sintesis naskah analisis kebijakan...

77
LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN TA 2015 SINTESIS NASKAH ANALISIS KEBIJAKAN PERTANIAN Tim Peneliti: Hermanto Sri Hery Susilowati Mewa Ariani Tri Pranadji Syahyuti Adang Agustian Gatoet S. Hardono Ening Ariningsih Herlina Tarigan Amar K. Zakaria Endro Gunawan PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2015

Upload: dangkhuong

Post on 17-Mar-2019

228 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: SINTESIS NASKAH ANALISIS KEBIJAKAN PERTANIANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_14.pdf · Secara umum subsidi harga pupuk yang telah dilakukan sejak tahun 2003 mengalami

LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN TA 2015

SINTESIS NASKAH ANALISIS KEBIJAKAN PERTANIAN

Tim Peneliti:

Hermanto

Sri Hery Susilowati Mewa Ariani

Tri Pranadji Syahyuti

Adang Agustian Gatoet S. Hardono

Ening Ariningsih Herlina Tarigan Amar K. Zakaria

Endro Gunawan

PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN

KEMENTERIAN PERTANIAN

2015

Page 2: SINTESIS NASKAH ANALISIS KEBIJAKAN PERTANIANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_14.pdf · Secara umum subsidi harga pupuk yang telah dilakukan sejak tahun 2003 mengalami

i

DAFTAR ISI

Halaman

I. Pendahuluan ……………………………………………………………………………… 1

II. Kebijakan Subsidi Pupuk: Implementasi, Permasalahan, dan

Penyempurnaan Kebijakan ..............................................................

6

III. Kebijakan Harga Beras di Tingkat Konsumen ………………………………… 14

IV. Pengelolaan Sumber Daya Air dan Lahan yang Berkelanjutan untuk Pertanian ……………………………………………………………………………………

20

4.1. Ketersediaan Lahan dan Upaya Menjaga Keberlanjutannya …… 20

4.2. Implikasi dari Pembatalan UU Sumber Daya Air oleh MK ………. 25

V. Pengembangan Kelembagaan Perbenihan …………………………………….. 35

5.1. Kondisi dan Permasalahan Perbenihan Nasional ………………….. 35

5.2. Kelembagaan Perbenihan Padi di Provinsi Jawa Barat …………… 36

5.3. Kebijakan Pemerintah untuk Memperkuat Kinerja Produsen

Benih Pemerintah dan Petani Penangkar Benih …………………….

40

VI. Kebijakan Pengembangan Mekanisasi Pertanian ……………………………. 44

6.1. Kasus Penerapan Mekanisasi Pertanian ………………………………. 49

6.2. Kebijakan Mekanisasi Pertanian ke Depan …………………………… 51

VII. Strategi Pengembangan Diversifikasi Pangan Pokok ………………………. 54

7.1. Capaian Diversifikasi Pangan …………………………………………….. 55

7.2. Strategi Pengembangan Diversifikasi Pangan Pokok ................ 58

VIII. Kesimpulan dan Implikasi Kebijakan …………………………………………….. 64

Daftar Pustaka ……………………………………………………………………………………. 72

Page 3: SINTESIS NASKAH ANALISIS KEBIJAKAN PERTANIANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_14.pdf · Secara umum subsidi harga pupuk yang telah dilakukan sejak tahun 2003 mengalami

ii

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

2.1. Jumlah dan Komposisi Rumah Tangga Usahatani Pertanian Menurut

Golongan Luas Lahan, 2003-2013 ………………………………………………..

12

3.1. Prognosa Neraca Ketersediaan dan Kebutuhan Beras Menurut Bulan Tahun 2015 ……………………………………………………………………………….

16

3.2. Kondisi Stok Beras yang Dikelola Bulog Sampai dengan 9 Januari 2015 ………………………………………………………………………………………….

19

4.1. Konsekuensi Implementasi UU No. 7/2004 di Tengah Masyarakat Petani, Khususnya pada P3A ………………………………………………………..

30

5.1. Realisasi Produksi Benih Padi Bersertifikat di Jawa Barat, Tahun 2012 37

6.1. Gambaran Umum Perkembangan Mekanisasi di Indonesia Tahun 1950-an s/d Saat Ini …………………………………………………………………..

46

6.2. Jumlah dan Jenis Alsintan Mendukung Program Upsus Padi, Jagung, dan Kedelai …………………………………………………………………………………

49

7.1. Pencapaian Skor Pola Pangan Harapan (PPH), 2005–2012 ………………. 56

7.2. Distribusi Provinsi Berdasarkan Perubahan Skor PPH, 2005 dan 2012 . 57

7.3. Pola Pangan Masyarakat, 2011 dan 2012 ……………………………………… 58

Page 4: SINTESIS NASKAH ANALISIS KEBIJAKAN PERTANIANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_14.pdf · Secara umum subsidi harga pupuk yang telah dilakukan sejak tahun 2003 mengalami

iii

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

2.1. Perkembangan HET Urea dan HPP Gabah, 2003-2014 ……………………. 7

2.2. Perkembangan Rasio HET Urea dan HPP Gabah, 2003-2014 ……………. 7

2.3. Disparitas Harga Pupuk Urea Bersubsidi vs Nonsubsidi, 2003-2014 ….. 8

2.4. Fluktuasi Harga Pupuk Urea di Pasar Internasional, 2004-2013 ……….. 8

3.1. Harga Eceran Beras Bulanan Selama Periode Tahun 2008-2015 ………. 15

3.2. Harga Eceran Beras Mingguan Periode Januari-Februari Tahun 2015 .. 15

3.3. Perbandingan Harga Produsen Gabah GKP, GKP di Tingkat Petani, dan Harga Beras di Tingkat Konsumen, 2010-2015 ...........................

16

3.4. Harga Grosir Beras Harian di PIBC Periode Januari-Februari 2015 ...... 17

3.5. Pemasukan dan Pengeluaran Beras Harian di PIBC Periode Januari- Februari 2015 .................................................................................

18

3.6. Perkembangan Harga Beras di Pasar Internasional (Januari-Februari, Tahun 2015) ..................................................................................

19

Page 5: SINTESIS NASKAH ANALISIS KEBIJAKAN PERTANIANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_14.pdf · Secara umum subsidi harga pupuk yang telah dilakukan sejak tahun 2003 mengalami

1

I. PENDAHULUAN

Beras merupakan pangan pokok yang mempunyai nilai strategis penting,

baik dalam aspek ekonomi, sosial, budaya, maupun politik. Beras dikonsumsi oleh

kurang lebih 98% penduduk Indonesia dengan tingkat konsumsi rata-rata 114,13

kg/kapita/tahun (BPS, 2015). Permintaan beras diperkirakan terus meningkat

karena pertambahan jumlah penduduk yang diperkirakan sebesar 1,49% per

tahun, dan karena peningkatan pendapatan penduduk. Pada sisi produksi, padi

diproduksi oleh sekitar 14,2 juta rumah tangga petani yang berarti bahwa

usahatani padi menjadi sumber pendapatan bagi sekitar 64 juta jiwa. Dengan

tingkat produksi beras nasional sekitar 41,2 juta ton pada tahun 2014, maka nilai

ekonomi perberasan nasional diperkirakan sebesar 330 triliun rupiah.

Mengingat pentingnya beras dalam ekonomi, sosial, budaya, dan politik

nasional, pemerintah mengupayakan peningkatan produksi beras untuk mencapai

tingkat swasembada secara berkelanjutan. Dalam rangka pencapaian swasembada

beras secara berkelanjutan ini, pemerintah melaksanakan berbagai kebijakan dan

program. Pada hakekatnya, kebijakan pemerintah dalam perberasan ini bertujuan

untuk memberikan insentif kepada petani produsen untuk meningkatkan

produksinya dan melindungi konsumen agar beras terjangkau oleh daya beli

penduduk pada umumnya, dan khususnya penduduk miskin.

Untuk mencapai swasembada beras secara berkelanjutan merupakan

tantangan yang berat, mengingat dinamika permasalahan dan kendala yang

dihadapi di lapangan. Berbagai masalah mendasar yang masih dihadapi dalam

pembangunan pertanian pada umumnya dan produksi padi pada khususnya

antara lain sebagai berikut: (a) kerusakan lingkungan dan perubahan iklim, (b)

terbatasnya infrastruktur, (c) akses terhadap sarana pertanian, (d) akses terhadap

sumber daya lahan dan air, (e) kepemilikan lahan yang menyempit, (f) sistem

perbenihan dan pembibitan yang kurang memadai, (g) kurangnya akses petani

terhadap pelayanan permodalan dan penyuluhan, serta masih lemahnya lembaga

petani, (h) kurangnya keterpaduan lintas sektor dan terbatasnya pelayanan

birokrasi pertanian (Kementerian Pertanian, 2015)

Page 6: SINTESIS NASKAH ANALISIS KEBIJAKAN PERTANIANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_14.pdf · Secara umum subsidi harga pupuk yang telah dilakukan sejak tahun 2003 mengalami

2

Menghadapi berbagai tantangan dan permasalahan tersebut, pemerintah

telah menetapkan kebijakan swasembada beras secara berkelanjutan. Kebijakan

swasembada beras tersebut dapat dibedakan atas kebijakan harga dan kebijakan

nonharga.

Kebijakan nonharga dapat dibedakan atas kebijakan intensifikasi dan

ekstensifikasi. Kebijakan intensifikasi bertujuan untuk meningkatkan produktivitas

padi melalui subsidi input (pupuk dan benih), bantuan sarana produksi (pupuk,

benih dan alsintan), dan dukungan untuk penerapan teknologi maju. Kebijakan

ekstensifikasi bertujuan untuk meningkatkan luas areal pertanaman, di antaranya

melalui pencetakan sawah baru, pembangunan dan perbaikan prasarana irigasi,

dan peningkatan intensitas pertanaman. Selain itu, pemerintah juga mengatur dan

mengelola pemanfaatan sumber daya lahan dan air, agar kedua sumber daya

alam yang vital ini dapat dimanfaatkan mendukung peningkatan produksi padi

secara berkelanjutan.

Adapun kebijakan harga pada hakekatnya bertujuan untuk memberikan

jaminan kepada petani padi agar mereka menerima harga jual gabah/beras yang

mendatangkan keuntungan usahatani yang layak. Dalam hal ini, pemerintah

melaksanakan kebijakan harga yang memberikan insentif bagi petani produsen

padi ini pada awalnya berupa kebijakan harga dasar (floor price) gabah, atau

disingkat dengan HDG (Maulana, 2012). Dengan kebijakan HDG ini pada

prinsipnya pemerintah akan membeli gabah petani pada harga dasar dengan

jumlah relatif “tidak terbatas” selama harga jual pada tingkat petani masih di

bawah harga dasar yang ditetapkan pemerintah. Dalam implementasinya

kebijakan HDG ini hanya mungkin untuk dapat dilaksanakan pada era

pemerintahan Orde Baru, di mana pemerintah pusat memegang otoritas penuh

atas kebijakan dan anggaran yang dialokasilkan untuk menjamin pelaksanan

kebijakan HDG baik pada tataran pemerintah pusat sampai ke tingkat pemerintah

daerah dan bahkan pada tingkat implementasinya di lapangan. Pada saat itu

kebijakan HDG dilaksanakan oleh Bulog sebagai LPND (Lembaga Pemerintah Non-

Departemen) yang mempunyai fungsi sebagai regulator sekaligus merangkap

sebagai operator.

Page 7: SINTESIS NASKAH ANALISIS KEBIJAKAN PERTANIANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_14.pdf · Secara umum subsidi harga pupuk yang telah dilakukan sejak tahun 2003 mengalami

3

Pada era Reformasi, status Bulog diubah menjadi Perum yang hanya

menjalankan fungsi operator. Anggaran pemerintah untuk melaksanakan

kebijakan stabilisasi harga gabah di tingkat petani mulai terbatas. Sementara itu,

otoritas kebijakan harga gabah/beras tersebar pada berbagai kementerian.

Dengan demikian, secara praktis pemerintah tidak dapat lagi menjalankan

kebijakan HDG sebagaimana yang pernah dilaksanakan pada era Orde Baru. Oleh

karena itu, pada era Reformasi kebijakan HDG diubah menjadi kebijakan Harga

Pembelian Pemerintah (HPP) di mana pemerintah menetapkan sejumlah tertentu

gabah/beras yang akan dibeli pemerintah pada harga pembelian gabah/beras

yang telah ditetapkan pemerintah. HPP ditetapkan dengan pertimbangan bahwa

petani produsen mendapat marjin keuntungan usahatani padi yang layak (minimal

30% di atas harga pokok produksi padi/gabah).

Karena beras merupakan bahan pangan pokok yang dikonsumsi oleh

sebagian besar penduduk Indonesia, maka menurut Undang-Undang No. 18

Tahun 2012 tentang Pangan, pemerintah berkewajiban untuk menjaga akses

penduduk terhadap beras. Kebijakan untuk meningkatkan dan menjaga

aksesibilitas penduduk terhadap beras dapat dibedakan atas kebijakan harga dan

kebijakan nonharga.

Dalam rangka menjaga aksesibilitas konsumen terhadap beras melalui

kebijakan harga pada era Orde Baru, pemerintah melaksanakan kebijakan Harga

Atap Beras (ceiling price) yang selanjunya disingkat dengan HAB. Dalam

pelaksanaan HAB, pemerintah melalui Bulog akan menjual beras pada tingkat

konsumen pada tingkat harga HAB dalam jumlah yang relatif tidak terbatas,

selama harga beras di tingkat konsumen berada pada tingkat harga di atas HAB.

Seperti halnya HDG, kebijakan HAB ini juga hanya mungkin dapat dilaksanakan

manakala pemerintah pusat mempunyai otoritas penuh dalam pengendalian harga

beras. Dalam hal ini HAB hanya dapat dilaksanakan oleh LPND Bulog yang pada

waktu itu mempunyai peran sebagai regulator sekaligus sebagai operator dalam

peklaksanaan kebijakan harga gabah/beras.

Pada era Reformasi, kebijakan HAB diubah menjadi tiga bentuk kebijakan.

Pertama adalah kebijakan subsidi harga beras untuk masyarakat miskin atau

Page 8: SINTESIS NASKAH ANALISIS KEBIJAKAN PERTANIANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_14.pdf · Secara umum subsidi harga pupuk yang telah dilakukan sejak tahun 2003 mengalami

4

dikenal dengan Program Raskin. Dalam Program Raskin, pemerintah, melalui

Bulog, secara reguler menjual sejumlah tertentu beras dengan harga subsidi

kepada kelompok rumah tangga sasaran (RTS), yaitu rumah tangga yang

tergolong miskin (Bulog, 2015). Memang raskin tidak secara spesifik ditujukan

untuk pengendalian harga beras pada tingkat konsumen, tetapi karena volume

distribusi raskin cukup besar (mencapai 6-7% dari volume konsumsi beras

nasional) dan menyebar di seluruh wilayah Indonesia, maka dampak positifnya

adalah dapat menjaga stabilitas harga beras pada tingkat konsumen. Kedua,

adalah Operasi Pasar Beras (OP Beras). Dalam kebijakan OP Beras ini,

pemerintah, melalui Bulog, akan menjual sejumlah tertentu beras kepada

kosumen pada harga di bawah harga pasar, manakala harga beras di pasar

konsumen mengalami lonjakan harga (dalam hal ini lebih dari 15% dalam waktu

satu bulan). Beras yang digunakan untuk OP Beras ini diambil dari Cadangan

Beras Pemerintah (CBP) (Bulog, 2015), yaitu sejumlah tertentu beras yang dibeli

oleh pemerintah, jumlahnya bervariasi antara 350 ribu ton sampai dengan 1 juta

ton, yang disimpan di gudang Bulog dan dicadangkan untuk keperluan OP Beras,

bantuan beras pascabencana di dalam negeri, dan sebagian dicadangkan (ear

marked) sebagai bantuan beras dalam kerangka kerja sama antara Pemerintah RI

dengan ASEAN Plus Three Emergency Rice Reserve (APTERR).

Pada era globalisasi perdagangan, termasuk perdagangan global beras,

kebijakan perberasan nasional tidak dapat dipisahkan dari pengaruh dinamika

yang terjadi di pasar internasional beras. Dalam hal ini bentuk ketiga dari

kebijakan harga beras nasional adalah pengendalian importasi beras. Kebijakan

pengendalian importasi beras ini dapat dipandang sebagai pelengkap dari

kebijakan perberasan nasional (Darwanto, 2014). Pemerintah mempunyai opsi

untuk melakukan importasi sejumlah tertentu beras untuk pengendalian harga

beras di dalam negeri, manakala harga beras di dalam negeri berada di atas harga

paritas beras di pasar internasional dan atau manakala terjadi kekurangan

pasokan beras produksi dalam negeri. Importasi beras hanya dilakukan oleh Bulog

yang jumlah dan daerah tujuan impornya telah ditentukan pemerintah. Menurut

Page 9: SINTESIS NASKAH ANALISIS KEBIJAKAN PERTANIANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_14.pdf · Secara umum subsidi harga pupuk yang telah dilakukan sejak tahun 2003 mengalami

5

Undang-Undang No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan, importasi beras hanya

dilakukan jika produksi di dalam negeri tidak mencukupi.

Kebijakan nonharga yang terkait dengan peningkatan akses masyarakat

terhadap bahan pangan adalah kebijakan diversifikasi pangan. Selanjutnya dalam

pelaksanaannya kebijakan diversifikasi pangan dilakukan dengan: (a)

mempromosikan penganekaragaman konsumsi pangan, (b) meningkatkan

pengetahuan dan kesadaran masyarakat untuk mengonsumsi aneka ragam

pangan dengan prinsip gizi seimbang, (c) meningkatkan keterampilan dalam

pengembangan olahan pangan lokal, dan (d) mengembangkan dan

mendiseminasikan teknologi tepat guna untuk pengolahan pangan lokal.

Kajian ini akan melakukan analisis kebijakan perberasan nasional secara

komprehensif. Fokus kajian dilakukan pada tataran empiris dengan metode

analisis sumber pustaka dan data sekunder. Analisis kebijakan perberasan

selanjutnya dipertajam dengan melibatkan pendapat dan masukan dari para pakar

dan praktisi perberasan nasional.

Page 10: SINTESIS NASKAH ANALISIS KEBIJAKAN PERTANIANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_14.pdf · Secara umum subsidi harga pupuk yang telah dilakukan sejak tahun 2003 mengalami

6

II. KEBIJAKAN SUBSIDI PUPUK

Implementasi, Permasalahan, dan Penyempurnaan Kebijakan

Pupuk memiliki peranan penting sebagai salah satu faktor produksi dan

produktivitas pertanian. Walaupun peran pupuk dalam struktur biaya usahatani

padi hanya sekitar 7-10% (BPS, 2013), tetapi memiliki peran yang sangat strategis

dalam peningkatan produksi pangan nasional dan pencapaian swasembada

pangan. Tercapainya swasembada beras pada tahun 1984 dan meningkatnya

produktivitas padi sampai saat ini tidak terlepas dari peranan kebijakan subsidi

pupuk. Secara umum petani juga sudah sangat tergantung kepada pupuk untuk

peningkatan produksi tanaman mereka. Salah satu instrumen kebijakan yang

ditempuh pemerintah adalah melalui pemberian subsidi harga pupuk. Dengan

adanya subsidi harga pupuk, maka rasio harga pupuk terhadap harga hasil

pertanian akan menjadi lebih rendah jika dibandingkan dengan tanpa subsidi.

Melalui insentif harga input ini produsen pertanian akan terdorong untuk

menerapkan teknologi produksi yang lebih baik. Dalam implementasinya,

instrumen subsidi harga pupuk dilengkapi dengan mekanisme pengajuan

kebutuhan pupuk oleh petani melalui instrumen RDKK (Rencana Definitif

Kebutuhan Kelompok), alokasi pupuk oleh pemerintah serta distribusi pupuk oleh

produsen dan penyalur sampai ke petani.

Secara umum subsidi harga pupuk yang telah dilakukan sejak tahun 2003

mengalami penyesuaian HET (Harga Eceran Tertinggi) yang relatif lambat,

sementara kenaikan HPP (Harga Pembelian Pemerintah) gabah relatif lebih cepat.

Hal ini mengakibatkan rasio harga gabah/harga pupuk terus meningkat, dari 1,64

tahun 2003 menjadi 2,31 tahun 2014. Tahun 2015 harga gabah telah dinaikkan

10,8%, sehingga rasio menjadi 2,56, yang berarti harga riil pupuk terhadap harga

gabah semakin murah. Hal ini menguntungkan petani, tetapi di beberapa wilayah

produsen padi, penggunaan pupuk oleh petani cenderung menjadi tidak efisien

(boros).

Perkembangan HET pupuk bersubsidi yang cenderung tetap, sementara

harga gas dunia yang terus meningkat sehingga HPP (Harga Pokok Penjualan)

pupuk semakin tinggi mengakibatkan disparitas harga pupuk bersubsidi terhadap

Page 11: SINTESIS NASKAH ANALISIS KEBIJAKAN PERTANIANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_14.pdf · Secara umum subsidi harga pupuk yang telah dilakukan sejak tahun 2003 mengalami

7

harga pupuk nonsubsidi semakin tahun juga semakin besar. Hal ini konsisten

dengan perkembangan harga pupuk (urea) di pasar internasional yang cenderung

meningkat secara fluktuatif. Disparitas harga pupuk bersubsidi dengan nonsubsidi

tahun 2003 hanya Rp994/kg meningkat menjadi Rp2.741/g tahun 2014, dan

tahun 2015 akan menjadi Rp2.968/Kg. Tingginya disparitas harga pupuk

bersubsidi dan nonsubsidi mendorong terjadinya penyelewengan penggunaan

pupuk bersubsidi ke sektor nonsubsidi atau ekspor illegal, serta tindakan-tindakan

moral hazard lainnya oleh pemburu rente yang tentu saja merugikan negara

maupun petani yang berhak menerima subsidi. Beban subsidi pun semakin besar,

yaitu tahun 2003 hanya Rp0,7 triliun menjadi Rp24,9 triliun pada tahun 2014 dan

trennya semakin meningkat sebagai akibat naiknya biaya produksi pupuk.

Sumber: Kemenko Perekonomian (2015), diolah

Gambar 2.1. Perkembangan HET Urea dan HPP Gabah, 2003-2014

Sumber: Kemenko Perekonomian (2015), diolah

Gambar 2.2. Perkembangan Rasio HET Urea dan HPP Gabah, 2003-2014

Page 12: SINTESIS NASKAH ANALISIS KEBIJAKAN PERTANIANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_14.pdf · Secara umum subsidi harga pupuk yang telah dilakukan sejak tahun 2003 mengalami

8

Sumber: Kemenko Perekonomian (2015), diolah

Gambar 2.3. Disparitas Harga Pupuk Urea Bersubsidi vs Nonsubsidi, 2003-2014

Sumber: Simatupang (2015)

Gambar 2.4. Fluktuasi Harga Pupuk Urea di Pasar Internasional, 2004-2013

Disparitas harga pupuk bersubsidi vs nonsubsidi yang semakin besar seperti

diuraikan di atas, mendorong timbulnya berbagai penyimpangan dalam

implementasi kebijakan pupuk bersubsidi yang lebih lanjut mengakibatkan

munculnya berbagai permasalahan dalam pelaksanaan kebijakan subsidi pupuk.

