gambaran revolusi indonesia dalam...

205
GAMBARAN REVOLUSI INDONESIA DALAM NOVEL LARASATI KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN SASTRA INDONESIA DI SEKOLAH Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.) Oleh Dina Widayanti 11150130000081 JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2020

Upload: others

Post on 03-Feb-2021

7 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • GAMBARAN REVOLUSI INDONESIA DALAM NOVEL

    LARASATI KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER DAN

    IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN SASTRA

    INDONESIA DI SEKOLAH

    Skripsi

    Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan sebagai Salah Satu Syarat

    untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.)

    Oleh

    Dina Widayanti

    11150130000081

    JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

    FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

    UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

    2020

  • LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI

    GAMBARAN REVOLUSI INDONESIA DALAM NOVEL LARASATI

    KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER DAN IMPLIKASINYA

    TERHADAP PEMBELAJARAN SASTRA INDONESIA DI SEKOLAH

    Skripsi

    Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana

    Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia pada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan

    Keguruan (S.Pd.)

    Oleh

    Dina Widayanti

    NIM.11150130000081

    Di bawah bimbingan

    Ahmad Bahtiar, M.Hum

    NIP. 19760118 200912 1002

    JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

    FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

    UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

    2020

  • .

  • KEMENTERIAN

    AGAMA

    FORM (FR)

    No. Dokumen

    : FITK-FR-AKD-089

    UIN JAKARTA Tgl. Terbit : 1 Maret 2010

    FITK No. Revisi: : 01 Jl. Ir. H. Juanda No 95 Ciputat 15412

    Indonesia Hal : 1/1

    SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI

    Saya yang bertanda tangan di bawah ini,

    N a m a : Dina Widayanti

    Tempat/Tgl.Lahir : Jakarta, 27 Maret 1997

    NIM : 11150130000081

    Jurusan/Prodi : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

    Judul Skripsi : “Gambaran Revolusi Indonesia dalam Novel

    Larasati Karya Pramoedya Ananta Toer dan

    Implikasinya terhadap Pembelajaran Sastra

    Indonesia di Sekolah”

    Dosen Pembimbing : Ahmad Bahtiar, M.Hum.

    Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang saya buat benar-benar hasil karya

    sendiri dan saya bertanggung jawab secara akademis atas apa yang saya tulis.

    Pernyataan ini dibuat sebagai salah satu syarat menempuh Ujian Munaqasyah

    .

    Jakarta, 24 Desember 2019

    Mahasiswa Ybs.

    Dina Widayanti

    NIM. 11150130000081

  • “Kalau mati, dengan berani; kalau hidup dengan berani. Kalau keberanian

    tidak ada, itulah sebabnya setiap bangsa asing bisa jajah kita.”

    Larasati

    Pramoedya Ananta Toer

  • i

    ABSTRAK

    Dina Widayanti, 11150130000081, “Gambaran Revolusi Indonesia dalam Novel

    Larasati Karya Pramoedya Ananta Toer dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran

    Sastra Indonesia di Sekolah.”Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia,

    Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif

    Hidayatullah Jakarta. Pembimbing: Ahmad Bahtiar, M.Hum.

    Novel Larasati karya Pramoedya Ananta Toer merupakan novel yang

    merefleksikan pergolakan revolusi Indonesia pada masa pascaproklamasi.

    Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan gambaran revolusi Indonesia

    dalam novel Larasati dan implikasinya terhadap pembelajaran sastra di sekolah.

    Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif dengan

    pendekatan sosiologi sastra. Teknik pengumpulan data menggunakan teknik

    kajian pustaka dan dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa gambaran

    revolusi Indonesia dalam novel Larasati terealisasikan dalam tiga aspek, yaitu 1)

    syarat terjadinya revolusi Indonesia, yang memperlihatkan realitas sosial

    masyarakat dalam revolusi yang meliputi rasa tidak puas terhadap penjajah,

    keinginan untuk merdeka seutuhnya, dan rakyat yang berperan aktif dalam

    mengisi momentum revolusi. 2) Masa revolusi dimanifestasikan melalui revolusi

    fisik dan sosial, revolusi fisik memperlihatkan gambaran sosial tentang

    perjuangan rakyat membela revolusi dengan mengorbankan darah, yang

    direalisasikan melalui pertempuran langsung maupun gerilya. Revolusi sosial

    diperlihatkan melalui perlawanan rakyat kepada penjajah guna menghapus sistem

    kolonial menjadi sistem demokratis dalam kehidupan sosial masyarakat. 3)

    Dampak yang ditimbulkan akibat revolusi meliputi bangkitnya nasionalisme,

    kesenjangan sosial, serta terpolarisasinya rakyat menjadi pro dan kontra republik.

    Analisis novel Larasati dapat diimplikasikan pada pembelajaran bahasa dan sastra

    Indonesia di kelas XII SMA dengan kompetensi dasar 3.9 menganalisis isi dan

    kebahasaan novel. Peserta didik diharapkan dapat mengetahui realitas sosial

    mengenai revolusi Indonesia serta menerapkan nilai moral yang terkandung dalam

    novel berupa nasionalis dan patriotik.

    Kata Kunci: Revolusi Indonesia, Larasati, Pramoedya Ananta Toer,

    Pembelajaran Sastra

  • ii

    ABSTRACT

    Dina Widayanti, 11150130000081, “ An Overview of Indonesian Revolutions in

    the Novel Larasati by Pramoedya Ananta Toer and Its Implication on Indonesian

    Literary Learning in School.” Department of Indonesian Language and Literature

    Education, Faculty of Tarbiya and Teaching Sciences, State Islamic University

    Syarif Hidayatullah Jakarta. Advisors: Ahmad Bahtiar, M.Hum.

    The novel Larasati by Pramoedya Ananta Toer is a novel that reflects the

    uplifting of the Indonesian revolutions during the post proclamation. This study

    has a purpose to describe the overview of Indonesian revolution in the Larasati

    novel and its implications for literary learning in schools. The method used in this

    research was descriptive qualitative using literary sociological

    approach.Collecting data technique was using library and documentation method.

    The result showed that the description of the Indonesian revolution in this novel

    was realized in three aspects, namely 1) The conditions for the Indonesian

    revolutions, which showed the social reality of the people in the revolution era

    which included dissastisfaction with the invaders, the desire to be fully

    independent, and the people who played an active role in filling the momentum of

    the revolution. 2) The revolutionary period manifested through physical and social

    revolutions, physical revolution showed a social representation of the people’s

    struggle to defend the revolution at the expense of blood, which is realized

    through direct and guerrilla battles. The social revolution was demonstrated

    through popular resistance to the invaders to abolish colonial system into

    democratic system in the social life. 3) The impact of Indonesian revolution

    include that: the rise of nationalism, social inequality, and the polarization of the

    people into pros and cons of the republic. The analysis of novel Larasati can be

    implicated in Indonesian language and literature learning in XII grade with basic

    competencies number 3.9 which is analyzing the content and language of the

    novel. Students are expected to know the social reality of the Indonesian

    revolutions and apply the moral values contained in the novel that include

    nationalist and patriotic.

    Key Words: Indonesian Revolution, Larasati, Pramoedya Ananta Toer, Literary

    Learning

  • iii

    KATA PENGANTAR

    Alhamdulillahi Rabbil Alamin, segala puji dan syukur penulis panjatkan ke

    hadirat Allah Subhanahu Wataala yang senantiasa telah memberikan rahmat,

    taufik, dan hidayah-Nya, sehingga skripsi yang berjudul “Gambaran Revolusi

    Indonesia dalam Novel Larasati Karya Pramoedya Ananta Toer dan Implikasinya

    Terhadap Pembelajaran Sastra Indonesia di Sekolah” ini dapat disusun dan

    diselesaikan dengan baik. Shalawat dan salam penulis curahkan kepada Baginda

    Nabi Besar Muhammad SAW, sebagai suri tauladan kita, dan semoga kita

    mendapat syafaatnya kelak.

    Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar

    Sarjana Pendidikan pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia,

    Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam

    proses penulisan dan penyusunan skripsi ini, penulis banyak mendapat bantuan

    dari berbagai pihak, baik moril maupun materill. Dengan segala kerendahan hati

    penulis ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada:

    1. Dr. Sururin, M.Ag. selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

    UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;

    2. Dr. Makyun Subuki, M.Hum. selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa

    dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif

    Hidayatullah Jakarta;

    3. Novi Diah Haryanti, M.Hum. selaku Sekretaris Jurusan Pendidikan

    Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN

    Syarif Hidayatullah Jakarta dan selaku dosen penasihat akademik yang

    telah memberikan pengarahan dari awal proses perkuliahan hingga

    terselesaikannya perkuliahan ini;

    4. Ahmad Bahtiar, M.Hum. selaku dosen pembimbing skripsi selalu

    membimbing dan meluangkan waktu dalam bimbingan skripsi, serta tiada

    henti-hentinya untuk memberikan semangat agar skripsi dapat

    terselesaikan dengan baik;

  • iv

    5. Seluruh dosen Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

    khususnya, dan dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan yang telah

    memberikan ilmu pengetahuan dan bimbingan yang sangat bermanfaat

    bagi penulis selama menempuh pendidikan di UIN Syarif Hidayatullah

    Jakarta;

    6. Kedua orang tua yang sangat menyayangi penulis, yaitu Bapak Wido

    Raharjo dan Ibu Suyatni yang senantiasa membimbing, mengarahkan, dan

    memberikan nasihat yang bermanfaat bagi penulis;

    7. Teruntuk adik-adik penulis, yaitu Dwi Wulandari, Dewi Sri Lestari, dan

    Dwi Larasati yang selalu memberikan candaan dan kehangatan di tengah

    proses penulisan skripsi;

    8. Teman-teman terbaik dan seperjuangan yang tergabung dalam Lima

    Sekawan, yaitu Faakhirah, Siti Lazmi Latifah, Rizki Fitriana Asria, dan

    Peni Rosmalawati yang sejak awal perkuliahan selalu bersama,

    memberikan kehangatan dan candaan, saling menyemangati, mendoakan,

    dan memberikan motivasi dalam perkuliahan hingga proses penulisan

    skripsi;

    9. Teman-teman sebimbingan skripsi, terkhusus Vivi Khairatna yang selalu

    menyemangati penulis dan memberikan dukungan dalam proses

    pengerjaan skripsi, kemudian untuk Aravinda Kusuma Arrafah dan Suci

    Amalia yang selalu menghidupkan grup whatsapp bimbingan skripsi

    dengan gurauan dan dukungan agar semangat dalam bimbingan;

    10. Seluruh mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

    angkatan 2015 yang menjadi teman diskusi dan sharing selama proses

    perkuliahan berlangsung;

    11. Teman-teman KKN 28 UIN Jakarta (Muspaca 28) yang telah bekerja sama

    dan kompak dalam proses KKN di Desa Jatiwaringin, Mauk,

    Kab.Tangerang. Terima kasih telah memberikan keceriaan dan keakraban

    selama satu bulan tinggal bersama di desa nun jauh di mato;

    12. Teman-teman PLP SMAN 6 Tangerang Selatan, yaitu Sifa, Eka, Kia, Sri,

    dan Nabilah yang telah memberikan canda dan tawa saat kegiatan PLP

  • v

    berlangsung. Terima kasih telah menjadi penyemangat saat menjadi guru

    muda selama dua bulan;

    13. Untuk kamu, yang selalu mengisi sisi-sisi kehidupan yang kosong. Terima

    kasih untuk segalanya;

    14. Teruntuk The Beatles, BTS, Day 6, dan Banda Neira, yang kerap menjadi

    penenang di kala gundah mengerjakan skripsi. Terima kasih untuk semua

    lagu-lagu indahnya.

