skripsi - core.ac.uk · pdf filenaskah skripsi ini tidak terdapat karya ilmiah yang pernah...
TRANSCRIPT
SKRIPSI
ANALISIS PERILAKU PENYUSUN ANGGARAN DALAM PERSPEKTIF KEAGENAN PADA KABUPATEN DAN KOTA
DI PROVINSI SULAWESI SELATAN
A. NURUL ILMI
DEPARTEMEN AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR 2016
ii
SKRIPSI
ANALISIS PERILAKU PENYUSUN ANGGARAN DALAM PERSPEKTIF KEAGENAN PADA KABUPATEN DAN KOTA
DI PROVINSI SULAWESI SELATAN
sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi
disusun dan diajukan oleh
A. NURUL ILMI A31112283
kepada
DEPARTEMEN AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR
2016
iii
SKRIPSI
ANALISIS PERILAKU PENYUSUN ANGGARAN DALAM PERSPEKTIF KEAGENAN PADA KABUPATEN DAN KOTA
DI PROVINSI SULAWESI SELATAN
disusun dan diajukan oleh
A. NURUL ILMI A31112283
telah diperiksa dan disetujui untuk diuji
Makassar, 6 Oktober 2016
Pembimbing I
Dr. Mediaty, S.E., M.Si., Ak., CA NIP 196509251990022001
Pembimbing II
Dr. Aini Indrijawati, S.E., Ak., M.Si., CA NIP 196811251994122002
Ketua Departemen Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Hasanuddin
Dr. Mediaty, S.E., M.Si., Ak., CA NIP 196509251990022001
iv
SKRIPSI
ANALISIS PERILAKU PENYUSUN ANGGARAN DALAM
PERSPEKTIF KEAGENAN PADA KABUPATEN DAN KOTA DI PROVINSI SULAWESI SELATAN
disusun dan diajukan oleh
A. NURUL ILMI A31112283
telah dipertahankan dalam sidang ujian skripsi
pada tanggal 24 November 2016 dan dinyatakan telah memenuhi syarat kelulusan
Menyetujui,
Panitia Penguji
No. Nama Penguji Jabatan Tanda Tangan
1. Dr. Mediaty, S.E., M.Si., Ak., CA Ketua 1.....................
2. Dr. Aini Indrijawati, S.E., Ak., M.Si, CA Sekretaris 2.....................
3. Dr. Ratna Ayu Damayanti, S.E., Ak., M.Soc, Sc, CA Anggota 3.....................
4. Dr. Nirwana, S.E., M.Si., Ak., CA Anggota 4.....................
5. Drs. Syahrir, Ak., M.Si, CA Anggota 5.....................
Ketua Departemen Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Hasanuddin
Dr. Mediaty, S.E., M.Si., Ak., CA NIP 196509251990022001
v
PERNYATAAN KEASLIAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini,
nama : A. Nurul Ilmi
NIM : A31112283
jurusan/program studi : Akuntansi/Strata Satu (S1)
dengan ini menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi yang berjudul
ANALISIS PERILAKU PENYUSUN ANGGARAN DALAM
PERSPEKTIF KEAGENAN PADA KABUPATEN DAN KOTA DI PROVINSI SULAWESI SELATAN
adalah karya ilmiah saya sendiri dan sepanjang pengetahuan saya di dalam naskah skripsi ini tidak terdapat karya ilmiah yang pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik di suatu perguruan tinggi, dan tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis dikutip dalam naskah ini dan disebutkan dalam sumber kutipan dan daftar pustaka. Apabila di kemudian hari ternyata di dalam naskah skripsi ini dapat dibuktikan terdapat unsur-unsur jiplakan, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut dan diproses sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (UU No. 20 Tahun 2003, pasal 25 ayat 2 dan pasal 70).
Makassar, 6 Oktober 2016
Yang membuat pernyataan,
A. Nurul Ilmi
vi
PRAKATA
Puji syukur peneliti panjatkan kehadirat Allah Subhanahu wa Ta’ala atas
segala berkah dan kasih sayangNya, sehingga peneliti dapat menyelesaikan
skripsi yang berjudul “Analisis Pengaruh Penyusun Anggaran dalam Perspektif
Keagenan pada Kabupaten dan Kota di Provinsi Sulawesi Selatan”. Skripsi ini
menjadi tugas akhir untuk mencapai gelar Sarjana Ekonomi dari Departemen
Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Hasanuddin.
Dukungan, bantuan, dan bimbingan berbagai pihak telah menghantarkan
skripsi ini hingga dapat terselesaikan dengan baik. Oleh karena itu, peneliti
menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada segala pihak
yang telah mendampingi dari mulai penyusunan hingga penyelesaian skripsi ini.
Terima kasih yang sebesar-besarnya peneliti haturkan kepada ayah, M.
Basir Gani dan ibu, Andi Wahida yang hingga saat ini senantiasa menjadi
sandaran dan spirit terbesar dalam menyelesaikan skripsi ini. Peneliti juga
menyampaikan terima kasih kepada adik-adik, A. Khalil Gibran, A. Muhammad
Hilal, dan A. Fuad Ahsan yang terus menjadi motivasi bagi peneliti, serta kepada
keluarga besar yang senantiasa memberi dukungan dan semangat kepada
peneliti.
Peneliti juga mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dr. Mediaty, S.E.,
M.Si., Ak., CA dan Ibu Dr. Aini Indrijawati, S.E., Ak., M.Si., CA selaku dosen
pembimbing atas kesediaannya dalam memberikan arahan dan masukan, serta
motivasi kepada peneliti. Terima kasih pula kepada Bapak Drs. M. Christian
Mangiwa, M.Si., Ak., CA selaku dosen penasihat akademik peneliti dan kepada
Bapak-Ibu Dosen serta seluruh pegawai Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas
Hasanuddin.
vii
Ucapan terima kasih peneliti tujukan kepada Pimpinan Badan
Pengelolaan Keuangan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan atas izin dan
kemudahan yang diberikan kepada peneliti selama melaksanakan penelitian. Hal
yang sama peneliti haturkan kepada seluruh jajaran dan pegawai dalam lingkup
Badan Pengelolaan Keuangan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan.
Terima kasih kepada teman-teman Akuntansi Unhas 2012, teman- teman
Media Ekonomi FEB Unhas, dan teman-teman Masjid Darul Ilmi FEB Unhas. Tak
lupa terima kasih juga peneliti haturkan untuk sahabat “Pattene”, “Cinta Segitiga”,
“Keluarga Kecil”, teman-teman KKN Unhas Gelombang 90 Kelurahan Lanrisang,
dan sahabat peneliti dari SD hingga Perguruan Tinggi. Semoga kita semua
menjadi lebih baik dalam segala kebaikan.
Peneliti berharap skripsi ini dapat bermanfaat ke depannya. Namun
demikian, skripsi ini masih jauh dari kata sempurna terlepas dari segala pihak yang
telah mengulurkan bantuannya. Oleh karena itu, segala kritik dan saran yang
membangun dibutuhkan untuk menjadikan skripsi ini lebih baik.
Makassar, 6 Oktober 2016
Peneliti
viii
ABSTRAK
Analisis Perilaku Penyusun Anggaran dalam Perspektif Keagenan pada Kabupaten dan Kota di Provinsi Sulawesi Selatan
Analysis of Budget Compiler’s Behavior within the Agency Perspective in
Regency and City of South Sulawesi Province
A. Nurul Ilmi Mediaty
Aini Indrijawati
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh perubahan Pendapatan Asli Daerah dan perubahan Dana Perimbangan terhadap perilaku oportunistik penyusun anggaran yang menjelaskan mengenai hubungan keagenan pada kabupaten dan kota yang terdapat di Provinsi Sulawesi Selatan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis regresi linear berganda dengan menggunakan data sekunder berupa data dokumenter. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa perubahan Pendapatan Asli Daerah secara parsial berpengaruh terhadap perilaku oportunistik penyusun anggaran, sedangkan perubahan Dana Perimbangan secara parsial tidak berpengaruh terhadap perilaku oportunistik penyusun anggaran. Selain itu, perubahan Pendapatan Asli Daerah dan perubahan Dana Perimbangan secara simultan berpengaruh terhadap perilaku oportunistik penyusun anggaran. Kata kunci: Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan, perilaku oportunistik
penyusun anggaran This research aims to analyze the influence of change in Own Source Revenue and change ini Balanced Fund to budget compiler’s behavior that explains agency relationships in regency and city of South Sulawesi Province. Research method of this research is multiple regression analysis by using secondary data were obtained from documentary data. The results of this research showed that the change in Own Source Revenue partially affects to budget compiler’s behavior, while change in Balanced Fund partially does not affect to budget compiler’s behavior. Beside that, change in Own Source Revenue and change in Balanced Fund simultaneously affect to budget compiler’s behavior. Keywords: Own Source Revenue, Balanced Fund, budget compiler’s behavior
2
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL ..........................................................................
HALAMAN JUDUL .............................................................................
HALAMAN PERSETUJUAN ..............................................................
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN ..............................................
PRAKATA ..........................................................................................
ABSTRAK ..........................................................................................
DAFTAR ISI .......................................................................................
DAFTAR TABEL ................................................................................
DAFTAR GAMBAR ............................................................................
DAFTAR LAMPIRAN .........................................................................
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................
1.1. Latar Belakang ............................................................
1.2. Rumusan Masalah ......................................................
1.3. Tujuan Penelitian ........................................................
1.4. Kegunaan Penelitian ...................................................
1.4.1. Kegunaan Teoretis ..........................................
1.4.2. Kegunaan Praktis ............................................
1.5. Sistematika Penulisan .................................................
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ..........................................................
2.1. Tinjauan Teori .............................................................
2.1.1. Teori Keagenan ...............................................
2.1.2. Hubungan Keagenan di Sektor Publik .............
2.1.2.1. Hubungan Keagenan Eksekutif dan
Legislatif .............................................
2.1.2.2. Hubungan Keagenan Legislatif dan
Rakyat................................................
2.1.2.3. Hubungan Keagenan dalam
Penyusunan Anggaran di Indonesia ...
2.1.3. Penganggaran Sektor Publik dan Politik
Anggaran .........................................................
2.1.4. Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD)
2.1.4.1. Proses Penyusunan APBD ................
2.1.4.2. Pendapatan Asli Daerah (PAD) ..........
2.1.4.3. Dana Perimbangan ............................
2.1.5. Oportunisme dalam Penganggaran Sektor
Publik ..............................................................
2.2. Tinjauan Empirik .........................................................
Halaman
i
ii
iii
iv
v
vi
vii
ix
xii
xiii
xiv
1
1
7
7
8
8
8
8
10
10
10
11
11
12
13
14
16
16
18
18
20
24
x
2.3. Kerangka Pemikiran ....................................................
2.4. Hipotesis Penelitian ....................................................
BAB III METODE PENELITIAN ........................................................
3.1. Rancangan Penelitian .................................................
3.2. Tempat dan Waktu Penelitian .....................................
3.3. Populasi dan Sampel ..................................................
3.4. Jenis dan Sumber Data ...............................................
3.5. Teknik Pengumpulan Data ..........................................
3.6. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ...............
3.6.1. Perubahan Pendapatan Asli Daerah ................
3.6.2. Perubahan Dana Perimbangan .......................
3.6.3. Perilaku Oportunistik Penyusun Anggaran .......
3.7. Analisis Data ...............................................................
3.7.1. Statistik Deskriptif ............................................
3.7.2. Uji Asumsi Klasik .............................................
3.7.2.1. Uji Normalitas .....................................
3.7.2.2. Uji Multikolinearitas ............................
3.7.2.3. Uji Heteroskedastisitas .......................
3.7.3. Uji Hipotesis.....................................................
3.7.3.1. Uji Signifikansi Parsial (Uji t) ..............
3.7.3.2. Uji Signifikansi Simultan (Uji F) ..........
3.7.4. Analisis Regresi ...............................................
3.7.5. Koefisien Determinasi (R2) ...............................
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...........................
4.1. Deskripsi Data.............................................................
4.2. Analisis Data ...............................................................
4.2.1. Statistik Deskriptif ............................................
4.2.2. Uji Asumsi Klasik .............................................
4.2.2.1. Uji Normalitas .....................................
4.2.2.2. Uji Multikolinearitas ............................
4.2.2.3. Uji Heteroskedastisitas .......................
4.2.3. Uji Hipotesis.....................................................
4.2.3.1. Uji Signifikansi Parsial (Uji t) ..............
4.2.3.2. Uji Signifikansi Simultan (Uji F) ..........
4.2.4. Analisis Regresi ...............................................
4.2.5. Koefisien Determinasi (R2) ...............................
4.2.6. Pembahasan ...................................................
BAB V PENUTUP ............................................................................
