sistem hukum adat di wilayah pesisir

32
SISTEM HUKUM ADAT DI WILAYAH PESISIR 1. Pendahuluan Pesisir merupakan wilayah peralihan dan interaksi antara ekosistem darat dan laut. Wilayah ini sangat kaya akan sumberdaya alam dan jasa lingkungan yang disebut sumberdaya pesisir. Sumberdaya pesisir terdiri dari sumberdaya hayati dan non-hayati, dimana sumber daya hayati terdiri dari ikan, magrove, terumbu karang, padang lamun dan biota laut lain. Sedangkan unsur non-hayati terdiri dari sumberdaya mineral dan abiotik lain di lahan pesisir, permukaan air, di kolom air , dan di dasar air. Potensi sumberdaya pesisir sangat besar dan penting bagi kehidupan manusia, dimana sebagian besar masyarakat kita menggantungkan kehidupannya pada sektor ini. Sebagai suatu ekosistem yang memiliki fungsi ekonomi penting bagi kehidupan manusia, maka perlu dikelola dengan baik agar terlindungi dari segala aktivitas yang dapat mengancam kelestariannya . Sumberdaya pesisir berperan penting dalam mendukung pembangunan ekonomi daerah dan nasional 1

Upload: denny-karwur

Post on 04-Aug-2015

230 views

Category:

Documents


10 download

TRANSCRIPT

Page 1: Sistem Hukum Adat Di Wilayah Pesisir

SISTEM HUKUM ADAT DI WILAYAH PESISIR

1. Pendahuluan

Pesisir merupakan wilayah peralihan dan interaksi antara

ekosistem darat dan laut. Wilayah ini sangat kaya akan

sumberdaya alam dan jasa lingkungan yang disebut

sumberdaya pesisir. Sumberdaya pesisir terdiri dari

sumberdaya hayati dan non-hayati, dimana sumber daya

hayati terdiri dari ikan, magrove, terumbu karang, padang

lamun dan biota laut lain. Sedangkan unsur non-hayati terdiri

dari sumberdaya mineral dan abiotik lain di lahan pesisir,

permukaan air, di kolom air , dan di dasar air.

Potensi sumberdaya pesisir sangat besar dan penting bagi

kehidupan manusia, dimana sebagian besar masyarakat kita

menggantungkan kehidupannya pada sektor ini. Sebagai

suatu ekosistem yang memiliki fungsi ekonomi penting bagi

kehidupan manusia, maka perlu dikelola dengan baik agar

terlindungi dari segala aktivitas yang dapat mengancam

kelestariannya .

Sumberdaya pesisir berperan penting dalam mendukung

pembangunan ekonomi daerah dan nasional untuk

meningkatkan penerimaan devisa, lapangan pekerjaan, dan

pendapatan penduduk. Sumberdaya pesisir tersebut

mempunyai keunggulan karena tersedia dalam jumlah besar

dan beraneka ragam serta dapat dimanfaatkan dengan biaya

relatif murah. Di sisi lain, kebutuhan pasar masih terbuka

sangat lebar karena kecenderungan permintaan pasar yang

terus meningkat.

1

Page 2: Sistem Hukum Adat Di Wilayah Pesisir

Dengan masuknya ekonomi pasar ke daerah pedesaan

khususnya pesisir banyak menimbulkan masalah. Hal ini

berlangsung dengan dukungan berbagai peraturan yang

dikeluarkan oleh negara . Pemerintah sebagai alat negara

yang mengatur interaksi tingkah laku antar negara melalui

seperangkat lembaga negara dan lembaga komunitas politik

dengan masyarakat pemilik modal dalam upaya untuk

memenuhi kebutuhan pasar.

Sistem yang dibentuk , ditetapkan dan dijalankan oleh

pemerintah dalam pengelolaan sumberdaya alam secara

teknologi dengan memberi keuntungan sebanyak-banyaknya

pada negara. Hal ini mendorong negara untuk

mengedepankan model-model pengelolaan negara secara

homogen.

Pengelolaan secara homogen serta mengkonsentrasikan

keputusan di tangan pemerintah pusat, mengakibatkan

kehidupan masyarakat pesisir semakin marjinal dan ancaman

lingkungan berupa degradasi sumberdaya alam. Tekanan

terhadap sumberdaya pesisir sering diperberat oleh tingginya

angka kemiskinan . Kemiskinan sering pula menjadi lingkaran

dimana penduduk yang miskin sering menjadi sebab rusaknya

lingkungan pesisir, namun penduduk miskin pula yang akan

menanggung dampak dari kerusakan lingkungan.

Masyarakat pesisir pada umumnya bekerja sebagai nelayan

yang memakai peralatan tradisional sehingga hasil tangkapan

juga sedikit. Dengan kondisi pendapatan penduduk pesisir

yang masih dibawah garis kemiskinan tersebut, tidaklah

mengherankan jika praktek perikanan yang merusak masih

sering terjadi diwilayah pesisir. Pendapatan mereka dari

2

Page 3: Sistem Hukum Adat Di Wilayah Pesisir

kegiatan pengeboman dan penangkapan ikan karang dengan

cyanide masih jauh lebih besar dari pendapatan mereka

sebagai nelayan.

