sindrom nefrotik
DESCRIPTION
Nephrotic syndrome case illustration.TRANSCRIPT
PRESENTASI KASUS
Sindrom Nefrotik
Yofara Maulidiah Muslihah
1111103000047
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOTA BEKASI
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
OKTOBER 2015
Preskas Sindrom Nefrotik
Yofara M. Muslihah (1111103000047) © 2015 | 2
KATA PENGANTAR
Assalmu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,
Puji dan Syukyr kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan
karunia-Nya kepada saya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah presentasi
kasus yang berjudul “Sindrom Nefrotik”. Shalawat dan salam kami sampaikan
kepada junjungan Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga, sahabat, dan
pengikutnya.
Terimakasih kami ucapkan kepada dr. Elsa, SpPD yang telah memberikan
kesempatan dan waktunya untuk menjadi pembimbing kami dalam menyelesaikan
makalah presentasi kasus ini.
Makalah presentasi kasus yang berjudul “Sindrom Nefrotik” ini kami sadari masih
terlalu jauh dari kesempurnaan dan masih banyak kekurangan. Oleh karena itu
kami sebagai penulis memohon maaf jika terdapat beberapa kesalahan dalam
makalah ini, Kritik dan saran yang membangun selalu kami tunggu.
Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi siapapun yang
membacanya dan bagi kami, penulis yang sedang menempuh kegiatan
kepaniteraan klinik Ilmu Penyakit Dalam RSUD Kota Bekasi.
Bekasi, 5 Oktober 2015
Penulis
Preskas Sindrom Nefrotik
Yofara M. Muslihah (1111103000047) © 2015 | 3
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .................................................................................... 2
DAFTAR ISI ................................................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 4
BAB II ILUSTRASI KASUS ........................................................................ 5
2.1. Identitas Pasien.......................................................................................... 5
2.2. Anamnesis ................................................................................................. 5
2.3. Pemeriksaan Fisik ..................................................................................... 7
2.4. Pemeriksaan Penunjang ............................................................................ 12
2.5. Resume ...................................................................................................... 14
2.6. Daftar Masalah .......................................................................................... 14
2.7. Tata Laksana ............................................................................................. 14
2.8. Saran Pemeriksaan Penunjang .................................................................. 15
2.9. Prognosis ................................................................................................... 15
BAB III TINJAUAN PUSTAKA .................................................................. 16
3.1. Sindrom Nefrotik ...................................................................................... 16
3.1.1. Definisi .............................................................................................. 16
3.1.2. Etiologi dan Klasifikasi ..................................................................... 17
3.1.3. Patofisiologi ....................................................................................... 26
3.1.4. Manifestasi Klinis .............................................................................. 28
3.1.5. Diagnosis ........................................................................................... 30
3.1.6. Diagnosis Banding ............................................................................ 30
3.1.7. Tatalaksana ........................................................................................ 31
3.1.8. Komplikasi ........................................................................................ 43
3.1.9. Prognosis .......................................................................................... 43
BAB IV PENGKAJIAN MASALAH ........................................................... 44
BAB V KESIMPULAN ................................................................................. 47
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 48
Preskas Sindrom Nefrotik
Yofara M. Muslihah (1111103000047) © 2015 | 4
BAB I
PENDAHULUAN
Sindrom nefrotik (SN) merupakan salah satu manifestasi klinik
glomerulonefritis yang ditandai dengan proteinuria masif (≥ 3 – 3,5 g/hari atau
rasio protein kreatinin pada urin sewaktu > 300-350 mg/mmol), hipoalbuminemia
(< 3,5 g/dl), hiperkolesterolemia, dan manifestasi klinis edema periferal. Pada
proses awal atau SN ringan untuk menegakkan diagnosis tidak semua gejala
tersebut harus ditemukan.1,2,3
SN dapat terjadi pada semua usia, dengan perbandingan pria dan wanita 1:1
pada orang dewasa. SN terbagi menjadi SN primer yang tidak diketahui kausanya
dan SN sekunder yang dapat disebabkan oleh infeksi, penyakit sistemik,
metabolik, obat-obatan, dan lain-lain.1,2,3,4
Proteinuria masif merupakan tanda khas SN, tetapi pada SN yang berat yang
disertai kadar albumin serum rendah ekskresi protein dalam urin juga berkurang.
Proteinuria juga berkontribusi terhadap berbagai komplikasi yang terjadi pada SN.
Hipoalbuminemia, hiperlipidemia, dan lipiduria, gangguan keseimbangan
nitrogen, hiperkoagulabilitas, gangguan metabolisme kalsium dan tulang, serta
hormon tiroid sering dijumpai pada SN. Umumnya pada SN fungsi ginjal normal
kecuali pada sebagian kasus yang berkembang menjadi penyakit ginjal tahap
akhir. Pada beberapa episode SN dapat sembuh sendiri dan menunjukkan respon
yang baik terhadap terapi steroid, tetapi sebagian lagi dapat berkembang menjadi
kronik.1,2,3
Preskas Sindrom Nefrotik
Yofara M. Muslihah (1111103000047) © 2015 | 5
BAB II
ILUSTRASI KASUS
2.1. Identitas Pasien
Nama : Ny. MR
Tanggal lahir/Usia : 03/01/1987 (28 tahun)
Alamat : Kav. Bulak Sentul No. 121
Agama : Islam
Kewarganegaraan : Indonesia
Pekerjaan : Guru
Jenis kelamin : Perempuan
Status Pernikahan : Belum menikah
No. RM : 03527134
2.2. Anamnesis
A. Keluhan Utama
Bengkak di kedua tungkai serta wajah sejak 3 minggu SMRS.
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSUD Bekasi dengan keluhan bengkak di
kedua tungkai serta wajah sejak 3 minggu SMRS. Bengkak di tungkai
dirasakan sepanjang hari, sedangkan pada wajah terutama pada saat
bangun tidur di pagi hari dan berkurang saat pasien beraktivitas.
Bengkak tidak disertai dengan sesak nafas, keluhan badan menjadi
kuning, penurunan berat badan drastis, dan keluhan nyeri sendi.
Keluhan lemas, tidak selera makan, nyeri perut, mual, muntah, serta
diare disangkal pasien. Pasien mengakui kencingnya berwarna keruh
namun tidak berbusa sejak mengalami keluhan seperti ini. Pasien
pernah disuntik dexamethasone sebanyak 2 ampul di klinik sekitar 7
Preskas Sindrom Nefrotik
Yofara M. Muslihah (1111103000047) © 2015 | 6
hari SMRS menyebabkan keluhan bengkak sedikit berkurang, namun
kemudian bengkak kembali.
Seminggu sebelum keluhan bengkak muncul, pasien mengeluh
badan lemas, demam tidak tinggi, tidak nafsu makan, serta batuk.
Pasien kemudian berobat ke klinik dan diberikan antibiotik, obat batuk,
obat flu, dan vitamin.
C. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien baru pertama kali mengalami keluhan seperti ini. Riwayat
mengalami sakit ginjal yang diketahui sebelumnya disangkal pasien.
Riwayat mengalami nyeri dan kaku pada jari-jari disangkal. Riwayat
kencing manis disangkal. Riwayat sakit pada hati disangkal. Riwayat
rutin mengonsumsi obat-obatan tertentu disangkal.
D. Riwayat Penyakit Keluarga
Dalam keluarga tidak ada yang pernah mengalami keluhan serupa.
Riwayat kencing manis dalam keluarga disangkal.
E. Riwayat Kebiasaan dan Sosial
Riwayat mengonsumsi jamu-jamuan disangkal pasien. Riwayat
seks bebas dan penggunaan narkotika suntik disangkal pasien.
Preskas Sindrom Nefrotik
Yofara M. Muslihah (1111103000047) © 2015 | 7
2.3. Pemeriksaan Fisik
A. Keadaan Umum
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis
BB : 50 kg (sebelum sakit)
TB : 150 cm
BMI : 22 kg/m2
Keadaan Gizi : Dalam batas normal
B. Tanda Vital
Tekanan Darah : 130/80 mmHg
Nadi : 70 x/menit
Pernapasan : 20 x/menit
Suhu : 36,7ºC
C. Kepala dan Leher
Bentuk kepala : Normocephali.
Rambut : Hitam, distribusi rata, sulit dicabut
Wajah : Simetris, tidak ditemukan benjolan, malar rash –
Mata
Tidak ada oedem palpebra dextra dan sinistra
Konjunctiva anemis +/+
Sklera ikterik -/-
Pupil bulat isokor, diameter 3 mm/ 3mm
Tidak ada kekeruhan pada lensa mata dextra dan sinistra
Reflek cahaya langsung +/+
Refleks cahaya tidak langsung +/+
Edema palpebra +/+
Preskas Sindrom Nefrotik
Yofara M. Muslihah (1111103000047) © 2015 | 8
Telinga
Tidak ditemukan kelainan pada preaurikula dextra dan sinistra
Bentuk aurikula dextra dan sinistra normal, tidak ditemukan kelainan
kulit, tidak hiperemis
Tidak ditemukan kelainan pada retroaurikula dextra dan sinistra
Nyeri tekan tragus -/-
Nyeri tekan aurikula -/-
Nyeri tarik aurikula -/-
Nyeri tekan retroaurikula -/-
Hidung
Deviasi septum nasi -, tidak ada napas cuping hidung, nyeri tekan –
Nares anerior: sekret -/-, darah -/-, hiperemis -/-
Tidak ditemukan deviasi septum
Mulut
Bentuk mulut normal saat bicara dan diam, tidak terdapat gangguan
bicara, sudut bibir kanan dan kiri tampak simetris saat bicara dan
tersenyum.
Tidak ditemukan kelainan kulit daerah perioral
Bibir lembab, tidak sianosis
Oral higiene kurang, karies gigi (-)
Lidah tidak tremor, lurus terjulur ditengah, tidak hiperemis, tidak
kering
Uvula terletak ditengah, tidak oedem
Oral thrush (-)
Faring tidak hiperemis
Tonsil T1-T1 tenang.
