sintesis naskah analisis kebijakan...
TRANSCRIPT
LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN TA 2015
SINTESIS NASKAH ANALISIS KEBIJAKAN PERTANIAN
Tim Peneliti:
Hermanto
Sri Hery Susilowati Mewa Ariani
Tri Pranadji Syahyuti
Adang Agustian Gatoet S. Hardono
Ening Ariningsih Herlina Tarigan Amar K. Zakaria
Endro Gunawan
PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN
KEMENTERIAN PERTANIAN
2015
i
DAFTAR ISI
Halaman
I. Pendahuluan ……………………………………………………………………………… 1
II. Kebijakan Subsidi Pupuk: Implementasi, Permasalahan, dan
Penyempurnaan Kebijakan ..............................................................
6
III. Kebijakan Harga Beras di Tingkat Konsumen ………………………………… 14
IV. Pengelolaan Sumber Daya Air dan Lahan yang Berkelanjutan untuk Pertanian ……………………………………………………………………………………
20
4.1. Ketersediaan Lahan dan Upaya Menjaga Keberlanjutannya …… 20
4.2. Implikasi dari Pembatalan UU Sumber Daya Air oleh MK ………. 25
V. Pengembangan Kelembagaan Perbenihan …………………………………….. 35
5.1. Kondisi dan Permasalahan Perbenihan Nasional ………………….. 35
5.2. Kelembagaan Perbenihan Padi di Provinsi Jawa Barat …………… 36
5.3. Kebijakan Pemerintah untuk Memperkuat Kinerja Produsen
Benih Pemerintah dan Petani Penangkar Benih …………………….
40
VI. Kebijakan Pengembangan Mekanisasi Pertanian ……………………………. 44
6.1. Kasus Penerapan Mekanisasi Pertanian ………………………………. 49
6.2. Kebijakan Mekanisasi Pertanian ke Depan …………………………… 51
VII. Strategi Pengembangan Diversifikasi Pangan Pokok ………………………. 54
7.1. Capaian Diversifikasi Pangan …………………………………………….. 55
7.2. Strategi Pengembangan Diversifikasi Pangan Pokok ................ 58
VIII. Kesimpulan dan Implikasi Kebijakan …………………………………………….. 64
Daftar Pustaka ……………………………………………………………………………………. 72
ii
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
2.1. Jumlah dan Komposisi Rumah Tangga Usahatani Pertanian Menurut
Golongan Luas Lahan, 2003-2013 ………………………………………………..
12
3.1. Prognosa Neraca Ketersediaan dan Kebutuhan Beras Menurut Bulan Tahun 2015 ……………………………………………………………………………….
16
3.2. Kondisi Stok Beras yang Dikelola Bulog Sampai dengan 9 Januari 2015 ………………………………………………………………………………………….
19
4.1. Konsekuensi Implementasi UU No. 7/2004 di Tengah Masyarakat Petani, Khususnya pada P3A ………………………………………………………..
30
5.1. Realisasi Produksi Benih Padi Bersertifikat di Jawa Barat, Tahun 2012 37
6.1. Gambaran Umum Perkembangan Mekanisasi di Indonesia Tahun 1950-an s/d Saat Ini …………………………………………………………………..
46
6.2. Jumlah dan Jenis Alsintan Mendukung Program Upsus Padi, Jagung, dan Kedelai …………………………………………………………………………………
49
7.1. Pencapaian Skor Pola Pangan Harapan (PPH), 2005–2012 ………………. 56
7.2. Distribusi Provinsi Berdasarkan Perubahan Skor PPH, 2005 dan 2012 . 57
7.3. Pola Pangan Masyarakat, 2011 dan 2012 ……………………………………… 58
iii
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
2.1. Perkembangan HET Urea dan HPP Gabah, 2003-2014 ……………………. 7
2.2. Perkembangan Rasio HET Urea dan HPP Gabah, 2003-2014 ……………. 7
2.3. Disparitas Harga Pupuk Urea Bersubsidi vs Nonsubsidi, 2003-2014 ….. 8
2.4. Fluktuasi Harga Pupuk Urea di Pasar Internasional, 2004-2013 ……….. 8
3.1. Harga Eceran Beras Bulanan Selama Periode Tahun 2008-2015 ………. 15
3.2. Harga Eceran Beras Mingguan Periode Januari-Februari Tahun 2015 .. 15
3.3. Perbandingan Harga Produsen Gabah GKP, GKP di Tingkat Petani, dan Harga Beras di Tingkat Konsumen, 2010-2015 ...........................
16
3.4. Harga Grosir Beras Harian di PIBC Periode Januari-Februari 2015 ...... 17
3.5. Pemasukan dan Pengeluaran Beras Harian di PIBC Periode Januari- Februari 2015 .................................................................................
18
3.6. Perkembangan Harga Beras di Pasar Internasional (Januari-Februari, Tahun 2015) ..................................................................................
19
1
I. PENDAHULUAN
Beras merupakan pangan pokok yang mempunyai nilai strategis penting,
baik dalam aspek ekonomi, sosial, budaya, maupun politik. Beras dikonsumsi oleh
kurang lebih 98% penduduk Indonesia dengan tingkat konsumsi rata-rata 114,13
kg/kapita/tahun (BPS, 2015). Permintaan beras diperkirakan terus meningkat
karena pertambahan jumlah penduduk yang diperkirakan sebesar 1,49% per
tahun, dan karena peningkatan pendapatan penduduk. Pada sisi produksi, padi
diproduksi oleh sekitar 14,2 juta rumah tangga petani yang berarti bahwa
usahatani padi menjadi sumber pendapatan bagi sekitar 64 juta jiwa. Dengan
tingkat produksi beras nasional sekitar 41,2 juta ton pada tahun 2014, maka nilai
ekonomi perberasan nasional diperkirakan sebesar 330 triliun rupiah.
Mengingat pentingnya beras dalam ekonomi, sosial, budaya, dan politik
nasional, pemerintah mengupayakan peningkatan produksi beras untuk mencapai
tingkat swasembada secara berkelanjutan. Dalam rangka pencapaian swasembada
beras secara berkelanjutan ini, pemerintah melaksanakan berbagai kebijakan dan
program. Pada hakekatnya, kebijakan pemerintah dalam perberasan ini bertujuan
untuk memberikan insentif kepada petani produsen untuk meningkatkan
produksinya dan melindungi konsumen agar beras terjangkau oleh daya beli
penduduk pada umumnya, dan khususnya penduduk miskin.
Untuk mencapai swasembada beras secara berkelanjutan merupakan
tantangan yang berat, mengingat dinamika permasalahan dan kendala yang
dihadapi di lapangan. Berbagai masalah mendasar yang masih dihadapi dalam
pembangunan pertanian pada umumnya dan produksi padi pada khususnya
antara lain sebagai berikut: (a) kerusakan lingkungan dan perubahan iklim, (b)
terbatasnya infrastruktur, (c) akses terhadap sarana pertanian, (d) akses terhadap
sumber daya lahan dan air, (e) kepemilikan lahan yang menyempit, (f) sistem
perbenihan dan pembibitan yang kurang memadai, (g) kurangnya akses petani
terhadap pelayanan permodalan dan penyuluhan, serta masih lemahnya lembaga
petani, (h) kurangnya keterpaduan lintas sektor dan terbatasnya pelayanan
birokrasi pertanian (Kementerian Pertanian, 2015)
2
Menghadapi berbagai tantangan dan permasalahan tersebut, pemerintah
telah menetapkan kebijakan swasembada beras secara berkelanjutan. Kebijakan
swasembada beras tersebut dapat dibedakan atas kebijakan harga dan kebijakan
nonharga.
Kebijakan nonharga dapat dibedakan atas kebijakan intensifikasi dan
ekstensifikasi. Kebijakan intensifikasi bertujuan untuk meningkatkan produktivitas
padi melalui subsidi input (pupuk dan benih), bantuan sarana produksi (pupuk,
benih dan alsintan), dan dukungan untuk penerapan teknologi maju. Kebijakan
ekstensifikasi bertujuan untuk meningkatkan luas areal pertanaman, di antaranya
melalui pencetakan sawah baru, pembangunan dan perbaikan prasarana irigasi,
dan peningkatan intensitas pertanaman. Selain itu, pemerintah juga mengatur dan
mengelola pemanfaatan sumber daya lahan dan air, agar kedua sumber daya
alam yang vital ini dapat dimanfaatkan mendukung peningkatan produksi padi
secara berkelanjutan.
Adapun kebijakan harga pada hakekatnya bertujuan untuk memberikan
jaminan kepada petani padi agar mereka menerima harga jual gabah/beras yang
mendatangkan keuntungan usahatani yang layak. Dalam hal ini, pemerintah
melaksanakan kebijakan harga yang memberikan insentif bagi petani produsen
padi ini pada awalnya berupa kebijakan harga dasar (floor price) gabah, atau
disingkat dengan HDG (Maulana, 2012). Dengan kebijakan HDG ini pada
prinsipnya pemerintah akan membeli gabah petani pada harga dasar dengan
jumlah relatif “tidak terbatas” selama harga jual pada tingkat petani masih di
bawah harga dasar yang ditetapkan pemerintah. Dalam implementasinya
kebijakan HDG ini hanya mungkin untuk dapat dilaksanakan pada era
pemerintahan Orde Baru, di mana pemerintah pusat memegang otoritas penuh
atas kebijakan dan anggaran yang dialokasilkan untuk menjamin pelaksanan
kebijakan HDG baik pada tataran pemerintah pusat sampai ke tingkat pemerintah
daerah dan bahkan pada tingkat implementasinya di lapangan. Pada saat itu
kebijakan HDG dilaksanakan oleh Bulog sebagai LPND (Lembaga Pemerintah Non-
Departemen) yang mempunyai fungsi sebagai regulator sekaligus merangkap
sebagai operator.
3
Pada era Reformasi, status Bulog diubah menjadi Perum yang hanya
menjalankan fungsi operator. Anggaran pemerintah untuk melaksanakan
kebijakan stabilisasi harga gabah di tingkat petani mulai terbatas. Sementara itu,
otoritas kebijakan harga gabah/beras tersebar pada berbagai kementerian.
Dengan demikian, secara praktis pemerintah tidak dapat lagi menjalankan
kebijakan HDG sebagaimana yang pernah dilaksanakan pada era Orde Baru. Oleh
karena itu, pada era Reformasi kebijakan HDG diubah menjadi kebijakan Harga
Pembelian Pemerintah (HPP) di mana pemerintah menetapkan sejumlah tertentu
gabah/beras yang akan dibeli pemerintah pada harga pembelian gabah/beras
yang telah ditetapkan pemerintah. HPP ditetapkan dengan pertimbangan bahwa
petani produsen mendapat marjin keuntungan usahatani padi yang layak (minimal
30% di atas harga pokok produksi padi/gabah).
Karena beras merupakan bahan pangan pokok yang dikonsumsi oleh
sebagian besar penduduk Indonesia, maka menurut Undang-Undang No. 18
Tahun 2012 tentang Pangan, pemerintah berkewajiban untuk menjaga akses
penduduk terhadap beras. Kebijakan untuk meningkatkan dan menjaga
aksesibilitas penduduk terhadap beras dapat dibedakan atas kebijakan harga dan
kebijakan nonharga.
Dalam rangka menjaga aksesibilitas konsumen terhadap beras melalui
kebijakan harga pada era Orde Baru, pemerintah melaksanakan kebijakan Harga
Atap Beras (ceiling price) yang selanjunya disingkat dengan HAB. Dalam
pelaksanaan HAB, pemerintah melalui Bulog akan menjual beras pada tingkat
konsumen pada tingkat harga HAB dalam jumlah yang relatif tidak terbatas,
selama harga beras di tingkat konsumen berada pada tingkat harga di atas HAB.
Seperti halnya HDG, kebijakan HAB ini juga hanya mungkin dapat dilaksanakan
manakala pemerintah pusat mempunyai otoritas penuh dalam pengendalian harga
beras. Dalam hal ini HAB hanya dapat dilaksanakan oleh LPND Bulog yang pada
waktu itu mempunyai peran sebagai regulator sekaligus sebagai operator dalam
peklaksanaan kebijakan harga gabah/beras.
Pada era Reformasi, kebijakan HAB diubah menjadi tiga bentuk kebijakan.
Pertama adalah kebijakan subsidi harga beras untuk masyarakat miskin atau
4
dikenal dengan Program Raskin. Dalam Program Raskin, pemerintah, melalui
Bulog, secara reguler menjual sejumlah tertentu beras dengan harga subsidi
kepada kelompok rumah tangga sasaran (RTS), yaitu rumah tangga yang
tergolong miskin (Bulog, 2015). Memang raskin tidak secara spesifik ditujukan
untuk pengendalian harga beras pada tingkat konsumen, tetapi karena volume
distribusi raskin cukup besar (mencapai 6-7% dari volume konsumsi beras
nasional) dan menyebar di seluruh wilayah Indonesia, maka dampak positifnya
adalah dapat menjaga stabilitas harga beras pada tingkat konsumen. Kedua,
adalah Operasi Pasar Beras (OP Beras). Dalam kebijakan OP Beras ini,
pemerintah, melalui Bulog, akan menjual sejumlah tertentu beras kepada
kosumen pada harga di bawah harga pasar, manakala harga beras di pasar
konsumen mengalami lonjakan harga (dalam hal ini lebih dari 15% dalam waktu
satu bulan). Beras yang digunakan untuk OP Beras ini diambil dari Cadangan
Beras Pemerintah (CBP) (Bulog, 2015), yaitu sejumlah tertentu beras yang dibeli
oleh pemerintah, jumlahnya bervariasi antara 350 ribu ton sampai dengan 1 juta
ton, yang disimpan di gudang Bulog dan dicadangkan untuk keperluan OP Beras,
bantuan beras pascabencana di dalam negeri, dan sebagian dicadangkan (ear
marked) sebagai bantuan beras dalam kerangka kerja sama antara Pemerintah RI
dengan ASEAN Plus Three Emergency Rice Reserve (APTERR).
Pada era globalisasi perdagangan, termasuk perdagangan global beras,
kebijakan perberasan nasional tidak dapat dipisahkan dari pengaruh dinamika
yang terjadi di pasar internasional beras. Dalam hal ini bentuk ketiga dari
kebijakan harga beras nasional adalah pengendalian importasi beras. Kebijakan
pengendalian importasi beras ini dapat dipandang sebagai pelengkap dari
kebijakan perberasan nasional (Darwanto, 2014). Pemerintah mempunyai opsi
untuk melakukan importasi sejumlah tertentu beras untuk pengendalian harga
beras di dalam negeri, manakala harga beras di dalam negeri berada di atas harga
paritas beras di pasar internasional dan atau manakala terjadi kekurangan
pasokan beras produksi dalam negeri. Importasi beras hanya dilakukan oleh Bulog
yang jumlah dan daerah tujuan impornya telah ditentukan pemerintah. Menurut
5
Undang-Undang No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan, importasi beras hanya
dilakukan jika produksi di dalam negeri tidak mencukupi.
Kebijakan nonharga yang terkait dengan peningkatan akses masyarakat
terhadap bahan pangan adalah kebijakan diversifikasi pangan. Selanjutnya dalam
pelaksanaannya kebijakan diversifikasi pangan dilakukan dengan: (a)
mempromosikan penganekaragaman konsumsi pangan, (b) meningkatkan
pengetahuan dan kesadaran masyarakat untuk mengonsumsi aneka ragam
pangan dengan prinsip gizi seimbang, (c) meningkatkan keterampilan dalam
pengembangan olahan pangan lokal, dan (d) mengembangkan dan
mendiseminasikan teknologi tepat guna untuk pengolahan pangan lokal.
Kajian ini akan melakukan analisis kebijakan perberasan nasional secara
komprehensif. Fokus kajian dilakukan pada tataran empiris dengan metode
analisis sumber pustaka dan data sekunder. Analisis kebijakan perberasan
selanjutnya dipertajam dengan melibatkan pendapat dan masukan dari para pakar
dan praktisi perberasan nasional.
6
II. KEBIJAKAN SUBSIDI PUPUK
Implementasi, Permasalahan, dan Penyempurnaan Kebijakan
Pupuk memiliki peranan penting sebagai salah satu faktor produksi dan
produktivitas pertanian. Walaupun peran pupuk dalam struktur biaya usahatani
padi hanya sekitar 7-10% (BPS, 2013), tetapi memiliki peran yang sangat strategis
dalam peningkatan produksi pangan nasional dan pencapaian swasembada
pangan. Tercapainya swasembada beras pada tahun 1984 dan meningkatnya
produktivitas padi sampai saat ini tidak terlepas dari peranan kebijakan subsidi
pupuk. Secara umum petani juga sudah sangat tergantung kepada pupuk untuk
peningkatan produksi tanaman mereka. Salah satu instrumen kebijakan yang
ditempuh pemerintah adalah melalui pemberian subsidi harga pupuk. Dengan
adanya subsidi harga pupuk, maka rasio harga pupuk terhadap harga hasil
pertanian akan menjadi lebih rendah jika dibandingkan dengan tanpa subsidi.
Melalui insentif harga input ini produsen pertanian akan terdorong untuk
menerapkan teknologi produksi yang lebih baik. Dalam implementasinya,
instrumen subsidi harga pupuk dilengkapi dengan mekanisme pengajuan
kebutuhan pupuk oleh petani melalui instrumen RDKK (Rencana Definitif
Kebutuhan Kelompok), alokasi pupuk oleh pemerintah serta distribusi pupuk oleh
produsen dan penyalur sampai ke petani.
Secara umum subsidi harga pupuk yang telah dilakukan sejak tahun 2003
mengalami penyesuaian HET (Harga Eceran Tertinggi) yang relatif lambat,
sementara kenaikan HPP (Harga Pembelian Pemerintah) gabah relatif lebih cepat.
Hal ini mengakibatkan rasio harga gabah/harga pupuk terus meningkat, dari 1,64
tahun 2003 menjadi 2,31 tahun 2014. Tahun 2015 harga gabah telah dinaikkan
10,8%, sehingga rasio menjadi 2,56, yang berarti harga riil pupuk terhadap harga
gabah semakin murah. Hal ini menguntungkan petani, tetapi di beberapa wilayah
produsen padi, penggunaan pupuk oleh petani cenderung menjadi tidak efisien
(boros).
Perkembangan HET pupuk bersubsidi yang cenderung tetap, sementara
harga gas dunia yang terus meningkat sehingga HPP (Harga Pokok Penjualan)
pupuk semakin tinggi mengakibatkan disparitas harga pupuk bersubsidi terhadap
7
harga pupuk nonsubsidi semakin tahun juga semakin besar. Hal ini konsisten
dengan perkembangan harga pupuk (urea) di pasar internasional yang cenderung
meningkat secara fluktuatif. Disparitas harga pupuk bersubsidi dengan nonsubsidi
tahun 2003 hanya Rp994/kg meningkat menjadi Rp2.741/g tahun 2014, dan
tahun 2015 akan menjadi Rp2.968/Kg. Tingginya disparitas harga pupuk
bersubsidi dan nonsubsidi mendorong terjadinya penyelewengan penggunaan
pupuk bersubsidi ke sektor nonsubsidi atau ekspor illegal, serta tindakan-tindakan
moral hazard lainnya oleh pemburu rente yang tentu saja merugikan negara
maupun petani yang berhak menerima subsidi. Beban subsidi pun semakin besar,
yaitu tahun 2003 hanya Rp0,7 triliun menjadi Rp24,9 triliun pada tahun 2014 dan
trennya semakin meningkat sebagai akibat naiknya biaya produksi pupuk.
Sumber: Kemenko Perekonomian (2015), diolah
Gambar 2.1. Perkembangan HET Urea dan HPP Gabah, 2003-2014
Sumber: Kemenko Perekonomian (2015), diolah
Gambar 2.2. Perkembangan Rasio HET Urea dan HPP Gabah, 2003-2014
8
Sumber: Kemenko Perekonomian (2015), diolah
Gambar 2.3. Disparitas Harga Pupuk Urea Bersubsidi vs Nonsubsidi, 2003-2014
Sumber: Simatupang (2015)
Gambar 2.4. Fluktuasi Harga Pupuk Urea di Pasar Internasional, 2004-2013
Disparitas harga pupuk bersubsidi vs nonsubsidi yang semakin besar seperti
diuraikan di atas, mendorong timbulnya berbagai penyimpangan dalam
implementasi kebijakan pupuk bersubsidi yang lebih lanjut mengakibatkan
munculnya berbagai permasalahan dalam pelaksanaan kebijakan subsidi pupuk.
Permasalahan pelaksanaan kebijakan subsidi pupuk dapat diuraikan menurut tiga
aspek, yaitu: (a) pengadaan pupuk bersubsidi di tingkat petani; (b) distribusi
pupuk dari produsen dampai ke petani; dan (c) pengawasan pelaksanaan subsidi
pupuk mulai dari pengadaan, distribusi sampai pupuk bersubsidi diterima oleh
petani.