Hal-hal yang dapat menyebabkan kerusakan ekosistem antara

lain :

- over eksploitasi;

- penangkapan tidak ramah lingkungan;

- degradasi fisik habitat;

- pencemaran;

- perubahan iklim global dan bencana alam.

Beberapa negara lain posisi negara yang mengakomodasikan

peran masyarakat mendorong munculnya tuntutan otonomi

pemerintahan yaitu otonomi dalam pengelolaan sumberdaya

alam wilayah dan hukum adat masyarakat setempat untuk

meningkatkan kepentingan mereka dalam pencapaian

tingkat kesejahteraan yang signifikan.

Hukum adat masyarakat setempat turut diberlakukan dengan

bijak oleh pemerintah untuk menghindari konflik-konflik

antara hukum negara dan hukum adat dalam mencapai

kepentingan negara dan masyarakat adat.

Pemerintah Indonesia juga memberlakukan hal demikian di

beberapa propinsi. Propinsi dapat mengedepankan model-

model pengelolaan sumberdaya alam yang homogen yang

berlaku di wilayah propinsi .Jika hal ini diberlakukan di tingkat

kabupaten/kota akan melakukannya sampai tingkat desa.

Persoalan akan timbul di tingkat desa atau kecamatan dalam

lingkungan heterogen.

Dengan diberlakukannya Undang-Undang Otonomi Daerah

dalam pengelolaan sumberdaya alam akan memberi

3

Page 4: Sistem Hukum Adat Di Wilayah Pesisir

konsekuensi keberlanjutan terhadap keamanan sosial,

pengurangan kemiskinan, isu-isu gender dan keberlanjutan

pengelolaan sumberdaya oleh masyarakat di tingkat desa

atau satu kecamatan .

Setiap daerah mempunyai kewenangan mengelola dan

mengembangkan kegiatan didaerahnya sesuai kemampuan

prakarsa masing-masing daerah berdasarkan potensi yang

ada. Dalam pelaksanaannya akan muncul berbagai konflik

yang pada akhirnya merugikan sumberdaya laut dan

perikanan, sehingga perlu penyadaran kepada segenap

pelaku.

Dengan adanya otonomi daerah memberikan substansi

desentralisasi yaitu : sebuah proses sistematis yang memberi

pesan kepada masyarakat sebagai pelaku penting untuk

berpartisipasi dalam menerima manfaat pembangunan.

Untuk melindungi sumberdaya alam dan meningkatkan taraf

hidup masyarakat pesisir adalah dengan melibatkan

masyarakat lokal dalam mengelola sumberdaya alam . Dasar

pengelolaan sumberdaya alam khususnya sektor perikanan

dengan meningkatkan kemampuan dalam melakukan

ekonomi pasar dan kesadaran lingkungan masyarakat lokal.

Penanaman kesadaran masyarakat dapat dilakukan dengan

meningkatkan pendidikan, pelatihan, dinamika kelompok,

spanduk,poster dan pemutaran film.

Dengan melibatkan masyarakat dalam pengelolaan daerah

pesisir akan meningkatkan pengawasan dan pemanfaatan

sumber daya alam dari tindakan eksploitasi daerah pesisir.

4

Page 5: Sistem Hukum Adat Di Wilayah Pesisir

Beberapa propinsi masih memberlakukan aturan –aturan adat

atau kebiasaan yang berlangsung secara turun-temurun .

Hukum adat dan kebiasaan telah menjadi akar budaya yang

kuat dan biasanya tergabung dalam kepercayaannya. Hukum

adat masih berlaku dalam batas-batas tertentu sampai saat

ini. Selain masyarakat adat, dijumpai juga kelompok-kelompok

masyarakat yang berasal dari bagian lain wilayah Indonesia.

Mereka hidup disekitar masyarakat dan hukum adat setempat

disamping adanya hukum-hukum kebiasaan yang berlaku di

kalangan mereka sendiri.

Daerah perkotaan memiliki sifat heterogen. Hukum yang

berlaku di lingkungan komunitas terbatas cenderung

memperlihatkan keberlakuan hukum negara. Sedangkan

komunitas lainnya masih memberlakukan hukum adat

bersama-sama hukum negara. Dengan demikian masyarakat

masih mematuhi hukum adat, hukum negara dan hukum

Internasional yang mengatur laut yang berada di sisi-sisi luar

pulau-pulau kecil yang berbatasan dengan negara lain.

Keikutsertaan masyarakat berarti memberikan peranan

kepada masyarakat dalam mengelola laut. Peranan ini adalah

aturan-aturan yang dipatuhi oleh masyarakat itu sendiri.

Sehingga kadangkala hukum-hukum formal perikanan yang

dikeluarkan oleh pemerintah tidak sesuai dengan pikiran

masyarakat sehingga tidak dipahami. Akibatnya terjadi

kesalahpahaman dimana hukum adat dan hukum positif

berlaku bersama-sama, jarang diatur dan jarang saling

disesuaikan , hampir terus-menerus dalam keadaan tidak

laras, kadang-kadang dalam keadaan saling bertentangan

sehingga hukum-hukum itu tidak bisa dijalankan dengan baik.

