simpanan karbon padang lamun di kawasan pantai sanur, kota

143
TESIS SIMPANAN KARBON PADANG LAMUN DI KAWASAN PANTAI SANUR, KOTA DENPASAR YOGA IBNU GRAHA PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015

Upload: dinhdan

Post on 31-Dec-2016

263 views

Category:

Documents


25 download

TRANSCRIPT

Page 1: simpanan karbon padang lamun di kawasan pantai sanur, kota

TESIS

SIMPANAN KARBON PADANG LAMUN

DI KAWASAN PANTAI SANUR, KOTA DENPASAR

YOGA IBNU GRAHA

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2015

Page 2: simpanan karbon padang lamun di kawasan pantai sanur, kota

TESIS

SIMPANAN KARBON PADANG LAMUN

DI KAWASAN PANTAI SANUR, KOTA DENPASAR

YOGA IBNU GRAHA

NIM 1291261022

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU LINGKUNGAN

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2015

Page 3: simpanan karbon padang lamun di kawasan pantai sanur, kota

ii

SIMPANAN KARBON PADANG LAMUN

DI KAWASAN PANTAI SANUR, KOTA DENPASAR

Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister

pada Program Magister, Program Studi Ilmu Lingkungan,

Program Pascasarjana Universitas Udayana

YOGA IBNU GRAHA

NIM 1291261022

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU LINGKUNGAN

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2015

Page 4: simpanan karbon padang lamun di kawasan pantai sanur, kota

iii

Lembar Pengesahan

TESIS INI TELAH DISETUJUI

PADA TANGGAL 9 JULI 2015

Pembimbing I, Pembimbing II,

Prof. Ir. I Wayan Arthana, MS, PhD.

NIP. 196007281986091001

I Wayan Gede Astawa Karang, S.Si, M.Si, PhD.

NIP. 198305112010121006

Mengetahui,

Ketua Program Studi

Magister Ilmu Lingkungan

Program Pascasarjana

Universitas Udayana,

Direktur

Program Pascasarjana

Universitas Udayana,

Prof. Dr. I Wayan Budiarsa Suyasa, MS.

NIP. 196703031994031002

Prof. Dr. dr. A. A. Raka Sudewi, Sp.S(K). NIP. 195902151985102001

Page 5: simpanan karbon padang lamun di kawasan pantai sanur, kota

iv

PENETAPAN PANITIA PENGUJI

Tesis Ini Telah Diuji pada

Tanggal 24 Juni 2014

Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor

Universitas Udayana, No: 1854/UN.14.4/HK/2015,

Tanggal 18 Juni 2015

Ketua : Prof. Ir. I Wayan Arthana, MS, PhD.

Anggota :

1. I Wayan Gede Astawa Karang, S.Si, M.Si, PhD.

2. Prof. Dr. Ir. I Wayan Suarna, MS.

3. Dr. Ir. Ida Ayu Astarini, M.Sc.

Page 6: simpanan karbon padang lamun di kawasan pantai sanur, kota

v

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Yoga Ibnu Graha

NIM : 1291261022

Program Studi : Magister Ilmu Lingkungan

Judul Tesis : Simpanan Karbon Padang Lamun Di Kawasan Pantai Sanur,

Kota Denpasar

Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Tesis ini bebas plagiat.

Apabila dikemudian hari terbukti plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya

bersedia menerima sanksi sesuai Peraturan Mendiknas RI No. 17 Tahun 2010

dan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku.

Denpasar, 9 Juli 2015

Hormat Saya,

Yoga Ibnu Graha

NIM 1291261022

Page 7: simpanan karbon padang lamun di kawasan pantai sanur, kota

vi

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur Kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena berkat rahmat dan

hidayah-Nya maka tesis ini dapat diselesaikan. Pada kesempatan ini

perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Ir. I Wayan Arthana, MS, PhD selaku pembimbing I yang

telah memberikan dorongan, bimbingan dan saran selama penyelesaian

tesis ini.

2. Bapak I Wayan Gede Astawa Karang, S.Si, M.Si, PhD selaku pembimbing

II yang dengan penuh perhatian dan kesabaran telah memberikan

bimbingan dan saran kepada penulis.

3. Bapak Prof. Dr. Ir. I Wayan Suarna, MS selaku penguji yang telah

memberikan masukan, saran, sanggahan dan koreksi sehingga tesis ini

dapat terwujud seperti ini.

4. Ibu Dr. Ir. Ida Ayu Astarini, M.Sc selaku pembahas yang dengan penuh

perhatian, kesabaran dan ketelitian dalam mengkoreksi dan memberikan

masukan, saran sehingga tesis ini dapat terwujud seperti ini.

5. Prof. Dr. I Wayan Budiarsa Suyasa, MS selaku Ketua Program Studi

Magister Ilmu Lingkungan (PSMIL) Program Pascasarjana Universitas

Udayana atas izin yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti

pendidikan program magister serta dorongan agar menyelesaikan tesis.

6. Kepala Balai Pengelolaan Sumber Daya Pesisir Denpasar ( Bapak Ir.

Ikram Sangadji, M.Si) beserta para Kepala Seksi yang telah memberikan

izin kepada penulis untuk dapat melanjutkan sekolah ke jenjang magister.

Page 8: simpanan karbon padang lamun di kawasan pantai sanur, kota

vii

7. Terima kasih pula penulis ucapkan kepada Dosen-Dosen pengajar di

PSMIL yang telah memberikan ilmu pengetahuan pada saat perkuliahan.

8. Pegawai Sekretariat PSMIL (Bli Made, Ari dan Mbok Tu) yang telah

membantu di dalam urusan administrasi.

9. Dosen-dosen Fakultas Kelautan dan Perikanan (FKP) Universitas Udayana

(mas Dwi, Bu Elok, mas Aan) beserta para mahasiswa FKP (Sabil dkk)

yang telah banyak membantu dalam penyelesaian tesis ini.

10. Pegawai Lab Tanah Fakultas Peternakan Universitas Udayana (Bu Bona

dan Bapak Udin) yang telah banyak membantu dan memberikan informasi

dalam analisa sampel penelitian.

11. Teman-teman kuliah PSMIL angkatan 2012, mba Ipah, Eka, Benita, Ismid

dan Pak Reza atas masukan dan saran dalam penyelesaian tesis ini.

12. Teman-teman dan senior di BPSPL Denpasar yang telah memberikan

dorongan dan semangat dalam menyelesaikan perkuliahan dan tesis.

13. Terima kasih kepada keluarga tercinta (Papah Kasmadi, Mamah Tuti dan

saudara tercinta), orang tersayang (Intan) dan sahabat-sahabat lain yang

telah banyak membantu terselesaikannya tesis ini.

Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa melimpahkan rahmat-Nya kepada

semua pihak yang telah membantu pelaksaan dan penyelesaian tesis ini. Akhirnya

kritik dan saran sangat penulis harapkan guna perbaikan tulisan-tulisan ilmiah

berikutnya.

Denpasar, Juli 2015

Penulis

Page 9: simpanan karbon padang lamun di kawasan pantai sanur, kota

viii

ABSTRACT

SEAGRASS FOR CARBON STORAGE

IN SANUR COASTAL AREA, DENPASAR CITY

Seagrass is one of the marine resources that considerably potential as a

CO2 absorbent and functioned as carbon sinks in the oceans known as blue

carbon. The result of carbon sequestration from the process of photosynthesis is

stored as carbon stocks on seagrass tissue, or streamed to multiple compartments,

such as sediment, herbivores and other ecosystems. This study aims to assess the

potential for carbon stock storage in biomass on a tissue of seagrass in Sanur

Beach coastal area. The observations of seagrass are included the seagrass type,

seagrass stands, and measurement of environmental parameters. Then the

sampling was conducted to obtain the value of seagrass biomass. The carbon

stocks obtained through the conversion of biomass by using carbon concentration

analysis of seagrass tissue and then carried a spatial distribution of carbon stocks.

Types of seagrass found in Sanur Beach coastal area consist of eight species that

are Enhalus acroides, Thalassia hemprichii, Halophila ovalis, Syringodium

isoetifolium, Cymodocea serrulata, Cymodocea rotundata, Halodule uninervis

and Halodule pinifolia. The result of the carbon stock seagrass in the bottom

substrate is 60% greater than the carbon stock in the top substrate which is 40%.

Seagrass covering 322 ha of Sanur Beach coastal area with a total potential carbon

storage of 66.60 tons or 0.21 tons /ha. Seagrass key role as a carbon storage is on

the bottom substrate tissue, and Enhalus acoroides is a seagrass species that

contributes the most to the carbon storage.

Keywords: carbon storage, Sanur Beach, seagrass.

Page 10: simpanan karbon padang lamun di kawasan pantai sanur, kota

ix

ABSTRAK

SIMPANAN KARBON PADANG LAMUN DI KAWASAN

PANTAI SANUR, KOTA DENPASAR

Salah satu sumber daya laut yang cukup potensial sebagai penyerap gas

CO2 adalah padang lamun dan fungsinya sebagai penyerap karbon di lautan

(carbon sink) dikenal dengan istilah blue carbon. Hasil penyerapan karbon pada

proses fotosintesis disimpan sebagai stok karbon pada jaringan lamun, atau

dialirkan ke beberapa kompartemen, seperti sedimen, herbivora dan ekosistem

lain. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji potensi penyimpanan stok karbon

dalam biomassa pada jaringan lamun di kawasan Pantai Sanur. Pengamatan lamun

yang dilakukan meliputi jenis, tegakan lamun dan pengukuran parameter

lingkungan. Kemudian dilakukan pencuplikan sampel lamun untuk memperoleh

nilai biomassa. Stok karbon didapatkan melalui konversi dari biomassa dengan

menggunakan analisis konsentrasi karbon jaringan lamun dan kemudian dilakukan

distribusi stok karbon secara spasial. Jenis lamun yang ditemukan di kawasan

Pantai Sanur sebanyak delapan jenis spesies yakni Enhalus acroides, Thalassia

hemprichii, Halophila ovalis, Syringodium isoetifolium, Cymodocea serrulata,

Cymodocea rotundata, Halodule uninervis dan Halodule pinifolia. Hasil stok

karbon lamun bagian bawah substrat sebesar 60 % lebih besar dibandingkan stok

karbon di bagian atas substrat sebesar 40 %. Padang lamun di kawasan Pantai

Sanur mempunyai luas 322 ha dengan potensi total stok karbon sebesar 66,60 ton

atau 0,21 ton/ ha. Peran kunci lamun sebagai penyimpan karbon terletak pada

jaringan bawah substrat, sementara jenis lamun yang berkontribusi besar terhadap

stok karbon yaitu jenis Enhalus acroides.

Kata kunci: lamun, Pantai Sanur, stok karbon.

Page 11: simpanan karbon padang lamun di kawasan pantai sanur, kota

x

RINGKASAN

SIMPANAN KARBON PADANG LAMUN DI KAWASAN

PANTAI SANUR, KOTA DENPASAR

Peran vegetasi sebagai penyerap karbon sebelumnya hanya fokus terhadap

vegetasi darat seperti hutan dan perkebunan. Bukti ilmiah hingga kini juga sudah

menguak bahwa ada ekosistem laut tertentu yang berperan sebagai rosot karbon

(carbon sinks). Potensi ekosistem laut yang berperan dalam menyerap karbon dari

atmosfer lewat fotosintesis, yaitu berupa plankton yang mikroskopis maupun

yang berupa tumbuhan yang hanya hidup di pantai seperti di hutan mangrove,

padang lamun, ataupun rawa payau (salt marsh). Lamun merupakan tumbuhan

berbunga (Angiospermae) yang memiliki kemampuan beradaptasi secara penuh

di perairan yang memiliki fluktuasi salinitas tinggi, hidup terbenam di dalam air

dan memiliki rhizoma, daun, dan akar sejati. Berbagai jenis ikan menjadikan

daerah padang lamun sebagai daerah mencari makan (feeding ground),

pengasuhan larva (nursery ground), tempat memijah (spawning ground), sebagai

stabilitas dan penahanan sedimen, mengurangi dan memperlambat pergerakan

gelombang, sebagai tempat terjadinya siklus nutrien dan fungsinya sebagai

penyerap karbon di lautan (carbon sink) atau dikenal dengan istilah blue carbon.

Padang lamun yang hidup di kawasan Pantai Sanur selain sebagai

penyeimbang ekosistem disekitarnya, diharapkan juga dapat memberikan peranan

lain secara optimal yaitu sebagai salah satu penyerap CO2 dari atmosfer.

Sehubungan dengan hal tersebut, penulis melakukan penelitian dengan judul

Potensi Penyimpanan Karbon Padang Lamun Di Kawasan Pantai Sanur, Kota

Denpasar. Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengestimasi potensi

penyimpanan karbon dalam biomassa (stok karbon) pada jaringan lamun di bagian

atas substrat (daun) dan bagian bawah substrat (akar dan rhizoma).

Waktu penelitian ini dimulai pada bulan Juni 2014 sampai dengan

Februari 2015. Lamun yang ada di kawasan Pantai Sanur, Kota Denpasar tumbuh

di hamparan pantai sepanjang sekitar delapan km yang terbentang dari Pantai

Sanur sampai dengan Pantai Mertasari.

Pengamatan lamun (jenis dan kerapatan) dan pengambilan sampel

biomassa dilakukan di delapan stasiun yang tersebar di lokasi penelitian, dimana

tiap stasiun memiliki substasiun yang terdiri dari tiga titik transek kuadran (a,b

dan c) sehingga total titik pengamatan (transek kuadran) yang dilakukan sebanyak

24 titik. Pengamatan lamun untuk mengetahui jenis dan kerapatannya dilakukan

dengan menggunakan transek kuadrat berukuran 100cm x 100cm. Pengambilan

sampel biomassa dilakukan dengan transek kuadrat berukuran 20cm x20cm

sebanyak tiga kali pengambilan di dalam transek kuadrat yang berukuran 100cm x

100 cm tersebut. Penghitungan kandungan karbon dilakukan pada 8 titik yakni

pada bagian titik (kuadran) tengah (kuadran b) dari masing-masing garis transek.

Stok karbon didapatkan melalui konversi dari biomassa dengan menggunakan

hasil analisis konsentrasi karbon jaringan lamun yang dilakukan dengan metode

Page 12: simpanan karbon padang lamun di kawasan pantai sanur, kota

xi

Pengabuan dan metode Walkley & Black dan kemudian dilakukan distribusi stok

karbon secara spasial.

Berdasarkan hasil pengamatan ditemukan delapan jenis spesies lamun di

wilayah perairan Pantai Sanur yaitu Enhalus acroides, Thalassia hemprichii,

Halophila ovalis (famili Hydrocharitaceae), Cymodocea rotundata, Cymodocea

serulata, Halodule uninervis, Halodule pinifolia dan Syringodium isoetifolium

(famili Potamogetonaceae). Tingkat keanekaragaman jenis lamun di kawasan

Pantai Sanur termasuk dalam kriteria yang tinggi dan bertipe vegetasi campuran

(mixed vegetation). Nilai kerapatan lamun tertinggi yaitu pada jenis lamun

Syringodium isoetifolium berkisar pada 15 – 545 individu/ m2 dan Halophila

ovalis sebesar 10 – 535 individu/ m2. Untuk kemunculan jenis lamun tertinggi

pada masing-masing stasiun ditemukan pada jenis Enhalus acroides dan diikuti

oleh Halodule uninervis.

Nilai total biomassa lamun perkuadran (m2) yang diperoleh dari 8 stasiun

yang terbagi atas 24 kuadran (1mx1m) berkisar 26,33 – 235 gram berat kering

(gbk)/ m2 yang terdiri dari total biomassa diatas substrat (daun) sebesar 16,08 –

97,17 gbk/ m2 dan total biomassa di bawah substrat (akar dan rhizoma) sebesar

9,92 – 145,67 gbk/ m2. Nilai kandungan karbon dibawah substrat (akar dan

rhizoma) berkisar antara 1,62– 29,54 gC/m2 dan nilai kandungan karbon diatas

substrat (daun) berkisar antara 3,21 – 18,10 gC/m2. Sedangkan untuk hasil

perhitungan total stok karbon lamun dibawah substrat sebesar 39,85 ton karbon

atau 60 % lebih besar dibandingkan dengan total stok karbon lamun diatas

substrat yang hanya 40 % (26,75 ton karbon). Luas area padang lamun di kawasan

Pantai Sanur diestimasi sekitar 322 Ha dan untuk total stok karbon lamun

diperoleh total sebesar 66.600.749 gC atau sebesar 66,60 ton karbon. Sehingga

padang lamun yang tumbuh dikawasan pantai Sanur mempunyai potensi

penyimpanan karbon sebesar 66,60 ton atau setara dengan 0,21 ton/ha karbon

yang terdiri dari bagian lamun diatas substrat dan dibawah substrat.

Pendugaan konstribusi stok karbon terbesar disumbangkan oleh jenis

Enhalus acroides. Konstribusi ini dilihat dari hubungan antara kerapatan lamun,

nilai frekuensi kemunculan, nilai biomassa dan nilai kandungan karbon yang

menjelaskan bahwa hampir semua masing-masing transek yang ditemukan jenis

lamun Enhalus acroides baik yang tunggal (hanya Enhalus acroides) ataupun

campuran yang didominasi oleh Enhalus acroides maka nilai biomassa dan

kandungan karbonnya lebih tinggi daripada transek lain yang ditemukan lamun

dengan jenis lain. Fungsi penting peran lamun sebagai carbon sink adalah stok

karbon yang tersimpan pada jaringan lamun yakni sebagai biomassa dan karbon

yang dialirkan atau tersimpan (terkubur) ke sedimen.

Page 13: simpanan karbon padang lamun di kawasan pantai sanur, kota

xii

DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DALAM ..................................................................................... i

PRASYARAT GELAR ............................................................................... ii

LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................ iii

PENETAPAN PANITIA PENGUJI ............................................................ iv

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ............................................ v

UCAPAN TERIMA KASIH ....................................................................... vi

ABSTRACT ................................................................................................ viii

ABSTRAK .................................................................................................. ix

RINGKASAN ............................................................................................. x

DAFTAR ISI ............................................................................................... xii

DAFTAR TABEL ...................................................................................... xv

DAFTAR GAMBAR ................................................................................... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... xviii

BAB I PENDAHULUAN ………………………………………………... 1

1.1 Latar Belakang ……………….…………………………………. 1

1.2 Rumusan Masalah ……………….……………………………… 3

1.3 Tujuan Penelitian ………………….……………………………. 4

1.4 Manfaat Penelitian ………………………….…………………... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA …………………………………………. 5

2.1 Kondisi Umum Wilayah Penelitian …………………………….. 5

2.2 Definisi Padang Lamun ……………………..………………….. 7

2.3 Klasifikasi Lamun ………………………………………………. 9

2.4 Morfologi Lamun ……………………………………………….. 12

2.4.1 Akar ………………………………………………………. 13

2.4.2 Rhizoma dan Batang ……………………………………… 14

Page 14: simpanan karbon padang lamun di kawasan pantai sanur, kota

xiii

2.4.3 Daun ………………………………………………………. 14

2.5 Fotosintesis ……………………………………………………... 15

2.5.1 Definisi Fotosintesis ……………………………………… 15

2.5.2 Fotosintesis Tumbuhan Air ………………………………. 23

2.6 Vegetasi Lamun Sebagai Blue Carbon Sink Di Laut …………... 25

2.7 Interpolasi Data …………………………………………………. 30

BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN PENELITIAN 32

3.1 Kerangka Berpikir ……………………………………………… 32

3.2 Konsep Penelitian ………...…………………………………….. 34

BAB IV METODE PENELITIAN ……………………………………….. 36

4.1 Rancangan Penelitian ………….……………………………...… 36

4.2 Lokasi Dan Waktu Penelitian ...………………………………... 37

4.3 Ruang Lingkup …………………………………………………. 39

4.4 Variabel Pengamatan …………………………………………… 39

4.5 Bahan Dan Instrument Penelitian ………………………………. 39

4.6 Prosedur Penelitian …………………………………………...... 40

4.6.1 Kondisi Umum Lamun …………………………………… 40

4.6.2 Biomassa dan Konsentrasi Karbon Jaringan Lamun ……... 43

4.6.3 Total Stok Karbon ………………………………………… 47

4.6.4 Metode Interpolasi Data ………………………………….. 48

4.7 Analisa Data …………………………………………………….. 49

4.7.1 Kerapatan Lamun dan Frekuensi Kemunculan …………… 49

4.7.2 Biomassa dan Konsentrasi Karbon Lamun …... ………….. 50

4.7.3 Total Stok Karbon ………………………………………… 52

4.7.4 Interpolasi Data …………………………………………… 52

BAB V HASIL PENELITIAN ……………………………………............ 53

5.1 Kondisi Umum Lamun .............................................................. 53

Page 15: simpanan karbon padang lamun di kawasan pantai sanur, kota

xiv

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 108

DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... 116

5.1.1 Distribusi dan Komposisi Jenis Lamun ............................... 53

5.1.2 Kerapatan dan Frekuensi Kemunculan Lamun ................... 55

5.1.2.1 Kerapatan ................................................................. 55

5.1.2.2 Frekuensi Kemunculan Lamun ............................... 65

5.1.3 Biomassa Lamun .................................................................. 67

5.2 Parameter Lingkungan Perairan Pantai Sanur .............................. 72

5.3 Karbon Lamun ............................................................................. 73

5.3.1 Kandungan Karbon Jaringan Lamun .................................... 73

5.3.2 Total Penyimpanan Stok Karbon ......................................... 85

BAB VI PEMBAHASAN ........................................................................... 89

6.1 Kondisi Komunitas Lamun ........................................................... 89

6.1.1 Kondisi .................................................................................. 89

6.1.2 Parameter Lingkungan .......................................................... 93

6.2 Stok Karbon Lamun ...................................................................... 96

6.3 Peran Lamun Sebagai Carbon Sink .............................................. 101

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ......................................................... 106

7.1 Simpulan ....................................................................................... 106

7.2 Saran ............................................................................................. 107

Page 16: simpanan karbon padang lamun di kawasan pantai sanur, kota

xv

DAFTAR TABEL

Halaman

2.1 Deskripsi Substrat Jenis Lamun di Indonesia … ……………….……. 12

2.2 Perbedaan Antara Tumbuhan C3, C4 dan CAM ................................... 21

2.3 Perkiraan Area Potensi sebagai Carbon Sink …….…………….……. 29

4.1 Letak Geografis Lokasi Penelitian ...............……………………….… 37

4.2 Instrumen yang digunakan dalam Penelitian ........................................ 40

5.1 Distribusi dan Sebaran Jenis Lamun di Pantai Sanur ........................... 53

5.2 Kerapatan Lamun ................................................................................. 56

5.3 Biomassa Lamun Perjaringan Lamun .................................................. 68

5.4 Hasil Pengukuran Parameter Lingkungan ............................................ 72

5.5 Konsentrasi Karbon Jaringan Lamun ................................................... 73

5.6 Estimasi Kandungan Karbon Lamun Dengan Metode Wilkley &

Black .....................................................................................................

75

5.7 Estimasi Kandungan Karbon Lamun dengan Metode Pengabuan ....... 76

5.8 Rerata Nilai Kandungan Karbon Lamun .............................................. 78

5.9 Kategori Kelas Ukuran Karbon ............................................................ 81

Page 17: simpanan karbon padang lamun di kawasan pantai sanur, kota

xvi

DAFTAR GAMBAR

Halaman

2.1. Peta Wilayah Administrasi Kota Denpasar ……...………………….. 6

2.2 Sebaran dan Kondisi Padang Lamun di Pantai Sanur ……………..... 8

2.3 Jenis Lamun Di Indonesia …………………………………………... 11

2.4 Ilustrasi Fotosintesis Lamun .…………..…………………………..... 25

2.5 Hasil Metode IDW …………………………………………………... 31

3.1 Bagan Kerangka Konsep Penelitian…………………………………. 35

4.1 Bagan Alur Kegiatan Penelitian …………………………………….. 36

4.2 Peta Sebaran dan Titik Pengamatan Padang Lamun ………………... 38

4.3 Contoh Peletakan Transek Garis dan Transek Kuadrat ....................... 42

4.4 Ilustrasi Pengkonversian Nilai Kandungan Karbon Pada Titik

Pengamatan …………………………………………………………..

45

5.1 Komposisi Jenis Lamun di Pantai Sanur ............................................. 54

5.2 Grafik Kerapatan Jenis Lamun di Pantai Sanur ................................. 57

5.3 Hamparan Padang Lamun di Pantai Mertasari .................................. 61

5.4 Hamparan Padang Lamun di Pantai Semawang ................................ 61

5.5 Hamparan Padang Lamun di Pantai Semawang 2 ............................. 61

5.6 Hamparan Padang Lamun di Pantai Indah ........................................ 62

5.7 Hamparan Padang Lamun di Pantai Sindhu ....................................... 62

5.8 Hamparan Padang Lamun di Pantai Ina Grand Bali Beach ................ 62

5.9 Hamparan Padang Lamun di Pantai Sanur 2 ...................................... 63

5.10 Hamparan Padang Lamun di Pantai Sanur 1 ...................................... 63

5.11 Dendogram Pengelompokan Stasiun .................................................. 64

5.12 Grafik Frekuensi Kemunculan Jenis Lamun ...................................... 65

5.13 Grafik Sebaran Biomassa Lamun ....................................................... 69

5.14 Grafik Persentase Biomassa lamun ..................................................... 69

5.15 Persentase Keseluruhan Biomasa Lamun ............................................ 71

5.16 Rata-Rata Stok Karbon Lamun Pada Masing-Masing Transek .......... 77

5.17 Peta Sebaran Stok Karbon Lamun Bagian Atas Substrat di Kawasan 82

Page 18: simpanan karbon padang lamun di kawasan pantai sanur, kota

xvii

.

Pantai Sanur .........................................................................................

5.18 Peta Sebaran Stok Karbon Lamun Bagian Bawah Substrat di

Kawasan Pantai Sanur ......................................................................... 83

5.19 Total Stok Karbon Lamun Pada Masing-Masing Transek .................. 85

5.20 Peta Total Sebaran Stok Karbon Lamun di Kawasan Pantai Sanur .... 86

5.21 Persentase Konstribusi Stok Karbon Lamun Bagian Atas Substrat

Dan Bagian Bawah Substrat ................................................................ 88

Page 19: simpanan karbon padang lamun di kawasan pantai sanur, kota

xviii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Hasil Pengukuran Berat Kering (Biomassa) Sampel Lamun ............... 116

2 Hasil Analisis Mann-Whitney Nilai Karbon ........................................ 119

3 Dokumentasi Penelitian …………….................................................... 123

Page 20: simpanan karbon padang lamun di kawasan pantai sanur, kota

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Isu pemanasan global yang berimplikasi pada terjadinya perubahan iklim

saat ini berada pada laju yang mengkhawatirkan, dimana aktivitas manusia adalah

penyumbang gas karbon dioksida (CO2) terbanyak ke udara. Kegiatan manusia yang

dapat melepaskan emisi CO2 adalah pembakaran lahan, emisi kendaraan bermotor,

limbah pabrik dan lain sebagainya yang menyebabkan peningkatan konsentrasi Gas

Rumah Kaca (GRK) di atmosfer dimana peningkatan ini menyebabkan keseimbangan

radiasi berubah sehingga suhu bumi meningkat. Gas Rumah Kaca adalah gas-gas di

atmosfer yang memiliki kemampuan menyerap radiasi gelombang panjang yang

dipancarkan kembali ke atmosfer oleh permukaan bumi. Sifat termal radiasi inilah

menyebabkan pemanasan atmosfer secara global (global warming). GRK yang

penting diperhitungkan dalam pemanasan global adalah karbon dioksida, metana

(CH4) dan nitrous oksida (N2O). Karbon dioksida memiliki kontribusi lebih dari 55%

terhadap kandungan GRK, maka dari itu karbon dioksida yang diemisikan dari

aktivitas manusia (anthropogenic) mendapat perhatian yang lebih besar (Darussalam,

2011).

Sebelumnya, fokus perhatian para pakar hanya tertuju pada peran vegetasi

darat sebagai penyerap karbon seperti hutan dan perkebunan (Ulumuddin, et al.

2005; Aminudin, 2008), dan mengabaikan peran ekosistem pesisir. Bukti ilmiah

hingga kini juga sudah menguak bahwa ada ekosistem laut tertentu yang berperan

sebagai rosot karbon (carbon sinks). Fourqurean et al (2012) mengemukakan

bahwa ekosistem padang lamun mampu menyimpan 83.000 metrik ton karbon

Page 21: simpanan karbon padang lamun di kawasan pantai sanur, kota

2

dalam setiap kilometer persegi. Angka ini adalah dua kali lipat dari kemampuan

hutan menyerap karbon: yaitu sekitar 30.000 metrik ton dalam setiap kilometer

perseginya. Dengan kemampuan menyimpan karbon di bagian tanah, para peneliti

menyatakan bahwa hamparan lamun menyimpan 10 persen dari kandungan

karbon di lautan di seluruh dunia. Dengan fungsi ini berarti ekosistem tersebut

berkemampuan menyerap dan memindahkan jumlah besar karbon dari atmosfir

setiap harinya, dan mengendapkannya dalam badan tumbuhan atau sedimen

tempat tumbuh untuk waktu yang lama. Maka dari itu sangat diperlukan jasa

ekosistem laut dalam penyerapan/ sekuestrasi karbon (Carbon sequestration ).

