sihir sastra - repository.usd.ac.id

117
SIHIR SASTRA: Narasi Rangga Lawe Abad XV-XX SKRIPSI Disusun untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Humaniora Program Studi Sejarah Oleh Achmad Fatkhur Hidayat Fajar NIM 144314009 PROGRAM STUDI SEJARAH FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2021 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Upload: others

Post on 24-Oct-2021

25 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: SIHIR SASTRA - repository.usd.ac.id

SIHIR SASTRA: Narasi Rangga Lawe Abad XV-XX

SKRIPSI Disusun untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Humaniora

Program Studi Sejarah

Oleh Achmad Fatkhur Hidayat Fajar

NIM 144314009

PROGRAM STUDI SEJARAH FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

2021

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 2: SIHIR SASTRA - repository.usd.ac.id

SIHIR SASTRA:

Narasi Rangga Lawe Abad XV-XX

SKRIPSI

Disusun untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Humaniora

Program Studi Sejarah

Oleh

Achmad Fatkhur Hidayat Fajar

NIM 144314009

PROGRAM STUDI SEJARAH FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

2021

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 3: SIHIR SASTRA - repository.usd.ac.id

ii

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 4: SIHIR SASTRA - repository.usd.ac.id

iii

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 5: SIHIR SASTRA - repository.usd.ac.id

iv

“From each according to his ability, to each according to his need!”

Karl Marx

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 6: SIHIR SASTRA - repository.usd.ac.id

v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan bahwa skripsi ini merupakan karya sendiri dan belum pernah saya ajukan sebagai syarat untuk memperoleh gelar kesarjanaan di perguruan tinggi.

Skripsi ini tidak memuat karya orang lain atau bagian dari karya orang lain, kecuali untuk bagian-bagian tertentu yang dijadikan rujukan.

Yogyakarta, Mei 2021

Penulis

Achmad Fatkhur Hidayat Fajar

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 7: SIHIR SASTRA - repository.usd.ac.id

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma :

Nama : Achmad Fatkhur Hidayat Fajar

Nomor Mahasiswa : 144314009

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan

Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :

“Sihir Sastra: Narasi Rangga Lawe Abad XV-XX”

beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan

kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, me-

ngalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data,

mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di Internet atau media

lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun mem-

berikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Atas kemajuan teknologi informasi, saya tidak berkeberatan jika nama, tanda tan-

gan, gambar atau image yang ada di dalam karya ilmiah saya terindeks oleh mesin

pencari (search engine), misalnya google.

Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal : 29 Juli 2021

Yang menyatakan

(Achmad Fatkhur Hidayat Fajar)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 8: SIHIR SASTRA - repository.usd.ac.id

vi

ABSTRAK

Achmad Fatkhur Hidayat Fajar, Sihir Sastra: Narasi Rangga Lawe dalam Historiografi Tradisional Abad XV-XX. Skripsi. Yogyakarta: Program Studi Ilmu Sejarah, Fakultas Sastra, Uiversitas Sanata Dharma, 2021.

Ada dua hal yang hendak dijawab oleh penelitian ini terkait narasi tokoh sejarah Rangga Lawe dalam historiografi tradisional dan atau karya sastra. Pertama, penelitian ini berusaha untuk mengudar perbedaan dan perubahan narasi tentang Rangga Lawe di tiap historiografi tradisional dan karya sastra. Kedua, penelitian ini mencoba memahami motif sebenarnya dari penulisan historiografi tradisional dan karya sastra yang memuat tokoh Rangga Lawe.

Berdasarkan jenisnya, penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Metode penelitian yang digunakan ialah metode penelitian sejarah. Sumber utama penelitian ini ialah historiografi tradisional dan atau karya sastra yang memuat Rangga Lawe dalam narasinya.

Penelitian ini menemukan bahwa karya sastra mempengaruhi perspektif masyarakat terhadap Rangga Lawe. Pengaruh tersebut mengubah status Rangga Lawe yang dalam historiografi tradisional tertua (pada masa akhir sampai keruntuhan Kerajaan Majapahit) menempatkannya sebagai pemberontak menjadi seorang pahlawan. Perubahan itu berlangsung berabad-abad dengan menempatkan pengaruh pujangga-pujangga dan zaman yang berbeda. Perubahan juga dipengaruhi oleh proses kognitif yang merupakan formula imajinasi dalam karya sastra. Terakhir, terkait dengan aspek sosial, budaya, dan politik pada periode penulisan naskah.

Hasil dari pengaruh karya sastra itu dapat ditemukan bahkan pada masa sekarang. Misalnya, masyarakat Tuban yang menganggap Rangga Lawe sebagai pahlawan. Juga, pertalian masyarakat antar daerah berdasarkan pada kisah masa lampau—pada masa awal pendirian Majapahit.

Kata kunci: Rangga Lawe, historiografi tradisional, karya sastra, Kerajaan Majapahit.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 9: SIHIR SASTRA - repository.usd.ac.id

vii

ABSTRACT

Achmad Fatkhur Hidayat Fajar, The Magic of Literature: Rangga Lawe’s Narration in Traditional Historiography at XV-XX Century. Undergraduated Thesis. Yogyakarta: Study Program of History, Faculty of Literature, University of Sanata Dharma, 2021.

This research aims to answer two things regarding the narrative of the historical figure, Rangga Lawe, in traditional historiography and or literatures. First, this study aims to analyze the differences and transformations in the narration of Rangga Lawe in each traditional historiographies and or literatures. Second, this study tries to understand the true motive of traditional historiographies and or literatures writing which contains the story of Rangga Lawe.

Based on the type, this research is a qualitative research. This study uses the historical research method. The main source of this study are traditional historiographies and/or literatures which contains Rangga Lawe in its narrations.

This study found that literatures influence people’s perspectives on Rangga Lawe. The transformation changed the status of Rangga Lawe, which in the oldest traditional historiographies (in the late period until the collapse of the Majapahit) place him as a rebel into a hero. The transformation took place over centuries with the influence of different poets and different periods. The transformation is also influenced by cognitive processes which are the imagination formula in literature. Finally, it also related to social, culture, and political aspect of the writing period.

The result of the influence of this literatures can be found even today. For example, the Tuban people consider Rangga Lawe as a hero. Also, community relations between regions are based on stories from the past—during the early of Majapahit establishment.

Keywords: Rangga Lawe, traditional historiography, literatures, Majapahit Kingdom.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 10: SIHIR SASTRA - repository.usd.ac.id

viii

KATA PENGANTAR

Inilah akhir dari segala perjuangan dan susah payah selama pengerjaan skripsi berjudul “Sihir Sastra: Narasi Rangga Lawe Abad XV-XX”. Selama pengerjaannya telah menguras banyak enerji dan waktu demi mencapai kata “optimal”, meski kemudian disadari oleh penulis masih banyak bagian yang perlu dibenahi atau disempurnakan.

Pada kesempatan ini penulis hendak mengungkapkan rasa terima kasih kepada orang-orang yang telah mendukung selama ini.

1. Kepada mendiang Ibu yang selama hidupnya selalu memberikan dukungan terbaik. Semoga dilapangkan jalannya menuju muasal. Kepada Ayah dan Adik yang selama ini menaruh kepercayaan yang besar kepada penulis.

2. Kepada mendiang Lucia Juningsih dan Hb. Hery Santosa yang selama hidupnya memberikan panduan kepada mahasiswanya, terutama terkait integritas dan optimalisasi kerja akademis. Hormat dan doa untuk mereka berdua. Semoga dilapangkan jalan keduanya menuju muasal.

3. Kepada Manu Jayaatmaja Widyaseputra yang telah menginisiasi dan mendorong penulis untuk mengulas kajian tentang Rangga Lawe.

4. Kepada Rechardus Deaz Prabowo yang senantiasa membuka cakrawala penulis kepada rujukan-rujukan baru. Kepada teman Martinus “Bolang” Danang yang (kadang) menjadi tempat bertanya.

5. Kepada kawan-kawan Toko Buku Oenta yang telah menjadi tempat terbaik untuk memahami semangat kerja kolektif.

6. Kepada kawan-kawan di Kontrakan Ngaglik, Andri, Niron, dan Koko yang berkenan menampung penulis selama pengerjaan skripsi.

7. Kepada Kaprodi Sejarah USD, Silverio R. L. Aji Sampurno, yang memberikan bantuan besar dan selalu sedia mendukung usaha penulis. Kepada dosen-dosen Sejarah USD yang menjadi tempat bertanya penulis.

8. Kepada orang-orang yang tidak bisa disebut namanya satu-persatu dalam karya yang jauh dari kata sempurna ini.

Yogyakarta, Mei 2021

Penulis

Achmad Fatkhur Hidayat Fajar

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 11: SIHIR SASTRA - repository.usd.ac.id

ix

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................................ i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .... Error! Bookmark not defined.

HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................. ii

HALAMAN MOTO .............................................................................................. iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ................................................................. v

ABSTRAK ............................................................................................................. vi

ABSTRACT ............................................................................................................ vii

KATA PENGANTAR ......................................................................................... viii

DAFTAR ISI .......................................................................................................... ix

BAB I ...................................................................................................................... 1

PENDAHULUAN .................................................................................................. 1

A. Latar Belakang ............................................................................................. 1

B. Batasan Masalah........................................................................................... 6

C. Rumusan Masalah ........................................................................................ 7

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................................... 7

E. Kajian Pustaka .............................................................................................. 8

F. Landasan Teori ........................................................................................... 11

G. Metode Penelitian....................................................................................... 16

H. Sistematika Penulisan ................................................................................ 17

BAB II ................................................................................................................... 19

FONDASI NARASI ............................................................................................. 19

A. Pendahuluan ............................................................................................... 19

B. Genre Kidung dan Bahasa Jawa Kuna ....................................................... 20

C. Kidung Rangga Lawe ................................................................................. 23

1. Kemunculan dan Perangai Rangga Lawe ............................................... 24

2. Peran Rangga Lawe dalam Kidung Rangga Lawe ................................. 27

3. Awal dan Sebab Pemberontakan ............................................................ 32

4. Drama Keluarga ..................................................................................... 35

5. Berhadapan dengan Nambi .................................................................... 36

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 12: SIHIR SASTRA - repository.usd.ac.id

x

6. Rangga Lawe Gugur ............................................................................... 38

D. Sekilas tentang Pararaton ........................................................................... 42

E. Narasi Rangga Lawe dalam Pararaton ....................................................... 47

F. Ulasan Kisah Rangga Lawe ....................................................................... 49

1. Kemunculan dan Peran Rangga Lawe dalam Pendirian Majapahit ....... 50

2. Pemberontakan Rangga Lawe ................................................................ 54

G. Simpulan .................................................................................................... 55

1. Kidung Rangga Lawe ............................................................................. 55

BAB III ................................................................................................................. 66

TRANSISI DALAM NARASI YANG LAIN ...................................................... 66

A. Pendahuluan ............................................................................................... 66

B. Latar Belakang dan Peran Rangga Lawe ................................................... 69

C. Perang Melawan Daha dan Pasukan Tatar ................................................. 71

D. Simpulan .................................................................................................... 74

BAB IV ................................................................................................................. 77

SASTRA JAWA BARU: NARASI YANG BELAKANGAN ............................. 77

A. Pendahuluan: Pembuka Perspektif Baru .................................................... 77

B. Kisah Damarwulan ..................................................................................... 78

1. Ringkasan Serat Damarwulan ................................................................ 80

2. Ringkasan Langendriya Pejahipun Ranggalawe .................................... 81

C. Ringkasan Serat Babad Tuban ................................................................... 84

D. Simpulan .................................................................................................... 88

BAB V ................................................................................................................... 95

PENUTUP ............................................................................................................. 95

A. Simpulan .................................................................................................... 95

B. Tulisan dari Budaya Lisan ......................................................................... 99

C. Saran ......................................................................................................... 101

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 103

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 13: SIHIR SASTRA - repository.usd.ac.id

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ada perbedaan mendasar terkait persepsi terhadap sastra dan sejarah

antara masyarakat yang meyakini kebenaran sastra tradisional dengan masyarakat

sastra kontemporer. Kini, antara karya sastra dan karya sejarah, katakanlah, dapat

dibedakan secara jelas. Karya sastra itu fiktif; karya sejarah itu faktual

(berdasarkan cerminan masa lampau). Namun, tidak demikian dulu. Heryanto1

memaparkan bahwa, dulu, masyarakat memahami karya sastra tidak sebagai fiksi,

dunia imajinasi, rekaan pujangga yang senantiasa bertolak belakang dengan

realitas, melainkan sebagai sumber pengetahuan yang berisikan informasi seputar

genealogi, ekologi, hunian perkotaan, dan kekuasaan raja. Babad, dongeng,

legenda, hikayat, dan kidung dipercaya sebagai lukisan sesungguhnya tentang

manusia, masyarakat, alam, serta peristiwa yang terjadi di masa silam. Karya-

karya sastra itu adalah wadah ingatan kolektif masa lampau yang disampaikan

melalui medium bahasa dan ekspresi estetis serta diwariskan dari generasi ke

generasi. Keyakinan itu sejurus dengan makna Sastra dalam bahasa aslinya,

Sansekerta.2

1 Dalam Selo Somardjan, dkk.. 1984. Budaya Sastra. Jakarta: CV Rajawali, hlm.

40.

2 Definisi Sastra ialah “sebarang alat mengajar, sebarang buku atau risalah, (khususnya) sebarang risalah tentang agama atau ilmiah, sebarang buku atau komposisi yang berasal kedewaan; kitab suci, sastra, ilmu pengetahuan.” (Zoetmulder, Kamus Jawa Kuna-Indonesia, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2011, hlm. 1052)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 14: SIHIR SASTRA - repository.usd.ac.id

2

Apa yang tampak pada pemahaman Masyarakat Tuban terhadap tokoh

Rangga Lawe pun merupakan bukti adanya kaitan antara karya sastra sebagai

mimesis sekaligus kreasi.3 Masyarakat menganggap karya sastra itu sama dengan

dokumen sosial. Pun, ujaran yang terdapat di dalamnya diyakini sungguh-sungguh

ada dan terjadi di kenyataan.4 Keyakinan itu bisa berbentuk pada pemujaan,

seperti pemujaan Rangga Lawe sebagai pahlawan dan menjadikannya ikon daerah

seperti yang terjadi di Tuban.

Pemahaman seperti itu juga tampak pada masyarakat daerah lain.

Misalnya ketika penulis berjumpa, secara tidak sengaja, dengan orang-orang dari

komunitas Masyarakat Peduli Peninggalan Majapahit Timur (MPPM Timur) pada

pertengahan tahun 2011. Tempat berkumpul mereka berdekatan dengan Situs

Biting di Desa Kutorenon, Kecamatan Sukodono, Lumajang. Seorang di antara

mereka ialah Mansur Hidayat, penulis buku Arya Wiraraja dan Lamajang Tigang

Juru: Menafsir Ulang Sejarah Majapahit Timur. Komunitas itu sering mengikuti

perkembangan penelitian arkeologi untuk Situs Biting, selain juga mengadakan

3 Sebenarnya perdebatan yang mempertanyakan antara karya sastra sebagai tiruan

(mimetik) dengan karya sastra sebagai usaha pemaknaan pujangga terhadap kehidupan sosialnya (kreasi) telah lama terjadi, tetapi masih menjadi topik hangat dalam obrolan atau diskusi di ranah sastra hingga kini, sebagaimana dijelaskan dalam A. Teeuw. 1984. Sastra dan ilmu sastra: pengantar teori sastra. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, Bab VIII. Teeuw menyatakan perdebatan itu bermula dari pemikiran dua filsuf Yunani: Plato dan Aristoteles. Plato mengemukakan Teori Mimetic, sedangkan Aristoteles membantah pendapat itu dengan Teori Creatio (Kreasi).

4 Sebagai contoh dapat dilihat dari hasil reportase JTV dalam Program Napak Tilas JTV Episode Babad Toeban (Wilotikto) pada tahun 2014, https://www.youtube.com/watch?v=P7m3yUTD02M&t=249s diakses pada 20 Oktober 2018. Karya jurnalisme itu menunjukkan kepercayaan komunitas (Tuban) terhadap narasi dalam karya sastra.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 15: SIHIR SASTRA - repository.usd.ac.id

3

observasi lapangan, membaca karya sastra terkait, dan perjalanan yang melibatkan

perihal mistis. Mereka sangat memuja tokoh-tokoh sejarah pada zaman Majapahit,

seperti Kertarajasa, Arya Wiraraja, Rangga Lawe, Sora, dan Nambi. Maka dapat

dimaklumi jika dalam bukunya Mansur Hidayat meyakini, sekaligus berempati,

Rangga Lawe dan Nambi memiliki hubungan persaudaraan dan diadu domba

hingga berujung pada kematian kedua tokoh. Yang menarik ialah ketika mereka

bercerita sering menerima tamu dari daerah Madura dan Bali yang memiliki

keyakinan sama. Mereka berkata, mereka dan orang-orang dari Madura dan Bali

bersaudara karena memuja tokoh dan meyakini peristiwa yang sama

Dari situ, sebenarnya dapat dilihat proses yang berkaitan dengan

penyemaian pemikiran sosial atau nilai kolektif terhadap tokoh dan peristiwa

sejarah. Berkaitan dengan karya sastra, yang terjadi bukanlah kenyataan

mempengaruhi pemikiran kelompok atau individu, tetapi sebaliknya, persepsi

(dalam karya sastra) mempengaruhi kenyataan.5 Karya sastra menjadi salah satu

acuan atau tolok ukur, selain cerita lisan yang berkembang di komunitas sosial,

bagi masyarakat untuk melihat realitas sosial mereka. Dalam penelitian ini, narasi

sastra tradisional merupakan bahan dan/atau dasar bagi masyarakat untuk

mendeskripsikan identitas dan peran tokoh Rangga Lawe.

5 Teeuw (1984: 228-229), mencontohkannya dengan Tokoh Wayang yang

dijadikan sebagai model untuk menilai sikap atau karakter seseorang (Jawa). Alhasil, relasi antara mimesis dan creatio saling melengkapi. Tentang itu, Teeuw menulis: “… kalau orang berbicara mengenai seni sastra pertentangan antara mimesis dan creatio adalah pertentangan nisbi ataupun pertentangan semu. Hubungan antara seni dan kenyataan bukanlah hubungan searah, sebelah ataupun sederhana. Hubungan itu selalu merupakan interaksi yang kompleks dan tak langsung: ditentukan oleh tiga macam atau saringan kelir: kelir konvensi bahasa, kelir konvensi sosio-budaya dan kelir konvensi sastra yang menyaring dan menentukan kesan kita dan mengarahkan pengamatan dan penafsiran kita terhadap kenyataan.”

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 16: SIHIR SASTRA - repository.usd.ac.id

4

Meskipun Ilmu Sejarah mengakui karya sastra sebagai historiografi

tradisional, tetap saja narasinya terikat konvensi seni sastra dan interpretasi,

bahkan imajinasi, pujangga. Adapun konvensi sastra yang dimaksud, antara lain:

bentuk, tema, dan metrum. Kreativitas dan imajinasi pujangga bercampur baur

dengan peristiwa atau fakta sejarah sehingga kadang berbeda jauh dengan

informasi yang ada di sumber sejarah lain dan menyebabkan perdebatan di

kalangan para ahli (sejarawan).6 Kedua faktor itu juga menjadi salah satu sebab

perbedaan narasi di tiap karya sastra yang ditemukan, selain faktor kurangnya atau

ketidaktahuan pujangga atas peristiwa dan fakta tersebut.7 Naskah-naskah itu,

yang juga digunakan sebagai sumber primer dalam penelitian ini, antara lain

Pararaton, Kidung Harsa Wijaya, Kidung Rangga Lawe, Serat Babad Tuban, dan

6 Konvensi yang ada dalam tiap karya sastra atau historiografi tradisional itu

banyak menimbulkan kekecewaan dan kesangsian peneliti atau akademisi, salah satunya ialah Berg. Berg (dalam Muljana 2012: 14-15) menyangsikan keterangan sejarah terkait narasi pembelahan kerajaan Erlangga menjadi Janggala dan Panjalu yang dikisahkan oleh Prapanca dalam Nagarakrtagama. Menurut Berg, pengisahan itu penuh dengan mitos yang berunsur magis sehingga tidak dapat dipercaya sepenuhnya.

7 Informasi-informasi yang bersifat anakronistis, demikian para akademisi menyebutnya, jamak ditemukan pada karya Sastra Jawa yang lebih modern seperti babad, serat, atau cerita Panji. Beberapa peneliti terdahulu bahkan mengatakan ada anakronisme dalam karya sastra Jawa Kuna. Sebagian peneliti, seperti Berg, memaparkan bahwa itu disebabkan karena kurang tahunya pujangga terhadap peristiwa atau tokoh yang dimaksud. Lihat Berg. 1974. Penulisan Sejarah Jawa. Jakarta: Bhratara, hlm. 28-29. Soenarto Timoer. 1980. Damarwulan (Sebuah Lakon Wayang Krucil): Kupasan Segi Falsafah dan Simboliknya. Jakarta: Balai Pustaka, hlm. 34-35, menulis bahwa pujangganya (karya sastra Jawa Modern) dipengaruhi oleh kisah pemberontakan serupa yang terjadi pada masa akhir Majapahit, yaitu pemberontakan Bre Wirabumi (Blambangan) yang terjadi pada tahun 1404-1406; kejadian ini kemudian dikenal sebagai Perang Paregreg, sedangkan Damarwulan ialah Raden Gajah. Namun, di luar itu, yang harus diingat ialah soal kreativitas atau imajinasi pujangga dalam karyanya. Bahkan Lukacs. 1962. The Historical Novel. London: Merlin Press, hlm. 61, dengan menukil pandangan Goethe dan Hegel menyebutkan bahwa anakronisme itu diperlukan—Hegel menyebutnya sebagai necessary anachronism—sebagai bentuk interpretasi masa kini terhadap masa lalu dan upaya menggeneralisasikan konsep estetika.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 17: SIHIR SASTRA - repository.usd.ac.id

5

Langendriya Pejahing Rangga Lawe yang merupakan bagian minor dari kisah

Damarwulan, memiliki perbedaan pada narasi. Ikhwal itu disebabkan tema yang

diambil oleh pujangga. Dalam tema, pengaruh personal pujangga sangat kentara,

mulai dari kreativitas, imajinasi, sampai interpretasi pujangga dalam menyikapi

peristiwa bersangkutan. Kata-kata atau bahasa menjadi senjata ampuh di tangan

pujangga, tidak hanya bagi raja yang ia puja, tapi juga untuk kemasyhuran diri.8

Perihal lain yang menyebabkan perbedaan narasi yang patut disinggung ialah

periode penulisan dan kondisi sosial-budaya-politik pada masa pujangga hidup.

Pemilihan karya sastra tersebut sebagai sumber primer disebabkan karya-

karya itu memiliki narasi Rangga Lawe yang menjadi objek penelitian ini. Selain

itu, karya-karya itu harus dilihat sebagai satu kesatuan yang menarasikan tokoh

yang sama dengan perspektif berbeda. Penempatan seperti itu berguna untuk

melihat transformasi narasi pada setiap naskah. Perihal terpenting yang mendasari

penggunaan karya sastra sebagai sumber informasi penelitian karena karya sastra

merupakan bentuk konkret dari pemikiran manusia. Sebenarnya pemakaian karya

sastra sebagai sumber sejarah sudah disinggung Sartono9 ketika merumuskan

genre sejarah intelektual. Singkatnya, genre sejarah intelektual berusaha

merekonstruksi pencapaian yang dilakukan oleh akal budi manusia, dalam

berbagai bentuk, pada masa silam.

8 Zoetmulder. 1984. Kalangwan: sastra jawa kuno selayang pandang. Jakarta:

Penerbit Djambatan, hlm. 196-199.

9 Sartono Kartodirdjo. 1992. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Di sini Sartono membagi fakta sejarah menjadi 3: artifact (benda), socifact (hubungan sosial), dan mentifact (kejiwaan).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 18: SIHIR SASTRA - repository.usd.ac.id

6

Oleh sebab itu, usaha pertama yang teramat penting ialah mengakui

sumber itu sebagai karya sastra bergenre fiksi. Kemudian, tentu, harus pula

melacak perubahan-perubahan dari tiap naskah berdasarkan periode penulisannya.

Proses itu dimaksudkan sebagai usaha untuk memperoleh informasi bersifat

“sadar” dan “tidak sadar” yang tersebar dalam karya-karya itu. Informasi yang

dimaksud terkait dengan identitas dan peran tokoh bersangkutan, sedangkan

contoh perubahan yang terjadi ialah status Rangga Lawe sebagai pemberontak

menjadi pahlawan. Dengan perbedaan-perbedaan penarasian yang ada, komparasi

antara karya sastra satu dengan karya sastra lain menjadi niscaya. Analisis

terhadap transformasi narasi teks juga untuk melihat kontinuitas dan

diskontinuitas narasi.

Tentu, fiksi pun mengandung kebenaran, meskipun taraf kebenarannya

berbeda dengan karya non-fiksi. Kebenaran fiksi tidak seperti kebenaran non-fiksi

yang dapat dikenali dengan pembuktiannya di realitas, melainkan pada pengaruh

atau dampak yang terjadi pada masyarakat pembacanya. Alhasil, penempatan

sumber dalam kategori sastra diharapkan mampu menemukan maksud yang

diinginkan dari perubahan-perubahan karya itu yang diyakini pujangga dan

masyarakat sekaligus menjawab keraguan sejarawan terhadap pemakaian karya

sastra sebagai sumber penelitian.

B. Batasan Masalah

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 19: SIHIR SASTRA - repository.usd.ac.id

7

Objek penelitian ini berfokus pada naskah yang menarasikan Rangga

Lawe. Untuk batasan waktu ialah abad XV-XX. Batasan itu dirujuk dari waktu

penulisan dan/atau penerbitan naskah, historiografi tradisional, serta cerita rakyat

yang dipakai sebagai sumber primer. Secara khusus, batasan waktu itu ditetapkan

untuk melihat perubahan penulisan atau pengisahan tokoh Rangga Lawe sekaligus

untuk merekonstruksi perihal sesungguhnya secara utuh.

Batasan tempat penilitian ini meliputi Pulau Jawa dan Pulau Bali. Batasan

itu diambil karena mempertimbangkan lokasi penulisan dan pemeliharaan naskah

atau historiografi tradisional. Naskah-naskah yang dimaksud berbentuk prosa dan

puisi (kidung). Adapun naskah atau karya sastra tradisional yang dipakai ialah

Pararaton, Kidung Harsa Wijaya, Kidung Rangga Lawe, Serat Babad Tuban, dan

Legendriya Pejahing Rangga Lawe.

C. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah penelitian ini ialah sebagai berikut.

- Bagaimana perbedaan dan atau perubahan narasi Rangga Lawe dalam

historiografi tradisional?

- Kisah Rangga Lawe seperti apa yang sebenarnya yang dapat ditangkap dari

perubahan narasi pada tiap periode penulisan naskah?

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 20: SIHIR SASTRA - repository.usd.ac.id

8

Untuk tujuan penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut. Pertama,

penelitian ini bertujuan mendeskripsikan biografi Rangga Lawe dari penulisan

historiografi tradisional. Kedua, untuk menjelaskan motif penulisan dan

perubahan dalam penulisan historiografi tradisional, entah sengaja atau tidak

sengaja, sadar atau tidak sadar, dalam narasinya. Kedua tujuan itu untuk

memenuhi tujuan besar penelitian ini, yakni untuk merekonstruksi tokoh,

peristiwa, atau perihal yang terjadi pada masa silam yang tertulis dalam sumber

tradisional.

Untuk manfaat penelitian, diharapkan penelitian ini mampu memberikan

gambaran atas penelitian sejarah yang menggunakan sumber atau dokumen yang

lebih variatif, yakni karya sastra. Oleh sebab itu penelitian ini juga melacak

perubahan dalam karya sastra pada tiap periode penulisannya, tentu penilitian ini

diharapkan mampu menyumbangkan informasi sekaligus mengurangi

kesenjangan informasi terkait Rangga Lawe dan peristiwa bersangkutan untuk

masyarakat.

