sinusitis ke sekian

Upload: suci-sylvana-hrp

Post on 03-Apr-2018

220 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 7/28/2019 Sinusitis Ke Sekian

    1/20

    BAB 2

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1 ANATOMI SINUS PARANASAL

    Ada delapan buah sinus paranasal, empat buah di tiap sisi hidung. Sinus

    frontal kanan dan kiri, sinus etmoid kanan dan kiri, sinus maksila kanan dan kiri

    dan sinus sfenoid kanan dan kiri. Semua rongga hidung tersebut merupakan

    kelanjutan dari mukosa hidung yang berisi udara dan semua bermuara di rongga

    hidung melalui ostium masing-masing. (Ballanger, 2002)

    Sinus paranasal pada fase embriologik berasal dari invaginasi mukosa

    rongga hidung dan berkembang sejak usia fetus 3-4 bulan, kecuali sinus sfenoid

    dan sinus frontalis. (Soetjipto, 2007). Sinus maksila berkembang pada saat bulan

    ketiga masa gestasi sedangkan sinus etmoid berkembang pada saat bulan kelima

    masa gestasi. (Lee, 2008). Sinus frontal berkembang dari sinus etmoid anterior

    pada anak berusia kurang dari 8 tahun. Sinus sfenoid berkembang sejak usia 8-10

    tahun dan berasal dari bagian postero-superior rongga hidung. Pada umumnya

    sinus-sinus tersebut akan mencapai besar maksimal pada usia 15-18 tahun.

    (Soetjipto, 2007).

    Pembagian sinus paranasal:

    a. Sinus frontalBentuk dan ukuran sinus frontal sangat bervariasi, dan seringkali juga

    sangat berbeda bentuk dan ukurannya dari sinus pasangannya. Ukuran rata-rata

    sinus frontal yaitu tinggi 3 cm, lebar 2-2,5 cm, dalam 1,5-2 cm dan isi rata-rata 6-

    7 ml. Dinding depan sinus frontal hampir selalu diploik, terutama pada bagian luar

    atau sudut infero-lateral dan pada sulkus superior tempat pertemuan dinding

    anterior dan posterior. (Ballanger, 2002). Sinus frontal biasanya bersekat-sekat

    dan tepi sinus berlekuk-lekuk. Apabila pada foto rontgen tidak ditemukan adanya

    gambaran septum atau lekuk-lekuk dinding sinus, maka hal tersebut menunjukkan

    adanya infeksi sinus. Sinus frontal berdrainase melalui ostiumnya yang terletak di

    Universitas Sumatera Utara

  • 7/28/2019 Sinusitis Ke Sekian

    2/20

    resesus frontal, yang berhubungan dengan infundibulum etmoid. (Soetjipto,

    2007).

    Dinding anterior dan dasar sinus frontal merupakan tulang yang

    mempunyai sumsum, dimana osteomielitis dapat berkembang. Dasar dari sinus

    frontales merupakan atap orbita. Dinding posterior sinus frontal membentuk batas

    anterior dari fossa kranial, sehingga infeksi pada sinus dapat berpindah ke fossa

    kranial bagian anterior dan orbita. (Maqbool, 2001)

    b. Sinus EtmoidSinus etmoid pada orang dewasa berbentuk seperti piramid dengan

    dasarnya pada bagian posterior. Ukurannya dari anterior ke posterior adalah 4-5

    cm, tinggi 2,4 cm dan lebarnya 0,5 cm di anterior sedangkan di bagian posterior

    1,5 cm. (Soetjipto, 2007).

    Sinus etmoid berongga-rongga yang terdiri dari sel-sel seperti sarang

    tawon, terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid dan terletak di antara

    konka media dan dinding medial orbita.(Soetjipto, 2007). Tulang-tulang etmoid

    mempunyai bidang horizontal dan bidang vertikal yang saling tegak lurus. Bagian

    superior bidang vertical disebut krista gali dan bagian inferiornya disebut lamina

    perpendikularis os etmoid. Bidang horizontalnya terdiri dari bagian medial, yang

    tipis dan berlubang-lubang disebut lamina kribrosa dan bagian lateral yang lebih

    tebal dan merupakan atap-atap sel-sel etmoid.( Ballanger, 2002)

    Jumlah sel-sel tersebut bervariasi. Berdasarkan letaknya, sinus etmoid

    dibagi menjadi sinus etmoid anterior yang bermuara di meatus medius, sel etmoid

    media yang bermuara ke meatus medius di atas bulla etmoid dan sinus etmoid

    posterior yang bermuara di meatus superior. (Maqbool, 2001). Sel-sel sinus

    etmoid anterior biasanya kecil-kecil dan banyak. Letaknya di depan lempeng-

    lempeng yang menghubungkan bagian posterior konka media dengan dinding

    lateral (lamina basalis), sedangkan sel-sel sinus etmoid posterior biasanya lebih

    besar dan lebih sedikit jumlahnya dan terletak di bagian posterior dari lamina

    basal. (Soetjipto, 2007)