    Terima kasih pula untuk seluruh pihak yang telah membantu penulis

    dalam proses penyusunan skripsi ini. Semoga Allah SWT membalas kebaikan dan

    ketulusan kalian semua. Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna,

    untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dalam

    penelitian ini. Akhir kata, semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi penulis

    pribadi dan pembaca pada umumnya.

    Jakarta, Januari 2020

    Penulis

  • vi

    DAFTAR ISI

    HALAMAN JUDUL

    LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING

    LEMBAR PENGESAHAN UJIAN MUNAQASAH

    SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI

    ABSTRAK ..................................................................................................... i

    ABSTRACT .................................................................................................. ii

    KATA PENGANTAR ................................................................................... iii

    DAFTAR ISI ................................................................................................. vi

    DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. ix

    BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1

    A. Latar Belakang Masalah ...................................................................... 1

    B. Identifikasi Masalah ............................................................................ 6

    C. Pembatasan Masalah ........................................................................... 6

    D. Rumusan Masalah ............................................................................... 7

    E. Tujuan Penelitian ................................................................................ 7

    F. Manfaat Penelitian............................................................................... 7

    G. Metodologi Penelitian ......................................................................... 8

    1. Metode Penelitian .......................................................................... 8

    2. Subjek dan Objek Penelitian .......................................................... 9

    3. Fokus Penelitian ............................................................................ 9

    4. Sumber Data .................................................................................. 9

    5. Teknik Pengumpulan Data ............................................................. 10

    6. Teknik Analisis Data ..................................................................... 10

    BAB II LANDASAN TEORETIS ................................................................ 12

    A. Hakikat Novel ..................................................................................... 12

  • vii

    B. Unsur Intrinsik Novel .......................................................................... 14

    1. Tema ............................................................................................. 14

    2. Alur ............................................................................................... 16

    3. Tokoh dan Penokohan ................................................................... 17

    4. Latar .............................................................................................. 19

    5. Sudut Pandang ............................................................................... 19

    6. Gaya Bahasa .................................................................................. 21

    7. Amanat .......................................................................................... 21

    C. Sosiologi Sastra ................................................................................... 22

    D. Revolusi .............................................................................................. 25

    1. Hakikat Revolusi ........................................................................... 25

    2. Penyebab Revolusi ........................................................................ 30

    3. Revolusi Fisik dan Sosial ............................................................... 31

    E. Sejarah Singkat Revolusi Indonesia ..................................................... 35

    F. Pembelajaran Sastra Indonesia di Sekolah ........................................... 39

    G. Penelitian Relevan ............................................................................... 42

    BAB III PROFIL PRAMOEDYA ANANTA TOER ................................... 45

    A. Biografi Pramoedya Ananta Toer ........................................................ 45

    B. Pemikiran Pramoedya Ananta Toer ..................................................... 51

    BAB IV HASIL PENELITIAN .................................................................... 57

    A. Analisis Unsur Intrinsik Novel Larasati

    Karya Pramoedya Ananta Toer ............................................................ 57

    1. Tema ............................................................................................. 57

    2. Alur ............................................................................................... 60

    3. Tokoh dan Penokohan ................................................................... 67

    4. Latar .............................................................................................. 91

    5. Sudut Pandang ............................................................................... 104

    6. Gaya Bahasa .................................................................................. 105

    7. Amanat .......................................................................................... 111

  • viii

    B. Analisis Gambaran Revolusi Indonesia dalam Novel Larasati Karya

    Pramoedya Ananta Toer ...................................................................... 112

    1. Syarat Terjadinya Revolusi Indonesia ............................................ 114

    a. Keinginan Untuk Mengadakan Suatu Perubahan ...................... 114

    b. Pemimpin atau Sekelompok Orang yang Mampu Memimpin

    Masyarakat .............................................................................. 117

    c. Momentum .............................................................................. 119

    2. Masa Revolusi Indonesia ............................................................... 121

    a. Revolusi Fisik .......................................................................... 121

    b. Revolusi Sosial ........................................................................ 127

    3. Dampak Revolusi Indonesia .......................................................... 129

    a. Bangkitnya Nasionalisme......................................................... 129

    b. Kesenjangan Sosial .................................................................. 132

    c. Rakyat Terpolarisasi Menjadi Pro dan Kontra Republik ........... 135

    C. Implikasi Terhadap Pembelajaran Sastra Indonesia di Sekolah ............ 141

    BAB V PENUTUP ........................................................................................ 147

    A. Simpulan ............................................................................................. 147

    B. Saran ................................................................................................... 148

    DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 150

    LAMPIRAN

    LEMBAR UJI REFERENSI

    TENTANG PENULIS

  • ix

    DAFTAR LAMPIRAN

    Lampiran 1 : Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)

    Lampiran 2 : Sinopsis Novel Larasati

    Lampiran 3 : Surat Bimbingan Skripsi

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah

    Sebuah karya sastra seperti halnya seni merupakan keseluruhan

    hasil ciptaan manusia yang dihasilkan oleh masyarakat.1 Sebagai karya

    yang tercipta dari masyarakat, maka sastra dapat menjadi gambaran dan

    representasi atas fakta terjadinya suatu peristiwa. Rekaan yang terkandung

    dalam sastra tidak berlawanan dengan kenyataan sehingga karya sastra

    bukan semata-mata mempersoalkan gejala individual, tetapi juga

    mencerminkan gejala sosial masyarakat.2 Fenomena tersebut dipengaruhi

    oleh peran ganda yang diemban pengarang, yaitu sebagai anggota

    masyarakat dan sosiologis. Secara sosiologis, pengarang justru memiliki

    hubungan emosional dengan masyarakat, yang diwujudkannya melalui

    pengejewantahan kenyataan sosial dengan jelas dalam karyanya.

    Selain sebagai hasil cerminan masyarakat, karya sastra juga

    berperan sebagai sebuah karya yang bernilai sejarah. Sugihastuti

    menyatakan bahwa studi sastra merupakan pelengkap studi sejarah.3 Sastra

    dan sejarah memiliki hubungan timbal balik, di mana karya sastra dapat

    menjadi sumber penulisan sejarah dan sejarah dapat dijadikan subjek

    dalam karya sastra. Salah satu peristiwa sejarah yang diangkat dalam karya

    sastra khususnya novel adalah peristiwa revolusi 1945 − 1949. Sesuai

    dengan riset Sumardjo yang menyatakan bahwa dari 36 novel yang

    dipelajarinya, 11 novel bertemakan revolusi yang nyatanya bahwa

    persoalan revolusi baru dibicarakan ramai setelah revolusi sendiri usai.4

    Sepanjang perjalanan sastra Indonesia, telah banyak pengarang menulis

    1 Nyoman Kutha Ratna, Sastra dan Cultural Studies Representasi Fakta dan Politik,

    (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h. 268. 2 Nyoman Kutha Ratna, Paradigma Sosiologi Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

    2003), h. 11. 3 Sugihastuti, Teori Apresiasi Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), h. 11. 4 Jacob Sumardjo, Konteks Sosial Novel Indonesia 1930-1977, (Bandung: Alumni, 1999),

    h. 73.

  • 2

    novel dengan tema revolusi sesuai dengan gaya kepengarangan dan latar

    belakang sosialnya masing-masing.

    Mochtar Lubis dengan novelnya yang berjudul Jalan Tak Ada

    Ujung melukiskan keadaan sosial masyarakat pada zaman revolusi 1946 −

    1947. Pada zaman pasca orde baru, terdapat novel Larasati karya

    Pramoedya Ananta Toer yang memberikan gambaran revolusi 1945 –

    1949 melalui sudut pandang perempuan republikein. Selain itu, novel

    Lingkar Tanah Lingkar Air karya Ahmad Tohari juga mengambil setting

    pada revolusi 1945 – 1949 dengan menggambarkan realitas sosial

    masyarakat pada masa itu. Dari ketiga novel tersebut, novel Larasati karya

    Pramoedya Ananta Toer penting untuk dibahas, karena berhasil merekam

    gambaran revolusi 1945 − 1949, di mana Indonesia pada masa itu berada

    dalam kondisi sosial politik yang tidak stabil.

    Revolusi Indonesia merupakan periode perubahan paling

    spektakuler dalam sejarah bangsa karena pada masa ini rakyat berhasil

    mempertahankan kemerdekaan dan mengukuhkan identitas bangsa dari

    kekuasaan penjajah. Revolusi terjadi secara cepat dan menyeluruh,

    melibatkan massa rakyat yang dimobilisasi oleh gerakan revolusioner. Hal

    ini terjadi dalam perlawanan rakyat terhadap Belanda yang ingin berkuasa

    kembali di Indonesia. Pertempuran sengit antara Republik dan Belanda

    terus terjadi pada periode ini, rakyat secara sadar dan bahu-membahu

    berkontribusi aktif dalam perang melawan dominasi Belanda terhadap

    Republik, meskipun harus mengorbankan harta dan nyawa. Realitas sosial

    tersebut secara eksplisit merujuk pada definisi revolusi fisik, di mana

    rakyat melakukan perlawanan guna mempertahankan proklamasi

    kemerdekaan dari hegemoni Belanda dengan mengorbankan darah. Di sisi

    lain, revolusi sosial juga mewarnai gejolak revolusi Indonesia yang

    menandai terjadinya perubahan tatanan sosial dari kolonial feodal kepada

    sistem sosial demokratis. Hal ini menunjukkan perlawanan rakyat guna

    melepaskan diri dari sistem sosial yang merugikan rakyat.

  • 3

    Serangkaian gambaran revolusi tersebut banyak dijadikan sebagai

    bahan tulisan sastrawan dalam menulis karya sastranya. Hal ini

    menunjukkan bahwa melalui karya sastra, rakyat Indonesia senantiasa

    melakukan perlawanan terhadap kekuasaan pihak asing pada zaman

    revolusi. Sekaligus, karya sastra juga memberikan gambaran dan fakta

    sosial yang terjadi ketika revolusi berlangsung. Perjalanan sejarah bangsa

    Indonesia dari masa ke masa senantiasa dimuat dalam seni dan sastra.

    Terlebih lagi pada zaman revolusi, di mana perjuangan rakyat begitu

    berkobar agar kemerdekaan tidak dirampas lagi oleh pihak asing. Senada

    dengan Ricklefs yang menyatakan bahwa semangat revolusi terus

    bergelora hingga menyentuh sendi-sendi kesenian dan kesastraan.