5

Page 6: Sistem Hukum Adat Di Wilayah Pesisir

Perbedaan ini dapat diatasi dengan menyelaraskan hukum-

hukum non formal yang sudah ada dalam masyarakat pesisir.

Dalam kondisi ini maka kita harus mencoba identifikasi dan

inventarisasi tradisi lokal dan hukum adat yang sudah

diberlakukan secara turun-temurun sampai saat ini. Bila

memungkinkan tradisi lokal dan hukum adat tersebut

diserasikan dengan hukum positif, atau hukum positif

diserasikan dengan hukum lokal atau adat. Apakah masih

layak dan cukup efektif sebagai alat pengendali dalam

pengelolan sumberdaya kelautan dan perikanan.

Dalam situasi ini kita berharap dengan disosialisasikannya

tradisi lokal dan hukum adat tersebut kepada stakeholder

bidang kelautan dan perikanan manfaat penyelenggaraan

program kelautan dan perikanan akan semakin dirasakan oleh

berbagai pihak. Sebagai contoh kita lihat dengan dibuatnya

awig-awig oleh masyarakat di Nusa Tenggara Barat ternyata

mampu mengantisipasi kerusakan lingkungan, yakni dengan

memberlakukan pengamanan wilayah pesisir secara tegas

dan adil tanpa terkecuali bagi nelayan perusak lingkungan

maupun oleh oknum yang mendukung kegiatan pengrusakan

ini .

Beberapa daerah pesisir , hukum adat dan hak-haknya pada

tahap tertentu masih diakui secara umum dalam perangkat

kebijakan nasional. Kegiatan ini bertujuan untuk

memberdayakan masyarakat adat untuk merancang

program-program serta menyumbang pada penawaran

kebijakan-kebijakan negara melalui revitalisasi hukum

adat/tradisi lokal yang akhirnya akan mempengaruhi

pendekatan terhadap pengelolaan sumberdaya kelautan dan

perikanan dalam memahami peran institusi adat serta

6

Page 7: Sistem Hukum Adat Di Wilayah Pesisir

memperkuatnya, sebagai contoh : Propinsi Sulawesi Selatan(

Ponggawa Sawi), Propinsi Maluku( Tradisi Sasi), Propinsi Sumatera Selatan

(Lebak Lebung), Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (Panglima Laot),

Propinsi Nusa Tenggara Barat ( Awig-Awig) dan Propinsi Papua

(Ondoafi).

Kebijakan-kebijakan tersebut menekankan keseragaman

institusi diseluruh daerah yang diterapkan dalam beberapa

dasawarsa terakhir ini ternyata berdampak tradisi lokal,

masyarakat adat serta praktek-praktek pengelolaan

sumberdaya alam.

Desentralisasi dengan jelas menyuarakan kesempatan besar

pada masyarakat dan lembaga adat sehingga diharapkan

persatuan nasional dapat diperkuat dengan meningkatkan

kapasitas berbagai komponen masyarakat adat dalam

mengelola ekonomi masyarakat.

Dalam hal ini masih diperlukan langkah-langkah untuk

merumuskan suatu kebijakan nasional dan menciptakan

beberapa cara bagi koordinasi pemerintah dalam berbagai

tingkat.

Dengan mempermuda kembali anasir-anasir yang kuat dari

kebudayaan Indonesia, maka Indonesia akan mampu

memperkokoh kedudukannya ke dalam, dan akan mampu

memberikan sumbangan yang positif kepada perdamaian

dunia,keadilan sosial dan kemerdekaan dalam dunia

internasional.

Bila di negara-negara lain dicapai kesepakatan antara

masyarakat adat untuk memberlakukan proses pencapaian

kepentingan bersama yang menggunakan hukum negara ,

dan pada saat yang bersamaan menggunakan hukum adat

7

Page 8: Sistem Hukum Adat Di Wilayah Pesisir

masyarakat setempat, yang hasilnya menghilangkan konflik

kepentingan diantara para pihak. Apakah hal ini dapat kita

terapkan di Indonesia ?

BAB II

METODE PENELITIAN

Pelaksanaan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan

di daerah sangat ditentukan oleh karakteristik sosial, ekonomi

dan budaya setempat, sehingga model yang harus diterapkan

untuk masing-masing daerah memiliki spesifikasi tertentu.

Begitupun dengan kegiatan penyerasian Hukum Adat/Tradisi

Lokal melalui Sinergi dengan Hukum Formal dalam

pengelolaan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (SDKP) ini,

sangat memperhatikan aspek-aspek diatas.

2.1 Spesifikasi Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat analitis ,

yaitu penelitian yang menggambarkan dan menguraikan

keadaan ataupun fakta yang ada tentang pengelolaan

sumberdaya pesisir. Kemudian gambaran umum tersebut

dianalisis dengan bertitik tolak dari perundang-undangan ,

8

Page 9: Sistem Hukum Adat Di Wilayah Pesisir

teori-teori yang ada dan pendapat para ahli yang bertujuan

untuk mencari dan mendapatkan jawaban dari pokok

masalah.

