skripsi diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh ... · pdf filetiga dimensi (3d) ini,...

75
Hamburan Partikel Ber-Spin 0 dan 1 2 Dalam Basis Momentum-Helicity Skripsi diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sains oleh: Irga Abdulrahman 0301020336 Departemen Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia Depok 2006

Upload: lamkhue

Post on 06-Feb-2018

217 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Skripsi diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh ... · PDF filetiga dimensi (3D) ini, elemen matriks T dihitung sebagai solusi dari persamaan ... 1.3 Metode Penelitian

Hamburan Partikel Ber-Spin 0 dan 12 Dalam

Basis Momentum-Helicity

Skripsi diajukan sebagai salah satu syarat

memperoleh gelar Sarjana Sains

oleh:

Irga Abdulrahman0301020336

Departemen Fisika

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Universitas Indonesia

Depok2006

Page 2: Skripsi diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh ... · PDF filetiga dimensi (3D) ini, elemen matriks T dihitung sebagai solusi dari persamaan ... 1.3 Metode Penelitian

Hamburan Partikel Ber-Spin 0 dan 12 Dalam

Basis Momentum-Helicity

oleh:

Irga Abdulrahman0301020336

Departemen Fisika

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Universitas Indonesia

Depok2006

Page 3: Skripsi diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh ... · PDF filetiga dimensi (3D) ini, elemen matriks T dihitung sebagai solusi dari persamaan ... 1.3 Metode Penelitian

Halaman Persetujuan

Judul Skripsi : Hamburan Partikel Ber-Spin 0 dan 12

Dalam Basis Momentum-HelicityNama : Irga AbdulrahmanNPM : 0301020336

Skripsi ini telah diperiksa dan disetujui

Depok, 22 Mei 2006

Mengesahkan

Pembimbing

Dr. I. Fachruddin

Penguji I Penguji II

Dr. Anto Sulaksono Dr. Agus Salam

Tanggal Lulus Ujian Sarjana : 22 Mei 2006

Penguji I : Dr. Anto SulaksonoPenguji II : Dr. Agus Salam

i

Page 4: Skripsi diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh ... · PDF filetiga dimensi (3D) ini, elemen matriks T dihitung sebagai solusi dari persamaan ... 1.3 Metode Penelitian

Kata Pengantar

Alhammdulillah, penuh rasa syukur, penulis agungkan nama-Mu yang Maha Suci.

Tugas ini adalah representasi dari sebagian pengetahuan yang penulis dap-

atkan selama berguru pada, ”orang-orang luar biasa”, Dosen-dosen Fisika UI.

Ucapan terima kasih penulis ucapkan pada :

Dr Imam Fachruddin, sebagai pembimbing, yang telah sangat-sangat penulis

repotkan dengan berbagai kemalasan dan ketidaktahuan penulis. tanpa bimbin-

gannya (yang sangat komperhensif) penulis merasa tidak akan mampu menyele-

saikan tugas ini. Dr Anto Sulaksono dan Dr Agus Salam sebagai penguji. Dosen-

dosen Fisika Nuklir dan Partikel : Dr. Terry Mart, Dr. LT Handoko, dan lainnya.

Drs Djonaedi Soleh sebagi Pembibing Akademis penulis, Dr.rer.nat Rosari Saleh,

serta seluruh dosen fisika UI.

Dr. Djoko Sasmita (Isiteks) semoga Imogiri kembali tetap sama.

Papa, mumku, dan keluarga, yang mau mengerti bahwa salah satu anggotanya

sementara ’hilang’, tenggelam dalam tumpukan kertas-kertas. Tante Merry, atas

dukungan finansial.

Teman-teman di Lab Teori : Handika, Adriana Arum, Zu(zu)hrianda, Freddy,

Anton, Ardy, Nita, Nowo, dan lainnya. Seluruh teman-teman Fisika UI 2001

(Aulia, Yudho, Zicko, Justo, Mba Dita, Ivo)

Mbak Ratna, yang mau mengerti ketidakdisiplinan penulis dalam urusan ad-

ministrasi.

”Pemandu sorak” yang tidak pernah berhenti berteriak(mengomel) memberi

semangat : Anindya(FEUI), R Artistik(Usakti), Rheny, Annisa(Unpad).

Dengan selesainya tugas ini tidak berarti topik ini selesai, pembahasan lebih

lanjut serta berbagai aplikasi, masih sangat terbuka untuk dikerjakan.

ii

Page 5: Skripsi diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh ... · PDF filetiga dimensi (3D) ini, elemen matriks T dihitung sebagai solusi dari persamaan ... 1.3 Metode Penelitian

Abstrak

Hamburan 2 partikel berspin 0 dan 12

dijabarkan dengan teknik perhitungan

yang menggunakan basis momentum-helicity. Dengan cara yang disebut teknik

tiga dimensi (3D) ini, elemen matriks T dihitung sebagai solusi dari persamaan

Lippmann-Schwinger, demikian pula penampang lintang differensial dan polari-

sasi. Sebagai input digunakan sebuah model potensial spin-orbit sederhana. Efek

kinematika relativistik juga dipelajari.

Kata kunci: hamburan, persamaan Lippmann-Schwinger, teknik 3D, kinematika

relativistik, potensial spin-orbit.

vi+67 hlm.; lamp.

Daftar Acuan: 10 (1957-2003)

Abstract

Scattering of 2 particles of spin 0 and 12

is evaluated by means of a technique,

which uses momentum-helicity basis. Using this so called three dimensional (3D)

technique, the T-matrix elements are calculated as solution of the Lippmann-

Schwinger equation, as well as differential cross section and polarization. As

input a simple spin-orbit potential model is used. Relativistic kinematics effects

are also investigated.

Keywords: scattering, Lippmann-Schwinger equation, 3D technique,relativistic

kinematics, spin-orbit potential.

vi+67 pp.; appendices.

References: 10 (1957-2003)

iii

Page 6: Skripsi diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh ... · PDF filetiga dimensi (3D) ini, elemen matriks T dihitung sebagai solusi dari persamaan ... 1.3 Metode Penelitian

Daftar Isi

Halaman Persetujuan i

Kata Pengantar ii

Abstrak iii

Daftar Isi iv

Daftar Gambar vi

1 Pendahuluan 1

1.1 Latar Belakang . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1

1.2 Perumusan Masalah . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 2

1.3 Metode Penelitian . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 2

1.4 Tujuan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 2

2 Hamburan Dua Partikel 3

2.1 Kinematika Hamburan Dua Partikel . . . . . . . . . . . . . . . . . 3

2.2 Persamaan Lippmann-Schwinger . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 5

2.3 Observable . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 10

2.4 Persamaan Lippman-Schwinger Dalam Basis Gelombang Parsial . 12

3 Formulasi Tiga Dimensi 15

3.1 Basis Momentum-Helicity . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 16

3.2 Struktur Umum Potensial . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 18

3.3 Persamaan Lippmann-Schwinger . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 22

3.4 Elemen Matriks M . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 26

iv

Page 7: Skripsi diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh ... · PDF filetiga dimensi (3D) ini, elemen matriks T dihitung sebagai solusi dari persamaan ... 1.3 Metode Penelitian

3.5 Hubungan Dengan Elemen Matriks-T Dalam Basis Gelombang

Parsial . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 28

3.6 Kinematika Relativistik . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 30

4 Aplikasi 40

4.1 Potensial . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 40

4.2 Hasil Dan Diskusi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 41

5 Kesimpulan Dan Saran 53

A Basis Gelombang Parsial 55

B Matriks Rotasi 58

C Transformasi Potensial 60

D Penyelesaian Numerik 63

D.1 Integrasi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 63

D.2 Eliminisasi Singularitas . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 64

D.3 Persamaan Lippmann-Schwinger . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 65

Daftar Acuan 67

v

Page 8: Skripsi diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh ... · PDF filetiga dimensi (3D) ini, elemen matriks T dihitung sebagai solusi dari persamaan ... 1.3 Metode Penelitian

Daftar Gambar

2.1 Hamburan dalam kerangka laboratorium dan kerangka P.M. . . . 4

2.2 Diagram hamburan dua partikel . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 7

2.3 Titik pengamatan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 8

4.1 Potensial Malfliet-Tjon . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 41

4.2 Penampang Lintang Differensial Pada Beberapa Nilai Energi . . . 42

4.3 Polarisasi Pada Beberapa Nilai Energi . . . . . . . . . . . . . . . 43

4.4 Penampang lintang differensial pada energi Lab. 30 MeV . . . . . 45

4.5 Polarisasi pada energi Lab. 30 MeV . . . . . . . . . . . . . . . . . 45

4.6 I0 pada energi Lab. 30 MeV . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 46

4.7 Faktor Ruang Fase pada energi Lab. 30 MeV . . . . . . . . . . . 46

4.8 Penampang lintang differensial pada energi Lab. 100 MeV . . . . 47

4.9 Polarisasi pada energi Lab. 100 MeV . . . . . . . . . . . . . . . . 47

4.10 I0 pada energi Lab. 100 MeV . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 48

4.11 Faktor Ruang Fase pada energi Lab. 100 MeV . . . . . . . . . . . 48

4.12 Penampang lintang differensial pada energi Lab. 300 MeV . . . . 49

4.13 Polarisasi pada energi Lab. 300 MeV . . . . . . . . . . . . . . . . 49

4.14 I0 pada energi Lab. 300 MeV . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 50

4.15 Faktor Ruang Fase pada energi Lab. 300 MeV . . . . . . . . . . . 50

4.16 Penampang lintang differensial pada energi Lab. 1 GeV . . . . . . 51

4.17 Polarisasi pada energi Lab. 1 GeV . . . . . . . . . . . . . . . . . . 51

4.18 I0 pada energi Lab. 1 GeV . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 52

4.19 Faktor Ruang Fase pada energi Lab. 1 GeV . . . . . . . . . . . . 52

vi

Page 9: Skripsi diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh ... · PDF filetiga dimensi (3D) ini, elemen matriks T dihitung sebagai solusi dari persamaan ... 1.3 Metode Penelitian

Bab 1

Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Sebagian besar dari yang kita ketahui tentang berbagai gaya dan interaksi antar

partikel diperoleh melalui eksperimen hamburan. Secara garis besar eksperimen

hamburan dilakukan dengan membombardir target, yang dapat berupa atom, inti

atom atau partikel, dengan partikel lain. Sifat-sifat dan kondisi awal dari partikel

proyektil dan target diketahui. Setelah tumbukan, proyektil akan dihamburkan

oleh target ke suatu arah.

Dalam bidang few-body nuclear physics perhitungan biasa dilakukan dalam

basis eigenstate momentum angular total. Ini bisa dimengerti mengingat gaya

nuklir bersifat short range, sehingga untuk energi rendah sebuah proses hambu-

ran bisa dijelaskan dengan memperhitungkan hanya beberapa momentum angular

total terendah. Namun, pada energi yang lebih tinggi diperlukan jumlah momen-

tum angular yang lebih banyak, sehingga perumusan dan perhitungan numerik

menjadi berat. Karena itu, diperlukan suatu teknik perhitungan yang lain, yang

tidak berbasis pada eigenstate momentum angular. Dalam ruang momentum pi-

lihannya yaitu memakai state vektor momentum sebagai basis. Teknik seperti

ini dikenal dengan nama teknik 3D (3 Dimensi). Untuk sistem 2 partikel identik

tanpa spin, penggunaan teknik ini dapat ditemukan pada [1], sedangkan untuk

sistem nukleon-nukleon pada, contohnya, [2] dan [3].

1

Page 10: Skripsi diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh ... · PDF filetiga dimensi (3D) ini, elemen matriks T dihitung sebagai solusi dari persamaan ... 1.3 Metode Penelitian

1.2 Perumusan Masalah

Dalam penelitian ini akan dikembangkan teknik perhitungan berbasis state vek-

tor momentum dan helicity, selanjutnya disebut basis state momentum-helicity,

untuk sistem dua partikel berspin 0 dan 12. Mengingat perhitungan dengan teknik

3D lebih bermanfaat untuk energi tinggi, maka efek relativitas juga perlu diper-

timbangkan, karena itu kinematika relativistik juga akan digunakan, mengikuti

formulasi dalam Ref. [4].

1.3 Metode Penelitian

Mula-mula dikerjakan formulasi persamaan Lippmann-Schwinger dalam basis

momentum-helicity. Kemudian untuk dapat menyelesaikan persamaan Lippmann-

Schwinger tersebut, dilakukan perhitungan numerik menggunakan metode-metode

numerik yaitu dekomposisi LU dan kuadratur Gauss-Legendre.

1.4 Tujuan

Menghasilkan suatu formulasi hamburan 2 partikel, yang satu bespin 0 dan yang

lain berspin 12, yang bermanfaat terlebih lagi untuk energi tinggi, dengan memilih

vektor momentum dan helicity sebagai basis.

2

Page 11: Skripsi diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh ... · PDF filetiga dimensi (3D) ini, elemen matriks T dihitung sebagai solusi dari persamaan ... 1.3 Metode Penelitian

Bab 2

Hamburan Dua Partikel

Hamburan adalah fenomena yang sudah lama dikenal, khususnya dalam fisika

nuklir, sehingga penjelasan tentang fenomena ini telah banyak menjadi topik

dalam berbagai buku teks fisika kuantum dan fisika nuklir. Penjelasan tentang

hamburan dalam bab ini hanya bersifat singkat sebagai dasar untuk formulasi

pada bab-bab selanjutnya.

2.1 Kinematika Hamburan Dua Partikel

Dalam eksperimen hamburan besaran-besaran seperti energi, momentum dan

sudut hambur diamati dalam kerangka pengamat, atau biasa disebut kerangka

laboratorium. Dalam formulasi teoritis akan sangat membantu bila kerangka

yang digunakan adalah kerangka pusat massa kedua partikel (kerangka P.M.).

Sebut ki sebagai momentum awal partikel ke-i dalam kerangka laboratorium

dan k′i adalah momentum akhir. Selanjutnya tanda ” ’ ” melambangkan keadaan

akhir. Besarnya momentum relatif dalam Kerangka P.M. p dihitung sebagai

momentum Jacobi:

p =m2k1 −m1k2

m1 + m2

, (2.1)

dengan mi massa partikel-i. Pada keadaan awal, salah satu partikel dalam

keadaan diam (target), k2 = 0, maka:

p =µ

m1

k1 , (2.2)

dengan µ adalah massa tereduksi:

µ =m1 m2

m1 + m2

. (2.3)

3

Page 12: Skripsi diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh ... · PDF filetiga dimensi (3D) ini, elemen matriks T dihitung sebagai solusi dari persamaan ... 1.3 Metode Penelitian

Gambar 2.1: Hamburan dalam kerangka laboratorium dan kerangka P.M.

Energi total dalam kerangka laboratorium dan kerangkan P.M.:

ELab. = E1 = E ′1 + E ′

2 (2.4)

ELab. =k2

1

2m1

=k′21

2m1

+k′22

2m2

(2.5)

EP.M. =p2

2µ=

p′2

2µ. (2.6)

Besarnya energi awal dan energi akhir sama, karena hamburan bersifat elastik.

Perbandingan antara ELab. dan EP.M.:

EP.M. =p2

2µ=

µ

2m21

k21

m1

ELab. . (2.7)

Selain itu perlu dicari hubungan antara sudut hambur dalam kedua kerang-

ka. Sudut hambur adalah besarnya sudut antara vektor momentum awal dan

akhir dari proyektil. Dengan menentukan momentum awal searah sumbu-z serta

hamburan pada bidang x− z, seperti pada gambar 2.1, vektor momentum akhir

dalam kerangka P.M. yaitu:

p′ = p′xx + p′zz

= p sin θP.M. x + p cos θP.M. z , (2.8)

dan dapat juga dinyatakan sebagai:

p′ =m2k

′1 −m1k

′2

m1 + m2

. (2.9)

4

Page 13: Skripsi diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh ... · PDF filetiga dimensi (3D) ini, elemen matriks T dihitung sebagai solusi dari persamaan ... 1.3 Metode Penelitian

Pada kerangka laboratorium vektor momentum awal hanya memiliki komponen

pada sumbu-z, sehingga vektor momentum akhir total juga hanya pada sumbu-

z, komponen sumbu-x dari vektor momentum akhir akan saling menghilangkan

(lihat gambar 2.1), sehingga:

k′2 x = −k′1 x (2.10)

Maka dengan memasukan persamaan (2.8) kedalam persamaan (2.9) dan dengan

kondisi (2.10), bisa didapatkan hubungan antara sudut hambur dalam kedua

kerangka:

θP.M. = θLab. + arcsin

(m1

m2

sin θLab.

)(2.11)

Menggunakan persamaan (2.2), (2.7) dan (2.11) di atas, bisa dilakukan transfor-

masi dari kerangka laboratorium ke kerangka P.M., dan juga sebaliknya.

