skripsi-hubungan kebahagiaan dengan kepuasan hidup

123
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Semua orang menginginkan kebahagiaan dalam hidupnya. Aristoteles (dalam Bertens, 1993) menyebutkan bahwa kebahagiaan merupakan tujuan utama dari eksistensi manusia di dunia. Kebahagiaan itu sendiri dapat dicapai dengan terpenuhinya kebutuhan hidup dan ada banyak cara yang ditempuh oleh masing-masing individu. Orang bekerja untuk memperoleh penghasilan dan pencapaian karier. Orang berkeluarga untuk memenuhi kebutuhan akan cinta dan kasih sayang. Begitu pula orang belajar untuk memenuhi kebutuhan akan ilmu pengetahuan. Semua kegiatan tersebut dilakukan untuk memperoleh satu tujuan, yaitu kebahagiaan. Bagi masyarakat awam sendiri, kebahagiaan mempunyai arti yang berbeda bagi tiap individu dan seringkali menjadi tumpang tindih dengan kepuasan hidup dan kualitas hidup. Hal ini bisa terlihat bila kita mengetikkan kata kebahagian, kepuasan hidup dan kualitas hidup di berbagai forum internet. Hasilnya menunjukkan bahwa ternyata di masyarakat definisi ketiga istilah tersebut saling tumpang tindih satu sama lain. Bagi beberapa orang kebahagiaan mungkin berarti mempunyai kelimpahan materi atau mendapatkan semua yang diinginkan. Bagi mereka, kebahagiaan diukur dengan Universitas Indonesia

Upload: justin-morris

Post on 28-Oct-2015

921 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

kebahagiaan

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Semua orang menginginkan kebahagiaan dalam hidupnya. Aristoteles

(dalam Bertens, 1993) menyebutkan bahwa kebahagiaan merupakan tujuan utama

dari eksistensi manusia di dunia. Kebahagiaan itu sendiri dapat dicapai dengan

terpenuhinya kebutuhan hidup dan ada banyak cara yang ditempuh oleh masing-

masing individu. Orang bekerja untuk memperoleh penghasilan dan pencapaian

karier. Orang berkeluarga untuk memenuhi kebutuhan akan cinta dan kasih

sayang. Begitu pula orang belajar untuk memenuhi kebutuhan akan ilmu

pengetahuan. Semua kegiatan tersebut dilakukan untuk memperoleh satu tujuan,

yaitu kebahagiaan.

Bagi masyarakat awam sendiri, kebahagiaan mempunyai arti yang berbeda

bagi tiap individu dan seringkali menjadi tumpang tindih dengan kepuasan hidup

dan kualitas hidup. Hal ini bisa terlihat bila kita mengetikkan kata kebahagian,

kepuasan hidup dan kualitas hidup di berbagai forum internet. Hasilnya

menunjukkan bahwa ternyata di masyarakat definisi ketiga istilah tersebut saling

tumpang tindih satu sama lain. Bagi beberapa orang kebahagiaan mungkin berarti

mempunyai kelimpahan materi atau mendapatkan semua yang diinginkan. Bagi

mereka, kebahagiaan diukur dengan pencapaian materi yang seringkali

menganggap orang yang kaya akan merasa lebih bahagia dibandingkan dengan

orang yang hidup serba kekurangan. Namun bila ditanyakan lebih lanjut kepada

orang yang kaya ternyata mereka pun belum tentu merasa bahagia dengan segala

kelimpahan materi yang dimilikinya. Selanjutnya ada pula yang akan merasa

bahagia bila bisa membuat orang lain bahagia atau memberikan manfaat kepada

sesama manusia (http://www.kickandy.com /forum/viewtopic.php). Atau bagi

sebagian orang dengan menikmati dan mensyukuri apa yang dimilikinya dapat

membuatnya merasakan kebahagiaan (http://www.edo.web.id/wp

/2008/02/19/bahagia/). Pada pendapat terakhir terlihat bahwa kebahagiaan

berkaitan dengan rasa puas terhadap hidup, yaitu dengan mensyukuri apa yang

dimiliki atau dengan kata lain akan bahagia bila merasa puas dengan hidupnya.

Universitas Indonesia

2

Kepuasan hidup itu sendiri merupakan istilah yang sering dikaitkan

dengan kebahagiaan dan kualitas hidup. Bagi sebagian orang kebahagiaan diukur

dengan cara melihat kepuasan akan hidupnya. Bila mereka merasa puas maka

mereka juga akan mengatakan dirinya bahagia. Sedangkan untuk menilai

kepuasan hidup itu berbeda bagi tiap individu. Masing-masing individu

mempunyai batasan ideal sendiri yang digunakan untuk mengukur tingkat

kepuasan hidupnya. Oleh karena itu kepuasan hidup pun menjadi sangat subjektif

sesuai dengan batasan ideal yang dimiliki oleh masing-masing individu. Bila kita

bicara mengenai kepuasan hidup maka tidak bisa dilepaskan dari bagaimana

seseorang menilai kualitas hidupnya. Penilaian kualitas hidup biasanya dilihat dari

kepuasan individu terhadap hidupnya begitu pula sebaliknya. Orang akan merasa

puas bila kualitas hidupnya baik. Di lain pihak orang mempunyai kualitas hidup

yang baik karena merasa puas akan pencapaian yang diraihnya dalam hidup.

Tetapi pada kenyataannya dapat ditemui orang yang merasa puas dengan

segala yang dimiliki dalam hidup, seperti materi, jabatan dan keluarga tetapi

masih belum merasa bahagia dengan hidupnya. Ada juga yang merasa kualitas

hidupnya buruk tetapi ternyata di dalam keterpurukannya itu masih bisa

merasakan kebahagiaan. Maka dapat dikatakan bahwa bisa saja seseorang merasa

puas tetapi tidak bahagia, merasa bahagia tetapi hidupnya buruk atau merasa

bahagia walaupun tidak puas dengan hidupnya. Hal ini menjadi menarik untuk

diteliti mengenai batasan dan hubungan antara kebahagiaan, kepuasan hidup dan

kualitas hidup satu sama lain pada masyarakat.

Perbedaan pengertian yang tumpang tindih di dalam masyarakat mengenai

kebahagiaan, kepuasan hidup dan kualitas hidup bukanlah menjadi suatu hal yang

mengherankan karena secara teoritis kedua hal tersebut masih menjadi perdebatan

di kalangan ahli. Kebahagiaan dapat diartikan sebagai sebuah penilaian

menyeluruh tentang kehidupan secara lengkap, yang meliputi aspek kognitif dan

afektif (Galati, Manzano & Sotgiu, 2006). Sedangkan yang dimaksud dengan

kepuasan hidup adalah penilaian subjektif atas kualitas hidup seseorang (Sousa &

Lyubomirsky, 2001). Lebih jauh lagi dapat diartikan sebagai kepuasan atau

penerimaan seseorang atas peristiwa di dalam hidupnya atau pemenuhan

keinginan dan kebutuhan seseorang di dalam kehidupannya secara menyeluruh.

Universitas Indonesia

3

Berdasarkan pengertian diatas saja terlihat bahwa antara kebahagiaan dan

kepuasan hidup ternyata saling berkaitan.

Satu istilah lain yang juga berkaitan dengan kebahagiaan dan kepuasan

hidup adalah subjective well-being (SWB). Van Hoorn (2007) secara spesifik

menyebutkan bahwa SWB terdiri dari dua komponen yang terpisah, yaitu bagian

afektif yang merupakan evaluasi hedonis melalui emosi dan perasaan, serta bagian

kognitif yang merupakan informasi berdasarkan penilaian seseorang akan

harapannya terhadap kehidupan ideal. O’Connor (1993) menyebutkan bahwa

istilah kepuasan hidup dapat juga mengacu pada SWB yaitu merupakan penilaian

individual akan kebahagiaan atau kepuasan yang menggambarkan penilaian

global atas keseluruhan aspek dalam hidup seseorang.

Galati, Manzano & Sotgiu (2006) menyatakan bahwa pada kenyataannya

ketiga istilah di atas sering digunakan untuk menjelaskan jenis fenomena yang

sama. Sebagai contoh, kebahagiaan dapat dilihat sebagai komponen dari

subjective well-being (SWB) dan komponen lainya adalah kepuasan. Lebih lanjut

diutarakan bahwa kebahagiaan dan kepuasan hidup berhubungan sangat erat tetapi

tidak sama (Gundelach & Kreiner, 2004). Sedangkan Diener, et al (dalam

Panggabean, 2006) menyebutkan bahwa kepuasan hidup merupakan satu faktor di

dalam konstruk yang lebih umum, yaitu subjective well-being, yang terdiri dari

tiga komponen yaitu dorongan afeksi positif, dorongan afeksi negatif, dan

kepuasan hidup. Saat ini hubungan antara kebahagiaan, kepuasan hidup dan

kualitas hidup secara menyeluruh masih menjadi perdebatan dan setiap tokoh

memiliki pandangan yang berbeda mengenai istilah-istilah tersebut.

Tidak hanya ketumpangtindihan definisi tetapi ternyata faktor-faktor yang

mempengaruhi kebahagiaan, kepuasan hidup dan kualitas hidup pun nampaknya

sama dan saling berkaitan. Salah satu faktor yang mempengaruhi ketiganya adalah

kepribadian. Kepribadian orang berbeda-beda, maka penilaian hidup pun menjadi

berbeda bagi tiap individu. Orang yang memiliki kepribadian ekstravert, optimis,

harga diri tinggi dan locus of control internal dilaporkan memiliki tingkat

kebahagiaan dan kepuasan hidup yang lebih tinggi (Carr, 2004; Sousa &

Lybormirsky, 2001). Hal ini dapat terjadi karena ia menilai kualitas hidupnya

lebih baik yang ditandai pada setiap peristiwa yang terjadi di dalam hidupnya.

Universitas Indonesia

4

Selain kerancuan tersebut, sebenarnya ada pula yang menyebutnya sebagai

konsep yang berbeda. Berdasarkan Indonesian Happiness Index (IHI) pada tahun

2007 yang merupakan indikator tingkat kebahagiaan masyarakat Indonesia,

khususnya masyarakat kota besar, Jakarta berada di urutan kelima dari enam kota

besar yang diteliti. Tingkat kebahagiaan Jakarta lebih rendah bila dibandingkan

dengan kota besar lainnya, yaitu Semarang pada urutan pertama dan diikuti oleh

Makassar, Bandung, dan Surabaya (http://www.frontier.co.id/awardsdetail. php?

id=10). Walaupun tingkat kebahagiaan masyarakat Jakarta lebih rendah dibanding

kota besar lainnya, tetapi ternyata kualitas hidup penduduk Jakarta adalah yang

tertinggi di Indonesia bila dilihat dari karakteristik pendidikan, kesehatan,

perekonomian, dan keluarga. Lima wilayah yang memiliki ranking kualitas hidup

terendah adalah Propinsi Nusa Tenggara Timur, Irian jaya, Nusa Tenggara Barat,

Sulawesi Tenggara, dan Maluku Utara. Di propinsi DKI Jakarta sendiri, Jakarta

Timur menduduki peringkat tertinggi dalam hal kualitas hidup (Fadjri dalam

http://www.digilib.ui.ac.id/). Berdasarkan kedua data diatas menunjukkan bahwa

Kota Jakarta memiliki tingkat kebahagiaan yang lebih rendah dibandingkan kota

lainnya namun ternyata malah menjadi kota dengan ranking kualitas hidup terbaik

di Indonesia. Membandingkan kedua hal tersebut membuat peneliti ingin

melakukan penelitian mengenai hubungan antara kebahagiaan dan kualitas hidup

masyarakat suatu kota.

Pada negara berkembang, kondisi perekonomian, kesehatan, keamanan

dan aspek lainnya masih belum stabil dan masih mengandung persoalan seiring

dengan pertumbuhan negara. Hal tersebut ternyata berhubungan dengan kepuasan

hidup secara keseluruhan masyarakat di dalam negara tersebut. Menurut

penelitian yang dilakukan oleh Khizindar (2009) mengenai kualitas hidup di Saudi

Arabia yang merupakan salah satu negara berkembang menyebutkan bahwa

kepuasan hidup secara keseluruhan didapatkan melalui domain kebahagiaan

materi, emosional, komunitas, kesehatan dan keamanan. Beberapa keadaan demo-

grafis juga berhubungan secara signifikan terhadap nilai kualitas hidup secara

keseluruhan. Indonesia sebagai salah satu negara berkembang juga tentunya

memiliki kondisi yang berbeda dengan negara berkembang lainnya, maka

Universitas Indonesia

5

penelitian ini perlu dilakukan untuk mengetahui pengaruh keadaan negara

terhadap kepuasan hidup masyarakatnya.

Sebagai kota metropolitan, Jakarta telah mengalami banyak sekali

kemajuan dan perkembangan ini berjalan sangat cepat. Kita dapat

membandingkan keadaan kota Jakarta kini dengan sepuluh tahun lalu. Dalam

sepuluh tahun terakhir, pembangunan berjalan sangat cepat. Sekarang banyak mal,

perumahan, sekolah hingga rumah sakit dan pekantoran yang baru dibangun di

Jakarta. Pada tahun 2007, sebanyak 45 persen investasi dalam negeri ditempatkan

di Jakarta sebagai pusat administratif, politis, ekonomi dan kebudayaan (Hadar,

2007). Maka tak heran bila banyak orang yang mencoba mengadu nasib di Jakarta

karena kota ini menjanjikan segala macam fasilitas bagi masyarakatnya. Di

Jakarta sendiri dapat ditemui masyarakat dengan bermacam-macam latar

belakang, seperti agama, suku, pekerjaan, pendidikan, dll.

Pembangunan yang pesat ini tentunya memberikan kemudahan dan

kesenangan bagi masyarakatnya. Namun, selain mengalami kemajuan dalam

pembangunan, ternyata kota Jakarta juga menyimpan banyak masalah yang masih

harus dibenahi. Persoalan pelik pertama yang dihadapai Jakarta adalah masalah

transportasi. Kemacetan sudah menjadi hal yang wajar di Jakarta, masyarakat

Jakarta pun sudah terbiasa dengan macet yang terjadi setiap harinya di jalanan

ibukota ditambah dengan sarana transportasi yang kurang memadai (Hadar,

2007). Kemiskinan dan pengangguran juga menjadi masalah yang terus dihadapi

oleh masyarakat Jakarta. Pada tahun 2007 jumlah pengangguran di Jakarta

mencapai 12,57 persen atau meningkat bila dibandingkan dengan level 10 tahun

yang lalu (http://www.antara.co.id/). Banyaknya tenaga kerja tidak seimbang

dengan jumlah lapangan pekerjaan yang tersedia. Hal ini menimbulkan banyaknya

masyarakat yang mengalami kemiskinan. Di balik semua masalah dan

pembangunan yang terjadi di Jakarta, tentunya akan mempengaruhi

masyarakatnya yang tinggal di Jakarta.

Dengan melihat penjelasan mengenai kota Jakarta, terlihat bahwa

masyarakat yang tinggal di Jakarta akan dihadapkan pada sebuah kehidupan yang

dilematis, yaitu antara pesatnya pembangunan yang terus terjadi dengan semakin

banyaknya masalah yang juga tetap menyertainya. Misalnya ada banyak pusat

Universitas Indonesia

6

perbelanjaan yang terdapat di Jakarta tetapi untuk mencapainya orang harus

melewati kemacetan lalu lintas yang selalu terjadi di jalan raya. Atau kemewahan

harta yang malah mengundang orang untuk melakukan tindakan kriminalitas.

Berdasarkan pada kenyataan tersebut munculah suatu pertanyaan yang menarik,

yaitu bagaimana kualitas hidup masyarakat yang tinggal di Jakarta sesuai dengan

dinamika perkembangan dan masalah yang dihadapi? Selanjutnya apakah

masyarakat yang tinggal di Jakarta ini tetap mampu merasa bahagia dan puas akan

kehidupannya seiring dengan perkembangan kota Jakarta serta persoalan yang

juga menyertainya?

Berdasarkan pemaparan diatas maka peneliti ingin melihat lebih dalam

mengenai gambaran kebahagian dan kepuasan hidup yang dimiliki oleh

masayarakat Jakarta. Lalu bagaimana hubungannya satu sama lain dan kaitannya

terhadap kualitas hidup secara menyeluruh pada masyarakat Jakarta dan

sekitarnya sebagai salah satu kota di negara berkembang yang tentunya memiliki

banyak sisi yang menarik. Pada penelitian ini responden yang akan digunakan

adalah masyarakat tingkat menengah kota Jakarta karena dianggap telah dapat

memenuhi kebutuhan dasar mereka sehingga dapat lebih menggambarkan

kebahagiaan yang dimiliki terlepas dari masalah pemenuhan kebutuhan (Izawa,

2005). Selain masyarakat yang tinggal di Jakarta, peneliti juga mengambil sampel

pada masayarakat yang tinggal di sekitar Jakarta yang sebenarnya

menggantungkan perekonomiannya di Jakarta tetapi karena terbatasnya lahan

perumahan membuat mereka tinggal di daerah sekitar Jakarta, seperti Bekasi,

Depok, Bogor, dan Tangerang.

1.2 Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang diajukan pada penelitian ini adalah sebagai

berikut:

1. Bagaimana gambaran kebahagiaan, kepuasan hidup dan kualitas hidup

masyarakat kelas menengah Jabodetabek?

2. Bagaimana hubungan antara kebahagiaan, kepuasan hidup dan kualitas

hidup pada masyarakat kelas menengah Jabodetabek?

Universitas Indonesia

7

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran nilai

kebahagiaan, kepuasan hidup dan kualitas hidup serta hubungannya satu sama lain

pada masyarakat kelas menengah kota Jakarta dan sekitarnya.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah untuk memberikan pengetahuan baru

yang diharapkan dapat menjelaskan lebih dalam mengenai hubungan antara

kebahagiaan, kepuasan hidup dan kualitas hidup. Penelitian ini juga dapat

memperkaya penelitian-penelitian sebelumnya yang juga membahas aliran

psikologi positif yang berkembang pesat akhir-akhir ini. Selanjutnya hasil

penelitian ini dapat digunakan sebagai salah satu informasi untuk penelitian

selanjutnya mengenai kualitas hidup. Secara praktis diharapkan hasil yang

diperoleh dapat digunakan sebagai masukan bagi pemerintah Jabodetabek dalam

membuat keputusan menyangkut kesejahteraan masyarakatnya.

1.5. Sitematika Penulisan

Laporan penelitian ini terdiri dari enam bagian. Pada bagian pertama

merupakan pendahuluan dan sistematika selanjutnya adalah sebagai berikut:

Bab II: Bab II mengulas dasar-dasar teori yang digunakan untuk mendukung

penelitian yang akan dilakukan, yaitu teori mengenai kebahagiaan,

kepuasan hidup dan kualitas hidup yang merupakan variabel dalam

penelitian ini.

Bab III: Bab III menguraikan mengenai permasalahan, hipotesis, dan variabel

penelitian, baik secara konseptual maupun operasional.

Bab IV: Bab IV memberikan penjelasan mengenai metode penelitian yang

digunakan, yang terdiri dari tipe dan desain penelitian, partisipan

penelitian, teknik pengambilan sampel, instrumen penelitian, pengujian

instrumen penelitian, dan prosedur pelaksanaan penelitian.

Bab V: Bab V merupakan bagian hasil dan analisis hasil dari data penelitian.

Pada bagian ini dijelaskan mengenai gambaran umum kebahagiaan,

kepuasan hidup dan kualitas hidup pada masyarakat kelas menengah

Universitas Indonesia

8

Jabodetabek, serta hubungan menyeluruh antara ketiganya. Selain itu

juga disertakan hasil tambahan yang didapatkan dari penelitian ini.

Bab VI: Bab VI berisi kesimpulan yang menjawab permasalahan penelitian,

diskusi yang memuat perbandingan dengan temuan-temuan sebelumnya

serta keterbatasan penelitian, saran metodologis untuk mengembangkan

penelitian, dan saran praktis yang dapat dilakukan berdasarkan hasil

penelitian.

Universitas Indonesia

9

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

Pada bagian ini akan dijelaskan tinjauan pustaka yang digunakan dan

sebagai acuan teoritis dalam penelitian ini. Terdapat tiga tinjauan utama, yaitu

mengenai kebahagiaan, kepuasan hidup, dan kualitas hidup. Penjelasan ini

meliputi definisi, faktor-faktor yang mempengaruhi serta bagaimana cara

pengukurannya. Kemudian juga dijelaskan mengenai gambaran masyarakat

Jebodetabek.

2.1 Kebahagiaan

2.1.1 Definisi kebahagiaan

Istilah happiness atau kebahagiaan seringkali dikaitkan dengan aliran baru

di bidang psikologi, yaitu psikologi positif yang lebih menekankan pada aspek

positif karakteristik yang dimiliki manusia. Hingga saat ini terdapat banyak

pengertian mengenai kebahagiaan. Diener, Scollon dan Lucas (2003)

menyebutkan bahwa kebahagiaan tidaklah bisa didefinisikan dalam satu bentuk

cara saja. Kebahagiaan bisa berarti kesenangan, kepuasan hidup, emosi positif,

kebermaknaan hidup atau rasa suka. Beberapa pengertian kebahagiaan adalah

sebagai berikut:

Galati, Manzano & Sotgiu (2006) mengartikan kebahagiaan adalah sebagai

sebuah penilaian menyeluruh tentang kehidupan secara lengkap, yang

meliputi aspek kognitif dan afektif.