5.1. Kesimpulan .................................................................
5.2. Saran ..........................................................................
5.3. Keterbatasan Penelitian ..............................................
25
27
31
31
31
31
32
32
33
33
33
33
36
36
36
36
37
37
37
37
38
38
39
40
40
41
41
42
42
43
43
44
44
45
46
47
47
53
53
54
55
xi
DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................
LAMPIRAN .......................................................................................
56
60
xii
DAFTAR TABEL
Tabel
1.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi
Sulawesi Selatan Tahun 2015 ...........................................
4.1 Jumlah PPAD, PDP, dan PO pada Kabupaten/Kota di
Provinsi Sulawesi Selatan ..................................................
4.2 Statistik Deskriptif ..............................................................
4.3 Uji Normalitas ....................................................................
4.4 Uji Multikolinearitas ............................................................
4.5 Uji Heteroskedastisitas ......................................................
4.6 Hasil Uji t ...........................................................................
4.7 Hasil Uji F ..........................................................................
4.8 Hasil Analisis Regresi R2 ...................................................
Halaman
3
40
41
42
43
44
44
45
47
xiii
DAFTAR GAMBAR
Gambar
2.1 Kerangka Pemikiran..........................................................
Halaman
26
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran
1 Biodata ..............................................................................
2 Hasil Uji Normalitas ...........................................................
3 Hasil Uji Multikolinearitas ...................................................
4 Hasil Uji Heteroskedastisitas ..............................................
5 Hasil Uji Hipotesis dan Koefisien Determinasi (R2) .............
Halaman
61
62
63
64
65
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang menerapkan kebijakan otonomi
daerah yang setiap daerahnya diberikan kewenangan khusus dalam mengelola
dan mengurus rumah tangganya sendiri. Otonomi daerah merupakan suatu fase
yang mempertegas adanya desentralisasi dalam pelaksanaan pemerintahan.
Nadir (2013) menyimpulkan “desentralisasi merupakan sebuah konsep yang
mengisyaratkan adanya pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada
pemerintah di tingkat bawah untuk mengurus wilayahnya sendiri”. Nadir (2013)
menambahkan bahwa desentralisasi bertujuan untuk mendorong pemerintah agar
lebih concern terhadap peningkatan efisiensi serta efektivitas pelaksanaan
pelayanan publik pada setiap lapisan masyarakat.
Anggaran menjadi salah suatu manifestasi pelaksanaan pelayanan publik
dan menjadi suatu alat yang disusun pemerintah dengan berbagai pertimbangan.
Anggaran mencakup estimasi dalam periode waktu tertentu dan digunakan untuk
pelaksanaan pemerintahan. Dalam hal kaitannya dengan otonomi daerah,
anggaran direpresentasikan dalam Anggaran Pendapatan Balanja Daerah (APBD)
yang menjadi salah satu hal krusial dalam tatanan pemerintahan yang langsung
menyentuh ranah rakyat. Konsekuensi dari adanya otonomi daerah ini mendorong
pemerintah daerah (pemda) untuk lebih bekerja secara mandiri dalam mengurus
sendiri keuangannya, dalam hal ini merancang, menyusun, dan menetapkan perda
APBD.
2
Berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,
kepala daerah sebagai bagian dari pemda memiliki tugas dan wewenang dalam
menyusun dan mengajukan rancangan peraturan daerah (perda) APBD.
Selanjutnya, rancangan perda ini dibahas dan disetujui bersama Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Lebih lanjut, penetapan undang-undang
tersebut berbuntut pada terciptanya berbagai modifikasi mendasar pada hubungan
pemda sebagai eksekutif dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) sebagai
legislatif.
Seiring dengan penetapan undang-undang yang mengatur tentang
pemerintahan daerah, maka hal ini berimplikasi pada terjadinya peningkatan
tanggung jawab yang lebih besar di tubuh pemda dalam penyelenggaraan
pemerintahan di tingkat daerah, salah satunya Provinsi Sulawesi Selatan. Provinsi
Sulawesi merupakan salah satu daerah yang melaksanakan otonomi daerah yang
terdiri atas 21 kabupaten dan tiga kota.
Provinsi Sulawesi Selatan merupakan salah satu sentral perekonomian di
kawasan Indonesia bagian timur. Dengan citra demikian, Provinsi Sulawesi
Selatan menjadi daerah dengan potensi pendapatan yang cukup besar dan
diharap mampu dalam melaksanakan pemerintahan secara mandiri, termasuk
dalam mengelola sendiri keuangan daerahnya. Dalam mengelola keuangan
sendiri, pemda dalam hal ini memiliki tugas dan wewenang dalam merancang,
menyusun, dan menetapkan APBD untuk daerahnya sendiri. Berikut perbandingan
pendapatan dan belanja pada kabupaten dan kota di Provinsi Sulawesi Selatan.
3
Tabel 1.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2015 dalam Satuan Rupiah
Kabupaten/Kota Pendapatan Belanja
Bantaeng 683.522.948.372,00 683.350.622.203,00
Barru 787.984.459.926,00 812.430.371.690,46
Bone 1.671.266.086.750,00 1.704.859.604.245,00
Bulukumba 1.217.841.650.069,00 1.337.751.514.998.00
Enrekang 802.671.826.841,00 858.334.286.896,00
Gowa 1.339.477.079.210,00 1.378.785.522.998,00
Jeneponto 917.138.054.366,00 965.929.126.012,00
Kepulauan Selayar 722.528.690.000,00 732.028.690.000,00
Luwu 1.019.263.132.211,00 1.040.231.959.930,00
Luwu Timur 1.113.896.600.155,00 1.267.033.581.875,00
Luwu Utara 999.688.016.048,00 1.021.448.022.998,00
Maros 1.139.552.126.278,00 1.139.324.126.278,00
Pangkajene dan Kepulauan 1.118.340.294.235,00 1.127.757.157.017,00
Pinrang 1.043.892.403.833,00 1.042.142.403.833,00
Sidenreng Rappang 1.028.359.173.000,00 1.058.525.869.000,00
Sinjai 846.961.456.577,00 872.461.456.577,00
Soppeng 921.134.600.410,00 937.734.583.216,00
Takalar 908.306.497.317,00 908.306.497.317,00
Tana Toraja 809.147.892.454,00 858.594.689.000,00
Toraja Utara 744.920.498.450,00 747.856.616.850,00
Wajo 1.137.337.072.761,00 1.158.137.072.761,00
Makassar 3.081.367.914.000,00 3.324.367.914.000,00
Palopo 741.187.396.600,00 722.746.021.600,00
Parepare 730.012.750.145,00 735.591.485.544,00 Sumber: BPKD Provinsi Sulawesi Selatan (2015)
Proyeksi anggaran pendapatan di kabupaten dan kota di Provinsi
Sulawesi Selatan rata-rata ternyata lebih sedikit apabila dibandingkan dengan
proyeksi anggaran untuk alokasi belanja. Hal ini menyebabkan banyaknya defisit
pada laporan APBD tahunan pada kabupaten dan kota di Provinsi Sulawesi
Selatan. Dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat, alokasi-alokasi
belanja ini tentu harus berasaskan pada preferensi masyarakat pada umumnya.
Beberapa alokasi utama dalam pembelanjaan daerah, meliputi alokasi di bidang
pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum, dan pemerintahan umum, serta alokasi
pada bidang-bidang lainnya. Penggunaan yang tidak tepat sasaran dapat
4
mendorong perilaku oportunistik yang menyebabkan adanya pos-pos belanja yang
tidak terlalu urgen.
Di Sulawesi Selatan sendiri, terdapat berbagai kasus yang
mengindikasikan adanya dugaan maupun tindakan penyimpangan yang nyata
dalam pengelolaan keuangan oleh pemerintah daerah pada kabupaten dan kota
yang terdapat di provinsi tersebut. Kasus penyimpangan pengelolaan keuangan
yang terjadi di kabupaten/kota di Provinsi Selatan, antara lain penemuan Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK) Wilayah VI Makassar atas penyelewengan keuangan
negara pada beberapa kabupaten, dinas, dan BUMN di Provinsi Sulawesi Selatan.
Keseluruhan jumlah penyelewengan tersebut mencapai lebih dari Rp
486.000.000.000 yang kebanyakan berasal dari APBD tahun 2002 dan 2003
(http://www.antikorupsi.org). Kasus lainnya adalah dugaan penyalahgunaan dana
yang bersumber dari APBD 2014 untuk proyek pembangunan bronjong serta dana
pemeliharaan alat berat yang terjadi di Kabupaten Bone yang diperkirakan
merugikan negara sebesar Rp 5.000.000.000 (https://nasional.tempo.co). Kasus
serupa terjadi di Kabupaten Jeneponto yang melibatkan DPRD Kabupaten
Jeneponto atas dugaan dana aspirasi fiktif untuk pencairan dana proyek. Dugaan
kasus ini mencuat oleh adanya dana aspirasi proyek dalam APBD 2013 yang
pengerjaannya telah dilaksanakan pada tahun 2012 (http://upeks.co.id). Di sektor
pendidikan, berdasarkan data dari Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor)
Makassar, kasus korupsi sektor pendidikan di Sulawesi Selatan sepanjang tahun
2015-2016 mencapai delapan kasus dengan total kerugian negara sebesar lebih
dari Rp 6.200.000.000 yang meliputi kasus korupsi Dana Alokasi Khusus,
pemotongan Bantuan Siswa Miskin (BSM), rehabilitasi sekolah, korupsi dana block
grant pembangunan sekolah, korupsi dana pendidikan gratis, dan korupsi dana
Biaya Operasional Sekolah (BOS) (http://kopel-online.or.id/). Di sektor lain yakni
5
pada sektor kesehatan berdasarkan hasil temuan dari Badan Pemeriksa
Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Sulawesi Selatan menunjukkan adanya
indikasi penyelewengan APBD tahun 2012-2013 untuk proyek pengadaan alat
kesehatan di Kabupaten Luwu yang menyebabkan kerugian negara sebesar Rp
8.000.000.000 (http://www.indikasinews.com/).
Berbagai kasus yang mengindikasikan adanya dugaan maupun tindakan
penyimpangan yang nyata akibat dari perilaku oportunistik ini berimplikasi pada
berbagai usaha dalam memanfaatkan celah dalam anggaran yang bisa memenuhi
kepentingan pribadi atau kelompok-kelompok tertentu, terutama oleh pihak-pihak
yang memiliki akses luas dalam segala hal terkait dengan penyusunan anggaran
ini. Lebih lanjut, penyusunan anggaran daerah ini menilik keterkaitan antara
pemda sebagai eksekutif dan DPRD sebagai legislatif, dan hal ini tentu melibatkan
masyarakat sebagai sasaran utama dalam proses penyusunan anggaran.
Hubungan yang melibatkan pemda, DPRD, dan masyarakat ini dapat ditinjau dari
perspektif keagenan. Hubungan keagenan yang melibatkan tiga elemen tersebut
lebih lanjut dilihat dari sudut pandang hubungan antara eksekutif dan legislatif,
maka eksekutif bertindak sebagai agen, dan legislatif sebagai prinsipal, sedangkan
dari sudut pandang legislatif dan rakyat (pemilih), legislatif adalah agen, sementara
rakyat (pemilih) adalah prinsipal (Halim dan Abdullah, 2006).
Adanya berbagai kecenderungan penyalahgunaan APBD mendorong
berbagai penelitian terkait perilaku oportunistik penyusun anggaran dalam
perumusuan APBD. Penelitian mengenai perilaku oportunistik penyusun anggaran
ini antara lain sudah pernah dilakukan oleh Abdullah dan Asmara (2006) yang
menggunakan besaran perubahan PAD sebagai variabel independen dan perilaku
oportunistik legislatif sebagai variabel dependen. Hasil dari penelitian ini
menunjukkan bahwa legislatif berperilaku oportunistik dalam penyusunan APBD,
6
dan besaran perubahan PAD berpengaruh positif terhadap perilaku oportunistik
legsilatif. Maryono (2013), Agung (2012), dan Fathony (2011) juga menemukan
hal serupa bahwa besaran perubahan PAD, DAU, Dana Perimbangan, dan Sisa
Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA) berpengaruh positif terhadap perilaku
oportunistik dalam penyusunan APBD. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh
Parwati (2015) menunjukkan bahwa besaran perubahan PAD, DAU, dan SiLPA
berpengaruh positif terhadap perilaku oportunistik penyusun anggaran.
