4 5 1 17 3 5 5 4 4 4 2 3 3 1 18 1 3 4 1 5 3 2 3 4 1 19 2 3 4 2 3 5 2 3 4 2
140
20 3 5 4 3 3 4 2 5 5 3 Rata-rata 3.72 5.34 5.4 3.46 4.1 5.02 3.12 4.25 4.5 1.7
Lampiran 12. Hasil Anova Uji Hedonik Aroma Bumbu Ayam Goreng Kalasan
pada Akhir Penyimpanan. Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Skor
Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 124,694(a) 27 4,618 7,190 ,000 Intercept 2282,672 1 2282,672 3553,768 ,000 Panelis 19,217 19 1,011 1,575 ,069 Sampel 105,478 9 13,185 20,527 ,000 Error 97,633 152 ,642 Total 2505,000 180 Corrected Total 222,328 179
a R Squared = ,561 (Adjusted R Squared = ,483) Skor Duncan Sampel N Subset 1 2 3 5 10 20 1.90 7 20 2,05 1 20 2,80 4 20 2,90 8 20 3,60 5 20 3,75 9 20 4,00 2 20 4,20 6 20 4,30 3 20 4,45 Sig. .422 ,694 ,139 ,108
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,642. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 20,000. b Alpha = ,05.
141
n 13. Analisis ANOVA Uji HedonikTerhadap Aroma Ayam Goreng Kalasan Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Skor
Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 83,900(a) 27 3,107 5,247 ,000 Intercept 3520,089 1 3520,089 5944,305 ,000 Panelis 17,689 19 ,931 1,572 ,070 Sampel 66,211 9 8,276 13,976 ,000 Error 90,011 152 ,592 Total 3694,000 180 Corrected Total 173,911 179
a R Squared = ,482 (Adjusted R Squared = ,390) Skor Duncan
Sampel
N
Subset
1 2 3 4 10 20 1.60
7 20 3,25 4 20 3,65 1 20 3,95 3,95 5 20 4,60 8 20 4,709 20 4,756 20 4,903 20 4,952 20 5,05Sig. 1.000 ,102 ,220 ,109
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,592. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 20,000. b Alpha = ,05.
142
Lampiran 14. Analisis ANOVA Uji Hedonik terhadap Rasa Ayam Goreng
Kalasan Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Skor
Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 98,911(a) 27 3,663 5,243 ,000 Intercept 3208,889 1 3208,889 4592,760 ,000 Panelis 26,000 19 1,368 1,959 ,014 Sampel 72,911 9 9,114 13,044 ,000 Error 106,200 152 ,699 Total 3414,000 180 Corrected Total 205,111 179
a R Squared = ,482 (Adjusted R Squared = ,390) Skor Duncan
Sampel
N
Subset
1 2 3 10 20 1.30 7 20 3,05 4 20 3,50 1 20 3,95 8 20 4,10 9 20 4,30 5 20 4,40 6 20 4,50 2 20 5,05 3 20 5,15 Sig. 1.000 ,091 ,091 ,064
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,699. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 20,000. b Alpha = ,05.
143
Lampiran 15. Analisis ANOVA Uji Hedonik terhadap Penilaian Keseluruhan
Ayam Goreng Kalasan Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Skor
Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 98,911(a) 27 3,663 5,243 ,000 Intercept 3208,889 1 3208,889 4592,760 ,000 Panelis 23,200 19 1.122 1,642 ,016 Sampel 70,211 9 6,104 12,004 ,000 Error 95.721 152 ,542 Total 3514,000 180 Corrected Total 120,111 179
a R Squared = ,432 (Adjusted R Squared = ,360) Skor Duncan
Sampel
N
Subset 1 2 3 4
10 20 1.30 7 20 3,12 4 20 3,46 1 20 3.72 8 20 4,10 9 20 4,25 5 20 4,42 6 20 5.00 2 20 5,34 3 20 5,40
Sig. 1.000 ,088 ,072 ,604 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,699. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 20,000. b Alpha = ,05.
144
Lampiran 16. Hasil Analisis Regresi Hubungan Lama Penyimpanan dan Bilangan TBA
Hari ke- Formula 1
Formula 2
Formula 3
Formula 4
Formula 5
Formula 6
Formula 7
Formula 8
Formula 9
Formula 10
0 1.2710 1.2156 1.1253 1.3497 1.3738 1.2508 1.3695 1.3565 1.2962 1.39814 1.3279 1.2817 1.1954 1.4151 1.4051 1.4243 1.4606 1.4506 1.4018 2.67208 1.3621 1.2975 1.2238 1.4423 1.4363 1.4285 1.5262 1.4804 1.4271 3.0932
13 1.4106 1.2921 1.2627 1.7051 1.6727 1.6243 1.7439 1.7130 1.6833 3.485317 1.9380 1.7368 1.2942 1.9597 1.8073 1.6747 2.0232 1.7829 1.7548 3.703922 2.3741 2.2071 1.4143 2.2158 1.8882 1.7460 2.4374 2.0273 2.0138 4.030926 3.0765 2.4340 1.6867 3.1703 2.3084 1.8964 2.6498 2.5720 2.2291 4.409830 3.2933 2.6844 1.9719 3.5152 2.3712 2.0269 3.1017 2.6569 2.5089 4.9646
R 0.941052 0.945854 0.900354 0.932329 0.966663 0.988636 0.974179 0.955639 0.979800 0.963385R2 0.885579 0.894641 0.810638 0.869237 0.934437 0.977401 0.949024 0.913245 0.960009 0.928111Intersep 0.921953 0.979855 1.03025 1.011812 1.25036 1.273877 1.174353 1.206839 1.1965047 1.973214Slope 0.072316 0.052586 0.024436 0.072323 0.035501 0.024007 0.057646 0.044874 0.0395247 0.099767 Ramalan Regresi
Hari ke- Formula
1 Formula
2 Formula
3 Formula
4 Formula
5 Formula
6 Formula
7 Formula
8 Formula
9 Formula
10 0 0.921953 0.979855 1.03025 1.011812 1.25036 1.273877 1.174353 1.206839 1.1965047 1.9732144 1.211215 1.1902 1.127993 1.301102 1.392364 1.369906 1.404936 1.386335 1.3546034 2.3722838 1.500478 1.400546 1.225737 1.590392 1.534368 1.465936 1.635518 1.565832 1.5127022 2.771353
13 1.862056 1.663477 1.347916 1.952005 1.711873 1.585973 1.923746 1.790202 1.7103256 3.2701917 2.151319 1.873823 1.445659 2.241295 1.853877 1.682002 2.154329 1.969698 1.8684244 3.6692622 2.512897 2.136754 1.567838 2.602908 2.031382 1.802039 2.442557 2.194068 2.0660478 4.16809726 2.80216 2.3471 1.665582 2.892198 2.173386 1.898069 2.673139 2.373565 2.2241466 4.56716730 3.091422 2.557445 1.763325 3.181488 2.31539 1.994098 2.903722 2.553061 2.3822453 4.966236
145
Lampiran 17. Hasil Analisis Regresi Hubungan Lama Penyimpanan dan Bilangan Diena Terkonjugasi
Hari ke- Formula 1
Formula 2
Formula 3
Formula 4
Formula 5
Formula 6
Formula 7
Formula 8
Formula 9
Formula 10
0 0.579 0.592 0.603 0.698 0.52 0.494 0.782 0.761 0.727 0.8574 0.581 0.599 0.613 0.702 0.571 0.507 0.802 0.778 0.735 0.9038 0.634 0.616 0.614 0.723 0.607 0.609 0.809 0.791 0.75 1.249
13 0.651 0.642 0.627 0.739 0.619 0.62 0.819 0.795 0.761 1.31117 0.702 0.642 0.632 0.775 0.651 0.628 1.006 0.819 0.782 1.74822 0.941 0.702 0.677 0.996 0.696 0.655 1.299 0.957 0.84 1.80126 1.308 1.244 0.952 1.317 0.811 0.703 1.381 1.329 0.967 2.11630 1.724 1.308 0.833 1.714 1.002 0.901 1.832 1.226 1.156 2.319
R 0.877779 0.877779 0.821057 0.793898 0.861455 0.91095 0.906246 0.910329 0.853592 0.8616149R2 0.770497 0.770497 0.674134 0.630274 0.742105 0.82983 0.821281 0.8287 0.728619 0.7423802Intersep 0.37453 0.446565 0.550454 0.507098 0.486185 0.47799 0.603976 0.664218 0.65819 0.7859135Slope 0.034365 0.023104 0.009561 0.03006 0.013229 0.010776 0.032485 0.017852 0.012104 0.0501391 Ramalan Regresi
Hari ke- Formula 1
Formula 2
Formula 3
Formula 4
Formula 5
Formula 6
Formula 7
Formula 8
Formula 9
Formula 10
0 0.37453 0.446565 0.550454 0.507098 0.486185 0.47799 0.603976 0.664218 0.65819 0.78591354 0.511989 0.538981 0.5887 0.627338 0.539102 0.521092 0.733915 0.735627 0.706606 0.98646998 0.649447 0.631397 0.626945 0.747579 0.59202 0.564195 0.863855 0.807035 0.755022 1.1870263
13 0.821271 0.746917 0.674752 0.89788 0.658166 0.618074 1.02628 0.896296 0.815542 1.437721817 0.958729 0.839333 0.712998 1.01812 0.711084 0.661176 1.15622 0.967704 0.863958 1.638278222 1.130553 0.954853 0.760805 1.168421 0.77723 0.715055 1.318645 1.056965 0.924478 1.888973726 1.268011 1.047269 0.79905 1.288662 0.830148 0.758158 1.448585 1.128373 0.972894 2.089530130 1.40547 1.139685 0.837296 1.408902 0.883065 0.80126 1.578524 1.199782 1.02131 2.2900865
Jurnal Skripsi Fakultas Teknologi Pertanian, IPB
Penentuan Formula Antioksidan untuk Menghambat Ketengikan
pada Bumbu Ayam Goreng Kalasan Selama Satu Bulan
Oleh :
Maya Kurniawati F24102058
Dibawah bimbingan Prof. Dr. Ir. C. Hanny Wijaya, MAgr
Abstrak
Masalah yang sering dihadapi dalam pembuatan bumbu adalah masalah kerusakan yang disebabkan oleh proses oksidasi yang menyebabkan ketengikan dan mempengaruhi daya simpan dari produk tersebut Menurut pengamatan bumbu tersebut mulai mengalami ketengikan selama tujuh hari. Oleh karena itu penelitian dilakukan dengan tujuan untuk untuk memperoleh jenis dan konsentrasi antioksidan yang mampu menghambat ketengikan pada Bumbu Ayam Goreng Kalasan selama penyimpanan satu bulan.