E. Kajian Pustaka

Penelitian ini sangat berhutang pada karya-karya yang mengkaji naskah-

naskah tradisional terkait Rangga Lawe maupun yang menarasikan sejarah

Majapahit yang dilakukan oleh para peneliti kolonial. Yang pertama tentu buah

tangan Brandes, disusun kembali oleh Krom (1920), berjudul Pararaton (Ken

Arok) of Het Boek der Koningen van Tumapel en van Majapahit. Karya itu

merupakan studi kritis pertama untuk naskah Pararaton yang berisikan genealogi

Raja-Raja Tumapel sampai dengan Kerajaan Majapahit.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 21: SIHIR SASTRA - repository.usd.ac.id

9

Setelah Brandes, pengerjaan penyalinan sekaligus penelitian naskah-

naskah tradisional, yang berkenaan dengan Rangga Lawe, pada masa Kerajaan

Majapahit dilanjutkan dan dikerjakan oleh Berg. Dua di antaranya mengulas

kidung yang berisikan narasi tentang pembentukan Majapahit dan pemberontakan

Rangga Lawe. Karya pertama berjudul Rangga Lawe: Middlejavansche

Historische Roman Critish Uitgegeven yang diterbitkan pada tahun 1930. Karya

itu mengulas sebuah roman sejarah berbahasa Jawa Pertengahan, Kidung Rangga

Lawe. Yang kedua berjudul Kidung Harsa-Wijaya: Tekst, Inhoudsopgave en

aanteekeningen, diterbitkan pada tahun 1931, selang setahun setelah penelitian

Kidung Rangga Lawe yang telah disebutkan sebelumnya. Sama seperti penelitian

sebelumnya, penelitian yang kedua ini juga berada di wilayah filologi yang

mengambil Kidung Harsa-Wijaya sebagai subjek penelitiannya. Meskipun tema

Kidung Harsa-Wijaya lebih menarasikan pada perjalanan Raden Wijaya dari putra

mahkota di Tumapel sampai pada masa pengangkatannya sebagai raja pertama

Majapahit, dalam kidung itu juga mengulas sedikit narasi tentang Rangga Lawe—

yang cukup berbeda dengan versi Kidung Rangga Lawe. Harus diakui bahwa

studi-studi sejarah yang mengulas peristiwa sejarah pada masa Kerajaan

Majapahit berbasis historiografi tradisional sangat berhutang kepada hasil kerja

Berg.

Penelitian lain ialah skripsi karya Woro Aryandini Sumaryoto (1984)

berjudul Kidung Rangga Lawe: Tinjauan atas Tokoh Cerita dan Unsur-Unsurnya.

Penelitian itu menekankan pada kajian isi naskah tradisional dan aspek

kesusastraan, terutama penekanan aspek moral pada narasi dalam penokohan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 22: SIHIR SASTRA - repository.usd.ac.id

10

Rangga Lawe. Naskah tradisional atau kidung yang dipilih yakni Kidung Rangga

Lawe. Dalam pembahasannya, skripsi ini juga membandingkan kidung itu dengan

karya-karya sastra lain, seperti Pararaton dan kisah Panji.

Penelitian Irawan Djoko Nugroho (2010) berjudul Meluruskan Sejarah

Majapahit memuat pelurusan sejarah atau karya historiografi yang menulis

tentang Kerajaan Majapahit. Karya historiografi (tradisional) yang dimaksud ialah

Nagarakretagama.

Karya Slamet Muljana (2012) bertajuk Menuju Puncak Kemegahan:

Sejarah Kerajaan Majapahit patut disinggung karena di dalamnya menulis

beberapa pemberontakan yang pernah terjadi pada masa Majapahit, termasuk

pemberontakan Rangga Lawe. Buku ini mampu menjelaskan alasan sampai

jalannya pemberontakan Rangga Lawe berdasarkan historiografi tradisional.

Karya Muljana berakhir sampai kematian Patih Gadjah Mada.

Terakhir, penelitian Mansur Hidayat (2013) berjudul Arya Wiraraja dan

Lamajang Tigang Juru: Menafsir Ulang Sejarah Majapahit Timur berisikan

tentang konflik internal pada awal pendirian Kerajaan Majapahit. Hidayat

menuturkan bahwa konflik internal itu merupakan lanjutan dari konflik yang

terjadi pada masa Kerajaan Tumapel atau Singasari pada masa pemerintahan Ken

Arok. Kehadiran tokoh Mahapati sebagai pemicu konflik internal juga disebut

oleh Hidayat. Yang menarik dari penelitian ini ialah penyebutan Rangga Lawe

dan Nambi sebagai anak Arya Wiraraja yang mati dengan cap pemberontak

karena adu domba Mahapati.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 23: SIHIR SASTRA - repository.usd.ac.id

11

Dari penelitian-penelitian itu, penilitian ini yang berjudul Sihir Sastra:

Narasi Rangga Lawe Abad XV-XX berusaha merekonstruksi peristiwa dan

identitas serta peran tokoh Rangga Lawe berdasarkan narasi karya sastra

tradisional yang ada. Karya-karya sastra tradisional yang memuat narasi Rangga

Lawe di sini dirujuk sebagai sumber primer sekaligus subjek penelitian. Lebih

detail, penelitian ini akan berusaha menjelaskan perihal sesungguhnya yang

tersembunyi dalam karya-karya sastra itu dengan cara melacak perubahan

penarasian pada tiap-tiap periode penulisannya. Sekali lagi, karena penelitian ini

merupakan penelitian historiografi, karya sastra yang dirujuk hanya menjadi

sumber dan subjek penelitian yang akan diinterpretasikan serta dinarasikan secara

kronologis dan diakronis.

F. Landasan Teori

Penelitian ini menggunakan Teori Struktural Levi-Strauss sebagai pisau

bedah untuk menganalisis kisah atau tokoh sejarah dalam naskah tradisional.

Penggunaan Strukturalisme Levi-Strauss tepat karena fenomena sosiokultural

yang terjadi di masa lampau itu ditulis dan/atau berupa sebagai cerita rakyat. Teori

Struktural berusaha menjelaskan struktur, bagian, atau aspek dalam sosiokultural

dari segi bahasa. Seperti bahasa, fenomena sosiokultural juga penuh dengan kode

atau simbol yang bersifat baik “sadar” maupun “bawah sadar” (consciousness dan

unconsciousness). Singkatnya, Teori Struktural berusaha mendeskripsikan,

mengeksplanasi, dan menyimpulkan dari proposisi relasional yang mengaitkan

masukan dengan keluaran dalam suatu fenomena sosiokultural. Untuk mampu

menarik simpulan, ada tiga hal yang harus ditemukan dan dikemukakan: “struktur

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 24: SIHIR SASTRA - repository.usd.ac.id

12

permukaan”, “struktur elementer”, dan “struktur dalam”. Dalam penjelasannya,

Levi-Strauss menuliskan hipotesisnya dengan menyebutkan adanya perubahan

bentuk tradisi.10

Di awal pembahasan telah disebutkan bahwa historiografi tradisional atau

sumber-sumber yang diteliti berupa fiksi. Mengakui sumber-sumber itu sebagai

fiksi merupakan fondasi pertama dari penelitian ini untuk langkah selanjutnya:

mengetahui maksud sebenarnya dalam karya-karya itu. Teori yang digunakan

untuk itu ialah teori imajinasi atau counterfactual dari Byrne.11 Teori

counterfactual, atau meminjam istilah van Zoest12 sebagai “kenyataan

nonfaktual”, bukan barang baru di penelitian literatur atau sastra, bahkan juga

pada proses kognitif yang menjadi subjek dalam psikologi. Namun tidak begitu

dalam penelitian sejarah, terutama yang terjadi di Indonesia. Alih-alih berusaha

memahami maksud dalam karya, para sejarawan justru terjebak dalam simpulan

keliru. Kalau bukan menolak mentah-mentah kebenaran karya pasti terjebak

10 Levi-Strauss, C. 1967. Structural anthropology. New York: Doubleday &

Company, Inc., hlm. 7-8: “for such a hypothesis to be legitimate we should have to be able to prove that one type is more primitive than the other; that the more primitive type evolves necessarily toward the other form; and, finally, that this law operates more rigorously in the center of the region than at its periphery.” Terjemahan: “supaya hipotesis itu sah kita harus bisa membuktikan satu jenis lebih primitif daripada yang lain; bahwa bentuk yang lebih primitif pasti berevolusi ke bentuk yang lain; dan, akhirnya, hukum ini beroperasi secara ketat di pusat wilayah daripada di wilayah pinggiran.”

11 Byrne, R. M. J. 2005. The rational imagination: how people create alternatives to reality. London: The Massachussetts Institute of Technology Press.

12 Van Zoest, A. 1990. Fiksi dan nonfiksi dalam kajian semiotik, penerjemah: Manoekmi Sardjoe. Jakarta: Intermasa, hlm. 34. Van Zoest menulis bahwa selain kenyataan faktual ada juga jenis kenyataan lain, yakni kenyataan nonfaktual. Perbedaan kedua jenis kenyataan itu, menurut van Zoest, terletak pada cara pembuktiannya. Kenyataan faktual ialah kenyataan yang dapat dibuktikan secara empiris, sedangkan kenyataan nonfaktual ialah kenyataan yang kebenarannya tidak bisa dibuktikan secara empiris. Macam-macam kenyataan nonfaktual ialah lamunan, mimpi, dan khayalan.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 25: SIHIR SASTRA - repository.usd.ac.id

13

dalam keberpihakan pada satu sumber dan tidak menghiraukan sumber lain. Tidak

acuh terhadap genre karya tidak berbeda halnya dengan mengenyahkan kebenaran

yang terkandung.

Dalam The rational imagination: how people create imaginatives to

reality13, Byrne mengklasifikasikan imajinasi menjadi dua jenis: counterfactual

thought dan creative thought. Imajinasi jenis counterfactual thought biasa terjadi

dalam keseharian, seperti saat orang membayangkan peristiwa di masa silam

secara berbeda dari kejadian sesungguhnya, atau saat orang bermimpi atau

berkhayal. Counterfactual thought juga terdapat pada kasus teman khayalan

dalam kehidupan kanak-kanak. Untuk creative thought terjadi ketika orang

menulis puisi, bermain drama dan/atau teater, musik, serta kegiatan berkesenian

lain. Perbedaan lain ialah counterfactual thought bisa terjadi dalam keadaan tidak

sengaja, meski juga bisa disengaja. Di sisi lain, creative thought lebih tampak

disengaja (dalam kontrol kesadaran) dan memiliki target yang hendak dicapai.

Meski berbeda dalam beberapa hal, tapi keduanya saling terhubung. Proses

kognitif yang mendasari kedua jenis imajinasi itu berada pada wilayah bawah

sadar, dan bergantung pada proses serupa. Counterfactual dalam kerja kreatif

membantu manusia untuk penemuan dan pembaruan, atau secara sederhana

diartikan sebagai penciptaan dunia alternatif atau kemungkinan-kemungkinan

baru yang dinilai lebih baik dari kejadian atau perihal sesungguhnya. Perombakan

yang terjadi pada counterfactual dalam kerja kreatif didasarkan pada “kekeliruan”

13 Byrne. 2005. The rational imagination: how people create alternatives to

reality. London: The Massachussetts Institute of Technology Press, hlm. 2-3.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 26: SIHIR SASTRA - repository.usd.ac.id

14

(fault lines) dengan cara mengubah, membatalkan, atau bahkan memelintir

(memelesetkan) realitas.14 Rumus yang dipakai untuk membangun counterfactual

ialah “jika” dan “jika hanya” (“if” dan “if only”).

Pemikiran counterfactual memiliki beberapa aspek yang mempengaruhi

orang mengimajinasikan realitas yang mereka hadapi: aksi atau tindakan,

kewajiban yang berkaitan dengan nilai-nilai sosial, berhubungan dengan

penyebab, dan waktu (action, obligation, causes, time).15 Dari situ, dapat ditarik

simpulan bahwa counterfactual erat kaitannya dengan pengalaman emosi (seperti

penyesalan, rasa bersalah, rasa malu, kelegaan, harapan) dan penilaian sosial.16

Meski counterfactual merupakan versi keliru dari realitas, tetap saja orang tidak

sembarangan melakukannya. Kebanyakan counterfactual cenderung tidak

menciptakan dunia keajaiban. Artinya, counterfactual dibatasi oleh larangan,

berupa perubahan-perubahan minimalis yang dapat diterima oleh norma sosial

(nilai-nilai kolektivisme), bahwa realitas harus dapat dipulihkan dari imajinasi

alternatif. Kejadian buruk, di masa lalu, menjadi kunci utama mengapa orang

berjalan dalam counterfactual, yakni untuk menemukan alternatif atau

kemungkinan lebih baik dan sebagai pembelajaran menghindari kesalahan yang

sama di masa mendatang.

14 Byrne. 2005. The rational imagination: how people create alternatives to

reality. London: The Massachussetts Institute of Technology Press, hlm. 3.

15 Byrne. 2005. The rational imagination: how people create alternatives to reality. London: The Massachussetts Institute of Technology Press, hlm. 5-8.

16 Byrne. 2005. The rational imagination: how people create alternatives to reality. London: The Massachussetts Institute of Technology Press, hlm. 9.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 27: SIHIR SASTRA - repository.usd.ac.id

15

Teori ketiga yang digunakan ialah teori intertekstual (intertextuality) dari

Julia Kristeva.17 Teori intertekstual ini lebih ditujukan sebagai pendekatan untuk

literatur dan seni. Bagi Kristeva sebuah karya tidaklah dapat berdiri sendiri atau

muncul dengan sendirinya, melainkan sebagai hasil dari keterpengaruhan penulis

atau pujangga atas bacaan lain, teks, maupun penulis lain.18 Gagasan Kristeva

dapat dibaca sebagai penulisan ulang, repetisi, antar teks atau bacaan-bacaan.

Pendekatan itu hanya dapat dijangkau dengan menempatkan status kata sebagai

unit struktural minimal—di sini Kristeva mengutip kerja Bakhtin yang

menempatkan teks di dalam sejarah dan masyarakat—yang berkaitan dengan

sistem tanda dalam bahasa. Untuk dapat menginvestigasi status kata, pertama-

tama haruslah menetapkan tiga dimensi dalam ruang tekstual, yakni subjek

tulisan/penulisan (writing subject), orang yang dituju (addressee), dan teks luaran

(exterior text).

Hasil kerja Bakhtin lain yang diakui oleh Kristeva ialah adanya dialog dan

ambivalensi dalam teks atau bacaan. Dialog akan selalu melekat dalam bahasa dan

tentu saja hanya bisa diukur dalam kerangka linguistik, berkaitan dengan sistem

17 Pencetus Intertekstual memang Julia Kristeva yang merupakan hasil dari

pendalamannya atas karya Mikhail Bakhtin. Gagasan Kristeva tentang Intertekstual dapat ditemukan dalam karyanya berjudul Desire in Language: a Semiotic Approach to Literature and Art.

18 Pernyataan Kristeva (1941: 66), menukil gagasan Bakhtin, lengkapnya ialah: “Any text is constructed as a mosaic of quotations; any text is the absorption and transformation of another. The notion of intertextuality replaces that of intersubjectivity, and poetic language is read as at least double.” Terjemahan: “Setiap teks dibangun sebagai mosaik kutipan-kutipan; setiap teks merupakan penyerapan dan perubahan dari [teks] yang lain. Gagasan intertekstualitas menggantikan intersubjektivitas, dan bahasa puitis dibaca setidaknya dua kali lipat.”

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 28: SIHIR SASTRA - repository.usd.ac.id

16

tanda dan kata. Sementara itu Kristeva menyatakan ambivalensi sebagai

penempatan sejarah (atau masyarakat [society]) ke dalam sebuah teks dan dari

teks itu ke dalam sejarah.19 Baik dialog dan ambivalensi itulah yang

memungkinkan terlahirnya komunikasi antar-teks atau intertekstual itu sendiri.

Dengan begitu pemakaian teori intertekstual dalam penelitian ini dinilai sangat

berguna terutama untuk mengkaji teks-teks yang berusia lebih muda dan

kaitannya dengan teks-teks sebelumnya.

G. Metode Penelitian

Metode penelitian ini akan menggunakan metode penelitian sejarah.

Secara praktik, metode sejarah terbagi menjadi lima bagian: pemilihan tema,

heuristik, kritik sumber, interpretasi, dan historiografi. Pemilihan tema merupakan

tahap awal dari metode ini yang mendasarkan pada tema yang hendak diteliti.

Urutan selanjutnya, heuristik atau pengumpulan data merupakan tahapan yang

mengharuskan peneliti untuk mencari dan mengumpulkan data, informasi, atau

bukti yang dibutuhkan sebagai dasar atau dalil penelitian. Sumber yang dimaksud

atau dibutuhkan dalam penelitian ini ialah sumber primer dan sumber-sumber

terkait yang lain. Kritik sumber merupakan tahapan untuk mengkritisi dan

19 Julia Kristeva. 1941. Desire in Language: a Semiotic Approach to Literature and

Art. New York: Columbia University Press, hlm. 68-69. Lengkapnya Kristeva menulis: “The term ‘ambivalence’ implies the insertion of history (society) into a text and of this text into history; for the writer, they are one and the same. When he speaks of ‘two paths merging within the narrative,’ Bakhtin considers writing as a reading of the anterior literary corpus and the text as an absorption of and a reply to another text.” Terjemahan: “Terma ‘ambivalensi’ menyiratkan penyisipan sejarah (masyarakat) ke dalam sebuah teks dan dari teks ke dalam sejarah; untuk penulis, mereka itu satu dan sama. Ketika dia berbicara ‘dua jalur menyatu dalam narasi,’ Bakhtin menganggap menulis sebagai pembacaan korpus sastra dan teks sebagai sebuah penyerapan dan jawaban atas teks lain.” Gagasan intertekstual Kristeva menjelaskan penyerapan dan komunikasi antar-teks.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 29: SIHIR SASTRA - repository.usd.ac.id

17

menganalisis sumber atau informasi yang telah dikumpulkan. Tahapan ini

menuntut kejelian peneliti untuk melihat relevansi, kredibilitas, sampai benar atau

tidaknya sumber yang telah dikumpulkan. Tahapan interpretasi sangat erat

kaitannya dengan kritik sumber, tapi juga merupakan jembatan pengantar pada

tahapan selanjutnya. Interpretasi mendasarkan pada pemahaman dan analisis

peneliti berdasarkan bukti. Interpretasi juga sangat penting sebagai pembubuhan

makna dalam historiografi. Tahapan terakhir, historiografi atau penulisan

merupakan tahapan pengerjaan atau menuliskan interpretasi berdasarkan fakta

masa lampau.

H. Sistematika Penulisan

Bab I Pendahuluan, berisikan latar belakang, batasan masalah, rumusan masalah,

tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian,

serta sistematika penulisan.

Bab II Fondasi Narasi, berisikan ulasan mengenai narasi dalam Kidung

Panjiwijayakrama dan Pararaton sebagai fondasi narasi Rangga Lawe dalam

karya-karya yang lebih muda.

Bab III Transisi dalam Narasi yang Lain. Pada bab ini akan mengulas dua karya

sastra berbentuk kidung, Kidung Rangga Lawe dan Kidung Harsa-Wijaya.

Bab IV Sastra Jawa Baru: Narasi Belakangan Bab ini akan menganalisis dua

karya berbahasa Jawa Modern berjudul Serat Babad Tuban dan Langendriya

Pejahing Rangga Lawe.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 30: SIHIR SASTRA - repository.usd.ac.id

18

Bab V Penutup, berisikan simpulan penelitian, saran, dan kritik yang dianggap

bisa menyumbangkan informasi penting bagi studi sejarah berbasis historiografi

tradisional selanjutnya.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 31: SIHIR SASTRA - repository.usd.ac.id

19

BAB II

FONDASI NARASI

A. Pendahuluan

Dalam bab ini ada dua naskah yang akan dianalisis, yakni Kidung

Panjiwijayakrama atau Kidung Rangga Lawe dan Pararaton. Kedua naskah

tersebut dianggap sebagai naskah primitif atau paling awal yang memuat narasi

tentang tokoh Rangga Lawe. Pertimbangan itu tidak hanya didasarkan pada

kolofon penulisan naskah, tetapi juga berkaitan dengan pengaruhnya terhadap

narasi dalam naskah-naskah yang lebih muda.

Jika merujuk kepada kolofon awal penulisan, Kidung Panjiwijayakrama

merupakan naskah tertua yang memuat narasi tentang Rangga Lawe. Meski begitu

naskah kidung itu diselesaikan dan dirawat di Bali. Keberadaannya di Bali

hendaknya dimasukkan ke dalam usaha penyalinan teks. Sangat masuk akal jika

mempertimbangkan penyalinan teks terjadi berulang kali dengan mendasarkan

bahan naskah yang terbuat dari daun lontar dan usaha merawat memori kolektif.

Ada pun narasi dalam Kidung Panjiwijayakrama juga mempengaruhi

Pararaton. Pengaruh antar-teks itu didasarkan pada kolofon tertua Kidung

Panjiwijayakrama dan pengulangan narasi di Pararaton. Meski begitu dalam

beberapa bagian Pararaton memiliki perbedaan narasi dengan Kidung

Panjiwijayakrama. Perbedaan yang dimaksud berupa penceritaan latar belakang

Rangga Lawe dan periode pemberontakannya. Narasi dalam Pararaton itu juga

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 32: SIHIR SASTRA - repository.usd.ac.id

20

akan mempengaruhi narasi dalam naskah-naskah yang lebih muda yang akan

dijelaskan pada bab selanjutnya.

B. Genre Kidung dan Bahasa Jawa Kuna

Perkembangan kidung sebagai sebuah genre, atau sub-genre puisi Jawa,

dalam Sastra Jawa erat kaitannya dengan penggunaan Bahasa Jawa Kuna di

masyarakat Jawa saat itu. Dokumen tertua yang ditemukan dan menggunakan

bahasa tersebut hanya berupa salinan dari Prasasti Sukabumi yang ditulis pada

abad ke-9. Namun, mengatakan Bahasa Jawa Kuna baru dikenal dan digunakan

oleh masyarakat Jawa pada abad ke-9 agaknya kurang tepat, sebab bahasa tidak

mungkin muncul dalam kurun waktu satu malam. Sumber-sumber asing, berasal

dari para peziarah Cina, yang ditulis kira-kira pada abad ke-6 dapat memberikan

jawaban, yang sayangnya bersifat hipotetis, soal penggunaan bahasa Jawa Kuna di

kalangan masyarakat waktu itu.20 Dalam sumber asing, bahasa-bahasa yang

digunakan oleh pribumi saat itu disebut k’un lun.

Seperti halnya permasalahan yang dihadapi oleh ilmu humaniora pada

umumnya, kesulitan menentukan waktu penggunaan Bahasa Jawa Kuna memang

terletak pada ketiadaan atau kurangnya temuan sumber terkait. Penentuan waktu

penggunaan pun terkesan seperti spekulasi yang tidak dapat dibenarkan tanpa

adanya bukti konkret. Kurangnya temuan sumber dapat dijelaskan karena

20 Zoetmulder. 1983. Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang. Jakarta:

Penerbit Djambatan, hlm. 6-7.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 33: SIHIR SASTRA - repository.usd.ac.id

21

ketidakawetan sumber itu sendiri.21 Namun, dari spekulasi itu dapat diterangkan

hipotesis lain yang cukup masuk akal, yakni Bahasa Jawa Kuna telah berkembang

dan digunakan di luar keraton atau di kalangan masyarakat umum, entah dalam

bentuk tulis atau lisan, bahkan saat Sansekerta begitu mempengaruhi lingkungan

sosial, budaya, serta politik di Jawa.22

Dalam praktiknya, Bahasa Jawa Kuna, begitu juga dengan bahasa-bahasa

minor lain di Indonesia, tetap dipengaruhi oleh Sansekerta.23 Meski demikian

bukan berarti masyarakat Jawa saat itu pasif atau hanya “mencontek” (Sansekerta)

tanpa memiliki kemandirian dalam kreativitas bahasa. Kehadiran unsur bahasa

serapan dari Sansekerta itu justru memperkaya jumlah kosakata bahasa pribumi.24

Penyerapan kosakata Sansekerta dalam Bahasa Jawa Kuna mengalami banyak

21 Zoetmulder (1983: 5). Di situ Zoetmulder menjelaskan alasan kenapa inskripsi

itu sulit ditemukan. Secara lengkap Zoetmulder mengulas bahan tulis di Bab IV, sub-bab 1, dalam buku yang sama.

22 Zoetmulder (1983: 10). Dengan memberikan contoh di beberapa wilayah yang terkena pengaruh indianisasi dari Zoetmulder, dapat ditarik simpulan pula bahwa penggunaan Bahasa Jawa Kuna sebagai bahasa pribumi tetap lestari. Bahasa Sansekerta yang dipandang sebagai bahasa ilmu sastra digunakan di kalangan atas masyarakat, di istana, dipakai oleh kalangan agama, dan untuk urusan ritual keagamaan, sedangkan Bahasa Jawa Kuna digunakan oleh kalangan masyarakat biasa di luar kraton.

23 Gonda. 1952. Sanskrit In Indonesia. Nagpur (India): International Academy of Indian Culture, hlm. 33-36.

24 Gonda (1952: 115): “The linguistic result of the impact of India on the Hinduized provinces of Indonesia is therefore not a blend of Indian colloquial and some Indonesia idiom or other, but an Indonesian language enriched with a large admixture of Sanskrit and a much smaller number of younger Indo-Aryan vocables.”

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 34: SIHIR SASTRA - repository.usd.ac.id

22

perubahan dan atau perbedaan, terkait dengan dinamika dialektika dalam

praktik.25

Dalam perkembangannya, sastra kidung lebih banyak menggunakan

Bahasa Jawa Pertengahan dan lebih banyak berkembang, disalin, dan dipelihara

dengan baik di Bali.26 Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa kidung

berbentuk puisi dan pembacaannya dengan cara menyanyikan atau melagukan.

Berbeda dengan kakawin yang menggunakan metrum dari India, metrum kidung

asli Jawa yang dikenal dengan metrum tengahan dan itu secara prinsip sama

dengan metrum macapat dalam puisi Jawa Modern.27

Dalam bab ini salah satu kidung yang akan digunakan, atau dikaji, ialah

Kidung Panjiwijayakrama atau Kidung Rangga Lawe. Kidung itu memiliki dua

judul karena terkandung dua kisah berbeda yang saling bertautan. Kidung itu

dimasukkan ke dalam kidung historis. Meskipun merupakan kidung historis, tetap

saja analisisnya mengharuskan adanya perbandingan dengan sumber-sumber

25 Zoetmulder (1983: 13-16) menyebutkan adanya perubahan kosakata Sansekerta

yang diserap ke dalam Bahasa Jawa Kuna secara fonetik maupun semantik.

26 Zoetmulder (1983: 29; 33). Untuk melihat contoh kakawin dan kidung yang dikerjakan di Bali lihat Vickers (1982) “The writing of kakawin and kidung on Bali”, dalam Bijdragen tot de Taal-, Land en Volkenkunde, Deel 138, no. 4, hlm. 492-493.

27 Zoetmulder (1983: 142) menulis tiga ciri umum dalam metrum tengahan yang ada di sastra kidung, yakni jumlah baris, jumlah suku kata, dan sifat vokal dalam suku kata.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 35: SIHIR SASTRA - repository.usd.ac.id

23

sejarah lain, sebab secara bentuk dan isi dipenuhi dengan kreativitas pujangga

yang membuat adanya perubahan-perubahan dalam fakta historis.28

C. Kidung Rangga Lawe

Naskah Kidung Rangga Lawe yang digunakan dalam penelitian ini

merupakan naskah alih aksara dari koleksi Pustaka Artati, Perpustakan

Universitas Sanata Dharma. Seperti yang tertulis di kolofonnya, naskah itu selesai

disalin tahun 1783 Saka atau 1861 Masehi, tetapi di bagian awal tertulis

candrasengkalanya “rasa ta ya wasitan”. Bahasa yang digunakan ialah Jawa

Pertengahan. Namun, penanggalannya ada yang lebih tua, menunjuk angka Saka

1334.29 Narasi pemberontakan Rangga Lawe di Pararaton pun dianggap oleh ahli

diambil dari kidung ini.