Perubahan APBD menjadi sarana yang legal dalam mengubah alokasi
anggaran. Kenyataan ini membuka peluang adanya kemungkinan untuk
memenuhi utilitas pribadi atau golongan melalui keleluasaan dalam
mengalokasikan anggaran. Segelintir dari berbagai kasus dalam penyelewengan
APBD khususnya pada kabupaten dan kota di Provinsi Sulawesi Selatan ditambah
berbagai penelitian terkait perilaku oportunistik penyusun anggaran, menjadi
indikasi kemungkinan terjadinya masalah keagenan yang berujung pada perilaku
oportunistik penyusun anggaran pada kabupaten dan kota di Provinsi Sulawesi
Selatan.
Berdasarkan hal-hal yang melatarbelakangi di atas, penelitian ini bukan
hendak mendeteksi atau menjustifikasi dugaan adanya tindakan penyelewengan
yang dilakukan oleh pihak yang memiliki otoritas dalam penyusunan anggaran ini.
Penelitian ini hendak mengkaji pengaruh anggaran perubahan pendapatan, dalam
hal ini perubahan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan perubahan Dana
Perimbangan terhadap alokasi belanja yang menggambarkan perilaku penyusun
anggaran dalam perspektif keagenan. Selanjutnya, untuk memfasilitasi hal
tersebut, maka dilakukan penelitian yang berjudul “Analisis Perilaku Penyusun
Anggaran dalam Perspektif Keagenan pada Kabupaten dan Kota di Provinsi
Sulawesi Selatan”.
7
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, PAD dan Dana
Perimbangan merupakan sumber pendapatan daerah yang digunakan untuk
membiayai segala keperluan yang mendukung pelaksanaan otonomi daerah.
Dengan demikian, rumusan masalah penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Apakah perubahan PAD berpengaruh terhadap perilaku oportunistik
penyusun anggaran pada kabupaten dan kota di Provinsi Sulawesi Selatan?
2. Apakah perubahan Dana Perimbangan berpengaruh terhadap perilaku
oportunistik penyusun anggaran pada kabupaten dan kota di Provinsi
Sulawesi Selatan?
3. Apakah perubahan PAD dan perubahan Dana Perimbangan secara simultan
berpengaruh terhadap perilaku oportunistik penyusun anggaran pada
kabupaten dan kota di Provinsi Sulawesi Selatan?
1.3. Tujuan Penelitian
Merujuk pada rumusan masalah tersebut di atas, maka penelitian ini
diadakan dengan tujuan untuk menganalisis hal-hal sebagai berikut.
1. Pengaruh perubahan PAD terhadap perilaku oportunistik penyusun anggaran
pada kabupaten dan kota di Provinsi Sulawesi Selatan.
2. Pengaruh perubahan Dana Perimbangan terhadap perilaku oportunistik
penyusun anggaran pada kabupaten dan kota di Provinsi Sulawesi Selatan.
3. Pengaruh perubahan PAD dan perubahan Dana Perimbangan terhadap
perilaku oportunistik penyusun anggaran pada kabupaten dan kota di Provinsi
Sulawesi Selatan.
8
1.4. Kegunaan Penelitian
1.4.1. Kegunaan Teoretis
Penelitian ini dapat berguna dan memberikan manfaat, yaitu sebagai
berikut.
1. Referensi bagi peneliti selanjutnya yang ingin mengangkat permasalahan
terkait perilaku penyusun anggaran ditilik dari perspektif keagenan, hal ini
khususnya dalam ruang lingkup sektor publik.
2. Sumber literatur ilmu pengetahuan, khususnya terkait dengan hubungan yang
melibatkan perilaku penyusun anggaran dan penganggaran daerah yang
dilihat dari sudut pandang teori keagenan.
1.4.2. Kegunaan Praktis
Penelitian ini dapat berguna dan memberikan manfaat, yaitu menjadi
suatu masukan untuk kabupaten dan kota di Provinsi Sulawesi Selatan dalam
memahami lebih jauh mengenai perilaku penyusun anggaran dalam perspektif
teori keagenan.
1.4.3. Sistematika Penulisan
Pembahasan dalam penelitian ini terbagi dalam lima bab pokok bahasan
yang memberikan rincian dan penjabaran secara sistematis, yaitu sebagai berikut.
BAB I Pendahuluan
Bab ini terdiri atas latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian
kegunaan penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II Tinjauan Pustaka
Bab ini memuat mengenai teori-teori yang melandasi penelitian, tinjauan
empirik yang merupakan penelitian-penelitian terdahulu, dan hipotesis
penelitian.
9
BAB III Metode Penelitian
Bab ini menjabarkan mengenai rancangan penelitian, tempat dan waktu
penelitian, populasi dan sampel, jenis dan sumber data, teknik
pengumpulan data, variabel penelitian dan definisi operasional,
instrumen penelitian, serta analisis data.
BAB IV Hasil Penelitian dan Pembahasan
Bab ini memaparkan hasil statistik deskriptif, uji asumsi klasik, hasil
analisis regresi, uji hipotesis, dan uji koefisien determinasi, serta
pembahasan.
BAB V Penutup
Bab ini terdiri dari kesimpulan, saran, dan keterbatasan penelitian.
10
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tinjauan Teori
2.1.1. Teori Keagenan
Teori keagenan mengkaji lebih jauh mengenai hubungan kontraktual
yang terjadi antara pihak prinsipal yang membuat kontrak (baik secara eksplisit
maupun implisit) dengan pihak agen yang diharapkan dapat bersinergi dengan
baik. Namun, Jensen dan Meckling (1976) menyatakan “jika kedua kelompok
(agent dan principal) tersebut adalah orang-orang yang berupaya memaksimalkan
utilitasnya, maka alasan yang kuat untuk meyakini bahwa agen tidak akan selalu
bertindak yang terbaik untuk kepentingan prinsipal”. Hubungan kontraktual yang
melibatkan agen dan prinsipal ini, seyogyanya dapat berimpak pada hal positif
berupa efisiensi, namun mengingat discreationary power yang dimiliki lebih
cenderung berdampak negatif yang menimbulkan perilaku oportunistik (Abdullah,
2006 dalam Abduh, 2015). Masalah yang sering timbul dari adanya hubungan
kontraktual ini adalah realitas bahwa kepadatan informasi yang dimiliki oleh pihak
agen dibandingkan prinsipal dapat memicu terciptanya moral hazard oleh pihak
agen dan adverse selection yang mendorong pihak prinsipal mengeluarkan
sejumlah biaya untuk melakukan pemantauan terhadap agen dan mengambil
tindakan dalam penentuan struktur yang insentif dan monitoring yang efisien
(Petrie, 2002).
Muliati (2011) menyatakan bahwa dalam teori keagenan memiliki asumsi
bahwa setiap individu bertendensi untuk kepentingan diri sendiri yang mendorong
terciptanya konflik kepentingan antara pihak agen dan prinsipal. Lebih lanjut,
Stiglitz (1999) dalam Asmara (2010) memberi pernyataan bahwa masalah
11
keagenan terdapat pada semua organisasi, baik organisasi privat maupun
organisasi publik. Carr dan Brower (2000) dalam Asmara (2010) menyatakan
bahwa terdapat dua pilihan dalam kontrak terkait model keagenan yang
sederhana, yakni (1) behavior-based (prinsipal melakukan monitor terhadap
perilaku agen), dan (2) outcome-based (pemberian insentif yang memotivasi agen
dalam pencapaian kepentingan prinsipal).
2.1.2. Hubungan Keagenan di Sektor Publik
2.1.2.1. Hubungan Keagenan Eksekutif dan Legislatif
Lane (2003) dalam Halim dan Abdullah (2006) menyatakan bahwa teori
keagenan dapat diimplimentasikan pada organisasi sektor publik. Dalam sektor
publik, eksekutif dan legislatif memiliki keterkaitan satu sama lain dalam perspektif
keagenan. Halim (2002), Fozzard (2001), dan Moe (1984) dalam Halim dan
Abdullah (2006) menyebutkan bahwa eksekutif sebagai agen dan legislatif sebagai
prinsipal.
Prinsipal dengan otoritas yang dimilikinya dalam mengambil sejumlah
tindakan, melakukan pendelegasian otoritas tersebut kepada agen. Dalam
perumusan kebijakan yang baru oleh legislatif, pihak legislatif sebagai prinsipal
melakukan pelimpahan kewenangan kepada eksekutif sebagai agen untuk
kemudian usulan kebijakan oleh eksekutif ini berakhir pada penolakan atau
penerimaan dari pihak legislatif selaku pihak yang melakukan pendelegasian
wewenang.
Johnson (1994) dalam Abdullah dan Asmara (2006) memberi istilah self-
interest model untuk hubungan antara eksekutif atau birokrasi dan legislatif atau
kongres. Legislators yang ingin dipilih kembali akan mencari proyek dan program
yang membuatnya tenar di mata konstituen, sementara konstituen yang ingin
12
memaksimalkan utilitasnya percaya dengan kemungkinan benefits yang akan
diterimanya melalui program-program baru yang dicetuskan birokrat dalam rangka
mengembangkan agencynya. Akibat dari rantai “pertemuan” ini, kesepakatan yang
tercipta di antara birorat dan legislators sangatlah mungkin terjadi.
Legislatif sebagai pihak prinsipal dapat berperilaku moral hazard dalam
rangka mewujudkan self-interest yang dimilikinya (Elgie dan Jones, 2001 dalam
Halim dan Abdullah, 2006). Hal ini merupakan akibat discretionary power yang
mendorong timbulnya pelanggaran atas kontrak keagenan (Colombatto, 2001).
Menurut Abdullah dan Asmara (2006), discretionary power yang dimiliki
berbanding lurus dengan kecenderungan untuk lebih mengedepankan
kepentingan pribadi, dalam artian semakin besar discretionary powernya, maka
semakin besar pula kecenderungan tersebut. Masalah yang terjadi dalam
hubungan antara eksekutif dan legislatif ini kerap kali menimbulkan berbagai
masalah dan persoalan, Lupia dan McCubbins (1994) menyebut ini sebagai
agency problems.
2.1.2.2. Hubungan Keagenan Legislatif dan Rakyat
Fozzard (2001), Lane (2000), dan Moe (1984) dalam Halim dan Abdullah
(2006) menyatakan bahwa dalam pelayanan publik, hubungan keagenan antara
legislatif dan rakyat, yaitu legislatif yang merupakan wakil yang diutus atau dipilih
oleh rakyat bertindak sebagai agen dan rakyat yang melakukan pemilihan sebagai
prinsipal. Di Indonesia sendiri, terhitung sudah sebelas kali pemilihan umum
(pemilu) diselenggarakan untuk rakyat memilih anggota legislatif (DPR dan DPRD)
sejak tahun 1955.
Von Hagen (2002) menyatakan bahwa legislatif sebagai perwakilan dari
rakyat memiliki otoritas dalam menentukan penggunaan dan pemanfaatan dana-
13
dana publik. Publik (rakyat) disebut sebagai the ultimate principals karena
merupakan prinsipal bagi legislatif dan juga eksekutif (Mitchell, 2000 dalam Latifah
P, 2010).
2.1.2.3. Hubungan Keagenan dalam Penyusunan Anggaran di Indonesia
Hubungan kontraktual antara eksekutif, legislatif, dan rakyat yang
dituangkan dalam peraturan perundang-undangan menjadi bentuk
pengimplikasian dari teori keagenan. Damayanti (2011) menyatakan sebagai
berikut.
Pada kenyataannya, hubungan keagenan pada organisasi pemerintahan menjadi suatu konsep yang penting. Hal ini disebabkan karena keseharian aktivitas organisasi tersebut selalu berhubungan dengan pendelegasian wewenang, seperti pada skala lokal, penyediaan pelayanan kesehatan, pendidikan, dan beragam pelayanan lainnya yang berhubungan dengan masyarakat, semua didelegasi kepada level bawah.
Salah satu aturan mendasar yang menjabarkan tentang hubungan antara
eksekutif dan legislatif dimuat dalam UU Nomor 29 Tahun 2009 tentang
Pemerintahan Daerah yang kemudian direvisi menjadi UU Nomor 32 Tahun 2004.
Pada UU Nomor 32 Tahun 2004, pemda selaku eksekutif dan DPRD selaku
legislatif menetapkan kebijakan secara bersama, perda yang dibuat haruslah
mendapatkan persetujuan dari DPRD sebelum dinyatakan sah. Selain itu, DPRD
juga turut ambil andil dalam membahas dan menetapkan rancangan perda terkait
APBD. Beberapa hal yang menjadikan kedudukan DPRD sedikit lebih superior
daripada pemda adalah pemda berkewajiban untuk menyerahkan laporan
keterangan pertanggungjawaban kepada DPRD kemudian menginformasikannya.