Proses awal dari penelitian adalah penentuan kombinasi antioksidan yang akan digunakan pada bumbu. Setelah itu, kombinasi antioksidan dengan beberapa variasi konsentrasi antioksidan dicobakan dalam bumbu dan dipilih jenis dan konsentrasi antioksidan terbaik berdasarkan uji TBA, diena terkonjugasi, uji total mikroba, dan uji sensori berupa uji skalar terhadap bumbuayam goreng kalasan serta uji hedonik terhadap bumbu dan ayam goreng kalasan.
Kadar air bahan didapatkan 27.05% dan kadar lemak bahan 37.53%. Kandungan logam Fe pada bumbu ayam goreng kalasan cukup rendah yaitu 3.0x 10-3 mg/L dan kandungan logam Cu sekitar 8.45 x 10-4 mg/L. Sampel dengan penambahan BHA dan askorbil palmitat 100 ppm efektif menghambat ketengikan pada bumbu ayam goreng kalasan selama satu bulan dengan nilai TBA<3 mgmalonaldehid/kg bahan dan nilai diena terkonjugasi 0.901 vol/vol. Hasil tersebut juga didukung uji sensori (uji skalar dan uji hedonik) yang menunjukkan bahwa panelis belum mencium bau tengik pada sampel dan masih menyukai sampel tersebut setelah satu bulan penyimpanan.
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Beberapa makanan tradisional khas Indonesia
cukup banyak yang menggunakan rempah-rempah sebagai bahan penambah citarasa sehingga memiliki citarasa yang dapat diterima dan selera yang lebih nikmat. Penambahannya dapat memperkuat flavor alami dalam bahan pangan sehingga menimbulkan taraf penerimaan oleh konsumen. Keseimbangan penambahan bumbu dari rempah-rempah dan aroma yang khas dari bahan makanan tersebut dapat menghasilkan makanan yang nikmat dan memberikan kepuasan bagi yang mengkonsumsinya.
Masalah yang sering dihadapi dalam pembuatan bumbu adalah masalah kerusakan yang disebabkan oleh proses oksidasi yang menyebabkan ketengikan dan mempengaruhi daya simpan dari produk tersebut (Winarno, 1992). Kerusakan bahan pangan yang sering terjadi selama penyimpanan ialah terjadinya oksidasi lemak yang terdapat dalam bahan pangan sehingga menyebabkan ketengikan. Menurut Cuvelier (1994), oksidasi lemak tidak hanya menyebabkan penurunan nilai gizi dan kualitas makan tetapi juga menghasilkan produk teroksidasi seperti radikal bebas yang menyebabkan beberapa reaksi kimia yang tidak diinginkan.
Salah satu contoh adalah adanya ketengikan karena reaksi oksidasi yang terjadi pada industri
kecil Ayam Goreng Kalasan. Bumbu ayam yang dipergunakan diolah dengan metode penumisan dan disimpan dengan metode sederhana yaitu memakai plastik transparan pada suhu ruang. Menurut pengamatan bumbu mulai mengalami ketengikan selama tujuh hari. Oleh sebab itu untuk pertimbangan efisiensi baik itu biaya, waktu dan tenaga, bumbu diharapkan dapat tidak mengalami ketengikan selama satu bulan.
Salah satu penanganan yang dilakukan adalah dengan menambahkan zat aditif antioksidan untuk menghambat timbulnya ketengikan yang disebabkan reaksi oksidasi. Antioksidan telah banyak digunakan untuk mengurangi ketengikan yang ditimbulkan oleh minyak dan lemak dalam bahan pangan selama lebih dari 50 tahun. Menurut Buck (1991) antioksidan dinyatakan sebagai senyawa secara nyata dapat memperlambat oksidasi, walaupun dengan konsentrasi yang lebih rendah sekalipun dibandingkan dengan substrat yang dapat dioksidasi.
Antioksidan alami memang lebih banyak diterima konsumen karena bukan merupakan produk hasil reaksi kimia, tidak diperlukan tes keamanan, dan umumnya dinyatakan bersifat aman. Antioksidan alami memiliki beberapa kekurangan yaitu lebih mahal karena memerlukan pemurnian dan kurang efisien jika tidak dimurnikan, sifatnya tidak seragam jika tidak dimurnikan, kemamanan sering tidak diketahui,
serta dapat memberi warna, over taste, serta off flavor pada produk (Rajalaksmi dan Narasimhan, 1996). Sedangkan antioksidan sintetik sangat efektif digunakan untuk mengurangi reaksi oksidasi disamping sifat penggunaannya yang praktis dan biaya yang relatif murah. Antioksidan yang cukup meluas penggunaannya diseluruh dunia antara lain BHA, BHT, TBHQ, tokoferol, dan propil galat (Gordon, 1990).
Pemakaian antioksidan sintetik masih diperbolehkan sepanjang pemakaiannya sesuai dengan dosis yang diperbolehkan meskipun antioksidan sintetik memiliki efek toksik (Branen, 1983) serta penggunaan dalam waktu lama dan dalam dosis yang berlebihan dapat menyebabkan karsinogenik maupun kanker pada hewan percobaan tikus tetapi tidak pada marmut (Madhavi et. al, 1996). Berdasarkan percobaan tersebut, efek penggunaan antioksidan sintetik terhadap tubuh manusia masih belum jelas sehingga belum dapat diambil kesimpulan antioksidan sintetik dapat berbahaya bagi manusia.
B. Tujuan dan Sasaran
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh jenis dan konsentrasi antioksidan yang mampu menghambat ketengikan pada Bumbu Ayam Goreng Kalasan selama penyimpanan satu bulan
II. BAHAN DAN METODE
A. Bahan dan Alat
Rempah-rempah yang terdiri dari bawang putih, jahe, kemiri, dan ketumbar yang diperoleh dari Pasar Cibinong dalam keadaan segar. Kemasan yang digunakan adalah kemasan plastik polipropilen (PP). Bahan kimia yang diperlukan adalah bahan kimia untuk analisis TBA, analisis diena terkonjugasi, analisis logam Fe dan Cu, uji total mikroba, dan bahan analisis (kadar air dan kadar lemak.
Alat yang dipergunakan adalah grinder, blender, alat distilasi, vorteks, tabung reaksi bertutup, cawan alumunium, gelas piala, spektrometer, labu ukur, hotplate, pipet volumetrik, pipet tetes, labu Erlenmeyer, bunsen, cawan petri, inkubator, pemanas mantel, oven, neraca analitik, wajan Teflon, kompor gas, dan peralatan masak lainnya.
B. Metode
Bumbu yang dipergunakan adalah bumbu standar hasil formulasi keluarga yang bahan-bahannya terdiri atas bawang putih, ketumbar, kemiri, jahe, garam, dan MSG dicampur dengan grinder.
Proses awal dari penelitian adalah penentuan kombinasi antioksidan yang akan digunakan pada bumbu. Setelah itu, kombinasi antioksidan dengan beberapa variasi konsentrasi antioksidan dicobakan dalam bumbu dan dipilih jenis dan konsentrasi antioksidan terbaik berdasarkan uji TBA, diena terkonjugasi, uji total
mikroba, dan uji sensori berupa uji skalar serta uji hedonik.
Masing-masing sampel dikemas dengan bahan pengemas PP kemudian disealer sebanyak 8 bungkus. Kandungan malonaldehid akan diamati dengan uji TBA dan nilai diena terkonjugasi secara berkala setiap empat hari selama penyimpanan 30 hari. Uji skalar dan total mikroba dilakukan setiap tujuh hari sekali. Uji hedonik terhadap atribut aroma bumbu ayam goreng kalasan, rasa, aroma serta penampakan ayam goreng kalasan dilakukan pada akhir penyimpanan.. Berikut analisis-analisis yang telah disebutkan sebelumnya :
1. Kadar air (AOAC, 1990)
Pengukuran kadar air memakai metode distilasi azeotropik. Sebanyak 3-5 gram sampel dimasukkan ke labu distilasi yang telah dikeringkan dan telah diketahui beratnya. Pelarut toluen disiapkan dan diletakkan labu distilasi pada pemanas mantel lalu pelarut dan sampel dipanaskan dengan suhu rendah dahulu kemudian baru suhu tinggi selama satu jam. Blanko dibuat untuk menghitung faktor kesalahan.