2.2 Persamaan Lippmann-Schwinger

Interaksi antara proyektil dan target direpresentasikan dengan potensial di dalam

Hamiltonian. Maka Hamiltonian ditulis sebagai gabungan antara hamiltonian

partikel bebas dan komponen potensial,

H = H0 + V (2.12)

Dimana H0 adalah Hamiltonian partikel bebas,

H0 |φ〉 = E |φ〉 , (2.13)

dengan |φ〉 merupakan keadaan bebas (free state). Untuk keadaan hamburan

berlaku:

(H0 + V ) |ψ〉 = E |ψ〉 (2.14)

dengan |ψ〉 merupakan keadaan hamburan. Digunakan ansazt bahwa keadaan

hamburan:

|ψ〉 = |φ〉+ |χ〉 , (2.15)

dimana saat V = 0, maka |ψ〉 = |φ〉, tanpa adanya interaksi maka hamburan tidak

terjadi. Solusi keadaan hamburan didapatkan dengan mengerjakan persamaan

5

Page 14: Skripsi diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh ... · PDF filetiga dimensi (3D) ini, elemen matriks T dihitung sebagai solusi dari persamaan ... 1.3 Metode Penelitian

Schrodinger (2.14) dengan menggunakan ansazt (2.15):

E |χ〉 = H0 |χ〉+ V |φ〉+ V |χ〉|χ〉 =

1

E −H0

V |ψ〉 , (2.16)

sehingga:

|ψ〉 = |φ〉+1

E −H0

V |ψ〉= |φ〉+ G0(E)V |ψ〉 , (2.17)

dengan G0(E) merupakan Free Propagator:

G0(E) =1

E −H0

. (2.18)

Solusi pada persamaan (2.17) memiliki titik singular, yaitu pada E = H0, se-

hingga untuk menghindari singularitas ini nilai E dibuat sedikit kompleks, yaitu

E → E ± iε, dengan ε ≈ 0 [5]. maka persamaan (2.17) menjadi:

|ψ〉 = |φ〉+ limε→0

1

E ± iε−H0

V |ψ〉= |φ〉+ G±

0 (E)V |ψ〉 , (2.19)

dengan:

G±0 (E) = lim

ε→0

1

E ± iε−H0

(2.20)

Persamaan (2.19) disebut sebagai persamaan Lippmann-Schwinger untuk fungsi

gelombang.

Untuk menunjukan transisi dari keadaan awal ke keadaan akhir pada proses

hamburan, maka didefinisikan operator transisi, yaitu matriks-T:

T |φ〉 ≡ V |ψ〉 . (2.21)

Dengan memasukkan |ψ〉 pada persamaan (2.19) ke persamaan (2.21) diperoleh:

T |φ〉 = V |φ〉+ V G±0 (E)T |φ〉 (2.22)

Maka didapatkan persamaan Lippmann-Schwinger untuk matriks-T:

T = V + V G±0 (E)T (2.23)

6

Page 15: Skripsi diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh ... · PDF filetiga dimensi (3D) ini, elemen matriks T dihitung sebagai solusi dari persamaan ... 1.3 Metode Penelitian

Gambar 2.2: Diagram hamburan dua partikel

Menurut persamaan (2.23) matriks-T merupakan deret tak hingga dari V ,

T = V + V G±0 V + V G±

0 V G±0 V + V G±

0 V G±0 V G±

0 V + · · · (2.24)

yang menunjukan bahwa hamburan yang terjadi tidak hanya hamburan tunggal,

namun juga hamburan berganda (multiple scattering). Lihat gambar (2.2) untuk

ilustrasi.

Keadaan hamburan |ψ〉 pada persamaan (2.19) bisa dievaluasi pada pilihan

basis tertentu, contohnya basis ruang konfigurasi:

〈r|ψ〉 = 〈r|p〉+⟨r∣∣G±

0 (E)V∣∣ ψ

= 〈r|p〉+

∫dr′

⟨r∣∣G±

0 (E)∣∣ r′⟩︸ ︷︷ ︸

Green′s Function

〈r′ |V |ψ〉 . (2.25)

Suku pertama persamaan di atas merupakan fungsi gelombang bebas berupa

fungsi gelombang bidang:

〈r|p〉 =1

(2π)3/2eip·r . (2.26)

Representasi free propagator dalam ruang konfigurasi dikenal sebagai Fungsi Green

partikel bebas [5]:⟨r∣∣G±

0 (E)∣∣ r′⟩ = −2µ

e±ip′|r−r′|

|r− r′| (2.27)

Karena pada eksperimen hamburan titik pengamatan (detektor) diletakkan jauh

7

Page 16: Skripsi diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh ... · PDF filetiga dimensi (3D) ini, elemen matriks T dihitung sebagai solusi dari persamaan ... 1.3 Metode Penelitian

Gambar 2.3: Titik pengamatan

dari target, atau dalam skala partikel jarak titik pengamatan menuju tak hingga,

r → ∞, maka bisa dituliskan |r− r′| ' r − r · r′, (lihat gambar 2.3). Maka

persamaan (2.27) menjadi:

⟨r∣∣G±

0 (E)∣∣ r′⟩ = −2µ

e±ipr

re∓ip′· r′ . (2.28)

Masukan persamaan (2.26) dan (2.28) ke persamaan (2.25) maka diperoleh:

ψ(r) =1

(2π)3/2

[eip· r − µ

√2π

e±ipr

r

∫dr′ e∓ip′· r′ 〈r′ |T |φ〉

](2.29)

Fungsi gelombang di atas memiliki dua suku. Suku pertama ialah fungsi gelom-

bang datang, yang merupakan fungsi gelombang bidang. Sedangkan suku kedua

merupakan fungsi gelombang radial, yang harus menunjukan fungsi gelombang

terhambur. Karena fungsi gelombang terhambur haruslah mengarah keluar (out-

wards), maka solusi yang digunakan adalah solusi untuk E + iε. Oleh karena itu,

8

Page 17: Skripsi diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh ... · PDF filetiga dimensi (3D) ini, elemen matriks T dihitung sebagai solusi dari persamaan ... 1.3 Metode Penelitian

propagator yang digunakan dalam formulasi selanjutnya adalah G+0 (E).

ψ(r) =1

(2π)3/2

[eip· r − µ

√2π

eipr

r

∫dr′ e−ip′· r′ 〈r′ |T |φ〉

]

=1

(2π)3/2

[eip· r − 4µπ2 eipr

r

∫dr′

1

(2π)3/2e−ip′· r′ 〈r′ |T |φ〉

]

=1

(2π)3/2

[eip· r − 4µπ2 eipr

r

∫dr′ 〈p′|r′〉 〈r′ |T |φ〉

]

=1

(2π)3/2

[eip· r − 4µπ2 eipr

r〈p′ |T |p〉

], (2.30)

|φ〉 merupakan keadaan bebas sistem dengan momentum p. Karena itu, pada

baris terakhir persamaan (2.30) |φ〉 diganti |p〉.Pada persamaan (2.30) terdapat suku 〈p′ |T |p〉 yang merupakan elemen matriks-

T dalam basis vektor momentum, ini merupakan matriks yang akan kami hitung.

Bila didefinisikan amplitudo hamburan f(p′,p) sebagai berikut:

f(p′,p) ≡ −4µπ2 〈p′ |T |p〉 , (2.31)

maka fungsi gelombang (2.30) menjadi:

ψ(r) =1

(2π)3/2

[eip·r +

eipr

rf(p′,p)

](2.32)

Formulasi di atas dikerjakan tanpa memasukan spin. Spin turut dimasukan

dalam perhitungan dengan menambahkan keadaan spin, baik pada keadaan bebas

maupun pada keadaan hamburan. Untuk sistem 2 partikel berspin 0 dan 12,

diperoleh spin total s = 12. Maka pada keadaan bebas dan keadaan hamburan

ditambahkan keadaan spin |n〉 sebagai berikut:

keadaan bebas: |φn〉 ≡ |φ〉 |n〉 (2.33)

keadaan hamburan: |ψn〉 ≡ |ψ〉 |n〉 , (2.34)

dengan |n〉 merupakan kombinasi linier dari∣∣12λ⟩, dengan λ = ±1

2merupakan

proyeksi spin pada sumbu kuantisasi (bilangan kuantum magnetik spin):

|n〉 =

12∑

λ=−12

anλ

∣∣12λ⟩

(2.35)

9

Page 18: Skripsi diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh ... · PDF filetiga dimensi (3D) ini, elemen matriks T dihitung sebagai solusi dari persamaan ... 1.3 Metode Penelitian

Setelah ditambah komponen spin, maka persamaan (2.19) menjadi:

|ψn〉 = |φn〉+ G+0 (E)V |ψn〉 . (2.36)

Bila keadaan hamburan dengan spin pada persamaan (2.36) direpresentasikan ke

ruang spasial:

〈r|ψn〉 = 〈r|φn〉+∑

λ′

∫dr′

⟨r∣∣G+

0 (E)∣∣ r′λ′⟩ 〈r′λ′ |T |φn〉 , (2.37)

karena propagator tidak bergantung pada keadaan spin, maka:

ψ(r) |n〉 =eip·r

(2π)3/2|n〉+

λ′

∣∣12, λ′

⟩ ∫dr′

⟨r∣∣G+

0 (E)∣∣ r′⟩ 〈r′λ′ |T |pn〉

=eip·r

(2π)3/2|n〉 − µ

√2π

eipr

r

λ′

∣∣12, λ′

⟩ 〈p′λ′ |T |pn〉

=1

(2π)3/2

[eip·r |n〉+

eipr

r

λ′

∣∣12, λ′

⟩fλ′(p

′,p)

], (2.38)

dengan:

fλ′(p′,p) ≡ −4µπ2 〈p′λ′ |T |pn〉 . (2.39)

Bergantung pada potensial, dalam proses hamburan proyeksi spin pada sumbu

kuantisasi dapat berubah, sementara besar spin itu sendiri tetap, 12.

2.3 Observable

Matriks-T berhubungan dengan matriks hamburan M sebagai berikut:

Mλ′λ(p′,p) ≡ −4µπ2 〈p′λ′ |T |pλ〉 , (2.40)

sehingga amplitudo hamburan berhubungan dengan matriks hamburan M seba-

gai:

fλ′(p′,p) =

12∑

λ=−12

anλ Mλ′λ(p

′,p) . (2.41)

Observable proses hamburan diperoleh dari amplitudo hamburan. Karena ham-

buran bersifat elastik, maka p′ = p, sehingga:

fλ′(p′,p) = fλ′(pp

′, pz) (2.42)

10

Page 19: Skripsi diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh ... · PDF filetiga dimensi (3D) ini, elemen matriks T dihitung sebagai solusi dari persamaan ... 1.3 Metode Penelitian

Obervable dihitung menggunakan observable spin umum (gunakan cara dalam

Ref.[6] namun untuk sistem partikel berspin 0 dan 12) yaitu:

I 〈σµ〉f =1

2

∑α

〈σα〉i TrMσαM†σµ

. (2.43)

dengan:

σ0 =

(1 00 1

)σ1 =

(0 11 0

)σ2 =

(0 −ii 0

)σ3 =

(1 00 −1

)(2.44)

Apabila spin proyektil tidak terpolarisasi, dan keadaan spin partikel terham-

bur tidak diukur, maka diperoleh:

I0 =1

2Tr

MM† , (2.45)

yang disebut sebagai penampang lintang diferensial yang dirata-ratakan terhadap

spin (spin averaged differential cross section). Sedangkan untuk mengetahui

apakah proses hamburan menyebabkan proyektil yang semula tidak terpolarisasi

menjadi terpolarisasi, maka spin partikel terhambur diukur. Menurut persamaan

(2.43) didapatkan:

I 〈σµ〉f =1

2Tr

MM†σµ

(µ = 1, 2, 3) , (2.46)

dan polarisasi partikel terhambur didefinisikan sebagai:

Pµ =1

2I0

TrMM†σµ

. (2.47)

Bila arah proyektil mula-mula ditentukan pada arah sumbu-z dan bidang ham-

buran pada bidang x-z, maka sesuai sifat invarian proses hamburan terhadap

paritas, polarisasi hanya ada pada arah normal hamburan [6], yaitu:

n ≡ k′ × k

|k′ × k| = y . (2.48)

Sehingga polarisasi pada arah normal (y) ialah:

Py =1

2I0

TrMM†σy

(σy = σ2) . (2.49)

11

Page 20: Skripsi diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh ... · PDF filetiga dimensi (3D) ini, elemen matriks T dihitung sebagai solusi dari persamaan ... 1.3 Metode Penelitian

2.4 Persamaan Lippman-Schwinger Dalam Ba-

sis Gelombang Parsial

Dalam fisika nuklir, khususnya bidang few body problem, representasi yang biasa

digunakan untuk menyelesaikan persamaan Lippmann - Schwinger yaitu repre-

sentasi gelombang parsial, dengan basis state∣∣p(l 1

2); jm

⟩. Pada basis ini nilai

momentum angular total J:

J = L + S , (2.50)

dan nilai m adalah proyeksi J pada sumbu-z. Lebih lanjut mengenai basis ini

dapat dilihat pada Lampiran A.

Elemen matriks-T dan potensial pada basis gelombang parsial:

⟨p′(l′ 1

2); j′m′ |T | p(l 1

2); jm

⟩(2.51)

⟨p′(l′ 1

2); j′m′ |V | p(l 1

2); jm

⟩(2.52)

Karena konservasi momentum angular total J, maka baik matriks pontensial

maupun matriks-T, bersifat diagonal untuk j dan m:

⟨p′(l′ 1

2); j′m′ |V | p(l 1

2); jm

⟩= δjj′ δmm′V jm

l′l (p′, p) (2.53)⟨p′(l′ 1

2); j′m′ |T | p(l 1

2); jm

⟩= δjj′ δmm′T jm

l′l (p′, p) , (2.54)

dengan:

V jml′l (p′, p) ≡ ⟨

p′(l′ 12); jm |V | p(l 1

2); jm

⟩(2.55)

T jml′l (p′, p) ≡ ⟨

p′(l′ 12); jm |T | p(l 1

2); jm

⟩. (2.56)

Dengan begitu persamaan Lippmann-Schwinger untuk matriks-T, persamaan

(2.23), pada basis gelombang parsial menjadi:

T jml′l (p′, p)

= V jml′l (p′, p) +

⟨p′(l′ 1

2); j′m′ ∣∣V G+

0 (E)T∣∣ p(l 1

2); jm

= V jml′l (p′, p) +

j′′l′′m′′

j′′′l′′′m′′′

∫ ∞

0

dp′′dp′′′p′′2p′′′2⟨p′(l′ 1

2); j′m′ |V | p′′(l′′ 1

2); j′′m′′⟩

× ⟨p′′(l′′ 1

2); j′′m′′ ∣∣G+

0 (E)∣∣ p′′′(l′′′ 1

2); j′′′m′′′⟩ ⟨

p′′′(l′′′ 12); j′′′m′′′ |T | p(l 1

2); jm

⟩(2.57)

12

Page 21: Skripsi diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh ... · PDF filetiga dimensi (3D) ini, elemen matriks T dihitung sebagai solusi dari persamaan ... 1.3 Metode Penelitian

dengan kondisi pada persamaan (2.53) dan (2.54) maka:

T jml′l (p′, p) = V jm

l′l (p′, p) +∑

l′′l′′′

∫ ∞

0

dp′′dp′′′p′′2p′′′2 V j′m′l′l′′ (p′, p′′)

× ⟨p′′(l′′ 1

2); j′m′ ∣∣G+

0 (Ep)∣∣ p′′′(l′′′ 1

2); jm

⟩T jm

l′′′l(p′′′, p) . (2.58)

Selanjutnya perlu dicari elemen matriks dari propagator dalam basis gelombang

parsial∣∣p(l 1

2); jm

⟩. Karena propagator tidak berpengaruh pada spin, maka cukup

dikerjakan:

⟨p′′(l′′ 1

2); j′m′ ∣∣G+

0 (Ep)∣∣ p′′′(l′′′ 1

2); jm

=

∫dp′′dp′′′

⟨p′′(l′′ 1

2); j′m′|p′′⟩ 〈p′′ |G(Ep)|p′′′〉

⟨p′′′|p′′′(l′′′ 1

2); jm

= 2µ limε→0

∫dp′′dp′′′

⟨p′′(l′′ 1

2); j′m′|p′′⟩

⟨p′′′

∣∣∣∣1

p2 + iε− Op2

∣∣∣∣p′′⟩ ⟨

p′′′|p′′′(l′′′ 12); jm

= 2µδ(p′′ − p′′′)

p′′p′′′δj′jδm′mδl′′′l′′ lim

ε→0

1

p2 + iε− p′′2(2.59)

Dengan memasukan elemen matriks propagator dari persamaan (2.59), persamaan

(2.58) menjadi:

T jml′l (p′, p) = V jm

l′l (p′, p) + 2µ limε→0

l′′

∫ ∞

0

dp′′p′′2V jm

l′l′′ (p′, p′′)

p2 + iε− p′′2T jm

l′′l (p′′, p) (2.60)

Persamaan di atas merupakan persamaan Lippmann-Schwinger untuk matriks-T

pada basis gelombang parsial.