Hal lain yang memperkuat posisi DPRD atas pemda adalah DPRD memiliki
wewenang dalam mengawasi pelaksanaan pemerintahan termasuk di dalamnya
perda, peraturan kepala daerah dan perundang-undangan, APBD, serta kebijakan
perda dalam pembangunan daerah. DPRD juga berwenang untuk mengusulkan
14
pengangkatan dan pemberhentian kepala daerah/wakil kepala daerah. Peraturan
lain yang membahas hubungan eksekutif dan legislatif, antara lain sebagai berikut.
1. UU 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Daerah
2. UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Daerah
3. UU Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan
Tanggung Jawab Keuangan Negara
Aturan-aturan di atas menjelaskan tentang mekanisme pengaturan untuk
pemerintah yang terdapat pada keuangan publik termasuk daerah dan negara.
Anggaran daerah di Indonesia disebut sebagai APBD dan diatur dalam
UU Nomor 32 Tahun 2004. Eksekutif menetapkan prioritas dan plafon anggaran
yang menjadi dasar penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Satuan Kerja
Perangkat Daerah (RK SKPD) dalam rangka penyusunan rancangan APBD.
Selanjutnya, eksekutif mengusulkan rancangan perda mengenai APBD ke
legislatif untuk disetujui bersama.
2.1.3. Penganggaran Sektor Publik dan Politik Anggaran
Anggaran adalah suatu alat yang disusun pemerintah dengan berbagai
pertimbangan yang mencakup estimasi dalam periode waktu tertentu dan
digunakan untuk pelaksanaan pemerintahan. Menurut Riharjo dan Isnadi (2010)
“anggaran merupakan alat akuntabilitas, perencanaan dan pengendalian
manajemen, serta sebagai alat kebijakan ekonomi”. Sementara Dobell dan Ulrich
(2002) dalam Latifah P (2010) mendefinisikan anggaran sebagai alat kunci yang
digunakan pemerintah dalam pelaksanaan kewajiban, janji, maupun kewajiban
yang diwujudkan dalam rencana-rencana nyata yang terintegrasi terkait tindakan
yang semestinya diambil, biaya yang kemudian timbul, dan pihak yang
mengucurkan dana dalam pembiayaan tersebut. Di sisi lain, Freeman dan
15
Shoulders (2003) dalam Fathony (2011) memandang anggaran yang telah
ditetapkan merupakan kontrak kinerja yang terjalin antara eksekutif dan legislatif.
Abdullah dan Asmara (2006) mengungkapkan pernyataan V.O Key yang
memberikan isyarat mengenai kendala pada penganggaran, yakni adanya
ketebatasan pada sumber daya. Keterbatasan inilah selanjutnya yang menjadikan
penentuan alokasi anggaran menjadi kompleks, ditambah berbagai pihak yang
memiliki preferensi dan kepentingan yang berbeda (Rubin, 1993 dalam Abdullah
dan Asmara, 2006). Hal ini berimbas pada kemungkinan terjadinya konflik atas
dasar kepentingan yang berbeda terhadap hasil atau outcome anggaran. Lebih
lanjut, Hagen et al. (1996) dalam Abdullah dan Asmara (2006) menyebutkan
bahwa di antara eksekutif dan legislatif terjadi bargaining process dalam
penganggaran publik.
Unsur-unsur politik dalam penganggaran publik seperti menjadi satu-
kesatuan yang tidak terpisahkan. Dalam melakukan penyusunan anggaran,
pemerintah telah menetapkan kriteria yang efisien dan profesional dengan
menempatkan para penyusun dengan latar belakang pendidikan yang mumpuni
terkait penganggaran, namun perhitungan-perhitungan tersebut seringkali
berbenturan dengan pertimbangan-pertimbangan politik oleh para politisi dalam
hal ini anggota legislatif.
Von Hagen (2002) mengklasifikasikan penganggaran ke dalam empat
tahapan, yakni (1) executive planning, (2) legislative approval, (3) executive
implementation, (4) ex post accountability. Pada dua tahapan paling awal, interaksi
yang terjadi antara eksekutif dan legislatif menjadi lebih intens dan politik anggaran
sangat mendominasi, sementara dua tahapan terakhir hanya melibatkan eksekutif
sebagai agen.
16
2.1.4. Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD)
2.1.4.1. Proses Penyusunan APBD
APBD dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 didefinisikan sebagai dasar
pengelolaan keuangan selama satu tahun anggaran terhitung mulai dari 1 Januari
hingga 31 Desember. APBD merupakan rencana keuangan tahunan daerah yang
dirancang oleh pemda kemudian dibahas dan disetujui bersama DPRD dan
ditetapkan dalam perda (Sularno, 2013).
Penerapan otonomi daerah di Indonesia berimbas pada patron dalam
pengelolaan dan penganggaran daerah yang menggunakan penganggaran
berbasis kinerja. Penganggaran kinerja ini menstimulasi partisipasi stakeholders
sehingga kesesuaian hasil dan kebutuhan publik dapat tercapai. Hal ini berdampak
pada keterlibatan legislatif secara aktif dalam menyusun dan menetapkan
anggaran sebagai bagian dari produk hukum serta memastikan kebutuhan dan
kepentingan publik dapat terfasilitasi melalui alokasi anggaran.
UU Nomor 17 Tahun 2003 menjabarkan mekanisme penyusunan dan
penetapan APBD. APBD yang terdiri atas anggaran pendapatan, anggaran
belanja, dan pembiayaan ini dirancang (selanjutnya disebut Rancangan
APBD/RAPBD) dengan berlandaskan pada rencana kerja pemda. RAPBD ini
kemudian disusun berdasarkan penyampaian pemda kepada DPRD mengenai
kebijakan umum APBD tahun anggaran berikutnya. Sebelum penyusunan RAPBD
dilakukan, sesuai dengan kebijakan umum APBD yang telah disepakati bersama
dengan DPRD, pemda besama DPRD membahas prioritas dan plafon anggaran
sementara sebagai acuan dalam menyusun RK SKPD. Selanjutnya, rencana kerja
dan anggaran SKPD ini dibahas bersama DPRD dan dijadikan sebagai bahan
dalam merumuskan RAPBD. Pada tahap berikutnya, pemda mengajukan RAPBD
kepada DPRD beserta penjelasan dan dokumen pendukungnya dan kemudian
17
DPRD dapat mengajukan usulannya terkait perubahan jumlah penerimaan dan
pengeluaran yang terdapat pada RAPBD. RAPBD yang telah dibahas dan disetujui
DPRD kemudian disahkan menjadi APBD yang akan diterapkan pada tahun
berikutnya.
Khusus untuk perubahan APBD, UU Nomor 32 Tahun 2004 mengatur
beberapa kondisi yang dapat dijadikan alasan dalam perubahan APBD, yakni
apabila terjadi hal-hal sebagai berikut.
1. Perkembangan yang tidak sesuai dengan asumsi kebijakan umum APBD.
2. Keadaan yang menyebabkan harus dilakukan pergesaran anggaran antar unit
organisasi, antar kegiatan, dan antar jenis belanja.
3. Keadaan yang menyebabkan SiLPA tahun sebelumnya harus digunakan
untuk pembiayaan dalam tahun anggaran belanja.
Setelah satu atau lebih kondisi di atas terpenuhi, pemda mengajukan
rancangan perda terkait perubahan APBD kepada DPRD untuk disetujui serta
menyerahkan penjelasan dan dokumen yang mendukung. Perubahan anggaran
ini idealnya menjadi penyesuaian yang diharapkan dapat meningkatkan
tercapainya target yang ditentukan (Bland & Rubin, 1997; Dougherty et al., 2003;
Forrester&Mullins, 1992 dalam Abdullah dan Rona, 2016). Namun, masalah
keagenan yang terjadi di antara penyusun anggaran menyebabkan perubahan
atau penyesuaian yang dilakukan tidak selalu mengacu pada konsep idealnya.
Pada saat itulah, Fathony (2011) menyebut bahwa proses tersebut sarat dengan
kepentingan politik.
Draver dan Pitsvada (1992) dalam Abdullah dan Rona (2016) memberi
pernyataan bahwa pihak eksekutif, legislatif, dan birokrat menjadikan momen
perubahan anggaran ini sebagai sarana dalam mencapai konsensus atau
kesepakatan tertentu berdasarkan agenda masing-masing pihak. Hal ini dapat
18
mendorong diabaikannya kepentingan publik (Abdullah, 2012 dalam Abdullah dan
Rona, 2016) sebab proses dalam perubahan anggaran cenderung lebih tertutup
terhadap pemantauan publik sehingga kecenderungan masalah keagenan juga
relatif lebih besar (Abdullah dan Nazry, 2014).
2.1.4.2. Pendapatan Asli Daerah (PAD)
PAD adalah pendapatan yang diperoleh langsung dari daerah yang
digunakan dalam rangka maksimalisasi penyelenggaraan otonomi daerah. UU
Nomor 33 Tahun 2004 mendefinisikan PAD sebagai pendapatan yang diperoleh
dari pemungutan yang dilakukan berdasarkan perda setempat dan tidak
kontradiksi dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
PAD diperoleh dari beberapa sumber, yaitu meliputi pajak daerah,
retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-
lain PAD yang sah. Adapun lain-lain PAD yang dianggap sah terdiri atas hasil
penjualan daerah yang tidak dipisahkan, jasa giro, pendapatan bunga, keuntungan
selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, dan komisi, potongan, atau
bentuk lain yang timbul dari penjualan, pengadaan barang maupun jasa oleh
daerah. Penggunaan PAD sendiri bersifat fleksibel tergantung pada kepentingan
dan prioritas daerah yang bersangkutan.
2.1.4.3. Dana Perimbangan
Berbeda dengan PAD, Dana Perimbangan merupakan dana yang
bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) yang
didistribusikan atau ditransferkan kepada daerah-daerah yang berfungsi sebagai
sumber pendanaan yang selanjutnya dikelola oleh pemda yang bersangkutan
dalam rangka desentralisasi. Dana Perimbangan terdiri atas DAU, DAK, dan DBH.
19
DAU merupakan dana yang bersumber dari APBN yang didistribusikan
atau ditransferkan kepada daerah-daerah yang berfungsi sebagai sumber
pendanaan yang selanjutnya dikelola oleh pemda yang bersangkutan dengan
jumlah keseluruhan minimal 26% dari Pendapatan Dalam Negeri Neto yang
ditetapkan dalam APBN. Adapun hasil proporsi penghitungan DAU setiap provinsi,
kabupaten, dan kota ditetapkan melalui keputusan presiden. Munir (2003) dalam
Frelistiyani (2010) menyatakan bahwa DAU yang ditransferkan kepada daerah-
daerah memiliki jumlah yang berbeda. Hal ini terkait fungsi DAU untuk
mempersempit kesenjangan fiskal (fiscal gap) dan memeratakan kemampuan
fiskal antar daerah. Kurniawan (2010) dalam Frelistiyani (2010) menyebutkan
bahwa DAU bersifat block grant yang dapat dimanfaatkan secara fleksibel, artinya
penggunaannya dapat disesuaikan dengan kebutuhan daerah yang bersangkutan.
Terdapat dua faktor yang dijadikan tolok ukur dalam menghitung besaran DAU,
yaitu faktor murni dan faktor penyeimbang. Faktor murni melandasi perhitungan
DAU pada formula, sedangan faktor penyeimbang merupakan prosedur tertentu
untuk meminimalisir adanya kemungkinan penurunan kemampuan daerah dalam
membiayai pengeluaran daerah yang bersangkutan (Mardiasmo, 2002 dalam
Maryono, 2013).
DAK merupakan bagian dari Dana Perimbangan yang berasal dari APBN
yang berfungsi sebagai sumber pendanaan kegiatan khusus yang menjadi urusan
daerah, namun tetap relevan dengan prioritas nasional. DAK bertujuan untuk
mengurangi beban pemda dalam membiayai kegiatan khusus yang menjadi
tanggungannya (Wandira, 2013). Setidaknya untuk mendapatkan DAK, pemda
wajib menyertakan dana pendamping minimal 10% dari alokasi DAK yang
diperoleh daerah tersebut (kecuali untuk daerah dengan keadaan fiskal tertentu).
Usman et al. (2008) menyatakan bahwa pada tahun 2005, proporsi alokasi DAK
20
dari total belanja APBN mencapai 1,7% dengan perolehan DAK terbesar
dialokasikan untuk pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur dan pada tahun 2007.
Adapun DAK dialokasikan pada tujuh bidang pelayanan publik, yakni antara lain
pendidikan, kesehatan, infrastruktur, prasarana pemerintahan daerah, pertanian,
kelautan dan perikanan, serta lingkungan hidup.
