sistem pengendalian pencemaran udarashare.its.ac.id/pluginfile.php/1/blog/attachment/1223/grup...
TRANSCRIPT
TUGAS MATA KULIAH
SISTEM PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA
KELOMPOK 1:
Muhammad Arief Setiawan (03211650010004)
Muhammad Anshari Caronge (03211650010005)
Maria Angelina Tuas (03211650010009)
Adriana Obenu (03211650010010)
DOSEN PENGAJAR:
Dr. Abdu Fadli Assomadi, S. Si., MT.
PROGRAM MAGISTER
DEPARTEMEN TEKNIK LINGKUNGAN
FAKULTAS TEKNIK SIPIL, LINGKUNGAN DAN KEBUMIAN
INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER
2018
1. Implementasi Sistem Pengendalian Pencemaran Udara Kota Semarang di Sektor
Transportasi
a. Sumber
Sistem Pengendalian Pencemaran Udara di sektor transportasi di Kota
Semarang, ada berbagai macam penyebab, yaitu kemacetan dikarenakan volume
kendaraan yang berada di Kota Semarang meningkat setiap tahun dikarenakan
pertumbuhan penduduk berupa migrasi di kota Semarang. Belum optimalnya
transportasi publik yang disediakan oleh Pemkot Semarang, dalam mengurangi
volume kendaraan masyarakat. Berdasarkan kajian inventarisasi emisi kota
Semarang, bahwa distribusi kendaraan mobil motor diklasifikasikan umur
kendaraan, sebagai berikut:
Gambar 1. Distribusi Umur Kendaraan Untuk Mobil dan Motor di Kota Semarang
Sumber: Kajian Inventarisasi Emisi Kota Semarang oleh Dinas Lingkungan Hidup Kota Semarang,2017
Nilai VKT berdasarkan survey adalah rata-rata VKT mobil pribadi sebesar 42
km/hari, rata-rata VKT motor pribadi sebesar 40 km/hari. Sedangkan untuk
kendaraan umum, distribusi umur kendaraan angkot sebesar 99 km/hari, bus
sebesar 119 km/hari, dan taksi sebesar 127 km/hari. Berdasarkan nilai VKT tiap
kendaraan hasil survey, kemudian dilakukan penghitungan volume kendaraan pada
simpang di jalan-jalan utama di Semarang menggunakan data dari video recording
ATCS sehingga didapatkan VKT sumber garis.
0
0.05
0.1
0.15
0.2
<1 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 >15
Frak
si
Umur Kendaraan (Tahun)
Distribusi Umur Mobil dan Motor Pribadi Berdasarkan Umur Kendaraan
Mobil
Motor
Sedangkan VKT total berdasar perhitungan jumlah kendaraan eksisting didapatkan
data sebagai berikut:
Tabel 1 Hasil Penghitungan VKT Total di Kota Semarang
Jenis Sarana Angkutan
Jumlah (unit)
Rata-rata VKT (km/thn)
VKT Sumber Total (km/thn)
Bus 786 43435 34139910
Truk 2.633 10115 26632795
Taksi 2.966 46355 137488930
Mikrolet 2.112 36135 76317120
Mobil Pribadi 56.453 15330 865424490
Motor Pribadi 247.936 14600 3619865600
Sumber: Kajian Inventarisasi Emisi Kota Semarang oleh Dinas Lingkungan Hidup Kota
Semarang,2017
Setelah mendapatkan VKT total dan VKT sumber garis maka dapat dihitung VKT
sumber area untuk dialokasikan tiap kelurahan yang kemudian diagregasikan di
tingkat kecamatan.
Jumlah kendaraan yang masuk ke Terminal berdasar jenisnya dan perkiraan
konsumsi bahan bakarnya berdasar data Dishub dan observasi di tahun
2015 dapat dilihat pada kedua tabel berikut:
Tabel 2. Jumlah Kendaraan Yang Masuk Terminal.
Terminal Bus Besar Bus Medium Bus Kecil Angkota BRT
Mangkang 63,264 31,671 35,539 64,962 17,160
Penggaron 6,648 5,989 3,021 19,087 17,160
Sukuna 42,684 15,276 14,556 10,152 9,732
Terboyo 101,242 58,507 33,864 - -
Sumber: Kajian Inventarisasi Emisi Kota Semarang oleh Dinas Lingkungan Hidup Kota Semarang,2017
Tabel 3 Perkiraan Konsumsi BBM (L/hari) Berdasarkan Jenis Kendaraan
Vehicle Type Mangkang Penggaron Sukun Terboyo
Bus Besar 0.157 0.234 0.030 0.657 Bus Medium 0.417 0.155 0.011 1.423
Bus Kecil 0.117 0.066 0.004 0.414
BRT 0.100 0.111 0.006 -
Angkota 0.161 0.159 - -
Shuttle travel - - 0.016 -
Sumber: Kajian Inventarisasi Emisi Kota Semarang oleh Dinas Lingkungan Hidup Kota Semarang,2017
Gambar 2. Beban Emisi Area Sektor Transportasi
Sumber: Kajian Inventarisasi Emisi Kota Semarang oleh Dinas Lingkungan Hidup Kota Semarang,2017
b. Implementasi
Dalam upaya pengendalian pencemaran udara pada sektor transportasi, Pemerintah Kota
Semarang sudah melakukan berbagai kajian dan pelaksanaan dari kajian tersebut. Sumber
informasi ini diperoleh dari Rencana Tindak Lanjut Ketahanan Kota, Inventarisasi Emisi Kota
Semarang 2011-2020, RPJMD Kota Semarang, masterplan transportasi dan rencana strategis
jangka menengah Dishub Kota Semarang. Upaya yang sudah dilakukan Pemkot Semarang,
sebagai berikut:
1. Penyusunan masterplan transportasi
2. Pelaksanaan kajian/studi transportasi antar moda
3. Studi kelayakan Light Rapid Transit dan optimalisasi transportasi umum
4. Adanya BRT kota Semarang dan BRT trans Jateng
5. Peningkatan/penambahan koridor BRT
6. Melakukan studi kelayakan sosial ekonomi LRT
7. Mengintegrasikan land use dengan kebutuhan transportasi yang ada
8. Rencana pembangunan jalan dan perbaikan jalan
9. Kampanye penggunaan transportasi publik untuk pelajar
10. Optimalisasi penggunaan trotoar dan jalur sepeda
11. Peningkatan akses ke wisata melalui trasnportasi publik
12. Memberikan masukan VCR, angkutan umum, pola pergerakan/mobilitas
13. Optimalisasi jembatan penyebrangan dan operasional BRT
c. Histori
Pengendalian pencemaran udara sektor trasnportasi yaitu tersedianya transportsi publik yaitu
adanya BRT di Kota Semarang sejak tahun 2009 sampai sekarang telah beroperasi BRT
Semarang dengan berbagai tujuan, sebagai berikut :
a. Koridor I (Mangkang - Penggaron)
1. Dari Mangkang : Terminal Mangkang - Pasar Mangkang – Sango - Kawasan Industri -
Karanganyar (SMA 8) - Karpet - KTI - Taman Lele - Lapangan Tugu - PLN - RSUD Tugu –
Pengadilan – Muradi – Cakrawala – Karangayu - ADA Pasar Bulu -Pasar Bulu - SMA 5 - Balai
kota – Pandanaran - Gramedia - Simpang Lima - RRI Stasiun (Ahmad Yani I) - Mullo (Milo) -
Beruang - ADA Majapahit - BLK - Pedurungan/Samsat - Zebra - Manunggal Jati - Pucang
Gading - Terminal Penggaron.
