sindrom ekstrapiramidal akibat penggunaan obat antipsikotik.docx
TRANSCRIPT
BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA
FAKULTAS KEDOKTERAN REFERAT
UNIVERSITAS PATTIMURA JANUARI 2014
" SINDROM EKSTRAPIRAMIDAL AKIBAT PENGGUNAAN OBAT
ANTIPSIKOTIK"
DISUSUN OLEH :
TRIANI FARAH DEWI ALYANTO
2009-83-025
PEMBIMBING :
dr. David Santoso, Sp.KJ MARS
dr. Adelin Saulinggi, Sp.KJ (K)
DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK PADA
BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA RUMAH SAKIT KHUSUS DAERAH
MALUKU
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PATTIMURA
AMBON
BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Sistem motorik ekstrapiramidal digunakan secara luas untuk menunjukkan semua
bagian otak dan batang otak yang ikut berperan dalam pengaturan motorik namun
bukan merupakan bagian langsung dari sistem pyramidal.1 Sistem ini meliputi jaras-
jaras yang melalui ganglia basalis, formasio retikularis batang otak, nuclei
vestibularis, dan juga seringkali nukleus rubra.1
Terapi antipsikotik dapat memberikan efek samping neurologis akut yang disebut
sindrom ekstrapiramidal.2 Pendekatan farmakologi pada manifestasi sindrom
ekstrapiramidal ini terpusat pada neurotransmitter yang mengontrol respon neuron-
neuron terhadap rangsangan.2 Gejala-gejala tersebut dapat berupa gangguan
pergerakan, spasme, atau rigiditas, tetapi gejala-gejala tersebut diluar kendali dari
traktus kortikospinal (pyramidal).2,3,4,5
Dalam diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder edisi keempat
(DSM-IV) memperkenalkan kategori diagnostic baru, “gangguan pergerakan akibat
medikasi” (medication-induced movement disorders).6 Tetapi, dalam kenyataannya
kategori mengandung tidak hanya gangguan pergerakan akibat medikasi tetapi juga
tiap efek merugikan akibat medikasi yang menjadi pusat perhatian klinis.6
Pada referat ini hanya akan dibahas mengenai sindrom ekstrapiramidal yang
bersifat akut dan sering terjadi, yakni akatisia, parkinsonisme, dan distonia akut.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi
Sindrom ekstrapiramidal merupakan suatu gejala atau reaksi yang ditimbulkan
oleh penggunaan obat antipsikotik golongan tipikal dikarenakan afinitas yang tinggi
dalam menghambat reseptor dopamin di ganglia basal.7 Adanya gangguan transmisi
di korpus striatum yang mengandung banyak reseptor D1 dan D2 dopamin
menyebabkan depresi fungsi motorik sehingga bermanifestasi sebagai sindrom
ekstrapiramidal.1,4,5
B. Etiologi
Sindrom ekstrapiramidal terjadi akibat penggunaan obat antipsikotik tipikal yang
menyebabkan adanya inhibisi dopaminergik di pusat. Adapun obat-obatan
antipsikotik dengan tingkat kejadian sindrom ekstrapiramidalnya dapat dilihat pada
tabel 1.
