sistem gotong royong dalam masyarakat pedesaan … · yusuf tayar (1993: 2) menyatakan bahwa...
TRANSCRIPT
SISTEM GOTONG ROYONG DALAM MASYARAKAT PEDESAAN
DAERAH LAMPUNG
MAKALAH
Untuk Memenuhi Tugas
Matakuliah Strategi dan Pengembangan Bahan Pembelajaran Sejarah
yang Dibina Oleh Dr. Leo Agung S, M. Pd
Oleh:
Andika Dian Ifti Utami
NIM. S861608025
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
2016
KATA PENGANTAR
Assallamuallaikum.wr.wb
Alhamdulillah, puji syukur saya ucapkan trimakasih atas kehadirat Allah
SWT, yang telah memberikan rahmat serta hidayah-Nya, sehingga saya dapat
menyelesaikan tugas dengan judul “Sistem Gotong Royong Dalam Masyarakat
Pedesaan Daerah Lampung” dengan tepat waktu.
Dalam menyusun makalah tersebut, saya mengucapkan terimakasih kepada:
1. Dr. Leo Agung S, M. Pd yang telah memberi pengarahan sehingga termotivasi
dan dapat menyelesaikan tugas dengan baik.
2. Orang tua yang telah memberi motivasi sehingga tugas dapat selesai dengan
baik.
Saya menyadari bahwa penyusun makalah tersebut masih terdapat
kekurangan, Saya mengharapkan kritik dan saran yang berupa membangun
sehingga dapat memperbaiki penyusunan makalah selanjutnya. Saya berharap
semoga makalah tersebut bermanfaat dan dapat dikembangkan menjadi buku
sebagai bahan literatur dalam proses belajar dan mengajar.
Wassallamuallaikum.wr.wb
Surakarta, 6 November 2016
Penulis,
ANDIKA DIAN IFTI UTAMI
NIM. S861608025
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i
KATA PENGANTAR .................................................................................... ii
DAFTAR ISI ................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ........................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ...................................................................................... 2
C. Tujuan Penulisan ........................................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Profil Provinsi Lampung ............................................................................ 3
B. Konsep Sosial Budaya ............................................................................... 4
C. Konsep Masyarakat .................................................................................... 6
D. Sistem Kekerabatan Orang Lampung ........................................................ 8
E. Sistem Gotong Royong Masyarakat Pedesaan Lampung .......................... 10
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan .............................................................................................. 14
B. Saran ........................................................................................................ 14
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 15
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Budaya atau kebudayaan sebagai hasil dari cipta, rasa dan karsa manusia
memiliki peranan penting dalam kehidupan manusia. Kebudayaan yang
diciptakan oleh manusia memiliki nilai-nilai etik yang bersifat universal.
Budaya yang memiliki nilai etik dapat menjaga, mempertahankan bahkan
mampu meningkatkan harkat dan martabat manusia itu sendiri. Nilai etik dalam
kehidupan sosial budaya mengandung tuntutan atau keharusan suatu
masyarakat yang saling berinteraksi sehingga dapat menjadi ciri
masyarakatnya.
Sosial budaya di Indonesia memiliki beraneka ragam budaya daerah
yang menjadi khasanah budaya bangsa. Masing-masing daerah memiliki ciri
khas tersendiri mewakili setiap daerahnya. Begitu juga masyarakat pedesaan
lampung yang tidak dapat dipisahkan dari kegiatan gotong royong atau tolong
menolong.
Myrda (1990:180) menyatakan sebagai berikut:
Masyarakat adalah sekelompok manusia yang anggotanya satu sama
lain berhubungan erat dan memiliki hubungan timbal balik. Di dalam
interaksi terdapat nilai-nilai sosial tertentu yang menjadi pedoman untuk
bertingkah laku sebagai anggota masyarakat dan biasanya memiliki
kebiasaan, tradisi, sikap dan perasaan yang sama untuk mencipkatan ciri
bagi masyarakat tersebut.
Berdasarkan sejarahnya, masyarakat Lampung dibagi kedalam
kelompok orang gunung, orang abung dan orang yang tinggala di dataran
rendah. Orang abung adalah penduduk asli Lampung, sementara pablan atau
orang yang tinggal di dataran rendah adalah campuran orang abung dan orang
sunda dari pulau Jawa. Desa-desa di Lampung didirikan di atas tepian sungai
dan terkadang saling berjauhan. Rumah (nua) berkumpul disekeliling rumah
komunal (rumah sesat). Kelompok kekerabatan terdiri dari ayah, ibu dan anak-
anak yang belum menikah. Mereka tinggal dalam satu rumah yang disebut
dengan manyamak.