2. Dari Penggaron : Terminal Penggaron – Bitratex - Pucang Gading - Manunggal Jati - Zebra
– BLK - ADA Majapahit - Pasar Gayamsari - Kelinci - Mullo (Milo) – RRI - SPBU (Ahmad Yani
II) - Simpang Lima - Gramedia - Pandanaran - SMA 5 - Balaikota - Pasar Bulu - ADA Pasar
Bulu - Karangayu - Cakrawala - Muradi - Pengadilan - RSUD Tugu - PLN - Lapangan Tugu -
Taman Lele - KTI - Karpet - Karanganyar (SMA 8) - Kawasan Industri - Sango - Pasar
Mangkang - Terminal Mangkang.
b. Koridor II (Terboyo - Sisemut/Ungaran)
1. Dari Terboyo : Terboyo - RSI Sultan Agung - LIK - Kampoeng Semarang - Sawah Besar
Kaligawe - Pasar Kobong - Raden Patah - Kota Lama - STIE BPD Jateng - Johar - Balai Kota -
Katedral - RSUP Kariadi - Ngaglik - SPBU Gajahmungkur - Elizabeth - Kagok - Akpol - Don
Bosko - Kesatrian - Pasar Jatingaleh - Bukitsari - Ngesrep/Tembalang - Ruko Setiabudi -
SPBU Sukun - Banyumanik - Mega Rubber - Gedawang - BPK Jawa Tengah - Alun-alun
Ungaran - Sisemut (Terminal Ungaran).
2. Dari Sisemut : Sisemut - Taman Unyil - BPK Jawa Tengah - Pudakpayung– KODAM -
Terminal Banyumanik - ADA Setiabudi - TK Srondol - Ngesrep - Pasar Jatingaleh - Kesatrian
- Don Bosco - Akpol - Kagok - Elizabeth - Taman Gajahmungkur - Ngaglik - RSUP Kariadi -
RS Wira Bhakti Tama - SMAN 5 - Suzuki Pemuda - Johar - Layur – Stasiun Tawang -
Pengampon - Penjaringan - Pasar Kaligawe - Kampoeng Semarang - SMP 4 - RSI Sultan
Agung – Terboyo.
c. Koridor III (Pelabuhan - Akpol)
1. Jalur A : Pelabuhan Tanjung Emas – Jl Ronggowarsito – Jl Pengapon – Jl R Patah –
Sayangan – Bubakan – Jl Pattimura – Jl Dr Cipto – Jl MT Haryono – Jl Dr Wahidin – Jl Sultan
Agung – Taman Diponegoro – Jl Diponegoro – Jl Pahlawan – Jl. Taman Menteri Supeno
(SMA1/Taman KB) - Simpang Lima – Jl Gajahmada – Jl Pemuda – Tugu Muda – Jl Imam
Bonjol – Jl Dr Jawa – Jl Tawang – Jl Ronggowarsito – Pelabuhan Tanjung Emas.
2. Jalur B : Pelabuhan Tanjung Emas – Jl Ronggowarsito – Jl Pengapon – Jl R Patah – Jl Dr
Jawa – Jl Imam Bonjol – Tugu Muda – Jl Pemuda – Jl Gajah Mada –Simpang Lima – Jl
Pahlawan – Jl Diponegoro – Taman Diponegoro – Jl Sultan Agung – Jl Dr Wahidin – Jl MT
Haryono – Bubakan – Jl Cenderawasih – Jl Letjen Suprapto – Jl Dr Jawa – Jl Tawang – Jl
Ronggowarsito – Pelabuhan Tanjung Emas
d. Koridor IV (Terminal Cangkiran - Stasiun Tawang)
1. Dari Cangkiran : Terminal Cangkiran - Jalan RM Hadi Soebeno - Jalan Dr Hamka - Jrakah -
Jalan Urip Sumoharjo - Pengadilan - Muradi - Bandara Ahmad Yani - Cakrawala- Pasar
Karang Ayu - Ada Siliwangi - Pasar Bulu - UDINUS - Stasiun Poncol - Layur - Stasiun Tawang
2. Dari Stasiun Tawang : Stasiun Tawang - Kota Lama - Stasiun Poncol - Balai Kota - Pasar
Bulu - ADA Siliwangi Pasar Karang Ayu - Cakrawala - Bandara Ahmad Yani - Muradi -
Pengadilan - Jalan Urip Sumoharjo - Jrakah - Jalan Dr Hamka - Jalan RM Hadi Soebeno -
Terminal Cangkiran.
Berdasarkan Adam’s Siaham (2013) bahwa peningkatan jumlah penumpang pada koridor
1 pada tahun 2013 sebesar 160.451 jiwa/Januari, koridor 2 sebesar 74.126 jiwa/Januari. Waktu
operasional mulai dari pukul 05.35 WIB sampai pukul 17.35 WIB dengan 22 bus. Kapasitas
penumpang pada koridor 1 sebanyak 83 jiwa dan koridor 2 sebanyak 42 jiwa.
1. Implementasi kebijakan
a. Bus Rapid Transit (BRT) cenderung dipaksakan dengan waktu persiapan yang relative
singkat sehingga dapat dikatakan wajar jika muncul kekurangan dalam implementasinya.
b. Masyarakat dapat merasakan keberadaan Bus Rapid Transit (BRT) yang nyaman, murah,
aman dan efisien, meskipun belum sepenuhnya dapat mengurai kemacetan yang ada
c. Harga yang relatif murah dan kondisi kendaraan yang nyaman menjadi alasan yang kuat
bagi masyarakat untuk berpindah dari kendaraan pribadi ke transportasi massal.
2. Dalam pembangunan BRT Trans Semarang kendala yang dialami anatar lain:
a. Keterbatasan lahan penempatan shelter BRT pada ruang milik jalan
b. Adanya pemahaman shelter sebagai utulitas jalan oleh Bina marga sehingga penempatan
shelter harus memerlukan ijin.
c. Belum dapat terpenuhinya mekanisme kontrak jamak, maka lelang/tender penyedia jasa
layanan tiap tahun sehingga kesinambungan pelayanan terkendala pada awal tahun
d. Keterbatasan kemampuan anggaran daerah untuk investasi armada.