Ekosistem laut yang berpotensi menyerap karbon dari atmosfer lewat

fotosintesis, yaitu berupa plankton yang mikroskopis maupun yang berupa

tumbuhan yang hanya hidup di pantai seperti di hutan mangrove, padang lamun,

ataupun rawa payau (salt marsh). Meskipun tumbuhan pantai (mangrove, padang

lamun, dan rawa payau) tersebut luas totalnya kurang dari setengah persen dari

luas seluruh laut, ketiganya dapat mengunci lebih dari separuh karbon laut ke

sedimen dasar laut (Kawaroe, 2009).

Salah satu sumberdaya laut yang cukup potensial sebagai penyerap gas

CO2 adalah padang lamun. Lamun (seagrass) merupakan tumbuhan berbunga

yang memiliki kemampuan beradaptasi secara penuh di perairan yang memiliki

fluktuasi salinitas tinggi, hidup terbenam di dalam air dan memiliki rhizoma,

daun, dan akar sejati. Hamparan vegetasi lamun yang menutupi suatu area pesisir

disebut sebagai padang lamun (seagrass bed). Berbagai jenis ikan menjadikan

daerah padang lamun sebagai daerah mencari makan (feeding ground),

Page 22: simpanan karbon padang lamun di kawasan pantai sanur, kota

3

pengasuhan larva (nursery ground), tempat memijah (spawning ground), sebagai

stabilitas dan penahanan sedimen, mengurangi dan memperlambat pergerakan

gelombang, sebagai tempat terjadinya siklus nutrien (Philips dan Menez 1988)

dan fungsinya sebagai penyerap karbon di lautan (carbon sink) atau dikenal

dengan istilah blue carbon dan digunakan untuk proses fotosintesis (Kawaroe,

2009).

Lamun yang ada di Pantai Sanur, Kota Denpasar tumbuh di hamparan

pantai sepanjang sekitar 8 km yang terbentang dari Pantai Sanur sampai

Mertasari. Substrat dasar tempat lamun itu tumbuh terdiri atas pasir, pecahan

karang, karang mati, batuan massif, karang dan algae (Bali Beach Conservation

Project, 1998; Arthana, 2004). Keberadaan ekosistem padang lamun di Pantai

Sanur memiliki peranan penting terhadap ekosistem pantai di sekitarnya dan juga

kaitannya dalam mengurangi emisi karbon dalam proses pemanasan global, maka

diperlukan suatu perhitungan estimasi potensi penyimpanan karbon pada jaringan

lamun yang terdapat di Pantai Sanur.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana jenis, kondisi kerapatan dan frekuensi kemunculan padang

lamun yang terdapat di Pantai Sanur?

2. Bagaimana estimasi potensi penyimpanan karbon dalam biomassa (stok

karbon) pada jaringan lamun di bagian atas substrat (daun) dan bagian

bawah substrat (akar dan rhizoma) di Pantai Sanur?

Page 23: simpanan karbon padang lamun di kawasan pantai sanur, kota

4

1.3 Tujuan Penelitian

1. Mengetahui jenis, kondisi kerapatan dan frekuensi kemunculan padang

lamun yang terdapat di Pantai Sanur.

2. Mengestimasi potensi penyimpanan karbon dalam biomassa (stok karbon)

pada jaringan lamun di bagian atas substrat (daun) dan bagian bawah

substrat (akar dan rhizoma) di Pantai Sanur.

1.4 Manfaat Penelitian

1. Sebagai data awal untuk menghitung jumlah karbon yang tersimpan pada

lamun di Pantai Sanur kaitannya untuk mengurangi emisi karbon dalam

proses pemanasan global (global warming).

2. Memberi informasi mengenai potensi penyimpanan karbon pada jaringan

lamun (daun, akar dan rhizoma) di Pantai Sanur dalam usaha untuk

perbaikan kualitas lingkungan.

3. Pentingnya fungsi lain dari ekosistem padang lamun yaitu sebagai

penyerap karbon di atmosfer sehingga diharapkan masyarakat dan

pemerintah dapat melakukan usaha pengelolaan wilayah pesisir berkelanjutan

untuk menjaga keberadaan ekosistem pesisir khususnya ekosistem padang

lamun.

Page 24: simpanan karbon padang lamun di kawasan pantai sanur, kota

5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kondisi Umum Wilayah Penelitian

Pantai Sanur terletak pada 8° 38’ 00” dan 08° 42’ 30” LS, 115° 14’ 30”

dan 115° 16’ 30” BT. Luas wilayah kawasan pariwisata Pantai Sanur adalah

1.548,27 Ha. Secara administratif Pantai Sanur terletak di Kecamatan Denpasar

Selatan dan Denpasar Timur, Kota Denpasar. Kawasan Pantai Sanur di Denpasar

Selatan meliputi wilayah Kelurahan Sanur, wilayah Desa Sanur Kaja, wilayah

Desa Sanur Kauh, serta di Kecamatan Denpasar Timur meliputi wilayah Desa

Kesiman Petilan dan wilayah Desa Kesiman Kertalangu (Astuti, 2002).

Kawasan pariwisata Sanur memiliki garis pantai dengan panjang ± 8 km,

merupakan pantai di sebelah Timur yang membentang dari utara ke selatan

(Astuti, 2002). Kawasan pariwisata Sanur berada pada ketinggian antara 0 – 6

mdpl (meter di atas permukaan laut) dengan untuk wilayah (relief) datar dengan

kemiringan lereng antara 0 – 2 % dan di beberapa bagian wilayah Sanur

merupakan daerah bergelombang dan berombak dengan kemiringan lereng antara

3 – 8 % (Gautama, 2011). Wilayah tersebut terutama ada di daerah sekitar

sepanjang Sungai Ayung yang memisahkan antara Desa Kesiman Kertalangu

dengan Desa Kesiman Petilan serta di sebagian wilayah Kelurahan Sanur. Dataran

bermedan landai dengan ciri fisik tersebut mempunyai tingkat erosi permukaan

yang kecil dan beberapa tempat terdapat abrasi serta proses pengendapan aktif di

sekitar muara sungai. Sebagai daerah pantai, kawasan Sanur merupakan daerah

yang relatif datar sehingga berpotensi untuk tergenang di beberapa tempat pada

5

Page 25: simpanan karbon padang lamun di kawasan pantai sanur, kota

6

musim penghujan (Astuti, 2002). Adapun kawasan pariwisata Pantai Sanur dapat

dilihat pada Gambar 2.1 berikut:

Gambar 2.1.

Peta administrasi Kota Denpasar

Sebaran ekosistem lamun terdapat di Sanur yakni seluas 322 ha, tersebar

dari Pantai Sanur, Pantai Matahari Terbit sampai Pantai Mertasari (Dinas

Peternakan, Perikanan dan Kelautan Kota Denpasar, 2014). Habitat padang lamun

di Pantai Sanur dicirikan oleh habitat laguna yaitu perairan dangkal pasang surut

antara pantai dan tubir karang. Lebar sebaran padang lamun bervariasi tergantung

lebar laguna. Jangkauan pertumbuhan padang lamun paling lebar terdapat di

Pantai Semawang yaitu mencapai 820 meter, disusul Pantai Mertasari mencapai

750 meter. Lebar sebaran padang lamun di kawasan Pantai Sanur (depan Inna

Page 26: simpanan karbon padang lamun di kawasan pantai sanur, kota

7

Grand Bali Beach Hotel) adalah 180 meter (Balai Pengelolaan Sumberdaya

Pesisir dan Laut Denpasar, 2013).

2.2 Definisi Padang Lamun

Lamun didefinisikan sebagai satu-satunya tumbuhan berbunga yang

mampu beradaptasi secara penuh di perairan yang salinitasnya cukup tinggi atau

hidup terbenam di dalam air dan memiliki rhizoma, daun dan akar sejati.

Beberapa ahli juga mendefinisikan lamun sebagai tumbuhan air berbunga, hidup

di dalam air laut, berpembuluh, berdaun, berimpang, berakar, serta berbiak dengan

biji dan tunas (Den Hartog, 1977).

Karena pola hidup lamun sering berupa hamparan maka dikenal juga

istilah padang lamun (Seagrass bed) yaitu hamparan vegetasi lamun yang

menutup suatu area pesisir/laut dangkal, terbentuk dari satu jenis atau lebih

dengan kerapatan padat atau jarang. Sistem (organisasi) ekologi padang lamun

yang terdiri dari komponen biotik dan abiotik disebut ekosistem lamun (seagrass

ecosystem). Habitat tempat hidup lamun adalah perairan dangkal agak berpasir

dan sering juga dijumpai pada terumbu karang. Ekosistem padang lamun memiliki

kondisi ekologis yang sangat khusus dan berbeda dengan ekosistem mangrove dan

terumbu karang. Ciri-ciri ekologis padang lamun antara lain adalah (Den Hartog,

1977):

1. Terdapat di perairan pantai yang landai, di dataran lumpur/ pasir.

2. Pada batas terendah daerah pasang surut dekat hutan bakau atau di dataran

terumbu karang.

Page 27: simpanan karbon padang lamun di kawasan pantai sanur, kota

8

3. Mampu hidup sampai kedalaman 30 meter, di perairan tenang dan

terlindung.

4. Sangat tergantung pada cahaya matahari yang masuk ke perairan.

5. Mampu melakukan proses metabolisme secara optimal jika keseluruhan

tubuhnya terbenam air termasuk daur generatif.

6. Mampu hidup di media air asin.

7. Mempunyai sistem perakaran yang berkembang baik.

Sebaran dan kondisi padang lamun yang menutupi areal pantai dapat dilihat pada

Gambar 2.2 sebagai berikut:

Gambar 2.2.

Sebaran dan Kondisi Padang Lamun di Pantai Sanur

Padang lamun adalah ekosistem pesisir yang ditumbuhi oleh lamun

sebagai vegetasi yang dominan. Lamun adalah kelompok tumbuhan berbiji

tertutup dan berkeping tunggal (monokotil) yang mampu hidup secara permanen

di bawah permukaan air laut (Sheppard et al, 1996). Komunitas lamun berada di

Page 28: simpanan karbon padang lamun di kawasan pantai sanur, kota

9

antara batas terendah daerah pasang surut sampai kedalaman tertentu dimana

cahaya matahari masih dapat mencapai dasar laut (Sitania, 1998).

2.3 Klasifikasi Lamun

Tanaman lamun memiliki bunga, berpolinasi, menghasilkan buah dan

menyebarkan bibit seperti banyak tumbuhan darat. Klasifikasi lamun adalah

berdasarkan karakter tumbuh-tumbuhan. Selain itu, genera di daerah tropis

memiliki morfologi yang berbeda sehingga pembedaan spesies dapat dilakukan

dengan dasar gambaran morfologi dan anatomi. Terdapat empat ciri-ciri pada

lamun menurut Endrawati (2000), yakni:

1. Toleransi terhadap kadar garam lingkungan.

2. Tumbuh pada perairan yang selamanya terendam.

3. Mampu bertahan dan mengakar pada lahan dari hempasan ombak dan arus.

4. Menghasilkan polinasi hydrophilous (benang sari yang tahan terhadap

kondisi perairan).

Di seluruh dunia diperkirakan terdapat sebanyak 60 jenis lamun, di mana

di Indonesia ditemukan sekitar 12 jenis yang termasuk ke dalam dua famili: (1)

Hydrocharitaceae, dan (2) Cymodoceae. Jenis yang membentuk komunitas

padang lamun tunggal, antara lain: Thalassia hemprichii, Enhalus acoroides,

Halophila ovalis, Cymodocea serrulata, dan Thallassodendron ciliatum. Secara

rinci klasifikasi lamun menurut Den Hartog (1970) dan Menez, Phillips, dan

Calumpong (1983) adalah sebagai berikut :

Page 29: simpanan karbon padang lamun di kawasan pantai sanur, kota

10

Divisi : Anthophyta

Kelas : Angiospermae

Sub Kelas : Monocotyledonae

Ordo : Helobiae

Famili : Hydrocharitaceae

Genus : Enhalus

Spesies : Enhalus acroides

Genus : Halophila

Spesies : Halophila decipiens

: Halophila ovalis

: Halophila minor

: Halophila spinulosa

Genus : Thalasia

Spesies : Thalasia hemprichii

Famili : Cymodoceae

Genus : Cymodocea

Spesies : Cymodocea rotundata

: Cymodocea serrulata

Genus : Halodule

Spesies : Halodule pinifolia

: Halodule uninervis

Genus : Syringodium

Spesies : Syringodium isoetifolium

Genus Thalassodendron

Spesies : Thalassodendron ciliatum

Contoh jenis-jenis lamun yang terdapat di Indonesia dapat disajikan pada Gambar

2.3 sebagai berikut:

Page 30: simpanan karbon padang lamun di kawasan pantai sanur, kota

11

Gambar 2.3

Jenis-Jenis Lamun di Indonesia

(Sumber: http://seagrass-indonesia.oseanografi.lipi.go.id)

Thalassia hemprichii Thalassodendron ciliatum Syringodium isoetifolium

Halodule uninervis Halophila spinulosa Halodule pinifolia

Halophila ovalis

Halophila minor

Halophila decipiens

Enhalus acoroides Cymodocea serrulata Cymodocea rotundata

Page 31: simpanan karbon padang lamun di kawasan pantai sanur, kota

12

2.4 Morfologi Lamun

Berbagai bentuk pertumbuhan tersebut mempunyai kaitan dengan

perbedaan ekologis lamun (Den Hartog, 1977). Misalnya Parvozosterid dan

Halophilid dapat dijumpai pada hampir semua habitat, mulai dari pasir yang kasar

sampai lumpur yang lunak, mulai dari daerah dangkal sampai dalam, mulai dari

laut terbuka sampai estuari. Magnosterid dapat dijumpai pada berbagai substrat,

tetapi terbatas pada daerah sublitoral sampai batas rata-rata daerah surut. Secara

umum lamun memiliki bentuk luar yang sama, dan yang membedakan antar

spesies adalah keanekaragaman bentuk organ sistem vegetatif. Menjadi tumbuhan

yang memiliki pembuluh, lamun juga memiliki struktur dan fungsi yang sama

dengan tumbuhan darat yaitu rumput. Berbeda dengan rumput laut (marine alga/

seaweeds), lamun memiliki akar sejati, daun, pembuluh internal yang merupakan

sistem yang menyalurkan nutrien, air, dan gas. Deskripsi substrat dari jenis-jenis

lamun dapat disajikan pada Tabel 2.1 sebagai berikut:

Tabel 2.1

Deskripsi Substrat Jenis-Jenis Lamun di Indonesia

No Jenis Lamun Deskripsi

1 Cymodocea rotundata Tumbuh dominan di daerah intertidal

2 Cymodocea serrulata Tumbuh di daerah yang berbatasan dengan mangrove

3 Enhalus acoroides Tumbuh di substrat pasir berlumpur

4 Halodule pinifolia Spesies pionir, dominan di daerah intertidal

5 Halodule uninervis Tumbuh pada rataan terumbu karang yang rusak

6 Halophila minor Tumbuh pada substrat berlumpur

7 Halophila ovalis Tumbuh di daerah yang intensitas cahayanya kurang

8 Halophila decipiens Tumbuh pada substrat berlumpur

9 Halophila spinulosa Tumbuh pada rataan terumbu karang yang rusak

10 Syringodium isoetifolium Tumbuh pada substrat lumpur yang dangkal

11 Thalassia hemprichii Tumbuh pada substrat pasir berlumpur dan

pecahan karang

12 Thalassodendron ciliatum Tumbuh pada daerah subtidal

(Sumber: Bengen 2004)

Page 32: simpanan karbon padang lamun di kawasan pantai sanur, kota

13

2.4.1 Akar

Akar pada beberapa spesies seperti Halophila sp dan Halodule sp

memiliki karakteristik tipis (fragile), seperti rambut, diameter kecil, sedangkan

spesies Thalassodendron sp memiliki akar yang kuat dan berkayu dengan sel

epidermal. Jika dibandingkan dengan tumbuhan darat, akar dan akar rambut

lamun tidak berkembang dengan baik. Namun, beberapa penelitian

memperlihatkan bahwa akar dan rhizoma lamun memiliki fungsi yang sama

dengan tumbuhan darat.

Patriquin (1972), menjelaskan bahwa lamun mampu menyerap nutrien dari

dalam substrat (interstitial) melalui sistem akar-rhizoma. Selanjutnya, fiksasi

nitrogen yang dilakukan oleh bakteri heterotropik di dalam rhizosper Halophila

ovalis, Enhalus acoroides, Syringodium isoetifolium dan Thalassia hemprichii

cukup tinggi lebih dari 40 mg N.m-2

.day-1

. Koloni bakteri yang ditemukan di

lamun memiliki peran yang penting dalam penyerapan nitrogen dan penyaluran

nutrien oleh akar. Fiksasi nitrogen merupakan proses yang penting karena

nitrogen merupakan unsur dasar yang penting dalam metabolisme untuk

menyusun struktur komponen sel.

Larkum et al (1989) menekankan bahwa transport oksigen ke akar

mengalami penurunan tergantung kebutuhan metabolisme sel epidermal akar dan

mikroflora yang berasosiasi. Melalui sistem akar dan rhizoma, lamun dapat

memodifikasi sedimen di sekitarnya melalui transpor oksigen dan kandungan

kimia lain. Kondisi ini juga dapat menjelaskan jika lamun dapat memodifikasi

sistem lakunal berdasarkan tingkat anoksia di sedimen. Dengan demikian

Page 33: simpanan karbon padang lamun di kawasan pantai sanur, kota

14

pengeluaran oksigen ke sedimen merupakan fungsi dari detoksifikasi yang sama

dengan yang dilakukan oleh tumbuhan darat. Kemampuan ini merupakan adaptasi

untuk kondisi anoksik yang sering ditemukan pada substrat yang memiliki

sedimen liat atau lumpur. Karena akar lamun merupakan tempat untuk melakukan

metabolisme aktif (respirasi) maka konnsentrasi CO2 di jaringan akar relatif

tinggi.

2.4.2 Rhizoma dan Batang

Struktur rhizoma dan batang lamun memiliki variasi yang sangat tinggi

tergantung dari susunan saluran di dalam stele. Rhizoma, bersama sama dengan

akar, menancapkan tumbuhan ke dalam substrat. Rhizoma seringkali terbenam di

dalam substrat yang dapat meluas secara ekstensif dan memiliki peran yang utama

pada reproduksi secara vegetatif dan reproduksi yang dilakukan secara vegetatif

merupakan hal yang lebih penting daripada reproduksi dengan pembibitan karena

lebih menguntungkan untuk penyebaran lamun. Rhizoma merupakan 60 – 80%

biomas lamun.

2.4.3 Daun

Spesies lamun memiliki morfologi khusus dan bentuk anatomi yang

memiliki nilai taksonomi yang sangat tinggi. Beberapa bentuk morfologi sangat

mudah terlihat yaitu bentuk daun, bentuk puncak daun, keberadaan atau ketiadaan

ligula. Contohnya adalah puncak daun Cymodocea serrulata berbentuk

lengkungan dan berserat, sedangkan Cymodocea rotundata datar dan halus. Daun

lamun terdiri dari dua bagian yang berbeda yaitu pelepah dan daun. Pelepah daun

Page 34: simpanan karbon padang lamun di kawasan pantai sanur, kota

15

menutupi rhizoma yang baru tumbuh dan melindungi daun muda. Tetapi genus

Halophila yang memiliki bentuk daun petiolate tidak memiliki pelepah.

Anatomi yang khas dari daun lamun adalah ketiadaan stomata dan

keberadaan kutikula yang tipis. Kutikula daun yang tipis tidak dapat menahan

pergerakan ion dan difusi karbon sehingga daun dapat menyerap nutrien langsung

dari air laut. Air laut merupakan sumber bikarbonat bagi tumbuh-tumbuhan untuk

penggunaan karbon inorganik dalam proses fotosintesis.

2.5. Fotosintesis

2.5.1 Definisi Fotosintesis

Fotosintesis berasal dari kata “foton” yang berarti cahaya dan “sintesis”

yang berarti penyusunan. Jadi fotosintesis adalah proses penyusunan dari zat

organic H2O dan CO2 menjadi senyawa organik yang kompleks yang memerlukan

cahaya. Fotosintesis hanya dapat terjadi pada tumbuhan yang mempunyai klorofil,

yaitu pigmen yang berfungsi sebagai penangkap energi cahaya matahari (Kimball,

2002). Proses ini hanya akan terjadi jika ada cahaya dan melalui perantara pigmen

hijau daun yaitu klorofil yang terdapat dalam kloroplas. Jika fotosintesis adalah

suatu proses penyusunan (anabolisme atau asimilasi) di mana energi diperoleh

dari sumber cahaya dan disimpan sebagai zat kimia, maka proses respirasi adalah

suatu proses pembongkaran (katabolisme atau disasimilasi) di mana energi yang

tersimpan dibongkar kembali untuk menyelenggarakan proses – proses

kehidupan.

Tumbuhan terutama tumbuhan tingkat tinggi, untuk memperoleh makanan

sebagai kebutuhan pokoknya agar tetap bertahan hidup, tumbuhan tersebut harus

Page 35: simpanan karbon padang lamun di kawasan pantai sanur, kota

16

melakukan suatu proses yang dinamakan proses sintesis karbohidrat yang terjadi

di bagian daun satu tumbuhan yang memiliki klorofil, dengan menggunakan

cahaya matahari. Cahaya matahari merupakan sumber energi yang diperlukan

tumbuhan untuk proses tersebut. Tanpa adanya cahaya matahari tumbuhan tidak

akan mampu melakukan proses fotosintesis, hal ini disebabkan kloropil yang

berada di dalam daun tidak dapat menggunakan cahaya matahari karena klorofil

hanya akan berfungsi bila ada cahaya matahari. Tumbuhan hijau memiliki

kemampuan menggunakan CO2 dari udara yang akan diubah menjadi bahan

organik dengan bantuan cahaya matahari. Persamaan kimia fotosintesis dapat

direpresentasikan pada persamaan (1) sebagai berikut:

6CO2 + 6H2O C6H12O6 + 6O2 …………… …….. (1)

Tidak semua radiasi cahaya matahari dapat dimanfaatkan untuk kegiatan

fotosintesis, hanya pada radiasi cahaya tampak (380 – 700 nm). Cahaya tampak

terbagi atas cahaya merah (610 – 700), hijau kuning (510 – 600 nm), biru ( 410 –

500 nm), dan violet. Berdasarkan proses reaksinya, fotosintesis dibagi menjadi 2

yaitu (Benyamin, 2004):

a. Reaksi Terang, yaitu reaksi fotosintesis dimana klorofil mengubah energi

matahari menjadi energi kimia dalam bentuk ATP (Adenosine Tri

Phosphate) dan NADH2 (Nikotilamid adenin dinukleotida H2). Bersamaan

dengan dihasilkannya ATP dan NADH2, dihasilkan juga O2 sebagai hasil

samping. Reaksi terang membutuhkan cahaya, karena itu harus terjadi di

siang hari.

Cahaya

Page 36: simpanan karbon padang lamun di kawasan pantai sanur, kota

17

b. Reaksi Gelap, yaitu reaksi fotosintesis yang tidak membutuhkan cahaya

dan merupakan reaksi lanjutan dari reaksi terang dalam fotosintesis yang

merupakan reaksi pembentukan gula dari bahan dasar CO2 dan energi.

Pada reaksi ini terjadi proses pembentukan karbohidrat melalui konversi

CO2 dan air. Reaksi gelap terjadi melalui dua jalur, yaitu siklus Calvin-

Benson dan siklus Hatch-Slack. Pada siklus Calin-Benson, tumbuhan

menghasilkan senyawa dengan jumlah atom karbon tiga, yaitu senyawa 3-

fosfogliserat. Siklus ini dibantu oleh enzim rubisco. Pada siklus hatch-

Slack, tumbuhan menghasilkan senyawa dengan jumlah atom karbon

empat. Enzim yang berperan adalah phosphoenolpyruvate carboxylase dan

produk akhir siklus gelap diperoleh glukosa yang dipakai tumbuhan untuk

aktivitasnya atau disimpan sebagai cadangan energi.

Berdasarkan tipe fotosintesis, tumbuhan dibagi ke dalam tiga kelompok besar

yaitu C3, C4 dan CAM (Crassulacean Acid Metabolism) yaitu sebagai berikut:

1. Tumbuhan C3

Tanaman C3 lebih adaptif pada kondisi kandungan CO2 atmosfer tinggi.

Sebagian besar tanaman pertanian, seperti gandum, kentang, kedelai, kacang-

kacangan, dan kapas merupakan tanaman dari kelompok C3. Pada tanaman C3,

enzim yang menyatukan CO2 dengan RuBP (RuBP merupakan substrat untuk

pembentukan karbohidrat dalam proses fotosintesis) dalam proses awal

assimilasi (enzim rubisco), juga dapat mengikat O2 pada saat yang bersamaan

untuk proses fotorespirasi (Sitompul, 1995). Jika konsentrasi CO2 di atmosfir

ditingkatkan, hasil dari kompetisi antara CO2 dan O2 akan lebih

Page 37: simpanan karbon padang lamun di kawasan pantai sanur, kota

18

menguntungkan CO2, sehingga fotorespirasi terhambat dan assimilasi akan

bertambah besar. Tumbuhan C3 tumbuh dengan fiksasi karbon C3 biasanya

tumbuh dengan baik di area dimana intensitas sinar matahari cenderung

sedang, temperature sedang dan dengan konsentrasi CO2 sekitar 200 ppm atau

lebih tinggi, dan juga dengan air tanah yang berlimpah. Tumbuhan C3 harus

berada dalam area dengan konsentrasi gas karbondioksida yang tinggi sebab

Rubisco carboxylase sering menyertakan molekul oksigen ke dalam RuBP

sebagai pengganti molekul karbondioksida. Konsentrasi gas karbondioksida

yang tinggi menurunkan kesempatan Rubisco carboxylase untuk menyertakan

molekul oksigen. Karena bila ada molekul oksigen maka RuBP akan terpecah

menjadi molekul 3-karbon yang tinggal dalam siklus Calvin, dan 2 molekul

glikolat akan dioksidasi dengan adanya oksigen, menjadi karbondioksida yang

akan menghabiskan energi (Sulisbury, 1995). Contoh tanaman C3 antara lain:

kedelai, kacang tanah, kentang, dan lain-lain.

2. Tumbuhan C4

Tumbuhan C4 dan CAM lebih adaptif di daerah panas dan kering. Pada

tanaman C4, CO2 diikat oleh PEP (phosphoenolpyruvate ) carboxylase (enzym

pengikat CO2 pada tanaman C4) yang tidak dapat mengikat O2 sehingga tidak

terjadi kompetisi antara CO2 dan O2 (Sulisbury, 1995). Lokasi terjadinya assosiasi

awal ini adalah di sel-sel mesofil (sekelompok sel-sel yang mempunyai klorofil

yang terletak di bawah sel-sel epidermis daun). CO2 yang sudah terikat oleh

PEP carboxylase kemudian ditransfer ke sel-sel “bundle sheath” (sekelompok

sel-sel di sekitar xylem dan phloem) dimana kemudian pengikatan oleh RuBP

Page 38: simpanan karbon padang lamun di kawasan pantai sanur, kota

19

terjadi. Karena tingginya konsentasi CO2 pada sel-sel bundle sheath ini, maka

O2 tidak mendapat kesempatan untuk bereaksi dengan RuBP, sehingga

fotorespirasi sangat kecil. PEP carboxylase mempunyai daya ikat yang tinggi

terhadap CO2, sehingga reaksi fotosintesis terhadap CO2 di bawah 100 m mol

m-2 s-

1 sangat tinggi, laju assimilasi tanaman C4 hanya bertambah sedikit

dengan meningkatnya CO2 (Gardner, 1991). Sehingga, dengan meningkatnya

CO2 di atmosfir, tanaman C3 akan lebih beruntung dari tanaman C4 dalam hal

pemanfaatan CO2 yang berlebihan. Contoh tanaman C4 adalah jagung, sorgum

dan tebu.

3. Tumbuhan CAM

Pada tumbuhan CAM, tanaman ini mengambil CO2 pada malam hari, dan

mengunakannya untuk fotosistensis pada siang harinya (Gardner, 1991).

