sikap dan pandangan hidup tokoh dalam...
TRANSCRIPT
SIKAP DAN PANDANGAN HIDUP TOKOH DALAM NOVEL
LARUNG KARYA AYU UTAMI
DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN
SASTRA INDONESIA
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan sebagai Salah Satu Syarat
untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S. Pd.)
Oleh :
ZAKIYAH
109013000010
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2014
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI
Skipsi berjudul SIKAP DAN PANDANGAN HIDUP TOKOH DALAMNOVEL LAf,UNG KARYA AYU UTAMI DAN IMPLIKASINYATERHADAP PEMBELAJARAN SASTRA DI SEKOLAH disusun oleh
ZAKIYAH Nomor Induk Mahasiswa 109013000010, diajukan kepada Fakultas
Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UN Syarif Hidayatullah Jakarta dan telah
diryataka! lulus dalam Ujiar Munaqasah pada tanggal 28 Januaxi 2014 dihadapan dewan penguji. Oleh karena itq penulis berhak memperoleh gelar sarjana
S-l (S. Pd.) dalam bidang Pendidikan Bahasa dan Sastra lndonesia.
Jakarta, 29 Ja[uari 2014
Panitia Ujian Munaqasah
Ketua Panitia (Ketua Juusa&4rogram Studi) Tanggal Tanda Tangan
Dra. Mahmudah Fitrivah ZA. M. Pd.NIP 1964012 199703 2 001
Seketads (Sekretaris Jurusan/Prodi)
Dra, Hindunt M. Pd.NIP 19701215 200912 2 001
Penguji 1
Ahmad Bahtiar, M. HumNIP t97601l8 200912 I 002
Penguji II
Dra. Hirdun. M. PdlJrP 19701215 200912 2 001
>B - r -2o\
).4 -t . AotT
1):[:?FIl1
Mengetahui,Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguuan\4i-
Nurlena Rifa'i, MA. Ph. D.NIP. 19591020 198603 2 001
Tanda Tangan
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI
SIKAP DAN PANDANCAN HIDUP TOKOII DALAM NOYEL IARANGKARYA Al'U UTAMI DAN IMPLIKASIITYA TERIIADAP
PEMBELAJARAN SASTRA DI SEKOLAII
Skipsi
Ini diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguuan
Untuk memeouhi syarat-syarat mencapai
Gelar Sarjana Pendidikan Bahasa dan Sasha Indonesia
Oleh :
Zakiiedl.
NlM. 109013000010
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAI(ULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI GNN)
SYARItr'HIDAYATI'LLAH
.IAKARTA
2014
Saya yang bertanda tangan di
Nama
NIM
Jurusan
Judul Sloipsi
LEMBAR PER}TYATAAI\ KARYA ILMIAII
bauah ini:
Tak'vah
Dosen Pembimbing
109013000010
Pendidikan Bahasa dan Sasha Indonesia
: Sikap dan Pandangan Hidup Tokoh dalam Novel
Ldruhg Karya Ayr Utami serta Implikasinya
Terhadap Pembelajamn Sastra Di Sekolah
Dra. Mahmudah Fitiyah. ZA, M.Pd
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu syaat memperoleh gelar Sarjana Strata 1 di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta;
2. Semua sumber yang saya gunakan unhrk memenuhi skipsi ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di IJIN Syarif
Hidayahrllah Jakarta;
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya
ataupun jiplakan dari orang lairL maka saya bersedia menerima sarksi
yang berlaku di UIN SyarifHidayatullah Jakarta.
2014
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur ke hadirat Allah Swt, Tuhan semesta alam yang telah
memberikan petunjuk dan kekuatan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
penulisan skripsi ini. Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Nabi
Muhammad Saw, keluarga, para sahabat, dan kita sebagai pengikutnya sampai
akhir zaman, amin.
Terselesaikannya skripsi yang berjudul SIKAP DAN PANDANGAN
HIDUP TOKO DALAM NOVEL LARUNG KARYA AYU UTAMI DAN
IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN DI SEKOLAH ini
tentunya tidak terlepas dari dukungan banyak pihak, baik dukungan berupa doa,
semangat, sumbangan pemikiran, maupun bahan-bahan yang dibutuhkan bagi
penyempurnaan skripsi ini. Maka, pada kesempatan ini penulis ingin
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Nurlena Rifa’i, MA, Ph. D., Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memimpin FITK dengan jiwa
profesionalismenya sehingga kinerja FITK lebih baik dan profesional;
2. Dra. Mahmudah Fitriyah ZA, M.Pd., Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan
kemudahan administrasi bagi para mahasiswanya, sekaligus selaku dosen
pembimbing skripsi yang telah membimbing penulis dengan kesabaran dan
dedikasi yang tinggi, serta memberikan sumbangan pemikiran yang
mencerahkan hingga terselesaikannya skripsi ini.
3. Dra. Siti Sahara, selaku Dosen Penasehat Akademik, yang telah memberikan
pengarahan sampai terselesaikannya perkuliahan penulis;
4. Seluruh dosen jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FITK UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu,
terima kasih atas ilmu pengetahuan, motivasi, dan pengalaman yang telah
diberikan selama penulis menjalani perkuliahan;
5. Kedua orang tua tercinta, ibunda Nurjannah dan ayahanda M. Mukri yang
senantiasa mendoakan dan mendukung setiap langkah serta keputusan
penulis.
6. Kakak-kakakku tercinta (Hasna, Ismail, Zaeni, Yayah, Yati) terimakasih
banyak atas segala dukungannya baik moral dan materil sampai penulis
menyeleseiakan studinya, juga keponakan dan kakak-kakak iparku yang juga
telah memeberikan doa dan perhatiannya.
7. Sahabat-sahabat seperjuangan di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Siti Humairoh, Ria Fidiyati,
Rhani Shintia Utama, Syifa Annisa, Eva Nihlatul Fauziah, Dini Nurhayati,
Sahabat-sahabat UKM PRAMUKA, MANJA SCOUT, Dedeh Kholilah,
Rahmatul Uyuni, Nursyamsiah, Irma Listiany, dan Riadul Jannah dan teman-
teman PBSI angkatan 2009 yang tidak dapat penulis sebutkan namanya satu
persatu. Semoga apa yang kita cita-citakan tercapai, aamiin;
Akhir kata Tak ada gading yang tak retak. Tidak ada pribadi yang
sempurna, karena manusia bukanlah malaikat. Penulis menyadari skripsi ini
masih jauh dari sempurna. Maka dari itu, penulis mengharapkan kritik dan
saran yang membangun agar ke depannya bisa lebih baik.
Semoga skripsi ini dapat memberikan kontribusi wawasan bagi
cakrawala ilmu pengetahuan dan bermanfaat bagi kita semua. Sehingga dunia
tercerahkan dengan lautan ilmu yang berguna, aamiin.
Jakarta Desember 2014
Zakiyah
ABSTRAK
Zakiyah. 109013000010. “Sikap dan Pandangan Hidup Tokoh dalam Novel
Larung Karya Ayu Utami dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Sastra di
Sekolah”. Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Fakutas Ilmu
Tarbiyah dan Keguruan. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Dosen Pembimbing: Dra. Mahmudah Fitriyah, ZA, M. Pd.
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan sikap dan pandangan hidup
yang ditampilkan dalam novel Larung Karya Ayu Utami. Penelitian ini
menggunakan metode deskriptif kualitatif. Dengan Objek yang akan diteliti yaitu
novel Larung Karya Ayu Utami yang diterbitkan PT Gramedia Pustaka Utama
tahun 2002.
Simpulan dari hasil penelitian diperoleh data sebagai berikut, sikap hidup
dan pandangan hidup yang ditampilkan tokoh meliputi, sikap dan pendangan
hidup tentang budaya atau mitos, sikap dan pandangan hidup tentang Illahi atau
agama, sikap dan pandangan hidup tentang gender atau kelas sosial, sikap dan
pandangan tentang kebajikan, serta sikap dan pandangan tentang sesama
manusia, dan faktor yang mempengaruhinya antara lain, faktor pengalaman
pribadi, orang lain yang dianggap penting, kebudayaan, media massa, instuisi atau
lembaga, faktor emosi dalam diri individu.
Kata Kunci: Sikap dan Pandangan Hidup, Novel Larung, Pembelajaran Sastra.
ABSTRACT
Zakiyah. 109 013 000 010. " The attitude Attitudes and Views of Life in a Novel
Larung created by Ayu Utami and Implications of Learning Literature in School "
. Education majors Indonesian language and literature. Faculty of Tarbiyah and
Teaching Science. State Islamic University Syarif Hidayatullah Jakarta.
Lecturer: Dra . Mahmudah Fitriyah, ZA, M. Pd .
This study aims to describe the attitude and outlook on life are displayed
in novel created by Ayu Utami. This research uses descriptive qualitative method.
With the object that will be studied is the novel larung created by Ayu Utami and
published by PT Gramedia Pustaka Utama 2002.
Conclusions of the research the data obtained as follows, attitudes and
outlook on life are shown figures include, attitudes and Views of Life about
culture or myth, divine or religious life , attitude and outlook on life about gender
or social class, attitudes and views on virtue , as well as the attitudes and opinions
about fellow human beings, and the factors that influence it, among others, factors
of personal experience, others are deemed important, culture, mass media,
intuition, or institution, emotional factors within the individual .
Keywords : Attitudes and Views of Life , Novel float , Learning Literature .
ii
DAFTAR ISI
ABSTRAK ........................................................................................................ i
ABSTRACT ...................................................................................................... ii
KATA PENGANTAR ..................................................................................... iii
DAFTAR ISI .................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ............................................................................ 1
B. Identifikasi Masalah .................................................................... 4
C. Pembatasan Masalah ................................................................... 4
D. Rumusan Masalah ...................................................................... 4
E. Tujuan Penelitian ........................................................................ 4
F. Metodologi Penelitian ................................................................. 5
BAB II LANDASAN TEORITIK
A. Hakikat Novel .............................................................................. 8
B. Unsur Intrinsik Novel ..................................................................... 9
C. Sosiologi Sastra ............................................................................ 15
D. Pengertian Pandangan Hidup ....................................................... 16
E. Pengertian Sikap HIdup ............................................................... 16
F. Manusia dan Pandangan Hidup .................................................... 20
G. Hakikat Pembelajaran Sastra ........................................................ 20
H. Penelitian yang Relevan ............................................................... 21
BAB III PROFIL AYU UTAMI
A. Biografi Ayu Utami................................................................ 22
B. Pemikiran Ayu Utami ............................................................ 27
BAB IV TEMUAN DAN HASIL PENELITIAN
A. Usur Intrinsik Novel ................................................................. 30
iii
1. Tema ................................................................................ 30
2. Tokoh dan Penokohan ........................................................ 30
3. Alur .................................................................................... 36
4. Latarr .................................................................................. 40
5. Sudut Pandang ................................................................... 48
B. Sikap dan Pandangan Hidup Tokoh Larung ............................ 49
C. Implikasi Terhadap Pembelajaran Sastra di Sekolah ............... 68
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .............................................................................. 73
B. Saran ........................................................................................ 74
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 75
LEMBAR UJI REFERENSI
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Lahirnya suatu karya sastra tidak bisa lepas dari keadaan lingkungan sosial
pengarangnya, selebihnya suatu karya selalu ditempatkan pada posisi seimbang
antara teks dan penciptanya. Karya sastra diciptakan oleh sastrawan untuk
dinikmati, dipahami, dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Karya sastra adalah
produk masyarakat, sebab karya sastra lahir dan berkembang dalam masyarakat
serta dibentuk oleh masyarakat berdasarkan desakan emosional atau rasional dari
masyarakat. Berarti karya sastra bukan kenyataan hidup sosial, tetapi merupakan
gambaran sosial suatu masyarakat yang dituangkan dalam cerita. Karya sastra
sebagai seni yang berlandaskan cerita secara langsung maupun tidak langsung
membawakan pesan dan moral. Dengan kata lain karya sastra mempunyai nilai-
nilai diperoleh pembaca lewat sastra. Apalagi karya sastra merupakan cerminan
dari masyarakat. Sejauh mana karya sastra itu mencerminkan kehidupan
masyarakat serta hubungan antara karya sastra dengan pembaca dan pengarang.
Karya sastra berkaitan dengan fungsinya salah satunya adalah sebagai
media penghibur dan juga berguna, maksundnya bahwa karya satra sebagai media
sosial memainkan perannya untuk mengajak pembaca untuk tidak sekedar
menyukai kegiatan membaca akan tetapi ada pelajaran dan pengajaran yang ingin
disampaikan oleh pengarang memlui cerita tersebut, dengan mehadirkan kisah
serta polemik sosial yang dekat kenyataannya dengan masyarakat serta sarat akan
nilai-nilai soaial masyarakat. Oleh karena itu sastra dijadikan sebagai media untuk
mengangkat minat membaca yang tidak hanya melihat fungsinya sebagai media
penghibur tetapi juga mempunyai tujuan estetik.
Diantara genre karya sastra yaitu prosa, puisi, dan drama, genre prosalah
khususnya novel yang dianggap paling dominan dalam menampilkan unsur-unsur
sosial. Karena novel menampilkan unsur cerita paling lengkap, memiliki media
paling luas, menyajikan masalah-masalah kemasyarakatan yang juga paling luas
2
dan bahasa novel cenderung bahasa sehari-hari yang paling umum digunakan
dalam masyarakat.1
Novel sebagai salah satu karya seni sastra dapat dikaji dari bermacam-
macam aspeknya baik dari struktur maupun unsur-unsurnya, mengingat bahwa
novel merupakan struktur yang tersusun dari bermacam-macam unsur, sarana
estetika dan nilai serta norma yang ada di dalamnya. Pemahaman novel dapat
ditinjau dari berbagai aspek, hal itu tergantung dari sisi nilai dari novel yang akan
dikaji atau dibahas.
Novel kaitannya dengan karya sastra karya sastra dapat dinilai dari
beberapa kriteria. Kriteria yang mengaitkan karya dan pengarang, kriteria yang
mengaitkan karya sastra dengan kenyataan, karya yang mengaitkan pendapat
pihak kritikus dan karya sastra, karya untuk mengasyikkan pembaca, karya yang
memperhatikan struktur, dan kriteria tradisi. Penilaian terhadap suatu karya sastra
juga dapat dipengaruhi oleh pandangan seseorang mengenai fungsi
sastra.Berangkat dari hal itulah, penulis mengkaji objek penelitian yaitu novel
Larung karya Ayu Utami dengan mengkaji novel dari segi sosiologis.
Larung merupakan novel dwilogi yang dikarang oleh Ayu utami seorang
pengarang wanita. Semula novel ini ingin dijadikan sebuah novel dengan judul
Laila Tak Mampir di New York, dengan novel pertamanya yaitu Saman yang
akhirnya membawa Ayu memenangkan lomba sayembara roman Dewan Kesenian
Jakarta tahun 1998. Akan tetapi dalam proses pengerjaan, beberapa sub plot
berkembang melampaui rencana. Pada akhirnya Saman dan Larung merupakan
dwilogi yang berdiri sendiri.
Ayu Utami adalah seorang pengarang yang tergabung dalam komunitas
Utan Ayu. Ia menampilkan tokoh wanita yang cukup banyak jumlahnya dalam
novel yang ia tulis, demikian juga pelukisan watak yang disandang oleh tokoh
tersebut, sehingga tokoh ini mencerminkan dan mempunyai kemiripan dengan
kehidupan manusia yang sesungguhnya dibandingkan dengan novel-novel yang
1 Nyoman Kutha Ratna, S. U, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian sastra dari strukturalisme
hingga Postrukturalisme, (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2004), hlm 46-47
3
lainnya, demikian pula dengan tokoh wanitanya sangat mewakili kehidupan
wanita zaman sekarang ini sehinnga sangat menarik untuk dikaji lebih mendalam.
Novel Larung karya Ayu Utami kemudian menarik perhatian penulis untuk
mengkajinya. Dari segi psikis,pengarang melukiskan karakter pelaku melalui
pelukisan gejala-gejala pikiran, perasaan dan kemauannya. Dengan jalan ini
pembaca dapat mengetahui bagaimana watak pelaku. Segi sosiologis, pengarang
melukiskan watak pelaku melalui lingkungan hidup kemasyarakatan di samping
selalu merupakan hasil penjelmaan fisiknya, juga merupakan hasil penjelmaan
pengaruh-pengaruh lingkungannya. Oleh karena itu, dalam memahami tokoh,
aspek-aspek yang melekat pada diri tokoh: seperti penamaan, peran, keadaan fisik,
keadaan psikis, dan karakter perlu mendapat perhatian.
Sastra sebagaimana fungsinya yaitu sebagai gambaran dari potret
kehidupan masyarakat yang mengangkat konflik sosial yang terjadi dimasyarakat.
keterkaitan sastra dengan masyarakatyang menjadikan pengarang menuangkan
cerita dengan konflik sosial masyarakat yang terjadi. Rangkaian peristiwa tersebut
digambarkan melalui kehadiaran para tokoh dalam cerita
Sastra kaitannya sebagai cermin dari masyarakat tetunya juga mengangkat
permasalahn-permasalahan yang ada di masyarakat, baik mengenai nilai-nilai,
moral, ideologi dan sebagainya. Nilai-nilai yang ada dalam masyarakat pada
akhirnya ada kaitannya dan menjadi sumber dari pandangan hidup yaitu pola pikir
tertentu pada setiap individu. Pandangan hidup bersifat elastis, tergantung kepada
situasi dan kondisi dan dapat dipengaruhi oleh lingkungan hidup dimana manusia
tersebut berada. Sumber pandangan hidup berasal dari agama, ideologi maupun
hasil perenungan seseorang yang bersifat relatif. Setiap individu memiliki
pandangan hidup dan cita-citanya sendiri dan selalu bermimpi untuk mencapai
apa yang dia inginkan sesuai dengan cita-citanya dan idak sedikit manusia yang
mimpinya menjadi kenyataan.
Melalui novel ini, Ayu mengajak para pembacanya untuk dapat belajar
merasakan dan menghayati berbagai permasalahan kehidupan yang sengaja
ditawarkan melalui perjuangan para tokohnya dalam memaknai hidup dan
berjuang mencari jati dirinya serta upaya para tokoh dalam mencapai kedudukan
4
Dan tujuan hidupnya. Dari permaslahan yang diangkat tersebut penulis tertarik
utuk mengkaji novel Larung dari segi tokoh dengan mengambil tema mengenai
dinamika Sikap dan Pandangan Hidup Tokoh dalam Novel Larung Karya
Ayu Utami dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Sastra di Sekolah
A. Identifikasi Masalah
1. Rendahnya pemahaman pembaca mengenai hubungan nilai sosial dan
budaya yang terdapat dalam cerita
2. Pembaca merasa kesulitan menafsirkan karakter dan pandangan hidup
tokoh yang diceritakan pengarang
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Untuk menghindari terlalu luasnya pembahasan, maka penulis membatasi
penelitian ini pada masalah sikap dan pandangan hidup para tokoh dalam
Novel Larung karya Ayu Utami. Dengan mengkaji aspek sosial budaya
yang terdapat dalam novel.
2. Perumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah di atas, permasalahan dalam penelitian
ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1) Bagaimana sikap dan pandangan hidup tokoh dalam novel Larung
karya Ayu Utami
2) Bagaiman implikasi dari pandangan hidup tokoh dalam novel
Larung karya Ayu Utami terhadap pembelajarn sastra di sekolah?
B. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan, maka tujuan penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Menganalisis bagaimana sikap dan pandangan hidup para tokoh dalam
novel Larung karya Ayu Utami
2. Penulis mengharapkan dengan dilakukannya penelitian mengenai
bagaimana sikap dan pandangan hidup tokoh Larung dalam novel
Larung dalam dapat memberikan pengetahuan bagi paraembaca
mengenai sikap dan pandangan hidup para tokoh wanita yang terdapat
5
dalam novel Larung karya Ayu Utami dan implikasinya terhadap
pembelajaran sastra di sekolah.
C. Metode Penelitian
Adapun metode penelitian dalam skripsi ini adalah sebagai berikut.
1. Tempat dan Waktu Penelitian
Tempat penelitian tidak terpaku terhadap suatu tepat dikarenakan
penelitian yang dilakuakn dengan mengkaji suatu teks atau naskah,
sehingga jika mendukung setiap tempat bisa dijadikan tempat penelitian.
Adapun waktu penelitian ini dilakukan mulai september sampai desember
2013
2. Bentuk dan strategi penelitian
Penelitian ini menggunakan teknik analisis deskriptif kualitatif dengan
metode analisis isi. Penelitian ini mendeskripsikan apa yang menjadi
masalah, menganalisis, dan menafsirkan data yang ada. Strategi yang
digunakan berupa analisis isiberdasarkan data yang didapatkan. Metode
analisis isi yang digunakan dalam menelaah isi dari suatu dokumen yaitu
Novel Larung karya Ayu Utami.
3. Subjek dan objek penelitian
Subjek dari penelitian ini adalah Novel Larung karya Ayu Utami. Objek
penelitian ini adalah Novel Larung karya Ayu Utami yang diterbitkan
pada tahun 2001
4. Fokus penelitian
Fokus penelitian ini adalah mendeskripsikan sikap dan pandangan hidup
para tokoh wanita dalam novel Larung Larung karya Ayu Utami dan
implikasinya terhadap pembelajaran sastra di sekolah. Focus penelitian ini
dilakukan agar penelitian lebih fokus dan terarah sehingga dapat lebih
mudah dipahami oleh pembaca.
5. Sumber data
Sumber data dalam penelitian ini dibedaan menjadi dua, yaitu berupa data
primer dan data sekunder. Sember primer adalah sumber data yang
langsung memeberikan data kepada pengumpul data, sedangkan data
6
sekunder adalah sumber data yang secara tidakk langsung memberikan
data kepada pengumpul data. Sumber data primer dalam penelitian ini
adalah novel Larung. Sedangkan sumber data sekunder dalam penelitian
ini adalah buku-buku serta tulisan yang berkaitan dengan penelitian ini.
6. Teknik pengumpulan data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
dengan teknik pustaka, simak, dan catat. Teknik pustaka adalah teknik
penelitian yang menggunakan sumber-sumber data tertulis untuk
memperoleh data. Teknik simak dalam penelitian ini berarti peneliti
sebagai instrumen melakukan penyimakan secara cermat, terarah, dan teliti
terhadap sumber data primer. Hasil penyimakan tersebut dicatat sebagai
sumber data.
