sirosis dg perdarahan
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Di negara maju, sirosis hati merupakan penyebab kematian terbesar ketiga
pada pasien yang berusia 45-46 tahun (setelah penyakit kardiovaskuler dan
kanker). Diseluruh dunia sirosis menempati urutan ke tujuh penyebab kematian.
Sekitar 25.000 orang meninggal setiap tahun akibat penyakit ini. Sirosis hati
merupakan penyakit hati yang sering ditemukan dalam ruang perawatan Bagian
Penyakit Dalam. Perawatan di Rumah Sakit sebagian besar kasus terutama
ditujukan untuk mengatasi berbagai penyakit yang ditimbulkan seperti
perdarahan saluran cerna bagian atas, koma peptikum, hepatorenal sindrom, dan
asites, Spontaneous bacterial peritonitis serta Hepatosellular carcinoma. Di
negara maju, kasus Sirosis hati yang datang berobat ke dokter hanya kira-kira
30% dari seluruh populasi penyakit ini, dan lebih kurang 30% lainnya ditemukan
secara kebetulan ketika berobat untuk penyakit lain (Maryani S, 2003).
Lebih dari 40% pasien asimptomatis. Pada keadaan ini sirosis ditemukan
waktu pemeriksaan rutin kesehatan atau pada waktu autopsy. Keseluruhan
insidensi sirosis di Amerika diperkirakan 360 per 100.000 penduduk.
Penyebabnya sebagian besar akibat penyakit hati alkoholik maupun infeksi virus
kronik. Hasil penelitian lain menyebutkan perlemakan hati akan mengakibatkan
nonalkoholik steatohepatitis (NASH, prevalensi 4%) dan berakhir sirosis hati
dengan prevalensi 0,3%. Prevalensi sirosis hati akibat alkoholik dilaporkan 0,3%
juga. Angka kejadian sirosis hati dari hasil autopsi di Barat sekitar 2,4% (0,9%-
5,9%) (Sudoyo, 2006).
Di Indonesia secara umum frekuensi sirosis hati berkisar 0,6%-14,5%
dengan penderita pria lebih banyak dari wanita (2-4,5:1) dan terbanyak didapat
pada dekade ke lima. Tarigan di Medan melaporkan dalam kurun waktu 4 tahun
dari 19.914 pasien yang dirawat di Bagian Penyakit Dalam, didapatkan 1128
pasien penyakit hati (5%) dan pengamatan secara klinis di jumpai 819 (72,7%)
adalah penderita sirosis hati (Sudoyo, 2006).
Sirosis hepatis adalah penyakit hati menahun yang difus, ditandai dengan
adanya pembentukan jaringan ikat disertai nodul. Biasanya dimulai dengan
adanya proses peradangan, nekrosis sel hati yang luas, pembentukan jaringan ikat
dan usaha regenerasi nodul (Sjaifoellah Noer, 1996). Penyakit ini merupakan
stadium terakhir dari penyakit hati kronis dan terjadinya pengerasan sel hati,
dengan memberikan gambaran klinis akibat kegagalan sel hati dan hipertensi
portal (Hadi, 1995).
Menurut Sudoyo (2006), etiologi dari sirosis hati di negara barat yang
tersering akibat alkoholik, sedangkan di Indonesia terutama akibat infeksi virus
hepatitis B maupun C. Hasil penelitian di Indonesia menyebutkan virus hepatitis
B menyebabkan sirosis sebesar 40-50%, dan virus hepatitis C 30-40%,
sedangkan 10-20% penyebabnya tidak diketahui dan termasuk kelompok virus
2
bukan B dan C (non B-non C). Alkohol sebagai penyebab sirosis di Indonesia
mungkin frekuensinya kecil sekali karena belum ada datanya.
Setiap penderita Sirosis Hepatis dekompensata terjadi hipertensi portal, dan
timbul varises esophagus. Varises esophagus yang terjadi pada suatu waktu
mudah pecah, sehingga timbul perdarahan yang massif. Sifat perdarahan yang
ditimbulkan adalah muntah darah atau hematemesis biasanya mendadak dan
massif tanpa didahului rasa nyeri di epigastrium. Darah yang keluar berwarna
kehitam-hitaman dan tidak akan membeku, karena sudah tercampur dengan asam
lambung. Setelah hematemesis selalu disusul dengan melena. Mungkin juga
perdarahan pada penderita Sirosis Hepatis tidak hanya disebabkan oleh pecahnya
varises esophagus saja. Fainer dan Halsted pada tahun 1965 melaporkan dari 76
penderita Sirosis Hepatis dengan perdarahan ditemukan 62% disebabkan oleh
pecahnya varises esofagus, 18% karena ulkus peptikum dan 5% karena erosi
lambung (Sujono Hadi, 2002).
Selain itu perdarahan pada sirosis hati dapat juga disebabkan oleh
hemoroid, sintesis faktor pembekuan yang menurun, trombositopenia akibat
hiperplenisme, meningkatnya aktifitas fibrinolisis, DIC dan pembentukan yang
abnormal fibrinogen (disfibrinogenemia). Perdarahan dapat bersifat akut dengan
gambaran morfologi darah normokrom, normositik. Tidak dapat dikesampingkan
adanya faktor-faktor perdarahan yang tersembunyi yang dapat menyebabkan
penurunan besi total dalam tubuh, maka cadangan besi yang ada pada hati akan
3
dimanfaatkan secara maksimal sampai suatu saat cadangan besi akan habis, maka
secara klinis baru tampak penderita pucat oleh karena defisiensi besi (Ida, 2003).
Pecahnya varises merupakan salah satu penyebab utama kematian pada
pasien sirosis hepatis sehingga harus menjadi perhatian. Lebih dari 30% kasus
perdarahan pertama berakibat fatal (mengakibatkan kematian), sedangkan 70%
kasus yang bertahan akan mengalami perdarahan berulang (Shahara, 2001) dalam
Fahrial (2004).
Beberapa faktor yang menjadi sebab terjadinya pecah varises antara lain
elastisitas dari varises, tekanan intra varises serta tekanan intraluminal. Secara
klinis faktor resiko perdarahan varises adalah beratnya sirosis (yang di
klasifikasikan menjadi Child A, Child B, dan Child C) yang dialami oleh pasien
(biasanya ditandai dengan mata yang kuning, adanya udem pada kaki dan asites),
besarnya varises (semakin besar semakin mudah terjadinya perdarahan), selain
itu adanya tanda merah pada dinding varises merupakan faktor terjadinya
perdarahan. Oleh karena itu, usaha mengurangi tekanan varises dan memperbaiki
keadaan sirosis merupakan suatu usaha untuk mengurangi terjadinya perdarahan
(Shahara, 2001) dalam Fahrial (2004).
Dari data yang didapat di ruang Kemuning RSUD dr. M. Yunus Bengkulu
bahwa dari bulan Januari 2009 sampai Desember 2009 tercatat angka kejadian
sirosis hepatis 52 kasus.
Dari uraian di atas maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
tentang hubungan derajat penyakit sirosis hepatis dengan kejadian perdarahan
4
saluran cerna bagian atas (SCBA) pada pasien rawat inap di Ruang Kemuning
RSUD dr. M. Yunus Bengkulu tahun 2009.
1.2. Rumusan Masalah
Apakah ada hubungan derajat penyakit sirosis hepatis dengan kejadian
perdarahan saluran cerna bagian atas (SCBA) pada pasien rawat inap di Ruang
Kemuning RSUD dr. M. Yunus Bengkulu tahun 2009?
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Untuk mempelajari hubungan derajat penyakit sirosis hepatis dengan
kejadian perdarahan saluran cerna bagian atas (SCBA) pada pasien rawat inap
di Ruang Kemuning RSUD dr. M. Yunus Bengkulu tahun 2009.
1.3.2. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui gambaran distribusi frekuensi derajat penyakit sirosis
hepatis pasien rawat inap di Ruang Kemuning RSUD dr. M. Yunus
Bengkulu tahun 2009.
2. Untuk mengetahui gambaran distribusi frekuensi perdarahan saluran cerna
bagian atas (SCBA) pada pasien sirosis hepatis di Ruang Kemuning
RSUD dr. M. Yunus Bengkulu tahun 2009.
3. Untuk mengetahui hubungan derajat penyakit sirosis hepatis dengan
kejadian perdarahan saluran cerna bagian atas (SCBA) pada pasien rawat
inap di Ruang Kemuning RSUD dr. M. Yunus Bengkulu tahun 2009.
5
1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1. Bagi Tempat Penelitian/RSUD dr. M. Yunus Bengkulu
Sebagai masukan bagi pihak rumah sakit dalam meningkatkan pelayanan
kesehatan pada pasien dengan sirosis hepatis terutama dalam penanganan
perdarahan saluran cerna bagian atas (SCBA).
1.4.2. Bagi Institusi Pendidikan
Sebagai bahan bacaan diperpustakaan atau sumber data bagi peneliti lain yang
memerlukan masukan berupa data atau pengembangan penelitian dengan
judul yang sama demi kesempurnaan penelitian ini dan sebagai sumber
informasi pada institusi Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Tri Mandiri Sakti
Bengkulu agar dijadikan dokumentasi ilmiah untuk merangsang minat peneliti
selanjutnya.