Pengadaan pupuk bersubsidi di tingkat petani didasarkan pada penghitungan
kebutuhan pupuk yang dasarnya adalah: (a) basis data luas tanaman, sementara
database luas tanaman sampai dengan tingkat kecamatan dan desa belum ada
/belum tertata dengan baik; (b) keanggotaan kelompok tani, di mana belum
Rp
/kg
9
semua petani menjadi anggota kelompok tani padahal mereka juga memerlukan
pupuk; (c) penyusunan RDKK, di mana sampai saat ini RDKK belum tersusun
secara baik; (d) jumlah alokasi subsidi pupuk oleh pemerintah ditentukan oleh
kemampuan pemerintah, usulan dan penyerapan tahun sebelumnya yang mana
jumlah alokasi selalu lebih rendah dari usulan sehingga kurang memotivasi
kelompok gani untuk menyusun RDKK secara baik; (e) di sisi lain, realisasi
penyerapan (yang menjadi salah satu dari pertimbangan dari besaran alokasi)
selalu/cenderung lebih rendah dari alokasi karena tergantung dari tingkat daya
beli petani dan tingkat adopsi teknologi. Faktor-faktor penyebab di atas saling
terkait sehingga seringkali timbul fenomena “kekurangan pupuk bersubsidi” di
tingkat petani namun pupuk nonsubsidi tersedia di kios-kios yang dapat dibeli
dengan harga nonsubsidi.
Permasalahan pada aspek distribusi terutama menyangkut Prinsip 5 Tepat
(Jumlah, Jenis, Kualitas, Harga, Tempat, Waktu,) yang belum sepenuhnya
terpenuhi. Unsur-unsur yang termasuk dalam aspek distribusi antara lain: (a)
pengelolaan sisa/stok pupuk bersubsidi di pengecer belum diatur dengan baik,
sehingga pupuk yang tidak ditebus oleh petani berpotensi disalurkan ke pihak
yang tidak berhak menerima subsidi (sektor nonpertanian) atau dijual ke petani
lain di luar wilayah, (b) harga yang dibeli petani sering lebih tinggi dari HET yang
antara lain disebabkan margin Lini IV terlalu rendah, tambahan ongkos bongkar
yang harus ditanggung oleh Lini IV, atau pun petani membeli pupuk ke kios
dengan cara berhutang sehingga Lini IV/kios menaikkan harga; (c) pola distribusi
tertutup belum sepenuhnya berjalan dengan baik, yang mana petani masih bisa
membeli pupuk bersubsidi di luar kios pengecer yang ditentukan, (d) kios
pengecer tidak melakukan pencatatan pembelian; (e) sering ditemui distributor
(Lini II atau III) tidak memiliki gudang penyimpanan yang menjadi persyaratan
sebagai distributor sehingga mengganggu pelaksanaan distribusi, dan
permasalahan-permasalahan lainnya, (f) SK Alokasi oleh Gubernur dan terutama
SK Bupati/Walikota kerap terlambat sehingga menghambat distribusi pupuk yang
berakibat keterlambatan penyaluran pupuk di tingkat petani (fenomena
“kelangkaan pupuk”).
10
Permasalahan pada aspek pengawasan terutama karena perangkat dan
pelaksanaan pengawasan di setiap lini belum tertata dengan baik. Anggota KP3
seringkali kurang kompeten, kurang dana pengawasan, kepala desa belum
dilibatkan secara legal dan fungsional, belum ada sistem pengaduan masyarakat di
KP3 tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Kendati produsen pupuk telah
memfasilitasi dengan SMS Center untuk pengaduan masyarakat, namun belum
tersosialisasi dengan baik sehingga pemanfaatan oleh masyarakat juga belum
optimal.
Berdasarkan fenomena implementasi kebijakan subsidi pupuk dan
permasalahan-permasalahan yang muncul, maka diperlukan langkah-langkah
operasional yang bertujuan untuk penyempurnaan implementasi kebijakan subsidi
pupuk. Langkah-langkah penyempurnaan kebijakan terutama diarahkan untuk
antara lain:
a. Perbaikan kelompok sasaran dan RDKK
Penyusunan RDKK merupakan awal informasi kebutuhan pupuk petani.
Sementara itu, sebagian RDKK belum disusun secara akurat, baik dalam hal
proses penyusunannya atau kebenaran datanya. Perencanaan kebutuhan pupuk
yang dimulai dari RDKK ini harus disusun pada t-1, artinya untuk kebutuhan tahun
2016 harus dirancang mulai awal tahun 2015. RDKK yang disusun oleh
kelompok tani harus didasarkan pada kondisi objektif, yaitu sesuai dengan luas
garapan yang memenuhi kriteria kelompok sasaran tersebut. Untuk meningkatkan
akurasi data luas garapan lahan usahatani dan efektivitas penyusunan RDKK,
perlu dilakukan peningkatan kapasitas petani/kelompok tani melalui pendam-
pingan/pengawalan oleh penyuluh/petugas lapangan setempat dengan insentif
yang memadai. Untuk mendapatkan jatah pupuk bersubsidi, maka para petani di
masing-masing subsektor diharuskan membentuk kelompok tani yang berperan
dalam penyusunan RDKK. Petani yang menggarap lahan kehutanan, pinggiran rel
KA, bantaran sungai dan lahan usahatani suboptimal lainnya yang selama ini tidak
tidak tercatat dan tidak termasuk dalam RDKK sehingga tidak memiliki hak untuk
memperoleh pupuk bersubsidi, padahal mereka juga memerlukan pupuk, harus
segera dilakukan identifikasi dan dimasukkan dalam RDKK (bagian dari anggota
11
kelompok tani) sehingga mereka berhak menerima subsidi pupuk. Penertiban
kelompok sasaran penerima subsidi pupuk, yaitu petani, pekebun dan usaha
tambak rakyat dengan luasan maksimal 2 ha harus segera dilakukan agar subsidi
pupuk secara efektif diterima oleh petani kecil yang berhak. Selama ini petani
dengan luasan lebih dari 2 ha „memecah‟ lahan mereka menjadi beberapa persil
dengan luasan kurang 2 ha dengan diatasnamakan anak atau keluarga mereka.
Untuk itu bukti pemilikan lahan (sertifikat atau girik) menjadi instrumen penting
untuk sarana kontrol. Perlu dicari solusi kontrol bagi petani penggarap lahan milik
orang lain.
Selama ini RDKK yang digunakan sebagai dasar penetapan alokasi pupuk
oleh pemerintah (menurut usulan kebutuhan/bottom up) pada kenyataannnya
tidak berjalan efektif. Alokasi pupuk oleh pemerintah pada kenyataannya tidak
didasarkan pada usulan RDKK namun didasarkan oleh ketersediaan dana dan
berdasarkan realisasi serapan pada tahun sebelumnya, sehingga alokasi selalui
lebih rendah dari usulan. Oleh karena itu, perlu sinkronisasi perencanaan
kebutuhan mulai dari petani/kelompok tani, kabupaten/kota, provinsi, sampai
nasional. Pasa saat ini jumlah pupuk yang diminta petani melalui RDKK dan/atau
daerah (provinsi/kabupaten/kota) selalu jauh lebih tinggi daripada yang ditetapkan
dalam Kepmentan.
Untuk meningkatkan efektivitas subsidi pupuk yang berorientasi membantu
petani kecil, maka kelompok sasaran penerima subsidi pupuk disarankan diubah
menjadi petani, pekebun, peternak, pembudi daya ikan dan/atau udang dengan
luasan sampai dengan 0,5 ha untuk tanaman semusim, dan petani dengan
penguasaan lahan sampai dengan 1 ha untuk tanaman tahunan. Untuk
mendukung pencapaian sasaran tersebut, maka penetapan besarnya subsidi
didasarkan pada RDKK dari kelompok sasaran tersebut. Data Sensus Pertanian
2013 menunjukkan bahwa jumlah petani dengan pengusahaan lahan kurang dari
0,5 ha sebanyak 57%, menurun dibandingkan tahun 2003 sebesar 64%. Jika
sasaran penerima subsidi hanya kepada petani dengan luasan sampai dengan 0,5
ha, maka beban subsidi pemerintah akan berkurang cukup signifikan yang dapat
dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur pertanian (irigasi, jalan usahatani,
dsb.).
12
Tabel 2.1. Jumlah dan Komposisi Rumah Tangga Usahatani Pertanian Menurut
Golongan Luas Lahan, 2003-2013
Golongan Luas (m2) ST-2003
Juta RT
ST-2013
Juta RT (%)
<1000 9,38 4,34 -53,75
1.000-1,999 3,60 3,55 -1,45
2.000-4.999 6,82 6,73 -1,23
5.000-9.999 4,78 4,56 -4,76
10.000-19.999 3,66 3,73 1,76
20.000-29.999 1,68 1,62 -3,27
>30.000 1,31 1,61 22,81
Jumlah 31,23 26,14 -16,32 Sumber: Sensus Pertanian 2003 dan 2013
b. Penyesuaian HET
Dengan adanya perbedaan harga yang sangat lebar antara harga pupuk
bersubsidi dan harga pasar maka rangsangan/insentif untuk melakukan moral
hazard sangat tinggi, berupa penyelundupan pupuk bersubsidi ke sektor
perkebunan, penjualan kembali pupuk bersubsidi oleh petani dengan harga yang
lebih tinggi dari yang dibayar petani tetapi lebih rendah dari harga pasar, sampai
pada pencucian warna pupuk bersubsidi. Untuk mengatasi kondisi tersebut di
atas, selain dengan penegakkan hukum yang ketat, perlu juga dipikirkan untuk
mengurangi insentif moral hazard itu sendiri. Artinya, usulan kebijakan phase
out fertilizer subsidy secara gradual dapat dipandang sebagai kebijakan
perpupukan jangka menengah, tetapi harus sudah dimulai dipikirkan saat ini.
Penyesuaian HET secara bertahap mendekati harga pasar perlu segera
dilaksanakan yang disertai dengan peningkatan harga gabah secara proporsional.
Rumus Tani yang dahulu digunakan dalam menetapkan harga gabah dan pupuk,
yaitu rasio harga gabah dan harga pupuk adalah 1:1 dapat digunakan sebagai
acuan. Demikian pula usulan alokasi dana penghematan dari kebijakan subsidi
pupuk, apakah digunakan untuk menambah volume pupuk bersubsidi atau
dikembalikan ke petani dalam bentuk pengembangan infrastuktur dan alsintan
untuk keseluruhan sistem agribisnis (tidak hanya off-farm saja).
13
c. Penertiban SK Alokasi Pupuk oleh Gubernur/Bupati/Walikota
Alokasi kebutuhan pupuk bersubsidi untuk masing-masing provinsi setiap
tahun ditetapkan dalam Peraturan Menteri Pertanian kemudian ditindaklanjuti
dengan penerbitan Peraturan Gubernur yang mengatur tentang alokasi pupuk
bersubsidi pada masing-masing kabupaten/kota. Peraturan Gubernur tersebut
diterbitkan pada akhir Desember atau pada awal bulan Januari. Seterusnya
ditindaklanjuti dengan penerbitan Peraturan Bupati/Walikota yang mengatur
tentang alokasi pupuk bersubsidi pada masing-masing kecamatan. Peraturan
Bupati atau Walikota tersebut diharapkan dapat terbit selambat-lambatnya pada
awal Februari. Namun, keterlambatan penetapan SK alokasi kerap terjadi yang
mengakibatkan keterlambatan penyalurann pupuk di tingkat petani.
Keterlambatan penetapan SK tersebut perlu segera diatasi dan diantisipasi.
Pemberian sanksi kepada Pemda yang melakukan keterlambatan penetapan SK
(misalnya dengan tidak diberi jatah pupuk bersubsidi perlu dipikirkan sebagai
shock teraphy agar tidak mengulang-ulang keterlambatan tersebut.
d. Penertiban distribusi pupuk
Produsen dan distributor pupuk perlu diminta untuk mendistribusikan pupuk
sesuai uraian tugasnya secara tepat waktu dengan mengacu pada Kepmentan.
Perlu dipkirkan apabila pupuk tidak terdisribusikan tepat waktu, dan jika hal ini
disebabkan kelalaian produsen dan/atau distributor, maka perlu dirumuskan sanksi
dan/atau denda.
e. Optimalisasi peran dan fungsi pengawasan
Tim KP3 (Komisi Pengawasan Pupuk dan Pestisida) di berbagai tingkatan
perlu diminta bekerja lebih baik lagi. Ada baiknya keanggotaan KP3 tidak hanya
dari unsur pejabat struktural, tetapi ditambah dari Perguruan Tinggi dan LSM.
Agar Tim KP3 ini lebih lincah bergerak, perlu dibentuk kesekretariatan KP3
yang mengelola administrasi, rapat, dan pelaporan. Untuk itu, perlu ada alokasi
anggaran yang cukup untuk Tim KP3. Kepala desa sebagai aparat yang
bertanggung jawab terhadap wilayahnya perlu dilibatkan secara legal dan
fungsional dalam pengawasan.
14
III. KEBIJAKAN HARGA BERAS DI TINGKAT KONSUMEN
Pada akhir tahun 2014 sampai dengan bulan Februari 2015, kenaikan harga
beras di pasar konsumen diperkirakan telah mencapai 30%. Harga beras kualitas
rendah dan medium telah menembus tingkat harga psikologis, yaitu Rp10.000/kg.
Silang pendapat mengemuka terkait faktor penyebab fenomena terjadinya
kenaikan harga tersebut. Faktor tersebut antara lain adalah: (a) dugaan tentang
adanya spekulasi harga yang dilakukan oleh sekelompok pelaku bisnis beras
berskala besar; (b) stok beras yang dikuasai pemerintah memang menurun; (c)
pemerintah terlambat mengalokasikan raskin; dan (d) sebagian besar daerah
produsen beras memang memasuki masa tidak panen (paceklik). Kenaikan harga
beras juga dipicu oleh pernyataan pemerintah yang menyatakan tidak akan
melakukan impor beras pada tahun 2015.
Data dari BPS tentang perkembangan harga eceran beras bulanan
menunjukkan bahwa rata-rata harga eceran beras sudah mengalami peningkatan
yang cukup nyata mulai pada bulan November 2014 hingga bulan Februari 2015
(Gambar 3.1). Data mingguan dari minggu pertama bulan Januari 2015 sampai
minggu keempat bulan Februari 2015 menunjukkan bahwa harga beras mulai
meningkat tajam pada minggu ketiga bulan Februari 2015 (Gambar 3.2).
Data prognosa neraca ketersediaan dan kebutuhan beras menurut bulan
menunjukkan bahwa bulan November, Desember, sampai Januari merupakan
bulan defisit beras, atau secara umum dikenal dengan istilah musim paceklik
(Tabel 3.1). Pada musim paceklik secara alami akan terjadi penurunan pasokan
beras ke pasar, yang pada gilirannya akan menaikkan harga beras. Namun,
kenaikan harga beras pada musim paceklik umumnya bersifat siklikal. Artinya,
pada saat terjadi iklim normal, harga beras meningkat secara normal (tidak
bergejolak) pada musim paceklik, tetapi kemudian akan menurun kembali setelah
memasuki musim panen (Gambar 3.3). Gambar 3.3 juga menunjukkan bahwa
kenaikan harga gabah dan beras pada akhir tahun 2014 dan awal tahun 2015
relatif lebih tinggi bila dibandingkan dengan kenaikan harga beras pada periode
bulan yang sama tahun-tahun sebelumnya.
15
Sumber: BPS dalam Rusanti (2015)
Gambar 3.1. Harga Eceran Beras Bulanan Selama Periode Tahun 2008-2015
Sumber: BPS dalam Rusanti (2015)
Gambar 3.2. Harga Eceran Beras Mingguan Periode Januari-Februari Tahun 2015
16
Tabel 3.1. Prognosa Neraca Ketersediaan dan Kebutuhan Beras Menurut Bulan
Tahun 2015
Bulan Perkiraan Ketersediaan Perkiraan Kebutuhan Perkiraan Neraca
Domestik
Jan-15 2.300,5 2.645,4 -344,9
Feb-15 5.192,3 2.624,3 2.568,1
Mar-15 7.455,1 2.624,3 4.830,8
Apr-15 4.545,7 2.624,3 1.921,5
Mei-15 2.417,8 2.624,3 -206,4
Jun-15 3.116,3 2.808,0 308,3
Jul-15 4.060,6 2.759,7 1.300,8
Agust-15 3.909,9 2.624,3 1.285,6
Sep-15 2.813,9 2.654,9 159,0
Okt-15 2.160,9 2.624,3 -463,4
Nop-15 1.530,0 2.624,3 -1.094,3
Des-15 1.764,8 2.666,6 -901,8
Total 2015 41.267,9 31.904,6 9.363,3 Sumber: BKP dalam Suryana et al. (2015)
Sumber: BPS dalam Rusanti (2015)
Gambar 3.3. Perbandingan Harga Produsen Gabah GKP, GKP di Tingkat Petani,
dan Harga Beras di Tingkat Konsumen, 2010-2015 (Rp/Kg)
Data harga beras BPS yang dikumpulkan di 82 kota besar menunjukkan
adanya peningkatan harga beras secara signifikan (lebih dari 10%) di beberapa
kota besar, antara lain Manado, Kudus, Bandung, dan Banyuwangi, dan bahkan di
17
Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC) kenaikan harga beras mencapai 21% untuk
beras jenis Muncul. Namun, kenaikan harga beras rata-rata di 82 kota hanya
kurang 3%. Dengan demikian, rata-rata kenaikan harga agregat tidak sesuai
dengan fenomena kenaikan harga beras secara umum yang diberitakan media
mencapai 30%.
Harga beras harian di Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC) menunjukkan
bahwa harga beras untuk berbagai kualitas beras meningkat secara tajam sejak
awal bulan Februari 2015 (Gambar 3.4). Meningkatnya harga beras di PIBC
berkaitan erat dengan menurunnya pasokan beras ke PIBC. Secara normal, beras
akan masuk ke PIBC sejumlah sekitar 2.000 ton/hari. Data pemasukan dan
pengeluaran beras harian di PIBC menunjukkan bahwa semenjak minggu kedua
jumlah beras yang masuk ke PIBC kurang dari 2.000 ton/hari, dan jumlah beras
yang dikeluarkan dari PIBC lebih besar dari jumlah beras yang masuk. Dengan
demikian, pengeluaran beras dari PIBC sudah barang tentu “menguras” stok beras
di PIBC (Gambar 3.5).
Sumber: PIBC (data diolah BKP) dalam Suryana et al. (2015)
Gambar 3.4. Harga Grosir Beras Harian di PIBC Periode Januari-Februari 2015
18
Sumber: PIBC (data diolah BKP) dalam Suryana et al. (2015)
Gambar 3.5. Pemasukan dan Pengeluaran Beras Harian di PIBC Periode Januari-
Februari 2015
Beberapa analisis yang muncul berkaitan dengan kenaikan harga beras ini
juga disebabkan oleh tipisnya stok beras Bulog yang pada bual Januari 2015
hanya mencapai 1,4 juta ton, lebih rendah dari tingkat aman 2 juta ton (Tabel
3.2). Kondisi rendahnya stok Bulog di awal tahun ini rupanya dibaca oleh para
pedagang besar beras terutama di DKI dan sekitarnya. Informasi ini dimanfaatkan
oleh sementara pedagang besar beras untuk meningkatkan harga jual berasnya di
atas kenaikan harga normal. Sentimen negatif pasar bertambah dengan adanya
pernyataan pemerintah yang tidak akan melakukan impor beras pada tahun 2015.
Berdasarkan dinamika perubahan data harga beras di pasar internasional
dapat diketahui bahwa harga beras di pasar internasional justru mengalami
penurunan (Gambar 3.6). Kondisi ini bertolak belakang dengan pergerakan harga
beras di dalam negeri. Kondisi demikian sebenarnya menunjukkan bahwa
importasi beras merupakan salah satu pilihan kebijakan untuk menjaga stabilitas
harga beras di pasar dalam negeri. Pemerintah dapat saja melakukan importasi
beras dalam jumlah terbatas, atas pertimbangan bahwa harga gabah di tingkat
petani sudah berada di atas HPP, sementara lonjakan harga beras di pasar
konsumen dikhawatirkan menurunkan akses konsumen pada umumnya,
konsumen berpendapatan rendah pada khususnya, terhadap beras sebagai bahan
19
pangan pokok. Namun demikian, importasi beras dimaksud agar betul-betul
dikelola dan diawasi secara ketat agar tidak menimbulkan dampak negatif berupa
penurunan harga gabah petani di bawah HPP.