Veenhoven (2007) mendefinisikan kebahagiaan sebagai apresiasi

keseluruhan tentang kehidupan seseorang sebagai suatu kesatuan.

Kedua pengertian tersebut mendefinisikan kebahagiaan sebagai penilaian subjektif

secara keseluruhan terhadap kehidupan masing-masing individu yang meliputi

aspek kognitif dan afektif. Karena kebahagiaan sangatlah subjektif, maka para

para peneliti memilih untuk lebih menggunakan istilah subjective well being

(SWB) karena SWB lebih menekankan pada penilaian individu sendiri terhadap

hidupnya dan bukan merupakan penilaian ahli. Kebahagiaan kadangkala

digunakan sebagai sinonim dari SWB (Diener, Scollon dan Lucas, 2003). Carr

Universitas Indonesia

10

(2004) bahkan memberi definisi yang sama antara kebahagiaan dan SWB, yakni

sebuah keadaan psikologis positif yang dikarakteristikan dengan tingginya tingkat

kepuasan terhadap hidup, tingginya tingkat afek positif, dan rendahnya tingkat

afek negatif. Menurut Diener, Scollon dan Lucas (2003) SWB itu sendiri memiliki

beberapa komponen, yaitu afek positif, afek negatif, kepuasan hidup dan domain

kepuasan.

Berdasarkan beberapa definisi diatas maka peneliti menganggap bahwa

kebahagiaan dianggap sinonim dari SWB mengacu pada Diener, Scollon dan

Lucas (2003) serta definisi yang digunakan adalah penilaian individu terhadap

kehidupannya sendiri yang meliputi afek positif, rendahnya afek negatif, kepuasan

hidup secara umum dan domain kepuasan. Berikut ini akan dijelaskan lebih lanjut

mengenai komponen-komponen Subjective Well Being.

2.1.1.1 Komponen Subjective Well Being

Subjective well being (SWB) menggambarkan evaluasi yang menyeluruh

mengenai kehidupan seseorang, namun secara lebih dalam dan tepat, SWB terdiri

atas beberapa komponen, yaitu afek positif, afek negatif, kepuasan dan domain

kepuasan yang cukup berkorelasi satu sama lain dan secara konseptual

berhubungan (Diener, Scollon dan Lucas, 2003). Lebih jauh lagi penjelasan

mengenai komponen-komponen tersebut adalah sebagai berikut:

1. Afek positif dan negatif

Afek pleasant dan unpleasant merefleksikan pengalaman mendasar

atas peristiwa yang sedang terjadi di dalam kehidupan seseorang.

Maka banyak penelitian yang menyebutkan bahwa penilaian afektif

ini merupakan bentuk utama dari penilaian SWB. Penilaian afektif

dapat berbentuk emosi dan mood. Emosi merupakan reaksi singkat

yang berdasarkan pada peristiwa khusus atau stimulus eksternal,

sedangkan mood merupakan perasaan yang lebih panjang atau

menetap dan tidak didasarkan pada peristiwa khusus. Penilaian

afektif penting karena dengan mengetahui jenis afeksi yang dialami

oleh individu maka peneliti bisa memahami cara individu tersebut

Universitas Indonesia

11

mengevaluasi kondisi dan pertistiwa yang terjadi di dalam

hidupnya.

2. Kepuasan hidup

Kepuasan hidup adalah penilaian individu terhadap kualitas

kehidupannya secara global. Individu dapat menilai kondisi

kehidupannya, menentukan kepentingan dari kondisi itu dan

mengevaluasi kehidupannya pada skala yang berkisar dari tidak

puas hingga puas. Kepuasan hidup menrupakan komponen kognitif

dari SWB karena memerlukan proses kognitif, sedangkan afek

positif dan negatif merupakan komponen afektif.

3. Domain kepuasan

Domain kepuasan merefleksikan eveluasi seseorang mengenai

aspek khusus dalam hidupnya. Domain kepuasan ini penting

karena dengan mengukur kepentingan domain dari kehidupan

seseorang, maka kita dapat mengkonstruk kembali penilaian

kepuasan hidupnya secara global. Domain kepuasan ini dapat

memberikan informasi mengenai bagaimana seseorang menyusun

penilaian globalnya mengenai kebahagiaan dan juga memberikan

informasi yang detil tentang aspek khusus kehidupan seseorang.

2.1.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi kebahagiaan

Diener (dalam Carr, 2004) menyebutkan bahwa untuk mengidentifikasi

faktor-faktor yang berkontribusi pada kebahagiaan bukanlah merupakan hal yang

mudah. Tetapi pada kebanyakan penelitian menyebutkan bahwa faktor

kepribadian dan demografis merupakan faktor utama yang menyebabkan dan

berhubungan dengan kebahgaiaan (Carr, 2004; Argyle, 1999). Berikut ini adalah

beberapa faktor yang mempengaruhi kebahagiaan seseorang (Argyle, 1999; Carr,

2004; Eddington & Shuman, 2005):

1. Kepribadian

Berdasarkan penelitian mengenai kebahagiaan menunjukkan

bahwa orang yang bahagia dan tidak bahagia memiliki profil

kepribadian yang berbeda (Diener dkk dalam Carr, 2004).

Universitas Indonesia

12

Hubungan antara trait kepribadian dan kebahagiaan tidak bersifat

universal pada semua budaya. Pada budaya barat yang

individualistik, orang yang bahagia adalah yang memiliki trait

ekstraversi, optimis, harga diri yang tinggi dan locus of control

internal. Sedangkan orang yang tidak bahagia adalah orang yang

memiliki tingkat neurotik yang tinggi. Hal tersebut berbeda dengan

orang-orang di budaya timur yang menganut budaya kolektivistik

dimana faktor-faktor tersebut tidak berhubungan dengan

kebahagiaan. Jadi nilai budaya menentukan trait kepribadian yang

mempengaruhi kebahagiaan (Carr, 2004). Menurut Eddington &

Shuman (2005) kepribadian menunjukkan peran yang lebih

signifikan dibandingkan dengan peristiwa hidup spesifik lainnya

dalam menentukan SWB.

2. Variabel demografis

Faktor lain yang juga mempengaruhi kebahagiaan adalah variabel

demografis dan lingkungan (Eddington & Shuman, 2005). Faktor-

faktor demografis itu adalah:

a. Jenis Kelamin

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa perbedaan jenis

kelamin merupakan faktor yang sangat kecil dalam

menentukan kebahagiaan dan kepuasan hidup seseorang

(Inglehart & Michalos dalam Eddington & Shuman, 2005).

b. Usia

Pada banyak penelitian dan survey menunjukkan bahwa

pengaruh usia terhadap kebahagiaan adalah kecil (Argyle,

1999).

c. Pendidikan

Hubungan antara pendidikan dan kebahagiaan adalah kecil

tetapi signifikan (Campbell, Cantril, Diener et al dalam

Eddington & Shuman, 2005). Namun hubungan antara

pendidikan dan kebahagiaan merupakan hasil dari korelasi

antara pendidikan dengan status pekerjaan dan pendapatan

Universitas Indonesia

13

(Campbell, Witter et al dalam Eddington & Shuman, 2005;

Argyle, 1999).

d. Pendapatan

Banyak penelitian yang menyebutkan bahwa pendapatan

berhubungan dengan kebahagiaan Diener et al (1999). Secara

umum, orang yang lebih kaya akan merasa lebih bahagia

dibandingkan dengan orang yang lebih miskin (Eddington &

Shuman, 2005).

e. Perkawinan

Orang yang menikah memiliki kebahagiaan lebih tinggi

dibandingkan dengan orang yang tidak pernah menikah,

bercerai, berpisah, atau janda (Eddington & Shuman, 2005).

Pada beberapa negara, pasangan yang hidup bersama

(kohabitasi) secara signifikan lebih bahagia dibandingkan

dengan orang yang tinggal seorang diri (Kurdek, Mastekaasa

dalam Eddington & Shuman, 2005). Perkawinan sering

ditemukan menjadi salah satu fakrot terkuat yang berkorelasi

dengan kebahagiaan (Glenn & Weaver dalam Argyle, 1999),

f. Pekerjaan

Orang yang bekerja akan lebih bahagia dibandingkan dengan

orang yang tidak bekerja (Argyle, 1999; Eddington & Shuman,

2005). Orang yang tidak bekerja mempunyai tingkat stress

yang lebih tinggi, kepuasan hidup yang lebih rendah dan

kemungkinan bunuh diri yang lebih tinggi dibandinkan dengan

orang yang bekerja (Eddington & Shuman, 2005).

g. Kesehatan

Hubungan yang kuat antara kesehatan dan kebahagiaan muncul

pada pengukuran kesehatan melalui self-report, tidak pada

penilaian secara objektif oleh ahli. Maka dapat disimpulkan

bahwa persepsi akan kesehatan menjadi lebih penting daripada

kesehatan secara objektif dalam mempengaruhi kebahagiaan

(Eddington & Shuman, 2005).

Universitas Indonesia

14

h. Agama

Banyak survey yang menunjukkan bahwa kebahagiaan

berkorelasi secara signifikan dengan agama, hubungan

seseorang dengan Tuhan, pengalaman doa dan partisipasi di

dalam aspek keagamaan (Eddington & Shuman, 2005).

i. Waktu luang

Veenhoven et al (dalam Eddington & Shuman, 2005; Argyle,

1999) menunjukan bahwa kebahagiaan berkorelasi cukup

tinggi dengan kepuasan waktu luang dan tingkatan aktivitas di

waktu luang. Kegiatan yang dilakukan pada waktu luang dapat

meningkatkan kebahagiaan, seperti aktivitas menyenangkan

bersama teman, kegiatan olah raga, dan liburan. Sedangkan

kegiatan menonton televisi di waktu luang terutama tontonan

yang berat kurang dapat meningkatkan bahagia (Eddington &

Shuman, 2005; Argyle, 1999).

j. Etnis

Etnis minoritas di suatu negara memiliki kebahagiaan yang

lebih kecil karena berdasarkan pada rendahnya pendapatan,

pendidikan, dan status pekerjaan yang diperoleh (Argyle,

1999).

k. Peristiwa kehidupan

Intensitas peristiwa positif yang terjadi tidak banyak

mempengaruhi kebahagiaan sebagian karena jarang terjadi

(Argyle, 1999 Eddington & Shuman, 2005).

l. Kompetensi

Penelitian menunjukkan bahwa korelasi antara kompetensi

inteligensi dan kebahagiaan sangat kecil tetapi positif.

Kebahagiaan juga berhubungan dengan kerja sama,

kepemimpinan dan kemampuan heteroseksual (Argyle, 1999

Eddington & Shuman, 2005)

Universitas Indonesia

15

2.1.3 Cara mengukur kebahagiaan

Pada penelitian tentang kebahagiaan telah digunakan berbagai macam

teknik. Di banyak survey digunakan satu pertanyaan dengan pilihan jawaban

menggnakna skala untuk mengukur kebahagiaan (Carr, 2004). Secara umum para

peneliti lebih mengandalkan self-reports yang terkadang dilengkapi dengan data

informasi, wawancara oleh petugas klinis yang terlatih, observasi ekspresi

nonverbal dan pengukuran psikologis lainnya (Lepper &Lyubomirsky, 1997).

Pada penelitian saat ini kebahagiaan atau SWB mengukur baik satu atau dua

komponen (afektif atau kognitif) merupakan item tunggal penilaian global. Maka

responden diminta untuk memberikan tingkatan dari afek positif dan negatif pada

periode waktu tertentu atau memberikan penilaian atas kualitas hidup secara

keseluruhan (Lepper &Lyubomirsky, 1997).

Penelitian akhir-akhir ini lebih banyak menggunakan skala multi item

yang memiliki nilai validitas dan reliabilitas baik. Alat ukur yang sering

digunakan adalah 29-item Revised Axford Happiness Scale yang secara luas

digunakan di Inggris, 5 item Satisfaction With Life Scale yang banyak digunakan

di Amerika, dan 18 item well-being scale pada Personality Questionnaire. Selain

itu juga sering digunakan skala afek positif dari Positive and Negative Affect

Scales dan segi perasaan positif dari World Health Organisation Quality of Life

Scale (Carr, 2004).

2.2 Kepuasan Hidup

2.2.1 Definisi Kepuasan Hidup

Kepuasan hidup merupakan sebuah penilaian subjektif atas kualitas

kehidupan seseorang (Sousa & Luybomirsky, 2001). Tak jauh beda, menurut

Veenhoven (dalam Dockery, 1987) definisi kepuasan hidup (life satisfaction)

adalah derajat dimana penilaian individual terhadap kualitas keseluruhan atas

hidupnya. Kepuasan sendiri menyatakan sebuah kesenangan atau penerimaan

seseorang atas peristiwa di dalam hidupnya atau pemenuhan keinginan dan

kebutuhan seseorang di dalam kehidupannya secara menyeluruh (Sousa &

Lyubomirsky, 2001). Karena kepuasan hidup merupakan evaluasi, maka penilaian

kepuasan hidup mempunyai komponen kognitif yang besar.

Universitas Indonesia

16

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, kebahagiaan atau SWB

mempunyai dua komponen, yaitu afektif dan kognitif. (Diener et al dalam Sousa

& Lybormirsky, 2001). Komponen afektif meliputi seberapa sering individu

mengalami afek positif dan negatif sedangkan komponen kognitif meliputi

kepuasan hidup. Komponen afektif meliputi seberapa sering individu mengalami

afek positif dan negatif. Sedangkan kepuasan hidup dianggap sebagai komponen

kognitif. Lebih jauh lagi bila dibandingkan dengan domain kepuasan, kepuasan

hidup lebih luas karena meliputi penilaian individu secara lebih komprehensif atas

hidupnya, dimana domain kepuasan hanya meliputi daerah khusus dalam

kehidupan seseorang, misalnya pekerjaan, perkawinan, dan pendapatan.

Berdasarkan pemaparan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa yang

dimaksud dengan kepuasan hidup adalah penilaian kognitif seseorang yang

bersifat subjektif atas hidupnya secara menyeluruh dan merupakan aspek kognitif

dari kebahagiaan.

2.2.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan hidup

Beberapa penelitian menyebutkan bahwa kepuasan hidup tidak berubah

pada komponen trait kepribadian dan trait lingkungan (Sousa & Lybormirsky,

2001). Kepuasan hidup akan tetap sepanjang waktu dan konsisten pada beberapa

situasi. Namun pada penelitian terakhir menyebutkan bahwa kepribadian

mempunyai peran yang signifikan pada wanita dalam menilai kepuasan hidupnya.

Penelitian lainnya menyebutkan bahwa variabel kepribadian seperti resiliensi,

asertivitas, empati, locus of control internal, ekstraversi, dan keterbukaan terhadap

pengalaman berhubungan dengan kepuasan hidup. Bagaimanapun juga, faktor

lingkungan dapat pula mempengaruhi penilaian kepuasan hidup pada jangka

waktu yang singkat. Jadi dapat disimpulkan bahwa baik kepribadian dan

lingkungan dapat mempengaruhi kepuasan hidup (Sousa & Lybormirsky, 2001).

Berikut ini merupakan penjelasan mengenai variabel demografis yang

mempengaruhi kepuasan hidup menurut Sousa & Lybormirsky (2001):

1. Budaya

Kepuasan tampak sebagai term yang universal dan lintas budaya

karena para peneliti dapat dengan mudah mengalihbahasakan ke

Universitas Indonesia

17

dalam berbagai macam bahasa. Kepuasan juga bukan merupakan

konsep barat tetapi juga sering digunakan di budaya timur. Negara

dengan budaya individualisme memiliki kepuasan yang lebih besar

dibandingkan dengan budaya kolektivisme. Negara industri juga

memiliki kepuasan keseluruhan yang sangat tinggai dibandingkan

dengan negara miskin atau negara dunia ketiga.

2. Gender

Secara teori wanita menunjukkan rata-rata depresi yang lebih

tinggi dibanding pria, tapi secara bersamaan juga memiliki tingkat

kebahagiaan yang lebih tinggi. Penelitian yang dilakukan oleh

Diener & Fujita (dalam Sousa & Lybormirsky, 2001) menunjukkan

bahwa pria dan wanita memiliki kepuasan hidup yang hampir sama

dan sebagian besar berdasarkan penilaian kognitif. Beberapa

penelitian menunjukkan bahwa pria dan wanita memiliki kepuasan

hidup yang hampir sama berdasarkan penilaian kognitif. Tingkat

kepuasan pria dan wanita diperoleh dari sumber kepuasan hidup

yang berbeda.

3. Usia

Kepuasan hidup tidak menurun sejalannya usia dan secara umum

tetap sepanjang kehidupan. Penelitian yang dilakukan oleh Diener

& Suh (dalam Sousa & Lybormirsky, 2001) terhadap 6.000

partisipan pada 40 negara menunjukkan bahwa kepuasan hidup

secara umum stabil sepanjang hidup dan hanya terjadi peningkatan

tipis antara usia 20 dan 80 tahun.Penelitian menunjukkan hanya

terjadi peningkatan tipis antara usia 20 hingga 80 tahun.

4. Hubungan sosial

Tingkat dukungan sosial yang tinggi berhubungan kuta dengan

tingkat kepuasan hidup yang tinggi pula. Pada negara barat,

perkawinan lebih mempengaruhi kepuasan hidup dibandingkan

hubungan pertemanan dan keluarga. Pasangan kohabitasi yang

tidak menikah, khususnya yang berasal dari budaya kolektivisme,

mempunyai kepuasan yang lebih sedikit dibandingkan dengan

Universitas Indonesia

18

pasangan menikah. Mempunyai anak tidak dapat meningkatkan

kepuasan hidup seseorang. Namun hubungan orang tua dan anak

berhubungan tinggi dengan tingkat kepuasan hidup secara

keseluruhan. Kepuasan hidup akan menurun dengan meningkatnya

jumlah anak yang dimiliki.

5. Pendapatan

Secara umum individu yang lebih makmur memiliki kepuasan

hidup yang lebih besar dibandingkan dengan individu yang miskin.

6. Pekerjaan

Orang yang tidak bekerja secara signifikan tingkat kepuasannya

berkurang dibandingkan dengan orang yang bekerja. Hubungan

antara pekerjaan dan kepuasan hidup lebih besar pada pria

dibanding wanita.

7. Pendidikan

Korelasi antara pendidikan dan kepuasan hidup adalah kecil dan

korelasi tersebut akan menghilang bila secara statistik pendapatan

dan pekerjaan sudah terkontrol. Hubungan ini lebih kepada bahwa

tingkat pendidikan yang tinggi akan berhubungan dengan

pendapatan yang lebih tinggi pula.

2.2.3 Cara mengukur kepuasan hidup

Para peneliti memilih untuk mengukur kepuasan hidup melalui self-report.

Pengukuran melalui self-report ini meminta responden untuk mengindikasikan

tingkat kepuasan kehidupan mereka dengan memilih simbol (angka atau ekspresi

wajah) dalam sebuah skala biasanya berkisar 1-7. Peneliti mengasumsikan

kepuasan hidup sebagai sebuah penilaian, maka metode self-report ini dipercaya

sebagai metode yang paling akurat untuk mengukur kepuasan hidup tersebut

(Sousa & Lybormirsky, 2001).

Banyak self- report yang mengukur kepuasan hidup dan dapat berbentuk

single-item atau multi-item. Namun secara keseluruhan para peneliti setuju bahwa

Universitas Indonesia

19

skala dengan multi-item lebih baik dibandingkan single-item dalam mengukur

kepuasan hidup (Sousa & Lybormirsky, 2001). Sebagai tambahan, menurut

Diener (dalam Sousa & Lybormirsky, 2001), skala dengan multi-item secara

keseluruhan memiliki reabilitas dan validitas lebih besar dibandingkan dengan

skala single-item. Skala yang paling banyak digunakan saat ini adalah Satisfaction

With Life Scale (SWLS). Skala ini disusun oleh Ed Diener dkk yang berisi 5 item

untuk mengukur kepuasan hidup secara global karena dalam skala ini hanya

mengukur kepuasan hidup yang merupakan komponen kognitif dari kebahagiaan

tanpa menyebut pada afeksi (Sousa & Lybormirsky, 2001).

Sousa & Lybormirsky (2001) menjelaskan bahwa secara individual

seseorang akan menilai kepuasan hidupnya berdasarkan pada apa yang diinginkan

dan apa yang telah dimiliki atau secara konseptual berdasarkan realitas dan ideal.

Terdapat dua prosedur mengenai bagaimana seseorang menentukan kepuasan

hidupnya, yaitu melalui prosedur ‘top-down’ atau ‘bottom-up’. Pada prosedur

‘top-down’ seseorang akan merefleksikan nilai kehidupannya sebagai suatu

kesatuan dengan menggunakan intuisi untuk mengetahui seberapa bahagia dan

puas secara keseluruhan, kemudian menyimpulkan bahwa seharusnya ia memiliki

hidup yang baik atau tidak. Misalnya seorang yang religious akan menilai

hidupnya secara umum berdasarkan nilai-nilai religi yang dianutnya, kemudian ia

akan menyimpulkan sendiri kehidupannya apakah ia sudah menjadi orang baik atu

belum. Sedangkan pada prosedur ‘bottom-up’ seseorang akan berpikir terlebih

dahulu mengenai beberapa domain dalam hidupnya yang kemudian dapat menilai

kepuasan hidupnya berdasarkan kepuasan rata-rata yang diperoleh pada tiap

domainnya. Misalnya seorang ibu rumah tangga akan menilai terlebih dahulu

beberapa domain dalam hidupnya seperti pernikahan, anak-anak, pekerjaan, dan

pertemanan. Ia akan menilai terlebih dahulu masing-masing domain dan

kemudian menentukan kepuasan hidupnya berdasarkan pada rata-rata nilai

kepuasan yang diperolehnya dari tiap domain.