2.2. Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang dipergunakan adalah :

a. metode yuridis normatif,

metode yuridis normatif yaitu penelitian yang

menekankan pada data sekunder yakni dengan

mempelajari dan mengkaji asas-asas hukum dan kaidah-

kaidah hukum positif yang berasal dari bahan-bahan

kepustakaan yang ada dalam peraturan perundang-

undangan serta ketentuan-ketentuan terutama yang

berkaitan dengan perkembangan kegiatan pengelolaan

sumberdaya pesisir.

b. metode studi kasus

pendekatan studi kasus adalah: pendekatan untuk

mempelajari, menerangkan atau menginterprestasi

suatu kasus dalam konteks secara natural tanpa adanya

intervensi dari pihak luar (Salim,2000). Kecenderungan

utama diantara semua ragam studi kasus adalah bahwa

studi ini menyoroti suatu keputusan atau seperangkat

keputusan : mengapa keputusan ini diambil, bagaimana

diterapkan dan apakah hasilnya (Yin diacu dalam

Salim,2000). Oleh karena itu, dalam studi ini, selain

mengiventarisasi jenis/bentuk hukum adat dan tradisi

lokal yang ada, juga dilakukan studi identifikasi mengenai

akar budaya, setting sosial yang ada, serta kecemburuan

9

Page 10: Sistem Hukum Adat Di Wilayah Pesisir

perkembangan pola pikir masyarakat dan penerapan

hukum adat/tradisi lokal dan implikasinya terhadap

sistem pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan.

Berlakunya sesuatu peraturan hukum adat adalah tampak

dalam putusan(penetapan) petugas hukum,misalnya putusan

kepala desa, putusan kepala adat, putusan hakim perdamaian

desa, putusan pegawai agama, dan sebagainya masing-

masing dalam lapangan kompetensinya sendiri-sendiri. Yang

dimaksud dengan putusan dan penetapan itu, adalah :

perbuatan atau penolakan perbuatan(non-action) dari petugas

hukum dengan tujuan untuk memelihara atau menegakkan

hukum. Berhubung dengan itu penyelidikan setempat(field

research) hukum adat harus terutama ditujukan kepada

research tentang putusan-putusan petugas hukum .

Disamping itu perlu juga ditinjau sikap penduduk dalam

hidupnya sehari-hari terhadap hal-hal yang kita ingin untuk

mendapatkan keterangan dengan peyelidikan setempat.

Dengan kata lain, kita juga harus menyelidiki kenyataan

sosial (social reality).

Cara (metode) penyelidikan setempat, ialah mendekati para

pejabat desa, orang-orang tua, para cerdik pandai, orang-

orang terkemuka di daerah yang bersangkutan, dan

sebagainya. Yang perlu ditanyakan kepada mereka adalah

fakta-fakta atau kejadian-kejadian yang telah dialami atau

diketahui sendiri oleh mereka.

Dengan memakai metode ini dicapailah keterangan tentang

peraturan-peraturan yang benar-benar berlaku di dalam hidup

bersama di daerah yang diselidiki dan berdasarkan

10

Page 11: Sistem Hukum Adat Di Wilayah Pesisir

keterangan-keterangan seperti itu dapat dilukiskan hukum

adat yang hidup di daerah itu. Dalam penyelidikan hukum

adat yang menentukan bukan banyaknya jumlah perbuatan

yang terjadi tetapi seberapa banyak peraturan yang benar-

benar dirasakan oleh masyarakat sebagai hal yang memang

sudah seharusnya, maka dari fakta ini sudah dapat ditarik

kesimpulan adanya suatu norma hukum. Tempat sesuatu

norma hukum adat dapat dikatakan berlaku, maka sesuatu

norma hukum adat adalah berlaku di dalam daerah hukum

yang merupakan kesatuan sossiologis. Dari studi kasus ini,

diharapkan dapat diperoleh suatu model revitalisasi hukum

adat/tradisi okal dalam pengelolaaan sumberdaya kelautan

dan perikanan, yang dapat sebagai acuan/masukan bagi

penyususnan peraturan perimbangan formal yang dapat

diberlakukan secara lokal/regional (dalam bentuk Perda).

Selanjutnya model revitalisasi tersebut dapat direplikasi di

daerah lain, melalui penyesuaian/penyerasian dengan

budaya/tradisi lokal setempat.

2.3 Tahap Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan tahapan sebagai berikut :

2.3.1Penelitian Kepustakaan

Pengumpulan data dalam penelitian ini melaui penelusuran

peraturan perundang-undangan yang berkaitan, dokumen-

dokumen maupun literatur ilmiah dan penelitian pakar yang

berkaitan dengan objek permasalahan, bahan-bahan hukum

adat (yang tersirat).

2.3.2Penelitian Lapangan

Penelitian lapangan dilakukan guna mendapatkan data primer

sebagai pendukung data sekunder bagi analisis hasil

11

Page 12: Sistem Hukum Adat Di Wilayah Pesisir

penelitian. Penelitian lapangan ini diperlukan untuk

mendapatkan data tentang pengelolaan sumberdaya wilayah

pesisir.

