skenario b blok 12 tahun 2013 (decompensatio cordis)
DESCRIPTION
Decompensatio cordis (dekompensasi kordis), etiologi, patofisiologi, penatalaksanaan. Obat antihipertensi: Captopril, furosemid, spironolakton. Osteoarthritis (OA), etiologi, patofisiologi, penatalaksanaan. Obat OA: Natrium diklofenak.TRANSCRIPT
LAPORAN TUTORIAL
SKENARIO B BLOK 12
KELOMPOK L9
Pembimbing : dr. Zulkarnain Musa
Anggota
Murwani E.L. 04121001043
Widya Kartika 04121001045
Amanda Putri Utami 04121001051
Dina Fitria 04121001081
Ridha Rana A. 04121001084
Divorian Adwiditanra 04121001088
Sarah Amalia 04121001093
Achmad Reza K. 04121001131
Angela Karenina 04121001135
Rafiqy S. F. 04121001140
Deni Saputra 04121001141
Ayu Syartika 04121001143
Nelvin Raesandra 04121001145
PENDIDIKAN DOKTER UMUM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
TAHUN 2013
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas berkat, rahmat, dan karunia-Nya
lah kami dapat meyusun laporan tutorial ini sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.
Laporan ini membahas kasus berdasarkan sistematika klarifikasi istilah, identifikasi
masalah, menganalisis, meninjau ulang dan menyusun keterkaitan antar masalah, serta
mengidentifikasi topik pembelajaran dari Tutorial Blok 12 Pendidikan Dokter Umum
Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya tahun 2013.
Bahan laporan ini kami dapatkan dari hasil diskusi antar anggota kelompok dan bahan
ajar dari dosen-dosen pembimbing.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada orang tua, tutor dr. Zulkarnain Musa
dan anggota kelompok yang telah mendukung dalam pembuatan laporan ini.
Kami mengakui dalam penulisan laporan ini terdapat banyak kekurangan. Oleh
karena itu, kami memohon maaf dan mengharapkan kritik serta saran dari pembaca demi
kesempurnaan laporan kami. Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.
Palembang, November 2013
2
Daftar Isi
Cover .........................................................................................................................................1
Kata Pengantar...........................................................................................................................2
Daftar Isi.....................................................................................................................................3
Skenario B Blok 12 Tahun 2013................................................................................................4
I. Klarifikasi Istilah.....................................................................................................................4
II. Identifikasi Masalah...............................................................................................................5
III. Analisis Masalah..................................................................................................................5
IV. Keterkaitan Antar Masalah................................................................................................19
V. Hipotesis..............................................................................................................................19
VI. Learning Issue....................................................................................................................19
VII. Kerangka Konsep..............................................................................................................58
VIII. Kesimpulan......................................................................................................................59
Daftar Pustaka..........................................................................................................................60
3
SKENARIO B BLOK 12 TAHUN 2013
Tuan Ahmad, 68 tahun, datang ke UGD dengan keluhan dyspnoe disertai edema pada kedua
tungkai. Dokter yang memeriksanya mendiagnosis tuan Ahmad menderita decompensatio
cordis. Dari anamnesis diketahui tuan Ahmad pernah dirawat dengan penyakit yang sama
akibat hipertensi kronis. Selama ini tuan Ahmad mendapat pengobatan kombinasi Captopril
(2x25 mg), Furosemid (1x20mg), dan Spironolactone (1x25 mg) untuk pengobatan
pemeliharaan terhadap penyakitnya.
Sejak dua minggu sebelum datang ke UGD, tuan Ahmad menderita osteoarthritis genu
sinistra dan mendapat obat Natrium Diklofenak (2x50mg) setiap hari dari dokter Puskesmas.
I. Klarifikasi Istilah
a. Edema : pengumpulan cairan secara abnormal di ruang interselular tubuh.
b. Dyspnoe : pernapasan yang sukar atau sesak.
c. Decompensatio cordis : ketidakmampuan jantung untuk menjaga sirkulasi
yang adekuat.
d. Hipertensi kronis : biasa disebut hipertensi esensial adalah penyakit hipertensi
yang disebabkan oleh faktor herediter, emosi, dan lingkungan. Tekanan
sistolik ≥ dari 140 mmHg, tekanan diastolic ≥ 90 mmHg.
e. Captopril : suatu inhibitor ACE (angiontensin converting enzyme) yang
digunakan dalam pengobatan hipertensi, gagal jantung, gagal ginjal kongesti,
dan disfungsi ventrikel kiri pasca infark miokardio.
f. Furosemid : diuretik loop yang dipakai dalam pengobatan edema dan
hipertensi.
g. Spironolactone : salah satu senyawa golongan spirolactone, suatu inhibitor
aldosterone yang menghalangi pertukaran natrium dan kalium bergantung-
aldosterone di tubulus distal sehingga meningkatkan eksresi natrium dan air
serta menurunkan eksresi kalium; digunakan untuk terapi edema,
hypokalemia, aldosteronisme primer, dan hipertensi.
h. Osteoarthritis genu sinistra : penyakit degeneratif sendi non inflamatorik yang
ditandai dengan degenarasi kartilago artikularis hipertrofi tulang pada tepi-
tepinya dan perubahan membrana sinovialis disertai nyeri dan kekakuan yang
terjadi pada genu sinistra.
4
i. Natrium Diklofenak : obat yang termasuk golongan obat non steroid dengan
aktivitas anti inflamasi, analgesik, dan anti piuretik, digunakan untuk
pengobatan akut dan kronis gejala-gejala rheumatoid arthritis, osteoarthritis,
dan ankilosing spondylitis.
II. Identifikasi Masalah
No. Masalah Concern
1.Tuan Ahmad, 68 tahun, datang ke UGD dengan keluhan dyspnoe
disertai edema pada kedua tungkai.
CHIEF
COMPLAIN
2.Dokter yang memeriksanya mendiagnosis tuan Ahmad menderita
decompensatio cordis.
3.Dari anamnesis diketahui tuan Ahmad pernah dirawat dengan
penyakit yang sama akibat hipertensi kronis.
4.
Selama ini tuan Ahmad mendapat pengobatan kombinasi
Captopril (2x25 mg), Furosemid (1x20mg), dan Spironolactone
(1x25 mg) untuk pengobatan pemeliharaan terhadap penyakitnya.
5.
Sejak dua minggu sebelum datang ke UGD, tuan Ahmad
menderita osteoarthritis genu sinistra dan mendapat obat Natrium
Diklofenak (2x50mg) setiap hari dari dokter Puskesmas.
MAIN
PROBLEM
III. Analisis Masalah
a. Tuan Ahmad, 68 tahun, datang ke UGD dengan keluhan dyspnoe disertai
edema pada kedua tungkai.
1. Bagaimana mekanisme terjadinya dyspnoe dan edema berkaitan
dengan decompensatio cordis?
i. Mekanisme dyspnoe
Terjadi akibat penimbunan cairan dalam alveoli dan
mengganggu pertukaran gas dalam proses pernapasan. Dapat
terjadi ortopnu. Beberapa pasien dapat mengalami ortopnu pada
malam hari yang dinamakan Paroksimal Nokturnal Dispnea.
ii. Mekanisme edema
5
Untuk mempertahankan konsentrasi natrium yang tetap, tubuh
secara bersamaan menahan air. Penambahan air ini
menyebabkan bertambahnya volume darah dalam sirkulasi dan
pada awalnya memperbaiki kerja jantung, lalu kelebihan cairan
akan dilepaskan dari sirkulasi dan berkumpul di berbagai
bagian tubuh, menyebabkan pembengkakan (edema).
2. Bagaimana hubungan umur dan jenis kelamin dengan decompensatio
cordis?
Usia lanjut (≥65 tahun) kemungkinan karena elastisitas pembuluh
darah berkurang dan pria lebih sering terkena decompensatio cordis
karena kurangnya hormon estrogen.
3. Mengapa edema terjadi pada kedua tungkai Tuan Ahmad?
Hal ini kemungkinan terjadi akibat gravitasi dan kejadian
decompensatio cordis yang terjadi pada jantung bagian dextra.
b. Dokter yang memeriksanya mendiagnosis tuan Ahmad menderita
decompensatio cordis.
1. Apa etiologi decompensatio cordis?
1. Decompensasi Cordis Kiri
a. Kelainan pada kardinal
1. Hipertensi arterial
2. Artero sklerosis dari arteri koronaria
3. Aorta insufisiensi
4. Mitral stenosis
b. Kelainan eksternal kardinal
1. Penyakit beri – beri
2. Anemia yang berat
3. Penyakit pancarditis
4. Basedow
2. Decompensasi Cordis Kanan – dapat terjadi setelah syarat pada
decompensasi cordis kiri terpenuhi.
a. Penyakit paru yang kronik
6
1. Empisema paru
2. TBC Paru
3. Kiste paru
4. Asma bronchiale
b. Perikarditis kontrictive sebagai akibat dari radang selaput jantung
sebelah luar.
c. Penyakit jantung bawaan
1. ASD (Atrial Septal Devec)
2. VSD (Ventrikel Septal Devec)
3. Decompensasi Cordis Congestif
Disebabkan decompensasi cordis kanan dan kiri yang terjadi secara
bersama-sama, yang ditandai bendungan paru dan bendungan
sistemik pada waktu bersamaan.
Sedangkan faktor pencetus dari Decompensasi Cordis adalah
terjadinya infark jantung yang berulang, hipertensi yang tidak
terkontrol, kehamilan atau persalinan, stress fisik dan emosional,
takikardi, infeksi, anemia, kelainan tiroid, penyakit paget’s,
defisiensi nutrisi (beri-beri), penyakit pulmonal, hipervolemi.
2. Bagaimana patogenesis dari decompensatio cordis?
Gagal jantung terjadi jika curah jantung tidak cukup untuk memenuhi
kebutuhan tubuh akan oksigen. Gagal jantung adalah suatu sindrom
klinik yang kompleks akibat kelainan struktural dan fungsional jantung
yang mengganggu kemampuan ventrikel untuk diisi dengan darah atau
untuk mengeluarkan darah. Vasokonstriksi yang terjadi terus menerus
akibat angiontensin II menyebabkan dalam jangka panjang sehingga
aliran balik vena meningkat dan kerja ventrikel menjadi lebih tinggi,
sehingga terjadi kerusakan pada jantung (baik miokardium,
pericardium, dan lain-lain) sehingga terjadi remodeling dalam jangka
waktu lama. Beban jantung menjadi berat sehingga terjadi
decomposatio cordis.
3. Bagaimana patofisiologi dari decompensatio cordis?
7
Tiga mekanisme primer yang dapat dilihat : (1) meningkatnya
aktivitas adrenergik simpatis, (2) meningkatnya beban awal akibat
aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron, (3) hipertrofi ventrikel.
Sekresi neurohormonal sebagai respon terhadap gagal jantung
antara lain : (1) norepinephrine menyebabkan vasokontriksi,
meningkatkan denyut jantung, dan toksisitas myocite, (2) angiotensin
II menyebabkan vasokontriksi, stimulasi aldosteron, dan mengaktifkan
saraf simpatis, (3) aldosteron menyebabkan retensi air dan sodium, (4)
endothelin menyebabkan vasokontriksi dan toksisitas myocite, (5)
vasopresin menyebabkan vasokontrikso dan resorbsi air, (6) TNF α
merupakan toksisitas langsung myosite, (7) ANP menyebabkan
vasodilatasi, ekresi sodium, dan efek antiproliferatif pada myocite, (8)
IL 1 dan IL 6 toksisitas myocite.
4. Bagaimana faktor resiko dari decompensatio cordis?
Faktor risiko yang dapat dimodifikasi antara lain kadar kolesterol
darah tinggi, kadar LDL (Low Density Lipoprotein) tinggi, kadar
trigliserida tinggi, hipertensi, diabetes, obesitas, aktivitas fisik yang
kurang, serta merokok. Sedangkan usia tua, jenis kelamin wanita dan
riwayat penyakit jantung pada keluarga merupakan faktor risiko yang
tidak dapat dimodifikasi.
5. Bagaimana tatalaksana dan prognosis dari decompensatio cordis?
Terapi gagal jantung terdiri atas :
1. Terapi spesifik terhadap kausa yang mendasari gagal jantung
(revaskularisasi pada PJK, penggantian katup untuk penyakit katup
yang berat ).
2. Terapi non spesifik terhadap sindroma klinis gagal jantung.
Prognosis gagal jantung tergantung dari derajat disfungsi miokardium.
Menurut New York Heart Assosiation, gagal jantung kelas I-III
didapatkan mortalitas 1 dan 5 tahun masing-masing 25% dab 52%.
Sedangkan kelas IV mortalitas 1 tahun adalah sekitar 40%-50%.
8
c. Dari anamnesis diketahui tuan Ahmad pernah dirawat dengan penyakit yang
sama akibat hipertensi kronis.
1. Bagaimana hubungan hipertensi kronis dengan decompensatio cordis?
Hipertensi kronis yang terjadi menyebabkan kerja jantung yang lebih
berat akibatnya jantung menyebabkan hipertrofi sel-sel jantung
sehingga mekanisme kompensasi tubuh yang terus menerus
(Angiotensin II menyebabkan vasokonstriksi) bisa menyebabkan
perubahan struktur myokard yang berlanjut pada disfungsi myokard
dan kerusakan pembuluh darah koroner. Perubahan dan kerusakan
tersebut menyebabkan beban jantung semakin berat dan akibatnya
terjadilah decompensatio cordis dimana jatung sudah tidak mampu lagi
menjaga sirkulasi yang adekuat.
d. Selama ini tuan Ahmad mendapat pengobatan kombinasi Captopril (2x25mg),
Furosemid (1x20mg), dan Spironolactone (1x25mg) untuk pengobatan
pemeliharaan terhadap penyakitnya.
1. Bagaimana farmakodinamik dan farmakokinetik dari:
i. Captopril
Farmakokinetik
a. Absorpsi
Captopril merupakan golongan asam lemah karena memiliki
gugus COOH. Sangat baik diserap di lambung dengan
bioavailabilitasnya 70%. Obat tidak mengubah pH lambung,
tidak bersifat toksis, dan tidak merubah motilitas saluran cerna.
b. Distribusi
8% sampai 43% pada dosis toksis oleh albumin site II
c. Metabolisme
Di hepar oleh CYP2D6. Captopril merupakan vasodilator kuat,
sehingga curah aliran darah ke hepar akan meningkat.