2.3 Kualitas hidup

2.3.1 Definisi kualitas hidup

Universitas Indonesia

20

Istilah kualitas hidup mempunyai banyak arti dan salah satunya mengacu

pada keadaan material, seperti kualitas hidup yang baik ditunjukkan dengan

baiknya kesehatan fisik, materi, keluarga dan teman-teman (O’Connor, 1993).

Goodinson & Singleton (dalam O’Connor, 1993) menyatakan definisi kualitas

hidup sebagai derajat tingkat kepuasan atas penerimaan kondisi kehidupan saat

ini. Sedangkan Ontario Social Development Council (dalam Wardhani, 2006)

mendefinisikan kualitas hidup sebagai respons personal mengenai perbedaan yang

dirasakan antara kenyataan dan kegiatan yang diinginkan. Hal ini didukung pula

oleh Bergner (dalam O’Connor, 1993) yang menyatakan bahwa kualitas hidup

dapat meningkat apabila jarak antara tujuan yang telah dicapai dengan tujuan yang

ingin dicapai makin berkurang. Secara umum definisi kualitas hidup yang

digunakan adalah penilaian subjektif seseorang akan kebahagiaanya yang

diperoleh melalui pengalaman hidup secara keseluruhan (Donovan dkk dalam

O’Connor, 1993). Carr & Higginson (2001) mengatakan bahwa kualitas hidup

ditentukan oleh beberapa hal, yaitu:

seberapa jauh kesesuaian antara harapan dan ambisi dilihat dari

pengalaman

persepsi individu mengenai posisi mereka dalam hidup dilihat dari konteks

budaya dan sistem nilai dimana mereka tinggal dan hubungannya dengna

tujuan, harapan, standard, dan hal-hal lain yang menjadi perhatian individu

tersebut.

Penilaian mengenai keadaan seseorang bila dibandingkan dengan kondisi

ideal tertentu

Hal-hal yang dianggap penting dalam kehidupan seseorang

Berdasarkan penjelasan diatas maka dapat disimpulkan yang dimaksud dengan

kualitas hidup adalah penilaian subjektif seseorang atas apa yang telah terjadi

dengan apa yang diinginkan terjadi di dalam hidupnya yang diperoleh melalui

pengalaman-pengalaman.

2.3.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas hidup

Goodinson dan Singleton (dalam O’Connor, 1993) mengatakan ada

berbagai aspek yang dapat mempengaruhi kualitas hidup yaitu keadaan

Universitas Indonesia

21

lingkungan fisik, lingkungan sosial, dan lingkungan personal individu. Kemudian

Zhan (dalam Vallerand dkk, 1998) menjelaskan bahwa selain faktor tersebut,

ternyata latar belakang kesehatan dan faktor budaya turut mempengaruhi kualitas

hidup. O’Connor (1993) menyebutkan bahwa beberapa faktor eksternal seperti

pendapatan, kekuatan untuk bertahan dan kesehatan dapat mempengaruhi kualitas

hidup. Lebih lanjut lagi, O’connor juga menyebutkan bahwa faktor-faktor yang

muncul dan dapaat mempengaruhi kualitas tersebut sebaiiaknya diidentifikasi

dengan kondisi fisik saja.

2.3.3 Cara mengukur kualitas hidup

Kualitas hidup sulitsah untuk dapat diukur karena bersifat personal dan

subjektif., Pperbedaan persepsi atas pemuasan dan perbedaan individual

mempengaruhi bagaimana mereka menilai tingkat kesejahteraannya pada periode

waktu tertentu (Benbow, 2008). Untuk mengukur kualitas hidup masyarakat suatu

negara digunakan beberapa indikator seperti yang diutarakan oleh Organization of

Economic and Culture Development (OECD), yaitu pendapatan, perumahan,

lingkungan, stabilitas sosial, kesehatan, pendidikan dan kesempatan kerja. Tiap

pemerintahan negara seperti negara komunis dan nonkomunis memiliki standar

kualitas hidup yang berbeda dan sesuai dengan perkembangan jaman

perkembangan indikator mengarah pada indikator non fisik, misalnya

kebahagiaan, kenyamanan, kepuasan, dll (Faturochman, 1990).

Pengukuran lain terhadap kualitas hidup melihat persepsi subjektif

individu terhadap kehidupannya. Pada kuesioner yang tradisional sudah

melibatkan sistem nilai eksternal yang menjadi bagian dari kuesioner yang telah

terstandardisasi namun semua instruments dalam kuesioner didasarkan pada

respon rata-rata sampel dan tidak berdasar pandangan subjektif tiap individu

(Browne dkk, 1997). Hickey dkk (1996) juga menambahkan mungkin pengukuran

melalui kuesioner ini dapat mengukur secara reliabel, namun tidak relevan dengan

situasi kehidupan secara individual. Oleh karena itu dikembangkan The Schedule

for the Evaluation of Individual Quality of Life (SEIQoL) yang dapat

mengevaluasi kualitas hidup secara individual berdasarkan perspektif masing-

Universitas Indonesia

22

masing individu. Dalam SEIQoL, individu memilih sendiri aspek-aspek yang ia

pertimbangkan sebagai prioritas utama yang mempengaruhi kualitas hidupnya dan

menggunakan sistem nilai mereka sendiri untuk mendeskripsikan status

fungsional (kondisi/ posisinya saat ini dalam aspek kehidupan tersebut) dan

derajat kepentingan relatif (sejauh mana ia menganggap aspek kehidupan tersebut

penting baginya) dari masing-masing aspek-aspek yang ia pilih (Browne dkk,

1997). Dengan demikian, SEIQoL sebagai alat ukur memungkinkan pengukuran

kualitas hidup yang didasarkan pada perspektif individual itu sendiri (Hickey dkk,

1996) dan mampu memberi gambaran mengenai persepsi individu mengenai

kualitas hidup dan aspek-aspek kehidupan yang mempengaruhinya.

2.4 Gambaran Masyarakat Jabodetabek

DKI Jakarta adalah ibukota Indonesia dan dapat pula digolongkan menjadi

salah satu kota metropolitan. Kota metropolitan sendiri dapat didefinisikan

sebagai suatu kawasan yang merupakan aglomerasi dari beberapa kota yang

berdekatan dan terkait dalam satu sistem kegiatan sosial ekonomi, termasuk

prasarana dan sarana penunjangnya, dengan satu kota utama berperan sebagai inti

dan kota-kota lainnya sebagai satelit (http://www.pu.go.id). Berdasarkan definisi

tersebut dapat dikatakan Jakarta sebagai kota metropolitan dengan kota lainnya

sebagai satelit, yaitu Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi. Bila dilihat secara

demografis, kota metropolitan memiliki ciri berpenduduk besar dan mempunyai

kepadatan tinggi (dikatakan tinggi bila mencapai 100 jiwa/km2)

(http://www.pu.go.id). Jakarta bersama metropolitan Jabotabek dengan penduduk

sekitar 23 juta jiwa merupakan wilayah metropolitan terbesar di Indonesia dan

urutan keenam di dunia (http://www.kependudukancapil.go.id ) .

Sebagai inti dari kota metropolitan Jabodetabek, kota Jakarta memiliki

jumlah fasilitas yang banyak dan lengkap untuk memenuhi kebutuhan hidup

penduduknya. Selain itu, pembangunan pun berpusat di Jakarta dengan adanya

investasi dalam negeri sebesar 45% yang ditempatkan di Jakarta dan sekitarnya

(Bodetabek) (Hadar dalam http://www.sinarharapan.co. id/berita/0706

/23/opi01.html). Jakarta memiliki berbagai macam fasilitas, seperti fasilitas

Universitas Indonesia

23

pendidikan dari berbagai macam tingkatannya, badan usaha pemerintah maupun

swasta, kesehatan, tempat peribadatan, hingga tempat hiburan.

Lengkapnya dan banyaknya fasilitas yang dapat memenuhi segala

kebutuhan masyarakat, telah mendorong banyak orang dari luar Jakarta

berbondong-bondong mencari rezeki di ibu kota Indonesia ini. Hal ini membawa

dampak pula bagi daerah-daerah di sekitar kota Jakarta yang kemudian menjadi

daerah penunjang mengingat padatnya penduduk serta keterbatasan lahan yang

dimiliki Jakarta. Maka pada Instruksi Presiden Nomor 13 Tahun 1976

ditetapkanlah kota Bogor, Tangerang, Bekasi sebagai kota satelit Jakarta

(Yudhistira dalam http://megapolitan.kompas.com/read /xml/2009 /03/16

/06484682). Oleh karena itu maka kehidupan masyarakat yang tinggal di kota-

kota satelit tersebut pun tak jauh berbeda dengan masyarakat yang tinggal di

Jakarta.

Seiring dengan pembangunan yang terjadi dan jumlah penduduk serta

kepadatan Jakarta yang tinggi, seringkali menimbulkan beberapa dampak sosial

yang sangat sulit tertangani. Masalah sosial tersebut antara lain seperti masalah

pengangguran, kemiskinan dan kriminalitas. Berdasarkan data Badan Pusat

Statistik (BPS) Jakarta (http://www. datastatistik-indonesia.com), angka

pengangguran dan penduduk miskin di Jakarta setiap tahunnya mengalami

peningkatan. Pada tahun 2008, jumlah penduduk Jakarta yang tidak memiliki

pekerjaan (pengangguran) tercatat sejumlah 580.510 orang. Sedangkan angka

penduduk miskin di Jakarta pada tahun 2007 mencapai 4,48% dari total penduduk

Jakarta. Seperti angka pengangguran dan kemiskinan, angka kriminalitas juga

semakin meningkat setiap tahunnya. Berdasarkan data pada Januari 2009, jumlah

tindakan kriminal mengalami peningkatan sebesar 15,7% dari tahun sebelumnya.

Masalah lain yang juga dialami oleh penduduk Jakarta adalah masalah

transportasi yang kian meningkat jumlahnya hingga menimbulkan kemacetan,

masalah ketersediaan air bersih, masalah sampah dan pencemaran udara (Hadar

dalam http://www.sinarharapan.co.id/berita /0706/23/opi01.html).

Masalah yang sama juga dihadapi oleh kota-kota penunjang Jakarta seperti

Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi. Kota Depok yang mengalami

perkembangan pesat dengan dipindahnya kegiatan akademis Universitas

Universitas Indonesia

24

Indonesia pada tahun 1987 memiliki masalah yang berkaitan dengan lahan hijau,

sampah, air bersih, transportasi dan area pemukiman (http://www2.kompas.com/

kompas-cetak/0311/19/otonomi/694818.htm). Begitu pula yang terjadi dengan

kota lainnya, masalah yang dihadapi antara lain mengenai pengangguran,

kemiskinan, kriminalitas, transportasi, pendidikan, dan kesehatan

(http://megapolitan.kompas.com/read/xml/2009/03/16/06484682/).

2.5 Hubungan antara kebahagiaan, kepuasan hidup, dan kualitas hidup

Kebahagiaan mempunyai arti yang abstrak bagi masing-masing individu

dan ternyata hingga saat ini masih terdapat berbagai macam pandangan mengenai

kebahagiaan. Secara umum kebahagiaan merupakan penilaian menyeluruh

seseorang atas kehidupannya yang meliputi aspek afektif dan kognitif (Galati,

Manzano & Sotgiu, 2006). Diener, Scollon, dan Lucas (2003) menyebut

kebahagiaan identik dengan subjective well-being (SWB) dan lebih memilih untuk

memakai istilah SWB karena lebih menekankan pada penilaian individu sendiri

dan bukanlah hasil dari penilaian ahli. Menurut Diener, Scollon, dan Lucas (2003)

SWB itu sendiri terdiri dari beberapa komponen penting, yaitu adanya afek

positif, ketiadaannya afek negatif, kepuasan hidup dan domain kepuasan.

Keempat komponen tersbut dapat digolongkan menjadi aspek afektif dan kognitif.

Komponen afektif menyatakan seberapa sering individu merasakan afeksi positif

dan negatif, sedangkan komponen kognitif merupakan penilaian individu atas

hidupnya secara menyeluruh atau yang disebut sebagai kepuasan hidup. Bila

dilihat dari pemaparan diatas maka terlihat bahwa kepuasan hidup adalah bagian

dari kebahagiaan (SWB) yang merupakan komponen kognitif.

Namun berdasarkan penelitain yang dilakukan oleh Gundelach & Kreiner,

(2004) menyebutkan bahwa kepuasan dan kebahagiaan merupakan dua variabel

yang berbeda. Dengan kata lain, kebahagiaan dan kepuasan tidak bisa

diberlakukan secara identik. Hal ini terjadi karena kepuasan merupakan

pengalaman kognitif atau penilaian sedangkan kebahagiaan mengacu pada

pengalaman perasaan atau afeksi (Campbell dalam Gundelach & Kreiner, 2004).

Universitas Indonesia

25

Sedangkan untuk kualitas hidup sendiri sangat dipengaruhi oleh tingkat

kepuasan terhadap hidup karena kualitas hidup merupakan derajat tingkat

kepuasan atas penerimaan kondisi kehidupan saat ini (Goodinson & Singleton

dalam O’Connor, 1993). Lebih lanjut dikemukakan bahwa kualitas hidup dapat

meningkat apabila jarak antara tujuan yang telah dicapai dengan tujuan yang ingin

dicapai makin berkurang (Bergner dalam O’Connor, 1993). Dengan kata lain

bahwa seseorang akan mempunyai kualitas hidup yang lebih baik apabila ia

merasa puas dengan hidupnya dan kepuasan itu sendiri merupakan bagian dari

kebahagiaan yang merupakan komponen kognitif.

Selanjutnya bila dilihat dari faktor-faktor yang mempengaruhi ketiganya

ternyata juga mempunyai kesamaan. Seperti tipe kepribadian seseorang ternyata

dapat mempengaruhi tingkat kebahagiaan dan kepuasan hidupnya. Kepribadian

juga menentukan bagaimana orang tersebut memandang hidupnya dan menilai

hidupnya secara subjektif yang berkaitan dengan kebahagiaan, kepuasan dan

kualitas hidupnya secara menyeluruh. Kepribadian yang berbeda ternyata

memberikan dampak yang berbeda pula dalam menilai kehidupannya. Misalnya

pada orang yang berkepribadian ekstravert dilaporkan akan memiliki kebahagiaan

yang lebih tinggi (Carr, 2004). Selain memiliki kebahagiaan yang tinggi, ternyata

orang yang ekstravert memiliki tingkat kepuasan hidup yang tinggi pula (Sousa &

Lybormirsky, 2001). Hal ini menunjukkan bahwa dalam menilai kehidupannya,

faktor kepribadian juga turut mempengaruhi di mana pada orang ekstovert yang

lebih terbuka akan memandang peristiwa dalam hidupnya lebih positif.

Faktor lain yang juga turut mempengaruhi adalah faktor demografis,

seperti jenis kelamin, usia, pendidikan, pekerjaan, pendapatan, status perkawinan

dan kesehatan. Faktor demografis berperan penting dalam mempengaruhi tingkat

kebahagiaan dan kepuasan hidup. Sedangkan kondisi demografis juga menjadi

aspek kehidupan yang juga dapat mempengaruhi kualitas hidup seseorang dalam

hal pencapaiannya. Misalkan saja pendapatan, orang yang berpenghasilan tinggi

dilaporkan akan lebih merasa bahagia dan cenderung puas akan kehidupannya

serta akan menempatkan keuangan sebagai salah satu aspek yang penting di dalam

kehidupannya.

Universitas Indonesia

26

Universitas Indonesia

27

BAB 3

PERMASALAHAN, HIPOTESIS dan VARIABEL PENELITIAN

Bagian ini akan menjelaskan lebih lanjut mengenai permasalahan

penelitian kemudian hipotesis penelitian yang dibuat berdasarkan permasalahan

serta variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian.

3.1 Permasalahan Penelitian

Permasalahan merupakan sebuah kalimat atau pernyatanyaan yang

menanyakan hubungan yang terjadi antara dua variabel atu lebih (Kerlinger dan

Lee, 2000). Lebih lanjut juga dikatakan terdapat tiga kriteria dalam membuat

permasalahan yang baik, yakni permasalahan haruslah menunjukkan sebuah

hubungan antara dua atau lebih variabel, permasalahan harus dinyatakan secara

jelas dan tidak ambigu dalam bentuk kalimat tanya, serta memungkinkan diadakan

pengujian secara empiris. Permasalahan yang muncul dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana gambaran kebahagiaan masyarakat kelas menengah

Jabodetabek?

2. Bagaimana gambaran kepuasan hidup masyarakat kelas menengah

Jabodetabek?

3. Bagaimana gambaran kualitas hidup masyarakat kelas menengah

Jabodetabek?

4. Bagaimana hubungan antara kebahagiaan dan kepuasan hidup masyarakat

kelas menengah Jabodetabek?

5. Bagaimana hubungan antara kebahagiaan dan kualitas hidup masyarakat

kelas menengah Jabodetabek?

6. Bagaimana hubungan antara kualitas hidup dan kepuasan hidup

masyarakat kelas menengah Jabodetabek?

3.2 Hipotesis Penelitian

Sebuah hipotesis merupakan dugaan, asumsi, prasangka, pernyataan atau

gagasan mengenai sebuah fenomena, hubungan, atau situasi kenyataan

berdasarkan pengetahuan yang dimiliki (Kumar, 1999). Kumar juga menyatakan

Universitas Indonesia

28

bahwa hipotesis membawa kejelasan dan membuat peneliti menjadi fokus pada

permasalahan penelitian karena dapat memberikan arahan yang khusus. Menurut

Seniati, Yulianto & Setiadi (2005) terdapat dua jenis hipotesis, yaitu hipotesis

ilmiah dan hipotesis statistik. Berikut ini merupakan penjabaran lebih lanjut

mengenai hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini.

3.2.1 Hipotesis Ilmiah

Berdasarkan permasalahan tersebut maka dapat dibuat beberapa

hipotesis ilmiah, yaitu:

H1: Terdapat korelasi antara kebahagiaan dan kepuasan hidup pada

masyarakat kelas menengah Jabodetabek

H2: Terdapat korelasi antara kebahagiaan dan kualitas hidup pada

masyarakat kelas menengah Jabodetabek

H3: Terdapat korelasi antara kualitas hidup dan kepuasan hidup pada

masyarakat kelas menengah Jabodetabek

3.2.2 Hipotesis Statistik

Hipotesis statistik merupakan pernyataan yang dapat diuji secara

statistik mengenai hubungan antara dua atau lebih variabel penelitian

(Seniati, Yulianto & Setiadi, 2005). Adapun hipotesis statistik memiliki dua

bentuk, yaitu hipotesis alternatif (Ha) yang menyatakan adanya hubungan

antar variabel dan hipotesis null (Ho) yang menyatakan tidak adanya

hubungan antar variabel. Berdasarkan pemaparan tersebut maka untuk

penelitian ini hipotesis yang digunakan adalah sebagai berikut.

1. Hipotesis alternative (Ha)

Ha1: Terdapat korelasi yang signifikan antara skor total Subjective

Happiness Scale dengan skor Satisfaction With Life Scale

Ha2: Terdapat korelasi yang signifikan antara skor total Subjective

Happiness Scale dengan skor Global SEIQoL-DW.

Ha3: Terdapat korelasi yang signifikan antara skor Global SEIQoL-DW

dengan skor Satisfaction With Life Scale

Universitas Indonesia

29

2. Hipotesis Null (Ho)

Ho1: Tidak terdapat korelasi yang signifikan antara skor total Subjective

Happiness Scale dengan skor Satisfaction With Life Scale.

Ho2: Tidak terdapat korelasi yang signifikan antara skor total Subjective

Happiness Scale dengan skor Global SEIQoL-DW.

Ho3: Tidak terdapat korelasi yang signifikan antara skor Global SEIQoL-

DW dengan skor Satisfaction With Life Scale.

3.3 Variabel Penelitian

Pada penelitian ini digunakan tiga variabel, yaitu kebahagiaan, kepuasan

hidap dan kualitas hidup. Berikut ini merupakan penjelasan masing-masing

variabel.

3.3.1 Variabel I: Kebahagiaan

Definisi konseptual dari kebahagiaan adalah penilaian menyeluruh tentang

kehidupan secara lengkap yang meliputi aspek kognitif dan afektif. Sedangkan

untuk definisi operasional dari kebahagiaan adalah skor total dari alat ukur

Subjective Happiness Scale yang sudah diadaptasi secara budaya. Hal ini

didapat dari mencari rata-rata dari masing-masing skor item yang memiliki

rentang 1-6. Skor total yang didapatkan pun memiliki rentang 1-6 Semakin

besar skor, menunjukkan kebahagiaan yang semakin besar pula (Lyubomirsky

dan Lepper, 1997).

3.3.2 Variabel II: Kepuasan Hidup

Definisi konseptual dari kepuasan hidup adalah sebuah kesenangan atau

penerimaan seseorang atas peristiwa di dalam hidupnya atau pemenuhan

keinginan dan kebutuhan seseorang di dalam kehidupannya secara menyeluruh.