Hubungan antara elemen matriksMλ′λ(p′,p) dan T jm

l′l (p′, p), didapatkan melalui

persamaan (2.40):

Mλ′λ(p′,p) = −4µπ2

j′m′l′

jml

C(l′ 12j′; m′ − λ′, λ′)C(l 1

2j; m− λ, λ)

⟨p′(l′ 1

2); j′m′ |T | p(l 1

2); jm

⟩Yl′,m′−λ′(p

′)Y ∗l,m−λ(p)

= −4µπ2∑

jmll′C(l′ 1

2j; m− λ′, λ′)C(l 1

2j; m− λ, λ)

T jml′l (p′, p) Yl′,m−λ′(p

′)Y ∗l,m−λ(p) . (2.61)

Untuk memudahkan pengerjaan maka ditentukan p = z, sehingga:

Y ∗l,m−λ(p) = Yl,m−λ(p) =

√2l + 1

4π, (2.62)

13

Page 22: Skripsi diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh ... · PDF filetiga dimensi (3D) ini, elemen matriks T dihitung sebagai solusi dari persamaan ... 1.3 Metode Penelitian

dengan m = λ. Sehingga persamaan (2.61) menjadi:

Mλ′λ(p′, pz) = −4µπ2

jll′

√2l + 1

4πC(l′ 1

2j; λ− λ′, λ′)C(l 1

2j; 0, λ)

T jλl′l (p′, p) Yl′λ−λ′(p

′) . (2.63)

14

Page 23: Skripsi diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh ... · PDF filetiga dimensi (3D) ini, elemen matriks T dihitung sebagai solusi dari persamaan ... 1.3 Metode Penelitian

Bab 3

Formulasi Tiga Dimensi

Dalam penggunaan metode gelombang parsial, matriks T diselesaikan untuk se-

tiap nilai angular momentum j, dan perhitungan dilakukan hingga suatu nilai

jmax, dimana perhitungan konvergen. Untuk energi rendah hal ini tidak menjadi

masalah berarti, karena banyaknya nilai j yang diperhitungkan sedikit. Namun

pada energi tinggi metode gelombang parsial tidak lagi efisien, karena banyaknya

perhitungan yang harus dilakukan. Selain itu terdapatnya fungsi Legendre ter-

asosiasi pada formulasi amplitudo hamburan, persamaan (2.63), menyebabkan

penurunan tingkat akurasi perhitungan, karena osilasi yang besar dari fungsi

Legendre terasosiasi pada orde tinggi.

Dalam bab ini akan diformulasikan suatu teknik penyelesaian persamaan Lipp-

mann - Schwinger dengan menggunakan state vektor momentum |p〉 , sebagai ba-

sis untuk menyelesaikan persamaan Lippmann-Scwhinger. Teknik ini untuk se-

lanjutnya disebut teknik tiga dimensi (3D). Karena perhitungan dilakukan tanpa

menggunakan dekomposisi gelombang parsial, maka masalah diatas dapat dihin-

dari. Dimulai dengan mendefinisikan basis state yang akan digunakan, yaitu basis

state momentum-helicity, serta membahas sifat-sifat basis tersebut. Basis state

momentum-helicity dibentuk dari state vektor momentum dan state helicity yang

merepresentasikan keadaan spin. State helicity digunakan untuk mempermudah

pengerjaan [7], karena state ini merupakan eigenstate dari operator helicity σ · p,

yang terdapat pada potensial yang diturunkan dalam ruang momentum.

15

Page 24: Skripsi diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh ... · PDF filetiga dimensi (3D) ini, elemen matriks T dihitung sebagai solusi dari persamaan ... 1.3 Metode Penelitian

3.1 Basis Momentum-Helicity

Basis state momentum-helicity dibentuk dari state vektor momentum dan state

helicity. Helicity adalah proyeksi spin pada vektor momentum. Eigenstate he-

licity didapatkan dengan memutar eigenstate spin, yang dikuantisasi pada arah

sumbu-z, ke arah momentum

∣∣p12λ⟩

= R(p)∣∣z 1

2λ⟩

, (3.1)

Dengan operator rotasi R adalah:

R(p) = e−iSzφe−iSyθ . (3.2)

Completness relation dan Orthogonalitas state helicity ini:

λ

∣∣p12λ⟩ ⟨

p12λ∣∣ = 1 (3.3)

⟨p1

2λ′|p1

2λ⟩

=⟨z 1

2λ′

∣∣R−1(p)R(p)∣∣ z 1

2λ⟩

=⟨z 1

2λ′|z 1

2λ⟩

= δλ′λ . (3.4)

Dengan menggabungkan state helicity pada persamaan (3.1) di atas dengan state

vektor momentum maka bisa didefinisikan basis momentum-helicity :

∣∣p; p12λ⟩ ≡ |p〉

∣∣p12λ⟩

(3.5)

Tapi basis diatas tidak memiliki paritas yang jelas. Kini perlu didefinisikan basis

yang memiliki paritas yang jelas:

∣∣p; p12λ⟩

π=

1√2(1 + ηπP)

∣∣p; p12λ⟩

. (3.6)

dengan eigenvalue paritas ηπ = ±1. Bila operator paritas dioperasikan ke basis

tersebut diperoleh:

P∣∣p; p1

2λ⟩

π=

1√2(P + ηπ)

∣∣p; p12λ⟩

=1√2

ηπ(ηπP + 1)∣∣p; p1

2λ⟩

= ηπ

∣∣p; p12λ⟩

π. (3.7)

16

Page 25: Skripsi diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh ... · PDF filetiga dimensi (3D) ini, elemen matriks T dihitung sebagai solusi dari persamaan ... 1.3 Metode Penelitian

Persamaan (3.7) membuktikan bahwa basis momentum-helicity pada persamaan

(3.6) memiliki paritas yang jelas. Orthogonalitas dari basis ini:

π′⟨p′; p′ 1

2λ′|p; p1

2λ⟩

π

= 12

⟨p′; p′ 1

2λ′ |(1 + ηπ′P)(1 + ηπP)|p; p1

2λ⟩

= 12

⟨p′; p′ 1

2λ′

∣∣ (1 + ηπ′P) ∣∣p; p1

2λ⟩

+ ηπ

∣∣−p; p12λ⟩

= 12

⟨p′; p′ 1

2λ′

∣∣ ∣∣p; p1

2λ⟩

+ ηπ

∣∣−p; p12λ⟩

+ ηπ′∣∣−p; p1

2λ⟩

+ ηπηπ′∣∣p; p1

2λ⟩

= 12

[(1 + ηπηπ′) 〈p′|p〉

⟨p′ 1

2λ′|p1

2λ⟩

+ (ηπ′ + ηπ) 〈p′| − p〉 ⟨p′ 12λ′|p1

2λ⟩ ]

(3.8)

Untuk dapat menyelesaikan persamaan (3.8) diperlukan hubungan antara∣∣−p1

2λ⟩

dan∣∣p1

2λ⟩. Dengan menggunakan sifat fungsi-D Wigner[8] berikut:

Djm′m(r) = i Dj

m′−m(−r) , (3.9)

dengan i =√−1. Lebih lanjut tetang fungsi-D Wigner dapat dilihat pada lam-

piran B. Maka bisa didapatkan hubungan:

∣∣−p12λ⟩

= R(−p)∣∣z 1

2λ⟩

=∑

λ′D

12λ′λ(−p)

∣∣z 12λ′

= i∑

λ′D

12λ′,−λ(p)

∣∣z 12λ′

= i∣∣p1

2,−λ

⟩(3.10)

Sehingga hubungan Orthogonalitas (3.8) dapat diselesaikan:

π′⟨p′; p′ 1

2λ′|p; p1

2λ⟩

π

= 12

[(1 + ηπηπ′) 〈p′|p〉

⟨p′ 1

2λ′|p1

2λ⟩− i(ηπ′ + ηπ) 〈p′| − p〉 ⟨p′ 1

2λ′| − p1

2− λ

⟩ ]

= 12

[(1 + ηπηπ′)δ(p

′ − p)δλ′λ − i(ηπ′ + ηπ)δ(p′ + p)δλ′,−λ

]

= δηπ′ηπ

[δ(p′ − p)δλ′λ − i ηπ δ(p′ + p)δλ′,−λ

]. (3.11)

Sedangkan untuk Completness relation, digunakan:

πλ

∫dp

∣∣p; p12λ⟩

πρ

π

⟨p; p1

2λ∣∣ = 1 , (3.12)

17

Page 26: Skripsi diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh ... · PDF filetiga dimensi (3D) ini, elemen matriks T dihitung sebagai solusi dari persamaan ... 1.3 Metode Penelitian

dengan ρ adalah faktor normalisasi, yang nilainya dicari melalui:

π′⟨p′; p′ 1

2λ′|p; p1

2λ⟩

π

=∑

π′′λ′′

∫dp′′

π′⟨p′; p′ 1

2λ′|p′′; p′′ 1

2λ′′

⟩π′′ ρπ′′

⟨p′′; p′′ 1

2λ′′|p; p1

2λ⟩

π

= ρ∑

π′′λ′′

∫dp′′

π′⟨p′; p′ 1

2λ′|p′′; p′′ 1

2λ′′

⟩π′′

× δηπ′′ηπ

[δ(p− p′′)δλλ′′ − i ηπ′ δ(p + p′′)δλ,−λ′′

]

= ρ[

π′⟨p′; p′ 1

2λ′|p; p1

2λ⟩

π− i ηπ π′

⟨p′; p′ 1

2λ′| − p;−p1

2− λ

⟩π

]

= ρ[

π′⟨p′; p′ 1

2λ′|p; p1

2λ⟩

π− i ηπ π′

⟨p′; p′ 1

2λ′ |P|p;−p1

2− λ

⟩π

]

= ρ[

π′⟨p′; p′ 1

2λ′|p; p1

2λ⟩

π− i ηπ π′

⟨p′; p′ 1

2λ′ |i ηπ|p; p1

2λ⟩

π

]

= 2ρπ′⟨p′; p′ 1

2λ′|p; p1

2λ⟩

π. (3.13)

Sehingga didapatkan faktor normalisasi ρ = 12,

πλ

∫dp

∣∣p; p12λ⟩

π

1

2 π

⟨p; p1

2λ∣∣ = 1 (3.14)

3.2 Struktur Umum Potensial

Kami asumsikan V invarian terhadap operasi paritas PV P−1 = V . Elemen

matriks potensial pada basis momentum-helicity, yaitu:

V πλ′λ(p

′,p) ≡π

⟨p′; p′ 1

2λ′ |V |p; p1

2λ⟩

π

=1√2

⟨p′; p′ 1

2λ′ |(1 + ηπP)V |p; p1

2λ⟩

π

=1√2

⟨p′; p′ 1

2λ′ |V (1 + ηπP)|p; p1

2λ⟩

π

=√

2⟨p′; p′ 1

2λ′ |V |p; p1

2λ⟩

π, (3.15)

Dengan persamaan (3.15) di atas, bisa ditentukan hubungan antara V πλ′−λ(p

′,p)

18

Page 27: Skripsi diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh ... · PDF filetiga dimensi (3D) ini, elemen matriks T dihitung sebagai solusi dari persamaan ... 1.3 Metode Penelitian

dan V πλ′λ(p

′,−p) sebagai berikut:

V πλ′−λ(p

′,p) =√

2⟨p′; p′ 1

2λ′ |V |p; p1

2− λ

⟩π

=⟨p′; p′ 1

2λ′ |V |p; p1

2− λ

⟩+ ηπ

⟨p′; p′ 1

2λ′ |V | − p; p1

2− λ

= −i⟨p′; p′ 1

2λ′ |V P| − p;−p1

2λ⟩− i ηπ

⟨p′; p′ 1

2λ′ |V | − p;−p1

2λ⟩

= −i ηπ

[ ⟨p′; p′ 1

2λ′ |V ηπP| − p;−p1

2λ⟩

+⟨p′; p′ 1

2λ′ |V | − p;−p1

2λ⟩ ]

= −i ηπ

√2⟨p′; p′ 1

2λ′ |V | − p;−p1

2λ⟩

π

= −i ηπ V πλ′λ(p

′,−p) . (3.16)

Hubungan V π−λ′λ(p

′,p) dengan V πλ′λ(−p′,p) diperoleh sebagai berikut:

V π−λ′λ(p

′,p) =√

2⟨p′; p′ 1

2− λ′ |V |p; p1

2λ⟩

π

=√

2 i⟨p′;−p′ 1

2λ′

∣∣PV P−1∣∣p; p1

2λ⟩

π

=√

2 i ηπ

⟨−p′;−p′ 12λ′ |V |p; p1

2λ⟩

π

= i ηπ V πλ′λ(−p′,p) . (3.17)

Dengan cara yang sama bisa didapatkan:

V π−λ′−λ(p

′,p) = V πλ′λ(−p′,−p) (3.18)

Persamaan (3.16), (3.17) dan (3.18) menunjukan sifat simetri dari matriks poten-

sial dalam basis momentum-helicity. Sifat simetri ini juga berlaku untuk sem-

barang operator yang invarian terhadap operasi paritas, seperti matriks T .

Bentuk potensial yang dipilih di sini adalah salah satu bentuk yang sederhana,

yaitu:

V (p′,p) = Vc(p′,p) + Vs(p

′,p) s · (p× p′) , (3.19)

yang dalam ruang spasial dapat dituliskan:

V (r) = Vc(r) + Vs(r) l · s , (3.20)

dengan l = r × p. Potensial tersebut jelas invarian terhadap rotasi. Bentuk

potensial seperti di atas juga invarian terhadap operasi pembalikan waktu (time

reversal). Operasi pembalikan waktu akan mengakibatkan: p → −p′, p′ → −p

dan s → −s , sehingga:

−s · (−p′ ×−p) = s · (p× p′) . (3.21)

19

Page 28: Skripsi diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh ... · PDF filetiga dimensi (3D) ini, elemen matriks T dihitung sebagai solusi dari persamaan ... 1.3 Metode Penelitian

Potensial (3.19) juga invarian terhadap operasi paritas. Operasi paritas akan

mengakibatkan: p → −p, p′ → −p′ dan s → s, sehingga:

s · (−p×−p′) = s · (p× p′) . (3.22)

Untuk memudahkan pengerjaan, potensial (3.19) di atas perlu diubah kedalam

bentuk potensial yang terdiri dari operator helicity σ · p, dimana σ merupakan

matriks Pauli. Sebelumnya perlu dikerjakan hubungan antara s · (p × p′) dan

(σ · p′)(σ · p), yaitu:

s · (p× p′) = 12σ · (p× p′)

=−i

2

p′ · p− (σ · p′)(σ · p)

=−i

2p′p

α′ − (σ · p′)(σ · p)

, (3.23)

dimana α′ = p′ · p. Lebih lengkap mengenai transformasi ini bisa dilihat pa-

da lampiran C. Dengan hubungan (3.23) di atas maka potensial (3.19) dapat

dituliskan sebagai:

V (p′,p) = Vc(p′,p) + Vs(p

′,p)

[−i

2p′p

α′ − (σ · p′)(σ · p)

]

= fcs(p′,p) + fs(p

′,p)(σ · p′)(σ · p) , (3.24)

dengan

fcs(p′,p) ≡ Vc(p

′,p)− i

2p′p α′Vs(p

′,p) , (3.25)

dan,

fs(p′,p) ≡ i

2p′p Vs(p

′,p) . (3.26)

Untuk mencari matriks potensial pada basis momentum-helicity, dikerjakan

potensial (3.24) menggunakan basis pada persamaan (3.5) sebagai permulaan,

sehingga didapatkan:

Vλ′λ(p′,p) ≡ ⟨

p′; p′ 12λ′ |V |p; p1

2λ⟩

=⟨p′ 1

2λ′ |V (p′,p)| p1

2λ⟩

= fcs(p′, p, α′)

⟨p′ 1

2λ′|p1

2λ⟩

+ fs(p′, p, α′)

⟨p′ 1

2λ′ |(σ · p′)(σ · p)| p1

2λ⟩

=

[fcs(p

′, p, α′) + 4fs(p′, p, α′) λ′λ

] ⟨p′ 1

2λ′|p1

2λ⟩

, (3.27)

20

Page 29: Skripsi diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh ... · PDF filetiga dimensi (3D) ini, elemen matriks T dihitung sebagai solusi dari persamaan ... 1.3 Metode Penelitian

bila didefinisikan:

F (p′, p, α′, λ′, λ) ≡ fcs(p′, p, α′) + 4λ′λ fs(p

′, p, α′) (3.28)

Persamaan (3.27) dapat ditulis:

Vλ′λ(p′,p) = F (p′, p, α′, λ′, λ)

