skripsi-hubungan kebahagiaan dengan kepuasan hidup
DESCRIPTION
kebahagiaanTRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Semua orang menginginkan kebahagiaan dalam hidupnya. Aristoteles
(dalam Bertens, 1993) menyebutkan bahwa kebahagiaan merupakan tujuan utama
dari eksistensi manusia di dunia. Kebahagiaan itu sendiri dapat dicapai dengan
terpenuhinya kebutuhan hidup dan ada banyak cara yang ditempuh oleh masing-
masing individu. Orang bekerja untuk memperoleh penghasilan dan pencapaian
karier. Orang berkeluarga untuk memenuhi kebutuhan akan cinta dan kasih
sayang. Begitu pula orang belajar untuk memenuhi kebutuhan akan ilmu
pengetahuan. Semua kegiatan tersebut dilakukan untuk memperoleh satu tujuan,
yaitu kebahagiaan.
Bagi masyarakat awam sendiri, kebahagiaan mempunyai arti yang berbeda
bagi tiap individu dan seringkali menjadi tumpang tindih dengan kepuasan hidup
dan kualitas hidup. Hal ini bisa terlihat bila kita mengetikkan kata kebahagian,
kepuasan hidup dan kualitas hidup di berbagai forum internet. Hasilnya
menunjukkan bahwa ternyata di masyarakat definisi ketiga istilah tersebut saling
tumpang tindih satu sama lain. Bagi beberapa orang kebahagiaan mungkin berarti
mempunyai kelimpahan materi atau mendapatkan semua yang diinginkan. Bagi
mereka, kebahagiaan diukur dengan pencapaian materi yang seringkali
menganggap orang yang kaya akan merasa lebih bahagia dibandingkan dengan
orang yang hidup serba kekurangan. Namun bila ditanyakan lebih lanjut kepada
orang yang kaya ternyata mereka pun belum tentu merasa bahagia dengan segala
kelimpahan materi yang dimilikinya. Selanjutnya ada pula yang akan merasa
bahagia bila bisa membuat orang lain bahagia atau memberikan manfaat kepada
sesama manusia (http://www.kickandy.com /forum/viewtopic.php). Atau bagi
sebagian orang dengan menikmati dan mensyukuri apa yang dimilikinya dapat
membuatnya merasakan kebahagiaan (http://www.edo.web.id/wp
/2008/02/19/bahagia/). Pada pendapat terakhir terlihat bahwa kebahagiaan
berkaitan dengan rasa puas terhadap hidup, yaitu dengan mensyukuri apa yang
dimiliki atau dengan kata lain akan bahagia bila merasa puas dengan hidupnya.
Universitas Indonesia
2
Kepuasan hidup itu sendiri merupakan istilah yang sering dikaitkan
dengan kebahagiaan dan kualitas hidup. Bagi sebagian orang kebahagiaan diukur
dengan cara melihat kepuasan akan hidupnya. Bila mereka merasa puas maka
mereka juga akan mengatakan dirinya bahagia. Sedangkan untuk menilai
kepuasan hidup itu berbeda bagi tiap individu. Masing-masing individu
mempunyai batasan ideal sendiri yang digunakan untuk mengukur tingkat
kepuasan hidupnya. Oleh karena itu kepuasan hidup pun menjadi sangat subjektif
sesuai dengan batasan ideal yang dimiliki oleh masing-masing individu. Bila kita
bicara mengenai kepuasan hidup maka tidak bisa dilepaskan dari bagaimana
seseorang menilai kualitas hidupnya. Penilaian kualitas hidup biasanya dilihat dari
kepuasan individu terhadap hidupnya begitu pula sebaliknya. Orang akan merasa
puas bila kualitas hidupnya baik. Di lain pihak orang mempunyai kualitas hidup
yang baik karena merasa puas akan pencapaian yang diraihnya dalam hidup.
Tetapi pada kenyataannya dapat ditemui orang yang merasa puas dengan
segala yang dimiliki dalam hidup, seperti materi, jabatan dan keluarga tetapi
masih belum merasa bahagia dengan hidupnya. Ada juga yang merasa kualitas
hidupnya buruk tetapi ternyata di dalam keterpurukannya itu masih bisa
merasakan kebahagiaan. Maka dapat dikatakan bahwa bisa saja seseorang merasa
puas tetapi tidak bahagia, merasa bahagia tetapi hidupnya buruk atau merasa
bahagia walaupun tidak puas dengan hidupnya. Hal ini menjadi menarik untuk
diteliti mengenai batasan dan hubungan antara kebahagiaan, kepuasan hidup dan
kualitas hidup satu sama lain pada masyarakat.
Perbedaan pengertian yang tumpang tindih di dalam masyarakat mengenai
kebahagiaan, kepuasan hidup dan kualitas hidup bukanlah menjadi suatu hal yang
mengherankan karena secara teoritis kedua hal tersebut masih menjadi perdebatan
di kalangan ahli. Kebahagiaan dapat diartikan sebagai sebuah penilaian
menyeluruh tentang kehidupan secara lengkap, yang meliputi aspek kognitif dan
afektif (Galati, Manzano & Sotgiu, 2006). Sedangkan yang dimaksud dengan
kepuasan hidup adalah penilaian subjektif atas kualitas hidup seseorang (Sousa &
Lyubomirsky, 2001). Lebih jauh lagi dapat diartikan sebagai kepuasan atau
penerimaan seseorang atas peristiwa di dalam hidupnya atau pemenuhan
keinginan dan kebutuhan seseorang di dalam kehidupannya secara menyeluruh.
Universitas Indonesia
3
Berdasarkan pengertian diatas saja terlihat bahwa antara kebahagiaan dan
kepuasan hidup ternyata saling berkaitan.
Satu istilah lain yang juga berkaitan dengan kebahagiaan dan kepuasan
hidup adalah subjective well-being (SWB). Van Hoorn (2007) secara spesifik
menyebutkan bahwa SWB terdiri dari dua komponen yang terpisah, yaitu bagian
afektif yang merupakan evaluasi hedonis melalui emosi dan perasaan, serta bagian
kognitif yang merupakan informasi berdasarkan penilaian seseorang akan
harapannya terhadap kehidupan ideal. O’Connor (1993) menyebutkan bahwa
istilah kepuasan hidup dapat juga mengacu pada SWB yaitu merupakan penilaian
individual akan kebahagiaan atau kepuasan yang menggambarkan penilaian
global atas keseluruhan aspek dalam hidup seseorang.
Galati, Manzano & Sotgiu (2006) menyatakan bahwa pada kenyataannya
ketiga istilah di atas sering digunakan untuk menjelaskan jenis fenomena yang
sama. Sebagai contoh, kebahagiaan dapat dilihat sebagai komponen dari
subjective well-being (SWB) dan komponen lainya adalah kepuasan. Lebih lanjut
diutarakan bahwa kebahagiaan dan kepuasan hidup berhubungan sangat erat tetapi
tidak sama (Gundelach & Kreiner, 2004). Sedangkan Diener, et al (dalam
Panggabean, 2006) menyebutkan bahwa kepuasan hidup merupakan satu faktor di
dalam konstruk yang lebih umum, yaitu subjective well-being, yang terdiri dari
tiga komponen yaitu dorongan afeksi positif, dorongan afeksi negatif, dan
kepuasan hidup. Saat ini hubungan antara kebahagiaan, kepuasan hidup dan
kualitas hidup secara menyeluruh masih menjadi perdebatan dan setiap tokoh
memiliki pandangan yang berbeda mengenai istilah-istilah tersebut.
Tidak hanya ketumpangtindihan definisi tetapi ternyata faktor-faktor yang
mempengaruhi kebahagiaan, kepuasan hidup dan kualitas hidup pun nampaknya
sama dan saling berkaitan. Salah satu faktor yang mempengaruhi ketiganya adalah
kepribadian. Kepribadian orang berbeda-beda, maka penilaian hidup pun menjadi
berbeda bagi tiap individu. Orang yang memiliki kepribadian ekstravert, optimis,
harga diri tinggi dan locus of control internal dilaporkan memiliki tingkat
kebahagiaan dan kepuasan hidup yang lebih tinggi (Carr, 2004; Sousa &
Lybormirsky, 2001). Hal ini dapat terjadi karena ia menilai kualitas hidupnya
lebih baik yang ditandai pada setiap peristiwa yang terjadi di dalam hidupnya.
Universitas Indonesia
4
Selain kerancuan tersebut, sebenarnya ada pula yang menyebutnya sebagai
konsep yang berbeda. Berdasarkan Indonesian Happiness Index (IHI) pada tahun
2007 yang merupakan indikator tingkat kebahagiaan masyarakat Indonesia,
khususnya masyarakat kota besar, Jakarta berada di urutan kelima dari enam kota
besar yang diteliti. Tingkat kebahagiaan Jakarta lebih rendah bila dibandingkan
dengan kota besar lainnya, yaitu Semarang pada urutan pertama dan diikuti oleh
Makassar, Bandung, dan Surabaya (http://www.frontier.co.id/awardsdetail. php?
id=10). Walaupun tingkat kebahagiaan masyarakat Jakarta lebih rendah dibanding
kota besar lainnya, tetapi ternyata kualitas hidup penduduk Jakarta adalah yang
tertinggi di Indonesia bila dilihat dari karakteristik pendidikan, kesehatan,
perekonomian, dan keluarga. Lima wilayah yang memiliki ranking kualitas hidup
terendah adalah Propinsi Nusa Tenggara Timur, Irian jaya, Nusa Tenggara Barat,
Sulawesi Tenggara, dan Maluku Utara. Di propinsi DKI Jakarta sendiri, Jakarta
Timur menduduki peringkat tertinggi dalam hal kualitas hidup (Fadjri dalam
http://www.digilib.ui.ac.id/). Berdasarkan kedua data diatas menunjukkan bahwa
Kota Jakarta memiliki tingkat kebahagiaan yang lebih rendah dibandingkan kota
lainnya namun ternyata malah menjadi kota dengan ranking kualitas hidup terbaik
di Indonesia. Membandingkan kedua hal tersebut membuat peneliti ingin
melakukan penelitian mengenai hubungan antara kebahagiaan dan kualitas hidup
masyarakat suatu kota.
Pada negara berkembang, kondisi perekonomian, kesehatan, keamanan
dan aspek lainnya masih belum stabil dan masih mengandung persoalan seiring
dengan pertumbuhan negara. Hal tersebut ternyata berhubungan dengan kepuasan
hidup secara keseluruhan masyarakat di dalam negara tersebut. Menurut
penelitian yang dilakukan oleh Khizindar (2009) mengenai kualitas hidup di Saudi
Arabia yang merupakan salah satu negara berkembang menyebutkan bahwa
kepuasan hidup secara keseluruhan didapatkan melalui domain kebahagiaan
materi, emosional, komunitas, kesehatan dan keamanan. Beberapa keadaan demo-
grafis juga berhubungan secara signifikan terhadap nilai kualitas hidup secara
keseluruhan. Indonesia sebagai salah satu negara berkembang juga tentunya
memiliki kondisi yang berbeda dengan negara berkembang lainnya, maka
Universitas Indonesia
5
penelitian ini perlu dilakukan untuk mengetahui pengaruh keadaan negara
terhadap kepuasan hidup masyarakatnya.
Sebagai kota metropolitan, Jakarta telah mengalami banyak sekali
kemajuan dan perkembangan ini berjalan sangat cepat. Kita dapat
membandingkan keadaan kota Jakarta kini dengan sepuluh tahun lalu. Dalam
sepuluh tahun terakhir, pembangunan berjalan sangat cepat. Sekarang banyak mal,
perumahan, sekolah hingga rumah sakit dan pekantoran yang baru dibangun di
Jakarta. Pada tahun 2007, sebanyak 45 persen investasi dalam negeri ditempatkan
di Jakarta sebagai pusat administratif, politis, ekonomi dan kebudayaan (Hadar,
2007). Maka tak heran bila banyak orang yang mencoba mengadu nasib di Jakarta
karena kota ini menjanjikan segala macam fasilitas bagi masyarakatnya. Di
Jakarta sendiri dapat ditemui masyarakat dengan bermacam-macam latar
belakang, seperti agama, suku, pekerjaan, pendidikan, dll.
Pembangunan yang pesat ini tentunya memberikan kemudahan dan
kesenangan bagi masyarakatnya. Namun, selain mengalami kemajuan dalam
pembangunan, ternyata kota Jakarta juga menyimpan banyak masalah yang masih
harus dibenahi. Persoalan pelik pertama yang dihadapai Jakarta adalah masalah
transportasi. Kemacetan sudah menjadi hal yang wajar di Jakarta, masyarakat
Jakarta pun sudah terbiasa dengan macet yang terjadi setiap harinya di jalanan
ibukota ditambah dengan sarana transportasi yang kurang memadai (Hadar,
2007). Kemiskinan dan pengangguran juga menjadi masalah yang terus dihadapi
oleh masyarakat Jakarta. Pada tahun 2007 jumlah pengangguran di Jakarta
mencapai 12,57 persen atau meningkat bila dibandingkan dengan level 10 tahun
yang lalu (http://www.antara.co.id/). Banyaknya tenaga kerja tidak seimbang
dengan jumlah lapangan pekerjaan yang tersedia. Hal ini menimbulkan banyaknya
masyarakat yang mengalami kemiskinan. Di balik semua masalah dan
pembangunan yang terjadi di Jakarta, tentunya akan mempengaruhi
masyarakatnya yang tinggal di Jakarta.
Dengan melihat penjelasan mengenai kota Jakarta, terlihat bahwa
masyarakat yang tinggal di Jakarta akan dihadapkan pada sebuah kehidupan yang
dilematis, yaitu antara pesatnya pembangunan yang terus terjadi dengan semakin
banyaknya masalah yang juga tetap menyertainya. Misalnya ada banyak pusat
Universitas Indonesia
6
perbelanjaan yang terdapat di Jakarta tetapi untuk mencapainya orang harus
melewati kemacetan lalu lintas yang selalu terjadi di jalan raya. Atau kemewahan
harta yang malah mengundang orang untuk melakukan tindakan kriminalitas.
Berdasarkan pada kenyataan tersebut munculah suatu pertanyaan yang menarik,
yaitu bagaimana kualitas hidup masyarakat yang tinggal di Jakarta sesuai dengan
dinamika perkembangan dan masalah yang dihadapi? Selanjutnya apakah
masyarakat yang tinggal di Jakarta ini tetap mampu merasa bahagia dan puas akan
kehidupannya seiring dengan perkembangan kota Jakarta serta persoalan yang
juga menyertainya?
Berdasarkan pemaparan diatas maka peneliti ingin melihat lebih dalam
mengenai gambaran kebahagian dan kepuasan hidup yang dimiliki oleh
masayarakat Jakarta. Lalu bagaimana hubungannya satu sama lain dan kaitannya
terhadap kualitas hidup secara menyeluruh pada masyarakat Jakarta dan
sekitarnya sebagai salah satu kota di negara berkembang yang tentunya memiliki
banyak sisi yang menarik. Pada penelitian ini responden yang akan digunakan
adalah masyarakat tingkat menengah kota Jakarta karena dianggap telah dapat
memenuhi kebutuhan dasar mereka sehingga dapat lebih menggambarkan
kebahagiaan yang dimiliki terlepas dari masalah pemenuhan kebutuhan (Izawa,
2005). Selain masyarakat yang tinggal di Jakarta, peneliti juga mengambil sampel
pada masayarakat yang tinggal di sekitar Jakarta yang sebenarnya
menggantungkan perekonomiannya di Jakarta tetapi karena terbatasnya lahan
perumahan membuat mereka tinggal di daerah sekitar Jakarta, seperti Bekasi,
Depok, Bogor, dan Tangerang.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang diajukan pada penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Bagaimana gambaran kebahagiaan, kepuasan hidup dan kualitas hidup
masyarakat kelas menengah Jabodetabek?
2. Bagaimana hubungan antara kebahagiaan, kepuasan hidup dan kualitas
hidup pada masyarakat kelas menengah Jabodetabek?
Universitas Indonesia
7
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran nilai
kebahagiaan, kepuasan hidup dan kualitas hidup serta hubungannya satu sama lain
pada masyarakat kelas menengah kota Jakarta dan sekitarnya.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah untuk memberikan pengetahuan baru
yang diharapkan dapat menjelaskan lebih dalam mengenai hubungan antara
kebahagiaan, kepuasan hidup dan kualitas hidup. Penelitian ini juga dapat
memperkaya penelitian-penelitian sebelumnya yang juga membahas aliran
psikologi positif yang berkembang pesat akhir-akhir ini. Selanjutnya hasil
penelitian ini dapat digunakan sebagai salah satu informasi untuk penelitian
selanjutnya mengenai kualitas hidup. Secara praktis diharapkan hasil yang
diperoleh dapat digunakan sebagai masukan bagi pemerintah Jabodetabek dalam
membuat keputusan menyangkut kesejahteraan masyarakatnya.
1.5. Sitematika Penulisan
Laporan penelitian ini terdiri dari enam bagian. Pada bagian pertama
merupakan pendahuluan dan sistematika selanjutnya adalah sebagai berikut:
Bab II: Bab II mengulas dasar-dasar teori yang digunakan untuk mendukung
penelitian yang akan dilakukan, yaitu teori mengenai kebahagiaan,
kepuasan hidup dan kualitas hidup yang merupakan variabel dalam
penelitian ini.
Bab III: Bab III menguraikan mengenai permasalahan, hipotesis, dan variabel
penelitian, baik secara konseptual maupun operasional.
Bab IV: Bab IV memberikan penjelasan mengenai metode penelitian yang
digunakan, yang terdiri dari tipe dan desain penelitian, partisipan
penelitian, teknik pengambilan sampel, instrumen penelitian, pengujian
instrumen penelitian, dan prosedur pelaksanaan penelitian.
Bab V: Bab V merupakan bagian hasil dan analisis hasil dari data penelitian.
Pada bagian ini dijelaskan mengenai gambaran umum kebahagiaan,
kepuasan hidup dan kualitas hidup pada masyarakat kelas menengah
Universitas Indonesia
8
Jabodetabek, serta hubungan menyeluruh antara ketiganya. Selain itu
juga disertakan hasil tambahan yang didapatkan dari penelitian ini.
Bab VI: Bab VI berisi kesimpulan yang menjawab permasalahan penelitian,
diskusi yang memuat perbandingan dengan temuan-temuan sebelumnya
serta keterbatasan penelitian, saran metodologis untuk mengembangkan
penelitian, dan saran praktis yang dapat dilakukan berdasarkan hasil
penelitian.
Universitas Indonesia
9
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Pada bagian ini akan dijelaskan tinjauan pustaka yang digunakan dan
sebagai acuan teoritis dalam penelitian ini. Terdapat tiga tinjauan utama, yaitu
mengenai kebahagiaan, kepuasan hidup, dan kualitas hidup. Penjelasan ini
meliputi definisi, faktor-faktor yang mempengaruhi serta bagaimana cara
pengukurannya. Kemudian juga dijelaskan mengenai gambaran masyarakat
Jebodetabek.
2.1 Kebahagiaan
2.1.1 Definisi kebahagiaan
Istilah happiness atau kebahagiaan seringkali dikaitkan dengan aliran baru
di bidang psikologi, yaitu psikologi positif yang lebih menekankan pada aspek
positif karakteristik yang dimiliki manusia. Hingga saat ini terdapat banyak
pengertian mengenai kebahagiaan. Diener, Scollon dan Lucas (2003)
menyebutkan bahwa kebahagiaan tidaklah bisa didefinisikan dalam satu bentuk
cara saja. Kebahagiaan bisa berarti kesenangan, kepuasan hidup, emosi positif,
kebermaknaan hidup atau rasa suka. Beberapa pengertian kebahagiaan adalah
sebagai berikut:
Galati, Manzano & Sotgiu (2006) mengartikan kebahagiaan adalah sebagai
sebuah penilaian menyeluruh tentang kehidupan secara lengkap, yang
meliputi aspek kognitif dan afektif.
Veenhoven (2007) mendefinisikan kebahagiaan sebagai apresiasi
keseluruhan tentang kehidupan seseorang sebagai suatu kesatuan.
Kedua pengertian tersebut mendefinisikan kebahagiaan sebagai penilaian subjektif
secara keseluruhan terhadap kehidupan masing-masing individu yang meliputi
aspek kognitif dan afektif. Karena kebahagiaan sangatlah subjektif, maka para
para peneliti memilih untuk lebih menggunakan istilah subjective well being
(SWB) karena SWB lebih menekankan pada penilaian individu sendiri terhadap
hidupnya dan bukan merupakan penilaian ahli. Kebahagiaan kadangkala
digunakan sebagai sinonim dari SWB (Diener, Scollon dan Lucas, 2003). Carr
Universitas Indonesia
10
(2004) bahkan memberi definisi yang sama antara kebahagiaan dan SWB, yakni
sebuah keadaan psikologis positif yang dikarakteristikan dengan tingginya tingkat
kepuasan terhadap hidup, tingginya tingkat afek positif, dan rendahnya tingkat
afek negatif. Menurut Diener, Scollon dan Lucas (2003) SWB itu sendiri memiliki
beberapa komponen, yaitu afek positif, afek negatif, kepuasan hidup dan domain
kepuasan.