Tumbuhan CAM yang dapat mudah ditemukan adalah nanas, kaktus, dan

bunga lili. Tanaman CAM , pada kelompok ini penambatan CO2 seperti pada

tanaman C4, tetapi dilakukan pada malam hari dan dibentuk senyawa dengan

gugus 4-C. Pada hari berikutnya ( siang hari ) pada saat stomata dalam keadaan

tertutup terjadi dekarboksilase senyawa C4 tersebut dan penambatan kembali

CO2 melalui kegiatan Rudp karboksilase. Jadi tanaman CAM mempunyai

beberapa persamaan dengan kelompok C4 yaitu dengan adanya dua tingkat

sistem penambatan CO2. Selama malam hari, ketika stomata tumbuhan itu

terbuka, tumbuhan mengambil CO2 dan memasukkannya kedalam berbagai

asam organik. Cara fiksasi karbon ini disebut metabolisme asam

krasulase, atau CAM. Dinamakan demikian karena metabolisme ini pertama

Page 39: simpanan karbon padang lamun di kawasan pantai sanur, kota

20

kali diteliti pada tumbuhan dari famili Crassulaceae. Termasuk golongan CAM

adalah Crassulaceae, Cactaceae, Bromeliaceae, Liliaceae, Agaveceae, Ananas

comosus, dan Oncidium lanceanum. Jalur CAM serupa dengan jalur C4 dalam

hal karbon dioksida terlebih dahulu dimasukkan kedalam senyawa organic

intermediet sebelum karbon dioksida ini memasuki siklus Calvin.

Perbedaannya ialah bahwa pada tumbuhan C4, kedua langkah ini terjadi pada

ruang yang terpisah. Langkah ini terpisahkan pada dua jenis sel. Pada

tumbuhan CAM, kedua langkah dipisahkan untuk sementara. Fiksasi karbon

terjadi pada malam hari, dan siklus calvin berlangsung selama siang hari

(Lakitan, 1995).

Perbedaan antara tumbuhan C3 , C4 dan CAM tersebut dapat dilihat pada Tabel

2.2 berikut (Prasetyo, 2008):

Page 40: simpanan karbon padang lamun di kawasan pantai sanur, kota

21

Tabel 2.2

Perbedaan Antara Tumbuhan C3 , C4 dan CAM

C3 C4 CAM

Lebih adaptif pada

kondisi kandungan CO2

atmosfer tinggi

Adaptif di daerah panas

dan kering

Adaptif di daerah panas

dan kering

Enzim yang menyatukan

CO2 dengan RuBP, juga

dapat mengikat O2 pada

saat yang bersamaan

untuk proses fotorespirasi

CO2 diikat oleh PEP

yang tidak dapat

mengikat O2 sehingga

tidak terjadi kompetisi

antara CO2 dan O2

Pada malam hari asam

malat tinggi, pada siang

hari malat

rendah Lintasan

CO2 masuk ke siklus

calvin secara langsung.

Tidak mengikat CO2

secara langsung

Tidak mengikat CO2

secara langsung

Disebut tumbuhan C3

karena senyawa awal

yang terbentuk berkarbon

3 (fosfogliserat)

Sel seludang pembuluh

berkembang dengan baik

dan banyak mengandung

kloroplas

Umumnya tumbuhan

yang beradaptasi pada

keadaan kering seperti

kaktus, anggrek dan nenas

Sebagian besar tumbuhan

tinggi masuk ke dalam

kelompok tumbuhan C3

Fotosintesis terjadi di

dalam sel mesofil dan sel

seludang pembuluh

Reduksi karbon melalui

lintasan C4 dan C3 dalam

sel mesofil tetapi

waktunya berbeda

Apabila stomata menutup

akibat stress terjadi

peningkatan fotorespirasi

pengikatan O2 oleh enzim

Rubisco

Pengikatan CO2 di udara

melalui lintasan C4 di sel

mesofil dan reduksi

karbon melalui siklus

Calvin (siklus C3) di

dalam sel seludang

pembuluh

Pada malam hari terjadi

lintasan C4 pada siang

hari terjadi suklus C3

Faktor-faktor yang mempengaruhi fotosintesis adalah sebagi berikut (Puspita dan

Rohima, 2009):

1. Konsentrasi karbondioksida di udara

Semakin tinggi konsentrasi karbondioksida di udara, maka laju

fotosintesis semakin meningkat.

Page 41: simpanan karbon padang lamun di kawasan pantai sanur, kota

22

2. Klorofil

Semakin banyak jumlah klorofil dalam daun maka proses fotosintesis

berlangsung semakin cepat. Pembentukan klorofil memerlukan cahaya

matahari.

3. Cahaya

Intensitas cahaya yang cukup diperlukan agar fotosintesis berlangsung

dengan efisien. fotosintesi akan berlangsung maksimal jika lingkungan

memiliki suhu optimal.

4. Oksigen

Kenaikan kadar oksigen dapat menghambat fotosintesis karena oksigen

merupakan komponen untuk respirasi. Oksigen akan bersaing dengan

karbondioksida untuk mendapat hidrogen.

5. Air

Ketersediaan air mempengaruhi laju fotosintesis karena air merupakan bahan

baku dalam proses ini.

6. Suhu

Umumnya semakin tinggi suhunya, laju fotosintesis akan

meningkat, demikian juga sebaliknya. Namun bila siuhu terlalu tinggi,

fotosintesis akan berhenti karena enzim-enzim yang berperan dalam

fotosintesis rusak. Oleh karena itu tumbuhan menghendaki suhu optimum

yakni 28 - 30° C (tidak terlalu rendah atau terlalu tinggi) agar fotosintesis

berjalan secara efisien.

Page 42: simpanan karbon padang lamun di kawasan pantai sanur, kota

23

2.5.2 Fotosintesis Tumbuhan Air

Proses memproduksi makanan dengan bantuan energi cahaya tetap sama

untuk tumbuhan darat maupun tumbuhan air. Selain ringan, mereka membutuhkan

bahan baku dasar - karbon dioksida dan air (H2O) untuk sintesis glukosa

(C6H12O6). Apa yang khusus tentang produksi pangan dengan tumbuhan bawah

air yakni berasal bahan baku dan energi cahaya dari lingkungan mereka. Dalam

kasus tanaman darat, gas-gas yang diperlukan dan energi cahaya yang tersedia

dengan mudah. Mereka menyerap karbon dioksida dari udara atmosfer melalui

lubang stomata mereka (hadir di atas dan sisi bawah daun), air dari tanah melalui

sistem akar mereka, dan terakhir namun tidak sedikit, energi radiasi dari sinar

matahari. Oleh karena itu, tanaman darat menjalani fotosintesis alami tanpa

adaptasi khusus.

Untuk tumbuhan air yang memiliki ketersediaan air dalam jumlah yang

lebih dari cukup, tantangan utama adalah untuk mendapatkan karbon dioksida dan

cahaya. Untuk hal yang sama, sebagian besar tanaman ini menunjukkan adaptasi

dalam beberapa cara atau yang lain. Untuk tanaman laut, mereka diadaptasi

dengan batang lilin dan daun. Hal ini membantu dalam menyerap air, sementara

mencegah masuknya garam untuk sistem mereka. Selain itu, beberapa tumbuhan

laut memiliki fitur khusus untuk menghilangkan garam sesegera mungkin. Semua

proses ini membantu dalam mengatur keseimbangan osmotik, yang jika tidak

akan menyebabkan pencucian air dan pengeringan tanaman. Dengan cara ini,

tanaman air menjalani fotosintesis bawah air. Produk-produk dari fotosintesis

pada tumbuhan air, pada dasarnya karbohidrat dan oksigen, yang digunakan oleh

Page 43: simpanan karbon padang lamun di kawasan pantai sanur, kota

24

organisme lain yang hidup dalam komunitas biotik yang sama. Dan seperti hewan,

tumbuhan memang membutuhkan oksigen, tetapi dalam jumlah kecil. Hal ini

diperoleh dari oksigen yang dilepaskan pada saat fotosintesis.

Aliran karbon dioksida dari udara melewati muka air laut merupakan

fungsi dari kelarutan (solubility) CO2 di dalam air laut dan dikenal sebagai

solubility pump. Jumlah CO2 terlarut di air laut adalah utamanya dipengaruhi oleh

kondisi fisika-kimia (suhu air laut, salinitas, total alkalinitas) dan proses biologi

(produktivitas primer) yang terjadi di laut. Melalui proses pertukaran gas, CO2

ditransfer dari udara ke laut dan berubah bentuk menjadi dissolved inorganik

carbon (DIC). Proses ini terjadi secara terus menerus karena laut tidak jenuh oleh

kandungan CO2 jika dibandingkan atmosfer. Proses ini sangat efisien terjadi di

wilayah dengan posisi lintang tinggi (temperate) karena kelarutan CO2 sangat

efisien pada kondisi suhu rendah. Pada proses seperti ini, CO2 di atmosfer dalam

jumlah banyak akan terlarut dan tersimpan sehingga tidak menjadi gas rumah

kaca di atmosfer (Kawaroe, 2009).

Tumbuhan akuatik lebih menyukai karbondioksida sebagai sumber karbon

dibandingkan dengan bikarbonat dan karbonat. Bikarbonat sebenarnya dapat

berperan sebagai sumber karbon. Namun, di dalam kloroplas bikarbonat harus

dikonversi terlebih dahulu menjadi karbondioksida dengan bantuan enzim

karbonik anhidrase (Effendi, 2003). Gambar ilustrasi fotosintesis tumbuhan lamun

disajikan pada Gambar 2.4 sebagai berikut:

Page 44: simpanan karbon padang lamun di kawasan pantai sanur, kota

25

Gambar 2.4

Ilustrasi Fotosintesis Tumbuhan Lamun

2.6 Vegetasi Lamun Sebagai Blue Carbon Sink Di Laut

Perubahan iklim disebabkan karena meningkatnya kandungan gas rumah

kaca dan partikel di atmosfir. Pertama, disebabkan karena pembakaran bahan

bakar fosil, pelepasan gas rumah kaca seperti CO2, dikenal sebagai “brown

carbon”, dan partikel debu, dikenal sebagai “black carbon”. Kedua, disebabkan

karena emisi yang berasal dari penebangan vegetasi hutan, kebakaran hutan, dan

emisi dari kegiatan pertanian (pupuk). Ketiga, disebabkan karena pengurangan

kemampuan ekosistem alami untuk menyerap karbon dalam proses fotosintesis

dan menyimpannya, dikenal sebagai “green carbon” (Trumper et al, 2009).

Istilah baru dalam penyerapan karbon dikenal sebagai “blue carbon” yaitu

sebagai penyerapan karbon yang dilakukan oleh lautan termasuk di dalamnya

organisme hidup. Diperkirakan blue carbon dapat menyerap sekitar 55% karbon

yang berada di atmosfer dan digunakan untuk proses fotosintesis. Siklus karbon di

Page 45: simpanan karbon padang lamun di kawasan pantai sanur, kota

26

laut tersebut penyerapannya didominasi oleh mikro, nano, dan pikoplankton,

termasuk bakteria dan jamur. Nino, nano dan pikoplankton adalah kategori

ukuran dari plankton. Pikoplankton yakni dalam ukuran kurang dari 2 mikron

(µm) yang terdiri dari fitoplankton, zooplankton uniseluler dan bakterioplankton.

Nanoplankton dalam ukuran 2 – 20 mikron sedangkan untuk mikroplankton atau

netplankton yakni berkisar antara 20 – 200 mikron (Sverdrup and Armbrust,

2008).

Penyerapan karbon di lautan dunia tersimpan dalam bentuk sedimen yang

berasal dari mangrove, salt marshes, dan padang lamun. Blue carbon ini

tersimpan sampai dengan jutaan tahun dan lebih lama dibandingkan dengan hutan

yang hanya tersimpan puluhan sampai ratusan tahun karena mengalami

pencucian. Walaupun biomas tumbuhan laut jika dibandingkan dengan tumbuhan

darat hanya sekitar 0,05%, tetapi siklus karbon yang terjadi di laut jika

dijumlahkan selama setahun hampir sama bahkan lebih dibandingkan dengan

tumbuhan darat. Hal ini menunjukkan efisiensi tumbuhan laut sebagai carbon

sinks (Kawaroe, 2009).

Kontribusi vegetasi lamun terhadap penyerapan karbon dimulai dari proses

fotosintesis yang kemudian disimpan sebagai biomassa. Biomassa disusun oleh

senyawa utama karbohidrat yang terdiri dari unsur karbon dioksida, hidrogen, dan

oksigen. Biomassa tegakan dipengaruhi oleh umur tegakan hutan, komposisi, dan

strutur tegakan, sejarah perkembangan vegetasi (Lugo dan Snedaker, 1974 dalam

Kusmana et al, 1992).

Page 46: simpanan karbon padang lamun di kawasan pantai sanur, kota

27

Dalam siklus karbon, vegetasi melalui fotosistesis merubah CO2 dari udara

dan air menghasilkan karbohidrat dan oksigen. Karbohidrat yang terbentuk

disimpan oleh vegetasi dan sebagian oksigen dilepaskan ke atmosfer (Fardiaz

1995). Menurut Whitmore (1985) umumnya karbon menyusun 45–50% berat

kering dari biomassa. Karbon yang telah diserap oleh lamun disimpan dalam

biomassa pada bagian daun, akar dan rhizoma. Biomassa di bawah substrat

umumnya lebih besar dibanding di atas substrat. Salah satu manfaat besarnya

biomassa di bawah substrat adalah ketersediaan cadangan makanan pada musim-

musim tertentu dimana produktivitas lamun sangat kecil (Lee et al, 2007). Karbon

dalam biomassa tersimpan selama lamun masih hidup. Umur yang bisa dicapai

oleh tunas lamun bervariasi menurut jenisnya. Biomassa di bawah substrat di

pulau Pari dapat mencapai 141.4 gram berat kering per m2 (gbk/m

2) untuk T.

hemprichii, 468.3 gbk/m2 untuk E. acoroides dan 23.3 gbk/m

2 untuk C. rotundata,

sedangkan di atas substrat secara berurutan masing masing 124.9 gbk/m2, 152.3

gbk/m2 dan 24.9 gbk/m

2 (Kiswara dan Ulumuddin 2009).

Sebagian besar oksigen disimpan di akar dan rhizoma, digunakan untuk

metabolisme aktif (respirasi) maka konnsentrasi CO2 di jaringan akar relatif

tinggi. Begitu juga rhizoma merupakan 60 – 80% biomas lamun sehingga

prosentase stok karbon meningkat sejalan dengan peningkatan biomassa. Stok

karbon berbanding lurus dengan kandungan biomassanya. Semakin besar

kandungan biomassa, maka stok karbon juga akan semakin besar (Hairiyah dan

Rahayu, 2007 dalam Imiliyana et al, 2012) sehingga bisa dikatakan simpanan

Page 47: simpanan karbon padang lamun di kawasan pantai sanur, kota

28

karbon di bawah substrat (bagian akar dan rhizoma) lebih besar daripada di atas

substrat (bagian daun).

Pada beberapa kasus, biomassa di bawah substrat lebih kecil dibanding di

atas substrat. Sebagai contoh, penelitian yang dilakukan oleh Kiswara dan

Ulumuddin (2009) di Pulau Pari menunjukkan bahwa jenis C. rotundata

mempunyai biomassa di bawah substrat 11.25 gbk/m2 dan 23.29 gbk/m

2,

sedangkan di atas substrat masing-masing 19.50 gbk/m2 dan 24.93 gbk/m

2.

Variasi biomassa dapat terjadi akibat perbedaan kedalaman. Pada jenis Zostera

caulescense, biomassa maksimum ditemukan pada kedalaman 10.9 meter dan

setelah itu menurun sesuai dengan pertambahan kedalaman. Rasio antara

biomassa di atas dan di bawah susbtrat ditemukan tertinggi pada kedalaman 4,4

meter dan setelah itu menurun dengan bertambahnya kedalaman.

Produktivitas primer di laut sangat ditentukan oleh keberadaan CO2 untuk

melakukan proses fotosintesis utamanya oleh fitoplankton dan proses ini dikenal

sebagai biological pump. Bersama dengan solubility pump, proses adang lamun

sebagai vegetasi ekosistem pesisir bersama sama dengan mangrove dan hutan di

darat merupakan pusat keanekaragaman (hot spot) yang menyediakan fungsi

penting dan bernilai yaitu sebagai karbon sinks. Akan tetapi pengurangan luasan

habitat pesisir empat kali lebih cepat dibandingkan dengan hutan dan rata-rata

pengurangannya juga mengalami peningkatan. Kondisi ini diduga disebabkan

karena masyarakat lebih banyak menerima informasi tentang keberadaan,

keuntungan dan fungsi hutan jika dibandingkan dengan vegetasi ekosistem pesisir.

Kurangnya perhatian masyarakat tentang vegetasi ekosistem pesisir bisa juga

Page 48: simpanan karbon padang lamun di kawasan pantai sanur, kota

29

disebabkan karena masih berorientasi darat dan tidak terlihatnya vegetasi pesisir

ini secara kasat mata sehingga sepertinya tidak berperan di dalam kehidupan.

Perubahan pola pikir ini menjadi salah satu tanggung jawab di dalam

pemberdayaan masyarakat pesisir dan targetnya adalah bukan saja masyarakat

pesisir tetapi semua masyarakat Indonesia dan dunia (Kawaroe, 2009). Sebagai

contoh area yang berperan sebagai blue carbon sink secara global disajikan pada

Tabel 2.3 sebagai berikut:

Tabel 2.3

Perkiraan Rata-Rata Area yang Potensi Sebagai Blue Carbon Sink dan

Karbon Organik yang Mengendap Per Tahun

Komponen Area

Juta km2

Pengendapan Karbon Organik

Ton C ha-1

y-1

TgCy-1

Vegetasi

Mangrove

Salt marsh

Lamun

Total

0.17

0.40

0.33

0.90

1.39

1.51

0.83

1.23

17.0-23.6 (57)

60.0-70 (190)

27.4-44 (82)

114-131 (329)

Keterangan : T = Tera (1012

), sumber UNEP (2009)

Pengendapan karbon di laut mencapai sekitar 10% dari kapasitas yang ada

dan berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh beberapa peneliti mencapai

2.000TgCy-1

(Sarmiento and Gruber, 2002). Berdasarkan data UNEP (2009),

diperkirakan rata-rata potensi penyerapan karbon lamun mencapai 0,83 Ton C per

Ha-1

tahun-1

dan laju pengendapan karbon tersimpan lamun sebesar 27,4 - 44 Tg C

Tahun-1

dengan area rata-rata 0,33x104

ha. Karbon ini merupakan karbon yang

berasal dari atmosfer yang terlarut di laut dan disimpan dalam bentuk DIC. Blue

carbon sink memberikan kontribusi sebesar 50% dari total pengendapan karbon

Page 49: simpanan karbon padang lamun di kawasan pantai sanur, kota

30

organik di lautan. Beberapa tumbuhan laut yang hidup pada substrat berbatu tidak

dapat mengendapkan karbon karena kondisi substrat yang tidak memungkinkan

contohnya adalah makroalga yang tumbuh pada karang, Halimeda sp.

2.7. Interpolasi Data

Untuk mengolah dan menganalisa data secara spasial, Sistem Informasi

Geografis (SIG) biasanya digunakan. Di dalam analisa spasial baik dalam format

vektor maupun raster, diperlukan data yang meliputi seluruh studi area. Oleh

sebab itu, proses interpolasi perlu dilaksanakan untuk mendapatkan nilai diantara

titik sampel. Hal ini bertujuan agar dalam perbandingan nilai dari titik observasi

dan titik model bisa berimbang.

Interpolasi adalah suatu metode atau fungsi matematika yang menduga

nilai pada lokasi-lokasi yang datanya tidak tersedia. Interpolasi spasial

mengasumsikan bahwa atribut data bersifat kontinu di dalam ruang (space) dan

atribut ini saling berhubungan (dependence) secara spasial (Anderson, 2001).

Logika dalam interpolasi spasial adalah bahwa nilai titik observasi yang

berdekatan akan memiliki nilai yang sama (mendekati) dibandingkan dengan nilai

di titik yang lebih jauh (Hukum geografi Tobler, dalam Christanto dkk, 2005).

Metode Inverse Distance Weighted (IDW) merupakan metode

deterministic yang sederhana dengan mempertimbangkan titik di sekitarnya

(NCGIA, 1997). Asumsi dari metode ini adalah nilai interpolasi akan lebih mirip

pada data sampel yang dekat dari pada yang lebih jauh. Bobot (weight) akan

berubah secara linear sesuai dengan jaraknya dengan data sampel. Bobot ini

tidak akan dipengaruhi oleh letak dari data sampel. Pemilihan nilai

Page 50: simpanan karbon padang lamun di kawasan pantai sanur, kota

31

pada power sangat mempengaruhi hasil interpolasi. Nilai power yang tinggi akan

memberikan hasil seperti menggunakan interpolasi nearest neighbour dimana

nilai yang didapatkan merupakan nilai dari data point terdekat. Kerugian dari

metode IDW adalah nilai hasil interpolasi terbatas pada nilai

yang ada pada data sampel. Contoh hasil dengan menggunakan metode Inverse

Distance Weighted dapat dilihat pada Gambar 2.5 sebagai berikut:

Gambar 2.5

Hasil Metode Inverse Distance Weighted

(Sumber: http:// shephard-modified-methods.html)

Pengaruh dari data sampel terhadap hasil interpolasi disebut sebagai

isotropic. Dengan kata lain, karena metode ini menggunakan rata-rata dari data

sampel sehingga nilainya tidak bisa lebih kecil dari minimum atau lebih besar dari

data sampel. Jadi, puncak bukit atau lembah terdalam tidak dapat ditampilkan dari

hasil interpolasi model ini (Watson and Philip, 1985). Untuk mendapatkan hasil

yang baik, sampel data yang digunakan harus rapat yang berhubungan dengan

variasi lokal. Jika sampelnya agak jarang dan tidak merata, hasilnya kemungkinan

besar tidak sesuai dengan yang diinginkan. Menurut Pramono (2004), metode

IDW cocok digunakan untuk melakukan interpolasi pada data fisik wilayah pesisir

karena tidak menghasilkan nilai melebihi rata-ratanya.

Page 51: simpanan karbon padang lamun di kawasan pantai sanur, kota

32

BAB III

KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN

3.1 Kerangka Berpikir

Berpijak pada keyakinan adanya kemampuan ekosistem laut dan pesisir

tersebut dalam menjaga keseimbangan penyerapan karbon dan potensi

pengurangan emisi GRK, UNEP (United Nations Environment Programme)

bekerjasama dengan Badan Pangan Dunia (FAO) dan Badan Pendidikan dan

Pengetahuan (UNESCO) memperkenalkan konsep Blue Carbon pada akhir tahun

2009. Konsep ini membuktikan peran ketiga ekosistem laut (lamun, mangrove dan

salt marsh) dan pesisir tersebut dalam mendeposisi karbon. Ekosistem pesisir dan

laut diyakini mampu menjadi garda penyeimbang bersama hutan untuk

mengurangi laju emisi melalui penyerapan karbon. Dalam laporan tersebut

disebutkan bahwa ketiga vegetasi pesisir berkontribusi menyimpan karbon laut ke

dalam sedimen lebih dari separuhnya, sementara luasnya kurang dari 0.5% luas

laut secara keseluruhan (Nellemann et al. 2009).

Lamun mempunyai keunikan tersendiri dibanding mangrove dan salt

marsh karena merupakan satu-satunya tumbuhan berbunga yang hidup di perairan

laut, dimana seluruh bagian tubuhnya tenggelam di dalam air. Kondisi ini

menyebabkan lamun mudah menyesuaikan diri sepenuhnya sehingga mampu

tumbuh, berkembang dan bereproduksi dalam kondisi tenggelam. Mereka hidup

di perairan dangkal yang masih bisa ditembus oleh sinar matahari.

Disebutkan bahwa ekosistem padang lamun mampu menyimpan 83.000

metrik ton karbon dalam setiap kilometer persegi. Angka ini adalah dua kali lipat

32

Page 52: simpanan karbon padang lamun di kawasan pantai sanur, kota

33

dari kemampuan hutan menyerap karbon: yaitu sekitar 30.000 metrik ton dalam

setiap kilometer perseginya (Fourqurean, 2012). Blue carbon ini tersimpan sampai

dengan jutaan tahun dan lebih lama dibandingkan dengan hutan yang hanya

tersimpan puluhan sampai ratusan tahun karena mengalami pencucian (Kawaroe,

2009). Pencucian tanah biasanya terjadi di kawasan Tropis. Hal tersebut karena

curah hujan yang tinggi, pengelolaan tanah yang tidak baik dan irigasi yang

berlebih. Sehingga tanah humus (lapisan top soil) mengalami degradasi asam

yang diiringi dengan penurunan jumlah unsur hara karena mengendap atau

meresap pada lapisan tanah yang lebih dalam sehingga menurunkan kesuburan

tanah (Madjid, 2009).

Pada awalnya penelitian-penelitian yang dilakukan terkait dengan peran

lamun sebagai penyimpan bahan organik adalah dalam bentuk biomassa.

Biomassa yang digunakan untuk menyatakan materi tumbuhan, baik di atas

maupun di bawah tanah, biasanya dinyatakan dalam satuan gram berat kering per

meter persegi (gbk/m2) (Kuriandewa 2009). Namun dengan semakin

berkembangnya isu perubahan iklim dan pemanasan global, para peneliti mulai

mendiskusikan peran lamun sebagai penyerap dan penyimpan karbon. Berkaitan

dengan peran lamun ini, maka dikenal istilah stok karbon, yaitu kandungan

karbon absolut dalam biomassa pada waktu tertentu (Apps et al. 2003 dalam

Supriadi, 2012).

Penelitian potensi stok karbon yang dimiliki oleh lamun di Indonesia

masih sangat terbatas. Salah satunya yakni penelitian mengenai stok dan neraca

karbon lamun di pantai Barranglompo (Supriadi, 2012), sedangkan penelitian di

Page 53: simpanan karbon padang lamun di kawasan pantai sanur, kota

34

Pulau Pari baru dilakukan terhadap 3 jenis lamun yaitu Enhalus acoroides,

Thalassia hemprichii dan Cymodocea rotundata (Kiswara & Ulumuddin 2009;

Kiswara 2010). Penelitian ini belum menghitung secara total potensi stok karbon

yang terdapat di Pulau Pari. Khusus di Pantai Sanur, belum diperoleh informasi

tentang penelitian potensi stok karbon tersebut. Penelitian terdahulu antara lain

yakni mengenai jenis dan kerapatan padang lamun di Pantai Sanur (Arthana,

2005), Struktur Komunitas Padang Lamun di Pantai Batu Jimbar Sanur (Fauziyah,

2004) dan penelitian mengenai kondisi dan strategis pengelolaan komunitas

padang lamun di wilayah pesisir Kota Denpasar (Sudiarta dan Restu, 2011).

3.2 Konsep Penelitian

Tumbuhan lamun merupakan karbon sink bersama-sama dengan rawa

payau dan mangrove yakni dapat menyerap karbon yang berada di atmosfer dan

digunakan untuk proses fotosintesis. Fotosintesis adalah proses pembuatan energi

atau zat makanan/ glukosa yang berlangsung atas peran cahaya matahari dengan

menggunakan zat hara/ mineral, karbon dioksida dan air. Hasil penyerapan karbon

oleh lamun pada proses fotosintesis disimpan atau dialirkan ke beberapa

kompartemen yaitu dalam bentuk biomassa dan sedimen tempat tumbuh lamun

untuk waktu yang lama.

Biomassa dapat digunakan untuk menduga potensi serapan karbon yang

tersimpan dalam vegetasi karena 45% - 50% biomassa tersusun oleh karbon.

Biomassa disusun oleh senyawa utama karbohidrat yang terdiri dari unsur karbon

dioksida, hidrogen, dan oksigen. Biomassa tegakan dipengaruhi oleh umur

Page 54: simpanan karbon padang lamun di kawasan pantai sanur, kota

35

tegakan hutan, komposisi, dan strutur tegakan, sejarah perkembangan vegetasi.

