skripsi dukungan sosial dan konsep diri...
TRANSCRIPT
SKRIPSI
DUKUNGAN SOSIAL DAN KONSEP DIRI PEKERJA ANAK (Studi pada Pekerja Anak di Desa Bojong Rangkas, Kecamatan Ciampea,
Kabupaten Bogor)
Oleh:
Amalia Dianah
I34052675
Dosen Pembimbing:
Ratri Virianita, S. Sos, MSi.
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011
ABSTRACT
AMALIA DIANAH. SOCIAL SUPPORT AND SELF CONCEPT OF THE CHILD WORKERS. A Study on The Child Workers in Desa Bojong Rangkas, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor. (Supervised by RATRI VIRIANITA).
The objective of this study is to know the child workers profile and to analyze the correlation between the social support and self concept of the child workers. The research was conducted in Desa Bojong Rangkas, a village which has the highest amount of child workers in Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor. Quantitative approach with survey method was used on 32 child workers. The respondents were selected by Quota sampling technique based on its conformity to the population in the operational definition. The primary data were collected by distributing questionnaire immediately to the respondents. Questionnaire of identity was used to select the respondents and analyze their profile. Questionnaire of social support and self concept were used to get the description of social support and self concept of the child workers. The data from questionnaire were catagorized by interval scale and analyzed by Pearson Product Moment Correlation using SPSS 17,0 version.
Keywords: Social support, self concept
RINGKASAN
AMALIA DIANAH. DUKUNGAN SOSIAL DAN KONSEP DIRI PEKERJA ANAK. Studi pada Pekerja Anak di Desa Bojong Rangkas, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor. (Di bawah bimbingan RATRI VIRIANITA).
Masalah kemiskinan masih menjadi masalah nasional di Indonesia. Hidup dalam kemiskinan atau Status Sosial Ekonomi (SSE) rendah menyebabkan berbagai cara dilakukan oleh keluarga untuk mempertahankan hidup, salah satunya dengan mempekerjakan anak. Dalam beberapa penelitian terdahulu, anak-anak yang lahir dari keluarga dengan SSE rendah ditemukan memiliki konsep diri yang rendah (negatif). Penelitian lain mengenai konsep diri anak jalanan menemukan konsep diri positif pada sebagian besar anak jalanan, meskipun berasal dari keluarga dengan SSE rendah. Penulis menduga dukungan sosial dapat menjadi variabel yang membuat anak dari keluarga dengan SSE rendah memiliki konsep diri positif, sehingga dapat memandang masa depan dengan optimis.
Tujuan penulisan skripsi ini adalah untuk mendapatkan profil pekerja anak dan mempelajari hubungan antara dukungan sosial dan konsep diri yang dimiliki pekerja anak. Penelitian menggunakan pendekatan kuantitatif dengan metode survei. Penelitian dilakukan di Desa Bojong Rangkas, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor. Desa Bojong Rangkas dipilih sebagai lokasi penelitian karena merupakan pusat kerajinan tas dan dompet di Bogor, yang tercatat sebagai Desa dengan jumlah pekerja anak terbanyak di Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor. Responden berjumlah 32 orang yang dipilih menggunakan teknik Quota Sampling, berdasarkan kesesuaiannya dengan populasi. Populasi penelitian adalah pekerja anak di Desa Bojong Rangkas yang berasal dari keluarga dengan SSE rendah, memiliki pekerjaan rutin, dan menerima upah dari pekerjaan tersebut. Pengumpulan data primer dilakukan dengan membagikan kuesioner secara langsung kepada responden. Data yang diperoleh dari kuesioner diolah dan dikategorikan menggunakan skala interval, untuk dianalisis dengan uji parameter Pearson Product Moment Correlation (Korelasi Pearson) menggunakan SPSS versi 17,0.
Pekerja anak di Desa Bojong Rangkas yang berasal dari keluarga dengan SSE rendah berjumlah 32 orang, terdiri dari: 14 laki-laki dan 18 perempuan. Ayah pekerja anak berpendidikan rendah, yaitu sebanyak 62,5 persen berpendidikan terakhir Sekolah Dasar (SD), sedang 37,5 persen lainnya berpendidikan terakhir Sekolah Menengah Pertama (SMP). Seluruh ibu pekerja anak juga berpendidikan rendah, yaitu sebanyak 96,9 persen berpendidikan terakhir SD, sedang 3,1 persen sisanya berpendidikan terakhir SMP. Sebagian besar pekerja anak, yaitu sebanyak 94 persen memiliki tingkat pendidikan rendah, sedang enam persen pekerja anak lainnya memiliki tingkat pendidikan tinggi, yaitu lulusan SMA. Dalam keluarga pekerja anak hanya ayah yang bekerja. ibu berperan sebagai ibu rumah tangga. Pendapatan orang tua pekerja anak berada dibawah Upah Minimum Regional (UMR) Kabupaten Bogor, begitu pula dengan pekerja anak. Jumlah pendapatan yang diterima pekerja anak tidak ditentukan berdasarkan tingkat pendidikan, melainkan berdasarkan lama pengalaman kerja dan jenis pekerjaan yang dilakukan.
iii
Sebagian besar pekerja anak, baik laki-laki maupun perempuan memiliki konsep diri positif. Pandangan pada aspek diri fisik, diri personal, diri keluarga, diri sosial, dan kepuasan diri yang dimiliki sebagian besar pekerja anak juga positif. Persentase pekerja anak perempuan yang memiliki konsep diri positif lebih tinggi dibandingkan pekerja anak laki-laki. Dari keempat aspek diri yang menyusun konsep diri, persentase pekerja anak laki-laki yang memiliki pandangan positif pada aspek diri keluarga mencapai persentase tertinggi dibandingkan pada aspek diri lainnya, yaitu sebanyak 85,7 persen. Jumlah pekerja anak perempuan yang memiliki pandangan positif pada aspek-aspek diri yang dimiliki menunjukkan persentase tertinggi pada aspek diri personal dan kepuasan diri, yaitu sebanyak 88,9 persen. Tingkat pendidikan dan jumlah pendapatan orang tua tidak berhubungan dengan konsep diri pekerja anak. Tingkat pendidikan dan jumlah pendapatan pekerja anak juga tidak berhubungan dengan konsep diri yang dimiliki.
Seluruh pekerja anak memiliki dukungan sosial yang kuat dengan proporsi yang berbeda-beda pada setiap jenis dukungan. Tingkat pendidikan dan jumlah pendapatan tidak berhubungan dengan dukungan sosial yang dimiliki pekerja anak. Pekerja anak yang semula diduga memiliki dukungan instrumental rendah, ternyata sebagian besar justru memiliki dukungan instrumental yang kuat. Dari keempat jenis dukungan sosial, pekerja anak memiliki dukungan kuat dengan persentase tertinggi pada dukungan emosi, yaitu 92 persen untuk pekerja anak laki-laki dan 100 persen untuk pekerja anak perempuan.
Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan adanya hubungan searah yang signifikan pada α=0,01 antara dukungan sosial dan konsep diri pekerja anak. Dengan demikian semakin kuat dukungan sosial pekerja anak, semakin positif konsep diri yang dimilik, maka hipotesis diterima. Terdapat pula hubungan searah yang signifikan pada α=0,01 antara dukungan sosial dan aspek diri fisik, diri keluarga, diri sosial, dan kepuasan diri yang dimiliki pekerja anak.
Terdapat hubungan searah yang signifikan pada α=0,05 antara dukungan instrumental dan konsep diri pekerja anak. Dengan demikian semakin kuat dukungan instrumental pekerja anak, semakin positif konsep diri yang dimiliki. Terdapat hubungan searah yang signifikan pada α=0,01 antara dukungan emosi dan konsep diri pekerja anak. Dengan demikian semakin kuat dukungan emosi pekerja anak, semakin positif konsep diri yang dimiliki. Maka hipotesis diterima. Dukungan penghargaan ditemukan tidak berhubungan dengan konsep diri pekerja anak. Maka hipotesis ditolak.
Dukungan sosial terbukti memiliki hubungan searah dengan konsep diri pekerja anak. Karena itu anak yang berasal dari keluarga dengan SSE rendah perlu diberi dukungan yang kuat, sehingga dapat memiliki konsep diri positif. Mengingat profil pekerja anak menunjukkan bahwa keluarga pekerja anak tidak memandang penting pendidikan, wawasan mengenai pentingnya pendidikan perlu diberikan. Pemberian dukungan yang kuat disertai wawasan mengenai pentingnya pendidikan diharapkan dapat melahirkan generasi yang memiliki konsep diri lebih positif dan SSE yang lebih tinggi.
DUKUNGAN SOSIAL DAN KONSEP DIRI PEKERJA ANAK (Studi pada Pekerja Anak di Desa Bojong Rangkas, Kecamatan Ciampea,
Kabupaten Bogor)
Oleh:
Amalia Dianah
I34052675
SKRIPSI
Sebagai Bagian Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
pada
Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul Skripsi : Dukungan Sosial dan Konsep Diri Pekerja Anak (Studi
pada Pekerja Anak di Desa Bojong Rangkas, Kecamatan
Ciampea, Kabupaten Bogor)
Nama Mahasiswa : Amalia Dianah
Nomor Mahasiswa : I34052675
Mayor : Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan
Pengembangan Masyarakat pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian
Bogor.
Menyetujui,
Dosen Pembimbing
Ratri Virianita, S.Sos, MSi NIP. 19700617 200501 2001
Mengetahui,
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Ketua
Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS. NIP. 19550630 198103 1 003
Tanggal Lulus: _____________________
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
LEMBAR PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL
“DUKUNGAN SOSIAL DAN KONSEP DIRI PEKERJA ANAK (STUDI PADA
PEKERJA ANAK DI DESA BOJONG RANGKAS, KECAMATAN CIAMPEA,
KABUPATEN BOGOR)” BELUM PERNAH DIAJUKAN DAN DITULIS PADA
PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA LAIN MANAPUN. SAYA JUGA
MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI MERUPAKAN HASIL KARYA SAYA
SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH
DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK/LEMBAGA LAIN KECUALI
SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.
Bogor, 25 Januari 2011
Amalia Dianah I34052675
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta, 6 Mei 1987 sebagai anak kedua dari tujuh
bersaudara pasangan suami istri, Drs. Minjali AS dan Dra. Gustinaningsih. Pada
tahun 1998 penulis menamatkan pendidikan Sekolah Dasar dari SDN Bunul Rejo
7 Malang, Jawa Timur. Penulis sempat melanjutkan satu tahun studi di SMPN 3
Malang, Jawa Timur, kemudian meneruskan pendidikan Madrasah Tsanawiyah di
Pondok Pesantren hingga tahun 2002. Setelah itu penulis melanjutkan pendidikan
Sekolah Menengah Atas di SMA Plus PGRI Cibinong dan lulus pada tahun 2005
dengan predikat “The Best Student in Linguistic Verbal”. Pada tahun 2005
tersebut penulis diterima masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Mahasiswa
IPB (USMI) dan menjalankan studi sebagai mahasiswa Departemen Sains
Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut
Pertanian Bogor.
Penulis memiliki beberapa prestasi di bidang pidato Bahasa Indonesia,
Inggris, dan Arab sejak duduk di bangku Sekolah Dasar hingga Perguruan
Tinggi. Penulis memiliki pengalaman kerja sebagai penyiar radio dan pembawa
acara pada tahun 2004-2005. Selama duduk di bangku Sekolah Menengah Atas
(SMA) penulis aktif sebagai sekretaris Majelis Perwakilan Kelas (MPK) periode
2002-2003, wakil ketua Ekstrakurikuler Agama Islam (EKSIS) periode 2002-
2003, dan ketua Kelompok Ilmiah Remaja (KIR) periode 2003-2004. Semasa
kuliah, sejak tahun 2005 penulis aktif dalam organisasi Internasional Association
of Students in Agriculture and Related Sciences (IAAS) LC IPB, sebagai staf
Human Resources Development Department (2006-2007) dan sekretaris divisi
Science and Technology Department (2007-2008). Pada tahun 2007 penulis
tergabung dalam IPB Debating Community (IDC). Selama kuliah penulis juga
memiliki pengalaman kerja sebagai guru privat beberapa mata pelajaran SD dan
SMP, penerjemah, serta membangun bisnis jaringan dalam organisasi bisnis
Unicore. Penulis bergabung menjadi staf pengajar pada Islamic Boarding Al
Umanaa pada tahun 2009. Sejak tahun 2010 hingga saat penyelesaian skripsi,
penulis menjabat sebagai Penanggung Jawab Urusan Kesiswaan dan Hubungan
Masyarakat Islamic Boarding Al Umanaa.
PRAKATA
Puji dan Syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena berkat
rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan Skripsi dengan judul
“Dukungan Sosial dan Konsep Diri Pekerja Anak (Studi pada Pekerja Anak di
Desa Bojong Rangkas, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor)”. Pokok
permasalahan yang dikaji berkaitan dengan konsep diri dan dukungan sosial
pekerja anak. Status Sosial Ekonomi (SSE) rendah menyebabkan banyak anak di
Desa Bojong Rangkas harus bekerja membantu orang tua dan kehilangan
kesempatan bersekolah. Penelitian terdahulu memaparkan bahwa SSE keluarga
yang rendah menyebabkan individu memiliki konsep diri yang negatif pula.
Penulis menduga dukungan sosial berpotensi membentuk konsep diri positif pada
anak. Untuk itu penulis mengkaji dukungan sosial dan konsep diri pada pekerja
anak di Desa Bojong Rangkas, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor.
Terima kasih penulis sampaikan kepada Ibu Ratri Virianita, S. Sos, MSi
selaku dosen pembimbing skripsi, atas bimbingan dan saran-saran yang sangat
berharga selama proses penulisan Studi Pustaka, proposal, dan laporan penelitian.
Terima kasih juga penulis sampaikan kepada aparat Desa Bojong Rangkas, Indri,
dan seluruh pekerja anak atas kerja sama yang diberikan dalam pengumpulan
data. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua penulis,
Bapak Drs. Minjali AS dan Ibu Dra. Gustinaningsih, atas dukungan yang telah
diberikan. “Arigato” kepada saudari Nunik Ariyani, Nirmala Dewi, Septiani
Wesman, seluruh civitas Pondok Mawar Kencana, dan teman-teman mahasiswa
lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, atas dukungan yang
diberikan kepada penulis dalam proses penyelesaian laporan penelitian. Tak lupa
penulis mengucapkan terima kasih untuk Iezham, yang telah membantu penulis
menyelesaikan slide presentasi pada detik-detik menjelang ujian skripsi. Semoga
penelitian ini dapat bermanfaat bagi penelitian terkait anak selanjutnya,
khususnya yang berasal dari keluarga dengan SSE rendah.
Bogor, 25 Januari 2011
Amalia Dianah
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI........................................................................................................... ix
DAFTAR TABEL.................................................................................................... xi
DAFTAR GAMBAR............................................................................................... xii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang.............................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah......................................................................... 3
1.3 Tujuan Penelitian........................................................................... 4
1.4 Kegunaan Penelitian..................................................................... 4
BAB II PENDEKATAN TEORITIS............................................................... 5
2.1 Tinjauan Pustaka............................................................................ 5
2.1.1 Pekerja Anak....................................................................... 5
2.1.1.1 Definisi dan Hak-Hak Anak................................ 5
2.1.1.2 Tinjauan Hukum dan Psikososial Anak............... 6
2.1.2 Konsep Diri........................................................................ 7
2.1.2.1 Definisi dan Pembentukan Konsep Diri............... 7
2.1.2.2 Konsep Diri Anak................................................ 8
2.1.2.3 Pengukuran Konsep Diri...................................... 11
2.1.3 Status Sosial Ekonomi........................................................ 14
2.1.3.1 Definisi Status Sosial Ekonomi............................ 14
2.1.3.2 Upah Minimum Regional..................................... 15
2.1.4 Dukungan Sosial................................................................. 16
2.1.4.1 Definisi dan Jenis dukungan Sosial................. 16
2.1.4.2 Pengukuran Dukungan Sosial.............................. 18
2.2 Kerangka Pemikiran...................................................................... 18
2.3 Hipotesis Penelitian....................................................................... 21
2.4 Definisi Operasional...................................................................... 21
BAB III PENDEKATAN LAPANG.................................................................. 25
3.1 Metode Penelitian.......................................................................... 25
3.2 Teknik Pemilihan Sampel.............................................................. 25
3.3 Lokasi dan Waktu Penelitian......................................................... 25
3.4 Teknik Pengumpulan Data............................................................ 26
3.5 Teknik Pengolahan dan Analisis Data........................................... 26
BAB IV GAMBARAN LOKASI PENELITIAN.............................................. 28
284.1 Gambaran Desa Bojong Rangkas...................................................
x
4.2 Gambaran Industri Tas dan Dompet.............................................. 29
32BAB V PROFIL PEKERJA ANAK................................................................
5.1 Pekerja Anak Berdasarkan Jenis Kelamin..................................... 32
5.2 Tingkat Pendidikan........................................................................ 33
5.2.1 Tingkat Pendidikan Orang Tua Pekerja Anak................... 34
345.2.2 Tingkat Pendidikan Pekerja Anak.....................................
5.3 Pendapatan Orang Tua Pekerja Anak............................................. 35
5.4 Kondisi Kerja dan Pendapatan Pekerja Anak................................ 37
BAB VI GAMBARAN KONSEP DIRI PEKERJA ANAK............................ 40
406.1 Konsep Diri Pekerja Anak Berdasarkan Jenis Kelamin................
6.2 Konsep Diri Pekerja Anak Berdasarkan Pendidikan..................... 44
6.2.1 Pendidikan Pekerja Anak.................................................... 45
6.2.2 Pendidikan Orang Tua Pekerja Anak.................................. 45
6.3 Konsep Diri Pekerja Anak Berdasarkan Pendapatan..................... 46
47
47
49
51
52
53
54
54
55
57
59
6.3.1 Pendapatan Orang Tua........................................................
6.3.2 Pendapatan Pekerja Anak...................................................
BAB VII GAMBARAN DUKUNGAN SOSIAL PEKERJA ANAK.................
7.1 Dukungan Sosial Pekerja Anak Berdasarkan Jenis Kelamin.........
7.2 Dukungan Sosial Pekerja Anak Berdasarkan Pendidikan.............
7.3 Dukungan Sosial Pekerja Anak Berdasarkan Pendapatan.............
BABVIII HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN SOSIAL DAN KONSEPDIRI PEKERJA ANAK......................................................................
8.1 Dukungan Instrumental dan Konsep Diri Pekerja Anak................
8.2 Dukungan Informasi dan Konsep Diri Pekerja Anak.....................
8.3 Dukungan Emosi dan Konsep Diri Pekerja Anak..........................
8.4 Dukungan Penghargaan dan Konsep Diri Pekerja Anak...............
8.5 Dukungan Sosial dan Konsep Diri Pekerja Anak.......................... 60BAB IX KESIMPULAN DAN SARAN.............................................................. 64
64
66
67
9.1 Kesimpulan.....................................................................................
9.2 Saran...............................................................................................
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Distribusi Penduduk Desa Bojong Rangkas Menurut Struktur Umur Tahun 2009.............................................................................
29
2. Jumlah dan Persentase Pekerja Anak di Desa Bojong Rangkas Menurut Konsep Diri Tahun 2010....................................................
40
3. Jumlah dan Persentase Pekerja Anak di Desa Bojong Rangkas Menurut Konsep Diri dan Jenis Kelamin Tahun 2010......................
42
4. Jumlah dan Persentase Pekerja Anak di Desa Bojong Rangkas Menurut Konsep Diri dan Pendidikan Pekerja Anak Tahun 2010....
45
5. Jumlah dan Persentase Pekerja Anak di Desa Bojong Rangkas Menurut Konsep Diri dan Pendidikan Orang tua Tahun 2010..........
46
6. Jumlah dan Presentase Pekerja Anak di Desa Bojong Rangkas Menurut Konsep Diri dan Pendapatan Orang Tua Tahun 2010........
47
7. Jumlah dan Presentase Pekerja Anak di Desa Bojong Rangkas Menurut Konsep Diri dan Pendapatan Pekerja Anak Tahun 2010...
47
8. Jumlah dan Persentase Pekerja Anak di Desa Bojong Rangkas Menurut Dukungan Sosial Tahun 2010............................................
49
9. Jumlah dan Persentase Pekerja Anak di Desa Bojong Rangkas Menurut Dukungan Sosial dan Jenis Kelamin Tahun 2010..............
52
10. Jumlah dan Persentase Pekerja Anak di Desa Bojong Rangkas Menurut Dukungan Sosial dan Pendidikan Tahun 2010...................
53
11. Jumlah dan Persentase Pekerja Anak di Desa Bojong Rangkas Menurut Dukungan Instrumental dan Konsep Diri Tahun 2010.......
54
12. Hasil Uji Korelasi Pearson antara Dukungan Instrumental dan Konsep Diri Pekerja Anak di Desa Bojong Rangkas Tahun 2010...
55
13. Jumlah dan Persentase Pekerja Anak di Desa Bojong Rangkas Menurut Dukungan Informasi dan Konsep Diri Tahun 2010...........
57
14. Jumlah dan Persentase Pekerja Anak di Desa Bojong Rangkas Menurut Dukungan Emosi dan Konsep Diri Tahun 2010.................
58
15. Hasil Uji Korelasi Pearson antara Dukungan Emosi dan Konsep Diri Pekerja Anak di Desa Bojong Rangkas.....................................
59
16. Jumlah dan Persentase Pekerja Anak di Desa Bojong Rangkas Menurut Dukungan Penghargaan dan Konsep Diri Tahun 2010......
60
17. Jumlah dan Persentase Pekerja Anak di Desa Bojong Rangkas Menurut Dukungan Sosial dan Konsep Diri Tahun 2010.................
61
18. Hasil Uji Korelasi Pearson antara Dukungan Sosial dan Konsep Diri Pekerja Anak di Desa Bojong Rangkas Tahun 2010................