Berdasarkan beberapa definisi diatas maka peneliti menganggap bahwa
kebahagiaan dianggap sinonim dari SWB mengacu pada Diener, Scollon dan
Lucas (2003) serta definisi yang digunakan adalah penilaian individu terhadap
kehidupannya sendiri yang meliputi afek positif, rendahnya afek negatif, kepuasan
hidup secara umum dan domain kepuasan. Berikut ini akan dijelaskan lebih lanjut
mengenai komponen-komponen Subjective Well Being.
2.1.1.1 Komponen Subjective Well Being
Subjective well being (SWB) menggambarkan evaluasi yang menyeluruh
mengenai kehidupan seseorang, namun secara lebih dalam dan tepat, SWB terdiri
atas beberapa komponen, yaitu afek positif, afek negatif, kepuasan dan domain
kepuasan yang cukup berkorelasi satu sama lain dan secara konseptual
berhubungan (Diener, Scollon dan Lucas, 2003). Lebih jauh lagi penjelasan
mengenai komponen-komponen tersebut adalah sebagai berikut:
1. Afek positif dan negatif
Afek pleasant dan unpleasant merefleksikan pengalaman mendasar
atas peristiwa yang sedang terjadi di dalam kehidupan seseorang.
Maka banyak penelitian yang menyebutkan bahwa penilaian afektif
ini merupakan bentuk utama dari penilaian SWB. Penilaian afektif
dapat berbentuk emosi dan mood. Emosi merupakan reaksi singkat
yang berdasarkan pada peristiwa khusus atau stimulus eksternal,
sedangkan mood merupakan perasaan yang lebih panjang atau
menetap dan tidak didasarkan pada peristiwa khusus. Penilaian
afektif penting karena dengan mengetahui jenis afeksi yang dialami
oleh individu maka peneliti bisa memahami cara individu tersebut
Universitas Indonesia
11
mengevaluasi kondisi dan pertistiwa yang terjadi di dalam
hidupnya.
2. Kepuasan hidup
Kepuasan hidup adalah penilaian individu terhadap kualitas
kehidupannya secara global. Individu dapat menilai kondisi
kehidupannya, menentukan kepentingan dari kondisi itu dan
mengevaluasi kehidupannya pada skala yang berkisar dari tidak
puas hingga puas. Kepuasan hidup menrupakan komponen kognitif
dari SWB karena memerlukan proses kognitif, sedangkan afek
positif dan negatif merupakan komponen afektif.
3. Domain kepuasan
Domain kepuasan merefleksikan eveluasi seseorang mengenai
aspek khusus dalam hidupnya. Domain kepuasan ini penting
karena dengan mengukur kepentingan domain dari kehidupan
seseorang, maka kita dapat mengkonstruk kembali penilaian
kepuasan hidupnya secara global. Domain kepuasan ini dapat
memberikan informasi mengenai bagaimana seseorang menyusun
penilaian globalnya mengenai kebahagiaan dan juga memberikan
informasi yang detil tentang aspek khusus kehidupan seseorang.
2.1.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi kebahagiaan
Diener (dalam Carr, 2004) menyebutkan bahwa untuk mengidentifikasi
faktor-faktor yang berkontribusi pada kebahagiaan bukanlah merupakan hal yang
mudah. Tetapi pada kebanyakan penelitian menyebutkan bahwa faktor
kepribadian dan demografis merupakan faktor utama yang menyebabkan dan
berhubungan dengan kebahgaiaan (Carr, 2004; Argyle, 1999). Berikut ini adalah
beberapa faktor yang mempengaruhi kebahagiaan seseorang (Argyle, 1999; Carr,
2004; Eddington & Shuman, 2005):
1. Kepribadian
Berdasarkan penelitian mengenai kebahagiaan menunjukkan
bahwa orang yang bahagia dan tidak bahagia memiliki profil
kepribadian yang berbeda (Diener dkk dalam Carr, 2004).
Universitas Indonesia
12
Hubungan antara trait kepribadian dan kebahagiaan tidak bersifat
universal pada semua budaya. Pada budaya barat yang
individualistik, orang yang bahagia adalah yang memiliki trait
ekstraversi, optimis, harga diri yang tinggi dan locus of control
internal. Sedangkan orang yang tidak bahagia adalah orang yang
memiliki tingkat neurotik yang tinggi. Hal tersebut berbeda dengan
orang-orang di budaya timur yang menganut budaya kolektivistik
dimana faktor-faktor tersebut tidak berhubungan dengan
kebahagiaan. Jadi nilai budaya menentukan trait kepribadian yang
mempengaruhi kebahagiaan (Carr, 2004). Menurut Eddington &
Shuman (2005) kepribadian menunjukkan peran yang lebih
signifikan dibandingkan dengan peristiwa hidup spesifik lainnya
dalam menentukan SWB.
2. Variabel demografis
Faktor lain yang juga mempengaruhi kebahagiaan adalah variabel
demografis dan lingkungan (Eddington & Shuman, 2005). Faktor-
faktor demografis itu adalah:
a. Jenis Kelamin
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa perbedaan jenis
kelamin merupakan faktor yang sangat kecil dalam
menentukan kebahagiaan dan kepuasan hidup seseorang
(Inglehart & Michalos dalam Eddington & Shuman, 2005).
b. Usia
Pada banyak penelitian dan survey menunjukkan bahwa
pengaruh usia terhadap kebahagiaan adalah kecil (Argyle,
1999).
c. Pendidikan
Hubungan antara pendidikan dan kebahagiaan adalah kecil
tetapi signifikan (Campbell, Cantril, Diener et al dalam
Eddington & Shuman, 2005). Namun hubungan antara
pendidikan dan kebahagiaan merupakan hasil dari korelasi
antara pendidikan dengan status pekerjaan dan pendapatan
Universitas Indonesia
13
(Campbell, Witter et al dalam Eddington & Shuman, 2005;
Argyle, 1999).
d. Pendapatan
Banyak penelitian yang menyebutkan bahwa pendapatan
berhubungan dengan kebahagiaan Diener et al (1999). Secara
umum, orang yang lebih kaya akan merasa lebih bahagia
dibandingkan dengan orang yang lebih miskin (Eddington &
Shuman, 2005).
e. Perkawinan
Orang yang menikah memiliki kebahagiaan lebih tinggi
dibandingkan dengan orang yang tidak pernah menikah,
bercerai, berpisah, atau janda (Eddington & Shuman, 2005).
Pada beberapa negara, pasangan yang hidup bersama
(kohabitasi) secara signifikan lebih bahagia dibandingkan
dengan orang yang tinggal seorang diri (Kurdek, Mastekaasa
dalam Eddington & Shuman, 2005). Perkawinan sering
ditemukan menjadi salah satu fakrot terkuat yang berkorelasi
dengan kebahagiaan (Glenn & Weaver dalam Argyle, 1999),
f. Pekerjaan
Orang yang bekerja akan lebih bahagia dibandingkan dengan
orang yang tidak bekerja (Argyle, 1999; Eddington & Shuman,
2005). Orang yang tidak bekerja mempunyai tingkat stress
yang lebih tinggi, kepuasan hidup yang lebih rendah dan
kemungkinan bunuh diri yang lebih tinggi dibandinkan dengan
orang yang bekerja (Eddington & Shuman, 2005).
g. Kesehatan
Hubungan yang kuat antara kesehatan dan kebahagiaan muncul
pada pengukuran kesehatan melalui self-report, tidak pada
penilaian secara objektif oleh ahli. Maka dapat disimpulkan
bahwa persepsi akan kesehatan menjadi lebih penting daripada
kesehatan secara objektif dalam mempengaruhi kebahagiaan
(Eddington & Shuman, 2005).
Universitas Indonesia
14
h. Agama
Banyak survey yang menunjukkan bahwa kebahagiaan
berkorelasi secara signifikan dengan agama, hubungan
seseorang dengan Tuhan, pengalaman doa dan partisipasi di
dalam aspek keagamaan (Eddington & Shuman, 2005).
i. Waktu luang
Veenhoven et al (dalam Eddington & Shuman, 2005; Argyle,
1999) menunjukan bahwa kebahagiaan berkorelasi cukup
tinggi dengan kepuasan waktu luang dan tingkatan aktivitas di
waktu luang. Kegiatan yang dilakukan pada waktu luang dapat
meningkatkan kebahagiaan, seperti aktivitas menyenangkan
bersama teman, kegiatan olah raga, dan liburan. Sedangkan
kegiatan menonton televisi di waktu luang terutama tontonan
yang berat kurang dapat meningkatkan bahagia (Eddington &
Shuman, 2005; Argyle, 1999).
j. Etnis
Etnis minoritas di suatu negara memiliki kebahagiaan yang
lebih kecil karena berdasarkan pada rendahnya pendapatan,
pendidikan, dan status pekerjaan yang diperoleh (Argyle,
1999).
k. Peristiwa kehidupan
Intensitas peristiwa positif yang terjadi tidak banyak
mempengaruhi kebahagiaan sebagian karena jarang terjadi
(Argyle, 1999 Eddington & Shuman, 2005).
l. Kompetensi
Penelitian menunjukkan bahwa korelasi antara kompetensi
inteligensi dan kebahagiaan sangat kecil tetapi positif.
Kebahagiaan juga berhubungan dengan kerja sama,
kepemimpinan dan kemampuan heteroseksual (Argyle, 1999
Eddington & Shuman, 2005)
Universitas Indonesia
15
2.1.3 Cara mengukur kebahagiaan
Pada penelitian tentang kebahagiaan telah digunakan berbagai macam
teknik. Di banyak survey digunakan satu pertanyaan dengan pilihan jawaban
menggnakna skala untuk mengukur kebahagiaan (Carr, 2004). Secara umum para
peneliti lebih mengandalkan self-reports yang terkadang dilengkapi dengan data
informasi, wawancara oleh petugas klinis yang terlatih, observasi ekspresi
nonverbal dan pengukuran psikologis lainnya (Lepper &Lyubomirsky, 1997).
Pada penelitian saat ini kebahagiaan atau SWB mengukur baik satu atau dua
komponen (afektif atau kognitif) merupakan item tunggal penilaian global. Maka
responden diminta untuk memberikan tingkatan dari afek positif dan negatif pada
periode waktu tertentu atau memberikan penilaian atas kualitas hidup secara
keseluruhan (Lepper &Lyubomirsky, 1997).
Penelitian akhir-akhir ini lebih banyak menggunakan skala multi item
yang memiliki nilai validitas dan reliabilitas baik. Alat ukur yang sering
digunakan adalah 29-item Revised Axford Happiness Scale yang secara luas
digunakan di Inggris, 5 item Satisfaction With Life Scale yang banyak digunakan
di Amerika, dan 18 item well-being scale pada Personality Questionnaire. Selain
itu juga sering digunakan skala afek positif dari Positive and Negative Affect
Scales dan segi perasaan positif dari World Health Organisation Quality of Life
Scale (Carr, 2004).
2.2 Kepuasan Hidup
2.2.1 Definisi Kepuasan Hidup
Kepuasan hidup merupakan sebuah penilaian subjektif atas kualitas
kehidupan seseorang (Sousa & Luybomirsky, 2001). Tak jauh beda, menurut
Veenhoven (dalam Dockery, 1987) definisi kepuasan hidup (life satisfaction)
adalah derajat dimana penilaian individual terhadap kualitas keseluruhan atas
hidupnya. Kepuasan sendiri menyatakan sebuah kesenangan atau penerimaan
seseorang atas peristiwa di dalam hidupnya atau pemenuhan keinginan dan
kebutuhan seseorang di dalam kehidupannya secara menyeluruh (Sousa &
Lyubomirsky, 2001). Karena kepuasan hidup merupakan evaluasi, maka penilaian
kepuasan hidup mempunyai komponen kognitif yang besar.
Universitas Indonesia
16
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, kebahagiaan atau SWB
mempunyai dua komponen, yaitu afektif dan kognitif. (Diener et al dalam Sousa
& Lybormirsky, 2001). Komponen afektif meliputi seberapa sering individu
mengalami afek positif dan negatif sedangkan komponen kognitif meliputi
kepuasan hidup. Komponen afektif meliputi seberapa sering individu mengalami
afek positif dan negatif. Sedangkan kepuasan hidup dianggap sebagai komponen
kognitif. Lebih jauh lagi bila dibandingkan dengan domain kepuasan, kepuasan
hidup lebih luas karena meliputi penilaian individu secara lebih komprehensif atas
hidupnya, dimana domain kepuasan hanya meliputi daerah khusus dalam
kehidupan seseorang, misalnya pekerjaan, perkawinan, dan pendapatan.
Berdasarkan pemaparan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa yang
dimaksud dengan kepuasan hidup adalah penilaian kognitif seseorang yang
bersifat subjektif atas hidupnya secara menyeluruh dan merupakan aspek kognitif
dari kebahagiaan.
2.2.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan hidup
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa kepuasan hidup tidak berubah
pada komponen trait kepribadian dan trait lingkungan (Sousa & Lybormirsky,
2001). Kepuasan hidup akan tetap sepanjang waktu dan konsisten pada beberapa
situasi. Namun pada penelitian terakhir menyebutkan bahwa kepribadian
mempunyai peran yang signifikan pada wanita dalam menilai kepuasan hidupnya.
Penelitian lainnya menyebutkan bahwa variabel kepribadian seperti resiliensi,
asertivitas, empati, locus of control internal, ekstraversi, dan keterbukaan terhadap
pengalaman berhubungan dengan kepuasan hidup. Bagaimanapun juga, faktor
lingkungan dapat pula mempengaruhi penilaian kepuasan hidup pada jangka
waktu yang singkat. Jadi dapat disimpulkan bahwa baik kepribadian dan
lingkungan dapat mempengaruhi kepuasan hidup (Sousa & Lybormirsky, 2001).
Berikut ini merupakan penjelasan mengenai variabel demografis yang
mempengaruhi kepuasan hidup menurut Sousa & Lybormirsky (2001):
1. Budaya
Kepuasan tampak sebagai term yang universal dan lintas budaya
karena para peneliti dapat dengan mudah mengalihbahasakan ke
Universitas Indonesia
17
dalam berbagai macam bahasa. Kepuasan juga bukan merupakan
konsep barat tetapi juga sering digunakan di budaya timur. Negara
dengan budaya individualisme memiliki kepuasan yang lebih besar
dibandingkan dengan budaya kolektivisme. Negara industri juga
memiliki kepuasan keseluruhan yang sangat tinggai dibandingkan
dengan negara miskin atau negara dunia ketiga.
2. Gender
Secara teori wanita menunjukkan rata-rata depresi yang lebih
tinggi dibanding pria, tapi secara bersamaan juga memiliki tingkat
kebahagiaan yang lebih tinggi. Penelitian yang dilakukan oleh
Diener & Fujita (dalam Sousa & Lybormirsky, 2001) menunjukkan
bahwa pria dan wanita memiliki kepuasan hidup yang hampir sama
dan sebagian besar berdasarkan penilaian kognitif. Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa pria dan wanita memiliki kepuasan
hidup yang hampir sama berdasarkan penilaian kognitif. Tingkat
kepuasan pria dan wanita diperoleh dari sumber kepuasan hidup
yang berbeda.
3. Usia
Kepuasan hidup tidak menurun sejalannya usia dan secara umum
tetap sepanjang kehidupan. Penelitian yang dilakukan oleh Diener
& Suh (dalam Sousa & Lybormirsky, 2001) terhadap 6.000
partisipan pada 40 negara menunjukkan bahwa kepuasan hidup
secara umum stabil sepanjang hidup dan hanya terjadi peningkatan
tipis antara usia 20 dan 80 tahun.Penelitian menunjukkan hanya
terjadi peningkatan tipis antara usia 20 hingga 80 tahun.
4. Hubungan sosial
Tingkat dukungan sosial yang tinggi berhubungan kuta dengan
tingkat kepuasan hidup yang tinggi pula. Pada negara barat,
perkawinan lebih mempengaruhi kepuasan hidup dibandingkan
hubungan pertemanan dan keluarga. Pasangan kohabitasi yang
tidak menikah, khususnya yang berasal dari budaya kolektivisme,
mempunyai kepuasan yang lebih sedikit dibandingkan dengan
Universitas Indonesia
18
pasangan menikah. Mempunyai anak tidak dapat meningkatkan
kepuasan hidup seseorang. Namun hubungan orang tua dan anak
berhubungan tinggi dengan tingkat kepuasan hidup secara
keseluruhan. Kepuasan hidup akan menurun dengan meningkatnya
jumlah anak yang dimiliki.
5. Pendapatan
Secara umum individu yang lebih makmur memiliki kepuasan
hidup yang lebih besar dibandingkan dengan individu yang miskin.
6. Pekerjaan
Orang yang tidak bekerja secara signifikan tingkat kepuasannya
berkurang dibandingkan dengan orang yang bekerja. Hubungan
antara pekerjaan dan kepuasan hidup lebih besar pada pria
dibanding wanita.
7. Pendidikan
Korelasi antara pendidikan dan kepuasan hidup adalah kecil dan
korelasi tersebut akan menghilang bila secara statistik pendapatan
dan pekerjaan sudah terkontrol. Hubungan ini lebih kepada bahwa
tingkat pendidikan yang tinggi akan berhubungan dengan
pendapatan yang lebih tinggi pula.
2.2.3 Cara mengukur kepuasan hidup
Para peneliti memilih untuk mengukur kepuasan hidup melalui self-report.
Pengukuran melalui self-report ini meminta responden untuk mengindikasikan
tingkat kepuasan kehidupan mereka dengan memilih simbol (angka atau ekspresi
wajah) dalam sebuah skala biasanya berkisar 1-7. Peneliti mengasumsikan
kepuasan hidup sebagai sebuah penilaian, maka metode self-report ini dipercaya
sebagai metode yang paling akurat untuk mengukur kepuasan hidup tersebut
(Sousa & Lybormirsky, 2001).
Banyak self- report yang mengukur kepuasan hidup dan dapat berbentuk
single-item atau multi-item. Namun secara keseluruhan para peneliti setuju bahwa
Universitas Indonesia
19
skala dengan multi-item lebih baik dibandingkan single-item dalam mengukur
kepuasan hidup (Sousa & Lybormirsky, 2001). Sebagai tambahan, menurut
Diener (dalam Sousa & Lybormirsky, 2001), skala dengan multi-item secara
keseluruhan memiliki reabilitas dan validitas lebih besar dibandingkan dengan
skala single-item. Skala yang paling banyak digunakan saat ini adalah Satisfaction
With Life Scale (SWLS). Skala ini disusun oleh Ed Diener dkk yang berisi 5 item
untuk mengukur kepuasan hidup secara global karena dalam skala ini hanya
mengukur kepuasan hidup yang merupakan komponen kognitif dari kebahagiaan
tanpa menyebut pada afeksi (Sousa & Lybormirsky, 2001).
Sousa & Lybormirsky (2001) menjelaskan bahwa secara individual
seseorang akan menilai kepuasan hidupnya berdasarkan pada apa yang diinginkan
dan apa yang telah dimiliki atau secara konseptual berdasarkan realitas dan ideal.
Terdapat dua prosedur mengenai bagaimana seseorang menentukan kepuasan
hidupnya, yaitu melalui prosedur ‘top-down’ atau ‘bottom-up’. Pada prosedur
‘top-down’ seseorang akan merefleksikan nilai kehidupannya sebagai suatu
kesatuan dengan menggunakan intuisi untuk mengetahui seberapa bahagia dan
puas secara keseluruhan, kemudian menyimpulkan bahwa seharusnya ia memiliki
hidup yang baik atau tidak. Misalnya seorang yang religious akan menilai
hidupnya secara umum berdasarkan nilai-nilai religi yang dianutnya, kemudian ia
akan menyimpulkan sendiri kehidupannya apakah ia sudah menjadi orang baik atu
belum. Sedangkan pada prosedur ‘bottom-up’ seseorang akan berpikir terlebih
dahulu mengenai beberapa domain dalam hidupnya yang kemudian dapat menilai
kepuasan hidupnya berdasarkan kepuasan rata-rata yang diperoleh pada tiap
domainnya. Misalnya seorang ibu rumah tangga akan menilai terlebih dahulu
beberapa domain dalam hidupnya seperti pernikahan, anak-anak, pekerjaan, dan
pertemanan. Ia akan menilai terlebih dahulu masing-masing domain dan
kemudian menentukan kepuasan hidupnya berdasarkan pada rata-rata nilai
kepuasan yang diperolehnya dari tiap domain.
2.3 Kualitas hidup
2.3.1 Definisi kualitas hidup
Universitas Indonesia
20
Istilah kualitas hidup mempunyai banyak arti dan salah satunya mengacu
pada keadaan material, seperti kualitas hidup yang baik ditunjukkan dengan
baiknya kesehatan fisik, materi, keluarga dan teman-teman (O’Connor, 1993).