Golongan Obat Sindrom ekstrapiramidal
FenotiazinKlorpromazin +++
Flufenazin ++++Tioxanten Thiotixene +++
Butirofenon Haloperidol +++++Dibenzodiazepin Klozapin +Benzisoksazol Risperidon ++
Tienobenzodiazepin Olanzapin +Dibenzotiazepin Quetiapin +Dihidrondolon Ziprasidon +
Tabel 1. Potensi Kejadian SIndrom Ekstrapiramidal pada Antipsikotik7
C. Patofisiologi
Sistem ekstrapiramidalis adalah bagian dari sistem saraf pusat (SSP) yang
mengendalikan sistem kontrol motorik yang di luar sistem piramidal, yang termasuk
area motorik kortikal dan traktus piramidalis spinal.6 Komponen utama sistem
ekstrapiramidalis adalah kelompok nuklei yang secara keseluruhan dikenal sebagai
ganglia basalis. Mekanisme umum dari berbagai gejala atau gangguan adalah
melibatkan antagonisme reseptor dopamine tipe 2 (D2) oleh kelas obat antipsikotik.6
Susunan Ekstrapiramidal
Susunan ekstrapiramidal terdiri atas korpus striatum, globus palidus, inti-inti
talamik, nukleus subtalamikus, subtansia nigra, formatio retikularis batang
otak,serebelum berikut dengan korteks motorik tambahan, yaitu area 4, area 6 dan
area 8. komponen-komponen tersebut dihubungkan satu dengan yang lain oleh akson
masing-masing komponen itu. Dengan demikian terdapat lintasan yang melingkar
yang dikenal sebagai sirkuit. Oleh karena korpus striatum merupakan penerima
tunggal dari serabut-serabut segenap neokorteks, maka lintasan sirkuit tersebut
dinamakan sirkuit striatal yang terdiri dari sirkuit striatal utama (principal) dan 3
sirkuit striatal penunjang (aksesori).1
Sirkuit striatal prinsipal tersusun dari tiga mata rantai, yaitu (a) hubungan segenap
neokorteks dengan korpus striatum serta globus palidus, (b) hubungan korpus
striatum/globus palidus dengan thalamus dan (c) hubungan thalamus dengan korteks
area 4 dan 6. Data yang tiba diseluruh neokorteks seolah-olah diserahkan kepada
korpus striatum/globus palidus/thalamus untuk diproses dan hasil pengolahan itu
merupakan bahan feedback bagi korteks motorik dan korteks motorik tambahan. Oleh
karena komponen-komponen susunan ekstrapiramidal lainnya menyusun sirkuit yang
pada hakekatnya mengumpani sirkuit striata utama, maka sirkuit-sirkuit itu disebut
sirkuit striatal asesorik.1
Sirkuit striatal asesorik ke-1 merupakan sirkuit yang menghubungkan stratum-
globus palidus-talamus-striatum. Sirkuit-striatal asesorik ke-2 adalah lintasan yang
melingkari globus palidus-korpus subtalamikum-globus palidus. Dan akhirnya sirkuit
asesorik ke-3, yang dibentuk oleh hubungan yang melingkari striatum-subtansia
nigra-striatum.1
Umumnya semua neuroleptik menyebabkan beberapa derajat disfungsi
ekstrapiramidal dikarenakan inhibisi transmisi dopaminergik di ganglia basalis. Pada
pasien skizofrenia dan pasien dengan gangguan psikotik lainnya terjadi disfungsi
pada sitem dopamin sehingga antipsikotik tipikal berfungsi untuk menghambat
transmisi dopamin di jaras ekstrapiramidal dengan berperan sebagai inhibisi
dopaminergi yakni antagonis reseptor D2 dopamin. Namun penggunaan zat-zat
tersebut menyebabkan gangguan transmisi di korpus striatum yang mengandung
banyak reseptor D1 dan D2 dopamin. Gangguan jalur striatonigral dopamin
menyebabkan depresi fungsi motorik sehingga bermanifestasi sebagai sindrom
ekstrapiramidal. Beberapa neuroleptik tipikal (seperti haloperidol, fluphenazine)
merupakan inhibitor dopamin ganglia basalis yang lebih poten, dab sebagai akibatnya
menyebabkan efek samping gejala ekstrapiramidal yang lebih menonjol.5,7
D. Gejala Klinis
Gejala ekstrapiramidal yang sering terjadi dibagi atas akatisia, distonia akut, dan
parkinsonisme.