1
Gotong royong oleh masyarakat Lampung merupakan Pengejawantahan
dari nilai-nilai budaya yang bersumber dari kebudayaan-kebudayaan
masyarakat Lampung. Nilai-nilai budaya yang hidup pada suatu masyarakat
tercermin dalam pandangan hidup dari masyarakat tersebut.
Yusuf Tayar (1993: 2) menyatakan bahwa prinsip-prinsip masyarakat
etnis Lampung yaitu:
1. Pi’il pesenggiri (menjaga harga diri)
2. Sakai Sembayan (tolong menolong)
3. Nemui Nyimah (murah hati/ terbuka tangan)
4. Nengah Nyappur (hidup bermasyarakat/suka bergaul)
5. Bejuluk Beadek (punya gelar adat)
Berdasarkan prinsip masyarakat tersebut, dapat dinyatakan bahwa
gotong royong merupakan penjelmaan dari pandangan hidup dan pandangan
hidup tersebut yang menjiwai keikutsertaan anggota masyarakat dalam berbagai
kegiatan, baik untuk kepentingan perorangan maupun untuk kepentingan
umum. Kerukunan merupakan genus sedangkan gotong royong merupakan
spesies dalam bentuk interaksi tradisional.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimankah penduduk pedesaan Lampung?
2. Bagaimanakah sistem kekerabatan orang Lampung?
3. Bagaimanakah sistem gotong royong masyarakat pedesaan lampung?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui keadaan penduduk Lampung.
2. Untuk mengetahui sistem kekerabatan orang Lampung.
3. Untuk mengetahui sistem gotong royong masyarakat pedesaan lampung.
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Profil Provinsi Lampung
Gondong Anhar (1993: 1) menyatakan bahwa Provinsi Lampung
terletak diujung selatan pulau Sumatera dengan batas administratif sebelah
Utara dengan Provinsi Sumatera Selatan, sebelah Timur dengan laut Jawa,
sebelah Selatan Tenggara dengan Selat Sunda dan sebelah Barat berbatasan
dengan Samudra Indonesia.
Secara geografis Provinsi Lampung terletak pada 4º00-6º00 Lintas
Selatan dan 103º30-106º00 Bujur Timur dengan luas wilayah 35.376.50 km2.
Yang terbagi menjadi empat daerah tingkat dua dan 76 Kecamatan. Secara rinci
luas masing-masing daerah tingkat II adalah sebagai berikut: daerah tingkat II
Lampung Utara 19.369.50 km2. Daerah tingkat II Lampung Tengah 9.189.50
km2. Daerah Lampung Selatan 67.765.88 km2 dan Tanjung Karang-Teluk
Betung 52.62 km2. Jumlah 35.376.50 km2.
Topografi daerah Lampung dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu:
sebelah Barat Bukit Barisan antara 2500.3000 mm/tahun dan bagian Utara
curah hujannya antara 2500 mm/tahun.
Penduduk Provinsi Lampung terdiri atas berbagai macam suku bangsa
seperti suku Jawa, Sunda, Bali, Minangkabau, Batak Semendo, Ogan, Bugis,
Banjar dan Maluku. Keragaman penduduk Lampung ditunjukkan pada lambang
Provinsi Lampung yang pada bagian bawahnya terdapat tulisan Sang Bumi Rua
Jurai artinya penduduk lampung terdiri atas dua macam asal yaitu penduduk asli
suku Lampung dan penduduk yang berasal dari daerah lain. Nenek moyang
suku Lampung berasal dari Sekala Berak di Bukit Pesagi Kecamatan Balik
Bukit Kabupaten Lampung Utara. Sekala Berak tersebut menyebrang melalui
jalur sebelah Utara memasuki daerah Kecamatan Martapura Kabupaten Ogan
dan Komering Ulu Propinsi Sumatera Selatan terus menyebar ke Selatan dan
melalui jalan Pesisir menyusur pantai Barat kearah Selatan memasuki Teluk
3
Semangka Kecamatan Kota Aguung dan Cukubalak. Terus kearah pantai Teluk
Lampung sampai ke daerah Kalianda dan Labuhan Meringgai.
B. Konsep Sosial Budaya
Manusia sangat erat kaitanya dengan sosial budaya. Sosial budaya
diibaratkan suatu ciri khas dari manusia dalam suatu wilayah tersebut.