Goodinson & Singleton (dalam O’Connor, 1993) menyatakan definisi kualitas
hidup sebagai derajat tingkat kepuasan atas penerimaan kondisi kehidupan saat
ini. Sedangkan Ontario Social Development Council (dalam Wardhani, 2006)
mendefinisikan kualitas hidup sebagai respons personal mengenai perbedaan yang
dirasakan antara kenyataan dan kegiatan yang diinginkan. Hal ini didukung pula
oleh Bergner (dalam O’Connor, 1993) yang menyatakan bahwa kualitas hidup
dapat meningkat apabila jarak antara tujuan yang telah dicapai dengan tujuan yang
ingin dicapai makin berkurang. Secara umum definisi kualitas hidup yang
digunakan adalah penilaian subjektif seseorang akan kebahagiaanya yang
diperoleh melalui pengalaman hidup secara keseluruhan (Donovan dkk dalam
O’Connor, 1993). Carr & Higginson (2001) mengatakan bahwa kualitas hidup
ditentukan oleh beberapa hal, yaitu:
seberapa jauh kesesuaian antara harapan dan ambisi dilihat dari
pengalaman
persepsi individu mengenai posisi mereka dalam hidup dilihat dari konteks
budaya dan sistem nilai dimana mereka tinggal dan hubungannya dengna
tujuan, harapan, standard, dan hal-hal lain yang menjadi perhatian individu
tersebut.
Penilaian mengenai keadaan seseorang bila dibandingkan dengan kondisi
ideal tertentu
Hal-hal yang dianggap penting dalam kehidupan seseorang
Berdasarkan penjelasan diatas maka dapat disimpulkan yang dimaksud dengan
kualitas hidup adalah penilaian subjektif seseorang atas apa yang telah terjadi
dengan apa yang diinginkan terjadi di dalam hidupnya yang diperoleh melalui
pengalaman-pengalaman.
2.3.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas hidup
Goodinson dan Singleton (dalam O’Connor, 1993) mengatakan ada
berbagai aspek yang dapat mempengaruhi kualitas hidup yaitu keadaan
Universitas Indonesia
21
lingkungan fisik, lingkungan sosial, dan lingkungan personal individu. Kemudian
Zhan (dalam Vallerand dkk, 1998) menjelaskan bahwa selain faktor tersebut,
ternyata latar belakang kesehatan dan faktor budaya turut mempengaruhi kualitas
hidup. O’Connor (1993) menyebutkan bahwa beberapa faktor eksternal seperti
pendapatan, kekuatan untuk bertahan dan kesehatan dapat mempengaruhi kualitas
hidup. Lebih lanjut lagi, O’connor juga menyebutkan bahwa faktor-faktor yang
muncul dan dapaat mempengaruhi kualitas tersebut sebaiiaknya diidentifikasi
dengan kondisi fisik saja.
2.3.3 Cara mengukur kualitas hidup
Kualitas hidup sulitsah untuk dapat diukur karena bersifat personal dan
subjektif., Pperbedaan persepsi atas pemuasan dan perbedaan individual
mempengaruhi bagaimana mereka menilai tingkat kesejahteraannya pada periode
waktu tertentu (Benbow, 2008). Untuk mengukur kualitas hidup masyarakat suatu
negara digunakan beberapa indikator seperti yang diutarakan oleh Organization of
Economic and Culture Development (OECD), yaitu pendapatan, perumahan,
lingkungan, stabilitas sosial, kesehatan, pendidikan dan kesempatan kerja. Tiap
pemerintahan negara seperti negara komunis dan nonkomunis memiliki standar
kualitas hidup yang berbeda dan sesuai dengan perkembangan jaman
perkembangan indikator mengarah pada indikator non fisik, misalnya
kebahagiaan, kenyamanan, kepuasan, dll (Faturochman, 1990).
Pengukuran lain terhadap kualitas hidup melihat persepsi subjektif
individu terhadap kehidupannya. Pada kuesioner yang tradisional sudah
melibatkan sistem nilai eksternal yang menjadi bagian dari kuesioner yang telah
terstandardisasi namun semua instruments dalam kuesioner didasarkan pada
respon rata-rata sampel dan tidak berdasar pandangan subjektif tiap individu
(Browne dkk, 1997). Hickey dkk (1996) juga menambahkan mungkin pengukuran
melalui kuesioner ini dapat mengukur secara reliabel, namun tidak relevan dengan
situasi kehidupan secara individual. Oleh karena itu dikembangkan The Schedule
for the Evaluation of Individual Quality of Life (SEIQoL) yang dapat
mengevaluasi kualitas hidup secara individual berdasarkan perspektif masing-
Universitas Indonesia
22
masing individu. Dalam SEIQoL, individu memilih sendiri aspek-aspek yang ia
pertimbangkan sebagai prioritas utama yang mempengaruhi kualitas hidupnya dan
menggunakan sistem nilai mereka sendiri untuk mendeskripsikan status
fungsional (kondisi/ posisinya saat ini dalam aspek kehidupan tersebut) dan
derajat kepentingan relatif (sejauh mana ia menganggap aspek kehidupan tersebut
penting baginya) dari masing-masing aspek-aspek yang ia pilih (Browne dkk,
1997). Dengan demikian, SEIQoL sebagai alat ukur memungkinkan pengukuran
kualitas hidup yang didasarkan pada perspektif individual itu sendiri (Hickey dkk,
1996) dan mampu memberi gambaran mengenai persepsi individu mengenai
kualitas hidup dan aspek-aspek kehidupan yang mempengaruhinya.
2.4 Gambaran Masyarakat Jabodetabek
DKI Jakarta adalah ibukota Indonesia dan dapat pula digolongkan menjadi
salah satu kota metropolitan. Kota metropolitan sendiri dapat didefinisikan
sebagai suatu kawasan yang merupakan aglomerasi dari beberapa kota yang
berdekatan dan terkait dalam satu sistem kegiatan sosial ekonomi, termasuk
prasarana dan sarana penunjangnya, dengan satu kota utama berperan sebagai inti
dan kota-kota lainnya sebagai satelit (http://www.pu.go.id). Berdasarkan definisi
tersebut dapat dikatakan Jakarta sebagai kota metropolitan dengan kota lainnya
sebagai satelit, yaitu Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi. Bila dilihat secara
demografis, kota metropolitan memiliki ciri berpenduduk besar dan mempunyai
kepadatan tinggi (dikatakan tinggi bila mencapai 100 jiwa/km2)
(http://www.pu.go.id). Jakarta bersama metropolitan Jabotabek dengan penduduk
sekitar 23 juta jiwa merupakan wilayah metropolitan terbesar di Indonesia dan
urutan keenam di dunia (http://www.kependudukancapil.go.id ) .
Sebagai inti dari kota metropolitan Jabodetabek, kota Jakarta memiliki
jumlah fasilitas yang banyak dan lengkap untuk memenuhi kebutuhan hidup
penduduknya. Selain itu, pembangunan pun berpusat di Jakarta dengan adanya
investasi dalam negeri sebesar 45% yang ditempatkan di Jakarta dan sekitarnya
(Bodetabek) (Hadar dalam http://www.sinarharapan.co. id/berita/0706
/23/opi01.html). Jakarta memiliki berbagai macam fasilitas, seperti fasilitas
Universitas Indonesia
23
pendidikan dari berbagai macam tingkatannya, badan usaha pemerintah maupun
swasta, kesehatan, tempat peribadatan, hingga tempat hiburan.
Lengkapnya dan banyaknya fasilitas yang dapat memenuhi segala
kebutuhan masyarakat, telah mendorong banyak orang dari luar Jakarta
berbondong-bondong mencari rezeki di ibu kota Indonesia ini. Hal ini membawa
dampak pula bagi daerah-daerah di sekitar kota Jakarta yang kemudian menjadi
daerah penunjang mengingat padatnya penduduk serta keterbatasan lahan yang
dimiliki Jakarta. Maka pada Instruksi Presiden Nomor 13 Tahun 1976
ditetapkanlah kota Bogor, Tangerang, Bekasi sebagai kota satelit Jakarta
(Yudhistira dalam http://megapolitan.kompas.com/read /xml/2009 /03/16
/06484682). Oleh karena itu maka kehidupan masyarakat yang tinggal di kota-
kota satelit tersebut pun tak jauh berbeda dengan masyarakat yang tinggal di
Jakarta.
Seiring dengan pembangunan yang terjadi dan jumlah penduduk serta
kepadatan Jakarta yang tinggi, seringkali menimbulkan beberapa dampak sosial
yang sangat sulit tertangani. Masalah sosial tersebut antara lain seperti masalah
pengangguran, kemiskinan dan kriminalitas. Berdasarkan data Badan Pusat
Statistik (BPS) Jakarta (http://www. datastatistik-indonesia.com), angka
pengangguran dan penduduk miskin di Jakarta setiap tahunnya mengalami
peningkatan. Pada tahun 2008, jumlah penduduk Jakarta yang tidak memiliki
pekerjaan (pengangguran) tercatat sejumlah 580.510 orang. Sedangkan angka
penduduk miskin di Jakarta pada tahun 2007 mencapai 4,48% dari total penduduk
Jakarta. Seperti angka pengangguran dan kemiskinan, angka kriminalitas juga
semakin meningkat setiap tahunnya. Berdasarkan data pada Januari 2009, jumlah
tindakan kriminal mengalami peningkatan sebesar 15,7% dari tahun sebelumnya.
Masalah lain yang juga dialami oleh penduduk Jakarta adalah masalah
transportasi yang kian meningkat jumlahnya hingga menimbulkan kemacetan,
masalah ketersediaan air bersih, masalah sampah dan pencemaran udara (Hadar
dalam http://www.sinarharapan.co.id/berita /0706/23/opi01.html).
Masalah yang sama juga dihadapi oleh kota-kota penunjang Jakarta seperti
Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi. Kota Depok yang mengalami
perkembangan pesat dengan dipindahnya kegiatan akademis Universitas
Universitas Indonesia
24
Indonesia pada tahun 1987 memiliki masalah yang berkaitan dengan lahan hijau,
sampah, air bersih, transportasi dan area pemukiman (http://www2.kompas.com/
kompas-cetak/0311/19/otonomi/694818.htm). Begitu pula yang terjadi dengan
kota lainnya, masalah yang dihadapi antara lain mengenai pengangguran,
kemiskinan, kriminalitas, transportasi, pendidikan, dan kesehatan
(http://megapolitan.kompas.com/read/xml/2009/03/16/06484682/).
2.5 Hubungan antara kebahagiaan, kepuasan hidup, dan kualitas hidup
Kebahagiaan mempunyai arti yang abstrak bagi masing-masing individu
dan ternyata hingga saat ini masih terdapat berbagai macam pandangan mengenai
kebahagiaan. Secara umum kebahagiaan merupakan penilaian menyeluruh
seseorang atas kehidupannya yang meliputi aspek afektif dan kognitif (Galati,
Manzano & Sotgiu, 2006). Diener, Scollon, dan Lucas (2003) menyebut
kebahagiaan identik dengan subjective well-being (SWB) dan lebih memilih untuk
memakai istilah SWB karena lebih menekankan pada penilaian individu sendiri
dan bukanlah hasil dari penilaian ahli. Menurut Diener, Scollon, dan Lucas (2003)
SWB itu sendiri terdiri dari beberapa komponen penting, yaitu adanya afek
positif, ketiadaannya afek negatif, kepuasan hidup dan domain kepuasan.
Keempat komponen tersbut dapat digolongkan menjadi aspek afektif dan kognitif.
Komponen afektif menyatakan seberapa sering individu merasakan afeksi positif
dan negatif, sedangkan komponen kognitif merupakan penilaian individu atas
hidupnya secara menyeluruh atau yang disebut sebagai kepuasan hidup. Bila
dilihat dari pemaparan diatas maka terlihat bahwa kepuasan hidup adalah bagian
dari kebahagiaan (SWB) yang merupakan komponen kognitif.
Namun berdasarkan penelitain yang dilakukan oleh Gundelach & Kreiner,
(2004) menyebutkan bahwa kepuasan dan kebahagiaan merupakan dua variabel
yang berbeda. Dengan kata lain, kebahagiaan dan kepuasan tidak bisa
diberlakukan secara identik. Hal ini terjadi karena kepuasan merupakan
pengalaman kognitif atau penilaian sedangkan kebahagiaan mengacu pada
pengalaman perasaan atau afeksi (Campbell dalam Gundelach & Kreiner, 2004).
Universitas Indonesia
25
Sedangkan untuk kualitas hidup sendiri sangat dipengaruhi oleh tingkat
kepuasan terhadap hidup karena kualitas hidup merupakan derajat tingkat
kepuasan atas penerimaan kondisi kehidupan saat ini (Goodinson & Singleton
dalam O’Connor, 1993). Lebih lanjut dikemukakan bahwa kualitas hidup dapat
meningkat apabila jarak antara tujuan yang telah dicapai dengan tujuan yang ingin
dicapai makin berkurang (Bergner dalam O’Connor, 1993). Dengan kata lain
bahwa seseorang akan mempunyai kualitas hidup yang lebih baik apabila ia
merasa puas dengan hidupnya dan kepuasan itu sendiri merupakan bagian dari
kebahagiaan yang merupakan komponen kognitif.
Selanjutnya bila dilihat dari faktor-faktor yang mempengaruhi ketiganya
ternyata juga mempunyai kesamaan. Seperti tipe kepribadian seseorang ternyata
dapat mempengaruhi tingkat kebahagiaan dan kepuasan hidupnya. Kepribadian
juga menentukan bagaimana orang tersebut memandang hidupnya dan menilai
hidupnya secara subjektif yang berkaitan dengan kebahagiaan, kepuasan dan
kualitas hidupnya secara menyeluruh. Kepribadian yang berbeda ternyata
memberikan dampak yang berbeda pula dalam menilai kehidupannya. Misalnya
pada orang yang berkepribadian ekstravert dilaporkan akan memiliki kebahagiaan
yang lebih tinggi (Carr, 2004). Selain memiliki kebahagiaan yang tinggi, ternyata
orang yang ekstravert memiliki tingkat kepuasan hidup yang tinggi pula (Sousa &
Lybormirsky, 2001). Hal ini menunjukkan bahwa dalam menilai kehidupannya,
faktor kepribadian juga turut mempengaruhi di mana pada orang ekstovert yang
lebih terbuka akan memandang peristiwa dalam hidupnya lebih positif.
Faktor lain yang juga turut mempengaruhi adalah faktor demografis,
seperti jenis kelamin, usia, pendidikan, pekerjaan, pendapatan, status perkawinan
dan kesehatan. Faktor demografis berperan penting dalam mempengaruhi tingkat
kebahagiaan dan kepuasan hidup. Sedangkan kondisi demografis juga menjadi
aspek kehidupan yang juga dapat mempengaruhi kualitas hidup seseorang dalam
hal pencapaiannya. Misalkan saja pendapatan, orang yang berpenghasilan tinggi
dilaporkan akan lebih merasa bahagia dan cenderung puas akan kehidupannya
serta akan menempatkan keuangan sebagai salah satu aspek yang penting di dalam
kehidupannya.
Universitas Indonesia
27
BAB 3
PERMASALAHAN, HIPOTESIS dan VARIABEL PENELITIAN
Bagian ini akan menjelaskan lebih lanjut mengenai permasalahan
penelitian kemudian hipotesis penelitian yang dibuat berdasarkan permasalahan
serta variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian.
3.1 Permasalahan Penelitian
Permasalahan merupakan sebuah kalimat atau pernyatanyaan yang
menanyakan hubungan yang terjadi antara dua variabel atu lebih (Kerlinger dan
Lee, 2000). Lebih lanjut juga dikatakan terdapat tiga kriteria dalam membuat
permasalahan yang baik, yakni permasalahan haruslah menunjukkan sebuah
hubungan antara dua atau lebih variabel, permasalahan harus dinyatakan secara
jelas dan tidak ambigu dalam bentuk kalimat tanya, serta memungkinkan diadakan
pengujian secara empiris. Permasalahan yang muncul dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana gambaran kebahagiaan masyarakat kelas menengah
Jabodetabek?
2. Bagaimana gambaran kepuasan hidup masyarakat kelas menengah
Jabodetabek?
3. Bagaimana gambaran kualitas hidup masyarakat kelas menengah
Jabodetabek?
4. Bagaimana hubungan antara kebahagiaan dan kepuasan hidup masyarakat
kelas menengah Jabodetabek?
5. Bagaimana hubungan antara kebahagiaan dan kualitas hidup masyarakat
kelas menengah Jabodetabek?
6. Bagaimana hubungan antara kualitas hidup dan kepuasan hidup
masyarakat kelas menengah Jabodetabek?
3.2 Hipotesis Penelitian
Sebuah hipotesis merupakan dugaan, asumsi, prasangka, pernyataan atau
gagasan mengenai sebuah fenomena, hubungan, atau situasi kenyataan
berdasarkan pengetahuan yang dimiliki (Kumar, 1999). Kumar juga menyatakan
Universitas Indonesia
28
bahwa hipotesis membawa kejelasan dan membuat peneliti menjadi fokus pada
permasalahan penelitian karena dapat memberikan arahan yang khusus. Menurut
Seniati, Yulianto & Setiadi (2005) terdapat dua jenis hipotesis, yaitu hipotesis
ilmiah dan hipotesis statistik. Berikut ini merupakan penjabaran lebih lanjut
mengenai hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini.
3.2.1 Hipotesis Ilmiah
Berdasarkan permasalahan tersebut maka dapat dibuat beberapa
hipotesis ilmiah, yaitu:
H1: Terdapat korelasi antara kebahagiaan dan kepuasan hidup pada
masyarakat kelas menengah Jabodetabek
H2: Terdapat korelasi antara kebahagiaan dan kualitas hidup pada
masyarakat kelas menengah Jabodetabek
H3: Terdapat korelasi antara kualitas hidup dan kepuasan hidup pada
masyarakat kelas menengah Jabodetabek
3.2.2 Hipotesis Statistik
Hipotesis statistik merupakan pernyataan yang dapat diuji secara
statistik mengenai hubungan antara dua atau lebih variabel penelitian
(Seniati, Yulianto & Setiadi, 2005). Adapun hipotesis statistik memiliki dua
bentuk, yaitu hipotesis alternatif (Ha) yang menyatakan adanya hubungan
antar variabel dan hipotesis null (Ho) yang menyatakan tidak adanya
hubungan antar variabel. Berdasarkan pemaparan tersebut maka untuk
penelitian ini hipotesis yang digunakan adalah sebagai berikut.
1. Hipotesis alternative (Ha)
Ha1: Terdapat korelasi yang signifikan antara skor total Subjective
Happiness Scale dengan skor Satisfaction With Life Scale
Ha2: Terdapat korelasi yang signifikan antara skor total Subjective
Happiness Scale dengan skor Global SEIQoL-DW.
Ha3: Terdapat korelasi yang signifikan antara skor Global SEIQoL-DW
dengan skor Satisfaction With Life Scale
Universitas Indonesia
29
2. Hipotesis Null (Ho)
Ho1: Tidak terdapat korelasi yang signifikan antara skor total Subjective
Happiness Scale dengan skor Satisfaction With Life Scale.
Ho2: Tidak terdapat korelasi yang signifikan antara skor total Subjective
Happiness Scale dengan skor Global SEIQoL-DW.
Ho3: Tidak terdapat korelasi yang signifikan antara skor Global SEIQoL-
DW dengan skor Satisfaction With Life Scale.
3.3 Variabel Penelitian
Pada penelitian ini digunakan tiga variabel, yaitu kebahagiaan, kepuasan
hidap dan kualitas hidup. Berikut ini merupakan penjelasan masing-masing
variabel.
3.3.1 Variabel I: Kebahagiaan
Definisi konseptual dari kebahagiaan adalah penilaian menyeluruh tentang
kehidupan secara lengkap yang meliputi aspek kognitif dan afektif. Sedangkan
untuk definisi operasional dari kebahagiaan adalah skor total dari alat ukur
Subjective Happiness Scale yang sudah diadaptasi secara budaya. Hal ini
didapat dari mencari rata-rata dari masing-masing skor item yang memiliki
rentang 1-6. Skor total yang didapatkan pun memiliki rentang 1-6 Semakin
besar skor, menunjukkan kebahagiaan yang semakin besar pula (Lyubomirsky
dan Lepper, 1997).
3.3.2 Variabel II: Kepuasan Hidup
Definisi konseptual dari kepuasan hidup adalah sebuah kesenangan atau
penerimaan seseorang atas peristiwa di dalam hidupnya atau pemenuhan
keinginan dan kebutuhan seseorang di dalam kehidupannya secara menyeluruh.
Sedangkan definisi operasionalnya adalah skor total dari alat ukur Satisfaction
With Life Scale (SWLS) yang sudah diadaptasi secara budaya. Skor dari
masing-masing item memiliki rentang 1-6. Skor total didapatkannya dengan
menjumlahkan skor pada masing-masing item. Semakin besar skor
menunjukkan semakin besar pula kepuasan hidup yang dimilikinya.