Bagan konsep penelitian dapat dilihat pada Gambar 3.1 sebagai berikut:

Karbon sink

ekosistem laut

Disimpan di Biomassa

(karbon menyusun 20–50% berat

kering dari biomassa)

Ekosistem Lamun

Penyimpanan Karbon

Oleh Lamun

Gambar 3.1

Bagan Konsep Dalam Penelitian

Melalui:

Daun, Rhizoma dan Akar

Fotosintesis

(menghasilkan karbohidrat

dan oksigen)

Page 55: simpanan karbon padang lamun di kawasan pantai sanur, kota

36

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Rancangan Penelitian

Bagan alur penelitian untuk mendapatkan total stok karbon pada lamun di

Pantai Sanur dapat dilihat pada Gambar 4.1 sebagai berikut :

Gambar 4.1

Bagan Alur Kegiatan Penelitian

Ekosistem Lamun

Kerapatan Lamun

(tegakan/ m2)

Biomassa Lamun per Tegakan

pada Daun, Rhizoma dan Akar

(gram berat kering/ transek

20x20 cm)

Biomassa per Satuan Luas

(gbk/ m2)

Stok Karbon Jaringan Lamun per

Satuan Luas (gC/m2)

Peta Distribusi Spasial Stok Karbon Lamun Hasil Interpolasi

(Bagian Atas Substrat dan Bawah Subtrat)

Peta Distribusi Spasial Total Stok

Karbon Lamun

Total Simpanan Karbon

Padang Lamun di Pantai Sanur

Analisis Kandungan

Karbon per Jenis/

per Jaringan (daun,

rhizoma dan akar)

Aplikasi

Arcgis

Kategori Kelas

Stok Karbon

36

Aplikasi

Arcgis

Stok Karbon Lamun bagian Atas Substrat (daun) dan

Bawah Subtrat (akar dan rhizoma) (gbk/ m2)

Page 56: simpanan karbon padang lamun di kawasan pantai sanur, kota

37

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni tahun 2014 sampai dengan bulan

Februari tahun 2015 di Perairan Pantai Sanur, Kecamatan Denpasar Selatan, Kota

Denpasar, Provinsi Bali. Penelitian ini meliputi studi literatur, survey awal lokasi,

pengambilan data lapangan, analisa sampel, pengolahan data, analisa data dan

penyusunan laporan hasil penelitian. Lokasi penelitian berada di daerah pesisir

yang terdapat ekosistem padang lamun dan ditentukan oleh 8 stasiun, dengan

masing-masing stasiun terdiri dari 3 transek kuadrat (a,b dan c) sehingga total titik

transek yaitu 24 titik pengamatan. Posisi koordinat masing-masing lokasi

penelitian dapat dilihat pada tabel 4.1 sebagai berikut :

Tabel 4.1

Letak Geografis Lokasi Penelitian

Stasiun

Lokasi Kuadran A Kuadran B Kuadran C

Lon* Lat* Lon* Lat* Lon* Lat*

1 Pantai Mertasari 115.2507 -8.7138 115.2506 -8.714 115.2506 -8.7146

2 Pantai Semawang I 115.2606 -8.7092 115.2607 -8.7093 115.2610 -8.7090

3 Pantai Semawang II 115.2649 -8.7039 115.2650 -8.7040 115.2660 -8.7044

4 Pantai Indah 115.266 -8.6988 115.2663 -8.6989 115.2668 -8.6989

5 Pantai Sindhu 115.2656 -8.6868 115.2662 -8.6867 115.2664 -8.6866

6 Pantai Inna Grand Bali 115.265 -8.6798 115.2653 -8.6798 115.2658 -8.6799

7 Pantai Sanur II 115.2645 -8.6759 115.2647 -8.6759 115.2650 -8.6759

8 Pantai Sanur I 115.2643 -8.6742 115.2646 -8.6743 115.2650 -8.6742

Ket : * = Koordinat geografis menggunakan sistem Decimal Degree

Sumber : Hasil pengamatan Lapang

Sebaran ekosistem padang lamun di Pantai Sanur yakni seluas 322 ha

(Dinas Kelautan Peternakan, Perikanan dan Kelautan Kota Denpasar, 2014).

Ditinjau dari hubungan antara keberadaan padang lamun dengan ekosistem

terumbu karang dan mangrove maka sebaran lamun di Pantai Sanur

Page 57: simpanan karbon padang lamun di kawasan pantai sanur, kota

38

dikelompokkan dalam tipe yang berdampingan langsung dengan habitat terumbu

karang dan mempunyai keterkaitan (linked) dengan ekosistem mangrove di

sekitarnya. Peta sebaran dan titik pengamatan padang lamun dapat dilihat pada

Gambar 4.2 berikut:

Gambar 4.2

Peta Sebaran dan Titik Pengamatan Padang Lamun di Kawasan Pantai Sanur

Page 58: simpanan karbon padang lamun di kawasan pantai sanur, kota

39

4.3 Ruang Lingkup

Ruang lingkup dalam penelitian ini yaitu menunjukkan batas – batas

bidang yang akan diteliti, yaitu sebagai berikut :

1. Padang lamun yang tumbuh di rataan perairan Pantai Sanur Kota Denpasar

2. Stok karbon yang tersimpan pada biomassa lamun (daun, rhizoma dan akar)

4.4 Variabel Pengamatan

Variabel yang diamati yaitu spesies-spesies lamun mencakup kerapatan

dan frekuensi kemunculan dengan menggunakan metode transek kuadrat. Variabel

penunjang yaitu faktor lingkungan berupa suhu, salinitas, pH yang mempengaruhi

pertumbuhan lamun.

Setelah itu dilakukan pencuplikan sampel lamun dengan menganalisa

sampel jaringan lamun (daun, rhizoma dan akar) untuk mendapatkan sampling

biomassa. Kemudian dari berat kering tumbuhan lamun (biomassa) tersebut

dilakukan analisis laboratorium untuk mengetahui konsentrasi karbon jaringan

lamun. Setelah mendapatkan nilai kandungan karbon per jaringan lamun

dilakukan penghitungan total stok karbon yang nantinya akan disajikan dalam

bentuk peta yakni peta kategori ukuran stok karbon (bagian atas substrat dan

bagian bawah substrat) dan peta total stok penyimpanan karbon oleh tumbuhan

lamun di Pantai Sanur.

4.5 Bahan dan Instrument Penelitian

Bahan penelitian merupakan segala sesuatu atau spesifikasi yang dikenai

perlakuan atau yang digunakan untuk perlakuan. Instrument penelitian

Page 59: simpanan karbon padang lamun di kawasan pantai sanur, kota

40

merupakan segala macam instrumen yang digunakan dalam pengumpulan data.

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tumbuhan lamun sebagai objek

yang diamati dan sebagai sampel jenis. Instrumen yang digunakan dalam

penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 4.2 sebagai berikut :

Tabel 4.2

Instrumen yang Digunakan Dalam Penelitian

No Komponen yang diamati Satuan Instrument Keterangan

1. Pengamatan Ekosistem

lamun (Transek)

Individu,

Kerapatan

,

Roll meter, tiang kayu,

alat tulis, buku

identifikasi, kantong

specimen, kertas label

In situ dan

Laboratorium

2. Suhu Perairan ºC Waterchecker. In situ

3. Salinitas Ppt Waterchecker. In situ

4. Kecepatan Arus m/dt Alat Ukur Arus In situ

5. pH - Waterchecker In situ

6. Oksigen Terlarut Ppm Waterchecker. In situ

7. Analisa Biomassa oven Laboratorium

8. Analisa Karbon Muffle dan bahan kimia Laboratorium

9. Pemetaan dan

Pemodelan

Spatial

- - Piranti lunak ArcGis

- Peta RBI Digital skala

1:25000

-

10. Koordinat Lapangan lat/long GPS In situ

11. Dokumentasi

Pengamatan Lapang

J

Kamera In situ

4.6 Prosedur Penelitian

4.6.1 Kondisi Umum Lamun

Pengamatan kondisi umum lamun dilakukan dengan pengumpulan data

yaitu mengkaji kerapatan dan frekuensi kemunculan berdasarkan penentuan lokasi

Page 60: simpanan karbon padang lamun di kawasan pantai sanur, kota

41

pengambilan sampel. Sebelum melakukan pengamatan, terlebih dahulu dilakukan

survei awal guna melihat distribusi lamun terkait penentuan letak garis transek.

Penentuan titik pengambilan sampel dilakukan secara purposive (Nasution, 2001),

yang mengacu pada fisiografi lokasi, agar sedapat mungkin bisa mewakili atau

menggambarkan keadaan perairan tersebut. Bersamaan pada saat dilakukan

pengamatan kondisi umum ekosistem padang lamun, dilakukan juga pengukuran

parameter lingkungan yaitu berupa suhu, salinitas, pH, kecepatan arus dan

Densitas oksigen (DO) yang mewakili pada bagian titik tengah (titik b pada

gambar 4.2) yang terdapat pada 8 garis transek.

Kerapatan adalah jumlah individu (tunas) suatu jenis lamun per-satuan

luas (satuan umum yang dipakai adalah per 1 meter persegi). Untuk menghitung

kerapatan lamun adalah sebagai berikut :

1) Kerapatan lamun diperoleh dengan menghitung tegakan (lunas) lamun dan

diamati dengan menggunakan transek kuadrat berukuran 100 cm x 100 cm

Untuk memudahkan pengamatan, pada transek dibuat kisi-kisi 20 cm x

20 cm.

2) Sampling dilakukan secara sistematis dari pantai tegak lurus ke arah luar

sampai tidak ditemukan lamun, dengan jarak antar transek 20 meter. Setiap

posisi transek dicatat berdasarkan pembacaan pada Global Positioning

System (GPS).

3) Awal peletakkan kuadran disesuaikan dengan awal ditemukan lamun pada

perairan tersebut, sehingga titik awal transek dapat diletakkan dengan

kisaran 0 – 20 m dari tepi pantai.

Page 61: simpanan karbon padang lamun di kawasan pantai sanur, kota

42

4) Jumlah tunas setiap jenis lamun di dalam transek dihitung untuk

mengetahui kerapatannya.

5) Pengamatan dilakukan pada saat perairan Pantai Sanur mengalami surut

untuk memudahkan proses penghitungan kerapatan dan pencuplikan

sampel lamun.

6) Jumlah titik pengamatan sebanyak 24 titik yang terbagi menjadi 8 garis

transek (tegak lurus dari pantai). Titik-titik sampling tersebut tersebar di

semua perairan Pantai Sanur yang mempunyai padang lamun sehingga

bisa mewakili kondisi umum lamun di Pantai Sanur.

Contoh petak pengamatan dan pengambilan contoh lamun dapat dilihat pada

Gambar 4.3 sebagai berikut:

Gambar 4.3

Contoh Peletakan Transek Garis Dan Transek Kuadrat

(Sumber : http://itk.fpik.ipb.ac.id/SIELT/lamun.php)

Untuk frekuensi kemunculan yaitu peluang suatu spesies yang ditemukan

dalam titik sampel yang diamati. Frekuensi kemunculan lamun merupakan

pengindikasikan luas distribusi suatu jenis lamun dihitung antara jumlah transek

dimana jenis lamun tertentu ditemukan dibagi dengan jumlah total transek yang

Page 62: simpanan karbon padang lamun di kawasan pantai sanur, kota

43

digunakan sehingga memunculkan prosentase kemunculan dari suatu jenis lamun.

Identifikasi lamun dilakukan berdasarkan Waycott et al. (2004).

4.6.2 Biomassa dan Konsentrasi Karbon Jaringan Lamun

Biomassa lamun adalah satuan berat (berat kering atau berat abu) lamun

bagian tumbuhan yang berada di atas substrat (daun, seludang, buah dan bunga)

dan/ atau bagian di bawah substrat (akar dan rimpang) yang sering dinyatakan

dalam satuan gram berat kering per m2 (gbk/m

2).

Menurut Buku Pedoman Umum Identifikasi dan Monitoring Lamun Tahun

2008 mengatakan bahwa sampling biomassa dilakukan dengan menggunakan

transek yang berukuran 20 cm x 20 cm. Untuk pengambilan sampel lamun

dilakukan prosedur sebagai berikut:

1) Lamun yang terdapat pada transek tersebut dicuplik dengan menggunakan

tangan sampai pada kedalaman penetrasi akar. Sebelum dicuplik terlebih

dahulu dilakukan pemotongan rhizoma yang menjalar ke samping (batas

luar kuadran/ transek) dengan menggunakan parang untuk mempermudah

pencuplikan.

2) Pencuplikan lamun untuk sampel biomassa dilakukan bersamaan dengan

penghitungan kerapatan lamun.

3) Sampel dimasukkan ke kantong sampel setelah dibersihkan dari substrat

kemudian dimasukkan ke dalam ice box untuk tetap menjaga kessegaran

dan dibawa ke laboratorium.

Page 63: simpanan karbon padang lamun di kawasan pantai sanur, kota

44

4) Pencuplikan lamun dilakukan pada semua titik pengamatan (24 titik) yang

tersebar pada semua sisi pantai sehingga dapat mewakili biomassa lamun

secara keseluruhan.

Pencuplikan sampel lamun dilakukan dengan 3 kali pengambilan sampel

lamun untuk biomassa di setiap titik pengamatan (transek kuadrat) yang nantinya

akan dirata-rata dan dipisahkan daun, rhizoma dan akar untuk diketahui berat

basah dan berat keringnya. Hal ini dilakukan untuk kevalidan dan keterwakilan

sampel biomassa dari masing-masing garis transek dan untuk memudahkan di

dalam pembuatan peta sebaran karbon pada tahap berikutnya. Untuk biomassa per

jenis diperoleh dari hasil frekuensi kemunculan yang telah dilakukan

sebelumnya.

Biomassa per tegakan lamun diketahui dengan membagi berat total setiap

sampel dengan jumlah tegakannya. Perhitungan biomassa lamun dilakukan

dengan metode destruktif. Tumbuhan lamun akan dibagi menjadi tiga (3) bagian

yaitu daun, rhizoma dan akar. Untuk perhitungan biomassa lamun dilakukan di

laboratorium dengan perlakuan sebagai berikut (Azkab, 1999):

1) Semua contoh lamun dibersihkan, dicuci dan diidentifikasi.

2) Hitung dan timbang jumlah tegakkan pada setiap jenis untuk mengetahui

biomassa basah.

3) Satukan semua contoh lamun menurut jenisnya pada setiap titik.

4) Setiap contoh lamun dipisahkan antara daun, rhizoma dan akar, kemudian

ditimbang. Bisa juga daun lamun dipisahkan dengan seludangnya serta

rimpang dengan akarnya.

Page 64: simpanan karbon padang lamun di kawasan pantai sanur, kota

45

5) Sampel lamun dikeringkan pada suhu kamar dan setelah cukup kering

kemudian dimasukkan ke dalam wadah berupa kertas. Kemudian semua

contoh lamun dikeringkan dengan memasukkan ke dalam oven pada

temperatur tetap 60° C selama 24 jam, kemudian ditimbang untuk

mengetahui berat kering dengan menggunakan neraca analitik.

Setelah mendapatkan nilai hasil biomassa per jaringan lamun (daun,

rhizoma dan akar) disetiap titik pengamatan, dilakukan penghitungan kandungan

karbon terhadap sampel biomassa tersebut. Penghitungan kandungan karbon ini

dilakukan pada 8 titik yakni pada bagian titik (kuadran) tengah (kuadran b pada

Gambar 4.4) dari masing-masing garis transek. Nilai konsentrasi karbon yang

didapatkan digunakan untuk mengkonversi perbandingan nilai biomassa (berat

kering) menjadi nilai kandungan karbon pada titik-titik yang tidak dilakukan

penghitungan nilai karbon jaringan lamun. Ilustrasi penghitungan nilai kandungan

karbon dan konversi pada titik pengamatan lamun dapat dilihat pada Gambar 4.4

berikut:

Gambar 4.4

Ilustrasi Pengkonversian Nilai Kandungan Karbon pada Titik Pengamatan

Page 65: simpanan karbon padang lamun di kawasan pantai sanur, kota

46

Penghitungan nilai kandungan karbon lamun perjaringan (daun, rhizoma

dan akar) dianalisis dengan menggunakan metode Walkley dan Black (Sulaeman

et al. 2005) dan metode pengabuan (Helrick, 1990) yang dilakukan di

Laboratorium Tanah Fakultas Peternakan Universitas Udayana. Metode Walkley

dan Black dilakukan dengan prosedur sebagai berikut:

1) Sebanyak satu gram sampel kering dimasukkan ke dalam labu takar 50 ml,

ditambahkan 10 ml 0.167 M K2Cr2O7 dan 10 ml H2SO4 pekat lalu

dikocok. Warna merah jingga pada larutan harus tetap dijaga.

2) Jika terjadi perubahan warna menjadi hijau atau biru maka ditambahkan

10 ml K2Cr2O7 dan 10 ml H2SO4. Jumlah penambahan dicatat.

Penambahan untuk blanko juga harus sama banyak.

3) Larutan kemudian didiamkan selama 30 menit hingga dingin.

4) Setelah dingin, ditambahkan 5 ml H3PO3 85% dan 1 ml indikator

difenilamin, kemudian larutan diencerkan dengan akuades hingga volume

larutan mencapai 50 ml.

5) Sebanyak 5 ml larutan dipipet ke dalam Erlenmeyer 50 ml dan

ditambahkan 15 ml akuades, kemudian dititrasi dengan larutan FeSO4 1 N

atau 0,5 N hingga warna menjadi kehijauan. Prosedur tersebut dilakukan

terhadap sampel dan blanko. Kemudian dihitung dengan rumus (4).

Untuk metode pengabuan dilakukan dengan prosedur sebagai berikut:

1) Cuci cawan porselin, bilas dan keringkan.

2) Masukkan ke dalam tanur listrik selama 2-3 jam pada suhu 500 0C.

Page 66: simpanan karbon padang lamun di kawasan pantai sanur, kota

47

3) Dinginkan dalam desikator selama 30 menit, kemudian timbang sebagai

cawan kosong.

4) Sebanyak 1 - 2 gram sampel kering dimasukkan ke dalam cawan dan

dicatat sebagai berat cawan + berat sampel.

5) Bakar dalam tanur listrik selama 3-6 jam pada suhu 500 0C hingga menjadi

abu yang ditandai oleh warna putih keabu-abuan tanpa ada bintik hitam.

6) Didinginkan di dalam desikator kemudian ditimbang berat cawan + berat

abu dan dihitung dengan menggunakan rumus (6).

4.6.3 Total Stok Karbon

Prosentase stok karbon meningkat sejalan dengan peningkatan biomassa.

Stok karbon berbanding lurus dengan kandungan biomassanya. Semakin besar

kandungan biomassa, maka stok karbon juga akan semakin besar (Hairiyah dan

Rahayu, 2007 dalam Imiliyana et al, 2012).

Hasil analisis kandungan karbon lamun perjaringan (akar, rhizoma dan

akar) kemudian dibagi menjadi stok karbon lamun bagian atas subtrat (daun) dan

bagian bawah substrat (akar dan rhizoma). Kemudian di petakan sebaran stok

karbon lamun bagian atas dan bawah substrat tersebut dengan membagi lima kelas

untuk mempermudah analisis, kemudian dipetakan berdasarkan posisi setiap

transek dengan bantuan software Arcgis dengan proses interpolasi data. Setiap

kelas stok karbon dihitung luasnya kemudian dijumlahkan dengan kelas-kelas

lainnya sehingga didapatkan peta total sebaran stok karbon sehingga peta yang

ditampilkan pada Bab Hasil Penelitian adalah peta sebaran stok karbon bagian

Page 67: simpanan karbon padang lamun di kawasan pantai sanur, kota

48

atas substrat, peta sebaran stok karbon bagian bawah substrat dan peta sebaran

total stok karbon lamun.

Setelah itu dilakukan penghitungan total stok karbon lamun di kawasan

Pantai Sanur dianalisis dengan menggunakan konversi data biomassa menjadi

kandungan karbon yang didapatkan pada awal penelitian. Data hasil konversi ke

karbon keseluruhan kemudian dirata-rata dengan satuan gbk/m2. Setelah

mendapatkan nilai rata-rata karbon per meter persegi kemudian dikalikan dengan

luas lamun yang ada di kawasan Pantai Sanur.

4.6.4 Metode Interpolasi Data

Proses interpolasi ini dilakukan dengan menerapkan metode invers

distance menggunakan perangkat lunak ArcGIS versi 10.1. Proses interpolasi

perlu dilaksanakan untuk mengestimasi dan memetakan potensi penyerapan

karbon lamun dengan mudah dan cepat yakni mendapatkan nilai diantara titik

sampel yaitu nilai karbon yang terkandung dalam lamun yang diamati. Hal ini

bertujuan agar dalam perbandingan nilai dari titik observasi dan titik model bisa

berimbang.

Inti dari model ini adalah menganalisis titik pengamatan dalam suatu

ruang ketetanggaan yang menggambarkan kemiripan diantara titik-titik tersebut.

Pada umumnya program komputer akan melakukan beberapa teknik pencarian

dengan mendefinisikan ruang ketetanggaan. Mengingat model pembobotan ini

merupakan model ruang lokal, maka teknik pencarian yang umum digunakan

adalah dengan menetapkan jumlah titik observasi yang yang berada di sekitarnya

Page 68: simpanan karbon padang lamun di kawasan pantai sanur, kota

49

atau menggunakan teknik pencarian dalam radius tertentu (Trisasongko et al.

2008).

Teknik pencarian apapun yang digunakan, komputer akan mengukur jarak

suatu titik pengamatan dengan titik yang diamati. Nilai Z untuk setiap titik

umumnya kemudian diboboti dengan kuadrat jarak sehingga nilai yang dekat

secara spasial akan cenderung mempengaruhi nilai pada titik yang diamati.

4.7 Analisis Data

4.7.1 Kerapatan Lamun dan Frekuensi Kemunculan

Rumus yang digunakan untuk menghitung kerapatan lamun seperti yang

ditunjukkan oleh persamaan (2) sebagai berikut (Khouw 2009):

….. …………..…………………… (2)

dimana : Di = kerapatan lamun jenis-i (tunas/m2)

∑ni = jumlah tunas lamun jenis-i (tunas)

Ai = jumlah luas transek dimana lamun jenis-i ditemukan (m2)

Untuk menghitung frekuensi kemunculan lamun dihitung berdasarkan

persamaan (3) sebagai berikut (Khouw 2009):

…………… ……..…………………..… (3)

dimana : Fi = frekuensi jenis-i (%)

∑ti = jumlah transek dimana jenis-i ditemukan

T = jumlah total transek yang digunakan.

Page 69: simpanan karbon padang lamun di kawasan pantai sanur, kota

50

4.7.2 Biomassa dan Konsentrasi Karbon Jaringan Lamun

Biomassa per tegakan lamun dapat diketahui dengan membagi berat total

setiap sampel dengan jumlah tegakannya dikalikan dengan jumlah tunas

(kepadatan) lamun dalam satu meter persegi. Hubungan antara kerapatan dan

biomassa lamun digunakan untuk memprediksi biomassa lamun pada semua titik

sampling kepadatan. Adapun rumus yang digunakan untuk menghitung biomassa

ditunjukkan oleh persamaan (4) sebagai berikut (http://theoceanandmariner.com):

B = W x D …………… ……..…………………..… (4)

Dimana : B = Biomassa Lamun (gram.m - 2

)

W = Berat Kering sebuah Tunas Lamun (gram.tunas -1

)

D = Kepadatan Lamun (tunas.m - 2

)

Rumus untuk menghitung kandungan karbon jaringan lamun dengan

metode Walkley dan Black berdasarkan persamaan (5) sebagai berikut

(Sulaeman et al. 2005):

…..…..………………….…… (5)

Dimana: C = kandungan karbon jaringan lamun (%)

A = volume titrasi sampel (ml)

B = volume titrasi blanko (ml)

12/4000 = miliequivalent berat dari C (gram)

Rumus yang digunakan untuk menghitung kandungan karbon jaringan

lamun dengan metode pengabuan dapat ditunjukkan oleh persamaan (6) sebagai

berikut (Helrich, 1990):

Page 70: simpanan karbon padang lamun di kawasan pantai sanur, kota

51

........................................... (6)

dimana : a = berat cawan

b = berat cawan + berat sampel

c = berat (cawan + abu)

Untuk menghitung bahan organik dengan metode pengabuan ini dapat

ditentukan dengan menghitung pengurangan berat saat pengabuan, yaitu dengan

persamaan (7) sebagai berikut (Helrich, 1990):

( ) ( )

( ) ...................................... (7)

dimana : a = berat cawan

b = berat cawan + berat sampel

c = berat (cawan + abu)

Setelah mengetahui kadar bahan organik, dilakukan penghitungan

kandungan karbon jaringan lamun dengan metode pengabuan yaitu dengan

persamaan (8) sebagai berikut (Helrich, 1990):

................................................. (8)

dimana : 1,724 = konstanta nilai bahan organik

Setelah mengetahui nilai kandungan karbon jaringan lamun dengan

metode Walkley & Black dan metode pengabuan, kemudian nilai hasil kandungan

karbon tersebut dirata-rata dan nilai rata-rata kandungan karbon inilah yang

digunakan sebagai kandungan karbon jaringan lamun.

Page 71: simpanan karbon padang lamun di kawasan pantai sanur, kota

52

4.7.3 Total Stok Karbon

Total stok karbon lamun dihitung dengan menggunakan rumus yang

mengacu pada persamaan (9) sebagai berikut (Walkley dan Black dalam

Sulaeman et al. 2005):

Ct = Σ (Li x ci) …………..……………………………… (9)

dimana : Ct = karbon total (ton)

Li = luas padang lamun kategori kelas i (m2)

Ci = rata-rata stok karbon lamun kategori kelas i (g/m2)

4.7.4 Intepolasi Data Dengan Sistem Informasi Geografis

Rumus umum Invers Distance Weighting (IDW) yaitu mengacu pada

persamaan (10) sebagai berikut (Bonham dan Carter, 1994):

………..……………………………….(10)

dimana : Z0 = Nilai yang diduga

Zi = Sekumpulan Nilai Penduga

Nilai pembobot dalam teknik Invers Distance Weighting umumnya

dihitung dengan rumus umum pada persamaan (11) sebagai berikut (Bonham dan

Carter,1994):

…………..…………………………….. (11)

dimana : di0= Jarak antara titik pengamatan i dengan titik yang diduga

Page 72: simpanan karbon padang lamun di kawasan pantai sanur, kota

53

BAB V

HASIL PENELITIAN

5.1 Kondisi Umum Lamun

5.1.1 Distribusi dan Komposisi Jenis Lamun

Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan di stasiun penelitian

(delapan stasiun yang terbagi dalam 24 titik kuadran) didapatkan delapan jenis

spesies lamun di wilayah perairan Pantai Sanur yaitu E. acoroides, T. hemprichii,

H. ovalis (famili Hydrocharitaceae), C. rotundata, C. serulata, H. uninervis, H.

pinifolia dan S. isoetifolium (famili Potamogetonaceae).

Padang lamun di Pantai Sanur umumnya terletak pada kondisi yang relatif

terlindung yakni di antara pantai dan terumbu karang. Habitat padang lamun

dicirikan oleh habitat laguna yaitu perairan dangkal pasang surut antara pantai dan

tubir karang. Keragaman dan kerapatan jenis lamun rata-rata cenderung banyak

ditemukan di tengah laguna. Distribusi dan sebaran jenis lamun yang ditemukan

pada lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 5.1 berikut:

Tabel 5.1

Distribusi dan Sebaran Jenis Lamun yang di Temukan Di Pantai Sanur

No. Jenis Lamun Stasiun

1 2 3 4 5 6 7 8

1 Halodule uninervis + - - + + + - +

2 Syringodium isoetifolium - - - - + - - +

3 Halophila ovalis - - - - + + + +

4 Halodule pinifolia - - - - - + + -

5 Enhalus acroides + + + + + - + -

6 Cymodocea rotundata - - - - - + + +

7 Thalassia hemprichii - + - + + - - -

8 Cymodocea serrulata - - - + - - - -

Sumber : Hasil pengamatan Lapang

53

Page 73: simpanan karbon padang lamun di kawasan pantai sanur, kota

54

Dari delapan jenis lamun yang ditemukan dari delapan stasiun pengamatan

di perairan kawasan Pantai Sanur, jenis lamun E. acroides yang paling sering

ditemukan pada enam stasiun yakni pada stasiun 1 (Pantai Mertasari), stasiun 2

(Pantai Semawang I), stasiun 3 (Pantai Semawang II), stasiun 4 (Pantai Indah),

stasiun 5 (Pantai Sindhu) dan stasiun 7 (Pantai Sanur II), kemudian diikuti oleh

lamun jenis H. uninervis yang ditemukan pada lima stasiun yakni stasiun 1, 4, 5, 6

dan 8 (5 stasiun) dan jenis H. ovalis yakni pada stasiun 5, 6, 7 dan 8 (4 stasiun).

Jenis lamun yang paling jarang ditemukan yakni C. serrulata yang hanya

ditemukan pada stasiun 4 yakni di Pantai Indah. Secara umum tumbuhan lamun di

Pantai Sanur ditemukan pada tepi pantai mulai garis air surut rendah ke arah laut

dengan lebar sebaran lamun yang berbeda-beda pada tiap stasiun pengamatan.

Komposisi jenis lamun secara keseluruhan dapat dilihat pada Gambar 5.1 sebagai

berikut:

Ket:

Ea = E. acoroides; Th = T. hemprichii; Cr = C. rotundata; Cs = C. serrulata; Hu = H.

uninervis; Hp = H. pinifolia; Ho = H. ovalis dan Si = S. isoetifolium

Gambar 5.1

Komposisi Jenis Lamun di Pantai Sanur

Page 74: simpanan karbon padang lamun di kawasan pantai sanur, kota

55

Komposisi jenis merupakan perbandingan antara jenis lamun dengan

jumlah individu per jenis yang menyusun suatu hamparan padang lamun dan

dinyatakan dengan persentase. Komposisi jenis diperoleh dengan membagi

jumlah keseluruhan lamun jenis i yang ditemukan pada keseluruhan transek

dengan jumlah keseluruhan jenis lamun pada keseluruhan transek kuadrat

dikalikan dengan 100 %.

