skripsi diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan...

122
I PROBLEMATIKA OPEN LEGAL POLICY DALAM PERIODISASI MASA JABATAN HAKIM KONSTITUSI Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum ( S.H.) Oleh : MUHAMMAD REZA BAIHAKI NIM : 16150480000012 PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1440H/2019M

Upload: others

Post on 24-Nov-2020

3 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

I

PROBLEMATIKA OPEN LEGAL POLICY

DALAM PERIODISASI MASA JABATAN HAKIM KONSTITUSI

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi

Salah Satu Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum ( S.H.)

Oleh :

MUHAMMAD REZA BAIHAKI

NIM : 16150480000012

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1440H/2019M

II

PROBLEMATIKA KEBIJAKAN HUKUM TERBUKA

(OPEN LEGAL POLICY) DALAM PERIODISASI MASA JABATAN HAKIM

KONSTITUSI

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum

Untuk Memenuhi Persyaratan

Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:

M Reza Baihaki

NIM 16150480000012

Pembimbing:

Fathudin, S.H.I., S.H., M.A. Hum., M.H

NIP. 198506102019031007

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A

1440 H /2019 M

Fathudin, S.H.I., S.H., M.A., Hum., M.

NIP. 19850610 2019031007

Fathudin, S.H.I, S.H., M.A., Hum., M.H

NIP. 198506102019031007

Fathudin, S.H.I, S.H., M.A, Hum., M.H

NIP. 198506102019031007

V

ABSTRAK

Muhammad Reza Baihaki. NIM:16150480000012. PROBLEMATIKA

OPEN LEGAL POLICY DALAM PERIODISASI MASA JABATAN HAKIM

KONSTITUSI. Program Studi Ilmu Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta., 1439H/2019M. IX+113 halaman.

Skripsi ini bertujuan untuk membahas tentang problematika masa jabatan

Hakim Konstitusi yang diregulasikan sebagai kebijakan hukum terbuka (open legal

policy). Dalam Pasal 22 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang

Mahkamah Konstitusi Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang

Nomor. 08 Tahun 2011 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor

24 Tahun 2003, masa jabatan Hakim Konstitusi di Indonesia hanya dinisbatkan

pada sistem periodisasi selama 5 tahun dan dapat dipilih kembali untuk satu kali

masa jabatan. Sedangkan Hakim Agung di lingkungan Mahkamah Agung yang

merupakan lembaga tinggi negara yang setara dengan Mahkamah Konstitusi justru

menggunakan sistem usia produktif selama 70 tahun sebagaimana tertuang dalam

pasal 11 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan kedua Atas

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung. Pemberlakuan

kebijakan hukum terbuka pada kedua institusi kekuasaan kehakiman tersebut

nyatanya telah menciptakan problematika yang cukup serius dalam sistem

ketatanegaraan di Indonesia.

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian yuridis normatif, dan library

research dengan melakukan pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan,

buku, dan literatur hukum tata negara lainnya yang berkaitan dengan kekuasaan

kehakiman.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kebijakan hukum terbuka (open

legal policy) yang memberikan regulasi yang berbeda antara masa jabatan Hakim

Konstitusi dan Hakim Agung telah mencederai nilai-nilai independensi kekuasaan

kehakiman, serta sarat akan kepentingan politik dari lembaga pengusung calon

Hakim Konstitusi.

Kata Kunci: Open Legal Policy, Independensi, Masa Jabatan Hakim

Pembimbing : Fathudin, S.H.I, S.H, M.A. Hum, M.H

Daftar Pustaka : Tahun 1960 Sampai Tahun 2019

VI

"KATA PENGANTAR"

بسم الله الرحمن الرحيم

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan

taufiqnya kepada kita semua khususnya kepada peneliti sehingga dapat

menyelesaikan penelitian ini sesuai dengan arahan pembimbing dan penguji skripsi

pada Program Studi Ilmu Hukum. Shalawat dan salam senantiasa tercurahkan

kepada Nabi Muhammad SAW yang merupakan figur utama dan pertama dalam

berbagai aspek, tidak terkecuali dalam aspek ijtihad dan berijtihad yang dalam hal

ini secara terirat dan tersurat tertuangkan dalam pembahasan penelitian ini.

Peneliti tidak lupa memberikan ucapan terimaksih dan apresiasi yang

sebesar besarnya kepada segenap pihak yang telah memberikan kontribusi baik

secara moril dan materil sehingga dapat menyelesaikan penelitian ini, yaitu yang

terhormat :

1. Dr. Ahmad Thalabi Kharlie, selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

yang baru saja dilantik dan berkontribusi dalam mengesahkan penelitian

ini.

2. Dr. Asep Syarifuddin Hidayat, dan Drs. Abu Tamrin, S.H, M.Hum,

selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum yang

memfasilitasi serta membantu peneliti dalam terlaksananya sidang

skripsi ini.

3. Fathudin, S.H.I, S.H., M.A. Hum., M.H, sebagai dosen pembimbing

yang berkenan untuk mengoreksi dan memberikan pandangan baru

terhadap permasalahan dalam penelitian ini.

4. Dr. A. Irman Putra Sidin, yang berkenan untuk berdiskusi di sela

persidangan pada saat judicial review mengenai masa jabatan BPK di

Mahkamah Konstitusi, yang kemudian menjadi bahan pertimbangan

penulis dalam menguraikan subtansi penelitian ini.

VII

5. Pihak­pihak lain yang telah memberi kontribusi kepada peneliti dalam

penyelesaian Skripsi ini.

Akhir kata, selamat membaca dan mengkritisi penelitian ini, semoga dapat

menjadi bahan dialektika baru dalam tradisi keilmuan hukum tata negara di

Indonesia.

Jakarta, 19 Mei 2019

Muhammad Reza Baihaki

VIII

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................ I

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .............................................. II

HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................ III

LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................ IV

ABSTRAK ............................................................................................................. V

KATA PENGANTAR ........................................................................................ VI

DAFTAR ISI ..................................................................................................... VIII

BAB I : PENDAHULUAN ................................................................................. 1

A. Latar Belakang Masalah .................................................................... 1

B. Identifikasi,Pembatasan dan Perumusan Masalah ............................ 5

C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian ........................................ 7

D. Metode Penelitian ............................................................................ 8

E. Sistematikan Penulisan .................................................................. 11

BAB II : TINJAUAN TEORITIS PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG

DAN PRINSIP LEMBAGA PERADILAN ....................................... 13

A. Kerangka Konseptual .................................................................... 13

1. Problematika ............................................................................. 13

2. Kebijakan Hukum Terbuka ...................................................... 13

3. Periodisasi Masa Jabatan ......................................................... 14

4. Hakim Konstitusi ....................................................................... 15

B. Kerangka Teori .............................................................................. 16

1. Kekuasaan Pembentuk Undang-Undang .................................. 16

a. Sejarah Pembagian Cabang Kekuasaan Negara ................ 16

b. Konstelasi Dalam Cabang Kekuasaan Negara ................... 22

c. Paradigma Legislasi ............................................................ 30

d. Kebijakan Hukum (Legal Policy) ....................................... 36

2. Kekuasaan Kehakiman .............................................................. 42

a. Prinsip Lembaga Kekuasaan Kehakiman ........................... 42

b. Independensi Lembaga Peradilan ....................................... 47

IX

c. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ................................. 54

BAB III : MASA JABATAN HAKIM DI INDONESIA ................................ 57

A. Kekuasaan Kehakiman Dalam Konstitusi .................................... 57

1. Sejarah Kekuasaan Kehakiman di Indonesia ............................ 57

2. Rekrutmen Hakim Agung dan Hakim Konstitusi...................... 68

B. Masa Jabatan Hakim Agung dan Hakim Konstitusi .................... 76

BAB IV : ANALISIS KONSEPSI MASA JABATAN

HAKIM KONSTITUSI ..................................................................... 79

A. Pencalonan dan Pergantian Masa Jabatan Hakim Konstitusi ...... 79

B. Politik Hukum Kekuasaan Kehakiman ........................................ 89

1. Jabatan Hakim dan Konsep Periodesasi dalam Konteks

Kebijakan Hukum Terbuka (Open Legal Policy) .................. 89

2. Jaminan Independensi Dalam Konstitusi ............................... 97

BAB V : PENUTUP ........................................................................................ 105

A. Kesimpulan ....................................................................................... 105

B. Saran dan Rekomendasi ................................................................... 105

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................... 107

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam serpihan pemikiran hukum progresif yang digagas oleh

Satjipto Rahardjo, ia menjelaskan kedudukan konstitusi dalam sebuah negara

selazimnya dipandang sebagai Spirit dan Volkgeist Suatu bangsa, lebih

lengkapnya ia mengatakan:

"Ketika kita membaca Undang-Undang Dasar, maka sebenarnya kita

sedang membaca nurani, naluri, dan semangat moral suatu bangsa."1

Keberadaan konstitusi tentu dapat dipandang dan ditafsirkan dari

berbagai sisi, sebab secara praktik, seringkali narasi-narasi dalam konstitusi

tidak seindah dan semerdu dengungannya. Dalam praktik penyelenggaraan

negara, bukan tidak mungkin akan selalu terdapat berbagai praktik yang di

legitimasi berdasarkan konstitusi, namun justru melanggar nilai-nilai

konstitusionalisme.

Bertalian dengan hal tersebut, Donal L Horowitz mengilustrasikan

bahwa konstitusi merupakan dokumen yang mati, dan hanya Mahkamah

Konstitusilah yang dapat menjadikannya sebagai dokumen hidup yang

memberi bentuk dan arah kekuasaan politik dalam suatu negara.2

Ilustrasi yang diungkapkan Horowitz kiranya harus dipadang secara

imparsial, sebab keberadaan Peradilan Konstitusi nyatanya tidak dapat

terpisahkan dari hakim-hakim Konstitusi yang memberikan sumbangsih

pemikiran dalam rangka menghidupkan dokumen hukum (konstitusi).

Merujuk istilah Danang Hardianto, Hakim Konstitusi adalah hati dalam tubuh

1 Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Progresif, (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara,

2010, Cet. Pertama), h.164

2 Donal L. Horowitz, "Constitutional Court: A Primer For Decicion Makers" dalam

Journal of Democracy, Volume 17, Number 4, October 2006, h.126

2

Mahkamah Konstitusi.3 Oleh karenanya, berbagai jaminan terhadap peradilan

konstitusi dalam rangka mengawal konstitusi yang demokratis, harus juga

diimbangi dengan merefleksikan jaminan terhadap individual Hakim

Konstitusi, baik berupa nilai-nilai independensi, Imparsialitas maupun

kemandirian.

Dalam konteks normatif, konstitusi Indonesia hanya menggariskan

bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka. Namun secara

praktik, pendelegasian norma tersebut dalam undang-undang organik yang

mengatur subtansi norma kekuasaan kehakiman justru kerap kali bersebrangan

dengan nilai-nilai kemerdekaan.

Seperti halnya mengenai masa jabatan hakim Peradilan Pajak yang

merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka, namun

secara normatif, masa jabatannya diregulasikan sesuai dengan nuansa politik

hukum yang pragmatis dengan menggunakan pola periodesasi. Hal inilah yang

menjadi dasar Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (untuk selanjutnya

disingkat MKRI) untuk membatalkan pendelegasian norma konstitusi yang

tidak sesuai dengan kemerdekaan kekuasaan kehakiman melalui putusannya

No 06/PUU-XIV/2016 tentang masa jabatan hakim pengadilan pajak.4

Tidak sampai di situ, anomali pendelegasian norma konstitusi dalam

kekuasaaan kehakiman juga pernah terjadi dalam masa jabatan kepaniteraan di

kedua lingkungan kekuasaan kehakiman, yang di desain berbeda dalam

undang-undang organik, sehingga dalam kesempatan ini pula MKRI melalui

putusannya No. 34/PUU-X/2012 memerintahkan kepada pembentuk undang-

undang untuk menyeragamkan kedua masa jabatan panitera tersebut,5 terlebih

3 Danang Hardianto, "Hakim Konstitusi Adalah Hati Dalam Tubuh Mahkamah

Konstitusi", Jurnal Konstitusi, Volume 11, Nomor 2, Juni 2014.h.1

4 Salinan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor. 06/PUU-XIV/2016, h.85-88

5 Salinan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor. 34/PUU-X/2012, h.42

3

dalam ratio decidendi putusan tersebut, MKRI mendasarkan pada kedudukan

Mahkamah Agung Republik Indonesia (untuk selanjutnya disingkat MARI)

dan MKRI sesungguhnya lembaga yang setara (equal) yang bebas dan

independen dalam menyelenggarakan kekuasaan kehakiman.

Bertitik tolak dari kedua anomali regulasi tersebut, pengawasan

norma dalam pengejawentahan nilai nilai independensi dalam kekuasaan

kehakiman masih dapat divalidasi melalui putusan mahkamah konstitusi,

berbeda halnya dengan masa jabatan hakim konstitusi dan hakim agung yang

justru dinisbatkan sebagai kebijakan hukum terbuka (open legal policy).

Kendati keduanya merupakan lembaga negara yang setara (equal)

sebagaimana disinggung dalam putusan sebelumnya, namun ternyata secara

normatif undang-undang organik mengatur masa jabatan hakim agung dengan

pola masa pensiun, sebagaimana tertuang dalam pasal 11 Undang-Undang No

3 Tahun 2009 Tentang Perubahan kedua Atas Undang-Undang No 14 Tahun

1985 Tentang Mahkamah Agung yang hanya menyandarkan pada barometer

usia produktif hingga berumur 70 tahun. Sedangkan hakim konstitusi

menggunakan pola priodesasi layaknya pejabat eksekutif (Presiden).

Sebagaimana tertuang dalam pasal 22 dan 23 Undang-Undang No 08 Tahun

2011 tentang Perubahan kedua Undang Undang No 24 Tahun 2003 Tentang

Mahkamah Konstittusi yang menjadikan hakim konstitusi hanya 5 (lima)

tahun dan dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan.6

Upaya dalam menguji validitas kedua regulasi (lawfullness) ini

pernah terjadi sebagaimana tergambar dari dua putusan Mahkamah Konstitusi

No 53/PUU-XIV/2016 dalam pengujian undang-undang No 03 Tahun 2009

tentang Mahkamah Agung dan undang-undang No.08 Tahun 2011 tentang

Mahkamah Konstitusi terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia 1945 dan Putusan No. 73/PUU-XIV/2016 dalam perkara pengujian

4

undang-undang No.08 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi terhadap

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Secara subtansi, MKRI

berpendirian bahwa kedua pemohon tidak memiliki legal standing, sebab,

kendati dalam hal ini terdapat potensi kerugian konstitusional, maka hanya

hakim konstitusilah yang memiliki legal standing.

Dalam ratio decidendi putusan tersebut, secara jelas MKRI

memberikan dukungannya terhadap upaya masa jabatan hakim konstitusi

untuk diidealkan sebagaimana masa jabatan hakim konstitusi di berbagai

negara, sebab, jika ditelisik lebih mendalam, konsep periodesasi selama lima

tahun yang dijadikan acuan masa jabatan hakim di indonesia dewasa ini,

dinilai merupakan masa jabatan hakim konstitusi paling singkat di dunia.7

Namun sayangnya, berbagai argumentasi MKRI mengenai dukungan

untuk memperbaiki masa jabatannya ditutup dengan asas nemo judex in causa

sua (tidak boleh ada hakim yang menjadi perkara atas dirinya sendiri), hal

inilah yang kemudian menjadikan mahkamah melemparkan kewenangan

regulasi masa jabatan Hakim Konstitusi untuk sepenuhnya diatur oleh

pembentuk undang-undang (open Legal Policy).

Postulat tersebut, secara jelas menggambarkan kedudukan MKRI

yang terjebak akibat regulasi yang berseberangan yang diciptakan berdasarkan

cita rasa pembentuk undang-undang, lebih dari itu, alih-alih bukannya

memperbaiki konstruksi norma dalam masa jabatan hakim konstitusi, dewasa

ini, justru sebaliknya, DPR dalam agenda Rancangan Undang Undang jabatan

hakim hendak mempolakan masa jabatan hakim agung layaknya hakim

konstitusi yang menggunakan pola periodisasi.

7 Pan Mohamad Faiz, A Critical Analysis of Judicial Appointmen Proses and Tenure of

Constitutional Justice in Indonesia,Hassanuddin Law Review (Halrev), II, 2 (Agustus, 2016)

h.165

5

Di lain sisi, diskursus masyarakat Internasional dalam menyikapi

problematika independensi lembaga yudikatif secara dinamis telah menjamah

ke dalam hal ikhwal masa jabatan. Seperti apa yang pernah dituangkan dalam

The Universal Charter of The Judge, dalam Central Council of the

International Association of Judges in Taipei (Taiwan) pada 17 November

1999 :

Article 8: "A judge must be appointed for life or for such other period and conditions, that the

judicial independence is not endangered"8

Bertalian dengan hal tersebut, maka penulis mencoba untuk

merefleksikan pameo seorang ahli hukum belanda, Odette Buitendan yang

mengungkapkan: “Good Judges are not born but made”9, Melalui

sumbangsih pemikiran dalam Penelitian yang berjudul; "PENERAPAN

OPEN LEGAL POLICY DALAM PERIODESASI MASA JABATAN

HAKIM KONSTITUSI", dalam rangka memberikan gagasan dalam

pembangunan hukum (legal Reform) di indonesia serta sebagai bagian dari

tugas akhir peneliti di Program Studi Ilmu Hukum.

B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Identifikasi Masalah

Dalam tulisan ini peneliti mengidentifikasi berbagai isu yang

mungkin mencakup tema hukum tata negara khususnya dalam bidang

yudikatif yakni mahkamah konstitusi. seperti :

a. Sistem periodisasi masa jabatan hakim konstitusi bertentangan dengan

pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945.

8 Central Council of the International Association of Judges in Taipei,1999 The Universal

Charter of The Judge Article 8. Diakses pada 18 Januari dalam:

https://www.fjc.gov/sites/default/files/2015/Universal%20Charter%20of%20the%20Judg

e.pdf

9 Odette Buitendam, Good Judges Are Not Born But Made, Recruitmen, Selection and

Training of Judges in Netherland,(Netherland: IOS Press, 2000), h.221

6

b. Adanya pemberlakuan periodisasi dalam masa jabatan hakim konstitusi

secara praktik sarat akan kepentingan.

c. Terjadi perlakuan yang tidak sama dihadapan hukum antara masa

jabatan hakim agung dan hakim konstitusi.

d. Singkatnya masa jabatan membuat hakim konstitusi tidak memiliki

kemapanan dalam tradisi menafsirkan konstitusi.

2. Pembatasan Masalah

Dari berbagai identifikasi masalah tersebut, peneliti hendak

membatasi masalah yang akan menjadi focus pembahasan dalam

penelitian ini. Penelitian ini akan memfokuskan kepada bagaimana

problematika masa jabatan Hakim Konstitusi yang menggunakan sistem

periodisasi selama lima tahun sebagaimana tertuang dalam undang undang

Nomor 23 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang selama ini

dianggap sebagai bagian dari kebijakan terbuka (Open Legal Policy)

pembentuk undang-undang.

3. Perumusan Masalah

Masalah utama dalam penelitian ini terkait adanya pertentangan

konsep imparsialitas, kemandirian serta independensi hakim konstitusi

yang tercermin dari pola rekruitmen serta masa jabatan hakim dengan

norma yang ada dalam Peraturan Perundang-undangan, dimana secara

normatif permasalahan secara langsung berasal dari penerapan kebijakan

terbuka (open legal policy) pembentuk Undang-Undang yang menerapkan

masa jabatan hakim konstitusi secara singkat, yaitu selama lima tahun dan

dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan.

Maka untuk mempertegas arah pembahasan dari masalah utama

yang telah diuraikan sebelumnya, maka peneliti mencoba

mengkonstruksikan berbagai serpihan masalah dalam perumusan masalah

dengan bentuk pertanyaan sebagai berikut:

a. Bagaimana problematika kebijakan terbuka (open legal policy)

pembentuk Undang-Undang tentang masa jabatan hakim

konstitusi dalam kekuasaan kehakiman yang merdeka ?

7

b. Bagaimana konsepsi ideal masa jabatan hakim konstitusi yang

sesuai dengan prinsip kemerdekaan, Imparsialitas dan mandiri?

C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Dalam penelitian ini, paling tidak peneliti mendalilkan tujuan penelitian

pada:

a. Mengetahui penerapan kebijakan terbuka (open legal policy)

pembentuk Undang-Undang dalam periodesasi masa jabatan hakim

konstitusi ditinjau dari perspektif Independensi Lembaga Peradilan?

b. Memberikan konsepsi ideal masa jabatan hakim konstitusi sesuai

dengan kajian teoritis lembaga peradilan yang bebas merdeka dan

mandiri?

2. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini, secara dikotomi dapat diuraikan sebagai

berikut:

a. Manfaat teoritis

1) Secara teoritis paling tidak penelitian ini bermanfaat bagi berbagai

peneliti lainnya yang memiliki ketertarikan dalam melakukan

critical analysis terhadap struktur pola masa jabatan hakim

konstitusi.

2) Menambah sumbangsih atas berbagai serpihan pemikiran dan teori

dalam poros demokrasi konstitusional.

b. Manfaat praktis

Adapun secara praktik, paling tidak penelitian ini dapat memberikan

pertimbangan bagi pembentuk undang-undang, serta pengamat isu

konstitusionalitas norma hukum untuk dijadikan legal momerandum

baru dalam rangka merumuskan kebijakan dan ketentuan-ketentuan

dalam problematika hukum tata negara terutama mengenai lembaga

kekuasaan kehakiman.

8

D. Metode Penelitian

Metodologi penelitian adalah prosedur atau langkah-langkah dalam

mendapatkan pengetahuan ilmiah atau ilmu. Menurut sugiyono metodologi

penelitian adalah proses atau cara ilmiah untuk mendapatkan data yang akan

digunakan untuk keperluan penelitian10

. Adapun mengenai metodologi

penelitian ini, maka metode penelitian secara spesifik mengacu pada metode

penelitian hukum yang menurut Peter Mahmud Marzuki, adalah sebuah proses

menemukan hukum yang mengatur aktivitas pergaulan manusia, yang

melibatkan aturan yang diberlakukan oleh negara dan komentar atau

menganalisis pemberlakuan aturan tersebut.11

Bertalian dengan metodologi penelitian hukum, berikut rangkaian

instrumen penelitian hukum yang digunakan dalam skripsi ini:

1. Jenis Penelitian

Dalam Skripsi ini, peneliti menggunakan penelitian hukum normatif

(doctrinal legal research) yang menjadikan undang-undang serta putusan-

putusan MKRI sebagai objek kajian yang kemudian ditinjau dari aspek

teoritis maupun berbagai instrumen hukum internasional mengenai

kekuasaan kehakiman di berbagai negara untuk selanjutnya menghasilkan

analisa hukum mengenai konsepsi ideal tentang problematika hukum yang

berlaku.

2. Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah

pendekatan perundang-undangan (statue approach) yakni pendekatan

dengan menggunakan legislasi dan regulasi,12

dan Pendekatan Konsep

10 Sugiyono. Memahami Penelitian Kualitatif, ALFABETA (Bandung. 2012) h.5

11

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, PT Kencana, (Jakarta: 2008) h.29

12 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Ed.Revisi, (Jakarta: Kencana Prenadamedia,

2005), h.178

9

(conceptual approach) yang merujuk pada doktrin-doktrin hukum yang

ada.13

3. Data Penelitian dan Bahan Hukum

Berdasarkan sumber penelitian hukum, maka penelitian ini

disusun berdasarkan:

a. Bahan Hukum Primer

(1) Undang-Undang Dasar 1945

(2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah

Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang

Nomor 08 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang No

24 Tahun 2003.

(3) Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah

Agung.

(4) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 53/PUU-XIV/2016

(5) Putusan Mahkamah Konstitusi No. 73/PUU-XIV/2016

(6) Putusan Mahkamah Konstitusi No. 6/PUU-XIV/2016

(7) Putusan MK No 108/PUU-X/2012

(8) Putusan Mahkamah Konstitusi N.o 05\PUU-VI\2005

(9) Putusan MK No 34/PUU-X/2012

(10) Salinan Berita Acara Hasil Pemeriksaan Dewan Etik Hakim

Konstitusi Nomor : 18/LAP-V/BAP/DE/2018

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum yang memberi

penjelasan terhadap bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder

berupa publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-

dokumen resmi. Meliputi:

13 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum..., h.178

10

(1) Buku-buku yang berhubungan dengan tema penelitian;

(2) Artikel, jurnal, makalah, dan majalah yang membahas tentang

kekuasaan kehakiman.

(3) Bahan non- hukum

Merupakan bahan atau rujukan yang berupa petunjuk atau

penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan sekunder

seperti kamus hukum, ensklopedia, berita hukum, blog dan berbagai

website.

4. Metode Pengumpulan Data

a. Studi Kepustakaan

Teknik pengumpulan data yang dilakukan melalui penelaahan

berbagai literatur (kepustakaan), yaitu data sekunder yang relevan

dengan penelitian/kajian yang dilakukan. Telaah data sekunder dijadikan

sebagai telaah awal, dari seluruh kegiatan penelitian yang dilakukan.

Telaah sekunder akan mencakup berbagai buku teks, jurnal, makalah-

makalah ilmiah, dan kepustakaan lain yang relevan. Penelaahan literatur

atau dokumentasi merupakan metode pengumpulan data yang dilakukan

dengan cara meneliti dan menganalisis dokumen, arsip, catatan resmi

dalam rangka sinkronisasi antara berbagai teori dan implementasi yang

tertuang dalam bentuk normatif.

5. Teknik Pengelolaan

Data-data yang diperoleh dikumpulkan sesuai dengan landasan

pustaka yang relevan dengan tema yang diteliti, lalu di kategorikan menjadi

bab dan sub-bab dalam penelitian secara rinci agar terstruktur dan

sistematis.

6. Analisis Data

11

Penelitian ini menggunakan metode analisis normatif. Jenis

penelitian ini menekankan pada aspek pemahaman suatu norma hukum

yang terdapat didalam perundang-undangan serta norma-norma yang hidup

dan berkembang di masyarakat.

7. Teknik Penarikan Kesimpulan

Penarikan kesimpulan pada penelitian ini dilakukan dengan

menggunakan pola pikir deduktif, yaitu dengan menarik kesimpulan khusus

dari pernyataan-pernyataan yang bersifat umum terhadap permasalahan

konkret yang dihadapi.

8. Metode Penulisan

Acuan metode penulisan dalam penelitian ini, secara konseptual

mengacu pada “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum

Tahun 2017” yang diterbitkan oleh Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

berdasarkan kaidah-kaidah dan teknik penulisan yang masyhur pada

literatur akademisi di lingkungan fakultas hukum di Indonesia.

E. Sistematika Penulisan

Secara ringkas, sistematika penulisan dapat tergambar sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Latar belakang masalah, identifikasi, pembatasan dan perumusan

masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan (review) pustaka

terdahulu, serta metodologi yang digunakan dalam penelitian ini.

BAB II TINJAUAN TENTANG KEKUASAAN PEMBENTUKAN

UNDANG-UNDANG DAN PRINSIP LEMBAGA PERADILAN

Dalam bab ini, peneliti membuka pembahasannya dengan

menguraikan kajian mengenai pembagian kekuasaan yang

merupakan induk dari ilmu kenegaraan, untuk selanjutnya secara

khusus peneliti akan secara mendalam membedah salah satu

cabang kekuasaan negara yaitu mengenai kedudukan kekuasaan

12

kehakiman, serta hal-hal yang bertalian dengan prinsip

kemerdekaan (independensi) kehakiman dari beragam aspek.

BAB III MASA JABATAN HAKIM DI INDONESIA

Mengenai data penelitian, peneliti akan menguraikan status aquo

masa jabatan hakim di Indonesia berdasarkan ketentuan konstitusi

dan Undang-Undang organik yang mengatur kedua Institusi, baik

Mahkamah Agung dan Peradilan di bawahnya maupun

Mahkamah Konstitusi.

BAB VI ANALISIS MASA JABATAN HAKIM KONSTITUSI

Dalam bab ini, pembahasan akan dimulai dengan menghadirkan

problematika periodesasi masa jabatan Hakim Konstitusi untuk

selanjutnya secara koheren dihubungkan dengan politik hukum

kekuasaan kehakiman yang dinamis dalam meninjau praktik dan

prinsip kemerdekaan kekuasaan yudikatif dalam skala

Internasional dan Nasional.

BAB V PENUTUP

Berisikan tentang kesimpulan pemaparan penelitian serta

rekomendasi penelitian.

DAFTAR PUSTAKAS

13

BAB II

TINJAUAN TENTANG KEKUASAAN PEMBENTUK UNDANG-UNDANG

DAN PRINSIP LEMBAGA PERADILAN

A. Kerangka Konseptual

1. Problematika

Istilah problema/problematika berasal dari serapan bahasa Inggris

yaitu "problematic" yang artinya persoalan atau masalah1. Sedangkan

dalam kamus bahasa Indonesia, problema berarti hal yang belum dapat

dipecahkan; yang menimbulkan permasalahan.2

Adapun masalah itu sendiri adalah suatu kendala atau persoalan

yang hadir dalam dimensi praktik hukum yang yang harus dipecahkan,

dalam rangka menciptakan hukum yang berkesesuaian dengan nilai nilai

filosofis, sosiologis dan yuridis. Dengan kata lain terdapat sebuah praktik

penyelenggaraan sebuah ketentuan hukum yang telah menimbulkan

kesenjangan antara kenyataan (das sein) dan yang diharapkan (das sollen)

sehingga dibutuhkan sebuah telaahan yang mendalam mengenai masalah

tersebut melalui kajian literasi hukum dalam rangka memberikan sebuah

jawaban atau pemecahan permasalahan tersebut.