Sedangkan definisi operasionalnya adalah skor total dari alat ukur Satisfaction

With Life Scale (SWLS) yang sudah diadaptasi secara budaya. Skor dari

masing-masing item memiliki rentang 1-6. Skor total didapatkannya dengan

menjumlahkan skor pada masing-masing item. Semakin besar skor

menunjukkan semakin besar pula kepuasan hidup yang dimilikinya.

Universitas Indonesia

30

3.3.3 Variabel III: Kualitas Hidup

Definisi konseptual kualitas hidup yang digunakan adalah

penilaian/evaluasi individu terhadap aspek spesifik kehidupannya yang

dianggap penting. Hal ini dilihat dengan cara melihat aspek-aspek apa yang

dianggap penting oleh individu dan penilaian mengenai kondisi individu pada

aspek-aspek tersebut. Sedangkan definisi operasionalnya adalah dengan cara

melihat lima aspek kehidupan yang dianggap penting oleh individu. Kemudian

individu tersebut diminta untuk menilai kondisi hidupnya dengan skala 0-100,

di mana angka 0 menunjukkan bahwa kondisi individu pada aspek tertentu

berada pada kemungkinan terburuk, sedangkan angka 100 menunjukkan bahwa

kondisi individu pada aspek tertentu berada pada kemungkin terbaik. Setelah

itu tingkat kepentingan diukur dengan melihat proporsi masing-masing aspek

dengan pie chart sehingga bila dijumlahkan seluruh tingkat kepentingan

masing-masing aspek adalah 100. Semakin besar skor menunjukkan semakin

tinggi pula tingkat kualitas hidup.

Universitas Indonesia

31

BAB 4

METODE PENELITIAN

Pada bab ini akan dijelaskan mengenai metode penelitian yang digunakan

meliputi responden penelitian, desain penelitian, alat ukur, kemudian prosedur

penelitian dan metode pengolahan data.

4.12. Desain Penelitian

Kumar (1999) membagi desain penelitian berdasarkan tiga perspektif yang

berbeda, yaitu number of contacts, reference of period, dan nature of

investigation. Berdasarkan number of contacts, penelitian ini tergolong sebagai

penelitian cross-sectional karena hanya dilakukan sekali pengambilan data.

Desain penelitian ini digunakan ketika ingin melihat gambaran mengenai suatu

fenomena di saat penelitian dilakukan. Sedangkan bila berdasarkan reference of

period, penelitian ini tergolong sebagai penelitian retrospective karena penelitian

ini ingin melihat fenomena yang terjadi masa lalu sehingga responden diminta

untuk mengingat siatuasi yang telah terjadi. Data yang digunakan pun merupakan

data yang tersedia hanya pada saat penelitian dilakukan. Berdasarkan nature of

investigation, penelitian ini tergolong sebagai penelitian non-experimental, karena

tidak adanya manipulasi perlakuan terhadap variabel yang digunakan untuk

melihat pengaruh dari suatu variabel (Kumar, 1999).

4.2.1 Responden Penelitian

4.21.1 Populasi penelitian

Populasi yang digunakan pada penelitian ini adalah masyarakat kelas

menengah yang tinggal di Jabodetabek pada rentang usia dewasa. Seperti yang

telah diutarakan pada bab sebelumnya bahwa kebahagiaan, kepuasan hidup dan

kualitas hidup seseorang tidaklah dipengaruhi oleh faktor usia (Argyle, 1999;

Carr, 2004; Eddington & Shuman, 2005). Oleh karena itu pada penelitian ini

kriteria dewasa diambil karena dianggap sudah melewati konflik identity versus

identity confusion sehingga dapat mengevaluasi diri secara lebih baik (Miller,

1993). Hal ini dipilih untuk memudahkan dalam pengisian kuesioner yang

Universitas Indonesia

32

berbentuk lapor diri (self report). Sedangkan kelas menengah dipilih karena pada

kelas ekonomi ini diharapkan telah memenuhi kebutuhan dasar physiological dan

safety pada teori hirarki kebutuhan Maslow. Ketika kebutuhan dasar tersebut

belum terpenuhi, maka kebahagiaan individu cenderung dipengaruhi oleh hal-hal

yang sifatnya materialistis, seperti uang untuk memenuhi kebutuhan sandang,

pangan dan papan (Izawa, 2005). Selanjutnya populasi yang digunakan juga

minimal berpendidikan SMU karena diharapkan sudah memiliki berbagai macam

pemahaman yang diperoleh selama sekolah yang dapat membantu pengerjaan

kuesioner yang digunakan.

4.12.2 Karakteristik Responden

Berdasarkan pemikiran yang telah dijabarkan pada sub bab sebelumnya,

maka karakteristik dari responden yang dapat mengikuti penelitian ini adalah

sebagai berikut:

a. Pengeluaran keluarga lebih dari tiga juta rupiah perbulannya

Pemilihan batasan ini berdasarkan pada kriteria kelas menengah dari AC

Nielsen (dalam Harinowo, 2008).

b. Berusia minimal 18 tahun

Karakteristik ini dipilih sesuai dengan batasan umur dewasa karena

dianggap telah melewati konflik identity versus identity confusion (Miller, 1993).

c. Pendidikan minimal SMU

d. Berdomisili di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi

4.12.3 Teknik Pengambilan Sampel

Sampling merupakan pengambilan porsi dari populasi sebagai perwakilan

dari populasi (Kerlinger dan Lee, 2000). Teknik pengambilan sampel yang

dilakukan termasuk dalam non-random/non-probability sampling di mana seluruh

individu di dalam populasi tidak memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi

sampel (Kerlinger dan Lee, 2000). Menurut Kumar (1999) teknik ini digunakan

bila jumlah di dalam populasi tidak diketahui atau tidak dapat diidentifikasi secara

individual. Jenis non-random/probability sampling yang dipakai adalah accidental

sampling, di mana pemilihan partisipan didasarkan pada ketersediaan dan

Universitas Indonesia

33

kemudahan dalam mengakses populasi partisipan penelitian (Kumar, 1999). Pada

penelitian ini digunakan metode household survey dengan cara mendatangi

rumah-rumah yang tersebar di wilayah Jabodetabek. Metode ini digunakan untuk

mempermudah pengambilan data pada wilayah yang besar karena mampu

memperoleh jumlah partisipan yang banyak dalam satu rumah.

4.12.4 Jumlah Partisipan

Kerlinger dan Lee (2000) mengatakan bahwa semakin besar jumlah

sampel yang digunakan, maka kesalahan (error) statistik yang terjadi akan

semakin kecil. Hal senada juga diutarakan oleh Kumar (1999), secara umum

semakin besar jumlah sampel semakin tepat estimasi yang diberikan. Tetapi

secara praktis, besarnya anggaran menentukan besarnya jumlah sampel. Pada

penelitian ini sudah ditentukan dari awal bahwa sampel akan diambil dari 270

rumah yang tersebar di Jabodetabek. Masing-masing wilayah akan diambil

sebanyak 30 rumah dan di tiap rumahnya diharapkan minimal terdapat satu orang

yang menjadi responden sehingga memenuhi batas minimal sampel sebanyak 30

orang. Jumlah tersebut telah memenuhi batasan minimum dari tiga puluh orang

sampel yang dapat mengakibatkan penyebaran data mendekati penyebaran

distribusi normal (Guilford dan Fructher, 1981).

4.3. Metode Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan kuesioner sebagai metode untuk

mengumpulkan data. Kuesioner adalah sejumlah pertanyaan tertulis yang harus

dijawab oleh subjek dengan menuliskan atau menandai jawaban yang dianggap

tepat (Kumar, 1999). Peneliti memilih kuesioner sebagai alat pengumpul data

karena biayanya relatif murah, tetapi dapat menjangkau subjek yang banyak

dalam waktu singkat. Kuesioner juga memungkinkan peneliti untuk menjaga

anonimitas subjek, karena tidak semua subjek merasa aman dan nyaman untuk

membagi informasi yang mereka tulis di kuesioner tersebut. Selain itu, kuesioner

dapat menghindari interviewer bias, seperti kualitas interviewer, kualitas

interaksi, dan lain-lain (Kumar, 1999).

Universitas Indonesia

34

Kumar (1999) menyatakan bahwa kuesioner juga memiliki beberapa

kelemahan, antara lain: kuesioner hanya dapat diaplikasikan pada populasi yang

dapat membaca dan menulis, respon pengembalian yang rendah terutama bila

diberikan secara individual, subjek tidak memiliki kesempatan untuk

mendapatkan klarifikasi dari pernyataan yang tidak dimengerti oleh mereka,

subjek memiliki cukup banyak waktu untuk berefleksi sebelum memberikan

jawaban, respon terhadap sebuah pertanyaan dapat dipengaruhi oleh respon

terhadap pertanyaan lain, subjek memiliki kemungkinan untuk berkonsultasi

dengan orang lain, jawaban yang diberikan oleh subjek tidak dapat ditambahkan

dengan informasi lain (Kumar, 1999).

4.4. Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan di dalam penelitian ini adalah tiga buah

kuesioner alat ukur yang mengukur kebahagiaan, kepuasan hidup dan kualitas

hidup. Di bawah ini merupakan penjelasan mengenai masing-masing kuesioner

alat ukur tersebut.

4.4.1 Alat Ukur Subjective Happiness Scale

Subjective Happiness Scale dikembangkan berdasarkan teori dari

subjective well-being, bahwa kebahagiaan dinilai berdasarkan kriteria-kriteria

subjektif yang dimiliki individu, sehingga dapat disimpulkan bahwa sumber-

sumber kebahagiaan bervariasi dari individu ke individu lain (Lyubomirsky dan

Lepper, 1997).

Pengembangan Subjective Happiness Scale ini dilakukan karena

ketidakpuasan pembuat inventory pada alat ukur yang mengukur subjective well-

being. Alat-alat ukur yang sudah ada, biasanya hanya melihat masing-masing

komponen dari subjective well-being. Sedangkan alat ukur yang melihatnya secara

global biasanya hanya terdiri dari satu item saja sehingga sulit untuk dilakukan

pengujian properti psikometri. Oleh karena itu, pembuat inventory ini merasa

diperlukan adanya alat ukur yang mengukur subjective well-being secara global

dan terdiri dari beberapa item sehingga dapat diuji properti psikometrinya

(Lyubomirsky dan Lepper, 1997). Salah satu item yang terdapat dalam alat ukur

Universitas Indonesia

35

tersebut adalah pernyataan ‘Secara umum, saya menganggap diri saya’ yang

kemudian responden diminta untuk menilai keadaan dirinya pada skala 1 (bukan

orang yang sangat bahagia) hingga 6 (orang yang sangat bahagia).

4.4.1.1 Metode Skoring

Alat ukur ini terdiri dari empat item dengan pilihan jawaban

politomi yang memiliki rentang 1-7. Namun setelah dilakukan adaptasi

budaya, maka yang digunakan pada penelitian ini adalah rentang 1-6.

Item-item nomor 1, 2, dan 3 merupakan pernyataan positif, sedangkan

pada nomor 4 merupakan pernyataan negatif. Maka untuk penyataan

positf, skala 6 menunjukkan kondisi yang bahagia sedangkan untuk

pernyataan negatif skala 6 menunjukkan kondisi tidak bahagia. Skor total

didapat dengan acara mencari rata-rata nilai dari jumlah skor masing-

masing item. Semakin besar skor, menunjukkan kebahagiaan yang

semakin besar pula (Lyubomirsky dan Lepper, 1997).

4.4.2 Alat Ukur Satisfaction With Life Scale

Alat ukur yang digunakan untuk mengukur kepuasan hidup responden

pada penelitian ini adalah Satisfaction With Life Scale (SWLS). SWLS

dikembangkan untuk mengukur kepuasan hidup seseorang secara menyeluruh,

yang merupakan komponen kognitif dari subjective well-being. Alat ukur ini tidak

mengukur kepuasan terhadap domain kehidupan, seperti kesehatan atau keuangan,

tetapi memberikan kesempatan pada responden untuk menggabungkan dan

mengukur domain-domain tersebut dalam cara apapun yang ingin mereka pilih

(Pavot & Diener, 1993).

Skala yang mengukur kepuasan hidup secara umum sebenarnya sudah

banyak dikembangkan sebelumnya. Sayangnya, mayoritas skala tersebut hanya

terdiri dari satu item, sehingga memiliki banyak kekurangan. Selain itu, skala-

skala yang ada tersebut dibuat dan hanya sesuai untuk populasi usia lanjut atau

manula saja (Diener, Emmons, Larsen, & Griffin, 1985). Oleh karena itu,

dibutuhkanlah skala multi-item untuk mengukur kepuasan hidup secara global.

Universitas Indonesia

36

4.4.2 .1 Metode Skoring

SWLS terdiri dari lima buah item yang berupa pernyataan (Diener,

Emmons, Larsen, & Griffin, 1985). Pada setiap item, responden diminta

untuk memberikan persetujuan menggunakan skala 1-7. Namun setelah

dilakukan adaptasi secara budaya, maka skala yang digunakan menjadi 1-6

dimana skala tersebut mengandung arti 1 = sangat tidak sesuai, 2 = tidak

sesuai, 3 = agak tidak sesuai, 4 = agak sesuai, 5 = sesuai, 6 = sangat

sesuai. Skor total diperoleh dengan menjumlahkan skor dari kelima item.

Setiap item memiliki nilai dari 1 hingga 6. Skor total diperoleh dengan

cara mencari jumlah total kelima item sehingga kisaran skor total yang

diperoleh pada alat ukur ini adalah dari 5-30. Semakin besar skor

menunjukkan semakin besar pula kepuasan hidup yang dimiliki (Pavot &

Diener, 1993). Salah satu item yang terdapat pada alat ukur ini adalah

pernyataan ‘Dalam berbagai hal, hidup saya mendekati kehidupan yang

saya inginkan’.

4.4.3 Alat Ukur Schedule for Evaluation of Individual Quality of Life – Direct

Weighing

Sebelum dikembangkannya SEIQoL, metode untuk mengevaluasi kualitas

hidup seseorang hanya didasarkan pada sistem nilai eksternal. Komponen-

komponen dari kuesioner pun biasanya terstandarisasi dan sudah baku. Walau

pengukuran tersebut reliabel, relevansi kualitas hidup pada seorang individu

mungkin saja tidak relevan. Hal ini terjadi karena tingkah laku yang sama belum

tentu berarti sama pada orang lain. Untuk benar-benar mengukur kualitas hidup

seseorang, diperlukan alat ukur yang dapat mengevaluasi aspek kehidupan yang

penting bagi individu, di mana individu tersebut menilai sendiri kondisinya pada

aspek kehidupan yang ia anggap penting, dan menilai sendiri aspek mana yang

paling penting bagi dirinya pada waktu tertentu (Hickey, Bury, O’Boyle, Bradley,

O’Kelly, dan Shannon, 1996).

SEIQoL dikembangkan untuk melihat kualitas hidup individu melalui

perspektif orang itu sendiri. Alat ukur ini merupakan instrumen pengukuran

Universitas Indonesia

37

dengan dasar wawancara dengan menggunakan decision analysis technique yang

dikenal dengan nama judgment analysis. Namun, penggunaannya dan pengolahan

data yang didapat sangatlah kompleks sehingga dikembangkan versi pendek dari

alat ukur tersebut dengan menggunakan teknik direct weighing. Alat ukur versi

pendek dari SEIQoL tersebut, dikenal dengan nama SEIQoL-DW. Hasil yang

diperoleh dari SEIQoL-DW telah dibandingkan dengan SEIQoL dan terbukti

valid dan reliabel dalam mengukur domain kualitas hidup (Hickey, Bury,

O’Boyle, Bradley, O’Kelly, dan Shannon, 1996).

4.4.3 .1 Metode skoring

Alat ukur ini terdiri dari 3 item yang saling berhubungan. Pada

item pertama, subjek diminta untuk menyebutkan lima aspek kehidupan

yang dianggap penting oleh individu. Kemudian pada item kedua, subjek

diminta untuk menilai kondisi hidupnya dengan skala 0-100, di mana

angka 0 menunjukkan bahwa kondisi subjek pada aspek tertentu berada

pada kemungkinan terburuk, sedangkan angka 100 menunjukkan bahwa

kondisi subjek pada aspek tertentu berada pada kemungkin terbaik. Setelah

itu pada item ketiga, subjek diminta untuk menyebutkan tingkat

kepentingan masing-masing aspek. Tingkat kepentingan ini diukur dengan

melihat proporsi masing-masing aspek yang bila dijumlahkan seluruh

tingkat kepentingan masing-masing aspek adalah 100. Skor total diperoleh

dengan mengalikan penilaian individu tentang kondisinya saat ini dengan

proporsi kepentingan pada masing-masing aspek, lalu menjumlahkan

keseluruhan hasil kelima aspek tersebut.

4.4.4 Data Partisipan

Selain ketiga alat ukur yang digunakan, yakni Subjective Happiness Scale

(SHS), Satisfaction With Life Scale (SWLS), dan Schedule for Evaluation of

Individual Quality of Life – Direct Weighing (SEIQoL-DW), di dalam kuesioner

pun disertakan pula Data Partisipan. Data partisipan memuat pertanyaan-

Universitas Indonesia

38

pertanyaan untuk mengontrol subjek penelitian berdasarkan karakteristik yang

sudah ditetapkan sebelumnya dan diharapkan dapat memberikan gambaran

karakteristik umum subjek penelitian secara jelas. Terdapat dua jenis Data

Partisipan, yaitu data partisipan yang harus diisi oleh masing-masing

respondendan data keluarga yang cukup diisi satu pada tiap rumah.

Pertanyaan-pertanyaan yang terdapat pada data partisipan individual

meliputi berbagai hal yang berkaitan dengan variabel demografis, yaitu: usia, jenis

kelamin, status pernikahan, usia pernikahan, kedudukan dalam keluarga, latar

belakang pendidikan, status pekerjaan, penghasilan, pengeluaran, dan daerah

tempat tinggal. Sedangkan untuk data keluarga meliputi jumlah anggota keluarga,

sumber penghasilan keluarga, jumlah pengeluaran rutin perbulan, dan jumlah

pengeluaran tidak rutin perbulan. Keseluruhan data tersebut digunakan untuk

melihat kesesuaian karakteristik responden dengan karakteristik populasi yang

diinginkan.

4.5. Prosedur Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian payung yang beranggotakan sembilan

orang mahasiswa. Oleh karena itu semua prosedur penelitian ini dilaksanakan

bersama-sama dengan semua peneliti lain. Rangkaian proses penelitian ini juga

meliputi proses adaptasi alat ukur yang akan digunakan dalam penelitian. Seluruh

prosedur ini terbagi ke dalam empat tahapan, yaitu tahap persiapan, uji coba alat

ukur, pelaksanaan dan tahap akhir.

4.5.1. Tahap Persiapan

Hal-hal yang dilakukan dalam tahap persiapan antara lain :

1. Menentukan topik atau permasalahan yang akan diteliti

2. Mencari informasi lebih jauh mengenai fenomena yang akan diteliti, meliputi

studi kepustakaan serta informasi lainnya melalui internet.

3. Merumuskan permasalahan penelitian

4. Membuat hipotesis penelitian

5. Menentukan populasi dan sampel penelitian yang akan digunakan dalam

penelitian.

Universitas Indonesia

39

6. Melakukan adaptasi alat ukur

Pada penelitian ini alat ukur yang digunakan adalah Subjective Happiness

Scale, Satisfaction With Life Scale dan Schedule for Evaluation of Individual

Quality of Life – Direct Weighing (SEIQoL-DW). Ketiga alat ukur ini sering

digunakan di luar negeri dan memiliki nilai validitas serta reliabilitas yang

baik. Namun agar dapat digunakan di Indonesia, ketiga alat ukur ini perlu

diadaptasi terlebih dahulu sesuai dengan budaya dan populasi yang dituju.

Karena penelitian ini merupakan penelitian payung, maka proses

pengadaptasian alat ukur ini dilakukan peneliti bersama dengan peneliti lain

yang memang secara fokus membahas tentang pengadaptasian alat ukur.

Adapun langkah-langkah yang dilakukan dalam adaptasi ketiga alat ukur

tersebut adalah:

1) Menerjemahkan bahasa yang digunakan alat ukur ke dalam bahasa

Indonesia, sesuai dengan bahasa yang umum digunakan oleh responden

penelitian

2) Melakukan back translate. Hal ini dilakukan untuk memeriksa apakah

hasil terjemahan tidak mengubah maksud atau isi dari kalimat aslinya.

3) Melakukan uji keterbacaan terhadap alat ukur yang telah diterjemahkan.

Hal ini dilakukan dengan menanyakan kejelasan isi alat ukur kepada 25

orang yang sesuai dengan karakteristik populasi penelitian. Subjek dibagi

ke dalam beberapa kelompok focus group discussion agar dapat lebih

menggali pendapat mereka. Pertanyaan yang diajukan antara lain adalah

bagaimana bentuk pernyataan dalam alat ukur, apakah pernyataan yang

diberikan cukup jelas atau membingungkan, adakah saran agar alat ukur

lebih baik dimengerti.

4) Merevisi alat ukur berdasarkan hasil uji keterbacaan. Revisi yang

dilakukan antara lain adalah mengubah skala pada alat ukur Subjective

Happiness Scale dan Satisfaction With Life Scale. Dari skala 1-7 menjadi

skala 1-6 untuk menghilangkan nilai netral yang dapat membingungkan

responden.

5) Melakukan uji coba alat ukur. Uji coba ini dilakukan menggunakan

responden yang lebih besar, yaitu 89 orang pada tanggal 4-15 Maret 2009.