    Keseluruhan generasi sastrawan angkatan 45 memuncak daya

    kreativitasnya di zaman revolusi ini, di antaranya penyair Chairil Anwar

    (1922-1949), penulis prosa Pramoedya Ananta Toer (1925), wartawan

    Mochtar Lubis (1922).5

    Kutipan di atas menunjukkan bahwa karya sastra Indonesia pada

    zaman revolusi berperan sebagai alat perlawanan, perjuangan, dan

    representasi atas peristiwa revolusi pada kurun 1945 − 1949. Hal tersebut

    dibuktikan oleh Pramoedya Ananta Toer yang menerbitkan novel Larasati

    sebagai upaya perlawanan dan penggambaran revolusi secara gamblang

    baik dari aspek kepahlawanan maupun pengkhianatan. Larasati terbit

    pertama kali sebagai cerita bersambung pada 1950, kemudian diterbitkan

    oleh Lentera Dipantara pada tahun 2003. Dalam novel ini, Pramoedya

    tidak hanya merekam kisah-kisah heroik kepahlawanan pemuda, namun

    juga lengkap dengan segala kemunafikan dan pengkhianatan para

    pemimpin.

    Secara umum, Larasati bercerita tentang seorang aktris perempuan

    bernama Ara yang bertekad untuk berpihak pada republik, menjadi

    seorang republikein dengan berjuang mempertahankan kemerdekaan tanah

    5 M.C Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, Terj. dari A History of Modern Indonesia oleh

    Dharmono Hardjowidjono, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2016), h. 322.

  • 4

    airnya. Pramoedya sebagai pengarang cerita berhasil meramu jalinan

    peristiwa secara apik dan elegan, dengan menyoroti kondisi revolusi

    melalui perspektif kaum muda yang direpresentasikan oleh aktris

    perempuan. Permasalahan revolusi ini akhirnya membuka kebenaran baru

    bahwa rakyat telah terpolarisasi dalam memandang revolusi, yaitu rakyat

    yang setia dengan kemerdekaan dan rakyat yang tunduk pada penjajah.

    Hal tersebut kemudian menimbulkan asumsi bahwa rakyat yang selama ini

    setia kepada kemerdekaan dan revolusi adalah kaum muda. Dengan

    jelasnya penggambaran tersebut dalam novel, Pramoedya mencoba

    menyuguhkan fakta baru kepada pembaca bahwa revolusi gigih

    diperjuangkan oleh kaum pemuda.

    Hal lain yang menarik dari novel ini adalah terdapat tokoh Chaidir

    dan Jassir yang berorientasi pada Chairil Anwar dan H.B. Jassin. Seperti

    yang diketahui, bahwa Chairil Anwar adalah seorang penyair yang aktif

    membela revolusi dengan menuliskan sajak-sajak yang mencerminkan

    dukungannya kepada revolusi. Melalui penokohan ini, Pramoedya

    menegaskan bahwa perjuangan revolusi tidak hanya dilakukan melalui

    perang bersenjata, tetapi juga melalui kesenian dan kesastraan untuk

    menggelorakan semangat juang rakyat. Selain itu, ketertarikan lainnya

    dapat dijumpai pada Larasati yang merupakan hero dalam perjuangan

    revolusi.

    Dewasa ini, pentingnya revolusi 1945 − 1949 dalam sejarah bangsa

    Indonesia harus direfleksikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

    Revolusi 1945 − 1949 penting bagi kita semua untuk mengoreksi

    perjuangan kita yang tidak sesuai dengan aspirasi perjuangan bangsa, yaitu

    membangun masyarakat adil dan makmur sesuai dengan UUD 1945 dan

    Pancasila. Masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila

    adalah aspirasi pokok yang telah mendasari dan mendorong revolusi

    Indonesia. Senada dengan hal tersebut, TB. Simatupang menyatakan

    bahwa revolusi merupakan sumber kepercayaan dan inspirasi dalam

    perjuangan bangsa Indonesia, di mana pengamalan Pancasila dalam

  • 5

    pembangunan nasional harus ditingkatkan karena merupakan tampuk

    kelanjutan dari revolusi 1945.6

    Urgensi memahami sejarah Indonesia termasuk revolusi 1945 −

    1949 harus dipahami oleh seluruh rakyat Indonesia, terutama pada

    generasi muda dan milenial. Hal tersebut bertujuan untuk merefleksikan

    peristiwa revolusi dan pergerakan nasionalisme yang terjadi pada masa itu,

    serta berperan penting untuk menanamkan jiwa nasionalisme dan

    patriotisme bagi generasi muda. Dengan merefleksikan revolusi 1945 −

    1949, diharapkan dapat membentuk karakter positif pada generasi muda.

    Dampak jangka panjangnya dapat menghasilkan generasi muda yang

    unggul, nasionalis, serta peduli terhadap sejarah dan permasalahan bangsa.

    Langkah utama untuk meningkatkan pemahaman sejarah dan

    pembentukan karakter dapat ditempuh melalui pendidikan, salah satunya

    dengan pengajaran sastra di sekolah. Karya sastra berupa novel dapat

    dijadikan bahan pembelajaran yang menarik dan bermanfaat bagi peserta

    didik, karena novel memuat tentang gambaran sosial dan peristiwa masa

    lalu yang dapat memberikan informasi sejarah. Selain itu, nilai-nilai yang

    terkandung dalam novel dapat diresapi oleh peserta didik yang kemudian

    dapat merekonstruksi dan membentuk karakter positif dalam diri pribadi

    mereka.

    Novel Larasati bermanfaat bagi peserta didik karena novel ini

    mengajarkan untuk memahami perjuangan dan cinta tanah air kepada

    negara. Dengan memahami gambaran sosial dan permasalahan tokoh-

    tokohnya, diharapkan peserta didik dapat mengetahui realitas sosial pada

    masa revolusi, serta dapat menumbuhkan sikap berani, peduli, nasionalis

    dan patriotik dalam diri peserta didik. Sekaligus, peserta didik dapat

    mengetahui peristiwa sejarah bangsa Indonesia dan melihat bagaimana

    sastrawan menjadikan revolusi 1945 − 1949 sebagai perspektif yang

    menarik dalam karyanya.

    6 William H. Frederick dan Soeri Soeroto, Pemahaman Sejarah Indonesia Sebelum dan

    Sesudah Revolusi, (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2005), h. 85.

  • 6

    Dengan memperhatikan latar belakang masalah tersebut, peneliti

    bermaksud untuk menelaah gambaran revolusi Indonesia yang tercermin

    dalam novel Larasati karya Pramoedya Ananta Toer menggunakan telaah

    sosiologi sastra yang menitikberatkan pada hubungan karya sastra dengan

    konteks sosial masyarakat. Kemudian akan diimplikasikan dalam

    pembelajaran sastra Indonesia di sekolah, yang diharapkan tidak hanya

    memberikan wawasan seputar teks dan konteks dalam novel, tetapi turut

    pula berpengaruh positif dalam pembentukan karakter peserta didik.

    Dengan demikian, peneliti tertarik untuk mengkaji Gambaran Revolusi

    Indonesia dalam Novel Larasati Karya Pramoedya Ananta Toer dan

    Implikasinya terhadap Pembelajaran Sastra Indonesia di Sekolah.

    B. Identifikasi Masalah

    Di dalam penelitian ini, terdapat banyak hal yang harus diteliti

    sehingga memerlukan pengidentifikasi masalah. Berikut identifikasi

    masalah yang terdapat dalam penelitian ini adalah:

    1. Kurangnya pembahasan secara spesifik mengenai kajian revolusi

    dalam novel-novel Pramoedya Ananta Toer, khususnya novel

    Larasati;

    2. Minimnya pemahaman pembaca khususnya peserta didik mengenai

    sejarah revolusi Indonesia dan gambaran revolusi Indonesia yang

    terjadi pada kurun waktu 1945 – 1949;

    3. Rendahnya minat peserta didik dalam membaca dan mengapresiasi

    karya sastra, khususnya novel;

    4. Rendahnya karakter patriotik dan nasionalis dalam diri peserta didik;

    5. Kurang maksimalnya pemanfaatan karya sastra sebagai alternatif

    sumber pengetahuan sejarah dan media pembentukan karakter pada

    pembelajaran sastra di sekolah.

    C. Pembatasan Masalah

    Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah yang telah

    diuraikan, maka pembatasan masalah dalam penelitian ini hanya fokus

    pada gambaran revolusi Indonesia dalam novel Larasati karya Pramoedya

  • 7

    Ananta Toer dengan menggunakan pendekatan sosiologi sastra dan

    implikasinya terhadap pembelajaran sastra Indonesia di sekolah.

    D. Rumusan Masalah

    Berdasarkan latar belakang, pembatasan, identifikasi, dan batasan

    masalah yang telah dijabarkan, maka rumusan masalah yang akan diteliti

    adalah sebagai berikut:

    1. Bagaimana gambaran revolusi Indonesia dalam novel Larasati karya

    Pramoedya Ananta Toer?

    2. Bagaimana implikasi hasil penelitian tentang gambaran revolusi

    Indonesia dalam novel Larasati karya Pramoedya Ananta Toer

    terhadap pembelajaran sastra Indonesia di sekolah?

    E. Tujuan Penelitian

    Sesuai dengan rumusan yang ada, maka tujuan penelitian ini adalah

    sebagai berikut:

    1. Mendeskripsikan gambaran revolusi Indonesia dalam novel Larasati

    karya Pramoedya Ananta Toer.

    2. Mendeskripsikan implikasi penelitian tentang gambaran revolusi

    Indonesia dalam novel Larasati karya Pramoedya Ananta Toer

    terhadap pembelajaran sastra Indonesia di sekolah.

    F. Manfaat Penelitian

    Penelitian yang dilakukan oleh peneliti diharapkan dapat

    memberikan manfaat baik secara teoretis maupun praktis. Adapun

    beberapa manfaat yang dapat diberikan melalui penelitian ini sebagai

    berikut:

    1. Manfaat Teoretis

    Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk memperkaya

    khazanah ilmu pengetahuan khususnya sejarah Indonesia dalam

    pengkajian karya sastra, bermanfaat dalam pembelajaran sastra

    Indonesia bagi para guru bahasa dan sastra Indonesia, serta masyarakat

    umum yang memiliki minat, perhatian, dan ketertarikan khusus pada

    bidang sastra Indonesia.

  • 8

    2. Manfaat Praktis

    Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai

    bahan rujukan atau bahan penelitian lanjutan terhadap karya sastra,

    khususnya novel Larasati karya Pramoedya Ananta Toer. Kemudian

    bagi pendidik, penelitian ini dapat dijadikan bahan ajar untuk

    meningkatkan kemampuan analisis peserta didik dalam pembelajaran

    sastra. Terutama dalam materi menganalisis unsur intrinsik dan

    ekstrinsik yang berguna untuk memberikan pemahaman mengenai

    gambaran revolusi Indonesia yang terkandung dalam novel. Lebih

    jauh, penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan sejarah

    revolusi Indonesia, serta dapat membentuk karakter positif bagi peserta

    didik.