62
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Kerangka Pemikiran........................................................................ 20
2. Distribusi Pekerja Anak Menurut Jenis Kelamin, Desa Bojong Rangkas, 2010.................................................................................
32
3. Distribusi Pekerja Anak Menurut Tingkat Pendidikan Orang Tua, Desa Bojong Rangkas, 2010...........................................................
34
4. Distribusi Pekerja Anak Menurut Tingkat Pendidikan, Desa Bojong Rangkas, 2010...................................................................
35
5. Distibusi Pekerja Anak Menurut Jumlah Pendapatan Orang Tua, Desa Bojong Rangkas, 2010..........................................................
36
6. Distribusi Pekerja Anak Menurut Mata Pencaharian Orang Tua, Desa Bojong Rangkas, 2010..........................................................
37
7. Distribusi Pekerja Anak Menurut Jumlah Pendapatan, Desa Bojong Rangkas, 2010....................................................................
38
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Masalah kemiskinan masih menjadi masalah nasional di Indonesia. Data
menunjukkan semenjak krisis ekonomi pada pertengahan tahun 1997, jumlah
penduduk miskin di Indonesia meningkat dari 22,5 juta jiwa menjadi 49,5 juta
jiwa. Sebanyak 17,6 juta jiwa tinggal di kota dan 31,9 juta jiwa tinggal di
pedesaan (DEPDIKNAS, 2004). Meningkatnya angka kemiskinan ini biasanya
seiring dengan meningkatnya jumlah pengangguran dan kasus kriminalitas.
Hidup dalam kemiskinan atau Status Sosial Ekonomi (SSE) rendah dengan
banyaknya tuntutan hidup menyebabkan berbagai cara dilakukan agar dapat
bertahan hidup. Salah satunya dengan melibatkan anak dalam upaya pencarian
nafkah. SSE rendah diidentifikasi sebagai hal yang paling mendasari munculnya
pekerja anak di Indonesia (Asih, 2007). Kemampuan membaca, menulis, dan
sedikit berhitung yang didapatkan di Sekolah Dasar telah dianggap cukup.
Anggapan tersebut menyebabkan banyak anak meninggalkan bangku sekolah
demi berkontribusi bagi pendapatan keluarga.
Anak adalah aset yang sangat berharga, generasi yang akan melanjutkan
estafet kepemimpinan bangsa, sehingga perlu diupayakan agar SSE rendah
keluarga tidak mengorbankan masa depan anak. Perkembangan anak dipengaruhi
oleh lingkungannya. Anak yang dibesarkan dengan dorongan, tumbuh dengan
kepercayaan diri, sedang anak yang dibesarkan dengan cemoohan, tumbuh
dengan rasa rendah diri (Nolte, 1998). Alasan seorang anak yang dikatakan baik
selalu melakukan pekerjaan baik, sedang anak yang dikatakan nakal selalu
melakukan pekerjaan buruk, berkaitan dengan konsep diri anak tersebut. Konsep
diri seorang anak menjadi kerangka acuan bagi anak untuk memahami apapun
yang berhubungan dengan dirinya dan menentukan apa yang akan ia lakukan.
Puspasari (2007) dalam Pramuchtia (2008) merumuskan bahwa faktor
keterbatasan ekonomi dan kelas sosial mempengaruhi konsep diri seorang anak.
Hidup dalam keterbatasan ekonomi dinyatakan akan menimbulkan permasalahan
perkembangan yang berkaitan dengan proses pertumbuhan aktualisasi diri.
Dijelaskan pula bahwa kesulitan hidup secara finansial/ekonomi akan
2
menghasilkan konsep diri yang rendah. Namun Pramuchtia (2008) menemukan
konsep diri positif pada sebagian besar anak jalanan dalam penelitiannya,
meskipun berasal dari keluarga dengan SSE rendah. Hal tersebut menunjukkan
bahwa ada faktor lain yang dapat membantu anak dari keluarga dengan SSE
rendah untuk dapat memiliki konsep diri positif.
Bursteln (n.d.) menyatakan bahwa anak-anak bertingkah laku baik jika
mendapat hadiah atau imbalan sosial dari orang tuanya, namun bertingkah laku
buruk jika tidak mendapat pengakuan atas kerjasama yang telah dilakukan.
Seorang anak yang diberi cap “pemalas”, “tidak berguna”, dan “tidak ada harapan
lagi” oleh guru-guru dan orang tuanya atas keterlambatannya dalam pelajaran
berhitung, akan semakin membenci pelajaran tersebut atau bahkan menghentikan
usahanya sama sekali. Sebaliknya, jika anak tersebut mendapat sikap positif dan
penghargaan untuk setiap jenis pekerjaan hitungan yang dapat dilakukannya
tanpa kesulitan, kemampuannya dalam berhitung akan meningkat, walaupun ia
tidak akan menjadi jenius. Peristiwa tersebut menunjukkan betapa perhatian dan
penghargaan dari guru dan orang tua mempengaruhi tingkah laku anak.
Heller (n.d.) dalam Sarason et al. (1983) memaparkan bahwa informasi
atau tindakan yang menyebabkan individu merasa diperhatikan, memiliki nilai,
dan tempat untuk mendapatkan pertolongan dari orang lain pada saat
membutuhkan, diartikan sebagai dukungan sosial. Perhatian dan penghargaan
dari guru dan orang tua pada contoh di atas dapat digolongkan sebagai bentuk
dukungan sosial. Mengingat tingginya angka kemiskinan di Indonesia
menunjukkan banyaknya jumlah anak yang lahir dari keluarga dengan SSE
rendah, perlu diupayakan agar anak-anak tersebut dapat memiliki konsep diri
positif. Oleh karena itu hubungan antara dukungan sosial dan konsep diri pada
anak dari keluarga dengan SSE rendah menjadi menarik untuk dikaji.
Asih (2007) menemukan bahwa fenomena pekerja anak dari keluarga
dengan SSE rendah turut menambah jumlah anak putus sekolah. Berdasarkan
informasi dari Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Dinsosnakertrans)
Kabupaten Bogor provinsi Jawa Barat, Program Pengurangan Pekerja Anak guna
mendukung Program Keluarga Harapan (PPA-PKH) telah dilaksanakan pada
tahun 2007 di Kabupaten Bogor. Tujuan program ini adalah untuk menarik anak-
3
anak yang terpaksa bekerja, padahal seharusnya masih mengenyam pendidikan.
Kecamatan Ciampea dinyatakan sebagai salah satu kecamatan yang memiliki
jumlah pekerja dibawah umur terbanyak di Kabupaten Bogor berdasarkan data
PKH 2007, yang terpusat di Desa Bojong Rangkas. Melalui PKH 2007, pekerja
dibawah umur di Desa Bojong Rangkas, Kecamatan Ciampea dinyatakan telah
berhasil dihapuskan dan usia pekerja bergeser ke usia anak-anak. Penelitian
International Labor Organization (ILO) dan Badan Pusat Statistik (BPS) pada
2009 di 248 kabupaten/kota dengan 760 blok sensus menemukan banyak anak-
anak bekerja, terutama anak usia 5-17 tahun di Indonesia
(http://ekerala.net/r.php?url=http://www.poskota.co.id/beritaterkini/2010/05/14/il
o-prihatinkan-pekerja-anak&title=pekerja%20anak&type=web). Mengingat anak
adalah aset yang berharga, masa depan pekerja anak yang terpaksa bekerja untuk
membantu perekonomian keluarga, perlu mendapat perhatian.
1.2 Rumusan Masalah
Konsep diri positif pada seorang anak dapat membantu anak memandang
dan merencanakan masa depannya. Anak dengan konsep diri positif diharapkan
dapat memiliki masa depan yang lebih baik. SSE rendah keluarga dinyatakan
menyebabkan anak memiliki konsep diri negatif. SSE rendah keluarga juga
merupakan alasan utama anak untuk bekerja. Oleh karena itu, perlu diupayakan
agar pekerja anak yang berasal dari keluarga dengan SSE rendah, dapat memiliki
konsep diri positif. Dukungan sosial dianggap dapat menjadi faktor yang mampu
membantu anak dari keluarga dengan SSE rendah untuk dapat memiliki konsep
diri positif. Karenanya, disusun beberapa permasalahan yang hendak dikaji dalam
penelitian, antara lain:
1. Bagaimana profil pekerja anak di Desa Bojong Rangkas, Kecamatan
Ciampea, Kabupaten Bogor;
2. Bagaimana konsep diri pekerja anak di Desa Bojong Rangkas, Kecamatan
Ciampea, Kabupaten Bogor;
3. Bagaimana dukungan sosial yang dimiliki pekerja anak di Desa Bojong
Rangkas, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor; dan
4. Bagaimana hubungan antara dukungan sosial dan konsep diri pekerja anak di
Desa Bojong Rangkas, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor?
4
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mendeskripsikan profil pekerja anak di Desa Bojong Rangkas, Kecamatan
Ciampea, Kabupaten Bogor;
2. Mendeskripsikan konsep diri pekerja anak di Desa Bojong Rangkas,
Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor;
3. Mendeskripsikan dukungan sosial yang dimiliki pekerja anak di Desa Bojong
Rangkas, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor;
4. Menganalisis hubungan antara dukungan sosial dan konsep diri pekerja anak
di Desa Bojong Rangkas, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor.
1.4 Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi berbagai
pihak:
1. Bagi akademisi, penelitian diharapkan dapat menjadi referensi untuk
penelitian lebih lanjut mengenai pekerja anak, dukungan sosial, dan konsep
diri anak;
2. Bagi masyarakat, penelitian diharapkan menumbuhkan kesadaran
pentingnya pemberian dukungan sosial guna membentuk konsep diri positif
pada anak;
3. Bagi pemerintah, penelitian diharapkan dapat menjadi referansi dalam
pengambilah keputusan bagi kebijakan-kebijakan terkait dengan anak,
khususnya yang hidup dalam keluarga dengan SSE rendah.
BAB II PENDEKATAN TEORITIS
2.1 Tinjauan Pustaka
2.1.1 Pekerja Anak
Hidup dalam Status Sosial Ekonomi (SSE) rendah menuntut upaya
ekstra bagi keluarga untuk dapat bertahan hidup dengan mengoptimalkan
sumberdaya keluarga, salah satunya anak. Hal ini menyebabkan banyak anak
harus bekerja untuk membantu perekonomian keluarga. Meski memiliki
penghasilan sendiri di usia muda dapat menjadi suatu kebanggaan, namun
membiarkan anak putus sekolah demi bekerja bukanlah hal yang bijak. Anak
memiliki hak-hak yang harus dipenuhi untuk dapat melewati fase-fase
perkembangan menuju kedewasaan dengan baik.
2.1.1.1 Definisi dan Hak-Hak Anak
Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak pasal 1,
menyatakan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun,
termasuk anak yang masih dalam kandungan
(http://tantrapuan.wordpress.com/2009/05/13/undang-undang-republik-indonesia-
nomor-23-tahun-2002-tentang-perlindungan-anak/). Aristoteles (n.d.) dalam
Willis (2008) membagi fase perkembangan manusia ke dalam: masa kanak-kanak
(0-7 tahun), masa anak sekolah (7-14 tahun), dan masa remaja/puberteit (14-21
tahun). Jersild (1978) dalam Willis (2008) membagi fase-fase perkembangan
menjadi: masa kanak-kanak/early childhood (1-5 tahun), masa anak-anak/middle
childhood (5-12 tahun), masa remaja/adolescence (15-18 tahun), masa dewasa
awal/pre adulthood (18-25 tahun), dan seterusnya. Setiap anak memiliki potensi
yang unik, yang bila dibina dan dikembangkan dengan benar dapat turut
memberikan sumbangsih pada dunia, karenanya menjadi tantangan bagi orang tua
dan pendidik untuk menyingkirkan hambatan yang menghalangi jalan anak
menggapai impian (Armstrong, n.d. dalam Ellys J., n.d.).
Pada abad pertengahan terdapat berbagai pandangan lingkungan terhadap
anak, antara lain sebagai miniatur orang dewasa, anak sebagai orang yang
berdosa, anak sebagai kertas yang masih kosong (tabularasa), anak sebagai
tanaman yang tumbuh, anak sebagai milik, dan anak sebagai investasi orang tua,
6
masyarakat, dan bangsa di masa depan (Patmonodewo, 2003). Pandangan-
pandangan tersebut kerap membuat anak diperlakukan sewenang-wenang tanpa
diperhatikan hak-haknya. Tahun Internasional Anak yang disponsori oleh
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1979 membantu mengarahkan
perhatian dunia pada anak. Deklarasi PBB terhadap hak anak meliputi hak untuk:
memperoleh kasih sayang, cinta, dan pengertian; mendapatkan gizi dan
perawatan kesehatan; mendapatkan kesempatan bermain dan berekreasi;
memiliki nama dan kebangsaan; mendapat perawatan khusus bila cacat; belajar
agar menjadi warga negara yang berharga; hidup dalam kedamaian dan
persaudaraan; tidak dibedakan dan didiskriminasikan (Patmonodewo, 2003).
2.1.1.2 Tinjauan Hukum dan Psikososial Pekerja Anak
Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan melarang
pengusaha mempekerjakan anak. Definisi pekerja menurut UU No.13 Tahun
2003 tentang ketenagakerjaan, pasal 1 adalah setiap orang yang bekerja dengan
menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain (Depnakertrans, 2008). Adapun
usia kerja di Indonesia dimulai dari usia 15 tahun. Anak berusia 13-15 tahun
mendapat pengecualian untuk dapat bekerja hanya pada pekerjaan ringan
sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental, dan
sosial, sebagaimana dijelaskan dalam UU No.13 Tahun 2003 pasal 69, dengan
syarat: (a) memiliki izin tertulis dari orang tua; (b) terdapat perjanjian antara
pengusaha dengan orang tua atau wali; (c) waktu kerja maksimum 3 jam; (d)
dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah; (e) keselamatan
dan kesehatan kerja terjamin; (f) adanya hubungan kerja yang jelas; dan (g)
menerima upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Namun ketentuan a, b, f,
dan g dikecualikan bagi anak yang bekerja pada usaha keluarganya
(Depnakertrans, 2008).
Mengenai keterlibatan anak dalam dunia kerja di atur pula dalam UU
No.13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, pasal 70 dan 71 (Depnakertrans,
2008). Anak berusia minimal 14 tahun dinyatakan boleh bekerja di tempat kerja
jika merupakan bagian dari kurikulum pendidikan atau pelatihan yang disahkan
oleh pejabat yang berwenang. Anak diperkenankan bekerja untuk
mengembangkan bakat dan minatnya atas pengawasan langsung orang tua/wali
7
dengan waktu kerja tidak lebih dari 3 jam sehari, dalam kondisi dan lingkungan
kerja yang tidak mengganggu perkembangan fisik, mental, sosial, dan waktu
sekolah. Selain itu, tempat kerja bagi anak-anak yang bekerja bersama-sama
orang dewasa harus dipisahkan.
Asih (2007) dalam penelitiannya menemukan pekerja anak yang berada
dalam karakteristik usia 9 sampai 15 tahun, yaitu usia Sekolah Dasar (SD) dan
Sekolah Menengah Pertama (SMP). Anak dikerahkan bekerja karena sumberdaya
keluarga merupakan sumberdaya satu-satunya yang dimiliki warga miskin untuk
bertahan hidup (Baskara, 2010). Baskara (2010) menemukan adanya perbedaan
secara psikososial antara anak yang bekerja dan yang tidak bekerja, yang terlihat
dari cara bersikap, pola pikir, serta keadaan psikologis. Pekerja anak mengalami
kedewasaan dini, pernikahan dini, perceraian dini, serta kurang mandiri akibat
tidak dapat lepas dari campur tangan orang tua sebagai pengambil keputusan.
2.1.2 Konsep Diri
2.1.2.1 Definisi dan Pembentukan Konsep Diri
Konsep diri merupakan suatu konseptualisasi yang dilakukan individu
terhadap dirinya sendiri (Burns, 1984). Raimy (1948) dalam Burns (1984)
menyatakan bahwa konsep diri merupakan suatu sistem persepsi yang dipelajari,
yang berfungsi sebagai suatu obyek di dalam lapangan persepsi. Senada dengan
Raimy Rogers (1947) dalam Burns (1984) mengungkapkan bahwa konsep diri
merupakan organisasi dari persepsi-persepsi diri. Kelly (1995) dalam Burns
(1984) mengemukakan bahwa sebagai hasil dari pengalaman, masing-masing
individu mengembangkan konsepsi-konsepsi diri yang kompleks, suatu jaringan
dan hierarki dari struktur-struktur kognitif hingga ia sampai pada keputusan
mengenai tingkah laku yang paling tepat digunakan dalam menghadapi situasi
saat ini dan di masa depan. Konsep diri dapat dilihat dari aspek kemampuan fisik,
penampilan fisik, hubungan dengan lawan jenis, hubungan dengan teman berjenis
kelamin sama, hubungan dengan orang tua, kejujuran dan kepercayaan terhadap
orang lain, kestabilan emosi, dan kemampuan akademis (Puspasari, 2007 dalam
Pramuchtia, 2008).
Konsepsi-konsepsi diri berasal dari berbagai hal, lima hal yang tampak
sangat penting, meskipun kepentingan relatifnya berbeda dalam masa yang
8
berbeda sepanjang kehidupan adalah kesan tubuh, bahasa, umpan balik dari
significant others, identifikasi model peran seks dan stereotip, serta pola asuh
orang tua (Burns, 1984). Konsep diri dapat relatif sentral atau periferal
(Sedikides, 1995 dalam Baron & Byrne, 2004). Konsepsi diri sentral akan
bertahan pada diri individu dalam situasi apapun, sedang konsepsi diri periferal
dipengaruhi oleh manipulasi suasana hati. Dengan demikian orang yang berpikir
bahwa dirinya sangat cerdas dan menarik (sentral) tetapi hanya sedang-sedang
saja dalam kekuatan fisik (periferal), akan tetap merasa sangat menarik dan
cerdas ketika sedang sedih, namun akan kurang menghargai kemampuan
fisiknya.
Pembentukan persepsi-persepsi berasal dari tiga perspektif mengenai diri
yaitu diri yang merupakan dasar diri, diri sosial, dan diri ideal (Burns, 1984). Diri
dasar adalah konsep pribadi apa adanya sebagaimana yang dipikirkan oleh
individu itu sendiri. Diri sosial merupakan perspektif diri yang berasal dari
penilaian-penilaian orang lain. Diri ideal adalah pribadi yang diharapkan individu
ada pada dirinya. Semakin individu merasa dirinya mirip dengan seseorang yang
ia anggap ideal, semakin bisa ia memenuhi kebutuhan sekundernya.
Pembentukan konsep-konsep diri ini memudahkan interaksi sosial sehingga
individu yang bersangkutan dapat mengantisipasi reaksi-reaksi orang lain.
Adapun ketidakmampuan seseorang untuk menyesuaikan diri merupakan hasil
dari usaha individu untuk mempertahankan diri yang telah ada dari ancaman
pengalaman-pengalaman yang tidak konsisten dengannya, mengarah pada
persepsi memilih-milih dan distorsi atau penolakan pengalaman, karena
pengalaman tersebut diinterpretasikan sebagai yang keliru sehingga tidak patut
diikuti.
2.1.2.2 Konsep Diri Anak
Pada seorang anak, diri ideal dapat diasumsikan penting seketika setelah
ia menginternalisasikan nilai-nilai dari model-model identifikasinya.
Ketidaksesuaian antara diri dan diri ideal meningkat pada anak usia 8 sampai 13
tahun seiring dengan meningkatnya kesadaran anak terhadap standar-standar
orang tua dan masyarakat (Jorgensen & Howell, 1969 dalam Burns, 1984). Diri
ideal bagi seorang anak sangat dipengaruhi oleh lingkungannya. Lebih lanjut
9
Burns (1984) menjelaskan bahwa anak-anak dan muda-mudi dari keluarga
dengan SSE rendah tertinggal di belakang anak-anak yang berasal dari keluarga
dengan SSE menengah dalam melangkah maju ke tahap seleksi menjadi orang
dewasa penuh pesona sebagai diri idealnya. Davie, Butler, dan Goldstein (1972)
dalam Burns (1984) menemukan bahwa anak-anak, baik laki-laki maupun
perempuan dari kelas pekerja memperlihatkan karakteristik kepribadian yang
diasosiasikan dengan rendahnya harga diri, seperti depresi, menarik diri, dan
agresi sampai ke tahap yang jauh lebih luas dari anak-anak dari kelas menengah.
Selain itu, dalam beberapa wilayah kompetensi akademis tertentu anak-anak dari
kelas pekerja berprestasi lebih buruk dibandingkan dengan anak-anak dari kelas
menengah. Hal ini mengindikasikan terhalangnya anak-anak dari kelas pekerja
dalam pencarian harga dirinya karena kurangnya prestasi, penetapan standar-
standar yang kurang jelas, dan kurangnya kompetensi orang tua.
Dahlan (2004) dalam bukunya mengungkapkan perbedaan antara konsep
diri anak dan remaja dari Status Sosial Ekonomi (SSE) rendah dengan yang
berasal dari SSE menengah ke atas, dalam keterkaitannya dengan pola asuh orang
tua. Lebih lanjut Dahlan (2004) memaparkan bahwa orang tua dari kelas bawah
(lower class) cenderung lebih keras dalam “toilet training” dan lebih sering
menggunakan hukuman fisik, dibandingkan dengan kelas menengah. Pola asuh
tersebut menyebabkan anak-anak dari kelas bawah cenderung lebih agresif,
independen, dan lebih awal dalam pengalaman seksual. Orang tua dari kelas
menengah (middle class) cenderung lebih memberikan pengawasan dan
perhatian. Para ibu dari kelas menengah merasa bertanggung jawab terhadap
tingkah laku anak-anaknya dan menerapkan kontrol yang lebih halus. Para Ibu
dari kelas menengah juga memiliki ambisi untuk meraih status yang lebih tinggi,
dan menekan anak untuk mengejar statusnya melalui pendidikan atau latihan
profesional. Berbeda dengan orang tua dari kelas bawah dan menengah, orang tua
dari kelas atas (upper class) cenderung lebih memanfaatkan waktu luangnya
dengan kegiatan tertentu, lebih memiliki latar belakang pendidikan yang
reputasinya tinggi, dan biasanya senang mengembangkan apresiasi estetikanya.
Anak-anak dari kelas atas cenderung memiliki rasa percaya diri, dan cenderung
bersikap memanipulasi aspek realitas. Adapun pengaruh SSE terhadap pola asuh
10
orang tua sebagaimana diungkapkan Dahlan (2004), orang tua dari SSE rendah
cenderung menekankan kepatuhan kepada figur-figur yang mempunyai otoritas,
sementara orang tua dari SSE menengah dan atas cenderung memberi penekanan
pada pengembangan inisiatif, keingintahuan, dan kreatifitas anak.
Terdapat sebuah kesepakatan besar bahwa diri ideal sangat dipengaruhi
oleh asosiasi dengan orang lain yang memiliki wibawa karena lebih tua, lebih
berkuasa, dan lebih baik dalam hal mendapatkan apa yang diinginkan dalam
hidup dibandingkan dengan anak atau remaja yang mengobservasinya.
Berdasarkan eksperimen-eksperimen mengenai konsep diri anak dan remaja,
Burns (1984) menyimpulkan bahwa penilaian individu mengenai dirinya berasal
dari penilaian orang lain terhadap dirinya. Pada hakikatnya, jika peran seseorang
diterima, disetujui, dan disukai dan dia menyadarinya, konsep diri positif akan
dimilikinya. Sebaliknya, jika perilaku atau keadaan fisik seseorang diperolok,
diremehkan, ditolak, dan dikritik oleh masyarakat, orang tua, teman sebaya, dan
guru-guru, maka kemungkinan ia memiliki penghargaan yang kecil terhadap
dirinya.
Konsep diri anak-anak serupa dengan pandangan dari orang tua
kepadanya sebagaimana yang diyakini. Tingkat harga diri anak-anakpun sangat
berhubungan dengan tingkat penghargaan yang diberikan oleh orang tua (Jourard
& Remy, 1955; Helper, 1955 dalam Burns, 1984). Sebagai contoh, anak-anak
yang diasuh oleh orang tua yang selalu mengkritik, memperolok, dan
membandingkan dengan anak-anak lain mengenai hal-hal yang tidak
mengenakkan, dikenal sebagai anak-anak yang kurang bertanggung jawab.
Perkembangan kualitas kepemimpinan ternyata juga dikaitkan dengan derajat
perlindungan orang tua. Over protection (perlindungan yang berlebih) merusak
kepercayaan diri dan kemampuan anak dalam menilai dirinya sendiri. Sears,
Maccoby, dan Levin (1957) dalam Burns (1984) mencatat bahwa pola asuh yang
berorientasi kasih sayang, yang menggunakan pujian dan penarikan kasih sayang
menghasilkan anak-anak dengan hati nurani yang kuat, dibandingkan dengan pola
asuh berorientasi fisik, yang menggunakan penghargaan dan hukuman.
Pola asuh anak tampak sangat penting dalam perkembangan konsep diri,
karena:
11
1. Konsep diri merupakan hal yang dipelajari,
2. Sebagian besar pembelajaran ini berasal dari umpan balik significant others,
terutama orang tua,
3. Orang tua hadir sangat konsisten pada tahun-tahun permulaan yang penting
dari kehidupan anak,
4. Anak memiliki ketergantungan fisik, emosional, dan sosial pada orang tua,
sehingga orang tua berada pada posisi unik dalam mempengaruhi anak
mempelajari mengenai dirinya.
Sears (1970) dalam Burns (1984) pada sebuah studi terhadap anak berusia 11
tahun menghubungkan konsep diri dengan ukuran keluarga yang kecil, urutan
lebih awal dalam posisi kelahiran di keluarga, dan kehangatan dari orang tua.
Berdasarkan teori-teori konsep diri yang ditemukan, konsep diri pekerja anak
merupakan organisasi persepsi diri pekerja anak mengenai dirinya sendiri. SSE
keluarga pekerja anak yang rendah dapat menyebabkan pekerja anak memiliki
konsep diri negatif.
2.1.2.3 Pengukuran Konsep Diri
Burns (1984) memaparkan bahwa terdapat dua metode umum yang bisa
digunakan untuk mengukur konsep diri individu, yaitu dengan: a) memberikan
kesempatan bagi individu bersangkutan untuk melaporkan dirinya sendiri dalam
bentuk respon terhadap pernyataan-pernyataan mengenai konsep diri maupun
elemen spesifik dari konsep diri yang dimiliki, yang biasanya diberi kode agar
dapat dilakukan penghitungan; b) mengamati tingkah laku individu yang
dilakukan oleh seorang ataupun sejumlah pengamat eksternal. Enam metode
pelaporan diri yang dapat digunakan adalah: rating scales (skala bertingkat),
dimana subyek merespon pernyataan-pernyataan yang umumnya diberi label
“tidak pernah”, “jarang”, “kadang-kadang”, “sering”, hingga “selalu”; check list,
dimana subyek mencocokkan kata sifat atau pernyataan-pernyataan yang
menggambarkan dirinya; Q sorts, yaitu penyortiran pernyataan-pernyataan
mengenai konsep diri yang terdapat dalam kartu; unstructured and free response
method, dimana subyek diminta untuk menceritakan dirinya dengan melengkapi
kalimat atau menulis sebuah esai; projective techniques, yaitu metode yang
12
digunakan untuk mengukur konsep diri yang tidak disadari; wawancara yang
digunakan dalam konseling dan studi-studi psikoterapi.
Puspasari (2007) dalam Pramuchtia (2008) memaparkan bahwa konsep
diri anak dan remaja dapat dilihat dari berbagai aspek konsep diri meliputi
kemampuan fisik, penampilan fisik, hubungan dengan lawan jenis, hubungan
dengan teman yang berjenis kelamin sama, hubungan dengan orang tua, kejujuran
dan kepercayaan terhadap orang lain, kestabilan emosi, kemampuan akademis,
dan konsep diri umum. Konsep diri kemampuan fisik didefinisikan sebagai
kemampuan seseorang untuk mendeskripsikan dirinya dalam melakukan kegiatan
yang bersifat menguji kemampuan fisik. Konsep diri berkaitan dengan
penampilan fisik merupakan deskripsi seseorang terhadap penampilan fisiknya.
Konsep diri dalam hubungan dengan lawan jenis dan teman berjenis kelamin
sama merupakan deskripsi diri yang berkaitan dengan proses sosial dengan
lawan jenis dan teman yang berjenis kelamin sama. Konsep diri kestabilan emosi
berkaitan dengan proses pengendalian emosi pada diri individu. Konsep diri
akademis umum merupakan konsep diri akan kemampuan akademis atau
keberhasilannya di sekolah. Konsep diri umum merupakan generalisasi
pemahaman konsep diri tanpa spesifik melihat deskripsi khusus, yang digunakan
untuk melihat kemampuan menghargai diri sendiri dan membangun rasa percaya
diri.
Piers dan Harris (1964) dalam Burns (1984) mengembangkan sebuah
instrumen pengukuran konsep diri anak-anak dalam wilayah usia 8-16 tahun
dengan menggunakan rating scale dengan bentuk pilihan jawaban “ya” dan
“tidak”. Instrumen ini berisi pernyataan-pernyataan yang secara seimbang dibagi
ke dalam bentuk-bentuk yang positif hingga negatif dan dalam refleksi-refleksi
konsep diri yang positif hingga negatif mencakup aspek penampilan fisik, tingkah
laku sosial, status akademik, depresiasi, ketidakpuasan dan kepuasan terhadap
diri sendiri. Pengembangan skala dari dua pilihan jawaban (“ya” dan “tidak)
menjadi skala pengukuran bertingkat lima dirasa tepat bagi pengembangan skala
Piers-Harris ini di masa mendatang (Burns, 1984).
Fitts (1955) dalam Burns (1984) mengembangkan instrumen pengukuran
konsep diri untuk usia 12 tahun ke atas menggunakan skala pengukuran
13
bertingkat lima. Instrumen ini terdiri dari dua subskala, yaitu subskala kritik diri
dan subskala positif. Subskala positif terdiri atas 90 pernyataan yang secara
seimbang dibagi ke dalam pernyataan-pernyataan positif hingga negatif.
Pernyataan-pernyataan tersebut menyajikan keseluruhan tingkatan harga diri.
Skor tinggi menggambarkan perasaan bernilai, memiliki harga diri, dan
kepercayaan diri. Skor rendah mengindikasikan keraguan terhadap harga diri,
dengan subyek sebagai orang yang gelisah, depresi, tidak bahagia, dan kurang
percaya diri. Subskala positif ini mengukur: a) Identity (identitas); b) Self
satisfaction (kepuasan diri) – bagaimana persepsi individu terhadap apa yang
dirasakan mengenai dirinya; c) Behaviour (tingkah laku) – bagaimana individu
mempersepsikan tingkah laku dirinya sendiri; d) Physical self (diri fisik) –
bagaimana individu memandang kesehatan, tubuh, dan penampilannya; e) Moral
/ ethical self (diri etis) - bagaimana individu memandang nilai moral dirinya; f)
Personal self (diri pribadi) – bagaimana individu menilai kecakapan dirinya
sebagai sebuah pribadi; g) Family self (Diri keluarga) – bagaimana individu
mempersepsikan dirinya mengacu pada orang-orang terakrab dan terdekatnya; h)
Social self (Diri sosial) – bagaimana individu mempersepsikan dirinya mengenai
kecakapannya dalam berinteraksi sosial dengan bermacam-macam orang.
Bledsoe (1964, 1967) dalam Burns (1984) mengembangkan instrumen
pengukuran konsep diri untuk usia 7-16 tahun. Instrumen ini berisi tiga puluh
kata sifat yang akan diekspresikan oleh skala bertingkat tiga, untuk menunjukkan
tiga kategori yaitu “nearly always”, “about half the time”, “just now and then”.
Ketiga puluh kata sifat yang dicantumkan menggambarkan dimensi evaluatif,
potensi, dan aktivitas dari semantic differential untuk setiap sepuluh kata. Setiap
sepuluh kata sifat mengenai masing-masing dimensi tersebut terbagi menjadi dua,
yaitu enam kata sifat yang positif, sedang empat lainnya merupakan kata sifat
yang negatif. Instrumen ini dibagi menjadi dua bagian dengan kata sifat yang
sama, bagian pertama diisi oleh subyek berdasarkan penilaian subyek terhadap
sifat yang dimilikinya, sedangkan bagian kedua diisi oleh subyek berdasarkan
penilaian subyek mengenai bagaimana subyek menginginkan sifat tersebut ada
pada dirinya. Hal ini untuk melihat diskrepansi antara diri pribadi dan diri ideal
individu.
14
Mengingat pekerja anak merupakan pekerja yang berusia di bawah 18
tahun, skala pengukuran konsep diri yang sesuai untuk digunakan adalah skala
Piers-Harris yang dimodifikasi. Pernyataan-pernyataan yang disusun dalam
instrumen pengukuran konsep diri pekerja anak, meliputi aspek diri fisik, diri
pribadi, diri keluarga, diri sosial, dan kepuasan diri. Kelima aspek ini dianggap
cukup mewakili konsep diri pekerja anak. Aspek status akademik dianggap tidak
perlu diukur karena pekerja anak memiliki latar belakang sebagai anak-anak
putus sekolah.
2.1.3 Status Sosial Ekonomi
2.1.3.1 Definisi Status Sosial Ekonomi
Masalah sosial ekonomi menjadi masalah yang penting untuk dikaji,
mengingat manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat lepas dari interaksi
dengan manusia dan makhluk hidup lainnya. Di sisi lain manusia memerlukan
perbaikan taraf ekonomi untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Aspek
sosial ekonomi juga mempengaruhi pendominasian manusia terhadap
sumberdaya alam dan bahkan manusia lainnya. Rendahnya SSE yang sering
disebut sebagai masalah kemiskinan sering menjadikan manusia termarjinalkan
dan dalam kehidupan keluarga masalah kemiskinan dapat menimbulkan masalah-
masalah baru. Adapun karakteristik sosial ekonomi keluarga meliputi jumlah
anggota keluarga, status perkawinan, jenis pekerjaan, tingkat pendidikan, dan
jumlah pendapatan (Dianah, 2010).
Ellis dalam Effendi (1993) menyatakan bahwa kemiskinan dapat
diidentifikasi dalam dimensi ekonomi, sosial, dan politik. Kemiskinan ekonomi
dilihat dari pendapatan dan kebutuhan. Jika pendapatan seseorang atau rumah
tangga tidak dapat memenuhi kebutuhan dasar minimum atau dibawah Upah
Minimum Regional (UMR), rumah tangga tersebut dapat digolongkan sebagai
rumah tangga miskin dengan kategori miskin absolut. Seseorang atau suatu
rumah tangga yang telah dapat mencukupi kebutuhan dasarnya atau memiliki
pendapatan di atas atau sama dengan UMR dapat pula dikategorikan miskin jika
ternyata pendapatannya tersebut belum dapat mencukupi kebutuhan fisik
minimum yang biasa dipenuhi oleh masyarakat (pendidikan, kesehatan, dan lain-
lain). Konsep ini disebut kemiskinan relatif. Pada dimensi sosial, kemiskinan
15
diartikan sebagai kekurangan jaringan sosial dan struktur yang mendukung untuk
mendapatkan kesempatan-kesempatan yang tersedia. Jika faktor penghambat
untuk mendapatkan kesempatan berasal dari luar kemampuan orang tersebut,
maka disebut kemiskinan struktural. Lain halnya dengan kemiskinan politik yang
dinilai dari derajat akses seseorang terhadap kekuasaan (power).
Rendahnya SSE keluarga menimbulkan berbagai fenomena, seperti
meningkatnya jumlah kasus kriminalitas, pekerja anak, dan anak jalanan (Dianah,
2010). Asih (2007) mengungkapkan bahwa faktor karakteristik sosial ekonomi
keluarga meliputi jumlah anggota keluarga, status perkawinan orang tua,
pekerjaan orang tua, dan pendapatan orang tua menjadi faktor yang saling terkait
dan tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya dalam menjelaskan
penyebab seorang anak dalam rumah tangga miskin bekerja. Menariknya Asih
(2007) melaporkan bahwa semakin banyak jumlah anak dalam keluarga, semakin
banyak sumber daya keluarga (anak) yang dikerahkan untuk bekerja. Dari
beberapa karakteristik ekonomi yang diuji, status perkawinan orang tua
ditemukan tidak berhubungan dengan alasan seorang anak bekerja, namun
pendapatan orang tualah yang berhubungan dengan alasan seorang anak bekerja.
Mengingat pekerja anak masih di bawah tanggung jawab orang tua, SSE keluarga
pekerja anak diukur dari karakteristik sosial ekonomi keluarga meliputi tingkat
pendidikan orang tua, dan tingkat pendapatan orang tua.
2.1.3.2 Upah Minimum Regional
Keputusan Gubernur Jawa Barat (2009) nomor 561/Kep.1665-
Bangsos/2009 tentang upah minimum Kabupaten/ Kota di Jawa Barat tahun 2010
memutuskan: 1) Pencabutan keputusan gubernur Jawa Barat nomor 561/Kep.605-
Bangsos/2008 tentang Upah Minimum Provinsi Jawa Barat tahun 2009, nomor
561/Kep.684-Bangsos/2008 tentang Upah minimum kabupaten/kota di Jawa
Barat tahun 2009, nomor 561/Kep.687-Bangsos/2008, dan nomor 561/Kep.694-
Bangsos/2008; 2) Menetapkan besarnya Upah Minimum pada 26 (dua puluh
enam) kabupaten/kota di Jawa Barat tahun 2010; 3) Perusahaan di Jawa Barat
yang telah memberikan upah lebih tinggi dari ketentuan Upah Minimum
kabupaten/kota tidak dibenarkan untuk mengurangi dan/atau menurunkan upah
pekerjanya; 4) Ketentuan pengajuan penangguhan Upah Minimum kepada
16
Gubernur Jawa Barat bagi perusahaan yang tidak mampu melaksanakan
ketentuan Upah Minimum kabupaten/kota yang telah ditetapkan; 5) Pengawasan
dan pengendalian atas pelaksanaan Upah Minimum kabupaten/kota tahun 2010
dilakukan oleh Gubernur Jawa Barat dan Bupati/Walikota setempat sesuai
kewenangan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan; 6) Keputusan
mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2010.
Upah Minimum Kabupaten Bogor berdasarkan Keputusan Gubernur
Jawa Barat nomor 561/Kep.1665-Bangsos/2009 ditetapkan Rp 1.056.914,- per
bulan, sedangkan Upah Minimum Sektoral Kabupaten Bogor ditetapkan Rp
1.109.760,- per bulan. Terdapat 37 industri yang termasuk ke dalam unit kerja
sektoral di Kabupaten Bogor, beberapa diantaranya adalah: Industri makanan dari
cokelat dan kembang gula, industri moulding dan komponen bahan bangunan,
industri kerajinan ukir-ukiran dari kayu kecuali mebeller, industri alat-alat dapur
dari kayu, rotan, dan bambu, dll.
2.1.4 Dukungan Sosial
2.1.4.1 Definisi dan Jenis dukungan Sosial
Lahey (2002) mendefinisikan dukungan sosial sebagai the role played by
friends and relatives providing advice, assistance, and somenone in whom to
confide private feelings. Senada dengan Lahey, Sarason (1983) dalam Anitaliza
(1999) menyatakan bahwa dukungan sosial merupakan kumpulan informasi yang
menyebabkan individu percaya bahwa ia diperhatikan, bernilai, dan akan
mendapat pertolongan ketika ia membutuhkan. Dukungan sosial terdiri atas
dukungan instrumental, dukungan informasi, dukungan emosi, dan dukungan
penghargaan (Sarafino, 1990 dalam Hanggarawati, 2007). Dukungan
instrumental merupakan dukungan dalam bentuk uang, barang, makanan, dan
pelayanan. Dukungan informasi mencakup dukungan yang diberikan dalam
bentuk informasi dan saran tentang situasi atau kondisi. Dukungan emosi ialah
dukungan dalam bentuk rasa sayang, perhatian, kehangatan, dan penerimaan
secara apa adanya. Adapun dukungan penghargaan merupakan dukungan yang
diberikan dalam bentuk penghargaan positif, pemberian semangat, persetujuan
pendapat, dan perbandingan positif dengan orang lain.
17
Cohen dan Willis (1986) dalam Astuti (1998) mengemukakan empat
jenis dukungan sosial, yaitu:
1. Esteem Support atau dukungan penghargaan, yaitu adanya informasi diri
dimana individu tetap merasa dihargai dan diakui kemampuannya serta tetap
diterima walau sedang mengalami keadaan yang tidak menyenangkan.
2. Informational Support, yaitu adanya informasi tentang strategi terbaik
menghadapi suatu kejadian yang tidak menyenankan.
3. Social Companionship, yaitu adanya aktivitas sosial dalam hubungan sosial
yang menyenangkan sehingga seseorang dapat mengalami penurunan stress
melalui afiliasi dengan orang lain.
4. Instrumental Support, yaitu dukungan sosial yang lebih bersifat
material/finansial.
Dukungan sosial menyebabkan individu menyadari bahwa ada orang-
orang di sekitarnya yang dapat diandalkan untuk membantu mengatasi tekanan
hidupnya, sehingga harga dirinyapun meningkat (Astuti, 1998). Hal tersebut
membuat individu yang memperoleh dukungan sosial cenderung dapat mengatasi
tekanan-tekanan dalam kehidupan, tampil lebih percaya diri, dan tetap optimis.
Selain itu dalam proses penyesuaian sosial, dukungan sosial membuat individu
lebih mudah untuk menyesuaikan diri (Anitaliza, 1999). Wiggins et al. (1994)
menjelaskan bahwa seseorang dengan sistem dukungan yang kuat, tampak lebih
baik dalam menghadapai perubahan-perubahan penting dalam hidup dan
permasalahan sehari-hari. Dukungan sosial yang diterima berawal dari adanya
penghargaan dari teman-teman, saudara-saudara, dan rekan-rekan kerja. Harga
diri individu akan diperkuat dengan adanya bentuk penerimaan ini. Selanjutnya,
orang lain kerap memberikan dukungan informasi yang membantu individu
memahami masalah yang sedang dihadapi dan menemukan solusinya. Selain itu
setiap individu memiliki kecenderungan mencari dukungan sosial dan orang lain
dapat saja memberikan dukungan instrumental yang membantu individu
mengurangi rasa stresnya. Sebagaimana konsep yang telah dikemukakan di atas,
dukungan sosial pekerja anak merupakan kumpulan informasi yang dimiliki
pekerja anak mengenai dukungan instrumental, dukungan informasi, dukungan
emosi, dan dukungan penghargaan yang diterima.
18
2.1.4.2 Pengukuran Dukungan Sosial
Menurut Sarason et al. (1987) dalam Anitaliza (1999) terdapat tiga cara
pengukuran dukungan sosial, yaitu: 1) Perceived social support, yaitu penilaian
subyektif yang dirasakan individu mengenai ada/tidaknya dukungan dari orang-
orang di sekitarnya, 2) Social embededness, yaitu berdasarkan ada/tidaknya
interaksi antara individu dengan orang lain di sekitar individu, dan 3) Enacted
support, yaitu dengan memfokuskan pada seberapa sering perilaku dari orang-
orang di sekitar individu yang dapat digolongkan ke dalam jenis dukungan sosial
tanpa melihat adanya persepsi tentang dukungan sosial yang diterima individu.
2.2 Kerangka Pemikiran
Konsep diri merupakan hal yang esensial bagi pembentukan tingkah laku
manusia. Konsep diri memberikan kerangka tingkah laku bagi individu untuk
mengantisipasi reaksi-reaksi orang lain di dalam interaksi sosial yang dilakukan.
Konsep diri anak merupakan gambaran anak mengenai dirinya. Konsep diri
memberikan gambaran mengenai penghargaan diri anak pada dirinya sendiri dan
kemampuan anak membangun rasa percaya diri, yang penting dalam pencapaian
keberhasilan di masa depan. Beberapa studi membuktikan bahwa SSE rendah
menyebabkan individu memiliki konsep diri negatif.
Penelitian Pramuchtia (2008) mengenai konsep diri anak jalanan
menemukan bahwa SSE keluarga yang rendah merupakan hal yang paling
mendasari munculnya anak jalanan. Sebagian besar anak-anak jalanan dengan
SSE rendah dalam penelitian Pramuchtia (2008) ditemukan memiliki konsep diri
yang positif. Tingkat pendidikan yang sebagian hanya menempuh pendidikan
formal hingga Sekolah Dasar dan sebagian lain hingga Sekolah Menengah
Pertama (SMP) ternyata tidak berpengaruh terhadap konsep diri yang dimiliki.
Konsep diri positif anak jalanan tersebut yang merupakan pandangan, keyakinan,
dan evaluasi positif anak jalanan terhadap dirinya, dimungkinkan berasal dari
umpan balik positif orang-orang yang dihormatinya yang tidak dikaji dalam
penelitian tersebut. Sebuah studi kasus lain mengenai anak jalanan yang
dilakukan Astuti (1998), menunjukkan harga diri yang tinggi dimiliki oleh anak
jalanan meskipun berasal dari keluarga dengan SSE rendah. Anak-anak jalanan
tersebut merasa bebas, gembira, tidak malu dengan pekerjaan yang ditekuni, dan
19
tetap optimis memandang masa depan. Dalam penelitian tersebut diketahui
bahwa anak-anak jalanan mendapat dukungan dari saudara, orang tua, teman,
sahabat, dan significant others.
Bursteln (n.d.) memaparkan bahwa anak yang dibesarkan oleh orang tua
dengan kasih sayang, kehangatan, dibanjiri pujian yang tulus untuk sekecil
apapun perbuatan baiknya atau peningkatan yang ia capai, menjadi percaya diri
pada kemampuannya untuk bangkit di setiap kegagalan. Pola asuh orang tua yang
demikian dapat dikategorikan sebagai bentuk dukungan emosi dan dukungan
penghargaan yang diterima anak. Dengan demikian konsep diri anak dengan SSE
rendah yang positif, dapat berasal dari dukungan sosial yang mungkin
diperolehnya dari orang tua, teman, atau significant others. Meskipun tidak
mendapatkan dukungan instrumental yang kuat dari orang tuanya, jika dukungan
emosi dan dukungan penghargaan yang diperoleh kuat, konsep diri positif dapat
dimiliki.
Fenomena pekerja anak yang lebih memilih putus sekolah dan bekerja
dapat pula dijelaskan dengan teori konsep diri dan dukungan sosial (Dianah,
2010). Pertama, pekerja anak memandang diri sudah cukup dalam tingkat
pendidikan, karena merasa telah mampu membaca, menulis, dan sedikit
berhitung yang oleh orang tua dianggap cukup sebagai bekal hidup di masa
depan. Pandangan tersebut merupakan sebuah penerimaan dalam bentuk
dukungan emosi dari orang tua atas apa yang dilakukan pekerja anak.
Selanjutnya, dalam pergaulan, keputusan anak untuk putus sekolah dan
membantu orang tua mencari nafkah menyebabkan pekerja anak bergaul dengan
pekerja lainnya yang memiliki persepsi sama mengenai tingkat pendidikan.
Dengan demikian dukungan informasi yang diperoleh pekerja anak hanya berasal
dari orang tua, teman-teman sebaya, dan tetangga yang merupakan significant
others. Kalaupun pekerja anak bergaul juga dengan orang di luar komunitas,
orang-orang tersebut tidak akan banyak mempengaruhi konsep diri pekerja
anak, karena konsep diri hanya dapat dipengaruhi oleh orang-orang yang
dihormati.
Konsep diri berasal dari tiga perspektif, yaitu diri dasar, diri sosial, dan
diri ideal (Burns, 1984). Perspektif diri dasar pekerja anak yang melihat diri
20
sebagaimana adanya memungkinkan pekerja anak memiliki konsep diri rendah
lantaran berasal dari keluarga dengan SSE rendah. Untuk itu penilaian orang lain
yang positif (perspektif diri sosial) dapat membantu pekerja anak memiliki
konsep diri positif. Status perkawinan orang tua ditemukan tidak berhubungan
dengan alasan seorang anak bekerja (Asih, 2007). Karenanya SSE keluarga yang
dianggap dapat mempengaruhi konsep diri pekerja anak dapat dilihat dari
karakteristik sosial ekonomi yang meliputi jumlah pendapatan orang tua dan
tingkat pendidikan orang tua.
Dukungan sosial yang merupakan suatu bentuk dukungan dari orang di
luar individu, dapat memberikan sumbangan bagi perspektif diri sosial pekerja
anak untuk membentuk konsep diri positif. Jenis dukungan sosial dapat berupa
dukungan instrumental, informasi, emosi, dan penghargaan (Ellis dalam Effendi,
1993). Dukungan sosial yang didapatkan pekerja anak dapat membantunya
memiliki konsep diri yang tinggi (positif). Konsep diri pekerja anak dapat dilihat
dari pandangannya mengenai diri fisik (physical self), diri pribadi (personal self),
diri keluarga (family self), diri sosial (social self), dan kepuasan terhadap dirinya
(self satisfaction).
Gambar 1. Kerangka Pemikiran
Ket: = berhubungan (diuji)
= berhubungan (tidak diuji)
SSE Keluarga
Jumlah Pendapatan orang tua Tingkat Pendidikan
orang tua
Konsep Diri
Physical Self
Personal Self
Family Self
Social Self
Self Satisfaction
Dukungan Sosial Dukungan instrumental Dukungan informasi Dukungan emosi Dukungan Penghargaan
21
2.3 Hipotesis Penelitian
1. Hipotesis Mayor:
Terdapat hubungan signifikan antara dukungan sosial dan konsep diri
pekerja anak.
2. Hipotesis Minor:
a. Terdapat hubungan signifikan antara dukungan emosi dan konsep diri
pekerja anak.
b. Terdapat hubungan signifikan antara dukungan penghargaan dan
konsep diri pekerja anak.
2.4 Definisi Operasional
1. Pekerja anak adalah anak berusia di bawah 18 tahun, memiliki pekerjaan
rutin, dan menerima penghasilan dari pekerjaan tersebut.
2. SSE keluarga pekerja anak diukur dari:
a. Pendapatan orang tua, yaitu jumlah uang yang dihasilkan kepala
keluarga selama satu bulan bekerja. Dikategorikan menggunakan
skala ordinal, berdasarkan UMR Kabupaten Bogor tahun 2010, yaitu
Rp 1.056.914,- yang dibulatkan ke bawah menjadi Rp 1.000.000,-.
Adapun kategori pendapatan orang tua adalah sbb:
1. Pendapatan kepala keluarga tinggi untuk penghasilan diatas Rp
1.000.000,-.
2. Pendapatan kepala keluarga rendah untuk penghasilan sama
dengan atau kurang dari Rp 1.000.000,-.
b. Tingkat pendidikan orang tua, yaitu jenjang pendidikan formal
terakhir yang ditempuh orang tua pekerja anak. Dikategorikan
menggunakan skala ordinal, dengan spesifikasi sebagai berikut:
1. Jenjang pendidikan formal terakhir orang tua pekerja anak
SMA/sederajat dan setelahnya (tinggi).
2. Jenjang pendidikan formal terakhir orang tua pekerja anak
SD/sederajat sampai dengan SMP/sederajat (rendah).
SSE keluarga pekerja anak dianggap tinggi jika Pendapatan kepala
keluarga tinggi dan tingkat pendidikan orang tua tinggi. Sebaliknya SSE
22
keluarga pekerja anak dianggap rendah jika pendapatan kepala keluarga
rendah dan tingkat pendidikan orang tua rendah.
3. Konsep diri pekerja anak adalah organisasi persepsi diri yang dimiliki
pekerja anak mengenai dirinya sendiri. Konsep diri pekerja anak diukur
menggunakan skala Piers-Harris modifikasi, berisi pernyataan-
pernyataan yang disusun seimbang mengenai lima aspek konsep diri,
yaitu:
a. Diri fisik (physical self), merupakan pernyataan-pernyataan yang
menunjukkan pandangan pekerja anak mengenai kesehatan,
kekuatan, dan penampilan tubuhnya.
b. Diri personal (personal self), merupakan pernyataan-pernyataan yang
menunjukkan pandangan pekerja anak mengenai kecakapan dirinya
sebagai sebuah pribadi.
c. Diri keluarga (family self), merupakan pernyataan-pernyataan yang
menunjukkan pandangan pekerja anak mengenai dirinya sebagai
anggota keluarga.
d. Diri sosial (social self), merupakan pernyataan-pernyataan yang
menunjukkan pandangan pekerja anak mengenai kecakapannya
dalam berinteraksi sosial dengan orang-orang di sekitarnya yang
bukan keluarga.
e. Kepuasan diri (self satisfaction), merupakan pernyataan-pernyataan
yang menunjukkan pandangan pekerja anak mengenai dirinya
sebagai pribadi, berkaitan dengan kepuasan/ketidakpuasan diri.
Terdapat enam pernyataan untuk setiap aspek konsep diri. Penghitungan
skor untuk setiap respon dilakukan sebagai berikut:
1 = Sangat Tidak Sesuai
2 = Tidak Sesuai
3 = Netral
4 = Sesuai
5 = Sangat Sesuai
Semakin tinggi skor konsep diri yang didapatkan, semakin positif
konsep diri yang dimiliki. Positif atau negatifnya setiap aspek diri
23
responden, dilihat dari respon terhadap enam pernyataan mengenai
setiap aspek diri, dikategorikan menggunakan skala interval, menjadi:
1. Positif untuk skor 19-30
2. Negatif untuk skor 6-18
Skor konsep diri pekerja anak diklasifikasikan menggunakan skala
interval menjadi dua kategori:
1. Konsep diri pekerja anak positif untuk skor 91-150
2. Konsep diri pekerja anak negatif untuk skor 30-90
4. Dukungan sosial merupakan kumpulan informasi yang dimiliki pekerja
anak mengenai ada/tidaknya dukungan dari teman, keluarga, dan orang-
orang di sekitarnya, berdasarkan penilaian subyektif yang dirasakan
pekerja anak (perceived social support). Dukungan sosial diukur dari
respon pekerja anak pada pernyataan-pernyataan yang mengandung
empat jenis dukungan sosial, yaitu:
a. Dukungan instrumental merupakan pernyataan-pernyataan yang
menunjukkan penilaian subyektif pekerja anak mengenai penerimaan
dukungan dalam bentuk uang, barang, dan pelayanan.
b. Dukungan informasi merupakan pernyataan-pernyataan yang
menunjukkan penilaian subyektif pekerja anak mengenai penerimaan
dukungan dalam bentuk informasi dan saran.
c. Dukungan emosi merupakan pernyataan-pernyataan yang
menunjukkan penilaian subyektif pekerja anak mengenai penerimaan
dukungan dalam bentuk rasa sayang, perhatian, kehangatan, dan
penerimaan secara apa adanya.
d. Dukungan penghargaan merupakan pernyataan-pernyataan yang
menunjukkan penilaian subyektif pekerja anak mengenai penerimaan
dukungan dalam bentuk penghargaan positif, pemberian semangat,
persetujuan pendapat, dan perbandingan positif dengan orang lain.
Penghitungan skor dukungan sosial pekerja anak untuk setiap jawaban
dilakukan sebagai berikut:
1 = Sangat Tidak Sesuai
2 = Tidak Sesuai
24
3 = Netral
4 = Sesuai
5 = Sangat Sesuai
Terdapat enam pernyataan untuk setiap jenis dukungan sosial. Skor
penilaian subyektif yang dirasakan pekerja anak mengenai keempat jenis
dukungan sosial tersebut pada kuesioner menggambarkan tinggi
rendahnya dukungan sosial yang dimiliki pekerja anak. Semakin tinggi
skor penilaian subyektif pekerja anak mengenai dukungan sosial yang
diterima, semakin kuat dukungan sosial yang dimiliki pekerja anak. Kuat
atau lemahnya penerimaan masing-masing jenis dukungan sosial dilihat
dari skor respon terhadap pernyataan mengenai setiap jenis dukungan
sosial yang masing-masing berjumlah dari enam pernyataan. Skor setiap
jenis dukungan sosial diklasifikasikan menggunakan skala interval
menjadi dua kategori:
1. Dukungan kuat untuk skor 19-30
2. Dukungan lemah untuk skor 6-18
Skor konsep diri pekerja anak diklasifikasikan menggunakan skala
interval menjadi dua kategori:
1. Dukungan sosial pekerja anak kuat untuk skor 73-120
2. Dukungan sosial pekerja anak lemah untuk skor 24-72
BAB III PENDEKATAN LAPANGAN
3.1 Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan metode survei
sensus, yaitu survei yang meliputi seluruh populasi yang diinginkan (Wahyuni
dan Muljono, 2007). Metode survei digunakan karena peneliti menginginkan
informasi yang banyak dan beraneka ragam guna melihat variasi hubungan
dukungan sosial dengan konsep diri pekerja anak. Tipe metode survei yang
digunakan adalah tipe explanatory, untuk menjelaskan hubungan antara variabel
dukungan sosial dan variabel konsep diri pekerja anak melalui pengujian hipotesa
(Singarimbun dan Effendi, 1989).
3.2 Teknik Penentuan Responden
Responden dalam penelitian ini adalah pekerja anak yang berasal dari
keluarga dengan SSE rendah di Desa Bojong Rangkas, Kecamatan Ciampea,
Kabupaten Bogor. Pekerja anak di Desa Bojong Rangkas berjumlah 37 orang.
Untuk menentukan responden, seluruh pekerja anak terlebih dahulu diminta
mengisi kuesioner data diri. Terdapat dua pertanyaan tertutup yang menentukan
kesesuaian responden dengan definisi operasional, yaitu tanggal dan tahun lahir,
pendidikan terakhir orang tua, dan pendapatan orang tua. Didapatkan 32 pekerja
anak yang belum berusia 18 tahun, memiliki ayah yang tidak menempuh
pendidikan SMA (hanya sampai SMP atau sebelumnya), dengan penghasilan
kurang dari atau sama dengan Rp 1.000.000,- yang kemudian dijadikan
responden. Dengan demikian penelitian ini menggunakan unit analisis rumah
tangga.
3.3 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan pada pekerja anak di Desa Bojong Rangkas,
Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor. Penentuan lokasi penelitian dilakukan
secara purposive (sengaja), dengan pertimbangan bahwa kecamatan Ciampea
merupakan salah satu kecamatan yang memiliki jumlah pekerja anak di bidang
industri informal terbanyak di Kabupatan Bogor, berdasarkan data pekerja anak
pada Program Keluarga Harapan (PKH) Tahun 2007 dari Dinas Sosial, Tenaga
Kerja, dan Transmigrasi Kabupaten Bogor. Desa Bojong Rangkas dinyatakan
26
sebagai desa dengan jumlah pekerja anak terbanyak di kecamatan Ciampea, yang
sebagian besar bekerja di home industry tas dan dompet. Penelitian dilaksanakan
pada bulan Mei hingga November 2010.
3.4 Teknik Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan
sekunder. Data sekunder yang digunakan adalah literatur-literatur terkait SSE,
konsep diri, dukungan sosial, anak, dan pekerja anak. Sebagian besar literatur
penelitian didapatkan di perpustakaan Departeman Sains Komunikasi dan
Pengembangan Masyarakat IPB, perpustakaan Fakultas Psikologi UI, dan
perpustakaan keluarga. Beberapa literatur mengenai Status Sosial Ekonomi,
pekerja anak, dan aturan ketenagakerjaan diperoleh dari Dinas Sosial Tenaga
Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Bogor, Kantor Kecamatan Ciampea, dan
Kantor Desa Bojong Rangkas, serta melalui situs resmi di Internet. Data sekunder
yang terkumpul dievaluasi dengan melihat waktu keberlakuan, kesesuaian dengan
kebutuhan peneliti, ketepatan data, dan besar biaya (Sarwono, 2006).
Data primer diperoleh melalui kuesioner untuk melihat konsep diri,
dukungan sosial, dan SSE responden. Pengumpulan data primer dilakukan baik
secara pasif maupun aktif. Pengumpulan data secara pasif dilakukan dengan
terstruktur atau resmi dan bersifat rahasia dimana responden tidak diberi
informasi mengenai tujuan penelitian yang dilakukan (Sarwono, 2006). Peneliti
hanya akan memberi informasi mengenai topik yang akan diteliti agar responden
tidak bias dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam kuesioner.
Pengumpulan data secara aktif dilakukan dengan memberikan kuesioner secara
langsung pada responden, dan diberikan waktu bagi responden untuk mengisi
kuesioner. Teknik tatap muka ini dilakukan agar diperoleh informasi yang akurat
dari responden.
3.5 Teknik Pengolahan dan Analisis Data
Kuesioner yang telah dikumpulkan diolah dalam 7 (tujuh) tahapan, antara
lain: 1) editing data, 2) pengembangan variabel, 3) pengkodean data, 4) cek
kesalahan, 5) membuat struktur data, 6) cek analisis komputer, dan 7) tabulasi.
Pertama, peneliti melakukan editing data meliputi klarifikasi, keterbacaan,
konsistensi, dan kelengkapan data yang sudah terkumpul. Selanjutnya variabel
27
yang tercakup dalam data dispesifikasi untuk memastikan kelengkapan variabel
yang diteliti. Data yang telah terkumpul kemudian diberi kode dan dilakukan
pengecekan kesalahan untuk selanjutnya ditransfer ke dalam komputer. Struktur
data yang mencakup seluruh data yang dibutuhkan untuk analisis dipindahkan ke
dalam komputer dan dilakukan pengecekan analisis komputer untuk memastikan
konsistensi dan kelengkapan data. Tahap ketujuh (tabulasi) dilakukan untuk
membuat statistik deskriptif variabel-variabel yang akan ditabulasi silang, yaitu
dukungan sosial dan konsep diri.
Korelasi atau hubungan antara dukungan sosial dan konsep diri pekerja
anak dianalisa dengan uji parameter Pearson Product Moment Correlation
(Korelasi Pearson) menggunakan SPSS versi 17. Uji statistik ini digunakan
karena data yang dianalisis menggunakan skala interval (Sarwono, 2006). Rumus
yang digunakan adalah:
Besar koefisien korelasi yang dihasilkan akan menentukan hubungan antara
dukungan sosial dan konsep diri pekerja anak.
Dimana: r = Koefisien korelasi
BAB IV GAMBARAN LOKASI PENELITIAN
4.1 Gambaran Desa Bojong Rangkas
Desa Bojong Rangkas merupakan Ibu Kota Kecamatan di Kecamatan
Ciampea Kabupaten Bogor, dengan luas wilayah 104 hektar (Kepala Desa, 2009).
Wilayahnya berada pada ketinggian 150 meter di atas permukaan laut yang
terbagi dalam 2 Dusun, 8 Rukun Warga (RW), dan 35 Rukun Tetangga (RT).
Secara geografis desa ini terletak pada 6,562º Lintang Selatan dan 106,695º Bujur
Timur. Jarak Desa Bojong Rangkas ke ibukota kecamatan sekitar 0,5 kilometer,
sedang jarak ke ibukota kabupaten sekitar 30 kilometer. Jarak Desa Bojong
Rangkas ke Ibu Kota Propinsi (Bandung) adalah 170 kilometer, sedang ke Ibu
Kota Negara (Jakarta) adalah 73 kilometer. Batas wilayah desa sebagai berikut:
1. Sebelah utara berbatasan dengan Desa Ciampea dan Desa Benteng
2. Sebelah timur berbatasan dengan Desa Bojongjengkol dan Desa Tegalwaru
3. Sebelah selatan berbatasan dengan Desa Cicadas
4. Sebelah barat berbatasan dengan Desa Cibadak
Berdasarkan Data dari Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor, Kecamatan
Ciampea tercatat sebagai salah satu kecamatan yang memiliki jumlah pekerja di
bawah umur terbanyak di Kabupaten Bogor dalam data Program Keluarga
Harapan (PKH) 2007. Para pekerja di bawah umur ini terpusat di Desa Bojong
Rangkas yang merupakan pusat home industry (industri rumahan) tas di Bogor.
Setelah program PKH tahun 2007 pekerja di bawah umur dinyatakan telah tidak
ada, namun setelah dilakukan survei, masih ditemukan tujuh pekerja anak
dibawah umur (belum berusia lima belas tahun), dan tiga puluh pekerja anak
yang berada dalam rentang usia lima belas hingga tujuh belas tahun.
Jumlah penduduk Desa Bojong Rangkas sampai akhir Bulan Desember
tahun 2009 tercatat sebanyak 11.243 jiwa. Mata pencaharian utama penduduk
berada pada sektor industri. Penduduk Desa yang bekerja pada industri tas
berdasarkan Data Pengrajin Tas 2010 berjumlah 538 orang yang tersebar dalam
67 lokasi industri. Kepadatan penduduk Desa Bojong Rangkas 1,08 jiwa/km2.
Jumlah penduduk menurut struktur umur dapat dilihat pada Tabel 1.
29
Tabel 1. Distribusi Penduduk Desa Bojong Rangkas Menurut Struktur Umur Tahun 2009
Kelompok Umur (Tahun) Jumlah Jiwa
Jumlah Laki-Laki Perempuan
0-4 309 310 6195-9 392 374 766
10-14 482 425 90715-19 517 512 102920-24 594 511 110525-29 623 563 112230-34 585 537 112235-39 541 496 103740-44 505 473 97845-49 470 438 90850-54 365 322 68755-59 271 275 546
60 keatas 160 193 353Jumlah 5814 5429 11243
Sumber: Kepala Desa Bojong Rangkas, 2009
Berdasarkan Tabel 1, 8987 jiwa penduduk Desa Bojong Rangkas
merupakan penduduk usia 15-59 tahun. Usia produktif angkatan kerja yaitu usia
15-64 Tahun (www.gemari.or.idartikeldetail.phpid=4343.htm). Artinya 79,9
persen penduduk Desa Bojong Rangkas merupakan penduduk usia produktif.
Sebanyak 83,5 persen penduduk usia produktif di Desa Bojong Rangkas
merupakan penduduk usia 20-59 tahun. Dengan demikian, seharusnya penduduk
usia produktif dapat dioptimalkan untuk menopang perekonomian keluarga,
sehingga anak dapat mengenyam pendidikan yang layak.
4.2 Gambaran Industri Tas dan Dompet
Desa Bojong Rangkas dikenal sebagai pusat industri kerajinan tas dan
dompet di Bogor yang memasarkan produknya ke wilayah Jabodetabek. Hampir
seluruh rumah tangga warga Desa Bojong Rangkas terlibat dalam industri tas dan
dompet. Beberapa rumah telah mandiri, baik dalam mendapatkan maupun
mengerjakan pesanan tas dan dompet. Terdapat 67 lokasi industri tas dan dompet
di Desa Bojong Rangkas, baik industri rumahan, maupun industri kecil yang
mempekerjakan puluhan karyawan (Kepala Desa, 2009).
LIFERA adalah industri tas tertua dan terbesar di Desa Bojong Rangkas.
LIFERA dirintis sejak tahun 1974 oleh Bp. H. Aak Atmaja dengan modal awal
sekitar Rp 200.000,-. Kini LIFERA dikelola oleh anak pertamanya, Ibu H. Yanti.
30
Pesanan tas dan dompet yang diproduksi LIFERA berasal dari para supplier tetap
yang kemudian memasarkan produk tersebut. Kini kisaran omzet yang dihasilkan
LIFERA mencapai kisaran Rp 50.000.000,- sampai Rp 200.000.000,- per bulan.
Adapun keuntungan bersih yang diperoleh sekitar dua sampai dengan lima persen
dari omset yang dihasilkan.
LIFERA mempekerjakan 28 pekerja tetap, yaitu sepuluh pekerja laki-laki
dan tiga belas pekerja perempuan. Pekerja laki-laki bertugas mengoperasikan
mesin jahit, memotong bahan, dan mengangkut barang. Pekerja perempuan
ditugaskan di bagian finishing, yang bertugas membersihkan benang-benang pada
produk tas/dompet, mengemas, dan melekatkan bagian tas.
Selain mempekerjakan pekerja tetap, LIFERA juga menerapkan sistem
desentralisasi dalam menyelesaikan pesanan tas dan dompet, yaitu dengan
mendistribusikan pesanan ke rumah-rumah warga Desa Bojong Rangkas dan
beberapa desa seperti Desa Jonggol, Cileungsi, dan lainnya. Adapun pembayaran
yang diberikan pada pekerja tas tidak tetap adalah sistem upah, dihitung berdasar
jumlah tas atau dompet yang diselesaikan. Berdasarkan keterangan Ibu Fauziah,
penanggung jawab operasional LIFERA, sistem desentralisasi diterapkan karena
H. Aak selaku perintis LIFERA ingin memberikan kesempatan pada warga untuk
dapat memperoleh penghasilan tanpa harus keluar rumah. Dengan
mendistribusikan pesanan ke rumah-rumah warga, seluruh anggota keluarga
dapat turut membantu penyelesaian pekerjaan, tanpa mengganggu kegiatan
harian. Ibu dapat tetap berperan sebagai ibu rumah tangga, dan anak dapat
membantu orang tua sepulang sekolah.
Pemilik Industri tas lainnya yang juga mempekerjakan lebih dari tiga
puluh karyawan adalah Pak Rahmat, seorang keturunan Cina-Betawi asal Jakarta.
Pak Rahmat memindahkan lokasi usaha pembuatan tas dan dompetnya sejak
1994 dari Jakarta ke Desa Bojong Rangkas, karena dinilai lebih menguntungkan.
Beberapa keuntungan mendirikan usaha tas di Desa Bojong Rangkas yang
diutarakan Pak Rahmat antara lain bebas dari pungutan liar, bebas dari provokasi
Serikat Buruh yang sering membuat karyawan menuntut lebih, dan mudah untuk
memperoleh pekerja dengan upah minim. Pak Rahmat memiliki dua lokasi
industri tas di Desa Bojong Rangkas, yang masing-masing dimandori oleh
31
penduduk asli Desa Bojong Rangkas. Beliau hanya menetapkan upah pengerjaan
tas dan dompet. Adapun perekrutan pekerja serta sistem pembayaran upah
pekerja diserahkan sepenuhnya pada mandor.
Industri rumahan bermerek yang juga terdapat di Desa Bojong Rangkas
antara lain BOLINI, DENIM, MM. Promosi, RIVAL, LENNISA, UDIN
COLLECTION, BUKOVIN, CENEL, dan SS. SAYBAN. Industri tas dan
dompet lainnya membuka industri rumahan tanpa nama, yang pada umumnya
merupakan usaha keluarga. Adapun pesanan tas atau dompet yang didapat,
sebagian besar dari industri tas bermerek seperti LIFERA.
BAB V PROFIL PEKERJA ANAK
Hidup dalam keluarga dengan SSE rendah menyebabkan sejumlah anak di
Desa Bojong Rangkas memilih berhenti sekolah dan membantu perekonomian
keluarga dengan bekerja. Status Sosial Ekonomi (SSE) pekerja anak yang
dianggap dapat mempengaruhi konsep dirinya adalah jumlah pendapatan orang
tua dan tingkat pendidikan orang tua. Gambaran SSE pekerja anak didapatkan
dari kuesioner data diri pekerja anak. Kuesioner data diri digunakan untuk
menyeleksi responden, memudahkan peneliti menghubungi responden, serta
mendapatkan gambaran mengenai diri pekerja anak.
5.1 Pekerja Anak Berdasarkan Jenis Kelamin
Pekerja anak di Desa Bojong Rangkas yang berasal dari keluarga dengan
SSE rendah berjumlah tiga puluh dua orang, terdiri atas empat belas pekerja anak
laki-laki, dan delapan belas pekerja anak perempuan (Gambar 2). Jenis pekerjaan
yang dilakukan pekerja anak pada industri tas dibedakan berdasarkan jenis
kelamin. Pembagian kerja yang diterapkan pada pekerja anak sama dengan
pembagian kerja pada pekerja dewasa.
Gambar 2. Distribusi Pekerja Anak Menurut Jenis Kelamin, Desa Bojong Rangkas, 2010
44%
56%
Laki-laki
Perempuan
Empat pekerja anak laki-laki bekerja sebagai penjahit tas, sepuluh orang
lainnya bekerja sebagai pemotong pola dan bahan, serta dilibatkan dalam
pengangkutan. Jumlah pekerja anak laki-laki yang mengoperasikan mesin untuk
menjahit tas hanya sedikit, karena pemilik industri tas lebih mempercayai pekerja
laki-laki dewasa yang sudah lebih terampil, untuk mengoperasikan mesin jahit.
33
Pekerja anak perempuan ditugaskan di bagian finishing, yang bertugas
membersihkan benang-benang pada produk tas/dompet, mengemas, dan
melekatkan bagian tas. Pekerjaan ini dipercayakan pada pekerja perempuan
karena perempuan dianggap lebih teliti sehingga lebih tepat ditempatkan pada
bagian finishing.
Tidak ada kualifikasi khusus untuk pekerja anak yang bekerja pada
industri tas dan dompet di Desa Bojong Rangkas. Pekerja anak biasanya
dipromosikan oleh masyarakat sekitar lokasi industri atau pekerja lain yang telah
lebih dulu bekerja, untuk kemudian dipertimbangkan oleh penanggungjawab
operasional. Pertimbangan dilakukan berdasarkan kebutuhan industri atas
pekerja.
Dominasi pekerja anak perempuan pada industri tas dan dompet di Desa
Bojong Rangkas dapat disebabkan jenis pekerjaan tidak dianggap begitu penting
bagi anak perempuan, sehingga anak perempuan tidak terlalu selektif dalam
mencari pekerjaan. Analisis ini didasarkan data yang diperoleh, bahwa tidak
satupun ibu pekerja anak yang bekerja. Ayah sebagai kepala keluargalah yang
bertugas menafkahi keluarga.
5.2 Tingkat Pendidikan
Pendidikan merupakan salah satu indikator kemajuan bangsa. Semakin
tinggi pendidikan masyarakat suatu bangsa, semakin maju bangsa tersebut.
Begitu pentingnya pendidikan sehingga pemerintah Indonesia melalui Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia No. 47 Tahun 2008 Tentang Wajib Belajar
menetapkan bahwa program pendidikan minimal yang harus diikuti oleh warga
negara Indonesia adalah jenjang pendidikan dasar dan menengah
(www.static.depkominfo.go.id/data/perundangan). Program ini dikenal dengan
program Wajib Belajar (Wajar) 9 Tahun. Beberapa program seperti program
Biaya Operasional Sekolah (BOS) diberikan kepada Sekolah-Sekolah Dasar dan
Menengah Pertama, dilakukan untuk meningkatkan mutu pendidikan dasar 9
tahun dan memberikan kesempatan bagi penduduk dengan SSE rendah untuk
dapat memperoleh pendidikan yang layak (www.shvoong.comsocial-
scienceseducation2025344-program-bos-dan-wajib-belajar.html). Namun masih
saja ditemukan anak-anak putus sekolah, seperti yang dialami pekerja anak.
34
5.2.1 Tingkat Pendidikan Orang Tua Pekerja Anak
Pendidikan bukanlah kebutuhan primer bagi keluarga pekerja anak. Selain
biaya pendidikan yang dirasa besar, pendidikan yang lebih tinggi tidak menjamin
penghidupan yang lebih layak pula. Pandangan umum ini dapat terlihat dari data
tingkat pendidikan orang tua pekerja anak yang sebagian besar memiliki tingkat
pendidikan rendah (Gambar 3).
Gambar 3. Distribusi Pekerja Anak Menurut Tingkat Pendidikan Orang Tua, Desa Bojong Rangkas, 2010
0
5
10
15
20
25
30
35
SD SMP
Ayah
Ibu
Ayah dua puluh pekerja anak menempuh pendidikan hingga kelas 4
sampai 6 SD, dua belas lainnya lulusan SMP. Dengan demikian seluruh pekerja
anak memiliki ayah yang berpendidikan rendah. Demikian pula dengan ibu
pekerja anak, seluruhnya berpendidikan rendah. Sebagaimana terlihat pada
Gambar 5, sebanyak 31 ibu pekerja anak (96,9 persen) menempuh pendidikan
hingga SD, dan satu lainnya sempat menamatkan SMP. Meskipun secara umum
tingkat pendidikan ibu lebih rendah dari tingkat pendidikan ayah, namun tidak
semua ayah pekerja anak memiliki pendidikan yang lebih tinggi dari istrinya. Hal
tersebut turut menunjukkan rendahnya esensi pendidikan bagi keluarga pekerja
anak.
5.2.2 Tingkat Pendidikan Pekerja Anak
Rendahnya esensi pendidikan bagi keluarga pekerja anak juga terlihat dari
tingkat pendidikan pekerja anak (Gambar 4). Tingkat pendidikan pekerja anak di
Desa Bojong Rangkas tidak jauh berbeda dengan tingkat pendidikan orang
tuanya, meski tidak berbanding lurus. Pekerja anak memilih bekerja dan tidak
melanjutkan sekolah, karena biaya pendidikan yang dianggap tinggi. Bersekolah
35
dipandang hanya akan menghabiskan banyak biaya, sehingga pekerja anak
memilih bekerja agar mereka dapat menghasilkan uang untuk membantu
perekonomian keluarga.
Gambar 4. Distribusi Pekerja Anak Menurut Tingkat Pendidikan, Desa Bojong Rangkas, 2010
50%
44%
6%
SD
SMP
SMA
Berdasarkan data yang diperoleh, enam belas pekerja anak mengenyam
pendidikan hingga SD, satu diantaranya hanya bersekolah hingga kelas empat
SD, satu orang bersekolah hingga kelas lima SD, sedang empat belas lainnya
menamatkan SD. Empat belas pekerja anak mengenyam pendidikan hingga SMP,
dua diantaranya sempat menjadi siswa SMA selama satu tahun kemudian
berhenti, tiga berhenti sekolah di kelas dua SMP, dan lainnya menamatkan SMP.
Dua pekerja anak telah menamatkan SMA.
Gambar 4 menunjukkan bahwa 94 persen pekerja anak memiliki tingkat
pendidikan rendah, hanya enam persen pekerja anak yang memiliki tingkat
pendidikan tinggi, yaitu tamat SMA. Pekerja anak yang berpendidikan tinggi
tidak mendapatkan upah yang lebih tinggi dari yang berpendidikan lebih rendah
karena penentuan upah dilakukan berdasarkan pengalaman kerja. Dalam keluarga
pekerja anak, anak tidak selalu memiliki pendidikan yang lebih tinggi dari orang
tua. Keterampilan membaca, menulis, dan berhitung dianggap cukup sebagai
bekal hidup, sehingga berpendidikan tinggi tidak dianggap suatu keharusan dalam
keluarga pekerja anak.
5.3 Pendapatan Orang Tua Pekerja Anak
Berdasarkan Keputusan Gubernur Jawa Barat nomor 561/Kep.1665-
Bangsos/2009, Upah Minimum Regional (UMR) Kabupaten Bogor ditetapkan
Rp 1.056.914,- per bulan. Keputusan tersebut berlaku sejak tanggal 1 Januari
36
2010. Rumah tangga yang memiliki pendapatan dibawah UMR, digolongkan
sebagai rumah tangga miskin dengan kategori miskin absolut (Ellis n.d. dalam
Effendi, 1993). Karenanya UMR dijadikan acuan untuk menentukan SSE
keluarga pekerja anak, yaitu untuk menspesifikasikan pendapatan orang tua
pekerja anak (Gambar 5).
Gambar 5. Distibusi Pekerja Anak Menurut Jumlah Pendapatan Orang Tua, Desa Bojong Rangkas, 2010
50%
31%
19%
< Rp 350.000,-
Rp 350.000,- s.dRp 700.000,-
Rp 701.000,- s.dRp 1.000.000,-
Mengingat seluruh ibu pekerja anak adalah ibu rumah tangga, maka
pendapatan orang tua yang dimaksud adalah pendapatan ayah selama satu bulan
bekerja. Seluruh pekerja anak memiliki orang tua yang berpendapatan dibawah
UMR Kabupaten Bogor, yaitu kurang dari atau sama dengan 1.000.000 rupiah.
Pola nafkah dalam rumah tangga orang tua pekerja anak sama, dimana ayah
menjadi tulang punggung keluarga dan ibu menjadi ibu rumah tangga. Hal ini
pun terjadi pada keluarga seorang pekerja anak laki-laki yang ayahnya telah
wafat, dimana ibu tetap tidak bekerja, namun anak bekerja untuk membantu
perekonomian keluarga. Padahal jika ibu mau ikut mencari nafkah, ibu dapat
membantu meningkatkan perekonomian keluarga, sehingga anak tidak perlu
bekerja dan putus sekolah.
Mata pencaharian orang tua pekerja anak beragam (Gambar 6). Sebagian
besar bermatapencaharian sebagai pengrajin tas, baik sebagai karyawan tetap di
industri-industri tas dan dompet, maupun sebagai pekerja lepas, yang
mengerjakan pesanan tas dan dompet di rumah. Mata pencaharian orang tua
pekerja anak terbanyak kedua adalah buruh bangunan, dimana ada atau tidaknya
pekerjaan bergantung pada ada atau tidaknya proyek bangunan. Tidak ada
37
satupun orang tua pekerja anak yang bekerja diluar kota selain buruh bangunan,
itupun hanya jika ada proyek bangunan di luar kota. Hal tersebut menunjukkan
akses informasi orang tua pekerja anak yang terbatas, karena lingkungan kerja
mereka sama dengan lingkungan tempat tinggal.
Gambar 6. Distribusi Pekerja Anak Menurut Mata Pencaharian Orang Tua, Desa Bojong Rangkas, 2010
3%9%
3%
31%42%
3%9%
Buruh Tani
Pedagang
Montir
Buruh Bangunan
Pengrajin tas
Tukang ojek
Supir angkot
5.4 Kondisi Kerja dan Pendapatan Pekerja Anak
Pekerja anak di Desa Bojong Rangkas yang hidup dalam keluarga dengan
SSE rendah berjumlah tiga puluh dua orang dan tersebar di empat lokasi kerja.
Para pekerja tas tidak memiliki kontrak kerja yang jelas sehingga intensitas
perpindahan tempat kerja cukup tinggi, biasanya setelah Idul Fitri mereka pindah
tempat kerja. Hal ini melanggar UU No. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan
pasal 69, yang membolehkan anak bekerja dengan beberapa syarat, diantaranya
memiliki izin tertulis dari orang tua, terdapat perjanjian antara pengusaha dengan
orang tua atau wali, dan ada hubungan kerja yang jelas (Depnakertrans, 2008).
Pekerja anak di Desa Bojong Rangkas bekerja dalam ruangan yang sama dengan
pekerja dewasa, karena perbedaan usia tidak membedakan jenis pekerjaan. Hal
ini melanggar UU No. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan pasal 71, yang
mengharuskan pekerja anak bekerja di tempat kerja yang terpisah dengan tempat
kerja orang dewasa (Depnakertrans, 2008).
Penghitungan upah kerja pekerja anak dilakukan berdasarkan jumlah hari
kerja. Untuk pekerja finishing dan pemotong pola, upah harian yang diperoleh
mulai dari Rp 9.000,- sampai dengan Rp 15.000,- dengan enam hari kerja dalam
sepekan. Maka dalam sepekan, pekerja finishing dan pemotong pola dapat
38
membawa pulang uang mulai dari Rp 54.000,- sampai dengan Rp 90.000,-.
Besarnya upah harian ditentukan berdasarkan lama pengalaman kerja anak di
industri tas dan dompet. Pekerja yang mengoperasikan mesin jahit mendapatkan
upah sesuai dengan banyaknya pekerjaan yang dapat diselesaikan. Jumlahnya
berkisar Rp 75.000,- sampai dengan 200.000,- per pekannya. Jika dihitung setiap
bulan terdiri atas empat pekan, setiap bulan pekerja anak dapat memperolah
penghasilan mulai dari Rp 200.000,- sampai dengan Rp 800.000,- (Gambar 7).
Padahal Gubernur Jawa Barat melalui Keputusan Gubernur Jawa Barat nomor
561/Kep.1665-Bangsos/2009, telah memberlakukan Upah Minimum Regional
(UMR) Kabupaten Bogor ditetapkan Rp 1.056.914,- per bulan sejak tanggal 1
Januari 2010.
Gambar 7. Distribusi Pekerja Anak Menurut Jumlah Pendapatan, Desa Bojong Rangkas, 2010
3%
88%
9%
Rp 200.000,- s.d Rp 400.000,-
Rp 401.000,- s.d Rp 600.000,-
Rp 601.000,- s.d Rp 800.000,-
Pekerja anak bekerja selama 14 jam per hari, dari pukul 08.00 hingga
pukul 22.00, dengan dua kali istirahat pada pukul 12.00 – 13.00 dan pukul 17.00
– 19.00. Pada waktu istirahat pekerja anak pulang ke rumah untuk makan dan
melaksanakan shalat. Jika pesanan tas sedang sepi, pekerja anak dapat pulang
lebih awal. Jika masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan, pekerja anak
lembur di hari Minggu dengan tambahan upah sama dengan upah harian di hari
biasa. Tidak ada hari libur lain, kecuali libur hari raya. Pekerja anak juga tidak
mendapat tunjangan lain diluar upah hariannya.
Pendapatan pekerja anak sangat minim dibandingkan dengan waktu
kerjanya yang selama 72 jam dalam sepekan, belum termasuk waktu lembur.
Padahal UMR Kabupaten Bogor, sejak Januari 2010 telah ditetapkan sebesar Rp
1.056.914,- untuk waktu kerja 40 jam dalam sepekan. Ditemukannya
39
pelanggaran-pelanggaran terhadap beberapa pasal dalam UU No. 13 Tahun 2003
tentang ketenagakerjaan, menunjukkan adanya kegiatan eksploitasi anak di Desa
Bojong Rangkas. Banyak pekerja anak kehilangan kesempatan untuk bersekolah
karena harus bekerja, sementara tidak satupun ibu pekerja anak yang ikut andil
dalam mencari nafkah, meskipun usianya masih tergolong usia produktif.
BAB VI GAMBARAN KONSEP DIRI PEKERJA ANAK
Konsep diri merupakan suatu konseptualisasi yang dilakukan individu
terhadap dirinya sendiri (Burns, 1984). Konsep diri pekerja anak merupakan
pandangan pekerja anak mengenai dirinya dalam aspek fisik, kepribadian,
keluarga, sosial, dan kepuasan diri. Total skor kelima aspek konsep diri
memberikan gambaran positif atau negatifnya konsep diri pekerja anak.
Pekerja anak yang berasal dari keluarga dengan SSE rendah di Desa
Bojong Rangkas berjumlah 32 orang, terdiri atas empat belas pekerja anak laki-
laki dan delapan belas pekerja anak perempuan. Seluruh responden diminta
memberikan respon terhadap tiga puluh pernyataan yang terdiri atas lima
pernyataan mengenai pandangan terhadap diri fisik, lima pernyataan mengenai
pandangan terhadap diri personal, lima pernyataan mengenai pandangan terhadap
diri keluarga, lima pernyataan mengenai pandangan terhadap diri sosial, dan lima
pernyataan mengenai pandangan terhadap kepuasan diri pekerja anak. Meski SSE
keluarga yang rendah dinyatakan menyebabkan seorang anak memiliki konsep
diri negatif, tidak demikian yang ditemukan pada diri pekerja anak di Desa
Bojong Rangkas, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor, Jawa Barat (Tabel 2).
Tabel 2. Jumlah dan Persentase Pekerja Anak di Desa Bojong Rangkas Menurut Konsep Diri Tahun 2010
Aspek Diri Positif Negatif
Jumlah Persentase Jumlah PersentaseFisik 22 68,8 10 31,2Personal 25 78,1 7 21,9Keluarga 26 81,2 6 18,8Sosial 25 78,1 7 21,9Kepuasan Diri 27 84,4 5 15,6Konsep Diri 25 78,1 7 21,9
Dalam aspek fisik, sebanyak 68,8 persen responden memiliki konsep diri
fisik yang positif. Konsep diri fisik yang positif menunjukkan pandangan positif
responden mengenai kesehatan, kekuatan, dan penampilan tubuhnya. Hanya 31,2
persen responden memandang negatif pada kesehatan, kekuatan, dan penampilan
tubuhnya.
41
Sebanyak 78,1 persen responden memiliki aspek diri personal yang
positif. Konsep diri personal yang positif menunjukkan bahwa responden
memandang dirinya sebagai pribadi yang baik. Kata sifat yang digunakan dalam
pernyataan-pernyataan mengenai konsep diri personal adalah “baik’, “pandai”,
“periang”, “yakin”, “terampil”, dan “teliti”.
Sama halnya dengan konsep diri personal, sebanyak 78,1 persen
responden memandang positif dirinya mengenai kecakapannya dalam
berinteraksi sosial dengan orang-orang di sekitarnya, meliputi teman sebaya dan
rekan kerja. Sebanyak 21,9 persen responden lainnya memandang negatif dirinya
dalam interaksi sosial dengan teman sebaya dan rekan kerjanya.
Lingkungan keluarga dimana pekerja anak dibesarkan juga memberikan
sumbangan bagi konsep diri pekerja anak. Sebanyak 81,2 persen responden
memandang positif dirinya sebagai anggota keluarga. Sedangkan 18,8 persen
pekerja anak lainnya memandang negatif dirinya dalam aspek keluarga. Konsep
diri responden dalam aspek keluarga diketahui dari respon yang diberikan pada
pernyataan-pernyataan yang menggambarkan hubungan responden dengan orang
tua dan anggota keluarga lainnya.
Dalam aspek kepuasan diri, 84,4 persen responden memiliki pandangan
positif terhadap dirinya. Hanya 15,6 persen yang memiliki konsep diri negatif
dalam aspek kepuasan diri. Konsep diri positif dalam aspek kepuasan diri
menunjukkan bahwa responden memandang positif kondisi dirinya saat ini
dibandingkan dengan orang lain, serta memandang positif pencapaian dirinya di
masa mendatang. Pandangan seseorang terhadap dirinya juga dipengaruhi oleh
pandangan orang lain terhadap dirinya yang ia rasakan. Mengingat responden
menghabiskan hampir seluruh waktunya di tempat kerja, interaksi sosial
merekapun sebagian besar dilakukan dengan teman-teman di lingkungan kerja.
Selain itu responden hidup di tengah masyarakat yang memandang bekerja di
usia muda adalah hal yang biasa. Pandangan masyarakat sekitar dapat
membentuk suatu standar kehidupan. Standar tersebut kemudian mempengaruhi
kepuasan diri pekerja anak.
42
6.1 Konsep Diri Pekerja Anak Berdasarkan Jenis Kelamin
Setiap individu mengalami proses pembelajaran peran seks pada setiap
fase perkembangannya. Belajar bermain peran seks sesuai dengan jenis kelamin
merupakan bagian normal dari proses pertumbuhan. Pada setiap kelompok sosial
terdapat pola-pola yang disetujui dan ditentukan secara budaya bagi anak
perempuan dan anak laki-laki dalam hal berpikir, bertindak, berpenampilan, dan
berperasaan (Hurlock, n.d.). Kesepakatan pola peran seks merupakan bentuk
perspektif sosial, salah satu perspektif yang membentuk konsep diri.
Pekerja anak yang menjadi responden penelitian ini terdiri dari empat
belas laki-laki dan delapan belas perempuan. Jenis pekerjaan yang dilakukan
pekerja anak dibedakan berdasarkan jenis kelamin. Sebagian besar pekerja anak,
baik laki-laki maupun perempuan memiliki konsep diri yang positif dengan
persentase yang berbeda (Tabel 3).
Tabel 3. Jumlah dan Persentase Pekerja Anak di Desa Bojong Rangkas Menurut Konsep Diri dan Jenis Kelamin Tahun 2010
Aspek Laki-Laki
Total Perempuan
Total + - + -
Diri Fisik Jumlah 8 6 14 14 4 18Persentase 57,1 42,9 100 77,8 22,2 100
Diri Personal Jumlah 9 5 14 16 2 18Persentase 64,3 35,7 100 88,9 11,1 100
Diri Keluarga Jumlah 12 2 14 14 4 18Persentase 85,7 14,3 100 77,8 22,2 100
Diri Sosial Jumlah 11 3 14 14 4 18Persentase 78,6 21,4 100 77,8 22,2 100
Kepuasan Diri Jumlah 11 3 14 16 2 18Persentase 78,6 21,4 100 88,9 11,1 100
Konsep Diri Jumlah 11 3 14 14 4 18Persentase 78,6 21,4 100 77,8 22,2 100
Konsep diri pekerja anak mengenai aspek diri fisik merupakan pandangan
pekerja anak mengenai kesehatan, kekuatan, dan penampilan tubuhnya.
Berdasarkan Tabel 3, sebagian besar pekerja anak yang memiliki konsep diri
positif berjenis kelamin perempuan. Pekerja anak perempuan yang memiliki
konsep diri fisik negatif juga menempati angka persentase terendah. Hal ini
menunjukkan bahwa pekerja anak perempuan cenderung lebih merasa nyaman
dan percaya diri pada penampilan fisiknya. Banyaknya pekerja anak perempuan
yang memiliki konsep diri fisik yang positif dapat disebabkan oleh pandangan
43
umum yang menganggap penting penampilan fisik bagi perempuan, sehingga
pekerja anak perempuan memberi perhatian pada penampilan fisiknya.
Masyarakat juga memberikan nilai pada beberapa pola penampilan sesuai dengan
jenis kelamin (Hurlock, n.d.). Sebagai contoh, perempuan yang berdandan
dikagumi dan membuat iri teman seusianya, sedang laki-laki yang berdandan
dapat dicap “banci”. Pandangan masyarakat umum tersebut memberikan persektif
sosial bagi anak laki-laki, sehingga pekerja anak laki-laki tidak begitu
mementingkan penampilan fisiknya dan begitu pula pandangan pekerja anak laki-
laki terhadap diri fisiknya. Jourard dan Secord (1955a) dalam Burns (1984)
menyatakan bahwa laki-laki merasa lebih puas dengan tubuhnya jika ia bertubuh
besar, sedangkan perempuan merasa lebih puas dengan tubuhnya jika ia bertubuh
kecil. Pekerja anak laki-laki di Desa Bojong Rangkas memiliki tubuh yang tidak
begitu besar dengan tinggi badan sedang dan cenderung pendek. Hal ini dapat
berpengaruh terhadap cara pandang mereka mengenai diri fisiknya.
Selain dalam aspek diri fisik, persentase pekerja anak perempuan yang
memandang positif aspek diri personal dan kepuasan dirinyapun sangat tinggi,
mencapai 50 persen dari jumlah seluruh pekerja anak. Sebagian besar pekerja
anak laki-laki juga memiliki pandangan positif terhadap aspek diri personal dan
kepuasan diri, namun dengan persentase yang lebih rendah dibandingkan pekerja
anak perempuan. Pandangan positif pekerja anak pada aspek diri personal
menunjukkan bahwa pekerja anak menganggap dirinya secara umum merupakan
pribadi yang baik. Pandangan positif pekerja anak pada aspek kepuasan diri
menunjukkan bahwa pekerja anak merasa puas dengan kondisinya saat ini.
Kondisi SSE keluarga yang rendah ternyata tidak membuat pekerja anak
kehilangan kepuasan dirinya. Kepuasan Diri pekerja anak yang tinggi dapat
dipengaruhi oleh standar diri ideal yang dimiliki. Jourard and Remy (1955) dan
Helper (1955) dalam Burns (1984) menyatakan bahwa konsep diri anak-anak
serupa dengan pandangan orang tua yang dirasakan oleh anak-anak. Putus
sekolah dan membantu orang tua dengan bekerja bukan hal yang memalukan bagi
anak-anak di Desa Bojong Rangkas. Orang tua pekerja anakpun beranggapan
bahwa dapat membaca, menulis, dan sedikit berhitung sudah cukup untuk bekal
hidup. Memiliki penghasilan sendiri di usia muda juga merupakan kebanggaan
44
bagi pekerja anak. Persepsi-persepsi tersebut membentuk diri ideal pekerja anak,
yang kemudian menimbulkan kepuasan diri yang tinggi.
Persentase pekerja anak laki-laki yang memiliki pandangan positif
terhadap aspek diri keluarga lebih tinggi dibandingkan pekerja anak perempuan
(Tabel 3). Pandangan sebagian besar pekerja anak yang positif mengenai diri
sebagai anggota keluarga menunjukkan bahwa pekerja anak merasa tidak
menyusahkan orang tua, dibutuhkan oleh keluarga, memiliki hubungan baik
dengan anggota keluarga yang lain, dan diberi kepercayaan besar oleh orang tua.
Selain pada aspek diri keluarga, persentase pekerja anak laki-laki yang
memandang positif dirinya pada aspek diri sosial juga lebih tinggi dari pekerja
anak perempuan, namun tidak menunjukkan perbedaan yang mencolok. Aspek
diri sosial berkaitan dengan kecakapan pekerja anak berinteraksi sosial dengan
orang-orang disekitarnya yang bukan anggota keluarga. Pandangan positif dalam
aspek diri sosial menunjukkan pekerja anak merasa dirinya dikenal baik oleh
teman-teman laki-laki maupun perempuan, dipercaya di tempat kerja, dan
memiliki hubungan yang baik dengan teman-teman sebaya.
Skor konsep diri pekerja anak menunjukkan bahwa 78,6 persen pekerja
anak laki-laki memiliki konsep diri positif, sedang 21,4 persen pekerja anak laki-
laki lainnya memiliki konsep diri negatif. Demikian pula pada pekerja anak
perempuan, 77,8 persen pekerja anak perempuan memiliki konsep diri positif,
sedang 22,2 persen lainnya memiliki konsep diri negatif. Dengan demikian
diketahui, bahwa baik sebagian besar pekerja anak, baik laki-laki maupun
perempuan memiliki konsep diri yang positif.
6.2 Konsep Diri Pekerja Anak Berdasarkan Pendidikan
Tingkat pendidikan merupakan salah satu karakteristik yang mengukur
SSE individu. Dalam banyak studi ditemukan hubungan langsung antara konsep
diri anak dengan keberhasilannya dalam bidang akademik (Burns, 1984). Lebih
lanjut Burns (1984) memaparkan bahwa tingkat pendidikan sering menjadi
persyaratan untuk dapat ambil bagian dalam berbagai kesempatan, terutama
dalam berkarir. Semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin banyak akses yang
mungkin didapat dan komunitas sosial yang mungkin dimiliki, sehingga
memungkinkan individu memiliki konsep diri positif.
45
6.2.1 Pendidikan Pekerja Anak
Industri tas dan dompet di Desa Bojong Rangkas tidak menjadikan tingkat
pendidikan sebagai syarat penerimaan. Sembilan Puluh Tujuh persen pekerja
anak di Industri tas dan dompet Desa Bojong Rangkas berpendidikan rendah,
yaitu enam belas orang berpendidikan akhir SD dan lima belas orang
berpendidikan akhir SMP. Hanya satu pekerja anak (3 persen) yang
berpendidikan tinggi, yaitu tamatan SMA.
Berdasarkan Tabel 4 diketahui bahwa persentase pekerja anak dengan
konsep diri positif yang berpendidikan SD dan SMP sama, yaitu 48 persen.
Pekerja anak dengan konsep diri positif yang berpendidikan tinggi hanya satu
persen. Dalam Tabel 4 juga diketahui bahwa sebagian besar pekerja anak yang
memiliki konsep diri negatif adalah pekerja anak yang bersekolah hingga SD.
Pada tingkat pendidikan yang semakin tinggi, jumlah pekerja anak yang memiliki
konsep diri negatif semakin kecil. Namun semakin tinggi pendidikan pekerja
anak tidak selalu membuat konsep dirinya semakin positif. Dengan demikan
tingginya tingkat pendidikan tidak mempengaruhi konsep diri pekerja anak.
Tabel 4. Jumlah dan Persentase Pekerja Anak di Desa Bojong Rangkas Menurut Konsep Diri dan Pendidikan Pekerja Anak Tahun 2010
Pendidikan Terakhir Konsep Diri
Positif Negatif Jumlah Persentase Jumlah Persentase
SD 12 48 4 57,1SMP 12 48 3 42,9SMA 1 4 0 0Total 25 100 7 100
6.2.2 Pendidikan Orang Tua Pekerja Anak
Tingkat pendidikan pekerja anak tidak jauh berbeda dengan tingkat
pendidikan orang tua. Mengingat ayah dan ibu pekerja anak sama-sama
berpendidikan rendah, penulis sengaja mengambil data pendidikan ayah sebagai
kepala keluarga mewakili orang tua, untuk dibandingkan dengan konsep diri
pekerja anak (Tabel 5). Delapan belas pekerja anak memiliki orang tua yang
berpendidikan terakhir SD, sedangkan empat belas lainnya SMP. Sebagian besar
pekerja anak yang konsep dirinya positif memiliki orang tua yang berpendidikan
akhir SD. Sebagian besar pekerja anak yang konsep dirinya negatif memiliki
46
orang tua yang berpendidikan akhir SD. Dengan demikian tidak ada hubungan
antara tingkat pendidikan orang tua dengan konsep diri pekerja anak.
Tabel 5. Jumlah dan Persentase Pekerja Anak di Desa Bojong Rangkas Menurut Konsep Diri dan Pendidikan Orang tua Tahun 2010
Pendidikan Terakhir Konsep Diri
Positif Negatif Jumlah Persentase Jumlah Persentase
SD 14 56,0 4 57,1SMP 11 44,0 3 42,9Total 25 100,0 7 100,0
Sebagian pekerja anak, baik yang berpendidikan terakhir SD, SMP,
maupun SMA memiliki konsep diri positif. Pekerja anak, baik yang pendidikan
terakhir ayahnya SD maupun SMP juga sebagian besar memiliki konsep diri
positif. Berdasarkan data tersebut diketahui bahwa tingginya tingkat pendidikan
tidak mempengaruhi konsep diri pekerja anak. Hal ini dapat disebabkan salah
satunya oleh tidak adanya perbedaan upah kerja antara lulusan SD, SMP, dan
SMA. Industri tas dan dompet di Desa Bojong Rangkas menentukan upah pekerja
berdasarkan pengalaman kerja yang dimiliki dan jenis pekerjaan yang dilakukan.
Semakin lama pengalaman pekerja anak pada industri tas dan dompet, semakin
tinggi upah yang diberikan.
Tidak ditemukannya perbedaan konsep diri antara pekerja anak yang
ayahnya berlatar belakang pendidikan SD dan SMP menunjukkan bahwa
pendidikan tidak menjadi prioritas keluarga pekerja anak. Pandangan keluarga
terhadap pendidikan memberikan sumbangan besar bagi pembentukan diri ideal
pekerja anak terkait dengan pendidikan. Diri ideal juga dapat dibentuk oleh
pandangan masyarakat sekitar. Dalam kehidupan masyarakat Desa Bojong
Rangkas, berhenti sekolah untuk bekerja membantu orang tua merupakan hal
yang lumrah, sehingga tidak berdampak negatif pada konsep diri pekerja anak.
6.3 Konsep Diri Pekerja Anak Berdasarkan Pendapatan
Minimnya pendapatan orang tua merupakan alasan utama anak bekerja.
Pendapatan adalah salah satu indikator SSE yang dianggap berhubungan dengan
konsep diri pekerja anak. Oleh karena itu penelitian ini ingin mengetahui
gambaran konsep diri pekerja anak berdasarkan pendapatan, baik pendapatan
orang tua maupun pendapatan pekerja anak sendiri.
47
6.3.1 Pendapatan Orang Tua
Pendapatan orang tua pekerja anak berada dibawah UMR Kabupaten
Bogor. Berdasarkan data yang diperoleh, besarnya pendapatan orang tua tidak
berpengaruh terhadap konsep diri yang dimiliki pekerja anak. Sebagian besar
pekerja anak yang memiliki konsep diri positif adalah pekerja anak yang
memiliki orang tua dengan pendapatan antara Rp 350.000,- sampai dengan Rp
700.000,-. Begitu pula dengan pekerja anak yang memiliki konsep diri negatif
(Tabel 6).
Tabel 6. Jumlah dan Presentase Pekerja Anak di Desa Bojong Rangkas Menurut Konsep Diri dan Pendapatan Orang Tua Tahun 2010
Pendapatan Konsep Diri
Positif Negatif Jumlah Persentase Jumlah Persentase
< Rp 350.000,- 8 32 2 28,6Rp 350.000,- s.d Rp 700.000,- 13 52 3 42,8Rp 701.000 s.d Rp 1.000.000,- 4 16 2 28,6TOTAL 25 100 7 100
6.3.2 Pendapatan Pekerja Anak
Seluruh pekerja anak memiliki penghasilan di bawah UMR Kabupaten
Bogor. Bahkan sebagian besar pekerja anak hanya memperoleh pendapatan
bulanan sebesar 200 ribu hingga 400 ribu rupiah, dengan 72 jam kerja dalam
sepekan. Namun pekerja anak yang memiliki konsep diri positif sebagian besar
adalah pekerja anak yang berpendapatan bulanan 200 ribu hingga 400 ribu rupiah
(Tabel 7). Tujuh pekerja anak yang memiliki konsep diri negatif juga memiliki
pendapatan 200 ribu hingga 400 ribu rupiah. Tidak satupun pekerja anak yang
berpendapatan diatas 400 ribu rupiah memiliki konsep diri negatif. Berdasarkan
data diperoleh diketahui bahwa tidak ada perbedaan konsep diri yang signifikan
antara pekerja anak pada masing-masing kategori pendapatan.
Tabel 7. Jumlah dan Presentase Pekerja Anak di Desa Bojong Rangkas Menurut Konsep Diri dan Pendapatan Pekerja Anak Tahun 2010
Pendapatan Konsep Diri
Positif Negatif Jumlah Persentase Jumlah Persentase
Rp 200.000,- s.d Rp 400.000,- 21 84 7 100Rp 401.000,- s.d Rp 600.000,- 3 12 0 0Rp 601.000,- s.d Rp 800.000,- 1 4 0 0TOTAL 25 100 7 100
48
Perbedaan pendapatan bulanan diketahui tidak berhubungan dengan
konsep diri yang dimiliki pekerja anak. Hal ini dapat dikarenakan perbedaan
pendapatan pekerja anak tidak signifikan. Seluruh pekerja anak memiliki
pendapatan bulanan dibawah UMR Kabupaten Bogor, dalam nominal yang
berbeda-beda berdasarkan pengalaman kerja dan jenis pekerjaan yang dilakukan.
BAB VII GAMBARAN DUKUNGAN SOSIAL PEKERJA ANAK
Dukungan sosial dapat menyebabkan individu merasa diperhatikan,
bernilai, dan akan mendapat pertolongan ketika ia membutuhkan. Dukungan
sosial dapat memberikan sumbangan positif bagi pekerja anak dalam memandang
dirinya sebagai makhluk sosial. Dukungan sosial pekerja anak dinilai berdasarkan
penilaian subyektif pekerja anak mengenai ada/tidaknya dukungan dari teman,
keluarga, dan orang-orang di sekitarnya. Untuk mengetahuinya, pekerja anak
diberikan pernyataan-pernyataan yang mengandung keempat jenis dukungan
sosial, yaitu: dukungan instrumental, dukungan informasi, dukungan emosi, dan
dukungan penghargaan.
Berdasarkan respon yang diberikan pada kuesioner, diperoleh skor
dukungan sosial pekerja anak. Seluruh pekerja anak memiliki dukungan sosial
yang kuat (Tabel 8). Skor tersebut menunjukkan bahwa pekerja anak merasa
dirinya mendapat dukungan sosial yang kuat dari teman, keluarga, dan orang-
orang lain di sekitarnya.
Tabel 8. Jumlah dan Persentase Pekerja Anak di Desa Bojong Rangkas Menurut Dukungan Sosial Tahun 2010
Jenis Dukungan Kuat Lemah
Jumlah Persentase Jumlah PersentaseDukungan Instrumental 23 71,9 9 28,1Dukungan Informasi 25 78,1 7 21,9Dukungan Emosi 31 96,9 1 3,1Dukungan Penghargaan 23 71,9 9 28,1Dukungan Sosial 32 100 0 0
Salah satu jenis dukungan yang membentuk dukungan sosial adalah
dukungan instrumental. Semula dukungan instrumental yang dimiliki pekerja
anak diduga lemah karena SSE rendah keluarga mereka, namun ternyata 71,9
persen pekerja anak memiliki dukungan instrumental yang kuat. Sebanyak 28,1
persen pekerja anak lainnya memiliki dukungan instrumental yang lemah. Kuat
atau lemahnya dukungan instrumental pekerja anak terlihat dari skor total respon
pekerja anak pada pernyataan-pernyataan yang menunjukkan ada atau tidaknya
50
dukungan baik dalam bentuk uang, barang, maupun pelayanan dari orang-orang
di sekitarnya.
Kuatnya dukungan instrumental yang dimiliki 71,9 persen pekerja anak
menunjukkan bahwa sebagian besar pekerja anak menilai dirinya mendapatkan
dukungan instrumental yang kuat. Penilaian subyektif pekerja anak dapat
berkaitan dengan gaya hidup yang dimiliki. Anak dengan SSE keluarga yang
rendah umumnya memiliki gaya hidup yang lebih rendah daripada individu
dengan SSE keluarga yang tinggi. Semakin tinggi gaya hidup seseorang, semakin
tinggi kebutuhannya. Pekerja anak yang berasal dari keluarga dengan SSE rendah
tentu memiliki tingkat kebutuhan yang lebih rendah pula dibandingkan dengan
anak seusianya yang hidup dalam keluarga dengan SSE rendah. Minimnya
kebutuhan ini dapat mempengaruhi penilaian subyektif pekerja anak mengenai
kuat atau lemahnya dukungan instrumental yang ia peroleh.
Sebanyak 78,1 persen pekerja anak memiliki dukungan informasi yang
kuat, sementara 21,9 persen lainnya memiliki dukungan informasi yang lemah.
Kuat atau lemahnya dukungan informasi yang dimiliki pekerja anak dinilai dari
skor respon yang diberikan pada pernyataan-pernyataan terkait penerimaan
informasi dan saran, baik mengenai pekerjaan, masalah biaya sekolah, maupun
masalah keluarga. Banyaknya responden yang memiliki dukungan informasi
yang kuat menunjukkan bahwa responden merasa mendapatkan cukup banyak
informasi yang dibutuhkan, serta mempunyai orang-orang yang dapat
memberikan saran untuk mengatasi masalah yang dihadapi.
Dukungan informasi yang kuat pada sebagian besar pekerja anak dapat
disebabkan oleh kultur masyarakat Desa Bojong Rangkas yang masih kental rasa
kekeluargaannya. Kultur kekeluargaan pada masyarakat Desa Bojong Rangkas
dapat diketahui salah satunya dengan fakta yang ditemukan bahwa masyarakat
Desa Bojong Rangkas saling kenal satu sama lain, sehingga mudah untuk
menemukan rumah salah satu warga. Kondisi tersebut menjelaskan kultur
masyarakat yang terbuka dengan informasi dan peduli satu sama lain.
Kultur kekeluargaan yang masih ditemukan pada masyarakat Desa Bojong
Rangkas juga dapat menjelaskan penyebab kuatnya dukungan emosi yang
dimiliki pekerja anak. Hampir seluruh pekerja anak, tepatnya 96,9 persen
51
memiliki dukungan emosi yang kuat. Hanya 3,1 persen pekerja anak yang merasa
memiliki dukungan emosi yang lemah. Jumlah pekerja anak yang memiliki
dukungan emosi kuat mencapai persentase tertinggi dari jenis dukungan sosial
lainnya.
Kuat atau lemahnya dukungan emosi dinilai dari skor respon yang
diberikan responden pada pernyataan-pernyataan mengenai rasa sayang,
perhatian, kehangatan, dan penerimaan secara apa adanya dari orang-orang di
sekitarnya. Tingginya persentase pekerja anak yang memiliki dukungan emosi
yang kuat mengindikasikan banyaknya responden yang merasa mendapatkan rasa
sayang, perhatian, dan kehangatan dari orang-orang sekitarnya, serta diterima
secara apa adanya. Salah satu bentuk dukungan emosi yang terlihat oleh penulis
adalah adanya keakraban antara anak pemilik LIFERA yang masih duduk di
bangku SMP dengan pekerja anak. Tidak tampak gap dalam hubungan antara
anak majikan dengan pekerja anak.
Dukungan lain yang membentuk dukungan sosial adalah dukungan
penghargaan. Sebanyak 71,9 persen responden memiliki dukungan penghargaan
yang kuat, sedang 28,1 persen lainnya memiliki dukungan penghargaan yang
lemah. Kuat atau lemahnya dukungan penghargaan ini dinilai dari skor respon
yang diberikan pada pernyataan-pernyataan terkait penghargaan positif,
pemberian semangat, persetujuan pendapat, dan perbandingan positif yang dirasa
diterima responden dari orang-orang di sekitarnya. Tingginya persentase pekerja
anak yang memiliki dukungan penghargaan kuat, menunjukkan cukup banyaknya
pekerja anak yang merasa dihargai dan didengar pendapatnya oleh keluarga dan
teman-teman sebaya, serta menerima perbandingan positif dari beberapa orang.
Hasil tersebut menjelaskan masih adanya budaya saling menghargai dalam
kehidupan warga Desa Bojong Rangkas.
7.1 Dukungan Sosial Pekerja Anak Berdasarkan Jenis Kelamin
Seluruh pekerja anak, baik laki-laki maupun perempuan memiliki
dukungan sosial yang kuat dengan proporsi yang berbeda pada setiap jenis
dukungan sosial. Persentase pekerja anak laki-laki yang memiliki dukungan
instrumental, dukungan informasi, dan dukungan penghargaan kuat, lebih tinggi
dibandingkan pekerja anak perempuan (Tabel 9). Persentase pekerja anak
52
perempuan yang memiliki dukungan emosi kuat, lebih tinggi dibandingkan
pekerja anak laki-laki.
Tabel 9. Jumlah dan Persentase Pekerja Anak di Desa Bojong Rangkas Menurut Dukungan Sosial dan Jenis Kelamin Tahun 2010
Jenis Dukungan Laki-Laki
Total Perempuan
Total Kuat Lemah Kuat Lemah
Dukungan Instrumental
Jumlah 11 3 14 12 6 18Persentase 78,6 21,4 100 66,7 33,3 100
Dukungan Informasi
Jumlah 11 3 14 14 4 18Persentase 78,6 21,4 100 77,8 22,2 100
Dukungan Emosi
Jumlah 13 1 14 18 0 18Persentase 92,9 7,1 100 100 0 100
Dukungan Penghargaan
Jumlah 12 2 14 11 7 18Persentase 85,7 14,3 100 61,1 38,9 100
Dukungan Sosial
Jumlah 14 0 14 18 0 18Persentase 100 0 100 100 0 100
Dari keempat jenis dukungan sosial, pekerja anak memiliki dukungan kuat
dengan persentase tertinggi pada dukungan emosi, yaitu 92 persen untuk pekerja
anak laki-laki dan 100 persen untuk pekerja anak perempuan. Dukungan emosi
merupakan dukungan yang tidak memerlukan biaya besar. Dukungan emosi
merupakan dukungan berupa kasih sayang, perhatian, kehangatan, dan
penerimaan secara apa adanya. Persentase penerimaan dukungan emosi yang
hampir mutlak, menunjukkan adanya budaya kekeluargaan di lingkungan sekitar
pekerja anak.
7.2 Dukungan Sosial Pekerja Anak Berdasarkan Pendidikan
Pendidikan terakhir 50 persen pekerja anak adalah SD, 46,9 persen
pekerja anak sempat duduk di bangku SMP, dan hanya satu pekerja anak yang
telah menamatkan SMA (Tabel 10). Seluruh pekerja anak memiliki dukungan
sosial yang kuat. Dengan demikian tingkat pendidikan pekerja anak tidak
mempengaruhi konsep diri yang dimiliki. Begitu pula dengan tingkat pendidikan
orang tua. Seluruh pekerja anak, baik yang pendidikan akhir orang tuanya SD
maupun SMP memiliki konsep diri positif. Hal ini dapat disebabkan lingkungan
pendidikan masyarakat Desa Bojong Rangkas yang sebagian besar berpendidikan
rendah, sehingga perlakuan masyarakat terhadap pekerja anak, termasuk
pemberian dukungan sosialnya cenderung sama. Kultur kekeluargaan masyarakat
53
Desa Bojong Rangkas yang cukup kental juga berperan pada kuatnya dukungan
sosial yang dimiliki pekerja anak.
Tabel 10. Jumlah dan Persentase Pekerja Anak di Desa Bojong Rangkas Menurut Dukungan Sosial dan Pendidikan Tahun 2010
Pendidikan Terakhir Pendidikan
Pekerja Anak Total Pendidikan Orang Tua Total
SD SMP SMA SD SMP Dukungan Sosial Kuat
Jumlah 16 15 1 32 20 12 32Persentase 50 46,9 3,1 100 62,5 37,5 100
7.3 Dukungan Sosial Pekerja Anak Berdasarkan Pendapatan
Sebagaimana terlihat pada Gambar 5, pendapatan seluruh pekerja anak
berada dibawah UMR Kabupaten Bogor. Pekerja anak juga memiliki pendapatan
bulanan dibawah UMR Bogor (Gambar 7). Besarnya pendapatan orang tua dan
pekerja anak tidak berpengaruh terhadap dukungan sosial yang dimiliki, karena
seluruh pekerja anak memiliki dukungan sosial yang kuat. Homogenitas
pendapatan ini dapat menjadi salah satu penyebab kuatnya dukungan sosial
pekerja anak.
BAB VIII HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN SOSIAL DAN
KONSEP DIRI PEKERJA ANAK
Anak yang memiliki konsep diri positif akan mampu merencanakan dan
memandang masa depannya dengan baik. Walaupun SSE keluarga yang rendah
dinyatakan menyebabkan konsep diri negatif pada diri anak, hal sebaliknya
terjadi pada pekerja anak di Desa Bojong Rangkas. Sebagian besar pekerja anak
justru memiliki konsep diri positif. Berdasarkan hasil pengumpulan data melalui
kuesioner, seluruh pekerja anak diketahui memiliki dukungan sosial yang kuat.
Dukungan sosial dapat menjadi masukan bagi pekerja anak dalam memandang
dirinya sebagai makhluk sosial. Perspektif diri sosial merupakan salah satu
komponen pembentuk konsep diri. Oleh karena itu penting untuk dilihat
hubungan antara dukungan sosial dan konsep diri pekerja anak.
8.1 Dukungan Instrumental dan Konsep Diri Pekerja Anak
Dukungan instrumental merupakan dukungan dalam bentuk uang, barang,
makanan, dan pelayanan. Dukungan instrumental ditemukan berhubungan
dengan konsep diri pekerja anak.
Tabel 11. Jumlah dan Persentase Pekerja Anak di Desa Bojong Rangkas Menurut Dukungan Instrumental dan Konsep Diri Tahun 2010
Konsep Diri
Dukungan Instrumental TOTAL
Kuat Lemah
Jumlah % Jumlah % Jumlah %
Diri Fisik Positif 18 81,8 4 18,2 22 100
Negatif 5 50,0 5 50,0 10 100
Diri Personal Positif 19 76,0 6 24,0 25 100
Negatif 4 57,1 3 42,9 7 100
Diri Keluarga Positif 22 84,6 4 15,4 26 100
Negatif 1 16,7 5 83,3 6 100
Diri Sosial Positif 21 84,0 4 16,0 25 100
Negatif 2 28,6 5 71,4 7 100
Kepuasan Diri Positif 18 66,7 9 33,3 27 100
Negatif 5 100,0 0 0,0 5 100
Konsep Diri Positif 21 84,0 4 16,0 25 100
Negatif 2 28,6 5 71,4 7 100
55
Aspek konsep diri yang berhubungan dengan dukungan instrumental
adalah aspek diri keluarga dan diri sosial (Tabel 11). Berdasarkan data yang
diperoleh, dukungan instrumental yang dimiliki pekerja anak memiliki hubungan
searah dengan aspek diri keluarga, diri sosial, dan konsep diri pekerja anak.
Jumlah pekerja anak dengan aspek diri keluarga positif yang memiliki dukungan
instrumental kuat mencapai persentase tertinggi, yaitu 84,6 persen. Jumlah
pekerja anak dengan aspek diri keluarga negatif yang memiliki dukungan
instrumental lemah juga mencapai persentase tertinggi, yaitu 83,3 persen. Jumlah
pekerja anak dengan aspek diri sosial positif dan konsep diri positif yang
memiliki dukungan instrumental kuat mencapai 84 persen. Jumlah pekerja anak
dengan aspek diri sosial negatif dan konsep diri negatif yang memiliki dukungan
instrumental lemah mencapai 71,4 persen. Hasil ini sesuai dengan hasil uji
paramer Korelasi Pearson (Tabel 12).
Tabel 12. Hasil Analisis Uji Korelasi Pearson antara Dukungan Instrumental dan Konsep Diri Pekerja Anak di Desa Bojong Rangkas Tahun 2010
Sub Peubah Dukungan Instrumental
Diri Fisik Pearson Correlation 0,270
Sig. (1-tailed) 0,068
Diri Personal Pearson Correlation -0,216
Sig. (1-tailed) 0,117
Diri Keluarga Pearson Correlation 0,582**
Sig. (1-tailed) 0,000
Diri Sosial Pearson Correlation 0,411**
Sig. (1-tailed) 0,010
Kepuasan Diri Pearson Correlation 0,184
Sig. (1-tailed) 0,156
Konsep Diri Pearson Correlation 0,383*
Sig. (1-tailed) 0,015
** Korelasi signifikan pada level 0,01 (1-tailed) * Korelasi signifikan pada level 0,05 (1-tailed)
Berdasarkan Tabel 12, dukungan instrumental pekerja anak memiliki
hubungan searah dengan aspek diri keluarga (0,582), diri sosial (0,411), dan
konsep diri (0,383) yang dimiliki. Dengan demikian, semakin kuat dukungan
instrumental yang dimiliki pekerja anak, semakin positif pandangan pekerja anak
terhadap aspek diri keluarga, diri sosial, dan konsep diri yang dimilikinya.
56
Hubungan antara dukungan instrumental dan aspek diri keluarga pekerja anak
signifikan pada α=0,01 dengan nilai probabilitas 0,000. Hubungan antara
dukungan instrumental dan aspek diri sosial pekerja anak juga signifikan pada
α=0,01 dengan nilai probabilitas 0,010. Hubungan antara dukungan instrumental
dan konsep diri pekerja anak signifikan pada α=0,05 dengan nilai probabilitas
0,015.
Dukungan instrumental yang kuat menunjukkan bahwa pekerja anak
merasa mendapatkan cukup dukungan materi. Hal tersebut dapat membuat
pekerja anak merasa tidak menyusahkan orang tua, sehingga memiliki hubungan
yang baik dengan anggota keluarga dan terbentuklah pandangan positif pekerja
anak terhadap dirinya sebagai anggota keluarga. Dukungan instrumental yang
kuat juga dapat mempermudah pekerja anak berinteraksi sosial dengan orang-
orang disekitarnya yang bukan anggota keluarga, salah satunya ikut serta dalam
berbagai kegiatan bersama teman-teman sebayanya. Interaksi sosial yang baik
membuat pekerja anak memiliki pandangan positif terhadap dirinya sebagai
makhluk sosial. Hubungan dukungan instrumental pekerja anak dengan konsep
diri yang dimiliki dapat dijelaskan dengan teori konsep diri dalam Burns (1984).
Dukungan instrumental yang kuat menggambarkan kepemilikan materi yang
baik, yang sering dikaitkan dengan status ekonomi. (Burns, 1984) menyatakan
bahwa anak-anak dari kelas ekonomi atas memiliki konsep diri yang lebih baik
(positif) dibandingkan anak-anak yang berasal dari kelas ekonomi bawah.
Dukungan instrumental ditemukan tidak berhubungan dengan aspek diri
fisik. Artinya kecukupan materi tidak membuat pekerja anak memiliki pandangan
lebih positif terhadap penampilan, kesehatan, dan kekuatan fisiknya. Dukungan
instrumental juga tidak berhubungan dengan aspek diri personal, yang berarti
kecukupan materi tidak membuat pekerja anak memiliki pandangan lebih positif
terhadap kepribadiannya. Kecukupan materi juga tidak membantu pekerja anak
untuk lebih merasa puas akan kondisi dirinya. Hal ini terlihat dari tidak
ditemukannya hubungan antara dukungan instrumental dan aspek kepuasan diri.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kecukupan materi dan penampilan fisik
tidak menjadi tujuan utama dalam kehidupan pekerja anak.
57
8.2 Dukungan Informasi dan Konsep Diri Pekerja Anak
Dukungan informasi merupakan dukungan dalam bentuk informasi dan
saran. Berdasarkan data yang diperoleh, tidak terlihat hubungan antara dukungan
informasi dan konsep diri pekerja anak (Tabel 13).
Tabel 13. Jumlah dan Persentase Pekerja Anak di Desa Bojong Rangkas Menurut Dukungan Informasi dan Konsep Diri Tahun 2010
Konsep Diri
Dukungan Informasi TOTAL
Kuat Lemah
Jumlah % Jumlah % Jumlah %
Diri Fisik Positif 17 77,3 5 22,7 22 100
Negatif 8 80,0 2 20,0 10 100
Diri Personal Positif 19 76,0 6 24,0 25 100
Negatif 6 85,7 1 14,3 7 100
Diri Keluarga Positif 20 76,9 5 23,1 25 100
Negatif 5 83,3 2 16,7 7 100
Diri Sosial Positif 22 80,0 5 20,0 25 100
Negatif 3 71,4 2 28,6 5 100
Kepuasan Diri Positif 20 81,5 5 18,5 25 100
Negatif 5 60,0 2 40,0 7 100
Konsep Diri Positif 17 80,0 5 20,0 22 100
Negatif 8 71,4 2 28,6 10 100
Tidak adanya hubungan antara dukungan informasi dan konsep diri serta
seluruh aspek konsep diri, dapat dikarenakan saran dari orang lain yang dapat
mempengaruhi konsep diri hanyalah saran yang diberikan dari significant others.
Informasi dan saran yang didapat oleh pekerja anak mungkin saja berasal dari
orang diluar significant others, sehingga tidak mempengaruhi konsep diri pekerja
anak. Namun sumber informasi pekerja anak tidak dikaji dalam penelitian ini.
8.3 Dukungan Emosi dan Konsep Diri Pekerja Anak
Dukungan emosi merupakan dukungan dalam bentuk rasa sayang,
perhatian, kehangatan, dan penerimaan secara apa adanya. Persentase pekerja
anak yang memiliki dukungan emosi yang kuat mencapai 96,9 persen. Tingginya
persentase tersebut menunjukkan bahwa hampir seluruh pekerja anak merasa
mendapatkan rasa sayang, perhatian, dan kehangatan dari orang-orang sekitarnya,
serta diterima secara apa adanya. Hanya satu pekerja anak yang memiliki
58
dukungan emosi lemah. Pekerja anak dengan dukungan emosi yang lemah
ditemukan memiliki pandangan negatif terhadap aspek diri fisik, diri sosial, dan
kepuasan diri, (Tabel 14). Skor konsep diri pekerja anak tersebut juga negatif,
namun ia memiliki pandangan positif terhadap aspek diri personal dan diri
keluarga. Artinya, ia memandang dirinya sebagai pribadi yang baik dan memiliki
hubungan yang baik dengan anggota keluarga. Namun demikian hasil tersebut
tidak dapat digeneralisir, sebab jumlah pekerja anak yang memiliki dukungan
emosi lemah hanya satu orang.
Tabel 14. Jumlah dan Persentase Pekerja Anak di Desa Bojong Rangkas Menurut Dukungan Emosi dan Konsep Diri Tahun 2010
Konsep Diri
Dukungan Emosi TOTAL
Kuat Lemah Jumlah % Jumlah % Jumlah %
Diri Fisik Positif 22 100,0 0 0,0 22 100Negatif 9 90,0 1 10,0 10 100
Diri Personal Positif 24 96,0 1 4,0 25 100
Negatif 7 100,0 0 0,0 7 100
Diri Keluarga Positif 25 96,2 1 3,8 26 100
Negatif 6 100,0 0 0,0 6 100
Diri Sosial Positif 25 100,0 0 0,0 25 100
Negatif 6 85,7 1 14,3 7 100
Kepuasan Diri Positif 27 100,0 0 0,0 27 100
Negatif 4 80,0 1 20,0 5 100
Konsep Diri Positif 25 100,0 0 0,0 25 100
Negatif 6 85,7 1 14,3 7 100
Hasil uji analisis dengan korelasi Pearson menunjukkan bahwa terdapat
hubungan searah (0,309) antara dukungan emosi dan aspek diri fisik pekerja anak
yang signifikan pada α=0,05 dengan probabilitas 0,043 (Tabel 15). Terdapat pula
hubungan searah (0,395) antara dukungan emosi dan aspek diri personal pekerja
anak yang signifikan pada α=0,05 dengan probabilitas 0,013. Dukungan emosi
juga ditemukan memiliki hubungan searah (0,322) dengan aspek diri sosial
pekerja anak, yang signifikan pada α=0,05 dengan probabilitas 0,036. Artinya,
semakin kuat dukungan emosi pekerja anak, semakin positif pandangan pekerja
anak terhadap penampilan fisiknya, dan semakin positif pula pandangannya
terhadap dirinya sebagai sebuah pribadi dan makhluk sosial.
59
Dukungan emosi memiliki hubungan searah (0,057) dengan kepuasan diri
pekerja anak, yang signifikan pada α=0,01 (Tabel 15). Artinya, semakin kuat
dukungan emosi pekerja anak, semakin tinggi tingkat kepuasan dirinya.
Hubungan yang terjadi antara dukungan emosi dan kepuasan diri pekerja anak
sangat kuat. Ditemukan pula hubungan yang signifikan pada α=0,01 antara
dukungan emosi pekerja anak dan konsep diri yang dimiliki. Semakin kuat
dukungan berupa rasa sayang, perhatian, kehangatan, dan penerimaan secara apa
adanya yang diterima pekerja anak, semakin positif konsep diri yang dimiliki,
hubungan yang terjadi sangat kuat. Maka hipotesis minor yang menyatakan
bahwa terdapat hubungan signifikan antara dukungan emosi dan konsep diri
pekerja anak diterima. Namun dukungan emosi ditemukan tidak berhubungan
dengan aspek diri keluarga pekerja anak. Dukungan emosi yang kuat tidak
menambah positif pandangan diri anak terhadap dirinya sebagai anggota
keluarga.
Tabel 15. Hasil Analisis Uji Korelasi Pearson antara Dukungan Emosi dan Konsep Diri Pekerja Anak di Desa Bojong Rangkas
Konsep Diri Dukungan Emosi
Diri Fisik Pearson Correlation 0,309*
Sig. (1-tailed) 0,043
Diri Personal Pearson Correlation 0,395*
Sig. (1-tailed) 0,013
Diri Keluarga Pearson Correlation 0,201
Sig. (1-tailed) 0,135
Diri Sosial Pearson Correlation 0,322*
Sig. (1-tailed) 0,036
Kepuasan Diri Pearson Correlation 0,527**
Sig. (1-tailed) 0,001
Konsep Diri Pearson Correlation 0,437**
Sig. (1-tailed) 0,006
** Korelasi signifikan pada level 0,01 (1-tailed) * Korelasi signifikan pada level 0,05 (1-tailed)
8.4 Dukungan Penghargaan dan Konsep Diri Pekerja Anak
Dukungan penghargaan merupakan dukungan dalam bentuk penghargaan
positif, pemberian semangat, persetujuan pendapat, dan perbandingan positif
dengan orang lain. Sebagian besar pekerja anak yang memiliki pandangan positif
60
terhadap diri sosial dan konsep diri (80 persen), memiliki dukungan penghargaan
yang kuat (Tabel 16). Sebaliknya, sebagian besar pekerja anak yang memiliki
pandangan negatif terhadap aspek diri sosial dan konsep diri (57,1 persen),
memiliki dukungan penghargaan yang lemah. Namun hasil tersebut belum cukup
untuk membuktikan adanya hubungan antara dukungan penghargaan dengan
aspek diri sosial dan konsep diri pekerja anak.
Berdasarkan hasil uji analisis korelasi Pearson, tidak terdapat hubungan
antara dukungan penghargaan dengan pandangan pekerja anak pada aspek diri
fisik, diri personal, diri keluarga, diri sosial, dan kepuasan diri yang dimiliki.
Tidak ditemukan pula hubungan antara dukungan penghargaan dengan konsep
diri pekerja anak. Dengan demikian hipotesis minor yang menyatakan bahwa
terdapat hubungan signifikan antara dukungan penghargaan dan konsep diri
pekerja anak ditolak.
Tabel 16. Jumlah dan Persentase Pekerja Anak di Desa Bojong Rangkas Menurut Dukungan Penghargaan dan Konsep Diri Tahun 2010
Konsep Diri
Dukungan Penghargaan TOTAL
Kuat Lemah
Jumlah % Jumlah % Jumlah %
Diri Fisik Positif 17 77,3 5 22,7 22 100
Negatif 6 60,0 4 40,0 10 100
Diri Personal Positif 19 76,0 6 24,0 25 100
Negatif 4 57,1 3 42,9 7 100
Diri Keluarga Positif 20 76,9 6 23,1 26 100
Negatif 3 50,0 3 50,0 6 100
Diri Sosial Positif 20 80,0 5 20,0 25 100
Negatif 3 42,9 4 57,1 7 100
Kepuasan Diri Positif 19 70,4 8 29,6 27 100
Negatif 4 80,0 1 20,0 5 100
Konsep Diri Positif 20 80,0 5 20,0 25 100
Negatif 3 42,9 4 57,1 7 100
8.5 Dukungan Sosial dan Konsep Diri Pekerja Anak
Dukungan sosial merupakan sekumpulan informasi yang dapat membuat
individu percaya bahwa ia diperhatikan, bernilai, dan akan mendapat pertolongan
ketika ia membutuhkan (Sarason, 1983 dalam Anitaliza, 1999). Dukungan sosial
61
dapat menjadi sumber perspektif diri sosial pekerja anak yang membentuk konsep
diri. Seluruh pekerja anak di Desa Bojong Rangkas ditemukan memiliki
dukungan sosial yang kuat, namun tidak semua pekerja anak memiliki konsep diri
positif. Walau demikian, sebagian besar pekerja anak memiliki konsep diri
positif, yaitu mencapai 78,1 persen.
Berdasarkan Tabel 17, persentase pekerja anak yang memandang positif
dirinya dalam aspek diri fisik, diri personal, diri keluarga, diri sosial, dan
kepuasan diri, menunjukkan angka dominan. Sebaliknya, persentase pekerja anak
yang memandang negatif dirinya dalam seluruh aspek diri menunjukkan angka
dibawah 50 persen.
Tabel 17. Jumlah dan Persentase Pekerja Anak di Desa Bojong Rangkas Menurut Dukungan Sosial dan Konsep Diri Tahun 2010
Konsep Diri Dukungan Sosial Kuat
Jumlah Persentase
Diri Fisik Positif 22 68,8
Negatif 10 31,2
Total 32 100,0
Diri Personal Positif 25 78,1
Negatif 7 21,9
Total 32 100,0
Diri Keluarga Positif 26 81,2
Negatif 6 18,8
Total 32 100,0
Diri Sosial Positif 25 78,1
Negatif 7 21,9
Total 32 100,0
Kepuasan Diri Positif 27 84,4
Negatif 6 15,6
Total 32 100,0
Konsep Diri Positif 25 78,1
Negatif 7 21,9
Total 32 100,0
Untuk menguji hubungan antara dukungan sosial dan konsep diri beserta
seluruh aspek diri dilakukan uji korelasi Pearson. Berdasarkan hasil analisis uji
korelasi Pearson, tidak ditemukan hubungan antara dukungan sosial dan aspek
62
diri personal keluarga anak (Tabel 18). Dengan demikian kuatnya dukungan
sosial pekerja anak tidak berhubungan dengan cara pandang pekerja anak
terhadap dirinya sebagai sebuah pribadi.
Tabel 18. Hasil Analisis Uji Korelasi Pearson antara Dukungan Sosial dan Konsep Diri Pekerja Anak di Desa Bojong Rangkas Tahun 2010
Konsep Diri Dukungan Sosial
Diri Fisik Pearson Correlation 0,455**
Sig. (1-tailed) 0,004
Diri Personal Pearson Correlation 0,141
Sig. (1-tailed) 0,221
Diri Keluarga Pearson Correlation 0,635**
Sig. (1-tailed) 0,000
Diri Sosial Pearson Correlation 0,507**
Sig. (1-tailed) 0,002
Kepuasan Diri Pearson Correlation 0,478**
Sig. (1-tailed) 0,003
Konsep Diri Pearson Correlation 0,612**
Sig. (1-tailed) 0,000
** Korelasi signifikan pada level 0,01 (1-tailed)
* Korelasi signifikan pada level 0,05 (1-tailed)
Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan bahwa terdapat hubungan searah
(0,455) antara dukungan sosial dan aspek diri fisik pekerja anak, yang signifikan
pada α=0,01 dengan nilai probabilitas 0,004 (Tabel 18). Terdapat pula hubungan
searah (0,635) antara dukungan sosial dan aspek diri keluarga pekerja anak yang
signifikan pada α=0,01 dengan nilai probabilitas 0,000. Dukungan sosial juga
ditemukan memiliki hubungan searah (0,507) dengan aspek diri sosial, yang
signifikan pada α=0,01 dengan nilai probabilitas 0,002. Demikian pula terdapat
hubungan searah (0,478) antara dukungan sosial dan aspek kepuasan diri pekerja
anak, yang signifikan pada α=0,01 dengan nilai probabilitas 0,003. Artinya,
semakin kuat dukungan sosial pekerja anak, semakin positif pandangannya
terhadap aspek diri fisik, diri keluarga, diri sosial, dan kepuasan diri yang
dimiliki. Hubungan yang terjadi antara dukungan sosial dengan keempat aspek
diri tersebut sangat signifikan. Selain itu terdapat hubungan searah (0,612) antara
dukungan sosial dan konsep diri pekerja anak, yang signifikan pada α=0,01
dengan nilai probabilitas 0,000. Artinya, semakin kuat dukungan sosial yang
63
diterima pekerja anak, semakin positif konsep diri yang dimilikinya. Hubungan
yang terjadi sangat signifikan. Maka hipotesis mayor yang menyatakan bahwa
terdapat hubungan signifikan antara dukungan sosial dan konsep diri pekerja anak
diterima.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar pekerja anak
memiliki konsep diri positif, meskipun berasal dari keluarga dengan SSE rendah.
Kuatnya dukungan sosial yang diterima pekerja anak ditemukan sangat
mempengaruhi perspektif diri sosial pekerja anak, sehingga mereka tidak
terganggu dengan kondisi SSE keluarga yang rendah. Dengan demikian
dukungan sosial terbukti memiliki hubungan yang searah dan cukup kuat dengan
konsep diri pekerja anak. Adapun jenis dukungan yang dapat membantu
meningkatkan konsep diri pekerja anak adalah dukungan instrumental dan
dukungan emosi.
BAB IX
KESIMPULAN DAN SARAN
9.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan beberapa hal, antara lain:
1.) Pekerja anak di Desa Bojong Rangkas yang berasal dari keluarga dengan
SSE rendah berjumlah 32 orang, terdiri dari: 15 pekerja anak laki-laki dan
22 pekerja anak perempuan. Pendidikan tidak menjadi prioritas keluarga
pekerja anak. Seluruh orang tua pekerja anak berpendidikan rendah.
Mayoritas pekerja anak memiliki pendidikan rendah dan telah putus
sekolah, hanya dua pekerja anak yang telah menamatkan SMA.
Pendapatan orang tua pekerja anak berada dibawah UMR Kabupaten
Bogor, begitu pula dengan pendapatan pekerja anak. Pendapatan pekerja
anak tidak ditentukan berdasarkan tingkat pendidikan, melainkan
berdasarkan pengalaman dan jenis pekerjaan.
2.) Terjadi eksploitasi pada pekerja anak di Desa Bojong Rangkas. Pekerja
anak mendapatkan penghasilan yang jauh di bawah UMR, dengan 72 jam
kerja selama sepekan. Tidak ada kontrak kerja yang jelas antara
pengusaha dan pekerja anak. Selain itu tidak ada pemisahan tempat kerja
antara pekerja anak dan pekerja dewasa.
3.) SSE rendah keluarga pekerja anak tidak serta merta membuat konsep diri
pekerja anak negatif. Sebagian besar pekerja anak di Desa Bojong
Rangkas, baik laki-laki maupun perempuan, memiliki konsep diri positif
dengan proporsi yang berbeda-beda pada setiap aspek diri yang dimiliki.
Perbedaan tingkat pendidikan dan pendapatan orang tua tidak
mempengaruhi konsep diri pekerja anak. Perbedaan tingkat pendidikan
dan pendapatan pekerja anak juga tidak mempengaruhi konsep diri yang
dimiliki.
4.) Seluruh pekerja anak memiliki dukungan sosial yang kuat. Meskipun
berada dalam keluarga dengan SSE rendah, sebagian besar pekerja anak
merasa menerima dukungan instrumental yang kuat. Persentase pekerja
anak laki-laki yang memiliki dukungan instrumental, informasi, dan
65
penghargaan yang kuat, lebih tinggi dibandingkan pekerja anak
perempuan. Pada dukungan emosi, seluruh pekerja anak perempuan
memiliki dukungan emosi yang kuat, sehingga persentasenya lebih tinggi
dibandingkan pekerja anak laki-laki. Perbedaan tingkat pendidikan dan
pendapatan pekerja anak dan orang tuanya tidak berhubungan dengan
dukungan sosial yang diterima pekerja anak.
5.) Terdapat hubungan searah yang sangat signifikan pada α=0,01 antara
dukungan sosial dan konsep diri pekerja anak. Semakin kuat dukungan
sosial yang diterima pekerja anak, semakin positif konsep diri yang
dimiliki. Maka hipotesis mayor diterima. Karena itu dukungan sosial
penting bagi anak dengan SSE keluarga yang rendah. Dukungan sosial
juga memiliki hubungan searah dengan pandangan pekerja anak terhadap
aspek diri fisik, diri keluarga, diri sosial, dan kepuasan diri yang dimiliki,
yang sangat signifikan pada α=0,01. Dukungan sosial tidak memiliki
hubungan dengan pandangan pekerja anak terhadap aspek diri personal
yang dimiliki.
6.) Jenis dukungan sosial yang berhubungan dengan konsep diri pekerja anak
adalah dukungan instrumental, dukungan informasi, dan dukungan emosi.
Terdapat hubungan searah yang sangat signifikan pada α=0,01 antara
dukungan emosi dan konsep diri pekerja anak. Semakin kuat dukungan
sosial pekerja anak, semakin positif konsep diri yang dimiliki. Maka
hipotesis minor yang menyatakan bahwa terdapat hubungan signifikan
antara dukungan emosi dan konsep diri pekerja anak diterima. Tidak
ditemukan hubungan antara dukungan penghargaan dan konsep diri
pekerja anak. Maka hipotesis minor yang menyatakan bahwa terdapat
hubungan signifikan antara dukungan penghargaan dan konsep diri
pekerja anak ditolak.
7.) Dukungan instrumental sebagian besar pekerja anak kuat, meskipun
pekerja anak berasal dari keluarga dengan SSE rendah. Terdapat
hubungan searah antara dukungan instrumental dan pandangan pekerja
anak pada aspek diri keluarga dan diri sosial yang dimiliki. Semakin kuat
dukungan instrumental yang diterima pekerja anak, semakin positif
66
pandangannya terhadap dirinya sebagai anggota keluarga dan makhluk
sosial.
9.2 Saran
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendidikan bukanlah prioritas utama
dalam keluarga pekerja anak. Bekerja membantu orang tua dipandang lebih
bermanfaat dari pada harus bersekolah yang akan menghabiskan banyak biaya.
Pandangan yang telah turun temurun tersebut membentuk konsep diri ideal
pekerja anak. Karenanya penulis menyarankan beberapa hal, antara lain:
1.) Masyarakat Desa Bojong Rangkas, khususnya keluarga pekerja anak perlu
diberikan wawasan mengenai pentingnya pendidikan. Dengan wawasan
mengenai pendidikan yang lebih baik, diharapkan diri ideal pekerja anak
dapat berubah, sehingga akan melahirkan generasi yang memiliki SSE
lebih baik dari generasi pekerja anak saat ini.
2.) Pemeintah perlu mengoptimalkan penduduk usia produktif untuk dapat
bekerja, khususnya orang tua pekerja anak, sehingga dapat mengurangi
jumlah pekerja anak.
3) Pekerja anak perlu mendapat perlindungan hukum. Pemerintah harus
memastikan tidak terjadi pelanggaran terhadap UU mengenai
ketenagakerjaan. Selain itu perlu disosialisasikan program pendidikan non
formal Kejar Paket B dan C pada keluarga pekerja anak, sebagai solusi
agar pekerja anak tidak putus sekolah namun dapat tetap bekerja.
4.) Anak-anak dengan SSE keluarga yang rendah seperti pekerja anak di Desa
Bojong Rangkas perlu diberikan dukungan sosial yang kuat. Dukungan
sosial membuat kondisi ekonomi tidak serta merta menjadi penghambat
masa depan anak. Kuatnya dukungan sosial yang diterima anak dapat
membantunya memiliki konsep diri positif. Konsep Diri positif akan
membantu anak memandang positif dirinya, sehingga berani menatap
positif masa depan. Hal ini memberikan harapan yang baik bagi masa
depan anak yang hidup dalam kondisi SSE keluarga yang rendah.
DAFTAR PUSTAKA
Anitaliza. 1999. Hubungan Dukungan Sosial dengan Penyesuaian Sosial pada Anak Panti Asuhan di Panti Asuhan Harapan Remaja, Panti Asuhan Ani’mah, dan Panti Asuhan Kampung Melayu Jakarta. Skripsi. Jakarta: Universitas Persada Indonesia Y.A.I.
Asih, Anny Widhi. 2007. Pekerja Anak dan Kontribusinya Bagi Pendapatan Rumah Tangga, Studi Kasus Pekerja Anak di Desa Cangkuang Kulon, Kecamatan Dayeuh Kolot, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Skripsi. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Astuti, Devi Tri. 1998. Hubungan antara Dukungan Sosial dan Harga Diri pada Anak yang Bekerja di Jalan di Jakarta. Skripsi. Depok: Universitas Indonesia.
Baron, R.A. dan Byrne, Donn. 2004. Psikologi Sosial Jilid 1, edisi kesepuluh. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Baskara, Tri Cahyo. 2010. Tenaga Kerja Anak dalam Ekonomi Rumahtangga Miskin, Studi Kasus Desa Rawakompeni, Kelurahan Kamal, Kecamatan Cengkareng, Jakarta Barat. Belum Diterbitkan. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Burns, R.B. 1984. The Self Concept: Theory, Measurement, Development, and Behaviour. New York: Longman Inc.
Bursteln, A. Joseph. n.d. Petunjuk Lengkap Mendidik Anak. Jakarta: Mitra Utama.
Dahlan, M. Jawad. 2004. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Departemen Pendidikan Nasional 2004. Pendidikan Keluarga Berbasis Gender. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi 2008. Himpunan Peraturan Perundang-undangan di Bidang Pengawasan Ketenagakerjaan. Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia.
Dianah, Amalia. 2010. Peran Dukungan Sosial terhadap Konsep Diri Anak dengan Status Sosial Ekonomi Rendah. Studi Pustaka. Bogor: Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat. Fakultas Ekologi Manusia. IPB.
Effendi, Tadjuddin Noer. 1993. Sumberdaya Manusia, Peluang Kerja, dan Kemiskinan. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.
Ellys J. n.d. Kiat-Kiat Meningkatkan Potensi Belajar Anak. Bandung: Pustaka Hidayah.
Gubernur Jawa Barat 2009. Keputusan Gubernur Jawa Barat Nomor: 561/Kep.1665-Bangsos/2009 Tentang Upah Minimum Kabupaten/Kota di Jawa Barat Tahun 2010. Bandung: Provinsi Jawa Barat.
68
Hanggarawati, Utilithia Banguningsih. 2007. Hubungan antara Tingkat Stress dan Persepsi tentang Dukungan Sosial pada Remaja dengan Status Sosial Ekonomi (SSE) Rendah. Skripsi. Depok: Universitas Indonesia.
Hurlock, Elizabeth. B. n.d. Perkembangan Anak Jilid 2. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Indrayanto. 2010. ‘Program BOS dan Wajib Belajar 9 Tahun yang Bermutu’. www.shvoong.comsocial-scienceseducation2025344-program-bos-dan-wajib-belajar.html
Kepala Desa Bojongrangkas. 2009. Laporan Pelaksanaan Tugas Kepala Desa Bojongrangkas Kecamatan Ciampea Tahun 2009. Kabupaten Bogor.
Lahey, Benjamin B. 2002. Essentials of Psychology. New York: Mc.Graw-Hill.
Mazdalifah. 1999. Hubungan Keterdedahan Tayangan Kekerasan di Televisi dengan Aspek Pengetahuan, Sikap, dan Tindakan Anak, Kasus Murid SD Negeri 1 Gunung Batu, Bogor Barat. Tesis. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Musyarofah, Siti Anis. 2006. Strategi Nafkah Rumah Tangga Miskin Perkotan, Studi Kasus Kampung Sawah, Kelurahan Semper Timur, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara. Skripsi. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Nolte, Dorothy Law. 1998. Children Learn What They Live. New York: Workman Publishing Company.
Patmonodewo, DR. Soemiarto. 2003. Pendidikan Anak Prasekolah. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Poskota, 14 Mei 2010, ‘ILO Prihatinkan Pekerja Anak’. http://ekerala.net/r.php?url=http://www.poskota.co.id/beritaterkini/2010/05/14/ilo-prihatinkan-pekerja-anak&title=pekerja%20anak&type=web.
Pramuchtia, Yunda. 2008. Konsep Diri Anak Jalanan. Skripsi. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Sarason, G.I., Levine, M.H., Basham, B.R., dan Sarason, R.B. 1983 .Assessing Social Support: The Social Support Questionnaire. Journal of Personality & Social Psychology. Volume 44 No.1:130.
Sarwono, Jonathan. 2006. Metode Penelitian Kuantitatif & Kualitatif. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Setyowanto, Hari. 2011. ‘Siapkan SDM Berkualitas Sambut Bonus Demografi’. www.gemari.or.idartikeldetail.phpid=4343.htm
Singarimbun, M. dan Effendi S. 1989. Metode Penelitian Survei. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia.
Situs Departemen Komunikasi dan Informasi Nasional. ‘Peraturan Pemerintah Indonesia Nomor 47 Tahun 2008 Tentang Wajib Belajar’. www.static.depkominfo.go.id/data/perundangan.
Tjipsastra, Tetty Elitasari. 2007. Hubungan antara Konsep Diri, Motivasi Berprestasi dengan Prestasi Belajar Anak-Anak Panti Asuhan dan Perbedaannya dari Anak-Anak yang Diasuh Dalam Keluarga. Tesis. Depok: Universitas Indonesia.
69
Undang-Undang Republik Indonesia. 2009. http://tantrapuan. wordpress.com/2009/05/13/undang-undang-republik indonesia-nomor-23-tahun-2002-tentang-perlindungan-anak/.
Wahyuni, Ekawati S. dan Muljono Pudji. 2007. Metode Penelitian Sosial (KPM 398). Bogor: Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, IPB.
Wiggins, B., Wiggins J. dan Zanden J. 1994. Social Psychology, the Fifth Edition. Mc.Graw-Hill, Inc.
Willis, Sofyan S. 2008. Remaja & Masalahnya: Mengupas Berbagai Bentuk Kenakalan Remaja Seperti Narkoba, Free Sex, dan Pemecahannya. Bandung: ALFABETA.