sifat dan reaksi terhadap stres

16
SIFAT DAN REAKSI TERHADAP STRES Ada dua macam sifat stress, yaitu stress yang bersifat negatif disebut sebagai distress, misalnya oleh karena merasa kehilangan jabatan setelah pension, maka ia merasa tidak berdaya, minder, dan mengakibatkan muncul rasa segan untuk bertemu dengan teman-temannya. Stress yang bersifat positif disebut eustress. Dalam hal ini dapat dicontohkan adanya upaya-upaya untuk mengantisipasi kehidupan setelah nanti. Melakukan penyesuaian- penyesuaian yang positif seperti mencari aktivitas pengganti atau mulai menyesuaikan gaya hidup. Namun demikian, pengertian stress yang berkembang di masyarakat hanya semata-mata stress yang negatif saja, sedangkan stress yang positif tidak diperhitungkan. Oleh karenanya, orang menolak bila dikatakan stress walaupun reaksi stresnya bersifat positif. Adapun reaksi-reaksi yang bersifat negatif adalah sebagai berikut: a. Reaksi psikologis biasanya lebih dikaitkan pada aspek emosi seperti mudah marah, sedih, ataupun mudah tersinggung. b. Reaksi fisiologis biasanya muncul dalam keluhan- keluhan fisik, seperti pusing, nyeri tengkuk,

Upload: pritha-fajar-abrianti

Post on 17-Jan-2016

44 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

Stres

TRANSCRIPT

Page 1: Sifat Dan Reaksi Terhadap Stres

SIFAT DAN REAKSI TERHADAP STRES

Ada dua macam sifat stress, yaitu stress yang bersifat negatif disebut sebagai

distress, misalnya oleh karena merasa kehilangan jabatan setelah pension, maka ia

merasa tidak berdaya, minder, dan mengakibatkan muncul rasa segan untuk bertemu

dengan teman-temannya. Stress yang bersifat positif disebut eustress. Dalam hal ini

dapat dicontohkan adanya upaya-upaya untuk mengantisipasi kehidupan setelah

nanti. Melakukan penyesuaian-penyesuaian yang positif seperti mencari aktivitas

pengganti atau mulai menyesuaikan gaya hidup.

Namun demikian, pengertian stress yang berkembang di masyarakat hanya

semata-mata stress yang negatif saja, sedangkan stress yang positif tidak

diperhitungkan. Oleh karenanya, orang menolak bila dikatakan stress walaupun reaksi

stresnya bersifat positif.

Adapun reaksi-reaksi yang bersifat negatif adalah sebagai berikut:

a. Reaksi psikologis biasanya lebih dikaitkan pada aspek emosi seperti mudah

marah, sedih, ataupun mudah tersinggung.

b. Reaksi fisiologis biasanya muncul dalam keluhan-keluhan fisik, seperti

pusing, nyeri tengkuk, tekanan darah naik, nyeri lambung, gatal-gatal di kulit,

ataupun rambut rontok.

c. Reaksi proses berpikir (kognisi),biasanya tampak dalam gejala sulit

berkonsentrasi, mudah lupa, ataupun sulit mengambil keputusan.

d. Reaksi perilaku. Pada remaja tampak dari perilaku-perilaku yang menyimpang

seperti mabuk, ngepil, frekuensi merokok meningkat, ataupun menghindar

bertemu temannya. Sedangkan pada karyawan yang akan purna karya tampak

pada perilaku yang malas untuk bertemu dengan teman sekantor karena

merasa rendah diri.

Page 2: Sifat Dan Reaksi Terhadap Stres

Reaksi terhadap stress oleh Chevalier dkk., dikemukakan atas beberapa aspek,

yakni (Chevalier et.al., 2011):

a. Aspek Biologis

Terdapat reaksi tubuh berupa fight-or-flight respone karena respons fisiologis

mempersiapkan individu untuk menghadapi atau menghindari situasi yang

mengancam terseut. Fight-or-flight respone menyeebabkan individu dapat

berespons dengan cepat terhadap situasi yang mengancam.