Universitas Indonesia
30
3.3.3 Variabel III: Kualitas Hidup
Definisi konseptual kualitas hidup yang digunakan adalah
penilaian/evaluasi individu terhadap aspek spesifik kehidupannya yang
dianggap penting. Hal ini dilihat dengan cara melihat aspek-aspek apa yang
dianggap penting oleh individu dan penilaian mengenai kondisi individu pada
aspek-aspek tersebut. Sedangkan definisi operasionalnya adalah dengan cara
melihat lima aspek kehidupan yang dianggap penting oleh individu. Kemudian
individu tersebut diminta untuk menilai kondisi hidupnya dengan skala 0-100,
di mana angka 0 menunjukkan bahwa kondisi individu pada aspek tertentu
berada pada kemungkinan terburuk, sedangkan angka 100 menunjukkan bahwa
kondisi individu pada aspek tertentu berada pada kemungkin terbaik. Setelah
itu tingkat kepentingan diukur dengan melihat proporsi masing-masing aspek
dengan pie chart sehingga bila dijumlahkan seluruh tingkat kepentingan
masing-masing aspek adalah 100. Semakin besar skor menunjukkan semakin
tinggi pula tingkat kualitas hidup.
Universitas Indonesia
31
BAB 4
METODE PENELITIAN
Pada bab ini akan dijelaskan mengenai metode penelitian yang digunakan
meliputi responden penelitian, desain penelitian, alat ukur, kemudian prosedur
penelitian dan metode pengolahan data.
4.12. Desain Penelitian
Kumar (1999) membagi desain penelitian berdasarkan tiga perspektif yang
berbeda, yaitu number of contacts, reference of period, dan nature of
investigation. Berdasarkan number of contacts, penelitian ini tergolong sebagai
penelitian cross-sectional karena hanya dilakukan sekali pengambilan data.
Desain penelitian ini digunakan ketika ingin melihat gambaran mengenai suatu
fenomena di saat penelitian dilakukan. Sedangkan bila berdasarkan reference of
period, penelitian ini tergolong sebagai penelitian retrospective karena penelitian
ini ingin melihat fenomena yang terjadi masa lalu sehingga responden diminta
untuk mengingat siatuasi yang telah terjadi. Data yang digunakan pun merupakan
data yang tersedia hanya pada saat penelitian dilakukan. Berdasarkan nature of
investigation, penelitian ini tergolong sebagai penelitian non-experimental, karena
tidak adanya manipulasi perlakuan terhadap variabel yang digunakan untuk
melihat pengaruh dari suatu variabel (Kumar, 1999).
4.2.1 Responden Penelitian
4.21.1 Populasi penelitian
Populasi yang digunakan pada penelitian ini adalah masyarakat kelas
menengah yang tinggal di Jabodetabek pada rentang usia dewasa. Seperti yang
telah diutarakan pada bab sebelumnya bahwa kebahagiaan, kepuasan hidup dan
kualitas hidup seseorang tidaklah dipengaruhi oleh faktor usia (Argyle, 1999;
Carr, 2004; Eddington & Shuman, 2005). Oleh karena itu pada penelitian ini
kriteria dewasa diambil karena dianggap sudah melewati konflik identity versus
identity confusion sehingga dapat mengevaluasi diri secara lebih baik (Miller,
1993). Hal ini dipilih untuk memudahkan dalam pengisian kuesioner yang
Universitas Indonesia
32
berbentuk lapor diri (self report). Sedangkan kelas menengah dipilih karena pada
kelas ekonomi ini diharapkan telah memenuhi kebutuhan dasar physiological dan
safety pada teori hirarki kebutuhan Maslow. Ketika kebutuhan dasar tersebut
belum terpenuhi, maka kebahagiaan individu cenderung dipengaruhi oleh hal-hal
yang sifatnya materialistis, seperti uang untuk memenuhi kebutuhan sandang,
pangan dan papan (Izawa, 2005). Selanjutnya populasi yang digunakan juga
minimal berpendidikan SMU karena diharapkan sudah memiliki berbagai macam
pemahaman yang diperoleh selama sekolah yang dapat membantu pengerjaan
kuesioner yang digunakan.
4.12.2 Karakteristik Responden
Berdasarkan pemikiran yang telah dijabarkan pada sub bab sebelumnya,
maka karakteristik dari responden yang dapat mengikuti penelitian ini adalah
sebagai berikut:
a. Pengeluaran keluarga lebih dari tiga juta rupiah perbulannya
Pemilihan batasan ini berdasarkan pada kriteria kelas menengah dari AC
Nielsen (dalam Harinowo, 2008).
b. Berusia minimal 18 tahun
Karakteristik ini dipilih sesuai dengan batasan umur dewasa karena
dianggap telah melewati konflik identity versus identity confusion (Miller, 1993).
c. Pendidikan minimal SMU
d. Berdomisili di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi
4.12.3 Teknik Pengambilan Sampel
Sampling merupakan pengambilan porsi dari populasi sebagai perwakilan
dari populasi (Kerlinger dan Lee, 2000). Teknik pengambilan sampel yang
dilakukan termasuk dalam non-random/non-probability sampling di mana seluruh
individu di dalam populasi tidak memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi
sampel (Kerlinger dan Lee, 2000). Menurut Kumar (1999) teknik ini digunakan
bila jumlah di dalam populasi tidak diketahui atau tidak dapat diidentifikasi secara
individual. Jenis non-random/probability sampling yang dipakai adalah accidental
sampling, di mana pemilihan partisipan didasarkan pada ketersediaan dan
Universitas Indonesia
33
kemudahan dalam mengakses populasi partisipan penelitian (Kumar, 1999). Pada
penelitian ini digunakan metode household survey dengan cara mendatangi
rumah-rumah yang tersebar di wilayah Jabodetabek. Metode ini digunakan untuk
mempermudah pengambilan data pada wilayah yang besar karena mampu
memperoleh jumlah partisipan yang banyak dalam satu rumah.
4.12.4 Jumlah Partisipan
Kerlinger dan Lee (2000) mengatakan bahwa semakin besar jumlah
sampel yang digunakan, maka kesalahan (error) statistik yang terjadi akan
semakin kecil. Hal senada juga diutarakan oleh Kumar (1999), secara umum
semakin besar jumlah sampel semakin tepat estimasi yang diberikan. Tetapi
secara praktis, besarnya anggaran menentukan besarnya jumlah sampel. Pada
penelitian ini sudah ditentukan dari awal bahwa sampel akan diambil dari 270
rumah yang tersebar di Jabodetabek. Masing-masing wilayah akan diambil
sebanyak 30 rumah dan di tiap rumahnya diharapkan minimal terdapat satu orang
yang menjadi responden sehingga memenuhi batas minimal sampel sebanyak 30
orang. Jumlah tersebut telah memenuhi batasan minimum dari tiga puluh orang
sampel yang dapat mengakibatkan penyebaran data mendekati penyebaran
distribusi normal (Guilford dan Fructher, 1981).
4.3. Metode Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan kuesioner sebagai metode untuk
mengumpulkan data. Kuesioner adalah sejumlah pertanyaan tertulis yang harus
dijawab oleh subjek dengan menuliskan atau menandai jawaban yang dianggap
tepat (Kumar, 1999). Peneliti memilih kuesioner sebagai alat pengumpul data
karena biayanya relatif murah, tetapi dapat menjangkau subjek yang banyak
dalam waktu singkat. Kuesioner juga memungkinkan peneliti untuk menjaga
anonimitas subjek, karena tidak semua subjek merasa aman dan nyaman untuk
membagi informasi yang mereka tulis di kuesioner tersebut. Selain itu, kuesioner
dapat menghindari interviewer bias, seperti kualitas interviewer, kualitas
interaksi, dan lain-lain (Kumar, 1999).
Universitas Indonesia
34
Kumar (1999) menyatakan bahwa kuesioner juga memiliki beberapa
kelemahan, antara lain: kuesioner hanya dapat diaplikasikan pada populasi yang
dapat membaca dan menulis, respon pengembalian yang rendah terutama bila
diberikan secara individual, subjek tidak memiliki kesempatan untuk
mendapatkan klarifikasi dari pernyataan yang tidak dimengerti oleh mereka,
subjek memiliki cukup banyak waktu untuk berefleksi sebelum memberikan
jawaban, respon terhadap sebuah pertanyaan dapat dipengaruhi oleh respon
terhadap pertanyaan lain, subjek memiliki kemungkinan untuk berkonsultasi
dengan orang lain, jawaban yang diberikan oleh subjek tidak dapat ditambahkan
dengan informasi lain (Kumar, 1999).
4.4. Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan di dalam penelitian ini adalah tiga buah
kuesioner alat ukur yang mengukur kebahagiaan, kepuasan hidup dan kualitas
hidup. Di bawah ini merupakan penjelasan mengenai masing-masing kuesioner
alat ukur tersebut.
4.4.1 Alat Ukur Subjective Happiness Scale
Subjective Happiness Scale dikembangkan berdasarkan teori dari
subjective well-being, bahwa kebahagiaan dinilai berdasarkan kriteria-kriteria
subjektif yang dimiliki individu, sehingga dapat disimpulkan bahwa sumber-
sumber kebahagiaan bervariasi dari individu ke individu lain (Lyubomirsky dan
Lepper, 1997).
Pengembangan Subjective Happiness Scale ini dilakukan karena
ketidakpuasan pembuat inventory pada alat ukur yang mengukur subjective well-
being. Alat-alat ukur yang sudah ada, biasanya hanya melihat masing-masing
komponen dari subjective well-being. Sedangkan alat ukur yang melihatnya secara
global biasanya hanya terdiri dari satu item saja sehingga sulit untuk dilakukan
pengujian properti psikometri. Oleh karena itu, pembuat inventory ini merasa
diperlukan adanya alat ukur yang mengukur subjective well-being secara global
dan terdiri dari beberapa item sehingga dapat diuji properti psikometrinya
(Lyubomirsky dan Lepper, 1997). Salah satu item yang terdapat dalam alat ukur
Universitas Indonesia
35
tersebut adalah pernyataan ‘Secara umum, saya menganggap diri saya’ yang
kemudian responden diminta untuk menilai keadaan dirinya pada skala 1 (bukan
orang yang sangat bahagia) hingga 6 (orang yang sangat bahagia).
4.4.1.1 Metode Skoring
Alat ukur ini terdiri dari empat item dengan pilihan jawaban
politomi yang memiliki rentang 1-7. Namun setelah dilakukan adaptasi
budaya, maka yang digunakan pada penelitian ini adalah rentang 1-6.
Item-item nomor 1, 2, dan 3 merupakan pernyataan positif, sedangkan
pada nomor 4 merupakan pernyataan negatif. Maka untuk penyataan
positf, skala 6 menunjukkan kondisi yang bahagia sedangkan untuk
pernyataan negatif skala 6 menunjukkan kondisi tidak bahagia. Skor total
didapat dengan acara mencari rata-rata nilai dari jumlah skor masing-
masing item. Semakin besar skor, menunjukkan kebahagiaan yang
semakin besar pula (Lyubomirsky dan Lepper, 1997).
4.4.2 Alat Ukur Satisfaction With Life Scale
Alat ukur yang digunakan untuk mengukur kepuasan hidup responden
pada penelitian ini adalah Satisfaction With Life Scale (SWLS). SWLS
dikembangkan untuk mengukur kepuasan hidup seseorang secara menyeluruh,
yang merupakan komponen kognitif dari subjective well-being. Alat ukur ini tidak
mengukur kepuasan terhadap domain kehidupan, seperti kesehatan atau keuangan,
tetapi memberikan kesempatan pada responden untuk menggabungkan dan
mengukur domain-domain tersebut dalam cara apapun yang ingin mereka pilih
(Pavot & Diener, 1993).
Skala yang mengukur kepuasan hidup secara umum sebenarnya sudah
banyak dikembangkan sebelumnya. Sayangnya, mayoritas skala tersebut hanya
terdiri dari satu item, sehingga memiliki banyak kekurangan. Selain itu, skala-
skala yang ada tersebut dibuat dan hanya sesuai untuk populasi usia lanjut atau
manula saja (Diener, Emmons, Larsen, & Griffin, 1985). Oleh karena itu,
dibutuhkanlah skala multi-item untuk mengukur kepuasan hidup secara global.
Universitas Indonesia
36
4.4.2 .1 Metode Skoring
SWLS terdiri dari lima buah item yang berupa pernyataan (Diener,
Emmons, Larsen, & Griffin, 1985). Pada setiap item, responden diminta
untuk memberikan persetujuan menggunakan skala 1-7. Namun setelah
dilakukan adaptasi secara budaya, maka skala yang digunakan menjadi 1-6
dimana skala tersebut mengandung arti 1 = sangat tidak sesuai, 2 = tidak
sesuai, 3 = agak tidak sesuai, 4 = agak sesuai, 5 = sesuai, 6 = sangat
sesuai. Skor total diperoleh dengan menjumlahkan skor dari kelima item.
Setiap item memiliki nilai dari 1 hingga 6. Skor total diperoleh dengan
cara mencari jumlah total kelima item sehingga kisaran skor total yang
diperoleh pada alat ukur ini adalah dari 5-30. Semakin besar skor
menunjukkan semakin besar pula kepuasan hidup yang dimiliki (Pavot &
Diener, 1993). Salah satu item yang terdapat pada alat ukur ini adalah
pernyataan ‘Dalam berbagai hal, hidup saya mendekati kehidupan yang
saya inginkan’.
4.4.3 Alat Ukur Schedule for Evaluation of Individual Quality of Life – Direct
Weighing
Sebelum dikembangkannya SEIQoL, metode untuk mengevaluasi kualitas
hidup seseorang hanya didasarkan pada sistem nilai eksternal. Komponen-
komponen dari kuesioner pun biasanya terstandarisasi dan sudah baku. Walau
pengukuran tersebut reliabel, relevansi kualitas hidup pada seorang individu
mungkin saja tidak relevan. Hal ini terjadi karena tingkah laku yang sama belum
tentu berarti sama pada orang lain. Untuk benar-benar mengukur kualitas hidup
seseorang, diperlukan alat ukur yang dapat mengevaluasi aspek kehidupan yang
penting bagi individu, di mana individu tersebut menilai sendiri kondisinya pada
aspek kehidupan yang ia anggap penting, dan menilai sendiri aspek mana yang
paling penting bagi dirinya pada waktu tertentu (Hickey, Bury, O’Boyle, Bradley,
O’Kelly, dan Shannon, 1996).
SEIQoL dikembangkan untuk melihat kualitas hidup individu melalui
perspektif orang itu sendiri. Alat ukur ini merupakan instrumen pengukuran
Universitas Indonesia
37
dengan dasar wawancara dengan menggunakan decision analysis technique yang
dikenal dengan nama judgment analysis. Namun, penggunaannya dan pengolahan
data yang didapat sangatlah kompleks sehingga dikembangkan versi pendek dari
alat ukur tersebut dengan menggunakan teknik direct weighing. Alat ukur versi
pendek dari SEIQoL tersebut, dikenal dengan nama SEIQoL-DW. Hasil yang
diperoleh dari SEIQoL-DW telah dibandingkan dengan SEIQoL dan terbukti
valid dan reliabel dalam mengukur domain kualitas hidup (Hickey, Bury,
O’Boyle, Bradley, O’Kelly, dan Shannon, 1996).
4.4.3 .1 Metode skoring
Alat ukur ini terdiri dari 3 item yang saling berhubungan. Pada
item pertama, subjek diminta untuk menyebutkan lima aspek kehidupan
yang dianggap penting oleh individu. Kemudian pada item kedua, subjek
diminta untuk menilai kondisi hidupnya dengan skala 0-100, di mana
angka 0 menunjukkan bahwa kondisi subjek pada aspek tertentu berada
pada kemungkinan terburuk, sedangkan angka 100 menunjukkan bahwa
kondisi subjek pada aspek tertentu berada pada kemungkin terbaik. Setelah
itu pada item ketiga, subjek diminta untuk menyebutkan tingkat
kepentingan masing-masing aspek. Tingkat kepentingan ini diukur dengan
melihat proporsi masing-masing aspek yang bila dijumlahkan seluruh
tingkat kepentingan masing-masing aspek adalah 100. Skor total diperoleh
dengan mengalikan penilaian individu tentang kondisinya saat ini dengan
proporsi kepentingan pada masing-masing aspek, lalu menjumlahkan
keseluruhan hasil kelima aspek tersebut.
4.4.4 Data Partisipan
Selain ketiga alat ukur yang digunakan, yakni Subjective Happiness Scale
(SHS), Satisfaction With Life Scale (SWLS), dan Schedule for Evaluation of
Individual Quality of Life – Direct Weighing (SEIQoL-DW), di dalam kuesioner
pun disertakan pula Data Partisipan. Data partisipan memuat pertanyaan-
Universitas Indonesia
38
pertanyaan untuk mengontrol subjek penelitian berdasarkan karakteristik yang
sudah ditetapkan sebelumnya dan diharapkan dapat memberikan gambaran
karakteristik umum subjek penelitian secara jelas. Terdapat dua jenis Data
Partisipan, yaitu data partisipan yang harus diisi oleh masing-masing
respondendan data keluarga yang cukup diisi satu pada tiap rumah.
Pertanyaan-pertanyaan yang terdapat pada data partisipan individual
meliputi berbagai hal yang berkaitan dengan variabel demografis, yaitu: usia, jenis
kelamin, status pernikahan, usia pernikahan, kedudukan dalam keluarga, latar
belakang pendidikan, status pekerjaan, penghasilan, pengeluaran, dan daerah
tempat tinggal. Sedangkan untuk data keluarga meliputi jumlah anggota keluarga,
sumber penghasilan keluarga, jumlah pengeluaran rutin perbulan, dan jumlah
pengeluaran tidak rutin perbulan. Keseluruhan data tersebut digunakan untuk
melihat kesesuaian karakteristik responden dengan karakteristik populasi yang
diinginkan.
4.5. Prosedur Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian payung yang beranggotakan sembilan
orang mahasiswa. Oleh karena itu semua prosedur penelitian ini dilaksanakan
bersama-sama dengan semua peneliti lain. Rangkaian proses penelitian ini juga
meliputi proses adaptasi alat ukur yang akan digunakan dalam penelitian. Seluruh
prosedur ini terbagi ke dalam empat tahapan, yaitu tahap persiapan, uji coba alat
ukur, pelaksanaan dan tahap akhir.
4.5.1. Tahap Persiapan
Hal-hal yang dilakukan dalam tahap persiapan antara lain :
1. Menentukan topik atau permasalahan yang akan diteliti
2. Mencari informasi lebih jauh mengenai fenomena yang akan diteliti, meliputi
studi kepustakaan serta informasi lainnya melalui internet.
3. Merumuskan permasalahan penelitian
4. Membuat hipotesis penelitian
5. Menentukan populasi dan sampel penelitian yang akan digunakan dalam
penelitian.
Universitas Indonesia
39
6. Melakukan adaptasi alat ukur
Pada penelitian ini alat ukur yang digunakan adalah Subjective Happiness
Scale, Satisfaction With Life Scale dan Schedule for Evaluation of Individual
Quality of Life – Direct Weighing (SEIQoL-DW). Ketiga alat ukur ini sering
digunakan di luar negeri dan memiliki nilai validitas serta reliabilitas yang
baik. Namun agar dapat digunakan di Indonesia, ketiga alat ukur ini perlu
diadaptasi terlebih dahulu sesuai dengan budaya dan populasi yang dituju.
Karena penelitian ini merupakan penelitian payung, maka proses
pengadaptasian alat ukur ini dilakukan peneliti bersama dengan peneliti lain
yang memang secara fokus membahas tentang pengadaptasian alat ukur.
Adapun langkah-langkah yang dilakukan dalam adaptasi ketiga alat ukur
tersebut adalah:
1) Menerjemahkan bahasa yang digunakan alat ukur ke dalam bahasa
Indonesia, sesuai dengan bahasa yang umum digunakan oleh responden
penelitian
2) Melakukan back translate. Hal ini dilakukan untuk memeriksa apakah
hasil terjemahan tidak mengubah maksud atau isi dari kalimat aslinya.
3) Melakukan uji keterbacaan terhadap alat ukur yang telah diterjemahkan.
Hal ini dilakukan dengan menanyakan kejelasan isi alat ukur kepada 25
orang yang sesuai dengan karakteristik populasi penelitian. Subjek dibagi
ke dalam beberapa kelompok focus group discussion agar dapat lebih
menggali pendapat mereka. Pertanyaan yang diajukan antara lain adalah
bagaimana bentuk pernyataan dalam alat ukur, apakah pernyataan yang
diberikan cukup jelas atau membingungkan, adakah saran agar alat ukur
lebih baik dimengerti.
4) Merevisi alat ukur berdasarkan hasil uji keterbacaan. Revisi yang
dilakukan antara lain adalah mengubah skala pada alat ukur Subjective
Happiness Scale dan Satisfaction With Life Scale. Dari skala 1-7 menjadi
skala 1-6 untuk menghilangkan nilai netral yang dapat membingungkan
responden.
5) Melakukan uji coba alat ukur. Uji coba ini dilakukan menggunakan
responden yang lebih besar, yaitu 89 orang pada tanggal 4-15 Maret 2009.
Universitas Indonesia
40
6) Menguji reliabilitas, validitas, dan analisis item alat ukur
7) Melakukan revisi alat ukur berdasarkan hasil uji coba.
