sikap idi mengadapi mea 2015
DESCRIPTION
skip idi terkait meaTRANSCRIPT
SIKAP IKATAN DOKTER INDONESIA (IDI) TERKAIT SEKTOR KESEHATAN TERHADAP IMPLEMENTASI MASYARAKAT EKONOMI
ASEAN (MEA)
A. Pendahuluan
Indonesia kini tengah berpacu dengan waktu dalam
menyambut pelaksanaan pasar bebas Asia Tenggara atau
biasa disebut dengan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang
akan dimulai pada tahunn 2015. ASEAN telah menyepakati
sektor-sektor prioritas menuju momen tersebut. Ketika
berlangsung ASEAN Summit ke-9 tahun 2003 ditetapkan 11
Priority Integration Sectors (PIS). Namun pada tahun 2006 PIS
yang ditetapkan berkembang menjadi 12 yang dibagi dalam dua
bagian yaitu tujuh sektor barang industri dan lima sektor jasa.
Ke-7 sektor barang industri terdiri atas produk berbasis
pertanian, elektronik, perikanan, produk berbasis karet, tekstil,
otomotif, dan produk berbasis kayu. Sedangkan kelima sektor
jasa tersebut adalah transportasi udara, e-asean, pelayanan
kesehatan, turisme dan jasa logistik.
Terkait pelaksanan MEA disektor jasa khususnya sector
pelayanan kesehatan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menyikapi
hal ini dengan mengeluarkan beberapa point sikap IDI dengan
didasari oleh berbagai pendapat Ahli Ekonomi, Pelaku Usaha,
maupun Pihak lain yang berkompeten. Sikap atau usulan IDI
sebagai Respon yang diberikan kepada Pemerintah terkait
Kesiapan Pemerintah dengan instrument kebijakannya yang
telah berlangsung maupun yang masih dalam perancangan.
kondisi infrastruktur disegala bidang serta kesiapan masyarakat
beragam kondisi demografi dalam menghadapi perlu mendapat
perhatian serius dari semua pihak utamanya Pemerintah
sebagai otoritas tertinggi penyelenggaraan pemerintahan.
1
Sikap atau Usulan tersebut antara Lain :
1. Menolak pelayanan kesehatan bangsa lndonesia
dijadikan komoditas dagang ASEAN, sebab itu
menyimpang dari UUD 45.
2. Bangun aliansi "Public Private Partnership 0ffice" untuk
sektor kesehatan.
3. Lakukan sistemik review untuk mendeteksi bagian mana
yang harus (segera) diperbaiki agar sistem kesehatan
segera dapat berjatan dengan baik.
4. Siapkan terobosan-terobosan kreatif untuk meningkatkan
performa sektor kesehatan disemua lini: LeveI primer,
leveI sekunder dan tertier.
5. Demi keamanan dan kedautatan negara, pekerja medik
dan pengetota pelayanan kesehatan di lndonesia harus
berbangsa lndonesia.
6. Tata utang Sistem Kesehatan Nasional dan Sistem
Jaminan Kesehatan NasionaI agar benar-benar
dijatankan sesuai untuk tujuan utama berbangsa:
membangun bangsa, bukan sekedar reaktif menyambut
MEA.
Sikap IDI tentu memiliki landasan realitas yang terjadi
saat ini. Anwar Nasution dalam Kompas edisi 28 Agustus 2014
menyatakan, Indonesia belum siap memasuki MEA, daya saing
tenaga kerja rendah, fundamental ekonomi rapuh, iklim usaha
buruk, infrastruktur buruk, korupsi masih massif dimana mana,
belanja Negara masih besar pasak dari pada tiang, subsidi
sector non produktif terlalu besar, surat utang Negara meningkat
dengan bunga mencekik.
Mantan Wakil Presiden RI Boediono tanggal 15
2
November 2013 dalam Pidatonya di Monash Campus
Melbourne menyatakan Pendidikan di Indonesia tertinggal, baik
dari sisi fasilitas maupun materi. Indonesia saat ini menghadapi
middle income trap tak mampu bersaing dengan maju karena
kalah dalam teknologi dan pendidikan.
Dari beberapa pendapat para ahli dan melihat kondisi
realitas yang ada kemudian menjadi dasar petimbangan
Organisasi IDI mengeluarkan sikap/ atau usulan terkait
pelaksanaan MEA untuk sector kesehatan yang diharapkan bisa
menjadi perhatian dari pemerintah. Terkait sikap/usulan
terhadap kesiapan Pemerintah khususnya disektor kesehatan
dalam dalam mengahadapi MEA yang efektif akan dilaksanakan
2016 kemudian memunculkan sejumlah pertanyaan :
1. Bagaimana Potret Pembangunan Kesehatan Di indonesia
saat ini ?
2. Apa yang menjadi catatan penting sector kesehatan
kedepan ?
3
B. Pembahasan :1. Bagaimana Potret Pembangunan Kesehatan di
Indonesia saat ini ?Pembangunan kesehatan bertujuan untuk
"meningkatkan derajat kesehatan dan gizi masyarakat
pada seluruh siklus kehidupan baik pada tingkat individu,
keluarga maupun masyarakat". Untuk mencapai tujuan ini
dibutuhkan reformasi yang fokus pada: (a) upaya
penurunan kematian ibu dan kematian bayi; (b)
penguatan upaya promotif dan preventif; (c) penguatan
pelayanan kesehatan dasar berkualitas; (d) penguatan
sistem pengawasan obat dan makanan; dan (e)
pemantapan sistem jaminan kesehatan nasional . Ada
setidaknya delapan isu strategis kesehatan yang dapat
dilihat secara faktual dan permasalahannya. Selain
berfungsi sebagai bukti empiris bahwa mereka layak
dinobatkan sebagai isu strategis, penyajian kondisi
faktual dan/atau permasalahan dari setiap isu dapat
memberikan arah dalam memformulasikan strategi yang
harus diambil untuk meredam isu-isu yang terdeteksi.
Isu 1: Peningkatan Kesehatan Ibu, Anak, Remaja dan Lansia
Angka Kematian Ibu (AKI) naik dari 228 (2007)
menjadi 359 (2012). Sementara itu, penurunan Angka
Kematian Bayi (AKB) melambat terutama kematian
neonatal. Disparitas AKI dan AKB terdeteksi antar sosial
ekonomi, daerah serta kota-desa. Potret status
kesehatan ini disebabkan oleh sejumlah faktor:
a) keberlangsungan pelayanan (continuum of care)
4
kurang terjaga.
b) cakupan kunjungan dan persalinan nakes tinggi,
namun kualitas persalinan tidak memadai karena
masalah ketersediaan obat, alat dan nakes;
c) cakupan kunjungan KI, K4, linakes meningkat, tetapi
kelahiran di faskes hanya 36,8%;
d) anemia remaja putri usia 15-19 tahun 46,6% (tidak
hamil) dan 38,8% (hamil);
e) kondisi fasilitas dan nakes kurang memadai.
Sebagian besar kab/kota belum memenuhi standar
Puskesmas PONED (hanya 7,6% RS PONEK
memenuhi semua standar) dan semua jenis nakes di
Puskesmas dan Rumah Sakit masih kurang.
Isu 2: Perbaikan Status Gizi Masyarakat
Indonesia menghadapi masalah ganda gizi
pada anak, kegemukan dan obesitas pada orang
dewasa, dan keamanan pangan. Masalah gizi anak
terjadi disemua kelompok penduduk (miskin dan
kaya). Dari tahun 2010 ke 2013, persen kekurangan
gizi anak (underweight, stunting, wasting) naik
(Gambar 3). Demikian halnya dengan masalah gizi
lebih (kegemukan dan obesitas). Masalah gizi lainnya
terdiri atas : (i) gizi mikro (anemia, kekurangan
kalsium), dan (ii) perilaku masyarakat yang belum
mendukung kesehatan, gizi, sanitasi, higine dan pola
pengasuhan.
Isu 3: Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.
Beban ganda kasus penyakit tidak menular (PTM)
naik sementara penyakit menular tinggi--merupakan
kondisi yang sedang dihadapi. Tingginya penyakit
5
menular disebabkan oleh akses penduduk terhadap air
minum dan sanitasi masih rendah. Sedangkan naiknya
kasus PTM disebabkan oleh meningkatnya faktor resiko:
hipertensi, tingginya glukosa darah dan kegemukan
(karena pola makan, kurang aktivitas fisik, dan kebiasaan
merokok). Potret penyakit menular yang dihadapi meliputi
prevalensi AIDS dan insiden HIV (infeksi baru) tinggi.
Malaria, DBD, diare dan TB turun, namun demikian (i)
prevalensi malaria dan DBD di daerah endemis masih
tinggi; (ii) Diare dan TB masuk 10 besar penyebab
kematian; (iii) muncul resiko multi-drug resistante TB.
Neglected diseases juga masih ditemukan: kusta nomor
3 terbesar di dunia dan Frambusia di Asia Tenggara
hanya ditemukan di Indonesia dan Timor Leste.
Globalisasi memberikan anca- man tambahan penyakit
menular (Polio, SARS, Flu Burung, MERS) dari negara-
negara lain.
Isu 4: Ketersediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Pengawasan Obat dan Makanan
Sejumlah masalah terdeteksi terkait kondisi
farmasi, alkes, obat dan makanan. Ketersediaan obat
dan vaksin tidak merata. Angka ketersediaan nasional
2013 (93%), dengan variasi sangat tinggi (>100%)
ditemukan di 13 propinsi dan kurang 80% di propinsi
lainnya. Pemenuhan standar mutu, khasiat dan
keamanan obat 96,8% dan alkes 85.84%. Namun yang
bersertifikasi 78,22% (sarana produksi obat) dan 78,18 %
(sarana produksi alkes dan PKRT). Penggunaan obat
generik Puskesmas (96,1%) lebih tinggi dibandingkan RS
(74,89%). Penggunaan obat rasional hanya 61,9%, dan
pengetahuan obat generik rendah. Meski 71,63%
instalasi farmasi memenuhi standar, kesesuaian layanan
6
kefarmasian dengan standar hanya 35,3% (RS) dan 25%
(Puskesmas).
Isu 5: Peningkatan Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat. Upaya promosi kesehatan
dan pemberdayaan masyarakat masih memprihatinkan.
Tengok fakta berikut: (i) maraknya kebijakan tidak
berwawasan kesehatan. (ii) lingkungan yang belum
mendukung upaya peningkatan perilaku hidup bersih dan
sehat. (iii) belum optimalnya pemberdayaan masyarakat
termasuk upaya kesehatan berbasis masyarakat (iv)
rendahnya perilaku hidup bersih dan sehat, terutama
konsumsi sayur dan buah, ASI ekslusif, cuci tangan, dan
aktivitas fisik. (v) pelayanan kesehatan yang belum
sepenuhnya mendorong promosi kesehatan.
Isu 6: Pengembangan Program JKN SJSN
Program JKN menghadapi sejumlah isu pada
beberapa aspek, yaitu: (1) kepesertaan, (2) pelayanan,
(3) pembayaran provider, (4) pelaksanaan, pemantauan
dan evaluasi, serta (5) regulasi. Perluasan peserta butuh
terobosan untuk mencapai cakupan universal 2019
karena dominasi pekerja informal yang notabene sulit
dibidik dalam program jaminan. Selain itu, sebagian
peserta (khususnya PBI) belum tahu jika mereka sudah
dijamin. Skema jaminan (Jamkesda, TNI/Polri, dan JPK
Jamsostek) yang seharusnya merger sejak 2014 hingga
kini belum terintegrasi dengan optimal. Belum optimalnya
peserta dari kelompok penerima upah (Swasta)
bergabung JKN.