Stress dapat mempengaruhi sistem simpatik tubuh, yakni berhubungan dengan

kelenjar pituitary anterior. Dapat dikatakan bahwa indicator adanya stress

pada seseorang ditandai dengan peningkatan-peningkatan aktivitas kelenjar

pituitary tersebut ditandai dengan meningkatnya konsentrasi ACTH dalam

plasma darah manusia.

Dalam penelitiannya, Chevalier dkk., juga mempelajari akibat yang diperoleh

bila stressor terus meerus muncul. Ia kemudian mengemukakan istilah

general adaption syndrome (GAS) yang tediri dari rangkaian taapan reaksi

fisiologis terhadap stressor:

1) Alarm reaction

Tahapan pertama ini mirip dengan fighft-or-flight respone. Pada tahap ini

araousal yang terjadi pada tubuh organisme berada di bawah yang untuk

selanjutna meningkat di atas normal. Pada akhir tahapan ini, tubuh

melindungi organisme terhadap stressor. Tetapi, tubuh tidak dapat

mempertahankan intensitas araousal dari alarm reaction dalam waktu

yang sangat lama.

2) Stage of resistance

Araousal masih tinggi, tubuh masih terus bertahan untuk melawan dan

beradaptasi dengan stressor. Respons fisiologis menurun, tetapi masih

tetap lebih tinggi dibandingkan dengan kondisi normal.

Page 3: Sifat Dan Reaksi Terhadap Stres

3) Stage of exhaustion

Respons fisiologis masih terus berlangsug. Hal ini dapat melemahkan

sistem kekebalan tubuh dan menguras energy tubuh sehingga terjadi

kelelahan pada tubuh. Stressor yang terus akan mengakibatkan penyakit

dan erusakan fisiologis, dapat juga menyebabkan kematian.

b. Aspek Psikologis

Reaksi psikologis terhadap stress dapat meliputi (Sarafino, 1994):

1) Kognisi

Stres dapat melemahkan ingatan dan perhatian dalam aktivitas kognitif.

Stresor berupa kebisingan dapat menyebabkan defisit kognitif pada anak-

anak. Kognisi juga dapat berpengaruh dalam stres.

2) Emosi

Emosi cenderung terkait dengan stress. Individu sering meggunakan

keadaan emosionalnya untuk mengevaluasi stress. Reaksi emosional

terhadap stress adalah rasa takut, fobia, keemasan, depresi, perasaan sedih,

dan rasa marah.

3) Perilaku sosial

Stress dapat mengubah perilaku individu terhadap orang lain. Individu

dapat berperilaku menjadi positif maupun negatif. Bencana alam membuat

individu berperilaku lebih kooperatif, dalam situasi lain, individu dapat

mengembangkan sikap bermusuhan. Stress yang diikuti dengan rasa

marah menyebabkan perilaku negatif cenderung meningkat sehingga dapat

menimbulkan perilaku agresif. Stres juga dapat mempengaruhi perilaku

membantu pada individu.

Fight or Flight Response pada Stres

Walter Canon (1929) memperkenalkan frasa fight-or-flight response

untuk menjelaskan reaksi psikologis manusia dalam merespon suatu

keadaan yang berbahaya. Hans Selye (1956-1974) menjelaskan general

Page 4: Sifat Dan Reaksi Terhadap Stres

adaptation syndrome (GAS) yang terdiri dari tiga tingkatan, yakni alarm

reaction, resistance stage, exhaustion stage ( Alloy dkk, 2005).