Universitas Indonesia

40

6) Menguji reliabilitas, validitas, dan analisis item alat ukur

7) Melakukan revisi alat ukur berdasarkan hasil uji coba.

8) Melakukan latihan pengambilan data

7. Memperbanyak kuesioner yang berisi ketiga alat ukur tersebut dan data

partisipan yang akan disebarkan kepada responden.

8. Memilih dan membeli reward yang akan diberikan kepada partisipan sebagai

ucapan terima kasih.

9. Membuat dan mengurus surat perizinan dari pihak Fakultas yang dilanjutkan

kepada pengurus RT/RW dari sembilan wilayah Jabodetabek untuk

melakukan pengambilan data wilayah tersebut.

4.5.2 Tahap Uji Coba Alat Ukur

Setelah seluruh item pada masing-masing alat ukur selesai diterjemahkan

kemudian disusun menjadi kuesioner yang terdiri dari tiga bagian. Tim peneliti

kemudian melakukan uji coba kuesioner tersebut terhadap sejumlah orang yang

sesuai dengan karakteristik responden penelitian ini. Berikut ini merupakan

penjelasan mengenai proses uji coba alat ukur yang terdiri dari dua tahap, yaitu

Expert judgment dan uji keterbacaan, serta Try Out Alat Ukur.

4.5.2.1 Expert judgment dan uji keterbacaan

Expert judgment dilakukan kepada dosen pembimbing yang juga

merupakan dosen bagian Psikologi Klinis. Kuesioner yang sudah jadi

didiskusikan bersama antara tim peneliti dan dosen pembimbing. Sedangkan

untuk uji keterbacaan dilakukan terhadap 30 orang yang sesuai karakteristik

responden yang terbagi ke dalam lima kelompok focus group discussion. Hasil

yang diperoleh untuk masing-masing alat ukur adalah sebagai berikut:

a. Alat Ukur Happiness Scale (SHS)

Hampir semua subjek mengalami kesulitan pada item nomor 3 dan 4

karena kalimat yang digunakan terlalu panjang sehingga menjadi sulit

dimengerti. Oleh karena itu dilakukan revisi dengan mengganti kalimat

menjadi kalimat yang lebih mudah dipahami oleh orang awam. Selain itu,

ternyata skala 1-7 yang digunakan membuat subjek cenderung untuk

Universitas Indonesia

41

memilih skala 4 yang mengandung nilai netral. Untuk mengatasi hal

tersebut, skalanya diubah menjadi 1-6 untuk menghilangkan skala yang

bernilai netral.

b. Alat Ukur Satisfaction With Life Scale (SWLS)

Sama seperti pada alat ukur SHS, ternyata untuk alat ukur SWLS ini skala

1-7 membuat subjek menjadi bingung karena terdapat nilai netral. Oleh

karena itu skala akhirnya diganti menjadi skala 1-6 dengan menghilangkan

nilai netral. Selain itu keterangan skala juga diganti karena agak sulit

dimengerti oleh subjek. Untuk item itu sendiri terdapat perubahan pada

item nomor 1, yaitu kata ‘ideal’ diganti menjadi ‘yang saya inginkan’ agar

dapat lebih mudah dimengerti responden.

c. Alat Ukur Schedule for Evaluation of Individual Quality of Life – Direct

Weighing (SEIQoL-DW)

Secara umum tidak terdapat kesulitan yang dialami subjek pada instruksi

ketiga item alat ukur ini, tapi terdapat beberapa masukan. Untuk item

pertama hampir semua subjek merasa kesulitan untuk mengerjakannya

karena mereka tidak mengerti dengan konsep ‘aspek kehidupan’ yang

digunakan dalam item. Selain itu, mereka juga bingung menentukan aspek

yang penting dalam hidupnya karena mereka tidak mempunyai contoh.

Oleh karena itu disarankan untuk memberikan contoh atau daftar aspek

kehidupan yang dapat memudahkan responden. Pada item ketiga peneliti

memberikan dua bentuk alternatif. Kebanyakan subjek lebih memilih

alternatif kedua, yaitu memberikan proporsi kepentingan secara langsung

pada tiap aspek dibandingkan dengan alternatif pertama dengan cara

menggambarkan proporsi.

Setelah alat ukur direvisi sesuai dengan hasil uji keterbacaan kemudian

dilakukan uji keterbacaan kembali terhadap sembilan orang subjek yang

menguasai bahasa Inggris dan bahasa Indonesia dengan baik, dan sesuai dengan

karakteristik sampel penelitian. Hasil uji keterbacaan ini menunjukkan bahwa

semua subjek merasakan bahwa baik alat ukur yang asli maupun adaptasi

merupakan alat ukur yang sama dan tidak terjadi perubahan makan pada tiap item

Universitas Indonesia

42

alat ukur. Sehingga dapat dikatakan bahwa terjemahan yang digunakan sudah

cukup baik. Maka tahapan selanjutnya adalah melakukan try out alat ukur.

4.5.2.2 Try Out Alat Ukur

Try Out dilakukan terhadap 89 orang subjek yang memiliki karakteristik

yang sama dengan responden penelitian. Uji coba ini dilakukan pada tanggal 4-15

Maret 2009. Berdasarkan hasil uji coba ini dilakukan perhitungan reliabilitas,

validitas dan analisis item pada masing-masing alat ukur sehingga alat ukur

tersebut dapat dianggap layak digunakan dalam penelitian ini. Oleh karena itu

pada uji coba ini selain ketiga alat ukur yang digunakan disertakan pula alat ukur

Inventori Karakteristik Aktualisasi Diri (IKAD) dan Back Depression Inventory

(BDI) untuk uji validitas konvergen.

Untuk pengujian reliabilitas, validitas dan analisis item ketiga alat ukur

yang digunakan dalam penelitian ini dihitung secara khusus oleh salah satu

anggota payung penelitian yang memang mengkhususkan pada proses

pengadaptasian alat ukur. Pengujian reliabilitas dibutuhkan untuk melihat

konsistensi skor dari orang yang mengerjakan tes saat dites kembali dengan tes

yang serupa atau dengan bentuk yang setara dari tes. (Anastasi dan Urbina, 1997).

Cohen dan Swerdlik (2005) mengatakan bahwa reliabilitas mengacu pada

konsistensi dalam pengukuran. Terdapat berbagai jenis pengujian reliabilitas.

Pada penelitian ini untuk pengujian alat ukur subjective happiness scale dan

satisfaction with life scale digunakan penghitungan keofisien alpha. Hal ini karena

ingin melihat internal consistency dari kedua alat ukur tersebut. Alat ukur tersebut

dikatakan reliabel apabila memiliki konsistensi internal yang tinggi yaitu bila

item-itemnya secara konsisten mengukur satu konstruk yang sama.

Selain pengujian reliabilitas, alat ukur yang baik juga perlu diuji

validitasnya, yaitu apakah alat ukur tersebut benar-benar mengukut hal yang ingin

diukur. Validitas adalah penilaian atau estimasi seberapa jauh suatu tes mengukur

apa yang hendak di ukur dalam konteks tertentu (Cohen & Swerdlik, 2005).

Sebuah konstruk dikatakan valid apabila hasil yang didapatkan dari alat ukur

tertentu berkorelasi dengan variabel lain yang secara teoritis berkorelasi dengan

konstruk tersebut (Anastasi dan Urbina, 1997). Secara teoritis, konstruk subjective

Universitas Indonesia

43

happiness berhubungan dengan teori hirarki kebutuhan dari Maslow (Izawa,

2004). Seseorang akan merasa lebih bahagia terhadap hidupnya bila kebutuhan-

kebutuhannya terpenuhi (Izawa, 2004). Inventori Karakteristik Aktualisasi Diri

(IKAD) ingin melihat karakteristik aktualisasi diri dari individu. Berdasarkan

pemikiran tersebut, seseorang yang memiliki karakteristik aktualisasi diri

merupakan individu yang dapat memenuhi kebutuhan aktualisasi dirinya. Selain

itu, ketika seseorang telah memiliki karakteristik aktualisasi diri, berarti

kebutuhan-kebutuhan yang lebih rendah dari aktualisasi diri pun lebih terpenuhi.

Sehingga dapat dikatakan bahwa seseorang yang memiliki karakteristik

aktualisasi diri memiliki tingkat kebahagiaan yang lebih tinggi.

Lebih lanjut, gangguan depresi merupakan kelainan mengenai perasaan

dasar (mood). Penilaian subjective happiness dipengaruhi oleh mood sesuai

dengan mekanisme subjective well-being, sehingga terdapat hubungan secara

teoritis antara subjective happiness dengan gangguan depresi. Hal ini berarti,

semakin tinggi tingkat subjective happiness seharusnya diikuti dengan semakin

rendahnya tingkat depresi. Oleh karena itu, pada penelitian ini pengujian validitas

menggunakan alat ukur BDI dan IKAD yang digunakan sebagai kriteria eksternal.

Kedua alat ukur tersebut sebelumnya sudah teruji validitas dan reliabilitasnya.

Untuk IKAD memiliki internal konsistensi sebesar 0.911 sedangkan uji validitas

dilakukan dengan melihat korelasi dengan skor total dari setiap dimensi dan

melihat kecocokan hasil interpretasi dengan keadaan diri individu. Hasil korelaso

signifikan pada los 0.01 dan hasil kecocokan antara interpretasi dengan keadaan

diri memperoleh presentase sebesar 64,93-88,81% (Lesmana, Christia, Basri,

Saraswati, 2006). Untuk alat ukur BDI uji validitas dilakukan dengan

menggunakan teknik statistik Kolmogorov-Smirnov Two Independent Sample

Test dan diperoleh hasil yang signifikan pada LoS 0.01 (Suwantara, Lubis dan

Rusli, 2005).

Selanjutnya pada sebuah alat ukur, item yang baik adalah item yang dapat

membedakan individu dengan atribut yang tinggi dengan individu dengan atribut

rendah (Cohen & Swerdlik, 2005). Dalam penghitungannya daya beda tersebut

dapat dilihat dengan cara melihat corrected item-total correlation, yaitu

merupakan korelasi antara item dalam alat ukur dengan skor total item tanpa

Universitas Indonesia

44

memasukkan skor item yang diperiksa tersebut. Item yang memiliki daya beda

yang baik adalah item yang memiliki koefisien corrected item-total correlation di

atas 0,2. Sedangkan item yang memiliki koefisien dibawah itu akan dieliminasi

atau perlu direvisi.

Berikut ini merupakan penjabaran hasil uji coba pada masing-masing alat

ukur.

a. Alat Ukur Happiness Scale (SHS)

Alat ukur ini mengukur konstruk kebahagiaan yang merupakan

konstruk unidimensional sehingga item-item yang terdapat dalam alat ukur

ini merupakan item-item yang mengukur satu hal yang sama. Oleh karena

itu, item-item dalam alat ukur ini merupakan item yang homogen yang

diharapkan benar-benar secara konsisten mengukur satu konstruk yang

sama. Penghitungan reliabilitas dengan menggunakan SPSS 17.0

didapatkan nilai koefisien alpha sebesar 0.640. Maka dapat dikatakan

bahwa sebanyak 64% varians merupakan varians true score dan 36 %

varians merupakan varians error. Menurut Aiken & Groth-Marnat (2006)

nilai minimum reliabilitas adalah 0.6 sehingga nilai diatas 0.6 sudah

dianggap baik. Berdasarkan hal tersebut maka dapat dikatakan bahwa alat

ukur SHS ini merupakan alat ukur yang reliabel.

Sedangkan untuk pengujian validitas, skor SHS ini dikorelasikan

dengan skor BDI dan diperoleh hasil yang signifikan pada los 0.05

(p=0.002) dengan koefisien korelasi sebesar -0.318. Hal ini menunjukkan

bahwa semakin tinggi tingkat kebahagiaan seseorang akan diikuti dengan

semakin rendahnya tingkat depresi yang dimiliki. Selanjutnya skor SHS

ini juga dikorelasikan dengan skor IKAD dan diperoleh hasil yang

signifikan pada los 0.05 (p=0.003) dengan koefisien korelasi sebesar

0.310.

Oleh karena itu dapat dikatakan bahawa dengan semakin tingginya

tingkat kebahagiaan seseorang akan diikuti dengan semakin tinggi pula

karakteristik aktualisasi diri. Berdasarkan kedua korelasi tersebut

menunjukkan bahwa alat ukur SHS ini dapat secara tepat mengukur

konstruk kebahagiaan.

Universitas Indonesia

Fitri , 23/06/09,
La, nggak perlu. Kepanjangan. Tulis aja hasilnya di atas, dengan judul uji reliabilitas, validitas dan analisis item. Lalu masukkan angka hasil pengujiannya

45

Untuk pengujian analisis item keempat item yang terdapat pada

alat ukur ini telah memenuhi persyaratan item yang baik, yaitu seluruh

item mempunyai koefisien corrected item-total correlation di atas 0,2.

Maka dapat dikatakan bahwa item-item yang terdapat pada alat ukur ini

mampu membedakan individu yang mempunyai tingkat kebahagiaan

tinggi dengan indvidu yang tingkat kebahagiaannya rendah. Berikut ini

merupakan hasil penghitungan corrected item-total correlation dengan

menggunakan SPSS 17.0:

Tabel 4.1

Analisis Diskriminasi Item Subjective happiness scale

Subjecti

ve happiness

scale (α =

0.640)

Correcte

d Item-Total

Correlation

Alpha

Coef. If Item

Deleted

Item

No. 1

0.601 0.481

Item

No. 2

0.554 0.490

Item

No. 3

0.459 0.547

Item

No. 4

0.225 0.781

b. Alat Ukur Satisfaction With Life Scale (SWLS)

Sama halnya dengan kebahagiaan, konstruk kepuasan hidup juga

merupakan konstruk yang unidimensional sehingga item-item yang

terdapat pada Satisfaction With Life Scale (SWLS) merupakan item-item

yang mengukur satu konstruk yang sama. Oleh karena itu diharapkan lat

ukur ini memiliki item-item yang homogen dan benar-benar secara

konsisten mengukur satu konstruk yang sama. PBerdasarkan pada

penghitungan reliabilitasyang menggunakan SPSS 17.0 didapatkan

koefisien alpha sebesar 0.76640. Hal ini menunjukkan bahwa 64 %

Universitas Indonesia

46

varians merupakan varians true score dan 36 % varians merupakan

varians error. Aiken & Groth-Marnat (2006) menyebutkan bahwa batas

reliabilitas yang dianggap baik adalah bila diatas 0.6. Maka dapat

dikatakan bahwa alat ukur SWLS ini merupakan alat ukur yang reliabel.

Untuk pengujian validitas SWLS juga sama seperti SHS yaitu

dengan melakukan korelasi dengan skor BDI dan IKAD. Hasil koefisien

korelasi antara skor SWLS dengan skor BDI diperoleh sebesar -0.399

yang signifikan pada los 0.05 (p=0.000). Hal ini berarti semakin besar

tingkat kepuasan hidup seseorangan akan diikuti pula dengan semakin

rendahnya tingkat depresi yang dimiliki. Selanjutnya untuk korelasi

dengan skor IKAD diperoleh koefisien korelasi sebesar 0.368 yang

signifikan pada los 0.05 (p=0.006).

Menurut Aiken & Groth-Marnat (2006) nilai minimum reliabilitas adalah

0.6 sehingga nilai diatas 0.6 sudah dianggap baik. Berdasarkan hal tersebut

maka dapat dikatakan bahwa kedua alat ukur SHS dan SWLS ini meru-

pakan alat ukur yang reliabel karena koefisien yang diperoleh lebih besar

dari 0.6 dan dapat dikatakan bahwa item-item dalam alat ukur ini

merupakan item yang homogen yang diharapkan benar-benar secara

konsisten mengukur satu konstruk yang sama. Untuk pengujian validitas,

kedua alat ukur ini memiliki korelasi positif yang signifikan pada los 0.05

terhadap nilai IKAD dan korelasi negatif yang signifikan pada los 0.05

dengan nilai BDI. Berdasarkan kedua korelasi tersebut menunjukkan

bahwa alat ukur SHS dan SWLS merupakan alat ukur yang valid. Untuk

pengujian analisis item kesemua item yang terdapat pada masing-masing

alat ukur tersebut telah memenuhi persyaratan item yang baik, yaitu

seluruh item mempunyai koefisien corrected item-total correlation di atas

0,2.

hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat kepuasan hidup

seseorang akan diikuti pula dengan semakin tingginya karakteristik

aktualisasi diri yang dimilikinya. Berdasarkan kedua korelasi tersebut dapat

Universitas Indonesia

47

disimpulkan bahwa alat ukur SWLS ini dapat secara tepat mengukur

konstruk kepuasan hidup.

Sedangkan untuk pengujian analisis item SWLS diperoleh hasil

bahwa kelima item yang terdapat dalam alat ukur tersebut memiliki

corrected item-total correlation di atas 0,2. Sehingga dapat dikatakan

bahwa keseluruhan item merupakan item yang mempunyai daya beda

yang baik dalam arti dapat membedakan antara individu yang tingkat

kepuasan hidupnya tinggi dengan individu yang tingkat kepuasan

hidupnya rendah. Berikut ini merupakan hasil perhitungan corrected

item-total correlation dengan menggunakan SPSS 17.0:

Tabel 4.2Analisis Diskriminasi Item Satisfaction With Life Scale

Satisfaction With Life Scale (α = 0.760)

Corrected Item-Total Correlation

Alpha Coef. If Item Deleted

Item No. 1 0.631 0.690Item No. 2 0.518 0.725Item No. 3 0.567 0.705Item No. 4 0.615 0.688Item No. 5 0.428 0.787

c. Alat Ukur Schedule for Evaluation of Individual Quality of Life – Direct

Weighing (SEIQoL-DW)

Alat ukur ini sebenarnya merupakan alat ukur yang dikembangkan

dari wawancara berstruktur yang terdiri dari 3 pertanyaan yang saling

berkaitan. Karena jenisnya yang berbeda pada tiap itemnya maka ketiga

item tersebut tidak dapat diukur konsitensinya. Oleh karena itu, untuk

pengujian ini peneliti hanya melakukan pengujian validitas, yaitu untuk

melihat seberapa tepat tes mengukur apa yang hendak diukur (Anastasi &

Urbina, 1997). Berdasarkan hasil penghitungan korelasi antara skor

SEIQOL-DW dengan skor BDI didapatkan hasil yang signifikan pada los

0.05 (p=0.013) dengan koefisien korelasi sebesar -0.262. Hal ini

menunjukkan bahwa semakin tinggi kualitas hidup seseorang akan diikuti

Universitas Indonesia

48

dengan semakin rendahnya tingkat depresi yang dimilikinya. Selanjutnya

untuk korelasi antara skor SEIQOL-DW dengan skor IKAD diperoleh

hasil yang tidak signifikan pada los 0.05 (p=0.066) dengan koefisien

korelasi sebesar 0.541. Hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat

korelasi yang signifikan antara global quality of life dengan karakteristik

aktualisasi diri.

4.5.3 Tahap Pelaksanaan

Hal-hal yang dilakukan dalam tahap pelaksanaan antara lain :

1. Melakukan pengambilan data

Pengambilan data dilakukan dengan metode survei, yaitu household survey.

Peneliti memilih 30 rumah dari setiap daerah di Jakarta dan sekitarnya yang

dilaksanakan pada tanggal 26 Maret 2009 – 17 April 2009.

Berikut ini akan dijelaskan lebih lanjut mengenai proses pengambilan data

yang dilakukan bersama-sama dalam payung penelitian ini:

Pengambilan data dilakukan di kelima kotamadya di Jakarta dan

juga di Bogor, Tangerang, Depok serta Bekasi. Pada tiap

wilayahnya ditargetkan 30 rumah. Pemilihan sampel yang

dilakukan tidaklah secara random tetapi berdasarkan pada lokasi

tempat tinggal para peneliti berada.

Pertama-tama peneliti meminta izin pada ketua RT sebagai pihak

yang berwenang di daerah pengambilan data.

Setelah memperoleh izin, pengambilan data dilakukan dengan

mendatangi rumah-rumah. Peneliti tidak mengambil data di

wilayah tempat tinggalnya sendiri melainkan dilakukan oleh

peneliti payung lainnya.

Di setiap rumah, data diambil dari seluruh anggota keluarga yang

tinggal di rumah tersebut yang memenuhi karakteristik subjek

penelitian, yaitu berusia 18 tahun ke atas dengan pendidikan

minimal SMA, dan berada pada kelas sosial menengah ke atas.

Pada saat memberikan kuesioner, peneliti menjelaskan cara

pengisiannya terlebih dahulu kepada para responden. Apabila

responden bersedia langsung mengisi kuesioner tersebut, maka

Universitas Indonesia

Fitri , 06/23/09,
Kepanjangan

49

peneliti akan menungguinya. Tetapi bila tidak, maka kuesioner

akan ditinggal dan diambil kembali keesokan harinya. Begitu pula

yang terjadi bagi responden lainnya yang terdapat di dalam rumah

tersebut namun pada saat peneliti datang sedang tidak berada di

rumah.