Permasalahan pelaksanaan kebijakan subsidi pupuk dapat diuraikan menurut tiga

aspek, yaitu: (a) pengadaan pupuk bersubsidi di tingkat petani; (b) distribusi

pupuk dari produsen dampai ke petani; dan (c) pengawasan pelaksanaan subsidi

pupuk mulai dari pengadaan, distribusi sampai pupuk bersubsidi diterima oleh

petani.

Pengadaan pupuk bersubsidi di tingkat petani didasarkan pada penghitungan

kebutuhan pupuk yang dasarnya adalah: (a) basis data luas tanaman, sementara

database luas tanaman sampai dengan tingkat kecamatan dan desa belum ada

/belum tertata dengan baik; (b) keanggotaan kelompok tani, di mana belum

Rp

/kg

Page 13: SINTESIS NASKAH ANALISIS KEBIJAKAN PERTANIANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_14.pdf · Secara umum subsidi harga pupuk yang telah dilakukan sejak tahun 2003 mengalami

9

semua petani menjadi anggota kelompok tani padahal mereka juga memerlukan

pupuk; (c) penyusunan RDKK, di mana sampai saat ini RDKK belum tersusun

secara baik; (d) jumlah alokasi subsidi pupuk oleh pemerintah ditentukan oleh

kemampuan pemerintah, usulan dan penyerapan tahun sebelumnya yang mana

jumlah alokasi selalu lebih rendah dari usulan sehingga kurang memotivasi

kelompok gani untuk menyusun RDKK secara baik; (e) di sisi lain, realisasi

penyerapan (yang menjadi salah satu dari pertimbangan dari besaran alokasi)

selalu/cenderung lebih rendah dari alokasi karena tergantung dari tingkat daya

beli petani dan tingkat adopsi teknologi. Faktor-faktor penyebab di atas saling

terkait sehingga seringkali timbul fenomena “kekurangan pupuk bersubsidi” di

tingkat petani namun pupuk nonsubsidi tersedia di kios-kios yang dapat dibeli

dengan harga nonsubsidi.

Permasalahan pada aspek distribusi terutama menyangkut Prinsip 5 Tepat

(Jumlah, Jenis, Kualitas, Harga, Tempat, Waktu,) yang belum sepenuhnya

terpenuhi. Unsur-unsur yang termasuk dalam aspek distribusi antara lain: (a)

pengelolaan sisa/stok pupuk bersubsidi di pengecer belum diatur dengan baik,

sehingga pupuk yang tidak ditebus oleh petani berpotensi disalurkan ke pihak

yang tidak berhak menerima subsidi (sektor nonpertanian) atau dijual ke petani

lain di luar wilayah, (b) harga yang dibeli petani sering lebih tinggi dari HET yang

antara lain disebabkan margin Lini IV terlalu rendah, tambahan ongkos bongkar

yang harus ditanggung oleh Lini IV, atau pun petani membeli pupuk ke kios

dengan cara berhutang sehingga Lini IV/kios menaikkan harga; (c) pola distribusi

tertutup belum sepenuhnya berjalan dengan baik, yang mana petani masih bisa

membeli pupuk bersubsidi di luar kios pengecer yang ditentukan, (d) kios

pengecer tidak melakukan pencatatan pembelian; (e) sering ditemui distributor

(Lini II atau III) tidak memiliki gudang penyimpanan yang menjadi persyaratan

sebagai distributor sehingga mengganggu pelaksanaan distribusi, dan

permasalahan-permasalahan lainnya, (f) SK Alokasi oleh Gubernur dan terutama

SK Bupati/Walikota kerap terlambat sehingga menghambat distribusi pupuk yang

berakibat keterlambatan penyaluran pupuk di tingkat petani (fenomena

“kelangkaan pupuk”).

Page 14: SINTESIS NASKAH ANALISIS KEBIJAKAN PERTANIANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_14.pdf · Secara umum subsidi harga pupuk yang telah dilakukan sejak tahun 2003 mengalami

10

Permasalahan pada aspek pengawasan terutama karena perangkat dan

pelaksanaan pengawasan di setiap lini belum tertata dengan baik. Anggota KP3

seringkali kurang kompeten, kurang dana pengawasan, kepala desa belum

dilibatkan secara legal dan fungsional, belum ada sistem pengaduan masyarakat di

KP3 tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Kendati produsen pupuk telah

memfasilitasi dengan SMS Center untuk pengaduan masyarakat, namun belum

tersosialisasi dengan baik sehingga pemanfaatan oleh masyarakat juga belum

optimal.

Berdasarkan fenomena implementasi kebijakan subsidi pupuk dan

permasalahan-permasalahan yang muncul, maka diperlukan langkah-langkah

operasional yang bertujuan untuk penyempurnaan implementasi kebijakan subsidi

pupuk. Langkah-langkah penyempurnaan kebijakan terutama diarahkan untuk

antara lain:

a. Perbaikan kelompok sasaran dan RDKK

Penyusunan RDKK merupakan awal informasi kebutuhan pupuk petani.

Sementara itu, sebagian RDKK belum disusun secara akurat, baik dalam hal

proses penyusunannya atau kebenaran datanya. Perencanaan kebutuhan pupuk

yang dimulai dari RDKK ini harus disusun pada t-1, artinya untuk kebutuhan tahun

2016 harus dirancang mulai awal tahun 2015. RDKK yang disusun oleh

kelompok tani harus didasarkan pada kondisi objektif, yaitu sesuai dengan luas

garapan yang memenuhi kriteria kelompok sasaran tersebut. Untuk meningkatkan

akurasi data luas garapan lahan usahatani dan efektivitas penyusunan RDKK,

perlu dilakukan peningkatan kapasitas petani/kelompok tani melalui pendam-

pingan/pengawalan oleh penyuluh/petugas lapangan setempat dengan insentif

yang memadai. Untuk mendapatkan jatah pupuk bersubsidi, maka para petani di

masing-masing subsektor diharuskan membentuk kelompok tani yang berperan

dalam penyusunan RDKK. Petani yang menggarap lahan kehutanan, pinggiran rel

KA, bantaran sungai dan lahan usahatani suboptimal lainnya yang selama ini tidak

tidak tercatat dan tidak termasuk dalam RDKK sehingga tidak memiliki hak untuk

memperoleh pupuk bersubsidi, padahal mereka juga memerlukan pupuk, harus

segera dilakukan identifikasi dan dimasukkan dalam RDKK (bagian dari anggota

Page 15: SINTESIS NASKAH ANALISIS KEBIJAKAN PERTANIANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_14.pdf · Secara umum subsidi harga pupuk yang telah dilakukan sejak tahun 2003 mengalami

11

kelompok tani) sehingga mereka berhak menerima subsidi pupuk. Penertiban

kelompok sasaran penerima subsidi pupuk, yaitu petani, pekebun dan usaha

tambak rakyat dengan luasan maksimal 2 ha harus segera dilakukan agar subsidi

pupuk secara efektif diterima oleh petani kecil yang berhak. Selama ini petani

dengan luasan lebih dari 2 ha „memecah‟ lahan mereka menjadi beberapa persil

dengan luasan kurang 2 ha dengan diatasnamakan anak atau keluarga mereka.

Untuk itu bukti pemilikan lahan (sertifikat atau girik) menjadi instrumen penting

untuk sarana kontrol. Perlu dicari solusi kontrol bagi petani penggarap lahan milik

orang lain.

Selama ini RDKK yang digunakan sebagai dasar penetapan alokasi pupuk

oleh pemerintah (menurut usulan kebutuhan/bottom up) pada kenyataannnya

tidak berjalan efektif. Alokasi pupuk oleh pemerintah pada kenyataannya tidak

didasarkan pada usulan RDKK namun didasarkan oleh ketersediaan dana dan

berdasarkan realisasi serapan pada tahun sebelumnya, sehingga alokasi selalui

lebih rendah dari usulan. Oleh karena itu, perlu sinkronisasi perencanaan

kebutuhan mulai dari petani/kelompok tani, kabupaten/kota, provinsi, sampai

nasional. Pasa saat ini jumlah pupuk yang diminta petani melalui RDKK dan/atau

daerah (provinsi/kabupaten/kota) selalu jauh lebih tinggi daripada yang ditetapkan

dalam Kepmentan.

Untuk meningkatkan efektivitas subsidi pupuk yang berorientasi membantu

petani kecil, maka kelompok sasaran penerima subsidi pupuk disarankan diubah

menjadi petani, pekebun, peternak, pembudi daya ikan dan/atau udang dengan

luasan sampai dengan 0,5 ha untuk tanaman semusim, dan petani dengan

penguasaan lahan sampai dengan 1 ha untuk tanaman tahunan. Untuk

mendukung pencapaian sasaran tersebut, maka penetapan besarnya subsidi

didasarkan pada RDKK dari kelompok sasaran tersebut. Data Sensus Pertanian

2013 menunjukkan bahwa jumlah petani dengan pengusahaan lahan kurang dari

0,5 ha sebanyak 57%, menurun dibandingkan tahun 2003 sebesar 64%. Jika

sasaran penerima subsidi hanya kepada petani dengan luasan sampai dengan 0,5

ha, maka beban subsidi pemerintah akan berkurang cukup signifikan yang dapat

dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur pertanian (irigasi, jalan usahatani,

dsb.).

Page 16: SINTESIS NASKAH ANALISIS KEBIJAKAN PERTANIANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_14.pdf · Secara umum subsidi harga pupuk yang telah dilakukan sejak tahun 2003 mengalami

12

Tabel 2.1. Jumlah dan Komposisi Rumah Tangga Usahatani Pertanian Menurut

Golongan Luas Lahan, 2003-2013

Golongan Luas (m2) ST-2003

Juta RT

ST-2013

Juta RT (%)

<1000 9,38 4,34 -53,75

1.000-1,999 3,60 3,55 -1,45

2.000-4.999 6,82 6,73 -1,23

5.000-9.999 4,78 4,56 -4,76

10.000-19.999 3,66 3,73 1,76

20.000-29.999 1,68 1,62 -3,27

>30.000 1,31 1,61 22,81

Jumlah 31,23 26,14 -16,32 Sumber: Sensus Pertanian 2003 dan 2013

b. Penyesuaian HET

Dengan adanya perbedaan harga yang sangat lebar antara harga pupuk

bersubsidi dan harga pasar maka rangsangan/insentif untuk melakukan moral

hazard sangat tinggi, berupa penyelundupan pupuk bersubsidi ke sektor

perkebunan, penjualan kembali pupuk bersubsidi oleh petani dengan harga yang

lebih tinggi dari yang dibayar petani tetapi lebih rendah dari harga pasar, sampai

pada pencucian warna pupuk bersubsidi. Untuk mengatasi kondisi tersebut di

atas, selain dengan penegakkan hukum yang ketat, perlu juga dipikirkan untuk

mengurangi insentif moral hazard itu sendiri. Artinya, usulan kebijakan phase

out fertilizer subsidy secara gradual dapat dipandang sebagai kebijakan

perpupukan jangka menengah, tetapi harus sudah dimulai dipikirkan saat ini.

Penyesuaian HET secara bertahap mendekati harga pasar perlu segera

dilaksanakan yang disertai dengan peningkatan harga gabah secara proporsional.

Rumus Tani yang dahulu digunakan dalam menetapkan harga gabah dan pupuk,

yaitu rasio harga gabah dan harga pupuk adalah 1:1 dapat digunakan sebagai

acuan. Demikian pula usulan alokasi dana penghematan dari kebijakan subsidi

pupuk, apakah digunakan untuk menambah volume pupuk bersubsidi atau

dikembalikan ke petani dalam bentuk pengembangan infrastuktur dan alsintan

untuk keseluruhan sistem agribisnis (tidak hanya off-farm saja).

Page 17: SINTESIS NASKAH ANALISIS KEBIJAKAN PERTANIANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_14.pdf · Secara umum subsidi harga pupuk yang telah dilakukan sejak tahun 2003 mengalami

13

c. Penertiban SK Alokasi Pupuk oleh Gubernur/Bupati/Walikota

Alokasi kebutuhan pupuk bersubsidi untuk masing-masing provinsi setiap

tahun ditetapkan dalam Peraturan Menteri Pertanian kemudian ditindaklanjuti

dengan penerbitan Peraturan Gubernur yang mengatur tentang alokasi pupuk

bersubsidi pada masing-masing kabupaten/kota. Peraturan Gubernur tersebut

diterbitkan pada akhir Desember atau pada awal bulan Januari. Seterusnya

ditindaklanjuti dengan penerbitan Peraturan Bupati/Walikota yang mengatur

tentang alokasi pupuk bersubsidi pada masing-masing kecamatan. Peraturan

Bupati atau Walikota tersebut diharapkan dapat terbit selambat-lambatnya pada

awal Februari. Namun, keterlambatan penetapan SK alokasi kerap terjadi yang

mengakibatkan keterlambatan penyalurann pupuk di tingkat petani.

Keterlambatan penetapan SK tersebut perlu segera diatasi dan diantisipasi.

Pemberian sanksi kepada Pemda yang melakukan keterlambatan penetapan SK

(misalnya dengan tidak diberi jatah pupuk bersubsidi perlu dipikirkan sebagai

shock teraphy agar tidak mengulang-ulang keterlambatan tersebut.

d. Penertiban distribusi pupuk

Produsen dan distributor pupuk perlu diminta untuk mendistribusikan pupuk

sesuai uraian tugasnya secara tepat waktu dengan mengacu pada Kepmentan.

Perlu dipkirkan apabila pupuk tidak terdisribusikan tepat waktu, dan jika hal ini

disebabkan kelalaian produsen dan/atau distributor, maka perlu dirumuskan sanksi

dan/atau denda.

e. Optimalisasi peran dan fungsi pengawasan

Tim KP3 (Komisi Pengawasan Pupuk dan Pestisida) di berbagai tingkatan

perlu diminta bekerja lebih baik lagi. Ada baiknya keanggotaan KP3 tidak hanya

dari unsur pejabat struktural, tetapi ditambah dari Perguruan Tinggi dan LSM.

Agar Tim KP3 ini lebih lincah bergerak, perlu dibentuk kesekretariatan KP3

yang mengelola administrasi, rapat, dan pelaporan. Untuk itu, perlu ada alokasi

anggaran yang cukup untuk Tim KP3. Kepala desa sebagai aparat yang

bertanggung jawab terhadap wilayahnya perlu dilibatkan secara legal dan

fungsional dalam pengawasan.

Page 18: SINTESIS NASKAH ANALISIS KEBIJAKAN PERTANIANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_14.pdf · Secara umum subsidi harga pupuk yang telah dilakukan sejak tahun 2003 mengalami

14

III. KEBIJAKAN HARGA BERAS DI TINGKAT KONSUMEN

Pada akhir tahun 2014 sampai dengan bulan Februari 2015, kenaikan harga

beras di pasar konsumen diperkirakan telah mencapai 30%. Harga beras kualitas

rendah dan medium telah menembus tingkat harga psikologis, yaitu Rp10.000/kg.

Silang pendapat mengemuka terkait faktor penyebab fenomena terjadinya

kenaikan harga tersebut. Faktor tersebut antara lain adalah: (a) dugaan tentang

adanya spekulasi harga yang dilakukan oleh sekelompok pelaku bisnis beras

berskala besar; (b) stok beras yang dikuasai pemerintah memang menurun; (c)

pemerintah terlambat mengalokasikan raskin; dan (d) sebagian besar daerah

produsen beras memang memasuki masa tidak panen (paceklik). Kenaikan harga

beras juga dipicu oleh pernyataan pemerintah yang menyatakan tidak akan

melakukan impor beras pada tahun 2015.

Data dari BPS tentang perkembangan harga eceran beras bulanan

menunjukkan bahwa rata-rata harga eceran beras sudah mengalami peningkatan

yang cukup nyata mulai pada bulan November 2014 hingga bulan Februari 2015

(Gambar 3.1). Data mingguan dari minggu pertama bulan Januari 2015 sampai

minggu keempat bulan Februari 2015 menunjukkan bahwa harga beras mulai

meningkat tajam pada minggu ketiga bulan Februari 2015 (Gambar 3.2).

Data prognosa neraca ketersediaan dan kebutuhan beras menurut bulan

menunjukkan bahwa bulan November, Desember, sampai Januari merupakan

bulan defisit beras, atau secara umum dikenal dengan istilah musim paceklik

(Tabel 3.1). Pada musim paceklik secara alami akan terjadi penurunan pasokan

beras ke pasar, yang pada gilirannya akan menaikkan harga beras. Namun,

kenaikan harga beras pada musim paceklik umumnya bersifat siklikal. Artinya,

pada saat terjadi iklim normal, harga beras meningkat secara normal (tidak

bergejolak) pada musim paceklik, tetapi kemudian akan menurun kembali setelah

memasuki musim panen (Gambar 3.3). Gambar 3.3 juga menunjukkan bahwa

kenaikan harga gabah dan beras pada akhir tahun 2014 dan awal tahun 2015

relatif lebih tinggi bila dibandingkan dengan kenaikan harga beras pada periode

bulan yang sama tahun-tahun sebelumnya.

Page 19: SINTESIS NASKAH ANALISIS KEBIJAKAN PERTANIANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_14.pdf · Secara umum subsidi harga pupuk yang telah dilakukan sejak tahun 2003 mengalami

15

Sumber: BPS dalam Rusanti (2015)

Gambar 3.1. Harga Eceran Beras Bulanan Selama Periode Tahun 2008-2015

Sumber: BPS dalam Rusanti (2015)

Gambar 3.2. Harga Eceran Beras Mingguan Periode Januari-Februari Tahun 2015

Page 20: SINTESIS NASKAH ANALISIS KEBIJAKAN PERTANIANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_14.pdf · Secara umum subsidi harga pupuk yang telah dilakukan sejak tahun 2003 mengalami

16

Tabel 3.1. Prognosa Neraca Ketersediaan dan Kebutuhan Beras Menurut Bulan

Tahun 2015

Bulan Perkiraan Ketersediaan Perkiraan Kebutuhan Perkiraan Neraca

Domestik

Jan-15 2.300,5 2.645,4 -344,9

Feb-15 5.192,3 2.624,3 2.568,1

Mar-15 7.455,1 2.624,3 4.830,8

Apr-15 4.545,7 2.624,3 1.921,5

Mei-15 2.417,8 2.624,3 -206,4

Jun-15 3.116,3 2.808,0 308,3

Jul-15 4.060,6 2.759,7 1.300,8

Agust-15 3.909,9 2.624,3 1.285,6

Sep-15 2.813,9 2.654,9 159,0

Okt-15 2.160,9 2.624,3 -463,4

Nop-15 1.530,0 2.624,3 -1.094,3

Des-15 1.764,8 2.666,6 -901,8

Total 2015 41.267,9 31.904,6 9.363,3 Sumber: BKP dalam Suryana et al. (2015)

Sumber: BPS dalam Rusanti (2015)

Gambar 3.3. Perbandingan Harga Produsen Gabah GKP, GKP di Tingkat Petani,

dan Harga Beras di Tingkat Konsumen, 2010-2015 (Rp/Kg)

Data harga beras BPS yang dikumpulkan di 82 kota besar menunjukkan

adanya peningkatan harga beras secara signifikan (lebih dari 10%) di beberapa

kota besar, antara lain Manado, Kudus, Bandung, dan Banyuwangi, dan bahkan di

Page 21: SINTESIS NASKAH ANALISIS KEBIJAKAN PERTANIANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_14.pdf · Secara umum subsidi harga pupuk yang telah dilakukan sejak tahun 2003 mengalami

17

Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC) kenaikan harga beras mencapai 21% untuk

beras jenis Muncul. Namun, kenaikan harga beras rata-rata di 82 kota hanya

kurang 3%. Dengan demikian, rata-rata kenaikan harga agregat tidak sesuai

dengan fenomena kenaikan harga beras secara umum yang diberitakan media

mencapai 30%.

Harga beras harian di Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC) menunjukkan

bahwa harga beras untuk berbagai kualitas beras meningkat secara tajam sejak

awal bulan Februari 2015 (Gambar 3.4). Meningkatnya harga beras di PIBC

berkaitan erat dengan menurunnya pasokan beras ke PIBC. Secara normal, beras

akan masuk ke PIBC sejumlah sekitar 2.000 ton/hari. Data pemasukan dan

pengeluaran beras harian di PIBC menunjukkan bahwa semenjak minggu kedua

jumlah beras yang masuk ke PIBC kurang dari 2.000 ton/hari, dan jumlah beras

yang dikeluarkan dari PIBC lebih besar dari jumlah beras yang masuk. Dengan

demikian, pengeluaran beras dari PIBC sudah barang tentu “menguras” stok beras

di PIBC (Gambar 3.5).

Sumber: PIBC (data diolah BKP) dalam Suryana et al. (2015)

Gambar 3.4. Harga Grosir Beras Harian di PIBC Periode Januari-Februari 2015

Page 22: SINTESIS NASKAH ANALISIS KEBIJAKAN PERTANIANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_14.pdf · Secara umum subsidi harga pupuk yang telah dilakukan sejak tahun 2003 mengalami

18

Sumber: PIBC (data diolah BKP) dalam Suryana et al. (2015)

Gambar 3.5. Pemasukan dan Pengeluaran Beras Harian di PIBC Periode Januari-

Februari 2015

Beberapa analisis yang muncul berkaitan dengan kenaikan harga beras ini

juga disebabkan oleh tipisnya stok beras Bulog yang pada bual Januari 2015

hanya mencapai 1,4 juta ton, lebih rendah dari tingkat aman 2 juta ton (Tabel

3.2). Kondisi rendahnya stok Bulog di awal tahun ini rupanya dibaca oleh para

pedagang besar beras terutama di DKI dan sekitarnya. Informasi ini dimanfaatkan

oleh sementara pedagang besar beras untuk meningkatkan harga jual berasnya di

atas kenaikan harga normal. Sentimen negatif pasar bertambah dengan adanya

pernyataan pemerintah yang tidak akan melakukan impor beras pada tahun 2015.

Berdasarkan dinamika perubahan data harga beras di pasar internasional

dapat diketahui bahwa harga beras di pasar internasional justru mengalami

penurunan (Gambar 3.6). Kondisi ini bertolak belakang dengan pergerakan harga

beras di dalam negeri. Kondisi demikian sebenarnya menunjukkan bahwa

importasi beras merupakan salah satu pilihan kebijakan untuk menjaga stabilitas

harga beras di pasar dalam negeri. Pemerintah dapat saja melakukan importasi

beras dalam jumlah terbatas, atas pertimbangan bahwa harga gabah di tingkat

petani sudah berada di atas HPP, sementara lonjakan harga beras di pasar

konsumen dikhawatirkan menurunkan akses konsumen pada umumnya,

konsumen berpendapatan rendah pada khususnya, terhadap beras sebagai bahan

Page 23: SINTESIS NASKAH ANALISIS KEBIJAKAN PERTANIANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_14.pdf · Secara umum subsidi harga pupuk yang telah dilakukan sejak tahun 2003 mengalami

19

pangan pokok. Namun demikian, importasi beras dimaksud agar betul-betul

dikelola dan diawasi secara ketat agar tidak menimbulkan dampak negatif berupa

penurunan harga gabah petani di bawah HPP.