1. Akatisia
Akatisia merupakan suatu kondisi yang secara subjektif dirasakan oleh penderita
berupa perasaan tidak nyaman, gelisah, dan merasa harus selalu menggerak-gerakkan
tungkai, terutama kaki.6,7,8,9 Pasien sering menunjukkan kegelisahan dengan gejala-
gejala kecemasan, dan atau agitasi. Contohnya adalah rasa kecemasan,
ketidakmampuan untuk santai, kegugupan, langkah bolak balik, dan perubahan cepat
antara duduk dan berdiri. Akathisia Sering sulit dibedakan dari rasa cemas yang
berhubungan dengan gejala psikotiknya. Wanita dalam usia pertengahan berada pada
resiko yang lebih tinggi untuk mengalami akathisia, dan perjalanan waktu akathisia
adalah serupa dengan parkinsonisme akibat neuroleptik. Kriteria diagnostik menurut
DSM IV dari akathisia akut dapat dilihat pada tabel 2. 6,7,8
2. Distonia akut6,7,8
Distonia adalah kontraksi otot (spasme) yang singkat atau lama, biasanya
menyebabkan gerakan atau postur yang jelas abnormal, termasuk krisis okulorigik,
prostrusi lidah, trismus, tortikolis, distonia laring-faring, dan postur distonik pada
anggota gerak dan batang tubuh. Distonia sering berupa kekakuan dan kontraksi otot
secara tiba-tiba, biasanya mengenai otot leher, lidah, muka dan punggung. Kadang-
kadang, pasien melaporkan awitan subakut rasa tebal di lidah atau kesulitan menelan.
Keadaan ini merupakan efek samping yang paling menakutkan. Awitannya biasanya
tiba-tiba. Sekitar 10% distonia terjadi pada jam-jam pertama terapi obat dan 90%
terjadi dalam tiga hari pertama penggunaan obat. Perkembangan gejala distonik
ditandai oleh onsetnya yang awal selama perjalanan terapi dengan neuroleptik dan
tinggi insidensinya pada laki-laki, pada pasien di bawah usia 30 tahun, dan pada
pasien yang mendapatkan dosis tinggi medikasi potensi tinggi. Mekanisme
patofisiologi untuk distonia adalah tidak jelas, walaupun perubahan yang terjadi
dalam mekanisme homeostatik di dalam ganglia basalis mungkin merupakan
penyebab utama distonia.
Tabel 2. Kriteria Diagnostik Akathisia Akut menurut DSM IV6
Kriteria Diagnostik dan Riset untuk Akathisia Akut Akibat Neuroleptik
Keluhan subjektif berupa kegelisahan yang disertai oleh gerakan yang terlihat (misalnya, gerakan tungkai yang resah, bergoyang dari kaki ke kaki, bolak balik, atau tidak dapat duduk atau berdiri diam) yang berkembang dalam beberapa minggu setelah memulai atau menurunkan dosis medikasi neuroleptik (atau menurunkan medikasi yang digunakan untuk mengobati gejala ekstrapiramidal).
A. Perkembangan keluhan subjektif kegelisahan setelah pemaparan dengan medikasi neuroleptik.
B. Sekurang-kurangnya terlihat satu dari berikut ini:1) Menggerakkan kaki atau mengayunkan kaki yang resah2) Menggoyangkan kaki saat berdiri3) Berjalan bolak balik untuk menghilangkan kegelisahan4) Tidak dapat duduk atau berdiri selama sekurangnya beberapa menit.
C. Onset gejala dalam kriteria A dan B terjadi dalam empat minggu setelah memulai atau menaikkan dosis neuroleptik, atau menurunkan medikasi yang digunakan untuk mengobati (atau mencegah) gejala ekstrapiramidalis (misalnya, obat antikolinergik)
D. Gejala dalam kriteria A tidak dapat diterangkan lebih baik oleh gangguan mental (misalnya skizofrenia, putus zat, agitasi dari episode depresif berat atau manik, hiperaktivitas pada gangguan defisit-atensi/hiperaktivitas). Tanda-tanda ahwa gejala adalah berupa berikut ini: onset gejala mendahului pemaparan dengan medikasi neuroleptik, tidak adanya peningkatan kegelisahan dengan peningkatan dosis neuroleptik, dan tidak hilang dengan intervensi farmakologis (misalnya, tidak mengalami perbaikan setelah menurunkan dosis neuroleptik atau terapi dengan medikasi yang ditujukan untuk mengobati akathisia).