Kelompok sosial budaya dalam lingkungan hidup masyarakat biasanya
memiliki berbagai bentuk, cara hidup serta tujuan tertentu. Kehidupan
masyarakat terdiri dari berbagai aspek yang antara aspek satu dengan aspek
yang lainnya terdapat keterkaitan dan saling mendukung serta melengkapi.
Namun ada aspek yang penting dibandingkan dengan aspek yang lainnya yaitu
aspek sosial budaya.
Julianto (2009:16) menarik kesimpulan sebagai berikut:
Sosial budaya merupakan proses asimilasi yaitu proses perubahan
budaya antara dua masyarakat atau lebih secara perlahan dan sama
sekali perubahan budaya bisa terjadi hanya pada satu pihak saja atau
pada kedua belah pihak. Beberapa banyak yang ditiru dan apa yang
diambil dari kebudayaan pihak lain kedalam sendiri dan memang tidak
diketahui unsur yang mana karena kontak itu terjadi secara komunal
atau individual.
Berdasarkan uraian tersebut maka dapat dijelaskan bahwa sosial
budaya dalam suatu daerah dapat hidup saling berinteraksi satu sama lain yang
dilihat dari unsur-unsur kebudayaan yang ada. Sosial budaya dapat dijadikan
penyebab atau akibat faktor-faktor ekonomi desa atau daerah sehingga
menyebabkan minimnya nilai sosial seperti adat, pendidikan dan lembaga desa
yang merupakan penghambat kemajuan desa serta kondisi sosial budaya dapat
menjadi ciri sosial masyarakatnya.
Muhammad (2008:43) menarik kesimpulan sebagai berikut:
Dalam Kehidupan sosial budaya dapat dirinci 4 unsur utama yaitu:
1. Lingkungan sosial budaya adalah sejumlah manusia yang hidup
berkelompok dan saling berinteraksi secara teratur guna
memenuhi kepentingan bersama. lingkungan sosial budaya
tersebut menyangkut kesatuan geografi meliputi komunitas desa.
2. Bentuk sosial budaya artinya setiap kelompok sosial budaya
mempunyai batas-batas yang telah ditentukan berdasarkan tipe
kelompok yang membedakanya dengan kelompok yang lain.
4
3. Cara hidup sosial budaya artinya sikap, perbuatan dan tujuan, serta
cara pencapaianya sudah dipolakan oleh organisasi kelompok
dalam seperangkat tuntunan atau pedoman tertulis yang disebut
anggaran dasar dan kode etik.
4. Tujuan sosial budaya telah ditetapkan dalam anggaran dasar dan
kode etik kelompok sosial budaya.
Kebudayaan dan masyarakat ibarat dua sisi mata uang dan satu sama
lain tidak dapat dipisahkan. Koentjaraningrat (2009:146) mengatakan bahwa
“kebudayaan berasal dari kata sanskerta buddhayah yang berarti budi dan
daya”. Suatu kebudayaan sering memancarkan keluar suatu watak khas
tertentu yang tampak. Watak itu dalam ilmu antropologi disebut ethos, sering
tampak pada gaya tingkah laku warga masyarakat, kegemaran-kegemaran dan
berbagai hasil budaya karyanya. Banyak kebudayaan mempunyai pranata
tertentu yang mempunyai unsur pusat dalam kebudayaan sehingga digemari
oleh sebagaian besar warga masyarakat, contoh kesenian dalam masyarakat
orang Bali.
Noor (1999:57) menarik kesimpulan sebagai berikut:
Tujuh unsur kebudayaan yang dianggap culture universal yaitu:
1. Peralatan dan perlengkapan hidup manusia
2. Mata pencaharian hidup
3. Sistem kemasyarakatan
4. Bahasa
5. Kesenian
6. Sistem pegetahuan
7. Religi
Kebudayaan yang merupakan hasil karya, rasa dan cipta masyarakat
dapat digunakan untuk melindungi manusia dari ancaman atau bencana alam.
Tindakan-tindakan dalam melindungi diri terhadap lingkungan alam pada taraf
permulaan bersifat menyerah. Kebudayaan mengatur agar manusia dapat
mengerti bagaimana seharusnya bertindak, berbuat dan menentukan sikapnya.
Setiap orang bagaimanapun hidunya, ia akan selalu menciptakan kebiasaan
bagi dirinya dan kebiasaan ini yang disebut dengan perilaku pribadi sehingga
kebiasaan orang-orang berbeda dengan kebiasaan orang yang lain.