Tabel 3.2. Kondisi Stok Beras yang Dikelola Bulog Sampai dengan 9 Januari 2015

No. Uraian Volume (000 t)

1. Pengadaan PSO tahun 2014

Target s.d. Desember (ton) Realisasi Desember (ton) Stok awal tahun 2004

3.852,2 (61,30%) 2.361,3

2.911,4

2. Penyaluran (ton)

Raskin Operasi pasar Penyaluran bencana alam (CBP)

Penyaluran golongan anggaran Penjualan ke pasar umum

3.642.540

2.795,6 325,9 12,1

2,8 526,9

3. Total stok (ton) Cadangan beras pemerintah (CBP)

Stok Bulog Kekuatan stok: kebutuhan konsumsi

Kekuatan stok: kebutuhan raskin

1.630,1 (12,9)* 141,9

(1.303,1)* 1.488,2 0,49

5,66 Sumber: Perum Bulog (diolah penyajiannya oleh BKP) dalam Suryana et al. (2015) Keterangan: *Data Bulog per 24 Februari 2015

Sumber: FAO (data diolah PSEKP) dalam Suryana et al. (2015)

Gambar 3.6. Perkembangan Harga Beras di Pasar Internasional (Januari-Februari,

Tahun 2015)

Page 24: SINTESIS NASKAH ANALISIS KEBIJAKAN PERTANIANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_14.pdf · Secara umum subsidi harga pupuk yang telah dilakukan sejak tahun 2003 mengalami

20

IV. PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DAN LAHAN YANG

BERKELANJUTAN UNTUK PERTANIAN

Sumber daya lahan dan air untuk pertanian pangan menghadapi tekanan

akibat persaingan penggunaannya dengan banyak sektor yang masing masing

bertumbuh sejalan dengan pertumbuhan ekonomi dan penduduk. Kemajuan

ekonomi di semua sektor pertanian telah menyebabkan meningkatnya permintaan

akan lahan dan air, sehingga lahan pertanian pangan yang ada dihadapkan

kepada ancaman konversi lahan ke nonpertanian, degradasi kualitas lahan dan

lingkungan. Berlangsung konflik kepentingan dalam rangka memperebutkan

penggunaan lahan dan air.

Keberadaan kedua sumber daya ini berada pada kondisi kritis karena terjadi

penurunan luas lahan produktif, degradasi sumber daya lahan, air, dan lingkungan

serta struktur kepemilikan lahan yang tidak semestinya. Luas lahan sawah terus

menurun akibat konversi lahan, sementara intensitas penanaman padi juga

menurun akibat menurunnya pasokan air irigasi dan penurunan layanan jaringan

irigasi. Ada banyak dampak negatif konversi lahan pertanian menjadi lahan

nonpertanian yaitu menurunkan kapasitas produksi pertanian, rusaknya sistem

pengairan di daerah produksi yang terbangun, dan kerugian investasi yang telah

ditanamkan dalam membangun waduk, jaringan irigasi, dan pencetakan sawah.

4.1. Ketersediaan Lahan dan Upaya Menjaga Keberlanjutannya

Terdapat banyak UU baik secara langsung maupun tidak langsung terkait

dengan sumber daya lahan dan air. UU tersebut saling terkait antara UU yang satu

dengan UU yang lainnya atau dengan kata lain terdapat konsistensi dan

sinkronisasi antarUU, namun penekanannya berbeda antarUU. Walaupun terdapat

banyak UU dan peraturannya terkait sumber daya lahan dan air, namun belum

semua Provinsi dan kabupaten/kota menindak lanjutinya. Belum semua wilayah

menyelesaikan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), bahkan belum ada

pemerintah daerah yang mengimplementasikan UU No 41/2009 tentang

Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) secara detail (di mana

Page 25: SINTESIS NASKAH ANALISIS KEBIJAKAN PERTANIANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_14.pdf · Secara umum subsidi harga pupuk yang telah dilakukan sejak tahun 2003 mengalami

21

lokasi lahan, milik siapa, dan sebagainya). Demikian pula, UU sumber daya air

juga belum banyak yang ditindak lanjuti oleh pemerintah daerah.

Luas lahan yang dicadangkan untuk lahan pangan pertanian berkelanjutan

bervariasi antarwilayah, padahal seharusnya semua luas lahan sawah beririgasi

dan sebagian lahan kering dapat dicadangkan untuk LP2B. Hal ini bedampak pada

proses konversi lahan yang terus berjalan. Pemerintah daerah belum

melaksanakan wewenangnya terkait dengan pengelolaan air irigasi, sehingga

banyak jaringan irigasi rusak, sedimentasi yang tinggi di waduk, DAS dan lainnya.

Pada beberapa kasus, pengalihan fungsi waduk, tidak hanya untuk kegiatan

pertanian lahan sawah tetapi juga untuk perikanan, tambang dan lainnya.

Penerapan UU No. 41/2009 masih akan membutuhkan waktu panjang,

karena membutuhkan syarat: (a) terlebih dahulu telah diterbitkannya seluruh

produk hukum turunan yang diamanatkan dari UU No. 41/2009 berupa Peraturan

Pemerintah dan Permentan, (b) telah disusun Perda RTRW Provinsi dan Perda

RTRW Kabupaten/Kota yang didalamnya berisi arahan tentang kawasan lahan

pertanian yang dilindungi secara wilayah, (c) harus telah disusun

peraturan/Perda/Perbup tentang rencana Detail Tata Ruang yang di dalamnya

memuat antara lain rencana lebih rinci setiap desa/blok. Oleh karena itu, UU

tersebut perlu disosialisasikan kepada masyarakat agar dalam implementasinya

tidak terjadi konflik. Lambatnya implementasi UU No. 41/2009 juga berkaitan

dengan adanya aturan tentang sangsi di mana setiap pejabat pemerintahan yang

berwenang menerbitkan izin pengalihfungsian lahan pertanian pangan

berkelanjutan tidak sesuai dengan ketentuan dapat dipidana dengan pidana

penjara sangat berat.

Pemerintah daerah belum banyak yang mengimplementasikan tindak lanjut

peraturan di bidang lahan dan air. Kalaupun telah menyusun Pergub/Perda terkait

sumber daya air, peraturan tersebut belum dilaksanakan secara optimal. Masalah

air masih dianggap belum penting, masih konsentrasi di bidang lahan, sehingga

belum sepenuhnya melaksanakan tugas di bidang air yang menjadi

kewenangannya. Kerusakan sarana prasarana irigasi akan semakin parah, tata

guna air juga semakin tidak seimbang (pertanian/industri/air minum). Oleh

Page 26: SINTESIS NASKAH ANALISIS KEBIJAKAN PERTANIANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_14.pdf · Secara umum subsidi harga pupuk yang telah dilakukan sejak tahun 2003 mengalami

22

karena itu, masalah lahan dan air perlu dicermati kembali oleh para pengambil

kebijakan untuk dapat dengan segera dilakukan penanganan secara komprehensif

dan intensif. Selain itu, juga diperlukan komitmen yang kuat dari pemerintah

daerah termasuk lembaga legislasi daerah untuk hal tersebut untuk penguatan

swasembada pangan nasional saat ini dan masa depan.

Wilayah luar Pulau Jawa semestinya memperoleh perhatian yang lebih

besar sebagai sumber produksi pangan. Dalam jangka panjang laju pertumbuhan

produksi padi di Jawa diperkirakan akan terus mengalami penurunan atau semakin

lambat akibat berbagai faktor. Pulau Jawa semakin sulit diandalkan untuk

menopang kebutuhan beras nasional. Untuk mengimbangi pertumbuhan produksi

padi yang semakin lambat di Pulau Jawa maka perlu dilakukan akselerasi

peningkatan produksi padi di luar Jawa.

Peraturan perundangan tentang lahan lalu diturunkan dalam bentuk

Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres), dan Peraturan Menteri

(Permen). Beberapa peraturan produk turunan tersebut antara lain adalah: (1)

PP No. 11 Tahun 2010 tentang Penertiban Pendayagunaan Tanah Terlantar, (2)

PP No. 1 Tahun 2012 tentang Penetapan Alih Fungsi Lahan Pertanian Pangan

Berkelanjutan, (3) PP No. 15 Tahun 2010 tentang Penyelengaraan Penataan

Ruang, (4) PP No. 25 Tahun 2012 tentang Sistem Informasi Lahan Pertanian

Pangan Berkelanjutan, (5) PP No. 12 Tahun 2012 tentang Insentif Perlindungan

Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, dan (6) PP No. 30 Tahun 2012 tentang

Pembiayaan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.

Pada hakekatnya UU No. 41/2009 tentang PLP2B bertujuan untuk

melindungi kawasan dan lahan pertanian pangan; menjamin ketersediaan lahan

pertanian pangan berkelanjutan untuk mewujudkan kemandirian, ketahanan, dan

kedaulatan pangan; dan melindungi kepemilikan lahan pertanian pangan petani.

Dari evaluasi terhadap Perda RTRW Provinsi, terdapat keragaman dalam

definisi jenis dan luas lahan yang pertanian yang dicadangkan untuk pangan

berkelanjutan. Khusus pada Perda No. 22/2010 tentang RTRW Provinsi Jawa

Barat 2009-2029, pada Pasal 42 disebutkan: “Kawasan pertanian pangan

ditetapkan dengan ketentuan memiliki kesesuaian lahan terutama berlokasi

Page 27: SINTESIS NASKAH ANALISIS KEBIJAKAN PERTANIANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_14.pdf · Secara umum subsidi harga pupuk yang telah dilakukan sejak tahun 2003 mengalami

23

dilahan beririgasi teknis (ayat 1). Pengembangan kawasan pertanian pangan

diarahkan untuk mempertahankan kawasan pertanian beririgasi teknis (ayat 2)”.

Sejak ditetapkan pada tahun 2009, UU 41/2009 tentang PLP2B belum dapat

diterapkan, hal ini berkaitan dengan tiga aspek, yaitu: (1) diterbitkannya seluruh

produk hukum turunan yang diamanatkan dari UU 41/2009 berupa 4 Peraturan

Pemerintah (PP) dan Permentan, (2) sesuai dengan amanat yang tercantum

dalam UU 41/2009, penerapan UU 41/2009 harus terlebih dahulu telah disusun

Perda Tata Ruang Provinsi dan selanjutnya Perda Tata Ruang Kabupaten/Kota

yang di dalamnya berisi arahan tentang kawasan budi daya pertanian dan luas

lahan pertanian yang dilindungi, dan (3) Perda RTRW Kabupaten/Kota juga harus

ditindaklanjuti Rencana Detail Tata Ruang yang di dalamnya memuat antara lain

rencana lebih rinci (sampai pada tingkat desa/ blok) tentang luas lahan pertanian

yang akan dilindungi.

Khusus di Jawa Barat, sebagai provinsi penyangga ibukota negara, maka

Jawa Barat diberi banyak beban. Jawa Barat memprioritaskan kepada sektor-

sektor unggulan yang menjadi penggerak utama pertumbuhan ekonomi Jawa

Barat, dan merangsang investasi dan perdagangan dalam beberapa tahun terakhir

menunjukkan tren pertumbuhan naik. Sektor pertanian merupakan salah satu

sektor unggulan di Jawa barat kerena didukung oleh sumber daya lahan yang

cukup dan komoditas unggulan yang beragam dengan jumlah petani yang cukup

besar. Dalam rencana pembangunan lima tahun berjalan sektor kemandirian

pangan menempati urutan keempat dalam prioritas pembangunan Jawa Barat.

Dengan banyaknya dasar hukum yang harus diacu (terutama arahan

Kepres tentang MP3EI) dan didasarkan kepada kondisi strategis daerah,

Rakorbang Provinsi (2012) menghasilkan kesepakatan prioritas pengembangan

jangka menengah Jawa Barat, yaitu pembangunan tiga metropolitan dan dua

pusat pertumbuhan, yaitu: (1) Metropolitan Bodebek Karpur, (2) Metropolitan

Bandung Raya, (3) Metropolitan Cirebon Raya, (4) Pusat Pertumbuhan Pelabuhan

Ratu, dan (5) Pusat Pertumbuhan Pangandaran (Bappeda Jabar, 2012).

Dari review terhadap Perda RTRW Kabupaten/Kota yang telah disahkan

dalam Perta RTRW Kabupaten dan Perda RTRW Kota di Provinsi Jawa Barat,

Page 28: SINTESIS NASKAH ANALISIS KEBIJAKAN PERTANIANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_14.pdf · Secara umum subsidi harga pupuk yang telah dilakukan sejak tahun 2003 mengalami

24

ditemukan bahwa hampir seluruh wilayah pemerintah kota (Perda RTRW Kota)

tidak mengalokasikan lahan pertanian yang dilindungi untuk lahan pangan

berkelanjutan. Kondisi antarwilayah sangat bervariasi: lahan pertanian pangan

yang dilindungi lebih kecil dari luas sawah irigasi teknis yang ada (Kabupaten

Bekasi); lahan pertanian pangan yang dilindungi mencakup seluruh lahan

pertanian sawah irigasi teknis dan sebagian lahan sawah nonteknis (Kab. Bogor,

Kab. Cirebon, Kab. Indramayu, Kab. Majalengka, Kab. Kuningan), lahan pertanian

pangan yang dilindungi mencakup seluruh lahan pertanian sawah (Kab. Cianjur

dan Kab. Bandung), lahan pertanian pangan yang dilindungi mencakup seluruh

lahan pertanian sawah irigasi dan sebagian lahan nonsawah (Kab. Sukabumi dan

Kab. Garut).

Dinas Pertanian Provinsi Jawa Barat (2006) mengemukakan, sampai

dengan 2005 terjadi alih fungsi lahan sawah seluas 11.207 ha, dengan rincian

beririgasi teknis 349 ha, sawah irigasi setengah teknis 3.969 ha, dan sawah irigasi

sederhana masing-masing 6.889 ha. Dengan adanya rencana pembangunan

kawasan perkotaan (metropolitan) dan infrastrukturnya akan mempercepat

kejadian konversi lahan pertanian, terutama konversi lahan sistematis dan

terencana. Sesuai dengan yang direncanakan, pembangunan jalan tol sepanjang

455,57 km akan menggunakan (mengkonversikan lahan) seluas 3.875 ha, dan

pembangunan Bandar Udara Internasional Jawa Barat (BIJB) akan menggunakan

lahan seluas 5.000 ha. Konversi lahan tersebut belum termasuk konversi ikutan

(tidak langsung) akibat pembangunan tol dan bandara internasional tersebut.

Dengan adanya jalan tol yang melintas di daerahnya, sebagaimana daerah lainnya

beberapa kabupaten seperti Subang, Sumedang, Majalengka, Indramayu, dan

Cirebon telah mencanangkan pembangunan kawasan industri. Rencana tersebut

telah tertuang dalam RTRW Kabupaten/Kota tahun 2011–2035 yang telah

disahkan dalam bentuk peraturan daerah. Di samping pembangunan kawasan

industri juga telah dirancang dan disiapkan untuk pembangunan kawasan

perumahan dan pembangunan fasilitas kepentingan umum.

Pada sisi lain, berkembangnya suatu wilayah menjadi kawasan perkotaan

dan terbangunnya infrastruktur akan berperan positif dalam pembangunan

Page 29: SINTESIS NASKAH ANALISIS KEBIJAKAN PERTANIANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_14.pdf · Secara umum subsidi harga pupuk yang telah dilakukan sejak tahun 2003 mengalami

25

wilayah secara keseluruhan termasuk pembangunan pertanian. Berkembangnya

kawasan perkotaan dan industri akan menumbuhkan permintaan terhadap produk

pertanian baik untuk konsumsi langsung maupun permintaan bahan baku

pertanian bagi industri di bidang pengolahan pertanian. Perbaikan infrastruktur

akan berdampak kepada kemudahan akses dan menumbuhkan minat investasi

termasuk investasi di bidang usaha agribisnis. Hal ini merupakan peluang dalam

rangka optimalisasi sumber daya pertanian yang ada di Jawa Barat.

Meningkatnya permintaan akan lahan akan berakibat meningkatnya nilai lahan

yang akan mengakibatkan berkembangnya usaha pertanian bernilai ekonomi

tinggi, padat teknologi, dan padat modal. Sangat dimungkinkan adanya

pengalihan usahatani masyarakat dari usaha tanaman pangan ke hortikultura

(sayuran, tanaman hias) dan usaha peternakan bernilai ekonomi tinggi.

4.2. Implikasi dari Pembatalan UU Sumber Daya Air oleh MK

Pada tahun 2015 ini, sektor pengairan diwarnai dengan pembatalan

Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Mahkamah

Konstitusi dalam pertimbangannya menyoroti bahwa UU ini kurang

memperhatikan prinsip-prinsip yang merefleksikan kepentingan politik yang

terkandung dalam pasal 33 UUD 1945. Pertimbangan pembatalan UU oleh

Mahkamah Konstitusi adalah sebagai upaya menjaga kelestarian dan

keberlanjutan sumber daya air. Secara lengkap, alasannya adalah bahwa: (1)

setiap pengguna air tidak boleh mengganggu, mengesampingkan, dan

meniadakan hak rakyat atas air; (2) negara memenuhi hak rakyat atas air; (3)

harus mengingat kelestarian lingkungan hidup; (4) pengawasan dan pengendalian

oleh negara sifatnya mutlak; dan (5) prioritas pengusahaan atas air oleh BUMN

dan BUMD.

Pada intinya, Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air

memiliki interelasi dengan kesepakatan dunia tentang private sector participation.

Undang-undang ini memberi kesempatan kepada masyarakat termasuk swasta

untuk mengelola dan memanfaatkan sumber daya air. Akibatnya, terjadi

privatisasi dan komersialisasi air yang membuka peluang munculnya persaingan

Page 30: SINTESIS NASKAH ANALISIS KEBIJAKAN PERTANIANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_14.pdf · Secara umum subsidi harga pupuk yang telah dilakukan sejak tahun 2003 mengalami

26

pengelolaan dan pemanfaatan air antar-stakeholders, antarwilayah, maupun

antarsektor.

Air memiliki fungsi konsumsi, industri, kesehatan, sekaligus merupakan

sumber penggerak agraria yang menduduki posisi strategis dalam pertanian

persawahan (Pasandaran, 2006; Sumaryanto, 2007). Laju pengurangan

ketersediaan air pertanian akan terjadi lebih cepat dari laju pengurangan

ketersediaan lahan. Pada kantong-kantong pangan dengan sumber-sumber air

yang berkualitas baik, pemanfaatan air cenderung terjadi kesenjangan, baik

antarsektor, antarwilayah hulu dan hilir, bahkan antarkelompok masyarakat.

Penyebab utama adalah peningkatan permintaan air untuk konsumsi dan industri

lebih cepat dibanding permintaan sektor pertanian. Perubahan permintaan

terhadap komoditas pertanian dan perubahan penggunaan lahan pertanian

merupakan faktor lain yang turut mempengaruhi penggunaan sumber daya air

pertanian. Situasi ini turut menyebabkan nilai ekonomi dan persaingan

pemanfaatan air meningkat.

Orientasi pembangunan pariwisata mempercepat laju pemanfaatan sumber

daya air dan menghadirkan beragam stakeholder dengan beragam ideologi yang

bersaing untuk mengakses sumber daya ini. Hasil penelitian sebelumnya

menunjukkan bahwa persaingan air bersifat melemahkan akses petani dan

keterancaman terhadap lembaga pengairan dan pertanian subak (Cole, 2012;

Lorenzen, 2011). Distribusi sumber daya air yang senjang berpeluang besar

menimbulkan konflik dan berpotensi meng-ganggu integrasi sosial (Homer-Dixon,

1994).

UU No. 7/2004 sebagai Landasan Hukum Privatisasi dan Komersialisasi Air

Penyusunan UU No. 7/2004 tentang Sumber Daya Air meletakkan landasan

hukum privatisasi dan komersialisasi air di Indonesia. Privatisasi kepemilikan air

diberikan melalui pasal 7 ayat 1 yang menyatakan bahwa hak guna air dapat

berupa hak guna pakai air dan hak guna usaha air. Selanjutnya, pasal 9 ayat 1

menyatakan “hak guna usaha air dapat diberikan kepada perorangan atau badan

usaha dengan izin dari pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan

Page 31: SINTESIS NASKAH ANALISIS KEBIJAKAN PERTANIANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_14.pdf · Secara umum subsidi harga pupuk yang telah dilakukan sejak tahun 2003 mengalami

27

kewenangannya”. Dengan demikian, perorangan atau badan usaha dapat

memperoleh hak untuk mengusahakan air (HGU air).

Peluang untuk melakukan komersialisasi air diatur dalam sejumlah klausul.

Pasal 26 ayat 1 menyatakan bahwa pengusahaan sumber daya air merupakan

salah satu bentuk pendayagunaan sumber daya air yang sah. Pasal 45 ayat 3

menyatakan bahwa pengusahaan sumber daya air dapat dilakukan oleh

perseorangan, badan usaha, atau kerja sama antarbadan usaha berdasarkan izin

pengusahaan dari pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan

kewenangannya. Selanjutnya, dalam ayat 4 dijelaskan bahwa pengusahaan air

dapat berbentuk penggunaan air, pemanfaatan wadah air, dan pemanfaatan daya

air.

Banyak kalangan masyarakat menilai bahwa UU No. 7/2004 bertentangan

dengan konstitusi RI dan oleh karena itu mereka melakukan gugatan ke

Mahkamah Konstitusi. Atas gugatan sejumlah perwakilan masyarakat pada tahun

2004, Mahkamah Konstitusi RI memutuskan bahwa UU No. 7/2004 tidak

melanggar konstitusi RI baik secara formal maupun secara materiil (MK-RI, 2005).

Mahkamah berpendapat bahwa meskipun UU No. 7/2004 membuka peluang

swasta memperoleh hak guna usaha air dan izin pengusahaan sumber daya air,

namun hal itu tidak mengakibatkan penguasaan air jatuh ke tangan swasta. Hal

ini terkait dengan keberadaan negara sebagai (1) merumuskan kebijaksanaan

(beleid), (2) melakukan tindakan pengurusan (bestuursdaad), (3) melakukan

pengaturan (regelendaad), (4) melakukan pengelolaan (beheersdaad), dan (5)

melakukan pengawasan (toezichthoudendaad).

Mahkamah menyatakan bahwa HGU air dan izin pengusahaan sumber daya

air merupakan sistem perizinan yang penerbitannya harus berdasarkan pada pola

pengelolaan sumber daya air yang disusun dengan melibatkan peran serta

masyarakat seluas-luasnya. Kinerja pengelolaan sumber daya air diawasi langsung

oleh berbagai pihak secara langsung sehingga justru dengan demikian penerbitan

HGU air dan izin pengusahaan sumber daya air dapat dikendalikan oleh

pemerintah. Permohonan HGU air dan izin pengusahaan sumber daya dapat

Page 32: SINTESIS NASKAH ANALISIS KEBIJAKAN PERTANIANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_14.pdf · Secara umum subsidi harga pupuk yang telah dilakukan sejak tahun 2003 mengalami

28

ditolak bila tidak sesuai dengan pola pengelolaan sumber daya air yang telah

disusun.

Mahkamah juga berpendapat bahwa UU No. 7/2004 tidak menyebabkan

komersialisasi sumber daya air karena menganut prinsip “penerima manfaat jasa

pengelolaan sumber daya air wajib menanggung biaya pengelolaan” sesuai

dengan jasa yang dipergunakan. Prinsip ini justru menempatkan air tidak sebagai

objek untuk dikenai harga secara ekonomi karena tidak ada harga air sebagai

komponen dalam menghitung jumlah yang harus dibayar oleh penerima manfaat.

Namun demikian, putusan mahkamah tersebut ditetapkan dengan

pendapat berbeda (dissenting opinion) oleh dua dari sembilan anggota. Hakim

Mahkamah Mukhtie Fajar menyatakan bahwa UU No. 7/2004 seyogyanya direvisi

dulu agar lebih tepat paradigmanya, yaitu paradigma yang lebih menekankan

dimensi sosial dan lingkungan daripada dimensi ekonomi. Jika tidak, UU No.

7/2004 inkonstitusional sebab tidak sejalan dengan paradigma UUD 1945,

khususnya pasal 33 ayat 3. Senada dengan itu, hakim Maruarar Siahaan

mengatakan bahwa meskipun tidak mengatur privatisasi secara eksplisit, UU No.

7/2004 membuka secara lebar peluang privatisasi sumber daya air.

Mahkamah juga menetapkan bahwa apabila UU No. 7/2004 dalam

pelaksanaan ditafsirkan lain dari maksud sebagaimana termuat dalam

pertimbangan Mahkamah di atas, maka terhadap Undang-Undang tersebut tidak

tertutup kemungkinan untuk diajukan kembali (conditionally constitutional). Ini

berarti, meski sudah pernah diajukan judicial review, UU No. 7/2004 masih bisa

disidangkan kembali di Mahkamah Konstitusi jika ada bukti-bukti yang kuat telah

membuat air menjadi barang komersial.

Implementasi UU No. 7/2004: Privatisasi, Komersialisasi, dan Perebutan Sumber Daya Air

Perebutan sumber daya air telah menjadi sumber konflik baru akhir-akhir

ini, terutama pada daerah yang ekonominya sudah terbuka, dan masuknya sektor

pariwisata. Di daerah pariwisata, kebijakan komersialisasi air sebagai implementasi

dari UU No. 7/2004 disambut luas oleh para investor swasta karena sangat sinergi

dengan pengembangan pariwisata. Banyak mata air dibeli atau disewa dalam

Page 33: SINTESIS NASKAH ANALISIS KEBIJAKAN PERTANIANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_14.pdf · Secara umum subsidi harga pupuk yang telah dilakukan sejak tahun 2003 mengalami

29

jangka waktu tertentu oleh investor langsung kepada petani. Beberapa di

antaranya menimbulkan konflik.

Daya tarik perolehan pendapatan asli daerah (PAD) yang tinggi membuat

kontrol Pemda terhadap pengelolaan dan pemanfaatan air oleh PDAM dan

korporasi menjadi longgar. Proses perizinan kurang berpijak pada Rancangan

Tata Ruang dan Wilayah (RTRW). Beragam undang-undang seperti UU No. 32

Tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup, UU No. 41 tahun 2009 tentang

Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, UU No. 7 Tahun 2004

tentang Sumber Daya Air, bahkan Rencana Tata Ruang Wilayah menjadi terkotak-

kotak dan tidak saling bersinergi.

Implementasi di tingkat meso memberi dampak terbukanya peluang

partisipasi investor dalam pengelolaan dan pemanfaatan air lebih efisien dan

bernilai ekonomi. Otonomi daerah membuka peluang Pemda memanfaatkan

sumber daya air sebagai sumber pendapatan daerah melalui mekanisme kerja

para investor, bersinergi dengan pengembangan industri pariwisata. Kemudahan

perizinan dalam mendukung program pariwisata massal mempercepat

berkembangnya perusahaan pemanfaat air seperti PDAM, perusahaan swasta, dan

sarana wisata (penginapan, restoran, wahana air) mengakses sumber-sumber

mata air potensial.

Pada tingkat mikro, meluasnya pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya

air berdampak pada berkurangnya air untuk pertanian. Perubahan pola tanam,

perubahan komoditas pada musim kemarau, pengurangan luas lahan yang

ditanami padi, atau memberakan lahan merupakan strategi adaptasi petani yang

berdampak langsung pada produksi padi dan pendapatan petani (marginalisasi

petani). Tekanan keterbatasan sumber daya air dan penurunan pendapatan dari

sektor pertanian memaksa petani melakukan strategi nafkah di dalam maupun ke

luar sektor pertanian. Kondisi ini menjadi wahana yang kondusif bagi petani

melepas sumber daya pertaniannya yang dinilai tidak lagi menguntungkan.

Konflik perebutan air diperkuat oleh perkembangan penduduk dan

intervensi pasar menjadi proses perubahan sosial mendasar komunitas petani.

Pengelolaan air oleh petani mengalami peluruhan fungsi yang terjadi pada ruang

Page 34: SINTESIS NASKAH ANALISIS KEBIJAKAN PERTANIANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_14.pdf · Secara umum subsidi harga pupuk yang telah dilakukan sejak tahun 2003 mengalami

30

spasial (lahan dan air), nilai-nilai otonomi dan kelekatan sosial, tata kelola

governance (pinjam air), kepemimpinan, maupun kuasa dan kewenangan.

Artinya, undang-undang sumber daya air menciptakan hubungan kuasa yang tidak

seimbang terhadap petani dan sektor pertanian.

Beralihnya kedudukan sumber daya air dari sumber daya milik bersama

yang bisa diakses secara terbuka oleh petani, menjadi komoditas ekonomi yang

hanya leluasa diakses oleh aktor yang memiliki kuasa pengetahuan, teknologi, dan

modal. Perubahan status air memberi konsekuensi logis terhadap kehidupan sosial

ekonomi dan kelembagaan pengairan subak. Hal ini dapat dilihat pada matrik

pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1. Konsekuensi Implementasi UU No. 7/2004 di Tengah Masyarakat Petani, Khususnya pada P3A

Aspek Sebelum Implementasi Sesudah Implementasi

Sifat sumber daya Common pool resources Economic commodity

Pemanfaatan air Dominasi masyarakat dan

dilindungi negara

Dominasi pemilik modal/kapitalis

atas izin negara

P3A Kebersamaan, keadilan, dan

demokratis

Individual dan persaingan

Peran pimpinan P3A Fungsi kontrol terhadap pemanfaatan lahan dan

sumber-sumber air

Kehilangan kewenangan, bahkan sebagian berperan menjadi

mediasi (calo) melepas lahan dan sumber-sumber air kepada

korporasi

Implementasi kebijakan yang membuka kesempatan pengelolaan dan

pemanfaatan air oleh masyarakat luas direspon secara cerdas oleh pemodal yang

membaca pentingnya peran sektor air dalam mendukung prioritas pembangunan

beragam sektor. Sumber daya air yang semula dinilai sebagai sumber daya yang

terbuka (common pool resources) beralih menjadi komoditas ekonomi (economic

good). PDAM memanfaatkan kesulitan petani mencukupi biaya beban sosial

ekonomi keagamaan sebagai imbalan atas peluang memanfaatkan sumber mata

air.

Sistem hukum mengatur akses terhadap air melekat pada kekuatan

legalitas penguasaan lahan. Petani yang memiliki lahan dengan mata air di

Page 35: SINTESIS NASKAH ANALISIS KEBIJAKAN PERTANIANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_14.pdf · Secara umum subsidi harga pupuk yang telah dilakukan sejak tahun 2003 mengalami

31

dalamnya berkuasa penuh atas keduanya. Politik ekonomi yang kurang berpihak

pada pertanian menciptakan iklim yang kondusif bagi meningkatnya urbanisasi,

transformasi pekerjaan dan usaha, serta dorongan untuk melepas lahan-lahan

pertanian produktif kepada pihak luar. Hal ini sekaligus melepas kontrol

pemanfaatan lahan untuk kepentingan nonpertanian. Land conversion dan land

grabbing menjadi realita meluas dan menjadi ancaman bagi keberlanjutan

pertanian dan ketahanan pangan (Lorenzen, 2011).

Pandangan air sebagai barang publik yang memiliki nilai ekonomi

menimbulkan persaingan dalam penggunaan air. Aliansi negara dengan korporasi

dalam pemanfaatan sumber-sumber air berfungsi menekan akses petani dan

memarginalkan kelompok masyarakat rentan. Eksploitasi sumber daya air oleh

PDAM dan pengusaha swasta tidak saja menyebabkan ketidakpastian air untuk

usahatani, tetapi ikut mengancam eksistensi lembaga pengairan petani (misalnya

P3A dan subak) dan ketahanan pangan.

Negara dengan lembaga-lembaga pendukung lainnya, secara formal dan

sistematis diarahkan pada pencapaian pertumbuhan ekonomi melalui angka-angka

kuantitatif yang sangat mudah dan jelas diukur keberhasilannya. Ideologi ini

sangat mudah bersinergi dengan sistem kerja kapitalis yang berorientasi

maksimisasi keuntungan. Sinergitas keduanya mengandung kekuatan dan kuasa

pemanfaatan sumber daya air dan lahan dalam jumlah besar dan waktu yang

relatif cepat. Implementasi undang-undang sumber daya berpeluang besar

mengganggu keberlanjutan sumber daya dan keutuhan social fabric komunitas

petani.

Penerapan UU No. 7/2004 mengarahkan pemanfaatan air menjadi produk

ekonomi dan tidak semua pihak memiliki peluang untuk mengaksesnya dengan

leluasa. Bersamaan dengan pembangun sektor lain yang secara keseluruhan

ditujukan mendukung sektor pariwisata, dalam jangka waktu singkat

menyebabkan perubahan ekosistem. Kuasa pengetahuan yang sarat dengan

ideologi kapitalis secara revolusioner menyusupi sendi-sendi kehidupan

masyarakat dan berhasil mendominasi dunia hampir di semua sektor.

Page 36: SINTESIS NASKAH ANALISIS KEBIJAKAN PERTANIANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_14.pdf · Secara umum subsidi harga pupuk yang telah dilakukan sejak tahun 2003 mengalami

32

Pedoman Kebijakan Pengelolaan Sumber Daya Air ke Depan

Berikut diuraikan empat opsi kebijakan terkait implementasi UU No. 7/2004

tentang Sumber Daya Air. Pertama, membiarkan atau meneruskan praktek yang

sudah berlangsung selama ini (opsi status quo). Dengan opsi ini maka arah

kebijakan pengelolaan sumber daya air akan terus menjurus ke privatisasi dan

komersialisasi sumber daya air. Berdasarkan uraian di atas opsi ini akan

berdampak pada semakin intensifnya konflik penggunaan air, kelangkaan air

untuk pertanian, peluruhan lembaga pengairan petani, dan ketidakberlanjutan

sumber air. Opsi ini jelas berimplikasi negatif dan karena itu harus dihindari.

Opsi kedua, mendisiplinkan implementasi UU No. 7/2004. Dalam hal ini, UU

No. 7/2004 tidak perlu direvisi atau ditolak, namun implementasinya dilaksanakan

dengan diperketat sesuai dengan semangat dan ketentuan yang terkandung

dalam undang-undang tersebut. Pemberian HGU air dan izin pengusahaan sumber

daya air diperketat dan diawasi dengan melibatkan pemangku kepentingan seluas-

luasnya. Simpul kunci pengendalian ialah pada penyusunan dan pelaksanaan Pola

Pengelolaan Sumber Daya Air (PPSDA) dan Rencana Pengelolaan Sumber Daya Air

(RPSDA) oleh pemerintah pusat (lintas provinsi), pemerintah provinsi (lintas

kabupaten), dan pemerintah kabupaten (dalam kabupaten) yang merupakan

dasar penetapan (alokasi) peruntukan (zona pemanfaatan) air, serta penerbitan

HGU air dan izin pengusahaan sumber daya air. UU No. 7/2004 memerintahkan

bahwa penyusunan dan pengawasan pelaksanan PPSDA dan RPSDA wajib

melibatkan para pemangku kepentingan seluas-luasnya.

Kiranya dicatat bahwa MK-RI juga mendalilkan bahwa keterlibatan para

pemangku kepentingan seluas-luasnya dalam penyusunan PPSDA merupakan

kunci agar sumber daya air tetap berada dalam penguasaan negara. PPSDA dan

RPSDA sebaiknya disusun oleh suatu lembaga (tim) independen secara

transparan. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah perlu memberdayakan dan

memfasilitasi pemangku kepentingan utama, khususnya petani, konsumen dan

masyarakat sipil, agar mereka mampu terlibat semaksimal mungkin dalam

penyusunan rancangan dan pengawasan pelaksanaan PPSDA dan RPSDA. Opsi ini

cukup realistis, dapat segera ditindaklanjuti. Pelopor utama (champion) untuk

Page 37: SINTESIS NASKAH ANALISIS KEBIJAKAN PERTANIANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_14.pdf · Secara umum subsidi harga pupuk yang telah dilakukan sejak tahun 2003 mengalami

33

opsi ini tentunya ialah pusat, serta pemerintah daerah provinsi dan

kabupaten/kota.

Opsi ketiga, merevisi UU No. 7/2004. Opsi ini sejalan dengan pandangan

salah satu Hakim Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa UU No. 7/2004

seyogyanya direvisi dulu agar lebih tepat paradigmanya, yaitu paradigma yang

lebih menekankan dimensi sosial dan lingkungan dari pada dimensi ekonomi. Jika

tidak, UU No. 7/2004 inkonstitusional sebab tidak sejalan dengan paradigma UUD

1945, khususnya pasal 33 ayat 3. Pandangan ini juga senada dengan Hakim

Mahkamah Konstitusi lain menyatakan bahwa meskipun tidak mengatur privatisasi

secara eksplisit, UU No. 7/2004 membuka secara lebar peluang privatisasi sumber

daya air. Opsi ini dapat dilaksanakan melalui inisiatif DPR maupun pemerintah.

Untuk itu, para pemangku kepentingan perlu melakukan tekanan kepada DPR dan

pemerintah agar memasukkan revisi UU No. 7/2004 dalam program legislasi

nasional.

Opsi keempat, menggugat keabsahan konstitusionalitas UU No. 7/2004 ke

Mahkamah Agung RI (judicial review). Seperti telah dikemukakan, putusan

Mahkamah Agung RI atas gugatan pertama konstitusionalitas UU No. 7/2004 (MK-

RI, 2005) dinyatakan bahwa UU No. 7/2004 dapat digugat kembali bila dalam

pelaksanaannya ditafsirkan lain dari maksud sebagaimana termuat dalam

pertimbangan Mahkamah (conditionally constitutional). Ini berarti, meski sudah

pernah diajukan judicial review, UU No. 7/2004 masih bisa disidangkan kembali

di Mahkamah Konstitusi RI jika dikemudian hari ada bukti-bukti yang kuat telah

membuat air menjadi barang komersial. Untuk itu diperlukan bukti-bukti

permulaan yang cukup, termasuk dari berbagai hasil-hasil penelitian ilmiah seperti

penelitian ini, agar opsi ini dapat dilaksanakan.

Pilihan yang diambil MK adalah pembatalan keseluruhan undang-undang

ini, sehingga kita membutuhkan undang-undang baru penggantinya. Dengan

demikian, tantangan ke depan adalah bagaimana memperkuat koordinasi

antarsektor dalam mewujudkan ketahanan pangan, menerapkan prinsip good

governance, dan sekaligus mempertahankan dan memperluas kemampuan daerah

dalam pengelolaan SDA.

Page 38: SINTESIS NASKAH ANALISIS KEBIJAKAN PERTANIANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_14.pdf · Secara umum subsidi harga pupuk yang telah dilakukan sejak tahun 2003 mengalami

34

Langkah-langkah ke depan yang semestinya dilakukan adalah undang-

undang pengganti ke depan hendaknya merefleksikan prinsip-prinsip good water

governance. Paling tidak ada empat prinsip yang perlu diperhatikan, yaitu:

Pertama, UU SDA yang baru harus mampu berkontribusi terhadap pengelolaan

sumber daya lingkungan yang memungkinkan terwujudnya ecosystem service

yang baik. Dengan perkataan lain UU SDA harus dapat membangun prinsip

pengelolaan secara terpadu yang memungkin fungsi penyediaan dan pengaturan

air yang tidak menghasilkan ancaman dan risiko seperti banjir dan kekeringan

yang dewasa ini frekuensi terjadinya semakin tinggi dan dampaknya semakin

meluas.

Kedua, harus mampu mendukung terwujudnya ketangguhan sosial (social

recilience) untuk mencegah ancaman konflik sosial yang muncul sebagai akibat

dari permasalahan seperti masalah lintas batas (transboundary issues) antarunit-

unit pengelolaan sumber daya air. Ketiga, harus mampu membangun etika bisnis

yang diperlukan agar peran swasta dalam pengelolaan sumber daya air tidak

eksploitatif tetapi memperhatikan kepentingan lingkungan dan kepentingan sosial.

Keempat, UU tersebut harus mampu melakukan harmonisasi dengan UU lainnya

yang terkait dengan air. Misalnya UU No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria, UU

No. 19 Tahun 2004 tentang Kehutanan, UU No. 32 Tahun 2009 tentang

Lingkungan Hidup, UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, dan UU No.

18 Tahun 2012 tentang Pangan.

Page 39: SINTESIS NASKAH ANALISIS KEBIJAKAN PERTANIANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_14.pdf · Secara umum subsidi harga pupuk yang telah dilakukan sejak tahun 2003 mengalami

35

V. PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN PERBENIHAN

5.1. Kondisi dan Permasalahan Perbenihan Nasional

Meskipun sudah diupayakan puluhan tahun, pembangunan pertanian masih

menghadapi permasalahan pada subsektor perbenihan. Secara teknis, benih yang

berkualitas baik memiliki peranan sangat strategis dalam peningkatan produksi

pertanian. Oleh karena itu, ketersediaan dan penggunaan benih unggul yang

memenuhi aspek kualitas dan kuantitas sangat berpengaruh terhadap

produktivitas dan mutu hasil.

Beberapa tahun terakhir pemerintah telah menggulirkan program

Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN), di mana salah satu upaya untuk

mewujudkan program tersebut adalah dengan memberikan atau menggunakan

benih bermutu. Namun, upaya ini dihadapkan pada berbagai kendala dan

tantangan antara lain belum optimalnya penggunaan benih bermutu oleh petani,

di mana masih banyak yang menggunakan benih hasil olahan sendiri.

Sistem perbenihan yang tangguh dan komersial, selain produk yang

dihasilkan jelas identitas genetiknya, pertumbuhan tanaman juga akan lebih

homogen, seragam, dan stabil terhadap pengaruh lingkungan. Selain aspek teknis,

permasalahn benih nasional juga mencakup aspek pelayanan, kontinuitas,

ketepatan, waktu, dan kejelasan harga. Hal ini merupakan permasalahan krusial

yang perlu mendapat perhatian secara seksama.

Salah satu keberhasilan pembangunan pertanian ditentukan oleh kualitas

benih dari varietas tanaman yang digunakan. Upaya peningkatan produktivitas

dipengaruhi oleh keberhasilan dalam memperbaiki potensi genetik varietas

tanaman. Dengan demikian, kegiatan untuk menghasilkan atau menciptakan

varietas baru yang lebih unggul dari yang telah ada perlu didorong melalui

pemberian insentif bagi individu atau institusi penyelenggara pemuliaan yang

menghasilkan varietas tanaman yang mampu memberikan tambahan keuntungan

bagi yang menggunakannya. Oleh sebab itu, perlu kebijakan yang mengatur hal

tersebut melalui kelembagaan, seperti: (1) aspek kebijakan, dengan kelembagaan

yaitu: Badan Perbenihan Nasional (BBN) dan Direktorat Perbenihan, Ditjen

Tanaman Pangan; (2) aspek penelitian dan pemuliaan tanaman, yaitu meliputi:

Page 40: SINTESIS NASKAH ANALISIS KEBIJAKAN PERTANIANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_14.pdf · Secara umum subsidi harga pupuk yang telah dilakukan sejak tahun 2003 mengalami

36

Badan Litbang Pertanian, Kementan, Batan, Perguruan Tinggi, dan Swasta (PT

Bisi, PT Dupont, PT Monsanto, dan PT Kondo); (3) aspek penilaian dan pelepasan

varietas, yaitu: TP2V pada BBN, BPSB-TPH, dan BPTP Provinsi; (4) aspek produksi

benih meliputi: BS (Balai Komoditas, Batan, dan Perguruan Tinggi), BD dan BP

(Balai Benih Kabupaten, BUMN dan Swasta); (5) aspek sertifikasi benih, meliputi:

BPSB TPH, dan produksi benih yang terakreditasi (PT Bisi, PT Dupont, PT East

West Seed Indonesia, dan PT SHS Cabang Sukamandi), dan (6) aspek

pengawasan mutu/peredaran benih, yaitu dengan kelembagaan BPSB TPH.

Karena itu, penting untuk mengetahui kelembagaan sistem perbenihan padi

di lapangan, juga mengetahui karakteristik sosial ekonomi produsen benih padi.

Hal ini penting untuk mengetahui produktivitas dan kelayakan finansial usahatani

benih padi, dan rekomendasi kebijakan sistem perbenihan padi nasional ke depan.

5.2. Kelembagaan Perbenihan Padi di Provinsi Jawa Barat

Berdasarkan data Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat,

luas tanam padi sawah di Jawa Barat mencapai hampir 3 juta ha, dari pertanaman

pada musim hujan dan musim kemarau. Luas tanam pada musim kemarau lebih

luas dibandingkan pada MH karena air irigasi dan air dari hujan memadai pada

MK. Dengan rata-rata penggunaan benih varietas unggul sekitar 20 kg/ha, maka

diperkirakan kebutuhan benih padi untuk pertanaman di lahan sawah sebesar

lebih kurang 60 ribu ton.

Pasokan benih padi di Provinsi Jawa Barat dapat berasal dari petani

produsen benih (swasta), BUMN, dan perorangan petani. Berdasarkan data

realisasi produksi benih padi bersertifikat (BPSB) tahun 2012. Total produksi benih

padi bersertifikat di Jawa Barat tahun 2012 mencapai 57,65 ribu ton, yang terdiri

dari: (1) benih kelas BS sebanyak 2,37 ton, (2) benih kelas BD sebanyak 1.110,05

ton, (3) benih kelas BP sebanyak 8.313,97 ton, dan (4) benih kelas BR sebanyak

48.219,77 ton. Tampak bahwa kelas benih yang paling banyak diproduksi adalah

benih sebar (BR) karena secara umum di Jawa Barat penggunaan benih sebar

dengan label biru merupakan jenis benih yang paling banyak digunakan petani.

Penggunaan benih berlabel sudah umum di wilayah Jawa Barat. Sebagian

besar petani telah menggunakan benih berlabel ungu, dan bahkan di antaranya

Page 41: SINTESIS NASKAH ANALISIS KEBIJAKAN PERTANIANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_14.pdf · Secara umum subsidi harga pupuk yang telah dilakukan sejak tahun 2003 mengalami

37

ada yang menggunakan label putih. Untuk benih berlabel unggu, varietas yang

dominan adalah Ciherang pada saat MH, dan varietas Ciherang serta Mekongga

saat MK.

Tabel 5.1. Realisasi Produksi Benih Padi Bersertifikat di Jawa Barat, Tahun 2012

(Ton)

No. Kabupaten/Kota Produksi (ton) Jumlah

(ton) BS BD BP BR

1. Subang 2,370 882,445 6.395,535 27.002,615 34.283,325

2. Indramayu - 98,825 163,500 2,000 264,325

3. Garut - - 20,600 1.149,500 1.170,100

4. Ciamis - 5,900 216,000 2.636,600 2.858,500

5. Kota Banjar - 3,750 310,000 1.479,500 1.793,250

6. Tasikmalaya - - 85,000 364.000 449.000

7. Kota Tasik - - 1,500 14,000 15,500

8. Cianjur - 20,550 606,950 5.321,800 5.949,300

9. Sukabumi - - 103,500 61,500 165,000

10. Kota Sukabumi - - - 27,000 27,000

11. Bandung - 30,405 10,500 28,000 68,905

12. Bandung Barat - - 1,100 - 1,100

13. Bogor - 0,500 42,750 125,899 169,149

14. Kota Bogor - - - 1,00 1,00

15. Karawang - 44,000 213,150 7.358,765 7.615,915

16. Bekasi - 2,480 21,300 4,800 28,580

17. Purwakarta - 9,470 30,600 - 40,070

18. Majalengka - 6,521 31,635 1.390,300 1.428,456

19. Kuningan - 5,000 8,500 142,000 155,500

20. Sumedang - 0,200 7,500 457,000 464,700

21. Cirebon - - 44,350 653,490 697,840

Total 2,730 1.110,046 8.313,970 48.219,769 57.646,515

Sumber: BPSB TPH Provinsi Jawa Barat (2013)

Dengan membandingkan kebutuhan benih dan produksi benih padi

bersertifikat maka dapat diketahui bahwa produksi benih bersertifikat hampir

seimbang dengan tingkat kebutuhan benih masyarakat petani padi di Jawa Barat.

Tingginya penggunaan benih berlabel tidak terlepas dari keberadaan kelembagaan

produksi benih yang sudah maju dan memadai, juga intensitas kegiatan

penyuluhan dan dukungan pemerintah, di mana sebagian besar lembaga

penelitian padi juga berlokasi di Jawa Barat.

Di Provinsi Jawa Barat, terdapat lima varietas unggul padi sawah yang

paling dominan ditanam saat musim kemarau, yaitu: Ciherang, Mekongga,

Page 42: SINTESIS NASKAH ANALISIS KEBIJAKAN PERTANIANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_14.pdf · Secara umum subsidi harga pupuk yang telah dilakukan sejak tahun 2003 mengalami

38

Situbagendit, IR64, dan Sarinah. Sementara, pada musim penghujan varietas IR

64 kurang disukai karena varietas yang ditanam pada saat MH haruslah varietas

yang tahan rebah dan tahan genangan air.

Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat telah lama

melaksanakan kegiatan bantuan benih kepada para petani setiap tahunnya. Jenis

benih yang diberikan adalah padi sawah (padi nonhibrida dan padi hibrida), dan

juga padi lahan kering/ladang/gogo. Bantuan benih tersebut bersumber dari DIPA

APBN di Tingkat Pusat, di mana provinsi membuat persetujuan atas calon

penerima yang diusulkan oleh Dinas Pertanian Kabupaten. Ada dua program

bantuan pemerintah yang dilaksanakan yaitu Bantuan Langsung Benih Unggul

(BLBU) dan Bantuan Benih dari Cadangan Benih Nasional (CBN).

Bantuan Langsung Benih Unggul (BLBU) diberikan dengan jumlah (kuota)

yang telah ditetapkan masing-masing kabupaten/kota. Untuk mendapatkan

alokasi ini, salah satu persyaratannya adalah harus menjadi anggota salah satu

kelompok tani di daerahnya. Penentuan dan penetapan usulan calon penerima

dibuat oleh petugas pertanian di tingkat lapangan (Penyuluh Pertanian dan Kepala

Cabang Dinas atau lainnya), yang selanjutnya disampaikan ke Dinas Pertanian

Kabupaten untuk ditetapkan dan disampaikan ke Dinas Pertanian Tanaman

Pangan Provinsi Jawa Barat. Kemudian Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi

Jawa Barat membuat Persetujuan untuk penyaluran benih ke tingkat kelompok

tani sesuai dengan Penetapan Usulan Calon Penerima dari Dinas Pertanian

Kabupaten.

Program penyaluran benih juga terdapat pada SL-PTT. Penerapan

teknologi Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) merupakan instrumen perangsang

(stimulus) bagi daerah sekitarnya. Jenis SL-PTT yang dikembangkan adalah SL-

PTT Reguler dimana bantuan yang diberikan hanya berupa benih, kecuali 1 Ha

Laboratorium Lapangan diberikan bantuan full paket. Jenis kedua adalah SL-PTT

Spesifik Lokasi dimana bantuan yang diberikan berupa bantuan full paket (benih,

pupuk, dan alsintan). Sebagian lagi adalah SL-PTT Indeks Pertanaman, dimana

bantuan yang diberikan berupa bantuan full paket (benih, pupuk, dan alsintan).

Page 43: SINTESIS NASKAH ANALISIS KEBIJAKAN PERTANIANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_14.pdf · Secara umum subsidi harga pupuk yang telah dilakukan sejak tahun 2003 mengalami

39

Kriteria penerima SL-PTT ini difokuskan kepada petani/kelompok tani yang

memiliki produktivitas yang lebih rendah dari produktivitas kabupaten. Penerapan

pola ini diharapkan terbina kawasan-kawasan andalan, yang berfungsi sebagai

pusat belajar pengambilan keputusan para petani/kelompok tani, sekaligus

sebagai tempat tukar menukar informasi dan pengalaman lapangan, pembinaan

manajemen kelompok, serta sebagai percontohan bagi kawasan lainnya. Dalam

setiap 25 ha areal SL-PTT padi nonhibrida, 25 ha areal SL-PTT padi nonhibrida

spesifik lokasi, 25 ha areal SL-PTT padi nonhibrida peningkatan IP, 10 ha areal SL-

PTT padi hibrida, 10 ha areal SL-PTT padi hibrida spesifik lokasi, 25 ha areal SL-

PTT padi lahan kering, dan 15 ha areal SL-PTT jagung hibrida. Masing-masing

ditempatkan 1 unit laboratorium lapangan (LL) dengan luasan 1 Ha.

Menurut Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat, SL-PTT

yang telah dilaksanakan sejak tahun 2008 merupakan salah satu upaya

meningkatkan produksi/produktivitas padi. Melalui SL-PTT petani dapat: (1)

belajar langsung di lapangan dalam menerapkan berbagai teknologi usahatani

melalui penggunaan input produksi yang efisien secara spesifik lokasi; (2) petani

mampu mengelola sumber daya yang tersedia secara terpadu dalam melakukan

budi daya berdasarkan kondisi spesifik lokasi sehingga petani menjadi lebih

terampil serta mampu mengembangkan usahataninya dalam rangka pencapaian

sasaran produksi yang ditetapkan.

Peningkatan produktivitas dan produksi di lokasi kajian juga dilakukan

melalui berbagai gerakan seperti: (1) gerakan pengolahan tanah, (2) gerakan

tanam serentak, (3) gerakan pemupukan berimbang, (4) gerakan penerapan

teknologi, (5) gerakan pengendalian OPT, (6) gerakan penanganan panen dan

pasca panen serta gerakan lainnya dengan dukungan dana APBN maupun APBD

serta dana masyarakat. Dalam meningkatkan produksi selain menggunakan

metode PTT atau dapat juga menggunakan Metode SRI. Usaha tani organik

metode SRI (System Rice of Intensification) adalah usahatani pada padi sawah

irigasi secara intensif dan efisien dalam pengelolaan tanah, tanaman dan air

melalui pemberdayaan kelompok dan kearifan lokal serta berbasis pada kaidah

ramah lingkungan. Dari kegiatan tersebut di atas maka di dalamnya sudah

Page 44: SINTESIS NASKAH ANALISIS KEBIJAKAN PERTANIANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_14.pdf · Secara umum subsidi harga pupuk yang telah dilakukan sejak tahun 2003 mengalami

40

meliputi penggunaan benih varietas unggul, pemupukan berimbang, pemakaian

pupuk organik serta biohayati, pengelolaan pengairan, dan perbaikan budi daya.

Pelaksanaan teknologi PTT dan SRI tidak berbeda jauh, yang membedakan hanya

pada SRI penekanan pada penggunaan bahan organik yang cukup tinggi sebagai

pengganti pupuk anorganik sehingga kebutuhan hara tanaman sepanjang

pertumbuhan di lapangan tersedia.

Sementara itu, bantuan benih dari Cadangan Benih Nasional (CBN)

diberikan dalam rangka menekan ancaman puso akibat Dampak Perubahan Iklim

(DPI) atau serangan OPT, dalam rangka Perluasan Areal Tanam, dan juga

penyegaran atau penggantian varietas. Program bantuan benih ini dilaksanakan di

seluruh kabupaten dan beberapa kota di Jawa Barat.

Penyebaran benih padi per varietas BLBU pada program SL-PTT juga paling

dominan di Jawa Barat adalah pada varietas Ciherang disusul oleh varietas

Mekongga dan Inpari. Hal yang sama pada penyebaran benih padi per varietas

BLBU pada program non-SL-PTT juga paling dominan di Jawa Barat adalah pada

varietas Ciherang, Mekongga, dan Inpari. Sementara, bila dilihat perkembangan

subsidi benih berdasarkan lembaga BUMN yang menanganinya, penyaluran benih

subsidi paling tinggi dilakukan oleh PT Pertani dan PT SHS.

5.3. Kebijakan Pemerintah untuk Memperkuat Kinerja Produsen Benih Pemerintah dan Petani Penangkar Benih

Pendirian Balai Benih dimulai dari didirikannya beberapa Kebun Bibit pada

zaman sebelum kemerdekaan Republik Indonesia. Setelah merdeka, pemerintah

mendirikan Kebun-Kebun Bibit Desa, kemudian Kebun-Kebun Bibit Desa tersebut

berubah mernjadi Balai Benih. Balai Benih yang memproduksi benih di daerah

diselenggarakan oleh Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi dan Dinas

Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten. Selanjutnya, dengan diberlakukannya

peraturan perundangan otonomi daerah maka Balai Benih tersebut berubah

menjadi Unit Pelaksana Teknis Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan sebagian

besar masih dalam pembahasan di pemerintah daerah.

Berdasarkan tugas dan fungsi serta lokasi dan tanggung jawab

pembinaannya sebelum pelaksanaan otonomi daerah, maka Balai-Balai Benih

Page 45: SINTESIS NASKAH ANALISIS KEBIJAKAN PERTANIANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_14.pdf · Secara umum subsidi harga pupuk yang telah dilakukan sejak tahun 2003 mengalami

41

tersebut digolongkan dalam tiga kategori, yaitu: Balai Benih Induk (BBI), Balai

Benih Utama (BBU), dan Balai Benih Pembantu (BBP). Penggolongan tersebut

berlaku untuk komoditas padi maupun palawija. Perbanyakan benih penjenis (BS)

untuk menghasilkan benih dasar (BD) dilakukan di Balai Benih Induk (BBI) yang

dikelola Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi, sedangkan perbanyakan benih

dasar untuk menghasilkan benih pokok (BP) dan BP menjadi benih sebar (BR)

masing-masing dilakukan di Balai Benih Utama (BBU) dan Balai Benih Pembantu

(BBP) yang dikelola Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten.

Di Provinsi Jawa Barat, keberadaan Balai Benih Induk (BBI) namanya

diubah menjadi Balai Pengembangan Benih Padi (BPBP) sesuai dengan SK

Gubernur No. 53 Tahun 2002 dan Perda No. 5 Tahun 2002. BPBP melakukan

perbanyakan benih dasar (FS/BD) yang berasal dari benih penjenis (BS) yang

selanjutnya menghasilkan benih pokok (SS/BP). BPBP pembinaannya berada di

bawah Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat. Adapun Balai

Pengembangan Benih Padi (BPBP) Jawa Barat keberadaannya serta fungsinya

sebagai salah satu unit pelayanan di bidang pengembangan dan perbanyakan

benih, pembinaan penangkar serta penyediaan benih unggul bermutu.

Sementara untuk BBU, merupakan UPT yang berada dalam naungan Dinas

Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten. Namun, secara umum karena

kelembagaan perbenihan padi baik yang bersifat nasional (BB Padi dan BUMN

yang menangani benih), kelembagaan benih provinsi (BPSB TPH dan instalasi

BPSB TPH Wilayah, dan BPBP), dan kelembagaan produsen benih swasta (petani

produsen) yang telah berkembang secara baik; maka kelembagaan benih

kabupaten tidak menunjukkan perannya dalam kegiatan penangkaran benih.

Untuk Balai Benih yang ada dengan lahan yang terbatas lebih banyak

menggunakan hasil tangkarannya untuk kebutuhan sendiri yang sangat terbatas.

Untuk mendukung keberhasilan pelaksanaan peningkatan produksi dan nilai

tambah produksi usahatani padi, unsur teknologi benih unggul bermutu dan

produsen benih sangat menentukan. Produsen benih dapat meliputi swasta,

BUMN, dan petani produsen dan atau sebagai penangkar benih.

Page 46: SINTESIS NASKAH ANALISIS KEBIJAKAN PERTANIANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_14.pdf · Secara umum subsidi harga pupuk yang telah dilakukan sejak tahun 2003 mengalami

42

Sementara, sistem pengadaan dan penyaluran benih yang eksisting berlaku

di lapangan menunjukkan bahwa varietas unggul baru yang dilepas oleh

Puslitbang Komoditas di samping diteruskan oleh Direktorat Benih ke BPBP seperti

yang terjadi pada sistem pengadaan dan distribusi secara formal, melalui Balai

komoditasnya dapat memperbanyak benih BS ini di masing-masing kebun

percobaannya. Pada sistem ini, BUMN dan penangkar swasta selain mendapatkan

benih jenis FS dari BBI bisa juga memperolehnya langsung ke BB Penelitian Padi

(Balai Komoditas) yang selanjutnya diperbanyak menjadi benih SS dan ES.

Bahkan, ada beberapa penangkar swasta/lokal mendapatkan benih BS langsung

dari Balai Besar Penelitian Padi (Balit Komoditas). Di tingkat lapangan pun terjadi

variasi sistem produksi dan pendistribusian benih. Perbedaan jenis benih yang

diproduksi tersebut sangat terkait dengan respon pasar benih. Para produsen

benih lokal/petani produsen benih untuk kasus Provinsi Jawa Barat dapat

menghasilkan dua jenis benih, yaitu benih FS yang bahan bakunya (benih jenis

BS) bersumber dari BB Padi atau menghasilkan benih SS. Adapun kelembagaan

BPTP, dapat memproduksi benih kelas FS menjadi SS atau ES.

Dalam menggerakkan perbenihan padi, terdapat beberapa kelembagaan

yang terlibat di dalamnya selain seperti yang telah disebutkan sebelumnya, yaitu

seperti: Balai Pengembangan Benih Padi, Asosiasi Produsen Benih Padi Jawa

Barat, kios benih, hingga petani padi.

Khusus untuk benih bersertifikat, sistem distribusinya melibatkan

kelembagaan mulai dari produsen benih, penangkar binaan, pedagang/kios benih,

dan petani sebagai pengguna benih untuk kegiatan usahataninya. Produsen benih

dapat memasarkan benih hasil tangkarannya (melalui petani binaan) ke kios

saprotan. Selain itu, terdapat beberapa petani yang membeli langsung ke

produsen benih padi secara langsung. Produsen benih juga bisa menjual ke BUMN

(PT SHS atau PT Pertani) untuk benih bersubsidi (program pemerintah) dengan

kelas benih umumnya adalah ES (untuk label biru), namun dari segi

pembayarannya kerap menimbulkan permasalahan, yaitu terjadinya gagal bayar

karena sistem bayar yang tidak tunai melainkan dibayar dengan tenggang waktu

tertentu yang sering tidak tepat waktu.

Page 47: SINTESIS NASKAH ANALISIS KEBIJAKAN PERTANIANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_14.pdf · Secara umum subsidi harga pupuk yang telah dilakukan sejak tahun 2003 mengalami

43

Berkenaan dengan varietas yang digunakan petani, varietas Ciherang sudah

sejak lama digunakan oleh petani, dan menurut pendapat petani bahwa varietas

Ciherang memiliki keunggulan antara lain: memiliki sekam yang tipis, mudah

dirontokkan dengan cara digebot (belum menggunakan mesin perontok padi),

rendemen padinya tinggi, dan rasanya enak bagi para petani. Untuk varietas

Inpari, para petani berpendapat bahwa varietas tersebut memiliki rendemen yang

lebih rendah daripada Ciherang, sulit dirontokkan dengan cara digebot, rasanya

tidak seenak Ciherang dan harga jual yang sedikit lebih rendah daripada Ciherang

(sekitar Rp200/kg lebih rendah dari harga jual Ciherang). Namun, varietas Inpari

lebih tahan serangan OPT wereng dibandingkan dengan varietas Ciherang. Di

lokasi penelitian Kabupaten Cianjur, menurut kelompok tani bahwa untuk

memperoleh rasa wangi pada beras, para petani akan mencampur beras varietas

Ciherang atau Mekongga dengan beras varietas Situ Bagendit.

Khusus untuk petani penangkar, penangkar benih di Jawa Barat merupakan

binaan produsen benih. Jumlah penangkar binaan dari seorang produsen terdiri

atas 10 sampai 50 orang petani binaan. Penangkar yang menjalin kerja sama

dengan produsen secara umum lebih karena ikatan kontrak kepercayaan. Pada

tahap awal kerja sama biasanya benih padi diberikan oleh produsen dengan

kisaran antara 20-25 kg/ha. Untuk tahap selanjutnya, benih yang diberikan pada

saat awal akan dibayar/diperhitungkan pada saat panen. Saat panen, seluruh

benih yang dihasilkan akan dihimpun semua (opkup) oleh produsen benih atau

dibeli sekitar 75% dari produksi penangkar. Hal ini tergantung dari kemampuan

produsen.

Pada kegiatan penangkaran benih, seluruh biaya usahatani seluruhnya

ditanggung penangkar binaan sendiri. Dengan demikian, modal yang digunakan

usaha penangkaran oleh penangkar binaan produsen benih adalah bersumber dari

modal sendiri, sementara untuk roguing dan pemeriksaan lapangan ditanggung

produsen.

Kegiatan usaha penangkaran benih pada prinsipnya hampir sama dengan

usahatani padi untuk tujuan konsumsi. Hal yang membedakan adalah dalam hal

pemeriksaan lapangan dengan beberapa tahapan yaitu: (1) pemeriksaan

Page 48: SINTESIS NASKAH ANALISIS KEBIJAKAN PERTANIANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_14.pdf · Secara umum subsidi harga pupuk yang telah dilakukan sejak tahun 2003 mengalami

44

pendahuluan, (2) pemeriksaan pada masa fase vegetatif, (3) pemeriksaan pada

masa fase generatif (berbunga, 30 hari sebelum panen) harus dilakukan seleksi

(roguing) serta pembersihan dari rerumputan sebelum pemeriksaan lapangan

kedua, (4) pemeriksaan pada masa pertanaman fase masak (7 hari sebelum

panen) harus dilakukan seleksi (roguing) serta pembersihan dari rerumputan

sebelum pemeriksaan lapangan ketiga dilakukan, (5) pemeriksaan pada saat

seleksi (roguing) mencakup: tipe pertumbuhan, kehalusan daun warna helai daun,

warna lidah daun, warna pangkal batang, bentuk/tipe malai, bentuk gabah, warna

gabah, dan sudut daun bendera, dan (6) apabila pada pemeriksaan lapangan fase

vegetatif atau fase berbunga tidak lulus, maka dapat dilakukan pemeriksaan ulang

maksimal 1 kali setelah dilakukan seleksi (roguing) terhadap pertanaman.

Page 49: SINTESIS NASKAH ANALISIS KEBIJAKAN PERTANIANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_14.pdf · Secara umum subsidi harga pupuk yang telah dilakukan sejak tahun 2003 mengalami

45

VI. KEBIJAKAN PENGEMBANGAN MEKANISASI PERTANIAN

Mekanisasi pertanian telah dikenal di Indonesia mulai era tahun 50-an

sebagai perangkat teknologi dalam usahatani dengan tujuan untuk: (i)

meningkatkan produktivitas lahan dan tenaga kerja, (ii) mempercepat dan

efisiensi proses, dan (iii) menekan biaya produksi. Adanya ketiga tujuan khusus

tersebut menjadikannya sebagai suplemen, substitutor, dan/atau faktor

komplemen dalam proses produksi tergantung pada jenis, tipe, kapasitas, jumlah

serta cara pemakaiannya. Sebaliknya, penerapan mekanisasi pertanian yang

kurang memperhatikan kondisi sosial-budaya masyarakat akan menjadi

kompetitor.

Karakteristik alsintan adalah bersifat barang modal (investasi), memerlukan

perawatan untuk menjamin umur teknis, memerlukan SDM yang terlatih (punya

kemampuan) untuk menjalankannya dan perawatan, serta mekanisasi pertanian

harus berperan mentransformasikan pertanian tradisional ke pertanian modern

yang lebih efisien dan efektif (ada perubahan kultur bisnis). Dengan karakteristik

tersebut, kegiatan alsintan melibatkan banyak pihak/lembaga/stakeholder baik

dari unsur pemerintah, swasta, kelompok tani, dan lainnya. Adapun

perkembangan kinerja alsintan dari pemerintahan orde lama sampai orde

reformasi seperti pada Tabel 6.1.

Implementasi penerapan mekanisasi selama kurun waktu 1950-an sampai

saat ini diperoleh suatu pembelajaran bahwa penerapan alat dan mesin pertanian

sebagai wujud fisik mekanisasi pertanian, akan memunculkan premature

mechanization jika sistem pengembangannya tidak memperhatikan aspek-aspek

teknis, ekonomis, infrastruktur, dan kelembagaan sosial budaya setempat.

Konsekuensi dari premature mechanization tersebut tidak hanya akan menjadi

beban bagi sistem usahatani, dan masyarakat, tetapi juga pemerintah yang sudah

memberikan investasi yang cukup besar secara nasional.

Page 50: SINTESIS NASKAH ANALISIS KEBIJAKAN PERTANIANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_14.pdf · Secara umum subsidi harga pupuk yang telah dilakukan sejak tahun 2003 mengalami

46

Tabel 6.1. Gambaran Umum Perkembangan Mekanisasi di Indonesia Tahun 1950-

an s/d Saat Ini

Faktor Penciri Rezim Pemerintahan

Orde Lama Orde Baru Orde Reformasi

Tujuan pemerintah

Swasembada pangan

Swasembada beras Swasembada pangan berkeberlanjutan

Bantuan teknis dari luar negeri

Tinggi (alsintan besar untuk

pembukaan lahan)

Sedang (alsintan kecil s/d menengah, skala

kelompok kecil petani sawah padi, untuk

pengolahan tanah s/d pascapanen

Rendah

Kesepadanan alsintan

Rendah (untuk lahan kering)

Tinggi (lahan sawah beririgasi)

Tinggi (lahan sawah beririgasi)

Dukungan teknis dari

produsen alsin

Rendah (bersifat bantuan)

Sedang s/d menengah

Tinggi dan sebagian besar (dapat dibuat di

dalam negeri)

Skill & capital investment

Tinggi Sedang s/d medium (terjangkau melalui

sistem bantuan atau pembelian kelompok)

Sedang s/d medium (melalui sistem

bantuan, pembelian kelompok dan perseorangan)

Pengetahuan

pendukung operasional oleh petani

Rendah Sedang s/d tinggi Sedang s/d tinggi

Dukungan

lembaga finansial

Hampir tidak

ada

Ada Banyak

Sumber: Handaka dan Abi Prabowo (2013)

Pengembangan mekanisasi pertanian memiliki urgensi yang penting dalam

pembangunan dengan pertimbangan: (a) untuk memberikan dukungan terhadap

pengembangan pertanian modern dan pertanian bio-industri; (b) semakin

meningkatnya kebutuhan dan diversifikasi produksi pertanian; (c) perlunya

peningkatan efisiensi, nilai tambah, diversifikasi produksi pertanian, dan daya

saing komoditas pertanian; (d) makin enggannya generasi muda dan langkanya

tenaga kerja di bidang pertanian; dan (e) perlunya dukungan terhadap

penanganan dampak perubahan iklim di bidang pertanian. Pengembangan

mekanisasi pertanian juga berperan dalam hal: (a) komplemen terhadap

kekurangan tenaga kerja melalui penerapan mekanisasi budi daya dan

pascapanen pertanian; (b) meningkatkan produktivitas tenaga dan efisiensi

Page 51: SINTESIS NASKAH ANALISIS KEBIJAKAN PERTANIANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_14.pdf · Secara umum subsidi harga pupuk yang telah dilakukan sejak tahun 2003 mengalami

47

produksi melalui penerapan mekanisasi budi daya dan pascapanen pertanian; (c)

mengurangi susut dan mempertahankan mutu hasil pertanian melalui penerapan

mekanisasi panen dan pascapanen pertanian, misalnya pada saat panen padi yang

tadinya secara manual kehilangan hasilnya mencapai 9,4% kemudian dilakukan

mekanisasi menjadi 3%; (d) meningkatkan nilai tambah hasil dan limbah

pertanian melalui penerapan mekanisasi pascapanen pertanian, (e) mendukung

penyediaan sarana/input produksi melalui penerapan mekanisasi pascapanen

pertanian; dan (f) mengurangi kejerihan kerja dalam kegiatan produksi pertanian

melalui pengurangan beban kerja.

Pengembangan mekanisasi pertanian di suatu wilayah harus

mempertimbangkan banyak faktor secara holistik, bukan hanya faktor teknis tetapi

juga sosial-ekonomi-lahan dan budi daya-sejarah-politik-kelembagaan-lingkungan-

energi. Pembahasan secara menyeluruh dari semua sisi pandang akan

menguntungkan bagi para pengambil kebijakan pengembangan dari pihak

pemerintah, produsen, pemasar, praktisi, pengguna yang terlibat dan menjamin

fungsi keberlanjutannya. Hasilnya, kebijakan yang diterapkan akan lebih realistik

untuk diterapkan dengan sedikit atau minimal risk pada pihak yang dirugikan.

Pendekatan yang sering dilakukan sampai saat ini adalah melalui pendekatan

bersifat top-down dengan nuansa intervensi, mengabaikan aspek rekayasa sosial

menguntungkan petani dan hanya memperhatikan orientasi problem-solving

bukan sebagai enhancing root poverty eradication ataupun pemberdayaan petani.

Seiring dengan maraknya alsintan baik dari pemerintah maupun swadaya,

pemerintah mencanangkan pembentukan kelembagaan yang disebut dengan

Usaha Pelayanan Jasa Alsintan (UPJA) pada tahun 2008. Fungsi kelembagaan

UPJA, yaitu: (1) pelayanan jasa Alsintan dalam penanganan budi daya, (2)

pelayanan jasa alsintan dalam penanganan panen, pascapanen, dan pengolahan

hasil pertanian, (3) pelayanan untuk meningkatkan daya saing dan perbaikan

kesejahteraan petani. Sampai tahun 2012, jumlah UPJA mencapai 12.044

kelompok, namun sebagian besar (78,8%) UPJA termasuk kelas pemula. Hal ini

dikarenakan oleh banyak hal, di antaranya rendahnya kepemilikan lahan dan

Page 52: SINTESIS NASKAH ANALISIS KEBIJAKAN PERTANIANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_14.pdf · Secara umum subsidi harga pupuk yang telah dilakukan sejak tahun 2003 mengalami

48

pendidikan/ketrampilan petani, kurang efisiennya pemilikan alsintan dan

lemahnya permodalan petani, serta belum efisiennya pengelolaan usahatani.

Pada saat ini (tahun 2015), pemerintah tengah menggulirkan Program

Upaya Khusus (Upsus) Peningkatan Produksi Padi, Jagung, dan Kedelai melalui

Program Perbaikan Jaringan Irigasi dan Sarana Pendukungnya. Program tersebut

dilakukan sebagai upaya untuk memenuhi target pencapaian swasembada

berkelanjutan padi dan jagung serta swasembada kedelai (swasembada pangan)

dalam waktu tiga tahun. Untuk mencapai target tersebut, ditentukan sasaran: (1)

indeks pertanaman (IP) meningkat minimal sebesar 0,5 dan produktivitas padi

meningkat minimal sebesar 0,3 ton GKP, (2) produktivitas kedelai minimal sebesar

1,57 ton/ha pada areal tanam baru dan meningkatnya produktivitas kedelai

sebesar 0,2 ton/ha pada areal existing; (3) produktivitas jagung minimal sebesar 5

ton/ha pada areal tanam baru dan meningkatnya produktivitas jagung sebesar 1

ton/ha pada areal existing. Untuk mendukung program tersebut dilakukan

berbagai kegiatan yang mencakup: rehabilitasi jaringan irigasi, penyediaan

alsintan, pupuk dan benih, dan pendampingan.

Khusus terkait alsintan, pemerintah memberikan bantuan alsintan prapanen

dan pascapanen dalam jumlah besar yang diadakan oleh pemerintah pusat dan

provinsi seperti pada Tabel 6.2. Untuk pengadaan di provinsi, jenis, dan spesifikasi

alsintan disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi spesifik lokasi di masing-

masing daerah. Alsintan yang diadakan merupakan alsintan yang sudah

mempunyai Sertifikat Produk Pengguna Tanda Standard Nasional Indonesia (SPPT

SNI) dan atau sudah memiliki test report dari lembaga penguji alsintan yang

terakreditasi. Pengadaan alsintan jumlah yang cukup besar dibandingkan tahun-

tahun sebelumnya dan dikelola dalam bentuk: (a) UPJA dengan penerima bantuan

adalah kelompok tani/Gapoktan/UPJA dan (b) Brigade, penerima bantuan adalah

Pemerintah Daerah Provinsi/Kabupaten (pengadaan bantuan alsintan di pusat).

Page 53: SINTESIS NASKAH ANALISIS KEBIJAKAN PERTANIANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_14.pdf · Secara umum subsidi harga pupuk yang telah dilakukan sejak tahun 2003 mengalami

49

Tabel 6.2. Jumlah dan Jenis Alsintan Mendukung Program Upsus Padi, Jagung, dan

Kedelai

Jenis Alsintan 2014 2015 Refocusing

2015 APBNP-TP Provinsi

2015 APBNP-TP Pusat

Traktor roda 2 (unit) 7.700 6.100 10.000 10.000

Pompa air (unit) 4.200 2.300 3.425 3.425

Rice transplanter (unit) 280 ... ... ...

Cultivator (unit) 240 ... ... ...

Chopper (unit) 225 ... ... ...

Jumlah (unit) 12.645 8.400 13.425 13.425

Sumber: Heriawan (2015)

6.1. Kasus Penerapan Mekanisasi Pertanian

Beberapa kasus pengalaman pembelajaran penerapan alat dan mesin

pertanian sebagai teknologi komplemen, susbtitusi, dan suplemen di Indonesia

diambil dari beberapa sumber penelitian dan kajian sebagai berikut:

Teknologi Tanam Padi

Kegiatan pindah tanam bibit padi merupakan salah satu teknologi budi daya

padi yang menuntut curahan tenaga kerja terbanyak kedua sesudah panen (40-50

HOK/ha). Pada tanam bibit padi dengan transplanter diperlukan dapog (baki/rak

semai) berukuran 28x 58 cm. Benih disemai pada dapog dengan ketebalan tanah

(media tumbuh) 1-3 cm. Pindah tanam dilakukan pada saat umur bibit padi sudah

sekitar 14-18 hari. Pada awal penerapan transplanter petani mengalami kesulitan

dalam penyediaan baki dan cara pembibitan dalam baki. Hal ini dialami pada saat

penerapan transplanter buatan IRRI pada masa 1978-1980. Munculnya kembali

alsin transplanter saat ini (25 tahun kemudian) memunculkan proses

pembelajaran dan melahirkan terobosan penggunaan sistem dapog tanpa baki/rak

penyemai. Secara bertahap petani mulai menggunakan lapisan plastik, atau koran,

sebagai alas sesudah tanah lapis bawah, untuk mencegah akar benih tumbuh

bebas ke tanah, dan memudahkan benih dipindahkan ke rak pindah tanam pada

mesin tanam (transplanter). Proses ini memberikan nilai appropriateness yang

Page 54: SINTESIS NASKAH ANALISIS KEBIJAKAN PERTANIANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_14.pdf · Secara umum subsidi harga pupuk yang telah dilakukan sejak tahun 2003 mengalami

50

tinggi, sehingga mudah diterima, terdifusi, dan teradopsi pada petani. Prinsipnya,

harus ada yang memulai, mencoba, berkorban, tekun, dan memiliki motivasi.

Ketertarikan petani untuk menggunakan alsin transplanter juga dipengaruhi oleh

adanya selisih biaya tanam apabila dibandingkan dengan cara tanam tenaga

manusia.

Teknologi Pompa Air

Pompa air merupakan unsur komplemen pendukung pertumbuhan tanaman

melalui penyediaan air irigasi. Tanpa mekanisasi, air masih dapat dinaikkan namun

dengan curahan energi manusia cukup besar, dengan menggali sumur, menaikkan

secara manual dengan kapasitas rendah serta sulit menjangkau kawasan

usahatani secara luas. Kasus pemanfaatan pompa air di daerah Madiun, Ngawi,

dan Nganjuk Provinsi Jawa Timur menunjukkan kinerja yang baik sehingga

mendorong nilai usaha tani meningkat, bermanfaat, dan menambah pendapatan

petani. Adanya kemauan petani untuk menggunakan pompa air (8,5–12 HP)

sebagai sumber air irigasi air tanah dangkal mampu meningkatkan produktivitas

lahan masing-masing adalah: (i) untuk tanaman padi pada lahan sawah tadah

hujan dari 2 ton/ha menjadi 4 ton/ha; (ii) tanaman kedelai pada lahan sawah 0,4

ton/ha menjadi 0,8 ton/ha; (iii) tanaman jagung pada lahan sawah tadah hujan

dari 1,8 ton/ha menjadi 4 ton/ha; (iv) tanaman tebu setelah terjamin airnya pada

musim kemarau dari irigasi pompa mampu meningkatkan keuntungan sebesar

Rp750.000/ha/musim (Prabowo et al., 2001). Meskipun demikian, masih ada

kendala yang perlu diminimalkan dampaknya seperti manajemen tanaman,

pemilihan komoditas yang menguntungkan, dan kesiapan petani operator dan

organisasinya.

Teknologi Combine Harvester

Adopsi dan difusi combine harvester sudah berkembang di Sulawesi

Selatan, khususnya di Kabupaten Sidrap dan Pinrang. Dari penggunaan sabit,

stripper chandoe kemudian berubah ke penggunaan combine harvester, berjalan

relatif cepat. Pada awal tahun 2000, petani dikenalkan dengan chandoe, sejenis

stripper, yang digunakan untuk memanen padi secara mekanis (modifikasi lokal

Page 55: SINTESIS NASKAH ANALISIS KEBIJAKAN PERTANIANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_14.pdf · Secara umum subsidi harga pupuk yang telah dilakukan sejak tahun 2003 mengalami

51

dari IRRI stripper), kemudian pada tahun 2011 telah berubah ke teknologi yanng

lebih canggih seperti combine harvester. Pengoperasian alsin combine harvester

dengan kemampuan lebar panen 175 cm mampu memanen seluas 3–4 ton/hari,

rata-rata kemampuan panen 770.000 kg/musim. Percepatan adopsi combine

harvester di Kabupaten Sidrap juga dipengaruhi adanya keterkaitan usaha pemilik

combine dengan rice milling unit (RMU) yang diusahakan. Dengan adanya

penguasaan combine harvester berarti pasokan bahan RMU dapat terjamin

keberlanjutannya dalam skala usaha yang menguntungkan. Seorang pengusaha

RMU yang memiliki combine harvester akan menyewakan alat panennya sampai

ke Sulawesi Tenggara atau Sulawesi Tengah sebagai jaminan untuk mendapatkan

pasokan gabah bagi RMU-nya. Menurut hasil wawancara dengan staf Dinas

Pertanian Kabupaten Sidrap, pada salah satu kecamatan terdapat kepemilikan

combine harvester mencapai 71 unit dan diperkirakan jumlah total combine

harvester saat ini di Kabupaten Sidrap mencapai 160 unit.

6.2. Kebijakan Mekanisasi Pertanian ke Depan

Pertumbuhan mekanisasi pertanian memiliki korelasi timbal balik yang

cukup signifikan dengan kemajuan intensifikasi usahatani atau perbaikan mutu

intensifikasi. Dengan kata lain, mekanisasi pertanian menjadi pendorong untuk

melakukan peningkatan mutu intensifikasi usahatani, namun juga program

perbaikan atau peningkatan mutu intensifikasi dapat menjadi pendorong bagi

bertumbuhnya mekanisasi pertanian. Pertumbuhan tersebut antara lain

disebabkan makin dibutuhkannya mekanisasi pertanian untuk melakukan

percepatan pengolahan tanah, makin berkurangnya tenaga kerja pengolah tanah

di perdesaan, atau terjadinya urbanisasi ke wilayah perkotaan. Di samping itu

perbaikan prasarana transportasi mempermudah terjadinya perpindahan tenaga

kerja dari satu tempat ke tempat lain ecara lebih cepat dan murah. Faktor

tersedianya prasarana irigasi dan kelembagaan kelompok tani menjadikan indeks

pertanaman (IP) meningkat seiring dengan pertumbuhan mekanisasi pertanian.

Hal ini juga terjadi pada wilayah-wilayah yang padat penduduk seperti di Jawa

karena indeks mekanisasi di Jawa rata-rata tinggi dan proporsional dengan indeks

pertanaman.

Page 56: SINTESIS NASKAH ANALISIS KEBIJAKAN PERTANIANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_14.pdf · Secara umum subsidi harga pupuk yang telah dilakukan sejak tahun 2003 mengalami

52

Dalam upaya peningkatan produksi padi, jagung, dan kedelai diperlukan

revitalisasi bantuan mekanisasi pertanian dalam bentuk alat dan mesin pertanian

(alsintan). Revitalisasi ini perlu dilakukan untuk meningkatkan efisiensi dan

efektivitas bantuan alsintan (budi daya dan pascapanen), dengan fokus untuk

mempercepat kepastian peningkatan produktivitas padi. Komoditas alsintan yang

memerlukan perhatian adalah: (a) traktor tangan untuk wilayah-wilayah dengan

intensitas pertanaman tinggi, guna mengejar waktu tanam; (b) mesin tanam

(transplanter) untuk memastikan jumlah populasi tanaman sesuai dengan sistem

tanam tegel (sekurangnya 250.000 rumpun/ha), dan percepatan tanam pada

daerah-daerah yang memiliki IP tinggi; dan (c) penggunaan kombinasi sabit

dengan power thresher, atau reaper dengan thresher, atau mower thresher; (d)

mendorong penggunaan combine harvester untuk wilayah-wilayah yang memiliki

acceptability tinggi, manageable dan sesuai skala usahatani pengguna.

Seiring dengan meningkatnya jumlah bantuan alsintan kepada petani,

seharusnya diikuti dengan pelatihan yang lebih terjadwal, terstruktur, dan

memiliki pola kurikulum minimum dan standar. Pelatihan dilakukan untuk

perencana tingkat provinsi/kabupaten, penyuluh, operator, dan mekanik. Ditjen

Tanaman Pangan, Ditjen PSP, bersama-sama dengan BBSDMP berkoordinasi

dalam melakukan peningkatan mutu perencanaan SDM Mekanisasi Pertanian baik

di tingkat pusat, provinsi, kabupaten, sampai tingkat lapang. Badan Litbang

Pertanian perlu mengambil peran yang lebih banyak dalam implementasi bantuan

ini terutama untuk membantu Ditjen Teknis menetapkan metode: (a) seleksi alat

dan mesin pertanian, agar sasaran sistem usahatani yang dituju benar-benar tepat

dan berhasil guna; (b) memberikan rekomendasi melalui kajian teknis, kajian

operasional yang fokus pada pencapaian efisiensi dan efektivitas pengembangan

mekanisasi melalui bantuan alsintan; (c) bantuan alsintan harus diarahkan pada

pengembangan usahatani pada jangka panjang, sehingga perlu dipersiapkan

dengan sistem perencanaan yang lebih baik, terarah, dan dilakukan dengan

pendampingan yang intensif sebagai suatu kerangka sistem pengembangan

mekanisasi yang berkelanjutan; (d) mengembangkan terobosan-terobosan

Page 57: SINTESIS NASKAH ANALISIS KEBIJAKAN PERTANIANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_14.pdf · Secara umum subsidi harga pupuk yang telah dilakukan sejak tahun 2003 mengalami

53

pengelolaan alsintan di tingkat petani berbasis kewirausahaan, manajemen

pengetahuan, dan membangun jejaring antar-stakeholder yang terlibat.

Apabila pengadaan bantuan alsintan oleh pemerintah berkurang, perlu

dipikirkan kemampuan pengadaan alsintan oleh petani sendiri (business model).

Agar bantuan alsintan yang diberikan oleh pemerintah berdaya guna secara

optimal bagi petani, diperlukan pandataan (peta) wilayah potensial mekanisasi

pertanian dan jenis dan ukuran alsintan yang cocok dengan kondisinya serta jenis

dan jumlah alsintan eksisting. Pada tahun 2015, bantuan alsintan diberikan oleh

pemerintah dalam jumlah besar. Berkaitan dengan hal tersebut perlu juga

dilakukan inventarisasi kembali keberadaan UPJA menurut kategorinya, agar

bantuan alsintan dapat digunakan dengan umur teknis yang relatif lama.

Page 58: SINTESIS NASKAH ANALISIS KEBIJAKAN PERTANIANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_14.pdf · Secara umum subsidi harga pupuk yang telah dilakukan sejak tahun 2003 mengalami

54

VII. STRATEGI PENGEMBANGAN DIVERSIFIKASI PANGAN POKOK

Mewujudkan ketahanan pangan nasional yang bertumpu pada kemandirian

pangan telah menjadi komitmen pemerintah dalam rangka pembangunan ekonomi

dan pertanian domestik. Ketahanan pangan dibangun berdasarkan sumber daya,

kelembagaan, dan budaya lokal yang bertujuan untuk meningkatkan diversifikasi

produksi dan konsumsi pangan lokal yang bergizi dan aman untuk dikonsumsi oleh

masyarakat. Pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 22 tahun

2009 tentang Kebijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan

Berbasis Sumber Daya Lokal. Tujuan kebijakan ini adalah untuk menfasilitasi dan

mendorong terwujudnya pola konsumsi pangan yang beragam, bergizi seimbang,

dan aman yang diindikasikan oleh skor PPH 95 pada tahun 2015. Strategi yang

ditempuh dalam Perpres adalah: (1) internalisasi penganekaragaman konsumsi

pangan melalui advokasi, kampanye, promosi, pendidikan formal dan nonformal,

serta sosialisasi tentang konsumsi pangan yang beragam, bergizi seimbang, dan

aman pada berbagai tingkatan aparat dan masyarakat; dan (2) pengembangan

bisnis dan industri pangan lokal melalui fasilitasi kepada UMKM untuk

pengembangan bisnis pangan segar, industri bahan baku, industri pangan olahan,

dan pangan siap saji yang aman berbasis sumber daya lokal serta advokasi,

sosialisasi dan penerapan standar mutu dan keamanan pangan bagi pelaku usaha

pangan terutama usaha rumah tangga dan UMKM.

Untuk menindaklanjuti hal tersebut, Badan Ketahanan Pangan (2013)

menyusun program kerja utamanya antara lain Percepatan Penganekaragaman

Konsumsi Pangan (P2KP) yang bertujuan untuk meningkatkan diversifikasi pangan

melalui: (a) pengembangan Kawasan Rumah Pangan Lestari di 6.280 desa (5.000

desa baru dan 1.280 desa lanjutan) pada 497 kabupaten/kota di 33 provinsi, (b)

pengembangan pangan pokok lokal pada 30 kabupaten di 18 provinsi, dan (c)

promosi dan sosialisasi P2KP di 33 provinsi. Dalam Road Map Diversifikasi Pangan

2011–2015 disebutkan bahwa diversifikasi pangan dan gizi dapat dilihat dari

beberapa aspek berikut: (1) aspek konsumsi, sebagai upaya membudayakan

pola konsumsi pangan beragam, bergizi, seimbang, dan aman untuk mendukung

hidup sehat, aktif, dan produktif; (2) aspek pengembangan bisnis pangan

Page 59: SINTESIS NASKAH ANALISIS KEBIJAKAN PERTANIANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_14.pdf · Secara umum subsidi harga pupuk yang telah dilakukan sejak tahun 2003 mengalami

55

memberi dorongan dan insentif pada rantai bisnis pangan yang lebih beragam dan

aman, yang berbasis sumber daya lokal; (3) aspek produksi mendorong

pengembangan berbagai ragam produksi pangan, dan menumbuhkan beragam

usaha pengolahan pangan (rumah tangga, UMKM, dan swasta); dan (4) aspek

kemandirian pangan akan dapat mengurangi ketergantungan nasional terhadap

pangan impor, dan secara mikro mengurangi ketergantungan konsumen pada

satu jenis pangan tertentu, serta mendorong setiap wilayah untuk

mengoptimalkan potensi sumber daya pangan setempat dalam memenuhi

kebutuhan pangan penduduk.