Metabolit utama dari captopril adalah captopril-cystein
disulfide dan disulfide dimer-captopril.
d. Ekskresi
Urine (>95%) dalam waktu 24 jam (40% sampai 50% dalam
bentuk utuh). Waktu paruh captopril adalah 2 jam.
9
Farmakodinamik
Captopril menghambat enzim pengonversi peptidyl dipeptidase
yang menghidrolik angiotensin I ke angiotensin II dan
menyebabkan inaktivasi bradikinin, suatu vasodilator kuat,
yang paling sedikit sebagian, bekerja dengan cara menstimulasi
rilis nitric oxide dan prostacyclin. Menekan aldosteron,
mengakibatkan natriuresis.
ii. Furosemid
Furosemid atau asam 4-kloro-N-furfuril-5-sulfomail antranilat
(golongan derivat sulfonamide)
Farmakokinetik
a. Absorpsi
Furosemid merupakan golongan basa lemah karena memiliki
gugus N yang memiliki pasangan electron bebas. Tidak
berpengaruh terhadap motilitas usus, tidak mempengaruhi
pH,dan tidak bersifat toksik pada saluran cerna. Absorpsi baik
di usus halus, 60 – 67%.
b. Distribusi
Diuretic kuat terikat pada protein plasma (97.2 % pada albumin
site I) secara ekstensif, sehingga tidak difiltrasi di glomerulus
tetapi cepat sekali disekresi melalui sistem transport asam
organik di tubuli proksimal.
c. Metabolisme
Hanya sebagian kecil yang termetabolisme. Metabolisme
melalui hepar, terutama oleh CYP2C11, CYP2E1, CYP3A1,dan
CYP3A2 menjadi metabolit inaktif.
d. Ekskresi
Waktu paruh furosemid adalah 2 jam. Obat ini diekskresikan
melalui urine (jika dikonsumsi peroral: 50%, jika melalui
intravena: 80%) dalam waktu 24 jam, sebagian kecil dalam
bentuk glukuronid; dan feses dalam bentuk utuh.
Farmakodinamik
10
Furosemid menghambat reabsorpsi air dalam nefron dengan
menghalangi cotransporter natrium-kalium klorida-(NKCC2)
pada thick ascending limb di lengkung Henle. Hal ini dicapai
melalui penghambatan kompetitif di cotransporter klorida,
sehingga mencegah pengangkutan natrium dari lumen lengkung
Henle ke interstitium basolateral. Akibatnya, lumen menjadi
lebih hipertonik sementara interstitium menjadi kurang
hipertonik, sehingga terjadi penurunan gradien osmotik untuk
reabsorpsi air sepanjang nefron. Karena thick ascending limb di
lengkung Henle bertanggung jawab atas 25% dari reabsorpsi
natrium di nefron, furosemide adalah diuretik yang sangat
ampuh.
iii. Spironolactone
Farmakokinetik
a. Absorpsi
70% dari spironolakton yang diberikan secara peroral diserap
baik oleh saluran cerna
b. Distribusi
90% spironolakton dan metabolitnya berikatan dengan protein
plasma saat di distribusikan.
c. Metabolisme
Spironolakton cepat dan ekstensif di metabolisme. Obat ini
mengalami sirkulasi enterohepatik dan metabolisme lintas
pertama. Jalur metabolisme spironolakton dapat dibagi menjadi
dua rute utama: pertama, dimana sulfur yang terdapat di
dalamnya dipertahankan dan di mana sulfur dieliminasi oleh
dethioacetylation. Spironolakton ditransformasikan ke meta-
bolit reaktif yang dapat menonaktifkan enzim sitokrom P450
adrenal dan testis.
d. Ekskresi
Waktu paruh dari spironolakton adalah 10 menit. Ekskresi
primer melalui urine dan sekunder melalui empedu.
Farmakodinamik
11
Spironolakton adalah 17-lakton sintetis steroid yang merupakan
antagonis aldosteron kompetitif ginjal dalam kelas obat-obatan
yang disebut diuretik hemat kalium. Spironolakton hanya
diuretik lemah, tetapi dapat dikombinasikan dengan diuretik
lainnya. Spironolactone menghambat efek aldosteron dengan
cara bersaing secara kompetitif untuk reseptor intraseluler
aldosteron dalam sel tubulus distal. Spironolakton
menyebabkan peningkatan ekskresi natrium dan air, sedangkan
kalium dipertahankan.
2. Bagaimana interaksi antar obat yang diberikan?
Interaksi antar obat captopril dan furosemid menyebabkan
hyperkalemia dan mengakibatkan repolarisasi jantung yang terlalu
lambat untuk konstraksi jantung sebelumnya (aritmia kordis) sehingga
aliran darah menjadi lebih lambat. Maka dokter memberikan
spironolactone yang menyebabkan hypokalemia sehingga keadaan
jantung kembali normal. Namun, pemberian natrium diklofenak
menyebabkan hyperkalemia (aritmia kordis).
3. Bagaimana indikasi, kontraindikasi, dan efek samping masing-masing
obat?
Captopril
Indikasi
Untuk hipertensi berat hingga sedang, kombinasi dengan tiazida
memberikan efek aditif, sedangkan kombinasi dengan beta bloker
memberikan efek yang kurang aditif. Untuk gagal jantung yang tidak
cukup responsif atau tidak dapat dikontrol dengan diuretik dan
digitalis, dalam hal ini pemberian kaptopril diberikan bersama diuretik
dan digitalis.
Kontraindikasi
Penderita yang hipersensitif terhadap captoprill atau penghambat ACE
lainnya (misalnya pasien mengalami angioedema selama pengobatan
dengan penghambat ACE lainnya).
Efek samping
12
Proteinuria
Neutropenia
Hipotensi
Perubahan rasa
Retensi kalium
Furosemid
Indikasi
Edema jantung, paru, ginjal, eklampsia (keadaan yang ditandai dengan
kejang-kejang dan penurunan kesadaran pada wanita hamil atau pada
masa nifas), asites, hipertensi, hiperkalemia.
Kontraindikasi
Pasien dengan gangguan defisiensi kalium, glomerolunefritis akut,
insufisiensi ginjal akut, wanita hamil dan pasien yang hipersensitif
terhadap furosemida. Anuria. Ibu menyusui.
Efek samping
Rasa tidak enak pada perut, hipotensi ortostatik, gangguan saluran
pencernaan, pandangan mata kabur, pusing, sakit kepala.
Spironolactone
Indikasi
Edema yang berhubungan dengan ekskresi aldosteron berlebihan,
hipertensi, gagal jantung kongestif, hiperaldosteronism primer,
hipokalemia, penanganan hipersutism, sirosis hati yang diikuti dengan
edema atau asites.
Kontraindikasi
Hipersensitif terhadap spironolakton atau komponen lain dalam
sediaan, anure, insufisiensi ginjal akut, gangguan fungsi ekskresi ginjal
yang signifikan, hiperkalemia, kehamilan (hipertensi yang diinduksi
kehamilan)
Efek samping
Efek CNS (sakit kepala, keadaan mengantuk, ataksia, kebingungan
mental); Efek GI (kram, diare); Endokrin & metabolis (gynecomastia,
hirsutism, ketidakteraturan menstruasi, impotensi, acidosis sedang,
13
hiponatremia, hiperkalemia, dan peningkatan BUN (blood urea
nitrogen) yang temporer).
4. Mengapa dokter memberikan kombinasi tiga golongan obat hipertensi
terhadap tuan Ahmad?
Untuk menurunkan hipertensi yang diderita Tn. Ahmad, dokter
memberikan captopril sebagai ACE Inhibitor karena obat golongan ini
dapat menunda atau mencegah terjadinya gagal jantung, dan juga
mengurangi resiko miokard infark dan kematian mendadak. Selain itu,
obat ini menghambat konversi angiotensin I menjadi angiotensin II
pada reseptor AT1 dan AT2. Namun obat golongan ini dapat
menghambat degradasi bradikinin sehingga bradikinin yang terbentuk
lokal di endotel vaskuler akan meningkat. Akumulasi dari bradikinin
ini dapat menyebabkan angioedema.
Oleh karena captopril dapat menyebabkan angioedema, maka dokter
mengombinasikan captopril dengan obat golongan diuretika
(furosemid dan spironolakton). Furosemid merupakan obat diuretik
kuat yang bekerja pada co-transporter natrium-kalium-klorida pada
lengkung Henle yang akan menyebabkan peningkatan ekskresi air,
natrium, kalium dan klorida. Dengan demikian, edema akan berkurang
dan tubuh tetap pada kondisi euvolemia.
Namun, furosemid yang sifatnya diuretik kuat dapat menyebabkan
hipokalemia. Oleh karena itu, dokter menambahkan spironolakton
(diuretik) yang bersifat hemat kalium sehingga ekskresi kalium yang
berlebih akibat efek diuretik furosemid dapat di kurangi.
5. Bagaimana dosis pakai ketiga obat tersebut?
Captopril : 25-100 mg/hari, diberikan 2-3 x sehari, sediaan dalam
bentuk tablet 12,5 dan 25 mg. Diberikan pada pagi hari.
Furosemid : 20–80mg/hari, bisa diberikan 2-3 x sehari, sediaan dalam
bentuk tablet 40 mg dan ampula 20 mg. Untuk pasien gagal jantung
dan gagal ginjal dosis dapat ditingkatkan sampai 240mg/hari.
Spironolactone : 25–100 mg/hari, bisa di berikan 1 x sehari, sediaan
dalam bentuk tablet 25 mg dan 100 mg.
14
6. Bagaimana cara pemberian ketiga obat tersebut?
Captopril dapat diberikan secara oral. Furosemid diberikan secara oral
atau injeksi (IV/IM). Spironolactone diberikan secara oral.
e. Sejak dua minggu sebelum datang ke UGD, tuan Ahmad menderita
osteoarthritis genu sinistra dan mendapat obat Natrium Diklofenak (2x50mg)
setiap hari dari dokter Puskesmas.
1. Bagaimana etiologi osteoarthritis genu sinistra?
Etiologi OA bersifat idiopathy (belum jelas). Beberapa faktor risiko
yang berperan terjadi OA diantaranya adalah kadar esterogen rendah,
kadar insulin-like growth factor 1 (IGF-1) rendah, usia, obesitas, jenis
kelamin wanita karena terjadinya menopause, ras, genetik, aktifitas
fisik yang melibatkan sendi yang bersangkutan, trauma, tindakan
bedah orthopedik seperti menisektomi, kepadatan massa tulang,
merokok, endothelial cell stimulating factor dan diabetes mellitus.
Secara garis besar terdapat dua hal yang berperan dalam proses
patogenesis OA, yaitu biomechanical dan biochemical insult. Kedua
proses tersebut mengakibatkan terpicunya berbagai proses reaksi
enzimatik seperti dikeluarkannya enzim proteolitik atau kolagenolitik
oleh khondrosit yang dapat menghancurkan matriks rawan sendi.
2. Bagaimana patofisiologi osteoarthritis genu sinistra?
Pada proses timbulnya OA, kondrosit yang terstimulasi akan
melepaskan aggrekan dan kolagen tipe dua yang tidak adekuat ke
kartilago dan cairan sendi. Aggrekan pada kartilago akan sering habis
serta jalinan-jalinan kolagen akan mudah mengendur.
Kegagalan dari mekanisme pertahanan oleh komponen pertahanan
sendi akan meningkatkan kemungkinan timbulnya OA pada sendi.
3. Mengapa terjadi osteoarthritis di genu sinistra?
Sendi yang paling sering terserang oleh osteoartritis adalah
sendi-sendi yang harus memikul beban tubuh (weight bearing joint),
antara lain lutut, panggul, vertebra lumbal dan servikal, dan sendi-
15
sendi pada jari. Semakin sering digunakan, sendi tersebut semakin
rentan terkena OA. Gambaran osteoartitis yang khas adalah lebih
seringnya keterlibatan sendi falang distal dan proksimal, sementara
sendi metakarpofalangeal biasanya tidak terserang. Pada artritis
reumathoid, sendi falang proksimal dan sendi metakarpal keduanya
terserang, namun sendi interdangal distal tidak terlibat.
Osteoartritis bukan suatu penyakit simetris, sehingga lebih
banyak ditemukan insidens nyeri atau artritis pada satu bagian tubuh
saja (pada kasus ini genu sinistra, bukan kedua genu).
4. Bagaimana hubungan osteoarthritis dengan usia dan jenis kelamin
Tuan Ahmad?
Di seluruh dunia, osteoartritis memang menempati urutan puncak
sebagai kelainan sendi yang paling sering dijumpai. Hasil pemeriksaan
radiologis bahkan menunjukkan bahwa penyakit ini menghinggapi
mayoritas orang berusia di atas 65 tahun serta 80% populasi berusia di
atas 75 tahun. Diketahui pula bahwa osteoartritis lutut yang bergejala
dijumpai pada 11% orang di dalam kelompok berusia lebih dari 64
tahun.
Gangguan ini sedikit lebih banyak pada perempuan daripada laki-laki.
Hormon seks dan faktor-faktor hormonal lain juga berkaitan dengan
perkembangan osteoartritis. Hubungan antara esterogen dan
pembentukan tulang dan prevalensi osteoartritis pada perempuan
menunjukkan bahwa hormon memainkan peranan aktif dalam
perkembangan dan progresivitas penyakit ini.
5. Bagaimana hubungan osteoarthritis genu sinistra dengan riwayat
penyakit sebelumnya? (decompensatio cordis, hipertensi)
Hubungan OA dengan decompensatio cordis adalah adanya
kormobiditas yang tinggi, selain itu dengan riwayat penyakit
sebelumnya disebabkan karena interaksi obat Natrium Diklofenak
(bekerja secara simptomatis) dengan obat furosemid.
Obat-obat tersebut pada mekanisme kerjanya menghambat reabsorbsi
natrium menghambat reabsorbsi air ekskresi air meningkat
16
ekskresi zat terlarut (salah satunya kalsium) meningkat kalsium
extrasel berkurang absorbsi kalsium tulang ke ekstrasel kalsium
di tulang menurun --- ditambah faktor usia degradasi matriks
kartilago meningkat, cairan sinovial berkurang berakumulasi di
sendi osteoarthritis.