2. Kebijakan Hukum Terbuka (Open Legal Policy)

Kebijakan hukum terbuka (open legal policy) adalah sebuah istilah

yang lahir dari perkembangan penggunaan kata kebijakan hukum (legal

policy) yang secara terminologi diartikan sebagai kebijaksanaan dari

negara dengan perantaraan badan-badan yang berwenang untuk

menetapkan dan memutuskan peraturan-peraturan yang dikehendaki,

untuk mengekspresikan apa yang dicita-citakan. Seperti halnya

pembentukan undang-undang yang dilakukan oleh lembaga legislatif

1 John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, (Jakarta: Gramedia,

2000), h. 440

2 Pusat Bahasa Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,

2005), h. 896

14

merupakan proses sosial dan proses politik yang sangat penting dan

mempunyai pengaruh yang luas akan memberi bentuk dan mengatur atau

mengendalikan masyarakat. Bahkan lebih dari itu, undang-undang yang

merupakan produk penguasa dapat digunakan untuk mencapai dan

mewujudkan tujuan-tujuan sesuai yang dicita-citakan.3

Dalam praktiknya istilah legal policy mengalami proses ekstensi

kata dengan adanya penambahan frasa "terbuka" "(open)". Secara subtansi,

(open legal policy) tidak jauh berbeda dengan arti semula, ( kebijakan

hukum) namun lahirnya open legal policy tersebut secara praktik telah

mendikotomi materi muatan yang boleh diatur oleh pembentuk undang-

undang dengan kehendaknya berdasarkan cara pandang (worldview)

pembentuk undang-undang (legislatif dan eksekutif) dan materi muatan

yang harus secara pasti dan konsisten dengan mandat norma ketentuan

yang lebih tinggi dan tidak dapat distafsirkan selain dari pada yang sudah

ditentukan.4

3. Periodisasi Masa Jabatan

Secara etimologi, kata periodisasi berasal dari kata periode, yang

dalam kamus bahasa indonesia berarti pembagian sesuatu menurut

zamannya; atau penzamanan; pembabakan. Biasa digunakan dalam literasi

mengenai sejarah manusia. Istilah Periodisasi bisa disusun berdasar

perkembangan politik, ekonomi, kesenian, agama dan lain lain.5

Dalam penelitian ini, penggunaan kata periodisasi disandingkan

dengan kata masa jabatan yang secara istilah diartikan sebagai jangka

waktu atau penzamanan suatu masa jabatan yang berarti bahwa masa

jabatan sebuah institusi menggunakan sistem periode (jangka waktu

tertentu).

3 Nyoman Serikat Putra Jaya, Politik Hukum. Badan Penyediaan, Bahan Kuliah Program

Studi Magister Kenotariatan UNDIP Semarang, 2007 , h. 13

4 Radita Ajie, "Batasan Pilihan Kebijakan Pembentuk Undang-Undang (OPEN LEGAL

POLICY) Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Berdasarkan Tafsir Putusan

Mahkamah Konstitusi", Jurnal Legislasi Indonesia, Vol.13 No.02, Juni 2016. H.111-120. 5

15

4. Hakim Konstitusi

Secara etimologi, kata hakim berasal dari bahasa arab hakama-

yahkumu (hakim) yang juga biasa disandingkan dengan kata qada yang

berarti seseorang yang menetapkan atau menyelesaikan atau

menyempurnakan sesuatu.6

Secara terminologi, kata hakim dinisbatkan kepada seseorang yang

menangani atau mengadili dan menyelesaikan sebuah perkara di

pengadilan. Dalam Pasal 1 butir 8 Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Pidana, Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang

oleh undang-undang untuk mengadili. Lebih lanjut, kewenangan

mengenai hakim diregulasikan melalui Pasal 1 Undang-Undang Nomor.48

Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan bahwa

kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan

berdasarkan Pancasila, demi terselengaranya negara hukum Republik

Indonesia.

Untuk lebih lanjut memahami kewenangan yang dimiliki seorang

hakim, dapat ditelaah berdasarkan struktur kekuasaan kehakiman yang ada

di Indonesia. Dalam pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945

menyebutkan bahwa kekuasaan kehakiman terdiri dari Mahkamah Agung

dan badan peradilan dibawahnya yang berada dalam lingkungan peradilan

umum, peradilan agama, peradilan tata usaha negara, dan peradilan militer,

dan sebuah Mahkamah Konstitusi.

Adapun mengenai Hakim Konstitusi, maka secara terminologi

dapat diartikan berdasarkan kewenangannya yaitu hakim pada Mahkamah

Konstitusi, yang menyelenggarakan kekuasaan kehakiman untuk

memeriksa, mengadili, memutus perkara yang putusannya bersifat final

untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945,

6 Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, alih bahasa oleh Abdul hayyie Al-

Kattani (Jakarta: Gema Insani, 2010), h. 103

16

memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya

diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai

politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum, serta

memutus atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan

pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-

Undang Dasar 1945.

B. Kerangka Teori

1. Kekuasaan Pembentuk Undang-Undang

a. Sejarah Pembagian Cabang Kekuasaan Negara

Titik awal dari adanya konsepsi mengenai kekuasaan pembentuk

undang-undang kiranya tidak dapat terpisahkan dari tesis dan antitesis

dalam dialektika pembagian kekuasaan negara, dengan tujuan agar

tidak terjadi sebuah pemusatan kekuasaan pada salah satu lembaga

tertentu.

Adalah Jimly Ashhiddqie, salah satu ahli hukum tata negara yang

hemat penulis relevan untuk menguraikan pembagian kekuasaan

dengan memulai berdasarkan tinjauan klasifikasi kompetensi

kekuasaan negara pada abad ke-XVI di Prancis, pasca tumbangnya

doktrin kekuasaan absolut. Secara umum, diskursus mengenai

pembagian kekuasaan negara oleh kalangan sarjana hukum dan politik

pada waktu itu mengkerucut pada lima aspek yaitu; i.fungsi

diplomacie, ii fungsi defencie, iii fungsi financie, iv fungsi justicie, v

fungsi policie.7

Dalam perkembangannya, kelima kekuasaan negara tersebut

berhasil dikristalisasikan menjadi tiga, oleh salah satu filsuf inggris,

Jhon Locke. Pijakan pemikiran John Locke yang terdapat dalam

Second Treatise of Goverment adalah pada cara pandangnya terhadap

7 Jimly Ashhidiqie, Perkembangan Dan Konsilidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi

(Jakarta: Sinar Grafika, 2010,) h.,29

17

natural law yang mendudukan fungsi Tuhan sebagai pusat perintah

(God’s order), namun disisi lain juga manusia memiliki hak untuk

menentukan hidupnya seperti right to life, liberty and property, bahkan

manusia berhak menentukan bagaimana sebuah negara dijalankan

hingga akhirnya ia mengemukakan tiga cabang penting kekuasaan

negara yang mencakup, kekuasaan eksekutif, legislatif dan federatif.8

Hal tersebut menurut locke dikarenakan bahwa manusia bersifat

bebas dan setara (free and equal) di dalam sebuah pemerintahan

karena telah mentransfer hak-hak mereka melalui kontrak sosial dalam

pembentukan sebuah negara.9 Untuk itulah pemisahan kekuasaan yang

dikembangkannya adalah berdasarkan kriteria dari pandangannya yang

meliputi hubungan antar individu di dalam dan di luar sebuah negara.

Asumsi yang dibangun Locke didasari pada cara pandangnya terhadap

negara persemakmuran yang lebih menekankan pada lahirnya cabang

kekuasaan federatif dan tidak terlalu mamandang penting akan konsep

yudikatif sebagai cabang kekuasaan yang berdiri sendiri.10

Di dalam negara persemakmuran (commonwealth), legislatif

adalah cabang kekuasaan untuk mengarahkan kekuatan negara

persemakmuran agar melayani dan menjaga masyarakat melalui

hukum yang dibentuknya.11

selain itu juga legislatif dalam pandangan

Locke memungkinkan lembaga tersebut untuk mengeksekusi

peraturan-peraturan tersebut. Sehingga lembaga legislatif dapat

8 John locke, Two treatised of governmet, editor: peter laslet, (UK: cambridge university

press 1988).h.,150

9 Pandangan Locke tidak terlepas dari pemikiran-pemikiran Thomas Hobbes termasuk

mengenai teori kontrak sosial, namun Locke menolak absolutism dari Filmer yang mempengaruhi

juga dalam pandangan Hobbes tentang teori-teori sosial. John Locke, Two Treatised of Governmet,

..., h., 67

10

John Locke, Two treatised of governmet,... h., 354-355

11

John Locke, Two treatised of governmet, Pada Chapter X of the form of a Common-

wealth,... h., 364

18

sekaligus menjadi judges bagi peraturan-peraturan yang dilanggar.

Lebih lengkapnya proposisi Locke berbunyi :

"The legislative power is that which has a right to direct how the

force of the commonwealth shall be imployed for preserving the

community and the member of it...”

Peran yang tidak kalah penting, selain lembaga legislatif, adalah

lembaga eksekutif. Dalam pandangannya, kehadiran dari kekuasaan

eksekutif adalah untuk mengimbangi dari pembentukan peraturan yang

memiliki kekuatan konstan, yang diterapkan dengan jangka waktu

yang lama dan perlu pelaksanaan secara komprehensif. Sehingga,

kekuatan eksekutif adalah untuk melihat pelaksanaan terhadap hukum

yang dibuat telah terlaksana dengan baik atau tidak, dengan konsep

pemisahan secara murni antar kedua cabang kekuasaan tersebut. Lebih

tepatnya Locke mengungkapkan12

:

“.....but because the laws, that are at once and in a short

time made, have constant and lasting force and need perpetual

execution or an attendance there unto: therefore this neccessary

there should be a power always in being, which should see to the

execution of the laws that are made, and remain in force. and thus

the legislative and executive power come often to be separated...”

Namun, dalam pembagian kekuasaan tersebut, di dalam negara

persemakmuran, ada yang disebut sebagai kekuasaan natural, karena

dapat menjawab mengenai kekuasaan setiap manusia ketika mereka

berada di dalam seuatu lingkup sosial.13

Menurut Locke Kekuasaan

federatif meliputi kekuatan perang dan kedamaian, perserikatan dan

persekutuan dan semua transaksi antar negara “this therefore contains

the power of war and peace, leagues and alliances and all the

transactions” yang pelaksanaan dari kekuasaan ini secara mutlak harus

diikuti setiap orang yang ada di negara, karena hakikat sebagai

12 John locke, Two treatised of governmet,...,h. 364-365

13

“...there is another power in every commonwealth, which one may called natural,

because it is that which anser to the power every man naturally had before he entred into society.”

h., 364

19

manusia adalah secara natural menepatkan etika dan moral dalam

memberi respect terhadap negara maupun setiap masing-masing

individu.

Pemikiran John Locke kemudian secara responsif diperbaharui

oleh Montesquie dengan konsep trias politika, dimana ia justru

memasukkan kekuasaan federatif kedalam eksekutif dan mengeluarkan

kekuasaan yudikatif dari bagian legislatif dan eksekutif.14

Pandang

Montesquie didasari background profesinya sebagai mantan hakim dan

setelah ia mengamati model pemerintahan inggris yang cenderung

menjadikan lembaga peradilan berada dibawah kekuasaan raja

menurutnya dapat sangat berbahaya. Montesquie yang merupakan

mantan hakim jelas menginsyafi betul akan pentingnya pemisahan

kekuasaan yudikatif dari eksekutif. Sehingga lembaga peradilan harus

berada pada posisi yang sejajar dengan kekuasaan negara lainnya.

Kelanjutan mengenai diskursus tersebut ternyata belum berakhir,

Logemann seorang ahli hukum tata negara Belanda justru

mengemukakan pandangannya tentang fungsi kekuasaan negara yang

dapat dibagi menjadi 5 (lima) bidang, yaitu; fungsi Perundang-

undangan (fungsi untuk membuat undang-undang); fungsi pelaksanaan

(fungsi melaksanakan undang undang); fungsi pemerintahan (dalam

arti khusus); fungsi kepolisian (fungsi menjaga ketertiban, melakukan

penyelidikan dan penyidikan); dan fungsi peradilan (fungsi mengadili

pelanggaran terhadap undang-undang).15

Selain logemann, C.Van Vollenhoven seorang sarjana hukum

Belanda juga mencoba memformulasikan kekuasaan menjadi empat

14 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid 2 (Jakarta: Sekretariat

Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2006, Cet. Pertama) h., 16

15 Abdul Rasyid, Mahkamah Konstitusi dan Implikasinya terhadap Ketatanegaraan RI

(Jakarta: PT Citra Aditya Bakti, 2006) h.,215

20

cabang kekuasaan. Menurutnya fungsi-fungsi kekuasaan negara terdiri

atas empat cabang yang kemudian di indonesia biasa diistilahkan

dengan catur praja.16

Berupa, i regeling, ii berstuur, iii rechrsspraak

atau peradilan, iv politie atau berkenaan dengan ketertiban dan

keamanan. Yang kemudian pandangan catur praja tersebut diringkas

oleh Frank J Goodnow dengan ajaran yang dikenal dengan dwipraja ,

yaitu; i, policy making fungtion, dan ii, policy executing function.

Policy Making adalah kebijakan negara untuk waktu tertenu ,

untuk seluruh masyarakat. Adapun policy execuiting, adalah kebijakan

yang harus dilaksanakan untuk tercapainya policy making.17

Kendati dari berbagai pandangan ahli mengenai pemisahan

kekuasaan begitu variatif, namun paling tidak hanya pandangan

montesquie yang masyhur dan mempengaruhi berbagai negara untuk

mengkonsepsikan cabang kekuasaan negara menjadi tiga kekuasaan

dimana diformulasikan menjadi legislatif sebagai pembentuk undang-

undang, eksekutif sebagai pelaksana undang-undang, serta yudikatif

sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman.

Jika menelaah pemikiran Montesquie lebih dalam maka yang

dimaksud pemisahan kekuasaan ialah memisahkan secara murni

cabang-cabang kekuasaan tersebut sebab baginya jika terdapat satu

lembaga memiliki dua fungsi kekuasaan justru akan menihilkan

kebebasan. Tepatnya seperti apa yang diungkapkan oleh Lee Cameron

Mcdonald yang dikutip oleh Jimly Ashiddiqie:18

16 Jimly Ashhiddqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi

(Jakarta: Sekretariat dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2006) h., 29

17 Ni‟matul Huda, Ilmu Negara (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010) h., 76

18 Lee Cameron McDonald, Western Political Theory (California: Pomona Collage, 1968,

Part I) h., 377-379

21

“the heart of Montesquie theme was that where these three

functions were combined in the same person or body of

magistrates, there would be no the end of liberty”

Yang diidealkan oleh Montesquie adalah bahwa ketiga fungsi

kekuasaan negara itu harus dilembagakan dan masing-masing dalam

tiga organ negara. Satu organ hanya boleh menjalankan satu fungsi dan

tidak boleh saling mencampuri urusan masing-masing dalam arti

mutlak. Jika tidak demikian maka kebebasan akan terancam.

Dalam perkembangan ketatanegaraan, sejarah mencatat bahwa,

secara praktik apa yang dikonsepsikan oleh Montesquie ternyata tidak

sepenuhnya dapat digunakan. Sebab antar cabang kekuasaan saling

memiliki keterkaitan dan hubungan yang erat sehingga tidak dapat

secara terpisah kewenangan tersebut dilangsungkan.19

Sebagai contoh,

di Amerika Serikat presiden tetap dapat mem-veto tentang rancangan

undang-undang yang dinilai tidak sesuai dengan kehendaknya, artinya

harus terdapat kesepahaman antar pihak eksekutif dan legislatif dalam

hal pengesahan undang-undang20

. Tidak hanya demikian, bahkan di

Prancis rancangan Undang-Undang yang telah disetujui parlemen

dapat berlaku Presiden dapat mengajukan ke Mahkamah Konstitusi

untuk melakukan pengkajian apakah bertentangan atau tidak dengan

Undang-Undang Dasar21

. Apabila pendapat Mahkamah Konstitusi

adalah positif maka barulah rancangan undang-undang itu ditingkatkan

menjadi undang-undang dengan mengundangkannya dalam lembaran

negara. Apabila pendapat Mahkamah Konsitusi bersifat negatif maka

rancangan undang-undang dikembalikan kepada parlemen untuk

diperbaharui. Inilah yang dinamakan pengkajian preventif. Sebelum

19 Jimly Ashiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca

Reformasi,... h.,26

20 The Constitution of the United States (Article 1, Section7)

21 Alec Stone Sweet, Governing With Judges: Constitutional Politics in Europe (New

York: Oxford University Pers, 2000) h., 24

22

suatu undang-undang dapat diberlakukan harus terlebih dahulu diuji

oleh conseil constutitionel apakah memuat hal-hal yang bertentangan

dengan konstitusi.22

Ini artinya bahwa secara praktik kekuasaan negara

yang diidealkan oleh montesquie secara terpisah mutlak tersebut tidak

dapat lagi dipertahankan dengan dijalankan hanya oleh salah satu

kekuasaan negara tampa hubungan antara satu dan lainnya.

b. Konstelasi Dalam Cabang Kekuasaan Negara (Check and

Ballances)

Konstelasi hubungan antar kekuasaan negara satu dan lainnya

(check and ballances), disinyalir sebagai antitesa dari konsep

pemisahan kekuasaan secara mutlak yang diidealkan Montesquie dan

John Locke, namun tetap bermuara dari ide dasar yang sama terhadap

pemisahan kekuasaan negara, yaitu agar tidak terjadinya pemusatan

kekuasaan dan kesewenang-wenangan pemegang kekuasaan.23

hal ini

didasari pada dinamika yang alamiah, menurut C.J.Ville dalam

pandangannya, bahwa check and ballances merupakan buah dari

implementasi pemisahan kekuasaan, baik yang digagas John Locke

maupun Barron Montesquie.24

checks and balances sendiri merupakan prinsip ketatanegaraan

yang menghendaki agar kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif

sama-sama sederajat dan saling mengontrol satu sama lain. Sehingga

kekuasaan negara dapat diatur, dibatasi, bahkan dikontrol dengan

sebaik baiknya, dengan tujuan agar penyalahgunaan kekuasaan oleh

aparat penyelenggara negara ataupun pribadi-pribadi yang sedang

22 T. Koopmans, Compendium van Staatsrecht editor: th. Bellekom,A.W. Heringa, T.

Koopmans, dan R.E. de Winter, (Achtste druk, 1998), h., 243

23 Charles de Secondat, Baron de Montesquieu, ...,h., 173

24 C.J. Ville, Constitutionalism and Separation of Powers, (Indianapolis: Liberty Funds,

1989) h., 211

23

menduduki jabatan dalam lembaga-lembaga negara dapat dicegah dan

ditanggulangi.25

Menurut Mark Brzezinnski, sebagaimana yang dikutip oleh Susi

Dwi Harijanti, ajaran separation of power yang diiringi oleh dengan

teori check and ballances dipandang mampu untuk melindungi nilai-

nilai konstitusi dengan hadirnya cabang pemerintahan yang berbeda

namun saling menguatkan dalam melaksanakan fungsi legislatif,

eksekutif dan yudikatif.26

Pada awalnya hubungan antara kekuasaan eksekutif dan legislatif

secara praktik dapat terlihat dalam sejarah ketatanegaraan di Inggris,

sejak lahirnya parlemen Inggris pada abad ke-17, sebagaimana

dipaparkan oleh Jimly Ashiddiqie, dimana lahirnya parlemen Inggris

didasari pada adanya hasrat kaum aristokrat dan berbagai masyarakat

untuk ikut serta dalam pemerintahan yang berbuah pada pengalihan

kekuasaan politik raja menuju kepentingan-kepentingan di luar raja

melalui parlemen inggris. Hubungan demikian selanjutnya

dikonstruksikan oleh jimly dengan mengasumsikan bahwa pemerintah

(eksekutif) pada umumnya mewakili kepentingan negara, dan

parlemen (legislatif) mewakili kepentingan rakyat secara keterwakilan.

Sehingga pentingnya hubungan antar kedua kekuasaan negara tersebut

didasari pada penilaian mengenai derajat keterlibatan rakyat dalam

kekuasaan negara sebagai ukuran utama dalam pemahaman mengenai

demokrasi.

Lebih lanjut, eksistensi mengenai hubungan antar lembaga

negara dan prinsip check and ballances dapat kita telaah juga

keberadaannya dari konstitusi Amerika pada tahun 1787, ketika

terjadinya perdebatan sengit antara kaum federalis dan anti federalis.

25 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia (Jakarta: Sinar

Grafika, 2010) h., 61

26 Susi Dwi Harjanti, "Kelemahan Fundamental UUD 1945; Pra dan Amandemen"

(Jurnal Ilmu Sosial No. 49 /XXVI/ 2003) h., 251

24

Dimana narasi mengenai keseimbangan kekuasaan diungkapkan oleh

salah satu penganut aliran federalis John Adam, presiden ke-2 Amerika

Serikat, melalui pidatonya berjudul “Defense of the Constitution of the

United States” pada tahun 1787.27

“Without three divisions of power, stationed to watch each other,

and compare each other's conduct with the laws, it will be impossible

that the laws should at all times preserve their authority, and govern

all men”

Perdebatan kaum federalis dan anti-federalis di Amerika, didasari

pada adanya kekhawatirkan kewenangan Pemerintah pusat yang

absolut sehingga menciptakan konsensus politik di waktu itu untuk

menghadirkan representatif house ikut serta dalam membentuk

undang-undang dan mengalihkan kewenangan Presiden dengan

diberikannya hak veto dalam mengesahkan undang-undang pada tahun

1989. Lebih lanjut penjelasan implementasi mengenai check and

ballances di Amerika dijelaskan oleh John H Ferguson dan Mc Henry

tentang prinsip check and ballances di Amerika sebagai berikut28

:

“Separation of power is implemented by an elaborate system of

cheak and ballance. To mention only a few, congress is cheaked by

requirement that laws must be receive the approval of both house,

by the president’s veto and by the power judicial review of the

courts. The president is checked by the fact that he cannot encact

laws, that no money may be spend except in accordance with

appropriations made by laws, that congress can override his veto,

that he can be inpeachead, that treatiesmust be approved and

appointment confirmedby the senate and by judicial review. The

judicial branch is checked by the power retained by the people to

amend the constitution, by the powerthe president with the advice

and consent of the senate to appoint fact that congress can

determine the size of courts and limit the appellate jurisdiction of

both the Supreme Court and inferior court.”

27 John Adams, A Defence of the Constitutions of Government of the United States of

America (London, 1787) diakses dari http://hua.umf.maine.edu/Reading_Revolutions/Adams.html.

pada tanggal 13 Desember 2018

28 John Ferguson and Dean McHenry, The American System of Government (New York-

Toronto-London: Mc Graw-Hill Book Company: 1965) h., 50

25

Paling tidak, konsepsi check and ballances di Amerika menjadi

rujukan dasar pemerintah indonesia dalam melangsungkan harmonisasi

pembentukan undang-undang dengan persetujuan bersama Parlemen

dan Eksekutif.

Lebih lanjut, konstelasi hubungan antar cabang kekuasaan negara

mengalami dinamisasi yang begitu kompleks dengan lahirnya lembaga

peradilan konstitusi. dimana peradilan konstitusi dapat menengahi

proses pembentukan peraturan perundang-undangan yang telah di

sahkan oleh Pembentuk undang-undang (eksekutif dan legislatif). Hal

tersebut di dasari pada asumsi produk undang-undang yang dinilai

dapat bertentangan dengan Konstitusi serta hak Asasi Manusia yang

telah dijamin dalam konstitusi.

Dalam konstitusi Indonesia pra-amandemen konsep check and

ballances secara komprehensif belum diterapkan. Sehingga dalam

praktiknya kekuasaan secara absolute masih terpusat dalam salah satu

lembaga negara.

Kendati terdapat pemisahan kekuasaan negara, dengan

menjadikan lembaga Legislatif sebagai pembentuk undang-undang

yang berada di tangan DPR dan eksekutif sebagai pelaksana undang-

undang berada di lembaga Kepresidenan, serta yudikatif sebagai

pelaksana kekuasaan kehakiman berada di dua badan yaitu Mahkamah

Agung. Namun Sejarah mencatat dalam konstitusi Indonesia pra-

amandemen, nampak presiden memiliki kekuasaan yang dominan dari

berbagai lembaga kekuasaan lainnya, terutama dalam hal legislasi

yang merupakan mahkota utama dari lembaga legislatif. Hal demikian

tercermin dari kekuasaan pembentuk undang-undang berada di tangan

Eksekutif yaitu presiden, tepat pada pasal 5 ayat 1 UUD 1945 Pra-

26

Amandemen berbunyi “Presiden Memegang kekuasaan pembentukan

undang-undang.29

Implementasi dari pasal a quo adalah berbagai rancangan

undang-undang yang diajukan presiden telah menempatkan DPR

hanya sebagai lembaga pengesah semata bukan pembentuk dan

perumus. Bahkan lebih dari itu executif heavy pada masa pemerintahan

Soekarno, presiden mendominasi kekuasaan dengan cara membongkar

pasang kabinetnya, dan memberikan status menteri kepada berbagai

lembaga tinggi dan tertinggi negara sebagai pembantu presiden yang

berarti badan legislatif pun berada tepat di bawah lembaga

kepresidenan. 30

Begitu pula pada masa pemerintahan Soeharto, yang justru secara

praktiknya tidak lebih baik dari orde sebelumnya, dimana memberikan

dasar kuat kepada kekuasaan eksekutif (executive heavy), serta tidak

adanya check and balances31

. Presiden justru merupakan pemegang

kekuasaan pembentuk undang-undang. Sehingga, pengawasan dari

lembaga yudisial maupun DPR tidak dapat berjalan efektif, tidak

efektifnya Kekuasaan MPR dan DPR lebih terletak pada aspek politik,

yaitu karena kedua lembaga negara tersebut didominasi oleh kekuatan

politik Presiden yaitu Golongan Karya.32

Postulat di atas yang kemudian mendasari gagasan constitutional

reform dengan menempatkan berbagai lembaga tinggi negara berada di

kedudukan yang sejajar dengan berbagai kewenangannya yang

29 Puguh windarawan, "Pergeseran Kekuasaan Tipologi Ketiga; Fenomena Kekuasaan Ke

Arah Constitusional Heavy", Jurnal Konstitusi, Vol 9, No 4, h.,616

30 Abdul Mukhtie Fadjar, Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi, (Jakarta-

Yogyakarta: Konstitusi Press dan Citra Media, 2006), h. 11-13

31 Susi Dwi Harijianti, Kelemahan Fundamental UUD 1945: Pra dan Pasca

Amandemen..., h.66

32 Moh. Mahfud MD, Hukum dan Pilar-pilar Demokrasi,..., h., 116-117.

27

dilangsungkan dengan prinsip check and ballances. Bahkan

penyempurnaan sistem check and ballances dalam amandemen ini

dilakukan dengan melahirkan lembaga baru bernama Mahkamah

Konstitusi.