Meskipun DAK termasuk ke dalam Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD), dalam pemanfaatannya, pemda harus mengikuti berbagai regulasi pusat, seperti Undang-undang (UU), Peraturan Pemerintah (PP), Keputusan Presiden, Peraturan/Keputusan Menteri, Surat Edaran Direktur Jenderal, dan Surat Edaran Direktur Departemen yang memperoleh alokasi DAK (Usman et al., 2008).
DBH dalam UU Nomor 33 Tahun 2004 didefinisikan sebagai dana yang
berasal dari APBN yang pengalokasiannya berdasarkan angka persentase untuk
mendanai daerah dalam rangka desentralisasi. DBH diperoleh dari hasil pajak dan
sumber daya alam. Hasil pajak yang dimaksud sebagai sumber DBH meliputi
Pajak Bumi dan Bangungan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
(BPHTB), serta Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 Pasal 29, dan Pasal 21. Adapun
sumber daya alam yang dimaksud berasal dari kehutanan, pertambangan umum,
perikanan, pertambangan minyak bumi, pertambangan gas bumi, dan
pertambangan panas bumi.
2.1.5. Oportunisme dalam Penganggaran Sektor Publik
Implikasi dari teori keagenan memunculkan perbedaan kedudukan
termasuk dengan kewenangan dan akses yang dimiliki pihak tersebut. Sebagai
pihak agen, eksekutif memiliki keunggulan yakni akses informasi yang lebih luas
dibandingkan dengan legislatif yang bertindak sebagai prinsipal. Legislatif di sisi
lain berwenang dalam melakukan pengawasan serta dimintai persetujuannya
dalam peraturan yang dibuat oleh eksekutif.
21
Permasalahan yang kemudian timbul adalah adanya asimetri informasi
ini tidak menutup kemungkinan untuk disalahgunakan. Menurut Belkaoui (2000)
dalam Abduh (2015), asimetri informasi tersebut dapat mendorong lahirnya
adverse selection dan moral hazard secara kolektif.
Rita dan Sari (2012) mendefinisikan adverse selection sebagai suatu
permasalahan yang dihadapi prinsipal dalam mengontrol dan memonitor tindakan
dan aktivitas agen sehingga menyebabkan prinsipal tidak dapat mengetahui
secara pasti mengenai kesesuaian keputusan yang diambil agen dengan informasi
yang sebenarnya. Adapun moral hazard adalah suatu hal yang muncul akibat
seseorang atau lembaga tidak benar-benar konsekuen dan tidak bertanggung
jawab atas tindakan dan perbuatannya sehingga cenderung untuk tidak berhati-
hati dalam melepas tanggung jawabnya atas akibat yang timbul dari tindakannya
terhadap pihak lain (Susanto, 2010 dalam Mulki, 2011).
Legislatif sebagai perwakilan rakyat seharusnya benar-benar dapat
mengakomodir seluruh kepentingan dan kebutuhan rakyat secara umum,
termasuk dalam penganggaran publik, namun permasalahan yang kemudian
timbul dalam hubungan keagenan antara legislatif dan rakyat ini adalah
mencuatnya kecenderungan bahwa posisi legislatif tidak cukup mewakili suara
rakyat secara daulat karena tidak adanya institusi atau lembaga formal dari pihak
rakyat yang dapat melakukan pengawasan secara langsung dan tidak ada
hubungan kontraktual hitam di atas putih secara eksplisit antara rakyat dan
legislatif. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Lupia dan McCubins (2000) yang
mengingatkan bahwa pendelegasian, dalam hal ini hubungan legislatif dan rakyat
berkonsekuensi pada tidak terkontrolnya keputusan yang dibuat agen oleh
prinsipal. Garamfalvi (1997) mempertegas hal tersebut dengan menyebutkan
bahwa politisi (legislatif) dengan pengaruh dan kekuasaan yang dimilikinya
22
cenderung untuk menentukan alokasi sumber daya yang dapat meningkatkan
keuntungan pribadi mereka.
Menurut Arifah (2012), perilaku oportunistik eksekutif dalam pengusulan
belanja diwujudkan dalam beberapa tindakan, antara lain sebagai berikut.
1. Mengusulkan kegiatan yang tidak sesuai dengan prioritas.
2. Mengusulkan kegiatan yang berpeluang untuk mendapatkan keuntungan
pribadi (lucrative opportunities) yang besar.
3. Mengalokasikan pembelanjaan kegiatan yang tidak penting.
4. Mengusulkan alokasi belanja yang sangat besar di setiap kegiatan.
5. Memperbesar anggaran untuk kegiatan yang hasilnya sulit diukur.
Eksekutif berwenang mengalokasikan anggaran untuk kegiatan dan program
pemerintahan kemudian mengusulkannya kepada legislatif untuk dibahas
bersama sebelum disahkan menjadi perda. Halim dan Abdullah (2006)
menyatakan bahwa terdapat dua kondisi yang dapat dimanfaatkan eksekutif
selama proses penyusunan anggaran dalam merealisasikan perilaku
oportunistiknya, yakni (1) secara eksplisit terkait dengan anggaran legislatif
(pengusulan anggaran oleh legislatif untuk memenuhi self-interest jangka
pendeknya melalui penghasilannya), dan (2) melalui anggaran pelayanan publik
yang merupakan “titipan” (pengusulan anggaran yang targetable atau dapat dilihat
hasilnya oleh masyarakat dalam rangka menaikkan nama politisi tersebut).
Mauro (1998) dalam studinya menunjukkan peluang lucrative
opportunities terbuka lebar pada jenis-jenis belanja pemerintah berupa belanja
barang maupun pelayanan untuk kegiatan dan program yang sulit dimonitor orang
lain. Mauro (1998) lebih lanjut mengasumsikan bahwa alokasi belanja barang-
barang khusus dan berteknologi tinggi berpotensi untuk lebih mudah dikorupsi
sebab sedikit orang yang memahaminya. Berangkat dari hal tersebut, apabila
23
dikaitkan dengan kondisi realitasnya dalam penganggaran publik, salah satu objek
yang rentan untuk dikorupsi adalah pengadaan alat-alat kesehatan. Hal ini juga
didukung dengan berbagai temuan yang mengindikasikan penyelewengan
anggaran publik yang semestinya dialokasikan untuk pengadaan alat-alat
kesehatan. Menilik hal tersebut, tidak dapat dipungkiri bahwa sektor kesehatan
menjadi sasaran empuk dalam merealisasikan perilaku oportunistik.
Martinez-Vazquez et al. (2004) memberi pernyataan bahwa political
corruption dapat terjadi apabila politisi ataupun birokrat tingkat atas
menyalahgunakan kedudukan mereka untuk kepentingan pribadi maupun
kalangan yang dekat dengan mereka. Mauro (1998) menemukan kecenderungan
pengalokasian anggaran untuk proyek-proyek yang mudah untuk dikorupsi.
Penemuan lain yang mempertegas hal tersebut yaitu pengalokasian anggaran
yang lebih cenderung untuk proyek infrastruktur karena lebih mudah digunakan
sebagai bentuk pemenuhan janji legislatif kepada pemilihnya (Keefer dan
Khemani, 2003). Contoh lain dikemukakan oleh Tanzi dan Davoodi (1997) bahwa
legislatif lebih memilih investasi publik karena besarnya komisi yang didapatkan.
Penganggaran salah satunya diatur dalam Peraturan Menteri Dalam
Negeri (Permendagri) Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan
Keuangan Daerah yang menyatakan bahwa pengeluaran semaksimal mungkin
diprioritaskan untuk belanja yang bersifat mengikat dan wajib. Adapun pendidikan
menjadi salah satu kategori belanja wajib. Namun, dalam fakta dan fenomena
yang terjadi, anggaran pendidikan juga rentan mengalami misalokasi. Hallack dan
Poisson (2002) mengemukakan bahwa salah satu hal yang terkait dengan korupsi
di sektor pendidikan adalah ukuran anggaran pendidikan. “The education sector is
the largest or second largest budget item in most countries, and opportunities for
corrupt practices are numerous” (Chr. Michelsen Institute, 2006).
24
Handayani (2009) memaparkan hal terkait hubungan antara anggaran
pendidikan dan korupsi sebagai berikut.
Di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia korupsi sering kali merupakan masalah endemik seluruh masyarakat. Sektor pendidikan merupakan salah satu sektor yang termasuk kategori rentan terhadap korupsi, karena relatif besarnya anggaran pendidikan, sehingga cenderung memberi peluang untuk praktik korupsi yang semakin besar pula.
Relevan dengan hal di atas, Raeni (2014) memaparkan hal sebagai berikut. Tahun 2009, anggaran pendidikan telah mencapai 20% dari APBN, akan tetapi tidak disertai peningkatan kesadaran dan kemampuan pengelolaan alokasi anggaran pendidikan, justru hal tersebut hanya membuka peluang korupsi dan pemborosan.
2.2. Tinjauan Empirik
Penelitian ini mengacu pada beberapa penelitian terdahulu yang telah
dilakukan, antara lain sebagai berikut.
1. Penelitian Abdullah dan Asmara (2006) dengan judul Perilaku Oportunistik
Legislatif dalam Penganggaran Daerah: Bukti Empiris atas Aplikasi Agency
Theory di Sektor Publik menunjukkan bahwa (1) legislatif sebagai pihak agen
dari rakyat (pemilih) berperilaku oportunistik dalam penyusunan APBD, (2)
besaran PAD berpengaruh positif terhadap perilaku oportunistik legislatif, dan
(3) APBD menjadi alat untuk melakukan political corruption.
2. Fathony (2011) mengadakan penelitian yang berjudul Pengaruh Pendapatan
Asli Daerah, Sisa Lebih Perhitungan Anggaran dan Dana Alokasi Umum
terhadap Perilaku Oportunistik Penyusun Anggaran yang dilaksanakan pada
kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah. Penelitian ini menemukan bahwa
PAD dan DAU berpengaruh positif terhadap perilaku oportunistik penyusun
anggaran pada kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah, sedangkan SiLPA
berpengaruh negatif terhadap perilaku oportunistik penyusun anggaran pada
kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah.
25
3. Agung (2012) dalam penelitiannya yang berjudul Perilaku Oportunistik
Legislatif dalam Penganggaran Daerah (Bukti Empiris atas Aplikasi Agency
Theory di Sektor Publik) yang dilaksanakan di Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta menemukan bahwa (1) legislatif berperilaku oportunistik dalam
proses penganggaran, (2) PAD dan Dana Perimbangan berpengaruh positif
terhadap perilaku oportunistik legislatif, (3) anggaran menjadi jalan bagi
legislatif dalam merealisasikan kecurangan politik.
4. Maryono (2013) menemukan bahwa perubahan DAU berpengaruh positif
secara signifikan terhadap perilaku oportunistik perilaku oportunistik legislatif
dalam penganggaran daerah. Hasil ini tertuang dalam penelitiannya yang
berjudul Pengaruh Perubahan Dana Alokasi Umum terhadap Perilaku
Oportunistik Legislatif dalam Penganggaran Daerah (Studi Kasus pada
Kabupaten/Kota di Sumatera Barat).
5. Parwati (2015) menemukan bahwa PAD, DAU, dan SiLPA berpengaruh positif
terhadap perilaku oportunistik penyusun anggaran. Hasil ini berdasarkan pada
penelitian yang berjudul Perilaku Oportunistik Penyusun Anggaran di
Kabupaten/Kota se-Bali.
2.3. Kerangka Pemikiran
Kerangka pemikiran merupakan alur yang mendeskripsikan hubungan
antar variabel penelitian atau mekanisme pelaksanaan penelitian untuk
mengungkap penelitian tersebut. Kerangka pemikiran ini merupakan alur proses
berpikir yang dikaji melalui studi teoretis dan empiris. Dalam penelitian ini, studi
teoretis dilakukan dengan mengkaji beberapa teori keagenan dan aturan-aturan
terkait penyusunan anggaran di Indonesia. Teori keagenan mengkaji mengenai
hubungan kontraktual yang terjadi antara pihak prinsipal yang membuat kontrak
26
(baik secara eksplisit maupun implisit) dengan pihak agen yang diharapkan dapat
bersinergi dengan baik (Frelistiyani, 2010). Teori keagenan lebih lanjut
digambarkan sebagai pangkal dasar munculnya kemungkinan perilaku
oportunistik. Berdasarkan studi empiris yang telah dilakukan sebelumnya, teori
keagenan diaplikasikan dalam hubungan yang melibatkan eksekutif dan legislatif
dalam penyusunan anggaran. Kombinasi antara studi teoretis dan empiris ini
melahirkan berbagai variabel yang mengaitkan PAD dan Dana Perimbangan
sebagai sumber pendapatan daerah yang digunakan untuk berbagai
pembelanjaan daerah dengan perilaku oportunistik penyusun anggaran dalam
perspektif keagenan. Selanjutnya, kombinasi antara kedua studi di atas
menghasilkan beberapa hipotesis yang telah ditinjau dari teori-teori yang ada serta
berbagai penelitian terdahulu yang telah dilakukan sebelumnya. Hipotesis yang
merupakan dugaan sementara dalam penelitian ini kemudian diuji secara statistik
untuk memperoleh hasil yang sebenarnya. Adapun kerangka pemikiran dalam
penelitian ini digambarkan sebagai berikut.
Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran
Perubahan PAD (X1)
Perubahan Dana Perimbangan
(X2)
Perilaku Oportunistik Penyusun Anggaran
(Y)
27
2.4. Hipotesis Penelitian
2.4.1. Pengaruh Perubahan PAD terhadap Perilaku Oportunistik Penyusun
Anggaran
PAD merupakan pendapatan yang bersumber langsung dari daerah yang
bersangkutan dan dikelola berdasarkan kebijakan daerah tersebut pula. Besarnya
kewenangan dalam pengelolaan PAD sesuai dengan preferensi daerah terlebih
kecenderungan bertambahnya PAD dalam perubahan anggaran menyebabkan
hal ini juga berbanding lurus dengan kemungkinan alokasi untuk program yang
sesuai dengan preferensi penyusun anggaran, baik eksekutif maupun legislatif
(Fathony, 2011).
Dalam perspektif teori keagenan, pengalokasian anggaran dalam
berbagai aspek terimplementasi melalui hubungan kontraktual antara eksekutif
dan legislatif sebagai agen dan rakyat sebagai prinsipal yang dituangkan dalam
peraturan perundang-undangan. Pada UU Nomor 32 Tahun 2004, pemda selaku
eksekutif dan DPRD selaku legislatif menetapkan kebijakan secara bersama,
perda yang dibuat haruslah mendapatkan persetujuan dari DPRD sebelum
dinyatakan sah. Selain itu, DPRD juga turut ambil andil dalam membahas dan
menetapkan rancangan perda terkait APBD.
Perubahan APBD seperti yang telah disebutkan sebelumnya menjadi
sarana yang legal dalam mengubah alokasi anggaran. Kenyataan ini membuka
peluang adanya kemungkinan untuk memenuhi utilitas pribadi atau golongan
melalui keleluasaan dalam mengalokasikan anggaran.
Hasil dari penelitian Fathony (2011) menunjukkan bahwa perubahan PAD
dan berpengaruh positif terhadap perilaku oportunistik penyusun anggaran yang
menjadikan perubahan alokasi pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum, dan
pemerintahan sebagai indikator. Penelitian yang dilakukan oleh Abdullah dan
28
Asmara (2006) dan juga menunjukkan hasil yang hampir serupa bahwa besaran
perubahan PAD berpengaruh terhadap perilaku oportunistik legislatif yang juga
menjadikan alokasi pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum, dan pemerintahan
sebagai indikator.
Segelintir dari berbagai kasus dalam penyelewengan APBD khususnya
pada kabupaten dan kota di Provinsi Sulawesi Selatan ditambah berbagai
penelitian terkait perilaku oportunistik penyusun anggaran, menjadi indikasi
kemungkinan terjadinya masalah keagenan yang berujung pada perilaku
oportunistik penyusun anggaran pada kabupaten dan kota di Provinsi Sulawesi
Selatan. Berdasarkan hal tersebut, hipotesis yang dapat ditarik dalam penelitian
ini adalah sebagai berikut.
H1: Perubahan PAD berpengaruh terhadap perilaku oportunistik penyusun
anggaran pada kabupaten dan kota di Provinsi Sulawesi Selatan.
2.4.2. Pengaruh Perubahan Dana Perimbangan terhadap Perilaku
Oportunistik Penyusun Anggaran
DAU, DAK, dan DBH merupakan bagian dari Dana Perimbangan yang
bersumber dari APBN yang didistribusikan atau ditransferkan kepada daerah-
daerah yang berfungsi sebagai sumber pendanaan dan dimanfaatkan sebagai alat
pemerataan kompetensi keuangan antar daerah sebagai manifestasi pelaksanaan
desentralisasi. Transfer Dana Perimbangan dari pemerintah pusat kepada pemda
memiliki konsekuensi pemanfaatan Dana Perimbangan berada di tangan pemda,
baik untuk peningkatan pelayanan masyarakat maupun untuk hal-hal yang
kemungkinan tidak terkait dengan hal tersebut.
Dalam perspektif teori keagenan, pengalokasian anggaran dalam
berbagai aspek terimplementasi melalui hubungan kontraktual antara eksekutif
29
dan legislatif sebagai agen dan rakyat sebagai prinsipal yang dituangkan dalam
peraturan perundang-undangan. Persepsi dan sikap eksekutif dan legislatif
sebagai pihak agen termanifestasi salah satunya dalam pengalokasian anggaran.
Persepsi adanya moral hazard atas keunggulan informasi oleh eksekutif dapat
mendorong pemanfaatan discreationary power yang dimiliki oleh legislatif, yang
kemudian kemungkinan dapat memicu timbulnya perilaku oportunisitik. Pada UU
Nomor 32 Tahun 2004, pemda selaku eksekutif dan DPRD selaku legislatif
menetapkan kebijakan secara bersama, perda yang dibuat haruslah mendapatkan
persetujuan dari DPRD sebelum dinyatakan sah. Selain itu, DPRD juga turut ambil
andil dalam membahas dan menetapkan rancangan perda terkait APBD.
Hasil dari penelitian Fathony (2011) menunjukkan bahwa perubahan DAU
berpengaruh positif terhadap perilaku oportunistik penyusun anggaran yang
menjadikan alokasi pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum, dan pemerintahan
sebagai indikator. Selain itu, penelitian yang dilaksanakan oleh Agung (2012) dan
Maryono (2013) menunjukkan adanya pengaruh positif antara Dana Perimbangan
dan perilaku oportunistik legislatif dalam penganggaran.
H2: Perubahan Dana Perimbangan berpengaruh terhadap perilaku oportunistik
penyusun anggaran pada kabupaten dan kota di Provinsi Sulawesi Selatan.
2.4.3. Pengaruh Perubahan PAD dan Perubahan Dana Perimbangan secara
Simultan terhadap Perilaku Oportunistik Penyusun Anggaran
PAD dan Dana Perimbangan sebagai pendapatan daerah menjadi
sumber dalam menentukan alokasi anggaran untuk belanja daerah pada berbagai
sektor. Pada UU Nomor 32 Tahun 2004, pemda yang bertindak selaku eksekutif
dan DPRD selaku legislatif menetapkan kebijakan secara bersama. Perda yang
dibuat haruslah mendapatkan persetujuan dari DPRD sebelum dinyatakan sah.
30
Selain itu, DPRD juga turut ambil andil dalam membahas dan menetapkan
rancangan perda terkait APBD. Hal ini berdampak pada kuatnya hubungan
kontraktual antara pemda dan DPRD dalam menyusun anggaran bersama-sama
hingga disahkan menjadi perda. Terkait dengan teori keagenan, persepsi dan
sikap eksekutif dan legislatif sebagai pihak agen menjadi penentu dalam
pengalokasian anggaran. Persepsi adanya moral hazard atas keunggulan
informasi oleh eksekutif dapat mendorong pemanfaatan discreationary power yang
dimiliki oleh legislatif, yang kemudian kemungkinan dapat memicu timbulnya
perilaku oportunisitik. Selanjutnya, dalam hal ini perlu ditelisik lebih dalam
mengenai sejauh mana peran persepsi dan sikap tersebut dalam membuat
keputusan dalam penganggaran.
Penelitian-penelitian terdahulu yang telah dipaparkan sebelumnya
menunjukkan bahwa PAD dan Dana Perimbangan berpengaruh positif terhadap
perilaku oportunistik penyusun anggaran ataupun legislatif itu sendiri. Penelitian
lain juga membuktikan bahwa DAU sebagai bagian dari Dana Perimbangan juga
menunjukkan hal yang serupa.
Pemaparan di atas terkait hubungan keagenan maupun penelitian
sebelumnya menunjukkan adanya pengaruh positif PAD dan Dana Perimbangan
terhadap perilaku oportunistik dalam penganggaran. Indikator perilaku oportunistik
dalam penelitian tersebut meliputi alokasi pada bidang pendidikan, kesehatan,
pekerjaan umum, dan pemerintahan umum. Berdasarkan hal tersebut, maka
hipotesis secara simultan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
H3: Perubahan PAD dan perubahan Dana Perimbangan secara simultan
berpengaruh terhadap perilaku oportunistik penyusun anggaran pada
kabupaten dan kota di Provinsi Sulawesi Selatan.
31
31
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Rancangan Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk menguji hipotesis terkait hubungan antara
perubahan PAD dan Dana Perimbangan terhadap perilaku oportunistik penyusun
anggaran yang menjadikan perubahan alokasi di bidang pendidikan, kesehatan,
pekerjaan umum, dan pemerintahan umum sebagai indikatornya. Kecenderungan
masalah keagenan diwujudkan dalam perilaku oportunistik penyusun anggaran.
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data
sekunder berupa data APBD Perubahan (APBD-P) yang meliputi anggaran
sebelum dan setelah perubahan serta APBD-P menurut Urusan yang juga meliputi
anggaran sebelum dan setelah perubahan pada kabupaten dan kota di Provinsi
Sulawesi Selatan yang diperoleh melalui Badan Pengelolaan Keuangan Daerah
(BPKD) Provinsi Sulawesi Selatan.
3.2. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan mengambil data pada BPKD Provinsi
Sulawesi Selatan yang berlokasi di Jalan Jenderal Urip Sumoharjo Nomor 269.
Adapun waktu dalam pelaksanaan penelitian ini adalah pada akhir 2015 – 2016.
3.3. Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh kabupaten dan kota di
Provinsi Sulawesi Selatan. Sampel dalam penelitian ini ditentukan dengan
menggunakan teknik purposive sampling, yaitu teknik pengambilan sampel
dengan menggunakan pertimbangan tertentu.
32
Adapun pertimbangan pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut.
1. Seluruh kabupaten dan kota yang terdapat di Provinsi Sulawesi Selatan yang
melaporkan APBD-P untuk PAD dan Dana Perimbangan tahun anggaran
2013, 2014, dan 2015.
2. Seluruh kabupaten dan kota yang terdapat di Provinsi Sulawesi Selatan yang
melaporkan APBD-P menurut Urusan untuk alokasi pada Dinas Pendidikan,
Dinas kesehatan, Dinas Pekerjaan Umum, dan alokasi untuk Pemerintahan
Umum (Otonomi Daerah, Pemerintahan Umum, Administrasi Keuangan
Daerah, Perangkat Daerah, Kepegawaian, dan Persandian) untuk tahun
anggaran 2013, 2014, dan 2015.
3.4. Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kuantitatif,
yaitu dengan mengambil data berupa perubahan atau spread PAD dan Dana
Perimbangan, serta spread anggaran pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum,
dan pemerintahan umum. Adapun berdasarkan sumbernya, data ini merupakan
data sekunder berupa data dokumenter yang diperoleh dari BPKD Provinsi
Sulawesi Selatan.
3.5. Teknik Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang diterapkan dalam penelitian ini adalah
metode dokumentasi. Adapun teknik pengumpulan data untuk metode
dokumentasi dalam penelitian ini adalah dengan mengumpulkan data setelah dan
sebelum perubahan pada APBD-P serta APBD-P menurut Urusan yang dapat
diaperoleh dengan menyerahkan permohonan pengambilan data penelitian
kepada BPKD Provinsi Sulawesi Selatan.
33
3.6. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional
3.6.1. Perubahan Pendapatan Asli Daerah
PAD merupakan pendapatan murni yang diperoleh daerah yang berasal
dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang
dipisahkan, dan lain-lain PAD yang sah. Perubahan PAD di sini disingkat PPAD
dan diukur dengan melakukan perhitungan spread anggaran PAD yang dihitung
dari data anggaran setelah ke sebelum perubahan pada laporan APBD-P.
3.6.2. Perubahan Dana Perimbangan
Dana Perimbangan merupakan dana yang bersumber dari APBN yang
didistribusikan atau ditransferkan kepada daerah-daerah yang berfungsi sebagai
sumber pendanaan yang selanjutnya dikelola oleh pemda yang bersangkutan
dalam rangka desentralisasi. Dana Perimbangan terdiri atas DAU, DAK, dan DBH.