⟨p′ 1

2λ′|p1

2λ⟩

. (3.29)

Selanjutnya potensial (3.24) dievaluasi menggunakan basis momentum-helicity pa-

da persamaan (3.6), sehingga didapatkan:

V πλ′λ(p

′,p) =√

2⟨p′; p′ 1

2λ′ |V |p; p1

2λ⟩

π

=⟨p′; p′ 1

2λ′ |V |p; p1

2λ⟩− iηπ

⟨p′; p′ 1

2λ′ |V | − p;−p1

2− λ

= Vλ′λ(p′,p)− i ηπ Vλ′,−λ(p

′,−p)

= F (p′, p, α′, λ′, λ) 〈p′λ′|pλ〉 − iηπF (p′, p,−α′, λ′,−λ) 〈p′λ′| − p− λ〉=

[F (p′, p, α′, λ′, λ) + ηπF (p′, p,−α′, λ′,−λ)

]〈p′λ′|pλ〉 . (3.30)

Dapat dilihat bahwa matriks potensial ini bergantung terhadap sudut melalui α′

dan 〈p′λ′|pλ〉, seperti ditunjukkan sebagai berikut:

α′ = p′ · p = cos θ′ cos θ + sin θ′ sin θ cos(φ′ − φ) , (3.31)

sedangkan untuk 〈p′λ′|pλ〉 digunakan fungsi-D Wigner, sehingga didapatkan:

〈p′λ′|pλ〉 =∑m

ei m(φ′−φ) d12mλ′(θ

′) d12mλ(θ) , (3.32)

karena fungsi-D Wigner dapat dituliskan sebagai:

Djm′m(θ, φ) = e−im′φ dj

m′m(θ) . (3.33)

Untuk nilai j = 12

maka matriks-d ialah [8] :

d12 (θ) =

cosθ

2− sin

θ

2

sinθ

2cos

θ

2

(3.34)

Oleh karena itu, matriks potensial bergantung pada sudut azhimut φ dan φ′

melalui cos(φ′− φ) dan ei m(φ′−φ). Maka, untuk memperlihatkan kebergantungan

matriks potensial terhadap sudut azimuth, dapat ditulis sebagai:

V πλ′λ(p

′,p) = V πλ′λ

eim(φ′−φ), cos(φ′ − φ)

. (3.35)

21

Page 30: Skripsi diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh ... · PDF filetiga dimensi (3D) ini, elemen matriks T dihitung sebagai solusi dari persamaan ... 1.3 Metode Penelitian

3.3 Persamaan Lippmann-Schwinger

Pada sub-bab sebelumnya telah didapatkan elemen matriks potensial pada basis

momentum-helicity, sifat simetrinya dan bagaimana matriks potensial tersebut

bergantung pada sudut. Dengan hasil tersebut, pada sub-bab ini kami akan

menghitung elemen matriks-T pada basis momentum-helicity. Elemen matriks-T

pada basis momentum-helicity didefinisikan sebagai:

T πλ′λ(p

′,p) ≡π

⟨p′; p′ 1

2λ′ |T |p; p1

2λ⟩

π. (3.36)

Karena persamaan Lippmann-Schwinger untuk matriks-T dapat dilihat se-

bagai ekspansi matriks-T dalam potensial V, seperti yang ditunjukan pada per-

samaan (2.24), maka sifat matriks potensial juga akan dimiliki oleh matriks-T,

seperti sifat simetrisitas matriks potensial pada persamaan (3.16), (3.17) dan

(3.18) :

T πλ′−λ(p

′,p) = −i ηπT πλ′λ(p

′,−p) (3.37)

T π−λ′λ(p

′,p) = iηπT πλ′λ(−p′,p) (3.38)

T π−λ′−λ(p

′,p) = T πλ′λ(−p′,−p) , (3.39)

Begitu pula untuk kebergantungan matriks-T terhadap sudut, karena propaga-

tor tidak bergantung sudut, sama seperti yang dimiliki matriks potensial pada

persamaan (3.35). Sehingga kebergantungan matriks-T terhadap sudut azimuth

ialah:

T πλ′λ(p

′,p) = T πλ′λ

eim(φ′−φ), cos(φ′ − φ)

. (3.40)

Menggunakan persamaan Lippmann-Schwinger untuk matriks-T persamaan

(2.23) dan completeness relation pada persamaan (3.14), didapatkan persamaan

Lippmann-Schwinger untuk matriks-T pada basis momentum-helicity, sebagai

berikut:

T πλ′,λ(p

′,p) = V πλ′,λ(p

′,p) +π

⟨p′; p′ 1

2λ′

∣∣V G+0 (p)T

∣∣p; p12λ⟩

π

= V πλ′,λ(p

′,p) +1

2

λ′′

∫dp′′ V π

λ′,λ′′(p′,p′′)G+

0 (p′′)T πλ′′,λ(p

′′,p) (3.41)

Pada persamaan (3.41) di atas nilai λ′′ = ±12

. Menggunakan sifat simetri matriks

potensial, yaitu persamaan (3.16), dan sifat simetri matriks-T, yaitu persamaan

22

Page 31: Skripsi diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh ... · PDF filetiga dimensi (3D) ini, elemen matriks T dihitung sebagai solusi dari persamaan ... 1.3 Metode Penelitian

(3.38), bagian integral dari persamaan (3.41) untuk nilai λ′′ = −12, dapat diker-

jakan sebagai:∫

dp′′ V π

λ′,−12

(p′,p′′)G+0 (p′′)T π

−12

,λ(p′′,p)

=

∫dp′′ V π

λ′,12

(p′,−p′′)G+0 (p′′)T π

12

,λ(−p′′,p)

=

∫dp′′ V π

λ′,12

(p′,p′′)G+0 (p′′)T π

12

,λ(p′′,p) (3.42)

Persamaan terakhir didapat karena integral di atas dievaluasi pada seluruh nilai

p′′. Dengan hasil dari persamaan (3.42), maka persamaan (3.41) dapat diseder-

hanakan menjadi:

T πλ′,λ(p

′,p) = V πλ′,λ(p

′,p) +

∫dp′′ V π

λ′,12

(p′,p′′)G+0 (p′′)T π

12

,λ(p′′,p) . (3.43)

Persamaan ini adalah persamaan Lippmann-Scwhinger untuk matriks-T pada

basis momentum-helicity.

Pada kondisi awal kami tentukan p = z. Maka:

α′ = cos θ′ , (3.44)

dan

〈p′λ′|zλ〉 =∑m

eim(φ′) d12mλ′(θ

′) d12mλ(0)

= eiλφ′ d12λλ′(θ

′) , (3.45)

sehingga bagian sudut azimuth dari matriks potensial, yang telah didapatkan

pada persamaan (3.35), dapat ditulis sebagai:

V πλ′λ(p

′, pz) = eiλφ′V πλ′λ(p

′, p, α′) . (3.46)

Sedangkan untuk matriks-T, kebergantungannya pada sudut azimuth, yang telah

dinyatakan pada persamaan (3.40), menjadi:

T πλ′λ(p

′, pz) = eiλφ′T πλ′λ(p

′, p, α′) (3.47)

Maka persamaan (3.43) menjadi:

T πλ′,λ(p

′, pz) = V πλ′,λ(p

′, pz) +

∫dp′′ V π

λ′,12

(p′,p′′) G+0 (p′′) T π

12

,λ(p′′, pz) . (3.48)

23

Page 32: Skripsi diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh ... · PDF filetiga dimensi (3D) ini, elemen matriks T dihitung sebagai solusi dari persamaan ... 1.3 Metode Penelitian

Dengan menggunakan persamaan (3.46), (3.47) dan dengan mendefinisikan:

α′′ = p′′ · p = cos θ′′ (3.49)

β = p′′ · p′ = cos θ′ cos θ′′ + sin θ′ sin θ′′ cos(φ′′ − φ′)

= α′α′′ +√

1− α′2√

1− α′′2 cos(φ′′ − φ′) , (3.50)

persamaan (3.48) menjadi:

T πλ′,λ(p

′, pz) = eiλφ′ V πλ′,λ(p

′, p, α′) +

∫ ∞

0

dp′′p′′2∫ 1

−1

dα′′∫ 2π

0

dφ′′

× V π

λ′,12

p′, p′′, eim(φ′−φ′′), β

G+

0 (p′′) eiλφ′′ T π12

,λ(p′′, p, α′′)

= eiλφ′[V π

λ′,λ(p′, p, α′) +

∫ ∞

0

dp′′p′′2∫ 1

−1

dα′′∫ 2π

0

dφ′′

× V π

λ′,12

p′, p′′, eim(φ′−φ′′), β

G+

0 (p′′) eiλ(φ′′−φ′) T π12

,λ(p′′, p, α′′)

]

= eiλφ′ T πλ′λ(p

′, p, α′) (3.51)

dengan T πλ′λ(p

′, p, α′) memenuhi persamaan berikut:

T πλ′,λ(p

′, pz) = V πλ′,λ(p

′, p, α′) +

∫ ∞

0

dp′′p′′2∫ 1

−1

dα′′∫ 2π

0

dφ′′

× V π

λ′,12

p′, p′′, eim(φ′−φ′′), β

G+

0 (p′′) eiλ(φ′′−φ′) T π12

,λ(p′′, p, α′′)

(3.52)

Pada persamaan (3.51) di atas bagian yang bergantung pada sudut azimuth

φ′′ dapat dipisahkan dengan mendefinisikan:

λ′ 12

(p′, p′′, α′, α′′) ≡∫ 2π

0

dφ′′ eiλ(φ′′−φ′)V π

λ′ 12

(p′,p′′) . (3.53)

Dan untuk suku V πλ′,λ(p

′, p, α′) digunakan:

Vπλ′λ(p

′, p, α′, 1) =

∫ 2π

0

dφ′′ e−iλφ′V πλ′λ(p

′, pz) = (2π)V πλ′,λ(p

′, p, α′) . (3.54)

Sehingga persamaan untuk T πλ′λ(p

′, p, α′) pada persamaan (3.51) ialah:

T πλ′λ(p

′, p, α′) =1

2πVπ

λ′λ(p′, p, α′, 1)

+

∫ ∞

0

dp′′p′′2∫ 1

−1

dα′′ Vπ

λ′ 12

(p′, p′′, α′, α′′)G+0 (p′′)T π

12

,λ(p′′, p, α′′)

(3.55)

24

Page 33: Skripsi diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh ... · PDF filetiga dimensi (3D) ini, elemen matriks T dihitung sebagai solusi dari persamaan ... 1.3 Metode Penelitian

Persamaan (3.55) merupakan bentuk akhir dari persamaan Lippmann-Schwinger

untuk matriks-T pada basis momentum-helicity yang akan dipecahkan. Untuk

setiap keadaan paritas ηπ diperlukan 2 persamaan, masing-masing untuk men-

cari T π12

12

(p′, p, α′) dan T π12

,−12

(p′, p, α′). Sehingga untuk semua keadaan paritas

diperlukan 4 persamaan. Namun akan kami tunjukan di bawah, bahwa dengan

memanfaatkan sifat simetri dari matriks-T πλ′λ(p

′, p, α′) diperlukan hanya 2 per-

samaan saja.

Dengan menggunakan sifat simetri pada persamaan (3.38) pada persamaan

(3.47) bisa didapatkan:

T π−λ′λ(p

′, p, α′) = e−iλφ′T π−λ′λ(p

′, pz)

= iηπ e−iλφ′T πλ′λ(−p′, pz)

= iηπ e−iλφ′eiλ(φ′+π)T πλ′λ(p

′, p,−α′)

= (−)λiηπ T πλ′λ(p

′, p,−α′) (3.56)

sedangkan dengan menggunakan sifat simetri pada persamaan (3.37) didapatkan

hubungan berikut:

T πλ′,−λ(p

′, p, α′) = eiλφ′T πλ′,−λ(p

′, pz)

= −iηπ eiλφ′T πλ′λ(p

′,−pz) , (3.57)

untuk menyelesaikan persamaan (3.57) di atas, maka digunakan sifat seperti yang

ditunjukan dalam persamaan (3.30) untuk matriks V, dimana bagian dari matriks

V (matriks-T) yang bergantung terhadap momentum dan spin dapat dipisahkan.

T πλ′λ(p

′,p) ∼ fπ(p′,p) 〈p′λ′|pλ〉 , (3.58)

dengan fπ(p′,p) merupakan bagian yang bergantung terhadap momentum. Deng-

an sifat ini maka:

T πλ′λ(p

′,−pz) ∼ fπ(p′,−pz) 〈p′λ′| − zλ〉 , (3.59)

dan dengan sifat parity invariance dari matriks-T, didapatkan:

T πλ′λ(p

′,−pz) ∼ fπ(−p′, pz) 〈p′λ′| − zλ〉 , (3.60)

25

Page 34: Skripsi diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh ... · PDF filetiga dimensi (3D) ini, elemen matriks T dihitung sebagai solusi dari persamaan ... 1.3 Metode Penelitian

untuk bagian yang bergantung pada spin digunakan:

〈p′λ′| − zλ〉 =∑m

eim(φ′−π)d12mλ′(θ

′)d12mλ(π)

=∑m

eim(φ′−π)d12mλ′(θ

′)(−)−12−λδ−m,λ

= e−iλ(φ′−π)d12−λ,λ′(θ

′)(−)−12−λ

= e−iλ(φ′+π)e2iλπd12λ,λ′(π − θ′)(−)−

12−λ(−)

12+λ′

= (−)(−)λ′−λe−iλ(φ′+π)d12λ,λ′(π − θ′)

= (−)(−)λ′e−iλφ′d12λ,λ′(π − θ′) , (3.61)

dan dengan memasukan kembali ke persamaan (3.60):

T πλ′λ(p

′,−pz) ∼ (−)(−)λ′e−iλφ′fπ(−p′, pz)d12λ,λ′(π − θ′) (3.62)

menggunakan persamaan (3.47), maka:

T πλ′λ(p

′,−pz) = (−)(−)λ′e−iλφ′T πλ′λ(p

′, p′,−α) . (3.63)

Dengan memasukan T πλ′λ(p

′,−pz) dari persamaan (3.63) kedalam persamaan

(3.57) bisa didapatkan hubungan:

T πλ′,−λ(p

′, p, α′) = (−)λ′iηπ T πλ′λ(p

′, p′,−α) . (3.64)

Dengan menggunakan persamaan (3.56) dan persamaan (3.64), bisa didapatkan

hubungan:

T π−λ′,−λ(p

′, p, α′) = −T πλ′,λ(p

′, p, α′) . (3.65)

3.4 Elemen Matriks MDalam menghitung matriks M pada persamaan (2.40), digunakan sumbu-z seba-

gai sumbu kuantisasi spin. Maka diperlukan hubungan antara elemen matriks-T

dalam basis momentum-helicity dan elemen matriks-T dalam basis berikut:

|pν〉 ≡ |p〉∣∣12

ν⟩

, (3.66)

26

Page 35: Skripsi diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh ... · PDF filetiga dimensi (3D) ini, elemen matriks T dihitung sebagai solusi dari persamaan ... 1.3 Metode Penelitian

dengan∣∣12

ν⟩

yaitu keadaan spin dengan sumbu kuantisasi pada arah z. Elemen

matriks-T dalam basis ini yaitu:

Tν′ν(p′,p) ≡ 〈p′ν ′ |T |pν〉 . (3.67)

Kemudian, untuk dapat menghubungkannya dengan elemen matriks-T dalam

basis momentum-helicity, perlu dikerjakan overlap berikut:

⟨p1

2λ|z 1

2ν⟩

=⟨z 1

∣∣R−1(p)∣∣ z 1

2ν⟩

= D12∗

νλ (p)

= eiνφd12νλ(θ) (3.68)

Menggunakan hasil dari persamaan (3.68) di atas, serta dengan completness re-

lation (3.14), didapatkan:

Tν′ν(p′,p)

=1

4

πλ′λ

∫dp′′dp′′′

⟨p′ν ′|p′′; p′′ 1

2λ′

⟩π

T πλ′λ(p

′′,p′′′)π

⟨p′′′; p′′′ 1

2λ|pν

=1

8

πλ′λ

∫dp′′dp′′′

⟨p′ν ′|p′′; p′′ 1

2λ′

⟩+ ηπ

⟨p′ν ′| − p′′; p′′ 1

2λ′

⟩T π

λ′λ(p′′,p′′′)

× ⟨

p′′′; p′′′ 12λ|pν

⟩+ ηπ

⟨−p′′′; p′′′ 12λ|pν

=1

8

πλ′λ

∫dp′′dp′′′

[δ(p′ − p′′) + ηπδ(p′ + p′′)

]D

12ν′λ′(p

′′) T πλ′λ(p

′′,p′′′)

×[δ(p− p′′′) + ηπδ(p + p′′′)

]D

12∗

νλ (p′′′)

