skripsi diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh...
TRANSCRIPT
EFEKTIFITAS PENGHAPUSAN PILIHAN HUKUM
DALAM PERKARA WARIS PASCA DISAHKANNYA
UU. NO. 3 TAHUN 2006
(Studi Pada Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh :
ACHMAD NURHOLIS
NIM : 204044103014
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA
PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKSHIYYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1430H/ 2009M
EFEKTIFITAS PENGHAPUSAN PILIHAN HUKUM
DALAM PERKARA WARIS PASCA DISAHKANNYA
UU. NO. 3 TAHUN 2006
(Studi Pada Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan )
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh :
ACHMAD NURHOLIS
NIM : 204044103014
Di Bawah Bimbingan:
Pembimbing I Pembimbing II
Drs. H. Ahmad Yani, M.Ag
Nip: 150 269 678
Kamarusdiana, S.Ag, MH
Nip:150 285 972
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA
PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKSHIYYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1430H/ 2009M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul EFEKTIFITAS PENGHAPUSAN PILIHAN HUKUM DALAM
PERKARA WARIS PASCA DISAHKANNYA UU. NO. 3 TAHUN 2006 (Studi
Pada Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan) telah diujikan dalam
Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 3 Maret 2009. Skripsi ini telah diterima
sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) pada Program
Studi Ahwal Syakhshiyyah (Peradilan Agama)
Jakarta, 4 Maret 2009
Mengesahkan,
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Prof. DR.H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM
Nip. 150 210 422
PANITIA UJIAN
1. Ketua : Drs. Djawahir Hejazziey, SH. MA
(..............................)
Nip: 130 789 745
2. Sekertaris : Drs. Ahmad Yani, M.Ag
(..............................)
Nip: 150 269 678
3. Pembimbing I : Drs. Ahmad Yani, M.Ag
(..............................)
Nip: 150 247 330
4. Pembimbing II : Kamarusdiana, S.Ag, MH
(..............................)
Nip: 150 285 972
5. Penguji I : Dr. H. Abdurrahman Dahlan, MA
(..............................)
Nip. 150 234 469
6. Penguji II : Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag
(..............................)
Nip: 150 290 159
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
hukuman dan sanksi dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Jakarta, 05 Maret 2009
Achmad Nurholis
KATA PENGANTAR
��� ا ا�� �� ا�� ���
Alhamdulillaahirabbil’aalamiin. Segala puji hanya bermuara kepada-Nya sang
khaliq penggenggam setiap jiwa, yang menjadikan diri ini tetap tegar dalam setiap
ikhtiar untuk melanjutkan penulisan skripsi ini hingga selesai. Dengan segenap
keridhoannya, penulis senantiasa mendapat kemudahan baik dari segi teknis, meteri,
tenaga, waktu, maupun pikiran.
Sholawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada baginda besar Nabi
Muhammad SAW, yang merentas jalan cahaya dibalik kelamnya masa kejahiliyahan
yang senantiasa gigih berjuang dan tidak pernah letih menegakan syi’ar agama Allah
SWT. Kepada keluarganya yang suci, kepada para sahabatnya yang turut
menggoreskan tinta emas sejarah kejayaan Islam terutama para Khalifah ar-
Rasyidin, dan kepada umat beliau hingga akhir jaman.
Selama penyusunan skripsi ini, tidak sedikit kesulitan dan hambatan yang
dialami penulis. Penulis menyadari dan yakin bahwa skripsi yang tersusun ini
bukanlah suatu ukuran atau kesempurnaan karya ilmiah, tetapi masih terdapat banyak
kekurangan. Oleh karena itu, saran dan kritik yang bersifat membantu selalu penulis
harapkan demi perbaikan dan penyempurnaan lebih lanjut.
Selanjutnya, bahwa suksesnya penulisan skripsi ini bukan semata-mata atas
usaha penulis pribadi namun juga karena bimbingan, bantuan dan motivasi dari
berbagai pihak. Oleh karana itu, penulis ingin menyampaikan terima kasih yang
sedalam-dalamnya kepada:
1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma SH. MA. MM Dekan Fakultas Syariah
dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Drs H. A Basiq Djalil SH. MA dan Kamarusdiana S.Ag, MH masing-masing
sebagai Ketua dan Sekretaris Program Studi Ahwal Syakhshiyyah Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Drs. Djawahir Hejazziey, SH. MA dan Drs H. Ahmad Yani M.Ag sebagai
Ketua dan Sekretaris Kordinator Teknis Program Non Reguler Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Drs. H. Ahmad Yani, M.Ag dan Kamarusdiana, S.Ag, MH sebagai
pembimbing dalam penyusunan skripsi ini, beliaulah yang dengan sabar
melayani, membantu dan meluangkan waktunya untuk penulis, semoga beliau
selalu ada dalam naungan-Nya.
5. Pihak Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang sudah
bersedia memberikan informasi dan data yang sangat dibutuhkan oleh penulis,
khususnya Kepada Drs. H. Muh. Abduh Sulaeman, SH. MH sebagai salah satu
Hakim yang juga menjabat sebagai Humas Pengadilan Agama Jakarta Selatan
dan Eddy Risdianto, SH. sebagai salah satu Hakim yang juga menjabat sebagai
Humas Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, yang telah bersedia meluangkan
waktunya untuk wawancara, dan segenap jajaran Pengadilan Agama dan
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang telah bersedia mencari dan
memberikan berbagai data dan informasi penting yang sangat dibutuhkan
penulis.
6. Segenap karyawan akademik dan Perpustakaan Fakultas Syari’ah dan Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
7. Segenap Keluarga Besar Dosen, khususnya di Fakultas Syariah dan Hukum
Konsentrasi Peradilan Agama Non Regular, saya ucapkan Terima kasih atas
bimbingannya selama bartahun-tahun menyelesaikan studi belajar.
8. Ayahanda H. Achmad Fuadi dan Ibunda Hj. Rosanih yang telah memberikan
segenap kesabaran, ketulusan dan keikhlasan serta cinta dan kasih sayang, serta
dukungan baik moril maupun materil yang tiada terhitung nilainya, serta
senantiasa mendo’akan dan membimbing penulis dalam menempuh perjalanan
hidup ini. Kakanda tercinta Rahmawati dan suami, Heni Fajriah, serta adik-
adik Azis Muslim, Muh. Syafik As’ad dan Syifa Fauziah yang selalu memberi
motivasi kepada penulis.
9. Sahabat-sahabatku, Mahasiswa dan Mahasiswi Syariah dan Hukum, khusunya
Mahasiswa dan Mahasiswi Konsentrasi Peradilan Agama Non Regular
angkatan 2004-2005.
10. Sahabatku A. Sonifuniam dan Nurfahmi yang selalu menemani penulis dalam
melakukan penelitian ke pengadilan, untuk temanku Ita Rosita dan Ratu
Purnama Sari yang telah memberikan pencerahan kepada penulis akan makna
kehidupan
Hanya kepada Allah swt, penulis serahkan balasan terhadap ketulusan dan
kebaikan mereka semua. Terakhir penulis berharap mudah-mudahan skripsi ini
berguna bagi penulis dan bagi khazanah ilmu pengetahuan pada umumnya.
Jakarta, 08 Rabi’ul Akhir 1430 H
05 Maret 2009 M
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .................................................................................................i
DAFTAR ISI ...............................................................................................................v
DAFTAR TABEL ....................................................................................................viii
DAFTAR LAMPIRAN ..............................................................................................ix
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................1
A. Latar Belakang Masalah......................................................................1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah..................................................8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian.........................................................10
D. Metode Penelitian .............................................................................11
E. Review Studi Terdahulu ...................................................................13
F. Sistematika Penulisan ......................................................................14
BAB II KERANGKA TEORITIS
AA.. TTiinnjjaauuaann UUmmuumm HHuukkuumm KKeewwaarriissaann ddii IInnddoonneessiiaa............................................................1166
1 Hukum Kewarisan Perdata Barat (BW).......................................16
a. Pengertian Kewarisan.............................................................16
b. Unsur dan Syarat-syarat Kewarisan.......................................17
c. Sistem kewarisan dan Bagian ahli waris................................20
2 Hukum Kewarisan Islam. ............................................................23
a. Pengertian Kewarisan.............................................................23
b. Rukun dan Syarat-syarat Kewarisan......................................24
c. Sistem kewarisan dan Bagiannya...........................................27
B. Teori Efektifitas ...............................................................................34
1. Pengertian Efektifitas ..................................................................34
2. Tolok Ukur Efektifitas ................................................................36
BAB III KEDUDUKAN DAN KEWENANGAN PERADILAN AGAMA .....38
A. Sejarah Peradilan Agama di Indonesia
Pra UU. No. 3 Tahun 2006 ................................................................38
B. Kedudukan dan Kewenangan Peradilan Agama Sebelum dan
Sesudah Amandemen Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 ...............46
C. Profil Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan.................................................................................................50
BAB IV HASIL PENELITIAN ............................................................................57
A. Data-data perkara waris .................................................................57
1. Data Perkara waris di Pengadilan Agama Jakarta Selatan ........57
2. Data Perkara waris di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan .........66
B. Analisis Data Hasil Penelitian ..........................................................72
BAB V PENUTUP ...............................................................................................75
A. Kesimpulan ........................................................................................75
B. Saran-saran .........................................................................................76
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................78
LAMPIRAN .................................................................................................................80
DAFTAR TABEL
1 Tabel
1
Jumlah Perkara Kewarisan di Pengadilan Agama Jakarta Selatan
Tahun 2006-2008…………..………………….……………………………
60
2 Tabel
2
Perkara Gugat Waris di Pengadilan Agama Tahun 2006.....................61
3 Tabel
3
Perkara Gugat Waris di Pengadilan Agama Tahun
2007.....................
62
4 Tabel
4
Perkara Gugat Waris di Pengadilan Agama Tahun
2008.....................
6
4
5 Tabel
5
Perkara Gugat Waris di Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan Tahun 2004-
2008…………………………………………………………...
7
0
6 Tabel
6
Perbandingan Perkara Waris di Pengadilan Agama
Jakarta Selatan dan di Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan Tahun 2006-2008..............
7
2
DAFTAR LAMPIRAN
1 Surat Pengantar Permohonan Data dan Wawancara ke
Pengadilan Agama Jakarta Selatan.
2 Surat Pengantar Permohonan Data dan Wawancara ke
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
3 Hasil Wawancara dengan Hakim Humas Pengadilan Agama Jakarta
Selatan.
4 Hasil Wawancara dengan Hakim Humas Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
5 Surat Keterangan telah melakukan Penelitian dan Wawancara
dari Pengadilan Agama Jakarta Selatan.
6 Surat Keterangan telah melakukan Penelitian dan Wawancara
dari Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman di Indonesia dilaksanakan oleh
Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer
dan Peradilan Tata Usaha Negara, yang berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai
Pengadilan Negara Tertinggi. Pengadilan pada keempat lingkungan Peradilan itu
memiliki cakupan dan batasan kekuasaan masing-masing; Cakupan dan batasan
pemberian kekuasaan untuk mengadili itu ditentukan oleh bidang yurisdiksi yang
dilimpahkan undang-undang kepadanya.1
Kekuasaan Peradilan Agama sendiri, sebagai salah satu kekuasaan kehakiman
mulai memiliki eksistensinya setelah tanggal 29 Desember 1989. Undang–undang
yang telah disahkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1989 Nomor
49 ini kemudian diberi nama Undang-Undang tentang Peradilan Agama Nomor 7
Tahun 1989.2 Namun dengan adanya perubahan mengenai hirarki di lingkungan
Pengadilan Agama dan terjadinya perkembangan dibidang ekonomi syariah, maka
pada tahun 2006 dikeluarkanlah Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang
perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
1 Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, cet,III, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,
2000), h.217. 2 M.Yahya Harahap. Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama (UU. N0. 7 Tahun
1989) cet.III, (T.tp., Pustaka Kartini, 1997) h.15.
Dalam pertimbangan hukum Undang-Undang ini disebutkan bahwa: Peradilan Agama
merupakan lingkungan Peradilan dibawah Mahkamah Agung.3 Bahwa ketentuan yang
terdapat dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sudah
tidak lagi sesuai dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat. Maka pada
tanggal 30 maret 2006 dengan persetujuan DPR dan Presiden Republik Indonseia,
diputuskan dan ditetapkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006.
Dalam Undang-Undang Peradilan Agama yang baru ini setidaknya terdapat 42
perubahan. Perubahan itu terdapat dalam beberapa pasal, antara lain yaitu: pasal 1, 2,
dan 3. Dalam pasal 1 disebutkan bahwa: beberapa ketentuan dalam Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama diubah. Dalam pasal 2 disebutkan
bahwa: Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat
pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu..
Dalam pasal 3 disebutkan bahwa: pada pasal 3. Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989, disisipkan pasal 3A yang rumusannya adalah sebagai berikut:
Dilingkungan Peradilan Agama dapat diadakan pengkhususan pengadilan yang diatur
dengan undang-undang. Penjelasan hal ini terdapat dalam penjelasan pasal demi pasal
angka 2, yaitu Pengadilan khusus dalam lingkungan Peradilan Agama adalah
Pengadilan Syariah Islam yang diatur dengan Undang-Undang. Mahkamah Syar’iyah
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang
Otonomi Khusus bagi provinsi daerah Istimewa Aceh sebagai provinsi Nanggroe Aceh
3 Gemala Dewi, ed., Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, cet.II, (Jakarta:
Prenada Media Group, 2006), h.58.
Darussalam yang oleh Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman pasal 15 ayat (2) disebutkan bahwa, ”Peradilan Syariah Islam di Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam merupakan Pengadilan khusus dalam lingkungan
Peradilan Umum sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan Peradilan
Umum.” 4
Wewenang Peradilan Agama diatur dalam pasal 49 sampai dengan pasal 53
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006
tentang Peradilan Agama. Wewenang tersebut terdiri atas wewenang Relatif dan
wewenang Absolut. Wewenang relatif Peradilan Agama merujuk pada pasal 118 HIR.
atau pasal 142 R.Bg jo. pasal 66 dan pasal 73 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
jo.Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama, sedangkan
wewenang absolut berdaarkan pasal 49 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama.
Pasal 49 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 ini sekarang sudah
diamandemen dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006.5 Sehingga
dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, salah satu yang
diatur didalamnya adalah tentang perubahan atau perluasan kewenangan lembaga
Peradilan Agama pada pasal 49 yang sekarang juga meliputi perkara-perkara
dibidang ekonomi syariah. Secara lengkap bidang-bidang yang menjadi kewenangan
4 Ibid., h.59.
5 Ibid., h.103.
Pengadilan Agama meliputi: Perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq,
shadaqah dan ekonomi syariah.
Dengan luasnya kewenangan Pengadilan Agama saat ini, yang juga meliputi
perkara bidang ekonomi syariah, berarti juga perlu adanya perluasan terhadap
pengertian asas personalitas keislaman. dan hal ini telah diatur dalam penjelasan Pasal
I Angka 37 tentang perubahan pasal 49 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 ini
yang menyebutkan sebagai berikut:
“Yang dimaksud dengan: “antara orang-orang yang beragama Islam” adalah
termasuk orang atau badan hukum yang dengan sendirinya menundukan diri
dengan sukarela kepada hukum Islam mengenai hal-hal yang menjadi
kewenangan Peradilan Agama sesuai dengan ketentuan pasal ini”.
Dari penjelasan pasal tersebut dapat dilihat perluasan pemahaman mengenai
asas personalitas keislaman dengan menggunakan lembaga “penundukan diri”. Dan
berdasarkan uraian diatas, dapat disebutkan bahwa kewenangan mutlak (kompetensi
absolut) peradilan agama meliputi bidang-bidang perdata tertentu seperti tercantum
dalam pasal 49 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo. Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2006 dan berdasarkan atas asas personalitas keislaman yang telah diperluas.