7. Instrumen penelitian
Instrumen penelitian adalah alat atau fasilitas yang digunakan oleh peneliti
dalam mengumpulkan data agar pekerjaannya lebih mudah dan hasilnya
lebih baik., cermat, lengkap serta sistematis sehingga lebih mudah diolah.
Dalam penelitian itu sendiri. Penelitian kualitataf sebagai human
instrumen berfungsi menetapkan fokus penelitian, memilih informan
sebagaisumber data, malakukan pengumpulan data, memilih kualitas data,
analisis data, menafsirkan data, dan membuat kesimpulan data atas
temuannya.
Kegiatan yang dilkukan peneliti sehubungan dengan pengembilan Larung
dan peneliti bertindak sebagai pembaca yang aktif membaca,
mengidentifikasiperistiwa-perisiwa yang menyakut sudut pandang tokoh.
8. Teknik analisi data
Teknik analisis data yang peneliti gunakan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut.
a. Identifikasi
Setetalh data terkumpul, penleiti membaca secara kritis dengan
mengidentifikasi novel yang dijadikan data dalam penelitian, dalam hal
ini novel Larung karya Ayu Utami.
7
b. Klasifikasi
Setelah diidentifikasi, data novel diseleksi dan diklasifikasi sesuai hasil
identifikasi, yaituu unsur intrinsik, sikap dan pandangan hidup tokoh
lalu menghubungkannya dengan pembelajaran sastra.
c. Analisis
Teknik selanjutnya ialah analisi. Seluruh data yang mengandung
mengenai sudut pandang tokoh utama dianalisi dan ditafsirkan secara
keseluruhan
d. Deskripsi
Dalam teknik ini hasil analisi disusun secara sistematis sehingga
memudahkan dalam mendeskripsikan sikap dan pandangan hidup
tokoh yang terdapat dalam novel tersebut.
8
BAB II
LANDASAN TEORETIS
A. Hakikat Novel
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata novel berarti karangan yang
panjang yang mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang-
orang di sekililingnya dengan menonjolkan watak dan sifat setiap prilaku tokohnya.
Kata novel berasal dari bahasa Itali novella yang secara harfiah berart, sebuah barang
baru yang kecil, dan kemudian diartikan sebagai cerita pendek dalam bentuk prosa.
Dalam bahasa Latin kata novel berasal novellus yang diturunkan pula dari kata
noveis yang berarti baru. Dikatakan baru karena dibandingkan dengan jenis-jenis
lain, novel baru muncul kemudian1. Novel juga diartikan sebagai prosa rekaan yang
menyuguhkan tokoh dan menampilkan serangkaian peristiwa serta latar secara
tersusun. Novel sebagai karya imajinatif mengugkapkan aspek-aspek kemanusiaan
yang mendalam dan menyajikannya secara halus. Novel tidak hanya sebagai alat
hiburan, tetapi juga sebagai bentuk seni yang mempelajari dan meneliti segi-segi
kehidupan dan nilai-nilai baik buruk (moral) dalam kehidupan ini dan mengarahkan
pada pembaca tentang budi pekerti yang luhur
Sebagian besar orang membaca sebuah novel hanya ingin menikmati cerita
yang disajikan oleh pengarang. Pembaca hanya akan mendapatkan kesan secara
umum dan bagian cerita tertentu yang menarik. Membaca sebuah novel yang terlalu
panjang yang dapat diselesaikan setelah berulang kali membaca dan setiap kali
membaca hanya dapat menyelesaikan beberapa episode akan memaksa pembaca
untuk mengingat kembali cerita yang telah dibaca sebelumnya. Hal ini menyebabkan
pemahaman keseluruhan cerita dari episode ke episode berikutnya akan terputus.
Dari beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa novel adalah sebuah
cerita fiktif yang berusaha menggambarkan atau melukiskan kehidupan tokoh-
tokohnya dengan menggunakan alur. Cerita fiktif tidak hanya sebagai cerita khayalan
semata, tetapi sebuah imajinasi yang dihasilkan oleh pengarang dari realitas atau
1 Burhan Nurgiyantoro, teori Pengkajian Fiksi. (Yogyakarta:Gajah Mada University Press,
2000)hlm. 9
9
fenomena yang dilihat dan dirasakan, serta dibangun melalui berbagai unsur
intrinsiknya.
B. Unsur Intrinsik Novel
Novel memiliki unsur-unsur pembangun yang menyebabkan karya sastra itu
hadir sebagai karya sastra. Unsur itu adalah unsur intrinsik dan ekstrinsik. Unsur
intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Unsur-unsur
yang secara faktual dapat dijumpai ketika membaca karya sastra. Unsur intrinsik
sebuah novel adalah unsur-unsur yang secara tidak langsung turut serta membangun
cerita.2
Sedangkan unsur ekstrinsik adalah unsur yang menbangun karya sastra di
luar karya, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bangunan system organisme
karya sastra.
1. Tema
Menurut Susminto A. Sayuti, tema adalah makna cerita, gagasan sentral,
atau dasar cerita. Istilah tema sering disamakan dengan topik, padahal kedua
istilah ini memilki pengertian yang berbeda. Topoik dalam suatu karya sastra
adalah pokok pembicaraan, sedangkan tema merupakan gagasan sebtral,
yakni sesuatu yang hendak diperjuangkan dalam karya sastra fiksi.3Menurut
Freir dan Lazarus, tema dinyatakan secara tidak langsung, meskipun ada yang
dirasakan oleh pembaca, serta ttema tidak lain daripada ide pokok, ide sentral
atau ide ide yang dominan dari karya sastra.4
Tema adalah maslah yang menjadi pokok pembicaraan atau yang menjadi
initi topik dalam suatu pembahasan. Tema dapata juga berupa makna atau
gagasan yang mendasari karya sastra. Ada tiga cara untuk menentikan tema,
yaitu.
a. Melihat persoalan mana yang paling menonjol
b. Mementukan persoalan mana yang paling banyak menumbulkan
konflik, yakni konflik yang melahirkan peristiwa.
2 Ibid. hal 36
3 Susminto A. Sayuty. Berkenalan Dengan Prosa Fiksi (Yogyakarta:Gama Media. 200), Cet.
I, hal 11 4 Made Sukada, Pembinaan Kritik sastra Indonesia, (Bandung::Angkasa. 2005) h. 7
10
c. Dengan menghitung waktu penceritaan, yaitu waktu diperlukan untuk
menceritakann peristiwa atau tokoh-tokoh di dalam sebuah karya
sastra sehubungan dengan persoalan yang bersangkutan.5
1. Tokoh dan penokohan
Wellek membedakan dua macam penokohan, yaitu penokohan “datar”
dan penokohan “bulat”. Dikatakan tokoh datar jika watak tokoh dilukiskan
tetap, tidak berubah-ubah sejak awal hingga akhir cerita. Sebaliknya, tokoh
bulat mengalami perubahan watak secara menonjol. Berdasarkan peranannya,
tokoh dapat dibedakan atas tokoh utama dan tokoh bawahan. Tokoh utama
memegang peranan utama, dia diceritakan sejak awak hingga akhir cerita.
Tokoh tambahan lebih berperan sebagai pembantu untuk memperjelas
peranan dan watak tokoh utama.6
Ada beberapa cara untuk menggambarkan karakterisasi mengenai
tokoh, diantaranya yaitu:7
a. Cara ekspositori atau teknik analitis yaitu pelukisan tokoh
dilakukan dengan memberikan deskripsi, uaraian atau penjelasan
secara langsung. Tokoh dihadirkan kepada pembaca dengan
tidak berbelit-belit, melainkan begitu saja dan langsung disertai
dengan deskripsi yang berupa sikap, tingkah laku, atau bahkan
ciri fisisknya. 8
b. Cara dramatik, menggambarkan apa dan siapanya tokoh itu tidak
secara langsung, tetapi melalui hal-hal lain :
1) Menggambarkan tempat atau lingkungan sang tokoh
2) Cakapan (percakapan) antara tokoh dengan lain atau
percakapan tokoh-tokoh lain tentang dia
3) Pikiran sang tokoh atau pendapat tokoh-tokoh lain atau
dia
4) Perbuatan sang tokoh
5 Ibid, h. 8
6 Nurgiyantoro, Op. Cit. h. 164
7 Ibid. h. 195
11
c. Catatan tentang identifikasi tokoh, yaitu cara yang dilakukan
untuk mengenali tokoh-tokoh cerita dengan mengidentifikasi
ciri-ciri fisik, sifat, tingkah laku, dan kepribadian tokoh dengan
melakukan tahapan-tahapan pengenalan, pengulangan dan
pengumpulan data-data yang berkaitan dengaan tokoh.
Tokoh adalah individu rekaan yang mengalami peristiwa atau
berlakuan dalam berbagai peristiwa cerita. Dalam karya sastra prosa, pada
dasarnya ada dua jenis tokoh, yaitu tokoh utama dan tokoh bawahan. Tokoh
utama dapat ditentukan melalui tiga cara: (1) tokoh yang paling terlibat
dengan tema; (2) tokoh yang paling banyak berhubungan dengan tokoh-tokoh
lain; dan (3) tokoh yang paling banyak memerlukan waktu penceritaan. di
samping tokoh utama (protagonis), ada jenis-jenis tokoh lain, yang terpenting
adalah tokoh lawan (antagonis), yakni tokoh yang diciptakan untuk
mengimbangi tokoh utama. Konflik di antara mereka itulah yang menjadi inti
dan menggerakkan cerita. Teori tentang tokoh yang akan digunakan sebagai
landasan analisis ialah teori characterization milik Seymour Chatman.
Dengan berlandaskan pada pemahaman M. H. Abrams mengenai sastra,
Chatman berargumen bahwa elemen tokoh dalam karya sastra seyogyanya
ditelaah menurut dua aspek, yaitu penampilan dan Penampilan dan
kepribadian dapat dirinci menjadi actions (tindakan), manners of thought and
life (cara berpikir dan gaya hidup), habits (kebiasaan), emotions (perasaan),
desires (keinginan), instincts (naluri).
2. Alur
Pengertian alur sering disamakan dengan jalan cerita. Dia istilah ini
berbeda dan mempunyai makna yang berbeda. Pengertian alur sebagai
rangkaian peristiwa yang membangun cerita, dipahami sama seperti jalan
cerita yang terdiri atas rangkaian peristiwa. Jika alur selalu didasari oleh
adanya hubungan sebab-akibat maka jalan cerita hanya berupa rangkaian
peristiwa saja. Dengan demikian, perbedaan asasi antara alur dan jalan cerita
terletak pada ada tidaknya hubungan sebab akibat.
Alur adalah struktur rangkaian kejadian dalam cerita yang disusun
secara logis. Terbatas pada peristiwa-peristiwa yang menjadi dampak dari
12
berbagai peristiwa yang lain, dan tidak dapat diabaikan karena akan
berpengaruh pada keseluruhan karya. Alur merupakan unsur yang sangat
penting dalam karya fiksi. Pemahaman pembaca terhadap cerita yang
ditampilkan tergantung dari cara penyajian alurnya. Istilah alur biasanya Alur
dibangun oleh beberapa peristiwa, awal cerita biasanya biasanya
menceritakan atau memperkenalkan peristiwa yang membuat pembaca
mendapatkan informasi penting dan mengenai hal-hal yang berhubungan
dengan kejadian selanjutnya. Selanjutnya bagian tengah yang menampilkan
konflik yang sudah mulai dimunculkan pada awal cerita dan mulai meningkat
hingga mencapai level klimaks yaitu level puncak dari suatu hal atau konflik
yang terjadi. Kemudian bagian akhir yang merupakan tahap penyelesaian dari
klimaks dan menjadi bagian akhir dari cerita.
3. Latar
Latar adalah waktu yang menunjukan kapan cerita terjadi dan di tempat
mana cerita itu terjadi. Secara garis besra latar fiksi dapat dikategorikan
sebagai berikut. Latar tempat, latar waktu, dan latar sosial. Menurut Asul
Wiyanto, latar adalah tempat, waktu, dan suasana terjadinya peristiwa dalam
cerita. Jadi latar mencakup tiga hal, yaitu latar tempat, latar waktu, dan latar
suaasana.
a. Latar tempat
latar tempat mengacu kepada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan
dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat tersebut mungkin berupa tempat-
tempat dengan nama tertentu, dengan inisial tertentu, ataupun tempat
tertentu dengan nama yang tidak jelas atau hanya berupa petunjuk-
petunjuk yang mengarah pada terjadinya peristiwa.
b. Latar waktu
Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa
yang diceritakan dalam sebuah karaya fiksi. Masalah “kapan” tersebut
biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya
atau dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah
c. Latar sosial
13
Latar sosial menyarankan kepada hal-hal yang berhubungan denga
perilaku sosial atau kehidupan masyarakat yang diceritakan dalam sebuah
karya fiksi.dapat berupa kebiasaan hidup adat istiadat, cara berfikir,
keyakinan, pandanagn hidup dan lain-lain yang terjadi dalam masyarakat.
Latar sosila juga dapat berkaitan dengan statsu sosial tokoh yang
bersangkutan, misalkan atas, menegah, atau rendah.
4. Sudut pandang
Abrams mengatakan bahwa sudut pandang atau Point of View mengacu pada
sebuah cerita dikisahkan. Ia merupakan cara atau pandangan yang digunakan
pengarag sebagai saran untuk menyajikan tokoh, latar, tindakan, dan berbagai
peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca.
Dengan demikian sudut pandang merupakan cara, strategi atau siasat yang
digunakan pengarang untuk mengungkapkan gagasan dan ceritanya.9
Sudut pandang terdiri atas:
a. Sudut pandang orang ketiga “Diaan”
Sudut pandang ketiga “dia” digunakan dalam pengisahan cerita dengan
gaya “dia”. Narator atau pencerita adalah seseorang yang menampilkan
tokoh-tokoh cerita yang menyebut nama, misalnya Telaga, atau
penggunaan kata ganti seperti ; ia, dia, dan mereka. Nama-nama tokoh
cerita, khususnya yang uatam kerap atau terus menerus disebut dan
sebagai variasi, pengarang menggunakan kata ganti. Sudut pandang orang
ketiga terdiri atas:10
1) Teknik Penceritaan “Diaan “ Mahatahu
Teknik penceritaan “diaan” mahatahu yakni yakni penceritaan
yang berada di luar cerita yang melaporkan peristiwa-peristiwa
yang dialami para tokoh dari sudut pandang dia. Penceritaan
mengetahui berbagai hal tentang tokoh, peristiwa, dan tindakan
termasuk motivasi yang melatarbelakanginya. Ia bebas bergerak
dan menceritakan apa saja dalam lingkup waktu dan tempat cerita,
berpindah-pindah dari satu tokoh ke tokoh lainnya. Bahkan,
10
Nurgiyantoro, Op. Cit.h. 248
14
pencerita mampu mengungkapkan pikiran, pandangan, dan
motivasi secara jelas seperti halnya ucapan dan tindakan nyata.11
2) Teknik Penceritaan “Diaan” Terbatas
Sudut pandang yang menggunakan teknik penceritaan “diaan”
terbatas. “dia” berfungsi sebagai pengamat, yaitu pencerita berada
di luar cerita dan biasanya ia mengetahui segala sesuatu tentang
diri seseorang tokoh saja baik tindakan dan batin si tokoh
tersebut. Teknik ini menggunakan sudut pandang cerita yang
objektif dengan menyajikan kepada pembaca pengamatan-
pengamatan luar yang berpengaruh terhadap pikiran, ingatan, dan
perasaan yang membentuk kesadaraan total pengamatan. Dengan
demikian pengarang tidak memberikan komentar dan penilaian
yang bersifat subjektif terhadap peristiwa, tindakan tokoh yang
diceritakan. Ia hanya berlaku sebagai pengamat, melaporkan
segala sesuatu yang dialami dan dijalani oleh seorang tokoh.12
b. Sudut Pandang orang pertama “Akuan”
Sudut pandang orang pertama “aku” terdiri atas: “aku” tokoh utama yaitu
pencerita yang ikut berperan sebagai tokoh utama. Melaporkan cerita dari
sudut oandang “ aku” dan menjadi fokus atau pusat cerita dan “aku”
tokoh tambahan, yaitu penceritaan yang tidak ikut berperan dalam cerita,
hadir sebagai tokoh tambahan yang aktif sebgaai pendengan tau penonton
dan hanya untuk melaporkan cerita kepada pembaca dari sudut pandang
“saya”13
1) Teknik penceritaan “Akuan” Sertaan
Teknik penceritaan akuan sertaan digunakan bila pencertitaan
berlaku sebagai tokoh yang terlibat langsung dengan kejadian-
kejadian dalam cerita. Teknik penceritaan “akuan” sertaan
adalah apabila cerita disampaikan oleh seorang tokoh dengan
menggunakan “aku”. Salah seorang tokoh dalam cerita
11 Albertin Minderop, Metode Karakterisasi Telaah Fiksi (Jakarta: Yayasan Pustaka obor
Indonesia, 2011) hlm. 99
12 Ibid., h. 103
13
Ibid., h. 107
15
berkisah dengan mengacu pada dirinya dengan kata ganti
orang pertama “aku” dan ia berperan dalam pengishana.
Biloa pencerita “akua sertaan” menggunakan “aku” sebagai
tokoh utama, ia menceritakan segala-galanya mengenai
dirinya, pengalaman, pandangan, keyakinan, dan lain-lain.
Nuansanya lebih subjektif dan pembaca seakana-akan dibawa
oleh si pencerita mengikuti apa yang dialaminya dan apa yang
diyakininya. Pembaca kerap bertanya-tanya apakah semua ini
merupakan ide/ gagasan si pengarang.
2) Teknik Penceritaan “akuan” Tak Sertaan
Teknik penceritaan “akuan” tak sertaan digunakan bila
pencerita tidak terlibta langsung dalam cerita walaupun ia
berbeda di dalamnya.
3) Teknik pencerita “Aku” tokoh utama dan “Aku” tokoh
tambahan
Teknik pencerita “aku” tokoh utama menceritakan berbagai
peristiwa dan tingkah laku yang dialaminya secara fisik dan
batiniah serta hubungannya dengan segala sesuatu di luar
dirinya. Pada teknik pencerita “aku” tokoh tambahan. Si
pencerita atau “aku” manampilkan kepada pembaca tokoh lain
yang dibiarkannya bercerita tentang dirinya. Si pencerita inilah
yang menjadi tokoh utama dengan menampilkan berbagai
pengalaman, peristiwa, lakuan, dan hubungannya dengan
tokoh lain.
c. Sudut Pandang Campuran
Sudut pandang campuran terdapat dalam sebuah novel apabila si
pengarang menggunakan lebih dari satu teknik pencertitaan. Pengarang
berjalan berganti-ganti dari satu teknik ke teknik lainnya. Misalnya
penggunaan sudut pandang persona ketiga dengan teknik “dia” mahatahu
16
dan “dia” sebagai pengamat, persona dengan teknik “aku” sebagai tokoh
utama dan “aku” sebagai tokoh tambahan atau sebagai saksi. 14
C. Sosiologi Sastra
Sosiologi adalah telaah yang obyektif dan ilmiah tentang manusia dalam
masyarakat, telaah tentang lembaga dan proses sosial. Seperti halnya sosiologi, sastra
juga berurusan dengan manusia dalam masyarakat dengan di dalamnya terdapat
usaha manusia untuk menyesuaikan diri dan usahanya untuk mengubah masyarakat
itu. Pendekatan terhadap sastra yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakat ini
oleh beberapa penulis disebut sosiologi sastra15
Istilah sosiologi sastra pada dasarnya tidak berbeda pengertiannya dengan
pendekatan sosiologis atau sosiokultur terhadap sastra . Menurut Damono, ada dua
kecenderungan utama dalam telaah sosiologis terhadap sastra. Pertama, pendekatan
yang berdasarkan anggapan bahwa sastra merupakan cermin proses sosial ekonomi
belaka. Pendekatan ini bergerak dari faktor luar sastra untuk membicarakan sastra.
Kedua, pendekatan yang mengutamakan teks sastra sebagai bahan penelitian.
Metode yang digunakan dalam sosiologi sastra ini adalah analisis teks untuk
mengetahui lebih dalam lagi gejala di luar sastra. 16
Pendekatan sosiologi bertolak dari asumsi bahwa sastra merupakan
pencerminan kehidupan masyarakat, melalui karya sastra seorang pengarang
mengungkapkan problem kehidupan yang pengarang sendiri ikut di dalam karya
sastra menerima pengaruh dari masyarakat dan sekaligus mampu memberi pengaruh
terhadap masyarakat bahkan seringkali masyarakat sangat menentukan nilai karya
sastra yang hidup di suatu zaman, sementara sastrawan itu sendiri yang merupakan
anggota masyarakat tidak dapat mengelak dari adanya pengaruh yang diterimanya
dari lingkungan yang membesarkannya dan sekaligus.
Wellek dan Warren mengemukakan tiga klasifikasi yang berkaitan dengan
sosiologi sastra, antara lain:
a. Sosiologi pengarang. Masalah yang berkaitan adalah dasar ekonomi
produksi sastra, latar belakang sosial, status pengarang, dan ideologi.
14
Nurgiyantoro., Op. cit., h 264 15
Robert Escarpit. Sosiologi Sastra (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008)., h. 15 16
Ibid., h. 23
17
b. Sosiologi karya sastra. Masalah yang dibahas mengenai isi karya
sastra, tujuan atau amanat, dan hal-hal lain yang tersirat dalam karya
sastra itu sendiri dan berkaitan dengan masalah sosial.
c. Sosiologi pembaca. Membahas masalah pembaca dan pengaruh sosial
karya sastra terhadap pembaca.17
Hubungan sosiologi dan karya sastra terdapat hubungan timbal balik karena
dalam karya sastra terdapat hal-hal yang menjelaskan tentang moral yaitu sikap atau
nilai-nilai dalam masyarakat, maka di antara keduanya saling melengkapi dan saling
membantu. Sosiologi sastra dapat menyangkut hubungan antara pengarang, karya
sastra itu sendiri, dan pembaca. Dalam penelitian ini sosiologi sastra difokuskan
kepada karya sastra itu sendiri yang mengkaji aspek moral atau sikap dan pandangan
hidup manusia.
