sistem bagi hasil di daerah hukum adat surakarta dan yogyakarta pada masa hindia belanda

7
Resume Sistem Bagi Hasil di Daerah Hukum Adat Surakarta dan Yogyakarta pada masa Hindia Belanda Disusun guna memenuhi tugas Uji Kompetensi Dasar II Mata Kuliah Sejarah Agraria (2) Dosen Pengampu: Tiwuk Kusuma Hastuti, S.S., M.Hum. Oleh: Ihwan Ali C0513020

Upload: ihwan-ali

Post on 13-Nov-2015

14 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

bagi hasil di solo dan jogja bagian dari desertasi scheltema

TRANSCRIPT

ResumeSistem Bagi Hasil di Daerah Hukum Adat Surakarta dan Yogyakarta pada masa Hindia BelandaDisusun guna memenuhi tugas Uji Kompetensi Dasar II Mata Kuliah Sejarah Agraria (2)Dosen Pengampu: Tiwuk Kusuma Hastuti, S.S., M.Hum.

Oleh:Ihwan AliC0513020

JURUSAN ILMU SEJARAHFAKULTAS ILMU BUDAYAUNIVERSITAS SEBELAS MARETSURAKARTA2015ResumeSistem Bagi Hasil di Daerah Hukum Adat Surakarta dan Yogyakarta pada masa Hindia BelandaA.M.P.A. Scheltema. Bagi Hasil di Hindia Belanda. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985

Dalam Pandecten Hukum Adat, tidak ada hal-hal yang berkaitan dengan hukum adat. Keadaan agraria dan ekonomi di daerah kerajaan (Surakarta dan Yogyakarta) sebelum diadakan reorganisasi sangat berlainan jika dibandingkan dengan bagian-bagian lain di Jawa. Ada perbedaan pendapat mengenai peranan yang dipegang bagi hasil (Belanda: deelbouw) dalam sistem agraria lama. Sebelumnya, perjanjian ini memang ada, tetapi penggarapan tanah milik kerajaan dan tanah jabatan oleh sementara orang dianggap sebagai bagi hasil. Hal tersebut menurut Scheltema tidak tepat. Dalam sistem agraria lama, dibedakan antara tanah-tanah yang berada dalam pengelolaan keuangan langsung raja sendiri, yaitu tanah-tanah milik negara (dalam arti sempit tanah-tanah milik kerajaan); dan tanah-tanah jabatan yang dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan kerabat raja dan para pegawai. Para pemegang tanah jabatan dinamakan lurah patuh atau patuh; sedangkan daerahnya dinamakan lungguh atau gaduhan.Dari semua tanah garapan suatu desa 1/5 bagian merupakan tanah jabatan bebas pajak, yang disebut lungguh bagi bekel, yang sekaligus menjabat kepala desa secara administratif. Selebihnya tetap ada pada rakyat dan dinamakan bumi dalem (tanah raja) atau bumi kongsi (tanah persekutuan). Padi yang merupakan hasil panen dari sawah-sawah harus diserahkan separuh pada sawah-sawah biasa, dan sepertiga (mertelon) pada sawah-sawah tadah hujan atau kurus. Pada tegalan atau pegagan; kadang-kadang di daerah pegunungan (mrapat) atau 2/5 (marolima). Mertelu juga diterapkan pada jagung, ketela, dan kacang-kacangan.Sistem Pemungutan Pajeg, Sistem Maro, dan MajeganPajeg yang dipungut dari tanah-tanah garapan, terutama tanah-tanah milik kerajaan dapat berupa uang (sistem majegan) atau natura (sistem maro atau maron). Menurut Logeman, tidak ada hubungan antara pajeg dengan besarnya nilai uang dari 2/5 bagian dari hasil panen dalam sistem pajeg.Di atas tanah-tanah jabatan, patuh dapat memungut pajak menurut sistem maron atau majegan. Bekel yang menerapkan sistem maron disebut bekel maron, sedangkan bekel yang menerapkan sistem majegan disebut bekel majegan, yang tidak mempunyai lungguh.Para ilmuwan berbeda pendapat mengenai sistem maron, apakah sistem ini merupakan sistem bagi hasil atau bukan. Rouffaer mengatakan bahwa sistem maron merupakan sistem bagi hasil berdasarkan kenyataan raja sebagai pemilik tanah, yang kemudian timbul gejala-gejala yang lain. Bagi Hasil di Daerah KerajaanBagi hasil di daerah kerajaan, terutama di Surakarta dinamakan srama, sehubungan dengan uang tambahan yang kadang-kadang dibayarkan, terutama dalam hal maron. Di Yogyakarta, srama disebut juga mesi. Dr. Adam menyebutkan bahwa selain para bekel, pihak yang menyediakan tanah dalam kegiatan bagi hasil setelah diadakan reorganisasi adalah lurah dan para anggota pemerintah desa. Kelurahan juga bertindak menjadikan sebuah tanah menjadi lemah kas desa (tanah pensiunan) sebagai tanah kelurahan apabila para pemiik tanah tersebut meninggal. Kegiatan bagi hasil digarap oleh pengindung yang bertempat tinggal di halaman orang lain (tuna kisma). Sebelum diadakan reorganisasi, tanah-tanah garapan penduduk terlebih dahulu disewakan kepada perkebunan yang diolah dalam bagi hasil. Orang-orang desa tersita waktunya untuk keperluan wajib kerja pemilik tanah, sehingga umumnya mereka kehabisan waktu dan gairah untuk menggarap persilnya sendiri yang kecil, sehingga menggarapkannya kepada rekan sedesa dalam bagi hasil atau mengupahkan penggarapannya. Menurut para pengurus perkebunan, sesudah reorganisasi, bagi hasil konon semakin banyak adanya; De Kat Angelino menganggap gejala itu diakibatkan oleh kemakmuran yang menyebabkan para petani dapat menemukan penghidupan yang baik dengan cara yang lain, sehingga mereka berkesempatan untuk membagihasilkan persil mereka. Tanah jabatan boleh digarapkan secara bagi hasil dalam kelurahan-kelurahan bentukan baru.Data SurakartaSeorang penasihat sekaligus ahli pertanian di Surakarta, van Alphen menyebutkan dalam laporannya bahwa sistem maron lazim dilakukan di daerah gadon (daerah perkebunan Klaten). Dia juga menyebukan bahwa semakin ke timur, sawah tadah hujan srama menghilang dan sistem mertelon (sepertiga) mnjadi dominan di Surakarta Selatan, Boyolali Timur Laut, dan Sragen Utara. Pada sistem maron, penggarap menerima separuh dari hasil panen, tetapi di samping itu ia harus membayar srama, yang di daerah gadon sangat bervariasi dan lebih baik, dari f 0 