Perubahan Dana Perimbangan di sini disingkat dengan PDP dan diukur dari data
anggaran setelah ke sebelum perubahan pada laporan APBD-P.
3.6.3. Perilaku Oportunistik Penyusun Anggaran
Perilaku Oportunistik merupakan perilaku yang terdorong oleh keinginan
untuk memperkaya dan memaksimalkan utilitas pribadi dengan menempuh
berbagai cara bahkan melakukan hal-hal yang melanggar sehingga menimbulkan
adverse selection dan moral hazard dalam hubungan keagenan yang melibatkan
agen dan prinsipal. “Perilaku oportunistik penyusun anggaran dapat dilihat dari
peningkatan alokasi belanja pada sektor tertentu yang termasuk perilaku
disfungsional yang timbul pada penganggaran” (Parwati, 2015). Pengukuran
perilaku oportunistik (masalah keagenan) atau di sini disingkat PO dilakukan
sebagai berikut.
34
1. Menghitung perubahan (spread) untuk anggaran pendidikan (PPEND),
anggaran kesehatan (PKES), anggaran pekerjaan umum (PPU), dan
anggaran pemerintahan umum (PPM) yang terdapat pada APBD-P menurut
Urusan dengan memperhatikan peningkatan atau penurunan dari data setelah
dan sebelum perubahan.
2. Hasil dari spread tersebut kemudian diakumulasi sebagai berikut.
PO = PPEND + PKES + PPU + PPM
Keterangan:
PO = perilaku oportunistik penyusun anggaran
PPEND = peningkatan alokasi anggaran pendidikan
PKES = peningkatan alokasi anggaran kesehatan
PPU = peningkatan alokasi anggaran pekerjaan umum
PPM = peningkatan alokasi anggaran pemerintahan umum
Semua peningkatan maupun penurunan untuk masing-masing kategori
anggaran di atas dihitung dari data anggaran setelah ke sebelum perubahan pada
laporan APBD-P. Peningkatan untuk alokasi anggaran pendidikan, kesehatan,
pekerjaan umum dan pemerintahan umum dinyatakan dalam bentuk nilai yang
positif, namun apabila terjadi sebaliknya atau tidak terjadi perubahan maka
dinyatakan dengan nilai 0 (nol).
Halim dan Abdullah (2006) menyatakan bahwa terdapat dua kondisi yang
dapat dimanfaatkan eksekutif selama proses penyusunan anggaran dalam
merealisasikan perilaku oportunistiknya, yakni (1) secara eksplisit terkait dengan
anggaran legislatif (pengusulan anggaran oleh legislatif untuk memenuhi self-
interest jangka pendeknya melalui penghasilannya), dan (2) melalui anggaran
pelayanan publik yang merupakan “titipan” (pengusulan anggaran yang targetable
35
atau dapat dilihat hasilnya oleh masyarakat dalam rangka menaikkan nama politisi
tersebut).
Mauro (1998) mengasumsikan bahwa alokasi belanja barang-barang
khusus dan berteknologi tinggi berpotensi untuk lebih mudah dikorupsi sebab
sedikit orang yang memahaminya. Berangkat dari hal tersebut, apabila dikaitkan
dengan kondisi realitasnya dalam penganggaran publik, salah satu objek yang
rentan untuk dikorupsi adalah pengadaan alat-alat kesehatan. Hal ini juga
didukung dengan berbagai temuan yang mengindikasikan penyelewengan
anggaran publik yang semestinya dialokasikan untuk pengadaan alat-alat
kesehatan. Menilik hal tersebut, tidak dapat dipungkiri bahwa sektor kesehatan
menjadi sasaran empuk dalam merealisasikan perilaku oportunistik.
Pengalokasian anggaran lebih cenderung untuk proyek infrastruktur
karena lebih mudah digunakan sebagai bentuk pemenuhan janji legislatif kepada
pemilihnya (Keefer dan Khemani, 2003). Contoh lain dikemukakan oleh Tanzi dan
Davoodi (1997) bahwa legislatif lebih memilih investasi publik karena besarnya
komisi yang didapatkan.
Penganggaran salah satunya diatur dalam Peraturan Menteri Dalam
Negeri (Permendagri) Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan
Keuangan Daerah yang menyatakan bahwa pengeluaran semaksimal mungkin
diprioritaskan untuk belanja yang bersifat mengikat dan wajib. Adapun pendidikan
menjadi salah satu kategori belanja wajib. Namun, dalam fakta dan fenomena
yang terjadi, anggaran pendidikan juga rentan mengalami misalokasi. Hallack dan
Poisson (2002) mengemukakan bahwa salah satu hal yang terkait dengan korupsi
di sektor pendidikan adalah ukuran anggaran pendidikan. “The education sector is
the largest or second largest budget item in most countries, and opportunities for
corrupt practices are numerous” (Chr. Michelsen Institute, 2006).
36
Handayani (2009) memaparkan hal terkait hubungan antara anggaran
pendidikan dan korupsi sebagai berikut.
Di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia korupsi sering kali merupakan masalah endemik seluruh masyarakat. Sektor pendidikan merupakan salah satu sektor yang termasuk kategori rentan terhadap korupsi, karena relatif besarnya anggaran pendidikan, sehingga cenderung memberi peluang untuk praktik korupsi yang semakin besar pula.
Relevan dengan hal di atas, Raeni (2014) memaparkan hal sebagai berikut. Tahun 2009, anggaran pendidikan telah mencapai 20% dari APBN, akan tetapi tidak disertai peningkatan kesadaran dan kemampuan pengelolaan alokasi anggaran pendidikan, justru hal tersebut hanya membuka peluang korupsi dan pemborosan.
3.7. Analisis Data
3.7.1. Statistik Deskriptif
Statistik desktiptif dalam penelitian ini bertujuan untuk memberikan
informasi terkait nilai minimum (terkecil), nilai maksimum (terbesar), rata-rata, dan
simpangan baku (standart deviation). Statistik deskriptif ini dapat memberikan
gambaran dan deskripsi secara objektif terhadap masalah yang sedang dianalisis
dalam suatu penelitian. Adapun hasil dari statistik deskriptif ini diperoleh dari
pemanfaatan program aplikasi Statistical Product and Service Solutions (SPSS).
3.7.2. Uji Asumsi Klasik
Hal yang dilakukan sebelum menganalisis data lebih mendalam adalah
dengan melakukan beberapa pengujian terlebih dahulu. Adapun pengujian yang
dimaksud adalah sebagai berikut.
3.7.2.1. Uji Normalitas
Uji normalitas dilakukan dalam rangka menguji normal tidaknya distribusi
nilai residual dalam suatu model regresi. Model regresi baik apabila distribusi nilai
37
residualnya normal atau mendekati normal. Adapun uji normalitas dalam penelitian
ini menggunakan Uji Kolmogorov-Smirnov dengan signifikansi 5% atau 0,05.
3.7.2.2. Uji Multikolinearitas
Uji multikolinearitas dilakukan untuk melihat ada atau tidaknya hubungan
atau korelasi antara variabel-variabel independen dalam penelitian tersebut.
Variance Inflation Factor (VIF) merupakan alat statistik yang digunakan dalam
melihat multikoliniearitas ini. Nilai VIF lebih dari sepuluh menunjukkan adanya
multikolinearitas antara variabel-variabel independen tersebut. Selain itu,
multikolinearitas juga dilihat dari nilai tolerance setelah dilakukan pengujian.
3.7.2.3. Uji Heteroskedastisitas
Uji heteroskedastisitas dilakukan untuk melihat perbedaan atau
ketidaksamaan varians dari residual satu pengamatan ke pengamatan lainnya.
Heteroskedastisitas dapat diteksi dengan melakukan uji park. Model regresi
dinyatakan baik apabila varians dari residual satu pengamatan ke pengamatan
lainnya tetap atau disebut homoskedastisitas (Aulia, 2015).
3.7.3. Uji Hipotesis
Indriantoro dan Supomo (2002) dalam Prasetya (2014) menyebutkan
bahwa hipotesis dalam penelitian kuantitatif adalah jawaban dari masalah yang
dideduksi dari teori secara rasional. Penelitian ini menggunakan alat analisis
Statistical Product and Service Solutions (SPSS) dalam menguji hipotesis.
3.7.3.1. Uji Signifikansi Parsial (Uji t)
Uji t yang digunakan dalam pengujian secara parsial bertujuan untuk
mengetahui pengaruh setiap variabel independen terhadap variabel dependen.
38
Tingkat signifikansi yang ditetapkan dalam pengujian ini adalah 5% atau 0,05.
Hasil dalam uji t ini dapat dilihat dengan cara sebagai berikut.
1. Variabel independen secara parsial berpengaruh siginifikan terhadap variabel
dependen apabila nilai signifikansinya menunjukkan < 5% atau < 0,05
2. Variabel independen secara parsial tidak berpengaruh signifikan terhadap
variabel dependen apabila nilai signifikansinya menunjukkan > 5% atau >
0,05.
3.7.3.2. Uji Signifikansi Simultan (Uji F)
Uji F yang digunakan dalam pengujian secara simultan bertujuan untuk
mengetahui pengaruh signifikan semua variabel bebas terhadap variabel terikat.
Tingkat signifikansi yang ditetapkan dalam pengujian ini adalah 5% atau 0,05.
Hasil dalam uji F ini dapat dilihat dengan dua cara, yaitu sebagai berikut.
1. Variabel independen secara keseluruhan berpengaruh siginifikan terhadap
variabel dependen apabila nilai signifikansinya menunjukkan < 5% atau <
0,05.
2. Variabel independen secara keseluruhan tidak berpengaruh signifikan
terhadap variabel dependen apabila nilai signifikansinya menunjukkan > 5%
atau > 0,05.
3.7.4. Analisis Regresi
Penelitian ini terdiri atas dua variabel independen (PPAD dan PDP) dan
satu variabel dependen (PO) yang menggunakan metode analisis regresi linear
berganda. Metode ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh dua atau lebih
variabel independen terhadap satu variabel dependen dan diperoleh dari
penggunaan program aplikasi Statistical Product and Service Solutions (SPSS).
Persamaan regresi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
39
Y = a + b1X1 + e
Y = a + b2X2 + e
Y = a + b1X1 + b2X2 + e
Keterangan:
Y = Perilaku Oportunistik Penyusun Anggaran (PO)
X1 = Perubahan Pendapatan Asli Daerah (PPAD)
X2 = Perubahan Dana Perimbangan (PDP)
a = konstanta
b1 – b5 = koefisien regresi
e = faktor kesalahan
3.7.5. Koefisien Determinasi (R2)
Koefisien determinasi digunakan untuk menunjukkan besarnya
kemampuan variabel independen secara keseluruhan dalam menjelaskan varians
(jumlah kuadrat seluruh nilai individual) dari variabel dependen. Koefisien
determinasi juga menunjukkan keterkaitan antara variabel independen dan
variabel dependen. Nilai koefisien determinasi dalam hal ini Adjusted R Square
berada di antara nol dan satu (Ghozali, 2009 dalam Fathony, 2011) yang berarti
nilai Adjusted R Square yang kecil menunjukkan lemah atau terbatasnya
kemampuan variabel independen menjelaskan variabel dependen.
53
53
BAB V
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perubahan PAD dan
perubahan Dana Perimbangan sebagai pendapatan daerah terhadap perilaku
oportunistik penyusun anggaran. Berdasarkan pemaparan hasil analisis data yang
telah diolah, maka kesimpulan yang diperoleh adalah sebagai berikut.
1. Perubahan PAD berpengaruh terhadap perilaku oportunistik penyusun
anggaran pada kabupaten dan kota yang terdapat di Provinsi Sulawesi
Selatan. Terkait dalam perspektif teori keagenan, pemda dan DPRD sebagai
pihak agen dalam pengganggaran memiliki kewenangan dan akses yang luas
ditilik dari sudut pandang rakyat sebagai prinsipal. Pengelolaan PAD yang
lebih leluasa serta kecenderungan PAD yang bertambah dalam
perubahannya berimplikasi pada peningkatan alokasi untuk sektor-sektor
yang dapat mendukung preferensi penyusun anggaran, baik eksekutif
maupun legislatif.
2. Perubahan Dana Perimbangan tidak berpengaruh terhadap perilaku
oportunistik penyusun anggaran pada kabupaten dan kota yang terdapat di
Provinsi Sulawesi Selatan. Terkait dalam perspektif teori keagenan, pemda
dan DPRD sebagai pihak agen dalam pengganggaran memiliki kewenangan
dan akses yang luas ditilik dari sudut pandang rakyat sebagai prinsipal.