8) Melakukan latihan pengambilan data
7. Memperbanyak kuesioner yang berisi ketiga alat ukur tersebut dan data
partisipan yang akan disebarkan kepada responden.
8. Memilih dan membeli reward yang akan diberikan kepada partisipan sebagai
ucapan terima kasih.
9. Membuat dan mengurus surat perizinan dari pihak Fakultas yang dilanjutkan
kepada pengurus RT/RW dari sembilan wilayah Jabodetabek untuk
melakukan pengambilan data wilayah tersebut.
4.5.2 Tahap Uji Coba Alat Ukur
Setelah seluruh item pada masing-masing alat ukur selesai diterjemahkan
kemudian disusun menjadi kuesioner yang terdiri dari tiga bagian. Tim peneliti
kemudian melakukan uji coba kuesioner tersebut terhadap sejumlah orang yang
sesuai dengan karakteristik responden penelitian ini. Berikut ini merupakan
penjelasan mengenai proses uji coba alat ukur yang terdiri dari dua tahap, yaitu
Expert judgment dan uji keterbacaan, serta Try Out Alat Ukur.
4.5.2.1 Expert judgment dan uji keterbacaan
Expert judgment dilakukan kepada dosen pembimbing yang juga
merupakan dosen bagian Psikologi Klinis. Kuesioner yang sudah jadi
didiskusikan bersama antara tim peneliti dan dosen pembimbing. Sedangkan
untuk uji keterbacaan dilakukan terhadap 30 orang yang sesuai karakteristik
responden yang terbagi ke dalam lima kelompok focus group discussion. Hasil
yang diperoleh untuk masing-masing alat ukur adalah sebagai berikut:
a. Alat Ukur Happiness Scale (SHS)
Hampir semua subjek mengalami kesulitan pada item nomor 3 dan 4
karena kalimat yang digunakan terlalu panjang sehingga menjadi sulit
dimengerti. Oleh karena itu dilakukan revisi dengan mengganti kalimat
menjadi kalimat yang lebih mudah dipahami oleh orang awam. Selain itu,
ternyata skala 1-7 yang digunakan membuat subjek cenderung untuk
Universitas Indonesia
41
memilih skala 4 yang mengandung nilai netral. Untuk mengatasi hal
tersebut, skalanya diubah menjadi 1-6 untuk menghilangkan skala yang
bernilai netral.
b. Alat Ukur Satisfaction With Life Scale (SWLS)
Sama seperti pada alat ukur SHS, ternyata untuk alat ukur SWLS ini skala
1-7 membuat subjek menjadi bingung karena terdapat nilai netral. Oleh
karena itu skala akhirnya diganti menjadi skala 1-6 dengan menghilangkan
nilai netral. Selain itu keterangan skala juga diganti karena agak sulit
dimengerti oleh subjek. Untuk item itu sendiri terdapat perubahan pada
item nomor 1, yaitu kata ‘ideal’ diganti menjadi ‘yang saya inginkan’ agar
dapat lebih mudah dimengerti responden.
c. Alat Ukur Schedule for Evaluation of Individual Quality of Life – Direct
Weighing (SEIQoL-DW)
Secara umum tidak terdapat kesulitan yang dialami subjek pada instruksi
ketiga item alat ukur ini, tapi terdapat beberapa masukan. Untuk item
pertama hampir semua subjek merasa kesulitan untuk mengerjakannya
karena mereka tidak mengerti dengan konsep ‘aspek kehidupan’ yang
digunakan dalam item. Selain itu, mereka juga bingung menentukan aspek
yang penting dalam hidupnya karena mereka tidak mempunyai contoh.
Oleh karena itu disarankan untuk memberikan contoh atau daftar aspek
kehidupan yang dapat memudahkan responden. Pada item ketiga peneliti
memberikan dua bentuk alternatif. Kebanyakan subjek lebih memilih
alternatif kedua, yaitu memberikan proporsi kepentingan secara langsung
pada tiap aspek dibandingkan dengan alternatif pertama dengan cara
menggambarkan proporsi.
Setelah alat ukur direvisi sesuai dengan hasil uji keterbacaan kemudian
dilakukan uji keterbacaan kembali terhadap sembilan orang subjek yang
menguasai bahasa Inggris dan bahasa Indonesia dengan baik, dan sesuai dengan
karakteristik sampel penelitian. Hasil uji keterbacaan ini menunjukkan bahwa
semua subjek merasakan bahwa baik alat ukur yang asli maupun adaptasi
merupakan alat ukur yang sama dan tidak terjadi perubahan makan pada tiap item
Universitas Indonesia
42
alat ukur. Sehingga dapat dikatakan bahwa terjemahan yang digunakan sudah
cukup baik. Maka tahapan selanjutnya adalah melakukan try out alat ukur.
4.5.2.2 Try Out Alat Ukur
Try Out dilakukan terhadap 89 orang subjek yang memiliki karakteristik
yang sama dengan responden penelitian. Uji coba ini dilakukan pada tanggal 4-15
Maret 2009. Berdasarkan hasil uji coba ini dilakukan perhitungan reliabilitas,
validitas dan analisis item pada masing-masing alat ukur sehingga alat ukur
tersebut dapat dianggap layak digunakan dalam penelitian ini. Oleh karena itu
pada uji coba ini selain ketiga alat ukur yang digunakan disertakan pula alat ukur
Inventori Karakteristik Aktualisasi Diri (IKAD) dan Back Depression Inventory
(BDI) untuk uji validitas konvergen.
Untuk pengujian reliabilitas, validitas dan analisis item ketiga alat ukur
yang digunakan dalam penelitian ini dihitung secara khusus oleh salah satu
anggota payung penelitian yang memang mengkhususkan pada proses
pengadaptasian alat ukur. Pengujian reliabilitas dibutuhkan untuk melihat
konsistensi skor dari orang yang mengerjakan tes saat dites kembali dengan tes
yang serupa atau dengan bentuk yang setara dari tes. (Anastasi dan Urbina, 1997).
Cohen dan Swerdlik (2005) mengatakan bahwa reliabilitas mengacu pada
konsistensi dalam pengukuran. Terdapat berbagai jenis pengujian reliabilitas.
Pada penelitian ini untuk pengujian alat ukur subjective happiness scale dan
satisfaction with life scale digunakan penghitungan keofisien alpha. Hal ini karena
ingin melihat internal consistency dari kedua alat ukur tersebut. Alat ukur tersebut
dikatakan reliabel apabila memiliki konsistensi internal yang tinggi yaitu bila
item-itemnya secara konsisten mengukur satu konstruk yang sama.
Selain pengujian reliabilitas, alat ukur yang baik juga perlu diuji
validitasnya, yaitu apakah alat ukur tersebut benar-benar mengukut hal yang ingin
diukur. Validitas adalah penilaian atau estimasi seberapa jauh suatu tes mengukur
apa yang hendak di ukur dalam konteks tertentu (Cohen & Swerdlik, 2005).
Sebuah konstruk dikatakan valid apabila hasil yang didapatkan dari alat ukur
tertentu berkorelasi dengan variabel lain yang secara teoritis berkorelasi dengan
konstruk tersebut (Anastasi dan Urbina, 1997). Secara teoritis, konstruk subjective
Universitas Indonesia
43
happiness berhubungan dengan teori hirarki kebutuhan dari Maslow (Izawa,
2004). Seseorang akan merasa lebih bahagia terhadap hidupnya bila kebutuhan-
kebutuhannya terpenuhi (Izawa, 2004). Inventori Karakteristik Aktualisasi Diri
(IKAD) ingin melihat karakteristik aktualisasi diri dari individu. Berdasarkan
pemikiran tersebut, seseorang yang memiliki karakteristik aktualisasi diri
merupakan individu yang dapat memenuhi kebutuhan aktualisasi dirinya. Selain
itu, ketika seseorang telah memiliki karakteristik aktualisasi diri, berarti
kebutuhan-kebutuhan yang lebih rendah dari aktualisasi diri pun lebih terpenuhi.
Sehingga dapat dikatakan bahwa seseorang yang memiliki karakteristik
aktualisasi diri memiliki tingkat kebahagiaan yang lebih tinggi.
Lebih lanjut, gangguan depresi merupakan kelainan mengenai perasaan
dasar (mood). Penilaian subjective happiness dipengaruhi oleh mood sesuai
dengan mekanisme subjective well-being, sehingga terdapat hubungan secara
teoritis antara subjective happiness dengan gangguan depresi. Hal ini berarti,
semakin tinggi tingkat subjective happiness seharusnya diikuti dengan semakin
rendahnya tingkat depresi. Oleh karena itu, pada penelitian ini pengujian validitas
menggunakan alat ukur BDI dan IKAD yang digunakan sebagai kriteria eksternal.
Kedua alat ukur tersebut sebelumnya sudah teruji validitas dan reliabilitasnya.
Untuk IKAD memiliki internal konsistensi sebesar 0.911 sedangkan uji validitas
dilakukan dengan melihat korelasi dengan skor total dari setiap dimensi dan
melihat kecocokan hasil interpretasi dengan keadaan diri individu. Hasil korelaso
signifikan pada los 0.01 dan hasil kecocokan antara interpretasi dengan keadaan
diri memperoleh presentase sebesar 64,93-88,81% (Lesmana, Christia, Basri,
Saraswati, 2006). Untuk alat ukur BDI uji validitas dilakukan dengan
menggunakan teknik statistik Kolmogorov-Smirnov Two Independent Sample
Test dan diperoleh hasil yang signifikan pada LoS 0.01 (Suwantara, Lubis dan
Rusli, 2005).
Selanjutnya pada sebuah alat ukur, item yang baik adalah item yang dapat
membedakan individu dengan atribut yang tinggi dengan individu dengan atribut
rendah (Cohen & Swerdlik, 2005). Dalam penghitungannya daya beda tersebut
dapat dilihat dengan cara melihat corrected item-total correlation, yaitu
merupakan korelasi antara item dalam alat ukur dengan skor total item tanpa
Universitas Indonesia
44
memasukkan skor item yang diperiksa tersebut. Item yang memiliki daya beda
yang baik adalah item yang memiliki koefisien corrected item-total correlation di
atas 0,2. Sedangkan item yang memiliki koefisien dibawah itu akan dieliminasi
atau perlu direvisi.
Berikut ini merupakan penjabaran hasil uji coba pada masing-masing alat
ukur.
a. Alat Ukur Happiness Scale (SHS)
Alat ukur ini mengukur konstruk kebahagiaan yang merupakan
konstruk unidimensional sehingga item-item yang terdapat dalam alat ukur
ini merupakan item-item yang mengukur satu hal yang sama. Oleh karena
itu, item-item dalam alat ukur ini merupakan item yang homogen yang
diharapkan benar-benar secara konsisten mengukur satu konstruk yang
sama. Penghitungan reliabilitas dengan menggunakan SPSS 17.0
didapatkan nilai koefisien alpha sebesar 0.640. Maka dapat dikatakan
bahwa sebanyak 64% varians merupakan varians true score dan 36 %
varians merupakan varians error. Menurut Aiken & Groth-Marnat (2006)
nilai minimum reliabilitas adalah 0.6 sehingga nilai diatas 0.6 sudah
dianggap baik. Berdasarkan hal tersebut maka dapat dikatakan bahwa alat
ukur SHS ini merupakan alat ukur yang reliabel.
Sedangkan untuk pengujian validitas, skor SHS ini dikorelasikan
dengan skor BDI dan diperoleh hasil yang signifikan pada los 0.05
(p=0.002) dengan koefisien korelasi sebesar -0.318. Hal ini menunjukkan
bahwa semakin tinggi tingkat kebahagiaan seseorang akan diikuti dengan
semakin rendahnya tingkat depresi yang dimiliki. Selanjutnya skor SHS
ini juga dikorelasikan dengan skor IKAD dan diperoleh hasil yang
signifikan pada los 0.05 (p=0.003) dengan koefisien korelasi sebesar
0.310.
Oleh karena itu dapat dikatakan bahawa dengan semakin tingginya
tingkat kebahagiaan seseorang akan diikuti dengan semakin tinggi pula
karakteristik aktualisasi diri. Berdasarkan kedua korelasi tersebut
menunjukkan bahwa alat ukur SHS ini dapat secara tepat mengukur
konstruk kebahagiaan.
Universitas Indonesia
45
Untuk pengujian analisis item keempat item yang terdapat pada
alat ukur ini telah memenuhi persyaratan item yang baik, yaitu seluruh
item mempunyai koefisien corrected item-total correlation di atas 0,2.
Maka dapat dikatakan bahwa item-item yang terdapat pada alat ukur ini
mampu membedakan individu yang mempunyai tingkat kebahagiaan
tinggi dengan indvidu yang tingkat kebahagiaannya rendah. Berikut ini
merupakan hasil penghitungan corrected item-total correlation dengan
menggunakan SPSS 17.0:
Tabel 4.1
Analisis Diskriminasi Item Subjective happiness scale
Subjecti
ve happiness
scale (α =
0.640)
Correcte
d Item-Total
Correlation
Alpha
Coef. If Item
Deleted
Item
No. 1
0.601 0.481
Item
No. 2
0.554 0.490
Item
No. 3
0.459 0.547
Item
No. 4
0.225 0.781
b. Alat Ukur Satisfaction With Life Scale (SWLS)
Sama halnya dengan kebahagiaan, konstruk kepuasan hidup juga
merupakan konstruk yang unidimensional sehingga item-item yang
terdapat pada Satisfaction With Life Scale (SWLS) merupakan item-item
yang mengukur satu konstruk yang sama. Oleh karena itu diharapkan lat
ukur ini memiliki item-item yang homogen dan benar-benar secara
konsisten mengukur satu konstruk yang sama. PBerdasarkan pada
penghitungan reliabilitasyang menggunakan SPSS 17.0 didapatkan
koefisien alpha sebesar 0.76640. Hal ini menunjukkan bahwa 64 %
Universitas Indonesia
46
varians merupakan varians true score dan 36 % varians merupakan
varians error. Aiken & Groth-Marnat (2006) menyebutkan bahwa batas
reliabilitas yang dianggap baik adalah bila diatas 0.6. Maka dapat
dikatakan bahwa alat ukur SWLS ini merupakan alat ukur yang reliabel.
Untuk pengujian validitas SWLS juga sama seperti SHS yaitu
dengan melakukan korelasi dengan skor BDI dan IKAD. Hasil koefisien
korelasi antara skor SWLS dengan skor BDI diperoleh sebesar -0.399
yang signifikan pada los 0.05 (p=0.000). Hal ini berarti semakin besar
tingkat kepuasan hidup seseorangan akan diikuti pula dengan semakin
rendahnya tingkat depresi yang dimiliki. Selanjutnya untuk korelasi
dengan skor IKAD diperoleh koefisien korelasi sebesar 0.368 yang
signifikan pada los 0.05 (p=0.006).
Menurut Aiken & Groth-Marnat (2006) nilai minimum reliabilitas adalah
0.6 sehingga nilai diatas 0.6 sudah dianggap baik. Berdasarkan hal tersebut
maka dapat dikatakan bahwa kedua alat ukur SHS dan SWLS ini meru-
pakan alat ukur yang reliabel karena koefisien yang diperoleh lebih besar
dari 0.6 dan dapat dikatakan bahwa item-item dalam alat ukur ini
merupakan item yang homogen yang diharapkan benar-benar secara
konsisten mengukur satu konstruk yang sama. Untuk pengujian validitas,
kedua alat ukur ini memiliki korelasi positif yang signifikan pada los 0.05
terhadap nilai IKAD dan korelasi negatif yang signifikan pada los 0.05
dengan nilai BDI. Berdasarkan kedua korelasi tersebut menunjukkan
bahwa alat ukur SHS dan SWLS merupakan alat ukur yang valid. Untuk
pengujian analisis item kesemua item yang terdapat pada masing-masing
alat ukur tersebut telah memenuhi persyaratan item yang baik, yaitu
seluruh item mempunyai koefisien corrected item-total correlation di atas
0,2.
hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat kepuasan hidup
seseorang akan diikuti pula dengan semakin tingginya karakteristik
aktualisasi diri yang dimilikinya. Berdasarkan kedua korelasi tersebut dapat
Universitas Indonesia
47
disimpulkan bahwa alat ukur SWLS ini dapat secara tepat mengukur
konstruk kepuasan hidup.
Sedangkan untuk pengujian analisis item SWLS diperoleh hasil
bahwa kelima item yang terdapat dalam alat ukur tersebut memiliki
corrected item-total correlation di atas 0,2. Sehingga dapat dikatakan
bahwa keseluruhan item merupakan item yang mempunyai daya beda
yang baik dalam arti dapat membedakan antara individu yang tingkat
kepuasan hidupnya tinggi dengan individu yang tingkat kepuasan
hidupnya rendah. Berikut ini merupakan hasil perhitungan corrected
item-total correlation dengan menggunakan SPSS 17.0:
Tabel 4.2Analisis Diskriminasi Item Satisfaction With Life Scale
Satisfaction With Life Scale (α = 0.760)
Corrected Item-Total Correlation
Alpha Coef. If Item Deleted
Item No. 1 0.631 0.690Item No. 2 0.518 0.725Item No. 3 0.567 0.705Item No. 4 0.615 0.688Item No. 5 0.428 0.787
c. Alat Ukur Schedule for Evaluation of Individual Quality of Life – Direct
Weighing (SEIQoL-DW)
Alat ukur ini sebenarnya merupakan alat ukur yang dikembangkan
dari wawancara berstruktur yang terdiri dari 3 pertanyaan yang saling
berkaitan. Karena jenisnya yang berbeda pada tiap itemnya maka ketiga
item tersebut tidak dapat diukur konsitensinya. Oleh karena itu, untuk
pengujian ini peneliti hanya melakukan pengujian validitas, yaitu untuk
melihat seberapa tepat tes mengukur apa yang hendak diukur (Anastasi &
Urbina, 1997). Berdasarkan hasil penghitungan korelasi antara skor
SEIQOL-DW dengan skor BDI didapatkan hasil yang signifikan pada los
0.05 (p=0.013) dengan koefisien korelasi sebesar -0.262. Hal ini
menunjukkan bahwa semakin tinggi kualitas hidup seseorang akan diikuti
Universitas Indonesia
48
dengan semakin rendahnya tingkat depresi yang dimilikinya. Selanjutnya
untuk korelasi antara skor SEIQOL-DW dengan skor IKAD diperoleh
hasil yang tidak signifikan pada los 0.05 (p=0.066) dengan koefisien
korelasi sebesar 0.541. Hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat
korelasi yang signifikan antara global quality of life dengan karakteristik
aktualisasi diri.
4.5.3 Tahap Pelaksanaan
Hal-hal yang dilakukan dalam tahap pelaksanaan antara lain :
1. Melakukan pengambilan data
Pengambilan data dilakukan dengan metode survei, yaitu household survey.
Peneliti memilih 30 rumah dari setiap daerah di Jakarta dan sekitarnya yang
dilaksanakan pada tanggal 26 Maret 2009 – 17 April 2009.
Berikut ini akan dijelaskan lebih lanjut mengenai proses pengambilan data
yang dilakukan bersama-sama dalam payung penelitian ini:
Pengambilan data dilakukan di kelima kotamadya di Jakarta dan
juga di Bogor, Tangerang, Depok serta Bekasi. Pada tiap
wilayahnya ditargetkan 30 rumah. Pemilihan sampel yang
dilakukan tidaklah secara random tetapi berdasarkan pada lokasi
tempat tinggal para peneliti berada.
Pertama-tama peneliti meminta izin pada ketua RT sebagai pihak
yang berwenang di daerah pengambilan data.
Setelah memperoleh izin, pengambilan data dilakukan dengan
mendatangi rumah-rumah. Peneliti tidak mengambil data di
wilayah tempat tinggalnya sendiri melainkan dilakukan oleh
peneliti payung lainnya.
Di setiap rumah, data diambil dari seluruh anggota keluarga yang
tinggal di rumah tersebut yang memenuhi karakteristik subjek
penelitian, yaitu berusia 18 tahun ke atas dengan pendidikan
minimal SMA, dan berada pada kelas sosial menengah ke atas.
Pada saat memberikan kuesioner, peneliti menjelaskan cara
pengisiannya terlebih dahulu kepada para responden. Apabila
responden bersedia langsung mengisi kuesioner tersebut, maka
Universitas Indonesia
49
peneliti akan menungguinya. Tetapi bila tidak, maka kuesioner
akan ditinggal dan diambil kembali keesokan harinya. Begitu pula
yang terjadi bagi responden lainnya yang terdapat di dalam rumah
tersebut namun pada saat peneliti datang sedang tidak berada di
rumah.
2. Mengumpulkan dan menyiapkan data untuk diolah.
Peneliti mengumpulkan kembali semua kuesioner yang telah disebar
sebelumnya. Peneliti juga mengecek kelengkapan pengisian kuesioner. Bila
ada yang kurang lengkap, peneliti mencoba menanyakan kembali kepada
responden. Pada pengambilan data pada 291 keluraga berhasil diperoleh
kuesioner sebanyak 583 buah, tetapi setelah dilakukan pengecekan hanya
terdapat 578 kuesioner yang dapat digunakan. Bila berdasarkan rencana, maka
hanya diambil 270 rumah, tetapi ternyata dalam proses pengambilannya pada
beberapa wilayah melebihi target. Hal ini terjadi karena peneliti
mengantisipasi pada beberapa keluarga yang kemungkinan pengembalian
kuesionernya rendah, sehingga peneliti menyebarkan pada lebih dari 30
rumah.