Kadar air = faktor kesalahan x volume air
2. Kadar Lemak (AOAC, 1995) Labu lemak dikeringkan dalam oven,
didinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang. Sebanyak 5 gram sampel dalam bentuk tepung (kira-kira 60 mesh) dibungkus dengan kertas saring bebas lemak lalu diletakkan dalam alat ekstraksi soklet dan dipasang alat kondensor di atasnya dan labu lemak di bawahnya. Pelarut heksan atau dietil eter dimasukkan ke dalam labu lemak secukupnya. Refluks dilakukan minimum 5 jam sampai pelarut yang turun kembali ke labu lemak berwarna jernih. Distilasi terhadap pelarut dilakukan. Selanjutnya labu lemak hasil ekstraksi dipanaskan dalam oven pada suhu 105oC. Sampel didinginkan dalam desikator setelah dikeringkan sampai berat tetap, kemudian labu beserta lemaknya tersebut ditimbang. Berat lemak dapat dihitung:
% lemak = ((Berat labu + lemak) - Berat labu) x 100 Berat sampel
3. Analisis Logam Fe dan Cu (AOAC, 1999) Analisa logam Fe dan Cu dilakukan
dengan menggunakan Spektofotemetri Absorpsi (AAS). Persiapan sampel dilakukan di awal pengukuran mineral untuk mendektruksi bahan dengan metode pengabuan basah karena karbon lebih cepat hancur dibandingkan pengabuan kering. Alat yang disiapkan adalah labu Kjeldhal. Sebanyak 5-10 gram sampel ditimbang dan dimasukkan ke dalam labu Kjeldhal, kemudian ditambahkan 10 ml H2SO4 dan 10 ml HNO3 serta beberapa buah labu didih. Larutan dipanaskan perlahan-
lahan sampai berwarna gelap, pembentukan buih yang berlebihan dihindari. Sebanyak 1-2 ml HNO3 ditambahkan dan dilanjutkan sampai larutan lebih gelap lagi. Penambahan HNO3 dilanjutkan selama 5-10 menit sampai larutan tidak gelap lagi (semua zat organik sudah teroksidasi) kemudian dinginkan. Larutan aquades ditambahkan 10 ml (larutan menjadi tidak berwarna atau menjadi kuning muda bila mengandung Fe) dan panaskan sampai berasap. Larutan didiamkan hingga dingin kemudian ditambahkan akuades dan dididihkan hingga berasap. Larutan didinginkan dan diencerkan hingga volume tertentu. Sampel dipanaskan lebih dahulu dengan HNO3 sebelum ditambah H2SO4 jika merupakan sampel basah.
Larutan abu yang berasal dari pengabuan basah dipindahkan ke dalam labu takar 100 ml tepatkan hingga tanda tera dengan air dan dicampur merata kemudian dilakukan penyaringan hingga partikel-partikel halus yang dapat mengganggu pengukuran hilang. Alat AAS diset kemudian diukur larutan standar dan blanko yaitu air bebas ion dengan pereaksi yang sama dan larutan sampel baru dapat diukur. Selama penetapan sampel, periksa secara periodik agar nilai standar terjaga tetap konstan. Kurva standar untuk masing-masing logam (nilai absorpsi/emisi vs konsentrasi logam dalam µg/ml) akan terbentuk secara otomatis.
4. Bilangan TBA (Woods dan Aurand, 1977)
Bahan ditimbang sebanyak 10 gram dengan teliti lalu dimasukkan ke dalam penghalus dan ditambahkan 50 ml aquades serta dihancurkan 2 menit. Sampel dipindahkan secara kuantitatif ke dalam labu destilasi sambil dicuci dengan 47.5 ml aquades. Sebanyak 2.5 ml HCL 4 M ditambahkan sampai pH 1.5 lalu dimasukkan batu didih dan pencegah buih dan didestilasi hingga dapat 50 ml destilat selama 10 menit pemanasan. Destilat diaduk kemudian 5 ml destilat dipipet ke dalam tabung tertutup lalu ditambah 5 ml pereaksi TBA. Tabung reaksi ditutup dan dipanaskan 35 menit dalam air mendidih. Blanko disiapkan dengan mencampurkan 5 ml aquades dan 5 ml pereaksi. Tabung reaksi didinginkan 10 menit dan diukur absorbansinya dengan panjang gelombang 528 nm dengan sampel sel berdiameter 1 cm. Pelarut TBA dibuat dengan cara mencampur 0.2883 g TBA dalam 100 ml asam asetat glasial 90%. Pelarutan ini dipercepat dengan pemanasan memakai penangas air. Bilangan TBA dinyatakan dalam mg malonaldehid per kg sampel.
Bil TBA = 3 x 7. 8 x A Wl
5. Analisis Diena Terkonjugasi (Chiou, 1996) Sebanyak 1 ml aliquot minyak
diletakkan dalam tabung coklat 20 ml dan diletakkan dalam oven 600C. Selama penyimpanan ,2.5 μl minyak ditambah 2.5ml isooktana dan diukur nilai optical density(OD) pada panjang gelombang 234 nm. Nilai OD berkorelasi dengan jumlah diena terkonjugasi.
6. Analisis Total Mikroba (AOAC, 1995)
Sebanyak 17.5 g PCA (Plate Count Agar) dilarutkan dalam 1000 ml air akuades lalu dipanaskan sampai mendidih dan disterillisasi hingga 15 menit. PCA diletakkan dalam inkubator dengan suhu 550C. Larutan pengencer dibuat dengan melarutkan 8.5 gram NaCl dalam 1000 ml air, lalu ditempatkan dalam tabung reaksi bertutup sebanyak 9 ml. Larutan tersebut disterilisasi selama 15 menit dan diinkubator pada suhu 300C selama dua hari.
Sampel sebanyak 1 gram diencerkan dengan larutan pengencer NaCl 0.85% dengan beberapa tingkat pengenceran (10-1-10-3) lalu dilakukan pemupukan ke dalam cawan petri dengan metode tuang. Inkubasi dilakukan selama 2-3 hari dengan suhu 300C baru dilakukan pengamatan. Koloni yang tumbuh dihitung dengan metode SPC.
TPC = ( Jumlah koloni) n = jumlah cawan
(n + n x 0.1) x p p = pengenceran tertinggi
7. Uji Skalar (Meilgaard, 1999)
7.1 Tahap Seleksi dan Pelatihan Panelis Seleksi panelis merupakan tahap
untuk mencari calon panelis yang bersedia dilatih dengan memberikan kuisioner dan mengisi surat pernyataan. Calon panelis terdiri dari 30 orang mahasiswa Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan.
Pengujian panelis dilakukan untuk melihat seberapa peka dan konsisten panelis akan memberi penilaian. Pengujian awal dilakukan dengan uji berpasangan (matching test). Uji ini dilakukan untuk mengetahui tingkat pengetahuan panelis terhadap rempah-rempah. Sampel yang digunakan merupakan halusan jahe, bawang putih, kemiri, ketumbar, lada, dan kencur. Sampel disiapkan dua set kemudian panelis diminta memasangkan set pertama dan set kedua Calon panelis yang terpilih adalah yang mampu menjawab benar lebih dari 75%.
Uji segitiga dilakukan setelah uji berpasangan. Sampel yang digunakan adalah bumbu ayam goreng kalasan yang belum disimpan dan bumbu yang
0,0
0,5
1,0
1,5
2,0
2,5
3,0
3,5
0 1 2 3 4 5 6 7 8
Lama Penyimpanan (hari)
Bila
ngan
TBA
(mg
mal
onal
dehi
d/kg
bah
an)
telah mengalami penyimpanan selama satu minggu. Uji segitiga ini dilakukan selama empat kali dan dipilih panelis yang menjawab benar lebih dari 75%.
Panelis akan dikenalkan lebih jauh tentang aroma dan penampakan bumbu ayam kalasan agar panelis lebih terbiasa lagi terhadap produk yang akan diujikan. Tahap pelatihan ini menggunakan uji perbandingan berpasangan dan pelatihan penggunaan skala garis.
Uji perbandingan berpasangan membandingkan kelebihan sampel yang diujikan lebih baik atau lebih buruk dan seberapa jauh tingkat kelebihan tersebut. Sampel yang dipakai adalah bumbu ayam kalasan yang baru dibuat dan yang telah mengalami penyimpanan selama satu minggu. Kriteria uji adalah sampel mana yang beraroma lebih tengik.
Pelatihan penggunaan skala garis pun dilakukan untuk melatih panelis agar dapat menggunakan skala garis dengan baik. Pelatihan menggunakan beberapa bangun yang sebagian diarsir. Pelatihan dilakukan dua kali pertemuan.
Pelatihan selanjutnya adalah pengenalan bumbu standar yang telah diketahui nilai bilangan TBA-nya selama 15 menit. Bumbu standar yang dipergunakan yaitu bumbu dengan bilangan TBA 1, 3, 5 mg malonaldehid/kg sampel dengan skala intensitas ketengikan sedang, kuat, dan sangat kuat (Ketaren, 1986).