6. Bagaimana farmakodinamik dan farmakokinetik dari Natrium
Diklofenak?
Diklofenak cepat diabsorbsi setelah pemberian oral dan mempunyai
waktu paruh yang pendek. Seperti flurbiprofen, obat ini berkumpul di
cairan sinovial. Potensi diklofenak lebih besar dari pada naproksen.
Obat ini dianjurkan untuk kondisi peradangan kronis seperti artritis
rematoid dan osteoartritis serta untuk pengobatan nyeri otot rangka
akut.
Mekanisme kerjanya, bila membran sel mengalami kerusakan oleh
suatu rangsangan kimiawi, fisik, atau mekanis, maka enzim fosfolipase
diaktifkan untuk mengubah fosfolipida menjadi asam arachidonat.
Asam lemak poli-tak jenuh ini kemudian untuk sebagian diubah oleh
ezim cyclo-oksigenase menjadi endoperoksida dan seterusnya menjadi
prostaglandin. Cyclo-Oksigenase terdiri dari dua iso-enzim, yaitu
COX-1 (tromboxan dan prostacyclin) dan COX-2 (prostaglandin).
Kebanyakan COX-1 terdapat di jaringan, antara lain dipelat-pelat
darah, ginjal dan saluran cerna. COX-2 dalam keadaan normal tidak
terdapat dijaringan tetapi dibentuk selama proses peradangan oleh sel-
sel radang pada sendi yang mengalami radang. Penghambatan COX-2
lah yang memberikan efek anti radang dari obat NSAIDs. NSAID yang
ideal hanya menghambat COX-2 (peradangan) dan tidak COX-1
(perlindungan mukosa lambung), sedangkan diklofenak merupakan
obat NSAIDs (Non Steroidal Anti Inflammatory Drugs) yang bersifat
tidak selektif dimana kedua jenis COX di blokir. Dengan dihambatnya
COX-1, dengan demikian tidak ada lagi yang bertanggung jawab pada
efek samping yang terjadi.
17
7. Bagaimana interaksi Natrium Diklofenak dengan obat kombinasi
hipertensi yang diberikan?
Natrium Diklofenak menghambat kerja obat kombinasi. Natrium
Diklofenak dapat menurunkan aktivitas obat-obatan antidiuretic jika
diberikan bersamaan. Pemberian ini mungkin berdampak pada
kembalinya Tuan Achmad menderita dekompensasi kordis karena
selain menurunkan aktivitas antidiuretik, peringatan penggunaan pada
penderita dekomposisi jantung atau hipertensi, karena diklofenak dapat
menyebabkan retensi cairan dan edema, dan prostaglandin tidak
terbentuk sehingga vasodilatasi tidak terjadi sehingga kombinasi
hipertensi yang diberikan tidak memberi efek.
8. Bagaimana indikasi, kontraindikasi, dan efek samping Natrium
Diklofenak?
Indikasi
Natrium diklofenak diindikasikan untuk pengobatan tanda-tanda serta
gejalan akut dan kronik dari rheumatoid arthritis, osteoarthritis, dan
ankylosing spondylitis.
Kontraindikasi
Natrium diklofenak bersifat kontraindikasi untuk pasien dengan
hipersensitivitas pada diklofenak. Diklofenak tidak boleh diberikan
pada pasien dengan riwayat asma, urtikaria, atau pasien dengan rekasi
alergi setelah mengonsumsi aspirin atau OAINS lainnya.
Efek Samping
- Efek cardiovascular. (1) Meningkatkan risiko infark miokard,
serious cardiovascular thrombotic events, dan stroke, (2) Bisa
menyebabkan hipertensi atau menambah parah hipertensi yang
sudah ada, dan (3) Gagal jantung kongesti dan edema.
- Efek gastrointestinal. Meningkatkan risiko ulserasi, perdarahan,
dan perforasi.
- Efek renal. Pemberian jangka panjang bias menyebabkan
nekrosis papiler ginjal dan trauma ginjal lainnya.
- Efek hepatic. Bisa menyebabkan kenaikan transaminase pada
liver test.
18
- Reaksi anafilaktik
- Reaksi kulit. Bisa menyebabkan exfoliative dermatitis, Steven-
Johnson Syndrome (SJS), dan toxix epidermal necrolysis (TEN).
- Kehamilan. Sama seperti OAINS lainnya, natrium diklofenak
sebaiknya dihindari pada pasien hamil tua karena bisa
menyebabkan penutupan dini dari duktus arteriosus.
9. Apa saja golongan obat yang diberikan untuk penderita osteoarthritis
genu sinistra?
Untuk sakit ringan sampai sedang, analgesik oral atau topikal bisa
digunakan. Jika pendekatan ini gagal atau ada inflamasi, NSAID bisa
berguna. Terapi non-obat yang sesuai sebaiknya dilanjutkan ketika
terapi obat dimulai.
10. Mengapa dokter memberikan Natrium Diklofenak pada tuan Ahmad?
Penghambat COX-2 yang sangat selektif dapat meningkatkan insidens
edema dan hipertensi, maka dari itu dokter ini memilih penghambat
COX nonselektif. Selain itu, OAINS dapat ditemukan dalam cairan
synovial setelah pemberian dosis berulang. Obat dengan waku paruh
yang pendek tetap berada dalam sendi untuk waktu yang lebih lama.
Penghambat COX nonselektif dengan waktu paruh terpendek adalah
tolmetin diikuti dengan diklofenak. Namun, beberapa penelitian
menyatakan bahwa tolmetin memiliki efek toksisitas yang paling
besar. Hal ini juga mungkin menajadi salah satu alasan dokter tersebut
memilih natrium diklofenak.
11. Bagaimana dosis pakai Natrium Diklofenak?
Dosis dan Cara Pemakaian (Penggunaan Natrium Diklofenak sampai
nyerinya sembuh)
- Osteoartritis: 2-3 kali sehari 50 mg atau 2 kali sehari 75 mg.
- Reumatoid artritis: 3-4 kali sehari 50 mg atau 2 kali sehari 75 mg.
- Ankilosing spondylitis: 4 kali sehari 25 mg ditambah 25 mg saat
akan tidur.
Tablet harus ditelan utuh dengan air, sebelum makan.
19
Overdosis akut OAINS menyebabkan letargi, rasa kantuk, nausea,
muntah-muntah, dan nyeri epigastric.
12. Bagaimana cara pemberian Natrium Diklofenak?
Oral, injeksi intramuskular, rektal, topikal : gel.
IV. Keterkaitan Antar Masalah
Tuan Ahmad, 68 tahun
V. Hipotesis
Tuan Ahmad, 68 tahun, kembali mengalami decompensatio cordis akibat interaksi
obat anti hipertensi kronis dan natrium diklofenak.
VI. Learning Issue
a. Hipertensi Kronis
Hipertensi hipertensi esensial atau idiopatik adalah hipertensi yang tidak
diketahui etiologinya/penyebabnya.
Patofisiologi Hipertensi Kronis
Beberapa teori patogenesis hipertensi kronis meliputi :
Aktivitas yang berlebihan dari sistem saraf simpatik
Aktivitas yang berlebihan dari sistem RAA
Retensi Na dan air oleh ginjal
Inhibisi hormonal pada transport Na dan K melewati dinding sel pada
ginjal dan pembuluh darah
20
Dyspnoe dan Edema
Natrium Diklofenak
Decompensatio cordis
Hipertensi KronisOsteoarthritis
Captopril Furosemid Spironolactone
Interaksi kompleks yang melibatkan resistensi insulin dan fungsi endotel
Diagnosa Hipertensi Kronis
Pemeriksaan diagnostik terhadap pengidap tekanan darah tinggi
mempunyai beberapa tujuan :
Memastikan bahwa tekanan darahnya memang selalu tinggi
Menilai keseluruhan risiko kardiovaskular
Menilai kerusakan organ yang sudah ada atau penyakit yang
menyertainya
Mencari kemungkinan penyebabnya
Diagnosis hipertensi menggunakan tiga metode klasik yaitu:
Pencatatan riwayat penyakit (anamnesis)
Pemeriksaan fisik (sphygomanometer)
Pemeriksaan laboraturium (data darah, urin, kreatinin serum, kolesterol)
Kesulitan utama selama proses diagnosis ialah menentukan sejauh
mana pemeriksaan harus dilakukan. Dimana pemeriksaan secara dangkal saja
tidak cukup dapat diterima karena hipertensi merupakan penyakit seumur
hidup dan terapi yang dipilih dapat memberikan implikasi yang serius untuk
pasien.
Manifestasi Klinis Hipertensi Kronis
Sebagian besar manifestasi klinis timbul setelah mengalami
hipertensi bertahun-tahun, dan berupa :
Nyeri kepala saat terjaga, kadang-kadang disertai mual dan muntah,
akibat peningkatan tekanan darah intrakranium
Penglihatan kabur akibat kerusakan retina karena hipertensi
Ayunan langkah yang tidak mantap karena kerusakan susunan
saraf pusat
Nokturia karena peningkatan aliran darah ginjal dan filtrasi glomerulus
Edema dependen dan pembengkakan akibat peningkatan tekanan kapiler
Dampak Hipertensi Kronis
Hipertensi yang diabaikan atau tidak diobati dapat menyebabkan berbagai
macam gangguan kardiovaskular, serebrovaskular dan renal. Hipertensi dapat
21
merupakan penyebab tunggal atau hanya merupakan salah satu faktor
penyebab terjadinya gangguan tersebut. Tingkat kerusakan organ umumnya
berhubungan dengan nilai tekanan darah, meskipun tidak selalu demikian. Ada
kalanya nilai tekanan darah yang tinggi tidak disertai dengan kerusakan organ
sasaran, dan begitupula sebaliknya. Terdapat kerusakan organ pada kenaikan
nilai tekanan darah yang sedang. Hipertensi dianggap faktor resiko yang
paling penting karena hipertensi adalah faktor yang menyebabkan serangan
jantung, gagal jantung, stroke dan kerusakan ginjal.
Komplikasi Hipertensi Kronis
Salah satu alasan mengapa kita perlu mengobati tekanan darah tinggi adalah
untuk mencegah kemungkinan terjadinya komplikasi yang dapat timbul jika
penyakit ini tidak disembuhkan. Beberapa komplikasi hipertensi yang umum
terjadi sebagai berikut:
Stroke
Penyakit jantung koroner
Gagal jantung
Hipertrofi ventrikel kiri
Penyakit vaskular
Retinopati
Kerusakan ginjal
Pencegahan Hipertensi Kronis
Mengurangi dalam hal mengkonsumsi garam.
Melakukan rutinitas dalam berolahraga. Bila telah menderita penyakit
hipertensi maka olahraga yang disarankan adalah olahraga yang ringan
selama 30 menit dan seminggu paling tidak 3 kali. Olahraga ringan
seperti halnya bersepeda dan juga berjalan kaki.
Rajin dalam mengkonsumsi makanan dan juga buah-buahan yang kaya
akan serat seperti halnya melon, tomat dan juga sayuran hijau.
Menghindari dari konsumsi alkohol.
Mengendalikan kadar kolesterol jahat dalam tubuh dan juga menghindari
kegemukan atau obesitas.
22
Tidak merokok dan bagi para perokok maka pencegahan hipertensi ini
dengan menghentikan merokok itu sendiri.
Menghindari dan mengendalikan diabetes bila mempunyai penyakit DM
tersebut.
b. Decompensatio cordis
Definisi Decompensatio Cordis
Decompensasi cordis adalah suatu keadaan patofisiologi adanya kelainan
fungsi jantung berakibat jantung gagal memompakan darah untuk memenuhi
kebutuhan metabolisme jaringan dan atau kemampuannya hanya ada kalau
disertai peninggian tekanan pengisian ventrikel kiri. Berdasarkan definisi
patofisiologi gagal jantung (decompensatio cordis) atau dalam bahasa inggris
Heart Failure adalah ketidakmampuan jantung untuk memenuhi kebutuhan
metabolisme jaringan pada saat istirahat atau kerja ringan. Hal tersebut akan
menyebabkan respon sistemik khusus yang bersifat patologik (sistem saraf,
hormonal, ginjal, dan lainnya) serta adanya tanda dan gejala yang khas.
Patofisiologi Decompensatio Cordis
Mekanisme respon darurat yang pertama berlaku untuk jangka pendek
(beberapa menit sampai beberapa jam), yaitu reaksi fight-or-flight. Reaksi ini
terjadi sebagai akibat dari pelepasan adrenalin (epinefrin) dan noradrenalin
(norepinefrin) dari kelenjar adrenal ke dalam aliran darah; noradrenalin juga
dilepaskan dari saraf. Adrenalin dan noradrenalin adalah sistem pertahanan
tubuh yang pertama muncul setiap kali terjadi stres mendadak. Pada gagal
jantung, adrenalin dan noradrenalin menyebabkan jantung bekerja lebih keras,
untuk membantu meningkatkan curah jantung dan mengatasi gangguan pompa
jantung sampai derajat tertentu. Curah jantung bisa kembali normal, tetapi
biasanya disertai dengan meningkatnya denyut jantung dan bertambah kuatnya
denyut jantung. Pada seseorang yang tidak mempunyai kelainan jantung dan
memerlukan peningkatan fungsi jantung jangka pendek, respon seperti ini
sangat menguntungkan. Tetapi pada penderita gagal jantung kronis, respon ini
bisa menyebabkan peningkatan kebutuhan jangka panjang terhadap sistem
kardiovaskuler yang sebelumnya sudah mengalami kerusakan. Lama-lama
peningkatan kebutuhan ini bisa menyebabkan menurunya fungsi jantung.
23
Mekanisme perbaikan lainnya adalah penahanan garam (natrium) oleh
ginjal. Untuk mempertahankan konsentrasi natrium yang tetap, tubuh secara
bersamaan menahan air. Penambahan air ini menyebabkan bertambahnya
volume darah dalam sirkulasi dan pada awalnya memperbaiki kerja jantung.