Dari total komposisi jenis lamun sebesar 100%, jenis terbesar yakni H.

uninervis dengan nilai komposisi jenis sebesar 26,17% diikuti dengan S.

isoetifolium sebesar 19,85%, H. ovalis sebesar 17,59%, H. pinifolia sebesar

11,52%, E. acroides sebesar 9,89% , C. rotundata sebesar 9,60, T. hemprichii

sebesar 4,96 dan yang paling kecil yakni C. serrulata sebesar 0,42%. Meskipun

jenis E. acroides merupakan jenis yang paling sering ditemukan hampir di setiap

stasiun namun nilai komposisi jenisnya hanya menunjukkan 9,89%, berbeda

dengan S. isoetifolium yang lebih jarang ditemukan namun menunjukkan nilai

komposisi jenis sebesar 19,85%. Hal ini berhubungan dengan ukuran daun dan

letak daun dimana S. isoetifolium akan lebih rapat dibandingkan dengan jenis E.

acoroides dan C. rotundata sehingga mempengarungi nilai kerapatan masing-

masing individu.

5.1.2 Kerapatan dan Frekuensi Kemunculan Lamun

5.1.2.1 Kerapatan Lamun

Kerapatan adalah jumlah individu suatu jenis tumbuhan dalam suatu luasan

tertentu. Kepadatan lamun per satuan luas tergantung pada jenisnya. Jenis-jenis

lamun dengan kepadatan tegakan yang tinggi biasanya juga memiliki frekuensi

Page 75: simpanan karbon padang lamun di kawasan pantai sanur, kota

56

kehadiran yang tinggi. Kerapatan jenis lamun di lokasi penelitian secara

keseluruhan dapat disajikan pada Tabel 5.2 berikut ini:

Tabel 5.2

Kerapatan Lamun di Lokasi Penelitian

Stasiun Transek

Kuadrat

Jenis Lamun (ind/m2) Total

(ind/m2) Ea Th Cr Cs Hu Hp Ho Si

1 A - - - - 238 - - - 238

B 21 - - - 158 - - - 179

C - - - - 196 - - - 196

2 A 78 - - - - - - - 78

B - 236 - - - - - - 236

C 128 - - - - - - - 128

3 A 62 - - - - - - - 62

B 85 - - - - - - - 85

C 87 - - - - - - - 87

4 A 65 10 - 15 30 - - - 120

B 96 - - 12 - - - - 108

C 77 - - 8 - - - - 85

5 A - - - - 306 - 309 - 615

B 27 169 - - 5 - - 15 216

C - - - - 232 - - 456 688

6 A - - 158 - - 272 535 - 965

B - - 6 - 463 11 29 - 509

C - - 305 - 299 294 - - 898

7 A 101 - 50 - - 30 - - 181

B - - 197 - - 356 - - 553

C - - 16 - - - 438 - 454

8 A - - - - 109 - 10 445 564

B - - 71 - 33 - 545 649

C - - - - 120 - 150 199 469

Sumber : Hasil pengamatan Lapang

Ket:

Ea = E. acroides; Th = T. hemprichii; Cr = C. rotundata; Cs = C. serrulata; Hu = H.

uninervis; Hp = H. pinifolia; Ho = H. ovalis dan Si = S. Isoetifolium

Page 76: simpanan karbon padang lamun di kawasan pantai sanur, kota

57

Grafik kerapatan jenis lamun yang ditemukan pada setiap stasiun dapat disajikan

pada Gambar 5.2 sebagai berikut:

Gambar 5.2

Grafik Kerapatan Jenis Lamun di Pantai Sanur

Page 77: simpanan karbon padang lamun di kawasan pantai sanur, kota

58

Perbedaan jenis lamun dan kerapatan pada masing-masing lokasi

penelitian ini diduga berkaitan dengan kemampuan adaptasi jenis lamun tersebut

terhadap kondisi lingkungan yang berbeda. Berdasarkan hasil pengamatan

didapatkan kerapatan jenis lamun S. isoetifolium mempunyai nilai paling tinggi di

semua stasiun pengamatan yaitu berkisar pada 15 – 545 individu/ m2. Jenis lamun

H. ovalis mempunyai nilai kerapatan sebesar 10 – 535 individu/ m2. Jenis lamun

H. uninervis sebesar 5 – 463 individu/ m2, jenis lamun H. pinifolia sebesar 11 –

356 individu/ m2, jenis lamun C. rotundata sebesar 6 – 305 individu/ m

2, jenis

lamun T. hemprichii sebesar 10 – 236 individu/ m2, jenis lamun E. acroides

sebesar 21 – 128 individu/ m2. Sedangkan jenis lamun C. serrulata hanya

ditemukan pada stasiun 4 dengan nilai kerapatan sebesar 8 – 15 individu/ m2.

Lamun jenis E. acroides dan H. uninervis ditemukan di Stasiun 1 yakni di

Pantai Mertasari yang di dominasi oleh H. uninervis dengan nilai kerapatan

sebesar 158 - 238 individu/ m2. Di stasiun ini terlihat jenis E. acroides dengan

nilai kerapatan sebesar 0 – 21 individu/ m2 membentuk kelompok-kelompok kecil

dan jarang. Pantai Mertasari memiliki tipe substrat adalah tekstur pasir, campuran

pasir dan pecahan karang (rubble) dan padang lamun yang ada di lokasi ini cukup

luas ke arah laut. Lebar pertumbuhan lamun pada laguna di stasiun ini mencapai

750 meter dimana lamun tumbuh mulai jarak 0 meter dari garis air surut rendah.

Di stasiun 2 yakni di Pantai Semawang I (bagian selatan) ditemukan 2

jenis lamun yaitu E. acroides (nilai kerapatan sebesar 78 - 128 individu/ m2) dan

T. hemprichii (nilai kerapatan sebesar 0 - 236 individu/ m2). Tipe substrat dasar

perairan di lokasi ini adalah pasir dengan campuran pasir dan pecahan karang.

Page 78: simpanan karbon padang lamun di kawasan pantai sanur, kota

59

Lebar pertumbuhan lamun pada laguna Pantai Semawang mencapai 800 meter

dimana lamun tumbuh mulai dari jarak 100 meter dari garis air surut rendah.

Di stasiun 3 yakni di Pantai Semawang II (bagian utara), hanya jenis

lamun E. acroides yang ditemukan yakni dengan nilai kerapatan sebesar 62 - 128

individu/ m2. Tipe substrat dasar perairan didominasi oleh tesktur pasir.

Di stasiun 4 yakni di Pantai Indah ditemukan 4 jenis lamun yakni E.

acroides, T. hemprichii, H. uninervis dan jenis C. serrulata dengan total individu

setelah di rata-rata dari 3 kuadran sebesar 104 individu/ m2 yang didominasi oleh

E. acroides. Tipe substrat dasar di stasiun 4 ini adalah tekstur pasir.

Stasiun 5 terletak di sekitar Pantai Sindhu dan merupakan stasiun yang

terbanyak jenis lamun ditemukan yakni berjumlah 5 jenis yaitu H. uninervis

dengan nilai kerapatan berkisar 5 – 306 individu/ m2 dan merupakan jenis yang

paling mendominasi di stasiun ini. Kemudian diikuti oleh jenis S. isoetifolium

(15 - 456 individu/ m2), H. ovalis (0 – 309 individu/ m

2) , T. hemprichii (0 – 169

individu/ m2) dan jenis yang paling jarang ditemukan adalah E. acroides (0 – 27

individu/ m2). Tipe substrat dasar di stasiun 5 ini adalah didominasi tekstur pasir.

Stasiun 6 yakni di pantai yang berada di depan Hotel Inna Grand Bali

Beach dimana lebar padang lamun sekitar 180 m mulai garis air surut rendah ke

arah laut. Di stasiun ini ditemukan 4 jenis lamun yaitu H. uninervis, C. rotundata,

H. pinifolia dan H. ovalis. Jenis yang mendominasi adalah H. uninervis dengan

nilai kerapatan berkisar 299 – 463 individu/ m2 diikuti oleh H. pinifolia sebesar

11- 294 individu/m2. Kemudian diikuti oleh H. ovalis (29 – 535 individu/ m

2) dan

yang paling sedikit ditemukan yakni jenis C. rotundata (6 – 305 individu/ m2).

Page 79: simpanan karbon padang lamun di kawasan pantai sanur, kota

60

Tipe substrat perairan yakni berupa pasir, campuran pasir dan pecahan karang

(rubble).

Stasiun 7 dan 8 terletak di Pantai Sanur yang merupakan salah satu pantai

utama di kawasan Pantai Sanur ini. Di stasiun ini banyak sekali kegiatan manusia

seperti berenang, bermain di pantai, bermain kano, berjemur, tambatan perahu-

perahu kecil untuk wisatawan dan juga sebagai alur dan tambatan bagi kapal

speedboat yang mengangkut penumpang dari Sanur menuju Nusa Lembongan dan

Nusa Penida. Tipe substrat perairan yakni berupa pasir, campuran pasir dan

pecahan karang (rubble).

Di stasiun 7 ditemukan 4 jenis lamun dan yang mendominasi yaitu jenis H.

ovalis dengan nilai kerapatan berkisar sebesar 0 – 438 individu/ m2

diikuti oleh

jenis H. pinifolia (30 – 356 individu) C. rotundata (16 – 197 individu/ m2) dan E.

acroides (0 – 101 individu/ m2).

Di stasiun 8 ditemukan 4 jenis lamun dan yang mendominasi yakni S.

isoetifolium dengan nilai kerapatan berkisar 199 – 545 individu/ m2, diikuti oleh

H. uninervis (33 – 120 individu/ m2), H. ovalis (10 – 150 individu/ m

2) dan yang

paling sedikit ditemukan yakni jenis C. rotundata (0 – 71 individu/ m2). Semua

jenis lamun umumnya dapat hidup pada semua jenis substrat, tetapi setiap jenis

lamun mempunyai karakter tersendiri terhadap lingkungan hidupnya.

Keadaan padang lamun di Pantai Sanur pada masing-masing stasiun dapat

disajikan pada Gambar 5.3 - 5.10 sebagai berikut:

Page 80: simpanan karbon padang lamun di kawasan pantai sanur, kota

61

Gambar 5.3

Hamparan Padang Lamun di Pantai Mertasari (Stasiun 1)

Gambar 5.4

Hamparan Padang Lamun di Pantai Semawang (Stasiun 2)

Gambar 5.5

Hamparan padang lamun di Pantai Semawang 2 (Stasiun 3)

Page 81: simpanan karbon padang lamun di kawasan pantai sanur, kota

62

Gambar 5.6

Hamparan Padang Lamun di Pantai Indah (Stasiun 4)

Gambar 5.7

Hamparan Padang Lamun di Pantai Sindhu (Stasiun 5)

Gambar 5.8

Hamparan Padang Lamun di Pantai Inna Grand Bali Beach (Stasiun 6)

Page 82: simpanan karbon padang lamun di kawasan pantai sanur, kota

63

Gambar 5.9

Hamparan Padang Lamun di Pantai Sanur 2 (Stasiun 7)

Gambar 5.10

Hamparan Padang Lamun di Pantai Sanur 1 (Stasiun 8)

Analisis kelompok (kluster) dilakukan untuk mengelompokan objek-objek

(lamun) berdasarkan karakteristik yang dimilikinya agar data yang terdapat di

dalam kelompok yang sama relatif lebih homogen dari pada data yang berada

pada kelompok yang berbeda dan dapat disajikan pada Gambar 5.11 sebagai

berikut:

Page 83: simpanan karbon padang lamun di kawasan pantai sanur, kota

64

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 120

Jarak Euclidean (Dlink/Dmax)*100

Stasiun 6

Stasiun 8

Stasiun 5

Stasiun 7

Stasiun 4

Stasiun 3

Stasiun 2

Stasiun 1

Gambar 5.11

Dendogram Pengelompokan Stasiun Berdasarkan Kerapatan

Berdasarkan analisis kelompok yang dilakukan terlihat bahwa dari

keseluruhan stasiun pengamatan (delapan stasiun) berdasarkan tingkat

kesamaannya dapat dikelompokkan menjadi lima kelompok yang memiliki

kesamaan habitat. Komponen yang digunakan dalam pengelompokkan ini adalah

jenis lamun yang ditemukan dan jumlah kerapatan jenis lamun pada tiap transek.

Urutan pengelompokan kerapatan lamun secara berurutan sebagai berikut :

Kelompok 1 terdiri dari stasiun 1, 2, 3 dan stasiun 4. Kelompok 2 (stasiun 7),

kelompok 3 (stasiun 5), Kelompok 4 (stasiun 8) dan kelompok 5 (stasiun 6).

Kelompok I (Stasiun 1, 2, 3 dan 4) mempunyai tingkat kesamaan paling

tinggi yang berarti bahwa struktur komunitas lamun pada masing-masing stasiun

tersebut hampir sama dilihat dari jenis lamun yang ditemukan dan jumlah

kerapatan jenis lamun dibandingkan dengan stasiun lainnya. Pengelompokan

tersebut dapat dikonfirmasi pada hasil analisis kluster karena pada kelompok

Page 84: simpanan karbon padang lamun di kawasan pantai sanur, kota

65

lainnya (stasiun lainnya) pada semua periode sampling membentuk kelompok

sendiri yang mempunyai komunitas yang berbeda baik jenis maupun kerapatan

lamun dari stasiun lainnya.

5.1.1.2 Frekuensi Kemunculan Lamun

Frekuensi kemunculan jenis lamun terhadap masing-masing stasiun dapat

disajikan pada Gambar 5.12 sebagai berikut:

Gambar 5.12

Grafik Frekuensi Kemunculan Jenis Lamun

Page 85: simpanan karbon padang lamun di kawasan pantai sanur, kota

66

Frekuensi kemunculan jenis lamun pada masing-masing stasiun memiliki

nilai yang berbeda-beda. Kuantifikasi sebaran lamun tercermin dari nilai frekuensi

masing-masing jenis lamun yang dihitung dari semua transek kuadrat pada setiap

stasiun. Pada stasiun 1 dan 5 terlihat hanya jenis lamun H. uninervis mempunyai

nilai frekuensi kemunculan yang paling tinggi sebesar 100% yang ditemukan pada

setiap transek kuadran (kuadran a, b dan c) pada masing-masing stasiun. Di

stasiun 8 nilai frekuensi kemunculan yang relatif tinggi juga ditemukan pada jenis

H. uninervis dan S. isoetifolium sebesar 100%. Pada stasiun 3 jenis E. acroides

memiliki frekuensi kemunculan yang tinggi dan hanya jenis ini saja yang

ditemukan pada stasiun ini. Jenis E. acroides juga memiliki nilai frekuensi

kemunculan yang tinggi bersamaan dengan jenis C. serrulata pada stasiun 4. Di

stasiun 6 dan 7 jenis C. rotundata dan H. pinifolia memiliki nilai frekuensi

kemunculan yang tinggi sedangkan pada stasiun 7 hanya jenis C. rotundata yang

memiliki nilai frekuensi kemunculan yang tinggi. Di stasiun 2 tidak ditemukan

jenis lamun yang memiliki nilai frekuensi kemunculan yang tinggi, di stasiun ini

hanya ditemukan jenis E. acroides dengan nilai frekuensi kemunculan sebesar

67% dan jenis T. hemprichii sebesar 33%.

Nilai total frekuensi kemunculan jenis lamun di seluruh titik transek

didapatkan jenis H. uninervis yang memiliki nilai frekuensi tertinggi sebesar 50 %

dari keseluruhan transek diikuti oleh jenis E. acroides sebesar 46%, C. rotundata

sebesar 29%, H. ovalis sebesar 25%, H. pinifolia sebesar 21%, S. isoetifolium

sebesar 21% dan nilai frekuensi kemunculan yang terkecil yakni jenis C. serrulata

Page 86: simpanan karbon padang lamun di kawasan pantai sanur, kota

67

sebesar 12,5%. Kehadiran lamun di suatu lokasi sangat berkaitan dengan ruang

dan tipe substrat dasar.

5.1.3 Biomassa Lamun

Biomassa lamun dibagi menjadi dua kategori yaitu biomassa di atas

permukaan substrat (above ground biomass) dan bawah permukaan substrat

(below ground biomass). Pada penelitian ini, pengukuran biomassa di atas

permukaan (substrat) terdiri dari bagian daun lamun, sedangkan bagian biomassa

di bawah substrat terdiri dari bagian rhizoma dan akar. Data hasil pengukuran

biomassa lamun yang telah dirata-rata dari tiga kali pencuplikan sampel dalam

satu transek dan telah dikalkulasi dari ukuran gram berat kering per (kuadran) 20

x 20 cm menjadi gram berat kering permeter persegi disajikan pada Tabel 5.3

berikut:

Page 87: simpanan karbon padang lamun di kawasan pantai sanur, kota

68

Tabel 5.3

Biomassa Lamun Perjaringan di Lokasi Penelitian

Stasiun

Transek

Kuadrat

(1x1 m)

Biomassa perjaringan

(gbk/m2)

Total Biomassa perjaringan

(gbk/ m2)

Akar

Daun

Rizoma Bawah Atas Total

Substrat Substrat Keseluruhan

1 A 8.5 28.08 29.08 37.58 28.08 65.67

B 17.25 31.50 46.00 63.25 31.50 94.75

C 20.33 22.58 31.25 51.58 22.58 74.17

2 A 37.58 60.5 86.25 123.83 60.5 184.33

B 22.08 36.75 95.08 117.17 36.75 153.92

C 52.42 64.08 88.58 141 64.08 205.08

3 A 59.33 56.5 86.33 145.67 56.5 202.17

B 54.33 57.17 33.67 88 57.17 145.17

C 75.08 54.58 28.83 103.92 54.58 158.5

4 A 18.42 25.17 45.75 64.17 25.17 89.33

B 36.33 69.17 15.08 51.42 69.17 120.58

C 89.75 97.17 48.08 137.83 97.17 235

5 A 14.25 39 16.42 30.67 39 69.67

B 15.67 69.67 8.42 24.08 69.67 93.75

C 12 32.08 17 29 32.08 61.08

6 A 3.42 16.42 6.5 9.92 16.42 26.33

B 9.75 36 23.42 33.17 36 69.17

C 10.42 38.67 32.75 43.17 38.67 81.83

7 A 35.75 51.42 29.75 65.5 51.42 116.92

B 8.67 35.83 39.92 48.58 35.83 84.42

C 9.75 42.75 11.58 21.33 42.75 64.08

8 A 7.25 30.42 62.42 69.67 30.42 100.08

B 16 31 27.58 43.58 31 74.58

C 15.33 37.75 47.67 63 37.75 100.75

Page 88: simpanan karbon padang lamun di kawasan pantai sanur, kota

69

Sebaran biomassa lamun dan persentase biomassa lamun bagian atas dan bagian

bawah substrat pada masing-masing transek (delapan stasiun) dapat disajikan

pada Gambar 5.13 dan Gambar 5.14 sebagai berikut:

Gambar 5.13

Grafik Sebaran Biomassa Lamun

Gambar 5.14

Grafik Persentase Biomassa Lamun

0,00

20,00

40,00

60,00

80,00

100,00

120,00

140,00

160,00

1A 1B 1C 2A 2B 2C 3A 3B 3C 4A 4B 4C 5A 5B 5C 6A 6B 6C 7A 7B 7C 8A 8B 8C

biomassa diatas substrat Biomassa dibawah substrat

Stasiun

Biomassa (gbk/ m2)

Biomassa di bawah substrat Biomassa di atas substrat

57

,23

66

,75

69

,55

67

,18

76

,12

68

,75

72

,05

60

,62

65

,56

71

,83

42

,64

58

,65

44

,02

25

,69

47

,48

37

,66

47

,95

52

,75

56

,02

57

,55

33

,29

69

,61

58

,44

62

,53

42

,77

33

,35

30

,45

32

,82

23

,88

31

,25

27

,95

39

,38

34

,44

28

,17

57

,36

41

,35

55

,98

74

,31

52

,52

62

,34

52

,05

47

,25

43

,98

42

,45

66

,71

30

,39

41

,56

37

,47

0%

10%

20%

30%

40%

50%

60%

70%

80%

90%

100%

1A 1B 1C 2A 2B 2C 3A 3B 3C 4A 4B 4C 5A 5B 5C 6A 6B 6C 7A 7B 7C 8A 8B 8C

Biomassa dibawah substrat Biomassa diatas substrat

Biomassa (%)

Stasiun Biomassa di atas substrat Biomassa di bawah substrat

Page 89: simpanan karbon padang lamun di kawasan pantai sanur, kota

70

Biomassa lamun di Pantai Sanur menunjukkan bahwa nilai biomassa yang

diperoleh umumnya didominasi oleh jenis yang berukuran besar misalnya jenis E.

acroides dan T. Hemprichii meskipun nilai kerapatan masing-masing jenis ini

tidak sebanyak jenis H. uninervis, H. pinifolia, H. ovalis dan S. isoetifolium yang

berukuran kecil. Nilai total biomassa lamun perkuadran (m2) yang diperoleh dari 8

stasiun yang terbagi atas 24 kuadran (1mx1m) berkisar 26,33 – 235 gram berat

kering (gbk)/ m2 yang terdiri dari total biomassa diatas substrat (daun) sebesar

16,08 – 97,17 gbk/ m2 dan total biomassa di bawah substrat (akar dan rhizoma)

sebesar 9,92 – 145,67 gbk/ m2.

Nilai total biomassa (bagian atas substrat dan bawah substrat) yang

tertinggi ditemukan pada stasiun 4 di kuadran C sebesar 235 gbk/ m2 yang

didominasi oleh lamun jenis Enhalus acroides setelah itu diikuti oleh stasiun 2 di

kuadran C sebesar 205,8 gbk/ m2 yang hanya didominasi oleh jenis E. acroides.

Nilai total biomassa terkecil ditemukan pada stasiun 6 di kudran A sebesar 26,33

gbk/ m2 yang didominasi oleh lamun jenis H. ovalis dan H. pinifolia diikuti oleh

stasiun 1 Kuadran B sebesar 42,92 gbk/ m2 yang didominasi oleh jenis H.

uninervis.

Untuk total biomassa di bawah substrat (bagian akar dan rhizoma)

tertinggi ditemukan di stasiun 3 pada kuadran b sebesar 145,67 gbk/ m2

yang

didominasi oleh jenis E. acroides sedangkan biomassa di bawah substrat terkecil

ditemukan pada stasiun 1 kuadran b sebesar 26,83 gbk/ m2 yang didominasi oleh

H. uninervis. Untuk total biomassa di atas substrat (bagian daun) tertinggi

ditemukan pada stasiun 4 kuadran c sebesar 97,17 gbk/ m2 yang juga didominasi

Page 90: simpanan karbon padang lamun di kawasan pantai sanur, kota

71

39,84

60,16

Biomassa diatas substrat

Biomassa dibawah substrat

oleh jenis E. acroides sedangkan biomassa di atas substrat terkecil ditemukan

pada stasiun 1 kuadran B sebesar 16,08 gbk/ m2 yang didominasi oleh jenis H.

uninervis. Persentase keseluruhan biomassa lamun dapat dilihat pada Gambar

5.15 sebagai berikut:

Gambar 5.15

Persentase Keseluruhan Biomasa Lamun

Persentase keseluruhan biomassa di bagian atas substrat pada semua lokasi

stasiun sebesar 39,84% sedangkan biomassa dibagian bawah substrat berkisar

sebesar 60,16%. Secara umum pada penelitian ini nilai biomassa di bawah

substrat lebih tinggi dibandingkan nilai biomassa di atas substrat.

Distribusi biomassa lamun di atas substrat dan di bawah substrat yang

relatif tinggi ditemukan yakni terdapat pada stasiun 2 (Pantai Semawang I), 3

(Pantai Semawang II) dan 4 (Pantai Indah) yang didominasi oleh jenis E.

acroides. Hal ini sangat berkaitan dengan kerapatan lamun dari jenis berukuran

besar (E. acroides dan T. Hemprichii) pada ketiga stasiun (2, 3 dan 4) dan

sebaliknya pada stasiun lainnya didominasi oleh jenis berukuran kecil (H.

Page 91: simpanan karbon padang lamun di kawasan pantai sanur, kota

72

pinifolia, H. uninervis, H. ovalis dan S. isoetifolium) meskipun dengan kerapatan

yang lebih tinggi.

5.2 Parameter Lingkungan Kawasan Pantai Sanur

Karakteristik parameter lingkungan (fisika-kimia) pada suatu habitat

perairan akan sangat mempengaruhi struktur komunitas padang lamun di perairan.

Pengukuran parameter lingkungan dilaksanakan untuk mengetahui kondisi lamun

pada saat itu dan diukur bersamaan dengan identifikasi lamun serta dilakukan

pada saat perairan dalam kondisi pertengahan menuju pasang pada semua titik

pengamatan. Hasil dari pengukuran rata-rata parameter lingkungan di Pantai

Sanur disajikan pada Tabel 5.4 sebagai berikut:

Tabel 5.4

Hasil Pengukuran Parameter Lingkungan di Pantai Sanur

Stasiun

Rata-Rata Hasil Pengukuran

Ph Salinitas o/oo) DO (mg/L) Suhu (°C) Kec. Arus(m/det)

1 7.22 33.77 6.40 29.23 0.086

2 7.60 33.40 6.52 29.20 0.106

3 7.05 33.53 7.60 29.60 0.170

4 7.19 34.70 6.69 30.13 0.117

5 7.00 33.87 7.70 28.97 0.135

6 7.07 33.87 6.94 29.57 0.262

7 7.06 34.23 6.63 29.53 0.314

8 7.20 33.83 7.22 29.70 0.320

Kisaran

Optimum 7,5 – 8,5* 24 – 35

o/oo

* > 5 mg/l * 28 -30°* 0,05 – 1,00

m/ det** Ket : * = Kisaran optimum berdasarkan Kep Men LH No. 51 Th 2004

** = Kisaran optimum berdasarkan Koch (2001)

Sumber: Hasil Pengukuran di Lapangan, Tahun 2014

Page 92: simpanan karbon padang lamun di kawasan pantai sanur, kota

73

5.3 Karbon Lamun

5.3.1 Kandungan Karbon Jaringan Lamun

Tumbuhan lamun memiliki kandungan karbon yang menggambarkan

seberapa besar lamun tersebut dapat mengikat CO2 dari udara. Kandungan karbon

dapat diartikan yaitu banyaknya karbon yang mampu diserap oleh tumbuhan

lamun dalam bentuk biomassa. Karbon dalam biomassa tersimpan selama

tumbuhan lamun masih hidup. Karbon tersebut akan menjadi energi untuk proses

fisiologi tanaman dan sebagian masuk kedalam struktur tumbuhan lamun. Stok

karbon yaitu kandungan karbon absolut dalam biomassa pada waktu tertentu

(Apps et al. 2003). Hasil analisis dengan menggunakan metode Walkley dan Black

dan metode pengabuan menghasilkan nilai kandungan karbon perjaringan (akar,

daun dan rhizoma) yang disajikan pada Tabel 5.5 sebagai berikut:

Tabel 5.5

Konsentasri Karbon Jaringan Lamun

Stasiun Konsentrasi Karbon Jaringan Lamun (% dari berat kering)

(Transek Metode Wilkley & Black

Metode Pengabuan

Kuadrat) Akar Daun Rhizoma

Akar Daun Rhizoma

1 B 20.79 16.48 16.32

19.89 16.18 13.79

2 B 24.72 20.63 20.87

28.11 19.04 14.55

3 B 20.73 20.82 16.96

18.04 16.47 10.34

4 B 20.71 20.54 24.85

18.98 16.68 20.90

5 B 24.4 20.49 16.47

24.90 20.24 11.50

6 B 20.86 20.56 16.75

17.47 18.30 12.40

7 B 20.54 16.51 16.18

22.09 16.86 13.26

8 B 24.73 20.55 16.7 23.71 18.79 13.97

Page 93: simpanan karbon padang lamun di kawasan pantai sanur, kota

74

Dari Tabel 5.5 mengenai hasil analisis kandungan karbon di atas dapat

dijelaskan bahwa nilai rata-rata kandungan karbon dalam jaringan lamun dengan

metode Wilkley & Black yakni pada bagian akar sebesar 22,18 %, pada bagian

daun sebesar 19,57 % dan bagian rhizoma sebesar 18,14 %. Dengan metode

pengabuan diperoleh nilai kandungan karbon pada bagian akar sebesar 21,65 %,

pada bagian daun sebesar 17,81 % dan pada bagian rhizoma sebesar 13,84 %.