5
Ferdinand Tonnies (dalam Noor, 1999:60) menyatakan sebagai berikut:
Kebiasaan manusia mempunyai tiga arti yaitu:
1. Arti kenyataan yang bersifat objektif misalnya kebiasaan bangun
pagi terus minum kopi artinya bahwa seseorang bisa melakukan
perbuatanya masuk dalam tata cara hidupnya.
2. Arti kebiasaan yang dijadikan norma bagi seseorang, norma-norma
diciptakan untuk dirinya sendiri.
3. Arti sebagai perwujudan kemauan atau keinginan seseorang untuk
berbuat sesuatu.
Kelompok manusia yang sangat berkembang dari waktu ke waktu cepat
maupun lambat akan mengalami perubahan. Kebutuhan ekonomi manusia
tidak dapat ditinggalkan dan hal tersebut menyebabkan cara manusia
memenuhi kebutuhan pokok. Perubahan cara memenuhi kebutuhan diikuti oleh
perubahan-perubahan yang lain. Kalau perubahan dalam sosial budaya telah
meliputi aspek struktur, nilai dan norma, lembaga-lembaga atau industri dan
telah didukung oleh sebagian besar anggota masyarakat maka telah terjadi
perubahan atau perkembangan kebudayaan.
Nilai-nilai budaya pada dasarnya terdiri dari konsepsi-konsepsi yang
hidup dalam alam pikiran sebagian besar masyarakat. Nilai-nilai budaya pada
hakekatnya merupakan perwujudan dari kebudayaan, dan kebudayaan
mempunyai wujud diantaranya:
1. Wujud kebudayaan sebagai kompleks dari ide-ide, gagasan-gagasan, nilai-
nilai, norma-norma dan peraturan-peraturan
2. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari
manusia dalam masyarakat.
3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.
C. Konsep Masyarakat
Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri.
Manusia perlu bersosialisasi dengan manusia lain dalam suatu kelompok
masyarakat yang hidup bersama. Biasanya masyarakat tersebut memiliki
kepentingan yang sama dalam mencapai tujuan tersebut. Koentjaraningrat
(2009:116) mengatakan bahwa “masyarakat dalam bahasa inggris dipakai
6
istilah society yang berasal dari kata latin socius berarti kawan. Masyarakat
sendiri berasal dari akar kata arab syaraka yang berarti ikut serta,
berpartisipasi”.
Myrda (1990:180) menyatakan sebagai berikut:
Masyarakat adalah sekelompok manusia yang anggotanya satu sama
lain berhubungan erat dan memiliki hubungan timbal balik. Di dalam
interaksi terdapat nilai-nilai sosial tertentu yang menjadi pedoman
untuk bertingkah laku sebagai anggota masyarakat dan biasanya
memiliki kebiasaan, tradisi, sikap dan perasaan yang sama untuk
mencipkatan ciri bagi masyarakat tersebut.
Berdasarkan uraian tersebut dapat diambil pengertian bahwa
masyarakat adalah sekumpulan manusia yang saling bergaul dan saling
berinteraksi secara intensif sehingga memiliki pola tingkah laku yang khas.
Masyarakat sebagai suatu kelompok manusia yang sangat umum sifatnya,
mengandung kesatuan-kesatuan yang sifatnya lebih khusus tetapi belum tentu
memiliki syarat pengikat yang sama dengan suatu masyarakat. Kesatuan sosial
yang tidak mempunyai syarat pengikat itu serupa dengan kerumunan atau
crowd.
Linton (1999:126) menarik kesimpulan sebagai berikut:
Masyarakat timbul dari setiap perkumpulan individu-individu yang
telah cukup lama hidup dan bekerja sama. Kelompok manusia yang
belum terorganisasi, mengalami proses yang fundamental yaitu:
1. Adaptasi dan organisasi dari tingkah laku yang para anggota.
2. Timbulnya secara lambat laun, perasaan kelompok atau L’esprit
de corps.
Berdasarkan uraian tersebut dapat diambil pengertian bahwa
pembentukan suatu masyarakat dikarenakan oleh faktor waktu dimana dengan
adanya waktu yang cukup lama maka akan timbul syarat yang selalu dimiliki
oleh tiap-tiap masyarakat yaitu adanya proses adaptasi dan organisasi dari
kelakuan para anggota kelompok dan timbul kesadaran untuk berkelompok.