    G. Metodologi Penelitian

    1. Metode Penelitian

    Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

    deskriptif kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang

    bermaksud untuk memahami fenomena yang dialami subjek penelitian

    misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain secara

    holistik dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada

    suatu konteks yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai

    metode ilmiah.7 Ratna menjelaskan bahwa penggunaan metode

    kualitatif secara keseluruhan dilakukan dengan cara menafsirkan data-

    data dan menyajikannya secara deskriptif dalam bentuk kata-kata

    tertulis pada konteks tertentu.8 Pada penelitian deksriptif ini, peneliti

    berusaha menggambarkan kegiatan penelitian yang dilakukan pada

    objek tertentu secara jelas dan sistematis.9

    7 Lexy J. Meleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,

    2011), h. 6. 8 Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, (Yogyakarta:

    Pustaka Pelajar, 2009), h. 46. 9 Sukardi, Metodologi Penelitian Pendidikan Kompetensi dan Praktiknya, (Jakarta: Bumi

    Aksara, 2003), cet. 16, h. 14.

  • 9

    Dapat disimpulkan bahwa penelitian deskriptif kualitatif adalah

    metode yang menyajikan data melalui gambaran atau deskripsi untuk

    menyelidiki objek yang berupa kata-kata secara jelas dan sistematis.

    Metode deskriptif kualitatif digunakan untuk menganalisis gambaran

    revolusi Indonesia dalam novel Larasati dengan mengungkapkan

    peristiwa, fenomena, dan nilai-nilai yang dapat dijadikan sebagai

    media pembentukan karakter peserta didik.

    2. Subjek dan Objek Penelitian

    Berdasarkan tujuan penelitian yang telah dituliskan, subjek dalam

    penelitian ini, yaitu tinjauan gambaran revolusi Indonesia yang

    tercermin dalam novel Larasati karya Pramoedya Ananta Toer dan

    sebagai objek dari penelitian ini adalah teks dalam novel Larasati,

    cetakan ketiga yang diterbitkan Lentera Dipantara pada tahun 2003.

    3. Fokus Penelitian

    Fokus penelitian ini dibuat agar pembahasan lebih terarah sehingga

    mudah dipahami oleh pembaca. Fokus dari penelitian ini adalah

    gambaran revolusi Indonesia yang terkandung dalam novel Larasati

    karya Pramoedya Ananta Toer dengan menggunakan pendekatan

    sosiologi sastra yang berimplikasi terhadap pembelajaran sastra

    Indonesia di sekolah.

    4. Sumber Data

    Sumber data pada penulisan ini terbagi atas sumber data primer dan

    sekunder.

    a. Sumber utama dalam penelitian ini adalah novel Larasati karya

    Pramoedya Ananta Toer yang diterbitkan oleh Lentera Dipantara di

    Jakarta, tahun 2003, cetakan ketiga, dengan tebal 183 halaman.

    b. Sumber data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah

    buku-buku dan artikel-artikel yang membahas karya sastra,

    pendekatan sosiologi sastra, hakikat revolusi Indonesia, serta

    pembelajaran sastra yang berkaitan dengan subjek penelitian.

    5. Teknik Pengumpulan Data

  • 10

    Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik kajian

    pustaka dan dokumentasi. Teknik kajian pustaka adalah teknik

    pengumpulan data dengan mengadakan studi penelaahan terhadap

    buku-buku, literatur-literatur, catatan-catatan, dan laporan-laporan

    yang ada hubungannya dengan masalah yang dipecahkan. Peneliti

    menganalisis secara sistematis terhadap sumber data primer, yaitu

    novel Larasati karya Pramoedya Ananta Toer dengan menganalisis

    unsur intrinsik, ekstrinsik, dan gambaran revolusi Indonesia melalui

    pendekatan sosiologi sastra. Sementara itu, dokumentasi adalah

    sumber data yang digunakan untuk melengkapi penelitian, baik berupa

    sumber tertulis, film, gambar, foto, dan karya-karya monumental, yang

    semuanya itu dapat memberikan informasi tambahan bagi proses

    peneitian. Peneliti mengumpulkan data dari buku, esai, jurnal, kamus,

    buku elektronik (ebook), gambar, dan dokumen lain yang dapat

    memberikan informasi dalam penelitian ini.

    6. Teknik Analisis Data

    Pada hakikatnya, analisis data adalah sebuah kegiatan untuk

    mengatur, mengurutkan, mengelompokkan, memberi kode/tanda, dan

    mengkategorikannya sehingga diperoleh suatu temuan berdasarkan

    fokus dan masalah yang ingin dijawab.10 Semua data yang diperoleh

    dari teknik kajian pustaka dan dokumentasi dianalisis secara

    kronologis dan sistematis. Adapun langkah kerja teknik analisis data

    dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

    1. Menganalisis unsur intrinsik novel dengan menggunakan analisis

    struktural untuk mengetahui unsur pembangun novel Larasati

    karya Pramoedya Ananta Toer;

    2. Mengidentifikasi dan menganalisis teks yang menggambarkan

    revolusi Indonesia berdasarkan pendekatan sosiologi sastra untuk

    10 Imam Gunawan, Metode Penelitian Kualitatif Teori dan Praktik, (Jakarta: Bumi

    Aksara, 2013), h. 209.

  • 11

    memaparkan hubungan antara karya sastra dengan kenyataan di

    luar sastra yang berkaitan dengan gambaran revolusi Indonesia;

    3. Mengimplikasikan gambaran revolusi Indonesia yang terungkap

    dalam novel Larasati karya Pramoedya Ananta Toer pada

    pembelajaran sastra Indonesia di sekolah dengan mengaitkan

    pengetahuan sejarah revolusi dan karakter positif yang terkandung

    dalam novel.

  • 12

    BAB II

    LANDASAN TEORETIS

    A. Hakikat Novel

    Novel berasal dari bahasa Italia novella, secara harfiah novella

    berarti sebuah barang baru yang kecil, dan kemudian diartikan sebagai

    cerita pendek dalam bentuk prosa. Dewasa ini istilah novella megandung

    pengertian yang sama dengan istilah Indonesia novelette (Inggris:

    novelette), yang berarti sebuah karya prosa fiksi yang panjangnya

    cukupan, tidak terlalu panjang, namun juga tidak terlalu pendek.1 Novel

    juga berasal dari kata Latin Novellus yang diturunkan dari kata novies

    yang berarti ‘baru’. Dikatakan baru karena jika dibandingkan dengan jenis

    sastra lainnya seperti puisi, drama, dan lain-lain, maka jenis novel ini

    muncul kemudian.2 Jika ditinjau dari aspek sejarah, novel merupakan

    genre sastra dari Eropa yang muncul di lingkungan kaum borjuis di Inggris

    pada abad XVIII, novel diposisikan sebagai produk masyarakat kota yang

    terpelajar, mapan, kaya, dan punya waktu luang untuk menikmatinya. Di

    Indonesia, masa subur novel terjadi tahun 1970-an yakni ketika cukup

    banyak golongan pembaca wanita dari lingkungan terpelajar.

    Berkembangnya masyarakat terpelajar di kota-kota Indonesia menjadi

    dasar berkembangnya novel.

    Novel adalah cerita mengenai salah satu episode dalam kehidupan

    manusia, suatu kejadian yang luar biasa dalam kehidupan itu, sebuah krisis

    yang memungkinkan terjadinya perubahan nasib pada manusia.3 Novel

    sebagai sebuah karya fiksi menawarkan sebuah dunia, dunia yang berisi

    kehidupan yang diidealkan, dunia imajinatif, yang dibangun melalui

    berbagai unsur intrinsiknya seperti, peristiwa, plot, tokoh, penokohan,

    latar, sudut pandang, dan lain-lain yang ke semuanya, tentu saja juga

    1 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University

    Press, 2012), h. 9. 2 Henry Guntur Tarigan, Prinsip-Prinsip Dasar Sastra, (Bandung: Angkasa, 2011), h.

    164. 3 Antilan Purba, Sastra Indonesia Kontemporer, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010), h. 63.

  • 13

    bersifat imajinatif.4 Sebagai karya imajinatif, novel juga menjadi produk

    dari masyarakat, di mana novel ini mengungkapkan masalah-masalah

    kemasyarakatan, novel tersebut dikenal dengan istilah novel sosial.5

    Permasalahan yang diungkapkan dalam novel biasanya mempersoalkan

    manusia dengan berbagai aspek kehidupan, baik kehidupan masyarakat,

    sosial, agama, budaya dan lain sebagainya. Stanton menjelaskan bahwa

    novel merupakan sebuah karya yang mampu menghadirkan perkembangan

    satu karakter, situasi sosial yang rumit, dan berbagai peristiwa ruwet yang

    terjadi beberapa tahun silam secara mendetail.6 Virginia Wolf dalam

    Tarigan menyatakan bahwa:

    Sebuah roman atau novel ialah terutama sekali sebuah eksplorasi

    atau suatu kronik penghidupan; merenungkan dan melukiskan

    dalam bentuk tertentu, pengaruh, ikatan, hasil, kehancuran, atau

    tercapainya gerak-gerik manusia.7

    Novel disebut juga dengan istilah roman pada masanya, yaitu masa

    di awal kesusastraan Indonesia. Padahal jika ditelisik lebih jauh, novel

    berbeda dengan roman. Novel merupakan prosa rekaan yang lebih pendek

    daripada roman dan biasanya novel menceritakan peristiwa pada masa

    tertentu.8 Bahasa yang digunakannya pun merupakan bahasa sehari-hari

    sehingga mudah dipahami pembaca. Akan tetapi, penggarapan unsur

    intrinsiknya masih terpenuhi dan lengkap seperti tema, latar, alur, tokoh,

    gaya bahasa, dan lain-lain. Novel merupakan karya prosa rekaan yang

    mengangkat masalah-masalah yang berkaitan dengan manusia seperti

    sosiologis, psikologis, ideologis, dan lain sebagainya. Senada dengan hal

    itu, Widjojoko mengemukakan bahwa permasalahan dalam novel biasanya

    mempersoalkan manusia dengan berbagai aspek kehidupan. Di dalamnya

    4 Nurgiyantoro, op., cit.,h. 4. 5 Kinayati Djojosuroto dan Anneke S. Pangkerego, Dasar-dasar Teori Apresiasi Prosa

    Fiksi, (Jakarta: Penerbit Manasco, 2000), cet. 1, h. 21 6 Robert Stanton, Teori Fiksi, Terj. dari An Introduction to Fiction oleh Sugihastuti dan

    Rossi Abi Al Irsyad, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 90. 7 Tarigan, loc., cit. 8 Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: Grasindo, 2008), h. 141.

  • 14

    tercermin masalah kehidupan yang dihadapi manusia pada suatu waktu

    dan pemecahannya sesuai dengan pandangan dan cita-cita pengarang.9

    Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa novel

    merupakan karya prosa fiksi yang mengungkapkan problematika manusia

    dengan menghubungkannya pada berbagai aspek kehidupan. Selain itu,

    novel juga kerap digunakan sebagai alat kritik sosial atas berbagai

    peristiwa dan fenomena yang terjadi di masyarakat.