Dengan perkataan lain, bidang-bidang tertentu dari Hukum Perdata yang menjadi
kewenangan absolut Peradilan Agama adalah tidak hanya bidang hukum keluarga saja
dari orang-orang yang beragama Islam.6
Berkenaan dengan penyelesaian masalah kewarisan, dahulu sebelum
diamandemennya Undang-Undang Peradilan Agama, di Indonesia terdapat beraneka
6 Ibid., h.106.
sistem kewarisan yang berlaku (pilihan hukum). Pilihan hukum itu sendiri merupakan
suatu perwujudan kehendak dari para pihak yang berperkara untuk menentukan suatu
hukum yang dipergunakan dalam menyelesaikan perkara kewarisan yang akan
diajukan ke Pengadilan. Pilihan hukum timbul karena masih adanya beberapa sistem
hukum kewarisan yang berlaku dalam masyarakat yaitu: Sistem Hukum Islam,
Sistem Hukum Adat dan Sistem Hukum Barat (BW).
Dalam Penjelasan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 butir 2 alinea 6,
menyatakan bahwa: “Sehubungan dengan hal tersebut (bidang kewarisan), para pihak
yang berperkara dapat mempertimbangkan untuk memilih hukum mana yang akan
dipergunakan dalam pembagian waris” 7
Berdasarkan penjelasan tersebut, para pihak yang akan berperkara dapat
memilih hukum apa yang akan digunakan didalam penyelesaian perkara waris,
sebelum perkara tersebut diajukan ke pengadilan.
M. Yahya Harahap dalam bukunya Kedudukan Kewenangan dan Acara
Peradilan Agama (UU. N0. 7 Tahun 1989) menjelaskan bahwa:
“Hak opsi dalam perkara waris adalah memilih hukum apa yang akan
digunakan dalam menyelesaikan perkara waris.”8
Abdul Gani Abdullah dalam bukunya Dalam Sepuluh Tahun Undang-Undang
Peradilan Agama menjelaskan:
“Asas pilihan hukum yang akan digunakan untuk menentukan pengadilan
yang berwenang bergantung kepada hukum yang akan di pilih atau dikehendaki
7 Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama (Yogyakarta: Pusataka
Pelajar, 1996), h.115. 8 Harahap. Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama , h.162.
masing-masing pihak akibat ketidaksepakatan menentukan hukum dan tidak
bergantung kepada agama masing-masing. Dengan kata lain, asas pilihan hukum ini
keluar atau menghindarkan diri dari hukum yang ditunjuk agama masing-masing” 9
Berdasarkan berbagai pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa hak opsi
adalah merupakan hak untuk memilih siatem hukum apa yang akan digunakan dalam
pembagian waris. Namun, setelah diamandemennya Undang-Undang Nomor. 7 tahun
1989 menjadi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama.
Mengenai pilihan hukum dalam perkara kewarisan ini sudah dihapus. Dalam
penjelasan umum alinea kedua Undang-Undang ini dinyatakan sebagai berikut:
“...Dalam kaitan dengan perubahan undang-undang ini pula, kalimat yang terdapat
dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama yang menyatakan: “Para pihak sebelum berperkara dapat mempertimbangkan
untuk memilih hukum apa yang dipergunakan dalam pembagian warisan”, dinyatakan
dihapus.” 10
Berdasarkan penjelasan tersebut, para pihak yang akan berperkara dapat
memilih hukum apa yang akan digunakan didalam penyelesaian perkara waris,
sebelum perkara tersebut diajukan ke pengadilan. Namun, setelah diamandemennya
Undang-Undang Nomor. 7 Tahun 1989 menjadi Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2006 tentang Peradilan Agama. Mengenai pilihan hukum dalam perkara kewarisan ini
sudah dihapus. Dalam penjelasan umum alinea kedua Undang-Undang ini dinyatakan
sebagai berikut: “...Dalam kaitan dengan perubahan undang-undang ini pula, kalimat
9 Abdul Gani Abdullah, Dalam Sepuluh Tahun Undang-Undang Peradilan Agama, (Jakarta:
Ditbinbopera, 1999), h. 52
10 Dewi, ed. Hukum Acara Perdata, h. 111.
yang terdapat dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama yang menyatakan:“Para pihak sebelum berperkara dapat
mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang dipergunakan dalam pembagian
warisan”, dinyatakan dihapus.” 11
Dengan dihapusya hak opsi dalam perkara waris tersebut, maka khusus bagi
orang-orang yang beragama Islam, semua perkara waris menjadi kompetensi Absolut
Pemgadilan Agama. Sehingga apabila sebelumnya orang-orang yang beragama Islam
dalam menyelesaikan pembagian waris, mereka bisa memilih hukum mana yang
mereka kehendaki. Apakah diselesaikan di Pengadilan Agama dengan
mempergunakan sistem hukum Islam, atau diselesaikan di Pengadilan Negeri dengan
mempergunakan sistem hukum barat (BW) / KUH Perdata, ataupun diselesaikan
secara adat dengan mempergunakan sistem hukum adat. Maka setelah dihapusnya hak
opsi tersebut, semua perkara waris harus diselesaikan di Pengadilan Agama dan
menjadi wewenang mutlak Pengadilan Agama.
Menurut pendapat penulis, penjelasan umum dalam Undang-Undang Peradilan
Agama seperti yang tersebut diatas, secara eksplisit menegaskan bahwa, bagi
masyarakat muslim tiada perkara waris yang persidangannya dilakukan diluar
Pengadilan Agama, dan tidak ada pengecualian yang tertuang dalam penjelasan umum
Undang-Undang Peradilan Agama tersebut mengenai penghapusan hak opsi dalam
perkara-perkara waris.
11 Dewi, ed. Hukum Acara Perdata, h. 111.
Oleh karena itu, sejalan dengan telah dikeluarkannya amandemen Undang-
Undang Peradilan Agama Undang-Undang. Nomor 3 tahun 2006 yang mengatur
perluasan wewenang Pengadilan Agama, khususnya dalam masalah kewarisan.
Apakah aturan tersebut telah berjalan dengan efektif atau tidak ditengah-tengah
masyarakat, khususnya masyarakat muslim. Karena jangan sampai ketika telah
dikeluarkan sebuah aturan dalam bentuk undang-undang ini, masih ada orang-orang
muslim yang menyelesaikan perkara warisnya di Pengadilan Negeri Sehingga aturan
tersebut nantinya tidak berjalan efektif sebagaimana yang diharapkan.
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka penulis menuangkan ke
dalam sebuah skripsi yang berjudul:
“Efektifitas Penghapusan Pilihan Hukum dalam Perkara Waris Pasca
Disahkannya Undang-undang No 3 Tahun 2006 (Studi pada Pengadilan Agama
dan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan).”
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Melihat perkembangan dalam masalah kewarisan di Indonesia khususnya bagi
umat muslim dan kemajuan-kemajuan pada lembaga Pengadilan Agama di Indonesia
pasca diamandemennya Undang-Undang Peradilan Agama Undang-Undang Nomor. 3
tahun 2006 sebagai perubahan atas Undang-Undang Nomor. 7 tahun 1989 yang
mengatur tentang perluasan kewenangan Pengadilan Agama seperti masalah ekonomi
syariah dan masalah penghapusan pilihan hukum dalam perkara waris. Dengan telah
dihapusnya pilihan hukum dalam penyelesaian perkara waris tersebut, maka penulis
mencoba membatasi masalah yang akan dibahas pada skripsi kali ini, sesuai dengan
judul diatas yaitu:
1. Perkara waris yang akan diteliti hanya perkara-perkara waris pada Tahun
2006-2008 di Pengadilan Agama Jakarta Selatan dan perkara-perkara
waris pada Tahun 2004-2008 di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan,
dengan asumsi perkara tersebut sudah berkekuatan hukum tetap (BHT).
2. Pengadilan yang akan menjadi objek penelitian dalam skripsi ini adalah
Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
2. Perumusan Masalah
Rumusan masalah utama dalam skripsi ini adalah mengenai “Dihapusnya hak
opsi Hukum dalam penyelesaian waris, khususnya bagi Orang-orang yang beragama
Islam.” Rumusan tersebut akan diturunkan menjadi beberapa pertanyaan yang akan
dijawab melalui penelitian skripsi ini sebagai berikut:
1. Apakah sebelum dan sesudah dihapusnya hak opsi hukum dalam perkara
waris, terdapat perkara gugat waris antar orang-orang muslim yang
diajukan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan?
2. Bagaimana efektifitas penghapusan pilihan hukum dalam penyelesaian
perkara waris di Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan pasca dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006
tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor. 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan penulisan skripsi ini adalah :
1. Untuk mengetahui Apakah sebelum dan sesudah dihapusnya hak opsi
hukum dalam perkara waris, terdapat perkara gugat waris antar orang-
orang muslim yang diajukan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
2. Untuk mengetahui bagaimana efektifitas penghapusan pilihan hukum
dalam perkara waris pasca dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor. 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama.
Dengan demikian diharapkan melalui penulisan skripsi ini akan memberikan
manfaat sebagai berikut :
1 Secara Akademik: hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi kalangan
pelajar, mahasiswa, dan para akademisi. Serta untuk menambah dan
memperkaya bahan kajian dan pustaka.
2 Secara Praktis: hasil penelitian ini diharapkan dapat menggambarkan
tentang Efektif tidaknya Penghapusan Pilihan Hukum dalam Perkara
Waris Pasca Undang-Undang Nomor. 3 Tahun 2006 tentang perubahan
atas Undang-Undang Nomor. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Khususnya bagi Penulis dan bagi masyarakat pada umumnya.
D. Metode Penelitian
Dalam suatu penelitian ilmiah, perlu ditentukan metode yang digunakan dalam
penelitian tersebut. Dalam penulisan kali ini digunakan metode deskriptif dengan
pendekatan kualitatif untuk mendapatkan informasi yang lebih akurat. Penelitian
dengan menggunakan metode deskriptif adalah peneltian yang bertujuan untuk
melukiskan secara sistematis fakta-fakta atau karakteristik populasi tertentu atau
bidang tertentu. Baik berupa keadaan, permasalahan, sikap, pendapat, kondisi atau
sistem secara faktual dan cermat. Penelitian deskriptif tidak untuk mencari atau
menjelaskan hubungan, demikian juga tidak untuk menguji hipotesa dan membuat
prediksi.
Sumber data dalam penelitian ini terdiri dari dua sumber yaitu: sumber data
primer dan sumber data sekunder.
Data primer merupakan sumber data untuk penelitian lapangan (Field
Reseach) yang diambil dari hasil observasi, dan pengamatan langsung dilokasi
penelitian. Dalam hal ini, pencarian data dilakukan kepada pihak-pihak yang
berkompeten terhadap masalah yang diteliti, baik di Pengadilan Agama dan
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Dokumen yang dijadikan sebagai sumber data
diantaranya kasus kewarisan di Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan yang dibatasi hanya pada Tahun 2006-2008 di Pengadilan Agama dan pada
Tahun 2004-2008 di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, yang telah berkekuatan hukum
tetap (BHT). Sedangkan data sekunder bersumber dari berbagai literatur yang
merupakan studi kepustakaan (Library Reseach). Studi kepustakaan dilakukan dengan
membaca dan meneliti literatur yang ada seperti; buku-buku, majalah, jurnal, atau
sumber lain yang ada relevansinya dengan pokok bahasan dalam skripsi ini
Usaha-usaha yang dilakukan untuk memperoleh data yang diperlukan dalam
penelitian lapangan yaitu dengan menggunakan langkah-langkah sebagai berikut:
a) Interview (wawancara) yaitu dilakukan dengan mengajukan pertanyaan
kepada pihak yang berkompeten di Pengadilan Agama dan Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan seputar masalah penghapusan opsi hukum dalam
perkara waris.
b) Dokumentasi yaitu mengumpulkan data-data yang dilakukan dengan cara
mencatat, merekam/merangkum data tertulis yang ada dilokasi penelitian,
Dokumen yang dijadikan sumber data diantaranya kasus kewarisan di
Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang di batasi
hanya pada tahun 2006-2008 di Pengadilan Agama dan pada tahun 2004-
2008 di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang telah berkekuatan hukum
tetap (BHT).
Data yang diperoleh di lapangan terdiri dari dua data yaitu: data kualitatif dan
data kuantitatif. Dengan demikian teknik analisa data yang dilakukan melalui upaya-
upaya sebagai berikut; Data kualitatif dilakukan dengan cara menguraikan ke dalam
bahasa yang mudah dipahami dan logis sesuai dengan masalah yang diteliti..
Sedangkan, Data kuantitatif berupa perkara waris dilakukan dengan upaya-upaya
sebagai berikut, Tabulating yaitu memindahkan hasil data yang didapatkan, kemudian
disusun secara rinci dalam bentuk tabel. Mengukur perhitungan rata-rata dengan
menggunakan rumus distribusi frekuensi relatif sebagai berikut :
F
P = _ X 100
%
N
Keterangan:
P = Persentase
F = Frekuensi
N = Jumalah yang dianalisa.12
Selanjutnya dilakukan analisis dengan memberikan penafsiran terhadap data
yang terkumpul.
Teknik penulisan skripsi ini menggunakan buku “Pedoman Penulisan Skripsi
yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah & Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tahun 2007, Cet,1
E. Review Studi Terdahulu
Dari beberapa literatur skripsi yang berada di perpustakaan Fakultas Syariah
dan Hukum dan perpustakaan utama, penulis hanya menemukan satu skripsi yang
membahas masalah pilihan hukum dalam perkara waris. Karena tema-tema skripsi ini
12 Anas Sudiono, Pengantar Statistik pendidikan (Jakarta: Raja Grafindo, 1995), h.50.
masih terbatas maka penulis mencoba mereview skripsi yang secara khusus terkait
dengan bahasan skripsi penulis Daftar skripsi tersebut adalah sebagai berikut:
1. Ridwan, HR, Judul skripsi: Efektifitas Pilihan Hukum Perkara Waris Analisis
terhadap Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 (studi pada Pengadilan Negeri dan
Pengadilan Agama Jakarta Timur). Program Studi Perbandingan Mazhab
Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum, 2008.
Skripsi ini membahas tentang implikasi adanya hak ospi dalam
perkara waris sebagaimana diatur dalam penjelasan umum butir kedua alinea
keenam Undang-Undang Nomor. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama,
menjadikan aturan tidak efektif dalam penyelesaian perkara waris diantara
umat Islam.
Dari judul skripsi diatas, sudah jelas berbeda pembahasannya dengan skripsi
yang akan dibahas oleh penulis, karena dalam hal ini penulis akan mencoba membahas
masalah kewarisan dengan fokus efektifitas penghapusan pilihan hukum dalam perkara
waris pada Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pasca
dikelarkannya Undang-Undang Nomor. 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-
Undang Nomor. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
F. Sistematika Penulisan
Agar penulisan skripsi ini menjadi lebih sistematis, maka tata uraian terbagi
menjadi lima bab dengan susunan sebagai berikut :
Bab I Pendahuluan, Bab ini merupakan landasan pada bab-bab berikutnya. Oleh
karena itu, bab ini didalamnya akan membahas tentang Latar Belakang
Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat
Penelitian, Metode Penelitian, Review Studi Terdahulu serta Sistematika
Penulisan.
Bab II Menggambarkan secara deskriptif Kerangka Teoritis mengenai Tinjauan
Umum tentang Hukum Kewarisan di Indonesia, Teori Efektifitas dan Tolok
Ukur Efektifitas.