Ada beberapa perbedaan kisah dalam Kidung Rangga Lawe dibanding

dengan naskah lain. Tidak seperti Pararaton yang hanya memberikan sedikit

bagian untuk kisah Rangga Lawe, Kidung Rangga Lawe mempunyai porsi yang

28 Dalam karyanya, Zoetmulder (1983: 513) menulis dengan jelas:

“Telaah ini tidak akan meneliti sejauh manakah kisah-kisah ini berakar dalam kenyataan sejarah. Demikian juga kami tidak dapat mengatakan, sejauh manakah pengarang merasa terikat oleh apa yang mereka anggap kebenaran historis dan sejauh mana mereka merasa bebas untuk mengubah kenyataan itu menurut kebutuhan literer. Kami tidak akan menyinggung persoalan, sejauh mana sastra kidung mungkin dapat dipakai sebagai sumber bagi sejarah politik. Yang menjadi tujuan kami dalam bab ini ialah sastra kidung sebagai karya sastra.”

Dengan begitu Zoetmulder telah menarik garis tegas antara fakta historis dengan counterfactual yang ada dalam sastra kidung (historis). Penyebutan counterfactual untuk menunjukkan adanya kreativitas pujangga dalam karya itu, bagaimana dia mengubah kenyataan hitoris.

29 I. Kuntara Wiryamartana. 2014. Sraddha-Jalan Mulia: Dunia Sunyi Jawa Kuna. Yogyakarta: Sanata Dharma University Press, hlm. 100.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 36: SIHIR SASTRA - repository.usd.ac.id

24

lebih banyak dalam pendeskripsian tokoh Rangga Lawe, seperti asal, latar

belakang, karakter, dan tindakan.

Kidung Rangga Lawe bersifat istanasentris, mengisahkan orang atau tokoh

dan peristiwa di kerajaan, dan rajasentris. Disebut rajasentris sebab mengisahkan

raja (Raden Wijaya atau Kertarajasa), meski juga menuliskan kisah Rangga Lawe

di dalamnya. Perihal itu merupakan salah satu pokok historiografi tradisional yang

berfungsi untuk menyanjung seorang raja, sifat dan kebijakan-kebijakan selama

masa pemerintahannya, sebagai keutamaan yang mencirikannya sebagai

penguasa.

1. Kemunculan dan Perangai Rangga Lawe

Ranga Lawe baru muncul dalam kidung setelah Raden Wijaya bermukim

di Hutan Tarik, pemberian Raja Jayakatwang. Kedatangan Rangga Lawe di Hutan

Tarik, atau yang telah bernama Majapahit, karena diutus oleh bapaknya, Arya

Wiraraja, untuk mengabdi kepada Raden Wijaya.30 Ia juga membawa pesan

bahwa bapaknya akan segera datang bersama pasukan Madura.31

Nama Rangga Lawe merupakan pemberian dari Raden Wijaya, setelah

utusan Arya Wiraraja itu tidak menjawab pertanyaan terkait namanya.32 Nama

30 Kidung Rangga Lawe, VI, 4, hlm. 42.

31 Kidung Rangga Lawe, VI, 5, hlm. 42.

32 Kidung Rangga Lawe, VI, 6, hlm. 42. “Mangkin garjita sang inaturan egar sang mantri Majapahit, rahadyan lingiramuwus, syapari aranira, sang saka lor anembah abhasa tan wruh, mesem sang sinembah lah yayi, si Wenang sun arani.” Terjemahan: “Semakin senang raden, yang diutus sebagai menteri di Majapahit. Raden bertanya, ‘siapa namamu?” [Ia=Rangga lawe] yang datang dari utara menyembah dan berkata, ‘tidak tahu.’ Tersenyum Raden, ‘saya memberimu nama si Wenang.’”

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 37: SIHIR SASTRA - repository.usd.ac.id

25

Wenang yang merujuk kepada kekuasaannya untuk membawahi atau memimpin

orang-orang Madura yang menetap di Majapahit merupakan sinonim dari kata

“lawe”, yang kemudian disematkan sebagai namanya.33 Selain penjelasan tentang

nama, pujangga Kidung Rangga Lawe juga menyebutkan bahwa Rangga Lawe

berkerabat dengan Ken Sora.34

Pada kemunculan perdananya dalam naskah, pujangga Kidung Rangga

Lawe sedikit membuka tabir karakter Rangga Lawe, yang kemudian akan

mengarahkan pada konteks narasi selanjutnya. Sementara itu, perlu disebutkan

bahwa Raden Wijaya terpikat dengan sikap atau sopan santun Rangga Lawe

semenjak pertama kali35 hingga berujung pada pemberian nama sebagai bukti

kepercayaan Raden Wijaya36 kepadanya. Kesan pertama yang ditimbulkan oleh

pujangga kepada karakter Rangga Lawe ialah pribadi yang memiliki tata krama.

Namun, ada kesan lain yang ditambahi oleh pujangga, yakni Rangga Lawe

sebagai pribadi dengan sifat terbuka atau tidak segan mengutarakan maksud hati.37

Sikap keterbukaan Rangga Lawe lama-lama diarahkan pujangga Kidung

Rangga Lawe sebagai sifat yang identik dengan orang desa dari Madura. Tidak

33 Kidung Rangga Lawe, VI, 7, hlm. 42.

34 Kidung Rangga Lawe, VI, 9, hlm. 43.

35 Lihat Kidung Rangga Lawe, VI, 1-4, hlm. 42.

36 Lihat catatan nomor 32..

37 Kidung Rangga Lawe, VI, 12, hlm. 43. Pada pesta penyambutan yang dipersembahkan untuk kedatangannya di Majapahit, Rangga Lawe dikisahkan tidak segan meminta izin untuk beristirahat [tidur] kepada para Menteri Majapahit yang secara usia lebih senior daripadanya.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 38: SIHIR SASTRA - repository.usd.ac.id

26

tanggung-tanggung, bahwa sikap Rangga Lawe kemudian lebih mengarah kepada

kekurangajaran, ceplas-ceplos, tapi sekaligus membuktikan keberaniannya.

Deskripsi sifat itu dapat dijumpai sewaktu pertemuannya dengan Pejabat Daha,

Segara Winotan, yang datang bertamu ke Majapahit atas perintah Raja

Jayakatwang. Kedatangan Winotan bersamaan dengan tibanya kapal, yang

berlabuh di Tuban, yang mengangkut kuda dan orang-orang dari Madura—semua

itu kiriman dari Arya Wiraraja. Winotan yang melihat kedatangan kuda dan

orang-orang Madura segera menanggapi.38 Rupa-rupanya, sikap dan tanggapan

Winotan itu tidak disukai oleh Rangga Lawe, lalu ia berkata dengan nada sengak

sekaligus menantang.39 Winotan yang mendengar ucapan Rangga Lawe terkejut,

betapa beraninya pejabat baru itu, lalu bertanya tentang siapakah ia.40 Sora

menjawab pertanyaan Winotan dan memohon untuk memakluminya.41

38 Kidung Rangga Lawe, VI, 17-20, hlm. 43-44.

39 Kidung Rangga Lawe, VI, 21-22, hlm. 44. “Anembah sira Winotan, de ning kuda kongang depuntingali, kapengin manira we uh, tangkepe pun Madhura, Rangga Lawe angling punapa pukulun, bhinnanipun tangkepe thani, lan ing Dahanagari. Pan pada ingateni bwat, aswasiksa widagdha sang tumitah, kongang aparang aparung, datang ing bhumi Daha punika ton-toni tandangipun besuk aseng-seng mutik, rengu-rengu ning liring.” Terjemahan: “Duduk si Winotan [dan] dilihatnya kuda itu dari bawah, ingin tahu bagaimana perbedaannya [sikap?] dengan Madura. Rangga Lawe berkata, “kenapa, tuan? [apa] bedanya orang dusun dengan orang dari Kota Daha? Sebab sama saja pengetahuannya, kecakapannya dalam berkuda, yang cocok untuk perang. [Lihat] dan tunggu saja [sewaktu] di Daha nanti.’ [Sungguh] muring dan sakit hati ia, jelas tampak pada pandangan matanya.”

40 Kidung Rangga Lawe, VI, 23, hlm. 44.

41Kidung Rangga Lawe, VI, 25-26, hlm. 44. “Kang tinakonan iki nang, -ken pukulun pun Lawe araneki paulun prenahipun, de manira saking Ma, -dhura-Kulon pradesanipun ring tunjung, wimudhadhusun os eng thani, tan wruh wit eng nagari. Nahury alon saha smita, singgih paman sampun de ning baribin, pan kasolondohan wuwus, sotan ing durung tama, awawanon mbenjing liwat ing acarub, mesem rahadyan endah po si, semunyanjaring weni.” Terjemahan: “Orang yang ditanyakan itu [masih] keponakan saya, Lawe namanya, asalnya dari Madura Barat, desa Tunjung, pemuda

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 39: SIHIR SASTRA - repository.usd.ac.id

27

Madura sebagai asal Rangga Lawe tidak hanya merujuk pada dikotomi

stigma tabiat antara orang desa dengan orang kota, melainkan juga sebagai

eksplanasi untuk tokoh itu dalam pendirian Majapahit. Setidaknya, Madura,

sebagai wilayah dan persona bagi suatu komunitas, memberikan motif pada

keberadaan dan perangai Rangga Lawe dalam narasi naskah, yakni kesetiaan pada

pengabdian, pemberani sekaligus pemberang, serta sifat keterbukaan. Pada

konteks yang lebih khusus, Madura juga menunjukkan hubungan antara Rangga

Lawe dengan Arya Wiraraja, peramu siasat yang kondang itu. Hubungan itu

kiranya akan memperteguh kreativitas pujangga untuk melanjutkan kisahnya

sekaligus memberikan motif bagi peran Rangga Lawe.

2. Peran Rangga Lawe dalam Kidung Rangga Lawe

Dalam pembahasan sebelumnya, telah dijelaskan tentang motif penamaan

Rangga Lawe yang berkaitan dengan kepercayaan Raden Wijaya kepadanya dan

kekuasaannya atas orang-orang Madura di Majapahit. Maka, dengan

menempatkan musabab penamaan Rangga Lawe, itu sekaligus mendeskripsikan

satu perannya menurut pujangga Kidung Rangga Lawe. Orang-orang Madura

yang bermukim di Majapahit bertugas membuka hutan, yang merupakan cikal

bakal dari ibukota kerajaan itu, dan sebagai prajurit yang nantinya akan ikut

membantu Raden Wijaya memerangi Daha serta Jayakatwang. Rangga Lawe

merupakan perwakilan keberadaan Wiraraja sebagai pemimpin pasukan Madura

di Majapahit.

dusun atau orang tani, tak tahu tatakrama di perkotaan. Menyahut pelan dibarengi dengan senyum, paman hendaknya jangan terganggu, maklumi saja, sebab [ia] belum berpengalaman melewati kekacauan. Raden tersenyum [dan senyumnya] tampak indah.”

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 40: SIHIR SASTRA - repository.usd.ac.id

28

Tibalah waktunya untuk narasi perang antara pasukan Raden Wijaya

dengan pasukan Daha yang dipimpin Jayakatwang. Siasat perang yang disusun

oleh Wiraraja juga melibatkan bantuan Tentara Tatar. Ia menipu Tentara Tatar

dengan iming-iming imbalan dua putri Kertanegara untuk Kaisar Mongol supaya

mampu mengajak mereka bergabung.42 Pasukan Raden Wijaya yang beraliansi

dengan pasukan Madura semakin kokoh dengan bantuan Tentara Tatar.

Penyerbuan ke kota Daha direncanakan dari segala penjuru.

Ketika serangan dilancarkan, para pejabat Daha terkejut.43 Mereka tidak

pernah mengira akan menerima serangan dari orang yang dipercaya oleh raja.

Namun, Raja Jayakatwang menanggapinya dengan tenang, seolah ia telah

mengetahui kedatangan malaikat maut dan kejatuhan singgasananya.44 Di luar,

terdengar suara keras, Tentara Tatar tiba bak gerombolan laron berterbangan tiada

henti; mereka datang dari laut dan hinggap di daratan Daha.45

Daha telah berubah menjadi gelanggang pertempuran. Gemuruh suara di

mana-mana, bermacam-macam jenisnya: teriakan orang, tembakan bedil, gesekan

antar parang dan keris, derap kuda, serta tetabuhan. Banyak orang mati dari tiap-

tiap pihak, tapi keunggulan ada di genggaman Raden Wijaya. Rangga Lawe

42 Kidung Rangga Lawe, VII, 3-4, hlm. 45.

43 Kidung Rangga Lawe, VII, 18-24, hlm. 46-47.

44 Kidung Rangga Lawe, VII, 25, hlm. 47. “Wusanaja di nawala apa kena, sakeng antakamami, nguny ana carita, sri Toh-Jaya sangsipta, lwir wuwudun munggw eng nabhi, iki puhara, wiruddhatemah pati.” Terjemahan: “’Akhirnya, pertanda [telah tiba] dari kematian[ku].’ Konon, ada cerita, sri Toh-Jaya berikhtisar, ‘rupa bisul berdiam di pusar, inilah penghabisan, perselisihan menjelma jadi pati.”

45 Kidung Rangga Lawe, VII, 26-28, hlm. 47.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 41: SIHIR SASTRA - repository.usd.ac.id

29

masuk di gelanggang dengan gagah berani. Ia dan kudanya, Anda-Wesi, telah

berkali-kali merenggut nyawa musuh.46 Pasukan dari Madura yang dipimpinnya

berhasil memporakporandakan lawan.47

Syahdan, tiba waktunya Rangga Lawe menghadapi Winotan, musuh yang

dijanjikan akan ia tunggu di peperangan. Keganasan Rangga Lawe dalam

berperang, konon, sangat ditakuti lawan, bahkan oleh Sagara Winotan sekalipun.48

Pertempuran antara Rangga Lawe dengan Winotan tidak terelakkan lagi.

Pertarungan itu berjalan sengit, hingga pada satu lompatan Rangga Lawe berhasil

menebas kepala Winotan.

“Malik sakata rangga Lawe amapag, mesem ken Winotan ling, atanding asrameng ena tengsun ladeni. Sang liningan tan sahur enggal kabangan, apet chidra apunding, -an kudamramaga, -ngadeg-adeg alumpat, kewran tangkis ning padati, jumog si rangga, Lawe nunggal ing giling. Aprang ing salw arok adadap churiga, -suwyatanding kawanin, tumul kawenang, Winotan wus tinigas, munggw eng salu ning padati, surak ghurnita, sirna mantring Kadiri.”49

46 Kidung Rangga Lawe, VII, 62, hlm. 51.

47 Kidung Rangga Lawe, VII, 63-66, hlm. 51.

48Kidung Rangga Lawe, VII, 67-68, hlm. 51. “Swara ning aprang lan tampuh ing sarwastra, tanpa kuran tang bedil, anging bisanira, Jagawastratanding prang, lwir ing indrajala kweh ing, lawan pinegat, rangga Lawyamerepi. Saking untat akweh tang lawan kawenang, kalud pun Anda-Wesi, gambhira angrunggah, anokot yaya singha, amangsa wong Daha wrin-wrin, mantri Winotan, kemengan denyajurit.” Terjemahan: “Suara perang dan pertempuran semua jenis senjata, tak terhitung jumlahnya bedil, tapi kecakapan Jagawastra dalam bertempur tampak dalam muslihat [sehingga] banyak musuh kocar-kacir [dihabisi] diserang oleh Rangga Lawe. Dari belakang banyak lawan yang terbunuh oleh Anda-Wesi, yang dengan seramnya berjingkrak-jingkrak, menggigit bagai singa, memangsa orang-orang Daha, semuanya ketakutan, Menteri Winotan tampak putus asa melihatnya.”

49 Kidung Rangga Lawe, VII, 69-71, hlm. 51-52.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 42: SIHIR SASTRA - repository.usd.ac.id

30

“Berbalik kereta kuda yang ditunggangi Rangga Lawe menyongsong ken Winotan yang menunggunya. Rangga Lawe tak menyahut karena sudah terlalu marah. Ia berusaha mencari celah dengan cara mengitari lawan. Kudanya berjingkrak-jingkrak dan melompat [hingga] sukar untuk mengelakinya. Dalam satu lompatan, Rangga Lawe turun, sendirian di kereta/gerobak. Pertempuran semakin seru, perisai dan keris saling bergesekan, lalu kepala Winotan terpenggal, [jatuh] di kursi kereta. Sorakan bergema riuh. Mati sudah Menteri Kadiri itu.”

Keunggulan semakin berada di pihak pasukan Majapahit. Banyak pejabat

tinggi Daha yang berhasil dikalahkan oleh pasukan maupun abdi setia Raden

Wijaya, termasuk Patih Mundarang yang mati di tangan Sora.50 Raja Jayakatwang

pun pada akhirnya berhasil disudutkan oleh Tentara Tatar dan ditawan51 di istana.

Melihat kemenangan sudah di depan mata, apalagi putri Kertanegara juga sudah

berhasil direbut, Arya Wiraraja menyarankan kepada Raden Wijaya untuk

mengungsikan putri terlebih dahulu ke Majapahit supaya tidak diambil oleh

Tentara Tatar.52 Kemudian, Sora dan Lawe menipu para prajurit Tatar untuk

menahan dulu penyerahan putri. Jika kondisi sudah membaik, barulah putri akan

diserahkan. Adapun persyaratan yang harus dipenuhi sewaktu mengambil putri

ialah dilarang membawa senjata, karena putri masih trauma dengan perang dan

sering pingsan jika melihat senjata.53 Maka, saat utusan Bangsa Tatar tiba di

Majapahit, tanpa perlengkapan senjata, Rangga Lawe dan Sora dapat

50 Kidung Rangga Lawe, VII, 109, hlm. 55.

51 Kidung Rangga Lawe, VII, 123, hlm. 57.

52 Kidung Rangga Lawe, VII, 114-117, hlm. 56.

53 Untuk detail kebohongan Sora dan Lawe, baca Kidung Rangga Lawe, VII. 126-132, hlm 57-58.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 43: SIHIR SASTRA - repository.usd.ac.id

31

mengalahkan mereka dengan mudah hingga akhirnya memutuskan untuk berlayar

pulang ke negara asal mereka.

“Tan wikan parakena yogya neng lampah, kweh apaksa kodali, -ra sang sri ning pura, katon wisti neng ulah, memeng mumungkur sang mantri, samangka sira, Lawe Sorametoni. Manggamuka wong Tatar tanpa lalaya, -tangkis karwa karo Kris, sira Lembu-Sora, -titingkah kaya sata, winulang pupune kalih, ri tur dekungnya, muregang punang keris. Saksana lumekas karo amrajaya, sira wong Tatar lagi, masenak anadah, kedekan kasulayah, pejah atusan akanin, sesa ning pejah, padamalakw inurip. Dadi katawan tumut tang stri karandan, tinut tekeng kikisik, bahitra inanang, kimita tang bharana, ingonjal eng Maja-Pahit, ikalahannya, siddha neng sandhi-sandhi.”54

“Karena tak melihat [jumlah Tentara Tatar?] dalam perjalanan itu, banyak yang terpaksa diusir, raja [Wijaya] yang berada di keraton terlihat gusar, segan mengambil tindakan begitu juga para Menteri, karena itu Lawe dan Sora keluar. [Mereka] mengamuk dan menghajar orang-orang Tatar tanpa ampun, berdua bersenjatakan keris, Lembu Sora bertingkah seperti ayam jago yang terikat kedua lututnya, dicabutnya kerisnya. Segera saja orang Tatar terdesak, siapapun yang berusaha melawan, diinjak hingga jatuh terjengkang, yang mati ratusan, [ada juga] terluka, sisanya yang tak mati, kabur cari selamat. [Hasilnya] tertawan para istri atau janda, diikuti hingga pesisir, bahtera yang rusak, dan juga perhiasan, [dirampas?] di Majapahit, sebagai bukti kekalahan, [yang diselesaikan] secara rahasia.”

Dengan terusirnya Tentara Tatar, kemenangan Majapahit lengkap sudah.

Diwartakan bahwa Jayakatwang mati di penjara. Abunya dilarung di sungai.55

Setelah kemenangan melawan Daha dan berhasil mengusir Tentara Tatar,

Wiraraja tidak lagi tinggal di Madura, melainkan meninggalkan jabatan

demungnya dan pindah ke Tuban. Ia juga mendapatkan gelarnya kembali: Arya

54 Kidung Rangga Lawe, VII, 138-141, hlm. 58.

55 Kidung Rangga Lawe, VII, 142, hlm. 58-59. Di situ, tempat pelarungan abu jenazah Jayakatwang ialah Sungai Suranadi, sungai para dewa, sebagai suatu analogi atau bukti pertautan keyakinan/agama dengan India, yakni Sungai Gangga.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 44: SIHIR SASTRA - repository.usd.ac.id

32

Adhikara.56 Lalu, Raden Wijaya dinobatkan menjadi raja Majapahit, pewaris sah

dari wangsa rajasa. Itulah akhir bagian pertama kidung ini.

3. Awal dan Sebab Pemberontakan

Awal bagian kedua Kidung Rangga Lawe berlatarkan beberapa tahun

setelah perang. Raden Wijaya atau Raja Kertarajasa mengangkat sahabat-

sahabatnya atau abdi yang membantunya memenangkan perang di berbagai

jabatan di kerajaannya. Hanya ada dua posisi terisi yang disebutkan di awal

bagian itu, yakni patih dan Menteri Mancanegara. Jabatan patih diberikan kepada

Nambi, sedangkan Menteri Mancanegara diisi oleh Lawe yang berkedudukan di

Tuban.57

Kala mendengar berita pengangkatan Nambi sebagai patih, Lawe marah.58

Menurutnya, dia dan Sora telah mempertaruhkan nyawa mereka berdua selama

perang serta pembangunan negeri, tapi justru raja menghadiahi pengorbanan

mereka dengan tidak setimpal. Dia merasa dikhianati oleh raja. Karena itu dia

memutuskan untuk pergi ke Majapahit guna mencari kejelasan.

Sesampainya di Majapahit, Lawe menanti waktu menghadap raja. Di

dalam keraton telah berkumpul para pejabat. Raja yang mendengar kedatangan

Lawe terkejut dan bertanya ada perlu apa Adipati Tuban itu sampai datang ke

56 Kidung Rangga Lawe, VII, 151, hlm. 59.

57 Kidung Rangga Lawe, Bagian II, 156-160, hlm. 53.

58 Kidung Rangga Lawe, Bagian II, 161, hlm. 53.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 45: SIHIR SASTRA - repository.usd.ac.id

33

Majapahit. Setelah diperkenankan menemui raja, segera saja Lawe berbuat ulah.

Dia menanyakan keputusan raja mengangkat Nambi sebagai patih.59 Jabatan patih

seharusnya diberikan, jika bukan kepada Sora, maka ia, satu-satunya, yang pantas

menyandangnya.60 Selain menuturkan ketidaksetujuannya terhadap pengangkatan

Nambi, dia juga mengingatkan kembali tentang jasa bapaknya, Wiraraja, dan

jasanya sendiri saat menghadapi lawan. Saat perang, hanya ia, bapaknya, dan Sora

yang berani melawan musuh, para pejabat lain tidak ada yang berani maju, atau

seperti kuda banci.61 Ekspresi pejabat keraton yang sebelumnya terdiam segera

berubah menjadi jengkel dan marah. Lagi, Lawe, seperti, memprovokasi Nambi,

mengingatkan tentang usahanya dan Sora memerangi kepungan Tentara Tatar,

saat Nambi maupun Menteri lain ketakutan.62 Kebo Anabrang tidak kuasa

menahan amarah. Kupingnya telah panas. Kebo Anabrang berdiri, menuding

Lawe, lalu menyeru, “jika kamu memang berani berontak, segeralah pulang dan

kumpulkan sanak atau prajuritmu.”63 Lawe yang mendengar ucapan Kebo

Anabrang lekas pergi meninggalkan balai tanpa pamit.64

Sepeninggal Lawe, raja gusar dengan protes abdinya itu. Dia tidak pernah

menduga bahwa keputusannya akan mengundang perlawanan. Sora berusaha

59 Kidung Rangga Lawe, VIII, 16-18, hlm. 64.

60 Kidung Rangga Lawe, VIII, 20-23, hlm. 64.

61 Kidung Rangga Lawe, VIII, 26-28, hlm. 65.

62 Kidung Rangga Lawe, VIII, 36-37, hlm. 66.

63 Kidung Rangga Lawe, VIII, 38, hlm. 66: “Lawe ko ya wani yan, ndaga pamulihagelis, atag wandhu, -wargantamukty agagaman.”

64 Kidung Rangga Lawe, VIII, 39, hlm. 66.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 46: SIHIR SASTRA - repository.usd.ac.id

34

menghibur majikannya dengan menunjukkan perilaku kurang ajar dari si Lawe.65

Menurutnya, laku Lawe sangat curang, penuh dusta, saat menceritakan jasanya

saat perang. Apalagi, tidak seorang pun dari pejabat tanda Menteri memprotes

keputusan raja, kecuali Lawe. Lalu, dia pun menyarankan supaya raja tidak acuh

pada permintaan Lawe.

Sementara itu, di luar keraton, kemarahan Lawe yang sudah mencapai

ubun-ubun dilampiaskan pada barang-barang di sekitarnya. Sifat kekanakannya

mengundang perhatian dan ketakutan orang-orang termasuk jadi omongan para

pejabat keraton.66 Karena tidak tahan melihat polah kemenakannya, Sora

bermaksud mendatangi Rangga Lawe dan menasehatinya, tapi malah dikejutkan

dengan permintaan kerabatnya itu.67 Sontak, Sora segera berubah; dia merasa

kasihan dengan keponakannya dan memintanya untuk mempertimbangkan

perbuatan atau rencana pemberontakannya sekali lagi.68 Namun, Lawe telah

menetapkan putusannya supaya tidak menyesal di kemudian hari.69 Keputusan

Rangga Lawe, yang didasari pada harga diri, untuk tetap memberontak tampak

seperti adat carok masyarakat Madura dewasa ini, meski tetap perlu ditelusuri

65 Kidung Rangga Lawe, VIII, 43-47, hlm. 67.

66 Kidung Rangga Lawe, IX, 1-16, hlm. 68-69.

67 Kidung Rangga Lawe, IX, 17, hlm. 69: “Pan tan marya derangrusak wawangunan, malah sirna aradin, dadi asmu kagyat, sapraptanira Sora, linesu khadgane angling, lah paman Sora, patenanengsun iki.” Terjemahan: “Karena tak juga berhenti merusak bangunan, malah rusak tak bersisa, [Lawe] terkejut dengan kedatangan Sora, lapar kerisnya lalu berkata, ‘Paman Sora, bunuh saya.’”

68 Kidung Rangga Lawe, IX, 18, hlm. 69.

69 Kidung Rangga Lawe, IX, 20 & 22, hlm. 69-70.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 47: SIHIR SASTRA - repository.usd.ac.id

35

bagaimana penyebaran atau kapan tepatnya tradisi berlaku. Sora jadi terharu

mendengar ucapan kemenakannya hingga tidak mampu berkata-kata lagi dan lupa

akan nasihatnya.70 Lawe memutuskan pulang ke Tuban, tetapi sebelumnya dia

mengirimkan pesan ancaman kepada orang-orang Wilatikta.71 Para abdi yang

mendengar ancaman Lawe menjadi takut dan segera menyampaikannya kepada

raja.

Sepulangnya di Tuban, para punggawa keraton Tuban yang telah

mendengar rencana pemberontakan Lawe segera menyetujui dan mendukung

keputusan tuan mereka, bahkan masyarakat di Tuban, dari berbagai kalangan, tua-

muda dan petani juga ikut mengangkat senjata.72 Kekuatan massa dari berbagai

kalangan itu menyulitkan pasukan Majapahit yang dipimpin oleh Nambi untuk

mengepung Tuban. Tampak, hasrat pribadi Rangga Lawe telah menjadi hasrat

kolektif—masyarakat Tuban.

4. Drama Keluarga

Pujangga Kidung Rangga Lawe juga memberikan porsi khusus untuk

narasi keluarga utama Rangga Lawe. Bagian itu bersifat intim yang merujuk pada

keintiman antara bapak dengan anak dan keintiman pasangan suami istri. Bagian

itu memang tidak mendapat banyak jatah tetapi cukup untuk menambah daya

dramatisasi kisah.