Alarm reaction, selama alarm, perlawanan tubuh melawan stressor

yang diarahkan melalui aktivasi sistem saraf simpatetik. Aktivasi sistem-

sistem tubuh untuk kekuatan maksimal dan mempersiapkan mereka untuk

respon fight or flight. Adrenalin (epinefrin) dilepaskan, denyut jantung

dan tekanan darah meningkat, nafas menjadi lebih cepat, darah diarahkan

dari organ dalam berpindah ke otot skelet, kelenjar keringat diaktifkan,

dan aktivitas gastrointestinal menurun. Sebagai respon jangka pendek

untuk keadaan emergensi, reaksi-reaksi fisik ini dapat disesuaikan.

Resistance stage, pada tahap ini, organisme beradaptasi terhadap

stressor. Seberapa lama tahap ini tergantung keparahan stressor dan

kapasitas organisme. Jika organisme mampu beradapatasi maka kekuatan

melawan pada tahap ini akan berlanjut untuk jangka waktu yang lama.

Selama tingkatan ini, seseorang memberikan gambaran keadaan normal.

Akan tetapi, menurut ilmu jiwa, fungsi internal tubuh tidak normal. Stres

yang terus menerus akan menyebabkan perubahan neurologis dan hormon.

Hipotesis Seyle, menyatakan bahwa ketakutan dalam melawan stres akan

menyebabkan perubahan terhadap sistem imun sehingga rentan terhadap

infeksi.

Exhaustion stage, tahap akhir, kemampuan organisme untuk bertahan

habis, dan menghasilkan suatu kerusakan. Karakteristik tahap ini adalah

aktivasi parasimpatik dari sistem saraf otonom. Fungsi parasimpatik

abnormal, menyebabkan seseorang menjadi kelelahan, tahap ini sering

menghasilkan depresi dan kadang-kadang kematian.

Page 5: Sifat Dan Reaksi Terhadap Stres

Respon Fisiologis Stres

Keadaan stres menimbulkan respon fisiologis, reaksi fisiologis stres

dimulai dengan persepsi stres yang menghasilkan aktivasi simpatetik pada

sistem saraf otonom, yang mengarahkan tubuh untuk bereaksi terhadap

emosi, stressfull, dan keadaan darurat. Pengarahan ini terjadi dalam dua

jalur, yang pertama melalui aktivasi simpatetik terhadap ANS (autonomic

nervus system) dari sistem medula adrenal, mengaktifkan medula adrenal

untuk menyekresi epinefrin dan norepinefrin yang mempengaruhi sistem

kardiovaskular, pencernaan dan respirasi. Rute kedua yaitu hypothalamic-

pituitary-adrenal (HPA) aksis, yang meliputi semua struktur ini. Tindakan

ini mulai dengan persepsi terhadap situasi yang mengnacam, aksi yang

cepat pada hipotalamus. Hipotalamus merespon pelepasan corticotrophin

releasing hormone (CRH), yang akan merangsang hipofisis anterior untuk

menyekresikan adrenocorticotropic hormone (ACTH). Hormon ini

merangsang korteks adrenal untuk menyekresi glukokortikoid, termasuk

kortisol. Sekresi kortisol mengarahkan sumber energi tubuh,

meningkatkan kadar gula darah yang berguna untuk energi sel. Kortisol

juga sebagai antiinflamasi yang memberikan perlawanan alami selama

respon fight or flight, (Alloy dkk, 2005; Carlson, 2005; Pinel, 2009).

Faktor yang Mempengaruhi Perbedaan Respon Stres

Salah satu teori stress adalah model psikologis dari Lazarus (dalam

Baron, 1994), yang menekankan pentingnya interpretasi dari stressor.

Untuk sampai pada proses stress, haruslah dimulai dari penilaian kognitif.

Ada dua macam penilaian kognitif, yaitu penilaian primer dan penilaian

sekunder. Yang dimaksud penilaian primer adalah penilaian atau evaluasi

terhadap situasi apakah yang dirasakan sebagai sesuatu yang mengancam

ataukah menantang. Jika sesuatu dipersepsikan sebagai suatu tantangan,

Page 6: Sifat Dan Reaksi Terhadap Stres

maka orang akan berusaha mengatasi situasi tersebut. Jika situasi tertentu

dipersepsikan sebagai suatu hal yang mengancam, maka orang akan

menghindar. Yang dimaksud dengan penilaian sekunder adalah penilaian

terhadap sumber daya yang dimiliki baik yang berbentuk fisik, psikis,

social, maupun materi. Proses penilaian primer dan sekunder terjadi

bersama-sama dalam membentuk makna setiap peristiwa yang dihadapi

sehingga akan menentukan perilaku pengatasan.

Perilaku pengatasan bersifat dinamis artinya perilaku pengatasan yang

digunakan tergantung situasi yang dihadapi dan sumber daya yang

dimiliki. Oleh karena itu, ada berbagai macam perilaku pengatasan stress,

yang dapatdikategorikan dalam dua hal, yait perilaku pengatasan yang

bersifat emosional yakni upaya-upaya yang dilakukan untuk meredakan

emosi saat belangsungnya stress sedangkan yang bersifat rasional adalah

bagaimana memperbaiki proses penilaian primer dan sekunder.

Secara garis besar ada dua tipe manusia dalam menghadapi situasi

sulit, yaitu orang optimis dan orang yang pesimis. Optimism dan

pesimisme ini dipengaruhi oleh cara berpikir seseorang. Orang pesimis

akan melihat peristiwa dari sisi negatif sedangkan orang optims akan

menilai dari sisi positif.

Yang membedakan orang berpikir positif atau negatif adalah

bagaimana gaya seseorang dalam menjelaskan (explanatoru style) suatu

peristiwa yang tidak mengenakkan. Orang-orang yang berpikir negatif

akan mengalami berbagai kesalahan proses berpikir, yaitu: kurangnya data

akurat, berpikir hitam putih, berpikir perfek, terlalu cepat mengambil

kesimpulan, dan berpikir ekstrem. Orang yang berpikir positif akan

menggunakan cara-cara model berpikir rasional, menggunakan data

sebagai dasar mengambil kesimpulan dan bersikap terbuka terhadap

alternatif.

Page 7: Sifat Dan Reaksi Terhadap Stres

DAMPAK-DAMPAK STRES

Menurut Powell (1983) stres dapat berdampak positif yang mencakup

pemuasan kebutuhan dasar, kemampuan menangani masalah, juga inkulasi

stres. Dampak negatif yang berupa gangguan fisik dan mental serta dapat

juga mempengaruhi perubahan tingkah laku individu. Stress yang terjadi

dapat berpengaruh terhadap kondisi psikologis, tingkah laku, kognitif,

fisiologis, maupun berdampak pada kemampuan organisasi.

Adapun beberapa contoh dampak stress tersebut adalah sebagai berkut:

a. Dampak psikologis

1) Emosi, menangis. marah

2) Menarik diri

3) Bermusuhan, agresif

4) Cemas, curiga, merasa tidak berguna

5) Menyalahkan lingkungan

b. Dampak tingkah laku

1) Selalu terburu-buru

2) Pelupa

3) Alkoholik, perokok berat

4) Tidak bersemangat, malas

5) Makan berlebih/kurang

c. Dampak kognitif

1) Sulit memutuskan

2) Kurang konsentrasi

3) Kurang kreatif

4) Peka terhadap kritik

d. Dampak fisiologis

1) Kadar gula meningkat

2) Keringat berlebihan

Page 8: Sifat Dan Reaksi Terhadap Stres

3) Tekanan darah meningkat

4) Denyut jantung meningkat

5) Sakit kepala

6) Tidak nafsu makan

7) Rambut rontok

e. Dampak stress terhadap organisasi

1) Tingkat absensi meningkat

2) Produktifitas menurun

3) Ketidak puasan kerja

Dampak dari Stres Sesuai Tahapan Perkembangan

Bagaimana efek dari pemaparan stress yang kronis atau berulang

(pemaparan tunggal stress yang berat) pada tahapan yang berbeda dari

kehidupan, tergantung pada area otak yang berkembang atau berkurang

pada saat pemaparan. Stress pada periode prenatal mempengaruhi

perkembangan berbagai region otak yang terlibat dalam pengaturan aksis

HPA, yaitu hipokampus, korkteks frontal, dan amigdala (efek

pemrograman). strstressstnatal mempunyai efek yang bervariasi:

pemaparan perpisahan maternal selama masa kanak menyebabkan

peningkatan sekresi glukokortikoid, sedangkan pemaparan penyiksaan

yang erat berkaitan dengan penurunan kadar glukokortikoid. Sehingga,

produksi glukokortikoid selama masa kanak bervariasi sebagaimana fungsi

dari ingkngan (efek diferensiasi). Dari periode prenatal hingga selanjutnya,

semua area otak yang berkembang sensitive terhadap efek hormone stress;

bagaimanapun beberapa area mengalami periode pertumbuhan cepat

selama periode tertentu. Dari lahir sampai usia 2 tahun, hipokampus

berkembang. Ha ini menyebabkan area otak ini sangat rentan terhadap efek

dari stress pada masa ini. Sebaliknya, pemaparan stress dari lahir sampai

masa kanak akhir dapat menyebabkan perubahan volume amigdala,

Page 9: Sifat Dan Reaksi Terhadap Stres

sebagaimana daerah otak berlanjut untuk berkembang sampai usia 20 tahun

akhir. Hipokampus diorganisasi sepenuhnya selama masa remaja, amigdala

masih berkembang dan ada pertumbuhan yang penting pada volume

frontal. Konsekuensinya, pemaparan stress selama periode ini mempunyai

efek yang besar pada korteks frontal. Penelitian menunjukkan bahwa

remaja sangat rentan terhadap stress, kemungkinan disebabkan oleh respon

glukokortikoid yang tinggi terhadap stress yang bertahan sampai usia

dewasa (efek potensiasi/inkubasi). Pada usia dewasa dan selama penuaan,

region otak yang mengalami penurunan paling cepat sebagai akibat proses

penuaan sangat rentan terhadap efek hormone stress. Stress selama periode

ini dapat menyebabkan manifestasi dari efek inkubasi dari kelainan otak

masa awal (efek manifestasi) atau mempertahankan efek kronis dari stress

(efek mempertahankan) (Lupien et.al., 2009).

Alloy L.B., J.H Riskind, M.J Monos. 2005. Stress and Physical Disorders.

In Abnormal Psychology : Current Perspectives. 9th ed. New York :

McGraw-Hill. p. 214-221

Baron R.A, dan Byrne D.B. 1994. Social Psychology. Understansing

Human Interaction. Boston: Allyn & Bacon.

Carlson, N.R., 2005. Stress Disorders. In: Foundations of Physiological

Psychology 6 Edition. USA: Thomson Wadsworth, 99-122.

Chevalier, Gaetan et.al. 2011. Emotional Stress, Heart Rate Variability,

Grounding, and Improved Autonomic Tone: Clinical Applications.

Integrative Medicine Journal. 10:119-127.

Page 10: Sifat Dan Reaksi Terhadap Stres

Lupien Sonia J., McEwen Bruce S., Gunnar Megan R. dan Heim Christine.

2009. Effects of Stress Troughout The Lifespan on The Brain, Behavior,

and Cognition. Nature Reviews Neuroscience 10:434-445.

Pinel, J.P.J., 2009. Stres dan Kesehatan. Dalam: Biopsikologi Edisi ke-7.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 557-565.

Powell, D. 1983. Human Adjusment Normal Adaptation Through The Life

Cycle. Toronto : Litlle Browm & Co.

Sarafino,E.P.1994, Health Psychology (2.Ed). New York; willey.