E. Gejala dalam kriteria A bukan karena zat nonneuroleptik atau kondisi neurologis atau medis umum lainnya. Tanda-tanda bahwa gejala adalah karena kondisi medis umum adalah bahwa onset gejala mendahului pemaparan medikasi neuroleptik atau berkembangnya gejala tanpa adanya perubahan medikasi.
Tabel 3. Kriteria Diagnostik Distonia Akut menurut DSM IV6
Kriteria Diagnostik dan Riset untuk Distonia Akut Akibat Neuroleptik
Posisi abnormal atau spasme otot kepala, leher, anggota gerak, atau batang tubuh yang berkembang dalam beberapa hari setelah memulai atau menaikkan dosis medikasi neuroleptik (atau setelah menurunkan medikasi yang digunakan untuk mengobati gejala ekstrapiramidal).
A. Satu (atau lebih) tanda atau gejala berikut yang berkembang berhubungan dengan pemakaian medikasi neuroleptik:
1) Posisi abnormal kepala dan leher dalam hubungannya dengan tubuh (misalnya retrokolis, tortikolis)
2) Spasme otot rahang (trismus, menganga, seringai)3) Gangguan menelan (disfagia), bicara, atau bernapas (spasme laring-
faring, disfonia)4) Penebalan atau bicara cadel karena lidah hipertonik atau membesar
(disartria, makroglosia)5) Penonjolan lidah atau disfungsi lidah6) Mata deviasi ke atas, ke bawah, kearah samping (krisis okulorigik)7) Posisi abnormal anggota gerak distal atau batang tubuh.
B. Tanda atau gejala dalam kriteria A berkembang dalam tujuh hari setelah memulai atau dengan cepat menaikkan dosis medikasi neuroleptik, atau menurunkan medikasi yang digunakan untuk mengobati (atau mencegah) gejala ekstrapiramidal akut (misalnya obat antikolinergik)
C. Gejala dalam kriteria A tidak diterangkan lebih baik oleh gangguan mental (misalnya gejala katatonik pada skizofrenia). Tanda-tanda bahwa gejala lebih baik diterangkan oleh gangguan mental dapat berupa berikut: gejala mendahului pemaparan dengan medikasi neuroleptik atau tidak sesuai dengan pola intervensi farmakologis (misalnya tidak ada perb aikan setelah menurunkan neuroleptik atau pemberian antikolinergik).
D. Gejala dalam kriteria A bukan karena zat nonneuroleptik atau kondisi neurologis atau medis umum. Tanda-tanda bahwa gejala adalah karena kondisi medis umum dapat berupa berikut: gejala mendahului pemaparan dengan medikasi neuroleptik, terdapat tanda neurologis fokal yang tidak dapat diterangkan, atau gejala berkembang tanpa adanya perubahan medikasi.
3. Parkinsonisme
Parkinsonisme akibat neuroleptik ditandai terutama oleh trias tremor yang paling
jelas pada saat istirahat, rigiditas, dan bradikinesia.6,7,8,9 Rigiditas adalah gangguan
pada tonus otot yang dapat berupa hipertonia (rigiditas) atau hipotonia.6,7,8 Hipertonia
yang berhubungan dengan parkinsonisme akibat neuroleptik adalah tipe pipa besi
(lead-pipe type) atau tipe roda gigi (cogwheel type), dua istilah yang menggambarkan
kesan subjektif dari anggota gerak atau sendi yang terkena. Sedangkan bradikinesia
dapat termasuk gambaran wajah yang mirip topeng pada pasien, penurunan gerakan
lengan asesoris selama pasien berjalan, dan kesulitan dalam memulai pergerakan
yang karakteristik. Gejala parkinsonisme akibat neuroleptik salah satunya muncul
sindrom kelinci (rabbit syndrome) yang merupakan tremor yang mengenai bibir dan
otot-otot perioral. Keadaan ini sering timbul lebih lambat dalam terapi dibandingkan
gejala lain.