4.5.4 Tahap Akhir
Hal-hal yang dilakukan dalam tahap akhir antara lain :
1. Melakukan skoring terhadap data dari alat ukur.
2. Melakukan entry data dan melakukan pengecekan tiap data kelima dengan
kuesioner aslinya untuk meminimalisir kesalahan pemasukan data.
3. Menginterpretasikan hasil analisis statistik berdasarkan teori dan kerangka
berpikir yang telah disusun sebelumnya.
4. Melakukan analisa dan pembahasan berdasarkan data yang diperoleh.
5. Menarik kesimpulan.
6. Mengajukan saran tindak lanjut.
7. Menyusun dan melakukan perbaikan terhadap laporan penelitian.
Universitas Indonesia
50
4.6. Analisis Data
Pada penilitian ini digunakan penghitungan secara kuantitatif dengan
menggunakan program SPSS for Windows 13.0. Metode pengolahan yang akan
digunakan adalah:
1. Metode Analisis Deskriptif
Statistik deskriptif merupakan prosedur statistik yang digunakan untuk
merangkum, mengorganisasi, dan menyederhanakan data (Gravetter &
Wallnau, 2007). Metode ini digunakan untuk melihat frekuensi, mean,
median dan standard deviasi penyebaran hasil responden pada tiap variabel
yang diukur. Statistik deskriptif juga digunakan untuk menggambarkan
data demografis responden.
2. Korelasi Pearson Product Moment
Korelasi Pearson Product Moment digunakan untuk mengetahui hubungan
antara dua variabel. Pada penelitian ini, metode korelasi Pearson Product
Moment digunakan untuk menjawab permasalahan utama penelitian ini,
yakni mengetahui hubungan antar ketiga variabel penelitian, yakni antara
kebahagiaan, kepuasan hidup dan kualitas hidup.
3. Multiple Regression
Teknik perhitungan statistik Multiple Regression digunakan untuk melihat
hubungan antara satu variabel terikat dengan data kontinu dengan
sejumlah variabel bebas atau prediktor (Cohen&Cohen, 1983). Dengan
Multiple Regression dapat diketahui sejauh mana sebuah variabel mampu
memprediksi hasil tertentu dan juga berfungsi untuk mengetahui variabel
mana yang memiliki pengaruh paling besar terhadap hasil. Dalam
penelitian ini, metode Multiple Regression digunakan untuk melihat faktor
demografis apa saja yang memiliki pengaruh paling besar dan yang paling
mampu memprediksi skor kebahagiaan, kepuasan hidup dan kualitas
hidup.
4. Analysis Of Variance (ANOVA)
Perhitungan dengan menggunakan anova satu arah digunakan untuk
melihat perbandingan skor nilai rata-rata (mean) diantara 2 kelompok atau
lebih (Cohen, 1988). Perhitungan anova digunakan dalam penelitian ini
Universitas Indonesia
51
untuk melihat perbandingan mean dari skor kebahagiaan, kepuasan hidup
dan kualitas hidup pada kelompok masyarakat Jakarta, Bogor, Depok,
Tangerang dan Bekasi. Dari hasil perhitungan, peneliti melihat signifikansi
(p) dari nilai F yang didapatkan, yang selanjutnya dapat diketahui apakah
terdapat perbedaan mean dari kelompok-kelompok tersebut pada masing-
masing variabel.
Universitas Indonesia
52
BAB 5
HASIL dan ANALISIS HASIL
Pada bagian ini akan dijabarkan mengenai hasil penelitian yang telah
dilakukan. Penjabaran hasil tersebut meliputi hasil utama penelitian, gambaran
umum responden dan hasil tambahan yang diperoleh peneliti dalam penelitian ini.
5.1 Gambaran Umum Responden
Pengambilan data dilakukan pada kelima wilayah Jakarta, Bogor,
Tangerang, Depok dan Bekasi. Kuesioner disebar pada 291 keluarga dengan
jumlah akhir 583 orang yang mengisi kuesioner. Namun hanya 578 kuesioner
yang dapat diolah lebih lanjut; sedangkan 5 kuesioner tidak dapat digunakan
karena ketidaklengkapan data. Berikut ini akan dijabarkan lebih lanjut mengenai
gambaran umum responden yang akan didahului dengan gambaran keluarga.
Tabel 5.1
Gambaran Deskriptif Keluarga
Gambaran Keluarga Berdasarkan Wilayah Domisili
Jakarta Utara 30 keluarga 10.3 %Jakarta Timur 30 keluarga 10.3 %Jakarta Selatan 30 keluarga 10.3 %Jakarta Barat 30 keluarga 10.3 %Jakarta Pusat 30 keluarga 10.3 %Bogor 35 keluarga 12 %Depok 33 keluarga 11.3 %Tangerang 37 keluarga 12.7 %Bekasi 36 keluarga 12.4 %
Gambaran Total Pengeluaran Keluarga per bulan
Rp 2.500.001,- s/d Rp 5.000.000,- 17 keluarga 5.8 %Rp 5.000.001,- s/d Rp 7.500.000,- 62 keluarga 21.3 %Rp 7.500.001,- s/d Rp 10.000.000,- 58 keluarga 19.9 %> Rp 10.000.000 154 keluarga 52.9 %
Jumlah Responden Per-Wilayah
Jakarta Utara 74 responden 12.8 %Jakarta Timur 53 responden 9.2 %Jakarta Selatan 64 responden 11.1 %Jakarta Barat 59 responden 10.2 %Jakarta Pusat 57 responden 9.9 %Bogor 41 responden 7.1 %
Universitas Indonesia
53
Depok 70 responden 12.1 %Tangerang 87 responden 15.1 %Bekasi 72 responden 12.5 %
Bedasarkan tabel diatas terlihat bahwa penyebaran jumlah keluarga merata
di kelima wilayah Jakarta, yaitu masing-masing wilayah diambil sampel 30
rumah. Sedangkan untuk daerah sekitar Jakarta seperti Bogor, Depok, Tangerang
dan Bekasi jumlah sampel lebih dari 30 rumah dan paling banyak dari daerah
Tangerang dengan jumlah 37 keluarga. Kemudian terlihat pula bahwa paling
banyak responden berasal dari wilayah Tangerang dengan jumlah 87 orang
responden dan paling sedikit berasal dari wilayah Bogor dengan jumlah 41 orang
responden. Bila dibandingkan dengan jumlah keluarga, ternyata Tangerang
dengan jumlah keluarga terbanyak, yaitu 37 keluarga, mampu memberikan jumlah
responden yang banyak pula. Sebaliknya Bogor dengan jumlah 35 keluarga hanya
dapat memberikan 41 orang responden.
Selanjutnya dari tabel di atas juga terlihat bahwa lebih dari separuh
responden mempunyai pengeluaran keluarga diatas 10 juta rupiah per bulan
Pengeluaran ini termasuk di dalamnya pengeluaran rutin dan pengeluaran tidak
rutin.
Untuk gambaran responden yang diperoleh dalam penelitian ini dapat
dilihat pada tabel di bawah ini yang digolongkan berdasarkan jenis kelamin, usia,
status, pendidikan, pekerjaan dan penghasilan.
Tabel 5.2Gambaran Deskriptif Responden
Gambaran Responden Berdasarkan Jenis Kelamin
Laki-laki 266 responden 46 %Perempuan 312 responden 54 %
Gambaran Responden Berdasarkan Usia
< 20 tahun 36 responden 6.2 %21 tahun – 40 tahun 276 responden 47.8 %41 tahun – 65 tahun 254 responden 44.1 %> 65 tahun 11 responden 1.9 %
Gambaran Responden Berdasarkan Status
Lajang 213 responden 36.9 %Menikah 348 responden 60.2 %
Universitas Indonesia
54
Janda/Duda karena meninggal 11 responden 1.9 %Janda/Duda karena bercerai 6 responden 1 %
Gambaran Responden Berdasarkan Pendidikan
SMA 160 responden 27.7 %D1 7 responden 1.2 %D3 69 responden 11.9 %S1 268 responden 46.4 %S2 70 responden 12.1 %S3 4 responden 0.7 %
Gambaran Responden Berdasarkan Pekerjaan
Pegawai Negeri 60 responden 10.4 %Pegawai Swasta 168 responden 29.1 %Pegawai BHMN 27 responden 4.7 %Pegawai Kontrak/Honorer 12 responden 2.1 %Wiraswasta 61 responden 10.6 %Profesional 10 responden 1.7 %Mahasiswa 97 responden 16.8 %Pensiunan 34 responden 5.9 %Ibu Rumah Tangga 88 responden 15.2 %Tidak Bekerja 21 responden 3.6 %
Gambaran Responden Berdasarkan Penghasilan
Tidak Berpenghasilan 135 responden 23.4 %< Rp 1.000.000,- 61 responden 10.6 %Rp 1.000.001,- s/d Rp 2.500.000,- 86 responden 14.9 %Rp 2.500.001,- s/d Rp 5.000.000,- 121 responden 21 %Rp 5.000.001,- s/d Rp 7.500.000,- 65 responden 11.3 %Rp 7.500.001,- s/d 10.000.000,- 44 responden 7.6 %> Rp 10.000.001,- 65 responden 11.3 %
Melalui tabel tersebut terlihat bahwa penyebaran responden laki-laki dan
perempuan cukup merata dan tidak berbeda jauh. Jumlah responden laki-laki
sebesar 46% sedangkan responden perempuan sebesar 54% dan paling banyak
berasal dari kelompok umur 21 hingga 40 tahun sedangkan yang paling sedikit
berasal dari kelompok usia diatas 65 tahun. Sehingga bisa dikatakan bahwa
mayoritas responden berada pada usia yang produktif.
Gambaran berikutnya adalah berdasarkan status pernikahan yang terlihat
bahwa mayoritas responden telah menikah yaitu sebanyak 60.2% dan bila
dikaitkan dengan usia maka dapat dikatakan bahwa sebagian besar yang sudah
menikah merupakan keluarga muda karena berada dalam rentang usia 20-30
tahun.
Universitas Indonesia
55
Untuk pendidikannya terlihat bahwa mayoritas responden merupakan
lulusan sarjana (S1) yaitu sebanyak 46.4%. Sedangkan untuk lulusan SMA berada
di tingkat kedua. Namun, tidak semuanya yang tergolong SMA berarti hanya
menempuh pendidikan sampai SMA saja. Apabila responden saat ini menjadi
mahasiswa maka tergolong ke dalam SMA karena yang digunakan adalah
pendidikan terakhir yaitu SMA. Selanjutnya bila dilihat melalui penyebaran
berdasarkan pekerjaan maka mayoritas responden bekerja sebagai pegawai swasta
yaitu sebesar 29.1% yang diikuti dengan mahasiswa sebesar 16.8%. Sedangkan
bila berdasarkan penghasilan terlihat bahwa mayoritas responden tidak
berpenghasilan, yaitu sebesar 23.4%. Hal ini dapat terjadi karena bila dikaitkan
dengan jenis pekerjaan yang juga banyak adalah mahasiswa dan ibu rumah tangga
dimana kedua jenis pekerjaan tersebut tidaklah berpenghasilan. Mayoritas kedua
responden berpenghasilan antara Rp 2.500.001,- s/d Rp 5.000.000,- per bulan
dengan jumlah 21%.
5.2 Gambaran Kebahagiaan Responden
Tingkat kebahagiaan diperoleh dari skor kebahagiaan berdasarkan alat
ukur Subjective Happiness Scale (SHS). Interpretasi skor SHS itu sendiri
didapatkan dengan cara melihat skor total individu dan membandingkannya pada
kontinum respon jawaban yang terentang dari (1) sangat tidak bahagia, sampai
dengan (6) sangat bahagia. Berdasarkan penghitungan tersebut maka diperoleh
interpretasi norma yang akan digunakan sebagai berikut.
Tabel 5.3Norma Subjective Happiness Scale
Skor Total Subjective Happiness Scale Interpretasi
1 s/d 2 Sangat Tidak Bahagia2.1 s/d 3 Tidak Bahagia3.1 s/d 4 Netral4.1 s/d 5 Bahagia5.1 s/d 6 Sangat Bahagia
Berikut ini merupakan gambaran skor kebahagiaan yang diperoleh
masyarakat Jabodetabek.
Universitas Indonesia
56
Tabel 5.4Gambaran Tingkat Kebahagiaan Masyarakat Jabodetabek
Skor Kebahagiaan Masyarakat Jabodetabek
Mean 4.73Median 4.75Skor Minimum 1.75Skor Maximum 6.00
Berdasarkan tabel tersebut terlihat bahwa rata-rata masyarakat
Jabodetabek memiliki tingkat kebahagiaan sebesar 4.73 dengan standard deviasi
sebesar 0.706. Bila disesuaikan dengan norma yang telah dibuat berdasarkan
populasi penelitian ini, maka dapat digolongkan ke dalam kategori bahagia.
Gambaran lebih lanjut mengenai persebaran skor kebahagiaan dengan mengacu
pada norma yang telah dibuat dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 5.5Persebaran Skor Kebahagiaan Masyarakat Jabodetabek
Interpretasi Jumlah Responden Persentase
Sangat tidak bahagia 2 0.3%Tidak bahagia 9 1.5%Netral 92 15.9%Bahagia 314 54.5%Sangat bahagia 161 27.8%
Berdasarkan tabel di atas terlihat memang mayoritas masyarakat
Jabodetabek menganggap dirinya bahagia, yakni sebesar 54.5%. Sedangkan yang
menganggap dirinya sangat bahagia sebesar 27.8%. Sebaliknya responden yang
menganggap dirinya sangat tidak bahagia hanya sebesar 0.3%.
5.3 Gambaran Kepuasan Hidup Responden
Kepuasan hidup diukur dengan menggunakan alat ukur Satisfcation With
Life Scale (SWLS) yang menggunakan pilihan jawaban berupa skala equal-
appearing interval, yaitu skor yang diperoleh individu memiliki arti interpretasi
absolut dengan dasar nilai kontinum pada respon jawaban dalam alat ukur itu
sendiri (Edwards, 1957). Interpretasi skor dibuat secara independen tanpa melihat
distribusi skor dari sebuah kelompok tertentu. Dengan demikian, interpretasi
terhadap skor kepuasan hidup yang diperoleh dari alat ukur satisfaction with life
Universitas Indonesia
57
scale yaitu dengan melihat penyebaran respon jawaban partisipan pada skala dari
alat ukur kepuasan hidup, tanpa melihat distribusi skor dari kelompok partisipan.
Berdasarkan hal tersebut maka diperoleh norma skor SWLS sebagai berikut.
Tabel 5.6Norma Satisfaction With Life Scale
Rata-rata skor Satisfaction With Life Scale Interpretasi
1 s/d 2 Sangat Tidak Puas2.1 s/d 3 Tidak Puas3.1 s/d 4 Netral4.1 s/d 5 Puas5.1 s/d 6 Sangat Puas
Berikut ini merupakan gambaran skor kepuasan hidup yang diperoleh
masyarakat Jabodetabek.
Tabel 5.7Gambaran Tingkat Kepuasan Hidup Masyarakat Jabodetabek
Skor Kepuasan Hidup Masyarakat Jabodetabek
Mean 4.29Median 4.40Skor Minimum 1.60Skor Maximum 6.00
Berdasarkan tabel tersebut terlihat bahwa rata-rata masyarakat
Jabodetabek memiliki tingkat kepuasan hidup sebesar 4.40 dengan standard
deviasi sebesar 0.753. Selanjutnya bila disesuaikan dengan norma yang telah
dibuat berdasarkan populasi penelitian ini, maka masyarakat Jabodetabek dapat
digolongkan ke dalam kriteria puas, yakni berada pada rentang skor 4.1 s/d 5.
Gambaran lebih lanjut mengenai persebaran skor kepuasan hidup dengan
mengacu pada tabel norma yang telah dibuat dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 5.8Persebaran Skor Kepuasan Hidup Masyarakat Jabodetabek
Interpretasi Jumlah Responden Persentase
Sangat tidak puas 5 0.9%Tidak puas 30 5.2%Netral 180 31.1%Puas 297 51.4%
Universitas Indonesia
58
Sangat puas 66 11.4%
Dari tabel di atas terlihat memang mayoritas masyarakat Jabodetabek
menganggap dirinya puas dengan hidupnya, yakni sebesar 51.4%. Sedangkan
yang menganggap hidupnya netral ada sebesar 27.8%. Sebaliknya responden yang
merasa sangat tidak puas dengan hidupnya hanya sebesar 0.9%.
5.4 Gambaran Kualitas Hidup Responden
Tingkat kualitas hidup diperoleh dari interpretasi skor total pada alat ukur
Schedule for Evaluation of Individual Quality of Life – Direct Weighing (SEIQoL-
DW). Interpretasi terhadap skor kualitas hidup adalah dengan melihat skor total
dari individu dan membandingkannya pada kontinum respon jawaban yang
memiliki rentang skor antara (0) Kualitas Hidup Sangat Buruk, sampai dengan
(100) Kualitas Hidup Sangat Baik. Berdasarkan hal tersebut maka dapat dibuat
norma untuk skor kualitas hidup yang dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 5.9Norma SEIQoL-DW
Skor Total SEIQoL-DW Interpretasi
0 s/d 20 Kualitas Hidup Sangat Buruk21 s/d 40 Kualitas Hidup Buruk41 s/d 60 Kualitas Hidup Sedang61 s/d 80 Kualitas Hidup Baik81 s/d 100 Kualitas Hidup Sangat Baik
Berikut ini merupakan gambaran tingkat kualitas hidup yang diperoleh
pada masyarakat Jabodetabek.
Tabel 5.10Gambaran Tingkat Kualitas Hidup Masyarakat Jabodetabek
Skor Kualitas Hidup Masyarakat Jabodetabek
Mean 76.87Median 79.5Skor Minimum 18.25Skor Maximum 100.00
Universitas Indonesia
59
Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa rata-rata skor kualitas hidup
masyarakat Jabodetabek adalah sebesar 76.87 (SD= 0.753) yang berada pada
kriteria baik. Pengelompokkan kriteria berdasarkan norma yang telah dibuat
sesuai dengan populasi yang digunakan dalam penelitian ini. Namun perlu dilihat
pula persebarannya pada tiap kriteria yang dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 5.11Persebaran Skor Kualitas Hidup Masyarakat Jabodetabek
Interpretasi Jumlah Responden Persentase
Sangat buruk 2 0.3%Buruk 22 3.8%Sedang 41 7.1%Baik 266 46.1%Sangat baik 247 42.7%
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa memang mayoritas masyarakat
Jabodetabek mempunyai kualitas hidup yang baik, yaitu sebesar 46.1%. Tak
berbeda jauh, sebanyak 42.7% menganggap dirinya mempunyai kualitas hidup
yang sangat baik. Sedangkan hanya 0.3% atau 2 orang responden yang
menganggap kualitas hidupnya sangat buruk.
Selain melihat skor total kepuasan kepuasan hidup, peneliti juga melihat
peranan aspek-aspek kehidupan yang dianggap penting oleh responden. Aspek
kehidupan ini diperoleh pada item pertama alat ukur SEIQoL-DW yang meminta
responden untuk menyebutkan lima aspek kehidupan yang dianggap paling
penting. Adapun gambaran penyebaran aspek-aspek itu dapat dilihat dari tabel di
bawah ini.
Tabel 5.12Daftar Aspek Kehidupan
Aspek kehidupan Frekuensi Persentase
Spiritualitas 396 14.50%Hobi 50 1.83%Pernikahan 90 3.29%Percintaan 84 3.08%Diri sendiri 67 2.54%Kesehatan 374 13.69%Hubungan pertemanan 258 9.45%
Universitas Indonesia
60
Karier 198 7.25%Kemandirian 66 2.42%Pendidikan 240 8.79%Keluarga 498 18.24%Keuangan 312 11.42%Kekuasaan 4 0.15%Penampilan 13 0.48%Rekreasi 81 2.97%
Berdasarkan tabel tersebut dapat dilihat bahwa lima aspek kehidupan yang
dianggap paling penting oleh masyarakat Jabodetabek adalah keluarga (498),
spiritualitas (396), kesehatan (374), keuangan (312) dan hubungan pertemanan
(258). Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa kebanyakan masyarakat
menganggap keluarga merupakan aspek yang penting yaitu sebesar 18.24%.
Yang dimaksud keluarga disini adalah hubungan yang terjadi di dalam keluarga
baik pada keluarga inti seperti ayah, ibu, dan anak tetapi juga keluarga besar.
Sedangkan urutan kedua adalah aspek sprirtualitas sebesar 14.50%. Pengertian
spiritualitas yang dimaksud disini mencakup hal-hal mengenai kerohanian,
keagamaan atau Tuhan. Pada urutan ketiga adalah aspek kesehatan (13.69%)
dengan kesehatan yang mencakup kesehatan secara fisik dan mental. Aspek
terpenting yang keempat adalah keuangan sebesar 11.42%. Keuangan yang
dimaksud di sini juga termasuk masalah perekonomian dan pemenuhan kebutuhan
hidup. Aspek penting yang berada pada urutan lima adalah hubungan pertemanan
yang juga mencakup hubungan sosial dengan orang lain.