Di sisi lain, Indonesia adalah salah satu negara megadiversitas, yaitu

kelompok negara dengan biodiversitas yang tinggi. Hasil studi Kementerian

Lingkungan Hidup menyebutkan bahwa Indonesia sedikitnya memiliki 100 spesies

tanaman biji-bijian, umbi-umbian, sagu, penghasil tepung dan gula sebagai

sumber karbohidrat. Namun, hanya beberapa jenis pangan sumber karbohidrat

saja yang dikenal secara luas dan dimanfaatkan untuk dikonsumsi secara intensif

seperti padi, jagung, ubi kayu, ubi jalar, sagu, dan lainnya. Beragam pangan lokal

seperti jagung, umbi-umbian, dan sagu mempunyai prospek yang cukup luas

untuk dikembangkan sebagai substitusi beras dan untuk diolah menjadi makanan

bergengsi.

7.1. Capaian Diversifikasi Pangan

Diversifikasi konsumsi pangan secara sederhana dapat dikatakan sebagai

upaya peningkatan keanekaragaman konsumsi pangan ke arah yang sesuai

prinsip atau kaidah gizi seimbang sehingga kualitas pangan menjadi semakin baik.

Oleh karena itu, salah satu ukuran untuk mengetahui tingkat diversifikasi

konsumsi pangan dikenal dengan konsep Pola Pangan Harapan (PPH). Semakin

tinggi skor PPH mengindikasikan konsumsi pangan semakin beragam dan bergizi

seimbang (maksimal 100). Skor PPH sebetulnya meningkat dari tahun ke tahun,

bahkan pada tahun 2007 dan 2008 mencapai skor 80-an, namun untuk tahun-

tahun berikutnya skor PPH mengalami penurunan. Capaian skor PPH semakin jauh

dari target yang telah ditetapkan oleh pemerintah (Tabel 7.1), padahal pemerintah

Page 60: SINTESIS NASKAH ANALISIS KEBIJAKAN PERTANIANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_14.pdf · Secara umum subsidi harga pupuk yang telah dilakukan sejak tahun 2003 mengalami

56

telah menetapkan kebijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan

Berbasis Sumber Daya Lokal, yang ditindaklanjuti dengan Gerakan Percepatan

Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal oleh

Kementerian Pertanian, dengan target terjadi penurunan konsumsi beras sebesar

1,5%/tahun dan kenaikan skor PPH sebesar 1%/tahun. Hal ini berarti pola

pangan masyarakat Indonesia harus berdiversifikasi; tidak hanya pangan pokok

yang bertumpu pada beras, tetapi juga diversifikasi pangan secara luas seperti

pangan sumber protein, vitamin, dan mineral.

Tabel 7.1. Pencapaian Skor Pola Pangan Harapan (PPH), 2005–2012

Tahun Target Riil Senjang

2005 77,7 79,1 +2,0

2008 82,9 81,9 -1,0

2009 85,0 75,7 -9,3

2010 86,4 77,5 -8,9

2011 88,1 77,3 -10,8

2012 89,9 75,4 -14,5 Sumber: BKP (2013)

Penurunan PPH terjadi di sebagian besar provinsi. Hanya enam provinsi,

yaitu Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan,

dan Gorontalo yang nilai skor PPH pada tahun 2012 lebih besar daripada tahun

2011 (Tabel 7.2). Penurunan skor PPH dapat disebabkan oleh faktor ekonomi

seperti pendapatan yang terbatas, sehingga tidak mampu membeli pangan secara

cukup, baik kuantitas maupun kualitas. Akan tetapi, penurunan skor tersebut juga

dapat terjadi karena faktor lain seperti rendahnya pengetahuan tentang pangan

dan gizi yang berdampak pada rendahnya kesadaran untuk mengonsumsi

makanan yang berkualitas. Padahal, makanan berperan penting untuk

peningkatan derajat kesehatan dan kecerdasan, yang diperlukan dalam

peningkatan kualitas sumber daya manusia.

Page 61: SINTESIS NASKAH ANALISIS KEBIJAKAN PERTANIANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_14.pdf · Secara umum subsidi harga pupuk yang telah dilakukan sejak tahun 2003 mengalami

57

Tabel 7.2. Distribusi Provinsi Berdasarkan Perubahan Skor PPH, 2005 dan 2012

Perubahan Skor

PPH, 2005- 2012

Nama Provinsi Jumlah

Provinsi

Meningkat Jambi, Sumsel, Bengkulu, NTB, Sulsel, Gorontalo, 6

Menurun Aceh, Sumut, Sumbar, Riau, Kep. Riau, Babel,

Lampung, DKI, Jabar, Banten, Jateng, DIY, Jatim,

Bali, NTT, Kalbar, Kalteng, Kalsel, Kaltim, Sulut,

Sultra, Sulteng, Sulbar, Maluku, Malut, Papua Barat,

Papua

27

Sumber: BKP (2012)

Di tingkat rumah tangga pola diversifikasi pangan dapat berbeda-beda

karena banyaknya faktor yang dapat berpengaruh. Pola diversifikasi pangan juga

dapat berbeda antarwilayah maupun antarwaktu. Diversifikasi bisa terkait dengan

preferensi konsumsi anggota rumah tangga, faktor pendapatan, ketersediaan

pangan alternatif, pengetahuan tentang pangan yang sehat dan berkualitas, atau

bahkan faktor budaya dan faktor lainnya. Diversifikasi dipengaruhi nyata oleh

pendidikan ibu dan kepala rumah tangga. Faktor jumlah anggota rumah tangga,

usia ibu, usia kepala rumah tangga, luas pekarangan, dan akses informasi tidak

berpengaruh nyata terhadap diversifikasi pangan. Fakta pada Tabel 7.3

mengindikasikan bahwa pola konsumsi pangan masyarakat masih belum mengacu

pada pedoman PPH. Konsumsi dari kelompok padi-padian sangat tinggi, melebihi

dari ketentuan. Sebaliknya, untuk pangan hewani, sayur, dan buah, yang

termasuk pangan berkualitas tinggi yang mampu meningkatkan skor PPH secara

signifikan, masih belum banyak dikonsumsi sesuai dengan ketentuan. Pada

kondisi terakhir (tahun 2011) skor PPH menurun sedikit dibandingkan tahun

sebelumnya. Skor PPH pada tahun 2011 sebesar 77,3, sedangkan pada tahun

2010 sebesar 77,5. Penurunan ini lebih diakibatkan oleh penurunan konsumsi

sayuran dan buah-buahan. Terkait dengan pangan lokal, skor PPH yang relatif

masih rendah bukan berarti masyarakat tidak mengonsumsi pangan lokal. Mereka

sudah mengonsumsi tetapi masih dalam porsi relatif sedikit dan tidak rutin,

sehingga belum mampu mensubstitusi konsumsi pangan pokok utamanya, yaitu

beras. Pangan lokal sumber karbohidrat, seperti ubi kayu dan jagung, lebih

banyak disajikan dalam bentuk kudapan atau pangan selingan.

Page 62: SINTESIS NASKAH ANALISIS KEBIJAKAN PERTANIANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_14.pdf · Secara umum subsidi harga pupuk yang telah dilakukan sejak tahun 2003 mengalami

58

Tabel 7.3. Pola Pangan Masyarakat, 2011 dan 2012 (Gram/kapita/hari)

Kelompok Pangan Anjuran Kenyataan/Riil

2011 2012

Padi-padian 275 315,9 299,9

Umbi-umbian 100 43,2 33,1

Pangan hewani 150 95,9 91,7

Kacang2an 35 22,7 23,7

Sayur+buah 250 197,3 199,1

Gula 30 22,2 19,2

Minyak+lemak 20 22,8 23,7 Sumber: BKP (2012)

7.2. Strategi Pengembangan Diversifikasi Pangan Pokok

Dalam upaya menyusun strategi pengembangan diversifikasi pangan pokok,

disusun aspek-aspek yang menjadi kekuatan, kelemahan, tantangan, dan

ancamannya. Sebagai aspek kekuatan, meskipun perubahannya relatif lambat,

diversifikasi pangan bukanlah kondisi yang tidak mungkin berubah. Faktor yang

secara langsung maupun tidak langsung menjadi kekuatan pengembangan

diversifikasi pangan, yaitu: (1) potensi lahan subur masih banyak; (2) masih

tersedia lahan kering dan marginal; (3) produksi pangan lokal meningkat; (4)

harga pangan cenderung meningkat; (5) ragam jenis pangan lokal banyak; dan

(6) adanya ragam pengolahan pangan lokal spesifik wilayah. Potensi lahan masih

cukup banyak dilihat dari luas panen tanaman pangan lokal yang masih

meningkat. Indonesia mempunyai pangan lokal spesifik lokasi beragam dan di

setiap provinsi dapat berbeda. Hasil analisis data Susenas, pada tahun 1990-an

terdapat delapan pola konsumsi pangan lokal di seluruh Indonesia dengan

menggunakan pangan pokok lokal seperti ubi kayu, ubi jalar, sagu, pisang, dan

umbi-umbi lainnya selain komoditas beras. Pangan lokal tersebut dapat berbeda

cara pengolahannya di setiap provinsi walaupun bahan bakunya adalah sama.

Kekayaan pengolahan ini menjadi kekuatan dalam pengembangan diversifikasi

pangan berbasis pangan lokal.

Walaupun pengembangan diversifikasi pangan dimungkinkan, namun ada

beberapa kelemahan baik terkait aspek produksi, konsumsi maupun pengolahan

pangan yang harus diantisipasi. Kelemahan tersebut antara lain: (1) konversi

Page 63: SINTESIS NASKAH ANALISIS KEBIJAKAN PERTANIANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_14.pdf · Secara umum subsidi harga pupuk yang telah dilakukan sejak tahun 2003 mengalami

59

lahan sawah subur relatif tinggi; (2) infrastruktur pertanian dan pendukung

terbatas; (3) peran Pulau Jawa sebagai produsen pangan lokal berkurang; (4)

kenaikan harga pangan tidak memberi insentif produksi bagi petani; (5) teknologi

pengolahan pangan lokal terbatas, (6) preferensi pangan lokal terbatas;, (7)

penerapan kebijakan pengembangan konsumsi pangan lokal lemah; (8) kebijakan

pengembangan produksi dan industri pangan lokal masih lemah; (9) penguasaan

keterampilan penerapan teknologi pengolahan pada industri rumah tangga masih

rendah; (10) adanya persepsi inferior terhadap pangan lokal di sebagian

masyarakat; (11) belum berkembangnya pasar pangan lokal secara nasional; (12)

budi daya sagu dan umbi lainnya belum berkembang; (13) Otonomi Daerah

(OTDA) tidak menciptakan kreasi pengembangan kebijakan pangan lokal; dan

(14) promosi pangan lokal masih terbatas.

Dari aspek produksi pangan lokal yang ditangani oleh Direktorat Jenderal

(Ditjen) Tanaman Pangan cenderung bias pada beras dan mengabaikan aspek

produksi pangan lokal. Pengembangan industri pangan lokal masih terbatas

pada industri rumah tangga dan Usaha Kecil Menengah (UKM). Kalaupun ada

industri skala menengah berbasis pangan lokal, jumlahnya belum banyak dan

masih berorientasi pada produk pangan lokal sebagai makanan camilan/kudapan

(bukan sebagai makan pokok) dengan harga yang relatif mahal. Produk pangan

lokal yang dihasilkan oleh industri rumah tangga dan UKM belum dipasarkan

secara nasional, tetapi masih spot-spot lokal dan kadang-kadang tidak kontinyu.

Pemasaran produk pangan lokal seperti aneka kue lebih bersifat pesanan.

Kalaupun ada yang menjual pangan tersebut terbatas di pasar-pasar dengan

jumlah/skala yang masih kecil. Selain itu, kelemahan pengembangan pangan lokal

adalah belum intensifnya promosi yang dilakukan oleh pemerintah, sehingga

berdampak pada preferensi konsumen yang terbatas (rendah).

Dari aspek eksternal, yang perlu dicermati peluang untuk pengembangan

diversifikasi pangan lokal adalah: (1) adanya penekanan diversifikasi pangan

dalam UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan, (2) adanya Perpres No. 22 Tahun

2009 tentang Percepatan Diversifikasi, (3) fungsi pangan lokal untuk kesehatan

(pangan lokal menyehatkan), dan (4) adanya Peraturan Menteri Pertanian

Page 64: SINTESIS NASKAH ANALISIS KEBIJAKAN PERTANIANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_14.pdf · Secara umum subsidi harga pupuk yang telah dilakukan sejak tahun 2003 mengalami

60

(Permentan) No. 43 tahun 2009 tentang Gerakan Percepatan Penganekaragaman

Kosumsi Pangan, yang salah satu implementasinya adalah berupa kegiatan One

Day No Rice/ODNR (tidak mengonsumsi beras satu hari/minggu). Dari keempat

faktor tersebut dipilih tiga faktor yang memberi peluang utama bagi

pengembangan diversifikasi pangan lokal. Faktor-faktor tersebut adalah: (1)

adanya penekanan diversifikasi pangan dalam UU No. 18 Tahun 2012 tentang

Pangan, (2) adanya Perpres No. 22 Tahun 2009 tentang Percepatan Diversifikasi,

dan (3) fungsi pangan lokal untuk kesehatan (pangan lokal menyehatkan). Pada

tahun 2009, terbit Perpres yang menekankan perlunya percepatan diversifikasi

pangan berbasis pangan lokal, yang kemudian ditindak lanjuti salah satunya

dengan adanya ODNR. Pada tahun 2012 muncul UU Pangan baru menggantikan

UU Pangan yang lama. UU pangan baru tersebut menekankan pentingnya

ketahanan pangan berbasis kemandirian dan kedaulatan pangan. Dalam UU

tersebut juga ada penekanan diversifikasi pangan, tidak hanya dari aspek

konsumsi pangan, namun juga produksi pangan.

Faktor eksternal yang menjadi ancaman dalam pengembangan diversifikasi

pangan lokal adalah: (1) peningkatan impor terigu dan pangan lainnya, (2)

perubahan konsumsi karbohidrat dominan beras, (3) merebaknya rumah makan

yang menjual pangan modern/impor dengan suasana nyaman dan memberi

penilaian makanan bergengsi, (4) berkembangnya aneka produk berbasis terigu.

Dari keempat faktor tersebut dipilih tiga faktor utama yang menjadi ancaman

utama dalam pengembangan diversifikasi pangan lokal adalah: (1) peningkatan

impor terigu dan pangan lainnya, (2) perubahan konsumsi karbohidrat dominan

beras, dan (3) merebaknya rumah makan yang menjual pangan modern/impor

dengan suasana nyaman dan memberi penilaian makanan bergengsi. Pada saat

ini, impor terigu, yang merupakan bahan baku aneka roti, kue dan mi terus

meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini seiring dengan permintaan mi di

masyarakat yang juga semakin besar. Diakui, mi mempunyai banyak peranan. Mi

dapat sebagai pengganti beras atau sebagai makanan pokok. Mi juga dapat

sebagai lauk-pauk dan sebagai makanan tambahan yang dapat dikonsumsi di

mana saja, dalam keadaan apa saja. Pada kasus terjadinya bencana alam, misal

Page 65: SINTESIS NASKAH ANALISIS KEBIJAKAN PERTANIANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_14.pdf · Secara umum subsidi harga pupuk yang telah dilakukan sejak tahun 2003 mengalami

61

kebanjiran, maka bantuan pangan dominan adalah berupa mi instan. Selain itu,

merebaknya toko-toko roti/kue di berbagai wilayah termasuk pemasaran dengan

cara door to door juga mengakibatkan permintaan kue/roti meningkat.

Dampaknya adalah impor terigu juga semakin besar.

Dahulu, setiap provinsi mempunyai pola konsumsi pangan pokok yang

beragam dan berbasis pangan lokal. Namun, saat ini terjadi perubahan pola

konsumsi pangan pokok yang cenderung mengarah pada pola tunggal, yaitu

beras. Konsumsi pangan lokal terus menurun. Sebaliknya, konsumsi beras

cenderung meningkat sampai pada tingkat pendapatan tertentu. Selanjutnya,

setelah titik tercapai maka konsumsi beras akan menurun kembali. Ancaman

pengembangan diversifikasi pangan lokal juga teridentifikasi dengan merebaknya

rumah makan dengan aneka makanan modern dan cita rasa luar negeri, yang

menyajikan aneka makanan dan minuman dengan suasana nyaman dan

bergengsi. Dengan memperhatikan aspek kekuatan, kelemahan, tantangan, dan

ancaman dalam pengembangan diversifikasi konsumsi pangan pokok, strategi

kebijakan operasional program dan kegiatan untuk mengembangkan diversifikasi

pangan lokal di Indonesia sebagai berikut:

1. Memanfaatkan potensi lahan dan kebiasaan mengonsumsi pangan lokal untuk

mendukung penekanan diversifikasi pangan dalam UU Pangan. Upaya yang

dilakukan untuk pengembangan diversifikasi pangan adalah dengan

memanfaatkan potensi lahan dan kebiasaan mengonsumsi pangan lokal di

masyarakat, sebagai berikut: (1) pemetaan luas lahan yang dapat digunakan

untuk memproduksi pangan lokal di setiap daerah; (2) pemetaan produksi

setiap pangan lokal di setiap daerah (kondisi eksisting) dan pemetaan jenis

pangan lokal yang pernah diproduksi namun saat ini sudah tidak ada lagi

(musnah) di setiap daerah; (3) pemetaan jenis pangan lokal yang pernah

dikonsumsi oleh masyarakat termasuk jenis pangan lokal yang pernah

diproduksi namun saat ini sudah tidak ada lagi (musnah) di setiap daerah; (4)

pemetaan industri pengolahan pangan lokal di tingkat rumah tangga, UKM,

industri kecil, menengah, dan besar di setiap daerah (jumlah industri per

jenis, jenis, dan jumlah bahan baku, dll.); (5) melakukan pendataan secara

Page 66: SINTESIS NASKAH ANALISIS KEBIJAKAN PERTANIANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_14.pdf · Secara umum subsidi harga pupuk yang telah dilakukan sejak tahun 2003 mengalami

62

regular dan terstruktur berkelanjutan untuk setiap jenis pangan lokal di setiap

daerah; dan (6) kajian studi perubahan preferensi masyarakat terhadap

pangan lokal dan pangan modern termasuk faktor pendukung dan kendalanya

di setiap daerah.

2. Memanfaatkan potensi lahan dan kebiasaan mengonsumsi pangan lokal dalam

rangka mengantisipasi merebaknya rumah makan dengan pangan modern/

impor. Pengembangan diversifikasi pangan juga dilakukan dengan: (1)

meningkatkan kapasitas produksi setiap pangan lokal di setiap daerah melalui

peningkatan luas panen dan produktivitas; (2) promosi pangan lokal secara

nasional, terstruktur dan berkelanjutan melalui berbagai media elektronik,

massa, penyuluhan, ruang publik (hotel, bandara, stasiun kereta api, ruang

publik lainnya); (3) pangan lokal menjadi snack utama dalam beragam

kegiatan kenegaraan, keagamaan, upacara pernikahan, rapat-rapat, dan

aktivitas lainnya; dan (4) mengembangkan outlet-outlet pangan lokal di setiap

daerah termasuk di ruang publik, seperti hotel, bandara, stasiun kereta api,

dan ruang publik lainnya.

3. Meningkatkan kebijakan produksi dan industri pangan lokal dalam rangka

mendukung penekanan diversifikasi pangan dalam UU Pangan. Dalam

pengembangan diversifikasi pangan perlu diperhatikan: (1) penyusunan road

map produksi dan agroindustri khusus untuk pengembangan pangan lokal

sehingga akan diperoleh diversifikasi produksi dan diversifikasi konsumsi

pangan; (2) kebijakan diversifikasi konsumsi pangan diiringi/sejalan dengan

kebijakan produksi dan industri pengolahan; (3) penguatan penerapan

kebijakan diversifikasi pangan sampai tingkat daerah; (4) pengembangan dan

penguatan kebijakan produksi pangan lokal agar tersedia aneka ragam jenis

pangan lokal secara kontinyu dan sesuai dengan kebutuhan dengan

mengalokasikan pendanaan secara proposional dan menjadikan

pengembangan produksi pangan lokal juga menjadi urusan wajib selain beras,

jagung, kedelai, dan lainnya; (5) pengembangan dan penguatan kebijakan

industri pangan lokal di setiap daerah untuk industri rumah tangga, UKM, dan

jenis industri lainnya dan (6) pengembangan teknologi pengolahan pangan

Page 67: SINTESIS NASKAH ANALISIS KEBIJAKAN PERTANIANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_14.pdf · Secara umum subsidi harga pupuk yang telah dilakukan sejak tahun 2003 mengalami

63

lokal sehingga tersedia aneka produk pangan lokal dengan harga yang

terjangkau dengan kualitas yang prima. Produk pangan lokal ini juga sesuai

preferensi konsumen atau menjadi pendorong agar konsumen menyenangi

produk tersebut.

4. Meningkatkan kebijakan produksi dan industri pangan lokal agar mampu

mengantisipasi merebaknya rumah makan dengan pangan modern/impor.

Strategi yang dilakukan untuk pengembangan diversifikasi pangan juga

melalui sebagai berikut: (1) pengembangan dan penguatan kebijakan produksi

dan industri pangan dilakukan harus seiring dengan kebijakan konsumsi

pangan, sehingga percepatan diversifikasi pangan tidak hanya dari sisi

konsumsi namun juga ketersediaan aneka produk pangan lokal yang sesuai

selera konsumen dengan memperhatikan aspek harga pangan dan kualitas

pangan; (2) promosi pangan lokal yang menyehatkan secara komprehensif,

dilakukan secara terus menerus dengan memanfatkan berbagai media yang

ada, sehingga pangan lokal akan mampu berdiri di rumah sendiri; dan (3)

penciptaan pasar pangan lokal baik tingkat nasional maupun tingkat wilayah.

Penciptaan pasar pangan lokal disertai ketersediaan aneka produk pangan

lokal yang mampu disandingkan dengan pangan produk modern/pangan

impor.