Preskas Sindrom Nefrotik
Yofara M. Muslihah (1111103000047) © 2015 | 9
Leher
Inspeksi:
Bentuk leher tidak tampak ada kelainan, tidak tampak pembesaran kelenjar
tiroid, tidak tampak pembesaran KGB, tidak tampak deviasi trakea
Palpasi:
Tidak teraba pembesaran kelenjar tiroid, trakea teraba di tengah, JVP 5-2
cmH2O.
Auskultasi: Tidak terdengar bruit
D. Thorax
Thorax Anterior
Inspeksi
Bentuk thorax simetris pada saat statis dan dinamis, tidak ada
pernapasan yang tertinggal, pernapasan abdominotorakal
Tidak tampak retraksi sela iga
Tidak ditemukan eflouresensi pada kulit dinding dada
Tidak terdapat kelainan tulang iga dan sternum
Tidak terlihat spider navy
Palpasi
Pada palpasi secara umum tidak terdapat nyeri tekan dan tidak teraba
benjolan pada dinding dada
Gerak nafas simetris
Vocal fremitus simetris pada seluruh lapangan paru, friction fremitus
(-), thrill (-)
Teraba ictus cordis pada sela iga V, 2 jari medial dari linea
midclavicularis kiri
Perkusi
Kedua hemithoraks secara umum terdengar sonor
Batas kanan paru-jantung pada sela iga IV, garis parasternalis kanan
Batas kiri paru-jantung pada sela iga V, 2 jari medial dari
midcavicularis kiri
Batas atas kiri paru-jantung pada sela iga III, garis parasternalis kiri
Preskas Sindrom Nefrotik
Yofara M. Muslihah (1111103000047) © 2015 | 10
Auskultasi
Suara nafas vesikuler +/+, reguler, ronkhi +/+, wheezing-/-
BJ I, BJ II regular, murmur (-), gallop (-), splitting (-)
Thorax Posterior
Inspeksi
Bentuk simetris saat dinamis dan saat statis
Tidak terlihat eflouresensi
Tidak terlihat benjolan
Tidak terdapat kelainan vertebra
Palpasi
Gerak nafas simetris
Vocal fremitus simetris
Tidak ditemukan nyeri tekan
Perkusi
Tidak terdapat nyeri ketuk
Perkusi secara umum terdengar sonor
Batas bawah paru kanan pada sela iga X, batas bawah paru kiri pada
sela iga XI
Auskultasi
Suara nafas vesikuler +/+
E. Abdomen
Inspeksi
Bentuk perut datar
Venektasi (-), caput medusae (-), striae alba (+)
Umbilikus terletak di garis tengah
Tidak tampak pulsasi abdomen pada regio epigastrika
Auskultasi
Bising usus (+) normal
Arterial bruit (-)
Preskas Sindrom Nefrotik
Yofara M. Muslihah (1111103000047) © 2015 | 11
Palpasi
Dinding abdomen teraba supel, defans muskular (-), turgor kulit baik
Nyeri tekan epigastrium (-)
Hepar dan lien tidak teraba
Ballotement -/-
Undulasi (-)
Perkusi
Shifting dullness (-)
F. Ekstremitas
Ektremitas atas
Inspeksi
Tangan kiri dan kanan simetris, tidak terlihat deformitas, tidak
terdapat lesi kulit
Palmar eritema (-)
Tidak sianosis, tidak ikterik
Clubbing finger –
Tidak tampak pembengkakan sendi, kedua ekstremitas atas dapat
bergerak aktif dan bebas
Tidak ada gerakan involunter.
Palpasi
Tidak terdapat nyeri tekan
Akral hangat
Pitting edema -/- -/-
Refleks patologis Hoffmann Tromner -/-
Flapping tremor -/-
Tidak ada atrofi otot, tidak terdapat rigiditas sendi
Kekuatan otot normal 5555 5555
5555 5555
Preskas Sindrom Nefrotik
Yofara M. Muslihah (1111103000047) © 2015 | 12
Ekstremitas bawah
Inspeksi
Tungkai kiri dan kanan simetris, tidak terlihat deformitas, tidak
tampak pembengkakan, tidak terdapat lesi kulit
Tidak sianosis, tidak ikterik
Clubbing finger –
Kedua tungkai dapat bergerak aktif dan bebas
Palpasi
Tidak terdapat nyeri tekan pada kedua tungkai kanan dan kiri
Pitting oedem - -
+ +
Klonus patella -/-, klonus achilles -/-
Tidak ada atrofi otot, tidak terdapat rigiditas sendi
G. Status Neurologis
Tanda rangsang meningeal
- Kaku kuduk (-)
- Lasegue (-), Kernig (-)
- Brudzinski I/II (-)/(-)
Refleks fisiologis (+)
Refleks patologis (-)
2.4. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan 25/09
18:30
27/09
14:40 Nilai Rujukan
Hemoglobin 8.9 9.4 11.7- 15.5 g/dl
Hematokrit 26 28.6 33-45 %
Leukosit 6.5 8.0 5-10 ribu/UL
Trombosit 236 279 150-440 ribu/UL
SGOT 26 0-34 u/l
SGPT 10 0-40 u/l
Protein Total 6.0 6.6-8.0 g/dl
Albumin 3.4 3.40-4.80 g/dl
Globulin 3.12 1.5-3.0 g/dl
Preskas Sindrom Nefrotik
Yofara M. Muslihah (1111103000047) © 2015 | 13
Ureum darah 19 20-40
Kreatinin Darah 0.6 0.6-1.5
GDS 104 103 70-140 mg/dl
Natrium 140 135-147 mmol/l
Kalium 3.8 3.10-5.10 mmol/l
Klorida 98 95-108 mmol/l
Kolesterol Total 286 < 200 mg/dl
Trigliserida 142 < 160 mg/dl
Asam Urat 5.8 2.2-6.2 mg/dl
Pemeriksaan Urin Lengkap (26/09/15)
Kimia Urine
Warna
Kejernihan
pH
Berat Jenis
Albumin Urin
Glukosa
Keton
Urobilinogen
Bilirubin
Darah Samar
Lekosit Esterase
Kuning
Agak keruh
6,5
1015
Positif 1 (+)
Negatif
Negatif
0,2
Negatif
Positif 3 (+++)
Positif 1 (+)
Mikroskopis Urine
Eritrosit
Lekosit
Silinder
Epitel
Kristal
Bakteri
Lain lain
10-15
5-10
Negatif
Gepeng
(+)
Negatif
Positif (+)
Negatif
Pemeriksaan Apusan Darah Tepi
Kesan: Anemia normositik normokrom akibat perdarahan
Preskas Sindrom Nefrotik
Yofara M. Muslihah (1111103000047) © 2015 | 14
2.5 Resume
Pasien datang ke IGD RSUD Bekasi dengan keluhan bengkak di kedua
tungkai serta wajah sejak 3 minggu SMRS. Bengkak di tungkai dirasakan
sepanjang hari, sedangkan pada wajah teruma pada saat bangun tidur di pagi
hari dan berkurang jika pasien beraktivitas. Pasien mengakui kencingnya
berwarna keruh. Pasien pernah disuntik dexamethason sebanyak 2 ampul di
klinik, kemudian keluhan bengkak sedikit berkurang.
Seminggu sebelum keluhan bengkak muncul, pasien mengeluh badan lemas,
demam tidak tinggi, tidak nafsu makan, serta batuk.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan konjungtiva anemis, edema palpebra,
dan pitting edema pada ekstemitas inferior.
Pada pemerikaan labooratorium didapatkan anemia dengan kesan
normositik normokrom, hiperlipidemia, proteinuria, hematuria mikroskopik,
dan bakteriuria.
2.6 Daftar Masalah
a) Sindrom Nefrotik e.c. DD/ Glomerulonefritis
b) Anemia ec. Blood Loss DD/ Defisiensi Nutrisi
2.7 Tatalaksana
2.7.1 Non-Medikamentosa
Sindrom Nefrotik e.c. DD/ Glomerulonefritis
Diet
• Restriksi asupan protein (0,8g/kgbb/hari)
• Restriksi cairan
• Rendah garam, rendah lemak jenuh, rendah kolesterol
Preskas Sindrom Nefrotik
Yofara M. Muslihah (1111103000047) © 2015 | 15
Anemia e.c. Blood Loss e.c. DD/ Defisiensi Nutrisi
Atasi penyebab perdarahan
2.7.2 Medikamentosa
Sindrom Nefrotik e.c. DD/ Glomerulonefritis
• Furosemid 1 x 40 mg IV
• Metilprednisolone 3 x 16 mg PO
• Captopril 3 x 6,25 mg PO
• KSR 1 x 1 tab PO
• Simvastatin 1 x 20 mg PO
Anemia e.c. Blood Loss DD/ Defisiensi Nutrisi
Atasi penyebab perdarahan
2.8 Saran Pemeriksaan Penunjang
a) Albumin serum
b) Protein urin kuantitatif 24 jam
c) ANA test, ds-DNA
d) ASTO
e) C3, C4
f) Biopsi ginjal
g) Serum ferritin, asam folat, dan B12
2.9 Prognosis
Ad vitam : bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : bonam
Preskas Sindrom Nefrotik
Yofara M. Muslihah (1111103000047) © 2015 | 16
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1. Sindrom Nefrotik
3.1.1. Definisi
Dalam bukunya, Walsh mendefinisikan sindrom nefrotik sebagai
edema, hipoalbuminemia, hiperlipidemia, dan proteinuria berat.