70 Kidung Rangga Lawe, IX, 24, hlm. 70.

71 Kidung Rangga Lawe, IX, 29, hlm. 70.

72 Kidung Rangga Lawe, IX, 32-36, hlm. 71.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 48: SIHIR SASTRA - repository.usd.ac.id

36

Yang pertama ialah bagian yang menampakkan keintiman orang tua

kepada anak, Arya Wiraraja atau Arya Adhikara kepada Rangga Lawe.

Dikisahkan bahwa Arya Wiraraja menyesali tindakan anaknya, Rangga Lawe, dan

berusaha untuk merayu anaknya untuk memikirkan kembali atau mengurungkan

rencana pemberontakannya.73 Arya Wiraraja menginginkan anaknya lebih

mengutamakan pengabdian kepada raja. Sementara di sisi lain, Rangga Lawe

enggan untuk menarik ucapannya. Dia berpegang pada sikap kesatria, memilih

mati daripada mengkhianati diri, harga diri ketimbang malu.

Keintiman kedua muncul saat Rangga Lawe hendak pamit pergi berperang

kepada kedua istrinya.74 Bagian ini menampakkan adegan mesra antara Rangga

Lawe dengan kedua istrinya. Bumbu ini tentu untuk menekankan unsur dramatis

dalam kisah, semacam dua hal yang berbeda tetapi saling melengkapi, kisah cinta

dengan kekerasan peperangan. Kisah kasih itu juga melengkapi awal kepergian

tokoh utama ke medan laga.

5. Berhadapan dengan Nambi

Pasukan Majapahit sudah bergerak untuk mengepung Tuban. Nambi ialah

pemimpinnya. Rangga Lawe segera mempersiapkan kekuatan untuk menahan

gelombang serangan itu. Dipanggilnya orang-orang kepercayaannya, seperti

Gagarang Tambak Wisti dan Gagarang Tambak Bhaya, untuk menyambut

Pasukan Majapahit di medan perang.

73 Lihat Kidung Rangga Lawe, IX, 37-45, hlm. 71-72.

74 Kidung Rangga Lawe, X. Satu bagian ini dikhususkan oleh Pujangga untuk mengisahkan keintiman keluarga Rangga Lawe.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 49: SIHIR SASTRA - repository.usd.ac.id

37

Peperangan berjalan sengit sedari awal. Ratusan mati di situ.75 Pasukan

Tuban terdesak oleh gempuran orang-orang Majapahit. Pejabat-pejabat penting

dari Tuban banyak yang gugur. Mundurnya para Prajurit Tuban disambut dengan

sorak dan olok-olok dari Pasukan Majapahit.76 Rangga Lawe mendengar olok-

olok itu sebagai tantangan atau tanda baginya untuk segera masuk ke

pertempuran.

Kedatangan Rangga Lawe dalam peperangan telah membalik keadaan.

Karenanya pula moral Prajurit Tuban semakin bersemangat menggempur lawan.

Peperangan antara Prajurit Tuban melawan Pasukan Majapahit sangat sengit.

Pujangga menuliskan beberapa nama pejabat-pejabat dari kedua pihak saling

berhadapan. Berbeda sebelum Rangga Lawe turun ke gelanggang, Pasukan Tuban

berhasil mendesak bala tentara Majapahit sampai Nambi harus mundur perlahan.

Lalu, datanglah pertempuran antara Rangga Lawe dengan Nambi. Rangga

Lawe mencegat Patih Majapahit itu lalu menantangnya dengan kalimat atau

ujaran yang sangat kasar.77 Panas telinga Nambi mendengar ucapan Lawe.

75 Kidung Rangga Lawe, XI, 22, hlm. 84: “Gingsir mengas sanjata eng Wila-

Tikta, tinut winahan wani, dadi katarajang, pareng tandang arampak, balanirapatih Nambi, rame ayuddha, atusan punang mati.” Terjemahan: “Mundur berpaling pasukan Wila-Tikta, mengumpulkan keberanian, untuk menerjang, serangan gabungan, pasukan Patih Nambi, ramai suara senjata, ratusan orang mati.”

76 Kidung Rangga Lawe, XI, 27, hlm. 84. Olok-olok inilah yang memprovokasi Rangga Lawe sehingga dia memutuskan untuk turun ke gelanggang.

77 Kidung Rangga Lawe, XI, 56-57, hlm. 87: “Amegati bala saksana apapag, lingira ky adhipati, Nambi ko prawira, bhayatutur po kita, uni pan sun samayeni, lah aja mithya, sasana neng prajurit. Siddha denta amangkua eng nagara, apaty eng Maja-Pahit, Lawe patyanana, mene mon tan matia, tendasmu aglar eng ksiti, dady ambal-ambal, dene wong Tuban eki.” Terjemahan: “Mencegat pasukan yang datang, berucap Ki Adhipati, Nambi kau gagah berani, takutkah kau dengan ucapan janjiku? Jangan kau khianati

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 50: SIHIR SASTRA - repository.usd.ac.id

38

Keduanya segera bertempur sengit; saling serang dan tangkis di atas kuda. Salah

satu pejabat Majapahit, Brahma Cikur, kena tusuk dan mati karena pertarungan

kedua tokoh itu. Posisi Nambi semakin terdesak dan mundur perlahan ke arah

Sungai Tambak Beras, lalu balik ke keraton.

6. Rangga Lawe Gugur

Kekalahan Nambi semakin membuat seisi keraton gusar. Perang itu telah

membuat banyak abdi berpangkat tinggi gugur.78 Itu kerugian besar bagi

Majapahit. Raja semakin gelisah dan segera mengutus beberapa abdinya untuk

mengumpulkan pasukan kembali. Keberadaan Nambi tidak diketahui.

Keesokannya, semua pejabat bertanda menteri yang telah dikumpulkan di

Wilwatikta segera menghadap kepada raja untuk meminta ijin berangkat ke

medan laga. Tidak diketahui apakah pasukan gelombang kedua ini lebih besar

daripada gelombang sebelumnya. Namun ada banyak nama-nama dari pejabat

bertanda menteri yang disebut pujangga bergabung dalam pasukan itu, bahkan

sang Raja pun turut dalam gelombang kedua itu. Salah dua pejabat tinggi dalam

pasukan ialah Sora dan Kebo Anabrang. Nambi tidak disebutkan. Pasukan

Majapahit dideskripsikan dengan penuh megah. Tidak hanya kuda dan pasukan

bersenjata, tetapi juga ada payung tanda jabatan dan tetabuhan.

ajaran tentara. Sudah menjabat di negara sebagai patih di Majapahit, Lawe [ini] bunuhlah, tapi jika tidak mati, kepalamu akan terhampar di tanah, jadi pijakan bagi orang Tuban ini.”

78 Kidung Rangga Lawe, XI, 79, hlm. 89.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 51: SIHIR SASTRA - repository.usd.ac.id

39

Sementara di pihak Tuban, Ki Tambak Bhaya menghadap kepada Rangga

Lawe dengan penuh kekhawatiran dan memberitahu bahwa Pasukan Majapahit

telah mengepung wilayah Tuban dari timur dan selatan.79 Yang memimpin

pasukan itu membawa tanda payung berwarna putih dan merah. Alih-alih gentar

mendengar laporan abdinya, sebab wilayah kekuasaannya telah terkepung dari

dua penjuru, Rangga Lawe justru gembira. Hadirnya para elit dari Majapahit itu

justru menjadi waktu yang tepat bagi Lawe, demikian dia berpikir, untuk

menunjukkan keperkasaannya di medan perang.80 Abdinya menjadi semangat

melihat ekspresi junjungannya itu. Rangga Lawe menyuruh abdinya untuk

mengumpulkan bala tentara dan segera mengaturnya sesuai dengan strateginya.

Sejak permulaan, perang berjalan begitu sengit. Banyak pejabat tanda

menteri dari Majapahit yang tewas dalam peperangan. Pasukan Tuban semakin

menggila setelah Adipati Rangga Lawe menjanjikan hadiah jika memenangkan

pertarungan itu.81 Sementara itu, Raja Majapahit semakin gundah gulana.

Kerugian di pihaknya sangat besar, belum lagi jika Rangga Lawe harus mati

juga.82 Sora yang melihat gelagat itu segera datang menghadap dan meminta ijin

ke Raja untuk menyongsong kedatangan Lawe. Setelah memperoleh ijin Raja,

Sora memanggil beberapa prajurit dan menyusun strategi untuk mengepung

Pasukan Tuban. Dia dan Kebo Anabrang akan ke arah timur, Gagak Sarkareki ke

79 Kidung Rangga Lawe, XI, 127-129, hlm. 94.

80 Kidung Rangga Lawe, XI, 131, hlm. 95.

81 Kidung Rangga Lawe, XI, 167-170, hlm. 98.

82 Kidung Rangga Lawe, XI, 173-176, hlm. 99.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 52: SIHIR SASTRA - repository.usd.ac.id

40

barat, sementara utara diserahkan kepada Ken Mayang Mekar.83 Raja melepas

kepergian mereka dengan beberapa wejangan dan doa.

Dengan turunnya prajurit-prajurit elit itu peperangan semakin sengit.

Lebih banyak elit yang mati karenanya.84 Di tengah pertempuran, di antara desing

bedil dan bunyi tetabuhan, terdengar teriakan yang menyuruh Lawe untuk pergi

ke arah timur.85 Meski pihak Majapahit telah menurunkan kekuatan utamanya,

dari para elit yang sudah disebutkan, Pasukan Tuban tidak berputus asa.

Dikisahkan oleh pujangga bahwa seorang prajurit Tuban bisa membunuh empat

sampai lima orang dari pasukan lawan dan menggambarkannya “kadya samudra

rah aparwa pati”.86

Akhirnya, Rangga Lawe bertemu dengan Kebo Anabrang. Pertempuran

mereka berdua sangat sengit. Mereka saling bertukar pukulan, tendangan, adu

keris dan tangkis di atas kuda. Mereka berkejaran. Karena terlalu capek dengan

pertarungan adegan kejar-kejaran itu, Kebo Anabrang memutuskan beristirahat di

pinggir sungai.87 Lawe mendekatinya diam-diam dan menyerang secara tiba-

83 Kidung Rangga Lawe, XI, 177, hlm. 99.

84 Kidung Rangga Lawe, XI, 183-189, hlm. 100.

85 Kidung Rangga Lawe, XI, 193, hlm. 101: “Rengw angucap prakasa ko Lawe teka, pamalayua po ki, -ta tan turah eng wwang, tuhu wetan in kebwa, satto pasu kang dumadi, tan wring kalingan, paksarung sasanaji.” Tidak dijelaskan atau disebutkan siapa orang yang berteriak itu, tetapi pada teks sebelumnya disebutkan bahwa Sora tengah mengamati area sekeliling di medan perang. Dengan indikasi itu, pujangga seperti hendak mengarahkan pembaca bahwa yang mengarahkan Lawe ke timur ialah Sora.

86 Kidung Rangga Lawe, XI, 207, hlm. 102, terjemahannya kira-kira “seperti lautan darah gunung kematian.”

87 Kidung Rangga Lawe, XI, 228, hlm. 104.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 53: SIHIR SASTRA - repository.usd.ac.id

41

tiba.88 Kuda Anabrang berhasil dibunuh oleh Lawe, jadi mau tidak mau dia harus

meladeni Adipati Tuban itu tanpa kendaraan. Pertarungan terjadi di darat dan air,

tetapi sewaktu di air Anabrang menyepakkan air ke arah Lawe hingga membuat

penglihatannya terganggu. Lawe semakin kewalahan bertarung di air dan secepat

kilat Anabrang menyerangnya serta membenamkannya ke dalam air.89 Serangan

itu membuat Lawe kekurangan udara dan akhirnya mati. Sora yang melihat

kematian keponakannya terlihat marah. Dia mendekati Kebo Anabrang sembari

membawa keris dan berkata ada lintah di tubuh bagian belakangnya.90 Kebo

Anabrang yang takut akan lintah berteriak kaget, berbalik, dan tertusuklah

dadanya oleh keris Sora.91

Di akhir perang ini raja bersedih. Peperangan telah banyak merenggut

nyawa para abdinya, termasuk si pemberontak, Rangga Lawe. Bagaimana pun

Rangga Lawe ialah orang kepercayaan Raja dan sedari awal pembangunan

Majapahit dia telah banyak membantu, khususnya soal memimpin orang Madura

di Hutan Tarik dan perang melawan Pasukan Tatar. Kematian Rangga Lawe telah

terdengar di wilayah Tuban dan membuat masyarakat bersedih. Jenazah Adipati

Tuban itu tetap berada di Tuban.

Bapak Rangga Lawe, Arya Adhikara atau Arya Wiraraja, datang

menghadap kepada raja. Begitu pula dengan kedua istri Rangga Lawe. Suasana

88 Kidung Rangga Lawe, XI, 229, hlm. 104.

89 Kidung Rangga Lawe, XI, 231-232, hlm. 104.

90 Kidung Rangga Lawe, XI, 233, hlm. 104.

91 Kidung Rangga Lawe, XI, 234, hlm. 104.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 54: SIHIR SASTRA - repository.usd.ac.id

42

semakin sedih. Si Arya Adhikara meminta kepada Raja untuk memaafkan

perbuatan anaknya dan sudi menerima pengabdian cucunya, anak Rangga Lawe,

Kuda Anjampani dan Raja menerimanya.92 Wiraraja juga mengingatkan Raja soal

janjinya dulu, sewaktu perang dengan Daha, yang akan memberi jatah tanah

kepadanya. Demikianlah akhirnya, dengan kematian Rangga Lawe perang

disudahi dan Raja kembali ke keraton.

D. Sekilas tentang Pararaton

Pesona Pararaton sebagai salah satu historiografi tradisional yang

berisikan informasi raja-raja wangsa Rajasa tetap akan terus dianggap berharga,

baik untuk penelitian sejarah maupun khalayak umum yang berkepentingan.

Wangsa Rajasa merupakan keluarga yang berkuasa di Kerajaan Singhasari dan

Majapahit. Penamaannya diambil dari gelar Ken Angrok sewaktu naik tahta,

yakni “Rajasa”. Benar, bahwa Pararaton termasuk dalam kategori historiografi

tradisional, tapi juga sekaligus karya sastra. Tidak boleh pula melupakan tujuan

para pujangga Jawa Kuno itu. Mereka memiliki tujuan yang lebih tinggi daripada

memuaskan rasa ingin tahu, yakni memperkokoh raja menjadi saka guru kerajaan

dan kesejahteraan rakyatnya.93

Sebagai naskah tradisional yang kontroversi, Pararaton berkali-kali diulas,

diterjemahkan, dan disadur oleh beberapa cendekiawan. Peneliti pertama yang

mengulas Pararaton, sekaligus penemu, ialah Brandes (1920). Karyanya, yang

92 Kidung Rangga Lawe, XII, 14, hlm. 107.

93 Vlekke. 2016. Nusantara: Sejarah Indonesia. Jakarta: KPG, hlm. 57.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 55: SIHIR SASTRA - repository.usd.ac.id

43

kemudian juga dibantu oleh Krom, berjudul Pararaton (Ken Arok) of het Boek der

Koningen van Tumapel en van Majapahit. Karya terkait Pararaton selanjutnya

ialah buah tangan Hardjowardojo (1965) berbentuk terjemahan bebas, tanpa teks

asli maupun alih aksara. Terakhir, karya Padmapuspita (1966) bertajuk

Pararaton: Teks Bahasa Kawi Terdjemahan Bahasa Indonesia.

Narasi tentang Rangga Lawe kali pertama dikenal oleh akademisi berasal

dari Pararaton, karya sastra yang penulisnya tidak diketahui (anonim), setidaknya

ketika karya ini ditemukan oleh peneliti kolonial dan dijadikan pijakan bagi

penelitian mereka. Pararaton ditulis pada masa akhir Majapahit94, diselesaikan di

Bali. Penyebutan Pararaton sebagai naskah yang menceritakan Rangga Lawe dan

pemberontakannya penting, dengan pertimbangan bahwa di naskah lain yang

ditulis oleh pujangga keraton, contoh Negarakretagama, sama sekali tidak

meninggali catatan apapun tentang Rangga Lawe. Adapun pemberontakan atau

penumpasan yang dikisahkan dalam Nagarakretagama ialah penumpasan Nambi

dan perebutan kembali Majapahit atas wilayah Lamajang (sekarang Lumajang).95

Atas dasar itulah, Pararaton tidak banyak diminati para peneliti96 dan ujung-

ujungnya lebih memilih informasi yang tersedia dalam Nagarakretagama.

94 Dalam kolofon Pararaton, alih aksara oleh Brandes dan ditulis ulang oleh Krom

(1920: 41), tertulis waktu selesainya penulisan: 1535 Saka atau 1613 Masehi. Namun, kolofon tertua Pararaton yang ditemukan tertulis tahun 1522 Saka atau 1600 Masehi (Muljana 1983: 31). Berbeda lagi dengan Purwadi (2007: 43) menyebutkan kolofon tertua Pararaton bertahun 1481.

95 Kakawin Nagarakertagama, terbitan Narasi (2016: P 48. 2, hlm. 158).

96 Nugroho. 2011. Meluruskan Sejarah Majapahit. Yogyakarta : Ragam Media, hlm. 17.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 56: SIHIR SASTRA - repository.usd.ac.id

44

Meski begitu, keberadaan Pararaton bagi sebagian kaum aristokrat di Bali

dianggap penting. Oleh bangsawan Bali, Pararaton difungsikan sebagai legitimasi

kedudukan atau status sosial mereka.97 Penuturan pujangga Pararaton terkait

dengan silsilah raja-raja dari masa Singasari sampai Majapahit banyak

memberikan informasi penting bagi kelompok-kelompok yang memiliki

kepentingan dalam sistem kekuasaan atau hirarki sosial di masyarakat Bali. Di

sinilah, Pararaton bertindak sebagai dokumen sejarah dan mendapatkan tempat

atau diakui oleh masyarakatnya.

Eksplanasi tentang perbedaan cara pandang, bahkan sampai status

pujangga, kiranya sangat penting guna menggambarkan subjektivitas pujangga

dalam pengisahan. Ambil contoh terkait penggambaran karakater Kertanegara,

yang telah disinggung oleh Berg dalam Penulisan Sejarah Jawa98, untuk

menunjukkan perbedaan ujaran. Menurut Berg, narasi yang tertulis (dalam

Pararaton dan naskah-naskah yang ditulis jauh setelah peristiwa itu)

membuktikan ketidaktahuan generasi pada masa itu terhadap nama dan hal positif

dari tokoh yang dimaksud, sehingga yang terjadi ialah para pujangga

merekonstruksi sejarah hanya dalam garis besarnya saja berdasarkan sebuah

97 Ras. 2014. Masyarakat dan Kesusastraan di Jawa. Jakarta: Yayasan Pustaka

Obor Indonesia, hlm. 229; 231.

98 Berg. 1974. Penulisan Sejarah Jawa. Jakarta: Bhratara, hlm. 28-29. Mencontohkan perbedaan tentang penggambaran Kertanegara oleh pujangga Pararaton dengan Prapanca dalam Negarakrtagama. Pujangga Pararaton secara terang-terangan mengisahkan perangai buruk Kertanegara yang berimbas pada kegagalan raja dalam memerintah, sedangkan Prapanca memberikan alasan tersendiri atas perihal itu. Bagi Prapanca, Kertanegara, sebagai raja sekaligus pertapa aliran demonis (sic!) di zaman Kali, memang harus berlaku seperti itu untuk menghadapi sekaligus mengatasi zaman dan keadaan yang gila serta kacau. Sebagai pertapa buddhis, Kertanegara mengembangkan sekti untuk menempatkan dirinya sebagai raksasa dan membinasakan musuhnya.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 57: SIHIR SASTRA - repository.usd.ac.id

45

model. Namun dapat dipastikan, Kertanegara merupakan seorang raja besar

karena semangatnya untuk memperluas wilayah kekuasaan dan ketakwaannya

terhadap ajaran agama.99

Sebagai karya yang ditulis jauh setelah kejadian, Pararaton sangat

bergantung pada kisah-kisah dalam karya yang lebih tua darinya. Sebagai contoh,

Muljana100 menunjukkan bahwa Nagarakretagama memberikan sumbangsih bagi

pujangga Pararaton dengan menunjukkan waktu penulisan dan narasi dari kedua

naskah itu. Tidak hanya Nagarakretagama, tentunya, pujangga Pararaton juga

mengambil kisah dari berbagai naskah tradisional lain, cerita lisan yang

berkembang di masyarakat waktu itu, dan ujaran prasasti. Begitu juga informasi

yang ada dalam Kidung Panjiwijayakrama. Namun, karena pujangga Pararaton

tidak mengalami peristiwa maupun tidak mengolah langsung sumber informasi

tersebut, ujaran Pararaton terdistorsi atau banyak mengandung kekeliruan

informasi.101

Tidak dapat dipungkiri bahwa historiografi tradisional merupakan karya

sastra yang sangat terikat dengan konvensi bahasa, konvensi sosio-budaya, dan

konvensi sastra, sebagaimana dituturkan oleh Teeuw dalam bab sebelumnya.

99 Coedes. 2010. Asia Tenggara Masa Hindu-Buddha. Jakarta: Penerbit KPG,

hlm. 273. Mengenai perspektif lain dari ekspansi Kertanegara terhadap wilayah di luar Jawa, sebagai usaha untuk menanggulangi serangan Mongol, lihat juga Hall. 1998. Sejarah Asia Tenggara. Surabaya: Penerbit Usaha Nasional, hlm. 73-76.

100 Muljana. 1983. Pemugaran Persada Sejarah Leluhur Majapahit. Jakarta: Inti Idayu Press, hlm. 21-26.

101 Muljana. 1983. Pemugaran Persada Sejarah Leluhur Majapahit. Jakarta: Inti Idayu Press, hlm. 26-29.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 58: SIHIR SASTRA - repository.usd.ac.id

46

Terkait tiga konvensi itu akan dijelaskan sebagai berikut. Untuk Konvensi Bahasa,

Pararaton menggunakan Bahasa Jawa Pertengahan. Mengenai Konvensi Sosio

Budaya, isi Pararaton sangat erat dengan sosio-budaya Jawa pada masa karya itu

dituliskan dan sedikit unsur tambahan, seperti aksara dan bahasa Bali. Terakhir,

Konvensi Sastra berkaitan dengan bentuk dan tema; Pararaton berbentuk prosa

sejarah dengan tema yang mengisahkan silsilah raja-raja Singasari dan Majapahit.

Melalui ketiga konvensi itu tidak hanya dapat membantu memahami karya,

melainkan juga sejauh mana kreasi pujangga, melalui persepsi dan imajinasinya,

dituangkan.

Inti narasi Pararaton terletak pada silsilah raja-raja Singasari sampai

Majapahit seperti tajuk yang tertulis, Pararaton atawa Katuturanira Ken

Angrok.102 Pendiri Wangsa Rajasa (Ken Angrok) diletakkan oleh pujangga

Pararaton sebagai kunci silsilah raja-raja dari garis wangsa itu dan memang

hampir seperempat bagian naskah menuturkan kisah Ken Angrok. Sifat Pararaton

ialah rajasentris, sehingga tidak banyak menyinggung kehidupan atau deskripsi

lingkungan sosial di dalam dan luar kraton, atau hanya berfokus pada genealogi

raja-raja. Kalau pun ada kisah, peristiwa, atau tokoh di luar raja-raja Singasari dan

Majapahit yang disebutkan, itu dimaksudkan sebagai pendukung narasi, selain

alasan menunjukkan peristiwa, zaman, serta prestasi raja yang disebut. Kaitannya

dengan Rangga Lawe pun sama, bahwa, sebagai peristiwa masa silam yang

102 Ken Angrok menjadi fokus utama narasi pujangga Pararaton. Sebagian besar

isi naskah memang menceritakan Ken Angrok, sebagai pendiri Wangsa Rajasa di Singasari—yang kemudian akan dilanjutkan oleh raja-raja Majapahit.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 59: SIHIR SASTRA - repository.usd.ac.id

47

sungguh terjadi, tokoh dan sepak terjang Rangga Lawe digunakan sebagai penguat

narasi utama pujangga Pararaton.

Pengisahan tentang Arya Wiraraja, sebagai pengkhianat dan pemberi

pertolongan kepada Raden Wijaya, muncul di Pararaton.103 Keberadaan dan

peran Arya Wiraraja dalam narasi historiografi tradisional Jawa, yang berkaitan

dengan pembabakan sejarah Majapahit, tampaknya dinilai penting oleh para

pujangga, termasuk Pararaton. Namun, persoalan keterlibatan Arya Wiraraja itu

tidak akan dibahas lebih jauh di bab ini dan tetap fokus pada narasi Rangga Lawe

dalam Pararaton. Alasannya ialah selain karena ujaran terkait hal itu sangat

singkat diterangkan di Pararaton, juga untuk memfokuskan pembahasan.

E. Narasi Rangga Lawe dalam Pararaton

Narasi Rangga Lawe merupakan uraian tambahan dari pujangga

Pararaton. Penamaan Rangga Lawe sendiri tidak muncul dalam sumber sejarah

pada masa Majapahit berbentuk prasasti. Namun, keberadaan tokoh Rangga Lawe

103 Dalam Pararaton dikisahkan bahwa atas saran para abdinya Raden Wijaya

pergi ke Madura untuk meminta bantuan kepada Arya Wiraraja. Lalu, dari sana, Arya Wiraraja menyarankan kepada Raden Wijaya untuk “berpura-pura” mengabdi kepada Jayakatwang. Bandingkan dengan pendapat Vlekke (2016: 62) yang menyatakan bahwa karena sangsi terhadap bantuan dari Arya Wiraraja, “Raden Wijaya memutuskan menyerah kepada Kediri” dan diterima baik oleh Jayakatwang. Terkait apakah mengabdi kepada Jayakatwang ialah usulan Arya Wiraraja atau keputusan pribadi Raden Wijaya, silakan bandingkan dengan temuan Muljana. 1976. A Story of Majapahit. Singapore: Singapore University Press, hlm. 35-37. Muljana membeberkan pengungsian Raden Wijaya dan pengikutnya dengan mendasarkan pada karya sastra seperti Pararaton, Kidung Panji Wijayakrama, dan Kidung Harsawijaya, serta Prasasti Kudadu.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 60: SIHIR SASTRA - repository.usd.ac.id

48

benar adanya dengan mendasarkan pada uraian sumber-sumber sejarah lain.104

Status pujangga Pararaton yang anonim menjelaskan otonomi pujangganya untuk

mengisahkan peristiwa sejarah lebih bebas dan terbuka dibandingkan dengan

pujangga-pujangga keraton.

Dalam Pararaton, Rangga Lawe dikisahkan sebagai salah satu abdi setia

Raden Wijaya. Latar belakang Rangga Lawe, seperti asal, orang tua, hingga

jabatan ketika masih mengabdi di Tumapel, sama sekali tidak dijelaskan. Ia

pertama kali dimunculkan dalam narasi sewaktu Raden Wijaya diminta untuk

menghalau bala tentara pasukan Daha yang dipimpin oleh Jayakatwang. Selain

Rangga Lawe, nama-nama abdi lain yang juga disebutkan oleh pujangga

Pararaton ialah Sora, Nambi, Pedang, Dangdi, dan Gajah Pagon.

Terma “abdi” dalam sub bab ini merujuk pada orang yang melayani.

Memang demikian adanya, Rangga Lawe dikisahkan senantiasa mengikuti Raden

Wijaya bersama abdi-abdi lain. Tidak hanya pada saat menghalau tentara Daha

yang menyerbu Tumapel, Rangga Lawe terus mengikuti Raden Wijaya saat

mengungsi ke Madura untuk meminta bantuan dari Arya Wiraraja. Penekanan

pada “pelayanan” dalam hal kesetiaan Rangga Lawe mengikuti tuannya terus

diujarkan pujangga Pararaton sampai kepada usaha Raden Wijaya untuk menarik

hati Jayakatwang.