    Universitas Sumatera Utara

  • 7/28/2019 Sinusitis Ke Sekian

    3/20

    Di bagian terdepan sinus etmoid anterior terdapat resesus frontal yang

    berupa bagian yang sempit yang berhubungan dengan dengan sinus frontal. Sel

    etmoid yang terbesar disebut bula etmoid. Terdapat satu penyempitan di daerah

    etmoid anterior yang disebut dengan infundibulum, tempat bermuaranya ostium

    sinus maksila. Pembengkakan atau peradangan di resesus frontal dapat

    menyebabkan sinusitis frontal dan pembengkakan di infundibulum dapat

    menyebabkan sinusitis maksila.(Soetjipto, 2007)

    Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan

    lamina fibrosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis

    dan membatasi sinus etmoid dari rongga orbita. Di bagian belakang sinus etmoid

    posterior berbatasan dengan sinus sfenoid. (Maqbool,2001)

    c. Sinus MaksilaPada waktu lahir sinus maksila berupa celah kecil di sebelah medial orbita.

    Pada awalnya dasarnya lebih tinggi daripada dasar rongga hidung, kemudian terus

    mengalami penurunan, sehingga pada usia delapan tahun menjadi sama tinggi.

    Perkembangannya berjalan kearah bawah dan amembentuk sempurna setelah

    erupsi gigi permanen. Ukuran rata-rata pada bayi yang baru lahir 7-8 x 4-6 mm

    dan pada usia 15 tahun 31-32 x 18-20 x 19-20 mm dan isinya kira-kira 15 ml.

    (Ballanger, 2002)

    Sinus maksila berbentuk piramid. Dinding anterior sinus ialah permukaan

    fasial os maksila yang disebut fosa kanina, dinding posteriornya adalah

    permukaan infra temporal maksila, dinding medialnya ialah dinding lateral rongga

    hidung, dinding superiornya ialah dasar orbita dan dinding inferiornya ialah

    prosesus alveolaris dan palatum.(Soetjipto, 2007)

    Antrum mempunyai hubungan dengan infundibulum di meatus medius

    melalui lubang kecil yaitu ostium maksila yang terdapat di bagian anterior atas

    dinding medial sinus.( Ballanger, 2002)

    Yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah (1) dasar sinus

    maksila berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu premolar (P1 dan P2),

    Molar (M1 dan M2), kadang-kadang gigi taring dan gigi molar M3. Bahkan akar-

    Universitas Sumatera Utara

  • 7/28/2019 Sinusitis Ke Sekian

    4/20

    akar gigi tersebut dapat menonjol ke dalam sinus, sehingga infeksi gigi geligi

    dapat naik ke atas dan menyebabkan sinusitis. (2). Sinusitis maksila dapat

    menimbulkan komplikasi orbita. (3). Ostium sinus maksila terletak lebih tinggi

    dari dasar sinus, sehingga drenase hanya tergantung dari gerak silia, lagipula

    drenase juga harus melalui infundibulum yang sempit.(Soetjipto, 2007).

    d. Sinus SfenoidSinus sfenoid terletak di os sfenoid, di belakang sinus etmoid posterior.

    Sinus sfenoid dibagi dua oleh sekat yang jarang terletak di tengah disebut septum

    intersfenoid. (Soetjipto, 2007). Ukuran sinus ini kira-kira pada saat usia 1 tahun

    2,5 x 2,5 x 1,5, pada usia 9 tahun 15 x 12 x 10,5 mm. Isi rata-rata sekitar 7,5 ml

    (0,05-30 ml). (Ballanger, 2002).

    Batas-batasnya ialah sebelah superior terdapat fossa serebri dan kelenjar

    hipofisa, sebelah inferiornya atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan dengan

    sinus kavernosus dan arteri karotis interna dan di sebelah posteriornya berbatasan

    dengan fosa serebri posterior di daerah pons. (Maqbool, 2001).

    2.2 FUNGSI SINUS PARANASALAda beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi dari sinus paranasal,

    namun belum ada bukti yang sesuai yang dapat mebuktikan teori-teori tersebut.

    Beberapa teori yang dikemukakan antara lain:

    a. Sebagai pengatur kondisi udaraSinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan mengatur

    kelembaban udara inspirasi (Maqbool, 2001 ; Voight, 2006). Keberatan

    terhadap teori ini ialah karena ternyata tidak didapati pertukaran udara

    yang defenitif antara sinus dan rongga hidung.

    b. Sebagai penahan suhuSinus paranasal berfungsi sebagai penahan (buffer) panas, melindungi

    orbita dan fosa serebri dari rongga hidung yang berubah-ubah. Akan

    tetapi kenyataan sinus-sinus yang besar tidak terletak di antara hidung

    dan organ-organ yang dilindungi. (Soetjipto, 2007)

    Universitas Sumatera Utara

  • 7/28/2019 Sinusitis Ke Sekian

    5/20

    c. Membantu keseimbangan kepalaSinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tulang

    muka. Akan tetapi, bila udara dalam sinus diganti dengan tulang, hanya

    akan memberikan pertambahan berat sebesar 1% dari berat kepala,

    sehingga teori ini tidak dianggap bermakna. (Maqbool, 2001)

    d. Membantu resonansi suaraSinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk menambah resonansi suara

    dan mempengaruhi kualitas suara. Akan tetapi ada yang berpendapat,

    posisi sinus dan ostiumnya tidak memungkinkan sinus berfungsi sebagai

    resonansi yang efektif. (Maqbool, 2001)

    e. Sebagai peredam perubahan tekanan udaraFungsi ini akan berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan

    mendadak, misalnya pada waktu bersin dan beringus. (Soetjipto, 2007)

    f. Membantu produksi mukusMukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya kecil

    dibandingkan dengan mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk

    membersihkan partikel yang turut masuk dalam udara. (Soetjipto, 2007)

    2.3 RINOSINUSITIS

    2.3.1 DEFENISI

    Rinosinusitis merupakan inflamasi pada organ hidung dan sinus paranasal,

    yang karakteristiknya ditandai oleh dua faktor mayor atau kombinasi dari satu

    faktor mayor dan dua faktor minor. Faktor mayor termasuk obstruksi nasal, nyeri

    di daerah wajah, nasal discharge/purulance/discolored postnasal drainage,

    hyposmia/anosmia. Faktor minor ialah nyeri kepala, demam, halitosis, sakit gigi,

    batuk dan nyeri di telinga/terasa penuh pada telinga (EP3OS,2007)

    Universitas Sumatera Utara

  • 7/28/2019 Sinusitis Ke Sekian

    6/20

    2.3.2 EPIDEMIOLOGIRinosinusitis telah menginfeksi sekitar 14 % atau 31 juta orang dewasa

    per-tahun (Assish,2008). Rata-rata orang menderita 2-4 kali rinosinusitis akut

    pertahun (Fergurson,2005). EP3OS(2007) juga memaparkan berdasarkan

    penelitian di Belanda pada tahun 1999, sekitar 8,4 % populasi pernah menderita

    satu episode rinosinusitis akut per tahunnya. Rinosinusitis kronis di Amerika pada

    tahun 1997, sekitar 14,7 % atau 31 juta kasus per tahun dan dengan angka

    kejadian yang terus meningkat dalam kurun waktu 11 tahun terakhir. (GLORIA,

    2009). Data dari RSUD. Dr. Pirngadi Medan pada tahun 2010 terdapat 3201 kasus

    rinosinusitis kronis.

    2.3.3 ETIOLOGI DAN FAKTOR PREDISPOSISI

    a. VirusVirus yang biasanya menyebabkan rinosinusitis adalah rhinovirus, virus

    parainfluenza, respiratory syncitial virus (RSV) dan virus influenza. Tiap-tiap

    virus mempunyai banyak serotype, yang mana semuanya berpotensi untuk

    memperparah infeksi tersebut. Rhinovirus merupakan penyebab tersering pada

    orang dewasa dan memuncak pada musim gugur. RSV dan virus influenza lebih

    merusak silia pernafasan pada saat musim dingin dan di awal musim semi.

    (Fergurson, 2005)

    b. BakteriBakteri patogen yang paling sering menyebabkan rinosinusitis bakteri akut

    yaitu S. pneumoniae dan H. influenzae. Patogen ini telah menyebabkan

    rinosinusitis sejak pertama kali dilakukan penelitian dan menjadi organisme

    penyebab yang paling utama. Sedangkan patogen yang sering muncul pada

    rinosinusitis bakteri kronis adalah S. aureus, staphylococcus koagulase negatif,

    bakteri anaerob dan bakteri gram negatif. (Fergurson, 2005 ; Brown, 2008)

    Universitas Sumatera Utara

  • 7/28/2019 Sinusitis Ke Sekian

    7/20

    c. JamurAspergilosis merupakan salah satu jamur yang paling banyak ditemui pada

    infeksi sinus paranasal dengan ciri khas sekret mukopurulen yang bewarna hijau

    kecoklatan. Mukormikosis merupakan infeksi oportunistik yang ganas yang dapat

    menjadi patogenik pada manusia yang menderita asidosis diabetik dan

    imunosupresi. Dijumpai sekret yang berwarna pekat, gelap, berdarah dan

    gambaran konka yang berwana hitam atau merah bata. Kandida bersama

    histoplasmosis, koksidiomilosis, sporotrikosis, serokosporamikosis dan

    blastomikosis jarang yang mengenai hidung. (Boeis, 1997)

    d. AlergiRinitis merupakan suatu reaksi alergi yang diperantarai oleh

    imunoglobulin. Reaksi ini melibatkan suatu antibodi, biasanya IgE, yang mana

    bagian Fc antibodi melekat pada suatu sel yang mengandung mediator atau

    prekursornya (sel mast, basofil, eosinofil, makrofag). Bagian Fab dari antibodi ini

    berinteraksi dengan alergen spesifik dan akibatnya terjadi aktivasi beberapa enzim

    membran. Hasil pembelahan enzimatik menyebabkan pelepasan mediator seperti

    histamin, prostaglandin dan leukotrien. Mediator ini menyebabkan suatu reaksi

    tipe segera yang timbul , misalnya edema. Selain itu juga akan terjadi reaksi

    lambat yang selanjutnya cenderung terjadi akibat pelepasan mediator dari sel mast

    dan demikian pula eosinofil, makrofag dan trombosit. (Boeis, 1997).

    e. Kelainan struktur dan anatomi hidungKelainan anatomi hidung dan sinus juga dapat mengganggu fungsi

    mukosiliar secara lokal. Jika permukaan mukosa yang saling berhadapan menjadi

    lebih mendekat atau bertemu satu sama lain, maka aktivitas silia akan terhenti.

    Deviasi septum, polip, konka bulosa atau kelainan struktur lain di daerah

    kompleks osteomeatal dan ostium sinus dapat menghalangi transportasi

    mukosiliar. (EP3OS, 2007)

    Universitas Sumatera Utara

  • 7/28/2019 Sinusitis Ke Sekian

    8/20

    f. HormonalPada penelitian Sobot et al didapati bahwa 61% wanita yang hamil pada

    trimester pertama menderita nasal congestion. Namun patogenesis nya masih

    belum jelas. (EP3OS,2007)

    g. LingkunganApabila terpapar oleh lingkungan yang berpolusi, udara dingin dan kering

    serta kebiasaan merokok yang lama, hal tersebut akan menyebabkan perubahan

    mukosa dan merusak silia. (Mangunkusumo E, 2007)

    2.3.4 PATOFISIOLOGIKesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan

    kelancaran klirens dari mukosiliar didalam kompleks osteo meatal (KOM).

    Disamping itu mukus juga mengandung substansi antimikrobial dan zat-zat yang

    berfungsi sebagai pertahanan terhadap kuman yang masuk bersama udara

    pernafasan.

    Bila terinfeksi organ-organ yang membentuk KOM mengalami oedem,

    sehingga mukosa yang berhadapan akan saling bertemu. Hal ini menyebabkan

    silia tidak dapat bergerak dan juga menyebabkan tersumbatnya ostium. Hal ini

    menimbulkan tekanan negatif didalam rongga sinus yang menyebabkan terjadinya

    transudasi atau penghambatan drainase sinus. Efek awal yang ditimbulkan adalah

    keluarnya cairan serous. Bila tidak sembuh maka sekret yang tertumpuk dalam

    sinus ini akan menjadi media yang baik untuk tumbuh dan multiplikasi bakteri,

    dan sekret akan berubah menjadi purulen yang disebut sinusitis akut bakterialis

    yang membutuhkan terapi antibiotik.

    Jika terapi inadekuat maka keadaan ini bisa berlanjut, akan terjadi hipoksia

    dan bakteri anaerob akan semakin berkembang. Apabila keadaan ini terus

    berlanjut maka hal ini akan menyebabkan perubahan kronik dari mukosa yaitu

    hipertrofi, polipoid atau pembentukan polip dan kista. (Casiano,1999;

    Mangunkusumo E, 2007; Meltzer, 2011)

    Universitas Sumatera Utara

  • 7/28/2019 Sinusitis Ke Sekian

    9/20

    2.3.5 KLASIFIKASI

    Secara klinis rinosinusitis terbagi atas:

    Rinosinusitis akut : durasi terkena rinosinusitis dibawah 4minggu

    Rinosinusitis subakut : durasi terkena rinosinusitis dari 4 minggu12 minggu.

    Rinosinusitis kronis : durasi terkena rinosinusitis sama atau lebihdari 12 minggu

    Rinosinusitis rekuren : menderita sama dengan atau lebih dari 4kali menderita episode rinosinusitis, tia

    episode lebih kurang durasinya 7-10 hari.

    (Osguthorpe, 2001; Meltzer, 2011)

    Berdasarkan penyebabnya rinosinusitis terbagi atas:

    Sinusitis rinogen : penyebabnya adalah kelainan atau masalahDi hidung. Segala sesuatu yang

    menyebabkan sumbatan pada hidung dapat

    menyebabkan sinusitis.

    Sinusitis dentogen : penyebabnya adalah kelainan gigi yangsering menyebabkan sinusitis sepert

    infeksi pada gigi geraham atas (pre molar

    dan molar). (Mangunkusumo E, 2007).

    2.3.6 GEJALA KLINISSetiap gejala-gejala rinosinusitis, keparahan dan durasinya harus didokumentasi.

    The American Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery (AAO-HNS)

    membuat kriteria mayor dan minor untuk mendiagnosa rinosinusitis. Rinosinusitis

    didiagnosa apabila dijumpai dua atau lebih kriteria mayor atau satu kriteria mayor

    ditambah dua atau lebih kriteria minor. Gejala-gejalanya adalah:

    Universitas Sumatera Utara

  • 7/28/2019 Sinusitis Ke Sekian

    10/20

    Gejala Mayor :- Obstruksi hidung- Sekret pada daerah hidung/ sekret belakang hidung yang sering

    disebut PND (Postnasal drip)

    - Kongesti pada daerah wajah- Nyeri /rasa tertekan pada wajah- Kelainan penciuman(Hiposmia / anosmia)- Demam (hanya pada akut)

    Gejala Minor:- Sakit kepala- Sakit/ rasa penuh pada telinga- Halitosis/ nafas berbau- Sakit gigi- Batuk dan iritabilitas- Demam (semua nonakut)- Lemah

    a. NyeriGejala Subjektif

    Nyeri yang sesuai dengan daerah sinus yang terkena. Pada peradangan

    aktif sinus maksila atau frontal, nyeri biasanya sesuai dengan daerah

    yang terkena. Pada sinus yang letaknya lebih dalam seperti sinus

    etmoid posterior dan sfenoid, nyeri terasa jauh di dalam kepala, tak

    jelas letaknya atau disebarkan ke perifer kepala di daerah yang tidak

    ada hubungan dengan lokasi sinus.

    b. Sakit kepalaSakit kepala pada penyakit sinus lebih sering unilateral atau lebih

    terasa di satu sisi atau dimulai sebagai nyeri kepala unilateral dan

    meluas ke sisi lainnya. Sakit kepala yang bersumber di sinus akan

    meningkat jika membungkukkan badan ke depan dan jika badan tiba-

    Universitas Sumatera Utara

  • 7/28/2019 Sinusitis Ke Sekian

    11/20

    tiba digerakkan. Sakit kepala ini akan menetap saat menutup mata, saat

    istirahat. Sakit kepala akibat penyakit di sinus frontal dinyatakan

    sebagai nyeri yang tajam, menusuk-nusuk, melalui mata atau nyeri dan

    rasa berat yang biasanya menetap.

    c. Nyeri pada penekananNyeri bila disentuh dan nyeri pada penekanan jari mungkin terjadi

    pada penyakit sinus yang berhubungan dengan permukaaan wajah

    seperti sinus frontal, sinus etmoid anterior dan sinus maksila. Nyeri

    tekan pada os frontal apabila ada penekanan di sudut medial rongga

    orbita. Pada pemeriksaan sel-sel etmoid anterior, tekanan dilakukan

    pada sudut medial orbital pada planum orbita os etmoid. Pada

    pemeriksaan sinus maksila, harus dilakukan penekanan pada fosa

    kanina os maksila superior.

    d. Gangguan PenciumanKeluhan yang paling sering adalah kehilangan sensasi penciuman.

    a. Pembengkakan dan edemaGejala Objektif

    Jika sinus yang berbatasan dengan kulit (frontal, maksila dan etmoid

    anterior) terkena secara akut, dapat terjadi pembengkakan dan edema

    kulit yang ringan akibat periostitis. Palpasi dengan jari mendapati

    sensasi seperti ada penebalan ringan. Pembengkakan ini lebih sering

    ditemukan di daerah sinus frontal.

    b. Sekret NasalAdanya pus dalam rongga hidung seharusnya sudah menimbulkan

    kecurigaan adanya peradangan di sinus. Pus di meatus medius

    biasanya merupakan tanda terkenanya sinus frontal, sinus etmoid

    anterior atau sinus maksila, karena sinus-sinus ini bermuara ke dalam

    meatus medius. Jika pus terletak di fisura olfaktorius maka sel-sel

    Universitas Sumatera Utara

  • 7/28/2019 Sinusitis Ke Sekian

    12/20

    etmoid posterior atau sfenoid yang mungkin terkena, karena sel-sel

    tersebut berdrainase ke dalam meatus superior di atas konka medius.

    c. TransiluminasiTransiluminasi sinus memberikan informasi objektif atas kondisi sinus

    maksila dan frontal, tetapi tidak untuk sinus lainnya. Pada

    transiluminasi sinus, di dalam kamar gelap, suatu sumber cahaya

    diletakkan dalam mulut pasien dengan mata pasien terbuka. Apabila

    refleks pupil merah dan bayangan sinar bulan sabit tidak ada maka

    kemungkinan sinus maksila terkena. Transiluminasi pada sinus frontal,

    cahaya diletakkan di bawah dasar sinus frontal pada sudut atas dan

    dalam orbita, dan kedua sisi dibandingkan,

    d. Cairan radioopakUntuk sinus maksila dan sfenoid hal ini mempunyai arti yang besar.

    Dengan adanya cairan itu, rongga sinus tampak jelas tergambar,

    sehingga penebalan mukosa dan adanya polip dapat diketahui dan

    ketidaksamaan ukuran dapat tergambar dengan jelas.(Ballanger ,2002)

    2.3.7 DIAGNOSAa. Rinoskopi anterior

    Rinoskopi anterior merupakan alat dasar untuk pemeriksaan fisik yang

    paling spesifik yang berkaitan dengan keadaan patologis pada daerah

    sinonasal. Rinoskopi adalah pemeriksaan yang paling tepat untuk

    mengevaluasi pasien, sebelum atau sesudah pemakaian dekongestan

    topikal. Sebelum dekongesti, pemeriksa mengevaluasi permukaaan

    anterior nasal. Biasanya hanya setelah dekongesti, middle turbinate

    dapat divisualisasi secara jelas. (Meltzer, 2004).

    b. Endoskopi nasalEndoskopi nasal tidak hanya memainkan peran yang penting untuk

    diagnosis rinosinusitis tetapi juga dapat membantu untuk terapi yang

    tepat. Alasan mengapa banyak dokter menggunakan endoskopi nasal:

    Universitas Sumatera Utara

  • 7/28/2019 Sinusitis Ke Sekian

    13/20

    Gejala-Gejala pasien saja tidak dapat menjadi patokan untukmendiagnosis.

    Endoskopi merupakan fasilitas diagnostik yang lebih baik dandapat mendeteksi kelainan yang tidak ditemukan pada saat

    anamnesa, pemeriksaan fisik maupun pemeriksaan pencritraan.

    Perubahan warna hijau kekuningan tampak pada permukaan nasal Kultur endoskopik berguna untuk mengetahui organisme yang

    menyebabkan rinosinusitis. (Meltzer, 2004).

    c. Pemeriksaan mikrobiologiBiakan yang berasal dari hidung bagian posterior dan nasofaring

    biasanya lebih akurat dibandingkan dengan biakan yang berasal dari

    hidung bagian anterior. Namun demikian, pengambilan biakan hidung

    posterior juga lebih sulit. Biakan bakteri spesifik pada sinusitis

    dilakukan dengan mengaspirasi pus dari sinus yang terkena. Seringkali

    dilakukan untuk mencari antibiotik yang sesuai untuk membasmi

    mikroorganisme untuk penyakit ini. (Brown, 2008)

    d. Foto polos kavitas nasal dan sinus paranasalRinosinusitis menunjukkan gambaran berupa :

    1. Penebalan mukosa,2. Opasifikasi sinus ( berkurangnya pneumatisasi)3. Gambaran air fluid level yang khas akibat akumulasi pus yang

    dapat dilihat pada foto waters.

    Bagaimanapun juga, harus diingat bahwa foto polos ini memiliki

    kekurangan dimana foto polos gagal menunjukkan anatomi sinus yang

    diperlukan dan gagal menunjukkan peradangan yang meluas. (Meltzer,

    2004).

    e. CT scanCT scan adalah pemeriksaan yang dapat memberikan gambaran yang

    paling baik akan adanya kelainan pada mukosa dan variasi antominya

    tulang yang relevan untuk mendiagnosis sinusitis kronis maupun akut.

    Universitas Sumatera Utara

  • 7/28/2019 Sinusitis Ke Sekian

    14/20

    Walaupun demikian, harus diingat bahwa CT scan menggunakan dosis

    radiasi yang sangat besar yang berbahaya bagi mata.(Meltzer, 2004).

    f. MRIWalaupun MRI tidak dapat menunjukkan anatomi tulang sinus

    paranasal seperti CT scan, namun MRI dapat menunjukkan kelainan

    pada mukosa dengan baik. (Meltzer,2004)

    2.3.8 TERAPI

    Diberikan terapi medikamentosa berupa antibiotik empirik (2x24 jam).

    Antibiotik yang diberikan lini I yakni golongan penisilin atau

    cotrimoxazol dan terapi tambahan yakni obat dekongestan oral + topikal,

    mukolitik untuk memperlancar drainase dan analgetik untuk

    menghilangkan rasa nyeri. Pada pasien atopi, diberikan antihistamin atau

    kortikosteroid topikal. Jika ada perbaikan maka pemberian antibiotik

    diteruskan sampai mencukupi 10-14 hari. Jika tidak ada perbaikan maka

    diberikan terapi antibiotik lini II selama 7 hari yakni amoksisilin

    klavulanat/ampisilin sulbaktam, cephalosporin generasi II, makrolid dan

    terapi tambahan. Jika ada perbaikan antibiotic diteruskan sampai

    mencukupi 10-14 hari.Jika tidak ada perbaikan maka dilakukan rontgen-polos atau CT scan dan atau endoskopi nasal. Bila dari pemeriksaan

    tersebut ditemukan kelainan maka dilakukan terapi sinusitis kronik.

    Apabila tidak ada kelainan maka dilakukan evaluasi diagnosis yakni

    evaluasi komprehensif alergi dan kultur dari fungsi sinus. (McCort, 2005 ;

    EP30S,2007)

    Rinosinusitis Akut

    Rinosinusitis Subakut

    Universitas Sumatera Utara

  • 7/28/2019 Sinusitis Ke Sekian

    15/20

    Terapinya mula-mula diberikan medikamentosa, bila perlu dibantu dengan

    tindakan, yaitu diatermi atau pencucian sinus. Obat-obat yang diberikan

    berupa antibiotika berspektrum luas atau yang sesuai dengan resistensi

    kuman selama 10 14 hari. Juga diberikan obat-obat simptomatis berupa

    dekongestan. Selain itu dapat pula diberikan analgetika, anti histamin dan

    mukolitik. Tindakan dapat berupa diatermi dengan sinar gelombang

    pendek (Ultra Short Wave Diathermy) sebanyak 5 6 kali pada daerah

    yang sakit untuk memperbaiki vaskularisasi sinus. Kalau belum membaik,

    maka dilakukan pencucian sinus. Pada sinusitis maksilaris dapat dilakukan

    pungsi irigasi. Pada sinusitis ethmoid, frontal atau sphenoid yang letak

    muaranya dibawah, dapat dilakukan tindakan pencucian sinus cara Proetz.

    (EP30S,2007)

    Jika ditemukan faktor predisposisinya, maka dilakukan tata laksana yang

    sesuai dan diberi terapi tambahan. Jika ada perbaikan maka pemberian

    antibiotik mencukupi 10-14 hari. Jika faktor predisposisi tidak ditemukan

    maka terapi sesuai pada episode akut lini II + terapi tambahan. Sambil

    menunggu ada atau tidaknya perbaikan, diberikan antibiotik alternative 7

    hari atau buat kultur. Jika ada perbaikan teruskan antibiotik mencukupi 10-

    14 hari, jika tidak ada perbaikan evaluasi kembali dengan pemeriksaan

    naso-endoskopi, sinuskopi (jika irigasi 5 x tidak membaik). Jika ada

    obstruksi kompleks osteomeatal maka dilakukan tindakan bedah yaitu

    BSEF atau bedah konvensional. Jika tidak ada obstruksi maka evaluasi

    diagnosis. Pada sinusitis maksila dilakukan pungsi dan irigasi sinus,

    sedang sinusitis ethmoid, frontal atau sfenoid dilakukan tindakan

    pencucian Proetz. (Mangunkusumo,2007 ; EP30S,2007)

    Rinosinusitis Kronis

    Universitas Sumatera Utara

  • 7/28/2019 Sinusitis Ke Sekian

    16/20

    2.3.9 KOMPLIKASI1. Kelainan pada orbita

    Terutama disebabkan oleh sinusitis ethmoidalis karena letaknya yang

    berdekatan dengan mata.

    Komplikasi dapat melalui 2 jalur :

    a) Direk/langsung : melalui dehisensi kongenitalataupun adanya erosi pada tulang barier terutama lamina

    papirasea.

    b) Retrograde tromboplebitis : melalui anyaman pembuluh darahyang berhubungan langsung antara wajah, rongga hidung, sinus

    dan orbita.

    Sinusitis ethmoidalis merupakan penyebab komplikasi pada orbita yang

    tersering. Pembengkakan orbita dapat merupakan manifestasi

    ethmoidalis akut, namun sinus frontalis dan sinus maksilaris juga

    terletak di dekat orbita dan dapat menimbulkan infeksi isi orbita.

    Terdapat lima tahapan :

    Peradangan atau analgetik reaksi edema yang ringan. Terjadi padaisi orbita akibat infeksi sinus ethmoidalis didekatnya. Keadaan ini

    terutama ditemukan pada anak, karena lamina papirasea yang

    memisahkan orbita dan sinus ethmoidalis sering kali merekah pada

    kelompok umur ini.

    Selulitis orbita, edema bersifat difus dan bakteri telah secara aktifmenginvasi isi orbita namun pus belum terbentuk.

    Abses subperiosteal, pus terkumpul diantara periorbita dan dindingtulang orbita menyebabkan proptosis dan kemosis.

    Abses orbita, pus telah menembus periosteum dan bercampurdengan isi orbita. Tahap ini disertai dengan gejala sisa neuritis

    optik dan kebutaan unilateral yang lebih serius. Keterbatasan gerak

    otot ekstraokular mata yang tersering dan kemosis konjungtiva

    merupakan tanda khas abses orbita, juga proptosis yang makin

    bertambah.

    Universitas Sumatera Utara

  • 7/28/2019 Sinusitis Ke Sekian

    17/20

    Trombosis sinus kavernosus, merupakan akibat penyebaran bakterimelalui saluran vena kedalam sinus kavernosus, kemudian

    terbentuk suatu tromboflebitis septik. (Casiano, 1999 ;

    EP30S,2007)

    2. Kelainan intrakraniala. Meningitis akut, salah satu komplikasi sinusitis yang terberat

    adalah meningitis akut, infeksi dari sinus paranasalis dapat

    menyebar sepanjang saluran vena atau langsung dari sinus yang

    berdekatan, seperti lewat dinding posterior sinus frontalis atau

    melalui lamina kribriformis di dekat sistem sel udara ethmoidalis.

    b. Abses dura, adalah kumpulan pus diantara dura dan tabula internakranium, sering kali mengikuti sinusitis frontalis. Proses ini timbul

    lambat, sehingga pasien hanya mengeluh nyeri kepala dan sebelum

    pus yang terkumpul mampu menimbulkan tekanan intra kranial.

    Abses subdural adalah kumpulan pus diantara duramater dan

    arachnoid atau permukaan otak. Gejala yang timbul sama dengan

    abses dura, yaitu nyeri kepala yang membandel dan demam tinggi

    dengan tanda-tanda rangsangan meningen. Gejala utama tidak

    timbul sebelum tekanan intrakranial meningkat atau sebelum abses

    memecah kedalam ruang subarachnoid.

    c. Abses otak, setelah sistem vena dalam mukoperiosteum sinusterinfeksi, maka dapat terjadi perluasan metastatik secara

    hematogen ke dalam otak. Namun, abses otak biasanya terjadi

    melalui tromboflebitis yang meluas secara langsung. Dengan

    demikian, lokasi abses yang lazim adalah pada ujung vena yang

    pecah, meluas menembus dura dan arachnoid hingga ke perbatasan

    antara substansia alba dan grisea korteks seebri.

    3. Kelainan pada tulangPenyebab tersering osteomielitis dan abses subperiosteal pada tulang

    frontalis adalah infeksi sinus frontalis. Nyeri tekan dahi setempat sangat

    berat. Gejala sistemik berupa malaise, demam, dan menggigil.