BAB III

HUKUM ADAT TRADISIONAL SEBAGAI PRANATA PENGELOLAAN SUMBERDAYA WILAYAH PESISIR

Untuk melibatkan langsung sistem tradisional dalam

pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya kelautan dan

perikanan diwilayah pesisir merupakan suatu bentuk

pelibatan dan pengalokasian kewenangan dan tanggung

jawab masyarakat pesisir. Keterlibatan masyarakat pesisir

dalam wewenang dan tanggung jawab ini bukan tanpa alasan,

hal ini berdasarkan tingginya biaya operasional dan

manajemen jika terus berada dibawah pemerintahan pusat.

Pemerintah menyadari keterbatasan ini sehingga efektifitas

pengelolaan berada ditangan penggunanya sendiri, dalam hal

ini masyarakat pesisir. Masyarakat pesisir juga bukan mampu

12

Page 13: Sistem Hukum Adat Di Wilayah Pesisir

secara totalitas mengelolanya tanpa bantuan dari pemerintah

atau instansi terkait lainnya.

Melibatkan masyarakat sekitar sebagai subyek dalam

mengelola, memberdayakan dan menjaga kelestarian

sumberdaya kelautan dan perikanan dimasa sekaranag dan

yang akan datang. Sehingga diharapkan mampu

memanfaatkan dan mengelola sumberdaya kelautan dan

perikanan tersebut untuk menunjang pembangunan ekonomi

secara berkelanjutan dan mampu bersaing ditingkat

internasional.

Masyarakat pedesaan umumnya masih memberlakukan

hukum adat ataupun hukum kebiasaan mereka sebagai suatu

peraturan yang mengatur perilaku dalam hubungan dengan

orang lain, baik terhadap pribadi, keluarga, kelompok,

lingkungan alam dan dunia luar lingkungan mereka sendiri .

Hukum adat adalah hukum non-statutair yang sebagian besar

adalah hukum kebiasaan dan sebagaian kecil hukum Islam.

Hukum adat itupun mencakup hukum yang berdasarkan

keputusan-keputusan hakim yang berisi asas-asas hukum

dalam lingkungan ,dimana ia memutuskan perkara. Hukum

adat berakar pada kebudayaan tradisional. Hukum adat

adalah suatu hukum yang nyata dari rakyat. Sesuai dengan

fitrahnya sendiri, hukum adat terus-menerus dalam keadaan

tumbuh dan berkembang seperti hidup itu sendiri.

Adat atau kebiasaan ini merupakan lembaga tradisional .

Lembaga tradisional adalah lembaga yang sudah lama berdiri

dan terbukti teruji dengan keberadaan masyarakat

pendukungnya sejak zaman dahulu kala hingga kini. Karena

13

Page 14: Sistem Hukum Adat Di Wilayah Pesisir

lembaga tradisional selalu berkaitan dengan nilai-nilai adat

yang dianut suatu masyarakat maka disebut sebagai lembaga

adat. Seringkali lembaga tradisional ini dipandang sebagai

lembaga informal, karena tidak ada prasyarat formal baik

berupa organisasi maupun organisasi pendukungnya.

Sesungguhnya, nasionalisme yang sehat dan bersifat

membangun harus bergandengan tangan dengan

internasionalisme yang sehat pula; ini berarti bahwa tata

tertib sosial baru dibentuk dengan mencantumkan dengan

tepat warisan kebudayaan pada proses modernisasi.

Contoh dua lembaga tradisional seperti panglima laot di

Nangroe Aceh Darusallam(NAD) dan lembaga sasi di

kepulauan Kei Maluku Tenggara. Keduanya merupakan

lembaga tradisional yang telah terbentuk sejak ratusan tahun

yang lampau. Namun dengan dikeluarkannya Qanun (Perda)

Nomor 3 Tahun 2004 oleh Gubernur NAD, maka setidaknya

pada tingkat propinsi lembaga tradisional panglima laot yang

sesuai dengan adat istiadat Aceh dapat pula digolongkan

sebagai lembaga tradisional yang formal.

Dua propinsi yang memiliki tradisi kebaharian yang cukup

kental adalah propinsi NAD dan Riau. Secara historis dari dua

wilayah propinsi ini lahir kerajaan-kerajaan Islam maritim

yang berbeda dengan kerajaan Islam agraris yang tumbuh di

Pulau Jawa. Kerajaan Samudra Passai di Aceh yang telah

melahirkan perjuangan heroik laksamana Malahayati dalam

melawan penjajahan. Pada masa Sultan Iskandar Muda mulai

diperkenalkan pengelolaan hukum laut yang hingga kini masih

dijalankan dan dipatuhi masyarakat. K

Kehidupan mereka bersama dengan hukum adat ataupun

hukum kebiasaan berlangsung tanpa campur tangan dari

14

Page 15: Sistem Hukum Adat Di Wilayah Pesisir

lembaga negara. Hukum adat tidak saja merupakan realita

sosial tetapi juga memiliki ketertiban , kerangka maupun

nilai-nilai dasar sendiri.

Di dalam hukum adat terdapat keragaman pengetahuan,

tradisi dan nilai- nilai masyarakat asli. Kehadiran hukum adat

dan hukum kebiasaan di tengah-tengah hukum negara, jika

dilihat dari kompleksitas hukum, baik dari hukum negara

maupun bukan hukum negara.