104 Muljana (1983: 25) menyebutkan bahwa sosok sebenarnya di balik tokoh

Rangga Lawe dalam Pararaton ialah Aria Adhikara atau Arya Adikara, anak Arya Wiraraja, dengan berlandaskan pada Prasasti Kudadu dan Prasasti Penanggungan.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 61: SIHIR SASTRA - repository.usd.ac.id

49

Sementara itu, Pararaton mengisahkan pemberontakan Rangga Lawe

terjadi pada masa pemerintahan Jayanegara, putra Raden Wijaya atau Raja

Kertarajasa Jayawardhana.105 Angka tahun yang disodorkan oleh pujangga

Pararaton ialah 1217 Saka atau 1295 Masehi. Ulasan Pararaton soal waktu

pemberontakan Rangga Lawe, juga pemberontakan-pemberontakan setelahnya, di

masa pemerintahan Jayanegara disetujui oleh Krom. Secara jelas Krom (1956:

209) menulis, “Bukanlah tidak mungkin, bahwa mereka telah merasa

dikebelakangkan, oleh tuannya yang dahulu tetapi tidak berani atau tidak dapat

menentangnya dan sekarang di bawah penggantinya yang muda mereka lihat

kesempatan.”

F. Ulasan Kisah Rangga Lawe

Sub-bab ini berisikan ulasan kisah Rangga Lawe dalam Pararaton. Ulasan

akan dikategorikan berdasarkan kemunculan, peran, dan pemberontakan Rangga

Lawe. Dengan begitu, konteks ulasan ini hanya akan dibatasi pada kisah Rangga

Lawe dan mengabaikan kisah-kisah lain di luar konteks yang dimaksud.

Karena keterbatasan kemampuan, sumber atau naskah Pararaton yang

digunakan dalam penelitian ini merupakan naskah alih aksara dalam aksara latin.

Naskah pertama dirujuk dari alih aksara Brandes, ditulis ulang Krom, dalam

Pararaton (Ken Arok) of Het Boek der Koningen van Tumapel en van Majapahit

105 Lihat Krom. 1956. Zaman Hindu. Jakarta: PT Pembangunan Djakarta, hlm.

209. Krom sepakat dengan pujangga Pararaton soal waktu pemberontakan Rangga Lawe di masa pemerintahan Jayanegara. Krom memberikan catatan angka pemberontakan pada tahun 1309 Masehi. Bandingkan dengan interpretasi Hall (1998: 80) yang menengahi waktu peristwa dengan menyebutkan bahwa pemberontakan itu “mengganggu” atau terjadi pada masa pemerintahan Raja Kertarajasa sampai dengan masa pemerintahan Jayanegara.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 62: SIHIR SASTRA - repository.usd.ac.id

50

terbitan tahun 1920. Sebagai panduan narasi dan pembanding juga akan

menggunakan alih aksara serta terjemahan dari Padmapuspita, Pararaton: Teks

Bahasa Kawi Terdjemahan Bahasa Indonesia, terbitan tahun 1966. Meski

demikian, untuk penerjemahan tetap memakai terjemahan bebas dari penulis atau

peneliti sendiri.

1. Kemunculan dan Peran Rangga Lawe dalam Pendirian Majapahit

Tidak banyak informasi mengenai latar belakang dan asal-usul Rangga

Lawe dalam Pararaton, kecuali penjelasan bahwa ia merupakan salah satu abdi

setia Raden Wijaya. Kemunculan Rangga Lawe dikisahkan pujangga Pararaton

ketika Daha di bawah pemerintahan Jayakatwang menyerang Tumapel. Raden

Wijaya, yang diutus untuk menghadang bala tentara Daha, membawa serta para

abdi setianya, termasuk Rangga Lawe. Sedari awal, Rangga Lawe telah

dikisahkan memiliki peran penting untuk menghadapi musuh.

“Samangka Raden Wijaya tinuduh amaguta sanjata kang saka loring Tumapel ingiring denira arya dikara sira Banyak Kapuk, sira Rangga Lawe, sira Pedang, sira Sora, sira Dangdi, sira Gajah Pagon, anakira Wiraraja aran sira Nambi, sira Peteng, sira Wirot, sanjata abecikbecik, kang anangkis sanjata Daha bubuhan lor, sama amuk, rampak, kapalayu wong Daha kang metu saka lor, tinut binuru denira Raden Wijaya.”106

“Raden Wijaya diutus memerangi pasukan yang datang dari utara Tumapel dengan diiringi oleh Banyak Kapuk, Rangga Lawe, Pedang, Sora, Dangdi, Gajah Pagon, anak Wiraraja yang bernama Nambi, Peteng, Wirot, mereka semua adalah prajurit terbaik, melawan pasukan Daha di bagian utara, bersama-sama mengamuk, [hingga] orang-orang Daha itu kabur dari wilayah utara [dan] diburu oleh Raden Wijaya.”107

106 Brandes & Krom. (1920: 25); Padmapuspita (1966: 27).

107 Bandingkan dengan terjemahan Padmapuspita 1966: 71.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 63: SIHIR SASTRA - repository.usd.ac.id

51

Penyebutan nama-nama abdi itu berfungsi untuk memberi penekanan peran

penting mereka, selain keterangan bahwa mereka adalah abdi setia tokoh utama

sekaligus menduduki jabatan atau kedudukan penting di Tumapel.

Rangga Lawe termasuk salah satu abdi yang dikasihi Raden Wijaya.

Tampak, pujangga Pararaton berusaha menekankan perasaan Raden Wijaya itu

dalam narasinya ketika dia memberikan kain gringsing kepada abdi yang

dipercayainya.108 Namun, bala tentara Raden Wijaya kalah jumlah dengan

pasukan Daha sehingga tidak mampu berbuat apa-apa, bahkan untuk

menyelamatkan kekasihnya, putri Kertanegara, pun diurungkan. Oleh abdi-

abdinya, Raden Wijaya disarankan untuk mengungsi ke Madura dan meminta

bantuan kepada Arya Wiraraja109.

Kesetiaan Rangga Lawe untuk mengikuti pendiri Kerajaan Majapahit itu

terus berlanjut, tidak hanya sewaktu ke Madura110, tetapi sampai kembali ke Jawa,

atas saran dari Arya Wiraraja, saat berpura-pura mengabdi kepada Jayakatwang.

Sewaktu di Daha, lagi-lagi, pujangga Pararaton berusaha mendeskripsikan

keunggulan penganut Raden Wijaya atas pasukan Daha. Para abdi setia Raden

108 Brandes & Krom 1920: 26; Padmapuspita 1966: 28, terjemahan pada halaman

72. “Samangka Raden Wijaya adum lancingan giringsing ring kawulanira sawiji sowang, ayun sira angamuka. Kang dinuman sira Sora, sira Rangga Lawe, sira Pedang, sira Dangdi, sira Gajah.” Terjemahan bebas: “Raden Wijaya membagikan kain gringsing kepada para abdinya, tiap orang memperoleh satu, ia bertekad untuk menyerang. Yang memperolehnya ialah Sora, Rangga Lawe, Pedang, Dangdi, Gajah.”

109 Brandes & Krom (1920: 27); Padmapuspita (1966: 29).

110 Brandes & Krom, (1920: 28); Padmapuspita (1966: 30).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 64: SIHIR SASTRA - repository.usd.ac.id

52

Wijaya dikisahkan menang tanding, dalam sebuah laga persahabatan, melawan

pasukan Daha.

“Datengira ring Daha amenangi Galungan, wongira kinon asasaramaha saking dalem, henti gawoking sang mantri ring Daha tumon, rehing sama abecikbecik, kang pinakadi sira Sora, sira Rangga Lawe, sira Nambi, sira Pedang, sira Dangdi, sama malayu ring pasasaramaning Manguntur ing Daha. Gumanti mantri ring Daha malayu, kang pinakadi prajurit aran sira Panglet, lawan sira Mahisa rubuh, sira patih Kebo Mundarang, katelu pada kasoran palayunipun denira Rangga Lawe lawan sira Sora … wekasan sira Sora anuju ring sira patih Kebo Mundarang, sira Rangga Lawe anuju ring sira Panglet, sira Nambi anuju ring sira Mahisa Rubuh, wekasan kapalayu sang mantri Daha dening wongira Raden Wijaya, tan hananing apulih, anuli awusan.”111

“Setibanya di Daha, bertepatan dengan hari raya Galungan, pengikutnya [Raden Wijaya] diminta raja untuk ikut dalam pertandingan, para pejabat Daha semuanya heran, tahu bahwa mereka semua sangat cakap, [yang diutus] ialah Sora, Rangga Lawe, Nambi, Pedang, Dangdi, [mereka] berlari serempak ke tempat pertandingan di alun-alun Daha. Gantian para Menteri Daha berlari, di antaranya ialah prajurit bernama Panglet, Mahisa Rubuh, Patih Kebo Mundarang, ketiganya kalah cepat larinya dibanding Rangga Lawe dan Sora. … segera Sora mengarah ke Patih Kebo Mundarang, Rangga Lawe menghadapi Panglet, Nambi menuju Mahisa Rubuh, kabur Menteri-Menteri Daha itu melawan pengikut Raden Wijaya, tak ada yang mengejar kembali, lalu akhirnya selesai.”112

Ketika berperang melawan pasukan Daha, Rangga Lawe memiliki andil

besar. Pasukan Raden Wijaya waktu itu disokong oleh bantuan dari bala tentara

Madura yang diutus oleh Arya Wiraraja dan Tentara Mongol. Dalam perang itu

Rangga Lawe berhasil membunuh Kebo Mundarang, pejabat tinggi Kerajaan

Daha.

“Sira Panglet mati denira Sora, sira Kebo Rubuh mati denira Nambi, sira Kebo Mundarang apagut lawan sira Rangga Lawe, kapalayu sira Kebo

111 Brandes & Krom, (1920: 29); Padmapuspita (1966: 31-32).

112 Bandingkan dengan terjemahan Padmapuspita (1966: 76).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 65: SIHIR SASTRA - repository.usd.ac.id

53

Mundarang, katututan ing lurah Trinipanti, mati denira Ranga Lawe. Angucap sira Kebo Mundarang ring sira Rangga Lawe: “Ki Rangga Lawe, hana anakingsun wadon, den-alapa dene ki Sora, ganjarane wani.”113

“Panglet mati oleh Sora, Kebo Rubuh mati oleh Nambi, Kebo Mundarang berhadapan dengan Rangga Lawe, kabur si Kebo Mundarang, [tetapi] berhasil terkejar di lembah Trinipanti, [akhirnya berhasil] dibunuh oleh Rangga Lawe. Berucap Kebo Mundarang kepada Rangga Lawe: “Rangga Lawe, ada saya punya anak perempuan, persembahkanlah [ia] untuk Sora, sebagai hadiah [bukti] atas keberaniannya.”114

Menarik untuk melihat penggambaran pujangga Pararaton terhadap karakter

tokoh Kebo Mundarang, Patih Daha. Oleh pujangga Pararaton Kebo Mundarang

digambarkan sebagai orang yang menjunjung integritas, berani menerima

kekalahannya dan mengakui keunggulan lawan, dengan cara mempersembahkan

anak perempuannya.

Kembali ke tokoh Rangga Lawe. Setelah mengalahkan Jayakatwang,

persoalan yang dihadapi aliansi Raden Wijaya dengan Arya Wiraraja belum usai.

Mereka masih harus menghadapi tentara Mongol yang menagih janji Raden

Wijaya atas putri Kertanegara. Rangga Lawe berjasa besar memukul mundur

tentara Mongol, yang telah ditipu untuk secara sukarela menanggalkan semua

senjatanya saat hendak mengambil putri Kertanegara yang dijanjikan.

“Sira Rangga Lawe angamuki kang ing jabaning panangkilan, tinut tekeng dunungane malayu maring sohaning Canggu, tinut pinaten.”115

113 Brandes & Krom (1920: 30); Padmapuspita (1966: 33).

114 Bandingkan dengan terjemahan Padmapuspita (1966: 77).

115 Brandes & Krom (1920: 31); Padmapuspita (1966: 34).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 66: SIHIR SASTRA - repository.usd.ac.id

54

“Rangga Lawe menyasar [orang-orang] yang berada di luar balai, dikejarnya mereka ke mana pun mereka kabur sampai ke Canggu, [lalu] dibunuh.”116

2. Pemberontakan Rangga Lawe

Pujangga Pararaton menyebutkan motivasi pemberontakan Rangga Lawe

sebagai konsekuensi dari diurungkannya pengangkatan Rangga Lawe menempati

posisi Patih. Keputusan raja yang bertolak belakang dengan hasrat pribadi itu

memantik ketidakpuasan Rangga Lawe dan mendorongnya untuk melakukan

protes (atau pemberontakan) dengan cara membujuk orang-orang Tuban, wilayah

kekuasaan yang diberikan kepadanya.117 Orang-orang yang bergabung dalam

pemberontakan Rangga Lawe ialah Panji Marajaya, Ra Jaran Waha, Ra Arya

Siddhi, Ra Lintang, Ra Tosan, Ra Galatik, dan Ra Tati.118 Pemberontakan Rangga

Lawe ditandai oleh pujangga Pararaton dengan sengkalan kuda-bhumi-

paksaning-wong atau 1217 Saka (1295 Masehi).

Pemberontakan Rangga Lawe dalam Pararaton terjadi pada masa

pemerintahan Jayanegara. Tampaknya, hal itu didasarkan pada pengangkatan

Jayanegara sebagai putra mahkota bertempatkan di Kahuripan oleh Raden Wijaya

yang telah mengambil gelar Kertarajasa. Informasi penting lain terkait dengan

pemberontakan Rangga Lawe dalam Pararaton ialah munculnya tokoh Mahapati.

116 Bandingkan dengan terjemahan Padmapuspita (1966: 79).

117 Brandes & Krom (1920: 32); Padmapuspita (1966: 34), terjemahan pada hlm. 79. “Sira Rangga Lawe arep adegakena patih wurung, margane andaga maring Tuban sira Rangga Lawe tur ngapusi rorowang.” Terjemahan bebas:“Rangga Lawe hendak dijadikan patih (tapi) urung, oleh sebab itulah Rangga Lawe memberontak di Tuban (dengan cara) membujuk orang-orang (Tuban).”

118 Brandes & Krom (1920: 32); Padmapuspita, (1966: 34-35).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 67: SIHIR SASTRA - repository.usd.ac.id

55

Tokoh itu digambarkan sebagai pengadu domba antara Rangga Lawe dengan Raja

Jayanegara.119

G. Simpulan

Untuk memudahkan penjelasan sekaligus menegaskan perbedaan narasi kedua naskah simpulan akan dibagi menjadi dua bagian sebagai berikut.

1. Kidung Rangga Lawe

Kidung Rangga Lawe bisa dikatakan memberikan informasi lebih banyak

soal sosok dan sepak terjang Rangga Lawe dibanding karya sastra lain yang

memuat peristiwa bersejarah di masa Kerajaan Majapahit. Sederhananya bahwa

kisah Rangga Lawe menjadi salah satu fokus Pujangga Kidung Rangga Lawe,

selain sosok Raden Wijaya atau Kertarajasa—sebab fungsi karya sastra tradisional

ialah untuk menyanjung raja.120 Meski pujangga tidak menyebut nama asli tokoh,

tetapi disinggung soal latar belakang dan motif penamaan tokoh Rangga Lawe.

Dari situ dapatlah diperoleh perihal lain yang hendak ditonjolkan pujangga dan

yang akan mempengaruhi narasi dalam karya-karya yang ditulis pada masa yang

lebih muda.

119 Dalam Kidung Sorandaka nama Mahapati kembali muncul. Lagi-lagi,

Mahapati ditempatkan sebagai pengadu domba dan tukang fitnah. Jika menyandingkan Pararaton dan Kidung Sorandaka, timbul suatu kesan bahwa kedua naskah itu merupakan jalinan kisah yang saling terkait. Perihal itu, penempatan Mahapati dalam plot konflik dalam Kidung Sorandaka, karena memang Pararaton menjadi sumber untuk narasi dalam kidung itu. Ambisi Mahapati yang menginginkan posisi Patih Majapahit menjadi motivasi baginya untuk melakukan segala cara, sekalipun cara terburuk.

120 Ini juga terkait dengan nama lain dari Kidung Rangga Lawe yang dikenal dengan judul Kidung Pandji Wijayakrama.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 68: SIHIR SASTRA - repository.usd.ac.id

56

Penggunaan karya sastra dari pujangga sebelumnya atau penceritaan

kembali dalam ilmu Sastra dikenal sebagai intertekstual (intertextuality).121

Fenomena itu jamak ditemukan dalam karya sastra dan seni. Para pujangga akan

menggunakan, sehingga memiliki kaitan atau hubungan dengan, teks atau kisah-

kisah dari pujangga yang lain atau sebelumnya sebagai bahan dalam karyanya,

tetapi dengan gubahan dan kreativitas baru. Penggunaan di sini bisa berwujud

dalam frasa, kalimat, atau bahkan teks. Intertekstual memungkinkan adanya

dialektika dan pembaharuan wacana. Intertekstual dilakukan dengan sengaja,

meski beberapa kasus ada juga yang tidak sengaja, tanpa harus menyebutkan

pujangga atau teks yang digunakan seperti dalam penulisan formal atau karya

akademis.122 Inilah yang kemudian menyebabkan praktik intertekstual

disalahpahami dan disamakan dengan plagiarisme. Dalam Kidung Rangga Lawe

pun ada beberapa contoh intertekstual. Misalnya, cerita Rangga Lawe yang

menemui dan bermesraan dengan kedua istrinya sebelum berangkat perang.

Contoh itu ditangkap oleh akademisi Indonesia seperti Slamet Muljana.123

121 Terma ini digunakan pertama kali oleh Julia Kristeva yang terpengaruh oleh

semiotika Saussure dan Bakhtin. Pandangannya itu dituliskan dalam Desire in Language: a Semiotic Approach to Literature and Art. Penggunaan pertama kali ada pada esainya berjudul “The Bounded Text” (1941: 37), sementara penjelasan mengenai intertekstual ada dalam esainya berjudul “Word, Dialogue, and Novel”.

122 Mengenai perbedaan antara intertekstual dan plagiarisme, Roz Ivanic menjelaskannya dengan baik dalam karyanya berjudul Writing and Identity: the Discoursal Construction of Identity in Academic Writing, khususnya pada Chapter IV dan Chapter VII.

123 Muljana. 2012. Menuju Puncak Kemegahan: Sejarah Kerajaan Majapahit. Yogyakarta: LKiS, hlm. 213. Muljana menyebut bagian Rangga Lawe menemui kedua istrinya sebelum berangkat ke medan perang sama dengan bagian kisah Baratayuda, yakni ketika Prabu Salya menemui Permaisuri Satyawati.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 69: SIHIR SASTRA - repository.usd.ac.id

57

Kembali kepada tokoh Rangga Lawe. Dalam Kidung Rangga Lawe,

seperti telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya, bahwa Rangga Lawe ialah

anak Arya Wiraraja, Demung di Madura pada masa pemerintahan Krtanegara.

Latar belakang Rangga Lawe sebagai anak Wiraraja juga menguatkan posisinya,

terutama sebagai pemimpin orang Madura di awal pembangunan Majapahit.

Tentu itu merupakan alasan yang dibuat dan digunakan pujangga untuk

menunjukkan betapa pentingnya dan peran Rangga Lawe, selain perihal lain yakni

peran dan pertolongan Arya Wiraraja, bapak Rangga Lawe, kepada Raden Wijaya

saat dalam pelarian.

Meskipun karya ini dipenuhi kreativitas pujangga, yang sayangnya sangat

sulit untuk memastikan kebenaran historisnya, tetap ada beberapa peristiwa

sejarah yang dapat diverifikasi kebenarannya dengan sumber sejarah lain.

Misalnya pada kedatangan pasukan Tartar di Pulau Jawa. Peristiwa itu disebutkan

dalam laporan perjalanan pasukan Tartar.124 Tokoh-tokoh yang disebutkan dalam

laporan itu ialah Tuhan Pidjaya atau Raden Wijaya dan Hadji Katang atau

Jayakatwang. Dari sumber itu bisa diketahui bahwa kedatangan pasukan Tartar

dan peperangan antara Pengikut Raden Wijaya dengan Pasukan Jayakatwang

benar adanya. Peristiwa sejarah itu dikutip atau dikisahkan kembali oleh Pujangga

124 Lihat Groeneveldt. 1960. Historical Notes on Indonesia and Malaya Compiled

from Chinese Sources. Jakarta: Bhratara, hlm 20-34. Disebutkan ada tiga pejabat tinggi yang diutus Kubilai Khan dalam ekspedisi itu: Shih-pi, Ike Mese, dan Kau Hsing. Pasukan ekspedisi berangkat dari daratan Tiongkok tahun 1929. Tujuan ekspedisi itu ialah untuk menghukum Kertanegara. Artinya, mereka tidak mengetahui telah terjadi peralihan kekuasaan di Pulau Jawa.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 70: SIHIR SASTRA - repository.usd.ac.id

58

Kidung Rangga Lawe, begitu pula dengan karya sastra lain, termasuk Harsa-

Wijaya.

Sementara itu, tokoh-tokoh seperti Arya Wiraraja, Sora, dan para pengikut

lain tidak disebut dalam laporan itu. Alasannya bisa saja karena utusan dari

Tiongkok tidak memiliki kepentingan atau tidak bertemu dengan tokoh-tokoh itu

sehingga tidak menuliskannya di laporan mereka. Catatan sejarah dari Tiongkok

itu pun lebih berbentuk sebuah laporan dari satuan militer kerajaan.

Dari komparasi itu penyebutan tokoh-tokoh dalam Kidung Rangga Lawe

memiliki maksud yang berkenaan dengan tujuan pujangga dalam proses penulisan

kreatifnya. Penyebutan itu dimaksudkan untuk memperkuat plot, narasi, dan

tujuan-tujuan yang lain, baik itu bersifat politis atau tidak, dalam naskah. Benar

tidaknya itu semua ialah soal lain. Sekali lagi karena kidung ini ialah karya sastra

yang menyuplik peristiwa atau berlatar belakang sejarah.

Sebenarnya, penghilangan informasi, peristiwa, dan tokoh dalam sumber

sejarah tradisional jamak ditemui. Misalnya, Prasasti Kudadu tidak menyebutkan

kedatangan Pasukan Tartar atau Mongol dalam peperangan pasukan Raden

Wijaya melawan Jayakatwang.125 Penghilangan itu memiliki alasan atau tujuan

politis, juga sosial-budaya waktu itu.

125 Baca artikel “Tak Ada Mongol dalam Prasasti” di Historia.id edisi 16 Februari

2018. Beberapa sejarawan beranggapan kosongnya kehadiran pasukan Mongol dalam Prasasti Kudadu karena tidak ada faedahnya untuk menyebutkan itu dalam artifak resmi kerajaan. Alasan lain ialah soal persepsi masyarakat Jawa kala itu yang memandang pasukan Mongol sebagai orang luar dari komunitas mereka. Menyebutkan keberadaan dan peran pasukan Mongol hanya akan menujukkan aib dan kelicikan Raden Wijaya.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 71: SIHIR SASTRA - repository.usd.ac.id

59

Terkait latar belakang sejarah dalam karya sastra Jawa Kuna (atau Kawi)

sebenarnya telah lama disebutkan oleh Zoetmulder.126 Menurut Zoetmulder karya-

karya kekawian itu mengandung informasi-informasi sejarah yang disusun secara

khusus dan ditulis secara berbeda dari historiografi barat sejak Tuchydides serta

hanya orang-orang yang hidup di zamannya yang mengetahui secara mendalam

maksud sesungguhnya. Oleh sebab kekhususan penciptaannya itu pula

Zoetmulder telah mengingatkan untuk menganalisis sumber itu dengan kehati-

hatian. Meski demikian Zoetmulder juga menyatakan bahwa karya-karya sastra

itu dapat digunakan sebagai referensi untuk menghubungkan keterangan-

keterangan sejarah yang diperoleh dari sumber lain.

Lalu bagaimana dengan unsur atau perihal masa lampau yang disesali,

berkaitan dengan teori imajinasi Byrne? Apakah juga ada dalam Kidung Rangga

Lawe? Jawabnya, ada. Bahkan indikasinya bisa ditemukan langsung dalam teks.

Narasi soal status, latar belakang, pencapaian-pencapaian Rangga Lawe,

dan juga narasi soal Arya Wiraraja merupakan motivasi penyebab yang dibangun

pujangga untuk menjelaskan peristiwa selanjutnya. Maksudnya ialah bahwa

dengan menyebutkan status Rangga Lawe sebagai anak Wiraraja, pencapaiannya

sebagai pemimpin orang Madura dan pencapaian-pencapaian di perang

menguatkan gugatan Rangga Lawe untuk menuntut Raden Wijaya menjadikannya

sebagai Patih Majapahit.

126 Zoetmulder. Kawi dan Kekawian. Yogyakarta: Jajasan Fonds Universitit

Negeri Gadjah Mada, hlm. 5 & 14.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 72: SIHIR SASTRA - repository.usd.ac.id

60

Penyesalan yang terjadi pada masa lampau tampak pertama kali pada

bagian ketika Rangga Lawe datang ke keraton dan menggugat keputusan raja serta

menyebabkan hati raja galau, begitu juga dengan Sora. Arya Wiraraja pun

menampakkan ekspresi penyesalan ketika anaknya memutuskan memberontak.

Bahkan ketika raja harus berangkat sendiri ke medan perang dengan para

pengikutnya, setelah kekalahan Nambi, hatinya pun gusar. Kegusaran hati raja

tidak hanya karena perang melawan Rangga Lawe telah banyak memakan korban

jiwa dari para pengikut setianya, melainkan juga sebenarnya dia tidak mau

berhadapan dengan Rangga Lawe. Namun, apalah daya posisinya sebagai raja

mengharuskannya untuk menghadapi anak buahnya itu.127 Raja juga bersedih

ketika Rangga Lawe gugur karena bagaimana pun Lawe merupakan tokoh penting

yang ikut berkontribusi dalam pendirian Majapahit. Jadi, rumus yang muncul: jika

Rangga Lawe tidak memberontak dia tidak akan mati dan Majapahit tidak akan

kehilangan banyak pejabat penting.

Namun, narasi dalam Kidung Rangga Lawe justru menguatkan adanya

konflik internal dalam Kerajaan Majapahit, sama dengan narasi dalam Pararaton.

Adalah Arya Wiraraja dengan dendamnya kepada Kertanegara yang telah

melengserkan jabatannya menjadi demung di pedesaan Madura merupakan tokoh

pertama yang patut disinggung. Tokoh kedua tentu saja ialah Rangga Lawe yang

127 Lihat Gonda. 1969. Ancient Indian Kingship from the Religious Point of View.

Leiden: E.J. Brill. Gonda menemukan konsep “pati” dan “bhumipati” yang berkaitan erat dengan keberadaan raja dalam kebudayaan dan kepercayaan India. Raja ialah pelindung dan perwakilan dewa yang dikirim ke bumi. Sebagai pelindung, raja juga diharuskan untuk meluluhlantakkan segala macam keberadaan yang mengganggu wilayahnya. Kekerasan yang dilakukan raja dimaksudkan sebagai upaya melindungi.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 73: SIHIR SASTRA - repository.usd.ac.id

61

mendasarkan aksinya pada hasrat pada kekuasaan atau jabatan tinggi di kerajaan.

Ada pertimbangan kuat untuk mengatakan bahwa hasrat Rangga Lawe terhadap

kekuasaan sebagai motivasinya, yakni pada keberadaan Sora, yang sempat dielu-

elukan oleh Rangga Lawe dalam argumentasinya, yang menerima putusan raja

pada dirinya atas posisi atau jabatannya di kerajaan. Sementara Mahapati yang

disebut dalam Pararaton sebagai pengadu domba tidak akan dibahas dalam bab ini

karena memang tidak disebut dalam Kidung Rangga Lawe.

Melihat betapa kompleksnya narasi tentang Rangga Lawe, sekaligus

kolofon tertuanya, dapatlah diputuskan bahwa Kidung Rangga Lawe merupakan

naskah primitif yang menarasikan tokoh dan peristiwa pemberontakan Rangga

Lawe. Pujangga Pararaton pun sangat berhutang pada narasi Kidung Rangga

Lawe, yang dapat ditemukan dalam narasi Pararaton pada sub-bab berikut ini.