    Universitas Sumatera Utara

  • 7/28/2019 Sinusitis Ke Sekian

    18/20

    Pembengkakan diatas alis mata juga lazim terjadi dan bertambah hebat

    bila terbentuk abses subperiosteal, dalam hal mana terbentuk edema

    supraorbita dan mata menjadi tertutup. Timbul fluktuasi dan tulang

    menjadi sangat nyeri tekan. Radiogram dapat memperlihatkan erosi

    batas-batas tulang dan hilangnya septa intrasinus dalam sinus yang

    keruh. (EP3OS,2007)

    4. Mukokel dan piokelMukokel adalah suatu kista yang mengandung mukus yang timbul dalam

    sinus, Kista ini paling sering ditemukan pada sinus maksilaris, sering

    disebut sebagai kista retensi mukus dan biasanya tidak berbahaya.

    Dalam sinus frontalis, ethmoidalis dan sfenoidalis, kista ini dapat

    membesar dan melalui atrofi tekanan mengikis struktur sekitarnya. Kista

    ini dapat bermanifestasi sebagai pembengkakan pada dahi atau fenestra

    nasalis dan dapat menggeser mata ke lateral. Dalam sinus sfenoidalis,

    kista dapat menimbulkan diplopia dan gangguan penglihatan dengan

    menekan saraf didekatnya.

    Piokel adalah mukokel terinfeksi, gejala piokel hampir sama dengan

    mukokel meskipun lebih akut dan lebih berat. Prinsip terapi adalah

    eksplorasi sinus secara bedah untuk mengangkat semua mukosa yang

    terinfeksi dan memastikan drainase yang baik atau obliterasi sinus.

    (Fergurson, 2005)

    Universitas Sumatera Utara

  • 7/28/2019 Sinusitis Ke Sekian

    19/20

    2.4 RINOSINUSITIS DAN UMUR, JENIS KELAMIN, PEKERJAAN,TINGKAT PENDIDIKAN, KELUHAN UTAMA, LOKASI, JUMLAH

    SINUS YANG TERLIBAT, LAMA PENYAKIT DAN KOMPLIKASI

    Prevalensi rinosinusitis kronis pada kelompok usia 20-29 tahun sekitar

    2,7%, usia 50-59 tahun sekitar 6,6% dan pada usia >60 tahun sekitar 4,7%.

    (EP3OS,2007). Pujiwati (2006) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa usia

    terbanyak yang menderita rinosinusitis yaitu 20-29 tahun sekitar 37,5%, 30-39

    tahun sekitar 1,3%, 40-49 tahun sekitar 26,3% dan >50 tahun yaitu 5,0%.

    Penelitian di Kanada menyebutkan prevalensi rata-rata rinosinusitis kronis

    lebih banyak diderita oleh wanita, dengan rasio perbandingan 6:4. (Anu D, 2008)

    dan US Government Statistics pada tahun 1994 juga mengatakan bahwa

    Rinosinusitis kronis lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan pria.

    Penelitian case series oleh Pujiwati (2006) terhadap 80 orang pekerja, dimana

    yang menderita rinosinusitis akibat kerja sebanyak 35 orang (43,8%).

    Berdasarkan penelitian Pujiwati (2006), bahwa terdapat sekitar 82,5%

    penderita rinosinusitis pada orang orang dengan pendidikan sedang, sedang

    pendidikan rendah sekitar 13,8% dan tinggi sekitar 3,8%.

    Penelitian di Korea menyatakan bahwa prevalensi rinosinusitis kronis

    yang terdapat kurang lebih tiga gejala pada nasal selama lebih dari tiga bulan dan

    yang pada temuan endoskopi nya terdapat nasal polip dan atau cairan

    mukopurulen di meatus media yaitu sekitar 1,01%. Penelitian di Belgia, Gordts et

    al melaporkan bahwa sekitar 6% dari subjek penelitian menderita rinosinusitis

    kronis disertai sekret di hidung yang kronis pula. (EP3OS,2007).

    Menurut Mangunkusumo (2007), Sinus yang paling sering terkena adalah

    sinus etmoid dan maksila. Penelitian Sogebi (2008) yang menyatakan bahwa sinus

    maksilaris merupakan lokasi sinus yang paling banyak mendapatkan kelainan

    yaitu sebanyak 70,51%, sedangkan sinus sfenoidalis merupakan lokasi sinus yang

    paling jarang terdapat kelainan yaitu 0%.

    Universitas Sumatera Utara

  • 7/28/2019 Sinusitis Ke Sekian

    20/20

    Penelitian oleh Ogunleye (1999) yang menyatakan di Ibadan, Nigeria,

    berdasarkan studi retrospektif pada 90 pasien, didapatkan bahwa yang menderita

    single rinosinusitis yaitu sekitar 56%, multisinusitis 16% dan pansinusitis yaitu

    29%.

    Penelitian yang diadakan di Jerman pada tahun 2001 juga memaparkan

    bahwa angka kejadian rinosinusitis akut sebesar 6,3 juta orang dengan peresepan

    obat untuk rinosinusitis akut sekitar 8,5 juta resep, sedangkan angka kejadian

    rinosinusitis kronis sebesar 2,6 juta dan 3,4 juta peresepan obat diberikan untuk

    rinosinusitis kronis. (GLORIA,2009)

    Penelitian Frisdiana (2010), bahwa dari 102 penderita rinosinusitis kronik

    yang dirawat inap di Rumah Sakit Santa Elisabeth dari tahun 2006-2010,

    semuanya tidak ada menunjukkan adanya komplikasi.