Tabel 3.2. Kondisi Stok Beras yang Dikelola Bulog Sampai dengan 9 Januari 2015
No. Uraian Volume (000 t)
1. Pengadaan PSO tahun 2014
Target s.d. Desember (ton) Realisasi Desember (ton) Stok awal tahun 2004
3.852,2 (61,30%) 2.361,3
2.911,4
2. Penyaluran (ton)
Raskin Operasi pasar Penyaluran bencana alam (CBP)
Penyaluran golongan anggaran Penjualan ke pasar umum
3.642.540
2.795,6 325,9 12,1
2,8 526,9
3. Total stok (ton) Cadangan beras pemerintah (CBP)
Stok Bulog Kekuatan stok: kebutuhan konsumsi
Kekuatan stok: kebutuhan raskin
1.630,1 (12,9)* 141,9
(1.303,1)* 1.488,2 0,49
5,66 Sumber: Perum Bulog (diolah penyajiannya oleh BKP) dalam Suryana et al. (2015) Keterangan: *Data Bulog per 24 Februari 2015
Sumber: FAO (data diolah PSEKP) dalam Suryana et al. (2015)
Gambar 3.6. Perkembangan Harga Beras di Pasar Internasional (Januari-Februari,
Tahun 2015)
20
IV. PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DAN LAHAN YANG
BERKELANJUTAN UNTUK PERTANIAN
Sumber daya lahan dan air untuk pertanian pangan menghadapi tekanan
akibat persaingan penggunaannya dengan banyak sektor yang masing masing
bertumbuh sejalan dengan pertumbuhan ekonomi dan penduduk. Kemajuan
ekonomi di semua sektor pertanian telah menyebabkan meningkatnya permintaan
akan lahan dan air, sehingga lahan pertanian pangan yang ada dihadapkan
kepada ancaman konversi lahan ke nonpertanian, degradasi kualitas lahan dan
lingkungan. Berlangsung konflik kepentingan dalam rangka memperebutkan
penggunaan lahan dan air.
Keberadaan kedua sumber daya ini berada pada kondisi kritis karena terjadi
penurunan luas lahan produktif, degradasi sumber daya lahan, air, dan lingkungan
serta struktur kepemilikan lahan yang tidak semestinya. Luas lahan sawah terus
menurun akibat konversi lahan, sementara intensitas penanaman padi juga
menurun akibat menurunnya pasokan air irigasi dan penurunan layanan jaringan
irigasi. Ada banyak dampak negatif konversi lahan pertanian menjadi lahan
nonpertanian yaitu menurunkan kapasitas produksi pertanian, rusaknya sistem
pengairan di daerah produksi yang terbangun, dan kerugian investasi yang telah
ditanamkan dalam membangun waduk, jaringan irigasi, dan pencetakan sawah.
4.1. Ketersediaan Lahan dan Upaya Menjaga Keberlanjutannya
Terdapat banyak UU baik secara langsung maupun tidak langsung terkait
dengan sumber daya lahan dan air. UU tersebut saling terkait antara UU yang satu
dengan UU yang lainnya atau dengan kata lain terdapat konsistensi dan
sinkronisasi antarUU, namun penekanannya berbeda antarUU. Walaupun terdapat
banyak UU dan peraturannya terkait sumber daya lahan dan air, namun belum
semua Provinsi dan kabupaten/kota menindak lanjutinya. Belum semua wilayah
menyelesaikan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), bahkan belum ada
pemerintah daerah yang mengimplementasikan UU No 41/2009 tentang
Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) secara detail (di mana
21
lokasi lahan, milik siapa, dan sebagainya). Demikian pula, UU sumber daya air
juga belum banyak yang ditindak lanjuti oleh pemerintah daerah.
Luas lahan yang dicadangkan untuk lahan pangan pertanian berkelanjutan
bervariasi antarwilayah, padahal seharusnya semua luas lahan sawah beririgasi
dan sebagian lahan kering dapat dicadangkan untuk LP2B. Hal ini bedampak pada
proses konversi lahan yang terus berjalan. Pemerintah daerah belum
melaksanakan wewenangnya terkait dengan pengelolaan air irigasi, sehingga
banyak jaringan irigasi rusak, sedimentasi yang tinggi di waduk, DAS dan lainnya.
Pada beberapa kasus, pengalihan fungsi waduk, tidak hanya untuk kegiatan
pertanian lahan sawah tetapi juga untuk perikanan, tambang dan lainnya.
Penerapan UU No. 41/2009 masih akan membutuhkan waktu panjang,
karena membutuhkan syarat: (a) terlebih dahulu telah diterbitkannya seluruh
produk hukum turunan yang diamanatkan dari UU No. 41/2009 berupa Peraturan
Pemerintah dan Permentan, (b) telah disusun Perda RTRW Provinsi dan Perda
RTRW Kabupaten/Kota yang didalamnya berisi arahan tentang kawasan lahan
pertanian yang dilindungi secara wilayah, (c) harus telah disusun
peraturan/Perda/Perbup tentang rencana Detail Tata Ruang yang di dalamnya
memuat antara lain rencana lebih rinci setiap desa/blok. Oleh karena itu, UU
tersebut perlu disosialisasikan kepada masyarakat agar dalam implementasinya
tidak terjadi konflik. Lambatnya implementasi UU No. 41/2009 juga berkaitan
dengan adanya aturan tentang sangsi di mana setiap pejabat pemerintahan yang
berwenang menerbitkan izin pengalihfungsian lahan pertanian pangan
berkelanjutan tidak sesuai dengan ketentuan dapat dipidana dengan pidana
penjara sangat berat.
Pemerintah daerah belum banyak yang mengimplementasikan tindak lanjut
peraturan di bidang lahan dan air. Kalaupun telah menyusun Pergub/Perda terkait
sumber daya air, peraturan tersebut belum dilaksanakan secara optimal. Masalah
air masih dianggap belum penting, masih konsentrasi di bidang lahan, sehingga
belum sepenuhnya melaksanakan tugas di bidang air yang menjadi
kewenangannya. Kerusakan sarana prasarana irigasi akan semakin parah, tata
guna air juga semakin tidak seimbang (pertanian/industri/air minum). Oleh
22
karena itu, masalah lahan dan air perlu dicermati kembali oleh para pengambil
kebijakan untuk dapat dengan segera dilakukan penanganan secara komprehensif
dan intensif. Selain itu, juga diperlukan komitmen yang kuat dari pemerintah
daerah termasuk lembaga legislasi daerah untuk hal tersebut untuk penguatan
swasembada pangan nasional saat ini dan masa depan.
Wilayah luar Pulau Jawa semestinya memperoleh perhatian yang lebih
besar sebagai sumber produksi pangan. Dalam jangka panjang laju pertumbuhan
produksi padi di Jawa diperkirakan akan terus mengalami penurunan atau semakin
lambat akibat berbagai faktor. Pulau Jawa semakin sulit diandalkan untuk
menopang kebutuhan beras nasional. Untuk mengimbangi pertumbuhan produksi
padi yang semakin lambat di Pulau Jawa maka perlu dilakukan akselerasi
peningkatan produksi padi di luar Jawa.
Peraturan perundangan tentang lahan lalu diturunkan dalam bentuk
Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres), dan Peraturan Menteri
(Permen). Beberapa peraturan produk turunan tersebut antara lain adalah: (1)
PP No. 11 Tahun 2010 tentang Penertiban Pendayagunaan Tanah Terlantar, (2)
PP No. 1 Tahun 2012 tentang Penetapan Alih Fungsi Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan, (3) PP No. 15 Tahun 2010 tentang Penyelengaraan Penataan
Ruang, (4) PP No. 25 Tahun 2012 tentang Sistem Informasi Lahan Pertanian
Pangan Berkelanjutan, (5) PP No. 12 Tahun 2012 tentang Insentif Perlindungan
Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, dan (6) PP No. 30 Tahun 2012 tentang
Pembiayaan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.
Pada hakekatnya UU No. 41/2009 tentang PLP2B bertujuan untuk
melindungi kawasan dan lahan pertanian pangan; menjamin ketersediaan lahan
pertanian pangan berkelanjutan untuk mewujudkan kemandirian, ketahanan, dan
kedaulatan pangan; dan melindungi kepemilikan lahan pertanian pangan petani.
Dari evaluasi terhadap Perda RTRW Provinsi, terdapat keragaman dalam
definisi jenis dan luas lahan yang pertanian yang dicadangkan untuk pangan
berkelanjutan. Khusus pada Perda No. 22/2010 tentang RTRW Provinsi Jawa
Barat 2009-2029, pada Pasal 42 disebutkan: “Kawasan pertanian pangan
ditetapkan dengan ketentuan memiliki kesesuaian lahan terutama berlokasi
23
dilahan beririgasi teknis (ayat 1). Pengembangan kawasan pertanian pangan
diarahkan untuk mempertahankan kawasan pertanian beririgasi teknis (ayat 2)”.
Sejak ditetapkan pada tahun 2009, UU 41/2009 tentang PLP2B belum dapat
diterapkan, hal ini berkaitan dengan tiga aspek, yaitu: (1) diterbitkannya seluruh
produk hukum turunan yang diamanatkan dari UU 41/2009 berupa 4 Peraturan
Pemerintah (PP) dan Permentan, (2) sesuai dengan amanat yang tercantum
dalam UU 41/2009, penerapan UU 41/2009 harus terlebih dahulu telah disusun
Perda Tata Ruang Provinsi dan selanjutnya Perda Tata Ruang Kabupaten/Kota
yang di dalamnya berisi arahan tentang kawasan budi daya pertanian dan luas
lahan pertanian yang dilindungi, dan (3) Perda RTRW Kabupaten/Kota juga harus
ditindaklanjuti Rencana Detail Tata Ruang yang di dalamnya memuat antara lain
rencana lebih rinci (sampai pada tingkat desa/ blok) tentang luas lahan pertanian
yang akan dilindungi.
Khusus di Jawa Barat, sebagai provinsi penyangga ibukota negara, maka
Jawa Barat diberi banyak beban. Jawa Barat memprioritaskan kepada sektor-
sektor unggulan yang menjadi penggerak utama pertumbuhan ekonomi Jawa
Barat, dan merangsang investasi dan perdagangan dalam beberapa tahun terakhir
menunjukkan tren pertumbuhan naik. Sektor pertanian merupakan salah satu
sektor unggulan di Jawa barat kerena didukung oleh sumber daya lahan yang
cukup dan komoditas unggulan yang beragam dengan jumlah petani yang cukup
besar. Dalam rencana pembangunan lima tahun berjalan sektor kemandirian
pangan menempati urutan keempat dalam prioritas pembangunan Jawa Barat.
Dengan banyaknya dasar hukum yang harus diacu (terutama arahan
Kepres tentang MP3EI) dan didasarkan kepada kondisi strategis daerah,
Rakorbang Provinsi (2012) menghasilkan kesepakatan prioritas pengembangan
jangka menengah Jawa Barat, yaitu pembangunan tiga metropolitan dan dua
pusat pertumbuhan, yaitu: (1) Metropolitan Bodebek Karpur, (2) Metropolitan
Bandung Raya, (3) Metropolitan Cirebon Raya, (4) Pusat Pertumbuhan Pelabuhan
Ratu, dan (5) Pusat Pertumbuhan Pangandaran (Bappeda Jabar, 2012).
Dari review terhadap Perda RTRW Kabupaten/Kota yang telah disahkan
dalam Perta RTRW Kabupaten dan Perda RTRW Kota di Provinsi Jawa Barat,
24
ditemukan bahwa hampir seluruh wilayah pemerintah kota (Perda RTRW Kota)
tidak mengalokasikan lahan pertanian yang dilindungi untuk lahan pangan
berkelanjutan. Kondisi antarwilayah sangat bervariasi: lahan pertanian pangan
yang dilindungi lebih kecil dari luas sawah irigasi teknis yang ada (Kabupaten
Bekasi); lahan pertanian pangan yang dilindungi mencakup seluruh lahan
pertanian sawah irigasi teknis dan sebagian lahan sawah nonteknis (Kab. Bogor,
Kab. Cirebon, Kab. Indramayu, Kab. Majalengka, Kab. Kuningan), lahan pertanian
pangan yang dilindungi mencakup seluruh lahan pertanian sawah (Kab. Cianjur
dan Kab. Bandung), lahan pertanian pangan yang dilindungi mencakup seluruh
lahan pertanian sawah irigasi dan sebagian lahan nonsawah (Kab. Sukabumi dan
Kab. Garut).
Dinas Pertanian Provinsi Jawa Barat (2006) mengemukakan, sampai
dengan 2005 terjadi alih fungsi lahan sawah seluas 11.207 ha, dengan rincian
beririgasi teknis 349 ha, sawah irigasi setengah teknis 3.969 ha, dan sawah irigasi
sederhana masing-masing 6.889 ha. Dengan adanya rencana pembangunan
kawasan perkotaan (metropolitan) dan infrastrukturnya akan mempercepat
kejadian konversi lahan pertanian, terutama konversi lahan sistematis dan
terencana. Sesuai dengan yang direncanakan, pembangunan jalan tol sepanjang
455,57 km akan menggunakan (mengkonversikan lahan) seluas 3.875 ha, dan
pembangunan Bandar Udara Internasional Jawa Barat (BIJB) akan menggunakan
lahan seluas 5.000 ha. Konversi lahan tersebut belum termasuk konversi ikutan
(tidak langsung) akibat pembangunan tol dan bandara internasional tersebut.
Dengan adanya jalan tol yang melintas di daerahnya, sebagaimana daerah lainnya
beberapa kabupaten seperti Subang, Sumedang, Majalengka, Indramayu, dan
Cirebon telah mencanangkan pembangunan kawasan industri. Rencana tersebut
telah tertuang dalam RTRW Kabupaten/Kota tahun 2011–2035 yang telah
disahkan dalam bentuk peraturan daerah. Di samping pembangunan kawasan
industri juga telah dirancang dan disiapkan untuk pembangunan kawasan
perumahan dan pembangunan fasilitas kepentingan umum.
Pada sisi lain, berkembangnya suatu wilayah menjadi kawasan perkotaan
dan terbangunnya infrastruktur akan berperan positif dalam pembangunan
25
wilayah secara keseluruhan termasuk pembangunan pertanian. Berkembangnya
kawasan perkotaan dan industri akan menumbuhkan permintaan terhadap produk
pertanian baik untuk konsumsi langsung maupun permintaan bahan baku
pertanian bagi industri di bidang pengolahan pertanian. Perbaikan infrastruktur
akan berdampak kepada kemudahan akses dan menumbuhkan minat investasi
termasuk investasi di bidang usaha agribisnis. Hal ini merupakan peluang dalam
rangka optimalisasi sumber daya pertanian yang ada di Jawa Barat.
Meningkatnya permintaan akan lahan akan berakibat meningkatnya nilai lahan
yang akan mengakibatkan berkembangnya usaha pertanian bernilai ekonomi
tinggi, padat teknologi, dan padat modal. Sangat dimungkinkan adanya
pengalihan usahatani masyarakat dari usaha tanaman pangan ke hortikultura
(sayuran, tanaman hias) dan usaha peternakan bernilai ekonomi tinggi.
4.2. Implikasi dari Pembatalan UU Sumber Daya Air oleh MK
Pada tahun 2015 ini, sektor pengairan diwarnai dengan pembatalan
Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Mahkamah
Konstitusi dalam pertimbangannya menyoroti bahwa UU ini kurang
memperhatikan prinsip-prinsip yang merefleksikan kepentingan politik yang
terkandung dalam pasal 33 UUD 1945. Pertimbangan pembatalan UU oleh
Mahkamah Konstitusi adalah sebagai upaya menjaga kelestarian dan
keberlanjutan sumber daya air. Secara lengkap, alasannya adalah bahwa: (1)
setiap pengguna air tidak boleh mengganggu, mengesampingkan, dan
meniadakan hak rakyat atas air; (2) negara memenuhi hak rakyat atas air; (3)
harus mengingat kelestarian lingkungan hidup; (4) pengawasan dan pengendalian
oleh negara sifatnya mutlak; dan (5) prioritas pengusahaan atas air oleh BUMN
dan BUMD.
Pada intinya, Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air
memiliki interelasi dengan kesepakatan dunia tentang private sector participation.
Undang-undang ini memberi kesempatan kepada masyarakat termasuk swasta
untuk mengelola dan memanfaatkan sumber daya air. Akibatnya, terjadi
privatisasi dan komersialisasi air yang membuka peluang munculnya persaingan
26
pengelolaan dan pemanfaatan air antar-stakeholders, antarwilayah, maupun
antarsektor.
Air memiliki fungsi konsumsi, industri, kesehatan, sekaligus merupakan
sumber penggerak agraria yang menduduki posisi strategis dalam pertanian
persawahan (Pasandaran, 2006; Sumaryanto, 2007). Laju pengurangan
ketersediaan air pertanian akan terjadi lebih cepat dari laju pengurangan
ketersediaan lahan. Pada kantong-kantong pangan dengan sumber-sumber air
yang berkualitas baik, pemanfaatan air cenderung terjadi kesenjangan, baik
antarsektor, antarwilayah hulu dan hilir, bahkan antarkelompok masyarakat.
Penyebab utama adalah peningkatan permintaan air untuk konsumsi dan industri
lebih cepat dibanding permintaan sektor pertanian. Perubahan permintaan
terhadap komoditas pertanian dan perubahan penggunaan lahan pertanian
merupakan faktor lain yang turut mempengaruhi penggunaan sumber daya air
pertanian. Situasi ini turut menyebabkan nilai ekonomi dan persaingan
pemanfaatan air meningkat.
Orientasi pembangunan pariwisata mempercepat laju pemanfaatan sumber
daya air dan menghadirkan beragam stakeholder dengan beragam ideologi yang
bersaing untuk mengakses sumber daya ini. Hasil penelitian sebelumnya
menunjukkan bahwa persaingan air bersifat melemahkan akses petani dan
keterancaman terhadap lembaga pengairan dan pertanian subak (Cole, 2012;
Lorenzen, 2011). Distribusi sumber daya air yang senjang berpeluang besar
menimbulkan konflik dan berpotensi meng-ganggu integrasi sosial (Homer-Dixon,
1994).
UU No. 7/2004 sebagai Landasan Hukum Privatisasi dan Komersialisasi Air
Penyusunan UU No. 7/2004 tentang Sumber Daya Air meletakkan landasan
hukum privatisasi dan komersialisasi air di Indonesia. Privatisasi kepemilikan air
diberikan melalui pasal 7 ayat 1 yang menyatakan bahwa hak guna air dapat
berupa hak guna pakai air dan hak guna usaha air. Selanjutnya, pasal 9 ayat 1
menyatakan “hak guna usaha air dapat diberikan kepada perorangan atau badan
usaha dengan izin dari pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan
27
kewenangannya”. Dengan demikian, perorangan atau badan usaha dapat
memperoleh hak untuk mengusahakan air (HGU air).
Peluang untuk melakukan komersialisasi air diatur dalam sejumlah klausul.
Pasal 26 ayat 1 menyatakan bahwa pengusahaan sumber daya air merupakan
salah satu bentuk pendayagunaan sumber daya air yang sah. Pasal 45 ayat 3
menyatakan bahwa pengusahaan sumber daya air dapat dilakukan oleh
perseorangan, badan usaha, atau kerja sama antarbadan usaha berdasarkan izin
pengusahaan dari pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan
kewenangannya. Selanjutnya, dalam ayat 4 dijelaskan bahwa pengusahaan air
dapat berbentuk penggunaan air, pemanfaatan wadah air, dan pemanfaatan daya
air.
Banyak kalangan masyarakat menilai bahwa UU No. 7/2004 bertentangan
dengan konstitusi RI dan oleh karena itu mereka melakukan gugatan ke
Mahkamah Konstitusi. Atas gugatan sejumlah perwakilan masyarakat pada tahun
2004, Mahkamah Konstitusi RI memutuskan bahwa UU No. 7/2004 tidak
melanggar konstitusi RI baik secara formal maupun secara materiil (MK-RI, 2005).
Mahkamah berpendapat bahwa meskipun UU No. 7/2004 membuka peluang
swasta memperoleh hak guna usaha air dan izin pengusahaan sumber daya air,
namun hal itu tidak mengakibatkan penguasaan air jatuh ke tangan swasta. Hal
ini terkait dengan keberadaan negara sebagai (1) merumuskan kebijaksanaan
(beleid), (2) melakukan tindakan pengurusan (bestuursdaad), (3) melakukan
pengaturan (regelendaad), (4) melakukan pengelolaan (beheersdaad), dan (5)
melakukan pengawasan (toezichthoudendaad).
Mahkamah menyatakan bahwa HGU air dan izin pengusahaan sumber daya
air merupakan sistem perizinan yang penerbitannya harus berdasarkan pada pola
pengelolaan sumber daya air yang disusun dengan melibatkan peran serta
masyarakat seluas-luasnya. Kinerja pengelolaan sumber daya air diawasi langsung
oleh berbagai pihak secara langsung sehingga justru dengan demikian penerbitan
HGU air dan izin pengusahaan sumber daya air dapat dikendalikan oleh
pemerintah. Permohonan HGU air dan izin pengusahaan sumber daya dapat
28
ditolak bila tidak sesuai dengan pola pengelolaan sumber daya air yang telah
disusun.
Mahkamah juga berpendapat bahwa UU No. 7/2004 tidak menyebabkan
komersialisasi sumber daya air karena menganut prinsip “penerima manfaat jasa
pengelolaan sumber daya air wajib menanggung biaya pengelolaan” sesuai
dengan jasa yang dipergunakan. Prinsip ini justru menempatkan air tidak sebagai
objek untuk dikenai harga secara ekonomi karena tidak ada harga air sebagai
komponen dalam menghitung jumlah yang harus dibayar oleh penerima manfaat.