Meski terdapat perbedaan dalam narasi, keterkaitan narasi dalam teks kedua

naskah tersebut dapat dipertanggungjawabkan. Sementara itu, perbedaan narasi

dalam kedua naskah merupakan bukti akan subjektivitas pujangga, dari

interpretasi dan kreativitas, terhadap tokoh serta peristiwa bersangkutan.

2. Pararaton

Narasi dalam Pararaton yang merupakan perspektif subjektif pujangganya

harus diinterpretasikan dari teks itu sendiri. Menemukan jawaban dengan cara

membandingkan teks dengan peristiwa di masa lampau jelas mustahil. Bukan

hanya karena perbedaan narasi di tiap sumber, melainkan karena tiap sumber,

bahkan jika itu prasasti sekalipun, memiliki unsur subjektivitas juga.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 74: SIHIR SASTRA - repository.usd.ac.id

62

Perihal pertama yang dapat ditangkap ialah emosi Rangga Lawe:

kemarahan dan perasaan dikhianati oleh pemimpin yang dipujanya. Secara

langsung emosi itu juga mengarah pada penyebab pemberontakan tokoh. Benar

bahwa pemberontakan itu menempatkan Rangga Lawe sebagai orang tidak tahu

balas budi. Namun, motivasi itu dapat diterima akal sehat sebagai kausalitas

peristiwa, apalagi jika merujuk pada nilai budaya soal harga diri.

Pemunculan tokoh Mahapati sebagai penghasut merupakan unsur

kausalitas penambah. Itu juga dimaksudkan sebagai faktor ekstern selain

egosentrisme dalam diri Rangga Lawe. Keberadaan Mahapati mengabarkan

adanya konflik internal dalam Kerajaan Majapahit, mempertimbangkan juga

peristiwa-peristiwa pemberontakan setelah Rangga Lawe yang diujarkan pujangga

Pararaton. Paling tidak, dapat ditarik suatu hipotesis, bahwa, pujangga Pararaton

sebagai perwakilan, ada kelompok masyarakat yang meyakini intrik Mahapati

sebagai penyebab pemberontakan. Keyakinan Mahapati sebagai biang kerok

dalam konflik internal Majapahit juga dipercaya oleh kelompok akademis, salah

satunya ialah Slamet Muljana.

Selanjutnya, Raja Jayanegara, yang disebut oleh pujangga dengan nama

Kalagemet, menimbulkan suatu bentuk ketidakpercayaan pada pemerintah. Berg

memang mengatakan itu disebabkan oleh ketidaktahuan pujangga kepada nama

dan perihal positif dari tokoh bersangkutan, tetapi syak wasangka bahkan

ketidakpuasan warga terhadap suatu rezim dapat ditemukan di mana pun dan

kapan pun. Tentu, itu berkaitan dengan penilaian sosial (social judgements).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 75: SIHIR SASTRA - repository.usd.ac.id

63

Lagipula, dalam counterfactual, pengubahan atau bahkan pemelintiran realitas

sangat dimungkinkan (atau bahkan diharuskan) terjadi, dan kreativitas pujangga

merupakan harga mati bagi otoritas kerjanya.

Dari narasi Pararaton, diperoleh suatu perspektif sosial yang nantinya

akan dijadikan fondasi bagi narasi selanjutnya. Iya, meskipun Pararaton bukan

naskah pertama yang menceritakan pemberontakan Rangga Lawe,

mempertimbangkan kolofon Kidung Rangga Lawe, tetapi narasinya yang diyakini

oleh masyarakat itu dijadikan sebagai dasar penceritaan selanjutnya. Selain itu,

Pararaton juga merupakan naskah pertama yang ditemukan peneliti atau

sejarawan terkait pembabakan Majapahit dan menyebabkan perdebatan. Dengan

begitu, dapat dikatakan Pararaton sebagai salah satu bentuk primitif yang

menarasikan Rangga Lawe.

Di sini, Pujangga Pararaton memberikan akses atau penjelas kepada

peristiwa masa lampau. Bahwa pemberontakan Rangga Lawe (dan juga

pemberontakan-pemberontakan setelahnya) sangat disesalkan, bahkan untuk

kelangsungan kerajaan dan komunitas masyarakat Majapahit. Penjelas pada

perasaan “penyesalan” itu muncul di keberadaan Mahapati sebagai pengadu

domba dan Raja Jayanegara yang dinilai oleh pujangga sebagai pemimpin yang

lemah. Keduanya ditangkap oleh masyarakat pada masa selanjutnya, bahkan

mempengaruhi interpretasi akademisi.

Peristiwa “yang disesali” dalam Pararaton dapat dirumuskan dengan

pengandaian counterfactual sebagai berikut. Pertama, dalam diri Rangga Lawe:

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 76: SIHIR SASTRA - repository.usd.ac.id

64

jika saja Rangga Lawe berpuas dengan jabatan yang diberikan untuknya, tentu

peristiwa memilukan itu dapat dihindari. Kedua, pada kebijakan raja: jika saja

raja mau memenuhi tuntutan dan menempatkan Rangga Lawe sebagai patih, tentu

pemberontakan tidak terjadi dan Majapahit tidak akan kehilangan Rangga Lawe

sebagai abdi potensial. Ketiga, kehadiran Mahapati: jika saja tidak ada Mahapati

atau Mahapati tidak menghasut Rangga Lawe, pemberontakan itu tidak akan

terjadi.

Namun, tetap ada aspek yang tidak mungkin dihilangkan atau diubah,

artinya niscaya hadir dalam narasi, yakni kematian Rangga Lawe. Perihal itu tidak

hanya terkait pada hasil yang bertentangan dengan realitas, melainkan juga bahwa

kematian Rangga Lawe merupakan keharusan dalam counterfactual tersebut

sebagai peristiwa yang disesali—dan ini yang ditangkap oleh pujangga. Hilangnya

unsur kematian dalam narasi justru menjadi negasi terhadap realitas yang

diharamkan untuk hadir dalam counterfactual. Soal ikonisitas atau kemiripan

dengan realitas masa lampau merupakan keniscayaan atau syarat utama dalam

counterfactual supaya sugesti yang dibangun diterima. Dengan demikian, narasi

Rangga Lawe dalam Pararaton merupakan alternatif dari pujangganya yang

dipersembahkan kepada khalayak pembacanya.

Pada bab selanjutnya, kita dapat melihat bagaimana narasi Pararaton atas

Rangga Lawe mempengaruhi pujangga pada masa yang lebih muda. Naskah yang

dimaksud ialah Kidung Harsa-Wijaya.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 77: SIHIR SASTRA - repository.usd.ac.id

66

BAB III

TRANSISI DALAM NARASI YANG LAIN

A. Pendahuluan

Dalam Kolofon Kidung Harsa-Wijaya tertulis: “Iti kidung Harsa-Wijaya,

puh Juru-Demung, tabeh Rara-Kadiri, putus ing anurat ring dina su, u, Mrakih,

tithi sasih kacatur, rah 5, tenggeh tenggek 6, suklapaksa Dwitiya, irika diwasa

ning purnalikhita, ri nusa Bali, ngalangen Ratnarasa.” [sic!] Diketahuilah bahwa

teks Kidung Harsa-Wijaya dirampungkan di Bali. Untuk tahun penyelesaian sulit

diperkirakan karena keterbatasan pengetahuan peneliti.

Teks Kidung Harsa-Wijaya pertama kali diedit dan dipublikasikan oleh

Berg pada tahun 1931 dengan penambahan ringkasan konten. Edisi itu

berdasarkan naskah yang dia temukan di perpustakaan I Gusti Putu Djlantik di

Singaraja pada 1928. Dalam pengerjaannya, terdapat teks yang bermasalah,

seperti tidak bisa terbaca, dan itu diperbaiki oleh Berg sendiri. Hasilnya bisa jadi

problematis, karena ada campur tangan Berg sebagai akademisi di situ. Meski

demikian hasil kerja Berg merupakan warisan yang sangat berharga bagi kajian

sastra Jawa Kuna dan historiografi berbasis sumber tradisional.

Tidak ada keterangan siapa pujangga maupun di mana dia tinggal dalam

naskah. Namun, Hoykas128 menawarkan informasi berasal dari sumber lokal,

Babad sang Brahmana Catur, yang menerangkan bahwa cucu Nirartha,

Manuhaba, memiliki istri dari Tianya, dan anak mereka bernama Padanda

128 Dalam Robson (2000) “The force of destiny, or the Kidung Harsa-Wijaya

reread”, Indonesia and The Malay World, hlm. 243.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 78: SIHIR SASTRA - repository.usd.ac.id

67

Kekeran telah menyusun lambang (puisi) Harsa-Wijaya kira-kira pada tahun 1600

di Bali. Mengenai kolofon, Robson129, dengan berpegang pada penjelasan Berg

dan sengkalan dalam naskah, memperkirakan penulisan teks terjadi pada tahun

1326 Saka atau 1404 Masehi. Namun, informasi itu sendiri diakuinya dapat

diragukan.

Dalam narasi Kidung Harsa-Wijaya terdapat kesamaan dengan Pararaton.

Misal, narasi soal Nambi ialah putra Wiraraja sama dengan yang ada dalam

Pararaton. Pujangga Kidung Harsa-Wijaya sendiri menuliskan hubungan puisi

yang digubahnya dengan Pararaton di akhir naskah.130 Inilah kenapa seorang

peneliti seperti Slamet Muljana mampu berkata bahwa pujangga Kidung Harsa-

Wijaya terpengaruh dengan Pararaton. Keterpengaruhan di sini maksudnya ialah

pujangga Kidung Harsa-Wijaya memakai Pararaton sebagai referensi untuk

karyanya. Meski begitu, menurut Berg, Kidung Harsa-Wijaya tidak seluruhnya

menyetujui narasi Pararaton. Artinya, Kidung Harsa-Wijaya bersifat independen,

puitis, meski mengerjakan materi permasalahan yang sama, dan penyimpangan

atau perbedaan narasi merupakan interpretasi pujangga terhadap peristiwa dan

tokoh tersebut. Oleh sebab itulah Berg menyebut kidung itu sebagai “sebuah versi

baru dari roman Raden Wijaya”. Kita bisa mengatakan bahwa Berg begitu

mengenal kazhanah naskah tradisional yang memuat narasi Raden Wijaya, karena

ada tiga naskah terkait yang dieditori dan dipublikasikan olehnya: Pararaton,

Kidung Panjiwiyakrama, dan Kidung Harsa-Wijaya.

129 Robson (2000) “The force of destiny, or the Kidung Harsa-Wijaya reread”, Indonesia and The Malay World, hlm. 243-244.

130 “. . .tangeh yan katakena sararasira mungwa ing carita Pararaton” terjemahan: “. . .semua hubungan ini dapat ditemukan dalam kisah Pararaton.”

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 79: SIHIR SASTRA - repository.usd.ac.id

68

Berg juga menyatakan keberatannya soal narasi dalam Kidung Harsa-

Wijaya. Menurutnya, narasi dalam Kidung Harsa-Wijaya lebih berupa legenda

atau mitos tentang peradaban awal Kerajaan Majapahit. Sebagai legenda atau

mitos, kidung itu bagi Berg banyak memuat perihal yang dianggap aneh untuk

pembaca Barat. Namun Robson131 memberikan pertimbangan lain yang lebih

bagus. Menurut Robson, bila materi narasi tidak diterima oleh sejarawan, itu

hanya membuktikan bahwa pandangan dan intensi pujangga tidak identik dengan

sejarawan modern. Bila pujangga melihat peristiwa secara berbeda, itu hanya

untuk menyajikan pertanyaan awal tentang relasi apa yang terjadi. Karena itulah

Robson lebih menganjurkan untuk mencari cara pujangga melihat koneksi

peristiwa-peristiwa dan apa maknanya untuknya serta untuk pembacanya daripada

menyibukkan diri dalam kisah yang aneh atau mencoba mengkomparasinya

dengan materi sezaman.

Selain itu, Robson juga menawarkan tiga langkah dalam investigasi

naskah sebagai asumsi dasar menghadapi teks tradisional. Pertama, akademisi

harus menganggap bahwa pujangga memiliki sebuah target atau tujuan pasti yang

bisa saja mengarah ke perihal artistik, filosofis, atau religi. Penulisan karya juga

memiliki kaitannya dengan cara pikir masyarakat Jawa dan Bali, sebagai asal

pujangga dan objek karya.132 Cara kedua ialah dengan menyatakan atau

menganggap naskah sebagai pikiran dari pujangga itu sendiri. Naskah merupakan

131 Robson (2000) “The force of destiny, or the Kidung Harsa-Wijaya reread”,

Indonesia and The Malay World, hlm. 245. 132 Dalam tulisannya yang lain “Notes on the early kidung literature”, dalam

Bijdragen tot de Taal-, Land en Volkenkunde, Deel 135, 2de/3de, hlm. 300, Robson juga menyatakan kaitan relasi pujangga-pujangga yang berada di bawah perlindungan raja atau elite kerajaan lain dengan perspektif dan tujuan pengisahan dalam naskah.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 80: SIHIR SASTRA - repository.usd.ac.id

69

perwujudan konkret dari tujuan atau target pujangga. Ketiga, harus melihat karya

sebagai suatu kesatuan yang organik.

Langkah-langkah yang dianjurkan Robson, dengan mengulik naskah dari

dalam, dari teks dan struktural teks, dan kaitannya dengan lingkungan sosial

sebenarnya sudah akrab dilakukan dalam studi sastra. Namun tampaknya cara

seperti itu, dengan pendekatan studi sastra, belum lumrah dalam studi sejarah,

termasuk kalangan sejarawan Indonesia. Maka lumrah jika sejarawan-sejarawan

lebih berkutat pada persoalan menerima atau menolak narasi naskah dan

mempertanyakan apakah naskah mengandung fakta atau fiktif daripada

mengungkap persoalan seperti tujuan penulisan pujangga dan latar belakang sosial

yang mendasari penulisan naskah. Padahal, dengan menggunakan pendekatan

studi sastra dan teori sastra sejarawan akan lebih mampu memahami teks sebagai

sumber dan atau objek penelitian mereka secara mendalam.

Pada bab ini pun pembahasan akan ditujukan kepada uraian narasi dalam

Kidung Harsa-Wijaya. Langkah itu untuk menemukan perbedaan dalam narasi

Kidung Harsa-Wijaya dengan naskah-naskah lain sekaligus melihat pertaliannya

dalam naskah yang lebih muda.

B. Latar Belakang dan Peran Rangga Lawe

Dalam Kidung Harsa-Wijaya, Rangga Lawe ialah anak dari seorang

Menteri Singhasari. Maka dia telah muncul ketika Kertanegara masih memimpin

Kerajaan Singhasari. Kemunculannya tidak sendirian, termasuk Nambi, Sora, Ken

Pedang, Ken Dangdi, Gajah Pagon, dan Lembu Peteng.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 81: SIHIR SASTRA - repository.usd.ac.id

70

“Ndan sang para mantry adi angaturaken sutanipun rangga-Lawe smunyalus

pantes yan wuruk twan Ino sira Nambi alembut sasmitanyagalak amadhu ndan

ken Sora tuhw angresy ati atut prakaseng satru.”133

Terjemahan:

“Kemudian para Menteri menghaturkan anaknya Rangga Lawe mukanya halus

pantas kalau jadi teman raden Ino. Nambi lembut dengan senyumnya yang galak

tapi manis dan Sora wajahnya sangat menakutkan (bagi) musuhnya.”

Dari perkenalan itu kita mendapati deskripsi pujangga atas Rangga Lawe. Itu

merupakan puji-pujian dari pujangga teruntuk tokoh.

Sejak semula pula, saat Daha menyerang Singhasari, Rangga Lawe

dikisahkan telah ikut berkontribusi. Dia dan Sora ikut menghalau pasukan Daha

yang memojokkan Raden Wijaya.134 Bahkan ketika Raden Wijaya dan salah

seorang putri Krtanegara melarikan ke pertapaan Mpu Santasmerti, Rangga Lawe

juga mengikuti. Tentu ketika meminta bantuan kepada Arya Wiraraja di Madura,

Rangga Lawe juga ikut.

Sebelumnya telah dijelaskan bahwa di Kidung Harsa-Wijaya Rangga

Lawe bukan anak Arya Wiraraja. Pujangga menuliskan bahwa anak Wiraraja ialah

Wirondaya yang diutus oleh Bapaknya untuk menghadap ke Jayakatwang.135

133 Kidung Harsa-Wijaya, I, 9b.

134 Kidung Harsa-Wijaya, II, 80b.

135 Kidung Harsa-Wijaya, I, 82a-83a.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 82: SIHIR SASTRA - repository.usd.ac.id

71

Pengutusan Wirondaya untuk memberitahu Jayakatwang bahwa Daha dalam

keadaan lengang, ditinggal oleh Raja yang tengah bepergian ke Tuban. Itu

menerangkan pengkhianatan Wiraraja kepada Krtanegara. Motifnya ialah sakit

hati dan balas dendam karena Krtanegara telah menurunkan jabatannya menjadi

demang di Madura. Selain Wirondaya, anak Wiraraja ialah Nambi; itu dapat

diketahui dari ujaran Wirondaya yang segan jika harus bermusuhan dengan

Nambi.136 Teks lain137 menunjukkan secara langsung ucapan Wiraraja yang

menyebut Nambi sebagai anaknya.

C. Perang Melawan Daha dan Pasukan Tatar

Setelah meminta bantuan kepada Wiraraja, Raden Wijaya diberikan saran

untuk berpura-pura mengaku kalah dan mengabdi kepada Jayakatwang. Raden

Wijaya menyuruh Rangga Lawe dan Akuwu Canggu untuk menghadap dan

memberitahukan penyerahan dirinya kepada pihak Kerajaan Daha.138 Memang

dalam karya sastra tradisional ini banyak mengulang peristiwa atau cerita yang

sama, yang ada dalam karya-karya yang lain, tetapi tampak bahwa ada motif

tersendiri, mempertimbangkan sitasi yang dilakukan oleh pujangga—akan

dijelaskan dalam sub-bab tersendiri. Sama seperti dengan pertandingan tusuk-

tusukkan yang diselenggarakan oleh Kerajaan Daha dengan pesertanya dari pihak

pengikut Raden Wijaya dengan pejabat Kerajaan Daha dan beberapa peristiwa

lain serta tokoh.

136 Kidung Harsa-Wijaya, I, 83b.

137 Kidung Harsa-Wijaya, III, 8b.

138 Kidung Harsa-Wijaya, IV, 31b-33b; 36a-38b; 42b-46b.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 83: SIHIR SASTRA - repository.usd.ac.id

72

Namun, ada yang hanya terdapat dalam narasi Kidung Harsa-Wijaya.

Salah satunya ialah saran Rangga Lawe kepada Raden Wijaya.139 Dikisahkan

bahwa Raden Wijaya memberitahukan niatnya untuk memberontak kepada

Rangga Lawe, tetapi oleh Rangga Lawe dikatakan niat itu tidak baik karena

Jayakatwang sangat menyayangi raden. Rangga Lawe juga menambahi ada

baiknya untuk mencari alasan yang tepat. Dia menyarankan untuk mengirim

utusan yang meminta putri Krtanegara dan jika Jayakatwang menolak

memberikannya maka barulah menyerang.

Demikianlah bahwa saran itu kemudian menjadi motif dari perang antara

Raden Wijaya beserta pengikutnya dengan Kerajaan Daha. Dalam perang itu

Rangga Lawe berhadapan dengan Patih Mundarang.140 Rangga Lawe berhasil

membunuh Patih Mundarang, lagi-lagi, suatu narasi yang berbeda jika

dibandingkan dengan Kidung Rangga Lawe.

Setelah Daha dikalahkan, Raden Wijaya dan para pengikutnya masih harus

menghadapi pasukan Tatar. Maksud kedatangan pasukan Tatar ialah untuk

menagih janji Raden Wijaya untuk menyerahkan putri Krtanegara. Rangga Lawe

memberitahu, dan mengingatkan, kepada Raden Wijaya bahwa Raja Tatar marah

karena raden tidak juga menepati janjinya.141 Raden Wijaya marah mendengar

laporan Rangga Lawe dan menjawab bahwa ia hanya akan menyerahkan Putri

139 Kidung Harsa-Wijaya, IV, 70a-71a.

140 Kidung Harsa-Wijaya, V, 111a & 113b.

141 Kidung Harsa-Wijaya, VI, 21a-22b.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 84: SIHIR SASTRA - repository.usd.ac.id

73

Daha yang sudah bunuh diri, sementara Putri Pusparasmi tidak akan ia berikan.

Keputusan itu disetujui oleh para menteri.

Berangkatlah Raden Wijaya dan para pengikutnya untuk menggempur

pasukan Tatar. Dalam pertempuran itu Raden Wijaya ikut turun gelanggang.

Begitu juga dengan Rangga Lawe dan Nambi. Hasil pertempuran itu seperti telah

diketahui, pihak Raden Wijaya menang dan mampu mengusir Pasukan Tatar.

Episode selanjutnya ialah kedamaian sudah tercipta di bumi Majapahit.

Raden Wijaya naik tahta bergelar Kertarajasa. Yang melantiknya ialah Brahmana

Mpu Santasmerti, tokoh yang diceritakan dia datangi saat pelarian. Raja juga

menghadiahi para pengikutnya dengan jabatan. Rangga Lawe dinobatkan sebagai

Patih, Nambi menjadi Demung, sementara Sora sebagai Tumenggung.

“Mwang sakadehanira sampun sinung lungguh ken ranggapaty amangku bhumi

ndan tan lwang denya anglus nagari.

Ndan muwah sira Nambya akry angadeg demung lawan ken Sora sinung linggih

tumenggung . . .”142

Terjemahan:

“Lalu semua pengikutnya diberinya kedudukan. Rangga [Lawe] duduk menjadi

patih amangkubumi, sebab berjasa dalam mendirikan negara.

Juga Nambi diangkat sebagai demung dan Ken Sora sebagai tumenggung. . .”

142 Kidung Harsa-Wijaya, VI, 114a-114b.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 85: SIHIR SASTRA - repository.usd.ac.id

74

D. Simpulan

Berdasarkan narasinya, dapat disimpulkan bahwa Kidung Harsa-Wijaya

mengambil Pararaton sebagai rujukan atau referensi. Beberapa aspek yang

menguatkan simpulan itu ialah sebagai berikut. Pengisahan Rangga Lawe sebagai

anak dari seorang pejabat menteri di Tuban yang telah mengikuti Raden Wijaya

sejak masa kanak-kanak. Nambi dikatakan sebagai anak Arya Wiraraja, ditambah

dengan Wirondaya. Ketiga, munculnya Mahapati dalam kisah. Pada bagian akhir

kisah dalam Kidung Harsa-Wijaya pun secara langsung menyebut Pararaton

sebagai rujukan sumber.

Mengenai Mahapati dikisahkan bahwa dia termasuk pengikut Raden

Wijaya yang turut berperang melawan pasukan Jayakatwang. Kehadiran Mahapati

memang baru dimunculkan saat perang. Namun, penjelasan tentang Mahapati

akan dicukupkan sampai di sini untuk menjaga konteks penjelasan dalam

penelitian ini. Penjelasan tentang Mahapati hanya untuk mendeskripsikan

keterkaitan Kidung Harsa-Wijaya dengan Pararaton atau lebih tepatnya untuk

menunjukkan intertekstualitas naskah itu. Hal itu juga untuk menjelaskan

munculnya pendapat-pendapat ahli yang meyakini adanya pengadu domba yang

menciptakan konflik internal dalam Kerajaan Majapahit, seperti Slamet Muljana.

Kisah-kisah lain dalam Kidung Harsa-Wijaya juga tidak akan disebutkan

lebih jauh karena lebih terkesan mengulang-ulang atau sama dengan pengisahan

dalam naskah-naskah sebelumnya. Kalau pun ada itu lebih tepatnya ialah apa

yang disebut oleh Slamet Muljana sebagai anakronisme dalam sumber sejarah

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 86: SIHIR SASTRA - repository.usd.ac.id

75

tradisional, yakni status Nambi dan Wirondaya sebagai anak Arya Wiraraja,

bukannya Rangga Lawe. Muljana yakin menyebutnya sebagai anakronistis dengan

berpedoman pada sumber sejarah berbentuk prasasti. Namun, pendapat seperti itu

tidak akan muncul jika sedari awal sumber-sumber itu telah ditempatkan sebagai

karya sastra atau rekaan. Dengan menempatkannya demikian pun akan mengikuti

sikap penerimaan bahwa anakronisme ialah perihal wajar dalam proses kreatif

penciptaan karya. Apa yang muncul dalam karya sastra tidaklah harus sesuai

dengan fakta historis yang sesungguhnya. Meski begitu, anakronisme dalam karya

sastra tidaklah sama artinya dengan sewenang-wenang atau hanya mendasarkan

pada imajinasi. Supaya berterima atau diterima oleh pembaca, narasi dalam karya

harus disusun secara logis dengan mengedepankan kausalitas yang dapat diterima

oleh akal. Yang pasti itu menyebabkan narasi dalam Kidung Harsa-Wijaya

berbeda dibandingkan dengan sumber-sumber tradisional yang lain.

Selanjutnya, narasi tentang Rangga Lawe dalam Kidung Harsa-Wijaya

hanya berhenti sampai akhir peperangan melawan Jayakatwang dan berdirinya

Majapahit sebagai kerajaan. Ini dapat diterima melihat pertimbangan tema dan

skop waktu yang diambil oleh pujangga. Sebagai sumber sejarah yang bersifat

rajasentris, Kidung Harsa-Wijaya hanya mengambil peristiwa yang dapat

mengangkat citra raja. Alhasil, aktivitas tokoh-tokoh selain raja pun hanya untuk

melengkapi tujuan utama pujangga. Tindakan-tindakan Rangga Lawe dalam

peperangan hanya untuk memuluskan tujuan Raden Wijaya mengalahkan

Jayakatwang dan mendirikan Kerajaan Majapahit. Konflik internal yang terdapat

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 87: SIHIR SASTRA - repository.usd.ac.id

76

pada sumber tradisional lain pun tidak ada dalam Kidung Harsa-Wijaya, karena

Rangga Lawe seusai perang diangkat menjadi Mahapatih di Majapahit.

Sangat sulit untuk mencari penyebab atau motivasi pujangga yang

membuat narasi dalam Kidung Harsa-Wijaya begitu berbeda. Apakah itu lantaran

tema dan tujuan pujangga guna menyanjung raja ataukah sebab lain yang justru

menguatkan pendapat akademisi yang memandangnya sebagai anakronistis,

artinya mengakui ketidaktahuan pujangga pada peristiwa sesungguhnya sehingga

menciptakan karya yang tidak tepat, tetap sulit untuk diterka. Yang pasti bahwa

Kidung Harsa-Wijaya ikut mempengaruhi kelahiran karya sastra yang lebih muda

yang akan diulas pada bab-bab selanjutnya.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 88: SIHIR SASTRA - repository.usd.ac.id

77

BAB IV

SASTRA JAWA BARU: NARASI YANG BELAKANGAN

A. Pendahuluan: Pembuka Perspektif Baru

Ada tiga karya sastra berlatar belakang historis yang akan diulas dalam

bab ini. Semuanya merupakan karya sastra Jawa Baru. Sesuai dengan

penamaannya, bahasa yang digunakan ialah Bahasa Jawa Modern. Untuk waktu

penulisan naskah, dilakukan pada abad ke-19 dan awal abad ke-20. Naskah-

naskah itu begitu berbeda dari karya pendahulunya. Tidak hanya dalam hal

bahasa, tetapi juga bentuk dan narasinya. Namun, sekali pun berbeda, masih ada

jejak-jejak pemakaian narasi dari karya pendahulu sebagai rujukan.

Perbedaan yang drastis itu termasuk anakronisme, apabila dibandingkan

dengan fakta historis. Perbedaan-perbedaan itu meliputi penyebutan nama

kerajaan, tempat, dan nama tokoh. Hanya saja, patut disinggung sekali lagi bahwa

sumber-sumber yang diangkat dalam penelitian ini ialah karya sastra sehingga

kritik internal sangat dianjurkan guna menemukan dan menentukan motivasi

sesungguhnya.