Posisi utama mahkamah konstitusi dalam miniatur check and

ballances dijelaskan oleh pendiri Mahkamah Konstitusi pertama di

dunia, Hans Kelsen dengan mengatakan33:

“recognized the need for an institution with power to control

or regulate legislation....The power to examine the laws as to their

constitutionality and to invalidate unconstitutional laws may be

conferred, as a more or less exclusive function, on a special

constitutional court... The possibility of a law issued by legislative

organ being annulled by another organ constitutes a remarkable

restriction of the former’s power. Such a possibility means that there

is, besides the positive, a negative legislator. An organ which may be

composed according to a totally different principle from that of the

parliament elected by the people

Lebih lanjut, Kelsen secara spesifik menempatkan posisi

peradilan konstitusi sebagai bagian dari legislator dengan mengatakan:

"a court which is competent to abolish laws individually or

generally function as a negative legislature”.34

Konsepsi demikian, menempatkan peradilan konstitusi agar

dituntut untuk memainkan perannya melalui kewenangan pengujian

undang-undang terhadap konstitusi, sebagai upaya penyeimbang dalam

mengontrol produk legislasi agar tidak menabrak konstitusi baik dalam

arti luas maupun sempit.35

33 Hans Kelsen, General Theory of Law and State, Editor A. Javier Trevinno, ( New

Brunswick (USA) and London (UK) 2006), h. 268

34 Hans Kelsen, General Theory of Law and State,..., h. 268

35 Syukri Asy'ari, Meyrinda Rahmawaty Hilipito, Mohammad Mahrus Ali, "Model dan

Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Pengujian Undang-Undang (Studi Putusan

Tahun 2003-2012)" Jurnal Konstitusi, Volume 10, Nomor 4, Desember 2013, h. 675-708

28

Pandangan Kelsen dipertegas oleh Charles L. Black dengan

catatan yang lebih restriktif, dimana keberadaan peradilan konstitusi

menurutnya merupakan sebuah pencurian sebagian kewenangan

legislatif, sehingga seharusnya peradilan konstitusi lazim untuk

membatasi diri dan tidak aktif dalam pembentukan ketentuan hukum

(norma baru). Lebih lanjut Charles mengungkapkan :36

"The prime and most necessary function of the Court has

been that of validation, not that of invalidation. What a government

of limited powers needs, at the beginning and forever, is some

means of satisfying the people that it has taken all steps humanly

possible to stay within its powers"

Namun kendati kelsen dianggap pendiri mahkamah konstitusi

pertama di dunia, hal yang tidak dapat dinafikkan adalah bahwa

ternyata ide dasar tersebut justru pernah di singgung oleh Alexander

Hamilton dalam karya monumentalnya the federalis paper yang

kemudian mengilhami putusan Jhon Marhsal dalam kasus marbury vs

madison. Hamilton menegaskan perlunya peradilan konstitusi dengan

mengatakan37

:

"The courts were seen as protecting democracy from its own

excesses and were adopted precisely because they could be

countermajoritarian, able to protect the subtantive values of the

democracy from prosedurally elected bodies"

Jalan pikiran Hamilton ternyata bukan hanya gagasan simantik

semata, nyatanya hal demikian mendapat penegasan faktual seperti

yang dipaparkan oleh Tom Ginsburg bahwa supremasi parlemen yang

selama berabad abad nyaris tanpa kritik telah menunjukkan

perkembangan pemikiran yang menyebutkan bahwa ancaman dalam

36 Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

bekerjasama dengan Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas,Perkembangan

Pengujian Perundang-undangan di Mahkamah Konstitusi (dari berfikir hukum Tekstual Menuju

Hukum Progresif) (Jakarta: 2010) h.,76

37 The Federalist Papers, adalah sebuah koleksi tulisan yang memuat 85 artikel dan esai

yang ditulis oleh beberapa fouding father's Amerika. Mereka adalah Alexander hamilton, James

Madision, john jay

29

demokrasi konstitusional bukan datang dari raja melainkan datang dari

sistem parlemen yang terpilih secara demokratis namun ternyata

melahirkan rezim pemerintahan fasis dan membawa eropa ke dalam

perang dunia ke-II.38

Terlebih dalam konteks negara-negara modern dewasa ini, dalam

proses pembentukan hukum (law making) Gerakan Studi Hukum Kritis

di Amerika (Critical Legal Studies Movement/Gerakan CLS)

memberikan ilustrasi dalam proses pembentukan undang-undang

hingga tiba pada kesimpulan, bahwa hampir pasti terjadi tolak tarik,

negotiable, subjective and policy dependent as politics antar subjek

yang terlibat di dalamnya. Proses legislasi untuk menjadikan hukum

positif (in abstracto). Kesemuaan ini, nyatanya selalu merupakan hasil

dari proses yang sarat dengan berbagai muatan, nilai dan kepentingan

para aktor yang disinyalir39

dapat bertentangan dengan nilai-nilai

konstitusi dan juga hak konstitusional warga negara yang minoritas.40

Bahkan dalam konteks sosiological jurisprudence di Indonesia,

pengamatan Satjipto Rahardjo dalam proses pembentukan hukum (law

making) memberikan hipotesis bahwa sering didapati intervensi baik

dari dalam maupun luar badan pembentuk undang-undang dengan

jenis kepentingan tersendiri maupun berdasarkan kepentingan elit

tertentu.41

38 Tom Ginsburg, Judicial Reveiw in New Democracies. Constitutional Court in Asian

Cases, (New York: Cambride University Press, 2003), h.,2

39 Kasim, Ifdhal “Mempertimbangkan „Critical Legal Studies‟ dalam Kajian Hukum di

Indonesia”. Jurnal Wacana, II, 6 (Februari 2000), h.,12

40 Ni'matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,

Cet.8, 2014) h.,218

41 Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum, Perkembangan, Metode, dan Pilihan Masalah.

Penyunting Khudzaifah Dimyati, (Surakarta: Muhammadiyah University Press,2002), h.,150

30

Bila disimak dari pernyataan Satjipto, mengenai kompleksitas

produk legislasi tersebut paling tidak terdapat potensi penyimpangan

(bifurkasi) pada konsep pembentukan dan pelaksanaannya undang-

undang yang jika menggunakan istilah Larry Cata Backer ada

semacam ”resistensi” akibat ketidaksetaraan antara hukum (UU) dan

masyarakat (mismatch between law and society). Postulat demikianlah

yang meneguhkan posisi intelektual peneliti untuk tetap

mempertahankan gagasan supremasi konstitusi melalui kehadiran

mahkamah konstitusi, sehingga dengan itu paling tidak dapat

membungkam adagium sinis dalam dunia hukum:

“Law are spider webs, they hold the weak and delicate who are

caugh in their meshes, but are tom in pieces by the rich and

powerful."42

c. Paradigma Legislasi

„Legislasi‟ berasal dari bahasa Inggris legislation. Ditinjau

secara kebahasaan maupun dalam khasanah ilmu hukum, „legislasi‟

mengandung makna yang secara dikotomi bisa berarti (1) proses

pembentukan hukum (perundang undangan), dan juga bisa berarti

(2) produk hukum (perundang-undangan)43

. Elizabeth A. Martin

and Jonathan Law, misalnya, mengartikan legislation sebagai 1) the

whole or any part of a country’s written law, 2) the process of

making written law.44

Demikian juga halnya dengan John M.

42 Adagium yang diungkapkan oleh Anacharis seorang musafir Scythian dan seorang

filusuf abad ke-6 SM

43 Anis ibrahim, "Legislasi Dalam Perspektif Demokrasi, Analisis interaksi politik dan

Hukum dalam Proses pembentukan peraturan daerah di Jawa timur" (Semarang: Disertasi

Universitas Diponegoro, 2008), h.,150, t.d 44

Elizabeth A. Martin and Jonathan Law, A Dictionary of Law (New York Oxford

University Press, Sixth Edition ,2006), h., 311

31

Echols dan Hassan Shadily menerjemahkan legislation sebagai (1)

perundang-undangan, (2) pembuatan undang-undang45

Hal tersebut berbeda dengan Subekti dan Tjitrosoedibio yang

menyamakan legislasi (legislatie) dengan perundang-undangan.46

Pengertian demikian ini berbeda dengan yang diutarakan Satjipto

Rahardjo yang menyamakan legislasi (wetgeving, legislation)

sebagai “pembuatan undang-undang”, sedangkan Bryan A. Garner

mengartikan legislasi sebagai law making47

Menurut Plato dalam demokrasi keterwakilan, “Legislasi dan

pembentukan tatanan politik merupakan sarana paling sempurna di

dunia ini untuk mencapai kebaikan (undang-undang).48

Hipotesis

Plato kemudian menjadi dasar bagi pemegang aliran supremasi

parlemen yang selama berabad-abad hadir tanpa kritik, pasca

tumbangnya absolutisme raja. Bahkan pemikiran Plato tersebut

dewasa ini tetap mendarah daging bagi aliran-aliran legisme yang

justru belum menerima kehadiran supremasi konstitusi melalui

lembaga peradilan konstitusi.

Adalah Goldsworthy yang merupakan salah seorang penyokong

paling bersemangat dalam gagasan supremasi parlemen, yang

masih berpegang teguh terhadap konsepsi supremasi parlemen

adalah sebuah kebutuhan yang mutlak, ia tidak segan-segan untuk

mengatakan bahwa ketidakadilan dalam undang-undang yang

diciptakan parlemen mungkin saja terjadi, namun hal itu adalah hal

yang harus dibayar dalam demokrasi, lebih lanjut ia mengatakan :

45 John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia. (Jakarta Gramedia,

1995), hal. 333

46 Subekti dan Tjitrosoedibio, Kamus Hukum. (Jakarta:Pradnya Paramita, 1980), hal. 76

47 Anis ibrahim, "Legislasi Dalam Perspektif Demokrasi"..., h.,150

48 Carl Joachim Friedrich, The Philosophy of Law in Historical Perspective. Penerjemah

Raisul Muttaqien, Filsafat Hukum: Perspektif Historis. (Bandung: Nusamedia, 2004), hal. 22

32

" The whole poin of having a democracy is that in these debatable

cases the opinion of the majority rather than of an unelected elite is

supposed to privaile." 49

Pandangan Goldsworthy, secara responsif ditanggapi oleh

koleganya T.R.S Allan, yang justru memberikan posisi intelektual

yang lebih netral dengan menyarankan bahwa apa yang

diungkapkan oleh Goldsworthy harusnya dijadikan dasar argumen

untuk para hakim menerapkan prinsip judicial restrain50

, bukan

justru mempertahankan prinsip supremasi parlemen yang kian lama

semakin lemah dalam mempertahankan kemampuan intelektualnya

dalam merumuskan norma.51

Ketidakadilan dalam pembentukan hukum seperti yang

disinggung oleh Goldsworthy dan ketidakmampuan dalam

merumuskan norma seperti yang diungkapkan oleh Alan paling

tidak dapat disebabkan oleh beberapa hal. Salah satunya apa yang

pernah diungkapkan oleh pengkritik positivisme hukum Lon F.

Fuller. (1964) juga memberikan sumbangsih terhadap fenomenal

legislasi, yang menurutnya ada delapan hal yang menjadi penyebab

kegagalan peraturan perundang-undangan, delapan kegagalan

hukum tersebut dihindari bila terjadi penekanan pada isi peraturan

49 Jeffery goldworthy, the sovereignty of parlement : history and philosophy, (United

Kingdom: oxford university Press 1999), h., 269

50 Judicial restraint merupakan doktrin yang berkembang di Amerika yang merupakan

implementasi dari penerapan prinsip pemisahan kekuasaan (separation of power). Dalam doktrin

judicial restraint, pengadilan harus dapat melakukan pengekangan diri dari kecenderungan ataupun

dorongan untuk bertindak layaknya sebuah “miniparliament"

51 T.R.S Allan, Constitutional Justice, A Liberal Theory of The rule of Law (United

Kingdom: Oxford University Press, 2005), h,.232

33

perundang-undangan dengan persyaratan moral tertentu yang

meliputi:52

1. Law should be general

2. They should be promulgated, that citizens might know the

standards to which they are being held

3. Retroactive rule-making and application should be

minimalized.

4. Laws should be understandable

5. Free of contradiction

6. Law should not require conduct beyond the abilities of those

offected

7. They should remain realatively constant through time

8. They should be a congruence between the laws as announced

and their actual administration.

Fuller berpendapat bahwa hukum (Peraturan perundang-

undangan) akan menimbulkan masalah ketika hukum menyimpang

dari 8 (delapan) persyaratan tersebut:

"The eight principals constituate a morallity, because of

two reason. One being that law leads to social order which

needs moral values, and two being is does so be respecting

individuality and the right to self guidance, because rule guide

behaviore. One cannot be autonomous and follow the principles

of legality, without there being some sort of inherent moral

value. This is the connection between law and morality; morals

and principles inherently and internally construct and hold

togather laws"53

Selain Fuller, perhatian yang mendalam mengenai gejala

legislasi juga terlontar dari Peter Noll yang mencetuskan disiplin

ilmu perundang-undangan melalui karyanya "Gesetsgebungslehre"

(teori hukum), menurutnya teori hukum telah secara ekslusif

terfokus pada ajudikasi semata, sehingga perkara legslasi kerap

52 A. Hamid, S Attamimi,.Hukum Tentang Peraturan Perundang-undangan dan

Peraturan Kebijakan, Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia 1993, h.303. Lihat Lon L.

Fuller,The Morality of Law, (New Haven and London: Yale University Press 1963), h. 39

53 Ahmad Redi, Hukum Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, (Jakarta:2018,

Sinar Grafika) h.44

34

tidak diperhatikan oleh kalangan ahli hukum54

. Lebih lanjut Noll

mengungkapkan bahwa teori hukum tidak semata mengenai

penerapan hukum (rule aplication), hal ini yang menyebabkan ilmu

hukum (legal science) selama ini telah terbatas pada apa yang

disebutnya " a science of the aplication of rule"

(Rechtsprechungwissenschaft).

Dari sudut pandang ini, teori legislasi mendapat perhatian dan

kajian lebih mendalam dalam interdisiplin ilmu hukum (teori hukum),

yang kemudian diistilahkan oleh Wintgens dengan sebutan

legisprudence melalui karyanya yang ditulis dan dieditnya,

“Legisprudence: A New Theoritical Approach to Legislation”55

.

Wintgens kemudian mengkaitkan konsep legislasi dengan doktrin

rule of law dengan menyatakan bahwa segala aktifitas legislative

dibatasi oleh aturan yang mengatur bentuk dan substansi perundang-

undangan. Dalam konteks ini, posisi legislator sesungguhnya sama

dengan hakim. Sekalipun sama, jelas bahwa legislator memiliki

kebebasan lebih besar daripada hakim khususnya berkaitan dengan

aturan-aturan yang disasar. Dalam istilah lain, mereka keduanya

dibatasi secara konstitusionalitas.56

Kritik Wintgens kemudian berlanjut dengan mempersoalankan

legitimasi yang dimiliki oleh para legislator. Melalui karyanya yang

kedua dengan judul "Legislation in Context: Essays in Legisprudence",

menurutnya dibalik proses-proses pembentukan hukum, oleh legislator

54 Herlambang Perdana Wiratman, Legisprudence dan Pendekatan Sosio-Legal dalam

Pembentukan Hukum: Konteks Indonesia, makalah disampaikan dalam Continuing Legal

Education tentang Kontribusi Teori Legisprudensi dalam Pembentukan Hukum, diselenggarakan

Badan Pembinaan Hukum Nasional, Jakarta 28 November 2012. h.1

55 Herlambang Perdana Wiratraman, Legisprudence, Pengembangan Teori Legislasi

dalam Wacana Demokratisasi dan Kritik Rule of Law...,h.,3

56 Herlambang Perdana Wiratraman, Legisprudence, Pengembangan Teori Legislasi

dalam Wacana Demokratisasi dan Kritik Rule of Law,..., h.,4

35

yang memiliki legitimasi demokrasi (dalam arti: proseduralisme

elektoral) legisprudence secara teoritik menyoal legitimasi itu. Hingga

sampai pada kesimpulan, sekalipun otoritas politik (hukum) yang

dimiliki oleh pengambil kebijakan atau juga legislator, haruslah pula

memastikan dan memperhitungkan bahwa proses-proses pembentukan

hukum memperkuat level partisipasi politik kewargaan dan

kenegaraan.57

Paradigma legisprudence yang diungkapkan oleh wintgens

seringkali dikaitkan para pendukungnya menolak paham-paham

positivistik dan aliran legisme hukum dalam proses legislasi

terutama dalam konteks modern constitution yang sangat

menjunjung tinggi semangat rule of law, bukan rule of man atau

rule of king bahkan rule of policy.

Adalah Satjipto Rahardjo, sebagai promotor hukum progresif

yang mendukung pandangan Wintgens dengan melempar sebuah

pertanyaan terkait dengan apakah yang dimaksud dengan supremasi

hukum dalam konteks perundang-undangan. Ia kemudian

melanjutkan dengan memberikan multiple choice yaitu apakah

supremasi keadilan, ataukah supremasi perundang-undangan. Dari

Pertanyaan dan pernyataan tersebut menurutnya memberikan

konsekuensi pada kondisi dimana benih-benih bifurcation dalam

dimensi hukum akan bermunculan, baik dalam ragam bentuk

keadilan, yakni formal justice atau legal justice di satu sisi, dan

subtantial justice di sisi lain.58

57

Herlambang Perdana Wiratman, Legisprudence dan Pendekatan Sosio-Legal dalam

Pembentukan Hukum: Konteks Indonesia, ..., h.5

58 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum: Pencarian pembebasan dan Pencerahan (Surakarta:

Muhammadiah Universitas Press, 2004) h.,65-68

36

d. Kebijakan Hukum (Legal Policy).

Peralihan paradigma kekuasaan dari supremasi parlemen menuju

supremasi konstitusi melalui praktik judicial review, nampak

meninggalkan satu ruang kosong yang sampai saat ini masih selalu

menjadi diskursus yang hangat bagi para pemerhati hukum, yaitu

posisi lembaga peradilan konstitusi yang kerap memberikan putusan-

putusan yang bersifat magnitudo,59

baik putusan-putusan yang

dianggap ultra petita, maupun posisi hakim yang sering dianggap

melampaui posisinya sebagai negative legislator, bahkan seringkali

dalam putusannya peradilan konstitusi sering terkesan berada dalam

kondisi yang abstain dengan memberikan istilah baru dalam ilmu

perundang undangan berupa kebijakan hukum terbuka (Open Legal

Policy).

Secara formal, open legal policy tidak memiliki pijakan

terminologi yang baku, bahkan dalam disiplin ilmu hukum kajian

mengenai kebijakan hukum terbuka (Open Legal Policy) adalah hal

baru dan relatif tidak dikenal sebelumnya,60

sebab selama ini, dimensi

hukum hanya mengenal legal policy (kebijakan hukum) dalam arti ini,

maka frasa kebijakan hukum terbuka (open legal policy) tidaklah

berdiri secara otonom, ia berasal dari perkembangan paradigma legal

policy (kebijakan hukum).

Menurut Muhandar, keberadaan legal policy sering diistilahkan

sebagai politik hukum yang akan dilaksanakan secara nasional oleh

pemerintah yang mencakup: Pembangunan hukum yang berintikan

pembuatan materi-materi hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan

59 Istilah yang digunakan oleh satjipto rahardjo dalam menggambarkan putusan putusan

yang bersifat kontroversial. Lihat Satjipto Rahardjo, Penegakkan Hukum Progresif, (Jakarta:

Kompas,2010), h.,51

60 Mardian wibowo, "Menakar Konstitusionalitas Sebuah Kebijakan Hukum Terbuka

Dalam Pengujian Undang-Undang", Jurnal Konsitusi, Vol 12 No. 02, Juni 2015. H.210

37

pembangunan, termasuk materi-materi hukum di bidang pertanahan;

juga bagaimana pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada termasuk

penegakan supremasi hukum, sesuai fungsi-fungsi hukum, fungsi

lembaga dan pembinaan para penegak hukum.61

Istilah Politik hukum sendiri dapat ditelusuri dari istilah

rechtspolitiek. Politiek mengandung arti beleid (policy) atau kebijakan.

Oleh karena itu politik hukum sering diartikan sebagai pilihan konsep

dan asas sebagai garis besar rencana yang menentukan arah, bentuk

maupun isi hukum yang akan diciptakan. Policy diartikan sebagai :”the

principles, on which any measure or course of action is based;

prudence or wisdom of government or individuals in the management

of their affair, public or private; general prudence or dexterity;

sagacity.62

Bagir Manan menyatakan politik hukum adalah kebijaksanaan

yang akan dan sedang ditempuh mengenai penentuan isi hukum,

pembentukan hukum, penegakan hukum, beserta segala unsur yang

akan menopang pembentukan dan penegakan tersebut.63

Menurut Mahfud MD dalam disertasinya yang berjudul

Perkembangan Politik Hukum: Studi tentang Pengaruh Konfigurasi

Politik terhadap Karakter Produk Hukum di Indonesia, Mahfud

mengungkapkan bahwa dimensi politik hukum merupakan ranah dari

disiplin ilmu hukum. Lebih lanjut, ia berpendapat bahwa politik

hukum diartikan sebagai legal policy (kebijakan hukum) yang akan

61 Muhadar, Viktimisasi Kejahatan di Bidang Pertanahan. (Yogyakarta: LaksBang

PRESSindo 2006,) h.51

62 Radita Ajie, Kebijakan Pembentuk Undang-Undang (Open Legal Policy) Dalam

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Berdasarkan Tafsir Putusan Mahkamah

Konstitusi, Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 13, No. 02, Juni 2016, h.114. Lihat Grolier Webster,

International Dictionary of the English Language, Volume II, hal. 737

63 Bagir Manan, „Politik Perundangan-undangan Dalam Rangka Mengantisipasi

Liberalisasi Perekonomian‟, (Lampung: Fakultas Hukum Universitas Lampung, 1996), h.,5, t.d

38

atau telah dilaksanakan oleh pemerintah. Politik hukum ini mencakup

pembuatan hukum yang berintikan pembuatan dan pembaharuan

terhadap materi-materi hukum agar dapat disesuaikan dengan

kebutuhan, dan pelaksanaan ketentuan hukum yang sudah ada,

termasuk penegakan fungsi lembaga dan pembinaan para penegak

hukum.64 Bahkan berdasarkan disertasinya tersebut, Mahfud

memberikan dua asumsi yang memiliki rumpun kajian tersendiri,

yaitu, apakah hukum determinan atas politik atau sebaliknya politik

yang determinan atas hukum. Hingga akhirnya ia sampai pada

kesimpulan tentang jenis jenis politik hukum yang terbagi menjadi

politik hukum permanen dan politik hukum kontemporer.

Menurutnya, Politik hukum permanen berupa, berbagai prinsip-

prinsip yang terkandung dalam Undang-Undang Dasar sepertihalnya

independensi kekuasaan kehakiman, negara hukum, ekonomi

kerakyatan dan lainya. adapun politik hukum temporer adalah

pembentukan hukum yang didasari pada perkembangan situasi yang

dihadapi pada periode tertentu.65

Secara praktik, dari berbagai asumsi dasar mengenai politik

hukum (legal policy) yang disebutkan sebelumnya, adakalanya

menemukan titik pertentangan baik oleh masyarakat yang dinilai

dirugikan hak konstitusionalnya akibat pemberlakuan norma dari

kebijakan hukum tersebut maupun dari berbagai kalangan yang

mempersoalkan kesesuaian norma legal policy tersebut terhadap

konstitusi.66

64 Moh Mahfud MD, Politik Hukum Di Indonesia (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2009),

h.,8

65 Moh Mahfud MD, Politik Hukum Di Indonesia..., h..3

66 Kebijakan Hukum yang dibentuk melalui instrumen Undang-undang dihadapkan pada

validitas norma melalui konsep pengawasan norma dengan mekanisme Judicial Reveiw sebagai

konsekuensi diadopsinya supremasi konstitusi

39

Legal policy yang dihadapkan kedalam ranah pengujian

konstitusional inilah kemudian dihadapkan dengan ragam konsep

penafsiran mahkamah konstitusi yang akhirnya melahirkan beberapa

putusan yang menyebut bahwa kebijakan hukum tersebut adalah

kebijakan hukum terbuka (open Legal Policy).

Asumsi diatas dapat dilihat dengan memahami kewenangan

MKRI dalam skema Judicial Review yang memuat dua konsep berupa

Constitutional Interpratation dan Statutory Interpratation. Keduanya

merupakan rangkain dalam proses Judicial Review yang tidak selalu

bertalian.

Constitutional Interpratation, secara sederhana dapat dibedakan

dengan Statutory Interpratation dengan melihat objek, berupa

Konstitusi yang menjadi objek dari penafsiran, adapun Statutory

Interpratation merujuk pada aktifitas untuk menafsirkan undang-

undang.

Pemisahan dari kedua aktifitas tersebut memiliki relevansi yang

subtansial, sebab dalam pengamatan penulis dari berbagai kasus

pengujian perundang-undangan MKRI ternyata tidak selalu

menjadikan Penafsiran Konstitusi sebagai sarana utama dalam

memberikan putusan pengujian perundang-undangan. Sebagai contoh,

manakala MKRI memberikan putusan dalam penafsiran Perbuatan

yang tidak menyenangkan dalam perkara pengujian Pasal 335 ayat (1)

butir 1 KUHP argumentasi yang dibangun dalam pertimbangan majelis

menekankan pada hilangnya hak merdeka warga negara karena

kesewenang-wenangan penyidik dan penuntut umum. Tidak

diketemukan pertimbangan dimana MK mengelaborasi makna “hak

warga negara untuk memperoleh kepastian hukum yang adil” dalam

putusan tersebut.67

Namun, adakalanya kedua aktifitas tersebut

67 Salinan Putusan MK Nomor 51/PUU-XI/2013, Paragraf [3.16]

40

bertalian, seperti halnya ketika MKRI mengujikan ketentuan

peninjauan kembali yang dilakukan Jaksa, meski ketentuan tersebut

tidak diatur dalam KUHAP namun, secara praktik, jaksa dalam

berbagai kasus pidana mengajukan upaya hukum luar biasa berupa

peninjauan kembali. Atas kasus tersebut MKRI mengabulkan

permohonan pemohon dengan menafsirkan KUHAP secara historis

dengan mengelaborasikan tafsiran KUHAP terhadap tafsir konstitusi

dalam bab XA pasal 28D, dan 28G.68

Dari konsep demikian, dapat difahami juga bahwa dalam putusan

MKRI tidak hanya ditiik beratkan pada permasalahan

konstitusionalitas semata, melainkan juga dengan melihat skema legal

policy dalam statutory interpratation.

Berdasarkan ragam skema judicial review tersebut, selanjutnya

aktifitas pengujian norma dihadapkan pada kadar konstitusionalitas

norma sebelum dituangkan dalam putusan MKRI, dengan mengukur

sebuah ketentuan sebuah norma pada tiga kategori berupa: 1) sesuai

dengan undang-undang dasar 1945, II) tidak bertentangan dengan

UUD 1945, III) Bertentangan dengan UUD 1945.

Kategori pertama dan kedua sekilas secara naratif relatif sama

namun secara subtansial keduanya dapat dibedakan dikarenakan

memiliki konsekuensi penerapan yang berbeda pula. Kriteria sesuai

dengan Undang-Undang Dasar 1945 dipergunakan dalam hal ikhwal

suatu pasal dan / atau ayat UUD 1945 memberikan perintah yang jelas

mengenai pembentukan norma Undang-Undang, dan tidak

memungkinkan munculnya tafsir lain. Adapun kriteria tidak

bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dipergunakan dalam

hal ikhwal suatu pasal dan / ayat Undang-Undang Dasar 1945 tidak

mengatur dengan spesifik dan jelas suatu permasalahan tertentu.

68 Salinan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor. 33/PUU-XIV/2016

41

Kriteria kedua, dalam pengujian konstitusionalitas sebuah norma

inilah yang kerap mewarnai putusan MKRI, sebab secara normatif

ketentuan UUD1945 tidak secara spesifi mengatur berbagai tata cara

dalam menyelenggarakan negara. Maka konsekuensi logis dari

abstraknya konstitusi, MKRI melalui berbagai ratio decendentie

memperkenalkan istilah-istilah hukum yang relatif baru dalam dunia

peradilan hukum indonesia. Seperti adanya istilah konstitutional

bersyarat, inkonstitusional bersyarat, bahkan juga termasuk dalam

memperkenalkan istilah open legal policy.

Secara sederhana, maka rumusan open legal policy dapat

difahami sebagai kebebasan pembentuk undang-undang untuk

membentuk kebijakan hukum selama hal tersebut tidak secara spesifik

diatur dalam Konstitusi.69

hal demikian dapat dilihat dari berbagai

putusan MKRI yang memuat tafsiran open legal policy dalam norma

undang-undang.70

Dalam perkembangannya, pemaknaan terhadap open legal policy

oleh pembentuk undang-undang sering disalah artikan, atau bahkan

sering dijadikan sebagai senjata pamungkas baik bagi DPR maupun

Presiden dalam rangka membungkam aspirasi masyarakat dalam

proses pembentukan hukum.71

Hingga akhirnya MKRI melalui salah

satu putusannya pernah menggeser makna open legal policy menjadi

close legal policy. Hal ini dapat dilihat dalam putusan MKRI No.

97/PUU-XI/2013, yang diawal mahkamah mengatakan bahwa kendati

69 Mardian wibowo, Menakar Konstitusionalitas Sebuah Kebijakan Hukum Terbuka

Dalam Pengujian Undang-Undang, Jurnal Konsitusi, Vol 12 No. 02, Juni 2015. H.210-215

70 Sebagai contoh, lihat Putusan MK Nomor 73/PUU-XII/2014, Mahkamah mendalilkan

bahwa Mekanisme pemilihan Ketua DPR merupakan Open Legal Policy, sebab tidak secara

eksplisit diatur dalam Konstitusi sehingga mekanisme pemilihannya dapat dituangkan sesuai

dengan kebutuhan institusi DPR melalui undang-undang

71 Radita Ajie, Kebijakan Pembentuk Undang-Undang (Open Legal Policy) Dalam

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Berdasarkan Tafsir Putusan Mahkamah

Konstitusi,..., h.111

42

pemilihan kepala daerah merupakan open legal policy (kebijakan

hukum terbuka), yang mana dapat dimasukan sebagai rezim pemilu

yang sengketanya dapat dilakukan oleh MK atau rezim tersendiri yang

sengketanya berada dalam MA. Namun dalam putusan ini, mahkamah

mengeluarkan menegaskan bahwa ia dapat menggeser rezim pilkada

yang berada dalam rezim pemilu kedalam rezim tersendiri sehingga

kewenangan sengketa pemilihan kepala daerah berada diluar

kompetensi Mahkamah Konstitusi.

Secara umum dapat digambarkan bahwa keberadaan open legal

policy merupakan konsekuensi mempertahankan doktrin supremasi

parlemen di tengah derasnya arus supremasi konstitusi, sehingga

paradigma mengenai kebijakan hukum terbuka sebenarnya sesuai

dengan konstruksi penempatan negative legislator dan positif

legislator yang diungkapkan oleh Hans Kelsen.72

2. Kekuasaan Kehakiman

a. Prinsip Lembaga Kekuasaan Kehakiman

Berangkat dari analisa Alexander Hamilton, James Madison, dan

John Jay dalam tesis mereka yang cukup fenomenal dengan judul the

federalis paper, menjelaskan posisi intelektual mereka dalam

mengkomparasikan eksistensi kekuasaan yudikatif dengan berbagai

kekuasaan negara lainnya dengan mengemukakan:

“the judiciary, from the nature of its functions, will always be

the least dangerous to the political rights of the Constitution;

because it will be the least in a capacity to annoy or injure them.

The executive not only dispenses the honors but holds the sword

of the community. The legislature not only commands the purse

but prescribes the rules by which the duties and rights of every

citizen are to be regulated. The judiciary, on the contrary, has

no influence over either the sword or the purse…. It may truly

be said to have neither FORCE NOR WILL but merely

72 I D.G Palguna, Mahkamah Konstitusi Dasar Pemikiran, Kewenangan, dan

Perbandingan dengan Negara Lain (Jakarta: KonPress, 2018), h.118

43

judgment; and must ultimately depend upon the aid of the

executive arm even for the efficacy of its judgments….The

complete independence of the courts of justice is peculiarly

essential in a limited Constitution.”

Tesis tersebut kiranya berbanding lurus, jika dikaitkan dengan

konteks perjalanan sejarah kekuasaan kehakiman di Indonesia,

manakala kita mencermati konstruksi kekuasaan kehakiman di

Indonesia pra-amandemen UUD 1945 yang hanya memuat 2 pasal

dalam bab IX tentang Kekuasaan Kehakiman yaitu:

1. Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung

dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang.

2. Susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman itu diatur dengan

undang-undang.

Ketentuan a qou dinilai sebagai fakta hukum yang sumir sebab

kriteria mengenai kekuasaan kehakiman yang independen serta

merdeka justru berada di dalam penjelasan pasal 24 dan 25 UUD 1945,

yang kemudian jaminan dan garansi terhadap independensi tersebut

secara mutatis mutandis diatur dalam undang-undang termasuk masa

jabatan dan kewenangan dan kedudukan serta mekanisme

pemilihannya yang kerap kental terhadap intervensi dan muatan politik

praktis.73

Berbagai intervensi terhadap kekuasaan kehakiman kemudian

tergambar secara lugas sejak pemerintahan era orde lama yang

menempatkan hakim sebagai alat revolusi, sebagaimana diatur dalam

Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 1964 tentang

Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi:

“Hakim sebagai alat revolusi wajib menggali dan memahami nilai-nilai

hukum yang hidup dengan mengintegrasikan dari dalam masyarakat

guna benar-benar mewujudkan fungsi hukum sebagai pengayoman”.

73 Susi Dwi Harijanti, Politik Hukum Kekuasaan Kehakiman, Meluruskan Arah

Manajemen Kekuasaan Kehakiman (Jakarta: Sekretariat Jenderal Komisi Yudisial Republik

Indonesia, 2018) h., 66-67

44

Bahkan, Presiden Soekarno selaku Pemimpin Besar Revolusi dapat

mencampuri urusan pengadilan dan mengintervensi hakim

sebagaimana ditegaskan secara eksplisit disebutkan oleh Pasal 19 UU

Nomor 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok

Kekuasaan Kehakiman: “Demi kepentingan revolusi, kehormatan

negara dan bangsa atau kepentingan masyarakat yang sangat

mendesak, Presiden dapat turut atau campur tangan dalam soal-soal

pengadilan”74

Tidak jauh berbeda dengan orde lama, pengalaman pada masa

orde baru, secara turun menurun justru mengikuti konstrusi monopoli

kekuasaan kehakiman layaknya arah politik kekuasaan sebelumnya,

yang secara praktiknya pada masa orde baru justru mengeluarkan

Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan

Pokok Kekuasaan Kehakiman pada tanggal 17 Desember 1970 Untuk

menggantikan Undang-Undang No. 19 Tahun 1964 yang memuat

campur tangan Presiden dalam peradilan untuk kepentingan revolusi

tersebut75

. Dalam ketentuan Pasal 10 Ayat (2) disebutkan bahwa MA

adalah pengadilan negara tertinggi dalam arti MA sebagai badan

pengadilan kasasi (terakhir) bagi putusan yang berasal dari pengadilan

lain, yang meliputi keempat lingkungan peradilan.

Berbagai pola dan rekam jejak tersebutlah yang kiranya

mengilhami para perumus amandemen UUD 1945 untuk berupaya

memastikan bangunan kekuasaan kehakiman yang kokoh sesuai

dengan nilai nilai independensi, imparsialitas serta responsibilitas

lembaga peradilan dengan menempatkan berbagai ketentuan-ketentuan

74 Sebastian Pompe, The Indonesian Supreme Court, A Study of Institutional Collaps,

yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul, Runtuhnya Institusi Mahkamah

Agung, (Jakarta: Yayasan Obor, 2014) h., 96

75 Tim Penyusun Naskah Komprehensif, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-

undang Dasar Negara Republik Indonesia Buku VI Kekuasaan Kehakiman (Jakarta: Sekretariat

Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010) h., 54-55

45

yang relatif kompleks, baik mengenai prinsip dan karakteristik

lembaga kekuasaan kehakiman, serta konstruksi pelaksana kekuasaan

kehakiman dalam pasal 24, dan berbagai kewenangan, serta

mekanisme pemilihannya dalam pasal 24A, 24B dan 24C UUD 1945.

Secara original intens frasa yang digunakan dalam konstitusi

pasca amandemen mengenai karakteristik kekuasaan kehakiman,

menggunakan diksi "Kekuasaan yang Merdeka" yang diadopsi dari

penjelasan naskah UUD 1945 Pra-Amandemen. jika ditelaah dalam

naskah komprehensip buku VI bab Kekuasaan Kehakiman mengerucut

pada pilihan kata "mandiri, bebas dan merdeka serta tidak memihak.76

yang pada akhirnya menemukan titik padam setelah ketua PAH BP-

MPR yang dipimpin oleh Harun Kamil melerai perdebatan dengan

mengkonsolidasikan berbagai pikiran dan maksud subtansi perubahan

yang hendak dicapai dari setiap diksi yang diajukan dengan menerima

usulan beberapa fraksi untuk menggunakan kata merdeka yang

cakupannya lebih luas, dan merupakan kata yang diadopsi dari

penjelasan UUD 1945 pra-amandemen.

Secara terminologi, frasa merdeka sering di istilahkan dengan

kata independensi yang secara gramatikal berasal dari bahasa inggris

''Independency''. Frasa kemerdekaan juga kerap sering digunakan

dalam istilah normatif dan populer dalam menggambarkan

karakteristik kekuasaan kehakiman di berbagai negara seperti bahasa

prancis indépendance, dan dalam bahasa italia indipendenza.

Seperti halnya dalam Basic Principles on the Independence of the

Judiciary 1985.

1. The independence of the judiciary shall be guaranteed by the State

and enshrined in the Constitution or the law of the country. It is the

76 Tim Penyusun Naskah Komprehensif, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-

undang Dasar Negara Republik Indonesia Buku VI Kekuasaan Kehakiman (Jakarta: Sekretariat

Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010) h., 296

46

duty of all governmental and other institutions to respect and

observe the independence of the judiciary;77

Dan juga International Bar Asociation (IBA) 1982 yang

merumuskan "code of minimun standards of judicial independence "

dengan menyebut salah satu ketentuannya mengenai independensi

hakim:

1. (a) individual judge should enjoy personal independence and

substantiveindependence; (b) Personal Independence means that

the terms and conditionsof judicial service are adeuately secured,

so as to uensure that individuals judgesare not subject

to executive control; (c) Substantive Independence means that

inthe discharge of his judicial function, a judge is subject to

nothing but the lawand commands of his conscience.

2. the judiciary as a whole should enjoy autonomy and collective

indepence vis-a visthe executive

Disain kekuasaan kehakiman yang menempatkan Kemerdekaan

sebagai sukma dari kekuasaan kehakiman dipandang merupakan unsur

yang essensial dari negara yang menganut konsep demokrasi dan

konstitusi (constitutional Democratie). Bahkan lebih lanjut, oleh

karena pentingnya prinsip ini, maka konsepsi pemisahan kekuasaan di

antara kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif, serta konsepsi

independensi peradilan, telah dipandang sebagai konsepsi yang

fundamental sehingga diangkat sebagai salah satu unsur utama dari

konstitusi, dengan menempatkan frasa merdeka dalam kekuasaan

kehakiman, yang secara subtansial arti kemerdekaan hakim tersebut

bukan merupakan privilage atau hak istimewa hakim melainkan

merupakan hak yang melekat (indispensable right atau inherent right)

pada hakim dalam rangka menjamin pemenuhan hak asasi dari warga

negara untuk memperoleh peradilan yang bebas dan tidak berpihak

(fair trial).78

77 United Nation Basic Principles on the Independence of the Judiciary, Principle 1

78 Salinan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 05\PUU-VI\2005

47

Paradigma kekuasaan kehakiman yang demikian kiranya tidak

dapat dipisahkan dari akar mengenai konsepsi pemisahan kekuasaan

yang di prakarsai montesque, yang merupakan mantan hakim dimana

sejak awal ia menginginkan pemisahan kekuasaan yudikatif dari

campur tangan eksekutif dan legislatif, melalui ungkapannya:79

Again, there is no liberty, if the judiciary power be not separated

from the legislative and executive. Were it joined with the

legislative, the life and liberty of the subject would be exposed to

arbitrary control; for the judge would be then the legislator.

Were it joined to the executive power, the judge might behave

with violence and oppression.

Pemikiran montesquei tersebut secara khusus dilengkapi dengan

berbagai pandangan ahli hukum lainnya yang secara paripurna

mengkonsepsikan independensi lembaga kekuasaan Kehakiman dalam

konteks negara modern.

b. Independensi Lembaga Peradilan

Pasca berkembangnya negara-negara modern, terutama pasca

lahirnya berbagai negara-negara yang terlepas dari imperialisme

penjajahan negara-negara kolonial, lahirlah berbagai bentuk bentuk

pemerintahan yang masih belia dan belum secara matang untuk

mengkonsepsikan sebuah negara, terutama mengenai kekuasaan

kehakiman yang merdeka baik secara formil maupun materil.

Akibatnya, struktur ketatanegaraan yang dianut berbagai negara

tersebut secara praktik banyak memunculkan problematika yang

mendasar dalam sistem bernegara. Sepertihalnya peletakan posisi

kekuasaan yudikatif yang tergambung dalam eksekutif seperti yang

dialami indonesia dalam masa orde baru dan lama yang justru menjadi

bumerang dalam menegakkan hukum dan keadilan, sebab kewenangan

yang diberikan kepada lembaga eksekutif begitu besar hingga akhirnya

merampas berbagai cabang kekuasaan lainnya.

79 Montesqiueu, De l'esprit des lois, ..., h.173

48

Pengalaman-pengalaman otoritarianisme di berbagai negara-

negara tersebut secara faktual telah menggeser dan mengganggu

makna negara hukum yang merupakan World view masyarakat

Internasioanal pada saat itu.

Di negara yang menganut paham rechstaat maupun rule of law,

independensi kekuasaan kehakiman sesungguhnya bukanlah hak

istimewa atau previlage bagi hakim, melainkan kondisi atau syarat

yang harus terpenuhi agar negara benar-benar didasari pada doktrin

negara hukum yang demokratis. Lebih dari itu, Aharon Barak

mengilustrasikan bahwa jantung dari Demokrasi adalah kekuasaan

kehakiman yang merdeka (independen). Oleh karenanya, tidak

berlebihan kiranya jika negara-negara di dunia meletakan perhatian

yang mendalam terhadap kekuasaan kehakiman dalam rangka

menjamin independensi peradilan melalui brbagai resolusi

internasional yang juga diratifikasi oleh indonesia, seperti berbagai

resolusi berikut:

The International Covenant on Civil and Political rights:

Article 14 : “all persons shall be equal before the courts and tribunal.

In the determination of any criminal charge against him,

or of his rights and obligationas in a suit of law, everyone

shall be entitled to a fair and public hearing by a

competent, independent and impartial tribunal established

by law.”

The Bangalore Principle :

Article 1 “Judicial independence is a pre-requisite to the rule of law

and a fundamental guarantee of a fair trial. A judge shall

therefore uphold and exemplify judicial independence in

both its individual and institutional aspects”80

80 The Bangalore Principle. Value 1 “Hakim harus menjalankan fungsi judisialnya secara

independen atas dasar penilaian terhadap fakta-fakta, menolak pengaruh dari luar berupa bujukan,

iming-iming, tekanan, ancaman atau campur tangan, baik langsung maupun tidak langsung, dari

siapapun atau dengan alasan apapun, sesuai dengan penguasaannya yang seksama atas hukum”

49

Beijing Statement of Principles of The Independecies of The

Judiciary in The Lawasia Region,

Article 4 :“The maintenance of the independence of the judiciary is

essential to the attainment of its objectives and the proper

performance of its functions in a free society observing the

rule of law. It is essential that such independence be

guaranteed by the State and enshrined in the Constitution

or the law”.

International Bar Association Resolution Minimum Standars Of

Judicial Independence,

Article 20 : “Judicial appointments should generally be for life, subject

to removal for cause and compulsory retirement at an age

fixed by law at the date of appointment.”81

Berbagai resolusi internasional secara ringkas digunakan untuk

menakar tingkat independensi lembaga peradilan sebuah negara.

Seperti apa yang dikonsepsikan dan dikembangkan oleh Centeral

European and Eurasian Law Initiative (CEELI) dengan menggunakan

desain Judicial Reform Index (JRI). Tolok ukur yang digunakan ialah

dengan mengelaborasi 30 (tiga puluh) indikasi atau faktor-faktor yang

mempengaruhi tingkat independensi lebaga peradilan. Mulai dari

kualifikasi dan proses pengangkatan hakim, pelaksanaan atau eksekusi

putusan, pembiayaan atau anggaran, kesesuaian tingkat penggajian,

masa jabatan, pemberhentian dan disiplin hakim, kode etik, akses bagi

media dan masyarakat untuk memperoleh informasi persidangan,

publikasi putusan, hingga hal-hal yang sifatnya administratif dan

teknis. 82

81 Article 20 International Bar Association Resolution Minimum Standars Of Judicial

Independence

82 Judicial Reform Index (JRI) adalah konsep yang dikembangkan oleh Central European

and Eurasian Law Initiative (CEELI). JRI merupakan konsepsi dan desain yang disusun untuk

mengukur tingkat independensi lembaga peradilan dengan berdasar kepada United Nation Basic

Principles on The Independence of the Judiciary, the Council of Europe Recommendation on

independence of judges, the European Charter on The Statute for judges and the International Bar

50

Secara doktrinal, berbagai serpihan penilaian terhadap

independensi tersebut dapat ditelaah lebih mendalam melalui berbagai

pandangan ahli yang memberikan gambaran imparsial mengenai

independensi peradilan. Mulai dari ilustrasi yang sejak awal

digambarkan oleh John lokce dan Montesquie bahwa keberadaan

cabang kekuasaan harus dipisah dan tidak boleh saling mencampuri.

Yang kemudian terminologi kemerdekaan kehakiman juga mencakup

tidak hanya pada pengertian bahwa hakim harus bebas dari pengaruh

cabang cabang kekuasaan lainnya, melainkan bebas juga dari segala

macam tekanan yang datang dari luar dirinya, termasuk bebas dari

ancaman ketakutan akan pembalasan (fear of reprisel).83

Menurut Harold See dan Aharon Barak, independensi dapat

dikualifikasikan dalam dua perspektif, yaitu, Pertama, Prespektif

pemisahan kekuasaan dalam bentuk kemerdekaan kelembagaan (

Institutional Independence) dari cabang pemerintahan lainnya., baik

secara organisatoris, administratif, personalia maupun finansial.

Kedua, perspektif demokrasi, berupa kemerdekaan dalam membuat

putusan (desicional independence). 84

Selanjutnya Simon Shetreet dan Peter H. Russel,

mengungkapkan bahwa independensi kekuasaan kehakiman

dikategorikan dalam tiga bentuk. Pertama, yaitu independensi

kekuasaan kehakiman dalam memutus perkara (subtantive

independence). Kedua, independensi kekuasaan kehakiman secara

kolektif sebagai salah satu cabang kekuasaan negara (collective

Assosiation Minimum Standards for Judicial Independence. Lebih lanjut mengenai JRI dan CEELI

diakses Pada 28 Februari 2019 dalam: http://abanet.org/ceeli/publications/jri/jri_overview.html.

83 John N. Drobak, Norm and the Law, Cambridge University Press, (New York:2006)

h.163

84 Aharon Barak, The Judge in a Democracy , Princeton University Press, (New Jersey:

2006), h.77-78

51

independence). Ketiga, independensi kekuasaan kehakiman secara

internal, yakni dalam hal kebebasan antarsesama hakim (internal

independence).85

Pandangan mengenai independensi kekuasaan kehakiman juga

diungkapkan oleh Franken seperti yang pernah dikutip oleh Fahmiron,

yang menyatakan, independensi kekuasaan kehakiman dibedakan ke

dalam empat bentuk, yaitu86

:

1. Independensi konstitusional (constitutionele onafhankelijkheid);

adalah independensi yang dihubungkan dengan doktrin Trias

Politika dengan sistem pembagian kekuasaan menurut Montesquieu.

Lembaga kekuasaan kehakiman harus independen dalam arti

kedudukan kelembagaannya harus bebas dari pengaruh politik

2. Independensi fungsional (zakelijke of functionele

onafhankelijkheid); berkaitan dengan pekerjaan yang dilakukan oleh

hakim ketika menghadapi suatu sengketa dan harus memberikan

suatu putusan. Independensi hakim berarti bahwa setiap hakim

boleh menjalankan kebebasannya untuk menafsirkan UU apabila

UU tidak memberi pengertian yang jelas. Independensi substansial

dapat juga dipandang sebagai pembatasan, tatkala seorang hakim

tidak boleh memutuskan suatu perkara tanpa dasar hukum.

Independensi substansial juga berarti bahwa dalam kondisi tertentu,

hakim atau lembaga kekuasaan kehakiman dapat mencabut suatu

ketentuan perundang-undangan yang dianggap bertentangan dengan

keadilan atau konstitusi

85 Simon Shetreet and J. Deshenes, Judicial Independence: the Contemporary Debat,

Martinus Nijob, (Netherlands: 1985), h.590. Lihat Peter H. Russel and David O Brien, Judicial

Independence, in the Age of Democracy Critical Prespectice from Around the World,

Constitutional and Democracy Series, University Press of Virgina, (London:2001) h.6

86 Fahmiron, "Independensi dan Akuntabilitas Hakim dalam Penegakan Hukum Sebagai

Wujud Independensi dan Akuntabilitas Kekuasaan Kehakiman", Jurnal Litigasi, Vol. 17 (2),

2016, h. 3467-3468

52

3. Independensi personal hakim (persoonlijke of rechtspositionele

onafhankelijkheid); adalah mengenai kebebasan hakim secara

individu ketika berhadapan dengan suatu sengketa

4. Independensi praktis yang nyata (praktische of feitelijke

onafhankelijkheid); adalah independensi hakim untuk tidak berpihak

(imparsial). Hakim harus mengikuti perkembangan pengetahuan

masyarakat yang dapat dibaca atau disaksikan dari media. Hakim

tidak boleh dipengaruhi oleh berita-berita itu dan kemudian

mengambil begitu saja kata-kata dari media tanpa

mempertimbangkan. Hakim juga harus mampu menyaring desakan-

desakan dalam masyarakat untuk dipertimbangkan dan diuji secara

kritis dengan ketentuan hukum yang sudah ada. Hakim harus

mengetahui sampai sejauh mana dapat menerapkan norma-norma

sosial ke dalam kehidupan bermasyarakat.

Bertalian dengan hal tersebut, Richard D. Aldrich, sebagaimana

yang dikutip oleh Efik Yusdiansyah, membagi kekuasan kehakiman

yang merdeka ke dalam dua pengertian, yaitu kemerdekaan

personal (personal independent) dan kemedekaan substantif

(substantive independent)87

. Dimaknai dengan kemerdekaan personal

adalah kemerdekaan yang dikaitkan dengan keberadaan dari individu

hakim itu sendiri dengan cakupan, antara lain: penghasilan atau gaji

yang cukup; masa jabatan yang ditetapkan dengan UU; kebal terhadap

tuntutan perdata; kebal terhadap kesaksian tentang akibat dari

keputusannya; dan kontrol pengadilan atas pemecatan (perpindahan

dan disiplin para hakim). Sebaliknya, kemerdekaan substantif berarti

kebebasan yang berkaitan dengan isi dari putusan yang akan

dilakukannya, misalnya seorang hakim hanya dihadapkan kepada

hukum, konstitusi, pertimbangan berdasarkan akal sehat; dan promosi

para hakim harus didasarkan atas mutu kerjanya.

87

Efik Yusdianysah, Implikasi Keberadaan Mahkamah Konstitusi terhadap Pembentukan

Hukum Nasional dalam Kerangka Negara Hukum, Lubuk Agung (Bandung:2010), h. 34

53

Pandangan mengenai berbagai doktrin independensi tersebut

kemudian secara elaboratif dirumuskan Bagir Manan dengan merujuk

pada Penjelasan UUD 1945 sebelum perubahan, Konstitusi RIS dan

UUD 1950 untuk selanjutnya dikaitkan dengan konsep ekuntabilitas

kekuasaan kehakiman, yang secara sederhana independensi kekuasaan

kehakiman artinya kemerdekaan kekuasaan kehakiman sebagai

“kekuasaan yang terlepas dari pengaruh pemerintah”. Dengan

demikian, kekuasaan kehakiman mengandung dua segi, yakni:

1. Hakim merdeka bebas dari pengaruh siapapun, selain kekuasaan

legislatif dan eksekutif, hakim juga harus bebas dari pengaruh

kekuasaan unsur-unsur yudisial itu sendiri dan pengaruh dari

luar pemerintahan seperti pendapat umum, pers dan sebagainya

2. Kemerdekaan dan kebebasan hakim sebatas fungsi hakim sebagai

pelaksana kekuasaan yudisial atau pada fungsi yudisialnya. bahwa

Independensi hakim dan kekuasaan kehakiman tidak sekadar berarti

imparsialitas hakim dari pengaruh eksekutif, legislatif, bahkan dari

internal lembaga yudikatif itu sendiri. Independensi tidak sekadar

bermakna “merdeka, bebas, imparsial, atau tidak memihak, dengan

individu, kelompok atau organisasi kepentingan apapun, atau tidak

tergantung atau dipengaruhi oleh kekuatan/power, paradigma, etika,

dan spirit untuk menjamin bahwa hakim akan menegakkan hukum

demi kepastian hukum.

Lebih lanjut, dalam posisi akuntabilitas, Bagir Manan

menyatakan perlunya tolok ukur dan batasan terhadap independensi

kekuasaan kehakiman, menurutnya :

1. Hakim hanya memutus menurut hukum. Hal ini membawa

konsekuensi bahwa setiap putusan yang dikeluarkan oleh hakim

dalam memutus perkara konkret harus dapat menunjuk secara tegas

ketentuan hukum dalam perkara tersebut. Makna ini sejalan dengan

asas legalitas dari suatu negara yang berdasarkan hukum

54

2. Hakim memutus semata-mata untuk memberikan keadilan. Hal ini

berimplikasi bahwa hakim dapat melakukan penafsiran, melakukan

konstruksi, bahkan tidak menerapkan atau mengenyampingkan

suatu ketentuan hukum yang berlaku. Semua itu dilakukan dalam

rangka menciptakan keadilan sehingga tidak dapat dilaksanakan

dengan sewenang-wenang

3. Harus diciptakan suatu mekanisme yang memungkinkan menindak

hakim yang sewenang-wenang atau menyalahgunakan kewenangan

atau kebebasannya.

Bertalian dengan pembatasan terhadap independensi dan

akuntabilitas kekuasaan kehakiman yang diungkapkan oleh Bagir

Manan, Donald P. Kommers telah mengingatkan bahwa hubungan

kebebasan hakim harus selalu diimbangi dengan akuntabilitas dalam

rangka menegakkan hukum dan keadilan. Selengkapnya Kommers

mengungkapkan :

"Institutional autonomy is a requirement of judicial independence.

As some critics have alleged, however, this very autonomy

threatens judicial independence in the face of a court system

dominated by career judges drawn from a narrow slice of society

and known more for their passivity than for their creativity.

Accountability, however, also endangers independence ".88

C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu

Dalam penelitian ini, paling tidak peneliti memiliki beberapa pijakan

literasi kajian terdahulu yang sesuai dengan fokus tema, diantaranya:

1. STUDI PERBANDINGAN MENGENAI STATUS HUKUM JABATAN

HAKIM PADA KUASAAN NEGARA INDONESIA DAN JERMAN.

Skripsi ini merupakan tugas akhir David Boy Sumurung Silaban

pada tahun 2016, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada.

Secara umum, skripsi ini menjelaskan terkait dengan kondisi kekuasaan

88

Donald P. Kommers, „Autonomy versus Accountability’ dikutip dalam Peter H. Russel

dan David M. O‟Brien (eds), Judicial Independence in the Age of Democracy: Critical Perspective

from around the World, University of Virgina Press, (Charlottesville 2001), h.131

55

kehakiman yang bebas dan merdeka. Serta asumsi tentang status hukum

jabatan hakim yang sangat mempengaruhi banyak hal mengenai kekuasan

kehakiman. penelitian ini menggunakan penelitian komparatif dengan

manjadikan Negara Jerman sebagai contoh penelitiannya.

Perbedaan yang mendasar antara skripsi ini dan penelitian yang

sedang peneliti lakukan adalah, terkait dengan masa jabatan hakim

konstitusi secara spesifik dan faktual, dengan menggunakan pendekatan

normatif doktriner. Yang pada intinya mencari sebuah relevansi periodisasi

masa jabatan hakim dan konsepsi jangka waktu masa jabatan hakim yang

sesui dengan prinsip-prinsip kemerdekaan hakim.

2. MAHKAMAH KONSTITUSI, Dasar Pemikiran, Kewenangan, dan

Perbandingan dengan Negara Lain.

Buku ini ditulis oleh Hakim Konstitusi I D.G. Palguna, dalam

menjelaskan posisi intelektualnya terhadap perkembangan eksistensi

Peradilan Konstitusi, termasuk dalam rangka memberikan pemahaman

mengenai dasar keberadaan dan kewenangan yang dimiliki oleh Mahkamah

Konstitusi Republik Indonesia.

Dalam buku ini, Palguna dengan cermat memilah dan memilih

berbagai manuskrip mengenai sejarah peradilan konstitusi serta dasar

pemikirannya dalam hal ikhwal kelahiran Mahkamah Konstitusi di

Indonesia. Lebih dari itu, berbagai kajian mengenai komparasi terhadap

Mahkamah Konstitusi Austria juga dijelaskan guna memberikan

pemahaman yang begitu komprehensif atas pengujian norma yang selama

ini berlaku.

Berbagai serpihan pemikiran I D.G Palguna, menjadi bahan yang

pokok atas penelitian ini, yang secara khusus peneliti gunakan dalam

membahas masa jabatan Hakim Konstitusi di Indonesia dan di berbagai

Negara.

56

3. Pengisian Jabatan Hakim: Kebutuhan Reformasi dan Pengekangan Diri.

Penelitian ini, termuat dalam jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM ,

tepatnya Nomor 4 volume 21 pada oktober 2014, yang ditulis oleh salah

satu ahli hukum tata negara Universitas Padjajaran.

Adalah Susi Dwi Harijianti, yang secara responsif menuangkan

analisanya terhadap kedudukan jabatan hakim di Indonesia pasca

reformasi. Dalam tulisan ini, Harijianti secara jelas menggambarkan

beberapa kelemahan atas jaminan konstitusi terhadap kemerdekaan hakim,

yang sampai saat ini belum diterapkan di Indonesia.

Tidak hanya itu, fokus penelitiannya juga ditunjukkan dengan

adanya analisis praktis dan teoritis terhadap keberadaan kekuasaan

kehakiman berdasarkan sistem hukum yang dianut dalam berbagai negara

di dunia.

Perbedaan mendasar mengenai penelitian Susi Dwi Harijianti,

dengan peneliti dewasa ini ialah adanya pendekatan cara pandang analisis

yang berbeda, serta objek kajian peneliti yang terfokus pada jaminan masa

jabatan hakim, terlebih pendekatan yang peneliti lakukan dalam hal ini,

disandingkan dengan melihat dari sisi kebijakan terbuka (open legal policy)

pembentuk Undang-Undang terutama pasca putusan mahkamah konstitusi

mengenai masa jabatan hakim konstitusi yang menegaskan bahwa norma

tersebut merupakan kewenangan DPR dan Presiden sehingga mahkamah

tidak berwenang untuk mengadilinya.

57

BAB III

MASA JABATAN HAKIM DI INDONESIA

A. Kekuasaan Kehakiman Dalam Undang Undang Dasar 1945

1. Sejarah Kekuasaan Kehakiman Indonesia

Amandemen Undang-Undang Dasar yang diselenggarakan dengan

empat tahapan (1999-2002), menyimpan ragam gagasan dan pandangan

yang responsif terhadap arah baru Indonesia dalam mempersiapkan masa

transisi dari negara yang semula otoritarianisme menuju demokrasi. Salah

satu potret sejarah yang menyita waktu cukup rumit ialah manakala para

second founding father1 merumuskan konsep kekuasaan kehakiman dalam

amandemen Undang-Undang Dasar yang semula hanya memuat dua pasal

menjadi lima pasal.

Konstruksi kekuasaan kehakiman semula dalam Undang-Undang

Dasar Pra-Amandemen, hanya mengenal Mahkamah Agung (in one

supreme court)2 sebagai puncak pelaku kekuasaan kehakiman, yang ketika

itu belum menggunakan sistem satu atap (one roof system) sehingga kendati

secara fungsional kewenangan peradilan memeriksa, mengadili dan

memutus berada di lingkungan Mahkamah Agung, namun, secara

administrasi peradilan, kekuasaan kehakiman masih berasandar kepada

Menteri Kehakiman.3 Kondisi demikian, tidak hanya mempersulit finansial

hakim, melainkan juga menjalar ke dalam praktik intervensi kemerdekaan

1 Tim Penyusun Naskah Komprehensif, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-

undang Dasar Negara Republik Indonesia Buku VI Kekuasaan Kehakiman (Jakarta: Sekretariat

Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010) h.10

2 Tim Penyusun Naskah Komprehensif, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-

undang Dasar Negara Republik Indonesia Buku VI Kekuasaan Kehakiman,...,h.,12-22

3 Sebastian Pompe, The Indonesian Supreme Court, A Study of Institutional Collaps,

Penterjemah Noor Cholis, Runtuhnya Institusi Mahkamah Agung, (Jakarta:Lembaga Kajian dan

Advokasi untuk Independensi Peradilan, 2012), h.,96

58

kekuasaan kehakiman yang tertuang dalam penjelasan Undang-Undang

Dasar 1945.4

Berdasarkan Legal Momerandum tersebut, lahirlah gagasan untuk

menempatkan karakteristik kekuasaan kehakiman yang merupakan denyut

nadi dari lembaga yudikatif dalam amandemen Undang-Undang Dasar ke-3

dengan menyebut: "kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka

untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan."

Arah politik kekuasaan kehakiman dalam Undang-Undang Dasar

1945 amandemen secara hangat didiskusikan pada pembahasan sidang

pertama 1999, dimana perdebatan terfokus pada perubahan Bab Kekuasaan

Kehakiman dan seputar Pasal 24 dan Pasal 25 saja, Usulan-usulan

perubahan Bab Kekuasaan Kehakiman dalam UUD 1945 disampaikan oleh

para anggota fraksi yang tergabung dalam Panitia Ad Hoc III Badan Pekerja

MPR 1999 (PAH III BP MPR RI), yang dibentuk sebagai alat kelengkapan

Badan Pekerja MPR 1999. Dimana pada saat itu, terdapat kehendak untuk

mengganti frasa BAB Kekuasaan Kehakiman dengan BAB Mahkamah

Agung.5Hal demikian terjadi karena, belum teridentifikasinya urgensi

lembaga peradilan konstitusi (mahkamah Konstitusi) pada awal pembahasan

amandemen Undang-Undang Dasar. Sehingga, pada perubahan tahap

pertama, mahkamah agung sempat digagas untuk melakukan uji materil

perundang-undangan. Serta sebagai satu satunya pelaku kekuasaan

kehakiman. 6

4 Tim Penyusun Naskah Komprehensif, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-

undang Dasar Negara Republik Indonesia Buku VI Kekuasaan Kehakiman,...,h., 26

5 Istilah yang digunakan oleh Satjipto Raharjo kepada negarawan yang mendedikasikan

hidupnya guna kelangsungan negara pasca para founding father negara yang mendahuluinya. Lihat

satjipto raharjo, penegakkan hukum progresif,

6 Tim Penyusun Naskah Komprehensif, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-

undang Dasar Negara Republik Indonesia Buku VI Kekuasaan Kehakiman...,h. 293

59

Di samping itu, perdebatan yang cukup rumit juga terjadi dalam

perumusan mengenai penyebutan karakteristik lembaga kekuasaan

kehakiman. Dimana dalam naskah Undang-Undang Dasar pertama, ruh dan

sukma (kekuasaan yang kemerdekaan) dari kekuasaan kehakiman hanya

tersiratkan di dalam penjelasan Undang-Undang Dasar Pra-Amandemen

yang justru dahulu menjadi alat bagi penguasa untuk memonopoli keadilan.

Hingga akhirnya frasa kemeredekaan tersebut diadopsi kedalam batang

tubuh Undang-Undang Dasar 1945.

Hingga akhirnya, Penyempurnaan mengenai bab kekuasaan

kehakiman terjadi pasca perubahan amandemen Undang-Undang Dasar ke-3

(2001). Dimana Pada bab kekuasaan kehakiman pada pasal 24 Undang-

Undang Dasar Pra-amandemen berbunyi:

(1) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah

Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang.”

(2) susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman itu diatur

dengan undang-undang.

Dan pasal 25 berbunyi:

Syarat-syarat untuk menjadi dan untuk diberhentikan sebagai haki

ditetapkan undang-undang.

Sedangkan dalam UUD 1945 hasil perubahan ketiga tahun 2001

diputuskan sebuah badan lain sebagai salah satu unsur pelaksana kekuasaan

kehakiman, yaitu Mahkamah Konstitusi (MK). Hingga akhirnya Rumusan

perubahan ketiga UUD 1945 khususnya dalam Bab Kekuasaan Kehakiman

awalnya hanya berisi dua pasal, kini menjadi lima pasal karena ada

penambahan materi pada Pasal 24, menjadi Pasal 24A, Pasal 24B, dan Pasal

24C yang merinci lebih lanjut mengenai kewenangan Mahkamah Agung

(MA), prasyarat pengangkatan Hakim Agung, pembentukan Komisi

Yudisial (KY) yang akan mengusulkan calon Hakim Agung kepada DPR,

serta rincian detail lainnya mengenai KY dan MK seperti, kewenangan,

prasyarat keanggotaan, mekanisme pengangkatan, dan mandat pengaturan

60

kedua institusi tersebut dalam ketentuan undang-undang secara lebih

spesifik.7

Dari ketentuan tersebut, Secara normatif kekuasaan kehakiman

dijalankan oleh Mahkamah Agung, serta berbagai lembaga peradilan yang

berada di bawahnya dan sebuah mahkamah konstitusi. sehingga kendati

dalam bab kekuasaan kehakiman terdapat sebuah komisi yudisial,

keberadaannya dinilai bukan sebagai pelaku kekuasaan kehakiman

melainkan sebagai supporting element dalam rangka mendukung kekuasaan

kehakiman yang merdeka, bersih, berwibawa.8

Desain konstitusi pasca amandemen yang menempatkan MA dan

MK sebagai puncak kekuasaan kehakiman (judicial Power) didasari pada

paradigma perubahan pasal 1 Undang-Undang Dasar 1945 yang menambah

ketentuan ayat 3 bahwa indonesia adalah negara hukum yang semula hanya

memuat dua pasal dan narasi mengenai negara hukum (rechstaate) berada

dalam penjelasan Undang-Undang Dasar.9 Dihapuskan kata rechstaate

dalam penjelasan Undang-Undang Dasar yang kemudian menjadi negara

hukum memiliki implikasi yang fundamental, sebab penghilangan kata

rechstaate tersebut bukan hanya perkara simantik atau gramatikal semata,

melainkan menyangkut masalah-masalah subtantif dan pragmatik. 10

Istilah rechstaate lebih menekankan pada pentingnya "hukum

tertulis" (civil law) dan kepastian hukum. Kebenaran dan keadilan dalam

rechstaate lebih berpijak atau menggunakan ukuran formal; artinya yang

7Tim Penyusun Naskah Komprehensif, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-

undang Dasar Negara Republik Indonesia Buku VI Kekuasaan Kehakiman..., h., 131

8 Ni’matul Huda, Lembaga Negara dalam Masa Transisi Demokrasi, (Yogyakarta: UII

Press, 2007) h., 160

9 Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: RajaGrafindo, 2014), h.,206

10 Mahfud Md, Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu, (Jakarta: Rajawali Pers,

2009) h.95

61

benar dan adil itu adalah apa yang ditulis di dalam hukum tertulis. Didalam

rechstaate hakim adalah corong undang-undang. Sedangkan rule of law

lebih menekankan pada pentingnya hukum yang tidak tertulis (common law)

demi tegaknya hukum dan keadilan. Kebenaran dan keadilan hukum

berpijak atau menegakkan keadilan subtansial dari pada kebenaran formal

prosedural semata.

Asumsi diatas yang kemudian mendikotomi struktur puncak

kekuasaan kehakiman dengan menjadikan mahkamah agung sebagai court

of justice dan mahkamah konstitusi sebagai court of law. Kendati berbeda

kedua institusi tersebut bukan berarti keduanya bisa dipisahkan seratus

persen. Secara normatif ternyata dalam praktiknyapun mahkamah agung

menangani permasalah judicial review mengenai norma norma yang berada

di bawah undang-undang untuk dilakukan uji materil dan formil terhadap

undang undang. Begitu juga dengan mahkamah konstitusi diberikan tugas

(kewajiban) membuktikan unsur-unsur kesalahan dan tanggung jawab

pidana presiden dan\wakil presiden serta memutuskan permasalahan yang

diajukan oleh DPR tersebut. Sehingga mengikuti konsepsi demikian jimly

asshiddiqie mengatakan bahwa keduanya dapat disebut sebagai mahkamah

kehakiman.

Bertitik tolak pada pelaku kekuasaan kehakiman, mahkamah agung

secara formil memiliki wewenang dan kewajiban sebagaimana tertuang

dalam pasal 24A sebagai peradilan tingkat kasasi, menguji peraturan

perundang-undangan terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang

lainnya yang diberikan undang-undang. Sedangkan mahkamah konstitusi

secara normatif berdasarkan pasal 24C ayat 1 memiliki wewenang untuk

mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final

untuk menguji undang-undang terhadap Undang Undang Dasar, memutus

sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh

Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran patai politik dan memutus

perselisihan tentang pemilihan umum. Disamping itu, mahkamah konstitusi

62

memiliki satu kewajiban sebagaimana tertuang di dalam pasal 24C ayat 2

berupa memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat

mengenai dugaan pelanggaran oleh presiden dan\atau wakil presiden

menurut Undang-Undang Dasar.

Mengenai masa jabatan, secara normatif, konstitusi tidak

menegaskan kedua masa jabatan pelaku kekuasaan kehakiman tersebut.

Peniadaan masa jabatan hakim dalam konstitusi ditindaklanjuti oleh

pembentuk undang-undang untuk didelegasikan kedalam undang-undang

organik kedua institusi tersebut. Sepertihalnya Mahkamah Agung, yang

dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 dan Mahkamah

Konstitusi dalam Undang-Undang Nomor 08 Tahun 2011 Tentang

Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang

Mahkamah Konstitusi.

Adapun terkait syarat dan pengisian jabatan Mahkamah Agung,

tertuang dalam pasal 24 ayat 2 dan 3, yaitu, syarat seseorang mencalonkan

diri menjadi hakim agung harus memiliki integritas dan kepribadian yang

tidak tercela, adil, profesional dan berpengalaman di bidang hukum.

Ketentuan mengenai syarat tersebut, memberikan peluang bagi desain

mahkamah agung untuk mengisi jabatan hakim agung baik dari hakim karir

maupun non-karir. Ketentuan tersebut lebih lanjut dianulir dalam undang

undang no 3 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman pasal 6B:

Selain calon hakim agung sebagaimana dimaksud pada ayat (1), calon

hakim agung juga berasal dari non- karir.

Kebutuhan mengenai proses pengisian hakim agung, yang

demikian merupakan bagian dan sekaligus kelanjutan dari desain besar

(grand design) reformasi mendasar pemegang kekuasaan kehakiman,

khususnya reformasi di mahkamah agung.11

11 Salinan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53 \PUU-XIV-2016

63

Adapun mengenai reqruitmen, pengisian hakim agung dicalonkan

oleh komisi yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat guna mendapat

persetujuan dan untuk selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh

Presiden. Ketentuan demikian lazim dikaitkan pada sejarah kekuasaan

kehakiman pada masa orde baru, dan orde lama yang pada masa itu

memiliki rekam jejak yang buruk dan rentan terhadap praktik Korupsi,

Kolusi dan Nepotisme (KKN), bahkan kekuasaan kehakiman dinilai

memiliki kepala yang berada di mahkamah agung namun tubuhnya berada

di dalam badan eksekutif (menteri kehakiman). Berawal dari pembahasan

RUU tentang pokok pokok kekuasaan kehakiman, sekitar 1968, sempat

diusulkan pembentukan, lembaga yang diberinama majelis pertimbangan

penelitian hakim (MPPH) yang semula dikehendaki untuk berfungsi sebagai

pemberi pertimbangan dan mengambil keputusan terakhir mengenai saran-

saran, atau usul-usul yang berkenaan dengan pengangkatan, promosi,

kepindahan, pemberhentian dan tindakan atau hukuman jabatan para hakim,

yang diajukan baik oleh MA maupun menteri kehakiman.12

Gagasan demikian nyaris tidak terdengar kembali, hingga pada

akhirnya mulai muncul kembali dalam wacana yang kuat sejak adanya

desakan penyatu atap bagi hakim (one roof of justice system) tahun 1998-an.

Sebagaimana diketahui, pada tahun 1998 MPR mengeluarkan ketetapan

MPR RI No.X\MPR\1998 tentang pokok pokok reformasi pembangunan

dalam rangka penyelamatan dan normalisasi kehidupan nasional sebagai

haluan negara. Dalam TAP tersebut menyatakan perlu segeranya

diwujudkan pemisahan yang tegas antara fungsi-fungsi yudikatif dan

eksekutif.

Namun pasca TAP tersebut, realisasinya sangat dinilai sangat sulit

dalam praktik ketatanegaraa, karena setelah komitmen politik untuk

memindahkan kewenangan administrasi, personal, keuangan dan organisasi

12Tim Penyusun Naskah Komprehensif, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-

undang Dasar Negara Republik Indonesia Buku VI Kekuasaan Kehakiman..., h., 26

64

pengadilan dari departemen kehakiman kepada MA muncul kekhawatiran

baru dikalangan pemerhati hukum dan organisasi non-pemerintah bahkan

dari MA tersendiri mengenai kekhawatiran akan lahirnya monopoli

kekuasaan kehakiman oleh MA sendiri13

. Maka untuk menghindari

permasalahan-permasalahan tersebut lahirlah gagasan untuk melahirkan

komisi yudisial yang secara fundamental memiliki dua fungsi secara khusus

yaitu rekrutmen hakim agung dan pengawasan terhadap hakim dalam rangka

menjaga keluhuran dan martabat hakim, yang secara expressis verbis

dituangkan sebagai norma dasar dalam pasal 24B Undang-Undang Dasar

1945.

Terkait dengan pengangkatan hakim agung melalui komisi

yudisial, Jimly mengungkapkan bahwa keberadaan KY diawal memang

dikonstruksikan guna merekrut hakim agung melalui usulannya yang

kemudian disampaikan kepada DPR. Skema demikian juga dipandang

sejalan dengan studi komparasi tentang judicial council yang dilakukan oleh

Nuno Garopa dan Tom Ginsburg yang menghasilkan kesimpulan bahwa

pada hakikatnya adanya Dewan Yudisial di berbagai negara dimaksudkan

untuk melakukan rekrutmen hakim. Lebih lanjut Ginsburg mengungkapkan:

"Judicial Councils are bodies that are designed to insulate the

functions of appointment, promotion, and discipline of judges from the

partisan political process while ensuring some level of accountability"14

Kelahiran komisi yudisial yang secara fungsional menjaga

keluhuran martabat hakim secara responsibel, paling tidak terinspirasi dari

berbagai negara-negara yang sudah secara ‘balancing’ menerapkan prinsip

13 Buku Cetak Biru Mahkamah Agung halaman 93, 99, 105, dan 238, bahkan di halaman

238 tersebut merupakan program kerja Mahkamah Agung, yaitu Mahkamah Agung akan

mendorong lahirnya Komisi Yudisial yang mengawasi hakim termasuk Hakim Agung. Lihat

naskah akademik Rancangan Undangundang Komisi Yudisial yang dibuat oleh Mahkamah

Agung, halaman 26, 45, dan 58 menyebut Hakim Agung meminta bantuan pengawasan pihak

eksternal (ky). Lihat keterangan ahli Mahfud Md dalam Putusan MK No.5\PUU- VI\2005

14 Nuno Garoupa dan Tom Ginsburg, Guarding the Guardians: Judicial Councils and

Judicial Independence. (Chicago: University of Chicago Law School, 2008) Hal.3

65

independensi dan akuntabilitas dengan membentuk berbagai komisi15

dalam

rangka menjadikan lembaga peradilan sebagai institusi yang merdeka namun

memiliki sifat akuntabilitas yang tinggi, sebab keduanya merupakan dua

kunci kekuasaan kehakiman yang sering bertolak belakang16

. Disatu sisi

peradilan harus merdeka dan mandiri, namun disisi lain peradilan juga harus

secara bertanggungjawab (akuntabel) terhadap putusan-putusan serta

berbagai derap langkah politik hukumnya. Bahkan Donald P. Kommers

dalam posisi intelektualnya memandang17

:

"Institutional autonomy is a requirement of judicial

independence. As some critics have alleged, however, this very

autonomy threatens judicial independence in the face of a court system

dominated by career judges drawn from a narrow slice of society and

known more for their passivity than for their creativity. Accountability,

however, also endangers independence"

Adapun mengenai mahkamah konstitusi, secara resmi lahir pada

tanggal 13 agustus 2003 yang embrionya mulai hangat diperdebatkan pada

amandemen ke-3 Undang-Undang Dasar 1945. Gagasan mengenai MK

dapat ditelusuri dari risalah sidang BPUPKI dahulu, dimana Moh. Yamin,

sempat mengusulkan pembentukan balai agung untung membandingkan

undang-undang terhadap undang-undang dasar, hukum adat dan hukum

islam. Namun gagasan itu mendapat pertentangan dari berbagai anggota

majelis, seperti soepomo, soekarno dan hatta.18

15 High council for magisrature, di Prancis, the higher judicial council di Iraq dan di

berbagai negara lain-lainya

16 Susi Dwi Harijanti, dalam Politik Hukum Kekuasaan Kehakiman, Meluruskan Arah

Manajemen Kekuasaan Kehakiman (Jakarta: Sekretariat Jenderal Komisi Yudisial Republik

Indonesia, 2018) h.,62-64

17 Donald P. Kommers, ‘Autonomy versus Accountability’ dalam Peter H. Russel dan

David M. O’Brien (eds), Judicial Independence in the Age of Democracy: Critical Perspective

from around the World (Charlottesville: University of Virgina Press, 2001) h., 131

18Naskah Komprehensif Perubahan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia

Buku VI Kekuasaan Kehakiman (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah

Konstitusi, 2010) h.,445

66

Pada amandemen undang-undang dasar ke-3 Pembentukan

Mahkamah Konstitusi mulai diperbincangkan kembali, tatkala berbagai tim

ahli memandang persoalan konstitusionalitas sebuah peraturan merupakan

unsur yang fundamental dalam negara hukum yang berbasiskan nilai nilai

demokrasi. Bahkan, mahkamah konstitusi yang semula diformulasikan

berada di bawah mahkamah agung justru dikeluarkan dari miniatur

mahkamah agung dan berada sederajat sebagai puncak pelaku kekuasaan

kehakiman19

.

Hal demikian dikarenakan mengingat berbagai fungsi yang

dimiliki oleh mahkamah konstitusi sebagai the soul of the interpretater of

the constitution dan sebagai the guardiance of democracy, dengan

kewenangan berupa pengujian undang-undang terhadap Undang Undang

Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara, pembubaran partai

politik, dan memutus sengketa pemilihan umum. Serta dilengkapi dengan

kewajiban untuk memutus dugaan pelanggaran presiden yang diajukan oleh

DPR. 20

Melihat berbagai peran dan kewenangan yang begitu besar dimiliki

oleh Mahkamah Konstitusi, maka konstruksi pemilihan (rekrutmen) hakim

konstitusi pun dilakukan melalui 3 cabang kekuasaan negara, 3 dipilih oleh

DPR (legislatif), 3 dipilih oleh MA (yudikatif), dan 3 dipilih oleh Presiden

(Eksekutif)21

. Sehingga, MK dinilai merupakan perwujudan tiga cabang

kekuasaan negara, yakni legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Komposisi ini,

diharapkan dapat menerapkan prinsip saling mengawasi dan saling

mengimbangi. Serta diharapkan pula, agar setiap putusan untuk

19 Tim Penyusun Naskah Komprehensif, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-

undang Dasar Negara Republik Indonesia Buku VI Kekuasaan Kehakiman..., h.563

20 Tim Penyusun Naskah Komprehensif, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-

undang Dasar Negara Republik Indonesia Buku VI Kekuasaan Kehakiman...,.h.,593

21 Risalah Sidang Rapat ke-36 Panitia Ad Hock I MPR, 2001, Rabu, 26 September 2001

67

menyelesaikan perbedaan pendapat di tubuh MK didasarkan pada

pertimbangan komposisi keanggotaan hakim konstitusi.22

Pola pengisian jabatan demikian lazim dikenal di berbagai negara

di dunia dengan konsep split and quota, seperti halnya yang dipraktikan

pada negara Italia, Korea Selatan, bahkan negara Austria yang kerap

dianggap sebagai pelopor pendiri mahkamah konstitusi pertama di dunia,

nyatanya juga menggunakan konsep pencalonan dari lembaga pengusung,

yaitu Presiden Federal, dan dua kamar dalam Parlemen23

, sebagai mana

tertuang dalam Article 147 Konstitusi Austria :

“The President, the Vice-President, six additional members

and three substitute members are appointed by the Federal

President on the recommendation of the Federal Government;

these members and substitute members shall be selected from

among judges, administrative officials, and professors holding a

chair in law. The remaining six members and three substitute

members are appointed by the Federal President on the basis of

proposals submitted by the National Council for three members

and two substitute members and by the Federal Council for three

members and one substitute member. Three members and two

substitute members must have their domicile outside the Federal

capital, Vienna. Administrative officials on active service who are

appointed members or substitute members shall be exempted, with

their pay terminating, from all official duties. This shall not apply

to administrative officials appointed substitute members who for

the term of such."

Dari berbagai batang tubuh konstitusi pasca amandemen,

nampaknya para perumus belum menempatkan masa jabatan hakim sebagai

hal yang fundamental, baik terhadap hakim agung maupun hakim konstitusi.

Sehingga secara atribusi, regulasi mengenai masa jabatan tersebut tertuang

dalam undang-undang.

22 Naskah Komprehensip Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 buku 6 tentang

kekuasaan kehakiman

23 Feri Amsari, Pengisian Jabatan Hakim Agung dan Hakim Konstitusi, Rajawali Press,

(Jakarta:2016), h.333-332

68

2. Rekrutmen Hakim Agung dan Hakim Konstitusi

a) Mahkamah Agung

Konstitusi pra-amandemen yang hanya memuat dua pasal dan

tiga ayat, yang berlaku pada masa orde lama dan baru tidak memberikan

kejelasan mengenai pola rekrrutmen Hakim Agung. Yang secara mutatis

mutandis kebijakan dalam menentukan sistem rekrutmen Hakim Agung

berada pada ranah pembentuk undang-undang.

Konstelasi demikian kemudian diatribusikan ke dalam Undang-

Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang

menentukan bahwa hakim agung diangkat oleh Presiden selaku Kepala

Negara dari calon yang diusulkan oleh DPR yaitu diusulkan masing-

masing dua calon untuk satu posisi hakim agung.

Mekanisme tersebut dianggap tidak memberi jaminan

independensi kepada hakim agung, karena penentuan hakim agung akan

sangat ditentukan oleh Presiden dan usul DPR yang kedua-duanya adalah

lembaga politik.24

Pasca perubahan UUD 1945, konstitusi memberikan jaminan

independensi yang lebih kuat kepada hakim agung, dengan menentukan

mekanisme pengusulan Hakim Agung yang dilakukan oleh suatu lembaga

negara yang independen, yaitu Komisi Yudisial, dalam rangka

meminimalisir pengaruh politik dalam proses penentuan Hakim Agung

yang berpedoman pada kemerdekaan (independensi) hakim, hal demikian

tertuang dalam pasal 24B Undang- Undang Dasar 1945. 25

Secara umum, paling tidak terdapat 4 (empat) macam

mekanisme rekrutmen hakim, seperti apa yang pernah diuraikan oleh

24

Salinan Putusan Mahkamah Konstitusi No.27/PUU-XI/2013, h.47

25 Salinan Putusan Mahkamah Konstitusi No.27/PUU-XI/2013, h.47

69

Tom Ginsburg dan Aharon Barak yaitu26

: (1) appointment by political

institutions; (2) appointment by the judiciary itself; (3) appointment by a

judicial council (which may include nonjudge members); dan (4) selection

through an electoral system

Perubahan pola rekrutmen Hakim Agung, yang semula

menggunakan perspektif politik (appointment by political institutions),

kini berubah dengan melibatkan komisi yudisial (appointment by a

judicial council) dituangkan dalam amandemen UUD 1945. Hal demikian

didasari pada paradigma kekuasaan kehakiman dalam memandang

dinamika yang terjadi di berbagai negara. Sebagaimana diamini oleh

Saldi Isra, melalui salah satu keterangan ahlinya, Saldi mengungkapkan,

bahwa pola rekrutmen yang didasarkan pada lembaga politik merupakan

pola klasik yang sudah mulai banyak ditinggalkan oleh berbagai negara.

Lebih lanjut Saldi menggunakan analisa Harold W Chase yang

menguraikan bahwa hakim di negara ini (Amerika) sarat dengan

kepentingan politik. Dengan proses yang dilakukan berdasarkan kemauan

politik, Chase menilai bahwa bila Presiden merupakan politikus yang

baik, maka tentu saja hakim yang dihasilkan berpeluang besar menjadi

hakim yang baik. Sulit bagi seorang Presiden yang berasal dari Partai

Demokrat untuk memilih calon hakim yang baik namun merupakan

pendukung Partai Republik (yang notabene-nya adalah pesaing Partai

Demokrat).

Model tersebut membuat Amerika bermasalah dalam proses

seleksi Hakim Agung. Karenanya, konsepsi rekrutmen hakim Agung di

Amerika ditindaklanjuti dengan melakukan sejumlah langkah perbaikan

dengan melibatkan banyak pihak. Tidak hanya melibatkan anggota

parlemen (anggota senat dan anggota House of Representative), perbaikan

26 Tom Ginsburg, Judicial Appointments and Judicial Independence,...h.1, diakses pada

laman www.constitutionmaking.org./files/judicial_appointments.pdf , dan Aharon Barak, The

Judge in a Democracy, Princeton University Press,( New Jersey, 2006) h. 78,

70

proses seleksi hakim juga melibatkan Gubernur Negara bagian, peradilan-

peradilan, bahkan juga warga negara setiap negara bagian ikut aktif

mengkaji tentang perbaikan sisitem seleksi hakim. Dengan gagasan

utamanya adalah menjauhkan proses seleksi hakim dari banyak

kepentingan politik. 27

Secara normatif, pola rekrutmen Hakim Agung dewasa ini

bersumber dari ketentuan pasal 24A ayat (3) dan 24B ayat (1) yang

mendeskripsikan bahwa, calon Hakim Agung diusulkan Komisi Yudisial

kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan

selanjutnya ditetapkan sebagai Hakim Agung oleh Presiden.

Lebih lanjut, ketentuan tersebut dianulir dalam Pasal 8 ayat (2),

ayat (3), dan ayat (4) Undang-Undang No. 03 Tahun 2009 tentang

Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang

Mahkamah Agung yang mana secara spesifik memberikan ketentuan

sebagai berikut:

a. Hakim agung ditetapkan oleh Presiden dari nama calon yang

diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat.

b. Calon hakim agung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipilih

oleh Dewan Perwakilan Rakyat dari nama calon yang diusulkan

oleh Komisi Yudisial.

c. Calon hakim agung yang diusulkan oleh Komisi Yudisial

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipilih oleh Dewan

Perwakilan Rakyat 1 (satu) orang dari 3 (tiga) nama calon untuk

setiap lowongan.

d. Pemilihan calon hakim agung sebagaimana dimaksud pada ayat

(3) dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari sidang terhitung

sejak tanggal nama calon diterima Dewan Perwakilan Rakyat.

Ketentuan demikian kemudian disandingkan dengan pasal 13 dan

14 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial, yang

berbunyi:

27

Perbaikan mengenai upaya rekrutmen hakim di Amerika, sampai saat ini masih

menjadi diskursus yang intens, dengan melibatkan berbagai komponen lembaga negara dalam

rangka meminimalisir pengaruh politik http://www.judicialselection.us/

71

Pasal 13

Komisi Yudisial mempunyai wewenang :

a. mengusulkan pengangkatan hakim agung dan hakim ad hoc di

Mahkamah Agung kepada DPR untuk mendapatkan

persetujuan;

b. menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat,

serta perilaku hakim;

c. menetapkan Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim

bersama-sama dengan Mahkamah Agung; dan

d. menjaga dan menegakkan pelaksanaan Kode Etik dan/atau

Pedoman Perilaku Hakim.

Pasal 14

Dalam rangka melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 13 huruf a, Komisi Yudisial mempunyai tugas:

1. melakukan pendaftaran calon Hakim Agung;

2. melakukan seleksi terhadap calon Hakim Agung;

3. menetapkan calon Hakim Agung; dan

4. d. mengajukan calon Hakim Agung ke DPR.

Dari kedua instrumen undang-undang tersebut, secara normatif

nampak berkesesuaian dengan konteks pasal 24A dan 24B UUD 1945

yang melibatkan tiga komponen (KY, DPR, Presiden). Namun nyatanya

secara praktik terdapat indikasi pencederaan terhadap prinsip

independensi peradilan melalui jalur rekrutmen Hakim Agung.

Pencederaan tersebut, nampak dari bifurkasi norma "dipilih"

yang tertuang dalam bunyi pasal 8 ayat 2 undang-undang MA. Sebab,

implikasi dari bunyi norma tersebut, justru memberikan legitimasi kepada

DPR untuk membuka ruang pengajuan calon Hakim Agung selain calon

yang diajukan oleh Komisi Yudisial.28

Maka melalui Putusan MK No.27/PUU-XI/2013 ketentua a quo

dinyatakan secara inkonstitusional bersyarat (conditionally

inconstitutional) sepanjang frasa "dipilih" harus dimaknai sebagai

28 Keterangan Ahli Saldi Isra dalam sidang pengujian norma Undang-Undang No 3

Tahun 2009 dan Undang-Undang No 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial. Lihat Salinan

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 27/PUU-XI/2013

72

"disetujui." Hal demikian tiada lain, sebagai upaya mendukung tesis dari

lahirnya Komisi Yudisial di berbagai negara, yaitu dalam rangka

meminimalisir pengaruh politik dalam kelangsungan kekuasaan

kehakiman.29

b) Mahkamah Konstitusi

Kelahiran peradilan konstitusi di berbagai negara nampaknya

masih menjadi hal yang dilematis. Sebab, masih ada negara di dunia ini

yang menempatkan sengketa norma dalam satu institusi peradilan yang

sama seperti halnya di Amerika Serikat, dimana Mahkamah Agung

(Supreme Court) memiliki kewenangan untuk menyatakan keabsahan

(konstitusionalitas) norma undang-undang yang berlaku, sehingga dalam

meninjau konsep rekrutmen hakim di Amerika, didasari pada rekrutmen

Hakim Agung pada umumnya.30

Dalam praktik negara-negara di dunia ini, pengisian jabatan hakim

konstitusi dapat diklasifikasikan melalui 5 cara pengisian jabatan (judicial

appointment) berupa31

:

1. Seleksi dilakukan oleh lembaga eksekutif dan legislatif. Dalam

hal ini, pengusulan diajukan oleh eksekutif (presiden) namun

dibutuhkan persetujuan legislatif melalui mekanisme

konfirmasi.

2. Seleksi dilakukan oleh legislatif. Di sini, legislatif sepenuhnya

bertanggungjawab dalam proses pemilihan para hakim. Dalam

29

Perdebatan mengenai kewenangan DPR bersama Komisi Yudisial dalam

melangsungkan rekrutmen Hakim Agung (Judicial Appoinment) dimana DPR dapat mengajukan

calonnya sendiri disamping calon yang diajukan oleh Komisi Yudisial. Lebih lengkapnya lihat

Salinan Putusan Mahkamah Konstitusi No.27/PUU-XI/2013, h.50

30 I Dewa Gede Palguna, "Pengisian Jabatan Hakim Konstitusi," makalah dipresentasikan

pada Konferensi Nasional Hukum Tata Negara Ke-2, yang diselenggarakan atas kerjasama Pusat

Studi Konstitusi (PUSaKo) Fakultas Hukum Universitas Andalas dengan Tahir Faoundation,

Padang 12 September 2015

31 I Dewa Gede Palguna, Mahkamah Konstitusi, Dasar Pemikiran, Kewenangan dan

Perbandingan dengan Negara Lain,...,h.82.

73

proses ini pun dilakukan dengar pendapat kepada kandidat

hakim, guna menghindari calon-calon yang lolos seleksi

hanyalah mereka yang didominasi oleh partai yang menguasai

suara mayoritas di parlemen.

3. Seleksi dilakukan oleh eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

Ketiga cabang kekuasaan negara ini diberikan kekuasaan untuk

mengusulkan calon hakim dengan kuota tertentu. Cara ini,

antara lain, diterapkan di Italia, Korea Selatan, Indonesia.

4. Seleksi yang dilakukan oleh suatu komisi khusus. Cara ini

antara lain diterapkan oleh negara Afrika Selatan dan Thailand.

5. Penunjukan oleh eksekutif. Dalam hal ini, penunjukan

sepenuhnya berada di tangan eksekutif.

Dari berbagai model rekrutmen hakim konstitusi tersebut, praktik

yang diselenggarakan di Indonesia, nyatanya menggunakan pola split and

quote yang masing-masing diajukan melalui seleksi dari tiga cabang

kekuasaan negara (legislatif, eksekutif, dan yudikatif). Hal demikian

bermuara dari konsepsi amandemen UUD 1945 tepatnya pada pasal 24C

ayat (3). Yang selanjutnya secara atribusi dituangkan dalam Undang-

Undang No. 08 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.

24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, tepatnya pada pasal 18 yang

berbunyi:

Hakim konstitusi diajukan masing-masing 3 (tiga) orang

oleh Mahkamah Agung, 3 (tiga) orang oleh DPR, dan 3 (tiga)

orang oleh Presiden, untuk ditetapkan dengan Keputusan

Presiden.

Ketentuan demikian secara normatif difahami oleh berbagai

lembaga pengusung untuk memilih calon-calon hakim konstitusi

berdasarkan pilihan politiknya, sebab nyatanya hingga saat ini, belum ada

ketentuan yang seragam dalam rangka menciptakan standaritas serta

kualifikasi sistem rekrutmen hakim konstitusi.

74

Lebih dari itu, dalam tataran implementasinya, lembaga

pengusung, baik DPR, Presiden maupun Mahkamah Agung sering merubah

tata cara pemilihan dan rekrutmen hakim. Sebagai contoh, dalam hal

Mahkamah Agung sebagai lembaga pengusung, maka dibentuk panitia

seleksi oleh Pimpinan Mahkamah Agung yang diketuai oleh salah satu

hakim agung. Mahkamah Agung melalui pengumuman panitia seleksi

nomor 02/Pansel/H-MK/IX/2014 tanggal 18 September 2014, yang

membuka pendaftaran calon hakim konstitusi dari unsur Mahkamah Agung

Republik Indonesia. Berbeda dengan tahun 2014, pada tahun 2016 saat salah

satu hakim konstitusi yang berasal dari Mahkamah Agung akan mengakhiri

masa jabatannya, Mahkamah Agung langsung melakukan perpanjangan

masa jabatan hakim yang bersangkutan tanpa membentuk panitia seleksi

ataupun pengumuman tentang pendaftaran calon hakim konstitusi dari unsur

Mahkamah Agung. Menurut pimpinan Mahkamah Agung, hakim konstitusi

yang bersangkutan dipilih kembali untuk periode kedua setelah memantau

kinerjanya serta melakukan uji kepatutan dan kelayakan. Begitu pula yang

terjadi di ranah eksekutif, rekrutmen hakim konstitusi justru dilakukan

berdasarkan penunjukan oleh Presiden. Sebagai contoh penunjukan Presiden

dalam seleksi hakim konstitusi dilakukan berdasarkan Keputusan Presiden

Nomor 87/P Tahun 2013 tanggal 22 Juli 2013 tentang pemberhentian

dengan hormat dari jabatan Hakim Konstitusi, masing-masing atas nama 1.

Prof. DR. Maria Farida Indrati, SH., MH; 2. Prof. DR. Achmad Sodiki, SH.,

MH dan pengangkatan dalam jabatan Hakim Konstitusi Prof. DR. Maria

Farida Indrati, SH., MH dan DR. Patrialis Akbar, SH.,MH. Kemudian pada

tahun 2014, Presiden menggunakan panitia seleksi dalam menentukan

hakim konstitusi dari unsur Presiden. Pembentukan panitia seleksi

ditetapkan dengan Keputusan Presiden Nomor 51 Tahun 2014 tentang

Pembentukan Panitia Seleksi Calon Hakim Konstitusi yang Diajukan oleh

Presiden. Sementara itu, proses seleksi, pemilihan, dan pengajuan calon

hakim konstitusi di DPR RI diselenggarakan oleh Komisi III melalui

pembentukan panitia seleksi.masa awal berdirinya Mahkamah Konstitusi,

75

pergantian hakim konstitusi dari tubuh eksekutif, dilakukan melalui

mekanisme penunjukan oleh Presiden. 32

Mekanisme pengangkatan hakim konstitusi melalui panitia khusus

pernah diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang

Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun

2013, yang menyatakan bahwa calon hakim konstitusi dipilih melalui uji

kelayakan dan kepatutan yang dilaksanakan oleh Panel Ahli. Mahkamah

Agung, DPR, dan Presiden mengajukan calon hakim konstitusi kepada Panel

Ahli masing-masing paling banyak 3 (tiga) kali dari jumlah hakim konstitusi

yang dibutuhkan untuk dilakukan uji kelayakan dan kepatutan. Panel Ahli

menyampaikan calon hakim konstitusi yang dinyatakan lolos uji kelayakan

dan kepatutan sesuai dengan jumlah hakim konstitusi yang dibutuhkan

ditambah 1 (satu) orang kepada Mahkamah Agung, DPR, dan/atau Presiden.

Akan tetapi, Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 1-2/PUU-XII/2014 menyatakan Undang-Undang Nomor

4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua atas

UndangUndang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi

bertentangan dengan UUD 1945.33

Dalam salah satu pertimbangan

hukumnya (ratio legis), Mahkamah Konstitusi menyatakan, pengajuan calon

hakim konstitusi melalui Panel Ahli yang dibentuk oleh Komisi Yudisial

telah mereduksi kewenangan konstitusional Mahkamah Agung, DPR, dan

Presiden. Pasal 24C UUD NRI Tahun 1945 memberikan kewenangan

atributif yang bersifat mutlak kepada masing-masing lembaga negara untuk

mengajukan calon hakim konstitusi, oleh karena itu dengan adanya Panel

Ahli yang dibentuk oleh Komisi Yudisial untuk memilih hakim konstitusi

32 Laporan Hasil Penyelarasan Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang

Mahkamah Konstitusi, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia 2017, h. 42-43

33 Laporan Hasil Penyelarasan Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang

Mahkamah Konstitusi, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia 2017, h. 42-43

76

bertentangan dengan Pasal 24C ayat (3) UUD 1945 juga bertentangan

dengan filosofi yang mendasari perlunya hakim konstitusi dipilih oleh

lembaga negara yang berbeda.34

B. Masa Jabatan Hakim Agung dan Hakim Konstitusi

Sebagaimana telah disinggung dalam pebukaan bab ini, konstruksi

konstitusi pasca amandemen, telah menempatkan MA dan MK sebagai

puncak kekuasaan kehakiman. Dimana masa jabatan keduanya sama-sama

tidak secara tersurat dicantumkan di dalam Konstitusi, melainkan diatur dalam

undang-undang tersendiri. Kendati demikian, masa jabatan keduanya secara

legal policy35

di desain oleh pembentuk undang-undang dengan ketentuan

yang berbeda.

Mengenai Masa jabatan Hakim MARI, secara normatif tidak dibentuk

dalam skema periodesasi, melainkan produktifitas umur, berdasarkan Undang-

Undang Nomor 03 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-

Undang Nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung Pasal 11 huruf b :

Ketua, wakil ketua, Ketua Muda Mahkamah Agung, dan

hakim agung diberhentikan dengan terhormat dari jabatannya oleh

Presiden atas usul Mahkamah Agung karena:

a. Meninggal dunia;

b. Telah berusia 70 (tujuh puluh) tahun; c. Atas permintaan sendiri secara tertulis;

d. Sakit jasmani atau rohani secara terus menerus selama 3 (tiga)

bulan berturut-turut yang dibuktikan dengan surat keterangan

dokter atau;

e. Ternyata tidak cakap dalam menjalankan tugasnya.

34 Salinan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1-2/PUU-XII/2014

35 Legal policy merupakan kebijakan pemebentuk undang-undang untuk merumuskan

ketentuan norma dalam undang-undang, hal demikian dinisbatkan pada lembaga pembentuk

undang-undang (DPR dan Presiden) sebagai konsekuensi atas dikotomi positif legislator dan

Negatif legislator dalam doktrin triaspolitika pasca lahirnya konsep Judicial review dalam

pengawasan norma sebagai upaya penyelamatan atas nilai nilai demokrasi yang merujuk pada

konsep konstitusi. Lihat Alec Stone Sweet, "Constitutional Courts and Parlementary Democracy"

(Special Issue on Delegation), West European Politics, Vol. 15, No. 1 (January 2002), Frank Cass:

London, h.78-79

77

Adapun periodesasi masa jabatan, hanya dinisbatkan kepada Ketua

dan wakil Ketua serta Ketua Muda Mahkmah Agung, yang masing-masing

memegang jabatan selama lima tahun, sebagaimana tertuang dalam undang

undang Nomor 5 tahun 2004 tentang perubahan undang-undang Nomor 14

tahun 1985 pasal 5 :

(7). Masa jabatan ketua, Wakil Ketua, dan Ketua Muda Mahkamah

Agung selama 5 (lima) tahun.

Pola demikian justru berbeda dengan masa jabatan yang ada di

Mahkamah Konstitusi, dimana hakim konstitusi hanya memiliki masa jabatan

5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan. Hal

demikian tertuang jelas dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2011 tentang

Perubahan atas UU No.24 Tahun 2003 tentang MK Dalam Pasal 22 yang

menyebutkan:

"masa jabatan hakim konstitusi selama 5 (lima) tahun dan dapat

dipilih kembali hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya."

Adapun mengenai ketua dan wakil ketua, hanya memiliki masa

jabatan dua tahun enam bulan. Sebagaimana tertuang dalam undang-undang

nomor 08 tahun 2011 tentang perubahan atas undang-undang 24 tahun 2003

tentang Mahkamah Konstitusi pasal 4 (empat) yang berbunyi:

(3) ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh

anggota hakim konstitusi untuk masa jabatan selama 2 (dua) tahun 6

(enam) bulan terhitung sejak tanggal pengangkatan Ketua dan Wakil

Ketua Mahkamah Konstitusi

(3a) Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi yang terpilih

sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dipilih kembali dalam

jabatan yang sama untuk 1 (satu) kali masa jabatan.

Terhadap ketentuan demikian, MKRI memberikan tafsir

konstitusional melalui dua putusannya, Putusan No 53/PUU-XIV/2016 dan

Putusan No 73/PUU-XIV/2016. Dalam ratio decedentie Putusan 53/PUU-

XIV/2016, MKRI berpandangan bahwa disparitas masa jabatan kedua

lembaga tersebut bertentangan dengan berbagai konsep independensi, serta

imparsialitas lembaga peradilan, terlebih mekanisme rekruitmen hakim MKRI

yang didesain didalam UUD 1945 menempatkan lembaga politik sebagai

78

pintu gerbang seleksi hakim konstitusi, sehingga undang-undang seharusnya

meletakkan masa jabatan hakim konstitusi dengan durasi waktu yang lebih

lama.36

Pertimbangan Mahkamah Jelas sejalan dengan apa yang pernah

diungkapkan oleh L.P Jain yang dikutip oleh Susi Dwi Harijianti, dalam upaya

meminimalisir proses politik dalam pengangkatan pejabat dilingkungan

yudikatif, yang selengkapnya Jain mengungkapkan37

:

"The main Purpose underlining the law laid down by the SC in

the matter of opportinity Supreme Court Judges was to minimize

political influence in Judicial appointments as well as to minimize

individual discretion of the constitutional functionaries invocked in

the process of appoinment of the Supreme Court. The entire process

making appointment to high judicial offices is sought to be made more

transparent so as the ensure that neither political bias nor personal

favoritism nor animosity play any part in the appointment of judges."

Kendati memberikan pandangan yang mendukung permohonan

pemohon, namun Mahkamah, tidak mengabulkan permohonan pemohon

dengan alasan bahwa permohonan aquo secara langsung menyentuh

kepentingan pribadi Hakim konstitusi dan dapat mencederai asas Nemo Judex

Indenous in propria causa yaitu hakim dilarang memutus perkara yang

bersangkutan dengan dirinya.38

Sehingga, dalam hal ini, mahkamah

berpendapat bahwa hal demikian menjadi kewenangan pembentuk undang-

undang (open legal Policy) agar membuat durasi masa jabatan hakim

konstitusi yang ideal.

36 Salinan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 53/PUU-XIV/2016, h.97

37 Susi Dwi Harijianti, "Pengisian Jabatan Hakim: Kebutuhan Reformasi dan

Pengekangan Diri"..., Lihat M.P Jain, Indian Constitutional Law, 5th edition, Wadhwa Publisher

Nagpur, 2006, h. 195-196

38 Salinan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 53/PUU-XIV/2016, h.97

9;

BAB IV

ANALISIS MASA JABATAN HAKIM KONSTITUSI

A. Problematika Pencalonan dan Pergantian Masa Jabatan Hakim

Konstitusi

Sejak awal berdirinya MKRI, konsepsi masa jabatan hakim konstitusi

didesain menggunakan pola periodisasi dengan jangka waktu lima tahun dan

dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan. Hal demikian tertuang

dalam pasal 22 undang undang Nomor 24 Tahun 2003 sebagaimana telah

dirubah dengan undang-undang Nomor 08 Tahun 2011 tentang Perubahan

undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

Pola masa jabatan demikian, mengikuti karakteristik kekuasaan

eksekutif yang secara konstitusional tertuang dalam pasal 7 UUD 1945 dengan

masa jabatan selama 5 tahun dalam satu periode dan dapat dipilih kembali

untuk satu kali masa jabatan. Pembatasan tersebut dituangkan dalam konstitusi

atas legal memorandum yang begitu mendasar, yaitu the power of executive

yang begitu besar dan bahkan tidak dapat dipersamakan dengan lembaga

politik lainnya seperti DPR maupun DPRD maupun DPD.

Dalam dimensi tata negara, presiden memiliki kewenangan penuh

dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan, sehingga memang diperlukan

adanya pembatasan untuk menghindari kesewenang-wenangan. Dalam konteks

modern ini paling tidak kekuasaan eksekutif dapat diringkas menjadi (a)

Kekuasan diplomatik, yaitu berkaitan dengan hubungan luar negeri; (b)

Kekuasaan administratif, yaitu berkaitan dengan pelaksanaan undang-undang

dan administrasi negara; (c) Kekuasan militer, yaitu yang berkaitan dengan

organisasi bersenjata dan pelaksanaan perang; (d) Kekuasaan yudikatif, yaitu

menyangkut memberi pengampunan, penangguhan hukuman dan sebagainya

terhadap narapidana atau pelaku kriminal; dan (e) Kekuasaan legislatif, yaitu

:8

berkaitan dengan penyusunan rancangan undang-undang dan ikut serta dalam

mengatur proses pengesahan menjadi undang-undang.1

Bahkan dalam kaitannya antara sesama Jabatan (lembaga) politik2,

masa jabatan presiden tidak dapat dipersamakan dengan masa jabatan anggota

DPR maupun DPRD yang dapat dipilih kembali dalam beberapa periode.3 hal

ini tergambar sangat jelas, manakala konstitusi secara rigid menegaskan masa

jabatan presiden hanya selama 5 tahun dan dapat dipilih kembali untuk satu

kali masa jabatan, sedangkan DPR tidak demikian, dan bahkan hanya

didelegasikan ke dalam undang-undang organik yang masa jabatannya dapat

berlangsung lebih dari dua periode. Jika ditelusuri melalui original intens

perbedaan kedua masa jabatan tersebut, paling tidak lahir dalam amandemen

ke1 dan ke-2 tatkala adanya gagasan untuk melahirkan pasal 7 dalam

Konstitusi. Dalam pandangan pembentuk konstitusi amandemen ke-2, semua

fraksi sepakat atas pembatasan masa jabatan presiden didasari pada sejarah

masa kelam pemerintahan yang otoritarian, yang secara praktik membentuk

dinasti dalam fungsional negara sehingga cenderung mempertahankan rezim

yang otoriter. Lahirnya pembatasan masa jabatan eksekutif tersebut didasari

juga pada doktrin yang berkembang dalam negara-negara demokrasi

konstitusional yang muaranya bersumber dari ungkapan politisi dan juga

1 CF Srong, Modern Political Constitutions: An Introduction to The Comparative Study to

Their History and Existing Form (Konstitusi-Konstitusi Politik Modern. Kajian tentang Sejarah &

Bentuk-Bentuk Konstitusi Dunia,) Nuansa Media, (Bandung: 2004). H.,35

2 Jabatan Politik adalah jabatan yang diperoleh melalui mekanisme pemilihan langsung,

maupun jabatan yang diperoleh beradasarkan penunjukkan oleh lembaga yang dihasilkan melalui

pemilihan langsung. Lihat Azhari, Mereformasi Birokrasi Indonesia. Studi Perbandingan

Intervensi Pejabat Politik Terhadap Pejabat Birokrasi di Indonesia dan Malaysia, Pustaka Pelajar

(Yogyakarta: 2011), h.,52

3 Salinan Putusan MK No 108/PUU-X/2012, pada halaman 21-22

:8

sejarawan Inggris "Lord Acton" yang mengungkapkan power tends to corupt

and absolute power corupt absolutely. 4

Namun apakah doktrin demikian harus secara mutatis mutandis

berlaku kepada semua masa jabatan lembaga negara. Nyatanya lembaga

parlemen, kendati digolongkan sebagai lembaga publik (electoral public) yang

dipilih oleh rakyat (jabatan politik), namun masa jabatannya hanya dibatasi

oleh undang-undang dengan konsep periodesasi semata tanpa batasan jumlah

periode.

Hal demikian disinyalir bahwa legislatif tidak memiliki kekuasaan

yang absolute layaknya presiden. Bahkan jika dibandingkan dengan kekuasaan

presiden, parlemen cenderung lebih lemah dari eksekutif, sebab secara praktik

kebijakan parlemen hanya bersumber dari kewenangannya berupa legislasi,

kontrol, dan anggaran. Lebih dari itu, jika melihat sejarah lahirnya lembaga

parlemen seperti yang pernah disinggung oleh Jimly Asshiddiqie adalah dalam

rangka mengawasi keberadaan eksekutif sebab eksekutif dinilai merupakan

induk dari kekuasaan itu sendiri.5 Hal demikian tercermin secara jelas mana

kala konstitusi pasca amandemen merampas berbagai kewenangan presiden

untuk dialihkan kedalam struktur kekuasaan negara lainnya termasuk salah

satunya kekuasaan pembentuk undang-undang yang dialihkan ke DPR.

Konstruksi kedua masa jabatan politik di atas jika disandingkan

dengan masa jabatan hakim konstitusi tentu lebih tidak memiliki logika

konstitusi yang mendasar, terlebih jika disandingkan dengan jabatan presiden

yang sudah pasti memiliki karakteristik yang berbeda baik dari segi konstruksi

ketatanegaraan maupun kewenangan jabatannya. Merujuk pada pernyataan

4 Tim Penyusun Naskah Komprehensif, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-

undang Dasar Negara Republik Indonesia Buku VI Kekuasaan Kehakiman,..., h.472-500

5 Jimly Ashidqy, Hukum Tata Ngara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Konstitusi Press,

Jakarta:2005, h.,30-33

:8

Alexander Hamilton dalam membandingkan cabang kekuasaan negara ia

mengatakan6:

"In a government in which they are separated from each other,

the judicial, from the nature of its function, will always be the least

dangerous it will be least in a capacity to annoy or injure them. The

Executive not only dispenses the honors, but holds the sword of the

community. The legislature not only commands the purse, but

prescribes the rules by which the duties and rights of every citizen are

to be regulated. The judiciary, on the contrary, has no influence over

either the sword or the purse; no direction either of the strength or of

the wealth of the society; and can take no active resolution whatever.

It may truly be said to have neither FORCE nor WILL, but merely

judgment; and must ultimately depend upon the aid of the executive

arm even for the efficacy of its judgment.7"

Pernyataan Hamilton, kiranya menjadi pertimbangan berbagai pihak

dalam melihat eksistensi kekuasaan kehakiman di berbagai negara yang

memang terkadang berada di posisi yang rentan untuk diintervensi dan minim

akan alat kekuasaan, sehingga dalam konteks masa jabatan tentu tidak dapat

dipersamakan dengan lembaga eksekutif yang menggunakan pola pembatasan

masa jabatan dengan periodesasi. Bahkan secara praktik kekuasaan kehakiman

di indonesia, seharusnya MKRI memiliki persamaan masa jabatan dengan

MARI yang hanya disandingkan pada masa pensiun bukan periodesasi.

Persamaan tersebut didasari bahwa keduanya merupakan puncak

pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka berdasarkan perintah konstitusi.

MARI yang dinisbatkan menjadi Court of Justice sedangkan MKRI

mendapatkan julukan sebagai Court of Law8. Bahkan dalam Tafsir

Konstitutsional dalam putusan No.34\PUU-X\2012 MKRI berpandangan:

6 Hamdan Zoelva, Mengawal Konstitualisme, Konstitusi Press (Jakarta:2016) h.135

7 Alexander Hamilton, John Jay, Tomas Madison, The Federalis Papers 78, The New

American Library: (New York:1996) h.,356

8 Yuliandri, dalam Hitam Putih Pengadilan Khusus, Pusat Analisis dan Layanan

Informasi Sekretariat Jenderal Komisi Yudisial, Jakarta: 2013 h.64

:8

"bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang

merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum

dan keadilan. Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah

Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkup

peradilan umum, peradilan agama, militer dan tata usaha negara, dan

oleh sebuah mahkamah konstitusi. Berdasarkan ketentuan tersebut,

lembaga negara Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi merupakan

lemabaga negara yang setara (equal) yang bebas dan independent dalam

menyelenggarakan kekuasaan kehakiman"9

Dengan adanya pemberlakuan disparitas masa jabatan keduanya yang

dituangkan ke dalam undang-undang organik justru seakan menabrak prinsip

persamaan di depan hukum. seperti apa yang pernah disampaikan oleh Bagir

Manan bahwa makna persamaan hukum dalam konteks kekuasaan kehakiman

ialah, pertama; segala bentuk yang mengatur dan mengurus kekuasaan

kehakiman harus menjamin, dipenuhi, dan tidak boleh bertentangan dengan

prinsip-prinsip kehakiman yang merdeka. Prinsip-prinsip itu antara lain prinsip

pemisahan kekuasaan kehakiman dan segala bentuk campur tangan lain,

kebebasan hakim dalam memeriksa mengadili dan memutus perkara, jaminan

sistem penggajian atau remunerasi yang tidak tergantung pada cabang

kekuasaan lain, jaminan kekuasaan kehakiman yang imparsial dan fair

termasuk pengaturan masa jabatan hakim yang panjang untuk memberi rasa

aman dan bebas dari keterpaksaan untuk menjaga kelangsungan jabatan dan

berbagai prasangka. kedua, prinsip persamaan bermakna segala bentuk

mengatur dan mengurus kekuasaan kehakiman, harus menjamin perlakuan

yang sama antar berbagai lingkungan kekuasaan kehakiman. Segala bentuk

perbedaan atau inequality dan diskriminasi atas dasar perbedaan lingkungan

peradilan merupakan pelanggaran prinsip persamaan di depan hukum dan

pelanggaran terhadap larangan diskriminasi.10

9 Salinan Putusan MK No 34/PUU-X/2012, Pendapat Mahkamah, h.38

10 Keterangan Ahli Bagir Manan dalam Salinan Putusan Mahkamah Konstitusi No.

6/PUU-XIV/2016, Keterangan Ahli, h.29

:8

Terlebih, dalam konteks kekuasaan kehakiman yang merdeka, masa

jabatan merupakan salah satu faktor dalam menentukan independensi lembaga

peradilan. Seperti apa yang pernah dikonsepsikan oleh Alexander Hamilton

dalam federalis paper 78 bahwa pengadilan dapat dinilai independen ditinjau

dari 1. Pola pengisian jabatan hakim ( the mode of appointing the judges) 2;

masa jabatan hakim ( the tenure by which they are to hold their places), 3;

pembagian kewenangan lembaga peradilan dalam peradilan yang berbeda, dan

hubungan antara lembaga tersebut (the partition of the judiciary authority

between different court and their relations to each other).11

Pandangan

Hamilton dipertegas oleh Eropean Court of Human Right (ECHR) dalam

sengketa Findlay vs inggris12

dengan menyatakan“regard must be had, inter

alia, to the manner of appointment of its members and their term of office, the

existence of safeguards agains outside pressure and the question of whether it

presents an appearance of independence." Yang kemudian konsepsi tersebut

dituangkan dalam International Comission of Jurists, 2007, dan International

Principles on the Independence and Accountability of Judges, Lawyers, and

Prosecutors, di Jenewa.

Keterkaitan mengenai Konsep periodesasi dan independensi masa

jabatan hakim pernah juga diungkapkan oleh Bagir Manan, dengan mengutip

apa yang diungkapkan oleh Justice O' Connor, seorang Hakim Agung wanita

pertama di Amerika Serikat yang mengatakan apabila hakim dipilih secara

reguler dalam waktu waktu tertentu ada kemungkinan mereka merasa sekurang

kurangnya mempunyai sesuatu yang dipertaruhkan pada setiap putusan yang

dipublikasikan kemudian. Hal demikian pun dipertegas oleh Justice Beverley

Mclachlin Ketua Mahkamah Agung Kanada yang juga seorang wanita pertama

11

Alexander Hamilton, John Jay, Tomas Madison, The Federalis Papers, The New

American Library: New York, No. 78: Hamilton, Dikutip dalam Putusan Mahkamah Konstitusi

No. 53/PUU-XIV/2016, Pendapat Mahkamah, h.94

12 Findlay adalah seorang mantan (pensiunan) militer yang menganggap dirinya telah

dirugikan atas tindak peradilan militer dalam hal ganti rugi, ia mempertanyakan peradilan militer

yang independen kepada pengadilan HAM eropa pada tahun 1997

:8

yang menjadi ketua Mahkamah Agung di sana. Ia mengungkapkan seandainya

hakim-hakim dapat menekan perasaan ini atau menjauhkan diri dari perbuatan

semacam itu atas hubungan pribadi tersebut. Kepercayaan publik terhadap

kekuasaan kehakiman tetap dapat berkurang, semata mata karena ada

kemungkinan hakim-hakim yang bersangkutan tidak dapat mengelak untuk

tidak bertindak berdasarkan hubungan pribadi tersebut.13

Apa yang dipaparkan oleh Bagir Manan kiranya sejalan dengan

pandangan Ali Syafaat dalam memandang eksistensi masa jabatan Hakim

Konstitusi di Indonesia. Dimana ia justru memulai argumentasi proposisinya

dengan lebih dahulu mendeskripsikan pendekatan rekrutmen terhadap masa

jabatan dewasa ini dengan memberikan ilustrasi terhadap posisi hakim atas

putusan-putusan hakim tersebut yang dikhawatirkan akan menjadi penilaian

dari lembaga pengusul apakah merugikan atau menguntungkan lembaga

pengusul. 14

Lebih dari itu, hakim tertentu (sebagai Ketua) juga akan

menimbulkan persoalan dari sisi etika dan kesantunan jika mengikuti seleksi

lagi pada periode kedua. Apalagi jika hakim tersebut tidak terpilih yang akan

menimbulkan pertanyaan atas kualitas putusan yang telah dibuat. Persoalan-

persoalan ini sudah pernah mengemuka yaitu pada saat seleksi hakim

konstitusi. Jimly Asshiddiqie, oleh DPR untuk periode kedua, dan hakim

konstitusi Hamdan Zoelva yang lebih memilih tidak mengikuti seleksi yang

dilakukan oleh Presiden.15

Hubungan antara masa jabatan dan proses seleksi demikian kiranya

pernah disinggung oleh Lawrence Baum yang mengemukakan bahwa sangat

13

Bagir Manan, Dalam Keterangan Ahli, Lihat Salinan Putusan Mahkamah Konstitusi

No. 6/PUU-XIV/2016, Keterangan Ahli, h.29

14 Ali Syafa'at, "Pengisian dan Masa Jabatan Hakim Konstitusi", h.4, Makalah

disampaikan pada Seminar dan Lokakarya Nasional Perubahan Undang-Undang Mahkamah

Konstitusi yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Jember, di Jember 20-22 Mei

2016.

15 Ali Syafaat, Ali Syafa'at, "Pengisian dan Masa Jabatan Hakim Konstitusi"…, h.4

:8

dimungkinkan independensi peradilan akan tercederai mengingat konsep

pengusulan hakim yang menggunakan pola rekrutmen oleh lembaga politik

serta jaminan masa jabatan yang dapat diperpanjang melalui lembaga yang

sama dapat memungkinkan akan transaksi politik yang lebih pragmatis.16

Apa yang dikatakan oleh Baum tidak sepenuhnya benar dan tidak

sepenuhnya salah sebab jika kita melihat kasus pelanggaran kode etik yang

disinyalir berujung pada transaksi jabatan. kiranya sedikit mendukung apa yang

diungkapkan oleh Baum. Dimana terjadi dugaan pelanggaran etik terhadap

hakim konstitusi Arief Hidayat yang diduga bertemu dengan komisi III DPR RI

dalam rangka memperpanjang masa jabatan hakim bersangkutan, meskipun

terhadap lobi lobi politik tersebut tidak terbukti namun MKMK RI tetap

menyatakan pertemuan tersebut merupakan bagian dari pelanggaran kode etik

hakim MK17

. Hingga akhirnya pasca dilantiknya Hakim Konstitusi Arief

Hidayat sejumlah kalangan menyatakan pertentangannya terhadap hakim

bersangkutan.18

Postulat demikian ternyata juga berimplikasi pada sistem acara MKRI

yang kerap dipertanyakan kredibilitasnya, seperti dalam hal putusan MK No

14/PUU-XI/2013 tentang pemilu serentak dimana lamanya persidangan serta

singkatnya masa jabatan MKRI dan belum diaturnya sistem transisi yang

memadai menciptakan kegaduhan berupa pelanggaran terhadap pasal 46

undang-undang No 8 tahun 2011 dimana berbunyi:

"Putusan Mahkamah Konstitusi ditandatangani oleh hakim yang

memeriksa mengadili dan memutus, dan panitera"

16

Lawrence Baum, Judges and Their Audience a Perspektive on Judicial Behavior (New

Jersey: Princaneton University Press, 2006), h.72-73

17 Salinan Berita Acara Hasil Pemeriksaan Dewan Etik Hakim Konstitusi Nomor :

18/LAP-V/BAP/DE/2018, diakses melalui laman : https://nasional.tempo.co/read/1073910/arief-

hidayat-buka-suara-soal-pertemuan-dengan-dpr/full&view=ok

18 Diakses pada laman https://nasional.tempo.co/read/1059185/ramai-ramai-profesor-

minta-ketua-mk-arief-hidayat-mundur/full&view=ok

:9

Dalam hal pengujian materil undang-undang pemilu, putusan MK

tersebut justru diperiksa diadili serta diputus dengan hakim yang berbeda.

Dimana Pada saat itu hakim konstitusi Mahfud MD dan Ahmad Sodiki

mengalami masa pensiun serta hakim konstitusi Akil Muktar sedang

menghadapi persoalan hukum dengan KPK.

Kendati permohonan para pemohon sudah berlangsung sejak 10

Januari 2013 dengan format 3 (tiga) hakim tersebut masih sebagai hakim

konstitusi dan sudah memberikan pandangan dalam Rapat Permusyawaratan

Hakim (RPH) pada 26 maret yang secara eksplisit dituangkan dalam putusan,

namun nyatanya dalam putusan yang dibacakan pada 23 Januari 2014 putusan

tersebut ditandatangani oleh hakim baru yaitu hakim konstitusi Patrialis Akbar,

dan Arief Hidayat.19

Problematika periodisasi dalam masa jabatan hakim konstitusi

nyatanya pernah menjadi sorotan dalam pembahasan RUU MK, dimana

diamini oleh tim penyusun nashkah akademik yang dibentuk oleh

KemenkumHam RI pada tahun 2016, bahwa Pilihan pembentuk UU mengatur

masa jabatan 5 (lima) tahunan berpotensi mempengaruhi independensi MK

sebagai pelaku kekuasaan kehakiman20

. Pengaturan periodisasi masa jabatan

berpotensi terjadinya intervensi atau penyimpangan dalam pengisian kembali

hakim konstitusi oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Pengangkatan hakim

konstitusi yang dilakukan Presiden dan DPR, dimana keduanya adalah lembaga

politik, berakibat pada masuknya MK ke dalam ranah politic institutional

environment. Periodisasi masa jabatan lima tahunan dapat mengganggu kinerja

MK dalam menangani dan memutus perkara. Hal ini, dapat terjadi jika pada

19

Lihat Pandangan Berbagai Ahli Hukum Tata Negara Dalam Diskusi Publik Indonesia

Lawyers Club dengan Tema "Pemilu 2014 Sah atau Tidak" yang diselenggarakan pada 28 Januari

2014. Diakses pada https://www.youtube.com/watch?v=ZPWEMtCCwHc&t=7787s

20 Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Mahkamah Konstitusi,

Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, 2016. Jakarta:2016. h.51-54

::

saat bersamaan, mayoritas hakim atau bahkan seluruhnya harus menjalani

proses seleksi yang diadakan.

Lebih lanjut, nashkah akademik tersebut juga mempersoalkan antara

kepastian hukum dalam ketidakjelasan antar pasal 22 dan 23. Dalam pasal 22

disebutkan :

Masa jabatan hakim konstitusi selama 5 (lima) tahun dan dapat

dipilih kembali hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya.

Sedangkan dalam pasal 23 disebutkan mengenai alasan pemberhentian dengan

hormat, yang secara normatif berbunyi:

Hakim Konstitusi diberhentikan dengan hormat dengan alasan:

a. Meninggal dunia;

b. Mengundurkan diri atas permintaan sendiri yang diajukan kepada

Ketua Mahkamah Konstitusi;

c. Telah berusia 70 (tujuh puluh) tahun;

d. Telah berakhir masa jabatannya; atau

e. Sakit jasmani atau rohani secara terus-menerus selama 3 (tiga)

bulan sehingga tidak dapat menjalankan tugasnya yang dibuktikan

dengan surat keterangan dokter.

Konstruksi kedua pasal ini, memberikan tafsiran sistematis, bahwa

masa jabatan hakim konstitusi disamping menggunakan konsep periodesasi

juga ternyata menggunakan pola masa pensiun yang mengikuti konsep masa

jabatan Mahkamah Agung21

. Hal demikian tentu dapat dinilai memiliki

ketidakpastian, sebab jika melihat syarat menjadi hakim konstitusi yang

tertuang dalam pasal 15 undang undang Nomor 08 tahun 2011 mencakup

paling rendah adalah 47 tahun dan paling tinggi adalah 65 tahun. Itu artinya

bahwa hakim yang mencalonkan dirinya pada umur 65 tahun dapat dibatasi

oleh ketentuan periodesasi dan juga masa jabatan untuk 1 (satu) kali masa

jabatan (periode). Sedangkan yang memulai karirnya sejak 47 tahun akan

berakhir pada 57 tahun yang hanya dibatasi oleh masa periodisasi. Padahal bisa

21

Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Mahkamah Konstitusi,

Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, 2016. Jakarta:2016. h.51-54

:;

jadi bahwa dalam usianya 57 tahun, hakim yang bersangkutan masih memiliki

kesehatan jasmani dan masih berada dalam usia produktif (good behavior).

Kedua konsepsi masa jabatan dalam undang-undang demikian, tentu

memiliki konsekuensi yang berbeda terhadap masa berakhir jabatan hakim

konstitusi, seperti yang penulis singgung dalam paragraf sebelumnya. Terhadap

problematika ini tentu perlu dipersoalkan rasio legis pembentuk undang-

undang dalam menerapkan dua konsep sekaligus dalam masa jabatan hakim

konstitusi yang menyebabkan konsekuensi ketidak setaraannya masa jabatan

hakim konstitusi dengan hakim agung sebagai puncak pelakuk kekuasaan

kehakiman yang merdeka.

Padahal jika ditinjau dari pembentukan norma, lazimnya dalam

sebuah ketentuan perumusan undang-undang, pembentuk undang-undang

hendaknya melandasi konstruksi norma materil pada apa yang pernah

diungkapkan oleh Van der Vlies yang juga menjadi acuan dalam undang-

undang Nomor 12 tahun 2011, selengkapnya Van der Vlies menyatakan22

:

1. Het beginsel van duidelijke terminologie en duidelijke systematized

(asas terminologi dan sistematika yang jelas)

2. Het beginsel van de kenbaarheid ( asas dapat dikenali)

3. Het rechtsgelijkheidsbeginsel (asas perlakuan sama dalam hukum)

4. Het beginsel van de individuals rechtbedeling (asas pelaksanaan

hukum sesuai dengan keadaan individual)

B. Politik Hukum Kekuasaan Kehakiman

1. Jabatan Hakim dan Konsep Periodesasi dalam Konteks Kebijakan

Hukum Terbuka (Open Legal Policy)

Berangkat dari ilustrasi Aharon Barak dalam menggambarkan

eksistensi Jabatan hakim dengan mengungkapkan:

22

Yuliandri, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik,

Gagasan Pembentukan Undang-Undangan Berkelanjutan, cet ke-3 (Jakarta: Rajawali Pers) 2011,

h.,113. Lihat, I.C Van der Vlies, Het Wetsbegrip en Beginselen van Behoorlijke Regelgeving,

Vuga Uitgeverij B.V,'s-Gravenhage, 1984

;8

"The judge is a product of his times, living in and shaped by a

given society in a given era. The purpose of objectivity is not to

sever the judge from his environment ... A judge does not operate

in a vacuum. A judge is part of society, and society influences the

judges. The judge is influenced by the intellectual movements and

the legal thinking that prevail. A judge is always part of the

people"23

Yang secara tidak langsung mengindahkan apa yang pernah diungkapkan

oleh Donald Horowitz, bahwa jika Konstitusi (Undang-Undang) sebagai

dokumen yang mati, maka Hakim dan Pengadilan Konstitusilah yang

menjadikan Konstitusi sebagai dokumen yang hidup.24

Konstruksi logika yang terbentuk dari kedua aksioma tersebut

menyatakan bahwa eksistensi hakim dan peradilan nyata nyatanya tidak

dapat dipisahkan, meminjam istilah Danang Hardianto, hakim dicirikan

sebagai segumpal daging (hati) dan pengadilan sebagai tubuhnya, yang

apabila hati itu baik, maka baik pulalah tubuh itu dan jika sebaliknya tentu

buruk pulalah tubuh itu.25

Lebih lanjut, dalam konteks negara yang menganut Constitutional

Democracy, Aharon Barak mengilustrasikan bahwa Jantung dari Demokrasi

adalah Kekuasaan Kehakiman yang merdeka (independent).26

Baik negara

yang menganut aliran rule of law maupun rechstaate keduanya

menempatkan Kemerdekaan (independensi) kekuasaan kehakiman sebagai

hal yang mutlak guna menjamin tegaknya hukum dan keadilan.

23

Aharon Barak, The Judge in a Democracy, (Princeton: Princeton University Press,

2006), h.xi

24 Donald Horowitz, "Constitutional Courts: A Primer for Decision Makers" dalam

Journal of Democracy, Volume 17, Number 4. October 2006, h.126

25 Danang Hardianto, "Hakim Konstitusi Adalah Hati dalam Tubuh Mahkamah

Konstitusi," Jurnal Konstitusi, Volume 11, Nomor 2 tahun, Juni 2014, h..1

26 Aharon Barak, The Judge in a Democracy, Princeton University Press, (New Jersey,

2006), h.76

;8

Bertalian dengan pandangan Barak, E.C.S Wade dan G. Godfrey

Philips memberikan proposisi terhadap eksistensi nilai-nilai independensi

dalam tubuh kekuasaan kehakiman dengan mengungkapkan: 27

"Independence judiciary is a fundamental requirement for

democracy. Within this understanding is the nation that judicial

independence must first exist in relation to the executive and in

relation to the parties. It must also almost involve independence in

relation to the legislative power, as well as in relation to political,

economic, or social pressure group."

Dari ketiga pandangan ahli hukum tersebut, setidak-tidaknya

terdapat tiga hal yang menjadi perhatian dan harus diatur dengan baik dalam

kaitannya dengan independensi kekuasaan kehakiman mencakup; (a) Sistem

pemilihan dan pengangkatan hakim (the system by which judges are chosen

and appointed); (b) Lama masa jabatan (the terms of their tenure); dan (c)

Mekanisme pemberhentian hakim (the mechanism for deciding whether a

judge should be removed from office.28

Pandangan senada juga pernah diungkapkan Alexander Hamilton

dalam Federalist Paper Nomor 78 bahwa terdapat tiga hal yang harus

diperhatikan dalam pembentukan kekuasaan kehakiman, yaitu: (a) Pola

pengisian jabatan hakim (the mode of appointing the judges); (b) Masa

jabatan hakim (the tenure by which they are to hold their places); (c)

Pembagian kewenangan lembaga peradilan dalam lingkungan pengadilan

yang berbeda, dan hubungan antara lembaga-lembaga tersebut (the partition

of the judiciary authority between different courts, and their relations to

each other).29

27

E.C.S Wade dan G. Godfrey Philips, Constitutional Law: An Outline of The Lawa and

Practice of The Constitution, Including Central and Local Government, the Citizen and the State

and Administrative Law,7th edition, London: Longmans, 1965

28 J. van Zyl Smith, The Appointment, Tenure and Removal of Judges under

Commonwealth Principles: A Compendium and Analysis of Best Practice, the British Institute of

International and Comparative Law, London, 2015, hlm. xxv

29 Alexander Hamilton, The Federalist Papers Number 78, www.constitution.org

diunduh pada tanggal 12 Februari 2019

;8

Secara praktik, masa jabatan hakim dari berbagai negara seperti

Amerika, Kanada, Belanda dan Prancis serta negara negara lainnya, justru

menyatakan masa jabatan hakim adalah during good behavior atau selama

tingkah laku baik30

bahkan di Belanda guna menjamin ketidak bergantungan

dan ketidak berpihakan (independensi) Kekuasaan Kehakiman terhadap

lembaga lembaga negara lain, diciptakan ketentuan anggota kekuasaan

kehakiman yang ditugaskan pada pengadilan dan Jaksa pada Mahkamah

Agung diangkat untuk seumur hidup melalui penetapan raja.31

Rasio Legis demikian mendapat tanggapan yang positif dari O.

Hood Phillips, yang secara responsif memberika komentar “The impartiality

of the judiciary recognised as an important, if not the most important

element” yang Secara sederhana memberikan pesan, bahwa

ketidakberpihakan atau impartiality itu sendiri mengandung makna

dibutuhkannya hakim yang tidak saja berkerja secara imparsial (to be

impartial), tetapi juga terlihat bekerja secara imparsial (to appear to the

impartial). 32

Legal momerandum demikian ternyata juga dituangkan dalam

konsensus internasional tepatnya pada article 8 The Universal Charter of

The Judge, dalam Central Council of the International Association of Judges

in Taipei (Taiwan) pada 17 November 1999.

"A judge must be appointed for life or for such other period and

conditions, that the judicial independence is not endangered."33

30

Saikrishna Prakash & Steven D. Smith, "How To Remove a Federal Judge" Archived at

the Wayback Machine, 116 Yale L.J. 72 (2006). Lihat Keterangan Ahli Bagir manan dalam

Salinan Putusan MK No 6\PUU-XIV\2016, h.30

31 Philips M Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, 1989; h., 496-497

32 Ofer Raban, Modern Legal Theory and Judicial Impartiality, 2003, hlm.1, dalam

naskah akademik Undang-undang MK 2016

33 The Universal Charter of The Judge, Central Council of the International Association

of Judges in Taipei

;8

Konsensus internasional tersebut justru lebih menekankan pada

independensi personal dengan menegaskan masa jabatan hakim agar

ditentukan selama jangka waktu yang panjang atau paling tidak mencegah

potensi akan gangguan independensi hakim.

Keberadaan Post factum tersebut dapat ditelaah kritis dari berbagai

aspek, salah satunya melalui hakikat profesi hakim itu sendiri dan

kedudukannya dalam hukum tata negara yang digolongkan sebagai pejabat

karir atau pejabat politik.

Dalam tradisi Anglo Saxon, menurut John Henry Merryman yang

dikutip oleh Susi Dwi Harijanti mengungkapkan bahwa posisi hakim

dipandang sebagai „a culture hero’, bahkan acapkali dikatakan sebagai figur

seorang ayah. Tradisi hukum di Anglo Saxon dibangun dan dikembangkan

dari tangan hakim. Oleh karena itu, di negara-negara yang menganut tradisi

ini, menjadikan hakim sebagai figur yang lebih dikenal dibandingkan

dengan pembuat undang-undang. misalnya Sejumlah nama hakim yang

fenomenal sepeti Sir Edward Coke, John Marshall, Oliver Wendell Holmes,

dan Benjamin N. Cardozo.34

Tradisi Demikian juga tidak jauh berbeda dengan tradisi yang

dikembangkan dalam dimensi hukum islam, yang menempatkan hakim

sebagai posisi penentu hukum. hal demikian dapat tercermin dari salah satu

prinsip (Qaidah) dalam konteks Ijtihad (law Making) :

35حكم الحاكم إزلام و يرفع الخلاف

https://www.fjc.gov/sites/default/files/2015/Universal%20Charter%20of%20the%20Judg

e.pdf Diakses pada 17 Februari 2019

34 Susi Dwi Harijanti, Pengisian Jabatan Hakim: Kebutuhan Reformasi dan Pengekangan

Diri, Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM NO. 4 VOL. 21 OKTOBER 2014: 531 – 558. Lihat John

Henry Merryman, The Civil Law Tradition, Second Edition, Standford University Press Standford,

California, 1985, hlm. 34

35 Ungkapan ini merupakan Qaidah Fiqh dalam Memutus permasalahan ikhtilaf

(perselisihan) ijtihad atau kebenaran tafsir dalam berijtihad, dipopulerkan oleh Imam Syihabu Ad-

Din Al-Qarafi, yang merupakan ahli dalam bidang qaidah fiqhiyah, bahkan mnurutnya, Qaidah

;8

Ketetapan Hakim menghilangkan perbedaan (pandangan)""

Dalam hal ini, posisi hakim juga komposisikan dari berbagai

kalangan ahli hukum yang menguasai dimensi tafsir, fiqh dan berbagai

keilmuan dalam hukum syariat. Bahkan tercatatat beberapa hakim masyhur

yang juga menjabat dalam beberapa dekade khilafah seperti al imam abu

yusuf, Al imam Mawardi, dan Imam Abu Hanifah.

Begitu sentralnya kedudukan hakim dalam kedua tradisi hukum

demikian, peranan hakim dalam penyelenggaraan negara dan membangun

serta mengembangkan hukum diwujudkan dalam berbagai putusan dan

bentuk penafsiran yang sangat ekstensif, meskipun di samping itu berbagai

peraturan perundang-undangan yang ada, tetap sah dan dipandang sebagai

hukum yang berlaku. Konteks pengisian jabatan hakim dalam tradisi Anglo

Saxon sangat terpengaruh oleh peranan hakim yang demikian. Hakim dalam

sistem ini bukanlah jabatan yang dibangun berdasarkan karir, melainkan

diisi oleh orang-orang yang sudah berpengalaman menjadi jaksa, pengacara,

maupun akademisi dari berbagai institusi, baik swasta maupun pemerintah.

Posisi hakim yang demikian didasari pada pandangan bahwa

Seorang Hakim adalah sosok yang diartikan bahwa ia telah selesai dengan

kebutuhan dirinya sendiri dan selama menjadi Hakim tidak akan terpengaruh

dengan keuntungan materil lainnya. 36

Terlebih dalam konteks pengawasan norma melalui judicial power,

lahirnya peradilan konstitusi sejak awal didesain untuk menegakkan

konsistensi norma sebagaimana diungkapkan oleh Kelsen pada awal

tesisinya dalam membentuk mahkamah konstitusi:

fiqhiyah merupakan tiang dalam dimensi hukum Syariah. Lihat Syihabu Ad-Din Al- Qarafi,

Anwaru Al-buruq fii Anwaai Al-furuq, Tahqiq Ali Jum'ah Cet. 1, Daaru As-Salam, (Mesir:2001),

Cet.jilid 2 h.103

36 Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Mahkamah Konstitusi,

Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, 2016. Jakarta:2016. h.51-54

;8

"Tertib hukum adalah suatu sistem norma (a System of norm), yaitu

suatu tertib normatif tentang tingkah laku manusia yang

diekspresikan dalam bentuk keharusan yang tersusun secara

hierarkis (bertingkat) di mana norma yang lebih rendah

memperoleh validitasnya atau keabsahannya dari norma yang lebih

tinggi, demikian seterusnya hingga sampai pada puncak piramida

norma yang disebut norma dasar (groundnorm, basic norm), yaitu

norma yang validitasnya tidak lagi dapat diturunkan dari norma

yang lebih tinggi.37

keberadaan hakim dan Peradilan Konstitusi dikonstruksikan dalam

rangka menyatukan norma atau menyelaraskan norma baik secara horizontal

maupun vertikal terhadap norma yang mendasar (groundnorm)38

. Menurut

bagir manan pengawasan norma salah satunya diejawentahkan melalui

putusannya yang final dan mengikat (final and binding) atau biasa dikenal

dengan asas erga omnes. Dalam hal ini, konstitusi yang dilaksanakan

dengan dibalut konsep presedent dapat menjadi pendukung dari fungsi

Mahkamah Konstitusi sebagai penjamin kesatuan tafsir atau kesatuan makna

asas dan kaidan hukum agar berjalan dengan konsisten.39

Bahkan di negara Austria, yang diasosiasikan sebagai peradilan

konstitusi pertama di dunia justru menegaskan peranannya dalam

menkonsistensikan norma dengan menempatkan masa jabatan hakim

37

I D G Palguna, Mahkamah Konstitusi, Dasar Pemikiran, kewenangan dan

Perbandingan di Berbagai Negara, h.141-142. Lihat Hans Kelsen, General Theory of State

(translated by Anders Wedberg) Russel & Russel: New York h., 30

38 Baik praktik yang diciptakan dari John Marshal maupun Gagasa Hans Kelsen dan Karl

Renner di Austria lahir dari pandangan bahwa konsisitensi norma peraturan yang lebih rendah

hanya dapat dilangsungkan melalui instrument peradilan. Lihat I D G Palguna, Mahkamah

Konstitusi, Dasar Pemikiran, kewenangan dan Perbandingan di Berbagai Negara, …h.140

39 Lihat Putusan MK Nomor 73/PUU-XIV/2016, dalam pendapat ahli pemohon yakni

Bagir Manan, hlm. 24

;8

konstitusi hingga umur 70 tahun.40

Ketentuan masa jabatan kekuasaan

kehakiman demikian lazim dikenal di berbagai negara, salah satunya adalah

indonesia dalam hal Mahkamah Agung, yang sampai saat ini masih

menjadikan standaritas produktif hakim hingga berumur 70 tahun.41

Sayangnya praktik yang terjadi di Austria ini, tidak menjadi

pertimbangan di MKRI yang hanya berlaku pada MARI, sebab justru

Indonesia kendati menempatkan masa jabatan hakim konstitusi sebagai

pejabat publik atau penyelenggara Negara, namun konstruksinya seakan

dibuat seperti masa jabatan Presiden dan Bahkan hampir mirip dengan

Hakim Ad Hoc, yang artinya hanya periodik tertentu, pola jabatan demikian

dapat dimaklumi, karena gagasan awal pembentukan MKRI Indonesia

didasari atas motivasi para elit politik untuk memiliki lembaga yang dapat

menyelesaikan konflik politik dan hukum di masa mendatang

(judicialization of politics).42

Akibatnya, berbagai hakim konstitusi dilahirkan melalui pemilihan

yang bernuansa politis, dan terikat pada masa jabatannya yang singkat harus

sesekali mempertimbangkan putusannya berdasarkan lembaga pengusung

jika hendak memperpanjang masa jabatannya untuk periode kedua. Hal

demikian tentu menjadi pertimbangan yang serius untuk menelaah kembali

terkait independensi lembaga peradilan yang diakibatkan oleh Kebijakan

40

I D G Palguna, Mahkamah Konstitusi, Dasar Pemikiran, Kewenangan dan

Perbandingan di Berbagai Negara,…, h.24. Lihat Konstitusi Negara Austria (Oktroyierte

Stadionverfassung) pasal147 ayat 6 Bab Mahkamah Konstitusi (Bundsverfassungsgerichthof)

41 Pasal 11 Salinan Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung

42 Pan Mohammad Faiz, „‟MK dan Konsolidasi Demokrasi Di Indonesia‟‟ di Akses pada

2 Maret 2019 dalam https://panmohamadfaiz.com/2014/05/05/mk-dan-konsolidasi-demokrasi-di-

indonesia/ . hal ini sejalan dengan pandangan berbagai ahli hukum dalam memandang eksistensi

Peradilan Konstitusi di Berbagai Negara, seperti Vicki C Jackson dengan memberi istilah

juridification of politics

;9

hukum terbuka (open legal policy) yang diatur dalam undang-undang

organik.

Lebih dari itu, konsistensi putusan akibat pergantian hakim dan

cepatnya periodesasi masa jabatan hakim, kerap menjadi problematika yang

krusial dalam sistem ketatanegaraan. Sebagaimana beberapa putusan yang

bersumber dari bermacam tafsir konstitusional baik Constitusional

Conditionally maupun unconstitutional conditionally yang telah penulis

sampaikan pada awal bab ini cukup menjadi permasalahan tersendiri yang

justru berpotensi dapat menjadikan Mahkamah Terjebak akibat beberapa

putusan yang tidak sesuai dengan tafsir konstitusi yang dibentuk diawal.