Namun demikian, putusan mahkamah tersebut ditetapkan dengan
pendapat berbeda (dissenting opinion) oleh dua dari sembilan anggota. Hakim
Mahkamah Mukhtie Fajar menyatakan bahwa UU No. 7/2004 seyogyanya direvisi
dulu agar lebih tepat paradigmanya, yaitu paradigma yang lebih menekankan
dimensi sosial dan lingkungan daripada dimensi ekonomi. Jika tidak, UU No.
7/2004 inkonstitusional sebab tidak sejalan dengan paradigma UUD 1945,
khususnya pasal 33 ayat 3. Senada dengan itu, hakim Maruarar Siahaan
mengatakan bahwa meskipun tidak mengatur privatisasi secara eksplisit, UU No.
7/2004 membuka secara lebar peluang privatisasi sumber daya air.
Mahkamah juga menetapkan bahwa apabila UU No. 7/2004 dalam
pelaksanaan ditafsirkan lain dari maksud sebagaimana termuat dalam
pertimbangan Mahkamah di atas, maka terhadap Undang-Undang tersebut tidak
tertutup kemungkinan untuk diajukan kembali (conditionally constitutional). Ini
berarti, meski sudah pernah diajukan judicial review, UU No. 7/2004 masih bisa
disidangkan kembali di Mahkamah Konstitusi jika ada bukti-bukti yang kuat telah
membuat air menjadi barang komersial.
Implementasi UU No. 7/2004: Privatisasi, Komersialisasi, dan Perebutan Sumber Daya Air
Perebutan sumber daya air telah menjadi sumber konflik baru akhir-akhir
ini, terutama pada daerah yang ekonominya sudah terbuka, dan masuknya sektor
pariwisata. Di daerah pariwisata, kebijakan komersialisasi air sebagai implementasi
dari UU No. 7/2004 disambut luas oleh para investor swasta karena sangat sinergi
dengan pengembangan pariwisata. Banyak mata air dibeli atau disewa dalam
29
jangka waktu tertentu oleh investor langsung kepada petani. Beberapa di
antaranya menimbulkan konflik.
Daya tarik perolehan pendapatan asli daerah (PAD) yang tinggi membuat
kontrol Pemda terhadap pengelolaan dan pemanfaatan air oleh PDAM dan
korporasi menjadi longgar. Proses perizinan kurang berpijak pada Rancangan
Tata Ruang dan Wilayah (RTRW). Beragam undang-undang seperti UU No. 32
Tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup, UU No. 41 tahun 2009 tentang
Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, UU No. 7 Tahun 2004
tentang Sumber Daya Air, bahkan Rencana Tata Ruang Wilayah menjadi terkotak-
kotak dan tidak saling bersinergi.
Implementasi di tingkat meso memberi dampak terbukanya peluang
partisipasi investor dalam pengelolaan dan pemanfaatan air lebih efisien dan
bernilai ekonomi. Otonomi daerah membuka peluang Pemda memanfaatkan
sumber daya air sebagai sumber pendapatan daerah melalui mekanisme kerja
para investor, bersinergi dengan pengembangan industri pariwisata. Kemudahan
perizinan dalam mendukung program pariwisata massal mempercepat
berkembangnya perusahaan pemanfaat air seperti PDAM, perusahaan swasta, dan
sarana wisata (penginapan, restoran, wahana air) mengakses sumber-sumber
mata air potensial.
Pada tingkat mikro, meluasnya pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya
air berdampak pada berkurangnya air untuk pertanian. Perubahan pola tanam,
perubahan komoditas pada musim kemarau, pengurangan luas lahan yang
ditanami padi, atau memberakan lahan merupakan strategi adaptasi petani yang
berdampak langsung pada produksi padi dan pendapatan petani (marginalisasi
petani). Tekanan keterbatasan sumber daya air dan penurunan pendapatan dari
sektor pertanian memaksa petani melakukan strategi nafkah di dalam maupun ke
luar sektor pertanian. Kondisi ini menjadi wahana yang kondusif bagi petani
melepas sumber daya pertaniannya yang dinilai tidak lagi menguntungkan.
Konflik perebutan air diperkuat oleh perkembangan penduduk dan
intervensi pasar menjadi proses perubahan sosial mendasar komunitas petani.
Pengelolaan air oleh petani mengalami peluruhan fungsi yang terjadi pada ruang
30
spasial (lahan dan air), nilai-nilai otonomi dan kelekatan sosial, tata kelola
governance (pinjam air), kepemimpinan, maupun kuasa dan kewenangan.
Artinya, undang-undang sumber daya air menciptakan hubungan kuasa yang tidak
seimbang terhadap petani dan sektor pertanian.
Beralihnya kedudukan sumber daya air dari sumber daya milik bersama
yang bisa diakses secara terbuka oleh petani, menjadi komoditas ekonomi yang
hanya leluasa diakses oleh aktor yang memiliki kuasa pengetahuan, teknologi, dan
modal. Perubahan status air memberi konsekuensi logis terhadap kehidupan sosial
ekonomi dan kelembagaan pengairan subak. Hal ini dapat dilihat pada matrik
pada Tabel 4.1.
Tabel 4.1. Konsekuensi Implementasi UU No. 7/2004 di Tengah Masyarakat Petani, Khususnya pada P3A
Aspek Sebelum Implementasi Sesudah Implementasi
Sifat sumber daya Common pool resources Economic commodity
Pemanfaatan air Dominasi masyarakat dan
dilindungi negara
Dominasi pemilik modal/kapitalis
atas izin negara
P3A Kebersamaan, keadilan, dan
demokratis
Individual dan persaingan
Peran pimpinan P3A Fungsi kontrol terhadap pemanfaatan lahan dan
sumber-sumber air
Kehilangan kewenangan, bahkan sebagian berperan menjadi
mediasi (calo) melepas lahan dan sumber-sumber air kepada
korporasi
Implementasi kebijakan yang membuka kesempatan pengelolaan dan
pemanfaatan air oleh masyarakat luas direspon secara cerdas oleh pemodal yang
membaca pentingnya peran sektor air dalam mendukung prioritas pembangunan
beragam sektor. Sumber daya air yang semula dinilai sebagai sumber daya yang
terbuka (common pool resources) beralih menjadi komoditas ekonomi (economic
good). PDAM memanfaatkan kesulitan petani mencukupi biaya beban sosial
ekonomi keagamaan sebagai imbalan atas peluang memanfaatkan sumber mata
air.
Sistem hukum mengatur akses terhadap air melekat pada kekuatan
legalitas penguasaan lahan. Petani yang memiliki lahan dengan mata air di
31
dalamnya berkuasa penuh atas keduanya. Politik ekonomi yang kurang berpihak
pada pertanian menciptakan iklim yang kondusif bagi meningkatnya urbanisasi,
transformasi pekerjaan dan usaha, serta dorongan untuk melepas lahan-lahan
pertanian produktif kepada pihak luar. Hal ini sekaligus melepas kontrol
pemanfaatan lahan untuk kepentingan nonpertanian. Land conversion dan land
grabbing menjadi realita meluas dan menjadi ancaman bagi keberlanjutan
pertanian dan ketahanan pangan (Lorenzen, 2011).
Pandangan air sebagai barang publik yang memiliki nilai ekonomi
menimbulkan persaingan dalam penggunaan air. Aliansi negara dengan korporasi
dalam pemanfaatan sumber-sumber air berfungsi menekan akses petani dan
memarginalkan kelompok masyarakat rentan. Eksploitasi sumber daya air oleh
PDAM dan pengusaha swasta tidak saja menyebabkan ketidakpastian air untuk
usahatani, tetapi ikut mengancam eksistensi lembaga pengairan petani (misalnya
P3A dan subak) dan ketahanan pangan.
Negara dengan lembaga-lembaga pendukung lainnya, secara formal dan
sistematis diarahkan pada pencapaian pertumbuhan ekonomi melalui angka-angka
kuantitatif yang sangat mudah dan jelas diukur keberhasilannya. Ideologi ini
sangat mudah bersinergi dengan sistem kerja kapitalis yang berorientasi
maksimisasi keuntungan. Sinergitas keduanya mengandung kekuatan dan kuasa
pemanfaatan sumber daya air dan lahan dalam jumlah besar dan waktu yang
relatif cepat. Implementasi undang-undang sumber daya berpeluang besar
mengganggu keberlanjutan sumber daya dan keutuhan social fabric komunitas
petani.
Penerapan UU No. 7/2004 mengarahkan pemanfaatan air menjadi produk
ekonomi dan tidak semua pihak memiliki peluang untuk mengaksesnya dengan
leluasa. Bersamaan dengan pembangun sektor lain yang secara keseluruhan
ditujukan mendukung sektor pariwisata, dalam jangka waktu singkat
menyebabkan perubahan ekosistem. Kuasa pengetahuan yang sarat dengan
ideologi kapitalis secara revolusioner menyusupi sendi-sendi kehidupan
masyarakat dan berhasil mendominasi dunia hampir di semua sektor.
32
Pedoman Kebijakan Pengelolaan Sumber Daya Air ke Depan
Berikut diuraikan empat opsi kebijakan terkait implementasi UU No. 7/2004
tentang Sumber Daya Air. Pertama, membiarkan atau meneruskan praktek yang
sudah berlangsung selama ini (opsi status quo). Dengan opsi ini maka arah
kebijakan pengelolaan sumber daya air akan terus menjurus ke privatisasi dan
komersialisasi sumber daya air. Berdasarkan uraian di atas opsi ini akan
berdampak pada semakin intensifnya konflik penggunaan air, kelangkaan air
untuk pertanian, peluruhan lembaga pengairan petani, dan ketidakberlanjutan
sumber air. Opsi ini jelas berimplikasi negatif dan karena itu harus dihindari.
Opsi kedua, mendisiplinkan implementasi UU No. 7/2004. Dalam hal ini, UU
No. 7/2004 tidak perlu direvisi atau ditolak, namun implementasinya dilaksanakan
dengan diperketat sesuai dengan semangat dan ketentuan yang terkandung
dalam undang-undang tersebut. Pemberian HGU air dan izin pengusahaan sumber
daya air diperketat dan diawasi dengan melibatkan pemangku kepentingan seluas-
luasnya. Simpul kunci pengendalian ialah pada penyusunan dan pelaksanaan Pola
Pengelolaan Sumber Daya Air (PPSDA) dan Rencana Pengelolaan Sumber Daya Air
(RPSDA) oleh pemerintah pusat (lintas provinsi), pemerintah provinsi (lintas
kabupaten), dan pemerintah kabupaten (dalam kabupaten) yang merupakan
dasar penetapan (alokasi) peruntukan (zona pemanfaatan) air, serta penerbitan
HGU air dan izin pengusahaan sumber daya air. UU No. 7/2004 memerintahkan
bahwa penyusunan dan pengawasan pelaksanan PPSDA dan RPSDA wajib
melibatkan para pemangku kepentingan seluas-luasnya.
Kiranya dicatat bahwa MK-RI juga mendalilkan bahwa keterlibatan para
pemangku kepentingan seluas-luasnya dalam penyusunan PPSDA merupakan
kunci agar sumber daya air tetap berada dalam penguasaan negara. PPSDA dan
RPSDA sebaiknya disusun oleh suatu lembaga (tim) independen secara
transparan. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah perlu memberdayakan dan
memfasilitasi pemangku kepentingan utama, khususnya petani, konsumen dan
masyarakat sipil, agar mereka mampu terlibat semaksimal mungkin dalam
penyusunan rancangan dan pengawasan pelaksanaan PPSDA dan RPSDA. Opsi ini
cukup realistis, dapat segera ditindaklanjuti. Pelopor utama (champion) untuk
33
opsi ini tentunya ialah pusat, serta pemerintah daerah provinsi dan
kabupaten/kota.
Opsi ketiga, merevisi UU No. 7/2004. Opsi ini sejalan dengan pandangan
salah satu Hakim Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa UU No. 7/2004
seyogyanya direvisi dulu agar lebih tepat paradigmanya, yaitu paradigma yang
lebih menekankan dimensi sosial dan lingkungan dari pada dimensi ekonomi. Jika
tidak, UU No. 7/2004 inkonstitusional sebab tidak sejalan dengan paradigma UUD
1945, khususnya pasal 33 ayat 3. Pandangan ini juga senada dengan Hakim
Mahkamah Konstitusi lain menyatakan bahwa meskipun tidak mengatur privatisasi
secara eksplisit, UU No. 7/2004 membuka secara lebar peluang privatisasi sumber
daya air. Opsi ini dapat dilaksanakan melalui inisiatif DPR maupun pemerintah.
Untuk itu, para pemangku kepentingan perlu melakukan tekanan kepada DPR dan
pemerintah agar memasukkan revisi UU No. 7/2004 dalam program legislasi
nasional.
Opsi keempat, menggugat keabsahan konstitusionalitas UU No. 7/2004 ke
Mahkamah Agung RI (judicial review). Seperti telah dikemukakan, putusan
Mahkamah Agung RI atas gugatan pertama konstitusionalitas UU No. 7/2004 (MK-
RI, 2005) dinyatakan bahwa UU No. 7/2004 dapat digugat kembali bila dalam
pelaksanaannya ditafsirkan lain dari maksud sebagaimana termuat dalam
pertimbangan Mahkamah (conditionally constitutional). Ini berarti, meski sudah
pernah diajukan judicial review, UU No. 7/2004 masih bisa disidangkan kembali
di Mahkamah Konstitusi RI jika dikemudian hari ada bukti-bukti yang kuat telah
membuat air menjadi barang komersial. Untuk itu diperlukan bukti-bukti
permulaan yang cukup, termasuk dari berbagai hasil-hasil penelitian ilmiah seperti
penelitian ini, agar opsi ini dapat dilaksanakan.
Pilihan yang diambil MK adalah pembatalan keseluruhan undang-undang
ini, sehingga kita membutuhkan undang-undang baru penggantinya. Dengan
demikian, tantangan ke depan adalah bagaimana memperkuat koordinasi
antarsektor dalam mewujudkan ketahanan pangan, menerapkan prinsip good
governance, dan sekaligus mempertahankan dan memperluas kemampuan daerah
dalam pengelolaan SDA.
34
Langkah-langkah ke depan yang semestinya dilakukan adalah undang-
undang pengganti ke depan hendaknya merefleksikan prinsip-prinsip good water
governance. Paling tidak ada empat prinsip yang perlu diperhatikan, yaitu:
Pertama, UU SDA yang baru harus mampu berkontribusi terhadap pengelolaan
sumber daya lingkungan yang memungkinkan terwujudnya ecosystem service
yang baik. Dengan perkataan lain UU SDA harus dapat membangun prinsip
pengelolaan secara terpadu yang memungkin fungsi penyediaan dan pengaturan
air yang tidak menghasilkan ancaman dan risiko seperti banjir dan kekeringan
yang dewasa ini frekuensi terjadinya semakin tinggi dan dampaknya semakin
meluas.
Kedua, harus mampu mendukung terwujudnya ketangguhan sosial (social
recilience) untuk mencegah ancaman konflik sosial yang muncul sebagai akibat
dari permasalahan seperti masalah lintas batas (transboundary issues) antarunit-
unit pengelolaan sumber daya air. Ketiga, harus mampu membangun etika bisnis
yang diperlukan agar peran swasta dalam pengelolaan sumber daya air tidak
eksploitatif tetapi memperhatikan kepentingan lingkungan dan kepentingan sosial.
Keempat, UU tersebut harus mampu melakukan harmonisasi dengan UU lainnya
yang terkait dengan air. Misalnya UU No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria, UU
No. 19 Tahun 2004 tentang Kehutanan, UU No. 32 Tahun 2009 tentang
Lingkungan Hidup, UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, dan UU No.
18 Tahun 2012 tentang Pangan.
35
V. PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN PERBENIHAN
5.1. Kondisi dan Permasalahan Perbenihan Nasional
Meskipun sudah diupayakan puluhan tahun, pembangunan pertanian masih
menghadapi permasalahan pada subsektor perbenihan. Secara teknis, benih yang
berkualitas baik memiliki peranan sangat strategis dalam peningkatan produksi
pertanian. Oleh karena itu, ketersediaan dan penggunaan benih unggul yang
memenuhi aspek kualitas dan kuantitas sangat berpengaruh terhadap
produktivitas dan mutu hasil.
Beberapa tahun terakhir pemerintah telah menggulirkan program
Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN), di mana salah satu upaya untuk
mewujudkan program tersebut adalah dengan memberikan atau menggunakan
benih bermutu. Namun, upaya ini dihadapkan pada berbagai kendala dan
tantangan antara lain belum optimalnya penggunaan benih bermutu oleh petani,
di mana masih banyak yang menggunakan benih hasil olahan sendiri.
Sistem perbenihan yang tangguh dan komersial, selain produk yang
dihasilkan jelas identitas genetiknya, pertumbuhan tanaman juga akan lebih
homogen, seragam, dan stabil terhadap pengaruh lingkungan. Selain aspek teknis,
permasalahn benih nasional juga mencakup aspek pelayanan, kontinuitas,
ketepatan, waktu, dan kejelasan harga. Hal ini merupakan permasalahan krusial
yang perlu mendapat perhatian secara seksama.
Salah satu keberhasilan pembangunan pertanian ditentukan oleh kualitas
benih dari varietas tanaman yang digunakan. Upaya peningkatan produktivitas
dipengaruhi oleh keberhasilan dalam memperbaiki potensi genetik varietas
tanaman. Dengan demikian, kegiatan untuk menghasilkan atau menciptakan
varietas baru yang lebih unggul dari yang telah ada perlu didorong melalui
pemberian insentif bagi individu atau institusi penyelenggara pemuliaan yang
menghasilkan varietas tanaman yang mampu memberikan tambahan keuntungan
bagi yang menggunakannya. Oleh sebab itu, perlu kebijakan yang mengatur hal
tersebut melalui kelembagaan, seperti: (1) aspek kebijakan, dengan kelembagaan
yaitu: Badan Perbenihan Nasional (BBN) dan Direktorat Perbenihan, Ditjen
Tanaman Pangan; (2) aspek penelitian dan pemuliaan tanaman, yaitu meliputi:
36
Badan Litbang Pertanian, Kementan, Batan, Perguruan Tinggi, dan Swasta (PT
Bisi, PT Dupont, PT Monsanto, dan PT Kondo); (3) aspek penilaian dan pelepasan
varietas, yaitu: TP2V pada BBN, BPSB-TPH, dan BPTP Provinsi; (4) aspek produksi
benih meliputi: BS (Balai Komoditas, Batan, dan Perguruan Tinggi), BD dan BP
(Balai Benih Kabupaten, BUMN dan Swasta); (5) aspek sertifikasi benih, meliputi:
BPSB TPH, dan produksi benih yang terakreditasi (PT Bisi, PT Dupont, PT East
West Seed Indonesia, dan PT SHS Cabang Sukamandi), dan (6) aspek
pengawasan mutu/peredaran benih, yaitu dengan kelembagaan BPSB TPH.
Karena itu, penting untuk mengetahui kelembagaan sistem perbenihan padi
di lapangan, juga mengetahui karakteristik sosial ekonomi produsen benih padi.
Hal ini penting untuk mengetahui produktivitas dan kelayakan finansial usahatani
benih padi, dan rekomendasi kebijakan sistem perbenihan padi nasional ke depan.
5.2. Kelembagaan Perbenihan Padi di Provinsi Jawa Barat
Berdasarkan data Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat,
luas tanam padi sawah di Jawa Barat mencapai hampir 3 juta ha, dari pertanaman
pada musim hujan dan musim kemarau. Luas tanam pada musim kemarau lebih
luas dibandingkan pada MH karena air irigasi dan air dari hujan memadai pada
MK. Dengan rata-rata penggunaan benih varietas unggul sekitar 20 kg/ha, maka
diperkirakan kebutuhan benih padi untuk pertanaman di lahan sawah sebesar
lebih kurang 60 ribu ton.
Pasokan benih padi di Provinsi Jawa Barat dapat berasal dari petani
produsen benih (swasta), BUMN, dan perorangan petani. Berdasarkan data
realisasi produksi benih padi bersertifikat (BPSB) tahun 2012. Total produksi benih
padi bersertifikat di Jawa Barat tahun 2012 mencapai 57,65 ribu ton, yang terdiri
dari: (1) benih kelas BS sebanyak 2,37 ton, (2) benih kelas BD sebanyak 1.110,05
ton, (3) benih kelas BP sebanyak 8.313,97 ton, dan (4) benih kelas BR sebanyak
48.219,77 ton. Tampak bahwa kelas benih yang paling banyak diproduksi adalah
benih sebar (BR) karena secara umum di Jawa Barat penggunaan benih sebar
dengan label biru merupakan jenis benih yang paling banyak digunakan petani.