7.2 Tahap Pengujian
Uji skalar dilakukan untuk menguji penggunaan antioksidan terhadap tingkat ketengikan produk. Uji tersebut menggunakan 10 orang panelis terlatih dan dilakukan selama studi penyimpanan 30 hari. Panelis disajikan sampel, kemudian masing-masing sampel diberi penilaian dengan memberikan tanda silang (x) pada skala garis sesuai dengan kode masing-masing sampel. Penilaian dilakukan dengan membandingkan antara sampel dan sampel standar yang telah ditentukan nilainya. Sampel standar (Tabel 7) disediakan dihadapan panelis. Analisis linier dipakai untuk mengetahui korelasi antara penilaian panelis dan lama penyimpanan produk bumbu ayam goreng Kalasan.
Tabel 1. Standar Penilaian Ketengikan
Balai Pasca Panen (2000)
8. Uji Hedonik (Soekarto, 1985) Uji hedonik memakai 20 panelis
agak terlatih. Uji hedonik merupakan salah satu uji kesukaan terhadap produk tertentu. Panelis diminta tanggapan pribadinya tentang kesukaan atau sebaliknya terhadap salah satu produk dengan menggunakan skala hedonik. Sampel bumbu ayam goreng kalasan dan ayam goreng kalasan diuji pada hari ke-30 penyimpanan. Sampel disajikan dalam wadah sebanyak 5 gram, lalu masing-masing sampel diberi kode secara acak. Panelis diminta secara spontan menyatakan penilaiannya terhadap sampel. Sampel disajikan secara acak dan tidak boleh diulang dan dibandingkan. Hasil penilaian akan dikonversi ke dalam skala numerik dan dianalisis dengan ANOVA kemudian dilanjutkan dengan Uji Duncan bila hasil analisis sidik ragam menunjukkan berpengaruh nyata antar semua perlakuan .
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. PENANGANAN BUMBU Bumbu ayam goreng kalasan memiliki ciri
khas rasa yang selalu dijaga secara turun menurun. Kualitas bumbu ayam goreng kalasan dapat terganggu dengan adanya proses ketengikan yang dapat terjadi dalam kurun waktu 1 minggu yang tentu saja dapat mempengaruhi rasa dan aroma dari ayam goreng kalasan itu sendiri. Hasil pengukuran bilangan TBA selama satu minggu dapat dilihat pada Gambar 9.
Gambar 1. Hasil Analisis Bilangan TBA selama Penyimpanan
Berdasarkan Gambar 9 dapat dilihat bahwa bumbu ayam goreng kalasan selama penyimpanan selama satu minggu penyimpanan telah mengalami ketengikan dengan nilai TBA pada hari ke tujuh penyimpanan bernilai >3 mg malonaldehid/kg
bahan. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan pembuat bumbu yang menyatakan berdasarkan pengalaman bumbu telah mengalami ketengikan setelah tujuh hari.
Aroma Nilai standar Nilai TBA produk tidak tengik <25 1 g malonaldehid/kg bahan tengik 50-75 3 g malonaldehid/kg bahansangat tengik >75 5 gram malonaldehid/kg bahan
Bumbu ayam goreng yang telah diolah lalu dikemas dalam plastik dan disealer. Setiap kemasan plastik berisi 10 kg. Setelah itu, bumbu ayam goreng dikirimkan langsung dari pusat industri di Yoyakarta ke rumah makan cabang setiap satu minggu sekali. Pengiriman dari pusat dilakukan untuk menjaga kerahasiaan bumbu serta keseragaman rasa dan aroma dari bumbu ayam goreng kalasan tersebut.
Bumbu yang telah tiba di rumah makan cabang, segera disimpan dalam gudang berukuran 3mx3m. Gudang tersebut letaknya terlindung dari cahaya secara langsung. Hal itu baik untuk mengurangi laju reaksi oksidasi karena menurut Buck (1991), adanya cahaya dan suhu tinggi dapat mempercepat laju reaksi oksidasi.
Pengiriman bumbu ayam goreng kalasan satu minggu sekali tentu saja kurang efisien dalam distribusi dan transportasi barang karena volume barang yang dikirim tidak sebanding usaha yang dikeluarkan. Hal tersebut mendorong pemikiran untuk mengirimkan bumbu ayam goreng kalasan satu bulan sekali berbarengan dengan pengiriman barang lain seperti halnya kemasan. Pengiriman bumbu ayam goreng kalasan satu bulan sekali juga memudahkan dalam pengontrolan keluar masuk barang dan perhitungan jumlah bahan baku yang diperlukan. Adanya ruang penyimpanan yang tidak terlalu luas yaitu sekitar 3x3 m juga merupakan alasan pengiriman barang dilakukan tidak lebih dari satu bulan sekali.
Pengiriman bumbu satu bulan sekali tentu saja harus dibarengi dengan kualitas bumbu ayam goreng kalasan itu sendiri agar tidak tengik selama satu bulan. Penggunaan antioksidan merupakan salah satu pemecahan masalah yang diharapkan tidak menimbulkan permasalahan perubahan yang besar pada kegiatan rumah makan ayam goreng kalasan sehingga pemecahan masalah tidak menimbulkan masalah yang baru lagi
B. ANALISIS PROKSIMAT BUMBU AYAM
Menurut Harijadi (1993), analisis proksimat dilakukan saat tahap awal penelitian untuk mengetahui karakteristik produk. Analisis yang dilakukan yaitu pengukuran kadar air, kadar lemak, dan kandungan logam Fe dan Cu pada produk. Hasil analisis proksimat bumbu ayam goreng kalasan dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Hasil Analisis Proksimat Bumbu Ayam Goreng Kalasan
Jenis Analisis Konsentrasi Kadar air 27.05% Kadar Lemak 37.53% Logam Cu 8.4 x 10-4 mg/L Logam Fe 3.0x10-3 mg/L
Pengukuran kadar air dilakukan dengan menggunakan metode azeotropik. Metode tersebut dipilih karena menurut Day dan Underwood (1993), metode distilasi azeotropik sangat cocok digunakan untuk bahan -bahan yang mengandung lemak dan komponen-komponen yang mudah menguap disamping air sehingga dapat mengurangi kesalahan negatif akibat hilangnya komponen-komponen volatil saat pemanasan. Hal tersebut sesuai dengan karakteristik bumbu ayam goreng kalasan yang mengandung lemak yang cukup tinggi dan mengandung rempah-rempah sebagai komposisi utama penyusun bumbu ayam goreng kalasan.
Rempah-rempah memiliki komponen-komponen yang mudah menguap apabila dipanaskan pada suhu tinggi. Pemanasan yang cukup tinggi dapat menyebabkan komponen volatil mudah menguap sehingga akan terjadi kesalahan positif pada pengukuran kadar air yaitu nilai kadar air yang lebih besar dari seharusnya (Day dan Underwood, 1993). Hasil analisis proksimat bumbu dapat diketahui bahwa bumbu memiliki kadar air yang cukup rendah yaitu 27.05%. Menurut Rahayu (2000), kadar air bumbu masih terbilang cukup rendah pada kisaran 30-40%.
Secara alami lemak mudah teroksidasi sehingga menimbulkan perubahan baik pada aroma, rasa, ataupun penampakan (Buck, 1991). Hasil pengukuran kadar lemak didapatkan bahwa rata-rata kadar lemak produk setelah dilakukan dua ulangan cukup tinggi yaitu sekitar 37,53%. Hasil tersebut didukung oleh pernyataan Ivory (1994) bahwa kadar lemak pada bumbu tradisional terbilang cukup tinggi pada kisaran 30-75%. Kadar lemak yang cukup tinggi kemungkinan disebabkan karena adanya kemiri sebagai bahan penyusun bumbu. Menurut Farrel (1990), kadar lemak kemiri cukup tinggi yaitu 39.75%. Penyebab lain dari tingginya kadar lemak karena adanya penumisan saat pembuatan bumbu dengan persentase minyak goreng 30% dari jumlah bumbu.
Komponen logam Fe dan Cu merupakan salah satu komponen yang mempengaruhi aktivitas antioksidan (Fennema, 1985). Berdasarkan analisis logam Fe dan Cu didapatkan kosentrasi Fe cukup rendah yaitu 3.0x10-3 mg/L dan konsentrasi Cu sekitar 8.4 x 10-4 mg/L. Kandungan logam bivalen ternyata sangat mempengaruhi aktivitas antioksidan bumbu. Cu dan Fe merupakan logam yang umumnya mempercepat reaksi otooksidasi.
C. ANALISIS TOTAL MIKROBA
Total mikroba produk cenderung meningkat selama penyimpanan. Menurut Fardiaz (1989), peningkatan jumlah mikroba dapat dijadikan indikator kerusakan produk pangan. Kerusakan karena mikroba juga menunjukkan penurunan mutu atau proses kerusakan.
Menurut Rahayu (2000) level aman mikroba yang terdapat pada bumbu masakan
tradisional untuk dikonsumsi manusia adalah <105 kol/gram sampel. Hasil pengujian total mikroba selama 30 hari menunjukkan bahwa total mikroba pada kontrol dan sampel <3.2 x 104 kol/gram sampel. Hasil tersebut menunjukkan bahwa kontrol dan sampel masih aman untuk dikonsumsi manusia
Pertumbuhan mikroba pada sampel dan kontrol tidak berkembang pesat selama penyimpanan karena pada komponen rempah-rempah penyusun bumbu ayam goreng kalasan terdapat komponen antimikroba.
Menurut Pratt dan Hudson (1990), zat antimikroba yang terdapat pada rempah-rempah sebagian besar merupakan senyawa fenol dan turunannya.