Estimasi stok karbon dilakukan dengan mengkonversi persentase

kandungan karbon dengan biomassa dari kuadrat b ke kuadrat a dan c pada

masing-masing stasiun (8 stasiun). Hal ini dilakukan berdasarkan prakiraan bahwa

masing-masing kuadrat (a, b dan c) memiliki kondisi lamun yang hampir sama

atau relatif homogen karena jarak yang berdekatan. Nilai kandungan karbon

dengan metode Wilkley & Black yang telah dikonversi ke dalam satu meter

persegi (m2) ke masing-masing transek kuadrat disajikan pada Tabel 5.6 sebagai

berikut:

Page 94: simpanan karbon padang lamun di kawasan pantai sanur, kota

75

Tabel 5.6

Estimasi Kandungan Karbon Lamun dengan Metode Wilkley & Black

Stasiun Kandungan karbon (gC/0,04 m

2) Kandungan karbon (gC/m

2)

Akar Daun Rizoma Akar Daun Rizoma

1 A 0.0707 0.1846 0.1893 1.7672 4.6144 4.7328

1 B 0.1435 0.2076 0.3003 3.5863 5.1912 7.5072

1 C 0.1684 0.1483 0.2040 4.2100 3.7080 5.1000

2 A 0.3708 0.4992 0.7200 9.2700 12.4812 18.0004

2 B 0.2175 0.3033 0.7931 5.4384 7.5815 19.8265

2 C 0.5191 0.5281 0.7388 12.9780 13.2032 18.4700

3 A 0.4913 0.4705 0.5851 12.2825 11.7633 14.6280

3 B 0.4498 0.4768 0.2290 11.2460 11.9195 5.7240

3 C 0.6219 0.4539 0.1950 15.5475 11.3469 4.8760

4 A 0.1533 0.2075 0.4548 3.8314 5.1864 11.3689

4 B 0.3003 0.5690 0.1491 7.5074 14.2240 3.7275

4 C 0.7435 0.7990 0.4771 18.5872 19.9752 11.9280

5 A 0.1391 0.3196 0.1087 3.4770 7.9911 2.7176

5 B 0.1537 0.5717 0.0560 3.8430 14.2918 1.4000

5 C 0.1171 0.2623 0.1120 2.9280 6.5568 2.7999

6 A 0.0292 0.1357 0.0436 0.7301 3.3924 1.0888

6 B 0.0814 0.2412 0.1575 2.0339 6.0300 3.9363

6 C 0.0876 0.3187 0.2194 2.1903 7.9670 5.4856

7 A 0.2937 0.3401 0.1925 7.3431 8.5027 4.8136

7 B 0.0719 0.2361 0.2589 1.7973 5.9023 6.4720

7 C 0.0801 0.2823 0.0744 2.0027 7.0580 1.8607

8 A 0.0717 0.2507 0.4175 1.7929 6.2678 10.4375

8 B 0.1583 0.2548 0.1837 3.9568 6.3705 4.5925

8 C 0.1509 0.3103 0.3190 3.7713 7.7576 7.9743

Page 95: simpanan karbon padang lamun di kawasan pantai sanur, kota

76

Nilai kandungan karbon dengan metode pengabuan yang telah dikonversi

ke dalam satu meter persegi (m2) ke masing-masing transek kuadrat dapat

disajikan pada Tabel 5.7 sebagai berikut:

Tabel 5.7

Estimasi Kandungan Karbon Lamun dengan Metode Pengabuan

Stasiun Kandungan karbon (gC/0,04 m

2) Kandungan karbon (gC/m

2)

Akar Daun Rizoma Akar Daun Rizoma

1 A 0.0676 0.1812 0.1600 1.6906 4.5297 4.0001

1 B 0.1372 0.2039 0.2537 3.4310 5.0967 6.3434

1 C 0.1611 0.1456 0.1724 4.0277 3.6399 4.3105

2 A 0.4216 0.4608 0.5021 10.5409 11.5210 12.5523

2 B 0.2474 0.2799 0.5530 6.1842 6.9983 13.8257

2 C 0.5903 0.4875 0.5152 14.7573 12.1875 12.8797

3 A 0.4275 0.3723 0.3568 10.6884 9.3074 8.9202

3 B 0.3915 0.3772 0.1396 9.7864 9.4310 3.4905

3 C 0.5412 0.3591 0.1189 13.5296 8.9780 2.9734

4 A 0.1404 0.1684 0.3825 3.5111 4.2108 9.5613

4 B 0.2752 0.4619 0.1254 6.8799 11.5484 3.1349

4 C 0.6814 0.6487 0.4013 17.0338 16.2177 10.0316

5 A 0.1419 0.3158 0.0759 3.5476 7.8950 1.8979

5 B 0.1568 0.5648 0.0391 3.9211 14.1199 0.9777

5 C 0.1195 0.2591 0.0782 2.9875 6.4780 1.9554

6 A 0.0245 0.1208 0.0322 0.6113 3.0196 0.8057

6 B 0.0681 0.2635 0.1165 1.7029 6.5882 2.9130

6 C 0.0734 0.2837 0.1624 1.8338 7.0914 4.0596

7 A 0.3159 0.3472 0.1578 7.8986 8.6809 3.9448

7 B 0.0773 0.2410 0.2122 1.9332 6.0261 5.3039

7 C 0.0862 0.2882 0.0610 2.1542 7.2060 1.5249

8 A 0.0688 0.2292 0.3493 1.7191 5.7302 8.7333

8 B 0.1518 0.2330 0.1537 3.7940 5.8242 3.8427

8 C 0.1446 0.2837 0.2669 3.6161 7.0924 6.6723

Page 96: simpanan karbon padang lamun di kawasan pantai sanur, kota

77

Setelah diketahui nilai hasil konversi kandungan karbon dengan metode

Wilkley & Black dan metode pengabuan ke dalam satu meter persegi (m2) pada

masing-masing jaringan lamun (akar, daun dan rhizoma) pada setiap masing-

masing transek kuadrat, kemudian dilakukan rata-rata kandungan karbon lamun

dari dua metode tersebut yang terdiri dari kandungan karbon lamun bagian atas

substrat (daun) dan kandungan karbon lamun bagian bawah substrat (akar dan

rhizoma). Hasil rata-rata inilah yang digunakan sebagai nilai stok kandungan

karbon lamun. Adapun grafik rerata dari stok karbon lamun dapat disajikan pada

Gambar 5.16 sebagai berikut:

Gambar 5.16

Rata-rata stok karbon Lamun pada masing-masing transek

Nilai rerata kandungan karbon tersebut dapat disajikan pada Tabel 5.8

sebagai berikut:

0

5

10

15

20

25

30

A B C A B C A B C A B C A B C A B C A B C A B C

Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4 Stasiun 5 Stasiun 6 Stasiun 7 Stasiun 8

Atas Substrat Bawah Substrat

Rerata Kandungan Karbon (gC/m

2)

Page 97: simpanan karbon padang lamun di kawasan pantai sanur, kota

78

Tabel 5.8

Rerata Nilai Kandungan Karbon Lamun

Metode Wilkley

& Black

Metode

Pengabuan

Rerata dari metode

Wilkley & Black

Stasiun (gC/m2) (gC/m

2) Dan Pengabuan (gC/m

2)

Bawah Atas Bawah Atas Bawah Atas Rerata

Substrat Substrat Substrat Substrat Substrat Substrat Total

1 A 6.5000 4.6144 5.6907 4.5297 6.0953 4.6144 10.7097

1 B 11.0935 5.1912 9.7744 5.0967 10.4339 5.1440 15.5779

1 C 9.3100 3.7080 8.3382 3.6399 8.8241 3.6740 12.4980

2 A 27.2704 12.4812 23.0932 11.5210 25.1818 12.0011 37.1828

2 B 25.2649 7.5815 20.0099 6.9983 22.6374 7.2899 29.9273

2 C 31.4480 13.2032 27.6370 12.1875 29.5425 12.6953 42.2378

3 A 26.9105 11.7633 19.6085 9.3074 23.2595 10.5354 33.7949

3 B 16.9700 11.9195 13.2769 9.4310 15.1235 10.6752 25.7987

3 C 20.4235 11.3469 16.5030 8.9780 18.4632 10.1624 28.6257

4 A 15.2002 5.1864 13.0725 4.2108 14.1363 4.6986 18.8349

4 B 11.2349 14.2240 10.0148 11.5484 10.6248 12.8862 23.5110

4 C 30.5152 19.9752 27.0653 16.2177 28.7903 18.0964 46.8867

5 A 6.1946 7.9911 5.4455 7.8950 5.8200 7.9431 13.7631

5 B 5.2430 14.2918 4.8988 14.1199 5.0709 14.2058 19.2767

5 C 5.7279 6.5568 4.9429 6.4780 5.3354 6.5174 11.8528

6 A 1.8189 3.3924 1.4170 3.0196 1.6179 3.2060 4.8239

6 B 5.9701 6.0300 4.6158 6.5882 5.2930 6.3091 11.6020

6 C 7.6759 7.9670 5.8934 7.0914 6.7847 7.5292 14.3139

7 A 12.1566 8.5027 11.8434 8.6809 12.0000 8.5918 20.5918

7 B 8.2693 5.9023 7.2372 6.0261 7.7532 5.9642 13.7174

7 C 3.8634 7.0580 3.6790 7.2060 3.7712 7.1320 10.9032

8 A 12.2304 6.2678 10.4525 5.7302 11.3414 5.9990 17.3404

8 B 8.5493 6.3705 7.6366 5.8242 8.0930 6.0973 14.1903

8 C 11.7456 7.7576 10.2884 7.0924 11.0170 7.4250 18.4420

Page 98: simpanan karbon padang lamun di kawasan pantai sanur, kota

79

Berdasarkan Tabel 5.8, nilai kandungan karbon lamun yang dipakai untuk

stok karbon lamun yaitu nilai hasil rata-rata dari dua metode yang telah

digunakan. Hasil uji Mann-Whitney tidak menunjukkan adanya perbedaan nyata

antara metode pengabuan dan metode Walkley & Black. Hal ini dibuktikan oleh

nilai signifikansi p-value karbon bagian atas substrat antara metode pengabuan

dengan metode Walkley & Black sebesar 0.564 (P>0.05) dan karbon bagian

bawah substrat sebesar 0.375 (P>0.05) sehingga tidak terdapat perbedaan nyata

nilai kandungan karbon dari dua metode tersebut.

Grafik stok karbon lamun (Gambar 5.16) menunjukkan perbedaan besaran

kandungan karbon yang tersimpan pada bagian di atas substrat dan di bawah

substrat dari tumbuhan lamun pada setiap titik stasiun pengamatan. Secara umum

kandungan karbon di bawah substrat lebih tinggi dibandingkan dengan kandungan

karbon di atas substrat.

Nilai kandungan karbon di bawah substrat berkisar antara 1,62 – 29,54

gC/m2. Nilai tertinggi ditemukan di stasiun 2C (kuadran c) yakni di Pantai

Semawang I sebesar 29,54 gC/m2

yang didominasi oleh jenis Enhalus Acroides

diikuti oleh stasiun 4C (Pantai Indah) sebesar 28,79 gC/m2

yang juga didominasi

oleh jenis E. Acroides. Sedangkan nilai kandungan karbon di bawah substrat

terkecil ditemukan di stasiun 6A (Pantai Inna Grand Bali) sebesar 1,61 gC/m2

yang didominasi oleh jenis H. ovalis dan H. pinifolia. Diikuti oleh stasiun 7C

(Pantai Sanur II) sebesar 3,77 gC/m2

yang didominasi oleh H. ovalis.

Nilai kandungan karbon di atas substrat berkisar antara 3,21 – 18,10

gC/m2. Nilai tertinggi ditemukan di stasiun 4C (Pantai Indah) sebesar 18,10 gC/m

Page 99: simpanan karbon padang lamun di kawasan pantai sanur, kota

80

yang didominasi oleh jenis E. acroides. Diikuti oleh stasiun 5B (Pantai Sindhu)

sebesar 14,20 gC/m2

yang didominasi oleh T. hemprichii. Sedangkan nilai

kandungan karbon di atas substrat terkecil ditemukan di stasiun 6A (Pantai Inna

Grand Bali) sebesar 3,21 gC/m2

yang didominasi oleh H. ovalis dan H. pinifolia.

Diikuti oleh stasiun 1C (Pantai Mertasari) sebesar 3,67 gC/m2 yang didominasi

oleh jenis H. uninervis.

Secara keseluruhan, total nilai stok kandungan karbon bagian atas substrat

dan bawah substrat tertinggi per stasiun ditemukan di Pantai Semawang 1 dengan

total kandungan karbon per kuadrat a,b dan c sebesar 109,35 gC dengan dominasi

jenis lamun E. acroides dan T. hemprichii. Nilai stok kandungan karbon terkecil

ditemukan di Pantai Inna Grand Bali Beach (total kandungan karbon per kuadrat

a,b dan c sebesar 30,74 gC) dengan dominasi jenis lamun H. uninervis dan H.

pinifolia.

Dari hasil analisis nilai kandungan karbon tersebut, maka diketahui nilai

stok karbon tertinggi dimiliki oleh jenis lamun E. acroides baik di bagian atas

substrat maupun pada bagian bawah subtratnya. Nilai stok karbon terkecil dimiliki

oleh jenis H. ovalis dan H. uninervis.

Berdasarkan data hasil stok karbon yang telah didapatkan pada masing-

masing transek, dibuat 5 kategori kelas stok karbon untuk memudahkan analisis

dan pendistribusian secara spasial. Kategori kelas stok karbon lamun dapat

disajikan pada Tabel 5.9 sebagai berikut:

Page 100: simpanan karbon padang lamun di kawasan pantai sanur, kota

81

Tabel 5.9

Kategori Kelas Ukuran Karbon

Karegori Stok Karbon (gC/m2)

Kelas Atas Substrat Bawah Substrat Total

1 < 5 < 5 < 10

2 5 - 10 5 - 10 10 - 20

3 10 - 15 10 - 15 20 - 30

4 15 - 20 15 - 20 30 - 40

5 > 20 > 20 > 40

Hasil pengkategorian kelas karbon lamun tersebut yaitu berupa peta

distribusi sebaran nilai stok karbon yang terdapat pada bagian atas substrat dan

bagian bawah subtrat yang dapat dilihat pada Gambar 5.17 dan Gambar 5.18. Peta

distribusi stok karbon dan perhitungan masing-masing luas kategori stok karbon

dilakukan dengan menggunakan software Arcgis 10.1 yaitu sebagai berikut:

Page 101: simpanan karbon padang lamun di kawasan pantai sanur, kota

82

Gambar 5.17

Peta Sebaran Stok Karbon Lamun Bagian Atas Substrat di Kawasan

Pantai Sanur

Page 102: simpanan karbon padang lamun di kawasan pantai sanur, kota

83

Gambar 5.18

Peta Sebaran Stok Karbon Lamun Bagian Bawah Substrat di Kawasan

Pantai Sanur

Page 103: simpanan karbon padang lamun di kawasan pantai sanur, kota

84

Berdasarkan peta stok karbon bagian atas substrat (Gambar 5.17), luas

kelas stok karbon atas substrat tertinggi ditemukan pada kelas 2 (5,01 – 10,00

gC/m2) sebesar 171,5 Ha atau 53,27 % dari luas keseluruhan padang lamun.

Kemudian berturut-turut diikuti oleh kelas 3 (10,01 – 15,00 gC/m2) sebesar 136,6

atau 42,44 %, kelas 1 (< 5,00 gC/m2) sebesar 13,18 Ha atau 4,09 %, dan luas

terkecil yakni pada kelas 4 (15,01 - 20,00 gC/m2) sebesar 0,65 Ha atau 0,20 %

dari luas keseluruhan padang lamun di kawasan Pantai Sanur. Stok karbon di atas

substrat untuk kategori kelas 5 (>20,01 gC/m2) tidak ditemukan karena kandungan

karbon di atas substrat tidak melebihi nilai 20,01 gC/m2. Dari keseluruhan

kategori kelas stok karbon lamun di atas substrat, terlihat bahwa kategori kelas

yang mendominasi yakni kelas 2 yang mempunyai nilai kisaran stok karbon

sebesar 05,01 – 10,00 gC/m2 yang melebihi setengah dari luas total padang lamun

yang ada.

Untuk luas kategori stok karbon lamun bagian bawah substrat (Gambar

5.18) tertinggi ditemukan pada kelas 4 (15,01 - 20,00 gC/m2) sebesar 106,1 Ha

atau sebesar 32,94 %. Kemudian berturut-turut diikuti oleh kelas 5 ( >20,00

gC/m2) sebesar 95 Ha atau 29,51 %, kelas 2 (05,01 – 10,00 gC/m

2) sebesar 61,2

Ha atau 19,01 %, kelas 3 (10,01 – 15,00 gC/m2) sebesar 56,1 Ha atau 17,42 % dan

luas terkecil yakni kelas 1 (< 05,00 gC/m2) sebesar 3,6 Ha atau 1,12 %. Dari

keseluruhan kategori kelas stok karbon lamun di bawah substrat, terlihat bahwa

kategori kelas yang mendominasi yakni kelas 4 dengan nilai kisaran stok karbon

sebesar 15,01 - 20,00 gC/m2 dan distribusi masing-masing kategori kelas lainnya

Page 104: simpanan karbon padang lamun di kawasan pantai sanur, kota

85

yakni kelas 2, kelas 4 dan kelas 5 tidak terpaut terlalu jauh, sedangkan distribusi

kelas 1 terlihat sangat sedikit.

5.3.2 Total Penyimpanan Stok Karbon

Total stok karbon diperoleh dengan menggabungkan nilai kandungan

karbon bagian atas substrat dan bagian bawah substrat dari tumbuhan lamun (yang

tertera pada Tabel 5.8) pada masing-masing transek. Grafik total stok karbon

lamun di Pantai Sanur dapat disajikan pada Gambar 5.19 sebagai berikut:

Gambar 5.19

Total Stok Karbon Lamun pada masing-masing Transek

Rata-rata total stok karbon lamun bagian atas dan bawah substrat dari

semua transek yakni sebesar 20,05 gC/m2 dengan kisaran antara 4.82 - 46.89

gC/m2. Stok karbon tertinggi ditemukan pada stasiun 4C (Pantai Indah) sebesar

46.89 gC/m2 yang didominasi oleh jenis lamun Enhalus Acroides dan terkecil

ditemukan di stasiun 6A (Pantai Inna Grand Bali) sebesar 4.82 gC/m2 yang

didominasi oleh jenis lamun H. ovalis. Peta distribusi total stok karbon lamun

0

5

10

15

20

25

30

35

40

45

50

A B C A B C A B C A B C A B C A B C A B C A B C

Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4 Stasiun 5 Stasiun 6 Stasiun 7 Stasiun 8Total Stok Karbon Lamun Karbon(Bagian Atas dan Bawah Substrat)

Kandungan Karbon (gC/m2)

Page 105: simpanan karbon padang lamun di kawasan pantai sanur, kota

86

di Pantai Sanur dapat dilihat pada peta (Gambar 5.20) sebagai berikut:

Gambar 5.20

Peta Total Sebaran Stok Karbon Lamun di Kawasan Pantai Sanur

Page 106: simpanan karbon padang lamun di kawasan pantai sanur, kota

87

Semakin tinggi nilai biomassa maka nilai kandungan karbon yang

terkandung di dalam biomassa pun semakin tinggi (Wardah, 2009). Hal ini sesuai

dengan hasil biomassa dalam penelitian ini yang berbanding lurus dengan nilai

kandungan karbon.

Berdasarkan peta di atas dan sesuai dengan luas total padang lamun

sebesar 322 Ha maka pembagian masing-masing luas kelas stok karbon yakni

kelas total stok karbon lamun tertinggi ditemukan pada kelas 3 (20,01 – 30,00

gC/m2) sebesar 119,14 Ha atau 37 % dari luas keseluruhan padang lamun.

Kemudian diikuti oleh kelas 2 (10,01 – 20,00 gC/m2) sebesar 89,58 atau 27,82 %

dan seterusnya oleh kelas 4 (30,01 - 40,00 gC/m2) sebesar 111,04 Ha atau 34,48

%, kelas 1 (< 5,00 gC/m2) sebesar 1,9 Ha atau 0,59 % dan luas terkecil yakni pada

kelas 5 (>40,00 gC/m2) sebesar 0,34 Ha atau 0,11 % dari luas keseluruhan padang

lamun di kawasan Pantai Sanur.

Berdasarkan jenis lamun, pendugaan konstribusi stok karbon terbesar

disumbangkan oleh jenis E. acroides. Konstribusi ini dilihat dari hubungan antara

kerapatan lamun, nilai frekuensi kemunculan, nilai biomassa dan nilai kandungan

karbon yang menjelaskan bahwa hampir semua masing-masing transek yang

ditemukan jenis lamun E. acroides baik yang tunggal (hanya E. acroides) ataupun

campuran yang didominasi oleh E. acroides maka nilai biomassa dan kandungan

karbonnya lebih tinggi daripada transek lain yang ditemukan lamun dengan jenis

lain. Konstribusi stok karbon terkecil disumbangkan oleh jenis C. serrulata yang

berdasarkan hasil identifikasi merupakan jenis yang paling jarang ditemui.

Page 107: simpanan karbon padang lamun di kawasan pantai sanur, kota

88

40%

60%

Karbon atas substrat

Karbon bawah subtrat

Untuk total stok karbon lamun seluruh luasan padang lamun diperoleh

dengan cara hasil rata-rata stok karbon (gC/m2) dikalikan dengan luas seluruh area

padang lamun (m2). Diagram persentase total stok karbon bagian atas substrat dan

bawah substrat dapat dilihat pada Gambar 5.21 sebagai berikut:

Gambar 5.21

Persentase Konstribusi Stok Karbon Lamun Bagian Atas Substrat dan

Bagian Bawah Substrat

Hasil perhitungan total stok karbon lamun dibawah substrat sebesar 39,85

ton karbon atau 60 % lebih besar dibandingkan dengan total stok karbon lamun

diatas substrat yang hanya 40 % (26,75 ton karbon). Untuk total stok karbon

lamun diperoleh total sebesar 66.600.749 gC atau sebesar 66,60 ton karbon.

Sehingga padang lamun yang tumbuh di kawasan Pantai Sanur mempunyai

potensi penyimpanan karbon sebesar 66,60 ton atau setara dengan 0,21 ton/ha

karbon yang terdiri dari bagian lamun diatas substrat dan dibawah substrat.

Sebaran total stok karbon lamun di perairan sebelah selatan (stasiun 1,2,3 dan 4)

lebih besar karena rataan/ lebar lamun yang tumbuh lebih luas sekitar 0 – 820 m

dibandingkan dibagian utara (stasiun 5,6,7 dan 8) sekitar 0 – 180 m dan juga

karena di perairan selatan didominasi oleh jenis lamun E. acroides yang secara

morfologi lebih besar dibandingkan jenis lainnya.

Page 108: simpanan karbon padang lamun di kawasan pantai sanur, kota

89

BAB VI

PEMBAHASAN

6.1 Kondisi Komunitas Lamun di Kawasan Pantai Sanur

6.1.1 Kondisi Komunitas Lamun

Jumlah spesies lamun yang dilaporkan pada penelitian sebelumnya yakni

ditemukan enam jenis lamun (Dewi, 2012) dan tujuh jenis lamun (Arthana, 2004)

di perairan Pantai Sanur, sedangkan di Pantai Nusa Dua (Bali) yang mempunyai

hamparan padang lamun cukup luas setelah Pantai Sanur hanya ditemukan enam

jenis lamun (Suryantara, 2005). Dalam penelitian ini telah ditemukan delapan

jenis lamun di kawasan perairan Pantai Sanur, hal ini dikarenakan peletakan

jumlah stasiun pengamatan lebih luas dari peneltian sebelumnya sehingga peluang

ditemukan jenis lamun di Pantai Sanur lebih tinggi.

Padang lamun pada lokasi penelitian secara umum mempunyai tipe

vegetasi campuran dengan asosiasi H. uninervis, S. isoetifolium, H. ovalis, H.

pinifolia dan diikuti oleh E. acroides. Hemminga dan Duarte (2000),

mengemukakan bahwa karakteristik padang lamun pada daerah tropis dan

subtropis Indo-Pasifik yaitu memiliki keanekaragaman jenis yang tinggi dan

bertipe vegetasi campuran (mixed vegetation).

Secara keseluruhan, jenis tegakan total lamun yang tertinggi ditemukan

pada jenis H. uninervis sebanyak 2.189 individu dari total keseluruhan transek (24

m2) kemudian diikuti oleh jenis S. isoetifolium dengan total 1.660 individu dari

keseluruhan transek. Untuk kemunculan jenis lamun tertinggi pada masing-

masing stasiun di Pantai Sanur ditemukan pada jenis E. acroides dan diikuti oleh

89

Page 109: simpanan karbon padang lamun di kawasan pantai sanur, kota

90

H. Uninervis. Sedangkan kemunculan jenis lamun yang paling jarang yakni jenis

C. Serrulata.

Kemunculan lamun tertinggi ini berkorelasi dengan yang dikemukakan

oleh Arthana (2004) bahwa spesies yang umum dijumpai di Pantai Sanur adalah

jenis E. acroides dan jenis ini memiliki toleransi tertinggi untuk berkembang di

Pantai Sanur. Masih menurut Arthana (2004) yakni lamun jenis E. acroides

memiliki daun yang lebih tebal, lebar dan panjang, sehingga memiliki ruang

fotosintesa yang lebih besar per individunya. Jenis E. acroides bahkan bisa hidup

mulai dari sedimen lumpur terrigenous sampai sedimen kasar karbonat, atau

mulai dari salinitas rendah di dekat muara sungai sampai salinitas yang relatif

tinggi di pulau-pulau yang jauh dari pengaruh muara sungai (Erftemeijer et al.

1993; Waycott et al. 2004) sehingga mempunyai daya saing yang besar dan

ditemukan lebih merata dibandingkan jenis lain di kawasan Pantai Sanur.

Kemunculan tertinggi berikutnya yakni jenis H. Uninervis, jenis lamun ini

banyak ditemukan karena perairan Pantai Sanur berupa laguna yang berbatasan

dengan terumbu karang dimana sebagian terumbu karang mengalami kerusakan

sehingga membentuk substrat pecahan karang dan pada jenis substrat inilah jenis

H. uninervis banyak hidup di Pantai Sanur. Hal ini dapat dilihat pada Stasiun 1,6

dan 8 yang mempunyai tipe substrat pasir dan pecahan karang dimana tumbuh

lamun jenis H. Uninervis dengan jumlah yang banyak, sedangkan pada Stasiun 4

dan 5 yang mempunyai jenis substrat bertekstur pasir juga ditemukan jenis H.

Uninervis. Hal ini terjadi karena H. Uninervis selain hidup di rataan terumbu

karang rusak namun juga dapat hidup pada perairan dengan substrat pasir dengan

Page 110: simpanan karbon padang lamun di kawasan pantai sanur, kota

91

kondisi lingkungan yang mendukung seperti yang dijelaskan oleh Bengen (2004)

bahwa jenis lamun H. Uninervis tumbuh pada rataan terumbu karang yang rusak.

Carruthers et al (2007) juga menyebutkan yakni H. Uninervis merupakan lamun

sublittoral ditemukan umumnya pada kedalaman antara 0-3 m di laguna sublittoral

dan tumbuh di dekat terumbu karang yang rusak namun dapat tumbuh di berbagai

habitat yang berbeda. Hal ini diperkuat oleh Rustendi (2001) bahwa H. Uninervis

dapat hidup pada substrat pasir halus-kasar di zona intertidal dan subtidal. Lamun

ini dapat membentuk padang rumput padat bercampur dengan spesies lamun lain.

Kiswara (1994) menyatakan untuk spesies lamun yang bersifat pionir (seperti

Cymodoceae, Halodule dan Syringodium) cenderung tumbuh di bagian perairan

dangkal.

Kemunculan jenis lamun yang paling jarang yakni jenis C. Serrulata yang

hanya ditemukan pada Stasiun 4 dengan total tegakan 8-15 ind/m2. Jenis ini jarang

ditemukan di lokasi penelitian karena jenis ini cenderung tumbuh pada jenis

substrat pasir berlumpur atau pasir dari pecahan karang pada daerah pasang surut.

Bengen (2004) mengatakan bahwa C. Serrulata cenderung tumbuh di daerah

intertidal yang berbatasan dengan mangrove. Berdasarkan pengamatan lapang

bahwa lokasi ekosistem mangrove relatif jauh dari lokasi penelitian ini, sehingga

diduga jenis C. Serrulata jarang ditemukan. Jenis ini hanya ditemukan di Stasiun

4 dengan jumlah tegakan sangat sedikit dengan tipe substrat yakni tekstur pasir.