Pembahasan hukum adat di dalam sistem hukum nasional

ditujukan untuk menciptakan pemahaman dan pengertian

yang lebih besar terhadap keragaman yang berasal dari

hukum negara dan bukan hukum negara seperti hukum adat

maupun hukum kebiasaan, yang mengatur tertib hukum di

dalam masyarakat. Di Nangroe Aceh Darusalam, hukum

agama menjadi dasar utama bagi hukum adat, bahkan

terhadap hukum negara.

Mempelajari hukum adat atau kebiasaan tidak hanya

mempelajari ketentuan normatifnya tetapi juga mempelajari

perilaku masyarakat maupun kondisi yang mendorong

terjadinya hukum adat atau hukum kebiasaan tertentu.

Perubahan kondisi akan mempengaruhi perilaku masyarakat,

baik secara individual maupun secara kelompok. Hukum

dikalangan mereka juga dapat berubah.

Hukum adat merupakan suatu sistem pengendali sosial yang

muncul dalam kehidupan masyarakat pada suatu negara yang

tidak diatur secara politis. Ketertiban sosial dalam

masyarakat tersebut diatur dan dijaga oleh tradisi-tradisi yang

ditaati oleh warga masyarakat secara otomatis-spontan.

15

Page 16: Sistem Hukum Adat Di Wilayah Pesisir

Hukum ditaati bukan karena adanya tradisi ketaatan yang

bersifat otomatis-spontan, tetapi karena sistem timbal-balik

dan prinsip publisitas.

Sistem pertukaran sosial yang berkembang dalam masyarakat

menjadi pengikat sosial dan daya dinamis yang

menggerakkan :

kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat melalui prinsip

timbal-balik dalam bentuk pertukaran benda dan tenaga;

hubungan-hubungan ekonomi, pertukaran jasa antar kerabat;

sistem pertukaran mas kawin; dan hubungan antar kelompok

dalam bentuk upacara-upacara yang berlangsung dalam

kehidupan bersama.

Apabila hukum diberi pengertian sempit, hanya sebagai

sistem pengendali sosial yang diciptakan oleh lembaga

legislatif dan diterapkan oleh aparat penegak hukum seperti

polisi, pengadilan atau jaksa maka hukum pada masyarakat

sederhana yang tidak terorganisasi sebagai tidak memiliki

hukum. Tetapi, kalau hukum diberi pengertian yang luas

sebagai proses pengendali sosial yang secara empiris

berlangsung dalam masyarakat, maka semua bentuk yang

sangat sederhana memiliki hukum dalam bentuk mekanisme

yang diciptakan untuk menjaga keteraturan sosial sebagai

sarana pengendali sosial.

Pengertian hukum harus dibedakan dengan tradisi (tradition)

atau kebiasaan (custom), atau lebih spesifik norma hukum

mempunyai pengertian yang berbeda dengan kebiasaan.

Norma hukum adalah peraturan hukum yang mencerminkan

tingkah laku yang seharusnya dilakukan dalam hubungan

antar individu. Sedangkan kebiasaan merupakan

16

Page 17: Sistem Hukum Adat Di Wilayah Pesisir

seperangkat norma yang diwujudkan dalam tingkah laku dan

berlangsung dalam kurun waktu yang lama.

Kadangkala kebiasaan bisa sama dan sesuai dengan

peraturan hukum tetapi bisa juga berbeda. Ini berarti,

peraturan hukum dan kebiasaan adalah dua institusi yang

sama-sama terwujud dalam bentuk norma-norma yang

mengatur perilaku masyarakat dalam hubungan individu, dan

juga sama-sama sebagai sarana pengendali sosial dalam

kehidupan masyarakat.

Masyarakat pesisir sendiri, sistem tradisional sudah lama

dikenali dan digunakan sebagai alat pemanfaatan dan

pengelolaan sumberdaya pesisir dan daratan walaupun

sifatnya lokalitas semata jika tolak ukurnya adalah

pemanfaatan dan pengelolaannya.

Sistem tradisional yang berhubungan dengan pemenuhan

kebutuhan dasar (sandang dan pangan) kebanyakan lahir dari

persepakatan aturan norma hubungan sosial dan ekonomi

yang statusnya belum banyak terlegitimasi akibat minimnya

analisis keefektifan sistem tradisional itu sendiri.

Beberapa sistem tradisional masih banyak yang bertahan dan

dipraktekkan oleh sekelompok masyarakat dalam pengelolaan

sumberdaya kelautan dan perikanan, tetapi ada juga yang

sudah hilang akibat lemahnya kedudukan mereka. Kegagalan

pengelolaan sumberdaya pesisir dan kelautan yang berpusat

pada pemerintah terutama negara berkembang menjadi

suatu pelajaran yang berharga untuk mengaktifkan sistem

tradisional.

17

Page 18: Sistem Hukum Adat Di Wilayah Pesisir

Penguatan sistem tradisional akan mempercepat tercapainya

pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya pesisir karena

banyak dibentuk dan dijalankan oleh masyarakat pesisir, dan

yang terpenting proses pemberdayaan tangggung jawab

pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya sehingga akan

terbentuk suatu tanggung jawab bersama.