Namun, dalam realitasnya perubahan Dana Perimbangan dalam
penganggarannya tidak mendukung preferensi pihak agen. Hal ini dapat
disebabkan oleh stigma bahwa penggunaan Dana Perimbangan perlu
54
menunggu arahan dan petunjuk dari pusat, sehingga penggunaannya tidak
seleluasa pengunaan PAD.
3. Perubahan PAD dan DP secara simultan berpengaruh terhadap perilaku
oportunistik penyusun anggaran pada kabupaten dan kota yang terdapat di
Provinsi Sulawesi Selatan. Terkait dalam perspektif teori keagenan, pemda
dan DPRD sebagai pihak agen dalam pengganggaran memiliki kewenangan
dan akses yang luas ditilik dari sudut pandang rakyat sebagai prinsipal.
Perubahan PAD dan DP dalam penganggaran secara kolektif turut
bersumbangsi pada perubahan pada alokasi pendidikan, kesehatan,
pekerjaan umum, dan pemerintahan umum yang dapat mengindikasikan
kecenderungan dalam mendukung preferensi pihak-pihak yang terlibat dalam
penyusunan anggaran.
5.2. Saran
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, beberapa saran yang dapat
diberikan peneliti adalah sebagai berikut.
1. Pemerintah daerah sebaiknya memaksimalkan tujuan sesungguhnya dalam
penyusunan anggaran dengan benar-benar mengutamakan kebutuhan dan
kepentingan masyarakat umum. Transparansi dan kemudahan akses laporan
secara lengkap sangat dibutuhkan dalam rangka mempermudah pengawasan
dalam proses penyusunan anggaran.
2. Bagi instansi terkait, dari segi teknisnya, manajemen dalam pengaturan
dokumentasi mungkin dapat lebih ditingkatkan agar lebih memudahkan dalam
menyortir laporan-laporan yang dibutuhkan.
3. Penelitian selanjutnya dapat lebih memperluas jangkauan penelitian dengan
memodifikasi beberapa variabel yang telah diteliti maupun yang belum
55
sehingga dapat lebih memperjelas variabel-variabel lain yang kemungkinan
juga dapat memberikan pengaruh.
4. Penelitian selanjutnya dapat lebih menggambarkan perilaku penyusun
anggaran dengan lebih mengembangkan cakupan instrumen penelitian, salah
satunya dengan menggunakan teknik wawancara maupun kuesioner.
5.3. Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini memiliki keterbatasan, yakni data yang digunakan peneliti
tidak lengkap karena laporan APBD-P menurut Urusan tidak terinput dalam sistem
BPKD Provinsi Sulawesi Selatan sehingga dilakukan pencarian manual dalam
ruangan penyimpanan khusus. Selain itu, keterbatasan waktu dan tenaga
menyebabkan tidak semua laporan yang dibutuhkan dapat diperoleh.
56
DAFTAR PUSTAKA
Abduh, Muhammad. 2015. Pengaruh Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Khusus dan Dana Alokasi Umum terhadap Belanja Daerah Provinsi Sulawesi Selatan. Makassar: Program Pascasarjana, Universitas Muslim Indonesia.
Abdullah, Syukriy dan Jhon Andra Asmara. 2006. Perilaku Oportunistik Legislatif
dalam Penganggaran Daerah: Bukti Empiris atas Aplikasi Agency Theory di Sektor Publik. Simposium Nasional Akuntansi 9 Padang.
Abdullah, Syukriy dan Ramadhaniatun Nazry. 2014. Analisis Varian Anggaran
Pemerintah Daerah: Penjelasan Empiris dari Perspektif Keagenan. Banda Aceh: Universutas Syiah Kuala.
Abdullah, Syukriy dan Riza Rona. 2016. Masalah Keagenan dalam Perubahan
Anggaran Daerah (Studi atas Pengaruh Perubahan Sumber Penerimaan terhadap Belanja Modal di Indonesia). Banda Aceh: Universitas Syiah Kuala.
Agung, AA Gede. 2012. Perilaku Oportunistik Legislatif dalam Penganggaran
Daerah (Bukti Empiris atas Aplikasi Agency Theory di Sektor Publik). Yogyakarta: Program Pascasarjana Fakultas Ekonomi, Universitas Pendidikan Nasional “Veteran”.
Arifah, Dista Amalia. 2012. Praktek Teori Agensi pada Entitas Publik dan Non
Publik. Prestasi Volume 9 Nomor 1 Juni 2012. Asmara, Jhon Andra. Analisis Perubahan Alokasi Belanja dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBA) Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Jurnal Telaah dan Riset Akuntansi Volume 3 Nomor 2 Juli 2010.
Aulia, A. Isma. 2015. Pengaruh Pengalaman, Otonomi, Pengendalian Perilaku,
dan Pengendalian Personal terhadap Kinerja Auditor Internal pada Perbankan Kantor Wilayah X Bank Mandiri Makassar. Makassar: Program Sarjana Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Hasanuddin.
Chr. Michelsen Institute. 2006. Corruption in the Education Sector. U4 Issue
4:2006. Colombatto, Enrico. 2001. Discreationary Power, Rent-Seeking and Corruption.
ICER Working Paper. Damayanti, Ratna Ayu. 2011. Hubungan Keagenan Pemerintahan Daerah dalam
Konteks Anggaran: Sebuah Agenda Rekonstruksi. Ekuitas Vol. 15 No. 2 Juni 2011: 149 – 171.
57
Fakultas Ekonomi dan Bisnis. 2012. Pedoman Penulisan Skripsi. Makassar: Universitas Hasanuddin.
Fathony, Adi Dicka. 2011. Pengaruh Pendapatan Asli Daerah, Sisa Lebih
Perhitungan Anggaran dan Dana Alokasi Umum terhadap Perilaku Oportunistik Penyusun Anggaran (Studi Kasus Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah). Semarang: Program Sarjana Fakultas Ekonomi, Universitas Diponegoro.
Frelistiyani, Winda. 2010. Pengaruh Dana Alokasi Umum terhadap Pendapatan
Asli Daerah dengan Belanja Modal sebagai Variabel Intervening. Semarang: Program Sarjana Fakultas Ekonomi, Universitas Diponegoro.
Garamfalvi, L. 1997. Corruption in the Public Expenditures Management Process.
8th International Anti-Corruption Conference. Halim, Abdul dan Syukriy Abdullah. 2006. Hubungan dan Masalah Keagenan di
Pemerintah Daerah: Sebuah Peluang Penelitian Anggaran dan Akuntansi. Jurnal Akuntansi Pemerintahan Volume 2, Nomor 1.
Hallak, Jacques dan Muriel Poisson. 2002. Ethics and Corruption in Education.
Forum on Education No. 15. Handayani, Titik. 2009. Korupsi dan Pembangunan Pendidikan di Indonesia.
Jurnal Kependudukan Indonesia Vol. IV No. 2. Jensen, Michael C. dan William H. Meckling. 1976. Theory of the Firm: Managerial
Behavior, Agency Costs and Ownership Structure. Journal of Financial Economics, October, 1976, V. 3, No. 4.
Keefer, Philip dan Stuti Khemani. 2003. The Political Economy of Public
Expenditures. Background Paper for WDR 2004: Making Services Work for Poor People.
kemenag.go.id. 2016. “UU No. 17 Tahun 2003”. 14 Februari. kemenag.go.id. 2016. “UU No 1 Tahun 2004”. 14 Februari. kopel-online.or.id. “Korupsi Sektor Pendidikan Di Sulsel Rugikan Negara Rp. 6,2
Milyar”. 11 November. luk.staff.ugm.ac.id. 2016. “15 Tahun 2004”. 14 Februari. Latifah P, Nurul. 2010. Adakah Perilaku Oportunistik dalam Aplikasi Agency
Theory di Sektor Publik?. Fokus Ekonomi Volume 5 Nomor 2 Desember 2010.
Lupia, Arthur dan Mathew D. McCubins. 1994. Who Controls? Information and the
Structure of Legislative Decision Making. Legislative Studies Quarterly, XIX, August 1994.
58
Lupia, Arthur dan Mathew D. McCubins. 2000. Representation or Abdication?: How Citizens Use Institutions to Help Delegation Succeed. European Journal of Political Research.
Martinez-Vazquez, Jorge, F. Javier Arze, dan Jameson Boex. 2004. Corruption,
Fiscal Policy, and Fiscal Management. Paper for Review by United States Agency for International Development.
Maryono, Riky. 2013. Pengaruh Perubahan Dana Alokasi Umum terhadap
Perilaku Oportunistik Legislatif dalam Penganggaran Daerah. Mauro, Paolo. 1998. Corruption and the Composition of Government Expenditure.
Journal of Public Economics 69 (1998). Muliati, Ni Ketut. 2011. Pengaruh Asimetri Informasi dan Ukuran Perusahaan pada
Praktik Manajemen Laba di Perusahaan Perbankan yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Denpasar: Program Pascasarjana, Universitas Udayana.
Mulki, Khaikal. 2011. Analisis Pengaruh Moral Hazard terhadap Pembiayaan Bank
Syariah di Indonesia. Jakarta: Program Sarjana Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.
Nadir, Sakinah. 2013. Otonomi Daerah dan Desentralisasi Desa: Menuju
Pemberdayaan Masyarakat Desa. Jurnal Politik Profetik Volume 1 Nomor 1 Tahun 2013.
nasional.tempo.co. 2016. “Polisi Terus Selidiki Kasus Korupsi di Dinas PU
Kabupaten Bone”. 24 Maret. Parwati, Sayu Made. 2015. Perilaku Oportunistik Penyusun Anggaran di
Kabupaten/Kota Se-Bali. Denpasar: Program Pascasarjana, Universitas Udayana.
Petrie, Murray. 2002. A Framework for Public Sector Performance Contracting.
OECD Journal on Budgeting. Prasetya, Budi. 2014. Faktor-faktor yang Memengaruhi Penggunaan Internet
Banking pada Bank Mandiri Wilayah X Makassar. Makassar: Program Sarjana Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Hasanuddin.
Raeni. 2014. Pengaruh Prinsip Keadilan, Efisiensi, Transparansi, dan Akuntabilitas
Pengelolaan Keuangan terhadap Produktivitas SMK. Economic Education Analysis Journal.
Riharjo, Ikhsan Budi dan Isnadi. 2010. Perilaku Oportunistik Pejabat Eksekutif
dalam Penyusunan APBD (Bukti Empiris atas Penggunaan Penerimaan Sumber Daya Alam). Ekuitas Volume 14 Nomor 3 September 2010.
Rita, Maria Rio dan Milka Puspita Sari. 2012. Pengaruh Adverse Selection dan
Negative Framing terhadap Eskalasi Komitmen. Eco-Entrepreneurship
59
Seminar & Call for Paper “Improving Performance by Improving Environment” 2012. Semarang: Fakultas Ekonomi, Universitas Negeri Semarang.
Sudjana. 2005. Metoda Statistika. Bandung: PT Tarsito. Sularno, Fitria Megawati. 2013. Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan
Asli Daerah, dan Dana Alokasi Umum terhadap Pengalokasian Anggaran Belanja Modal. Bandung: Program Sarjana Fakultas Ekonomi, Universitas Widyatama.
sulsel.bps.go.id. 2016. “Statistik Daerah Provinsi Sulawesi Selatan 2014”. 14
September. sulsel.bps.go.id. 2016. “Statistik Daerah Provinsi Sulawesi Selatan 2015”. 14
September. Tanzi, Vito dan Hamid Davoodi. 1997. Corruption, Public Investment, and Growth.
IMF Working Paper. upeks.co.id. 2016. “35 Legislator Jeneponto Harus Jadi Tersangka”. 24 Maret. Usman, Syaikhu, M. Sulton Mawardi, Adri Poesoro, Asep Suryahadi, dan Charles
Sampford. 2008. Mekanisme dan Penggunaan Dana Alokasi Umum. Jakarta: Lembaga Penelitian SMERU.
Von Hagen, Jurgen. 2002. Fiscal Rules, Fiscal Institutions, and Fiscal
Performance. The Economics and Social Review, Vol. 33, No. 3, Winter, 2002.
Wandira, Arbie Gugus. 2013. Pengaruh PAD, DAU, DAK, dan DBH terhadap
Pengalokasian Belanja Modal. Accounting Analysis Journal 2 (1). www.antikorupsi.org. 2016. “Rp 486 M Penyimpangan APBD di Sulsel”. 24 Maret. www.indikasinews.com. 2016. “Tersangka Korupsi Alkes Luwu Sulsel Langsung
Ditahan”. 11 November. www.kpu.go.id. 2016. “UU 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah – KPU”.
28 Januari. www.minerba.esdm.go.id. 2016. “UU 33 2004”. 28 Januari.