=1

8

πλ′λ

[D

12ν′λ′(p

′) T πλ′λ(p

′,p) D12∗

νλ (p) + ηπD12ν′λ′(−p′) T π

λ′λ(−p′,p) D12∗

νλ (p)

+ ηπD12ν′λ′(p

′)T πλ′λ(p

′,−p) D12∗

νλ (−p) + D12ν′λ′(−p′) T π

λ′λ(−p′,−p)D12∗

νλ (−p)

]

=1

8

πλ′λ

D12ν′λ′(p

′) D12∗

νλ (p)[

T πλ′λ(p

′,p) + i ηπ T π−λ′λ(−p′,p)

− i ηπ T πλ′−λ(p

′,−p) + T π−λ′−λ(−p′,−p)

]. (3.69)

Dengan sifat simetri matriks-T, yaitu persamaan (3.37), (3.38) dan (3.39), per-

samaan (3.69) menjadi:

Tν′ν(p′,p) =

1

2

πλ′λ

D12ν′λ′(p

′) D12∗

νλ (p) T πλ′λ(p

′,p) (3.70)

27

Page 36: Skripsi diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh ... · PDF filetiga dimensi (3D) ini, elemen matriks T dihitung sebagai solusi dari persamaan ... 1.3 Metode Penelitian

Selanjutnya, dengan kondisi p = z, persamaan (3.70) menjadi:

Tν′ν(p′, pz) =

1

2e−iν′φ′

πλ′λ

d12ν′λ′(θ

′) δλν eiλφ′ T πλ′λ(p

′, p, α′)

=1

2e−i(ν′−ν)φ′

πλ′d

12ν′λ′(θ

′) T πλ′ν(p

′, p, α′) (3.71)

Dengan memasukan persamaan (3.71) ke persamaan (2.40), didapatkan ele-

men matriks M sebagai berikut:

Mν′ν(p′, pz) = −2µπ2 e−i(ν′−ν)φ′

πλ′d

12ν′λ′(θ

′) T πλ′ν(p

′, p, α′) (3.72)

3.5 Hubungan Dengan Elemen Matriks-T Dalam

Basis Gelombang Parsial

Pada sub-bab ini kami tunjukan hubungan antara elemen matriks-T dalam basis

momentum-helicity T πλ′λ(p

′,p) dan elemen matriks-T dalam basis gelombang

parsial T jml′l (p′,p). Dengan menggunakan completness relation basis gelombang

parsial, dapat dilihat pada lampiran A, didapatkan hubungan berikut:

T πλ′λ(p

′,p) =∑

j′l′m′

jlm

∫ ∞

0

p′′′2dp′′′∫ ∞

0

p′′2dp′′π

⟨p′; p′λ′|p′′′(l′ 1

2); j′m′⟩

⟨p′′′′(l′ 1

2); j′m′ |T | p′′(l 1

2); jm

⟩ ⟨p′′(l 1

2); jm|p; pλ

⟩π

. (3.73)

Untuk mengerjakan persamaan (3.73), perlu diformulasikan overlap antara basis

momentum-helicity dengan basis gelombang parsial:

⟨p(l 1

2); jm|p′; p′λ′⟩ =

∑µ

C(l 12j; m− µ, µ) 〈plm− µ|p′〉 ⟨1

2µ|p′, 1

2λ′

=∑

µ

C(l 12j; m− µ, µ)

δ(p′ − p)

p′pY ∗

lm−µ(p′) D12µλ′(p

′) (3.74)

28

Page 37: Skripsi diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh ... · PDF filetiga dimensi (3D) ini, elemen matriks T dihitung sebagai solusi dari persamaan ... 1.3 Metode Penelitian

Dengan overlap pada persamaan (3.74), serta konservasi nilai j dan m, yang

diperlihatkan pada persamaan (2.54), maka didapatkan:

T πλ′λ(p

′,p) =1

2

jmll′

∫ ∞

0

p′′′2dp′′′∫ ∞

0

p′′2dp′′ T jml′l (p′′′, p′′)

δ(p′′′ − p′)p′′′p′

δ(p′′ − p)

p′′p

×∑

µ′C(l′ 1

2j; m− µ′, µ′)D

12∗

µ′λ′(p′)[Yl′,m−µ′(p

′) + ηπYl′,m−µ′(−p′)]

×∑

µ

C(l 12j; m− µ, µ)D

12µλ(p)

[Y ∗

l,m−µ(p) + ηπY ∗l,m−µ(−p)

](3.75)

karena Ylm(−r) = (−)l Ylm(r), maka persamaan (3.75) menjadi:

T πλ′λ(p

′,p) =1

2

jmll′T jm

l′l (p′, p)(1 + ηπ(−)l′

)(1 + ηπ(−)l

)

×∑

µ′C(l′ 1

2j; m− µ′, µ′)D

12∗

µ′,λ′(p′) Yl′m−µ′(p

′)

×∑

µ

C(l 12j; m− µ, µ)D

12µ,λ(p) Y ∗

lm−µ(p) . (3.76)

Pada persamaan di atas terdapat syarat, yaitu:

ηπ(−)l = 1 dan ηπ(−)l′ = 1 , (3.77)

maka untuk keadaan paritas ganjil hanya nilai l dan l’ ganjil yang berkontribusi,

dan sebaliknya untuk paritas genap, hanya nilai l dan l’ genap yang berkontribusi.

faktor(1+ηπ(−)l′

)dan

(1+ηπ(−)l

)bersama-sama memberikan nilai 4, sehinga

persamaan (3.76) menjadi:

T πλ′λ(p

′,p) = 2∑

jmll′T jm

l′l (p′, p)∑

µ′C(l′ 1

2j; m− µ′, µ′)D

12∗

µ′,λ′(p′) Yl′m−µ′(p

′)

×∑

µ

C(l 12j; m− µ, µ)D

12µ,λ(p) Y ∗

lm−µ(p) . (3.78)

Dengan memasukan kondisi p = z, didapatkan:

T πλ′λ(p

′, pz) = 2∑

jll′T jλ

l′l (p′, p)

√2l + 1

4πC(l 1

2j; 0, λ)

×∑

µ′C(l′ 1

2j; λ− µ′, µ′)D

12∗

µ′,λ′(p′) Yl′,λ−µ′(p

′) . (3.79)

29

Page 38: Skripsi diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh ... · PDF filetiga dimensi (3D) ini, elemen matriks T dihitung sebagai solusi dari persamaan ... 1.3 Metode Penelitian

Sebagai pengujian terhadap hubungan (3.79), yang berarti juga pengujian

untuk formulasi elemen matriks-T dalam basis momentum-helicity, persamaan

(3.79) dimasukan ke persamaan (3.70), sehingga menghasilkan:

Tν′ν(p′, pz) =

jll′

√2l + 1

λ′λ

T jλl′l (p′, p) C(l 1

2j; 0, λ)

×∑

µ′C(l′ 1

2j; λ− µ′, µ′)D

12∗

µ′,λ′(p′) Yl′,λ−µ′(p

′)D12ν′λ′(p

′) δνλ , (3.80)

dengan menggunakan sifat matriks-D Wigner sebagai berikut:

∑m

Dj ∗m′m(r)Dj

m′′m(r) = δm′′m′ , (3.81)

persamaan (3.80) menjadi:

Tν′ν(p′, pz) =

jll′T jν

l′l (p′, p)

√2l + 1

4πC(l 1

2j; 0, ν)C(l′ 1

2j; ν − ν ′, ν ′)Yl′,ν−ν′(p

′).

(3.82)

Persamaan (3.82) dimasukan ke persamaan (2.40), maka dihasilkan

Mν′ν(p′, pz) = −4µπ2

jll′T jν

l′l (p′, p)

√2l + 1

4πC(l 1

2j; 0, ν)

× C(l′ 12j; ν − ν ′, ν ′) Yl′,ν−ν′(p

′) . (3.83)

Persamaan (3.83) identik dengan persamaan (2.63). Hal ini menunjukan bahwa

elemen matriks-T yang kami hitung, dengan teknik 3D, menghasilkan besaran

yang dapat diamati yang sama dengan yang dihasilkan pada teknik gelombang

parsial.

3.6 Kinematika Relativistik

Teknik 3D diformulasi karena kebutuhan akan suatu teknik perhitungan alternatif

untuk hamburan pada energi tinggi. Karena pada energi tinggi efek relativitas

berpengaruh cukup signifikan, maka perlu diperhitungkan. Di sini hanya akan

dilihat efek kinematika relativistik. Untuk memasukan efek kinematika relativis-

tik, digunakan hubungan relativistik energi dan momentum:

E2 = p2 + m2 , (3.84)

30

Page 39: Skripsi diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh ... · PDF filetiga dimensi (3D) ini, elemen matriks T dihitung sebagai solusi dari persamaan ... 1.3 Metode Penelitian

serta transformasi Lorentz dari kerangka laboratorium ke kerangka pusat massa

(P.M.).

Dalam perhitungan yang menggunakan kinematika non-relativistik, elemen

matriks-T dihitung untuk hamburan pada energi ELab. dalam kerangka labora-

torium. Kami dapatkan hubungan antara ELab., EP.M., dan besar momentum

relatif p sebagai berikut:

ELab. =m1

µEP.M. =

m1 p2

2µ2, (3.85)

lebih jelas dapat dilihat sub-bab 2.1. Karena sebelumnya digunakan hubungan

non-relativistik energi dan momentum, ELab merupakan energi kinetik proyektil

EkLab. dalam kerangka laboratorium, dan EP.M. merupakan energi kinetik sistem

EkP.M. dalam kerangka P.M. Sehingga hubungan (3.85) dapat ditulis sebagai:

EkLab. =m1

µEkP.M. =

m1 p2

2µ2, (3.86)

Setelah memasukan efek kinematika relativistik hubungan antara EkLab., EkP.M.

dan p harus dicari lagi.

Transformasi Lorentz dari kerangka laboratorium ke kerangka P.M. dikerjakan

sebagaimana pada [4]. Dimulai dengan mendefinisikan momentum four vectors

(momentum-4) pada kerangka awal, yaitu kerangka laboratorium, untuk partikel

ke-i, sebagai berikut:

kµi ≡ (Ei,ki) , (3.87)

dengan ki ialah vektor momentum dalam ruang spasial, dan Ei ialah energi total

partikel ke-i dalam kerangka laboratorium. Maka dengan transformasi Lorentz

L(v), dimana v adalah kecepatan relatif kerangka baru terhadap kerangka lama,

didefinisikan:

pµi ≡ L(v) kµ

i , (3.88)

pµ ialah momentum-4 pada kerangka baru, yaitu kerangka P.M.. pµ didapat

melalui:

p1 = p = k1 + (γ − 1)(k1 · v)v − γE1v , (3.89)

p2 = −p (3.90)

31

Page 40: Skripsi diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh ... · PDF filetiga dimensi (3D) ini, elemen matriks T dihitung sebagai solusi dari persamaan ... 1.3 Metode Penelitian

dan:

Ei P.M. = γ(Ei − ki · v) , (3.91)

dimana

γ ≡ 1√1− v2

. (3.92)

Maka, transformasi sistem dari kerangka laboratorium ke kerangka P.M., di-

lakukan menggunakan persamaan (3.88)-(3.92).

Energi partikel-1 (proyektil) pada keadaan awal, sesuai persamaan (3.84),

ialah:

E1 = (m21 + k2

1)1/2 . (3.93)

Karena pada keadaan awal target diam (k2 = 0), maka energinya:

E2 = m2 . (3.94)

Sehingga momentum-4 pada keadaan awal:

kµ1 = (E1,k1) (3.95)

kµ2 = (m2, 0) , (3.96)

maka momentum-4 total pada keadaan awal:

kµ = kµ1 + kµ

2

= (ELab.,k1) , (3.97)

dimana ELab. ialah energi total dalam kerangka laboratorium, ELab. = E1 + m2.

Kecepatan relatif kerangka P.M. terhadap kerangka laboratorium yaitu:

v =k

k0

=k1

ELab.

. (3.98)

Faktor γ didapat dengan memasukan kecepatan v pada persamaan (3.98) kedalam

persamaan (3.92), maka didapatkan:

γ =k0

√kµkµ

=ELab.

M0

, (3.99)

32

Page 41: Skripsi diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh ... · PDF filetiga dimensi (3D) ini, elemen matriks T dihitung sebagai solusi dari persamaan ... 1.3 Metode Penelitian

dengan massa invarian sistem M0 didefinisikan sebagai:

M0 ≡√

kµkµ

=√

m21 + m2

2 + 2E1m2 (3.100)

Maka momentum relatif p dalam kerangka P.M. menurut transformasi Lorentz,

yaitu:

p = k1 + (γ − 1)(k1 · v)v − γE1v

= γ(k1 − E1v)

=ELab.

M0

(k1 − k1

ELab.

E1

)

=m2

M0

k1 , (3.101)

dan energi dalam kerangka P.M. :

E1 P.M. = γ(E1 − v · k1)

=ELab.

M0

(E1 − k1

ELab.

k1

)

=m2

1 + m2E1

M0

(3.102)

E2 P.M. = γ m2

=m2

2 + m2E1

M0

, (3.103)

sehingga momentum-4 dalam kerangka P.M. untuk tiap partikel:

pµ1 = (E1 P.M.,p) (3.104)

pµ2 = (E2 P.M.,−p) , (3.105)

jadi momemtum-4 total dalam kerangka P.M., yang merupakan energi total dalam

kerangka P.M., yaitu:

pµ = pµ1 + pµ

2

= E1 P.M. + E2 P.M. ≡ EP.M. . (3.106)

Karena M0 invarian terhadap transformasi Lorentz:

pµpµ = kµkµ , (3.107)

33

Page 42: Skripsi diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh ... · PDF filetiga dimensi (3D) ini, elemen matriks T dihitung sebagai solusi dari persamaan ... 1.3 Metode Penelitian

maka:

EP.M. = M0 . (3.108)

Kini kami cari relasi antara EkLab., EkP.M. dan p. Kami mulai dengan:

E1 = EkLab. + m1 , (3.109)

maka, hubungan antara EkLab. dan EkP.M. yaitu:

EkP.M. = EP.M. − (m1 + m2)

=√

m21 + m2

2 + 2E1m2 − (m1 + m2)

=√

m21 + m2

2 + 2(EkLab. + m1)m2 − (m1 + m2) . (3.110)

Untuk menentukan p (besar momentum p) digunakan persamaan (3.101), dengan

k1 didapatkan melalui persamaan (3.93) :

k1 =√

E21 −m2

1

=√

EkLab.(EkLab. + 2m1) , (3.111)

sehingga didapatkan:

p =m2

√EkLab.(EkLab. + 2m1)√

m21 + m2

2 + 2(EkLab. + m1)m2

(3.112)

Untuk menentukan hubungan antara sudut hambur dalam kedua kerang-

ka, maka asumsikan bahwa partikel-1 bergerak pada arah sumbu-z. sehingga

momentum-4 partikel-1, dalam kerangka laboratorium, ialah:

kµ1 = (E1, 0, 0, k1) , (3.113)

sedangkan dalam kerangka P.M., momentum-4 partikel-1 ialah:

pµ1 = (E1 P.M., 0, 0, p1) . (3.114)

Apabila sudut hambur dalam kerangka P.M. θP.M , maka momentum-4, dalam

kerangka P.M., setelah hamburan p′1:

p′µ1 = (E1 P.M , p1 sin θP.M., 0, p1 cos θP.M.) . (3.115)

34

Page 43: Skripsi diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh ... · PDF filetiga dimensi (3D) ini, elemen matriks T dihitung sebagai solusi dari persamaan ... 1.3 Metode Penelitian

Dengan mentransformasikan kembali momentum-4 p′µ1 ke kerangka laboratorium

melalui transformasi:

k′1 = p′ + (γ − 1)(p′ · u)u− γE1 P.M.u , (3.116)

dan:

E1 = γ(E1 P.M. − p′ · u) , (3.117)

dimana u = −v merupakan kecepatan relatif kerangka laboratorium terhadap

kerangka P.M.. Maka setelah transformasi tersebut didapatkan:

E1 = γ(E1 P.M. + v p1 cos θP.M.) (3.118)

k′1 =(p1 sin θP.M., 0, γ(p1 cos θP.M. + v E1 P.M.)

). (3.119)

Sudut hambur dalam kerangka laboratorium θLab. dapat dihitung dengan (lihat

gambar 2.1) :

tan θLab. =k′1x

k′1z

. (3.120)

Maka hubungan antara θP.M. dan θLab. :

tan θLab =sin θP.M.

γ(

cos θP.M. + v E1 P.M./p1

)

=sin θP.M.

γ(

cos θP.M. +E1 P.M.

E2 P.M.