2. Mengumpulkan dan menyiapkan data untuk diolah.

Peneliti mengumpulkan kembali semua kuesioner yang telah disebar

sebelumnya. Peneliti juga mengecek kelengkapan pengisian kuesioner. Bila

ada yang kurang lengkap, peneliti mencoba menanyakan kembali kepada

responden. Pada pengambilan data pada 291 keluraga berhasil diperoleh

kuesioner sebanyak 583 buah, tetapi setelah dilakukan pengecekan hanya

terdapat 578 kuesioner yang dapat digunakan. Bila berdasarkan rencana, maka

hanya diambil 270 rumah, tetapi ternyata dalam proses pengambilannya pada

beberapa wilayah melebihi target. Hal ini terjadi karena peneliti

mengantisipasi pada beberapa keluarga yang kemungkinan pengembalian

kuesionernya rendah, sehingga peneliti menyebarkan pada lebih dari 30

rumah.

4.5.4 Tahap Akhir

Hal-hal yang dilakukan dalam tahap akhir antara lain :

1. Melakukan skoring terhadap data dari alat ukur.

2. Melakukan entry data dan melakukan pengecekan tiap data kelima dengan

kuesioner aslinya untuk meminimalisir kesalahan pemasukan data.

3. Menginterpretasikan hasil analisis statistik berdasarkan teori dan kerangka

berpikir yang telah disusun sebelumnya.

4. Melakukan analisa dan pembahasan berdasarkan data yang diperoleh.

5. Menarik kesimpulan.

6. Mengajukan saran tindak lanjut.

7. Menyusun dan melakukan perbaikan terhadap laporan penelitian.

Universitas Indonesia

50

4.6. Analisis Data

Pada penilitian ini digunakan penghitungan secara kuantitatif dengan

menggunakan program SPSS for Windows 13.0. Metode pengolahan yang akan

digunakan adalah:

1. Metode Analisis Deskriptif

Statistik deskriptif merupakan prosedur statistik yang digunakan untuk

merangkum, mengorganisasi, dan menyederhanakan data (Gravetter &

Wallnau, 2007). Metode ini digunakan untuk melihat frekuensi, mean,

median dan standard deviasi penyebaran hasil responden pada tiap variabel

yang diukur. Statistik deskriptif juga digunakan untuk menggambarkan

data demografis responden.

2. Korelasi Pearson Product Moment

Korelasi Pearson Product Moment digunakan untuk mengetahui hubungan

antara dua variabel. Pada penelitian ini, metode korelasi Pearson Product

Moment digunakan untuk menjawab permasalahan utama penelitian ini,

yakni mengetahui hubungan antar ketiga variabel penelitian, yakni antara

kebahagiaan, kepuasan hidup dan kualitas hidup.

3. Multiple Regression

Teknik perhitungan statistik Multiple Regression digunakan untuk melihat

hubungan antara satu variabel terikat dengan data kontinu dengan

sejumlah variabel bebas atau prediktor (Cohen&Cohen, 1983). Dengan

Multiple Regression dapat diketahui sejauh mana sebuah variabel mampu

memprediksi hasil tertentu dan juga berfungsi untuk mengetahui variabel

mana yang memiliki pengaruh paling besar terhadap hasil. Dalam

penelitian ini, metode Multiple Regression digunakan untuk melihat faktor

demografis apa saja yang memiliki pengaruh paling besar dan yang paling

mampu memprediksi skor kebahagiaan, kepuasan hidup dan kualitas

hidup.

4. Analysis Of Variance (ANOVA)

Perhitungan dengan menggunakan anova satu arah digunakan untuk

melihat perbandingan skor nilai rata-rata (mean) diantara 2 kelompok atau

lebih (Cohen, 1988). Perhitungan anova digunakan dalam penelitian ini

Universitas Indonesia

51

untuk melihat perbandingan mean dari skor kebahagiaan, kepuasan hidup

dan kualitas hidup pada kelompok masyarakat Jakarta, Bogor, Depok,

Tangerang dan Bekasi. Dari hasil perhitungan, peneliti melihat signifikansi

(p) dari nilai F yang didapatkan, yang selanjutnya dapat diketahui apakah

terdapat perbedaan mean dari kelompok-kelompok tersebut pada masing-

masing variabel.

Universitas Indonesia

52

BAB 5

HASIL dan ANALISIS HASIL

Pada bagian ini akan dijabarkan mengenai hasil penelitian yang telah

dilakukan. Penjabaran hasil tersebut meliputi hasil utama penelitian, gambaran

umum responden dan hasil tambahan yang diperoleh peneliti dalam penelitian ini.

5.1 Gambaran Umum Responden

Pengambilan data dilakukan pada kelima wilayah Jakarta, Bogor,

Tangerang, Depok dan Bekasi. Kuesioner disebar pada 291 keluarga dengan

jumlah akhir 583 orang yang mengisi kuesioner. Namun hanya 578 kuesioner

yang dapat diolah lebih lanjut; sedangkan 5 kuesioner tidak dapat digunakan

karena ketidaklengkapan data. Berikut ini akan dijabarkan lebih lanjut mengenai

gambaran umum responden yang akan didahului dengan gambaran keluarga.

Tabel 5.1

Gambaran Deskriptif Keluarga

Gambaran Keluarga Berdasarkan Wilayah Domisili

Jakarta Utara 30 keluarga 10.3 %Jakarta Timur 30 keluarga 10.3 %Jakarta Selatan 30 keluarga 10.3 %Jakarta Barat 30 keluarga 10.3 %Jakarta Pusat 30 keluarga 10.3 %Bogor 35 keluarga 12 %Depok 33 keluarga 11.3 %Tangerang 37 keluarga 12.7 %Bekasi 36 keluarga 12.4 %

Gambaran Total Pengeluaran Keluarga per bulan

Rp 2.500.001,- s/d Rp 5.000.000,- 17 keluarga 5.8 %Rp 5.000.001,- s/d Rp 7.500.000,- 62 keluarga 21.3 %Rp 7.500.001,- s/d Rp 10.000.000,- 58 keluarga 19.9 %> Rp 10.000.000 154 keluarga 52.9 %

Jumlah Responden Per-Wilayah

Jakarta Utara 74 responden 12.8 %Jakarta Timur 53 responden 9.2 %Jakarta Selatan 64 responden 11.1 %Jakarta Barat 59 responden 10.2 %Jakarta Pusat 57 responden 9.9 %Bogor 41 responden 7.1 %

Universitas Indonesia

53

Depok 70 responden 12.1 %Tangerang 87 responden 15.1 %Bekasi 72 responden 12.5 %

Bedasarkan tabel diatas terlihat bahwa penyebaran jumlah keluarga merata

di kelima wilayah Jakarta, yaitu masing-masing wilayah diambil sampel 30

rumah. Sedangkan untuk daerah sekitar Jakarta seperti Bogor, Depok, Tangerang

dan Bekasi jumlah sampel lebih dari 30 rumah dan paling banyak dari daerah

Tangerang dengan jumlah 37 keluarga. Kemudian terlihat pula bahwa paling

banyak responden berasal dari wilayah Tangerang dengan jumlah 87 orang

responden dan paling sedikit berasal dari wilayah Bogor dengan jumlah 41 orang

responden. Bila dibandingkan dengan jumlah keluarga, ternyata Tangerang

dengan jumlah keluarga terbanyak, yaitu 37 keluarga, mampu memberikan jumlah

responden yang banyak pula. Sebaliknya Bogor dengan jumlah 35 keluarga hanya

dapat memberikan 41 orang responden.

Selanjutnya dari tabel di atas juga terlihat bahwa lebih dari separuh

responden mempunyai pengeluaran keluarga diatas 10 juta rupiah per bulan

Pengeluaran ini termasuk di dalamnya pengeluaran rutin dan pengeluaran tidak

rutin.

Untuk gambaran responden yang diperoleh dalam penelitian ini dapat

dilihat pada tabel di bawah ini yang digolongkan berdasarkan jenis kelamin, usia,

status, pendidikan, pekerjaan dan penghasilan.

Tabel 5.2Gambaran Deskriptif Responden

Gambaran Responden Berdasarkan Jenis Kelamin

Laki-laki 266 responden 46 %Perempuan 312 responden 54 %

Gambaran Responden Berdasarkan Usia

< 20 tahun 36 responden 6.2 %21 tahun – 40 tahun 276 responden 47.8 %41 tahun – 65 tahun 254 responden 44.1 %> 65 tahun 11 responden 1.9 %

Gambaran Responden Berdasarkan Status

Lajang 213 responden 36.9 %Menikah 348 responden 60.2 %

Universitas Indonesia

54

Janda/Duda karena meninggal 11 responden 1.9 %Janda/Duda karena bercerai 6 responden 1 %

Gambaran Responden Berdasarkan Pendidikan

SMA 160 responden 27.7 %D1 7 responden 1.2 %D3 69 responden 11.9 %S1 268 responden 46.4 %S2 70 responden 12.1 %S3 4 responden 0.7 %

Gambaran Responden Berdasarkan Pekerjaan

Pegawai Negeri 60 responden 10.4 %Pegawai Swasta 168 responden 29.1 %Pegawai BHMN 27 responden 4.7 %Pegawai Kontrak/Honorer 12 responden 2.1 %Wiraswasta 61 responden 10.6 %Profesional 10 responden 1.7 %Mahasiswa 97 responden 16.8 %Pensiunan 34 responden 5.9 %Ibu Rumah Tangga 88 responden 15.2 %Tidak Bekerja 21 responden 3.6 %

Gambaran Responden Berdasarkan Penghasilan

Tidak Berpenghasilan 135 responden 23.4 %< Rp 1.000.000,- 61 responden 10.6 %Rp 1.000.001,- s/d Rp 2.500.000,- 86 responden 14.9 %Rp 2.500.001,- s/d Rp 5.000.000,- 121 responden 21 %Rp 5.000.001,- s/d Rp 7.500.000,- 65 responden 11.3 %Rp 7.500.001,- s/d 10.000.000,- 44 responden 7.6 %> Rp 10.000.001,- 65 responden 11.3 %

Melalui tabel tersebut terlihat bahwa penyebaran responden laki-laki dan

perempuan cukup merata dan tidak berbeda jauh. Jumlah responden laki-laki

sebesar 46% sedangkan responden perempuan sebesar 54% dan paling banyak

berasal dari kelompok umur 21 hingga 40 tahun sedangkan yang paling sedikit

berasal dari kelompok usia diatas 65 tahun. Sehingga bisa dikatakan bahwa

mayoritas responden berada pada usia yang produktif.

Gambaran berikutnya adalah berdasarkan status pernikahan yang terlihat

bahwa mayoritas responden telah menikah yaitu sebanyak 60.2% dan bila

dikaitkan dengan usia maka dapat dikatakan bahwa sebagian besar yang sudah

menikah merupakan keluarga muda karena berada dalam rentang usia 20-30

tahun.

Universitas Indonesia

55

Untuk pendidikannya terlihat bahwa mayoritas responden merupakan

lulusan sarjana (S1) yaitu sebanyak 46.4%. Sedangkan untuk lulusan SMA berada

di tingkat kedua. Namun, tidak semuanya yang tergolong SMA berarti hanya

menempuh pendidikan sampai SMA saja. Apabila responden saat ini menjadi

mahasiswa maka tergolong ke dalam SMA karena yang digunakan adalah

pendidikan terakhir yaitu SMA. Selanjutnya bila dilihat melalui penyebaran

berdasarkan pekerjaan maka mayoritas responden bekerja sebagai pegawai swasta

yaitu sebesar 29.1% yang diikuti dengan mahasiswa sebesar 16.8%. Sedangkan

bila berdasarkan penghasilan terlihat bahwa mayoritas responden tidak

berpenghasilan, yaitu sebesar 23.4%. Hal ini dapat terjadi karena bila dikaitkan

dengan jenis pekerjaan yang juga banyak adalah mahasiswa dan ibu rumah tangga

dimana kedua jenis pekerjaan tersebut tidaklah berpenghasilan. Mayoritas kedua

responden berpenghasilan antara Rp 2.500.001,- s/d Rp 5.000.000,- per bulan

dengan jumlah 21%.

5.2 Gambaran Kebahagiaan Responden

Tingkat kebahagiaan diperoleh dari skor kebahagiaan berdasarkan alat

ukur Subjective Happiness Scale (SHS). Interpretasi skor SHS itu sendiri

didapatkan dengan cara melihat skor total individu dan membandingkannya pada

kontinum respon jawaban yang terentang dari (1) sangat tidak bahagia, sampai

dengan (6) sangat bahagia. Berdasarkan penghitungan tersebut maka diperoleh

interpretasi norma yang akan digunakan sebagai berikut.

Tabel 5.3Norma Subjective Happiness Scale

Skor Total Subjective Happiness Scale Interpretasi

1 s/d 2 Sangat Tidak Bahagia2.1 s/d 3 Tidak Bahagia3.1 s/d 4 Netral4.1 s/d 5 Bahagia5.1 s/d 6 Sangat Bahagia

Berikut ini merupakan gambaran skor kebahagiaan yang diperoleh

masyarakat Jabodetabek.

Universitas Indonesia

56

Tabel 5.4Gambaran Tingkat Kebahagiaan Masyarakat Jabodetabek

Skor Kebahagiaan Masyarakat Jabodetabek

Mean 4.73Median 4.75Skor Minimum 1.75Skor Maximum 6.00

Berdasarkan tabel tersebut terlihat bahwa rata-rata masyarakat

Jabodetabek memiliki tingkat kebahagiaan sebesar 4.73 dengan standard deviasi

sebesar 0.706. Bila disesuaikan dengan norma yang telah dibuat berdasarkan

populasi penelitian ini, maka dapat digolongkan ke dalam kategori bahagia.

Gambaran lebih lanjut mengenai persebaran skor kebahagiaan dengan mengacu

pada norma yang telah dibuat dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 5.5Persebaran Skor Kebahagiaan Masyarakat Jabodetabek

Interpretasi Jumlah Responden Persentase

Sangat tidak bahagia 2 0.3%Tidak bahagia 9 1.5%Netral 92 15.9%Bahagia 314 54.5%Sangat bahagia 161 27.8%

Berdasarkan tabel di atas terlihat memang mayoritas masyarakat

Jabodetabek menganggap dirinya bahagia, yakni sebesar 54.5%. Sedangkan yang

menganggap dirinya sangat bahagia sebesar 27.8%. Sebaliknya responden yang

menganggap dirinya sangat tidak bahagia hanya sebesar 0.3%.

5.3 Gambaran Kepuasan Hidup Responden

Kepuasan hidup diukur dengan menggunakan alat ukur Satisfcation With

Life Scale (SWLS) yang menggunakan pilihan jawaban berupa skala equal-

appearing interval, yaitu skor yang diperoleh individu memiliki arti interpretasi

absolut dengan dasar nilai kontinum pada respon jawaban dalam alat ukur itu

sendiri (Edwards, 1957). Interpretasi skor dibuat secara independen tanpa melihat

distribusi skor dari sebuah kelompok tertentu. Dengan demikian, interpretasi

terhadap skor kepuasan hidup yang diperoleh dari alat ukur satisfaction with life

Universitas Indonesia

57

scale yaitu dengan melihat penyebaran respon jawaban partisipan pada skala dari

alat ukur kepuasan hidup, tanpa melihat distribusi skor dari kelompok partisipan.

Berdasarkan hal tersebut maka diperoleh norma skor SWLS sebagai berikut.

Tabel 5.6Norma Satisfaction With Life Scale

Rata-rata skor Satisfaction With Life Scale Interpretasi

1 s/d 2 Sangat Tidak Puas2.1 s/d 3 Tidak Puas3.1 s/d 4 Netral4.1 s/d 5 Puas5.1 s/d 6 Sangat Puas

Berikut ini merupakan gambaran skor kepuasan hidup yang diperoleh

masyarakat Jabodetabek.

Tabel 5.7Gambaran Tingkat Kepuasan Hidup Masyarakat Jabodetabek

Skor Kepuasan Hidup Masyarakat Jabodetabek

Mean 4.29Median 4.40Skor Minimum 1.60Skor Maximum 6.00

Berdasarkan tabel tersebut terlihat bahwa rata-rata masyarakat

Jabodetabek memiliki tingkat kepuasan hidup sebesar 4.40 dengan standard

deviasi sebesar 0.753. Selanjutnya bila disesuaikan dengan norma yang telah

dibuat berdasarkan populasi penelitian ini, maka masyarakat Jabodetabek dapat

digolongkan ke dalam kriteria puas, yakni berada pada rentang skor 4.1 s/d 5.

Gambaran lebih lanjut mengenai persebaran skor kepuasan hidup dengan

mengacu pada tabel norma yang telah dibuat dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 5.8Persebaran Skor Kepuasan Hidup Masyarakat Jabodetabek

Interpretasi Jumlah Responden Persentase

Sangat tidak puas 5 0.9%Tidak puas 30 5.2%Netral 180 31.1%Puas 297 51.4%

Universitas Indonesia

58

Sangat puas 66 11.4%

Dari tabel di atas terlihat memang mayoritas masyarakat Jabodetabek

menganggap dirinya puas dengan hidupnya, yakni sebesar 51.4%. Sedangkan

yang menganggap hidupnya netral ada sebesar 27.8%. Sebaliknya responden yang

merasa sangat tidak puas dengan hidupnya hanya sebesar 0.9%.

5.4 Gambaran Kualitas Hidup Responden

Tingkat kualitas hidup diperoleh dari interpretasi skor total pada alat ukur

Schedule for Evaluation of Individual Quality of Life – Direct Weighing (SEIQoL-

DW). Interpretasi terhadap skor kualitas hidup adalah dengan melihat skor total

dari individu dan membandingkannya pada kontinum respon jawaban yang

memiliki rentang skor antara (0) Kualitas Hidup Sangat Buruk, sampai dengan

(100) Kualitas Hidup Sangat Baik. Berdasarkan hal tersebut maka dapat dibuat

norma untuk skor kualitas hidup yang dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 5.9Norma SEIQoL-DW

Skor Total SEIQoL-DW Interpretasi

0 s/d 20 Kualitas Hidup Sangat Buruk21 s/d 40 Kualitas Hidup Buruk41 s/d 60 Kualitas Hidup Sedang61 s/d 80 Kualitas Hidup Baik81 s/d 100 Kualitas Hidup Sangat Baik

Berikut ini merupakan gambaran tingkat kualitas hidup yang diperoleh

pada masyarakat Jabodetabek.

Tabel 5.10Gambaran Tingkat Kualitas Hidup Masyarakat Jabodetabek

Skor Kualitas Hidup Masyarakat Jabodetabek

Mean 76.87Median 79.5Skor Minimum 18.25Skor Maximum 100.00

Universitas Indonesia

59

Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa rata-rata skor kualitas hidup

masyarakat Jabodetabek adalah sebesar 76.87 (SD= 0.753) yang berada pada

kriteria baik. Pengelompokkan kriteria berdasarkan norma yang telah dibuat

sesuai dengan populasi yang digunakan dalam penelitian ini. Namun perlu dilihat

pula persebarannya pada tiap kriteria yang dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 5.11Persebaran Skor Kualitas Hidup Masyarakat Jabodetabek

Interpretasi Jumlah Responden Persentase

Sangat buruk 2 0.3%Buruk 22 3.8%Sedang 41 7.1%Baik 266 46.1%Sangat baik 247 42.7%

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa memang mayoritas masyarakat

Jabodetabek mempunyai kualitas hidup yang baik, yaitu sebesar 46.1%. Tak

berbeda jauh, sebanyak 42.7% menganggap dirinya mempunyai kualitas hidup

yang sangat baik. Sedangkan hanya 0.3% atau 2 orang responden yang

menganggap kualitas hidupnya sangat buruk.

Selain melihat skor total kepuasan kepuasan hidup, peneliti juga melihat

peranan aspek-aspek kehidupan yang dianggap penting oleh responden. Aspek

kehidupan ini diperoleh pada item pertama alat ukur SEIQoL-DW yang meminta

responden untuk menyebutkan lima aspek kehidupan yang dianggap paling

penting. Adapun gambaran penyebaran aspek-aspek itu dapat dilihat dari tabel di

bawah ini.

Tabel 5.12Daftar Aspek Kehidupan

Aspek kehidupan Frekuensi Persentase

Spiritualitas 396 14.50%Hobi 50 1.83%Pernikahan 90 3.29%Percintaan 84 3.08%Diri sendiri 67 2.54%Kesehatan 374 13.69%Hubungan pertemanan 258 9.45%

Universitas Indonesia

60

Karier 198 7.25%Kemandirian 66 2.42%Pendidikan 240 8.79%Keluarga 498 18.24%Keuangan 312 11.42%Kekuasaan 4 0.15%Penampilan 13 0.48%Rekreasi 81 2.97%

Berdasarkan tabel tersebut dapat dilihat bahwa lima aspek kehidupan yang

dianggap paling penting oleh masyarakat Jabodetabek adalah keluarga (498),

spiritualitas (396), kesehatan (374), keuangan (312) dan hubungan pertemanan

(258). Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa kebanyakan masyarakat

menganggap keluarga merupakan aspek yang penting yaitu sebesar 18.24%.

Yang dimaksud keluarga disini adalah hubungan yang terjadi di dalam keluarga

baik pada keluarga inti seperti ayah, ibu, dan anak tetapi juga keluarga besar.

Sedangkan urutan kedua adalah aspek sprirtualitas sebesar 14.50%. Pengertian

spiritualitas yang dimaksud disini mencakup hal-hal mengenai kerohanian,

keagamaan atau Tuhan. Pada urutan ketiga adalah aspek kesehatan (13.69%)

dengan kesehatan yang mencakup kesehatan secara fisik dan mental. Aspek

terpenting yang keempat adalah keuangan sebesar 11.42%. Keuangan yang

dimaksud di sini juga termasuk masalah perekonomian dan pemenuhan kebutuhan

hidup. Aspek penting yang berada pada urutan lima adalah hubungan pertemanan

yang juga mencakup hubungan sosial dengan orang lain.