Naskah pertama ialah Serat Damarwulan karangan Raden Rangga

Prawiradirja. Penanggalan yang tertulis dalam naskah ialah tahun Jawa 1801 atau

1872 Masehi. Dari Serat Damarwulan inilah kedua naskah yang selanjutnya

mengambil dasar narasi. Naskah kedua berjudul Langendriya Pejahipun

Ranggalawe pun merupakan bagian dari cerita Damarwulan itu. Oleh sebab itu

untuk penerjemahan teks atau naskah hanya akan menerjemahkan bagian

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 89: SIHIR SASTRA - repository.usd.ac.id

78

munculnya sampai gugurnya Rangga Lawe di naskah Langendriya Pejahipun

Ranggalawe.

Sementara itu naskah berbahasa Jawa Modern selanjutnya, Serat Babad

Tuban, dengan jelas mengutip Serat Damarwulan sebagai salah satu rujukan.

Yang berbeda ialah Serat Babad Tuban berisikan genealogi para bupati Tuban.

Alhasil, narasi tentang Rangga Lawe hanya sepenggal. Selebihnya berisikan daftar

nama-nama bupati di Tuban.

Dalam bab ini naskah-naskah itu akan dideskripsikan dan dianalisis.

Pembandingan dengan naskah terdahulu juga akan dilakukan, guna menemukan

transformasi dalam narasi dan tujuan yang hendak disematkan oleh pujangga.

B. Kisah Damarwulan

Baiknya pembahasan dalam sub-bab ini dimulai dengan menerangkan apa

itu kisah Damarwulan dan siapa sebenarnya tokoh itu. Kisah Damarwulan

berbentuk epos atau cerita kepahlawanan. Jika sebelumnya epos-epos yang

berkembang di Jawa pada masa kerajaan-kerajaan Hindhu-Buddha terpengaruh

dengan epos India, seperti Mahabharata dan Ramayana, kisah Damarwulan

menukil peristiwa dan tokoh pribumi.143 Sebagai epos, kisah Damarwulan

143 Soenarto Timoer dalam Damarwulan (Sebuah Lakon Wayang Krucil):

Kupasan Segi Falsafah dan Simboliknya (1980: 7) menulis: “Dengan berhasil diluluhkannya epos Hindu ke dalam seni pewayangan yang mencerminkan ciri watak kejawaan itu, maka paripurnalah proses akulturasi satu segi kehidupan budaya dua bangsa: Hindu (India) dan Indonesia.” Memang benar, kemunculan Damarwulan mengakhiri akulturasi budaya dan tradisi India serta melahirkan suatu bentuk karya seni yang lebih bernuansa lokal. Namun, jika dilihat lebih dalam, unsur-unsur yang ada dalam cerita-cerita India, seperti Ramayana dan Mahabharata, terutama unsur romantika percintaan dan peperangan melawan yang batil, tetap ada.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 90: SIHIR SASTRA - repository.usd.ac.id

79

bertemakan kepahlawanan. Tokoh utamanya, Damarwulan, memiliki sifat

pemberani dengan nilai-nilai luhur dan tindakan yang herois. Batasan antara yang

benar dan yang salah, si baik dan si jahat, sangat tegas.

Penanggalan tertua dari kisah Damarwulan berangkakan tahun 1748

Masehi.144 Naskah yang dimaksud ditulis pada lontar dengan menggunakan aksara

Jawa Kuna—meski ini patut dicurigai mempertimbangkan tahun dan kondisi

sosial masa itu. Jika mempertimbangkan tahun itu, kisah Damarwulan dapat

dipastikan dikembangkan pasca pecahnya Mataram Islam. Untuk penyebarannya

melalui medium seni pertunjukan Langendriya dan wilayah penyebarannya

meliputi wilayah-wilayah yang saat ini masuk ke dalam Provinsi Jawa Tengah,

Yogyakarta, dan Jawa Timur.

Bisa dikatakan kemunculan dan perkembangan kisah Damarwulan ada

kaitannya, atau bahkan termasuk dalam bagian, dengan cerita Panji. Menurut

Poerbatjaraka,145 cerita Panji muncul karena kebutuhan materi bacaan oleh

masyarakat Jawa saat itu yang sudah bosan dengan cerita-cerita India. Maka

cerita-cerita India itu kemudian digantikan dengan epos-epos lokal dengan latar

tempat dan budaya Jawa. Jika Cerita Panji juga memasukkan masa-masa Kerajaan

144 Angka itu berdasarkan ulasan Brandes atas naskah Damarwulan yang telah

disalin oleh Roorda van Eysinga dalam Handboek voor Land-en Volkenkunde. (Labberton, dalam Soenarto Timoer 1980: 26)

145 Dalam Tjeritera Pandji dalam Perbandingan (1968: 404-405). Poerbatjaraka memperkirakan kemunculan awal cerita Panji terjadi pada masa kejayaan Majapahit dengan menggunakan bahasa Jawa Pertengahan. Bacaaan-bacaan India dikatakan telah terhenti di masa itu dan banyak orang yang sudah tidak paham atau tidak memakai Bahasa Jawa Kuna. Sementara masyarakat belum mau menyentuh atau membaca cerita-cerita Islami. Pendapat Poerbatjaraka itu membantah pendapat Berg yang memperkirakan waktu penulisan cerita Panji pada abad ke-13 dan memakai Bahasa Jawa Kuna.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 91: SIHIR SASTRA - repository.usd.ac.id

80

Singhasari, cerita Damarwulan lebih menyorot masa-masa akhir Majapahit meski

pembabakan waktunya berantakan.

1. Ringkasan Serat Damarwulan

Naskah Serat Damarwulan yang digunakan dalam penelitian ini ialah

karya Raden Rangga Prawiradirja yang sudah dialihaksarakan ke aksara Latin dan

dialihbahasakan ke Bahasa Indonesia. Naskah itu disusun pada tahun Jawa 1801

atau 1872 Masehi.

Latar tempat dan waktu dalam naskah ini terjadi di dan pada masa

Kerajaan Majapahit. Namun, raja yang disebut dalam Serat Damarwulan ialah

seorang perempuan bergelar Prabu Rara Kencanawungu. Tokoh-tokoh lain yang

disebut dalam naskah ini, selain Damarwulan dan Prabu Rara Kencanawungu

ialah Patih Logender, Menakjingga, Menakkoncar, Layang Seta dan Layang

Kumitir, Kyai Sabdapalon dan Kyai Nayagenggong, Rangga Lawe, Raden

Buntaran, dan Raden Watangan.

Dikisahkan Adipati Blambangan, Menakjingga, terpesona terhadap

kecantikan Prabu Rara Kencanawungu, tetapi pinangannya ditolak oleh sang Ratu.

Tidak terima atas penolakan itu Menakjingga mengirimkan pasukan untuk

menyerang Majapahit. Dalam serangan itu Menakjingga memperoleh

kemenangan; Lumajang berhasil ditundukkan.

Sebagai penanggulangan serangan Blambangan, Patih Logender

diperintahkan untuk mengirim Adipati Tuban Rangga Lawe dan Adipati Daha

Layang Seta dan Layang Kumitir. Seperti yang diketahui Rangga Lawe gugur

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 92: SIHIR SASTRA - repository.usd.ac.id

81

dalam pertempuran langsung dengan Menakjingga, sementara Layang Seta dan

Layang Kumitir melarikan diri dari peperangan. Detail turunnya Rangga Lawe ke

medan perang melawan Menakjingga akan dikisahkan dalam sub-bab tersendiri

terkait ringkasan Langendriya Pejahipun Ranggalawe.

2. Ringkasan Langendriya Pejahipun Ranggalawe

Seperti dalam judulnya, naskah ini diperuntukkan pertunjukan

langendriya. Langendriya merupakan seni pertunjukan wayang orang yang

berkembang di Jawa Tengah. Seni pertunjukan ini memadukan drama, musik

gamelan, dan tari. Kisah yang diangkat berasal dari kisah Damarwulan.

Naskah yang digunakan dalam penelitian ini merupakan naskah yang

dialihaksarakan oleh Hadisutjipto.146 Bahasa yang digunakan campuran Bahasa

Jawa Modern dan Bahasa Melayu di beberapa bagian, khususnya untuk dialog

orang-orang Bugis atau non-Jawa. Tidak ada keterangan terkait penanggalan.

Namun, jika melihat persembahan di bagian awal yang ditunjukkan kepada

Pangeran Adipati Mangkubumi bisa dipastikan naskah ini merupakan karya

pujangga di Keraton Yogyakarta.

Awalan kisah langsung menceritakan pemberontakan Adipati

Menakjingga, setelah naik jadi raja mengambil nama Urubesma, dan diutusnya

Rangga Lawe untuk pergi berperang. Pujangga memuja Rangga Lawe sebagai

146 Hadisutjipto. 1982. Langendriya Pejahipun Ranggalawe. Jakarta: Proyek

Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 93: SIHIR SASTRA - repository.usd.ac.id

82

bupati tiada tandingan di tanah Jawa dan merupakan orang kepercayaan raja.147

Dikumpulkanlah bala tentara Tuban, yakni Patih Jayapuspita, Raden Arya

Kretagnyana, Raden Arya Purbarana, kedua anak Rangga Lawe Buntaran dan

Watangan, serta pengikutnya yang lain.

Dalam Langendriya Pejahipun Ranggalawe juga ditemukan kisah Rangga

Lawe berpamitan kepada istrinya sebelum pergi berperang. Istrinya dua: Sang

Dyah Ayu Banowati dan Sang Dyah Retna Sekati. Bisa dipastikan bahwa bagian

itu merujuk Kidung Rangga Lawe sebagai referensi. Simpulan itu menguat karena

di antara sumber tradisional terdahulu yang memuat kisah romantis seperti itu

hanya Kidung Rangga Lawe.

Maka berangkatlah Rangga Lawe dengan bala tentara Tuban ke

Blambangan. Ikut serta di dalam pasukan itu pejabat-pejabat Tuban yang lain,

seperti Pati Jaya Puspita, Raden Arya Purbarana, Raden Menak Widuri, dan

lainnya.

Sementara itu Ratu Majapahit juga mengutus Layang Seta dan Layang

Kumitir, anak Patih Logender, menuju peperangan. Berbeda dengan Rangga Lawe

yang sangat dipercaya bawahannya, kedua putra Patih Logender itu kesulitan

untuk mengumpulkan prajurit yang mau diajak memerangi Menakjingga. Para

pengikutnya menyangsikan kekuatan mereka berdua, bahkan beberapa sudah

berencana untuk membelot dan memihak Menakjingga. Ketika datang kabar

Adipati Kediri tewas di medan laga, Layang Seta dan Layang Kumitir dikisahkan

147 Hadisutjipto (1982: 19), “sanadyan dudu panjenenganing narendra, nanging

bupati pinusaka, ing rat Jawa tanpa sisihan, andelira narendra Majapahit.”

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 94: SIHIR SASTRA - repository.usd.ac.id

83

ketakutan mendengarnya. Kiranya, kelemahan kedua putra Patih Logender ini

sepatutnya dilihat sebagai usaha pujangga untuk meninggikan citra Rangga Lawe.

Kembali ke tokoh utama, berita kekalahan dan kematian belum sampai ke

telinga Rangga Lawe. Dia baru mengetahuinya dari kedua anak Patih Logender

yang berkunjung ke perkemahan prajuritnya. Setelah mendengar kabar itu

pasukan Tuban segera bersiap menyerbut Blambangan, tetapi belum sempat

berangkat telah datang berita Pasukan Bugis yang dipimpin Mrajadewa Jarumuka.

Dari peperangan itu Pasukan Tuban berhasil keluar sebagai pemenang dan Raja

Bugis gugur.

Sementara itu, di Keraton Blambangan Menakjingga atau Prabu Urubesma

tengah bermusyawarah dengan para sekutunya. Diketahui para sekutunya itu ialah

Raja Madura dan tiga orang berpengaruh dari Bali.148 Lalu, prajurit berkabar

bahwa Pasukan Tuban telah memasuki wilayah Blambangan. Raja Urubesma

kemudian menyuruh untuk menyambutnya dengan senjata.

Urubesma menghadapi langsung Rangga Lawe. Dia menunjuk Rangga

Lawe sebagai perusuh karena berani mengamuk di wilayah kekuasaannya, tetapi

Rangga Lawe justru mengingatkannya atas pengkhianatannya kepada Ratu

Majapahit dan tujuan kedatangan Rangga Lawe untuk menundukkannya kembali

di bawah kekuasaan Majapahit.149 Peperangan antara kedua tokoh itu berjalan

148 Lihat Hadisutjipto, Langendriya Pejahipun Ranggalawe, hlm. 100.

149 Langendriya Pejahipun Ranggalawe, hlm. 129: “Lah ta sira Menakjingga aja sira acariwis dene teka eman-eman ingsun aprang teka balik iba dhendhaning Widhi nglabuhi reh tanpa kusur mangsa kayaa sira linuhurake neng bumi suprandene balela amurang dana. Sri narendra kurang apa sih marmane mring sireki.”

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 95: SIHIR SASTRA - repository.usd.ac.id

84

seru. Keduanya saling bertukar serangan dan berganti senjata, pedang, panah, dan

gada untuk Urubesma. Berkali-kali Urubesma mengeluarkan serangan

pamungkasnya, tetapi Bupati Tuban selalu berhasil keluar dengan selamat. Hingga

saking jengkelnya, karena serangan-serangannya dapat dihindari, Urubesma

menyuruh anak buahnya untuk menghujani Rangga Lawe dengan peluru dan

meriam. Bupati Tuban sama sekali tidak beranjak dari tempatnya dan tidak

terkena apa pun.

Namun, ketika Wangsapati terkena serangan dan terluka Rangga Lawe

segera menyelamatkannya, saat itulah dia melihat tanda-tanda kekalahan.

Sumping di telinganya jatuh terkena peluru dan payungnya patah. Dia

mengartikan tanda itu sebagai kematiannya. Lalu, dia pun menyuruh Wangsapati

kembali ke Tuban dan memberitahukan kepada istrinya bahwa seluruh Pasukan

Tuban gugur di medan perang. Demikianlah, ketika ajalnya semakin dekat,

Rangga Lawe memusatkan perhatiannya dan dia bisa melihat dengan jelas pintu

surga. Dia telah siap menyambut kematiannya sendiri.

Patih Jayapuspita yang melihat Rangga Lawe gugur segera

menghampirinya. Dia menangisi kematian tuannya. Urubesma menyarankannya

untuk kembali ke Tuban. Jayapuspita menolak tawaran itu dan memilih mati

bersama tuannya. Maka, Urubesma mengabulkan permintaannya. Urubesma

melayangkan gadanya sekali dan matilah Patih Jayapuspita. Begitulah akhir kisah

Rangga Lawe dalam Langendriya Pejahipun Ranggalawe.

C. Ringkasan Serat Babad Tuban

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 96: SIHIR SASTRA - repository.usd.ac.id

85

Tidak jelas soal penanggalan naskah ini. Hanya saja naskah yang

digunakan dalam penelitian ini sudah dalam bentuk alih aksara dari versi cetakan

ketiga yang diterbitkan tahun 1936 oleh penerbit Tionghoa di Kediri, Boekh Tan

Khoen Swie. Bahasa yang digunakan ialah Bahasa Jawa Modern. Berdasarkan

tahun jabatan bupati terakhir yang disebut dalam naskah kemungkinan penulisan

naskah ini terjadi pada awal abad XX.

Seperti yang telah dijelaskan, Serat Babad Tuban berisikan genealogi

bupati-bupati Tuban. Bupati Tuban yang disebutkan sampai pada awal abad XX.

Rangga Lawe ialah bupati Tuban ke sekian. Trah bupati Tuban itu berawal dari

Prabu Banjaransari, penguasa di Kerajaan Pajajaran. Tentu saja bahwa pernyataan

itu, yang menyebut garis trah Kerajaan Pajajaran dan bukannya Majapahit, patut

dipertanyakan. Prabu Banjaransari memiliki putra bernama Raden Arya Methaun

yang kemudian berputrakan Raden Arya Randhu Nuning.

Cucu Prabu Banjaransari itu kemudian berkelana ke arah timur hingga

berhenti di Distrik Jenu, Tuban, dan mengangkat diri sebagai penguasa di wilayah

itu. Raden Arya Randhu Nuning setelah menjabat sebagai bupati Tuban

mengganti nama, bergelar Kyai Ageng Lebe Lonthang, sedangkan wilayah

kekuasaannya diberi nama Lumajang Tengah. Sebelum Rangga Lawe masih ada

empat generasi setelah Kyai Ageng Lebe Lonthang itu, disusun secara runut:

Raden Arya Bangah, Raden Arya Dhandhang Miring, Raden Arya Dhandhang

Wacana atau Kyai Ledhe Papringan. Dari Kyai Ledhe Papringan memiliki dua

putra: Nyai Ageng Lanang Jaya dan Nyai Ageng Ngeso. Selama empat generasi

itu wilayah Lumajang Tengah mengalami perluasan dan penetapan nama Tuban

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 97: SIHIR SASTRA - repository.usd.ac.id

86

sebagai kadipaten ditetapkan. Nama Tuban merupakan akronim dari “metu

banyune”.

Kedua putra Kyai Ledhe Papringan sama-sama memiliki putra. Nyai

Ageng Lanang berputrakan Arya Ronggalawe, sementara Nyai Ageng Ngeso

berputra Arya Kebo Nabrang.150 Setelah Kyai Ledhe Papringan meninggal Arya

Ronggalawe diangkat sebagai bupati. Dalam kepemimpinan Arya Ronggalawe

ibukota kembali dipindah. Ada penambahan tiga dusun di wilayah Tuban:

Trowulan, Prunggahan Barat, dan Prunggahan Timur.

Dikisahkan bahwa terjadi perebutan kekuasaan pada masa pemerintahan

Arya Ronggalawe. Pelakunya tidak lain ialah sepupunya sendiri, Arya Kebo

Nabrang. Peperangan itu dimenangkan oleh Arya Ronggalawe. Lamanya Arya

Ronggalawe menjabat sebagai bupati Tuban ialah 30 tahun. Dia meninggal dalam

peperangan melawan Prabu Uru Bisma.

Penggantinya ialah putra semata wayangnya, Raden Siralawe. Namun,

dalam Serat Damarwulan, yang dikutip oleh pujangga Serat Babad Tuban,

menyebutkan Ronggalawe berputra dua orang: Raden Batangan dan Raden

Watangan.151 Pujangga Serat Babad Tuban kemudian memberikan penjelasan,

150 Serat Babad Tuban, 1936: 5.

151 Serat Babad Tuban, 1936: 6, “. . .ananging ing Serat Damar Wulan tuwin Serat Melajeng ingkang nami “Hikayat Tanah Jawi” nerangaken putranipun Raden Arya Ronggalawe wau kakalih, 1. Raden Bantaran; 2. Raden Watangan, mongka ing babon sejarah: namung kasebut kagungan putra satunggal asma Raden Siralawe wau bokmanawi Raden Buntaran awit putra pambajeng tur saged gumantos jumeneng Bupati.”

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 98: SIHIR SASTRA - repository.usd.ac.id

87

terkait rujukan yang berbeda itu, bahwa Siralawe ialah anak pertama Ronggalawe

yang ditunjuk sebagai penggantinya.

Penamaan anak Rangga Lawe itu cukup aneh karena merujuk pada gelar

yang diberikan Raden Wijaya kepada tokoh tersebut dalam Kidung Rangga Lawe

meski itu juga terjadi dalam naskah tradisional lain. Misal, nama Arya Adhikara

sebagai Adipati Mancanegara yang tak lain nama lain Arya Wiraraja dalam

Prasasti Kudadu.152 Namun penamaan itu menjadi lebih aneh ketika nama-nama

lain yang seharusnya merujuk kepada Rangga Lawe justru digunakan kepada anak

cucunya. Setelah Raden Siralawe meninggal, ia diganti oleh anaknya Raden Arya

Sirawenang, setelah itu cucunya yang berkuasa bernama Raden Lena, dan

akhirnya diganti oleh buyutnya Raden Arya Dikara.153 Baik nama Lawe dan

Wenang ialah nama pengganti yang diberikan Raden Wijaya kepada orang yang

sama,154 demikian juga halnya dengan Arya Dikara terdengar mirip dengan Arya

Adhikara. Juga Raden Arya Wiltikta, bupati Tuban ke-8, sekilas terdengar mirip

Wilatikta, nama lain dari Majapahit.

Garis trah bupati itu terus berlanjut hingga pada bupati yang ke-17

terjadilah peristiwa besar, yakni serangan Kerajaan Mataram ke Tuban. Bupati

Tuban saat itu ialah Pangeran Dalem. Alasan penyerangan Mataram karena

152 Bandingkan dengan Kidung Rangga Lawe yang mengisahkan setelah

kemenangan melawan Jayakatwang dan pindah ke Tuban Arya Wiraraja disebutkan memakai nama lainnya, yaitu Arya Adhikara.

153 Serat Babad Tuban, 1936: 7.

154 Lawe dan Wenang ialah sinonim. Nama itu merujuk pada pada keputusan Raden Wijaya yang menyerahkan kepemimpinan orang Madura kepada Rangga Lawe atau Arya Adhikara.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 99: SIHIR SASTRA - repository.usd.ac.id

88

Pangeran Dalem diketahui mau memberontak. Dalam penyerangan itu dikisahkan

Mataram menurunkan 1900 pasukan dan memporakporandakan Tuban, tetapi

Pangeran Dalem berhasil melarikan diri. Setelah Tuban berada dalam kekosongan

kepemimpinan, Mataram menunjuk Pangeran Pojok sebagai bupati Tuban.

Demikianlah seterusnya, setelah Pangeran Pojok pun bupati Tuban diisi oleh

orang-orang yang ditunjuk Mataram. Bahkan bupati terakhir yang dikatakan

dalam Serat Babad Tuban, masa berkuasa 1911-1919, merangkap sebagai Patih

Rembang.

D. Simpulan

Narasi tentang Rangga Lawe dalam karya sastra Jawa Modern kiranya ada

kaitannya dengan kondisi sosial dan kepentingan politik pada masa hidup

pujangganya. Periode penulisan dan komposisi narasi menguatkan dugaan itu.

Sebelum menjelaskan itu semua, ada baiknya untuk membagi penjelasan ke dalam

dua bagian karena naskah-naskah itu memiliki motif yang berbeda, meski

kemudian akan mempengaruhi pada hasil akhir atau pembentukan dan perubahan

tokoh Rangga Lawe. Bagian pertama akan fokus pada narasi Rangga Lawe dalam

kisah Damarwulan, tentu juga dengan Langendriya Pejahipun Ranggalawe.

Bagian kedua untuk menjelaskan narasi dalam Serat Babad Tuban.

Baiklah, kini bagian pertama harus diudar terlebih dahulu karena naskah

inilah yang membuat pijakan bagi perubahan narasi terkait Rangga Lawe di masa-

masa yang lebih muda. Jika ditilik dari periode penulisan dan komposisi narasi,

motif justru mengarah kepada kepentingan politis Kerajaan Mataram Islam. Meski

Soenarto Timoer menyebut pujangga kisah Damarwulan terinspirasi pada

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 100: SIHIR SASTRA - repository.usd.ac.id

89

peristiwa dan tokoh pada masa akhir Kerajaan Majapahit, tidakkah kisah tentang

Menakjingga dan Blambangan itu justru mengingatkan kita terhadap ambisi

Mataram Islam untuk menguasai kerajaan Hindhu terakhir di ujung timur Pulau

Jawa, hingga menyebabkan peristiwa Puputan Bayu tahun 1771? Selain itu,

Soenarto Timoer pun gagal memberikan bukti yang jelas untuk argumennya.

Ada beberapa hal dalam narasi kisah Damarwulan yang mengarah ke sana,

kepada ambisi Mataram Islam menaklukkan Blambangan. Selain penyebutan

Blambangan, tentu patut disebut sekutu Menakjingga dalam perang melawan

Majapahit dan Rangga Lawe. Mereka ialah orang Bugis, Madura, dan Bali. Itu

semua sama dengan temuan dalam penelitian sejarah terkait sekutu Blambangan

ketika menghadapi gempuran VOC pada abad XVIII. Blambangan waktu itu

mampu merebut hati orang Bugis, Madura, Bali, termasuk juga orang Tionghoa

sebagai sekutu perang.

Perihal lain ialah periode penulisan naskah. Telah diketahui bahwa

penanggalan tertua untuk naskah Damarwulan menunjuk abad XVIII dan

penambahan narasi serta variasi lain kira-kira terjadi pada abad XIX dan XX.

Tentu akan lebih mudah untuk mengangkat kisah yang selisih waktunya hanya

puluhan hingga ratusan tahun daripada mengambilnya dari periode yang lebih

jauh atau lebih tua. Jarak waktu yang terlampau jauh juga menerangkan kenapa

anakronisme dalam kisah Damarwulan diterima. Orang tidak akan merasa curiga

apabila Rangga Lawe dikisahkan hidup pada masa akhir Majapahit dan rajanya

ialah seorang perempuan bernama Kencanawungu karena ingatan tentang tokoh

dan peristiwa itu, yang diturunkan melalui tradisi lisan, pun telah memudar.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 101: SIHIR SASTRA - repository.usd.ac.id

90

Terkait penyebutan nama Majapahit dalam kisah Damarwulan sebenarnya

bisa dijawab dengan merujuk kedua kerajaan yang bersengketa: Blambangan dan

Mataram Islam. Kerajaan Blambangan secara turunan sejarah ada kaitannya

dengan Majapahit dan sampai abad XVIII pun masih mempertahankan citra itu.

Sementara itu Mataram Islam, apabila melihat dari karya-karya sastra yang

menerangkan kerajaan itu, pun merujuk Majapahit sebagai asal keturunan raja-

rajanya. Majapahit yang dipandang sebagai kerajaan terbesar di tanah Jawa

dijadikan sebagai alat legitimasi kekuasaan bagi pihak Mataram Islam. Jadi,

penyebutan Majapahit dalam epos Damarwulan tidak hanya tentang kebutuhan

material bacaan kepahlawanan lokal, melainkan juga mengandung kepentingan

politik kelompok aristokrat Jawa di zaman itu.

Namun, muncul pertanyaan esensial lain terkait narasi dalam kisah

Damarwulan. Kenapa Rangga Lawe dalam kisah Damarwulan harus dikisahkan

mati dalam usahanya mengabdi kepada negara (Majapahit) sementara teks-teks

terdahulu mengisahkannya mati sebagai pemberontak? Kenapa pula harus Rangga

Lawe satu-satunya tokoh historis, sementara tokoh lain seperti Damarwulan,

Kencanawungu, Patih Logender, Menakjingga dan tokoh lain bisa dipastikan fiktif

belaka?

Untuk menjawab pertanyaan itu kita harus kembali kepada pembahasan

sebelumnya, yakni soal kenyataan dalam karya sastra. Sekali lagi, fakta dalam

karya sastra tidaklah, dan tidak harus, sama dengan fakta dalam realitas. Ini juga

berlaku bagi karya-karya terdahulu yang memuat narasi Rangga Lawe, seperti

Kidung Rangga Lawe, Pararaton, dan Kidung Harsa-Wijaya. Mungkin memang

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 102: SIHIR SASTRA - repository.usd.ac.id

91

benar ada tokoh sejarah yang identik dengan Rangga Lawe di kenyataan, dalam

karya sastra terdahulu pun dijelaskan bahwa Lawe merupakan gelar atau nama

yang diberikan Raden Wijaya kepada seorang abdinya, tetapi tetap saja harus

dibedakan dengan tokoh Rangga Lawe dalam karya sastra. Demikian juga

sebaliknya, bisa jadi tokoh-tokoh fiktif seperti Damarwulan, Kencanawungu,

Patih Logender dan tokoh lain benar ada di kenyataan, entah itu dari sifat atau

status yang mirip, yang kemudian mewujud ke cerminan tokoh dalam karya

sastra.