1.4.3. Bagi Peneliti
Merupakan pengalaman berharga terhadap peneliti dalam rangka menambah
wawasan keilmuan, khususnya tentang hubungan derajat penyakit sirosis
hepatis dengan kejadian perdarahan saluran cerna bagian atas.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Konsep Dasar Sirosis Hepatis
2.1.1. Pengertian
Menurut Sylvia A (2005), sirosis hepatis adalah penyakit kronik yang
ditandai dengan distorsi susunan sel-sel hepar oleh adanya pita-pita jaringan
penyambung dari nodul-nodul sel hepar yang sedang mengalami regenerasi
yang tak serupa dengan sel normal.
Sirosis hepatis adalah suatu keadaan patologis yang menggambarkan
stadium akhir fibrosis hepatic yang berlangsung progresif yang ditandai
dengan distorsi dari arsitektur hepar dan pembentukan nodulus regenerative
(Sudoyo, 2006).
Menurut Sjaifoellah Noer (1996), sirosis hepatis adalah penyakit hati
menahun yang difus, ditandai dengan adanya pembentukan jaringan ikat
disertai nodul. Biasanya dimulai dengan adanya proses peradangan, nekrosis
sel hati yang luas, pembentukan jaringan ikat dan usaha regenerasi nodul.
Sedangkan menurut Sulaiman (1998), sirosis hati adalah penyakit hati
menahun yang ditandai dengan proses peradangan, nekrosis sel hati, usaha
regenerasi dan penambahan jaringan ikat difus dengan terbentuknya nodul
yang mengganggu susunan lobulus hati.
7
2.1.2. Anatomi dan Fisiologi Hati
1. Anatomi Hati
Hati adalah kelenjar terbesar dalam tubuh, berat rata-rata sekitar
1.500 gram atau 2% berat badan orang dewasa normal. Hati merupakan
organ lunak yang lentur dan tercetak oleh struktur sekitarnya. Hati
memiliki permukaan superior yang cembung dan terletak di bawah kubah
kanan diafragma dan sebagian kubah kiri. Bagian bawah hati berbentuk
cekung dan merupakan atap dari ginjal kanan, lambung, pancreas, dan
usus. Hati memiliki dua lobus utama yaitu kanan dan kiri. Lobus kanan
dibagi menjadi segmen anterior dan posterior oleh fisura segmentalis kanan
yang tidak terlihat dari luar. Lobus kiri dibagi menjadi segmen medial dan
lateral oleh ligamentum falsiformis yang terlihat dari luar. Setiap lobus hati
terbagi menjadi struktur-struktur yang disebut lobulus, yang merupakan
unit mikroskopis dan fungsional organ. Hati manusia memiliki maksimal
100.000 lobulus. Di antara lempengan sel hati terdapat kapiler-kapiler yang
disebut sinusoid, yang merupakan cabang vena porta dan arteria hepatika,
juga terdapat saluran empedu (Sylvia, 2005).
2. Fisiologi Hati
Hati memiliki dua sumber suplai darah, yaitu dari saluran cerna dan
limpa melalui vena porta hepatika, dan dari aorta melalui arteria hepatika.
Sekitar sepertiga darah yang masuk adalah darah arteria dan duapertiganya
8
adalah darah vena porta. Volume total darah yang melewati hati setiap
menitnya adalah 1.500 ml dan dialirkan melalui vena hepatika kanan dan
kiri, yang selanjutnya bermuara pada vena kava inferior (Sylvia, 2005).
Vena porta bersifat unik karena terletak di antara dua daerah kapiler,
yang satu terletak dalam hati dan lainnya dalam saluran cerna. Saat
mencapai hati, vena porta bercabang-cabang yang menempel melingkari
lobulus hati. Cabang-cabang ini kemudian mempercabangkan vena-vena
interlobularis yang berjalan di antara lobulus-lobulus. Vena-vena ini
selanjutnya membentuk sinusoid yang berjalan diantara lempengan
hepatosit dan bermuara dalam vena sentralis. Vena sentralis dari beberapa
lobulus bersatu membentuk vena sublobularis yang selanjutnya menyatu
dan membentuk vena hepatika. Cabang-cabang terhalus arteria hepatika
juga mengalirkan darahnya ke dalam sinusoid, sehingga terjadi campuran
darah arteri dari arteria hepatika darah vena dari vena porta (Sylvia, 2005).
Menurut Sylvia (2005), fungsi utama hati adalah: pembentukan dan
eksresi empedu, metabolisme karbohidrat, metabolisme protein,
metabolisme lemak, penimbunan vitamin dan mineral, metabolisme
steroid, detoksifikasi, dan gudang darah dan filtrasi.
9
2.1.3. Etiologi
Penyebab terjadinya sirosis hepatis adalah hepatitis virus B dan C,
alkohol, metabolik, obstruksi aliran vena hepatic, gangguan immunologis dan
obat serta malnutrisi (Mansjoer, 2000).
2.1.4. Klasifikasi Sirosis Hepatis
1. Klasifikasi berdasarkan etiologi
a. Sirosis laennec
Juga disebut sirosis alkoholik, portal, dan sirosis gizi,
merupakan suatu pola sirosis yang dihubungkan dengan
penyalahgunaan alkohol kronik.
Pada sirosis laennec yang lanjut, lembaran jaringan ikat yang
tebal terbentuk pada pinggir lobulus membagi parenkim menjadi
nodula-nodula halus, nodula ini dapat membesar akibat aktivitas
regenerasi hati dalam mengganti sel-sel rusak, hati tampak terdiri dari
sarang sel-sel degenerasi dalam kapsula fibrosa yang tebal. Hati akan
menciut, keras dan hampir tidak memiliki parenkim normal pada
stadium akhir sirosis.
b. Sirosis post nekrotik
Terjadi menyusul nekrosis bercak-bercak pada jaringan hati
menimbulkan nodula-nodula degernatif besar dan kecil yang dikelilingi
oleh jaringan parut. Disebabkan hepatotoksik yang biasanya muncul
setelah sakit hepatitis.
10
c. Sirosis biliaris
Kerusakan hati yang dimulai di sekitar ductus biliaris akan
menimbulkan pola sirosis tipe ini, disebabkan obstruksi biliaris
posthepatik. Statis empedu menyebabkan penumpukan empedu di
dalam masa hati dengan akibat kerusakan sel-sel hati (Sylvia A, 2005).
2. Klasifikasi berdasarkan morfologi
a. Sirosis mikronodular
Ditandai dengan terbentuknya septa tebal teratur didalam septa parenkim
hati mengandung nodul halus.
b. Sirosis makronodular
Ditandai dengan terbentuknya septa dengan ketebalan bervariasi
terdapat nodul besar dan parenkim yang masih banyak.
c. Sirosis campuran
Merupakan jenis sirosis campuran antara sirosis mikronodular dan
makronodular.
3. Klasifikasi berdasarkan fungsional
a. Kegagalan hati/hepatoseluler
1) Timbul keluhan berat badan menurun dan mual.
2) Eritema Palmaris
3) Asietas
4) Atrofi testis
5) Ikterus, sirkulasi hiperkinetik
6) Ensefalopati hepatic, tremor akibat ammonia dan produksi nitrogen.
11
7) Gangguan koagulasi darah (defisiensi protrombin)
b. Hipertensi portal
Meningkatnya resistensi portal dan splanknik karena kurangnya sirkulasi
dan meningkatnya aliran portal karena transmisi dari tekanan arteri
hepatik.
Adapun penyebab hipertensi portal :
1) Post hepatik
Seperti gagal jantung kanan/perikarditis.
2) Intra hepatik
a) sirosis : alkohol, biliar primer, virus (HVB, HVC), autoimun
b) Non sirosis : hepatitis kronik aktif (virus, autoimun, obat),
idiopatik, perlemakan hati.
3) Prehepatik
a) Oklusi vena porta
b) Hipertensi portal non sirotik
c) Splenomegali tropik
d) Trombosis vena lienalis.
(Sjaifoellah Noer, 1996).
2.1.5. Derajat Sirosis Hepatis
Derajat penyakit sirosis hepatis adalah kategori beratnya gangguan
fungsi hati. Dinilai dengan modifikasi kriteria Child-Turcotte-Pugh
berdasarkan pemeriksaan klinis adanya ensefalopati hepatikum, asites,
12
pemeriksaan kadar albumin dan bilirubin serum serta waktu protrombin atau
International Normalized Ratio (INR). Sesuai kriteria tersebut pasien sirosis
hepatis diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu Child A, B dan C (Child Pugh
dalam Firmansyah, 2010).
Tabel 2.1. Skor Child Turcotte Pugh
Komponen 1 2 3Satuan
Unit
Bilirubin total <34 (<2) 34-50 (2-3) >50 (>3)μmol/l (mg/dl)
Serum albumin >35 28-35 <28 g/l
INR/pemanjangan masa protombin
<1.7 1.71-2.20 > 2.20 -
Asites Tidak ada Dapat dikontrolTidak dapat
dikontrol-
Ensefalopati hepatikum
Tidak adaDerajat I-II (atau akibat
supresi medikasi)Derajat III – IV
(refrakter)-
Sumber : Child Pugh dalam Firmansyah, (2010).