Keperluan untuk membina tata negara Indonesia berdasarkan

kebangsaaan, kemanusiaan atau internasionalisme,

demokrasi dan keadilan sosial memberi tugas kepada para

pemimpin nasional Indonesia untuk menemukan kembali

tradisi kebudayaan dan pula nilai-nilai yang berlaku pada

organisasi masyarakat di lapangan rakyat jelata.

Persekutuan-persekutuan adat harus menjaga pemeliharaan

kesejahteraan umum, sebagaimana yang telah ditentukan

oleh Undang-Undang Dasar. Modernisasi persekutuan-

persekutuan ini tidak bisa dielakkan, akan tetapi modernisasi

ini harus selaras dengan institut-institiut rakyat Indonesia.

Sistem tradisional sebagai pranata sosial ekonomi menjadi

fokus pada penulisan ini adalah : Propinsi Nusa Tenggara

Barat (Awig-Awig), Propinsi Sulawesi Selatan (Ponggawa-Sawi)

dan Propinsi Maluku (Tradisi Sasi).

Hambatan untuk membahas sistem tradisional adalah tidak

mudahnya ditemukan bahan yang telah terdokumentasi dan

kebanyakan hanya berdasarkan pada analisis perilaku sistem

sosial ekonomi masyarakat, namun diyakini dalam

masyarakat tersebut. Sistem ini sendiri sudah menjadi norma

hubungan sosial dan ekonomi mereka sendiri-sendiri.

18

Page 19: Sistem Hukum Adat Di Wilayah Pesisir

Untuk mengetahui keterlibatan langsung sistem tradisional

dalam rangka kebijakan pembangunan sumberdaya kelautan

dan perikanan harus dimulai dengan menganalisa dinamika

sistem tradisional itu sendiri, efektifitas, termasuk muatan

norma hubungan sosial yang memungkinkan untuk

menjadikan unsur penyelarasan di dalam Undang-Undang

Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Otonomi Daerah Pengelolaan

Sumberdaya Pesisir.

3.1 SISTEM TRADISIONAL PONGGAWA-SAWI (PROPINSI

SULAWESI SELATAN)

3.1.1 Sejarah Terbentuknya Ponggawa- Sawi

Kedudukan seseorang didalam masyarakat adat biasanya

tergantung dari tingkat derajat etnis, hal seperti ini juga

19

Page 20: Sistem Hukum Adat Di Wilayah Pesisir

berlaku di wilayah pesisir Sulawesi Selatan. Tingkatan ini

berlaku juga dalam penguasaan sumberdaya alam di

wilayahnya. Kelompok minoritas umumnya mengusahakan

sumberdaya yang belum atau menjadi perhatian etnis

dominan.

Di Sulawesi Selatan, ada tiga kelompok etnis dominan yaitu :

Bugis, Makasar dan Mandar, sedangkan etnis minoritas

seperti Tana Toraja hanya mengusahakan pemanfaatan

wilayah daratan atau pegunungan akibat kondisi geografisnya

yang tidak mempunyai laut. Walau demikian tidak semua

etnis Bugis mempunyai wilayah laut, seperti Sidenreng

Rappang dan Soppeng. Mereka memperoleh kebutuhan hidup

sama seperti etnis Tana Toraja.

Ikatan kekerabatan antar anggota masyarakat pesisir tidak

terlepas dari sejarah revolusi fisik masa lalu dimana

pengelompokan orang berdasarkan asal etnis dilakukan untuk

mempertahankan wilayahnya yang kemudian merambah

kepada hal pemenuhan kebutuhan dasar. Dalam kondisi

demikian terjadi selektivitas orang yang dapat memimpin

kelompoknya, termasuk akses perolehan sumberdaya alam di

sekitarnya. Pada awalnya yang menjadi pusat perhatian

adalah wilayah laut karena mereka beranggapan bahwa laut

adalah kehidupan mereka yang tidak dapat dipisahkan.

Anggapan ini akhirnya menimbulkan sejarah bahwa

masyarakat pesisir Sulawesi Selatan adalah masyarakat

bahari.(Mattulada, 1995).

Dalam sejarah, Ponggawa atau punggawa dapat diartikan

sebagai pemimpin bagi suatu etnis tertentu. Kewenangan dari

Ponggawa ini bersifat lokal, sehingga para pengikutnya(Sawi)

sangat menggantungkan harapannya kepada Ponggawanya.

20

Page 21: Sistem Hukum Adat Di Wilayah Pesisir

Hubungan ini timbul sedikit banyak tergantung dari perang

fisik masa lalu, saat itu kelompok etnis tertentu mencari

seseorang yang dapat menjadi pemimpin perlindungan

mereka. Perlindungan terus berlanjut dari perlindungan fisik

sampai perlindungan sumberdaya sekitarnya sebagai sumber

hidup. Akibatnya timbul suatu kepatuhan norma dan

hubungan yang mengikat secara sosial demi kelangsungan

hidup mereka. Pengikut( dalam bahasa Makassar disebut

sebagai minawang, atau dalam bahasa Bugis disebut sebagai

ata) dinormakan sebagai kepatuhan untuk memenuhi

petunjuk atau perintah yang diberikan oleh Ponggawa.