Jumlah proteinuria yang bermakna sebagai nefrotik adalah ekskresi
sebanyak lebih dari 40 mg/m2/jam atau dengan rasio protein/kreatinin
lebih dari 2,0 hingga 3,0.1
Sindrom nefrotik (SN) merupakan salah satu manifestasi klinik
glomerulonefritis (GN) ditandai dengan edema anasarka, proteinuria
masif ≥ 3,5 g/ hari, hipoalbuminemia < 3,5 g/dl, hiperkolesterolemia,
dan lipiduria. Pada proses awal atau SN ringan, untuk menegakkan
diagnosis tidak semua gejala tersebut harus ditemukan. Proteinuria
masif merupakan tanda khas SN, akan tetapi pada SN berat yang
disertai kadar albumin serum rendah, ekskresi protein dalam urin juga
berkurang. Proteinuria juga berkontribusi terhadap berbagai
komplikasi yang terjadi pada SN. Hipoalbuminemia, hiperlipidemia,
dan lipiduria, gangguan keseimbangan nitrogen, hiperkoagulabilitas,
gangguan metabolisme kalsuim dan tulang, serta hormon tiroid sering
dijumpai pada SN. Umumnya SN dengan fungsi ginjal normal,
kecuali sebagai kasus yang berkembang menjadi penyakit ginjal tahap
akhir (PGTA). Pada beberapa episode SN dapat sembuh sendiri dan
menunjukkan respons yang baik terhadap terapi steroid, akan tetapi
sebagian lain dapat berkembang menjadi kronik.2
Preskas Sindrom Nefrotik
Yofara M. Muslihah (1111103000047) © 2015 | 17
3.1.2. Etiologi dan Klasifikasi
Sindroma nefrotik dapat dibagi menjadi kongenital, primer
(dari tipe glomerulonefritis manapun), atau sekunder (penyakit
sistemik, keganasan, reaksi alergi, atau oleh karena reaksi dengan
nefrotoksin).1 Adapun, secara mudah, kebanyakan referensi
membagi etiologi sindroma ini menjadi etiologi primer (dari ginjal)
maupun sekunder (di luar ginjal dan biasanya disebabkan oleh
penyakit sistemik). Lebih dari 50% SN pada dewasa disebabkan oleh
penyebab sekunder.
a. Sindrom Nefrotik Primer
SN primer (idiopatik) berhubungan dengan kelainan
primer glomerulus dengan sebab tidak diketahui tanpa
adanya penyebab lain. Golongan ini paling sering dijumpai
pada anak. Termasuk dalam sindrom nefrotik primer adalah
sindrom nefrotik kongenital, yaitu salah satu jenis sindrom
nefrotik yang ditemukan sejak anak itu lahir atau usia di
bawah 1 tahun.3
Kelainan histopatologik glomerulus pada sindrom nefrotik
primer dikelompokkan menurut rekomendasi dari ISKDC
(International Study of Kidney Disease in Children).
Kelainan glomerulus ini sebagian besar ditegakkan melalui
pemeriksaan mikroskop cahaya, dan apabila diperlukan,
disempurnakan dengan pemeriksaan mikroskop elektron dan
imunofluoresensi. Tabel di bawah ini menggambarkan
klasifikasi histopatologik sindrom nefrotik pada anak
berdasarkan istilah dan terminologi menurut rekomendasi
ISKDC (International Study of Kidney Diseases in Children,
1970) serta Habib dan Kleinknecht (1971).4
Preskas Sindrom Nefrotik
Yofara M. Muslihah (1111103000047) © 2015 | 18
Tabel 1. Klasifikasi Kelainan Glomerulus pada
Sindrom Nefrotik Primer
1. Glomerulonefritis lesi minimal/ kelainan minimal
(KM)
2. Glomerulosklerosis (GS)
Glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS)
Glomerulosklerosis fokal global (GSFG)
3. Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus
(GNPMD)
4. Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus
eksudatif
5. Glomerulonefritis kresentik (GNK)
6. Glomerulonefritis membrano-proliferatif (GNMP)
GNMP tipe I dengan deposit subendotelial
GNMP tipe II dengan deposit intramembran
GNMP tipe III dengan deposit
transmembran/subepitelial
7. Glomerulonefritis membranosa (GM)
8. Glomerulonefritis kronik lanjut (GNKL)
Di antara klasifikasi tersebut, yang sering dijumpai adalah
dengan urutan paling banyak hingga sedikit adalah GSFS
(40%), GM (30%), KM (20%, pada anak), GNMP (5%), dan
GNPMD (5%):
1. Minimal Change Disease/ Kelainan Minimal (MCD/ KM)
Kelainan glomerulus ini terjadi pada 80% SN pada
anak lebih muda dari 16 tahun dan 20% terjadi pada orang
dewasa. Insiden puncaknya terjadi pada usia 6 dan 8
tahun. Hematuria mikroskopik muncul pada 20-30%
kasus. Jarang disertai oleh hipertensi dan insufisiensi
ginjal.5,6
Sebagian besar etiologi MCD ini idiopatik dan biasanya
terjadi setelah infeksi saluran pernafasan atas, imunisasi
dan serangan atopi. Pasien dengan atopi dan MCD
mengalami peningkatan insiden HLA-B12 yang
menunjukkan adanya predisposisi genetik. MCD sering
Preskas Sindrom Nefrotik
Yofara M. Muslihah (1111103000047) © 2015 | 19
kali berhubungan dengan nefritis interstitialis yang
merupakan efek samping yang jarang dari pemberian obat
anti inflamasi non steroid (OAINS), rifampisin dan
interferon α.6
Keterkaitan dengan keganasan limfoproliferatif seperti
limfoma Hodgkin, kerentanan MCD idiopatik untuk
mengalami remisi selama infeksi virus seperti campak dan
respon yang baik terhadap agen imunosupresan
menunjukkan adanya etiologi imun dalam kasus ini.7 Pada
anak-anak, urin mengandung albumin dan sebagian kecil
protein dengan berat molekul yang lebih tinggi seperti Ig
G dan makroglobulin α2. Adanya proteinuria selektif
menunjukkan adanya keruskan pada podosit dan
hilangnya kemampuan filtrasi glomerulus terhadap protein
5,6
MCD ini disebut juga penyakit nil, nefrosis lipoid dan
memiliki gambaran:
Pemeriksaan mikroskop cahaya: morfologi normal
Pemeriksaan mikroskop elektron: Ig M yang negatif
Identifikasi imunofluoresensi: gambaran Ig M dan C3
yang negatif.
Etiologi dari MCD meliputi:6
Idiopatik (sebagian besar)
Berhubungan dengan penyakit sistemik maupun obat :
- Nefritis interstitialis akibat OAINS, rifampisin,
interferon α
- Penyakit Hodgkin dan keganasan limfoproliferatif
- Infeksi HIV
Preskas Sindrom Nefrotik
Yofara M. Muslihah (1111103000047) © 2015 | 20
Gambar 1. Gambaran histopatologis sindrom nefrotik primer jenis kelainan
minimal.
Pada mikroskop elektron akan tampak foot prosessus sel
epitel berpadu. Dengan cara imunofluoresensi ternyata
tidak terdapat IgG pada dinding kapiler glomerulus.7
2. Glomerulosklerosis Fokal dan Segmental (FSGS/ GSFS)
Lesi morfologi patognomonik FSGS ini ialah
hialinosis yang mengenai hingga 50% bagian glomerulus.
Insiden dari FSGS idiopatik meningkat selama dua
dekade terakhir dan merupakan satu pertiga bagian kasus
SN pada orang dewasa.6
Etiologi FSGS ini masih belum jelas ini ada bukti yang
menunjukkan bahwa faktor permeabilitas non
imunoglobulin dalam sirkulasi ikut memicu terjadinya
FSGS. Hasil pemeriksaan biopsi jaringan ginjal
menunjukkan bahwa FSGS memiliki gambaran:
Pemeriksaan mikroskop cahaya: Adanya materi hialin
amorf. Sklerosis segmental awal pada beberapa
glomerulus dengan atrofi tubulus, bila lanjut dapat
mengenai seluruh tubulus8
Pemeriksaan mikroskop elektron: fusi foot process,
sklerosis, hialin
Identifikasi imunofluoresensi: Ig M fokal dan
segmental6
Etiologi dari FSGS meliputi:6
Preskas Sindrom Nefrotik
Yofara M. Muslihah (1111103000047) © 2015 | 21
Idiopatik (sebagian besar)
Berhubungan dengan penyakit sistemik maupun obat
- Infeksi HIV - Sialidosis
- Diabetes melitus -Penyakit Charcot Marie Tooth
- Penyakit Fabry
Konsekuensi dari sustained glomerular capillary
hypertension
- Oligonefropati kongenital
1. Agenesis renal unilateral
2. Oligomeganefronia
- Acquired nephron loss
1. Reseksi bedah
2. Refluks nefropati
3. Glomerulonefritis atau nefritis tubulointerstitialis
- Respon adaptif lainnya
1. Nefropati sickle cell
2. Obesity dengan sindrom sleep apnea
3. Disautonomia familial
- Penggunaan obat Heroin
Gambar 2. Gambaran histopatologis sindrom nefrotik primer jenis
glomerulosklerosis fokal segmental.
3. Nefropati Membranosa (Glomerulonefritis Membranosa)
Lesi ini merupakan penyebab SN pada dewasa hampir
30-40% dan jarang dijumpai pada anak. Insiden tertinggi
pada usia 30 hingga 50 tahun dengan rasio pria : wanita
2:1. Hematuria mikroskopik dijumpai pada lebih dari 50%
Preskas Sindrom Nefrotik
Yofara M. Muslihah (1111103000047) © 2015 | 22
kasus. Hipertensi terjadi pada 10-30% kasus dan lebih
sering dijumpai jika telah memasuki fase gagal ginjal
progresif .8
Hasil pemeriksaan biopsi jaringan ginjal menunjukkan
bahwa FSGS memiliki gambaran:
Pemeriksaan mikroskop cahaya: Penebalan GBM
dengan adanya maupun tanpa inflamasi atau proliferasi
seluler8
Pemeriksaan mikroskop elektron: deposit subepitelial
dan ekspansi GBM5
Identifikasi imunofluoresensi: deposit Ig G, C3 dan
komponen terminal komplemen (C5b-9) di sekitar
dinding kapiler glomerulus8
Etiologi dari Nefropati membranosa meliputi:6
Idiopatik (sebagian besar)
Berhubungan dengan penyakit sistemik maupun obat
- Infeksi: Hepatitis B dan C, sifilis kongenital dan
sekunder, malaria, lepram filariasis, endokarditis
enterokokus, penyakit hidatid
- Penyakit autoimun sistemik: SLE, rheumatoid,
penyakit Hashimoto, sindrom Sjogren, penyakit
Graves, dermatitis herpetiformis, myasthenia gravis,
spondilitis ankilosa, sirosis bilier primer dll.
- Neoplasia: Karsinoma mamae, paru, colon, dan
esofagus
- Obat: penicillamin, captopril, OIANS, mercury
- Lain-lainnya: sarcoidosis, diabetes melitus, penyakit
Crohn, penyakit weber-Christian, defisiensi
antitripsin, sindrom Fanconi.
Preskas Sindrom Nefrotik
Yofara M. Muslihah (1111103000047) © 2015 | 23
Gambar 3. Gambaran histopatologis sindrom nefrotik primer jenis
glomerulopati membranosa.
4. Glomerulonefritis membranoproliferatif (MPGN/ GNMP)
Kelainan ini juga dikenal sebagai glomerulonefritis
mesangiokapiler dengan ciri adanya penebalan GBM dan
perubahan proliferatif.8 Ada dua tipe MPGN yaitu:
MPGN tipe I dengan gambaran:
Pemeriksaan mikroskop cahaya: glomerulus
hiperseluler duplikasi GBM9
Pemeriksaan mikroskop elektron: deposit subendotelial
dan mesangial yang mengandung C3 dan Ig G atau Ig
M.8
Identifikasi imunofluoresensi: deposit Ig G, Ig M, C3
dan kadang-kadang Ig A atau deposit imun
subendotelial.6
MPGN tipe II dengan gambaran :
Pemeriksaan mikroskop cahaya: glomerulus
hiperseluler duplikasi GBM10
Pemeriksaan mikroskop elektron: adanya deposit padat
elektron dalam GBM dan membran basement renal
lainnya. GBM padat8
Identifikasi imunofluoresensi : C3 dinding kapiler dan
nodul mesangial8
Etiologi dari MPGN meliputi:6
Preskas Sindrom Nefrotik
Yofara M. Muslihah (1111103000047) © 2015 | 24
Idiopatik (sebagian besar)
- Tipe I dengan deposit subendotelial dan mesangial
- Tipe II dengan deposit padat intramembranosa
dengan maupun tanpa Ig yang berhubungan dengan
faktor nefritik C3
- Tipe III Gambaran MPGN tipe I dan nefropati
membranosa
Berhubungan dengan penyakit sistemik maupun obat
- Penyakit imun kompleks: SLE, krioglobulinemia,
sindrom Sjogren
- Infeksi kronik: hepatitis B dan C, HIV, endocarditis
bakterialis, abses visceral, shunt ventriculoatrial
- Keganasan: Leukemia, limfoma
- Penyakit hati: Lipodistrofi parsial, penggunaan
heroin, sarkoidosis, mikroangiopati trombotik
- Lain-lain
5. Glomerulonefritis Proliferatif Mesangial
Sekitar 5-10% kasus ini muncul dengan SN idiopatik.
Proteinuria persisten menandakan prognosis yang buruk.
Penyakit ini memiliki gambaran:
Pemeriksaan mikroskop cahaya: Meningkatnya
selularitas glomerulus yang difus akibat proliferasi sel
mesangial dan endotel serta adanya proses infiltrasi
monosit.
Identifikasi imunofluoresensi: bervariasi meliputi
adanya deposit Ig A, Ig G dan Ig M dan.atau
komplemen tanpa adanya reaktan imun.8
6. Sindrom Nefrotik Kongenital
Merupakan kelaian autosomal resesif dengan defek
pada struktur kimia membran basalis. Kelainan ini
mungkin diawali dalam uterus dengan adanya peningkatan
kadar alfa-fetoprotein dalam cairan amnion pada gestasi
Preskas Sindrom Nefrotik
Yofara M. Muslihah (1111103000047) © 2015 | 25
minggu ke-20. Saat lahir, biasanya plasenta besar dan
beratnya hampir 25-40% berat bayi. Proteinuria terjadi
saat lahir dan 25% telah mengalami edema, 25% lainnya
mengalami edema dalam minggu pertama. Azotemia
jarang dijumpai. Prognosisnya biasanya buruk, hanya 25%
yang dapat bertahan sampai usia 1 tahun dan 3% yang
bertahan sampai usia 3 tahun.5
b. Sindrom Nefrotik Sekunder
Timbul sebagai akibat dari suatu penyakit sistemik atau
sebagai akibat dari berbagai sebab yang nyata seperti
misalnya efek samping obat. Penyebab yang sering dijumpai
adalah infeksi, keganasan, penyakit jaringan penyambung
(connective tissue diseases), obat atau toksin, dan akibat
penyakit sistemik.2
Tabel 2. Penyebab Sindrom Nefrotik Sekunder
Infeksi
- HIV, hepatitis virus B dan C
- Sifilis, malaria, skistosoma
- Tuberculosis, lepra
Keganasan
- Adenokarsinoma paru, payudara, kolon, limfoma
Hodgkin, multiple mieloma, dan karsinoma ginjal.
Penyakit jaringan penghubung
- SLE, artritis reumatoid, MCTD (mixed connective
tissue diseases)
Efek obat dan toksin
- Obat antiinflamasi nonsteroid, preparat emas,
penisilinamin, probenesid, air raksa, captopril, dan
heroin
Lain-lain
- Diabetes mellitus, amiloidosis, preeklamsia, rejeksi
alograf kronik, refluk vesikoureter, atau sengatan
lebah
Penyebab sekunder akibat infeksi yang sering dijumpai
misalnya pada glomerulonefritis pasca infeksi streptokokus
Preskas Sindrom Nefrotik
Yofara M. Muslihah (1111103000047) © 2015 | 26
atau virus hepatitis B, akibat obat misalnya obat antiinflamasi
nonsteroid atau preparat emas organik, dan akibat penyakit
sistemik misalnya SLE dan diabetes melitus.2
3.1.3. Patofisiologi
Pada SN terjadi kerusakan dinding kapiler glomerulus yang
menyebabkan kebocoran protein yang lebih dari normal melalui
kapiler glomelurus menuju lumen tubulus renalis yang menyebabkan
terjadinya proteinuria.11
Proteinuria
Proteinuria merupakan kelainan dasar SN. Proteinuria sebagian
besar berasal dari kebocoran glomerulus (proteinuria glomerular) dan
hanya sebagian kecil berasal dari sekresi tubulus (proteinuria tubular).
Perubahan integritas membrana basalis glomerulus menyebabkan
peningkatan permeabilitas glomerulus terhadap protein plasma dan
protein utama yang diekskresikan dalam urin adalah albumin. Derajat
proteinuria tidak berhubungan dengan langsung dengan keparahan
kerusakan glomerulus. Lewatnya protein plasma yang berukuran lebih
dari 70 kD melalui membrana basalais glomrulus normalnya dibatasi
oleh charge selective barrier dan size selective barrier. Charge
selective barrier merupakan suatu polyanionic glycosaminoglycan.
Pada nefropati lesi minimal, proteinuria disebabakan terutama oleh
hilangnya charge selective barrier, sedangkan pada nefropati
membranosa disebabkan terutama oleh hilangnya size selective
barrier.4
Hipoalbuminemia
Hipoalbuminemia disebabkan oleh hilangnya albumin melalui
urin dan peningkatan katabolisme albumin di ginjal. Sintesis protein di
hati biasanya meningkat (namun tidak memadai untuk mengganti
Preskas Sindrom Nefrotik
Yofara M. Muslihah (1111103000047) © 2015 | 27
kehilangan albumin dalam urin), tetapi mungkin normal atau
menurun.4
Hiperlipidemia
Kolesterol serum, very low density lipoprotein (VLDL), low
density lipoprotein, trigliserida meningkat, sedangkan high density
lipoprotein (HDL) dapat meningkat, normal, atau menurun. Hal ini
disebabkan peningkatan sintesis lipid di hepar dan penurunan
katabolisme di perifer (penurunan pengeluaran lipoprotein, VLDL,
kilomikron, dan intermediate density lipoprotein dari darah).
Peningkatan sintesis lipoprotein lipid distimulasi oleh penurunan
albumin serum dan penurunan tekanan onkotik.4
Edema
Menurut teori underfill, edema pada sindrom nefrotik disebabkan
oleh penurunan tekanan onkotik plasma akibat hipoalbuminemia dan
retensi natrium. Hipovolemia menyebabkan peningkatan renin,
aldosteron, hormon antidiuretik dan katekolamin serta penurunan
atrial natriuretic peptide (ANP). Pemberian infus albumin akan
meningkatkan volume, meningkat laju filtrasi glomerulus dan eksresi
fraksional NaCl dan air yang menyebabkan edema berkurang.4
Peneliti lain mengemukakan teori overfill. Bukti adanya ekspansi
volume adalah hipertensi dan aktivitas renin plasma yang rendah serta
peningkatan ANP. Beberapa penjelasan berusaha menggabungkan
kedua teori ini, misalnya disebutkan bahwa pembentukan edema
merupakan proses dinamis. Didapatkan bahwa volume plasma
menurun secara bermakna pada saat pembentukan edema dan
meningkat selama fase diuresis.4
Lipiduria
Preskas Sindrom Nefrotik
Yofara M. Muslihah (1111103000047) © 2015 | 28
Lemak bebas (oval fat bodies) sering ditemukan pada sedimen
urin. Sumber lemak ini berasal dari filtrat lipoprotein melalui
membrana basalis glomerulus yang permeabel.12
Hiperkoagulabilitas
Keadaan ini disebabkan oleh hilangnya antitrombin (AT) III,
protein S, C dan plasminogen activating factor dalam urin dan
meningkatnya faktor V, VII, VIII, X, trombosit, fibrinogen,
peningkatan agregasi trombosit, perubahan fungsi sel endotel serta
menurunnya faktor zimogen (faktor IX, XI).12
Kerentanan terhadap Infeksi
Penurunan kadar imunoglobulin Ig G dan Ig A karena kehilangan
lewat ginjal, penurunan sintesis dan peningkatan katabolisme
menyebabkan peningkatan kerentanan terhadap infeksi bakteri
berkapsul seperti Streptococcus pneumonia, Klebsiella, Haemophilus.
Pada SN juga terjadi gangguan imunitas yang diperantarai sel T.
Sering terjadi bronkopneumoni dan peritonitis.12
3.1.4. Manifestasi Klinis
Gejala utama yang ditemukan adalah:3
1. Proteinuria Masif. Proteinuria > 40 mg/m2/jam atau > 50 mg/kg/24
jam atau > 3,5 g/hari pada dewasa atau 0,05 g/kg BB/hari pada
anak-anak. Biasanya berkisar antara 1-10 gram per hari. Pasien
SNKM biasanya mengeluarkan protein yang lebih besar dari
pasien-pasien dengan tipe yang lain.
2. Hipoalbuminemia. Hipoalbuminemia merupakan tanda utama
kedua pada sindrom nefrotik. Disebut hipoalbuminemia apabila
kadar albumin serum < 3,5 g/dl.
3. Edema Anasarka. Edema terutama jelas pada kaki, namun dapat
ditemukan edema muka, asites, dan efusi pleura.
Preskas Sindrom Nefrotik
Yofara M. Muslihah (1111103000047) © 2015 | 29
4. Hiperlipidemia, umumnya ditemukan hiperkolesterolemia. Kadar
kolesterol LDL dan VLDL meningkat, sedangkan kadar kolesterol
HDL menurun. Kadar lipid tetap tinggi sampai 1-3 bulan setelah
remisi sempurna dari proteinuria.
Manifestasi klinik utama sindrom nefrotik adalah sembab, yang
tampak pada sekitar 95% anak dengan sindrom nefrotik. Seringkali
sembab timbul secara lambat sehingga keluarga mengira anak
bertambah gemuk. Pada fase awal sembab sering bersifat intermiten.
Biasanya awalnya tampak pada daerah-daerah yang mempunyai
resistensi jaringan yang rendah seperti daerah periorbita, skrotum
atau labia. Akhirnya sembab menjadi menyeluruh dan masif
(anasarka/generalisata).3
Sembab berpindah dengan perubahan posisi, sering tampak
sebagai sembab muka pada pagi hari waktu bangun tidur dan
kemudian menjadi sembab pada ekstremitas bawah pada siang
harinya. Bengkak bersifat lunak, meninggalkan bekas bila ditekan
(pitting edema). Pada penderita dengan sembab hebat, kulit menjadi
lebih tipis dan mengalami oozing.3
Gangguan gastrointestinal sering timbul dalam perjalanan
penyakit sindrom nefrotik. Diare sering dialami pasien dengan
sembab masif yang disebabkan sembab mukosa usus. Hepatomegali
disebabkan sintesis albumin yang meningkat, atau edema atau
keduanya. Pada beberapa pasien, nyeri perut yang kadang-kadang
berat, dapat terjadi pada sindrom nefrotik yang sedang kambuh
karena sembab dinding perut atau pembengkakan hati. Nafsu makan
menurun karena edema. Anoreksia dan terbuangnya protein
mengakibatkan malnutrisi berat terutama pada pasien sindrom
nefrotik resisten-steroid. Asites berat dapat menimbulkan hernia
umbilikalis dan prolaps ani.3
Oleh karena adanya distensi abdomen baik disertai efusi pleura
atau tidak, maka pernapasan sering terganggu, bahkan kadang-
Preskas Sindrom Nefrotik
Yofara M. Muslihah (1111103000047) © 2015 | 30
kadang menjadi gawat. Keadaan ini dapat diatasi dengan pemberian
infus albumin dan diuretik.3
3.1.5. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang.
1. Anamnesis
Keluhan yang sering ditemukan adalah sembab di ke dua kelopak
mata, perut, tungkai, atau seluruh tubuh dan dapat disertai jumlah
urin yang berkurang.
2. Pemeriksaan Fisis
Pada pemeriksaan fisik sindrom nefrotik dapat ditemukan edema di
kedua kelopak mata, tungkai, atau adanya asites dan edema
skrotum/labia.
3. Pemeriksaan Penunjang
Pada urinalisis ditemukan proteinuria masif (3+ sampai 4+). Pada
pemeriksaan darah didapatkan hipoalbuminemia (< 3,5 g/dl),
hiperkolesterolemia, rasio albumin/globulin terbalik. Kadar ureum
dan kreatinin umumnya normal kecuali ada penurunan fungsi
ginjal.
3.1.6. Diagnosis Banding
Diagnosis banding pada sindrom nefrotik adalah sebagai berikut:3
1. Sembab nonrenal: gagal jantung kongestif, gangguan nutrisi, dan
edema hepatal.
2. Glomerulonefritis akut.
3. Lupus sistemik eritematosus.
Preskas Sindrom Nefrotik
Yofara M. Muslihah (1111103000047) © 2015 | 31
3.1.7. Tatalaksana
Penatalaksanaan SN meliputi:5
1. Terapi spesifik berdasarkan keadaan morfologi dan jika mungkin,
penyakit kausalnya
2. Kendali umum akan proteinuria jika remisi tidak dapat dicapai
dengan pemberian terapi imunosupresan dan ukuran lainnya
3. Kendali terhadap komplikasi nefrotik
Keadaan proteinuria perlu dikendalikan terutama jika pasien tidak
memberikan respon terhadap terapi imunosupresan dan adanya gagal
ginjal progresif dengan komplikasi yang berat. Pengobatan
nonspesifik yang dapat mengurangi proteinuria ialah pemberian ACE
inhibitor dan OAINS. Pemberian obat ini bertujuan untuk menurunkan
proteinuria dan memperlambat progresivitas gagal ginjal kronis
(GGK) dengan menurunkan tekanan intraglomerulus dan mencegah
kegagalan hemodinamik akibat adanya glomerulosklerosis.5
Adanya edema harus ditindak lanjuti lebih serius dengan restriksi
garam biasanya 1 hingga 2 g setiap harinya dan penggunaan diuretik
yang tepat. Pemindahan edema lebih dari 1 kg per harinya dengan
diuresis bukanlah tindakan yang tepat karena akan menyebabkan
deplesi volume intravaskuler dan memicu azotemia prerenal.5
1. Penatalaksanaan Non-Farmakologi
Penatalaksanaan Diet
Belum ada konsensus yang mengatur diet yang optimal bagi pasien
SN. Diet tinggi protein untuk mencegah malnutrisi protein tidaklah
membantu. Disarankan pemberian suplemen vitamin D bila
dijumpai bukti defisiensi vitamin D.5
Pada SN dilakukan restriksi protein dengan diet protein 0,8
gram/kgBB ideal/hari + ekskresi protein urin dalam 24 jam. Bila
Preskas Sindrom Nefrotik
Yofara M. Muslihah (1111103000047) © 2015 | 32
fungsi ginjal menurun, diet disesuaikan hingga 0,6 mg/kgBB
ideal/hari + ekskresi protein urin 24 jam. Diet rendah garam dan
restriksi cairan pada edema. Diet rendah kolesterol < 600 mg/hari.
Pasien diharuskan berhenti merokok.
2. Penatalaksanaan Farmakologi
a. Penatalaksanaan Edema
Pemberian diuretik ditujukan untuk menekan edema dengan
memobilisasi cairan dari sirkulasi. Dosis perlu dipertimbangkan
agar pasien dapat mengalami reduksi edema dengan penurunan
berat badan 1-2 lb setiap harinya bahkan pada pasien dengan
edema masif karena hipotensi dapat terjadi bila cairan hilang
terlalu cepat.13
Beberapa diuretika yang sering dipakai ialah:
Furosemide (loop diuretic) dapat dipakai sebagai diuretika
tunggal. Dosis dinaikkan sampai timbul diuresis. Diperlukan
suplementasi kalium. Pemberian furosemid
direkomendasikan 40 mg sehari. Bila tidak ada respon dosis
dinaikkan 40 mg setiap 12 jam hingga dosis maksimal 160
mg tercapai. Jika masih tidak memberikan respon maka
ditambahkan diuretik lainnya seperti metolazon yang bersifat
potensiasi terhadap diuretik loop. Hampir semua pasien
memberikan respon terhadap terapi oral walaupun beberapa
memerlukan furosemide 160 mg plus metolazone 10 mg dua
kali sehari untuk mencapai efek yang diinginkan.13
Spironolakton sebaiknya dihindari jika kadar kalium serum
tinggi atau pasien mengalami gangguan fungsi ginjal
Klortiazid memiliki kerja sinergistik dengan furosemide dan
spironolakton.
Preskas Sindrom Nefrotik
Yofara M. Muslihah (1111103000047) © 2015 | 33
Gambar 4. Proses Terbentuknya pada Sindrom Nefrotik.
Penderita SN kadang menunjukkan resistensi terhadap
diuretika yang sering digunakan dan sering memerlukan
pengobatan dengan dosis tinggi loop diuretic (misalnya
furosemide, torsemide, bumetanide). Resistensi diuretika loop
dapat diterangkan melalui ikatannya terhadap albumin dan
protein yang lain. Obat-obatan ini masuk ke dalam lumen nefron
melalui sekresi aktif lewat sel-sel tubulus proksimal. Jika terjadi
proteinuria berat, obat yang disekresikan terikat protein di lumen
tubulus, membatasi kemungkinannya untuk berikatan dengan
reseptor-reseptor pada bagian nefron yang lebih jauh. Resistensi
ini diatasi dengan meningkatkan dosis obat. Untuk mendapatkan
diuresis yang cukup sering diperlukan kombinasi diuretika loop
dan diuretika mirip thiazide.10
Preskas Sindrom Nefrotik
Yofara M. Muslihah (1111103000047) © 2015 | 34
Diuretika yang berlebihan dapat mempercepat kekurangan
volume dan gagal ginjal akut-suatu fenomena yang sering
dijumpai pada penderita-penderita dengan minimal change
disease. Dalam penatalaksanaan edema jarang sekali diberikan
diuretik intravena atau infus albumin untuk menekan edema
tetapi kombinasi infus albumin dan diuretika loop mungkin
diperlukan untuk mencapai diuresis pada penderita-penderita
dengan hipoalbuminemia berat.13
b. Penatalaksanaan Proteinuria dan Hipertensi
Proteinuria adalah petanda utama penyakit ginjal. Proteinuria
dapat juga digunakan sebagai penentu prognosis. Penderita
glomerulonefritis yang mengalami ekskresi protein urin lebih dari
1 gram perhari, biopsi ginjalnya sangat mungkin menunjukkan
glomerulosklerosis atau scarring. Sedang mereka yang
proteinurianya lebih dari 2 gram sehari, follow up jangka
panjangnya menunjukkan insiden untuk mengalami gagal ginjal
yang lebih tinggi. Dulu dipercaya proteinura adalah akibat
kerusakan ginjal, tetapi akhir-akhir ini bukti-bukti menunjukkan
bahwa kebalikannya juga benar; yaitu proteinuria dapat langsung
menyebabkan kerusakan ginjal.14,15
Gambar 5. Proses Kerusakan Ginjal Akibat Proteinuria.
Preskas Sindrom Nefrotik
Yofara M. Muslihah (1111103000047) © 2015 | 35
Jika ada kebocoran protein yang berlebihan dalam tubulus
ginjal, sel-sel tubulus proksimal (Proximal Tubular Cells - PTC)
menjadi kelebihan beban protein. Lysosome PTC akan
membengkak jika menelan protein ini, kemudian pecah dan
melepaskan enzym-enzym lysosome, sehingga timbul kerusakan
tubulo-interstitiel disertai fibrosis yang memicu gagal ginjal.
Kelebihan protein pada PTC juga mendorong pelepasan faktor
pertumbuhan seperti PDGF dan transforming growth factor-beta
(TGF-β) yang mitogenik pada PTC. Materi ini memicu produksi
kolagen berlebihan serta proliferasi sel-sel interstitiel yang
menimbulkan fibrosis dan gagal ginjal. Beban protein PTC juga
menyebabkan aktivasi gen-gen transkriptase, pelepasan bahan
vasoaktif pengkode gen-gen dan mediator peradangan. Pelepasan
ini memicu vasokonstriksi dan peradangan jaringan ginjal
sehingga akhirnya teradi kerusakan dan gagal ginjal (Gambar
5).13
Saat ini pengobatan untuk mengurangi proteinuria pada
penyakit ginjal dianggap penting seperti halnya penurunan
tekanah darah pada penderita hipertensi karena keduanya penting
untuk memelihara fungsi ginjal. Dalam keadaan normal, setiap
hari kedua ginjal mengeksresi kurang dari 150 mg protein dalam
urin. Proteinuria pada penderita-penderita di atas harus diturunkan
serendah mungkin hingga mencapai batas di bawah 0,5 gram
sehari. Salah satu cara terbaik melindungi ginjal dari kerusakan
akibat proteinuria ialah menggunakan ACE Inhibitor.13
Pada kondisi sesungguhnya yang dihubungkan dengan
proteinuria, ada fenomena hiperfiltrasi glomerulus (Glomerular
Hyperfiltration - HF) yang menginduksi proteinuria disamping
efek imunologis langsung dari glomerulonefritis yang juga
menyebabkan kerusakan ginjal dengan kebocoran protein ke
dalam urin. HF adalah kondisi akiba glomerulus rusak atau
Preskas Sindrom Nefrotik
Yofara M. Muslihah (1111103000047) © 2015 | 36
sklerosis. Glomerulus disekitarnya yang masih normal kemudian
menjadi sasaran aliran darah berlebihan dengan vasodilatasi
arteriol glomerulus aferen.13
Gambar 6. Fungsi Glomerulus dan Penghambatan ACE menurut Lewis.
Pada arteriol glomerulus eferen, terjadi vasokonstriksi
dimediasi Angiotensin II (ATII). Aliran darah meningkat saat
masuk dari arteriol aferen dan menurun saat keluar dari arteriol
eferen memicu kelebihan darah glomerulus dan meningkatkan
tekanan darah intraglomerulus (Intraglomerular Hypertension,IG-
HPT). Pada awalnya IG-HPT dihubungkan dengan peningkatan
GFR satu nefron disertai kebocoran protein dalam urin. Seiring
berjalannya waktu, timbul kerusakan ginjal disertai sklerosis
ginjal akibat IG-HPT dan akhirnya terjadi gagal ginjal.13
Penghambatan kerja AT-II dengan ACE inhibitor pada arteriol
glomerulus eferen memicu vasodilatasi sehingga menurunkan IG-
HPT dan mempertahankan fungsi ginjal (Gambar 6). Sekitar 20 -
30% pasien yang mendapat ACE Inhibitor akan mengalami efek
samping batuk kering dan menjadi lebih berat jika ada infeksi
saluran napas. Pada pasien ini, dianjurkan ARB yang tidak
memiliki efek samping batuk. ARB bersaing dengan reseptor
angiotensin dan karena itu menghambat kerja angiotensin. Obat
Preskas Sindrom Nefrotik
Yofara M. Muslihah (1111103000047) © 2015 | 37
ini sama efektif dengan ACE Inhibitor dalam menurunkan
proteinuria dan memelihara fungsi ginjal.13
Angiotensin receptor blocker (ARB) ternyata juga dapat
memperbaiki proteinuri karena menghambat inflamasi dan
fibrosis interstisium, menghambat pelepasan sitokin, faktor
pertumbuhan, adesi molekul akibat kerja angiotensin II lokal pada
ginjal. Kombinasi ACEI dan ARB dilaporkan memberi efek
antiproteinuri lebih besar pada glomerulonefritis primer
dibandingkan pemakaian ACEI atau ARB saja. Obat antiinflamasi
non-steroid dapat digunakan pada pasien nefropati membranosa
dan glomerulosklerosis fokal segmental untuk menurunkan
sintesis prostaglandin1.
Dengan menggunakan ACE Inhibitor atau ARB, target awal
penurunan proteinuria adalah 50%. Dengan kata lain, dosis ACE
Inhibitor atau ARB kalau perlu harus dinaikkan secara bertahap
sampai mecapai dosis maksimum untuk mencapai penurunan
proteinuria yang efektif.13,16
Penggunaan ACE inhibitor dan Angiotensin II Receptor
Antagonist (ARB), Calcium Channel Blocker (CCB) Non
Dehydropiridine (DHPP) (antagonis kalsium juga mempunyai
sifat antiproteinuria) ditujukan untuk menekan GFR dan
membatasi kehilangan protein dalam urin.13
OAINS dapat menekan proteinuria melalui reduksi GFR. Efek
samping akibat inhibisi prostaglandin seperti efek dinamik perfusi
ginjal, pembentukan edema, hiperkalemia dan toksisitas renal
telah membatasi pemakaian obat ini. Demikian pula dengan
inhibitor selektif siklooksigenase II (COX-II) yang juga
menunjukkan manfaatnya dalam menekan proteinuria.13
Pemberian heparin jangka pendek juga dapat menekan
proteinuria dan memperbaiki insufisiensi ginjal. Walaupun
Preskas Sindrom Nefrotik
Yofara M. Muslihah (1111103000047) © 2015 | 38
demikian, glikosaminoglikan, bagian membran basal glomerulus,
seperti halnya heparin bekerja sebagai polianion dan antagonis
efek merusak polikation seperti protamin sehingga turnover sel
mesangial menurun. Pada kasus diabetes melitus akibat gangguan
degradasi matriks ekstraseluler, glikosaminoglikan dapat
memodulasi defek ini pada glomerulus dan retina dengan
menghambat kaskade TGF-β. Saat ini glikosaminoglikan tersedia
sebagai medikasi oral non antikoagulan.13,16
Pemberian antikoagulan harus diberikan pada pasien dengan
proteinuria, atau dengan kadar albumin dibawah 20 g/l atau
keduanya mengingat risiko tromboemboli yang cukup tinggi.
Pada SN, trombosis arterial lebih jarang dijumpai daripada
trombosis vena tetapi komplikasi serius ini menyebabkan
morbiditas penting. Pasien SN dengan trombosis arteri plmonal
dan tromboemboli saat ini dapat diterapi dengan trombolitik
seperti pemberian urokinase intravena atau streptokinase yang
diinfuskan dalam arteri pulmonalis.5
Bila pasien memiliki komplikasi tromboemboli simptomatis
maka heparin harus diberikan walaupun efeknya cukup kuat
karena kadar anti trombin III menurun. Fungsi trombosit
meningkat, akibatnya perlu diberikan inhibitor agregasi trombosit
misalnya aspirin dosis rendah sebagai pilihan yang rasional
walaupun belum ada studi terkontrol yang mendukung.5
c. Penatalaksanaan Dislipidemia
Sindrom nefrotik menyebabkan lipiduria: sedimen urin dalam
cahaya terpolarisasi memberikan gambaran ”Maltese crosses”
yang merupakan ester kolesterol yang terikat pada protein.
Sindrom nefrotik juga menyebabkan hiperlipidemia.13
Preskas Sindrom Nefrotik
Yofara M. Muslihah (1111103000047) © 2015 | 39
Pada sebuah penelitian di Amerika Serikat ditemukan sekitar
87% pasien SN memiliki kadar kolesterol diatas 200 mg/dl, 53%
diatas 300 mg/dl dan 25% diatas 400 mg/dl. Kadar kolesterol
diatas 600 mg/dl jarang dijumpai.13
Pada penelitian yang sama, dijumpai peningkatan LDL
dimana 77% kasus menunjukkan kadar LDL diatas 130 mg/dl dan
65% kasus menunjukkan kadar LDL diatas 160 mg/dl.13
Mekanisme hiperlipidemia tidak diketahui. Kadar albumin
rendah dan tekanan osmotik rendah dapat memicu hati
meningkatkan sintesis lipoprotein untuk mengikat kolesterol.
Teori lain menyatakan hilangnya protein regulator dalam urin
memberikan umpan balik dan meningkatkan produksi lipid
elevating lipoprotein dalam hati. Walaupun hati pada SN
menghasilkan lipoprotein tetapi kadar HDL tidak meningkat.
Kadar HDL-2 sebagai faktor protektif aterosklerosis seringkali
rendah.13
Penatalaksanaan hiperlipidemia ini ditujukan untuk menekan
kadar kolesterol hingga berada dibawah 200 mg/dl dan kadar
LDL dibawah 100 mg/dl. Beberapa obat yang dapat diberikan
pada penatalaksanaan hiperlipidemia ialah:
Golongan statin, lovastatin, dapat menekan kolesterol total,
LDL dan trigliserida. Makin poten obat statin ini maka efek
reduksinya juga makin tinggi. Statin dapat memperbaiki fungsi
endotel dan memperlambat progresivitas penyakit ginjal serta
menekan albuminuria pada beberapa kasus.13
Hydroxymethylglutrayl coenzyme A reductase inhibitors
memiliki efek menekan lipid yang kuat terutama pada
dislipoproteinemia akibat SN, berperan menekan aterosklerosis
dan progresivitas ginjal.16
Preskas Sindrom Nefrotik
Yofara M. Muslihah (1111103000047) © 2015 | 40
Torcetrapib merupakan obat yang sedang dikembangkan.
Mekanisme kerjanya melalui blok protein transfer ester
kolesterol sehingga dapat meningkatkan kadar HDL.13
e. Penatalaksanaan Kausal
1. Pemberian Kortikosteroid
Bila diagnosis sindrom nefrotik telah ditegakkan, sebaiknya
janganlah tergesa-gesa memulai terapi kortikosteroid, karena
remisi spontan dapat terjadi pada 5-10% kasus. Steroid dimulai
apabila gejala menetap atau memburuk dalam waktu 10-14
hari.7
Pada MCD dapat diberikan serial prednisolon dimulai
dosis 60 mg atau 1 mg/kgBB/hari dan diturunkan secara
bertahap dalam periode 3 bulan (dengan dosis maksimal
80 mg/hari selama 4 minggu, kemudian dilanjutkan
dengan dosis rumatan sebesar 40 mg/m2/hari secara selang
sehari dengan dosis tunggal pagi hari selama 4 minggu,
lalu setelah itu pengobatan dihentikan). Bila dijumpai
kegagalan maka dipertimbnagkan siklosfosfamid
Pada glomerulonefritis proliferatif mesangial difus ringan,
pemberian prednisolon juga dapat memberikan hasil yang
baik
Pada glomerulonefritis membranosa biasanya memberikan
respon pada pemberian prednisolon selama 3 bulan
Pada FSGN, respon yang baik dapat tercapai dengan
pemberian prednisolon dan siklosfosfamid selama 6 bulan,
bila gagal dipertimbangkan siklosporin14
Efek samping dari pemberian kortikosteroid sangat banyak
dan memiliki korelasi dengan dosis kumulatif. Efek samping
seperti obesitas, hirsutisme, hipertensi arterial dan gangguan
Preskas Sindrom Nefrotik
Yofara M. Muslihah (1111103000047) © 2015 | 41
psikologi biasanya bersifat reversibel setelah terapi dihentikan,
namun striae dan katarak tidak reversibel. Disamping itu
gangguan pertumbuhan terjadi pada pasien yang mendapat
terapi kortikosteroid jangka panjang setiap harinya, sedangkan
pada pasein yang mendapat terapi kortikosteroid jangka
panjang dengan pemberian selang sehari tidak dijumpai
gangguan pertumbuhan.16
2. Penggunaan Obat Sitotoksik
Beberapa obat sitotoksik yang digunakan sebagai obat
immunosupresif pada sindrom nefrotik ialah:
Siklofosfamid.
Siklofosfamid diberikan untuk induksi remisi pada
o MCD dan nefritis lupus yang tidak memberikan respon
terhadap prednison dan sering mengalami kekambuhan.
Siklofosfamid yang dianjurkan ialah 2 mg/kgBB selama
3 bulan. Bila gagal dengan siklofosfamid maka diberikan
siklosporin.12
o Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus yang gagal
memberikan respon terhadap prednison
o Glomerulonefritis membranosa yang gagal memberikan
respon terhadap prednisolon selama 3 bulan
o FSGS primer, diberikan bersama prednison selama 6
bulan. Jika gagal dapat diberikan siklosporin14
Siklosporin.
Siklosporin bekerja dengan menghambat produksi
interleukin 2 dan telah digunakan dalam transplantasi sejak
tahun 1980. Penggunaannya dalam glomerulonefritis diuji-
coba mulai tahun 1986. Mekanisme kerjanya pada
glomerulonefritis tidak diketahui. Siklosporin memberikan
Preskas Sindrom Nefrotik
Yofara M. Muslihah (1111103000047) © 2015 | 42
efek samping hipertensi dan nefropati.7 Beberapa indikasi
siklosporin ialah:
o MCD dan nefritis lupus yang gagal terhadap terapi
siklofosfamid, diberikan serial siklosporin 5 mg/kgBB
selama 3 bulan dan diturunkan dalam 3 bulan
berikutnya.12
o FSGS yang tidak memberikan respon terhadap prednison
dan siklofosfamid14
Klorambucil A. Pemberian klorambucil dapat menginduksi
remisi bebas steroid yang lebih lama terutama pada anak
dengan FRNS dan SDNS dan efeknya setara dengan
siklosfosfamid atau bahkan lebih baik. Dosis yang diberikan
sekitar 0,2 mg/kgBB selama 8 hingga 12 minggu.
Kemungkinan risiko terjadinya keganasan hematologi lebih
tinggi pada klorambucil dibandingkan dengan
siklosfosfamid.14
Takrolimus, bekerja dengan memblok aktivasi interleukin-2
dalam sel T dan digunakan pada beberapa kasus resistensi
seperti halnya siklosporin. 16
Mizoribine (MZR). Penelitian di Jepang memunculkan
Mizoribine (MZR) sebagai agen imunosupresan novel
dengan kemampuan inhibisi ioosin monofosfat
dehidrogenase yang memicu efek inhibisi proliferasi sel T
dan sel B. MZR digunakan tanpa efek samping serius pada
kasus tranplantasi ginjal dan semua kasus SN. Walaupun
demikian pemakaian MZR ini masih terbatas dalam SN dan
belum seluas agen lainnya seperti siklosfosfamid maupun
siklosporin. Namun pemakaian terapi MZR oral pada pasien
SRNS dengan kombinasi prednison memberikan efek anti
proteinurik yang kurang adekuat.16
Mycophenolate Mofetil (MMF) bekerja menghambat
sintesis purin de novo sehingga menekan proliferasi sel B
Preskas Sindrom Nefrotik
Yofara M. Muslihah (1111103000047) © 2015 | 43
dan T, demikian pula dengan proliferasi sel otot polos dan
fibroblas sehingga dapat melindungi ginjal dari penyakit
yang progresif.5 Bersama FK 506, dosis 0,1-0,2
mg/kgBB/hari, MMF diberikan pada dosis 0,75-1 g dua
kali sehari selama 3 bulan.14
3.1.8. Komplikasi
Komplikasi yang dapat ditimbulkan pada sindrom nefrotik adalah
sebagai berikut:3
1. Shock akibat sepsis, emboli atau hipovolemia
2. Trombosis akibat hiperkoagulabilitas
3. Infeksi
4. Hambatan pertumbuhan
5. Gagal ginjal akut atau kronik
6. Efek samping steroid, misalnya sindrom Cushing, hipertensi,
osteoporosis, gangguan emosi dan perilaku.
3.1.9. Prognosis
Prognosis umumnya baik, kecuali pada keadaan-keadaan sebagai
berikut:3
1. Menderita untuk pertama kalinya pada umur di bawah 2 tahun
atau di atas enam tahun.
2. Disertai oleh hipertensi.
3. Disertai hematuria.
4. Termasuk jenis sindrom nefrotik sekunder.
5. Gambaran histopatologik bukan kelainan minimal.
Sebagian besar (+ 80%) sindrom nefrotik primer memberi respons
yang baik terhadap pengobatan awal dengan steroid, tetapi kira-kira
50% di antaranya akan relapse berulang dan sekitar 10% tidak
memberi respons lagi dengan pengobatan steroid.3
Preskas Sindrom Nefrotik
Yofara M. Muslihah (1111103000047) © 2015 | 44
BAB IV
PENGKAJIAN MASALAH
4.1. Sindroma Nefrotik e.c. DD/ Glomerulonefritis
Dasar Diagnosis
a. Anamnesis
Edema anasarka bertahan selama lebih dari 3 minggu
Riwayat membaik dengan injeksi kortikosteroid
b. Pemeriksaan Fisik
Konjungtiva anemis
Edema palpebra
Pitting edema pada ekstemitas inferior
c. Pemeriksaan Penunjang
Hiperlipidemia
Proteinuria
Hematuria mikroskopik
Bakteriuria.
Pembahasan
Pada pasien ini, kemungkinan etiologi SN yang dideritanya adalah
glomerulonefritis berdasarkan diagnosis eksklusi tidak ditemukan adanya
penyebab sekunder seperti diabetes mellitus, SLE, RA, infeksi (seperti HIV,
hepatitis, dan tuberkulosis), penggunaan obat-obatan khusus, dan keganasan.
Kemungkinan etiologi glomerulonefritis didasarkan pada adanya keluhan urin
keruh, hematuria, bakteriuria, serta adanya hasil pemeriksaan darah tepi yang
menggambarkan adanya anemia dengan kemungkinan diakibatkan blood loss.
Untuk memastikan diagnosis kausatif diperlukan pemeriksaan penunjang
berupa biopsi ginjal. Prognosis pasien ini bonam, kecuali secara fungsionam
– dubia ad bonam – mengingat bahwa SN pada pasien ini termasuk pada
klasifikasi primer dengan kemungkinan etiologinya berupa glomerulonefritis.
Preskas Sindrom Nefrotik
Yofara M. Muslihah (1111103000047) © 2015 | 45
Penatalaksanaan
Non-Medikamentosa
• Restriksi asupan protein ~ 40 g/ hari (0,8g/kgbb/hari)
Dibutuhkan restriksi protein untuk mengurangi kejadian proteinuria
dan mencegah terjadinya kondisi hiperfiltrasi ginjal yang dapat
memperburuk kondisi ginjal.
• Restriksi cairan dan diet rendah garam (1-2 gram/ hari)
Dimaksudkan agar tidak memperparah edema.
• Rendah lemak jenuh dan rendah kolesterol
Dimaksudkan untuk mencegah terjadinya komplikasi ke arah
arterosklerosis (pada akhirnya penyakit kardiovaskular) disebabkan
oleh karena tingginya kadar lemak darah.
Medikamentosa
• Furosemid 1 x 40 mg IV
Merupakan dosis awal yang bisa ditingkatkan 40 mg tiap 12 jam
jika diuresis/ target diuresis berupa penurunan berat badan
sebanyak 0,5-1 kg/ hari belum tercapai. Dosis maksimal yang dapat
diberikan per hari adalah sebesar 160 mg (ditambah dengan 10 mg
Metolazone 2 kali sehari).
• KSR 1 x 1 tab PO
Memastikan tidak terjadi deplesi kalium dengan pemberian loop
diuretic dosis tinggi.
• Metilprednisolone 3 x 16 mg PO
Diberikan pada pasien ini mengingat bahwa pasien telah
mengalami edema yang tidak kunjung membaik dalam kurun
waktu 3 minggu. Pemberian sebesar 1 mg/kgBB/hari dengan dosis
maksimal sebesar 80 mg/hari. Pada pasien ini, mengingat berat
badannya sebesar 50 kg, maka pemberian sebanyak yang
disebutkan di atas.
• Captopril 3 x 6,25 mg PO
Preskas Sindrom Nefrotik
Yofara M. Muslihah (1111103000047) © 2015 | 46
Pemberian ACE inhibitor dalam hal ini dimaksudkan untuk
mengurangi derajat proteinuria pada pasien (dengan maksud untuk
mencegah terjadinya perburukan pada ginjal pasien)
• Simvastatin 1 x 20 mg PO
Diberikan untuk mengurangi kadar kolesterol pasien dan mencegah
komplikasi aterosklerosis (dan penyakit kardiovaskuler).
4.2. Anemia e.c. Blood Loss DD/Defisiensi Zat Besi, Asam Folat, atau B12
Dasar Diagnosis
d. Anamnesis
Urin berwarna keruh setidaknya sejak 3 minggu SMRS
Tidak mengeluh lemas
e. Pemeriksaan Fisik
Konjungtiva anemis
f. Pemeriksaan Penunjang
Hematuria mikroskopik
Pembahasan
Pada pasien ini, satu-satunya perdarahan yang terdokumentasikan adalah per-
urin. Sehingga, kemungkinan anemia yang terjadi adalah oleh karena
perdarahan sedikit-sedikit, namun terus-menerus melalui BAK. Adapaun,
mengingat bahwa pasien tidak mengeluhkan lemas, pusing, dan sesak nafas,
kemungkinan anemia yang terjadi bersifat kronis, sehingga pasien sudah
terbiasa dengan kondisinya tersebut (kemungkinan karena kurang nutrisi).
Jadi, anemia yang terjadi pada pasien disebabkan selain oleh karena
perdarahan, disebabkan juga oleh karena nutrisi yang kurang.
Penatalaksanaan
Menangani penyebab perdarahan (atasi glomerulonefritis) dan memastikan
diagnosis etiologi anemia merupakan salah satunya disebabkan oleh
defisiensi nutrisi melalui pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan serum
ferritin, asam folat, dan B12.
Preskas Sindrom Nefrotik
Yofara M. Muslihah (1111103000047) © 2015 | 47
BAB V
KESIMPULAN
Sindrom nefrotik (SN) merupakan salah satu manifestasi klinik
glomerulonefritis (GN) ditandai dengan edema anasarka, proteinuria masif ≥ 3,5
g/ hari, hipoalbuminemia < 3,5 g/dl, dan hiperkolesterolemia. Berdasarkan
etiologinya, SN dibagi menjadi SN primer dan sekunder dengan penatalaksanaan
kausatif bergantung pada etiologi. Penatalaksanaan SN di antaranya bertujuan
untuk mengatasi kausa, mengurangi manifestasi, dan mencegah terjadinya
komplikasi.
Pada pasien dalam ilustrasi kasus ini, SN yang terjadi merupakan SN e.c.
DD/ Glomerulonefritis yang dapat dipastikan diagnosisnya melalui pemeriksaan
biopsi ginjal. Penatalaksanaan pada pasien ini adalah kortikosteroid untuk
mengatasi kausa, diuretik untuk mengatasi edema, obat penurun kadar lemak
darah dan ACE inhibitor untuk mencegah komplikasi. Adapun, anemia yang
terjadi diduga disebabkan oleh kombinasi defisiensi nutrisi dan perdarahan kronis
yang dialami pasien. Secara umum, prognosis pasien bonam. Adapun, mengingat
bahwa pasien memiliki manifestasi hematuri, ad fungionam pasien dubia ad
bonam.
Preskas Sindrom Nefrotik
Yofara M. Muslihah (1111103000047) © 2015 | 48
DAFTAR PUSTAKA
1. Palmer LS, Trachtman H. Chapter 112 Renal Functional Development and
Diseases in Children. In: Campbell-Walsh Urology 10th Edition Volume
1. Editors: Kavoussi LR, Novick AC, Partin AW, Peters CA.
Pennsylvania: Elsevier Saunders. 2012. Pg 3002-3027
2. Prodjosudjadi W. Bab 131 Sindrom Nefrotik. Dalam: Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid 1 Edisi IV. Editor: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi
I, Simadibrata M, Setiati S. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2006. Hal 558-
560.
3. Noer, Sjaifullah M, Soemyarso S. Slide Kuliah Sindrom Nefrotik. Bag/
SMF Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran UNAIR. 2006.
Surabaya, Indonesia.
4. International Study of Kidney Disease in Children. Nephrotic syndrome in
children: Prediction of histopathology from clinical and laboratory
chracteristics at time of diagnosis. 1978. Kidney Int. 13:159-165.
5. Brady HR, O’Meare Y, Brenner BM. The Major Glomerulopathies.
Dalam: Braunwald, Fauci, Kasper, Hauser, Longo, Jameson, penyunting.
Harrison’s Principles of Internal Medicine. Edisi ke-15. Mc Graw Hill
2001. h 1584-88
6. Roth KS, Amaker BH, Chan JCM. Nephrotic Syndrome: Pathogenesis and
Management. Pediatr Rev 2002;23:237-44
7. Wila, Wirya IGN. Penelitian Beberapa Aspek Klinis dan Patologi
Anatomis Sindrom Nefrotik Primer pada Anak Di Jakarta. Disertasi.
Jakarta: Universitas Indonesia. 1992.
8. Ahmed M, Solangi K, Abbi R, Adler S. Nephrotic Syndrome, renal Failure
and Renal Malignancy : An Unsual tumor-associated Glomerulonephritis.
Am J Soc Nephrol 1997;8:848-52
9. Schwarz A. New Aspect of Treatment of Nephrotic Syndrome. J Am Soc
Nephrol 2001;12:544-47
10. Hamm LL, Batuman V. Edema in the Nephrotic Syndrome : New Aspect
of an Old Enigma. J Am Soc Nephrol 2003;14:3288-9
Preskas Sindrom Nefrotik
Yofara M. Muslihah (1111103000047) © 2015 | 49
11. Lingappa VR. Renal Disease. Dalam: McPhee SJ, Lingappa VR, Ganong
WF, Lange JD, penyunting. Pathophysiology of Disease: An introduction
to clinical Medicine. Edisi ke 3. New York: Mc Graw Hill. 1999. h.400-2
12. Gunawan AC. Sindrom Nefrotik Patogenesis dan Penatalaksanaan.
Jakarta: Cermin Dunia Kedokteran. 2006. 150 (50-54).
13. Appel GB. Improved Outcomes in Nephrotic Syndrome. CCJM
2006;73(2):161-8
14. Yogiantoro M. The Management of Nephrotic Syndrome. Dalam : Adi S,
Setiawan PB, Yogiantoro M, Pranawa, Tjokroprawiro, penyunting.
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan XVI. Surabaya 18-19 Agustus
2001. h.95-111
15. Kashif W, Siddiqi N, Dincer HE, Dincer AP, Hirsch S. Proteinuria : How
to Evaluate an Important Finding. CCJM 2003;70(6):535-42
16. Schwarz A. New Aspects of The Treatment of Nephrotic Syndrome. J Am
Soc Nephrol 2001;12:544-7