Penghambatan pertumbuhan sel mikroba oleh komponen fenol disebabkan kemampuan fenol untuk merusak membran sel mikroba (Rahayu, 2000). Pratt dan hudson (1990) mengungkapkan bahwa fenol dapat mendenaturasi protein dan merusak membran sel dengan cara melarutkan lemak yang terdapat pada dinding sel karena senyawa ini mampu bermigrasi dari fase cair ke lemak. Selain itu senyawa fenol juga mapu menurunkan tegangan permukaan membran sel. Rempah-rempah yang digunakan dalam pengolahan makanan sehari-hari dapat membantu mencegah pertumbuhan mikroba pada makanan.
Selain itu pertumbuhan mikroba pada sampel tidak berkembang pesat karena kadar air produk yang cukup rendah yaitu 27.05% yang menurut Rahayu (2000), kadar air bumbu masih terbilang cukup rendah pada kisaran 30-40%. Rendahnya kadar air bumbu diduga menjadi salah satu penyebab kecilnya jumlah mikroba pada bumbu tersebut (Rahayu, 2000).
Proses penumisan pun diduga turut menjadi penyebab rendahnya jumlah mikroba awal pada bumbu. Menurut Fardiaz (1989), proses pemasakan dapat menurunkan jumlah mikroba dan bahkan dapat membunuh mikroba pada suhu sterilisasi.
D. PEMILIHAN ANTIOKSIDAN
Salah satu cara pencegahan proses ketengikan oleh oksidasi lemak pada bumbu ayam goreng kalasan adalah dengan penambahan antioksidan. Menurut Winarno (1992), adanya antioksidan dalam lemak dapat menghambat dan mengurangi timbulnya rasa dan aroma tengik. Antioksidan yang terpilih diharapkan mampu menghambat ketengikan pada bumbu ayam goreng kalasan. Menurut Buck (1991), seleksi antioksidan dapat dilakukan dengan memperhatikan tipe antioksidan, efektivitas carry trough, kelarutan antioksidan, tipe proses pengolahan produk, flavor dan odour, ketersediaan
produk (mudah didapatkan), serta status peraturan dan legalitas penggunaan antioksidan.
Bumbu ayam goreng kalasan pada proses pembuatannya mengalami proses penumisan pada suhu tinggi (lebih dari 900C). Menurut Ketaren (1986), suhu tinggi dapat mempercepat berlangsungnya reaksi oksidasi. Oleh sebab itu untuk mencegah atau mengurangi reaksi oksidasi diperlukan antioksidan yang cukup tahan pada suhu tinggi sehingga efektif penggunaannya. Antioksidan seperti BHA, BHT, dan askorbil palmitat merupakan antioksidan yang memiliki titik lebur di atas 900C (Madhavi et al, 1996).
Antioksidan yang dipilih merupakan antioksidan yang larut lemak karena produk bumbu ayam goreng kalasan dalam penelitian ini memiliki kandungan lemak bumbu yang cukup tinggi yaitu 37,53%. Antioksidan yang dipergunakan dalam produk pangan juga diharapkan tidak mempengaruhi flavor dan bau serta perubahan warna dari produk bumbu ayam goreng kalasan sehingga citarasa dan penampakan dari ayam goreng kalasan tetap khas dan sama dengan aslinya walaupun menggunakan bumbu yang mengandung antioksidan.
Selain pertimbangan tersebut, diharapkan antioksidan yang terpilih memiliki efek carry trough yang baik pada produk akhir dan mudah didapatkan serta terjamin keberadaannya di pasaran. Ketiga antioksidan seperti BHA, BHT, dan askorbil palmitat merupakan antioksidan yang telah meluas penggunaannya (Gordon, 1990). Ketiga antioksidan tersebut dapat dengan mudah didapatkan untuk memenuhi kebutuhan antioksidan dalam aplikasinya pada produk pangan.
Berdasarkan kriteria tersebut di atas diperoleh beberapa jenis antioksidan yang dapat diaplikasikan untuk bumbu ayam goreng kalasan untuk menghambat reaksi oksidasi, antara lain BHA, BHT, dan askorbil palmitat (Ivory, 1994). Ketiga antioksidan saling dikombinasikan penggunaannya dalam produk ayam goreng kalasan menurut kisaran konsentrasi efektif. Menurut Fennema (1985), kombinasi antioksidan dengan kesinergisannya dapat meningkatkan kemampuan antioksidan untuk menghambat reaksi oksidasi. Konsentrasi antioksidan yang dipilih adalah berkisar antara 25-100 ppm dan dipakai kontrol sebagai pembanding karena menurut Madhavi et. al (1996), BHA pada konsentrasi 0.005%-0.01% cukup efektif digunakan pada bahan pangan, BHT efektif pada 0.005-0.02%, dan askorbil palmitat efektif pada konsentrasi 0.003%-0.5%. Pemilihan kombinasi jenis antioksidan dan konsentrasi antioksidan yang akan digunakan didasarkan pada uji TBA, diena terkonjugasi, dan uji sensori.
1. Nilai Thiobarbituric Acid (TBA) Bilangan TBA menunjukkan jumlah
malonaldehid yang ada pada produk, yaitu
0
1
2
3
4
5
6
0 10 20 30 40
Lama Penyimpanan (hari)
Bila
ngan
TB
A (m
g m
alon
alde
hid/
kg
baha
n)
Formula 1 Formula 2 Formula 3Formula 4 Formula 5 Formula 6
Formula 7 Formula 8 Formula 9Formula 10
hasil oksidasi lemak. Menurut Gordon (1990), pengukuran malonaldehid merupakan salah satu cara untuk mengukur tingkat ketengikan lemak. Prinsip utamanya adalah dengan mereaksikan asam 2-thiobarbiturat dengan lemak yang mengalami ketengikan dan mengandung malonaldehid (Fennema, 1985).
Salah satu keuntungan dari penggunaan parameter ini adalah reagen asam TBA dapat langsung digunakan pada lemak bahan yang diuji tanpa diperlakukan ekstraksi terlebih dahulu. Selain itu keuntungan yang lain, penggunaan metode TBA langsung menganalisa aldehid yang telah diketahui menyebabkan ketengikan pada lemak (Buck, 1991).
Tingkat ketengikan lemak yang diukur dapat dilihat dari intensitas warna merah yang dihasilkan akibat reaksi tersebut. Makin kuat warna merah yang dihasilkan dari reaksi tersebut, maka tingkat ketengikannya makin tinggi (Ketaren, 1986). Hasil pengukuran bilangan TBA bumbu ayam goreng kalasan selama penyimpanan disajikan pada Gambar 1 dan Lampiran 5.
Gambar 1. Hubungan Antara Bilangan TBA dengan LamaPenyimpanan
Gambar 1 menunjukkan kenaikan
bilangan TBA pada sampel bumbu ayam goreng kalasan selama penyimpanan. Data kenaikan bilangan TBA secara lebih jelas dapat dilihat pada Lampiran 5. Berdasarkan Gambar 1 dapat dilihat bahwa kombinasi BHA+BHT dan kombinasi BHT+askorbil palmitat dengan konsentrasi 50 ppm dan 100 ppm memiliki nilai TBA <3 mg malonaldehid/kg bahan pada akhir
penyimpanan (hari ke-30). Menurut Ketaren (1986), bahan pangan telah mengalami ketengikan yang lanjut apabila telah mencapai nilai malonaldehid >3 mg malonaldehid/kg bahan. Hasil itu menunjukkan bahwa perlakuan pada sampel tersebut cukup efektif untuk menghambat ketengikan bumbu selama 30 hari penyimpanan
Nilai TBA sampel dengan perlakuan tanpa penambahan antioksidan (Formula 10) telah mengalami ketengikan pada hari ke-8 penyimpanan. Hal tersebut ditandai dengan nilai TBA rata-rata 3.09 mg malonaldehid/kg bahan. Sampel dengan tanpa penambahan antioksidan pada dasarnya telah memiliki antioksidan alami. Antioksidan alami tersebut berasal dari senyawa endogenous yang terdapat dalam rempah-rempah yang merupakan penyusun bumbu
Menurut Pratt dan Hudson (1990), sumber antioksidan alami pada rempah-rempah pada umumnya dari kelompok fenolik. Koschhar (1993) juga mengungkapkan bahwa tidak kurang dari 30 jenis tanaman rempah-rempah menunjukkan sifat antioksidan. Ketengikan yang terjadi pada sampel tanpa penambahan antioksidan kemungkinan disebabkan karena kurangnya konsentrasi antioksidan alami pada bahan untuk menghambat proses oksidasi apalagi dalam proses pembuatan bumbu terdapat proses penumisan menggunakan suhu 90oC. Menurut Ketaren (1986), suhu penggorengan (90-180 oC) dapat mempercepat reaksi oksidasi.