    B. Unsur Intrinsik Novel

    Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra

    itu sendiri. Unsur yang terkandung dalam intrinsik menjadi bahan kajian

    kritik sastra seperti tema, alur, tokoh, latar, sudut pandang, gaya bahasa,

    dan amanat yang akan dijelaskan sebagai berikut:

    1. Tema

    Setiap fiksi harus mempunyai dasar atau tema yang merupakan

    sasaran tujuan. Penulis melukiskan watak para tokoh dalam karyanya

    dengan dasar tersebut. Dengan demikian, tidaklah berlebihan jika tema

    adalah hal yang paling penting dalam sebuah cerita. Menurut Stanton

    dalam Nurgiyantoro, tema (theme) adalah makna yang terkandung dari

    sebuah cerita.10 Menurut Siswanto, tema adalah ide yang mendasari

    suatu cerita yang berperan sebagai pangkal tolak pengarang dalam

    memaparkan karya rekaan yang diciptakannya.11

    Sementara itu, Brooks dan Warren dalam Tarigan mengemukakan

    bahwa tema adalah pandangan hidup tertentu atau perasaan tertentu

    mengenai kehidupan yang membentuk gagasan utama suatu karya

    sastra.12 Tema menyajikan cerita yang menggambarkan emosi atau

    kejiwaan pengarang seperti cinta, derita, rasa takut, kedewasaan,

    keyakinan, pengkhianatan. Hal tersebut merupakan wujud dari tema

    9 Widjojoko dan Endang Hidayat, Teori dan Sejarah Sastra Indonesia, (Bandung: UPI

    Press, 2006), h. 42. 10 Nurgiyantoro, op., cit., h. 67. 11 Siswanto, op., cit., h. 161. 12 Tarigan, op., cit., h. 125.

  • 15

    sebagai aspek cerita yang sejajar dengan makna dalam pengalaman

    manusia.

    Stanton menjelaskan bahwa tema adalah elemen yang relevan

    dengan setiap peristiwa dan detail sebuah cerita; makna yang dapat

    merangkum semua elemen dalam cerita. Sebuah tema dapat

    diibaratkan “maksud” dalam sebuah gurauan; setiap orang paham

    “maksud” sebuah gurauan, tetapi sulit ketika diminta untuk

    menjelaskannya. “Maksud” adalah hal yang membuat sebuah gurauan

    menjadi lucu; jadi “maksud” dalam konteks ini merujuk pada fungsi

    dan bukan definisi.13 Jadi, tema dalam sebuah cerita terletak pada

    maknanya yang berfungsi sebagai benang merah dalam cerita. Dalam

    menentukan tema, harus memperhatikan berbagai aspek termasuk

    pemahaman cerita secara mendalam keseluruhan dan sudut pandang

    yang dipilih.

    Untuk menentukan sebuah tema dapat digeneralisasikan dari

    keseluruhan cerita, bukan hanya berdasarkan bagian-bagian tertentu

    cerita. Hal inilah yang menyebabkan tidak mudahnya untuk

    menentukan tema mayor cerita. Oleh karena itu, dalam menentukan

    tema cerita lebih baik diklasifikasikan ke dalam tema mayor dan

    minor. Tema mayor merupakan makna pokok yang menjadi gagasan

    umum cerita. Tema minor merupakan makna pokok cerita yang tersirat

    dalam sebagian besar untuk tidak dikatakan dalam keseluruhan cerita,

    bukan makna yang hanya terdapat pada bagian-bagian tertentu cerita

    dapat diidentifikasikan sebagai makna tambahan atau makna bagian.14

    Berdasarkan pemaparan tersebut dapat disimpulkan bahwa tema adalah

    gagasan sentral yang menjadi landasan tumpu dalam kesinambungan

    cerita.

    13 Stanton, op., cit., h. 39. 14 Nurgiyantoro, op., cit., h. 83.

  • 16

    2. Alur

    Alur adalah unsur intrinsik yang memiliki peran penting dalam

    membentuk jalannya cerita. Untuk menyebut plot, secara tradisional,

    orang juga menyebutnya sebagai alur atau jalan cerita. Penyamaan

    begitu saja antara plot dengan jalan cerita, sebenarnya kurang tepat.

    Plot memang mengandung unsur jalan cerita, lebih tepatnya peristiwa

    demi peristiwa yang terjadi susul-menyusul.

    Stanton mengartikan alur sebagai rangkaian peristiwa-peristiwa

    dalam cerita.15 Alur atau plot adalah struktur gerak yang terdapat

    dalam fiksi atau drama.16 Pada prinsipnya, suatu fiksi haruslah

    bergerak dari suatu permulaan (beginning) melalui suatu pertengahan

    (middle), menuju akhir (ending). Tasrif dalam Nurgiyantoro

    membedakan alur menjadi lima bagian sebagai berikut17: tahap

    penyituasian, tahap pemunculan konflik, tahap peningkatan konflik,

    tahap klimaks, dan tahap penyelesaian. Berdasarkan paparan tersebut,

    dapat disimpulkan bahwa alur merupakan rangkaian terjadinya cerita

    yang dimulai dari tahap perawalan hingga penyelesaian cerita. Dalam

    penelitian ini, peneliti merujuk pada pendapat Tasrif yang

    mengemukakan tahapan alur terdiri atas lima bagian, yaitu sebagai

    berikut.18

    a) Tahap penyituasian, tahap ini berisi pelukisan dan pengenalan

    situasi latar dan tokoh cerita.

    b) Tahap pemunculan konflik, tahap ini berisi masalah-masalah dan

    peristiwa-peristiwa yang menyulut terjadinya konflik mulai

    dimunculkan.

    c) Tahap peningkatan konflik, tahap ini merupakan tahap di mana

    konflik yang telah dimunculkan pada tahap sebelumnya semakin

    berkembang kadar intensitasnya.

    15 Ibid., h. 26. 16 Tarigan, op., cit., h. 126. 17 Nurgiyantoro, op., cit.,h. 150. 18 Ibid., h. 149−150.

  • 17

    d) Tahap klimaks, tahap ini memunculkan pertentangan-

    pertentangan yang terjadi, yang diakui, dan ditimpakan pada

    tokoh cerita mencapai titik intensitas puncak (klimaks).

    e) Tahap penyelesaian, merupakan tahap di mana konflik yang

    mencapai klimaks diberi penyelesaian, ketegangan dikendorkan,

    konflik-konflik tambahan diberi jalan keluar atau diakhiri.

    3. Tokoh dan Penokohan

    Istilah tokoh dalam novel merujuk pada siapa pelaku cerita

    (orangnya). Penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang

    seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita. Watak, perwatakan,

    dan karakter menunjuk pada sifat dan sikap para tokoh yang

    ditafsirkan pembaca, lebih menunjuk pada kualitas pribadi seorang

    tokoh. Mengutip penyataan Mursal Esten bahwa penokohan yang baik

    ialah penokohan yang berhasil menggambarkan tokoh-tokoh dan

    mengembangkan watak dari tokoh-tokoh tersebut yang mewakili tipe-

    tipe manusia dengan sebenar-benarnya.19 Penokohan adalah bagaimana

    cara pengarang menggambarkan dan mengembangkan watak tokoh

    dalam sebuah cerita sehingga pembaca dapat menangkap dengan jelas

    apa yang ingin disampaikan pengarang melalui tokoh tersebut.

    Dilihat dari fungsi penampilan tokoh dapat dibedakan menjadi,

    tokoh protagonis dan antagonis. Tokoh protagonis adalah tokoh yang

    kita kagumi yang secara populer disebut sebagai tokoh hero−tokoh

    yang merupakan pengejawantahan norma-norma, nilai-nilai yang ideal

    bagi manusia. Sekaligus berperan sebagai tokoh yang mendukung

    jalannya cerita. Tokoh antagonis merupakan tokoh yang beroposisi

    pada tokoh protagonis baik langsung maupun tidak langsung. Selain

    itu, terdapat juga tokoh antihero yang kerap dimunculkan pengarang

    dalam cerita. Dikutip dari Abrams antihero adalah “the chief person in

    a modern novel or play whose character is widely discrepant from that

    19 Mursal Esten, Kesusastraan Pengantar Teori dan Sejarah, (Bandung: Angkasa, 2013),

    h. 26.

  • 18

    which we associate with the traditional protagonist or hero of serious

    literary work. Instead of manifesting largeness, dignity, power, or

    heroism, the antihero is pretty, ignominious, passive, ineffectual, or

    dishonest.”20 Jika ditinjau dari aspek keterlibatan cerita tokoh dibagi

    atas tokoh utama dan tokoh tambahan. Tokoh utama adalah tokoh yang

    paling banyak diceritakan dalam cerita baik sebagai pelaku kejadian

    atau dikenai kejadian. Tokoh tambahan adalah tokoh yang perannya

    sedikit dalam cerita, dan kehadirannya hanya ada jika memiliki

    keterkaitan dengan tokoh utama secara langsung ataupun tidak

    langsung. 21

    Selain itu, apabila dilihat dari perkembangan tokoh, terdapat tokoh

    statis dan berkembang. Tokoh statis adalah tokoh cerita yang tidak

    mengalami perubahan dan perkembangan perwatakan akibat adanya

    peristiwa-peristiwa yang terjadi, sedangkan tokoh berkembang

    (dinamis) merupakan tokoh yang mengalami perkembangan dan

    perubahan sesuai dengan peristiwa dan plot dalam cerita.22 Menurut

    Minderop, penggambaran tokoh yang dibentuk pengarang dapat

    ditinjau berdasarkan metode langsung, tidak langsung, karakterisasi

    melalui sudut pandang, dan gaya bahasa.23

    Dengan demikian, maka dapat disimpulkan bahwa tokoh adalah

    karakter yang diciptakan pengarang yang dibentuk sebagai manusia

    pada umumnya dalam cerita. Tokoh berperan sebagai media

    penyampaian pesan dan amanat kepada pembaca, sehingga diperoleh

    pemahaman utuh atas keberadaan tokoh tersebut dalam cerita. Dalam

    penelitian ini, peneliti merujuk pembagian tokoh pada tokoh utama dan

    tambahan, tokoh protagonis dan antagonis.

    20 Abrams, A Glossary of Literary Terms, (United States of America: Cornell University,

    1999), h. 11. 21Nurgiyantoro, op., cit., h. 176−182. 22Ibid., h. 188. 23 Albertine Minderop, Metode Karakterisasi Telaah Fiksi, (Jakarta: Yayasan Obor

    Indonesia, 2005), edisi. 1, h. 3.

  • 19

    4. Latar

    Sebagai dunia, fiksi membutuhkan sebuah tokoh, cerita, dan latar.

    Latar atau setting disebut sebagai landas tumpu, menyaran pada

    pengertian tempat, hubungan, waktu, dan lingkungan sosial tempat

    terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan. 24 Secara singkat, latar

    adalah latar belakang fisik, unsur tempat, dan ruang dalam suatu

    cerita.25 Latar memberikan pijakan cerita secara konkret dan jelas. Hal

    ini penting untuk memberikan kesan realistis kepada pembaca, yang

    menciptakan suasana tertentu seolah-olah benar terjadi. Latar adalah

    lingkungan yang dianggap berfungsi sebagai metonimia atau metafora,

    ekspresi dari tokohnya. Latar juga dapat berfungsi sebagai penentu

    pokok: lingkungan yang dianggap sebagai penyebab fisik dan sosial

    suatu kekuatan yang tidak dapat dikontrol oleh individu.26

    Secara umum, latar dapat diklasifikasikan ke dalam tiga unsur

    pokok, yaitu tempat, waktu, dan sosial. Latar tempat merupakan latar

    menyaran pada lokasi peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya

    fiksi. Sementara itu, latar waktu berkaitan dengan masalah kapan

    terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam karya fiksi. Dan yang

    terakhir, latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan

    perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan

    dalam karya fiksi.27 Dapat disimpulkan bahwa latar adalah petunjuk

    tempat, waktu, dan sosial yang terjadi dalam cerita yang berfungsi

    sebagai media untuk memberikan kesan dan gambaran konkret kepada

    pembaca.

    5. Sudut Pandang

    Sudut pandang dalam karya fiksi mempersoalkan: siapa yang

    menceritakan, atau dari posisi apa peristiwa dan tindakan itu dilihat.

    24 Nurgiyantoro, op., cit., h. 216. 25 Tarigan, op., cit., h. 136. 26 Rene Wellek dan Austin Warren, Teori Sastra Terj. dari Theory of Literature oleh

    Melani Budianta, (Jakarta: Gramedia, 2013), h. 268. 27 Nurgiyantoro, op., cit., h. 227−233.

  • 20

    Abrams dalam Nurgiyantoro mengemukakan sudut pandang adalah

    cara atau pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sarana

    untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang

    membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca yang

    disalurkan lewat kacamata tokoh cerita.28 Sementara itu, Aminuddin

    dalam Siswanto mengemukakan bahwa sudut pandang adalah cara

    pengarang menampilkan para pelaku dalam cerita yang

    dipaparkannya.29 Sudut pandang dibedakan menjadi tiga, yaitu persona

    pertama, persona ketiga, dan campuran.

    a) Sudut pandang persona pertama “Aku”, dalam menggunakan

    sudut pandang ini, narator adalah seorang yang ikut terlibat dalam

    cerita. Ia adalah si “aku” yang berkisah, mengisahkan dirinya

    sendiri, mengisahkan peristiwa dan tindakan yang diketahui,

    dilihat, didengar, dialami, dan dirasakan.

    b) Sudut pandang persona ketiga: “Dia”, sudut pandang ini

    menyaran pada pengisahan cerita dengan gaya “dia”, narator

    adalah seseorang yang berada di luar cerita yang menampilkan

    tokoh-tokoh cerita dengan menyebutnya nama atau kata gantinya:

    ia, mereka, atau dia.

    c) Sudut pandang campuran, penggunaan sudut pandang yang

    bersifat campuran dalam sebuah cerita, mungkin berupa

    penggunaan sudut pandang ketiga dengan teknik “dia” mahatahu

    dan “dia” sebagai pengamat, persona pertama dengan teknik

    “aku” sebagai tokoh utama dan “aku” sebagai tokoh tambahan.

    Pengunaan sudut pandang campuran ini dapat berupa penggantian

    antara sudut pandang persona pertama dan ketiga.30

    Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik simpulan bahwa sudut

    pandang adalah cara pengarang menceritakan peristiwa, tokoh,

    tindakan, dan berbagai hal lainnya dalam cerita.

    28 Ibid., h. 248. 29 Siswanto, op.,cit., h. 152. 30 Nurgiyantoro, op., cit., h. 262−266.

  • 21

    6. Gaya Bahasa

    Gaya bahasa dikenal dalam retorika dengan istilah style. Kata style

    diturunkan dari kata Latin stilus, yaitu semacam alat untuk menulis

    lempengan lilin. Keahlian menggunakan alat ini akan mempengaruhi

    jelas tidaknya tulisan pada lempengan tadi.31 Istilah tersebut akhirnya

    digunakan pada keahlian menulis indah dan mempergunakan kata-kata

    secara indah. Gaya bahasa adalah cara pengarang menyampaikan

    gagasannya dengan menggunakan media yang indah dan harmonis

    serta mampu menuansakan makna dan suasana yang dapat menyentuh

    daya intelektual dan emosi pembaca.32 Senada dengan hal tersebut,

    Tarigan mengemukakan bahwa gaya bahasa adalah bahasa indah yang

    digunakan untuk meningkatkan efek dengan jalan memperkenalkan

    serta membandingkan suatu benda atau akal tertentu dengan benda

    atau hal lain yang bersifat umum.33

    Gaya bahasa ditandai dengan ciri-ciri formal kebahasaan, seperti

    pilihan kata, struktur kalimat, bentuk-bentuk bahasa figuratif, dan lain-

    lain.34 Dalam karya sastra, gaya bahasa digunakan pengarang agar

    karya yang dihasilkannya lebih segar dan berkesan sehingga dapat

    menimbulkan suasana yang tepat dan bermakna bagi pembaca. Dengan

    demikian dapat diketahui dengan jelas bahwa gaya bahasa adalah cara

    pengarang mengungkapkan pikiran dalam karya sastra melalui bahasa

    yang khas yang dapat membangun suasana yang tepat sehingga

    menimbulkan kesan dan emosi pembaca.

    7. Amanat

    Amanat dalam novel dapat disebut juga sebagai pesan moral yang

    terkandung di dalamnya. Moral dalam karya sastra biasanya

    mencerminkan pandangan hidup pengarang yang bersangkutan,

    pandangannya tentang nilai-nilai kebenaran, dan hal itulah yang

    31 Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa, (Jakarta: Gramedia, 2004), cet. 14, h. 112. 32 Siswanto, op.,cit., h. 158. 33 Henry Guntur Tarigan, Pengajaran Gaya Bahasa, (Bandung: Angkasa, 1985), h. 4. 34 Keraf, loc., cit.

  • 22

    disampaikan pengarang kepada pembaca.35 Di dalam amanat terlihat

    pandangan hidup dan cita-cita pengarang yang diungkapkan secara

    eksplisit (terang-terangan) atau implisit (tersirat).36 Dapat

    disederhanakan bahwa amanat merupakan nilai moral atau pesan

    didaktis yang terkandung dalam karya sastra. Amanat biasanya

    terbentuk dari nilai kebenaran, norma, ajaran, dan pandangan hidup

    pengarang.

    C. Sosiologi Sastra

    Dalam sebuah karya sastra tersimpan berbagai macam fakta yang

    diungkapkan pengarang untuk mengejewantahkan realitas sosial yang

    terjadi pada zamannya. Sastra dan fakta di dalamnya adalah dua hal yang

    memiliki hubungan yang terkait satu sama lainnya, hubungan yang tidak

    dapat dipisahkan. Sastra lahir berdasarkan fakta-fakta sosial yang

    melatarbelakanginya. Sesuai dengan hal tersebut, Robert Escarpit

    mengemukakan bahwa dalam sastra terkandung fakta sosial yang tidak

    dapat dipisahkan dari cara berpikir individual, bentuk-bentuk abstrak dan

    sekaligus struktur kolektif, pembahasannya cukup menyulitkan, sulit kita

    membayangkan gejala dengan tiga dimensi, terutama ketika harus

    menyusun sejarahnya.37 Dengan sulitnya untuk mengungkapkan fakta

    sosial yang terkandung dalam karya sastra, maka kemudian lahirlah

    sosiologi sastra sebuah disiplin ilmu yang menggabungkan teori sosiologi

    dan sastra yang berguna untuk menelaah keterkaitan sastra dengan

    masyarakat.

    Sosiologi sastra dibentuk berdasarkan dua kata, yaitu sosiologi dan

    sastra. Sosiologi berasal dari akar kata sosio (Yunani) (socius berarti

    bersama-sama, bersatu kawan, kawan, teman) dan logi (logos berarti

    sabda, perkataan, dan perumpamaan). Perkembangan berikutnya

    mengalami perubahan makna, soio/socius berarti masyarakat, logi/logos

    35 Nurgiyantoro, op., cit., h. 321. 36 Esten, op.,cit., h. 20. 37 Robert Escarpit, Sosiologi Sastra, Terj. Sociologie De La Litterature oleh Indah

    Sundari Husen, (Jakarta: Yayasan Obor, 2005), h. 3.

  • 23

    berarti ilmu. Jadi, sosiologi berarti ilmu mengenai asal-usul dan

    pertumbuhan (evolusi) masyarakat, ilmu pengetahuan yang mempelajari

    keseluruhan jaringan hubungan antarmanusia dalam masyarakat, sifatnya

    umum, rasional, dan empiris. Sementara itu, sastra berasal dari kata sas

    (Sansekerta) dan –tra, kata sas memiliki arti mengarahkan, mengajar,

    memberi petunjuk dan instruksi, sedangkan kata –tra berarti alat sarana.

    Jadi, sastra berarti kumpulan alat untuk mengajar, buku petunjuk atau

    buku pengajaran yang baik.38

    Menurut Hutomo, sosiologi sastra adalah bagian ilmu sastra

    dengan esensi memandang karya sastra sebagai produk sosial budaya dan

    bukan dari hasil estetis semata.39 Pada prinsipnya sosiologi sastra ingin

    mengaitkan penciptaan karya sastra, keberadaan karya sastra, serta

    peranan sastra dengan realitas sosial.40 Dapat dikatakan bahwa sosiologi

    sastra merupakan sebuah pendekatan dalam penelitian sastra yang

    berusaha untuk mengungkapkan realitas sosial yang tersimpan dalam

    karya sastra, mengingat bahwa sastra adalah produk yang lahir tanpa

    kekosongan sosial maupun budaya. Sastra dan sosiologi selalu hidup

    berdampingan, tetapi terdapat perbedaan mendasar antara sosiologi dengan

    sastra. Seperti yang dikemukakan oleh Swingewood bahwa sosiologi

    adalah studi ilmiah dan objektif mengenai manusia dalam masyarakat,

    studi mengenai lembaga-lembaga dan proses-proses sosial.41 Berdasarkan

    pernyataan tersebut dapat dipahami bahwa adanya perbedaan antara sastra

    dan sosiologi, di mana sastra pada umumnya adalah karya yang subjektif

    memuat hasil perenungan pengarang, dan sosiologi yang merupakan ilmu

    ilmiah dan objektif yang menitikberatkan kajiannya pada masyarakat yang

    meliputi proses sosial dan lembaga sosial.

    38 Nyoman Kutha Ratna, Paradigma Sosiologi Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

    2003), h. 1. 39 Suwardi Endraswara, Sosiologi Sastra Studi, Teori, dan Interpretasi, (Yogyakarta:

    Penerbit Ombak, 2013), h. 1. 40 Nani Tuloli, Kajian Sastra, (Gorontalo: BMT Nurul Jannah, 2000), cet. 1, h. 62. 41 Faruk, Pengantar Sosiologi Sastra; Dari Strukturalisme Genetik sampai Post-

    Modernisme, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994), h. 1.

  • 24

    Hal itu juga senada dengan yang diungkapkan Ratna bahwa sastra

    dan sosiologi sesungguhnya memiliki objek yang sama, yaitu manusia

    dalam masyarakat. Akan tetapi, hakikat sosiologi dan sastra sangat

    berbeda dan bertentangan secara diametral. Sosiologi adalah ilmu objektif

    kategoris, membatasi diri pada apa yang terjadi (das sein) bukan apa yang

    seharusnya terjadi (das sollen). Sebaliknya, karya sastra jelas bersifat

    evaluatif, subjektif, dan imajinatif.42 Perbedaan-perbedaan tersebut

    sejatinya bukanlah sebuah penghalang dalam pendekatan sosiologi sastra,

    tetapi justru menjadi pelengkap yang kaya untuk menganalisis karya

    sastra.