Jenis H. uninervis merupakan kehadiran jenis pembuka (pionir) dengan

jumlah tegakan/ individu yang lebih banyak dibandingkan jenis E. acroides dan

jenis lainnya. Namun berdasarkan nilai biomassa terhadap jenis lamun yang

Page 111: simpanan karbon padang lamun di kawasan pantai sanur, kota

92

mendominasi, dimana jenis E. acroides mempunyai nilai biomassa yang lebih

tinggi dibandingkan dengan H. uninervis. Hal ini diakibatkan oleh faktor

morfologi yakni jenis E. acroides lebih besar diantara jenis lamun yang ada di

Pantai Sanur. Semakin besar ukuran lamun, jumlah individu yang dapat mendiami

suatu luasan tertentu akan berkurang (Fauziyah, 2004). Hal ini berkorelasi (sesuai)

dengan penelitian ini yakni antara jenis yang paling sering ditemukan antara H.

uninervis dengan E. acroides.

Penelitian yang dilakukan oleh Supriadi (2012) di Pulau Baranglompo

menyebutkan bahwa rata-rata biomassa di bawah substrat lebih dari tiga kali lipat

dibanding biomassa di atas substrat. Dalam penelitian ini rata-rata besaran nilai

biomassa lamun bagian bawah substrat hanya mencapai dua kali lipat

dibandingkan biomassa bagian atas substrat. Hal ini dapat dikaitkan dengan

morfologi tumbuhan lamun dimana ukuran lamun yang tumbuh di Pantai Sanur

berdasarkan hasil pengamatan yakni berukuran sedang dan kerapatan lamun per

meter persegi pun lebih jarang sehingga mempengaruhi nilai biomassa lamun

tersebut. Dalam penelitian ini juga ditemukan nilai biomassa diatas substrat lebih

tinggi daripada biomassa dibawah substrat yang ditemukan pada 7 transek.

Walaupun produksi lamun terbagi menjadi jaringan di bawah permukaan dan di

atas permukaan sedimen, namun biomassa di bagian bawah (rhizoma dan akar)

sering kali mendominasi biomassa total dari komunitas lamun (Lefaan, 2008).

Salah satu fungsi tingginya penyimpanan biomassa dibawah substrat adalah

memperkuat penancapan lamun. Menurut Kuriandewa (2009), lamun E.

Page 112: simpanan karbon padang lamun di kawasan pantai sanur, kota

93

acoroides bisa mempunyai biomassa dalam rimpang yang mencapai 6-10 kali

dibanding di atas substrat.

Semua jenis lamun umumnya dapat hidup pada semua jenis substrat, tetapi

setiap jenis lamun mempunyai karakter tersendiri terhadap lingkungan hidupnya.

Secara keseluruhan Pantai Sanur mempunyai arus perairan yang tenang dengan

tipe pantai landai dan padang lamun yang tumbuh terletak ditengah laguna yang

berbatasan dengan karang ke arah lautnya sehingga faktor lingkungan ini sangat

mendukung kehidupan padang lamun. Jumlah jenis lamun yang telah ditemukan

di Indonesia sebanyak 12 jenis lamun (Larkum et al, 1989), sedangkan jenis

lamun yang telah terinventarisasi di wilayah pesisir Provinsi Bali berjumlah 10

jenis (Sudiarta dan Sudiarta, 2011). Hal ini menunjukkan bahwa di kawasan

Pantai Sanur ditemukan 66 % dari total jenis lamun yang ada di Indonesia dan 80

% dari total jenis lamun yang ada di Provinsi Bali. Sehingga tingkat

keanekaragaman jenis lamun di kawasan pantai Sanur termasuk dalam kriteria

tinggi. Tingkat keanekaragaman yang tinggi ini berdasarkan persentase jumlah

jenis terhadap seluruh jenis yang ada di Indonesia ≥ 60% (Sudiarta & Restu,

2011).

6.1.2 Parameter Lingkungan Kawasan Pantai Sanur

Berdasarkan Tabel 5.4 pada Bab V sebelumnya, hasil pengukuran

parameter lingkungan perairan di Kawasan Pantai Sanur menunjukkan bahwa di

semua stasiun penelitian yang diamati memiliki kondisi parameter kualitas air

yang baik atau sesuai untuk kehidupan lamun. Secara umum nilai-nilai hasil

pengukuran tersebut menunjukkan sebaran spasial yang cenderung homogen dan

Page 113: simpanan karbon padang lamun di kawasan pantai sanur, kota

94

hampir sama serta nilai yang diperoleh berada dalam kisaran optimum bagi

pertumbuhan lamun sesuai dengan baku mutu air laut untuk biota laut (lamun)

yang dikeluarkan oleh Kep Men Lingkungan Hidup No.51 Tahun 2004.

Suhu perairan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi

pertumbuhan lamun di perairan. Berdasarkan hasil pengukuran suhu perairan pada

stasiun penelitian diperoleh hasil pengukuran suhu berkisar 28,97 – 30,13 °C

dapat dikatakan bahwa perbedaan suhu antar stasiun kecil sehingga sebaran

spasial suhu dilokasi penelitian cenderung homogen. Dari nilai tersebut terlihat

bahwa suhu di lokasi penelitian berada pada kisaran optimal untuk kehidupan

lamun yaitu antara 28 hingga 30 °C (Dahuri et al, 1996).

Kisaran salinitas perairan hasil pengukuran di lokasi penelitian berkisar

33,4 – 34,9 o/oo dengan nilai rata-rata sebesar 33,9

o/oo. Menurut Argadi (2003),

besarnya salinitas yang dibutuhkan setiap makhluk hidup bervariasi tergantung

pada tekanan osmotik dalam tubuhnya. Dilihat dari nilai kisaran tersebut, maka

salinitas di lokasi penelitian cukup mendukung kehidupan komunitas lamun,

karena berada pada kisaran salinitas yang cocok untuk pertumbuhan lamun yaitu

sebesar 24 – 35 o/oo (Hilman et al, 1989).

Nilai derajat keasaman (pH) di stasiun penelitian berkisar 7,00 – 7,60

dengan nilai rata-rata sebesar 7,17. Derajat keasaman disuatu perairan sangat

dipengaruhi oleh dekomposisi tanah dan dasar perairan serta keadaan lingkungan

sekitarnya (Argadi, 2003). Suatu perairan dengan pH 5,5-6,5 termasuk perairan

yang tidak produktif, perairan dengan pH 6,5-7,5 termasuk perairan yang

produktif, perairan dengan pH 7,5-8,5 adalah perairan yang memiliki

Page 114: simpanan karbon padang lamun di kawasan pantai sanur, kota

95

produktivitas yang sangat tinggi, dan perairan dengan pH yang lebih besar dari 8,5

dikategorikan sebagai perairan yang tidak produktif lagi (Nybakken, 1992). Nilai

pH di lokasi penelitian masuk dalam kategori cukup optimal untuk pertumbuhan

lamun karena tidak terlalu jauh dengan batas kisaran optimum lamun yaitu 7,5,

dimana nilai pH yang baik untuk lamun adalah pada saat pH air laut berkisar 7,5 –

8,5 (Nybakken, 1992).

Kandungan oksigen terlarut (DO) di pantai Sanur berdasarkan hasil

pengukuran yaitu berkisar 6,40 – 7,70 mg/l dengan nilai rata-rata sebesar 6,96

mg/l. Perairan yang hangat memiliki kandungan oksigen terlarut yang rendah

dibandingkan dengan perairan yang lebih dingin, dimana konsentrasi kejenuhan

oksigen terlarut menurun antara 0,2 dan 0,3 mg/l untuk setiap kenaikan

temperatur derajat celcius (Arnell, 2002). Nilai DO dalam perairan sangat terkait

dengan produksi oksigen seperti dalam fotosintesis dan pemakaian oksigen oleh

lamun seperti dalam respirasi akar dan rimpang maupun dalam proses siklus

nitrogen oleh bakteri di padang lamun (Argadi, 2003). Nilai DO hasil pengukuran

di Pantai Sanur memperlihatkan bahwa kisaran nilai tersebut berada diatas baku

mutu air laut untuk biota laut (kepmen Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004),

yaitu > 5 mg/l.

Kecepatan arus perairan di Pantai Sanur dalam kategori sangat lambat

sampai sedang yaitu berkisar 0.086 - 0.320 m/detik. Kisaran kecepatan arus

tersebut termasuk dalam kategori baik untuk pertumbuhan lamun. Koch (2001)

mengemukakan bahwa untuk mendukung pertumbuhan dan distribusi padang

lamun yang sehat diperlukan kecepatan arus yang sedang diantara 0,05 – 1,00 m/

Page 115: simpanan karbon padang lamun di kawasan pantai sanur, kota

96

detik. Arus perairan yang kecil menyebabkan daun lamun dipadati oleh alga epifit

berikut sedimen yang terperangkap diantara alga tersebut. Sebaliknya, apabila

daun lamun bersih dari alga epifit menunjukkan arus setempat relatif kuat

(Berwick 1983 dalam Dewi, 2012). Kondisi daun lamun yang dipadati oleh epifit

ditemukan pada stasiun 2 (Pantai Semawang II) dan stasiun 4 (Pantai Indah) yakni

pada jenis E. acroides yang memiliki nilai kecepatan arus cukup lambat yakni

0.106 - 0.117 m/det dibandingkan kecepatan arus pada stasiun 3,5,6,7 dan 8 yang

lebih cepat.

Nilai kecerahan perairan di pantai Sanur yakni 100 % dengan kedalaman

perairan 40 – 200 meter, menunjukkan bahwa dasar perairan serta tumbuhan

lamun dapat terlihat dari permukaan. Kecerahan yang tinggi ini dikarenakan

kondisi perairan yang tenang akibat adanya terumbu karang dibagian depan

komunitas padang lamun. Selain itu kecerahan yang tinggi ini juga disebabkan

oleh sifat lamun yang mampu menangkap sedimen dan didukung oleh kecepatan

arus yang relatif tenang.

6.2 Stok Karbon Lamun

Berdasarkan hasil perhitungan kandungan karbon pada Bab V

sebelumnya, dapat dijelaskan secara keseluruhan stok karbon lamun di pantai

Sanur pada bagian bawah substrat lebih besar dibandingkan stok karbon lamun

bagian atas substrat. Dari total 24 titik pengamatan hanya 8 titik transek atau 33%

yang ditemukan mempunyai nilai stok karbon bagian atas substrat yang lebih

tinggi dibandingkan bagian bawah substrat.

Page 116: simpanan karbon padang lamun di kawasan pantai sanur, kota

97

Adanya variasi nilai stok karbon lamun disebabkan oleh perbedaan

biomassa, konsentrasi kandungan karbon yang berbeda antar jenis maupun antar

jaringan pada jenis yang sama. Sesuai dengan pernyataan Wardah (2009) yang

menyebutkan bahwa semakin tinggi nilai biomassa maka nilai kandungan karbon

yang terkandung didalam biomassa pun semakin tinggi maka dalam penelitian ini

jenis lamun yang mempunyai nilai kandungan karbon tertinggi adalah E. acroides

dilihat dari setiap transek yang ditemukan jenis E. acroides ini maka nilai

biomassa dan kandungan karbonnya cenderung lebih besar dibandingkan transek

lain yang ditemukan jenis lamun selain E. acroides. Sehingga jenis lamun E.

acroides mempunyai konstribusi terbesar sebagai penyimpan karbon di kawasan

Pantai Sanur.

Walau kekayaan jenis lamun di daerah tropis tinggi, namun biasanya

terdapat satu jenis yang dominan dalam hubungannya dengan biomassa

(Hemminga dan Duarte, 2000) karena hal ini berkaitan dengan morfologi dan laju

pertumbuhan yang berbeda di antara jenis lamun (Vermaat et al, 1995). Beberapa

hal yang menjadikan E. acroides berperan nyata antara lain:

1) Secara morfologi jenis lamun Enhalus acroides berukuran lebih besar

dibandingkan jenis lamun yang lain sehingga dapat mengakumulasi karbon

lebih banyak pada jaringan tubuhnya. Panjang daun Enhalus acroides di

pantai Sanur sekitar 20 - 80 cm dengan lebar daun sekitar 1 – 1,5 cm dan

diameter rhizoma sekitar 1 – 2 cm. Ukuran jenis lamun E. acroides ini jauh

sangat besar dibandingkan jenis lamun lain di Pantai Sanur.

Page 117: simpanan karbon padang lamun di kawasan pantai sanur, kota

98

2) Nilai biomassa per transek yang ditemukan jenis lamun E. acroides berkisar

antara 93 – 235 gC/ m2 sedangkan transek yang ditemukan jenis lamun

selain E. acroides hanya berkisar antara 26 – 153 gC/ m2.

3) Distribusi jenis lamun E. acroides cukup luas yakni dengan nilai total

frekuensi kemunculan sebesar 46 % setelah jenis lamun H. uninervis yang

sebesar 50 %.

Fungsi penting peran lamun sebagai carbon sink adalah stok karbon yang

tersimpan pada jaringan lamun yakni sebagai biomassa dan karbon yang dialirkan

atau tersimpan (terkubur) ke sedimen. Penyimpanan karbon yang lebih besar di

bagian bawah substrat sangat penting karena merupakan karbon yang terkunci di

sedimen. Karbon di bawah substrat tidak terlalu terpengaruh oleh pengaruh fisik

lingkungan sebagaimana stok karbon yang ada di bagian atas substrat (Supriadi,

2012). Stok karbon pada jaringan hidup ini akan selalu terpelihara selama tunas

lamun masih hidup, walaupun selama masa hidupnya akan selalu terjadi

regenerasi jaringan yang mati. Setelah tumbuhan lamun mati maka stok karbon

dibawah substrat akan tersimpan dan terkunci disedimen. Walaupun proses

dekomposisi terjadi pada jaringan mati dibawah substrat, namun berjalan sangat

lambat. Konsentrasi nutrien yang rendah pada rhizoma dan akar lamun menjadi

penyebab lambatnya proses dekomposisi (Kennedy dan Bjork, 2009 dalam

Supriadi, 2012).

Stok karbon diatas substrat relatif berfluktuasi dibanding stok karbon di

bawah substrat. Walaupun stok karbon di atas substrat relatif kecil dibanding stok

karbon di bawah substrat, namun stok karbon di atas substrat akan tetap

Page 118: simpanan karbon padang lamun di kawasan pantai sanur, kota

99

terpelihara selama tunas lamun masih hidup. Selain itu peran stok karbon lamun

diatas substrat bisa dikaitkan dengan dinamika aliran karbon dari hasil akumulasi

produktivitas (Supriadi, 2012).

Secara umum hasil penelitian ini menunjukkan bahwa rata-rata stok

karbon lamun sebesar 20,68 gC/m2 dengan total stok penyimpanan karbon

keseluruhan luas area sebesar 66,60 ton dengan luas area padang lamun di Pantai

Sanur sebesar 322 Ha, dimana sekitar 60 % disimpan sebagai stok karbon bagian

bawah substrat dan 40 % disimpan sebagai stok karbon bagian atas substrat.

Menurut penelitian Supriadi (2012) yang dilakukan di Pulau Baranglompo

Makassar menyebutkan bahwa total stok karbon lamun sebesar 73,86 ton dengan

luas area sebesar 64,3 ha. Dari hasil tersebut terlihat bahwa stok karbon lamun di

Pantai Sanur lebih kecil dan dengan luasan lima kali jauh lebih besar daripada

stok karbon lamun di Pantai Baranglompo. Tingginya nilai stok karbon di

Baranglompo dibandingkan dengan di Pantai Sanur dikarenakan pada penelitian

di Baranglompo stok karbon lamun diperoleh tidak hanya dari tumbuhan lamun

saja namun diperoleh dari produktivitas serasah dan herbivora (grazing bulu babi)

sedangkan penelitian di Pantai Sanur stok karbon lamun hanya diperoleh dari

tumbuhan lamun saja.

Sudiarta dan Restu (2011) menyebutkan bahwa kondisi tutupan lamun di

Pantai Sanur termasuk kategori tutupan rendah (miskin) sampai moderat; menurut

Kepmen LH No. 200 Tahun 2004 tentang Kriteria Baku Kerusakan dan Penentuan

Status Padang Lamun. Sehingga kategori tutupan lamun yang rendah sampai

Page 119: simpanan karbon padang lamun di kawasan pantai sanur, kota

100

moderat di pantai Sanur ini berkorelasi dengan biomassa dan kandungan karbon

yang terkandung pada tumbuhan lamun tersebut juga rendah.

Padang lamun di kawasan Pantai Sanur mengalami tekanan lingkungan

seperti faktor alam dan terutama oleh aktivitas manusia yang mempengaruhi

keberadaan padang lamun tersebut. Berdasarkan pengamatan di lokasi penelitian,

terlihat bahwa di sepanjang kawasan Pantai Sanur banyak terdapat pipa-pipa

pembuangan limbah dari hotel yang mengarah ke laut dan banyak ditemukan

tambatan perahu/ boat di sebagian kawasan Pantai Sanur yang pada saat surut

langsung menutupi lamun dan dapat mematikan lamun. Selain itu, menurut

laporan Paket Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Prov. Bali (2013)

menyebutkan adanya pembangunan groin-groin (krib) di sekitar kawasan Pantai

Sanur yang menutupi areal padang lamun juga menimbulkan kerusakan di sekitar

groin tersebut karena terjadinya pengendapan pasir. Dari faktor alam yaitu pada

saat perairan dalam keadaan surut, sebagian padang lamun ada yang langsung

terbuka dan terlihat ke udara. Tubuh atau daun lamun yang terbuka akan terpapar

dan terjemur langsung oleh sinar matahari, sehingga daun-daunnya akan layu dan

terbakar. Jika pada suhu diatas 45°C lamun akan mengalami stress dan dapat

mengalami kematian (McKenzie, 2008). Segala faktor tekanan lingkungan

tersebut secara langsung akan mempengaruhi proses fisiologi yaitu fotosintesis

yang berdampak terhadap penyerapan karbon pada lamun, laju respirasi dan

pertumbuhan lamun yang ada di Pantai Sanur.

Page 120: simpanan karbon padang lamun di kawasan pantai sanur, kota

101

6.3 Peran Lamun Sebagai Carbon Sink Sebagai Upaya Mitigasi Pemanasan

Global

Climate change (perubahan iklim) yang berdampak terhadap pemanasan

global merupakan salah satu isu publik yang menjadi sorotan dunia, terutama pada

periode dua puluh tahun terakhir. Ekosistem pesisir pantai yang berupa hutan

bakau, rawa pasang surut, dan padang lamun dapat melakukan mitigasi perubahan

iklim dengan cara menyerap gas karbon dioksida dari atmosfer dan samudra.

Kaitan lamun dengan isu pemanasan global yakni lamun sebagai reservoir atau

penyimpan karbon melalui proses fotosintesis dan berperan penting dalam

mitigasi pemanasan global.

Untuk luas Zone Ekonomi Eksklusif (ZEE) di Indonesia (sebesar

2.914.878 km2) terdapat potensi penyerapan karbon oleh terumbu karang

sebesar 65,7 juta ton/tahun dengan luas terumbu karang sebesar 61.000

km2. Untuk hutan bakau (93.000 km

2) potensi penyerapan karbon hingga

67,7 juta ton/tahun, padang lamun (30.000 km2) potensi penyerapan karbon

hingga 50,3 juta ton/tahun dan Fitoplankton potensial penyerapan

karbonnya 36,1 juta ton/tahun (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2007).

Secara umum, dengan menggabungkan informasi potensi laut

Indonesia dalam penyerapan karbon dan iklim beserta kajian proses karbon

sekuestrasinya yang terjadi dapat memberikan gambaran potensi laut benua

maritim Indonesia dalam menyerap karbon dari gas-gas rumah kaca,

terutama terhadap ekosistem lamun. Jumlah karbon yang dapat diserap di

perairan Indonesia dapat diperdagangkan melalui mekanisme Clean

Development Mechanism (CDM) di dalamnya menyebutkan bahwa negara

Page 121: simpanan karbon padang lamun di kawasan pantai sanur, kota

102

berkembang dapat menjual kredit penurunan emisi kepada negara maju

yang berkewajiban menurunkan emisi. Hasil penelitian carbon sekuestrasi

oleh ekosistem lautan merupakan masukan penting dan modal utama bagi

Indonesia dalam perdagangan karbon dunia. Untuk menindaklanjuti

Protokol Kyoto, sudah saatnya negara kepulauan seperti Indonesia

memberikan inisiatif kepada dunia bahwa perlu diketahui dan dapat

memasukkan unsur penyerapan laut dalam perdagangan emisi dalam

menyerap karbon.

Kemampuan ekosistem lamun sebagai penyimpan dan penyerap karbon

pada bagian tubuh lamun maupun yang tersimpan di dalam sedimen membuat

ekosistem lamun berperan penting di wilayah pesisir. Selain itu, kemampuan

lamun mengendapkan bahan organik tersuspensi dengan kerapatan tunasnya

menambah peran lamun sebagai penimbun kabon (Kennedy et al, 2004). Duarte et

al. (2010, 2011) dan Fourqurean et al. (2012) dalam Supriadi (2012) merangkum

beberapa hal yang menjadikan lamun memiliki laju penimbunan karbon yang

tinggi pada sedimen, diantaranya adalah :

1) Kapasitas metabolik tinggi sehingga merupakan vegetasi yang mempunyai

produktivitas primer yang tinggi.

2) Jaringan lamun mempunyai konsentrasi nitrogen dan fosfor yang rendah,

sehingga serasah yang menjadi substrat bagi mikroba tidak terlalu

mendukung pertumbuhannya. Hal ini berdampak pada rendahnya laju

dekomposisi lamun.

Page 122: simpanan karbon padang lamun di kawasan pantai sanur, kota

103

3) Konsentrasi oksigen pada sedimen lamun sering ditemukan relatif rendah,

bahkan sering ditemukan kondisi anaerobik. Kondisi ini membuat

metabolisme mikroba tidak efisien sehingga menambah jumlah karbon

yang terkubur

4) Distribusi biomassa yang lebih tinggi pada akar dan rhizoma sehingga

berkontribusi terhadap tingginya penyimpanan karbon pada jaringan ini.

Akar dan rhizoma berada beberapa sentimeter di bawah substrat sehingga

merupakan karbon yang terkunci di sedimen.

5) Kenyataan yang tidak memungkinkan adanya emisi karbon sebagai hasil

dari kebakaran sebagaimana yang terjadi pada vegetasi darat.

6) Tegakan-tegakan lamun berperan meredam aksi gelombang dan turbulensi

sehingga mencegah terjadinya resuspensi sedimen dan karbon yang ada

didasar ekosistem lamun.

Luas lamun di dunia diestimasi sekitar 300-600 ribu km2 (Duarte et al.

2005; Kennedy & Bjork 2009), dan di Indonesia diestimasi sekitar 30 ribu km2

(Kuriandewa 2009). Sementara luas lamun yang telah terinventarisasi di wilayah

pesisir Bali yaitu sekitar 1.316 ha (Sudiarta dan Sudiarta, 2011). Jika diperkirakan

rata-rata kondisi lamun di Bali relatif sama dengan kondisi lamun di Pantai Sanur,

maka total stok karbon lamun di Bali diestimasi mencapai 272,15 ton. Selanjutnya

Duarte et al. (2011) mengemukakan bahwa dengan luas yang kurang dari 0.1%

dari permukaan laut, padang lamun dapat menimbun sekitar 20% dari total karbon

yang tertimbun di laut.

Page 123: simpanan karbon padang lamun di kawasan pantai sanur, kota

104

Bersama-sama dengan ekosistem terumbu karang, mangrove, rawa payau

dan plankton berperan sangat penting sebagai carbon sink dalam kaitan untuk

mengurangi dampak pemanasan global dan juga karena siklus karbon sebagian

besar terjadi di laut sebesar 90% dibandingkan dengan daratan. Terganggunya

siklus karbon di laut menyebabkan terjadinya peningkatan suhu permukaan laut

sehingga semakin rendah proses penyerapan karbon di udara oleh laut. Hal

tersebut menyebabkan peningkatan pemanasan global dan salah satu akibatnya

adalah fenomena iklim El Nino dan La Nina (As Syakur, 2007).

Namun saat ini kerusakan vegetasi pesisir khususnya ekosistem lamun

relatif cepat. Kondisi ekosistem padang lamun di perairan pesisir Indonesia sangat

rentan mengalami kerusakan sekitar 30-40% (Kiswara, 1994). Menurut

Sumadhiharga (2009), kondisi padang lamun di seluruh lautan Indonesia sekitar

75-90% rusak. Kerusakan ekosistem lamun terutama terjadi di daerah pelabuhan,

di Bintan (Kepulauan Riau) pembangunan resort pariwisata di pantai banyak yang

tidak mengindahkan garis sempadan pantai, pembangunan resort banyak

mengorbankan padang lamun (Kawaroe, 2008), padahal lamun mempunyai

tingkat produktifitas primer tertinggi bila dibandingkan dengan ekosistem lainnya

yang ada di laut dangkal seperti ekosistem terumbu karang (Thayer et al. 1975).

Padang lamun di kawasan Pantai Sanur termasuk dalam kawasan

pariwisata dan sebagian arealnya dijadikan lokasi penambatan boat/ perahu.

Dimana kerusakan lamun terjadi karena pada saat surut dasar kapal/ perahu

langsung menutupi lamun dan mematikan lamun yang cukup luas karena posisi

kapal berpindah-pindah setiap air surut.

Page 124: simpanan karbon padang lamun di kawasan pantai sanur, kota

105

Menurut Sudiarta dan Sudiarta (2011), kerusakan padang lamun di Pantai

Sanur rata-rata sebesar 15 %, tergolong pada tingkat kerusakan rendah. Dengan

demikian diperlukan upaya pengelolaan ekosistem pesisir dan laut secara terpadu

khususnya ekosistem lamun. Dimana padang lamun di Pantai Sanur harus dapat

mengimbangi antara fungsi ekologis dan biologisnya dengan lokasi Pantai Sanur

sebagai peruntukkan kawasan wisata. Selain itu, pengelolaan ekosistem pesisir

dan laut secara terpadu tersebut untuk mempertahankan keberadaan lamun agar

konstribusi terhadap ekosistem di sekitarnya semakin besar serta

mengoptimalkan peran lamun sebagai carbon sink sebagai upaya mitigasi

pemanasan global untuk perbaikan lingkungan.

Page 125: simpanan karbon padang lamun di kawasan pantai sanur, kota

106

BAB VII

SIMPULAN DAN SARAN

7.1 Simpulan

Berdasarkan analisis dan pembahasan sebelumnya, maka dapat

disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:

1. Ditemukan delapan jenis spesies lamun di kawasan Pantai Sanur yang

tergolong dalam dua famili yaitu H. uninervis, S. isoetifolium, H. ovalis,

H. pinifolia, E. acroides, C. rotundata, T. hemprichii dan C. serrulata

dengan frekuensi kemunculan tertinggi oleh H. Uninervis (50 %) dan E.

Acroides (46 %).

2. Rata-rata nilai kandungan karbon pada jaringan lamun yakni pada akar

sebesar 21,92 % dari total berat kering (biomassa), daun sebesar 18,69 dan

rizhoma sebesar 15,99 %.

3. Peran penting padang lamun sebagai penyimpan karbon terdiri dari

konstribusi stok karbon di bawah substrat (akar dan rizhoma) sebesar 60 %

atau 39,85 ton dan konstribusi stok karbon di atas substrat (daun) sebesar

40 % atau 26,75 ton.

4. Total stok karbon padang lamun di kawasan Pantai Sanur sebesar 66,60

ton dengan rata-rata 0,21 ton/ ha. Dari delapan jenis lamun yang

ditemukan, jenis yang berperan sangat penting sebagai penyimpan karbon

yakni E. acroides. Lamun jenis E. acroides ini mempunyai nilai biomassa

yang tinggi dan juga mempunyai ukuran morfologi yang lebih besar serta

terdistribusi dengan luas di kawasan Pantai Sanur.

106

Page 126: simpanan karbon padang lamun di kawasan pantai sanur, kota

107

7.8 Saran

1. Pada penelitian selanjutnya perlu dilakukan penambahan titik transek lebih

ke arah tengah laut agar penyebaran, keakuratan dan keterwakilan data

lebih baik sehingga pada saat pendistribusian spasial (interpolasi data)

hasilnya dapat berimbang.

2. Penelitian ini baru menghitung potensi penyimpanan karbon lamun

berdasarkan satu periode pengambilan (pengukuran) sampel, sehingga

diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengukur produktivitas tumbuhan

lamun dalam penyerapan karbon dan mengetahui fluktuasi yang terjadi

antar periode yang berkaitan dengan musim.

3. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai penyimpanan stok karbon

melalui serasah lamun dan herbivora yang hidup di padang lamun beserta

faktor-faktor tekanan lingkungan yang berpengaruh terhadap penyimpanan

karbon pada lamun sehingga dapat melengkapi peran lamun sebagai

carbon sink.