Masalah pelayanan mencakup: (i) hambatan
akses peserta karena biaya tidak langsung tinggi dan
kondisi geografis; (ii) fasyankes belum memenuhi standar
7
sarana, tenaga dan kualitas; (iii) rendahnya fasyankes
primer swasta yang bekerjasama dengan BPJS; (iv)
sistem rujukan belum optimal serta (v) standar praktik
layanan kesehatan perlu dibangun. masalah pembayaran
providers mencakup reformasi dan implementasi skema
Kapitasi dan INA-CBGs yang belum tuntas. Upaya
perbaikan harus dilakukan, termasuk upaya
meminimalisir implikasi kedua skema pembayaran
tersebut terhadap kualitas, biaya dan perlindungan
peserta.
Pelaksanaan sosialisasi dan advokasi masih
perlu ditngkatkan. belum terlembaganya rancangan
pemantauan dan evaluasi JKN berpotensi menimbulkan
deviasi JKN dalam meraih tujuan yang hendak dicapai.
Permasalahan lain terkait upaya sinkronisasi regulasi
antara regulasi satu dengan yang lainnya.
Isu 7: Pemenuhan SDM Kesehatan
Jumlah, sebaran dan kualitas tenaga kesehatan
merupakan masalah krusial SDM Kesehatan.
Kekurangan berbagai jenis tenaga kesehatan terdeteksi
di sejumlah fasyankes. Dari 9.550 Puskesmas, ada 9,8
persen puskesmas tanpa dokter, 2.194 puskesmas tanpa
tenaga gizi dan 5.895 puskesmas tanpa tenaga promkes.
Masalah kekurangan nakes diperparah oleh maldistribusi.
Isu 8: Pembiayaan/Belanja Kesehatan relatif kecil.
Tahun 2011, total belanja kesehatan 2,9 persen
PDB, sekitar USD 95 per kapita per tahun. Dari total
pengeluaran tersebut, sebagian besar (62.5%)
merupakan belanja dari sumber masyarakat (swasta dan
out of pocket), dan sisanya pemerintah.
8
Rendahnya dana kesehatan diperburuk oleh
masalah inefisiensi alokatif dan teknis. Indikasi inefisiensi
terdeteksi dari sejumlah fakta, seperti: (i) Porsi alokasi
dana untuk layanan kesehatan primer sangat kecil
dibanding- kan layanan sekunder;(ii) Alokasi dana
program kesehatan masyara- kat (promosi kesehatan,
pencegahan, Gizi, KIA, KB, Kesehatan Lingkungam dll)
sangat rendah dibandingkan dengan layanan kuratif;
(iii)Belanja obat menyedot porsi signifikan (> 40%)
terhadap total belanja kesehatan Padahal, kedepan,
kenaikan belanja kesehatan tidak mungkin dihindari
karena: (a) transisi epidemiologi dimana biaya
penanganan PTM semakin mahal; (b) lonjakan
permintaan kesehatan seiring perkembangan peserta
JKN; (c) peningkatan teknologi kesehatan, dll
2. Tantangan Sektor Kesehatan menghadapi MEA ?
Dari sudut pandang optimisme, MEA adalah
kesempatan bagi kalangan medis Indonesia untuk
meningkatkan kualitas dan daya saingnya sehingga tetap
diperhitungkan oleh konsumen kesehatan Indonesia.
Meski pandangan pesimistis juga ada: tersingkirnya
dokter dan tenaga kesehatan Indonesia dari arena
pelayanan kesehatan. Pesimisme ini selayaknya menjadi
motivasi bagi kita semua yang bekerja di sektor
kesehatan untuk terus maju dan memperbaiki diri.
Apapun kenyataannya, yang harus ditekankan
adalah kepentingan pasien harus didahulukan di atas
segalanya. Sebagai manusia, semua pasien tanpa
kecuali berhak untuk memperoleh pelayanan dan
perawatan paripurna dari dokter. Untuk
menyelenggarakan pelayanan kesehatan paripurna
tersebut dibutuhkan kompetensi tertentu, yakni
9
kompetensi integratif dan kompetensi klinik. kompetensi
integratif adalah disiplin ilmu yang perlu dikuasai oleh
setiap dokter agar dapat menerapkan pengetahuannya
sebaik mungkin untuk memecahkan masalah pasien
secara efektif.
Kompetensi integratif ada 3 jenis. Pertama,
kompetensi integratif yang berisi nilai luhur, nilai-nilai
fundamental yang diperlukan oleh setiap dokter, yaitu
kemampuan untuk memadukan pendekatan humanistik
terhadap pasien yang disertai dengan profesionalisme
tinggi dan pertimbangan etika. Manusia bukan hanya
merupakan kumpulan organ, dan karena itu pasien bukan
hanya organ yang sakit atau kumpulan organ yang sakit.
Di luar faktor fisiknya pasien, seperti halnya juga dokter,
adalah makhluk yang dikaruniai kecerdasan, akal budi,
dan spiritualitas. Pengalaman dan persepsi pasien
mengenai situasi yang melingkupinya perlu mendapatkan
apresiasi yang wajar dari dokter yang merawatnya. hanya
dengan kepekaan tinggi seorang dokter dapat
membangun empati terhadap pasien. Ada tidaknya
empati, akan sangat berpengaruh dalam persepsi pasien
mengenai kualitas pengobatan yang diterimanya.
Kompetensi integratif kedua adalah kompetensi
yang harus dimiliki oleh dokter sebagai seorang
profesional, yaitu antara lain kemampuan untuk selalu
belajar terus-menerus, memahami epidemiologi klinik,
cara berpikir kritis dan kemampuan manajerial yang
berkualitas.
Kompetensi integratif ketiga diperlukan dokter
dalam praktek sehari-hari. Hal ini termasuk asuhan
pengobatan di rumah, serta manajemen informasi.
Evidence-based Medicine (EBM) yang menjadi
10
kecenderungan baru dalam bidang pengobatan sangat
didukung oleh teknologi komputer dan informatika.
Karena itu hampir tidak ada alasan bagi dokter-dokter
baru untuk ketinggalan di bidang ini.
Kompetensi klinik, di sisi lain, adalah kompetensi
mengenai pengetahuan dan keterampilan dalam
berbagai topik klinik. Untuk Penyakit Dalam, misalnya,
topik klinik yang dimaksud antara lain kardiologi,
pulmonologi, hematologi-onkologi medik, metabolik
endokrin, hepatologi, gastroenterologi, geriatri, ginjal
hipertensi dan lain lain.
Ilmu pengetahuan kedokteran, harus disadari,
berkembang dengan sangat dinamis. Apa yang hari ini
dianggap sebagai kebenaran boleh jadi akan terbukti
sebaliknya hanya dalam waktu beberapa tahun. Karena
itu seorang dokter yang baik adalah juga dokter yang
terus-menerus memperkaya diri dengan pengetahuan
baru dan cukup rendah hati untuk mengakui keterbatasan
pengetahuan yang dikuasainya.
Kompetensi seorang dokter yang baik, dengan
demikian, tidak hanya melibatkan kemampuan untuk
menegakkan diagnosis dan menetapkan prosedur
pengobatan yang tepat guna dan berhasil guna.
Kompetensi seorang dokter juga mensyaratkan
kemampuan untuk bekerja sama dengan dokter lain.
Segenap kemampuan tersebut diarahkan tidak hanya
menyembuhkan pasien, tapi juga menghilangkan
penderitaan dan tekanan yang dialami pasien karena
kondisinya.
11
Kompetensi dan etika menempatkan kepentingan
pasien di atas sistem, karena itu, harus dijaga sebaik-
baiknya dalam era pasar bebas yang sudah di depan
pintu. karena itu dokter dan teknologi kesehatan yang
datang ke Indonesia harus mendatangkan manfaat yang
besar untuk masyarakat. sejak beberapa tahun lalu
sebenarnya pemerintah RI sudah menetapkan bahwa
dokter asing yang datang ke Indonesia adalah dalam
rangka alih teknologi dan meningkatkan keilmuan dokter
dan dokter gigi di Indonesia. karena itu ilmu yang mereka
bawa adalah yang sudah teruji secara ilmiah (evidence-
based medicine), yang tentu akan menguntungkan
masyarakat.
Lebih rinci, ada empat syarat yang harus dipenuhi
oleh dokter asing sebelum mereka membuka praktek di
Indonesia.
a. Hanya boleh jika bidang yang dikuasainya tidak ada di
Indonesia.
b. Harus melakukan proses transfer pengetahuan atau
teknologi, sehingga hanya boleh di rumah sakit yang
mengembang fungsi pendidikan.
c. Jika ada perjanjian resiprokal dengan negara asalnya.
Dengan kata lain, dokter Indonesia juga boleh praktik
di negara asal dokter tersebut.
d. Harus memiliki izin yang dikeluarkan baik oleh
pemerintah maupun organisasi profesi. Jadi harus
punya Surat Tanda Registrasi (STR) dan Surat Izin
Praktik (SIP)
Pengaturan ini diperlukan untuk menjaga agar
profesi kedokteran di era pasar bebas sekali pun tetap
pro rakyat. Artinya kebijakan yang diambil harus
menjamin rakyat terlindung dari praktik-praktik yang
12
merugikan.selain itu juga pengaturan mengenai
pendidikan kedokteran masih harus ditingkatkan terus
kualitasnya. Mengapa pendidikan kedokteran perlu
diatur?
Pertama, sebagai bagian dari pendidikan nasional,
pendidikan kedokteran harus diselenggarakan “secara
terencana, terarah, dan berkesinambungan untuk
menumbuhkembangkan penguasaan, pemanfaatan,
penelitian, serta pemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi.” dalam pendidikan kedokteran tidak sekadar
mutu, kompetensi, profesionalitas dan tanggungjawab
yang ditekankan, tetapi juga etika, moralitas,
kemanusiaan serta jiwa sosial. bahkan sejak awal,
seperti disebutkan dalam RUU Pendidikan Kedokteran,
calon mahasiswa Kedokteran harus lulus seleksi
penerimaan, tes psikometri serta tes lain yang meliputi uji
kognitif, tes bakat, dan tes kepribadian. mirip dengan tes
kepribadian untuk seorang calon perwira yang akan
memegang senjata. Ini karena profesi mereka membuat
mereka sangat dekat dan berperan dalam upaya
kesembuhan pasien.
Terkait dengan hal tersebut yang mungkin
dianggap terpenting dan paling strategis dari RUU
Pendidikan Kedokteran adalah urgensi untuk menjaga
kualitas dokter. RUU ini menekankan standar kompetensi
dokter paling sedikit mencakup (1) etika, moral,
medikolegal, profesionalisme dan keselamatan pasien,
(2) komunikasi efektif, (3) keterampilan klinis, (4)
landasan ilmiah ilmu kedokteran, (5) pengelolaan
masalah kesehatan; (6) pengelolaan informasi, dan (7)
pengembangan wawasan dan pengembangan diri.
13
Yang juga jelas, mengingat strategisnya posisi
dokter dan bidang kesehatan bagi kualitas hidup
masyarakat dan bangsa, kualitas Fakultas Kedokteran
harus merata – baik di PTN maupun PTS, baik di ibukota
negara maupun di daerah. Sayangnya sejauh ini data
yang ada menunjukkan kualitas dan kompetensi lulusan
FK di Indonesia belum merata. Hasil Ujian Kompetensi
Dokter Indonesia (UKDI) tahun 2011 menunjukkan angka
kelulusan hanya kurang dari 60%, sementara ketika
diulang hanya 9.06% yang lulus.
Kedua, pendidikan kedokteran di FK selama ini
dikenal berbiaya mahal. bahkan termahal dibanding
fakultas-fakultas lainnya. Tanpa pengaturan yang jelas
oleh UU, bisa jadi hanya kalangan menengah ke atas
saja yang bisa mengakses pendidikan kedokteran.
akibatnya, kelompok menengah-bawah tak bisa berharap
banyak menyekolahkan anaknya ke FK dan menekuni
profesi yang sesungguhnya mulia ini. Pemerintah perlu
mengatur skema pembiayaan pendidikan kedokteran
yang jelas sehingga membuka akses untuk semua siswa
yang ingin dan mampu kuliah di FK.
Selain itu, karena biaya pendidikan yang tinggi, tak
bisa disalahkan jika lulusan-lulusan FK lebih
terkonsentrasi di wilayah perkotaan. selain karena
fasilitas rumah sakit yang rendah atau malah tidak ada di
wilayah pinggiran sehingga tak memadai untuk
pelayanan kesehatan yang maksimal, bukan rahasia lagi
bahwa sangat banyak dokter muda yang gajinya di
bawah UMR. sangat bisa dipahami jika para dokter
memilih untuk bekerja di lokasi dan wilayah yang
dianggap dapat menjamin kehidupan yang sekadar layak,
bukan berlebihan. Affirmative action dibutuhkan untuk
14
memperlebar akses siswa berprestasi dari wilayah
terpencil untuk masuk ke fakultas kedokteran.
Diharapkan, kelak setelah lulus, mereka akan mengabdi
di daerah asalnya. Tapi tentu saja hal ini juga terkait
dengan ada-tidaknya sarana pengabdian di sana.
Kesehatan Sebagai Industri
Terkait dengan pemberlakuan MEA, kalangan
kedokteran dituntut untuk mulai melek dengan ekonomi.
harus dipaham bahwa Investasi asing di bidang
kesehatan berarti : (1) membuka peluang bisnis bagi
pemilik modal, (2) kesempatan menikmati kemajuan
mutakhir teknologi kedokteran bagi kalangan mampu dan
(3) semakin terpinggirnya kelompok miskin yang tidak
tercakup oleh sistem jaminan apapun. tanpa
perlindungan dari pemerintah dan kepedulian sektor
kesehatan dikhawatir Indonesia hanya menjadi ladang
basah bagi dokter asing maupun pemodal asing di
bidang kesehatan.
Salah satu kesepakatan yang ditandatangi dalam
ASEAN Framework Agreement on Services adalah
penyertaan modal asing yang mencapai 70 (67%)
persen, kecuali di Makassar dan Manado yang “hanya”
51 persen. kita layak khawatir akan terjadi liberalisasi
jasa kesehatan jika investasi mereka, ditetapkan sebesar
itu. Selain itu, kesepakatan ini bisa menjadi alasan untuk
“menggagalkan” aturan bahwa dokter asing di Indonesia
hanya dibolehkan untuk proses transfer teknologi karena
tujuan investor menanamkan investasinya adalah
keuntungan. Pembangunan kesehatan tidak menjadi
concern pemodal. Pembangunan dan peningkatan
derajat kesehatan masyarakat diserahkan sepenuhnya
kepada pemerintah.
15
Karena itu semua jajaran sektor kesehatan
Indonesia, perlu mendorong dan memperkuat pemerintah
untuk sepenuhnya memegang kendali dalam perbaikan
sistem kesehatan nasional. tanpa itu MEA hanya akan
mengakibatkan pelayanan kesehatan berbiayai tinggi dan
kesenjangan kesehatan akan semakin tak teratasi.