5.5 Hubungan antara Kebahagiaan, Kepuasan Hidup dan Kualitas Hidup
Untuk mengetahui hubungan antara kebahagiaan dan kepuasan hidup
digunakan perhitungan dengan menggunakan teknik korelasi pearson product
moment dengan program SPSS 13.0 diperoleh hasil sebagai berikut.
Tabel 5.13Hasil Korelasi antara Kebahagiaan dan Kepuasan Hidup
Koefisien Korelasi antara Kebahagiaan dan
Kepuasan Hidup (r)
Nilai Signifikansi (p) Koefisien Determinasi (r2)
0,512** 0,000 0.26
**Signifikan pada LoS 0.01 (2-tailed)
Universitas Indonesia
61
Tabel di atas menunjukkan bahwa berdasarkan hasil penghitungan korelasi
antara skor Subjective Happiness Scale dengan skor Satisfaction With Life Scale
didapatkan hasil yang signifikan pada LoS 0.01 dengan koefisien sebesar 0.512.
Hasil tersebut menunjukkan semakin tinggi tingkat kebahagiaan seseorang maka
akan diikuti pula dengan semakin tingginya tingkat kepuasan hidup yang
dimilikinya. Selain itu koefisien determinasi (r2) sebesar 0.26 yang berarti 26 %
proporsi varians kebahagiaan dapat dijelaskan oleh varians kepuasan hidup.
Selanjutnya untuk mengetahui hubungan antara kebahagiaan dan kualitas
hidup dapat diperoleh dengan melakukan korelasi antara skor Subjective
Happiness Scale dengan skor total Evaluation of Individual Quality of Life –
Direct Weighing (SEIQoL-DW). Hasilnya dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Tabel 5.14Hasil Korelasi antara Kebahagiaan dan Kualitas Hidup
Koefisien Korelasi antara Kebahagiaan dan Kualitas
Hidup (r)
Nilai Signifikansi (p) Koefisien Determinasi (r2)
0,268** 0,000 0.07
**Signifikan pada LoS 0.01 (2-tailed)
Melalui tabel diatas dapat dilihat bahwa hasil korelasi tersebut adalah signifikan
pada LoS 0.01 dengan koefisien sebesar 0.268. Hasil tersebut menunjukkan
semakin tinggi tingkat kebahagiaan seseorang maka akan diikuti pula dengan
semakin tingginya tingkat kualitas hidup yang dimilikinya. Selain itu koefisien
determinasi (r2) sebesar 0.07 yang berarti hanya 7 % proprosi varians kebahagiaan
dapat dijelaskan oleh varians kualitas hidup.
Terakhir adalah hubungan antara kepuasan hidup dan kualitas hidup yang
diperoleh dengan malakukan korelasi antara skor Satisfaction With Life Scale
dengan skor Evaluation of Individual Quality of Life – Direct Weighing (SEIQoL-
DW).
Tabel 5.15Hasil Korelasi antara Kepuasan Hidup dan Kualitas Hidup
Koefisien Korelasi antara Kepuasan Hidup dan Kualitas Hidup(r)
Nilai Signifikansi (p) Koefisien Determinasi (r2)
Universitas Indonesia
62
0,293** 0,000 0.07
**Signifikan pada LoS 0.01 (2-tailed)
Melalui tabel diatas dapat dilihat bahwa hasil korelasi tersebut adalah
signifikan pada LoS 0.01 dengan koefisien sebesar 0.293. Hasil tersebut
menunjukkan semakin tinggi tingkat kepuasan hidup seseorang maka akan diikuti
pula dengan semakin tingginya tingkat kualitas hidup yang dimilikinya. Selain itu,
koefisien determinasi (r2) sebesar 0.07 yang berarti hanya 7% proprosi varians
kepuasan hidup yang dapat dijelaskan oleh varians kualitas hidup.
5.6 Hasil Tambahan
5.6.1 Faktor Demografi yang Berkontribusi terhadap Kebahagiaan,
Kepuasan Hidup dan Kualitas Hidup
Dalam penelitian ini tidak diperhitungkan mengenai pengaruh faktor
demografis pada masing-masing variabel. Oleh karena itu pada analisis tambahan
ini akan diperlihatkan pengaruh masing-masing faktor demografis dalam
memprediksi tiap variabel. Untuk penghitungannya digunakan Multiple
Regression dengan prediktor adalah pekerjaan, jenis kelamin, usia, pendidikan
terakhir, penghasilan dan status pernikahan sedangkan dependent variabel yang
digunakan adalah nilai kebahagiaan, kepuasan hidup dan kualitas hidup.
Tabel 5.16Hasil Perhitungan Multiple Regression
R square df FSignifikansi
Kebahagiaan 0.051 6 5.0940.000*Kepuasan Hidup 0.034 6 3.3670.003*Kualitas Hidup 0.023 6 2.2230.040*
Berdasarkan tabel di atas terlihat bahwa pada masing-masing variabel didapatkan
hasil yang signifikan pada los 0.05 antara faktor demografis (usia, jenis kelamin,
status pernikahan, pendidikan, penghasilan dan pekerjaan) mempunyai hubungan
terhadap ketiga variabel yang diteliti, yaitu kebahagiaan, kepuasan hidup dan
kualitas hidup. Dari perhitungan pada masing-masing variabel didapatkan bahwa
Universitas Indonesia
63
faktor demografis (usia, jenis kelamin, status pernikahan, pendidikan, penghasilan
dan pekerjaan) mempunyai hubungan yang signifikan terhadap ketiga variabel
yang diteliti, yaitu kebahagiaan, kepuasan hidup dan kualitas hidup. Pada variabel
kebahagiaan terdapat 5.1% dari varians skor yang dapat dijelaskan melalui varians
demografis. Untuk nilai kepuasan hidup hanya 3.4% varians skor kepuasan hidup
yang dapat dijelaskan melalui varians demografis dan pada kualitas hidup terdapat
2.3% skor kualitas hidup yang mampu dijelaskan oleh varians demografis.
Selanjutnya akan dijabarkan lebih lanjut mengenai kontribusi masing-
masing faktor demografis terhadap ketiga variabel yang diukur. Hasilnya dapat
dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 5.17Hasil Signifikansi Faktor Demografis
Faktor Demografis
Nilai signifikansi
Kebahagiaan Kepuasan Hidup Kualitas Hidup
Usia 0.584 0.701 0.483Jenis Kelamin 0.961 0.077 0.051Status Penikahan 0.026* 0.168 0.674Pendidikan 0.315 0.938 0.151Penghasilan 0.010* 0.000* 0.054Pekerjaan 0.864 0.062 0.038*
*Signifikan pada Los 0.05
Melalui tabel diatas dapat terlihat bahwa pada nilai kebahagiaan hanyalah
status pernikahan dan penghasilan yang signifikan secara statistik dalam
berkontribusi terhadap persamaan regresi tersebut. Sedangkan untuk nilai kepuas-
an hidup hanyalah faktor penghasilan serta pada nilai kualitas hidup hanya faktor
pekerjaan saja yang signifikan berkontribusi terhadap persamaan regresi itu.
Tabel 5.18Hasil Faktor Demografis terhadap Kebahagiaan
Standardized Coefficients Beta
Nilai Part Correlation
Koefisien determinasi (r2)
Status pernikahan 0.126 0.091 0.00Penghasilan 0.141 0.106 0.01
Universitas Indonesia
64
Tabel 5.19Hasil Faktor Demografis terhadap Kepuasan Hidup
Standardized Coefficients Beta
Nilai Part Correlation
Koefisien determinasi (r2)
Penghasilan 0.196 0.147 0.02
Tabel 5.20Hasil Faktor Demografis terhadap Kualitas Hidup
Standardized Coefficients Beta
Nilai Part Correlation
Koefisien determinasi (r2)
Pekerjaan 0.105 0.086 0.00
Berdasarkan tabel di atas dapat terlihat bahwa penghasilan merupakan
faktor yang paling dapat memprediksi baik terhadap kebahagiaan dan kepuasan
hidup dengan kontribusi yang besar. Sedangkan pada kualitas hidup kontribusi
yang terbesar adalah pekerjaan. Untuk koefisien determinasi (r2) penghasilan
terhadap kebahagiaan besarnya 0.01 yang artinya hanya 1% proprosi varians
kebahagiaan yang dapat dijelaskan oleh varians penghasilan dan untuk kepuasan
hidup besarnya (r2) penghasilan adalah 0.02 yang berarti terdapat 2% proporsi
varians kepuasan hidup yang dapat dijelaskan oleh varians penghasilan.
5.6.2 Perbandingan Tingkat Kebahagiaan, Kepuasan Hidup dan Kualitas
Hidup antar wilayah
Hasil tambahan lain yang diperoleh pada penelitian ini adalah melihat
perbandingan tingkat kebahagiaan, kepuasan hidup dan kualitas hidup pada
masyarakat yang ada di Jakarta dan daerah sekitarnya seperti Bogor, Depok,
Tangerang dan Bekasi. Perhitungan yang digunakan adalah dengan ANOVA satu
arah. Sebelumnya akan dijabarkan terlebih dahulu gambaran deskriptif tingkat
kebahagiaan, kepuasan hidup dan kualitas hidup pada masing-masing wilayah.
Hasilnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 5.21Hasil skor rata-rata tiap wilayah
Universitas Indonesia
65
Wilayah Kebahagiaan Kepuasan Hidup Kualitas Hidup
Jakarta 4.6726 4.3127 77.3821Bogor 4.7622 4.1268 75.5390Depok 4.9857 4.4971 78.9207Tangerang 4.8276 4.2644 75.5787Bekasi 4.6473 4.1288 75.0856
Tabel 5.22Hasil Perbandingan Berdasarkan Wilayah
Variabel F Signifikansi
Kebahagiaan 3.535 0.007*Kepuasan Hidup 2.759 0.027*Kualitas Hidup 0.895 0.466
*Signifikan pada LoS 0.05
Pada tiap variabel dilakukan perhitungan ANOVA dengan
membandingkan skor variabel pada masing-masing kelompok wilayah. Pada
nilai kebahagiaan diperoleh hasil yang signifikan dengan nilai signifikansi
sebesar 0.007 (LoS 0.05) yang berarti terdapat perbedaan nilai kebahagiaan yang
signifikan pada masing-masing kelompok wilayah. Begitu pula dengan nilai
kepuasan hidup yang juga diperoleh hasil yang signifikan dengan nilai
signifikansi sebesar 0.027 (LoS 0.05) yang artinya terdapat perbedaan nilai
kepuasan hidup yang signifikan pada masing-masing kelompok wilayah.
Sedangkan pada tingkat kualitas hidup tidak ada perbedaan yang signifikan pada
tiap kelompok wilayah. Berikut ini akan dijabarkan lebih lanjut mengenai letak
perbedaan pada masing-masing kelompok wilayah yang diperoleh melalui
perhitungan post-hoc.
Tabel 5.23Hasil Post-Hoc nilai Kebahagiaan
Jakarta Bogor Depok Tangerang Bekasi
Jakarta 0.939 0.007* 0.362 0.999Bogor 0.939 0.483 0.988 0.918Depok 0.007* 0.483 0.624 0.033*Tangerang 0.362 0.988 0.624 0.483Bekasi 0.999 0.918 0.033* 0.483
Universitas Indonesia
66
*Signifikan pada LoS 0.05
Untuk variabel kebahagiaan hasil yang diperoleh hanya dua perbandingan
yang signifikan, yaitu:
1. Perbandingan nilai rata-rata (mean) kebahagiaan antara wilayah
Jakarta dengan Depok signifikan pada LoS 0.05 (M = 0.31308, p=
0.007). Dari hasil ini didapatkan bahwa warga Depok (MDepok= 4.9857)
lebih bahagia bila dibandingkan dengan warga Jakarta (MJakarta=
4.6726). Hasil signifikansi yang diperoleh sebesar 0.007. Nilai
signifikansi tersebut lebih kecil dari 0.05 yang berarti menunjukan
terdapat perbedaan yang signifikan antara skor kebahagiaan Jakarta
dengan Depok.
2. Perbandingan nilai rata-rata (mean) kebahagiaan antara wilayah Bekasi
dengan Depok signifikan pada LoS 0.05 (M = 0.33845, p= 0.033). Dari
hasil ini didapatkan bahwa warga Depok (MDepok= 4.9857) lebih
bahagia bila dibandingkan dengan warga Bekasi (MBekasi= 4.6473).
Hasil signifikansi yang diperoleh sebesar 0.033. Nilai signifikansi
tersebut lebih kecil dari 0.05 yang berarti menunjukan terdapat per-
bedaan yang signifikan antara skor kebahagiaan Bekasi dengan Depok.
3. Selain pada kedua perbandingan wilayah tersebut, perbandingan nilai
rata-rata (mean) kebahagiaan menunjukkan hasil yang tidak signifikan
pada LoS 0.05 yang berarti tidak ada perbedaan nilai kebahagiaan yang
signifikan pada antar wilayah.
Tabel 5.24Hasil Post-Hoc nilai Kepuasan hidup
Jakarta Bogor Depok Tangerang Bekasi
Jakarta 0.569 0.342 0.984 0.327Bogor 0.569 0.090 0.869 1.000Depok 0.342 0.090 0.301 0.028*Tangerang 0.984 0.869 0.301 0.786Bekasi 0.327 1.000 0.028* 0.786
*Signifikan pada LoS 0.05
Universitas Indonesia
67
Untuk variabel kepuasan hidup hasil yang diperoleh hanya satu
perbandingan yang signifikan, yaitu perbandingan nilai rata-rata (mean)
kebahagiaan antara wilayah Bekasi dengan Depok signifikan pada LoS 0.05 (M
= 0.36838, p= 0.028). Dari hasil ini didapatkan bahwa warga Depok (MDepok=
4.4971) lebih puas hidupnya bila dibandingkan dengan warga Bekasi (MBekasi=
4.1288). Hasil signifikansi yang diperoleh sebesar 0.028. Nilai signifikansi
tersebut lebih kecil dari 0.05 yang berarti menunjukan terdapat perbedaan yang
signifikan antara skor kepuasan hidup wilayah Bekasi dengan Depok. Untuk
perbandingan pada wilayah lainnya menunjukkan hasil yang tidak signifikan
pada LoS 0.05 yang berarti tidak terdapat perbedaan nilai kepuasan hidup yang
signifikan pada masing-masing wilayah. Sedangkan untuk variabel kualitas hidup
tidak dilakukan perhitungan Post-Hoc karena hasil ANOVA yang diperoleh
tidaklah signifikan.
Universitas Indonesia
68
BAB 6
KESIMPULAN, DISKUSI dan SARAN
Pada bagian ini akan dipaparkan mengenai kesimpulan yang akan
menjawab permasalahan penelitian berdasarkan analisis data yang diperoleh.
Selanjutnya juga akan dibahas mengenai diskusi yang meliputi diskusi hasil
penelitian utama dan diskusi hasil penelitian tambahan. Setelah diskusi juga akan
diberikan saran bagi untuk penelitian berikutnya.
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil yang diperoleh melalui penelitian ini, maka dapat
disimpulkan bahwa peniliti menolak ketiga Ho dan menerima ketiga Ha yang
terdapat dalam penelitian ini. Sehingga dapat dikatakan kesimpulan yang
diperoleh pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Terdapat hubungan positif yang signifikan antara kebahagiaan dengan
kepuasan hidup; artinya semakin tinggi tingkat kebahagiaan seseorang
akan diikuti dengan semakin tinggi pula tingkat kepuasan hidup yang
dimiliki.
2. Terdapat hubungan positif yang signifikan antara kebahagiaan dengan
kualitas hidup; berarti semakin tinggi tingkat kebahagiaan seseorang akan
diikuti dengan semakin tinggi pula tingkat kepuasan hidupnya.
3. Terdapat hubungan positif yang signifikan antara kepuasan hidup dengan
kualitas hidup; semakin tinggi tingkat kepuasan hidup seseorang akan
diikuti dengan semakin tinggi pula tingkat kualitas hidup yang dimiliki.
4. Mayoritas masyarakat Jabodetabek memiliki tingkat kebahagiaan yang
termasuk ke dalam kategori bahagia.
5. Masyarakat Jabodetabek memiliki tingkat kepuasan yang termasuk ke
dalam kategori puas.
6. Masyarakat Jabodetabek memiliki tingkat kualitas hidup yang termasuk ke
dalam kategori baik
Universitas Indonesia
69
7. Lima aspek kehidupan yang dianggap paling penting bagi masyarakat
Jabodetabek, yaitu keluarga, spiritualitas, kesehatan, keuangan dan
hubungan pertemanan.
8. Faktor penghasilan merupakan faktor yang paling berkontribusi dalam
mempengaruhi kebahagiaan dan kepuasan hidup.
[9.] Perbandingan kebahagiaan dan kepuasan hidup antara masyarakat kota
Jakarta dan wilayah sekitarnya menunjukkan hasil yang
signifikan.Terdapat perbedaan nilai kebahagiaan dan kepuasan hidup yang
signifikan antara masyarakat kota Jakarta dengan wilayah sekitarnya.
6.2 Diskusi
Berdasarkan hasil yang diperoleh pada penelitian ini maka terdapat
beberapa hal yang akan didiskusikan. Melalui penelitian ini terlihat bahwa
sebenarnya masyarakat Jabodetabek merasa hidupnya bahagia dan baik serta puas
dengan kehidupannya. Hal ini mungkin saja terjadi karena ternyata sampel yang
digunakan pada penelitian ini berasal dari kelas ekonomi menengah ke atas.
Sehingga kebutuhan hidup mereka sudah terpenuhi dan tentunya itu
mempengaruhi tingkat kebahagiaan, kepuasan hidup dan kualitas hidup yang
dimiliki.
Pada penelitian ini juga didapatkan ini hasil yangnya menunjukkan bahwa
terdapat hubungan yang positif antara kebahagiaan dan kepuasan hidup pada
masyarakat Jabodetabek yang artinya dengan semakin bahagianya seseorang
maka ia juga akan semakin merasa puas dengan hidupnya. Hal ini sesuai dengan
apa yang dikemukakan oleh Diener, Scollon dan Lucas (2003) yang menyebutkan
bahwa kepuasan hidup merupakan komponen kognitif dari Subjective Well Being
(SWB) atau kebahagiaan. Oleh karena itu untuk mengukur kebahagiaan itu sendiri
Diener et al (dalam Kurtz & Lybomirsly, 2008) menyebutkan terdapat tiga
komponen utama, yaitu seringnya kemunculan afek positif, ketiadaan afek negatif
dan tingginya tingkat kepuasan hidup. Eddington & Shuman (2005) juga
menyebutkan bahwa individu mempunyai SWB tinggi apabila mereka puas akan
kondisi kehidupannya. Berdasarkan penelitian-penelitian tersebut terlihat bahwa
sebenarnya kepuasaan hidup berkorelasi positif dengan kebahagiaan dan hal itu
Universitas Indonesia
70
pula yang didapatkan pada penelitian ini. Tetapi karena kebahagiaan itu sendiri
sangatlah subjektif, maka hasil penelitian-penelitian di atas belum tentu berlaku
pula di Indonesia. Namun melalui penelitian ini bisa terlihat bahwa ternyata pada
masayarakat Indonesia, khususnya Jabodetabek, kebahagiaan masyarakat juga
berhubungan positif dengan tingkat kepuasan hidup yang dimilikinya. Hal ini
sejalan dengan penelitian lainnya dan secara teori berlaku pula di budaya
Indonesia.
Dengan begitu dapat dikatakan pula bahwa konstruk kebahagiaan
merupakan kontrsuk yang bersifat universal dan bisa diterapkan pada berbagai
budaya yang berbeda.
Bila dilihat dari metode pengukuran pun sebenarnya antara kebahagiaan
dan kepuasan hidup saling berhubungan dan tak jarang pula disamakan antar
keduanya. Cara pengukuran kebahagiaan sering menggunakan term kepuasan
hidup khususnya pada survey-survey yang hanya menggunakan satu
pertanyaan tunggal untuk mengukur kebahagiaan (Carr, 2004), seperti
“Seberapa puas Anda dengan kehidupan Anda?”. Hal ini menunjukkan
bahwa dengan mengukur tingkat kepuasan individu terhadap hidupnya
maka akan diperoleh pula gambaran mengenai kebahagiaan yang
dimilikinya. Dengan kata lain bahwa semakin tinggi tingkat kepuasan hidup
maka tingkat kebahagiaannya pun akan tinggi.
Jika dibandingkan pada penelitian ini pada kedua alat ukur yang
digunakan untuk mengukur kebahagiaan dan kepuasan hidup pun disusun
berdasarkan landasan teori yang sama yang mengacu pada kebahagiaan subjektif.
Maka hasilnya pun menunjukkan bahwa kedua berhubungan secara positif.