Membicarakan masalah sikap dan pandangan hidup pada dasarnya
membicarakan mengenai keadaan manusia dalam menghadapi perkembangan
lingkungan hidupnya. Manusia tidak bisa lepas dari lingkungan sosialnya maka
manusia butuh pedoman yang dapat menjaga stabilitas menyelaraskan dirinya
dengan dunia dan lingkungannya. Manusia hendaknya mempunyai pengetahuan
yang cukup tentang nilai-nilai dan norma yang harus dipatuhi, dihayati, dan
dilakasanakan.
Eksistensi manusia sebagai individu dan prilaku interaksi sosial merupakan
akibat dari sistem sosial, yang pada gilirannya merupakan bagian lingkungan sosial.
Lingkungan sosial melibatkan berbagai komponen, baik fisik maupun non fisik,
yaitu dalam bentuk tradisi baik dalam bentuk bahasa, norma, agama dan lain
sebagainya. 18
D. Pandangan Hidup
1.Pengertian pandangan hidup
Pandangan hidup adalah nilai-nilai yang dianut oleh suatu masyarakat yang
dipilih secara selektif oleh para individu dan golongan dalam masyarakat. Setiap
manusia memiliki keinginan baik maupun buruk. Sikap hidup adalah perasaan
17
Heru Kurniawan, Sosiologi Sastra Teori, Metode, dan Aplikasi.(Jakarta: Graha Ilmu.
2012). h., 14
18
Ktha Ratna.Paradigma Sosiologi sastra. (Yogyakarta: Putaka Pelajar. 2009) Cet II., h 123
18
hati dalam menghadapi hidup,sikap tersebut bisa positif, negatif, apatis atau
sikap optimis maupun pesimis tergantung kepada pribadi dan lingkungannya.19
Manusia adalah bagian dari pandangan hidup. Dalam kehidupan tidak
ada seorang pun manusia yang tidak memiliki pandangan hidup. Apapun yang di
katakan manusia adalah sebuah pandangan hidup karena dapat dipengaruhi oleh
pola pikir tertentu pada setiap individu. Pandangan hidup bersifat elastis,
tergantung kepada situasi dan kondisi dan dapat dipengaruhi oleh lingkungan
hidup dimana manusia tersebut berada.
Sumber pandangan hidup berasal dari agama, ideologi maupun hasil
perenungan seseorang yang bersifat relatif. Setiap individu memiliki pandangan
hidup dan cita-citanya sendiri dan selalu bermimpi untuk mencapai apa yang dia
inginkan sesuai dengan cita-citanya.Tidak sedikit manusia yang mimpinya
menjadi kenyataan. Bermula dari mimpi akan menjadikan kita semangat untuk
mengejar mimpi tersebut.
Pandangan hidup yang diklasifikasikan berdasarkan asalnya yaitu
terdiri dari 3 macam :
1. Pandangan hidup yang berasal dari agama yaitu pandangan yang mutlak
kebenarannya
2. Pandangan hidup yang berupa idiologi yang disesuaikan dengan kebudayaan
dan norma yang terdapat pada negara tersebut
3. Pandangan hidup hasil renungan yaitu pandangan hidup yang relatif
kebenarannya 20
2. Makna Sikap Hidup
Sikap hidup adalah keadaan hati dalam menghadapi hidup ini. Sikap
itu bisa positif, bisa negatif, apatis atau sikap optimis atau persimis,
bergabung pada pribadi orang itu dan juga lingkungannya.21
Sikap itu penting, setiap orang mempunyai sikap dan sudah tentu
tiap-tiap orang berbeda sikapnya. Sikap dapat dibentuk sesuai dengan
kemauan yang membentuknya. Pembentukan sikap ini terjadi melalui
19 Joko Widagdo. Ilmu Budaya Dasar (Jakarta: Bumi Aksara. 2001) h. 122
20
Ibid., h.124
21 Ibid., h. 125
19
pendidikan. Seperti halnya orang militer yang bersikap tegas, berdisiplin
tinggi, sikap kesatria, karena dalam kemiliteran ia dididik kearah sikap itu.
Sikap dapat juga berubah karena situasi, kondisi, dan lingkungan Dalam
menghadapi kehidupan, yang berarti manusia menghadapi manusia lain atau
menghadapi kelompok manusia, ada beberapa sikap etis dan nonetis. Sikap
etis ini disebut juga sikap positif yaitu sikap lincah, sikap tenang, sikap halus,
sikap berani, sikap arif, sikap rendah hati dan sikap bangga.
Sikap nonetis atau negatif ialah sikap kaku, sikap gugup, sikap kasar,
sikap takut, sikap angkuh, sikap rendah diri. Sikap-sikap itu harus di jauhkan
dari diri pribadi, karena sangat merugikan baik bagi pribadi masing-masing
maupun bagi kemajuan bangsa. Dalam berbagai perpustakaan, khususnya
yang menelaah sikap manusia, ada semacam kesepakatan bahwa sikap tidak
lain merupakan produk dari proses sosialisasi dimana seseorang berarti
bahwa sikap seseorang terhadap objek tertentu pada dasarnya merupakan
hasil penyesuaian diri seseorang terhadap objek yang bersangkutan dengan
dipengaruhi oleh lingkungan susial serta kesediaan untuk bereaksi terhadap
objek tersebut
Menurut Van Peursen dalam bukunya strategi kebudayaan mengenai
aktualisasi sikap manusia dari zaman ke zaman dalam menghadapi
kekuasaan-kekuasaan tersebut, melihat adanya 3 periode peralihan yang
mencolok yang dialami manusia pada umumnya. Ketiga pagiode itu adalah:
a) Tahap mitis ialah sikap manusia yang merasakan dirinya terkepung oleh
kekuatan-kekuatan gaib disekitarnya, yaitu kekuasaan dewa-dewa alam
raya atau kekuasaan kesuburan
b) Tahap antiologi ialah sikap manusia yang tidak hidup lagi dalam
kepungan, ia menyusun suatu ajaran atau teori mengenai dasar hakikatnya
segala sesuatu (antologi) dan mengenai segala sesiatu menurut
perinciannya (ilmu-ilmu)
c) Tahap fungsianal ialah sikap dan alam pikiran yang makin nampak dalam
diri manusia modern. Ia tidak begitu terpesona lagi oleh lingkungan
20
(sikap mistis), ia tidak lagi dengan kepala dingin ambil jarak terhadap
objek penyelidikannya (sikap antologis).22
Sementara itu Franz Magnis Suseno melihat adanya dua bahaya yang
terjadi kendala bagi manusia dalam upaya memenuhi ataupun mempertahankan
sikap hidup, kedua bahaya yang dimaksud adalah nafsu dan pamrih.
Nafsu adalah perasaan-perasaan kasar yang bisa menggagalkan kontrol
diri manusia dan sekaligus membelenggunya secara buta secara lahir.
Nafsumemperlemah manusia karena pemborosan kekuatan-kekuatan batin
tanpa guna. Seseorang yang dikuasai nafsu, boleh jadi tidak lagimenuruti akal
budinya, tidak bisa lagi mengembangkan segi-segi halusnya, semakin
mengancam lingkungannya, menimbulkan konflik dan ketegangan-ketegangan
dalam masyarakat dan pada instansi terakhir, membahayakan ketentraman.
Pamrih dan egoisme juga menjadi musuh manusia. Ini bias dimengerti
mengingat seseorang yang bertindak lantaran pamrih semata-mata biasanya
cendrung mengusahakan kepentingannya sendiri tanpa memperdulikan
kepentingan masyarakat. Dilihat dari kacamata sosial pun pamrih itu selalu
mengacau karena merupakan tindakan tanpa perhatian terhadap keselarasan
sosial. Selain itu pamrih sekaligus memperlemah manusia dari dalam, karena
sikap yang mengajar pamrih biasanya akan memutlakkan kekuatannya sendiri.
Dengan demikian itu ia mengisolasikan dirinya sendiri dan memotong diri dari
sumber kekuatan batin yang tidak terletak dalam individualitasnya, melainkan
dalam dasar yang mempersatukan semua kekuata pada dasar jiwa mereka.23
Sikap manusia bukanlah suatu konstruk yang berdiri sendiri, akan tetapi
paling tidak ia mempunyai hubungan yang sangat erat dengan kontruk-kontruk
lain, seperti:
a. Nilai-nilai
b. Sikap
c. Dorongan
d. Motivasi
22
Ibid., h.131 23
Ibid., h.133
21
5. Hubungan Manusia dan Pandangan Hidup
Akal dan budi sebagai milik manusia ternyata membawa ciri tersendiri akan
diri manusia itu. Sebab akal dan budi mengakibatkan manusia memiliki keunggulan
dibandingkan makhluk lain. Satu diantara keunggulan manusia tersebut adalah
pandangan hidup. Disatu pihak manusia menyadari kehidupannya lebih kompleks.
Pandangan hidup berupa suatu penggaris yang mungkin dapat dinyatakan
dengan kata-kata sebagai rumusan juga dapat dikatakan rumusan:
1. Orang yang sulit menyusun perasaan, pikiran dan kejiwaan.
2. Juga karena ia sendiri menyadari bahwa mungkin ia dapat berbuat/ bertindak
yang melanggar prinsip-prinsip yang dikatakan.
3. Dan khawatir kalau ada kritik besar dan penyelewengan pandangan hidup
dari anak-anak atau orang yang di bimbing.24
E. Hakikat pembelajaran sastra
Secara umum tujuan pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia bidang sastra
dan kurikulum 2004 yaitu: (1) agar peserta didik mampu menikmati dan
memanfaatkan karya sastra untuk mengembangkan kepribadian, memperluas
wawsan kehidupan, serta meningkatkan kemampuan dan pengetahuan berbahasa; (2)
peserta didik menghargai dan membagakan sastra indonesia sebagai khazanah
budaya dan intelektual manusia Indonesia. 25
Sastra lahir oleh dorongan manusia untuk mengungkapkan diri mengenai
masalah manusia, kemanusiaan dan semesta. Sastra adalah pengungkapan masalah
hidup, filsafat, agama dan ilmu jiwa. Sastrawan dapat dikatakan sebagai ahli ilmu
jiwa dan filsafat yang mengungkapkan masalah jiwa dan filsafat itu bukan dengan
cara teknis akademis melainkan dengan tulisan sastra.26
Sastra selain sebagai sebuah karya seni yang memilki budi, imajinasi, dan
emosi, juga sebagai karya kreatif yang dimanfaatkan sebagai konsumsi intelektual
dan emosional. Sastra yang telah dilahirkan oleh sastrawan diharapkan dapat
memberi kepuasan estetik dan intelektual bagi pembaca. Maka dari itu tujuan
pembelajaran sastra adalah untuk menanamkan nilai-nilai imajinasi, emosi, juga
24
Ibid., h. 139 25
Riris K. Toha Sarumpaet Sastra Masuk Sekolah , (Magelang, Indonesiatera. 2002)hlm 26
Dr. Wahyudi Siswanto Pengantar Teori Sastra (Jakarta, 2008)hlm 67
22
kreativitas juga nilai-nilai kemanusiaan pada siswa. Sehingga diharapkan hasil dari
pembelajaran sastra siswa dapat menyerap dan mengaplikasikan hasil proses kreatif
dan imajinatif dan niali yang terkandung di dalamnya sebagi pelajaran.
Sastra berkaitan dengan semua aspek manusia dan alam dengan seki tarnya.
Melalui karya sastra selalu ada pesan yang ingin disampaikan terutama pengetahuan
tentang budaya, karna sastra tidak lahir dari kekosongan budaya. Pengetahuan
tentang budaya harus selalu dipupuk dalam masyarakat. Istilah budaya sendiri
digunakan untuk menunjuk ciri-ciri khusus suatu masyarakat tertentu dengan
totalitasnya yang meliputi organisasi, lembaga, hukum, etos kerja, agam, seni dan
sebagainya.27
Pemahaman mengenai budaya dapat menanamkan rasa bangga, percaya diri
dan rasa ikut memilki. Lewat pengajaran sastra dapat mengantar siswa berkenalan
dengan pemikir-pemikir besar dunia dari zaman ke zaman serta pemikiran-
pemikirannya.28
F. Penelitian Relevan
Kajian yang terkait dengan penelitian ini diantaranya adalah penelitian yang
dilakukan oleh Rismatika Ika Indriyani mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia Universitas Muhammadiyah Malang dengan judul “Analisis
Struktur Kepribadian Tokoh Wanita dalam novel Larung Karya Ayu Utami”.
Penelitian ini memfokuskan kajiannya terhadap keperibadian tokoh perempuan
dengan menggunakan teori psikoanalisis Sigmud feurd yang mencakup Id, Ego, dan
Super Ego.
Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Saudara Hasis mahasiswa Fakultas
Ilmu Budaya Unhas (2001) yang hasilnya tertuang dalam skiripsinya yang berjudul “
Kritik Sosial dalam Novel Larung karya Ayu Utami”. Penelitian ini menyampaikan
kritik sosial secara langsung dengan penggunaan kata yang tidak ambiguitas dan
simbol-simbol yang digunakan di dalamnya. Kritik-kritik yang dimaksud adalah
kritik di bidang politik dan pemerintahan, militer, moral dan di bidang hukum.
Selain ditemukan hasil penelitian terhadap karya yang sama, ditemukan pula
sejumlah hasil penelitinan mengenai Sikap dan Pandangan Hidup Tokoh.
27
Nyoman. Op. Cti, h. 396 28
Ibid, Op. Cit,h. 398
23
Diantaranya yaitu penelitian dengan judul Dinamika Sikap dan Pandangan Hidup Pria
Dalam Novel Kubah Karya Ahmad Tohari. Skripsi. STKIP PGRI PACITAN. 2012
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: (1) mendeskripsikan bentuk karakter tokoh
pria dalam novel Kubah. (2) mendeskripsikan sikap hidup yang ditampilkan tokoh pria
dalam novel Kubah yang berkaitan dengan hal-hal yang memperngaruhi sikap hidup
tokoh. (3) mendeskripsikan pandangan hidup yang ditampilkan oleh tokoh pria dalam
novel Kubah
Dari penelitian-penelitian yang telah ada maka penulis mencoba membuat
penelitian dari novel yang sama dengan memfokuskan kajiannya terhadap analisis
Sikap dan Pandangan Hidup Tokoh Larung dalam novel Larung karya Ayu Utami .
Tidak hanya dilihat dari sisi kajian mengenai tokoh tetapi bagaimana budaya dan
sistem-sistem budaya yang ada mempengaruhi sikap, dan pandangan hidup tokoh
dalam novel Larung.
BAB III
PROFIL AYU UTAMI
A. Biografi Pengarang
Yustina Ayu Utami nama lengkap yang diberikan orang tuanya, dilahirkan
di Bogor, 21 November 1968. Bungsu dari lima bersaudara ini, putri pasanga YH
Sutaryo dan Suhartinah. Ayu mengenyam pendidikan di SD Regina Pacis, Bogor
pada tahun 1981, lalu pada tahun 1984 lulus SMP 1 Jakarta, kemudian ke SMA
Tarakanita 1 Jakarta lulus pada 1987. Tahun 1994 Ayu menyelesaikan studinya di
Universitas Indonesia mengambil Jurusan Sastra1. . Tahun 1995 Ayu melanjutkan
Advanced Journalism, Thomson Foundation, Cardiff, United Kingdom lalu ke
Asian Leadership Fellow Program, Tokyo, Japan pada tahun 1999.
Sejak kecil Ayu telah memiliki bakat melukis. Kala Ayu menjadi ketua
sanggar seni di SMU, Tarakanita Jakarta, pada waktu mengadakan pameran,
lukisan yang dipamerkan ternyata kurang jumlahnya. Sebagai ketua, tentu Ayu
ingin pamerannya berhsil. Ayu pun mengisi kekurangan jumlah itu dengan
lukisan yang dibuatnya menggunakan bermacam-macam gaya dan nama. Pameran
itu akhirnya sukses2 Itulah sebabnya, setelah lulus SMU Ayu ingin meneruskan ke
Fakultas Seni Rupa dan Desain, ITB. Tapi bapaknya tidak memberi izin. Alasan
bapaknya tidak mudah bagi Ayu mencari uang dengan melukis. Akhirnya, ia pun
masuk Fakultas Sastra Jurusan Rusia, Universitas Indonesia. Dia mengaku, sejak
kecil ia memang suka bahasa; utamanya bahasa yang aneh-aneh, eksotis. Bahasa
Latin, misalnya. Ia menjatuhkan pilihannya ke Universitas Indonesia (UI) karena
tidak ingin memberatkan orang tuanya. Selain lebih murah dibandingkan dengan
kuliah di swasta, semua kakaknya kuliah di UI. Meski ayahnya sering tugas ke
luar kota, sejak SMP Ayu tinggal di Jakarta bersama keluarganya.3
1 Yugi Astuti, Sastra dari Perspektif Kajian Feminisme: analisis novel saman dan larung
Jurnal Humaniora Vol II no. 1 tahun 2003
2 (http://inohonggarut.blogspot.com/2008/06/ayu-utami-novelisfeminis- indonesia.html).
Lrung Ayu Utami, diakses pada rabu 20 november 2013 pkl. 11.00 wib
25
Saat masuk ke Fakultas Sastra itulah Ayu seperti kehilangan arah. Kuliah
dia jalani dengan malas. Ayu lebih banyak bekerja di berbagai tempat daripada
kuliah. Tapi ia menyebut hal itu bukan sebuah pemberontakan. Ia hanya merasa
tak ada gunanya lulus tanpa pengalaman. Selain itu, Ayu tidak ingin tergantung
soal keuangan pada orang tuanya. Kuliah sambil kerja yang dilakukan Ayu juga
mendobrak kebiasaan di keluarganya. Pada zaman kakak-kakaknya, hal itu tidak
bisa diterima oleh ayahnya.
Dunia tulis-menulis tak begitu akrab di masa kecilnya. Dunia jurnalistik
baru terjadi ketika Ayu mengirim cerpen humor dalam lomba yang diadakan
Majalah Humor sekitar tahun 1989 - 1990. Ia memperoleh juara harapan.
Kemenangan cerpennya di Majalah Humor menariknya menjadi wartawan paruh
waktu di majalah itu. Berhubung kantornya berdekatan dengan Majalah Matra,
Ayu pun jadi dekat dengan orang-orang Matra. Dia pun menjadi wartawan di
majalah khusus trend pria itu. Dari sinilah Ayu menyadari ada bakat menulis,
karena tulisannya jarang diedit. Ia juga pernah menjadi wartawan di majalah
Humor, Matra, Forum Keadilan, dan D&R. Tak lama setelah penutupan Tempo,
Editor dan Detik di masa Orde Baru, ia ikut mendirikan Aliansi Jurnalis
Independen yang memprotes pembredelan. AJI adalah Institusi wartawan di luar
PWI yang pada masanya tidak disukai pemerintah. Kini ia bekerja di jurnal
kebudayaan Kalam dan di Teater Utan Kayu. Ia pun masih bisa merangkap
sebagai redaktur Jurnal Kebudayaan Kalam.4 Ia senang menulis novel, baginya
dunia sastra adalah media untuk mengeksplorasi kemampuan bahasanya, yang
kurang tepat dilakukannya sebagai wartawan. Seorang wartawan dituntut untuk
memperhitungkan publik baik latar belakang, pengetahuan, maupun tingkat
emosionalnya. Di tambah lagi, wartawan tidak bisa keluar dari fakta yang menurut
Ayu, dilematis. Jadi sulit untuk bisa mengembangkan bahasa yang eksploratif.
Novelnya yang pertama, Saman, mendapatkan sambutan dari berbagai kritikus
dan dianggap memberikan warna baru dalam sastra Indonesia.
4 (http://www.ghabo.com/gpedia/index.php/Justina-Ayu-Utami). Ayu Utami, sastra dan
pemberontakan, diakses pada rabu 6 desember 2013 pkl. 15.00 wib
26
Ayu dikenal sebagai novelis sejak novelnya Saman yang diterbitkan oleh
Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta. Saman memenangi sayembara penulisan
Roman Dewan Kesenian Jakarta 1998. Novel ini dicetak pertama kali pada bulan
April 1998 dan sampai tahun 2006 novel Saman ini sudah mengalami cetak ulang
ke-25 Dalam waktu tiga tahun Saman terjual 55 ribu eksemplar. Berkat Saman
pula, Ayu mendapat Prince Claus Award 2000 dari Prince Claus Fund, sebuah
yayasan yang bermarkas di Den Haag, yang mempunyai misi mendukung dan
memajukan kegiatan di bidang budaya dan pembangunan5
Akhir 2001, Ayu meluncurkan novel Larung diterbitkan oleh KPG
(Kepustakaan Populer Gramedia), Jakarta. Lalu kumpulan Esai Si Parasit Lajang
diterbitkan oleh Gagas Media, Jakarta pada tahun 2003. Novel terakhir adalah
Bilangan Fu yang diterbitkan pada tahun 2008 oleh KPG, Jakarta. Ayu Utami
juga meraih penghargaan Khatulistiwa Literary Award tahun 2008 kategori prosa
lewat novel terbarunya, Bilangan Fu. Karya terbaru ini dianggap turut
mengembangkan kehidupan sastra dengan basis penelitian yang kuat6
B. Pemukiran Ayu Uatmi
Dahulu Ayu tidak suka menulis fiksi, tetapi ia berubah setelah menyadari
bahwa novel sastra ternyata tidak sekadar persoalan ide atau cerita, tetapi juga
persoalan pergulatan bahasa, pergulatan pemikiran. Setelah Saman diterbitkan,
kritikpun langsung berdatangan, tetapi jika ada yang mengritik Saman dari segi
seksualitas yang ditampilkan, Ayu hanya menyediakan dua jawaban. Pertama,
katanya ia hanya mau jujur. Kedua, Ayu tidak menampilkan seks sebagai cerita
tentang seks, tapi seks itu problem bagi perempuan. Misalnya, Yasmin dan Saman
membicarakan seks dengan rasa bersalah. Seks jadi diskusi, bukan peristiwa. Ayu
berpendapat bahwa perempuan jangan terlalu mengagungkan keperawanan.