Soal pengabdian Rangga Lawe kepada Majapahit dan sifat ksatria Rangga

Lawe yang memilih gugur di medan perang dalam kisah Damarwulan sebenarnya

juga ada dalam karya sastra terdahulu. Lebih tepatnya, pujangga Damarwulan

merujuk Kidung Rangga Lawe, yakni momen ketika Rangga Lawe berbicara

dengan pamannya, Sora, setelah dia mengajukan keberatan kepada Kertarajasa

tentang pengangkatan Nambi sebagai Patih Majapahit. Selain itu pula, terkait jasa-

jasa Rangga Lawe yang pantas dijadikan sebagai motif perubahannya menjadi

pahlawan. Tidakkah Rangga Lawe juga berjasa membawahi orang-orang Madura

untuk membuka Hutan Tarik pada awal pembangunan Majapahit? Tidakkah

Rangga Lawe juga berjasa dalam peperangan melawan Jayakatwang dan

pengusiran prajurit Mongol yang diutus untuk menundukkan keturunan

Kertanegara, Raden Wijaya dan Majapahit? Persoalan-persoalan itulah yang

mendasari penggubahan pujangga kisah Damarwulan. Dalam hal ini, dialog antar-

teks (intertekstual) dari kisah-kisah Rangga Lawe dalam karya sastra tetap

berlanjut.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 103: SIHIR SASTRA - repository.usd.ac.id

92

Persoalan lain yang mendasari kepahlawanan Rangga Lawe dalam kisah

Damarwulan ialah kematian Rangga Lawe itu sendiri, dalam karya sastra

terdahulu. Kematian Rangga Lawe, sejak awal kemunculan kisah Rangga Lawe

dalam sejarah, telah ditetapkan oleh para pujangga sebagai penyesalan di masa

lampau. Hal itu secara jelas tampak dalam Kidung Rangga Lawe, yakni ketika

Raden Wijaya atau Kertarajasa menyayangkan keputusan Rangga Lawe untuk

memberontak hingga kesedihan raja ketika Rangga Lawe mati di tangan Kebo

Anabrang. Penyesalan lain tentu bahwa dari pemberontakan Rangga Lawe banyak

orang-orang kepercayaan Kertarajasa mati hanya untuk memadamkan api

pemberontakannya. Dari penyesalan masa lampau itu pula pujangga kisah

Damarwulan berangkat untuk mematenkan formulanya, tetapi kematian Rangga

Lawe harus tetap terjadi, meski dalam versi berbeda, supaya rumus transformasi

berhasil dan diterima sebagai alternatif yang lebih baik dari realitas.

Lalu, bagaimana dengan naskah Serat Babad Tuban yang muncul paling

belakangan? Meski anakronisme dalam naskah ini, seperti penyebutan leluhur

Rangga Lawe dari Kerajaan Pajajaran, juga termasuk banyak, tetapi ada beberapa

hal yang dapat diketahui sebagai perujukan ke kisah dan perihal dari karya

terdahulu. Salah satunya tampak pada penamaan daerah kekuasaan leluhur

Rangga Lawe, yakni Lumajang Tengah, ditambah ketika pujangga juga

mengisahkan wilayah itu bertambah tiga desa. Penamaan itu mengingatkan kita

akan Lamajang tigang juru, daerah yang dihadiahkan oleh Raden Wijaya kepada

Arya Wiraraja. Sementara di kenyataan, ada dusun bernama Lumajang Tengah di

Kecamatan Jenu saat ini dan itu tepat seperti ditunjuk di dalam naskah. Rujukan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 104: SIHIR SASTRA - repository.usd.ac.id

93

kedua mengarah pada penamaan bupati-bupati Tuban yang menyebut nama lain

Rangga Lawe, seperti Arya Adhikara dan Wenang. Penyebutan nama hewan

sebagai nama atau gelar orang seperti dalam karya-karya terdahulu pun dirujuk

oleh Serat Babad Tuban, yakni Kebo Nabrang.

Pertanyaan yang patut dimunculkan kemudian ialah untuk tujuan apakah

Serat Babad Tuban? Ada dua hal yang bisa diajukan terkait hal itu. Berdasarkan

isi, Serat Babad Tuban yang menginformasikan genealogi bupati-bupati Tuban

tentu difungsikan sebagai legitimasi kekuasaan. Pemilihan Rangga Lawe termasuk

dalam keturunan bupati-bupati Tuban terdahulu tampaknya mengabarkan betapa

pentingnya sosok itu, bagi kelompok elite lokal, bahkan sampai perlu diposisikan

sebagai pendahulu bupati-bupati Tuban selanjutnya. Namun, masih belum

terpecahkan terkait dengan narasi leluhur Rangga Lawe dalam Serat Babad Tuban

yang dikisahkan berasal dari Kerajaan Pajajaran. Apakah itu disebabkan oleh

ketidaktahuan pujangga atau karena kepentingan politis tertentu tetap tidak bisa

dipastikan. Memang benar bahwa dalam Kidung Rangga Lawe maupun Pararaton,

Arya Wiraraja, ayah Rangga Lawe, dikisahkan memiliki hubungan kekerabatan

dengan Raja Kertanegara, tetapi sama sekali tidak ada penyebutan Kerajaan

Pajajaran dalam silsilahnya.

Perihal kedua terkait dengan tujuan penulisan Serat Babad Tuban

berhubungan dengan periode penulisan naskah, tahun terbit, dan kondisi sosial

politik sewaktu penulisan dan penerbitan naskah. Dapat dipastikan bahwa naskah

itu ditulis dan diterbitkan pada awal abad XX. Pada periode itu ada kebijakan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 105: SIHIR SASTRA - repository.usd.ac.id

94

pemerintah kolonial terkait bacaan atau penerbitan buku di Hindia Belanda.155

Lantaran isi Serat Babad Tuban lebih berisikan atau mengunggulkan corak

identitas lokal, maka naskah itu tidak termasuk dalam kategori bacaan yang

diharuskan oleh pemerintah kolonial atau istilahnya “bacaan liar”. Naskah itu pun

diterbitkan oleh penerbit swasta Tionghoa di Kediri. Dengan begitu Serat Babad

Tuban telah mencerminkan jiwa zamannya sebagai medium pemberontakan

terhadap pengekangan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial.

Agak konyol memang mendapati tokoh pemberontak pada awal Kerajaan

Majapahit menjadi pahlawan guna kepentingan politik kelompok elite lokal abad

XX. Karya-karya sastra Jawa modern itulah pintu transformasi tokoh dan status

Rangga Lawe yang mampu mempengaruhi anggapan masyarakat.

155 Kebijakan itu sejalan dengan jalannya praktik Politik Etis di Hindia Belanda.

Pada periode itu pemerintah kolonial merasa perlu untuk mengatur suatu sistem yang dibuat untuk mempersiapkan pribumi hidup berdampingan dengan orang Belanda. Penerbitan buku, yang termasuk dalam bidang pendidikan, pun tidak lepas dari kepentingan itu, termasuk penerbitan karya sastra Jawa. Untuk memuluskan kebijakan itu pemerintah kolonial mendirikan penerbit buku yang sekaligus berfungsi sebagai penyensor dan distributor buku-buku bacaan, yakni Balai Pustaka. Buku-buku yang diterbitkan oleh penerbit swasta, termasuk penerbit swasta Tionghoa, yang kebanyakan mengangkat kisah, tokoh lokal, dan bahasa daerah dimasukkan dalam “bacaan liar”. Selengkapnya baca Pardi Suratno. 2013. Masyarakat Jawa dan Budaya Barat: Kajian Sastra Jawa Masa Kolonial. Yogyakarta. Adiwacana.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 106: SIHIR SASTRA - repository.usd.ac.id

95

BAB V

PENUTUP

A. Simpulan

Transformasi tokoh Rangga Lawe dalam perspektif masyarakat, terutama

masyarakat Tuban, berkaitan erat dengan penulisan historiografi tradisional dan

atau karya sastra. Perubahan itu berlangsung berabad-abad lamanya dan

melibatkan kerja antar-pujangga dalam teks yang mereka tulis dan tinggalkan.

Perubahan yang terjadi pun sangat drastis. Rangga Lawe yang muncul kali

pertama dalam Kidung Panjiwijayakrama atau Kidung Rangga Lawe dikisahkan

sebagai pemberontak pada awal pendirian Kerajaan Majapahit berubah menjadi

pahlawan dalam naskah lakon seni pertunjukan langendriya, kisah Damarwulan.

Dari perubahan itu indikasi rasa penyesalan benar adanya, paling tidak

demikian yang disampaikan pujangga dalam kisah dan teksnya, yang diubah

menjadi lebih baik. Transformasi tokoh Rangga Lawe dalam karya sastra

merupakan jawaban final atas penyesalan itu. Kaitan yang lain ada pada proses

kognitif dan perihal yang berhubungan dengan aspek sosial, budaya, serta politik.

Sekali lagi, meski disebut sebagai historiografi tradisional, sumber-sumber

itu tetaplah karya sastra. Kreativitas pujangga ikut campur dalam pengisahan.

Perihal itu pun tampak di dalam sumber-sumber terdahulu, Kidung

Panjiwijayakrama dan Pararaton.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 107: SIHIR SASTRA - repository.usd.ac.id

96

Kidung Panjiwijayakrama-lah, penanggalan tertuanya menunjuk abad XV,

yang pertama kali mengabarkan kisah pemberontakan Rangga Lawe, barulah

kemudian Pararaton mengutip kisah itu untuk melengkapi narasi keseluruhannya

pada abad XVII. Dari pengutipan Pararaton, narasi pemberontakan Rangga Lawe

tetap ada, yang berubah hanya pada latar belakang tokoh.

Baik Kidung Panjiwijayakrama dan Pararaton sama-sama mengangkat

peristiwa sejarah, tetapi tidak tepat rasanya untuk mengabaikan bentuknya (puisi

dan prosa). Yang lain ialah motivasi pujangga. Misalnya, untuk mengabarkan

kewibawaan seorang raja dalam menjalankan kewajibannya sebagai penguasa.

Dalam Kidung Panjiwijayakrama, meski Rangga Lawe mendapat tempat dalam

penarasian, tetap saja porsi utama ada pada kebesaran dan tindakan raja. Demikian

halnya dengan Pararaton, baik pemberontakan Rangga Lawe dan pemberontakan-

pemberontakan lain setelahnya dikisahkan untuk menguatkan citra raja, dalam hal

ini raja-raja Majapahit, yang mampu memadamkan api pemberontakan.

Indikasi usaha mengubah perihal dan peristiwa yang disesali terletak pada

pemberontakan dan kematian Rangga Lawe pada abad XIV. Bagaimana tidak

bahwa pemberontakan itu justru berasal dari abdi yang dipercaya Raden Wijaya

atau Kertarajasa. Besar jasa Rangga Lawe, sebenarnya, terutama pada awal

pendirian Majapahit, seperti membawahi orang-orang Madura ketika membabat

Hutan Tarikh, perang melawan pasukan Jayakatwang, dan mengusir tentara

Mongol. Paling tidak itu yang disebutkan oleh pujangga Kidung

Panjiwijayakrama. Dari pemberontakan Rangga Lawe pula Majapahit harus

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 108: SIHIR SASTRA - repository.usd.ac.id

97

kehilangan putra-putra terbaik mereka dan mencoreng kebesaran Majapahit

sebagai kerajaan Hindhu-Buddha di Jawa. Kesemua perihal itu tampaknya telah

menjadi penyesalan masa lampau dan di sinilah tugas seorang pujangga

dibutuhkan.

Perubahan mencolok pertama muncul dalam Kidung Harsa-Wijaya.

Pujangga Kidung Harsa-Wijaya mengutip narasi Pararaton pada bagian latar

belakang Rangga Lawe. Sama dengan narasi dalam Pararaton, Kidung Harsa-

Wijaya menyebutkan bahwa Rangga Lawe ialah anak dari pejabat lokal di Tuban,

sementara anak Arya Wiraraja ialah Nambi dan Wirondaya. Yang lebih mencolok

ialah penghilangan pemberontakan, karena dalam Kidung Harsa-Wijaya jabatan

mahapati diserahkan kepada Rangga Lawe, padahal ambisi terhadap jabatan

kerajaan merupakan faktor penyebab pemberontakan Rangga Lawe.

Dari karya sastra berbahasa Jawa Pertengahan narasi tokoh Rangga Lawe

tetap diproduksi hingga ke bentuk sastra berbahasa Jawa Modern. Tersebutlah

Langendriya Pejahipun Ranggalawe, yang merupakan bagian dari kisah

Damarwulan, dan Serat Babad Tuban. Dari kedua karya itu dengan karya

terdahulu jarak waktu penulisan membentang hingga ke angka ratusan tahun.

Langendriya Pejahipun Ranggalawe ditulis pada abad XIX, penanggalan tertua

kisah Damarwulan menunjuk abad XVIII, dan Serat Babad Tuban ditulis pada

awal abad XX.

Pengangkatan tokoh Rangga Lawe dalam kisah Damarwulan, yang

merupakan epos dengan muatan lokalitasnya, terindikasi ada kepentingan politis,

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 109: SIHIR SASTRA - repository.usd.ac.id

98

khususnya kepentingan Mataram Islam terhadap Blambangan. Itu terwujud dalam

anakronisme penyebutan masa hidup Rangga Lawe dan penyebutan Blambangan

dalam narasinya. Dalam Langendriya Pejahipun Ranggalawe kisah kematian

Rangga Lawe ditampilkan secara heroik. Dalam hal itu pula diperlihatkan

pengabdian Rangga Lawe kepada Majapahit untuk melawan musuh kerajaan.

Transformasi itu menjawab narasi terdahulu, terutama dalam Kidung

Panjiwijayakrama dan Pararaton. Menurut nilai sosial, tugas seorang kesatria

ialah mengabdi dan untuk kejayaan raja serta kerajaannya, bukan untuk

mempertanyakan, atau bahkan menolak keputusan raja. Titah raja, sebagai titisan

dewata, itu mutlak dan itu tidak ada dalam kisah Rangga Lawe dalam Kidung

Panjiwijayakrama dan Pararaton, tetapi ditemukan dalam Langendriya

Pejahipun Ranggalawe.

Meski tetap bermuatan kepentingan politis, Serat Babad Tuban lebih

mengaplikasikan tujuan itu demi kepentingan elite lokal di Tuban dan Mataram

Islam. Maksudnya, bahwa kehadiran Rangga Lawe dalam karya sastra itu untuk

melegitimasi bupati-bupati Tuban dengan menunjukkan alur keturunan bupati

Tuban. Aspek lain berkaitan dengan jiwa zaman dan kondisi sosial politik di masa

hidup pujangga serta periode penulisan. Awal abad XX merupakan periode

pelaksanaan Politik Etis di Hindia Belanda. Kebijakan itu juga menyorot

penerbitan buku. Sementara itu, Serat Babad Tuban yang diterbitkan oleh penerbit

swasta Tionghoa dapat dikatakan bacaan liar yang dilarang oleh pemerintahan

kolonial karena menonjolkan unsur kelokalan.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 110: SIHIR SASTRA - repository.usd.ac.id

99

Dalam dua karya sastra itu anakronisme sangat menonjol dan bisa

dikatakan wajar jika mempertimbangkan selisih waktu antara kejadian

sesungguhnya dengan waktu penulisan. Faktor lain ialah karena penurunan narasi

itu melalui tradisi lisan. Bentuk karya merupakan bukti untuk menguatkan lisanan

itu. Dalam masyarakat lisan ketepatan tidaklah diutamakan, berbeda dengan

masyarakat dalam sistem mnemonik tekstual.

Namun, yang pasti penulisan karya sastra itu begitu melekat dan

mempengaruhi pemikiran masyarakat. Meski antar-daerah memiliki perbedaan

pandangan akan tokoh Rangga Lawe, bukti-bukti di lapangan merupakan hasil

dari penulisan sastra. Anggapan itu berwujud pada pemujaan tokoh dan tali

persaudaraan antar-daerah (Jawa, Maduran, dan Bali), khususnya yang

berhubungan dengan Majapahit.

B. Tulisan dari Budaya Lisan

Meskipun narasi historis tentang tokoh Rangga Lawe dan

pemberontakannya dapat ditemukan dalam teks-teks, tetapi dapat dibuktikan

bahwa tulisan-tulisan itu berasal dari budaya lisan. Artinya, karya-karya yang

dibahas dalam penelitian ini disusun dari formula lisanan. Maksudnya ialah bahwa

pujangga-pujangga yang menggubah kisah Rangga Lawe mengumpulkan bahan-

bahan penulisannya dari kisah yang memang sudah beredar, secara lisanan, dalam

masyarakat, bukan seperti pujangga dalam budaya tulisan yang menciptakan

sesuatu dari ketiadaan. Dengan begitu juga menempatkan masyarakat Jawa, dan

masyarakat etnis lain yang memuja kisah dan tokoh pada era Majapahit, seperti

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 111: SIHIR SASTRA - repository.usd.ac.id

100

Madura dan Bali, sebagai masyarakat lisanan sekunder156, atau masyarakat lisanan

yang sudah mengenal tulisan.

Ada beberapa bukti yang menguatkan simpulan itu. Bukti pertama,

naskah-naskah awal yang memuat kisah Rangga Lawe, Kidung

Panjiwijayakrama, Pararaton, dan Kidung Harsa-Wijaya, sama sekali tidak

diketahui penulisnya, karena memang pujangganya tidak membubuhkan nama di

teks. Konsep kepengarangan hanya dikenal dan diakui dalam masyarakat budaya

tulisan, bukan dalam masyarakat budaya lisan. Bukti kedua, naskah lebih bersifat

aditif, agregatif, dan berlebih-lebihan. Semua naskah yang memuat narasi tokoh

Rangga Lawe hanya menambahi beberapa detail atau tidak memunculkan

kebaruan. Penambahan detail dalam naskah pun berasal dari bahan-bahan yang

sudah ada dalam naskah lain, semisal adegan mesra Rangga Lawe dengan istri-

istrinya sebelum berangkat berperang. Bukti-bukti itu sebenarnya telah ditemukan

oleh akademisi lain, seperti Zoetmulder dan Muljana, tetapi mereka tidak

mengidentifikasinya sebagai ciri khas dari karya budaya lisan. Ungkapan-

ungkapan klise, berlebihan, dan cenderung diulang-ulang itu berkaitan dengan

sistem mnemonik dan formula dalam masyarakat lisanan yang berguna untuk

memunculkan kembali (recall) ingatan. Bukti ketiga ialah bentuk karya itu

sendiri. Bentuk dan nama kidung sesuai dengan cara penyampaiannya, yakni

dengan menembangkan tulisan. Karya-karya yang ditulis pada zaman yang lebih

156 Meminjam istilah Ong yang mengulas karakterisasi masyarakat berdasarkan

budaya lisan dan tekstual. Hasil penelitian Ong berdasarkan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Parry. Untuk mengetahui perbedaan masyarakat berbudaya lisan dan masyarakat berbudaya tulisan lebih lanjut baca Ong. 2013. Kelisanan dan Keaksaraan. Yogyakarta: Gading Publishing.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 112: SIHIR SASTRA - repository.usd.ac.id

101

muda, abad XVIII sampai dengan awal abad XX, berbentuk naskah seni

pertunjukan.

Yang bisa memproduksi dan atau mengakses tulisan ialah kalangan elite.

Pujangga di sini bisa dimasukkan ke dalam kategori elite. Sementara itu, untuk

penyebaran kisah lebih meluas kepada publik tetap berdasarkan tradisi lisan. Jadi,

meski dalam abad tertentu, di masa silam, teks yang memuat narasi tokoh dan

pemberontakan Rangga Lawe tidak ditemukan jejak penulisan atau penerbitannya,

untuk menelisik kontinuitas produksi teks, kita bisa memastikan bahwa tradisi

pengisahan tokoh Rangga Lawe tetap ada dalam bentuk lisan.

Penggunaan teks dari karya sastra tradisional sebenarnya sangat

memudahkan penelitian ini, khususnya untuk menelisik narasi masa silam. Teks

dalam penelitian ini tidak hanya ditempatkan sebagai warisan kolektif masa silam,

tetapi juga bentuk konkret dari tradisi lisan itu sendiri. Berbeda dengan hasil

tradisi lisan yang sama sekali tidak menghasilkan jejak apa pun, seperti

kekosongan yang tercipta saat kita menghentikan rekaman suara, tulisan tetap

dapat dijangkau karena memiliki bentuk utuh. Teks pula yang memungkinkan

penelisikan transformasi narasi Rangga Lawe dan perspektif masyarakat terhadap

tokoh historis itu.

C. Saran

Historiografi tradisional merupakan salah satu sumber penting dalam

penelitian dan penulisan sejarah. Namun, penelitian sejarah tidak akan mampu

mengudar kebenaran dari teks bersangkutan jika tidak meletakkan sumber

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 113: SIHIR SASTRA - repository.usd.ac.id

102

sebagaimana adanya, sebagai karya sastra yang dipenuhi dengan kreativitas

pujangganya. Alhasil, penelitian sejarah berbasis historiografi tradisional

kebanyakan sering gagal di situ.

Penggunaan teori-teori dari ilmu sastra sangat diperlukan di sini.

Fungsinya sebagai alat bantu untuk menganalisis sumber-sumber tekstual tersebut.

Ilmu-ilmu lain juga diperlukan guna mendalami aspek-aspek lain, seperti

psikologi, sosial, budaya, dan politik. Teks tidak bisa berdiri sendiri atau

dijauhkan dari penulis dan sosialnya. Keberhasilan dalam memahami teks sastra

sangat dipengaruhi dari proses pembacaan faktor ekstern yang tersebar dalam teks

sastra.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 114: SIHIR SASTRA - repository.usd.ac.id

103

DAFTAR PUSTAKA

Andini, W.S. 1984. Kidung Rangga Lawe: Tinjauan atas Tokoh Cerita dan Unsur-Unsurnya. Skripsi. Jakarta: Universitas Indonesia.

Berg, C. C. 1930. Rangga Lawe: Middlejavansche Historische Roman Critisch Uitgegeven. Weltvervreden: Albrecht & Co.

------------- 1931. Kidung Harsa-Wijaya: Tekst, Inhoudsopgave en Aanteekeningen. Gravenhage: Marttinus Nijhoff.

--------------- 1974. Penulisan Sejarah Jawa. Jakarta: Bhratara.

Brandes, J. L. A. & N. J. Krom. 1920. Pararaton (Ken Arok) of Het Boek der Koningen van Tumapel en van Majapahit. Gravenhage dan Batavia: Martinus Nijhof dan Albrecht & Co.

Byrne, R. M. J. 2005. The Rational Imagination: How People Create Alternatives to Reality. London: MIT Press.

Coedes, G. 2010. Asia Tenggara Masa Hindhu-Buddha. Jakarta: KPG.

Gonda, J. 1952. Sanskrit in Indonesia. Nagpur: International Academy of Indian Culture.

--------------- 1969. Ancient Indian Kingship from the Religious Point of View. Leiden: E. J. Brill.

Groeneveldt, W. P. 1960. Historical Notes on Indonesia and Malaya Compiled from Chinese Sources. Jakarta: Bhratara.

Hadisutjipto, S. Z. 1982. Langendriya Pejahipun Ranggalawe. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Hall, D.G.E. 1998. Sejarah Asia Tenggara. Surabaya: Penerbit Usaha Nasional.

Hardjowardojo, R.P. 1965. Pararaton. Jakarta: Bhratara.

Hidayat, M. 2013. Arya Wiraraja dan Lamajang Tigang Juru: Menafsir Ulang Sejarah Majapahit Timur. Denpasar: Pustaka Larasan.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 115: SIHIR SASTRA - repository.usd.ac.id

104

Horne, E. C. 1974. Javanese-English Dictionary. New Haven and London: Yale University Press.

Ivanic, R. 1998. Writing and Identity: the Discoursal Construction of Identity in Academic Writing. Amsterdam/Philadelphia: John Benjamins Publishing Company.

Kartodirdjo, S. 1992. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Kristeva, J. 1941. Desire in Language: a Semiotic Approach to Literature and Art. New York: Columbia University Press.

Krom, N.J. 1956. Zaman Hindu. Terjemahan Arif Effendi. Jakarta: PT Pembangunan Djakarta.

Levi-Strauss, C. 1967. Structural Anthropology. New York: Anchor Books.

Lukacs, G. 1989. The Historical Novel. London: Merlin Press.

Majumdar, R. C. 1937. Ancient Indian Colonies in the Far East Vol. II Part 1: Suvarnadvipa. Dacca: Asoke Kumar Majumdar.

Mardiwasito, L. & Harimurti Kridalaksana. 1984. Struktur Bahasa Jawa Kuna. Ende: Penerbit Nusa Indah.

Muljana, S. 1976. A Story of Majapahit. Singapore: Singapore University Press.

--------------- 1983. Pemugaran Persada Sejarah Leluhur Majapahit. Jakarta: Inti Idayu Press.

--------------- 2012. Tafsir Sejarah: Nagarakretagama. Yogyakarta: LKiS.

--------------- 2012. Menuju Puncak Kemegahan: Sejarah Kerajaan Majapahit. Yogyakarta: LKiS.

Nugroho, I.D. 2011. Meluruskan Sejarah Majapahit. Yogyakarta: Ragam Media.

Ong, W.J. 2013. Kelisanan dan Keaksaraan. Yogyakarta: Gading Publishing.

Padmapuspita, Ki J. 1966. Pararaton: Teks Bahasa Kawi Terdjemahan Bahasa Indonesia. Jogjakarta: Penerbit Taman Siswa.

Pigeaud, T.G.T. 1980. Literatur of Java: catalogue raisonne of Javanese manuscripts in the Library of the University of Leiden and other public collections in the Netherlands. 4. Supplement. Leiden: Leiden University Press.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 116: SIHIR SASTRA - repository.usd.ac.id

105

Prapanca. 2016. Kakawin Nagarakertagama: Teks dan Terjemahan. Yogyakarta: Narasi.

Prawiradirja, R. 1981. Serat Damarwulan. Jakarta: Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah.

Prawiroatmodjo, S. 1981. Bausastra Jawa-Indonesia Jilid I. Jakarta: PT Gunung Agung.

--------------- 1981. Bausastra Jawa-Indonesia Jilid II. Jakarta: PT Gunung Agung.

Ras, J.J. 2014. Masyarakat dan Kesusastraan di Jawa. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Robson, S. & Singgih Wibisono. 2002. Javanese English Dictionary. Singapore: Periplus.

Soemardjan, S., C. Bakdi Soemanto, Ariel Heryanto, Jacob Soemardjo, Toeti Heraty Noerhadi, Budi Darma. 1984. Budaya Sastra. Jakarta: CV. Rajawali.

Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya.

Timoer, S. 1980. Damarwulan (Sebuah Lakon Wayang Krucil): Kupasan Segi Falsafah dan Simboliknya. Jakarta: Balai Pustaka.

Van Zoest, A. 1990. Fiksi dan Nonfiksi dalam Kajian Semiotik. Jakarta: Intermasa.

Vlekke, B.H.M. 2016. Nusantara: Sejarah Indonesia. Jakarta: KPG.

Wiryamartana, I. K. 2014. Sraddha-Jalan Mulia: Dunia Sunyi Jawa Kuna. Yogyakarta: Sanata Dharma University Press.

Zoetmulder, P. J. 1983. Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang. Jakarta: Penerbit Djambatan.

--------------- Kawi dan Kekawian. Yogyakarta: Jajasan Fonds Universitit Negeri Gadjah Mada.

--------------- 2011. Kamus Jawa Kuna-Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Artikel & Jurnal:

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 117: SIHIR SASTRA - repository.usd.ac.id

106

Putri, R.H. (2018) “Tak Ada Mongol dalam Prasasti”, dalam https://www.historia.id edisi 16 Februari 2018.

Robson, S.O. (2000) “The Force of Destiny, or the Kidung Harsa-Wijaya reread”, dalam Indonesia and The Malay World, Vol. 28:82, hlm 243-253.

--------------- (1979) “Notes on the early kidung literature”, dalam Bijdragen tot de Taal-, Land en Volkenkunde, Deel 135, 2de/3de, hlm. 300-322.

Vickers, A. (1982) “The writing of kakawin and kidung on Bali”, dalam Bijdragen tot de Taal-, Land en Volkenkunde, Deel 138, no. 4, hlm. 492-493.

Sumber Visual:

“Napak Tilas JTV Eps Babad Tuban (Wilotikto)”. 2014, diakses melalui https://www.youtube.com tanggal 22 Juli 2021.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI