siklus boma

11
NAMA : JEFFRI NORRIS NIM : F1D213010 PRODI : TEKNIK GEOLOGI 1. Paper tentang siklus boma Bouma (1962) memberikan urutan ideal endapan turbidit yang dikenal dengan Bouma Sequence, dari interval a-e. Urut-urutan endapan turbidit yang umumnya berupa perselingan antara batupasir dan batulempung merupakan suatu satuan yang berirama (ritmis), dimana setiap satuan merupakan hasil episode tunggal dari suatu arus turbid. Bouma Sequence yang lengkap dibagi 5 interval, peralihan antara satu interval ke interval berikutnya dapat secara tajam, berangsur, atau semu, yaitu : 1)Gradded Interval (Ta) 2)Lower Interval of Parallel Lamination (Tb) 3)Interval of Current Ripple Lamination (Tc) 4)Upper Interval of Parallel Lamination (Td) 5)Pelitic Interval (Te) Urut-urutan ideal seperti diatas mungkin tak selalu didapatkan dalam lapisan, dan umumnya dapat merupakan urut-urutan internal sebagai berikut: 1)Base cut out sequence. 2)Truncated sequence 3)Truncated base cut out sequence Bouma (1962) telah membuat bentuk hipotetik kerucut tunggal dan ganda (gb.2.5). Pada dasarnya endapan oleh arus turbid yang besar mempunyai rangkaian yang lengkap dan setelah pengendapan material yang kasar kecepatan berkurang dan pada saat tertentu dimana kecepatan sangat rendah mulai terbentuk laminasi interval (Tb-e = T2). Proses berkurangnya kecepatan dan ukuran butir sedimen

Upload: nadya-farah-kamilia

Post on 08-Nov-2015

247 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

siklus boma

TRANSCRIPT

NAMA: JEFFRI NORRISNIM: F1D213010PRODI: TEKNIK GEOLOGI1. Paper tentang siklus bomaBouma (1962) memberikan urutan ideal endapan turbidit yang dikenal dengan Bouma Sequence, dari interval a-e. Urut-urutan endapan turbidit yang umumnya berupa perselingan antara batupasir dan batulempung merupakan suatu satuan yang berirama (ritmis), dimana setiap satuan merupakan hasil episode tunggal dari suatu arus turbid. Bouma Sequence yang lengkap dibagi 5 interval, peralihan antara satu interval ke interval berikutnya dapat secara tajam, berangsur, atau semu, yaitu :

1)Gradded Interval (Ta)2)Lower Interval of Parallel Lamination (Tb)3)Interval of Current Ripple Lamination (Tc)4)Upper Interval of Parallel Lamination (Td)5)Pelitic Interval (Te)Urut-urutan ideal seperti diatas mungkin tak selalu didapatkan dalam lapisan, dan umumnya dapat merupakan urut-urutan internal sebagai berikut:

1)Base cut out sequence.2)Truncated sequence3)Truncated base cut out sequence

Bouma (1962) telah membuat bentuk hipotetik kerucut tunggal dan ganda (gb.2.5). Pada dasarnya endapan oleh arus turbid yang besar mempunyai rangkaian yang lengkap dan setelah pengendapan material yang kasar kecepatan berkurang dan pada saat tertentu dimana kecepatan sangat rendah mulai terbentuk laminasi interval (Tb-e = T2). Proses berkurangnya kecepatan dan ukuran butir sedimen berjalan terus selama pengendapan, sehingga terbentuk rangkaian (Tc=T3), (Td-e=T4) dan (Te=T5).

Berdasarkan sifat jauh dekatnya sumber, maka endapan turbidit dapat dibagi menjadi 3 fasies, yaitu : fasies proximal, intermediate dan distal. Distal merupakan endapan turbidit yang pengendapannya relatif lebih jauh dari sumbernya atau tidak mengandung interval a dan b. endapannya dicirikan oleh adanya perselingan yang teratur antara batupasir dan serpih, lapisan batupasirnya tipis-tipis dan lapisan serpihnya lebih tebal. Pengendapan yang relatif lebih dekat dengan sumbernya disebut turbidit proximal, biasanya berbutir kasar, kadang0kadang konglomeratan dan sedikit serpih.

Dalam jurnal ini juga dijelaskan bahwa sikuen bouma ini berguna untuk menentukan fasies tertentu dengan model walker yang kemudian disetarakan dengan model bouma. Jurnal ini menjelaskan bagaimana hubungan antara formasi dengan sikuen yang ditemukan dengan memperhatikan hubungannya juga dengan waktu skala geologi pada formasi batuan tersebut.

Terutama menentukan fasies turbidit pada formasi haling menggunakan metode pengukuran atau literatur yang dikeluarkan oleh bouma dimana sikuen ini juga memperhatikan bagaimana komposisi fasies turbidit yang dikontrol dengan material sumber pemasoknya seperti jumlah material kerakal ,kerikil dan pasir lempung. Akan tetapi dalam jurnal tersebut menjelaskan bahwa tidak terjadi urutan ideal pada fasies formasi tersebut seperti urutannya pada materi diatas dimana tidak terjadi urutan pada bagian atas bagik Td dan Te.Fasies yang ditemukan adalah fasies Td ,b dan c menurut seri model bouma dimana terjadi beberapa kesebandingan antara model bouma dengan model walker. Serta didominasi dengan fasies c dan d yang terbanyak pada formasi halang tersebut.2. Penjelasan tentang pengukuran stratigrafi dilapanganPengukuran stratigrafi merupakan pengerjaan dalam pemetaan geologi lapangan. Maksud dari pengukuran stratigrafi adalah untuk memperoleh gambaran yang terperinci dari hubungan stratigrafi antar setiap perlapisan batuan / satuan batuan, ketebalan setiap satuan stratigrafi, sejarah sedimentasi secara vertikal dan lingkungan pengendapan dari setiap satuan batuan. Di lapangan, pengukuran stratigrafi biasanya dilakukan dengan menggunakan tali meteran dan kompas pada singkapan-singkapan yang menerus dalam suatu lintasan. Pengukuran diusahakan tegak lurus dengan jurus perlapisan batuannya, sehingga koreksi sudut antara jalur pengukuran dan arah jurus perlapisan tidak begitu besar. 3.1 Metode Pengukuran Stratigrafi Pengukuran stratigrafi dimaksudkan untuk memperoleh gambaran terperinci urut-urutan perlapisan satuan stratigrafi, ketebalan setiap satuan stratigrafi, hubungan stratigrafi, sejarah sedimentasi dalam arah vertikal, dan lingkungan pengendapan. Mengukur suatu penampang stratigrafi dari singkapan mempunyai arti penting dalam penelitian geologi. Secara umum tujuan pengukuran stratigrafi adalah: 1. Mendapatkan data litologi terperinci dari urut-urutan perlapisan suatu satuan stratigrafi (formasi), kelompok, anggota dan sebagainya. 2. Mendapatkan ketebalan yang teliti dari tiap-tiap satuan stratigrafi. 3. Untuk mendapatkan dan mempelajari hubungan stratigrafi antar satuan batuan dan urut-urutan sedimentasi dalam arah vertikal secara detil, untuk menafsirkan lingkungan pengendapan. Pengukuran stratigrafi biasanya dilakukan terhadap singkapan singkapan yang menerus, terutama yang meliputi satu atau lebih satuan satuan stratigrafi yang resmi. Metoda pengukuran penampang stratigrafi banyak sekali ragamnya. Namun demikian metoda yang paling umum dan sering dilakukan di lapangan adalah dengan menggunakan pita ukur dan kompas. Metode ini diterapkan terhadap singkapan yang menerus atau sejumlah singkapan-singkapan yang dapat disusun menjadi suatu penampang stratigrafi.

Metode pengukuran stratigrafi dilakukan dalam tahapan sebagai berikut: 1. Menyiapkan peralatan untuk pengukuran stratigrafi, antara lain: pita ukur ( 25 meter), kompas, tripot (optional), kaca pembesar (loupe), buku catatan lapangan, tongkat kayu sebagai alat bantu. 2. Menentukan jalur lintasan yang akan dilalui dalam pengukuran stratigrafi, jalur lintasan ditandai dengan huruf B (Bottom) adalah mewakili bagian Bawah sedangkan huruf T (Top) mewakili bagian atas. 3. Tentukan satuan-satuan litologi yang akan diukur. Berilah patok-patok atau tanda lainnya pada batas-batas satuan litologinya. 4. Pengukuran stratigrafi di lapangan dapat dimulai dari bagian bawah atau atas. Unsur-unsur yang diukur dalam pengukuran stratigrafi adalah: arah lintasan (mulai dari sta.1 ke sta.2; sta.2 ke sta.3. dst.nya), sudut lereng (apabila pengukuran di lintasan yang berbukit), jarak antar station pengukuran, kedudukan lapisan batuan, dan pengukuran unsur-unsur geologi lainnya. 5. Jika jurus dan kemiringan dari tiap satuan berubah rubah sepanjang penampang, sebaiknya pengukuran jurus dan kemiringan dilakukan pada alas dan atap dari satuan ini dan dalam perhitungan dipergunakan rata-ratanya. 6. Membuat catatan hasil pengamatan disepanjang lintasan pengkuran stratigrafi yang meliputi semua jenis batuan yang dijumpai pada lintasan tersebut, yaitu: jenis batuan, keadaan perlapisan, ketebalan setiap lapisan batuan, struktur sedimen (bila ada), dan unsur-unsur geologi lainnya yang dianggap perlu. Jika ada sisipan, tentukan jaraknya dari atas satuan. 7. Data hasil pengukuran stratigrafi kemudian disajikan diatas kertas setelah melalui proses perhitungan dan koreksi-koreksi yang kemudian digambarkan dengan skala tertentu dan data singkapan yang ada disepanjang lintasan di-plot-kan dengan memakai simbol-simbol geologi standar. 8. Untuk penggambaran dalam bentuk kolom stratigrafi, perlu dilakukan terlebih dahulu koreksi-koreksi antara lain koreksi sudut antara arah lintasan dengan jurus kemiringan lapisan, koreksi kemiringan lereng (apabila pengukuran di lintasan yang berbukit), perhitungan ketebalan setiap lapisan batuan dsb.

3.2. Perencanaan lintasan pengukuran

Perencanaan lintasan pengukuran ditetapkan berdasarkan urut-urutan singkapan yang secara keseluruhan telah diperiksa untuk hal hal sebagai berikut:

a. Kedudukan lapisan (Jurus dan Kemiringan), apakah curam, landai, vertikal atau horizontal. Arah lintasan yang akan diukur sedapat mungkin tegak lurus terhadap jurus.

b. Harus diperiksa apakah jurus dan kemiringan lapisan secara kontinu tetap atau berubah rubah. Kemungkinan adanya struktur sepanjang penampang, seperti sinklin, antiklin, sesar, perlipatan dan hal ini penting untuk menentukan urut-urutan stratigrafi yang benar.

c. Meneliti akan kemungkinan adanya lapisan penunjuk (key beds) yang dapat diikuti di seluruh daerah serta penentuan superposisi dari lapisan yang sering terlupakan pada saat pengukuran.

3.3.Menghitung Ketebalan

Tebal lapisan adalah jarak terpendek antara bidang alas (bottom) dan bidang atas (top). Dengan demikian perhitungan tebal lapisan yang tepat harus dilakukan dalam bidang yang tegak lurus jurus lapisan. Bila pengukuran di lapangan tidak dilakukan dalam bidang yang tegak lurus tersebut maka jarak terukur yang diperoleh harus dikoreksi terlebih dahulu dengan rumus:

d = dt x cosinus ( = sudut antara arah kemiringan dan arah pengukuran).

Didalam menghitung tebal lapisan, sudut lereng yang dipergunakan adalah sudut yang terukur pada arah pengukuran yang tegak lurus jurus perlapisan. Apabila arah sudut lereng yang terukur tidak tegak lurus dengan jurus perlapisan, maka perlu dilakukan koreksi untuk mengembalikan kebesaran sudut lereng yang tegak lurus jurus lapisan. Biasanya koreksi dapat dilakuan dengan menggunakan tabel koreksi dip untuk pembuatan penampang.

1. Pengukuran pada daerah datar (lereng 0o)

Pengukuran pada daerah datar, apabila jarak terukur adalah jarak tegak lurus jurus, ketebalan langsung di dapat dengan menggunakan rumus : T = d sin (dimana d adalah jarak terukur di lapangan dan adalah sudut kemiringan lapisan). Apabila pengukuran tidak tegak lurus jurus, maka jarak terukur harus dikoreksi seperti pada cara diatas.

2. Pengukuran pada Lereng

Catatan: sudut lereng (s) dan kemiringan lapisan () adalah pada keadaan yang tegak lurus dengan jurus atau disebut true dip dan true slope

a. Kemiringan lapisan searah dengan lereng.

Bila kemiringan lapisan ( ) lebih besar daripada sudut lereng (s) dan arah lintasan tegak lurus jurus, maka perhitungan ketebalan adalah :

T = d sin ( - s ).

Bila kemiringan lapisan lebih kecil daripada sudut lereng dan arah lintasan tegak lurus jurus, maka perhitungan ketebalan adalah:

T = d sin (s - ).

b. Kemiringan lapisan berlawanan arah dengan lereng

Bila kemiringan lapisan membentuk sudut lancip terhadap lereng dan arah lintasan tegak lurus jurus maka:

T = d sin ( + s )

Apabila jumlah sudut lereng dan sudut kemiringan lapisan adalah 900 (lereng berpotongan tegak lurus dengan lapisan) dan arah lintasan tegak lurus jurus maka : T = d

Bila kemiringan lapisan membentuk sudut tumpul terhadap lereng dan arah lintasan tegak lurus jurus, maka :: T = d sin (1800 - - s)

Bila lapisannya mendatar, maka :

T = d sin (s)

Gambar 8.6 Posisi pengukuran pada lereng yang berlawanan dengan kemiringan lapisan

Penyajian hasil pengukuran stratigrafi seperti yang terlihat pada gambar 8.7 dibawah ini. Adapun penggambaran urutan perlapisan batuan/satuan batuan/satuan stratigrafi disesuaikan dengan umur batuan mulai dari yang tertua (paling bawah) hingga yang termuda (paling atas)

Seringkali hasil pengukuran stratigrafi disajikan dengan disertai foto-foto singkapan seperti yang diperlihatkan pada gambar 8.8. Adapun maksud dari penyertaan foto-foto singkapan adalah untuk lebih memperjelas bagian bagian dari perlapisan batuan ataupun kontak antar perlapisan yang mempunyai makna dalam proses sedimentasinya.

Penggambaran penampang stratigrafi terukur yang dilengkapi dengan foto-foto untuk menjelaskan hubungan antar lapisan batuan ataupun kontak antar lapisan batuan.3. Regional geologi JambiCekungan Sumatera Selatan dibatasi oleh singkapan berumur Pra-Tersier yang merupakan bagian dari Paparan Sunda di bagian utara-timurlaut, Pegunungan Bukit Barisan di bagian baratdaya, dan Tinggian Lampung di bagian timur. Cekungan ini tersusun dari tiga sub cekungan besar, dari selatan ke utara yaitu Sub Cekungan Palembang Selatan, Antiklinorium Palembang Utara, dan Sub Cekungan Jambi.Sub Cekungan Jambi merupakan bagian Cekungan Sumatra Selatan yang merupakan cekungan belakang busur (back arc basin) berumur Tersier yang terbentuk sebagai akibat tumbukan antara Sundaland dan Lempeng Hindia. Secara Geografis Sub Cekungan Jambi dibatasi oleh Pegunungan Tigapuluh di sebelah utara, Tinggian Lampung di bagian selatan, Paparan Sunda di sebelah timur, dan Bukit Barisan di sebelah barat. Tatanan stratigrafi Sub Cekungan Jambi pada dasarnya terdiri dari satu siklus besar sedimentasi dimulai dari fase transgresi pada awal siklus dan fase regresi pada akhir silkusnya. Secara detail siklus ini dimulai oleh siklus non marin yaitu dengan diendapkannya Formasi Lahat pada Oligosen Awal dan kemudian diikuti oleh Formasi Talang Akar yang diendapkan secara tidak selaras di atasnya. Menurut Adiwidjaja dan De Coster (1973), Formasi Talang Akar merupakan suatu endapan kipas alluvial dan endapan sungai teranyam (braided stream deposit) yang mengisi suatu cekungan. Fase transgresi terus berlangsung hingga Miosen Awal dimana pada kala ini berkembang Batuan karbonat yang diendapkan pada lingkungan back reef, fore reef, dan intertidal (Formasi Batu Raja) pada bagian atas Formasi Talang Akar. Fase Transgresi maksimum ditunjukkan dengan diendapkannya Formasi Gumai bagian bawah secara selaras di atas Formasi Baturaja yang terdiri dari Batu serpih laut dalam.Fase regresi dimulai dengan diendapkannya Formasi Gumai bagian atas dan diikuti oleh pengendapkan Formasi Air Benakat yang didominasi oleh litologi Batu pasir pada lingkungan pantai dan delta. Formasi Air Benakat diendapkan secara selaras di atas Formasi Gumai. Pada Pliosen Awal, laut menjadi semakin dangkal dimana lingkungan pengendapan berubah menjadi laut dangkal, paludal, dataran delta dan non marin yang dicirikan oleh perselingan antara batupasir dan batulempung dengan sisipan berupa batubara (Formasi Muara Enim). Tipe pengendapan ini berlangsung hingga Pliosen Akhir dimana diendapkannya lapisan batupasir tufaan, pumice dan konglemerat.

DAFTAR PUSTAKA Jurnal Fasies Turbidit Formasi Halang di Daerah Ajibarang ,Jurnal Geologi Indonesia ,Jawa Tengah, Praptisih dan Kamtono : 2011www.geologi and geological mining.blogspot.com diakses pada tanggal 10 Mei 2015www.geologi and special education.blogspot.com diakses pada tanggal 10 Mei 2015