Menurutnya bila wanita begitu memuja keperawanan, ia sendiri yang akan rugi.
6(http://www.kompas.com/read/xml/2008/11/15/06253190/ayu.utami.raih.khatulista.awar
d,).Ayu Utami Novelis Pendobrak Kemapanan, diakses pada hari kamis 05 November 2013 pkl
18.00 wib
27
Keperawanan hilang, ia merasa sudah tidak berarti. Karena itu mengagung-
agungkan keperawanan itu tidak adil karena hanya bisa diterapkan pada
perempuan7. Ayu merasa, masalah seks yang dia sajikan dalam Saman masih
dalam batas yang wajar. Karena menurut Ayu menyajikan seks di situ bukan
merupakan teknik persetubuhan, tetapi berupa pemaparan problematika seks
untuk direnungkan karena banyak dialami oleh wanita. Dan bagi Ayu banyak hal
yang dipersoalkan, bukan hanya masalah seks. Seks bukan masalah utama karena
banyak persoalan lain, seperti sosial, pendidikan, dan hukum yang juga dinilai
tidak adil.
Mengenai perkawinan yang dulu dia rencanakan saat berumur 23–25tahun,
tetapi ternyata sampai sekarang ia tidak menikah. Ayu tidak mau menikah, itu
prinsip yang kini dia pegang. Di buku Parasit Lajang, saya menuliskan 10 alasan
untuk tidak menikah. Salah satunya yang penting bagi saya, menikah itu selalu
menjadi tekanan bagi perempuan. Meskipun perempuan selalu menyatakan
menikah adalah pilihan, tapi dalam kenyataannya menikah itu jadi satu-satunya
pilihan. Karena, kalau tidak menikah, perempuan akan diejek sebagai perawan
tua, dan sebagainya. Kini, selain sebagai kurator Teater Utan Kayu, Ayu Utami
juga dikenal sebagai pecinta olahraga lari. Tak tanggung-tanggung, ia pun turut
serta dalam perlombaan Jakarta 10 K yang belum lama digelar8
C. Sinopsis novel Larung
Novel Larung karya Ayu Utami awal cerita yaitu tahun 1989 yang
mengisahkan seorang tokoh yang bernama Larung Lanang yang ingi membunuh
neneknya. Neneknya adalah orang yang mampu melihat aura yang menyaksikan
kekuasaan bukan dari dinia manusia melainkan dari alam ghaib yang syirik, tubuh
neneknya penuh susuk, hatinya berisi japa-japa, dan pikirannya hanya mantra.
Neneknya bernama Anjani. Ibunyalah yang memnginginkan Larung membunuh
neneknya lalu Larung mencari rahasia neneknya agar bias mengeluarkan jampi-
7 (http://inohonggarut.blogspot.com/2008/06/ayu-utami-novelisfeminis- indonesia.html)
Ayu Utami, Biografi Ayu Utami diakses pada hari kamis 05 November 2013, Pkl. 10.00 wib 8 Ikwanudian Nasution, Sastra dari Perspektif Kajian Budaya: analisis novel saman dan
larung Jurnal Ilmiah Bahasa dan Sastra Vol II no. 1 tahun 2006
28
jampi dari tubuhnya dan akhirnya Larung bias menemukan dokumen yang
memberinya petunjuk mengenai sejarah neneknya dan petunjuk itu unuk
membunuh neneknya. Setelah perjalannya selesai akhirnya neneknya mati.
Cerita kemudian beralih ke tahun 1996, saat Cok, Yasmin, dan Laila
berencana untuk menengok sahabat mereka bersama Shakuntala yang akan tampil
dalam pertunjukan kesenian kolaborasi seniman Indonesia-Amerika. Shakuntala
tinggal di New York dan berprofesi sebagai penari. Yasmin yang bekerja sebagai
pengacara serta aktifis hak asasi manusia dan sudah menikah dengan Lukas yang
ingin bertemu dengan Saman di New York, kekasinya yang tinggal di Amerika
dan pernah jadi buron di Indonesia karena di tuduh sebagai dalang kerusuhan di
Medan. Saman adalah mantan frater pembimbing retret Cok, Yasmin, Laila, dan
Shakuntala saat masih SMP. Laila yang bekerja sebagai fotografer ingin
bercumbu dengan Sihar, kekasihnya yang sudah beristri dan kebetulan sedang
itugaskan di Amerika, sedangkan Cok datang ke Amerikahanya untuk main-main,
menemui Yasmin dan Laila. Laila kemudian bercumbu dengan Shakuntala,
sahabatnya yang memang sejak dari remaja sudah menjadi biseksual. Yasmin
memuaskan perilaku seksualnya kepada Saman yang menderita meshokisme.
Pada tanggal 26 Juli 1996 di Jakarta dan New York, Yasmin mengirim
surat kepada Saman mengenai hubungan atau seksualitas Yasmin. Di musim
panas Saman membuka email dan mendapatkan kabar dari Larung yang bercerita
tentang survey lokasi untuk percetakan tanah dan Saman pun mulai berhubungan
dengan Larung sekitar satu tahun yang lalu. Larung mendapatkan Saman dari
Yasmin dan Cok. Mesti latar belakang dan cara memperkenalkan diri agak ganjil,
Saman tidak pernah merasa curiga. Saman agak heran kedua bulan setelah
perkenalanya, Larung telah memperoleh alamat di @komodo, sebuah jaringan
yang tertutup, di mana pesan-pesan di-entry, sehingga hanya bisa di buka oleh
alamat-alamat yang didaftarkan, agar informasi yang dikirim tidak bias disadap
saat melalui penyelenggara. Yasmin dan Saman mereka dalam tim yang bekerja
untuk pendanaan dan membikin jaringan. Yasmin menulis pesan kepada Saman
dan Saman menerima pesan tersebut yaitu tentang peristiwa 27 Juli. Karena lelah
29
Saman berimajinasi atau bermimpi tentang Yasmin yang dimakan oleh
Larung@komodo.
New York, 5 Agustus 1996, mimpi tersebut membuat Saman meninggalkan
kecemasan dan surat Yasmin datang yaitu tentang ia yang menyembunyikan tiga
aktivis yang dianggap atau dituduh sebagai dalang kerusuhan, kemudian meminta
bantuan Larung Saman untuk membawa lari tiga aktivis tersebut ke luar negeri.
Dalam usaha pelarian tiga aktivis tersebut, yaitu Bilung, Koba, dan Wayan Togog,
mereka dibantu Anson bin Argani, petanin karet yang suka pasangan seksual,
namun kemudian menjadi penjahat dan bajak Laut karena pernah dipenjara akibat
kerusuhan di Medan. Anson adalah adik angkat Saman ketika masih menjadi
pendeta di Medan, namun dalam perjalanan melarikan tiga aktivis tersebut, Saman
dan Larung tertangkap aparat kepolisian. Salah satu dari mereka yaitu Larung
dituduh sebagai pencuri motor dan polisi itu menendang Larung. Larung terus di
introgasi tetapi ia tetap diam dan akhirnya Larung mati di tembak dan beberapa
saat kemudian kepada Saman.
30
BAB IV
TEMUAN DAN HASIL PENELITIAN
A. Analisis Struktural Novel Larung
Di bawah ini akan dijelaskan mengenai unsur intrinsik sebagai unsur
pembangun novel yang meliputi Tema, tokoh dan penokohan, sudut pandang,
latar dan alur.
unsur pembangun novel ini adalah sebagai berikut:
1. Tema
Tema novel Larung adalah pemberontakan manusia terutama
sebagai makhluk terhadap nilai-nilai norma yang ada di masyarakat. Tema
ini diwujudkan dalam konflik tokoh-tokohnya. Mereka memberontak
nilai-nilai dalam kemasyarakatan. Menceritakan tentang kegelisahan-
kegelisahan yang terjadi pada perempuan. Larung mencoba
mengungkapkan lebih jelas tentang eksistensi seks perempuan, politik juga
budaya patriarki, serta kepercayaan pada ilmu gaib.
2. Tokoh dan Penokohan
Tokoh utama dalam novel Larung ini adalah Larung Lanang dan
Saman serta tokoh bawahan Nenek Larung (Nenek Adnjani), Cok,
Yasmin, Laila, Shakuntala.
Dalam penggambaran tokoh Metode yang mengabaikan
kehadiran pengarang sehingga para tokoh dalam karya sastra dapat
menampikan diri secara langsung melalui tingkah laku mereka. Pada
metode ini, karakterisasi dapat mencakup enam hal, yaitu karakterisasi
melalui dialog; lokasi dan situasi percakapan; jatidiri tokoh yang dituju
oleh penutur; kualitas mental para tokoh; nada suara, tekanan, dialek,
dan kosa kata; dan karakterisasi melalui tindakan para tokoh. Pembaca
harus memperhatikan substansi dari suatu dialog. Apakah dialog
tersebut sesuatu yang terlalu penting sehingga dapat mengembangkan
peristiwa-peristiwa dalam suatu alur atau sebaliknya.
31
(1) Tokoh Larung
Larung lahir tahun 1960–an keturunan ksatria Gianjar yang
kawin lari dengan seorang pedagang candu Belanda dan kabur ke Pulau
Jawa untuk menghindari kemarahan keluarga. Ibu Larung akan
memberinya nama Begawan, tapi neneknya lebih senang dengan
Larung Lanang, mempunyai sifat yang agak aneh, tetapi ia seorang
teman yang cerdas dan menyenangkan. Ia mempunyai sifat yang
berlawanan, kadang ia sangat sayang tetapi kadang juga membencinya.
Hal itu terlihat dalam kutipan berikut:
Larung Lanang namanya. Anaknya aneh. Berat 46 kg. Tapi
matanya tajam. Tak ada yang besar pada tubuhnya, tapi aku
merasa ia tidak ringan. Ia pendek, tapi aku merasa ia dalam.
Ia adalah kontradiksi yang mengejutkan. Kadang
kecerdasannya menyenangkan,kadang ketakdugaannnya
menakutkan (L: 91-92).1
Larung membunuh nenek yang sangat ia cintai dan berjimat
dengan cupu, hal ini ia lakukan karena neneknya sudah lama berbaring
tapi tidak meninggal sebelum jimatnya hilang. Bahkan setelah
neneknya meninggal pun Larung masih ingin mengeluarkan jimat
neneknya dengan jalan membedah tubuhnya. Watak yang kontradiksi
pada Larung terlihat ketika ia memotong-motong tubuh neneknya untuk
mengeluarkan jimat, padahal ia begitu menyayanginya. Hal ini terlihat
dalam kutipan berikut, setelah satu per satu potongan kulit kuangkat,
wajah maupun anggota badan, tak kutemukan juga benda-benda sihir
itu.
Maafkanlah, telah aku acak-acak tubuh dan parasmu tetapi tak
kutemukan juga susuk dan gotri. Hanya kini aku percaya bahwa
engkau telah mati (L: 74).2
Nama lengkapnya Larung Lanang ia seorang pemilik
sekaligus pengelola sebuah media turisme dwibahasa di Bali, dekat
1
Ayu Utami.Larung,( Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. 2002)h.,92
2 Ibid,. h 74
32
dengan wartawan independen serta anak-anak Aliansi Jurnalis
Independen dan Forum wartawan Surabaya. Larung mempunyai
sifat yang tidak ambisius, bekerja cepat. Larung bekerja dengan
Saman membantu menyembunyikan aktivis solidarlit, tiga aktivis
yang dikejar-kejar oleh pemerintah karena memberontak, dituduh
menjadi dalang kerusuhan 27 Juli. Larung akan membawa ketiga
aktivis tersebut bersembunyi.
Selama bersembunyi tidak boleh ada kontak dengan siapa
pun, karena ada kontak maka mereka mudah tertangkap.
Peristiwa tersebut seperti dalam kutipan berikut: Selama
proses tak boleh ada kontak dengan Jakarta. Segaladetail ia
cacat di kepala sehingga jika tertangkap, tak ada informasi
yang tertulis yang bisa didapat aparat (L: 203).3
Larung seorang pemuda yang tidak mudah emosi, dia bisa
menahan emosi dengan baik. Selain itu Larung seorang yang
bertanggung jawab, aktivis yang rapi dalam hal laporan keuangan.
Ia sangat teliti dalam keuangan. Ia berpendapat bahwa aktivis
hendaklah dapat bekerja dengan baik dan bertanggung jawab, tidak
boleh meremehkan. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut: Kalau
kuperhatikan, dia orang yang bertanggung jawab.
Tokoh Susah sekali mendapatkan aktivis yang begitu rapi
membikin laporan keuangan. Penyakit para aktivis dua;
pertama meremehkan duit. Seolah mentang-mentang untuk
demokrasi mereka tik perlu mempertanggungjawabkan
dana. Kedua, ego mereka biasanya segede-gede anjing (L:
94)4
Larung adalah tokoh utama yang menjadi pusat cerita.
Seorang tokoh yang banyak mengalami peristiwa dari membunuh
neneknya, membantu orang kecil dan akhirnya bekerja sama
dengan Saman untuk melarikan tiga orang aktivis Solidarlit.
3 Ibid., h 203
4 Ibid., h 94
33
(2) Tokoh Saman
Tokoh Saman dalam novel Larung sebagai tokoh utama
tambahan yang keberadaananya sangat mempengaruhi tokoh utama
Larung. Kemunculannya, sangat membantu mengembangkan
konflik pada tokoh utama. Saman aktif di LSM perkebunan dan
lingkungan. Dianggap dalang dalam perlawanan melawan
pemerintah, membantu petani karet untuk mempertahankan hak
miliknya. Seperti dalam kutipan berikut:
Saman diingat sebagai dalang di belakang perlawanan
petani karet yang mempertahankan lahan mereka dari
konvensi kebun sawit yang penuh paksa (L: 111).5
Saman seorang yang berani menempuh resiko, ia tidak
mementingkan dirinya sendiri. Ia seorang laki-laki yang tidak
begitu gagah, tidak tampan, tetapi sangat pemberani. Sikap
pemberani akan membuat orang yang kecil menjadi satria. Saman
meninggalkan Indonesia dan tinggal di Amerika karena ia aktivis
yang dituding sebagai dalang kerusuhan di Medan pada tahun
1994. Hal ini ia lakukan untuk menghingari kejaran aparat. Ia tidak
mau tugasnya terputus gara-gara tertangkap oleh petugas. Akhirnya
ia melajutkan misinya di Amerika, bekerja di Human Rights
Watch, sebuah yayasan yang juga menangani masalah-masalah
orang tertindas. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut:
Saya baru tahu bahwa kini Saman bekerja di Human
Rights Watch. Telah dua tahun ia menetap di Amerika
Serikat dengan paspor dan identitas baru untuk mengelabui
KBRI. Agaknya, lobi Human Rights Watch dengan
beberapa orang di kongres memungkinkan dia mendapat
izin tinggal dan bekerja. Ia menjadi buron setelah dituding
sebagi dalang kerusuhan di Medan tahun 1994 (L: 105).
Tokoh Saman adalah tokoh utama kedua yang menjadi
pusat cerita.
5 Ibid., h105
34
(3) Tokoh Shakuntala
Perempuan yang merasa dirinya perempuan dan laki-laki.
Hal ini terlihat dalam perasaan Shakuntala, Shakuntala merasa
sejak kecil dibedakan dengan kakaknya yang laki-laki, maka ia
merasa juga lakilaki. Ia perempuan yang dapat mengendalikan
tubuhnya sehingga kadang ia merasa seperti laki-laki. Hal itu
terlihat dalam kutipan berikut:
Tapi lelaki dalam diriku datang suatu hari. Tak ada yang
memberi tahu dan ia tak memperkenalkan diri, tapi kutahu
dia adalah diriku laki-laki. Ia muncul sejak usiaku sangat
muda, ketika itu aku menari baling-baling (L: 133). 6
Shakuntala berpendapat bahwa seorang perempuan harus
mengenali tubuhnya sendiri sebelum menemui laki-laki yang
dicintainya.
Seorang perempuan haruslah mengenal dirinya sendiri
secara mendalam sebelum mengenal laki-laki. Hal ini
Shakuntala lakukan ketika ia menasehati Yasmin. Kini tak
kubiarkan kamu menemui lelaki itu sebelum kamu
mengetahuinya. Sebelum kamu mengenali tubuhmu sendiri
(L: 153).7
(4) Tokoh Yasmin
Seorang wanita yang sempurna, takut diketahui oleh
temantemannya tentang perselingkuhannya dengan Saman. Ia
bersama teman-temannya pergi ke New York ingin menyaksikan
pertunjukan Shakuntala, dengan tujuan sampingan berzinah. Hal
ini terlihat dalam kutipan berikut:
Aku bilang sembilan hari lagi kita berangkat ke New York.
Tujuan utama: menonton tari kolaborasi seniman
Indonesia– Amerika. Tujuam sampingan: berzinah (L: 78).
6 Ibid., h 133
7 Ibid., h 153
35
Yasmin seorang perempuan yang mandiri, ia seorang
pengacara sekaligus aktivis yang membantu orang yang tertindas
maupun miskin, hal ini terlihat dalam kutipan berikut:
Saman kini aktivis, sama dengan Yasmin yang pengacara
sekaligus aktivis (L: 86). 8
Yasmin, sahabat yang sempurna menurut tiga temannya
tapi juga melakukan perzinahan. Ia munafik, diluar tampil kalem,
tetapi ia seorang wanita yang binal.Yasmin merasa tidak berzinah
karena merasa tidak mengkianati siapa pun, dan itu dilakukan
karena itu cinta. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut:
Itulah. Dia munafik. Dia selalu tampil kalem dan sopan,
seperti karyawati baik-baik yang diidamkan ibu-ibu kos.
Tapi gue yakin, di dasar hatinya yang paling dalam dia
sama dengan aku. Binal (L: 79).9
5) Tokoh Nenek Larung
Seorang wanita yang meninggalkan kota kelahirannya, Bali
karena menikah dengan pegawai candu Belanda, yang dianggap
telah mencemari nama keluarga besar raja Gianyar. Wanita tua,
tapi seperti bukan manusia lagi, karena begitu lamanya sakit.
Seorang wanita tua yang dari mulutnya yang tremor
mengelauarkan kotoran dan kekejian.
Ia adalah makhluk yang dari mulutnya yang tremor keluar
kotoran dan kekejian. Inilak kekejian nenekku: Kata-kata,
katakatanya melukai, tetapi engkau tak dapat
menyerangnya karena benci (L : 10)10
.
Ketika muda nenek Larung seorang wanita yang kuat,
cerewet, dan pongah. Ia sangat luar biasa berani. Ia wanita yang
kuat karena tubuhnya penuh susuk, hatinya penuh
8 Ibid., 86
9 Ibid., h. 79
10 Ibid., h. 10
36
2) Alur
Alur yang mengiringi kisah Larung menggunakan alur maju
(progresif). Tahap perkenalan dimulai dari perjalanan Larung ke rumah
neneknya di Tulungagung.
Keretaku berhenti di stasiun Tulungagung Aku datang untuk
membunuh nenekku (L: 3).11
Konfliks mulai muncul karena dari mulut neneknya yang keluar
kotoran dan kekejian. Mulut yang selalu bergemetar itu mengeluarkan
kata-kata yang didengar tidak enak, menyakitkan. Itulah sebabnya
mengapa Larung berusaha membunuh neneknya tersebut. Larung
menyebut „makhluk yang dari mulutnya yang tremor‟ untuk neneknya
mengisaratkan ada rasa kebencian dibalik rasa saying didiberikan oleh
neneknya. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut:
Ia adalah makhluk yang dari mulutnya yang tremor keluar dan
kekejian. Inilah kekejian nenekku: kata-kata.
Kata-katanya melukai, tetapi engkau tak bisa menyerangnya karena
benci. Kau hanya bisa menganiaya dirinya sendiri sebagai proyeksi
dari luap keinginan membunuh dia (L: 10).12
Kemudian dilanjutkan pencarian cupu yang digunakan untuk
membunuh neneknya ke goa. Hal ini dilakukan karena nenek akan
meninggal jika ditubuhnya dijajarkan cupu sebanyak enam buah. Hal ini
terlihat dalam kutipan berikut:
Ia bicara kepadaku. Cupu itu ada enam jumlahnya, untuk kau
jajarkan pada tubuhnya, dari dada hingga pusar, yang akan
membuat pintu arwahnya terbuka. Nak, kau punya enam
kesempatan untuk menyesal nanti, sebelum ia sungguh mati.
Suaranya seperti terserap dinding yang telah mulai ditinggalkan (L:
45).13
Pada tahap klimaks, cerita dimulai ketika larung mendapatkan cupu
dari sahabat neneknya, Suprihatin. Kemudian cupu itu digunakan untuk
11
Ibid., h.3 12
Ibid., h 10 13
Ibid.,45
37
membunuh neneknya. Larung merasa dapat membebaskan neneknya dari
cengkeraman jimat yang ada dalam tubuhnya, sehingga neneknya dapat
meninggal. seperti terlihat dalam kutipan barikut:
Aku telah membunuhnya. Cupu keenam itu telah terpasang di
busungnya selama beberapa menit. Ia mestinya telah mati sebab
segala syarat telah kupenuhi (L : 71).14
Penyelesaian alur pertama yaitu ketika Larung mulai mencari
jimat seperti yang dikatakan ibunya berada ditubuh neneknya dengan cara
menyanyat tubuh neneknya. Hal itu terlihat dalam kutipan berikut:
Maka izinkan aku mengeluarkan dengan pisau, sebab tak ada yang
selamanya (L : 72). 15
Alur yang meniringi kisah Laila dan sahabat-sahabatnya dalam
novel Larung dimulai dari cerita Cok dan Yasmin. Cok menulis di buku
hariannya, menceritakan tentang persahabatannya serta masalah-masalah
yang mereka alami. Hal itu terlihat dalam kutipan berikut: 1996. Cerita ini
berawal dari selangkangan.
Selangkangan teman-temanku sendiri: Yasmin dan saman, Laila
dan Sihar(L: 78). 16
Konflik mulai muncul ketika Yasmin mengirim email kepada
Saman tentang situasi politik di Indonesia, yaitu penyerbuan ke kantor
PDI. Yasmin memberitahukan tentang pendukung Megawati yang
bertahan di kantor PDI. Seperti terlihat dalam kutipan berikut:
Saman, saying Sudah dua minggu aku meninggalkan kamu. Situasi
politik Jakarta semakin tegang. Telah satu bulan para pendukung
Megawati bertahan di kantor PDI di jalan Diponegoro… (L:
154).17
Konflik semakin meningkat ketika Yasmin mengirim email buat
Saman untuk membantu menyembunyikan tiga aktivis Solidarlit yang
menjadi dalang kerusuhan 27 Juli. Ia berusaha mempertemukan Larung
14
Ibid., h. 71 15
Ibid., h. 72 16
Ibid., h.78 17
Ibid., h 154
38
dengan Saman untuk menyembunyikan tiga aktivis Solidarlit tersebut.
Tiga aktivis yang dituduh sebagai dalang kerusuhan. Sama menuju
dermaga Pelabuhan Pelni ingin menjumpai Larung, yang hanya berbekal
foto wajah Larung yang dikirimkan oleh Yasmin untuk membantu
melarikan tiga aktivis. Hal itu terlihat dalam kutipan berikut:
Surat Yasmin Datang: Sayang, kami menyembunyikan tiga aktivis
yang sedang diburu militer. Mereka dituduh mendalangi kerusuhan
27 Juli, bersama PRD. Mereka dijerat pasal subversi (L: 182).18
Klimaks dari alur adalah peristiwa pertemuan mereka ingin
berusaha menolong melarikan tiga aktivis Solidarlit. Saman dan Larung
berencana bertemu dan merencanakan pelariannya. Mereka akan
membantu melarikan tiga aktivis solidarlit yang dituduh menjadi dalang
kerusuhan 27 Juli. Seperti terlihat dalam kutipan berikut:
Rasa waswas Saman berangsur pudar sementara Larung
menceritakan perjalanan mereka. Wicaranya yang padat dan runtut
mengesankan Saman bahwa lelaki yang baru dikenalnya itu
matang. Ia memberi informasi yang perlu mengenai ketiga anak
Solidarlit, tidak berlebihan, latar belakang mereka, tabiat mereka-
ia punya pengamatan yang cermat (L: 242).
Persembunyian mereka diketahui oleh polisi, Saman mengecoh
Polisi agar Larung dapat melarikan bersama tiga aktivis Solidarlit.
Akhirnya Larung bersama tiga aktivis Solidarlit dapat melarikan diri.Tapi
akhirnya pelarian mereka diketahui oleh polisi, mereka mengejarnya.
Mereka merasa akan tertangkap.
Mereka masih dalam bahaya. Orang-orang yang melihat mereka
mungkin mengira mereka sekadar penyelundup dan member tahu
pada polisi yang kini mencoba memburu (L: 250).19
Tahap terakhir dari alur ini adalah tertangkapnya Saman, Larung,
Anson, dan tiga aktivis Solidarlit oleh aparat. Mereka diikat. Mereka
dihajar, ditampar agar mengaku, tapi mereka tetap diam. Mereka tidak
18
Ibid., h. 182 19
Ibid., h 250
39
mau mengakui. Akhirnya Larung, Saman, dan para aktivis meninggal
karena ditembak oleh aparat. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut:
Kata-kata Larung berhenti bersama suara letupan yang redam.
Saman mendengar tubuh itu jatuh ke dekat sisinya. Kepalanya
menoleh kea rah itu seperti mencari kepastian. Tapi ia mendengar
kedap letupan sekali lagi. Dalam sepertiga detik itu yang ia
inginkan hanyalah pamit pada Yasmin. Setelah itu ia diam. Diam
yang tak lagi menunda (L: 259).20
Kemenarikan alur dalam novel Larung ini adalah penggunaan alur
yang ganda, yaitu alur yang mengiringi kisah Larung dan alur yang
mengiringi kisah Laila dan sahabat-sahabatnya. Selain itu kaidah
plausibilitasnya tinggi, kajadian yang dialami tokoh-tokohnya sangat
mungkin dialami di dunia nyata. Rasa ingin tahu pembaca dimunculkan
ketika bagaimana Larung harus menghadapi neneknya yang tidak dapat
meninggal, pemunculan foreshadowing dimulai bagaimana Larung
mencoba membunuh neneknya dengan cara mencari cupu. Kejutan
dimunculkan ketika bagaimana Larung yang sangat mencintai neneknya
dipotong-potong tubuhnya untuk mencari jimat.
3. Latar
Latar atau setting cerita dalam novel Larung digambarkan dengan
sangat jelas oleh pengarang, karena dalam setiap pergantian cerita diwali
kembali dengan keterangan waktu dan tempat.
(a) Latar Tempat
Kejadian diawali di Tulungangung, di mana nenek Larung tinggal.
Larung ke Tulungagung untuk membunuhnya. Hal ini terlihat dalam
kutipan berikut:
Keretaku berhenti di stasiun Tulungagung. Aku datang untuk
membunuh nenekku (L: 3). 21
20
Ibid., h 259 21
Ibid., h 3
40
Sewaktu kecil Larung tinggal di Kuta, Bali. Orang tuanya
keturunan Bali. Ayahnya seorang anggota batalyon. Tahun 1964,
ingatkah kau, jauh sebelum aku memandang kea rah laut, ketika kau
belum punya rasa takut.
Kita menempati sebuah rumah, tempat putraku… Kita datang
dari Jawa ke Bali, dengan truk dan feri, ketika ia bergabung
dengan Batalyon 741 di Kuta (L: 63).22
Sering ia bermain ditoko Cina yang mempunyai anak bernama
Siok Hwa.
Kau ada di ruang itu, pada sofa dari kulit imitasi dengan
meja kayu dan kembang palsu. Kau duduk bersama Siok
Hwa, makan dari mangkuk yang sama , nasi dengan kuah
daging (L: 65). 23
b. Latar Tempat
1. Tulung Agung
Keretaku berhenti di Stasiun Tulung Agung. Aku
datang untuk membunuh nenekku (L: 3)24
Pada awal cerita sudah di ceritakan penggambaran
tempat yaitu Tulung Agung sebagai tempat kemablinya
Larung untuk bertemu dengan neneknya. pada tahap
selanjutnya kota ini menjadi tempat perjalanan Larung
untuk merawat dan menemukan inforasi mengenai
masa lalu neneknya.
2. New York
New York menjadi tempat berkumpulnya para tokoh
penting lain dalam novel ini yaitu, Saman, Yasmin,
Cok, Shakuntala, Sihar dan Laila. Di kota ini juga
dimulai cerita mengenai percintaan dan perselingkuhan
antara tokoh-tokoh tersebut.
22
Ibid., h 63 23
Ibid., h 65 24
Ibid., h 3
41
3. Perabumulih
Perabu mulih menjadi tempat selanjutnya setelah cerita
para tokoh di New York. Prabumulih tepatnya berada
di sumatera selatan
4. Jakarta
Setelah kepulangannya tokoh Yasmin dari dari New
York dimulailah cerita mengenai intrik politik serta
kerusushan yang terjadi di Jakarta seperti konflik
politik para pendukung PDI, pembredelan majalah
serta surat kabar dan mulai terlibatnya para tokoh
sepeti Larung, Saman dan Yasmin dalam misi
menyelamatkan para aktivis.
5. Selat Philip
Pada tanggal 12 Agustus 1996, Saman dan Anson
berada di Selat Philip, mereka akan membajak kapal
yang berbendera Thailand. Saman diajak Anson untuk
melakukan aksi pembajakan dengan teman-temannya,
setelah itu baru ke P. Mapur untuk menemui Larung.
Selat Philip, 12 Agustus 1996 Ia menatap ke atas,
kearah Anson dan lima anggota komplotan lenyap dari
pandangan (L: 194).25
6. Pulau Mapur
Pukul 5:10 Saman sudah sampai di Pulau Mapur. Ia
akan menemui Larung untuk membatu pelarian tiga
aktivis Solidarlit.
pulau Mapur Pukul 5:10 Mereka telah berlayar jauh
ke arah barat dari selat Philip, ke batas laut Natuna
(L: 196).
7. Kijang
Larung datang ke Pulau Kijang pada 12 Agustus
1996 dengan tiga aktivis Solidarlit karena ingin ketemu
25
Ibid., h 194
42
dengan Saman yang akan membantunya melarikannya.
Mereka menginap sementara untuk bersembunyi dari
aparat. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut:
Dengan singkat Larung menjelaskan tempat mereka
menginap tak jauh dari Bandar ikan sedikit ke selatan.
Ia mengusulkan agar pongpong dipindahkan saja dan
mereka bertemu lagi di sana dalam waktu satu
jam.”Saya akan memperhatikan keadaannya dulu” (L:
242)26
Pada 12 Agustus 1996, Saman sudah sampai ke Kijang
tempat bertemu dengan Larung. Hal ini terlihat dalam
kutipan berikut:
Sekitar sepuluh pagi. Saman harus menjumpai
orang itu, Larung, di pelataran pelabuhan pelni pada
waktu makan siang (L: 240).27
Di pelabuhan Pelni ini juga lah selanjutnya Larung
akan membawa para aktivis yaitu Togag, Koba dan
Bilung ke tempat persembunyian agar mereka aman
dari para tentara.
.
8. Pulau Bintan
“Kini mereka telah mendarat di pulau Bintan”
Di tempat inilah Larung membawa para aktivis Togog,
Koba, dan Bulung sebagai tempat pelarian mereka. Di
sisni juga Larung mengadakan perjanjian bertemu
dengan Saman untuk membicarakan mengenai pelarian
aktivis yang pada akhirnya di akhiri dengan
penagkapan para aktivis tersebut karena kecerobohan
mereka dalam bertindak.
Persembunyian mereka diketahui oleh aparat,
akhirnya mereka melarikan dengan naik kapal. Aparat
pun mengejarnya. Mereka takut jika tertangkap,
26
Ibid., h 250 27
Ibid., h 240
43
apalagi Saman yang juga buronan pada waktu
kerusuhan Medan.
Di belakang, dari sisi lain pulau Hantu, mereka
melihat cahaya kapal dalam kabut hujan. Nyata
sekali bahwa kapal itu melaju dengan kecepatan
yang lebih tinggi daripada mereka. Dan menuju
mereka (L: 250).
(b) Latar Waktu
Mengenai latar waktu dalam novel ini sudah dapat di
identifikasi dengan mudah, karena pengarang langsung membagi
cerita ke dalam tahapan-tahapan dengan penjelasan waktu dan
kejadian.
Latar waktu dimulai pada tahun Tahun 1985 yang disebutkan di
awal cerita dengan kutipan sebagai berikut.
Tahun 1985
pukul 5: 12 siapakah yang menentukan kematian seseorang
Betraawal pada ahun 1985 ketika larung dalam perjalanan
menuju tempat kelahirannya di Tulung Agung., dengan tujuan
untuk membunuh neneknya.
Tahun 1964,
saat Larung masih kecil, hal itu terlihat pada kutipan berikut:
Tahun 1964, ingatkah kau, jauh sebelum aku memandang
kearah laut, ketika kau belum punya rasa takut (L: 63).28
Pada 30 September 1965 ayah Larung ditangkap. Ia dituduh
ikut membantu PKI.
Kudeta 30 September, semua menyebut namanya (L: 69).29
Tiga hari kemudian aku merasa putraku padam, energinya
sirna seperti bara yang habis.
28
Ibid., h 63 29
Ibid., h 69
44
Barangkali ia dibawa bersama-sama yang lain dalam truk yang
mengantar mereka ke sebuah lubang besar di sebuah ladang
(L: 69).30
Tahun 1993
Diceritakan tokoh Saman dalam rangka menjalankan tugas menjadi
pater dan membantu masyarakat dalam mempertahankan kebun
karet. Seperti terlihat dalam kutipan berikut:
Perabumulih, September 1993 Saman kini membangun
organisasi yang bekerja untuk perkebunan dan pelestarian
alam, bereksperimen dengan pertanian organik (L: 112).31
Tahun 1996,
Saman masih berada di New York saat peristiwa 27 Juli hal ini
terlihat dari surat Yasmin yang dikirimkan untuk Saman yang
berada di New York. Seperti terlihat dalam kutipan berikut:
Jakarta, 27 Juli 1996 Peristiwa 27 Juli Setelah lebih dari
satu bulan banteng pro Megawati bertahan di kantor DPP
PDI jalan Diponegoro 58 (L:)32
Perabumulih, September 1993 Malam ini Laila menginap di
rumah Saman (L: 107).33
Dari tahun 1994–1996, selama dua tahun Saman menetap
di Amerika Serikat. Saya baru tahu bahwa kini Saman bekerja pada
Human Rights Watch. Telah dua tahun ia menetap di Amerika
serikat dengan paspor dan identitas baru untuk mengelabui KBRI.
Agaknya, lobi Human Rights Watch dengan beberapa orang di
kongres memungkinkan di mandapat izin tinggal dan bekerja.
Ia menjadi buron setelah dituding sebagai dalang kerusuhan
di Medan tahun 1994 (L: 105). 34
30
Ibid., h 69 31
Ibid., h 112 32
Ibid., h 173 33
Ibid., h 107
45
(c) Latar Sosial
Latar Larung dimulai dari perkampungan Perabumulih
yang terpencil dan miskin. Penerangan dari listrik pun belum ada
yang ada hanya lampu dari mainyak tanah. Perkampungan yang
belum terjangkau modernisasi. Bahkan untuk menjaga kesehatan
pun mereka sangat kesulitan. Masyarakat masih sangat tradisional
dalam mengobati penyakit. Hal ini terlihat saat Aston mengobati
penyakitnya. Ia tak mengenal kondom.
Dan jika penisnya terasa perih dan meradang ia
mengompresnya dengan rebusan kulit jelatung ataupun
ampas gadung sebelum mengunjungi mantri yang akan
menyuntiknya dengan pinisilin (L: 111).35
Situasi politik yang memanas, Jakarta tegang. Karena telah
satu bulan pendukung Megawati bertahan di kantor PDI, adanya
gejala anti Orde Baru. Peristiwa 27 Juli 1996, para pro Megawati
menggelar mimbar bebas. Kemudian terjadi penyerangan terhadap
kantor PDI atas perintah Letkol Zul Efendi. Aksi pemberontakan
dilanjutkan dengan aksi pembakaran di berbagai gedung. Terjadi
pembakaran besar-besaran. Aksi pemberontakan ini
dilatarbelakangi peristiwa pada tanggal 25 Juli Presiden Suharto
menerima Soerjadi sebagai Ketua Umum PDI di Istana. Maka pada
tanggal 27 pasukan yang mengatasnamakan pendukung Soerjadi
melancarkan penyerbuan. Hal ini terlihat seperti dalam kutipan
berikut:
Sejak itu gedung tersebut menjadi pusat aksi dan orasi
melawan Orde Baru. Tanggal 25 Juli Presiden Suharto
menerima Soerjadi sebagai ketua umum PDI di istana.
Tanggal 27 pasukan yang mengatasnamakan pendukung
Soerjadi melancarkan penyerbuan yang mengakibatkan
kerusuhan (L: 176).36
34
Ibid., h 107 35
Ibid., h 111 36
Ibid., h 176
46
Kehidupan di New York yang serba modern, selama dua
tahun Saman tinggal di New York. Ia meninggalkan Indonesia
karena dituduh menjadi dalang kerusuhan di Medan. Ia sudah
terbiasa dengan kehidupan sosial di New York. Hal ini terlihat
dalam kutipan berikut:
Telah dua tahun ia di New York, telah dua kali melihat
musim gugur yang ia senangi (L: 165).37
Berbagai polimek di pemerintahan termasuk membrendel
tiga majalah, yaitu : Tempo, Editor, dan Detik. Pemberendalan ini
terjadi karena majalah tersebut memberitakan tentang pembelian
pesawat yang dilakukan pada masa pemerintahan Habibi. Hal ini
terlihat dalam kutipan berikut:
Sebagaian polemik di Apakabar, Berita dari Pijar, Siar, dan
beberapa berkala dari kantor gelap lain yang bertambah aktif sejak
pemerintah membrendel majalah Tempo, Editor, dan Detik (L:
167).38
Rakyat kelaparan, busung lapar terjadi di manamana,
terjadinya penimbunan beras. Beras dijual kembali ke petani
dengan harga yang sangat mahal. Komunisme terjadi di
masyarakat. Koran memberitakan tentang busung lapar yang
sangat merisaukan. Para lintah darat berkuasa menentukan harga
beras yang sangat memberatkan masyarakat. Hal ini terlihat dalam
kutipan berikut:
Kemudian mereka menulis di Koran-koran, tak hanya tentang
busung lapar dan orang-orang yang menjadi arang, tetapi juga
tentang penimbunan beras oleh para lintah darat, penghisap
rakyat, mereka menyebutnya begitu (L: 66).39
37
Ibid., h 165 38
Ibid., h 167 39
Ibid., h 66
47
Kejadian penculikan militer pada tahun 1965. Penangkapan
dan penculikan terhadap orang yang tidak bersalah pun terjadi.
Masyarakat merasa takut dan cemas. Mereka menangkap siapa saja
yang dianggap bersalah. Seperti tergambar dalam kutipan berikut:
Kau melihat semua itu. Putraku, seorang yang kau panggil
bapak, berpeluh di sudut kamar. Lalu ia mengenakan
seragamnya, tanda kegagahannya yang terakhir. Tetapi ia
belum sempat memakai sepatunya ketika orang-orang telah tak
sabar. Salah satu masuk dari dapur, mengira anakku akan
kabur (L: 68).40
Pembunuhan secara keji terhadap masyarakat Cina.
Masyarakat Cina menjadi sasaran kemarahan. Mereka merampas
dan membunuh. Bahkan itu dilakukan di depan anak kecil, Larung.
Seperti terlihat dalam kutipan berikut:
Kau heran dengan apa yang terjadi, dan kau tak berhenti heran
ketika mereka menyeret ayah Siok Hwa keluar dan
menghajarnya hingga tak bergerak. Kalaupun kau melihat
darahnya dari kejauhan, kau belum tahu cairan apakah itu
sehingga kau hanya akan bertambah heran (L: 67)41
Kerusuhan 27 Juli yang terjadi di depan kantor PDI juga
terungkap dalam novel ini. Mereka melakukan mimbar bebas di depan
kantor PDI. Budiman Sudjatmiko dan kawankawan terpanggil untuk
memperkuat orang-oarang yang melawan Suharto. Namun setelah
peristiwa tersebut, para aktivis tersebut menjadi buronan. Hal ini
terlihat dari kutipan berikut:
Peristiwa 27 Juli Dan seperti Budiman Sudjatmiko serta yang
lain. Mereka juga terpanggil untuk berbicara di mimbar bebas
jalan diponegoro, di depan kantor PDI, saling memperkuat
antara orang-orang yang melawan Suharto. Di situlah intel-
intel mencatat dan merekam wajah mereka. Setelah kerusuhan
27 Juli, begitu pemerintah dan militer menjadikan PRD
40
Ibid., h 68 41
Ibid., h 67
48
sebagai kambing hitam utama, Solidarlit ikut terseret (L:
183).42
Latar sosial masyarakat Tulungangung adalah sebuah desa
yang msih percaya dengan mitos atau ilmu gaib, maupun orang pintar.
Masyarakat awam yang masih percaya dengan pawang untuk
mengatasi suatu masalah. Mereka menganggap pawang adalah orang
yang pintar dan berilmu tinggi. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut:
Wanita itu adalah pawang. Demikianlah, seperti kata Pak sembodo,
Bambang Sembodo. Tetapi ia pasti tidak sekadar pawang yang
mengusir hujan dengan asap rokohnya. Ia seorang dukun dengan ilmu
sangat tinggi.
Menahan hujan adalah salah satu kekuatannya. Ia menguasai
ilmu kelabu, yaitu semacam campuran dari sihir hitam dan
sihir putih (L: 31).43
5) Sudut Pandang
Pada Larung, bentuk penulisan dengan pola bercerita
bentuk persona pertama mengisi hampir di seluruh cerita. Bab satu
mengunakan gaya bentuk persona pertama/akuan menceritakan
tentang Larung. Larung adalah seorang yang detail, cerdas tapi
punya keingin membunuh neneknya.
Sudut pandang diaan maha tahu mampu membuat detail
pada setiap tokoh dalam cerita. Hal ini yang dilakukan Ayu Utami
terutama pada tokoh-tokoh utama dalam cerita. Pada alur tahapan
diceritakan mengenai penggambaran fisik tokoh, lingkungan
keadaan sekitar serta reaksi terhadap kejadian.
Sudut pandang diaan maha tahu juga dapat dilihat dari
keterkaitannya dengan latar jika pada latar diceritakan pada kisaran
tahun 1989 sampi 1986, maka penyimpulan tersebut dianalisis
42
Ibid., h 183 43
Ibid., h 31
49
melalui cara pengarang menampilkan cerita. Pada sudut pandang
diaan serta tahu
B. Sikap dan Pandangan Hidup Tokoh dalam novel Larung Ayu Utami.
a. Penggambaran Tokoh
Dalam sub bab ini sasaran analisis adalah tokoh-tokoh dalam
utama novel Larung, dengan pembatasan kepada tokoh-tokoh yakni
Larung, Yasmin, Shakuntala, Saman dan Cok. Analisis difokuskan pada
aspek sosial, yaitu sikap dan pandangan hidup tokoh serta faktor yang
mempengaruhinya. Analisis ini mengunakan pendekatan struktural dan
soiologi terutama pemikiran sosiologi klasik, kajian dan sosiologi budaya,
yakni bagaiman keadaan dan situasi soaial yang dilihat dari kacamata
sosiologi dan budaya yang akhirnya mempengaruhi pandangan hidup serta
sikap tokoh utama dalam cerita Larung.
Merujuk ke bab sebelumnya terkait tokoh larung, maka akan
dijelaskan kembali bagaimana karakter dan kepribadian tokoh tokoh
seperti yang sudah di gambarkan dalam penokohan. Peran tokoh dalam
novel Larung diawali dengan tokoh Larung yang akan membunuh
neneknya. Nenek Larung yang menikah dengan seorang Belanda dan
kemudian menikah lagi dengan seorang gerilyawan, pada akhirnya harus
dibunuh oleh cucunya sendiri (Larung Lanang), karena nenek yang berusia
120 tahun itu tidak mati-mati meskipun napas dan tubuhnya bau. Nenek
itu akhirnya dibunuh Larung setelah Larung mendapatkan enam
cupu(jimat). Pertemuan Larung dengan Saman terjadi ketika mereka
berencana melarikan tiga aktivis Solidarlit, yaitu Wayan Togog, Bilung,
dan Koba. Pelarian yang dimulai dari peristiwa 27 Juli 1996 dari Jakarta
yang dibawa ke Pulau Kijang oleh Larung. Mereka sepakat akan bertemu
di pelabuhan Pelni.