    Damono menjelaskan bahwa terdapat dua kecenderungan telaah

    sosiologi dalam sastra, yaitu pertama, pendekatan yang berdasarkan pada

    anggapan bahwa sastra merupakan cermin proses sosial-ekonomis belaka.

    Kedua, pendekatan yang mengutamakan sastra sebagai bahan

    penelaahan.43 Pada poin kedua inilah, maka sosiologi sastra digunakan

    untuk memahami lebih dalam bagaimana gejala sosial yang terdapat dalam

    karya sastra. Dalam keterkaitannya dengan penelitian ini, maka peneliti

    akan menggunakan kecenderungan penelaahan sosiologi dalam sastra pada

    poin kedua. Penggunaan pendekatan sosiologi dalam sastra harus memuat

    tiga paradigma, yaitu sosiologi pengarang, sosiologi karya sastra, dan

    sosiologi pembaca.44 Pertama, sosiologi pengarang membahas tentang

    keterkaitan antara dunia pengarang yang meliputi ideologi, kehidupan

    sosial, status pengarang yang terlihat dari berbagai kegiatan di luar karya

    sastra. Kemudian, sosiologi karya sastra yang menelaah isi karya sastra

    yang berkaitan dengan masalah sosial sehingga dapat diketahui sejauh

    mana cerminan masalah sosial dalam karya sastra. Terakhir adalah

    sosiologi pembaca yang bertujuan untuk melihat permasalahan pembaca

    dan dampak sosial karya sastra.

    42 Ratna, op., cit., h. 2. 43 Sapardi Djoko Damono, Sosiologi Sastra; Sebuah Pengantar, (Jakarta: Pusat

    Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1979), h. 2. 44 Rene Wellek dan Austin Warren, op., cit., h. 100.

  • 25

    Melalui tiga paradigma kajian sosiologi dalam sastra, maka kajian

    sosiologi sastra dapat dilakukan dengan langkah kerja sebagai berikut:45 1)

    analisis struktur sosial karya sastra, yang dimulai dengan mengkaji

    struktur pembangun karya sastra dalam perspektif sosiologis yang

    memfokuskan pada tokoh, latar sosial, dan alur yang dibahas dalam

    konteks sosial. 2) analisis sosial masyarakat yang diacu karya sastra, pada

    tahap ini peneliti harus memilih dalam ranah sosiologi apa yang ia acu

    dalam karya sastra untuk selanjutnya dianalisis secara komprehensif.

    Analisis sosialnya dapat mencakup tiga ranah sosiologi seperti fakta sosial,

    definisi, dan perilaku sosial. Langkah kerja terakhir, yaitu 3) relasi karya

    sastra dengan kenyataan sosial, langkah kerja ini mengkaji hubungan

    karya sastra dengan kondisi masyarakat yang ada. Konsep analisisnya

    mencakup hubungan relasional kenyataan sosial karya sastra dengan

    kenyataan sosial yang diacu meliputi peristiwa sosial yang terjadi, fakta

    sosial yang ada, perilaku sosial tokoh, yang direlasikan dengan kenyataan

    sosial yang diacunya.

    Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa sosiologi

    sastra di sini menitikberatkan objek kajiannya pada karya sastra.

    Sementara sosiologi digunakan sebagai pisau analisis dan ilmu untuk

    memahami fakta sosial yang terkandung dalam karya sastra dengan

    mempertimbangkan hal-hal yang melatarbelakanginya. Mengingat karya

    sastra dan masyarakat memiliki keterkaitan, maka sudah sepatutnya bahwa

    karya sastra dipengaruhi oleh cerminan sosial masyarakat dan begitu

    sebaliknya.

    D. Revolusi

    1. Hakikat Revolusi

    Kata revolusi muncul dalam pengertian yang umum pada abad

    keempat belas. Secara umum, revolusi artinya gerakan berputar,

    gerakan sirkular. Nicolaus Copernicus menggunakan kata revolusi

    45 Heru Kurniawan, Teori, Metode, dan Aplikasi Sosiologi Sastra, (Yogyakarta: Graha

    Ilmu, 2012), h. 14.

  • 26

    untuk menggambarkan benda-benda langit (astronomi). Pada abad ke-

    17 istilah astronomi tersebut digunakan dalam filsafat politik.

    Revolusi diartikan sebagai pergantian dan perputaran elit kekuasaan

    pada negara-negara baru.46 Dalam wacana akademis, definisi revolusi

    dapat dilacak pada dua tradisi intelektual, yaitu historis dan sosiologis.

    Dalam tradisi historis, revolusi dipahami sebagai letupan radikal,

    terobosan yang tiba-tiba penuh kekerasan, cataclysme break dalam

    perjalanan sejarah. Sementara itu, pada tradisi sosiologi, revolusi

    mengacu pada gerakan massa yang menggunakan atau mengancam

    menggunakan kekerasan dan koersi melawan penguasa untuk

    memaksakan perubahan yang mendasar dan berlangsung lama.47

    Citra revolusi merupakan pembebasan yang bertumpu pada

    simbol-simbol persamaan, kemajuan, kemerdekaan dengan asumsi

    sentral bahwa revolusi akan menciptakan suatu tatanan sosial baru

    yang lebih baik. Eugene Kamenka dalam Eisenstadt menulis bahwa

    revolusi adalah suatu perubahan sosial yang mendadak dan tajam

    dalam situs kekuasaan sosial. Ia tercermin dalam perubahan radikal

    terhadap proses pemerintahan yang berdaulat pada segenap

    kewenangan dan legitimasi resmi dan sekaligus perubahan radikal

    dalam konsepsi tatanan sosialnya. Transformasi demikian pada

    umumnya telah diyakini, tak akan mungkin dapat terjadi tanpa

    kekerasan, tetapi seandainya mereka melakukannya tanpa

    pertumpahan darah, tetap masih dianggap revolusi.48

    Pada hakikatnya revolusi termasuk ke dalam aspek perubahan

    sosial. Revolusi sebagai wujud perubahan sosial berarti sebagai tanda

    perpecahan mendasar dalam proses historis; pembentukan ulang

    46 Jalaluddin Rakmat, Rekayasa Sosial Reformasi atau Revolusi, (Bandung: PT. Remaja

    Rosdakarya, 1999), h. 184. 47 Ibid., h. 188. 48 SN Eisenstadt, Revolusi dan Transformasi Masyarakat, Terj. dari Revolutions and The

    Transformation of Societies, (Jakarta: CV. Rajawali, 1986), h. 5.

  • 27

    masyarakat dari dalam; dan pembentukan ulang manusia.49 Pada

    revolusi, masyarakat mengalami puncak agennya, meledakkan potensi

    transformasi dirinya sendiri. Setelah revolusi berakhir, masyarakat dan

    anggotanya seperti dihidupkan kembali, hampir menyerupai kelahiran

    kembali. Dalam artian tersebut revolusi adalah tanda kesejahteraan

    sosial. Dalam konsep sosial revolusi mempunyai kehidupan ganda

    yang tampak dalam dua samaran. Pertama revolusi menjadi bagian

    sehari-hari dan kedua revolusi menjadi bagian diskursus sosiologi.

    Konsep sosiologi tentang revolusi mengacu pada penggunaan

    gerakan massa atau ancaman paksaan dan kekerasan terhadap

    penguasa untuk melaksanakan perubahan mendasar dan terus-menerus

    dalam masyarakat.50 Revolusi dipandang sebagai perwujudan

    perubahan tingkah laku manusia yang dinyatakan dalam tindakan

    kolektif untuk menentang dan mengubah suatu tatanan yang dianggap

    tidak sesuai. Terdapat tiga definisi utama revolusi, yaitu sebagai

    berikut.51 (1) Revolusi menekankan pada transformasi fundamental

    masyarakat. Perhatian ini ditekankan pada cakupan dan kedalaman

    perubahan, revolusi adalah lawan kata dari pembaruan. Jadi revolusi

    dalam pengertian ini diartikan sebagai perubahan sosial yang bersifat

    fundamental pada masyarakat. (2) Revolusi diartikan sebagai

    perubahan tiba-tiba dan radikal dalam struktur politik, ekonomi, dan

    sosial masyarakat. Dengan demikian, revolusi merupakan suatu proses

    perubahan mendadak yang luas dalam struktur sosial masyarakat. (3)

    Menurut pengertian ini revolusi adalah lawan kata dari evolusi, yaitu

    perubahan sosial politik yang berdasarkan perjuangan, kekerasan, dan

    kecepatan perubahan.

    Revolusi adalah manifestasi perubahan sosial yang paling

    spektakuler. Revolusi menengarai guncangan fundamental dalam

    49 Piotr Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial, Terj. dari The Sociology of Social Change

    oleh Alimandan, (Jakarta: Prenada, 2005), h. 357. 50 Ibid., h. 360. 51 Ibid., h. 361−362.

  • 28

    proses sejarah, membentuk kembali masyarakat dari dalam dan

    merancang kehidupan bangsa. Revolusi tidak membiarkan apapun

    seperti sebelumnya, revolusi harus menutup dan membuka zaman

    baru. Pada saaat revolusi, masyarakat mengalami puncak perannya

    dan meledaknya potensi transformasi diri. Pada bangkitnya revolusi,

    masyarakat dan para anggotanya seakan-akan hidup kembali, hampir

    dilahirkan kembali. Hal inilah yang membuat revolusi berhasil

    menggelorakan nasionalisme dan semangat juang dalam perjalanan

    sejarah bangsa baik dalam era pergerakan nasional hingga

    pascakemerdekaan. Revolusi sejatinya memperlihatkan eksistensinya

    dari masa ke masa, dikenal sebagai gerakan pembaharuan yang ampuh

    untuk menggodok semangat rakyat guna membangun kehidupan

    bangsa yang lebih baik.

    Dalam konteks kesejarahan, istilah “revolusi” dan “revolusi

    Indonesia” telah mengalami pasang surut dalam pemaknaannya di

    dalam masyarakat kita. Pada masa kemerdekaan 1945−1949, istilah

    “revolusi” dan “revolusi Indonesia” dipergunakan secara luas untuk

    menyebut perjuangan dan pergolakan pada masa itu.52 Revolusi yang

    menjadi alat tercapainya kemerdekaan bukan hanya merupakan kisah

    sentral dalam sejarah Indonesia, melainkan unsur yang sangat kuat

    dalam persepsi bangsa Indonesia tentang dirinya sendiri. Semua usaha

    yang tidak menentu untuk mencari identitas-identitas baru dan tatanan

    sosial yang lebih adil kemudian tampak membuahkan hasil pada

    masa-masa sesudah Perang Dunia II. Dalam teori revolusi, Karl Marx

    mengatakan bahwa perkembangan masyarakat di tingkat kekuatan

    produksi material masyarakat berada dalam pertentangan dengan

    keberadaan hubungan produksi di tempat mereka bekerja. Bentuk

    perkembangan kekuatan produksi itu lantas berubah menjadi

    pengekangan (penindasan). Konflik antara kekuatan produksi baru

    52 M.C Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, Terj. dari A History of Modern Indonesia

    oleh Dharmono Hardjowidjono, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2016), h. 317.

  • 29

    dengan hubungan produksi lama itulah yang menjadi gerakan

    revolusi. Marx mengasumsikan bahwa kapitalisme akan

    memunculkan kesejahteraan dan penderitaan. Kesejahteraan dalam

    kelas borjuis semakin mengecil dan penderitaan dari dalam kelas

    buruh kian membesar. Ketegangan antara borjuis dan proletariat akan

    mendorong kaum proletariat untuk bersatu dan sadar kelas.

    Ketegangan tersebut lantas mengarah pada revolusi yang disebut

    “revolusi sosial”.53

    Di Indonesia, revolusi dimaknai sebagai perubahan fundamental

    dalam kehidupan sosial secara cepat. Masyarakat sebagai objek dari

    sebuah negara menginginkan sebuah perubahan global yang lebih baik

    dalam tatanan sosial kenegaraan, untuk mencapai maksud tersebut

    salah satunya adalah dengan cara revolusi. Umumnya, revolusi

    ditandai dengan penggulingan kekuasaan dan sering berdarah-darah

    akibat konflik kekerasan yang ditimbulkan antara dua kekuatan yang

    bertahan dan berusaha saling menjatuhkan. Akan tetapi, secara historis

    revolusi justru membuahkan dampak yang positif, yaitu dapat

    membangun tatanan sosial dalam aspek ekonomi, hukum, agama,

    politik dan lain-lain secara cepat. Hal itu senada dengan penyataan

    Stompzka bahwa revolusi dapat membangkitkan emosional khusus

    dan reaksi intelektual pelakunya, serta dapat menggapai kembali

    makna kehidupan; melambungkan aspirasi dan pandangan ke masa

    depan.54

    Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa revolusi adalah

    perubahan sosial politik yang terjadi secara cepat dan fundamental

    guna mengubah tatanan kehidupan sosial menjadi lebih baik. Revolusi

    hadir sebagai upaya mewujudkan perubahan sosial dalam masyarakat

    secara menyeluruh; melalui tindakan kekerasan yang dimobilisasi

    rakyat secara besar-besaran. Agar revolusi dapat terjadi, maka harus

    53 Sarbini, Islam di Tepian Revolusi: Ideologi Pemikiran dan Gerakan, (Yogyakarta: Pilar

    Media, 2005), h. 16. 54 Sztompka, op., cit., h. 357.

  • 30

    dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:55 (a) harus ada keinginan

    umum untuk mengadakan suatu perubahan, harus ada suatu keinginan

    untuk mencapai perbaikan dengan keadaan tersebut, (b) adanya

    seorang pemimpin atau sekelompok orang yang dianggap mampu

    memimpin masyarakat tersebut, (c) pemimpin yang dapat menampung

    keinginan-keinginan masyarakat untuk merumuskan program dan arah

    gerakan, (d) pemimpin tersebut harus dapat menunjukkan tujuan pada

    masyarakat, dan (e) harus ada momentum yang tepat dan baik untuk

    memulai suatu gerakan revolusi.

    2. Penyebab Revolusi

    Sebagai upaya transformasi sosial, revolusi terjadi atas kehendak

    masyarakat yang menginginkan sebuah perubahan yang fundamental

    dan universal. Ada pula beberapa faktor sebab-sebab pecahnya

    revolusi, tetapi pada umumnya dibedakan menjadi sebab jangka

    panjang dan jangka pendek. Dapat dikatakan bahwa suatu revolusi

    muncul karena sebab jangka panjang dan jangka pendek. Bagi revolusi

    Indonesia, prakondisi yang merupakan sebab jangka panjangnya

    sebagai berikut:56

    a) Cita-cita kemerdekaan yang senantiasa hidup di hati rakyat

    yang diperjuangkan melalui pergerakan nasional pada zaman

    Hindia Belanda dan pendudukan Jepang dengan cara-cara

    parlementer.

    b) Janji-janji pihak Jepang yang menajamkan selera kemerdekaan

    bangsa Indonesia.

    c) Kapitulasi pihak Jepang pada 15 Agustus 1945 yang

    menyebabkan power deflaration di pihak kekuasaan Jepang

    dan loss of authority pemerintahan bala tentara Jepang di mata

    rakyat Indonesia.

    55 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,

    2000), cet. 30, h. 347−348. 56 Aman, Revolusi Sosial di Brebes, (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2015), h. 23

  • 31

    Adapun sebab jangka pendek bagi pecahnya revolusi Indonesia

    adalah proklamasi 17 Agustus 1945. Proklamasi itu yang

    memunculkan tindakan-tindakan pemaksaan terhadap pihak Jepang,

    baik dengan jalan kekerasan ataupun tidak, agar menyerahkan

    kedaulatannya kepada aparat Republik Indonesia. Proklamasi

    merupakan titik tolak besar di dalam kehidupan nasional sebagai garis

    pemisah tajam antara zaman penjajahan dan zaman kemerdekaan,

    serta pemicu tercetusnya revolusi Indonesia yang berjalan selama

    empat tahun lebih yang kemudian disusul dengan masa konsolidasi

    yang masih berjalan hingga kini.

    Lifford Edward berpendapat bahwa suatu revolusi dapat dianggap

    berakhir jika telah tercapai suatu persetujuan kerja antara pelbagai

    pihak yang terlibat dalam revolusi itu.57 Bagi revolusi Indonesia,

    implementasi dari persetujuan Den Haag sebagai hasil KMB

    merupakan kompromi besar antar pelbagai pihak yang terlibat di

    dalamnya (kaum republikein, kaum federal, dan Belanda). Revolusi

    Indonesia sudah dilaksanakan dan mendapat reaksi hebat di seluruh

    pelosok Nusantara. Salah satu simbol revolusioner yang mengandung

    persamaan dan persaudaraan adalah panggilan Bung. Gagasan yang

    dikandungnya dapat dianggap sebagai suatu sintesis dari “saudara

    revolusioner”, “saudara nasionalis Indonesia”, dan “saudara

    republikein”.58 Simbol tersebut menjadi pemicu gerakan revolusi di

    berbagai daerah.

    3. Revolusi Fisik dan Sosial

    a. Revolusi Fisik

    Dalam sejarah revolusi Indonesia, revolusi fisik menempati

    posisi yang sentral dan penting bagi perjuangan bangsa Indonesia.

    Istilah revolusi fisik muncul atas pemikiran Soekarno mengenai

    57 Ibid. 58 George Mc. Tunan Kahin, Nasionalisme dan Revolusi Indonesia, Terj. dari

    Nasionalism and Revolution Indonesia oleh Tim Komunitas Bambu, (Depok: Komunitas Bambu,

    2013), h. 201.

  • 32

    revolusi. Secara rinci dan definitif, Bung Karno membagi revolusi

    menjadi tiga tingkatan dan periodesasi. Tahun 1945−1955

    menurutnya adalah tingkatan physical revolution. Dalam tingkat

    ini, Indonesia memiliki fase merebut dan mempertahankan

    proklamasi kemerdekaan dari tangan imperialis dengan

    mengorbankan darah. Periode 1945−1950 merupakan periode

    revolusi fisik.59

    Tahun 1950−1955 merupakan tahun-tahun untuk bertahan

    hidup, tingkatan ini dinamakan tingkatan survival berarti tetap

    hidup, tidak mati. Meskipun mengalami lima tahun revolusi fisik,

    Indonesia tetap berdiri dan menunjukkan eksistensinya sebagai

    sebuah bangsa. Oleh karena itu, tahun 1950−1955 adalah tahun

    penyembuhan luka-luka, tahun untuk menebus segala penderitaan

    yang dialami rakyat pada masa revolusi fisik. Tahun 1956

    memasuki satu periode baru, yaitu periode revolusi sosial ekonomi

    untuk mencapai suatu masyarakat yang adil dan makmur.

    Tepatnya, pada tahun 1955−sekarang adalah periode investment of

    human skill, material investment, mental investment, dan berbagai

    investment lainnya yang digunakan untuk amanat penderitaan

    rakyat.

    Masa revolusi fisik merupakan salah satu masa yang paling

    cemerlang dalam sejarah Indonesia, hak-hak Indonesia akan

    kemerdekaan ditunjukkan dengan pengorbanan yang luar biasa

    oleh bangsa Indonesia. Masa revolusi fisik dalam keyakinan

    banyak pihak dianggap sebagai suatu zaman yang merupakan

    kelanjutan dari masa lampau. Bagi para pemimpin revolusi

    Indonesia, revolusi bertujuan untuk melengkapi dan

    menyempurnakan proses penyatuan dan kebangkitan nasional yang

    telah dimulai empat dasawarsa sebelumnya.60 Selama masa

    59 Aman, op., cit., h.1 2. 60 M.C Ricklefs, op., cit., h. 318.

  • 33

    revolusi fisik, bangsa Indonesia mengalami situasi dan kondisi

    darurat perang, di mana rakyat melakukan perlawanan dan

    peperangan guna mempertahankan kemerdekaan. Pada masa

    revolusi fisik, Surabaya menjadi ajang pertempuran paling hebat

    sehingga menjadikannya sebagai lumbung perlawanan nasional.

    Tidak hanya Surabaya, beberapa daerah lain di Indonesia juga

    berperan penting dalam revolusi fisik seperti Ambarawa, Medan,

    dan Padang yang bertempur secara total dan habis-habisan dengan

    tujuan merebut kembali kemerdekaan tanah air dari pihak asing.

    Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa revolusi fisik

    merupakan suatu masa di mana bangsa Indonesia berjuang secara

    fisik melalui pertempuran yang bertujuan untuk mempertahankan

    kemerdekaan dari tangan penjajah. Fase ini, ditandai dengan upaya

    mempertahankan kekuasaan dan kedaulatan negara dengan

    mengorbankan darah.

    b. Revolusi Sosial

    Secara teoretis, revolusi sosial merupakan wujud perubahan

    sosial paling spektakuler. Revolusi sosial juga merupakan tanda

    perpecahan mendasar dalam proses historis; pembentukan ulang

    masyarakat dan pembentukan ulang manusia. Oleh karena itu,

    revolusi sosial tak menyisakan apapun seperti keadaan

    sebelumnya.61 Menurut para sosiolog, jalannya revolusi sosial

    mencakup sepuluh tahapan yang ditandai oleh ketidakpuasan,

    keluhan, kekacauan, dan konflik akibat krisis ekonomi. Selanjutnya

    menjalar pada perpindahan kesetiaan intelektual sebagai hasil

    agitasi kelompok tertentu dengan cara-cara tertentu seperti

    penyebaran pamflet atau doktrin yang menentang rezim lama, dan

    sebagainya.62

    61 Sztompka, op., cit., h. 357. 62 Muhammad Arif, Revolusi Nasional Indonesia Perspektif Pendidikan Karakter,

    (Depok: Para Cita Press, 2016), cet. 1, h. 149.

  • 34

    Dalam konteks sejarah Indonesia, peristiwa revolusi sosial

    muncul sebaga