sistem gadai pohon kelapa artikel corrected

12
0 SISTEM GADAI POHON KELAPA DALAM PERSPEKTIF HUKUM EKONOMI SYARI’AH DI SUKOREJO SUMBEREJO BANYUPUTIH SITUBONDO Fathur Rohman Ms., Didin Fatihudin, Moch.Tolchah email: [email protected] - [email protected] - [email protected] HP. 082131535347 - WA: 081335526419 fb: Alalan Tanala - Twiter: TurtleKumbang - Instagram: fatroh

Upload: alalan-tanala

Post on 16-Apr-2017

362 views

Category:

Economy & Finance


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Sistem gadai pohon kelapa artikel corrected

0

SISTEM GADAI POHON KELAPA

DALAM PERSPEKTIF HUKUM EKONOMI SYARI’AH

DI SUKOREJO SUMBEREJO BANYUPUTIH SITUBONDO

Fathur Rohman Ms., Didin Fatihudin, Moch.Tolchah

email:

[email protected] - [email protected] - [email protected]

HP. 082131535347 - WA: 081335526419

fb: Alalan Tanala - Twiter: TurtleKumbang - Instagram: fatroh

Page 2: Sistem gadai pohon kelapa artikel corrected

1

“Sistem Gadai Pohon Kelapa Dalam Perspektif Hukum Ekonomi Syari‟ah

Di Sukorejo Sumberejo Banyuputih Situbondo”.

Masyarakat Sukorejo Situbondo pemilik kebun pohon kelapa, sebagian cenderung menjaminkan

tanaman kelapanya sebagai agunan gadai utang uang kepada tetangga mereka untuk keperluan

sekunder. Format akad cuku sederhana. Ada penduduk luar Sukorejo juga sebagai pegadai dengan

istilah Mengambil Gadai Tanaman Pohon Kelapa sebagai pengembangan modalnya dan rasa ta‟awun.

Agunan gadai dikuasai penuh oleh penggadai sampai batas tertentu. Sistem tersebut perlu diteliti karena

Fatwa DSN-MUI No.25/DSN-MUI/III/2002 Tentang Rahn, 15 Rabi‟ul Akhir 1423 / 26 Juni 2002

bahwa Pendapat Ulama tentang Rahn antara lain: Dalil ijma‟ ummat Islam sepakat bahwa secara garis

besar akad gadai diperbolehkan. Pemberi gadai boleh memanfaatkan agunan gadai sepenuhnya

sepanjang tidak mengurangi (nilai) barang gadai. Mayoritas Ulama selain madzhab Hanbali

berpendapat: penggadai tidak boleh memanfaatkan agunan gadai sama sekali. Rumusannya Sahkah

sistem gadai tersebut secara syar‟i?. Dengan penelitian ini akan diketahui payung hukum sistem gadai

tersebut. Metode dan teknik pengumpulan data: kajian pustaka dan wawancara, mengolah data:

komparatif dengan diskusi empat madzhab, lokasi: Sukorejo Situbondo. Informan: Ainil Fitri, Widya

Furqoniyah dan Hj.Umriyati Nur. Hasil penelitian ini: diperbolehkan mengamalkan Sistem Gadai

tersebut dengan berpedoman pada madzhab Hanbali.

Keyword: Sistem gadai, pohon kelapa, perspektif, hukum, ekonomi syari‟ah.

---------------------------------------

"Coconut Tree Pledge System in Perspective of Economic Law of Shariah

In Sukorejo Sumberejo Banyuputih Situbondo ".

Situbondo Sukorejo community garden owners coconut trees, most likely to ensure a coconut crop as

collateral pledge money owed to their neighbors for secondary purposes. The format is simple cuku

contract. There is a resident outside Sukorejo well as pegadai terms Coconut Tree Crops Taking Pledge

as development capital and taste ta'awun. Collateral pawn fully controlled by pawner to a certain

extent. The system needs to be examined because the DSN-MUI Fatwa No.25 / DSN-MUI / III / 2002

About Rahn, 15 Rabi End 1423 / June 26, 2002 that the Ulama Opinions about Rahn among others:

Proposition ijma 'Muslims agree that in general big contract permitted liens. Pledgor may utilize fully

pledge collateral to the extent not reduce (the value of) goods pawn. The majority of Hanbali schools

of thought contend besides Ulema: pawner can not exploit the pawn collateral at all. His formulation

of the lien system Sahkah syar'i ?. With this study will be known to the legal umbrella of the lien

system. Methods and techniques of data collection: literature review and interviews, process the data:

comparative discussion of the four schools, location: Sukorejo Situbondo. Informant: Ainil Fitri, Widya

Furqoniyah and Hj.Umriyati Nur. The results of this study: is allowed to practice with the Pawn system

is based on the Hanbali schools.

Keyword: System pawn, coconut tree, perspective, law, economics Shari'ah.

Page 3: Sistem gadai pohon kelapa artikel corrected

2

PENDAHULUAN

“Sistem Gadai Pohon Kelapa Dalam Perspektif Hukum Ekonomi Syari‟ah di Sukorejo Sumberejo

Banyuputih Situbondo”. Sistem tersebut berjalan di Sukorejo Sumberejo Banyuputih Situbondo,

menarik diteliti karena ada semacam kesenjangan pemikiran yang sedikit mengganjal dalam keyakinan

sebagian masyarakat muslim di daerah penelitian utamanya dalam pemanfaatan agunan gadai oleh

penggadai (murtahin), boleh apa tidak menurut hukum Islam?

KAJIAN PUSTAKA

Terkait dengan judul tersebut di atas, ada Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia

Nomor 25/DSN-MUI/III/2002 Tentang Rahn Tanggal: 15 Rabi‟ul Akhir 1423 H / 26 Juni 2002 M yang

intinya sebagai berikut:

1. Firman Allah, QS Al-Baqarah (2): 283:

زت ه وال وئن كىتم ػه سفس ونم تجدوا كاتثا فسهان مقثىضح فان أمه تؼضكم تؼضا فهإد ان تكتمىا ر اؤتمه أماوته ونت ق للا

تما تؼمهىن ػهم انش هادج ومه كتمها فاو ه آثم قهثه وللا

“Dan apabila kamu dalam perjalanan sedang kamu tidak memperoleh seorang juru tulis, maka

hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang…(oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika

sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan

amanatnya (utangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu

(para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barang siapa yang menyembunyikannya, maka

sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu

kerjakan.”