Salah satu akibat dari penimbunan cairan ini adalah peregangan otot jantung
karena bertambahnya volume darah. Otot yang teregang berkontraksi lebih
kuat. Hal ini merupakan mekanisme jantung yang utama untuk meningkatkan
kinerjanya dalam gagal jantung. Tetapi sejalan dengan memburuknya gagal
jantung, kelebihan cairan akan dilepaskan dari sirkulasi dan berkumpul di
berbagai bagian tubuh, menyebabkan pembengkakan (edema). Lokasi
penimbunan cairan ini tergantung kepada banyaknya cairan di dalam tubuh
dan pengaruh gaya gravitasi. Jika penderita berdiri, cairan akan terkumpul di
tungkai dan kaki. Jika penderita berbaring, cairan akan terkumpul di punggung
atau perut. Sering terjadi penambahan berat badan sebagai akibat dari
penimbunan air dan garam.
Mekanisme utama lainnya adalah pembesaran otot jantung (hipertrofi).
Otot jantung yang membesar akan memiliki kekuatan yang lebih besar, tetapi
pada akhirnya bisa terjadi kelainan fungsi dan menyebabkan semakin
memburuknya gagal jantung.
24
Etiologi Decompensatio Cordis
Mekanisme fisiologis yang menyebabkan timbulnya dekompensasi kordis
adalah keadaan-keadaan yang meningkatkan beban awal, beban akhir atau
yang menurunkan kontraktilitasmiokardium. Keadaan yang meningkatkan
beban awal seperti regurgitasi aorta, dan cacat septumventrikel. Beban akhir
meningkat pada keadaan dimana terjadi stenosis aorta atau hipertensi sistemik.
Kontraktilitas miokardium dapat menurun pada infark miokard atau
kardiomyopati. Faktor lain yang dapat menyebabkan jantung gagal sebagai
pompa adalah gangguan pengisisan ventrikel (stenosis katup atrioventrikuler),
gangguan pada pengisian dan ejeksi ventrikel (perikarditis konstriktif dan
temponade jantung). Dari seluruh penyebab tersebut diduga yang paling
mungkin terjadi adalah pada setiap kondisi tersebut mengakibatkan pada
gangguan penghantaran kalsium di dalam sarkomer, atau di dalam sistesis atau
fungsi protein kontraktil.
Penyebab gagal jantung digolongkan menurut apakah gagal jantung
tersebut menimbulkan gagal yang dominan sisi kiri atau dominan sisi kanan.
Dominan sisi kiri : penyakit jantung iskemik, penyakit jantung hipertensif,
penyakit katup aorta, penyakit katup mitral, miokarditis, kardiomiopati,
amiloidosis jantung, keadaan curah tinggi (tirotoksikosis, anemia, fistula
arteriovenosa). Dominan sisi kanan : gagal jantung kiri, penyakit paru kronis,
stenosis katup pulmonal, penyakit katup trikuspid, penyakit jantung kongenital
(VSD, PDA), hipertensi pulmonal, emboli pulmonal masif.
Gagal jantung dapat disebabkan oleh banyak hal. Secara epidemiologi
cukup penting untung mengetahui penyebab dari gagal jantung, di Negara
25
berkembang penyakit arteri koroner dan hipertensi merupakan penyebab
terbanyak sedangkan di negara berkembang yang menjadi penyebab terbanyak
adalah penyakit jantung katup dan penyakit jantung akibat malnutrisi. Pada
beberapa keadaan sangat sulit untuk menentukan penyebab dari gagal jantung.
Terutama pada keadaan yang terjadi bersamaan pada penderita. Penyakit
jantung koroner pada Framingham study dikatakan sebagai penyebab gagal
jantung pada 46% laki-laki dan 27% pada wanita. Faktor risiko koroner seperti
diabetes dan merokok juga merupakan faktor yang dapat berpengaruh pada
perkembangan dari gagal jantung. Selain itu berat badan serta tingginya rasio
kolesterol total dengan kolesterol HDL juga dikatakan sebagai faktor risiko
independen perkembangan gagal jantung.
Hipertensi telah dibuktikan meningkat-kan risiko terjadinya gagal jantung
pada beberapa penelitian. Hipertensi dapat menyebabkan gagal jantung
melalui beberapa mekanisme, termasuk hipertrofi ventrikel kiri. Hipertensi
ventrikel kiri dikaitkan dengan disfungsi ventrikel kiri sistolik dan diastolik
dan meningkatkan risiko terjadinya infark miokard, serta memudahkan untuk
terjadinya aritmia baik itu aritmia atrial maupun aritmia ventrikel.
Ekokardiografi yang menunjukkan hipertrofi ventrikel kiri berhubungan kuat
dengan perkembangan gagal jantung.
Aritmia sering ditemukan pada pasien dengan gagal jantung dan
dihubungkan dengan kelainan struktural termasuk hipertofi ventrikel kiri pada
penderita hipertensi. Atrial fibrilasi dan gagal jantung seringkali timbul
bersamaan. Alkohol dapat berefek secara langsung pada jantung,
menimbulkan gagal jantung akut maupun gagal jantung akibat aritmia
(tersering atrial fibrilasi). Konsumsi alkohol yang berlebihan dapat
menyebabkan kardiomiopati dilatasi (penyakit otot jantung alkoholik).
Alkohol menyebabkan gagal jantung 2 – 3% dari kasus. Alkohol juga dapat
menyebabkan gangguan nutrisi dan defisiensi tiamin. Obat – obatan juga dapat
menyebabkan gagal jantung. Obat kemoterapi seperti doxorubicin dan obat
antivirus seperti zidofudin juga dapat menyebabkan gagal jantung akibat efek
toksik langsung terhadap otot jantung.
Grade gagal jantung menurut New York heart association.Terbagi menjadi
empat kelainan fungsional :
1. Timbul gejala sesak pada aktifitas fisik berat.
26
2. Timbul gejala sesak pada aktifitas sedang.
3. Timbul gejala sesak pada aktifitas ringan.
4. Timbul gejala sesak pada aktifitas sangat ringan/ istirahat.
Manifestasi Klinis Decompensatio Cordis
Tanda dominan yang muncul adalah meningkatnya volume intravaskuler
kongestif jaringan akibat tekanan arteri dan vena meningkat akibat penurunan
curah jantung. Manifestasi kongesti dapat berbeda tergantung pada kegagalan
ventrikel mana yang terjadi.
Gagal jantung kiri :
Kongesti paru menonjol pada gagal ventrikel kiri karena ventrikel kiri tak
mampu memompa darah yang datang dari paru. Manifestasi klinis yang terjadi
yaitu :
Dispnoe
Terjadi akibat penimbunan cairan dalam alveoli dan mengganggu
pertukaran gas. Dapat terjadi ortopnu. Bebrapa pasien dapat mengalami
ortopnu pada malam hari yang dinamakan Paroksimal Nokturnal Dispnea.
Mudah lelah
Terjadi karena curah jantung yang kurang yang menghambat jaringan dari
sirkulasi normal dan oksigen serta menurunnya pembuangan sisa hasil
katabolisme, juga terjadi karena meningkatnya energi yang digunakan
untuk bernafas dan insomnia karena distress pernafasan dan batuk.
Kegelisahan dan kecemasan
Terjadi akibat gangguan oksigenasi jaringan, stress akibat kesakitan
bernafas dan pengetahuan bahwa jantung tidak berfungsi dengan baik.
Batuk
Gagal jantung kanan :
Kongestif jaringan perifer dan viseral.
Edema ekstrimitas bawah (edema dependen), biasanya edema pitting,
penambahan berat badan.
Hepatomegali dan nyeri tekan pada kuadran kanan atas abdomen
terjadi akibat pembesaran vena di hepar.
27
Anorexia dan mual. Terjadi akibat pembesaran vena dan statis vena
dalam rongga abdomen.
Nokturia
Kelemahan.
Faktor Resiko Decompensatio Cordis
Faktor risiko dari penyakit gagal jantung dapat digolongkan menjadi 2
kategori yang berbeda, yakni faktor risiko yang dapat dimodifikasi dan faktor
risiko yang tidak dapat dimodifikasi. Beberapa faktor risiko yang dapat
dimodifikasi antara lain kadar kolesterol darah tinggi, kadar LDL (Low
Density Lipoprotein) tinggi, kadar trigliserida tinggi, hipertensi, diabetes,
obesitas, aktivitas fisik yang kurang, serta merokok. Semua faktor risiko tadi
merupakan faktor risiko yang dapat dikontrol, baik dengan perubahan gaya
hidup maupun medikasi. Sedangkan usia tua, jenis kelamin wanita dan riwayat
penyakit jantung pada keluarga merupakan faktor risiko yang tidak dapat
dimodifikasi.
Tatalaksana dan Prognosis Decompensatio Cordis
Terapi gagal jantung terdiri atas :
1. Terapi spesifik terhadap kausa yang mendasari gagal jantung
(revaskularisasi pada PJK, penggantian katup untuk penyakit katup yang
berat ).
2. Terapi non spesifik terhadap sindroma klinis gagal jantung.
Dasar-dasar terapi Gagal Jantung Kongestif
Masalah Terapi
Preload meningkat Restriksi garam, diuretika,
venodilator
Curah jantung rendah, tahanan
vaskuler sistemik meningkat
Arteriolar dilator/inhibitor ACE
Kontraktilitas menurun Obat inotropik positif
Frekwensi denyut jantung cepat
Fibrilasi atrial
Tingkatkan blok Atrio-
Ventrikuler
28
Takikardia sinus Perbaiki kemampuan ventrikel
kiri
Sediaan Digitalis
Nama Sediaan Dosis Digitalisasi Dosis
Pemeliharaan
Mulai bekerja Lama
bekerja
1Digoxin (Lanoxin)
0,25 mg/tablet
1,5 – 3 mg,
diselesaikan
dalam 3 – 4 hari
0,125 – 0,5
ml/hari
4 – 6 jam 2 – 6 hari
2Deslanoside
(Cedilanid-D)
0,4 mg/ampul 2
ml.
1,6 mg,
diselesaikan
dalam 24 jam
0,2 – 0,4
mg/hari
1 – 2 jam 3 – 6 hari
Sediaan Diuretika
Jenis Diuretik Kemasan Dosis Awal Dosis Pemeliharaan
DIURETIKA
RINGAN
1Hidroklorotiazid
(HCT)
2Klortalidon
(Hygroton)
POTASSIUM
SPARING
DIURETICS
Spironolakton
(Aldactone)
DIURETIKA
KUAT
Furosemide (Lasix,
Impugan, Naclex,
dll)
25 dan 50 mg/tab.
50 mg/tablet
25 dan 100 mg/tab.
20 mg/ampul 2 ml
25 – 50 mg/hari
50 mg/hari
75 mg/hari
20 – 80 mg/hari
25 – 50 mg/hari
25 – 50 mg/hari
25 – 100 mg/hari
0 –40 mg/hari
29
Sediaan Vasodilator
Jenis Vasodilator
Arterial
Kemasan Dosis Efek samping
1.Kaptopril (Capoten) 25, 50, dan 100
mg/tablet
Dimulai dengan
dosis 6,25 – 12,5 mg
ditingkatkan sampai
70 – 100 mg/hari,
diberikan 1 jam
sebelum makan,
dibagi dalam 3 dosis.
Gangguan
pengecapan.
Gatal-gatal.
Neutropenia.
Proteinuria.
2. Nifedipin (Adalat) 10 mg/tablet 30 – 60 mg/hari,
dibagi dalam 3 dosis.
Muka merah
(flushing).
Nyeri kepala.
Berdebar.
3.Prazosin(Minipress) 1 dan 2 mg/tablet Dimulai dengan
dosis kecil 0,5 – 1
mg pada malam hari,
ditingkatkan secara
bertahap sampai 6 –
12 mg/hr.
First-dose syncope.
Berdebar
Mengantuk.
Lemah badan.
Hidung buntu.
4.Hidralazine(Apresoline) 25 dan 50 mg/1
tab.
100 – 200 mg/hari
dibagi dalam 3 – 4
dosis.
Nyeri kepala.
Berdebar dan
angina.
Hipotensi postural.
SLE.
5. Sodium –Nitropruside
(Nipride)
50 mg serbuk/vial,
diencerkan dengan
500 ml D5 = 100
Ug/ml :
harus dengan
infusion pump.
Botol dan selang
infus harus
0,5 – 5 Ug/kg/menit
atau 0,005 – 0,05
ml/kg/menit rata-rata
3 U gr/kg/menit atau
0,03 ml/kg/menit.
Mual, muntah.
Nyeri kepala.
Hipotensi.
Hindari ekstravasasi
Hati-hati pada
gangguan hati atau
ginjal.
30
dibungkus dengan
aluminium foil
untuk menghindari
cahaya.
Harus larutan baru.
VENOUS
Isosorbid dinitrat
(Cedocard, Isordil,
Isorbid, Vascardine)
5 dan 10 mg/tablet 30 – 60 mg/hari,
dibagi dalam 3 – 4
dosis.
Nyeri kepala.
Hipotensi postural.
Prognosis Decompensatio Cordis
Prognosis gagal jantung tergantung dari derajat disfungsi miokardium.
Menurut New York Heart Assosiation, gagal jantung kelas I-III didapatkan
mortalitas 1 dan 5 tahun masing-masing 25% dab 52%. Sedangkan kelas IV
mortalitas 1 tahun adalah sekitar 40%-50%.
c. Osteoarthritis (OA) Genu Sinistra
Patofisiologi Osteoarthritis Genu Sinistra
Berdasarkan penyebabnya, OA dibedakan menjadi dua yaitu OA
primer dan OA sekunder. OA primer, atau dapat disebut OA idiopatik, tidak
memiliki penyebab yang pasti dan tidak disebabkan oleh penyakit sistemik
maupun proses perubahan lokal pada sendi. OA sekunder, berbeda dengan OA
primer, merupakan OA yang disebabkan oleh inflamasi, kelainan sistem
endokrin, metabolik, pertumbuhan, faktor keturunan (herediter), dan
immobilisasi yang terlalu lama. Kasus OA primer lebih sering dijumpai pada
praktik sehari-hari dibandingkan dengan OA sekunder.
Selama ini OA sering dipandang sebagai akibat dari proses penuaan
dan tidak dapat dihindari. Namun telah diketahui bahwa OA merupakan
gangguan keseimbangan dari metabolisme kartilago dengan kerusakan
struktur yang penyebabnya masih belum jelas diketahui. Kerusakan tersebut
diawali oleh kegagalan mekanisme perlindungan sendi serta diikuti oleh
beberapa mekanisme lain sehingga pada akhirnya menimbulkan cedera.