Page 127: simpanan karbon padang lamun di kawasan pantai sanur, kota

108

DAFTAR PUSTAKA

Aminudin. 2008. Kajian Potensi Cadangan Karbon Pada Pengusahaan Hutan

Rakyat (Studi kasus: hutan rakyat Dengok, Kecamatan Playen, Kabupaten

Gunung Kidul) (tesis). Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian

Bogor.

Anderson, S. 2001. An Evaluation of Spatial Interpolation Methods on Air

Temperature in Phoenix. Department of Geography, Arizona State University

Tempe. Argandi, G. 2003. Struktur Komunitas lamun di perairan Pangerungan, Jawa

Timur (skripsi). Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas

Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Arnell. 2002. Hydrology and Global Environtmental Change. Pearson Education

Limited. U.K.

Arthana, I. W. 2005. Jenis Dan Kerapatan Padang Lamun Di Pantai Sanur Bali,

Denpasar: Universitas Udayana. Jurnal Lingkungan Hidup Bumi Lestari 2

(5): 68-76.

Arthana, I. W. 2007. Kondisi Pencemaran Perairan Pantai Tanjung Benoa dan

Sanur, Bali. Lingkungan Tropis, Edisi Khusus, Agustus 2007. Ikatan Ahli

Teknik Penyehatan dan Lingkungan Indonesia. Buku 1: 17-25

As-Syakur, A. 2007. Identifikasi Hubungan Fluktuasi Nilai SOI Terhadap Curah

Hujan Bulanan Di Kawasan Batukaru-Bedugul, Bali.. Jurnal Lingkungan

Hidup Bumi Lestari 7 (2): 123-129.

Astuti, S. 2002. Pengaruh Kenaikan Air Laut Pada Wisata Alam Kawasan Pantai,

Kasus Denpasar. Makalah disajikan dalam Seminar Dampak Kenaikan

Muka Air Laut pada Kota-Kota Pantai di Indonesia, Bandung tanggal 12-

13 Maret 2002.

Astuti, N.N.S. 2008. Persepsi Wisatawan Mancanegara terhadap Produk

Pariwisata Bali (tesis). Denpasar: Universitas Udayana

Azkab, M.H. 1999. Kecepatan Tumbuh dan Produksi Lamun dari Teluk Kuta

Lombok. Di dalam: Soemodihardjo S, Arinardi OH, Aswandy I, Editor.

Dinamika Komunitas Biologis pada Ekosistem Lamun di Pulau Lombok,

Page 128: simpanan karbon padang lamun di kawasan pantai sanur, kota

109

Indonesia. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi,

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. hlm 26-33.

Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Denpasar. 2012. Rencana

Strategis Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Kota Denpasar. Laporan

Akhir. Denpasar

Bengen, D.G. 2004. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem

Mangrove. Pusat kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB. Institut

Pertanian Bogor. Bogor.

Benyamin, L. 2004. Dasar - Dasar Fisiologi Tumbuhan. Jakarta: PT. Raja

Grafindo Persada.

Berwick, N.L. 1983. Guideline for the Analysis of Biophysical Impact to Tropical

Coastal Marine Resources. Bombay: The Bombay Natural History Society

Centenary Seminar Consevation in Developing Countries Problems and

Prospect.

Bonham-Carter, G.F. 1994. Geographic Inforation Systems For Geoscientists.

Pergamon, Kidlington, UK. 398p.

Carruthers, T.J.B. 2007. Halodule uninervis. In: IUCN 2011. IUCN Red List of

Threatened Species. (Available from :URL http://www.iucnredlist.org/

apps/redlist/details/173328/0, diakses tanggal 3 Maret 2014).

Christanto, M., I. Prasasti., dan H. Wijayanto. 2005. Analisis Penerapan Metode

Krigging dan Invers Distance pada Interpolasi Data Dugaan Suhu, Air

Mampu Curah (AMC) dan Indeks Stabilitas Atmosfer (ISA) dari Data

NOAA-TOVS. PIT MAPIN XIV, Institut Teknologi Sepuluh Nopember,

Surabaya. pp. 316-322.

Dahuri, R., J. Rais., S.P. Ginting dan M. J. Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumber

Daya Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT Pradnya Paramita. Jakarta.

Darussalam, D. 2011. Pendugaan Potensi Serapan Karbon Pada Tegakan Pinus

Di KPH Cianjur Perum Perhutani Unit Iii Jawa Barat Dan Banten

(skripsi). Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Departemen Kelautan dan Perikanan, 2008. Pedoman Umum Identifikasi dan

Monitoring Lamun. Jakarta: Direktorat Konservasi dan Taman Nasional

Laut.

Page 129: simpanan karbon padang lamun di kawasan pantai sanur, kota

110

Dewi, R.K. 2012. Pengelolaan Ekosistem Lamun Kawasan Wisata Pantai Sanur

Kota Denpasar Provinsi Bali (Skripsi). Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Kota Denpasar. 2014. Survei Potensi

Perikanan Budidaya dan Perikanan Tangkap Kota Denpasar. Denpasar.

Duarte, C.M., and J.P. Gattuso. 2008. Seagrass meadows. In: C. J. Clevand

(ed.) Encyclopedia of Earth. Washington, D.C. Environmental Information

Coalition, National Council for Science and the Environment. (Available

from :URL :http://www. eoearth.org/article/Seagrass_meadows, diakses

tanggal 3 Maret 2014).

Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan

Lingkungan Perairan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta

Fauziyah, I. M. 2004. Struktur Komunitas Padang Lamun di Pantai Batu Jimbar

Sanur (Skripsi). Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Fourqurean, J.W., C.M. Duarte., H. Kennedy., N. Marba, M. Holmer., M.A.

Mateo., E. Apostolaki., G.A. Kendrick., D. Krause-Jensen., K.J.

McGlathery., and O. Serrano. 2012. Seagrass Ecosystems As a Globally

Significant Carbon Stock. (article) Nature Geoscience. DOI:

10.1038/NGEO1477. www.nature.com/ngeo/journal/v5/n7/abs/ ngeo1477.

html. diakses tanggal 3 Maret 2014.

Gardner, W.R. 1991. Soil Science as A Basic Science. Soil Sci 151: 2-6.

Gautama, I.G.A.G.O. 2011. “Evaluasi Perkembangan Wisata Bahari Di Pantai

Sanur” (tesis). Denpasar: Universitas Udayana. (Available from :URL

:http://www.pps.unud.ac.id, diakses tanggal 3 Maret 2014).

Hartog, C. D. 1970. Seagrass of The World. North-Holland Publ. Co. Amsterdam.

Hartog, C. D. 1977. Structur, Function, and Classification in Seagrass Ecosystem:

A Scientific Perspective (eds. Mc.Roy and Helfferich). Marcel Dekker Inc.

p.53-87.

Helrich, K. 1990. Method of Analysis of The Association of Official Analytical

Chemists. Fifteenth Edition. Virginia.

Hemminga, M.A., and C.M. Duarte. 2000. Seagrass Ecology. Australia:

Cambridge University Press.

Page 130: simpanan karbon padang lamun di kawasan pantai sanur, kota

111

Hillman, K., D.J. Walker., A.W.D. Larkum., and A.J. Mc Comb. (1989).

Productivity and Nutrients Limitation on Seagrasses. Biology of

Seagrasses. Netherland: Elsevier Science Publishers.

Imiliyana, A., M. Muryono., dan H. Purnobasuki. 2012. Estimasi Stok Karbon

Pada Tegakan Pohon Rhizophora stylosa di Pantai Camplong, Sampang-

Madura (jurnal). Surabaya: Institut Teknologi Sepuluh November.

http://www.researchgate.net. diakses tanggal 3 Maret 2014.

Khouw, A.S. 2009. Metode dan Analisa Kuantitatif dalam Bioekologi Laut.

Jakarta: Pusat Pembelajaran dan Pengembangan Pesisir dan Laut.

Koch, E.W. 2001. Beyond light: Physical, Geological and Geochemical

Parameters as Possible Submersed Aquatic Vegetation Habitat

Requirements. Estuaries 24: 1-17.

Kawaroe, M. 2009. Perspektif Lamun Sebagai Blue Carbon Sink di Laut.

(Lokakarya Lamun). Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan. Bogor:

Institut Pertanian Bogor. http://www.xa.yimg.com/kq/groups/mujizat

_lamun.doc /. diakses tanggal 3 Maret 2014.

Kennedy, H., E. Gacia., D.P. Kennedy., S. Papadimitriou., and C.M. Duarte.

2004. Organic carbon source to SE Asian coastal sediments. Est Coast

Shelf Sci 60: 59-68.

Kennedy, H., and M. Bjork. 2009. Seagrass meadows. Di dalam: Laffoley D,

Grimsditch G, editor. The Management of Natural Coastal Carbon Sinks.

Gland Switzerland: IUCN: 23-29.

Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 200 Tahun 2004 tentang

Kriteria Baru Kerusakan dan Pedoman Penentuan Status Padang Lamun.

Kimball, J.W. 2002. Fisiologi Tumbuhan. Erlangga. Jakarta.

Kiswara, W. 1994. Dampak Perluasan Kawasan Industri Terhadap Luas

Penutupan Padang Lamun di Teluk Banten, Jawa Barat. Seminar Nasional

Dampak Pembangunan Terhadap Wilayah Pesisir. 2-3 Februari 1994.

Jakarta, Indonesia.

Kiswara, W., A.H.L. Huiskes., and P.M.J. Herman. 2005. Uptake and Allocation

of 13C by Enhalus acoroides at Sites Differing in Light Availability.

Aquatic Botany 81: 353-366.

Page 131: simpanan karbon padang lamun di kawasan pantai sanur, kota

112

Kiswara, W., dan Y.I. Ulumuddin. 2009. Peran Vegetasi Pantai Dalam Siklus

Karbon Global: Mangrove dan Lamun Sebagai Rosot Karbon. Workshop

Ocean and climate change. Laut sebagai pengendali perubahan iklim:

peran laut Indonesia dalam mereduksi percepatan proses pemanasan

global. Bogor 4 Agustus 2009.

Kiswara, W. 2010. Studi Pendahuluan: Potensi Padang Lamun Sebagai Karbon

Rosot dan Penyerap Karbon di Pulau Pari Teluk Jakarta (jurnal).

Oseanologi dan Limnologi di Indonesia. http://www.oseanografi.lipi.go.id.

diakses tanggal 1 Maret 2014.

Kuriandewa, T.E. 2009. Peran Ekosistem Lamun dalam Produktivitas Hayati dan

Meregulasi Perubahan Iklim. Tinjauan tentang lamun di Indonesia.

Lokakarya Nasional I Pengelolaan Ekosistem Lamun:. Jakarta, 18

November 2009.

Kusmana, C., S, Sabiham., K. Abe., and H. Watanabe. 1992. An Estimation of

Above Ground Tree Biomass of A Mangrove Forest in East Sumatera.

Tropics 1 (4): 143-257.

Lakitan, 1995. Dasar-dasar Fisiologi Tumbuhan. Rajawali Grafindo, Jakarta.

Larkum, A.W.D., A.J.Mc. Comb and S. A. Shepherd. 1989. Biology of Seagrass:

A Treatise On The Biology Of Seagrases With Special Reference To The

Australian Religion in: Aquatic Plant Studies 2. Elsevier. Amsterdam.

Lee K.S., S.R. Park., Y.K. Kim. 2007. Effect of Irradiance, Temperature, and

Nutrients on Growth Dynamics of Seagrass: A Review. J Exp Mar Bio

Ecol 350: 144-175.

Madjid, A.R. 2009. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Bahan Ajar Online Untuk Mata

Kuliah: (1) Dasar-Dasar Ilmu Tanah, (2) Kesuburan Tanah, dan (3)

Pengelolaan Kesuburan Tanah Lanjut. Fakultas Pertanian Unsri dan

Program Pascasarjana Unsri. http://dasar2ilmutanah.blogspot.com.

Diakses tanggal 25 Februari 2015.

McKenzie, L.J. 2008. Seagrass Educators Handbook. Seagrass-Watch HQ.

http://www.seagrasswatch.org. Diakses tanggal 25 Februari 2015.

Nasution, S. 2001. Metode Research (Penelitian Ilmiah). Penerbit Bumi Aksara,

Jakarta.

Page 132: simpanan karbon padang lamun di kawasan pantai sanur, kota

113

NCGIA. 2007. Interpolation: Inverse Distance Weighting. National Center for

Geographic Information and Analysis. http://www.ncgia.ucsb.edu/pubs/

spherekit/inverse.html. Diakses tanggal 25 Juni 2014.

Nellemann, C., E. Corconan., C.M. Duarte., L.Valdes., C. De Young., L.

Fonseca., and G. Grimsditch. 2009. Blue Carbon: The Role of Healthy

Oceans in Binding Carbon. A Rapid Response Assessment. United Nations

Environment Programme. Norway.

Nybakken, J. W. 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. PT. Gramedia.

Jakarta.

Patriquin, D.G. 1972. The Origin of Nitrogen and Phosphorus for Growth of the

Marine Angiospermae Thalassia testudinum. Marine Biology 15: 35-46.

Pemerintah Provinsi Bali, Dinas Kelautan dan Perikanan. 2013. Penyusunan

Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Provinsi Bali.

Draft Dokumen Awal. Denpasar.

Philips, C.R., and E.G. Menez. 1988. Seagrass. Smith Sonian Institutions. Press.

Washington.

Pramono, G. H. (2004). Analisis Data Tematik Digital – Perbandingan Metode

Interpolasi Pada Sebaran Total Suspended Sediment di Kabupatan Maros,

Sulawesi Selatan. Cibinong: PSSDAL, Bakosurtanal.

Prasetyo. 2008. Tanaman Budidaya dan Macamnya. Universitas Gadjah Mada

Press. Yogyakarta.

Puspita, D., dan I. Rohima. 2009. Alam Sekitar, IPA Terpadu Untuk SMP/ MTS

Kelas VIII. Pusat Perbukuan. http://www.docstoc.com/docs/113553227/

Buku-Cetak-IPA-Kelas-8-(BSE). Diakses tanggal 25 Juni 2014.

Salisburry, F. B. 1998. Photosynthesis 6 Th Edition. Cambridge University. London.

Sarmiento, J.L., and N. Gruber. 2002. Sinks for Anthropogenic Carbon, Physics

Today (article). http:// www.atmos.ucla.edu/~gruber/publication/

abstracts/Sarmiento_Gruber_pt_02_fig.htm. diakses tanggal 3 Maret 2014.

Shepherd, S.A., and J.G.G, Aviles. 1996. Growth and Survival of The Blue

Abalone Haliotis Fulgens in Barrels at Cedros Island, Baja California.

Aquaculture 140: 76-169.

Page 133: simpanan karbon padang lamun di kawasan pantai sanur, kota

114

Sitania, G. 1998. Mengenal Lebih Dekat Jenis Lamun (E. Acoroides. Linneaus F)

Royle. Warta Konservasi Lahan Basah. Volume 7 No. 2 halaman 7.

Sitompul, S.M. 1995. Fisiologi Tanaman Tropis. Universitas Mataram. Lombok

Sudiarta, I.K. dan I.G. Sudiarta. 2011. Status Kondisi dan Identifikasi

Permasalahan Kerusakan Padang Lamun di Bali. Jurnal Mitra Bahari 5

(2): 103-126.

Sudiarta, I.K., dan I.W. Restu. 2011. Kondisi dan Strategis Pengelolaan

Komunitas Lamun di Wilayah Pesisir Kota Denpasar, Provinsi Bali.

Denpasar: Universitas Udayana dan Universitas Warmadewa. Jurnal Bumi

Lestari Vol.2 No.2 Agustus 2011.

Sumadhiharga, O.K., K. Matsuura., and K. Tsukamoto. 2000. Field Guide to

Lombok Island. Identification Guide to Marine Organism in Seagrass Bed

of Lombok Island Indonesia. Tokyo: Ocean Research Institute, University

of Tokyo.

Suryantara, I.W.A. 2005. Studi Komunitas Padang lamun di Perairan Pantai

Sanur dan Nusa Dua Bali (tesis). Denpasar: Universitas Udayana.

Sulaeman, Suparto dan Eviati. 2005. Petunjuk Teknis Analisis Tanah, Tanaman,

Air dan Pupuk. Bogor: Balai Penelitian Tanah, Badan Penelitian dan

Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian.

Supriadi. 2012. Stok dan Neraca Karbon Komunitas Lamun di Pulau

Barranglompo Makassar (disertasi). Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Supriadi dan Arifin. 2005a. Dekomposisi Serasah Daun Lamun E. acoroides dan

T. hemprichii di Pulau Barranglompo Makassar. Torani 1 (15): 59-64.

Sverdrup, K.A., and E.V. Armbrust. 2008. Text Book of: An Introduction to the

World’s Oceans. Ninth Edition. McGraw-Hill Companies, Inc. New York.

Thayer, G.W., S.M. Adams., and M.W.P. La Croix. 1975. Structural and

Functional aspects of a recently established Zostera marina community.

In Estuarine Research. l. Academic Press. New York. p. 518-540.

Trisasongko B.H., D.R. Panuju., Harimurti., A.F. Ramly., dan H. Subroto. 2008.

Kajian Spasial Kesetimbangan Air pada Skala DAS (Studi Kasus DAS

Bengawan Solo Hulu) Kementrian Negara Lingkungan Hidup Republik

Page 134: simpanan karbon padang lamun di kawasan pantai sanur, kota

115

Indonesia. Jakarta. http:// geospasial.menlh.go.id/assets/Analisis/Water

Balanced Solo ulu.pdf . diakses tanggal 19 April 2014.

Trumper, K., M. Bertzky., B. Dickson., G. Van der Heijden., M. Jenkins., and P.

Manning. 2009. The Natural Fix? The role of ecosystems in climate

mitigation. A UNEP Response assessment.

Ulumuddin Y.I., E. Sulistyawati., D.M Hakim., dan A.B. Harto. 2005. Korelasi

Stok Karbon Dengan Karakteristik Spektral Citra Landsat: Studi Kasus

Gunung Papandayan. Pertemuan Ilmiah MAPIN XIV: Pemanfaatan

penginderaan jauh untuk kesejahteraan bangsa. Surabaya, 14 – 15

September 2005. http://www.repository. unhas.ac.id/. diakses tanggal 3

Maret 2014.

UNEP (2009). Blue carbon: A Rapid Response Assessment. Environment

(p. 71 pp). United Nations Environment Programme, GRID-Arendal.

Vermaat, J. E., N.S.R. Agawin., C.M. Duarte., M.D. Fortes., N. Marba., and J.S.

Uri. 1995. Meadow Maintenance, Growth and Productivity of a Mixed

Philippine Seagrass Bed. Marine Ecology Progress Series 124: 215-225.

Wardah., B. Toknok., dan Zulkaidhah. 2009. Persediaan Karbon Tegakan

Agroforestri di Zona Penyangga Hutan Konservasi Taman Nasional Lore

Lindu, Sulawesi Tengah. Penelitian Strategi Nasional. Universitas

Tadulako, Palu. Sulawesi Tengah.

Watson, D.F., and G.M. Philip. 1985. A Refinement Of Inverse Distance Weighted

Interpolation. Geo-process 2: 315–327.

Waycott., M.K. McMahon., J. Mellors., A. Calladine., and D. Kleine. 2004. A

Guide To Tropical Seagrass of the Indo-West Pasific. James Cook

University, Townsville. 72p.

Whitmore, T.C. 1985. Tropical Rain Forests of the Far East. Oxford: Clarendon.

Page 135: simpanan karbon padang lamun di kawasan pantai sanur, kota

116

Lampiran 1. Pengukuran Berat Kering (Biomassa) Sampel Lamun

Stasiun

Transek

Kuadrat

Transek Kuadrat

Biomassa

(20x20cm)

Biomassa (g/0,04m2)

(1x1m) Akar Daun Rizoma

1 A 1 0.1 1 1.16

2 0.16 0.88 1.12

3 0.76 1.49 1.21

Rata-Rata = 0.34 1.12 1.16

B 1 0.50 0.86 1.68

2 0.97 1.97 1.98

3 0.59 0.95 1.86

Rata-Rata = 0.69 1.26 1.84

C 1 0.34 0.86 1.23

2 0.8 0.94 1.29

3 1.3 0.91 1.23

Rata-Rata = 0.81 0.90 1.25

2 A 1 1.56 1.82 3.23

2 2.38 3.27 2.45

3 0.57 2.17 4.67

Rata-Rata = 1.50 2.42 3.45

B 1 0.58 1.58 3.43

2 0.7 1.2 3.11

3 1.37 1.63 4.87

Rata-Rata = 0.88 1.47 3.80

C 1 4.5 2.3 3.41

2 0.92 1.11 3.38

3 0.87 4.28 3.84

Rata-Rata = 2.10 2.56 3.54

3 A 1 2.19 2.71 5.7

2 3.04 2.24 1.94

3 1.89 1.83 2.72

Rata-Rata = 2.37 2.26 3.45

B 1 2.98 1.76 1.18

2 2.34 3.3 1.21

3 1.2 1.8 1.65

Rata-Rata = 2.17 2.29 1.35

C 1 3.51 1.72 0.66

2 1.77 2.43 1.68

3 3.73 2.4 1.12

Rata-Rata = 3.00 2.18 1.15

Page 136: simpanan karbon padang lamun di kawasan pantai sanur, kota

117

Stasiun Transek

Kuadrat

Transek Kuadrat

Biomassa Biomassa (g/0,04m2)

(1x1m) (20x20cm) Akar Daun Rizoma

4 A 1 0.81 0.86 1.62

2 0.82 1.45 1.98

3 0.58 0.71 1.88

Rata-Rata = 0.74 1.01 1.83

B 1 1.75 2.14 0.73

2 0.98 2.35 0.52

3 1.63 3.81 0.56

Rata-Rata = 1.45333 2.76667 0.60

C 1 1.88 5.03 1.3

2 4.54 3.88 1.18

3 4.35 2.75 3.29

Rata-Rata = 3.59 3.89 1.92

5 A 1 1.06 1.28 0.7

2 0.29 0.83 0.28

3 0.36 2.57 0.99

Rata-Rata = 0.57 1.56 0.66

B 1 0.88 3.44 0.29

2 0.73 2.6 0.45

3 0.27 2.32 0.27

Rata-Rata = 0.63 2.79 0.34

C 1 0.97 0.64 0.88

2 0.32 2.14 0.78

3 0.15 1.07 0.38

Rata-Rata = 0.48 1.28 0.68

6 A 1 0.15 0.69 0.3

2 0.11 0.66 0.25

3 0.15 0.62 0.23

Rata-Rata = 0.14 0.66 0.26

B 1 0.4 1.49 0.82

2 0.38 1.81 0.78

3 0.39 1.02 1.21

Rata-Rata = 0.39 1.44 0.94

C 1 0.34 2.43 1.3

2 0.28 1.49 1.05

3 0.63 0.72 1.58

Rata-Rata = 0.42 1.55 1.31

Page 137: simpanan karbon padang lamun di kawasan pantai sanur, kota

118

Stasiun

Transek

Kuadrat

Transek Kuadrat

Biomassa

Biomassa (g/0,04m2)

(1x1 m) (20x20cm) Akar Daun Rizoma

7 A 1 1.4 1.97 1.42

2 1.32 2.25 1.06

3 1.57 1.95 1.09

Rata-Rata = 1.43 2.06 1.19

B 1 0.38 1.8 1.79

2 0.31 1.09 1.81

3 0.35 1.41 1.19

Rata-Rata = 0.35 1.43 1.60

C 1 0.74 2.37 0.33

2 0.16 1.26 0.52

3 0.27 1.5 0.54

Rata-Rata = 0.39 1.71 0.46

A 1 0.2 1.22 3.49

8 2 0.32 1 1.2

3 0.35 1.43 2.8

Rata-Rata = 0.29 1.22 2.50

B 1 0.47 0.9 0.74

2 0.56 0.97 0.9

3 0.89 1.85 1.67

Rata-Rata = 0.64 1.24 1.10

C 1 0.58 1.47 1.7

2 0.86 1.34 2.2

3 0.4 1.72 1.82

Rata-Rata = 0.61333 1.51 1.91

Page 138: simpanan karbon padang lamun di kawasan pantai sanur, kota

119

Lampiran 2. Hasil Analisis Mann-Whitney Antara Nilai Karbon Bagian Atas

Substrat Dan Bawah Substrat Dengan Metode Pengabuan Dan

Walkley & Black

a. Uji Normalitas

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

Walkley Black Bawah Substrat 24 100.0% 0 .0% 24 100.0%

Walkley Black Atas Substrat 24 100.0% 0 .0% 24 100.0%

Pengabuan Atas Substrat 24 100.0% 0 .0% 24 100.0%

Pengabuan Bawah Substrat 24 100.0% 0 .0% 24 100.0%

Descriptives

Statistic Std. Error

Walkley & Black Bawah Subtrat

Mean 13.3994 1.81573

95% Confidence Interval for Mean

Lower Bound 9.6433

Upper Bound 17.1555

5% Trimmed Mean 13.0298

Median 11.1642

Variance 79.125

Std. Deviation 8.89523

Minimum 1.82

Maximum 31.45

Range 29.63

Interquartile Range 13.29

Skewness .878 .472

Kurtosis

-.463 .918

Page 139: simpanan karbon padang lamun di kawasan pantai sanur, kota

120

Walkley &Black Atas Substrat

Mean 8.7201 .83132

95% Confidence Interval for

Mean

Lower Bound

7.0004

Upper Bound 10.4398

5% Trimmed Mean 8.4405

Median 7.6696

Variance 16.586

Std. Deviation 4.07260

Minimum 3.39

Maximum 19.98

Range 16.58

Interquartile Range 5.95

Skewness 1.029 .472

Kurtosis

.879 .918

Pengabuan Atas Substrat Mean 11.3515 1.50782

95% Confidence Interval for Mean

Lower Bound 8.2323

Upper Bound 14.4706

5% Trimmed Mean 10.9830

Median 9.8946

Variance 54.564

Std. Deviation 7.38676

Minimum 1.42

Maximum 27.64

Range 26.22

Interquartile Range 10.19

Skewness .965 .472

Kurtosis

.049 .918

Pengabuan Bawah Substrat

Mean 7.8924 .67625

95% Confidence Interval for Mean

Lower Bound 6.4935

Upper Bound 9.2914

5% Trimmed Mean 7.7143

Median 7.0919

Variance 10.976

Std. Deviation 3.31294

Minimum 3.02

Maximum 16.22

Page 140: simpanan karbon padang lamun di kawasan pantai sanur, kota

121

Range 13.20

Interquartile Range 3.65

Skewness .871 .472

Kurtosis .472 .918

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic df Sig. Statistic df Sig.

Walkley Black Bawah Substrat .219 24 .004 .880 24 .008

Walkley Black Atas Substart .196 24 .018 .909 24 .033

Pengabuan Atas Substrat .173 24 .060 .897 24 .019

Pengabuan Bawah Substrat .165 24 .088 .942 24 .178

a. Lilliefors Significance Correction

b. Uji Mann Whitney (α = 0.05)

Ranks

Kelompok N Mean Rank Sum of Ranks

Hasil Bawah Substrat

Wilkley Black 24 26.29 631.00

Pengabuan 24 22.71 545.00

Total 48

Test Statistics

a

Hasil_Bawah

Mann-Whitney U 245.000

Wilcoxon W 545.000

Z -.887

Asymp. Sig. (2-tailed) .375

a. Grouping Variable: Kelompok

Page 141: simpanan karbon padang lamun di kawasan pantai sanur, kota

122

Ranks

Kelompok N Mean Rank Sum of Ranks

Hasil Atas Substrat

Wilkley Black 24 25.67 616.00

Pengabuan 24 23.33 560.00

Total 48

Test Statisticsa

Hasil_Atas

Mann-Whitney U 260.000

Wilcoxon W 560.000

Z -.577

Asymp. Sig. (2-tailed) .564

a. Grouping Variable: Kelompok

Page 142: simpanan karbon padang lamun di kawasan pantai sanur, kota

123

Lampiran 3. Dokumentasi Penelitian

Gambar 1. Persiapan Sebelum Melakukan Pengamatan Lamun

Gambar 2. Pengamatan Lamun Dengan Transek 1m x 1m dan 20 cm x 20 cm

Untuk Mengidentifikasi Jenis, Kerapatan Lamun dan Pencuplikan Sampel Lamun

Gambar 3. Sampel Lamun Dibersihkan dan Dikeringkan Kemudian Dipisahkan

Antara Daun, Akar dan Rhizoma

Page 143: simpanan karbon padang lamun di kawasan pantai sanur, kota

124

Gambar 4. Sampel Lamun Yang Telah Dipisah Kemudian Dibungkus Dengan

Aluminium Foil dan Dilakukan Pengovenan

Gambar 5. Sampel Lamun Yang Telah Dioven Kemudian Ditimbang Untuk

Mengetahui Berat Kering (Biomassa)

Gambar 6. Alat Dan Bahan Untuk Analisis Kandungan Karbon Lamun