Norma hubungan ini tidak hanya berlaku untuk sawi sendiri

dalam bentuk kepatuhan dan loyalitas, tapi bagi

ponggawanya sendiri ada ikatan moral bagaimana cara

mensejahterakan sawinya. Tingkat kesejahteran ini justru

menjadi tolak ukur efektifitas hubungan norma sosial dan

seberapa jauh suatu etnis dapat menjamin sumber hidup

anggotanya dibandingkan etnis lainnya.

3.2 SISTEM TRADISIONAL AWIG-AWIG (NUSA TENGGARA BARAT)

Pengelolaan yang dikembangkan pada sektor kelautan dan

perikanan di Indonesia saat ini berdasarkan pengelolaan

partisipatif. Pengelolaan sumberdaya perikanan secara

21

Page 22: Sistem Hukum Adat Di Wilayah Pesisir

partisipatif ini telah dicoba di Nusa Tenggara Barat khususnya

di Pulau Lombok dengan menggunakan awig-awig. Terlepas

dari kontroversi tentang kurangnya efektifitas pengelolaan

partisipatif dengan awig-awig, pengembangan awig-awig

dalam pengelolaan sumberdaya perikanan merupakan potensi

yang perlu dikembangkan. Tetapi dalam pelaksanaanya, kita

perlu melihat dukungan sosial budaya yang ada di kawasan

pengelolaan.

Awig-awig merupakan budaya yang diperkenalkan oleh

masyarakat Bali ke Lombok. Dalam kehidupan berbanjar,

masyarakat Bali mempunyai keterikatan dalam berperilaku

yang dirumuskan sebagai awig-awig, yaitu hukum adat yang

biasanya (awalnya) tidak tertulis, yang harus dipatuhi oleh

seluruh anggota banjar.

Pelanggaran terhadap aturan banjar tersebut akan menerima

sanksi dari banjar yang biasanya berupa sanksi sosial.

Kehidupan berbanjar juga dikenal dalam masyarakat Sasak

(Lombok), termasuk didalamnya awig-awig yang mengatur

perilaku para anggota banjar. Awig-awig tradisional tersebut

juga ada dijumpai di kawasan pesisir yang banyak dihuni oleh

kaum pendatang(Bugis).

Awig-awig tradisional dalam pengelolaan sumberdaya

perikanan merupakan sesuatu yang relatif baru, sekitar

dekade 80-an. Walaupun ada awig-awig yang lebih tua dan

bermanfaat dalam pengelolaan sumberdaya perikanan,

biasanya hal itu terjadi secara tidak langsung, atau bahkan

tidak sengaja. Ada waktu tertentu orang sekitar laut dilarang

melaut, ini berlaku bagi awig-awig di Tanjung Luar. Hal ini

sangat bermanfaat untuk sedikit mengurangi tekanan

eksploitasi terhadap sumberdaya perikanan pantai. Tetapi hal

22

Page 23: Sistem Hukum Adat Di Wilayah Pesisir

ini diragukan, apakah memang awig-awig dimaksudkan untuk

tujuan demikian.

Penggunaan awig-awig yang ditujukan untuk pengelolaan

sumberdaya perikanan dapat dijumpai di Kecamatan Tanjung,

Lombok Barat, dan Kecamatan Keruak, Lombok Timur. Di

kedua lokasi tersebut, awig-awig yang dibuat tidak bisa lagi

dikatakan tradisional. Bahkan sebagian merupakan awig-

awig” pesanan “ proyek pemerintah.

3.3 SISTEM TRADISIONAL SASI ( PROPINSI MALUKU)

3.3.1Pengertian dan Sejarah Mulainya Sasi

Sistem pengelolaan berbasis masyarakat sasi umum

ditemukan di Kepulauan Maluku Tengah dan Tenggara.

Kata sasi berasal dari bahasa Melayu Makasar berarti ‘

menyaksikan’ atau ‘tanda larangan’. Di pulau-pulau Maluku

men-sasi berarti menempatkan larangan pada panen,

menangkap, atau mencuri sumberdaya ekonomi atau nilai

subsisten milik masyarakat. Mempertunjukkan suatu

upacara sasi atau melaksanakan sasi berarti bahwa akses ke

area khusus(kebun,sekumpulan pertanian, atau area

penangkapan ikan) dibatasi sampai adanya pemberitahuan

23

Page 24: Sistem Hukum Adat Di Wilayah Pesisir

selanjutnya. Tindakan menetapkan suatu area dalam sasi

disertai dengan pemasangan tanda larangan (salele).

Men-sasi pohon mangga misalnya, biasanya dilakukan

dengan mengalungi pohon mangga tersebut dengan daun

sagu sebagai tanda larangan. Bagi penduduk lokal, tanda ini

dengan segera dapat dibaca sebagai larangan memetik

buah mangga: bahwa objek tersebut secara eksklusif telah

termiliki secara individual atau komunal oleh pihak-pihak

lain. Pemberian tanda yang dilakukan oleh kewang

dimaksudkan sebagai sarana komunikasi kontinyu antar

proses berlangsungnya sasi dengan pemberitahuan kepada

anggota masyarakat.

.

24

Page 25: Sistem Hukum Adat Di Wilayah Pesisir

25