Darmini (1998) juga meneliti aktivitas antioksidan pada bumbu tradisional Indonesia seperti bumbu ayam goreng, rawon, rendang, dan bumbu opor. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwajumlah bumbu yang biasa digunakan untuk memasak sehari-hari (100-300 g bumbu/kg bahan) belum cukup mampu untuk menghambat ketengikan yang terjadi
Berdasarkan Gambar 1 pun dapat dilihat bahwa sampel dengan perlakuan penambahan antioksidan 25 ppm memiliki peningkatan bilangan TBA yang lebih tinggi dibanding perlakuan penambahan antioksidan 50 ppm dan 100 ppm. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa penambahan antioksidan 25 ppm belum cukup efektif menghambat ketengikan bumbu setelah penyimpanan 30 hari. Hasil tersebut didukung oleh penelitian Darmini (1998) bahwa penggunaan BHA dan BHT 30 ppm tidak dapat mencegah peningkatan bilangan TBA hingga di bawah 3 mg malonaldehid/kg bahan pada bumbu ayam goreng tradisional selama satu bulan penyimpanan
Gambar 1 menunjukkan bahwa sampel dengan perlakuan penambahan BHA dan BHT konsentrasi 100 ppm merupakan sampel dengan kenaikan bilangan TBA terendah
0
0,5
1
1,5
2
2,5
0 10 20 30 40Lama Penyimpanan (hari)
Bila
ngan
Die
na T
erko
njug
asi
(0.1
ml/0
.1 m
l v/v
)
Formula 1 Formula 2 Formula 3Formula 4 Formula 5 Formula 6
Formula 7 Formula 8 Formula 9Formula 10
dibandingkan sampel lainnya. Berdasarkan Uji Duncan (Lampiran 7) pun dapat dilihat bahwa sampel dengan perlakuan penambahan BHA dan BHT 100 ppm tidak berbeda nyata dari sampel dengan perlakuan penambahan BHA+askorbil palmitat 100 ppm. Hal tersebut menunjukkan bahwa perlakuan penambahan kombinasi BHA+BHT dan BHA+askorbil palmitat 100 ppm pada sampel memiliki kemampuan untuk menghambat reaksi oksidasi yang tidak berbeda.
BHA dan BHT merupakan kombinasi antioksidan yang dapat memberikan efek sinergis yang efektif bila digunakan dalam bahan pangan (Fennema, 1985)
Kombinasi BHA+askorbil palmitat 100 ppm(Gambar 8) yang merupakan salah satu kombinasi antioksidan yang memiliki efektifitas untuk menghambat ketengikan pada bumbu selama satu bulan. Hal tersebut kemungkinan terjadi karena kedua antioksidan dengan konsentrasi 100 ppm saling mendukung untuk mencegah oksidasi pada bumbu. Menurut Madhavi et al (1996), askorbil palmitat dapat mengikat oksigen sehingga pembentukan radikal ROO* pada proses oksidasi dapat terhambat. Sedangkan BHA yang merupakan antioksidan primer, bekerja dengan mendonorkan hidrogen untuk membentuk radikal yang lebih stabil (Gordon, 1990)
Hasil pengukuran nilai bilangan TBA (Lampiran 5) menunjukkan bahwa kombinasi BHA+askorbil palmitat lebih efektif daripada kombinasi BHT+askorbil palmitat. Hal tersebut kemungkinan terjadi karena sifat carry trough dan kelarutan BHA lebih baik dari BHT. Menurut Madhavi et al (1996), BHA memiliki keefektifan, sifat carry trough,dan kelarutan yang lebih baik dari BHT pada minyak nabati.
Uji bilangan TBA merupakan uji yang sensitif tetapi tidak spesifik untuk menganalisis malonaldehid sebagai produk sekunder dari rekasi oksidasi (Heras et. al, 2003). Kekurangan metode tersebut menurut Ketaren (1986), asam TBA bersifat tidak stabil dan mengalami dekomposisi di bawah kondisi pengujian (dengan adanya pemanasan dan asam keras). Hasil degradasi tersebut memiliki warna yang sama (terabsorbsi pada panjang gelombang yang sama) dengan kompleks TBA malonaldehid. Oleh sebab itu diperlukan uji lain sebagai pendukung untuk memilih kombinasi dan konsentrasi antioksidan yang akan digunakan pada bumbu ayam goreng kalasan.
2. Nilai Conjugated Diene Hydroperoxide
(CDHP) Pengukuran nilai hidroperoksida
diena terkonjugasi adalah suatu cara untuk mengetahui potensi atau peluang lemak untuk
mengalami kerusakan oksidatif berupa ketengikan selama penyimpanan. Diena terkonjugasi merupakan salah satu hasil perubahan primer oksidatif lipid yang cenderung stabil dibanding peroksida merupakan indikator yang sensitif terhadap kerusakan oksidatif pada tahap awal (Madhavi et al, 1996).
Metode tersebut dipilih karena menurut Shahidi dan Wanasundara (1997), metode diena terkonjugasi merupakan metode yang lebih cepat, lebih sederhana, dan tidak tergantung pengembangan warna serta membutuhkan jumlah sampel yang lebih sedikit dibandingkan pengukuran bilangan peroksida yang lebih dahulu populer. Hasil pengukuran diena terkonjugasi dapat dilihat Gambar 2.
Gambar 2 menunjukkan bahwa terjadi peningkatan nilai diena terkonjugasi pada masing-masing sampel selama penyimpanan 30 hariPeningkatan nilai diena terkonjugasi terjadi karena adanya perubahan primer oksidatif lipid yang membentuk senyawa hidroperoksida. Peningkatan tersebut dipercepat dengan adanya ekspos oksigen, cahaya dan suhu lebih tinggi saat proses penyimpanan (Ketaren, 1986). Peningkatan nilai bilangan diena terkonjugasi kontrol terlihat sangat signifikan dibandingkan dengan sampel. Menurut Koschhar (1993), adanya penambahan antioksidan akan mengakibatkan pemisahan radikal bebas sehingga mampu menekan terjadinya proses oksidasi.
Gambar 2. Hubungan antara Nilai Diena
Terkonjugasi dengan Lama Penyimpanan
Berdasarkan Gambar 2 dapat dilihat bahwa peningkatan bilangan diena terkonjugasi terendah dimiliki oleh sampel dengan penambahan BHA+askorbil palmitat 100 ppm. Nilai bilangan diena terkonjugasi adalah 0.901. Hal tersebut menunjukkan bahwa kombinasi BHA dan askorbil palmitat 100 ppm merupakan perlakuan yang lebih efektif untuk mencegah reaksi oksidasi dibandingkan perlakuan lainnya
Dugan (1984) juga melaporkan bahwa kombinasi BHA+askorbil palmitat 100 ppm lebih efektif untuk mencegah ketengikan pada minyak nabati daripada kombinasi BHT+askorbil palmitat 100 ppm. Hasil tersebut sejalan dengan pengukuran nilai TBA sebelumnya yang menunjukkan bahwa penambahn BHA+askorbil palmitat lebih efektif menghambat ketengikan pada bumbu ayam kalasan selama penyimpanan satu bulan
Berdasarkan analisis sidik ragam pada Lampiran 8 menunjukkan bahwa pebngaruh antar perlakuan berbeda nyata. Hasil uji lanjut Duncan pada Lampiran 8 menunjukkan bahwa perlakuan perlakuan BHA+askorbil palmitat 100 ppm berbeda nyata dari perlakuan lainnya. Hal tersebut didukung hasil pengamatan pada Lampiran 6 yang menunjukkan bahwa rata-rata nilai diena terkonjugasi perlakuan BHA+BHT pada taraf konsentrasi yang sama lebih rendah dibandingkan perlakuan lainnya yaitu 0.901. Menurut Sherwin (1990), BHA dan askorbil palmitat bila digunakan bersama juga bersifat lebih efektif dalam memperpanjang umur simpan lemak atau minyak dalam bahan pangan bila dibandingkan dengan kombinasi BHA dan antioksidan lain seperti asam askorbat, asam galat, atau TBHQ.
3. Uji Skalar
Uji skalar garis merupakan salah satu uji skalar yang menggunakan garis sebagai parameter penentuan suatu kesan dari suatu rangsangan (Lea dan Tormad, 1998). Menurut Meilgaard (1999), skala garis digunakan untuk mengetahui besaran kesan yang diperoleh suatu komoditi hingga dapat diketahui mutu dari komoditi tersebut.
Skala yang digunakan pada uji skalar adalah 0-100. Berdasarkan Lea dan Tormad (1998), skala yng biasa digunakan pada uji sensori adalah 1-7, 1-9, dan 0-100. Hasil penilaian panelis dengan uji skalar dapat dilihat pada Gambar 3. Penilaian dikonversi pada skala 0-100 berdasarkan standar Balai Pasca Panen (2000) pada Tabel 1.
Selama penyimpanan skor penilaian panelis terhadap sampel mengalami peningkatan. Skor penilaian panelis yang makin meningkat mengindikasikan penerimaan panelis terhadap sampel makin berkurang.
Serdasarkan peningkatan skor panelis yang cukup tajam terjadi pada sampel dengan perlakuan tanpa penambahan antioksidan dan sampel dengan penambahan konsentrasi antioksidan paling rendah yaitu 25 ppm. Penilaian panelis terhadap sampel dengan perlakuan penambahan antioksidan 25 ppm disebabkan meningkatnya aroma ketengikan pada sampel tersebut. Menurut komentar panelis, berkurangnya aroma rempah dalam bumbu selama penyimpanan makin menyebabkan panelis dapat mencium ketengikan yang terjadi selama penyimpanan
Hasil tersebut sesuai dengan pengukuran objektif (bilangan TBA dan nilai bilangan diena konjugasi) yang juga menunjukkan perlakuan penambahan antioksidan 25 ppm belum mampu menghambat ketengikan pada bumbu ayam goreng kalasan selama 1 bulan penyimpanan.
Sampel yang belum mengalami ketengikan adalah sampel dengan penambahan BHA dan BHT dengan konsentrasi 50 dan 100 ppm serta sampel dengan penambahan BHA dan askorbil palmitat 100 ppm. Hasil tersebut sejalan dengan uji TBA dan uji diena terkonjugasi yang telah dilakukan sebelumnya.
4. Uji Hedonik
Uji hedonik pada penelitian ini juga dilakukan. Uji hedonik merupakan salah satu uji penerimaan (Maynard et al, 1965). Menurut Meilgaard (1999), uji hedonik merupakan uji panelis diminta untuk mengungkapkan tanggapan pribadinya tentang tingkat kesukaan atau ketidaksukaan yang bertujuan untuk mengetahui penilaian panelis terhadap sifat mutu yang umum seperti penampakan, aroma, rasa, warna, dan tekstur. Tingkat kesukaan tersebut disebut sebagai skala hedonik.
Aroma Bumbu
Hasil uji hedonik terhadap aroma bumbu ayam goreng kalasan saat akhir penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 3 yang menunjukkan bahwa pada sampel dengan penambahan BHA+BHT, BHA+askorbil palmitat, dan BHT+askorbil palmitat 25 ppm berada pada kisaran 2-3 (antara tidak suka dan agak tidak suka). Hasil Uji Lanjut Duncan pada Lampiran 10 menunjukkan perlakuan penambahan BHT+askorbil palmitat merupakan perlakuan yang berbeda nyata dibandingkan perlakuan lainnya. Bumbu dengan penambahan BHT dan askorbil palmitat konsentrasi 25 ppm dengan nilai 2.05 menunjukkan penilaian tidak suka. Nilai kesukaan yang rendah disebabkan karena adanya aroma tengik yang tidak disukai oleh panelis.
0
1
2
3
4
5
6
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Formula
Pen
ilaia
n P
anel
is
00.5
11.5
22.5
33.5
44.5
5
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Formula
Peni
laia
n Pa
nelis
0
1
2
3
4
5
6
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Formula
Pen
ilaia
n Pa
nelis
Gambar 3. Diagram Rata-rata Uji Hedonik terhadap Aroma Bumbu Ayam Goreng Kalasan pada Akhir Penyimpanan
Berdasarkan uji Duncan (Lampiran
10), dihasilkan sampel dengan penambahan BHA+BHT 50 ppm dan 100 ppm serta sampel dengan penambahan BHA+askorbil palmitat dan BHT+askorbil palmitat 100 ppm tidak berbeda nyata. Sampel tersebut memiliki skor antara 4 dan 5 (agak suka sampai suka)
Hasil penilaian uji hedonik oleh para panelis sejalan dengan pengukuran objektif dengan menggunakan bilangan TBA dan nilai diena terkonjugasi yang telah dilakukan saat penyimpanan bumbu ayam goreng Kalasan selama 30 hari yang menunjukkan bahwa sampel dengan perlakuan penambahan BHA+BHT dan BHA+askorbil palmitat 100 ppm cukup efektif untuk menghambat ketengikan pada bumbu ayam goreng kalasan.
Aroma Ayam Goreng Kalasan
Nilai skor rata-rata aroma ayam goreng kalasan denagn berbagai perlakuan dapat dilihat pada Gambar 4. Hasil uji sidik ragam (Lampiran 13) menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata antar sampel Uji kemudian dilanjutkan dengan Uji Duncan yang pada lampiran 13 menunjukkan bahwa sampel dengan penambahan BHT+askorbil palmitat berbeda nyata dari sampel lainnya.
Hasil penilaian panelis terhadap
sampel dengan perlakuan penambahan antioksidan 25 ppm berada pada titik agak tidak suka hingga agak suka. Panelis mencium adanya bau tengik pada sampel ayam goreng kalasan selain aroma ayam goreng yang khas.
Berdasarkan Gambar 4, panelis masih menyukai sampel dengan penambahan BHT+BHT, BHA+askorbil palmitat, 100 ppm dan BHT+BHT 50 ppm. Panelis mengemukakan masih menyukai sampel-sampel tersebut karena bau tengik pada ketiga sampel tersebut belum tercium. Selain itu juga menurut panelis karena adanya aroma ayam goreng yang khas. Menurut Ketaren (1986), penggunaan minyak dalam menggoreng dapat menghasilkan aroma yang menyenangkan. Mottram (1991) pun mengungkapkan bahwa selama pemanasan daging terjadi reaksi-reaksi kompleks yang melibatkan senyawa amino, karbonil, dan lipid (PUFA) yang berkontribusi terhadap aroma daging ayam
. Rasa Ayam Goreng Kalasan
Pengujian hedonik terhadap rasa ayam goreng kalasan juga dilakukan. Rasa dapat dinilai dengan indera pencicip dalam rongga mulut terutama lidah dan sebagian langit-langit lunak (Meilgaard, 1999).
Nilai skor rata-rata aroma ayam goreng kalasan dengan berbagai perlakuan dapat dilihat pada Gambar 5. Hasil uji sidik ragam (Lampiran 14) penilaian panelis terhadap aroma ayam goreng kalasan memberikan pengaruh yang berbeda nyata antar sampel. Uji kemudian dilanjutkan dengan Uji Duncan Skor kesukaan panelis terendah adalah sampel penambahan BHA+askorbil palmitat 25 ppm dengan nilai rata-rata 3.25 (agak tidak suka). Sampel penambahan BHT+askorbil palmitat berdasarkan uji Duncan (lampiran 14) menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata dengan sampel penambahan BHA+askorbil palmitat 25 ppm.
Gambar 5. Diagram Rata-rata Uji Hedonik terhadap Rasa Ayam Goreng Kalasan pada Akhir Penyimpanan
Hasil penilaian panelis terhadap
sampel dengan perlakuan penambahan antioksidan 25 ppm pun rendah pada agak tidak suka hingga agak suka. Ketengikan karena proses oksidasi lanjut turut mempengaruhi kesukaan panelis terhadap rasa ayam goreng. Hasil tersebut didukung oleh
0
1
2
3
4
5
6
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Formula
Peni
laia
n Pa
nelis
pengukuran dengan uji TBA dan diena terkonjugasi yang menunjukkan bahwa perlakuan penambahan antioksidan 25 ppm belum cukup efektif untuk mencegah ketengikan pada bumbu ayam goreng kalasan.
Hasil uji Duncan menunjukkan bahwa ayam dengan penambahan sampel yang diberi BHA+BHT, BHA+askorbil palmitat 100 ppm, serta BHT+askorbil palmitat dengan konsentrasi 50 ppm tidak berbeda nyata satu sama lain. Sampel-sampel tersebut berada pada kisaran agak suka hingga suka. Kesukaan panelis terhadap ayam goreng kalasan dipengaruhi oleh rasa tengik dan rasa gurih akibat proses penggorengan. Menurut Ketaren (1986), proses penggorengan memang dapat menambah rasa gurih pada produk.
Penampakan Keseluruhan
Perlakuan tanpa penambahan antioksidan menurut uji Duncan (Lampiran 15) berbeda nyata dibandingkan perlakuan lainnya. Nilai kesukaan panelis pada kisaran 1-2 (sangat tidak suku hingga tidak suka). Panelis tidak menyukai sampel tersebut karena aroma dan rasa tengik yang terasa jelas.
Gambar 6. Diagram Rata-rata Uji Hedonik terhadap Penilaian Keseluruhan padaAyam Goreng Kalasan
Berdasarkan Gambar 6 dapat dilihat
bahwa secara keseluruhan ayam goreng dengan penambahan sampel yang menggunakan antioksidan 25 ppm agak disukai panelis. Hal tersebut karena rasa dan aroma dari ketiga ayam goreng tersebut agak tidak disukai panelis. Menurut Maynard (1965), atribut rasa dan aroma bahan pangan memang berperan penting dalam mempengaruhi konsumen. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Fianto (2001), atribut penting yang mempengaruhi kesukaan konsumen terhadap ayam goreng sebagian besar adalah rasa (47,4%) dan aroma (27,1%).
Berdasarkan uji lanjut Duncan ayam goreng yang dibumbui sampel dengan penambahan BHA+ BHT 50 ppm, BHA+BHT 100 ppm, dan BHA+askorbil palmitat 100 ppm tidak berbeda nyata. Ketiga sampel
tersebut memiliki skor penerimaan panelis yang tinggi antara 5 dan 6 dengan kisaran suka hingga sangat suka. Menurut panelis kesukaan terhadap ketiga sampel tersebut karena tidak adanya bau atau rasa tengik pada ayam goreng tersebut.
Berdasarkan pengukuran objektif dengan menggunakan dua hasil uji yaitu bilangan TBA dan nilai diena terkonjugasi didapatkan sampel yang efektif menghambat ketengikan pada bumbu ayam goreng kalasan selama satu bulan adalah sampel dengan penambahan BHA+askorbil palmitat dengan konsentrasi 100 ppm. Hasil penilaian didukung dengan uji skalar dan uji hedonik pada bumbu ayam goreng kalasan menunjukkan bahwa sampel tersebut belum memiliki aroma tengik dan masih disukai oleh panelis.
.
DAFTAR PUSTAKA
Ananta, I. 1998. Pengaruh Lama Penggorengan dan Penggunaan Absorben Terhadap Mutu MiNew Yorkak Goreng Bekas Penggorengan Ayam. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB. Bogor.
Association of Official Analytical Chemists. 1999. Official Methods of Analysis of the Association of Official Analytical Chemists. AOAC,Inc.Arlington.Virginia.
______________________________________. 1995. Official Methods of Analysis of The Association of Official Analytical Chemists, AOAC,Inc.Arlington.Virginia
Branen. 1983. Food Additive Hand Book. 1990. Marcell Dekker. New York.