2. Hadis Nabi riwayat al-Bukhari dan Muslim dari „Aisyah r.a. berkata:

طؼاما مه هىدي ئن أجم وزهىه دزػا مه حدد اشتسي أن زسى ل للا طه للا ػهه وسهم

“Sesungguhnya Rasulullah s.a.w. pernah membeli makanan dengan berutang dari seorang Yahudi,

dan Nabi menggadaikan sebuah baju besi kepadanya.”

3. Hadis riwayat Syafi‟i, Daruquthni dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah, Nabi s.a.w. bersabda:

الغهق انسهه مه طاحثه انري زهىه, نه غىمه و ػهه غسمه

“Tidak terlepas kepemilikan barang gadai dari pemilik yang menggadaikannya, Ia memperoleh

manfaat dan menanggung resikonya”.

4. Hadis riwayat Jama‟ah kecuali Muslim dan al Nasa‟i, Nabi s.a.w. bersabda:

انظهس سكة تىفقته ئذا كان مسهىوا, ونثه اندز شسب تىفقته ئذا كان مسهىوا, و ػه انر سكة و شسب انىفقح

“Tunggangan (kendaraan) yang digadaikan boleh dinaiki dengan menanggung biayanya dan

binatang ternak yang digadaikan dapat diperah susunya dengan menanggung biayanya. Orang

yang menggunakan kendaraan dan memerah susu tersebut wajib menanggung biaya perawatan

dan pemeliharaan”.

5. Ijma ulama membolehkan akad Rahn (al-Zuhaili, al Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, 1985, V: 181).

6. Kaidah Fiqih:

األطم ف انمؼامالخ اإلتاحح ئال أن دل اندنم ػه تحسمها

Pada dasarnya semua bentuk muamalat boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.

Memperhatikan Pendapat Ulama tentang Rahn antara lain:

762ص 4جىاش انسهه ف انجمهح )انمغى إلته قدامح, ج وأما اإلجماع فأجمغ انمسهمىن ػه

Mengenai dalil ijma‟ ummat Islam sepakat (ijma‟) bahwa secara garis besar akad rahn

(gadai/penjaminan utang) diperbolehkan.

131ص 7نهساهه كم اوتفاع تانسهه ال تستة ػهه وقض انمسهىن )مغى انمحتاج نهشستى, ج

Pemberi gadai boleh memanfaatkan barang gadai secara penuh sepanjang tidak mengakibatkan

berkurangnya (nilai) barang gadai tersebut.

Page 4: Sistem gadai pohon kelapa artikel corrected

3

سي انجمهىز غس انحىاتهح أوه نس نهمستهه أن ىتفغ تشء مه انسهه

Mayoritas Ulama selain madzhab Hanbali berpendapat bahwa penerima gadai tidak boleh

memanfaatkan barang gadai sama sekali.

Bahwa pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan utang dalam bentuk Rahn dibolehkan

dengan ketentuan sebagai berikut.

1. Murtahin (penerima barang) mempunyai hak untuk menahan Marhun (barang) sampai semua utang

Rahin (yang menyerahkan barang) dilunasi.

2. Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik Rahin. Pada prinsipnya, Marhun tidak boleh

dimanfaatkan oleh Murtahin kecuali seizin Rahin, dengan tidak mengurangi nilai Marhun dan

pemanfaatannya itu sekedar pengganti biaya pemeliharaan dan perawatannya.

3. Pemeliharaan dan penyimpanan Marhun pada dasarnya menjadi kewajiban Rahin, namun dapat

dilakukan juga oleh Murtahin, sedangkan biaya dan pemeliharaan penyimpanan tetap menjadi

kewajiban Rahin.

4. Besar biaya dan pemeliharaan dan penyimpanan Marhun tidak boleh ditentukan berdasarkan

jumlah pinjaman.

5. Penjualan Marhun:

a. Apabila jatuh tempo, Murtahin harus memperingatkan Rahin untuk segera melunasi

utangnya.

b. Apabila Rahin tetap tidak dapat melunasi utangnya, maka Marhun dijual paksa/diekskusi

melalui lelang sesuai syariah.

c. Hasil penjualan Marhun digunakan untuk melunasi utang, biaya pemeliharaan dan

penyimpanan yang belum dibayar serta biaya penjualan.

d. Kelebihan hasil penjualan menjadi milik Rahin dan kekurangannya menjadi kewajiban

Rahin.

METODE PENELITIAN

Metode / teknik pengumpulan data dalam kajian ini dengan telaah kitab fiqih empat madzhab yang

ditulis oleh Wahbah Az-Zuhaili dalam kitabnya “Al-Fiqhul Islami Wa Adillatuhu” Bab XII tentang

Rahn dan “Al-Fiqhu „Alal Madzahibil Arba‟ah” oleh Abdur Rohman Al-Jaziri serta Ensiklopedi Hukum

Islam. Kemudian wawancara dengan informan sebagai pelaku akad gadai. Penelitian ini bersifat

kwalitatif yang mengedepankan fungsi nilai pada ketaatan hukum. Subyek penelitian adalah aplikasi

sistem gadai tersebut oleh informan yang ditentukan.

Pengolahan datanya dengan mendiskusikan antara data di lapangan dengan teori dalam kitab fiqih

empat madzhab yang mu‟tabaroh dan secara muqoronah (komparatif). Ruang lingkup kajian sebatas

sistem gadai dengan agunan tanaman pohon kelapa secara tradisional di Sukorejo Situbondo. Keabsahan

data leterer dijamin karena bersifat mu‟tabaroh (terkenal) sedangkan hasil wawancara akurat karena

secara langsung dengan pelaku akad gadai.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian seperti terurai dari Ensklopedi Hukum Islam tentang Gadai sebagai berikut:

Gadai1. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [(BurgerlijkWetboek (BW)]

2 Buku II

Bab XX pasal 1150, adalah suatu hak yang diperoleh kreditor (orang yang berpiutang) atas suatu

1 Ensiklopedia Hukum Islam (Al-Mausu‟atul Fiqhiyyah). Jakarta. PT Ichtiar Baru Van Hoeve. 2000. Cetakan

keempat. Pencetak PT Ikrar Mandiriabadi. Jilid 2 Halaman 383-387.

2 R.Subekti dan Tirto Sudibio. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek). Jakarta.

Pradnyaparamita. 1980. Cetakan ketigabelas. Halaman 270. dengan redaksi sebagai berikut: Gadai adalah suatu

hak yang diperoleh seorang yang berpiutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang

yang berutang atau oleh seorang lain atas namanya, dan yang memberikan kekuasaan kepada si berpiutang itu

secara didahulukan daripada orang2

berpiutang lainnya; dengan kekecualian biaya untuk melelang barang tersebut

Page 5: Sistem gadai pohon kelapa artikel corrected

4

barang bergerak yang diserahkan oleh debitor (orang yang berutang) atau orang lain atas namanya untuk

menjamin suatu utang (utang-piutang); memberikan kewenangan kewenangan kepada kreditor untuk

mendapatkan pelunasan utang dari barang tersebut lebih dahulu daripada kreditor-kreditor lainnya.

Gadai bersifat accessoir, yaitu tambahan pada perjanjian pokok yang berupa perjanjian

pinjaman uang. Tujuannya untuk menjaga jangan sampai debitor lalai membayar kembali utangnya.

Hak gadai berbeda dari hak kebendaan lainnya. Hak gadai merupakan hak yang bersifat memberi

jaminan, yakni jaminan pembayaran kembali suatu pinjaman uang dengan menyerahkan suatu barang

kepada kreditor. Akan tetapi, hak menguasai barang itu tidak meliputi hak memakai, menikmati atau

memungut hasil barang yang dipakai sebagai jaminan. Hak gadai tidak dapat dibagi-bagi. Maksudnya,

sebagian hak gadai itu tidak menjadi terhapus hanya karena sudah dibayarnya sebagian utang; hak gadai

itu tetap terletak atas keseluruhan jaminan barangnya. Barang yang dapat digadaikan adalah semua

barang bergerak. baik yang berwujud, seperti kendaraan, maupun yang tidak benwujud, seperti surat

berharga.

Hak gadai ditetapkan dengan memenuhi syarat-syarat tertentu menurut jenis barang

jaminannya. Misalnya. jika yang digadaikan itu barang bergerak yang berwujud dan surat piutang yang

aan toonder (ditunjuk kepada si pembawa) maka syaratnya adalah sebagai berikut:

(1) Harus ada perjanjian untuk memberi hak gadai. Perjanjian ini dalam Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata tidak disyaratkan bentuknya, maka bentuk perjanjiannya dapat bebas. Artinya, peerjanjian

bisa secara tertulis atau lisan. Perjanjian tertulis bisa dilakukan melalui akta notaris, bisa juga

melalui akta di bawah tangan saja (antara kreditor dan debitor).

(2) Barang yang digadaikan itu harus dilepaskan atau berada di luar kekuasaan pemberi gadai.

Maksudnya, barang itu harus berada dalam kekuasaan pemegang gadai. Bahkan, ada ketentuan

dalam Undang-Undang Hukum perdata pasal 1178 bahwa gadai itu tidak sah jika bendanya

dibiarkan tetap berada dalam kekuasaan pemberi gadai.

Syarat yang kedua ini dalam praktek sering menimbulkan kesulitan untuk ditepati. Misalnya,

barang yang digadaikan itu merupakan barang untuk mencari nafkah pemberi gadai, maka apabila

barang itu dilepas sebagai jaminan, akibatnya akan sulit baginya untuk mencari nafkah. Guna mengatasi

persoalan ini muncul bentuk penyerahan barang jaminan yang baru, yaitu bentuk penyerahan hak milik

atas dasar kepercayaan (fiduciaire eigendomsoverdrachf) yang dipakai sebagai jaminan. Maksudnya,

sebagai jaminannya adalah hak milik atas barang itu, sedangkan barangnya sendiri masih ditahan oleh

pemberi gadai.

Pemegang gadai mempunyai beberapa hak dan kewajiban yang harus dipenuhi. Hak-hak

tersebut adalah sebagai berikut:

(1) Apabila pemberi gadai tidak memenuhi kewajibannya hingga jangka waktu yang ditentukan

berakhir, pemegang gadai berhak untuk menjual barang yang digadaikan itu atas kekuasaan

sendiri. Hasil penjualan barang jaminan itu diambil sebagian untuk melunasi utang penggadai

dan sisanya dikembalikan kepadanya. Penjualan barang itu harus dilakukan di depan umum

menurut kebiasaan setempat dan berdasarkan atas syarat-syarat yang lazim berlaku.

(2) Pemegang gadai berhak mendapatkan penggantian biaya yang telah dikeluarkan untuk menjaga

keselamatan barang jaminan.

(3) Pemegang gadai berhak untuk menahan barang jaminan itu (hak retentie) . Hal ini terjadi jika

setelah adanya perjanjian, lalu timbul perjanjian utang yang kedua antara kedua belah pihak

dan utang yang kedua ini sudah dapat ditagih sebelum pembayaran utang pertama. Dalam

keadaan yang demikian, pemegang gadai berhak untuk menahan barang tersebut sampai kedua

macam (seluruh) utang dilunasi.

Kewajiban pemegang gadai adalah sebagai berikut:

dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkannya setelah barang itu digadaikan, biaya

2 mana harus

didahulukan.

Page 6: Sistem gadai pohon kelapa artikel corrected

5

(1) Bertanggung jawab atas hilangnya atau merosotnya harga barang yang digadaikan jika itu

semua terjadi atas kelalaiannya.

(2) Tidak boleh menggunakan barang-barang yang digadaikan itu untuk kepentingan sendiri. Jika

pemegang gadai menyalahgunakan barang tersebut, maka barang-barang itu dapat diminta

kembali oleh pemberi gadai.

Hak gadai itu dapat batal apabila:

(1) utang-piutang sudah dibayar dan

(2) barang gadai keluar dari kekuasaan pemberi gadai.

a. Gadai di Indonesia. Di Indonesia, sejak berlakunya Peraturan Pemerintah No. 10/1990, masalah

gadai ditangani oleh perusahaan umum (Perum) Pegadaian. Perum Pegadaian merupakan suatu

lembaga perkreditan yang bercorak khusus, yaitu bertugas memberi kredit secara hukum gadai.

Pengertian secara hukum gadai adalah masyarakat yang membutuhkan dana pinjaman

diwajibkan menyerahkan harta bergeraknya kepada kantor cabang Pegadaian disertai pemberian hak

untuk melakukan penjualan (lelang) apabila setelah waktu perjanjian habis nasabah tidak menebus

barang tersebut. Hasil lelang dipergunakan untuk melunasi pokok pinjaman disertai sewa modal

(bunga), ditambah dengan biaya lelang. Sisanya dikembalikan kepada nasabah, pemilik barang

semula. Apabila barang yang digadaikan tidak laku dijual (dilelang), maka barang tersebut dibeli

oleh negara atau Perum Pegadaian. Kekhususan lain dari Perum Pegadaian adalah tidak dibenarkan

menarik dana dari masyarakat, baik dalam bentuk giro, deposito ataupun bentuk tabungan lainnya,

sebagaimana yang dijalankan oleh pihak perbankan.

Pegadaian tidak seperti lembaga keuangan bank yang memberi kredit jangka menengah atau

jangka panjang dengan jaminan hipotek (barang yang tidak bergerak). Sifat pemberian kreditnya

adalah untuk memenuhi kebutuhan jangka pendek, yaitu tiga sampai enam bulan dan dengan jumlah

yang relatif kecil, yaitu minimum Rp 5.000 dan maksimum Rp20 juta.

Perjanjian gadai pada Perum Pegadaian terdiri atas dua macam:

(1) Perjanjian pokok, yaitu perjanjian pinjam-meminjam uang (perjanjian kredit).

(2) Perjanjian tambahan, yaitu perjanjian penyerahan barang yang bergerak sebagai agunan kredit.

c. Gadai dan Rahn. Menurut hukum Perdata, antara gadai dan rahn ada persamaan dan perbedaan.

Persamaannya antara lain:

(1) hak gadai berlaku atas pinjaman uang;

(2) adanya agunan sebagai jaminan utang;

(3) tidak boleh mengambil manfaat dari barang yang digadaikan, misalnya menggunakan mobil

yang digadaikan untuk kepentingan pribadi atau bisnis;

(4) biaya barang yang digadaikan ditanggung oleh pemberi gadai; dan

(5) apabila batas waktu pinjaman uang telah habis, barang yang digadaikan boleh dijual atau

dilelang.

Perbedaan gadai dengan rahn antara lain sebagai berikut:

(1) Rahn dalam hukum Islam dilakukan secara sukarela atas dasar tolong-menolong tanpa mencari

keuntungan; sedangkan gadai, menurut hukum Perdata, di samping berprinsip tolong-menolong

juga menarik keuntungan melalui bunga atau sewa modal yang ditetapkan.

(2) Dalam hukum Perdata, hak gadai hanya berlaku pada benda yang bergerak; sedangkan dalam

hukum Islam, rahn berlaku pada seluruh harta, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak.

(3) Dalam rahn, menurut hukum Islam, tidak ada istilah "bunga uang".

(4) Gadai, menurut hukum Perdata, dilaksanakan melalui suatu lembaga, yang di Indonesia disebut

Perum Pegadaian; rahn menurut hukum Islam dapat dilaksanakan tanpa melalui suatu lembaga.

Gadai dalam Hukum Adat. Dalam tradisi hukum adat di Indonesia juga dikenal istilah gadai

dengan sebutan yang berbeda-beda seperti pagang gadai (Minangkabau), adol sende (Jawa), ngajual

Page 7: Sistem gadai pohon kelapa artikel corrected

6

akad atau gade (Sunda), dan sebagainya. Gadai, menurut hukum adat, adalah perjanjian yang

menyebabkan tanah seseorang diserahkan untuk menerima sejumlah uang tunai, dengan permufakatan

bahwa yang menyerahkan tanah itu akan berhak mengambil tanahnya kembali dengan cara membayar

sejumlah uang yang sama dengan jumlah utang. Selama utang tersebut belum lunas, maka tanah tetap

berada dalam penguasaan yang meminjamkan uang (pemegang gadai) dan selama itu pula hasil tanah

seluruhnya menjadi hak pemegang gadai, yang dengan demikian merupakan bunga dari utang itu. Pada

umumnya masalah gadai tanah di Indonesia tidak ada perbedaan yang prinsipiil. Perbedaannya hanya

terletak pada pelaksanaannya saja, misalnya, di Aceh dalam aktanya harus dicantumkan tentang ijab

kabulnya, sementara di Minangkabau ada kebiasaan pemegang gadai setiap tahunnya memberi kiriman

nasi kepada yang menggadai.

Gadai dalam hukum adat mengandung arti jual gadai. Jual gadai adalah penyerahan tanah untuk

dikuasai orang lain dengan menerima pembayaran tunai, namun penjual (pemilik tanah atau penggadai)

tetap berhak untuk menebus kembali tanah tersebut dari pemegang gadai. Penetapan waktu menebus

terserah kepada penggadai. Hal ini tidak berarti bahwa setiap waktu dapat dilakukan penebusan itu

sehingga dapat berakibat merugikan pemegang gadai, kecuali bagi tanah gadai yang tidak produktif.

Pada tanah yang produktif (diolah) harus diperhatikan, misalnya, untuk tanah sawah atau kebun, jika

yang mengerjakan sawah atau kebun itu pemegang gadai, maka penggadai harus menunggu penyerahan

kembali tanah atau kebun gadai setelah dipanen atau hak memungut hasil tetap berada pada pemilik

tanaman atau penggarap tanaman itu, kecuali disepakati oleh kedua belah pihak bahwa penggadai

mengganti kerugian yang diminta pemegang gadai atau penggarap. Demikian pula untuk kolam ikan

atau tanah perikanan yang diurus, penggadai harus memberi kesempatan bagi pemegang gadai atau

pengusaha perikanan untuk menikmati hasil ikan semusim atau mengambil kembali hasil ikannya.

Kemungkinan adanya penagihan kembali uang gadai terhadap penggadai adalah berdasarkan

perjanjian yang diadakan sebelumnya, bukan berdasarkan hukum adat. Hal ini dapat terjadi, misalnya,

karena penggadai dalam perjanjian gadai yang dibuatnya menjadi penyewa dari tanah gadainya sendiri,

dengan perjanjian apabila sewa tanah gadai tidak dibayar penggadai, maka penerima gadai dapat

menuntut kembali uang gadainya.

Jika pemegang gadai memerlukan uang, namun yang bersangkutan tidak boleh meminta

kembali uang gadainya kepada penggadai, maka menurut hukum adat, pemegang gadai dapat

menempuh jalan lain, yaitu dengan cara "mengalihkan gadai" atau "menganakkan gadai". "Mengalihkan

gadai" adalah apabila pemegang gadai dengan persetujuan atau izin penggadai menyerahkan tanah gadai

kepada orang lain dengan menerima uang gadai dalam jumlah yang sama dari pemegang gadai yang

baru. Dalam hal ini hubungan hukum antara penggadai dan pemegang gadai yang lama terputus dan

berganti dengan pemegang gadai yang baru.

Selama tanah gadai belum ditebus penggadai, maka selama itu pula pemegang gadai

mempunyai hak atas tanah gadai. Walaupun tanah gadai itu telah dialihkan, hak miliknya tetap di tangan

penggadai. Hak gadai dapat dipertahankan terhadap siapapun yang hendak mengganggu pemegang

gadai melaksanakan gadainya. Sebaliknya apabila hak gadai dialihkan kepada pihak ketiga dalam

bentuk ;pengalihan gadai" atau "penganakkan gadai", maka penggadai tetap berhak menebus dengan

uang tebusan dalam jumlah yang sama diwaktu menerima uang gadai dari penerima gadai semula.

Jual gadai, dalam hukum adat, tidak sama pengertiannya dengan gadai tanah (grond

verponding) yang dikenal dalam hukum Perdata (BW). Jual gadai merupakan transaksi yang berdiri

sendiri dan intinya adalah perjanjian tanah, yakni seorang pemilik tanah, karena memerlukan uang,

menggadaikan tanahnya. Adapun gadai tanah bersifat accessoir (mengikuti, menyertai) atau termasuk

dalam perjanjian utang-piutang yang timbul dari hukum perikatan (verbintennissen recht). Perjanjian

gadai tanah itu timbul dari hukum kebendaan (zakelijk recht). Gadai tanah tunduk pada perjanjian

utang-piutang yang pokok. Hal ini berarti jika utang lunas, maka gadai tanahnya menjadi tidak ada.

Namun, jika gadai tanah tidak ada, belum tentu berarti utang-piutang tidak ada.

d. Gadai Menurut hukum adat, penjual gadai atau pemilik tanah tidak boleh dipaksa mengembalikan

uang gadai, karena tanah gadai bukanlah jaminan untuk pelunasan utang. Akan tetapi, menurut hukum

Perdata, yang berutang boleh dipaksa membayar utang atau menjual sendiri tanah tergadai untuk

Page 8: Sistem gadai pohon kelapa artikel corrected

7

diperhitungkan pada jumlah utang yang harus dibayar. Hal ini karena tanah gadai berkedudukan sebagai

jaminan pelunasan utang.

Menurut Hukum Agraria Nasional sebagaimana tercantum dalam penjelasan umum Undang-

Undang No.5 tahun 1960 angka 9a, gadai adalah hubungan antara seseorang dan tanah kepunyaan orang

lain yang mempunyai utang uang kepadanya. Selama utang tersebut belum dibayar lunas, maka tanah

itu tetap dikuasai oleh pemegang gadai dan selama itu pula hasil tanah seluruhnya menjadi hak

pemegang gadai, yang merupakan bunga dari utang tersebut. Dalam pengertian ini, hak gadai adalah

mengenai tanah pertanian. Pengertian hak gadai berbeda dengan hukum Perdata. Menurut hukum

Perdata, hak gadai adalah mengenai barang yang bergerak. Di samping itu, pengertiannya berbeda pula

dengan hipotek (agunan dengan benda tak bergerak).

Sejak berlakunya Hukum Agraria Nasional, hak gadai atas tanah diatur oleh Undang-Undang

Pokok Agraria No.5 tahun 1960. Namun terhadap hal yang belum diatur dalam UU tersebut

penyelesaian persoalan jual gadai menurut Adat tetap diberlakukan. Menurut Hukum Agraria Nasional,

tetap berlakunya hak gadai dapat disebabkan oleh konversi dan jual gadai. Konversi berlaku pada waktu

mulai diberlakukannya UU Pokok Agraria. Namun demikian, hak-hak gadai yang ada terus berlaku

setelah munculnya hukum agraria yang baru ini; hak-hak gadai itu tidak dikonversi. Hak gadai juga

tetap berlaku karena jual gadai yaitu perbuatan hukum yang sifatnya tunai berupa penyerahan sebidang

tanah oleh pemiliknya kepada pihak lain yang memberikan uang kepadanya saat itu dengan perjanjian

bahwa tanah itu akan dijual kembali pada pemiliknya setelah ia mengembalikan uang yang diterimanya

kepada pemegang gadai. Pemegang gadai wajib mengembalikan tanah gadai tersebut setelah

dikuasainya selama tujuh tahun. Kalau sebelum tujuh tahun tanah sudah dikembalikan, maka

pengembalian uang gadainya dihitung menurut ketentuan: 7,5 dikurangi masa berlangsungnya hak

gadai, dibagi 7, kemudian dikalikan dengan jumlah uang gadai.

e. Gadai dalam Hukum Islam3. Gadai tanah, sebagaimana yang berlaku dalam hukum Adat di

Indonesia, tidak ditemukan pembahasannya secara khsus dalam fikih (hukum Islam). Pada satu sisi

gadai tanah mirip dengan jual beli. Dalam hal ini Hukum Adat menyebutnya sebagai jual gadai. Pada

sisi lain mirip dengan rahn. Kemiripannya dengan jual-beli karena berpindahnya hak menguasai harta

yang digadaikan itu sepenuhnya kepada pemegang gadai, termasuk memanfaatkan dan mengambil

keuntungan dari benda tersebut, walaupun dalam waktu yang ditentukan. Adapun kemiripannya dengan

rahn (boreh/jaminan) adalah karena adanya hak menebus bagi penggadai atas harta yang digadaikan itu.

Dalam Madzhab Hanafi ditemukan pembahasan dua bentuk mu‟amalah tersebut yang dikenal

dengan istilah bai' al-wafa'. Bai' al-wafa' adalah jual beli yang dilakukan oleh dua orang, yang dalam

akadnya disyaratkan bahwa penjual berhak atas barang yang dijualnya apabila harga penjualan tersebut

dikembalikan kepada pembeli sendiri dengan waktu yang disepakati bersama. Dalam bai' al-wafa',

barang yang dijual itu dapat juga dikatakan sebagai jaminan atas uang yang diterima oleh penjual.

Pembeli berhak memanfaatkan barang tersebut serta mengambil hasilnya selama uang pinjaman atau

pembelian belum dikembalikan.

Jumhur ulama tidak membenarkan adat istiadat dalam suatu masyarakat yang membolehkan

pemegang gadai menanami tanah gadai dan memungut seluruh hasilnya, sebab ini mengandung unsur

eksploitasi yang merugikan pemilik barang gadai. Berdasarkan pendapat ini, pagang gadai, gade, adol

sende, dan sebagainya yang berlaku dalam tradisi masyarakat Indonesia tidak dibenarkan.

Ahmad Hassan (1887-1956), tokoh Persatuan Islam (Persis), berpendapat bahwa barang gadai

itu dimaksud bukan untuk digunakan oleh pemegang gadai, tetapi hanya buat tanggungan bagi suatu

utang, kecuali ada syarat yang menjelaskan kebolehan memanfaatkannya. Umpamanya, dibuat

perjanjian antara penggadai dan pemegang gadai bahwa barang yang dijadikan jaminan utang itu boleh

dimanfaatkan pemberi utang. Gadai bersyarat inilah yang berlaku dalam kebiasaan atau adat masyarakat

di Indonesia yang disebut pagang gadai, adol sende, gade, dan lain-lain.

Menurut Mahmud Syaltut, ulama fikih dari Mesir, apabila kita menghadapi dua altematif,

antara utang dengan tanggungan barang berupa tanah yang seluruh hasilnya diambil oleh pemegang

3 Ensiklopedia Hukum Islam (Al-Mausu‟atul Fiqhiyyah). Halaman 387.

Page 9: Sistem gadai pohon kelapa artikel corrected

8

gadai dan utang pakai bunga yang relatif lebih ringan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan yang berlaku, maka kita harus memilih utang dengan bunga, karena risikonya lebih ringan.

Menurut Mazhab Hanafi, penerima rahn boleh memanfaatkan barang yang menjadi jaminan utang atas

izin pemiliknya, karena pemilik barang itu boleh mengizinkan kepada siapa saja yang dikehendakinya

untuk menggunakan hak miliknya, termasuk untuk mengambil manfaat barangnya. Hal itu, menurut

mereka, bukan riba, karena pemanfaatan barang itu diperoleh melalui izin.

Hasil Wawancara dengan informan kunci dan informan pembantu sebagai berikut:

Menurut informan kunci (Ainil Fitri, S.Ag.,M.Pd.4) bahwa sistem gadai yang berjalan di

Kampung Sukorejo Desa Sumberejo Kecamatan Banyuputih Kabupaten Situbondo ini khususnya

gadai pohon kelapa dan umumnya gadai sawah, mobil, motor dan sebagainya sudah cukup lama

berjalan dan mentradisi di masyarakat kampung Sukorejo ini dan selama ini tidak ada masalah yang

berarti secara hukum ekonomi syari‟ah maupun secara sosial.

Masyarakat di Kampung Sukorejo ini dalam melakukan kegiatan perekonomian sehari-hari

tidak pernah terlepas dari panutan dan tuntunan dari para kiai dan ibu nyai yang ada di Pondok

Pesantren Salafiyah Syafi‟iyah ini serta para Asatidz dan Asatidzahnya, karena para pelaku akad

khususnya akad gadai baik yang beragunan tanaman pohon kelapa maupun agunan lainnya adalah

dilakukan oleh sebagian dari beliau-beliau tersebut, sehingga para santripun beserta masyarakatnya

tidak ragu-ragu dalam meneladaninya.

Hukum memanfaatkan agunan gadai berupa apa saja sudah cukup lama diyakini oleh para

pelaku akad gadai di Kampung Sukrejo ini bahwa hal itu diperbolehkan oleh Islam dan sudah pernah

dibahas dalam Bahtsul Masail Pesantren beberapa tahun yang lalu oleh para kiai dan para ustadz

bahwa pemanfaatan agunan dalam akad gadai oleh pemegang agunan tersebut diperbolehkan

sehingga semakin mantab dalam hati masyarakat kampung Sukorejo ini untuk melaksanakannya

bahkan juga diikuti oleh masyarakat kampung-kampung lain di sekitarnya.

Dalam kehidupan ekonomi bagi masyarakat kampung Sukorejo ini, kebiasaan gadai

menggadai itu bukanlah suatu kegiatan yang primer atau pokok dan juga tidak untuk memenuhi

kebutuhan pokok sehari-hari seperti makan dan minum, namun sekedar untuk memenuhi kebutuhan

skunder seperti membeli kendaraan yang lebih baik, merehab rumah agar lebih keren, menunaikan

ibadah umroh dan lain sebagainya, bahkan ada yang justru untuk kepentingan bisnis atau pemutaran

modal yang didapat dari hasil peminjaman dengan agunan gadai berupa sebagian dari barang-barang

atau harta benda yang mereka miliki baik berupa sawah ladang maupun pohon kelapa, kemudian

mereka menyewa sawah atau bisnis lainnya yang dalam perhitungan bisnis dari pengalaman yang

ada ternyata lebih menghasilkan dalam waktu perjanjian utang beragunan gadai tersebut, mereka

dapat mengembalikan utangnya atau bahkan diperpanjang lagi agunan gadai dengan menambah

pinjaman, baik kepada penerima gadai yang pertama atau digantikan kepada orang lain, sementara

sewa sawahnya masih belum berakhir dan masih menghasilkan, disinilah keberhasilan memutar

modal dari hasil utang beragunan gadai sebagian harta bendanya berupa tanaman pohon kelapa dan

atau lainnya bagi masyarakat kampung Sukorejo ini.

Menurut informan utama (Widya Furqoniyah, S.Pd.I.) juga sebagai pelaku akad gadai tanaman

pohon kelapa di kampung Sukorejo Desa Sumberejo Kecamatan Banyuputih Kabupaten Situbondo

ini yang menambahkan penjelasan bahwa masyarakat kampung Sukorejo ini dalam menggadaikan

tanaman pohon kelapa itu dalam lahan atau pekarangan yang mereka miliki tidaklah seluruh

miliknya akan tetapi hanyalah sebagiannya saja dan dalam ladang mereka tersebut tidak hanya terdiri

dari pohon kelapa saja, namun bercampur dengan tanaman pohon lain yang bermanfaat baik buahnya

maupun batang pohonnya seperti pohon mangga dengan berbagai jenisnya, pohon pisang demikian

juga, ada tanaman cabe alas / cabe hutan untuk bahan jamu, ada tanaman jagung, sengon laut,

gamelina dan lain sebagainya yang semuanya itu bernilai ekonomis bahkan ada yang sambil

berdagang dengan membuka toko di depan rumahnya atau usaha lainnya. Jadi mereka sudah lebih

mengerti dengan penggunaan uang pinjaman beragunan gadai tersebut, mereka tidak konsumtif

namun produktif dalam menggunakannya.

Informan ini juga menjelaskan bahwa sebagai pemberi utang atau penerima gadai (murtahin)

yang dijadikan pedoman bukanlah niat atau maksud dan tujuan pemberi gadai dalam menggadaikan

4 Key Informan ini sebagai pelaku akad gadai (penggadai) dengan beberapa pegadai di daerah penelitian. Yang

bersangkutan adalah penduduk asli dan bertempat kelahiran serta berkediaman tetap di daerah penelitian.

164

Page 10: Sistem gadai pohon kelapa artikel corrected

9

harta bendanya atau kegunaan utang tersebut bagi yang bersangkutan. Dia hanya melihat dari segi

dhohir akad gadai itu saja yang dituangkan dalam surat perjanjian gadai tertulis bermeterai cukup

sesuai aturan yang berlaku yang biasanya Rp6.000,-, pelaku akad sebagai pihak membubuhkan

tandatangan masing-masing dengan disaksikan oleh dua orang saksi yang juga membubuhkan

tandatangan mereka dalam akad yang sangat sederhana seperti sampel terlampir.

Walaupun tidak dituangkan dalam surat perjanjian akad gadai tersebut masalah bentuk

pemanfaatan agunan gadai oleh penerima gadai, dalam kenyataan yang ada yang sudah saling

mengetahui antara penggadai dan penerima gadai, bahwa tanaman pohon kelapa yang dijadikan

agunan gadai selama dua tahun atau lebih hanyalah diambil buahnya baik yang masih muda (degan)

atau yang sudah disebut dengan buah kelapa yang pada umumnya untuk diambil santannya.

Pemetikan buah kelapa dari tanaman pohon kelapa agunan gadai tersebut biasanya dalam

jangka waktu 40 hari sekali dan sudah ada petugas khusus yang bekerja dengan cara memanjat

pohon-pohon kelapa tersebut untuk memetiknya dengan upah khusus juga yang sudah menjadi

tradisi yaitu setiap memetik sepuluh buah kelapa baik tua atau degannya, mereka mendapat upah tiga

buah kelapa, mereka sudah mengetahui buah kelapa yang sudah waktunya dipetik begitu juga

dengan degannya ada yang masih sangat muda yang biasa disebut dengan rok-korok (cengkir) dan

ada degan biasa yang sering kita jumpai dipinggir-pinggir jalan untuk campuran minuman. Kadang

lebih dari itu terdapat buah kelapa yang disebut dengan kelapa atau nyiur kopyor yang harganya

cukup mahal perbijinya kadang mencapai harga Rp15.000,- sampai Rp25.000,-.

Harga buah kelapa setiap panennya mengikuti harga pasar pada umumnya jadi fluktuatif, hal itu

sudah sangat disadari oleh pemegang agunan gadai tanaman pohon kelapa tersebut, begitu pula hasil

buah kelapa perpohonnya juga tidak selalu sama setiap kali memetik, namun jumlahnya tidak terlalu

jauh sedikit banyaknya. Dalam kenyataan selama bertahun-tahun ini selalu memberikan hasil walau

tidak banyak. Demikianlah penuturan informan ini dalam pemanfaatan agunan gadai berupa tanaman

pohon kelapa di Kampung Sukorejo ini, walaupun sebenarnya pohon kelapa itu selain buahnya juga

dapat dimanfaatkan daunnya baik yang sudah tua maupun yang masih muda (janur kuningnya) tapi

hal itu tidak pernah dilakukan oleh penerima gadai.

Buah kelapa yang sudah dipetik itu sebagian kecil atau sedikit sekali dikonsumsi sendiri,

sebagian besarnya memang dijual kepada pedagang kelapa yang ada dan banyak sekali di Kampung

Sukorejo sendiri, namun biasanya setiap penerima gadai tanaman pohon kelapa itu sudah punya

langganan pedagangnya sendiri, juga biasanya melalui perantara yang sudah sejak awal ditunjuk

sebagai penjualnya sekaligus sebagai pengawas dan perawat agunan gadai tanaman pohon kelapa

tersebut yang juga sering dipakai sebagai saksi dalam akad gadai yang turut membubuhkan

tandatangannya dalam surat perjanjian akad gadai.

Menurut informan tambahan (Hj. Umriyati Nur) yang bukan penduduk Kampung Sukorejo

namun sering sekali berkunjung ke kampung ini karena mempunyai famili atau keluarga di sana, dari

yang bersangkutan memperoleh penjelasan bahwa dia juga sebagai penerima gadai tanaman pohon

kelapa di Kampung Sukorejo selama bertahun-tahun dan tidak pernah mendapatkan suatu

permasalahan yang signifikan terkait dengan transaksi gadai tanaman pohon kelapa tersebut.

Dari informan ini diperoleh penjelasan terkait dengan kegiatan akad gadai tanaman pohon

kelapa di Kampung Sukorejo yang dia lakukan semula karena ikut-ikutan kepada penerima gadai

sebelumnya, karena dia punya dana untuk dikelola dengan cara gadai itu maka mencobalah

menginvestasikan modalnya dengan cara gadai tanaman pohon kelapa di Kampung Sukorejo

tersebut. Jadi niatnya disamping bersifat sosial menolong saudara-saudara muslimnya di kampung

tersebut yang membutuhkan dana untuk kepentingan skunder mereka, dia juga ada unsur bisnisnya

yakni modalnya tidak diam begitu saja tapi berputar kendatipun putarannya cukup lambat yang

penting tidak berhenti berputar.

Cerita pengalaman memanfaatkan agunan gadai tanaman pohon kelapa di Kampung Sukorejo

tersebut, pada suatu periode penggadaian tanaman pohon kelapa selama tiga tahun, informan ini

mengalami sedikit kurang menguntungkan secara bisnis karena harus banyak mengeluarkan biaya

perawatan tanaman pohon kelapa tidak lebat buahnya karena ternyata pupusnya atau janur

kuningnya sudah dijual kepada pengepul yang kabarnya dibawa ke pulau Bali, untuk

memulihkannya perlu perawatan khusus dengan penyiraman disertai pupuk tertentu yang sudah

dipahami oleh perawatnya namun hasilnya juga terlalu kelihatan seperti pohon-pohon kelapa

lainnya, sehingga cukup dimengerti bahwa kalau mengambil gaden tanaman pohon kelapa yang

Page 11: Sistem gadai pohon kelapa artikel corrected

10

seperti itu nilainya lebih murah karena cara hitungan gadainya dihargai per pohon per tahun biasanya

seharga Rp300.000,-.

Ada pedoman sederhana dalam transaksi gadai yang dialami oleh informan ini yaitu dalam

kesederhanaan akad gadainya ada sebuah kalimat yang cukup sederhana namun sangat sesuai dengan

prinsip ekonomi syari‟ah yang dikatakan oleh penggadai kepada pegadai sebagai berikut: “uang saya

kamu pakai sebagai imbalannya pohon kelapamu yang kau jadikan agunan saya manfaatkan (saya

ambil) buahnya”, hal ini diucapkan dalam keadaan saling meridloi satu sama lain. Ucapan ini

disarikan dari ungkapan salah seorang pelaku akad gadai juga yang bernama ibu Yuzjiyah selagi

masih hidupnya.

Pembahasan terhadap hasil penelitian tersebut di atas adalah:

Sebagai pembahasan singkat adalah antara teori yang diperoleh dari kajian pustaka diajdikan sebagai

wazan atau timbangan terhadap praktek sistem gadai tanaman pohon kelapa di lokasi peneletian,

ternyata para pelaku akad gadai tersebut mengikuti pendapat yng disampaikan oleh Ulama Hanabilah

(Hanbali) tentang diperbolehkan memanfaatkan agunan gadai secara penuh sehingga praktis tidak

seperti yang disampaikan oleh Jumhur Ulama yang melarang secara mutlak pemanfaatan agunan gadai

oleh penerima gadai atau penggadai.

SIMPULAN

Dari rumusan masalah dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Pendapat Jumhur ulama yang melarang penerima gadai memanfaatkan agunan gadai tidak dapat

diberlakukan dalam sistem gadai tanaman pohon kelapa di Sukorejo Situbondo praktis tidak

dapat diaplikasikan dalam kehidupan bisnis dan sosial di sana.

2. Masyarakat Kampung Sukorejo Situbondo secara teoritis memberlakukan pendapat ulama

Hanabilah yang memperbolehkan pemanfaatan agunan gadai sekedar pengganti biaya

pemeliharaan sebagaimana fatwa DSN-MUI point 2 bagian kedua.

3. Pemanfaatan agunan gadai pohon kelapa oleh penerima gadai dalam kehidupan bisnis dan sosial

masyarakat Kampung Sukorejo Situbondo sekedar pengganti biaya pemeliharaan dan

perawatannya sebagaimana fatwa yang ditetapkan oleh DSN-MUI point 2 bagian kedua tersebut

secara praktis tidak terukur secara matematis.

REKOMENDASI

1. Yang terhormat para pembaca, penulis sangat mengharapkan kiranya dapat memberikan koreksi

kritik yang konstruktif dan penulis menyediakan email untuk itu yaitu [email protected].

2. Khusus pada yang terhormat pelaku akad gadai secara umum di daerah penelitian, khususnya

yang menggunakan agunan tanaman pohon kelapa, kiranya dapat memperbaiki format

perjanjian gadai yang selama ini sangat sederhana namun telah mencukupi syarat rukunnya, ke

depan diharapkan telah lebih disempurnakan untuk kepentingan penelitian pengembangan

(explanation research) lebih lanjut.

3. Kepada Kepala Kampung Sukorejo dan Kepala Desa Sumberejo yang setiap saat memantau

kehidupan ekonomi warganya, khususnya dalam sistem gadai dimaksud kiranya dapat

memberikan penjelasan tentang teknik berakad yang baik sesuai kondisi dan situasi yang

berkembang saat ini dalam dunia transaksi secara administratif dan hukum positif.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini jauh dari kesempurnaan, karena itu penulis mengharap kritik,

saran dan masukan dalam rangka penyempurnaan penulisan berikutnya. Akhirnya, hanya kepada

Allah kami menyembah, berserah diri dan mohon pertolongan untuk menggapai jalan yang lurus.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Aziz Dahlan (Editor). Ensiklopedi Hukum Islam (Al Mausu‟atul Fiqhiyyah). Jakarta. PT Ichtiar

Baru Van Hoeve (Penerbit). PT Ikrar Mandiriabadi (Pencetak). 2000. Cetakan keempat. Jilid 2.

Halaman 383 - 387.

Page 12: Sistem gadai pohon kelapa artikel corrected

11

Abdul Hadi. Kajian Fatwa Tentang Hukum Ekonomi Syariah. Tugas Seminar Di Kelas. Materi Kuliah

Slide Power Point Presentation. Surabaya. 2015.

Abdur Rohman Al-Jaziri. Kitab Al Fiqhu „Ala Madzahibil Arba‟ah. Beirut. Darul Fikri. Cetakan

Pertama. Tahun 1392. Juz Tiga. Halaman 319 - 337. Naskah dari Maktabah At-Tijariyah Al-

Kubro. Kairo Mesir.

Ahmad Imam Mawardi. Fiqh Minoritas, Fiqh Al Aqalliyat Dan Evolusi Maqashid Al- Syari‟ah Dari

Konsep ke Pendekatan. LKiS Yokyakarta. Cetakan I: Desember 2010.

Ahmad Saiful Anam. Metodologi Penelitian. Materi Kuliah Slide Power Point Presentation. Surabaya.

2015.

Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (M.A.Sahal Mahfudh. dan M. Din Syamsuddin).

Fatwa Nomor 25/DSN-MUI/III/2002 Tentang Rahn. Jakarta.15 Rabi‟ul Akhir 1423 H / 26 Juni

2002 M.

Didin Fatihudin dan Iis Holisin. Cara Praktis Memahami Penulisan Karya Ilmiyah, Artikel Ilmiyah &

Hasil Penelitian Skripsi, Tesis, dan Disertasi. Yokyakarta.Unit Penerbit Dan Percetakan Sekolah

Tinggi Ilmu Managemen YKPN. Tahun 2011. Edisi Pertama. Cetakan Pertama.

Didin Fatihudin. Metode Penelitian Untuk Ilmu Ekonomi, Manajemen Dan Akutansi dari Teori ke

Praktek. Surabaya. PPs UMSurabaya. Tahun 2012.

Ibnu Rusydi. Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid. Semarang. Maktabah Usaha Keluarga.

Tanpa Tahun.

Salim HS. dan Erlies Septiana Nurbani. Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis Dan Desertasi.

Divisi Buku Perguruan Tinggi PT RajaGrafindo Persada. Jakarta. 2014.

Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singka. Jakarta.

RajaGrafindo Persada. 2010.

Soetandyo Wignjosoebroto. Hukum, Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya, Jakarta. Huma.

2002.

Muhammad Hasyim Asy‟ari. Risalah Ahlus Sunnah Wal Jama‟ah (Aswaja). Jakarta. Halwa. Cetakan

Pertama. Edisi Indonesia Pnerjemah Wawan Djunaedi Soffandi.

Wahbah Al-Zuhayly. Al-Fiqh Al-Islami Wa „Adillatuhu. Damaskus. Dar Al-Fikri. 1989M / 1409H.

Cetakan Ketiga. Juz V Fasal ke 12. Halaman 179 - 292.