Keterangan :
1. Grade (Klasifikasi) A bila skor : 5-6
2. Grade (Klasifikasi) B bila skor : 7-9
3. Grade (Klasifikasi) C bila skor : 10-15
13
2.1.6. Patofisiologi
Beberapa penyebab terjadinya cirrhosis hepatis seperti virus hepatitis B
dan C, alkohol, toksik dari obat yang dapat menyebabkan perubahan pada
jaringan hati terutama pada sel-sel hati, yaitu peradangan pada sel-sel hati
tersebut dan bila hal ini berlangsung terus-menerus maka akan terjadi
pembentukan nodular. Kolaps pada lobulus hati kemudian membentuk jaringan
parut sehingga proses aliran darah pada hati terganggu yang kemudian akan
terjadi proses nekrosis. Pada keadaan ini hati akan menciut keras dan hampir
tidak memiliki parenkim normal yang akhirnya akan terjadi cirrhosis hepatis.
Keadaan ini dapat menimbulkan rasa nyeri pada daerah abdomen kanan atas.
Pada gastrointestinal terdapat gejala anoreksia, nausea dan penurunan berat
badan yang menimbulkan kelemahan dikarenakan metabolisme makanan
dalam tubuh menurun dan terjadinya tekanan porta seperti adanya asites,
hidrotorak dan splenomegali serta edema. Menurunnya metabolisme dalam
tubuh seperti menurunnya metabolisme bilirubin yang menyebabkan terjadinya
penurunan fungsi empedu di saluran cerna dan warna feses menjadi pucat,
pada bilirubinemia mengakibatkan terjadinya ikterus. Pada komplikasi yang
lebih lanjut dapat mengakibatkan kegagalan hati yaitu encepalopati hepatica,
asites, koma hepatikum dan dapat mengakibatkan kematian (Sylvia A, 2005).
14
2.1.7. Manifestasi Klinis
Menurut Sjaifoellah Noer (1996), keluhan pasien sirosis hepatis
tergantung pada fase penyakitnya :
1. Fase kompensasi sempurna
Pada fase ini pasien tidak mengeluh sama sekali (sama-samar) seperti
pasien merasa tidak bugar, selera makan kurang, perasaan perut kembung
dan mual, berat badan menurun, kelemahan otot dan perasaan cepat lelah.
2. Fase dekompensasi
Pada fase ini sudah dapat ditegakkan diagnosisnya dengan pemeriksaan
klinis, laboratorium, terutama bila timbul komplikasi, kegagalan hati dan
hipertensi porta dengan manifestasi seperti eritema palmaris, spider nevi,
vena kolatoral pada dinding perut, ikterus dan asites. Ikterus dengan air
kemih berwarna seperti teh pekat disebabkan proses penyakit yang
berlanjut ke arah keganasan hati, dimana tumor akan menekan saluran
empedu atau terbentuknya thrombus saluran empedu intra hepatik.
Penderita juga bisa datang dengan gangguan pembekuan darah seperti
perdarahan gusi epiktasis, gangguan siklus haid. Sebagian penderita datang
dengan gejala hematemesis dan melena atau melena saja akibat perdarahan
varises esofagus. Perdarahan bisa masih dan menyebabkan pasien jatuh ke
dalam renjatan. Pada kasus lain cirrhosis datang dengan gangguan
kesadaran berupa ensefalopati hepatik sampai koma hepatik.
15
Menurut Sherlock S (1997) dalam Ida (2003), gambaran klinis dari
sirosis hati, secara umum disebabkan oleh kegagalan hati/hepatoselular dan
hipertensi portal.
1. Kegagalan hati (kegagalan hepatoselular)
Dijumpai gejala subjektif berupa lemah, berat badan menurun,
gembung, mual dan lain-lain. Pada pemeriksaan fisik dijumpai : spider
nevi, eritema palmaris, asites, pertumbuhan rambut yang berkurang, atrofi
testis dan ginekomastia pada pria, ikterus, ensefalopati hepatik,
hipoalbuminemia disertai terbaliknya ratio albumin dan globulin serum.
2. Hipertensi Portal
Hipertensi portal adalah sindroma klinik umum yang berhubungan
dengan penyakit hati kronik dan mempunyai karakteristik peningkatan
tekanan portal yang patologis. Peningkatan tekanan portal karena
peningkatan resistensi vaskular dan aliran darah portal yang meningkat.
Peningkatan resistensi vaskular karena meningkatnya resistensi
intrahepatik dan resistensi kolateral portosistemik. Tekanan portal normal
berkisar antara 5-10 mmHg. Hipertensi portal timbul bila terdapat kenaikan
tekanan dalam sistem portal yang sifatnya menetap di atas harga normal.
Disebut hipertensi portal bila tekanan portal lebih dari 15 mmHg.
Hipertensi portal pada sirosis hati dihubungkan dengan sirkulasi
hiperdinamik yang ditandai dengan penurunan tahanan arterial, vasodilatasi
perifer dan regional. Vasodilatasi yang disertai dengan peningkatan kardiak
16
indeks dan aliran darah regional. Aliran darah yang hiperkinetik dijumpai
pada daerah splanknik dan sirkulasi sistemik dengan aliran darah ke
intestinal, lambung, limpa dan pankreas meningkat lebih 50% diatas nilai
kontrol. Sirkulasi hiperdinamik splanknik adalah konstribusi yang utama
menyebabkan gejala hipertensi portal. Meskipun sistem kolateral sistemik
terbentuk untuk mengurangi sirkulasi portal akan tetapi komplikasi
hipertensi portal masih dapat terjadi dan yang paling penting adalah
timbulnya varises esophagus perdarahan varises.
Sirkulasi hiperdinamik tampak pada pasien dengan ekstremitas
hangat, nadi yang kuat, denyut jantung yang cepat, cardiac output
meningkat dan volume darah meningkat. Bila terjadi progesifitas penyakit,
tahanan vaskular semakin menurun : vasodilatasi menjamin perfusi
jaringan yang adekuat, tetapi jika menetap, tekanan arteri yang rendah akan
menyebabkan gangguan sekunder pada ginjal. Ekspansi volume darah ini
dikuti dengan ginjal menahan natrium dan air yang menimbulkan
hiperaldosteronisme sekunder, teraktivasinya sistem saraf simpatis,
meningkatnya sekresi arginin vasopresin yang akhirnya mengurangi aliran
darah ke ginjal.
2.1.8. Pemeriksaan Penunjang dan Diagnosis
Diagnosa sirosis hati ditegakkan berdasarkan pemeriksaan klinis,
laboratorium dan pemeriksaan penunjang lainnya seperti ultrasonografi. Pada
stadium kompensasi sempurna kadang-kadang sangat sulit menegakkan
17
diagnosa sirosis hati. Pada stadium dekompensasi kadang tidak sulit
menegakkan diagnosis dengan adanya asites, edema pretibial, splenomegali,
vena kolateral, eritema palmaris dan albumin serum yang menurun (Hadi S,
1995).
Ultrasonografi merupakan pemeriksaan non invasif, aman dan
mempunyai ketepatan yang tinggi. Needlemann dkk mendapatkan bahwa
ketepatan ultasonografi sekitar 88 %, dan Taylor mendapatkan ketepatan
sekitar 93 %, sedangkan Sujono Hadi dan beberapa peneliti lain mendapatkan
ketepatan diagnosa sirosis hati dengan ultrasonografi sekitar 88-100%.
Gambaran ultrasonografi pada sirosis hati tergantung pada berat ringannya
penyakit. Diagnosa pasti dari sirosis hati ditegakkan melalui pemeriksaan
histopatologi (biopsi hati) (Hadi S, 1995).
Pemeriksaan penunjang dalam menegakkan diagnosis sirosis hepatis
meliputi :
1. Urine
Dalam urin terdapat urobilinogen, juga terdapat bilirubin bila penderita ada
ikterus. Pada penderita dengan asites, maka ekskresi natrium berkurang,
dan pada penderita yang berat ekskresinya kurang dari 3 meq (0,1).
2. Tinja
Mungkin terdapat kenaikan sterkobilinogen. Pada penderita ikterus
ekskresi pigmen empedu rendah.
18
3. Darah
Biasanya dijumpai normositik normokromik anemia yang ringan, kadang-
kadang dalam bentuk makrositer, yang disebabkan kekurangan asam folat
dan vitamin B12 atau karena splenomegali. Bilamana penderita pernah
mengalami perdarahan gastrointestinal, maka akan terjadi hipokromik
anemia. Juga dijumpai leukopeni bersama trombositopeni. Waktu
protombin memanjang dan tidak dapat kembali normal walaupun telah
diberi pengobatan dengan vitamin K. gambaran sumsum tulang terdapat
makronormoblastik dan terjadi kenaikan plasma sel pada kenaikan kadar
globulin dalam darah.
4. Tes faal hati
Penderita sirosis banyak mengalami gangguan tes faal hati, lebih-lebih lagi
bagi penderita yang sudah disertai tanda-tanda hipertensi portal. Hal ini
tampak jelas menurunnya kadar serum albumin <3,0% sebanyak 85,92%,
terdapat peninggian serum transaminase >40 U/l sebanyak 60,1%.
Menurunnya kadar tersebut di atas adalah sejalan dengan hasil pengamatan
jasmani, yaitu ditemukan asites sebanyak 85,79%.