Menurut Endahr Gilang, dkk (2014) bahwa BRT Trans-Semarang dinyatakan Efektif untuk
mengatasi masalah keruangan yaitu pertumbuhan kendaraan pribadi, itu terbukti pada tahun
2012/ setelah beroprasinya BRT Koridor 1 dan 2, persentase pertumbuhan kendaraan pribadi di
kecamatan yang dilalui BRT koridor 1 dan 2 mengalami penurunan. Belum adanya jalur khuus itu
menjadi kendala, tetapi secara umum dari mulai kondisi halte, adanya integrasi sudah membuat
BRT di Kota Semarang efektif. Pendapat pengguna/ penumpang BRT menyatakan, BRT sudah
cukup nyaman, aman dan tarifnya murah bila dibandingkan dengan kendaraan pribadi dan
angkutan umum yang lain.
d. Evaluasi
Salah satu evaluasi dalam pengendalian pencemaran udara sektor transportasi yaitu tersedianya
transportsi publik BRT Semarang, sebagai berikut:
1. Frekuensi Pelayanan
Frekuensi pelayanan dapat dihitung dari besarnya permintaan untuk pelayanan (pnp/jam)
disbanding jumlah penumpang maksimum per kendaraan. Berdasarkan hasil analisa data
diketahui bahwa besarnya permintaan untuk pelayanan sebesar 451 penumpang/jam dan
jumlah penumpang per hari sebesar 5.419 dengan kapasitas kendaraan 83 seat untuk
koridor I, maka frekuensi pelayanan 5,4 Untuk koridor II besarnya permintaan pelayanan
975 penumpang/ jam dan rata-rata penumpang per hari 2930 penumpang per hari dengan
kapasitas 42 penumpang maka frekuensi pelayanan sebesar 23,2.
2. Kapasitas pelayanan
Kapasitas pelayanan dihitung dengan mengalikan frekuensi pelayanan dan kapasitas
kendaraan. Untuk koridor I : 5,4 x 83 = 448,2, Koridor II : 23,2 x 42 = 974,4.
3. Waktu sirkulasi
Waktu sirkulasi adalah waktu rata-rata yang dibutuhkan untuk kembali ke tempat asal.
Waktu ini merupakan penjumlahan dari waktu perjalanan pulang pergi ditambah dengan
waktu istirahat di terminal.
4. Waktu tempuh
rata-rata per trip Dari hasil analisa dapat disimpulkan bahwa waktu tempuh dan kecepatan
tempuh rata – rata per segmen dan per trip adalah sebagai berikut : Untuk koridor I trayek
terminal Mangkang-Penggaron 30 km/trip atau 60 km PP dan 128 trip – bus/ hari Untuk
koridor II trayek Terminal Terboyo-Ungaran adalah 30 km/trip atau 60 km PP dan 160 trip –
bus/ hari.
5. Load factor
Load factor (Lf), yaitu rasio perbandingan antara jumlah penumpang yang diangkut dalam
kendaraan terhadap jumlah kapasitas tempat duduk penumpang di dalam kendaraan pada
periode tertentu. Load facor rata-rata harian untuk koridor I trayek Terminal Mangkang-
Penggaron adalah 51,0125 % Load factor rata-rata harian untuk koridor II trayek Terminal
Terboyo-Ungaran adalah 45,115%.
6. Selang waktu/headway
Headway yaitu waktu antara keberangkatan satu kendaraan angkutan kota dengan
kendaraan angkutan kota dibelakangnya pada suatu titik tertentu, atau selisih waktu
kedatangan antara satu kendaraan dengan kendaraan berikutnya, biasanya pada bus stop
satuan dalam (menit). Berdasarkan data yang diperoleh diketahui bahwa selang waktu
kendaraan atau headway rata adalah ± 8 menit baik untuk koridor I jurusan
MangkangPenggaron maupun koridor II trayek Ungaran-Terboyo 10)
7. Utilitas
Utilisasi angkutan umum ditunjukkan dengan jarak tempuh angkutan setiap harinya di
dalam melayani trayek yang diselenggarakan. Dari hasil analisa, didapat jarak tempuhrata-
rata setiap bus setiap hari adalah sebagai berikut Koridor I: - Rata-rata jumlah bus yang
beroperasi setiap hari : 16 bus/hari - Rata-rata jumlah perjalanan 30 trip/hari - Rata-rata
jarak tempuh 30 km/trip Koridor II - Rata-rata jumlah bus yang beroperasi setiap hari : 20
bus/hari - Rata-rata jumlah perjalanan 8 trip/hari - Rata-rata jarak tempuh 30 km/trip.
8. Tingkat ketersediaan/Availability
Tingkat ketersediaan (Availability) adalah perbandingan antara jumlah bus yang beroperasi
dengan total jumlah bus yang diijinkan. Koridor I : 16 SGO 4 SO total 20 bus Koridor II : 20
SGO 2 SO total 22 bus.
9. Biaya Operasional Kendaraan (BOK)
Rumus yang digunakan untuk menghitung besarnya Biaya Operasional Kendaraan
menggunakan acuan dari Keputusan Dirjen Perhubungan Darat No.
SK.687/AJ.206/DRJD/2002 Tentang Pedoman Teknis Penyelenggaraan Angkutan Umum Di
Wilayah Perkotaan Dalam Trayek Tetap dan Teratur. Berdasarkan data yang diperoleh
diketahui bahwa: Besarnya Biaya Operasional Kendaraan yang digunakan tanpa
memperhitungkan gaji tanpa memperhitungkan gaji dan biaya BBM karena mendapatkan
subsidi dari pemerintah. Adapun rata-rata BOK per bulan adalah Koridor I adalah
536.501.100, Koridor II sebesar 793.244.292.
e. Saran
Beberapa saran baik kepada operator maupun kepada Pemerintah Kota Semarang sebagai
berikut :
1. Perlu adanya penambahan armada mengingat besarnya jumlah penumpang per hari
sehingga memenuhi standaryang ditetapkan oleh Dirjen Perhubungan Darat
2. Perlu direview mengenai kinerja awak bus terutama sopir mengingat kecepatan kendaraan
melebihi Standar Dirjen Perhubungan Darat. Hal ini tentunya membahayakan penumpang
dan awak bus itu sendiri.
3. Perlu peningkatan koordinasi dengan pihak-pihak yang terkait mengenai keberadaan
shelter sehingga diharapkan shelter berada di lokasi yang strategis
4. Apabila perlu luas shelter di tambah untuk menambah daya tampung penumpang yang
menunggu Bus Trans Semarang
5. Fasilitas shelter diperhatikan seperti keberadaan tempat duduk atau media baca sehingga
penumpang merasa nyaman.
6. Kecepatan tempuh bus belum memenuhi syarat (masih terlalu cepat melebihi 8 km/jam
karena standar yangditetapkan untuk daerah padat atau mix traffic standarnya adalah 10 –
12 km/jam)
7. Jumlah penumpang belum memenuhi syarat karena koridor I rata-rata jumlah penumpang
per hari sebanyak 5419 dengan standar 1000 - 1200 dan untuk koridor II sebanyak 2930
penumpang per hari dengan standar 500 – 600 penumpang per hari.
8. Indikator yang memenuhi standar dari Departemen Perhubungan adalah Selang
waktu/headway yaitu ± 8 menit baik koridor I maupun II dengan standar rata-rata 5-10
menit dan amksimum 10-20 menit. Waktu tempuh bus ± 90 menit baik koridor I maupun II
dengan standar rata-rata 60-90 menit dan maksimum 120 menit. Jumlah unit untuk koridor
I 20 unit dengan rincian 16 SO dan 4 SGO, untuk koridor II sebanyak 22 unit dengan rincian
20 SO dan 2 SGO dengan standar 20 unit.
2. Implementasi Sistem Pengendalian Pencemaran Udara Kota Semarang Sektor Pemukiman
a. Sumber pencemar
Sumber pencemar dari sektor domestik diasumsikan berasal dari penggunaan LPG/tiap
bulan/KK. Penggunaan LPG tiap rumah tergantung dengan tingkat kesejahteraan keluarganya.
Untuk itu dalam inventarisasi emisi kali ini, tingkat kesejateraan rumah tangga menjadi
pertimbangan dalam konsumsi LPG tiap bulan. Tingkat kesejahteraan dibagi menjadi tiga buah
kelas yaitu kelas atas, kelas menengah dan kelas bawah. Data diagregasi tiap kelurahan, namun
dalam tampilan kita agregasi untuk tingkat kecamatan.
Tabel 4. Jumlah KK tiap Kecamatan Berdasarkan Tingkat Kesejateraan
Kecamatan
Tingkat Kesejateraan
TOTAL Bawah Menengah Atas
Pra Sejatera I II III III+
Mijen 2875 3245 5651 5743 1310 18824
Gunungpayi 2190 2830 4519 13886 1010 24435
Banyumnaik 1645 3910 5963 19649 5164 36331
Gajahmungkur 446 2200 3448 6440 2424 14958
Semarang sltn 1404 4321 3611 5974 2272 17582
Candisari 2586 5282 4795 7143 1470 21276
Tembalang 4055 5227 5393 26695 4377 45747
Pedurungan 2440 5941 8371 26638 5060 48450
Genuk 2523 4595 6950 10301 3605 27974
Gayamsari 2418 3542 3244 7276 1979 18459
Smg timur 1823 3976 6133 5482 982 18396
Smg utara 5323 7490 6473 9575 1846 30707
Smg tengah 1191 4223 4568 3620 1819 15421
Smg barat 3587 8694 8711 14626 4685 40303
Tugu 803 1361 2608 3452 339 8563
Ngaliyan 2199 3857 5288 17212 8644 37200
Total 37508 70694 85726 183712 46986 424626
Sumber: Kajian Inventarisasi Emisi Kota Semarang oleh Dinas Lingkungan Hidup Kota Semarang,2017
Hasil identifikasi sumber pencemar udara domestik dapat dilihat pada grafik pada Gambar 4,
sementara hasil modeling dengan AERMOD View dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Sebaran Emisi NOx dari Sektor Domestik (Hasil Model Aermod View) Sumber: Kajian Inventarisasi Emisi Kota Semarang oleh Dinas Lingkungan Hidup Kota Semarang,2017
Pertumbuhan kawasan permukiman ditandai dengan adanya pertumbuhan
kepadatan penduduk dan luas kawasan terbangun (Seto, dkk. 2014). Pertumbuhan kawasan
permukiman umumnya terjadi di kawasan perkotaan terutama di kota besar seperti Kota
Semarang, yang akan dikaji lebih lanjut di dalam penelitian ini. Pangsa terbesar emisi GRK
terjadi di sektor industri yaitu sebesar 34% pada tahun 2013. Diikuti oleh sektor pembangkit
listrik sebesar 30%, sektor transportasi (29%) dan sektor rumah tangga (4%) (ESDM, 2015).
Di Kota Semarang, Emisi GRK mencapai 1.956.332 ton CO2e pada tahun 2010 dan
diproyeksikan meningkat menjadi 3.286.026 ton CO2 pada tahun 2020. Menurut Wismadani
(2017) bahwa Sektor rumah tangga merupakan sektor yang berpengaruh dalam konsumsi
listrik Kota Semarang dengan menyumbang 39% dari total konsumsi energi listrik Kota
Semarang. Konsumsi listrik rumah tangga biasa digunakan masyarakat untuk penerangan,
pendingin ruangan, dan penggunaan alat elektronik. Pertumbuhan konsumsi energi listrik
pada sektor rumah tangga dari tahun 2012 hingga 2016 cenderung stabil yaitu berkisar pada
1.200.000-2.000.000 MWh. Laju pertumbuhan konsumsi energi listrik sektor rumah tangga
pada tahun 2010 adalah 7,21% kemudian menurun menjadi 6,26% pada tahun 2011,
kemudian meningkat pesat hingga 14,11% pada tahun 2015. Jumlah pelanggan PLN pada
sektor rumah tangga pada tahun 2009-2015 meningkat dari 947.555 menjadi 1.262.762
pelanggan. Jumlah pelanggan sektor rumah tangga yang mengalami pertumbuhan signifikan
di tahun 2015 adalah pelanggan untuk kelas menengah dengan daya 3500 VA-5500 VA di
mana kondisi perekonomian dari golongan tersebut juga tergolong mampu, sehingga
memiliki tingkat konsumsi listrik yang lebih tinggi. Jumlah konsumsi listrik perpelanggan pada
sektor ini berkisar antara 1285,77 KWh/pelanggan hingga 1584,70 KWh/pelanggan. Jumlah
ini jauh lebih kecil dibandingkan sektor-sektor lain karena banyaknya jumlah pelanggan pada
sektor rumah tangga.
Gambar 4. Beban Cemaran dari Sektor Domestik
Sumber: Kajian Inventarisasi Emisi Kota Semarang oleh Dinas Lingkungan Hidup Kota Semarang,2017
b. Histori
Kota Semarang secara adminitrasi terdiri atas 16 kecamatan yang meliputi 177 kelurahan
dengan luas wilayah keseluruhan 373,7 km2. Jumlah penduduk tahun 2010 adalah 1.527.433
jiwa, dengan tingkat pertumbuhan penduduk 2,09% pertahun dengan kepadatan penduduk
rata-rata 4.087 jiwa/km2 (Bappeda dan BPS Kota Semarang, 2011). Peningkatan penduduk di
Kota Semarang salah satunya karena adanya urbanisasi yang ditandai oleh perubahan
penggunan lahan dari pertanian menjadi permukiman dan daerah perniagaan (Hendrayana,
2010). Dampak negatif dari umur permukiman dan urbanisasi adalah meningkatnya emisi
pencemaran udara yang diakibatkan oleh penggunaan listrik, berkurangnya RTH privat dan
RTH publik.
1. Pola Pemukiman Masyarakat Kota Semarang
Di kota Semarang pada dasarnya memiliki pola pemukiman memanjang (linier) karena
rumah-rumah yang dibangun membentuk pola berderet-deret hingga panjang. Pola
memanjang ini pada umumnya dapat kita temukan pada kawasan permukiman yang
berada di tepi sungai, rel kereta, dan jalan raya. Pola ini dapat terbentuk karena kondisi
lahan di kawasan tersebut memang menuntut adanya pola ini. Seperti kita ketahui,
sungai, jalan, maupun rel kereta berpola memanjang dari satu titik tertentu ke titik
lainnya, sehingga masyarakat yang tinggal di kawasan tersebut pun membangun rumah-
rumah mereka dengan menyesuaikan diri pada keadaan tersebut.