Penggunaan benih berlabel sudah umum di wilayah Jawa Barat. Sebagian
besar petani telah menggunakan benih berlabel ungu, dan bahkan di antaranya
37
ada yang menggunakan label putih. Untuk benih berlabel unggu, varietas yang
dominan adalah Ciherang pada saat MH, dan varietas Ciherang serta Mekongga
saat MK.
Tabel 5.1. Realisasi Produksi Benih Padi Bersertifikat di Jawa Barat, Tahun 2012
(Ton)
No. Kabupaten/Kota Produksi (ton) Jumlah
(ton) BS BD BP BR
1. Subang 2,370 882,445 6.395,535 27.002,615 34.283,325
2. Indramayu - 98,825 163,500 2,000 264,325
3. Garut - - 20,600 1.149,500 1.170,100
4. Ciamis - 5,900 216,000 2.636,600 2.858,500
5. Kota Banjar - 3,750 310,000 1.479,500 1.793,250
6. Tasikmalaya - - 85,000 364.000 449.000
7. Kota Tasik - - 1,500 14,000 15,500
8. Cianjur - 20,550 606,950 5.321,800 5.949,300
9. Sukabumi - - 103,500 61,500 165,000
10. Kota Sukabumi - - - 27,000 27,000
11. Bandung - 30,405 10,500 28,000 68,905
12. Bandung Barat - - 1,100 - 1,100
13. Bogor - 0,500 42,750 125,899 169,149
14. Kota Bogor - - - 1,00 1,00
15. Karawang - 44,000 213,150 7.358,765 7.615,915
16. Bekasi - 2,480 21,300 4,800 28,580
17. Purwakarta - 9,470 30,600 - 40,070
18. Majalengka - 6,521 31,635 1.390,300 1.428,456
19. Kuningan - 5,000 8,500 142,000 155,500
20. Sumedang - 0,200 7,500 457,000 464,700
21. Cirebon - - 44,350 653,490 697,840
Total 2,730 1.110,046 8.313,970 48.219,769 57.646,515
Sumber: BPSB TPH Provinsi Jawa Barat (2013)
Dengan membandingkan kebutuhan benih dan produksi benih padi
bersertifikat maka dapat diketahui bahwa produksi benih bersertifikat hampir
seimbang dengan tingkat kebutuhan benih masyarakat petani padi di Jawa Barat.
Tingginya penggunaan benih berlabel tidak terlepas dari keberadaan kelembagaan
produksi benih yang sudah maju dan memadai, juga intensitas kegiatan
penyuluhan dan dukungan pemerintah, di mana sebagian besar lembaga
penelitian padi juga berlokasi di Jawa Barat.
Di Provinsi Jawa Barat, terdapat lima varietas unggul padi sawah yang
paling dominan ditanam saat musim kemarau, yaitu: Ciherang, Mekongga,
38
Situbagendit, IR64, dan Sarinah. Sementara, pada musim penghujan varietas IR
64 kurang disukai karena varietas yang ditanam pada saat MH haruslah varietas
yang tahan rebah dan tahan genangan air.
Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat telah lama
melaksanakan kegiatan bantuan benih kepada para petani setiap tahunnya. Jenis
benih yang diberikan adalah padi sawah (padi nonhibrida dan padi hibrida), dan
juga padi lahan kering/ladang/gogo. Bantuan benih tersebut bersumber dari DIPA
APBN di Tingkat Pusat, di mana provinsi membuat persetujuan atas calon
penerima yang diusulkan oleh Dinas Pertanian Kabupaten. Ada dua program
bantuan pemerintah yang dilaksanakan yaitu Bantuan Langsung Benih Unggul
(BLBU) dan Bantuan Benih dari Cadangan Benih Nasional (CBN).
Bantuan Langsung Benih Unggul (BLBU) diberikan dengan jumlah (kuota)
yang telah ditetapkan masing-masing kabupaten/kota. Untuk mendapatkan
alokasi ini, salah satu persyaratannya adalah harus menjadi anggota salah satu
kelompok tani di daerahnya. Penentuan dan penetapan usulan calon penerima
dibuat oleh petugas pertanian di tingkat lapangan (Penyuluh Pertanian dan Kepala
Cabang Dinas atau lainnya), yang selanjutnya disampaikan ke Dinas Pertanian
Kabupaten untuk ditetapkan dan disampaikan ke Dinas Pertanian Tanaman
Pangan Provinsi Jawa Barat. Kemudian Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi
Jawa Barat membuat Persetujuan untuk penyaluran benih ke tingkat kelompok
tani sesuai dengan Penetapan Usulan Calon Penerima dari Dinas Pertanian
Kabupaten.
Program penyaluran benih juga terdapat pada SL-PTT. Penerapan
teknologi Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) merupakan instrumen perangsang
(stimulus) bagi daerah sekitarnya. Jenis SL-PTT yang dikembangkan adalah SL-
PTT Reguler dimana bantuan yang diberikan hanya berupa benih, kecuali 1 Ha
Laboratorium Lapangan diberikan bantuan full paket. Jenis kedua adalah SL-PTT
Spesifik Lokasi dimana bantuan yang diberikan berupa bantuan full paket (benih,
pupuk, dan alsintan). Sebagian lagi adalah SL-PTT Indeks Pertanaman, dimana
bantuan yang diberikan berupa bantuan full paket (benih, pupuk, dan alsintan).
39
Kriteria penerima SL-PTT ini difokuskan kepada petani/kelompok tani yang
memiliki produktivitas yang lebih rendah dari produktivitas kabupaten. Penerapan
pola ini diharapkan terbina kawasan-kawasan andalan, yang berfungsi sebagai
pusat belajar pengambilan keputusan para petani/kelompok tani, sekaligus
sebagai tempat tukar menukar informasi dan pengalaman lapangan, pembinaan
manajemen kelompok, serta sebagai percontohan bagi kawasan lainnya. Dalam
setiap 25 ha areal SL-PTT padi nonhibrida, 25 ha areal SL-PTT padi nonhibrida
spesifik lokasi, 25 ha areal SL-PTT padi nonhibrida peningkatan IP, 10 ha areal SL-
PTT padi hibrida, 10 ha areal SL-PTT padi hibrida spesifik lokasi, 25 ha areal SL-
PTT padi lahan kering, dan 15 ha areal SL-PTT jagung hibrida. Masing-masing
ditempatkan 1 unit laboratorium lapangan (LL) dengan luasan 1 Ha.
Menurut Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat, SL-PTT
yang telah dilaksanakan sejak tahun 2008 merupakan salah satu upaya
meningkatkan produksi/produktivitas padi. Melalui SL-PTT petani dapat: (1)
belajar langsung di lapangan dalam menerapkan berbagai teknologi usahatani
melalui penggunaan input produksi yang efisien secara spesifik lokasi; (2) petani
mampu mengelola sumber daya yang tersedia secara terpadu dalam melakukan
budi daya berdasarkan kondisi spesifik lokasi sehingga petani menjadi lebih
terampil serta mampu mengembangkan usahataninya dalam rangka pencapaian
sasaran produksi yang ditetapkan.
Peningkatan produktivitas dan produksi di lokasi kajian juga dilakukan
melalui berbagai gerakan seperti: (1) gerakan pengolahan tanah, (2) gerakan
tanam serentak, (3) gerakan pemupukan berimbang, (4) gerakan penerapan
teknologi, (5) gerakan pengendalian OPT, (6) gerakan penanganan panen dan
pasca panen serta gerakan lainnya dengan dukungan dana APBN maupun APBD
serta dana masyarakat. Dalam meningkatkan produksi selain menggunakan
metode PTT atau dapat juga menggunakan Metode SRI. Usaha tani organik
metode SRI (System Rice of Intensification) adalah usahatani pada padi sawah
irigasi secara intensif dan efisien dalam pengelolaan tanah, tanaman dan air
melalui pemberdayaan kelompok dan kearifan lokal serta berbasis pada kaidah
ramah lingkungan. Dari kegiatan tersebut di atas maka di dalamnya sudah
40
meliputi penggunaan benih varietas unggul, pemupukan berimbang, pemakaian
pupuk organik serta biohayati, pengelolaan pengairan, dan perbaikan budi daya.
Pelaksanaan teknologi PTT dan SRI tidak berbeda jauh, yang membedakan hanya
pada SRI penekanan pada penggunaan bahan organik yang cukup tinggi sebagai
pengganti pupuk anorganik sehingga kebutuhan hara tanaman sepanjang
pertumbuhan di lapangan tersedia.
Sementara itu, bantuan benih dari Cadangan Benih Nasional (CBN)
diberikan dalam rangka menekan ancaman puso akibat Dampak Perubahan Iklim
(DPI) atau serangan OPT, dalam rangka Perluasan Areal Tanam, dan juga
penyegaran atau penggantian varietas. Program bantuan benih ini dilaksanakan di
seluruh kabupaten dan beberapa kota di Jawa Barat.
Penyebaran benih padi per varietas BLBU pada program SL-PTT juga paling
dominan di Jawa Barat adalah pada varietas Ciherang disusul oleh varietas
Mekongga dan Inpari. Hal yang sama pada penyebaran benih padi per varietas
BLBU pada program non-SL-PTT juga paling dominan di Jawa Barat adalah pada
varietas Ciherang, Mekongga, dan Inpari. Sementara, bila dilihat perkembangan
subsidi benih berdasarkan lembaga BUMN yang menanganinya, penyaluran benih
subsidi paling tinggi dilakukan oleh PT Pertani dan PT SHS.
5.3. Kebijakan Pemerintah untuk Memperkuat Kinerja Produsen Benih Pemerintah dan Petani Penangkar Benih
Pendirian Balai Benih dimulai dari didirikannya beberapa Kebun Bibit pada
zaman sebelum kemerdekaan Republik Indonesia. Setelah merdeka, pemerintah
mendirikan Kebun-Kebun Bibit Desa, kemudian Kebun-Kebun Bibit Desa tersebut
berubah mernjadi Balai Benih. Balai Benih yang memproduksi benih di daerah
diselenggarakan oleh Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi dan Dinas
Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten. Selanjutnya, dengan diberlakukannya
peraturan perundangan otonomi daerah maka Balai Benih tersebut berubah
menjadi Unit Pelaksana Teknis Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan sebagian
besar masih dalam pembahasan di pemerintah daerah.
Berdasarkan tugas dan fungsi serta lokasi dan tanggung jawab
pembinaannya sebelum pelaksanaan otonomi daerah, maka Balai-Balai Benih
41
tersebut digolongkan dalam tiga kategori, yaitu: Balai Benih Induk (BBI), Balai
Benih Utama (BBU), dan Balai Benih Pembantu (BBP). Penggolongan tersebut
berlaku untuk komoditas padi maupun palawija. Perbanyakan benih penjenis (BS)
untuk menghasilkan benih dasar (BD) dilakukan di Balai Benih Induk (BBI) yang
dikelola Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi, sedangkan perbanyakan benih
dasar untuk menghasilkan benih pokok (BP) dan BP menjadi benih sebar (BR)
masing-masing dilakukan di Balai Benih Utama (BBU) dan Balai Benih Pembantu
(BBP) yang dikelola Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten.
Di Provinsi Jawa Barat, keberadaan Balai Benih Induk (BBI) namanya
diubah menjadi Balai Pengembangan Benih Padi (BPBP) sesuai dengan SK
Gubernur No. 53 Tahun 2002 dan Perda No. 5 Tahun 2002. BPBP melakukan
perbanyakan benih dasar (FS/BD) yang berasal dari benih penjenis (BS) yang
selanjutnya menghasilkan benih pokok (SS/BP). BPBP pembinaannya berada di
bawah Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat. Adapun Balai
Pengembangan Benih Padi (BPBP) Jawa Barat keberadaannya serta fungsinya
sebagai salah satu unit pelayanan di bidang pengembangan dan perbanyakan
benih, pembinaan penangkar serta penyediaan benih unggul bermutu.
Sementara untuk BBU, merupakan UPT yang berada dalam naungan Dinas
Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten. Namun, secara umum karena
kelembagaan perbenihan padi baik yang bersifat nasional (BB Padi dan BUMN
yang menangani benih), kelembagaan benih provinsi (BPSB TPH dan instalasi
BPSB TPH Wilayah, dan BPBP), dan kelembagaan produsen benih swasta (petani
produsen) yang telah berkembang secara baik; maka kelembagaan benih
kabupaten tidak menunjukkan perannya dalam kegiatan penangkaran benih.
Untuk Balai Benih yang ada dengan lahan yang terbatas lebih banyak
menggunakan hasil tangkarannya untuk kebutuhan sendiri yang sangat terbatas.
Untuk mendukung keberhasilan pelaksanaan peningkatan produksi dan nilai
tambah produksi usahatani padi, unsur teknologi benih unggul bermutu dan
produsen benih sangat menentukan. Produsen benih dapat meliputi swasta,
BUMN, dan petani produsen dan atau sebagai penangkar benih.
42
Sementara, sistem pengadaan dan penyaluran benih yang eksisting berlaku
di lapangan menunjukkan bahwa varietas unggul baru yang dilepas oleh
Puslitbang Komoditas di samping diteruskan oleh Direktorat Benih ke BPBP seperti
yang terjadi pada sistem pengadaan dan distribusi secara formal, melalui Balai
komoditasnya dapat memperbanyak benih BS ini di masing-masing kebun
percobaannya. Pada sistem ini, BUMN dan penangkar swasta selain mendapatkan
benih jenis FS dari BBI bisa juga memperolehnya langsung ke BB Penelitian Padi
(Balai Komoditas) yang selanjutnya diperbanyak menjadi benih SS dan ES.
Bahkan, ada beberapa penangkar swasta/lokal mendapatkan benih BS langsung
dari Balai Besar Penelitian Padi (Balit Komoditas). Di tingkat lapangan pun terjadi
variasi sistem produksi dan pendistribusian benih. Perbedaan jenis benih yang
diproduksi tersebut sangat terkait dengan respon pasar benih. Para produsen
benih lokal/petani produsen benih untuk kasus Provinsi Jawa Barat dapat
menghasilkan dua jenis benih, yaitu benih FS yang bahan bakunya (benih jenis
BS) bersumber dari BB Padi atau menghasilkan benih SS. Adapun kelembagaan
BPTP, dapat memproduksi benih kelas FS menjadi SS atau ES.
Dalam menggerakkan perbenihan padi, terdapat beberapa kelembagaan
yang terlibat di dalamnya selain seperti yang telah disebutkan sebelumnya, yaitu
seperti: Balai Pengembangan Benih Padi, Asosiasi Produsen Benih Padi Jawa
Barat, kios benih, hingga petani padi.
Khusus untuk benih bersertifikat, sistem distribusinya melibatkan
kelembagaan mulai dari produsen benih, penangkar binaan, pedagang/kios benih,
dan petani sebagai pengguna benih untuk kegiatan usahataninya. Produsen benih
dapat memasarkan benih hasil tangkarannya (melalui petani binaan) ke kios
saprotan. Selain itu, terdapat beberapa petani yang membeli langsung ke
produsen benih padi secara langsung. Produsen benih juga bisa menjual ke BUMN
(PT SHS atau PT Pertani) untuk benih bersubsidi (program pemerintah) dengan
kelas benih umumnya adalah ES (untuk label biru), namun dari segi
pembayarannya kerap menimbulkan permasalahan, yaitu terjadinya gagal bayar
karena sistem bayar yang tidak tunai melainkan dibayar dengan tenggang waktu
tertentu yang sering tidak tepat waktu.
43
Berkenaan dengan varietas yang digunakan petani, varietas Ciherang sudah
sejak lama digunakan oleh petani, dan menurut pendapat petani bahwa varietas
Ciherang memiliki keunggulan antara lain: memiliki sekam yang tipis, mudah
dirontokkan dengan cara digebot (belum menggunakan mesin perontok padi),
rendemen padinya tinggi, dan rasanya enak bagi para petani. Untuk varietas
Inpari, para petani berpendapat bahwa varietas tersebut memiliki rendemen yang
lebih rendah daripada Ciherang, sulit dirontokkan dengan cara digebot, rasanya
tidak seenak Ciherang dan harga jual yang sedikit lebih rendah daripada Ciherang
(sekitar Rp200/kg lebih rendah dari harga jual Ciherang). Namun, varietas Inpari
lebih tahan serangan OPT wereng dibandingkan dengan varietas Ciherang. Di
lokasi penelitian Kabupaten Cianjur, menurut kelompok tani bahwa untuk
memperoleh rasa wangi pada beras, para petani akan mencampur beras varietas
Ciherang atau Mekongga dengan beras varietas Situ Bagendit.
Khusus untuk petani penangkar, penangkar benih di Jawa Barat merupakan
binaan produsen benih. Jumlah penangkar binaan dari seorang produsen terdiri
atas 10 sampai 50 orang petani binaan. Penangkar yang menjalin kerja sama
dengan produsen secara umum lebih karena ikatan kontrak kepercayaan. Pada
tahap awal kerja sama biasanya benih padi diberikan oleh produsen dengan
kisaran antara 20-25 kg/ha. Untuk tahap selanjutnya, benih yang diberikan pada
saat awal akan dibayar/diperhitungkan pada saat panen. Saat panen, seluruh
benih yang dihasilkan akan dihimpun semua (opkup) oleh produsen benih atau
dibeli sekitar 75% dari produksi penangkar. Hal ini tergantung dari kemampuan
produsen.
Pada kegiatan penangkaran benih, seluruh biaya usahatani seluruhnya
ditanggung penangkar binaan sendiri. Dengan demikian, modal yang digunakan
usaha penangkaran oleh penangkar binaan produsen benih adalah bersumber dari
modal sendiri, sementara untuk roguing dan pemeriksaan lapangan ditanggung
produsen.
Kegiatan usaha penangkaran benih pada prinsipnya hampir sama dengan
usahatani padi untuk tujuan konsumsi. Hal yang membedakan adalah dalam hal
pemeriksaan lapangan dengan beberapa tahapan yaitu: (1) pemeriksaan
44
pendahuluan, (2) pemeriksaan pada masa fase vegetatif, (3) pemeriksaan pada
masa fase generatif (berbunga, 30 hari sebelum panen) harus dilakukan seleksi
(roguing) serta pembersihan dari rerumputan sebelum pemeriksaan lapangan
kedua, (4) pemeriksaan pada masa pertanaman fase masak (7 hari sebelum
panen) harus dilakukan seleksi (roguing) serta pembersihan dari rerumputan
sebelum pemeriksaan lapangan ketiga dilakukan, (5) pemeriksaan pada saat
seleksi (roguing) mencakup: tipe pertumbuhan, kehalusan daun warna helai daun,
warna lidah daun, warna pangkal batang, bentuk/tipe malai, bentuk gabah, warna
gabah, dan sudut daun bendera, dan (6) apabila pada pemeriksaan lapangan fase
vegetatif atau fase berbunga tidak lulus, maka dapat dilakukan pemeriksaan ulang
maksimal 1 kali setelah dilakukan seleksi (roguing) terhadap pertanaman.
45
VI. KEBIJAKAN PENGEMBANGAN MEKANISASI PERTANIAN
Mekanisasi pertanian telah dikenal di Indonesia mulai era tahun 50-an
sebagai perangkat teknologi dalam usahatani dengan tujuan untuk: (i)
meningkatkan produktivitas lahan dan tenaga kerja, (ii) mempercepat dan
efisiensi proses, dan (iii) menekan biaya produksi. Adanya ketiga tujuan khusus
tersebut menjadikannya sebagai suplemen, substitutor, dan/atau faktor
komplemen dalam proses produksi tergantung pada jenis, tipe, kapasitas, jumlah
serta cara pemakaiannya. Sebaliknya, penerapan mekanisasi pertanian yang
kurang memperhatikan kondisi sosial-budaya masyarakat akan menjadi
kompetitor.
Karakteristik alsintan adalah bersifat barang modal (investasi), memerlukan
perawatan untuk menjamin umur teknis, memerlukan SDM yang terlatih (punya
kemampuan) untuk menjalankannya dan perawatan, serta mekanisasi pertanian
harus berperan mentransformasikan pertanian tradisional ke pertanian modern
yang lebih efisien dan efektif (ada perubahan kultur bisnis). Dengan karakteristik
tersebut, kegiatan alsintan melibatkan banyak pihak/lembaga/stakeholder baik
dari unsur pemerintah, swasta, kelompok tani, dan lainnya. Adapun
perkembangan kinerja alsintan dari pemerintahan orde lama sampai orde
reformasi seperti pada Tabel 6.1.
Implementasi penerapan mekanisasi selama kurun waktu 1950-an sampai
saat ini diperoleh suatu pembelajaran bahwa penerapan alat dan mesin pertanian
sebagai wujud fisik mekanisasi pertanian, akan memunculkan premature
mechanization jika sistem pengembangannya tidak memperhatikan aspek-aspek
teknis, ekonomis, infrastruktur, dan kelembagaan sosial budaya setempat.
Konsekuensi dari premature mechanization tersebut tidak hanya akan menjadi
beban bagi sistem usahatani, dan masyarakat, tetapi juga pemerintah yang sudah
memberikan investasi yang cukup besar secara nasional.
46
Tabel 6.1. Gambaran Umum Perkembangan Mekanisasi di Indonesia Tahun 1950-
an s/d Saat Ini
Faktor Penciri Rezim Pemerintahan
Orde Lama Orde Baru Orde Reformasi
Tujuan pemerintah
Swasembada pangan
Swasembada beras Swasembada pangan berkeberlanjutan
Bantuan teknis dari luar negeri
Tinggi (alsintan besar untuk
pembukaan lahan)
Sedang (alsintan kecil s/d menengah, skala
kelompok kecil petani sawah padi, untuk
pengolahan tanah s/d pascapanen
Rendah
Kesepadanan alsintan
Rendah (untuk lahan kering)
Tinggi (lahan sawah beririgasi)
Tinggi (lahan sawah beririgasi)
Dukungan teknis dari
produsen alsin
Rendah (bersifat bantuan)
Sedang s/d menengah
Tinggi dan sebagian besar (dapat dibuat di
dalam negeri)
Skill & capital investment
Tinggi Sedang s/d medium (terjangkau melalui
sistem bantuan atau pembelian kelompok)
Sedang s/d medium (melalui sistem
bantuan, pembelian kelompok dan perseorangan)
Pengetahuan
pendukung operasional oleh petani
Rendah Sedang s/d tinggi Sedang s/d tinggi
Dukungan
lembaga finansial
Hampir tidak
ada
Ada Banyak
Sumber: Handaka dan Abi Prabowo (2013)
Pengembangan mekanisasi pertanian memiliki urgensi yang penting dalam
pembangunan dengan pertimbangan: (a) untuk memberikan dukungan terhadap
pengembangan pertanian modern dan pertanian bio-industri; (b) semakin
meningkatnya kebutuhan dan diversifikasi produksi pertanian; (c) perlunya
peningkatan efisiensi, nilai tambah, diversifikasi produksi pertanian, dan daya
saing komoditas pertanian; (d) makin enggannya generasi muda dan langkanya
tenaga kerja di bidang pertanian; dan (e) perlunya dukungan terhadap
penanganan dampak perubahan iklim di bidang pertanian. Pengembangan
mekanisasi pertanian juga berperan dalam hal: (a) komplemen terhadap
kekurangan tenaga kerja melalui penerapan mekanisasi budi daya dan
pascapanen pertanian; (b) meningkatkan produktivitas tenaga dan efisiensi
47
produksi melalui penerapan mekanisasi budi daya dan pascapanen pertanian; (c)
mengurangi susut dan mempertahankan mutu hasil pertanian melalui penerapan
mekanisasi panen dan pascapanen pertanian, misalnya pada saat panen padi yang
tadinya secara manual kehilangan hasilnya mencapai 9,4% kemudian dilakukan
mekanisasi menjadi 3%; (d) meningkatkan nilai tambah hasil dan limbah
pertanian melalui penerapan mekanisasi pascapanen pertanian, (e) mendukung
penyediaan sarana/input produksi melalui penerapan mekanisasi pascapanen
pertanian; dan (f) mengurangi kejerihan kerja dalam kegiatan produksi pertanian
melalui pengurangan beban kerja.
Pengembangan mekanisasi pertanian di suatu wilayah harus
mempertimbangkan banyak faktor secara holistik, bukan hanya faktor teknis tetapi
juga sosial-ekonomi-lahan dan budi daya-sejarah-politik-kelembagaan-lingkungan-
energi. Pembahasan secara menyeluruh dari semua sisi pandang akan
menguntungkan bagi para pengambil kebijakan pengembangan dari pihak
pemerintah, produsen, pemasar, praktisi, pengguna yang terlibat dan menjamin
fungsi keberlanjutannya. Hasilnya, kebijakan yang diterapkan akan lebih realistik
untuk diterapkan dengan sedikit atau minimal risk pada pihak yang dirugikan.
Pendekatan yang sering dilakukan sampai saat ini adalah melalui pendekatan
bersifat top-down dengan nuansa intervensi, mengabaikan aspek rekayasa sosial
menguntungkan petani dan hanya memperhatikan orientasi problem-solving
bukan sebagai enhancing root poverty eradication ataupun pemberdayaan petani.
Seiring dengan maraknya alsintan baik dari pemerintah maupun swadaya,
pemerintah mencanangkan pembentukan kelembagaan yang disebut dengan
Usaha Pelayanan Jasa Alsintan (UPJA) pada tahun 2008. Fungsi kelembagaan
UPJA, yaitu: (1) pelayanan jasa Alsintan dalam penanganan budi daya, (2)
pelayanan jasa alsintan dalam penanganan panen, pascapanen, dan pengolahan
hasil pertanian, (3) pelayanan untuk meningkatkan daya saing dan perbaikan
kesejahteraan petani. Sampai tahun 2012, jumlah UPJA mencapai 12.044
kelompok, namun sebagian besar (78,8%) UPJA termasuk kelas pemula. Hal ini
dikarenakan oleh banyak hal, di antaranya rendahnya kepemilikan lahan dan
48
pendidikan/ketrampilan petani, kurang efisiennya pemilikan alsintan dan
lemahnya permodalan petani, serta belum efisiennya pengelolaan usahatani.
Pada saat ini (tahun 2015), pemerintah tengah menggulirkan Program
Upaya Khusus (Upsus) Peningkatan Produksi Padi, Jagung, dan Kedelai melalui
Program Perbaikan Jaringan Irigasi dan Sarana Pendukungnya. Program tersebut
dilakukan sebagai upaya untuk memenuhi target pencapaian swasembada
berkelanjutan padi dan jagung serta swasembada kedelai (swasembada pangan)
dalam waktu tiga tahun. Untuk mencapai target tersebut, ditentukan sasaran: (1)
indeks pertanaman (IP) meningkat minimal sebesar 0,5 dan produktivitas padi
meningkat minimal sebesar 0,3 ton GKP, (2) produktivitas kedelai minimal sebesar
1,57 ton/ha pada areal tanam baru dan meningkatnya produktivitas kedelai
sebesar 0,2 ton/ha pada areal existing; (3) produktivitas jagung minimal sebesar 5
ton/ha pada areal tanam baru dan meningkatnya produktivitas jagung sebesar 1
ton/ha pada areal existing. Untuk mendukung program tersebut dilakukan
berbagai kegiatan yang mencakup: rehabilitasi jaringan irigasi, penyediaan
alsintan, pupuk dan benih, dan pendampingan.
Khusus terkait alsintan, pemerintah memberikan bantuan alsintan prapanen
dan pascapanen dalam jumlah besar yang diadakan oleh pemerintah pusat dan
provinsi seperti pada Tabel 6.2. Untuk pengadaan di provinsi, jenis, dan spesifikasi
alsintan disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi spesifik lokasi di masing-
masing daerah. Alsintan yang diadakan merupakan alsintan yang sudah
mempunyai Sertifikat Produk Pengguna Tanda Standard Nasional Indonesia (SPPT
SNI) dan atau sudah memiliki test report dari lembaga penguji alsintan yang
terakreditasi. Pengadaan alsintan jumlah yang cukup besar dibandingkan tahun-
tahun sebelumnya dan dikelola dalam bentuk: (a) UPJA dengan penerima bantuan
adalah kelompok tani/Gapoktan/UPJA dan (b) Brigade, penerima bantuan adalah
Pemerintah Daerah Provinsi/Kabupaten (pengadaan bantuan alsintan di pusat).
49
Tabel 6.2. Jumlah dan Jenis Alsintan Mendukung Program Upsus Padi, Jagung, dan
Kedelai
Jenis Alsintan 2014 2015 Refocusing
2015 APBNP-TP Provinsi
2015 APBNP-TP Pusat
Traktor roda 2 (unit) 7.700 6.100 10.000 10.000
Pompa air (unit) 4.200 2.300 3.425 3.425
Rice transplanter (unit) 280 ... ... ...
Cultivator (unit) 240 ... ... ...
Chopper (unit) 225 ... ... ...
Jumlah (unit) 12.645 8.400 13.425 13.425
Sumber: Heriawan (2015)
6.1. Kasus Penerapan Mekanisasi Pertanian
Beberapa kasus pengalaman pembelajaran penerapan alat dan mesin
pertanian sebagai teknologi komplemen, susbtitusi, dan suplemen di Indonesia
diambil dari beberapa sumber penelitian dan kajian sebagai berikut:
Teknologi Tanam Padi
Kegiatan pindah tanam bibit padi merupakan salah satu teknologi budi daya
padi yang menuntut curahan tenaga kerja terbanyak kedua sesudah panen (40-50
HOK/ha). Pada tanam bibit padi dengan transplanter diperlukan dapog (baki/rak
semai) berukuran 28x 58 cm. Benih disemai pada dapog dengan ketebalan tanah
(media tumbuh) 1-3 cm. Pindah tanam dilakukan pada saat umur bibit padi sudah
sekitar 14-18 hari. Pada awal penerapan transplanter petani mengalami kesulitan
dalam penyediaan baki dan cara pembibitan dalam baki. Hal ini dialami pada saat
penerapan transplanter buatan IRRI pada masa 1978-1980. Munculnya kembali
alsin transplanter saat ini (25 tahun kemudian) memunculkan proses
pembelajaran dan melahirkan terobosan penggunaan sistem dapog tanpa baki/rak
penyemai. Secara bertahap petani mulai menggunakan lapisan plastik, atau koran,
sebagai alas sesudah tanah lapis bawah, untuk mencegah akar benih tumbuh
bebas ke tanah, dan memudahkan benih dipindahkan ke rak pindah tanam pada
mesin tanam (transplanter). Proses ini memberikan nilai appropriateness yang
50
tinggi, sehingga mudah diterima, terdifusi, dan teradopsi pada petani. Prinsipnya,
harus ada yang memulai, mencoba, berkorban, tekun, dan memiliki motivasi.
Ketertarikan petani untuk menggunakan alsin transplanter juga dipengaruhi oleh
adanya selisih biaya tanam apabila dibandingkan dengan cara tanam tenaga
manusia.
Teknologi Pompa Air
Pompa air merupakan unsur komplemen pendukung pertumbuhan tanaman
melalui penyediaan air irigasi. Tanpa mekanisasi, air masih dapat dinaikkan namun
dengan curahan energi manusia cukup besar, dengan menggali sumur, menaikkan
secara manual dengan kapasitas rendah serta sulit menjangkau kawasan
usahatani secara luas. Kasus pemanfaatan pompa air di daerah Madiun, Ngawi,
dan Nganjuk Provinsi Jawa Timur menunjukkan kinerja yang baik sehingga
mendorong nilai usaha tani meningkat, bermanfaat, dan menambah pendapatan
petani. Adanya kemauan petani untuk menggunakan pompa air (8,5–12 HP)
sebagai sumber air irigasi air tanah dangkal mampu meningkatkan produktivitas
lahan masing-masing adalah: (i) untuk tanaman padi pada lahan sawah tadah
hujan dari 2 ton/ha menjadi 4 ton/ha; (ii) tanaman kedelai pada lahan sawah 0,4
ton/ha menjadi 0,8 ton/ha; (iii) tanaman jagung pada lahan sawah tadah hujan
dari 1,8 ton/ha menjadi 4 ton/ha; (iv) tanaman tebu setelah terjamin airnya pada
musim kemarau dari irigasi pompa mampu meningkatkan keuntungan sebesar
Rp750.000/ha/musim (Prabowo et al., 2001). Meskipun demikian, masih ada
kendala yang perlu diminimalkan dampaknya seperti manajemen tanaman,
pemilihan komoditas yang menguntungkan, dan kesiapan petani operator dan
organisasinya.
Teknologi Combine Harvester
Adopsi dan difusi combine harvester sudah berkembang di Sulawesi
Selatan, khususnya di Kabupaten Sidrap dan Pinrang. Dari penggunaan sabit,
stripper chandoe kemudian berubah ke penggunaan combine harvester, berjalan
relatif cepat. Pada awal tahun 2000, petani dikenalkan dengan chandoe, sejenis
stripper, yang digunakan untuk memanen padi secara mekanis (modifikasi lokal
51
dari IRRI stripper), kemudian pada tahun 2011 telah berubah ke teknologi yanng
lebih canggih seperti combine harvester. Pengoperasian alsin combine harvester
dengan kemampuan lebar panen 175 cm mampu memanen seluas 3–4 ton/hari,
rata-rata kemampuan panen 770.000 kg/musim. Percepatan adopsi combine
harvester di Kabupaten Sidrap juga dipengaruhi adanya keterkaitan usaha pemilik
combine dengan rice milling unit (RMU) yang diusahakan. Dengan adanya
penguasaan combine harvester berarti pasokan bahan RMU dapat terjamin
keberlanjutannya dalam skala usaha yang menguntungkan. Seorang pengusaha
RMU yang memiliki combine harvester akan menyewakan alat panennya sampai
ke Sulawesi Tenggara atau Sulawesi Tengah sebagai jaminan untuk mendapatkan
pasokan gabah bagi RMU-nya. Menurut hasil wawancara dengan staf Dinas
Pertanian Kabupaten Sidrap, pada salah satu kecamatan terdapat kepemilikan
combine harvester mencapai 71 unit dan diperkirakan jumlah total combine
harvester saat ini di Kabupaten Sidrap mencapai 160 unit.
6.2. Kebijakan Mekanisasi Pertanian ke Depan
Pertumbuhan mekanisasi pertanian memiliki korelasi timbal balik yang
cukup signifikan dengan kemajuan intensifikasi usahatani atau perbaikan mutu
intensifikasi. Dengan kata lain, mekanisasi pertanian menjadi pendorong untuk
melakukan peningkatan mutu intensifikasi usahatani, namun juga program
perbaikan atau peningkatan mutu intensifikasi dapat menjadi pendorong bagi
bertumbuhnya mekanisasi pertanian. Pertumbuhan tersebut antara lain
disebabkan makin dibutuhkannya mekanisasi pertanian untuk melakukan
percepatan pengolahan tanah, makin berkurangnya tenaga kerja pengolah tanah
di perdesaan, atau terjadinya urbanisasi ke wilayah perkotaan. Di samping itu
perbaikan prasarana transportasi mempermudah terjadinya perpindahan tenaga
kerja dari satu tempat ke tempat lain ecara lebih cepat dan murah. Faktor
tersedianya prasarana irigasi dan kelembagaan kelompok tani menjadikan indeks
pertanaman (IP) meningkat seiring dengan pertumbuhan mekanisasi pertanian.
Hal ini juga terjadi pada wilayah-wilayah yang padat penduduk seperti di Jawa
karena indeks mekanisasi di Jawa rata-rata tinggi dan proporsional dengan indeks
pertanaman.
52
Dalam upaya peningkatan produksi padi, jagung, dan kedelai diperlukan
revitalisasi bantuan mekanisasi pertanian dalam bentuk alat dan mesin pertanian
(alsintan). Revitalisasi ini perlu dilakukan untuk meningkatkan efisiensi dan
efektivitas bantuan alsintan (budi daya dan pascapanen), dengan fokus untuk
mempercepat kepastian peningkatan produktivitas padi. Komoditas alsintan yang
memerlukan perhatian adalah: (a) traktor tangan untuk wilayah-wilayah dengan
intensitas pertanaman tinggi, guna mengejar waktu tanam; (b) mesin tanam
(transplanter) untuk memastikan jumlah populasi tanaman sesuai dengan sistem
tanam tegel (sekurangnya 250.000 rumpun/ha), dan percepatan tanam pada
daerah-daerah yang memiliki IP tinggi; dan (c) penggunaan kombinasi sabit
dengan power thresher, atau reaper dengan thresher, atau mower thresher; (d)
mendorong penggunaan combine harvester untuk wilayah-wilayah yang memiliki
acceptability tinggi, manageable dan sesuai skala usahatani pengguna.
Seiring dengan meningkatnya jumlah bantuan alsintan kepada petani,
seharusnya diikuti dengan pelatihan yang lebih terjadwal, terstruktur, dan
memiliki pola kurikulum minimum dan standar. Pelatihan dilakukan untuk
perencana tingkat provinsi/kabupaten, penyuluh, operator, dan mekanik. Ditjen
Tanaman Pangan, Ditjen PSP, bersama-sama dengan BBSDMP berkoordinasi
dalam melakukan peningkatan mutu perencanaan SDM Mekanisasi Pertanian baik
di tingkat pusat, provinsi, kabupaten, sampai tingkat lapang. Badan Litbang
Pertanian perlu mengambil peran yang lebih banyak dalam implementasi bantuan
ini terutama untuk membantu Ditjen Teknis menetapkan metode: (a) seleksi alat
dan mesin pertanian, agar sasaran sistem usahatani yang dituju benar-benar tepat
dan berhasil guna; (b) memberikan rekomendasi melalui kajian teknis, kajian
operasional yang fokus pada pencapaian efisiensi dan efektivitas pengembangan
mekanisasi melalui bantuan alsintan; (c) bantuan alsintan harus diarahkan pada
pengembangan usahatani pada jangka panjang, sehingga perlu dipersiapkan
dengan sistem perencanaan yang lebih baik, terarah, dan dilakukan dengan
pendampingan yang intensif sebagai suatu kerangka sistem pengembangan
mekanisasi yang berkelanjutan; (d) mengembangkan terobosan-terobosan
53
pengelolaan alsintan di tingkat petani berbasis kewirausahaan, manajemen
pengetahuan, dan membangun jejaring antar-stakeholder yang terlibat.
Apabila pengadaan bantuan alsintan oleh pemerintah berkurang, perlu
dipikirkan kemampuan pengadaan alsintan oleh petani sendiri (business model).
Agar bantuan alsintan yang diberikan oleh pemerintah berdaya guna secara
optimal bagi petani, diperlukan pandataan (peta) wilayah potensial mekanisasi
pertanian dan jenis dan ukuran alsintan yang cocok dengan kondisinya serta jenis
dan jumlah alsintan eksisting. Pada tahun 2015, bantuan alsintan diberikan oleh
pemerintah dalam jumlah besar. Berkaitan dengan hal tersebut perlu juga
dilakukan inventarisasi kembali keberadaan UPJA menurut kategorinya, agar
bantuan alsintan dapat digunakan dengan umur teknis yang relatif lama.
54
VII. STRATEGI PENGEMBANGAN DIVERSIFIKASI PANGAN POKOK
Mewujudkan ketahanan pangan nasional yang bertumpu pada kemandirian
pangan telah menjadi komitmen pemerintah dalam rangka pembangunan ekonomi
dan pertanian domestik. Ketahanan pangan dibangun berdasarkan sumber daya,
kelembagaan, dan budaya lokal yang bertujuan untuk meningkatkan diversifikasi
produksi dan konsumsi pangan lokal yang bergizi dan aman untuk dikonsumsi oleh
masyarakat. Pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 22 tahun
2009 tentang Kebijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan
Berbasis Sumber Daya Lokal. Tujuan kebijakan ini adalah untuk menfasilitasi dan
mendorong terwujudnya pola konsumsi pangan yang beragam, bergizi seimbang,
dan aman yang diindikasikan oleh skor PPH 95 pada tahun 2015. Strategi yang
ditempuh dalam Perpres adalah: (1) internalisasi penganekaragaman konsumsi
pangan melalui advokasi, kampanye, promosi, pendidikan formal dan nonformal,
serta sosialisasi tentang konsumsi pangan yang beragam, bergizi seimbang, dan
aman pada berbagai tingkatan aparat dan masyarakat; dan (2) pengembangan
bisnis dan industri pangan lokal melalui fasilitasi kepada UMKM untuk
pengembangan bisnis pangan segar, industri bahan baku, industri pangan olahan,
dan pangan siap saji yang aman berbasis sumber daya lokal serta advokasi,
sosialisasi dan penerapan standar mutu dan keamanan pangan bagi pelaku usaha
pangan terutama usaha rumah tangga dan UMKM.
Untuk menindaklanjuti hal tersebut, Badan Ketahanan Pangan (2013)
menyusun program kerja utamanya antara lain Percepatan Penganekaragaman
Konsumsi Pangan (P2KP) yang bertujuan untuk meningkatkan diversifikasi pangan
melalui: (a) pengembangan Kawasan Rumah Pangan Lestari di 6.280 desa (5.000
desa baru dan 1.280 desa lanjutan) pada 497 kabupaten/kota di 33 provinsi, (b)
pengembangan pangan pokok lokal pada 30 kabupaten di 18 provinsi, dan (c)
promosi dan sosialisasi P2KP di 33 provinsi. Dalam Road Map Diversifikasi Pangan
2011–2015 disebutkan bahwa diversifikasi pangan dan gizi dapat dilihat dari
beberapa aspek berikut: (1) aspek konsumsi, sebagai upaya membudayakan
pola konsumsi pangan beragam, bergizi, seimbang, dan aman untuk mendukung
hidup sehat, aktif, dan produktif; (2) aspek pengembangan bisnis pangan
55
memberi dorongan dan insentif pada rantai bisnis pangan yang lebih beragam dan
aman, yang berbasis sumber daya lokal; (3) aspek produksi mendorong
pengembangan berbagai ragam produksi pangan, dan menumbuhkan beragam
usaha pengolahan pangan (rumah tangga, UMKM, dan swasta); dan (4) aspek
kemandirian pangan akan dapat mengurangi ketergantungan nasional terhadap
pangan impor, dan secara mikro mengurangi ketergantungan konsumen pada
satu jenis pangan tertentu, serta mendorong setiap wilayah untuk
mengoptimalkan potensi sumber daya pangan setempat dalam memenuhi
kebutuhan pangan penduduk.
Di sisi lain, Indonesia adalah salah satu negara megadiversitas, yaitu
kelompok negara dengan biodiversitas yang tinggi. Hasil studi Kementerian
Lingkungan Hidup menyebutkan bahwa Indonesia sedikitnya memiliki 100 spesies
tanaman biji-bijian, umbi-umbian, sagu, penghasil tepung dan gula sebagai
sumber karbohidrat. Namun, hanya beberapa jenis pangan sumber karbohidrat
saja yang dikenal secara luas dan dimanfaatkan untuk dikonsumsi secara intensif
seperti padi, jagung, ubi kayu, ubi jalar, sagu, dan lainnya. Beragam pangan lokal
seperti jagung, umbi-umbian, dan sagu mempunyai prospek yang cukup luas
untuk dikembangkan sebagai substitusi beras dan untuk diolah menjadi makanan
bergengsi.
7.1. Capaian Diversifikasi Pangan
Diversifikasi konsumsi pangan secara sederhana dapat dikatakan sebagai
upaya peningkatan keanekaragaman konsumsi pangan ke arah yang sesuai
prinsip atau kaidah gizi seimbang sehingga kualitas pangan menjadi semakin baik.
Oleh karena itu, salah satu ukuran untuk mengetahui tingkat diversifikasi
konsumsi pangan dikenal dengan konsep Pola Pangan Harapan (PPH). Semakin
tinggi skor PPH mengindikasikan konsumsi pangan semakin beragam dan bergizi
seimbang (maksimal 100). Skor PPH sebetulnya meningkat dari tahun ke tahun,
bahkan pada tahun 2007 dan 2008 mencapai skor 80-an, namun untuk tahun-
tahun berikutnya skor PPH mengalami penurunan. Capaian skor PPH semakin jauh
dari target yang telah ditetapkan oleh pemerintah (Tabel 7.1), padahal pemerintah
56
telah menetapkan kebijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan
Berbasis Sumber Daya Lokal, yang ditindaklanjuti dengan Gerakan Percepatan
Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal oleh
Kementerian Pertanian, dengan target terjadi penurunan konsumsi beras sebesar
1,5%/tahun dan kenaikan skor PPH sebesar 1%/tahun. Hal ini berarti pola
pangan masyarakat Indonesia harus berdiversifikasi; tidak hanya pangan pokok
yang bertumpu pada beras, tetapi juga diversifikasi pangan secara luas seperti
pangan sumber protein, vitamin, dan mineral.
Tabel 7.1. Pencapaian Skor Pola Pangan Harapan (PPH), 2005–2012
Tahun Target Riil Senjang
2005 77,7 79,1 +2,0
2008 82,9 81,9 -1,0
2009 85,0 75,7 -9,3
2010 86,4 77,5 -8,9
2011 88,1 77,3 -10,8
2012 89,9 75,4 -14,5 Sumber: BKP (2013)
Penurunan PPH terjadi di sebagian besar provinsi. Hanya enam provinsi,
yaitu Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan,
dan Gorontalo yang nilai skor PPH pada tahun 2012 lebih besar daripada tahun
2011 (Tabel 7.2). Penurunan skor PPH dapat disebabkan oleh faktor ekonomi
seperti pendapatan yang terbatas, sehingga tidak mampu membeli pangan secara
cukup, baik kuantitas maupun kualitas. Akan tetapi, penurunan skor tersebut juga
dapat terjadi karena faktor lain seperti rendahnya pengetahuan tentang pangan
dan gizi yang berdampak pada rendahnya kesadaran untuk mengonsumsi
makanan yang berkualitas. Padahal, makanan berperan penting untuk
peningkatan derajat kesehatan dan kecerdasan, yang diperlukan dalam
peningkatan kualitas sumber daya manusia.
57
Tabel 7.2. Distribusi Provinsi Berdasarkan Perubahan Skor PPH, 2005 dan 2012
Perubahan Skor
PPH, 2005- 2012
Nama Provinsi Jumlah
Provinsi
Meningkat Jambi, Sumsel, Bengkulu, NTB, Sulsel, Gorontalo, 6
Menurun Aceh, Sumut, Sumbar, Riau, Kep. Riau, Babel,
Lampung, DKI, Jabar, Banten, Jateng, DIY, Jatim,
Bali, NTT, Kalbar, Kalteng, Kalsel, Kaltim, Sulut,
Sultra, Sulteng, Sulbar, Maluku, Malut, Papua Barat,
Papua
27
Sumber: BKP (2012)
Di tingkat rumah tangga pola diversifikasi pangan dapat berbeda-beda
karena banyaknya faktor yang dapat berpengaruh. Pola diversifikasi pangan juga
dapat berbeda antarwilayah maupun antarwaktu. Diversifikasi bisa terkait dengan
preferensi konsumsi anggota rumah tangga, faktor pendapatan, ketersediaan
pangan alternatif, pengetahuan tentang pangan yang sehat dan berkualitas, atau
bahkan faktor budaya dan faktor lainnya. Diversifikasi dipengaruhi nyata oleh
pendidikan ibu dan kepala rumah tangga. Faktor jumlah anggota rumah tangga,
usia ibu, usia kepala rumah tangga, luas pekarangan, dan akses informasi tidak
berpengaruh nyata terhadap diversifikasi pangan. Fakta pada Tabel 7.3
mengindikasikan bahwa pola konsumsi pangan masyarakat masih belum mengacu
pada pedoman PPH. Konsumsi dari kelompok padi-padian sangat tinggi, melebihi
dari ketentuan. Sebaliknya, untuk pangan hewani, sayur, dan buah, yang
termasuk pangan berkualitas tinggi yang mampu meningkatkan skor PPH secara
signifikan, masih belum banyak dikonsumsi sesuai dengan ketentuan. Pada
kondisi terakhir (tahun 2011) skor PPH menurun sedikit dibandingkan tahun
sebelumnya. Skor PPH pada tahun 2011 sebesar 77,3, sedangkan pada tahun
2010 sebesar 77,5. Penurunan ini lebih diakibatkan oleh penurunan konsumsi
sayuran dan buah-buahan. Terkait dengan pangan lokal, skor PPH yang relatif
masih rendah bukan berarti masyarakat tidak mengonsumsi pangan lokal. Mereka
sudah mengonsumsi tetapi masih dalam porsi relatif sedikit dan tidak rutin,
sehingga belum mampu mensubstitusi konsumsi pangan pokok utamanya, yaitu
beras. Pangan lokal sumber karbohidrat, seperti ubi kayu dan jagung, lebih
banyak disajikan dalam bentuk kudapan atau pangan selingan.
58
Tabel 7.3. Pola Pangan Masyarakat, 2011 dan 2012 (Gram/kapita/hari)
Kelompok Pangan Anjuran Kenyataan/Riil
2011 2012
Padi-padian 275 315,9 299,9
Umbi-umbian 100 43,2 33,1
Pangan hewani 150 95,9 91,7
Kacang2an 35 22,7 23,7
Sayur+buah 250 197,3 199,1
Gula 30 22,2 19,2
Minyak+lemak 20 22,8 23,7 Sumber: BKP (2012)
7.2. Strategi Pengembangan Diversifikasi Pangan Pokok
Dalam upaya menyusun strategi pengembangan diversifikasi pangan pokok,
disusun aspek-aspek yang menjadi kekuatan, kelemahan, tantangan, dan
ancamannya. Sebagai aspek kekuatan, meskipun perubahannya relatif lambat,
diversifikasi pangan bukanlah kondisi yang tidak mungkin berubah. Faktor yang
secara langsung maupun tidak langsung menjadi kekuatan pengembangan
diversifikasi pangan, yaitu: (1) potensi lahan subur masih banyak; (2) masih
tersedia lahan kering dan marginal; (3) produksi pangan lokal meningkat; (4)
harga pangan cenderung meningkat; (5) ragam jenis pangan lokal banyak; dan
(6) adanya ragam pengolahan pangan lokal spesifik wilayah. Potensi lahan masih
cukup banyak dilihat dari luas panen tanaman pangan lokal yang masih
meningkat. Indonesia mempunyai pangan lokal spesifik lokasi beragam dan di
setiap provinsi dapat berbeda. Hasil analisis data Susenas, pada tahun 1990-an
terdapat delapan pola konsumsi pangan lokal di seluruh Indonesia dengan
menggunakan pangan pokok lokal seperti ubi kayu, ubi jalar, sagu, pisang, dan
umbi-umbi lainnya selain komoditas beras. Pangan lokal tersebut dapat berbeda
cara pengolahannya di setiap provinsi walaupun bahan bakunya adalah sama.
Kekayaan pengolahan ini menjadi kekuatan dalam pengembangan diversifikasi
pangan berbasis pangan lokal.
Walaupun pengembangan diversifikasi pangan dimungkinkan, namun ada
beberapa kelemahan baik terkait aspek produksi, konsumsi maupun pengolahan
pangan yang harus diantisipasi. Kelemahan tersebut antara lain: (1) konversi
59
lahan sawah subur relatif tinggi; (2) infrastruktur pertanian dan pendukung
terbatas; (3) peran Pulau Jawa sebagai produsen pangan lokal berkurang; (4)
kenaikan harga pangan tidak memberi insentif produksi bagi petani; (5) teknologi
pengolahan pangan lokal terbatas, (6) preferensi pangan lokal terbatas;, (7)
penerapan kebijakan pengembangan konsumsi pangan lokal lemah; (8) kebijakan
pengembangan produksi dan industri pangan lokal masih lemah; (9) penguasaan
keterampilan penerapan teknologi pengolahan pada industri rumah tangga masih
rendah; (10) adanya persepsi inferior terhadap pangan lokal di sebagian
masyarakat; (11) belum berkembangnya pasar pangan lokal secara nasional; (12)
budi daya sagu dan umbi lainnya belum berkembang; (13) Otonomi Daerah
(OTDA) tidak menciptakan kreasi pengembangan kebijakan pangan lokal; dan
(14) promosi pangan lokal masih terbatas.
Dari aspek produksi pangan lokal yang ditangani oleh Direktorat Jenderal
(Ditjen) Tanaman Pangan cenderung bias pada beras dan mengabaikan aspek
produksi pangan lokal. Pengembangan industri pangan lokal masih terbatas
pada industri rumah tangga dan Usaha Kecil Menengah (UKM). Kalaupun ada
industri skala menengah berbasis pangan lokal, jumlahnya belum banyak dan
masih berorientasi pada produk pangan lokal sebagai makanan camilan/kudapan
(bukan sebagai makan pokok) dengan harga yang relatif mahal. Produk pangan
lokal yang dihasilkan oleh industri rumah tangga dan UKM belum dipasarkan
secara nasional, tetapi masih spot-spot lokal dan kadang-kadang tidak kontinyu.
Pemasaran produk pangan lokal seperti aneka kue lebih bersifat pesanan.
Kalaupun ada yang menjual pangan tersebut terbatas di pasar-pasar dengan
jumlah/skala yang masih kecil. Selain itu, kelemahan pengembangan pangan lokal
adalah belum intensifnya promosi yang dilakukan oleh pemerintah, sehingga
berdampak pada preferensi konsumen yang terbatas (rendah).
Dari aspek eksternal, yang perlu dicermati peluang untuk pengembangan
diversifikasi pangan lokal adalah: (1) adanya penekanan diversifikasi pangan
dalam UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan, (2) adanya Perpres No. 22 Tahun
2009 tentang Percepatan Diversifikasi, (3) fungsi pangan lokal untuk kesehatan
(pangan lokal menyehatkan), dan (4) adanya Peraturan Menteri Pertanian
60
(Permentan) No. 43 tahun 2009 tentang Gerakan Percepatan Penganekaragaman
Kosumsi Pangan, yang salah satu implementasinya adalah berupa kegiatan One
Day No Rice/ODNR (tidak mengonsumsi beras satu hari/minggu). Dari keempat
faktor tersebut dipilih tiga faktor yang memberi peluang utama bagi
pengembangan diversifikasi pangan lokal. Faktor-faktor tersebut adalah: (1)
adanya penekanan diversifikasi pangan dalam UU No. 18 Tahun 2012 tentang
Pangan, (2) adanya Perpres No. 22 Tahun 2009 tentang Percepatan Diversifikasi,
dan (3) fungsi pangan lokal untuk kesehatan (pangan lokal menyehatkan). Pada
tahun 2009, terbit Perpres yang menekankan perlunya percepatan diversifikasi
pangan berbasis pangan lokal, yang kemudian ditindak lanjuti salah satunya
dengan adanya ODNR. Pada tahun 2012 muncul UU Pangan baru menggantikan
UU Pangan yang lama. UU pangan baru tersebut menekankan pentingnya
ketahanan pangan berbasis kemandirian dan kedaulatan pangan. Dalam UU
tersebut juga ada penekanan diversifikasi pangan, tidak hanya dari aspek
konsumsi pangan, namun juga produksi pangan.
Faktor eksternal yang menjadi ancaman dalam pengembangan diversifikasi
pangan lokal adalah: (1) peningkatan impor terigu dan pangan lainnya, (2)
perubahan konsumsi karbohidrat dominan beras, (3) merebaknya rumah makan
yang menjual pangan modern/impor dengan suasana nyaman dan memberi
penilaian makanan bergengsi, (4) berkembangnya aneka produk berbasis terigu.
Dari keempat faktor tersebut dipilih tiga faktor utama yang menjadi ancaman
utama dalam pengembangan diversifikasi pangan lokal adalah: (1) peningkatan
impor terigu dan pangan lainnya, (2) perubahan konsumsi karbohidrat dominan
beras, dan (3) merebaknya rumah makan yang menjual pangan modern/impor
dengan suasana nyaman dan memberi penilaian makanan bergengsi. Pada saat
ini, impor terigu, yang merupakan bahan baku aneka roti, kue dan mi terus
meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini seiring dengan permintaan mi di
masyarakat yang juga semakin besar. Diakui, mi mempunyai banyak peranan. Mi
dapat sebagai pengganti beras atau sebagai makanan pokok. Mi juga dapat
sebagai lauk-pauk dan sebagai makanan tambahan yang dapat dikonsumsi di
mana saja, dalam keadaan apa saja. Pada kasus terjadinya bencana alam, misal
61
kebanjiran, maka bantuan pangan dominan adalah berupa mi instan. Selain itu,
merebaknya toko-toko roti/kue di berbagai wilayah termasuk pemasaran dengan
cara door to door juga mengakibatkan permintaan kue/roti meningkat.
Dampaknya adalah impor terigu juga semakin besar.
Dahulu, setiap provinsi mempunyai pola konsumsi pangan pokok yang
beragam dan berbasis pangan lokal. Namun, saat ini terjadi perubahan pola
konsumsi pangan pokok yang cenderung mengarah pada pola tunggal, yaitu
beras. Konsumsi pangan lokal terus menurun. Sebaliknya, konsumsi beras
cenderung meningkat sampai pada tingkat pendapatan tertentu. Selanjutnya,
setelah titik tercapai maka konsumsi beras akan menurun kembali. Ancaman
pengembangan diversifikasi pangan lokal juga teridentifikasi dengan merebaknya
rumah makan dengan aneka makanan modern dan cita rasa luar negeri, yang
menyajikan aneka makanan dan minuman dengan suasana nyaman dan
bergengsi. Dengan memperhatikan aspek kekuatan, kelemahan, tantangan, dan
ancaman dalam pengembangan diversifikasi konsumsi pangan pokok, strategi
kebijakan operasional program dan kegiatan untuk mengembangkan diversifikasi
pangan lokal di Indonesia sebagai berikut:
1. Memanfaatkan potensi lahan dan kebiasaan mengonsumsi pangan lokal untuk
mendukung penekanan diversifikasi pangan dalam UU Pangan. Upaya yang
dilakukan untuk pengembangan diversifikasi pangan adalah dengan
memanfaatkan potensi lahan dan kebiasaan mengonsumsi pangan lokal di
masyarakat, sebagai berikut: (1) pemetaan luas lahan yang dapat digunakan
untuk memproduksi pangan lokal di setiap daerah; (2) pemetaan produksi
setiap pangan lokal di setiap daerah (kondisi eksisting) dan pemetaan jenis
pangan lokal yang pernah diproduksi namun saat ini sudah tidak ada lagi
(musnah) di setiap daerah; (3) pemetaan jenis pangan lokal yang pernah
dikonsumsi oleh masyarakat termasuk jenis pangan lokal yang pernah
diproduksi namun saat ini sudah tidak ada lagi (musnah) di setiap daerah; (4)
pemetaan industri pengolahan pangan lokal di tingkat rumah tangga, UKM,
industri kecil, menengah, dan besar di setiap daerah (jumlah industri per
jenis, jenis, dan jumlah bahan baku, dll.); (5) melakukan pendataan secara
62
regular dan terstruktur berkelanjutan untuk setiap jenis pangan lokal di setiap
daerah; dan (6) kajian studi perubahan preferensi masyarakat terhadap
pangan lokal dan pangan modern termasuk faktor pendukung dan kendalanya
di setiap daerah.
2. Memanfaatkan potensi lahan dan kebiasaan mengonsumsi pangan lokal dalam
rangka mengantisipasi merebaknya rumah makan dengan pangan modern/
impor. Pengembangan diversifikasi pangan juga dilakukan dengan: (1)
meningkatkan kapasitas produksi setiap pangan lokal di setiap daerah melalui
peningkatan luas panen dan produktivitas; (2) promosi pangan lokal secara
nasional, terstruktur dan berkelanjutan melalui berbagai media elektronik,
massa, penyuluhan, ruang publik (hotel, bandara, stasiun kereta api, ruang
publik lainnya); (3) pangan lokal menjadi snack utama dalam beragam
kegiatan kenegaraan, keagamaan, upacara pernikahan, rapat-rapat, dan
aktivitas lainnya; dan (4) mengembangkan outlet-outlet pangan lokal di setiap
daerah termasuk di ruang publik, seperti hotel, bandara, stasiun kereta api,
dan ruang publik lainnya.
3. Meningkatkan kebijakan produksi dan industri pangan lokal dalam rangka
mendukung penekanan diversifikasi pangan dalam UU Pangan. Dalam
pengembangan diversifikasi pangan perlu diperhatikan: (1) penyusunan road
map produksi dan agroindustri khusus untuk pengembangan pangan lokal
sehingga akan diperoleh diversifikasi produksi dan diversifikasi konsumsi
pangan; (2) kebijakan diversifikasi konsumsi pangan diiringi/sejalan dengan
kebijakan produksi dan industri pengolahan; (3) penguatan penerapan
kebijakan diversifikasi pangan sampai tingkat daerah; (4) pengembangan dan
penguatan kebijakan produksi pangan lokal agar tersedia aneka ragam jenis
pangan lokal secara kontinyu dan sesuai dengan kebutuhan dengan
mengalokasikan pendanaan secara proposional dan menjadikan
pengembangan produksi pangan lokal juga menjadi urusan wajib selain beras,
jagung, kedelai, dan lainnya; (5) pengembangan dan penguatan kebijakan
industri pangan lokal di setiap daerah untuk industri rumah tangga, UKM, dan
jenis industri lainnya dan (6) pengembangan teknologi pengolahan pangan
63
lokal sehingga tersedia aneka produk pangan lokal dengan harga yang
terjangkau dengan kualitas yang prima. Produk pangan lokal ini juga sesuai
preferensi konsumen atau menjadi pendorong agar konsumen menyenangi
produk tersebut.
4. Meningkatkan kebijakan produksi dan industri pangan lokal agar mampu
mengantisipasi merebaknya rumah makan dengan pangan modern/impor.
Strategi yang dilakukan untuk pengembangan diversifikasi pangan juga
melalui sebagai berikut: (1) pengembangan dan penguatan kebijakan produksi
dan industri pangan dilakukan harus seiring dengan kebijakan konsumsi
pangan, sehingga percepatan diversifikasi pangan tidak hanya dari sisi
konsumsi namun juga ketersediaan aneka produk pangan lokal yang sesuai
selera konsumen dengan memperhatikan aspek harga pangan dan kualitas
pangan; (2) promosi pangan lokal yang menyehatkan secara komprehensif,
dilakukan secara terus menerus dengan memanfatkan berbagai media yang
ada, sehingga pangan lokal akan mampu berdiri di rumah sendiri; dan (3)
penciptaan pasar pangan lokal baik tingkat nasional maupun tingkat wilayah.
Penciptaan pasar pangan lokal disertai ketersediaan aneka produk pangan
lokal yang mampu disandingkan dengan pangan produk modern/pangan
impor.
64
VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
Kebijakan Subsidi Pupuk
1. Sampai saat ini pupuk memiliki peran penting dalam peningkatan produksi
pangan nasional dan pencapaian swasembada pangan. Pupuk juga
merupakan komoditas strategis sehingga distribusi komoditas tersebut
termasuk kriteria barang dalam pengawasan. Kebijakan pemerintah terkait
dengan pupuk adalah melalui instrumen subsidi harga pupuk.
2. Perkembangan HET pupuk dan HPP gabah semakin tahun menunjukkan rasio
yang semakin tidak seimbang, yaitu rasio harga pupuk bersubdi terhadap
harga gabah semakin rendah yang berarti harga riil pupuk bersubsidi semakin
murah. Hal ini di satu sisi menguntungkan petani namun di sisi lain
mengakibatkan penggunaan pupuk yang kurang efisien (boros). Beban
pemerintah untuk pupuk bersubsidi dari tahun ke tahun juga semakin besar.
3. Perkembangan harga pupuk bersubsidi vs nonsubsidi juga menunjukkan
disparitas harga yang semakin besar. Besarnya disparitas harga mendorong
rangsangan untuk melakukan moral hazard sangat bagi pemburu rente,
sehingga menimbulkan penyelewengan-penyelewengan dalam distribusi
pupuk bersubsidi.
4. Implementasi kebijakan subsidi pupuk juga masih mengalami berbagai
permasalahan, baik dalam aspek pengadaan, penyaluran/distribusi, dan
pengawasan yang perlu segera memperoleh penanganan.
5. Beberapa penyempurnaan operasional implementasi kebijakan subsidi pupuk
perlu dilakukan, terutama terkait dengan perbaikan penyusunan RDKK,
penyesuaian HET, penertiban dalam distribusi pupuk, serta mengoptimalkan
peran dan fungsi pengawasan.
6. Penyempurnaan kebijakan subsidi pupuk yang lebih penting dan mendasar
untuk segera dilakukan saat ini adalah agar subsidi pupuk untuk petani (dalam
bentuk pupuk bersubsidi) dapat sampai ke petani secara enam tepat. Saran-
saran tersebut antara lain:
a. Melakukan sinkronisasi perencanaan kebutuhan mulai dari petani/kelompok
tani, kabupaten/kota, provinsi, sampai nasional,
65
b. Segera melakukan penyesuaian HET pupuk mendekati harga pasar untuk
mengurangi rangsangan moral hazard yang diimbangi dengan penyesuaian
harga gabah.
c. Melakukann perbaikan proses penyusunannya RDKK sehingga diperoleh
RDKK dengan data yang akurat yang disertai pendampingan yang intensif
dan alokasi anggaran secukupnya,
d. Perbaikan distribusi pupuk mulai dari produsen dan distributor sampai
dengan penertiban ketepatan penerbitan SK Pemerintah Daerah. Perlu
diterapkan sanksi secara tegas bagi pihak-pihak yang menghambat
kelancaran distribusi pupuk.
e. Lebih mengoptimalkan peran dan fungsi KP3 dengan melibatkan Perguruan
Tinggi dan LSM serta memfungsikan kepala desa sebagai pengawas di lini
terbawah yang langsung berhubungan dengan petani pengguna dan kios
penyalur.
Kebijakan Harga Beras
1. Hasil analisis situasi harga beras di tingkat konsumen dapat disimpulkan
bahwa kenaikan harga beras yang terjadi pada akhir tahun 2014 sampai
dengan bulan Februari 2015 merupakan kenaikan harga beras di atas
kenaikan normal yang terjadi pada musim paceklik. Lonjakan harga beras di
awal tahun 2015 ini merupakan kombinasi dari berbagai faktor sebagai
berikut:
a. Persepsi pelaku pasar beras atas keragaan produksi domestik padi tahun
2015 tidak optimis.
b. Pelaku pasar beras memanfaatkan situasi di mana CBN menipis dengan
daya tahan stok yang hanya 0,5 bulan, stok dikuasai rumah tangga
menipis karena musim paceklik/belum panen, serta stok di penggilingan
dan pedagang juga menipis.
c. Pernyataan pemerintah untuk tidak melakukan impor beras pada tahun
2015 juga menambah sentimen negatif di pasar beras.
d. Tidak disalurkannya raskin sejak November 2004 s.d. Februari 2015,
sehingga menambah demand beras di pasar umum.
66
e. Operasi pasar Bulog ternyata kurang efektif, walaupun pada bulan Januari
telah memasok sampai dengan 36% dari jumlah beras yang masuk ke
PBIC.
f. Kondisi di PBIC, yaitu rata-rata pemasukan beras per hari selama bulan
Februari di bawah batas mininal/psikologis aman (<2.000 ton). Kondisi
aman bila pemasukan per hari 2.500 ton–3.000 ton
2. Dari hasil kajian ini dapat dirumuskan beberapa rekomendasi untuk
mengendalikan situasi kenaikan harga sebagai berikut:
a. Mendorong Bulog untuk tidak ragu melepas cadangan/stok berasnya
hingga mampu mempengaruhi harga pasar.
b. Bulog agar segera melakukan Operasi Pasar di kota-kota yang
menunjukkan peningkatan harga beras di atas 5% dalam sebulan,
terutama di Jakarta.
c. Raskin agar kembali disalurkan, dan diperbaiki kinerjanya, dalam arti
memenuhi enam tepat, yaitu tepat waktu, tepat tempat, tepat jumlah,
tepat harga, tepat kualitas, dan tepat kelompok sasaran.
d. Bulog agar didorong untuk meningkatkan pengadaan beras DN, sehingga
total beras yang dikelola Bulog untuk (CBP, Raskin, PPU) minimal 2 juta
ton secara berkelanjutan.
e. Melakukan penjajagan untuk impor beras, untuk berjaga-jaga: (i) bila
produksi DN tidak mencapai sasaran dan/atau (ii) bila kemampuan
pengadaan DN untuk membangun stok dikelola Bulog minimal 2 juta ton
terbatas karena supply terbatas atau harga tinggi.
f. Pemerintah diharapkan secara masif menginformasikan dan membangun
kepercayaan masyarakat bahwa program Upaya Khusus (Upsus) akan
mampu meningkatkan produksi padi/beras nasional.
Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air
1. Dalam rangka pengamanan produksi pangan jangka panjang dan
pengendalian konversi lahan telah disusun UU No. 41/2009 tentang
Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Ketidakharmonisan
dalam rangka perebutan lahan bagi produksi pangan (UU No. 41/2009 tentang
67
PLP2B), pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum (UU
No. 2/1012), lahan untuk perumahan dan kawasan permukiman (UU No.
1/2011), lahan untuk produksi perkebunan (UU No. 18/2004), lahan untuk
hortikultura (UU No. 13/2010), lahan untuk peternakan (UU No. 28/2009), dan
lainnya.
2. Ketidaksinkronan terjadi antara UU No. 41/2009 dengan Perda RTRW
berkaitan dengan cakupan dan luasan jenis lahan yang akan dilindungi. Dalam
UU No. 41/2009 mengamanatkan bahwa lahan yang dilindungi lahan
beririgasi, lahan reklamasi rawa pasang surut dan nonpasang surut (lebak)
dan atau lahan tidak beririgasi, termasuk di dalamnya lahan yang dicadangkan
untuk pangan berkelanjutan yang berada di dalam atau di luar kawasan
pertanian pangan. Lahan tersebut berada pada kawasan perdesaan dan atau
perkotaan di wilayah kabupatan/kota. Sementara, dalam Perda RTRW Provinsi
dan Kabupaten/Kota, terjadi keragaman cakupannya dan sebagian besar
hanya mengarah kepada lahan sawah irigasi teknis dan lahan beririgasi.
3. Implementasi UU No. 7/2004 tentang Sumber Daya Air berkelindan dengan
politik pembangunan daerah, menyebabkan perubahan dimensi pemanfaatan
air dari fungsi sosial dan lingkungan yang mengedepankan keseimbangan
harmonis ke arah fungsi ekonomi yang mengedepankan efisiensi dan nilai
tambah ekonomi. Aktor kapitalis dalam pengelolaan dan pemanfaatan air yang
berperan mendukung pembangunan berbasis pariwisata berkembang pesat
dan mendorong munculnya fenomena privatisasi dan komersialisasi air.
4. Privatisasi dan komersialisasi air menyebabkan eksploitasi air secara
berlebihan, penurunan air untuk pertanian, perubahan pola tanam, penurunan
intensitas tanam, pengurangan luas lahan pertanaman padi, meluasnya lahan
bera, dan konversi lahan pertanian yang selanjutnya menurunkan produksi
padi dan pendapatan petani. Privatisasi dan komersialisasi air menyebabkan
perubahan kelembagaan berupa peluruhan ruang spasial, nilai-nilai otonomi
dan kelekatan sosial, tata kelola, kepemimpinan, dan kuasa serta kewenangan
pengelolaan air oleh petani. Hal ini menunjukkan bahwa UU No. 7/2007 dapat
menciptakan peluang privatisasi dan komersialisasi air.
68
5. Pembatalan UU Sumber Daya Air oleh Mahkamah Konstitusi telah terjadi,
sehingga kita membutuhkan Undang-Undang baru, karena Undang-Undang
yang lama sudah tidak sesuai. Dengan demikian, Undang-Undang pengganti
ke depan hendaknya merefleksikan prinsip-prinsip good water governance.
Undang-undang baru nantinya perlu memperhatikan jaminan kepada
pengelolaan sumber daya lingkungan yang memungkinkan terwujudnya
ecosystem service yang baik. Dengan perkataan lain UU SDA harus dapat
membangun prinsip pengelolaan secara terpadu yang memungkin fungsi
penyediaan dan pengaturan air yang tidak menghasilkan ancaman dan risiko
seperti banjir dan kekeringan yang dewasa ini frekuensi terjadinya semakin
tinggi dan dampaknya semakin meluas.
Kelembagaan Perbenihan
1. Secara umum, penggunaan benih bermutu atau berlabel di Jawa Barat sudah
tinggi. Hal ini didukung oleh keberhasilan pengembangan dan peningkatan
produksi benih khususnya padi di Jawa Barat yang tidak terlepas dari
dukungan berbagai kelembagaan perbenihan yang ada baik produsen,
penangkar benih, BPSB, BPBP, dan kelembagaan perbenihan lainnya. Petani
sebagai produsen benih swasta cukup eksis, aktivitas produsen dapat
meningkat atau menurun jumlahnya seiring dengan harga benih yang
memberikankan keuntungan.
2. Untuk mendukung keberhasilan pelaksanaan peningkatan produksi dan nilai
tambah produksi usahatani padi, unsur teknologi benih unggul bermutu dan
produsen benih sangat menentukan. Produsen benih di lokasi penelitian di
Provinsi Jawa Barat terdiri dari produsen BUMN misalnya PT SHS, BB Padi,
BPBP (Balai Pengembangan Benih Padi Jawa Barat, UPBS BPTP Jawa Barat
dan petani produsen benih (swasta).
3. Penangkar benih di Jawa Barat merupakan binaan produsen benih. Kegiatan
usaha penangkaran benih pada prinsipnya hampir sama dengan usahatani
padi untuk tujuan konsumsi. Hal yang membedakan adalah dalam hal
pemeriksaan lapangan dengan beberapa tahapan, yaitu: (1) pemeriksaan
pendahuluan, (2) pemeriksaan pada masa fase vegetatif, (3) pemeriksaan
69
fase generatif, (4) pemeriksaan pada masa pertanaman fase, (5) pemeriksaan
pada saat seleksi (roguing), dan (6) pemeriksaan ulang, jika diperlukan.
4. Terkait perbenihan, para produsen benih mengharapkan agar BUMN tidak lagi
diberikan subsidi penyaluran benih karena seringkali tidak mampu memenuhi
target pengadaan benih, pembayarannya tidak lancar saat membeli benih ke
produsen dan terjadinya ketidaktepatan pemenuhan kebutuhan benih, serta
juga menjadi sumber distorsi pasar benih karena terdapatnya bantuan benih
dan benih bersubsidi. Produsen benih menyarankan agar BUMN perannya
lebih ditekankan untuk mengkover daerah-daerah luar Jawa yang belum maju
sistem perbenihannya atau di wilayah yang memang aksesibilitasnya sulit
terjangkau. Dengan demikian, perlu penataan kelembagaan perbenihan
terutama Balai Benih di level provinsi dan kabupaten agar berjalan secara
efektif dan efisien
Kebijakan Mekanisasi Pertanian
1. Ke depan peran mekanisasi pertanian sangat penting dengan terus
merosotnya jumlah tenaga kerja di pertanian dan upaya meningkatkan jumlah
dan kualitas produksi pangan serta meningkatkan pendapatan petani. Oleh
karena itu, pemerintah termasuk pemerintah daerah bersama swasta untuk
bersama-sama mengembangkan mekanisasi pertanian dengan
mengedepankan dukungan sumber dayanya dan sumber daya dari dalam
negeri.
2. Bantuan alsintan telah banyak digelontorkan melalui program upaya khusus
padi, jagung dan kedelai. Berkaitan dengan hal tersebut, beberapa hal yang
harus dilakukan di antaranya adalah:
a. Meningkatkan kapasitas penyuluhan dan Gapoktan dalam bidang
pengembangan alsintan (melalui pelatihan aspek teknis operasional dan
pemeliharaan, bisnis, tata kelola alsintan; prasarana, sarana, dana
operasional),
b. Pelatihan tata kelola dan bisnis jasa alsintan kepada pengelola UPJA dan
calon penerima bantuan alsintan termasuk mengembangkan bengkel lokal
untuk perbaikan dan suku cadang,
70
c. Mendorong Pemda untuk memfasilitasi penyediaan BBM guna operasional
alsintan di wilayahnya,
d. Memanfaatkan hasil pemetaan alsintan untuk optimalisasi dan
pengalokasian/realokasi alsintan bantuan, dan
e. Meningkatkan kerja sama dan sinkronisasi kerja antara Ditjen dengan
Badan di tingkat pusat, Dinas Pertanian dengan Bapeluh di daerah.
Diversifikasi Pangan
1. Telah terjadi penurunan konsumsi pangan lokal seperti umbi-umbian dan
sagu, termasuk pada wilayah yang sebelumnya mempunyai pola pangan
pokok berbasis pangan lokal. Selama tahun 1996-2011 konsumsi ubi kayu, ubi
jalar, dan sagu menurun dengan laju masing-masing sebesar 12,5%, 2,4%,
dan 8,6%. Di sisi lain, pada kurun waktu yang sama terjadi peningkatan
konsumsi terigu dan turunannya (yang bahan bakunya harus diimpor) sebesar
10,5%. Akibatnya, capaian diversifikasi konsumsi pangan (dengan
menggunakan indikator Pola Pangan Harapan) juga masih rendah yaitu 75,4,
padahal target pada tahun 2012 mencapai 89,9.
2. Pengembangan diversifikasi pangan lokal sebagai bagian untuk mewujudkan
kedaulatan pangan perlu dilakukan oleh semua kalangan. Upaya ini dilakukan
dengan menyusun dan implementasi rumusan alternatif strategi kebijakan
operasional program dan kegiatan sebagai berikut:
a. Kemenko Perekonomian menyusun kebijakan diversifikasi konsumsi
pangan diiringi/sejalan dengan kebijakan produksi dan industri pengolahan
dan menyusun road map produksi dan agroindustri untuk pengembangan
pangan lokal, sehingga akan diperoleh diversifikasi produksi dan
diversifikasi konsumsi pangan.
b. Kementerian Pertanian melakukan pemetaan luas lahan dan produksi
untuk setiap jenis pangan lokal di setiap daerah serta pendataan secara
regular dan terstruktur berkelanjutan untuk setiap jenis pangan lokal,
meningkatkan produksi dan produktivitas pangan lokal.
c. Kementerian Perindustrian melakukan pemetaan industri pengolahan
pangan lokal di tingkat rumah tangga, UKM, industri kecil, menengah, dan
71
besar di setiap daerah (jumlah industri per jenis, jenis, dan jumlah bahan
baku, dll.).
d. Perguruan Tinggi dan lembaga penelitian lainnya melakukan kajian
studi perubahan preferensi masyarakat terhadap pangan lokal dan pangan
modern termasuk faktor pendukung dan kendalanya di setiap daerah.
e. Kementerian Kesehatan, Kementerian Pariwisata, dan Menkoinfo
melakukan promosi dan mengembangkan oulet pangan lokal secara
nasional, terstruktur, dan berkelanjutan melalui berbagai media elektronik,
massa, penyuluhan, ruang publik (hotel, bandara, stasiun kereta api, dan
ruang publik lainnya).
f. Semua Kementerian dan lembaga pemerintah dan swasta
menyediakan pangan lokal menjadi snack utama dalam beragam kegiatan
kenegaraan, keagamaan, upacara pernikahan, rapat-rapat, dan aktivitas
lainnya. Kementerian Perdagangan dan Kementerian Luar Negeri
membangun pasar pangan lokal dan menjaga stabilitas harga pangan
tersebut agar terjangkau oleh masyarakat.
72
DAFTAR PUSTAKA
[BKP] Badan Ketahanan Pangan. 2012. Direktori Pengembangan Konsumsi
Pangan. Badan Ketahanan Pangan. Jakarta
[BKP] Badan Ketahanan Pangan. 2013. Pedoman Pelaksanaan Program Kerja dan
Anggaran Badan Ketahanan Pangan Tahun Anggaran 2013. Badan
Ketahanan Pangan. Jakarta.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Sensus Pertanian 2013. Badan Pusat
Statistik. Jakarta.
BPSB TPH Provinsi Jawa Barat. 2013. Laporan Tahunan 2013. BPSB TPH
Provinsi Jawa Barat. Bandung.
[Bulog]. Badan Urusan Logistik. 2015. Sekilas RASKIN (Beras untuk Rakyat Miskin). http://www.bulog.co.id/ (23 Juni 2015).
Cole, S. 2012. A Political Ecology of Water Equity and Tourism. A Case Study from
Bali. Annual of Tourism Research 39(2): 1221-1241.
Darwanto, D.H. 2014. Tinjauan Kebijakan Perberasan dan Kesejahteraan Petani di
Indonesia. Dalam PERHEPI. Ekonomi Perberasan Indonesia.
Handaka dan Abi Prabowo. 2013. Kebijakan Antisipatif Pengembangan Mekanisasi
Pertanian. Analisis Kebijakan Pertanian 11(1): 27-44.
Heriawan, R. 2015. Mekanisasi Pertanian dari Perspektif Ekonomi dan Kesejahteraan Petani: Peluang dan Tantangan (Pengantar). Disampaikan
pada Seri FGD-PSEKP. Bogor, 19 Mei 2015.
Homer-Dixon, T.F. 1994. Environmental Scarcities and Violent Conflict: Evidence
from Cases. International Security 19(1): 5-40.
Kemenko Perekonomian. 2015. Bahan FGD Pokja Pupuk, 04 Mei 2015. Kementerian Koordinator Bidang Perekomomian. Jakarta
Kementerian Pertanian. 2015. Rencana Strategis Kementerian Pertanian Tahun 2015-2019. Kementerian Pertanian. Jakarta.
Lorenzen, R.P. 2011. Perseverance in the Face of Change Resilience Assessment
of Balinese Irrigated Rice Cultivation. A thesis submitted for the degree of
Doctor of Philosophy of the Australian National University. Resource
Management in Asia-Pacific Program Crawford School of Economics and
Government, College of Asia and the Pacific, the Australian National
University. Canberra.
73
Pasandaran, E. 2006. Alternatif Kebijakan Pengendalian Konversi Lahan Sawah
Beririgasi di Indonesia. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian
25(4): 123-129.
Prabowo, A., N. Sulistyosari, dan Handaka. 2001. Membangun Sistem
Pemanfaatan Air Tanah Produktif untuk Usahatani Padi atau Diversifikasi Tanaman. Seminar Kebijakan Alat dan Mesin Pertanian. Serpong, 11
November 2001. Balai Besar Pengembangan Alat dan Mesin Pertanian. Serpong.
Maulana, M. 2012. Prospek Implementasi Kebijakan Harga Pembelian Pemerintah
(HPP) Multikualitas Gabah dan Beras di Indonesia. Analisis Kebijakan Pertanian 10(3): 211-223.
Rusanti, Y. 2015. Perkembangan Rata-Rata Harga Eceran Beras. Makalah disampaikan pada Diskusi Harga Beras. Jakarta 2 Maret 2015. Badan Pusat
Statistik (Tidak Dipublikasikan).
Simatupang, P. 2015. FGD Review Kebijakan Pupuk Bersubsidi di Indonesia. Diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Sarana dan Prasarana Pertanian.
Jakarta
Suryana, A., S. Susilowati, Hermanto, M. Ariani, dan R. Yoga. 2015. Harga Beras
Melambung? Makalah disampaikan pada Focus Group Discussion. Bogor, 2 Maret 2015. Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor (Tidak
Dipublikasikan).
Sumaryanto. 2007. Identifikasi Faktor-Faktor yang Kondusif untuk Merintis
Pengelolaan Irigasi di Tingkat Tertier yang Lebih Produktif dan
Berkelanjutan. Jurnal Agro Ekonomi 25(2): 148-177.