Parkinsonisme dalam bentuk ringan dapat terlihat seperti penurunan gerakan
spontan, ekspresi wajah topeng, pembicaraan tidak spontan, dan kesulitan dalam
memulai aktivitas atau disebut juga akinesia. Keadaan ini sulit dibedakan dengan
gejala negative skizofrenia. Pasien akinesia terlihat seperti depresi. Kecenderungan
pasien dengan akinetis sulit untuk menyilangkan kaki mereka dapat membantu untuk
menilai akinetis. Patofisiologi parkinsonisme akibat neuroleptik melibatkan
penghambatan reseptor D2 dalam kaudatus pada akhir neuron dopamine nigrostriatal,
yaitu neuron yang sama yang berdegenerasi pada penyakit Parkinson idiopatik.
Pasien yang lanjut usia dan wanita berada dalam resiko tertinggi untuk mengalami
parkinsonisme akibat neuroleptik.6,7,8,9
Tabel 4. Kriteria Diagnostik Parkinsonisme Akibat Neuroleptik menurut DSM IV6
Kriteria Diagnostik dan Riset untuk Parkinsonisme Akibat Neuroleptik
Tremor parkinsonisme, kekakuan (rigiditas) otot atau akinesia yang timbul dalam beberapa minggu setelah memulai atau menaikkan dosis medikasi neuroleptik (atau setelah menurunkan medikasi yang digunakan untuk mengobati gejala ekstrapiramidal).
A. Satu (atau lebih) tanda atau gejala berikut ini timbul berhubungan dengan pemakaian medikasi neuroleptik:Perkembangan keluhan subjektif kegelisahan setelah pemaparan dengan medikasi neuroleptik.
1) Tremor parkinsonisme (yaitu tremor kasar, ritmik, dan saat istirahat dengan frekuensi antara 3 dan 6 siklus per detik, yang mengenai anggota gerak, kepala, mulut, atau lidah)
2) Rigiditas otot parkinsonisme (yaitu rigiditas gigi gergaji atau rigiditas “pipa besi” kontinu)
3) Akinesia (yaitu penurunan ekspresi wajah, gerak-gerik, bicara, atau gerakkan tubuh spontan)
B. Gejala dalam kriteria A berkembang dalam beberapa minggu setelah memulai atau menaikkan dosis medikasi neuroleptik, atau menurunkan medikasi yang digunakan untuk mengobati (atau mencegah) gejala ekstrapiramidalis (misalnya, obat antikolinergik)
C. Gejala dalam kriteria A tidak dapat diterangkan lebih baik oleh gangguan mental (misalnya gejala katatonik atau negative dari skizofrenia, retardasi psikomotor pada episode depresif berat). Tanda-tanda bahwa gejala adalah lebih baik diterangkan oleh gangguan mental adalah berupa berikut ini: gejala mendahului pemaparan dengan medikasi neuroleptik atau tidak sesuai dengan pola intervensi farmakologis (misalnya tidak mengalami perbaikan setelah menurunkan dosis neuroleptik atau memberikan medikasi antikolinergik).
D. Gejala dalam kriteria A bukan karena zat nonneuroleptik atau kondisi neurologis atau medis umum lainnya (misalnya penyakit Parkinson, penyakit Wilson). Tanda-tanda bahwa gejala adalah karena kondisi medis umum adalah bahwa gejala mendahului pemaparan dengan medikasi neuroleptik, terdapat tanda neurologis fokal yang tidak dapat diterangkan, atau gejala berkembang walaupun ada regimen medikasi yang stabil.