Buck. 1991. Antioxidant. Di Dalam Food Additive User’s Hand Book. Jim Smith (eds). Blackie & Sons Ltd. London. pp 149-183
Chiou, R. Y, K-L, Ku, Y. S. Lai, dan L. G. Chang. 2001. Antioxidant Charateristic of Oil in Ground Pork-Fat Patties Cooked with Soy Sauce. Paper. JAOCS Vol. 78. pp 1154-1157
Coppen. P. P. 1983. Use of Antioxidant. Di Dalam Rancidity in Food. Allen, J. C dan R. J. Hamilton (eds). Applied Science Publisher. London. pp 65-86
Cuvelier, M. E. C. Berset, dan H. Richard. 1994. Antioxidant Constituent in Sage (Salvia officinalis). Journal of Agriculture and Food Chemistry Vol 42. pp 1255-1261
Darmini, N.W. 1998. Aktivitas Antioksidan Bumbu Segar Masakan Tradisional Indonesia. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB. Bogor.
Departemen Kesehatan RI. 1988. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No: 722/MENKES/PER/IX/88. Di Dalam Bahan Tambahan Makanan. Buletin Teknologi dan Industri pangan Vol. 5 no. 2.
Dewanti, R. 1984. Pengaruh Bubuk Cabe Merah (Capsicum Annum L.) terhadap Pertumbuhan Beberapa Bakteri PeNew Yorkebab Kerusakan Pangan. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB. Bogor.
Dugan, P. 1984. Effect of BHA and BHT in Sunflower Oil, Alone and with The Combination. Di Dalam Food Antioxidant Technological, Toxilogical, and Health Perspectives. Madhavi, S.,D.L., S.S Depandhe, dan D.K. Salunkhe (eds). Marcel Dekker Inc. New York. pp 145
Fardiaz, S. 1989. Mikrobiologi Pangan. Gramedia Pustaka. Jakarta.
Farrell, K. T. 1990. Spices, Condiment, and Seasoning. AVI Book Van Nostrand Reinhold. New York
Fennema, O. R. 1985. Principle of Food Science. Marcel Dekker. New York.
Frankel, E. N., S.W Huang, J. Kanner, J.B Bruce German. 1994. Interfacial Phenomena in The Evaluation of Antioxidant: Bulk oil vs Emulsion. Journal Agriculture and Food Chemistry Vol. 42. pp 1054-1059.
Gordon. 1990. The Mechanism of Antioxidant Action in Vitro. Di Dalam Food Antioxidant. Hudson, B. J. F (eds). Elsiever Applied Science Publisher. London. pp 270-291
Hamilton. R. J. 1983. The Chemistry of Rancidity in Foods. Di Dalam. Rancidity in Food. Allen, J. C dan R. J. Hamilton (eds). Applied Science Publisher. London. pp 65-86
Hanas, O. P. 1994. Seasoning Ingridients. Di Dalam Handbook of Industrial Seasoning. E. E Underriner dan I.R Hume. Blackie Academic Press. London. pp 21-61.
Harijadi, A. 1993. Ilmu Kimia Analitik Dasar. Gramedia Pustaka. Jakarta.
Heras, A., A. Schoch, dan M. Gibis. 2003. Comparison of Methods for Determining Malonaldehyde in Dry Sausage by HPLC and The Classic TBA Test. Paper. Eur Food Res. Technol 217. pp 180-184.
Ivory, T. 1994. Typical Seasoning Formulation. Di Dalam Handbook of Industrial Seasoning. E. E Underriner dan I.R Hume (eds). Blackie Academic Press. London
Jenie, B. S. L., Undriyani, K. dan Dewanti, R. 1992. Pengaruh Konsentrasi Jahe dan Waktu Kontak terhadap Aktivitas Beberapa Mikroba PeNew Yorkebab Kerusakan Pangan. Buletin Teknologi Pangan. Vol. 2. pp 25-31.
Koschhar, S. P. 1993. Oxidative Pathways to The Formation of Off-flavors. Blackie Academic and Profesional. London.
Ketaren. 1986. MiNew Yorkak dan Lemak Pangan. UI Press. Jakarta
Lanari, M.C., A. K. Hewavitharana, C. Becu, dan S.De Jong. 2003. Effect of Dietary Tocopherol and Tocotrienol on Antioxidant Status and Lipid Stability of Chicken. Elsevier Ltd. UK
Lea, P dan Tormad, N. 1998. Análisis of Variante for Sensory Data. John Willey and Sons. New York.
Lee, J. 1994. Specifying a Seasoning. Di Dalam Underriner, E.W dan I. R. Hume (eds). Handbook of Industrial Seasonings. Blackie Academic and Profesional. London. pp 113-145.
Madhavi, D. L. dan D. K. Salunkhe. 1996. Toxilogical Aspects of food Antioxidant. Di Dalam Food Antioxidant Technological, Toxilogical, and Health Perspectives. Marcel Dekker Inc. New York.
Madhavi, Singhai, Kulkarni. 1996. Technological Aspect of Food Antioxidant. Di dalam Food Antioxidant Technological, Toxilogical, and Health Perspectives. Madhavi, S.,D.L., S.S Depandhe, dan D.K. Salunkhe (eds). Marcel Dekker Inc. New York. pp. 159-267
Maynard, A, Amerin, R. M. Pangborn, Edward, B. Roester. 1965. Principles of Sensory Evaluation of Food. Academic Press. New York
Meilgaard. 1999. Sensory Evaluation Techniques. 3rd ed. CRC Press. London. New York.
Mottram. 1991. Meat Science. Di Dalam Ananta. I. 1998. Pengaruh Lama Penggorengan dan Penggunaan Absorben Terhadap Mutu MiNew Yorkak Goreng Bekas Penggorengan Ayam. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB. Bogor.
Nawar, W. W. 1985. Lipids. Di Dalam Principle of Food Science. Fennema, O. R.(eds).
Marcel Dekker Inc. New York. pp 275-288
Nazir, Moh. 1988. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia. Jakarta
Pratt, D. E dan J. F. Hudson. 1990. Natural Antioxidant Not Exploited Commercially. Di Dalam Food Antioxidant. Hudson, B. J. F. (ed). Elsevier Applied Science. London. 315-362
Prianto, A. 2001. Analisis Posisi Persaingan dalam Upaya Penetrasi Pasar Produk Ayam Goreng ( Studi Kasus PT. Ayam Goreng Fatmawati Indonesia). Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB. Bogor.
Rahayu, W.P. 1999. Aktivitas Antimikroba Lengkuas (Alpina galanga L. SWARTZ). Prosiding Seminar Nasional Makanan Tradisional Yogyakarta 16 Maret 1999. ISBN 979-95554-18
Rahayu, W. P. 2000. Aktivitas Antimikroba Bumbu Masakan Tradisional Hasil Olahan Industri terhadap Bakteri Patogen dan Perusak. Buletin Teknologi dan Industri Pangan Vol. 1, no.2. pp. 39-48
Rajalaksmi, D. S, Narasimhan. 1996. Food Sources and Methods of Evaluation. Di dalam Food Antioxidant Technological, Toxilogical, and Health Perspectives. Madhavi, S.,D.L., S.S Depandhe, dan D.K. Salunkhe (eds). Marcel Dekker Inc. NEW YORK. pp 65-156
Rugger, C. W., Eric, J.K., Earl G. Hammond. Abilities of Some Antioxidant ti Stabilize Soybean Oil in Industrial Use Condition. Journal Paper. JAOCS vol. 79. pp 733-735
Sampoerna dan Dedi Fardiaz. 2001. Kebijakan dan Pengembangan Pangan Fungsional dan Suplemen di Indonesia. Di Dalam Pangan Tradisional Basis bagi Industri Pangan Fungsional dan Suplemen. Ratih Haryadi dan Lilis Nuraida (eds). Prosiding Seminar 14 Agustus 2001. Jakarta. Teknologi Pangan dan Gizi, PSPG, PKMT, IPB.
Shahidi, F., Wanasundhara. 1997. Methods of Measuring Oxidative Rancidity in Fats and Oils. Di Dalam Food Lipids, Chemistry, and Nutrition.C. C. Akoh dan D. B Min (eds). Marcel Dekker Inc. New York. pp 377-396
Sherwin, E.R. 1990. Antioxidant. Di Dalam Food Aditive Hand Books. Branen, L. P. M. Davidson, S. Salminen (eds). Marcell Dekker. New York.
Singh, R. P. 1994. Scientific Principle of Self Life Evaluation. Di Dalam. Self Life
Evaluation of Foods. Man, C. M. D dan A. A Jones (eds) Blackie Academic and Profesional, London. pp 105-140
Soekarto. S. T. 1985. Penilaian Organoleptik Industri Pangan dan Hasil Pertanian. Bharata Karya Aksara. Jakarta.
Thomas, P. R. 1984. Mempelajari pengaruh bubuk rempah-rempah terhadap pertumbuhan kapang Aspergillus flavus Link. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB, Bogor.
Underriner dan I. R. Hume. 1994. Handbook of Industrial Seasonings. Blackie Academic and Professional. London
Underwood, A. L dan R. A. Day Jr. 1993. Quantitative Analytic of Chemistry. Marcel Dekker Inc. New York.
Winarno, F. G. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia, Jakarta.
Woods, W dan Aurand. 1977. Laboratory Manual in Food Chemistry. Di Dalam Analisis Pangan. A. Priyantono, D. Fardiaz, N. L. Puspita, S. Budiyanto, dan Sedarnawati. Y. IPB Press. Bogor.