sampai f 40 (pernah lebih tinggi sampai f 75). Besarnya ditentukan oleh:a. Kualitas tanah dan keadaan pengairan;b. Letak tanah terhadap transportasi (jalan raya dan kereta api) dan lakunya hasil produksi serta kepadaran penduduknya;c. Jangka waktu berlangsungnya bagi hasil, dan lama tidaknya pembayaran srama sebelumnya. Srama, yang di lain tempat dibayar oleh penggarap, di daerah mertelon digantikan dengan bagian dari hasil yang lebih besar bagi penggarap. Srama biasanya hanya dibayar atas sawah gadon dan sawah yang baik. Namun kadang-kadang terdapat juga srama di tegalan yang baik (Boyolali, Sawahan). Srama tertinggi terdapat di daerah-daerah gadu yang paling baik (Distrik Delanggu dan Ponggok).Di sekitar Tegalgondo, di amna terdapat banyak sawah gadon kelas dua (30 hingga 40 pikul padi basah per bau, 26 hingga 35 ku/ha), besarnya srama per oyod (yaitu lamanya tanaman padi + waktu penggarapan tanah) adalah f 2,50 f 37,50. Jadi, dalam kategori sawah tertentu, masih terdapat banyak variasi dalam hal srama. Jika pada tahun 1913 besarnya srama f 2 - @ f 3, pada tahun 1923/1924 jumlah itu menjadi f 5 @ f 6. Harga srama naik bersama dengan naiknya upah tanam dan penyiangan. Di Wonogiri, pada sawah kelas satu tahun 1925 dibayar f 10 sampai f 20 untuk srama, biasanya dilunasi 1 @ 1,5 tahun sebelumnya. Jika srama dibayar dekat menjelang tanh digarap, harus dibayar jumlah yang lebih tinggi. Untuk sawah kelas dua harga srama f 5 sampai f 10.Jadi, variasi srama di sini sangat kecil, karena tidak ada sawah gadu yang baik. Untuk tegalan harus dicatat, bahwa pada penggarapan pertama setelah selama satu tahun dibiarkan bera, penggarap menerima seluruh hasilnya. Di kemudian hari, penggarap menerima satu bagian yang besarnya disesuaikan dengan kesuburan tanahnya. Untuk tegalan yang baik, sistem maron adalah umum, untuk tegalan di pegunungan yang lebih buruk, dipakai sistem mertelu, atau juga sistem mrapat. Perjanjian yang umum dipakai di Kecamatan Pracimantoro bukan bagi hasil. Di sana, berlaku kebiasaan pada pembudidayaan tegalan dengan pertanaman tumpang sarinya, dimana hasil panen padi gaga diperuntukkan bagi pemilik tanah dan tanaman-tanaman lainnya, seperti ketela dan gud (Cajanus Cajan) bagi penggarap. Karena di sini tidak ada pembagian hasil panen, maka sebenarnya tidak dapat dikatakan adanya bagi hasil.Data YogyakartaPada tahun 1924, srama di Prambanan untuk sawah lungguh turun dari f 40 menjadi f 35 per bau. Srama untuk tanah glebag sejalan dengan itu. Setelah diselidiki mengapa pembayaran untuk srama menurun, jawabannya ialah bahwa harga padi yang dianggap sebagai pedoman untuk nilai-nilai lainnya di desa, telah menurun. Bibit dan ternak selalu disediakan oleh penggarap. Jika sesekali bibit disediakan oleh pemilik tanah, maka pada waktu panen jumlahnya diperhitungkan lebih dahulu dan sesudah itu baru sisanya dibagi. Di daerah bekas Mataram dan Kulonprogo, ada maro sebelum diadakan reorganisasi. Di Sleman juga dikenal merempat (1/4 kepada penggarap, tetapi pemilik menyediakan bibit). Di Gunung Kidul ada mertelu (2/3 untuk penggarap) pada tegalan dan sawah tadah hujan, oleh karena tanah-tanah ini umumnya sulit pengolahannya. Jika penggarap menyediakan bibit, maka ia berhak atas separuh dari hasil panen.Di Kelurahan Sidoarjo, Dr. Adam menemukan bahwa kadang-kadang penggarap harus membayar srama, di sini disebut mesi, yang sudah dikenal di seluruh Yogyakarta. Lurah minta mesi sebanyak f 3 untuk bau, tetapi penggarap lalu mempunyai hak untuk mengambil seluruh hasil srhan, yaitu sebuah jalur sempi selebar 3 meter pada sisi sawah yang pendek, jadi panjangnya sama dengan lebar sawah. Bila pemberi garapan yang menerima mesi, maka penggarap menerima 1/3 bagian dari hasil panen palawija juga dibagi sama rata. Sesudah reorganisasi, adanya bagi hasil masih sama tersebarnya seperti sebelumnya, tetapi sejak reorganisasi dapat dikatakan sudah menjadi kebiasaan bahwa penggarap membayar srama.Menurut keterangan Dr. L. Adam, srama jarang dibayarkan untuk bagi hasil atas sawah glebagan. Kadang-kadang sebagian dari sawah dipisahkan untuk penggarap yang hasilnya digunakan untuk membiayai wiwitan (selamatan kecil pada permulaan tanah). Untuk bagi hasil palawija dan padi gogo, umumhya yang diterapkan adalah mertelu (1/3 untuk pemilik dan 2/3 untuk penggarap). Bila srama tidak dibayar, maka setelah panen padi hasil panen palawija dibagi saja rata. Penggarap menanggung sendiri benihnya; pajak tanah dibayar oleh pemilik tanah.