E. Penatalaksanaan
Akathisia
Tiga langkah dasar dalam terapi akathisia adalah menurunkan dosis medikasi
neuroleptik, mengusahakan terapi dengan obat yang sesuai, dan mempertimbangkan
untuk mengganti neuroleptik. Obat yang paling bermanfaat dalam terapi akathisia
adalah antagonis reseptor adrenergik-beta, walaupun obat antikolinergik dan
benzodiazepine juga dapat berguna pada beberapa kasus.6,8 Antagonis reseptor
adrenergik seperti propranolol (inderal 10-80mg/hari) efektif untuk mengobati
akatisia, karena akatisia merupakan gangguan dalam keseimbangan antara dopamin
dan norepinefrin, pemberian propranolol dapat bermanfaat.
Distonia Akut
Terapi distonia harus dilakukan dengan segera, paling sering dengan obat
antikolinergik atau antihistaminergik. Jika pasien tidak berespon dengan tiga dosis
obat-obatan tersebut dalam dua jam, klinisi harus mempertimbangkan penyebab
gerakan distonik selain medikasi neuroleptik.6,8 Distonia akut dapat dihilangkan
dengan injeksi IM/IV diphenhydramine, Benztropine IM/IV atau asetilkolin lainnya
dalam beberapa menit obat memasuki aliran darah.2
Parkinsonisme
Apabila gejala parkinsonisme tampak, tiga langkah dalam terapi adalah
menurunkan dosis neuroleptik, memberikan medikasi anti system ekstrapiramidalis,
dan kemungkinan mengganti neuroleptik.6,8 Obat asetil-kolin oral umumnya
bermanfaat pada parkinsonisme.6
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Sindrom ekstrapiramidal merupakan kumpulan gejala yang dapat diakibatkan
oleh penggunaan antipsikotik. Antipsikotik yang menghambat transmisi dopamin di
jalur striatonigral juga memberikan inhibisi transmisi dopaminergik di ganglia
basalis. Adanya gangguan transmisi di korpus striatum menyebabkan depresi fungsi
motorik. Gejala ekstrapiramidal yang bersifat akut dan sering terjadi dapat berupa
akatisia, distonia akut, dan parkinsonisme.Sindrom ekstrapiramidal mulai ditangani
dengan mulai menurunkan dosis antipsikotik, kemudian pasien dapat diterapi dengan
antihistamin maupun antikolinergik. Pengenalan gejala dengan cepat dan
penatalaksanaan yang baik dapat memperbaiki prognosis. Namun, penanganan yang
terlambat dapat memberikan komplikasi mulai dari gejala yang irreversibel hingga
kematian.
Daftar Pustaka
1. Guyton AC, Hall JE. Textbook of medical physiology. 11th ed. Singapore:
Elsevier; 2008.
2. Kusumawardhani AAAA. Terapi fisik dan psikofarmaka, dalam Buku ajar
psikiatri. Edisi 2. Jakarta: Fakultas Kedokteran Indonesia; 2013.
3. Neal MJ. At a glance: farmakologi medis. Edisi 5. Jakarta: Erlangga; 2006.
4. Mutschler E. Dinamika obat: farmakologi dan toksikologi. Edisi 5. Bandung:
Penerbit ITB; 1991.
5. Tjay TH, Rahardja K. Obat-oat penting khasiat, penggunaannya dan efek-
efek sampingnya. Edisi 6. Jakarta: Elex Media Komputindo; 2008.
6. Kaplan HI, Sadock BJ, Grebb JA. Sinopsis psikiatri:ilmu pengetahuan
perilaku psikiatri klinis.Jilid 2. Tangerang: Binarupa Aksara; 2010.
7. Arozal W, Gan S. Psikotropik, dalam Farmakologi dan terapi. Edisi 6. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI; 2012.
8. Owens DGC. A guide to the extrapyramidal side-effects of antipsychotic
drugs. England: Cambridge University Press; 2004.
9. Ješić MP, Ješić A, Filipović JB, Živanović O. Extrapyramidal syndrome
caused by antipsychotic. Pubmed article 2012 November-December; LXV
(11-12): p.521-526