Larung adalah tujuan yang akan disampaikan oleh Ayu Utami. Hal
ini terlihat ari diri Ayu sendiri yang menuntut adanya persamaan derajat
dengan laki-laki. Novel ini mengandung kekayaan simbolisme yang
50
digunakan oleh Ayu Utami baik secara langsung maupun tak langsung
mengkritik sistem patriarki. Selain tokoh utama Larung kehadiran tokoh
perempuan dari lingkungan kelas ekonomi menengah ke atas memiliki
karakter yang tegas, mandiri, berkeinginan untuk maju, setia pada
komitmen yang telah dibangun bersama, dan berani menghadapi
kenyataan.
Larung lahir tahun 1960–an keturunan ksatria Gianjar yang kawin
lari dengan seorang pedagang candu Belanda dan kabur ke Pulau Jawa
untuk menghindari kemarah keluarga. Ibu Larung akan memberinya nama
Begawan, tapi neneknya lebih senang dengan Larung Lanang, mempunyai
sifat yang agak aneh, tetapi ia seorang teman yang cerdas dan
menyenangkan. Ia mempunyai sifat yang berlawanan, kadang ia sangat
sayang tetapi kadang juga membencinya. Penggambaran tokoh tersebut
dapat dilihat dalam kutipan berikut:
Larung Lanang namanya. Anaknya aneh. Berat 46 kg. Tapi
matanya tajam. Tak ada yang besar pada tubuhnya, tapi aku merasa
ia tidak ringan. Ia pendek, tapi aku merasa ia dalam. Ia adalah
kontradiksi yang mengejutkan. Kadang kecerdasannya
menyenangkan,kadang ketakdugaannnya menakutkan (L: 91-92).44
Larung ia seorang pemilik sekaligus pengelola sebuah media
turisme dwibahasa di Bali, dekat dengan wartawan independen serta anak-
anak Aliansi Jurnalis Independen dan Forum wartawan Surabaya. Larung
mempunyai sifat yang tidak ambisius, bekerja cepat. Larung bekerja
dengan Saman membantu menyembunyikan aktivis Solidarlit, tiga aktivis
yang dikejar-kejar oleh pemerintah karena memberontak, dituduh menjadi
dalang kerusuhan 27 Juli. Larung akan membawa ketiga aktivis tersebut
bersembunyi.
Selama bersembunyi tidak boleh ada kontak dengan siapa pun,
karena ada kontak maka mereka mudah tertangkap. Peristiwa
tersebut seperti dalam kutipan berikut: Selama proses tak boleh ada
kontak dengan Jakarta. Segaladetail ia cacat di kepala sehingga jika
44
Ibid., h 92
51
tertangkap, tak ada informasi yang tertulis yang bisa didapat aparat
(L : 203)45
.
“……, aku merasa Larung itu too good to be true sebagai seorang
aktivis.”
“…., kalo ada orang baru dalam gerakan, agak-agak misterius, dan
tahu-tahu mengerjakan semuanaya dengan baik, lebih baik
daripada yang lain, tanpa keinginan menonjolkan diri, wajar saja
kalau kami sempat curiga. Jangan-jangan dia intel.”
…..Yasmin, sebagai pengacara dan aktivis hak asasi manusia, ikut
memprotes pembredelan itu. ia ikut dalam aksi-aksi bersama
dengan kawan-kawan wartawan yang membikin Aiansi Jurnalistik
Indonesia. Sementara itu Larung, ia mempunyai majalah lokal
berbahasa Indonesia di Bali BaliAge. Merasa terlibat juga dengan
peristiwa itu, meskipun majalahnya tidak berbau politik, ia
menyebutnya majalah komunitas yang berisi pariwisata dan
lingkungan.
Tokoh Yasmin Seorang wanita yang sempurna, takut diketahui
oleh temantemannya tentang perselingkuhannya dengan Saman. Yasmin
dengan sadar pula merusak rumah tangganya sendiri dengan memperjakai
Romo Wis, dan mengabadikan perselingkuhan itu. Sedangkan Shakuntala
yang biseks memposisikan dirinya di luar lembaga perkawinan yang
lazimnya buat kalangan heteroseks.
Tokoh Sakuntala Perempuan yang merasa dirinya perempuan dan
laki-laki. Hal ini terlihat dalam perasaan Shakuntala, Shakuntala merasa
sejak kecil dibedakan dengan kakaknya yang laki-laki, maka ia merasa
juga lakilaki. Ia perempuan yang dapat mengendalikan tubuhnya sehingga
kadang ia merasa seperti laki-laki. Hal itu terlihat dalam kutipan berikut:
Tapi lelaki dalam diriku datang suatu hari. Tak ada yang memberi
tahu dan ia tak memperkenalkan diri, tapi kutahu dia adalah diriku
laki-laki. Ia muncul sejak usiaku sangat muda, ketika itu aku
menari baling-baling (L : 133). 46
Shakuntala berpendapat bahwa seorang perempuan harus
mengenali tubuhnya sendiri sebelum menemui laki-laki yang dicintainya.
45
Ibid., h 46 46
Ibid., h 133
52
Peran perempuan dalam novel Larung adalah perempuan-
perempuan yang aktif, berpendidikan, dan mandiri. Mereka menuntut
adanya persamaan sederat. Tokoh perempuan dalam novel Larung juga
menentang sistem patriarki.
Pandangan hidup adalah nilai-nilai yang dianut oleh suatu
masyarakat yang dipilih secara selektif oleh para individu dan golongan
dalam masyarakat. Setiap manusia memiliki keinginan baik maupun
buruk. Sikap hidup adalah perasaan hati dalam menghadapi hidup,sikap
tersebut bisa positif, negatif, apatis atau sikap optimis maupun pesimis
tergantung kepada pribadi dan lingkungannya. Sikap dan pandangan hidup
tersebut meliputi pandangan hidup mengenai tuhan atau agama, sesama
manusia, kebajikan, dan pandangan tentang tata nilai.
1. Sikap dan Pandangan Hidup Jawa Tentang Mitologi
Sebagaimana dikemukakan bahwa karya sastra dianggap sebagai
dokumen sosial. Hal itu mengindikasikan walaupun kenyataan dalam
karya sastra merupakan kenyataan yang ditafsirkan dan bermakna
subjektif, kenyataan tersebut dapat dipandang sebagai kenyataan dalam
masyarakat pendukung. Demikian halnya dengan pemanfaatan mitos
dalam karya sastra, khususnya pada novel Larung karya Ayu Utami,
mitos-mitos yang terdapat dalam novel tersebut juga dapat dilacak
kembali keberadaannya dikaitkan dengan masyarakat pendukungnya.
Larung dilahirkan dari keturunan lingkungan dan keturunan Jawa,
dia tinggal bersama ibu dan nenknya, neneknya sendiri adalah seorang
jawa dari keturuan Bali. Latar Jawa bisa dilihat dari kutipan berikut
Keretaku berhenti di stasiun Tulungagung. Aku datang untuk
membunuh nenekku (L : 3).47
Larung kembali ke desa tempat kelahirannya di Jawa yaitu Tulung
Agung dengan tujuan untuk membunuh neneknya. larung ingin
47
Ibid., h 3
53
membunuh neneknya bukan karena dia membencinya tapi dia merasa
kasihan dengan keadaan neneknya. Nenek larung sudah berusia kurang
lebih 200 tahun, dan selama dia mnegenal nenknya larung merasa ada hal
ganjil yang ada dalam tubuh neneknya tersebut yang memebuatnya hidup
lama dan seakan mencintai kehidupan.
Tapi tubuh nenekku menyimpan rahasia. Kekuatan yang jauh lebih
berat daripada timbangannya. Seorang yang mampu melihat aura
akan bisa menyaksiakn pirani hitam di sekelilingnya….
……lama-lama aku tahu bahwa dia seharusnya sudah mati. Tetapi
rahasia membuat organ-organ tubuhnya tidak berhenti berdenyut.
(L : 10)48
Dalam pandangan orang jawa tidak dapat memisahkan mitos dalam
kehidupan mereka. Pandanagn tentang seseorang yang memiliki kesaktian
atau jimat akan kesulitan menemui ajalnya sebelum jimat tersebut
dihilangkan dari tubuhnya
Bentuk pengorbanan yang dilakukan Larung tentu merupakan
suatu kewajaran dalam realitas sehari-hari. Hal itulah yang menjadi format
normatif dan cenderung bersifat mitos, bahwa anak keturunan (termasuk
cucu) harus memberikan darma bakti pada orang tua (termasuk nenek).
Pada batas-batas tersebut perilaku Larung dapat dinyatakan sesuai dengan
tatanan sosial masyarakat.
Dalam novel ini cerita tersebut tak berhenti sampai di sini. Yang
menjadi hal pokok adalah pikiran dan tindakan Larung yang ingin segera
mengakhiri hidup neneknya. Dia ingin membunuh neneknya. Untuk
melakukan niatnya itu Larung harus melakukan pengembaraan yang jauh.
Jalinan peristiwa yang menggambarkan perjalanan Larung untuk dapat
mengakhiri hidup neneknya dalam novel ini digunakan Ayu Utami sebagai
dasar untuk mengembangkan keseluruhan cerita.
48
Ibid., h 10
54
Larung merasa yakin bahwa dalam tubuh neneknya tersimpan
rahasia. Kekuatan yang jauh lebih berat daripada timbangannnya.
Seseorang yang dapat melihat aura bisa menyaksikan prana hitam
di sekelilingnya. Lama-lama Larung tahu bahwa neneknya
seharusnya sudah lama mati. Tetapi rahasia membuat organ-organ
tubuhnya tidak berhenti berdenyut (L : hal 10). 49
Kondisi tersebut dapat dihubungkan dengan mitos yang ada di
masyarakat (khususnya masyarakat Jawa) seseorang yang memiliki
kesaktian atau jimat akan kesulitan menemui ajalnya sebelum jimat
tersebut dihilangkan dari tubuhnya
Nak, simbahmu tak bisa mati sebelum susuk dan gotri itu
dikeluarkan dari badannya dan jampi-jampi dilepas dari mulutnya.
Ia tidak bisa mati meskpiun telah lama mati (L : 15). 50
Larung dan ibunya sampai pada kesimpulan bahwa apa yang
dimiliki oleh neneknya harus dilenyapkan dan itu sama saja dengan
keinginan untuk membunuh neneknya. Dalam pikiran Larung muncul
gagasan seperti yang terjadi pada masyarakat modern saat ini dengan
tindakan medis untuk untuk mempercepat kematian atau euthanasia.
Sebagaimana dipahami, karya sastra dapat dianggap sebagai salah
satu jenis pranata sosial. Dalam pandangan tersebut sastra dianggap dapat
mewujudkan kehidupan yang dalam arti luas adalah kenyataan sosial
Dengan kata lain sastra merupakan dokumen sosial.
Pemanfaatan mitos sebagai bahan penulisan dalam karya sastra
dapat dikembalikan pada kondisi di atas. Dalam arti bahwa pengungkapan
dan pemanfaatan mitos dalam karya sastra tidak semata-mata bertujuan
menyampaikan informasi berdasarkan rekaman faktual tetapi
mengandung tujuan tertentu. Pemanfaatan mitos tersebut salah satunya
digunakan untuk melihat kondisi masyarakat sehingga karya sastra yang
diciptakan merupakan cerminan atau refleksi keberadaan masyarakat.
49
Ibid., h 10 50
Ibid., h 15
55
Dengan demikian mitos-mitos tersebut tidak sekadar menjadi
tempelan tetapi dapat dijadikan sebagai sarana memotret sekaligus
merekaulang kondisi msyarakat. Hal itu dapat dikaitkan dengan kenyataan
bahwa manusia selalu dikelilingi mitos dan mitos itu sendiri selalu berada
dalam dua bentangan yang timbal balik.
b. Sikap dan Pandangan Hidup Tentang Kebajikan
Pandangan hidup mengenai kebajikan mengarah kepada persoalan
mengenai keadilan dan kebenaran. Keadilan dan kebenaran diceritakan
secara tegas dan jelas dalam novel Larung. Dalam novel ini dikisahkan
beberapa konflik politik diantaranya menyangkut gerakan G30S,
Kerusuhan 27 Juli yang terjadi di depan kantor PDI juga terungkap dalam
novel ini. Mereka melakukan mimbar bebas di depan kantor PDI.
Budiman Sudjatmiko dan kawan-kawan terpanggil untuk memperkuat
orang-oarang yang melawan Suharto. Namun setelah peristiwa tersebut,
para aktivis tersebut menjadi buronan. Hal ini terlihat dari kutipan berikut:
Peristiwa 27 Juli Dan seperti Budiman Sudjatmiko serta yang lain.
Mereka juga terpanggil untuk berbicara di mimbar bebas jalan
diponegoro, di depan kantor PDI, saling memperkuat antara orang-
orang yang melawan Suharto. Di situlah intel-intel mencatat dan
merekam wajah mereka. Setelah kerusuhan 27 Juli, begitu
pemerintah dan militer menjadikan PRD sebagai kambing hitam
utama, Solidarlit ikut terseret (L: 183).51
Larung diceritakan sebagai seorang aktivis, dari bebrapa konflik
politik Larung membantu pembebasan tiga aktivis yang dikejar-kejar oleh
pemerintah karena memberontak, dituduh menjadi dalang kerusuhan 27
Juli. Larung akan membawa ketiga aktivis tersebut bersembunyi.
Dalam aksi pembebasan tiga aktivis tersebut larung dikatakn
sebagai pribadi yang kritis,hal ini dapat dilihat dari dialog larung dengan
tokoh lain yaitu dengan aktivis yang ia bantu bebaskan.
51
Ibid., h 183
56
Kapal pelni ini buruk bukan karena tidak ada sosialisme. Kapal ini
berengsek karena monopoli. …..“( L : 43)52
…. “kalo kamu masih percaya sikap anti hak milik pribadi, kamu
akan membangun sistem yang berakhir di kapal ini. (L : 43)53
Dari kutipan tersebut tokoh Larung mengkritik mengenai ajaran
atau paham dalam kenegaraan atau bisa dikatakan juga sebagai ideologi,
seperti sosialime, kapitalisme dan monopoli. Ideologi sendiri merupakan
gabungan antara pandangan hidup yang merupakan nilai-nilai yang telah
terbentuk dalam masyarakat yang memiliki nilai-nilai budaya. sistem yang
menerangkan dan membenarkan suatu tatanan yang ada atau yang dicita-
citakan dan memberikan strategi berupa prosedur, rancangan, instruksi,
serta program untuk mencapainya.
Himpunan tentang nilai, ide, norma, mengenai tata nilai yang
membenarkan suatu tatanan sosial tersebut dalam pandangan larung dari
perbincangannya dengan wayan togog mengenai kapal pelni terlihat
bahwa larung mengkritik sistem monopoli yaitu sistem yang
menguntungkan satu kelomok tertentu. Sistem itu tentunya berbanding
terbalik dengan sistem sosialis dimana ajaran atau paham tersebut
berusaha supaya dampaknya bisa menguntungkan kelompok mayoritas
atau kelompok sosial.
Kutipan lain mengenai sikap dan pandangan tokoh larung
mengenai kebenaran bisa dilihat dari dialog larung dengan koha salah
seorang dari tiga aktivis yang sedang dilindungi larung dan saman,
kutopan dari dialog tersebut sebagai berikut
“kalau kita tertangkap, maka kita adalah aktivisan-aktivisan.
Karena itu, kita layak mendapat anjing-anjingan. Kalo mereka
menagkap kita maka mereka adalah tentara palsu. Karena itu
mereka layak mendapat jam tangan palsu. (L : 103)54
52
Ibid., h 43 53
Ibid., h 43
54
Ibid., h 103
57
Dalam kutipan tersebut tokoh larung menggunakan analogi
sekaligus sindiran. Ia ingin mengatak bahwa sebagi seorang aktivis yang
memprjuangkan kebenaran maka walaupun mereka tertangkap mereka
berhak mendapatkan hadiah. Kata “ajing-anjingan” tersebut merupakan
bentuk lain dari kata hadiah. Sedangakan sindiran yang selanjutnya yaitu
sindiran terhadap tentara, bahwa jika ada tentara yang menangkap mereka
berarti tentara itu palsu. Dari kalimat tersebut larung ingin mengatakan
bahwa seorang tentara seharusnya membela kaum yang benar karena tugas
mereka adalah melindungi hak, akan tetapi jika mereka menagkap larung
dan tiga orang teman aktivisnya maka mereka tersemasuk golongan yang
menentang pandangan yang benar, karena itu mereka layak
mendapatkankan hadiah palsu karena keplasuan mereka.
Dalam kutipan lain larung juga mengutarakan pendapatnya
mengenai kebenaran dan kejahatan
“kejahatan dan kebenaran datang dalam satu paket”
Dari kutipan tersebut larung mengambil kesimpulan bahwa dalam
dunia ini kejahatan dan kebenaran ada dan datang saling berdampingan,
seolah keduanya diciptakan untuk saling melengkapi.
Siakp dan pandangan hidup larung yang tercermin dalam dialogn
dengan para aktivis tersebut menggambarkan bahwa tokoh larung
merupakn tokoh aktivis yang kritis terhapa sistem yang merugikan dan
membela terhadap pandangan yang membenarkan. Sikap larung
membantu dan melindungi para aktivis tersebut juga sebagai contoh
kepeduliannya terhadap kelompok dari pandngan yang benar.
c. Sikap dan Pandangan Hidup Tentang Interaksi Manusia dengan
Tuhan
Pandangan hidup yang berasal dari agama yaitu pandangan hidup
yang mutlak kebenarannya. Akan tetapi tokoh-tokoh serta jalinan cerita
58
dalam novel Larung mempertanyaan tentang eksistensi Tuhan. Seperi
yang dilakukan pengarang dengan menampilkan tokoh Saman, yang
dianggap mampu menyuarakan ajakan dan sekaligus ejekan pada
masyarakat berkaitan dengan perilaku beragama.
Saman dihadirkan untuk menjelaskan konsep pengarang tentang
Tuhan dan agama. Saman adalah seorang tokoh yang merasakan bahwa
Tuhan telah pergi dari dalam dirinya. Saman pada masa mudanya adalah
seorang frater, yang terkenal dengan frater Wisanggeni. Frater dalam
agama Kristen merupakan sebutan untuk calon pastor. Dalam pandangan
agama, kedudukan calon pastor dan pastor ditempatkan pada posisi tinggi
sebagai pemimpin agama.
Kehidupan Saman selanjutnya sangat jauh dari warna religius.
Saman terlibat dalam kehidupan bebas dengan Yasmin Moningka. Bahkan
pada saat-saat tertentu hanya untuk melakukan doa atau merenung saja
sudah tidak mampu dilakukannya. Kutipan berikut menjelaskan hal di
atas.
Saman tak segera rebah. Pada malam-malam begini ia ingin sekali
berdoa. Tapi ia tak bisa lagi. Ia kehilangan kemampuan, barangkali
imajinasi, untuk berbicara dengan Tuhan. Ia menatap ke langit,
melampaui titik-titik bintang yang paling kecil, namun ia tak lagi
bisa membayangkan yang agung di sautu sana. Ia tutup matanya,
masuk dalam dirinya, namun ia tak lagi bisa merasakan misteri
yang dulu ada di sana. Dulu di sini. Pada hatinya ada yang luka.
Bukan sebesar tuhan yang pergi, tetapi sebesar Upi. (L : hal 112)55
Tokoh Saman menjadikan agama sekedar dijadikan simbol-simbol
hubungan sosial dan tidak dipahami sebagai bagian dari kewajiban
invidual berhubungan dengan Sang Pencipta. Bagaimana mungkin seorang
frater, calon pastor, hanya untuk berdoa saja sudah tidak bisa. Akan tetapi
kondisi itulah yang sebenarnya terjadi di tengah masyarakat selama ini.
Malalui sikap dan pandangan hidup diri Saman seolah pengarang ingin
mengajak pembaca untuk merenung dan mempertanyakan kembali
55 Ibid., h 112
59
keasadaran beragama. Disadari saat ini bahwa kebanyakan umat beragama
masih terbatas pada aspek menjalankan ritualitas.
Melalui tokoh Yasmin Ayu ingin menyampaikan salah satu bentuk
perilaku kemunafikan dan kepura-puran yang hidup subur di masyarakat.
Bangsa ini menamakan dirinya bangsa yang beradab, berbudi pekerti
luhur, beretika tinggi dan segala atribut lainnya yang dapat dijajarkan lagi.
Realitas menunjukkan bahwa segala atribut tersebut sebenarnya masih
berhenti pada tataran lahiri ah. Kenyataan membuktikan bahwa segala
bentuk penyelewengan, perilaku kotor dalam berbagai bentuk dan wujud
hidup subur di negeri ini.
Realitas tentang sikap dan pandangan hidup tentang agama dan
keberadaan Tuhan juga dihadirkan melaluin tokoh Yasmin . Yasmin
adalah seorang yang memiliki kepribadian sempurna, menurut ukuran
umum. Wajahnya yang rupawan, bersih seperti patung marmer. Hidupnya
teratur seperti tangga yang lurus. Sekolah, senam, lulus, kerja, kawin.
Akan tetapi pada akhirnya dia juga terlibat dalam perselingkuhan dengan
Saman.
Lihalah temanku Yasmin Moningka. Wanita sempurna. Cantik,
cerdas, kaya, beragama, berpendidikan moral Pancasila, setia pada
suami. Paling tidak itulah yang dia mau akui tentang dirinya. Yang
dia tidak mau akui: perselingkuhannya dengan Saman (L : hal
78)56
.
Yasmin dapat dianggap sebagai bagian dari wajah masyarakat pada
umumnya. Masyarakat yang terjebak pada tingkah laku kemunafikan dan
kepura-puraan. Ironinya terletak pada atribut keberagamaan dan moral
(Pancasila) yang ternyata tidak menjadi suatu jaminan kelurusan dan
kebaikan tingkah laku. Barangkali hal itu dapat dihubungkan dengan
kejadian beberapa waktu yang lalu pada saat ajaran tentang moral
dijadikan sebagai doktirn negara, doktrin dalam segala bentuk
penjelmaannya.Dalam novel ini pembicaraan tentang hakikat manusia juga
56 Ibid., h 78
60
disampaikan. Pertanyaan dasar tentang manusia secara genetis tampak
pada dialog antara Larung dengan neneknya.
“Larung, anak lanang.” Dengan matanya yang hitam (kadang aku
teringat pada kera).” Anak lanang, persis bapakmu, persis mbah
kakungmu .” (L : hal 9).57
Melalui ungkapan di atas kita diajak merenungkan kembali
keyakinan-keyakinan yang ada saat ini. Kita merasa digiring pada sebuah
pemikiran lain walapun sebenarnya bukan pemikiran baru. Dalam
persektif teologis (agama) sudah diterangkan tentang keberadaan manusia
secara genetis. Dalam novel ini Ayu memrpertanyakan hal itu dengan
mengingatkan kembali pemikiram pada teori evolusi Charles Darwin
mengenai asal-usul manusia.
Novel Larung juga diawali dengan sebuah kalimat yang tampak
sederhana tetapi sangat mengesankan:
“Siapakah yang menentukan jarum kematian?” (L : 1).58
Kalimat tanya tersebut menggiring pemahaman kiat pada sesuatu
yang paling esensial yang berhubungan dengan kesadaran religius dalam
diri manusia. Kesadaran religius dalam diri manusia memberikan
kemungkinan adanya kesadaran tentang adanya kekuatan yang mahakuasa
yang mengitari dan mengendalikan kehidupan manusia. Permasalahan
yang muncul adalah siapa dan apa sebenarnya kekuatan tersebut, di mana
kekuatan itu berada, bagaimana kita harus memahami dan mengerti hal itu.
Dalam perspektif teologis barangkali jawabannya akan sangat sederhana,
yakni Tuhan. Akan tetapi, justru di balik kesederhanaan penyebutan nama
Tuhan itulah segala misteri berawal.
Bagi tokoh-tokoh novel Larung semua keyakinan manusia,
termasuk adanya Tuhan adalah ilusi. Dalam pandangan Shakuntala Tuhan
57 Ibid., h 9
58
Ibid., h 1
61
itu tidak ada dan orang mempercayai Tuhan adalah orang yang bodoh dan
mau dibodohi.
Ibu ada beberapa kenyataan. Pertama, dia sudah mati. Kedua, aku
ternyata juga laki-laki. Ketiga, Tuhan tak ada. Kenyataan kedua
kuucapkan dengan antusias (L : 142). 59
Pernyataan Shakuntala di atas dsebagai ungkapan untuk
mempertanyakan kembali keberadaan Tuhan. Ketika kakak laki-lakinya
meninggal dalam sebuah kecelakaan di kompleks (ABRI), meskipun
sudah dikuburkan, ibunya menyatakan anaknya tidak meninggal. Lalu
Shakuntala membantah.
Bagaimana mungkin kakak tidak meninggal, ia telah dikuburkan
dan ibunya ikut membuka peti jenazahnya.
Tetapi ibu tetap yakin anaknya tidak meninggal. Keyakinan ibunya
itulah yang dipertanyakan oleh Shakuntala dalam konteks untuk
mempertanyakan keyakinan tentang adanya Tuhan.
Untuk menegaskan kembali bahwa Tuhan hanyalah suatu
bayangan semu, pengarang mengajukan argumentasi tentang konsep kasih
melalaui tokoh Larung. Dalam terminologi teologis penanda keberadaan
Tuhan termanifestasikan dalam bentuk kasih pada umatnya. Segala hal
yang menunjukkan adanya kasih oleh karenanya dapat disejajarkan,
bahkan didentikkan, dengan Tuhan. Sebgaimana yang dinyatakan oleh
tokoh Larung,
Lenin adalah Tuhan, sebagaimana Kristus adalah Tuhan, sebab
Tuhan adalah Kasih dan Kristus dan Lenin juga kasih. Isadora
Duncan, penari Amerika (L : hal 223).
Perntayaan lain Larung mengenai konsep Tuhan
ada tikus mati di plafon ... Barangkali bukan tikus, tapi kucing.
Kucing tau saatnya ajal dan ia akan menyendiri dalam tapa untuk
mati (L : hal 50)60
59
Ibid., h 142 60
Ibid., h 50
62
Kenapa manusia menjadi tua, sakit sebelum mati dan busuk? Sebab
tubuh mencintai kehidupan maka ia melawan maut dengan sakit.
Kelak akan kukalahkan tubuhku sebelum uzurku menjadi harga
diriku. Kelak akan kukalahkan segala rasa sakit sebelum ia
mencampakkanku pada sia-sia. Hidup bukan menunda kematian
melainkan memutuskannya. Akan kuputuskan kematianku jika
sampai waktunya. Tetapi waktuku belum tiba. Melainkan waktu
nenekku (L : 49).61
Adakah kematian yang ditentukan sendiri. Semua maut adalah
hukuman mati. Tetapi kematian akan menjadi sejenis bunuh diri ...
(L : 52).62
Kutipan di atas memperlihatkan bagaimana keyakinan tokoh
Larung tentang hidup dan mati. Kematian ditentukan oleh diri sendiri.
Suatu yang tentu berlawanan dengan pandangan yang selama ini ada di
masyarakat yang merujuk pada pandangan agama. Dalam pandangan
agama samawi diyakini bahwa hidup dan mati ditentukan oleh Tuhan dan
hanya Tuhan yang mengetahui saat kematian tiba. Kematian berkenaan
dengan takdir Tuhan
Pemahamannya tentang Tuhan menjadi landasan untuk
menjelaskan hakikat manusia, makna hidup dan misteri kematian.
Penjelasan yang ditampilkan tetap diarahkan untuk menjawab pertanyaan
awal siapakah yang menentukan jarum kematian, sebagaimana diajukan
pada awal novel. Dengan memperhatikan tiga kutipan novel berikut ini,
kita dapat memperoleh gambaran lengkap tentang sikap dan pandangan
dan sikap tokoh.
d. Sikap dan Pandangan Hidup Manusia dan Kehidupan
Karya sastra adalah dunia rekaan berdasarkan dunia nyata. Sastra
dan tata nilai kehidupan adalah dua fenomena sosial yang saling
melengkapi dalam kedirian mereka sesbagi sesuatu yang eksistensial.
Sebagai bentuk seni, kelahiran karya sastra bersumber dari kehidupan
61
Ibid., h 49 62
Ibid., h 152
63
yang bertata nilai dan pada gilirannya sastra juga akan memberikan
sumbangan bagi terbentuknya tata nilai , Oleh karenanya, dalam batas-
batas tertentu, hal-hal yang terdapat di dalam karya sastra dapat ditarik ke
luar dihubungkan dengan realitas yang melingkupinya.
Eksistensi manusia sebagai individu sebagai struktur sosial
merupakan eksistensi yang bermakna ganda. Di satu pihak individu harus
mempertahankan identitas individualitasnya, di sisi lain individu juga
terlibat dalam hubungan-hubungn sosial dari mulai kelahiran hingga
kematiannya. Melalui novel Larung dengan cara dan gaya yang spesifik,
Ayu Utami ingin menjelaskan relasional antara sastra dan tata nilai. Dalam
novel Larung ditemui hal-hal yang berkaitan dengan tata nilai, norma dan
etika melalui pikiran, perilaku, dan sikap hidup tokoh-tokohnya.
Penggambaran tentang tata nilai dalam karya sastra tersebut tentu saja
sudah melalui proses interpretasi dan kreasi dari pengarang. Oleh
karenanya, apa yang ada dalam karya sastra tidak selamanya bersifat linier
bila dihubungkan dengan realitas.
Novel Larung menggambarkan beberapa hal yang berkenaan
dengan hubungan manusia dengan diri sendiri. Hal yang ditawarkan antara
lain pemahaman nilai-nilai kemanusiaan, dan harga diri dan kehormatan.
Sebagaimana dijelaskan di atas, bentuk tawaran tersebut lebih bersifat
mempertanyakan kembali hal-hal yang sudah umum berlaku di
masyarakat.
Dalam hidupnya manusia sering dihargai dari sisi fisiknya. Nilai
manusia ternyata berhenti pada tataran fisik. Akan tetapi, begitu kematian
tiba, jasad akan kembali ke unsur asalnya menyatu dengan tanah. Itulah
yang ingin ditegaskan oleh Larung ketika dia melakukan tindakan mutilasi
pada jenazah neneknya.
Jawablah simbah, jawablah bahwa engaku membenci kehidupan.
Engkau telah muak dengan rasa sakit dan membutuhkan seseorang
untuk menyelesaikannya. Aku akan ,melakukannya karena sayang
padamu. Untuk kebahagiannmu. Kau adalah kekasihku selama ini.
64
Untuk menemukan jejak-jejak kekuatan dan kekebalan pada tubuh
neneknya, Larung memutuskan untuk melakukan pembedahan pada tubuh
neneknya. Tetapi jejak-jejak benda sihir itu tak ditemukannya.
Maafkanlah, telah aku acak-acak tubuh dan parasmu tetapi tak
kutemukan juga susuk dan gotri itu. Hanya, kini aku percaya
bahwa ngkau telah mati. Tetapi kusisakan telingamu, labirin
dengan bulu-bulu kecil (L :74). 63
Apa yang dilakukan Larung terhadap neneknya merupakan suatu
bentuk kontra niali kemanusiaan yang selama ini ada di masyarakat. Kita
sudah seharusnya menghargai nilai kemanusiaan termasuk harus
memperlakukan jenazah dengan sepantasnya. Sebagaimana pernyataan ibu
Larung mengomentari tindakan itu.
Tuhanku. Kamu tak punya rasa hormat sedikitpun pada tubuh dan
sisa kehidupan (L : hal 74).64
Perlakuakn tokoh Larung terhadap neneknya hanyalah bentuk dari
perlakuan terhadap tubuh dari sisa kehidupan. Di sisi lain sikap yang
diambil Larung dengan merawat neneknya serta perjalanan yang dilakukan
untuk mencari jejak kehidupan neneknya selama ini juga merupakan siakp
penghargaan terhadap kehidupan. dengan kata lain tokoh larung masih
mempunyai simpati terhadap nilai kehidupan akan tetapi sikap yang
dilakukannya terhadap pembunuhan neneknya hanyalah pengaruh dari
nilai mitos yang dipandangnya telah merusak kehidupan neneknya.
Tokoh-tokoh wanita dalam novel Larung menampilkan dimensi
dalam sisi kehidupan manusia. Mereka menjadikan dirinya sebagai
sebuah komunitas baru yang menolak lembaga perkawinan, berkomunitas
seperti hewan, dan menikmati hidup seperti komunitas itu. Hidup seperti
burung, kawin begitu mengenal birahi, sesudah itu tak ada dosa.
Bagaimana Cok yang merasa bangga dengan petualangan seksual dengan
beberapa laki-laki dalam hidupnya.
63
Ibid., h 74 64
Ibid., h 74
65
Ya, gue bisa biang begitu karena gue udah tidur dengan entah
berapa lelaki. Perawan, lakor, duda. Sampe kadang capek.
Hubungan-hubungan pendek membikin kita yakin bahwa cinta dan
seks itu nggak istimewa amat (L :117).65
Bahwa virginitas, sebagaimana yang diyakini masyarakat dikaitkan
dengan harga diri dan kehormatan, bagi mereka bukanlah hal yang
penting. Ketika melakukan suatu perbuatan selama diyakini akan
mendapatkan kepuasan dan dilakukan dengan penuh kesadaran tidak perlu
dipersoalkan meskipun melanggar norma-norma. Norma tersebut ada
karena diciptakan oleh manusia. Mengapa manusia tidak berusaha
menciptakan norma-norma yang baru untuk menyesuaikan dan sekaligus
menjadi pembenar bagi langkah dan tindakan yang dilakukan.
Bentuk-bentuk penyimpangan norma kemanusiaan yang dilakukan
tokoh-tokoh dalam Larung secara tidak langsung merupakan kritik
terhadap gambaran ada di masyarakat. Bahwa ketika nilai serta norma-
norma yang ada di masyrakat kita sekarang ini sudah dianggap kuno dan
tabu sudah tidak dianggap lumrah bagi sebagian masyarakat. Akan tetapi
masyarakat yang tetap menjaga nilai dan norma tersebut akan terjaga dari
kemungkinan melakukan penyimpangan
d. Sikap dan Pandangan Hidup Tentang Gender
Tokoh-tokoh wanita dalam novel Larung menampilkan dimensi
dalam sisi kehidupan manusia. Mereka menjadikan dirinya sebagai
sebuah komunitas baru yang menolak lembaga perkawinan, berkomunitas
seperti hewan, dan menikmati hidup seperti komunitas itu. Hidup seperti
burung, kawin begitu mengenal birahi, sesudah itu tak ada dosa.
Bagaimana Cok yang merasa bangga dengan petualangan seksual dengan
beberapa laki-laki dalam hidupnya.
Ya, gue bisa bilang begitu karena gue udah tidur dengan entah
berapa lelaki. Perawan, lakor, duda. Sampe kadang capek.
Hubungan-hubungan pendek membikin kita yakin bahwa cinta dan
seks itu nggak istimewa amat (L :117).66
65
Ibid., h 117 66
Ibid., h 117
66
Bahwa virginitas, sebagaimana yang diyakini masyarakat dikaitkan
dengan harga diri dan kehormatan, bagi mereka bukanlah hal yang
penting. Ketika melakukan suatu perbuatan selama diyakini akan
mendapatkan kepuasan dan dilakukan dengan penuh kesadaran tidak perlu
dipersoalkan meskipun melanggar norma-norma. Norma tersebut ada
karena diciptakan oleh manusia. Mengapa manusia tidak berusaha
menciptakan norma-norma yang baru untuk menyesuaikan dan sekaligus
menjadi pembenar bagi langkah dan tindakan yang dilakukan
Keperawanan yang menjadi momok pengaturan laki-laki terhadap
perempuan dilakukan Ayu melalui tokoh Laila meskipun sosok ini mampu
melawan gender keperempuanannya. Semasa sekolah dia paling banyak
berlatih fisik. Naik gunung, berkemah, turun tebing, cross country, dan
lainlain jenis olahraga kelompok yang kebanyakan anggotanya lelaki.
Juga, tidur bersisian dengan kawan lelaki dalam tenda dan perjalanan. Tapi
dialah yang paling terlambat mengenal pria secara seksual. Pada masa itu
ada rasa bangga bahwa dia memasuki dunia lelaki yang dinamis. Ternyata
perlakuan itu tidak dapat dibawa tokoh Laila sampai dewasa. Ia tidak bisa
masuk ke dalam dunia pria dewasa. Tapi keperawanan Laila yang terjaga
seperti layaknya yang diagungkan budaya Indonesia justru menjadi
problema, seks Laila terhambat. Lelaki takut padanya. Keperawanan
dinilai sebagai tanggung jawab. Sehingga Sihar pun takut untuk
memperawaninya. Kerinduan Laila pada Sihar membuatnya mampu
melihat faktor lelaki pada diri Shakuntala.
Gabungan sosok Saman dan Sihar, dua lelaki yang dicintai Laila
muncul pada diri Shakuntala. Hingga akhirnya Laila melupakan
Shakuntala sebagai perempuan. Ketertarikan Laila ditanggapi Shakuntala
sehingga dalam Larung ini muncul sebuah relasi seksual di mana lelaki
benarbenar diabaikan. Dalam hal ini Ayu masih mencoba membela
kaumnya. Ia hanya ingin menyelamatkan Laila. Penggambaran tentang
dunia lesbian, yang benar-benar belum bisa diterima kultur Indonesia
67
dilakukan Ayu dengan gambaran yang sangat indah lewat tokoh Laila dan
Shakuntala.
Shakuntala adalah seorang penari profesional yang memperdalam
ilmunya di New York. Ia bisa memerankan Sita dan Rahwana sekaligus
denga bertelanjang dada. Ketika ia menari seperti baling-baling, hingga
menjadi seperti gasing, ia merasa ada kelaki-lakian dalam dirinya. Ia
merasa bahwa dalam dirinya ada sisi perempuan dan sisi laki-laki. Ia
seorang biseks. Sejak kecil, ia sudah membenci ayahnya, karena ayahnya
sering menghambat ruang geraknya. Shakuntala saat melihat Laila sedih
karena gagal kencan dengan Sihar, Shakuntala menghiburnya dengan
mengajak menari tango, sebuah tarian dengan gerakan-gerakan angkuh.
Saat menari itulah kelelakian Shakuntala tumbuh dan ia mengajak Laila
tidur. Sedangkan Yasmin, yang sudah bersuamikan Lukas Hadi Prasetyo,
berselingkuh dengan Romo Wis, panggilan Athanasius Wisanggeni, yang
berganti nama menjadi Saman saat berada dalam status buronan.
Mereka melakukan hubungan seksual saat Yasmin dan Saman
berada di Pekanbaru, ketika Saman mau dilarikan ke Amerika. Sementara
Cok adalah perempuan yang sejak duduk di bangku SMA sudah menganut
aliran freesex. Ia bahkan pernah dipindahkan ke SMU di Bali gara-gara
orangtuanya menemukan kondom di tas sekolahnya. Di Bali, justru
petualangan seksnya semakin menjadi-jadi hingga menginjak dewasa. Ia
tidur dengan banyak lelaki, di antaranya dengan menjadi simpanan pejabat
militer, Brigjen Rusdyan Wardhana. Dengan pejabat militer itulah ia
mendapat berbagai fasilitas usaha, sehingga menjadi pengusaha yang
banyak duitnya. Ia pula yang menjebak Yasmin dan Saman menginap dua
hari di bungalownya, sehingga mereka berdua tak mampu
mempertahankan keinginan seksual. Saman yang memilih hidup selibat
justru merangsang Yasmin untuk segera memperjakainya.
Dengan menggunakan keempat tokoh perempuan itulah Ayu
Utami ingin menggempur lembaga perkawinan yang selama ini
disakralkan oleh sebagian besar masyarakat kita. Laila dan Cok dengan
68
sadar merusak rumah tangga orang lain. Dalam hal ini, tentu yang
disalahkan tidak hanya pihak perempuan, tapi juga pihak laki-laki, baik
Sihar maupun Brigjen Rusdyan Wardhana.
Sementara Yasmin dengan sadar pula merusak rumah tangganya
sendiri dengan memperjakai Romo Wis, dan mengabadikan
perselingkuhan itu. Sedangkan Shakuntala yang biseks memposisikan
dirinya di luar lembaga perkawinan yang lazimnya buat kalangan
heteroseks. Sedangkan peran tokoh dalam novel Larung diawali dengan
tokoh Larung yang akan membunuh neneknya. Nenek Larung yang
menikah dengan seorang Belanda dan kemudian menikah lagi dengan
seorang gerilyawan, pada akhirnya harus dibunuh oleh cucunya sendiri
(Larung Lanang), karena nenek yang berusia 120 tahun itu tidak mati-mati
meskipun napas dan tubuhnya bau. Nenek itu akhirnya dibunuh Larung
setelah Larung mendapatkan enam cupu. Pertemuan Larung dengan
Saman terjadi ketika mereka berencana melarikan tiga aktivis Solidarlit,
yaitu Wayan Togog, Bilung, dan Koba. Pelarian yang dimulai dari
peristiwa 27 Juli 1996 dari Jakarta yang dibawa ke Pulau Kijang oleh
Larung. Mereka sepakat akan bertemu di pelabuhan Pelni.
Larung adalah tujuan yang akan disampaikan oleh Ayu Utami. Hal
ini terlihat ari diri Ayu sendiri yang menuntut adanya persamaan derajat
dengan laki-laki. Novel ini mengandung kekayaan simbolisme yang
digunakan oleh Ayu Utami baik secara langsung maupun tak langsung
mengkritik sistem patriarki. Karakter tokoh perempuan dari lingkungan
kelas ekonomi menengah ke atas memiliki karakter yang tegas, mandiri,
berkeinginan untuk maju, setia pada komitmen yang telah dibangun
bersama, dan berani menghadapi kenyataan. Peran perempuan dalam
novel Saman dan Larung adalah perempuanperempuan yang aktif,
berpendidikan, dan mandiri. Mereka menuntut adanya persamaan sederat,
hal ini terlihat dalam tokoh: Laila, wanita aktif yang belum menikah dan
menjadi fotografer; Yasmin Moningka menjadi pengacara di kantor
ayahnya sendiri. Ia juga sudah mendapat izin advokad yang tidak semua
69
lawyer punya; Shakuntala seorang penari, sejak kecil ia menari. Ia
mendapat beasiswa untuk melanjutkan tarinya di New York, selain itu ia
juga melakukan pementasan; dan Cok nama lengkapnya Cokorda Gita
Magaresa, seorang pengusaha hotel. Ia lulusan sekolah perhotelan di
Sahid. Tokoh perempuan dalam novel Saman dan Larung juga menentang
sistem patriarki, ini terlihat dari sikap Shakuntala yang sangat membenci
bapaknya, ia merasa bapaknya selalu mengatur hidupnya, dari masalah
sekolah, teman hidup, dan pandangan tentang perkawinan. Aturan dan
norma yang selama ini dianut Bapaknya sangat ia benci, bahkan sejak
berusia 9 tahun dia sudah tidak perrawan lagi. Bapak merupakan simbul
partiarki, ia sangat tidak setuju dengan sistem tersebut.
Yasmin yang aktif merupakan simbol perempuan yang melawan
norma dan adat yang berlaku dalam masyarakat. Satu sisi ia masih
mengikuti tradisi, menikah dan taat pada suami, tetapi di sisi lain ia
mengikuti modernisasi budaya yang masuk dalam masyarakat, yaitu
berselingkuh dengan Saman. Perilaku Yasmin merupakan simbol
pergeseran budaya tradisi ke budaya baru yang modern. Tokoh Laila
merasa terbebaskan dari tanggung jawab terhadap orang tuanya dan istri
Sihar. Ketika di New York jarak geografis menciptakan sebuah ruang
psikologis antara dirinya dan pengharapan-pengharapan kultural dan sosial
Indonesia, akhirnya dia merasa sepenuhnya dan seorang diri memegang
kontrol atas tubuhnya. Tokoh Laila menjaga keperawanannya bukan hanya
karena berdasarkan pertimbangan religius. Kenyataannya dia nampaknya
kurang peduli tentang berdosa pada Tuhan dibandingkan rasa berdosanya
terhadap orang-orang yang dekat dengannya, yaitu orang tuanya dan istri
Sihar.
70
C. Implikasi Terhadap Pembelajaran Sastra di Sekolah
Pendidikan memang sebuah yang telah melekat pada terlebih secara
modern saat ini. Dalam upaya mencapai tujuan pendidikan, trutama di sekolah,
maka diciptakanlah kurikulum. Kurikulum berisis mata pelajaran yang diajarkan
oleh guru sesuai dengan bidang mata palajaran. Dalam kurikulum mata pelajaran
bahasa dan sastra Indonesia, sastra kini menjadi satu kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan dari pembelajaran bahasa Indonesia.
Dalam pembelajaran Bahasa Indonesia di sekolah menengah pertama dan
sekolah menengah atas. Penelitian ini difokuskan pada Satuan Pendidikan yakni
sekolah menengah atas. Penelitian ini difokuskan dengan Aspek Membaca.
Standar Kompetensi yang termuat di dalamnya adalah Memahami Pembacaan
Novel. Kompetensi Dasarnya adalah: Menjelaskan Unsur-unsur Instrinsik dari
pembacaan penggalan novel. Indikator yang perlu dicapai: (1) siswa dapat
menyampaikan sinopsis novel secara lisan berdasarkan pemahamannya terhadap
cerita, (2) siswa dapat mengidentifikasi unsur instrinsik novel yang meliputi
penokohan, alur, serta tema dan amanat, (3) siswa dapat menentukan karakter
tokoh utama yang ada di dalam novel.
Pada standar kompetensi tersebut, siswa diajak untuk mengenal unsur-
unsur pembanguan novel, baik intrinsik maupun ekstrinsik. Siswa diajak
membaca dan memahami kedua unsur tersebut. Setelah mengerti mengenai unusr-
unsur tersebut, maka siswa melakukan analisis agar mampu menjawab tujuan
pembelajaran sastra. Dalam pembelajaran tersebut, maka sudah pasti dibutuhkan
novel sebagai bahan ajar.
Temuan ini sangat penting dipahami dan memperhatikan nilai-nilai yang
terkandung didalam novel karena nilai-nilai tersebut sangat berguna bagi
kehidupan serta penelitian ini dapat menambah wawasan terutama dibidang
pendidikan.
Kelebihan novel jika dijadiak sebagai bahan pengajaran tambahan yaitu
siswa dapat menikmati bacaan tersebut. Walau telah disadari bahwa kemampuan
tiap siswa berbeda-beda, namun jika guru sampai memberikan rangsangan atau
71
setidaknya mempu menarik perhatian siswa melalui novel, ,maka kemampuan
membaca siswa akan meningkat. Demikian pula harapannya dengan peningkatan
pemahaman siswa tidak hanya dalam bidang sastra akan tetepi dapat memahami
makna pembelajaran lannya yang bisa dipelajari dari novel.
Salah satu novel yang menjadi kajian peneliti adalah novel Larung karya
Ayu Utami dengan fokus kajiannya adalah sikap dan pandangan hidupp tokoh
larung sebagai tokoh utama dalam novel Larung dan implikasinya terhadap
pembelajaran sastra di sekolah. Setelah adanya penelitian ini siswa dapat siswa
dapat menentukan karakter tokoh yang ada di dalam novel melalui analisis
pandangan hidup tokoh, sesuai dengan dengan kompetensi dasar dalam
pembelajaran sastra.
Pandangan hdidup yang menjadi fokus dalam kajian ini selain dapat
memberikan pengetahian kepada siswa mengenai karakter tokoh juga dapat
memberikan informasi kepada siswa mengenai hubungan karya sastra sebagai
cerminan masyarakat dengan penggambaran tokoh dalam cerita. Pandangan hidup
yang tercermin oleh tokoh-tokoh dalam cerita merupakan hasil dari pengaruh
lingkungan dimana tokoh itu diceritakan. Sebagaimana fungsi karya sastra sebagai
refresntatif dari kehidupan masyarakat maka nilai-nilai yang ada dan berlaku
dalam masyarakatpun menjadi pembahasan sastra kaitanhya dengan kajian
sosiologi sastra yang mengungkap fakta-fakta sosial sastra dan masyarakat.
Salah satu pengajaran sastra yaitu untuk meningkatkan pengetahuan
budaya. Yang dimaksud pengetahuan dalam hal ini yaitu mengandung suatu
pengetian yang luas. Dengan berbagai cara, kita dapat menguraikan dan menyerap
pengetahuan semacam itu dalam karya sastra. Sebagai contoh banyak fakta-fakta
yang diungkapkan dalam karya sastra khususnya novel, tetapi masih banyak juga
fakta-fakta yang harus kita gali dari sumber-sumber lain untuk memahami situasi
dan problematika khusus yang dihadirkan dalam suatu karya sastra.
Novel Larung karya Ayu Utami menampilkan bermacam-macam tokoh
begitu pun dengan karakter dari masing-masing tokoh tersebut. Seseorang yang
yang membaca novel biasanya tertarik dengan perespsi, penafsiran dan
pemahaman tokoh-tokoh yang dihadirkan pengarang. Para siswa dapat dapat
72
membaca dan menanggapi bagaiman perwatakan tokoh disampaikan oleh
pengarang sehingga pesan yang ingin disampaikan pengarang akan mamapu
ditangkap pembaca, dan paling penting agar siswa mampu membina pemahaman
mereka mengenai makna atau nilai kehidupan yang terefleksi di dalamnya.
Pembelajaran Bahasa Indonesia dengan menggunakan karya sastra akan
lebih menyenangka ketika siswa secara tidak langsung akan terlibat ke dalam
cerita yang ditawarkan pengarang. Siswa tidak akan merasa digurui, sehingga
pembelajaran mengenai pandangan hidup dan sikap hidup tokoh dalam cerita
mudah diserap oleh siswa dan tujuan pembelajaran sastra dapat tercapai.
73
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan terhadap novel Larung karya
Ayu Utami, maka penulis mempu menyimpulkan hal sebagai berikut.
1. Simpulan dari hasil penelitian diperoleh dengan deskripsi sebagai brikut;
Sikap dan pandangan hidup yang ditampilkan tokoh meliputi: pandangan
tentang yang Illahi atau agama, pandangan kebajikan, pandangan tentang
sesama atau manusia dan pandangan tentang gender yang ditampilkan
tokoh dipengaruhi oleh faktor-faktor antara lain: orang lain yang dianggap
penting, kebudayaan, politik atau organisasi, faktor emosi dalam diri
individu.
2. Nilai sikap dan pandangan hidup yang dihadirkan tokoh-tokoh dalam
novel akan membanti siswa dalam memahami nilai soaial masyarakat yang
ada dalam karya sastra dan dalam pembelajaran Bahasa Indonesia di
sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas dapat membantu
memenuhi Standar Kompetensi yang termuat di dalam pembelajaran sastra
yang meliputi kompetensi dasar menjelaskan Unsur-unsur Instrinsik dari
pembacaan penggalan novel. Indikator yang perlu dicapai: (1) siswa dapat
menyampaikan sinopsis novel secara lisan berdasarkan pemahamannya
terhadap cerita, (2) siswa dapat mengidentifikasi unsur instrinsik novel
yang meliputi penokohan, alur, serta tema dan amanat, (3) siswa dapat
menentukan karakter tokoh utama yang ada di dalam novel.
74
B. Saran
Berdasarkan penelitian ini maka penulis mengajukan beberapa saran sebagai
berikut
1. Penelitian yang mengungkapkan tentang sikap dan pandangan hidup tokoh
dalam novel Larung ini masih terbatas pada kajian yang bersifat struktural
sosiologi sastra. Oleh karena itu masih sangat terbuka kemungkinan untuk
melakukan kajian lebih lanjut, khususnya diarahkan pada masyarakat
pembaca. Kajian dapat dilakukan dengan memanfaatkan pendekatan
resepsi sastra.
2. Dalam pembelajaran Bahasa dan sastra Indonesia diharapkan dapat
memberikan gambaran kehidupan masyarakat agar siswa dapat memahami
mengenai nilai sosial yang ada dalam kehidupan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Damono, Sapardi Djoko. 1984. Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Singkat.
__________. 2002. Pedoman Penelitian Sosiologi Sastra. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.
Endraswara, Suwardi. 2004. Metodelogi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Penerbit Pustaka Widyatama.
Escarpit, Robert. 2005. Sosiologi Sastra. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Faruk. 2010. Pengantar Sosiologi Sastra.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hasanuddin WS, Prof, Dr., M. Hum (editor). 2004. Ensiklopedi Sastra
Indonesia, Bandung: Tiaian Ilmu Harapan
Hawton, Jremi. 1986. Atudying the Novel An Introduction, New York
Ikwanudian Nasution,2006. Sastra dari Perspektif Kajian Budaya: analisis
novel saman dan larung Jurnal Ilmiah Bahasa dan Sastra Vol II no. 1
tahun
Junus, Umar. 1981. Resepsi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Gramedia.
Luxemburg, dkk. 1984. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: Gramedia.
Minderop, Albertin. 2011.Metode Karakterisasi Telaah Fiksi.Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia
Nurgiyantoro, Burhan. 2002. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajahmada University Press.
Ratna, Nyoman Kutha.2004. Teori, Metode dan Teknik Penelitian Sastra dari
Strukturalisme hingga Postrukturalisme: Perspektif Wacana Naratif,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Ratna, Nyoman Kutha.2009. Paradigma Sosiologi Sast . Yogyakarta: Pustaka
Pelajar
Sarumpaet., and Toha, Riris K (ed). 2002.Sastra Masuk Sekolah. Magelang:
Indonesiatera
Sayuty, Susminto A.2001 Berkenalan Dengan Prosa Fiksi
Yogyakarta:Gama Media
Semi, Atar.1998. Anatomi Sastra, Padang: Angkasa Raya.
Soekanto, Soerjono. 2002. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Grafindo Persada
Sumardjo, Jakob. 1979. Masyarakat dan Sastra Indonesia. Yogyakarta: Nur Cahaya.
Sumardjo, Jacob dan K.M. Saini.1988. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta: PT.
Gramedia
Stanton, Robert. 2007. Teori Telaah Fiksi. Yogyakarta: Putaka Pelajar
Utami, Ayu. 2001. Larung. Jakarta : Kepustakaan Populer Gramedia
Wallek, Rene dan Austin Warren.1989.Teori Kesusastraan, diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia oleh Melani Budianata, Ph.D., Jakarta: Gramedia, Cetakan Pertama.
NAMA
NIM
Program Studi
Judul Skripsi
LDMBAR UJI REFERENSI
Zakiyah
r09013000010
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Sikap Pandangan Hidup Tokoh dalam Novel Larung
Karya Ayu Utami dan Implikasinya Terhadap
PeDbelajaraD Sastra di Sekolah
Dosetr Pembimbitrg : Dra. Mahmudah Filriyah ZA, M. Pd.
No Judul Buku Paraf
I
Damono, Sapardi Djoko.1984. Sosiologi Sastru Sebuah
Pengantar Singfurt. .2002.
Pedono Penelitidn Sosiologi Sasta. la'kartal
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional
)Endraswara, Su]vardi. 2004. Metode logi Penelitian
Sarta. Yogyakarta: Penerbit Pustaka Widyatama
3
Escarpit, Robert. 2005. Sosiologi Saslra. lakafiai
Yayasan Obor Indonesia. W4
F aitk. 2OIO. P engantar Sos iolo gi Sasfa.y ogydkafta:
Pustaka Pelajar
5
Hasanuddin WS, P.of, Dr., M. Hum (editor). 2004.
Ehsiklopedi Saslru Indonesia, Bwd'txrg:- TiaiarJ
Ilmu Hampan
6
Hawton, Jremi. 1986. Atudying the Novel An
Inttoduction, New York ,%,/
7
Ikwanudian Nasution 2006. Sastra dqti Petspektd
Kajisn Budays: dnalisis ho\)el saman dan
larung JlrmalllmiahBahasa dan Sasha Volll
no. I tahun
8
Luxemburg, dkt. 1984. Pengantar llmu Sastra. Jakofial
Gramedia ry9
Minderop, Albertin. 20ll.Metode Karakterisasi Telaah
Iii.rr.Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia
l0
Made ,2005. Perrrbindafl Kritik sastra Indofiesid,
Bandungi :Algkasa.
l1
Nurgiyantorc, Burhan. 2002. Teoti Pengkajian Fiksi.
Yogyakarta: Gajahmada Univelsity Press. ryt2
Natawijay4 Suparman. 1981. Aprcsidsi Sastra
,Brda),, Jakarta: PT. Intermasa
l3
Ratn4 Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode dan
Teknik Peheli,ian Sastrq dari
Struh*ali$fie hingga Posffukturalisme:
Perspektif Wacana Naratif, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar 2004
14
Ratna, Nyoman Kutha.2009. Parudigma Sosiologi
Sas/ra . Yogyakafla: Pustaka Pelajar
'W,/l5
Rahmanto, B. 1989. Metode Pehgajaran Saslrq:
Pegangan Gulu Pengajar SaJtr4 Yogyakarta:
Kanisisus,
t6
Soekanto, Soerjono. 2002. Sosiologi Suotu Penqdntar.
Jakarta: G.afi ndo Persada
t7
Sumardjo, Jakob. 1979. Masyarakat ddh Sastra
Indonesia. Y ogyakaia: Nur Cahaya. %/l8
Sumadjo, Jacob dan K.M. Saini.l988. Apresiasi
Kesusasfiaan. Jakarta: PT. Cramedia ,%,/
t9
Stanton, Robert. 2007. Teori Telaah Fiksi. Yogyakarta:
Putaka Pelajar
20
Utemi,2002. A1u. Larung. Jakarla : Kepustakaan
Populer Gramedia %/
. _+8w8ts ffi *?(
2t
, and Toha Rkis K (ed). 2002.Sasba
Masuk SekolaL Magelang: Indonesiater4
22
Sayuty, Susmhto A.2001 Betkendlqn Dengan Prosa
Fiksi . Yogyakarta:Gama Media,
2f
lemi, Al"t-1998. Anotoni Sa.rr4 Padang: Angkasa
Raya.
24
Sukada, Made 2005 , Pembinadn Kritik sdsba
Ind on6 iq Bar1diJ(rg.,, AryYasa.
25
Wallek, Rene dan Austin Wa.ren.l989 .feori
Ke$usdshdan, diterjcmahkan ke dalam bahasa
Indonesia oleh Melani Budianata, Ph.D.,
Jakarta: Gramedia, Cctakan Pertama.
RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN ( RPP )
Nama Sekolah : SMP/MTs
Mata pelajaran : Bahasa dan Sastra Indonesia
Kelas/semester : XII/I
Alokasi waktu : 2 x 45 menit
Standar Kompetensi
Menerangkan sifat-sifat tokoh dari kutipan novel yang dibacakan
Kompetensi Dasar
Memahami wacana sastra melalui kegiatan mendengarkan pembacaan novel
Tujuan Pembelajaran
Siswa mampu membaca cerpen dengan baik
Siswa mampu mampu memahami unsur-unsur instrinsik novel
Siswa mampu menganalisa unsur-unsur instrinsik dalam novel
Siswa mampu menganalisa sifat-sifat tokoh dalam novel
Nilai yang ditanamkan: Jujur, Kreatif, Kerja keras, Berani, Percaya Diri, Rasa
ingin tahu, Komunikatif, dan Tanggung Jawab.
A. Indikator Pencapaian Kompetensi
Menceritakan kembali isi novel
Menjelaskan unsur-unsur instrinsik novel
Menjelaskan sifat-sifat tokoh dalam novel
B. Materi Ajar
Pengertian novel
Unsur-unsur instrinsik novel
Menerangkan sifat tokoh dan implementasinya
C. Metode Pembelajaran
1. Pendekatan : Pembelajaran Kontekstual
2. Metode : Diskusi kelompok, tanya Jawab, dan ceramah
3. Model Pembelajaran : Pembelajaran kooperatif
D. Langkah-langkah Pembelajaran
Pertemuan (6 X 40 Menit)
1. Kegiatan awal (10)
a. Guru membuka pelajaran (doa/salam), kemudian presensi kehadiran siswa
b. Guru menyampaikan indikator dan tujuan pembelajaran
c. Guru memberikan motivasi kepada peserta didiknya agar semangat dalam belajar
dan berprestasi
2. Kegiatan inti (70)
a. Eksplorasi
1) Siswa bersama guru bertanya jawab tentang novel
2) Siswa bersama guru mendiskusikan unsur-unsur instrinsik novel
3) Siswa menentukan unsur-unsur instrinsik pada novel
4) Siswa menentukan sifat-sifat tokoh pada novel
b. Elaborasi
1) Siswa menyimak pemaparan materi yang disampaikan oleh guru
2) Siswa ditugaskan untuk mencatat pokok-pokok materi
3) Salah satu siswa menyampaikan hasil analisa unsur-unsur instrinsiknya
4) Siswa yang lain menanggapi (memberi tambahan, kritik, dan saran) kepada
siswa yang menyampaikan pendapatnya
c. Konfirmasi
1) Siswa bersama guru membahas tanggapan yang telah disampaikan
2) Siswa bersama guru memberikan apresiasi positif pada diskusi yang dilakukan
3) Guru memberikan penguatan tentang materi yang sudah dibahas
3. Kegiatan penutup
a. Siswa bersama guru menyimpulkan materi yang telah dibahas
b. Guru menyampaikan tugas untuk membuat analisa unsur-unsur instrinsik novel
yang telah ditentukan
c. Guru menyampaikan tugas untuk membuat analisa tokoh dan sifat-sifat tokoh
dari novel yang telah ditentukan
Alat/ Bahan/ Sumber
Buku Intisari Bahasa dan sastra Indonesia untuk SMA, Diana Nababan, Jakarta:
Kawan Pustaka 2008
Kumpulan contoh cerpen
Laptop
LCD dan proyektor
E. PENILAIAN
Penilaian dilaksanakan selama proses dan sesudah pembelajaran
Indikator pencapaian
Penilaian
Teknik
Penilaian
Bentuk
Instrumen Soal/Instrumen
i. Mampu mencatat
unsur-unsur instrinsik
novel yang telah
dijelaskan
ii. Mampu menganalisa
unsur-unsur instrinsik
yang terdapat dalam
novel
iii. Mampu menganalisa
sifat-sifat tokoh yang
terdapat dalam novel
iv. Menyampaikan
kembali secara lisan
Tes tulis
Uraian 1. Catatlah unsur-unsur instrinsik
novel!
2. Buatlah analisa mengenai
unsur-unsur instrinsik novel!
3. Buatlah analisa mengenai sifat-
sifat tokoh novel
4. Sampaikan secara lisan hasil
tulisanmu kepada teman yang
lain!
Afektif
SK
KD
NAMA SISWA KARAKTER YANG DIHARAPKAN
Jumlah (1) (2) (4) (5) (6)
Kriteria penilaian
Butir Soal
Kriteria Skor maksimal
1) Catatlah unsur-unsur instrinsik
novel!
2) Buatlah analisa mengenai unsur-
unsur instrinsik novel!
3) Buatlah analisa mengenai sifat-
sifat tokoh novel
4) Sampaikan secara lisan hasil
tulisanmu kepada teman yang
lain!
1) Mencatat secara runtut unsur-unsur
instrinsik novel
2) Membuat analisa unsur-unsur
instrinsik novel
3) Membuat analisa sifat-sifat tokoh
novel
4) Menyampaikan secara lisan hasil
tulisan dengan runtut dan bahasa
yang baik
100
100
100
100
JUMLAH 300
Nilai akhir = (1)+(2)+(3) /3
Depok, 9 Oktober 2013
Mengetahui,
Kepala ...............……………
(__________________________)
NIP / NIK : ..........................
…..,………………… 20 …….
Guru Mapel Bhs Indonesia.
(_______________________)
NIP / NIK : ..........................
Nomor I Un.ol/F. l A(M .01.31...........12011Lamp. :-HaI ; Birabingan SMpsi
YtlL
Pembimbiry SkdpsiFaldtas lllBu Tdbiyah da't KeguruantlN Sldif HidayatullahJakarta"
A s sa lota' a I oi htm w r.w b.
Deogar ini diheapkan kesediae Sauda'a untuk(mated,/teknis) p€,lulis@ skipsi mahasiwa:
Jakdt4 29 Oktober 2013
me,qiadi pqnbimbing I/II
Zakiyah
109013000010
Pendidikan Batasa daa Sastra hdonasia
!,[rSilsp drr Peud{tgu Eftlup Tokoh dshD Novel laru,rg Itrry,
Ayo Utani dan Impliksliny. teftadap Pembclajar.! Sastra di
SekoLh
Judul tef,sebot telah disstujui olet Jufisan yang b€rsanekuho pada trnggal 29 Oldob{r 2013 ,abstraksilou tu e lerlam.pn Saudara dapat melakukan p€rubahan redaksioMl padajudul t€isebur.Apabila p€iEb,le sub$aNial diegge pef,ln, mohor pembimbing m€aghuburgi Jurrrset€rlebra dahulu.
Bimbtugar skipsi itri dih.ueka r selesai daldr waktu 6 (ensm) bulaD, de dest dip€rpanjamgselea 6 (eo&a) bulm b€dkufnya tdpa surd p€rpaajmgm.
Atas perhrtie daa kerja s@a S&d64 kani u.4km tedma kasih.
Wassa|artu' alaikut t vt- wb.
Lr<tronesia
Nma
NIM
Julusan
S€mester
Judt Shipsi
l. D€tan FITK2. Mahasiswa ybs-
.. KEIIENTERIA'{ AGAMAt.'- : utN JAKARTAFITK!k&JB],eNo95cjP6l1g12@*d.
FORM (FR)
No. Dokrmen : FITK-FR-AKDo81Tgl. Terbit : l Maret 2010No- Rovisi: : 01
Hal 1t,l
SURAT BIMBINGAN SKRIPSI