) . (3.121)

Untuk menghitung penampang lintang dan polarisasi dalam kerangka Lab.

kami menggunakan matriks hamburan S, yang dalam kerangka P.M. ialah:

S(p′,p) = δ(p′ − p)− 2πi δ(E ′P.M. − EP.M.) T (p′,p) , (3.122)

dan dalam kerangka Lab. ialah:

S(k′1,k′2,k1,k2) = 〈k′1,k′2 |S|k1,k2〉 . (3.123)

Dengan hubungan:

|k1,k2〉 = J−1/2(k1,k2) |p,K〉 , (3.124)

dimana K = k1 + k2, dan J ialah Jacobian dari transformasi tersebut:

J(k1,k2) =

∣∣∣∣∣∂(k1,k2)

∂(p,K)

∣∣∣∣∣ , (3.125)

35

Page 44: Skripsi diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh ... · PDF filetiga dimensi (3D) ini, elemen matriks T dihitung sebagai solusi dari persamaan ... 1.3 Metode Penelitian

dapat dikerjakan hubungan:

S(k′1,k′2,k1,k2) = J−1/2(k′1,k

′2) J−1/2(k1,k2) S(p′,p) 〈K′|K〉

= δ(K′ −K) J−1/2(k′1,k′2) J−1/2(k1,k2) S(p′,p)

= δ(K′ −K) J−1/2(k′1,k′2) J−1/2(k1,k2)

×

δ(p′ − p)− 2πi δ(E ′P.M. − EP.M.) T (p′,p)

. (3.126)

Dengan menggunakan hubungan:

δ(K′ −K) J−1/2(k′1,k′2) J−1/2(k1,k2) δ(p′ − p)

=⟨p′,K′ ∣∣J−1/2(k′1,k

′2) J−1/2(k1,k2)

∣∣p,K⟩

= 〈k′1,k1|k′2,k2〉= δ(k′1 − k1) δ(k′2 − k2) , (3.127)

dan menggunakan identitas berikut:

δ(K′−K) δ(E ′P.M.−EP.M.) = δ(K′−K) δ(E ′

Lab.−ELab.)E ′

P.M. + EP.M.

E ′Lab. + ELab.

, (3.128)

persamaan (3.126) menjadi:

S(k′1,k′2,k1,k2) = δ(k′1−k1) δ(k′2−k2)−2πi δ(K′−K) δ(E ′

Lab.−ELab.) Γ T (p′,p)

(3.129)

dengan:

Γ ≡ J−1/2(k′1,k′2) J−1/2(k1,k2)

E ′P.M. + EP.M.

E ′Lab. + ELab.

=

[E ′

Lab.

E ′1 Lab.E

′2 Lab.

E ′1 P.M.E

′2 P.M.

E ′P.M.

ELab.

E1 Lab.E2 Lab.

E1 P.M.E2 P.M.

EP.M.

]1/2E ′

P.M. + EP.M.

E ′Lab. + ELab.

=

[E ′

1 P.M.E′2 P.M.E1 P.M.E2 P.M.

E ′1 Lab.E

′2 Lab.E1 Lab.E2 Lab.

]1/2

. (3.130)

Karena suku pertama dari matriks-S berasal dari gelombang datang, maka untuk

menghitung penampang lintang diambil hanya suku kedua dari matriks-S, yang

berasal dari gelombang terhambur.

S(2)(k′1,k′2,k1,k2) = −2πi δ(K′ −K) δ(E ′

Lab. − ELab.) Γ T (p′,p) . (3.131)

36

Page 45: Skripsi diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh ... · PDF filetiga dimensi (3D) ini, elemen matriks T dihitung sebagai solusi dari persamaan ... 1.3 Metode Penelitian

Dari bagian kedua dari matriks-S ini bisa didapatan besarnya probabilitas tran-

sisi, yaitu nilai absolutnya:

∣∣S(2)(k′1,k′2,k1,k2)

∣∣2 = (2π)2(δ(K′ −K) δ(E ′

Lab. − ELab.))2

Γ2∣∣T (p′,p)

∣∣2 .

(3.132)

Fungsi delta pada persamaan (3.132) di atas dapat dievaluasi sebagai:

δ(K′ −K) δ(E ′Lab. − ELab.) =

1

(2π)3

V

dr e−i(K′−K)·r 1

(2π)

T

dt ei(E′Lab.−ELab.)t

=1

(2π)4V T (3.133)

sehingga persamaan (3.132) dapat ditulis menjadi:

∣∣S(2)(k′1,k′2,k1,k2)

∣∣2 = (2π)−2δ(K′ −K) δ(E ′Lab. − ELab.) Γ2

∣∣T (p′,p)∣∣2V T .

(3.134)

Laju transisi W dari keadaan awal (k1,k2) ke keadaan akhir (k′1,k′2) per satuan

volume, ialah:

W =

∣∣S(2)(k′1,k′2,k1,k2)

∣∣2V T

= (2π)−2δ(K′ −K) δ(E ′Lab. − ELab.) Γ2

∣∣T (p′,p)∣∣2 . (3.135)

Elemen fluks terhambur dengan keadaan akhir momentum (k′1±dk′1), (k′2±dk′2),

yaitu banyaknya partikel yang terhambur dari keadaan (k1,k2) ke keadaan akhir

momentum tersebut persatuan waktu dan volume, ialah:

dN = W dk′1, dk′2

= (2π)−2δ(K′ −K) δ(E ′Lab. − ELab.) Γ2

∣∣T (p′,p)∣∣2 dk′1, dk

′2 , (3.136)

sedangkan fluks datang:

j =1

(2π)3

√(E1 Lab. E2 Lab. − k1 · k2)2 − (m1m2)2

E1 Lab.E2 Lab.

=1

(2π)3

√(E1 Lab. m2)2 − (m1m2)2

E1 Lab. m2

=1

(2π)3

k1

E1 Lab.

, (3.137)

37

Page 46: Skripsi diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh ... · PDF filetiga dimensi (3D) ini, elemen matriks T dihitung sebagai solusi dari persamaan ... 1.3 Metode Penelitian

dan densitas target j0 = (2π)−3, maka penampang lintang:

dσ =dN

j0j

= (2π)4 E1 Lab.

k1

δ(K′ −K) δ(E ′Lab. − ELab.) Γ2

∣∣T (p′,p)∣∣2 dk′1, dk

′2 .

(3.138)

dk′1 = k′21 dk′1 dk′1 = E ′

1 Lab. k′1 dE ′1 Lab. dk′1 (3.139)

Karena keadaan akhir yang diamati hanya keadaan akhir partikel-1, maka pe-

nampang lintang diintegralkan terhadap seluruh keadaan akhir k′2.

dk′1= (2π)4 E1 Lab.

k1

∫dk′2 dE ′

1 Lab. k′1 E ′1 Lab. δ(K′ −K)

δ(E ′Lab. − ELab.) Γ2

∣∣T (p′,p)∣∣2

= (2π)4 E1 Lab.

k1

k′1 E ′1 Lab. Γ2

∣∣T (p′,p)∣∣2

= (2π)4 k′1k1

E1 Lab. E ′1 Lab.

(E1 P.M.E2 P.M.)2

E ′1 Lab.E

′2 Lab.E1 Lab.E2 Lab.

∣∣T (p′,p)∣∣2

= (2π)4 k′1k1

(E1 P.M. E2 P.M.)2

m2E ′2 Lab.

∣∣T (p′,p)∣∣2 . (3.140)

Maka penampang lintang diferensial yang dirata-ratakan terhadap spin, ialah:

dk′1= (2π)4 k′1

k1

(E1 P.M. E2 P.M.)2

m2E ′2 Lab.

1

2

∑ij

∣∣Tij(p′,p)

∣∣2 . (3.141)

Sebagai perbandingan, penampang lintang diferensial dalam kerangka Lab. untuk

perhitungan tanpa kinematika non-relativistik bisa didapatkan dengan cara seper-

ti yang telah dikerjakan pada perhitungan relativistik, yaitu persamaan (3.122-

3.141), namun dengan memperhatikan bahwa:

∵ |p| ¿ m ∴ E = m , (3.142)

dan Jacobian transformasi ini:

J(k′1,k′2) = J(k1,k2) = 1 , (3.143)

dan identitas:

δ(K′ −K)δ(E ′P.M. − EP.M.) = δ(K′ −K)δ(E ′

Lab. − ELab.) (3.144)

38

Page 47: Skripsi diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh ... · PDF filetiga dimensi (3D) ini, elemen matriks T dihitung sebagai solusi dari persamaan ... 1.3 Metode Penelitian

sehingga suku kedua dari matriks-S:

S(2)(k′1,k′2,k1,k2) = −2πiδ(K′ −K)δ(E ′

Lab. − ELab.) T (p′,p) . (3.145)

Laju transisi keadaan per-satuan volume ialah:

W =1

(2π)2δ(K′ −K)δ(E ′

Lab. − ELab.)∣∣T (p′,p)

∣∣2 . (3.146)

Dengan fluks awal j:

j =1

(2π)2

k1

m1

(3.147)

maka penampang lintang differensial:

dσ = (2π)4m1

k1

δ(K′ −K)δ(E ′Lab. − ELab.)

∣∣T (p′,p)∣∣2dk′1dk′2 (3.148)

dimana:

dk′1 = k′1 m1 dE ′1 Lab. dk′1 (3.149)

Penampang lintang differensial untuk kerangka Lab. tanpa menggunakan kine-

matika relativistik:

dk′1= (2π)4 k′1

k1

m21

1

2

∑ij

∣∣Tij(p′,p)

∣∣2 (3.150)

39

Page 48: Skripsi diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh ... · PDF filetiga dimensi (3D) ini, elemen matriks T dihitung sebagai solusi dari persamaan ... 1.3 Metode Penelitian

Bab 4

Aplikasi

Dalam Bab sebelumnya telah diformulasikan teknik 3D untuk partikel berspin 0

dan 12, selanjutnya dalam bab ini kami tunjukan suatu contoh perhitungan proses

hamburan dengan menggunakan teknik 3D.

4.1 Potensial

Dalam formulasi teknik 3D pada bab sebelumnya, telah ditentukan bentuk poten-

sial yang akan digunakan. Untuk Vc(r) dan Vs(r) dari persamaan (3.20) kami

memilih bagian radial seperti yang digunakan Malfliet-Tjon [9] sebagai berikut:

V (r) = −Vae−µr

r+ Vb

e−2µr

r. (4.1)

Dengan memasukan potensial di atas dalam persamaan (3.20), didapatkan poten-

sial yang akan digunakan, yaitu:

V (r) = −Vcae−µcr

r+ Vcb

e−2µcr

r+

[− Vsa

e−µsr

r+ Vsb

e−2µsr

r

]l · s . (4.2)

Untuk parameter potensial pada persamaan (4.2) kami gunakan nilai-nilai yang

ada dalam [9], sekedar sebagai contoh, sebagai berikut:

Vca = 3.22 Vcb = 7.39 µc = 1.55 fm−1 (4.3)

Vsa = 2.64 Vsb = 7.39 µs = 0.63 fm−1, (4.4)

Dengan pemilihan parameter seperti di atas, kami juga dapat menguji hasil per-

hitungan kami dengan perhitungan yang telah ada sebelumnya [1], untuk kasus

tanpa spin.

40

Page 49: Skripsi diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh ... · PDF filetiga dimensi (3D) ini, elemen matriks T dihitung sebagai solusi dari persamaan ... 1.3 Metode Penelitian

Gambar 4.1: Potensial Malfliet-Tjon

Perhitungan dikerjakan dalam ruang momentum, sehingga dibutuhkan poten-

sial (4.2) dalam ruang momentum. Untuk hal itu dilakukan transformasi Fourier

terhadap persamaan (4.2), sehingga didapatkan potensial dalam ruang momen-

tum seperti ditunjukan dalam persamaan (3.19), dengan:

Vc(p′,p) =

1

2π2

[−Vca

(p′ − p)2 + µ2c

+Vcb

(p′ − p)2 + 4µ2c

](4.5)

dan:

Vs(p′,p) =

i

π2

[−Vsa

[(p′ − p)2 + µ2s]

2+

Vsb

[(p′ − p)2 + 4µ2s]

2

]. (4.6)

4.2 Hasil Dan Diskusi

Bentuk persamaan Lippmann-Scwhinger yang akan diselesaikan ialah persamaan

(3.55). Sebagai langkah awal kami melakukan perhitungan tanpa memasukan

spin. Hasil yang didapat dari perhitungan tanpa spin ini kemudian dibandingkan

dengan hasil perhitungan dalam Ref. [1]. Selanjutnya dilakukan perhitungan

dengan memasukan komponen spin. Sebagai pengujian terhadap perhitungan ini,

kami membandingkannya dengan perhitungan sebelumnya (tanpa spin), dengan

terlebih dahulu memberikan nilai nol pada komponen spin dalam potensial (Vs =

0). Terakhir, kami masukan efek kinematika relavitas kedalam perhitungan.

41

Page 50: Skripsi diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh ... · PDF filetiga dimensi (3D) ini, elemen matriks T dihitung sebagai solusi dari persamaan ... 1.3 Metode Penelitian

0

0.2

0.4

0.6

0.8

1

1.2

1.4

1.6

0 30 60 90 120 150 180

/dΩ

[barn

]

θLab. [Degree]

Penampang Lintang Diferensial

50 MeV300 MeV

1 GeV

Gambar 4.2: Penampang Lintang Differensial Pada Beberapa Nilai Energi

Massa partikel yang digunakan dalam perhitungan adalah massa nukloen

(938.919 MeV) untuk massa partikel berspin 12, dan massa kaon (498 MeV) se-

bagai massa partikel berspin 0.

Dalam perhitungan dilakukan variasi nilai energi, dari energi 10 MeV hingga

energi 1 GeV, dengan penambahan 50 MeV untuk energi 10 MeV sampai 500

MeV, dan penambahan 100 MeV untuk energi lebih tinggi.

Hasil yang kami tampilkan adalah penampang lintang differensial dan pola-

risasi dalam kerangka laboratorium. Gambar (4.2) memperlihatkan penampang

lintang differensial, sedangkan Gambar (4.3) memperlihatkan polarisasi, untuk

energi 50 MeV, 300 MeV dan 1 GeV. Dapat dilihat bahwa semakin besar energi,

penampang lintang semakin dominan pada sudut-sudut kecil, hal ini menunjukan

bahwa semakin besar energi, kecenderungan partikel dihamburkan pada sudut

maju (forward angle) semakin tinggi.

42

Page 51: Skripsi diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh ... · PDF filetiga dimensi (3D) ini, elemen matriks T dihitung sebagai solusi dari persamaan ... 1.3 Metode Penelitian

-0.4

-0.3

-0.2

-0.1

0

0.1

0.2

0.3

0.4

0 30 60 90 120 150 180

Pol

aris

asi

θLab. [Degree]

Polarisasi

50 MeV300 MeV

1 GeV

Gambar 4.3: Polarisasi Pada Beberapa Nilai Energi

Selanjutnya kami tampilkan hasil yang membandingkan perhitungan non-

relativistik dan perhitungan relativistik. Kami tampilkan penampang lintang

differensial dan polarisasi. Selain itu, kami juga menampilkan komponen:

I0 =1

2

∑ij

∣∣Tij(p′,p)

∣∣2 (4.7)

dan komponen faktor ruang fase (phase space factor) dari penampang lintang

differensial, untuk menunjukan bagaimana efek kinematika relativistik mempe-

ngaruhi hasil perhitungan baik melalui nilai matriks-T maupun faktor ruang fase.

Sesuai persamaan (3.141), faktor ruang fase ialah:

Πrel =k′1k1

(E1 P.M. E2 P.M.)2

m2E ′2 Lab.

, (4.8)

untuk perhitungan relativistik. Sedangkan untuk perhitungan non-relativistik,

sesuai dengan persamaan (3.150), faktor ruang fase ialah:

Πnonrel =k′1k1

m21 . (4.9)

Dengan menampilkan perbandingan I0 dan Π diharapkan dapat dilihat bagaimana

efek kinematika relativistik terhadap masing-masing komponen.

43

Page 52: Skripsi diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh ... · PDF filetiga dimensi (3D) ini, elemen matriks T dihitung sebagai solusi dari persamaan ... 1.3 Metode Penelitian

Hasil yang ditampilkan mula-mula adalah hasil pada energi rendah (30 MeV),

ditunjukan pada gambar(4.4) untuk penampang lintang dan gambar(4.5) untuk

polarisasi. Untuk polarisasi tidak tampak efek kinematika relativistik, semen-

tara untuk penampang lintang terdapat efek kinematika relativistik, paling besar

∼ 6% pada hamburan sudut kecil. Perbedaan pada kedua penampang lintang

tersebut diakibatkan oleh perbedaan nilai faktor ruang fase, seperti ditunjukkan

dalam gambar(4.7). Pada energi 30 MeV ini tidak ada perbedaan dalam I0 seperti

ditunjukkan dalam gambar(4.6).