2. Pola Permukiman Linier di Sepanjang Alur Sungai
Pola ini terbentuk karena sungai merupakan sumber air yang melimpah dan sangat
dibutuhkan oleh manusia untuk berbagai keperluan, misalnya sumber air dan sarana
transportasi. Permukiman penduduk di sepanjang alur sungai biasanya terbentuk di sisi
kanan dan kiri sungai dan memanjang dari hulu hingga ke hilir. Di Semarang, pola
permukiman ini banyak ditemukan di sepanjang sungai banjir kanal.
3. Pola Permukiman Linier di Sepanjang Jalan Raya
Perkembangan kemajuan zaman memicu munculnya banyak jalan raya sebagai sarana
transportasi yang lebih cepat dan praktis. Jalan raya yang ramai membantu pertumbuhan
ekonomi peduduk yang tinggal di sekitarnya untuk membangun permukiman di
sepanjang jalan raya. Pola permukiman linier di sepanjang jalan raya dapat ditemukan di
pusat kota Semarang, seperti di sekitar daerah Tugu Muda, Simpang Lima, Kota Lama,
Pasar Johar, Masjid Agung, Bandara Ahmad Yani.
4. Pola Permukiman Linier di Sepanjang Rel Kereta Api
Pola permukiman linier di sepanjang rel kereta api biasanya hanya terkonsentrasi di
sekitar stasiun kereta api yang ramai dikunjungi orang. Rel kereta api dan stasiun kereta
api merupakan sarana vital yang mampu menghubungkan berbagai tempat yang
berjauhan, sehingga sangat banyak dikunjungi dan menarik untuk ditinggali. Pola
permukiman linier di sepanjang rel kereta api di Semarang dapat kita jumpai di daerah
sekitar Semarang Indah dan PRPP.
c. Implementasi
Berbagai implementasi yang sedang dilakuakan oleh Pemkot Semarang, yaitu:
1. Studi kelayakan intermediate treatment facility
2. Pengelolaan biodigester dan pengelolaan sampah organik skala komunal
3. Penguatan bank sampah di kelurahan dan peningkatan pemasaran produk hasil
pengolahan sampah
4. Penataan RTH privat dan RTH publik
5. Penataan pemukiman kumuh
6. Sosialisasi hemat listrik
7. Penggunaan listrik tenaga surya sebagai penerang jalan dan gedung
Menurut Gernowo (2013) bahwa Perubahan infrastruktur berupa Lahan terbuka
mengalami pertambahan luas yang paling besar yaitu dari 52534 Ha (37,4% dari total luas
Semarang) pada tahun 1994 menjadi 5621 Ha (40,3% dari total luas Semarang) pada tahun
2002, yang berarti meningkat 3,9% dari total luas Semarang atau meningkat 10,7% dari luas
lahan terbuka.
Konsumsi energi listrik kawasan permukiman berpenagruh signifikan terhadap
emisi karbon dioksida di kota Semarang. Setiap 1 % kenaikan konsumsi energi listrik
terhadap total konsumsi energi listrik tahun 2015 berkontribusi terhadap emisi
karbon dioksida sebesar 1.421.525,52 ton. Sektor rumah tangga memiliki total
konsumsi energi listrik terbesar, disusul dengan sektor industri, komersial, dan
pemerintahan. Namun, jumlah pelanggan pada sektor rumah tangga juga jauh lebih
banyak dibandingkan sektor lainnya yang mengakibatkan konsumsi listrik per-
pelanggannnya jauh lebih rendah jika dibandingkan sektor lainnya. Sebaliknya, sektor
industri memiliki jumlah pelanggan yang sedikit sehingga jumlah konsumsi listrik per-
pelanggannya jauh lebih tinggi dibandingkan dengan sektor lainnya.
d. Evaluasi
Pemerintah Kota seharusnya melakuakan penataan penggunaan lahan menurut
berdasarkan RTRW, dimana penyebaran kawasan tidak terpusat dalam satu titik,semisal
kawasan industri, dimana kawasan industri banyak tersebar, dibagian barat atau timur
maupun utara dan hal tersebut membuat penduduk membuat tempat tinggal yang dekant
dengan kawasan industri. Dalam penentuan lokasi pemukiman, sebaiknya memperhatikan
penggunaan lahan kawasan lindung, dan kawasan bencanan alam. Dengan mengacu 2 hal
tersebut, maka penataan pemukiman akan lebih baik. Kedua ada kebijakan dalam
penegakan peraturan dalam pemanfaatan lahan terbuka privat,menurut peraturan RTH
disebutkan luas lahan terbuka dan lahan terbangun dengan perbandingan 30% dan 70%.
Ketiga, penggunaan listrik diketahui bahwa penggunaan listrik di Kota Semarang untuk
sektor pemukiman lebih besar dibanding dengan sekotr industri dan sebagainya. Hal
tersebut berakibat karena pertumbuhan dan peningkatan jumlah penduduk di Kota
Semarang semakin meningkat setiap tahun serta berdampak dengan kebutuhan kelayakan
hidup untuk sadang, pangan dan papan. Pemerintah Kota Semarang berupaya dengan
mensosialisasi untuk menghemat listrik dimulai dengan adanya pengurangan penggunaan
alat elektronik yang tidak digunakan, tidak menyalakn lampus saat siang hari, membangun
bangunan yang sistem green building. Salah satu usulan agar terjaganya pemanfaatan lahan
atau perubahan tata guna lahan dari lahan terbuka menjadi lahan tertutup, maka perlu
adanya rumah susun bagi warga pendatang, pendirian bangunan diharuskan warga Kota
Semarang. Merencanakan energi terbarukan tidak hanya pemanfaatan energi surya sell
untuk penerangan jalan, tapi juga untuk penerangan gedung atau rumah, serta melakukan
pemanfaatan biogas/biodigester dari IPAL atau TPA Jatibarang untuk dimanfaatkan sebagai
penerangan atau bahan bakar dalam skala komunal maupun individu.
e. Saran
Saran untuk pemkota Semarang dalam mengurangi emisi dari sektor permukiman, yaitu:
1. Melakukan kerjasama untuk pemafaatan surya cell diseluruh bangunan/pemukiman
2. Melakukan binaan dan kerjasama dengan pihak ketiga, dalam pengolahan dan
pemafaatan biodigester/biogas untuk digunakan sebagai energi listrik dan bahan bakar
3. Melakukan setiap minggu sekali untuk pemdaam listrik se Kota Semarang dalam waktu
1-2jam, hal tersebut dapat mengurangi emisi yang dihasilkan listrik
3. Implementasi Sistem Pengendalian Pencemaran Udara Jepang Sektor Transportasi
a. Histori
Pada seperempat abad sejak tahun 1970, polusi udara yang dihasilkan oleh kendaraan
bermotor belum cukup membaik, dan sangat parah terutama di kota-kota besar. Hal ini
disebabkan langsung oleh meningkatnya volume lalu lintas kendaraan bermotor yang merupakan
hasil dari fakta bahwa sistem dan gaya hidup sosial ekonomi kontemporer sangat tergantung
pada penggunaan kendaraan bermotor. Biaya sosial pencemaran udara harus diinternalisasi
untuk memecahkan masalah polusi udara dan total volume emisi kendaraan bermotor harus
dikurangi dan dikendalikan untuk memenuhi standar kualitas lingkungan. Kualitas lingkungan
suatu negara tergantung pada hubungan kompleks yang mencakup pola pertumbuhan ekonomi
negara, penggunaan sumber daya, kepadatan penduduk, formasi geografis, administrasi politik,
dan sikap sosial.
Standar kualitas lingkungan negara Jepang ditetapkan sesuai dengan Hukum Lingkungan
Dasar sebagai standar yang diinginkan untuk dipertahankan untuk melindungi kesehatan manusia
dan melestarikan lingkungan hidup. Tingkat pencapaian standar kualitas lingkungan untuk
nitrogen dioksida, partikulat tersuspensi, oksidan fotokimia dan karbon monoksida, semua
terutama yang berkaitan dengan kendaraan bermotor, disusun oleh Badan Lingkungan Hidup
pada tahun 1998 setelah pengukuran dilakukan oleh organisasi publik regional di seluruh negara.
Nitrogen oksida
Tingkat pencapaian standar kualitas lingkungan untuk nitrogen dioksida ditunjukkan
seperti pada Gambar 5. Dari 1.466 stasiun pemantauan polusi udara umum/stasiun umum
sebesar 1.382, atau 94,3% dan sesuai standar kualitas lingkungan. Dari 392 stasiun
pemantauan polusi udara di tepi jalan/stasiun pinggir jalan yang didirikan di sepanjang jalan
sebesar 267, atau 68,1%, sesuai dengan standar kualitas lingkungan.
Sedangkan di kota-kota besar yang tercakup dalam Undang-undang Mengenai Tindakan
Khusus untuk Pengurangan Emisi Total Nitrogen Oksida dari mobil di daerah tertentu sebesar
238 atau 74,1% dari 321 stasiun umum dan 61 atau 35,7% dari 171 stasiun pinggir jalan
melaporkan bahwa kualitas lingkungan standar terpenuhi. Rasio pencapaian stasiun pinggir
jalan rendah dibandingkan dengan stasiun umum. Selain itu, stasiun-stasiun umum berada di
lokasi-lokasi yang terkena dampak langsung dari knalpot (asap hitam) lalu lintas. Batas atas
yang ditetapkan oleh standar kualitas lingkungan adalah 0,06ppm atau 98% dari rata-rata
harian dalam 1 tahun. Sedangkan kadar NOx beberapa stasiun pinggir jalan di kota-kota besar
melaporkan konsentrasi melebihi 0,08 ppm sementara stasiun umum melaporkan konsentrasi
lebih dari 0,07 ppm juga difokuskan di kota-kota besar.
Gambar 5. Standar Kualitas Lingkungan NOx Tahun 1998 Sumber: Report on Results Obtained by General Air Pollution Monitoring Stations
Materi partikulat tersuspensi
Tingkat pencapaian standar kualitas lingkungan untuk materi partikulat tersuspensi
ditunjukkan pada Gambar 6. Dari 1.529 stasiun umum nasional, 1.030, atau 67,4%, memenuhi
standar kualitas lingkungan. Dari 269 stasiun pinggir jalan nasional, 96, atau 35,7%, memenuhi
standar kualitas lingkungan. Di kota-kota besar yang tercakup dalam Undang-undang tentang
Tindakan Khusus untuk Pengurangan Emisi Total Nitrogen Oksida dari Mobil di Daerah
Tertentu, 109, atau 33,7%, dari 323 stasiun umum dan 17, atau 12,4%, dari 137 stasiun pinggir
jalan melaporkan bahwa kualitas lingkungan standar terpenuhi.
Rasio pencapaian stasiun pinggir jalan lebih rendah dibandingkan dengan stasiun
umum. Selanjutnya, rasio pencapaian rendah di kota-kota besar untuk kedua stasiun pinggir
jalan dan stasiun umum mirip dengan situasi yang dilaporkan untuk nitrogen dioksida, tetapi
polusi oleh materi partikulat tersuspensi lebih luas. Standar kualitas lingkungan, 0.10mg/m3
mengecualikan 2% dari rata-rata harian selama 1 tahun. Sebaliknya, beberapa stasiun pinggir
jalan di kota-kota besar melaporkan konsentrasi lebih dari 0.16mg/m3 sedangkan beberapa
stasiun umum juga melaporkan konsentrasi lebih dari 0.14mg/m 3.
Gambar 6. Standar Kualitas Lingkungan Partikulat Tersuspensi Tahun 1998 Sumber: Report on Results Obtained by Roadside Air Pollution Monitoring Stations, Environment
Agency
Oksidan fotokimia
Dari 1.185 stasiun umum dan stasiun pinggir jalan nasional, hanya 7 yang memenuhi
standar kualitas lingkungan dengan nilai siang hari tidak lebih dari 0,06ppm per
jam. Peringatan dikeluarkan ketika pembacaan secara konsisten 0,12 ppm atau lebih, dan
peringatan tersebut dikeluarkan pada total 100 hari di 19 prefektur dan wilayah metropolitan
utama di seluruh Jepang. Beberapa dari peringatan ini juga dikeluarkan di daerah terpencil di
sekitar wilayah metropolitan utama, yang menunjukkan tingkat pencemaran yang meluas.
Karbon monoksida
Standar kualitas lingkungan tidak lebih dari 10ppm pada rata-rata harian nilai per jam
terpenuhi di semua 145 stasiun umum dan 327 stasiun pinggir jalan nasional.
b. Implementasi
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pengendalian Pencemaran Pada Sektor Transportasi
Pengendalian pencemaran emisi kendaraan bermotor di Kyoto, Jepang dilakukan secara
bertahap dan telah ditingkatkan dalam upaya mengurangi emisi gas buang mobil untuk
menghentikan polusi udara oleh kendaraan bermotor. Parameter pengendalian pencemaran
emisi meliputi karbon monoksida, hidrokarbon, nitrogen oksida, partikel dan asap
hitam. Kriteria yang berbeda ditetapkan atas dasar penggunaan kendaraan (penumpang atau
barang), jenis bahan bakar (bensin atau solar) dan berat kotor kendaraan. Gambar 7
menunjukkan tabel pengendalian pencemaran emisi yang berkaitan dengan nitrogen oksida
pada kendaraan penumpang dan truk diesel. Tingkat pencemar yang ditentukan oleh saat ini
hanya 3,2% dari apa yang mereka pada tahun 1973 untuk kendaraan penumpang, dan hanya
33% dari tingkat 1974 untuk truk diesel.
Gambar 7. Pengendalian Pencemaran Emisi NOx Sumber: Motor Vehicle Environmental Pollution Contorl in Japan, Environment Agency.
Pengendalian pencemaran emisi NOx dilakukan pada kendaraan penumpang yang
menggunakan bensin dan truk yang menggunakan diesel. Pengendalian pencemaran ini
dilakukan pada pencemar NOx tanpa melakukan pada karbon monoksida. Namun belum
mencapai standar kualitas lingkungan. Gambar 8 menunjukkan nilai rata-rata tahunan
nitrogen dioksida di semua stasiun pemantauan nasional. Konsentrasi setara dengan batas
atas standar kualitas lingkungan 0,03 ppm untuk tahun ini. Angka-angka ini memuncak sekitar
tahun fiskal 1970 dan memperkuat pengendalian pencemaran emisi kendaraan yang terkait
dengan sumber-sumber tetapi tetap melihat penurunan yang cepat dari meningkatnya
pencemaran hingga tahun 1970-an. Konsentrasi lingkungan juga menurun hingga 1985
sebagai hasil dari kontrol emisi dan pengenalan kontrol volume total untuk sumber-sumber
tetap. Namun, karena peningkatan konsentrasi lingkungan tidak memenuhi standar kualitas
lingkungan, manfaat kontrol terhadap emisi kendaraan secara bertahap terkikis. Sejak paruh
kedua tahun 1980-an, standar-standar ini hampir tidak terpenuhi dan konsentrasi tetap tidak
berubah.
Gambar 8. Nilai rata-rata Tahunan NOx (Suzuki, 2000 )
Lalu lintas Kendaraan Meningkat
Salah satu penyebab polusi kendaraan bermotor meningkat di atmosfer disebabkan
oleh meningkatnya penggunaan kendaraan baik motor ataupun mobil. Pengendalian
pencemaran substansial yang mengatur emisi oksida nitrogen dari kendaraan bermotor telah
diperkenalkan sejak tahun fiskal 1973, tetapi peningkatan volume lalu lintas secara bertahap
mengikis manfaatnya. Gambar 9 menunjukkan volume lalu lintas dari waktu ke waktu.
Kendaraan bermotor di Jepang menempuh total 615,1 miliar kilometer pada tahun fiskal
1998. Dari jarak ini, truk menempuh 182,5 miliar kilometer dan kendaraan penumpang (tidak
termasuk kendaraan bermotor berukuran mini) menempuh 432,6 miliar kilometer. Ini
memberikan angka pertumbuhan yang signifikan sebesar 272 berdasarkan nilai indeks 100
untuk fiskal 1970.
Gambar 9. Motor vehicle traffic
Sumber: Land Transportation Statistics Survey, Ministry of Transport
Gambar 10 menunjukkan peningkatan jumlah kendaraan diesel di antara jumlah truk
berukuran biasa dan truk berukuran kecil yang beroperasi. Angkanya sebesar 925.000 dari
5.426.000 (17,0%) pada tahun fiskal 1970 tetapi meningkat menjadi 6.485.000 dari 8,553,000
(75,8%) pada tahun fiskal 1997. Rasio kendaraan penumpang diesel terhadap total kendaraan
penumpang adalah 10.000 dari 6.777.000 (0,1%) dalam fiskal 1970 tetapi meningkat menjadi
5,004,000 dari 41.283.000 (12,1%) di tahun fiskal 1997.
Gambar 10. Use of Diesel-Powered Trucks Sumber: Land Transportation Statistics Survey, Ministry of Transport
Kecenderungan terhadap truk yang lebih besar juga mengikis manfaat dari kontrol
emisi. Gambar 11 menunjukkan jumlah terhadap truk-truk besar di jalan. Jumlah truk
berukuran kecil telah menurun dalam beberapa tahun terakhir, sementara jumlah truk
berukuran biasa terus bertambah. Dari 5.437.000 truk yang dimiliki pada tahun fiskal 1970,
814.000 (17,6%) adalah truk berukuran biasa. Pada tahun fiskal 1997, jumlah truk yang dimiliki
mencapai 8.565.000, dimana 2.656.000 (31,0%) merupakan truk berukuran biasa.
Gambar 11. Use of larger trucks Sumber: Land Transportation Statistics Survey, Ministry of Transport
c. Evaluasi
Berdasarkan Undang-undang Pengurangan Emisi Total Nitrogen Oksida dari Mobil di
daerah Tertentu, otoritas regional menetapkan total program pengurangan emisi dan
menetapkan target untuk pengurangan emisi nitrogen oksida total di daerah yang di
tentukan. Untuk mengurangi level tersebut, mereka juga mempromosikan kebijakan untuk
kendaraan pribadi, pembatasan jenis kendaraan, kendaraan rendah emisi dan kebijakan
transportasi untuk barang dan orang. Peraturan yang baru diperkenalkan tentang jenis kendaraan
menetapkan konversi wajib dari truk diesel kecil ke truk bensin. Ada beberapa metode lain yang
dapat mengurangi emisi total. Sumber-sumber tetap seperti pabrik dan tempat kerja sudah
diatur oleh pembatasan emisi total sulfur oksida dan nitrogen oksida di lokasi yang
ditentukan. Target emisi total ditetapkan berdasarkan standar kualitas lingkungan, dan peraturan
untuk mencapai target tersebut diterapkan pada pabrik dan tempat kerja di atas ukuran yang
ditentukan. Total emisi dikurangi secara efektif melalui praktik pengaturan seperti ini. Di bawah
konsep yang sama, langkah dipertimbangkan untuk memasukkan emisi dari kendaraan yang
dimiliki atau digunakan oleh pabrik dan tempat kerja.
Peraturan tentang emisi kendaraan bermotor telah dikenakan pada produsen mobil,
tetapi peningkatan lalu lintas yang diakibatkan oleh meningkatnya kepemilikan kendaraan dan
penggunaan truk dengan mesin diesel, kendaraan listrik dan kendaraan rendah emisi lainnya
dirancang untuk melepaskan emisi jauh lebih rendah daripada tingkat regulasi. Oleh karena itu,
layak bahwa tingkat emisi rata-rata dan total dari kendaraan yang dijual oleh produsen mobil
akan dikenakan pembatasan. Peraturan tingkat rata-rata untuk setiap produsen sudah
diperkenalkan di California dan rasio kendaraan rendah emisi dapat ditingkatkan secara bertahap
dengan memperkuat nilai standar secara bertahap. Total volume emisi dapat dikurangi dengan
meningkatkan jumlah unit yang terjual. Total volume emisi dari kendaraan dapat, secara teori,
ditampilkan oleh: unit emisi per kendaraan (g/km) × volume lalu lintas (km). Oleh karena itu, juga
layak untuk fokus pada konsentrasi lalu lintas daripada volume emisi, dan memperkenalkan
kontrol untuk mengurangi volume lalu lintas. Peraturan yang menggunakan plat nomor dan
pembatasan akses menggunakan penetapan harga jalan sedang diperkenalkan di Singapura dan
beberapa daerah lainnya.
Metode-metode ini, mengutip beberapa contoh yang berhubungan dengan perlindungan
kesehatan dan penting untuk memastikan keefektifannya. Dari sudut pandang itu, penggunaan
metode pengaturan harus dipertimbangkan. Karena pola luas kegiatan social ekonomi terkait
dengan penggunaan kendaraan bermotor, polusi udara dengan penggunaan kendaraan harus
tercermin dalam harga pasar. Metode ekonomi seperti ini yang menggunakan mekanisme pasar
dan menginternalisasi ekonomi eksternal juga efektif. Perawatan juga harus dilakukan
sehubungan dengan kelayakan kebijakan, keefektifan biaya dan kompatibilitas, dll.
Mengurangi total emisi dan mengubah sistem dan gaya hidup sosial ekonomi
Alasan polusi udara dari kendaraan bermotor belum membaik adalah bahwa volume lalu
lintas kendaraan bermotor telah meningkat pada skala yang cukup besar untuk mengikis legislasi
yang diperkuat pada emisi per kendaraan, dan bahwa penggunaan mesin diesel. Korelasi erat
antara pertumbuhan kepemilikan dan penggunaan kendaraan bermotor dan pertumbuhan GDP.
Oleh karena itu, mengurangi total volume emisi ke tingkat di mana standar kualitas lingkungan
terpenuhi, dibutuhkan peninjauan kembali faktor sistematis dan struktural yang menyebabkan
penggunaan yang lebih besar dari kendaraan bermotor dengan ekspansi ekonomi.
Massopularisasi kendaraan rendah emisi, misalnya, akan menjadi sarana yang efektif untuk
mengurangi unit emisi per kendaraan namun memiliki jarak pendek juga mengakibatnya
banyaknya emisi yang dikeluarkan, dan bahan bakar yang digunakan. Namun, perbedaan harga
tidak muncul karena kendaraan rendah emisi mahal, tetapi karena kendaraan bertenaga diesel
dan kendaraan pencemar skala besar lainnya tidak membayar biaya sosial polusi udara dengan
sendirinya. Dalam kedua pendekatan regulasi dan ekonomi untuk mengurangi total volume emisi,
atau dalam mempopulerkan massa kendaraan rendah emisi sebagai sarana untuk mencapai hal
ini, biaya sosial untuk masyarakat kendaraan diesel harus diinternalisasi.
Peningkatan biaya terkait penggunaan kendaraan atau biaya distribusi akan
menghadirkan peluang untuk meninjau kenyamanan kendaraan bermotor. Di sisi lain,
pemasangan fasilitas bahan bakar untuk kendaraan rendah emisi perlu ditingkatkan sebagai
bagian dari infrastruktur sosial. Untuk meningkatkan polusi udara dari kendaraan bermotor,
volume emisi total harus dikurangi, tetapi ini terkait dengan konversi sistem sosio-ekonomi saat
ini dan gaya hidup menjadi yang kurang berdampak pada lingkungan. Sebuah penelitian
diperlukan untuk mengembangkan serangkaian kebijakan yang drastis yang menjangkau kembali
pola penggunaan kendaraan. Jenis pendekatan komprehensif ini dapat mengarah pada realisasi
transportasi kendaraan bermotor dengan dampak yang lebih rendah terhadap lingkungan.
Enam faktor utama berdampak pada pengelolaan pengendalian pencemaran udara di
Kyoto, Jepang adalah: (1) klausul yang relevan dalam Konstitusi Meiji dan konstitusi saat ini, (2)
peran dan efektivitas pemerintah pusat dan daerah, (3) keputusan pengadilan dalam uji coba
pencemaran, (4) undang-undang, insentif ekonomi, dan teknologi yang berkaitan dengan
pengendalian pencemaran udara, (5) kebijakan pertumbuhan, pembangunan, energi, dan
transportasi, dan (6) kejadian terkait polusi internasional.
Keberhasilan upaya pengendalian pencemaran udara Jepang dapat dikaitkan dengan
dinamika perubahan sosial dan politik. Proses ini dibantu oleh perencanaan komprehensif dan
terintegrasi pemerintah untuk mencapai SO2 AAQS. Pemerintah daerah memainkan peran
penting dalam upaya anti polusi Jepang. Japan Society of Air Pollution memberikan kontribusi
yang tak ternilai. Kementerian Kesehatan dan Kesejahteraan (MHW) memperluas cakupan
pemantauan polusi dan penelitian efek-kesehatannya. Ketidakpastian ilmiah adalah masalah yang
selalu ada dalam manajemen masalah pengendalian pencemaran. Jepang akan menghadapi
tantangan baru dalam pengendalian pencemaran udara pada abad ke-21.
d. Sistem Riset dan Pengembangan Sistem Pengendalian Pencemaran Udara di Jepang
Transportasi
1. Mass Rapid Transit (MRT)
Salah satu cara untuk mengendalikan pencemaran udara di Jepang adalah dengan
menggunakan Mass Rapid Transit (MRT). Hampir 80% penduduk Jepang menggunakan
transportasi umum dalam kehidupan sehari. Mulai dari shinkansen, train, bus.
2. Pajak kendaraan dan parkir
Kebijakan pemerintah Jepang untuk menerapkan tarif pajak dan parkir kendaraan yang
mahal menjadi salah satu strategi untuk mengurangi penggunaan kendaraan pribadi yang
secara tidak langsung mengurangi penggunaan bahan bakar yang akan mencemari udara.
3. Pembatasan usia kendaraan
Pemerintah Jepang menerapkan kebijakan tentang usia kendaraan, yaitu sekitar 5-10
tahun.
Permukiman
Bangunan hijau ramah lingkungan bertujuan untuk mengurangi konsumsi energi dan
sumber daya yang digunakan, seperti penggunaan sinar matahari sebagai sumber energi
listrik. Selain itu, Jepang memiliki sistem penilaian gedung hijau bernama Sistem Penilaian
Komprehensif untuk Efisiensi Lingkungan Buatan (CASBEE)yang bertujuan untuk mengevaluasi
bangunan dalam hal kualitas dan kinerja lingkungan serta beban lingkungan yang dihasilkan
disetiap gedung.
Daftar Pustaka Anonim, (2013),Rencana Tindak Lanjut Ketahanan Kota Semarang.
Anonim, (2017),RPJMD Kota Semarang.
Anonim, (2011),RTWR Kota Semarang.
Pradipat, Endhar Gilang, Suroso, dan Erni Suharni,(2014).Efektifitas BRT Trans Semarang
Sebagai Moda Transportasi di Kota Semarang.Journal unnes.
Siahaan, Daniel Adam’s, Ari Wibowo dan Aufarul Marom,(2013)Implementasi Kebijakan BRT
Trans Semarang di Kota Semarang,FISIP, Undip
Satria,Mitra dan Sri Rahayu (2013).Evaluasi Lahan Permukiman di Kota Semarang Bagian
Selatan.PWK, Universitas Diponegoro.
DLH,2017.Inventarisasi Emisi Kota Semarang.
Wismandani,T dan W.Widijonarko,(2017), Pengaruh Konsumsi Energi Listrik Kawasan
Permukiman Terhadap Emisi Karbon Dioksida Kota Semarnag. PWK,Unidp
Bappeda.semarangkota.go.id
http://satudata.semarangkota.go.id/
Marom, Aufarul,(2005),Kualitas Pelayanan Transportasi Kota Semarang.ejoaurnal,undip