C. Kesimpulan 1) Terkait delapan Isu yang Terjadi saat ini pada sector
Kesehatan dapat disimpulkan sebagai berikut, Bahwa
Untuk mencapai tujuan pembangunan sebagaiman yang
di isyaratkan dalam dokumen Rencana Jangka Panjang
Nasional Bidang Kesehatan 2009-2025, diperlukan
reformasi pada sektor kesehatan. Reformasi difokuskan
pada lima area berikut ini:
a) Upaya penurunan kematian ibu dan kematian bayi,
b) Penguatan upaya promotif dan preventif,
c) Penguatan pelayanan kesehatan dasar (primary
health care) yang berkualitas,
d) Penguatan sistem pengawasan obat dan
makanan,
e) Pemantapan SJSN bidang kesehatan.
Implementasi dari lima area reformasi tersebut
diatas juga harus didukung oleh kerangka pendanaan
dan regulasi, serta sistem birokrasi dan struktur
kelembagaan yang memadai.
2) Pembenahan semua lini system kesehatan nasional
menjadi hal utama Pemerintah dalam mengadapi MEA.
Di mulai dari system pendidikan tenaga kesehatan
sampai dengan kebijakan pelayanan kesehatan
16
D. Saran
Menghadapi tantangan Pembangunan Kesehatan yang
belum merata di tahun 2015, perlu diantisipasi beberapa
Langkah sebagai berikut :
1. Mengkaji kembali proses perencanaan, penganggaran
dan pembiayaan, serta model pengelolaan dana untuk
Sektor Kesehatan diberbagai tingkat pemerintah
(Kemenkes, Kab/Kota, dan Provinsi) dalam rangka
sinkronisasi berbagai Kebijakan Lintas Sektor.
2. Penguatan bimbingan teknis pemberdayaan kesehatan
yang produktif untuk meningkatan kepedulian kepada
masyarakat Berbasis Ilmu dan teknologi untuk tenaga
kesehatan
3. Melanjutkan kembali monitoring dan evaluasi JKN di
tahun 2015 sebagai bentuk lanjutan kegiatan serupa
pada tahun 2014. Dengan pengkinian data yang
diperlukan serta perluasan kerjasama seperti yang telah
diikuti oleh beberapa universitas di 12 provinsi dengan
pengembangan ke provinsi lain serta universitas yang
lain.
4. Memperkuat Harmonisasi kebijakan lintas sector
khususny yang menyangkut dengan kesehatan
17
DAFTAR PUSTAKA
Bustami, Gusmardi. 2009. Menuju ASEAN Aconomic Community 2015
H, Dhenny dan Pazli.2013. Peluang dan tantangan Indonesia dalam
Keikutsertaan Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015.
Hokumonline.com. 2013. Strategi Pemerintah Hadapi AEC 2015.
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt51d63934f0fb0/strategi-
pemerintah-hadapi-aec-2015. (diakses 24 Oktober 2015)
Indriawan, Jery. Komunitas ASEAN dan Masyarakatnya.
https://www.academia.edu/5328988/Komunitas_ASEAN_dan_Kekuata
n_Masyarakatnya. (diakses 24 Oktober 2015)
Hasil Riset Kesehatan Dasar 2012 , Kementrian Kesehatan Republik
Indoneisa. Website akses, 23 oktoer 2015
Health Sector Rivew_Policy Brief , Australia Indonesia Partnership for
Health Systems Strengthening (AIPHSS)
Khairunnisa, Icha. 2014. MEA 2015:Menguntungkan atau Merugikan
Perekonomian Indonesia. Karya Tulis Mahasiswa Universitas Negeri
Jakarta. http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2014/06/12/mea-2015-
menguntungkan-atau-merugikan-perekonomian-indonesia-
665606.html (diakses 23 Oktober 2015)
Kurniati, Kiki. 2011. Implementasi AEC Blueprint di Indonesia menuju
Terwujudnya ASEAN Economic Community (AEC) 2015. Karya Tulis
Ilmiah Mahasiswa Universitas Jambi.
Sholeh.2013. Persiapan Indonesia dalam Menghadapi AEC (ASEAN
Aconomic Community) 2015. Jurnal Ilmu Hubungan Internasional.
1(2):509-522.
http://www.tarif.depkeu.go.id/Others/?hi=AFTA
18