5.5 Hubungan antara Kebahagiaan, Kepuasan Hidup dan Kualitas Hidup

Untuk mengetahui hubungan antara kebahagiaan dan kepuasan hidup

digunakan perhitungan dengan menggunakan teknik korelasi pearson product

moment dengan program SPSS 13.0 diperoleh hasil sebagai berikut.

Tabel 5.13Hasil Korelasi antara Kebahagiaan dan Kepuasan Hidup

Koefisien Korelasi antara Kebahagiaan dan

Kepuasan Hidup (r)

Nilai Signifikansi (p) Koefisien Determinasi (r2)

0,512** 0,000 0.26

**Signifikan pada LoS 0.01 (2-tailed)

Universitas Indonesia

61

Tabel di atas menunjukkan bahwa berdasarkan hasil penghitungan korelasi

antara skor Subjective Happiness Scale dengan skor Satisfaction With Life Scale

didapatkan hasil yang signifikan pada LoS 0.01 dengan koefisien sebesar 0.512.

Hasil tersebut menunjukkan semakin tinggi tingkat kebahagiaan seseorang maka

akan diikuti pula dengan semakin tingginya tingkat kepuasan hidup yang

dimilikinya. Selain itu koefisien determinasi (r2) sebesar 0.26 yang berarti 26 %

proporsi varians kebahagiaan dapat dijelaskan oleh varians kepuasan hidup.

Selanjutnya untuk mengetahui hubungan antara kebahagiaan dan kualitas

hidup dapat diperoleh dengan melakukan korelasi antara skor Subjective

Happiness Scale dengan skor total Evaluation of Individual Quality of Life –

Direct Weighing (SEIQoL-DW). Hasilnya dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

Tabel 5.14Hasil Korelasi antara Kebahagiaan dan Kualitas Hidup

Koefisien Korelasi antara Kebahagiaan dan Kualitas

Hidup (r)

Nilai Signifikansi (p) Koefisien Determinasi (r2)

0,268** 0,000 0.07

**Signifikan pada LoS 0.01 (2-tailed)

Melalui tabel diatas dapat dilihat bahwa hasil korelasi tersebut adalah signifikan

pada LoS 0.01 dengan koefisien sebesar 0.268. Hasil tersebut menunjukkan

semakin tinggi tingkat kebahagiaan seseorang maka akan diikuti pula dengan

semakin tingginya tingkat kualitas hidup yang dimilikinya. Selain itu koefisien

determinasi (r2) sebesar 0.07 yang berarti hanya 7 % proprosi varians kebahagiaan

dapat dijelaskan oleh varians kualitas hidup.

Terakhir adalah hubungan antara kepuasan hidup dan kualitas hidup yang

diperoleh dengan malakukan korelasi antara skor Satisfaction With Life Scale

dengan skor Evaluation of Individual Quality of Life – Direct Weighing (SEIQoL-

DW).

Tabel 5.15Hasil Korelasi antara Kepuasan Hidup dan Kualitas Hidup

Koefisien Korelasi antara Kepuasan Hidup dan Kualitas Hidup(r)

Nilai Signifikansi (p) Koefisien Determinasi (r2)

Universitas Indonesia

62

0,293** 0,000 0.07

**Signifikan pada LoS 0.01 (2-tailed)

Melalui tabel diatas dapat dilihat bahwa hasil korelasi tersebut adalah

signifikan pada LoS 0.01 dengan koefisien sebesar 0.293. Hasil tersebut

menunjukkan semakin tinggi tingkat kepuasan hidup seseorang maka akan diikuti

pula dengan semakin tingginya tingkat kualitas hidup yang dimilikinya. Selain itu,

koefisien determinasi (r2) sebesar 0.07 yang berarti hanya 7% proprosi varians

kepuasan hidup yang dapat dijelaskan oleh varians kualitas hidup.

5.6 Hasil Tambahan

5.6.1 Faktor Demografi yang Berkontribusi terhadap Kebahagiaan,

Kepuasan Hidup dan Kualitas Hidup

Dalam penelitian ini tidak diperhitungkan mengenai pengaruh faktor

demografis pada masing-masing variabel. Oleh karena itu pada analisis tambahan

ini akan diperlihatkan pengaruh masing-masing faktor demografis dalam

memprediksi tiap variabel. Untuk penghitungannya digunakan Multiple

Regression dengan prediktor adalah pekerjaan, jenis kelamin, usia, pendidikan

terakhir, penghasilan dan status pernikahan sedangkan dependent variabel yang

digunakan adalah nilai kebahagiaan, kepuasan hidup dan kualitas hidup.

Tabel 5.16Hasil Perhitungan Multiple Regression

R square df FSignifikansi

Kebahagiaan 0.051 6 5.0940.000*Kepuasan Hidup 0.034 6 3.3670.003*Kualitas Hidup 0.023 6 2.2230.040*

Berdasarkan tabel di atas terlihat bahwa pada masing-masing variabel didapatkan

hasil yang signifikan pada los 0.05 antara faktor demografis (usia, jenis kelamin,

status pernikahan, pendidikan, penghasilan dan pekerjaan) mempunyai hubungan

terhadap ketiga variabel yang diteliti, yaitu kebahagiaan, kepuasan hidup dan

kualitas hidup. Dari perhitungan pada masing-masing variabel didapatkan bahwa

Universitas Indonesia

Fitri , 06/23/09,
Ini tabel apa? Multiple regression kan bentuknya tidak seperti ini?

63

faktor demografis (usia, jenis kelamin, status pernikahan, pendidikan, penghasilan

dan pekerjaan) mempunyai hubungan yang signifikan terhadap ketiga variabel

yang diteliti, yaitu kebahagiaan, kepuasan hidup dan kualitas hidup. Pada variabel

kebahagiaan terdapat 5.1% dari varians skor yang dapat dijelaskan melalui varians

demografis. Untuk nilai kepuasan hidup hanya 3.4% varians skor kepuasan hidup

yang dapat dijelaskan melalui varians demografis dan pada kualitas hidup terdapat

2.3% skor kualitas hidup yang mampu dijelaskan oleh varians demografis.

Selanjutnya akan dijabarkan lebih lanjut mengenai kontribusi masing-

masing faktor demografis terhadap ketiga variabel yang diukur. Hasilnya dapat

dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 5.17Hasil Signifikansi Faktor Demografis

Faktor Demografis

Nilai signifikansi

Kebahagiaan Kepuasan Hidup Kualitas Hidup

Usia 0.584 0.701 0.483Jenis Kelamin 0.961 0.077 0.051Status Penikahan 0.026* 0.168 0.674Pendidikan 0.315 0.938 0.151Penghasilan 0.010* 0.000* 0.054Pekerjaan 0.864 0.062 0.038*

*Signifikan pada Los 0.05

Melalui tabel diatas dapat terlihat bahwa pada nilai kebahagiaan hanyalah

status pernikahan dan penghasilan yang signifikan secara statistik dalam

berkontribusi terhadap persamaan regresi tersebut. Sedangkan untuk nilai kepuas-

an hidup hanyalah faktor penghasilan serta pada nilai kualitas hidup hanya faktor

pekerjaan saja yang signifikan berkontribusi terhadap persamaan regresi itu.

Tabel 5.18Hasil Faktor Demografis terhadap Kebahagiaan

Standardized Coefficients Beta

Nilai Part Correlation

Koefisien determinasi (r2)

Status pernikahan 0.126 0.091 0.00Penghasilan 0.141 0.106 0.01

Universitas Indonesia

Fitri , 23/06/09,
Ini adanya di mana? Kok perhitungannya tidak ditampilkan?

64

Tabel 5.19Hasil Faktor Demografis terhadap Kepuasan Hidup

Standardized Coefficients Beta

Nilai Part Correlation

Koefisien determinasi (r2)

Penghasilan 0.196 0.147 0.02

Tabel 5.20Hasil Faktor Demografis terhadap Kualitas Hidup

Standardized Coefficients Beta

Nilai Part Correlation

Koefisien determinasi (r2)

Pekerjaan 0.105 0.086 0.00

Berdasarkan tabel di atas dapat terlihat bahwa penghasilan merupakan

faktor yang paling dapat memprediksi baik terhadap kebahagiaan dan kepuasan

hidup dengan kontribusi yang besar. Sedangkan pada kualitas hidup kontribusi

yang terbesar adalah pekerjaan. Untuk koefisien determinasi (r2) penghasilan

terhadap kebahagiaan besarnya 0.01 yang artinya hanya 1% proprosi varians

kebahagiaan yang dapat dijelaskan oleh varians penghasilan dan untuk kepuasan

hidup besarnya (r2) penghasilan adalah 0.02 yang berarti terdapat 2% proporsi

varians kepuasan hidup yang dapat dijelaskan oleh varians penghasilan.

5.6.2 Perbandingan Tingkat Kebahagiaan, Kepuasan Hidup dan Kualitas

Hidup antar wilayah

Hasil tambahan lain yang diperoleh pada penelitian ini adalah melihat

perbandingan tingkat kebahagiaan, kepuasan hidup dan kualitas hidup pada

masyarakat yang ada di Jakarta dan daerah sekitarnya seperti Bogor, Depok,

Tangerang dan Bekasi. Perhitungan yang digunakan adalah dengan ANOVA satu

arah. Sebelumnya akan dijabarkan terlebih dahulu gambaran deskriptif tingkat

kebahagiaan, kepuasan hidup dan kualitas hidup pada masing-masing wilayah.

Hasilnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 5.21Hasil skor rata-rata tiap wilayah

Universitas Indonesia

Fitri , 06/23/09,
Analisis hasil yang lain-lain dimana?

65

Wilayah Kebahagiaan Kepuasan Hidup Kualitas Hidup

Jakarta 4.6726 4.3127 77.3821Bogor 4.7622 4.1268 75.5390Depok 4.9857 4.4971 78.9207Tangerang 4.8276 4.2644 75.5787Bekasi 4.6473 4.1288 75.0856

Tabel 5.22Hasil Perbandingan Berdasarkan Wilayah

Variabel F Signifikansi

Kebahagiaan 3.535 0.007*Kepuasan Hidup 2.759 0.027*Kualitas Hidup 0.895 0.466

*Signifikan pada LoS 0.05

Pada tiap variabel dilakukan perhitungan ANOVA dengan

membandingkan skor variabel pada masing-masing kelompok wilayah. Pada

nilai kebahagiaan diperoleh hasil yang signifikan dengan nilai signifikansi

sebesar 0.007 (LoS 0.05) yang berarti terdapat perbedaan nilai kebahagiaan yang

signifikan pada masing-masing kelompok wilayah. Begitu pula dengan nilai

kepuasan hidup yang juga diperoleh hasil yang signifikan dengan nilai

signifikansi sebesar 0.027 (LoS 0.05) yang artinya terdapat perbedaan nilai

kepuasan hidup yang signifikan pada masing-masing kelompok wilayah.

Sedangkan pada tingkat kualitas hidup tidak ada perbedaan yang signifikan pada

tiap kelompok wilayah. Berikut ini akan dijabarkan lebih lanjut mengenai letak

perbedaan pada masing-masing kelompok wilayah yang diperoleh melalui

perhitungan post-hoc.

Tabel 5.23Hasil Post-Hoc nilai Kebahagiaan

Jakarta Bogor Depok Tangerang Bekasi

Jakarta 0.939 0.007* 0.362 0.999Bogor 0.939 0.483 0.988 0.918Depok 0.007* 0.483 0.624 0.033*Tangerang 0.362 0.988 0.624 0.483Bekasi 0.999 0.918 0.033* 0.483

Universitas Indonesia

66

*Signifikan pada LoS 0.05

Untuk variabel kebahagiaan hasil yang diperoleh hanya dua perbandingan

yang signifikan, yaitu:

1. Perbandingan nilai rata-rata (mean) kebahagiaan antara wilayah

Jakarta dengan Depok signifikan pada LoS 0.05 (M = 0.31308, p=

0.007). Dari hasil ini didapatkan bahwa warga Depok (MDepok= 4.9857)

lebih bahagia bila dibandingkan dengan warga Jakarta (MJakarta=

4.6726). Hasil signifikansi yang diperoleh sebesar 0.007. Nilai

signifikansi tersebut lebih kecil dari 0.05 yang berarti menunjukan

terdapat perbedaan yang signifikan antara skor kebahagiaan Jakarta

dengan Depok.

2. Perbandingan nilai rata-rata (mean) kebahagiaan antara wilayah Bekasi

dengan Depok signifikan pada LoS 0.05 (M = 0.33845, p= 0.033). Dari

hasil ini didapatkan bahwa warga Depok (MDepok= 4.9857) lebih

bahagia bila dibandingkan dengan warga Bekasi (MBekasi= 4.6473).

Hasil signifikansi yang diperoleh sebesar 0.033. Nilai signifikansi

tersebut lebih kecil dari 0.05 yang berarti menunjukan terdapat per-

bedaan yang signifikan antara skor kebahagiaan Bekasi dengan Depok.

3. Selain pada kedua perbandingan wilayah tersebut, perbandingan nilai

rata-rata (mean) kebahagiaan menunjukkan hasil yang tidak signifikan

pada LoS 0.05 yang berarti tidak ada perbedaan nilai kebahagiaan yang

signifikan pada antar wilayah.

Tabel 5.24Hasil Post-Hoc nilai Kepuasan hidup

Jakarta Bogor Depok Tangerang Bekasi

Jakarta 0.569 0.342 0.984 0.327Bogor 0.569 0.090 0.869 1.000Depok 0.342 0.090 0.301 0.028*Tangerang 0.984 0.869 0.301 0.786Bekasi 0.327 1.000 0.028* 0.786

*Signifikan pada LoS 0.05

Universitas Indonesia

67

Untuk variabel kepuasan hidup hasil yang diperoleh hanya satu

perbandingan yang signifikan, yaitu perbandingan nilai rata-rata (mean)

kebahagiaan antara wilayah Bekasi dengan Depok signifikan pada LoS 0.05 (M

= 0.36838, p= 0.028). Dari hasil ini didapatkan bahwa warga Depok (MDepok=

4.4971) lebih puas hidupnya bila dibandingkan dengan warga Bekasi (MBekasi=

4.1288). Hasil signifikansi yang diperoleh sebesar 0.028. Nilai signifikansi

tersebut lebih kecil dari 0.05 yang berarti menunjukan terdapat perbedaan yang

signifikan antara skor kepuasan hidup wilayah Bekasi dengan Depok. Untuk

perbandingan pada wilayah lainnya menunjukkan hasil yang tidak signifikan

pada LoS 0.05 yang berarti tidak terdapat perbedaan nilai kepuasan hidup yang

signifikan pada masing-masing wilayah. Sedangkan untuk variabel kualitas hidup

tidak dilakukan perhitungan Post-Hoc karena hasil ANOVA yang diperoleh

tidaklah signifikan.

Universitas Indonesia

68

BAB 6

KESIMPULAN, DISKUSI dan SARAN

Pada bagian ini akan dipaparkan mengenai kesimpulan yang akan

menjawab permasalahan penelitian berdasarkan analisis data yang diperoleh.

Selanjutnya juga akan dibahas mengenai diskusi yang meliputi diskusi hasil

penelitian utama dan diskusi hasil penelitian tambahan. Setelah diskusi juga akan

diberikan saran bagi untuk penelitian berikutnya.

6.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil yang diperoleh melalui penelitian ini, maka dapat

disimpulkan bahwa peniliti menolak ketiga Ho dan menerima ketiga Ha yang

terdapat dalam penelitian ini. Sehingga dapat dikatakan kesimpulan yang

diperoleh pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Terdapat hubungan positif yang signifikan antara kebahagiaan dengan

kepuasan hidup; artinya semakin tinggi tingkat kebahagiaan seseorang

akan diikuti dengan semakin tinggi pula tingkat kepuasan hidup yang

dimiliki.

2. Terdapat hubungan positif yang signifikan antara kebahagiaan dengan

kualitas hidup; berarti semakin tinggi tingkat kebahagiaan seseorang akan

diikuti dengan semakin tinggi pula tingkat kepuasan hidupnya.

3. Terdapat hubungan positif yang signifikan antara kepuasan hidup dengan

kualitas hidup; semakin tinggi tingkat kepuasan hidup seseorang akan

diikuti dengan semakin tinggi pula tingkat kualitas hidup yang dimiliki.

4. Mayoritas masyarakat Jabodetabek memiliki tingkat kebahagiaan yang

termasuk ke dalam kategori bahagia.

5. Masyarakat Jabodetabek memiliki tingkat kepuasan yang termasuk ke

dalam kategori puas.

6. Masyarakat Jabodetabek memiliki tingkat kualitas hidup yang termasuk ke

dalam kategori baik

Universitas Indonesia

69

7. Lima aspek kehidupan yang dianggap paling penting bagi masyarakat

Jabodetabek, yaitu keluarga, spiritualitas, kesehatan, keuangan dan

hubungan pertemanan.

8. Faktor penghasilan merupakan faktor yang paling berkontribusi dalam

mempengaruhi kebahagiaan dan kepuasan hidup.

[9.] Perbandingan kebahagiaan dan kepuasan hidup antara masyarakat kota

Jakarta dan wilayah sekitarnya menunjukkan hasil yang

signifikan.Terdapat perbedaan nilai kebahagiaan dan kepuasan hidup yang

signifikan antara masyarakat kota Jakarta dengan wilayah sekitarnya.

6.2 Diskusi

Berdasarkan hasil yang diperoleh pada penelitian ini maka terdapat

beberapa hal yang akan didiskusikan. Melalui penelitian ini terlihat bahwa

sebenarnya masyarakat Jabodetabek merasa hidupnya bahagia dan baik serta puas

dengan kehidupannya. Hal ini mungkin saja terjadi karena ternyata sampel yang

digunakan pada penelitian ini berasal dari kelas ekonomi menengah ke atas.

Sehingga kebutuhan hidup mereka sudah terpenuhi dan tentunya itu

mempengaruhi tingkat kebahagiaan, kepuasan hidup dan kualitas hidup yang

dimiliki.

Pada penelitian ini juga didapatkan ini hasil yangnya menunjukkan bahwa

terdapat hubungan yang positif antara kebahagiaan dan kepuasan hidup pada

masyarakat Jabodetabek yang artinya dengan semakin bahagianya seseorang

maka ia juga akan semakin merasa puas dengan hidupnya. Hal ini sesuai dengan

apa yang dikemukakan oleh Diener, Scollon dan Lucas (2003) yang menyebutkan

bahwa kepuasan hidup merupakan komponen kognitif dari Subjective Well Being

(SWB) atau kebahagiaan. Oleh karena itu untuk mengukur kebahagiaan itu sendiri

Diener et al (dalam Kurtz & Lybomirsly, 2008) menyebutkan terdapat tiga

komponen utama, yaitu seringnya kemunculan afek positif, ketiadaan afek negatif

dan tingginya tingkat kepuasan hidup. Eddington & Shuman (2005) juga

menyebutkan bahwa individu mempunyai SWB tinggi apabila mereka puas akan

kondisi kehidupannya. Berdasarkan penelitian-penelitian tersebut terlihat bahwa

sebenarnya kepuasaan hidup berkorelasi positif dengan kebahagiaan dan hal itu

Universitas Indonesia

70

pula yang didapatkan pada penelitian ini. Tetapi karena kebahagiaan itu sendiri

sangatlah subjektif, maka hasil penelitian-penelitian di atas belum tentu berlaku

pula di Indonesia. Namun melalui penelitian ini bisa terlihat bahwa ternyata pada

masayarakat Indonesia, khususnya Jabodetabek, kebahagiaan masyarakat juga

berhubungan positif dengan tingkat kepuasan hidup yang dimilikinya. Hal ini

sejalan dengan penelitian lainnya dan secara teori berlaku pula di budaya

Indonesia.

Dengan begitu dapat dikatakan pula bahwa konstruk kebahagiaan

merupakan kontrsuk yang bersifat universal dan bisa diterapkan pada berbagai

budaya yang berbeda.

Bila dilihat dari metode pengukuran pun sebenarnya antara kebahagiaan

dan kepuasan hidup saling berhubungan dan tak jarang pula disamakan antar

keduanya. Cara pengukuran kebahagiaan sering menggunakan term kepuasan

hidup khususnya pada survey-survey yang hanya menggunakan satu

pertanyaan tunggal untuk mengukur kebahagiaan (Carr, 2004), seperti

“Seberapa puas Anda dengan kehidupan Anda?”. Hal ini menunjukkan

bahwa dengan mengukur tingkat kepuasan individu terhadap hidupnya

maka akan diperoleh pula gambaran mengenai kebahagiaan yang

dimilikinya. Dengan kata lain bahwa semakin tinggi tingkat kepuasan hidup

maka tingkat kebahagiaannya pun akan tinggi.

Jika dibandingkan pada penelitian ini pada kedua alat ukur yang

digunakan untuk mengukur kebahagiaan dan kepuasan hidup pun disusun

berdasarkan landasan teori yang sama yang mengacu pada kebahagiaan subjektif.

Maka hasilnya pun menunjukkan bahwa kedua berhubungan secara positif.