Page 68: SINTESIS NASKAH ANALISIS KEBIJAKAN PERTANIANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_14.pdf · Secara umum subsidi harga pupuk yang telah dilakukan sejak tahun 2003 mengalami

64

VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

Kebijakan Subsidi Pupuk

1. Sampai saat ini pupuk memiliki peran penting dalam peningkatan produksi

pangan nasional dan pencapaian swasembada pangan. Pupuk juga

merupakan komoditas strategis sehingga distribusi komoditas tersebut

termasuk kriteria barang dalam pengawasan. Kebijakan pemerintah terkait

dengan pupuk adalah melalui instrumen subsidi harga pupuk.

2. Perkembangan HET pupuk dan HPP gabah semakin tahun menunjukkan rasio

yang semakin tidak seimbang, yaitu rasio harga pupuk bersubdi terhadap

harga gabah semakin rendah yang berarti harga riil pupuk bersubsidi semakin

murah. Hal ini di satu sisi menguntungkan petani namun di sisi lain

mengakibatkan penggunaan pupuk yang kurang efisien (boros). Beban

pemerintah untuk pupuk bersubsidi dari tahun ke tahun juga semakin besar.

3. Perkembangan harga pupuk bersubsidi vs nonsubsidi juga menunjukkan

disparitas harga yang semakin besar. Besarnya disparitas harga mendorong

rangsangan untuk melakukan moral hazard sangat bagi pemburu rente,

sehingga menimbulkan penyelewengan-penyelewengan dalam distribusi

pupuk bersubsidi.

4. Implementasi kebijakan subsidi pupuk juga masih mengalami berbagai

permasalahan, baik dalam aspek pengadaan, penyaluran/distribusi, dan

pengawasan yang perlu segera memperoleh penanganan.

5. Beberapa penyempurnaan operasional implementasi kebijakan subsidi pupuk

perlu dilakukan, terutama terkait dengan perbaikan penyusunan RDKK,

penyesuaian HET, penertiban dalam distribusi pupuk, serta mengoptimalkan

peran dan fungsi pengawasan.

6. Penyempurnaan kebijakan subsidi pupuk yang lebih penting dan mendasar

untuk segera dilakukan saat ini adalah agar subsidi pupuk untuk petani (dalam

bentuk pupuk bersubsidi) dapat sampai ke petani secara enam tepat. Saran-

saran tersebut antara lain:

a. Melakukan sinkronisasi perencanaan kebutuhan mulai dari petani/kelompok

tani, kabupaten/kota, provinsi, sampai nasional,

Page 69: SINTESIS NASKAH ANALISIS KEBIJAKAN PERTANIANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_14.pdf · Secara umum subsidi harga pupuk yang telah dilakukan sejak tahun 2003 mengalami

65

b. Segera melakukan penyesuaian HET pupuk mendekati harga pasar untuk

mengurangi rangsangan moral hazard yang diimbangi dengan penyesuaian

harga gabah.

c. Melakukann perbaikan proses penyusunannya RDKK sehingga diperoleh

RDKK dengan data yang akurat yang disertai pendampingan yang intensif

dan alokasi anggaran secukupnya,

d. Perbaikan distribusi pupuk mulai dari produsen dan distributor sampai

dengan penertiban ketepatan penerbitan SK Pemerintah Daerah. Perlu

diterapkan sanksi secara tegas bagi pihak-pihak yang menghambat

kelancaran distribusi pupuk.

e. Lebih mengoptimalkan peran dan fungsi KP3 dengan melibatkan Perguruan

Tinggi dan LSM serta memfungsikan kepala desa sebagai pengawas di lini

terbawah yang langsung berhubungan dengan petani pengguna dan kios

penyalur.

Kebijakan Harga Beras

1. Hasil analisis situasi harga beras di tingkat konsumen dapat disimpulkan

bahwa kenaikan harga beras yang terjadi pada akhir tahun 2014 sampai

dengan bulan Februari 2015 merupakan kenaikan harga beras di atas

kenaikan normal yang terjadi pada musim paceklik. Lonjakan harga beras di

awal tahun 2015 ini merupakan kombinasi dari berbagai faktor sebagai

berikut:

a. Persepsi pelaku pasar beras atas keragaan produksi domestik padi tahun

2015 tidak optimis.

b. Pelaku pasar beras memanfaatkan situasi di mana CBN menipis dengan

daya tahan stok yang hanya 0,5 bulan, stok dikuasai rumah tangga

menipis karena musim paceklik/belum panen, serta stok di penggilingan

dan pedagang juga menipis.

c. Pernyataan pemerintah untuk tidak melakukan impor beras pada tahun

2015 juga menambah sentimen negatif di pasar beras.

d. Tidak disalurkannya raskin sejak November 2004 s.d. Februari 2015,

sehingga menambah demand beras di pasar umum.

Page 70: SINTESIS NASKAH ANALISIS KEBIJAKAN PERTANIANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_14.pdf · Secara umum subsidi harga pupuk yang telah dilakukan sejak tahun 2003 mengalami

66

e. Operasi pasar Bulog ternyata kurang efektif, walaupun pada bulan Januari

telah memasok sampai dengan 36% dari jumlah beras yang masuk ke

PBIC.

f. Kondisi di PBIC, yaitu rata-rata pemasukan beras per hari selama bulan

Februari di bawah batas mininal/psikologis aman (<2.000 ton). Kondisi

aman bila pemasukan per hari 2.500 ton–3.000 ton

2. Dari hasil kajian ini dapat dirumuskan beberapa rekomendasi untuk

mengendalikan situasi kenaikan harga sebagai berikut:

a. Mendorong Bulog untuk tidak ragu melepas cadangan/stok berasnya

hingga mampu mempengaruhi harga pasar.

b. Bulog agar segera melakukan Operasi Pasar di kota-kota yang

menunjukkan peningkatan harga beras di atas 5% dalam sebulan,

terutama di Jakarta.

c. Raskin agar kembali disalurkan, dan diperbaiki kinerjanya, dalam arti

memenuhi enam tepat, yaitu tepat waktu, tepat tempat, tepat jumlah,

tepat harga, tepat kualitas, dan tepat kelompok sasaran.

d. Bulog agar didorong untuk meningkatkan pengadaan beras DN, sehingga

total beras yang dikelola Bulog untuk (CBP, Raskin, PPU) minimal 2 juta

ton secara berkelanjutan.

e. Melakukan penjajagan untuk impor beras, untuk berjaga-jaga: (i) bila

produksi DN tidak mencapai sasaran dan/atau (ii) bila kemampuan

pengadaan DN untuk membangun stok dikelola Bulog minimal 2 juta ton

terbatas karena supply terbatas atau harga tinggi.

f. Pemerintah diharapkan secara masif menginformasikan dan membangun

kepercayaan masyarakat bahwa program Upaya Khusus (Upsus) akan

mampu meningkatkan produksi padi/beras nasional.

Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air

1. Dalam rangka pengamanan produksi pangan jangka panjang dan

pengendalian konversi lahan telah disusun UU No. 41/2009 tentang

Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Ketidakharmonisan

dalam rangka perebutan lahan bagi produksi pangan (UU No. 41/2009 tentang

Page 71: SINTESIS NASKAH ANALISIS KEBIJAKAN PERTANIANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_14.pdf · Secara umum subsidi harga pupuk yang telah dilakukan sejak tahun 2003 mengalami

67

PLP2B), pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum (UU

No. 2/1012), lahan untuk perumahan dan kawasan permukiman (UU No.

1/2011), lahan untuk produksi perkebunan (UU No. 18/2004), lahan untuk

hortikultura (UU No. 13/2010), lahan untuk peternakan (UU No. 28/2009), dan

lainnya.

2. Ketidaksinkronan terjadi antara UU No. 41/2009 dengan Perda RTRW

berkaitan dengan cakupan dan luasan jenis lahan yang akan dilindungi. Dalam

UU No. 41/2009 mengamanatkan bahwa lahan yang dilindungi lahan

beririgasi, lahan reklamasi rawa pasang surut dan nonpasang surut (lebak)

dan atau lahan tidak beririgasi, termasuk di dalamnya lahan yang dicadangkan

untuk pangan berkelanjutan yang berada di dalam atau di luar kawasan

pertanian pangan. Lahan tersebut berada pada kawasan perdesaan dan atau

perkotaan di wilayah kabupatan/kota. Sementara, dalam Perda RTRW Provinsi

dan Kabupaten/Kota, terjadi keragaman cakupannya dan sebagian besar

hanya mengarah kepada lahan sawah irigasi teknis dan lahan beririgasi.

3. Implementasi UU No. 7/2004 tentang Sumber Daya Air berkelindan dengan

politik pembangunan daerah, menyebabkan perubahan dimensi pemanfaatan

air dari fungsi sosial dan lingkungan yang mengedepankan keseimbangan

harmonis ke arah fungsi ekonomi yang mengedepankan efisiensi dan nilai

tambah ekonomi. Aktor kapitalis dalam pengelolaan dan pemanfaatan air yang

berperan mendukung pembangunan berbasis pariwisata berkembang pesat

dan mendorong munculnya fenomena privatisasi dan komersialisasi air.

4. Privatisasi dan komersialisasi air menyebabkan eksploitasi air secara

berlebihan, penurunan air untuk pertanian, perubahan pola tanam, penurunan

intensitas tanam, pengurangan luas lahan pertanaman padi, meluasnya lahan

bera, dan konversi lahan pertanian yang selanjutnya menurunkan produksi

padi dan pendapatan petani. Privatisasi dan komersialisasi air menyebabkan

perubahan kelembagaan berupa peluruhan ruang spasial, nilai-nilai otonomi

dan kelekatan sosial, tata kelola, kepemimpinan, dan kuasa serta kewenangan

pengelolaan air oleh petani. Hal ini menunjukkan bahwa UU No. 7/2007 dapat

menciptakan peluang privatisasi dan komersialisasi air.

Page 72: SINTESIS NASKAH ANALISIS KEBIJAKAN PERTANIANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_14.pdf · Secara umum subsidi harga pupuk yang telah dilakukan sejak tahun 2003 mengalami

68

5. Pembatalan UU Sumber Daya Air oleh Mahkamah Konstitusi telah terjadi,

sehingga kita membutuhkan Undang-Undang baru, karena Undang-Undang

yang lama sudah tidak sesuai. Dengan demikian, Undang-Undang pengganti

ke depan hendaknya merefleksikan prinsip-prinsip good water governance.

Undang-undang baru nantinya perlu memperhatikan jaminan kepada

pengelolaan sumber daya lingkungan yang memungkinkan terwujudnya

ecosystem service yang baik. Dengan perkataan lain UU SDA harus dapat

membangun prinsip pengelolaan secara terpadu yang memungkin fungsi

penyediaan dan pengaturan air yang tidak menghasilkan ancaman dan risiko

seperti banjir dan kekeringan yang dewasa ini frekuensi terjadinya semakin

tinggi dan dampaknya semakin meluas.

Kelembagaan Perbenihan

1. Secara umum, penggunaan benih bermutu atau berlabel di Jawa Barat sudah

tinggi. Hal ini didukung oleh keberhasilan pengembangan dan peningkatan

produksi benih khususnya padi di Jawa Barat yang tidak terlepas dari

dukungan berbagai kelembagaan perbenihan yang ada baik produsen,

penangkar benih, BPSB, BPBP, dan kelembagaan perbenihan lainnya. Petani

sebagai produsen benih swasta cukup eksis, aktivitas produsen dapat

meningkat atau menurun jumlahnya seiring dengan harga benih yang

memberikankan keuntungan.

2. Untuk mendukung keberhasilan pelaksanaan peningkatan produksi dan nilai

tambah produksi usahatani padi, unsur teknologi benih unggul bermutu dan

produsen benih sangat menentukan. Produsen benih di lokasi penelitian di

Provinsi Jawa Barat terdiri dari produsen BUMN misalnya PT SHS, BB Padi,

BPBP (Balai Pengembangan Benih Padi Jawa Barat, UPBS BPTP Jawa Barat

dan petani produsen benih (swasta).

3. Penangkar benih di Jawa Barat merupakan binaan produsen benih. Kegiatan

usaha penangkaran benih pada prinsipnya hampir sama dengan usahatani

padi untuk tujuan konsumsi. Hal yang membedakan adalah dalam hal

pemeriksaan lapangan dengan beberapa tahapan, yaitu: (1) pemeriksaan

pendahuluan, (2) pemeriksaan pada masa fase vegetatif, (3) pemeriksaan

Page 73: SINTESIS NASKAH ANALISIS KEBIJAKAN PERTANIANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_14.pdf · Secara umum subsidi harga pupuk yang telah dilakukan sejak tahun 2003 mengalami

69

fase generatif, (4) pemeriksaan pada masa pertanaman fase, (5) pemeriksaan

pada saat seleksi (roguing), dan (6) pemeriksaan ulang, jika diperlukan.

4. Terkait perbenihan, para produsen benih mengharapkan agar BUMN tidak lagi

diberikan subsidi penyaluran benih karena seringkali tidak mampu memenuhi

target pengadaan benih, pembayarannya tidak lancar saat membeli benih ke

produsen dan terjadinya ketidaktepatan pemenuhan kebutuhan benih, serta

juga menjadi sumber distorsi pasar benih karena terdapatnya bantuan benih

dan benih bersubsidi. Produsen benih menyarankan agar BUMN perannya

lebih ditekankan untuk mengkover daerah-daerah luar Jawa yang belum maju

sistem perbenihannya atau di wilayah yang memang aksesibilitasnya sulit

terjangkau. Dengan demikian, perlu penataan kelembagaan perbenihan

terutama Balai Benih di level provinsi dan kabupaten agar berjalan secara

efektif dan efisien

Kebijakan Mekanisasi Pertanian

1. Ke depan peran mekanisasi pertanian sangat penting dengan terus

merosotnya jumlah tenaga kerja di pertanian dan upaya meningkatkan jumlah

dan kualitas produksi pangan serta meningkatkan pendapatan petani. Oleh

karena itu, pemerintah termasuk pemerintah daerah bersama swasta untuk

bersama-sama mengembangkan mekanisasi pertanian dengan

mengedepankan dukungan sumber dayanya dan sumber daya dari dalam

negeri.

2. Bantuan alsintan telah banyak digelontorkan melalui program upaya khusus

padi, jagung dan kedelai. Berkaitan dengan hal tersebut, beberapa hal yang

harus dilakukan di antaranya adalah:

a. Meningkatkan kapasitas penyuluhan dan Gapoktan dalam bidang

pengembangan alsintan (melalui pelatihan aspek teknis operasional dan

pemeliharaan, bisnis, tata kelola alsintan; prasarana, sarana, dana

operasional),

b. Pelatihan tata kelola dan bisnis jasa alsintan kepada pengelola UPJA dan

calon penerima bantuan alsintan termasuk mengembangkan bengkel lokal

untuk perbaikan dan suku cadang,

Page 74: SINTESIS NASKAH ANALISIS KEBIJAKAN PERTANIANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_14.pdf · Secara umum subsidi harga pupuk yang telah dilakukan sejak tahun 2003 mengalami

70

c. Mendorong Pemda untuk memfasilitasi penyediaan BBM guna operasional

alsintan di wilayahnya,

d. Memanfaatkan hasil pemetaan alsintan untuk optimalisasi dan

pengalokasian/realokasi alsintan bantuan, dan

e. Meningkatkan kerja sama dan sinkronisasi kerja antara Ditjen dengan

Badan di tingkat pusat, Dinas Pertanian dengan Bapeluh di daerah.

Diversifikasi Pangan

1. Telah terjadi penurunan konsumsi pangan lokal seperti umbi-umbian dan

sagu, termasuk pada wilayah yang sebelumnya mempunyai pola pangan

pokok berbasis pangan lokal. Selama tahun 1996-2011 konsumsi ubi kayu, ubi

jalar, dan sagu menurun dengan laju masing-masing sebesar 12,5%, 2,4%,

dan 8,6%. Di sisi lain, pada kurun waktu yang sama terjadi peningkatan

konsumsi terigu dan turunannya (yang bahan bakunya harus diimpor) sebesar

10,5%. Akibatnya, capaian diversifikasi konsumsi pangan (dengan

menggunakan indikator Pola Pangan Harapan) juga masih rendah yaitu 75,4,

padahal target pada tahun 2012 mencapai 89,9.

2. Pengembangan diversifikasi pangan lokal sebagai bagian untuk mewujudkan

kedaulatan pangan perlu dilakukan oleh semua kalangan. Upaya ini dilakukan

dengan menyusun dan implementasi rumusan alternatif strategi kebijakan

operasional program dan kegiatan sebagai berikut:

a. Kemenko Perekonomian menyusun kebijakan diversifikasi konsumsi

pangan diiringi/sejalan dengan kebijakan produksi dan industri pengolahan

dan menyusun road map produksi dan agroindustri untuk pengembangan

pangan lokal, sehingga akan diperoleh diversifikasi produksi dan

diversifikasi konsumsi pangan.

b. Kementerian Pertanian melakukan pemetaan luas lahan dan produksi

untuk setiap jenis pangan lokal di setiap daerah serta pendataan secara

regular dan terstruktur berkelanjutan untuk setiap jenis pangan lokal,

meningkatkan produksi dan produktivitas pangan lokal.

c. Kementerian Perindustrian melakukan pemetaan industri pengolahan

pangan lokal di tingkat rumah tangga, UKM, industri kecil, menengah, dan

Page 75: SINTESIS NASKAH ANALISIS KEBIJAKAN PERTANIANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_14.pdf · Secara umum subsidi harga pupuk yang telah dilakukan sejak tahun 2003 mengalami

71

besar di setiap daerah (jumlah industri per jenis, jenis, dan jumlah bahan

baku, dll.).

d. Perguruan Tinggi dan lembaga penelitian lainnya melakukan kajian

studi perubahan preferensi masyarakat terhadap pangan lokal dan pangan

modern termasuk faktor pendukung dan kendalanya di setiap daerah.

e. Kementerian Kesehatan, Kementerian Pariwisata, dan Menkoinfo

melakukan promosi dan mengembangkan oulet pangan lokal secara

nasional, terstruktur, dan berkelanjutan melalui berbagai media elektronik,

massa, penyuluhan, ruang publik (hotel, bandara, stasiun kereta api, dan

ruang publik lainnya).

f. Semua Kementerian dan lembaga pemerintah dan swasta

menyediakan pangan lokal menjadi snack utama dalam beragam kegiatan

kenegaraan, keagamaan, upacara pernikahan, rapat-rapat, dan aktivitas

lainnya. Kementerian Perdagangan dan Kementerian Luar Negeri

membangun pasar pangan lokal dan menjaga stabilitas harga pangan

tersebut agar terjangkau oleh masyarakat.

Page 76: SINTESIS NASKAH ANALISIS KEBIJAKAN PERTANIANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_14.pdf · Secara umum subsidi harga pupuk yang telah dilakukan sejak tahun 2003 mengalami

72

DAFTAR PUSTAKA

[BKP] Badan Ketahanan Pangan. 2012. Direktori Pengembangan Konsumsi

Pangan. Badan Ketahanan Pangan. Jakarta

[BKP] Badan Ketahanan Pangan. 2013. Pedoman Pelaksanaan Program Kerja dan

Anggaran Badan Ketahanan Pangan Tahun Anggaran 2013. Badan

Ketahanan Pangan. Jakarta.

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Sensus Pertanian 2013. Badan Pusat

Statistik. Jakarta.

BPSB TPH Provinsi Jawa Barat. 2013. Laporan Tahunan 2013. BPSB TPH

Provinsi Jawa Barat. Bandung.

[Bulog]. Badan Urusan Logistik. 2015. Sekilas RASKIN (Beras untuk Rakyat Miskin). http://www.bulog.co.id/ (23 Juni 2015).

Cole, S. 2012. A Political Ecology of Water Equity and Tourism. A Case Study from

Bali. Annual of Tourism Research 39(2): 1221-1241.

Darwanto, D.H. 2014. Tinjauan Kebijakan Perberasan dan Kesejahteraan Petani di

Indonesia. Dalam PERHEPI. Ekonomi Perberasan Indonesia.

Handaka dan Abi Prabowo. 2013. Kebijakan Antisipatif Pengembangan Mekanisasi

Pertanian. Analisis Kebijakan Pertanian 11(1): 27-44.

Heriawan, R. 2015. Mekanisasi Pertanian dari Perspektif Ekonomi dan Kesejahteraan Petani: Peluang dan Tantangan (Pengantar). Disampaikan

pada Seri FGD-PSEKP. Bogor, 19 Mei 2015.

Homer-Dixon, T.F. 1994. Environmental Scarcities and Violent Conflict: Evidence

from Cases. International Security 19(1): 5-40.

Kemenko Perekonomian. 2015. Bahan FGD Pokja Pupuk, 04 Mei 2015. Kementerian Koordinator Bidang Perekomomian. Jakarta

Kementerian Pertanian. 2015. Rencana Strategis Kementerian Pertanian Tahun 2015-2019. Kementerian Pertanian. Jakarta.

Lorenzen, R.P. 2011. Perseverance in the Face of Change Resilience Assessment

of Balinese Irrigated Rice Cultivation. A thesis submitted for the degree of

Doctor of Philosophy of the Australian National University. Resource

Management in Asia-Pacific Program Crawford School of Economics and

Government, College of Asia and the Pacific, the Australian National

University. Canberra.

Page 77: SINTESIS NASKAH ANALISIS KEBIJAKAN PERTANIANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_14.pdf · Secara umum subsidi harga pupuk yang telah dilakukan sejak tahun 2003 mengalami

73

Pasandaran, E. 2006. Alternatif Kebijakan Pengendalian Konversi Lahan Sawah

Beririgasi di Indonesia. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian

25(4): 123-129.

Prabowo, A., N. Sulistyosari, dan Handaka. 2001. Membangun Sistem

Pemanfaatan Air Tanah Produktif untuk Usahatani Padi atau Diversifikasi Tanaman. Seminar Kebijakan Alat dan Mesin Pertanian. Serpong, 11

November 2001. Balai Besar Pengembangan Alat dan Mesin Pertanian. Serpong.

Maulana, M. 2012. Prospek Implementasi Kebijakan Harga Pembelian Pemerintah

(HPP) Multikualitas Gabah dan Beras di Indonesia. Analisis Kebijakan Pertanian 10(3): 211-223.

Rusanti, Y. 2015. Perkembangan Rata-Rata Harga Eceran Beras. Makalah disampaikan pada Diskusi Harga Beras. Jakarta 2 Maret 2015. Badan Pusat

Statistik (Tidak Dipublikasikan).

Simatupang, P. 2015. FGD Review Kebijakan Pupuk Bersubsidi di Indonesia. Diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Sarana dan Prasarana Pertanian.

Jakarta

Suryana, A., S. Susilowati, Hermanto, M. Ariani, dan R. Yoga. 2015. Harga Beras

Melambung? Makalah disampaikan pada Focus Group Discussion. Bogor, 2 Maret 2015. Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor (Tidak

Dipublikasikan).

Sumaryanto. 2007. Identifikasi Faktor-Faktor yang Kondusif untuk Merintis

Pengelolaan Irigasi di Tingkat Tertier yang Lebih Produktif dan

Berkelanjutan. Jurnal Agro Ekonomi 25(2): 148-177.