Selanjutnya ditampilkan hasil pada energi 100 MeV, gambar(4.8) untuk pe-

nampang lintang dan gambar(4.9) untuk polarisasi. Pada energi ini efek kine-

matika relativistik mulai muncul pada polarisasi meskipun kecil. Untuk penam-

pang lintang, selisih terbesar pada sudut kecil yaitu ∼ 18%, yang diakibatkan

oleh perbedaan nilai faktor ruang fase, seperti ditunjukan pada gambar (4.11).

Gambar (4.10) menunjukan bahwa pada energi 100 MeV mulai ada perbedaan

untuk I0. Perbedaan itu berupa pergeseran ke arah sudut yang lebih kecil.

Berikutnya gambar (4.12) dan gambar (4.13) menunjukan efek kinematika

relativistik untuk penampang lintang dan polarisasi pada energi 300 MeV. Pada

energi ini tampak semakin jelas adanya pergeseran ke arah sudut lebih kecil, baik

untuk penampang lintang maupun polarisasi. Untuk penampang lintang selain

pergeseran terdapat juga perbedaan tinggi kurva yang semakin besar, yaitu mak-

simum ∼ 42% pada sudut hambur kecil. Perbedaan ini ditimbulkan oleh perbe-

daan nilai faktor ruang fase, seperti ditunjukan dalam gambar (4.15), sementara

I0 mengakibatkan pergeseran ke arah sudut lebih kecil, seperti yang ditunjukkan

pada gambar (4.14). Sampai disini dapat dilihat bahwa efek kinematika relativis-

tik pada faktor ruang fase hanya bersifat menambah nilai penampang lintang,

sementara pada I0 mengakibatkan pergeseran ke arah sudut lebih kecil.

Terakhir kami tampilkan hasil pada energi 1 GeV, yaitu penampang lintang

pada gambar (4.16), polarisasi pada gambar (4.17), I0 pada gambar (4.18 dan

faktor ruang fase pada gambar (4.19). Seperti telah diduga sebelumnya, efek

kinematik relativistik makin berarti pada energi yang makin tinggi.

44

Page 53: Skripsi diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh ... · PDF filetiga dimensi (3D) ini, elemen matriks T dihitung sebagai solusi dari persamaan ... 1.3 Metode Penelitian

0

0.2

0.4

0.6

0.8

1

1.2

1.4

1.6

0 30 60 90 120 150 180

dσ/d

Ω [b

arn]

θLab. [Degree]

Penampang Lintang Pada Energi Lab. 30 MeV

non-relrel

Gambar 4.4: Penampang lintang differensial pada energi Lab. 30 MeV

-0.4

-0.3

-0.2

-0.1

0

0.1

0.2

0.3

0.4

0 30 60 90 120 150 180

Pol

aris

asi

θLab. [Degree]

Polarisasi Pada Energi Lab. 30 MeV

non-relrel

Gambar 4.5: Polarisasi pada energi Lab. 30 MeV

45

Page 54: Skripsi diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh ... · PDF filetiga dimensi (3D) ini, elemen matriks T dihitung sebagai solusi dari persamaan ... 1.3 Metode Penelitian

0

0.05

0.1

0.15

0.2

0.25

0 30 60 90 120 150 180

I0

θLab. [Degree]

I0 Pada Energi Lab. 30 MeV

non-relrel

Gambar 4.6: I0 pada energi Lab. 30 MeV

1.5

2

2.5

3

3.5

4

4.5

5

5.5

6

6.5

7

0 30 60 90 120 150 180

Π

θLab. [Degree]

Faktor Ruang Fase Pada Energi Lab. 30 MeV

non-relrel

Gambar 4.7: Faktor Ruang Fase pada energi Lab. 30 MeV

46

Page 55: Skripsi diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh ... · PDF filetiga dimensi (3D) ini, elemen matriks T dihitung sebagai solusi dari persamaan ... 1.3 Metode Penelitian

0

0.2

0.4

0.6

0.8

1

1.2

1.4

1.6

1.8

2

0 30 60 90 120 150 180

dσ/d

Ω [b

arn]

θLab. [Degree]

Penampang Lintang Pada Energi Lab. 100 MeV

non-relrel

Gambar 4.8: Penampang lintang differensial pada energi Lab. 100 MeV

-0.4

-0.3

-0.2

-0.1

0

0.1

0.2

0.3

0.4

0 30 60 90 120 150 180

Pol

aris

asi

θLab. [Degree]

Polarisasi Pada Energi Lab. 100 MeV

non-relrel

Gambar 4.9: Polarisasi pada energi Lab. 100 MeV

47

Page 56: Skripsi diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh ... · PDF filetiga dimensi (3D) ini, elemen matriks T dihitung sebagai solusi dari persamaan ... 1.3 Metode Penelitian

0

0.05

0.1

0.15

0.2

0.25

0 30 60 90 120 150 180

I0

θLab. [Degree]

I0 Pada Energi Lab. 100 MeV

non-relrel

Gambar 4.10: I0 pada energi Lab. 100 MeV

1

2

3

4

5

6

7

8

0 30 60 90 120 150 180

Π

θLab. [Degree]

Faktor Ruang Fase Pada Energi Lab. 100 MeV

non-relrel

Gambar 4.11: Faktor Ruang Fase pada energi Lab. 100 MeV

48

Page 57: Skripsi diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh ... · PDF filetiga dimensi (3D) ini, elemen matriks T dihitung sebagai solusi dari persamaan ... 1.3 Metode Penelitian

0

0.5

1

1.5

2

2.5

3

0 30 60 90 120 150 180

dσ/d

Ω [b

arn]

θLab. [Degree]

Penampang Lintang Pada Energi Lab. 300 MeV

non-relrel

Gambar 4.12: Penampang lintang differensial pada energi Lab. 300 MeV

-0.4

-0.3

-0.2

-0.1

0

0.1

0.2

0.3

0.4

0 30 60 90 120 150 180

Pol

aris

asi

θLab. [Degree]

Polarisasi Pada Energi Lab. 300 MeV

non-relrel

Gambar 4.13: Polarisasi pada energi Lab. 300 MeV

49

Page 58: Skripsi diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh ... · PDF filetiga dimensi (3D) ini, elemen matriks T dihitung sebagai solusi dari persamaan ... 1.3 Metode Penelitian

0

0.05

0.1

0.15

0.2

0.25

0 30 60 90 120 150 180

I0

θLab. [Degree]

I0 Pada Energi Lab. 300 MeV

non-relrel

Gambar 4.14: I0 pada energi Lab. 300 MeV

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

0 30 60 90 120 150 180

Π

θLab. [Degree]

Faktor Ruang Fase Pada Energi Lab. 300 MeV

non-relrel

Gambar 4.15: Faktor Ruang Fase pada energi Lab. 300 MeV

50

Page 59: Skripsi diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh ... · PDF filetiga dimensi (3D) ini, elemen matriks T dihitung sebagai solusi dari persamaan ... 1.3 Metode Penelitian

0

0.5

1

1.5

2

2.5

3

3.5

4

4.5

5

0 30 60 90 120 150 180

dσ/d

Ω [b

arn]

θLab. [Degree]

Penampang Lintang Pada Energi Lab. 1 GeV

non-relrel

Gambar 4.16: Penampang lintang differensial pada energi Lab. 1 GeV

-0.4

-0.3

-0.2

-0.1

0

0.1

0.2

0.3

0.4

0 30 60 90 120 150 180

Pol

aris

asi

θLab. [Degree]

Polarisasi Pada Energi Lab. 1 GeV

non-relrel

Gambar 4.17: Polarisasi pada energi Lab. 1 GeV

51

Page 60: Skripsi diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh ... · PDF filetiga dimensi (3D) ini, elemen matriks T dihitung sebagai solusi dari persamaan ... 1.3 Metode Penelitian

0

0.02

0.04

0.06

0.08

0.1

0.12

0.14

0.16

0.18

0 30 60 90 120 150 180

I0

θLab. [Degree]

I0 Pada Energi Lab. 1 GeV

non-relrel

Gambar 4.18: I0 pada energi Lab. 1 GeV

0

5

10

15

20

25

30

0 30 60 90 120 150 180

Π

θLab. [Degree]

Faktor Ruang Fase Pada Energi Lab. 1 GeV

non-relrel

Gambar 4.19: Faktor Ruang Fase pada energi Lab. 1 GeV

52

Page 61: Skripsi diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh ... · PDF filetiga dimensi (3D) ini, elemen matriks T dihitung sebagai solusi dari persamaan ... 1.3 Metode Penelitian

Bab 5

Kesimpulan Dan Saran

Telah kami formulasikan teknik 3D untuk hamburan partikel berspin 12

dan 0.

Teknik 3D menggunakan basis state momentum-helicity, oleh karena itu peker-

jaan ini dimulai dengan mendefinisikan basis momentum-helicity yang akan di-

gunakan. Selanjutnya, dengan basis momentum-helicity tersebut, kami sele-

saikan persamaan Lippmann-Schwinger untuk matriks-T. Pada mulanya kami

mendapatkan jumlah persamaan Lippmann-Schwinger yang harus diselesaikan

untuk berbagai keadaan spin awal dan spin akhir serta keadaan paritas, ialah 8

persamaan. Namun dengan sifat simetri elemen matriks-T, jumlah persamaan

Lippmann-Schwinger yang harus diselesaikan dapat dikurangi menjadi 2 per-

samaan, yaitu 1 persamaan untuk setiap keadaan paritas.

Dengan teknik 3D ini, maka tidak lagi dibutuhkan dekomposisi gelombang

parsial dalam menyelesaikan persamaan Lippmann-Schwinger. Hal ini menjadikan

teknik 3D cocok untuk hamburan dengan energi tinggi, dimana dekomposisi

gelombang parsial tidak lagi efisien karena besarnya jumlah persamaan yang

harus diselesaikan. Namun pada energi tinggi efek relativistik perlu diperhi-

tungkan dalam formulasi. Dalam pekerjaan ini efek relativistik diselidiki sebatas

dengan memasukan efek kinematika relativistik dalam perhitungan.

Dengan formulasi yang telah dikerjakan, kami melakukan perhitungan untuk

berbagai nilai energi. Kami membandingkan hasil perhitungan dengan kinemati-

ka non-relativistik dan hasil perhitungan dengan kinematika relativistik, untuk

menunjukan pengaruh efek kinematika relativistik pada berbagai energi. Per-

bandingan kuantitatif hasil perhitungan dengan data eksperimen tidak dapat

53

Page 62: Skripsi diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh ... · PDF filetiga dimensi (3D) ini, elemen matriks T dihitung sebagai solusi dari persamaan ... 1.3 Metode Penelitian

kami lakukan, karena potensial yang kami gunakan dalam pekerjaan ini adalah

potensial spin-orbit sederhana. Kami mengharapkan dapat melanjutkan peker-

jaan ini dengan menggunakan potensial realistik, yang sesuai dengan hamburan

yang akan dihitung.

54

Page 63: Skripsi diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh ... · PDF filetiga dimensi (3D) ini, elemen matriks T dihitung sebagai solusi dari persamaan ... 1.3 Metode Penelitian

Lampiran A

Basis Gelombang Parsial

Basis gelombang parsial didefinisikan sebagai:

|plml〉 ≡∫

dp |p〉Ylml(p) . (A.1)

Apabila basis vektor momentum diekspansi ke dalam basis gelombang parsial,

didapatkan:

|p〉 =∑

lml

|plml〉Y ∗lml

(p) (A.2)

Basis gelombang parsial memiliki sifat orthogonalitas sebagai berikut:

〈p′l′m′l|plml〉 =

∫dp 〈p′|p〉Y ∗

l′m′l(p)Ylml

(p)

=δ(p− p′)

p′pδll′ δmlm

′l

, (A.3)

dan completeness relation:

lml

∫ ∞

0

dp p2 |plml〉 〈plml| = 1 . (A.4)

Proyeksi |p〉 pada |plml〉 ialah:

〈plml|p′〉 = 〈plml|∑

l′m′l

|p′l′m′l〉Y ∗

l′m′l(p′)

=∑

l′m′l

〈plml|p′l′m′l〉Y ∗

l′m′l(p′)

=δ(p− p′)

pp′Y ∗

lml(p′) . (A.5)

55

Page 64: Skripsi diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh ... · PDF filetiga dimensi (3D) ini, elemen matriks T dihitung sebagai solusi dari persamaan ... 1.3 Metode Penelitian

Dalam ruang konfigurasi ekspansi fungsi gelombang bidang dalam eigenstate

momentum angular, yaitu:

〈r|p〉 =eip·r

(2π)3/2≡

√2

π

lml

iljl(pr)Ylml(r)Y ∗

lml(p) (A.6)

Maka, representasi |plml〉 dalam ruang konfigurasi ialah:

〈r|plml〉 =

∫dq 〈r|q〉 〈q|plml〉

=

∫ ∞

0

dq q2

∫dq 〈r|q〉 δ(p− q)

pqYlml

(q)

=

√2

π

l′m′l

il′jl′(pr) Yl′m′

l(r)

∫dq Y ∗

l′m′l(q)Ylml

(q)︸ ︷︷ ︸

δll′δmlm′l

=

√2

πiljl(pr) Ylml

(r) (A.7)

Komponen spin dimasukan dalam perhitungan dengan menambahkan keadaan

spin total, dalam hal ini 12,∣∣12λ⟩

pada keadaan gelombang parsial.

|plml〉∣∣12, λ

⟩, (A.8)

dengan λ = ±12

merupakan bilangan kuantum magnetik spin. Karena basis (A.8)

hanya merupakan hasil perkalian sederhana dari dua vektor basis yang masing-

masing bersifat orthogonal, maka basis (A.8) bersifat orthogonal.

⟨12

λ′∣∣ 〈p′l′m′

l|plml〉∣∣12

λ⟩

=δ(p′ − p)

pp′δll′ δml,m

′lδλ′,λ . (A.9)

Completeness relation untuk basis (A.8) yaitu:

lmlλ

∫ ∞

0

dp p2 |plml〉∣∣12

λ′⟩ ⟨

12

λ∣∣ 〈plml| = 1 (A.10)

Selain basis pada persamaan (A.8) di atas, dapat pula dibentuk basis yang

merupakan eigenstate dari operator momentum angular total. Mometum angular

total ialah penjumlahan momentum angular l dan spin:

J = l + s , (A.11)

56

Page 65: Skripsi diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh ... · PDF filetiga dimensi (3D) ini, elemen matriks T dihitung sebagai solusi dari persamaan ... 1.3 Metode Penelitian

yang proyeksinya pada arah sumbu-z:

m = ml + λ . (A.12)

Maka dapat dibentuk basis: ∣∣p(l 12); jm

⟩. (A.13)

Hubungan basis (A.13) ini dengan basis (A.8) di atas ialah sebagai berikut

∣∣p(l 12); jm

⟩=

λ

C(l 12j; m− λ, λ) |plm− λ〉

∣∣12

λ⟩

. (A.14)

Dengan hubungan (A.14) didapatkan ortogonalitas dari basis (A.13) ialah :

⟨p′(l′ 1

2); j′m′|p(l 1

2); jm

=∑

λ′λ

C(l′ 12j′; m′ − λ′, λ′)C(l 1

2j; m− λ, λ)

⟨12

λ|12

λ′⟩ 〈plm− λ|p′l′m′ − λ′〉

=∑

λ

C(l 12j′; m− λ, λ)C(l 1

2j; m− λ, λ)

δ(p′ − p)

pp′δll′δm′m , (A.15)

dengan menggunakan sifat koefisien Clebsch-Gordan berikut [8] :

∑m1m2

C(j1j2j; m1m2m)C(j1j2j′; m1m2m

′) = δj′j δm′m (A.16)

didapatkan :

⟨p′(l′ 1

2); j′m′|p(l 1

2); jm

⟩=

δ(p′ − p)

pp′δjj′δmm′δll′ . (A.17)

Sedangkan untuk mencari completness relation dari basis (A.13) digunakan com-

pletness realtion (A.10) dan sifat koefisien Clebsch-Gordan berikut [8] :

∑jm

|C(j1j2j; m1m2m)|2 = 1 , (A.18)

sehingga didapatkan :

ljm

∫ ∞

0

dp p2∣∣p(l 1

2); jm

⟩ ⟨p(l 1

2); jm

∣∣

=∑

ljm

λ

∫ ∞

0

dp p2 C(l 12j; m− λ, λ)2 |plm− λ〉

∣∣12

λ⟩ ⟨

12

λ∣∣ 〈plm− λ|

= 1 . (A.19)

57

Page 66: Skripsi diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh ... · PDF filetiga dimensi (3D) ini, elemen matriks T dihitung sebagai solusi dari persamaan ... 1.3 Metode Penelitian

Lampiran B

Matriks Rotasi

State helicity merupakan hasil rotasi state spin kearah vektor momentum:

|pλ〉 = R(p) |zλ〉=

λ′〈zλ′ |R(p)| zλ′〉 |zλ′〉

=∑

λ′D

12λ′λ(p) |zλ′〉 , (B.1)

dengan matriks rotasi:

R(p) = e−iSzφe−iSyθ (B.2)

dan matriks-D Wigner:

D12λ′λ(p) ≡ 〈zλ′ |R(p)| zλ′〉

=⟨zλ′

∣∣e−iSzφe−iSyθ∣∣ zλ′⟩

= e−iλ′φd12λ′λ(θ) . (B.3)

Pada (B.3) matriks-d12λ′λ(θ), yaitu [8]:

d12λ′λ(θ) =

cosθ

2− sin

θ

2

sinθ

2cos

θ

2

. (B.4)

Dengan operasi paritas maka:

D12λ′λ(p) → D

12λ′λ(−p) (B.5)

58

Page 67: Skripsi diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh ... · PDF filetiga dimensi (3D) ini, elemen matriks T dihitung sebagai solusi dari persamaan ... 1.3 Metode Penelitian

Operasi paritas mengakibatkan φ → φ + π, dan θ → π − θ, maka:

e−iλ′(φ+π) = (−)−λ′e−iλ′φ (B.6)

dan:

d12λ′λ(π − θ) =

sinθ

2− cos

θ

2

cosθ

2sin

θ

2

= (−)

12+λ′ d

12λ′,−λ(θ) (B.7)

sehingga:

D12λ′λ(−p) = (−)−λ′e−iλ′φ (−)

12+λ′ d

12λ′,−λ(θ)

= (−)12 e−iλ′φ d

12λ′,−λ(θ)

= i D12λ′−λ(p) (B.8)

dengan i =√−1.