Kemudian hasil kedua yang diperoleh adalah adanya hubungan yang positif

antara kebahagiaan dengan kualitas hidup. Artinya adalah dengan semakin

tinggi tingkat kebahagiaan seseorang akan diikuti pula dengan tingginya nilai

kualitas hidupnya. Secara teoritis, kualitas hidup merupakan konstruk yang

lebih luas dari kebahagiaan atau SWB (Carr, 2004). Kualitas hidup itu

sendiri sebenarnya merupakan penilaian menyeluruh individu terhadap

kondisi kehidupannya dan meliputi perasaan bahagia dan puas akan hidup

(O’Connor, 1993). Cara pengukuran kualitas hidup yang digunakan pada

Universitas Indonesia

Fitri , 23/06/09,
Apakah memang demikian? Bukankah penelitian ini hanya

71

penelitian ini pun meminta individu untuk menyebutkan aspek kehidupan

yang dianggap penting kemudian memintanya untuk memberikan penilaian

pada tiap aspeknya berdasarkan kondisinya saat ini. . Dengan kata lain bisa

dikatakan bahwa untuk mengukur kualitas hidup digunakan perasaan puas akan

aspek kehidupannya yang dianggap penting. Maka semakin tinggi nilai

kepuasannya akan makin tinggi pula nilai kualitas hidupnya. Bila dilihat dari

sudut pandang kebahagiaan, salah satu faktor yang mempengaruhi

kebahagiaan adalah bagaimana individu memandang dan memaknai

peristiwa yang terjadi dalam kehidupannya (Diener,1984; Heady et al, 1985;

Heady & Wearing, 1989 dalam O’Connor, 1993). Jadi dapat disimpulkan

dikatakan bahwa kebahagiaan seseorang tercermin dari kualitas hidupnya yang

tersusun melalui tiap peristiwa yang terjadi dalam hidupnya. Selanjutnya

menurut Diener, Scollon dan Lucas (2003) kebahagiaan (SWB) itu sendiri

dapat menggambarkan secara umum gambaran kualitas hidup seseorang.

Hal ini sesuai dengan hasil yang diperoleh pada penelitian ini dimana

didapatkan hasil hubungan yang positif antara kebahagiaan dan kualitas

hidup pada masyarakat Jabodetabek.

Selanjutnya hasil yang juga didapat adalah adanya hubungan yang

positif antara kepuasan hidup dan kualitas hidup yang artinya semakin

tingginya tingkat kepuasan hidup seseorang akan diikuti dengan makin tingginya

pula nilai kualitas hidupnya. Bila mengacu definisi kualitas hidup menurut

Goodinson (dalam O’Connor, 1993) yang menyebutkan bahwa kualitas hidup

merupakan tingkat kepuasan terhadap peristiwa-peristiwa yang dialami pada

kehidupan saat ini. Melalui pengertian ini dapat dikatakan bahwa bila seseorang

mempunyai tingkat kepuasan yang tinggi terhadap hidupnya maka akan memiliki

kualitas hidup yang baik pula. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian ini yaitu

dengan semakin tingginya tingkat kepuasan hidup seseorang maka kualitas

hidupnya akan makin baik. . Kualitas hidup itu sendiri ditentukan oleh

kepuasan karena seseorang akan menilai hidupnya baik apabila ia merasa

puas dengan hidupnya. . Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian ini yaitu

dengan semakin tingginya tingkat kepuasan hidup seseorang maka kualitas

hidupnya akan makin baik. Pada penelitian ini pun melalui alat ukur kualitas

Universitas Indonesia

72

hidup responden diminta untuk menilai kondisi hidupnya saat ini, bila ia merasa

puas maka akan memberikan nilai yang tinggi dan nantinya akan

menyumbangkan nilai yang tinggi pula terhadap kualitas hidupnya secara

keseluruhan.

Berdasarkan hubungan ketiganya maka dapat disimpulkan antara

kebahagiaan, kepuasan hidup dan kualitas hidup saling berhubungan satu

sama lain dan hubungannya positif dimana bila seseorang mempunyai nilai

kebahagiaan yang tinggi maka tingkat kepuasan hidup dan kualitas

hidupnya juga tinggi. Hal ini dapat terjadi karena secara teoritis bila ditelaah

lebih jauh ketiganya saling berkaitan satu sama lain dan saling mempengaruhi

terutama dalam hal pengukurannya..

Untuk kualitas hidup itu sendiri pada penelitian ini diperoleh hasil bahwa

ternyata aspek yang paling dianggap penting bagi masyarakat Jabodetabek adalah

aspek keluarga. Hal ini sesuai dengan budaya yang dianut oleh masyarakat

Indonesia pada umumnya yaitu budaya kolektivistik. Pada budaya ini lebih

menekankan kebersamaan daripada individualisme sehingga tak mengherankan

bila pada masyarakat Jabodetabek menganggap keluarga sebagai aspek yang

paling penting di dalam kehidupannya. Begitu pula dengan aspek terpenting

kedua, yaitu spiritualitas. Hal ini dapat terjadi karena pengaruh budaya yang kuat

terutama unsur agama. Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang sangat kental

unsur keagamaannya sehingga membuat spiritualitas menjadi aspek yang juga

dianggap penting bagi masyarakat Jabodetabek.

Pada hasil tambahan yang diperoleh pada penelitian ini yang menyebutkan

bahwa faktor demografis yang paling dapat memprediksi tingkat kebahagiaan dan

kepuasan hidup adalah faktor penghasilan. Hal ini sesuai dengan penelitian-

penelitian lainnya pada negara berkembang yang menyebutkan bahwa

kebahagiaan dan kepuasan hidup sangat berhubungan dengan penghasilan

(Veenhoven dalam Oishi et al, 2008; Eddington & Shuman, 2005; Carr, 2004).

Penghasilan merupakan faktor yang paling dapat memprediksi karena penghasilan

mempengaruhi faktor-faktor lain seperti kesehatan, pemenuhan kebutuhan,

rekreasi, dll. Dengan semakin tinggi penghasilan seseorang maka faktor-faktor

lain tersebut akan semakin dapat tercukupi dengan layak sehingga tak

Universitas Indonesia

Fitri , 23/06/09,
Terlalu panjang! Bukankah memang di teori sudah ada? Yang harus kamu lakukan adalah membahas mengapa ketiganya berhubungan, dan bahwa hasil ini memperkuat hasil penelitian sebelumnya.

73

mengherankan bila faktor penghasilan merupakan faktor yang paling kuat dapat

mempengaruhi kebahagiaan dan kepuasaan hidup. Hal ini juga yang terjadi pada

penelitian ini dimana mayoritas responden berasal dari kalangan menengah ke

atas yang ternyata merasa bahagia dan puas terhadap hidupnya. Sedangkan untuk

faktor yang paling tidak dapat memprediksi adalah faktor jenis kelamin. Hal ini

sesuai dengan penelitian sebelumnya yang menyebutkan bahwa jenis kelamin

merupakan faktor yang sangat kecil dalam menentukan kebahagiaan dan kepuasan

hidup (Inglehart & Michalos dalam Eddington & Shuman, 2005; Argyle, 1999;

Sousa & Lyubormirsky, 2001).

Selanjutnya bila dilihat perbandingan tingkat kebahagiaan dan kepuasan

hidup pada masyarakat yang berada di Jakarta dan di daerah sekitarnya ternyata

menunjukkan hasil yang signifikan terutama pada wilayah Depok, Jakarta dan

Bekasi. Depok memang memiliki nilai kebahagiaan, kepuasan hidup dan kualitas

hidup yang paling tinggi bila dibandingkan dengan wilayah lainnya. Salah satu

penyebabnya mungkin saja karena Depok merupakan kota yang sedang

mengalami perkembangan pesat. Banyak pembangunan yang terjadi di Depok

dalam beberapa tahun belakangan ini, seperti pembangunan perumahan, sekolah,

pusat perbelanjaan, akses jalan tol, dll. Pembangunan inilah yang nampaknya

memberikan pengaruh terhadap tingkat kebahagiaan dan kepuasan hidup. Dengan

semakin berkembangnya pembangunan kota Depok sebagai daerah penyangga

membuat masyarakatnya merasa lebih puas dengan kehidupannya karena sudah

terpenuhinya fasilitas-fasilitas yang baik. Sedangkan untuk Jakarta dan Bekasi

yang sudah lebih dahulu berkembang membuat masyarakatnya merasakan

masalah yang lebih kompleks, misalnya mengenai kemacetan, kebersihan,

pengangguran, dll. Perbedaan kondisi masyarakat inilah yang kemudian

mempengaruhi tingkat kebahagiaan dan kepuasaan hidup sehingga perbedaannya

menjadi signifikan antara masyarakat yang tinggal di Depok dengan Jakarta dan

Bekasi.

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya yaitu Ppada hasil perhitungan

faktor demografis yang mempengaruhi kebahagiaan, kepuasan hidup dan kualitas

hidup diperoleh hasil bahwa hanya faktor penghasilan, pekerjaan dan status

pernikahan yang mempunyai nilai signifikan. Sedangkan hasil yang diperoleh

Universitas Indonesia

74

melalui alat ukur SEIQoL-DW menunjukkan bahwa aspek aspek yang

paling banyak dipilih sebagai aspek terpenting adalah keluarga.

Berdasarkan kedua data tersebut terlihat bahwa keluarga yang pada faktor

demografis terlihat pada status pernikahan juga ternyata secara signifikan

dapat mempengaruhi tingkat kebahagiaan seseorang. Hal ini menunjukkan

bahwa memang benar bagi masyarakat Jabodetabek keluarga merupakan

aspek yang dianggap penting sehingga dapat pula memprediksi tingkat

kebahagiaannya. Begitu pula dengan penghasilan yang menjadi salah satu

aspek terpenting juga ternyata secara signifikan dapat memprediksi tingkat

kebahagiaan dan kepuasan hidup.

Pada penelitian ini terdapat pula beberapa hal mengenai metodologis yang

perlu didiskusikan. Untuk alat ukur yang digunakan, terutama pada SHS dan

SWLS yang berbentuk skala, ternyata item-itemnya kemungkinan memiliki

derajat social desirability tinggi. Orang akan cenderung menganggap hidupnya

bahagia sehingga jawaban yang diberikan pun mempunyai kecenderungan berada

pada salah satu kutub saja. Sedangkan untuk alat ukur SEIQoL-DW merupakan

alat ukur yang berbasis wawancara sehingga idealnya dilakukan langsung oleh

peneliti. Namun pada penelitian ini sebagian kuesioner dititipkan di tiap rumah

untuk diisi oleh anggota keluarga lainnya. Walaupun sebelumnya telah dijelaskan

mengenai maksud tiap item beserta aspek-aspeknya, tapi mungkin saja terjadi

kesalahan ketika mengisi. Hal ini kemungkinan akan mempengaruhi hasil yang

diperoleh tentang gambaran kualitas hidup subjek dalam penelitian ini sehingga

hasil yang diperoleh bisa saja tidak benar-benar menggambarkan kualitas hidup

yang sesungguhnya dimiliki oleh responden.

Pada penelitian ini pengambilan sampel dilakukan secara non-random

sehingga tidak semua orang dalam populasi memiliki kesempatan yang sama

untuk menjadi responden. Hal ini karena keterbatasan yang dimiliki peneliti. Oleh

karena itu, hasil yang diperoleh pada penelitian ini tidak dapat digeneralisasikan

ke dalam keseluruhan populasi. Hasil penelitian ini hanya dapat menggambarkan

kondisi dari responden yang menjadi sampel pada penelitian ini.

Universitas Indonesia

75

6.3 Saran

6.3.1 Saran Metodologis

Saran yang dapat diberikan berdasarkan penelitian ini yang berkaitan

dengan metodologis penelitan agar berguna bagi penelitian selanjutnya antara

lain:

1. Mengambil sampel yang lebih banyak dan tersebar pada tiap wilayah.

Pada penelitian ini, tiap wilayah hanya diwakilkan oleh sekitar 30 rumah

dan berasal dari satu lingkungan atau daerah yang sama. Untuk penelitian

selanjutnya sebaiknya mengambil yang lebih banyak dari daerah yang

berbeda-beda untuk tiap-tiap wilayah agar dapat lebih bervariasi sehingga

dapat lebih menggambarkan masing-masing wilayah.

2. Mengambil sampel dengan cara random sehingga hasil yang diperoleh

dari penelitian dapat digeneralisasikan.

3. Melakukan rapport yang lebih baik sehingga dalam satu rumah dapat

diperoleh lebih banyak lagi responden yang bersedia mengisi kuesioner.

4. Dalam mengukur kualitas hidup, sebaiknya dilakukan pula wawancara

(penelitian kualitatif) mengenai aspek-aspek kehidupan sehingga dapat

diperoleh hasil yang lebih kaya.

5. Untuk mendapat gambaran mengenai kebahagiaan, kepuasan hidup dan

kualitas hidup masyarakat Jabodetabek yang lebih mendalam sebaiknya

dilakukan penelitian sejenis pada kelas sosial lainnya.

6. Menyempurnakan alat ukur terutama dalam proses pengadaptasiannya

agar sesuai dengan kondisi budaya dan sasaran karakteristik responden

agar mereka tidak mengalami lagi kesulitan ketika mengisi kuesioner.

6.3.2 Saran Praktis

Saran praktis yang dapat diberikan berdasarkan hasil penelitian ini, yaitu:

1. Dapat dijadikan referensi tambahan bagi penelitian-penelitian di bidang

psikologi positif khususnya yang membahas mengenai kebahagiaan,

kepuasan hidup dan kualitas hidup terutama bagi penelitian di Indonesia.

Universitas Indonesia

76

[2.] Hasil penelitian ini hanya menggambarkan sampel pada penelitian ini saja

dan tidak dapat digeneralisasikan pada masyarakat Jabodetabek

sepenuhnya mengingat pengambilan sampel yang tidak random.

[3.] Bagi pemerintah Jabodetabek, dapat dijadikan masukan dalam membuat

kebijakan yang berkaitan dengan kesejahteraan masyarakat..

[4.]

Universitas Indonesia

Fitri , 23/06/09,
Seperti apa? Bukannya mereka sudah bahagia, puas, dan merasa hidup berkualitas?
Fitri , 06/23/09,
Apa sarannya? Mengapa ini dimasukkan dalam saran?

77

DAFTAR PUSTAKA

Aiken, L.R., dan Groth-Marnat, G. (2006). Psychological testing and

assestment (12th ed.). Boston : Pearson Education Group Inc.

Argyle, M. (1999). Causes and correlates of happiness. Dalam D. Kahneman, E.

Diener, & N. Schwarz (Eds.). Well-being: The foundations of hedonic

psychology (hal. 353-373). New York: Russell Sage Foundation.

Bertens, K. (1993). Etika. Jakarta: PT Gramedia Pustaka.

Browne, John P., Boyle, Ciaran A., McGee, Hannah M., McDonald, Nicholas J.,

dan Joyce, C. R. B. (1997). Development of a Direct Weighting Procedure

for Quality of Life Domains. Quality of Life Research, 6, 301-309, 1997

Carr, A. (2004). Positive psychology: The science of happiness and human

strengths. New York: Brunner-Routledge.

Carr, A.J & Higginson, I.J. (2001). Measuring duality of life: Are quality of life

measures patient centred?. February 6, 2009. BMJ

Cohen, Ronald Jay., dan Swerdlik, Mark E. (2005). Psychological Testing and

Assessment: An Introduction to Tests and Measurements. New York:

McGrawHill.

Crocker, Linda M. & Algina, James. 1986. Introduction to Classical and Modern

Test Theory. New York: Holt, Rinehart & Winston, Inc.

Diener, E., Scollon, C.N., dan Lucas, R.E. (2003). The evolving concept of

subjective well-being: The multifaceted nature of happiness. Advances in

Cell Aging and Gerontology, vol. 15, 187–219.

Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Provinsi DKI Jakarta. (2008). Jumlah

Penduduk Provinsi DKI Jakarta. Diunduh pada 03 Mei 2009, diunduh dari

http://www.kependudukancapil.go.id/index.php/component/content/4?

task=view

Eddington, N. & Shuman, R. (2005). Subjective well-being (happiness).

http://www.texcpe.com/cpe/PDF/ca-happiness.pdf (diunduh pada tanggal

18 Maret 2009)

Universitas Indonesia

78

Fadjri, P.A. (n.d.). Analisa indikator kualitas hidup penduduk Indonesia menurut

kabupaten/kotamadya. http://www.digilib.ui.ac.id/opac/hemes/libri2/detail

.jsp?id=76338&lokasi=lokal. (diunduh pada tanggal 22 Februari 2009)

Faturochman. (1990). Kualitas hidup sebagai sasaran pembangunan. Kompas.

www. zudha/file/KORAN%2520.com. (diunduh pada tanggal 6 Februari

2009)

Galati, D., Manzano, M., Sotgiu, I. (2006). The subjective components of

happiness and their attainment: A cross-cultural comparison between Italy

and Cuba. Social Science Information. 45, 4.

Gravetter, F.J., dan Wallnau, L.B. (2007). Statistics for the behavioral sciences

(7th ed.). Canada: Thomson Wadsworth.

Guilford, J.P, & Fruchter, B. (1981). Fundamental statistics in psychology and

education (6th ed). Singapore: McGraw-Hills.

Gundelach, P., & Kreiner, S. (2004). Happiness and life satisfaction in advanced

european countries. Cross-Cultural Research 2004; 38; 359., diunduh dari

http://ccr.sagepub.com/cgi/content/ abstract/38/4/359. (diunduh pada

tanggal 7 September 2008)

Hadar, I.A. (2007). Persoalan Jakarta di usia ke-480. http://www.sinarharapan.

co.id/berita/0706/23/opi01.html. (diunduh pada tanggal 26 Februari 2009)

Harinowo, S. (2008). Kebangkitan Kelas Menengah Indonesia. Ekonomi.

http://blog-suwardi.blogspot.com/2008/10/kebangkitan-kelas-menengah-

indonesia.html (diunduh pada tanggal 13 Februari 2009).

Hickey, A.M. et al. (1996). A new short form individual quality of life measure

(SEIQoL-DW): Application in a cohort of individuals with HIV/AIDS.

July, 6. BMJ

Izawa, N. (2004). An Exploration of Subjective Well-Being: A Review of

Empirical Factors and Paths for The Future.

http://proquest.umi.com/pqdweb?

index=2&did=765826931&SrchMode=1&sid=2&Fmt=6&VInst=PROD&

VType=PQD&RQT=309&VName=PQD&TS=1242964017&clientId=456

25 (diunduh pada tanggal 18 Maret 2009)

Universitas Indonesia

79

Khizindar, T.M. (2009). Quality of life in developing countries: An empirical

investigation. Journal of American Academy of Business Vol 14.

Kerlinger, F.N., dan Lee, H.B. (2000). Fundations of behavioral research (4th

ed.). Orlando: Harcourt College Publishers.

Kumar, R. (1999). Research methodology: A step-by-step guide for beginners.

London: Sage Publications.

Kurtz, J.L. & Lyubomirsky, S. (2008). Toward a Durable Happiness. (diunduh

pada tanggal 13 Februari 2009).

Lepper, H.S., Lyubomirsky, S. (1997). A measure of subjective happiness:

Preliminary reliability and construct validation.

Miller, P.H. (1983).Theories of developmental Psychology (3rd ed) .New York:

Freeman company.

O’Connor, R. (1993). Issues in The Measurement of Health Related Quality of

Life. Australia: Working Paper 30 July 1993.

Oishi, S. et al (2008). Cross-cultural variations in predictors of life satisfaction:

Perspective from needs and values.

Panggabean, S.K. (2006). Gambaran subjective well being warga DKI Jakarta.

Depok: Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia.

Pavot, W. & Diener, E. (1993). Review of the satisfaction with life scale. (diunduh

pada tanggal 13 Februari 2009).

Seniati, L., Yulianto, A., dan Setiadi, B.N. (2005). Psikologi eksperimen. Jakarta:

PT Indeks Gramedia.

Sousa, L. & Lyubomirsky, S. (2001). Life satisfaction. Encylopedia of women and

gender: Sex similarities and differences and the impact of society on

gender (Vol. 2, pp. 667-676). . San Diego, CA:Academic Press.

Vallerand, A. H. Breckendridge, D. M. & Hodgson, N. A. (1998). Theories and

Conceptual Models to Guide Quality of Life Related Research. In C. R.

King and P. S. Hinds (Eds.). Quality of Life from Nursing and Patient

Perspectives (p. 37-54). Boston: Jones and Bartlett Publishers.

Van Hoorn, A. (2007). A short introduction to subjective well-being: Its

measurement, correlates and policy uses. January 28, 2009. ABI/INFORM

Global (Proquest) database.

Universitas Indonesia

80

Wardhani, Vini. (2006). Gambaran Kualitas Hidup Dewasa Muda Berstatus

Lajang melalui Adaptasi Instrumen WHOQOL-BREF dan SRPB. Depok:

Pascasarjana Fakultas Psikologi UI. Tugas Akhir S2

Yudistira, C. (n.d.). Kota bekasi 12 tahun. Diunduh dari http://megapolitan.

kompas.com/read/xml/2009/03/16/06484682/ (diunduh pada tanggal 19

Juni 2009).

http://www.antara.co.id/arc/2008/. (diunduh pada tanggal 26 Februari 2009).

http://www.frontier.co.id/awardsdetail.php?id=10. (diunduh pada tanggal 24

Februari 2009)

http://www.kickandy.com/forum/viewtopic.php. (diunduh pada tanggal 16

Februari 2009).

http://www.edo.web.id/wp/2008/02/19/bahagia/. (diunduh pada tanggal 16

Februari 2009).

http://id.answers.yahoo.com/question/index?qid . (diunduh pada tanggal 16

Februari 2009).

Universitas Indonesia