Bab III Menjelaskan Tentang Sejarah Peradilan Agama di Indonesia Pra UU. No. 3
Tahun 2006, Kedudukan dan Kewenangan Peradilan Agama Sebelum dan
Sesudah Amandemen Undang-Undang No. 3 Tahun 2006, serta Profil
Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Bab IV Pada bab ini dibahas tentang Hasil Penelitian dengan memaparkan Data
Perkara waris di Pengadilan Agama Jakarta Selatan Pada Tahun 2006-
2008 dan Data Perkara waris di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada
Tahun 2004-2008. serta menganalisa data hasil penelitian tersebut.
Bab V Penutup. Bab ini merupakan akhir pembahasan serta rangkuman dari bab-
bab sebelumnya. Maka pada bab Penutup ini, akan mengemukakan
beberapa kesimpulan dari isi skripsi ini, kemudian diakhiri dengan
beberapa saran-saran yang mungkin dapat diberikan dari penulisan skipsi
ini.
BAB II
KERANGKA TEORITIS
A. Tinjauan Umum Hukum Kewarisan di Indonesia
Hukum perdata yang berlaku di Indonesia, termasuk didalamnya masalah
pewarisan, sampai sekarang masih beraneka ragam (plural), masih belum mempunyai
kesatuan hukum yang dapat diterapkan untuk seluruh warga negara Indonesia.
Keanekaragaman hukum waris tersebut dapat dilihat dari adanya pembagian hukum
waris kepada:
1. Hukum waris yang terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata
(KUHPer/BW), Buku I Bab XII sampai dengan Bab XVIII dari pasal 830 sampai
dengan pasal 1130.
2. Hukum waris yang terdapat dalam hukum waris Islam, yaitu ketentuan hukum
waris dalam fiqh Islam, yang disebut Mawaris atau Ilmu Faraidh13
1 Hukum Krwarisan Perdata Barat (BW/KUHPerdata)
a. Pengertian Kewarisan
Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang peralihan kekayaan
yang ditinggalkan seseorang yang meninggal (pewaris) serta akibatnya bagi para ahli
13 Suparman Usman, Iktisar Hukum Waris menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
(Burgerlijk Wetboek). (Semarang: Darul Ulum Press. 1993). h. 16-17.
warisnya.14
Pengertian tersebut sesuai dengan definisi yang diutarakan oleh Wirjono
Prodjodikoro, bahwa hukum waris adalah hukum atau peraturan tentang apakah dan
bagaimanakah berbagai hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang kekayaan seseorang
pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang masih hidup.15
Dalam hukum waris berlaku asas bahwa hanyalah hak-hak dan kewajiban-
kewajiban dalam lapangan hukum kekayaan harta benda saja yang dapat diwariskan.
Dengan kata lain, hanyalah hak-hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang;16
Selain itu, dalam hukum waris berlaku juga suatu asas bahwa apabila seseorang
meninggal, maka seketika itu juga segala hak dan kewajibannya beralih pada sekalian
ahli warisnya. Asas tersebut tercantum dalam pepatah Perancis yang berbunyi: “le
mort saisit le vif,” sedangkan pengoperan segala hak dan kewajiban dari si meniggal
oleh para ahli waris itu dinamakan saisine. 17
b. Unsur-unsur dan Syarat-syarat Pewarisan
1) Unsur-unsur Pewarisan
Untuk terjadinya pewarisan diperlukan unsur-unsur sebagai berikut:
1) adanya orang yang meninggal dunia (erflater), yang meninggalkan harta
warisan, yang disebut pewaris.
14 Effendi Perangin, Hukum Waris. (Jakarta: Rajawali Pers, 1997),.h. 2.
15 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Warisan di Indonesia, (Jakarta: Sumur Bandung, 1993). h. 13
16 Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata (Jakarta: Internusa, 2003), h. 95 17 Ibid., h, 96
2) adanya orang yang masih hidup (erfgenaam}, yaitu orang yang menurut
Undang-Undang atau testamen berhak mendapat waris, yang disebut ahli
waris.
3) adanya benda yang ditinggalkan (erfenis tialatemchap), yaitu segala
sesuatu yang ditinggalkan oleh pewaris pada saat ia meninggal dunia yang
disebut harta warisan, bisa berbentuk aktiva atau passiva.18
2) Syarat-syarat pewarisan
Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam unsur-unsur pewarisan
adalah:
a) Syarat-syarat yang berhubungan dengan pewaris
Untuk terjadinya pewarisan, maka si pewaris harus sudah meninggal
dunia sebagaimana disebutkan pasal 130: "Pewarisan hanya berlangsung
karetia kematian."
b) Syarat-syarat yang berhubungan dengan ahli waris
(1) Mempunyai hak atas harta peninggalan pewaris, hak ini ada karena:
(a) Adanya hubungan darah atau perkawinan antara ahli waris
dengan pewaris disebut ahli waris menurut undang-undang (ab
intestato).19
(b) Adanya pemberian wasiat (testaminair).20
18 Suparman Usman, h. 54. 19 Pasal 874 KUH Perdata
(2) Ahli waris ada atau masih hidup pada saat kematian pewaris.
(3) Tidak terdapat sebab-sebab atau hal-hal yang menurut undang-
undang, ahli waris tidak patut atau terlarang (onwaarding) untuk
menerima warisan dari si pewaris. Menurut pasal 838 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata ada empat kelompok yang tidak patut
menjadi ahli waris dan karenanya dikecualikan dari pewarisan ialah:
1 Mereka yang dengan putusan hakim dihukum karena
dipersalahkan telah membunuh, atau mencoba membunuh si yang
meninggal.
2 Mereka yang dengan putusan hakim pernah dipersalahkan, karena
secara fitnah telah mengajukan pengaduan terhadap pada si yang
meninggal ialah suatu pengaduan telah melakukan suatu kejahatan
yang terancam dengan hukuman penjara lima tahun lamanya atau
hukuman yang lebih berat.
3 Mereka yang dengan kekerasan atau perbuatan telah telah
mencegah atau menghalang-halangi si meninggal untuk membuat
atau mencabut surat wasiat.
4 Mereka yang telah menggelapkan, merusak atau memalsukan
surat wasiat yang meninggal;21
21 Idris Ramulyo, Perbandingan Hukum Kewarisan Islam (Surabaya: Pedoman limu Jaya,
1992), h.16.
c. Sistem Pewarisan dan besarnya bagian
a. Sistem Pewarisan
KUH Perdata mengenal tiga sistem pewarisan, yaitu: Pertama, sistem prbadi
(individual) bahwa yang menjadi ahli waris adalah perseorangan, bukan kelompok ahli
waris. Kedua, sistem bilateral yaitu mewarisi dari pihak ibu maupun bapak. Ketjga,
sistem perderajatan, yaitu ahli waris yang derajatnya lebih dekat dengah si pewaris
menutup ahli waris yang lebih jauh derajatnya.22
b. Besarnya Bagian Ahli Waris
Sebagaimana telah disebutkan, bahwa seseorang dapat menjadi ahli waris
karena Undang-Undang dan karena wasiat. Besarnya bagian mereka adalah:
1) Ahli waris karena Undang-Undang
Ahli waris karena Undang-Undang terbagi ke dalam empat golongan, yaitu:
a). Golongan I, terdiri dari anggota keluarga dalam garis lurus kebawah,
yaitu anak beserta keturunan mereka, dan janda atau duda yang hidup
terlama. Masing-masing memperoleh bagian yang sama.
b). Golongan II, terdiri dari orang tua (ayah dan ibu), dan saurdara-saudara
serta keturunannya. Pewarisan golongan II ini diatur dalam pasal 854
samapai dengan pasal 860. Orang tua dan saudara-saudara pewaris
masing-masing mendapat bagian yang sama, tetapi bagian orang tua
lebih diutamakan karena bagian mereka tidak boleh dari 1/4 bagian dari
seluruh harta warisan.
22
. Effendi Perangin, Hukum Waris, h. 4.
Apabita orang tua semuanya telah meninggal, maka harta
peninggalan seluruhnya jatuh kepada saudara-saudara yang masih ada.
Dan apabila saudara-saudara yang ada itu hanya ada seayah atau seibu
saja dengan pewaris, maka harta warisan dibagi dua terlebih dahulu.
Jika pewaris juga meninggalkan saudara kandung (seibu-seayah), maka
bagian saudara kandung diperoleh dari dua bagian yang dipisahkan tadi.
c). Golongan III, terdiri dari keluarga dari garis lurus ke atas setelah ayah
dan ibu, yaitu kakek dan nenek serta terus ke atas tanpa batas dari
pewaris apabila pewaris tidak meninggalkan ahli waris golongan I dan
II. Cara pembagianya adalah harta warisan dibagi dua, satu bagian
untuk kakek nenek dari garis ayah, dan satu bagian untuk kakek-nenek
dari garis ibu.
d). Golongan IV, terdiri dari keluarga garis ke samping, yaitu paman dan
bibi serta keturunanya dari pihak ayah maupun ibu. Keturunan paman
dan bibi sampai derajat keenam dihitung dari si meninggal, dan saudara
kakek dan nenek beserta keturunanya sampai derajat keenam dihitung
dari si meninggal. Cara pembagiannya sama dengan ahli waris gologan
III, yaitu harta warisan dibagi dua, satu bagian untuk paman dan bibi
serta keturunannya dari garis ayah dan satu bagian yang lain untuk
paman dan bibi serta keturunannya dari garis ibu.
Dari keempat golongan ahli waris tersebut, berlaku ketentuan
bahwa golongan yang terdahulu menutup golongan yang kemudian.23
Jadi jika ada golongan I, maka golongan II, III dan IV tidak menjadi
ahli waris. Jika golongan I tidak ada, maka golongan II yang mewarisi.
Begitu selanjutnya, jika golongan I dan II tidak ada, maka golongan III
dan/atau golongan IV yang mewarisi. Adapun yang termasuk dalam
golongan I adalah anak-anak sah maupun anak luar kawin yang diakui
sah dengan tidak membedakan laki-laki ataupun perempuan dan
perbedaan umur.24
Apabila tidak ada ahli waris yang berhak atas harta
peninggalan, maka seluruh harta menjadi milik negara.25
2 Hukum Kewarisan Islam
a. Pengertian Kewarisan
Secara etimologi (bahasa) kata “Kewarisan” berasal dari bahasa arab yaitu
warasa yang memiliki beberapa pengertian diantaranya adalah; Mengganti, Memberi
dan Mewarisi. Sedangkan menurut terminologi (istilah), banyak dari para tokoh dan
23 Ibid., h. 33-34
24 Pasal 832 KUHPerdata 25 Pasal 832 KUHPerdata
Ulama yang memberikan penjelasan tentang kewarisan itu sendiri, di antaranya adalah:
Drs. Ahmad Rofiq, M.A., dalam bukunya “Hukum Islam di Indonesia” yang dalam
hal ini beliau mengutip dari Muhammad Syarbini al-Khatib, di katakan bahwa hukum
kewarisan adalah hukum yang mengatur pembagian warisan, mengetahui bagian-
bagian yang di terima dari harta peninggalan untuk setiap yang berhak.26
Dalam
redaksi yang lain beliau juga mengutip dari Hasby Ash-Shiddieqy, yang
mengemukakan bahwa hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur siapa-siapa
orang yang mewarisi dan tidak mewarisi, bagian penerimaan setiap ahli waris dan
cara-cara pembagiannya.27
Hukum kewarisan menurut Kompilasi Hukum Islam adalah hukum yang
mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris,
menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya msing-
masing.28
b. Unsur-unsur dan Syarat-Syarat Pewarisan
Pada dasarnya pewarisan adalah proses berpindahnya harta peninggalan dari
seorang pewaris kepada ahli warisnya. Sedangkan fungsi dari pewarisan adalah untuk
26 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, cet.VI, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,
2003), h.355.
27 Ibid., h.356.
28 Pasal 171 (a) KHI.
menggantikan kedudukan dalam memiliki harta benda, antara orang yang telah
meninggal dunia dengan orang yang ditinggalkan.29
Dengan demikian unsur-unsur pewarisan adalah pewaris, ahli waris, dan harta
peninggalan. Agar terjadinya proses pewarisan tersebut harus memenuhi syarat-syarat
sebagai berikut :
1) Matinya pewaris
Kematian pewaris merupakan syarat utarna terjadinya pewarisan.
Karena itu, kematiaannya harus diketahui secara jelas dan dapat dibuktikan
secara hukum. Hal ini untuk menghindari terjadinya kekeliruan dan salah
dugaan terhadap keadaan pewaris sebelum peralihan hak dilakukan
2) Hidupnya ahli waris disaat kematian pewaris
Yang dimaksud dengan ahli waris adalah orang yang pada saat
meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan
dengan pewaris, beragama Islam, dan tidak terhalang karena hukum untuk
menjadi ahli waris.30
Ahli waris menurut Kompilasi Hukum Islam, sebagaimana terdapat
dalam pasal-pasal 174, 181, 182, 185, dan 229, pada prinsipnya sama
dengan ahli waris yang terdapat dalam kitab-kitab fiqh Islam, denpan
pengecualian laki-laki dan perempuan yang memerdekakan budak, sebab di
Indonesia tidak ada perbudakan, namun dimungkinkan ada penambahan
29 Idris Djakfar dan Taufik Yahya. Kompilasi Hukum kewarisan Islam, (Jakarta: Pustaka Jaya.
1995). h.52
30 Pasal 174
ahli waris pengganti, seperti cucu laki-laki maupun anak perempuan dari
anak perempuan mewarisi bersamaan dengan anak laki-laki, dimana anak
perempuan tersebut telah meninggal dunia lebih dahulu dari pewaris. Ahli
waris tersebut adalah
a) Menurut hubungan darah,
(1) Golongan laki-laki terdiri dari: ayah, ibu, anak laki-laki, saudara
laki-laki, paman dan kakek.
(2) Golongan perempuan terdiri dari: ibu, anak perempuan, saudara
perempuan, dan nenek.
b) Menurut hubungan perkawinan terdiri dari: duda atau janda.
Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat
warisan hanya anak, ayah, ibu, janda dan duda.
Ahli waris tersebut baru dapat mewarisi harta peninggalan
pewaris apabila ia beragama Islam atau dianggap sebagai beragama
Islam, indikator seseorang beragama Islam dapat diketahui dari kartu
identitas atau pengakuan atau amalan atau kesaksian. Bayi atau anak
belum dewasa, beragama menurut ayahnya atau lingkungannya.31
Ahli waris disamping mendapat hak mewarisi harta peninggalan
pewaris, juga mempunyai kewajiban terhadap pewaris, yaitu:
(1) Mengurus dan menyelesaikan sampai pemakaman jenazah selesai.
31 Pasal 172 KHI.
(2) Menyelesaikan baik utang-utang berupa pengobatan, perawatan
termasuk kewajiban pewaris maupun menagih piutang.
(3) Menyelesaikan wasiat pewaris.
(4) Membagi harta warisan diantara ahli waris yang berhak.
Mengenai tanggung jawab ahli waris terhadap utang atau
kewajiban pewaris hanya terbatas pada jumlah atau nilai harta
peninggalanya. Karenanya utang tetap mcnjadi tanggung jawab si
meninggal yang dikaitkan pada hartanya dan kewajiban ahli waris
hanyalah sebatas membayarkan hutang tersebut dari harta yang
ditinggalkan.
3) Harta peninggalan
Dalam kompilasi Hukum Islam, harta peninggalan dibedakan
dengan harta warisan. Yang dimaksud dengan harta peninggalan adalah
harta yang ditinggalkan pewaeis baik yang berupa harta benda yang
menjadi miliknya maupun hak-haknya.
c. Sistem Pewarisan dan Besarnya Bagian
1) Sistem Pewarisan
Hukum kewarisan Islam merupakan sub sistem dari keseluruhan hukum Islam
yang khusus mengatur peralihan-harta seseorang yang telah meninggal kepada ahli
warisnya yang masih hidup. Suatu sistem adalah kumpulan asas-asas yang terpadu
yang merupakan landasan, dimana dibangun tertib hukum.32
Dalam hukum kewarisan
32 Idris Djakfar, Kompilasi Hukum Kewarisan Islam, h. 28.
Islam mengandung berbagai asas yang dalam beberapa hal berlaku pula dalam hukum
Kewarisan yang bersumber dari akal manusia. Asas-asas hukum kewarisan Islam ini
berkaitan dengan sifat peralihan harta kepada ahli waris, cara pemilikan harta oleh
yang menerima, kadar jumlah harta yang diterima dan waktu terjadinya peralihan harta
itu. Asas-asas tersebut adalah: asas ijbari, asas bilateral, asas individual, asas keadilan
berimbang dan asas semata akibat kematian.33
a) Asas Ijbari
Secara etimologis Kata ijbari mengandung arti paksaan (compulsory), yaitu
melakukan sesuatu di luar kehendaknya sendiri. Dalam hal hukum waris, berarti
terjadinya peralihan harta seseorang yang telah meninggal dunia kepada yang masih
hidup, dengan sendirinya tanpa ada perbuatan hukum atau pernyataan kehendak dari
si pewaris, bahkan si pewaris (semasa hidupnya) tidak bisa menolak atau menghalang-
halangi terjadinya peralihan tersebut. Dengan perkatan lain, dengan adanya kematian si
pewaris secara otomatis hartanya beralih kepada ahli warisnya, tanpa terkecuali apakah
ahli warisnya suka menerima atau tidak, demikian juga halnya bagi si pewaris.
Asas ijbari dalam Hukum Kewarisan Islam dapat dilihat dari beberapa segi,
yaitu: dari segi peralihan harta, dari segi jumlah harta yang beralih, dan dari segi
kepada siapa harta itu beralih. Ketentuan asas ijbari ini dapat dilihat antara lain dalam
ketentuan al-Qur’an surat an-Nisaa (4); 7 yang menjelaskan bahwa; “bagi seseorang
33 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, cet,III, (Jakarta: Prenada Media Group, 2008),
h.17.
laki-laki maupun perempuan ada “nasib” dari harta peinggalan orang tuanya dan karib
kerabatnya”. 34
Asas ijbari secara umum, dapat pula di lihat pada pasal 171 Kompilasi Hukum
Islam (KHI) tentang ketentuan umum mengenai perumusan pengertian kewarisan,
pewaris dan ahli waris. Sedangkan secara khusus, mengenai cara peralihan harta
warisan juga di sebutkan dalam ketentuan umum tersebut dan pada pasal 187 ayat (2).
Tentang bagian masing-masing ahli waris, dinyatakan dalam Bab III pasal 176
sampai dengan pasal 182 Kompilasi Hukum Islam (KHI). Dan menegnai siapa-siapa
yang menjadi ahli waris di sebutkan dalam pasal 174 ayat (1) dan (2).35
b) Asas Bilateral
Asas bilateral dalam kewarisan mengandung arti bahwa harta warisan beralih
kepada atau melalui dua arah. Hal ini berarti bahwa setiap orang menerima hak
warisan dari kedua belah pihak garis kerabat, yaitu dari garis keturunan laki-laki dan
dari garis keturunan perempuan.36
Asas bilateral ini secara tegas dapat ditemui dalam ketentuan al-Qur’an surat
an-Nisaa (4); 7, 11, 12, dan 176. dalam ayat 7 dinyatakan bahwa seseorang laki-laki
berhak mendapat warisan dari pihak ayahnya dan juga dari pihak ibunya. Begitu pula
34 Suhrawardi K. Lubis dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam, cet .IV, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2004), h. 36
35 Rofiq, Hukum Islam, h.128. 36 Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, h. 19
seorang perempuan berhak menerima harta warisan dari pihak ayahnya dan juga dari
pihak ibunya. Ayat ini merupakan dasar bagi kewarisan bilateral itu.37
Asas bilateral dapat pula dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pada pasal 174
ayat (1) tentang pengelompokan ahli waris.38
c) Asas Individual
Hukum Islam menganjurkan asas kewarisan secara Individual, dengan maksud
bahwa harta warisan dapat dibagi-bagi untuk di miliki secara perorangan. Masing-
masing ahli waris menerima bagiannya secara tersendiri tanpa terikat dengan ahli
waris yang lain. Keseluruhan harta warisan dinyatakan dalam nilai tertentu yang
mungkin di bagi-bagi, kemudian jumlah tersebut di bagikan kepada setiap ahli waris
yang berhak menurut kadar bagian masing-masing.Ketentuan asas individual ini dapat
dijumpai dalam ketentuan al-Qur’an surat an-Nisaa (4); 7.39
.
Asas individual ini juga tercermin dalam pasal-pasal mengenai besarnya bagian
ahli waris dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pada Bab III pasal 176 sampai
dengan pasal 180. dan khusus bagi ahli waris yang memperoleh harta warisan
sebelum ia dewasa atau tidak mampu melaksanakan hak dan kewajibannya atas harta
yang diperolehnya, baginya di angkat wali atas usul anggota keluarganya. Hal ini
diatur dalam pasal 184.40
d) Asas Keadilan Berimbang
37 Ibid., h.20.
38 Rofiq, Hukum Islam, h.129.
39 Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, h.21. 40 Rofiq, Hukum Islam, h.130.
Dalam hubungannya dengan hak yang menyangkut materi, khususnya yang
menyangkut dengan kewarisan, kata ‘adil’ dapat diartikan sebagai keseimbangan
antara hak dan kewajiban dan keseimbangan antara yang di peroleh dengan keperluan
dan kegunaan. Dengan demikian, asas ini mengandung arti bahwa harus senantiasa
terdapat keseimbangan antara hak dan kewajiban, dan keseimbangan antara hak yang
di peroleh seseorang dengan kewajiban yang harus di tunaikannya.
Atas dasar pengertian tersebut di atas terlihat bahwa, secara mendasar dapat di
katakan bahwa perbedaan gender tidak menentukan hak kewarisan dalam Islam.
Artinya sebagaimana pria, wanita pun mendapatkan hak yang sama kuat untuk
mendapatkan warisan. Hal ini secara jelas di sebutkan dalam al-Qur’an surah an-Nisaa
ayat 7 yang menyamakan kedudukan laki-laki dan perempuan dalam hak mendapatkan
warisan.41
Asas keadilan berimbang dapat dilihat pula pada Kompilasi Hukum Islam
(KHI) pasal 176 sampai dengan pasal 180 tentang besarnya bahagian, dan dalam pasal
192.sampai dengan pasal 193 tentang masalah aul dan rad42
e) Asas Semata Akibat Kematian
Hukum Islam menetapkan bahwa peralihan harta seseorang kepada orang lain
dengan menggunakan istilah kewarisan hanya berlaku setelah yang mempunyai harta
meninggal dunia. Sehingga asas ini berarti bahwa harta seseorang tidak dapat beralih
kepada orang lain dengan nama waris selama yang mempunyai harta masih hidup. dan
41 Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, h. 24. 42 Rofiq, Hukum Islam, h.131.
segala bentuk peralihan harta seseorang yang masih hidup baik secara langsung,
maupun terlaksana setelah dia mati, tidak termasuk kedalam istilah kewarisan menurut
Hukum Islam. Dengan demikian hukum kewarisan Islam hanya mengenal satu bentuk
kewarisan yaitu kewarisan akibat kematian semata atau yang dalam Hukum Perdata
atau BW disebut dengan kewarisan ab intestato dan tidak mengenal kewarisan atas
dasar wasiat yang dibuat pada waktu masih hidup yang disebut bij testament. 43
Asas semata akibat kematian ini dapat di lihat pula pada pasal 171 Kompilasi
Hukum Islam (KHI) dalam rumusan-rumusan berbagi istilah yaitu tentang pengertian
hukum kewarisan, pewaris, ahli waris dan harta peninggalan.44
2) Besarnya Bagian
Ahli waris dalam hukum kewarisan Islam dibagi atas dua macam yaitu: ahli
waris nasabiyah dan ahli waris sababiyah. Ahli waris nasabiyah yaitu ahli waris yang
hubungan kewarisannya didasarkan karena hubbungan darah (kekerabatan).
Sedangkan Ahli waris nasabiyah ahli waris yang hubungan kewarisannya karena suatu
sebab, yaitu: sebab pernikahan dan sebab memerdekakan budak. Adapun bagian
masing-masing ahli waris tersebut adalah sebagai berikut:
a) Ahli waris nasabiyah
43 Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, h. 28. 44 Rofiq, Hukum Islam, h.136.
Dalam Kompilasi Hukum Islam disebutkan bagian tertentu untuk aetiap
ahli waris, yaitu: ½, 1/3, ¼ 1/6, 1/8/ dan 2/3. adapun perincian bagian masing-
masing ahli waris adalah sebagai berikut:
(1) Anak Perempuan berhak menerima bagian:
− ½ bila hanya seorang,
− 2/3 bila dua orang atau lebih
− sisa, apabial bersama-sama anak laki-laki, dengan ketentuan ia
menerima ashabah separuh bagian anak laki-laki. 45
(2) Ayah berhak menerima bagian:
− sisa bila tidak ada anak atau cucu
− 1/6 bila bersama anak laki-laki dan atau anak perempuan.
− 1/6 tambah sisa , jika bersama dengan anak perempuan.
− 1/3 dalam masalah gharawain.46
(3) Ibu berhak menerima bagian:
− 1/6 bila ada anak atau dua saudara lebih.
− 1/3 bila tidak ada anak atau dua saudara lebih.dan atau bersama
satu orang saudara saja.
− 1/3 dalam masalah gharawain.47
(4) Saudara perempuan seibu berhak menerima bagian:
− 1/6 bila hanya seorang dan tidak bersama anak dan ayah.
− 1/3 bila dua oranag atau lebih dan tidak bersama anak dan ayah.48
(5) Saudara perempuan sekandung berhak menerima bagian:
45 Pasal 176 KHI.
46 Pasal 177 KHI.
47 Pasal 178 KHI. 48 Pasal 181 KHI.
− ½ bila hanya seorang dan tidak bersama anak dan ayah
− 2/3 bila dua oranag atau lebih dan tidak bersama anak dan ayah.
− sisa, bila bersama saudara laki-laki sekandung
− sisa, karena ada anak atau cucu perempuan garis garis laki-laki.
(6) Saudara perempuan seayah berhak menerima bagian:
− ½ bila hanya seorang dan tidak bersama anak dan ayah
− 2/3 bila dua oranag atau lebih dan tidak bersama anak dan ayah.
− sisa, bila bersam dengan saudara laki-laki seayah.
− 1/6, bila bersama saudara perempuan sekandung
− sisa, karena ada anak atau cucu perempuan garis laki-laki49
(7) Kakek berhak menerima bagian:
− 1/6, bila bersama anak atau cucu,
− sisa, bila tidak bersama anak atau cucu,
− 1/6 + sisa bila hanya bersama anak atau cucu perempuan.
(8) Nenek berhak menerima bagian:
− 1/6 baik seorang atau lebih.
(9) Cucu perempuan garis laki-laki berhak menerima bagian:
− ½ bila hanya seorang dan tidak ada mu’assib (penyebab penerima
sisa
− 2/3 bila dua orang atau lebih.
− 1/6 bila bersama seorang anak perempuan.
− sisa, bila bersama cucu laki-laki garis laki-laki.
b) Ahli waris sababiyah
Ahali waris nasabiyah semuanya menerima bagian sebagai berikut:
(1) Suami berhak menerima bagian:
− 1/2 , bila tidak ada anak atau cucu.
49 Pasal 182 KHI
− 1/4, bila ada anak atau cucu. 50
(2) Isteri berhak menerima bagian:
− 1/4, bila tidak ada anak atau cucu.
− 1/8, bila tidak ada anak atau cucu.51
B. Teori Efektifitas
1. Pengertian Efektifitas
Salah satu konsep utama dalam mengukur prestasi kerja (performence) adalah
manajemen efisiensi dan efektifitas. Menurut ahli manajemen Peter Drucker,
efektifitas adalah melakukan pekerjaan yang benar doing the right things, sedangkan
efisiensi adalah melakukan pekerjaan dengan benar doing thing right. Efektifitas
merupakan kemampuan untuk memilih tujuan yang tepat atau peralatan yang tepat
untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.52
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonseia, kata efektifitas berasal dari bahasa
Inggris yaitu effective yang bermakna “1) ada efeknya, akibatnya, pengaruhnya,
kesannya), 2) manjur atau mujarab, 3) dapat membawa hasil, berhasil guna tentang
usaha atau tindakan, 4) mulai berlaku tentang undang-undang atau peraturan”.53
50 Pasal 179 KHI.
51 Pasal 180 KHI. 52 T. Husni Handoko, Manajemen, (Yogyakarta: BPEE, 1998), edisi 2, h. 7.
53 Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
cet.IX, (Jakarta: Balai Pustaka, 1997), h. 250.
Sedangkan Hasan Sadili dalam Ensiklopedi Bahasa Indonesia, menjelaskan
bahwa kata:
“efektifitas bermakna mewujudkan taraf tercapainya suatu tujuan. Suatu usaha
dikatakan efektif jika usaha itu mencapai tujuannya. Secara ideal efektifitas dapat
dinyatakan dengan ukuran-ukuran yang agak pasti. Misalnya usaha X 60 % efektif
dalam pencapaian tujuan Y”. 54
Subandijah dalam bukunya Pengembangan dan Inovasi Kurikulum,
menjelaskan :
“bahwa efektifitas dalam kegiatan berkenaan dengan sejauhmana apa yang
direncanakan atau yang diinginkan dapat dilaksanakan atau dicapai”.55
Menurut E. Mulyana dalam bukunya Manajemen Berbasis Sekolah,
menjelaskan :
“efektifitas adalah adanya kesesuaian antara orang yang melaksanakan tugas
dengan sasaran yang dituju”. Selanjutnya dijelaskan “efektivitas adalah berkaitan erat
perbandingan antara tingkat pencapaian tujuan dengan rencana yang telah disusun
sebelumnya, atau perbandingan hasil nyata dengan hasil yang direncanakan”. 56
Jadi efektifitas secara sederhana dapat diartikan sebagai suatu usaha atau upaya
yang dilakukan untuk mencapai suatu tujuan yang telah ditetapkan agar tercapai hasil
yang direncanakan.
2. Tolok Ukur Efektifitas
Dengan melihat pengertian efektifitas diatas, maka dalam mencapai efektifitas
kerja atau efisiensi haruslah dipenuhi syarat-syarat atau ukuran sebagai berikut :
54 Hasan Sadili, Ensiklopedi Bahasa Indonesia, jilid 2, ( Jakarta: Ichtiar Baru – Van Hoeve), h.
833. 55 Subandijah, Pengembangan dan Inovasi Kurikulum, (Jakarta: Grafindo Persada, 1993), h.51. 56E.Mulyana, Manajemen Berbasis Sekolah, Konsep, Strategi dan Implementasi (Bandung:PT.
Remaja Rosdakarya, 2004), h. 82
a. Berhasil guna, yakni untuk menyatakan bahwa kegiatan telah dilaksanakan
dengan tepat dalam arti target tercapai sesuai dengan waktu yang ditetapkan
b. Ekonomis, ialah untuk menyebutkan bahwa didalam usaha pencapaian efektif
itu maka biaya, tenaga kerja materil, peralatan waktu, ruangan dan lain-lain
telah dipergunakan dengan setepat-tepatnya sebagaimana yang telah ditetapkan
dalam perencanaan dan tidak adanya pemborosan serta penyelewengan.
c. Palaksanaan kerja yang bertanggung jawab, yakni untuk membuktikan bahwa
dalam pelaksanaan kerja sumber-sumber telah dimanfaatkan dengan setepat-
tepatnya haruslah dilaksanakan dengan bertanggung jawab sesuai dengan
perencanaan yang telah ditetapkan.
d. Pembagian kerja yang nyata, yakni pelaksanaan kerja dibagi berdasarkan beban
kerja, ukuran kemampuan kerja dan waktu yang tersedia.
e. Rasionalitas wewenang dan tanggung jawab, artinya wewenang harus
seimbang dengan tangung jawab. Dan harus dihindari adanya dominasi oleh
salah satu pihak atau pihak lainnya.
f. Prosedur kerja yang praktis, yaitu untuk menegaskan bahwa kegiatan kerja
adalah kegiatan yang praktis, maka target efektif dan ekonomis, pelaksanaan
kerja yang dapat dipertanggung jawabkan serta pelayanan kerja yang
memuaskan tersebut haruslah kegiatan operasional yang dapat dilaksanakan
dengan lancar.57
57 Sujadi F.X, O&M, Penunjang Berhasilnya Proses Manajemen, cet.III, (Jakarta: CV.
Masagung, 1990), h. 36-39.
BAB III
KEDUDUKAN DAN KEWENANGAN PENGADILAN AGAMA
D. Sejarah Peradilan Agama di Indonesia Pra UU. No. 3 Tahun 2006
Kekuasaan Peradilan Agama sebagai salah satu kekuasaan kehakiman mulai
memiliki eksistensinya pada tanggal 29 Desember 1989. Undang–undang yang telah
disahkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1989 Nomor 49 ini
kemudian diberi nama Undang-Undang tentang Peradilan Agama Nomor 7 Tahun
1989. Undang-Undang ini merupakan lanjutan yang melengkapi Undang-Undang
Mahkamah Agung Nomor. 14 tahun 1985 yang sekarang telah direvisi menjadi
Undang-Undang Nomor.5 tahun 2004, Undang-Undang Peradilan Umum Nomor.2
tahun 1986 yang sekarang direvisi menjadi Undang-Undang Nomor.8 tahun 2004, dan
Undang-Undang Tata Usaha Negara Nomor.5 tahun 1986 yang sekarang direvisi
menjadi Undang-Undang Nomor.9 tahun 2004, dan undang-undang ini diberi nama
Undang-Undang tentang Peradilan Agama Nomor. 7 tahun 1989,58
dan pada tanggal
28 Febuari 2006 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia No.22. Undang-undang
ini telah direvisi menjadi Undang-Undang No.3 tahun 2006.
Sebelum disahkannya Undang-Undang Peradilan Agama, ketika itu pada masa
Hindia Belanda, pada tahun 1854 pemerintah belanda mengeluarkan peraturan politik
yang dituangkan dalam “Reglement op het beleid der Regeerings van Nederlandsch
58 M.Yahya Harahap. Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama (UU. N0.7 Tahun
1989) cet.III, (T.tp., Pustaka Kartini, 1997) h.15.
Indie” yang disingkat menjadi Regeerings Reglement (RR) dan dimuat dalam stbl.
Belanda 1854 No. 129 dan sekaligus dimuat didalam stbl. Hindia Belanda tahun 1855
No. 2. Dalam pasal 75, 78, dan 109 Regeerings Reglement (RR) stbl. 1855: 2
ditegaskan berlakunya Undang-Undang (Hukum) Islam bagi orang Islam Indonesia.59
Adapun Tokoh yang mendukung kebijakan ini adalah Salamon Keyzer, LWC. Van
den berg dan C. Frederik Winter., LWC. Van den berg mengatakan bahwa, bagi orang
Islam berlaku penuh hukum Islam sebab dia telah memeluk agama Islam, walaupun
dalam pelaksanaan terdapat penyimpangan-penyimpangan. Pendapat atau teori ini
disebut Receptie in Complexu. Sejalan dengan ini pada tahun 1882 dengan stbl. 1882
No. 152 ditegaskan pembentukan pengadilan agama di Jawa dan Madura. Di dalam
pasal 1 stbl. 1882 No 152 disebutkan bahwa ditempat-tempat dimana telah dibentuk
(pengadilan) Landraad maka disana dibentuk Pengadilan Agama.60
Pada masa berikutnya (awal kemerdekaan Indonesia) berdasrarkan ketentuan
pasal 98 UUD Sementara dan pasal 1 ayat (4) UU Darurat No.1 tahun 1951,
pemerintah mengeluarkan PP Nomor. 45 tahun 1957 tentang pembentukan Pengadilan
Agama/Mahkamah Syariah diluar jawa dan madura. Dalam pasal 1 disebutkan bahwa,
“Ditempat-tempat yang ada Pengadilan Negeri ada sebuah Pengadilan
Agama/Mahkamah Syariah, yang daerah hukumnya sama dengan daerah hukum
Pengadilan Negeri.” Sedangkan menurut ketentuan pasal 11 “apabila tidak ada
ketentuan lain, di Ibukota provinsi diadakan Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah
59 Dewi, ed., Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, h.26.
60 Ibid., h.27.
provinsi yang wilayahnya meliputi satu atau lebih daerah yang ditetapkan oleh Menteri
Agama.”61
Dalam pasal 4 ayat 1 PP No. 1957 disebutkan bahwa wewenang Pengadilan
Agama/Mahkamah Syar’iyah adalah memeriksa dan memutuskan perselisihan antara
suami isteri yang beragama Islam, dan segala perkara yang menurut hukum yang hidup
diputus menurut hukum agama Islam yang berkenaan dengan nikah, thalaq, ruju,
fasach, nafaqah, mas kawin (mahar), tempat kediaman (maskan), mut’ah dan
sebagainya, hadhanah, perkara waris mal-waris, wakaf, hibah, sedekah, baitulmal, dan
lain-lain yang berhubungan dengan itu, demikian juga memutuskan perkara perceraian
dan mengesahkan bahwa syarat taklik sudah berlaku. Dan dalam Pasal 4 ayat 2
disebutkan bahwa Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah tidak berhak memeriksa
perkara-perkara yang tersebut dalam ayat 1, kalau untuk perkara-perkara itu berlaku
lain daripada Hukum Agama Islam.62
Pada masa berikutnya, sebelum lahirnya Undang-Undang No. 14 Tahun 1970
terdapat rechtsvacuum mengenai wewenang tingkat kasasi di lingkungan Peradilan
Agama. Oleh karena itu, Menteri Agama RI mengelurkan Surat Keputusan No. 10
tahun 1963 yang memberi wewenang dan kewajiban kepada Jawatan Peradilan Agama
(sekarang drektorat pembinaan badan peradilan agama) untuk melaksanakan tugas
peradilan agama ditingkat kasasi. Dan setelah berlaku Undang-Undang No. 14 Tahun
61
Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, h.123.
62 Dewi, ed., Hukum Acara Perdata, h.33
1970, surat keputusan menteri agama tersebut dicabut dengan SK Menteri Agama No.
28 Tahun 1972.63
Dengan berlakunya Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 jo. Undang-Undang
No. 4 Tahun 2004 memberi tempat kepada pengadilan agama sebagai salah satu
peradilan dalam tata peradilan di Indonesia yang melaksanakan kekuasaan kehakiman
dalam negara kesatuan Republik Indonesia.64
Terlebih setelah disahkannya Undang-
Undang Nomor. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama Pada tanggal 29 Desember
1989 yang disahkan dalam Lembaran Negara No 49 Tahun 1989, posisi Peradilan
Agama semakin kuat.
Pada tanggal 29 Desember 1989 menjadi peristiwa penting yang berkenaan
dengan berlakunya penyelengaraan hukum di Indonesia. peristiwa itu adalah
pengesahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Undang-
Undang ini merupakan salah satu peraturan perundng-undsngan untuk menindak
lanjuti ketentuan Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang ketentuan pokok
kekuasaan kehakiman.
Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 semua peraturan
tentang Peradilan Agama yang dibuat pada masa pemerinntahan Hindia Belanada,
tidak berlaku lagi dengan demikian, maka penyelenggaraan Peradilan Agama di
Indonesia didasarkan pada peraturan yang sama. Sejak dikeluarkannya Undang-
Undang ini kedudukan Peradilan Agama telah sejajar dengan Peradilan yang lain dan
63 Ibid., h.34. 64 Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, h.124.
bukan hanya memutus perkara nikah, talak dan rujuk saja, tetapi juga masalah
kewarisan, hibah dan wasiat. Kewenangan peradilan agama ini diatur dalam Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1989 pasal 49 ayat 1 dan pasal 51. pada pasal 39 ayat 1
berbunyi:
Peradilan Agama bertugas dan berwenang untuk memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara-perkara perdata ditingkat pertama antara orang-orang yang
beragama Islam dibidang:
a. Perkawinan;
b. Kewarisan, Wasiat, dan Hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam;
c. Wakaf dan shadaqah.
Selanjutnya pasal 51 merupakan kelanjutan dari pasal diatas berbunyi:
(1). Pengadilan Tinggi Agama bertugas dan berwenang mengadili perkara yang
menjadi kewenangan Peradilan Agama dalam tingkat banding. (2). Pengadilan
Agama juga bertugas dan berwenang mengadili perkara di tingkat pertama dan
terahirt sengketa kewenangan mengadili antar Pengadilan di daerah hukumya,
Dengan adanya perubahan mengenai hirarki di lingkungan Pengadilan Agama
dan terjadinya perkembangan dibidang ekonomi syariah, maka pada tahun 2006
dikeluarkanlah Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Dalam pertimbangan hukum
Undang-Undang ini disebutkan bahwa: Peradilan Agama merupakan lingkungan
Peradilan dibawah Mahkamah Agung.65
Bahwa ketentuan yang terdapat dalam
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sudah tidak lagi
sesuai dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat. Maka pada tanggal 30
65 Dewi, ed., Hukum Acara Perdata Peradilan Agama, h.58.
maret 2006 dengan persetujuan DPR dan Presiden Republik Indonseia, diputuskan dan
ditetapkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006..
Dalam Undang-Undang Peradilan Agama yang baru ini terdapat 42 perubahan.
Perubahan itu terdapat dalam beberapa pasal, antara lain yaitu: pasal 1, 2, dan 3.
Dalam pasal 1 disebutkan bahwa: beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama diubah. Dalam pasal 2 disebutkan bahwa:
Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari
keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu.
Dalam pasal 3 disebutkan bahwa: pada pasal 3. Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 disisipkan pasal 3A yang rumusannya adalah sebagai berikut: Di
lingkungan Peradilan Agama dapat diadakan pengkhususan pengadilan yang diatur
dengan undang-undang. Penjelasan hal ini terdapat dalam penjelasan pasal demi pasal
angka 2, yaitu Pengadilan khusus dalam lingkungan Peradilan Agama adalah
Pengadilan Syariah Islam yang diatur dengan Undang-Undang. Mahkamah Syar’iyah
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang
Otonomi Khusus bagi provinsi daerah Istimewa Aceh sebagai provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam.66
Wewenang (kompetensi) Peradilan Agama ini diatur dalam pasal 49 sampai
dengan pasal 53 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo. Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2006 tentang Peradilan Agama. Wewenang tersebut terdiri atas wewenang
Relatif dan wewenang Absolut. Wewenang relatif Peradilan Agama merujuk pada
66 Ibid., h.59.
pasal 118 HIR. atau pasal 142 R.Bg jo. pasal 66 dan pasal 73 Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1989 jo.Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama,
sedangkan wewenang absolut berdaarkan pasal 49 Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama.
Pasal 49 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 ini sekarang sudah di
amandemen dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006.67
Sehingga dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang
perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, salah
satu yang diatur adalah tentang perubahan atau perluasan kewenangan lembaga
Peradilan Agama pada pasal 49 yang sekarang juga meliputi perkara-perkara di
bidang ekonomi syariah. Secara lengkap bidang-bidang yang menjadi kewenangan
Pengadilan Agama meliputi: perkawinan; waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat.infaq,
shadaqah dan ekonomi syariah.
Berkenaan dengan penyelesaian masalah kewarisan, dahulu sebelum
diamandemennya Undang-Undang Peradilan Agama, di Indonesia terdapat beraneka
sistem kewarisan yang berlaku (pilihan hukum). Pilihan hukum itu sendiri merupakan
suatu perwujudan kehendak dari para pihak yang berperkara untuk menentukan suatu
hukum yang dipergunakan dalam menyelesaikan perkara kewarisan yang akan
diajukan ke Pengadilan. Pilihan hukum timbul karena masih adanya beberapa sistem
hukum kewarisan yang berlaku dalam masyarakat yaitu: Sistem Hukum Islam,
Sistem Hukum Adat dan Sistem Hukum Barat (BW)
67 Ibid., h.103.
Dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 butir 2 alinea
6, menyatakan bahwa: “Sehubungan dengan hal tersebut (bidang kewarisan), para
pihak yang berperkara dapat mempertimbangkan untuk memilih hukum mana yang
akan dipergunakan dalam pembagian waris” 68
Berdasarkan penjelasan tersebut, para pihak yang akan berperkara dapat
memilih hukum apa yang akan digunakan didalam penyelesaian perkara waris
sebelum perkara tersebut diajukan ke pengadilan Namun, setelah diamandemennya
Undang-Undang Nomor. 7 tahun 1989 menjadi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006
tentang Peradilan Agama. Mengenai pilihan hukum dalam perkara kewarisan ini sudah
dihapus. Dalam penjelasan umum alinea kedua Undang-Undang ini dinyatakan
sebagai berikut: “...Dalam kaitan dengan perubahan undang-undang ini pula, kalimat
yang terdapat dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama yang menyatakan:“Para pihak sebelum berperkara dapat
mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang dipergunakan dalam pembagian
warisan”, dinyatakan dihapus.” 69
Dengan dihapusya hak opsi dalam perkara waris tersebut, maka khusus bagi
orang-orang yang beragama Islam, semua perkara waris menjadi kompetensi Absolut
Pemgadilan Agama. Sehingga apabila sebelumnya orang-orang yang beragama Islam
dalam menyelesaikan pembagian waris, mereka bisa memilih hukum mana yang
mereka kehendaki. Apakah diselesaikan di Pengadilan Agama dengan
68 Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama. h.115.
69 Dewi, ed. Hukum Acara Perdata, h. 111.
mempergunakan sistem hukum Islam, atau diselesaikan di Pengadilan Negeri dengan
mempergunakan sistem hukum barat (BW) / KUH Perdata, ataupun diselesaikan
secara adat dengan mempergunakan sistem hukum adat. Maka setelah dihapusnya hak
opsi tersebut, semua perkara waris harus diselesaikan di Pengadilan Agama dan
menjadi wewenang mutlak Pengadilan Agama
Dengan semakin luasnya kewenangan Pengadilan Agama saat ini, menegaskan
kembali tentang kedudukan Pengadilan Agama sebagai salah satu pelaksana kekuasaan
kehakiman telah menjadi peradilan yang mandiri. Selain itu Pengadilan Agama saat
ini kewenangannya juga tidak hanya meliputi masalah hukum keluarga saja, melainkan
mancakup kewenangan masalah ekonomi syariah.
E. Kedudukan dan Kewenangan Peradilan Agama Sebelum dan Sesudah
Amandemen Undang-Undang Nomor. 3 Tahun 2006
1. Kedudukan dan Kewenangan Peradilan Agama Sebelum Amandemen Undang-
Undang Nomor. 3 Tahun 2006
Untuk melaksanakan ketentuan pasal 10 Undang-Undang Nomor 14 Tahun
1970 tentang kekuasaan kehakiman, diundangkanlah Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama. Dalam bab 1, pasal 2 jo. Bab III pasal 49 ditetapkan
tugas dan kewenangannya untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-
perkara perdata ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam dibidang:
a. Perkawinan
b. Kewarisan, Wasiat, dan Hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam
c. Wakaf dan shadaqah.
Kewenangan peradilan agama tersebut sekaligus dikaitkan dengan asas
personalitas keislaman yaitu yang dapat ditundukan ke dalam kekuasaan lingkungan
peradilan agama hanya mereka-mereka yang beragama Islam. Pengadilan agama
bertindak sebagai peradilan tingkat pertama, yang bertempat kedudukan di kotamadya
atau ibu kota kabupaten. Sedangkan peradilan tingkat banding dilakukan oleh
Pengadilan Tinggi Agama yang bertempat kedudukan di ibu kota provinsi.70
2. Kedudukan dan Kewenangan Peradilan Agama Setelah Amandemen Undang-
Undang Nomor. 3 Tahun 2006
Dengan adanya perubahan mengenai hirarki dilingkungan Pengadilan Agama
dan terjadinya perkembangan dibidang ekonomi syariah, maka pada tahun 2006
dikeluarkanlah Undang-Undang Nomor. 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas
Undang-Undang Nomor. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Dalam
pertimbangan hukum Undang-Undang ini disebutkan bahwa Peradilan Agama
merupakan lingkungan Peradilan dibawah Mahkamah Agung.71
Bahwa ketentuan yang
terdapat dalam Undang-Undang Nomor. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
sudah tidak lagi sesuai dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat. Maka
70 Harahap, Kedudukan kewenangan dan Acara Peradilan Agama, h. 90. 71 Dewi, ed., Hukum Acara Perdata Peradilan Agama, h.58.
pada tanggal 30 maret 2006 dengan persetujuan DPR dan Presiden Republik
Indonseia, diputuskan dan ditetapkan Undang-Undang Nomor. 3 Tahun 2006.72
Dalam Undang-Undang yang baru ini terdapat 42 perubahan, termasuk
didalamnya perubahan tentang kedudukan dan kewenangan peradilan agama. Adapun
tentang perubahan kedudukan peradilan agama diatur dalam pasal 4 ayat (1) dan (2).
bahwa, Pengadilan Agama berkedudukan di Ibukota kabupaten atau kota dan daerah
hukumnya meliputi wilayah kabupaten atau kota. Sedangkan Pengadilan Tinggi
Agama berkedudukan di Ibukota provinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah
provinsi.
Selain itu, salah satu yang juga diatur dalam Undang-Undang Nomor. 3 Tahun
2006 adalah tentang perubahan atas perluasan kewenangan lembaga peradilan agama
pada pasal 49 yang sekarang juga meliputi perkara-perkara dibidang ekonomi syariah.
Secara lengkap bidang-bidang yang menjadi kewenangan pengadilan agama. meliputi:
perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah dan ekonomi syariah.
73
Selain Perluasan kewenangan dibidang ekonomi syariah, diatur pula tentang
penghapusan pilhan hukum dalam perkara waris. Dalam penjelasan umum alinea
kedua Undang-Undang ini dinyatakan sebagai berikut: “...Dalam kaitan dengan
perubahan Undang-Undang ini pula, kalimat yang terdapat dalam penjelasan umum
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang menyatakan:
72 Ibid., h.59. 73 Ibid.., h.106.
“Para pihak sebelum berperkara dapat mempertimbangkan untuk memilih hukum apa
yang dipergunakan dalam pembagian warisan”, dinyatakan dihapus.” 74
Dengan dihapusya hak opsi dalam perkara waris tersebut, maka khusus bagi
orang-orang yang beragama Islam, semua perkara waris menjadi kompetensi Absolut
Pemgadilan Agama. Sehingga apabila sebelumnya orang-orang yang beragama Islam
dalam menyelesaikan pembagian waris, mereka bisa memilih hukum mana yang
mereka kehendaki. Apakah diselesaikan di Pengadilan Agama dengan
mempergunakan sistem hukum Islam, atau diselesaikan di Pengadilan Negeri dengan
mempergunakan sistem hukum barat (BW) / KUH Perdata, ataupun diselesaikan
secara adat dengan mempergunakan sistem hukum adat. Maka setelah dihapusnya hak
opsi tersebut, semua perkara waris harus diselesaikan di Pengadilan Agama dan
menjadi wewenang mutlak Pengadilan Agama.
F. Profll Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
1. Profll Pengadilan Agama Jakarta Selatan
a. Sejarah Berdirinya Pengadilan Agama Jakarta Selatan
Pengadilan Agama Jakarta Selatan dibentuk berdasarkan Surat Edaran
Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia No. 69 Tahun 1963. Pada mulanya
Pengadilan Agama diwilayah DKI Jakarta hanya terdapat tiga kantor yang dinamakan
kantor cabang, yaitu:
1. Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Utara
74 Ibid.., h. 111.
2. Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Tengah.
3. Pengadilan Agama Istimewa Jakarta Raya sebagai induk.
Semua Pengadilan Agama tersebut diatas termasuk wilayah hukum Cabang
Mahkamah Islam Tinggi Surakarta. Kemudian setelah berdirinya cabang Mahkamah
Islam Tinggi Bandung berdasarkan Surat Keputusan Menteri Agama Nomor. 71 Tahun
1976 tanggal 16 Desember 1976, semua Pengadilan Agama di Propinsi Jawa Barat
termasuk Pengadilan Agama yang berada di daerah Ibukota Jakarta Raya, berada
dalam wilayah hukum Mahkamah Islam Tinggi Cabang Bandung, yang dalam
perkembangan selanjutnya istilah Mahkamah Islam Tinggi menjadi Pengadilan Tinngi
Agama (PTA).
Kantor Pengadilan Agama Jakarta Selatan pertama kali terbentuk pada
tahun 1967 yang merupakan cabang dari Pengadilan Agama Istimewa Jakarta Raya
yang berkantor di jalan Otista Raya Jakarta Timur. Dan sebutan pada waktu itu adalah
cabang Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Kantor cabang Pengadilan Agama Jakarta
Selatan dibentuk karena semakin banyaknya jumlah penduduk dan bertambahnya
pemahaman penduduk serta tuntutan masyarakat Jakarta Selatan yang memiliki
wilayah yang cukup luas. Ketika itu keadaan kantor masih dalam keadaan darurat
yaitu menempati gedung bekas kantor Kecamatan Pasar Minggu disuatu gang kecil
yang sampai saat ini dikenal dengan gang Pengadilan Agama Pasar Minggu Jakarta
Selatan. Dan ketika itu, Pengadilan Agama Jakarta Selatan diketuai oleh H. Polana.
Pada Tahun 1976 gedung kantor Pengadilan Agama Jakarta Selatan pindah ke
Blok D kebayoran baru Jakarta Selatan dengan menempati serambi Masjid Syarief
Hidayatullah dan sebutan Kantor Cabang dihilangkan menjadi Pengadilan Agama
Jakarta Selatan
Kemudian Pada bulan September 1979 kantor Pengadilan Agama Jakarta
Selatan pindah ke gedung baru di JL. Ciputat Raya Pondok Pinang Jakarta Selatan
dengan menempati gedung baru dengan tanah yang masih menumpang pada area tanah
PGAN Pondok Pinang yang ketika itu kepemimpinan dijabat oleh H. Alim BA.
Pada perkembangan selanjutnya yaitu semasa kepemimpinan Drs. H. Djabir
Manshur, SH, kantor Pengadilan Agama Jakarta Selatan pindah ke Jalan Rambutan
VII No. 48 Pejaten Barat Pasar Minggu Jakarta Selatan dengan menempati gedung
baru yang merupakan Hibah dari Pemda DKI.
Pada masa perkembangan selanjutnya Tahun 2000 ketika kepemimpinan
dijabat oleh H. Zainudin Fajari, SH. pembenahan-pembenahan semua bidang baik fisik
maupun non fisik, diadakan sistem komputerisasi dengan on line computer, dan ini
terus dibenahi sampai sekarang, yang tujuannya adalah untuk meningkatkan pelayanan
kepada masyarakat pencari keadilan dan menciptakan peradilan yang bersih, disiplin
dan berwibawa.
b. Struktur Organisasi
Adapun struktur Pengadilan Agama Jakarta Selatan saat ini adalah sebagai
berikut:
1 Ketua : Drs. H. Pahlawan Harahap, SH.
MA.,
2 Wakil ketua : DRS. H. Ahsin Abdul Hamid, SH.,
3 Panitera / Sekretaris : Dra. Aminah
4 Wakil Panitera : H. Afani Baihaqi, Lc SH.,
5 Wakil Sekretaris : Dwiarti Yuliani, SH.,
6 Panitera Muda Hukum :
7 Panitera Muda
Gugatan
:
8 Panitera Muda
Permohonan
:
9 Ka. Sub. Kepegawaian :
1
0
Ka. Sub. Kepegawaian :
1
1
Ka. Sub. Kepegawaian :
c. Wilayah Hukum Pengadilan Agama Jakarta Selatan
Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama sebagai pengadilan khusus
mempunyai wewenang untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara
ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam Adapun wilayah hukum
yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama Jakarta Selatan meliputi 10 (sepuluh)
kecamatan, yaitu:
1. Kecamatan Jagakarsa
2. Kecamatan Pasar Minggu
3. Kecamatan Cilandak
4. Kecamatan Pesanggrahan
5. Kecamatan Tebet
6. Kecamatan Pancoran
7. Kecamatan Mampang Prapatan
8. Kecamatan Kebayoran Baru
9. Kecamatan Kebayoran Lama
10. Kecamatan Setiabudi
2. Profll Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
a. Sejarah Berdirinya Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
Sejak pertama kali berdirinya Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta yang bukan
saja sebagai Pengadilan Negeri Jakarta untuk wilayah hukum DKI Jakarta, juga
Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta merupakan Pengadilan Internasional. Kemudian
berdasarkan surat keputusan Menteri Kehakiman RI. Tertanggal 13 Febuari 1970
Nomor. JB/1/1/1, Pengadilan Negeri Istimewa dikembangkan menjadi:
1. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan daerah hukumnya meliputi
wilayah pemerintah daerah Jakarta Pusat.
2. Pengadilan Negeri Jakarta Barat dan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
dengan wilayah hukumnya meliputi wilayah pemerintah Jakarta Barat dan
Jakarta Selatan.
3. Pengadilan Negeri Jakarta Utara dan Pengadilan Negeri Jakarta Timur
wilayah hukumnya meliputi wilayah pemerintahan daerah Jakarta Utara
dan Jakarta Timur.
Pada tahun 1978 Pengadilan Negeri Jakarta Barat dan Pengadilan Negeri
Jakarta selatan, Pengadilan Negeri Jakarta Utara dan Pengadilan Negeri Jakarta Timur
dikembangkan lagi yaitu berdasarkan surat keputusan Menteri Kehakiman RI. tanggal
27 maret 1978 Nomor. JB. 1/1/4 yang memutuskan sebagai berikut:
a. Menghapuskan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan Pengadilan Negeri
Jakarta Barat.
b. Membentuk
1. Pengadilan Negeri Jakarta Barat dengan daerah hukumnya meliputi
wilayah Jakarta Barat,
2. Pengadilan Negeri Jakarta selatan dengan wilayah hukumnya
meliputi wilayah Jakarta Selatan.
c. Menetapkan bahwa Pengadilan Negeri Jakarta Barat dan Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan, digolongkan dalam Pengadilan Negeri kelas I A.
Berdasarkan dengan pengembangan Pengadilan Negeri Jakarta Barat dan
Pengadilan Negeri Jakarta selatan, Pengadilan Negeri Jakarta Utara dan Pengadilan
Negeri Jakarta Timur dipecah pula menjadi dua Pengadilan Negeri sesuai dengan
wilayahnya masing-masing yaitu Pengadilan Negeri Jakarta Utara dengan wilayah
meliputi wilayah Jakarta Utara, dan Pengadilan Negeri Jakarta Timur dengan wilayah
Jakarta Timur.
Sesuai dengan surat keputusan Menteri Kehakiman RI tanggal 27 maret 1978
Nomor. JB. 1/1/4 Pengadilan Negeri Jakarta selatan telah berdiri sendiri, namun
pelaksanaannya baru terjadi pada bulan September 1979.
Pada mulanya yaitu pada tahun 1978 Kantor Pengadilan Negeri Jakarta selatan,
berkedudukan di Jl. Raya Pasar Minggu No. 24 Jakarta Selatan menempati sebuah
gedung yang dikontrak oleh Direktorat Jendral Pembinaan Badan Peradilan Umum
selama 2 (dua) tahun sambil menunggu gedung baru yang sedang dibanguin di jalan
Ampera Raya No.133 Ragunan Jakarta Selatan.
Selanjutnya pada tanggal 13 september 1982 gedung Pengadilan Negeri Jakarta
selatan yang baru, diresmikan oleh Direktorat Jendral Pembinaan Badan Peradilan
Umum yang pada waktu dijabat oleh Bapak R. Roesli, SH dan sebagai ketua
pengadilannya yaitu Bapak Pitojo, SH.
b. Struktur Oraganisasi
Adapun struktur Pengadilan Negeri Jakarta Selatan saat ini adalah sebagai
berikut:
1 Ketua : H. Andi Samsan Nganro, SH.,MH
2 Wakil Ketua : H. Ariansyah B. Dali P. SH.,MH
3 Pansek : Ny. Hj. Lilies Djuaningsih, SH. MH.
4 Wapan : H. Sutarno, SH.,MH
5 Wasek : Burhanuddin, SH
6 Panmud Perdata : Sobari Achmad, SH
7 Panmud Pidana : H. Ricar S. Nasution, SH
8 Panmud Hukum : Ny. Hj. Sufianah, SH
9 Kasub Kepegawaian : M. Taufik, SH
10 Kasub Keuangan : K a s i r a n
11 Kasub Umum : S a i r
12 Hakim Hakim :
13 Panitera Pengganti :
14 Juru Sita :
15 Juru Sita Pengganti :
d. Wilayah Hukum Pengdilan Negeri Jakarta Selatan
Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Negeri sebagai pengadilan khusus
mempunyai wewenang untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara
ditingkat pertama antara orang-orang yang selain beragama Islam. Adapun wilayah
hukum yang menjadi kewenangan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan meliputi 10
(sepuluh) kecamatan, yaitu:
1. Kecamatan Jagakarsa
2. Kecamatan Pasar Minggu
3. Kecamatan Cilandak
4. Kecamatan Pesanggrahan
5. Kecamatan Tebet
6. Kecamatan Pancoran
7. Kecamatan Mampang Prapatan
8. Kecamatan Kebayoran Baru
9. Kecamatan Kebayoran Lama
10. Kecamatan Setiabudi
BAB IV
HASIL PENELITIAN
A. Data-data perkara waris
1. Data perkara waris di Pengadilan Agama Jakarta Selatan
Undang-Undang Peradilan Agama Nomor 7 Tahun 1989 jo Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2006 adalah merupakan salah satu sumber landasan hukum bagi
pengadilan agama. Pengadilan agama sebagai pengadilan tingkat pertama, dilarang
menolak untuk menerima, memeriksa dan memutus perkara yang diajukan kepadanya
dengan dalih apapun. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 56 yang berbunyi: “Pengadilan
tidak boleh menolak untuk memeriksa dan memutus suatu perkara yang diajukan
dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib memeriksa dan
memutusnya.”
Pengadilan Agama Jakarta Selatan mempunyai wewenang untuk mengadili
perkara sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor. 3
Tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor. 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama, yaitu “Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa,
memutus, dan menyelesaikan perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang
beragama Islam di bidang: Perkawinan, Waris, Wasiat, Hibah, Wakaf, Zakat, Infaq,
Shadaqah dan Ekonomi Syari’ah.
Kewenangan setiap Pengadilan Agama ditentukan dalam Pasal 49 Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama ini. Dalam penjelasan umum
alinea kedua Undang-Undang ini dinyatakan sebagai berikut. “.... Dalam kaitannya
dengan perubahan undang-undang ini pula, kalimat yang terdapat dalam penjelasan
umum Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang
menyatakan: “Para pihak sebelum berperkara dapat mempertimbangkan untuk memilih
hukum apa yang dipergunakan dalam pembagian warisan,” dinyatakan dihapus.”
Adanya penghapusan hak opsi ini, maka masalah yang diteliti adalah Seberapa
efektifkah peraturan tentang Penghapusan opsi hukum dalam perkara waris Pasca
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 (studi pada Pengadilan Agama dan Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan).
Dalam pembahasan kali ini perkara-perkara yang akan diketengahkan ialah:
perkara gugat waris di Pengadilan Agama Jakarta Selatan. selama tahun 2006-2008.
Dan untuk mendapatkan data perkara waris di Pengadilan Agama Jakarta Selatan,
dilakukan pengamatan langsung ke Pengadilan Agama Jakarta Selatan yang berlokasi
di Jalan Rambutan VII No. 48 Pejaten Barat Pasar Minggu Jakarta Selatan. Sebelum
dijelaskan data perkara waris di maksud, terlebih dahulu akan dijelaskan hasil
wawancara penulis dengan salah satu Hakim perihal masalah yang menjadi objek
penelitian dalam skripsi ini.
Adanya penghapusan pilihan hukum dalam perkara waris pasca dikeluarkannya
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Menurutnya dipandang sebagai
sesuatu yang positif, karena apabila opsi hukum dalam perkara waris itu masih terus
diterapkan, nantinya akan terdapat kesulitan-kesulitan didalam prakteknya. Dan terkait
dengan penghapusan pilihan hukum ini diakui pula bahwa secara Institusi,
sosialisasi yang dilakukan memang masih terbatas, tetapi secara pribadi kami tentunya
didalam berbagai kesempatan-kesempatan yang tidak formal. berusaha memberikan
penjelasan-penjelasan akan hal itu kepada masyarakat.
Pasca dihapusnya hak opsi hukum dalam perkara waris. Beliau
mengungkapkan bahwa jumlah perkara waris yang diajukan ke Pengadilan Agama
Jakarta Selatan, sama seperti sebelum diamandemennya Undang-Undang Peradilan
Agama, dan Pengadilan Agama Jakarta Selatan sendiri, dalam hal ini tidak menjadikan
pilihan hukum itu sebagai suatu acuan. Sehingga, masalah meningkat atau tidaknya
perkara waris yang diajukan ke Pengadilan Agama Jakarta Selatan tidak ada kaitannya
dengan dihapusnya hak opsi hukum dalam perkara waris. Kemudian terkait dengan
berapa jumlah perkara waris yang telah ditangani dan telah diputus setelah dihapusnya
opsi hukum dalam perkara waris, mulai dari tahun 2006-2008 diungkapkan bahwa,
beliau tidak tahu pasti berapa jumlah perkara waris yang diajukan ke Pengadilan
Agama Jakarta Selatan, tapi yang jelas cukup banyak perkara waris yang telah
disidangkan dan sudah berkekuatan hukum tetap (BHT).75
Berikut ini untuk memudahkan pemahaman, maka data-data tentang junlah
perkara Kewarisan (Gugat Waris) di Pengadilan Agama Jakarta Selatan akan
ditampilkan dalam bentuk tabel.
75 Wawancara Pribadi dengan Muh. Abduh Sulaeman, Jakarta, 17 November 2008.
Tabel 1
Jumlah Perkara Kewarisan di Pengadilan Agama Jakarta Selatan
Tahun 2006-2008
Jumlah Perkara/Tahun
No
.
Bulan 2006 2007 2008
1 Januari - - 1
2 Febuari - 2 1
3 Maret - 1 1
4 April 2 2 -
5 Mei 1 1 -
6 Juni 2 4 -
7 Juli - - -
8 Agustus - - -
9 September 2 2 -
10 Oktober 1 1 1
11 November - 2 -
12 Desember 2 3 -
10
Perkara
18
Perkara
4
Perkara
Jumlah
32 Perkara
Sumber : Panitera Muda Hukum Pengadilan Agama Jakarta Selatan
Dari hasil riset (penelitian) di Pengadilan Agama Jakarta Selatan diperoleh data
bahwa pada Tahun 2006 jumlah Perkara Gugat Waris yang masuk ke Pengadilan
Agama Jakarta Selatan sebanyak 10 perkara, dengan perincian 6 perkara dinyatakan
putus, dan 4 perkara dinyatakan dicabut. Sedangkan pada Tahun 2007 Jumlah Perkara
yang masuk sebanyak 18 perkara, dengan perincian sebanyak 12 perkara dinyatakan
putus, dan 6 perkara dinyatakan dicabut. Kemudian pada Tahun 2008 Jumlah Perkara
yang masuk sebanyak 4 perkara, dengan perincian sebanyak 1 perkara dinyatakan
putus, 1 perkara dinyatakan dicabut dan sisanya masih dalam proses persidangan.
Penjelasan tersebut selanjutnya disajikan pada tabel berikut ini:
Tabel 2
Perkara Gugat Waris Pengadilan Agama Tahun 2006
N
o
Nomor Perkara
Pihak-pihak
Keterang
an
Agam
a
01
429 / Pdt. G /
2006
PA. Jak-Sel
- H. Bisri
- Hairiyah
Cabut
Islam
02
457 / Pdt. G /
2006
PA. Jak-Sel
- Hj. Siti Hawa, CS
- Hj. Mapriah
Putus
Islam
03
657 / Pdt. G /
2006
PA. Jak-Sel
- Siti Muhaya, CS
- Siti Aisyah
Putus
Islam
04
709 / Pdt. G /
2006
PA. Jak-Sel
- Syahrizal, CS
- H. M. Sidik
Putus
Islam
05
785 / Pdt. G /
2006
PA. Jak-Sel
- Ibnu Rusdi
- Hj. Syahfrida Rusdi
Cabut
Islam
06
1198 / Pdt. G
/2006
PA. Jak-Sel
- Nurjanah, CS
- Abdul Malik
Cabut
Islam
07
1205 / Pdt. G
/2006
PA. Jak-Sel
- Rizal Jole Malij
- Nurmaida Syahril
Putus
Islam
08
1268 / Pdt. G
/2006
PA. Jak-Sel
- Rioza Efriana As-Saat
- Reza Darmo
Cabut
Islam
09
1485 / Pdt. G
/2006
PA. Jak-Sel
- Matnur, CS
- H. Mujami, CS
Putus
Islam
10
1552 / Pdt. G
/2006
PA. Jak-Sel
- Mochamad Suhud
- Siti Rahayu
Putus
Islam
Sumber : Panitera Muda Hukum
Berdasarkan tabel tersebut diatas, dapat diperoleh jumlah persentase data
perkara waris pada tahun 2006 dengan menggunakan rumus distribusi frekuensi
relatif P = F : N x100% sebagai berikut:
Perkara waris F 100%
dinyatakan putus dengan
menggunakan Kompilasi Hukum
Islam (KHI
6 60 %
ditarik oleh pihak-pihak yang
berperkara
4 40 %
Sedang berlangsung 0 0 %
JUMLAH (N) 10 100.00
Dengan demikian dari 10 perkara gugat waris yang masuk ternyata sebanyak 6
perkara ( 60% ), dinyatakan putus dengan menggunakan Kompilasi Hukum Islam
(KHI), sedangkan sisanya sebanyak 4 perkara ( 40% ) ditarik oleh pihak-pihak yang
berperkara.
Tabel 3
Perkara Gugat Waris Pengadilan Agama Tahun 2007
N
o
Nomor Perkara
Pihak-pihak
Keteranga
n
Agam
a
1
190 / Pdt. G /
2007
PA. Jak-Sel
- Rioza Efriana As-
Saat
- Reza Darmo., CS
Putus
Islam
2
224 / Pdt. G /
2007
PA. Jak-Sel
- Trisnawati., CS
- Hj. Maryati., CS
Putus
Islam
3
446 / Pdt. G /
2007
PA. Jak-Sel
- Muhidin
- H. Muhamad Amin
Putus
Islam
4
502 / Pdt. G /
2007
PA. Jak-Sel
- Nurjanah., CS
- Abdul Malik
Putus
Islam
5
513 / Pdt. G /
2007
PA. Jak-Sel
- Nurman Sidin
- Risna Sailan
Cabut
Islam
6
715 / Pdt. G /
2007
PA. Jak-Sel
- R. NGT. Suhartati., CS
- Adi Sugio
Putus
Islam
7
767 / Pdt. G /
2007
PA. Jak-Sel
- Desy Erani Mulyasnih
- Febby Nadru
Putus
Islam
8
769 / Pdt. G /
2007
PA. Jak-Sel
- Jimmy Roji Lubis
- Ny. Lusmiati
Putus
Islam
9
809 / Pdt. G /
2007
PA. Jak-Sel
- Yosida binti Ali Basa
- Dra. Hj. Lena Warmi
Cabut
Islam
10
873 / Pdt. G /
2007
PA. Jak-Sel
- Drs. H. Paruhmi
Singgih
- Drs. Deding Janut
Putus
Islam
11
1295 / Pdt. G
/2007
PA. Jak-Sel
- Rismawati., CS
- Hj. Maryati
Putus
Islam
12
1320 / Pdt. G
/2007
PA. Jak-Sel
- Noer Balwi
- Hisna Jailan
Cabut
Islam
13
1398 / Pdt. G
/2007
PA. Jak-Sel
- Jeny Isbowo
- Sri Risdiana
Putus
Islam
14
1502 / Pdt. G
/2007
PA. Jak-Sel
- Hj. Indriani
- Anggraini
Cabut
Islam
15
1571 / Pdt. G
/2007
PA. Jak-Sel
- Hj. Maryani Asyari
- Mahfudillah., CS
Cabut
Islam
16
1627 / Pdt. G
/2007
PA. Jak-Sel
- Relia Tri Handayani.,
CS
- Markadi
Putus
Islam
17
1661 / Pdt. G
/2007
PA. Jak-Sel
- H. Abdul Razak
- H. Ahmad bin
H. Abdullah
Putus
Islam
18
1745 / Pdt. G
/2007
PA. Jak-Sel
- Supriyati., CS
- Nurbaya
Cabut
Islam
Sumber : Panitera Muda Hukum
Berdasarkan tabel tersebut diatas, dapat diperoleh jumlah persentase data
perkara waris pada tahun 2007 dengan menggunakan rumus distribusi frekuensi
relatif P = F : N x100% sebagai berikut:
Perkara waris F 100%
dinyatakan putus dengan
menggunakan Kompilasi Hukum
Islam (KHI
12 66,67%
ditarik oleh pihak-pihak yang
berperkara
6 33,33%
Sedang berlangsung 0 0 %
JUMLAH (N) 18 100.00
Dengan demikian dari 18 perkara gugat waris yang masuk ternyata sebanyak
12 perkara ( 66,67% ) dinyatakan putus dengan menggunakan Kompilasi Hukum
Islam, sedangkan sisanya sebanyak 6 perkara ( 33,33% ) ditarik oleh pihak-pihak
yang berperkara.
Tabel 4
Perkara Gugat Waris Pengadilan Agama Tahun 2008
N
o.
Nomor Perkara
Pihak-pihak
Keterang
an
Agam
a
01
0039 / Pdt. G
/2008
PA. Jak-Sel
- Shalmah
- Achmad Irianto
Cabut
Islam
02
0194 / Pdt. G
/2008
PA. Jak-Sel
- Firmansyah Usman
Yunus., CS
- Wahyuni
Putus
Islam
03
0698 / Pdt. G
/2008
- Isni Yanti
- Kartikawati
Dalam
Proses
Islam
PA. Jak-Sel
04
1633 / Pdt. G
/2008
PA. Jak-Sel
- Moch. Sam
- Hj. Aan., CS
Dalam
Proses
Islam
Sumber: Panitera Muda Hukum
Berdasarkan tabel 4 diatas, dapat diperoleh jumlah persentase data perkara
waris pada tahun 2008 dengan menggunakan rumus distribusi frekuensi
relatif P = F : N x100% sebagai berikut:
Perkara waris F 100%
dinyatakan putus dengan
menggunakan Kompilasi Hukum
Islam (KHI
1 25 %
ditarik oleh pihak-pihak yang
berperkara
1 25 %
Sedang berlangsung 2 50 %
JUMLAH (N) 4 100.00
Dengan demikian dari 4 perkara gugat waris yang masuk ternyata sebanyak 1
perkara ( 25% ), dinyatakan putus dengan menggunakan Kompilasi Hukum Islam, dan
1 perkara ( 25% ) ditarik oleh pihak-pihak yang berperkara, sedangkan sisanya
sebanyak 2 perkara ( 50% ), masih dalam proses persidangan. Untuk mengetahui
penjelesan perbedaan dan perbandingan akan ada didalam anilisis dan interpretasi data
hasil penelitian.
2. Data Perkara waris di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
Menurut Undang-undang perdata sebagimana dijelaskan oleh Prof. Subekti,
S.H., dalam bukunya “Pokok-pokok Hukum Perdata” ada dua cara mendapatkan
warisan, yaitu: Sebagai ahli waris menurut ketentuan Undang-Undang dan ditunjuk
dalam surat wasiat (testament).76
Cara yang pertama dinamakan mewarisi menurut
Undang-undang atau “ab intesto.” Cara yang kedua dinamakan mewarisi secara
“testamentair.” Dalam hukum waris berlaku asas bahwa hanyalah hak-hak dan
kewajiban-kewajiban dalam lapangan hukum kekayaan harta benda saja yang dapat
diwariskan. Dengan kata lain, hanyalah hak-hak dan kewajiban yang dapat dinilai
dengan uang.
Dalam hukum waris berlaku juga suatu asas, bahwa apabila seseorang
meninggal, maka seketika itu juga segala hak dan kewajibannya beralih pada sekalian
ahli warisnya. Asas tersebut tercantum dalam pepatah Perancis yang berbunyi: “le
mort saisit le vif,” sedangkan pengoperan segala hak dan kewajiban dari si meniggal
oleh para ahli waris itu dinamakan “saisine.”
Berkenaan dengan ahli waris berdasarkan Undang-Undang Prof. Subekti, S.H.,
menyatakan sebagai berikut:
76 Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata (Jakarta: Internusa, 2003), h. 95
Dalam hal mewarisi menurut Undang-undang (ab intestato) dapat dibedakan
antara orang-orang yang mewarisi “ult eigen hoofde” dan mereka yang
mewarisi “bij plaatsvervulling.” Seseorang dikatakan mewarisi “ult eigen
hoofde” jika ia mendapat warisan itu berdasarkan kedudukannya sendiri
terhadap si meninggal. Ia dikatakan mewarisi “bij plaatsvervulling” jika
sebenarnya seorang lain yang berhak atas suatu bagian warisan, tetapi orang
itu telah meninggal lebih dahulu daripada orang yang meninggalkan warisan,
apabila beberapa orang bersama-sama menggantikan seseorang, maka
dikatakan mereka itu mewarisi “bij staken” atau cabang. 77
Makin banyak anggota suatu cabang, semakin sedikit bagian masing-masing.