5. Pemeriksaan CHE (kolinesterase)
Penting dalam menilai sel hati. Bila terjadi kerusakan sel hati, kadar CHE
akan turun, pada perbaikan terjadi kenaikan CHE menuju nilai normal.
Nilai CHE yang bertahan dibawah nilai normal, mempunyai prognosis
yang jelek.
19
6. Pemeriksaan kadar elektrolit
Penting dalam penggunaan diuretik dan pembatasan garam dalam diet.
Dalam hal ensefalopati, kadar Na 500-1000, mempunyai nilai diagnostik
suatu kanker hati primer.
7. Radiologi
Dengan barium swallow dapat dilihat adanya varises esofagus untuk
konfirmasi hepertensi portal.
8. Esofagoskopi
Dapat dilihat varises esofagus sebagai komplikasi sirosis hati/hipertensi
portal. Kelebihan endoskopi ialah dapat melihat langsung sumber
perdarahan varises esofagus, tanda-tanda yang mengarah akan
kemungkinan terjadinya perdarahan berupa cherry red spot, red whale
marking, kemungkinan perdarahan yang lebih besar akan terjadi bila
dijumpai tanda diffus redness. Selain tanda tersebut, dapat dievaluasi besar
dan panjang varises serta kemungkinan terjadi perdarahan yang lebih besar.
9. Ultrasonografi
Pada saat pemeriksaan USG sudah mulai dilakukan sebagai alat
pemeriksaa rutin pada penyakit hati. Diperlukan pengalaman seorang
sonografis karena banyak faktor subyektif. Yang dilihat pinggir hati,
pembesaran, permukaan, homogenitas, asites, splenomegali, gambaran
vena hepatika, vena porta, pelebaran saluran empedu/HBD, daerah hipo
atau hiperekoik atau adanya SOL (space occupyin lesion0. Sonografi bisa
20
mendukung diagnosis sirosis hati terutama stadium dekompensata,
hepatoma/tumor, ikterus obstruktif batu kandung empedu dan saluran
empedu, dll.
10. Sidikan hati
Radionukleid yang disuntikkan secara intravena akan diambil oleh
parenkim hati, sel retikuloendotel dan limpa. Bisa dilihatbesar dan bentuk
hati, limpa, kelainan tumor hati, kista, filling defek. Pada sirosis hati dan
kelainan difus parenkim terlihat pengambilan radionukleid secara
bertumpuk-tumpu (patchty) dan difus.
11. Tomografi komputerisasi
Walaupun mahal sangat berguna untuk mendiagnosis kelainan fokal,
seperti tumor atau kista hidatid. Juga dapat dilihat besar, bentuk dan
homogenitas hati.
12. Angiografi
Angiografi selektif, selia gastrik atau splenotofografi terutama pengukuran
tekanan vena porta. Pada beberapa kasus, prosedur ini sangat berguna
untuk melihat keadaan sirkulasi portal sebelum operasi pintas dan
mendeteksi tumopr atau kista.
13. Pemeriksaan penunjang lainnya adalah pemeriksaan cairan asites dengan
melakukan pungsi asites. Bisa dijumpai tanda-tanda infeksi (peritonitis
bakterial spontan), sel tumor, perdarahan dan eksudat, dilakukan
21
pemeriksaan mikroskopis, kultur cairan dan pemeriksaan kadar protein,
amilase dan lipase (Sujono, 2002).
2.1.9. Komplikasi
Menurut Sherlock S (1997), komplikasi dari sirosis hepatis adalah :
1. Perdarahan gastrointestinal
Hipertensi portal menimbulkan varises oesopagus, dimana suatu saat akan
pecah sehingga timbul perdarahan yang masih.
2. Koma Hepatikum.
3. Ulkus Peptikum
4. Karsinoma hepatosellural
Kemungkinan timbul karena adanya hiperflasia noduler yang akan berubah
menjadi adenomata multiple dan akhirnya menjadi karsinoma yang
multiple.
5. Infeksi
Misalnya : peritonisis, pneumonia, bronchopneumonia, Tb paru,
glomerulonephritis kronis, pielonephritis, sistitis, peritonitis, endokarditis,
septikemia.
6. Kematian
22
2.1.10. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada sirosis hepatis adalah sebagai berikut :
1. Istirahat di tempat tidur sampai terdapat perbaikan ikterus, asites.
2. Diit rendah protein (1 gr/kg BB), bila ada asites dan edema diberikan diit
rendah garam (600-800 mg), diet tinggi kalori 2000-3000 kalori perhari.
3. Untuk mengatasi infeksi diberikan antibiotic.
4. Membatasi jumlah intake cairan selama 24 jam ± 1 liter atau kurang dari 1
liter.
5. Roboransia vitamin B kompleks, dilarang makan dan minum yang
mengandung alkohol.
6. Bila istirahat dan diet tidak dapat diatasi, diberikan pengobatan diuretik
berupa spironolaktan 50-100 mg/hari (awal)
7. Bila terdapat asites yang tidak dapat dikendalikan dengan terapi
medikamentosa, dilakukan terapi parasentesis ini aman digunakan apabila
disertai dengan infus albumin sebanyak 6-2 gram untuk setiap cairan asites
atau dekstron 70% (Mansjoer, 2000).
23
2.2. Konsep Dasar Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas (SCBA)
2.2.1 Pengertian
Menurut (Sudoyo, 2006), perdarahan saluran cerna bagian atas
(SCBA) adalah perdarahan saluran makanan proksimal dari ligamentum
Treitz. Untuk keperluan klinik dibedakan perdarahan varises esophagus dan
non-varises, karena antara keduanya terdapat ketidaksamaan dalam
pengelolaan dan prognosisnya.
Istilah medis yang sering digunakan untuk keadaan perdarahan
saluran cerna bagian atas adalah hematemesis melena. Hematemesis
didefinisikan sebagai keadaan muntah darah, sedangkan melena adalah buang
air besar hitam biasanya berbentuk seperti ter. Warna hitam yang terjadi
tergantung dari konsentrasi asam yang terdapat di dalam lambung dan kontak
antara darah dengan asam tersebut. Sehingga pada keadaan yang massif
biasanya darah keluar masih segar (Epstein, 1998) dalam Fahrial (2004).
2.2.2 Etiologi
Menurut Hayes (1990) dalam Fahrial (2004), penyebab dari
perdarahan saluran cerna bagian atas dapat diklasifikasikan menjadi:
1. Penyakit-penyakit saluran pencernaan
Ulkus duodenum, ulkus gastrikum, erosi gaster, varises esophagus,
esofagitis, ulkus esophagus, keganasan dalam saluran cerna bagian atas.
24
2. Penyakit struktur yang berdekatan
Rupture aorta ke dalam esophagus atau duaodenum, hematobilia.
3. Penyakit sistemik
Uremia, sarkoidosis, amiloidosis, infeksi sistemik, penyakit jaringan
penyokong.
4. Kelainan vascular dan hematologic
Purpura trombositopenik, keadaan defisiensi faktor pembekuan,
polisitemia rubra vera, disseminated intravascular coagulation,
teleangiektasi hemoragik herediter, pseudosantoma elastikum.
Sedangkan menurut Sudoyo (2006), penyebab perdarahan SCBA yang
sering dilaporkan adalah:
1. Pecahnya varises esophagus
2. Gastritis erosif
3. Tukak peptik
4. Gastropati kongestif
5. Dan keganasan.
25
2.2.3 Patofisiologi
1. Patofisiologi perdarahan SCBA pada sirosis hati
Perdarahan pada sirosis hati bisa ditimbulkan oleh pecahnya varises
di esophagus atau lambung, selain itu perdarahan juga dapat terjadi karena
lesi pada gastropati hipertensi portal (Shahara, 2001) dalam Fahrial
(2004).
Pada hepar orang normal terdapat aliran darah sebanyak 1500 ml
darah setiap menitnya. Dua pertiga dari aliran darah ini berasal dari vena
porta. Apabila terjadi kerusakan pada hati misal pada sirosis hati, aliran
darah ini menjadi lambat dan akan meningkatkan tekanan pada vena porta
yang kita sebut hipertensi portal. Keadaan hipertensi portal ini akan
mengakibatkan sirkulasi kolateral dan varises. Aliran darah pada vena
gastric kiri dan vena gastric pendek yang bergabung dengan interkosta,
esophageal diafragma dan vena azigos dari system cava akan terbendung.
Keadaan ini mengakibatkan terjadinya varises pada lambung dan
esophagus. Varises yang terbentuk ini suatu saat dapat pecah dan
menimbulkan perdarahan. Pecahnya varises merupakan salah satu
penyebab utama kematian pada pasien sirosis hepatis sehingga harus
menjadi perhatian. Lebih dari 30% kasus perdarahan pertama berakibat
fatal, sedangkan 70% kasus yang bertahan akan mengalami perdarahan
berulang (Shahara, 2001) dalam Fahrial (2004).
26
Beberapa faktor yang menjadi sebab terjadinya pecah varises antara
lain elastisitas dari varises, tekanan intra varises serta tekanan
intraluminal. Secara klinis faktor resiko perdarahan varises adalah
beratnya sirosis yang dialami oleh pasien (biasanya ditandai dengan mata
yang kuning, adanya udem pada kaki dan asites), besarnya varises
(semakin besar semakin mudah terjadinya perdarahan), selain itu adanya
tanda merah pada dinding varises merupakan faktor terjadinya perdarahan.
Oleh karena itu, usaha mengurangi tekanan varises dan memperbaiki
keadaan sirosis merupakan suatu usaha untuk mengurangi terjadinya
perdarahan (Shahara, 2001) dalam Fahrial (2004).
2. Patofisiologi perdarahan SCBA pada ulkus peptikum
Adanya lesi pada mukosa gastroduodenal (lambung-usus dua belas
jari) terjadi karena adanya ketidakseimbangan dari faktor agresif dan
defensive dari mukosa gastroduodenal. Faktor agresif dan defensive
merupakan faktor-faktor yang mempunyai peranan penting untuk
menyebabkan kelainan mukosa lambung dan duodenum. Kedua faktor ini
hasrus selalu berada dalam keseimbangan. Faktor agresif antara lain asam,
pepsin dan asam empedu. Ketiga zat ini berasal dari tubuh sendiri
(endogen). Sedangkan faktor agresif dari luar (eksogen) antara lain etanol,
aspirin, obat anti-inflamasi non steroid (OAINS) dan infeksi Helycobacter
pylori. Asam dapat diproduksi berlebihan akibat berbagai faktor pencetus.
27
Faktor pencetus untuk terjadinya produksi asam lambung yang berlebihan
antara lain faktor kimiawi, syaraf dan faktor hormonal. Hal lain yang
dapat meningkatkan asam lambung antara lain kafein, alkohol dan kalsium
oral (Avunduk, 202) dalam Fahrial (2004).
Faktor defensive mukosa lambung antara lain aliran darah mukosa,
sel epitel permukaan, prostaglandin, surfaktan, musin, bikarbonat dan
motilitas. Mukosa lambung mempunyai kemampuan untuk melindungi
lambung dari bahan-bahan korosif, baik dari asam maupun pepsin. Pada
mukosa lambung terdapat sel mucus yang menghasilkan mucus lambung
dan kelenjar lambung yang memegang peranan penting untuk pertahanan
lambung. Beberapa obat-obatan yang dapat mempengaruhi mukosa
lambung antara lain aspirin, obat inflamasi non steroid (OAINS) seperti
piroksikam, sodium diklofenat, ibuprofen, fenil butazon serta OAINS
yang lain (Avunduk, 202) dalam Fahrial (2004).
Ketidakseimbangan dari faktor agresif dan defensive ini dapat
menyebabkan gangguan pada mukosa lambung, baik berupa erosi sampai
tukak. Pada keadaann akut, erosi yang terjadi dapat luas dan menimbulkan
perdarahan. Sedangkan ulkus yang terjadi akibat ketidakseimbangan ini
juga makin lama makin dalam dan mencetuskan perdarahan (Avunduk,
202) dalam Fahrial (2004).
28
2.2.4 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis dari perdarahan saluran cerna bagian atas adalah:
1. Hematemesis
2. Muntahan seperti kopi karena berubahnya darah oleh asam lambung
3. Timbul melena, berak hitam lengket dengan bau busuk.
(Sudoyo, 2006).
2.1.1. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Sudoyo (2006), pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada
pasien perdarahan SCBA yaitu :
1. Pemeriksaan laboratorium harus meliputi pemeriksaan darah tepi lengkap,
kimia darah, serta system hemostasis.
2. Endoskopi SCBA merupakan pemeriksaan yang sangat penting untuk
menentukan sumber perdarahan, aktivitasnya secara akurat serta potensi
intervensi terapeutiknya.
3. Angiografi merupakan pilihan lain, terutama endoskopi gagal
mengidentifikasi sumber perdarahan yang massif, dimana angiografi
visceral yang selektif selain dapat melokalisasi sumber perdarahan dan
juga dapat berfungsi pengobatan.
4. Nuclear imaging dengan menggunakan sel darah merah yang telah dilabel
dapat pula dipakai untuk mengidentifikasi dimana lokasi sumber
29
perdarahan, pemeriksaan ini dilaporkan untuk mengidentifikasi sumber
perdarahan yang intermitten.
2.1.2. Penatalaksanaan
Menurut Sudoyo (2006), terapi perdarahan saluran cerna bagian atas
dapat dibagi menjadi terapi non-endoskopis, endoskopis, terapi radiologi, dan
pembedahan.
1. Non-Endoskopis
Salah satu usaha menghentikan perdarahan yang sudah lama
dilakukan dengan adalah kumbah lambung lewat pipa nasogastrik dengan
air suhu kamar.
Pemberian vitamin K pada pasien dengan penyakit hati kronis yang
mengalami perdarahan SCBA diperbolehkan, dengan pertimbangan
pemberian tersebut tidak merugikan dan relatif murah.
Vasopressin dapat menghentikan perdarahan SCBA lewat efek
vasokontriksi pembuluh darah splanknik, menyebabkan aliran darah dan
tekanan vena porta menurun. Terdapat dua bentuk sediaan, yakni pitresin
yang mengandung vasopressin murni dan preparat pituitary gland yang
mengandung vasopressin dan oxcytocin. Pemberian vasopressin dilakukan
dengan mengencerkan sediaan vasopressin 50 unit dalam 100 ml
dekstrose 5%, diberikan 0,5-1 mg/menit/iv selama 20-60 menit dan dapat
30
diulang tiap 3-6 jam; atau setelah pemberian pertama dilanjutkan per infus
0,1-0,5 U/menit.
Somatostatin dan analognya (octreotide) diketahui dapat
menurunkan aliran darah splanknik, khasiatnya lebih selektif dibanding
vasopressin. Dosis pemberian somatostatin diawali dengan bolus 250
mcg/iv, dilanjutkan per infus 250 mcg/jam selama 12-24 jam atau sampai
perdarahan berhenti. Oktreotide dosis bolus 100 mcg/iv dilanjutkan per
infus 25 mcg/jam selama 8-24 jam atau sampai perdarahan berhenti.
2. Endoskopis
Terapi endoskopi ditujukan pada perdarahan tukak yang masih aktif
atau tukak dengan pembuluh darah yang tampak. Metode terapinya
meliputi:
a. Contact thermal (monopolar atau bipolar elektrokoagulasi, heater
probe).
b. noncontact thermal (laser).
c. Nonthermal (misalnya suntikan adrenalin, polidokanol, alkohol,
cyanoacrylate, atau pemakaian klip).
Berbagai cara terapi endoskopi tersebut akan efektif dan aman
apabila dilakukan oleh ahli endoskopi yang terampil dan berpengalaman.
Endoskopi terapeutik ini dapat diterapkan pada 90% kasus perdarahan
SCBA, sedangkan 10% sisanya tidak dapat dikerjakan karena alasan
31
teknis seperti darah terlalu banyak sehingga pengamatan terhalang atau
letak lesi tidak terjangkau. Secara keseluruhan 80% perdarahan tukan
peptik dapat berhenti spontan, namun pada kasus perdarahan arterial yang
bisa berhenti spontan hanya 30%.
Terapi endoskopi yang relatif mudah dan tanpa banyak peralatan
pendukung ialah suntikan submukosa sekitar titik perdarahan
menggunakan adrenalin 1:10.000 sebanyak 0,5-1 ml tiap kali suntik
dengan batas dosis 10 ml atau alkohol absolut (98%) tidak melebihi 1 ml.
Penyuntikan bahan sklerosan seperti alkohol absolut atau polidokanol
umumnya tidak dianjurkan karena bahaya timbulnya tukak dan perforasi
akibat nekrosis jaringan di lokasi penyuntikan.
Keberhasilan terapi endoskopi dalam menghentikan perdarahan bisa
mencapai di atas 95% dan tanpa terapi tambahan lainnya, perdarahan
ulang frekuensinya sekitar 15-20%.
Hemostatis endoskopi merupakan terapi pilihan pada perdarahan
karena varises esofagus. Ligasi varises merupakan pilihan pertama untuk
mengatasi perdarahan varises esofagus. Dengan ligasi varises dapat
dihindari efek samping akibat pemakaian sklerosan, lebih sedikit frekuensi
terjadinya ulserasi dan striktur. Ligasi dilakukan mulai dari distal
mendekati cardia bergerak spiral setiap 1-2 cm. Dilakukan pada varises
yang sedang berdarah atau bila ditemukan tanda baru mengalami
perdarahan seperti bekuan darah melekat, bilur-bilur merah, noda
32
hematokistik, vena pada vena. Skleroterapi endoskopik sebagai alternatif
bila ligasi endoskopik sulit dilakukan karena perdarahan yang masif, terus
berlangsung, atau teknik tidak memungkinkan. Sklerosan yang bisa
digunakan antara lain campuran sam banyak polidokanol 3%, NaCl 0,9%,
dan alkohol absolut. Campuran dibuat sesaat sebelum skleroterapi
dikerjakan. Penyuntikan dimulai dari bagian paling distal mendekati
kardia dilanjutkan ke proksimal bergerak spiral sampai sejauh 5 cm. Pada
perdarahan varises lambung dilakukan penyuntikan cyanoacrylate,
skleroterapi untuk varises lambung hasilnya kurang baik.