31
Mekanisme pertahanan sendi diperankan oleh pelindung sendi yaitu : Kapsula
dan ligamen sendi, otot-otot, saraf sensori aferen dan tulang di dasarnya .
Kapsula dan ligamen-ligamen sendi memberikan batasan pada rentang gerak
(range of motion) sendi.
Cairan sendi (sinovial) mengurangi gesekan antar kartilago pada
permukaan sendi sehingga mencegah terjadinya keletihan kartilago akibat
gesekan. Protein yang disebut dengan lubricin merupakan protein pada cairan
sendi yang berfungsi sebagai pelumas. Protein ini akan berhenti disekresikan
apabila terjadi cedera dan peradangan pada sendi.
Ligamen, bersama dengan kulit dan tendon, mengandung suatu
mekanoreseptor yang tersebar di sepanjang rentang gerak sendi. Umpan balik
yang dikirimkannya memungkinkan otot dan tendon mampu untuk
memberikan tegangan yang cukup pada titik-titik tertentu ketika sendi
bergerak.
Otot-otot dan tendon yang menghubungkan sendi adalah inti dari
pelindung sendi. Kontraksi otot yang terjadi ketika pergerakan sendi
memberikan tenaga dan akselerasi yang cukup pada anggota gerak untuk
menyelesaikan tugasnya. Kontraksi otot tersebut turut meringankan stres yang
terjadi pada sendi dengan cara melakukan deselerasi sebelum terjadi tumbukan
(impact). Tumbukan yang diterima akan didistribusikan ke seluruh permukaan
sendi sehingga meringankan dampak yang diterima. Tulang di balik kartilago
memiliki fungsi untuk menyerap goncangan yang diterima.
Kartilago berfungsi sebagai pelindung sendi. Kartilago dilumasi oleh
cairan sendi sehingga mampu menghilangkan gesekan antar tulang yang
terjadi ketika bergerak. Kekakuan kartilago yang dapat dimampatkan
berfungsi sebagai penyerap tumbukan yang diterima sendi. Perubahan pada
sendi sebelum timbulnya OA dapat terlihat pada kartilago sehingga penting
untuk mengetahui lebih lanjut tentang kartilago. Terdapat dua jenis
makromolekul utama, yaitu kolagen tipe dua dan aggrekan. Kolagen tipe dua
terjalin dengan ketat, membatasi molekul–molekul aggrekan di antara jalinan-
jalinan kolagen. Aggrekan adalah molekul proteoglikan yang berikatan dengan
asam hialuronat dan memberikan kepadatan pada kartilago.
Kondrosit, sel yang terdapat di jaringan avaskular, mensintesis
seluruha elemen yang terdapat pada matriks kartilago. Kondrosit
32
menghasilkan enzim pemecah matriks, sitokin {Interleukin-1 (IL-1), Tumor
Necrosis Factor (TNF)}, dan faktor pertumbuhan. Umpan balik yang
diberikan enzim tersebut akan merangsang kondrosit untuk melakukan sintesis
dan membentuk molekul-molekul matriks yang baru. Pembentukan dan
pemecahan ini dijaga keseimbangannya oleh sitokin faktor pertumbuhan, dan
faktor lingkungan. Kondrosit mensintesis metaloproteinase matriks (MPM)
untuk memecah kolagen tipe dua dan aggrekan. MPM memiliki tempat kerja
di matriks yang dikelilingi oleh kondrosit. Namun, pada fase awal OA,
aktivitas serta efek dari MPM menyebar hingga ke bagian permukaan
(superficial) dari kartilago.
Patofisiologi Osteoarthritis Genu Sinistra
Stimulasi dari sitokin terhadap cedera matriks adalah menstimulasi
pergantian matriks, namun stimulaso IL-1 yang berlebih malah memicu proses
degradasi matriks. TNF menginduksi kondrosit untuk mensintesis
prostaglandin (PG), oksida nitrit (NO), dan protein lainnya yang memiliki efek
terhadap sintesis dan degradasi matriks. TNF yang berlebihan mempercepat
proses pembentukan tersebut. NO yang dihasilkan akan menghambat sintesis
aggrekan dan meningkatkan proses pemecahan protein pada jaringan. Hal ini
berlangsung pada proses awal timbulnya OA.
Kartilago memiliki metabolisme yang lamban, dengan pergantian
matriks yang lambat dan keseimbangan yang teratur antara sintesis dengan
degradasi. Namun, pada fase awal perkembangan OA kartilago sendi memiliki
metabolisme yang sangat aktif.
Pada proses timbulnya OA, kondrosit yang terstimulasi akan melepaskan
aggrekan dan kolagen tipe dua yang tidak adekuat ke kartilago dan cairan
sendi. Aggrekan pada kartilago akan sering habis serta jalinan-jalinan kolagen
akan mudah mengendur. Kegagalan dari mekanisme pertahanan oleh
komponen pertahanan sendi akan meningkatkan kemungkinan timbulnya OA
pada sendi.
Tatalaksana Osteoarthritis Genu Sinistra
33
Terapi obat pada OA bertujuan untuk mengurangi sakit. Karena OA sering
terjadi pada manula yang mempunyai kondisi medis lainnya, diperlukan
pendekatan konservatif terhadap perawatan dengan obat. Untuk sakit ringan
sampai sedang, analgesik oral atau topikal bisa digunakan. Jika pendekatan ini
gagal atau ada inflamasi, NSAID bisa berguna. Terapi non-obat yang sesuai
sebaiknya dilanjutkan ketika terapi obat dimulai.
Analgesik
Asetaminofen
Asetaminofen adalah pilihan untuk oral analgesik dengan dosis 325-
650 mg empat kali sehari (dosis maksimum 4g/hari). American College of
Rheumatology (ACR) menyarankan asetaminofen sebagai terapi pertama
untuk pengatasan rasa sakit pada OA. Pengurangan rasa sakit ringan sampai
sedang pada OA diperlihatkan oleh asetaminofen (2,6-4 g/hari) jika
dibandingkan dengan aspirin (650 mg empat kali sehari), ibuprofen (1200 atau
2400 mg sehari), naproxen (750 mg sehari), dan NSAID lain. Tetapi, beberapa
studi melaporkan pengurangan rasa sakit yang lebih baik dengan NSAID,
terutama untuk rasa sakit OA yang hebat.
Asetaminofen biasanya bisa ditolerir oleh pasien, tapi berpotensi fatal
untuk hepatotoksisitas jika overdosis. Asetaminofen harus digunakan dengan
hati-hati pada pasien dengan penyakit liver dan dihindari pada penyalah guna
alkohol kronik. Toksisitas ginjal lebih jarang terjadi daripada NSAID.
Salisilat
Aspirin dengan dosis 325-650 mg empat kali sehari juga memberikan
analgesia; dosis paling tidak 3,6 mg/hari perlu untuk mendapatkan aktivitas
anti-inflamasi. Salisilat bisa menyebabkan efek samping pada saluran cerna
dari ketidak nyamanan ringan sampai ulser lambung dengan komplikasi yang
parah. Untuk mengurangi efek samping pada saluran cerna, salisilat bisa
diberikan dengan makanan atau susu. Produk salut enterik bisa mengurangi
cedera mukosa lambung. Salisilat non-asetilasi juga memberikan iritasi saluran
cerna yang lebih kecil, kemungkinan perdarahan yang lebih kecil, dan tidak
menyebabkan agregasi platelet, tapi lebih mahal. Aspirin bisa menimbulkan
34
reaksi hipersensitifitas, kelainan fungsi ginjal, dan peningkatan serum
transaminase.
Capsaicin
Capsaicin, ekstrak dari cabe merah yang menyebabkan pelepasan dan
menghabiskan semua substansi P dari serat saraf, telah terbukti bermanfaat
untuk mengurangi rasa sakit pada OA ketika diberikan topikal pada sendi yang
sakit. Capsaicin bisa digunakan tunggal atau kombinasi dengan analgesik oral
atau NSAID. Untuk bisa efektif, capsaicin harus digunakan teratur, dan
mungkin butuh beberapa minggu untuk bisa bekerja. Capsaicin sangat
ditolerir, tapi beberapa pasien mengalami rasa terbakar sementara pada tempat
penggunaan. Pasien harus diperingatkan untuk tidak mengoleskan di mata atau
mulut dan mencuci tangan setelah mengoleskan. Penggunaan disarankan
empat kali sehari, tapi menurunkan penggunaan menjadi dua kali sehari bisa
memperbaiki penggunaan jangka panjang dengan pengurangan rasa sakit yang
cukup.
NSAID
NSAID mempunyai sifat analgesik pada dosis kecil dan anti inflamasi
pada dosis lebih tinggi. Efek analgesik dimulai pada jam ke-1 atau ke-2,
sedang efek anti inflamasi muncul setelah 2 atau 3 minggu. Semua NSAID
terbukti efektif pada pengurangan rasa sakit dan inflamasi pada OA (Tabel 2-
1), meski pasien individual bisa merespon berbeda.
Ada bukti bahwa siklooksigenase-2 (COX-2)selektif inhibitor (seperti
celecoxib, rofecoxib) mengurangi rasa sakit pada banyak pasien OA dengan
resiko untuk efek samping yang lebih kecil daripada NSAID non-spesifik.
NSAID biasanya diberikan setelah terapi dengan asetaminofen atau
aspirin terbukti tidak efektif atau tidak bisa ditolerir atau pada pasien dengan
inflamasi.
Pemilihan NSAID tergantung pengalaman pemberi resep, biaya
pengobatan, pilihan pasien, atau toksisitas. Semua NSAID sama efektif dengan
aspirin tapi efek samping saluran cerna lebih kecil, tapi beberapa produk lebih
mahal.
35
Pasien bisa merespon dengan baik terhadap obat pada grup kimia
tertentu tapi tidak sama sekali pada obat lain dalam grup yang sama. Ujicoba
dengan waktu (2-3 minggu) dan dosis (anti inflamasi atau analgesik) yang
sesuai perlu dilakukan. Jika uji pertama gagal, NSAID lain pada grup kimia
yang sama atau berbeda bisa dicoba. Proses ini bisa diulangi sampai agen yang
efektif didapatkan.
Kombinasi NSAID dengan NSAID lain atau aspirin meningkatkan efek
samping tanpa memberikan efek yang bermanfaat.
Keluhan saluran cerna adalah efek samping paling umum pada NSAID.
Keluhan ringan seperti nausea, dispepsia, anoreksia, rasa sakit pada
abdominal, flatulen (perut kembung) dan diare terjadi pada 10-60 % pasien.
NSAID sebaiknya diberikan bersama makanan atau susu, kecuali untuk
produk salut enterik (susu atau antasid bisa menghancurkan salut enterik dan
menyebabkan simtom saluran cerna pada beberapa pasien).
Semua NSAID berpotensi menyebabkan ulser saluran cerna dan
perdarahan melalui mekanisme langsung (topikal) atau tidak langsung
(sistemika). Faktor resiko untuk ulser terkait NSAID dan komplikasi ulser
(perforasi, obstruksi lambung, perdarahan saluran cerna) termasuk usia di atas
65 tahun, kondisi medis yang rentan (seperti penyakit kardio vaskuler), terapi
kortikosteroid atau anti koagulan, dan riwayat penyakit peptik ulser atau
perdarahan saluran cerna atas.
Untuk pasien OA yang membutuhkan NSAID tapi beresiko tinggi
untuk komplikasi saluran cerna, rekomendasi ACR termasuk COX-2 selektif
inhibitor atau NSAID non-spesifik dengan kombinasi inhibitor pompa proton
atau misoprostol.
NSAID bisa menyebabkan komplikasi ginjal, hepatitis, reaksi
hipersensitivtas, kulit kemerahan dan keluhan sistem saraf pusat seperti
mengantuk, pusing, sakit kepala, depresi, bingung, dan tinitus (kuping
berdenging). Semua NSAID non-spesifik menginhibit produksi tromboksan
yang tergantung-COX-1 pada platelet. Sehingga meningkatkan resiko
perdarahan. NSAID sebaiknya dihindari pada akhir kehamilan karena resiko
prematur penutupan ductus aretriousus.
36
Interaksi obat paling serius termasuk penggunaan NSAID dengan
litium, warfarin, hipoglikemi oral, methotrexate, anti hipertensi, angiotensin
converting enzyme (ACE) inhibitor, β bloker, dan diuretik.
Glukokotikoid
Terapi glukokortikoid sistemik tidak disarankan pada OA, karena
manfaatnya yang kurang dan efek samping dalam penggunaan lama.
Intra articular glucocaoticoid (IAG) bisa mengurangi rasa sakit jika
terjadi inflamasi lokal atau effusi (keluarnya cairan) sendi, tapi manfaat jangka
panjangnya masih kontroversi. Jika digunakan, IAG harus diberikan jarang
dengan interval 4-6 bulan untuk sendi terkena dan tidak lebih dari 3-4 injeksi
per tahun. Setelah injeksi, pasien harus mengurangi aktivitas sendi tersebut
untuk beberapa hari. Injeksi ke ligamen atau area pericapsular bisa bermanfaat
dan resikonya lebih kecil daripada pemberian secara IAG.
Injeksi Hyaluronat
Asam hyaluronat membantu dalam rekosntruksi cairan sinovial,
meningkatkan elastisitasnya sementara dan memperbaiki fungsi sendi. Tetapi,
efek ini terbatas dan cepat hilang.
Dua agen intra-articular mengandung asam hyaluronat tersedia untuk
perawatan rasa sakit terkait OA pada lutut: natrium hyaluronat (Hyalgan) dan
hylan G-F 20 (Synvisc). Siklus perawatan berupa injeksi intra articular 2 ml
ke lutut sekali seminggu selama 3 minggu (hylan G-F 20) atau 5 minggu
(natrium hyaluronat).
Produk ini bisa bermanfaat untuk mereka yang tidak merespon
terhadap terapi lain, tapi studi lebih jauh dan penggunaan klinik dibutuhkan
untuk menentukan tempat mereka pada terapi. Agen ini mahal karena
perawatan termasuk obat dan biaya pemberian.
Injeksi sangat ditolerir, tapi bisa ada rasa sakit karena injeksi dan reaksi
kulit lokal (kemerahan, ecchymoses, atau pruritus/gatal).
d. Interaksi Obat
Natrium Diklofenak
37
Diklofenak merupakan turunan asam fenilasetat dengan rumus kimia 2-[(2,6-
diklorofenil)amin]. Struktur natrium diklofenak adalah sebagai berikut.
Diklofenak, sama seperti garam natrium, berwarna kuning pucat keputihan,
dan tidak berbau. Obat ini mudah larut dalam methanol, larut dalam etanol,
dan tidak larut dalam kloroform dan dilusi asam. Natrium diklofenak sedikit
larut dalam air.
Farmakodinamik
Diklofenak adalah obat anti-inflamasi non steroid (OAINS) yang relative tidak
selektif sebagai penghambat COX. Dalam studi farmakologis, diklofenak
menunjukan aktivitas kerjanya sebagai anti-inflamasi, analgesic, dan
antipiretik. Seperti OAINS lainnya, modus kerja diklofenak belum diketahui
secara pasti. Aktivitas anti-inflamasi diklofenak melibatkan kemampuannya
dalam menghambat pembentukan prostaglandin dengan cara menghambat
enzim siklooksigenase (COX).
Farmakokinetik
Absorpsi
Diklofenak 100% diabsorpsi melalui pemberian oral dibandingkan pemberian
IV. Setelah mengalami metabolime fase pertama, hanya 50% dari dosis yang
diabsorpsi tersedia secara sistemik. Ketika diklofenak dikonsumsi bersama
makanan, terjadi penundaan selama 1 sampai 2 jam pada Tmax dan peningkatan
2 kali lipat pada nilai Cmax. Namun, tingkat absorpsi diklofenak tidak
dipengaruhi secara signifikan oleh asupan makanan.
38
Distribusi
Volume terdistribusi nadtrium diklofenak adalah 1,4 L/kg. Lebih dari 99%
diklofenak terikat pada serum manusia, terutama pada albumin. Ikatan serum
protein bernilai konstan dalam rentang 0,15 sampai 105 mcg/mL dengan dosis
yang direkomendasikan. Diklofenak berdifusi keluar masuk cairan synovial.
Difusi ke dalam sendi terjadi ketika nilai plasma lebih tinggi daripada nilai
cairan synovial, proses sebaliknya terjadi ketika nilai cairan sinoviallebih
tinggi daripada nilai plasma. Belum diketahui secara pasti apakah difusi ke
dalam sendi memegang peranan dalam keefektifan kerja diklofenak.
Metabolisme
Lima metabolit diklofenak telah diindetifikasikan pada plasma dan urin
manusia. Metabolit ini termasuk 4’-hidoksi-, 5-hidroksi-, 3’-hidroksi-, 4’, 5-
dihidroksi-, dan 3’-hidroksi-4’-metoksi diklofenak. Pada pasien dengan
disfungsi renal, konsentrasi puncak dari metabolit 4’-hidroksi- dan 5-hidroksi-
diklofenak adalah sekitar 50% dan 4% dari konsentrasi induk setelah
pemberian dosis tunggal oral, sedangkan pada subjek sehat adalah 27% dan
1%. Namun, metabolit diklofenak selanjutnya mengalami glucuronidasi dan
sulfasi yang dilanjutkan dengan ekskresi bilier. Metabolit diklofenak, 4’-
hidroksi-diklofenak, memiliki aktivitas farmakologi yang sangat lemah.
Ekskresi
Diklofenak diekskresikan melalui metabolisme dan ekskresi urin serta bilier.
Sedikit diklofenak bebas yang tidak berubah diekskresikan melalui urin.
39
Sekitar 65% dari dosis yang diterima diekskresikan melalui urin dan sekitar
35% pada empedu sebagai konjugasi diklofenak yang tidak berubah ditambah
metabolit. Karena eliminasi renal bukanlah jalur signifikan untuk eliminasi
diklofenak yang tidak berubah, penyesuaian dosisuntuk pasien dengan
disfungsi renal sedang dan berat tidaklah diperlukan. Waktu paruh untuk
diklofenak adalah sekitar 1,1 jam.
Indikasi
Natrium diklofenak diindikasikan untuk pengobatan tanda-tanda serta gejalan
akut dan kronik dari rheumatoid arthritis, osteoarthritis, dan ankylosing
spondylitis.
Kontraindikasi
Natrium diklofenak bersifat kontraindikasi untuk pasien dengan
hipersensitivitas pada diklofenak. Diklofenak tidak boleh diberikan pada
pasien dengan riwayat asma, urtikaria, atau pasien dengan rekasi alergi setelah
mengonsumsi aspirin atau OAINS lainnya.
Efek Samping
- Efek cardiovascular. (1) Meningkatkan risiko infark miokard, serious
cardiovascular thrombotic events, dan stroke, (2) Bisa menyebabkan
hipertensi atau menambah parah hipertensi yang sudah ada, dan (3) Gagal
jantung kongesti dan edema.
- Efek gastrointestinal. Meningkatkan risiko ulserasi, perdarahan, dan perforasi.
- Efek renal. Pemberian jangka panjang bias menyebabkan nekrosis papiler
ginjal dan trauma ginjal lainnya.
- Efek hepatic. Bisa menyebabkan kenaikan transaminase pada liver test.
- Reaksi anafilaktik
- Reaksi kulit. Bisa menyebabkan exfoliative dermatitis, Steven-Johnson
Syndrome (SJS), dan toxix epidermal necrolysis (TEN).
- Kehamilan. Sama seperti OAINS lainnya, natrium diklofenak sebaiknya
dihindari pada pasien hamil tua karena bisa menyebabkan penutupan dini dari
duktus arteriosus.
40
Dosis dan Cara Pemakaian
- Osteoartritis: 2-3 kali sehari 50 mg atau 2 kali sehari 75 mg.
- Reumatoid artritis: 3-4 kali sehari 50 mg atau 2 kali sehari 75 mg.
- Ankilosing spondylitis: 4 kali sehari 25 mg ditambah 25 mg saat akan tidur.
Tablet harus ditelan utuh dengan air, sebelum makan.
Overdosis
Overdosis akut OAINS menyebabkan letargi, rasa kantuk, nausea, muntah-
muntah, dan nyeri epigastric.
Captopril (ACE-Inhibitor):
Farmakodinamik
Captopril merupakan ACE- inhibitor yang pertama di temukan dan banyak
digunakan di klinik untuk pengobatan hipertensi dan gagal jantung. Secara
umum ACE-Inhibitor dibedakan atau dua kelompok (1) bekerja langsung,
contohnya kaptopril dan lisinopril, (2) Prodrug, contohnya, enalapril,
kuinapril, erindropril, ramipril, silazapril, benazepril. Obat ini dalam tubuh
diubah menjadi bentuk aktif yaitu enalaprilat dll. ACE- Inhibitor menghambat
perubahan A1, menjadi AII sehingga terjadi vasodilatasi dan penurunan
sekresi aldosterone. Selain itu degradasi bradikinin juga dihamabt sehingga
kadar bradikinin dalam darah meningkat dan berperan dalam efek vasodilatasi
ACE-Inhibitor. Vasodilatasi secara langsung akan menurunkan tekanan darah,
sedangkan berkurangnya aldosteron akan menyebabkan ekskresi air dan
natrium dan retensi kalium.
Pada gagal jantung kongestif efek ini akan sangat mengurangi beban jantung
dan akan memperbaiki keadaan pasien. Walaupun kadar AI dan renin
meningkat, namun pemberian ACE-Inhibitor jangka panjang tidak
menimbulkan toleransi dan pengehentian obat ini biasanya tidak
menimbulakan hipertensi rebound. Selain itu ACE-Inhibitor menurunkan
resistensi perifer tanpa diikuti reflek tachycardia. Besarnya penurunan tekanan
darah, pada pemberian akut sebanding dengan kadar renin plasma. Namun
obat golongan ini tidak hanya efektif pada hipertensi dengan kadar renin yang
41
tinggi, tapi juga pada hipertensi dengan renin normal maupun rendah. Hal ini
karena ACE inhibitor mengahmbat degradasi baradikinin yang mempunya
efek vasodilatasi selain itu, ACE-Inhibitor juga diduga berperan menghambat
pembentukan AII secara local di endotel pembuluh darah. Pemberian diuretik
dan pembatasan asupan garam, akan memperkuat efek antihipertensinya.
Berkurangnya produksi AII, oleh ACE-Inhibitor akan mengurangi aldosterone
dikorteks adrenal. Akibatnya akan terjadi ekskresi air dan natrium, sedangkan
kalium mengalami retensi, sehingga ada tendensi terjadinya hyperkalemia
terutama pada ganguan fungsi ginjal. Obat ini efektif pada sekitar 70% pasien.
Kombinasi dengan diuretic memberikan efek sinergistik (sekitar 80% pasien,
Tekanan darahnya terkendali dengan kombinasi ini), sedangkan efek
hypokalemia diuretic dapat dicegah.
Farmakokinetik
Kaptopril diabsrobsi dengan baik pada pemberian oral dengan bioavailibitas
70-75%. Pemberian bersama makanan akan mengurangi absorbs sekitar 30%,
oleh karena itu obat ini harus diberikan 1 jam sebelum makan. Sebagian besar
ACE-Inhibitor mengalami metabolism di hati. Kecuali lisinopril yang tidak
dimetabolisme. Eliminasi umumnya melalui ginjal, kecuali fosinopril yang
mengalami eliminasi di ginjal dan bilier. Efeknya maksimal setelah 1,5 jam
dan bertahan 12-24 jam. Protein Plasma (PP) 25-35%, Pt1/2 (2-3 jam)
42
Furosemid (Diuretik kuat/ diuretic lengkungan/loop diuretic)
Farmakodinamik
Diuretik kuat bekerja di ansa henle asenden bagian epitel tebal dengan cara
menghambat kotrasnport Na+, K+, Cl- dan menghabat resorpsi air dan
elektrolit, mula kerjanya lebih cepat dan efek diuretiknya lebih kuat dari pada
golongan thiazide, oleh karena itu, diuretic kuat jarang digunakan sebagai anti
hipertensi. Kecuali pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (kretainin
serum>2,5 mg/dl) atau gagal jantung. Termasuk terdalam golongan diuretic
antara lain furosemide, torasemid, bumetamid, dan asam etakrinat. Waktu
paruh diuretic kuat umumnya pendek sehingga diperlukan pemberian 2-3 kali
sehari. Efek samping diuretic kuat hampir sama dengan thiazide, kecuali
bahwa diuretic kuat menimbulkan hiperkalsiuria dan menurunkan kalsium
darahdan hipokalemia, sedangkan thiazide menimbulkan hipokalsiuria dan
meningkatkan kadar kalsium darah.
Farmakokinetik
Pemberian oral 0,5-1 jam (bertahan 4-6 jam), apabila diberika intravena
reaksinya beberapa menit (bertahan 2,5 jam), reabsorbsi obat 50%, Protein
plasma 97%, Pt1/2 30-60 menit, ekskresi melalui kemih (ginjal).
Spironolakton (Diuretik Hemat Kalium)
Farmakodinamik
Spironolakton merupaka diuretic lemah, penggunaannya terutama dalam
kombinasi dengan diuretic lain, untuk mencegah hypokalemia. Diuretik hemat
kalium dapat menimbulkan hyperkalemia bila diberikan pada pasien dengan
gagal ginjal atau bila dikombinasi dengan penghambat ACE, ARB, B-Blocker,
AINS atau dengan suplemen kalium. Penggunaan harus dihindarkan bila
kreatinin serum lebih dari 2,5 mg/dl. Spironolakton merupakan antagonis
aldosterone sehingga merupakan obat yang terpilih pada hiperaldosteronisme
primer (sindrom conn). Obat ini sangat berguna pada pasien yang
hyperurisemia, hypokalemia dan dengan intoleransi glukosa, berbeda dengan
golongan thiazide, spironolakton tidak mempengaruhi kadar Ca++ dan gula
43
darah. Efek samping spironolakton antara lain ginekomastia, mastodinia,
gangguan menstruasi dan penurunan libido pada pria.
Farmakokinetik
Protein Plasma (PP) 98%, dimetabolit aktif menjadi kanrenon dihati, Pt1/2 (2
jam), kanrenon 2 jam.
44
Interaksi antar obat :
Interaksi antar obat pada kasus mencakup golongan obat diuretik (diuretik kuat
dan diuretik hemat kalium), ACE inhibitor, dan NSAID. Pada obat diuretik
seperti furosemid (loop diuretic). Diuretik kuat jarang digunakan sebagai obat
antihipertensi kecuali pada pasien dengan gagal jantung, berkerja dengan
menghambat kotransport Na+, K+, Cl- dan menghambat resorpsi air dan
elektrolit. Obat golongan AINS melawan kerja dari furosemid.
Pada obat diuretik hemat kalium (spironolakton) mekanisme kerjanya
antagonis dengan aldosteron dengan cara penghambatan kompetitif.
Reabsorpsi Na+ dan K+ di hilir tubuli distal dan duktus koligentes dikurangi,
dengan demikian ekskresi K+ juga berkurang. Namun pada kombinasinya
dengan obat golongan ACE inhibitor dapat mengakibatkan hiperkalemia,
karena produksi aldosteron yang menurun ditambah dengan penghambatan
terhadap aldosteron akan mengakibatkan retensi kalium. Selain itu obat
golongan AINS dapat menurunkan efek antihipertensinya.
Pada obat golongan ACE inhibitor (captopril) berkerja dengan menghambat
perubahan Angiotensin menjadi Angiotensin II sehingga terjadi vasodilatasi
dan penurunan sekresi aldosteron. Selain itu juga menghambat degradasi
bradikinin, sehingga kadar bradikinin dalam darah meningkat dan berperan
dalam efek vasodilatasi. Aldosteron yang mengalami penurunan akan semakin
dipersulit kerjanya oleh obat spironolakton yang berkerja sebagai inhibitor
kompetitif dari aldosteron.
Obat natrium diklofenak memiliki aktivitas anti inflamasi, analgesik dan
antipiretik. Aktivitas diklofenak dengan jalan menghambat enzim siklo-
oksigenase sehingga pembentukan prostaglandin terhambat. Pada penderita
decompensatio cordis obat ini dapat menyebabkan retensi cairan dan edema.
Obat ini tidak cocok diberikan dengan obat golongan diuretik karena dapat
menurunkan efektifitas obat diuretik.
Furosemid menyebabkan hypokalemia sedangkan reaksia antara obat ACE-
inhibitor dengan spironolakton dapat menyebabkan hyperkalemia, sehingga
terjadi sinergis anatar flurosemid dan spironolokton
45
Dokter memberikan Tuan Ahmad kombinasi ketiga obat tersebut karena ACE-
Inhibitor merupakan obat yang sangat baik untuk mengurangi beban jantung
dan sangat baik apabila digunakan bersama dengan diuretic, namun reaksi
kedua obat tersebut memiliki efek hyperkalemia, dengan pemberian
furosemide dapat menurunkan kadar hyperkalemia karena furosemide
mengakibatkan hipokalemia
e. Obat anti hipertensi
Tujuan Pengobatan Hipertensi
Tujuan terapi obat anti hipertensi adalah:
Mengurangi morbiditas dan mortalitas kardiovaskular dan renal akibat
komplikasi
Tekanan darah yang diharapkan setelah terapi adalah <140/90 mmHg
tanpa adanya komplikasi, hal ini berhubungan dengan penurunanrisiko
komplikasi CVD (Coronary Vascular Disease)
Pasien hipertensi dengan komplikasi diabetes mellitus dan penyakitrenal,
tekanan darah yang diharapkan dapat dicapai setelah terapi yaitu<130/80
mmHg
Prinsip penggunaan obat antihipertensi
Mulailah dengan dosis terkecil untuk menghindari reaksi yang
tidak dikehendaki. Bila terdapat respon tekanan darah yang baik dan obat
ditoleransi dengan baik, dosis dapat ditingkatkan secara bertahapsampai
tekanan darah sasaran tercapai (<140 mmHg atau <130 mmHg pada
penderita diabetes atau penyakit ginjal kronik)
Gunakan kombinasi obat untuk memaksimalkan respon tekanan darah dan
meminimalkan reaksi yang tidak dikehendaki
Gantilah dengan kelas obat yang berbeda bila dosis awal dari obat tidak
memberikan efek yang berarti atau ada masalah efek samping obat
Gunakan formulasi yang minimal memberikan kontrol tekanan darah
selama 24 jam. Hal ini penting untuk menjaga kepatuhan pasien danuntuk
memastikan tekanan darah terkontrol pada pagi hari ketikaterjadi
peningkatan tekanan darah. Menghindari variasi tekanan darahsepanjang
hari yang membantu menghindari kerusakan organ sasaran
46
Dikenal 5 kelompok obat first line drug yang digunakan untuk pengobatan
awal hipertensi, i. Diuretik, ii. Penyekat reseptor beta adrenergik (β-blocker);
iii. Penghambat angiostensin-converting enzyme (ACE-inhibitor); iv.
Penghambat reseptor angiotensin (Angiotensin-receptor blocker, ARB); v.
Antagonis kalsium. Selain itu, lini kedua : i. Penghambat saraf adrenergik; ii.
Agonis α-2 sentral; dan iii. Vasodilator.
Diuretik
Diuretik bekerja meningkatkan eksresi natrium, air dan kloeida sehingga
menurunkan volume darah dan cairan ekstraseluler. Akibatnya terjadi
penurunan curah jantung dan tekanan darah. Selain mekanisme tersebut,
beberapa diuretik juga menurunkan resistensi perifer sehingga menambah efek
hipotensinya. Efek ini di dua akibat penurunan natarium di ruang interstitial
dan di dalam sel otot polos pembuluh darah yang selanjutnya menghambat
influks kalsium. Penelitian-penelitian besar membuktikan bahwa efek proteksi
kardiovaskular diuretik belum terkalahkan oleh obat lain sehingga diuretik
dianjurkan untuk sebagian besar kasus hipertensi ringan dan sedang.
Beberapa golongan obat yang termasuk dalam obat diuretik adalah tiazid,
diuretik kuat, dan diuretik hemat kalium. Obat golongan tiazid bekerja dengan
menghambat transport bersama Na-Cl di tubulus distal ginjal, sehingga eksresi
Na+ dan Cl- meningkat. Efek antihipertensi tiazid mengalami antagonisme
oleh antiinflamasi non steroid (AINS), karena AINS menghambat sintesis
prostalglandin yang berperan penting dalam pengaturan aliran darah ginjal dan
transport air dan garam. Akibatnya terjadi retensi natrium dan air yang akan
menghambat semua efek obat antihipertensi. Obat diuretik kuat bekerja di ansa
Henle ascendend bagian epitel tebal dengan cara menghambat kotransport Na+,
K+, Cl-. Dan menghambat resorpsi air dan elektrolit. Kerjanya lebih cepat dan
efek diuretiknya lebih kuat daripada golongan tiazid. Efek samping diuretik
kuat adalah menimbulkan hiperkalsiuria dan menurunkan kalsium darah. Obat-
obat golongan diuretik hemat kalium dapat menimbulkan hiperkalemia bila
diberikan bersamaan dengan ACE inhibitor, ARB, β-blocker, AINS, atau
suplemen kalium.
Penghambat Adrenergik (β-Blocker)
Mekanisme penurunan tekanan darah akibat pemberian β-blocker dapat
dikaitakn dengan habatan reseptor β1, antara lain : i. Penurunan frekuensi
47
denyut jantung dan kontraktilitas miokard sehingga menurunkan curah
jantung; ii. Hambatan sekresi renin di sel-sel jukstaglomerular dengan akibat
penurunan produksi angiostensin II; iii. Efek sentral yang mempengaruhi
aktivitas saraf simpatis, perubahan pada sensitivitas baroreseptor, perubahan
aktivitas neuron adrenergik perifer dan peningkatan biosintesis prostasiklin.
Penghambat Angiostensin-Converting Enzyme (ACE-inhibitor)
Secara umun ACE-inhibitor dibedakan atas dua kelompok, yaitu yang bekerja
langsung dan prodrug. ACE inhibitor menghambat perubahan Angiostensi I
menjadi angiostensi II sehingga terjadi vasodilatasi dan penurunan sekresi
aldosteron. Vasodilatasi secara langsung akan menurunkan tekanan darah,
sedangkan berkurangnya aldosteron akan menyebabkan eksresi air dan
natrium dan retensi kalium. Efek samping dari pemberian ACE-inhibitor
adalah batuk kering, hiperkalemia, rash, gagal ginjal akut, proteinuria, dan
efek tereatogenik.
Antagonis Reseptor Angiostensin II (Angiostensin Receptor Blocker,
ARB)
Pemberian obat golongan ini akan menghambat semua efek angiostensin II,
seperti: vasokonstriksi, sekresi aldosteron, rangsangan safar simpatis, stimulasi
jantung, efek renal serta efek jangka panjang berupa hipertrodi otot polos
pembuluh darah dan miokard. Pemberian ARB menurunkan tekanan darah
tanpa mempengatuhi frekuensi denyut jantung.
Antagonis Kalsium
Antagonis kalsium menghambat influks kalsium pada sel otot polos pembuluh
darah dan miokard. Di pembuluh darah, antagonis kalsium terutama
menimbulkan relaksasi arteriol, sedangkan vena kurang dipengaruhi.
Vasodilator
Obat-obat golongan ini bekerja menurunkan hipertensi dengan cara
merelaksasi otot polos arteriol. Vasodilatasi yang terjadi menimbulkan reflek
kompensasi yang kuat berupa peningkatan frekuensi denyut jantung, namun
curah jantung tidak banyak berubah karena efek venodilatasi yang
menurunkan beban jantung.
Jenis Terapi Obat Anti Hipertensi
Terapi Tunggal
48
Penggunaan satu macam obat anti hipertensi untuk pengobatan hipertensi
dapat direkomendasikan bila nilai tekanan darah awal mendekati nilai
tekanan darah sasaran. Menurut JNC-7 nilai tekanan darah awal
mendekati nilai tekanan darah sasaran apabila selisihnya kurang dari 20
mmHg untuk tekanan darah sistolik dan kurang darah sistolik dan kurang
dari 10 mmHg untuk tekanan darah diastolik. Hal ini meliputi penderita
hipertensi tahap 1 dan tekanan darah sasaran<140/90 mmHg.
Menurut Gardner (2007) setengah penderita tekanan darah tinggi tahap I
dan II dapat mengendalikan tekanan darah mereka dengan satu obat saja.
Jika satu obat tidak efektif, maka dapat ditingkatkan dosisnya jika tidak
ada efek sampingnya. Alternatif lainnya adalah mencoba obat yang
berbeda dan menambahkan satu obat lagi pada obat yang telah diminum
(kombinasi).
Terapi Kombinasi
Bila menggunakan terapi obat kombinasi, biasanya dipilih obat – obat
yang dapat meningkatkan efektivitas masing – masing obat atau
mengurangi efek samping masing-masing obat. Memulai terapi dengan
kombinasi dua obat direkomendasikan untuk penderita hipertensi tahap 2
atau penderita hipertensi yang nilai tekanan darah sasarannya jauh dari
nilai tekanan darah awal (≥ 20 mmHg untuk tekanan darah sistolik dan ≥
10 mmHg untuk tekanan darah diastolik). Terapi kombinasi juga
merupakan pilihan bagi pasien yang nilai tekanan darah sasarannya sulit
dicapai (penderita diabetes dan penyakit ginjal kronik) atau pada pasien
dengan banyak indikasi pemaksaan yang membutuhkan beberapa
antihipertensi yang berbeda. Dalam ALLHAT (Antihypertensive and
Lipid-Lowering Treatment in Prevent Heart Attack Trial) disebutkan 60%
penderita hipertensi mencapai tekanan darah terkontrol pada tekanan
darah < 140/90 mmHg dengan penggunaan dua atau lebih antihipertensi,
dan hanya 30% yang tekanan darahnya terkontrol dengan satu obat
antihipertensi. JNC-7 merekomendasikan penggunaan tiga atau lebih obat
antihipertensi untuk mencapai target terapi tekanan darah yang diinginkan.
Kombinasi Obat Anti hipertensi yang Sering Digunakan
49
Kombinasi obat antihipertensi Keuntungan
ACE Inhibitor – Kalsium Antagonis -Menurunkan tekanan intra glomuler
-Memperbaiki permeabilitas glomuler
- Menghambat terjadinya hipertrofi
glomuler
- Mencegah terjadinya glomuler
- Mengurangi proteinuria
- Mengurangi hipermetabolisme ginjal
- Mengurangi akumulasi kalsium
intraseluler
- Dianjurkan pada nefropati hipertensi
dan hipertensi dengan nefripati diabetic
ACE Inhibitor – Diuretik -Meningkatkan natriuresis
-Memperbaiki toleransi glukosa dan kadar
asam urat
-Mempertahankan kadar kalium plasma
-Mempercepat regresi LVH
-Meningkatkan kecepatan ACEI
ACE Inhibitor – Beta bloker -Baik untuk hipertensi usia muda dengan
peningkatan sistem RAA dan simpatis
-Baik pula untuk hipertensi dan pasca
infark akut dengan tujuan:
Menurunkan resiko takhiaritmia
Mengurangi progresivitas dilatasi
ventrikel
Memperbaiki toleransi latihan
Beta bloker – Diuretik -Menurunkan peningkatan system RAA
karena diuretic
-Beta bloker mempunyai efek anti-
aldosteron ringan
-Baik untuk isolated systolic hypertension,
stroke, dan infark miokard
Beta bloker – Kalsium antagonis -Menurunkan curah jantung dan tahanan
50
perifer
-Memperbaiki integritas endotel
-Normalisasi peningkatan system RAA
karena kalsium antagonis
-Sangat baik meregresi LVH
-Normalisasi resistensi insulin dan
gangguan profil lipid karena beta bloker
-Baik untuk hipertensi dengan angina
pectoris
-Baik untuk hipertensi dan takhiaritmia
Perbedaan pemberian obat tunggal dan obat kombinasi
Perawatan obat tunggal Perawatan kombinasi
-Diperlukan dosis obat yang lebih tinggi
-Kurang efektif
-Efek samping lebih banyak
-Dosis rendah untuk masing – masing obat
sudah cukup
-Lebih efektif
-Efek samping sedikit
f. Obat Osteoarthritis
Terapi farmakologis untuk osteoartritis adalah:
1. Untuk mengurangi nyeri (Parasetamol, 4 gram per hari)
2. Bila dengan parasetamol tidak berhasil, maka:
a. Pada pasien tanpa risiko kardiovaskuler dan tidak sedang mendapat
terapi aspirin _ OAINS biasa
b. Pada pasien tanpa risiko kardiovaskuler dan tidak sedang mendapat
terapi aspirin, tetapi mempunyai risiko saluran cerna _ OAINS plus
inhibitor pompa proton
c. Pada pasien dengan risiko kardiovaskuler dan tanpa risiko saluran
cerna _ berikan OAINS biasa, hindari OAINS yang selektif COX-2
d. Pada pasien dengan risiko kardiovaskuler dan risiko saluran cerna _
berikan OAINS biasa plus protektor lambung, dan hindari OAINS yang
selektif COX-2.
51
3. Terapi topikal seperti dengan NSAID
4. Injeksi intraartikuler dengan kortikosteroid
5. Hialuronat dan derivatnya tersedia untuk osteoartritis lutut
Analgesik Oral Non Oplat
Pada umumnya pasien telah mencoba untuk mengobati sendiri penyakitnya,
terutama dalam hal mengurangi atau menghilangkan rasa sakit. Banyak sekali
obat-obatan yang dijual bebas yang mampu mengurangi rasa sakit. Pada
umumnya pasien mengetahui obat ini dari iklan pada media massa, baik cetak
(koran), radio, maupun televisi.
Analgesik Topikal
Analgesik topical dengan mudah dapat kita dapatkan di pasaran dan banyak
sekali yang dijual bebas. Pada umumnya pasien telah mencoba obat-obatan
per-oral lainnya.
Obat Anti Inflamasi Non Steroid
Apabila dengan cara-cara tersebut di atas tidak berhasil, pada umumnya pasien
mulai datang ke dokter. Dalam hal seperti ini kita pikirkan untuk pemberian
OAINS, oleh karena obat golongan ini disamping mempunya efek analgetik
juga mempunyai efek anti inflamasi. Oleh karena pasien osteoarthritis
kebanyakan usia lanjut, maka pemberian obat-obatan jenis ini harus sangat
berhati-hati. Jadi pilihlah obat yang efek sampingnya minimal dan dengan cara
pemakaian yang sederhana, di samping itu pengawasan terhadap kemungkinan
timbulnya efek samping selalu harus dilakukan.
NSAID (Non Steroidal Anti Inflammatory Drugs) atau obat anti inflamasi non
steroid (AINS)adalah suatu kelompok obat yang berfungsi sebagai anti
inflamasi, analgetik dan antipiretik.NSAID merupakan obat yang heterogen,
bahkan beberapa obat sangat berbeda secara kimiawi. Walaupun demikian,
obat-obat ini ternyata memiliki banyak persamaan dalam efek terapi maupun
efek samping. Obat golongan NSAID dinyatakan sebagai obat anti inflamasi
non steroid, karena ada obat golongan steroid yang juga berfungsi sebagai anti
inflamasi. Obat golongan steroid bekerja di sistem yang lebih tinggi dibanding
52
NSAID, yaitu menghambat konversi fosfolipid menjadi asam arakhidonat
melalui penghambatan terhadap enzim fosfolipase.
Prototip obat golongan ini adalah aspirin, karena itu obat golongan ini sering
disebut juga sebagai obat mirip aspirin (aspirin like drugs). Contoh obatnya
antara lain: aspirin, parasetamol, ibuprofen, ketoprofen, naproksen, asam
mefenamat, piroksikam, diklofenak, indometasin.
Mekanisme Kerja NSAID
Efek terapi dan efek samping NSAID berdasarkan penghambatan biosintesis
prostaglandin (PG). Pada saat sel mengalami kerusakan, maka akan dilepaskan
beberapa mediator kimia. Di antara mediator inflamasi, prostaglandin adalah
mediator dengan peran terpenting. Enzim yang dilepaskan saat ada rangsang
mekanik maupun kimia adalah prostaglandin endoperoksida sintase (PGHS)
atau siklo oksigenase (COX) yang memiliki dua sisi katalitik. Sisi yang
pertama adalah sisi aktif siklo oksigenase, yang akan mengubah asam
arakhidonat menjadi endoperoksid PGG2. Sisi yang lainnya adalah sisi aktif
peroksidase, yang akan mengubah PGG2 menjadi endoperoksid lain yaitu
PGH2. PGH2 selanjutnya akan diproses membentuk PGs, prostasiklin dan
tromboksan A2, yang ketiganya merupakan mediator utama proses inflamasi.
COX terdiri atas dua isoform yaitu COX-1 dan COX-2.
Golongan obat ini menghambat enzim siklo oksigenase (COX) sehingga
konversi asam arakhidonat menjadi PGG2 terganggu. Setiap obat menghambat
dengan cara berbeda. Khusus parasetamol, hambatan biosintesis prostaglandin
hanya terjadi bila lingkungannya rendah kadar peroksida seperti di
hipotalamus. Lokasi inflamasi biasanya mengandung banyak peroksida yang
dihasilkan oleh leukosit. Ini menjelaskan mengapa efek anti inflamasi
parasetamol praktis tidak ada. Inhibisi biosintesis prostaglandin oleh aspirin
menyebabkan asetilasi yang irreversibel di sisi aktif siklo okigenase,
sedangkan sisi aktif peroksidase tidak terpengaruh. Berlawanan dengan aksi
aspirin yang irreversibel, NSAID lainya seperti ibuproven atau indometasin
menyebabkan penghambatan terhadap COX baik reversibel maupun
irreversibel melalui kompetisi dengan substrat, yaitu asam arakhidonat.
Perbandingan COX-1 dan COX-2
53
COX-1 memiliki fungsi fisiologis, mengaktivasi produksi prostasiklin yang
berfungsi sebagai anti trombogenik, dan jika dilepaskan oleh mukosa lambung
bersifat sitoprotektif. COX-1 di trombosit, yang dapat menginduksi produksi
tromboksan A2, menyebabkan agregasi trombosit yang mencegah terjadinya
perdarahan yang semestinya tidak terjadi. COX-1 berfungsi dalam
menginduksi sintesis prostaglandin yang berperan dalam mengatur aktivitas
sel normal. Konsentrasinya stabil, dan hanya sedikit meningkat sebagai respon
terhadap stimulasi hormon atau faktor pertumbuhan. Normalnya, sedikit atau
bahkan tidak ditemukan COX-2 pada sel istirahat, bisa meningkat drastis
setelah terpajan oleh bakteri lipopolisakarida, sitokin atau faktor pertumbuhan,
dapat ditemukan juga di otak dan ginjal. Induksi COX-2 menghasilkan PGF2
yang menyebabkan terjadinya kontraksi uterus pada akhir kehamilan sebagai
awal terjadinya persalinan.
Penghambat COX-1 dan COX-2
Masing-masing NSAID menunjukkan potensi yang berbeda-beda dalam
menghambat COX-1 dibandingkan COX-2. Hal inilah yang menjelaskan
adanya variasi dalam timbulnya efek samping NSAID pada dosis sebagai anti
inflamasi. Obat yang potensinya rendah dalam menghambat COX-1, yang
berarti memiliki rasio aktivitas COX-2/ COX-1 lebih rendah, akan mempunyai
efek sebagai anti inflamasi dengan efek samping lebih rendah pada lambung
dan ginjal. Piroksikam dan indometasin memiliki toksisitas tertinggi terhadap
saluran gastrointestinal. Kedua obat ini memiliki potensi hambat COX-1 yang
lebih tinggi daripada menghambat COX-2. Dari penelitian epidemiologi yang
membandingkan rasio COX-2/ COX-1, terdapat korelasi setara antara efek
samping gastrointestinal dengan rasio COX-2/ COX-1. Semakin besar rasio
COX-2/ COX-1, maka semakin besar pula efek samping gastrointestinalnya.
Aspirin memiliki selektivitas sangat tinggi terhadap COX-1 daripada COX-2,
sehingga efek terhadap gastrointestinal relatif lebih tinggi.
Inhibitor COX-2 selektif diperkenalkan pada tahun 1999. NSAID selektif
menghambat COX-2 yang pertama kali diperkenalkan adalah celecoxib dan
rofecoxib. Lumiracoxib memiliki struktur yang berbeda dengan coxib lainnya,
tidak menyebabkan efek samping pada kardiovaskuler dan komplikasi
gastrointestinal yang rendah. Insiden serangan jantung yang lebih tinggi
54
menjadi faktor risiko semua inhibitor COX-2 selektif. Tahun 2004, rofecoxib
ditarik dari pasaran. Valdecoxib selain menyebabkan infark miokard juga
dapat menyebabkan skin rash. Valdecoxib dan parecoxib dihubungkan dengan
insiden penyakit jantung.
Parasetamol termasuk kelompok obat yang dikenal memiliki aktivitas sebagai
analgesik antipiretik, termasuk juga prekursornya yaitu fenasetin, aminopiron
dan dipiron. Banyak dari obat ini yang tidak ada di pasaran karena
toksisitasnya terhadap leukosit, tetapi dipiron masih digunakan di beberapa
negara. Parasetamol menghambat lemah baik COX-1 maupun COX-2 dan
berdasarkan penelitian diketahui bahwa mekanisme kerjanya melalui
penghambatan terhadap COX-3, yaitu derivat dari COX-1, yang kerjanya
hanya di sistem saraf pusat.
Efek Farmakodinamik
Semua obat mirip aspirin bersifat antipiretik, analgesik dan anti inflamasi,
dengan derajat yang berbeda-beda. Misalya parasetamol bersifat anti piretik
dan analgesik tetapi sifat anti inflamasinya sangat rendah.
Efek analgesik
Obat ini hanya efektif terhdap nyeri dengan intensitas rendah sampai sedang
seperti sakit kepala, mialgia, atralgia dan nyeri lain yang berasal dari
integumen, juga efektif terhadap nyeri yang berkaitan dengan inflamasi. Efek
analgesiknya jauh lebih lemah daripada efek analgesik opiat, tetapi bedanya
NSAID tidak menimbulkan efek ketagihan dan tidak menimbulkan efek
sentral yang merugikan.
Efek Antipiretik
Obat ini hanya menurunkan suhu badan hanya pada saaat demam. Tidak
semuanya bersifat sebagai anti piretik karena bersifat toksik bila digunakan
secara rutin atau terlalu lama. Fenilbutazon dan anti reumatik lainnya tidak
dibenarkan digunakan sebagai antipiretik.
Efek Anti inflamasi
55
NSAID terutama yang baru, lebih banyak dimanfaatkan sebagai anti inflamasi
pada pengobatan kelainan muskuloskeletal, seperti artritis reumatoid,
osteoartritis dan spondilitis ankilosa. Tetapi harus diingat bahwa obat ini hanya
meringankan gejala nyeri dan inflamasi yang berkaitan dengan penyakitnya
secara simtomatik, tidak menghentikan, memperbaiki atau mencegah
kerusakan jaringan pada kelainan muskuloskeletal ini.
Efek Samping
Efek samping yang paling sering terjadi adalah induksi tukak lambung atau
tukak peptik yang kadang-kadang disertai anemia sekunder akibat perdarahan
saluran cerna. Beratnya efek samping ini berbeda pada masing-masing obat.
Dua mekanisme terjadinya iritasi lambung adalah: (1) iritasi yang bersifat
lokal yang menimbulkan difusi kembali asam lambung ke mukosa dan
menyebabkan kerusakan jaringan; (2) iritasi atau perdarahan lambung yang
bersifat sistemik melalui hambatan biosintesis PGE2 dan PGI2. Kedua
prostaglandin ini banyak ditemukan di mukosa lambung dengan fungsi
menghambat sekresi asam lambung dan merangsang sekresi mukus usus halus
yang bersifat sitoprotektif. Mekanisme kedua ini terjadi pada pemberian
parenteral. Efek samping lain adalah gangguan fungsi trombosit akibat
penghambatan biosintesis tromboksan A2 dengan akibat perpanjangan waktu
perdarahan. Efek ini dimanfaatkan untuk terapi profilaksis trombo-emboli.
Obat yang digunakan sebagai terapi profilaksis trombo-emboli dari golongan
ini adalah aspirin. Penghambatan biosintesis prostaglandin di ginjal, terutama
PGE2, berperan dalam gangguan homeostasis ginjal. Pada orang normal tidak
banyak mempengaruhi fungsi ginjal. Pada beberapa orang dapat terjadi reaksi
hipersensitivitas. Mekanisme ini bukan suatu reaksi imunologik tetapi akibat
tergesernya metabolisme asam arakhidonat ke arah jalur lipoksigenase yang
menghasilkan leukotrien. Kelebihan leukotrien inilah yang mendasari
terjadinya gejala tersebut.
Chondroprotective Agent
Yang dimaksud dengan chondroprotektive agent adalah obat-obatan yang
dapat menjaga atau merangsang perbaikan tulang rawan sendi pada OA.
Sebagian peneliti menggolongkan obat-obatan tersebut dalam Slow Acting Anti
56
Osteoarthritis (SAAODs) atau Disease Modifying Anti Osteoarthritis Drugs
(DMAODs). Sampai saat ini yang termasuk dalam kelompok obat ini adalah:
tetrasiklin, asam hialuronat, kondroin sulfat, glikosaminoglikan, vitamin C,
superoxide dismutase dan sebagainya.
Steroid Intra-Artikuler
Steroid intra-artikuler, pada penyakit artritis rheumatoid menunjukan hasil
yang baik. Kejadian inflamasi kadang-kadang dijumpai pada pasien OA, oleh
karena itu kortikosteroid intra-artikuler telah dipakai dan mampu mengurangi
rasa sakit, walaupun hanya dalam waktu singkat. Penelitian selanjutnya tidak
menunjukan keuntungan yang nyata pada pasien OA, sehingga pemakaiannya
dalam hal ini masih kontroversial.
VII. Kerangka Konsep
Tuan Ahmad, 68 tahun
57
Decompensatio cordis
Asam Hyaluronat turun, aktivitas osteoklas tinggi
Hipertensi Kronis
Captopril FurosemidSpironolactone
Obat Antihipertensi
Edema
Hiperkalemia
Ca ekstrasel turun
Mengambil Ca tulang
Degradasi pembentukan tulang rawan pada sendi
Osteoarthritis
Natrium Diklofenak
Hambat prostagladin
Hiperkalemia
Vasokonstriksi Denyut jantung tidak teratur
Hipertensi
Kerja jantung berat
Hipertrofi jantung
Disfungsi jantung
Dyspnea
VIII. Kesimpulan
Tuan Ahmad, 68 tahun, kembali mengalami decompensatio cordis karena interaksi obat yang
tidak menguntungkan antara obat anti hipertensi dan Natrium Diklofenak.
58
Daftar Pustaka
Departemen Farmakologi dan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007. Farmakologi
dan Terapi, edisi 5. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.
Dorland, W.A Newman. 2010. Kamus Saku Kedokteran Dorland Ed.28.Jakarta : EGC.
Guyton, C. Arthur., John E.Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Ed.11. Jakarta :
EGC.
Katzung, Betram G. 2010. Farmakologi Dasar dan Klinik, Edisi 10. Jakarta: EGC.
Marks, Jay W.. “Captopril”. http://www.medicinenet.com/captopril/article.htm, Diakses 20
November 2013, pukul 18.33 WIB
Marks, Jay W.. “Furosemide”. http://www.medicinenet.com/furosemide/article.htm, Diakses
20 November 2013, pukul 18.35 WIB
Marks, Jay W.. “Spironolactone”. http://www.medicinenet.com/spironolactone/article.htm,
Diakses 20 November 2013, pukul 18.38 WIB
M. Faiq. 2010. http://sulaifi.wordpress.com/2010/03/19/gagal-jantung-dan-penanganannya/
diakses pada 20 November 2013.
Price, Sylvia A dan Lorraine M. Wilson. 2013. PATOFISIOLOGI: Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit, edisi 6 Volume 2. EGC: Jakarta.
Sudoyo, Aru W., dkk. 2009. Buku Ajar Penyakit Dalam, Edisi 5, Jilid III. Jakarta: Internal
Publishing.
http://dailymed.nlm.nih.gov/dailymed/lookup.cfm?setid=ffbf7573-c726-42f6-bbd5-
5d2533d8288f. Diclofenac Sodium. Diakses 20 November 2013.
http://dailymed.nlm.nih.gov/dailymed/lookup.cfm?setid=be8ba28b-2739-4db0-8bde-
414f4cec4c02. Diclofenac Sodium. Diakses 20 November 2013.
59