Dalam suatu cabang dapat terjadi satu atau beberapa cabang lagi. Disamping itu,
menurut pasal 838 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ada kelompok yang tidak
patut menjadi ahli waris dan karenanya dikecualikan dari pewarisan ialah:
a. Mereka yang dengan putusan hakim dihukum karena dipersalahkan telah
membunuh, atau mencoba membunuh si yang meninggal;
b. Mereka yang dengan putusan hakim pernah dipersalahkan, karena secara
fitnah telah mengajukan pengaduan terhadap pada si yang meninggal,
ialah suatu pengaduan telah melakukan suatu kejahatan yang terancam
dengan hukuman penjara lima tahun lamanya atau hukuman yang lebih
berat;
c. Mereka yang telah menggelapkan, merusak atau memalsukan surat wasiat
yang meninggal;78
Untuk mendapatkan data perkara waris di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan,
dilakukan pengamatan langsung ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang berlokasi
77 Ibid., h. 96 78 Idris Ramulyo, Perbandingan Hukum Kewarisan Islam (Surabaya: Pedoman limu Jaya,
1992), h.16.
di Jl. Ampera Raya No.133 Ragunan Jakarta Selatan. Sebelum dijelaskan data waris
dimaksud, terlebih dahulu akan dijelaskan hasil wawancara penulis dengan salah satu
Hakim perihal masalah yang menjadi objek penelitian dalam skripsi ini.
Adanya penghapusan pilihan hukum dalam perkara waris pasca dikeluarkannya
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama Sebagaimana dijelaskan dalam
penjelasan umum alinea kedua Undang-Undang ini Sehingga, kewenangan perkara
waris khusus orang-orang muslim ini menjadi kewenangan penuh Pengadilan Agama
dipandang sebagai sesuatu yang positif, karena sebetulnya perkara waris antara orang-
orang muslim itu seharusnya memang suadah menjadi kewenangan penuh Pengadilan
Agama sejak sebelum diamandemennya Undang-Undang Peradilan Agama, karena hal
itu menyangkut perkara perdata antar orang-orang muslim. Sebagaimana telah diatur
dalam Undang-Undang Peradilan Agama tersebut. Terkecuali, apabila didalamnya
terdapat sengketa pihak ketiga maka hal itu baru menjadi kewenangan Pengadilan
Negeri. Sebagaimna diatur dalam pasal 50 Undang-Undang Peradilan Agama.
Kemuidan terkait apakah Pengadilan Negeri Jakarta Selatan masih menerima
Perkara waris yang diajukan oleh orang-orang yang beragama Islam Pasca
diamandemennya Undang-Undang Peradilan Agama Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2006 diungkapkan bahwa, pada dasarnya Pengadilan tidak boleh menolak
perkara yang diajukan oleh para pihak. Namun berkenaan dengan masalah waris yang
diajukan oleh orang muslim, pada dasarnya perkara tersebut menjadi wewenang penuh
Pengadilan Agama. sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2006 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama, sehingga ketika perkara waris tersebut diajukan, biasanya bagian pendaftaran
perkara memberitahukan kepada para pihak bahwa perkara ini menjadi wewenang
Pengadilan Agama.
Sebelum diamandemennya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 menjadi
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama, dimana masih
terdapat hak opsi dalam menyelesaikan perkara waris, cukup banyak orang-orang
muslim yang mengajukan perkara warisnya di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan
biasanya perkara tersebut terdapat sengketa pihak ketiga dan sebelumnya memang
masih terdapat hak opsi dalam menyelesaikan masalah waris baik itu di selesaikan di
Pengadilan Agama, di Pengadilan Negeri, atau mungkin diselesaikan secara
kekeluargaan (hukum adat). .Sebagaimana diatur dalam Penjelasan umum Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1989 butir 2 alinea 6, menyatakan “Sehubungan dengan hal
tersebut (bidang kewarisan), para pihak yang berperkara dapat mempertimbangkan
untuk memilih hukum mana yang akan dipergunakan dalam pembagian waris”
Kemudian terkait dengan berapa jumlah perkara waris yang telah ditangani dan
telah di putus sebelum dihapusnya opsi hukum dalam perkara waris mulai dari tahun
2004-2006 diungkapkan bahwa, beliau tidak tahu pasti berapa jumlah perkara waris
yang diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, tapi yang jelas cukup banyak
perkara waris yang telah disidangkan dan sudah berkekuatan hukum tetap.79
79 Wawancara Pribadi dengan Eddy Risdianto, Jakarta, 30 Oktober 2008.
Untuk mengetahui jumlah perkara waris yang diajukan ke Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan, data diambil dari buku registrasi perkara. Adapun data perkara waris
diambil dari tahun 2004-2008 yang dinyatakan putus, dengan asumsi perkara tersebut
sudah berkekuatan hukum tetap (BHT). Data tersebut selanjutnya disajikan pada tabel
dibawah berikut ini:
Tabel 5
Perkara Gugat Waris di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Tahun 2004-2008
Nomor Perkara
(Tanggal)
Pihak yang berperkara
Keterangan
Agama
245/Pdt.G/2004
PN. Jak-Sel
14-03-2004
- Timorus Sitombing
- Melina
Cabut
Kristen
305/Pdt.G/2004
PN. Jak-Sel
26-04-2004
- Napiah binti
Muhamad
- H. M. Soleh bin H.
Abdulah
Putus
Islam
605/ Pdt. G/2004
PN. Jak-Sel
- Nuniah binti Nusa tahir
- Antoni Bahrun Boni,
dkk.
Putus
13-06-2004 Kristen
297/ Pdt. G/2005
PN. Jak-Sel
05-04-2005
- Alfred Simanjuntak
- Risdan Simarmata, SE
Putus
Kristen
1353/
Pdt.G/2006
PN. Jak-Sel
24-09-2006
- Lilis Indriawati, dkk.
- Sri Lustiana Suryandari
dkk.
Cabut
Kristen
573/ Pdt.G/2007
PN. Jak-Sel
16-04-2007
- Mardiana D
Hutagalung, dkk.
- Sastriany Joso Prawiro,
SH.
Putus
Kristen
906/ Pdt.G/2007
PN. Jak-Sel
13-08-2007
- Dickson Hidayat
- Ny. Juliato Widjaja
Putus
Kristen
1686/
Pdt.G/2007
PN. Jak-Sel
- Mangara
Hasudungan
Napitupulu
- Lukas Halomoan
Putus
Kristen
29-12-2007 Napitupulu, SH.
431/ Pdt.G/2008
PN. Jak-Sel
17-5-2008
- Ny. Ang Soan Nio
- Pudjiarto Agus, dkk.
Cabut
Kristen
Sumber: Buku Registrasi Perkara gugatan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
Berdasarkan tabel 5 diatas, dapat diperoleh jumlah persentase data perkara
waris pada tahun 2004-2008 dengan menggunakan rumus distribusi frekuensi
relatif P = F : N x100% sebagai berikut:
Perkara waris F 100%
dinyatakan putus 6 60%
ditarik oleh pihak-pihak yang
berperkara
3 30%
Sedang berlangsung 0 0 %
JUMLAH (N) 9 100.00
Dengan demikian dari 9 perkara gugat waris yang masuk ke Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan, sebanyak 6 perkara ( 60% ) dinyatakan putus. Dan sebanyak 3
perkara ( 30% ) dinyatakan di cabut atau ditarik oleh pihak-pihak yang berperkara.
Menurut data yang didapat dari wawancara dengan bagian keperdataan di Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan, bahwa pada Tahun 2004-2008 tidak ada perkara gugat waris
antar orang-orang Islam Pasca Amandemen Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006
tentang Peradilan Agama. Bahkan, dari hasil wawancara dengan bagian keperdataan,
pada Tahun 2008 tidak ada perkara gugat waris antar orang-orang Islam, yang
diajukan ke Pengadilan Agama Jakarta Selatan.
B. Analisis Data Hasil Penelitian
Data Kuantitatif yang berasal dari hasil riset telah dideskripsikan pada tabel-
tabel di atas. Pada pembahasan kali ini, data tersebut akan dianalisis dan
diinterpretasikan untuk melihat tentang implikasi penghapusan pilihan hukum dalam
perkara waris didalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang peradilan agama, terutama dilihat dari
perbandingan jumlah perkara waris yang diselesaikan di Pengadilan Agama Jakarta
Selatan dan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Untuk lebih memudahkan
pemahaman maka analisa tersebut akan disajikan dalam bentuk silang antara variabel
jumlah perkara gugat waris pada tahun 2006-2008 di Pengadilan Agama dengan
perkara waris yang terdapat di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Data tersebut
selanjutnya disajikan dalam tabel berikut ini:
Tabel 6
Perbandingan Perkara Waris di Pengadilan Agama Jakarta Selatan dan di
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Tahun 2006-2008
Putus
Cabut
Berlangsung
Jenis Peradilan
Jumlah
Perkara F P F P F P
Pengadilan
Agama
32 19 59,38% 11 34, 38% 2 6,25%
Pengadilan
Negeri
5 3 60% 2 40% 0 0
Jumlah
37
22
13
2
Berdasarkan data pada tabel 6 diatas, dapat disimpulkan dari 32 perkara waris
yang di tangani Pengadilan Agama Jakarta Selatan selama tahun 2006-2008, ternyata
sebanyak 19 perkara ( 59,38% ) putus, 11 perkara ( 34, 38% ) dicabut, dan 2 perkara
atau ( 6,25% ) masih dalam Proses Persidangan. Sementara perkara waris yang
ditangani di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan selama tahun 2006-2008, dari 5 perkara
waris yang di tangani, hanya 3 perkara ( 60% ) dinyatakan putus, dan sebanyak 2
perkara ( 40% ) dinyatakan dicabut atau ditarik oleh pihak-pihak yang berperkara.
Penyelesaian perkara gugat waris di Pengadilan Agama menggunakan Kompilasi
Hukum Islam (KHI), sementara di Pengadilan Negeri menggunakan hukum perdata.
Sesuai dengan data-data sebagaimana disajikan pada tabel 6 diatas, dapat
dilakukan analisis sebagai berikut:
Pengajuan perkara waris antara orang Islam di Pengadilan Agama lebih
dominan karena memang didalam amandemen Undang-Undang Peradilan Agama
Nomor 3 Tahun 2006 sudah diatur bahwa hak opsi dalam perkara waris telah dihapus,
sehingga perkara waris orang-orang muslim menjadi wewenang mutlak Pengadilan
Agama dan harus diselesaikan di Pengadilan Agama. Dan hal ini juga menunjukan
bahwa adanya pemahaman umat Islam tentang fungsi dan wewenang Pengadilan
Agama sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang
perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Dengan telah diberlakukannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang
perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama,
hampir tidak ada umat muslim yang menyelesaikan perkara warisnya ke Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan. Hal ini tercermin dari hasil pemaparan data-data diatas.
Dengan demikian hal ini berarti sudah terjadi kesadaran umat Islam yang tinggi untuk
menggunakan hukum Islam dalam Penyelesaian waris.
Impilkasi dari adanya penghapusan pilihan hukum dalam penyelesaiaan
perkara waris sebagaimana diatur dalam penjelasan umum alinea kedua Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, menjadikan aturan ini cukup efektif dalam
penyelseaian perkara waris diantara umat Islam. Hal ini berarti sudah terjadi kesadaran
umat Islam yang tinggi untuk menggunakan hukum Islam dalam Penyelesaian
waris.yang tentu saja menjadi kewenangan Pengadilan Agama.
Selain itu, hal ini juga sejalan dengan pengertian efektifitas yang diberikan
oleh E. Mulyana bahwa efektifitas adalah adanya kesesuaian antara orang yang
melaksanakan tugas dengan sasaran yang dituju. Selanjutnya dijelaskan pula bahwa
efektivitas adalah berkaitan erat perbandingan antara tingkat pencapaian tujuan dengan
rencana yang telah disusun sebelumnya, atau perbandingan hasil nyata dengan hasil
yang direncanakan. Dan salah satu yang menjadi tolak ukur sebuah efektifitas adalah
Berhasil guna, yakni untuk menyatakan bahwa kegiatan telah dilaksanakan dengan
tepat dalam arti target tercapai sesuai dengan waktu yang ditetapkan
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’anul Karim
Abdullah, Abdul Gani. Dalam Sepuluh Tahun Undang-Undang Peradilan Agama.
Jakarta: Ditbinbopera, 1999.
Amandemen Undang-Undang Peradilan Agama, UU No. 3 tahun 2006, Jakarta: Sinar
Grafika, 2007, Cet. Ke-2.
Arto, Mukti. Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama. Yogyakarta:
Pusataka Pelajar, 1996.
Arifin, Bustanul. Peradilan Agama di Indonesia Jakarta: Rajawali Pres, 1995.
Assiba’i.,Mustofa Husni. Kehidupan Sosial Menurut Islam, (terjemahan). Bandung:
Diponegoro,1981.
Dewi, Gemala (ed). Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia. Jakarta:
Prenada Media Group, 2006, Cet. Ke-2.
Djaelani, Abdul Qadir. Keluarga Sakinah. Surabaya: Bina Ilmu, 1995.
Handoko, T. Husni. Manajemen. Yogyakarta: BPEE, 1998, edisi ke-2.
Harahap, M Yahya, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama UU. N0. 7
Tahun 1989. T.tp., Pustaka Kartini, 1997. Cet. Ke-3.
Hasan, M. Ali. Hukum Warisan dalan Islam, Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1996, Cet.
Ke-6.
Hasbiyallah. Belajar Mudah Ilmu Waris. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2007.
Ibnu Hajjaj, Al-Imam Abi Husain Muslim. Shohih Muslim, Beirut: Daar al-Fiqr, tt.,
Juz II.
Mulyana, E..Manajemen Berbasis Sekolah, Konsep, Strategi dan Implementasi.
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004.
Perangin, Effendi. Hukum Waris. Jakarta: Rajawali Pers, 1997.
Prodjodikoro, Wirjono. Hukum Warisan di Indonesia, Jakarta: Sumur Bandung, 1993.
Rahman, Fatchur. Ilmu Waris. Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1981, Cet. Ke-2.
Ramulyo, Idris. Perbandingan Hukum Kewarisan Islam. Surabaya: Pedoman limu
Jaya, 1992.
Rofiq, Ahmad. Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2003,
Cet. Ke-6.
Sadili, Hasan. Ensiklopedi Bahasa Indonesia, jilid 2, ( Jakarta: Ichtiar Baru – Van
Hoeve.
Subandijah, Pengembangan dan Inovasi Kurikulum. Jakarta: Grafindo Persada, 1993.
Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata. Jakarta: Internusa, 2003.
Sujadi F.X, O&M, Penunjang Berhasilnya Proses Manajemen,. Jakarta: CV.
Masagung, 1990, Cet. Ke-3.
Sudiono, Anas. Pengantar Statistik pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo, 1995.
Suhrawardi K. Lubis dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam. Jakarta: Sinar
Grafika, 2004, Cet. Ke-4.
Syarifuddin, Amir. Hukum Kewarisan Islam. Jakarta: Prenada Media Group, 2008,
Cet. Ke-3.
Syaltut, Mahmud. Islam, Aqidah dan Syari’at (terjemahan). Jakarta: Pustaka Amani,
1986.
Tim Penyusun,Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan. Jakarta: Balai Pustaka, 1997, Cet. Ke-9.
Usman, Suparman. Ikhtisar Hukum Waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, (Burgerlijk Wetbook). Semerang: Darul Ulum Pres, 1993.