Adaptasi timbal balik dalam tingkah laku dan sikap individu, mengubah
aggregate of individuals menjadi kelompok yang terorganisasikan dan
mempunyai jiwa kelompok dan disebut dengan masyarakat. Hubungan yang
terjadi juga tidak sembarangan tetapi memiliki keteraturan. Dalam adat istiadat
di Indonesia, anak menghormati orang tua, bawahan menghormati atasan,
kakak menyayangi adik sedangkan adik menghormati kakak dan sebagainya.
7
Noor (1999:85) menarik kesimpulan sebagai berikut:
Dalam pertumbuhan dan perkembangan suatu masyarakat dapat
digolongkan menjadi masyarakat sederhana dan masyarakat maju
(masyarakat modern). Dalam lingkungan masyarakat maju dapat
dibedakan sebagai kelompok masyarakat non-industri dan masyarakat
industri. Sedangkan masyarakat non-industri digolongkan menjadi
kelompok primer dan kelompok sekunder.
Dalam kehidupan sehari-hari, manusia sebagai makhluk sosial ada
kecenderungan melakukan kesalahan sesama manusia. kecenderungan yang
bersifat sosial timbul karena pada diri setiap manusia ada sesuatu saling
membutuhkan. Dari kenyataan ini kemudian timbullah suatu struktur antar
hubungan yang beraneka ragam.
Noor (1999:89) menyatakan sebagai berikut:
Dalam hubunganya dengan golongan-golongan maka kelompok ada
beraneka ragam bentuk dan kriterianya sebagai berikut:
1. Kelompok primer dan sekunder
2. In Group dan Out Group
3. Gemeinschaft dan Gesellschaft
4. Formal Group dan Informal Group
5. Community
6. Masyarakat desa dan masyarakat kota
7. Kerumunan dan publik
Berdasarkan uraian tersebut dapat diambil pengertian bahwa manusia
sebagai makhluk sosial tidak dapat berdiri sendiri, saling membutuhkan antara
yang satu dengan yang lainya dan saling mengadakan hubungan sosial
ditengah-tengah masyarakat. Sebagai bagian yang tidak dapat dipisahkan
dengan masyarakat, keluarga mempunyai korelasi fungsional dengan
masyarakat tertentu. Individu yang berada dalam suatu masyarakat berarti ia
berada pada konteks budaya.
D. Sistem Kekerabatan Orang Lampung
Masyarakat lampung mengenal keluarga batih yang terdiri dari ayah, ibu
dan anak sebelum menikah. Mereka hidup dalam rumah yang disebut dengan
manyamak. Manyamak merupakan urusan keluarga yang terikat pada suatu
tugas dan berorientasi pada dapur kehidupan keluarga. Ayah mengurus dan
memelihara anggota keluarga manyamak dengan dibantu oleh ibu dan anak
8
yang telah dewasa. Setelah keluarga batih tersebut menjadi luas maka timbul
istilah radik sakelik yaitu yang dekat dan terikat. Kemudian muncul yang
disebut klen, sebagai hasil perluasan keluarga batih yang telah mencapai pada
periode generasi kelima keatas dengan terikat pada pertalian darah menurut
garis keturunan laki-laki dan hal tersebut merupakan asal mula terbentuknya
klen kecil.
Pada klen kecil, antara individu yang satu dengan yang lain masih saling
mengenal, karena cakupan keturunan berkisar pada generasi ketiga hingga
kelima dan ketika telah mencapai generasi kelima keatas merupakan klen besar
maka antara individu-individu didalamnya jarang saling mengenal. Orang
lampung mengambil garis keturunan patrilineal dimana anak laki-laki tertua
dari keturunan tertua lah yang bertindak selaku pemimpin dan bertanggung
jawab serta mengatur anggota kerabat lainya. Orang lampung juga mengenal
sistem stratifikasi sosial yang dapat dibedakan dalam prinsip umur, prinsip
keaslian dan kepunyimbangan.
Dalam pelaksanaan upacara adat, prinsip umur terlihat jelas. Kelompok
orang tua bertindak selaku perencana, pengatur, penimbang dan penentu
keputusan. Menyusul kemudian kelompok yang lebih muda, terdiri dari kepala
keluarga yang berfungsi sebagai pendamping atau pembantu kelompok orang-
orang tua. Kemudian disusul kelompok muda-muda yang belum berkeluarga
sebagai tenaga kerja ketika memulai maupun mengakhiri peralatan adat.
Kedudukan seseorang dalam pemuka adat memiliki kriteria
pengukuran, disamping kedudukanya sebagai anak laki-laki yang tertua juga
diukur dari kedudukanya dalam sistem adat pepadun. Bagi masyarakat adat
pepadun sistem kepunyimbangan terdapat berbagai tindakan yaitu sebagai
kepala adat pepadun marga, pepadun tiyuh dan kepala adat pepadun suku.
Sedangkan dalam masyarakat saibatin harus berdasarkan keturunan secara
mutlak baik sebagai kepala adat bandar, pekon maupun suku.
Masyarakat lampung terdiri atas 2 kelompok besar yaitu pertama,
masyarakat yang beradat pepadun dan kedua, masyarakat yang beradat
peminggir atau pesisir. Kedua kelompok masyarakat tersebut dikenal dengan
sistem patrilineal.
9
Masyarakat pepadun meliputi kelompok kecil terdiri diantaranya:
1. Masyarakat Adat Abung (Abung Siwo Megon) terdiri atas sembilan Marga
Genealogis atau sembilan Kebuaian diantaranya Buay Unyai di Kecamatan
Kota Bumi, Buay Unyi di Kecamatan Gunung Sugih, Buay Nuban di
Kecamatan Sukadana, Buay Subing di Kecamatan Terbanggi Besar, Buay
Beliuk di Kecamatan Besar, Buay Kunang di Kecamatan Abung Barat,
Buay Selagai di Kecamatan Abung Barat, Buay Tuha di Kecamatan
Padangratu dan Buay Nyerupa di Kecamatan Gunung Sugih.
2. Masyarakat adat Tulang Bawang Menggala (Menggoupak Tulang bawang)
terdiri atas empat Marga diantaranya Buay Balau di Kecamatan Menggala,
Buay Umpu di Kecamatan Tulang Bawang Tengah, Buay Tegamoan di
Kecamatan Tulang Bawang Tengah.
3. Masyarakat Adat Buay Lima (Way Kanan/Sungkai) terdiri atas lima Marga
yaitu Buay Pemuka di Kecamatan Pakuan Ratu, Buay Bahuga di Kecamatan
Bahuga, Buay Semenguk di Kecamatan Bardatu dan Buay Bara Sakti di
Barasakti.
4. Masyarakat Adat Pubian (Pubian Telu Suku) terdiri atas tiga Marga
Genealogis yaitu Buay masyarakat di Kecamatan Gedontataan, Pagelaran
dan Kedaton sedangkan Buay tamba Pupus di Kecamatan Pagelaran dan
Gedongtataan setra Buay Buku jadi di Kecamatan Natar.
E. Sistem Gotong Royong Masyarakat Pedesaan Lampung
Gotong royong oleh masyarakat Lampung merupakan Pengejawantahan
dari nilai-nilai budaya yang bersumber dari kebudayaan-kebudayaan
masyarakat Lampung. Nilai-nilai budaya yang hidup pada suatu masyarakat
tercermin dalam pandangan hidup dari masyarakat tersebut.
Yusuf Tayar (1993: 2) menyatakan bahwa prinsip-prinsip masyarakat etnis
Lampung yaitu:
1. Pi’il pesenggiri (menjaga harga diri)
2. Sakai Sembayan (tolong menolong)
3. Nemui Nyimah (murah hati/ terbuka tangan)
4. Nengah Nyappur (hidup bermasyarakat/suka bergaul)
5. Bejuluk Beadek (punya gelar adat)
10
Berdasarkan prinsip masyarakat tersebut, dapat dinyatakan bahwa
gotong royong merupakan penjelmaan dari pandangan hidup dan pandangan
hidup tersebut yang menjiwai keikutsertaan anggota masyarakat dalam berbagai
kegiatan, baik untuk kepentingan perorangan maupun untuk kepentingan
umum. Kerukunan merupakan genus sedangkan gotong royong merupakan
spesies dalam bentuk interaksi tradisional.
Gotong royong dikategorikan sebagai tolong menolong sesama anggota
masyarakat. Abu Rifai (1986: 37) menyatakan bahwa masyarakat Lampung
membedakan kegiatan gotong royong dalam dua kategori yaitu Sakai
(Pepadun), Belin (Pesisir) dan Abir (Pepadun, Saibatin). Sakai atau Belin
adalah suatu kerjasama tolong-menolong dalam jenis pekerjaan yang sama
dimana setiap anggota akan memperoleh giliran waktu yang sama sedangkan
Abir adalah pekerjaan yang dilakukan dengan anggota yang lebih banyak dan
tidak kelihatan pamrihnya.
Kerjasama secara Sakai, Belin dan Abir dilihat dari segi tujuan dimana
terlihat dalan Nerancang yaitu memberi tanda pada areal hutan yang akan
digunakan sebagai tempat bercocok tanam. Biasanya kegiatan tersebut
dilakukan secara Sakai-Belin, Kusi-Ngusi yaitu menebas semak belukar yang
tumbuh dibawah pohon. Nuakh yaitu kegiatan menebang pohon pada areal
ladang yang biasa dilakukan secara sakai. Kegiatan nebang tersebut tidak dapat
dilakukan secara Abir yaitu membakar dahan atau ranting serta pohon-pohon
setelah ditebang. Najuk, Nugal yaitu pekerjaan membuat lubang dan menabur
benih yang secara umum dikerjakan secara abir batok.
Kegiatan berladang dilakukan oleh orang dewasa baik laki-laki maupun
perempuan yang relatif banyak. Kegiatan diawali dengan merancang atau
musyawarah dengan 6 orang untuk menentukan kapan akan dilakukan
pembukaan hutan, menentukan hari baik untuk mengerjakannya dan luas hutan
yang akan dibuka sebagai tempat berladang sangat tergantung dari kemampuan
pribadi dari yang akan mengerjakan ladang tersebut. Kegiatan merancang
dilakukan saling bergiliran dan tidak lebih dari 1 hektar.
11
Kegiatan membangun Sesat yaitu tempat berkumpul atau balai tempat
bermusyawarah. Bentuk kegiatan pertama yaitu mengumpulkan bahan-bahan
bangunan, kedua menyetel alat-alat bangunan dan ketiga yaitu mendirikan
bangunan tersebut. Kegiatan mengumpulkan bahan-bahan bangunan dilakukan
tidak kaum pria saja tetapi juga kaum wanita, anak-anak, remaja dan gadis.
Pendirian bangunan yang terlibat diantaranya para pemimpin masyarakat, laki-
laki dewasa dan muda dengan sebutan penyimbang atau saibatin. Sesat dalam
suatu kampung merupakan keharusan oleh sebab itu para penyimbang atau
saibatin dan para anggota masyarakat melakukan kegiatan gotong royong untuk
membangun sesat.
Kegiatan Ngunggak Way yaitu kegiatan memperbaiki bendungan irigasi
supaya air dapat masuk melalui saluran air menuju ke sawah. Kegiatan tersebut
hanya diikuti oleh kepala keluarga yang memiliki sawah dan memerlukan air
dari irigasi tersebut. Kegiatan Ngunggak Way dilakukan ketika musim turun
sawah telah datang dan apabila kepala keluarga tidak datang dan tidak
mengirimkan wakilnya maka kepala keluarga tersebut diharuskan
menggantinya dengan mengirimkan ketupat satu bakul.
Kegiatan Sakai Sembayan dalam bentuk kematian, ditelaah dari dua segi
yaitu pertama, tolong menolong dalam hal melayat, menggali kubur,
memandikan mayat, membungkus mayat dan menguburkan mayat. Kedua
tolong-menolong dalam membuat gulai dugan dengan memanjat pohon kelapa
untuk mengambil buah dugan. Kelompok yang terlibat dalam kegiatan tersebut
yaitu semua masyarakat kecuali anak-anak dari sanak famili. Untuk mengetahui
musibah yang telah dialami oleh sanak famili yaitu dengan membunyikan
beduk dengan pukulan Gebuk Sesah.
Kegiatan Sakai, Belin dan Abir umumnya dikenal dalam bidang
pertanian karena secara umum mata pencaharian masyarakat adalah bertani.
Bercocok tanam yang umum dilakukan oleh masyarakat Lampung adalah
berladang dan padi sebagai tanaman selingan selain itu juga melakukan
kegiatan berkebun dan berladang. Melalui perkembanganya, kegiatan
kerjasama tolong-menolong secara Sakai, Belin dan Abir sudah mulai jarang
dilakukan. Kegiatan tersebut antara lain kegiatan Rancang yaitu kegiatan yang
12
dilakukan dalam memberi batas pada areal yang akan digarap sebagai ladang
dan kegiatan Nuak yaitu menebang pohon. Hal tersebut disebabkan karena tidak
adanya areal hutan yang akan dijadikan ladang. Kegiatan Abir Batok berubah
karena masyarakat telah mengenal sistem Nuai yaitu mengambil hasil 10:1 atau
6:1.
Gotong royong akan mengalami perubahan secara evolusi dan
berlambat tahun akan berubah bentuk. Contoh bahwa dulu ketika memetik padi
sebagai hasil panen petani tidak terdapat sistem pembagian dalam hasil kerja,
namun pada masa kini telah dikenal sistem bagi hasil misalnya dengan cara
enam berbanding satu. Hal tersebut menandakan telah terjadi sistem upah dan
unsur gotong royong menjadi hilang. Koentjaraningrat (1977: 64) menyatakan
bahwa telah terjadi perubaha sistem gotong royong yang sudah punah,
menghilang dari kehidupan sosial masyarakat.
Berdasarkan pernyataan tersebut, dapat dinyatakan bahwa masa depan
gotong royong dalam bentuk-bentuk kegiatan akan memudar dan hilang.
Namun kemungkinan tidak semua dalam bentuk-bentuk tersebut akan hilang,
misalnya dalam perkawinan dan dalam bentuk kegiatan karena terkena musibah
yang menimpa warga tersebut.
13
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Penduduk Provinsi Lampung terdiri atas berbagai macam suku bangsa
seperti suku Jawa, Sunda, Bali, Minangkabau, Batak Semendo, Ogan, Bugis,
Banjar dan Maluku. Keragaman penduduk Lampung ditunjukkan pada Sang
Bumi Rua Jurai.
Masyarakat lampung mengenal keluarga batih yang terdiri dari ayah, ibu
dan anak sebelum menikah. Mereka hidup dalam rumah yang disebut dengan
manyamak. Setelah keluarga batih tersebut menjadi luas maka timbul istilah
radik sakelik, kemudian muncul yang disebut klen, sebagai hasil perluasan
keluarga batih dengan terikat pada pertalian darah menurut garis keturunan laki-
laki.
Gotong royong oleh masyarakat Lampung merupakan Pengejawantahan
dari nilai-nilai budaya yang bersumber dari kebudayaan-kebudayaan
masyarakat Lampung yaitu diantaranya Pi’il pesenggiri (menjaga harga diri),
Sakai Sembayan (tolong menolong), Nemui Nyimah (murah hati/ terbuka
tangan), Nengah Nyappur (hidup bermasyarakat/suka bergaul) dan Bejuluk
Beadek (punya gelar adat). Gotong royong di pedesaan masyarakat Lampung
merupakan keikutsertaan anggota masyarakat dalam berbagai kegiatan, baik
untuk kepentingan perorangan maupun untuk kepentingan umum.
B. Saran
Lampung dapat disebut dengan Indonesia mini dengan keragaman
penduduk yang ditunjukkan pada Sang Bumi Rua Jurai. Sebagai wilayah yang
memiliki nilai-nilai budaya dengan keaktifan dalam melakukan kegiatan gotong
royong, Lampung merupakan wilayah strategis dalam manuskrip. Oleh karena
itu, saya sangat mengharapkan tulisan dalam makalah ini dapat dikembangkan
menjadi buku sehingga dapat menjadi bahan informasi, referensi, sebagai bahan
dasar penelitian lebih lanjut terhadap mahasiswa maupun masyarakat luas.
14
DAFTAR PUSTAKA
Abu Rifai. 1986. Sistem gotong royong dalam masyarakat pedesaan daerah
lampung tahun 1979/1980. Bandar lampung: dokumen kebudayaan daerah
lampung.
Yusuf Tayar. 1993. Profil Provinsi Lampung. Bandar lampung: Anggota IKAPI.
Gondong Anhar, dkk. 1993. Sejarah perlawanan terhadap imperialisme dan
kolonisme di daerah lampung. Jakarta: Dokumentasi sejarah nasional.
Koentjaraningrat. 1977. Pengantar antropologi sosial. Jakarta: Pt Dian Rakyat.
Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta
Julianto Irwan. 2009. Peranakan Tionghoa Indonesia Sebuah Perjalanan Budaya.
Jakarta: Intisari.
Muhammad Abdulkadir. 2008. Ilmu Sosial Budaya Dasar. Bandung: Citra Aditya
Bakti.
Myrda. 1990. Ensiklopedi Nasional Indonesia. Jakarta: Cipta Adi Pustaka.
Noor Arifin. 1999. Ilmu Sosial Dasar. Bandung: Pustaka Setia.
Hamim Alhusniduki. 1994. Sejarah Revolusi Fisik di Provinsi Lampung. Bandar
Lampung: Universitas Lampung.
M. Loeb Edwin. 2013. Sumatra: Sejarah dan Masyarakatnya. Yogyakarta: Ombak.
15