2. Jaminan Independensi Kekuasaan Kehakiman dalam Undang-Undang

Dasar.

Secara historis jabatan hakim di Indonesia dapat ditelaah melalui

undang-undang kolonial Reglement op de Rechterlijke Organisatie en het

Beleid der Justitie (Reglement tentang Organisasi Kehakiman dan

Kebijaksanaan Peradilan) yang tertera di dalam S. 23/1847 juncto S.

57/1848. Dimana semula hakim dahulu diposisikan untuk memuat prinsip

bahwa, (1) pengangkatan seorang menjadi hakim dilakukan oleh Gubernur

Jenderal setelah lolos memenuhi persyaratan dan seleksi yang dilakukan

sebagaimana ditentukan undang-undang; (2) bahwa hakim adalah seorang

“ambtenaar” (pegawai negeri) yang khusus bertugas untuk melaksanakan

peradilan dalam rangka tujuan menegakkan hukum dan undang-undang; (3)

bahwa sebagai “ambtenaar” (pegawai negeri) di dalam menjalankan

tugasnya berada di bawah pengawasan badan pengadilan tertinggi; (4)

bahwa jabatan hakim tidak boleh dirangkap dengan jabatan lain; bahwa

hakim dapat diperhentikan atas dasar alasan-alasan yang ditentukan dalam

;:

undang-undang; (6) bahwa tidak berlaku asas “hakim diangkat untuk

seumur hidup.43

Paradigma kolonial ini kemudian berlanjut pada masa berlakunya

Konstitusi RIS dibawah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1950 yang

menjelaskan kedudukan hakim yang tidak jauh berbeda dengan apa yang

ditetapkan dalam Staatsblad (R.O), yaitu: (1) bahwa hakim adalah pegawai

negeri yang memenuhi persyaratanpersyaratan yang ditentukan undang-

undang; (2) bahwa hakim dapat diberhentikan atas dasar yang ditentukan

undang-undang; (3) bahwa hakim bertugas untuk menegakkan hukum dan

undang-undang berdasar pada ketentuan undang-undang; (4) bahwa dalam

menjalankan tugasnya hakim berada di bawah pengawasan Mahkamah

Agung. (5) bahwa tidak berlaku asas “hakim diangkat untuk seumur

hidup.”

Selanjutnya pada masa berlakunya kembali UUD 1945 dan UU

Nomor 19 Tahun 1964, ternyata kedudukan hakim pada dasarnya tidak jauh

berbeda dengan apa yang ditetapkan dalam masa sebelumnya, namun

terdapat beberapa perubahan, diantaranya adalah44

: (1) bahwa tugas hakim

adalah sebagai penegak hukum revolusi di bawah pimpinan Pemimpin

Besar Revolusi yaitu Presiden; (2) bahwa dengan kedudukannya sebagai

demikian, Presiden dapat campur tangan di dalam urusan peradilan yang

dilakukan hakim; (3) bahwa hakim di dalam menjalankan tugasnya, berada

di bawah pengurusan dan pengawasan dua kekuasaan, yaitu kekuasaan

yudikatif yang dilakukan Mahkamah Agung dalam hal pengawasan dalam

bidang teknis, dan kekuasaan eksekutif yaitu oleh departemen yang

43

Soetandyo Wignjosoebroto, Dalam Hitam Putih Pengadilan Khusu, Komisi Yudisial,

… h.118. Lihat, Soetoprawiro, Koerniatmanto, Pemerintahan dan Peradilan di Indonesia (Asal

Usul dan Perkembangannya, PT Citra Aditya Bakti, (Bandung:1994).h 118-122

44 Aidul Fitriciada Azhari, Paradigma Kekuasaan Kehakiman Sebelum dan Sesudah

Reformasi, dalam Meluruskan Arah Manajemen Kekuasaan Kehakiman,… h.38

;;

meliputi pengawasan dan pengaturan organisasi, administrasi dan finansiil

pada para hakim.

Bahwa pada masa pengembalian keberlakuan UUD 1945, lahirlah

TAP MPRS Nomor XIX dan Nomor XX Tahun 1966 serta UU Nomor 19

Tahun 1964. Yang justru menuai kritik dan tuntutan untuk diadakan

pembaharuan terhadapnya, sebab regulasi mengenai jabatan hakim dalam

ketentuan ini justru diragukannya pengadilan yang berjalan baik bila para

hakimnya berkedudukan sebagai pegawai negeri. Hingga pada masa

berlakunya UUD 1945 dan UU Nomor 14 Tahun 1970, nyatanya keadaan

dan kedudukan serta tugas hakim pada dasarnya sama dengan apa yang

pernah berlaku di bawah Staatsblad (R.O), Konstitusi RIS dan UU Nomor

1 Tahun 1950, UUDS 1950 dan UU Nomor 1 Tahun 1950, serta UUD 1945

dan UU Nomor 19 Tahun 1964, yang pada pokoknya sebagai berikut: (1)

bahwa hakim diangkat dan diberhentikan oleh Presiden sesuai dengan

syarat dan ketentuan undang-undang; (2) bahwa gaji, tunjangan dan

sebagainya dari hakim sebagai penyelenggara badan peradilan yang

merupakan badan penyelenggara kekuasaan negara diatur secara tersendiri;

(3) bahwa hakim berada di bawah dua macam kekuasaan, yaitu: (a) dalam

bidang organisasi, administrasi dan keuangan di bawah departemen yang

bersangkutan, (b) dalam bidang teknis berada di bawah pengawasan

Mahkamah Agung; (4) bahwa hakim sebagai penegak hukum dan keadilan

di dalam melaksanakan tugasnya harus memperhatikan serta mengamalkan

dan setia kepada Pancasila, UUD 1945, segala undang-undang serta

peraturan-peraturan yang berlaku bagi negara Republik Indonesia.

Dalam kaitannya dengan politik hukum tersebut, Sebastian

Pompe,memberikan tesis bahwa jabatan hakim pada saat itu, merupakan

profesi yang hendak ditundukkan oleh berbagai cabang kekuasaan lainnya

khususnya pemerintah. Hal ini didukung dengan fakta bahwa nyaris selama

40 tahun pemerintah berkuasa, tidak satupun sengkta yang dihadapi

888

pemerintah pernah kalah dalam pertarungan di pengadilan melawan warga

negaranya maupun pihak swasta.45

Pasca reformasi, perkembangan dalam politik hukum kekuasaan

kehakiman dituangkan di dalam amandemen (perubahan) UUD 1945. Pada

Perubahan Ketiga tahun 2001, rumusan tentang Kekuasaan Kehakiman

yang semula hanya terdiri dari dua pasal dan tiga ayat, sekarang pasca

perubahan menjadi lima pasal dan 19 ayat yang terdiri dari Pasal 24, Pasal

24A sampai dengan Pasal 24C, dan Pasal 25 yang diatur dalam Bab IX

UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Perubahan terhadap rumusan ini mengakibatkan perubahan

terhadap struktur kelembagaan kekuasaan kehakiman dan pergeseran

terhadap fungsi peradilan. Perubahan terhadap struktur kelembagaan

kekuasaan kehakiman dapat dilihat pada bunyi ketentuan Pasal 24 ayat (2)

dan Pasal 24B ayat (1) yang menegaskan bahwa Kekuasaan kehakiman

dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada

di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan

agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha

negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. (Ketentuan Pasal 24 ayat

(2), dan Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan

pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka

menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku

hakim. [Pasal 24B ayat (1)]. Kedua rumusan tersebut menjelaskan bahwa

perubahan UUD 1945 telah mengintroduksi dua lembaga baru dalam

struktur kelembagaan kekuasaan kehakiman yaitu Mahkamah Konstitusi

dan Komisi Yudisial. Selanjutnya mengenai pergeseran terhadap fungsi

peradilan dapat dilihat pada ketentuan Pasal 24 ayat (1) yang menegaskan

45

Suparan Marzuki, Meluruskan Arah Manajemen Kekuasaan Kehakiman…,h.13, lihat

Sebastian Pompe, The Indonesian Supreme Court, A Study of Institutional Collaps, yang

diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul, Runtuhnya Institusi Mahkamah Agung,

Yayasan Obor, 2014, hal. 96

888

bahwa Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk

menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

Seiring berlalunya masa reformasi, perhatian terhadap

keberlangsungan kekuasaan kehakiman di indonesia tidak pernah luput dari

perhatian dan kajian yang mendalam dalam rangka meneguhkan sukma

demokrasi. sebab faktor inilah yang menjadi salah satu penentu dalam

menilai apakah transisi tersebut menuju pada masa yang lebih baik

(demokrasi) atau tidak (otoriter). mengutip apa yang pernah disampaikan

,Luu Tien Dung46

:

"The Judiciary ini Pre-Transition regimes was 'dependent' or

compromised' rather than independent. It filed to protect the rule of law

and human right … many transitional countries have have adopted the

principle of separation of powers in the constitutional as a constitutional

guarantee of the independent of the judiciary."

Jika melihat dari konstruksi kekuasaan kehakiman yang merdeka,

paling tidak seperti apa yang hemat penulis sampaikan pada awal sub-bab

ini, bahwa keberadaan konsep periodesasi memiliki potensi yang sangat

menentukan dan mendasar terhadap jalannya Mahkamah Konstitusi sebagai

pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka.

Hal demikian disebabkan oleh politik hukum yang tidak

berkepastian dan kontinuitas oleh karena berbagai persoalan atas jaminan

independensi tersebut diatur lebih kompleks dalam undang-undang organik

yang secara temporer dapat dirubah oleh pembentuk undang-undang (DPR

dan Presiden). Hal demikian tergambar dari gagasan dalam RUU jabatan

hakim, dimana keberadaan masa jabatan hakim MKRI yang dinilai

bermasalah oleh berbagai kalangan ahli dan putusan MK, justru disikapi

DPR dengan menggagas masa jabatan MARI sesuai dengan masa jabatan

46

Judicial Independent in Transitional Countries. UNDP Democracy Governance

Fellowship Program. 2003. Lihat Putih Hitam Pengadilan Khusus…,h.87

888

MKRI dewasa ini yang hanya 5 tahun dan dapat dipilih untuk satu kali

masa jabatan.47

Kendati berkepastian secara kurun waktu, namun periodesasi

nampaknya memiliki permasahalan tersendiri manakala seorang hakim

hendak memperpanjang masa jabatannya sebab seorang hakim yang hendak

mengikuti proses pencalonan masih berpotensi untuk tidak diloloskan

dalam periode keduanya. Artinya ia hanya memiliki masa jabatan 5 tahun

saja jika ia tidak dipilih oleh lembaga pengusung.

Padahal, jika meninjau lebih teoritis, masa jabatan hakim

merupakan garansi (jaminan) bagi seorang hakim untuk bertindak, bahkan

merupakan salah satu penentu terhadap independensi lembaga peradilan

sebagaimana telah di singgung baik oleh Alexander Hamilton dan juga

tertuang dalam Instrumen Internasional seperti Bangalore Principle maupun

International Association of Judges in Taipei. Bahkan hal demikian menjadi

dasar bagi negara-negara demokrasi lain, untuk memberikan jaminan

perlindungan dan independensi lembaga peradilan yang secara langsung

dimuat dalam konstitusi.

Seperti apa yang pernah disinggung oleh Susi Dwi Harijani, dalam

mengkritisi kedudukan kekuasaan kehakiman dalam konstitusi indonesia

pasca amandemen. Dengan membanding konstitusi vietnam, dimana

terdapat jaminan yang sangat kompleks dalam kekuasaan kehakiman yang

ternyata tidak dimuat dalam konstitusi indonesia. Jaminan terhadap masa

jabatan hakim sebagaimana dijumpai dalam Konstitusi Amerika Serikat,

serta jaminan non-transferability, gaji dan pensiun, dan lain sebagainya

yang tertuang dalam Konstitusi Filipina,

47 Usulan Komisi 3 dari berbagai Fraksi. Lihat:

https://nasional.tempo.co/read/773351/masa-jabatan-hakim-agung-diusulkan-jadi-

lima-tahun/full&view=ok

888

Lebih lanjut, Harijianti mencermati bahwa desain dalam ketentuan

Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 Perubahan, tidak secara tegas mencantumkan

ketentuan yang melarang segala bentuk campur tangan terhadap kekuasaan

kehakiman, yang hemat penulis dapat juga bersentuhan dengan masa

jabatan hakim konstitusi sebagai garansi agar tidak diintervensi oleh

lembaga pengusungnya.

Lebih dari itu, penempatan masa jabatan hakim konstitusi di dalam

undang-undang dapat menciptakan permasalahan tersendiri bagi

independensi hakim konstitusi. Sebab, jika disandingkan dalam kasus

pengujian masa jabatan hakim konstitusi baik dalam putusan No 53 dan 97,

mahkamah justru memberikan tafsir konstitusional untuk memberikan

kewenangan kepada pembentuk undang-undang mengenai regulasi masa

jabatan hakim konstitusi. Implikasinya adalah bahwa hakim konstitusi tidak

berwenang untuk mengubah ketentuan masa jabatannya karena secara

langsung bersentuhan dengan pribadi (personalisasi) hakim-hakim

konstitusi. Itu artinya, keberadaan pasal mengenai masa jabatan ini hanya

dapat direvisi melalui legislative review oleh pembentuk undang-undang.

Padahal jika melihat dinamika politik hukum yang ada di DPR

maupun Presiden sebagai pembentuk undang-undang, dapat dicermati

bahwa legal reform yang dilakukan melalui legislative review cenderung

memakan waktu yang lama. Bahkan dapat terhambat akibat agenda politik

yang dimiliki oleh kedua institusi tersebut. Hal ini justru akan selalu

berimplikasi terhadap keberlangsungan kekuasaan kehakiman yang pada

praktiknya tetap menjalankan sistem periodisasi masa jabatan dengan pola

rekrutmen yang rentan terhadap transaksi politik.

Postulat demikian, hemat peneliti, seakan menempatkan

independensi peradilan hanya sebagai tataran normatif dalam konstitusi

semata. Sebab kriteria dalam pengejawantahannya baik dalam undang-

undang organik serta praktik dalam penyelenggaraan regulasi norma yang

secara langsung bersentuhan dengan independensi peradilan dijadikan

888

sebagai second priority dalam agenda bernegara. Padahal kemerdekaan

hakim bukanlah hak bagi hakim ataupun yang diberikan oleh pemerintah, ia

merupakan denyut nadi dari negara hukum yang konstitusional yang secara

langsung harus hadir secara bersamaan dengan hadirnya konsep negara

hukum yang demokratis. "Judicial Independence is a centeral of any

democracy, and is crucial to separation of powers, the rule of law, and human

rights. It is also, however, a component that stands on its own. It is part of any

democractic constitution…"48

48

Aharon Barak, The Judge in a SDemocracy…, h.76

105

BAB V

PENUTUP

A. KESIMPULAN

1. Kebijakan hukum terbuka (open legal policy) pembentuk undang-

undang dalam membentuk skema periodisasi masa jabatan hakim

konstitusi telah menciptakan problematika berupa pencederaan

terhadap konsep independensi kekuasaan kehakiman. Hal ini

dikarenakan penerapan periodesasi secara praktik dapat dikatakan

membuka ruang yang luas bagi lembaga politik untuk melakukan

intervensi ke dalam kekuasaan kehakiman melalui perpanjangan masa

jabatan dalam periode hakim yang kedua jika ia berkenan untuk

mencalonkan kembali dirinya.

2. Konsep ideal masa jabatan hakim konstitusi dapat dikatakan ideal, jika

memiliki jangka waktu yang relatif lebih panjang, dengan

menghilangkan konsep periodesasi. Bahkan hemat peneliti, masa

jabatan hakim konstitusi selazimnya disejajarkan dengan masa jabatan

hakim agung yang hanya disandarkan pada batas usia produktif 70

(tujuh puluh) tahun. Yang artinya jika seorang hakim diangkat mulai

dari umur 47 (empat puluh tujuh) tahun, maka ia memiliki jangka

waktu 23 (dua puluh tiga) tahun untuk menjadi hakim.

B. REKOMENDASI

1. Revisi Undang-Undang No 08 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas

Undang-Undang No 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi,

dengan subtansi menghapuskan pola periodisasi masa jabatan hakim

konstitusi yang tertuang dalam pasal 22 Undang Undang Nomor 08

Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi.

2. Dalam rangka menjauhkan upaya dominasi pengaruh politik dalam

kekuasaan kehakiman, selazimnya masa jabatan hakim konstitusi dan

hakim agung dituangkan dalam konstitusi melalui Amandemen

106

Undang-Undang Dasar 1945 ke-5, terkait dengan Bab Kekuasaan

Kehakiman dengan menjadikan masa jabatan hakim agung dan hakim

konstitusi selama 70 tahun dan diberhentikan dengan hal-hal yang

diatur dalam konstitusi.

701

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Allan, T.R.S, Constitutional Justice, A Liberal Theory of The rule of Law .United

Kingdom: Oxford University Press, 2005.

Al- Qarafi, Syihabu Ad-Din, Anwaru Al-buruq fii Anwaai Al-furuq,Mesir : Daaru

As-Salam,2001.

Asshiddiqie, Jimly, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi. Jakarta:

Konstitusi Press, 2005.

____________, Perkembangan Dan Konsilidasi Lembaga Negara Pasca

Reformasi.Jakarta: Sinar Grafika, 2010.

____________, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid 2.Jakarta: Sekretariat

Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2006.

____________, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia.Jakarta: Sinar

Grafika, 2010.

Attamimi, A. Hamid, S, Hukum Tentang Peraturan Perundang-undangan dan

Peraturan Kebijakan. Jakarta: Fakultas Hukum Universitas

Indonesia,1993.

Azhari, Aidul Fitriciada, Mereformasi Birokrasi Indonesia. Studi Perbandingan

Intervensi Pejabat Politik Terhadap Pejabat Birokrasi di

Indonesia dan Malaysia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011.

Barak, Aharon, The Judge in a Democracy. New Jersey: Princeton University

Press, 2006.

Baum, Lawrence, Judges and Their Audience a Perspektive on Judicial Behavior.

New Jersey: Princaneton University Press, 2006.

Fadjar, Abdul Mukhtie, Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi. Jakarta-

Yogyakarta: Konstitusi Press dan Citra Media, 2006.

Ferguson, John and Dean McHenry, The American System of Government . New

York-Toronto-London: Mc Graw-Hill Book Company, Inc., 4th

ed., 1965.

Friedrich, Carl Joachim, The Philosophy of Law in Historical Perspective.

Penerjemah Raisul Muttaqien, Filsafat Hukum: Perspektif

Historis. Bandung: Nusamedia, 2004.

701

Ginsburg, Tom, Judicial Reveiw in New Democracies. Constitutional Court in

Asian Cases. New York: Cambride University Press, 2003.

Goldworthy, Jeffery ,the sovereignty of parlement : history and philosophy.

United Kingdom: oxford university Press, 1999.

Garoupa, Nuno dan Tom Ginsburg, Guarding the Guardians,Judicial Councils

and Judicial Independence. Chicago: University of Chicago Law

School, 2008.

Hamilton, Madison, Jay, The Federalist Paper. New York:The New American

Library, 1961.

Hardjon, Philipus M, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. Yogyakarta :

Gadjah Mada University, 1989.

Huda, Ni’matul, Ilmu Negara .Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010.

____________, Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: PT RajaGrafindo

Persada, , 2014.

____________,Lembaga Negara dalam Masa Transisi Demokrasi. Yogyakarta:

UII Press, 2007.

Ibrahim, Anis, "legislasi dalam perspektif Demokrasi, Analisis interaksi politik

dan Hukum dalam Proses pembentukan peraturan daerah di Jawa

timur" .Semarang: Disertasi Universitas Diponegoro, 2008.

Koopmans,T.,Compendium van Staatsrecht diolah kembali oleh th.

Bellekom,A.W. Heringa, T. Koopmans, dan R.E. de Winter.

Deventer, Kluwer, Achtste druk, 1998.

Kommers, Donald P. ,‘Autonomy versus Accountability’ dalam Peter H. Russel

dan David M. O’Brien (eds), Judicial Independence in the Age of

Democracy: Critical Perspective from around the World

.Charlottesville: University of Virgina Press, 2001.

Kelsen, Hans, General Theory of Law and State, with a new introduction by A.

Javier Trevinno. New Brunswick USA and London (UK):

Transaction Publisher, 2006.

Komisi Yudisial, Putih Hitam Pengadilan Khusus. Jakarta : Pusat Analisis dan

Layanan Informasi Sekretariat Jenderal Komisi Yudisial, 2013.

____________, Meluruskan Arah Manajemen Kekuasaan Kehakiman. Jakarta :

Pusat Analisis dan Layanan Informasi Sekretariat Jenderal Komisi

Yudisial, 2018.

701

Locke, John, Two treatised of governmet,. UK: cambridge university press,1988.

Montesqiueu, De l'esprit des lois, translated by Thomas Negent The Spirits Of

Laws .Ontario: Batoche Books, 1752.

Merryman, John Henry, The Civil Law Tradition. California: Standford University

Press,1985.

Muhadar, Viktimisasi Kejahatan di Bidang Pertanahan. Yogyakarta: LaksBang

PRESSindo , 2006.

Manan, Bagir, ,Politik Perundangan-undangan Dalam Rangka Mengantisipasi

Liberalisasi Perekonomian.Lampung:Fakultas Hukum Universitas

Lampung, 1996.

McDonald, Lee Cameron,Western Political Theory.California: Pomona Collage,

1968.

MD, Moh. Mahfud Hukum dan Pilar-pilarDemokrasi. Yogyakarta : Gama

Media,1999.

____________, Konstitusi dan Hukum dalam Konroversi Isu. Jakarta: Rajawali

Pers, 2009.

____________, Politik Hukum Di Indonesia. Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2009.

Pompe, Sebastian, The Indonesian Supreme Court, A Study of Institutional

Collaps. yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan

judul, Runtuhnya Institusi Mahkamah Agung. Yayasan Obor,

2014.

Palguna, I Dewa Gede, Mahkamah Konstitusi, Dasar Pemikiran, kewenangan dan

Perbandingan di Berbagai Negara. Jakarta : Konstitusi

Press,2018.

Redi, Ahmad Hukum Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Jakarta:

Sinar Grafika, 2018.

Rasyid, Abdul, Mahkamah Konstitusi dan Implikasinya terhadap Ketatanegaraan

RI . Jakarta: PT Citra Aditya Bakti, 2006.

Rahardjo, Satjipto, Sosiologi Hukum, Perkembangan, Metode, dan Pilihan

Masalah.Surakarta: Muhammadiyah University Press,2002.

____________, Ilmu Hukum: Pencarian pembebasan dan Pencerahan .Surakarta:

Muhammadiah Universitas Press, 2004.

Subekti dan Tjitrosoedibio, Kamus Hukum. Jakarta:Pradnya Paramita, 1980.

770

Soetoprawiro, Koerniatmanto, Pemerintahan dan Peradilan di Indonesia (Asal

Usul dan Perkembangannya. Bandung: PT Citra Aditya Bakti

,1994.

Sweet, Alec Stone, Governing With Judges: Constitutional Politics in Europe.

New York: Oxford University Pers, 2000.

Secondat, Charles de, Baron de Montesquieu, The Spirit of Laws. Canada:

Batoche Books, 1748/2001.

Strong, C.F, Modern Political Constitutions: An Introduction to The Comparative

Study to Their History and Existing Form (Konstitusi-Konstitusi

Politik Modern. Kajian tentang Sejarah & Bentuk-Bentuk

Konstitusi Dunia. Bandung: Nuansa Media, 2004.

Smith,J. Van Zyl, The Appointment, Tenure and Removal of Judges under

Commonwealth Principles: A Compendium and Analysis of Best

Practice. London: The British Institute of International and

Comparative Law, 2015.

Tim Penyusun Naskah Komprehensif, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-

undang Dasar Negara Republik Indonesia Buku VI Kekuasaan

Kehakiman. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan

Mahkamah Konstitusi, 2010.

Ville, C.J. ,Constitutionalism and Separation of Powers. Indianapolis: Liberty

Funds, 1989.

Wade, E.C.S dan G. Godfrey Philips, Constitutional Law: An Outline of The Law

and Practice of The Constitution, Including Central and Local

Government, the Citizen and the State and Administrative Law.

London: Longmans, 1965.

Yuliandri, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik.

Gagasan Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan. Jakarta:

Rajawali Pers, 2011.

Zoelva,Hamdan, Mengawal Konstitusi dan Konstitualisme. Jakarta: Konstitusi

Press,2016.

777

JURNAL

Ajie, Radita, Kebijakan Pembentuk Undang-Undang (Open Legal Policy) Dalam

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Berdasarkan Tafsir

Putusan Mahkamah Konstitusi, Jurnal Legislasi Indonesia, Vol.

13, No. 02,(2016)

Harijianti, Susi Dwi, Pengisian Jabatan Hakim: Kebutuhan Reformasi dan

Pengekangan Diri. Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM .

Vol.21,No.4,2014.

____________, Susi Dwi, "Kelemahan Fundamental UUD 1945; Pra dan

Amandemen", Jurnal Ilmu Sosial No. 49 /XXVI/ 2003)

Horowitz, Donald, "Constitutional Courts: A Primer for Decision Makers".

Journal of Democracy. Vol.17,No.4, 2006.

Hardianto, Danang ,Hakim Konstitusi Adalah Hati dalam Tubuh Mahkamah

Konstitusi. Jurnal Konstitusi, Vol.11, No.2, 2014.

Kasim, Ifdhal, “Mempertimbangkan ‘Critical Legal Studies’ dalam Kajian

Hukum di Indonesia”. Jurnal Wacana, II, 2000.

Mahkamah Konstitusi, Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas

Andalas. "Perkembangan Pengujian Perundang-undangan di

Mahkamah Konstitusi (dari berfikir hukum Tekstual Menuju

Hukum Progresif)", Jakarta : Sekretariat Jenderal dan

Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2010.

Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Mahkamah Konstitusi.

Jakarta: Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia ,2016

Syafa'at, Ali. "Pengisian dan Masa Jabatan Hakim Konstitusi",Seminar dan

Lokakarya Nasional Perubahan Undang-Undang Mahkamah

Konstitusi, 20-22 Mei 2016.

Syukri Asy'ari, Meyrinda Rahmawaty Hilipito, Mohammad Mahrus Ali, Model

dan Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi dalam

Pengujian Undang-Undang (Studi Putusan Tahun 2003-2012)

.Jurnal Konstitusi, Vol. 10, No. 4,2013.

Windarawan, Puguh, pergeseran Kekuasaan Tipologi Ketiga; Fenomena

Kekuasaan Ke Arah Constitusional Heavy, Jurnal Konstitusi, Vol

9, No 4.

Wibowo, Mardian, Menakar Konstitusionalitas Sebuah Kebijakan Hukum

Terbuka Dalam Pengujian Undang-Undang. Jurnal Konsitusi, Vol

12, No. 02.

771

Wiratman, Herlambang Perdana,” Legisprudence dan Pendekatan Sosio-Legal

dalam Pembentukan Hukum: Konteks Indonesia”, Continuing

Legal Education tentang Kontribusi Teori Legisprudensi dalam

Pembentukan Hukum, 28 November 2012.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Dasar 1945

Undang-Undang No. 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok

Kekuasaan Kehakiman

Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok

Kekuasaan Kehakiman

Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-

Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung.

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak

Undang-Undang No 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 08

Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang No 24

Tahun 2003. Naskah Komprehensif, Sekretariat Jenderal MPR

RI, 2008.

PUTUSAN

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 05\PUU-VI\2005

Putusan MK No 108/PUU-X/2012

Putusan MK No 34/PUU-X/2012

Putusan MK Nomor 1/PUU-XI/2013

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 06/PUU-XIV/2016

Putusan Nomor. 33/PUU-XIV/2016

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 53/PUU-XIV/2016

771

Putusan MK Nomor 73/PUU-XIV/2016

Salinan Berita Acara Hasil Pemeriksaan Dewan Etik Hakim Konstitusi Nomor :

18/LAP-V/BAP/DE/2018

WEBSITE

The Universal Charter of The Judge, Central Council of the International

Association of Judges in Taipei. Akses pada 17 Februrari 2019

dari

https://www.fjc.gov/sites/default/files/2015/Universal%20Charter

%20of%20the%20Judge.pdf .

Pan Mohammad Faiz, ‘’MK dan Konsolidasi Demokrasi Di Indonesia’’ Akses

pada 2 Maret 2019 dari

https://panmohamadfaiz.com/2014/05/05/mk-dan-konsolidasi-

demokrasi-di-indonesia/ .

Pandangan berbagai Ahli Hukum Tata Negara Dalam Diskusi Publik Indonesia

Lawyers Club dengan Tema "Pemilu 2014 Sah atau Tidak" yang

diselenggarakan pada 28 Januari 2014. Akses pada 2 Maret 2019

dari

https://www.youtube.com/watch?v=ZPWEMtCCwHc&t=7787s.

John Adams, A Defence of the Constitutions of Government of the United States

of America (London, 1787). Akses 13 Desember 2018 dari

http://hua.umf.maine.edu/Reading_Revolutions/Adams.html.