3. Terapi radiologi
Terapi angiografi perlu dipertimbangkan bila perdarahan tetap
berlangsung dan belum bisa ditentukan asal perdarahan, atau bila terapi
endoskopi dinilai gagal dan pembedahan sangat berisiko. Tindakan
hemostasis yang bisa dilakukan dengan penyuntikan vasopressin atau
embolisasi arterial. Bila dinilai tidak ada kontraindikasi dan fasilitas
dimungkinkan, pada perdarahan varises dapat dipertimbangkan TIPS
(Transjugular Intrahepatic Portosystemic Shunt).
4. Pembedahan
Pembedahan pada dasarnya dilakukan bila terapi medik, endoskopi
dan radiologi dinilai gagal. Ahli bedah seyogyanya dilibatkan sejak awal
dalam bentuk tim multidisipliner pada pengelolaan kasus perdarahan
33
SCBA untuk menentukan waktu yang tepat kapan tindakan bedah
sebaiknya dilakukan.
2.3. Hubungan derajat penyakit sirosis hepatis dengan kejadian perdarahan
saluran cerna bagian atas (SCBA)
Perdarahan pada sirosis hati bisa ditimbulkan oleh pecahnya varises di
esophagus atau lambung, selain itu perdarahan juga dapat terjadi karena lesi
pada gastropati hipertensi portal (Shahara, 2001) dalam Fahrial (2004).
Pada hepar orang normal terdapat aliran darah sebanyak 1500 ml darah
setiap menitnya. Darah dari usus dan limpa menuju hati memalui vena porta
Dua pertiga dari aliran darah ini berasal dari vena porta. Apabila terjadi
kerusakan pada hati misal pada sirosis hati, aliran darah ini menjadi lambat dan
akan meningkatkan tekanan pada vena porta yang kita sebut hipertensi portal.
Keadaan hipertensi portal ini akan mengakibatkan sirkulasi kolateral dan
varises. Aliran darah pada vena gastric kiri dan vena gastric pendek yang
bergabung dengan interkosta, esophageal diafragma dan vena azigos dari
system cava akan terbendung. Keadaan ini mengakibatkan terjadinya varises
pada lambung dan esophagus. Varises yang terbentuk ini suatu saat dapat pecah
dan menimbulkan perdarahan. Pecahnya varises merupakan salah satu penyebab
utama kematian pada pasien sirosis hepatis sehingga harus menjadi perhatian.
Lebih dari 30% kasus perdarahan pertama berakibat fatal, sedangkan 70% kasus
yang bertahan akan mengalami perdarahan berulang (Shahara, 2001) dalam
Fahrial (2004).
34
Beberapa faktor yang menjadi sebab terjadinya pecah varises antara lain
elastisitas dari varises, tekanan intra varises serta tekanan intraluminal. Secara
klinis faktor resiko perdarahan varises adalah beratnya sirosis (yang di
klasifikasikan menjadi Child A, Child B, dan Child C) yang dialami oleh pasien
(biasanya ditandai dengan mata yang kuning, adanya oedema pada kaki dan
asites), besarnya varises (semakin besar semakin mudah terjadinya perdarahan),
selain itu adanya tanda merah pada dinding varises merupakan faktor terjadinya
perdarahan. Oleh karena itu, usaha mengurangi tekanan varises dan
memperbaiki keadaan sirosis merupakan suatu usaha untuk mengurangi
terjadinya perdarahan (Shahara, 2001) dalam Fahrial (2004).
Menurut Sujono Hadi (2002), setiap penderita Sirosis Hepatis
dekompensata terjadi hipertensi portal, dan timbul varises esophagus. Varises
esophagus yang terjadi pada suatu waktu mudah pecah, sehingga timbul
perdarahan yang massif. Sifat perdarahan yang ditimbulkan adalah muntah darah
atau hematemesis biasanya mendadak dan massif tanpa didahului rasa nyeri di
epigastrium. Darah yang keluar berwarna kehitam-hitaman dan tidak akan
membeku, karena sudah tercampur dengan asam lambung. Setelah hematemesis
selalu disusul dengan melena. Mungkin juga perdarahan pada penderita Sirosis
Hepatis tidak hanya disebabkan oleh pecahnya varises esophagus saja. Fainer
dan Halsted pada tahun 1965 melaporkan dari 76 penderita Sirosis Hepatis
dengan perdarahan ditemukan 62% disebabkan oleh pecahnya varises esofagus,
18% karena ulkus peptikum dan 5% karena erosi lambung.
35
Selain itu perdarahan pada sirosis hati dapat juga disebabkan oleh
hemoroid, sintesis faktor pembekuan yang menurun, trombositopenia akibat
hiperplenisme, meningkatnya aktifitas fibrinolisis, DIC dan pembentukan yang
abnormal fibrinogen (disfibrinogenemia). Perdarahan dapat bersifat akut dengan
gambaran morfologi darah normokrom, normositik. Tidak dapat dikesampingkan
adanya faktor-faktor perdarahan yang tersembunyi yang dapat menyebabkan
penurunan besi total dalam tubuh, maka cadangan besi yang ada pada hati akan
dimanfaatkan secara maksimal sampai suatu saat cadangan besi akan habis, maka
secara klinis baru tampak penderita pucat oleh karena defisiensi besi (Ida, 2003).
2.4. Kerangka Konseptual
Berdasarkan latar belakang dan tinjauan pustaka, dapat diambil suatu
kesimpulan rumusan masalah kerangka konsep sebagai berikut :
Gambar 2.1. Kerangka Konsep
Variabel Independent Variabel Dependent
Derajat Penyakit Sirosis Hepatis
Kejadian Perdarahan Saluran Cerna Bagian Ata (SCBA)
36
2.5. Definisi Operasional
Berdasarkan kerangka konseptual di atas, maka variabel-variabel yang
akan diukur, yaitu :
Tabel 2.2 Definisi Operasional
No Variabel Definisi
OperasionalCara Ukur
Alat Ukur
Hasil UkurSkala Ukur
1 Variabel independent derajat penyakit sirosis hepatis
Adalah derajat atau tingkat keparahan penyakit sirosis hepatis.
Dokumentasi Ceklist Child A = 3Child B = 2Child C = 1
Ordinal
2 Variabel DependentPerdarahan saluran cerna bagian atas (SCBA)
Adalah keadaan terjadinya perdarahan di esophagus dan lambung pada pasien sirosis hepatis yang ditandai dengan adanya hematemesis dan melena.
Dokumentasi Ceklist Ya = 1Tidak = 2
Nominal
2.6. Hipotesis
Ho : Tidak ada hubungan derajat penyakit sirosis hepatis dengan kejadian
perdarahan saluran cerna bagian atas (SCBA) pada pasien rawat inap di
Ruang Kemuning RSUD dr. M. Yunus Bengkulu tahun 2009.
Ho : Ada hubungan derajat penyakit sirosis hepatis dengan kejadian perdarahan
saluran cerna bagian atas (SCBA) pada pasien rawat inap di Ruang
Kemuning RSUD dr. M. Yunus Bengkulu tahun 2009.
37
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Lokasi dan Objek Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Ruang Kemuning RSUD dr. M. Yunus
Bengkulu dan objek penelitian adalah seluruh pasien yang dirawat di ruang
Kemuning RSUD dr. M. Yunus Bengkulu yang mengalami sirosis hepatis dari
bulan Januari 2009 sampai Desember 2009.
3.2. Desain Penelitian
Desain penelitian dalam penelitian ini adalah deskriptif analitik dengan
metode rancangan cross sectional, dimana variabel independent (derajat penyakit
sirosis hepatis) dan variabel dependent (kejadian perdarahan saluran cerna bagian
atas [SCBA]) diukur atau dikumpulkan sekaligus dalam waktu yang bersamaan.
3.3. Populasi dan Sampel
3.3.1. Populasi
Populasi dari penelitian ini adalah semua pasien yang di rawat di ruang
Kemuning RSUD dr. M. Yunus Bengkulu yang mengalami sirosis hepatis dari
bulan Januari 2009 sampai Desember 2009 yang berjumlah 52 orang pasien.
38
3.3.2. Sampel
Sampel dari penelitian ini menggunakan total sampling yaitu seluruh
populasi yang ada dijadikan sampel, yaitu pasien yang mengalami sirosis
hepatis yang berjumlah 52 orang pasien.
3.4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
dengan menggunakan data sekunder yang diperoleh dari Medical Record dan
dokumentasi di Ruang Kemuning RSUD dr. M. Yunus Bengkulu.
3.5. Pengolahan Data
Pengolahan data yang telah dikumpulkan dilakukan dengan komputer,
melalui beberapa tahap antara lain :
1. Editing yaitu melihat apakah isi jawaban/data yang diolah tersebut sudah
tersedia lengkap dan apakah sudah relevan dengan tujuan penelitian.
2. Coding yaitu kode pada setiap jawaban.
3. Tabulating yaitu mentabulasi data berdasarkan kelompok data yang telah
ditentukan kedalam master tabel.
4. Entry yaitu memasukkan data yang sudah dilakukan editing dan coding
tersebut kedalam komputer dan menggunakan perangkat lunak komputer.
5. Cleaning yaitu untuk memastikan apakah semua data sudah siap dianalisis.
39
3.6. Teknik Analisa Data
3.6.1. Analisis Univariat
Analisis univariat digunakan untuk mendapatkan gambaran tentang
distribusi frekuensi derajat penyakit sirosis hepatis dan kejadian perdarahan
saluran cerna bagian atas (SCBA) pada pasien rawat inap di ruang Kemuning
RSUD dr. M. Yunus Bengkulu.
3.6.2. Analisis Bivariat
Analisis yang digunakan untuk melihat hubungan antara variabel
independent (derajat penyakit sirosis hepatis) dengan variabel dependent
(kejadian perdarahan saluran cerna bagian atas [SCBA]) yaitu menggunakan
analisis Person Chi-Square, dan untuk mengetahui keeratan hubungannya
digunakan uji Coeffisien Contingency. Untuk mengetahui resiko perdarahan
saluran cerna bagian atas (SCBA) digunakan Odd Ratio (OR).
40
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui faktor virus dan status gizi
dengan kejadian cirrhosis hepatis pada pasien hepatitis B. penelitian ini
dilakukan di ruang kemuning RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu bulan April 2007
sampai April 2008.
4.1.1. Analisis Univariat
Analisis ini dilakukan untuk mengetahui faktor virus dan status
gizi dengan kejadian cirrhosis hepatis.
1. Distribusi frekuensi pengidap virus hepatitis B di ruang kemuning yang menderita hepatitis B
Distribusi frekuensi pengidap virus hepatitis B di ruang
kemuning yang menderita hepatitis B dapat dilihat pada tabel di bawah
ini :
Tabel 4.1. Distribusi frekuensi pengidap virus hepatitis B di ruang kemuning
yang menderita hepatitis B
Virus Frekuensi Persentase
HbSAg (+)
HbSAg (-)
65
38
63,1%
36,9%
Jumlah 103 100,0%
41
Dari tabel 4.1. menunjukkan bahwa yang mengalami HbSAg
(+) terdapat 65 orang (63,1%) dan HbSAg (-) terdapat 38 orang
(36,9%).
2. Distribusi frekuensi tentang status gizi penderita hepatitis B di ruang kemuning
Distribusi frekuensi tentang status gizi penderita hepatitis B di
ruang kemuning dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
Tabel 4.2. Distribusi frekuensi tentang status gizi penderita hepatitis B
di ruang kemuning
Status gizi Frekuensi Persentase
Buruk
Baik
28
75
27,2%
72,8%
Jumlah 103 100,0%
Dari tabel 4.2. menunjukkan bahwa 27,2% dengan status gizi
buruk dan 72,8% dengan status gizi baik pada penderita hepatitis B di
ruang kemuning RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu
3. Distribusi frekuensi penderita cirrhosis hepatis pada penderita hepatitis B di ruang kemuning
Distribusi frekuensi penderita cirrhosis hepatis pada penderita
hepatitis B di ruang kemuning dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
42
Tabel 4.3. Distribusi frekuensi penderita cirrhosis hepatis pada
penderita hepatitis B di ruang kemuning
Terjadinya Cirrhosis Hepatis
Frekuensi Persentase
Ya
Tidak
41
62
39,8%
60,2%
Jumlah 103 100,0%
Dari tabel 4.3. menunjukkan bahwa sebagian responden 60,2%
yang menderita hepatitis B tidak mengalami cirrhosis hepatis.
4.1.2. Analisis Bivariat
Analisis ini dilakukan untuk melihat hubungan antara 2 variabel
bebas (virus dan status gizi) dengan menggunakan variabel terikat
(cirrhosis hepatis) di RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu.
Terjadinya cirrhosis hepatis pada pasien hepatitis B dapat dilihat
pada tabel di bawah ini.
1. Hubungan virus dengan terjadinya cirrhosis hepatis
Hubungan virus dengan terjadinya cirrhosis hepatis dapat
dilihat pada tabel di bawah ini :
43
Tabel 4.4. Tabulasi silang antara virus dengan terjadinya cirrhosis hepatis
Cirrhosis hepatisTotal
Ya TidakVirus HbSAg(+) Count
Expected Count% Within Virus
2725,9
41,5%
3839,1
58,5%
6565,0
100,0%HbSAg(-) Count
Expected Count% Within Virus
1415,1
36,8%
2422,9
63,2%
3838,0
100,0%Total Count
Expected Count% Within Virus
4141,0
39,8%
6262,0
60,2%
103103,0
100,0%
Tabel di atas menunjukkan tabulasi silang antara virus dengan
cirrhosis hepatis. Ternyata dari 65 pasien HbSAg(+) terdapat pasien
yang mengalami cirrhosis hepatis dan 38 pasien tidak cirrhois hepatis,
dan dari 38 pasien HbSAg (-) terdapat 14 pasien yang mengalami
cirrhosis hepatis dan 24 pasien tidak cirrhosis hepatis, karena semua
sel frekuensi ekspektasi nilainya > 5, maka digunakan uji chi-square
(continuity correction).
Hasil uji chi-square (continuity correction) didapat nilai X2 =
0,68 dengan asymp.sig. (2-sided) = 0,794 > 0,05 berarti tidak
signifikan. Jadi Ho diterima dan Ha ditolak. Artinya tidak ada
hubungan yang signifikan antara virus dengan cirrhosis hepatis di
RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu.
44
2. Hubungan status gizi dengan terjadinya cirrhosis hepatis
Hubungan status gizi dengan terjadinya cirrhosis hepatis dapat
dilihat pada tabel di bawah ini :
Tabel 4.5. Tabulasi silang antara status gizi dengan terjadinya cirrhosis hepatis
Cirrhosis hepatisTotal
Ya TidakStatus gizi
Buruk CountExpected Count% Within Status Gizi
2411,1
85,7%
416,9
14,3%
2828,0
100,0%Baik Count
Expected Count% Within Status Gizi
1729,9
22,7%
5845,1
77,3%
7575,0
100,0%Total Count
Expected Count% Within Status Gizi
4141,0
39,8%
6262,0
60,2%
103103,0
100,0%
Tabel 4.5. adalah tabulasi silang antara status gizi dengan
cirrhosis hepatis pada pasien hepatitis B di RSUD Dr. M. Yunus
Bengkulu. Ternyata dari 28 pasien gizi buruk terdapat 24 pasien yang
cirrhosis hepatis dan 4 pasien tidak cirrhosis hepatis, dan dari 75
pasien gizi baik terdapat 17 pasien cirrhosis hepatis dan 58 pasien
tidak cirrhosis hepatis, karena semua sel frekuensi ekspektasi nilainya
> 5 maka digunakan uji chi-square (continuity correction).
Hasil uji chi-square (continuity correction) didapat nilai X2 =
31,243 dengan asymp.sig. (2-sided) = 0,000 < 0,05 berarti
signifikan. Jadi Ha diterima dan Ho ditolak. Artinya ada
45
hubungan yang signifikan antara status gizi dengan cirrhosis hepatis di
RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu.
Hasil uji contingency coefficient didapat nilai C = 0,497
dengan approx.sig. = 0,000 < 0,05 berarti signifikan. Nilai C tersebut
dibandingkan dengan nilai Cmax = dimana m adalah nilai
terkecil dari baris atau kolom. Nilai Cmax = = 0,707. Karena nilai
C = 0,497 tidak terlalu jauh dengan nilai Cmax = 0,707, maka kategori
hubungan sedang (Sudjana, 1996).
Hasil uji risk estimate didapat nilai Odds Ratio (OR) = 20,471
yang artinya pasien yang status gizi buruk mempunyai kemungkinan
cirrhosis hepatis 20,471 kali lipat jika dibandingkan dengan pasien
yang status gizi baik.
4.2. Pembahasan
4.2.1. Hubungan Virus dengan Terjadinya Cirrhosis Hepatis pada Pasien Hepatitis B di RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 103 orang sampel terdapat
65 orang (63,1%) dengan HbSAg (+) dan 38 orang (36,9%) dengan
HbSAg (-). Hasil uji chi-square (continuity correction) tidak ada
hubungan yang signifikan antara virus dengan terjadinya cirrhosis hepatis
pada pasien hepatitis B di RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu. Hal ini
46
dikarenakan banyak masyarakat di sekitar kita yang masih bisa hidup
lama dan tampak sehat, walaupun sebenarnya terpapar virus hepatitis B
atau mengidap penyakit hepatitis B. Hepatitis B bisa berlanjut menjadi
kronis yaitu cirrhosis hepatis apabila kurangnya perhatian masyarakat
terhadap kesehatan, misalnya gaya hidup yang tidak sehat yang dapat
memperberat kesehatan seseorang.
Virus hepatitis B merupakan virus DNA bercangkang ganda. Virus
ini memiliki lapisan permukaan dan bagian inti. Petanda serologik
pertama yang dipakai untuk identifikasi HBV adalah HbSAg. Apabila
positif 2 minggu sebelum timbul gejala klinis dan biasanya menghilang
pada masa konvalesen dini tetapi dapat pula bertahan selama 4-6 bulan.
Adanya HbSAg menandakan penderita dapat menularkan virus hepatitis B
ke orang lain dan dapat menginfeksi mereka (Sylvia, Price, 1994).
Menurut teori Roche (2006) bahwa tidak setiap orang yang
terpapar virus hepatitis B akan memiliki infeksi virus aktif selama
hidupnya. Banyak orang dapat hidup lama dan sehat dengan hepatitis B.
hanya 15-40% penderita hepatitis B berkembang menjadi cirrhosis
hepatis. Tubuh kita dapat memusnahkan virus hepatitis B sebelum
penyakit berlanjut menjadi hepatitis B kronik. Ini mungkin terjadi pada
enam bulan pertama masa infeksi (fase infeksi hepatitis B akut)
kemungkinan untuk memusnahkan virus bervariasi dengan usia lebih dari
47
90% orang dewasa dengan sistem imun yang kuat dan sehat akan sembuh
dari infeksi akut. Tetapi, orang yang terinfeksi pada saat baru lahir
biasanya tidak dapat memusnahkan virus hepatitis B akut karena sistem
imun mereka belum berkembang penuh (Roche, 2006).
Hal ini sependapat dengan Syamsuridjal Djauzi (2005) sekitar 5-
10% orang pembawa virus hepatitis B, artinya di dalam tubuhnya terdapat
virus hepatitis B yang dapat menular pada orang lain, tetapi pembawa itu
sendiri dalam keadaan sehat. Hepatitis B sering kali dikatakan bahaya
karena dapat menimbulkan cirrhosis hepatis dan kanker hati. Padahal, bila
seseorang terinfeksi hepatitis B, sekitar 90% akan sembuh dengan baik
dan hanya 5-10% yang akan menjadi kronis. Sebagian yang mengalami
penyakit kronis inilah yang akan menjadi penderita cirrhosis hepatis dan
kanker hati (Samsuridjal, 2005).
Menurut Sylvia, Price (1994) tidak setiap pasien dengan hepatitis
virus akan mengalami perjalanan penyakit yang lengkap. Sejumlah kecil
pasien (kurang dari 1%) memperlihatkan kemunduran klinis yang cepat
setelah awitan ikterus akibat hepatitis fulminan.
Komplikasi hepatitis virus adalah perjalanan penyakit memanjang
hingga 4-8 bulan. Keadaan ini dikenal dengan hepatitis kronik, akan tetapi
meskipun terlambat, pasien-pasien hepatitis kronik akan selalu sembuh
kembali (Price, 1994).
48
Dari hasil penelitian didapatkan 65 responden pasien hepatitis B di
RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu dengan HbSAg (+). Selain virus,
keracunan obat, berbagai macam zat kimia seperti karbon tetraklorida,
arsen dan fosfor juga dapat mengakibatkan hepatitis (Wikipedia, 2007).
4.2.2. Hubungan Status Gizi dengan Terjadinya Cirrhosis Hepatis pada Pasien Hepatitis B di RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu
Hasil penelitian menyatakan bahwa dari 103 orang sampel terdapat
28 orang (27,2%) pasien hepatitis B dengan status gizi buruk dan 75 orang
(72,8%) pasien hepatitis dengan status gizi baik.
Tabel 4.5 menyatakan tabulasi silang status gizi dengan terjadinya
cirrhosis hepatis pada pasien hepatitis B di RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu
ternyata dari 28 pasien gizi buruk terdapat 24 pasien yang cirrhosis hepatis
dan 4 pasien tidak cirrhosis hepatis dan dari 75 pasien gizi baik terdapat
17 pasien cirrhosis hepatis dan 58 pasien tidak cirrhosis hepatis. Dari uji
chi-square (continuity correction) ada hubungan yang signifikan antara
status gizi dengan cirrhosis hepatis di RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu.
Dari hasil estimate didapat nilai Odds Ratio 20,471, yang artinya pasien
yang status gizi buruk mempunyai kemungkinan cirrhosis hepatis 20,471
kali lipat jika dibandingkan dengan pasien status gizi baik.
Menurut Almatsier (2002) tubuh sangat rentan terhadap suatu
infeksi baik virus, bakteri, kuman dan parasit. Terjadinya suatu infeksi
49
dipengaruhi oleh salah satunya faktor gizi. Dimana asupan gizi yang
rendah berpengaruh menurunnya imunitas atau kekebalan tubuh, membuat
infeksi akan lebih mudah menyerang. Penderita juga harus memperhatikan
dietnya serta nutrisi yang adekuat. Pada penderita hepatitis B diberikan
diet kalori (2000-3000 kalori per hari), asupan protein dibatasi yang
berguna untuk metabolisasi serta diet garam untuk mencegah akumulasi
cairan di dalam rongga peritoneal.
Status gizi seseorang mempunyai hubungan erat dengan
permasalahan secara umum disamping merupakan faktor predisposisi
yang dapat memperparah penyakit infeksi secara langsung juga dapat
menyebabkan terjadinya gangguan kesehatan individu (Blogger, 2007).
4.2.3. Implikasi Keperawatan
Penelitian ini berguna agar perawat dapat memberikan pelayanan
keperawatan kepada masyarakat dan mengurangi serta mencegah penyakit
hepatitis B berakibat lanjut menjadi cirrhosis hepatis.
Perawat memberikan asuhan keperawatan dengan baik kepada
pasien dengan meningkatkan atau menciptakan lingkungan tenang pada
pasien, perawat memperhatikan dan memberikan makanan sesuai dengan
diet pasien, misalnya diet kalori 2000-3000 kalori per hari. Selain itu
perawat juga sebaiknya memberikan penyuluhan kepada pasien atau
50
keluarga bisa melalui diskusi sambil menyebarkan leaflet yang berisikan
informasi seperti :
1. Mengatur pola makan dengan asupan protein dibatasi yang berguna
untuk metabolisasi serta diet garam untuk mencegah akumulasi cairan
di dalam rongga peritoneal.
2. Hindari menggunakan barang secara bersamaan (jarum suntik, sikap
gigi dan handuk).
3. Memberikan imunisasi hepatitis B secara lengkap
Tidak hanya itu saja, informasi tersebut juga dapat diberikan
melalui poster-poster yang dipajang di rumah sakit, misalnya poster
tentang pencegahan penularan hepatitis B. Oleh karena itulah untuk
mencegah penyakit hepatitis B dan cirrhosis hepatis merupakan tugas dari
semua tim kesehatan (dokter, perawat dan lain-lain) yang bisa dilakukan
dimana saja, antara lain di puskesmas, praktek dokter, di sekolah-sekolah,
bahkan dalam ruang lingkup kecil seperti di keluarga sendiri.
51
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di Rekam Medik
terhadap pasien hepatitis B yang dirawat di ruang kemuning RSUD Dr. M.
Yunus Bengkulu, dapat disimpulkan :
1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 63,1% penderita virus HbSAg (+) dan
36,9% penderita virus HbSAg (-).
2. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 27,2% responden yang mengalami
cirrhosis hepatis adalah status gizi buruk.
3. Tidak ada hubungan yang signifikan antara virus dengan terjadinya cirrhosis
hepatis pada pasien hepatitis B di RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu.
4. Ada hubungan yang signifikan antara status gizi dengan terjadinya cirrhosis
hepatis pada pasien hepatitis B di RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu.
5.2. Saran
5.2.1. Bagi Petugas Kesehatan
Memberikan informasi kesehatan tentang diet dan aktivitas kepada
masyarakat khususnya pada keluarga yang menderita hepatitis B untuk
dapat mengontrol penyakitnya agar tidak terjadi komplikasi lanjut
khususnya cirrhosis hepatis.
52
5.2.2. Bagi Instansi Rumah Sakit
Dapat meningkatkan pelayanan keperawatan yang di berikan
kepada masyarakat.
5.2.3. Bagi Peneliti
Diharapkan peneliti meneruskan penelitian ini bahwasanya tidak
hanya hepatitis B yang dapat menyebabkan cirrhosis hepatis tetapi bisa
juga disebabkan penyakit lain.
53
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Ramali. 2000. Kamus Kedokteran. Edisi 2000. Jakarta : Djambatan
Brunner & Suddarth. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8. Jakarta : EGC.
Baughman, Diane. C, Jo Ann C, Hackley. 2001. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : EGC.
Corwin, Elizabeth. 2000. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta : EGC.
Dinkes Provinsi Bengkulu. 2005. Profil Kesehatan Propinsi Bengkulu Tahun 2005. Bengkulu.
Doenges, Marilyn E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi III. Jakarta : EGC.
Evelyn, Pearce. 2000. Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis. Jakarta : Grahamedia.
http://www.chem-is-try.org=artikel dan ext=97
http://www.republika.com, 2007.
http://ajaga.blogpost.com, 2007.
http://www.roche.hepatitisB, 2006.
Mansjoer Arief, Suprohaita, Wardani Wahyu, Setyo Wulan Wiwiek. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid II. Jakarta : Media Aesculapius.
Noer, Sjaifoellah. 1996. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. Edisi Ke III. Jakarta : FKUI.
Notoatmodjo, Soekidjo. 1993. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta.
Price, Sylvia. A. 1995. Patofisiologi, Edisi 4. Jakarta : EGC.
-------------------. 2005. Patofisiologi Edisi 6. Jakarta : EGC.
Samsuridjal Djauzi. 2005. Panduan Hidup Sehat. Jakarta : PT. Kompas Media Nusantara.
Sudjana. 1996. Metode Statisitka. Bandung : Tarsito.
www.kompas.co.id, 2007.
www.your.com, 2007.