59

Page 68: Skripsi diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh ... · PDF filetiga dimensi (3D) ini, elemen matriks T dihitung sebagai solusi dari persamaan ... 1.3 Metode Penelitian

Lampiran C

Transformasi Potensial

Dalam Bab 3.2 telah ditentukan bentuk potensial yang digunakan. Sesuai dengan

persamaan (3.19), potensial yang akan digunakan ialah:

V (p′,p) = Vc(p′,p) + Vs(p

′,p) s · (p× p′) , (C.1)

yang kemudian ditransformasi ke bentuk persamaan (3.24) melalui hubungan

(3.23). Lebih jelas mengenai hubungan ini ialah:

s = 12

σ , (C.2)

dengan σ adalah matriks pauli, yang memenuhi hubungan komutasi:

[σi, σj] = 2iεijk σk , (C.3)

dan hubungan anti-komutasi:

σi, σj = 2δij . (C.4)

Dengan sifat komutasi dan anti-komutasi di atas, bisa didapatkan hubungan:

(σ · p′)(σ · p) =∑

j

σj p′j∑

k

σk pk

=∑

jk

(12σj, σk+ 1

2[σj, σk]

)p′j pk

=∑

jk

(δjk + iεjklσl

)p′jpk

= p′ · p + iσ · (p′ × p) . (C.5)

60

Page 69: Skripsi diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh ... · PDF filetiga dimensi (3D) ini, elemen matriks T dihitung sebagai solusi dari persamaan ... 1.3 Metode Penelitian

Sehingga:

s · (p× p′) = −12

σ · (p′ × p)

=−i

2

p′ · p− (σ · p′)(σ · p)

(C.6)

Potensial yang ditentukan pada Bab 4 adalah potensial dengan fungsi radial

mengambil bentuk Malfliet-Tjon [9]:

V (r) = Vc(r) + Vs(r) l · s

=

[− Vca

e−µcr

r+ Vcb

e−2µcr

r

]+

[− Vsa

e−µsr

r+ Vsb

e−2µsr

r

]l · s . (C.7)

Potensial ini akan ditransformasi ke ruang momentum dengan transformasi Fouri-

er sebagai berikut:

Vc(p′,p) =

1

(2π)3

∫dr Vc(r)e

−i(p′−p)·r

=1

(2π)3

∫ ∞

0

dr r2Vc(r)

∫ 1

−1

d cos θ

∫ 2π

0

dφe−i(p′−p)·r

=1

(2π)3

∫ ∞

0

dr r2Vc(r)

∫ 1

−1

d cos θ e−i|p′−p|r cos θ

∫ 2π

0

=1

(2π)2

∫ ∞

0

dr r2Vc(r)ei|p′−p|r − e−i|p′−p|r

i|p′ − p|r=

1

2π2

∫ ∞

0

dr r2Vc(r)sin(|p′ − p|r)|p′ − p|

=1

2π2

∫ ∞

0

dr r (−Vcae−µcr + Vcbe

−2µcr)sin(|p′ − p|r)|p′ − p|

=1

2π2

[−Vca

(p′ − p)2 + µ2c

+Vcb

(p′ − p)2 + 4µ2c

](C.8)

Sedangkan untuk Vs(p′,p) digunakan hubungan:

l · s = (r× p) · s = (p× s) · r (C.9)

Vs(p′,p) =

1

(2π)3

∫dr Vs(r)(l · s)e−i(p′−p)·r

=1

(2π)3

∫dr Vs(r)(p× s) · re−i(p′−p)·r , (C.10)

Karena sebelumnya telah dipilih bahwa arah zs pada arah p′ − p, sehingga:

(p′ − p) · r = |p′ − p|r cos θ (C.11)

61

Page 70: Skripsi diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh ... · PDF filetiga dimensi (3D) ini, elemen matriks T dihitung sebagai solusi dari persamaan ... 1.3 Metode Penelitian

Dengan mendefinisikan θps dan φps sebagai sudut polar dan sudut azimuth dari

vektor p× s, maka:

Vs(p′,p) =

1

(2π)3|p× s|

∫ ∞

0

dr r3Vs(r)

∫ 1

−1

d cos θ e−i|p′−p|r cos θ

∫ 2π

0

dφ[cos θps cos θ + sin θps sin θ cos(φps − φ)

]

=1

(2π)2|p× s| cos θps

∫ ∞

0

dr r3Vs(r)

∫ 1

−1

d cos θ cos θe−i|p′−p|r cos θ

=(p× s)z

(2π)2

∫ ∞

0

dr r3Vs(r)

∫ 1

−1

d cos θ cos θe−i|p′−p|r cos θ

=i(p× s)z

2π2

∫ ∞

0

dr r3Vs(r)[cos(|p′ − p|r)

|p′ − p|r − sin(|p′ − p|r)(|p′ − p|r)2

]

=−i

π2(p× s)z|p′ − p|

[−Vsa[

(p′ − p)2 + µ2s

]2 +Vsb[

(p′ − p)2 + 4µ2s

]2

]

=i

π2s · (p× p′)

[−Vsa[

(p′ − p)2 + µ2s

]2 +Vsb[

(p′ − p)2 + 4µ2s

]2

]. (C.12)

Baris terakhir didapatkan dengan menggunakan hubungan:

(p× s)z = (p× s) · (p′ − p)

|p′ − p|=

1

|p′ − p|s ·[(p′ − p)× p

]

=1

|p′ − p|s · (p′ × p)

=−1

|p′ − p|s · (p× p′) (C.13)

Dengan hubungan (C.6) bisa didapatkan:

Vs(p′,p) =

1

2π2

[−Vsa[

(p′ − p)2 + µ2s

]2 +Vsb[

(p′ − p)2 + 4µ2s

]2

]p′ ·p− (σ ·p′)(σ ·p)

(C.14)

62

Page 71: Skripsi diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh ... · PDF filetiga dimensi (3D) ini, elemen matriks T dihitung sebagai solusi dari persamaan ... 1.3 Metode Penelitian

Lampiran D

Penyelesaian Numerik

D.1 Integrasi

Dalam menyelesaikan persamaan Lippmann-Schwinger terdapat integral dalam

tiga variable p′′, θ′′, dan φ′′. Maka untuk menyelesaikan persamaan Lippmann-

Schwinger secara numerik dibutuhkan metode integrasi numerik atau kuadratur.

Metode integrasi numerik yang kami gunakan ialah kuadratur Gauss-Legendre.

Apabila suatu integral I:

I =

∫ b

a

dx f(x) , (D.1)

akan kita kerjakan menggunakan kuadratur Gauss-Legendre, maka integral terse-

but harus dipetakan kedalam batas [−1, 1].

I =

∫ b

a

dx f(x) =

∫ 1

−1

dydx

dyf(y)

=∑

i

wif(xi) =∑

i

vi(dx

dy)i f(yi) (D.2)

dimana xi dan yi adalah titik-titik integrasi sedangkan wi dan vi adalah pemberat.

Pemetaan dari [a, b] → [−1, 1] dapat dilakukan secara linier:

xi =b− a

2yi +

b + a

2wi =

1

2(b− a)vi . (D.3)

63

Page 72: Skripsi diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh ... · PDF filetiga dimensi (3D) ini, elemen matriks T dihitung sebagai solusi dari persamaan ... 1.3 Metode Penelitian

Pemetaan ini digunakan dalam integrasi φ′′. Lebih lanjut mengenai integral φ′′,

batas integrasi [0:2π] dapat diubah ke [0:π2] melalui:

I =

∫ 2π

0

dφ′′ f(cos φ′′)eimφ′′

=

∫ π

0

dφ′′

f(cos φ′′)eimφ′′ + f(− cos φ′′)eim(φ′′+π)

=

∫ π/2

0

dφ′′

f(cos φ′′)(eimφ′′ + eim(2π−φ′′)

)+ f(− cos φ′′)

(eim(φ′′+π) + eim(π−φ′′)

)

(D.4)

dengan hubungan ini maka jumlah titik integrasi dapat dikurangi. Kami dap-

atkan jumlah titik integrasi 10 titik cukup memadai.

Untuk Integrasi terhadap θ′′, batas integrasi adalah [-1,1], karena varible inte-

grasi adalah cos θ′′, maka tidak dibutuhkan pemetaan terhadap kuadratur. Jum-

lah titik kuadratur untuk θ, kami gunakan 24 titik.

Untuk integrasi terhadap p′′ integrasi akan dibatasi pada suatu nilai pm, yang

nilainya kami tentukan sebesar 8 × p0. Integrasi ini kami bagi menjadi dua do-

main, [0:2p0] dan [2p0:pm], yaitu daerah momentum kecil dan daerah momentum

tinggi. Pembagian ini dilakukan karena diinginkan jumlah titik integrasi lebih

banyak pada daerah momentum kecil dimana matriks T lebih berarti. Batas

2p0 dimaksudkan agar nilai momentum awal berada ditengah domain pertama.

Pada domain pertama digunakan pemetaan hiperbolik agar titik integrasi lebih

terkonsentrasi ditengah (nilai p0).

xi = p0 (1 + yi) wi = p0 vi , (D.5)

sedangkan untuk [0:2p0] digunakan pemetaan linier. Jumlah titik kuadratur un-

tuk p”, kami gunakan 40 titik.

D.2 Eliminisasi Singularitas

Persamaan Lippmann-Schwinger merupakan persamaan kompleks karena terda-

pat bilangan imajiner ε, yang nilainya kecil (ε ≈ 0). Oleh karena hal itu, kami

menggunakan Cauchy Principal Value:

limε→0

1

x + iε=Px− iπδ(x) . (D.6)

64

Page 73: Skripsi diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh ... · PDF filetiga dimensi (3D) ini, elemen matriks T dihitung sebagai solusi dari persamaan ... 1.3 Metode Penelitian

Integral dari Cauchy Principal Value:

I =

∫ ∞

0

dx P x2f(x)

a2 − x2, (D.7)

dimana integral ini mempunyai titik singular pada a = x. Masalah singularitas

ini dapat diatasi dengan teknik subtraksi sebagai berikut:

I =

∫ ∞

0

dx P x2f(x)

a2 − x2−

∫ ∞

0

dxa2f(a)

a2 − x2(D.8)

Suku kedua dari integral di atas bernilai 0. Integral di atas tidak lagi mempunyai

titik singular, karena pada x = a, numerator integral bernilai nol.

I =

∫ ∞

0

dxx2f(x)− a2f(a)

a2 − x2(D.9)

Untuk integrasi p′′, integral tidak dikerjakan sampai ∞, tapi ditentukan sam-

pai suatu nilai batas M, maka:

I =

∫ M

0

dx P x2f(x)

a2 − x2−

∫ ∞

0

dxa2f(a)

a2 − x2

=

∫ M

0

dx P x2f(x)

a2 − x2−

∫ M

0

dxa2f(a)

a2 − x2−

∫ ∞

M

dxa2f(a)

a2 − x2

=

∫ M

0

dxx2f(x)− a2f(a)

a2 − x2− 1

2a f(a) ln

(M − a

M + a

)(D.10)

D.3 Persamaan Lippmann-Schwinger

Integral dalam persamaan Lippmann-Schwinger persamaan (3.55) yaitu:

I = limε→0

∫ 1

−1

dα′′∫ ∞

0

dp′′p′′2 Vλ

λ′ 12

(p′, p′′, α′, α′′) T π12

λ(p′′, p, α′′)

p2 − p′′2 + iε(D.11)

Setelah titik singular dieliminasi:

I =

∫ 1

−1

dα′′ ∫ pm

0

dp′′p′′2Vλπ

λ′ 12

(p′, p′′, α′, α′′) T π12

,λ(p′′, p, α′′)

p2 − p′′2

−[ ∫ pm

0

dpp

p2 − p′′2+

1

2ln

pm− p

pm + p+

1

2iπ

]pVλπ

λ′ 12

(p′, p, α′, α′′) T π12

,λ(p, p, α′′)

(D.12)

65

Page 74: Skripsi diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh ... · PDF filetiga dimensi (3D) ini, elemen matriks T dihitung sebagai solusi dari persamaan ... 1.3 Metode Penelitian

Selanjutnya integral di atas dikerjakan secara numerik menggunakan kuadratur

Gauss-Legendre. Digunakan konvensi simbol :

• p′ = pi • p′′ = pj • p = p0 • α′ = αa • α′′ = αb

Integral di atas menjadi :

I =nθ∑

b=1

np∑j=0

wb

[δj0

wj p2j

p20 − p2

j

−δj0 p0 D

]Vλπ

λ′ 12

(pi, pj, αa, αb) T π12

,λ(pj, αb) , (D.13)

dengan:

D ≡[ ∑

k

wkp0

p20 − p2

j

+1

2ln

(pm− p0

pm + p0

)+

1

2iπ

](D.14)

Sehingga persamaan Lippmann-Schwinger menjadi:

T πλ′,λ(pi, αa) =

1

2πVπ

λ′λ(pi, p0, αa, 1)

+ 2µ∑

b,j

wb

[δj0

wj p2j

p20 − p2

j

− δj0 p0 D

]Vλπ

λ′ 12

(pi, pj, αa, αb) T π

λ,12

(pj, αb)

(D.15)

Vπλ′,λ(pi, p0, αa, 1) = 2π

b,j

δji δba − 2µ wb

[δj0

wj p2j

p20 − p2

j

− δj0p0D

]Vλ

λ′ 12

(pi, pj, αa, αb)

× T πλ′,λ(pj, αb) (D.16)

Dengan mendefinisikan matriks Aia,jb, persamaan diatas bisa disusun menjadi

sistem persamaan linier yang memenuhi :

b,j

Aia,jb T πλ′,λ(pj, αb) = Vπ

λ′,λ(pi, p0, αa, 1) (D.17)

Aia,jb ≡ 2π

δji δba − 2µ wb

[δj0

wj p2j

p20 − p2

j

− δj0p0D

]Vλπ

λ′,12

(pi, pj, αa, αb)

(D.18)

dengan matriks Aia,jb adalah matriks yang berukuran (np × nθ)2, dimana np dan

nθ jumlah titik integrasi p′′ dan θ′′. Untuk menyelesaikan sistem persamaan linier

di atas, kami gunakan metode dekomposisi LU [10].

66

Page 75: Skripsi diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh ... · PDF filetiga dimensi (3D) ini, elemen matriks T dihitung sebagai solusi dari persamaan ... 1.3 Metode Penelitian

Daftar Acuan

[1] Ch. Elster, J. H. Thomas dan W. Glockle, Few-Body Systems, 24 (1998) 55.

[2] R. A. Rice dan Y. E. Kim Few-Body Systems 14 (1993) 127

[3] I. Fachruddin, Ch. Elster dan W. Glockle, Phys. Rev. C63 (2000) 0504003.

[4] R. Fong dan J. Sucher, J. Math. Phys. 5 (1964) 456.

[5] E. Merzbacher, Quantum Mechanics (Addison-Wesley, 1958).

[6] W. Glockle, The Quantum Mechanical Few-Body Problem (Springer Ver-

lag,Berlin, 1983).

[7] I. Fachruddin, PhD thesis, Ruhr University-Bochum, (2003).

[8] M. E. Rose, Elementary Theory of Angular Momentum (Wiley, New York,

1957).

[9] R. A. Malfliet dan J. A. Tjon Nuc. Phys. A127 (1969) 161

[10] W. H. Press, et. al. Numerical Recipes In Fortran (Cambridge University

Press, New York, 1992).

67