Kemudian hasil kedua yang diperoleh adalah adanya hubungan yang positif
antara kebahagiaan dengan kualitas hidup. Artinya adalah dengan semakin
tinggi tingkat kebahagiaan seseorang akan diikuti pula dengan tingginya nilai
kualitas hidupnya. Secara teoritis, kualitas hidup merupakan konstruk yang
lebih luas dari kebahagiaan atau SWB (Carr, 2004). Kualitas hidup itu
sendiri sebenarnya merupakan penilaian menyeluruh individu terhadap
kondisi kehidupannya dan meliputi perasaan bahagia dan puas akan hidup
(O’Connor, 1993). Cara pengukuran kualitas hidup yang digunakan pada
Universitas Indonesia
71
penelitian ini pun meminta individu untuk menyebutkan aspek kehidupan
yang dianggap penting kemudian memintanya untuk memberikan penilaian
pada tiap aspeknya berdasarkan kondisinya saat ini. . Dengan kata lain bisa
dikatakan bahwa untuk mengukur kualitas hidup digunakan perasaan puas akan
aspek kehidupannya yang dianggap penting. Maka semakin tinggi nilai
kepuasannya akan makin tinggi pula nilai kualitas hidupnya. Bila dilihat dari
sudut pandang kebahagiaan, salah satu faktor yang mempengaruhi
kebahagiaan adalah bagaimana individu memandang dan memaknai
peristiwa yang terjadi dalam kehidupannya (Diener,1984; Heady et al, 1985;
Heady & Wearing, 1989 dalam O’Connor, 1993). Jadi dapat disimpulkan
dikatakan bahwa kebahagiaan seseorang tercermin dari kualitas hidupnya yang
tersusun melalui tiap peristiwa yang terjadi dalam hidupnya. Selanjutnya
menurut Diener, Scollon dan Lucas (2003) kebahagiaan (SWB) itu sendiri
dapat menggambarkan secara umum gambaran kualitas hidup seseorang.
Hal ini sesuai dengan hasil yang diperoleh pada penelitian ini dimana
didapatkan hasil hubungan yang positif antara kebahagiaan dan kualitas
hidup pada masyarakat Jabodetabek.
Selanjutnya hasil yang juga didapat adalah adanya hubungan yang
positif antara kepuasan hidup dan kualitas hidup yang artinya semakin
tingginya tingkat kepuasan hidup seseorang akan diikuti dengan makin tingginya
pula nilai kualitas hidupnya. Bila mengacu definisi kualitas hidup menurut
Goodinson (dalam O’Connor, 1993) yang menyebutkan bahwa kualitas hidup
merupakan tingkat kepuasan terhadap peristiwa-peristiwa yang dialami pada
kehidupan saat ini. Melalui pengertian ini dapat dikatakan bahwa bila seseorang
mempunyai tingkat kepuasan yang tinggi terhadap hidupnya maka akan memiliki
kualitas hidup yang baik pula. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian ini yaitu
dengan semakin tingginya tingkat kepuasan hidup seseorang maka kualitas
hidupnya akan makin baik. . Kualitas hidup itu sendiri ditentukan oleh
kepuasan karena seseorang akan menilai hidupnya baik apabila ia merasa
puas dengan hidupnya. . Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian ini yaitu
dengan semakin tingginya tingkat kepuasan hidup seseorang maka kualitas
hidupnya akan makin baik. Pada penelitian ini pun melalui alat ukur kualitas
Universitas Indonesia
72
hidup responden diminta untuk menilai kondisi hidupnya saat ini, bila ia merasa
puas maka akan memberikan nilai yang tinggi dan nantinya akan
menyumbangkan nilai yang tinggi pula terhadap kualitas hidupnya secara
keseluruhan.
Berdasarkan hubungan ketiganya maka dapat disimpulkan antara
kebahagiaan, kepuasan hidup dan kualitas hidup saling berhubungan satu
sama lain dan hubungannya positif dimana bila seseorang mempunyai nilai
kebahagiaan yang tinggi maka tingkat kepuasan hidup dan kualitas
hidupnya juga tinggi. Hal ini dapat terjadi karena secara teoritis bila ditelaah
lebih jauh ketiganya saling berkaitan satu sama lain dan saling mempengaruhi
terutama dalam hal pengukurannya..
Untuk kualitas hidup itu sendiri pada penelitian ini diperoleh hasil bahwa
ternyata aspek yang paling dianggap penting bagi masyarakat Jabodetabek adalah
aspek keluarga. Hal ini sesuai dengan budaya yang dianut oleh masyarakat
Indonesia pada umumnya yaitu budaya kolektivistik. Pada budaya ini lebih
menekankan kebersamaan daripada individualisme sehingga tak mengherankan
bila pada masyarakat Jabodetabek menganggap keluarga sebagai aspek yang
paling penting di dalam kehidupannya. Begitu pula dengan aspek terpenting
kedua, yaitu spiritualitas. Hal ini dapat terjadi karena pengaruh budaya yang kuat
terutama unsur agama. Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang sangat kental
unsur keagamaannya sehingga membuat spiritualitas menjadi aspek yang juga
dianggap penting bagi masyarakat Jabodetabek.
Pada hasil tambahan yang diperoleh pada penelitian ini yang menyebutkan
bahwa faktor demografis yang paling dapat memprediksi tingkat kebahagiaan dan
kepuasan hidup adalah faktor penghasilan. Hal ini sesuai dengan penelitian-
penelitian lainnya pada negara berkembang yang menyebutkan bahwa
kebahagiaan dan kepuasan hidup sangat berhubungan dengan penghasilan
(Veenhoven dalam Oishi et al, 2008; Eddington & Shuman, 2005; Carr, 2004).
Penghasilan merupakan faktor yang paling dapat memprediksi karena penghasilan
mempengaruhi faktor-faktor lain seperti kesehatan, pemenuhan kebutuhan,
rekreasi, dll. Dengan semakin tinggi penghasilan seseorang maka faktor-faktor
lain tersebut akan semakin dapat tercukupi dengan layak sehingga tak
Universitas Indonesia
73
mengherankan bila faktor penghasilan merupakan faktor yang paling kuat dapat
mempengaruhi kebahagiaan dan kepuasaan hidup. Hal ini juga yang terjadi pada
penelitian ini dimana mayoritas responden berasal dari kalangan menengah ke
atas yang ternyata merasa bahagia dan puas terhadap hidupnya. Sedangkan untuk
faktor yang paling tidak dapat memprediksi adalah faktor jenis kelamin. Hal ini
sesuai dengan penelitian sebelumnya yang menyebutkan bahwa jenis kelamin
merupakan faktor yang sangat kecil dalam menentukan kebahagiaan dan kepuasan
hidup (Inglehart & Michalos dalam Eddington & Shuman, 2005; Argyle, 1999;
Sousa & Lyubormirsky, 2001).
Selanjutnya bila dilihat perbandingan tingkat kebahagiaan dan kepuasan
hidup pada masyarakat yang berada di Jakarta dan di daerah sekitarnya ternyata
menunjukkan hasil yang signifikan terutama pada wilayah Depok, Jakarta dan
Bekasi. Depok memang memiliki nilai kebahagiaan, kepuasan hidup dan kualitas
hidup yang paling tinggi bila dibandingkan dengan wilayah lainnya. Salah satu
penyebabnya mungkin saja karena Depok merupakan kota yang sedang
mengalami perkembangan pesat. Banyak pembangunan yang terjadi di Depok
dalam beberapa tahun belakangan ini, seperti pembangunan perumahan, sekolah,
pusat perbelanjaan, akses jalan tol, dll. Pembangunan inilah yang nampaknya
memberikan pengaruh terhadap tingkat kebahagiaan dan kepuasan hidup. Dengan
semakin berkembangnya pembangunan kota Depok sebagai daerah penyangga
membuat masyarakatnya merasa lebih puas dengan kehidupannya karena sudah
terpenuhinya fasilitas-fasilitas yang baik. Sedangkan untuk Jakarta dan Bekasi
yang sudah lebih dahulu berkembang membuat masyarakatnya merasakan
masalah yang lebih kompleks, misalnya mengenai kemacetan, kebersihan,
pengangguran, dll. Perbedaan kondisi masyarakat inilah yang kemudian
mempengaruhi tingkat kebahagiaan dan kepuasaan hidup sehingga perbedaannya
menjadi signifikan antara masyarakat yang tinggal di Depok dengan Jakarta dan
Bekasi.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya yaitu Ppada hasil perhitungan
faktor demografis yang mempengaruhi kebahagiaan, kepuasan hidup dan kualitas
hidup diperoleh hasil bahwa hanya faktor penghasilan, pekerjaan dan status
pernikahan yang mempunyai nilai signifikan. Sedangkan hasil yang diperoleh
Universitas Indonesia
74
melalui alat ukur SEIQoL-DW menunjukkan bahwa aspek aspek yang
paling banyak dipilih sebagai aspek terpenting adalah keluarga.
Berdasarkan kedua data tersebut terlihat bahwa keluarga yang pada faktor
demografis terlihat pada status pernikahan juga ternyata secara signifikan
dapat mempengaruhi tingkat kebahagiaan seseorang. Hal ini menunjukkan
bahwa memang benar bagi masyarakat Jabodetabek keluarga merupakan
aspek yang dianggap penting sehingga dapat pula memprediksi tingkat
kebahagiaannya. Begitu pula dengan penghasilan yang menjadi salah satu
aspek terpenting juga ternyata secara signifikan dapat memprediksi tingkat
kebahagiaan dan kepuasan hidup.
Pada penelitian ini terdapat pula beberapa hal mengenai metodologis yang
perlu didiskusikan. Untuk alat ukur yang digunakan, terutama pada SHS dan
SWLS yang berbentuk skala, ternyata item-itemnya kemungkinan memiliki
derajat social desirability tinggi. Orang akan cenderung menganggap hidupnya
bahagia sehingga jawaban yang diberikan pun mempunyai kecenderungan berada
pada salah satu kutub saja. Sedangkan untuk alat ukur SEIQoL-DW merupakan
alat ukur yang berbasis wawancara sehingga idealnya dilakukan langsung oleh
peneliti. Namun pada penelitian ini sebagian kuesioner dititipkan di tiap rumah
untuk diisi oleh anggota keluarga lainnya. Walaupun sebelumnya telah dijelaskan
mengenai maksud tiap item beserta aspek-aspeknya, tapi mungkin saja terjadi
kesalahan ketika mengisi. Hal ini kemungkinan akan mempengaruhi hasil yang
diperoleh tentang gambaran kualitas hidup subjek dalam penelitian ini sehingga
hasil yang diperoleh bisa saja tidak benar-benar menggambarkan kualitas hidup
yang sesungguhnya dimiliki oleh responden.
Pada penelitian ini pengambilan sampel dilakukan secara non-random
sehingga tidak semua orang dalam populasi memiliki kesempatan yang sama
untuk menjadi responden. Hal ini karena keterbatasan yang dimiliki peneliti. Oleh
karena itu, hasil yang diperoleh pada penelitian ini tidak dapat digeneralisasikan
ke dalam keseluruhan populasi. Hasil penelitian ini hanya dapat menggambarkan
kondisi dari responden yang menjadi sampel pada penelitian ini.
Universitas Indonesia
75
6.3 Saran
6.3.1 Saran Metodologis
Saran yang dapat diberikan berdasarkan penelitian ini yang berkaitan
dengan metodologis penelitan agar berguna bagi penelitian selanjutnya antara
lain:
1. Mengambil sampel yang lebih banyak dan tersebar pada tiap wilayah.
Pada penelitian ini, tiap wilayah hanya diwakilkan oleh sekitar 30 rumah
dan berasal dari satu lingkungan atau daerah yang sama. Untuk penelitian
selanjutnya sebaiknya mengambil yang lebih banyak dari daerah yang
berbeda-beda untuk tiap-tiap wilayah agar dapat lebih bervariasi sehingga
dapat lebih menggambarkan masing-masing wilayah.
2. Mengambil sampel dengan cara random sehingga hasil yang diperoleh
dari penelitian dapat digeneralisasikan.
3. Melakukan rapport yang lebih baik sehingga dalam satu rumah dapat
diperoleh lebih banyak lagi responden yang bersedia mengisi kuesioner.
4. Dalam mengukur kualitas hidup, sebaiknya dilakukan pula wawancara
(penelitian kualitatif) mengenai aspek-aspek kehidupan sehingga dapat
diperoleh hasil yang lebih kaya.
5. Untuk mendapat gambaran mengenai kebahagiaan, kepuasan hidup dan
kualitas hidup masyarakat Jabodetabek yang lebih mendalam sebaiknya
dilakukan penelitian sejenis pada kelas sosial lainnya.
6. Menyempurnakan alat ukur terutama dalam proses pengadaptasiannya
agar sesuai dengan kondisi budaya dan sasaran karakteristik responden
agar mereka tidak mengalami lagi kesulitan ketika mengisi kuesioner.
6.3.2 Saran Praktis
Saran praktis yang dapat diberikan berdasarkan hasil penelitian ini, yaitu:
1. Dapat dijadikan referensi tambahan bagi penelitian-penelitian di bidang
psikologi positif khususnya yang membahas mengenai kebahagiaan,
kepuasan hidup dan kualitas hidup terutama bagi penelitian di Indonesia.
Universitas Indonesia
76
[2.] Hasil penelitian ini hanya menggambarkan sampel pada penelitian ini saja
dan tidak dapat digeneralisasikan pada masyarakat Jabodetabek
sepenuhnya mengingat pengambilan sampel yang tidak random.
[3.] Bagi pemerintah Jabodetabek, dapat dijadikan masukan dalam membuat
kebijakan yang berkaitan dengan kesejahteraan masyarakat..
[4.]
Universitas Indonesia
77
DAFTAR PUSTAKA
Aiken, L.R., dan Groth-Marnat, G. (2006). Psychological testing and
assestment (12th ed.). Boston : Pearson Education Group Inc.
Argyle, M. (1999). Causes and correlates of happiness. Dalam D. Kahneman, E.
Diener, & N. Schwarz (Eds.). Well-being: The foundations of hedonic
psychology (hal. 353-373). New York: Russell Sage Foundation.
Bertens, K. (1993). Etika. Jakarta: PT Gramedia Pustaka.
Browne, John P., Boyle, Ciaran A., McGee, Hannah M., McDonald, Nicholas J.,
dan Joyce, C. R. B. (1997). Development of a Direct Weighting Procedure
for Quality of Life Domains. Quality of Life Research, 6, 301-309, 1997
Carr, A. (2004). Positive psychology: The science of happiness and human
strengths. New York: Brunner-Routledge.
Carr, A.J & Higginson, I.J. (2001). Measuring duality of life: Are quality of life
measures patient centred?. February 6, 2009. BMJ
Cohen, Ronald Jay., dan Swerdlik, Mark E. (2005). Psychological Testing and
Assessment: An Introduction to Tests and Measurements. New York:
McGrawHill.
Crocker, Linda M. & Algina, James. 1986. Introduction to Classical and Modern
Test Theory. New York: Holt, Rinehart & Winston, Inc.
Diener, E., Scollon, C.N., dan Lucas, R.E. (2003). The evolving concept of
subjective well-being: The multifaceted nature of happiness. Advances in
Cell Aging and Gerontology, vol. 15, 187–219.
Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Provinsi DKI Jakarta. (2008). Jumlah
Penduduk Provinsi DKI Jakarta. Diunduh pada 03 Mei 2009, diunduh dari
http://www.kependudukancapil.go.id/index.php/component/content/4?
task=view
Eddington, N. & Shuman, R. (2005). Subjective well-being (happiness).
http://www.texcpe.com/cpe/PDF/ca-happiness.pdf (diunduh pada tanggal
18 Maret 2009)
Universitas Indonesia
78
Fadjri, P.A. (n.d.). Analisa indikator kualitas hidup penduduk Indonesia menurut
kabupaten/kotamadya. http://www.digilib.ui.ac.id/opac/hemes/libri2/detail
.jsp?id=76338&lokasi=lokal. (diunduh pada tanggal 22 Februari 2009)
Faturochman. (1990). Kualitas hidup sebagai sasaran pembangunan. Kompas.
www. zudha/file/KORAN%2520.com. (diunduh pada tanggal 6 Februari
2009)
Galati, D., Manzano, M., Sotgiu, I. (2006). The subjective components of
happiness and their attainment: A cross-cultural comparison between Italy
and Cuba. Social Science Information. 45, 4.
Gravetter, F.J., dan Wallnau, L.B. (2007). Statistics for the behavioral sciences
(7th ed.). Canada: Thomson Wadsworth.
Guilford, J.P, & Fruchter, B. (1981). Fundamental statistics in psychology and
education (6th ed). Singapore: McGraw-Hills.
Gundelach, P., & Kreiner, S. (2004). Happiness and life satisfaction in advanced
european countries. Cross-Cultural Research 2004; 38; 359., diunduh dari
http://ccr.sagepub.com/cgi/content/ abstract/38/4/359. (diunduh pada
tanggal 7 September 2008)
Hadar, I.A. (2007). Persoalan Jakarta di usia ke-480. http://www.sinarharapan.
co.id/berita/0706/23/opi01.html. (diunduh pada tanggal 26 Februari 2009)
Harinowo, S. (2008). Kebangkitan Kelas Menengah Indonesia. Ekonomi.
http://blog-suwardi.blogspot.com/2008/10/kebangkitan-kelas-menengah-
indonesia.html (diunduh pada tanggal 13 Februari 2009).
Hickey, A.M. et al. (1996). A new short form individual quality of life measure
(SEIQoL-DW): Application in a cohort of individuals with HIV/AIDS.
July, 6. BMJ
Izawa, N. (2004). An Exploration of Subjective Well-Being: A Review of
Empirical Factors and Paths for The Future.
http://proquest.umi.com/pqdweb?
index=2&did=765826931&SrchMode=1&sid=2&Fmt=6&VInst=PROD&
VType=PQD&RQT=309&VName=PQD&TS=1242964017&clientId=456
25 (diunduh pada tanggal 18 Maret 2009)
Universitas Indonesia
79
Khizindar, T.M. (2009). Quality of life in developing countries: An empirical
investigation. Journal of American Academy of Business Vol 14.
Kerlinger, F.N., dan Lee, H.B. (2000). Fundations of behavioral research (4th
ed.). Orlando: Harcourt College Publishers.
Kumar, R. (1999). Research methodology: A step-by-step guide for beginners.
London: Sage Publications.
Kurtz, J.L. & Lyubomirsky, S. (2008). Toward a Durable Happiness. (diunduh
pada tanggal 13 Februari 2009).
Lepper, H.S., Lyubomirsky, S. (1997). A measure of subjective happiness:
Preliminary reliability and construct validation.
Miller, P.H. (1983).Theories of developmental Psychology (3rd ed) .New York:
Freeman company.
O’Connor, R. (1993). Issues in The Measurement of Health Related Quality of
Life. Australia: Working Paper 30 July 1993.
Oishi, S. et al (2008). Cross-cultural variations in predictors of life satisfaction:
Perspective from needs and values.
Panggabean, S.K. (2006). Gambaran subjective well being warga DKI Jakarta.
Depok: Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia.
Pavot, W. & Diener, E. (1993). Review of the satisfaction with life scale. (diunduh
pada tanggal 13 Februari 2009).
Seniati, L., Yulianto, A., dan Setiadi, B.N. (2005). Psikologi eksperimen. Jakarta:
PT Indeks Gramedia.
Sousa, L. & Lyubomirsky, S. (2001). Life satisfaction. Encylopedia of women and
gender: Sex similarities and differences and the impact of society on
gender (Vol. 2, pp. 667-676). . San Diego, CA:Academic Press.
Vallerand, A. H. Breckendridge, D. M. & Hodgson, N. A. (1998). Theories and
Conceptual Models to Guide Quality of Life Related Research. In C. R.
King and P. S. Hinds (Eds.). Quality of Life from Nursing and Patient
Perspectives (p. 37-54). Boston: Jones and Bartlett Publishers.
Van Hoorn, A. (2007). A short introduction to subjective well-being: Its
measurement, correlates and policy uses. January 28, 2009. ABI/INFORM
Global (Proquest) database.
Universitas Indonesia
80
Wardhani, Vini. (2006). Gambaran Kualitas Hidup Dewasa Muda Berstatus
Lajang melalui Adaptasi Instrumen WHOQOL-BREF dan SRPB. Depok:
Pascasarjana Fakultas Psikologi UI. Tugas Akhir S2
Yudistira, C. (n.d.). Kota bekasi 12 tahun. Diunduh dari http://megapolitan.
kompas.com/read/xml/2009/03/16/06484682/ (diunduh pada tanggal 19
Juni 2009).
http://www.antara.co.id/arc/2008/. (diunduh pada tanggal 26 Februari 2009).
http://www.frontier.co.id/awardsdetail.php?id=10. (diunduh pada tanggal 24
Februari 2009)
http://www.kickandy.com/forum/viewtopic.php. (diunduh pada tanggal 16
Februari 2009).
http://www.edo.web.id/wp/2008/02/19/bahagia/. (diunduh pada tanggal 16
Februari 2009).
http://id.answers.yahoo.com/question/index?qid . (diunduh pada tanggal 16
Februari 2009).
Universitas Indonesia